Kamis, 13 Februari 2014

16. KITAB ADAB AL-‘UZLAH (PENGASINGAN DIRI)



KITAB ADAB AL-‘UZLAH (PENGASINGAN DIRI)
(Yaitu: Kitab Ke-6 dari Rubu’ Adat Kebiasaan dari Kitab Ihya’ Ulumiddin). 

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah yang amat membesarkan nikmat kepada makhluqNya yang terbaik dan terbersih, dengan Ia memalingkan seluruh cita-cita mereka kepada berjinak-jinakan dengan Dia. Ia membanyakkan bahagian mereka daripada bersenang-senang dengan menyaksikan segala nikmat dan kebesaranNya. Ia menyenangkan bathin (asrar) mereka dengan bermunajah (berbisik-bisik) dan berlemah-lembutan dengan Dia. Ia menghinakan dalam hati mereka untuk melihat kepada harta benda dan kembang dunia. Sehingga bergembiralah dengan ‘uzlah itu tiap-tiap orang yang telah terlipatlah hijab (tabir) dari tempat jalan pemikirannya. Maka ia merasa jinak tentram, dengan membaca tasbih-tasbih (pujian-suci) bagi wajahNya Ta’ala, dalam tempat kesunyiannya. Dan dengan demikian, ia merasa liar hatinya dari berjinak-jinakan dengan manusia, walaupun manusia itu dari yang terkhusus dari yang khusus bagi Allah Ta’ala. Dan shalawat kepada penghulu kita Muhammad, penghulu Nabi-NabiNya dan orang pilihanNya. Dan kepada para keluarga dan para sahabatnya, penghulu dan imam kebenaran. Kemudian dari itu, maka sesungguhnya manusia mempunyai banyak perbedaan pendapat tentang pengasingan diri (al-‘uzlah) dan percampur-bauran (al-mukhalathah) dan pengutamaan salah satu daripada keduanya terhadap yang lain, serta masing-masing dari yang dua itu, tidaklah terlepas daripada marabahaya-marabahaya yang harus dijauhi daripadanya dan faedah-faedah yang membawa kepadanya, serta kecondongan kebanyakan hamba dan orang zahid kepada memilih al-‘uzlah dan mengutamakannya daripada bercampur-bauran (al-mukhalathah). Dan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Berteman tentang keutamaan bercampur-bauran, persaudara-saudaraan dan berjinak-jinakan, hampirlah kiranya bertentangan dengan apa yang telah condong kebanyakan manusia kepadanya. Yaitu: memilih keliaran hati dari orang banyak dan memilih kesepian. Maka menyingkapkan tutup dari kebenaran pada yang demikian itu adalah penting. Dan yang demikian itu berhasil dengan menggambarkan dua bab:
Bab Pertama: tentang menukilkan aliran-aliran (madzhab-madzhab) dan dalil-dalil (hujjah-hujjah) mengenai yang demikian.
Bab Kedua:    tentang menyingkapkan tutup dari kebenaran dengan membatasi faedah-faedah dan marabahaya-marabahaya.
BAB PERTAMA: tentang menukilkan aliran-aliran dan ucapan-ucapan dan menyebutkan dalil-dalil dari kedua golongan pada yang demikian itu.
Adapun aliran-aliran (madzhab-madzhab), maka terdapatlah perbedaan paham orang banyak padanya. Dan perbedaan paham ini jelas diantara tabi’in (para pengikut sahabat atau angkatan sesudah para sahabat). Yang beraliran kepada memilih al-‘uzlah dan mengutamakan al-‘uzlah daripada bercampur baur, ialah: Sufyan Ats-Tsuri, Ibrahim bin Adham, Daud Ath-Tha’i, Fudlail bin ‘Iyadl, Sulaiman Al-Khawwash, Yusuf bin Asbath, Hudzaifah Al-Mar’asyi dan Bisyr Al-Hafi. Kebanyakan tabi’in berkata: sunatnya bercampur baur, membanyakkan kenalan dan teman, berjinak-jinakan hati dan berkasih-sayang dengan orang mu’min, meminta pertolongan kepada mereka tentang agama, karena bertolong-tolongan diatas kebajikan dan taqwa. Dan yang condong kepada aliran ini ialah: Sa’id bin AL-Musayyab, Asy-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Hisyam bin ‘Urwah, Ibnu Syibrimah, Syuraih, Suraik bin Abdillah, Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan banyak lagi. Kata-kata yang dinukilkan dari ulama-ulama terbagi kepada: Kata-kata mutlaq, yang menunjukkan atas cenderungan kepada salah satu dari dua pendapat itu. Dan kepada: kata-kata yang disertai dengan apa yang menunjukkan kepada sebab dari kecenderungan itu. Marilah kami nukilkan sekarang kata-kata mutlaq itu, untuk menerangkan aliran-aliran padanya. Dan apa yang disertai dengan menyebutkan sebab (ilahi), akan kami bentangkan nanti ketika memperkatakan marabahaya dan faedah-faedahnya. Sekarang kami bentangkan !. Diriwayatkan dari Umar ra bahwa beliau mengatakan: “Ambillah bahagian dari al-‘uzlah !”. Ibnu Sirin berkata: “Al-‘uzlah itu ibadah !”. Al-Fudlail berkata: “Mencukupilah mencintai Allah saja, berjinak-jinakan dengan Alquran dan mengambil pengajaran dengan mati !”. Ada yang mengatakan: “Ambillah Allah itu teman dan tinggalkanlah manusia itu di samping !”. Abur-Rabi’ Az-Zahid berkata pada Daud Ath-Tha’i: “Berilah kepadaku pengajaran !”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Puasalah dari dunia, jadikanlah pembukaanmu akhirat dan larilah daripada manusia seperti larimu dari singa !”. Al-Hasan ra berkata: “Kalimat-kalimat yang aku hafal dari Taurat, yaitu: merasa cukuplah anak Adam itu dengan apa yang ada (bersifat al-qana’ah), maka menjadi kayalah dia. Ia mengasingkan diri dari manusia, maka selamatlah dia. Ia meninggalkan nafsu syahwat, maka menjadi merdekalah dia. Ia meninggalkan sifat dengki, maka larilah sifat memelihara kehormatan diri (sifat muru-ah). Dan ia bersabar sedikit, maka merasa senanglah ia pada masa yang panjang”. Wahib bin Al-Ward berkata: “Sampai kepada kami bahwa hikmat itu 10 bahagian. 9 bahagian daripadanya itu pada berdiam diri. Dan yang ke-10 pada mengasingkan diri daripada manusia”. Yusuf bin Muslim berkata kepada Ali bin Bakkar: “Alangkah sabarnya engkau sendirian !”. Dan Ali bin Bakkar itu selalu di rumah. Maka Ali bin Bakkar itu menjawab: “Adalah aku, sewaktu masih seorang pemuda, lebih banyak lagi sabar dari ini. Aku duduk-duduk bersama orang banyak dan tidak bercakap-cakap dengan mereka”. Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Inilah waktu diam dan terus-menerus di rumah !”. Setengah mereka berkata: “Adalah aku dalam sebuah kapal dan bersama kami seorang pemuda dari keturunan Saidina Ali ra. Maka ia berdiam bersama kami 7 hari. Tiada kami mendengar sepatahpun dari perkataannya. Lalu kami bertanya kepadanya: “Hai saudara ! Sesungguhnya kami dan engkau telah dikumpulkan oleh Allah semenjak seminggu lamanya. Kami tiada melihat engkau bercampur-baur dengan kami dan tiada berkata-kata dengan kami !”. Lalu pemuda itu bermadah:
Sedikit kesusahan,
tak ada anak yang meninggal,
tak ada urusan yang ditakuti akan hilang....
Sudah ia menunaikan hajat semasa kecil,
telah memfaedahkan pengetahuannya,
maka kesudahannya seorang diri dan diam......
Ibrahim An-Nakha’i berkata kepada seorang laki-laki: “Carilah ilmu fiqh. Kemudian ber-‘uzlah !”. Begitupula kata Ar-Rabi’ bin Khaitsam. Ada yang mengatakan, bahwa Malik bin Anas menghadiri jenazah mengunjungi orang sakit dan memberikan kepada teman-temannya akan hak-hak mereka. Maka ditinggalkannya yang demikian itu satu demi satu. Sehingga ditinggalkannya semuanya. Dan ia mengatakan: “Tiadalah tersedia bagi manusia untuk menerangkan semua halangan yang ada padanya”. Ada orang yang mengatakan kepada Khalifah Umar bin Abdil ‘Aziz: “Jikalau dapatlah kiranya engkau memberi kelapangan waktu bagi kami !”. Maka beliau menjawab: “Telah hilanglah kelapangan waktu itu. Maka tiada kelapangan waktu lagi, selain pada sisi Allah Ta’ala”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya aku memperoleh kebaikan seorang laki-laki padaku, apabila ia bertemu dengan aku, bahwa ia tiada memberi salam kepadaku ! dan bahwa apabila aku sakit, bahwa ia tiada mengunjungi aku”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Di waktu Ar-Rabi’ bin Khaitsam duduk di pintu rumahnya, tiba-tiba datanglah sebutir batu, lalu memukulkan dahinya dengan keras dan melukakannya. Maka beliau menyapu darahnya dan berkata: “Sesungguhnya engkau telah diberi pengajaran, wahai Rabi !”. Lalu beliau bangun dan masuk ke rumahnya. Dan sesudah itu tiada lagi beliau duduk pada pintu rumahnya, sehingga jenazahnya dikeluarkan dari rumah itu”. Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid selalu tinggal di rumahnya di Al-‘Aqiq. Keduanya tidak datang ke Madinah untuk Jum’at dan lainnya, sampai keduanya meninggal di Al-‘Aqiq. Yusuf bin Asbath berkata: “Aku mendengar Sufyan bin Ats-Tsuri berkata: “Demi Allah, yang tiada disembah, melainkan Dia ! sesungguhnya telah halallah al-‘uzlah”. Bisyri bin Abdillah berkata: “Sedikitkanlah berkenalan dengan manusia ! sesungguhnya engkau tiada mengetahui, apa yang akan ada pada hari qiamat. Jikalau engkau dalam keadaan yang buruk, niscaya yang mengenal engkau itu sedikit”. Sebahagian daripada amir masuk ke tempat Hatim Al-Ashaam. Lalu amir itu bertanya kepada Hatim: “Adakah tuan mempunyai hajat keperluan ?”. Hatim menjawab: “Ada !”. “Apakah hajat itu ?”, tanya amir tadi. Hatim itu menjawab: “Bahwa engkau tiada melihat aku dan aku tiada melihat engkau dan engkau tiada mengenal aku”. Seorang laki-laki berkata kepada Sahl: “Aku ingin menemani engkau !”. Lalu Sahl menjawab: “Apabila mati salah seorang dari kita, maka siapakah temannya yang penghabisan ?”. Laki-laki itu menjawab: “Allah !”. Lalu Sahl menyambung: “Maka hendaklah ia berteman dengan Allah itu dari sekarang !”. Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail: “Bahwa Ali anakmu mengatakan: “Sesungguhnya aku ingin bahwa aku berada pada suatu tempat, dimana aku melihat manusia dan manusia tiada melihat aku”. Maka menangislah Al-Fudlail dan berkata: “Wahai kiranya Ali ! apakah tidak aku sempurnakan kata-kata itu ?”. Lalu beliau menyambung: “Aku tiada melihat mereka dan merekapun tiada melihat aku”. Al-Fudlail berkata pula: “Dari kelemahan akal seseorang, ialah banyak kenalannya”. Ibnu Abbas ra berkata: “Tempat duduk yang lebih utama, ialah di tengah-tengah rumahmu sendiri. Tiada engkau melihat dan tiada engkau dilihat”. Maka inilah ucapan orang-orang yang cenderung kepada pengasingan diri (al-‘uzlah).
MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG YANG CENDERUNG KEPADA BERCAMPUR BAUR DAN JALAN LEMAHNYA DALIL-DALIL ITU.
Mereka berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu serupa dengan orang-orang yang telah berpecah-belah dan berselisih”. S 3 Ali ‘Imran ayat 105. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka dipersatukan nya hatimu (dalam agama Allah)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 103, Allah menganugerahkan nikmat kepada manusia dengan sebab persatuan hati itu. Dalil ini adalah lemah. Karena yang dimaksudkan dengan berpecah-belah dan berselisih itu, ialah berpecah-belah pendapat dan berselisih aliran (madzhab) tentang pengertian Kitab Allah dan pokok-pokok syari’at. Yang dimaksudkan dengan persatuan hati, ialah mencabut marabahaya-marabahaya dari dada. Yaitu: sebab-sebab yang mengobarkan fitnah dan yang menggerakkan permusuhan. Dan al-’uzlah tidaklah meniadakan yang demikian. Dan mereka berdalilkan dengan sabda Nabi saw: “Orang mu’min itu bersatu lagi dipersatukan hatinya (menjinakkan lagi dijinakkan hatinya). Dan tak ada kebajikan pada orang yang tidak berjinak dan tidak dijinakkan hatinya (tidak bersatu dan dipersatukan hatinya)”. Dan dalil itu juga lemah, karena hadits tadi menunjukkan kepada tercelanya keburukan akhlaq, yang tercegah dengan sebab buruk itu, jinak-berjinakan hati. Dan tidaklah termasuk di dalamnya, orang yang berakhlaq bagus, di mana kalau ia bercampur-baur, niscaya berjinak menjinakkan hati. Tetapi ia meninggalkan percampur-bauran itu, karena mengurus dirinya sendiri dan mencari keselamatan dari gangguan orang lain. Dan mereka berdalilkan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa bercerai dari orang ramai sejengkal, niscaya dibukakan tali Islam dari lehernya”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bercerai dari orang ramai, lalu ia meninggal, maka matinya itu adalah mati jahiliyah”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa memecahkan tongkat kaum muslimin dan kaum muslimin itu dalam Islam yang gelap, maka sesungguhnya dibukakan tali Islam dari lehernya”. Dalil ini lemah, karena yang dimaksud dengan hadits tadi, ialah orang ramai (jama’ah) yang telah sepakat pendapat mereka atas seseorang imam dengan mengikatkan bai’ah (janji setia dan tunduk). Maka keluar dari kesepakatan itu, adalah melawan imam (memberontak kepada penguasa yang telah disepakati). Dan itu adalah menyalahi pendapat orang banyak dan keluar dari orang ramai. Dan itu dilarang. Karena rakyat memerlukan kepada seorang imam yang ditaati, yang mengumpulkan pendapat mereka. Dan tidak ada yang demikian, kecuali dengan bai’ah dari golongan yang terbanyak. Maka menyalahi bai’ah, adalah pengacauan yang mengobarkan fitnah. Dan tidaklah pada dalil ini penyinggungan kepada al-‘uzlah (pengasingan diri). Dan juga mereka berdalilkan dengan larangan Nabi saw daripada tidak bercakap-cakap diatas 3 hari, karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada bercakap-cakap dengan saudaranya di atas 3 hari, lalu ia meninggal, niscaya masuk neraka”. Dan Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi manusia muslim tiada bercakap-cakap dengan saudaranya diatas 3 hari dan yang dahulu berdamai akan masuk sorga”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada bercakap-cakap dengan saudaranya setahun, maka dia adalah seperti orang yang menumpahkan darah saudaranya itu (membunuh)”. Mereka itu mengatakan, bahwa al-‘uzlah itu meninggalkan bercakap-cakap secara keseluruhan. Dalil ini adalah lemah. Karena yang dimaksudkan dengan hadits yang tersebut tadi, ialah marah kepada orang banyak. Dan kedengkian kepadanya, dengan memutuskan bercakap-cakap, memutuskan memberi salam dan percampur-bauran yang dibiasakan. Maka tidaklah masuk ke dalamnya sekali-kali meninggalkan percampur-bauran tanpa marah, sedang tidak bercakap-cakap diatas 3 hari itu diperbolehkan pada dua tempat:
Pertama: Bahwa ia melihat pada tiada bercakap-cakap itu, menambahkan perbaikan bagi yang tiada dicakapi.
Kedua:    Bahwa ia melihat bagi dirinya sendiri keselamatan pada tiada bercakap-cakap itu. Dan larangan itu walaupun bersifat umum, adalah ditempatkan dibalik dua tempat yang dikhususkan itu, berdalilkan apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah: “Bahwa Nabi saw tiada bercakap-cakap dengan dia (‘Aisyah) pada bulan Dzulhijjah, bulan Muharram dan setengah bulan Safar”. Diriwayatkan dari ‘Umar ra: “Bahwa Nabi saw ber’uzlah (mengasingkan diri) dari isteri-isterinya dan beliau bersumpah daripada mereka, sebulan lamanya. Beliau naik ke kamarnya dan kamar itu adalah tempat beliau menyimpankan segala sesuatu (khazanah). Maka tetaplah beliau disitu 29 hari. Tatkala beliau turun, lalu orang menanyakan kepadanya: “Sesungguhnya engkau di kamar itu 29 hari”. Nabi saw menjawab: “Sebulan, kadang-kadang sebulan itu 29 hari lamanya”. ‘Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi muslim, tiada bercakap-cakap dengan saudaranya diatas 3 hari, kecuali saudaranya itu termasuk orang yang tidak dirasa aman dari kejahatannya”. Maka hadits ini tegas mengkhususkan yang umum itu. Dan diatas dasar ini, diletakkan kata Al-Hasan ra, dimana beliau mengatakan: “Tiada bercakap-cakap dengan orang dungu itu adalah mendekatkan diri kepada Allah. Karena yang demikian itu berkekalan sampai mati. Sebab kedunguan tiadalah ditunggukan obatnya”. Dan disebutkan, pada Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi, seorang laki-laki yang tidak mau bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang lain, sehingga laki-laki itu meninggal. Maka Muhammad bin Umar Al-Waqidi menjawab: “Ini adalah perkara yang telah terdahulu padanya orang banyak, yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash tidak bercakap-cakap dengan Ammar bin Yasir, sampai ia meninggal. Usman bin Affan tidak bercakap-cakap dengan Abdur Rahman bin ‘Auf. ‘Aisyah tidak bercakap-cakap dengan Hafsah. Dan Thaus tidak bercakap-cakap dengan Wahab bin Munabbih, sampai keduanya meninggal”. Semuanya itu menurut pendapat mereka membawa kepada keselamatan dengan tidak bercakap-cakap. Dan mereka berdalilkan dengan apa yang diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang ke bukit untuk beribadah. Lalu orang itu dibawa kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kepada seorangpun daripada engkau, berbuat demikian ! sesungguhnya bersabar seseorang kamu pada setengah negeri Islam, adalah lebih baik baginya daripada beribadah seorang kamu seorang diri, 40 tahun”. Secara zhahir, bahwa ini adalah karena padanya meninggalkan jihad, serta sangat wajibnya jihad itu pada permulaan Islam, dengan dalil yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah, yang mengatakan: “Kami berperang bersama Rasulullah saw. Maka kami melalui suatu kaum, dimana padanya ada mata air yang bagus airnya. Lalu seorang dari kaum itu, berkata: “Jikalau aku mengasingkan diri dari manusia ramai ! dan aku tidak berbuat demikian, sehingga aku terangkan kepada Rasulullah saw”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Jangan engkau berbuat yang demikian ! sesungguhnya kedudukan seorang kamu pada perang sabilullah adalah lebih baik daripada shalatnya dalam keluarganya, 60 tahun. Apakah kamu tidak menyukai bahwa, Allah mengampunkan dosamu dan kamu masuk ke sorga ? berperanglah, pada sabilullah ! sesungguhnya barangsiapa berperang pada sabilullah diatas unta, niscaya ia dimasukkan Allah ke sorga”. Dan mereka mendalilkan pula dengan apa yang diriwayatkan Mu’az bin Jabal, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu, serigala bagi manusia, seperti serigalanya kambing, yang mengambil kambing yang jauh, yang terpencil di suatu sudut dan yang lari dari kumpulannya. Jauhilah berpecah-belah (berfiirqah-firqah) dan haruslah kamu dengan rakyat umum, dengan orang banyak (dengan jama’ah) dan dengan masjid !”. Dan dimaksudkan dengan ini, ialah orang yang mengasingkan diri sebelum sempurna pengetahuannya. Dan akan datang keterangan yang demikian dan yang demikian itu dilarang, kecuali karena darurat.
MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG YANG CENDERUNG KEPADA MENGUTAMAKAN AL-‘UZLAH (MENGASINGKAN DIRI).
Mereka itu mengambil dalil dengan firman Allah Ta’ala, yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim as: “Dan aku akan menghindar dari kamu dan dari apa yang kamu sembah, selain dari Allah dan aku memohon kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku dalam memohonkan doaku itu tiadalah menjadi orang yang tidak beruntung”. S 19 Maryam ayat 48. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Setelah ia menghindarkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain dari Allah itu, Kami berikan kepadanya Ishaq dan Ya’qub dan masing-masing Kami jadikan Nabi”. S 19 Maryam ayat 49, sebagai isyarat, bahwa yang demikian itu adalah dengan berkat al-‘uzlah. Dalil ini adalah lemah. Karena bercampur-baur dengan orang-orang kafir itu, tiadalah faedah padanya, selain mengajak mereka kepada agama. dan ketika putus-asa daripada sambutan (perkenaan) orang-orang kafir tadi, maka tak ada jalan, selain daripada meninggalkan (tiada bercakap-cakap) dengan mereka. Dan sesungguhnya yang diperkatakan di sini ialah tentang bercampur-baur dengan kaum muslimin dan berkat (barakah) yang ada padanya. Karena menurut riwayat, bahwa orang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! apakah berwudlu pada kendi yang tertutup lebih engkau sukai atau pada tempat bersuci ini, dimana manusia bersuci padanya”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Pada tempat-tempat orang bersuci ini, karena mengharap barakah tangan kaum muslimin”. Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw tatkala telah selesai dari thawaf, lalu kembali ke sumur Zamzam untuk minum. Tiba-tiba ada tamar (buah kurma kering) yang direndamkan pada tempat mengumpulkan makanan dan sudah dicampur-adukkan orang dengan tangannya. Mereka itu mengambil dan meminum airnya. Maka Nabi saw meminta minuman itu dengan bersabda: “Berilah minuman itu kepadaku !”. Lalu Abbas menjawab: “Bahwa buah nabidz (buah anggur kering) ini adalah minuman yang telah dipermain-main dan dicampur-adukkan oleh tangan-tangan orang. Apakah tidak aku bawakan kepadamu minuman yang lebih bersih dari ini, yaitu: dari kendi yang tertutup dalam rumah ?”. Nabi saw menjawab: “Berilah kepadaku minuman dari ini, yang diminum orang banyak daripadanya ! aku mencari barakah tangan orang-orang muslim”. Maka Nabi saw minum daripadanya”. Jadi, bagaimanakah mengambil dalil dengan mengasingkan orang-orang kafir dan patung-patung berhala, kepada mengasingkan diri dari kaum muslimin, sedang barakah banyak pada kaum muslimin itu ?. Orang-orang yang cenderung kepada mengutamakan al-‘uzlah, mengemukakan pula dalil (hujjah) dengan perkataan Musa as: “Dan jikalau kamu tidak percaya kepadaku, ber’uzlahlah daripadaku !”. S 44 Ad Dukhaan ayat 21. Sesungguhnya ia menuju kepada al-‘uzlah ketika putus asa dari mereka itu. Dan Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang mendiami gua (ash-habil-kahfi): “Dan ketika kamu ber-‘uzlah dari mereka (meninggalkan mereka) dan apa yang mereka sembah, selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua, nanti Tuhan kamu akan menyebarkan kurniaNya kepada kamu”. S 18 Al Kahfi ayat 16. Tuhan menyuruh mereka ber-‘uzlah. Dan Nabi kita saw ber-‘uzlah (memisahkan diri) dari orang Quraisy, sewaktu mereka menyakiti dan memutuskan silaturrahim dengan beliau. Beliau masuk ke kalangan rakyat. Dan menyuruh para sahabatnya mengasingkan diri dari orang-orang Quraisy itu dan berhijraah ke negeri Habsyah (Ethiopia). Kemudian, para sahabat tadi menyusuli Nabi saw ke Madinah sesudah ditinggikan Allah kalimahNya. Ini juga pengasingan diri dari orang-orang kafir sesudah merasa putus-asa dari orang-orang kafir itu. Dan sesungguhnya Nabi saw tidaklah mengasingkan diri dari kaum muslimin. Dan tidak dari orang-orang kafir yang diharapkan keislamannya. Dan orang-orang yang mendiami gua itu, tidaklah ber-‘uzlah sesamanya, satu sama lain, dimana mereka itu adalah orang-orang mu’min. Dan sesungguhnya mereka itu mengasingkan diri dari orang-orang kafir. Sesungguhnya yang menjadi perhatian, ialah tentang ber-‘uzlah dari orang-orang muslimin. Mereka itu membuat dalil dengan sabda Nabi saw kepada Abdullah bin ‘Amir Al-Jahani, sewaktu ia menanyakan: “Wahai Rasulullah ! apakah yang melepaskan dari kejahatan ?”. Nabi saw menjawab: “Hendaklah rumahmu melapangkan bagimu (maksudnya: hendaklah kamu berdiam di rumahmu), tahanlah lidahmu atas dirimu dan menangislah diatas kesalahanmu !”. Diriwayatkan bahwa ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Manusia manakah yang lebih utama ?”. Beliau menjawab: “Orang mu’min yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya pada jalan Allah Ta’ala (fi sabilillah)”. Lalu ditanyak lagi: “Kemudian, siapa ?”. Beliau menjawab: “Orang yang mengasingkan diri (ber-‘uzlah) ke salah satu kampung, beribadah kepada Tuhannya dan meninggalkan manusia dari kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengasihi hamba yang taqwa, kaya dan menyembunyikan diri”. (hadist shohi dirawikan Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqosh). Dalam hal mengambil dalil dengan hadits-hadits tadi, hendaklah ada perhatian. Adapun sabda Nabi saw kepada Abdullah bin Amir Al-Jahani, maka tidaklah mungkin menempatkannya, kecuali kepada apa yang telah dikenal oleh Nabi saw dengan nur kenabian tentang keadaannya. Dan tetap berdiam di rumah adalah lebih layak dan lebih menyelamatkannya daripada bercampur-baur. Dan Nabi saw tidak menyuruh semua sahabatnya dengan yang demikian. Dan banyaklah orang yang memperoleh keselamatan dalam ber-‘uzlah, tidak dalam bercampur-baur, sebagaimana kadang-kadang keselamatannya itu ada pada berdiam di rumah. Dan tidak keluar kepada jihad. Dan itu tidaklah menunjukkan kepada meninggalkan jihad adalah lebih utama. Dan pada bercampur-baur dengan manusia terdapat berjihad dan menanggung kepedihan. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Orang yang bercampur-baur dengan manusia dan bersabar atas kesakitan dari mereka, adalah lebih baik daripada orang yang tidak bercampur-baur dengan manusia dan tidak bersabar atas kesakitan dari mereka”. Dan diatas inilah ditempatkan sabda Nabi saw: “Orang yang ber-‘uzlah yang beribadah kepada Tuhannya dan meninggalkan manusia daripada kejahatannya”. maka ini adalah isyarat kepada orang yang jahat budi-pekertinya, yang menyakiti manusia dengan bercampur-baur dengan dia. Dan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang taqwa, lagi menyembunyikan diri”, adalah isyarat kepada memilihkan lemah suara dan menjaga diri daripada terkenal (asy-syuhrah). Dan itu tidaklah menyangkut dengan al-‘uzlah. Maka berapa banyak rahib (pendeta) yang mengasingkan diri, dikenal oleh seluruh manusia. Dan berapa banyak orang yang bercampur-baur, yang lemah suaranya (tidah banyak suara), tak ada sebutan dan tak terkenal. Maka ini adalah mengemukakan sesuatu, yang tak menyangkut dengan al-‘uzlah. Orang-orang yang cenderung kepada mengutamakan al-‘uzlah, mengemukakan dalil, dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya: “Tidaklah aku beritahukan kepadamu, tentang manusia yang penuh dengan kebajikan ?”. Para sahabat menjawab: “Belum, wahai Rasulullah !”. Lalu beliau menunjukkan dengan tangannya ke arah matahari terbenam dan bersabda: “Orang yang mengambil kekang kudanya (mengendarai kuda) fi sabilillah, yang menunggu untuk menyerang atau diserang. Tidaklah aku beritahukan kepadamu, manusia yang penuh dengan kebajikan sesudah itu ?”. Dan beliau menunjukkan dengan tangannya ke arah negeri Hijaz dan bersabda: “Orang dalam kawanan kambingnya menegakkan shalat, menyerahkan zakat dan mengetahui hak Allah pada hartanya, mengasingkan diri dari kejahatan manusia”. Apabila telah jelas bahwa dalil-dalil tadi tak ada obat padanya dari kedua belah pihak, maka tak dapat tiada daripada menyingkapkan tutup dengan penegasan faedah-faedah al-‘uzlah dan marabahaya-marabahayanya. Dan membandingkan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Supaya jelaslah kebenaran padanya.
BAB KEDUA: tentang faedah-faedah Al-‘uzlah dan marahabaya-marabahaya dan menyingkapkan kebenaran tentang keutamaannya.
Ketahuilah, bahwa perbedaan pendapat manusia tentang ini, adalah menyerupai dengan perbedaan pendapat mereka tentang keutamaan nikah dan membujang (tidak kawin). Dan telah kami terangkan bahwa yang demikian itu, berbeda dengan berbedanya keadaan dan orang, menurut apa yang telah kami uraikan dahulu, dari hal bahaya-bahaya perkawinan dan faedah-faedahnya. Maka begitupula uraian mengenai persoalan yang sedang kita bicarakan ini. Maka hendaklah mula-mula kami sebutkan faedah-faedah al-‘uzlah. Dan itu terbagi kepada faedah-faedah keagamaan dan faedah-faedah keduniaan. Dan faedah-faedah keagamaan itu terbagi kepada: apa yang memungkinkan berhasilnya taat dalam bersemadi (al-khilwah), rajinnya beribadah, bertafakkur dan berpendidikan ilmu pengetahuan. Dan kepada: terlepasnya daripada mengerjakan larangan-larangan yang dikerjakan manusia dengan sebab percampur-bauran. Seperti: ria (berbuat sesuatu ingin dilihat orang), mengumpat, berdiam diri dari amar-ma’ruf dan nahi-munkar, mencuri tabiat budi-pekerti rendah dan perbuatan keji dari orang-orang jahat yang menjadi teman duduk. Adapun faedah-faedah keduniaan, maka terbagi kepada: apa yang memungkinkan menghasilkan sesuatu, disebabkan persemadian (al-khilwah) itu, seperti: bertekunnya seorang pekerja dalam persemadiannya kepada pekerjaan yang bersih daripada segala yang dikuatiri, yang datang kepadanya, disebabkan percampur-bauran. Seperti: memandang kepada kembang dunia dan tertujunya hati orang banyak kepadanya. Lobanya pada manusia dan lobanya manusia padanya. Terbukanya tutup kepribadiannya disebabkan percampur-bauran. Merasa sakit disebabkan buruknya akhlaq orang yang duduk dengan dia, tentang rianya atau jahat sangkanya atau sifat lalat merah/suka menceritakan kekurangan orangnya atau dengkinya atau merasa sakit disebabkan berat gerak-geriknya dan keji bentuknya. Dan kepada inilah semua kembalinya segala kumpulan faedah-faedah al-‘uzlah. Maka hendaklah kami membatasinya pada 6 fadah saja !.
FAEDAH PERTAMA:
Menyelesaikan diri untuk ibadah, bertafakkur dan merasa kejinakan hati dengan bermunajah (berbisik-bisik) dengan Allah Ta’ala daripada berbisik-bisik dengan makhluq. Menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala sirr (rahasia yang dijadikan) Allah Ta’ala tentang urusan dunia dan akhirat, alam langit dan bumi yang tak terlihat oleh pancaindra (alam malakut). Maka yang demikian itu meminta keselesaian hati daripada kesibukan. Dan tak ada keselesaian hati itu bersama percampur-bauran. Maka al-‘uzlah adalah jalan kepadanya. Karena inilah, sebahagian hukama’ (ahli hikmah) berkata: “Tiada bertekunlah seseorang dari al-khilwahnya, kecualli dengan berpegang teguh dengan Kitab Allah Ta’ala. Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitab Allah, Ta’ala, ialah orang-orang yang merasa tentram meninggalkan dunia dengan mengingati (berdzikir kepada) Allah. Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan menyebut Allah itu, hidup dengan mengingati Allah (dzikrullah), mati dengan mengingati Allah dan menemui Allah dengan dzikir kepada Allah. Dan tak ragu lagi, tentang mereka itu dapat dicegah oleh bercampur-baur dengan manusia daripada bertafakkur dan berdzikir”. Maka mengasingkan diri (al-‘uzlah) adalah lebih utama bagi mereka. Dan karena itulah, Nabi saw pada permulaan tugasnya memutuskan hubungan dengan dunia di Bukit (Gua) Hira dan mengasingkan diri ke Gua Hira itu. Sehingga teguhlah Nur Kenabian (Nurun-nubuwwah) pada diri Nabi saw. Maka makhluq tidaklah menghijabkan (mendindingkan) Nabi saw daripada Allah. Maka ia dengan tubuhnya adalah bersama makhluq dan dengan hatinya ia menghadap kepada Allah Ta’ala. Sehingga manusia itu menyangka, bahwa Abu Bakar ra khalilnya (temannya yang paling dicintainya). Lalu Nabi saw menerangkan tentang seluruh cita-citanya dengan Allah, dengan sabdanya: “Jikalau aku mengambil teman yang sangat dicintai (khalil), maka sesungguhnya aku mengambil Abu Bakar menjadi khalil. Tetapi temanmu ini (diri Nabi saw sendiri) adalah Khalilullah”. Dan tidaklah melapangkan jalan untuk mengumpulkan antara bercampur-baur dengan manusia pada zhahirnya dan menghadapkan hati kepada Allah pada bathinnya (sirrnya), melainkan oleh kekuatan Nubuwwah (Kenabian). Maka tidak seyogyalah tiap-tiap orang yang lemah itu tertipu dirinya sendiri. Lalu mengharapkan yang demikian. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa tingkat sebahagian wali-wali itu berkesudahan kepada keadaan yang tersebut tadi. Dinukilkan dari AL-Junaid, dimana beliau mengatakan: “Aku berkata-kata (berkalan) dengan Allah semenjak 30 tahun yang lalu. Dan manusia menyangka bahwa aku berkata-kata dengan mereka”. Ini sesungguhnya adalah mudah bagi orang yang membenamkan dirinya untuk mencintai Allah dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga tiada tinggal bagi yang lain, tempat yang lapang pada dirinya. Yang demikian itu tidak dapat dibantah. Maka pada orang-orang yang terkenal dengan mencintai makhluq, terdapat orang yang bercampur-baur dengan manusia dengan tubuhnya. Dan ia tidak mengetahui apa yang dikatakannya dan tidak pula mengetahui apa yang dikatakan orang kepadanya. Karena bersangatan asyiknya kepada yang dikasihinya itu. Bahkan orang yang dipengaruhi oleh suatu malapetaka yang mengganggu salah satu dari urusan dunianya, kadang-kadang ia ditenggelamkan oleh kesusahan, dimana ia bercampur-baur dengan manusia ramai dan tiada merasa adanya manusia itu dan tiada mendengar suara mereka, karena bersangatan tenggelamnya. Dan urusan akhirat adalah lebih besar pada orang-orang yang berakal. Maka tidaklah mustahil yang demikian padanya. Tetapi yang lebih utama bagi orang banyak, ialah mempergunakan al-‘uzlah. Karena itulah, ditanyakan kepada setengah hukama’ (ahli hikmah): “Apakah yang mereka maksudkan dengan al-khilwah dan memilih al-‘uzlah ?”. Maka ahli hikmah itu menjawab: “Mereka memperoleh dengan demikian kekekalan pemikiran dan ketetapan ilmu dalam hati. Supaya mereka memperoleh kehidupan yang baik dan merasakan kemanisan ma’rifah (mengenal Tuhan). Ditanyakan kepada setengah pendeta (rahib): “Apakah yang membawa engkau bersabar dengan sendirian ?”. Pendeta itu menjawab: “Sebenarnya aku tidaklah sendirian. Aku adalah duduk bersama Allah Ta’ala. Apabila aku berkehendak, bahwa Ia berbisik-bisik (munajah) dengan aku, maka aku baca KitabNya. Dan apabila aku berkehendak, bahwa aku bermunajah dengan Dia, maka aku mengerjakan shalat”. Ditanyakan kepada setengah hukama’: “Kepada apakah kamu dibawa oleh zuhud dan al-khilwah ?”. Ahli hikmah itu menjawab: “Kepada berjinak-jinakan dengan Allah”. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Aku bertemu dengan Ibrahim bin Adham ra di negeri Syam. Lalu aku berkata kepadanya: “Wahai Ibrahim ! engkau telah meninggalkan Khurasan”. Ibrahim bin Adham ra lalu menjawab: “Aku tiada memperoleh ketentraman hidup, kecuali disini. Aku lari bersama agamaku dari bukit ke bukit. Maka barangsiapa melihat aku, lalu mengatakan: “Orang yang diserang penyakit bimbang atau pemikul barang atau penjual garam”. Orang menanyakan Ghazwan Ar-Raqqasyi: “Mengapakah engkau tiada tertawa ? apakah yang melarang kamu daripada duduk-duduk bersama teman-temanmu ?”. Ghazwan Ar-Raqqasyi menjawab: “Sesungguhnya aku memperoleh ketenangan hati duduk-duduk dengan yang ada padaNya hajat keperluanku”. Ditanyakan kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! disini ada seorang laki-laki yang tiada pernah kami melihat ia duduk, melainkan sendirian saja di belakang tiang”. Al-Hasan menjawab: “Apabila kamu melihat orang itu, maka berilah kabar kepadaku !”. Maka pada suatu hari, mereka melihat orang itu. Lalu mereka berkata kepada Al-Hasan: “Inilah laki-laki yang kami terangkan kepadamu !”. Dan mereka menunjukkan kepada laki-laki itu. Al-Hasan datang pada laki-laki tadi, seraya berkata: “Hai hamba Allah ! aku melihat engkau telah mencintai al-‘uzlah begitu rupa. Apakah yang melarang kamu daripada duduk-duduk dengan manusia ?”. Orang itu menjawab: “Ada urusan yang menghabiskan waktuku, daripada bergaul dengan manusia”. Al-Hasan menyambung: “Apakah yang melarang kamu untuk datang kepada laki-laki ini yang bernama Al-Hasan, lalu kamu duduk bersama dia ?”. Orang itu menjawab: “Ada urusan yang menghabiskan waktuku daripada bergaul dengan manusia dan dengan Al-Hasan”. Lalu Al-Hasan bertanya: “Apakah urusan itu ? kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadamu !”. Maka laki-laki itu menjawab: “Sesungguhnya aku, pagi hari dan sore hari adalah diantara nikmat dan dosa. Maka aku berpendapat, bahwa aku menyerahkan waktu diriku bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmatNya dan memohonkan ampun daripada dosa”. Lalu Al-Hasan berkata kepada orang itu: “Engkau, wahai hamba Allah, lebih berilmu padaku daripada Al-Hasan ! maka teruskanlah apa yang telah engkau kerjakan itu !”. Ada yang menceritakan, bahwa sewaktu Uwais Al-Qarani sedang duduk, tiba-tiba datanglah kepadanya Haram bin Hayyan. Lalu Uwais bertanya kepadanya: “Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari ?”. Haram bin Hayyan menjawab: “Aku datang untuk berjinak-jinakan hati dengan engkau”. Lalu Uwais menyambung: “Tidaklah aku melihat bahwa seseorang yang mengenal Tuhannya, lalu berjinak-jinakan hati dengan orang lain”. Al-fudlail berkata: “Apabila aku melihat malam datang di depanku, maka aku bergembira, seraya aku berkata: “Akan aku bersemadi (berkhilwah) dengan Tuhanku”. Dan apabila aku melihat pagi mendapati aku, niscaya kembalilah kebencian berjumpa dengan manusia. Dan bahwa datang kepadaku orang yang mengganggu aku daripada Tuhanku”. Abdullah bin Zaid berkata: “Amat baiklah orang yang hidup di dunia dan hidup di akhirat !”. Maka orang bertanya kepadanya: “Bagaimanakah yang demikian itu ?”. Abdullah bin Zaid menjawab: “Ia bermunajah dengan Allah di dunia dan bermujawarah dengan Allah di akhirat”. Berkata Dzun-Nun Al-Misri: “Kegembiraan dan kesenangannya orang mu’min dalam berkhilwah, ialah dengan bermunajah dengan Tuhannya”. Berkata Malik bin Dinar: “Barangsiapa tidak merasa berjinak-jinakan hati dengan bercakap-cakap (muhadatsah) dengan Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan meninggalkan bercakap-cakap dengan makhluq, maka sesungguhnya telah sedikitlah pengetahuannya, telah butalah hatinya dan telah sia-sialah umurnya”. Berkata Ibnul-Mubarak: “Alangkah baiknya keadaan orang yang memutuskan hubungan dengan yang lain, untuk berhubungan dengan Allah Ta’ala”. Dan diriwayatkan dari sebahagian orang-orang shalih, yang mengatakan: “Sewaktu aku sedang berjalan di sebahagian negeri Syam (Syria), tiba-tiba aku berjumpa dengan seorang ‘abid (yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala), yang keluar dari sebahagian bukit-bukit itu. Maka tatkala ia memandang kepadaku, lalu ia menyingkir ke pokok sebatang kayu dan menutupkan dirinya dengan batang kayu itu. lalu aku berkata: "Subhaanallaah (Maha Suci Allah) ! engkau kikir kepadaku untuk memandang kepadamu”. Maka ‘abid itu menjawab: “Wahai saudara ! sesungguhnya aku telah menetap di bukit ini dalam waktu yang lama. Aku mengobati hatiku tentang kesabaran dari dunia dan penduduknya. Maka lamalah pada yang demikian itu kepayahanku dan telah lenyaplah padanya umurku. Aku bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia tidak menjadikan bahagianku dari hari-hari kehidupanku pada bermujahadah qalbuku. Maka Allah menentramkannya daripada kegoncangan dan menjinakkannya sendirian dan seorang. Maka tatkala aku memandang kepadamu, lalu aku takut bahwa aku terjatuh pada urusan yang pertama dahulu. Biarlah engkau jauh daripadaku. Maka sesungguhnya aku berlindung dari kejahatan engkau dan Tuhan segala orang yang berma’rifah dan Kecintaan segala orang yang berdoa”. Kemudian ‘abid itu memekik dan pingsan dari lamanya berdiam di dunia. Kemudian ia memalingkan wajahnya daripadaku. Kemudian, ia menggerakkan kedua tangannya, seraya berkata: “Biarlah engkau jauh daripadaku, wahai dunia, untuk orang selain aku. Maka berhiaslah ! dan untuk keluargamu, maka tipulah mereka !”. Kemudian ‘abid itu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang memberikan rasa lezatnya penkhidmatan, ke dalam hati orang-orang yang berma’rifah dan kemanisan sendirian menemaniNya ! Ia tidak melalaikan hati mereka daripada mengingati sorga dan bidadari yang cantik-cantik. Ia mengumpulkan cita-cita mereka pada mengingatiNya. Maka tiadalah suatupun yang lebih lezat pada mereka, selain daripada bermunajah dengan Dia”. Kemudian ‘abid itu meneruskan kata-katanya dan berkata: “Qudduusun-Qudduusun (IA Maha Qudus-Ia Maha Qudus)”. Jadi, ‘abid itu dalam bersemadi (al-khilwah) berjinak-jinakan dengan mengingati (berdzikir kepada) Allah dan berbanyak mengenal (ma’rifah kepada) Allah”. Pada contoh yang demikian itu, ada yang bermadah:
Sungguh aku menutupkan diriku
dan tidak adalah tutup padaku.
Semoga itu khayalan daripadamu
yang bertemu dengan khayalanku.
Aku keluar dari antara
orang-orang yang duduk.
Semoga jauh dari engkau aku berbicara,
dengan jiwa secara rahasia bersemadi-sepi.
Karena itulah, berkata setengah hukama’: “Sesungguhnya manusia itu merasa liar dari dirinya sendiri, karena kosong pribadinya daripada sifat keutamaan. Maka ketika itu ia memperbanyakkan bertemu dengan manusia. Dan membuang jauh keliaran dari dirinya sendiri, disebabkan adanya bersama manusia itu. Maka apabila dirinya itu bersifat keutamaan, niscaya ia mencari kesendirian, supaya memperoleh pertolongan dengan kesendirian itu kepada pemikiran. Dan dapat mengeluarkan pengetahuan dan hikmah (ilmu yang tinggi-tinggi). Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa berjinak-jinakan hati dengan manusia itu adalah setengah dari tanda iflas (dalam keadaan tiada mempunyai apa-apa). Jadi, inilah faedah yang besar. Tetapi adalah mengenai bahagian setengah orang-orang pilihan tertentu. Dan orang yang mudah baginya berjinak-jinakan hati dengan Allah dengan berkekalan dzikir atau dengan berkekalan pikir, mudah berkeyakinan mengenal Allah maka yang lebih utama baginya ialah melepaskan diri dari tiap-tiap yang menyangkut dengan percampur-bauran dengan manusia. Karena tujuan yang terakhir dari ibadah dan buah dari pergaulan hidup (mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)), ialah bahwa manusia itu mati dengan mencintai Allah dan berma’rifah kepada Allah. Dan tiadalah kecintaan itu, selain dengan berjinak-jinakan yang diperoleh dengan berkekalan dzikir. Dan tiadalah ma’rifah itu, selain dengan berkekalan pikir. Dan kekosongan hati itu adalah syarat pada masing-masing dari yang dua tadi. Dan hati itu tiada kosong dengan adanya percampur-bauran dengan manusia.
FAEDAH KEDUA:
Terlepas itu dengan ‘uzlah, dari perbuatan-perbuatan ma’siat (perbuatan yang berdosa) yang biasanya dikerjakan manusia dengan sebab percampur-bauran. Dan selamat daripadanya dalam berkhilwah. Dan perbuatan-perbuatan ma’siat itu, 4: mengumpat, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (namimah), ria dan diam daripada amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan curi-mencuri sifat (karakter) dari akhlaq buruk dan perbuatan keji yang diwajibkan oleh kerakusan kepada dunia. Adapun mengumpat, maka apabila anda mengetahui dari “Kitab Bahaya Lidah” dari “Bahagian Yang Membinasakan” (Rubu’ Al-Muhlikat), segala seginya, niscaya anda mengetahui, bahwa menjaga diri daripada mengumpat dalam percampur-bauran adalah sukar sekali. Tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq. Karena adat kebiasaan manusia pada umumnya, adalah suka mempercakapkan segala hal yang memalukan orang, merasa keenakan dengan yang demikian dan banyak perpindahan dengan kemanisannya. Sehingga mengumpat itu menjadi makanan dan kelezatan mereka. Dan kepada mengumpat itu mereka menyenangkan diri dari keliaran hati (kesepian) dalam khilwah. Jikalau anda bercampur-baur dengan mereka dan anda menyetujui perbuatan mereka, niscaya anda berdosa dan anda mendatangi untuk kemarahan Allah Ta’ala. Dan jikalau anda berdiam diri, niscaya anda adalah sekutu. Dan orang yang mendengar adalah menjadi seorang dari orang-orang yang mengumpat. Dan jikalau anda membantah, niscaya mereka marah kepada anda. Mereka meninggalkan orang yang diumpati itu, lalu mereka mengumpati anda. Maka mereka menambahkan umpatan kepada umpatan. Kadang-kadang mereka menambahkan di atas umpatan itu dan mereka berkesudahan kepada memandang ringan dan kepada memaki-maki. Adapun amar-ma’ruf dan nahi-munkar, adalah setengah daripada pokok-pokok agama. Dan adalah suatu kewajiban sebagaimana akan datang penjelasannya pada akhir rubu’ ini (bahagian perempat dari kitab). Barangsiapa bercampur-baur dengan manusia, maka ia tidak terlepas daripada menyaksikan kemunkaran-kemunkaran. Kalau ia diam, niscaya ia mendurhakai Allah. dan kalau ia membantah, niscaya ia mendatangkan dirinya kepada berbagai macam kemelaratan. Karena kadang-kadang ia ditarik oleh mencari kelepasan dari segala macam kemelaratan tadi, kepada segala kema’siatan yang lebih besar daripada apa yang dilarang pada mulanya. Dan pada uzlah itu, terlepaslah dari yang tadi. Maka sesungguhnya amar, pada menyia-nyiakannya itu berat. Dan menegakkannya sukar. Abu Bakar ra bangun berdiri selaku khathib dan berkata: “Hai manusia ! sesungguhnya kamu membaca ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman ! jagalah dirimu ! tidaklah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105, bahwa kamu itu meletakkan ayat tersebut tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia melihat yang munkar, lalu tidak merobahkannya, niscaya hampirlah mereka itu diratakan oleh Allah dengan siksaan”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menanyakan kepada hambaNya, sehingga Ia berfirman kepadanya: ‘Apakah yang mencegah engkau, apabila melihat yang munkar dalam dunia, untuk menantangnya ?’. Maka apabila Allah mengajarkan kepada seorang hamba akan dalilNya, niscaya hamba itu berkata: ‘Wahai Tuhan ! aku harap dari Engkau dan aku takut kepada manusia”. Ini adalah apabila ia takut dari pukulan atau perintah yang tidak disanggupinya. Dan mengenal batas-batas yang demikian itu adalah sukar dan padanya bahaya. Dan pada ‘uzlah (mengasingkan diri) itu, terdapat kelepasan. Dan pada amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu, mengobarkan permusuhan dan menggerakkan marabahaya-marabahaya bagi hati, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Banyaklah mengandung nasehat,
pada kata-katamu yang membekas.
Kadang-kadang yang memperoleh nasehat itu,
menerima dengan marah yang membatu.
Orang yang mencoba beramar-ma’ruf, biasanya menyesal. Amar-ma’ruf itu adalah seperti dinding yang mereng, lalu ada orang yang bermaksud meluruskannya. Maka hampirlah dinding itu jatuh di atas dirinya. Apabila jatuh ke atas dirinya, lalu ia berkata: “Wahai kiranya aku tinggalkan dinding itu dalam keadaan mereng !”. Ya, jikalau ia memperoleh penolong-penolong yang memegang dinding itu, sehingga ia mengokohkannya dengan tiang, maka dinding itu lurus. Dan pada waktu sekarang engkau tiada akan memperoleh penolong-penolong itu. Dari itu, tinggalkanlah mereka dan lepaslah engkau dengan diri engkau sendiri !. Adapun ria itu penyakit yang menyusahkan, yang sukar bagi wali-wali dan pemuka-pemuka menjaga diri daripadanya. Tiap-tiap orang yang bercampur-baur dengan manusia, niscaya berlemah-lembut dengan mereka. Dan orang yang berlemah-lembut itu berbuat ria dengan mereka. Dan orang yang berbuat ria dengan mereka, niscaya jatuhlah ia ke dalam apa yang jatuh mereka ke dalamnya. Dan binasalah ia, sebagaimana mereka itu binasa. Dan sekurang-kurangnya yang harus padanya, ialah sifat nifaq (sifat bermuka dua). Sesungguhnya engkau, jikalau bercampur-baur dengan dua orang yang bermusuh-musuhan dan engkau tiada menemui masing-masing daripada keduanya, dengan cara yang sesuai dengan dia, niscaya jadilah engkau orang yang dimarahi keduanya. Dan jikalau engkau berbaik-baikan dengan keduanya, niscaya adalah engkau termasuk manusia yang jahat. Nabi saw bersabda: “Engkau memperoleh daripada manusia yang jahat itu orang yang bermuka dua. Dia datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang itu begitu”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya termasuk manusia yang jahat, ialah orang yang bermuka dua. Dia datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang itu begitu”. Sekurang-kurangnya yang wajib pada bercampur-baur dengan manusia, ialah melahirkan kerinduan dan bersangatan pada kerinduan itu. Dan yang demikian tidaklah terlepas daripada kedustaan. Adakalanya pada pokok dan adakalanya pada tambahan. Dan melahirkan kasih-sayang dengan menanyakan hal-keadaannya, dengan engkau mengatakan umpamanya: “Bagaimanakah keadaan saudara ? bagaimanakah keadaan keluarga saudara ?”, sedang engkau pada bathinnya, adalah berhati kosong daripada turut berduka-cita dengan dia. Dan ini adalah nifaq semata-mata. Sirri berkata: “Jikalau masuk ke tempatku saudaraku, lalu aku luruskan janggutku dengan tanganku karena masuknya, niscaya aku takut bahwa aku akan ditulis pada lembaran orang-orang munafiq”. Adalah Al-Fudlail duduk sendirian dalam Al-Masjidil-haram. Maka datanglah kepadanya saudaranya. Lalu beliau bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari ?”. Saudaranya itu menjawab: “Untuk berjinak-jinakan hati, wahai Abu ‘Ali !”. Al-Fudlail (yang dipanggil dengan Abu ‘Ali tadi) menjawab: “Wahai kiranya, berjinak-jinakan itu adalah lebih menyerupai dengan berliar-liaran hati ! adakah engkau kehendaki, selain daripada engkau menghiasi aku (dengan kata-kata) dan aku menghiasi engkau ? engkau berdusta untukku dan aku berdusta untuk engkau. Adakalanya, bahwa engkau bangun meninggalkan aku atau aku bangun meninggalkan engkau”. Berkata setengah ulama: “Allah Ta’ala tiada mencintai seorang hamba, melainkan Ia mencintai bahwa tiada merasakan apa-apa dengan hamba itu”. Thaus masuk ke tempat Khalifah Hisyam. Lalu bertanya: “Bagaimana engkau hai Hisyam ?”. Maka Hisyam marah kepadanya, seraya berkata: “Mengapa tiada engkau sebutkan aku dengan panggilan “amirul-mu’minin ?”. Thaus menjawab: “Karena semua kaum muslimin tidak menyetujui atas kekhalifahanmu. Maka aku takut bahwa aku menjadi pendusta”. Orang yang memungkinkan kepadanya, bahwa ia dapat memelihara akan pemeliharaan ini, maka hendaklah bercampur-baur dengan manusia. Dan jikalau tidak, maka hendaklah ia menyetujui untuk dicantumkan namanya dalam lembaran orang-orang munafiq. Adalah orang-orang salaf (orang-orang terdahulu) bertemu sesama mereka dan menjaga pada ucapan mereka: “Bagaimana keadaan engkau berpagi hari ? bagaimana keadaan engkau bersore hari ? bagaimana engkau ? bagaimana hal keadaan engkau ?”. Dan tentang penjawaban dari ucapan itu. Maka pertanyaan mereka itu, adalah mengenai hal keadaan agama, tidak mengenai hal keadaan dunia. Hatim Al-Asham bertanya kepada Hamid Al-Laffaf: “Bagaimana engkau tentang diri engkau ?”. Hamid menjawab: “Selamat, sehat wal-afiat !”. Maka Hatim tiada menyukai penjawaban Hamid itu dan berkata: “Hai Hamid ! selamat itu ialah dari belakang Titian (Ash-Shirathal-mustaqim) dan sehat wal-afiat itu dalam sorga”. Dan adalah apabila ditanyakan kepada Nabi Isa as: “Bagaimana engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari, tiada memiliki untuk mengemukakan apa yang aku harapkan. Dan tiada sanggup menolak apa yang aku takuti. Dan aku berpagi hari tergadai dengan amalanku. Dan kebajikan seluruhnya pada tangan lain daripada aku. Tiadalah orang faqir, yang lebih faqir daripada aku”. Adalah Ar-Rabi’ bin Khaitsam apabila ditanyakan kepadanya: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Aku berpagi hari, termasuk orang-orang lemah yang berdosa. Kami mencukupkan rezeki kami dan kami menunggu ajal kami”. Adalah Abud-Darda’ apabila ditanyakan kepadanya: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Aku berpagi hari dengan kebajikan, jikalau aku terlepas dari neraka”. Adalah Sufyan Ats-Tsuri apabila ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Aku berpagi hari, mensyukuri ini kepada ini, mencela ini kepada ini dan lari dari ini kepada ini”. Ditanyakan Uwais Al-Qarani: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Bagaimana berpagi hari seorang laki-laki, dimana apabila ia bersore hari, tiada tahu bahwa ia akan berpagi hari lagi. Dan apabila ia berpagi hari tiada tahu, bahwa ia akan bersore hari lagi”. Ditanyakan Malik bin Dinar: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?’. Lalu beliau menjawab: “Aku berpagi hari dalam umur yang berkurang dan dosa yang bertambah”. Ditanyakan setengah hukama: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari, tiada aku rela hidupku untuk matiku dan diriku untuk Tuhanku”. Ditanyakan seorang ahli hikmat: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari memakan rezeki dari Tuhanku dan aku mentaati musuhNya Iblis”. Ditanyakan Muhammad bin Wasi’: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Apakah persangkaanmu tentang seorang laki-laki yang berjalan tiap-tiap hari ke akhirat sehari perjalanan (satu marhalah) ?”. Ditanyakan Hamid Al-Laffaf: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari, merindui kesehatan hari itu sampai kepada malamnya”. Lalu ditanyakan lagi kepadanya: “Tidakkah engkau dalam sehat wal-afiat pada tiap-tiap hari ?”. Maka beliau menjawab: “Sehat wal-afiat itu ialah hari, dimana aku tiada mendurhakai akan Allah Ta’ala padanya”. Ditanyakan seorang laki-laki dan laki-laki itu dalam keadaan menyerahkan dirinya untuk mati (sekarat): “Apakah hak keadaanmu ?”. Lalu laki-laki itu menjawab: “Apalah halnya keadaan orang yang bermaksud berjalan jauh tanpa perbekalan. Memasuki perkuburan yang meliarkan hati tanpa yang menjinakkan. Dan berjalan kepada Raja Yang Adil tanpa membawa alasan (hujjah)”. Ditanyakan Hassan bin Abi Sannan: “Apakah hal keadaanmu ?”. Lalu ia menjawab: “Apalah halnya orang yang mati, kemudian dibangkitkan, kemudian dihisab (dihitung amalannya)”. Ibnu Sirin bertanya kepada seorang laki-laki: “Apakah hal keadaanmu ?”. Lalu orang itu menjawab: “Apalah halnya orang yang menanggung hutang sebanyak 500 dirham dan orang itu berkeluarga banyak ?”. Maka Ibnu Sirin masuk ke rumahnya. Lalu mengeluarkan uang 1000 dirham untuk laki-laki itu. Maka diserahkannya uang itu kepada laki-laki tadi, seraya berkata: “500 bayarkanlah hutangmu dan 500 lagi sediakan untuk dirimu sendiri dan keluargamu !”. Dan tidak ada pada Ibnu Sirin uang yang lain. Kemudian ia berkata: “Demi Allah ! aku tiada akan menanyakan selama-lamanya kepada seseorang tentang hal keadaannya”. Sesungguhnya Ibnu Sirin berbuat demikian, karena takut pertanyaannya itu adalah dari tidak mementingkan keadaan orang yang ditanyakan. Lalu dengan demikian, ia adalah orang yang ria lagi munafiq. Maka adalah pertanyaan mereka itu tentang urusan agama dan hal-hal keadaan hati pada bermu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dengan Allah. Dan jikalau mereka menanyakan tentang urusan dunia, maka adalah timbulnya daripada mementingkan dan bercita-cita menegakkan keperluannya yang terang bagi mereka. Setengah mereka berkata: “Sesungguhnya aku mengenal beberapa kaum, dimana mereka itu tiada pernah bertemu. Jikalau seorang dari mereka menghukum (menetapkan) ke atas diri temannya, untuk mengambil semua yang dimilikinya, niscaya teman itu tiada akan melarangnya. Dan sekarang aku melihat kaum-kaum itu jumpa-menjumpai dan tanya-menanyakan, sehingga tentang ayam betina dalam rumah. Dan jikalau salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk mengambil sebutir biji-bijian daripada harta temannya, niscaya temannya itu melarangnya. Maka tidaklah ini, selain ria dan nifaq semata-mata ?”. Tanda yang demikian itu, ialah: bahwa engkau melihat si Ini menanyakan: “Bagaimana keadaan Engkau ?”, dan yang lain menanyakan: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Maka yang bertanya tiada menunggu jawaban dan yang ditanya bimbang memikirkan pertanyaan itu dan tidak menjawab,. Dan yang demikian adalah karena mereka tahu, bahwa itu adalah datangnya dari ria dan memberatkan diri. Dan kiranya hati tiada terlepas dari khianat dan dengki. Dan lidah hanya mengucapkan pertanyaan. Al-Hasan berkata: “Sesungguhnya mereka itu dahulu mengucapkan: “Assalamu’alaikum, apabila –demi Allah –hati itu telah sejahtera. Adapun sekarang, maka mereka itu mengucapkan: “Yang disebelah kiri !”. Maka mereka mengambil jalan yang di sebelah kiri itu. Maka binasalah dan sesatlah mereka. Dan yang lain duduk dan berhenti, sehingga hilanglah angin dan teranglah jalan. Lalu mereka itu berjalan.....”. Maka Sa’id mengasingkan diri dan suatu rombongan bersama dia, memisahkan diri dari segala fitnah. Dan mereka tidak bercampur-baur, kecuali sesudah hilang segala fitnah itu. Dari Ibnu Umar ra diriwayatkan, bahwa: tatkala sampai kepadanya berita bahwa Husain ra telah menuju Irak, lalu Ibnu Umar mengikutinya. Maka bertemulah ia dengan Husain sesudah berjalan 3 hari lamanya. Lalu Ibnu Umar bertanya kepada Husain: “Kemanakah engkau mau pergi ?”. Husain menjawab: “Ke Irak !”. Dan bersama Husain lembaran-lembaran keterangan dan surat-surat. Lalu Husain menyambung: “Inilah surat-surat dan sumpah setia (bai’ah) mereka !”. Lalu Ibnu Umar menjawab: “Janganlah kamu pandang kepada surat-surat mereka dan janganlah kamu datang kepada mereka !”. Husain enggan menerima nasehat Ibnu Umar. Lalu Ibnu Umar berkata: “Aku akan menerangkan kepadamu suatu hadits, bahwa: Jibril datang kepada Nabi saw. Lalu ia menyuruh pilih kepada Nabi saw antara dunia dan akhirat. Maka Nabi saw memilih akhirat dari dunia. Dan engkau itu sesungguhnya, sepotong daging dari tubuh Rasulullah saw. Demi Allah, tiada akan memerintah dunia oleh seseorang dari padamu selama-lamanya. Dan tiada memalingkan dunia daripadamu, melainkan untuk yang lebih baik bagimu”. Husain enggan kembali (ingin meneruskan perjalanannya ke Irak). Lalu Ibnu Umar memeluk Husain dan menangis tersedu-sedu, seraya berkata: “Aku serahkan engkau kepada Allah terbunuh atau tertawan !”. Maka tidaklah manusia itu duduk-duduk dalam suatu majelis dengan orang fasiq dalam sekejap waktu, walaupun ia menantang orang fasiq tadi pada bathinnya, melainkan jikalau sekiranya ia membanding akan dirinya kepada masa sebelumnya duduk-duduk itu, niscaya akan diketahuinya diantara dua masa itu suatu perbedaan, mengenai larinya hati dari perbuatan yang merusak dan beratnya hati kepada perbuatan yang merusak itu. Karena perbuatan yang merusak itu (perbuatan fasid) disebabkan banyaknya melihat, maka menjadi mudah pada tabiat (karakter). Lalu hilanglah kesan dan anggapan besar perbuatan fasid itu bagi orang tersebut. Dan sesungguhnya yang mencegah dari perbuatan fasid tadi, ialah kesangatan kesannya dalam hati. Maka apabila telah dianggap kecil disebabkan lamanya menyaksikan, niscaya hampirlah kekuatan mencegah itu terlepas dan tertunduklah tabiat (karakter) untuk cenderung kepada perbuatan fasid itu. Atau kepada yang lebih kurang lagi. Manakala lamalah menyaksikan dosa besar dari orang lain, niscaya ia memandang leceh (tidak berarti) akan segala dosa kecil dari dirinya sendiri. Dan karena itulah, orang yang selalu melihat kepada orang kaya, lalu memandang ringan akan nikmat Allah kepadanya. Maka membekaslah oleh duduk-duduk dengan orang-orang kaya, kepada memandang kecil akan apa yang ada padanya. Dan membekaslah oleh duduk-duduk dengan orang fakir-miskin, kepada menganggap besar nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Begitupula melihat kepada orang-orang yang taat dan orang yang ma’siat. Inilah membekasnya pada tabiat (karakter). Maka orang yang menjuruskan penglihatannya kepada memperhatikan keadaan para sahabat dan tabi’in (para pengikut sahabat) tentang ibadah dan membersihkan diri dari dunia, niscaya senantiasalah ia memandang kepada dirinya sendiri dengan pandangan kecil dan kepada ibadahnya dengan pandangan hina. Dan selama ia melihat dirinya itu teledor, maka tidaklah ia terlepas dari panggilan kesungguhan, karena ingin pada penyempurnaan dan menyempurnakan untuk mengikuti jejak para sahabat dan tabi’in itu. Orang yang melihat kepada keadaan yang banyak terjadi pada penduduk zamannya dan berpalingnya penduduk itu dari Allah, menghadapnya mereka kepada dunia dan dibiasakan mereka mengerjakan perbuatan ma’siat, niscaya orang itu memandang besar keadaan dirinya sendiri, dengan sedikit saja kegemaran kepada kebajikan, yang dijumpainya dalam hatinya. Yang demikian itu adalah binasa. Dan memadailah pada merobahnya tabiat (karakter) oleh semata-mata mendengar kebajikan dan kejahatan, lebih-lebih menyaksikannya. Dan dengan pengertian yang halus ini, dapatlah diketahui rahasia sabda Nabi saw: “Pada menyebutkan orang-orang shalih itu turunlah rahmat”. Sesungguhnya rahmat itu ialah masuk sorga dan bertemu dengan Allah. Dan tidaklah turun ketika menyebut itu, yang tersebut tadi. Tetapi yang turun ialah sebabnya. Yaitu membangkitnya kegemaran dari hati dan bergeraknya keinginan untuk mengikuti orang-orang shalih itu. Dan mencegah daripada apa yang mengkaburkannya, dari kurangnya perhatian dan keteledoran. Dan permulaan rahmat ialah berbuat kebajikan. Dan permulaan berbuat kebajikan ialah kegemaran. Dan permulaan kegemaran ialah menyebut hal-ikhwal orang-orang shalih. Maka inilah artinya: turun rahmat. Dan pengertian dari kandungan perkataan ini pada orang yang cerdik, adalah seperti pengertian dari kebalikannya. Yaitu: bahwa pada menyebutkan orang-orang fasiq, turunlah laknat (kutukan). Karena dengan banyak menyebutkan mereka, memudahkan kepada tabiat (karakter manusia), urusan perbuatan-perbuatan ma’siat. Dan laknat itu ialah: jauh. Dan permulaan kejauhan dari Allah, ialah perbuatan maksiat, berpaling daripada Allah dengan menghadapkan diri kepada nasib-nasib baik yang segera dan nafsu syahwat yang menjelma, tidak diatas cara yang disuruh menurut agama. Permulaan perbuatan ma’siat, ialah hilangnya rasa berat dan rasa kejinya dari hati. Dan permulaan hilangnya rasa berat, ialah terjadinya kejinakan hati dengan perbuatan ma’siat itu, dengan banyak mendengarnya. Apabila ini halnya menyebutkan orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, maka apakah persangkaanmu dengan menyaksikan mereka itu ? bahkan telah ditegaskan dengan demikian oleh Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Teman duduk yang jahat adalah seumpama dapur api tukang besi. Jikalau dapur api itu tiada membakarmu dengan bunga apinya, niscaya melekat padamu anginnya”. Maka sebagaimana angin itu melekat pada kain dan orang itu tiada merasakannya, maka begitupula mudahnya kerusakan pada hati dan ia tiada merasakannya. Dan Nabi saw bersabda: “Teman duduk yang shalih adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi. Jikalau ia tiada memberikan kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan memperoleh bau harumnya”. Karena inilah aku katakan: bahwa barangsiapa mengetahui dari seorang yang berilmu suatu kesilapan, niscaya haramlah ia menceritakannya, karena dua sebab:
Pertama: bahwa menceritakan itu adalah mengumpat.
Kedua:   dan inilah yang terbesar, bahwa menceritakannya itu memudahkan kepada para pendengar urusan kesilapan itu. Dan terhapuslah dari hati mereka rasa beratnya mengerjakan kesilapan itu. Lalu yang demikian itu menjadi sebab untuk mempermudahkan perbuatan ma’siat tadi. Karena sesungguhnya manakala terperosoklah seseorang pada suatu ma’siat, niscaya ia menantang yang demikian sebagai tantangan untuk penolakan, seraya berkata: “Bagaimanakah menjauhkan ini dari kita, padahal semua kita terpaksa kepada perbuatan yang seperti itu, sehingga para alim-ulama dan orang-orang abid juga ?”. Jikalau ia berkepercayaan bahwa perbuatan yang seperti itu tiada akan diperbuat oleh seorang ulama dan tiada akan dijamah oleh seorang yang memperoleh taufiq dan terpandang, niscaya sukarlah baginya tampil dengan alasan tadi. Maka banyaklah orang yang menyerupai anjing terhadap dunia, loba kepada mengumpulkannya, menempuh kebinasaan diatas kecintaan menjadi kepala dan penghiasannya, memudahkan bagi dirinya kekejian menjadi kepala itu dan mendakwakan, bahwa para sahabat ra tiada membersihkan dirinya daripada kecintaan menjadi kepala. Kadang-kadang ia mencari dalil diatas pendiriannya itu, dengan peperangan yang timbul diantara dalil diatas pendiriannya itu, dengan peperangan yang timbul diantara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dan ia menerka pada dirinya, bahwa peperangan yang tersebut tadi tidaklah untuk mencari kebenaran. Tetapi untuk mencari riasah (ingin menjadi kepala). Kepercayaan yang seperti ini salah, yang memudahkan kepadanya urusan riasah dan segala akibatnya yang merupakan perbuatan-perbuatan ma’siat. Dan tabiat yang terkutuk itu cenderung kepada mengikuti segala kesalahan dan menolak segala kebaikan. Bahkan kepada mengumpamakan kesalahan pada tempat yang tidak bersalah, dengan menempatkannya, menurut kemauan hawa nafsu, untuk menjadi alasan dengan yang demikian. Dan itu adalah setengah dari godaan setan yang halus-halus. Dan karena itulah disifatkan oleh Allah orang-orang yang bermusuhan dengan setan dengan firmanNya: “Yaitu orang-orang yang mendengarkan kata, lalu menuruti mana yang lebih baik”. S 39 Az Zumar ayat 18. Dan untuk itu, oleh Nabi saw dikemukakannya suatu perumpamaan, seraya beliau bersabda: “Orang yang duduk mendengar pengetahuan yang tinggi-tinggi (ilmu hikmah), kemudian tiada mengamalkannya, kecuali dengan yan buruk daripada apa yang didengarinya, adalah seumpama seorang yang datang kepada penggembala. Lalu berkata kepada penggembala itu: ‘Wahai penggembala ! bawalah kepadaku seekor dari kambingmu !’. Maka penggembala itu menjawab: ‘Pergilah dan ambilah kambing yang terbaik dari kawanan kambing itu !’. Lalu orang itu pergi, maka memegang telinga anjing penjaga kambing”. Dan tiap-tiap orang yang menukilkan kesalahan imam-imam (pemuka-pemuka), maka inilah juga contohnya. Dan setengah dari dalil yang menunjukkan kepada hilangnya pengaruh sesuatu dari hati, disebabkan berulang-ulang dan menyaksikannya, ialah bahwa kebanyakan manusia apabila melihat seorang muslim berbuka pada siang hari bulan Ramadlan, niscaya mereka itu menantang yang demikian, yang tantangan itu hampir membawa kepada kepercayaan akan kafirnya si muslim yang tiada berpuasa tadi. Kadang-kadang mereka itu menyaksikan orang yang tidak mengerjakan shalat pada waktunya dan tidaklah lari tabiat mereka dari orang itu, seperti larinya pada menta’khirkan (mengemudiankan) puasa, sedang satu shalat dengan meninggalkannya dapat menjadi kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Dan dapat dibunuh menurut pendapat segolongan lain. Dan meninggalkan puasa Ramadlan seluruhnya, tidaklah membawa kepada kekafiran. Dan tiadalah sebab bagi yang demikian, selain karena shalat itu berulang-ulang. Dan mempermudah-mudahkan tentang shalat itu, termasuk hal yang banyak. Maka hilanglah kesannya dari hati dengan menyaksikan itu. Dan yang demikian itu, jikalau seorang ahli-fiqh (al-faqih), memakai kain sutera atau cincin emas atau meminum pada mangkok perak, niscaya jiwa memandang jauh perbuatan tersebut dan sangatlah menantangnya. Kadang-kadang dapat dipersaksikan pada suatu sidang (majelis) yang lama, dimana tiada diperkatakan, kecuali persoalan yang menjadi umpatan kepada orang. Dan tidaklah diusahakan menjauhkan yang demikian. Padahal mengumpat itu lebih berat daripada zina. Maka bagaimana pula, mengumpat itu tiada lebih berat daripada memakai sutera ? tetapi karena banyaknya mendengar umpatan dan menyaksikan orang-orang yang mengumpat, maka hilanglah kesannya dari hati. Dan terpandang mudahlah urusannya pada jiwa. Maka hendaklah anda memperhatikan benar-benar akan pengertian-pengertian yang halus ini !. Dan larilah dari manusia, sebagaimana larinya anda dari singa ! karena anda tiada akan menyaksikan dari manusia itu, selain hal-hal yang menambahkan kelobaanmu kepada dunia dan melalaikanmu dari akhirat. Memudahkan kepadamu perbuatan ma’siat dan melemahkan kegemaranmu kepada perbuatan taat. Jikalau engkau memperoleh seorang teman duduk yang mengingatkan engkau kepada Allah dengan melihat wajahnya dan perjalanan hidupnya, maka rapatilah dan janganlah engkau berpisah daripadanya ! rampaslah hatinya dan janganlah engkau memandang hina kepadanya ! karena itu adalah rampasan bagi orang yang berakal dan barang hilang bagi orang mu’min. Dan yakinlah, bahwa teman duduk yang shalih itu, lebih baik daripada sendirian. Dan sendirian itu, lebih baik daripada teman duduk yang jahat. Manakala anda telah memahami segala pengertian ini dan anda memperhatikan akan tabiat (karakter) anda dan anda menoleh kepada keadaan orang yang anda kehendaki bercampur-baur dengan dia, niscaya tidaklah tersembunyi bagi anda, bahwa yang lebih utama, menjauhkan diri daripada orang itu, dengan mengasingkan diri (‘uzlah). Atau mendekatkan diri kepadanya dengan bercampur-baur. Dan hati-hatilah untuk menetapkan secara mutlaq kepada ‘uzlah atau bercampur-baur, dengan menetapkan salah satunya yang lebih utama. Karena masing-masing memerlukan kepada penguraian. Maka mengatakan secara mutlaq dalam soal ini, dengan: tidak atau ya, adalah menyalahi dari perkataan itu sendiri semata-mata. Dan tidaklah benar pada yang memerlukan kepada uraian, melainkan dengan uraian.
FAEDAH KETIGA:
Terlepas dari segala fitnah dan permusuhan, terpelihara agama dan jiwa daripada terjerumus ke dalamnya dan dari menghadapi segala bahayanya.
Sedikitlah negeri-negeri yang terlepas dari sifat ta’ash-shub (fanatik), fitnah dan permusuhan. Maka orang yang mengasingkan diri dari mereka, dapatlah memperoleh keselamatan daripadanya. Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: “Tatkala Rasulullah saw menyebutkan fitnah-fitnah itu dan menyifatkannya dan bersabda: ‘Apabila engkau melihat manusia, dimana janjinya tidak ditepati dan amanah yang diserahkan kepadanya tersembunyi-senyap dan mereka itu berada: begini !’ dan Rasulullah saw menjerjakkan diantara anak-anak jarinya, lalu aku bertanya: “Maka apakah yang engkau suruhkan aku ?”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Tetaplah kamu di rumah, milikilah lidahmu atas dirimu, ambilkanlah apa yang kamu pandang ma’ruf dan tinggalkanlah apa yang kamu pandang munkar ! kerjakanlah pekerjaan yang tertentu bagi dirimu dan tinggalkanlah pekerjaan yang umum kepada orang banyak !”. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Hampirlah bahwa sebaik-baik harta seorang muslim, ialah kambing, yang diikutinya bersama kambing itu ke puncak-puncak bukit dan tempat-tempat iringan unta. Ia lari dengan agamanya dari segala fitnah, dari satu daratan tinggi ke satu daratan tinggi”. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa, dimana bagi orang yang beragama tiada akan selamat agamanya, selain orang yang lari, dengan agamanya dari kampung ke kampung, dari dataran tinggi ke dataran tinggi dan dari batu ke batu, seperti pelanduk yang pergi kesana-kemari”. Lalu ada yang menanyakan kepada Nabi saw: “Pabilakah yang demikian itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila kehidupan itu tiada diperoleh, kecuali dengan perbuatan ma’siat kepada Allah Ta’ala. Maka apabila masa itu tiba, niscaya halallah membujang (tidak kawin)”. Lalu mereka itu bertanya lagi: “Bagaimanakah yang demikian itu, wahai Rasulullah, sedang engkau menyuruhkan kami kawin ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila masa itu tiba, adalah kebinasaan seseorang itu pada tangan ibu bapaknya. Jikalau ia tiada beribu-bapak, maka pada kedua tangan isteri dan anaknya. Jikalau itu tidak ada, maka pada kedua tangan keluarganya”. Mereka itu bertanya pula: “Bagaimanakah yang demikian itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka menghinakannya dengan menyempitkan tangan (tidak mau memberikan). Lalu terpaksa ia mengerjakan pekerjaan berat, yang tidak disanggupinya. Sehingga yang demikian itu mendatangkannya ke tempat-tempat kebinasaan”. Hadits ini, walaupun mengenai persoalan membujang,  tetapi pengasingan diri (‘uzlah) dapatlah dipahami daripadanya. Karena orang yang berkeluarga tidak dapat menyingkirkan diri dari penghidupan dan bercampur-bauran. Kemudian, ia tiada memperoleh penghidupan itu, kecuali dengan berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah aku mengatakan, bahwa inilah masanya zaman itu. Sesungguhnya masa itu telah ada pada beberapa zaman sebelum masa yang sekarang ini. Dan karenanya berkata Sufyan: “Wallaahi, demi Allah, sesungguhnya telah halal mengasingkan diri (‘uzlah)”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Rasulullah saw menyebutkan hari-hari fitnah dan hari-hari kacau. Lalu aku bertanya: “Apakah hari kacau itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ketika orang tidak merasa aman dengan teman duduknya”. Lalu aku bertanya lagi: “Apakah yang engkau suruhkan aku jikalau aku ketahui masa itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Cegahlah dirimu dan tanganmu dan masuklah ke rumahmu !”. Ibnu Mas’ud meneruskan riwayatnya: “Lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! bagaimana pendapatmu, jikalau orang itu masuk ke kampungku ?”. Nabi saw menjawab: “Masuklah ke rumahmu !”. Lalu aku menyambung lagi: “Jikalau orang itu masuk ke rumahku ?”. Nabi saw menjawab: “Masuklah ke masjidmu dan perbuatkanlah begini ! dan beliau menggenggam pergelangan tangannya. Dan katakanlah: ‘Tuhanku Allah’, sampai engkau meninggal dunia”. Sa’ad berkata tatkala ia diminta keluar dari rumahnya pada hari-hari pemerintahan Mu’awiyah: “Tidak ! kecuali kamu berikan kepadaku pedang yang mempunyai dua mata yang bisa melihat dan lidah yang dapat mengatakan orang kafir. Lalu aku bunuh kafir itu. Dan dapat mengatakan: orang mu’min. Lalu aku cegah dari orang mu’min itu”. Dan Sa’ad menyambung perkataannya: “Seperti kami dan seperti kamu itu, adalah seperti suatu kaum yang berada di tengah jalan yang putih terang. Maka di waktu mereka itu sedang berjalan demikian, tiba-tiba berhembuslah dengan dahsyat angin yang berdebu tebal. Lalu mereka tersesat jalan, sehingga jalan itu meragukan mereka. Lalu setengah mereka berkata: “Jalan itu yang disebelah kanan !”. Maka mereka mengambil jalan yang di sebelah kanan itu. maka binasalah dan sesatlah mereka. Setengah mereka berkata: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ? kiranya Allah memberikan kesehat wal-afiatan kepada engkau ! bagaimanakah engkau ? kiranya Allah mendatangkan kebaikan kepada engkau !”. Jikalau kita ambil ucapan mereka itu, maka itu adalah bid’ah, bukan penghormatan. Jikalau mereka mau, niscaya mereka boleh marah kepada kita dan jikalau mereka mau, boleh tidak”. Sesungguhnya Al-Hasan mengatakan demikian, karena memulai dengan ucapan: “Bagaimana engkau berpagi hari” (kaifa ash-bahta atau selamat pagi), adalah bid'ah. Seorang laki-laki mengucapkan kepada Abu Bakar bin ‘Ayyasy: “Bagaimana engkau berpagi hari (kaifa ash-bahta) ?”, maka tidak dijawabnya. Dan beliau berkata: “Tinggalkanlah kami dari bid’ah ini !”. Dan beliau menyambung: “Sesungguhnya ini terjadi pada masa berkecambuk penyakit kolera, yang disebut “Kolera ‘Amwas” di negeri Syam (Syria), dari kematian yang mendahsyat, dimana seorang yang dijumpai temannya pada pagi hari, lalu teman itu mengucapkan: “Kaifa ash-bahta minath-thaun ?”(Bagaimana engkau berpagi hari dari penyakit kolera?). Dan dijumpai pada sore hari, lalu diucapkan: “Kaifa amsaita ?”(Bagaimana engkau bersore hari ?). Maksudnya, bahwa perjumpaan itu pada kebanyakan adat-kebiasaan, tidaklah terlepas dari bermacam cara yang dibuat-buat, ria dan nifaq. Dan semuanya itu adalah tercela. Sebahagiannya terlarang (haram) dan sebahagiannya makruh. Dan pada ber’uzlah adalah melepaskan diri daripada yang demikian. Karena orang yang bertemu dengan orang banyak dan tidak berakhlaq dengan akhlaq mereka, niscaya mereka mencacikannya, memandang menjadi beban, mencela dan berkekalan menyakitinya. Maka hilanglah agama mereka padanya dan hilanglah agamanya dan dunianya pada mendendam mereka. Adapun curi-mencuri tabiat (karakter) daripada apa yang dipersaksikannya, dari segala budi pekerti dan amal perbuatan manusia, maka itu adalah penyakit yang sudah tertanam. Sedikitlah orang-orang yang berakal menaruh perhatian padanya, apalagi orang-orang yang lalai. Dan adalah dalam kalangan sahabat itu, 10 ribu orang banyaknya. Dan fitnah (kekacauan) itu baru meringan, sesudah tinggal hanya lebih dari 40 orang. Thaus duduk di rumahnya, lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka ia menjawab: “Kerusakan masa dan kedzaliman imam-imam (pemuka-pemuka)”. Tatkala Urwah membangun istananya di ‘Uqaiq dan ia selalu di istananya, lalu orang berkata kepadanya: “Engkau selalu di istana dan meninggalkan masjid Rasulullah saw”. Maka Urwah menjawab: “Aku melihat masjid-masjidmu itu tempat bermain, pasar-pasarmu itu tempat yang sia-sia dan perbuatan keji di jalan-jalanmu itu sudah meninggi. Dan pada apa yang di sana itu, di luar dari tempat di mana kamu di dalamnya, adalah sehat dan afiat”. Jadi, menjaga diri dari permusuhan dan penebaran fitnah adalah salah satu daripada faedah-faedah ‘uzlah.
FAEDAH KEEMPAT:
Terlepas dari kejahatan manusia.
Sesungguhnya manusia itu akan menyakitkan kamu, sekali dengan jalan mengumpat, sekali dengan jahat sangka dan tuduhan, sekali dengan saran-saran dan loba yang palsu, yang sulit melaksanakannya dan sekali dengan lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (namimah) atau dusta. Kadang-kadang mereka itu melihat daripadamu perbuatan atau perkataan, yang tak sampai akal mereka kepada hakikatnya. Lalu mereka mengambil yang demikian itu menjadi simpanan pada mereka. Mereka simpan untuk suatu waktu, yang lahir padanya kesempatan untuk kejahatan. Maka apabila engkau mengasingkan diri dari mereka, niscaya engkau tidak memerlukan kepada menjaga diri dari semua tadi. Karena itulah berkata setengah hukama’ (ahli hikmat) kepada bukan ahli hikmat: “Aku ajarkan kamu dua kuntum syair, lebih baik daripada aku berikan 10 ribu dirham”. Lalu orang itu bertanya: “Manakah dua kuntum syair itu ?”. Maka ahli hikmat tadi, membacakannya, yang artinya sebagai berikut:
Kecilkanlah suaramu,
jika engkau berbicara di malam hari !
Berpalinglah kekiri-kananmu,
sebelum berbicara di siang hari !.
Tidaklah perkataan itu,
dapat dikembalikan lagi,
ketika telah keluar dari mulutmu,
baik keji atau bagus sekali.
Dan tidak ragu lagi, bahwa barangsiapa bercampur-baur dengan orang banyak dan bersekutu dengan mereka dalam segala pekerjaannya, maka tidaklah terlepas dari adanya yang dengki dan musuh, yang berjahat sangka. Dan menduga bahwa dia mengadakan persiapan untuk memusuhinya, menegakkan penipuan terhadapnya dan menanamkan marabahaya di belakangnya. Maka manusia, betapapun bersangatan lobanya kepada suatu hal, mengira setiap suara keras ditujukan kepadanya. Mereka adalah musuh, maka hendaklah engkau mawas diri terhadap mereka !. Sesungguhnya bersangatan lobanya mereka kepada dunia, lalu mereka tiada menyangka orang lain, melainkan loba juga kepada dunia. Al-Mutanabbi bermadah:
Apabila jahat perbuatan manusia,
maka jahatlah sangka-sangkanya.
Dan benarlah apa yang dibiasakannya,
selalu dari sangka-waham saja.
Ia memusuhi pencinta-pencintanya,
disebabkan perkataan musuh-musuhnya.
Maka ia berada dalam malam syak-wasangka,
yang amat gelap-gulita...........
Dan ada yang mengatakan: “Bergaul dengan orang-orang jahat, mewarisi jahat sangka kepada orang yang baik-baik”. Macam-macam kejahatan yang banyak, yang ditemui manusia dari kenalannya dan dari orang yang ia bercampur-baur dengan dia. Dan kami tidak memanjangkan uraiannya. Dan pada apa yang telah kami sebutkan, adalah menunjukkan kepada kumpulannya. Dan dengan mengasingkan diri, terlepaslah dari semuanya. Dan kepada inilah diisyaratkan oleh kebanyakan ulama dari orang-orang yang memilih ‘uzlah itu. Abud-Darda’ berkata: “Ceritakanlah, sedikitkanlah yang diceritakan itu !”. Ucapan dari Abud-Darda’ tadi, ada yang meriwayatkan itu hadits marfu’. Bermadahlah penyair:
Orang yang memuji manusia,
dan tidak mencoba manusia yang dipuji itu.
Maka kemudian, manusia itu dicoba,
oleh celaan orang yang memuji itu.
Dan jadilah ia berjinak-jinakan
dengan sendirian saja;.......
Hatinya diliarkan oleh orang yang berdekatan
dan yang berjauhan juga.......
Umar ra berkata: “Pada ‘uzlah itu memperoleh istirahat”. Ada orang yang bertanya kepada Abdullah bin Az-Zubair: “Tidakkah tuan datang ke Madinah ?”. Maka beliau menjawab: “Tidak ada lagi di Madinah, selain orang yang dengki kepada nikmat orang atau gembira kepada kesusahan orang”. Ibnus-Sammak berkata: “Seorang teman menulis surat kepada kami, yang isinya sbb:
“Amma ba’du- adapun kemudian, sesungguhnya manusia itu adalah obat yang diperobatkan dengan dia. Lalu jadilah mereka itu penyakit, yang tak ada obat bagi penyakit itu. Maka larilah dari mereka itu, sebagaimana larinya engkau dari singa !”.
Adalah setengah Arab dusun selalu berada pada sepohon kayu dan mengatakan: “Pohon kayu itu adalah teman. Padanya 3 perkara: jikalau ia mendengar daripadaku, niscaya ia tidak menyebut-nyebutkan sebagai lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang atasku. Jikalau aku meludah pada mukanya, niscaya ia menanggung yang demikian daripadaku. Dan jikalau aku berakhlaq buruk kepadanya, niscaya ia tidak marah”. Perkataan itu didengar oleh Harunurrasyid, lalu beliau berkata: “Jadikanlah aku ini zuhud pada teman-teman itu !”. Adalah setengah mereka selalu pada kumpulan lembaran-lembaran buku dan pekuburan. Lalu ia ditanyakan tentang yang demikian. Maka ia menjawab: “Aku tiada melihat yang lebih menyelamatkan, selain dari sendirian. Tiada yang lebih memberi pengajaran, selain dari pekuburan. Dan tiada teman duduk yang lebih menyedapkan, selain dari lembaran-lembaran buku”. Al-Hasan ra berkata: “Aku bermaksud menunaikan hajji. Lalu didengar yang demikian oleh Tsabit Al-Bannani. Beliau juga termasuk waliullah (aulia Allah). Maka beliau berkata: “Telah sampai kepadaku berita, bahwa engkau bermaksud menunaikan hajji. Maka aku suka benar menemani engkau”. Lalu Al-Hasan menjawab: “Celaka ! biarkanlah kami bergaul dengan tabir Allah kepada kami ! aku sesungguhnya takut bahwa kami mempunyai teman. Lalu dilihat oleh satu sama lain dari kami, apa yang kami caci-mencaci terhadap dia”. Ini menunjukkan kepada faedah yang lain lagi pada ‘uzlah. Yaitu kekalnya tabir atas agama, kepribadian, akhlaq, kemiskinan dan hal-hal lain, yang perlu ditutup (yang menjadi aurat). Sesungguhnya Allah swt memuji orang-orang yang menutupi hal-hal tadi. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang tidak tahu, mengira bahwa mereka orang-orang kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta)”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Seorang penyair bermadah:
Tidaklah malu jikalau hilang
kenikmatan dari orang merdeka.
Tetapi yang malu ialah hilang
keelokan budi bahasa.....
Tidaklah manusia itu terlepas tentang agama, dunia, akhlaq, dan perbuatan-perbuatannya dari aurat (yang memalukan kalau terbuka). Yang utama pada agama dan dunia, ialah menutupi aurat itu. Dan tidak ada keselamatan dengan membukakannya. Abud-Darda’ berkata: “Adalah manusia itu dahulu ibarat daun yang tidak berduri. Maka manusia itu sekarang, adalah ibarat duri yang tidak berdaun”. Apabila ini keadaannya masa Abud-Darda’, yaitu: pada akhir abad pertama hijriah, maka tiada seyogyalah untuk diragukan, bahwa pada masa yang kemudian dari itu adalah lebih buruk. Sufyan bin Uyaynah berkata: “Berkata kepadaku Sufyan Ats-Tsuri, tentang bangun pada hidupnya dan tentang tidur sesudah meninggalnya: “Sedikitkanlah mengenal manusia ! karena melepaskan diri daripada mereka itu sukar. Dan aku tiada mengira akan melihat apa yang tiada aku sukai, selain dari orang yang aku kenal”. Setengah mereka berkata: “Aku datang kepada Malik bin Dinar dan beliau sedang duduk sendirian. Tiba-tiba seekor anjing meletakkan dagunya atas lututnya. Lalu aku pergi mengusirkan anjing itu. Maka beliau berkata: “Biarkanlah anjing itu, wahai saudara ! dia tidak mendatangkan melarat dan tidak menyakitkan. Dan dia lebih baik dari teman duduk yang jahat”. Ditanyakan kepada setengah mereka: “Apakah yang membawa mengasingkan diri dari manusia ramai ?”. Lalu orang itu menjawab: “Aku takut, bahwa aku mencabut agamaku dan aku tiada merasa”. Ini adalah isyarat kepada curi-mencurikan tabiat (karakter) dari budi-pekerti teman yang jahat. Abud-Darda’ berkata: “Bertaqwalah kepada Allah dan takutilah manusia ! karena manusia itu tiada mengendarai punggung unta, melainkan membelakangi unta itu. Tiada mengendarai punggung kuda yang cepat lari, melainkan melukainya. Dan tiada mengendarai hati mu’min, melainkan merobohkannya”. Berkata setengah mereka: “Sedikitkanlah kenalan ! sesungguhnya yang demikian, lebih menyelamatkan agamamu dan hatimu. Dan lebih meringankan untuk gugurnya hak-hak daripada kamu. Karena manakala telah banyak kenalan, niscaya banyaklah hak-hak kenalan itu. Dan sukarlah melaksanakan semuanya”. Berkata setengah mereka: “Tantanglah orang yang engkau kenal! dan janganlah berkenalan dengan orang yang tiada engkau kenal!
FAEDAH KELIMA:
Bahwa terputuslah harapan manusia daripada engkau dan terputuslah harapan engkau daripada manusia. Adapun terputusnya harapan manusia daripada engkau, maka padanya banyak faedah. Karena kerelaan manusia (ingin memperoleh kerelaannya) adalah suatu maksud yang tiada akan tercapai. Maka mempergunakan waktu untuk memperbaiki diri sendiri adalah lebih utama. Seenteng-enteng dan semudah-mudahnya, hak kenalan itu ialah menghadiri janazah, mengunjungi orang sakit, mendatangi pesta dan orang kawin. Dan pada semuanya itu menghilangkan waktu dan mendatangkan bencana. Kemudian, kadang-kadang dihalangi dari sebahagiannya oleh penghalang-penghalang. Dan dihadapi rintangan-rintangan padanya. Dan tidaklah mungkin melahirkan tiap-tiap rintangan itu. Lalu mereka mengatakan kepadanya: “Engkau telah laksanakan hak si Anu dan engkau lalaikan tentang hak kami”. Dan jadilah yang demikian sebab permusuhan. Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa tiada mengunjungi orang sakit pada waktu kunjungan, niscaya ia suka matinya orang itu, karena takut diberi malu, apabila benar ia teledor. Barangsiapa meratakan semua orang dengan tidak memberi, niscaya semuanya senang kepadanya. Dan jikalau ditentukannya sebahagian dengan memberi, niscaya mereka merasa liar hati daripadanya. Dan meratakan semua mereka dengan segala hak itu, tiada akan sanggup dilaksanakan oleh orang yang menjuruskan perhatiannya untuk itu sepanjang malam dan siang. Maka betapakah lagi orang yang mempunyai kepentingan yang dikerjakannya, mengenai agama dan dunia. Amr bin Al-Ash berkata: “Banyaknya teman maka banyaklah orang-orang yang memperhutangkan kita (al-ghurama’)”. Ibnu Rumi berkata:
Musuhmu mengambil faedah dari temanmu,
maka janganlah engkau memperbanyak teman !
Karena kebanyakan penyakit engkau temui,
adalah dari makanan dan minuman.
Asy-Syafi’i ra berkata: “Asalnya tiap-tiap permusuhan, ialah berbuat baik kepada orang-orang yang berjiwa kotor. Memutuskan harapanmu dari orang-orang yang berjiwa kotor itu, besar juga faedahnya. Karena orang yang memandang kepada kembang dan perhiasan dunia, niscaya tergeraklah keinginannya dan membangkitlah kelobaannya dengan kuatnya keinginan itu. Dan ia tiada melihat selain kekecewaan pada kebanyakan hal. Lalu ia menderita dengan yang demikian”. Dan manakala ia mengasingkan diri (ber’uzlah), niscaya ia tiada menyaksikannya. Dan apabila ia tiada menyaksikannya, niscaya ia tiada merindui dan mengharapkannya. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau tujukan pemandangan engkau kepada kesenangan sebagai bunga kehidupan dunia yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka”. S 20 Thaahaa ayat 131. Dan Nabi saw bersabda: “Lihatlah kepada orang yang kurang daripada kamu dan jangan kamu melihat kepada orang yang diatas kamu ! karena yang demikian adalah lebih layak untuk kamu tidak menghinakan nikmat Allah kepadamu”. ‘Aun bin Abdullah berkata: “Adalah aku duduk-duduk dengan orang-orang kaya. Maka selalulah aku bersedih hati. Aku melihat kainnya lebih bagus daripada kainku dan kendaraannya lebih rajin daripada kendaraanku. Lalu aku duduk-duduk dengan orang-orang fakir-miskin. Maka aku merasa tentram”. Diceritakan bahwa Al-Mazani ra keluar dari pintu masjid jami’ Al-Fusthath. Dan datanglah di depannya Ibnu Abdil Hakam dalam rombongannya. Maka amatlah tercengang Al-Mazani akan apa yang dilihatnya dari kebagusan keadaan dan bentuknya dari rombongan itu. Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Dan Kami jadikan sebahagian kamu menjadi ujian kepada yang lain. Sabarkah kamu ?”. S 25 Al Furqaan ayat 20. Kemudian Al-Mazani berkata: “Ya, saya sabar dan rela”. Dan adalah Al-Mazani seorang fakir yang sedikit sekali mempunyai harta. Maka orang dalam rumahnya, tidaklah mendapat percobaan seperti percobaan-percobaan ini. Maka sesungguhnya orang yang menyaksikan perhiasan dunia, adakalanya untuk ia menguatkan agama dan keyakinannya. Lalu ia bersabar. Maka ia memerlukan kepada meneguk kepahitan sabar. Dan itu adalah lebih pahit dari sabar itu sendiri. Atau membangkit keinginannya. Lalu ia berdaya-upaya mencari dunia. Maka binasalah ia untuk selama-lamanya. Adapun di dunia, maka dengan kelobaan yang mengecewakan dalam kebanyakan waktu. Maka tidaklah tiap-tiap orang yang mencari dunia itu, mudah baginya jalan yang ditempuh. Adapun di akhirat, maka dengan dipilihnya mata-benda dunia daripada berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya. Dan karena itulah Ibnul A’rabi bermadah:
Apabila pintu kehinaan,
diperoleh dari segi kekayaan.
Maka engkau meninggi kepada ketinggian,
dari segi kemiskinan.......
Beliau isyaratkan kepada kelobaan itu mengharuskan kehinaan pada waktu sekarang juga.
FAEDAH KEENAM:
Terlepas daripada menyaksikan orang-orang yang berat perangainya dan kurang akal pikirannya. Dan terlepas daripada kekerasan kebodohan dan budi pekerti orang-orang itu. Karena melihat orang yang berat perangainya itu, adalah buta kecil. Ditanyakan Al-A’masy: “Dari apakah yang membutakan kedua matamu ?”. Al-A’masy menjawab: “Dari karena memandang kepada orang-orang yang berat perangainya”. Diceritakan, bahwa Imam Abu Hanifah masuk ke tempat Al-A’masy. Lalu beliau mengatakan, bahwa tersebut pada hadits: “Sesungguhnya barangsiapa dicabut oleh Allah kedua matanya, niscaya digantikan oleh Allah kedua matanya itu dengan yang lebih baik dari kedua mata itu. Maka apakah yang digantikan oleh Allah pada engkau ?”.Al-A’masy menjawab: “Pada mengemukakan yang baik-baik itu maka Allah Ta’ala menggantikan kepadaku dari kedua mata itu, dengan mencukupkan bagiku melihat orang-orang yang berat perangainya. Dan engkau adalah setengah dari orang-orang itu”. Ibnu Sirin berkata: “Aku mendengar seorang laki-laki berkata: “Pada suatu kali aku memandang kepada orang yang berat perangainya, maka pitamlah aku”. Jalinus berkata: “Tiap-tiap sesuatu itu ada demamnya. Dan demam jiwa ialah memandang kepada orang-orang yang berat perangainya”. Asy-Syafi’i ra berkata: “Tiada aku duduk-duduk dengan orang yang berat perangainya, melainkan aku dapati bahagian badanku yang lebih dekat kepadanya, seakan-akan lebih berat kepadaku dari pada bahagian yang lain”. Faedah-faedah ini, selain dari dua yang pertama, adalah bersangkutan dengan maksud-maksud keduniaan yang sekarang. Tetapi juga menyangkut dengan agama. Karena manusia itu manakala merasa disakiti dengan melihat orang yang berat perangainya, niscaya tidak akan merasa aman, bahwa orang itu akan mengumpatinya. Dan akan mengingkari apa yang dijadikan oleh Allah. Maka apabila ia merasa sakit dari orang lain, dengan umpatan atau jahat sangkaan atau dengki-mendengki atau lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang atau lain dari itu, niscaya ia tidak akan dapat bersabar daripada membalasinya. Dan semua yang demikian itu menghela kepada kerusakan agama. Dan dengan mengasingkan diri (ber’uzlah) memperoleh keselamatan dari semua itu. Maka hendaklah dipahami !.
BAHAYA ‘UZLAH.
Ketahuilah, bahwa setengah daripada maksud-maksud keagamaan dan keduniaan, ialah apa yang diperoleh faedahnya dengan mendapat pertolongan orang lain. Dan tidaklah berhasil yang demikian itu, selain dengan bercampur-baur. Maka tiap-tiap yang diperoleh faedahnya daripada bercampur-baur, akan hilang dengan mengasingkan diri (‘uzlah). Dan hilangnya itu adalah setengah daripada bahaya ‘uzlah. Maka perhatikanlah kepada faedah-faedah bercampur-baur dan apa-apakah yang memanggil kepadanya. Yaitu: mengajar dan belajar, memberi manfaat dan mengambil manfaat. Mengajar adab sopan-santun (ta’dib) dan belajar adab sopan santun (ta-addub). Memperoleh kejinakan hati dan menjinakkan hati. Memperoleh pahala dan menghasilkan pahala pada menegakkan hak-hak orang. Membiasakan kerendahan diri. Dan mengambil faedah dari pengalaman-pengalaman, dengan menyaksikan hal-hal dan mengambil ibarat dengan hal-hal itu. Maka marilah kami uraikan yang demikian ! sesungguhnya semua itu termasuk sebahagian dari faedah-faedah bercampur-baur. Yaitu: 7.
FAEDAH PERTAMA: mengajar dan belajar.
Sesungguhnya telah kami sebutkan keutamaan keduanya itu pada “Kitab Ilmu” dahulu. Dan keduanya itu ibadah yang terbesar dalam dunia. Dan tidaklah tergambar yang demikian itu, selain dengan bercampur-baur. Kecuali bahwa ilmu pengetahuan itu banyak. Sebahagiannya luas dan sebahagiannya penting di dunia. Maka orang yang memerlukan kepada mempelajari apa yang wajib ke atas dirinya, adalah menjadi orang ma’siat (berdosa) dengan mengasingkan diri. Jikalau ia telah mempelajari yang fardlu (yang wajib) dan tidak mungkin ia mencemplungkan diri ke dalam bidang ilmu pengetahuan dan ia melihat akan kegunaan waktunya dengan ibadah, maka hendaklah ia ber’uzlah (mengasingkan diri). Dan jikalau ia sanggup muncul dalam lapangan ilmu syariat dan ilmu akal (eksak), maka pengasingan diri terhadap dirinya sebelum belajar, adalah rugi sekali. Dan karena inilah, An-Nakha’i dan lainnya berkata: “Belajarlah fiqh (tuntutlah ilmu), kemudian asingkanlah diri ! dan barangsiapa mengasingkan diri sebelum belajar, maka orang itu pada kebanyakannya, menyia-nyiakan waktu dengan tidur atau berfikir pada tepian gila”. Dan kesudahannya, ia menghabiskan waktu dengan wirid-wirid yang dilengkapinya. Dan senantiasalah ia pada segala amalannya dengan tubuh dan hati, dengan berbagai macam tipu-daya yang menyia-nyiakan usahanya. Dan membatalkan amalannya, dimana ia tiada mengetahuinya. Dan senantiasalah keimanannya (i’tiqadnya) mengenai Allah dan sifatNya dengan sangkaan-sangkaan yang disangkainya. Dan hatinya jinak dengan sangkaan-sangkaan itu. Dan dengan gurisan-gurisan yang buruk yang menimpa dirinya. Maka adalah ia dalam kebanyakan halnya itu, tertawaan bagi setan. Dan ia melihat dirinya setengah daripada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Jadi, ilmu itu adalah pokok agama, maka tiadalah kebajikan pada mengasingkan diri bagi orang-orang awam dan orang-orang bodoh. Ya’ni: orang yang tiada pandai beribadah pada tempat khilwah/bersemedi. Dan ia tiada mengetahui semua yang harus baginya pada tempat khilwah itu. Maka jiwa itu adalah seperti orang sakit, yang memerlukan kepada dokter yang lemah-lembut, yang akan mengobatinya. Maka orang sakit yang bodoh, apabila bersemadi sendirian dari dokter, sebelum mempelajari ilmu kedokteran, maka tidaklah mustahil penyakitnya bertambah berlipat-ganda. Dari itu, maka tidaklah layak mengasingkan diri, kecuali orang yang berilmu. Adapun mengajar, maka padanya pahala besar, manakala benarlah niat yang mengajar dan yang belajar. Manakala maksudnya itu menegakkan kemegahan dan memperbanyakkan teman dan pengikut, maka itu membinasakan agama. Dan sudah kami sebutkan cara yang demikian itu pada “Kitab Ilmu” dahulu. Dan hukumnya orang yang berilmu pada masa ini, ialah mengasingkan diri jikalau ia menghendaki keselamatan agamanya. Karena ia tiada akan melihat orang yang memperoleh faedah, yang mencari faedah itu untuk agamanya. Tetapi tak adalah pelajar itu, melainkan untuk kata-kata yang berhias, untuk menarik orang awam (orang kebanyakan) pada penonjolan pengajaran. Atau untuk pertengkaran, yang berbelit-belit, yang menyampaikannya kepada mengalahkan teman dan mendekatkannya kepada sultan (penguasa). Dan mempergunakannya pada penonjolan berlomba-lombaan dan bermegah-megahan. Dan yang terdekat ilmu pengetahuan yang diingini, ialah madzhab. Dan biasanya tidak dicari, kecuali untuk menyampaikan kepada penampilan ke depan diatas teman-teman sebaya, memerintahi wilayah-wilayah dan menarik harta kekayaan. Maka mereka itu semua, menurut apa yang dikehendaki oleh agama dan penjagaan diri dari kebinasaan, ialah mengasingkan diri dari mereka itu. Jikalau dijumpai seorang pelajar karena Allah dan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, maka dosa yang terbesarlah mengasingkan diri daripadanya dan menyembunyikan ilmu daripadanya. Dan ini tiada akan dijumpai pada suatu negeri besar, lebih banyak dari seorang atau dua. Itupun kalau dijumpai. Dan tiada seyogyalah manusia itu tertipu dengan ucapan Sufyan: “Kami mempelajari ilmu karena selain Allah, maka ilmu itu enggan untuk ada ia, kecuali karena Allah”. Maka sesungguhnya para ulama fiqh (fuqaha’) itu mempelajari ilmu karena selain Allah. Kemudian mereka itu kembali kepada Allah. Dan lihatlah akhir usia kebanyakan mereka dan ambillah ibarat, bahwa mereka itu meninggal, dimana mereka itu binasa mencari dunia ! dan sangatlah lobanya kepada dunia atau benci kepada dunia dan zuhud pada dunia. Dan tidaklah berita itu seperti disaksikan dengan mata kepala !. Ketahuilah, bahwa ilmu yang diisyaratkan oleh Sufyan tadi, ialah: ilmu hadits, tafsir Alquran, mengenal sejarah nabi-nabi dan para sahabat. Karena padanya membawa kepada penakutan dan peringatan. Dan itu adalah sebab untuk mengobar-ngobarkan takut kepada Allah. Jikalau tidak membekas pada masa sekarang, niscaya akan membekas pada masa yang akan datang. Adapun ilmu kalam dan fiqh yang semata-mata berhubungan dengan fatwa-fatwa bahagian mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan penyelesaian persengketaan itu adalah madzhab daripadanya dan perbedaan pendapat. Tidaklah kembali orang yang gemar padanya karena dunia, kepada Allah. Tetapi senantiasalah terus-menerus pada kelobaannya sampai kepada akhir usianya. Semoga apa yang kami simpan itu ialah Kitab ini. Jikalau dipelajari oleh pelajarnya karena mengingini dunia, maka bolehlah ia diberi kesempatan karena diharapkan memperoleh peringatan (pengajaran) dengan Kitab ini pada akhir usianya. Karena Kitab ini penuh dengan menakutkannya kepada Allah, menggemarkannya kepada akhirat dan memperingatkannya dari bahaya dunia. Dan yang demikian, adalah setengah daripada apa yang dijumpai dalam hadits-hadits dan tafsir Alquran. Dan tidak dijumpai pada ilmu kalam, pada masalah khilafiah dan pada madzhab. Maka tiada seyogyalah manusia itu menipu dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang teledor, yang mengetahui dengan keteledorannya itu, berkeadaan yang lebih berbahagia, dari seorang bodoh yang terpedaya atau berbuat-buatt bodoh yang berpikiran lemah. Dan setiap orang yang berilmu yang bersangatan kelobaannya kepada mengajar, hampirlah dapat dikatakan, bahwa maksudnya itu, untuk diterima orang dan kemegahan. Dan bahagiannya ialah memperoleh kelezatan jiwa pada masa sekarang, dengan bersemboyankan dapat menunjuk orang-orang bodoh dan menyombongkan diri terhadap orang-orang bodoh itu. Maka bahaya ilmu ialah: kesombongan, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw. Dan karena itulah, diceritakan dari Bisyr, bahwa Bisyr menanamkan 17 peti kitab-kitab hadits, yang didengarinya dan tidak dihaditskannya (diriwayatkannya). Dan Bisyr mengatakan: “Saya bernafsu meriwayatkan hadits itu kepada orang lain. Maka karena itulah, saya tiada meriwayatkannya. Dan jikalau saya bernafsu untuk tiada meriwayatkannya, niscaya saya riwayatkan”. Dan karena itulah Bisyr berkata: “Diriwayatkan hadits kepada kami oleh suatu pintu dari pintu-pintu dunia. Dan apabila orang mengatakan: ‘Riwayatkan hadits kepada kami !’, maka sesungguhnya orang itu mengatakan: ‘Lapangkanlah jalan dunia bagi kami !”. Rabi’ah Al-‘Adawiyah berkata kepada Sufyan Ats-Tsuri: “Sebaik-baik orang adalah engkau, jikalau tidaklah keinginan engkau pada dunia”. Maka Sufyan bertanya: “Pada apakah aku inginkan ?”. Rabi’ah menjawab: “Pada hadits !”. Dan karena itulah Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Barangsiapa kawin atau mempelajari hadits atau menghabiskan waktunya dengan bermusyafir, maka sesungguhnya ia telah cenderung kepada dunia”. Maka inilah bahaya-bahaya, yang telah kami mintakan perhatian kepadanya pada “Kitab Ilmu”. Berhati-hati, ialah menjaganya dengan ‘uzlah. Dan meninggalkan berbanyak teman sedapat mungkin. Bahkan orang yang mencari dunia dengan memberi pelajaran dan mengajarinya, maka yang betul baginya, jikalau ia orang yang berakal, pada zaman yang seperti ini, ialah meninggalkannya. Sesungguhnya benarlah Abu Sulaiman Al-Khaththabi, dimana beliau berkata: “Tinggalkanlah orang-orang yang gemar pada menemanimu dan belajar padamu ! maka tiadalah bagimu daripada mereka itu harta dan keelokan. Teman-teman dzahir itu musuh-musuh secara rahasia. Apabila mereka menjumpai kamu, niscaya mereka berminyak-minyak air kepada kamu (tamalluq). Dan apabila kamu jauh dari mereka, niscaya mereka menyakitkan kamu. Siapa saja yang datang dari mereka kepada kamu, adalah dia itu pengintip. Dan apabila ia keluar, niscaya ia menjadi juru pidato orang munafiq, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, dengki dan tipu. Maka janganlah kamu tertipu dengan berhimpunnya mereka kepada kamu ! tidaklah maksud mereka itu ilmu pengetahuan, tetapi kemegahan dan harta. Mereka mengambilkan kamu menjadi tangga kepada keperluan dan maksud mereka. Dan menjadi keledai pada hajat keperluan mereka. Jikalau engkau teledor pada suatu maksud dari maksud-maksud mereka, niscaya mereka menjadi musuh yang terbesar bagi engkau. Kemudian mereka hitung pulang-perginya kepada engkau, sebagai dalil yang menunjukkan atas engkau. Dan mereka memandang yang demikian itu suatu hak yang wajib pada sisi engkau. Dan mereka mengharuskan diatas engkau menyerahkan kehormatan engkau, kemegahan dan agama engkau bagi mereka. Maka engkau bermusuh dengan musuh mereka. Engkau menolong kerabat, pelayan dan wali mereka. Dan engkau bangkit untuk kepentingan mereka selaku orang bodoh, padahal engkau adalah seorang yang mengerti. Dan jadilah engkau seorang pengikut yang hina bagi mereka, sesudah engkau berada selaku orang yang diikuti, yang mengepalai. Dan karena itulah dikatakan, bahwa mengasingkan diri dari orang awam adalah suatu kehormatan diri (muruah) yang sempurna. Maka inilah maksudnya perkataan Abu Sulaiman Al-Khaththabi itu. Walaupun ia menyalahi dengan sebahagian dari kata-katanya. Dan itu adalah hak dan benar. Sesungguhnya engkau melihat guru-guru itu dalam perbudakan yang berkekalan, dibawah hak yang lazim dan omelan yang berat, dari orang-orang yang pulang pergi kepada mereka. Seakan-akan orang itu menghadiahkan hadiah-hadiah yang berharga kepada guru-guru itu. Dan melihat haknya menjadi suatu kewajiban diatas pundak guru-guru. Dan kadang-kadang orang itu tidak pulang-pergi kepada guru, selama ia tidak menanggung perbelanjaannya dengan terus-menerus. Kemudian guru yang miskin, kadang-kadang lemah daripada melaksanakan yang demikian itu dari hartanya. Maka senantiasalah ia pulang-pergi ke pintu-pintu rumah penguasa dan merasa pedihnya kehinaan dan kesulitan, sebagaimana dirasakan oleh seorang hina-dina. Sehingga dituliskan baginya diatas setengah cara-cara harta haram: akan harta haram. Kemudian senantiasalah pegawai penguasa itu memperbudakkannya, menggunakannya untuk pelayan, menghinakannya dan melecehkannya, sampai kepada diserahkan oleh pegawai itu, kepada guru tadi, apa yang diitentukan jumlahnya sebagai nikmat yang berulang-ulang daripadanya yang menjadi tanggungannya. Kemudian berkekalan pula guru itu dalam menghadapi kesulitan membagi dari apa yang diterimanya itu, kepada teman-temannya. Jikalau disamakannya pembahagian diantara mereka, niscaya ia dikutuk oleh teman-temannya yang memperoleh hak-hak istimewa. Dan mereka itu menggolongkan guru itu kepada kedunguan, kurang dapat membeda-bedakan dan keteledoran daripada dapat melaksanakan kelebihan dan menegakkan bahagian-bahagian hak dengan keadilan. Dan jikalau dilebih-kurangkannya diantara teman-temannya itu, niscaya ia disakiti oleh orang-orang bodoh dengan lidah-lidah tajam. Dan mereka bangkit kepadanya, sebagai bangkitnya sosok-sosok tubuh dan singa-singa. Maka senantiasalah guru itu dalam kekasaran mereka di dunia ini dan dalam tuntutan apa yang diambilnya dan dibagikannya kepada mereka di akhirat. Dan yang mengherankan, bahwa bersama bencana ini semua, guru itu membahayakan dirinya dengan segala kebatilan dan mengikatkannya dengan tali ketipuan. Dan ia mengatakan kepada dirinya: “Jangan engkau ada-adakan dari perbuatanmu ! sesungguhnya engkau dengan apa yang engkau kerjakan itu adalah menghendaki Wajah Allah Ta’ala. Dan menyiarkan syari’at Rasulullah saw. Mengembangkan pengetahuan agama Allah dan menegakkan kepentingan para penuntut ilmu dari hamba-hamba Allah. Dan harta sultan-sultan itu tak ada pemiliknya. Dan adalah tempat pengintipan bagi kepentingan umum. Dan manakah kepentingan umum yang lebih besar daripada memperbanyak ahli ilmu pengetahuan ? maka dengan ahli ilmu pengetahuanlah, agama itu muncul dan bertaqwa ahlinya. Dan jikalau tidaklah guru itu menjadi bahan tertawaan setan, niscaya ia mengetahui dengan sedikit saja pemikiran, bahwa kerusakan masa sekarang, tidaklah sebabnya, selain karena banyaknya orang-orang seperti ahli-ahli fiqh (fuqaha’) itu, yang memakan apa saja yang diperolehnya. Dan tidak memperbedakannya diantara halal dan haram. Lalu mereka itu diperhatikan oleh mata orang-orang bodoh. Dan orang-orang bodoh itu menjadi berani melakukan kema’siatan, disebabkan keberanian mereka. Karena mengikuti mereka dan menuruti jejak mereka. Dan karena itulah, dikatakan bahwa tidaklah rusak rakyat, melainkan disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa-penguasa). Dan tidaklah rusak raja-raja, melainkan disebabkan rusaknya para ulama. Maka berlindunglah kita dengan Allah, dari ketipuan dan kebutaan. Karena itu adalah penyakit yang tak ada obatnya.
FAEDAH KEDUA: memberi manfaat dan mengambil manfaat.
Adapun mengambil manfaat dengan manusia, adalah dengan usaha dan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) (mengadakan hubungan dengan jual-beli dll). Yang demikian itu, tidak mungkin, kecuali dengan bercampur-baur. Dan orang yang memerlukan kepada yang demikian itu, memerlukan kepada meninggalkan pengasingan diri. Lalu beradalah ia dalam jihad (perjuangan) dari bercampur-baur itu, jikalau ia mencari penyesuaian agama padanya, sebagaimana telah kami terangkan dahulu pada “Kitab Usaha”. Maka jikalau ada padanya harta, jikalau ia merasa cukup puas dengan harta itu, niscaya puaslah ia dengan harta itu. Maka mengasingkan diri (uzlah) adalah lebih utama baginya, apabila tertutup dalam kebanyakan hal, segala jalan usaha, selain dari yang ma’siat. Kecuali adalah maksudnya berusaha itu untuk bersedekah. Apabila ia berusaha dari cara yang tersebut dan ia mengeluarkan sedekah dengan usahanya itu, maka itu lebih utama daripada mengasingkan diri. Karena menggunakan waktunya itu dengan amalan sunat. Dan tidaklah itu yang lebih utama daripada mengasingkan diri, karena menghabiskan waktunya untuk mencari dalil (tahaqquq) tentang mengenal Allah dan ilmu-ilmu agama. Dan tidaklah yang lebih utama, daripada menghadapkan jiwa dengan seluruh cita-cita kepada Allah Ta’ala. Dan menjuruskannya untuk mengingati Allah. Ya’ni siapa yang berhasil memperoleh kejinakan hati dengan munajah dengan Allah, dengan kasyaf (terbuka hijab) dan dengan mata hati. Tidak dengan sangka-waham dan khayalan-khayalan yang batil. Adapun memberi manfaat, yaitu: memberi manfaat kepada manusia. Adakalanya dengan hartanya atau dengan tenaga badannya. Ia bangun menunaikan hajat keperluan manusia itu, diatas jalan mengharapkan pahala. Maka pada bangkit menunaikan hajat keperluan kaum muslimin, ada pahalanya. Dan yang demikian, tidaklah tercapai, selain dengan bercampur-baur. Dan orang yang sanggup bercampur-baur dengan manusia, serta dapat menegakkan batas-batas hukum syariat, maka bercampur-baur itu lebih utama baginya dari ‘uzlah, jikalau dalam ‘uzlahnya itu, ia tidak mengerjakan selain shalat-shalat sunat dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan badan (a’mal badaniah). Dan jikalau ia termasuk orang yang terbuka baginya jalan amalan dengan hati, dengan berkekalan dzikir atau tafakkur, maka yang demikian, tidaklah sekali-kali dapat disamakan oleh yang lain.
FAEDAH KETIGA: mengajar adab sopan-santun (ta’dib) dan belajar adab (ta-addub).
Kami maksudkan dengan yang demikian, ialah memperoleh latihan disebabkan kekasaran manusia. Dan berjuang menahan kesakitan dari manusia, untuk menghancurkan nafsu dan memaksakan segala keinginan (nafsu syahwat). Dan itu adalah setengah dari faedah-faedah yang diperoleh dengan bercampur-baur. Dan bercampur-baur itu, lebih utama daripada mengasingkan diri, terhadap orang yang tidak terdidik budi-pekertinya dan tidak tunduk hawa nafsunya kepada batas-batas agama. Dan karena inilah, diperkenankan pelayan-pelayan kaum shufi di pondok-pondok (langgar-langgar). Lalu kaum shufi itu bercampur-baur dengan manusia, dengan pelayanan mereka. Dan dengan orang-orang pasar, untuk meminta sesuatu dari mereka. Untuk menghancurkan kebebalan diri dan mencari pertolongan dari barakah doa orang-orang shufi, yang mengarahkan seluruh cita-citanya kepada Allah swt. Dan ini adalah pangkal bertolak (mabda’) pada masa-masa yang lampau. Sekarang sesungguhnya telah dicampur-baurkan oleh maksud-maksud yang batil. Dan telah mereng yang demikian itu, dari undang-undang (qanun), sebagaimana telah mereng simbol-simbol agama yang lain. Lalu jadilah, dicari daripada merendahkan diri (tawadlu’) itu dengan pelayanan, akan memperbanyak ikutan, bersangatan mengumpulkan harta dan menampakkan dengan banyak pengikut. Jikalau inilah yang menjadi niat, maka mengasingkan diri (‘uzlah) itu lebih baik daripada yang demikian, walau ke pekuburan sekalipun. Dan jikalau adalah niat itu melatih jiwa, maka itu adalah lebih baik daripada ‘uzlah, terhadap orang yang memerlukan kepada latihan. Dan yang demikian adalah termasuk setengah daripada yang dihajati pada permulaan kehendak tadi. Maka setelah berhasil latihan, seyogyalah dipahami bahwa hewan tidaklah dicari dari latihannya itu, akan diri latihan. Tetapi yang dimaksudkan daripadanya, ialah untuk membuat hewan itu menjadi kendaraan, yang dapat menempuh perjalanan berhari-hari dan memendekkan jalan diatas punggung kendaraan itu. Dan badan adalah hewan kendaraan bagi hati, yang dikendarainya untuk berjalan ke jalan akhirat. Dan pada kendaraan itu ada hawa nafsu. Jikalau tidak dihancurkan, niscaya ia akan melawan di jalanan. Orang yang menggunakan waktunya sepanjang umur dengan latihan, niscaya adalah seperti orang yang menggunakan waktu sepanjang umur hewan kendaraannya itu dengan melatihkannya. Dan tidak pernah mengendarainya. Maka ia tidak mengambil faedah daripada hewan kendaraan itu, selain terlepasnya pada waktu itu dari gigitan, sepakan dan terjangan hewan kendaraan tersebut. Demi sebenarnya, itu adalah faedah yang dimaksudkan ! tetapi faedah yang seperti itu dapat diperoleh dari binatang mati. Dan sesungguhnya hewan kendaraan itu dimaksudkan untuk faedah yang dihasilkan dari hidupnya. Maka seperti itu pula, terlepasnya dari kepedihan nafsu syahwat di waktu itu, dapat dihasilkan dengan tidur dan mati. Dan tiada seyogyalah dicukupkan dengan yang demikian. Seperti pendeta yang dikatakan kepadanya: “Hai pendeta !”. Lalu ia menjawab: “Bukanlah aku ini pendeta. Sesungguhnya aku adalah anjing galak. Aku penjarakan diriku, sehingga aku tidak menggigit manusia”. Dan ini adalah baik, dibandingkan dengan orang yang melukakan manusia. Tetapi tidak seyogyalah, disingkatkan kepada itu saja. Karena orang yang membunuh diri, juga tidak melukakan manusia. Tetapi seyogyalah menoleh kepada tujuan yang dimaksudkan dengan demikian. Dan siapa yang memahami akan demikian dan mendapat petunjuk kepada jalan dan sanggup kepada menjalani jalan itu, niscaya teranglah baginya bahwa ‘uzlah itu, lebih menolong kepadanya, dibandingkan dengan bercampur-baur (mukhalathah). Maka yang lebih utama bagi orang yang seperti ini ialah mukhalathah pada awalnya dan ‘uzlah pada akhirnya. Adapun mengajar adab sopan-santun (ta’dib), maka sesungguhnya yang kami kehendaki dengan ta’dib itu, ialah melatih orang lain. Dan itu adalah keadaan guru (syaikh) kaum shufi bersama kaum shufi. Guru itu tidak sanggup mendidik mereka, kecuali dengan bercampur-baur dengan mereka. Dan hal-ikhwal syaikh itu ialah hal-ikhwal guru. Dan kedudukkanya pun adalah kedudukan guru. Dan berjalanlah padanya pada yang berjalan pada penyiaran ilmu, dari bahaya-bahaya yang halus dan ria. Kecuali bahwa tempat-tempat sangkaan mencari dunia dari murid-murid yang belajar untuk memperoleh latihan itu, adalah lebih jauh dari bahaya-bahaya dari para penuntut ilmu. Karena itulah tampak pada mereka itu sedikit orangnya dan pada penuntut ilmu itu banyak. Maka seyogyalah, bahwa dibandingkan apa yang mudah baginya dari khilwah (bersemadi), dengan apa yang mudah baginya dari mukhalathah (bercampur-baur) dan mendidik orang banyak. Dan hendaklah dihadapkan yang satu dengan lainnya. Dan hendaklah dipilih yang lebih utama (al-afdhal). Dan yang demikian dapat diketahui dengan ijtihad yang halus dan berlainan menurut keadaan dan orang. Maka tidaklah mungkin menetapkan hukumnya secara mutlak, dengan tidak (nafi) dan ya (itsbat). 
FAEDAH KEEMPAT: memperoleh kejinakan dan menjinakkan hati.
Itu adalah maksud orang yang menghadiri peralatan, undangan, tempat-tempat pergaulan dan kejinakan hati. Dan ini pada waktu itu juga, kembali kepada bahagian jiwa. Terkadang ada yang demikian itu, diatas jalan haram, dengan berjinak-jinakan hati dengan orang yang tidak boleh berjinak-jinakan hati. Atau diatas jalan mubah (cara yang diperbolehkan). Dan terkadang disunnahkan yang demikian, karena urusan agama. Dan yang demikian, mengenai orang yang diperoleh kejinakan hati, dengan menyaksikan hal-ikhwalnya dan perkataan-perkataannya tentang agama. Seperti kejinakan hati dengan syaikh-syaikh yang selalu menuruti jalan taqwa. Dan terkadang cara itu bersangkutan dengan bahagian jiwa. Dan disunatkan, apabila maksudnya adalah menyenangkan hati untuk menggerakkan panggilan kerajinan pada ibadah. Sesungguhnya hati itu apabila dipaksakan, niscaya ia buta. Dan manakala di waktu sendirian kesepian dan waktu duduk-duduk dengan teman, merasa kejinakan yang menentramkan hati, maka duduk-duduk itu lebih utama. Karena pelan-pelan pada ibadah adalah setengah dari kehati-hatian bagi ibadah. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak bosan, sehingga kamu bosan”. Ini adalah keadaan yang tidak dapat dilepaskan. Karena jiwa itu, tidaklah merasa jinak dengan kebenaran terus-menerus, selama ia tidak ditentramkan (diistirahatkan). Dan pada memberatkan jiwa yang terus-menerus itu, meminta sejenak waktu untuk istirahat. Dan inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Bahwa agama ini kokoh kuat, maka masukkanlah ke dalamnya dengan pelan-pelan !”. Memasukkan ke dalamnya dengan pelan-pelan, adalah sifat orang-orang yang bermata hati. Dan karena itulah Ibnu Abbas berkata: “Jikalau tidaklah takut kepada waswas, niscaya tidaklah aku duduk-duduk dengan manusia”. Sekali Ibnu Abbas mengatakan: “Sesungguhnya aku masuki negeri-negeri, yang tidak ada orang yang menjinakkan hati padanya. Adakah yang merusakkan manusia, selain dari manusia ?”. Jadi, maka tidaklah merasa cukup orang yang ber-‘uzlah itu, tanpa teman yang merasa kejinakan hati dengan melihat dan bercakap-cakap sesaat dalam sehari semalam. Maka hendaklah bersungguh-sungguh mencari orang yang tidak akan merusakkannya pada saatnya itu, akan saat-saatnya yang lain! Nabi saw bersabda: “Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah seseorang kamu melihat akan orang yang mau diambil menjadi teman !”. Dan hendaklah berusaha supaya adalah pembicaraannya ketika bertemu, mengenai urusan agama, menceritakan hal-ikhwal hati, pengaduan dan keteledoran hati dari ketetapan diatas kebenaran dan petunjuk kepada jalan yang benar. Maka pada yang demikian, memperoleh kelegaan dan menentramkan bagi jiwa. Dan padanya itu jalan yang lapang bagi tiap-tiap orang yang sibuk dengan memperbaiki dirinya. Sesungguhnya, tidaklah terputus pengaduan hati, walaupun diberi usia yang panjang. Dan orang yang rela tentang dirinya, sudah pasti tertipu. Maka kejinakan hati yang semacam ini, pada sebagian waktu siang, kadang-kadang lebih utama daripada ‘uzlah terhadap sebahagian orang. Maka carilah padanya pertama-tama hal-ikhwal hati dan hal-ikhwal teman duduk !. Kemudian barulah duduk-duduk bersama !.
FAEDAH KELIMA: tentang memperoleh pahala dan menghasilkan pahala bagi orang lain.
Adapun memperoleh pahala, ialah dengan menghadiri jenazah, mengunjungi orang sakit dan datang pada shalat dua hari Raya (hari raya Idil-fithri dan hari raya Idil-adha). Adapun datang pada shalat Jum’at, adalah tak boleh tidak. Dan menghadiri shalat jama’ah pada shalat-shalat yang lain juga, tidak diberi kelonggaran untuk meninggalkannya. Kecuali karena takut kepada kesukaran yang nyata, yang menggantikan pahala jama’ah yang hilang bahkan menambahkan lagi diatas yang hilang itu. Dan yang demikian, tidaklah terjadi, kecuali jarang sekali. Dan seperti itu pula, pada menghadiri perkawinan dan undangan, akan memperoleh pahala, dimana pada kehadiran tersebut memasukkan kegembiraan pada hati muslim. Adapun menghasilkan pahala bagi orang lain, maka yaitu: bahwa ia membuka pintu supaya manusia berkunjung kepadanya. Atau supaya manusia, berta’ziah (berbela-sungkawa) kepadanya, waktu mendapat musibah. Atau menyampaikan ucapan tahniah (ucapan selamat) waktu ia memperoleh nikmat. Sesungguhnya dengan demikian, orang itu akan memperoleh pahala. Dan seperti itu pula, apabila ia dari golongan ulama dan mengizinkan bagi orang banyak berziarah kepadanya, niscaya orang banyak akan memperoleh pahala berkunjung. Dan dengan memungkinkan yang demikian, ia menjadi sebab pada pahala itu. Maka seyogyalah ditimbang akan pahala bercampur-baur ini dengan bahaya-bahayanya yang telah kami sebutkan dahulu. Dan ketika itu, kadang-kadang ‘uzlah yang kuat. Dan kadang-kadang mukhalathah (bercampur-baur) yang kuat. Diceritakan dari segolongan salaf (ulama terdahulu), seperti Malik dan lainnya, tidak mau memperkenankan undangan, mengunjungi orang sakit dan menghadiri jenazah. Bahkan, adalah mereka selalu di rumahnya. Mereka tidak keluar, kecuali ke Jum’at atau ziarah kubur. Dan setengahnya meninggalkan kota dan menuju ke puncak-puncak bukit, untuk menyelesaikan diri bagi ibadah. Dan lari dari segala yang menyibukkan.
FAEDAH KEENAM:
Dari mukhalathah (bercampur-baur) itu lahirlah tawadlu’ (merendahkan diri). Sifat tawadlu’ adalah setengah dari tingkat yang paling utama. Dan tidak sanggup melaksanakan tawadlu’ pada waktu sendirian. Kadang-kadang adalah takabur (kesombongan) itu, menjadi sebab memilih ‘uzlah. Diriwayatkan dalam cerita orang-orang Bani Israil, bahwa seorang ahli hikmat dari para ahli hikmat, mengarang 360 buku tentang hikmat (filsafah). Sehingga ia menyangka, bahwa ia telah memperoleh suatu tempat (derajat) pada sisi Allah. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada NabiNya: “Katakanlah kepada si Anu: “Bahwa engkau telah memenuhkan bumi ini dengan nifaq (kemunafiqan). Dan Aku tidak menerima dari kemunafiqanmu akan sesuatu”. Nabi tersebut berkata: “Lalu ahli hikmat itu menyembunyikan diri dan tinggal sendirian dalam suatu lobang di bawah tanah. Dan berkata: “Sekarang sampailah aku kepada kerelaan Tuhanku”. Maka Allah mewahyukan kepada NabiNya: “Katakanlah kepadanya: “Bahwa engkau belum sampai kepada kerelaanKu, sehingga engkau bercampur-baur dengan manusia dan sabar atas kesakitan yang diperbuat mereka”. Maka ahli hikmat itu keluar. Lalu masuk ke pasar-pasar, bercampur-baur dengan manusia, duduk-duduk dengan mereka, bantu-membantu sesama mereka, memakan makanan diantara mereka dan berjalan di pasar-pasar bersama mereka. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada NabiNya: “Sekarang ia telah sampai kepada kerelaanKu”. Maka berapa banyak orang yang ber-‘uzlah (mengasingkan diri) dalam rumahnya dan yang menjadi penggeraknya ialah: takabur. Dan yang mencegahnya untuk datang ke perayaan-perayaan, ialah bahwa: ia tidak dimuliakan atau tidak didahulukan. Atau ia melihat dengan tidaknya bercampur-baur dengan orang banyak itu, lebih meninggikan tempatnya (derajatnya). Dan lebih mengekalkan kebaikan sebutannya diantara manusia. Kadang-kadang ia mengasingkan diri, karena takut daripada diperlihatkan keburukan-keburukannya, jikalau ia bercampur-baur. Maka janganlah engkau berkeyakinan, bahwa padanya zuhud dan sibuk dengan ibadah. Ia mengambil rumahnya untuk menutupi segala keburukannya, untuk mengekalkan keyakinan manusia tentang kezuhudannya dan banyak ibadahnya, tanpa menghabiskan waktu dalam khilwah, dengan dzikir atau tafakkur. Dan tanda orang-orang tersebut tadi, ialah, bahwa mereka suka dikunjungi. Dan tidak suka mengunjungi. Mereka merasa gembira dengan mendekatnya orang-orang awam dan sultan-sultan kepada mereka. Mengumpulnya orang-orang itu pada pintu dan jalan mereka. Dan orang-orang itu mencium tangan mereka atas jalan barakah. Jikalau kesibukan sendiri yang tidak menyukakannya untuk bercampur-baur dan berkunjung kepada orang lain, niscaya kunjungan orang lainpun kepadanya tidak menyukakannya. Sebagaimana telah kami ceritakan hal Al-Fudlail, dimana ia berkata: “Adakah engkau datang kepadaku, kecuali untuk aku berhias bagimu dan kamu berhias bagiku ?”. Dari Hatim Al-Ashamm, bahwa beliau mengatakan kepada amir yang berkunjung kepadanya: “Hajatku ialah: bahwa aku tiada melihat engkau dan engkau tiada melihat aku”. Maka orang yang tiada sibuk beserta jiwanya dengan berdzikir kepada Allah, maka pengasingan dirinya dari manusia banyak, sebabnya ialah bersangatan terganggu pikirannya dengan orang banyak itu. Karena hatinya menjurus kepada menoleh kepada pandangan mereka kepadanya, dengan pandangan kemuliaan dan kehormatan. Mengasingkan diri dengan sebab ini, adalah bodoh, dari beberapa segi:
          Pertama: bahwa merendahkan diri dan bercampur-baur, tiadalah mengurangkan kedudukan orang yang menyombongkan diri, dengan ilmunya, atau agamanya. Karena Ali ra membawa kurma kering (tamar) dan garam pada kain dan tangannya. Dan beliau bermadah:
Tidaklah kurang orang sempurna,
dari kesempurnaannya......
oleh apa yang ia bawa,
yang berguna kepada keluarganya.......
Abu Hurairah, Hudzaifah, Ubai dan Ibnu Mas’ud, -diridhai Allah kiranya mereka sekalian- membawa ikatan kayu api dan karung tepung diatas bahu mereka. Adalah Abu Hurairah ra berkata dan ia adalah wali negeri Madinah dan kayu api diatas kepalanya: “Berilah jalan bagi amirmu !”. Dan penghulu segala rasul saw membeli sesuatu, lalu dibawanya sendiri ke rumahnya. Maka berkata sahabatnya kepadanya: “Berilah kepadaku untuk aku bawa !”. Lalu menjawab Nabi saw: “Yang punya barang itu, lebih berhak membawanya”. Al-Hasan bin Ali ra lalu di suatu tempat untuk menanyakan sesuatu. Dan di tangan orang-orang yang dilalui itu, daging yang sedang dimakan. Maka mereka itu mengajak makan: “Marilah makan siang, wahai putera Rasulullah !”. Maka Al-Hasan turun dan duduk di atas jalan. Dan makan bersama mereka. Kemudian berkendaraan dan berkata: “Bahwa Allah tiada menyukai orang-orang yang takabur".
          Segi kedua: bahwa orang yang menyibukkan dirinya mencari kerelaan manusia kepada dirinya dan membaguskan kepercayaan mereka kepadanya, adalah tertipu. Karena, jikalaulah ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya ma’rifah, niscaya ia tahu bahwa makhluk itu, tiada mencukupi baginya sesuatu, selain dari Allah. Bahwa kemelaratan dan kemanfaatannya adalah di tangan Allah. Tiadalah yang mendatangkan manfaat dan melarat selain dari Allah. Bahwa orang yang mencari kerelaan dan kecintaan manusia dengan kemarahan Allah, niscaya ia dimarahi Allah. Dan Allah mendatangkan kemarahan manusia kepadanya. Bahkan kerelaan manusia itu adalah suatu maksud yang tidak akan tercapai. Maka kerelaan Allah yang lebih utama dicari. Karena itulah, Asy-Syafi’i ra berkata kepada Yunus bin Abdul A’la: “Demi Allah, aku tiada mengatakan kepadamu, melainkan nasehat. Sesungguhnya tiada jalan kepada keselamatan dari manusia. Maka perhatikanlah apa yang membaikkan kepadamu, lalu kerjakanlah !”. Dan karena itulah, bermadah seorang penyair:
Barangsiapa mengintip-intip orang,
niscaya ia mati kesedihan.
Dan dengan kelezatan, menang
orang yang penuh keberanian.
Sahl melihat kepada salah seorang sahabatnya, lalu berkata kepadanya: “Berbuatlah begini-begini untuk sesuatu yang aku suruhkan !”. Maka sahabatnya itu menjawab: “Wahai Ustadz ! saya tidak sanggup karena manusia”. Lalu Sahl menoleh kepada teman-temannya dan berkata: “Tidaklah seorang hamba itu memperoleh hakikat dari pekerjaan ini, sehingga ia mempunyai salah satu dari dua sifat: hamba yang jatuhlah manusia dari pandanganya. Lalu ia tidak melihat di dunia, selain Penciptanya (khaliqnya). Dan sesungguhnya seorangpun tiada sanggup mendatangkan melarat dan manfaat kepadanya. Dan hamba yang jatuhlah nafsunya dari hatinya. Lalu ia tiada memperdulikan keadaan apapun yang dilihat mereka padanya”. Asy-Syafi’i ra berkata: “Tiadalah seorangpun, melainkan mempunyai yang menyukainya dan yang memarahinya. Apabila ada yang demikian, maka hendaklah engkau berada bersama orang yang taat kepada Allah !”. Ada orang yang berkata kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! sesungguhnya orang banyak (kaum) itu datang ke majelismu. Tiadalah tujuan mereka, selain mencari ketelanjuran perkataanmu dan memberatkanmu dengan pertanyaan”. Maka Al-Hasan tersenyum dan berkata kepada yang berkata tadi: “Ringankanlah atas dirimu sendiri ! maka sesungguhnya aku memperkatakan akan diriku sendiri dengan penempatan sorga dan berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka aku amat mengharapkan. Dan tidak aku memperkatakan akan diriku dengan keselamatan dari manusia. Karena aku sesungguhnya mengetahui bahwa Yang Menjadikan mereka. Yang Menganugerahkan Rezeki kepada mereka, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan mereka, tidak selamat dari mereka”. Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! tahankanlah dariku lidah manusia !”. Maka Tuhan berfirman: “Hai Musa ! itu adalah hal yang tidak Aku pilihkan untuk diriKu sendiri. Maka bagaimanakah aku memperbuatkannya dengan kamu ?”. Dan Allah swt mewahyukan kepada ‘Uzair: “Jikalau tidak engkau membaguskan jiwa engkau, dengan Aku jadikan engkau karet dalam mulut penggigit-penggigit, niscaya tidak Aku tuliskan engkau padaKu dari orang-orang yang tawadlu’ (yang merendahkan diri)”. Jadi, orang yang menahankan dirinya dalam rumah, untuk membaguskan anggapan dan perkataan manusia kepadanya, maka dia adalah dalam tanggungan yang berat sekarang di dunia -dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih besar jikalau mereka mengetahui-. Jadi, tidaklah disunatkan ‘uzlah, kecuali bagi orang yang menghabiskan waktu dengan Tuhannya dengan berdzikir, bertafakkur, beribadah dan berilmu, dimana jikalau orang banyak bercampur-baur dengan dia, niscaya hilanglah waktunya dan banyaklah bahayanya. Dan kacau-balaulah ibadah-ibadahnya. Inilah marabahaya-marabahaya yang tersembunyi dalam memilih ‘uzlah itu, yang seyogyalah dijaga. Karena dia adalah: membinasakan (muhlikat) dalam bentuk: melepaskan (munjiat) dari kebinasaan.
FAEDAH KETUJUH: percobaan (pengalaman).
Percobaan (pengalaman) itu diperoleh dari bercampur-baur dengan manusia dan dari jalan berlakunya hal-ikhwal mereka. Dan ‘aqal-gharizi (buah pikiran yang merupakan sifat asli) tidaklah mencukupi pada memahami kepentingan-kepentingan agama dan dunia. Dan kepentingan-kepentingan itu dapat diperoleh dengan pengalaman dan pelaksanaan. Dan tak adalah kebajikan pada ‘uzlahnya orang yang tidak diperkuatkan oleh pengalaman-pengalaman. Maka anak kecil apabila mengasingkan diri, niscaya tinggallah ia dalam kebodohan. Tetapi seyogyalah ia menuntut ilmu pengetahuan. Dan dapatlah ia menghasilkan pada masa belajar itu, apa yang dihajatinya, dari percobaan-percobaan (pengalaman-pengalaman). Dan mencukupilah baginya yang demikian itu. Dan pengalaman-pengalaman yang lain berhasil, dengan mendengar bermacam hal. Dan tidak memerlukan kepada bercampur-baur. Setengah dari percobaan-percobaan yang terpenting, ialah mencoba dirinya sendiri, tingkah laku (akhlaqnya) dan sifat-sifat bathiniahnya. Yang demikian itu, tidak dapat disanggupi dalam khilwah (persemadian). Maka sesungguhnya, bahwa tiap-tiap orang yang melakukan percobaan dalam kesepian itu, ia akan rahasiakan. Dan tiap-tiap orang yang marah yang busuk hati atau yang dengki, apabila ia bersemadi sendirian, tidaklah tersaring daripadanya kekejiannya. Sifat-sifat tersebut itu membinasakan menurut sifat-sifat itu sendiri, yang wajib dijauhkan dan dipaksakan. Dan tidaklah memadai menenangkannya dengan menjauhkan daripada apa yang menggerakkan sifat-sifat itu. Hati yang dipenuhi dengan sifat-sifat keji tersebut, adalah seumpama bisul yang berisi penuh dengan nanah bercampur darah dan nanah. Kadang-kadang yang sakit itu sendiri tidak merasa dengan kesakitannya, selama ia tidak bergerak atau disentuh oleh orang lain. Jikalau tidak ada baginya tangan yang menyentuhkannya atau mata yang melihat bentuknya dan tidak ada bersama orang yang sakit itu, orang yang menggerakkannya, niscaya kadang-kadang ia menyangka sendiri selamat. Dan tidak merasa dengan bisul itu pada dirinya. Dan ia berkeyakinan dengan tidak adanya bisul itu. Tetapi jikalau digerakkan oleh suatu penggerak atau dikenakan pisau pembekam, niscaya terpancarlah daripadanya nanah. Dan terbitlah nanah itu seperti terbitnya sesuatu yang tertutup, apabila ditahan daripada terlepas. Maka begitupula, hati yang dipenuhi dengan kebusukan hati, kebakhilan, kedengkian, kemarahan dan budi pekerti tercela lainnya. Terpancarlah dari hati itu, kekejian-kekejiannya apabila digerakkan. Dan dari inilah, orang-orang yang berjalan di jalan akhirat, yang mencari pensucian hati, mencoba dirinya. Barangsiapa merasa pada dirinya sifat takabur, niscaya ia berusaha menjauhkannya. Sehingga setengah mereka membawa ember air diatas punggungnya dihadapan manusia. Atau ikatan kayu api diatas kepalanya dan ia bulak-balik di pasar. Untuk mencoba dirinya dengan yang demikian. Karena marabahaya-marabahaya nafsu dan tipuan-tipuan setan itu tersembunyi. Sedikitlah orang yang memperhatikannya. Karena itulah, diceritakan dari setengah mereka, di mana ia berkata: “Telah menjadi kebiasaan bagiku mengerjakan shalat 30 tahun lamanya, dimana aku mengerjakannya pada baris pertama (shaf pertama). Tetapi pada suatu hari, aku terkebelakang disebabkan suatu halangan. Maka aku tiada mendapat tempat pada shaf pertama. Lalu aku berdiri pada shaf kedua. Maka aku dapati pada diriku perasaan malu, dilihat orang banyak kepadaku. Dan orang sudah mendahului aku kepada shaf pertama. Maka tahulah aku bahwa semua shalatku yang aku kerjakan, adalah bercampur dengan ria. Bercampur dengan kesenangan, dilihat orang banyak kepadaku. Dan mereka melihat aku dalam rombongan orang-orang yang mendahului kepada kebajikan”. Maka bercampur-baur itu mempunyai faedah yang jelas dan besar pada mengeluarkan segala kekejian dan mendzahirkannya. Dan karena itulah, ada orang yang mengatakan: “Bermusafir ialah bermusafir dari akhlaq”. Karena bermusafir itu semacam dari bercampur-baur yang terus-menerus. Dan akan diterangkan marabahaya-marabahaya dan yang halus-halus dari pengertian-pengertian tersebut pada Rubu’ Muhlikat (Bahagian Yang Membinasakan). Maka sesungguhnya, disebabkan kebodohan tentang segala yang merusakkan itu, membatalkan banyak amalan. Dan dengan mengetahuinya, sucilah amalan yang sedikit. Jikalau tidak demikian, niscaya tidaklah dilebihkan ilmu dari amal. Karena mustahil, bahwa pengetahuan mengenai shalat dan pengetahuan itu tidak dimaksudkan, selain untuk shalat itu, lebih utama daripada shalat sendiri. Dan kita mengetahui, bahwa apa yang dimaksudkan untuk lainnya, maka yang lain itu, adakalanya lebih mulia daripadanya. Dan syara’ (agama) telah menetapkan, dengan melebihkan orang berilmu (‘alim) daripada orang beribadah (‘abid). Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu (‘alim) dari orang beribadah (‘abid) adalah seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”. Pengertian melebihkan ilmu itu, kembali kepada 3 segi:
Pertama:  apa yang telah kami sebutkan;
Kedua:     meratanya manfaat, karena menjalar faedahnya. Dan perbuatan (amal) itu, tiada menjalar faedahnya.
Ketiga:   bahwa yang dimaksudkan dengan pengetahuan itu ialah pengetahuan tentang Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya). Maka yang demikian itu, lebih utama dari tiap-tiap amal (perbuatan). Bahkan yang dimaksud dari segala perbuatan itu, ialah memalingkan hati dari makhluq, kepada khaliq. Supaya hati itu bangkit sesudah berpaling kepadaNya, untuk mengenal dan mencintaiNya. Maka amal dan ilmu bagi amal itu, keduanya dimaksudkan bagi ilmu ini. Dan ilmu ini adalah tujuan bagi murid-murid. Dan amal adalah seperti syarat baginya. Dan kepadanyalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “KepadaNya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang baik itu dimuliakan oleh Allah”. S 35 Faathir ayat 10. Maka perkataan yang baik, yaitu: ilmu ini. Dan amal adalah seperti: pembawa yang mengangkatkannya kepada maksudnya. Maka yang diangkat adalah lebih utama daripada yang mengangkat. Dan ini adalah perkataan yang diselipkan (interupsi), yang tidak layak dengan perkataan ini. Marilah kita kembali kepada yang dimaksud. Maka kami berkata: Apabila anda telah mengetahui faedah-faedah ‘uzlah dan marabahaya-marabahaya, niscaya anda mendapat bukti bahwa menetapkan ‘uzlah itu secara mutlak, dengan melebihkannya, dengan nafi (tidak) dan itsbat (ya), adalah salah. Tetapi, seyogyalah dipandang (diperhatikan) kepada orang dan hal-ikhwalnya. Kepada yang dicampur-bauri dan hal-ikhwalnya. Kepada penggerak untuk bercampur-baur dengan dia. Dan kepada yang hilang, disebabkan percampur-bauran itu, dari faedah-faedah yang tersebut. Dan dibandingkan yang hilang dengan yang berhasil. Maka ketika itu, nyatalah yang hak (yang benar) dan jelaslah yang lebih utama. Dan ucapan Asy-Syafi’i ra itu menguraikan apa yang ditujukan itu. Karena beliau berkata: “Hai Yunus ! berhijrah (meninggalkan bergaul) dengan manusia itu usaha permusuhan. Dan mengulurkan tangan kepada mereka (merapatkan pergaulan) itu, menghela kepada teman-teman jahat. Maka hendaklah engkau diantara meninggalkan pergaulan dan merapatkan pergaulan itu !”. Karena itu, haruslah i’tidal (dalam keadaan di tengah) diantara mukhalathah (bercampur-baur) dan ‘uzlah (mengasingkan diri). Dan berbedalah yang demikian itu, menurut keadaan. Dan dengan memperhatikan faedah-faedah dan bahaya-bahaya, maka jelaslah yang lebih utama. Dan inilah kebenaran yang tegas. Dan semua yang telah disebutkan selain dari ini, adalah tidak lengkap. Yaitu: menerangkan tiap sesuatu dari keadaan khusus yang ada padanya. Dan tidaklah boleh menetapkan keadaan khusus itu, kepada yang lain, yang berbeda keadaannya. Dan perbedaan antara orang ‘alim (orang berilmu) dan orang shufi tentang ilmu zhahir, adalah kembali kepada yang disebutkan tadi. Yaitu, bahwa orang shufi, tidak berkata-kata, selain dari keadaannya sendiri. Maka tidaklah disangsikan, bahwa jawaban-jawaban mereka itu berbeda dalam segala persoalan. Dan orang ‘alim, ialah orang yang mengetahui kebenaran menurut hakikat yang sebenarnya. Dan ia tidak memandang kepada keadaan dirinya sendiri. Maka terbukalah kebenaran padanya. Dan yang demikian, termasuk hal yang tidak diperselisihkan lagi. Karena kebenaran (al-haq) itu satu untuk selama-lamanya. Dan yang tidak sampai kepada kebenaran adalah banyak, tidak terhingga. Karena itulah, ditanyakan pada orang-orang shufi, tentang kemiskinan. Maka tiada seorangpun, melainkan menjawab dengan jawaban yang berlainan dengan jawaban yang lain. Dan semua itu benar, berdasarkan kepada keadaannya. Dan tidaklah benar menurut yang sebenarnya. Karena kebenaran itu tidaklah ada, selain satu. Dan karena itulah, Abu ‘Abdillah Al-Jalla berkata dan beliau itu ditanyakan tentang kemiskinan. Lalu menjawab: “Pukulkanlah dengan kedua lengan bajumu akan dinding ! dan katakanlah: ‘Tuhanku Allah’. Maka itulah kemiskinan (kefakiran)”. Al-Junaid berkata: “Orang faqir ialah orang yang tidak meminta kepada seseorang dan tidak tantang-menantang. Jikalau ia ditantang orang, ia diam”. Sahl bin Abdullah berkata: “Orang faqir ialah orang yang tidak meminta dan tidak menyimpan. Dan orang lain mengatakan: “Tidaklah itu untuk engkau. Jikalau untuk engkau, maka tidaklah untuk engkau, dimana tidaklah itu untuk engkau”. Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Kemiskinan, ialah meninggalkan mengadu dan mendzahirkan bebas bala-bencana (bebas percobaan)”. Maksudnya, ialah kalau ditanyakan kepada mereka 100 pertanyaan, niscaya didengar dari mereka 100 penjawaban yang berlainan. Sedikitlah kesesuaian dua daripada jawaban-jawaban itu. Dan itu semua adalah benar dari satu segi. Sesungguhnya itu, berita masing-masing tentang keadaannya dan apa yang menguasai hati nuraninya. Dan karena itulah, kita tidak melihat dua orangpun dari mereka, yang salah seorang dari keduanya mengakui temannya berdiri teguh dalam tashawwuf. Atau memujikannya. Tetapi masing-masing mereka mendakwakan, bahwa dia yang sampai kepada kebenaran. Dan yang berdiri diatas kebenaran. Karena banyaknya keragu-raguan mereka, menurut kehendak keadaan yang datang kepada hati mereka. Maka mereka tiada berbuat, selain dengan diri mereka itu sendiri. Dan tiada menoleh kepada orang lain. Dan sinar ilmu itu apabila terbit, niscaya meliputi semua. Menyingkapkan tutup dan membuangkan perselisihan. Dan contoh pandangan orang-orang shufi itu, adalah apa yang anda lihat dari pandangan suatu kaum tentang dalil yang menunjukkan zawal (tergelincirnya matahari) dengan memandang pada bayang-bayang. Setengah mereka berkata, bahwa pada musim panas, bayang-bayang itu 2 tapak kaki panjangnya. Dan diceritakan dari orang lain, bahwa bayang-bayang itu setengah tapak kaki. Dan yang lain menolak yang demikian. Dan bahwa bayang-bayang itu, pada musim dingin, 7 tapak kaki panjangnya. Dan diceritakan dari yang lain, bahwa bayang-bayang itu, 5 tapak kaki. Dan yang lain menolak yang demikian. Maka ini, menyerupai jawaban-jawaban dan perselisihan pendapat orang-orang shufi. Sesungguhnya masing-masing mereka, menerangkan keadaan bayang-bayang yang dilihatnya di negerinya sendiri. Maka benarlah ia tentang perkataannya itu. Dan salahlah ia tentang menyalahkan temannya. Karena ia menyangka bahwa dunia itu semua ialah negerinya saja. Atau yang seperti negerinya saja. Sebagaimana orang shufi tidak menetapkan keadaan orang lain yang berilmu (orang ‘alim), kecuali menurut keadaan dirinya sendiri. Dan orang ‘alim, yang berilmu tentang zawal, ialah orang yang mengetahui sebab panjang dan pendeknya bayang-bayang dan sebab perbedaannya di masing-masing negeri. Lalu ia menerangkan hukum-hukum yang berlainan, pada negeri-negeri yang berlainan. Ia mengatakan pada setengah negeri-negeri itu, bayang-bayangnya tidak tetap. Pada setengahnya panjang dan pada setengahnya pendek. Maka inilah apa yang kami maksudkan menyebutkannya dari keutamaan ‘uzlah dan mukhalathah !. Jikalau anda bertanya: “Bagi orang yang memilih ‘uzlah dan memandangnya lebih utama dan lebih menyelamatkan baginya, maka apakah adabnya mengenai ‘uzlah itu ?”. Kami menjawab, bahwa sesungguhnya panjanglah pandangan tentang adab-mukhalathah. Dan kami telah sebutkan pada “Kitab Adab Berteman”, dahulu. Adapun Adab-‘uzlah, maka tidaklah diperpanjangkan. Maka seyogyalah bagi orang yang ber’uzlah, bahwa berniat dengan ‘uzlahnya itu,
pertama,   mencegah kejahatan dirinya dari manusia.
Kedua,     mencari keselamatan dari kejahatan orang-orang jahat. Kemudian
ketiga,      melepaskan diri daripada bahaya keteledoran daripada menegakkan hak-hak kaum muslimin. Kemudian
keempat,  menjuruskan diri dengan hakikat cita-cita bagi beribadah kepada Allah. Inilah adab-adab niatnya ! kemudian, hendaklah dalam persemadiannya itu rajin kepada ilmu, amal, dzikir dan tafakkur !. Supaya dapat memetik buah (hasil) dari ‘uzlah. Dan hendaklah melarang orang banyak, mendatangi dan mengunjunginya ! maka akan mengganggu kebanyakan waktunya. Dan hendaklah ia mencegah dirinya daripada menanyakan tentang berita mereka itu dan daripada mendengar berbagai berita bohong yang tidak baik di dalam negeri dan apa yang membawa manusia sibuk dengan dia ! sesungguhnya semua itu akan tertanam dalam hati. Sehingga membangkit pada waktu sedang shalat atau tafakkur, dimana ia tiada menyangka sama sekali. Jatuhnya berita dalam pendengaran, adalah seperti jatuhnya bibit dalam tanah. Maka tak dapat tidak akan tumbuh dan bercabang urat dan rantingnya. Dan sambung-menyambung satu sama lain. Dan salah satu yang penting bagi orang ber-‘uzlah, ialah menghilangkan segala was-was hati, yang memalingkannya daripada berdzikir kepada Allah. Dan berita-berita itu adalah sumber dan pokok dari segala was-was hati. Dan hendaklah ia mencukupkan dengan sedikit dari penghidupan ! jikalau tidak, niscaya ia memerlukan kepada berlapang-lapang dengan manusia. Dan ia berhajat kepada bercampur-baur dengan mereka. Dan hendaklah ia penyabar diatas apa yang dijumpainya, daripada kesakitan oleh tetangga ! dan hendaklah ia menyumbat pendengarannya daripada mendengar apa yang diperkatakan orang, tentang pujian kepadanya disebabkan ‘uzlah itu ! atau cacian kepadanya disebabkan meninggalkan mukhalathah. Karena tiap-tiap yang demikian, membekas dalam hati, walaupun pada masa yang sedikit saja. Dan keadaan terpengaruhnya hati dengan yang tadi, tak dapat tidak, membawa ia berhenti, daripada perjalanan ke jalan akhirat. Sesungguhnya perjalanan itu, adakalanya dengan rajin mengerjakan wirid dan dzikir, bersama dengan kehadiran hati. Adakalanya dengan tafakkur tentang keagungan Allah, sifat-sifatNya, af’alNya, kerajaan langit dan bumiNya. Dan adakalanya dengan memperhatikan amal-perbuatan yang halus-halus, perbuatan-perbuatan yang merusakkan hati dan mencari jalan penjagaan daripadanya. Semuanya itu meminta kekosongan waktu. Dan mendengar dengan penuh perhatian sekalian yang tersebut itu, adalah setengah daripada yang terus mengganggukan hati. Dan kadang-kadang baru-membaru ingatannya itu dalam berkekalan berdzikir, dimana ia tiada menduga sama sekali. Dan hendaklah orang yang ber-‘uzlah itu, mempunyai isteri yang shalih atau teman duduk yang shalih ! supaya tentramlah hatinya dalam sehari sejam, daripada kepayahan rajinnya beribadah. Maka pada yang demikian itu, menolong kepada jam-jam selebihnya. Dan tidaklah sempurna kesabaran dalam ‘uzlah itu, selain dengan menghilangkan kerakusan kepada dunia. Dan tidaklah manusia itu bersungguh-sungguh pada sabar. Dan tidaklah hilang kerakusannya, selain dengan memendekkan (mengecilkan) angan-angan, dengan tidak mentakdirkan dirinya berumur panjang. Tetapi ia berpagi-hari dengan tidak memikirkan akan bersore nanti. Dan ia bersore hari dengan tidak akan berpagi hari lagi. Maka mudahlah baginya bersabar sehari. Dan tidaklah mudah baginya ber’azam (bercita-cita) untuk sabar 20 tahun, jikalau ia mentakdirkan ajalnya akan lambat tiba. Hendaklah membanyakkan ingatan kepada mati dan sendirian di dalam kubur, betapapun hatinya merasa sempit dari sendirian itu ! Dan hendaklah ia membuktikan dengan keyakinan, bahwa orang yang tidak berhasil dalam hatinya, ingatan (dzikir) kepada Allah dan mengetahui apa yang menjinakkan hatinya dengan dzikir itu, maka ia tidak akan sanggup menahan keliaran sendirian sesudah mati. Dan orang yang merasa kejinakan hati dengan dzikir dan ma’rifah kepada Allah, maka tidaklah mati itu menghilangkan kejinakan hatinya. Karena tidaklah mati itu merobohkan tempat kejinakan hati dan ma’rifah (mengenal Allah). Tetapi kejinakan hati hati itu kekal hidup dengan ma’rifah dan kejinakannya. Karena gembira dengan kurnia dan rahmat Allah kepadanya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang syahid: “Janganlah kamu menganggap mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu ! tidak ! mereka itu hidup, mereka mendapat rezeki dari sisi Tuhan. Mereka gembira karena kurnia yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka”. S 3 Ali ‘Imran ayat 169-170. Dan tiap-tiap orang yang semata-mata karena Allah dalam perjuangan dirinya, maka dia itu syahid, manakala ia menemui mati, menghadapkan hati kepada Allah, bukan membelakang. Maka orang yang berjihad (berjuang), ialah orang yang berjuang melawan nafsu dan keinginannya, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. Dan perjuangan besar (jihad-akbar) ialah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana dikatakan oleh setengah sahabat ra:  “Kami kembali dari jihad kecil kepada jihad besar”. Mereka maksudkan: jihad melawan hawa nafsu. Telah tammat ‘Kitab ‘Uzlah” dan diiringi oleh “Kitab Adab Berjalan-jauh”. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa.