KITAB ADAB AL-‘UZLAH (PENGASINGAN DIRI)
(Yaitu: Kitab Ke-6 dari
Rubu’ Adat Kebiasaan dari Kitab Ihya’ Ulumiddin).
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian
bagi Allah yang amat membesarkan nikmat kepada makhluqNya yang terbaik dan
terbersih, dengan Ia memalingkan seluruh cita-cita mereka kepada
berjinak-jinakan dengan Dia. Ia membanyakkan bahagian mereka daripada
bersenang-senang dengan menyaksikan segala nikmat dan kebesaranNya. Ia
menyenangkan bathin (asrar) mereka dengan bermunajah (berbisik-bisik) dan
berlemah-lembutan dengan Dia. Ia menghinakan dalam hati mereka untuk melihat
kepada harta benda dan kembang dunia. Sehingga bergembiralah dengan ‘uzlah itu
tiap-tiap orang yang telah terlipatlah hijab (tabir) dari tempat jalan
pemikirannya. Maka ia merasa jinak tentram, dengan membaca tasbih-tasbih
(pujian-suci) bagi wajahNya Ta’ala, dalam tempat kesunyiannya. Dan dengan
demikian, ia merasa liar hatinya dari berjinak-jinakan dengan manusia, walaupun
manusia itu dari yang terkhusus dari yang khusus bagi Allah Ta’ala. Dan
shalawat kepada penghulu kita Muhammad, penghulu Nabi-NabiNya dan orang
pilihanNya. Dan kepada para keluarga dan para sahabatnya, penghulu dan imam
kebenaran. Kemudian dari itu, maka sesungguhnya manusia mempunyai banyak
perbedaan pendapat tentang pengasingan diri (al-‘uzlah) dan percampur-bauran
(al-mukhalathah) dan pengutamaan salah satu daripada keduanya terhadap yang
lain, serta masing-masing dari yang dua itu, tidaklah terlepas daripada
marabahaya-marabahaya yang harus dijauhi daripadanya dan faedah-faedah yang
membawa kepadanya, serta kecondongan kebanyakan hamba dan orang zahid kepada
memilih al-‘uzlah dan mengutamakannya daripada bercampur-bauran
(al-mukhalathah). Dan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Berteman
tentang keutamaan bercampur-bauran, persaudara-saudaraan dan berjinak-jinakan,
hampirlah kiranya bertentangan dengan apa yang telah condong kebanyakan manusia
kepadanya. Yaitu: memilih keliaran hati dari orang banyak dan memilih kesepian.
Maka menyingkapkan tutup dari kebenaran pada yang demikian itu adalah penting.
Dan yang demikian itu berhasil dengan menggambarkan dua bab:
Bab Pertama:
tentang menukilkan aliran-aliran (madzhab-madzhab) dan dalil-dalil
(hujjah-hujjah) mengenai yang demikian.
Bab Kedua: tentang menyingkapkan tutup dari kebenaran
dengan membatasi faedah-faedah dan marabahaya-marabahaya.
BAB PERTAMA: tentang menukilkan
aliran-aliran dan ucapan-ucapan dan menyebutkan dalil-dalil dari kedua golongan
pada yang demikian itu.
Adapun
aliran-aliran (madzhab-madzhab), maka terdapatlah perbedaan paham orang banyak
padanya. Dan perbedaan paham ini jelas diantara tabi’in (para pengikut sahabat
atau angkatan sesudah para sahabat). Yang beraliran kepada memilih al-‘uzlah
dan mengutamakan al-‘uzlah daripada bercampur baur, ialah: Sufyan Ats-Tsuri,
Ibrahim bin Adham, Daud Ath-Tha’i, Fudlail bin ‘Iyadl, Sulaiman Al-Khawwash,
Yusuf bin Asbath, Hudzaifah Al-Mar’asyi dan Bisyr Al-Hafi. Kebanyakan tabi’in
berkata: sunatnya bercampur baur, membanyakkan kenalan dan teman,
berjinak-jinakan hati dan berkasih-sayang dengan orang mu’min, meminta
pertolongan kepada mereka tentang agama, karena bertolong-tolongan diatas
kebajikan dan taqwa. Dan yang condong kepada aliran ini ialah: Sa’id bin
AL-Musayyab, Asy-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Hisyam bin ‘Urwah, Ibnu Syibrimah,
Syuraih, Suraik bin Abdillah, Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad
bin Hanbal dan banyak lagi. Kata-kata yang dinukilkan dari ulama-ulama terbagi
kepada: Kata-kata mutlaq, yang menunjukkan atas cenderungan kepada salah satu
dari dua pendapat itu. Dan kepada: kata-kata yang disertai dengan apa yang
menunjukkan kepada sebab dari kecenderungan itu. Marilah kami nukilkan sekarang
kata-kata mutlaq itu, untuk menerangkan aliran-aliran padanya. Dan apa yang
disertai dengan menyebutkan sebab (ilahi), akan kami bentangkan nanti ketika memperkatakan
marabahaya dan faedah-faedahnya. Sekarang kami bentangkan !. Diriwayatkan dari
Umar ra bahwa beliau mengatakan: “Ambillah bahagian dari al-‘uzlah !”. Ibnu
Sirin berkata: “Al-‘uzlah itu ibadah !”. Al-Fudlail berkata: “Mencukupilah
mencintai Allah saja, berjinak-jinakan dengan Alquran dan mengambil pengajaran
dengan mati !”. Ada yang mengatakan: “Ambillah Allah itu teman dan
tinggalkanlah manusia itu di samping !”. Abur-Rabi’ Az-Zahid berkata pada Daud
Ath-Tha’i: “Berilah kepadaku pengajaran !”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Puasalah
dari dunia, jadikanlah pembukaanmu akhirat dan larilah daripada manusia seperti
larimu dari singa !”. Al-Hasan ra berkata: “Kalimat-kalimat yang aku hafal dari
Taurat, yaitu: merasa cukuplah anak Adam itu dengan apa yang ada (bersifat
al-qana’ah), maka menjadi kayalah dia. Ia mengasingkan diri dari manusia, maka
selamatlah dia. Ia meninggalkan nafsu syahwat, maka menjadi merdekalah dia. Ia
meninggalkan sifat dengki, maka larilah sifat memelihara kehormatan diri (sifat
muru-ah). Dan ia bersabar sedikit, maka merasa senanglah ia pada masa yang
panjang”. Wahib bin Al-Ward berkata: “Sampai kepada kami bahwa hikmat itu 10
bahagian. 9 bahagian daripadanya itu pada berdiam diri. Dan yang ke-10 pada
mengasingkan diri daripada manusia”. Yusuf bin Muslim berkata kepada Ali bin
Bakkar: “Alangkah sabarnya engkau sendirian !”. Dan Ali bin Bakkar itu selalu
di rumah. Maka Ali bin Bakkar itu menjawab: “Adalah aku, sewaktu masih seorang
pemuda, lebih banyak lagi sabar dari ini. Aku duduk-duduk bersama orang banyak
dan tidak bercakap-cakap dengan mereka”. Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Inilah
waktu diam dan terus-menerus di rumah !”. Setengah mereka berkata: “Adalah aku
dalam sebuah kapal dan bersama kami seorang pemuda dari keturunan Saidina Ali
ra. Maka ia berdiam bersama kami 7 hari. Tiada kami mendengar sepatahpun dari
perkataannya. Lalu kami bertanya kepadanya: “Hai saudara ! Sesungguhnya kami
dan engkau telah dikumpulkan oleh Allah semenjak seminggu lamanya. Kami tiada
melihat engkau bercampur-baur dengan kami dan tiada berkata-kata dengan kami
!”. Lalu pemuda itu bermadah:
Sedikit kesusahan,
tak ada anak yang meninggal,
tak ada urusan yang ditakuti akan
hilang....
Sudah ia menunaikan hajat semasa
kecil,
telah memfaedahkan pengetahuannya,
maka kesudahannya seorang diri dan
diam......
Ibrahim
An-Nakha’i berkata kepada seorang laki-laki: “Carilah ilmu fiqh. Kemudian
ber-‘uzlah !”. Begitupula kata Ar-Rabi’ bin Khaitsam. Ada yang mengatakan,
bahwa Malik bin Anas menghadiri jenazah mengunjungi orang sakit dan memberikan
kepada teman-temannya akan hak-hak mereka. Maka ditinggalkannya yang demikian
itu satu demi satu. Sehingga ditinggalkannya semuanya. Dan ia mengatakan:
“Tiadalah tersedia bagi manusia untuk menerangkan semua halangan yang ada padanya”.
Ada orang yang mengatakan kepada Khalifah Umar bin Abdil ‘Aziz: “Jikalau
dapatlah kiranya engkau memberi kelapangan waktu bagi kami !”. Maka beliau
menjawab: “Telah hilanglah kelapangan waktu itu. Maka tiada kelapangan waktu
lagi, selain pada sisi Allah Ta’ala”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya aku
memperoleh kebaikan seorang laki-laki padaku, apabila ia bertemu dengan aku,
bahwa ia tiada memberi salam kepadaku ! dan bahwa apabila aku sakit, bahwa ia
tiada mengunjungi aku”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Di waktu Ar-Rabi’ bin
Khaitsam duduk di pintu rumahnya, tiba-tiba datanglah sebutir batu, lalu
memukulkan dahinya dengan keras dan melukakannya. Maka beliau menyapu darahnya
dan berkata: “Sesungguhnya engkau telah diberi pengajaran, wahai Rabi !”. Lalu
beliau bangun dan masuk ke rumahnya. Dan sesudah itu tiada lagi beliau duduk
pada pintu rumahnya, sehingga jenazahnya dikeluarkan dari rumah itu”. Sa’ad bin
Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid selalu tinggal di rumahnya di Al-‘Aqiq. Keduanya
tidak datang ke Madinah untuk Jum’at dan lainnya, sampai keduanya meninggal di
Al-‘Aqiq. Yusuf bin Asbath berkata: “Aku mendengar Sufyan bin Ats-Tsuri
berkata: “Demi Allah, yang tiada disembah, melainkan Dia ! sesungguhnya telah
halallah al-‘uzlah”. Bisyri bin Abdillah berkata: “Sedikitkanlah berkenalan
dengan manusia ! sesungguhnya engkau tiada mengetahui, apa yang akan ada pada
hari qiamat. Jikalau engkau dalam keadaan yang buruk, niscaya yang mengenal
engkau itu sedikit”. Sebahagian daripada amir masuk ke tempat Hatim Al-Ashaam.
Lalu amir itu bertanya kepada Hatim: “Adakah tuan mempunyai hajat keperluan ?”.
Hatim menjawab: “Ada !”. “Apakah hajat itu ?”, tanya amir tadi. Hatim itu
menjawab: “Bahwa engkau tiada melihat aku dan aku tiada melihat engkau dan
engkau tiada mengenal aku”. Seorang laki-laki berkata kepada Sahl: “Aku ingin
menemani engkau !”. Lalu Sahl menjawab: “Apabila mati salah seorang dari kita,
maka siapakah temannya yang penghabisan ?”. Laki-laki itu menjawab: “Allah !”.
Lalu Sahl menyambung: “Maka hendaklah ia berteman dengan Allah itu dari
sekarang !”. Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail: “Bahwa Ali anakmu
mengatakan: “Sesungguhnya aku ingin bahwa aku berada pada suatu tempat, dimana
aku melihat manusia dan manusia tiada melihat aku”. Maka menangislah Al-Fudlail
dan berkata: “Wahai kiranya Ali ! apakah tidak aku sempurnakan kata-kata itu
?”. Lalu beliau menyambung: “Aku tiada melihat mereka dan merekapun tiada
melihat aku”. Al-Fudlail berkata pula: “Dari kelemahan akal seseorang, ialah
banyak kenalannya”. Ibnu Abbas ra berkata: “Tempat duduk yang lebih utama,
ialah di tengah-tengah rumahmu sendiri. Tiada engkau melihat dan tiada engkau
dilihat”. Maka inilah ucapan orang-orang yang cenderung kepada pengasingan diri
(al-‘uzlah).
MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG
YANG CENDERUNG KEPADA BERCAMPUR BAUR DAN JALAN LEMAHNYA DALIL-DALIL ITU.
Mereka
berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu serupa dengan
orang-orang yang telah berpecah-belah dan berselisih”. S 3 Ali ‘Imran ayat 105.
Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka dipersatukan nya hatimu (dalam agama
Allah)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 103, Allah menganugerahkan nikmat kepada manusia
dengan sebab persatuan hati itu. Dalil ini adalah lemah. Karena yang
dimaksudkan dengan berpecah-belah dan berselisih itu, ialah berpecah-belah
pendapat dan berselisih aliran (madzhab) tentang pengertian Kitab Allah dan
pokok-pokok syari’at. Yang dimaksudkan dengan persatuan hati, ialah mencabut
marabahaya-marabahaya dari dada. Yaitu: sebab-sebab yang mengobarkan fitnah dan
yang menggerakkan permusuhan. Dan al-’uzlah tidaklah meniadakan yang demikian.
Dan mereka berdalilkan dengan sabda Nabi saw: “Orang mu’min itu bersatu lagi
dipersatukan hatinya (menjinakkan lagi dijinakkan hatinya). Dan tak ada
kebajikan pada orang yang tidak berjinak dan tidak dijinakkan hatinya (tidak
bersatu dan dipersatukan hatinya)”. Dan dalil itu juga lemah, karena hadits
tadi menunjukkan kepada tercelanya keburukan akhlaq, yang tercegah dengan sebab
buruk itu, jinak-berjinakan hati. Dan tidaklah termasuk di dalamnya, orang yang
berakhlaq bagus, di mana kalau ia bercampur-baur, niscaya berjinak menjinakkan
hati. Tetapi ia meninggalkan percampur-bauran itu, karena mengurus dirinya
sendiri dan mencari keselamatan dari gangguan orang lain. Dan mereka
berdalilkan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa bercerai dari orang ramai
sejengkal, niscaya dibukakan tali Islam dari lehernya”. Dan Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa bercerai dari orang ramai, lalu ia meninggal, maka matinya itu
adalah mati jahiliyah”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa memecahkan
tongkat kaum muslimin dan kaum muslimin itu dalam Islam yang gelap, maka
sesungguhnya dibukakan tali Islam dari lehernya”. Dalil ini lemah, karena yang
dimaksud dengan hadits tadi, ialah orang ramai (jama’ah) yang telah sepakat
pendapat mereka atas seseorang imam dengan mengikatkan bai’ah (janji setia dan
tunduk). Maka keluar dari kesepakatan itu, adalah melawan imam (memberontak
kepada penguasa yang telah disepakati). Dan itu adalah menyalahi pendapat orang
banyak dan keluar dari orang ramai. Dan itu dilarang. Karena rakyat memerlukan
kepada seorang imam yang ditaati, yang mengumpulkan pendapat mereka. Dan tidak
ada yang demikian, kecuali dengan bai’ah dari golongan yang terbanyak. Maka
menyalahi bai’ah, adalah pengacauan yang mengobarkan fitnah. Dan tidaklah pada
dalil ini penyinggungan kepada al-‘uzlah (pengasingan diri). Dan juga mereka
berdalilkan dengan larangan Nabi saw daripada tidak bercakap-cakap diatas 3
hari, karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada bercakap-cakap dengan
saudaranya di atas 3 hari, lalu ia meninggal, niscaya masuk neraka”. Dan Nabi
saw bersabda: “Tiada halal bagi manusia muslim tiada bercakap-cakap dengan
saudaranya diatas 3 hari dan yang dahulu berdamai akan masuk sorga”. Dan Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa tiada bercakap-cakap dengan saudaranya setahun, maka
dia adalah seperti orang yang menumpahkan darah saudaranya itu (membunuh)”.
Mereka itu mengatakan, bahwa al-‘uzlah itu meninggalkan bercakap-cakap secara
keseluruhan. Dalil ini adalah lemah. Karena yang dimaksudkan dengan hadits yang
tersebut tadi, ialah marah kepada orang banyak. Dan kedengkian kepadanya,
dengan memutuskan bercakap-cakap, memutuskan memberi salam dan percampur-bauran
yang dibiasakan. Maka tidaklah masuk ke dalamnya sekali-kali meninggalkan
percampur-bauran tanpa marah, sedang tidak bercakap-cakap diatas 3 hari itu
diperbolehkan pada dua tempat:
Pertama: Bahwa ia
melihat pada tiada bercakap-cakap itu, menambahkan perbaikan bagi yang tiada
dicakapi.
Kedua: Bahwa ia melihat bagi dirinya sendiri
keselamatan pada tiada bercakap-cakap itu. Dan larangan itu walaupun bersifat
umum, adalah ditempatkan dibalik dua tempat yang dikhususkan itu, berdalilkan
apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah: “Bahwa Nabi saw tiada bercakap-cakap dengan
dia (‘Aisyah) pada bulan Dzulhijjah, bulan Muharram dan setengah bulan Safar”.
Diriwayatkan dari ‘Umar ra: “Bahwa Nabi saw ber’uzlah (mengasingkan diri) dari
isteri-isterinya dan beliau bersumpah daripada mereka, sebulan lamanya. Beliau
naik ke kamarnya dan kamar itu adalah tempat beliau menyimpankan segala sesuatu
(khazanah). Maka tetaplah beliau disitu 29 hari. Tatkala beliau turun, lalu
orang menanyakan kepadanya: “Sesungguhnya engkau di kamar itu 29 hari”. Nabi
saw menjawab: “Sebulan, kadang-kadang sebulan itu 29 hari lamanya”. ‘Aisyah
meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi muslim, tiada
bercakap-cakap dengan saudaranya diatas 3 hari, kecuali saudaranya itu
termasuk orang yang tidak dirasa aman dari kejahatannya”. Maka hadits ini tegas mengkhususkan yang umum itu. Dan
diatas dasar ini, diletakkan kata Al-Hasan ra, dimana beliau mengatakan: “Tiada
bercakap-cakap dengan orang dungu itu adalah mendekatkan diri kepada Allah.
Karena yang demikian itu berkekalan sampai mati. Sebab kedunguan tiadalah
ditunggukan obatnya”. Dan disebutkan, pada Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi,
seorang laki-laki yang tidak mau bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang
lain, sehingga laki-laki itu meninggal. Maka Muhammad bin Umar Al-Waqidi menjawab:
“Ini adalah perkara yang telah terdahulu padanya orang banyak, yaitu: Sa’ad bin
Abi Waqqash tidak bercakap-cakap dengan Ammar bin Yasir, sampai ia meninggal.
Usman bin Affan tidak bercakap-cakap dengan Abdur Rahman bin ‘Auf. ‘Aisyah
tidak bercakap-cakap dengan Hafsah. Dan Thaus tidak bercakap-cakap dengan Wahab
bin Munabbih, sampai keduanya meninggal”. Semuanya itu menurut pendapat mereka
membawa kepada keselamatan dengan tidak bercakap-cakap. Dan mereka berdalilkan
dengan apa yang diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang ke bukit untuk
beribadah. Lalu orang itu dibawa kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw
bersabda: “Janganlah kepada seorangpun daripada engkau, berbuat demikian !
sesungguhnya bersabar seseorang kamu pada setengah negeri Islam, adalah lebih
baik baginya daripada beribadah seorang kamu seorang diri, 40 tahun”. Secara
zhahir, bahwa ini adalah karena padanya meninggalkan jihad, serta sangat
wajibnya jihad itu pada permulaan Islam, dengan dalil yang diriwayatkan
daripada Abu Hurairah, yang mengatakan: “Kami berperang bersama Rasulullah saw.
Maka kami melalui suatu kaum, dimana padanya ada mata air yang bagus airnya.
Lalu seorang dari kaum itu, berkata: “Jikalau aku mengasingkan diri dari
manusia ramai ! dan aku tidak berbuat demikian, sehingga aku terangkan kepada
Rasulullah saw”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Jangan engkau berbuat yang
demikian ! sesungguhnya kedudukan seorang kamu pada perang sabilullah adalah
lebih baik daripada shalatnya dalam keluarganya, 60 tahun. Apakah kamu tidak
menyukai bahwa, Allah mengampunkan dosamu dan kamu masuk ke sorga ?
berperanglah, pada sabilullah ! sesungguhnya barangsiapa berperang pada
sabilullah diatas unta, niscaya ia dimasukkan Allah ke sorga”. Dan mereka
mendalilkan pula dengan apa yang diriwayatkan Mu’az bin Jabal, bahwa Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya setan itu, serigala bagi manusia, seperti serigalanya
kambing, yang mengambil kambing yang jauh, yang terpencil di suatu sudut dan
yang lari dari kumpulannya. Jauhilah berpecah-belah (berfiirqah-firqah) dan
haruslah kamu dengan rakyat umum, dengan orang banyak (dengan jama’ah) dan
dengan masjid !”. Dan dimaksudkan dengan ini, ialah orang yang mengasingkan
diri sebelum sempurna pengetahuannya. Dan akan datang keterangan yang demikian
dan yang demikian itu dilarang, kecuali karena darurat.
MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG
YANG CENDERUNG KEPADA MENGUTAMAKAN AL-‘UZLAH (MENGASINGKAN DIRI).
Mereka itu
mengambil dalil dengan firman Allah Ta’ala, yang menceritakan tentang Nabi
Ibrahim as: “Dan aku akan menghindar dari kamu dan dari apa yang kamu sembah,
selain dari Allah dan aku memohon kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku dalam
memohonkan doaku itu tiadalah menjadi orang yang tidak beruntung”. S 19 Maryam
ayat 48. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Setelah ia menghindarkan diri dari
mereka dan dari apa yang mereka sembah selain dari Allah itu, Kami berikan
kepadanya Ishaq dan Ya’qub dan masing-masing Kami jadikan Nabi”. S 19 Maryam
ayat 49, sebagai isyarat, bahwa yang demikian itu adalah dengan berkat al-‘uzlah.
Dalil ini adalah lemah. Karena bercampur-baur dengan orang-orang kafir itu,
tiadalah faedah padanya, selain mengajak mereka kepada agama. dan ketika
putus-asa daripada sambutan (perkenaan) orang-orang kafir tadi, maka tak ada
jalan, selain daripada meninggalkan (tiada bercakap-cakap) dengan mereka. Dan
sesungguhnya yang diperkatakan di sini ialah tentang bercampur-baur dengan kaum
muslimin dan berkat (barakah) yang ada padanya. Karena menurut riwayat, bahwa
orang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! apakah berwudlu pada kendi
yang tertutup lebih engkau sukai atau pada tempat bersuci ini, dimana manusia
bersuci padanya”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Pada tempat-tempat orang
bersuci ini, karena mengharap barakah tangan kaum muslimin”. Diriwayatkan:
“Bahwa Nabi saw tatkala telah selesai dari thawaf, lalu kembali ke sumur Zamzam
untuk minum. Tiba-tiba ada tamar (buah kurma kering) yang direndamkan pada
tempat mengumpulkan makanan dan sudah dicampur-adukkan orang dengan tangannya.
Mereka itu mengambil dan meminum airnya. Maka Nabi saw meminta minuman itu
dengan bersabda: “Berilah minuman itu kepadaku !”. Lalu Abbas menjawab: “Bahwa
buah nabidz (buah anggur kering) ini adalah minuman yang telah dipermain-main
dan dicampur-adukkan oleh tangan-tangan orang. Apakah tidak aku bawakan
kepadamu minuman yang lebih bersih dari ini, yaitu: dari kendi yang tertutup
dalam rumah ?”. Nabi saw menjawab: “Berilah kepadaku minuman dari ini, yang
diminum orang banyak daripadanya ! aku mencari barakah tangan orang-orang
muslim”. Maka Nabi saw minum daripadanya”. Jadi, bagaimanakah mengambil dalil
dengan mengasingkan orang-orang kafir dan patung-patung berhala, kepada
mengasingkan diri dari kaum muslimin, sedang barakah banyak pada kaum muslimin
itu ?. Orang-orang yang cenderung kepada mengutamakan al-‘uzlah, mengemukakan
pula dalil (hujjah) dengan perkataan Musa as: “Dan jikalau kamu tidak percaya
kepadaku, ber’uzlahlah daripadaku !”. S 44 Ad Dukhaan ayat 21. Sesungguhnya ia
menuju kepada al-‘uzlah ketika putus asa dari mereka itu. Dan Allah Ta’ala
berfirman tentang orang-orang yang mendiami gua (ash-habil-kahfi): “Dan ketika
kamu ber-‘uzlah dari mereka (meninggalkan mereka) dan apa yang mereka sembah,
selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua, nanti Tuhan kamu
akan menyebarkan kurniaNya kepada kamu”. S 18 Al Kahfi ayat 16. Tuhan menyuruh
mereka ber-‘uzlah. Dan Nabi kita saw ber-‘uzlah (memisahkan diri) dari orang
Quraisy, sewaktu mereka menyakiti dan memutuskan silaturrahim dengan beliau.
Beliau masuk ke kalangan rakyat. Dan menyuruh para sahabatnya mengasingkan diri
dari orang-orang Quraisy itu dan berhijraah ke negeri Habsyah (Ethiopia).
Kemudian, para sahabat tadi menyusuli Nabi saw ke Madinah sesudah ditinggikan
Allah kalimahNya. Ini juga pengasingan diri dari orang-orang kafir sesudah
merasa putus-asa dari orang-orang kafir itu. Dan sesungguhnya Nabi saw tidaklah
mengasingkan diri dari kaum muslimin. Dan tidak dari orang-orang kafir yang
diharapkan keislamannya. Dan orang-orang yang mendiami gua itu, tidaklah
ber-‘uzlah sesamanya, satu sama lain, dimana mereka itu adalah orang-orang
mu’min. Dan sesungguhnya mereka itu mengasingkan diri dari orang-orang kafir.
Sesungguhnya yang menjadi perhatian, ialah tentang ber-‘uzlah dari orang-orang
muslimin. Mereka itu membuat dalil dengan sabda Nabi saw kepada Abdullah bin
‘Amir Al-Jahani, sewaktu ia menanyakan: “Wahai Rasulullah ! apakah yang
melepaskan dari kejahatan ?”. Nabi saw menjawab: “Hendaklah rumahmu melapangkan
bagimu (maksudnya: hendaklah kamu berdiam di rumahmu), tahanlah lidahmu atas
dirimu dan menangislah diatas kesalahanmu !”. Diriwayatkan bahwa ditanyakan
kepada Rasulullah saw: “Manusia manakah yang lebih utama ?”. Beliau menjawab:
“Orang mu’min yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya pada jalan Allah Ta’ala
(fi sabilillah)”. Lalu ditanyak lagi: “Kemudian, siapa ?”. Beliau menjawab:
“Orang yang mengasingkan diri (ber-‘uzlah) ke salah satu kampung, beribadah
kepada Tuhannya dan meninggalkan manusia dari kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengasihi hamba yang taqwa, kaya dan
menyembunyikan diri”. (hadist shohi dirawikan Muslim dari Sa’ad bin Abi
Waqqosh). Dalam hal mengambil dalil dengan
hadits-hadits tadi, hendaklah ada perhatian. Adapun sabda Nabi saw kepada
Abdullah bin Amir Al-Jahani, maka tidaklah mungkin menempatkannya, kecuali
kepada apa yang telah dikenal oleh Nabi saw dengan nur kenabian tentang
keadaannya. Dan tetap berdiam di rumah adalah lebih layak dan lebih
menyelamatkannya daripada bercampur-baur. Dan Nabi saw tidak menyuruh semua
sahabatnya dengan yang demikian. Dan banyaklah orang yang memperoleh
keselamatan dalam ber-‘uzlah, tidak dalam bercampur-baur, sebagaimana
kadang-kadang keselamatannya itu ada pada berdiam di rumah. Dan tidak keluar
kepada jihad. Dan itu tidaklah menunjukkan kepada meninggalkan jihad adalah
lebih utama. Dan pada bercampur-baur dengan manusia terdapat berjihad dan
menanggung kepedihan. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Orang yang
bercampur-baur dengan manusia dan bersabar atas kesakitan dari mereka, adalah
lebih baik daripada orang yang tidak bercampur-baur dengan manusia dan tidak
bersabar atas kesakitan dari mereka”. Dan diatas inilah ditempatkan sabda Nabi
saw: “Orang yang ber-‘uzlah yang beribadah kepada Tuhannya dan meninggalkan manusia
daripada kejahatannya”. maka ini adalah isyarat kepada orang yang jahat
budi-pekertinya, yang menyakiti manusia dengan bercampur-baur dengan dia. Dan
sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang taqwa, lagi
menyembunyikan diri”, adalah isyarat kepada memilihkan lemah suara dan menjaga
diri daripada terkenal (asy-syuhrah). Dan itu tidaklah menyangkut dengan
al-‘uzlah. Maka berapa banyak rahib (pendeta) yang mengasingkan diri, dikenal
oleh seluruh manusia. Dan berapa banyak orang yang bercampur-baur, yang lemah
suaranya (tidah banyak suara), tak ada sebutan dan tak terkenal. Maka ini
adalah mengemukakan sesuatu, yang tak menyangkut dengan al-‘uzlah. Orang-orang
yang cenderung kepada mengutamakan al-‘uzlah, mengemukakan dalil, dengan apa
yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya: “Tidaklah
aku beritahukan kepadamu, tentang manusia yang penuh dengan kebajikan ?”. Para
sahabat menjawab: “Belum, wahai Rasulullah !”. Lalu beliau menunjukkan dengan
tangannya ke arah matahari terbenam dan bersabda: “Orang yang mengambil kekang
kudanya (mengendarai kuda) fi sabilillah, yang menunggu untuk menyerang atau
diserang. Tidaklah aku beritahukan kepadamu, manusia yang penuh dengan
kebajikan sesudah itu ?”. Dan beliau menunjukkan dengan tangannya ke arah
negeri Hijaz dan bersabda: “Orang dalam kawanan kambingnya menegakkan shalat,
menyerahkan zakat dan mengetahui hak Allah pada hartanya, mengasingkan diri
dari kejahatan manusia”. Apabila telah jelas bahwa dalil-dalil tadi tak ada
obat padanya dari kedua belah pihak, maka tak dapat tiada daripada
menyingkapkan tutup dengan penegasan faedah-faedah al-‘uzlah dan
marabahaya-marabahayanya. Dan membandingkan sebahagian daripadanya dengan
sebahagian yang lain. Supaya jelaslah kebenaran padanya.
BAB KEDUA: tentang faedah-faedah
Al-‘uzlah dan marahabaya-marabahaya dan menyingkapkan kebenaran tentang
keutamaannya.
Ketahuilah, bahwa
perbedaan pendapat manusia tentang ini, adalah menyerupai dengan perbedaan
pendapat mereka tentang keutamaan nikah dan membujang (tidak kawin). Dan telah
kami terangkan bahwa yang demikian itu, berbeda dengan berbedanya keadaan dan
orang, menurut apa yang telah kami uraikan dahulu, dari hal bahaya-bahaya
perkawinan dan faedah-faedahnya. Maka begitupula uraian mengenai persoalan yang
sedang kita bicarakan ini. Maka hendaklah mula-mula kami sebutkan faedah-faedah
al-‘uzlah. Dan itu terbagi kepada faedah-faedah keagamaan dan faedah-faedah
keduniaan. Dan faedah-faedah keagamaan itu terbagi kepada: apa yang
memungkinkan berhasilnya taat dalam bersemadi (al-khilwah), rajinnya beribadah,
bertafakkur dan berpendidikan ilmu pengetahuan. Dan kepada: terlepasnya
daripada mengerjakan larangan-larangan yang dikerjakan manusia dengan sebab
percampur-bauran. Seperti: ria (berbuat sesuatu ingin dilihat orang),
mengumpat, berdiam diri dari amar-ma’ruf dan nahi-munkar, mencuri tabiat
budi-pekerti rendah dan perbuatan keji dari orang-orang jahat yang menjadi
teman duduk. Adapun faedah-faedah keduniaan, maka terbagi kepada: apa yang
memungkinkan menghasilkan sesuatu, disebabkan persemadian (al-khilwah) itu,
seperti: bertekunnya seorang pekerja dalam persemadiannya kepada pekerjaan yang
bersih daripada segala yang dikuatiri, yang datang kepadanya, disebabkan
percampur-bauran. Seperti: memandang kepada kembang dunia dan tertujunya hati
orang banyak kepadanya. Lobanya pada manusia dan lobanya manusia padanya.
Terbukanya tutup kepribadiannya disebabkan percampur-bauran. Merasa sakit
disebabkan buruknya akhlaq orang yang duduk dengan dia, tentang rianya atau
jahat sangkanya atau sifat lalat merah/suka menceritakan kekurangan orangnya
atau dengkinya atau merasa sakit disebabkan berat gerak-geriknya dan keji
bentuknya. Dan kepada inilah semua kembalinya segala kumpulan faedah-faedah
al-‘uzlah. Maka hendaklah kami membatasinya pada 6 fadah saja !.
FAEDAH PERTAMA:
Menyelesaikan
diri untuk ibadah, bertafakkur dan merasa kejinakan hati dengan bermunajah
(berbisik-bisik) dengan Allah Ta’ala daripada berbisik-bisik dengan makhluq.
Menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala sirr (rahasia yang dijadikan)
Allah Ta’ala tentang urusan dunia dan akhirat, alam langit dan bumi yang tak
terlihat oleh pancaindra (alam malakut). Maka yang demikian itu meminta
keselesaian hati daripada kesibukan. Dan tak ada keselesaian hati itu bersama
percampur-bauran. Maka al-‘uzlah adalah jalan kepadanya. Karena inilah,
sebahagian hukama’ (ahli hikmah) berkata: “Tiada bertekunlah seseorang dari
al-khilwahnya, kecualli dengan berpegang teguh dengan Kitab Allah Ta’ala.
Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitab Allah, Ta’ala, ialah orang-orang
yang merasa tentram meninggalkan dunia dengan mengingati (berdzikir kepada)
Allah. Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan menyebut Allah itu, hidup
dengan mengingati Allah (dzikrullah), mati dengan mengingati Allah dan menemui
Allah dengan dzikir kepada Allah. Dan tak ragu lagi, tentang mereka itu dapat
dicegah oleh bercampur-baur dengan manusia daripada bertafakkur dan berdzikir”.
Maka mengasingkan diri (al-‘uzlah) adalah lebih utama bagi mereka. Dan karena
itulah, Nabi saw pada permulaan tugasnya memutuskan hubungan dengan dunia di
Bukit (Gua) Hira dan mengasingkan diri ke Gua Hira itu. Sehingga teguhlah Nur
Kenabian (Nurun-nubuwwah) pada diri Nabi saw. Maka makhluq tidaklah
menghijabkan (mendindingkan) Nabi saw daripada Allah. Maka ia dengan tubuhnya
adalah bersama makhluq dan dengan hatinya ia menghadap kepada Allah Ta’ala.
Sehingga manusia itu menyangka, bahwa Abu Bakar ra khalilnya (temannya yang
paling dicintainya). Lalu Nabi saw menerangkan tentang seluruh cita-citanya
dengan Allah, dengan sabdanya: “Jikalau aku mengambil teman yang sangat
dicintai (khalil), maka sesungguhnya aku mengambil Abu Bakar menjadi khalil.
Tetapi temanmu ini (diri Nabi saw sendiri) adalah Khalilullah”. Dan tidaklah
melapangkan jalan untuk mengumpulkan antara bercampur-baur dengan manusia pada
zhahirnya dan menghadapkan hati kepada Allah pada bathinnya (sirrnya),
melainkan oleh kekuatan Nubuwwah (Kenabian). Maka tidak seyogyalah tiap-tiap
orang yang lemah itu tertipu dirinya sendiri. Lalu mengharapkan yang demikian.
Dan tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa tingkat sebahagian wali-wali itu
berkesudahan kepada keadaan yang tersebut tadi. Dinukilkan dari AL-Junaid,
dimana beliau mengatakan: “Aku berkata-kata (berkalan) dengan Allah semenjak 30
tahun yang lalu. Dan manusia menyangka bahwa aku berkata-kata dengan mereka”.
Ini sesungguhnya adalah mudah bagi orang yang membenamkan dirinya untuk
mencintai Allah dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga tiada tinggal bagi yang lain,
tempat yang lapang pada dirinya. Yang demikian itu tidak dapat dibantah. Maka
pada orang-orang yang terkenal dengan mencintai makhluq, terdapat orang yang
bercampur-baur dengan manusia dengan tubuhnya. Dan ia tidak mengetahui apa yang
dikatakannya dan tidak pula mengetahui apa yang dikatakan orang kepadanya.
Karena bersangatan asyiknya kepada yang dikasihinya itu. Bahkan orang yang
dipengaruhi oleh suatu malapetaka yang mengganggu salah satu dari urusan
dunianya, kadang-kadang ia ditenggelamkan oleh kesusahan, dimana ia
bercampur-baur dengan manusia ramai dan tiada merasa adanya manusia itu dan
tiada mendengar suara mereka, karena bersangatan tenggelamnya. Dan urusan
akhirat adalah lebih besar pada orang-orang yang berakal. Maka tidaklah
mustahil yang demikian padanya. Tetapi yang lebih utama bagi orang banyak,
ialah mempergunakan al-‘uzlah. Karena itulah, ditanyakan kepada setengah
hukama’ (ahli hikmah): “Apakah yang mereka maksudkan dengan al-khilwah dan
memilih al-‘uzlah ?”. Maka ahli hikmah itu menjawab: “Mereka memperoleh dengan
demikian kekekalan pemikiran dan ketetapan ilmu dalam hati. Supaya mereka
memperoleh kehidupan yang baik dan merasakan kemanisan ma’rifah (mengenal
Tuhan). Ditanyakan kepada setengah pendeta (rahib): “Apakah yang membawa engkau
bersabar dengan sendirian ?”. Pendeta itu menjawab: “Sebenarnya aku tidaklah
sendirian. Aku adalah duduk bersama Allah Ta’ala. Apabila aku berkehendak,
bahwa Ia berbisik-bisik (munajah) dengan aku, maka aku baca KitabNya. Dan
apabila aku berkehendak, bahwa aku bermunajah dengan Dia, maka aku mengerjakan
shalat”. Ditanyakan kepada setengah hukama’: “Kepada apakah kamu dibawa oleh
zuhud dan al-khilwah ?”. Ahli hikmah itu menjawab: “Kepada berjinak-jinakan
dengan Allah”. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Aku bertemu dengan Ibrahim bin
Adham ra di negeri Syam. Lalu aku berkata kepadanya: “Wahai Ibrahim ! engkau
telah meninggalkan Khurasan”. Ibrahim bin Adham ra lalu menjawab: “Aku tiada
memperoleh ketentraman hidup, kecuali disini. Aku lari bersama agamaku dari
bukit ke bukit. Maka barangsiapa melihat aku, lalu mengatakan: “Orang yang
diserang penyakit bimbang atau pemikul barang atau penjual garam”. Orang
menanyakan Ghazwan Ar-Raqqasyi: “Mengapakah engkau tiada tertawa ? apakah yang
melarang kamu daripada duduk-duduk bersama teman-temanmu ?”. Ghazwan
Ar-Raqqasyi menjawab: “Sesungguhnya aku memperoleh ketenangan hati duduk-duduk
dengan yang ada padaNya hajat keperluanku”. Ditanyakan kepada Al-Hasan: “Hai
Abu Sa’id ! disini ada seorang laki-laki yang tiada pernah kami melihat ia
duduk, melainkan sendirian saja di belakang tiang”. Al-Hasan menjawab: “Apabila
kamu melihat orang itu, maka berilah kabar kepadaku !”. Maka pada suatu hari,
mereka melihat orang itu. Lalu mereka berkata kepada Al-Hasan: “Inilah
laki-laki yang kami terangkan kepadamu !”. Dan mereka menunjukkan kepada
laki-laki itu. Al-Hasan datang pada laki-laki tadi, seraya berkata: “Hai hamba
Allah ! aku melihat engkau telah mencintai al-‘uzlah begitu rupa. Apakah yang
melarang kamu daripada duduk-duduk dengan manusia ?”. Orang itu menjawab: “Ada
urusan yang menghabiskan waktuku, daripada bergaul dengan manusia”. Al-Hasan
menyambung: “Apakah yang melarang kamu untuk datang kepada laki-laki ini yang
bernama Al-Hasan, lalu kamu duduk bersama dia ?”. Orang itu menjawab: “Ada
urusan yang menghabiskan waktuku daripada bergaul dengan manusia dan dengan
Al-Hasan”. Lalu Al-Hasan bertanya: “Apakah urusan itu ? kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepadamu !”. Maka laki-laki itu menjawab: “Sesungguhnya aku,
pagi hari dan sore hari adalah diantara nikmat dan dosa. Maka aku berpendapat,
bahwa aku menyerahkan waktu diriku bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmatNya
dan memohonkan ampun daripada dosa”. Lalu Al-Hasan berkata kepada orang itu:
“Engkau, wahai hamba Allah, lebih berilmu padaku daripada Al-Hasan ! maka
teruskanlah apa yang telah engkau kerjakan itu !”. Ada yang menceritakan, bahwa
sewaktu Uwais Al-Qarani sedang duduk, tiba-tiba datanglah kepadanya Haram bin
Hayyan. Lalu Uwais bertanya kepadanya: “Apakah yang menyebabkan engkau datang
kemari ?”. Haram bin Hayyan menjawab: “Aku datang untuk berjinak-jinakan hati
dengan engkau”. Lalu Uwais menyambung: “Tidaklah aku melihat bahwa seseorang
yang mengenal Tuhannya, lalu berjinak-jinakan hati dengan orang lain”. Al-fudlail
berkata: “Apabila aku melihat malam datang di depanku, maka aku bergembira,
seraya aku berkata: “Akan aku bersemadi (berkhilwah) dengan Tuhanku”. Dan
apabila aku melihat pagi mendapati aku, niscaya kembalilah kebencian berjumpa
dengan manusia. Dan bahwa datang kepadaku orang yang mengganggu aku daripada
Tuhanku”. Abdullah bin Zaid berkata: “Amat baiklah orang yang hidup di dunia
dan hidup di akhirat !”. Maka orang bertanya kepadanya: “Bagaimanakah yang
demikian itu ?”. Abdullah bin Zaid menjawab: “Ia bermunajah dengan Allah di
dunia dan bermujawarah dengan Allah di akhirat”. Berkata Dzun-Nun Al-Misri:
“Kegembiraan dan kesenangannya orang mu’min dalam berkhilwah, ialah dengan
bermunajah dengan Tuhannya”. Berkata Malik bin Dinar: “Barangsiapa tidak merasa
berjinak-jinakan hati dengan bercakap-cakap (muhadatsah) dengan Allah ‘Azza Wa
Jalla, dengan meninggalkan bercakap-cakap dengan makhluq, maka sesungguhnya
telah sedikitlah pengetahuannya, telah butalah hatinya dan telah sia-sialah
umurnya”. Berkata Ibnul-Mubarak: “Alangkah baiknya keadaan orang yang
memutuskan hubungan dengan yang lain, untuk berhubungan dengan Allah Ta’ala”.
Dan diriwayatkan dari sebahagian orang-orang shalih, yang mengatakan: “Sewaktu
aku sedang berjalan di sebahagian negeri Syam (Syria), tiba-tiba aku berjumpa
dengan seorang ‘abid (yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala), yang
keluar dari sebahagian bukit-bukit itu. Maka tatkala ia memandang kepadaku,
lalu ia menyingkir ke pokok sebatang kayu dan menutupkan dirinya dengan batang
kayu itu. lalu aku berkata: "Subhaanallaah (Maha Suci Allah) ! engkau
kikir kepadaku untuk memandang kepadamu”. Maka ‘abid itu menjawab: “Wahai
saudara ! sesungguhnya aku telah menetap di bukit ini dalam waktu yang lama.
Aku mengobati hatiku tentang kesabaran dari dunia dan penduduknya. Maka lamalah
pada yang demikian itu kepayahanku dan telah lenyaplah padanya umurku. Aku
bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia tidak menjadikan bahagianku dari
hari-hari kehidupanku pada bermujahadah qalbuku. Maka Allah menentramkannya
daripada kegoncangan dan menjinakkannya sendirian dan seorang. Maka tatkala aku
memandang kepadamu, lalu aku takut bahwa aku terjatuh pada urusan yang pertama
dahulu. Biarlah engkau jauh daripadaku. Maka sesungguhnya aku berlindung dari
kejahatan engkau dan Tuhan segala orang yang berma’rifah dan Kecintaan segala
orang yang berdoa”. Kemudian ‘abid itu memekik dan pingsan dari lamanya berdiam
di dunia. Kemudian ia memalingkan wajahnya daripadaku. Kemudian, ia
menggerakkan kedua tangannya, seraya berkata: “Biarlah engkau jauh daripadaku,
wahai dunia, untuk orang selain aku. Maka berhiaslah ! dan untuk keluargamu,
maka tipulah mereka !”. Kemudian ‘abid itu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang
memberikan rasa lezatnya penkhidmatan, ke dalam hati orang-orang yang
berma’rifah dan kemanisan sendirian menemaniNya ! Ia tidak melalaikan hati
mereka daripada mengingati sorga dan bidadari yang cantik-cantik. Ia
mengumpulkan cita-cita mereka pada mengingatiNya. Maka tiadalah suatupun yang
lebih lezat pada mereka, selain daripada bermunajah dengan Dia”. Kemudian ‘abid
itu meneruskan kata-katanya dan berkata: “Qudduusun-Qudduusun (IA Maha Qudus-Ia
Maha Qudus)”. Jadi, ‘abid itu dalam bersemadi (al-khilwah) berjinak-jinakan
dengan mengingati (berdzikir kepada) Allah dan berbanyak mengenal (ma’rifah
kepada) Allah”. Pada contoh yang demikian itu, ada yang bermadah:
Sungguh aku menutupkan diriku
dan tidak adalah tutup padaku.
Semoga itu khayalan daripadamu
yang bertemu dengan khayalanku.
Aku keluar dari antara
orang-orang yang duduk.
Semoga jauh dari engkau aku
berbicara,
dengan jiwa secara rahasia
bersemadi-sepi.
Karena itulah,
berkata setengah hukama’: “Sesungguhnya manusia itu merasa liar dari dirinya
sendiri, karena kosong pribadinya daripada sifat keutamaan. Maka ketika itu ia
memperbanyakkan bertemu dengan manusia. Dan membuang jauh keliaran dari dirinya
sendiri, disebabkan adanya bersama manusia itu. Maka apabila dirinya itu
bersifat keutamaan, niscaya ia mencari kesendirian, supaya memperoleh
pertolongan dengan kesendirian itu kepada pemikiran. Dan dapat mengeluarkan
pengetahuan dan hikmah (ilmu yang tinggi-tinggi). Sesungguhnya ada yang
mengatakan, bahwa berjinak-jinakan hati dengan manusia itu adalah setengah dari
tanda iflas (dalam keadaan tiada mempunyai apa-apa). Jadi, inilah faedah yang
besar. Tetapi adalah mengenai bahagian setengah orang-orang pilihan tertentu.
Dan orang yang mudah baginya berjinak-jinakan hati dengan Allah dengan
berkekalan dzikir atau dengan berkekalan pikir, mudah berkeyakinan mengenal Allah
maka yang lebih utama baginya ialah melepaskan diri dari tiap-tiap yang
menyangkut dengan percampur-bauran dengan manusia. Karena tujuan yang terakhir
dari ibadah dan buah dari pergaulan hidup (mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)), ialah
bahwa manusia itu mati dengan mencintai Allah dan berma’rifah kepada Allah. Dan
tiadalah kecintaan itu, selain dengan berjinak-jinakan yang diperoleh dengan
berkekalan dzikir. Dan tiadalah ma’rifah itu, selain dengan berkekalan pikir.
Dan kekosongan hati itu adalah syarat pada masing-masing dari yang dua tadi.
Dan hati itu tiada kosong dengan adanya percampur-bauran dengan manusia.
FAEDAH KEDUA:
Terlepas itu
dengan ‘uzlah, dari perbuatan-perbuatan ma’siat (perbuatan yang berdosa) yang
biasanya dikerjakan manusia dengan sebab percampur-bauran. Dan selamat
daripadanya dalam berkhilwah. Dan perbuatan-perbuatan ma’siat itu, 4:
mengumpat, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (namimah), ria dan
diam daripada amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan curi-mencuri sifat (karakter)
dari akhlaq buruk dan perbuatan keji yang diwajibkan oleh kerakusan kepada
dunia. Adapun mengumpat, maka apabila anda mengetahui dari “Kitab Bahaya Lidah”
dari “Bahagian Yang Membinasakan” (Rubu’ Al-Muhlikat), segala seginya, niscaya
anda mengetahui, bahwa menjaga diri daripada mengumpat dalam percampur-bauran
adalah sukar sekali. Tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq.
Karena adat kebiasaan manusia pada umumnya, adalah suka mempercakapkan segala hal
yang memalukan orang, merasa keenakan dengan yang demikian dan banyak
perpindahan dengan kemanisannya. Sehingga mengumpat itu menjadi makanan dan
kelezatan mereka. Dan kepada mengumpat itu mereka menyenangkan diri dari
keliaran hati (kesepian) dalam khilwah. Jikalau anda bercampur-baur dengan
mereka dan anda menyetujui perbuatan mereka, niscaya anda berdosa dan anda
mendatangi untuk kemarahan Allah Ta’ala. Dan jikalau anda berdiam diri, niscaya
anda adalah sekutu. Dan orang yang mendengar adalah menjadi seorang dari
orang-orang yang mengumpat. Dan jikalau anda membantah, niscaya mereka marah
kepada anda. Mereka meninggalkan orang yang diumpati itu, lalu mereka
mengumpati anda. Maka mereka menambahkan umpatan kepada umpatan. Kadang-kadang
mereka menambahkan di atas umpatan itu dan mereka berkesudahan kepada memandang
ringan dan kepada memaki-maki. Adapun amar-ma’ruf dan nahi-munkar, adalah
setengah daripada pokok-pokok agama. Dan adalah suatu kewajiban sebagaimana
akan datang penjelasannya pada akhir rubu’ ini (bahagian perempat dari kitab).
Barangsiapa bercampur-baur dengan manusia, maka ia tidak terlepas daripada
menyaksikan kemunkaran-kemunkaran. Kalau ia diam, niscaya ia mendurhakai Allah.
dan kalau ia membantah, niscaya ia mendatangkan dirinya kepada berbagai macam
kemelaratan. Karena kadang-kadang ia ditarik oleh mencari kelepasan dari segala
macam kemelaratan tadi, kepada segala kema’siatan yang lebih besar daripada apa
yang dilarang pada mulanya. Dan pada uzlah itu, terlepaslah dari yang tadi.
Maka sesungguhnya amar, pada menyia-nyiakannya itu berat. Dan menegakkannya
sukar. Abu Bakar ra bangun berdiri selaku khathib dan berkata: “Hai manusia !
sesungguhnya kamu membaca ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman ! jagalah
dirimu ! tidaklah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu
ada menurut jalan yang benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105, bahwa kamu itu
meletakkan ayat tersebut tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia melihat yang munkar, lalu tidak
merobahkannya, niscaya hampirlah mereka itu diratakan oleh Allah dengan
siksaan”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menanyakan kepada
hambaNya, sehingga Ia berfirman kepadanya: ‘Apakah yang mencegah engkau,
apabila melihat yang munkar dalam dunia, untuk menantangnya ?’. Maka apabila
Allah mengajarkan kepada seorang hamba akan dalilNya, niscaya hamba itu
berkata: ‘Wahai Tuhan ! aku harap dari Engkau dan aku takut kepada manusia”.
Ini adalah apabila ia takut dari pukulan atau perintah yang tidak
disanggupinya. Dan mengenal batas-batas yang demikian itu adalah sukar dan
padanya bahaya. Dan pada ‘uzlah (mengasingkan diri) itu, terdapat kelepasan.
Dan pada amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu, mengobarkan permusuhan dan
menggerakkan marabahaya-marabahaya bagi hati, sebagaimana dikatakan oleh
seorang penyair:
Banyaklah mengandung nasehat,
pada kata-katamu yang membekas.
Kadang-kadang yang memperoleh nasehat
itu,
menerima dengan marah yang membatu.
Orang yang
mencoba beramar-ma’ruf, biasanya menyesal. Amar-ma’ruf itu adalah seperti
dinding yang mereng, lalu ada orang yang bermaksud meluruskannya. Maka
hampirlah dinding itu jatuh di atas dirinya. Apabila jatuh ke atas dirinya,
lalu ia berkata: “Wahai kiranya aku tinggalkan dinding itu dalam keadaan mereng
!”. Ya, jikalau ia memperoleh penolong-penolong yang memegang dinding itu,
sehingga ia mengokohkannya dengan tiang, maka dinding itu lurus. Dan pada waktu
sekarang engkau tiada akan memperoleh penolong-penolong itu. Dari itu,
tinggalkanlah mereka dan lepaslah engkau dengan diri engkau sendiri !. Adapun
ria itu penyakit yang menyusahkan, yang sukar bagi wali-wali dan pemuka-pemuka
menjaga diri daripadanya. Tiap-tiap orang yang bercampur-baur dengan manusia,
niscaya berlemah-lembut dengan mereka. Dan orang yang berlemah-lembut itu
berbuat ria dengan mereka. Dan orang yang berbuat ria dengan mereka, niscaya
jatuhlah ia ke dalam apa yang jatuh mereka ke dalamnya. Dan binasalah ia,
sebagaimana mereka itu binasa. Dan sekurang-kurangnya yang harus padanya, ialah
sifat nifaq (sifat bermuka dua). Sesungguhnya engkau, jikalau bercampur-baur
dengan dua orang yang bermusuh-musuhan dan engkau tiada menemui masing-masing
daripada keduanya, dengan cara yang sesuai dengan dia, niscaya jadilah engkau
orang yang dimarahi keduanya. Dan jikalau engkau berbaik-baikan dengan
keduanya, niscaya adalah engkau termasuk manusia yang jahat. Nabi saw bersabda:
“Engkau memperoleh daripada manusia yang jahat itu orang yang bermuka dua. Dia
datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang itu begitu”. Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya termasuk manusia yang jahat, ialah orang yang
bermuka dua. Dia datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang
itu begitu”. Sekurang-kurangnya yang wajib pada bercampur-baur dengan manusia,
ialah melahirkan kerinduan dan bersangatan pada kerinduan itu. Dan yang
demikian tidaklah terlepas daripada kedustaan. Adakalanya pada pokok dan
adakalanya pada tambahan. Dan melahirkan kasih-sayang dengan menanyakan
hal-keadaannya, dengan engkau mengatakan umpamanya: “Bagaimanakah keadaan
saudara ? bagaimanakah keadaan keluarga saudara ?”, sedang engkau pada
bathinnya, adalah berhati kosong daripada turut berduka-cita dengan dia. Dan
ini adalah nifaq semata-mata. Sirri berkata: “Jikalau masuk ke tempatku
saudaraku, lalu aku luruskan janggutku dengan tanganku karena masuknya, niscaya
aku takut bahwa aku akan ditulis pada lembaran orang-orang munafiq”. Adalah
Al-Fudlail duduk sendirian dalam Al-Masjidil-haram. Maka datanglah kepadanya
saudaranya. Lalu beliau bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari
?”. Saudaranya itu menjawab: “Untuk berjinak-jinakan hati, wahai Abu ‘Ali !”.
Al-Fudlail (yang dipanggil dengan Abu ‘Ali tadi) menjawab: “Wahai kiranya,
berjinak-jinakan itu adalah lebih menyerupai dengan berliar-liaran hati !
adakah engkau kehendaki, selain daripada engkau menghiasi aku (dengan
kata-kata) dan aku menghiasi engkau ? engkau berdusta untukku dan aku berdusta
untuk engkau. Adakalanya, bahwa engkau bangun meninggalkan aku atau aku bangun
meninggalkan engkau”. Berkata setengah ulama: “Allah Ta’ala tiada mencintai
seorang hamba, melainkan Ia mencintai bahwa tiada merasakan apa-apa dengan
hamba itu”. Thaus masuk ke tempat Khalifah Hisyam. Lalu bertanya: “Bagaimana
engkau hai Hisyam ?”. Maka Hisyam marah kepadanya, seraya berkata: “Mengapa
tiada engkau sebutkan aku dengan panggilan “amirul-mu’minin ?”. Thaus menjawab:
“Karena semua kaum muslimin tidak menyetujui atas kekhalifahanmu. Maka aku
takut bahwa aku menjadi pendusta”. Orang yang memungkinkan kepadanya, bahwa ia
dapat memelihara akan pemeliharaan ini, maka hendaklah bercampur-baur dengan
manusia. Dan jikalau tidak, maka hendaklah ia menyetujui untuk dicantumkan
namanya dalam lembaran orang-orang munafiq. Adalah orang-orang salaf (orang-orang
terdahulu) bertemu sesama mereka dan menjaga pada ucapan mereka: “Bagaimana
keadaan engkau berpagi hari ? bagaimana keadaan engkau bersore hari ? bagaimana
engkau ? bagaimana hal keadaan engkau ?”. Dan tentang penjawaban dari ucapan
itu. Maka pertanyaan mereka itu, adalah mengenai hal keadaan agama, tidak
mengenai hal keadaan dunia. Hatim Al-Asham bertanya kepada Hamid Al-Laffaf:
“Bagaimana engkau tentang diri engkau ?”. Hamid menjawab: “Selamat, sehat
wal-afiat !”. Maka Hatim tiada menyukai penjawaban Hamid itu dan berkata: “Hai
Hamid ! selamat itu ialah dari belakang Titian (Ash-Shirathal-mustaqim) dan
sehat wal-afiat itu dalam sorga”. Dan adalah apabila ditanyakan kepada Nabi Isa
as: “Bagaimana engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari,
tiada memiliki untuk mengemukakan apa yang aku harapkan. Dan tiada sanggup
menolak apa yang aku takuti. Dan aku berpagi hari tergadai dengan amalanku. Dan
kebajikan seluruhnya pada tangan lain daripada aku. Tiadalah orang faqir, yang
lebih faqir daripada aku”. Adalah Ar-Rabi’ bin Khaitsam apabila ditanyakan
kepadanya: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Aku
berpagi hari, termasuk orang-orang lemah yang berdosa. Kami mencukupkan rezeki
kami dan kami menunggu ajal kami”. Adalah Abud-Darda’ apabila ditanyakan
kepadanya: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Aku
berpagi hari dengan kebajikan, jikalau aku terlepas dari neraka”. Adalah Sufyan
Ats-Tsuri apabila ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau berpagi hari ?”. Lalu
beliau menjawab: “Aku berpagi hari, mensyukuri ini kepada ini, mencela ini
kepada ini dan lari dari ini kepada ini”. Ditanyakan Uwais Al-Qarani:
“Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu beliau menjawab: “Bagaimana berpagi
hari seorang laki-laki, dimana apabila ia bersore hari, tiada tahu bahwa ia
akan berpagi hari lagi. Dan apabila ia berpagi hari tiada tahu, bahwa ia akan
bersore hari lagi”. Ditanyakan Malik bin Dinar: “Bagaimanakah engkau berpagi
hari ?’. Lalu beliau menjawab: “Aku berpagi hari dalam umur yang berkurang dan
dosa yang bertambah”. Ditanyakan setengah hukama: “Bagaimanakah engkau berpagi
hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari, tiada aku rela hidupku untuk
matiku dan diriku untuk Tuhanku”. Ditanyakan seorang ahli hikmat: “Bagaimanakah
engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari memakan rezeki dari
Tuhanku dan aku mentaati musuhNya Iblis”. Ditanyakan Muhammad bin Wasi’:
“Bagaimanakah engkau berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Apakah persangkaanmu
tentang seorang laki-laki yang berjalan tiap-tiap hari ke akhirat sehari
perjalanan (satu marhalah) ?”. Ditanyakan Hamid Al-Laffaf: “Bagaimanakah engkau
berpagi hari ?”. Lalu ia menjawab: “Aku berpagi hari, merindui kesehatan hari
itu sampai kepada malamnya”. Lalu ditanyakan lagi kepadanya: “Tidakkah engkau
dalam sehat wal-afiat pada tiap-tiap hari ?”. Maka beliau menjawab: “Sehat
wal-afiat itu ialah hari, dimana aku tiada mendurhakai akan Allah Ta’ala
padanya”. Ditanyakan seorang laki-laki dan laki-laki itu dalam keadaan
menyerahkan dirinya untuk mati (sekarat): “Apakah hak keadaanmu ?”. Lalu
laki-laki itu menjawab: “Apalah halnya keadaan orang yang bermaksud berjalan
jauh tanpa perbekalan. Memasuki perkuburan yang meliarkan hati tanpa yang
menjinakkan. Dan berjalan kepada Raja Yang Adil tanpa membawa alasan (hujjah)”.
Ditanyakan Hassan bin Abi Sannan: “Apakah hal keadaanmu ?”. Lalu ia menjawab:
“Apalah halnya orang yang mati, kemudian dibangkitkan, kemudian dihisab
(dihitung amalannya)”. Ibnu Sirin bertanya kepada seorang laki-laki: “Apakah
hal keadaanmu ?”. Lalu orang itu menjawab: “Apalah halnya orang yang menanggung
hutang sebanyak 500 dirham dan orang itu berkeluarga banyak ?”. Maka Ibnu Sirin
masuk ke rumahnya. Lalu mengeluarkan uang 1000 dirham untuk laki-laki itu. Maka
diserahkannya uang itu kepada laki-laki tadi, seraya berkata: “500 bayarkanlah
hutangmu dan 500 lagi sediakan untuk dirimu sendiri dan keluargamu !”. Dan
tidak ada pada Ibnu Sirin uang yang lain. Kemudian ia berkata: “Demi Allah !
aku tiada akan menanyakan selama-lamanya kepada seseorang tentang hal
keadaannya”. Sesungguhnya Ibnu Sirin berbuat demikian, karena takut
pertanyaannya itu adalah dari tidak mementingkan keadaan orang yang ditanyakan.
Lalu dengan demikian, ia adalah orang yang ria lagi munafiq. Maka adalah
pertanyaan mereka itu tentang urusan agama dan hal-hal keadaan hati pada bermu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dengan
Allah. Dan jikalau mereka menanyakan tentang urusan dunia, maka adalah timbulnya
daripada mementingkan dan bercita-cita menegakkan keperluannya yang terang bagi
mereka. Setengah mereka berkata: “Sesungguhnya aku mengenal beberapa kaum,
dimana mereka itu tiada pernah bertemu. Jikalau seorang dari mereka menghukum
(menetapkan) ke atas diri temannya, untuk mengambil semua yang dimilikinya,
niscaya teman itu tiada akan melarangnya. Dan sekarang aku melihat kaum-kaum
itu jumpa-menjumpai dan tanya-menanyakan, sehingga tentang ayam betina dalam
rumah. Dan jikalau salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk mengambil
sebutir biji-bijian daripada harta temannya, niscaya temannya itu melarangnya.
Maka tidaklah ini, selain ria dan nifaq semata-mata ?”. Tanda yang demikian
itu, ialah: bahwa engkau melihat si Ini menanyakan: “Bagaimana keadaan Engkau
?”, dan yang lain menanyakan: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Maka yang bertanya
tiada menunggu jawaban dan yang ditanya bimbang memikirkan pertanyaan itu dan
tidak menjawab,. Dan yang demikian adalah karena mereka tahu, bahwa itu adalah
datangnya dari ria dan memberatkan diri. Dan kiranya hati tiada terlepas dari
khianat dan dengki. Dan lidah hanya mengucapkan pertanyaan. Al-Hasan berkata:
“Sesungguhnya mereka itu dahulu mengucapkan: “Assalamu’alaikum, apabila –demi
Allah –hati itu telah sejahtera. Adapun sekarang, maka mereka itu mengucapkan:
“Yang disebelah kiri !”. Maka mereka mengambil jalan yang di sebelah kiri itu.
Maka binasalah dan sesatlah mereka. Dan yang lain duduk dan berhenti, sehingga
hilanglah angin dan teranglah jalan. Lalu mereka itu berjalan.....”. Maka Sa’id
mengasingkan diri dan suatu rombongan bersama dia, memisahkan diri dari segala
fitnah. Dan mereka tidak bercampur-baur, kecuali sesudah hilang segala fitnah
itu. Dari Ibnu Umar ra diriwayatkan, bahwa: tatkala sampai kepadanya berita
bahwa Husain ra telah menuju Irak, lalu Ibnu Umar mengikutinya. Maka bertemulah
ia dengan Husain sesudah berjalan 3 hari lamanya. Lalu Ibnu Umar bertanya
kepada Husain: “Kemanakah engkau mau pergi ?”. Husain menjawab: “Ke Irak !”.
Dan bersama Husain lembaran-lembaran keterangan dan surat-surat. Lalu Husain
menyambung: “Inilah surat-surat dan sumpah setia (bai’ah) mereka !”. Lalu Ibnu
Umar menjawab: “Janganlah kamu pandang kepada surat-surat mereka dan janganlah
kamu datang kepada mereka !”. Husain enggan menerima nasehat Ibnu Umar. Lalu
Ibnu Umar berkata: “Aku akan menerangkan kepadamu suatu hadits, bahwa: Jibril
datang kepada Nabi saw. Lalu ia menyuruh pilih kepada Nabi saw antara dunia dan
akhirat. Maka Nabi saw memilih akhirat dari dunia. Dan engkau itu sesungguhnya,
sepotong daging dari tubuh Rasulullah saw. Demi Allah, tiada akan memerintah
dunia oleh seseorang dari padamu selama-lamanya. Dan tiada memalingkan dunia
daripadamu, melainkan untuk yang lebih baik bagimu”. Husain enggan kembali (ingin
meneruskan perjalanannya ke Irak). Lalu Ibnu Umar memeluk Husain dan menangis
tersedu-sedu, seraya berkata: “Aku serahkan engkau kepada Allah terbunuh atau
tertawan !”. Maka tidaklah manusia itu duduk-duduk dalam suatu majelis dengan
orang fasiq dalam sekejap waktu, walaupun ia menantang orang fasiq tadi pada
bathinnya, melainkan jikalau sekiranya ia membanding akan dirinya kepada masa
sebelumnya duduk-duduk itu, niscaya akan diketahuinya diantara dua masa itu
suatu perbedaan, mengenai larinya hati dari perbuatan yang merusak dan beratnya
hati kepada perbuatan yang merusak itu. Karena perbuatan yang merusak itu
(perbuatan fasid) disebabkan banyaknya melihat, maka menjadi mudah pada tabiat
(karakter). Lalu hilanglah kesan dan anggapan besar perbuatan fasid itu bagi
orang tersebut. Dan sesungguhnya yang mencegah dari perbuatan fasid tadi, ialah
kesangatan kesannya dalam hati. Maka apabila telah dianggap kecil disebabkan
lamanya menyaksikan, niscaya hampirlah kekuatan mencegah itu terlepas dan
tertunduklah tabiat (karakter) untuk cenderung kepada perbuatan fasid itu. Atau
kepada yang lebih kurang lagi. Manakala lamalah menyaksikan dosa besar dari
orang lain, niscaya ia memandang leceh (tidak berarti) akan segala dosa kecil
dari dirinya sendiri. Dan karena itulah, orang yang selalu melihat kepada orang
kaya, lalu memandang ringan akan nikmat Allah kepadanya. Maka membekaslah oleh
duduk-duduk dengan orang-orang kaya, kepada memandang kecil akan apa yang ada
padanya. Dan membekaslah oleh duduk-duduk dengan orang fakir-miskin, kepada
menganggap besar nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Begitupula melihat kepada
orang-orang yang taat dan orang yang ma’siat. Inilah membekasnya pada tabiat
(karakter). Maka orang yang menjuruskan penglihatannya kepada memperhatikan keadaan
para sahabat dan tabi’in (para pengikut sahabat) tentang ibadah dan
membersihkan diri dari dunia, niscaya senantiasalah ia memandang kepada dirinya
sendiri dengan pandangan kecil dan kepada ibadahnya dengan pandangan hina. Dan
selama ia melihat dirinya itu teledor, maka tidaklah ia terlepas dari panggilan
kesungguhan, karena ingin pada penyempurnaan dan menyempurnakan untuk mengikuti
jejak para sahabat dan tabi’in itu. Orang yang melihat kepada keadaan yang
banyak terjadi pada penduduk zamannya dan berpalingnya penduduk itu dari Allah,
menghadapnya mereka kepada dunia dan dibiasakan mereka mengerjakan perbuatan
ma’siat, niscaya orang itu memandang besar keadaan dirinya sendiri, dengan
sedikit saja kegemaran kepada kebajikan, yang dijumpainya dalam hatinya. Yang
demikian itu adalah binasa. Dan memadailah pada merobahnya tabiat (karakter)
oleh semata-mata mendengar kebajikan dan kejahatan, lebih-lebih menyaksikannya.
Dan dengan pengertian yang halus ini, dapatlah diketahui rahasia sabda Nabi
saw: “Pada menyebutkan orang-orang shalih itu turunlah rahmat”. Sesungguhnya
rahmat itu ialah masuk sorga dan bertemu dengan Allah. Dan tidaklah turun
ketika menyebut itu, yang tersebut tadi. Tetapi yang turun ialah sebabnya.
Yaitu membangkitnya kegemaran dari hati dan bergeraknya keinginan untuk
mengikuti orang-orang shalih itu. Dan mencegah daripada apa yang
mengkaburkannya, dari kurangnya perhatian dan keteledoran. Dan permulaan rahmat
ialah berbuat kebajikan. Dan permulaan berbuat kebajikan ialah kegemaran. Dan
permulaan kegemaran ialah menyebut hal-ikhwal orang-orang shalih. Maka inilah
artinya: turun rahmat. Dan pengertian dari kandungan perkataan ini pada orang
yang cerdik, adalah seperti pengertian dari kebalikannya. Yaitu: bahwa pada
menyebutkan orang-orang fasiq, turunlah laknat (kutukan). Karena dengan banyak
menyebutkan mereka, memudahkan kepada tabiat (karakter manusia), urusan
perbuatan-perbuatan ma’siat. Dan laknat itu ialah: jauh. Dan permulaan kejauhan
dari Allah, ialah perbuatan maksiat, berpaling daripada Allah dengan
menghadapkan diri kepada nasib-nasib baik yang segera dan nafsu syahwat yang
menjelma, tidak diatas cara yang disuruh menurut agama. Permulaan perbuatan
ma’siat, ialah hilangnya rasa berat dan rasa kejinya dari hati. Dan permulaan
hilangnya rasa berat, ialah terjadinya kejinakan hati dengan perbuatan ma’siat
itu, dengan banyak mendengarnya. Apabila ini halnya menyebutkan orang-orang
shalih dan orang-orang fasiq, maka apakah persangkaanmu dengan menyaksikan
mereka itu ? bahkan telah ditegaskan dengan demikian oleh Rasulullah saw,
dimana beliau bersabda: “Teman duduk yang jahat adalah seumpama dapur api
tukang besi. Jikalau dapur api itu tiada membakarmu dengan bunga apinya,
niscaya melekat padamu anginnya”. Maka sebagaimana angin itu melekat pada kain
dan orang itu tiada merasakannya, maka begitupula mudahnya kerusakan pada hati
dan ia tiada merasakannya. Dan Nabi saw bersabda: “Teman duduk yang shalih
adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi. Jikalau ia tiada memberikan
kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan memperoleh bau harumnya”. Karena
inilah aku katakan: bahwa barangsiapa mengetahui dari seorang yang berilmu
suatu kesilapan, niscaya haramlah ia menceritakannya, karena dua sebab:
Pertama: bahwa
menceritakan itu adalah mengumpat.
Kedua: dan
inilah yang terbesar, bahwa menceritakannya itu memudahkan kepada para
pendengar urusan kesilapan itu. Dan terhapuslah dari hati mereka rasa beratnya
mengerjakan kesilapan itu. Lalu yang demikian itu menjadi sebab untuk
mempermudahkan perbuatan ma’siat tadi. Karena sesungguhnya manakala
terperosoklah seseorang pada suatu ma’siat, niscaya ia menantang yang demikian
sebagai tantangan untuk penolakan, seraya berkata: “Bagaimanakah menjauhkan ini
dari kita, padahal semua kita terpaksa kepada perbuatan yang seperti itu,
sehingga para alim-ulama dan orang-orang abid juga ?”. Jikalau ia
berkepercayaan bahwa perbuatan yang seperti itu tiada akan diperbuat oleh
seorang ulama dan tiada akan dijamah oleh seorang yang memperoleh taufiq dan
terpandang, niscaya sukarlah baginya tampil dengan alasan tadi. Maka banyaklah
orang yang menyerupai anjing terhadap dunia, loba kepada mengumpulkannya,
menempuh kebinasaan diatas kecintaan menjadi kepala dan penghiasannya,
memudahkan bagi dirinya kekejian menjadi kepala itu dan mendakwakan, bahwa para
sahabat ra tiada membersihkan dirinya daripada kecintaan menjadi kepala.
Kadang-kadang ia mencari dalil diatas pendiriannya itu, dengan peperangan yang
timbul diantara dalil diatas pendiriannya itu, dengan peperangan yang timbul
diantara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dan ia menerka pada dirinya, bahwa peperangan yang
tersebut tadi tidaklah untuk mencari kebenaran. Tetapi untuk mencari riasah
(ingin menjadi kepala). Kepercayaan yang seperti ini salah, yang memudahkan
kepadanya urusan riasah dan segala akibatnya yang merupakan perbuatan-perbuatan
ma’siat. Dan tabiat yang terkutuk itu cenderung kepada mengikuti segala
kesalahan dan menolak segala kebaikan. Bahkan kepada mengumpamakan kesalahan
pada tempat yang tidak bersalah, dengan menempatkannya, menurut kemauan hawa
nafsu, untuk menjadi alasan dengan yang demikian. Dan itu adalah setengah dari
godaan setan yang halus-halus. Dan karena itulah disifatkan oleh Allah
orang-orang yang bermusuhan dengan setan dengan firmanNya: “Yaitu orang-orang
yang mendengarkan kata, lalu menuruti mana yang lebih baik”. S 39 Az Zumar ayat
18. Dan untuk itu, oleh Nabi saw dikemukakannya suatu perumpamaan, seraya
beliau bersabda: “Orang yang duduk mendengar pengetahuan yang tinggi-tinggi
(ilmu hikmah), kemudian tiada mengamalkannya, kecuali dengan yan buruk daripada
apa yang didengarinya, adalah seumpama seorang yang datang kepada penggembala.
Lalu berkata kepada penggembala itu: ‘Wahai penggembala ! bawalah kepadaku
seekor dari kambingmu !’. Maka penggembala itu menjawab: ‘Pergilah dan ambilah
kambing yang terbaik dari kawanan kambing itu !’. Lalu orang itu pergi, maka
memegang telinga anjing penjaga kambing”. Dan tiap-tiap orang yang menukilkan
kesalahan imam-imam (pemuka-pemuka), maka inilah juga contohnya. Dan setengah
dari dalil yang menunjukkan kepada hilangnya pengaruh sesuatu dari hati,
disebabkan berulang-ulang dan menyaksikannya, ialah bahwa kebanyakan manusia
apabila melihat seorang muslim berbuka pada siang hari bulan Ramadlan, niscaya
mereka itu menantang yang demikian, yang tantangan itu hampir membawa kepada
kepercayaan akan kafirnya si muslim yang tiada berpuasa tadi. Kadang-kadang
mereka itu menyaksikan orang yang tidak mengerjakan shalat pada waktunya dan
tidaklah lari tabiat mereka dari orang itu, seperti larinya pada menta’khirkan
(mengemudiankan) puasa, sedang satu shalat dengan meninggalkannya dapat menjadi
kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Dan dapat dibunuh menurut pendapat
segolongan lain. Dan meninggalkan puasa Ramadlan seluruhnya, tidaklah membawa
kepada kekafiran. Dan tiadalah sebab bagi yang demikian, selain karena shalat
itu berulang-ulang. Dan mempermudah-mudahkan tentang shalat itu, termasuk hal
yang banyak. Maka hilanglah kesannya dari hati dengan menyaksikan itu. Dan yang
demikian itu, jikalau seorang ahli-fiqh (al-faqih), memakai kain sutera atau
cincin emas atau meminum pada mangkok perak, niscaya jiwa memandang jauh
perbuatan tersebut dan sangatlah menantangnya. Kadang-kadang dapat
dipersaksikan pada suatu sidang (majelis) yang lama, dimana tiada diperkatakan,
kecuali persoalan yang menjadi umpatan kepada orang. Dan tidaklah diusahakan
menjauhkan yang demikian. Padahal mengumpat itu lebih berat daripada zina. Maka
bagaimana pula, mengumpat itu tiada lebih berat daripada memakai sutera ?
tetapi karena banyaknya mendengar umpatan dan menyaksikan orang-orang yang
mengumpat, maka hilanglah kesannya dari hati. Dan terpandang mudahlah urusannya
pada jiwa. Maka hendaklah anda memperhatikan benar-benar akan
pengertian-pengertian yang halus ini !. Dan larilah dari manusia, sebagaimana
larinya anda dari singa ! karena anda tiada akan menyaksikan dari manusia itu,
selain hal-hal yang menambahkan kelobaanmu kepada dunia dan melalaikanmu dari
akhirat. Memudahkan kepadamu perbuatan ma’siat dan melemahkan kegemaranmu
kepada perbuatan taat. Jikalau engkau memperoleh seorang teman duduk yang
mengingatkan engkau kepada Allah dengan melihat wajahnya dan perjalanan
hidupnya, maka rapatilah dan janganlah engkau berpisah daripadanya ! rampaslah
hatinya dan janganlah engkau memandang hina kepadanya ! karena itu adalah
rampasan bagi orang yang berakal dan barang hilang bagi orang mu’min. Dan
yakinlah, bahwa teman duduk yang shalih itu, lebih baik daripada sendirian. Dan
sendirian itu, lebih baik daripada teman duduk yang jahat. Manakala anda telah
memahami segala pengertian ini dan anda memperhatikan akan tabiat (karakter)
anda dan anda menoleh kepada keadaan orang yang anda kehendaki bercampur-baur
dengan dia, niscaya tidaklah tersembunyi bagi anda, bahwa yang lebih utama,
menjauhkan diri daripada orang itu, dengan mengasingkan diri (‘uzlah). Atau
mendekatkan diri kepadanya dengan bercampur-baur. Dan hati-hatilah untuk
menetapkan secara mutlaq kepada ‘uzlah atau bercampur-baur, dengan menetapkan
salah satunya yang lebih utama. Karena masing-masing memerlukan kepada
penguraian. Maka mengatakan secara mutlaq dalam soal ini, dengan: tidak atau
ya, adalah menyalahi dari perkataan itu sendiri semata-mata. Dan tidaklah benar
pada yang memerlukan kepada uraian, melainkan dengan uraian.
FAEDAH KETIGA:
Terlepas dari
segala fitnah dan permusuhan, terpelihara agama dan jiwa daripada terjerumus ke
dalamnya dan dari menghadapi segala bahayanya.
Sedikitlah
negeri-negeri yang terlepas dari sifat ta’ash-shub (fanatik), fitnah dan
permusuhan. Maka orang yang mengasingkan diri dari mereka, dapatlah memperoleh
keselamatan daripadanya. Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: “Tatkala
Rasulullah saw menyebutkan fitnah-fitnah itu dan menyifatkannya dan bersabda:
‘Apabila engkau melihat manusia, dimana janjinya tidak ditepati dan amanah yang
diserahkan kepadanya tersembunyi-senyap dan mereka itu berada: begini !’ dan
Rasulullah saw menjerjakkan diantara anak-anak jarinya, lalu aku bertanya:
“Maka apakah yang engkau suruhkan aku ?”. Lalu Rasulullah saw menjawab:
“Tetaplah kamu di rumah, milikilah lidahmu atas dirimu, ambilkanlah apa yang
kamu pandang ma’ruf dan tinggalkanlah apa yang kamu pandang munkar !
kerjakanlah pekerjaan yang tertentu bagi dirimu dan tinggalkanlah pekerjaan
yang umum kepada orang banyak !”. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi
saw bersabda: “Hampirlah bahwa sebaik-baik harta seorang muslim, ialah kambing,
yang diikutinya bersama kambing itu ke puncak-puncak bukit dan tempat-tempat
iringan unta. Ia lari dengan agamanya dari segala fitnah, dari satu daratan
tinggi ke satu daratan tinggi”. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw
bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa, dimana bagi orang yang
beragama tiada akan selamat agamanya, selain orang yang lari, dengan agamanya
dari kampung ke kampung, dari dataran tinggi ke dataran tinggi dan dari batu ke
batu, seperti pelanduk yang pergi kesana-kemari”. Lalu ada yang menanyakan
kepada Nabi saw: “Pabilakah yang demikian itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab:
“Apabila kehidupan itu tiada diperoleh, kecuali dengan perbuatan ma’siat kepada
Allah Ta’ala. Maka apabila masa itu tiba, niscaya halallah membujang (tidak
kawin)”. Lalu mereka itu bertanya lagi: “Bagaimanakah yang demikian itu, wahai
Rasulullah, sedang engkau menyuruhkan kami kawin ?”. Nabi saw menjawab:
“Apabila masa itu tiba, adalah kebinasaan seseorang itu pada tangan ibu
bapaknya. Jikalau ia tiada beribu-bapak, maka pada kedua tangan isteri dan
anaknya. Jikalau itu tidak ada, maka pada kedua tangan keluarganya”. Mereka itu
bertanya pula: “Bagaimanakah yang demikian itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw
menjawab: “Mereka menghinakannya dengan menyempitkan tangan (tidak mau
memberikan). Lalu terpaksa ia mengerjakan pekerjaan berat, yang tidak disanggupinya.
Sehingga yang demikian itu mendatangkannya ke tempat-tempat kebinasaan”. Hadits
ini, walaupun mengenai persoalan membujang,
tetapi pengasingan diri (‘uzlah) dapatlah dipahami daripadanya. Karena
orang yang berkeluarga tidak dapat menyingkirkan diri dari penghidupan dan
bercampur-bauran. Kemudian, ia tiada memperoleh penghidupan itu, kecuali dengan
berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah aku mengatakan, bahwa inilah
masanya zaman itu. Sesungguhnya masa itu telah ada pada beberapa zaman sebelum
masa yang sekarang ini. Dan karenanya berkata Sufyan: “Wallaahi, demi Allah,
sesungguhnya telah halal mengasingkan diri (‘uzlah)”. Berkata Ibnu Mas’ud ra:
“Rasulullah saw menyebutkan hari-hari fitnah dan hari-hari kacau. Lalu aku
bertanya: “Apakah hari kacau itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ketika orang
tidak merasa aman dengan teman duduknya”. Lalu aku bertanya lagi: “Apakah yang
engkau suruhkan aku jikalau aku ketahui masa itu ?”. Rasulullah saw menjawab:
“Cegahlah dirimu dan tanganmu dan masuklah ke rumahmu !”. Ibnu Mas’ud
meneruskan riwayatnya: “Lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! bagaimana
pendapatmu, jikalau orang itu masuk ke kampungku ?”. Nabi saw menjawab:
“Masuklah ke rumahmu !”. Lalu aku menyambung lagi: “Jikalau orang itu masuk ke
rumahku ?”. Nabi saw menjawab: “Masuklah ke masjidmu dan perbuatkanlah begini !
dan beliau menggenggam pergelangan tangannya. Dan katakanlah: ‘Tuhanku Allah’,
sampai engkau meninggal dunia”. Sa’ad berkata tatkala ia diminta keluar dari
rumahnya pada hari-hari pemerintahan Mu’awiyah: “Tidak ! kecuali kamu berikan
kepadaku pedang yang mempunyai dua mata yang bisa melihat dan lidah yang dapat
mengatakan orang kafir. Lalu aku bunuh kafir itu. Dan dapat mengatakan: orang
mu’min. Lalu aku cegah dari orang mu’min itu”. Dan Sa’ad menyambung
perkataannya: “Seperti kami dan seperti kamu itu, adalah seperti suatu kaum
yang berada di tengah jalan yang putih terang. Maka di waktu mereka itu sedang
berjalan demikian, tiba-tiba berhembuslah dengan dahsyat angin yang berdebu tebal.
Lalu mereka tersesat jalan, sehingga jalan itu meragukan mereka. Lalu setengah
mereka berkata: “Jalan itu yang disebelah kanan !”. Maka mereka mengambil jalan
yang di sebelah kanan itu. maka binasalah dan sesatlah mereka. Setengah mereka
berkata: “Bagaimanakah engkau berpagi hari ? kiranya Allah memberikan kesehat
wal-afiatan kepada engkau ! bagaimanakah engkau ? kiranya Allah mendatangkan
kebaikan kepada engkau !”. Jikalau kita ambil ucapan mereka itu, maka itu
adalah bid’ah, bukan penghormatan. Jikalau mereka mau, niscaya mereka boleh
marah kepada kita dan jikalau mereka mau, boleh tidak”. Sesungguhnya Al-Hasan
mengatakan demikian, karena memulai dengan ucapan: “Bagaimana engkau berpagi
hari” (kaifa ash-bahta atau selamat pagi), adalah bid'ah. Seorang laki-laki
mengucapkan kepada Abu Bakar bin ‘Ayyasy: “Bagaimana engkau berpagi hari (kaifa
ash-bahta) ?”, maka tidak dijawabnya. Dan beliau berkata: “Tinggalkanlah kami
dari bid’ah ini !”. Dan beliau menyambung: “Sesungguhnya ini terjadi pada masa
berkecambuk penyakit kolera, yang disebut “Kolera ‘Amwas” di negeri Syam
(Syria), dari kematian yang mendahsyat, dimana seorang yang dijumpai temannya
pada pagi hari, lalu teman itu mengucapkan: “Kaifa ash-bahta minath-thaun
?”(Bagaimana engkau berpagi hari dari penyakit kolera?). Dan dijumpai pada sore
hari, lalu diucapkan: “Kaifa amsaita ?”(Bagaimana engkau bersore hari ?).
Maksudnya, bahwa perjumpaan itu pada kebanyakan adat-kebiasaan, tidaklah
terlepas dari bermacam cara yang dibuat-buat, ria dan nifaq. Dan semuanya itu
adalah tercela. Sebahagiannya terlarang (haram) dan sebahagiannya makruh. Dan
pada ber’uzlah adalah melepaskan diri daripada yang demikian. Karena orang yang
bertemu dengan orang banyak dan tidak berakhlaq dengan akhlaq mereka, niscaya
mereka mencacikannya, memandang menjadi beban, mencela dan berkekalan
menyakitinya. Maka hilanglah agama mereka padanya dan hilanglah agamanya dan
dunianya pada mendendam mereka. Adapun curi-mencuri tabiat (karakter) daripada
apa yang dipersaksikannya, dari segala budi pekerti dan amal perbuatan manusia,
maka itu adalah penyakit yang sudah tertanam. Sedikitlah orang-orang yang
berakal menaruh perhatian padanya, apalagi orang-orang yang lalai. Dan adalah
dalam kalangan sahabat itu, 10 ribu orang banyaknya. Dan fitnah (kekacauan) itu
baru meringan, sesudah tinggal hanya lebih dari 40 orang. Thaus duduk di
rumahnya, lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka ia menjawab:
“Kerusakan masa dan kedzaliman imam-imam (pemuka-pemuka)”. Tatkala Urwah
membangun istananya di ‘Uqaiq dan ia selalu di istananya, lalu orang berkata
kepadanya: “Engkau selalu di istana dan meninggalkan masjid Rasulullah saw”.
Maka Urwah menjawab: “Aku melihat masjid-masjidmu itu tempat bermain,
pasar-pasarmu itu tempat yang sia-sia dan perbuatan keji di jalan-jalanmu itu
sudah meninggi. Dan pada apa yang di sana itu, di luar dari tempat di mana kamu
di dalamnya, adalah sehat dan afiat”. Jadi, menjaga diri dari permusuhan dan
penebaran fitnah adalah salah satu daripada faedah-faedah ‘uzlah.
FAEDAH KEEMPAT:
Terlepas dari kejahatan manusia.
Sesungguhnya
manusia itu akan menyakitkan kamu, sekali dengan jalan mengumpat, sekali dengan
jahat sangka dan tuduhan, sekali dengan saran-saran dan loba yang palsu, yang
sulit melaksanakannya dan sekali dengan lalat merah/suka menceritakan
kekurangan orang (namimah) atau dusta. Kadang-kadang mereka itu melihat
daripadamu perbuatan atau perkataan, yang tak sampai akal mereka kepada
hakikatnya. Lalu mereka mengambil yang demikian itu menjadi simpanan pada
mereka. Mereka simpan untuk suatu waktu, yang lahir padanya kesempatan untuk
kejahatan. Maka apabila engkau mengasingkan diri dari mereka, niscaya engkau
tidak memerlukan kepada menjaga diri dari semua tadi. Karena itulah berkata
setengah hukama’ (ahli hikmat) kepada bukan ahli hikmat: “Aku ajarkan kamu dua
kuntum syair, lebih baik daripada aku berikan 10 ribu dirham”. Lalu orang itu
bertanya: “Manakah dua kuntum syair itu ?”. Maka ahli hikmat tadi,
membacakannya, yang artinya sebagai berikut:
Kecilkanlah suaramu,
jika engkau berbicara di malam hari !
Berpalinglah kekiri-kananmu,
sebelum berbicara di siang hari !.
Tidaklah perkataan itu,
dapat dikembalikan lagi,
ketika telah keluar dari mulutmu,
baik keji atau bagus sekali.
Dan tidak ragu
lagi, bahwa barangsiapa bercampur-baur dengan orang banyak dan bersekutu dengan
mereka dalam segala pekerjaannya, maka tidaklah terlepas dari adanya yang
dengki dan musuh, yang berjahat sangka. Dan menduga bahwa dia mengadakan
persiapan untuk memusuhinya, menegakkan penipuan terhadapnya dan menanamkan
marabahaya di belakangnya. Maka manusia, betapapun bersangatan lobanya kepada
suatu hal, mengira setiap suara keras ditujukan kepadanya. Mereka adalah musuh,
maka hendaklah engkau mawas diri terhadap mereka !. Sesungguhnya bersangatan lobanya
mereka kepada dunia, lalu mereka tiada menyangka orang lain, melainkan loba
juga kepada dunia. Al-Mutanabbi bermadah:
Apabila jahat perbuatan manusia,
maka jahatlah sangka-sangkanya.
Dan benarlah apa yang dibiasakannya,
selalu dari sangka-waham saja.
Ia memusuhi pencinta-pencintanya,
disebabkan perkataan musuh-musuhnya.
Maka ia berada dalam malam
syak-wasangka,
yang amat gelap-gulita...........
Dan ada yang
mengatakan: “Bergaul dengan orang-orang jahat, mewarisi jahat sangka kepada
orang yang baik-baik”. Macam-macam kejahatan yang banyak, yang ditemui manusia
dari kenalannya dan dari orang yang ia bercampur-baur dengan dia. Dan kami
tidak memanjangkan uraiannya. Dan pada apa yang telah kami sebutkan, adalah
menunjukkan kepada kumpulannya. Dan dengan mengasingkan diri, terlepaslah dari
semuanya. Dan kepada inilah diisyaratkan oleh kebanyakan ulama dari orang-orang
yang memilih ‘uzlah itu. Abud-Darda’ berkata: “Ceritakanlah, sedikitkanlah yang
diceritakan itu !”. Ucapan dari Abud-Darda’ tadi, ada yang meriwayatkan itu
hadits marfu’. Bermadahlah penyair:
Orang yang memuji manusia,
dan tidak mencoba manusia yang dipuji
itu.
Maka kemudian, manusia itu dicoba,
oleh celaan orang yang memuji itu.
Dan jadilah ia berjinak-jinakan
dengan sendirian saja;.......
Hatinya diliarkan oleh orang yang
berdekatan
dan yang berjauhan juga.......
Umar ra berkata:
“Pada ‘uzlah itu memperoleh istirahat”. Ada orang yang bertanya kepada Abdullah
bin Az-Zubair: “Tidakkah tuan datang ke Madinah ?”. Maka beliau menjawab:
“Tidak ada lagi di Madinah, selain orang yang dengki kepada nikmat orang atau
gembira kepada kesusahan orang”. Ibnus-Sammak berkata: “Seorang teman menulis
surat kepada kami, yang isinya sbb:
“Amma ba’du-
adapun kemudian, sesungguhnya manusia itu adalah obat yang diperobatkan dengan
dia. Lalu jadilah mereka itu penyakit, yang tak ada obat bagi penyakit itu.
Maka larilah dari mereka itu, sebagaimana larinya engkau dari singa !”.
Adalah setengah
Arab dusun selalu berada pada sepohon kayu dan mengatakan: “Pohon kayu itu adalah
teman. Padanya 3 perkara: jikalau ia mendengar daripadaku, niscaya ia tidak
menyebut-nyebutkan sebagai lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang
atasku. Jikalau aku meludah pada mukanya, niscaya ia menanggung yang demikian
daripadaku. Dan jikalau aku berakhlaq buruk kepadanya, niscaya ia tidak marah”.
Perkataan itu didengar oleh Harunurrasyid, lalu beliau berkata: “Jadikanlah aku
ini zuhud pada teman-teman itu !”. Adalah setengah mereka selalu pada kumpulan
lembaran-lembaran buku dan pekuburan. Lalu ia ditanyakan tentang yang demikian.
Maka ia menjawab: “Aku tiada melihat yang lebih menyelamatkan, selain dari
sendirian. Tiada yang lebih memberi pengajaran, selain dari pekuburan. Dan
tiada teman duduk yang lebih menyedapkan, selain dari lembaran-lembaran buku”.
Al-Hasan ra berkata: “Aku bermaksud menunaikan hajji. Lalu didengar yang
demikian oleh Tsabit Al-Bannani. Beliau juga termasuk waliullah (aulia Allah).
Maka beliau berkata: “Telah sampai kepadaku berita, bahwa engkau bermaksud
menunaikan hajji. Maka aku suka benar menemani engkau”. Lalu Al-Hasan menjawab:
“Celaka ! biarkanlah kami bergaul dengan tabir Allah kepada kami ! aku
sesungguhnya takut bahwa kami mempunyai teman. Lalu dilihat oleh satu sama lain
dari kami, apa yang kami caci-mencaci terhadap dia”. Ini menunjukkan kepada
faedah yang lain lagi pada ‘uzlah. Yaitu kekalnya tabir atas agama,
kepribadian, akhlaq, kemiskinan dan hal-hal lain, yang perlu ditutup (yang
menjadi aurat). Sesungguhnya Allah swt memuji orang-orang yang menutupi hal-hal
tadi. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang tidak tahu, mengira bahwa
mereka orang-orang kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta)”. S 2 Al
Baqarah ayat 273. Seorang penyair bermadah:
Tidaklah malu jikalau hilang
kenikmatan dari orang merdeka.
Tetapi yang malu ialah hilang
keelokan budi bahasa.....
Tidaklah manusia
itu terlepas tentang agama, dunia, akhlaq, dan perbuatan-perbuatannya dari
aurat (yang memalukan kalau terbuka). Yang utama pada agama dan dunia, ialah
menutupi aurat itu. Dan tidak ada keselamatan dengan membukakannya. Abud-Darda’
berkata: “Adalah manusia itu dahulu ibarat daun yang tidak berduri. Maka
manusia itu sekarang, adalah ibarat duri yang tidak berdaun”. Apabila ini
keadaannya masa Abud-Darda’, yaitu: pada akhir abad pertama hijriah, maka tiada
seyogyalah untuk diragukan, bahwa pada masa yang kemudian dari itu adalah lebih
buruk. Sufyan bin Uyaynah berkata: “Berkata kepadaku Sufyan Ats-Tsuri, tentang
bangun pada hidupnya dan tentang tidur sesudah meninggalnya: “Sedikitkanlah
mengenal manusia ! karena melepaskan diri daripada mereka itu sukar. Dan aku
tiada mengira akan melihat apa yang tiada aku sukai, selain dari orang yang aku
kenal”. Setengah mereka berkata: “Aku datang kepada Malik bin Dinar dan beliau
sedang duduk sendirian. Tiba-tiba seekor anjing meletakkan dagunya atas
lututnya. Lalu aku pergi mengusirkan anjing itu. Maka beliau berkata:
“Biarkanlah anjing itu, wahai saudara ! dia tidak mendatangkan melarat dan
tidak menyakitkan. Dan dia lebih baik dari teman duduk yang jahat”. Ditanyakan
kepada setengah mereka: “Apakah yang membawa mengasingkan diri dari manusia
ramai ?”. Lalu orang itu menjawab: “Aku takut, bahwa aku mencabut agamaku dan
aku tiada merasa”. Ini adalah isyarat kepada curi-mencurikan tabiat (karakter) dari
budi-pekerti teman yang jahat. Abud-Darda’ berkata: “Bertaqwalah kepada Allah
dan takutilah manusia ! karena manusia itu tiada mengendarai punggung unta,
melainkan membelakangi unta itu. Tiada mengendarai punggung kuda yang cepat
lari, melainkan melukainya. Dan tiada mengendarai hati mu’min, melainkan
merobohkannya”. Berkata setengah mereka: “Sedikitkanlah kenalan ! sesungguhnya
yang demikian, lebih menyelamatkan agamamu dan hatimu. Dan lebih meringankan
untuk gugurnya hak-hak daripada kamu. Karena manakala telah banyak kenalan,
niscaya banyaklah hak-hak kenalan itu. Dan sukarlah melaksanakan semuanya”.
Berkata setengah mereka: “Tantanglah orang yang engkau kenal! dan janganlah
berkenalan dengan orang yang tiada engkau kenal!
FAEDAH KELIMA:
Bahwa terputuslah
harapan manusia daripada engkau dan terputuslah harapan engkau daripada
manusia. Adapun terputusnya harapan manusia daripada engkau, maka padanya
banyak faedah. Karena kerelaan manusia (ingin memperoleh kerelaannya) adalah
suatu maksud yang tiada akan tercapai. Maka mempergunakan waktu untuk
memperbaiki diri sendiri adalah lebih utama. Seenteng-enteng dan
semudah-mudahnya, hak kenalan itu ialah menghadiri janazah, mengunjungi orang
sakit, mendatangi pesta dan orang kawin. Dan pada semuanya itu menghilangkan
waktu dan mendatangkan bencana. Kemudian, kadang-kadang dihalangi dari
sebahagiannya oleh penghalang-penghalang. Dan dihadapi rintangan-rintangan
padanya. Dan tidaklah mungkin melahirkan tiap-tiap rintangan itu. Lalu mereka
mengatakan kepadanya: “Engkau telah laksanakan hak si Anu dan engkau lalaikan
tentang hak kami”. Dan jadilah yang demikian sebab permusuhan. Ada yang
mengatakan, bahwa barangsiapa tiada mengunjungi orang sakit pada waktu
kunjungan, niscaya ia suka matinya orang itu, karena takut diberi malu, apabila
benar ia teledor. Barangsiapa meratakan semua orang dengan tidak memberi,
niscaya semuanya senang kepadanya. Dan jikalau ditentukannya sebahagian dengan
memberi, niscaya mereka merasa liar hati daripadanya. Dan meratakan semua
mereka dengan segala hak itu, tiada akan sanggup dilaksanakan oleh orang yang
menjuruskan perhatiannya untuk itu sepanjang malam dan siang. Maka betapakah
lagi orang yang mempunyai kepentingan yang dikerjakannya, mengenai agama dan
dunia. Amr bin Al-Ash berkata: “Banyaknya teman maka banyaklah orang-orang yang
memperhutangkan kita (al-ghurama’)”. Ibnu Rumi berkata:
Musuhmu mengambil faedah dari
temanmu,
maka janganlah engkau memperbanyak
teman !
Karena kebanyakan penyakit engkau
temui,
adalah dari makanan dan minuman.
Asy-Syafi’i ra
berkata: “Asalnya tiap-tiap permusuhan, ialah berbuat baik kepada orang-orang
yang berjiwa kotor. Memutuskan harapanmu dari orang-orang yang berjiwa kotor
itu, besar juga faedahnya. Karena orang yang memandang kepada kembang dan
perhiasan dunia, niscaya tergeraklah keinginannya dan membangkitlah kelobaannya
dengan kuatnya keinginan itu. Dan ia tiada melihat selain kekecewaan pada
kebanyakan hal. Lalu ia menderita dengan yang demikian”. Dan manakala ia
mengasingkan diri (ber’uzlah), niscaya ia tiada menyaksikannya. Dan apabila ia
tiada menyaksikannya, niscaya ia tiada merindui dan mengharapkannya. Karena
itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau tujukan pemandangan
engkau kepada kesenangan sebagai bunga kehidupan dunia yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan diantara mereka”. S 20 Thaahaa ayat 131. Dan Nabi saw
bersabda: “Lihatlah kepada orang yang kurang daripada kamu dan jangan kamu
melihat kepada orang yang diatas kamu ! karena yang demikian adalah lebih layak
untuk kamu tidak menghinakan nikmat Allah kepadamu”. ‘Aun bin Abdullah berkata:
“Adalah aku duduk-duduk dengan orang-orang kaya. Maka selalulah aku bersedih
hati. Aku melihat kainnya lebih bagus daripada kainku dan kendaraannya lebih
rajin daripada kendaraanku. Lalu aku duduk-duduk dengan orang-orang
fakir-miskin. Maka aku merasa tentram”. Diceritakan bahwa Al-Mazani ra keluar
dari pintu masjid jami’ Al-Fusthath. Dan datanglah di depannya Ibnu Abdil Hakam
dalam rombongannya. Maka amatlah tercengang Al-Mazani akan apa yang dilihatnya
dari kebagusan keadaan dan bentuknya dari rombongan itu. Lalu beliau membaca
firman Allah Ta’ala: “Dan Kami jadikan sebahagian kamu menjadi ujian kepada
yang lain. Sabarkah kamu ?”. S 25 Al Furqaan ayat 20. Kemudian Al-Mazani
berkata: “Ya, saya sabar dan rela”. Dan adalah Al-Mazani seorang fakir yang
sedikit sekali mempunyai harta. Maka orang dalam rumahnya, tidaklah mendapat
percobaan seperti percobaan-percobaan ini. Maka sesungguhnya orang yang
menyaksikan perhiasan dunia, adakalanya untuk ia menguatkan agama dan
keyakinannya. Lalu ia bersabar. Maka ia memerlukan kepada meneguk kepahitan
sabar. Dan itu adalah lebih pahit dari sabar itu sendiri. Atau membangkit
keinginannya. Lalu ia berdaya-upaya mencari dunia. Maka binasalah ia untuk selama-lamanya.
Adapun di dunia, maka dengan kelobaan yang mengecewakan dalam kebanyakan waktu.
Maka tidaklah tiap-tiap orang yang mencari dunia itu, mudah baginya jalan yang
ditempuh. Adapun di akhirat, maka dengan dipilihnya mata-benda dunia daripada
berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya. Dan karena itulah
Ibnul A’rabi bermadah:
Apabila pintu kehinaan,
diperoleh dari segi kekayaan.
Maka engkau meninggi kepada
ketinggian,
dari segi kemiskinan.......
Beliau isyaratkan
kepada kelobaan itu mengharuskan kehinaan pada waktu sekarang juga.
FAEDAH KEENAM:
Terlepas daripada
menyaksikan orang-orang yang berat perangainya dan kurang akal pikirannya. Dan
terlepas daripada kekerasan kebodohan dan budi pekerti orang-orang itu. Karena
melihat orang yang berat perangainya itu, adalah buta kecil. Ditanyakan
Al-A’masy: “Dari apakah yang membutakan kedua matamu ?”. Al-A’masy menjawab:
“Dari karena memandang kepada orang-orang yang berat perangainya”. Diceritakan,
bahwa Imam Abu Hanifah masuk ke tempat Al-A’masy. Lalu beliau mengatakan, bahwa
tersebut pada hadits: “Sesungguhnya barangsiapa dicabut oleh Allah kedua
matanya, niscaya digantikan oleh Allah kedua matanya itu dengan yang lebih baik
dari kedua mata itu. Maka apakah yang digantikan oleh Allah pada engkau
?”.Al-A’masy menjawab: “Pada mengemukakan yang baik-baik itu maka Allah Ta’ala
menggantikan kepadaku dari kedua mata itu, dengan mencukupkan bagiku melihat
orang-orang yang berat perangainya. Dan engkau adalah setengah dari orang-orang
itu”. Ibnu Sirin berkata: “Aku mendengar seorang laki-laki berkata: “Pada suatu
kali aku memandang kepada orang yang berat perangainya, maka pitamlah aku”.
Jalinus berkata: “Tiap-tiap sesuatu itu ada demamnya. Dan demam jiwa ialah
memandang kepada orang-orang yang berat perangainya”. Asy-Syafi’i ra berkata:
“Tiada aku duduk-duduk dengan orang yang berat perangainya, melainkan aku
dapati bahagian badanku yang lebih dekat kepadanya, seakan-akan lebih berat
kepadaku dari pada bahagian yang lain”. Faedah-faedah ini, selain dari dua yang
pertama, adalah bersangkutan dengan maksud-maksud keduniaan yang sekarang.
Tetapi juga menyangkut dengan agama. Karena manusia itu manakala merasa
disakiti dengan melihat orang yang berat perangainya, niscaya tidak akan merasa
aman, bahwa orang itu akan mengumpatinya. Dan akan mengingkari apa yang
dijadikan oleh Allah. Maka apabila ia merasa sakit dari orang lain, dengan
umpatan atau jahat sangkaan atau dengki-mendengki atau lalat merah/suka
menceritakan kekurangan orang atau lain dari itu, niscaya ia tidak akan dapat
bersabar daripada membalasinya. Dan semua yang demikian itu menghela kepada
kerusakan agama. Dan dengan mengasingkan diri (ber’uzlah) memperoleh
keselamatan dari semua itu. Maka hendaklah dipahami !.
BAHAYA ‘UZLAH.
Ketahuilah, bahwa
setengah daripada maksud-maksud keagamaan dan keduniaan, ialah apa yang
diperoleh faedahnya dengan mendapat pertolongan orang lain. Dan tidaklah
berhasil yang demikian itu, selain dengan bercampur-baur. Maka tiap-tiap yang
diperoleh faedahnya daripada bercampur-baur, akan hilang dengan mengasingkan
diri (‘uzlah). Dan hilangnya itu adalah setengah daripada bahaya ‘uzlah. Maka
perhatikanlah kepada faedah-faedah bercampur-baur dan apa-apakah yang memanggil
kepadanya. Yaitu: mengajar dan belajar, memberi manfaat dan mengambil manfaat.
Mengajar adab sopan-santun (ta’dib) dan belajar adab sopan santun (ta-addub).
Memperoleh kejinakan hati dan menjinakkan hati. Memperoleh pahala dan
menghasilkan pahala pada menegakkan hak-hak orang. Membiasakan kerendahan diri.
Dan mengambil faedah dari pengalaman-pengalaman, dengan menyaksikan hal-hal dan
mengambil ibarat dengan hal-hal itu. Maka marilah kami uraikan yang demikian !
sesungguhnya semua itu termasuk sebahagian dari faedah-faedah bercampur-baur.
Yaitu: 7.
FAEDAH PERTAMA: mengajar dan belajar.
Sesungguhnya
telah kami sebutkan keutamaan keduanya itu pada “Kitab Ilmu” dahulu. Dan
keduanya itu ibadah yang terbesar dalam dunia. Dan tidaklah tergambar yang
demikian itu, selain dengan bercampur-baur. Kecuali bahwa ilmu pengetahuan itu
banyak. Sebahagiannya luas dan sebahagiannya penting di dunia. Maka orang yang
memerlukan kepada mempelajari apa yang wajib ke atas dirinya, adalah menjadi
orang ma’siat (berdosa) dengan mengasingkan diri. Jikalau ia telah mempelajari
yang fardlu (yang wajib) dan tidak mungkin ia mencemplungkan diri ke dalam
bidang ilmu pengetahuan dan ia melihat akan kegunaan waktunya dengan ibadah,
maka hendaklah ia ber’uzlah (mengasingkan diri). Dan jikalau ia sanggup muncul
dalam lapangan ilmu syariat dan ilmu akal (eksak), maka pengasingan diri
terhadap dirinya sebelum belajar, adalah rugi sekali. Dan karena inilah,
An-Nakha’i dan lainnya berkata: “Belajarlah fiqh (tuntutlah ilmu), kemudian
asingkanlah diri ! dan barangsiapa mengasingkan diri sebelum belajar, maka
orang itu pada kebanyakannya, menyia-nyiakan waktu dengan tidur atau berfikir
pada tepian gila”. Dan kesudahannya, ia menghabiskan waktu dengan wirid-wirid
yang dilengkapinya. Dan senantiasalah ia pada segala amalannya dengan tubuh dan
hati, dengan berbagai macam tipu-daya yang menyia-nyiakan usahanya. Dan
membatalkan amalannya, dimana ia tiada mengetahuinya. Dan senantiasalah
keimanannya (i’tiqadnya) mengenai Allah dan sifatNya dengan sangkaan-sangkaan
yang disangkainya. Dan hatinya jinak dengan sangkaan-sangkaan itu. Dan dengan
gurisan-gurisan yang buruk yang menimpa dirinya. Maka adalah ia dalam
kebanyakan halnya itu, tertawaan bagi setan. Dan ia melihat dirinya setengah
daripada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Jadi, ilmu itu adalah pokok
agama, maka tiadalah kebajikan pada mengasingkan diri bagi orang-orang awam dan
orang-orang bodoh. Ya’ni: orang yang tiada pandai beribadah pada tempat khilwah/bersemedi.
Dan ia tiada mengetahui semua yang harus baginya pada tempat khilwah itu. Maka
jiwa itu adalah seperti orang sakit, yang memerlukan kepada dokter yang
lemah-lembut, yang akan mengobatinya. Maka orang sakit yang bodoh, apabila
bersemadi sendirian dari dokter, sebelum mempelajari ilmu kedokteran, maka
tidaklah mustahil penyakitnya bertambah berlipat-ganda. Dari itu, maka tidaklah
layak mengasingkan diri, kecuali orang yang berilmu. Adapun mengajar, maka
padanya pahala besar, manakala benarlah niat yang mengajar dan yang belajar.
Manakala maksudnya itu menegakkan kemegahan dan memperbanyakkan teman dan
pengikut, maka itu membinasakan agama. Dan sudah kami sebutkan cara yang
demikian itu pada “Kitab Ilmu” dahulu. Dan hukumnya orang yang berilmu pada
masa ini, ialah mengasingkan diri jikalau ia menghendaki keselamatan agamanya.
Karena ia tiada akan melihat orang yang memperoleh faedah, yang mencari faedah
itu untuk agamanya. Tetapi tak adalah pelajar itu, melainkan untuk kata-kata
yang berhias, untuk menarik orang awam (orang kebanyakan) pada penonjolan
pengajaran. Atau untuk pertengkaran, yang berbelit-belit, yang menyampaikannya
kepada mengalahkan teman dan mendekatkannya kepada sultan (penguasa). Dan
mempergunakannya pada penonjolan berlomba-lombaan dan bermegah-megahan. Dan
yang terdekat ilmu pengetahuan yang diingini, ialah madzhab. Dan biasanya tidak
dicari, kecuali untuk menyampaikan kepada penampilan ke depan diatas
teman-teman sebaya, memerintahi wilayah-wilayah dan menarik harta kekayaan.
Maka mereka itu semua, menurut apa yang dikehendaki oleh agama dan penjagaan
diri dari kebinasaan, ialah mengasingkan diri dari mereka itu. Jikalau dijumpai
seorang pelajar karena Allah dan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dengan
ilmu pengetahuannya, maka dosa yang terbesarlah mengasingkan diri daripadanya
dan menyembunyikan ilmu daripadanya. Dan ini tiada akan dijumpai pada suatu
negeri besar, lebih banyak dari seorang atau dua. Itupun kalau dijumpai. Dan
tiada seyogyalah manusia itu tertipu dengan ucapan Sufyan: “Kami mempelajari
ilmu karena selain Allah, maka ilmu itu enggan untuk ada ia, kecuali karena
Allah”. Maka sesungguhnya para ulama fiqh (fuqaha’) itu mempelajari ilmu karena
selain Allah. Kemudian mereka itu kembali kepada Allah. Dan lihatlah akhir usia
kebanyakan mereka dan ambillah ibarat, bahwa mereka itu meninggal, dimana
mereka itu binasa mencari dunia ! dan sangatlah lobanya kepada dunia atau benci
kepada dunia dan zuhud pada dunia. Dan tidaklah berita itu seperti disaksikan
dengan mata kepala !. Ketahuilah, bahwa ilmu yang diisyaratkan oleh Sufyan
tadi, ialah: ilmu hadits, tafsir Alquran, mengenal sejarah nabi-nabi dan para
sahabat. Karena padanya membawa kepada penakutan dan peringatan. Dan itu adalah
sebab untuk mengobar-ngobarkan takut kepada Allah. Jikalau tidak membekas pada
masa sekarang, niscaya akan membekas pada masa yang akan datang. Adapun ilmu
kalam dan fiqh yang semata-mata berhubungan dengan fatwa-fatwa bahagian mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan
penyelesaian persengketaan itu adalah madzhab daripadanya dan perbedaan pendapat.
Tidaklah kembali orang yang gemar padanya karena dunia, kepada Allah. Tetapi
senantiasalah terus-menerus pada kelobaannya sampai kepada akhir usianya.
Semoga apa yang kami simpan itu ialah Kitab ini. Jikalau dipelajari oleh
pelajarnya karena mengingini dunia, maka bolehlah ia diberi kesempatan karena
diharapkan memperoleh peringatan (pengajaran) dengan Kitab ini pada akhir
usianya. Karena Kitab ini penuh dengan menakutkannya kepada Allah,
menggemarkannya kepada akhirat dan memperingatkannya dari bahaya dunia. Dan
yang demikian, adalah setengah daripada apa yang dijumpai dalam hadits-hadits
dan tafsir Alquran. Dan tidak dijumpai pada ilmu kalam, pada masalah khilafiah
dan pada madzhab. Maka tiada seyogyalah manusia itu menipu dirinya sendiri.
Sesungguhnya orang yang teledor, yang mengetahui dengan keteledorannya itu,
berkeadaan yang lebih berbahagia, dari seorang bodoh yang terpedaya atau
berbuat-buatt bodoh yang berpikiran lemah. Dan setiap orang yang berilmu yang
bersangatan kelobaannya kepada mengajar, hampirlah dapat dikatakan, bahwa
maksudnya itu, untuk diterima orang dan kemegahan. Dan bahagiannya ialah
memperoleh kelezatan jiwa pada masa sekarang, dengan bersemboyankan dapat
menunjuk orang-orang bodoh dan menyombongkan diri terhadap orang-orang bodoh itu.
Maka bahaya ilmu ialah: kesombongan, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw. Dan
karena itulah, diceritakan dari Bisyr, bahwa Bisyr menanamkan 17 peti
kitab-kitab hadits, yang didengarinya dan tidak dihaditskannya
(diriwayatkannya). Dan Bisyr mengatakan: “Saya bernafsu meriwayatkan hadits itu
kepada orang lain. Maka karena itulah, saya tiada meriwayatkannya. Dan jikalau
saya bernafsu untuk tiada meriwayatkannya, niscaya saya riwayatkan”. Dan karena
itulah Bisyr berkata: “Diriwayatkan hadits kepada kami oleh suatu pintu dari
pintu-pintu dunia. Dan apabila orang mengatakan: ‘Riwayatkan hadits kepada kami
!’, maka sesungguhnya orang itu mengatakan: ‘Lapangkanlah jalan dunia bagi kami
!”. Rabi’ah Al-‘Adawiyah berkata kepada Sufyan Ats-Tsuri: “Sebaik-baik orang
adalah engkau, jikalau tidaklah keinginan engkau pada dunia”. Maka Sufyan
bertanya: “Pada apakah aku inginkan ?”. Rabi’ah menjawab: “Pada hadits !”. Dan
karena itulah Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Barangsiapa kawin atau
mempelajari hadits atau menghabiskan waktunya dengan bermusyafir, maka
sesungguhnya ia telah cenderung kepada dunia”. Maka inilah bahaya-bahaya, yang
telah kami mintakan perhatian kepadanya pada “Kitab Ilmu”. Berhati-hati, ialah
menjaganya dengan ‘uzlah. Dan meninggalkan berbanyak teman sedapat mungkin.
Bahkan orang yang mencari dunia dengan memberi pelajaran dan mengajarinya, maka
yang betul baginya, jikalau ia orang yang berakal, pada zaman yang seperti ini,
ialah meninggalkannya. Sesungguhnya benarlah Abu Sulaiman Al-Khaththabi, dimana
beliau berkata: “Tinggalkanlah orang-orang yang gemar pada menemanimu dan
belajar padamu ! maka tiadalah bagimu daripada mereka itu harta dan keelokan.
Teman-teman dzahir itu musuh-musuh secara rahasia. Apabila mereka menjumpai
kamu, niscaya mereka berminyak-minyak air kepada kamu (tamalluq). Dan apabila
kamu jauh dari mereka, niscaya mereka menyakitkan kamu. Siapa saja yang datang
dari mereka kepada kamu, adalah dia itu pengintip. Dan apabila ia keluar,
niscaya ia menjadi juru pidato orang munafiq, lalat merah/suka menceritakan
kekurangan orang, dengki dan tipu. Maka janganlah kamu tertipu dengan
berhimpunnya mereka kepada kamu ! tidaklah maksud mereka itu ilmu pengetahuan,
tetapi kemegahan dan harta. Mereka mengambilkan kamu menjadi tangga kepada
keperluan dan maksud mereka. Dan menjadi keledai pada hajat keperluan mereka.
Jikalau engkau teledor pada suatu maksud dari maksud-maksud mereka, niscaya
mereka menjadi musuh yang terbesar bagi engkau. Kemudian mereka hitung
pulang-perginya kepada engkau, sebagai dalil yang menunjukkan atas engkau. Dan
mereka memandang yang demikian itu suatu hak yang wajib pada sisi engkau. Dan
mereka mengharuskan diatas engkau menyerahkan kehormatan engkau, kemegahan dan
agama engkau bagi mereka. Maka engkau bermusuh dengan musuh mereka. Engkau
menolong kerabat, pelayan dan wali mereka. Dan engkau bangkit untuk kepentingan
mereka selaku orang bodoh, padahal engkau adalah seorang yang mengerti. Dan
jadilah engkau seorang pengikut yang hina bagi mereka, sesudah engkau berada
selaku orang yang diikuti, yang mengepalai. Dan karena itulah dikatakan, bahwa
mengasingkan diri dari orang awam adalah suatu kehormatan diri (muruah) yang
sempurna. Maka inilah maksudnya perkataan Abu Sulaiman Al-Khaththabi itu.
Walaupun ia menyalahi dengan sebahagian dari kata-katanya. Dan itu adalah hak
dan benar. Sesungguhnya engkau melihat guru-guru itu dalam perbudakan yang
berkekalan, dibawah hak yang lazim dan omelan yang berat, dari orang-orang yang
pulang pergi kepada mereka. Seakan-akan orang itu menghadiahkan hadiah-hadiah
yang berharga kepada guru-guru itu. Dan melihat haknya menjadi suatu kewajiban
diatas pundak guru-guru. Dan kadang-kadang orang itu tidak pulang-pergi kepada
guru, selama ia tidak menanggung perbelanjaannya dengan terus-menerus. Kemudian
guru yang miskin, kadang-kadang lemah daripada melaksanakan yang demikian itu
dari hartanya. Maka senantiasalah ia pulang-pergi ke pintu-pintu rumah penguasa
dan merasa pedihnya kehinaan dan kesulitan, sebagaimana dirasakan oleh seorang
hina-dina. Sehingga dituliskan baginya diatas setengah cara-cara harta haram:
akan harta haram. Kemudian senantiasalah pegawai penguasa itu
memperbudakkannya, menggunakannya untuk pelayan, menghinakannya dan
melecehkannya, sampai kepada diserahkan oleh pegawai itu, kepada guru tadi, apa
yang diitentukan jumlahnya sebagai nikmat yang berulang-ulang daripadanya yang
menjadi tanggungannya. Kemudian berkekalan pula guru itu dalam menghadapi
kesulitan membagi dari apa yang diterimanya itu, kepada teman-temannya. Jikalau
disamakannya pembahagian diantara mereka, niscaya ia dikutuk oleh
teman-temannya yang memperoleh hak-hak istimewa. Dan mereka itu menggolongkan
guru itu kepada kedunguan, kurang dapat membeda-bedakan dan keteledoran
daripada dapat melaksanakan kelebihan dan menegakkan bahagian-bahagian hak
dengan keadilan. Dan jikalau dilebih-kurangkannya diantara teman-temannya itu,
niscaya ia disakiti oleh orang-orang bodoh dengan lidah-lidah tajam. Dan mereka
bangkit kepadanya, sebagai bangkitnya sosok-sosok tubuh dan singa-singa. Maka
senantiasalah guru itu dalam kekasaran mereka di dunia ini dan dalam tuntutan
apa yang diambilnya dan dibagikannya kepada mereka di akhirat. Dan yang
mengherankan, bahwa bersama bencana ini semua, guru itu membahayakan dirinya
dengan segala kebatilan dan mengikatkannya dengan tali ketipuan. Dan ia
mengatakan kepada dirinya: “Jangan engkau ada-adakan dari perbuatanmu !
sesungguhnya engkau dengan apa yang engkau kerjakan itu adalah menghendaki
Wajah Allah Ta’ala. Dan menyiarkan syari’at Rasulullah saw. Mengembangkan
pengetahuan agama Allah dan menegakkan kepentingan para penuntut ilmu dari
hamba-hamba Allah. Dan harta sultan-sultan itu tak ada pemiliknya. Dan adalah
tempat pengintipan bagi kepentingan umum. Dan manakah kepentingan umum yang
lebih besar daripada memperbanyak ahli ilmu pengetahuan ? maka dengan ahli ilmu
pengetahuanlah, agama itu muncul dan bertaqwa ahlinya. Dan jikalau tidaklah
guru itu menjadi bahan tertawaan setan, niscaya ia mengetahui dengan sedikit
saja pemikiran, bahwa kerusakan masa sekarang, tidaklah sebabnya, selain karena
banyaknya orang-orang seperti ahli-ahli fiqh (fuqaha’) itu, yang memakan apa
saja yang diperolehnya. Dan tidak memperbedakannya diantara halal dan haram.
Lalu mereka itu diperhatikan oleh mata orang-orang bodoh. Dan orang-orang bodoh
itu menjadi berani melakukan kema’siatan, disebabkan keberanian mereka. Karena
mengikuti mereka dan menuruti jejak mereka. Dan karena itulah, dikatakan bahwa
tidaklah rusak rakyat, melainkan disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa-penguasa).
Dan tidaklah rusak raja-raja, melainkan disebabkan rusaknya para ulama. Maka
berlindunglah kita dengan Allah, dari ketipuan dan kebutaan. Karena itu adalah
penyakit yang tak ada obatnya.
FAEDAH KEDUA: memberi manfaat dan
mengambil manfaat.
Adapun mengambil
manfaat dengan manusia, adalah dengan usaha dan mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)
(mengadakan hubungan dengan jual-beli dll). Yang demikian itu, tidak mungkin,
kecuali dengan bercampur-baur. Dan orang yang memerlukan kepada yang demikian
itu, memerlukan kepada meninggalkan pengasingan diri. Lalu beradalah ia dalam
jihad (perjuangan) dari bercampur-baur itu, jikalau ia mencari penyesuaian
agama padanya, sebagaimana telah kami terangkan dahulu pada “Kitab Usaha”. Maka
jikalau ada padanya harta, jikalau ia merasa cukup puas dengan harta itu,
niscaya puaslah ia dengan harta itu. Maka mengasingkan diri (uzlah) adalah
lebih utama baginya, apabila tertutup dalam kebanyakan hal, segala jalan usaha,
selain dari yang ma’siat. Kecuali adalah maksudnya berusaha itu untuk
bersedekah. Apabila ia berusaha dari cara yang tersebut dan ia mengeluarkan
sedekah dengan usahanya itu, maka itu lebih utama daripada mengasingkan diri.
Karena menggunakan waktunya itu dengan amalan sunat. Dan tidaklah itu yang
lebih utama daripada mengasingkan diri, karena menghabiskan waktunya untuk
mencari dalil (tahaqquq) tentang mengenal Allah dan ilmu-ilmu agama. Dan
tidaklah yang lebih utama, daripada menghadapkan jiwa dengan seluruh cita-cita
kepada Allah Ta’ala. Dan menjuruskannya untuk mengingati Allah. Ya’ni siapa
yang berhasil memperoleh kejinakan hati dengan munajah dengan Allah, dengan
kasyaf (terbuka hijab) dan dengan mata hati. Tidak dengan sangka-waham dan
khayalan-khayalan yang batil. Adapun memberi manfaat, yaitu: memberi manfaat
kepada manusia. Adakalanya dengan hartanya atau dengan tenaga badannya. Ia
bangun menunaikan hajat keperluan manusia itu, diatas jalan mengharapkan
pahala. Maka pada bangkit menunaikan hajat keperluan kaum muslimin, ada
pahalanya. Dan yang demikian, tidaklah tercapai, selain dengan bercampur-baur.
Dan orang yang sanggup bercampur-baur dengan manusia, serta dapat menegakkan
batas-batas hukum syariat, maka bercampur-baur itu lebih utama baginya dari
‘uzlah, jikalau dalam ‘uzlahnya itu, ia tidak mengerjakan selain shalat-shalat
sunat dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan badan (a’mal badaniah). Dan
jikalau ia termasuk orang yang terbuka baginya jalan amalan dengan hati, dengan
berkekalan dzikir atau tafakkur, maka yang demikian, tidaklah sekali-kali dapat
disamakan oleh yang lain.
FAEDAH KETIGA: mengajar adab
sopan-santun (ta’dib) dan belajar adab (ta-addub).
Kami maksudkan
dengan yang demikian, ialah memperoleh latihan disebabkan kekasaran manusia.
Dan berjuang menahan kesakitan dari manusia, untuk menghancurkan nafsu dan
memaksakan segala keinginan (nafsu syahwat). Dan itu adalah setengah dari
faedah-faedah yang diperoleh dengan bercampur-baur. Dan bercampur-baur itu,
lebih utama daripada mengasingkan diri, terhadap orang yang tidak terdidik
budi-pekertinya dan tidak tunduk hawa nafsunya kepada batas-batas agama. Dan
karena inilah, diperkenankan pelayan-pelayan kaum shufi di pondok-pondok
(langgar-langgar). Lalu kaum shufi itu bercampur-baur dengan manusia, dengan
pelayanan mereka. Dan dengan orang-orang pasar, untuk meminta sesuatu dari
mereka. Untuk menghancurkan kebebalan diri dan mencari pertolongan dari barakah
doa orang-orang shufi, yang mengarahkan seluruh cita-citanya kepada Allah swt.
Dan ini adalah pangkal bertolak (mabda’) pada masa-masa yang lampau. Sekarang
sesungguhnya telah dicampur-baurkan oleh maksud-maksud yang batil. Dan telah
mereng yang demikian itu, dari undang-undang (qanun), sebagaimana telah mereng
simbol-simbol agama yang lain. Lalu jadilah, dicari daripada merendahkan diri
(tawadlu’) itu dengan pelayanan, akan memperbanyak ikutan, bersangatan
mengumpulkan harta dan menampakkan dengan banyak pengikut. Jikalau inilah yang
menjadi niat, maka mengasingkan diri (‘uzlah) itu lebih baik daripada yang
demikian, walau ke pekuburan sekalipun. Dan jikalau adalah niat itu melatih
jiwa, maka itu adalah lebih baik daripada ‘uzlah, terhadap orang yang
memerlukan kepada latihan. Dan yang demikian adalah termasuk setengah daripada
yang dihajati pada permulaan kehendak tadi. Maka setelah berhasil latihan,
seyogyalah dipahami bahwa hewan tidaklah dicari dari latihannya itu, akan diri
latihan. Tetapi yang dimaksudkan daripadanya, ialah untuk membuat hewan itu
menjadi kendaraan, yang dapat menempuh perjalanan berhari-hari dan memendekkan
jalan diatas punggung kendaraan itu. Dan badan adalah hewan kendaraan bagi
hati, yang dikendarainya untuk berjalan ke jalan akhirat. Dan pada kendaraan
itu ada hawa nafsu. Jikalau tidak dihancurkan, niscaya ia akan melawan di
jalanan. Orang yang menggunakan waktunya sepanjang umur dengan latihan, niscaya
adalah seperti orang yang menggunakan waktu sepanjang umur hewan kendaraannya
itu dengan melatihkannya. Dan tidak pernah mengendarainya. Maka ia tidak
mengambil faedah daripada hewan kendaraan itu, selain terlepasnya pada waktu
itu dari gigitan, sepakan dan terjangan hewan kendaraan tersebut. Demi
sebenarnya, itu adalah faedah yang dimaksudkan ! tetapi faedah yang seperti itu
dapat diperoleh dari binatang mati. Dan sesungguhnya hewan kendaraan itu
dimaksudkan untuk faedah yang dihasilkan dari hidupnya. Maka seperti itu pula,
terlepasnya dari kepedihan nafsu syahwat di waktu itu, dapat dihasilkan dengan
tidur dan mati. Dan tiada seyogyalah dicukupkan dengan yang demikian. Seperti
pendeta yang dikatakan kepadanya: “Hai pendeta !”. Lalu ia menjawab: “Bukanlah
aku ini pendeta. Sesungguhnya aku adalah anjing galak. Aku penjarakan diriku,
sehingga aku tidak menggigit manusia”. Dan ini adalah baik, dibandingkan dengan
orang yang melukakan manusia. Tetapi tidak seyogyalah, disingkatkan kepada itu
saja. Karena orang yang membunuh diri, juga tidak melukakan manusia. Tetapi
seyogyalah menoleh kepada tujuan yang dimaksudkan dengan demikian. Dan siapa
yang memahami akan demikian dan mendapat petunjuk kepada jalan dan sanggup
kepada menjalani jalan itu, niscaya teranglah baginya bahwa ‘uzlah itu, lebih
menolong kepadanya, dibandingkan dengan bercampur-baur (mukhalathah). Maka yang
lebih utama bagi orang yang seperti ini ialah mukhalathah pada awalnya dan
‘uzlah pada akhirnya. Adapun mengajar adab sopan-santun (ta’dib), maka
sesungguhnya yang kami kehendaki dengan ta’dib itu, ialah melatih orang lain.
Dan itu adalah keadaan guru (syaikh) kaum shufi bersama kaum shufi. Guru itu
tidak sanggup mendidik mereka, kecuali dengan bercampur-baur dengan mereka. Dan
hal-ikhwal syaikh itu ialah hal-ikhwal guru. Dan kedudukkanya pun adalah
kedudukan guru. Dan berjalanlah padanya pada yang berjalan pada penyiaran ilmu,
dari bahaya-bahaya yang halus dan ria. Kecuali bahwa tempat-tempat sangkaan
mencari dunia dari murid-murid yang belajar untuk memperoleh latihan itu,
adalah lebih jauh dari bahaya-bahaya dari para penuntut ilmu. Karena itulah
tampak pada mereka itu sedikit orangnya dan pada penuntut ilmu itu banyak. Maka
seyogyalah, bahwa dibandingkan apa yang mudah baginya dari khilwah (bersemadi),
dengan apa yang mudah baginya dari mukhalathah (bercampur-baur) dan mendidik
orang banyak. Dan hendaklah dihadapkan yang satu dengan lainnya. Dan hendaklah
dipilih yang lebih utama (al-afdhal). Dan yang demikian dapat diketahui dengan
ijtihad yang halus dan berlainan menurut keadaan dan orang. Maka tidaklah
mungkin menetapkan hukumnya secara mutlak, dengan tidak (nafi) dan ya
(itsbat).
FAEDAH KEEMPAT: memperoleh kejinakan
dan menjinakkan hati.
Itu adalah maksud
orang yang menghadiri peralatan, undangan, tempat-tempat pergaulan dan
kejinakan hati. Dan ini pada waktu itu juga, kembali kepada bahagian jiwa.
Terkadang ada yang demikian itu, diatas jalan haram, dengan berjinak-jinakan
hati dengan orang yang tidak boleh berjinak-jinakan hati. Atau diatas jalan
mubah (cara yang diperbolehkan). Dan terkadang disunnahkan yang demikian,
karena urusan agama. Dan yang demikian, mengenai orang yang diperoleh kejinakan
hati, dengan menyaksikan hal-ikhwalnya dan perkataan-perkataannya tentang
agama. Seperti kejinakan hati dengan syaikh-syaikh yang selalu menuruti jalan
taqwa. Dan terkadang cara itu bersangkutan dengan bahagian jiwa. Dan
disunatkan, apabila maksudnya adalah menyenangkan hati untuk menggerakkan
panggilan kerajinan pada ibadah. Sesungguhnya hati itu apabila dipaksakan,
niscaya ia buta. Dan manakala di waktu sendirian kesepian dan waktu duduk-duduk
dengan teman, merasa kejinakan yang menentramkan hati, maka duduk-duduk itu
lebih utama. Karena pelan-pelan pada ibadah adalah setengah dari kehati-hatian
bagi ibadah. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
bosan, sehingga kamu bosan”. Ini adalah keadaan yang tidak dapat dilepaskan.
Karena jiwa itu, tidaklah merasa jinak dengan kebenaran terus-menerus, selama
ia tidak ditentramkan (diistirahatkan). Dan pada memberatkan jiwa yang
terus-menerus itu, meminta sejenak waktu untuk istirahat. Dan inilah yang
dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Bahwa agama ini kokoh kuat, maka
masukkanlah ke dalamnya dengan pelan-pelan !”. Memasukkan ke dalamnya dengan
pelan-pelan, adalah sifat orang-orang yang bermata hati. Dan karena itulah Ibnu
Abbas berkata: “Jikalau tidaklah takut kepada waswas, niscaya tidaklah aku
duduk-duduk dengan manusia”. Sekali Ibnu Abbas mengatakan: “Sesungguhnya aku
masuki negeri-negeri, yang tidak ada orang yang menjinakkan hati padanya.
Adakah yang merusakkan manusia, selain dari manusia ?”. Jadi, maka tidaklah
merasa cukup orang yang ber-‘uzlah itu, tanpa teman yang merasa kejinakan hati
dengan melihat dan bercakap-cakap sesaat dalam sehari semalam. Maka hendaklah
bersungguh-sungguh mencari orang yang tidak akan merusakkannya pada saatnya
itu, akan saat-saatnya yang lain! Nabi saw bersabda: “Manusia itu menurut agama
temannya. Maka hendaklah seseorang kamu melihat akan orang yang mau diambil
menjadi teman !”. Dan hendaklah berusaha supaya adalah pembicaraannya ketika
bertemu, mengenai urusan agama, menceritakan hal-ikhwal hati, pengaduan dan
keteledoran hati dari ketetapan diatas kebenaran dan petunjuk kepada jalan yang
benar. Maka pada yang demikian, memperoleh kelegaan dan menentramkan bagi jiwa.
Dan padanya itu jalan yang lapang bagi tiap-tiap orang yang sibuk dengan
memperbaiki dirinya. Sesungguhnya, tidaklah terputus pengaduan hati, walaupun
diberi usia yang panjang. Dan orang yang rela tentang dirinya, sudah pasti
tertipu. Maka kejinakan hati yang semacam ini, pada sebagian waktu siang,
kadang-kadang lebih utama daripada ‘uzlah terhadap sebahagian orang. Maka
carilah padanya pertama-tama hal-ikhwal hati dan hal-ikhwal teman duduk !.
Kemudian barulah duduk-duduk bersama !.
FAEDAH KELIMA: tentang memperoleh
pahala dan menghasilkan pahala bagi orang lain.
Adapun memperoleh
pahala, ialah dengan menghadiri jenazah, mengunjungi orang sakit dan datang
pada shalat dua hari Raya (hari raya Idil-fithri dan hari raya Idil-adha).
Adapun datang pada shalat Jum’at, adalah tak boleh tidak. Dan menghadiri shalat
jama’ah pada shalat-shalat yang lain juga, tidak diberi kelonggaran untuk
meninggalkannya. Kecuali karena takut kepada kesukaran yang nyata, yang
menggantikan pahala jama’ah yang hilang bahkan menambahkan lagi diatas yang
hilang itu. Dan yang demikian, tidaklah terjadi, kecuali jarang sekali. Dan
seperti itu pula, pada menghadiri perkawinan dan undangan, akan memperoleh
pahala, dimana pada kehadiran tersebut memasukkan kegembiraan pada hati muslim.
Adapun menghasilkan pahala bagi orang lain, maka yaitu: bahwa ia membuka pintu
supaya manusia berkunjung kepadanya. Atau supaya manusia, berta’ziah
(berbela-sungkawa) kepadanya, waktu mendapat musibah. Atau menyampaikan ucapan
tahniah (ucapan selamat) waktu ia memperoleh nikmat. Sesungguhnya dengan
demikian, orang itu akan memperoleh pahala. Dan seperti itu pula, apabila ia
dari golongan ulama dan mengizinkan bagi orang banyak berziarah kepadanya,
niscaya orang banyak akan memperoleh pahala berkunjung. Dan dengan memungkinkan
yang demikian, ia menjadi sebab pada pahala itu. Maka seyogyalah ditimbang akan
pahala bercampur-baur ini dengan bahaya-bahayanya yang telah kami sebutkan
dahulu. Dan ketika itu, kadang-kadang ‘uzlah yang kuat. Dan kadang-kadang
mukhalathah (bercampur-baur) yang kuat. Diceritakan dari segolongan salaf
(ulama terdahulu), seperti Malik dan lainnya, tidak mau memperkenankan
undangan, mengunjungi orang sakit dan menghadiri jenazah. Bahkan, adalah mereka
selalu di rumahnya. Mereka tidak keluar, kecuali ke Jum’at atau ziarah kubur.
Dan setengahnya meninggalkan kota dan menuju ke puncak-puncak bukit, untuk
menyelesaikan diri bagi ibadah. Dan lari dari segala yang menyibukkan.
FAEDAH KEENAM:
Dari mukhalathah
(bercampur-baur) itu lahirlah tawadlu’ (merendahkan diri). Sifat tawadlu’
adalah setengah dari tingkat yang paling utama. Dan tidak sanggup melaksanakan
tawadlu’ pada waktu sendirian. Kadang-kadang adalah takabur (kesombongan) itu,
menjadi sebab memilih ‘uzlah. Diriwayatkan dalam cerita orang-orang Bani
Israil, bahwa seorang ahli hikmat dari para ahli hikmat, mengarang 360 buku
tentang hikmat (filsafah). Sehingga ia menyangka, bahwa ia telah memperoleh
suatu tempat (derajat) pada sisi Allah. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada
NabiNya: “Katakanlah kepada si Anu: “Bahwa engkau telah memenuhkan bumi ini
dengan nifaq (kemunafiqan). Dan Aku tidak menerima dari kemunafiqanmu akan
sesuatu”. Nabi tersebut berkata: “Lalu ahli hikmat itu menyembunyikan diri dan
tinggal sendirian dalam suatu lobang di bawah tanah. Dan berkata: “Sekarang
sampailah aku kepada kerelaan Tuhanku”. Maka Allah mewahyukan kepada NabiNya:
“Katakanlah kepadanya: “Bahwa engkau belum sampai kepada kerelaanKu, sehingga
engkau bercampur-baur dengan manusia dan sabar atas kesakitan yang diperbuat
mereka”. Maka ahli hikmat itu keluar. Lalu masuk ke pasar-pasar, bercampur-baur
dengan manusia, duduk-duduk dengan mereka, bantu-membantu sesama mereka,
memakan makanan diantara mereka dan berjalan di pasar-pasar bersama mereka.
Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada NabiNya: “Sekarang ia telah sampai kepada
kerelaanKu”. Maka berapa banyak orang yang ber-‘uzlah (mengasingkan diri) dalam
rumahnya dan yang menjadi penggeraknya ialah: takabur. Dan yang mencegahnya
untuk datang ke perayaan-perayaan, ialah bahwa: ia tidak dimuliakan atau tidak
didahulukan. Atau ia melihat dengan tidaknya bercampur-baur dengan orang banyak
itu, lebih meninggikan tempatnya (derajatnya). Dan lebih mengekalkan kebaikan
sebutannya diantara manusia. Kadang-kadang ia mengasingkan diri, karena takut
daripada diperlihatkan keburukan-keburukannya, jikalau ia bercampur-baur. Maka
janganlah engkau berkeyakinan, bahwa padanya zuhud dan sibuk dengan ibadah. Ia
mengambil rumahnya untuk menutupi segala keburukannya, untuk mengekalkan
keyakinan manusia tentang kezuhudannya dan banyak ibadahnya, tanpa menghabiskan
waktu dalam khilwah, dengan dzikir atau tafakkur. Dan tanda orang-orang
tersebut tadi, ialah, bahwa mereka suka dikunjungi. Dan tidak suka mengunjungi.
Mereka merasa gembira dengan mendekatnya orang-orang awam dan sultan-sultan
kepada mereka. Mengumpulnya orang-orang itu pada pintu dan jalan mereka. Dan
orang-orang itu mencium tangan mereka atas jalan barakah. Jikalau kesibukan
sendiri yang tidak menyukakannya untuk bercampur-baur dan berkunjung kepada
orang lain, niscaya kunjungan orang lainpun kepadanya tidak menyukakannya.
Sebagaimana telah kami ceritakan hal Al-Fudlail, dimana ia berkata: “Adakah
engkau datang kepadaku, kecuali untuk aku berhias bagimu dan kamu berhias
bagiku ?”. Dari Hatim Al-Ashamm, bahwa beliau mengatakan kepada amir yang
berkunjung kepadanya: “Hajatku ialah: bahwa aku tiada melihat engkau dan engkau
tiada melihat aku”. Maka orang yang tiada sibuk beserta jiwanya dengan
berdzikir kepada Allah, maka pengasingan dirinya dari manusia banyak, sebabnya
ialah bersangatan terganggu pikirannya dengan orang banyak itu. Karena hatinya
menjurus kepada menoleh kepada pandangan mereka kepadanya, dengan pandangan
kemuliaan dan kehormatan. Mengasingkan diri dengan sebab ini, adalah bodoh,
dari beberapa segi:
Pertama: bahwa merendahkan diri dan bercampur-baur, tiadalah
mengurangkan kedudukan orang yang menyombongkan diri, dengan ilmunya, atau
agamanya. Karena Ali ra membawa kurma kering (tamar) dan garam pada kain dan
tangannya. Dan beliau bermadah:
Tidaklah kurang orang sempurna,
dari kesempurnaannya......
oleh apa yang ia bawa,
yang berguna kepada
keluarganya.......
Abu Hurairah,
Hudzaifah, Ubai dan Ibnu Mas’ud, -diridhai Allah kiranya mereka sekalian-
membawa ikatan kayu api dan karung tepung diatas bahu mereka. Adalah Abu
Hurairah ra berkata dan ia adalah wali negeri Madinah dan kayu api diatas
kepalanya: “Berilah jalan bagi amirmu !”. Dan penghulu segala rasul saw membeli
sesuatu, lalu dibawanya sendiri ke rumahnya. Maka berkata sahabatnya kepadanya:
“Berilah kepadaku untuk aku bawa !”. Lalu menjawab Nabi saw: “Yang punya barang
itu, lebih berhak membawanya”. Al-Hasan bin Ali ra lalu di suatu tempat untuk
menanyakan sesuatu. Dan di tangan orang-orang yang dilalui itu, daging yang
sedang dimakan. Maka mereka itu mengajak makan: “Marilah makan siang, wahai
putera Rasulullah !”. Maka Al-Hasan turun dan duduk di atas jalan. Dan makan
bersama mereka. Kemudian berkendaraan dan berkata: “Bahwa Allah tiada menyukai
orang-orang yang takabur".
Segi
kedua: bahwa orang yang menyibukkan dirinya
mencari kerelaan manusia kepada dirinya dan membaguskan kepercayaan mereka
kepadanya, adalah tertipu. Karena, jikalaulah ia mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya ma’rifah, niscaya ia tahu bahwa makhluk itu, tiada mencukupi
baginya sesuatu, selain dari Allah. Bahwa kemelaratan dan kemanfaatannya adalah
di tangan Allah. Tiadalah yang mendatangkan manfaat dan melarat selain dari
Allah. Bahwa orang yang mencari kerelaan dan kecintaan manusia dengan kemarahan
Allah, niscaya ia dimarahi Allah. Dan Allah mendatangkan kemarahan manusia
kepadanya. Bahkan kerelaan manusia itu adalah suatu maksud yang tidak akan
tercapai. Maka kerelaan Allah yang lebih utama dicari. Karena itulah,
Asy-Syafi’i ra berkata kepada Yunus bin Abdul A’la: “Demi Allah, aku tiada
mengatakan kepadamu, melainkan nasehat. Sesungguhnya tiada jalan kepada
keselamatan dari manusia. Maka perhatikanlah apa yang membaikkan kepadamu, lalu
kerjakanlah !”. Dan karena itulah, bermadah seorang penyair:
Barangsiapa mengintip-intip orang,
niscaya ia mati kesedihan.
Dan dengan kelezatan, menang
orang yang penuh keberanian.
Sahl melihat
kepada salah seorang sahabatnya, lalu berkata kepadanya: “Berbuatlah
begini-begini untuk sesuatu yang aku suruhkan !”. Maka sahabatnya itu menjawab:
“Wahai Ustadz ! saya tidak sanggup karena manusia”. Lalu Sahl menoleh kepada
teman-temannya dan berkata: “Tidaklah seorang hamba itu memperoleh hakikat dari
pekerjaan ini, sehingga ia mempunyai salah satu dari dua sifat: hamba yang
jatuhlah manusia dari pandanganya. Lalu ia tidak melihat di dunia, selain
Penciptanya (khaliqnya). Dan sesungguhnya seorangpun tiada sanggup mendatangkan
melarat dan manfaat kepadanya. Dan hamba yang jatuhlah nafsunya dari hatinya.
Lalu ia tiada memperdulikan keadaan apapun yang dilihat mereka padanya”.
Asy-Syafi’i ra berkata: “Tiadalah seorangpun, melainkan mempunyai yang
menyukainya dan yang memarahinya. Apabila ada yang demikian, maka hendaklah
engkau berada bersama orang yang taat kepada Allah !”. Ada orang yang berkata
kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! sesungguhnya orang banyak (kaum) itu datang
ke majelismu. Tiadalah tujuan mereka, selain mencari ketelanjuran perkataanmu
dan memberatkanmu dengan pertanyaan”. Maka Al-Hasan tersenyum dan berkata
kepada yang berkata tadi: “Ringankanlah atas dirimu sendiri ! maka sesungguhnya
aku memperkatakan akan diriku sendiri dengan penempatan sorga dan berdekatan
dengan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka aku amat mengharapkan. Dan tidak aku
memperkatakan akan diriku dengan keselamatan dari manusia. Karena aku
sesungguhnya mengetahui bahwa Yang Menjadikan mereka. Yang Menganugerahkan
Rezeki kepada mereka, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan mereka, tidak
selamat dari mereka”. Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! tahankanlah dariku lidah
manusia !”. Maka Tuhan berfirman: “Hai Musa ! itu adalah hal yang tidak Aku pilihkan
untuk diriKu sendiri. Maka bagaimanakah aku memperbuatkannya dengan kamu ?”.
Dan Allah swt mewahyukan kepada ‘Uzair: “Jikalau tidak engkau membaguskan jiwa
engkau, dengan Aku jadikan engkau karet dalam mulut penggigit-penggigit,
niscaya tidak Aku tuliskan engkau padaKu dari orang-orang yang tawadlu’ (yang
merendahkan diri)”. Jadi, orang yang menahankan dirinya dalam rumah, untuk
membaguskan anggapan dan perkataan manusia kepadanya, maka dia adalah dalam
tanggungan yang berat sekarang di dunia -dan sesungguhnya azab akhirat adalah
lebih besar jikalau mereka mengetahui-. Jadi, tidaklah disunatkan ‘uzlah,
kecuali bagi orang yang menghabiskan waktu dengan Tuhannya dengan berdzikir,
bertafakkur, beribadah dan berilmu, dimana jikalau orang banyak bercampur-baur
dengan dia, niscaya hilanglah waktunya dan banyaklah bahayanya. Dan
kacau-balaulah ibadah-ibadahnya. Inilah marabahaya-marabahaya yang tersembunyi
dalam memilih ‘uzlah itu, yang seyogyalah dijaga. Karena dia adalah:
membinasakan (muhlikat) dalam bentuk: melepaskan (munjiat) dari kebinasaan.
FAEDAH KETUJUH: percobaan
(pengalaman).
Percobaan
(pengalaman) itu diperoleh dari bercampur-baur dengan manusia dan dari jalan
berlakunya hal-ikhwal mereka. Dan ‘aqal-gharizi (buah pikiran yang merupakan
sifat asli) tidaklah mencukupi pada memahami kepentingan-kepentingan agama dan
dunia. Dan kepentingan-kepentingan itu dapat diperoleh dengan pengalaman dan
pelaksanaan. Dan tak adalah kebajikan pada ‘uzlahnya orang yang tidak
diperkuatkan oleh pengalaman-pengalaman. Maka anak kecil apabila mengasingkan
diri, niscaya tinggallah ia dalam kebodohan. Tetapi seyogyalah ia menuntut ilmu
pengetahuan. Dan dapatlah ia menghasilkan pada masa belajar itu, apa yang
dihajatinya, dari percobaan-percobaan (pengalaman-pengalaman). Dan mencukupilah
baginya yang demikian itu. Dan pengalaman-pengalaman yang lain berhasil, dengan
mendengar bermacam hal. Dan tidak memerlukan kepada bercampur-baur. Setengah
dari percobaan-percobaan yang terpenting, ialah mencoba dirinya sendiri,
tingkah laku (akhlaqnya) dan sifat-sifat bathiniahnya. Yang demikian itu, tidak
dapat disanggupi dalam khilwah (persemadian). Maka sesungguhnya, bahwa
tiap-tiap orang yang melakukan percobaan dalam kesepian itu, ia akan
rahasiakan. Dan tiap-tiap orang yang marah yang busuk hati atau yang dengki,
apabila ia bersemadi sendirian, tidaklah tersaring daripadanya kekejiannya.
Sifat-sifat tersebut itu membinasakan menurut sifat-sifat itu sendiri, yang
wajib dijauhkan dan dipaksakan. Dan tidaklah memadai menenangkannya dengan menjauhkan
daripada apa yang menggerakkan sifat-sifat itu. Hati yang dipenuhi dengan
sifat-sifat keji tersebut, adalah seumpama bisul yang berisi penuh dengan nanah
bercampur darah dan nanah. Kadang-kadang yang sakit itu sendiri tidak merasa
dengan kesakitannya, selama ia tidak bergerak atau disentuh oleh orang lain.
Jikalau tidak ada baginya tangan yang menyentuhkannya atau mata yang melihat
bentuknya dan tidak ada bersama orang yang sakit itu, orang yang
menggerakkannya, niscaya kadang-kadang ia menyangka sendiri selamat. Dan tidak
merasa dengan bisul itu pada dirinya. Dan ia berkeyakinan dengan tidak adanya
bisul itu. Tetapi jikalau digerakkan oleh suatu penggerak atau dikenakan pisau
pembekam, niscaya terpancarlah daripadanya nanah. Dan terbitlah nanah itu
seperti terbitnya sesuatu yang tertutup, apabila ditahan daripada terlepas.
Maka begitupula, hati yang dipenuhi dengan kebusukan hati, kebakhilan,
kedengkian, kemarahan dan budi pekerti tercela lainnya. Terpancarlah dari hati
itu, kekejian-kekejiannya apabila digerakkan. Dan dari inilah, orang-orang yang
berjalan di jalan akhirat, yang mencari pensucian hati, mencoba dirinya.
Barangsiapa merasa pada dirinya sifat takabur, niscaya ia berusaha
menjauhkannya. Sehingga setengah mereka membawa ember air diatas punggungnya
dihadapan manusia. Atau ikatan kayu api diatas kepalanya dan ia bulak-balik di
pasar. Untuk mencoba dirinya dengan yang demikian. Karena marabahaya-marabahaya
nafsu dan tipuan-tipuan setan itu tersembunyi. Sedikitlah orang yang memperhatikannya.
Karena itulah, diceritakan dari setengah mereka, di mana ia berkata: “Telah
menjadi kebiasaan bagiku mengerjakan shalat 30 tahun lamanya, dimana aku
mengerjakannya pada baris pertama (shaf pertama). Tetapi pada suatu hari, aku
terkebelakang disebabkan suatu halangan. Maka aku tiada mendapat tempat pada
shaf pertama. Lalu aku berdiri pada shaf kedua. Maka aku dapati pada diriku
perasaan malu, dilihat orang banyak kepadaku. Dan orang sudah mendahului aku
kepada shaf pertama. Maka tahulah aku bahwa semua shalatku yang aku kerjakan,
adalah bercampur dengan ria. Bercampur dengan kesenangan, dilihat orang banyak
kepadaku. Dan mereka melihat aku dalam rombongan orang-orang yang mendahului
kepada kebajikan”. Maka bercampur-baur itu mempunyai faedah yang jelas dan
besar pada mengeluarkan segala kekejian dan mendzahirkannya. Dan karena itulah,
ada orang yang mengatakan: “Bermusafir ialah bermusafir dari akhlaq”. Karena
bermusafir itu semacam dari bercampur-baur yang terus-menerus. Dan akan
diterangkan marabahaya-marabahaya dan yang halus-halus dari
pengertian-pengertian tersebut pada Rubu’ Muhlikat (Bahagian Yang
Membinasakan). Maka sesungguhnya, disebabkan kebodohan tentang segala yang
merusakkan itu, membatalkan banyak amalan. Dan dengan mengetahuinya, sucilah amalan
yang sedikit. Jikalau tidak demikian, niscaya tidaklah dilebihkan ilmu dari
amal. Karena mustahil, bahwa pengetahuan mengenai shalat dan pengetahuan itu
tidak dimaksudkan, selain untuk shalat itu, lebih utama daripada shalat
sendiri. Dan kita mengetahui, bahwa apa yang dimaksudkan untuk lainnya, maka
yang lain itu, adakalanya lebih mulia daripadanya. Dan syara’ (agama) telah
menetapkan, dengan melebihkan orang berilmu (‘alim) daripada orang beribadah
(‘abid). Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu (‘alim) dari orang
beribadah (‘abid) adalah seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari
sahabat-sahabatku”. Pengertian melebihkan ilmu itu, kembali kepada 3 segi:
Pertama: apa yang telah kami sebutkan;
Kedua: meratanya manfaat, karena menjalar faedahnya.
Dan perbuatan (amal) itu, tiada menjalar faedahnya.
Ketiga: bahwa yang dimaksudkan dengan pengetahuan itu
ialah pengetahuan tentang Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya).
Maka yang demikian itu, lebih utama dari tiap-tiap amal (perbuatan). Bahkan
yang dimaksud dari segala perbuatan itu, ialah memalingkan hati dari makhluq,
kepada khaliq. Supaya hati itu bangkit sesudah berpaling kepadaNya, untuk
mengenal dan mencintaiNya. Maka amal dan ilmu bagi amal itu, keduanya dimaksudkan
bagi ilmu ini. Dan ilmu ini adalah tujuan bagi murid-murid. Dan amal adalah
seperti syarat baginya. Dan kepadanyalah diisyaratkan dengan firman Allah
Ta’ala: “KepadaNya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang baik itu
dimuliakan oleh Allah”. S 35 Faathir ayat 10. Maka perkataan yang baik, yaitu:
ilmu ini. Dan amal adalah seperti: pembawa yang mengangkatkannya kepada
maksudnya. Maka yang diangkat adalah lebih utama daripada yang mengangkat. Dan
ini adalah perkataan yang diselipkan (interupsi), yang tidak layak dengan
perkataan ini. Marilah kita kembali kepada yang dimaksud. Maka kami berkata:
Apabila anda telah mengetahui faedah-faedah ‘uzlah dan marabahaya-marabahaya,
niscaya anda mendapat bukti bahwa menetapkan ‘uzlah itu secara mutlak, dengan melebihkannya,
dengan nafi (tidak) dan itsbat (ya), adalah salah. Tetapi, seyogyalah dipandang
(diperhatikan) kepada orang dan hal-ikhwalnya. Kepada yang dicampur-bauri dan
hal-ikhwalnya. Kepada penggerak untuk bercampur-baur dengan dia. Dan kepada
yang hilang, disebabkan percampur-bauran itu, dari faedah-faedah yang tersebut.
Dan dibandingkan yang hilang dengan yang berhasil. Maka ketika itu, nyatalah
yang hak (yang benar) dan jelaslah yang lebih utama. Dan ucapan Asy-Syafi’i ra
itu menguraikan apa yang ditujukan itu. Karena beliau berkata: “Hai Yunus !
berhijrah (meninggalkan bergaul) dengan manusia itu usaha permusuhan. Dan
mengulurkan tangan kepada mereka (merapatkan pergaulan) itu, menghela kepada
teman-teman jahat. Maka hendaklah engkau diantara meninggalkan pergaulan dan
merapatkan pergaulan itu !”. Karena itu, haruslah i’tidal (dalam keadaan di
tengah) diantara mukhalathah (bercampur-baur) dan ‘uzlah (mengasingkan diri).
Dan berbedalah yang demikian itu, menurut keadaan. Dan dengan memperhatikan
faedah-faedah dan bahaya-bahaya, maka jelaslah yang lebih utama. Dan inilah
kebenaran yang tegas. Dan semua yang telah disebutkan selain dari ini, adalah
tidak lengkap. Yaitu: menerangkan tiap sesuatu dari keadaan khusus yang ada
padanya. Dan tidaklah boleh menetapkan keadaan khusus itu, kepada yang lain,
yang berbeda keadaannya. Dan perbedaan antara orang ‘alim (orang berilmu) dan
orang shufi tentang ilmu zhahir, adalah kembali kepada yang disebutkan tadi.
Yaitu, bahwa orang shufi, tidak berkata-kata, selain dari keadaannya sendiri.
Maka tidaklah disangsikan, bahwa jawaban-jawaban mereka itu berbeda dalam
segala persoalan. Dan orang ‘alim, ialah orang yang mengetahui kebenaran
menurut hakikat yang sebenarnya. Dan ia tidak memandang kepada keadaan dirinya
sendiri. Maka terbukalah kebenaran padanya. Dan yang demikian, termasuk hal
yang tidak diperselisihkan lagi. Karena kebenaran (al-haq) itu satu untuk
selama-lamanya. Dan yang tidak sampai kepada kebenaran adalah banyak, tidak
terhingga. Karena itulah, ditanyakan pada orang-orang shufi, tentang
kemiskinan. Maka tiada seorangpun, melainkan menjawab dengan jawaban yang
berlainan dengan jawaban yang lain. Dan semua itu benar, berdasarkan kepada
keadaannya. Dan tidaklah benar menurut yang sebenarnya. Karena kebenaran itu tidaklah
ada, selain satu. Dan karena itulah, Abu ‘Abdillah Al-Jalla berkata dan beliau
itu ditanyakan tentang kemiskinan. Lalu menjawab: “Pukulkanlah dengan kedua
lengan bajumu akan dinding ! dan katakanlah: ‘Tuhanku Allah’. Maka itulah
kemiskinan (kefakiran)”. Al-Junaid berkata: “Orang faqir ialah orang yang tidak
meminta kepada seseorang dan tidak tantang-menantang. Jikalau ia ditantang
orang, ia diam”. Sahl bin Abdullah berkata: “Orang faqir ialah orang yang tidak
meminta dan tidak menyimpan. Dan orang lain mengatakan: “Tidaklah itu untuk
engkau. Jikalau untuk engkau, maka tidaklah untuk engkau, dimana tidaklah itu
untuk engkau”. Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Kemiskinan, ialah meninggalkan
mengadu dan mendzahirkan bebas bala-bencana (bebas percobaan)”. Maksudnya,
ialah kalau ditanyakan kepada mereka 100 pertanyaan, niscaya didengar dari
mereka 100 penjawaban yang berlainan. Sedikitlah kesesuaian dua daripada
jawaban-jawaban itu. Dan itu semua adalah benar dari satu segi. Sesungguhnya
itu, berita masing-masing tentang keadaannya dan apa yang menguasai hati
nuraninya. Dan karena itulah, kita tidak melihat dua orangpun dari mereka, yang
salah seorang dari keduanya mengakui temannya berdiri teguh dalam tashawwuf.
Atau memujikannya. Tetapi masing-masing mereka mendakwakan, bahwa dia yang
sampai kepada kebenaran. Dan yang berdiri diatas kebenaran. Karena banyaknya
keragu-raguan mereka, menurut kehendak keadaan yang datang kepada hati mereka.
Maka mereka tiada berbuat, selain dengan diri mereka itu sendiri. Dan tiada
menoleh kepada orang lain. Dan sinar ilmu itu apabila terbit, niscaya meliputi
semua. Menyingkapkan tutup dan membuangkan perselisihan. Dan contoh pandangan
orang-orang shufi itu, adalah apa yang anda lihat dari pandangan suatu kaum
tentang dalil yang menunjukkan zawal (tergelincirnya matahari) dengan memandang
pada bayang-bayang. Setengah mereka berkata, bahwa pada musim panas,
bayang-bayang itu 2 tapak kaki panjangnya. Dan diceritakan dari orang lain,
bahwa bayang-bayang itu setengah tapak kaki. Dan yang lain menolak yang
demikian. Dan bahwa bayang-bayang itu, pada musim dingin, 7 tapak kaki
panjangnya. Dan diceritakan dari yang lain, bahwa bayang-bayang itu, 5 tapak
kaki. Dan yang lain menolak yang demikian. Maka ini, menyerupai jawaban-jawaban
dan perselisihan pendapat orang-orang shufi. Sesungguhnya masing-masing mereka,
menerangkan keadaan bayang-bayang yang dilihatnya di negerinya sendiri. Maka
benarlah ia tentang perkataannya itu. Dan salahlah ia tentang menyalahkan
temannya. Karena ia menyangka bahwa dunia itu semua ialah negerinya saja. Atau
yang seperti negerinya saja. Sebagaimana orang shufi tidak menetapkan keadaan
orang lain yang berilmu (orang ‘alim), kecuali menurut keadaan dirinya sendiri.
Dan orang ‘alim, yang berilmu tentang zawal, ialah orang yang mengetahui sebab
panjang dan pendeknya bayang-bayang dan sebab perbedaannya di masing-masing
negeri. Lalu ia menerangkan hukum-hukum yang berlainan, pada negeri-negeri yang
berlainan. Ia mengatakan pada setengah negeri-negeri itu, bayang-bayangnya
tidak tetap. Pada setengahnya panjang dan pada setengahnya pendek. Maka inilah
apa yang kami maksudkan menyebutkannya dari keutamaan ‘uzlah dan mukhalathah !.
Jikalau anda bertanya: “Bagi orang yang memilih ‘uzlah dan memandangnya lebih
utama dan lebih menyelamatkan baginya, maka apakah adabnya mengenai ‘uzlah itu
?”. Kami menjawab, bahwa sesungguhnya panjanglah pandangan tentang
adab-mukhalathah. Dan kami telah sebutkan pada “Kitab Adab Berteman”, dahulu.
Adapun Adab-‘uzlah, maka tidaklah diperpanjangkan. Maka seyogyalah bagi orang
yang ber’uzlah, bahwa berniat dengan ‘uzlahnya itu,
pertama, mencegah kejahatan dirinya dari manusia.
Kedua, mencari keselamatan dari kejahatan orang-orang
jahat. Kemudian
ketiga, melepaskan diri daripada bahaya
keteledoran daripada menegakkan hak-hak kaum muslimin. Kemudian
keempat, menjuruskan diri dengan hakikat cita-cita bagi
beribadah kepada Allah. Inilah adab-adab niatnya ! kemudian, hendaklah dalam
persemadiannya itu rajin kepada ilmu, amal, dzikir dan tafakkur !. Supaya dapat
memetik buah (hasil) dari ‘uzlah. Dan hendaklah melarang orang banyak,
mendatangi dan mengunjunginya ! maka akan mengganggu kebanyakan waktunya. Dan
hendaklah ia mencegah dirinya daripada menanyakan tentang berita mereka itu dan
daripada mendengar berbagai berita bohong yang tidak baik di dalam negeri dan
apa yang membawa manusia sibuk dengan dia ! sesungguhnya semua itu akan
tertanam dalam hati. Sehingga membangkit pada waktu sedang shalat atau
tafakkur, dimana ia tiada menyangka sama sekali. Jatuhnya berita dalam
pendengaran, adalah seperti jatuhnya bibit dalam tanah. Maka tak dapat tidak
akan tumbuh dan bercabang urat dan rantingnya. Dan sambung-menyambung satu sama
lain. Dan salah satu yang penting bagi orang ber-‘uzlah, ialah menghilangkan
segala was-was hati, yang memalingkannya daripada berdzikir kepada Allah. Dan
berita-berita itu adalah sumber dan pokok dari segala was-was hati. Dan
hendaklah ia mencukupkan dengan sedikit dari penghidupan ! jikalau tidak,
niscaya ia memerlukan kepada berlapang-lapang dengan manusia. Dan ia berhajat
kepada bercampur-baur dengan mereka. Dan hendaklah ia penyabar diatas apa yang
dijumpainya, daripada kesakitan oleh tetangga ! dan hendaklah ia menyumbat
pendengarannya daripada mendengar apa yang diperkatakan orang, tentang pujian
kepadanya disebabkan ‘uzlah itu ! atau cacian kepadanya disebabkan meninggalkan
mukhalathah. Karena tiap-tiap yang demikian, membekas dalam hati, walaupun pada
masa yang sedikit saja. Dan keadaan terpengaruhnya hati dengan yang tadi, tak
dapat tidak, membawa ia berhenti, daripada perjalanan ke jalan akhirat.
Sesungguhnya perjalanan itu, adakalanya dengan rajin mengerjakan wirid dan
dzikir, bersama dengan kehadiran hati. Adakalanya dengan tafakkur tentang
keagungan Allah, sifat-sifatNya, af’alNya, kerajaan langit dan bumiNya. Dan
adakalanya dengan memperhatikan amal-perbuatan yang halus-halus,
perbuatan-perbuatan yang merusakkan hati dan mencari jalan penjagaan
daripadanya. Semuanya itu meminta kekosongan waktu. Dan mendengar dengan penuh
perhatian sekalian yang tersebut itu, adalah setengah daripada yang terus
mengganggukan hati. Dan kadang-kadang baru-membaru ingatannya itu dalam
berkekalan berdzikir, dimana ia tiada menduga sama sekali. Dan hendaklah orang
yang ber-‘uzlah itu, mempunyai isteri yang shalih atau teman duduk yang shalih
! supaya tentramlah hatinya dalam sehari sejam, daripada kepayahan rajinnya
beribadah. Maka pada yang demikian itu, menolong kepada jam-jam selebihnya. Dan
tidaklah sempurna kesabaran dalam ‘uzlah itu, selain dengan menghilangkan
kerakusan kepada dunia. Dan tidaklah manusia itu bersungguh-sungguh pada sabar.
Dan tidaklah hilang kerakusannya, selain dengan memendekkan (mengecilkan)
angan-angan, dengan tidak mentakdirkan dirinya berumur panjang. Tetapi ia
berpagi-hari dengan tidak memikirkan akan bersore nanti. Dan ia bersore hari
dengan tidak akan berpagi hari lagi. Maka mudahlah baginya bersabar sehari. Dan
tidaklah mudah baginya ber’azam (bercita-cita) untuk sabar 20 tahun, jikalau ia
mentakdirkan ajalnya akan lambat tiba. Hendaklah membanyakkan ingatan kepada
mati dan sendirian di dalam kubur, betapapun hatinya merasa sempit dari
sendirian itu ! Dan hendaklah ia membuktikan dengan keyakinan, bahwa orang yang
tidak berhasil dalam hatinya, ingatan (dzikir) kepada Allah dan mengetahui apa
yang menjinakkan hatinya dengan dzikir itu, maka ia tidak akan sanggup menahan
keliaran sendirian sesudah mati. Dan orang yang merasa kejinakan hati dengan
dzikir dan ma’rifah kepada Allah, maka tidaklah mati itu menghilangkan
kejinakan hatinya. Karena tidaklah mati itu merobohkan tempat kejinakan hati
dan ma’rifah (mengenal Allah). Tetapi kejinakan hati hati itu kekal hidup
dengan ma’rifah dan kejinakannya. Karena gembira dengan kurnia dan rahmat Allah
kepadanya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang syahid:
“Janganlah kamu menganggap mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu !
tidak ! mereka itu hidup, mereka mendapat rezeki dari sisi Tuhan. Mereka
gembira karena kurnia yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka”. S 3 Ali
‘Imran ayat 169-170. Dan tiap-tiap orang yang semata-mata karena Allah dalam
perjuangan dirinya, maka dia itu syahid, manakala ia menemui mati, menghadapkan
hati kepada Allah, bukan membelakang. Maka orang yang berjihad (berjuang),
ialah orang yang berjuang melawan nafsu dan keinginannya, sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah saw. Dan perjuangan besar (jihad-akbar) ialah jihad
melawan hawa nafsu, sebagaimana dikatakan oleh setengah sahabat ra: “Kami kembali dari jihad kecil kepada jihad
besar”. Mereka maksudkan: jihad melawan hawa nafsu. Telah tammat ‘Kitab ‘Uzlah”
dan diiringi oleh “Kitab Adab Berjalan-jauh”. Dan segala pujian bagi Allah
Tuhan Yang Maha Esa.