KITAB RAHASIA-RAHASIA HAJJI.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian
bagi Allah yang menjadikan kalimah keesaan bagi hambaNya pemeliharaan dan
benteng, menjadikan Rumah Lama (al-baital-‘atiq atau Ka’bah) tempat berkumpul
dan aman bagi manusia, memuliakannya dengan menyangkutkan kepadaNya –sendiri
sebagai memuliakan, menjaga dan ni’mat. Ia menjadikan berziarah kepadaNYA dan
berthawaf mengelilingiNYA, sebagai hijab/penutup dan penghalang diantara hamba
dan azab siksaan. Selawat kepada Muhammad nabi rahmat dan penghulu umat dan
kepada keluarga serta para sahabatnya, pemimpin kebenaran dan penghulu makhluk.
Dan anugerahilah kesejahteraan yang banyak !
Amma ba’du
(selanjutnya), adapun kemudian, maka hajji dari antara rukun dan sendi Islam,
adalah ibadah seumur hidup, kesudahan pekerjaan, kesempurnaan Islam dan
kecukupan agama. Pada waktu hajjilah, diturunkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla
(Allah yg maha mulia & maha besar) firmanNya: “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan Aku
telah relakan Islam itu menjadi agamamu”. S 5 Al Maa-idah ayat 3. Dan mengenai
hajji itu, bersabda Nabi saw: “Barangsiapa meninggal dan tidak mengerjakan
hajji, maka hendaklah ia meninggal, kalau ia mau sebagai Yahudi dan kalau ia
mau, sebagai Nasrani”. Maka diagungkan oleh Nabi saw akan ibadah, yang
menghilangkan kesempurnaan agama, dengan ketiadaannya. Dan disamakannya orang
yang meninggalkan ibadah tersebut dengan Yahudi dan Nasrani tentang kesesatan.
Maka wajarlah diserahkan kesungguhan untuk menguraikan, membentangkan segala
rukun, sunat, adab, keutamaan dan segala rahasia dari ibadah tadi. Dan
keseluruhan ini, akan terbuka dengan taufik Allah ‘Azza Wa Jalla dalam 3 bab:
Bab Pertama : tentang keutamaan ibadah hajji, keutamaan
Makkah & Ka’bah, jumlah rukun dan syarat-syarat wajibnya.
Bab Kedua : tentang
amal perbuatannya yang zhahiriyah/fisik, menurut tertib, dari permulaan
berangkat s/d pulang kembali
Bab Ketiga : tentang
segala adabnya yg halus-halus, segala rahasianya yg tersembunyi & segala
amal perbuatannya yg Batiniyah
Maka marilah kita mulai dengan bab pertama dan padanya 2
pasal:
BAB PERTAMA: tentang keutamaan hajji, keutamaan
Baitullah, Makkah dan Madinah-kiranya dipeliharakan oleh Allah Ta’ala keduanya
dan diikatlah kendaraan-kendaraan orang berjalan jauh menuju ke masjid-masjid
itu.
KEUTAMAAN
HAJJI.
PASAL KESATU :
Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan
serukanlah kepada manusia itu buat mengerjakan hajji, niscaya mereka akan
datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengendarai unta; mereka datang
dari seluruh penjuru dunia”. S 22 Al Hajj ayat 27. Berkata Qatadah, bahwa
tatkala disuruh oleh Allah yg maha mulia & maha besar akan nabi Ibrahim as dan atas Nabi kita
dan tiap-tiap hamba yang pilihan, supaya menyerukan kepada manusia dengan
hajji, lalu nabi Ibrahim as berseru: “Wahai manusia ! sesungguhnya Allah yg
maha mulia & maha besar telah membangun sebuah rumah, maka berhajjilah
kepadanya !”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Supaya mereka menyaksikan
keuntungan-keuntungan buat mereka”. S 22 Al Hajj ayat 28. Ada yang mengatakan,
yaitu: perniagaan di musim-musim hajji dan pahala di akhirat. Tatkala sebagian
ulama terdahulu, mendengar akan ini, lalu berkata: “Demi Tuhan yang punya
Ka’bah, diampunkanlah mereka !”. Ada yang mengatakan, tentang penafsiran firman
Allah ‘Azza Wa Jalla: “Aku akan duduk mengganggu mereka dari jalan yang lurus”.
S 7 Al A’raaf ayat 16, artinya: jalan Makkah, yang diduduki setan diatasnya
untuk melarang manusia daripadanya. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berhajji ke
Baitullah, dimana ia tidak berbuat haram dan dosa, niscaya keluarlah ia dari
segala dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Bersabda pula Nabi saw:
“Tiadalah terlihat setan pada suatu hari, yang lebih kecil, lebih tersisih,
lebih hina dan lebih mendongkol daripada hari ‘Arafah. Dan tidaklah yang
demikian itu, selain karena dilihatnya turun rahmat dan dilepaskan/diampunkan
oleh Allah swt orang yang mengerjakan hajji itu dari dosa-dosa besar, sebab
tersebut dalam suatu hadits: “Sebahagian dari dosa itu, ada beberapa dosa yang
tidak akan tertutup, selain oleh wuquf di ‘Arafah”. Hadits ini diisnadkan oleh Ja’far bin Muhammad
kepada Rasulullah
Diterangkan oleh sebagian ulama ilmu
kasyaf (orang yg telah terbuka hijabnya dan mengerti ilmu Allah) dari
orang-orang muqarrabin ( orang yg dekat kepada Allah), bahwa Iblis –kutukan Allah
kepadanya –telah tampak kepadanya dalam bentuk orang di ‘Arafah. Dia dalam
keadaan berbadan kurus, bermuka pucat, bermata menangis dan bertulang belakang
bungkuk.
Lalu ulama kasyaf itu bertanya: “Apakah
yang menyebabkan matamu menangis ?”.
Menjawab Iblis: “Keluar orang hajji
kepadanya tanpa perniagaan/tidak berdagang dimana aku katakan, bahwa mereka
menuju kesitu, sedang aku takut, bahwa tidak akan mengecewakan mereka. Maka
yang demikian itu, menyusahkan akan hatiku”.
Bertanya ulama kasyaf: “Apakah yang
menyebabkan kurus badanmu ?”.
Menjawab Iblis: “Pekikan kuda pada jalan
Allah yg maha mulia & maha besar ! jikalau ada itu pada jalanku, niscaya
amat menyenangkan hatiku !”.
Bertanya ulama kasyaf lagi: “Apakah yang
menyebabkan berobah warna mukamu ?”.
Menjawab Iblis: “Mereka tolong-menolong
atas mentaati Allah swt. Jikalau mereka tolong-menolong diatas maksiat, niscaya
adalah amat menyenangkan aku”.
Bertanya ulama kasyaf pula: “Apakah yang
menyebabkan punggungmu bungkuk-pecah ?”.
Menjawab Iblis: “Perkataan hamba: Aku
bermohon akan Engkau, ya Allah kebagusan kesudahan (husnul-khatimah) !”, Dimana
aku mengatakan: “Wahai celakalah aku kiranya, manakala orang ini ta’jub/yakin
dengan amalannya, maka aku takut, bahwa dia sudah mengerti dengan
kecerdikannya”.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa keluar dari rumahnya sebagai berhajji
atau ber’umrah, lalu ia meninggal, niscaya diperlakukan baginya pahala orang
hajji yang ber’umrah sampai kepada hari kiamat. Dan barangsiapa meninggal pada
salah satu tanah haram (tanah haram Makkah atau tanah haram Madinah), niscaya
ia tidak dibawa dan tidak dihisabkan amalannya dan dikatakan kepadanya:
“Masuklah sorga itu !”.
Bersabda Nabi saw: “Hajji yang penuh dengan kebajikan (hajji-mabrur),
adalah lebih baik dari dunia dan apa yang ada didalam dunia. Hajji mabrur, tak
ada baginya balasan, selain dari sorga”. Bersabda Nabi saw: “Orang yang
mengerjakan hajji dan orang yang mengerjakan ‘umrah, adalah utusan Allah yg maha mulia & maha besar dan para
pengunjungNya. Jika mereka meminta padaNya, niscaya diberikanNya. Jika mereka
meminta ampun, niscaya diampuniNya mereka itu. Jika mereka berdoa niscaya
diterima doa mereka. Dan jika mereka meminta syafa’at niscaya mereka diberi
syafaat”.
Dalam hadits musnad dari jalan keluarga Nabi tersebut: “Dosa yang paling
besar bagi manusia, ialah siapa yang melakukan wuquf di ‘Arafah, lalu
menyangka, bahwa Allah Ta’ala tiada memberi ampunan baginya”. Diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas ra daripada Nabi saw bahwa Nabi bersabda: “Turun kepada rumah ini
(Baitullah) pada tiap-tiap hari 120 rahmat. 60 bagi orang yang mengerjakan
thawaf, 40 bagi orang yang mengerjakan shalat dan 20 bagi orang yang melihat”.
Dalam hadits tersebut: “Perbanyakkanlah thawaf di Baitullah. Sesungguhnya
thawaf itu, adalah yang paling mulia dari sesuatu yang akan kamu dapati dalam
suratmu di hari kiamat dan amalan yang paling menggembirakan yang akan kamu
peroleh”. Karena inilah, disunatkan thawaf pada permulaannya, tanpa hajji dan
‘umrah. Dalam hadits tersebut: ”Barangsiapa mengerjakan thawaf seminggu dengan
kaki telanjang, terbuka kepala, niscaya thawaf itu baginya seperti memerdekakan
seorang budak. Dan barangsiapa mengerjakan thawaf seminggu dalam hujan, niscaya
diampunkan baginya apa yang terdahulu daripada dosanya”.
Dikatakan, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, apabila mengampunkan bagi
hambaNya dosa pada tempat wuquf, niscaya diampunkanNya bagi tiap-tiap orang
yang diperolehNya pada tempat wuquf itu. Dan berkata setengah ulama-ulama
terdahulu, apabila bertepatan hari ‘Arafah dengan hari Jum’at, niscaya
diampunkan seluruh penduduk ‘Arafah. Dan hari itu, adalah hari yang paling
utama didunia. Dan pada hari yang demikian itu Rasulullah saw mengerjakan hajji
wada’ (hajji perpisahan). Dan adalah Nabi saw sedang mengerjakan wuquf, ketika
turun firman Allah yg maha
mulia & maha besar S 5 Al Maa-idah ayat 3 “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan Aku telah
merelakan Islam itu menjadi agamamu”.
Berkata ahli kitab (Yahudi & Nasrani):
“Jikalau diturunkan ayat ini kepada kami, niscaya kami jadikan dia hari-raya”
Maka menjawab Umar ra: “Aku naik saksi,
sesungguhnya telah diturunkan ayat itu pada hari raya yang dua: hari ‘Arafah dan
hari Jum’at kepada Rasulullah saw, dan beliau sedang mengerjakan wuquf di
‘Arafah”. Bersabda Nabi saw: “Ya Allah, ampunilah orang yang mengerjakan hajji
dan orang yang diminta ampun dosanya oleh orang yang mengerjakan hajji”.
Diriwayatkan, bahwa Ali bin Muaffaq berhajji dari Rasulullah saw beberapa kali.
Ali bin Muaffaq berkata: “Aku bermimpi Rasulullah saw dalam tidurku, maka
bertanya beliau kepadaku: “Hai Ibnu Muaffaq ! engkau berhajji daripadaku ?”.
Aku menjawab: “Ya !”. Lalu Nabi saw bertanya lagi: “Engkau memperkenankan
seruan hajji (mengucapkan: Labbaik) daripadaku ?”. Aku menjawab: “”Ya !”.
Menyambung Nabi saw: “Maka akan aku balaskan engkau dengan sebab hajji itu pada
hari kiamat. Akan aku ambil tangan engkau pada tempat berhenti nanti (padang mahsyar),
lalu aku masukkan engkau kedalam sorga dimana segala makhluk mendekati dihisab
segala amalannya”.
Berkata Mujahid dan ulama-ulama
lain: “Bahwa orang-orang yang mengerjakan hajji, apabila datang ke Makkah,
niscaya mereka dijumpai oleh malaikat. Lalu memberi salam kepada semua
pengendara unta, berjabatan tangan dengan semua pengendara keledai &berpeluk-pelukan
dengan orang yang berjalan kaki”.
Berkata Al-Hasan: “Barangsiapa meninggal
sesudah Ramadlan atau sebentar saja sesudah perang atau sebentar saja sesudah
hajji, niscaya ia mati syahid”. Berkata Umar ra: “Orang yang mengerjakan hajji
itu diampunkan dosanya dan dosa orang yang dimintakan keampunan dosanya dalam
bulan Zulhijjah, Muharram, Shafar dan 20 hari dari bulan Rabi’ul awal”. Dan adalah
dari sunah ulama terdahulu ra, bahwa mereka mengajak ke rumahnya orang-orang
pejuang di medan perang, menyambut
akan orang yang mengerjakan hajji dan menerima mereka dengan kesayangan serta
mendoakan bagi mereka. Mereka menyegerakan yang demikian itu sebelum bernoda
dengan dosa.
Diriwayatkan dari Ali bin Muaffaq, bahwa Ali berkata: “Telah aku
berhajji pada suatu tahun. Maka tatkala berada pada malam ‘Arafah, aku tidur di
Mina dalam masjid Al-Khaif. Lalu aku bermimpi, seolah-olah dua orang malaikat
turun dari langit, dengan berpakaian hijau.
Maka yang seorang memanggil temannya:
“Wahai hamba Allah !”.
Lalu menjawab yang seorang lagi: “Ya, saya
wahai hamba Allah !”.
Bertanya yang pertama: “Tahukah engkau,
berapa banyak orang yang mengerjakan hajji di rumah Tuhan kita Allah yg maha mulia & maha besar pada tahun ini ?”.
Menjawab yang kedua: “Saya tidak tahu !”.
Lalu menyambung yang pertama: “Telah
berhajji ke rumah Tuhan kita 600 ribu. Adakah engkau ketahui, berapa banyak yg
diterima hajji mereka itu ?”.
Menjawab yang kedua: “Tidak”.
Menyambung yang pertama: “6 orang !”.
Berkata Ali bin Muaffaq seterusnya:
“Kemudian, kedua malaikat itu meninggi di udara, lalu hilanglah dari mataku.
Aku terbangun dengan kegundahan hati dan berhati sedih dan aku perhatikan akan
keadaanku. Maka aku berkata: “Apabila sebelumnya, telah diterima hajji 6 orang,
apakah aku ada di dalam yang 6 orang itu ? tatkala aku telah selesai
mengerjakan yang wajib di ‘Arafah, maka aku berdiri di Masy’aril-haram/ka’bah.
Aku berpikir tentang banyaknya orang dan tentang sedikitnya sebelum mereka ini.
Kemudian aku berbawa tidur. Tiba-tiba kedua orang yang lama itu turun dalam
keadaannya dahulu. Lalu seorang daripadanya, memanggil temannya serta
mengulangi kata-katanya yang lalu.
Kemudian menyambung:“Adakah engkau tahu,
apakah yg ditetapkan oleh Tuhan kita ‘Allah yg maha mulia & maha besar pd malam ini ?”.
Menjawab temannya: “Tidak !”.
Maka ia berkata: “Bahwasanya Tuhan
menganugerahkan bagi semua orang dari yang 600 ribu itu diterima hajinya”.
Meneruskan Ali bin Muaffaq ceritanya: “Maka
aku terbangun, hatiku penuh dengan kegembiraan, yang jauh lebih agung daripada
dapat dibayangkan”. Daripada Ali bin Muaffaq yang menceritakan: “Aku telah
mengerjakan hajji pada suatu tahun. Tatkala telah aku selesaikan segala ibadah
hajjiku (manasik hajji), lalu aku berfikir, tentang siapa yang tiada diterima
hajjinya, seraya aku bermohon: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwa aku telah
memberikan hajjiku dan menyerahkan pahala nya bagi orang yang tiada diterima
hajjinya !”. Ali bin Muaffaq meneruskan ceritanya: “Maka aku bermimpi Tuhan
Rabul-‘izzah (Yang Maha Besar kebesaranNya). Ia berfirman kepadaku: “Wahai Ali
! engkau berbuat kemurahan diatasKu. Aku telah menjadikan kemurahan dan
orang-orang yang pemurah. Aku yang terbaik dari segala orang yang terbaik,
termulia dari segala yang termulia dan lebih benar dengan kebaikan dan
kemurahan dari alam seluruhnya. Aku telah berikan kepada tiap-tiap orang, yang
tiada Aku terima hajjinya, dan AKU juga telah berikan kepada tiap2 orang yang
AKU terima hajjinya !”.
KELEBIHAN BAITULLAH DAN MAKKAH AL-MUSYARRAFAH.
Bersabda Nabi saw: “Bahwa Allah yg maha
mulia & maha besar telah menjanjikan akan Rumah ini, akan berhajji
kepadanya tiap-tiap tahun 600 ribu. Kalau kurang, niscaya dicukupkan mereka
oleh Allah yg maha mulia & maha besar dari malaikat”. Dan sesungguhnya
Ka’bah akan dibangkitkan seperti penganten yang diarak. Tiap-tiap orang yang
sudah berhajji padanya, akan bergantungan dengan tirai-tirainya, berjalan di kelilingnya,
sehingga Ka’bah itu masuk ke sorga. Lalu merekapun masuk besertanya”.
Pada hadits tersebut: “Bahwa Hajar-aswad ialah suatu batu yakut dari
batu-batu yakut sorga. Ia akan dibangkitkan pada hari kiamat, dengan mempunyai
dua mata dan lisan. Dia berbicara dengan lisan itu. Ia naik saksi bagi
tiap-tiap orang yang menghormatinya kepadanya, dengan hak dan kebenaran”. Dan
adalah Nabi saw menciumnya banyak kali”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw sujud
diatasnya dan melakukan thawaf diatas kendaraan. Maka diletakkannya tongkat
yang dapat dilipatkan kepalanya ke atas Hajar-aswad itu. Kemudian, beliau
mencium ujung tongkat tadi.
Umar ra mencium Hajar-aswad itu,
kemudian berkata: “Sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau itu batu, tidak dapat
mendatangkan melarat dan manfaat. Jikalau tidaklah aku melihat Rasulullah saw
mencium engkau, niscaya aku tidak akan mencium engkau. Kemudian ia menangis,
sehingga tinggilah bunyi tangisnya. Lalu ia berpaling ke belakang, maka
dilihatnya Ali ra, seraya berkata: “Wahai Ayah Hasan ! disinilah tempat
menumpahkan air mata dan tempat doa yang mustajab”. Maka menyahut Ali ra::
“Wahai Amirul-mukminin ! tetapi Hajar-aswad itu, memberi melarat dan manfaat”.
Bertanya Umar ra: “Bagaimana?”. Menjawab Ali ra: “Bahwa Allah Ta’ala tatkala
mengambil janji atas anak-cucu Adam, maka disuratkan oleh Allah atas mereka
suatu suratan. Kemudian diletakkan didalam Hajar-aswad. Ia akan naik saksi bagi
orang mu’min, dengan menyempurnakan janjinya dan akan naik saksi atas orang kafir,
dengan mungkir nya akan janji”. Ada yang mengatakan, bahwa itu, ialah arti
ucapan manusia ketika berikrar: “Hai Tuhanku ! aku beriman dengan Engkau, aku
membenarkan dengan suratan Engkau dan aku menyempurnakan akan janji Engkau !”.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashari ra:
“Bahwa berpuasa sehari dinegeri Makkah itu, dibalas dengan pahala 100.000 hari.
Dan bersedekah satu dirham, dibalas dengan 100.000 dirham. Dan begitupula,
tiap-tiap kebajikan dibalas dengan 100.000.
Dan dikatakan bahwa thawaf 7 minggu, menyamai sekali ‘umrah. Dan 3
‘umrah, menyamai satu kali hajji”. Pada hadits shahih tersebut: “Umrah dalam
bulan Ramadlan, adalah seperti hajji bersama aku”. Bersabda Nabi saw: “Aku adalah orang pertama yang terbelah
daripadanya bumi. Kemudian aku datangi penduduk Baqi (orang-orang yang
dikuburkan di perkuburan Baqi’). Maka dikumpulkan mereka bersama aku. Kemudian
aku datangi penduduk Makkah, maka aku dikumpulkan antara 2 tanah haram (tanah
haram Makkah dan tanah haram Madinah)”. Pada hadits tersebut: “Bahwa nabi Adam
as tatkala telah menunaikan ibadah hajjinya, lalu dijumpai oleh para malaikat.
Maka berkata para malaikat itu: “Menjadi mabrurlah hajjimu, wahai Adam ! kami
telah mengerjakan hajji pada Rumah ini sebelum engkau, 2000 tahun”. Tersebut
pada atsar, bahwa Allah yg maha mulia & maha besar melihat pada tiap-tiap
malam kepada penduduk bumi. Maka orang pertama yang dillihatNya, ialah penduduk
Tanah haram. Dan orang pertama yang dilihatNya dari penduduk Tanah haram itu,
ialah penduduk Masjidil-haram. Maka barangsiapa yang dilihatNya sedang
berthawaf, niscaya diampunkan dosanya. Dan barangsiapa yang dilihatNya sedang
mengerjakan shalat, niscaya diampunkan dosanya. Dan barangsiapa dilihatnya
berdiri, menghadap Ka’bah, niscaya diampunkan dosanya”.
Diberikan ilmu kasyaf kepada sebahagian aulia (wali-wali) ra, lalu ia
berkata: “Aku melihat gua seluruhnya sujud kepada ‘Abadan. Dan aku melihat
‘Abadan sujud kepada Jeddah”. Dan dikatakan, tidaklah terbenam matahari dari
suatu hari, melainkan berthawaf dengan Rumah ini seseorang dari orang-orang
mulia. Dan tidaklah terbit fajar dari suatu malam, melainkan telah
berthawaf dengan Rumah ini seorang dari kepala-kepala. Dan apabila
terputuslah yang demikian itu, maka menjadi sebab diangkatkan dia dari bumi.
Lalu jadilah manusia, dimana Ka’bah telah diangkatkan, tiada melihat baginya
sesuatu bekas. Ini, adalah apabila terjadi atas Ka’bah 7 tahun, tidak
seorangpun yang mengerjakan hajji padanya. Kemudian diangkatkan Alquran dari
mash-haf, lalu jadilah manusia melihat kertas putih yang menunjukkan, tak ada
padanya satu hurufpun lagi. Kemudian Alquran itu dimansukhkan (dihapuskan) dari
hati. Maka tidak teringat daripadanya suatu kalimatpun. Kemudian manusia
kembali kepada syair, pantun dan cerita-cerita jahiliah. Kemudian keluarlah
Dajjal dan turunlah Isa as, lalu membunuh Dajjal itu. Dan kiamat ketika
itu, adalah laskana wanita hamil yang hampir dapat diharapkan akan bersalin.
Dalam hadits, tersebut: “Perbanyakkanlah thawaf pada Rumah ini, sebelum ia
diangkatkan. Ia telah runtuh dua kali dan akan
diangkatkan pada kali ketiga”. Diriwayatkan dari Ali ra, daripada
Nabi saw, bahwa Nabi bersabda: “Telah berfirman Allah Ta’ala: Apabila Aku
berkehendak akan menghancurkan dunia, niscaya Aku mulai dengan RumahKu, maka
Aku hancurkannya, kemudian Aku hancurkan dunia seluruhnya”.
KELEBIHAN DAN KEMAKRUHKAN
BERMUKIM DI MAKKAH
Dipeliharakan dia kiranya oleh Allah Ta’ala.
Dimakruhkan oleh orang2 yg takut &
ber-hati2 dari para ulama, bermukim/bertempat tinggal diMakkah, sebab3 perkara:
Pertama: ditakuti
kebimbangan & kejinakan hati dengan Baitullah. Karena yg demikian itu,
kadang2 membekas pada tetap membakarnya hati penghormatan. Dan begitulah, maka
Umar ra memukul beberapa orang yang mengerjakan hajji, apabila berhajji seraya
mengatakan: “Hai orang Yaman, Yamanmu ! hai orang Syam, Syammu ! hai orang
Irak, Irakmu !”. Dari itu bercita-cita Umar ra melarang manusia daripada
membanyakkan thawaf. Dan berkata: “Aku takut akan jinaknya hati manusia dengan
Rumah ini”.
Kedua: bergeloranya
kerinduan dengan berpisah, supaya membangkitkan panggilan untuk kembali lagi.
Bahwa Allah Ta’ala menjadikan Rumah itu, tempat berkumpul bagi manusia &
tempat yang aman. Artinya: mereka berkumpul & kembali kepadanya
berkali-kali & tidak melaksanakan keperluan hidupnya disitu. Berkata
sebahagian mereka: “Adalah engkau pada suatu negeri dan hatimu rindu kepada
Makkah. Tersangkut hati dengan Rumah itu, adalah lebih baik bagimu, daripada
engkau berada padanya, sedang engkau merasa kebimbangan hati menetap disitu dan
hatimu ke negeri lain”. Berkata sebahagian ulama salaf: “Berapa banyak orang di
Khurasan dan lebih dekat hatinya ke Rumah ini, daripada orang yang berthawaf
mengelilinginya”. Dan dikatakan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba, yang
berthawaf Ka’bah dengan mereka, karena mendekatkan diri (ber taqarrub) kepada
Allah Allah Maha Mulia dan Maha Besar.
Ketiga: ditakuti berbuat
kesalahan dan kedosaan di Makkah. Bahwa yang demikian itu dilarang dan wajar
memperoleh kutukan Allah ‘Azza Wa Jalla, karena mulianya tempat tersebut.
Diriwayatkan dari Wuhaib bin Al-Wardil-Makky, yang mengatakan: “Adalah aku pada
suatu malam disamping Hajar-aswad, mengerjakan shalat. Maka aku mendengar suatu
perkataan, diantara Ka’bah dan tirai-tirainya, yang mengatakan: “Kepada Allah
aku mengadu, kemudian kepada engkau, wahai Jibril, akan apa yang aku jumpai
dari orang-orang yang thawaf dikelilingku, daripada pemikiran mereka tentang
pembicaraan, kesia-siaan dan permainan mereka. Sesungguhnya, jika mereka tidak
mencegah diri daripada yang demikian itu, niscaya aku akan bergerak dengan
gerakan, yang akan kembali tiap-tiap butir batu daripadaku kebukit, yang batu
itu dipotong dari padanya !”.
Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Tidak adalah suatu
negeri, yang disiksakan hamba padanya dengan sebab niat, sebelum
diamalkan, selain Makkah”. Lalu Ibnu Mas’ud membaca firman Allah Ta’ala: “Dan
siapa yang ingin melakukan kesalahan disana dengan tidak jujur, niscaya akan
Kami rasakan kepadanya siksaan yang pedih”. Yakni: diatas semata-mata kehendak.
Dan ada yang mengatakan, bahwa kejahatan itu berlipat-ganda di Makkah,
sebagaimana kebajikannya berlipat-ganda. Ibnu Abbas ra ada mengatakan: “Berbuat
monopoli di Makkah, adalah termasuk merusakkan kehormatannya”. Dan ada yang
mengatakan: juga membohong. Berkata Ibnu Abbas: “Berdosa aku 70 dosa di
Rakiyah, lebih baik kepadaku daripada aku berdosa satu dosa di Makkah” Rakiyah
ialah suatu tempat antara Makkah dan Thaif. Dan karena ketakutan itu, sampai
sebahagian orang yang bermukim di Makkah, tidak membuang air (ber-qodo hajat)
di tanah-haram. Tetapi ia keluar ke tanah-halal ketika buang air. Sebahagian
mereka bermukim sebulan dan tidak meletak kan lembungnya diatas bumi. Dan
karena larangan dari bermukim itu, maka sebahagian ulama memakruhkan sewa
rumah-rumah Makkah. Dan jangan anda menyangka, bahwa makruhnya bermukin itu
berlawanan dengan kelebihan tempat (Makkah), karena ini adalah makruh, yang
sebabnya ialah kelemahan dan keteledoran orang banyak daripada menegakkan hak
tempat mulia itu. Maka maksud dari perkataan kami, bahwa meninggalkan bermukim
adalah lebih utama, artinya dengan tambahan kepada bermukim itu, serta
keteledoran dan kebimbangan hati.
Adapun adakalanya lebih utama bermukim serta menyempurnakan akan
hak-haknya. Maka amat jauhlah yang demikian ! betapa tidak ! sewaktu Rasulullah
saw kembali ke Makkah, lalu menghadap ke Ka’bah, seraya berkata: “Bahwa engkau
adalah sebaik-baik bumi Allah yg maha mulia & maha besar dan yang lebih
tercinta dari segala negeri Allah Ta’ala kepadaku. Jikalau tidaklah aku
dikeluarkan daripada engkau, niscaya tidaklah aku keluar”. Betapa tidak !
memandang kepada Rumah itu, adalah ibadah. Dan kebajikan padanya berlipat
ganda, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu.
KELEBIHAN MADINAH MULIA DARI NEGERI-NEGERI LAIN.
Tiadalah sesudah Makkah, suatu tempat, yang
lebih utama dari Madinah (kota) Rasulullah saw. Maka amalan padanya juga
berlipat ganda pahalanya. Bersabda Nabi saw: “Satu shalat di masjidku ini
adalah lebih baik dari 1000 shalat pada lainnya, selain Masjidil-haram”. Begitu
pula, tiap-tiap amalan di Madinah, dengan 1000 ganda pahalanya. Dan sesudah
Madinah Nabi, maka adalah Bumi yang kudus (Baitul-maqdis). Maka satu shalat
padanya, disamakan dengan 500 shalat pada lainnya, selain Masjidil-haram. Dan
begitu pula amalan-amalan lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Nabi saw,
bahwa beliau bersabda: “Satu shalat di masjid Madinah, sama dengan 10.000
shalat. Dan satu shalat di Masjidil-aqsha, sama dengan 1000 shalat. Dan satu
shalat di Masjidiil-haram, sama dengan 100.000 shalat”.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa sabar
diatas kesukarannya dan karena menempatinya, niscaya aku memberikan syafaat
kepadanya pada hari kiamat”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa sanggup untuk
meninggal di Madinah, maka hendaklah ia meninggal disitu. Sesungguhnya tidak
meninggal seseorang di Madinah, melainkan aku memberikan syafaat kepadanya pada
hari kiamat”. Dan tiadalah sesudah tempat yang tiga ini, dimana segala tempat
padanya sama, selain dari gua. Maka bermukim didalam gua, untuk murabathah
(mengikatkan jiwa kepada Allah) didalamnya, niscaya padanya itu keutamaan
besar. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Tidak diikatkan kendaraan, kecuali
kepada 3 masjid: Masjidil-haram, masjidku madinah dan Masjidil-aqsha”.
Beraliran sebahagian ulama, kepada
membuat dalil dengan hadits ini, tentang dilarang menggunakan kendaraan
(bermusafir), untuk berziarah ke tempat-tempat orang syahid, kuburan-kuburan
ulama dan orang-orang shalih. Dan tiada jelas bagiku bahwa keadaannya seperti
itu, tetapi berziarah adalah disuruh ke tempat-tempat tadi. Bersabda Nabi saw:
“Adalah aku telah melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang ziarahilah !
dan janganlah kamu mengatakan: Tinggalkanlah berziarah itu !”. Hadits itu
datang mengenai masjid dan tidaklah searti dengan masjid itu, tempat-tempat
orang syahid. Karena segala masjid, sesudah masjid yang tiga itu, adalah
serupa. Dan tak ada negeri, melainkan padanya ada masjid. Maka tak adalah arti
bermusafir, berangkat ke masjid lain. Adapun tempat-tempat orang syahid, maka
tidaklah sama, tetapi keberkatan menziarahinya adalah menurut tingkat derajat
mereka pada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Ya, kalau ada pada suatu tempat, tak ada masjid padanya, maka baginya mengikat
kendaraan (berangkat) ke tempat yang ada padanya masjid. Dan berpindah kesitu
secara keseluruhan, jika ia mau. Kemudian, wahai kiranya, adakah orang yang
mengatakan tadi, melarang berangkat berziarah ke kuburan nabi-nabi as, seperti
nabi Ibrahim, Musa, Yahya as dll. Maka larangan terhadap itu adalah sangat
mustahil. Maka apabila ia membolehkan ini, niscaya kuburan wali-wali,
ulama-ulama dan orang-orang shalih, adalah searti dengan itu. Lalu tidaklah
jauh dari kebenaran, bahwa itulah, diantara tujuan berangkat itu. Sebagaimana
menziarahi para ulama ketika hidupnya, termasuk diantara maksud-maksud ini pada
keberangkatan berziarah itu.
Adapun tempat tinggal, maka yang lebih utama bagi seorang murid
membiasakan tinggal di tempatnya sendiri, apabila tiada maksudnya dari
bermusafir itu, menambahkan ilmu pengetahuan, manakala keadaannya selamat di
tanah airnya. Kalau tidak selamat, maka hendaklah ia mencari tempat yg lebih
mendekati kepada kesunyian, lebih menyelamatkan bagi agama, lebih mengosongkan
hati dari segala kebimbangan dan lebih mudah beribadah. Maka itulah, tempat
yang lebih utama baginya.
Bersabda Nabi saw: “Negeri-negeri itu adalah negeri Allah yg maha mulia
& maha besar dan segala makhluk adalah hambaNya. Maka dimana saja berjumpa
dengan teman, lalu bermukimlah dan pujilah akan Allah Ta’ala”. Pada hadits
tersebut: “Barangsiapa diberi berkata baginya pada sesuatu, maka hendak lah
diteruskannya dan barangsiapa dijadikan kehidupan nya pada sesuatu, maka
janganlah ia berpindah daripadanya sehingga berubahlah terhadap dirinya”.
Berkata Abu Nu’aim: “Barangsiapa diberi berkat baginya pada sesuatu,
maka hendaklah diteruskannya dan barang siapa dijadikannya kehidupannya pada
sesuatu, maka janganlah ia berpindah daripadanya, sehingga berobahlah terhadap
dirinya”.
Berkata Abu Nu’aim: “Aku melihat Sufyan
Ats-Tsuri, meletakkan karung kulit diatas bahunya dan memegang kedua alas kaki
dengan tangannya,
lalu aku/abu nu’aim bertanya: “Hendak ke
mana wahai Ayah Abdillah ?”.
Menjawab Sufyan: “Ke negeri yang dapat aku
penuhkan padanya karung kulitku dengan dirham”.
Pada suatu cerita lain: “Sampai kepadaku
berita tentang suatu kampung, padanya banyak kemudahan, yang akan aku bermukim
padanya”.
Berkata Abu Nu’aim: “Lalu aku bertanya:
“Akan tuan kerjakan ini, wahai Ayah Abdillah ?”.
Menjawab Sufyan: “Ya, apabila engkau
mendengar kemudahan pada sesuatu negeri, maka tujukanlah, karena itu lebih
menyelamatkan bagi agamamu dan mengurangkan kesusahanmu !”.
Dan berkata Abu Nu’aim: “Ini zaman buruk,
tak merasa aman padanya bagi orang-orang kecil, maka betapa lagi dengan
orang-orang yang terkenal ! inilah zaman yang engkau pindah, yang berpindah
seseorang, dari suatu kampung ke kampung yang lain, melarikan agamanya dari
berbagai macam fitnah”.
Diceritakan dari Abu Nu’aim, bahwa ia
berkata: “Demi Allah, tiada aku ketahui, negeri mana yang lebih tenteram”.
Lalu orang mengatakan kepadanya: “Khurasan
!”.
Maka ia menjawab: “Disitu berbagai macam
aliran (madzhab) dan banyak pendapat-pendapat yang merusak”.
Lalu dikatakan: “Kalau begitu, negeri Syam
!”.
Abu Nu’aim menjawab: “Diisyaratkan kepadamu
dengan anak-anak jari !”. Maksud Abu Nu’aim, kemasyhuran (terkenal).
Lalu dikatakan: “Kalau begitu, negeri Irak
!”.
Ia menjawab: “Negeri orang-orang perkasa”.
Lalu disambung: “Makkah !”.
Abu Nu’aim menjawab: “Makkah menghancurkan
kantong dan badan”.
Berkata kepada Nu’aim seorang perantau:
“Aku bercita-cita bertempat diMakkah, maka berikanlah kepadaku petunjuk!”
Menjawab Abu Nu’aim: “Aku berikan petunjuk
kepadamu 3 perkara: jangan engkau bershalat pada shaf pertama, jangan berteman
dengan orang Quraisy dan jangan engkau lahirkan sedekah”. Dan sesungguhnya
dimakruhkan shaf pertama, karena ia menjadi terkenal. Lalu terasa tidak ada,
apabila ia tak datang. Maka bercampurlah dengan amalannya penghiasan dan
membuat-buat”. (riya)
PASAL KEDUA: tentang syarat wajib hajji, shah
rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan larangan-larangannya.
Adapun syarat-syarat, maka syarat shah
hajji adalah dua: waktu dan Islam. Maka shahlah hajji anak kecil dan ia
melakukan ihram sendiri, jika ia sudah mumayyiz (dapat membedakan antara buruk
dengan baik dan sebagainya). Dan dikerjakan ihram oleh walinya untuknya, kalau
masih kecil dan dikerjakannya apa yang dikerjakan pada hajji, dari thawaf, sa’i
dan lainnya.
Adapun waktu, maka yaitu: Syawal, Zulkaedah dan
sembilan hari dari Zulhijjah, sampai terbit fajar dari hari raya hajji.
Barangsiapa melakukan ihram pada bukan waktu ini, maka itu adalah ‘umrah. Dan
seluruh tahun adalah waktu bagi ‘umrah. Tetapi orang yang sedang melakukan
ibadah hajji pada hari-hari di Mina, maka tidak seyogyalah ia melakukan ihram
umrah. Karena tidak mungkin ia melaksanakan umrah itu sesudah ihram tadi, sebab
ia sedang melakukan amalan hajji di Mina. Syarat-syarat menjadinya dari hajji
Islam, adalah 5: Islam, merdeka, baligh, berakal dan waktu.
Kalau dilakukan ihram oleh anak kecil atau
hamba sahaya tetapi telah menjadi merdeka hamba sahaya tadi dan telah baligh
anak kecil tadi sewaktu di ‘Arafah atau sewaktu di Muzdalifah dan ia kembali ke
‘Arafah sebelum terbit fajar, maka mencukupilah bagi keduanya itu untuk hajji
Islam. Karena hajji itu adalah Arafah. Dan tidaklah diatas keduanya dam,
selain menyembelih seekor kambing. Diisyaratkan syarat-syarat yang diatas tadi,
terhadap jadinya umrah sebagai ibadah fardlu Islam, selain waktu. Tentang syarat
jadinya hajji sebagai ibadah sunat dari orang merdeka yang baligh, maka yaitu
sesudah lepas tanggungan kewajibannya dari hajji Islam. Maka hajji Islamlah
yang didahulukan, kemudian hajji qodo bagi orang yang rusak hajjinya ketika
wuquf. Kemudian hajji nadzar (hajji kaul), kemudian hajji menggantikan dari
orang lain (hajji niabah), kemudian hajji sunat. Tartib susunan ini, adalah
mustahak (yang layak dimiliki) dan seperti itulah yang terjadi, walaupun
diniatkan sebaliknya.
Adapun syarat-syarat yang mewajibkan hajji, ialah 5: baligh, Islam,
berakal, merdeka dan sanggup. Orang yang wajib atasnya hajji fardlu, niscaya
wajib pula atasnya umrah fardlu. Siapa yang bermaksud memasuki Makkah, untuk
berziarah atau berniaga dan dia bukan penjual kayu api, niscaya wajiblah
berihram, menurut kata sebahagian ulama. Kemudian ia bertahallul (keluar dari
ihram dengan memotong rambut) dengan amalan umrah atau hajji.
Mengenai
kesanggupan, ada dua macam:
Pertama: secara langsung dan itu
mempunyai beberapa sebab. Adapun mengenai dirinya, maka dengan kesehatan.
Adapun mengenai jalan, maka dengan bagus dan amannya, tanpa laut yang berbahaya
dan musuh yang melakukan paksaan. Adapun mengenai harta, maka dengan
diperolehnya belanja perongkosan pergi dan pulang ke tempat-asalnya (tanah
airnya), baik ia mempunyai keluarga atau tidak. Karena berpisah dengan tanah
air itu berat. Dan lagi ia mempunyai perbelanjaan untuk orang yang wajib
ditanggungnya dalam masa bepergian berhajji. Dan ia mempunyai apa yang akan
dilunaskan segala utang-utangnya dan sanggup ia mempunyai kendaraan atau
menyewanya dengan tempat pembawanya atau dengan hewan yang diletakkan tempat
pembawa diatasnya, kalau tempat pembawa itu melekat diatas hewan.
Kedua: ialah kesanggupan orang lemah yang lumpuh
dengan hartanya. Yaitu memberi ongkos orang yang mengerjakan hajji daripadanya,
setelah selesai orang yang diongkosi
itu mengerjakan hajji Islam (hajji fardlu) bagi dirinya sendiri. Dan mencukupi ongkos pergi dengan kendaraan
hewan dalam hal yang semacam ini. Anak, apabila menyerahkan ketaatannya kepada
ayahnya yang lumpuh, maka jadilah ayahnya itu dianggap mampu. Dan kalau ia
menyerahkan hartanya, maka dianggap tidak mampu. Karena pengkhidmatan dengan
badan, adalah suatu kemuliaan bagi si anak. Dan penyerahan harta, adalah
menjadi sebut-sebutan terhadap ayah.
Orang yang sanggup, wajiblah
mengerjakan hajji dan boleh ia mengemudiankan. Tetapi ia padanya ada bahaya.
Kalau mudah ia mengerjakan hajji, walau itu pada akhir umurnya, niscaya gugurlah
hajji daripadanya. Jika ia meninggal sebelum hajji, niscaya ia menjumpai Allah
‘Azza Wa Jalla, dalam keadaan ma’siat, disebabkan meninggalkan hajji. Dan
adalah hajji itu dihajjikan dari harta peninggalannya, meskipun ia tidak
mewasiatkan, seperti juga hutang-hutangnya yang lain. Jika sanggup ia pada
suatu tahun, tetapi tiada ia keluar untuk hajji bersama manusia lain dan
hartanya binasa pada tahun itu, sebelum manusia ramai melaksanakan hajji,
kemudian ia meninggal, niscaya ia menjumpai Allah yg maha mulia & maha
besar dan tak ada hajji atasnya. Orang yang meninggal dan tidak mengerjakan
hajji serta dalam keadaan mudah, maka keadaannya adalah amat sulit pada sisi
Allah Ta’ala.
Berkata Umar ra:“Sesungguhnya aku
telah bercita-cita mau menuliskan surat kesegala ibu kota dengan mewajibkan pajak
terhadap orang yg tidak mengerja kan hajji, sedang ia sanggup berjalan
kepadanya”. (pent:
diindonesia malah yang mengerjakan haji diwajibkan bayar zakat ! negri ini
salah kaprah)
Dari Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nach’iy, Mujahid dan Thawus: “Jikalau
tahulah engkau akan seorang kaya, yang wajib atasnya hajji, kemudian meninggal
ia sebelum mengerjakan hajji, niscaya tidaklah engkau bershalat janazah
atasnya”. Sebahagian mereka mempunyai tetangga orang kaya, maka meninggallah
tetangga itu dan tidak melakukan hajji, lalu tidak dilakukan shalat diatas
orang kaya tadi.
Dan adalah Ibnu Abbas berkata: “Barangsiapa meninggal dan ia tidak
mengeluarkan zakat dan tidak mengerjakan hajji, niscaya orang itu meminta
kembali ke dunia”. Lalu Ibnu Abbas membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Wahai
Tuhanku ! kembalikanlah aku (hidup) ! supaya aku mengerjakan perbuatan baik
yang telah aku tinggalkan itu”. S 23 Al Mukminuun ayat 99-100.
Berkata Ibnu Abbas, yaitu: hajji. Adapun rukun, dimana hajji itu tidak
shah tanpa rukun-rukun itu adalah 5: ihram, thawaf, sa’i, wuquf
di ‘Arafah dan bercukur sesudahnya, menurut suatu qaul (pendapat
yang dikatakan oleh sebahagian ulama). Dan rukun umrah begitu juga, kecuali
wuquf. Yang wajib, yang dapat ditempel (digantikan) dengan dam, adalah 6: ihram
dari miqat (kalau orang indonesia miqatnya dijedah). Maka orang yang
meninggalkannya dan melewati miqat itu, ke suatu tempat, maka atasnya syah
(kambing/kibasy/ biri-biri). Dan dikenakan dam (penyembelihan) tadi, adalah
sekata (sepakat antara para ulama).
Tentang bersabar di ‘Arafah, sampai terbenam matahari, bermalam
di Muzdalifah, bermalam di Mina dan thawaf wida’, maka yang 4
ini, ditempelkan dengan dam/menyembelih hewan apabila ditinggalkan, menurut
salah satu dari dua qaul. Dan menurut qaul yang kedua, padanya dam secara sunat
saja.
Adapun
cara mengerjakan hajji dan ‘umrah, ada 3:
Pertama: secara ifrad (menyendirikan)
Itulah yang lebih utama. Caranya, yaitu: mendahulukan hajji sendirian. Apabila
telah selesai hajji, lalu keluar ke tanah halal, maka ia ihram lagi dan
mengerjakan ‘umrah. Dan tanah halal yang lebih utama untuk ihram ‘umrah, ialah:
Al-Ja’arranah, kemudian At-Tan’im, kemudian Al-Hudaibiah. Dan tidaklah diatas
orang yang berhajji ifrad dikenakan dam, kecuali kalau ia mau berbuat tathawwu’
(bersedekah sunat).
Kedua: secara
qiran (bersama-sama) yaitu
dikumpulkan, seraya ia mengatakan: “Labbaika bihijjatin wa ‘umratin ma’aa”,
artinya: “Aku perkenankan seruanMu bersama-sama hajji dan ‘umrah”. Maka jadilah
ia berihram dengan keduanya. Dan mencukupilah segala amalan hajji dan masuklah
umrah di bawah hajji, sebagaimana masuknya wudlu’ di bawah mandi. Kecuali, apabila
ia berthawaf dan bersa’i sebelum wuquf di ‘Arafah, maka sa’inya itu termasuk
dari dua ibadah tadi (hajji dan ‘umrah). Adapun thawafnya, maka tidak termasuk,
karena syarat thawaf fardlu/wajib pada hajji, adalah sesudah wuquf. Dan atas orang yang melakukan
hajji-qiran, menyembelih dam. Kecuali ia orang Makkah, maka tidak apa-apa
atasnya, karena ia tidak meninggalkan miqatnya, sebab miqatnya ialah Makkah.
Ketiga: secara
tamattu’ (bersenang-senang), yaitu:
bahwa dilampauinya miqat dengan berihram ‘umrah dan bertahallul di Makkah serta
bersenang-senang dengan segala larangan bagi seorang yang berihram, sampai
datang waktu hajji. Kemudian ia berihram dengan hajji. Dan tidaklah bernama
tamattu’, kecuali dengan 5 syarat:
1.
bahwa dia tidak termasuk penduduk Masjidil-haram. Yang
dianggap penduduk Masjidil-haram, ialah orang yg tinggal jarak jauh, yang tidak diperpendek kan (di
-qasharkan) shalat padanya.
2.
bahwa didahulukan ‘umrah atas hajji.
3.
bahwa ‘umrahnya itu terjadi pada bulan-bulan hajji
4.
bahwa dia tidak kembali kepada miqat hajji dan tidak kepada
jarak jauh yang sama dengan miqat hajji untuk ihram hajji
5.
bahwa adalah hajji dan ‘umrahnya itu dari satu orang. Apabila
sifat-sifatnya ini diperoleh, maka adalah ia berhajji tamattu’ dan haruslah
menyembelih dam seekor syah. Kalau tidak diperolehnya, maka berpuasa 3 hari
dalam hajji, sebelum hari raya, secara terpisah-pisah atau berturut-turut. Dan
7 hari lagi, apabila telah kembali ke tanah air. Kalau tidak ia berpuasa yang 3
hari itu, sehingga ia kembali ke tanah air, niscaya berpuasalah ia 10 hari,
secara beturut-turut atau berpisah-pisah. Dan ganti dari dam qiran dan dam
tamattu’ itu sama. Dan yang paling utama, ialah hajji ifrad, kemudian hajji
tamattu’ dan kemudian hajji qiran.
Adapun
larangan pada hajji dan ‘umrah, adalah 6:
Pertama: memakai kemeja, celana, muza dan sorban,
tetapi seyogyalah memakai kain sarung, selendang dan dua sandal. Kalau tidak
diperolehnya dua sandal, maka dipakainya dua kasut bertumit. Jika tidak
diperolehnya kain sarung, maka dipakainya celana dan tidak mengapa dipakai
minthaqah (kain yang dipakai wanita dan diikat tengahnya, maka yang diatas
dilepaskan ke bawah dan yang di bawah sampai mendekati tanah). Dan tidak
mengapa bernaung pada kendaraan. Tetapi tidak seyogyalah menutupkan kepalanya,
karena ihram itu adalah pada kepala. Dan bagi wanita, boleh memakai tiap-tiap
yang berjahit, sesudah tidak menutupkan mukanya dengan
apa yang menyentuhkannya. Karena ihram wanita itu adalah pada mukanya.
Kedua: memakai bau-bauan. Maka hendaklah
dijauhkan tiap-tiap apa saja yang dihitung bau-bauan oleh orang yang berakal
sehat. Kalau dipakai bau-bauan atau pakaian yang dilarang tadi, maka haruslah
disembelih dam seekor syah (kambing atau biri-biri atau kibasy).
Ketiga: bergunting rambut dan memotong
kuku. Dan pada yang dua ini, dikenakan fidyah, ya’ni: dam seejor syah. Dan
boleh mengapa bercelak, memasuki hammam, membetik, berbekam dan menyisirkan
rambut.
Keempat: bersetubuh. Dan itu merusakkan
sebelum tahallul pertama dan dikenakan seekor unta betina atau lembu betina
atau 7 ekor syah. Kalau sesudah tahallul pertama, niscaya diwajibkan seekor
unta dan hajji itu tidak rusak.
Kelima: segala hal-hal yang menjadi
pendahuluan dari bersetubuh, seperti berpelukan & berpegangan yang
meruntuhkan kesucian (wudlu’) dengan wanita. Maka itu diharamkan &
dikenakan syah. Begitu pula dengan mengeluarkan mani. Dan diharamkan nikah dan
menikahkan. Dan tak ada dam padanya karena nikah itu tidak shah. ( pent: banyak selebrity kita yg
nikah disana maka nikahnya tidak syah )
Keenam: membunuh binatang darat, ya’ni:
yang boleh dimakan atau binatang itu terjadi dari binatang halal dan binatang
haram. Kalau membunuh binatang buruan, wajiblah menggantikan binatang yang
serupa dengan binatang buruan itu, dengan memperhatikan berlebih-kurangnya,
tentang bentuknya. Dan memburu binatang laut itu halal, tak ada balasan
padanya.
BAB KEDUA: tentang tertib segala amal
zhahiriyah/fisik luar, dari permulaan perjalanan s/d kepada kembali. Yaitu 10
jumlahan.
Jumlahan
Pertama: mengenai perjalanan dari permulaan keluar sampai kepada ihram, yaitu
8:
Pertama tentang harta. Maka seyogyalah
dimulai dengan taubat, mengembalikan hak-hak orang yang diperoleh secara
kezaliman, melunaskan hutang-hutang, menyediakan perbelanjaan untuk tiap-tiap
orang yang harus diberinya belanja sampai kepada waktu kembali. Mengembalikan
apa yang ada padanya dari simpanan-simpanan orang. Membawa serta dari harta halal yang baik, yang mencukupkan untuk
pergi dan pulang, tanpa penghematan benar. Tetapi diatas cara yang memungkinkan
kelapangan dalam perbekalan dan dapat menolong orang-orang lemah dan fakir.
Bersedekah dengan sesuatu sebelum berangkat dan membeli untuk dirinya kendaraan
(hewan) yang kuat membawanya, yang tidak lemah. Atau ia menyewa. Kalau menyewa,
maka hendaklah diterangkannya kepada yang mempersewakan, akan tiap-tiap barang
yang mau dibawanya, sedikit atau banyak dan terdapatlah persetujuan yang
mempersewakan padanya.
Kedua: tentang teman. Seyogyalah dicari teman yang
baik, yang suka kepada kebajikan, yang akan memberikan pertolongan. Jika ia
lupa akan diperingati nya. Dan jika teringat, akan diberinya pertolongan. Jika
takut, akan diberanikannya. Jika lemah, akan dikuatkannya. Jika susah, akan
dihiburkannya. Ia mengucap kan selamat tinggal kepada semua teman sekampung,
segala saudara dan tetangganya. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada mereka
dan mengharapkan doa mereka. Karena Allah Ta’ala menjadikan didalam doa mereka
itu kebajikan. Dan sunat pada ucapan selamat tinggal itu, dikatakan: “Aku
pertaruhkan Allah akan agamamu, amanahmu dan kesudahan amalanmu”. Dan adalah
Nabi saw bersabda kepada orang yang bermaksud musafir: “Engkau didalam
pemeliharaan dan lindungan Allah. Diberikan Allah akan engkau bekalan taqwa,
diampuniNya dosa engkau dan dihadapkanNya akan engkau kepada kebajikan, dimana
saja engkau berada”.
Ketiga: ketika keluar dari rumah:
seyogyalah apabila hendak keluar mengerjakan shalat lebih dahulu dua rakaat.
Dibacanya pada rakaat pertama, sesudah Al-Fatihah, Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun
dan pada rakaat kedua, surat Al-Ikhlas, Apabila telah selesai, lalu mengangkat
kedua tangan dan berdoa kepada Allah swt dengan keikhlasan yang bersih dan niat
yang benar, seraya
membacakan doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! Engkaulah teman didalam
perjalanan dan Engkaulah pengganti mengenai keluarga, harta, anak dan
sahabat-sahabatku ! peliharakanlah akan kami dan mereka dari segala bahaya dan
penyakit ! wahai Tuhanku ! kami bermohon kepada Engkau didalam perjalanan kami
ini, akan kebajikan dan taqwa dan daripada amalan, akan apa yang Engkau relai !
wahai Tuhanku ! bahwa kami bermohon pada Engkau, akan Engkau lipatkan bumi yang
kami jalani bagi kami dan Engkau mudahkan kepada kami perjalanan, memberikan
rezeki didalam perjalanan kami akan keselamatan badan, agama dan harta dan
Engkau sampaikan akan kami hajji/umroh ke rumah Engkau dan berziarah ke kuburan
Nabi Engkau Muhammad saw ! wahai Tuhanku ! bahwa kami berlindung dengan Engkau
daripada kesusahan perjalanan, kedukaan berpindah dan penglihatan yang buruk
pada keluarga, harta anak dan sahabat ! wahai Tuhanku ! jadikanlah akan kami
dan mereka didalam pemeliharaanMu dan jangan
Engkau tinggalkan akan kami serta mereka itu dari ni’mat Engkau &
jangan Engkau robohkan apa yang ada pada kami dan yang ada pada mereka,
daripada kebaikkan Engkau !”.
Keempat: ketika telah sampai pada pintu rumah, lalu membacakan doa yang artinya:
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada
Allah. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah. Wahai Tuhanku ! aku
berlindung dengan Engkau, daripada aku sesat atau menyesatkan, daripada aku hina
atau menghinakan, daripada aku tergelincir atau menggelincirkan, daripada aku
menganiayakan atau dianiayakan, daripada aku membodohkan atau dibodohkan akan
aku ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku tiada keluar karena kebanggaan, tiada
karena kebesaran, tiada karena ria dan tiada karena memperdengarkan kepada
orang. Tetapi aku keluar karena menjaga dari kemurkaan Engkau, mengingini
kerelaan Engkau, menunaikan fardlu dari Engkau, mengikuti sunnah Nabi Engkau
dan rindu bertemu dengan Engkau”.
Apabila berjalan, maka dibacakan doa, dan Dibaca doa ini pada tiap-tiap tempat yang dimasuki.
yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! dengan Engkau aku
berjalan, kepada Engkau aku bertawakkal, pada Engkau, aku meminta pemeliharaan
dan kepada Engkau, aku menghadapkan diri ! wahai Tuhanku ! Engkaulah
kepercayaanku, Engkaulah harapanku, maka cukupkanlah akan aku, apa yang aku
cita-citakan dan apa yang tidak aku cita-citakan dan apa yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku ! amat mulialah pemeliharaanMu, amat tinggilah
pujianMu, tiada Tuhan yang disembah, selain Engkau ! wahai Tuhanku !
anugerahilah akan aku perbekalan taqwa ! ampunilah akan dosaku ! hadapkanlah
akan aku kepada kebajikan, kemana saja aku hadapkan diriku !”.
Kelima: pada kendaraan. Apabila mengendarai
kendaraan, maka dibacakan doa, yang artinya:
”Dengan nama Allah aku naiki kendaraan ini.
Dengan pertolongan Allah –dan Allah Maha Besar –aku bertawakkal kepada Allah.
Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah yang Maha Tinggi, lagi Maha Besar. Apa
yang dikehendaki Allah, adalah ada dan apa yang tiada dikehendakiNya, tidak
adalah dia. Maha Suci Tuhan yang memudahkan bagi kami ini, sedang kami tiada
kuasa padanya. Dan sesungguhnya kami kembali kepada Tuhan kami ! wahai Tuhanku
! aku hadapkan wajahku kepada Engkau, aku serahkan urusanku kepada Engkau !
Engkaulah cukup bagiku dan sebaik-baik tempat menyerahkan hal !”.
Apabila telah duduk tenteram
diatas kendaraan dan kendaraan itu berada dibawah keinginannya, lalu membaca:
“Subhaanallaah walhamdu lillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar (Maha
Suci Allah, dan segala pujian bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah dan
Allah Maha Besar)”, sebanyak 7 kali.
Dan membacakan doa, yang artinya: “Segala
pujian bagi Allah yang telah menunjukkan kami bagi ini dan tidak adalah kami
memperoleh petunjuk, jikalau tidaklah kami diberi petunjuk oleh Allah ! wahai
Tuhanku ! Engkaulah yang menanggung diatas belakang kendaraan dan Engkaulah
tempat meminta tolong diatas segala perbuatan kami !”.
Keenam:
pada waktu turun. Sunat jangan turun, sehingga naiklah matahari. Dan adalah
kebanyakan perjalanannya pada malam hari. Bersabda Nabi saw: “Haruslah kamu
berjalan malam, karena bumi itu dilipat (menjadi lebih dekat) pada malam, akan
apa yang tidak dilipatkan pada siang”. Dan hendaklah menyedikitkan tidur
diwaktu malam, sehingga menolong kepada perjalanan. Manakala
sudah dekat ke tempat turun, maka hendaklah membaca doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku, Tuhan 7 petala langit dan apa yang dinaunginya dan Tuhan 7
petala bumi dan apa yang didalamnya dan Tuhan bagi segala setan dan apa yang
disesatkannya. Tuhan bagi segala angin dan apa yang diterbangkannya ! Tuhan
segala laut dan apa yang diberlalukannya ! aku bermohon padaMu akan kebajikan
tempat turun ini dan kebajikan bagi penduduknya. Aku berlindung denganMu
daripada kejahatan tempat turun ini dan kejahatan segala isinya ! jauhkanlah
daripadaku akan jahatnya kejahatan mereka !
Apabila telah turun pada tempat
turun itu, lalu mengerjakan shalat 2 rakaat. Kemudian membacakan doa,
yang artinya: “Aku berlindung dengan kalimah Allah yang sempurna, yang tiada
dilampaui akan dia oleh orang yang baik dan orang yang jahat, dari kejahatan
segala yang dijadikanNya”.
Apabila datang malam, maka
dibacakan, yang artinya: “Hai bumi Tuhanku dan Tuhanmu itu Allah ! aku
berlindung dengan Allah daripada kejahatanmu dan kejahatan segala yang ada
padamu dan kejahatan barang yang melata-lata diatasmu ! aku berlindung dengan
Allah dari kejahatan segala singa dan harimau, ular dan kala dan dari kejahatan
penduduk negeri, dari kejahatan yang beranak dan yang diperanakkan. Bagi Allah
segala yang diam pada malam dan siang. Dia maha mendengar dan Maha Tahu”.
Ketujuh: mengenai penjagaan. Seyogyalah
berhati-hati pada siang hari. Tidak berjalan sendirian diluar kafilah, karena
kemungkinan dirampas orang atau tersesat jalan. Dan pada malam hari, menjaga
diri daripada membanyakkan tidur. Kalau tidur pada permulaan malam maka
didudukkan lengan dan kalau tidur pada akhir malam maka ditegakkan lengan dan
diletakkan kepala pada tapak tangan. Begitulah Rasulullah saw tidur dalam
perjalanan, karena kadang-kadang tidur itu memberatkan untuk bangun. Maka
terbitlah matahari dan tidak tahu, lalu apa yang tertinggal dari shalat, adalah
lebih utama daripada apa yang diperolehnya dari hajji. Lebih disunatkan pada
malam hari, bahwa berganti-ganti dua teman menjaga. Apabila seorang tidur, maka
yang lain menjaga. Itu adalah sunat. Kalau musuh atau binatang buas menuju
kepadanya pada malam atau siang, maka hendaklah membaca “Ayat-kursiyy,
“Syahidallaahu”( surat al imron ayat 1 s/d 4), surat Al-Ikhlas, Al-falaq dan
An-naas. Dan hendaklah dibacakan doa, yang artinya:
“Dengan nama Allah, apa yang dikehendaki
oleh Allah, tiada upaya melainkan dengan Allah. Memadailah Allah akan aku. Aku
bertawakkal kepada Allah, apa yang dikehendaki Allah, tiada yang mendatangkan
kebajikan melainkan Allah. Apa yang dikehendaki Allah, tiada yang memalingkan
dari kejahatan, melainkan Allah. Memadailah Allah akan aku dan mencukupilah.
Allah mendengar akan siapa yang berdoa. Tiadalah dibelakang Allah, tempat
penghabisan. Dan tiadalah selain Allah tempat menyandarkan diri. Disuratkan
oleh Allah didalam firmanNya, bahwa Akulah dan Rasul-rasul Akulah yang menang,
bahwa Allah yang Maha Kuat, lagi Maha Mulia. Aku memohonkan pemeliharaan pada
Allah yang Maha Besar dan meminta pertolongan pada Yang Hidup, yang tidak mati.
Wahai Tuhanku ! peliharalah akan kami dengan MataMu yang tidak tidur dan
lindungilah kami dengan kekuatanMu yang tiada putus-putusnya ! wahai Tuhanku!
anugerahilah rahmat kepada kami dengan qudrah ( kuasa )Mu kepada kami maka kami
tidak binasa. Engkaulah kepercayaan dan harapan kami ! wahai Tuhanku!
anugerahilah kepada kami kasih sayang didalam hati segala hambaMu yang pria
& yang wanita, dengan kasih sayang & belas kasihan. Sesungguhnya Engkau
yang Maha Pengasih dari segala yang kasih !”.
Kedelapan: manakala berjalan pada tempat
yang tinggi, maka disunatkan mengucapkan takbir 3 kali. Kemudian membacakan doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku! bagimu kemuliaan diatas
segala kemuliaan. Bagimu pujian diatas segala keadaan !”. Dan apabila menurun
dari tempat yang tinggi, maka diucapkan tasbih. Dan apabila merasa kesepian
didalam perjalanan itu, lalu membacakan: “Maha Suci Allah yg mempunyai kerajaan
yang Maha kudus, Tuhan bagi segala malaikat & roh, Engkau anugerahkan
kebesaran akan 7 petala langit dengan kemuliaan dan kebesaran”.
Jumlahan
Kedua: mengenai adab ihram dari miqat, sampai masuk Makkah, yaitu 5:
Pertama: mandi dan berniat dengan mandi
itu akan mandi ihram, ya’ni: apabila sampai kepada miqat yang terkenal, dimana
manusia melakukan ihram daripadanya. Dan mandi itu disempurnakan dengan
kebersihan, disisirkan janggut dan kepala, dikerat kuku, digunting kumis dan
disempurnakan kebersihan yang telah kami sebutkan dahulu itu pada bahagian
“Bersuci”.
Kedua: dibuka segala pakaian yang berjahit dan
dipakai dua kain ihram, yaitu: berselendang dan bersarung dengan dua helai kain
putih. Kain putih adalah kain yang disukai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan memakai
wangi-wangian pada kain dan pada badannya. Tiada mengapa dengan bau-bauan yang
masih tinggal melekat sesudah ihram. Sesungguhnya kelihatan sebahagian kesturi
dicelah-celah rambut Rasulullah saw sesudah ihram, daripada apa yg
dipakaikannya sebelumnya ihram.
Ketiga: bersabar sesudah memakai pakaian
ihram, sampai kendaraan itu bergerak kalau ia berkendaraan atau mulai berjalan,
kalau ia berjalan kaki. Maka ketika itulah, diniatkan ihram dengan hajji atau
dengan ‘umrah, secara qiran atau secara ifrad, menurut kehendaknya. Dan
memadailah semata-mata niat untuk shah ihram itu. Tetapi sunat disertakan
dengan niat akan ucapan talbiah/doa-doa, yaitu
mengucapkan:
“Aku perkenankan wahai Tuhanku akan
seruanMu, tiada sekutu bagiMu. Aku perkenankan akan seruanMu ! bahwa segala
pujian dan ni’mat bagiMu dan kerajaan, tiada sekutu bagiMu”. Kalau ditambah,
maka dibacakan lagi: “Aku perkenankan akan seruanMu dan memperoleh kebahagiaan
daripadaMu, kebajikan seluruhnya ditanganMu serta kegemaran kepadaMu. Aku
perkenankan akan seruanMu dengan hajji, dengan sebenar-benarnya karena
beribadatan dan memperbudakkan diri. Wahai Tuhanku, anugerahilah rahmat kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad !”.
Keempat: apabila telah terlaksana ihramnya dengan
talbiah/doa-doa yang tersebut tadi, maka disunatkan membaca doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku bermaksud
mengerjakan hajji, maka mudahkanlah dia bagiku dan tolonglah aku menunaikan wajibnya
itu dan terimalah dia daripadaku ! wahai Tuhanku ! bahwa aku telah berniat
menunaikan apa yang Engkau wajibkan dalam hajji, maka jadikanlah aku sebagian
daripada mereka yang memperkenankan seruanMu dan beriman dengan janjiMu,
mengikuti akan suruhanMu. Dan jadikanlah aku daripada orang yang datang
kepadaMu, yang Engkau relai akan mereka dan Engkau turut kerelaan dia serta
Engkau terima daripada mereka ! wahai Tuhanku ! maka mudahkanlah bagiku
menunaikan apa yang aku niatkan dari hajji ! wahai Tuhanku, telah berihram
bagiMu dagingku, rambutku, darahku, uratku, otakku, dan tulangku dan aku
haramkan atas diriku wanita ( untuk wanita mengatakan pria ), bau-bauan dan
pakaian yang berjahit, karena mengharap akan wajahMu dan hari akhirat !”.
Sejak dari waktu ihram, maka diharamkanlah
6 macam larangan yang telah kami sebutkan dari dahulu. Dari itu, hendaklah
dijauhkan semuanya.
Kelima: disunatkan memperbanyak
talbiah/doa-doa selama ihram, lebih-lebih ketika berdesak-desakan teman, ketika
berhimpun manusia banyak, ketika mendaki dan menurun, ketika naik kendaraan dan
turun dari kendaraan, dengan meninggikan suara, sekira-kira tidak berbentuk
kasaran dan bersangatan. Karena tidaklah diserukan yang tuli dan yang jauh,
sebagaimana yang tersebut didalam hadits. Tiada mengapa meninggikan suara
dengan talbiah/doa-doa didalam masjid yang 3, karena dia adalah tempat berat
dugaan bagi segala manasik (ibadah hajji), ya’ni: Masjidil-haram, masjid
Al-Khaif dan masjid Al-Miqat. Mengenai masjid-masjid yang lain, maka tiada
mengapa padanya dengan talbiah/doa-doa, tanpa meninggikan suara. Dan adalah
Rasulullah saw apabila melihat sesuatu yang mena’jubkannya, lalu mengucapkan:
“Aku perkenankan akan seruanMu. Bahwa sesungguhnya hidup ialah hidup akhirat”.
Jumlahan
Ketiga: tentang adab masuk Makkah, sampai kepada thawaf, yaitu 6:
Pertama: mandi
di Dzi Thua untuk memasuki Makkah. Mandi-mandi yang disunatkan dalam hajji,
adalah 9:
1. Untuk ihram dari miqat ( kalau orang
indonesia dari jeddeah )
2. Kemudian untuk masuk Makkah.
3. Kemudian untuk thawaf qudum (thawaf baru
datang).
4. Kemudian untuk wuquf di ‘Arafah.
5. Kemudian untuk wuquf di Muzdalifah.
Kemudian 3 X mandi (menjadi 8) untuk pelemparan 3 jamrah & tak ada mandi
untuk pelemparan Jamrah-al’aqabah.
9. Kemudian untuk thawaf wida’.
Asy-Syafi’i ra tidak berpendapat, menurut
qaul jadid (masalah yang dikeluarkannya sesudah ia di Mesir), akan sunat mandi
untuk thawaf ziarah (thawaf qudum) dan untuk thawaf wida’, sehingga mandi itu,
menjadi 7.
Kedua: membaca ketika
masuk pada permulaan tanah haram, yaitu masih diluar Makkah, yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! inilah tanah-haramMu dan tempat amanMu, maka haramkanlah
dagingku, darahku, buluku dan kulitku dari api neraka dan jauhkanlah akan aku
dari azabMu, pada hari Engkau bangkitkan akan hamba-hambaMu. Dan jadikanlah
akan aku dari auliaMu dan orang yang berbuat taat akan Kamu !”.
Ketiga: memasuki Makkah dari sudut
Al-Abthah, yaitu dari Tsaniyah Kada’, dimana Rasulullah saw berputar dari
Jaddatuth-thariq kesitu. Mengikuti beliau dalam hal ini, adalah lebih utama.
Apabila keluar, maka keluarlah dari Tsaniyah-Kuda, yaitu Tsaniyah bawah. Yang
pertama tadi ialah bahagian atas.
Keempat:
apabila memasuki Makkah dan sampai ke Ra’surradm, maka disitu pandangan tertuju
ke Baitullah. Maka hendaklah dibacakan doa, yang
artinya:
“Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah
dan Allah itu Maha Besar. Wahai Tuhanku ! Engkaulah yang sejahtera, daripada
Engkau kesejahteraan itu. Dan negeriMu adalah negeri sejahtera. Maha Suci
Engkau, Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ! wahai Tuhanku ! bahwa
ini, ialah BaitMu (Baitullah), yang Engkau berikan kebesaran, kemuliaan dan
ketinggian kepadanya. Wahai Tuhanku ! maka tambahkanlah kepadanya kebesaran,
kemuliaan dan keagungan. Dan tambahkanlah kehebatan serta tambahkanlah akan
orang yang berhajji padanya, kebajikan dan kemuliaan ! wahai Tuhanku !
bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu ! masukkanlah aku kesorgaMu dan
lindungilah akan aku dari setan yang terkutuk !”.
Kelima: apabila memasuki
Masjidil-haram, maka hendaklah masuk dari pintu Bani
Syaibah & bacalah yang artinya:
“Dengan nama Allah, dengan Allah, dari Allah, kepada Allah, pada jalan Allah
dan diatas agama Rasulullah saw !”. Apabila sudah dekat dengan Baitullah, lalu
dibacakan, yang artinya: “Segala pujian bagi Allah dan sejahtera kepada
hamba-hambaNya yang dipilihNya. Wahai Tuhanku ! berikanlah rahmat kepada
Muhammad, hambaMu dan RasulMu, kepada Ibrahim kekasihMu dan kepada sekalian
nabi dan rasulMu !”. Hendaklah diangkatkan dua tangan dan dibacakan, yang
artinya: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon padaMu, di tempat aku tegak
ini, dalam permulaan manasikku bahwa Engkau menerima akan taubatku, memaafkan
akan kesalahanku dan menghilangkan dariku akan dosaku ! segala pujian bagi
Allah yang telah menyampaikan akan aku ke BaitNya al-haram, yang telah
dijadikannya tempat berkumpul bagi manusia dan aman, dijadikannya tempat
mengambil berkat dan petunjuk bagi sekalian alam. Wahai Tuhanku ! bahwa aku ini
hambaMu dan negeri ini negeriMu, tanah haram ini tanah haramMu dan Bait ini
BaitMu ! aku datang kepadaMu, meminta rahmatMu. Aku bermohon padaMu, seperti
permohonan seorang yang sangat berhajat, yang takut dari siksaanMu, yang harap
bagi rahmatMu, yang mencari akan kerelaanMu”.
Keenam: engkau tujukan Hajar-aswad
sesudah itu. Engkau sentuh dia dengan tangan kananmu dan engkau ciumkan, seraya
membaca, yang artinya: “Wahai Tuhanku ! amanah
yang ada padaku, aku tunaikan dan janjiku, aku sempurnakan ! naik saksilah
Allah bagiku, bahwa telah menyempurnakannya”.
Kalau tiada sanggup mencium Hajar-aswad
itu, maka berdiri saja setentang dengan dia dan dibacakan doa tadi. Kemudian
tiada berpaling kepada sesuatu, selain kepada thawaf, yaitu: thawaf qudum.
Kecuali didapatinya orang banyak mengerjakan shalat fardlu, maka bershalatlah
serta mereka, lalu kemudian berthawaf.
Jumlahan
Keempat: tentang thawaf.
Apabila bermaksud memulai thawaf, baik thawaf
qudum atau lainnya, maka seyogyalah dijaga 6 perkara:
Pertama: dijaga syarat-syarat shalat,
dari kesucian hadats dan najis pada kain, badan dan tempat serta menutupkan
aurat. Thawaf di Baitullah, adalah shalat. Tetapi Allah swt membolehkan dalam
thawaf berkata-kata. Hendaklah ber-idl-thiba’(berpakain baju ihrom) sebelum
memulai thawaf. Yaitu: menjadikan tengah selendangnya dibawah ketiaknya yg
kanan dan mengumpulkan kedua ujung selendangnya di atas bahunya yg kiri. Satu
ujung dijatuhkannya kebelakang & satu ujung lagi keatas dadanya. Dan
dihentikan pembacaan doa-doa ketika dimulai thawaf, dan melaksanakan pembacaan
doa-doa yang akan kami sebutkan nanti.
Kedua: apabila telah selesai daripada
idl-thiba’ (pakai baju ihrom), maka hendaklah dijadikan Baitullah di sebelah
kirinya dan hendaklah berdiri di sisi Hajar aswad. Dan hendaklah menjauhkan
diri sedikit daripadanya, supaya Hajar-aswad itu berada dihadapannya. Maka ia
melalui akan Hajar-aswad dengan seluruh badannya pada permulaan thawaf dan
dijadikannya diantara dia dan Baitullah/Ka’bah kira-kira 3 langkah. Supaya ia
berada dekat Baitullah, karena yang demikian itu lebih utama. Dan supaya ia
tidak berthawaf atas Syadzarwan, karena ia sebagian dari Baitullah. Dan pada
sisi Hajar-aswad itu, kadang-kadang Syadzarwan bersambung dengan lantai dan
menyerupakannya. Orang yang berthawaf diatasnya, tidak shah thawafnya, karena
ia berthawaf didalam Al-Bait (Baitullah). Syadzarwan, yaitu yang lebih dari
lintang dinding Al-Bait sesudah disempitkan bahagian atas dinding. Kemudian,
dari tempat berdiri ini, dimulailah thawaf. (pent: ada
garisnya dan terlihat jelas disana)
Ketiga:
dibacakan sebelum melewati Hajar-aswad, tetapi pada permulaan thawaf,
yang artinya:
“Dengan
nama Allah dan Allah itu Maha Besar. Wahai Tuhanku ! aku beriman benar-benar
dengan Engkau, membenarkan dengan Kitab Engkau, menyempurna kan dengan janji
Engkau dan mengikuti Nabi Engkau Muhammad saw. Dan iapun berthawaf. Maka permulaan yang
melewati Hajar-aswad, ialah sampai ia ke pintu
Al-Bait/pintu ka’bah, lalu membacakan doa yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! bahwa Al-Bait, ini adalah Bait Engkau. Tanah haram ini adalah tanah
haram Engkau dan aman ini adalah aman Engkau. Dan inilah maqam bagi orang yang
berlindung dengan Engkau daripada api neraka”. Ketika menyebutkan maqam, lalu diisyaratkan
dengan mata kepada maqam Ibrahim as. Kemudian membacakan doa, yg artinya
“Wahai
Tuhanku ! sesungguhnya BaitMu itu Maha Besar dan wajahMu itu Maha Mulia dan
Engkau adalah Maha Pengasih dari segala yang pengasih. Maka lindungilah aku
daripada api neraka dan daripada setan yang kena kutuk ! haramkanlah dagingku
dan darahku dari neraka dan amankanlah akan aku dari huru-hara hari kiamat dan
cukupkanlah akan aku perbelanjaan dunia dan akhirat !”. Kemudian
mengucapkan tasbih dan memuji akan Allah, sehingga sampai ke rukun (sudut) Al-‘Iraqi. Lalu padanya dibacakan
doa, yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari syirik
(mempersekutukan Allah), dari stak-wasangka, dari kufur (tidak
mensyukuri
nikmat), nifaq (munafik/bermuka
2), berbantah-bantahan, keburukan budi, keburukan pandangan pada keluarga, harta
& anak !”.
Apabila sampai di
Al-Mizab (pancuran Ka’bah), lalu
membaca doa yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! naungilah akan aku di bawah ‘arasy-Mu, pada hari yang tak ada
naungan, selain dari naunganMu ! wahai Tuhanku ! tuangkanlah akan aku dengan
gelas Muhammad saw minuman, yang tak hauslah aku sesudahnya selama-lamanya !”.
Apabila sampai ke rukun Asy-Syami lalu
membaca doa, yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! jadikanlah akan hajji ini, hajji yang penuh dengan kebajikan
(mabrur), sa’i yang penuh dengan kesyukuran, dosa yang penuh dengan keampunan
dan perniagaan yang tidak merugi ! wahai Yang Maha Mulia; wahai Yang Maha
Pengampun ! wahai Tuhanku ! ampunilah, kasihanilah dan lepaskanlah aku dari
dosa yang Engkau ketahui ! sesungguhnya Engkau, yang Maha Mulia, lagi Maha
Pemurah !”.
Apabila sampai ke rukun Al-Jamani, lalu membaca doa, yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kufur(tidak mensyukuri nikmat),
berlindung dengan Engkau dari kemiskinan, dari azab kubur dan dari fitnah hidup
dan mati. Aku berlindung dengan Engkau, dari kehinaan di dunia dan di akhirat
!”.
Dan dibacakan antara
rukun Al-Jamani dan Hajar-aswad, doa yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! Wahai Tuhan kami ! datangkanlah kepada kami di dunia kebaikan dan di
akhirat kebajikan. Dan peliharalah kami dengan rahmatMu dari fitnah kubur dan
azab neraka !”.
Apabila sampai Hajar-aswad,
lalu membaca doa, yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! ampunilah aku dengan rahmatMu. Aku berlindung dengan Tuhan yang
mempunyai Hajar ini, dari hutang, kemiskinan, kesempitan dada dan azab kubur
!”. Dan pada ketika itu, sempurnalah sekali
keliling thawaf. Maka berthawaflah seperti itu 7 X serta berdoa dengan segala
doa tadi pada tiap kali keliling.
Keempat: berlari
dengan ar-ramal pada 3 kali keliling pertama dan berjalan pada 4 kali yang
penghabisan diatas keadaan biasa. Arti ar-ramal yaitu: bersegera pada berjalan,
serta berdekatan langkah. Yaitu: kurang dari lari dan diatas jalan biasa. Dan
dimaksudkan daripada ar-ramal dan idl-thiba’ (pakai baju ihrom),, ialah
melahirkan kepintaran, ketahanan dan kekuatan. Begitulah maksudnya yang
pertama, untuk memotong kelobaan orang-orang kafir. Lalu sunnah itu kekal
berjalan terus. Yang lebih utama ialah ar-ramal serta berdekatan dengan
Al-Bait. Kalau tidak mungkin karena berdesak-desak, maka melakukan ar-ramal
serta berjauhan adalah lebih utama. Maka hendaklah ia keluar ke pinggir tempat
thawaf dan hendaklah melakukan ar-ramal 3 kali. Kemudian, hendaklah mendekati
ke Al-Bait pada tempat yang berdesak-desak itu. Dan hendaklah berjalan kaki 4
kali. Kalau mungkin melakukan istilam (menyapu dengan tapak tangan) akan
Hajar-aswad pada tiap-tiap keliling, maka yang demikian, adalah lebih
disunatkan. Kalau tercegah yang demikian, oleh karena berdesak-desak, niscaya
diisyaratkannya dengan tangan dan dicium tangannya itu. Dan begitu pula istilam
rukun Al-Jamani lebih disunatkan daripada rukun-rukun lainnya. Diriwayatkan,
bahwa Nabi saw melakukan istilam rukun Al-Jamani menciumnya dan meletakkan
pipinya diatasnya”. Siapa yang bermaksud mengkhususkan Hajar-aswad dengan
mencium dan menyingkatkan pada rukun Al-Jamani dengan istilam, tanpa
menyentuh dengan tangan, maka yang demikian itu lebih utama.
Kelima: apabila telah
sempurna thawaf 7 kali, maka hendaklah datang ke Multazam, yaitu: antara
Hajar-aswad dan pintu Ka’bah. Multazam, ialah tempat penerimaan doa. Dan
hendaklah merapatkan dada dengan Al-Bait, bergantung dengan tira-tirainya,
mempertemukan perutnya dengan Al-Bait, meletakkan pipinya yang kanan pada
Al-Bait dan membukakan kedua lengan dan kedua tapak tangan pada Al-Bait, seraya
hendaklah membacakan doa, yang artinya: “Wahai
Tuhanku ! Wahai Tuhan yang mempunyai Al-Bait lama ini ! merdekakanlah akan
leherku dari api neraka, lindungilah aku dari setan yang kena kutuk,
lindungilah aku dari tiap-tiap kejahatan, cukuplah akan aku dengan apa yang
telah Engkau berikan rezeki akan aku dan berilah berkat bagiku pada apa yang
telah Engkau berikan akan aku ! wahai Tuhanku ! bahwa Al-Bait ini adalah
Al-BaituMu, hamba ini adalah hambaMu. Dan inilah maqam bagi orang yang
berlindung dengan Engkau daripada api neraka ! wahai Tuhanku ! jadikanlah aku
diantara yang termulia utusanMu kepadaMu !”.
Kemudian, hendaklah membanyakkan memuji
Allah pada tempat ini, membanyakkan selawat kepada Rasulullah saw dan kepada
segala rasul. Hendaklah memohon segala hajatnya yang khusus dan hendaklah
meminta ampun dari segala dosanya. Adalah
sebahagian salaf (ulamah terdahulu) pada tempat ini, mengatakan kepada hamba
sahayanya: “Jauhkanlah sedikit daripadaku, sehingga aku dapat berikrar
(mengaku) bagi Tuhanku dengan segala dosaku !”.
Keenam:
apabila telah selesai dari yang demikian, maka seyogyalah bershalat di belakang
maqam Ibrahim 2 rakaat. Dibacakan pada rakaat pertama: Surat “Al-kaafiruun” dan
pada rakaat ke 2, surat “Al-Ikhlaas”. Keduanya adalah 2rakaat thawaf namanya.
Berkata Az-Zuhri: “Telah berjalan sunnah, bahwa Nabi mengerjakan shalat bagi
tiap-tiap 7X keliling thawaf, 2 rakaat”. Kalau dikumpulkan beberapa kali 7X
(yakni beberapa kali thawaf), lalu kemudian mengerjakan shalat 2 rakaat, maka
dibolehkan yang demikian. Dan Rasulullah saw telah mengerjakan yang demikian.
Dan tiap-tiap 7X keliling itu, adalah satu thawaf. Hendaklah berdoa sesudah 2
rakaat thawaf dengan membacakan, yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! mudahkanlah bagiku akan yang mudah, jauhkanlah akan aku dari yang
susah, ampunilah bagiku didalam akhirat dan didalam dunia, peliharalah aku
dengan segala kasih sayangMu, sehingga aku tiada berbuat maksiat kepadaMu.
Tolonglah aku untuk mentaatiMu dengan taufiqMu, jauhkanlah aku dari segala
perbuatan ma'shiat kepadaMu, jadikanlah aku daripada orang yang mencintaiMu,
mencintai malaikat-malaikatMu dan rasul-rasulMu dan mencintai hamba-hambaMu
yang shalih ! Wahai Tuhanku ! jadikanlah aku mencintai malaikat-malaikatMu,
rasul-rasulMu dan para hambaMu yang shalih ! Wahai Tuhanku ! maka sebagaimana
Engkau berikan aku petunjuk kepada Islam, maka tetapkanlah aku padanya dengan
segala kasih sayangMu dan pertolonganMu, pakaikanlah aku untuk mentaatiMu dan
mentaati rasulMu dan peliharakanlah aku dari segala fitnah yang menyesatkan !”.
Kemudian hendaklah kembali ke Hajar-aswad,
hendaklah beristilam kepadanya dan hendaklah menyudahkan thawaf dengan itu !
bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan thawaf dengan Al-Bait 7X keliling
& mengerjakan shalat 2 rakaat, maka baginya pahala seperti memerdekakan
seorang budak”. Inilah semuanya cara mengerjakan thawaf ! dan yang wajib dari
jumlahan itu, sesudah syarat-syarat shalat, ialah menyempurnakan bilangan keliling
bagi thawaf, 7 kali dengan seluruh Al-Bait. Memulainya dengan Hajar-aswad,
menjadikan Al-Bait di kirinya, mengerjakan thawaf dalam Masjidil-haram dan
diluar Al-Bait, tidak diatas Syadzarwan dan tidak pada Hajar-aswad,
berturut-turut mengerjakannya diantara sekalian kali keliling dan tidak
menjarangkannya diluar dari kebiasaan. Selain dari yang disebutkan itu adalah
sunat dan cara mengerjakannya.
Jumlahan
Kelima: tentang sa’i.
Apabila telah selesai dari thawaf, maka
hendaklah keluar dari pintu Shafa (Babush-shafa’), yaitu yang setentang dengan
dinding yang terletak diantara rukun Al-Jamani dan Hajar-aswad. Apabila telah
keluar dari pintu itu dan sampai ke Shafa’, yaitu: sebuah bukit, maka dinaiki
beberapa tingkat pada tangga bukit, kira-kira setinggi badan orang. Telah
dinaiki Rasulullah saw demikian, sehingga tampaklah baginya Ka’bah. Permulaan
sa’i dari dasar bukit, adalah mencukupi. Dan tambahan itu tadi, adalah
disunatkan. Tetapi sebahagian tingkatan-tingkatan itu, diadakan kemudian. Maka
seyogyalah tidak membelakangi Ka’bah dengan punggung nya. Maka tidaklah ia
menyempurnakan sa’i. Apabila telah dimulainya dari situ, niscaya dilakukannya
sa’i itu antara Shafa dan Marwah 7 kali. Dan ketika menaiki Shafa’, seyogyalah
menghadap Al-Bait dan membacakan, yang artinya:
“Allah
Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
! segala pujian bagi Allah diatas apa yang telah ditunjukiNya kita.
Segala pujian bagi Allah dengan segala pujian seluruhnya diatas segala ni’mat
seluruhnya. Tiada Tuhan yang disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu
bagiNya. BagiNyalah kerajaan dan bagiNyalah pujian. Ia menghidupkan dan
mematikan. Ditangan kuasaNya kebajikan. Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Tiada Tuhan yang disembah selain Allah Yang Maha Esa, yang membenarkan akan
janjiNya, yang menolong akan hambaNya, yang memuliakan akan tentaraNya dan yang
menghancurkan segala perhimpunan orang kafir sendiriNya. Tiada Tuhan yang
disembah selain Allah, dimana mereka mengikhlaskan agama bagiNya, walaupun orang-orang
kafir itu benci. Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah, dimana mereka
mengikhlaskan agama bagiNya. Segala pujian bagi Allah, Tuhan seluruh sekalian
alam. Maka Maha Sucilah Allah, ketika kamu memasuki petang dan ketika kamu
memasuki pagi. Dan bagiNya segala pujian di langit dan bumi, pada waktu petang
dan ketika kamu memasuki waktu Dhuhur. Dia yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan yang menghidupkan
bumi sesudah matinya. Dan seperti demikian kamu sekalian dikeluarkan. Dan
setengah daripada tanda-tanda kekuasaanNya. Ia menjadikan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang bertebaran. Wahai Tuhanku !
sesungguhnya aku bermohon akan Engkau, keimanan yang kekal, keyakinan yang benar,
pengetahuan yang bermanfaat, hati yang khusyu’ dan lidah yang berzikir. Aku
bermohon pada Engkau kemaafan, ke’afiatan dan kemaafan yang berkekalan di dunia
dan akhirat”. Dan berselawat kepada Rasulullah saw dan berdoa pada Allah yg maha mulia
& maha besar akan apa yang dikehendakinya dari segala hajat keperluan,
sesudah doa diatas tadi.
Kemudian, turun dan memulai sa’i,
seraya membacakan doa yang artinya:
“Wahai
Tuhanku ! ampunilah, kasihanilah dan maafkanlah dari dosa yang Engkau ketahui.
Sesungguhnya Engkau yang terlebih mulia dan terlebih pemurah. Wahai Tuhanku !
datangkanlah kepada kami di dunia kebajikan dan di akhirat kebajikan dan
peliharalah kami daripada azab neraka”. Dan berjalan dalam bentuk biasa, sehingga
sampailah ke Mail-ach-dlar, yaitu:
permulaan apa yang dijumpai oleh orang yang sa’i apabila turun dari Shafa. Dan
Mailach-dlar itu terletak pada sudut Masjidil-haram. Apabila tinggal diantara
dia dan diantara yang setentang bagi Mail itu, 6 hasta, maka berjalanlah dengan
perjalanan yang cepat, yaitu: ar-ramal namanya. Sehingga
sampailah ia kepada kedua buah Mailach-dlar. Kemudian lalu kembali berjalan
seperti biasa. Apabila sampai ke Marwah, lalu naik keatasnya, seperti menaiki
Safa dan menghadap ke Shafa dengan mukanya dan berdoa seperti doa yang tadi.
Dengan itu, berhasillah sa’i satu kali. Maka apabila kembali ke Shafa lalu
berhasillah dua kali. Yang demikian itu dikerjakan 7 kali. Dan melakukan
ar-ramal pada tempat ar-ramal pada tiap-tiap kali, serta bersikap tenang pada
tempat tenang sebagaimana diterangkan dahulu, dan tiap-tiap pergantian kali
itu, dinaiki Shafa dan Marwah. Apabila telah dilaksanakan demikian itu, maka
selesailah dari thawaf qudum dan sa’i. Keduanya itu sunat. Dan bersuci itu
sunat bagi sa’i. Bukan wajib. Sebaliknya thawaf. Dan apabila telah
melakukan sa’i maka seyogyalah tidak mengulangi lagi sa’i sesudah wuquf dan
mencukupilah dengan ini menjadi rukun. Karena tidaklah dari syarat sa’i bahwa
terkemudian/setelah dia dari wuquf. Yang demikian hanya menjadi syarat pada
thawaf rukun. Ya, yang menjadi syarat bagi tiap-tiap sa’i ialah terjadinya
sesudah thawaf. Artinya: “Thawaf manapun juga”.
Jumlahan
Keenam: tentang wuquf dan yang sebelumnya.
Orang yang mengerjakan hajji, apabila telah
sampai pada hari ‘Arafah, kelapangan arafah, maka janganlah menyiapkan diri
untuk thawaf qudum dan masuk Makkah, sebelum wuquf. Apabila sampai ia sebelum
itu beberapa hari, maka dilakukanlah thawaf qudum itu, lalu berhenti dengan
berihram sampai hari ke-7 dari Zulhijjah. Maka imam berkhotbah di Makkah, suatu
khotbah sesudah shalat dhuhur di sisi Ka’bah. Dan menyuruh manusia bersiap
untuk berangkat ke Mina pada hari Tarwiah (hari ke-8 Zulhijjah) dan bermalam
disitu. Dan pada paginya berangkat ke ‘Arafah, untuk melaksanakan fardlu wuquf
setelah gelincir matahari. Karena waktu
wuquf itu, adalah dari gelincir matahari, sampai kepada terbit fajar shadiq
dari hari raya hajji. Maka seyogyalah keluar ke Mina dengan mengucapkan
talbiah/doa-doa. Dan disunatkan berjalan kaki dari Makkah dalam menunaikan
segala manasik hajji, sampai kepada selesainya hajji itu, jika sanggup.
Berjalan kaki dari masjid Ibrahim as sampai ke tempat melaksanakan wuquf,
adalah lebih utama dan lebih muakkad (kuat) sunnatnya. Apabila telah sampai ke
Mina, lalu membacakan doa, yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! inilah Mina, anugerahilah
kepadaku dengan apa yang telah Engkau anugerahkan kepada aulia-aulia Engkau dan
orang-orang yang taat kepada Engkau !”. Hendaklah bermalam di Mina pada malam
tersebut, yaitu bermalam di tempat yang tiada hubungan nusuk (ibadah hajji)
padanya. Lalu apabila datang waktu subuh hari ‘Arafah (hari ke-9 Zulhijjah)
maka dilaksanakan shalat subuh. Dan setelah terbit matahari diatas bukit
Tsubair, lalu berjalan ke ‘Arafah, seraya membacakan doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! jadikanlah ‘Arafah
sebaik-baik perjalanan pagi yang aku jalani kepadanya pada waktu ini,
perjalanan yang lebih mendekatkan kerelaanMu dan menjauhkan kemarahanMu ! Wahai
Tuhanku ! kepadaMu aku berjalan pagi-pagi, Engkaulah yang aku harapkan, kepada
Engkau aku berpegang dan wajah Engkau yang aku kehendaki. Maka jadikanlah aku
diantara orang yang Engkau megahkan dengan dia pada hari ini, daripada orang
yang lebih baik daripada aku dan lebih utama !”.
Apabila telah sampai di ‘Arafah, maka
dirikanlah perkemahan di Namirah, dekat dengan masjid. Disitulah Rasulullah saw
mendirikan kemahnya. Namirah, yaitu: Bathnu-urnah, bukan tempat wuquf dan bukan
Arafah. Dan hendaklah mandi untuk wuquf. Lalu, apabila telah gelincir matahari,
berpidatolah imam suatu pidato ringkas, kemudian ia duduk Muazzin melaksanakan
azan dan imam berpidato kali kedua. Azan itu disambung dengan iqamah (kamat)
dan imam selesai dari pidato, serta siap iqamah dari muazzin. Kemudian,
dijama’kan (shalat jama’) antara Dhuhur dan Ashar itu dengan satu azan dan dua
iqamah serta meng-qoshorkan shalat tadi. Dan pergilah ke tempat wuquf. Dan
hendaklah berwuquf di ‘Arafah, jangan di lembah (wadi)
‘Aranah.
Adapun masjid Ibrahim as maka permulaannya
pada wadi (Aranah) dan ujungnya dari ‘Arafah. Orang yang berwuquf pada
permulaan masjid tak berhasil baginya wuquf di ‘Arafah. Berbeda tempat ‘Arafah
dari masjid dengan batu-batu besar yang diletakkan sebagai lantai disitu. Dan
yang lebih utama, berwuquf pada batu-batu besar tadi, dengan mendekati imam,
menghadap ke kiblat dan berkendaraan. Hendaklah, membanyakkan berbagai macam
keesaan, tasbih, tahlil serta pujian kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, doa dan
taubat. Dan tidak berpuasa pada hari ini, supaya kuat untuk terus-menerus
berdoa. Dan tidak menghentikan pembacaan talbiah/doa-doa pada hari ‘Arafah.
Bahkan yang lebih disunatkan, ialah membaca talbiah/doa-doa sekali dan bertekun
dengan doa sekali. Dan seyogyalah tidak berpisah dari tepi ‘Arafah, kecuali
sesudah terbenam matahari supaya dapat mengumpulkan di ‘Arafah antara malam dan
siang. Dan kalau mungkin berwuquf pada hari ke-8 suatu saat, ketika ada
kemungkinan salah pada perhitungan hari bulan, maka itu adalah lebih hati-hati
menjaga dari kesalahan. Dan dengan demikian, terpeliharalah ia dari keluputan
wuquf. Orang yang keluputan wuquf sampai tebit fajar pada hari raya, maka
luputlah hajji baginya. Haruslah ia bertahallul dari ihram dengan mengerjakan
segala amal perbuatan ‘umrah. Kemudian menyembelih dam karena keluputan itu.
Kemudian, ia meng-qodokan hajji pada tahun yang akan
datang. Hendaklah pekerjaan yang terpenting pada hari ini, berdoa.
Pada tempat yang seperti ini dan kumpulan manusia seperti itu, diharapkan akan
dikabulkan doa. Dan doa yang diterima dari Rasulullah saw dan juga dari salaf (ulamah
terdahulu), pada hari ‘Arafah, adalah lebih utama untuk dibacakan
menjadi doa. Dari itu, maka bacalah akan doa yang
artinya:
“Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah
sendiri, yang tiada sekutu bagi Allah. Bagi Allah kerajaan dan bagi Allah
pujian. Allah yang menghidupkan dan yang mematikan. Allahlah yang hidup, tiada
mati. Ditangan Allah kebajikan dan Allah atas tiap-tiap sesuatu itu Maha Kuasa.
Wahai Tuhanku ! jadikanlah dalam hatiku nur, pada pendengaranku nur, pada
penglihatanku nur dan pada lidahku nur ! Wahai Tuhanku ! bukakanlah bagiku
dadaku dan mudahkanlah bagiku pekerjaanku !”. Dan
hendaklah dibacakan doa ini juga, yang artinya:
“Wahai Tuhanku yang mempunyai pujian ! bagi
Allah segala pujian, sebagaimana yang Allah katakan dan lebih baik daripada
yang kami katakan, bagi Allah shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku. Kepada
Allah tempat aku kembali dan kepada Allah pahalaku ! wahai Tuhanku !
sesungguhnya aku berlindung dengan Allah
dari segala kesangsian hati daripada bercerai-berainya urusan dan dari
azab kubur ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Allah dari
kejahatan yang masuk pada malam, dari kejahatan yang masuk pada siang, dari
kejahatan yang dihembuskan angin dan dari kejahatan yang membinasakan dalam
segala waktu ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Allah dari
berpindahnya kebaikkan yang Allah
anugerahkan, dari tiba-tiba datangnya kebencanaan dan segala kemarahan
Allah ! wahai Tuhanku ! berikanlah aku
petunjuk dengan petunjuk Allah dan ampunilah aku di akhirat dan di dunia !
wahai yang sebaik-baik dimaksud, yang setinggi-tinggi yang ditempati dan
semulia-mulia yang diminta apa yang ada pada Allah ! anugerahilah aku kehidupan, yang lebih baik
daripada apa yang Engkau anugerahkan akan seseorang dari makhlukMu dan orang-orang
yang mengerjakan hajji pada baitMu, wahai yang Maha Pengasih dari yang pengasih
! wahai Tuhanku ! wahai yang mengangkat segala derajat, yang menurunkan segala
berkat, wahai yang menjadikan 7 petala bumi dan langit ! gemparlah kepadaMu
segala suara dengan bermacam-macam bahasa bermohon akan Engkau segala hajat.
Dan hajatku kepadaMu, ialah tidak Engkau melupakan aku dalam negeri percobaan,
apabila dilupakan akan aku oleh penduduk dunia ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya
Engkau mendengar perkataanku, melihat tempatku, mengetahui rahasia dan yang
nyata daripadaku dan tidaklah tersembunyi padaMu sesuatu daripada urusanku! aku
yang lemah, berhajat, meminta pertolongan, meminta pemeliharaan, yang takut,
meminta kasih sayang, mengakui dengan dosanya, bermohonlah aku padaMu sebagai
permohonan seorang miskin, merendahkan diri kepadaMU, sebagai merendahkan diri
seorang yang berdosa lagi hina, aku berdoa padaMu sebagai berdoa seorang yang
takut yang buta, sebagai doa orang yang tunduk lehernya kepadaMu, berlinang air
matanya bagiMu, menghinakan tubuhnya bagiMu dan meletakkan hidungnya ke tanah
bagiMu ! wahai Tuhanku ! janganlah Engkau jadikan aku dengan berdoa kepadaMu,
seorang yang celaka ! adalah kiranya Engkau kepadaku yang pemurah dan kasih
sayang, wahai sebaik-baik tempat meminta dan semulia-mulia yang memberi ! wahai
Tuhanku ! orang yang memujikan dirinya bagiMu, maka sesungguhnya aku yang
mencelakan diriku ! wahai Tuhanku ! telah membisukan lidahku oleh segala
perbuatan ma’siat. Maka tiadalah bagiku, jalan dari perbuatan dan tiada yang
memberikan syafaat selain daripada mengharap akan rahmatMu ! wahai Tuhanku !
sesungguhnya aku mengetahui, bahwa dosaku tidak meninggalkan bagiku lagi padaMu
kemegahan dan tiada sesuatu jalan untuk menjadi halangan. Tetapi Engkau adalah
yang termulia dari segala yang mulia ! wahai Tuhanku ! jika aku tiada ahli
untuk sampai rahmatMu kepadaku, maka sesungguhnya rahmatMu ahli untuk sampai ia
kepadaku dan rahmatMu itu amat luas kepada tiap-tiap sesuatu dan aku termasuk
sesuatu itu ! wahai Tuhanku! bahwa dosaku, meskipun besar, tetapi adalah kecil
disamping kemaafanMu. Maka ampunilah dia bagiku, wahai yang Maha Mulia ! wahai
Tuhanku ! Engkau adalah Engkau dan aku adalah aku ! aku terbiasa berbuat dosa
dan Engkau selalu memberi ampun. Wahai Tuhanku ! sekiranya Engkau tiada
kasih-sayang selain orang-orang yang taat kepada Engkau, maka kepada siapakah meminta
ampun segala orang yang berdosa ? wahai Tuhanku ! aku jauh dari mentaatiMu
dengan sengaja dan menghadapkan diri kepada mendurhakaiMu dengan sengaja ! maka
Maha Sucilah Engkau, alangkah besarnya alasanMu terhadap aku dan maha mulianya
kemaafanMu padaku ! maka dengan adanya asalanMu terhadap aku dan tak adanya
alasanku terhadapMu, berhajatnya aku kepadaMu dan tak berhajatnya Kamu terhadap
aku, melainkan berilah pengampunan bagiku, wahai yang sebaik-baik tempat berdoa
bagi yang meminta doa dan seutama-utama tempat mengharap bagi yang mengharap,
dengan kehormatan Islam dan dengan tanggungan Muhammad saw aku mencari jalan
kepadaMu ! maka ampunilah segala dosaku dan palingkanlah aku dari tempat wuqufku ini, tempat menunaikan segala keperluan !
berikanlah aku apa yang aku minta, sampaikanlah harapanku pada apa yang aku
cita-citakan ! wahai Tuhanku ! aku berdoa akan Engkau dengan doa yang Engkau
ajarkan kepadaku, maka janganlah Engkau haramkan aku dari harapan yang telah
Engkau perkenalkan aku kepadanya ! wahai Tuhanku ! tiadalah Engkau menjadikan
kegelapan dengan hamba yang mengakui dosanya bagiMu, yang khusyu dengan
kehinaan bagiMu, yang tenang dengan tubuhnya menghadapMu, yang merendahkan diri
dengan amal perbuatannya kepadaMu, yang bertaubat lantaran berbuat dosa
kepadaMu, yang meminta ampun dari kezalimannya bagiMu, yang menghinakan diri
kepadaMu meminta kemaafan, yang meminta kepadaMu akan kemenangan segala
hajatnya, yang mengharap kepadaMu pada tempat wuquf, serta banyak dosanya !
maka wahai tempat meminta santunan bagi tiap-tiap yang hidup dan pelindung bagi
tiap-tiap mu’min ! siapa yang berbuat baik, maka dengan rahmatMu memperoleh
kemenangan dan siapa yang berbuat kesalahan, maka dengan kesalahannya mendapat
kebinasaan. Wahai Tuhanku ! kepadaMu, kami keluar, dihalaman hadliratMu, kami
ikatkan kendaraan. Engkaulah yang kami cita-citakan, apa yang ada padaMu, kami
cari, bagi kebajikanMu kami datang, rahmatMu yang kami harap, dari azabMu, kami
minta kasih sayang, kepadaMu dengan beratnya segala dosa kami lari dan BaitMu
al-haram kami mengerjakan hajji ! wahai yang memiliki segala keperluan
orang-orang yang meminta, yang mengetahui segala isi hati orang-orang yang diam
! wahai, yang tiada besertaNya, Tuhan lain tempat berdoa ! wahai, yang tiada
diatasNya khaliq (yang maha pencipta) yang ditakuti ! wahai yang tiada bagiNya
wazir yang didatangi dan pengawal yang disogok ! wahai, yang tiada bertambah
oleh banyaknya permintaan, melainkan kemurahan dan kekurniaan dan oleh
banyaknya keperluan, melainkan pemberian dan perbuatan baik ! wahai Tuhanku !
sesungguhnya Engkau menjadikan untuk tiap-tiap tamu, kampung tempat tinggal dan
kami ini adalah tamu Engkau, maka jadikanlah kampung kami sorga dari Engkau !
wahai Tuhanku! sesungguhnya bagi tiap-tiap utusan itu, balasan bagi tiap-tiap
yang berziarah itu, kemuliaan, bagi tiap-tiap yang meminta itu, pemberian, bagi
tiap-tiap yang mengharap itu pahala, bagi tiap-tiap yang meminta apa yang ada
padaMu itu, pembalasan, bagi tiap-tiap yang memohon rahmat padaMu itu,
kerahmatan, bagi tiap-tiap yang mengingini kepadaMu itu derajat dan bagi
tiap-tiap yang mencari jalan kepadaMu itu kemaafan ! sesungguhnya kami telah
menjadi utusan ke BaitMu al-haram, telah kami kerjakan wuquf di tempat-tempat
bersyiar yang agung ini dan kami saksikan segala tempat penyaksian yang mulia
ini, karena mengharap apa yang ada padaMu ! maka janganlah Engkau kecewakan
harapan kami ! wahai Tuhan kami ! telah berturut-turut keni’matan, sehingga
tenteramlah jiwa dengan berturut-turutnya ni’matMu ! telah menampaklah
kata-kata yang berkesan, sehingga bertutur katalah segala yang diam dengan
alasanMu ! telah menonjol segala ni’mat sehingga segala auliaMu mengaku dengan
keteledoran daripada menunaikan akan hakMu ! telah lahirlah segala tanda,
sehingga 7 petala langit dan bumi menjelaskan dengan segala keteranganMu !
engkau tegaskan dengan qudrah ( kuasa )Mu, sehingga tunduklah tiap-tiap sesuatu
bagi kemuliaanMu dan bersungguh-sungguhlah segala muka bagi kebesaranMu !
apabila berbuat jahatlah hambaMu, maka Engkau berlemah lembut dan menangguhkan
azab. Jika mereka berbuat baik, maka Engkau menganugerahkan karunia dan
mengabulkan. Jika mereka berbuat ma’siat, maka Engkau tutup. Jika mereka
berbuat dosa, maka Engkau maafkan dan ampunkan. Apabila kami berdoa, niscaya
Engkau terima dan apabila kami berseru, niscaya Engkau dengar. Apabila kami
menghadap kepadaMu, niscaya Engkau dekatkan dan apabila kami berpaling dari
Engkau, niscaya Engkau panggil ! wahai Tuhan kami ! sesungguhnya Engkau
berfirman didalam KitabMu yang menjelaskan, kepada Muhammad kesudahan segala
nabi: “Katakan kepada orang-orang yang tidak beriman itu: kalau mereka berhenti
(menentang kebenaran Allah), niscaya diampuni apa yang telah lewat”. S 8 Al
Anfaal ayat 38, maka pengakuan dengan kalimah keesaan sesudah menentang,
membawa kerelaanMu kepada mereka. Dan sesungguhnya kami mengaku bagiMu dengan
keesaan, dimana kami dengan khusyu’ hati dan mengaku bagi Muhammad dengan
kerasulan, dimana kami dengan ikhlas hati, maka ampunilah kami dengan pengakuan
ini, akan segala dosa yang berlalu. Dan janganlah Engkau jadikan keuntungan
kami padanya berkurang dari keuntungan orang yang telah memeluk Islam ! wahai
Tuhan kami ! sesungguhnya Engkau telah menyukai pendekatan diri kepada Engkau
dengan memerdekakan apa yang dipunyai oleh tangan kanan (hamba sahaya) kami.
Dan kami ini adalah hamba sahayaMu dan Engkau adalah yang lebih utama dengan
mengurniakan, maka merdekakanlah akan kami ! sesungguhnya Engkau menyuruh akan
kami supaya bersedekah kepada orang-orang fakir dari kami, sedang kami adalah
orang-orang fakir yang berhajat kepadaMu dan Engkaulah yang lebih berhak dengan
menganugerahkan ni’mat, maka bersedekahlah dengan keni’matan kepada kami !
Engkau wasiatkan kepada kami, dengan memaafkan orang yang berbuat kezaliman
kepada kami, sedang kami telah berbuat kezaliman kepada diri kami sendiri dan
Engkau lebih berhak dengan kemurahan, maka maafkanlah kami ! wahai Tuhan kami !
ampunilah kami dan kasihanilah kami, Engkaulah yang memerintahi kami ! wahai
Tuhan kami ! berikanlah kepada kami di dunia kebajikan dan di akhirat kebajikan
dan peliharalah kami dengan rahmatMu dari siksaan neraka !”.
Hendaklah diperbanyak doa Nabi
Khidir as yaitu membacakan doa, yang artinya:
“Wahai Tuhan, yang tidak membuatNya sibuk
oleh suatu urusan dari suatu urusan, tidak oleh suatu pendengaran dari suatu
pendengaran dan tidak meragukan kepadaNya oleh bermacam-macam suara ! wahai
Tuhan yang tidak membawaNya tersalah, oleh bermacam-macam permintaan dan tidak
membawa perbedaan kepadaNya oleh berbagai macam bahasa ! wahai Tuhan yang tidak
membawaNya jemu oleh banyaknya permintaan dari orang-orang yang meminta dan
tidak membawaNya marah oleh permintaan orang-orang yang meminta ! anugerahilah
kepada kami dengan kesejukan maafmu dan kemanisan munajatmu !”.
Dan hendaklah berdoa dengan apa yang tampak baginya & minta ampunlah
bagi dirinya sendiri, bagi kedua ibu bapaknya, bagi sekalian mu’min pria
&wanita. Dan hendaklah bersungguh-sungguh berdoa & hendaklah
mengagungkan permohonannya itu. Karena bagi Allah tidak melebihi dari
keagunganNya oleh sesuatu.
Berdoa Mathraf bin Abdullah dan dia waktu itu
di ‘Arafah: “Wahai Tuhanku ! janganlah Engkau azabkan sekalian orang, dari
karenaku !”. Berkata Bakr Al-Mazani: “Berkata seorang laki-laki: Manakala aku
memandang kepada penduduk ‘Arafah, lalu aku menyangka, bahwa mereka telah
diampunkan segala dosanya, jikalau tidaklah aku berada dalam kalangan mereka”.
Jumlahan
Ketujuh: tentang awal perbuatan hajji yang masih tinggal sesudah wuquf,
yaitu:
bermalam, melemparkan jamrah, menyembelih qurban, bercukur dan
berthawaf.
Apabila berjalan dari ‘Arafah sesudah
terbenam matahari, maka seyogyalah berada dengan tenang dan tenteram sopan.
Hendaklah dijauhkan dari berlari-lari kuda dan kecepatan berjalannya unta, sebagaimana
dibiasakan oleh sebahagian manusia. Sesungguhnya Rasulullah saw melarang dari
berlari-lari kuda dan dari kecepatan berjalannya unta. Dan bersabda: “Takutlah
kepada Allah dan berjalanlah dengan perjalanan yang bagus ! janganlah kamu
pijak orang yang lemah dan jangan kamu sakiti orang muslim !”.
Apabila telah sampai ke Muzdalifah,
lalu mandi, karena Muzdalifah itu adalah sebagian dari tanah haram, maka
hendaklah memasukinnya dengan mandi. Kalau sanggup memasukinya dengan berjalan
kaki, maka adalah lebih utama dan lebih mendekati kepada penghormatan akan
tanah haram. Dan adalah dijalan dengan meninggikan suaranya mengucapkan
talbiah/doa-doa: Apabila telah sampai di Muzdalifah, lalu membacakan doa yang artinya:
“Wahai Tuhanku ! sesungguhnya ini, adalah
Muzdalifah, Engkau kumpulkan padanya bermacam-macam bahasa yg meminta padaMu
akan hajatnya masing-masing. Maka jadikanlah aku dari orang yang berdoa padaMu,
lalu Engkau terima doa itu &dari orang bertawakkal kepadaMu, lalu Engkau
cukupkan akan dia”.
Kemudian, dikerjakan shalat jama’ antara
Maghrib dan ‘Isya di Muzdalifah pada waktu Isya, dengan diringkaskan satu azan
dan dua iqamah, yang tak ada diantara keduanya shalat sunat. Tetapi
dikumpulkan sunat Maghrib, sunat Isya, dan witir sesudah kedua shalat fardlu
tadi. Dimulai dengan sunat Maghrib, kemudian dengan sunat Isya, seperti pada
kedua shalat fardlunya. Sesungguhnya meninggalkan shalat sunat dalam
perjalanan, adalah kerugian yang nyata. Dan memaksakan mengerjakannya didalam
waktu adalah mendatangkan melarat serta memutuskan ikut-mengikuti antara kedua
sunat itu dan shalat fardlu. Apabila boleh dikerjakan sunat bersama fardlu
dengan satu tayammum, secara hukum ikut-mengikuti (hukum at-tab’ijah), maka
pembolehan melaksanakan keduanya diatas hukum jama’ dengan tab’ijah, adalah
lebih utama. Dan tidak tercegah dari ini, oleh bercerainya sunat bagi fardlu,
tentang boleh melaksanakannya diatas kendaraan. Karena apa yang telah kami
tunjukkan tentang at-tab’ijah/hukum ikut-mengikuti dan hajat keperluan.
Kemudian, bermalam pada malam itu di
Muzdalifah, yaitu: bermalam yang termasuk dalam nusuk/ibadah. Siapa yang keluar
dari Muzdalifah dalam nisfu pertama (pertengahan pertama) dari malam itu dan
tidak bermalam, maka haruslah menyembelih dam. Menghidupkan malam yang mulia
ini, termasuk amalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang baik, bagi orang
yang sanggup mengerjakannya. kemudian, apabila telah datang pertengahan malam,
lalu bersiap-siap untuk berangkat dan mengambil batu kecil-kecil daripadanya
sebagai perbekalan melemparkan jamrah. Disitu banyak batu-batu kecil, maka
hendaklah diambil 70 butir, yaitu sekedar diperlukan. Dan tiada mengapa dengan
terang-terangan mengambil lebih banyak, sebab kadang-kadang jatuh sebahagian
daripadanya. Dan hendaknya batu-batu itu ringan, dimana kira-kira besarnya
sebesar ujung telunjuk. Kemudian, hendaklah dilaksanakan shalat subuh dalam
kegelapan akhir malam itu. Dan hendaklah terus berjalan, sehingga apabila
sampai ke Al-Masy’aril-haram, yaitu ujung Muzdalifah, lalu berhenti dan berdoa
hingga kabur-kabur pagi, dengan membacakan, yang
artinya:
“Wahai Tuhanku ! dengan berkat haknya
Al-Masy’aril-haram, Al-Baitil-haram, bulan haram, rukun dan maqam, sampaikanlah
kepada arwah Muhammad saw dari kami penghormatan dan salam ! dan masukkanlah
kami ke dalam sorga Darussalam, wahai Tuhan yang mempunyai ketinggian dan
kemuliaan !”.
Kemudian, bertolak dari situ sebelum terbit matahari, sehingga sampailah
ke suatu tempat yang dinamakan “lembah mahsar”. Maka disunatkan
menggerak-gerakkan binatang kendaraan, sehingga dapat memotong lintangan
lembah. Kalau berjalan kaki maka bersegeralah berjalan. Kemudian, apabila
datang waktu shubuh dihari raya hajji itu, maka dicampurkanlah talbiah/doa-doa
dengan takbir. Ia bertalbiah sekali, kemudian bertakbir sekali. Maka sampailah
di Mina dan tempat jamrah-jamrah. Jamrah itu 3; lalu dilewatinya jamrah pertama
dan kedua. Tak ada urusan dengan kedua jamrah ini pada hari raya. Sehingga
sampailah ia ke Jamrah Al-‘Aqabah. Letaknya disebelah kanan bagi orang yang
menghadap kiblat, di tepi jalan besar. Dan tempat yang dilemparkan itu adalah
tinggi sedikit pada lereng bukit. Dan jelas tempat terletaknya jamrah-jamrah
itu. Jamrah Al-‘Aqabah itu dilemparkan sesudah terbit matahari kira-kira
setinggi lemparan tombak. Dan caranya, dengan berdiri menghadap kiblat. Dan
kalau menghadapi jamrah, tiada mengapa juga. Jamrah itu dilemparkan dengan 7
butir batu dengan mengangkatkan tangan. Pembacaan talbiah/doa-doa, digantikan
dengan takbir, yaitu: membaca bersamaan dengan pelemparan tiap-tiap butir batu,
yang artinya:
“Allah Maha Besar, aku melemparkan ini
karena mentaati Tuhan yang Maha Pemurah dan menghinakan setan. Ya Allah, ya
Tuhanku ! karena membenarkan KitabMU dan mengikuti sunnah NabiMu !”.
Apabila telah melempar, maka
dihentikan pembacaan talbiah/doa-doa dan takbir, selain dari takbir di belakang
shalat-shalat fardlu, dari Dhuhur hari raya hajji sampai kepada di belakang
Shubuh dari penghabisan hari tasyriq (hari 11-12-13 dari bulan Zulhijjah). Dan tiada
berhenti bertakbir pada hari ini, karena membaca doa, tetapi berdoa pada tempat
tinggalnya saja. Bentuk takbir itu, ialah dibacakan, yang
artinya:
“Allah Maha Besar ! Allah Maha Besar !
Allah Maha Besar yang Maha Agung ! segala pujian yang sebanyak-banyaknya bagi
Allah ! maha suci Allah pada pagi dan petang ! tiada Tuhan yang disembah,
selain Allah yang Maha Esa, tiada bagiNya sekutu, dimana kami mengikhlaskan
agama bagiNya semata-mata, walaupun orang-orang kafir itu benci. Tiada Tuhan
yang disembah selain Allah Yang Maha Esa. Dia membenarkan akan janjiNya,
menolong akan hambaNya dan menghancurkan akan barisan-barisan musuhNya
(al-ahzab) olehNya sendiri. Tiada Tuhan yang disembah selain Allah, Allah yang
Maha Besar”.
Kemudian, hendaklah menyembelih hewan yang akan dihadiahkan kepada orang
kalau ada padanya. Dan yang lebih utama disembelih olehnya sendiri serta
hendaklah membacakan:
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha
besar. Ya Allah Tuhanku, dari Engkau, dengan Engkau dan kepada Engkau !
terimalah daripadaku, sebagaimana telah Engkau terima dari kekasihMu Ibrahim”.
Menyembelih kurban dengan unta adalah lebih utama, kemudian dengan sapi, kemudian
dengan kambing atau biri-biri (syah). Dan syah itu lebih utama (afdhal)
daripada berkongsi 6 orang pada seekor unta atau sapi. Dan biri-biri adalah
lebih utama daripada kambing. Bersabda Nabi saw: “Yang terbaik untuk kurban itu
ialah kambing/biri-biri yang bertanduk”. Dan yang berwarna putih adalah lebih
utama daripada yang berwarna kelabu / hitam.
Berkata Abu Hurairah: “Yang berwarna putih adalah lebih utama pada
penyembilhan kurban daripada 2 ekor yg hitam. Dan hendaklah ia makan daripadanya,
kalau kurban itu adalah kurban sunat. Dan janganlah disembelih untuk kurban itu
hewan yg pincang, yg terpotong hidung, yg hilang kebanyakan telinganya/tanduk,
yang berkudis, yang berlobang telinga dari atas, yang berlobang telinga dari
bawah, yang koyak telinga dari hadapan, yang koyak telinga dari belakang, yang
kurus yang tidak menampak kebersihan padanya lagi dari karena kurusnya, yang
terkerat hidung atau telinga, karena ada yang terputus daripada keduanya”.
Kemudian, sesudah itu, lalu mencukur rambut. Dan sunat menghadap kiblat
dan memulai dengan kepala bahagian depan. Maka dicukurkan bahagian yang kanan
sampai kepada dua tulang yang berdekatan dengan kuduk. Kemudian hendaklah ia
cukur yang masih tinggal. Dan membaca doa sewaktu mencukur itu, yang artinya:
“Ya Allah Tuhanku ! tetapkanlah bagiku
dengan tiap-tiap sehelai rambut akan kebajikan dan hapuskanlah
daripadaku dengan tiap-tiap rambut itu akan kejahatan dan tinggikanlah derajat
bagiku dengan tiap-tiap rambut itu pada sisiMu !”. Dan wanita itu menggunting
rambutnya. Dan bagi orang yang botak, maka disunatkan melakukan pisau cukur
atas kepalanya. Manakala telah bercukur setelah pelemparan jamrah, maka telah
berhasillah baginya tahallul pertama dan halallah baginya segala larangan karena
hajji, selain wanita dan memburu binatang.
Kemudian berangkat ke Makkah dan mengerjakan thawaf, sebagaimana telah
kami terangkan dahulu. Thawaf ini adalah thawaf rukun dalam hajji dan dinamakan
“thawaf ziarah”. Dan permulaan waktunya ialah, sesudah tengah malam dari malam
hari raya. Yang pertama waktunya, ialah hari raya dan tak berpenghabisan
waktunya. Bahkan boleh dikemudiankan sampai kepada waktu manapun yang
dikehendakinya. Tetapi dia tetap terikat dengan ikatan ihrom. Maka tiada
halal baginya wanita, sampai ia mengerjakan thawaf itu. Apabila telah
mengerjakan thawaf, niscaya sempurnalah tahallul dan halallah bersetubuh
(jima’) serta terangkatlah ihram keseluruhannya. Dan tidak tinggal lagi, selain
dari pelemparan jamrah pada hari-hari tasyriq dan bermalam (mabit) di Mina.
Semuanya ini adalah kewajiban sesudah habis ihram, diatas jalan pengikutan bagi
hajji. Cara thawaf ini serta dua rakaat, adalah sebagaimana telah diterangkan
dahulu pada thawaf qudum. Maka apabila telah selesai dari shalat yang dua
rakaat itu, maka hendaklah melakukan sa’i, seperti yang telah kami terangkan,
kalau ia belum lagi mengerjakan sa’i, sesudah thawaf qudum. Dan kalau sudah
mengerjakan sa’i itu, maka jadilah dia itu rukun dan tidak seyogyalah
mengulangi sa’i lagi. Sebab bagi tahallul, adalah 3; melemparkan jamrah,
bercukur dan berthawaf, dimana thawaf itu menjadi rukun. Manakala telah
dilaksanakan dua dari yang tiga ini, maka berhasillah satu dari dua tahallul.
Dan tidak berdosa mendahulukan dan mengemudiankan dengan yang tiga tadi, serta
penyembelihan kurban. Tetapi yang lebih baik, ialah melemparkan jamrah,
kemudian menyembelih kurban, kemudian menggunting/mencukur, kemudian berthawaf.
Dan sunat bagi Imam (kepala pemerintahan) pada hari ini, berpidato sesudah
gelincir matahari, yaitu: pidato (khutbah) wida’ Rasulullah saw.
Pada hajji, ada 4 khutbah: khutbah pada hari
ke-7 Dzulhijjah, khutbah dari ‘Arafah (hari kesembilan), khutbah hari raya dan
khutbah hari nafar pertama (hari keberangkatan pertama dari Mina ke Makkah).
Semua khutbah ini dilaksanakan sesudah gelincir matahari dan khutbahnya
satu-satu, selain dari khutbah hari ‘Arafah. Maka itu adalah dua khutbah,
dimana diantar keduanya duduk sebentar. Kemudian apabila telah selesai dari
thawaf, maka kembalilah ia ke Mina, untuk mabit (bermalam) dan melemparkan
jamrah. Lalu ia bermalam pada malam itu di Mina dan dinamakan: malam al-qarr
(malam menetap di Mina sesudah hari raya hajji), karena para jama’ah hajji itu
pada keesokan harinya, menetap di Mina dan tidak berangkat. Apabila telah siang
hari kedua dari hari raya dan telah gelincir (zawal) matahari, niscaya mandilah
untuk pelemparan dan menuju ke Jamrah Pertama (Al-Jamratul-Ula),
yang mengiringi ‘Arafah (yang mula berjumpa bila kita dari ‘Arafah). Jamrah itu
disebelah kanan jalan besar. Dan dilemparkan kepadanya dengan 7 butir batu.
Apabila telah selesai, lalu berjalan sedikit dari kanan jalan besar dan
berhenti dengan menghadap ke kiblat. Lalu mengucapkan pujian kepada Allah
Ta’ala (mengucapkan Al-hamdulillah), membacakan tahlil (membacakan Laa ilaaha
illallaah), bertakbir dan berdoa dengan kehadiran hati dan khusyu’ seluruh
anggota badan. Berhenti dengan menghadap ke kiblat, kira-kira selama membaca
surat Al-Baqarah, dengan menghadapkan diri kepada berdoa. Kemudian, lalu maju
menuju ke Jamrah Tengah (Al-Jamratul-wustha’) dan melemparkannya, sebagaimana
melemparkan Jamrah Pertama dan berhenti sebagaimana berhenti pada Jamrah
Pertama. Kemudian, lalu maju menuju ke Jamrah Al-Aqabah
dan melemparkannya 7 kali. Dan janganlah mengerjakan sesuatu pekerjaan,
tetapi kembalilah ketempat tinggal. Dan bermalam pada malam itu di Mina. Dan
malam ini dinamakan: malam nafar pertama dan berpagilah disitu, maka apabila
telah mengerjakan shalat Dhuhur pada hari kedua dari hari tasyriq, niscaya ia
melemparkan pada hari ini 21 butir batu, seperti hari sebelumnya. Kemudian ia
memilih antara berdiam di Mina atau kembali ke Makkah. Kalau ia keluar dari
Mina sebelum terbenam matahari, maka tak ada apa-apa atasnya. Kalau ia bertahan
sampai malam maka tak boleh baginya keluar lagi. Tetapi haruslah bermalam,
sehingga ia melemparkan pada hari nafar kedua 21 butir batu, seperti yang lalu.
Tentang tidak bermalam dan melemparkan itu, dikenakan penyembelihan dam dan
hendaklah disedekahkan dagingnya. Dan boleh ia berziarah ke Baitullah pada
malam-malam di Mina, dengan syarat ia tidak bermalam, selain di Mina itu.
Adalah Rasulullah saw berbuat yang demikian. Dan tidaklah meninggalkan
menghadiri segala shalat fardlu bersama imam di masjid Al-Khaif, karena
keutamaannya besar sekali. Apabila bertolak dari Mina, maka yang lebih utama ia
bertempat di Al-Mahshab daripada di Mina dan bershalat ‘Ashar, Maghrib
dan ‘Isya dan tidur sebentar. Maka itulah sunnah Nabi, yang diriwayatkan
segolongan dari sahabat ra. Kalau tidak diperbuatnya yang demikian, maka
tidaklah sesuatu atasnya.
Jumlahan
Kedelapan: tentang cara ‘umrah dan apa-apa sesudahnya sampai kepada thawaf
wida’.
Berangsiapa bermaksud mengerjakan ‘umrah
sebelum hajji atau sesudahnya, menurut kesukaannya, maka hendaklah ia mandi dan
memakai pakaian ihram, sebagaimana telah diterangkan dahulu pada hajji. Ia
melakukan ihram ‘umrah dari miqatnya. Miqatnya yang lebih utama, ialah
Al-Ja’ranah, kemudian At-Tan’im, kemudian Al-Hudaibiah. Ia meniatkan ‘umrah,
membacakan talbiah/doa-doa, menuju masjid ‘Aisyah, bershalat 2 rakaat dan
berdoa apa yang dikehendakinya. Kemudian kembali ke Makkah, dimana ia membaca
talbiah/doa-doa sampai masuk ke Masjidil-haram. Apabila telah masuk masjid,
maka ia meninggalkan talbiah/doa-doa, lalu berthawaf 7X dan bersa’i 7X, seperti
telah kami jelaskan dahulu. Apabila itu telah selesai, maka ia
bercukur/menggunting dan telah sempurnalah ‘umrah dengan demikian. Orang yang
bermukim di Makkah, seyogyalah membanyakkan ‘umrah & thawaf. Dan hendaklah
membanyak kan melihat ke Baitullah. Apabila ia masuk ke Baitullah, maka
hendaklah mengerjakan shalat 2 rakaat diantara 2 tiang Baitullah. Maka itulah
yang lebih utama. Dan hendaklah masuk dengan kaki terbuka dengan sikap
memuliakan. Ditanyakan sebahagian mereka: “Adakah engkau masuk ke Bait Tuhanmu
pada hari ini?”. Maka menjawab: “Demi Allah, saya tidak melihat dua tapak ini
patut untuk thawaf keliling Bait Tuhanku. Bagaimana dapat saya melihat keduanya
patut untuk saya letakkan pada Bait Tuhanku sedang saya mengetahui bagaimana
keduanya dan kemana keduanya berjalan”.
Dan hendaklah
membanyakkan minum air Zamzam dan mengambil minuman itu dengan tangannya
sendiri, tanpa menggantikan dengan orang lain, jikalau mungkin. Dan hendaklah
minum dengan sepuas-puasnya sehingga memenuhi perut serta hendaklah membacakan
doa yang artinya: “Ya Allah Tuhanku ! jadikanlah
kiranya air zamzam itu, obat daripada segala penyakit dan kesakitan dan
anugerahilah aku keikhlasan, keyakinan dan kebaikkan di dunia dan di akhirat !”. Bersabda Nabi
saw: “Air Zamzam itu untuk apa yg diminumkan baginya”. Artinya: menyembuhkan
akan apa yang diinginkan dengan dia.
Jumlahan
Kesembilan: tentang thawaf wida’.
Manakala ingin kembali ke Tanah air sesudah
selesai daripada menyempurnakan hajji dan ‘umrah, maka pertama-tama hendaklah
menyelesaikan segala pekerjaan, hendaklah mempersiapkan kendaraan dan hendaklah
membuat perbuatannya yang terakhir, berthawaf wida’. Wida’nya itu, ialah:
dengan melakukan thawaf 7X, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Tetapi tanpa berlari-lari dan berjalan cepat.
Apabila telah selesai dari thawaf wida’, maka mengerjakan shalat 2 rakaat di
belakang maqam Ibrahim dan meminum air Zamzam. Kemudian datang ke Al-Multazam
dan berdoa serta merendahkan diri dan hati, seraya membaca doa, yang artinya:
“Ya Allah Tuhanku ! bahwa Al-Bait ini
adalah Bait/RumahMu dan hamba ini adalah HambaMu, putera hambaMu yang laki-laki
dan putera hambaMu yang wanita. Engkau tanggungkan akan aku, barang yang Engkau
mudahkan bagiku daripada makhlukMu, sehingga Engkau jalankan akan aku didalam
segala negeriMu. Dan Engkau sampaikan akan aku dengan ni’matMu, sehingga Engkau
tolongi akan aku, untuk menunaikan segala manasikMu. Jika ada kerelaanMu
padaku, maka tambahkanlah itu padaku ! Jika tidak, maka anugerahilah nikmat
sekarang, sebelum berjauhan aku dari BaitMu ! inilah waktu kepergianku, jika
Engkau izinkan bagiku, tanpa pergantian dengan Engkau dan Bait Engkau dan
tidaklah karena benci kepada Engkau dan Bait Engkau. Ya Allah Tuhanku !
sertakanlah akan aku kebaikan pada badanku dan peliharaan pada agamaku !
baguskanlah tempat perpindahanku dan anugerahilah ketaatan kepadaMu
selama-lamanya, selama Engkau kekalkan akan aku ! kumpulkanlah bagiku kebaikan
dunia dan akhirat, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu ! ya Allah
Tuhanku ! janganlah kiranya Engkau jadikan ini, penghabisan masaku dengan
BaitMu Al-haram ! dan kalau Engkau jadikan ini yang penghabisan bagi masaku,
maka gantikanlah bagiku daripadanya dengan sorga !”.
Yang lebih disunatkan, ialah tidak
berpaling pandangannya dari Baitullah, sampai hilang dari pemandangannya
Baitullah itu.
Jumlahan
Kesepuluh: tentang ziarah ke Madinah dan adab-adabnya.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa
menziarahiku sesudah wafatku, maka seakan-akan ia menziarahi aku ketika hidupku”.
“Barangsiapa memperoleh kesanggupan & tidak pergi mengunjungi aku, maka dia
telah benci kepadaku”. Bersabda Nabi saw. “Barangsiapa datang kepadaku
berziarah, yang tidak penting baginya selain daripada menziarahi aku, niscaya
adalah hak atas Allah Ta’ala, supaya aku bersyafa’at kepadanya”. Barangsiapa
bermaksud berziarah ke Madinah, maka hendaklah banyak berselawat kepada
Rasulullah saw dijalanan. Apabila pandangannya tertuju ke dinding-dinding dan
pohon-pohonan Madinah, maka hendaklah ia membaca doa,
yang artinya:
“Ya Allah Tuhanku ! inilah Tanah Haram
RasulMU saw ! maka jadikanlah dia bagiku pemeliharaan dari neraka dan keamanan
dari azab dan buruk hisab !”.
Hendaklah mandi sebelum masuk Madinah pada
sumur, “Al-Harrah”. Hendaklah memakai bau-bauan dan berpakaian yang terbersih
dari segala pakaiannya ! dan apabila memasuki Madinah, maka hendaklah masuk
dengan merendahkan diri dan mengagungkan Madinah. Dan hendaklah membaca doa, yang artinya:
“Dengan nama Allah dan diatas agama
Rasulullah saw ! ya Tuhanku, masukkanlah aku pada tempat masuk kebenaran dan
keluarkanlah aku pada tempat keluar kebenaran ! dan jadikanlah bagiku daripada
pihakMu akan kekuasaan yang menolong”.
Kemudian menuju masjid dan terus
masuk. Dan mengerjakan shalat 2 rakaat disamping mimbar dan membuat tiang
mimbar setentang bahu kanannya. Dan menghadap tiang, yang disisinya itu peti
dan adalah lingkungan yang pada kiblat masjid itu, antara dua matanya. Itulah
tempat berhenti Rasulullah saw sebelum masjid itu dirobah bentuknya. Dan
hendaklah diusahakan dengan sungguh-sungguh bershalat dalam masjid pertama
sebelum ditambah luasnya. Kemudian datang kekuburan Nabi saw lalu berhentilah
disisi mukanya. Yaitu, dengan membelakangi kiblat dan menghadap ke dinding
kuburan, kira-kira 4 hasta dari tiang yang disudut dinding kuburan. Dan
dijadikan kandil (lampu yang tergantung) diatas kepalanya betul. Dan tidaklah
termasuk sunat, menyentuh dinding dan menciumnya. Tetapi berdiri jauh adalah
lebih mendekati kepada penghormatan. Maka berdirilah, seraya
mengucapkan:
“Salam kepadamu wahai Rasulullah ! salam
kepadamu wahai Nabi Allah ! salam kepadamu wahai kepercayaan Allah ! salam
kepadamu wahai kekasih Allah ! salam kepadamu wahai yang dibersihkan Allah !
salam kepadamu wahai pilihan Allah ! salam kepadamu wahai Ahmad ! salam
kepadamu wahai Muhammad ! salam kepadamu wahai ayah Al-Qasim ! salam kepadamu
wahai penghapus kesalahan ! salam kepadamu wahai pengganti orang sebelumnya !
salam kepadamu wahai penghimpun ! salam kepadamu wahai pembawa kabar gembira !
salam kepadamu wahai pembawa kabar takut! salam kepadamu wahai yang sangat
bersih! salam kepadamu wahai yang bersih ! salam kepadamu wahai yang termulia
dari anak Adam ! salam kepadamu wahai penghulu dari segala rasul ! salam
kepadamu wahai kesudahan segala nabi ! salam kepadamu wahai Rasul Tuhan semesta
alam ! salam kepadamu wahai pahlawan kebajikan ! salam kepadamu wahai pembuka
kebaikan ! salam kepadamu wahai Nabi kerahmatan! salam kepadamu wahai penunjuk
umat! salam kepadamu wahai pahlawan yang gilang gemilang! salam kepadamu dan
kepada kaum keluargamu yang telah dihilangkan Allah dari mereka kekotoran dan
disucikan mereka dengan kebersihan ! salam kepadamu dan kepada para sahabatmu yang
baik-baik dan kepada para isterimu yang suci ibu orang-orang mu’min ! dibalasi
engkau oleh Allah daripada kami, yang lebih utama daripada apa yang dibalasiNya
akan seseorang nabi dari kaumnya dan seorang rasul dari umatnya. Diberi rahmat
oleh Allah kepadamu, tiap kali disebut akan kamu oleh orang-orang yang
menyebutkan dan tiap kali dilupakan akan kamu oleh orang-orang yang melupakan.
Diberi rahmat oleh Allah kepadamu dalam orang-orang yang dahulu dan orang-orang
yang kemudian, seutama, sesempurna, setinggi, semulia, sebaik dan sesuci apa
yang telah diberikan rahmat olehNya kepada seseorang daripada makhlukNya,
sebagaimana Ia melepaskan kami dengan sebabmu daripada kesesatan dan Ia
menganugerahkan kami dapat melihat dengan sebabmu, daripada kebutaan dan ditunjukNya
kami dengan sebabmu daripada kebodohan ! aku mengaku bahwa tiada Tuhan yang
disembah, selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Dan aku mengaku
bahwa engkau hambaNya, RasulNya, kepercayaanNya, kebersihanNya, pilihanNya,
dari makhlukNya. Aku mengaku bahwa engkau telah engkau sampaikan kerasulan,
telah engkau laskanakan kepercayaan (amanah), telah engkau nasehatkan umat,
telah engkau berjihad dengan musuhmu, telah engkau tunjuki umatmu dan telah
engkau berbakti kepada Tuhanmu, sehingga datanglah kepadamu keyakinan. Maka
diberi rahmat oleh Allah kepadamu & kepada kaum keluargamu yg baik-baik,
diberiNya kesejahteraan, kemuliaan, kedermawanan & kebesaran”.
Kalau ada membawa pesan orang untuk disampaikan salam kepada Nabi, maka
ucapkan: “Salam kepadamu dari si Anu! salam kepadamu dari si Anu !”. kemudian
mundur, kira-kira sehasta, lalu memberi salam kepada Abubakar Ash-Shiddiq ra
karena kepalanya di sisi bahu Rasulullah saw dan kepala Umar ra di sisi bahu
Abubakar ra. Kemudian mundur lagi kira-kira sehasta, lalu memberi salam kepada
keduanya, seraya mengucapkan:
“Salam kepadamu berdua wahai wazir
Rasulullah saw penolong Rasul pada menegakkan agama selama Rasul masih hidup
dan yang berdiri ditengah-tengah umatnya sesudahnya, dengan segala urusan
agama, dimana kedua engkau pada yang demikian itu, mengikuti jejaknya dan
bekerja menurut sunnahnya. Maka dibalasi kiranya kedua engkau oleh Allah dengan
sebaik-baik apa yang dibalasiNya kepada kedua wazir Nabi dari agamanya”.
Kemudian kembali, lalu berdiri di sisi kepala Rasulullah saw diantara
kuburan dan tiang sekarang dan menghadap kiblat. Dan hendaklah memuji Allah yg
maha mulia & maha besar dan mengagungkanNya serta membanyakkan selawat
kepada Rasulullah saw. Kemudian berdoa:
“Ya Allah Tuhanku! sesungguhnya Engkau
berfirman & firman Engkau itu benar: “Kalau mereka itu ketika menganiaya
dirinya sendiri datang kepada engkau, lalu mereka memohonkan ampun kepada
Tuhan, dan Rasul memohonkan ampunan pula untuk mereka, tentulah mereka akan mendapati
Allah itu Penerima taubat & Penyayang”. S 4 An Nisaa’ ayat 64. Ya Allah
Tuhanku! sesungguhnya kami telah mendengar firmanMu. Kami taati perintahMu
& kami maksudkan akan NabiMu, dimana kami memohonkan syafa’at dengan
sebabnya kepadaMu pada segala dosa kami dan barang yang memberatkan belakang
kami daripada segala dosa kami yang bertaubat dari kesalahan kami, yang
mengakui dengan segala kesalahan dan keteledoran kami. Maka terimalah taubatku
wahai Tuhanku kepada kami, berikanlah akan NabiMu ini syafa’at pada kami dan
tinggikanlah akan kami disebabkan kedudukannya pada sisiMu dan haknya padaMu !
ya Allah Tuhanku ! ampunilah segala orang muhajirin dan anshar ! ampunilah kami
dan segala saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman ! ya Allah Tuhanku
! janganlah Engkau jadikan ini penghabisan waktu menziarahi kuburan NabiMu dan
tanah haramMu, wahai yang Maha pengasih dari segala yang pengasih !”.
Kemudian datang ke Raudhah, lalu bershalat padanya 2 rakaat. Dan membaca
doa, apa yang disanggupi karena sabda Nabi saw: “Apa yang diantara kuburanku
dan mimbarku, adalah suatu kebun (raudhah) dari kebun-kebun sorga dan mimbarku
adalah diatas kolamku”. Dan berdoalah di sisi mimbar dan disunnatkan meletakkan
tangan atas puncak tiang mimbar yang di bawah, dimana adalah Rasulullah saw
meletakkan tangannya diatasnya ketika berkhutbah.
Dan disunatkan datang ke bukit Uhud pada
hari Kamis dan menziarahi kuburan orang-orang syahid (syuhada) disitu. Dan
bershalat Subuh di masjid Nabi saw, kemudian keluar dan kembali ke masjid untuk
shalat Dhuhur. Maka tidaklah luput suatu fardlupun dari berjama’ah didalam
masjid. Dan disunatkan keluar tiap-tiap hari ke Al-Baqi’, sesudah mengucapkan
salam kepada Rasulullah saw. Dan berziarah ke kuburan Usman ra dan kuburan
Al-Hasan bin ‘Ali ra. Juga disitu kuburan Ali bin Al Husain, Muhammad bin Ali
dan Ja’far bin Muhammad, direlai Allah kiranya mereka sekalian. Dan melakukan
shalat di masjid Fathimah ra dan berziarah ke kuburan Ibrahim putera Rasulullah
saw dan kuburan Shafiah tante (‘ammah) Rasul saw. Kuburan
itu semuanya di Al-Baqi’. Dan disunatkan datang ke masjid Quba’ pada
tiap-tiap hari Sabtu dan bershalat padanya, karena diriwayatkan bahwa Rasul saw
bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya, lalu datang ke masjid Quba’ dan
bershalat padanya, niscaya adalah menyamai pahala mengerjakan ‘umrah”. Dan datang
ke sumur Urais, dimana diceritakan, bahwa Nabi saw telah meludah ke dalamnya.
Sumur itu di samping masjid Quba’. Maka berwudlulah dari sumur itu dan meminum
airnya. Dan datang ke masjid Al-Fath, yaitu diatas al-chandaq. Dan begitu juga
mendatangi masjid-masjid yang lain dan segala tempat ziarah. Dan dikatakan,
bahwa semua tempat ziarah dan masjid-masjid di Madinah, adalah 30 tempat yang dikenal oleh penduduk negeri. Maka hendaklah
dikunjungi, apa yang disanggupi. Dan begitu pula
dikunjungi sumur-sumur, dimana Rasulullah saw ada berwudlu’, mandi dan minum
daripadanya. Yaitu 7 sumur, karena mengharapkan
untuk kesembuhan dan barakah dengan Nabi saw. Kalau mungkin bermukim di
Madinah, serta dapat menjaga kehormatan Madinah, maka memperoleh kelebihan
besar.
Bersabda Nabi saw: “Bila seseorang
bersabar pada menempati Madinah & kesengsaraan yang diperolehnya di
Madinah, maka adalah aku bersyafa’at baginya pada hari kiamat”. Bersabda Nabi
saw: “Barangsiapa sanggup untuk mati di Madinah, maka hendaklah mati disitu.
Sesungguhnya tidaklah seseorang itu mati diMadinah, melainkan aku memberi kan
syafa’at atau menjadi saksi baginya pada hari kiamat”.
Kemudian, apabila telah selesai dari segala
pekerjaan dan bermaksud keluar dari kota Madinah, maka disunatkan mendatangi
kuburan yang mulia dan mengulangi doa ziarah, seperti yg diatas. Dan
mengucapkan wida’ (selamat tinggal) kepada Rasul saw dan bermohon kepada Allah
yg maha mulia & maha besar akan dikurniakan kepadanya untuk dapat kembali
lagi ke Madinah & meminta keselamatan dalam perjalanan pulang. Kemudian
mengerjakan shalat 2 rakaat di raudhah kecil, yaitu: tempat tinggal Rasulullah
saw sebelum ditambahkan bilik kecil (kamar) dalam masjid. Apabila keluar, maka
hendaklah mengeluarkan yang pertama kakinya yang kiri, kemudian kakinya yang
kanan. Dan hendaklah membaca doa yang artinya:
“Ya Allah Tuhanku ! berikanlah rahmat
kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad dan janganlah ini masa terakhirku
mengunjungi nabiMu. Hapuskan lah segala dosaku dengan menziarahinya,
sertakanlah bagiku keselamatan dalam perjalananku dan mudahkanlah kembaliku
kepada keluarga dan tanah airku, dengan selamat sejahtera, wahai yang Maha
Penyayang dari segala yang penyayang”. Dan hendaklah bersedekah kepada tetangga
Rasulullah menurut kesanggupan. Dan hendaklah mengunjungi segala masjid antara
Madinah & Makkah dan mengerjakan shalat padanya, yaitu:
20 tempat.
Mengenai sunat-sunat yang menyangkut dengan
kembali dari perjalanan.
Adalah Rasulullah saw apabila kembali dari
peperangan atau hajji atau ‘umrah, bertakbir 3X apabila melalui tiap-tiap
tempat yang tinggi, lalu membacakan, yang artinya: “Tiada Tuhan yang disembah,
selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, BagiNya kerajaan, bagiNya
pujian & Allah Maha Kuasa atas tiap sesuatu. Kami kembali, bertaubat,
beribadah, bersujud bagi Tuhan kami, lagi memujikan NYA. Allah membenarkan akan
janjiNya, menolong akan hambaNya & menghancurkan akan segala musuhNya
dengan sendiri Nya”. “Dan tiap-tiap sesuatu itu, binasa, selain zatNya. BagiNya
hukum dan kepadaNya dikembalikan kamu sekalian”. Maka seyogyalah dipakai sunnah
ini pada waktu kembali. Apabila telah mendekati dengan negerinya, maka
digerak-gerakkan kendaraannya, seraya membacakan: “Ya Allah Tuhanku ! jadikanlah
negeri ini bagi kami tempat ketetapan dan rezeki yang baik”.
Kemudian, mengutuskan kepada keluarganya, orang yang akan memberitahukan
kepada mereka dengan kedatangannya, supaya tidak ia datang kepada mereka secara
tiba-tiba. Begitulah sunnah Nabi. Dan tidak seyogyalah mengetok pintu
keluarganya pada waktu malam. Apabila memasuki kampungnya, maka hendaklah
pertama-tama menuju masjid dan hendaklah mengerjakan shalat 2 rakaat. Maka yang
demikian itu adalah sunnah ! begitulah diperbuat oleh Rasulullah saw. Apabila
ia masuk ke rumahnya, maka dibacakan:
“Aku bertaubat dan bertaubat, bagi Tuhan
kami, aku kembali yang tidak meninggalkan lagi dosa diatas kami”.
Apabila telah menetap di tempatnya, maka
tidak seyogyalah melupakan apa yang telah diberikan ni’mat oleh Allah
kepadanya, dengan menziarahi BaitNya, Tanah HaramNya dan kuburan NabiNya saw.
Lalu tertutup ni’mat itu dengan kembali kepada kelalaian, kelengahan dan
terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ma’siat. Maka tidaklah yang demikian itu tanda
hajji mabrur. Tetapi tanda hajji mabrur itu ialah zuhud di dunia, gemar akan
akhirat, mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Yang Punya Al-Bait/RUMAH,
setelah berjumpa dengan Al-Bait itu.
BAB KETIGA: mengenai adab-adab yang halus dan
amalan-amalan batin.
Penjelasan yang halus-halus bagi adab, yaitu: 10.
Pertama: bahwa adalah perbelanjaan itu harta halal
dan adalah tangan itu kosong dari perniagan yang membimbangkan hati dan yang mencerai-beraikan
cita-cita. Sehingga adalah cita-cita itu tertuju semata-mata bagi Allah Ta’ala
dan hati tenteram menuju kepada mengingati Allah Ta’ala serta mengagungkan
syiar-syiar agamaNya. Sesungguhnya diriwayatkan pada suatu hadits dari jalan
keluarga Nabi saw: “Apabila datang akhir zaman maka manusia keluar mengerjakan
hajji, terdiri dari 4 jenis: para sultan mereka
untuk istirahat, orang-orang kaya mereka untuk berniaga, orang-orang miskin
mereka untuk meminta-minta dan para ahli qiraat Alquran (qurra’) mereka untuk
didengar (dikenal) orang”.
Dalam hadits ini,
menunjukkan kepada sejumlah maksud keduniaan yang tergambar mempunyai hubungan
dengan hajji. Semuanya itu termasuk hal-hal yang mencegah keutamaan hajji dan
mengeluarkannya dari segi hajji khusus. Teristimewa lagi apabila ia mempunyai tujuan
tertentu dengan hajji itu sendiri, umpamanya ia berhajji untuk orang lain
dengan mendapat upah. Maka ia mencari dunia dengan amalan akhirat. Dan
sungguh tidak disenangi oleh orang-orang wara’ dan orang-orang yang berhati
suci akan yang demikian itu. Kecuali adalah tujuannya bermukim di Makkah dan ia
tidak mempunyai perbelanjaan yang menyampaikannya kesana. Maka tiada mengapa ia
mengambil yang demikian itu diatas maksud tadi. Tidak supaya ia sampai dengan
agama kepada dunia, tetapi dengan dunia kepada agama. Maka ketika itu,
seyogyalah tujuannya berziarah ke Baitullah Yang maha mulia & Maha besar
dan menolong saudaranya muslim dengan menyelesaikan yang fardlu daripadanya.
Dan dalam hal yang seperti ini, bersesuaianlah sabda Rasulullah saw: “Dimasukkan
oleh Allah swt dengan sekali hajji 3 orang ke dalam sorga: orang yang
meninggalkan wasiat untuk dihajjikan baginya, orang yang melaksanakan hajji itu
dan orang yang mengerjakan hajji, dimana dengan hajji tersebut, untuk
saudaranya”. Tidaklah aku mengatakan: bahwa tidak halal upah hajji atau
haramlah yang demikian sesudah ia melaksanakan fardlu Islam dari dirinya
sendiri. Tetapi yang lebih utama (al-aula), tidaklah diperbuat dan diambil yang
demikian itu untuk tempat mencari keuntungan dan perniagaan. Karena Allah yg
maha mulia & maha besar memberikan dunia dengan sebab agama dan tidak
memberikan agama dengan sebab dunia. Dalam hadits tersebut: “Dapat diumpamakan
orang yang berperang pada jalan Allah yg maha mulia & maha besar
(sabilullah) dan mengambil upah, seperti ibu Musa as yang menyusukan anaknya
dan mengambil upahnya”. Maka orang yang contohnya pada mengambil upah atas
hajji itu, seperti ibu Musa, maka tiada mengapa mengambilnya. Karena ia
mengambil supaya mungkin mengerjakan hajji dan berziarah padanya. Dan tidaklah
ia berhajji untuk mengambil upah, tetapi ia mengambil upah supaya ia
berhajji. Sebagaimana ibu Musa mengambil upah supaya memudahkan baginya
menyusukan, dengan menyamar keadaannya kepada mereka.
Kedua:
bahwa tidaklah menolong musuh-musuh Allah swt dengan menyerahkan uang yang
dikutip dari barang-barang tertentu, ketika dijual atau dimasukkan ke kota
(al-maks), dimana musuh-musuh itu menghalangi orang-orang ke Masjidil-haram,
yang terdiri dari amir-amir Makkah dan orang-orang badui yang mengintip di
jalan. Karena menyerahkan harta kepada mereka, adalah menolong kepada kezaliman
dan memudahkan sebab-sebab kezaliman itu kepada mereka. Maka itu adalah seperti
menolong dengan moral. Dari itu, maka hendaklah berlemah-lembut, berusaha
melepaskan diri. Kalau tidak sanggup, maka berkata sebahagian ulama: tidak
mengapa, disebabkan apa yang dikatakannya, bahwa meninggalkan berhajji sunat
dan kembali daripada meneruskan perjalanan, adalah lebih afdhal daripada
menolong orang-orang zalim. Karena itu adalah bid’ah (yang diada-adakan). Dan
mematuhi bid’ah (yang diada-adakan) itu, membuatnya nanti menjadi suatu sunnah
yang banyak terjadi. Dan padanya mengandung penghinaan dan anggapan kecil
kepada umat muslimin, dengan penyerahan pajak itu. Dan tak ada artinya
perkataan orang yang mengatakan: “bahwa yang demikian itu diambil daripadaku
dan aku terpaksa”. Karena kalau duduk ia di rumah atau kembali daripada
meneruskan perjalanan, niscaya tidak diambilkan daripadanya apa-apa. Bahkan
kadang-kadang kelihatan tanda-tanda kemewahan, maka bertambah banyaklah
tuntutan pembayaran itu. Sedang kalau ia dengan pakaian orang-orang miskin,
niscaya tidak akan diminta. Maka dia telah menghalau dirinya ke jalan keadaan
terpaksa yang menyulitkan.
Ketiga: membanyakkan perbekalan dan membaikkan hati
dengan pemberian dan perbelanjaan tanpa kikir dan royal, tetapi atas
penghematan (sederhana). Saya maksudkan dengan royal, ialah bersenang-senang
dengan makanan-makanan baik dan bermewah-mewah dengan meminum segala macam minuman,
menurut kebiasaan orang-orang yang royal. Adapun banyak pemberian, maka
tak ada keroyalan padanya, karena tiada
kebajikan pada keroyalan dan tiada keroyalan pada kebajikan, seperti yang
dikatakan orang. Dan memberikan perbekalan dalam perjalanan hajji, adalah
perbelanjaan pada jalan Allah ‘Azza Wa Jalla. Satu dirham, balasannya 700
dirham. Berkata Ibnu Umar ra: “Barangsiapa bermurah hati kepada seseorang,
niscaya baiklah perbekalannya didalam perjalanannya”. Dan adalah Ibnu Umra ra
mengatakan: “Orang hajji yang ter-afdhal, ialah yang niatnya paling ikhlas,
perbelanjaannya paling bersih dan keyakinan nya paling baik”. Bersabda Nabi
saw: “Hajji yang memperoleh kebajikan (hajji mabrur), tak ada baginya balasan
selain dari sorga”. Lalu orang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah !
apakah hajji yg kebajikan itu ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Perkataan yang baik
dan memberikan makanan”.
Keempat: meninggalkan
perbuatan rafats, fusuq dan pertengkaran (jidal), seperti yang diterangkan
Alquran.
Rafats nama yang meratai
bagi tiap-tiap yang sia-sia, keji dan jijik dari perkataan. Dan termasuk ke
dalamnya bersenda gurau & bermain-main dengan wanita & memperkatakan
tentang keadaan bersetubuh dan pendahuluan-pendahuluannya. Maka yang demikian
itu membangkitkan pemanggil bagi bersetubuh yang dilarang. Dan pemanggil kepada
yang dilarang adalah dilarang.
Fusuq: nama yang meratai
bagi tiap-tiap keluar daripada mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla.
Jidal: yaitu bersangatan
pada permusuhan dan pertengkaran, dengan apa yang menyebabkan mempusakai
kedengkian, mencerai-beraikan dalam seketika, akan cita-cita, dan meruntuhkan
kebaikan budi.
Berkata Sufyan: “Barangsiapa berbuat sia-sia, niscaya rusaklah
hajjinya”. Dan Rasulullah saw telah menjadikan perkataan yang baik serta
memberikan makanan, sebahagian daripada kebajikan hajji. Pertengkaran itu
meruntuhkan perkataan yg baik. Maka tidak wajarlah membanyakkan tantangan
kepada teman & untanya & kepada yg lain-lain daripada para sahabatnya.
Tetapi berlemah-lembutlah diri & merendahkan sayap kepada semua orang yang
berjalan menuju Baitullah ‘Azza Wa Jalla. Dan selalu berbaik budi. Dan tidaklah
kebaikan budi itu mencegah kesakitan, tetapi menanggung kesakitan. Orang
mengatakan: dinamakan perjalanan (safar) itu dengan perkataan safar (arti asli:
penyingkapan), karena dengan safar itu dapat menyingkap budi pekerti orang.
Karena itulah berkata Umar ra kepada orang yg mendakwakan bahwa dia mengenal
akan seseorang: “Adakah engkau temani dia dalam perjalanan (safar), yang
menunjukkan kepada kemuliaan budinya ?”. Menjawab orang itu: “Tidak !”. Maka
menjawab Umar ra: “Tidak aku melihat bahwa engkau mengenalinya !”.
Kelima:
bahwa hajji itu dilaksanakan dengan berjalan kaki, jika sanggup yang demikian.
Maka itulah yang lebih afdhal. Abdullah bin Abbas ra meninggalkan wasiat kepada
anak-anaknya ketika akan meninggal dengan mengatakan: “Wahai anak-anakku !
berhajjilah dengan berjalan kaki, karena bagi orang yang berhajji dengan
berjalan kaki, dengan tiap-tiap langkah yang dilangkahkannya, 700 kebajikan
daripada kebajikan-kebajikan Tanah Haram”. Orang menanyakan: “Apakah
kebajikan-kebajikan Tanah Haram itu ?”. Menjawab Abdullah ra: “Satu kebajikan
di Tanah Haram dibalasi dengan 100 ribu kebajikan”. Kesunatan berjalan kaki
pada melaksanakan segala manasik hajji dan bulak-balik dari Makkah ke tempat
wuquf dan ke Mina adalah lebih disunat-muakkadahkan pada jalan besar. Dan jika ditambahkan
kepada berjalan kaki itu akan ihram dari sekeliling tetangganya, maka
sesungguhnya ada ulama yang mengatakan bahwa yang demikian itu, sebahagian
daripada penyempurnaan hajji. Yang demikian itu, dikatakan oleh Umar, Ali dan
Ibnu Mas’ud ra dalam pengertian firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan
sempurnakanlah ibadah hajji dan ‘umrah karena Allah !. S 2 Al Baqarah ayat 196.
Berkata sebagian ulama, bahwa berkendaraan adalah lebih afdhal, karena
padanya perbelanjaan & perongkosan & lebih menjauhkan daripada tiada
kesukaan hati. Lebih mengurangkan kesakitan & lebih mendekatkan kepada
keselamatan & kesempurnaan hajjinya. Ini sebetulnya tiada menyalahi bagi
yang pertama diatas, tetapi sewajarnyalah diperinci & kata kan, bahwa orang
yang mudah berjalan kaki, maka berjalan itu adalah lebih afdhal. Kalau ia lemah
& dengan berjalan kaki itu membawa dia kepada rusak tubuhnya & teledor
daripada amalan, maka berkendaraan adalah lebih afdhal baginya. Seperti
berpuasa bagi orang musafir adalah lebih afdhal dan bagi orang sakit, selama
tidak membawa kepada kelemahan dan kerusakan tubuhnya.
Ditanyakan sebagian ulama tentang ‘umrah, apakah berjalan kaki padanya
atau menyewa keledai dengan sedirham. Maka menjawab ulama itu, bahwa jika
timbangan dirham lebih sukar kepadanya maka menyewa itu lebih afdhal daripada
berjalan kaki. Dan jika berjalan kaki lebih sukar kepadanya, seperti
orang-orang kaya, maka berjalan kaki adalah lebih afdhal baginya. Maka
seakan-akan ia berjalan padanya itu ke jalan perjuangan jiwa (mujahadah
annafs). Dan baginya boleh memilih, tetapi yang lebih afdhal baginya, berjalan
kaki dan menyerahkan dirham itu kepada kebajikan. Dan itulah yang lebih utama
daripada menyerahkannya kepada yang mempersewakan, sebagai ganti daripada
penghinaan dari hewan itu. Apabila dirinya tidak mampu untuk mengumpulkan
antara kesulitan diri dan kekurangan harta, maka apa yang telah disebutkan,
tidaklah jauh padanya dari kebenaran.
Keenam: bahwa
dia tidak berkendaraan melainkan diatas binatang kendaraan. Apapun
mahmal(binatang kendaraan) maka hendaklah dijauhkannya, kecuali apabila ia
takut dari binatang kendaraan itu, bahwa ia tidak dapat berpegang diatasnya,
karena sesuatu halangan. Dan pada penggunaan mahmal, ada dua pengertian:
pertama meringankan kepada unta yang dikendarai, karena mahmal itu
menyakitinya; kedua menjauhkan pakaian orang-orang yang mewah, lagi takabur.
“Rasulullah saw telah mengerjakan hajji diatas kendaraan dan adalah dibawahnya
pelana yang kusut dan kain tempat duduk yang buruk. Harganya 4 dirham. Dan Nabi
saw melaksanakan thawaf diatas kendaraan, supaya dilihat manusia kepada
petunjuknya dan tingkah lakunya”. Dan beliau bersabda: “Ambillah daripadaku
manasikmu”. Ada yang mengatakan, bahwa mahmal-mahmal itu didatangkan oleh orang-orang
hajji dan para ulama pada waktu itu menantang nya. Diriwayatkan oleh Sufyan
At-Tsuri dari ayahnya, bahwa ayahnya berkata: “Aku berangkat dari Kufah ke
Al-Qadisiah untuk hajji dan aku datang bersama teman-teman dari beberapa
negeri. Maka aku melihat orang hajji itu seluruhnya diatas binatang kendaraan,
tempat duduk dari bulu dan unta yang kuat untuk perjalanan jauh. Dan tiada aku
melihat dalam keseluruhan mereka, selain dari dua mahmal”. Dan adalah Ibnu Umar
apabila melihat apa yang diada-adakan oleh orang-orang hajji tentang pakaian
dan mahmal, lalu berkata: “Orang hajji itu sedikit dan kendaraan itu banyak”.
Kemudian ia memandang kepada seorang miskin, yang berkeadaan buruk, dibawahnya
tempat duduk dari bulu, lalu berkata: “Ini betul ia orang hajji”.
Ketujuh: bahwa
adalah ia berkeadaan buruk, kusut, berdebu, tiada berbanyak dengan perhiasan
dan tiada condong kepada sebab-sebab kesombongan dan berbanyak kebendaan. Lalu
ia terdaftar dalam buku orang-orang yang angkuh, lagi mewah. Dan keluarlah dia
dari golongan orang-orang yang lemah, miskin dan orang-orang shalih tertentu.
Telah disuruh Nabi saw dengan kusut dan menyembunyikan kemewahan dan
dilarangnya dari berni’mat-ni’mat dan bermewah -mewah pada hadits yang
dirawikan oleh Fadlalah bin ‘Ubaid. Pada suatu hadits, tersebut: “Sesungguhnya
orang hajji itu berkusut-kusut dan berdebu-debu”.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Lihatlah kepada orang-orang yang menziarahi
BaitKu, telah datang kepadaKu dengan berkusut-kusut, berdebu-debu dari segala penjuru
yang jauh”. Berfirman Allah Ta’ala: “Kemudian itu mereka hendaklah membersihkan
dirinya”. S 22 Al Hajj ayat 29. At-Tafats (pada ayat tadi): kusut dan berdebu.
Menghilangkannya ialah dengan bergunting, memotong kumis dan kuku. Umar bin
Al-Khattab ra menulis surat kepada para amir negeri-negeri: “Pakailah pakaian
yang buruk dan pakailah pakaian yang kasar dalam segala sesuatu !”.
Sesungguhnya ada ulama yang mengatakan, bahwa yang terlebih baik dari orang
hajji itu ialah penduduk Yaman. Karena mereka diatas cara merendahkan diri,
lemah lembut & mengikuti perjalanan ulama salaf. Maka seyogya lah
menjauhkan yang merah tentang pakaian khususnya & kemasyhuran, betapapun
adanya secara umum. Sesungguh nya diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw adalah dalam suatu
perjalanan, lalu sahabat-sahabatnya menempati suatu tempat. Maka unta kendaraan
terlepas, lalu Nabi saw melihat kepada pakaian-pakaian merah diatas
kendaraan-kendaraan itu, seraya bersabda: “Aku melihat kemerahan itu telah
menguasai atas kamu”. Berkata para sahabat: “Maka kami bangun pergi ke
kendaraan-kendaraan itu & kami buka pakaian-pakaiannya dari belakangnya,
sehingga sebahagian dari unta itu berlarian”.
Kedelapan:
bahwa berbelas kasihan kepada hewan. Maka tidaklah diperpikulkan kepada hewan
itu apa yang tidak disanggupinya. Dan mahmal adalah diluar dari batas
kesanggupannya & tidur diatas mahmal (binatang kendaraan) itu menyakiti dan
memberati bagi hewan. Dan adalah orang-orang wara’(menjaga diri) itu, tidak
tidur diatas hewan, kecuali tidur sebentar saja dari duduk. Dan mereka tiada
tidur diatas hewan-hewan kendaraan itu, pada waktu yang panjang.
Bersabda Nabi saw: “Janganlah kamu
mengambil belakang hewan-hewan kamu itu menjadi kursi”. Disunatkan turun dari
hewan kendaraan pada waktu pagi & sore, dimana ia memberikan kesenangan
kepada hewan dengan demikian.
Maka itu adalah
sunat & padanya terdapat banyak ucapan-ucapan dari ulama-ulama terdahulu.
Adalah sebahagian salaf menyewa binatang kendaraan, dengan syarat dia tidak
turun & menyempurnakan sewanya. Kemudian, dia turun daripadanya, supaya
dengan demikian itu, ia telah berbuat baik kepada hewan. Maka adalah itu dalam
amalan-kebaikan nya dan diletakkan dalam timbangannya, tidak dalam timbangan
orang yang mempersewakan. Tiap-tiap orang yang menyakiti hewan dan
memikulkannya apa yang tidak disanggupinya, niscaya ia dituntut dengan
perbuatannya itu pada hari kiamat. Berkata Abud-Darda’ kepada untanya ketika
mati: “Wahai unta! janganlah engkau mengadukan aku kepada Tuhanmu karena aku
tidak memikulkan beban akan kamu diatas kesanggupanmu!”
Kesimpulannya,
bahwa pada tiap-tiap hati itu terdapat lapangan pahala. Maka hendaklah dijaga
hak hewan, bersama hak orang yg mempersewa kannya. Dan pada waktu turun dari
kendaraan itu, adalah saat memberikan istirahat bagi hewan dan menyenangkan
hati bagi yang mempersewakan. Berkata seorang laki-laki kepada Ibnul-Mubarak:
“Tolonglah tuan bawakan kitabku ini bersama tuan, untuk tuan sampaikan ke sana
!”. Maka menjawab Ibnul-Mubarak: “Tunggulah saya bermusyawarah dahulu dengan
unta, karena saya telah menyewanya !”. Lihatlah, betapa wara’nya dengan membawa
kitab yang tidak berarti beratnya itu ? dan itu, adalah jalan berhati-hati
tentang wara’. Karena apabila dibuka pintu kesalahan untuk yang sedikit,
niscaya terbawa kepada kesalahan yang banyak, sedikit demi sedikit lama-lama
jadi bukit.
Kesembilan: bahwa mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala dengan menyembelih qurban, walaupun tidak wajib
atasnya. Dan berusaha benar yang diqurbankan itu, dari hewan yang gemuk dan
cantik. Dan hendaklah ia makan daripadanya, kalau qurban itu sunat. Dan tidak
ia makan daripadanya, kalau qurban itu wajib. Ada ulama yang mengatakan tentang
penafsiran firman Allah Ta’ala: “Begitulah (keadaannya). Dan siapa yang
memuliakan tanda-tanda suci –agama –Allah”. yaitu: menyembelih yang bagus dan
yang gemuk dari hewan yang diqurbankan itu. Membawa hewan yang akan dihadiahkan
untuk qurban itu dari miqat, adalah lebih afdhal, jika tidak memberatkan dan
menyusahkan kepadanya. Dan hendaklah ditinggalkan tawar-menawar pada
membelinya. Adalah mereka membeli mahal sampai 3 kali dan tidak menyukai
tawar-menawar, yang pada hewan itu hadiah, qurban dan pembebasan diri dari
dosa. Karena yang terlebih afdhal dari yang demikian itu, ialah yang terlebih
mahal harganya dan yang terlebih cantik pada yang mempunyainya.
Diriwayatkan oleh
Ibnu Umar: “Bahwa Umar ra mau menyembelih qurban seekor unta yang sangat baik.
Lalu diminta orang daripadanya, dengan harga 300 dinar. Maka Umar menanyakan
Rasulullah saw untuk menjualnya dan membelikan dengan harganya itu, beberapa
ekor unta yang lain. Nabi saw melarang Umar dari yang demikian itu, seraya
bersabda: “Tetapi hadiahkanlah untuk qurban unta yang sangat baik itu !”. Itu
adalah, karena sedikit yang baik adalah lebih bagus dari banyak yang buruk. Dan
pada 300 dinar itu, menyamai nilai 30 ekor unta lain dan padanya itu terdapat
banyak daging. Tetapi tidaklah dimaksudkan daging. Yang dimaksudkan
sesungguhnya, ialah membersihkan dan mencucikan jiwa dari sifat kikir dan
menghiasinya dengan kecantikan pengagungan bagi Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka
tidaklah disampaikan kepada Allah, daging dan darahnya, tetapi disampaikan
kepadaNya taqwa daripada kamu. Dan yang demikian itu, berhasil dengan menjaga
kecantikan pada nilainya, banyak bilangannya atau sedikit.
“Ditanyakan Rasulullah saw: “Apakah kebajikan
hajji itu ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Al-‘ajju wa ts-tsajju”. Al ‘ajju: yaitu
meninggikan suara dengan talbiah/doa-doa (membacakan: Labbaika Allaahumma
labbaik). Ats-tsajju: yaitu menyembelihkan qurban dengan unta. Diriwayatkan
oleh ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tiadalah amalan anak Adam pada
hari raya hajji (hari nahar), yang lebih dikasihi Allah ‘Azza Wa Jalla,
daripada menyembelih qurban. Karena itu akan datang pada hari kiamat dengan
tanduk dan kukunya. Dan darahnya itu jatuh diterima daripada Allah yg maha
mulia & maha besar pada suatu tempat, sebelum jatuh di bumi. Maka
baikkanlah dengan dia akan dirimu !”. Dalam hadits, tersebut: “Bagimu dengan
tiap-tiap helai bulu dari kulitnya, kebajikan. Dan tiap-tiap titik dari
darahnya kebaikan. Dan sesungguhnya qurban itu akan diletakkan dalam neraca,
maka gembiralah!”. Bersabda Nabi saw: “Minta tolonglah dengan hadiah (qurban)
kamu, karena dia adalah binatang kendaraanmu pada hari kiamat”.
Kesepuluh: bahwa ia baik hati
dengan apa yang dibelanjakannya, dari perbelanjaan dan hadiah dan dengan apa
yang menimpa dirinya, dari kerugian dan bencana, pada harta atau badan, kalau
tertimpa yang demikian itu kepadanya. Karena yang demikian, adalah sebahagian
dari tanda-tanda hajjinya diterima (maqbul). Maka sesungguhnya bencana dalam
perjalanan hajji, adalah menyamai dengan perbelanjaan pada sabilullah Azza Wa
Jalla:: satu dirham dengan 700 dirham. Dan itu adalah menyamai dengan
kesulitan-kesulitan pada jalan jihad. Maka baginya dengan tiap-tiap
kesengsaraan yang dideritainya dan kerugian yang menimpanya, memperoleh pahala.
Maka tiadalah tersia-sia daripadanya sesuatu pada sisi Allah Yang Maha Mulia
& Maha Besar. Dan dikatakan pula bahwa sebahagian dari tanda hajji diterima,
ialah meninggalkan segala perbuatan maksiat yang ada padanya, menggantikan
teman-temannya yang salah dengan teman-temannya yang shalih dan tempat-tempat
permainan dan kelalaian dengan tempat-tempat dzikir dan kesadaran.
PENJELASAN: tentang amalan-amalan batin, cara
ikhlas pada niat, jalan mengambil ibarat dengan pemandangan-pemandangan yang
mulia, cara berpikir padanya, mengingati segala rahasia & pengertiannya
dari permulaan hajji sampai dengan kepada penghabisannya.
Ketahuilah, bahwa permulaan hajji itu,
ialah pemahaman, ya’ni: memahami kedudukan hajji dalam agama. kemudian, rindu
kepadanya. Kemudian, bercita-cita kepadanya. Kemudian, memutuskan segala
hubungan yang mencegah daripadanya. Kemudian, membeli kain ihram, kemudian,
membeli perbekalan, kemudian menyewa kendaraan, kemudian keluar. Kemudian,
berjalan melewati kampung-kampung. Kemudian, melakukan ihram dari miqat dengan
mengucapkan doa-doa. Kemudian, memasuki Makkah. Kemudian, menyempurnakan segala
perbuatan hajji sebagaimana telah diterangkan dahulu. Pada tiap-tiap satu dari
semua keadaan ini, mengandung peringatan bagi orang yang mengingati diri,
mengandung ibarat bagi orang yang mengambil ibarat, pemberitahuan bagi murid
yang benar, perkenalan dan suatu isyarat bagi orang yang cerdik. Maka hendaklah
kami berikan tanda kepada kunci-kuncinya, sehingga apabila terbuka pintunya dan
dikenali sebab-sebabnya, niscaya terbukalah bagi setiap orang hajji segala rahasianya, akan apa yang dikehendaki
oleh kebersihan hati, kesucian batin dan kebanyakan pemahamannya.
Adapun pemahaman,
maka ketahuilah, bahwa tiada sampai kepada Allah swt, selain dengan
membersihkan diri dari segala hawa nafsu, mencegah diri dari segala kesenangan,
meringkaskan kepada yang penting-penting padanya, menjuruskan kepada Allah swt
dalam segala gerakan dan ketetapan. Dan karena inilah, mengasingkan diri
kaum-kaum keagamaan pada agama-agama yang terdahulu, dari manusia ramai dan
mengambil tempat dicela-cela bukit, memilih penjauhan diri dari makhluk, untuk
mencari kejinakan hati dengan Allah yg maha mulia & maha besar. Lalu mereka
meninggalkan karena Allah yg maha mulia & maha besar, segala kesenangan
yang sekarang dan mengharuskan dirinya bersungguh‑sungguh yang berat,
karena mengharap di akhirat. Dipuji Allah yg maha mulia & maha besar akan
mereka ini dalam KitabNya. Maka tatkala telah terbenam yang demikian dan
manusia menghadapkan diri kepada mengikuti hawa nafsu, meninggalkan penjurusan
diri untuk beribadah kepada Allah yg maha mulia & maha besar dan mereka
lesu daripadanya, maka diutus oleh Allah yg maha mulia & maha besar akan
NabiNya Muhammad saw untuk menghidupkan kembali
jalan akhirat, memperbarui sunnah rasul-rasul dalam perjalanannya.
Maka ditanyakan
pada Nabi saw oleh pemeluk agama-agama yang lalu, tentang peribadatan dan perjalanan
dalam agamanya lalu Nabi saw menjawab: “Digantikan kepada kita oleh Allah dari
agama-agama itu, dengan jihad dan takbir diatas tiap-tiap tempat tinggi”,
ya’ni: hajji. “Ditanyakan pada Nabi saw tentang orang-orang yang berjalan
diatas bumi untuk ibadah, maka menjawab Nabi: mereka itu ialah orang-orang yang
berpuasa”. Maka diberikan ni’mat oleh Allah yg maha mulia & maha besar
kepada umat ini, dengan menjadikan hajji peribadatan bagi mereka. Lalu
dimuliakanNya Rumah Lama itu, dengan disandarkan kepada diri Allah Ta’ala dan
ditegakkanNya menjadi tempat yang ditujukan oleh segala hambaNya. Dan
dijadikanNya di sekeliling Rumah itu tanah haram bagi BaitNya, karena
pengagungan bagi SuruhanNya. DijadikanNya ‘Arafah seperti pancuran diatas
halaman kolamNya, dikuatkanNya penghormatan tempat dengan mengharamkan binatang
buruan dan kayu-kayuannya. DiletakanNya tempat itu diatas, seumpama di hadapan
raja-raja, yang ditujukan oleh pengunjung-pengunjung dari setiap penjuru yang
jauh dan dari setiap tempat kembali yang jauh, dalam keadaan kusut-musut,
berdebu, yang merendahkan diri (bertawadlu’) bagi Yang Mempunyai Al-Bait, yang
berketetapan diri bagiNya, karena tunduk bagi kebesaranNya, berketetapan hati
bagi kemuliaanNya, serta pengakuan dengan kesucianNya, daripada dilingkungiNya
oleh sesuatu rumah (bait) atau diliputiNya oleh sesuatu negeri. Supaya adalah
yang demikian itu lebih mendalam pada kehambaan dan memperhambakan diri mereka
kepadaNya. Dan lebih sempurna pada keyakinan dan kepatuhan mereka. Dan karena
itulah, ditugaskan kepada mereka padanya beberapa amal perbuatan, yang tidak disukai oleh diri dan tidak mendapat petunjuk
kepada pengertiannya, oleh akal pikiran: seperti
melemparkan jamrah-jamrah dengan butir-butir batu, bulak-balik diantara
Ash-Shafa’ dan Al-Marwah secara berulang-ulang. Dan dengan seumpama segala amal
perbuatan ini, kelihatanlah kesempurnaan kehambaan dan perhambaan diri.
Sesungguhnya zakat itu mengandung
belas-kasihan dan caranya dapat dipahami. Dan bagi akal pikiranpun ada
kecondongan kepadanya. Dan puasa adalah menghancurkan hawa nafsu, yang menjadi
alat bagi musuh Allah. Dan yang menyelesaikan diri bagi ibadah, dengan mencegah
diri dari segala yang mengganggu kan hati. Ruku’ dan sujud pada shalat, adalah
merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, dengan segala
perbuatan, dimana dia itu adalah cara merendahkan diri. Dan bagi jiwa ada
keinginan untuk mengagungkan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar.
Adapun bulak-balik bagi sa’i,
pelemparan jamrah-jamrah dan segala amal perbuatan yang seperti itu, maka tidak
adalah keuntungan bagi jiwa, tidaklah menarik bagi tabiat manusia padanya dan
tidaklah petunjuk bagi akal pikiran kepada segala pengertiannya. Maka tidaklah
adalah pada menghadapinya penggerak, selain suruhan semata-mata dan tujuan
mengikuti bagi amar/suruhan ini, dimana ia itu adalah amar wajib untuk diikuti
semata-mata. Padanya disingkirkan akal daripada penggunaannya, dipalingkan jiwa
dan tabiat diri dari tempat kesukaannya. Maka sesungguhnya tiap-tiap sesuatu
yang diketahui oleh akal akan pengertiannya, niscaya condonglah tabiat diri
kepadanya menurut masing-masing tingkat kecondongan itu. Sehingga adalah
kecondongan itu menolong, bagi amar dan penggerak bersamanya kepada perbuatan.
Maka hampirlah tidak nyata dengan itu kesempurnaan kehambaan dan kepatuhan.
Karena itulah bersabda Nabi saw mengenai hajji khususnya: “Aku terima panggilan dengan hajji sebagai perhambaan dan
kehambaan yang sebenarnya”. Dan tidak
dikatakan oleh Nabi saw yang demikian mengenai shalat & lainnya. Apabila
menghendaki hikmah Allah swt mengikatkan kelepasan makhluk dengan adanya amal
perbuatan mereka menyalahi dengan keinginan tabiat dirinya & adanya
genggaman amal-perbuatan itu di tangan agama, maka ragulah hati mereka tentang
segala amal-perbuatannya diatas sunnah kepatuhan & diatas kehendak
perhambaan. Dan sesuatu yang tidak memperoleh petunjuk kepada pengertiannya
adalah menjadi bermacam-macam peribadatan yang lebih mendalam pada penyucian
jiwa, memalingkannya daripada kehendak tabiat diri & budi pekerti kepada
kehendak perhambaan. Apabila telah dapat memikirkan ini, niscaya anda sudah
memahami, bahwa keta’juban diri kepada segala perbuatan yang mengherankan ini, sumbernya adalah kedunguan daripada segala rahasia
peribadatan. Dan sekedar ini, mencukupilah mengenai pemahaman pokok
hajji Insya-Allah Ta’ala.
Adapun kerinduan: maka ia menonjol sesudah pemahaman dan keyakinan,
bahwa RUMAH itu RUMAH ALLAH yang maha mulia & maha besar. Dan bahwa dia
diletakkan diatas seumpama dihadapan raja-raja, maka ia ditujukan oleh orang
yang menuju kepada Allah yg maha mulia & maha besar dan yang berziarah
kepadaNya. Dan bahwa orang yang menuju Al-Bait/rumah didunia, wajarlah bahwa
tidak menyia-nyiakan kunjungan nya itu. Maka dianugerahilah maksud dari
kunjungannya itu pada hari kembali yang ditentukan baginya. Yaitu memandang
kepada wajah Allah Yang Maha Mulia pada negeri ketetapan, dimana mata yang
pendek lagi fana’ dinegeri dunia tidak mengadakan persiapan, untuk menerima
cahaya pandangan kepada wajah Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Dan tidak
sanggup menanggungnya. Dan tidak bersedia untuk bercelak dengan dia karena
pendeknya mata itu. Dan bahwa mata tadi, kalau ditolong di negeri akhirat
dengan kekekalan dan dibersihkan dari segala sebab perobahan dan kebinasaan,
niscaya bersedialah dia untuk memandang dan melihat. Tetapi dengan bermaksud ke
Al-Bait dan memandang kepadanya, niscaya berhaklah dia bertemu dengan Yang
Mempunyai Al-Bait (Rabbul-Bait = Tuhan pemilik rumah) dengan hukum perjanjian
yang mulia. Maka kerinduan kepada menjumpai Allah Yang Maha Mulia & Maha
Besar, tidak mustahil merindukannya kepada sebab-sebab pertemuan itu. Ini serta
yang mencintai itu merindukan dengan seluruh yang ada padanya kepada kecintaan
nya secara penyadaran. Dan Bait itu disandarkan kepada Allah Yang Maha Mulia
& Maha Besar, maka wajarlah dirindukan karena semata - mata penyandaran
ini, lebih-lebih lagi mencari untuk memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya
dari pahala yang banyak.
Adapun ‘azam/niat, maka hendaklah
diketahui bahwa dengan niatnya itu, bermaksud kepada bercerai dengan keluarga
dan tanah air, meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan, menghadapkan diri kepada
berziarah ke Baitullah ‘Azza Wa Jalla (rumah yang maha mulia & maha besar).
Dan hendaklah mengagungkan didalam jiwanya akan kedudukan Al-Bait dan kedudukan
Yang Mempunyai Al-Bait/Rumah. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa ia telah
berniat kepada sesuatu yang tinggi kedudukannya, penting keadaannya. Dan
sesungguhnya, barangsiapa mencari yang agung, niscaya terguris didalam hatinya dengan keagungan itu. Dan hendaklah ia menjadikan azam/niatnya dengan
ikhlas bagi wajah Allah swt semata-mata, jauh dari segala campuran ria’ dan
ingin didengar orang. Dan hendaklah ia meyakini bahwa tidak diterima orang yang
bermaksud dan beramal kepadaNya selain dengan ikhlas semata-mata
karenaNya.
Dan sesungguhnya,
sebagian dari yang paling keji dari segala yang keji, ialah menuju ke Baitullah
dan tanah haramNya, sedangkan maksud yang sebenarnya, adalah lain. Maka
hendaklah ia membetulkan serta jiwanya akan niat dan membetulkannya itu, adalah
dengan ikhlas. Dan ikhlas itu, adalah dengan menjauhkan segala sesuatu, yang
ada padanya ria dan sum’ah (didengar orang). Maka hendaklah waspada, untuk
menggantikan yang kurang, dengan yang baik.
Adapun memutuskan
segala hubungan maka maksudnya, ialah mengembalikan segala hak orang yang
diperoleh secara tidak shah (al-madhalim) dan bertaubat yang sebenar-benarnya
kepada Allah Ta’ala dari segala perbuatan ma’siat. Tiap-tiap kedhaliman itu,
ada sangkutan. Tiap-tiap sangkutan itu, adalah seumpama orang yang berhutang,
yang hadir, yang digantungkan, dengan kain yang terikat pada lehernya, yang
dipanggil dan ditanyakan: “Kemana hendak saudara menghadap ?. Adakah saudara
bermaksud ke rumah Raja-diraja, sedangkan saudara menyia-nyiakan perintahNya di
tempat saudara ini, melecehkan dan melengahkannya ? atau tidak malukah saudara
datang kepadaNya sebagai datangnya hamba yang durhaka, lalu ditolakNya
kedatangan saudara dan tidak diterimaNya saudara ? kalau saudara ingin supaya
diterima kunjungan saudara, maka laksanakanlah perintah-perintahNya, kembalikanlah segala hak orang dan bertaubatlah kepadaNya, pertama-tama dari segala
perbuatan maksiat ! dan putuskanlah hubungan hati saudara daripada berpaling ke
belakang saudara ! supaya saudara berhadapan kepadaNya dengan wajah hati
saudara, sebagaimana saudara berhadapan kepada BaitNya dengan wajah zahiriah
saudara. Kalau tidak saudara kerjakan demikian, maka yang pertama-tama tidak
adalah bagi saudara dari perjalanan saudara itu, selain daripada kepayahan
& kesengsaraan. Dan penghabisannya, tidak ada, selain daripada terusir
& tertolak. Dan hendaklah memutuskan hubungan dengan tanah air, selaku
pemutusan orang yg memutuskan daripadanya. Dan mengumpamakan bahwa dia tidak
kembali lagi & hendaklah menuliskan wasiat kepada anak-anak dan
keluarganya. Maka sesungguhnya orang yang berjalan jauh (bermusafir) &
hartanya adalah didalam bahaya, kecuali orang yang dipeliharai Allah swt.
Dan hendaklah
mengingati ketika memutuskan segala hubungan karena perjalanan hajji, akan
pemutusan segala hubungan karena bermusafir ke akhirat. Karena bermusafir yang
demikian itu, adalah di hadapannya dalam masa dekat. Dan apa yang
dikemukakannya dari perjalanan ini, adalah mengharapkan pada memudahkan
perjalanan itu. Maka perjalanan itu adalah tempat ketetapan & kepadanya
tempat kembali. Maka tidak wajarlah melalai kan diri daripada perjalanan itu,
ketika mempersiapkan diri dengan perjalanan ini !
Adapun perbekalan:
maka hendaklah dicarinya dari tempat yang halal.
Apabila ia merasa dari dirinya, akan kerakusan kepada memperbanyakkannya dan
mencari apa yang masih tinggal daripadanya di sepanjang perjalanan, tiada
berobah dan tiada rusak yang demikian, sebelum sampai kepada yang dimaksud,
maka hendaklah ia ingat bahwa perjalanan akhirat adalah lebih panjang daripada
perjalanan ini. Dan perbekalannya ialah: taqwa. Selain daripadanya, dari
sesuatu yang disangka bahwa itu perbekalan. Adalah ditinggalkan ketika mati dan
akan mengkhianatinya. Maka tidaklah tetap bersamanya, seumpama makanan basah
yang busuk pada permulaan tempat persinggahan dari perjalanan. Maka tetaplah
waktu diperlukan, ia keheranan yang memerlukan kepada sesuatu, yang tak ada
daya baginya. Maka hendaklah ia waspada, akan segala amal perbuatannya, yang
menjadi perbekalannya ke akhirat, tidak menyertai nya sesudah mati. Bahkan
dirusakkannya, oleh segala campuran ria dan kekotoran kelengahan.
Adapun kendaraan:
apabila telah dipunyainya, maka hendaklah bersyukur kepada Allah dengan
hatinya, diatas anugerah Allah yg maha mulia & maha besar kepadanya, hewan
itu, yang akan menanggung kesakitan lantaran dia dan dia akan memperoleh
keringanan kesengsaraan ! dan hendaklah ia teringat akan kendaraan padanya,
yang akan dikendarainya ke negeri akhirat, yaitu
janazah, dimana ia dibawa didalam janazah itu. Dan sesungguhnya
urusan hajji adalah termasuk segi yang mengimbangi urusan perjalanan ke
akhirat. Dan hendaklah ia memperhatikan, adakah layak perjalanannya diatas
kendaraan itu supaya menjadi perbekalan baginya, bagi perjalanan itu diatas
kendaraan tersebut? alangkah dekatnya itu kepada dirinya, dimana dia tidak
mengetahui, kemungkinan mati itu amat dekat ! dan kendaraannya janazah, adalah
sebelum kendaraannya unta. Kendaraan janazah itu diyakini dan kemudahan
sebab-sebab perjalanan diragukan. Maka bagaimanakah berhati-hati tentang
sebab-sebab perjalanan yang diragukan itu dan menampakkan perbekalan dan
kendaraan serta melengahkan urusan perjalanannya yang diyakini itu ?
Adapun pembelian
dua potong kain ihram: maka hendaklah ia ingat padanya akan kain kafan dan
ia terbungkus dengan kain kafan itu. Sesungguhnya ia akan berselendang dan
bersarung dengan dua helai kain ihram, ketika mendekati Baitullah ‘Azza Wa
Jalla. Kadang-kadang tidak sempurna perjalanannya kesitu dan dia akan bertemu
dengan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, tidak mustahil dalam keadaan
terbungkus dalam kain kafan itu. Maka sebagaimana dia tidak bertemu dengan
Baitullah ‘Azza Wa Jalla (Rumah Yang Maha Mulia & Maha Besar) selain dalam
keadaan yang menyalahi kebiasaannya, dalam hal pakaian dan bentuk, maka
begitulah pula, dia tidak menjumpai Allah yg maha mulia & maha besar
sesudah mati, melainkan dalam pakaian yang berbeda dengan pakaian duniawi. Dan
pakaian ini mendekati dengan pakaian itu, karena tak ada padanya jahitan,
sebagaimana kain kafan.
Adapun keluar dari kampung; maka
hendaklah diketahui padanya, bahwa itu telah berpisah dengan keluarga dan tanah
air, menghadapkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, dalam
suatu perjalanan yang tidak menyerupai dengan perjalanan-perjalanan duniawi.
Maka hendaklah ia mencamkan didalam hatinya, bahwa apa yang dikehendakinya,
kemana ditujukannya dan menziarahi siapa yang dimaksudkannya. Bahwa ia
menghadap ke hadapan Raja-diraja dalam jama’ah para pengunjung yang
mengunjungiNya, dimana mereka itu dipanggil, lalu menyahut, dirindukan, lalu
merindu kan, diminta bangun, lalu bangun, memutuskan segala ikatan, bercerai
dengan segala makhluk dan menghadapkan diri ke Baitullah ‘Azza Wa Jalla(Rumah
Yang Maha Mulia & Maha Besar), yang agunglah perintahNya, yang Maha
Besarlah keadaanNya, dan Maha Tinggilah kedudukanNya, merasa gembira bertemu
dengan Al-Bait, bertemu dengan Yang Mempunyai Al-Bait, sampai mereka itu
dianugerahi cita-citanya yang terakhir dan merasa berbahagia memandang kepada
Yang Maha Menguasai mereka. Dan hendaklah mencamkan didalam hatinya, akan
harapan sampai dan diterima, tidak oleh karena ditunjukkan dengan segala amal
perbuatannya dalam keberangkatan, berpisah dengan keluarga dan harta, tetapi
karena kepercayaan dengan kurnia Allah yg maha mulia & maha besar dan
harapan terlaksana janjiNya kepada siapa yang mengunjungi Al-BaitNya. Dan
hendaklah ia mengharap bahwa jika ia tidak sampai kepadanya & didapati oleh
kematian dalam perjalanan, niscaya ia bertemu dengan Allah Yang Maha Mulia
& Maha Besar dimana ia datang kepadaNya, karena berfirman Allah Yang Maha
Agung: “Siapa yang keluar dari rumahnya, sengaja hendak pindah kepada Allah &
RasulNya, lalu ditimpa kematian, sesungguhnya dia beroleh pahala dari Allah”. S4
An Nisaa’ ayat100
.
Adapun masuk kampung sampai ke miqat dan mempersaksikan segala
rintangan: maka hendaklah ia ingat padanya, akan apa diantara keluar dari dunia
dengan mati, sampai ke miqat hari kiamat dan apa yang ada diantara keduanya
itu, dari berbagai macam kehuru-haraan dan tuntutan-tuntutan ! dan hendaklah ia
ingat dari kehuru-haraan penyamun-penyamun di jalan, akan kehuru-haraan
pertanyaan Munkar dan Nakir. Dan dari binatang-buas kampung-kampung yang
dilalui dalam perjalanan hajji, akan kalajengking kuburan, ulat-ulatnya dan apa
yang ada didalamnya, dari ular-ular besar dan ular-ular biasa. Dan dari
terasingnya dengan keluarga dan kerabatnya, akan kesepian kubur, kesengsaraan
dan kesendiriannya. Dan hendaklah ia didalam segala ketakutan ini, dalam segala
perbuatan dan perkataannya menjadi perbekalan bagi segala ketakutan didalam
kubur.
Adapun ihram dan talbiah/doa-doa dari miqat (tempat permulaan
berangkat): maka hendaklah diketahui, bahwa maksudnya, ialah menyambut
panggilan Allah Azza Wa Jalla(Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar), maka
haraplah semoga anda diterima dan takutlah akan dikatakan kepadamu: tak ada
doa-doamu dan tak ada kebahagiaan bagimu ! maka hendaklah kamu yang ragu
diantara harap dan takut, melepaskan diri dari daya dan upayamu dan bersandar
kepada kurnia dan kemurahan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Bahwa waktu
doa-doa adalah permulaan urusan dan itu adalah tempat bahaya. Berkata Sufyan
bin ‘Uyaynah: “Ali bin Al-Hussain ra mengerjakan hajji. Maka tatkala ia
mengerjakan ihram & kendaraannya bersiap untuk berangkat, lalu ia pucat
& berkeringat & gemetar seluruh badannya, sehingga ia tidak sanggup
membacakan doa-doa.
Maka orang bertanya kepadanya: “Mengapakah
tidak membaca talbiah/doa-doa ?”.
Ia menjawab: “Aku takut dikatakan kepadaku:
tak ada talbiah/doa-doamu dan tak ada kebahagiaan bagimu !”.
Maka tatkala ia membaca talbiah/doa-doa,
lalu pening dan jatuh dari kendaraannya. Dan senantiasalah ia mengalami
demikian sehingga habis hajjinya.
Berkata Ahmad bin Abil-Hawari: “Aku berada bersama Abi Sulaiman
Ad-Darani ra ketika ia hendak melakukan ihram. Ia tidak membaca doa-doa sampai
kami berjalan satu mil jauhnya. Maka ia diserang pening, kemudian ia sembuh,
seraya ia berkata: “Wahai Ahmad ! bahwa Allah swt menurunkan wahyu kepada Musa
as: “Suruhlah orang-orang yang zalim dari Bani Israil, supaya menyedikitkan
menyebut Aku (berdzikir kepadaKu). Maka sesungguhnya Aku akan menyebut orang
yang menyebutkan AKU dari mereka, dengan kutuk ! “Celakalah, wahai Ahmad, telah
sampai kepadaku, bahwa orang yang mengerjakan hajji daripada bukan harta yang halal, kemudian ia membaca
talbiah/doa-doa, niscaya Allah yg maha mulia & maha besar berfiman: “Tak
ada doa-doamu dan tak ada kebahagiaan bagimu, sehingga engkau kembalikan apa
yang didalam tanganmu ! maka kami tidak merasa tenteram, akan dikatakan kepada kami
yang demikian itu !”. Dan hendaklah diingati oleh orang yang membaca
talbiah/doa-doa, ketika meninggikan suara dengan talbiah/doa-doa pada miqat,
akan sambutannya seruan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, karena IA
berfirman: “Dan permaklumkanlah kepada manusia itu buat mengerjakan hajji”. S
22 Al Hajj ayat 27. Dan panggilan makhluk dengan peniupan sangkakala,
pengumpulan mereka dari kuburan dan berdesakan mereka ke lapangan kiamat,
menyambut seruan Allah swt, dimana mereka terbagi kepada: orang-orang
muqarrabin/orang-orang mendekatkan diri kepada Allah dan orang-orang yg
tercela, orang-orang yang diterima dan yang ditolak dan orang-orang yang ragu
pada permulaan keadaan antara takut dan harap, sebagaimana ragunya orang yang
mengerjakan hajji pada miqat, dimana mereka tidak mengetahui, adakah mudah bagi
mereka menyempurnakan hajji dan diterimanya hajji itu atau tidak.
Adapun memasuki Makkah: maka hendaklah ia ingat padanya bahwa ia telah
sampai ke Tanah-Haram kepunyaan Allah Ta’ala dengan aman. Dan hendaklah ia
mengharap padanya, bahwa ia aman dengan masuknya itu dari siksaan Allah Yang
Maha Mulia & Maha Besar. Dan hendaklah ia takut, bahwa ia tidak berhak
untuk mendekati, sehingga dengan masuknya ke Tanah Haram itu, adalah merugi dan
mustahak (yang layak dimiliki akan celaan). Dan hendaklah harapannya dalam
segala waktu itu, yang menang. Maka kemurahan itu meratai dan Tuhan itu amat
penyayang. Kemuliaan Al-Bait itu agung dan hak orang yang berziarah dipelihara.
Dan pegangan bagi yang meminta perlindungan, yang berlindung itu, tidak
disia-siakan.
Adapun jatuh pandangan ke Al-Bait: maka
seyogyalah timbul padanya, keagungan Al-Bait didalam hati dan mengumpamakan,
seakan-akan melihat Yang Mempunyai Al-Bait, karena sangat pengagungannya akan
Al-Bait. Dan haraplah, bahwa engkau akan dikuniai oleh Allah Ta’ala memandang
kepada wajahNya yang Maha Mulia, sebagaimana dikurniai akan engkau oleh Allah,
memandang kepada Al-BaitNya yang agung. Dan bersyukurlah kepada Allah Ta’ala,
dengan disampaikanNya engkau kepada tingkat ini dan diperhubungkanNya engkau
dengan rombongan orang-orang yang datang kepadaNya.
Dan ingatlah ketika itu akan terkumpulnya manusia pada hari kiamat ke
arah sorga, yang bercita-cita seluruhnya untuk memasukinya. Kemudian mereka itu
terbagi kepada: orang-orang yang diizinkan masuk dan yang disuruh pergi,
sebagaimana terbaginya orang hajji, kepada: yang diterima dan yang ditolak
! yang janganlah engkau lalai, daripada mengingati akan segala urusan akhirat,
pada sesuatu yang engkau lihat ! karena segala keadaan orang yang mengerjakan
hajji itu, menunjukkan kepada hal-ihwal akhirat.
Adapun thawaf di Al-Bait, maka ketahuilah bahwa thawaf itu adalah
shalat. Dari itu maka hadirkanlah ke dalam hatimu akan keagungan, takut, harap
dan cinta, segala apa yang telah kami uraikan pada “Kitab Shalat” dahulu !. Dan
ketahuilah, bahwa engkau dengan thawaf itu, menyerupai dengan para malaikat yg
mendekati Allah (al-muqarrabin), yang mengelilingi dikeliling ‘Arasy, berthawaf
kelilingnya ! dan janganlah engkau menyangka bahwa yang dimaksud, ialah: thawaf
tubuhmu dengan Al-Bait itu. Tetapi yang
dimaksud ialah: thawaf hatimu dengan
mengingati Yang Mempunyai Al-Bait (Rabbul-Bait). Sehingga engkau tidak memulai
ingatan, melainkan daripadaNya dan tidak engkau menyudahi melainkan dengan Dia,
sebagaimana engkau memulai thawaf daripada Al-Bait dan engkau menyudahi dengan
Al-Bait. Ketahuilah, bahwa thawaf yang mulia, ialah: thawaf hati dengan hadirat
rububiyah (hadirat ketuhanan). Dan Al-Bait itu suatu contoh zhahir/tubuh di
alam nyata (‘alamul-mulk) bagi hadirat itu, yang tidak dapat disaksikan dengan
mata, yaitu ‘alamul-malakut”. Sebagaimana tubuh adalah contoh zhahir/tubuh
dalam alam penyaksian (‘alamusy-syahadah) bagi hati, yang tidak dapat disaksikan
dengan mata, yaitu: pada alam yang tidak dapat dipersaksi kan dengan mata
(‘alamul-ghaib). Dan bahwa ‘alamul-mulk dan ‘alamusy-syahadah, adalah tempat
masuk ke ‘alamul-ghaib dan ‘alamul-malakut, bagi orang yang dibukakan oleh Allah pintu baginya. Dan kepada
perbandingan ini, terjadilah isyarat, bahwa Al-Baitul-Ma’mur di langit itu,
adalah seimbang dengan Al-Ka’bah. Maka thawaf para malaikat dengan
Al-Baitul-Ma’mur, adalah seperti thawafnya umat manusia dengan Al-Bait ini
(Baitullah).
Tatkala kuranglah derajat kebanyakan makhluk daripada thawaf yang
seperti itu, maka disuruh mereka menyerupakan dengan para malaikat itu sedapat
mungkin. Dan kepada mereka dijanjikan, bahwa siapa yang menyerupai dengan
sesuatu golongan, maka ia termasuk golongan itu. Dan orang yang sanggup
melakukan seperti thawaf itu, ialah yang dikatakan: bahwa Ka’bah menziarahinya
dan berthawaf dengan dia, menurut apa yang dilihat oleh sebahagian ulama kasyaf
dari sebahagian aulia Allah swt.
Adapun mencium Hajarul-aswad (al-istilam), maka percayalah padanya bahwa engkau
berbuat janji (bai’ah) dengan Allah yg maha mulia & maha besar untuk
mentaatiNya. Maka teguhkanlah cita-citamu, pada menyempurnakan bai’ahmu/janjimu
itu. Dan siapa yang mungkir dari bai’ah, niscaya berhaklah kena celaan.
Sesungguhnya diriwayatkan oleh ‘Abbas ra dari Rasulullah saw bahwa Nabi
bersabda: “Hajar-aswad itu tangan kanan Allah yg maha mulia & maha besar di
bumi. Dengan tangan itu. Ia berjabatan tangan dengan makhlukNya, sebagaimana seseorang
berjabatan tangan dengan saudaranya”.
Adapun bergantungan dengan tirai Al-Ka’bah dan merapatkan diri dengan Al-Multazam; maka
hendaklah niatmu pada Al-Multazam, ialah mencari kedekatan kecintaan &
kerinduan bagi Al-Bait & yg Mempunyai Al-Bait. Dan mencari barakah dengan
menyentuhinya, mengharap terjaga dari api-neraka pada tiap-tiap bahagian dari
badanmu. Tidak pada Al-Bait. Dan hendaklah niatmu pada bergantungan dengan
tirai itu, bersungguh-sungguh pada mencari pengampunan & meminta keamanan,
seperti orang yang berdosa bergantung pada kain orang, dimana ia telah berbuat
dosa kepadanya. Merendahkan diri kepadanya memohonkan kemaafan. Melahirkan
kepadanya, bahwa tak ada tempat bersandar, selain kepadanya. Tak ada tempat
berlindung baginya, selain kemurahan dan kemaafannya. Dan ia tidak akan
berpisah dengan tepi kain orang itu, selain dengan kemaafan dan pemberian
keamanan pada masa depan.
Adapun sa’i antara Ash-Shafa dan Al-Marwah di halaman Al-Bait, maka itu menyerupai dengan bulak-baliknya
seorang hamba, di halaman rumah seorang raja. Datang dan pergi, berkali-kali,
untuk melahirkan keikhlasan pengkhidmatan dan mengharapkan perhatian dengan
pandangan kasih sayang, seperti orang yang masuk dan keluar menghadap seorang
raja. Dan ia tidak tahu, apa yang akan yang ditetapkan oleh raja itu pada
dirinya, diterima atau ditolak. Maka senantiasalah ia bulak-balik di halaman
rumah itu, kali berkali, dimana ia mengharap akan memperoleh kasih sayang pada
kali kedua, jikalau ia tidak memperoleh kasih sayang pada kali pertama. Dan
hendaklah ia ingat ketika pulang-pergi antara Ash-Shafa dan Al-Marwah itu, akan
pulang perginya antara 2daun neraca (AL-Mizan) pada lapangan luas hari kiamat.
Dan hendaklah diumpamakannya akan Ash-Shafa dengan daun neraca kebaikan dan
AL-Marwah dengan daun neraca kejahatan. Dan hendaklah ia ingat akan
bulak-baliknya antara 2 daun neraca itu, dengan memandang kepada berat dan
kurang, dimana pikirannya bulak-balik diantara keazaban dan keampunan.
Adapun wuquf di Arafah: maka
ingatlah dengan apa yang anda lihat dari berdesak-desaknya makhluk, meningginya
suara, berbagai macamnya bahasa, menurutinya segala golongan akan para imamnya,
pada mengulangi-ulangi segala syiar, karena mengikuti mereka dan menjalani
sepanjang perjalanan mereka, dimana yang diingat itu, ialah: lapangan luas hari
kiamat, berkumpulnya segala umat bersama nabi-nabi dan imam-imam dan mengikuti
masing-masing umat akan nabinya dan mengharap akan memperoleh syafa’at mereka.
Dan keheranan umat-umat itu pada dataran tinggi yang satu tadi, antara ditolak
dan diterima amalannya. Apabila anda ingat yang demikian itu, maka haruslah
akan hati anda dengan kerendahan dan berdoa kepada Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar. Kiranya anda dikumpulkan dalam jama’ah orang-orang yang memperoleh
kemenangan dan kerahmatan. Dan yakinlah akan harapan anda itu, dengan
dikabulkan. Tempat wuquf itu adalah mulia dan kerahmatan sesungguhnya sampai
dari hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada segenap makhluk dengan perantaraan
hati yang mulia sempurna dari segala gunung-gemunung bumi. Dan senantiasalah
tempat wuquf itu berisi dengan lapisan orang-orang baik dan tiang-tiang negeri
dan suatu lapisan dari orang-orang shalih dan yang mempunyai hati yang murni.
Maka apabila telah terkumpul segala cita-cita mereka dan menjuruskan hatinya
kepada merendahkan diri berdoa kepada Tuhan, mengangkatkan tangannya kepada
Allah swt, memanjangkan lehernya kepadaNya dan menolehkan matanya arah ke
langit, dimana mereka berkumpul dengan suatu cita-cita mencari kerahmatan. Maka
janganlah engkau menyangka bahwa gagal cita-cita mereka, sia-sia usaha mereka
dan tersimpanlah dari mereka rahmat yang meratai mereka semuanya. Dan karena
itulah, maka dikatakan bahwa sebahagian dari dosa
terbesar, ialah datang ke ‘Arafah dan menyangka bahwa Allah Ta’ala tidak
mengampuninya. Dan seolah-olah berkumpulnya segala cita-cita dan
menampakkan dengan bercampur baur dengan segala orang-orang baik dan
tiang-tiang negeri yang berkumpul dari segala penjuru dunia, itulah rahasia dan
maksud yang penghabisan dari hajji. Maka tiada jalan kepada membanyaknya rahmat
Allah swt, seperti berkumpulnya segala cita-cita dan tolong-menolongnya segala
hati dalam satu waktu diatas suatu dataran tinggi.
Adapun pelemparan jamrah: maka
niatkanlah dengan pelemparan itu akan mematuhi amar, karena melahirkan
kehambaan dan perhambaan. Dan bangun karena semata-mata penurutan, tanpa akal
dan jiwa mengambil bahagian padanya. Kemudian, tujukanlah dengan pelemparan
itu, akan penyerupaan dengan nabi Ibrahim as, dimana datang kepadanya Iblis
–yang telah dikutuk oleh Allah Ta’ala –pada tempat itu, untuk memasukkan
keragu-raguan pada hajjinya atau untuk mengacaukannya dengan kema’siatan. Maka
disuruh oleh Allah yg maha mulia & maha besar melemparkannya dengan batu,
untuk mengusir dan memutuskan cita-citanya. Jika terguris padamu bahwa setan
datang kepada Ibrahim as dan menyaksikannya, maka karena itulah ia
melemparkannya, sedang saya sendiri tidaklah didatangi setan itu. Maka
ketahuilah bahwa yang terguris itu, dari setan dan dialah yang melemparkannya
ke dalam hatimu, supaya lemahlah niatmu pada pelemparan. Dan terkhayallah
kepadamu bahwa pelemparan itu suatu perbuatan yang tak ada padanya faedah dan
menyerupai permainan, maka tidaklah engkau berbuat dengan dia. Maka usirlah
setan itu dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan terus meneruslah melakukan
pelemparan disamping kerasnya dayaan setan !
Ketahuilah, bahwa pada zhahirnya engkau melemparkan batu-batu kecil ke
Jamrah Al-Aqabah dan pada hakikat/maknanya adalah engkau melemparkan dengan
batu itu muka setan dan engkau pecahkan punggungnya. Karena tidak berhasil
menundukkan kekerasan hidung setan itu, selain dengan engkau mengikuti perintah
Allah swt, karena mengagungkanNya, dengan semata-mata perintah, tanpa
keuntungan padanya, bagi jiwa dan akal.
Adapun penyembelihan hadiah (qurban), maka ketahuilah bahwa penyembelihan itu mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala dengan jalan kepatuhan. Maka sempurnakanlah hadiah itu
& haraplah bahwa Allah akan membebaskan dengan tiap-tiap bahagian badan
dari hadiah itu, akan bahagian badan daripadamu dari neraka. Maka begitulah
datangnya janji ! lalu tiap kali hadiah itu lebih besar & bahagian-bahagian
badannya lebih sempurna, niscaya tebusanmu daripada neraka, menjadi lebih
merata.
Adapun berziarah ke Madinah: maka
apabila pandanganmu jatuh ke dinding-dinding temboknya, maka ingatlah bahwa
Madinah itu, adalah negeri yang dipilih oleh Allah yg maha mulia & maha
besar untuk NabiNya saw dan dijadikanNya hijrah Nabi kepadanya. Dan Madinah itu
negeri Nabi, dimana ia menjalankan segala yang difardlukan oleh Tuhannya ‘Azza
Wa Jalla (Tuhan yg maha mulia & maha besar) padanya dan segala sunnahnya.
Tempat ia berjuang melawan musuhnya dan melahirkan agamanya, sampai ia
diwafatkan oleh Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Kemudian dijadikannya
kuburannya disitu dan kuburan dua wazirnya/sahabatnya, yang menegakkan
kebenaran sesudahnya –kiranya Allah merelai akan keduanya.
Kemudian, umpamakanlah dalam jiwamu, segala tempat akan tapak Rasulullah
saw ketika pulang perginya di Madinah. Dan sesungguhnya, tiada suatu tempat
tapakpun yang kamu letakkan, melainkan itu adalah tempat tapaknya yang mulia.
Dari itu, janganlah engkau letakkan tapakmu atasnya, melainkan dengan
ketenangan, kegugupan, teringat jalannya dan langkahnya, pada segala jalan yang
lurus di kota Madinah. Tergambar khusyu’nya dan tenangnya berjalan dan apa yang
disimpankan oleh Allah swt dalam hatinya dari kebesaran ma’rifahnya
(pengenalannya), ketinggian sebutannya serta sebutan (dzikir) Allah Ta’ala.
Sehingga disertakannya sebutanNya itu dengan sebutan dirinya sendiri. Dan
dibatalkannya amalan orang yang merusakkan kehormatannya, walaupun dengan suara
yang tinggi, diatas suaranya. Kemudian ingatlah akan apa yang telah diberikan
ni’mat oleh Allah Ta’ala kepada mereka yang memperoleh kesempatan bersahabat
dengan Nabi, memperoleh kebahagiaan dengan melihat dan mendengar kata-katanya.
Dan penyesalan anda yang sebesar-besarnya, diatas lenyapnya kesempatan
bersahabat dengan Nabi dan bersahabat dengan para sahabatnya –kiranya direlai
Allah mereka itu sekalian.
Kemudian, ingatlah bahwa engkau tak memperoleh kesempatan melihatnya di
dunia dan untuk melihatnya di akhirat, engkau berada didalam kekuatiran.
Mungkin engkau tidak akan melihatnya, melainkan dengan keadaan merugi. Dan
terdinding diantara engkau dan dia oleh penerimaannya, akan engkau, disebabkan
buruk amalan engkau sebagaimana sabdanya saw: “Diangkatkan oleh Allah kepadaku
beberapa kaum, lalu mereka itu berkata: “Wahai Muhammad! Wahai Muhammad !” Maka
aku berkata: “Wahai Tuhan ! segala sahabatku”. Maka Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya engkau tiada mengetahui akan apa yang didatangkan oleh mereka
sesudah engkau !” Lalu aku berkata: “Jauh dari kebenaran dan salah !”. Kalau
engkau meninggalkan kehormatan syari’at/agamanya, meskipun sedetik saja,
niscaya engkau tidak akan aman dari didindingi antara engkau dan dia, dengan
sebab berpalingnya engkau, dari keterangannya. Dan hendaklah diperbesar bersama
itu akan harapan engkau, bahwa tidak akan didindingi oleh Allah Ta’ala antara
engkau dan dia, sesudah dianugerahkan rezeki keimanan kepada engkau. Dan
diberangkatkan engkau dari tanah air untuk menziarahinya, tanpa maksud berniaga
dan memperoleh keuntungan duniawi. Tetapi semata-mata kecintaanmu kepadanya dan
kerinduanmu, sampai engkau dapat melihat segala bekas-bekasnya dan dinding
kuburannya. Karena dirimu memperboleh kan. Tatkala engkau tidak memperoleh
kesempatan melihatnya, maka alangkah layak dengan Allah Ta’ala memandang kepada
engkau dengan pandangan kasih sayang.
Apabila telah sampai ke masjid, maka ingatlah bahwa itu adalah suatu
tempat yang lapang yang dipilih oleh Allah bagi NabiNya saw, bagi kaum muslimin
yang pertama dan jama’ah mereka yang terutama. Bahwa segala yang
difardlukan/diwajibkan oleh Allah swt, maka yang pertama-tama ditegakkan, ialah
pada tempat yang lapang itu. Dan tempat yang lapang itu, telah mengumpulkan
seutama-utama makhluk Allah semasa hidupnya dan wafatnya. Maka hendaklah besar
cita-citamu pada Allah swt bahwa IA merahmati kamu, dengan masuknnya kamu ke
dalamnya. Maka masuklah kedalamnya dengan khusyu’ dan mengagungkan! alangkah wajarnya
tempat itu untuk mendatangkan kekhusyu’an dari hati tiap-tiap mu’min,
sebagaimana diceritakan dari Abi Sulaiman, yang menerangkan: “Telah mengerjakan
hajji Uais AL-Qarni ra dan memasuki Madinah. Tatkala ia berdiri di pintu
masjid, lalu dikatakan orang kepadanya: “Inilah kuburan Nabi!”. Maka pingsanlah
dia. Setelah sembuh, ia mengatakan: “Keluarkanlah aku, maka tidaklah mengenakan
bagiku negeri, dimana padanya Muhammad saw dikuburkan !”.
Adapun menziarahi Rasulullah saw:
maka seyogyalah kita berdiri di hadapannya, sebagaimana telah kami terangkan
dahulu. Dan kita menziarahinya setelah wafatnya, adalah seperti menziarahinya
semasa hidupnya. Dan janganlah mendekati kuburannya, melainkan seperti engkau
mendekati dirinya yang mulia, kalau sekiranya ia lagi hidup ! dan sebagaimana
kita memandang kehormatan, tentang tidak menyentuh dan tidak memeluk dirinya,
tetapi berdiri dari jauh, yang mengumpamakan dihadapannya, maka seperti itu
pulalah dikerjakan ! karena menyentuh dan memeluk bagi yang dihadapan adalah
kebiasaan orang Nasrani dan Yahudi. Ketahuilah, bahwa Nabi saw itu tahu dengan
kedatangan, ketegakkan dan keziarahanmu. Dan sesungguhnya sampai kepadanya
salammu dan selawatmu. Maka umpamakanlah rupanya yang mulia pada khayalanmu,
yang terletak dalam lobang pekuburan dihadapanmu dan hadirkanlah keagungan
kedudukannya dalam hatimu !
Sesungguhnya diriwayatkan dari Nabi saw: “Bahwa Allah Ta’ala mewakilkan
di kuburannya seorang malaikat yang menyampaikan kepadanya salam orang yang
mengirimkan salam kepadanya dari umatnya”. Ini adalah terhadap orang yang tidak
mendatangi kuburannya (pent; maksudnya hanya berdoa dari negerinya masing2 ).
Maka bagaimanakah dengan orang yang berpisah dengan tanah air, menempuh
berbagai kampung dan desa, karena ingin menjumpainya dan merasa bermusafir
dengan sebab yang demikian semata-mata. Cukup dengan menyaksikan makamnya yang
mulia, karena tidak memperoleh kesempatan menyaksikan wajahnya yang mulia ?
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berselawat kepadaku sekali, niscaya
diberikan rahmat kepadanya oleh Allah 10 kali”. Ini adalah balasannya pada
berselawat kepadanya dengan lisan, maka bagaimana pula dengan berhadir
menziarahinya dengan tubuh sendiri ? kemudian, datangilah mimbar Rasul saw dan
khayalkanlah akan naiknya Nabi saw ke atas mimbar. Dan gambarkanlah dalam
hatimu akan kelihatan wajahnya yang cemerlang, seakan-akan diatas mimbar,
dimana sekalian orang muhajirin dan anshar menoleh kepadanya. Dan dia saw
mengajak mereka mentaati Allah yg maha mulia & maha besar dengan pidatonya
(khutbahnya). Dan bermohonlah kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar,
bahwa tidak akan dipisahkan pada hari kiamat antara engkau dan dia saw. Maka
inilah tugas hati pada segala amalan hajji. Apabila telah selesai daripadanya
semuanya maka seyogyalah mengharuskan hatinya kegundahan, kerusuhan dan
ketakutan. Dan sesungguhnya dia tiada mengetahui, adakah hajjinya itu diterima
dan dia ditetapkan dalam rombongan orang yang dikasihi atau hajjinya itu
ditolak dan dia digolongkan dalam golongan orang yang terusir. Dan hendaklah ia
mengenal yang demikian itu dari hati dan segala amal perbuatannya ! maka kalau
ia menjumpai hatinya telah bertambah renggang dari negeri tipuan (dunia) &
berpaling ke negeri berjinakan hati dengan Allah Ta’ala (akhirat) &
mendapati segala amal perbuatannya telah memperoleh timbangan dengan timbangan
syara’ (agama), maka percayalah dengan makbulnya hajji itu! sesungguhnya Allah
Ta’ala tiada menerima, selain orang yg dikasihiNya. Dan siapa yang dikasihiNya,
niscaya dianugerahiNya pertolongan dan dilahirkanNya bekas-bekas kesayanganNya.
Dan dicegahNya dari orang itu akan kekerasan musuhnya Iblis, yang telah
dila’nati Allah. Apabila telah lahirlah yang demikian padanya, niscaya itu
menunjukkan kepada diterima. Dan jikalau keadaan sebaliknya, maka mungkinlah ia
memperoleh keuntungan dari perjalanannya itu, keletihan dan kepayahan. Kita
berlindung dengan Allah swt dari yang demikian ! Telah tammat Kitab
Rahasia-rahasia Hajji, yang akan diiringi insya Allah Ta’ala oleh Kitab Adab
Membaca (Tilawah) Alquran.