Kamis, 13 Februari 2014

17. KITAB ADAB BERJALAN JAUH (BERMUSAFIR)



KITAB ADAB BERJALAN JAUH (BERMUSAFIR)
Yaitu: Kitab Ke-7 dari “Bahagian Adat-Kebiasaan (Rubu’ Al-Adat)” dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”.

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah, yang membuka mata hati wali-waliNya dengan hikmat dan ibarat. Dan mengikhlaskan cita-cita mereka untuk menyaksikan keajaiban ciptaanNya, di tempat tinggal dan di perjalanan. Maka jadilah mereka itu rela dengan yang berlaku menurut taqdir. Mereka membersihkan hati mereka, daripada berpaling kepada segala yang disenangi mata, selain diatas jalan mengambil ibarat dengan apa yang dituangkannya dalam segala petunjuk penglihatan dan perjalanan pemikiran. Maka samalah pada mereka, daratan dan lautan, dataran yang mudah dilalui dan yang menakutkan, desa dan kota. Dan shalawat kepada Muhammad penghulu manusia dan kepada keluarganya dan sahabatnya, yang mengikuti jejaknya tentang budi pekerti dan perjalanan hidup. Dan anugerahilah kiranya kesejahtraan yang banyak kepada mereka !. Amma ba’du, kemudian dari itu, maka berjalan jauh (bermusafir), adalah wasilah (jalan) kepada kelepasan dari sesuatu, yang kita melarikan diri daripadanya. Atau sampai kepada sesuatu yang dicari dan diingini kepadanya. Dan berjalan jauh (bermusafir) itu dua: bermusafir dengan badan dzahir dari tempat ketetapan dan tanah air ke padang sahara dan tanah luas. Dan bermusafir dengan jalannya hati dari orang-orang yang terendah tingkat, ke kerajaan langit. Dan yang termulia dari kedua macam perjalanan itu, ialah: perjalanan batin. Sesungguhnya orang yang berhenti pada keadaan yang didapatinya sesudah lahir ke dunia, yang membeku terhadap apa yang diperolehnya, dengan bertaqlid (mengikut saja) kepada bapak dan nenek moyang, maka orang itu sudah seharusnya memperoleh rendah derajat. Merasa cukup dengan kurang pangkat. Dan menerima gantian dari lapangan luas, sorga yang lebarnya langit dan bumi, dengan kegelapan penjara dan kesempitan tahanan. Dan sungguh benarlah kata penyair:
Tidaklah aku melihat kekurangan,
pada kekurangan-kekurangan manusia,
seperti kekurangan orang-orang yang mempunyai kemampuan,
untuk memperoleh derajat sempurna.
Kecuali, bahwa perjalanan ini (perjalanan bathin), manakala yang menghadapinya berada dalam bahaya yang mengkuatirkan, maka tidaklah ia mencukupi tanpa petunjuk jalan dan pelindung. Maka dikehendaki oleh kekaburan jalan, ketiadaan dan penunjuk dan perasaan puas bagi orang-orang yang berjalan itu, dengan nasib yang menurun lagi sedikit, tanpa bahagian yang banyak, yang telah terhapus jalan-jalannya. Maka terputuslah teman-teman pada perjalanan itu. Dan sepilah tempat-tempat yang menghiburkan bagi diri, alam tinggi dan segenap penjuru, dari orang-orang yang berkeliling. Dan kepada perjalanan yang tersebut, diserukan oleh Allah swt dengan firmanNya: “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka sendiri”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan dengan firmanNya: “Dan di bumi ada tanda-tanda untuk orang-orang yang yakin dalam kepercayaannya. Dan juga pada diri kamu sendiri mengapa tidak kamu perhatikan ?”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 30-31. Dan duduk, tidak melakukan perjalanan ini, ditantang dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya kamu –dalam perjalananmu- melalui (bekas-bekas) mereka waktu pagi-pagi. Dan waktu malam. Tiadakah kamu mengerti ?”. S 37 Ash Shaffaat ayat 137-138. Dan dengan firmanNya swt: “Dan banyaklah keterangan-keterangan di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya”. S 12 Yusuf ayat 105. Maka orang yang menyenangkannya perjalanan ini, niscaya senantiasa dalam perjalanannya itu, terhibur dalam sorga, yang lintangnya langit dan bumi. Dia tetap dengan tubuhnya tiada bergerak, menetap di tanah air. Itulah perjalanan, yang tiada sempit padanya, tempat-tempat minum dan tempat-tempat singgahan. Dan tiada memperoleh kemelaratan padanya oleh berdesak-desakan dan berdatangan orang banyak. Bahkan bertambah dengan banyaknya musafir-musafir itu, harta-harta ghanimah (harta rampasan). Dan berlipat-gandalah buah dan faedahnya. Maka harta-harta rampasan itu kekal, tiada terlarang. Buahnya bertambah-tambah, tiada putus-putusnya. Kecuali apabila nyata pada musafir itu terputus perrjalanannya dan terhenti gerakannya. Maka Allah tiada akan merobah apa yang ada pada sesuatu kaum, sehingga mereka itu merobah apa yang ada pada diri mereka itu sendiri. Dan apabila mereka berjalan sesat, niscaya disesatkan oleh Allah hati mereka. Dan tidaklah Allah menganiaya hamba-hambaNya. Tetapi mereka itu menganiaya dirinya sendiri. Dan orang yang tidak menjadikan dirinya mengembara pada lapangan ini dan berkeliling pada tempat-tempat penghiburan dari kebun ini, kadang-kadang ia bermusafir dengan badan dzahirnya dalam masa panjang, dalam kilometer yang banyak jumlahnya, dimana ia memperoleh perniagaan untuk dunia atau simpanan untuk akhirat. Maka jikalau yang dicarinya itu ilmu dan agama atau kecukupan untuk pertolongan kepada agama, niscaya adalah ia dari orang-orang yang berjalan pada jalan akhirat. Dan pada perjalanannya itu mempunyai syarat-syarat dan adab-adab kesopanan. Jikalau disia-siakannya, niscaya ia termasuk orang-orang yang berbuat untuk dunia dan pengikut-pengikut setan. Dan jikalau ia rajin di atas syarat-syarat dan adab kesopanan itu, niscaya perjalanannya tiada terlepas dari faedah-faedah yang menghubungkannya dengan pekerja-pekerja akhirat. Kami akan menyebutkan adab kesopanan dan syarat-syaratnya pada dua bab insyaa Allah Ta’ala.
Bab Pertama: tentang adab-adab kesopanan, dari permulaan berangkat sampai kepada akhir kembalinya, tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini dua pasal.
Bab Kedua  : tentang hal-hal yang tak boleh tidak bagi seorang musafir, mempelajarinya, dari keentengan-keentengan (rukhshah) perjalanan, penunjuk-penunjuk qiblat dan waktu-waktu shalat.
BAB PERTAMA: tentang adab dari permulaan berangkat sampai kepada akhir kembali, tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini dua pasal.
PASAL PERTAMA: tentang faedah perjalanan, keutamaan dan niatnya.
Ketahuilah, bahwa bermusafir (mengadakan perjalanan jauh), adalah semacam pergerakan badan dan percampur-bauran dengan manusia. Pada perjalanan itu banyak faedah dan mempunyai bahaya-bahaya, sebagaimana telah kami sebutkan pada “Kitab Berteman dan ‘Uzlah”. Dan faedah-faedah yang menggerakkan kepada perjalanan itu, tidaklah terlepas dari lari atau mencari. Maka sesungguhnya seorang musafir, adakalanya mempunyai hal yang menakutkan untuk menetap di tempatnya. Dan jikalau tidak ada yang menakutkan itu, niscaya ia tiada mempunyai maksud untuk mengadakan perjalanan tersebut. Dan adakalanya mempunyai maksud dan yang dicari. Melarikan diri dari tempat tinggal, adakalanya oleh suatu hal yang merupakan bencana, pada urusan-urusan keduniaan, seperti: penyakit kolera dan penyakit menular, apabila timbul di negeri tempat tinggalnya. Atau karena ketakutan, disebabkan oleh fitnah atau permusuhan atau kemahalan harga. Dan yang tersebut itu, adakalanya bersifat umum, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Atau bersifat khusus, umpamanya: orang yang mau dianiaya di suatu negeri. Lalu melarikan diri dari negeri itu. Dan adakalanya oleh suatu hal yang merupakan bencana pada agama. Umpamanya orang yang dicoba dalam negerinya dengan: kemegahan, harta dan meluasnya sebab-sebab yang menghambatkannya daripada menjuruskan diri kepada Allah. Maka ia memilih perantauan dan penyembunyian diri. Ia menjauhkan keluasan hidup dan kemegahan. Atau seperti orang yang diajak kepada perbuatan bid’ah dengan paksaan. Atau kepada menjabat pekerjaan, yang tidak halal menyentuhkannya. Maka ia mencari jalan untuk melarikan diri dari hal tersebut. Adapun yang dicari, maka adakalanya hal duniawi, seperti harta dan kemegahan diri. Atau hal keagamaan. Dan keagamaan itu, adakalanya: ilmu dan adakalanya: amal (perbuatan). Dan ilmu itu, adakalanya salah satu dari ilmu-ilmu keagamaan. Dan adakalanya ilmu mengenai akhlaq dirinya sendiri dan sifat-sifatnya diatas jalan percobaan. Dan adakalanya ilmu tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi dan keajaiban-keajaibannya. Seperti: perjalanan Dzul-Karnain dan pengelilingannya pada segala penjuru bumi. Dan amal (perbuatan) itu, adakalanya ibadah dan adakalanya ziarah (kunjungan). Ibadah, yaitu: hajji ‘umrah dan jihad (fi sabilillah). Dan ziarah juga termasuk amal yang mendekatkan diri kepada Allah. kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, tempat. Seperti: Makkah, Madinah, Baitul-maqdis dan benteng-benteng. Maka mengikatkan diri kepada tempat-tempat tersebut, adalah mendekatkan diri kepada Allah. Kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, wali-wali dan ulama-ulama. Dan mereka itu, adakalanya: sudah meninggal. Maka diziarahilah kuburannya. Dan adakalanya: masih hidup. Maka diambil barakahlah dengan melihat wajahnya. Dan diperoleh faedah dari melihat keadaan mereka, akan kuatnya keinginan mengikuti mereka. Maka inilah segala bahagian perjalanan jauh itu !. Dan dikeluarkan dari bahagian ini beberapa bahagian:
Bahagian pertama: bermusafir pada menuntut ilmu. Dan itu, adakalanya: wajib. Dan adakalanya: sunat. Dan yang demikian itu, menurut keadaan ilmu itu, wajib atau sunat. Dan ilmu itu, adakalanya: ilmu tentang urusan agamanya atau akhlaqnya tentang dirinya atau tanda-tanda kekuasaan Allah di bumiNya. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya pada menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi sabilillah), sehingga ia kembali ke rumahnya”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa berjalan pada jalan, di mana ia mencari ilmu padanya, niscaya dimudahkan oleh Allah baginya jalan ke sorga”. Dan Sa’id bin Al-Musayyab bermusafir berhari-hari, mencari satu hadits. Asy-Sya’bi berkata: “Jikalau bermusafir seorang laki-laki dari negeri Syam (Syria) ke negeri Yaman yang terjauh, mencari suatu kalimat yang menunjukkannya kepada petunjuk atau mengembalikannya dari kerendahan, niscaya tidaklah perjalanannya itu sia-sia”. Jabir bin Abdullah berangkat dari Madinah ke Mesir bersama 10 orang sahabat Nabi saw. Mereka itu berjalan sebulan lamanya, mencari suatu hadits, yang sampai kepada mereka, dari Abdullah bin Anis Al-Anshari, yang diriwayatkannya dari Rasulullah saw. Sehingga mereka itu mendengar hadits itu daripadanya. Dan semua orang yang tersebut dalam ilmu pengetahuan, yang memperoleh ilmu pengetahuan itu, dari zaman sahabat sampai kepada zaman kita sekarang, bahwa ia tidak berhasil akan ilmu pengetahuan itu, selain dengan bermusafir. Dan ia bermusafir karena ilmu pengetahuan itu. Adapun pengetahuannya tentang dirinya sendiri dan akhlaqnya, maka yang demikian itu juga penting. Sesungguhnya jalan akhirat, tidak mungkin menjalaninya, selain dengan membaikkan dan mendidikkan budi. Dan orang yang tiada menoleh kepada rahasia bathinnya dan kekejian sifat-sifatnya, niscaya ia tidak mampu mensucikan hatinya daripadanya. Dan sesungguhnya perjalanan (safar), ialah yang membuka budi-pekerti (akhlaq) orang. Dan dengan perjalananlah, dikeluarkan oleh Allah yang tersembunyi pada langit dan bumi. Dan sesungguhnya perjalanan jauh (safar) disebut dalam bahasa Arab dengan kata-kata: safar (dimana arti safar itu: membuka), karena ia membuka akhlaq orang yang bermusafir itu. Dan karena itulah Umar ra bertanya kepada orang yang mengaku bersih (jujur) sebagian dari saksi-saksi: “Adakah engkau menemaninya dalam perjalanan (safar) yang dapat menjadi dalil atas kemuliaan akhlaq (budi pekertinya) ?”.Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Umar ra menyambung: “Maka apakah yang memperlihatkan engkau mengenal orang itu !”. Bisyr berkata: “Wahai para qari’ (ahli membaca Alquranul-karim) ! mengembaralah, niscaya kamu menjadi baik ! sesungguhnya air, apabila mengalir, niscaya baik. Dan apabila lama berhentinya pada suatu tempat, niscaya ia berobah”. Kesimpulannya, bahwa diri kita di tanah air serta tak adanya sebab-sebab, maka tidaklah lahir keburukan akhlaqnya. Karena diri kita itu dapat menjinakkan hatinya dengan yang bersesuaian bagi sifatnya, dari kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kesukaan diri. Maka apabila ia menanggung kesulitan bermusafir, ia meninggalkan kesukaannya yang sudah dibiasakan dan memperoleh percobaan dengan kesukaran di negeri asing, niscaya terbukalah segala marabahayanya. Dan diketahuilah kekurangan-kekurangannya. Lalu mungkinlah berusaha mengobatinya. Dan telah kami sebutkan pada “Kitab ‘Uzlah” akan faedah-faedah percampur-bauran dengan manusia (mukhalathah). Dan bermusafir itu adalah mukhalathah, serta bertambah lagi pekerjaan dan penanggungan kesulitan. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatullah) di bumiNya, maka pada menyaksikannya itu, banyak faedah bagi orang yang mempunyai bashirah (mata hati). Pada bumiNya itu tempat-tempat yang berdekat-dekatan. Padanya bukit-bukit, padang sahara, lautan, berbagai macam hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan tidak satu macampun daripadanya, melainkan menjadi saksi bagi Allah dengan keesaan (wahdaniah). Dan mengucapkan kesucian (tasbih) bagiNya, dengan lidah yang lancar, yang tidak diketahui, selain oleh orang yang mencurahkan pendengarannya. Dan dia itu menyaksikannya. Adapun orang-orang yang ingkar, lalai dan tertipu dengan kilatan fatamorgana dari kembang dunia, maka orang-orang itu tidak melihat dan tidak mendengar. Karena mereka itu terasing dari pendengaran. Dan tertutup dari tanda-tanda Tuhannya. “Mereka mengetahui yang dzahir dari kehidupan duniawi dan lalai dari akhirat”. Dan tidaklah dimaksudkan dengan pendengaran itu akan pendengaran dzahir. Karena orang-orang yang dimaksudkan dengan yang demikian, tidaklah mereka itu terasing dari pendengaran itu. Sesungguhnya yang dimaksudkan ialah: pendengaran bathin. Dan tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali suara-suara. Dan sama padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain. Adapun pendengaran bathin, maka dapat diketahui isi pembicaraan keadaan (lisanul-hal), dimana itu adalah tuturan, dibalik tuturan kata yang diucapkan, yang menyerupai perkataan orang yang mengatakannya, sebagai cerita perkataan tiang dan dinding. Dinding itu berkata kepada tiang: “Mengapakah engkau menyusahkan aku ?”. Lalu tiang itu menjawab: “Tanyakanlah kepada orang yang menokokkan aku ! dan tidak ditinggalkannya aku di belakangku oleh batu yang ada di belakangku !”. Dan tidak dari satu dzarrah (atom)pun di langit dan di bumi, melainkan mempunyai berbagai macam yang menjadi saksi bagi Allah Ta’ala dengan keesaan (wahdaniah). Yaitu: pengesaannya. Dan berbagai macam yang menjadi saksi bagi Khaliqnya dengan kequdusan, yaitu: tasbihnya. Tetapi mereka itu tiada memahami tasbihnya itu. Karena mereka tiada bermusafir dari kesempitan pendengaran dzahir, kelapangan luas pendengaran bathin. Dan dari ketidak-lancaran lisan pengucapan, kepada kelancaran lisan keadaan (lisanul-hal). Jikalau mampulah tiap-tiap orang yang lemah, kepada perjalanan yang seperti ini, niscaya tidaklah Nabi Sulaiman as dikhususkan dengan memahami tuturan burung. Dan sungguh tidaklah Nabi Musa as dikhususkan dengan mendengar firman (kalam) Allah Ta’ala yang wajib diquduskan dari penyerupaan huruf dan suara. Dan siapa yang bermusafir, untuk menyelidiki kesaksian-kesaksian ini, dan baris-baris yang tertulis, dengan tulisan-tulisan ketuhanan (al-khuthut-al-ilahiyah) diatas lembaran benda-benda keras (al-jamadat), niscaya tidaklah lama perjalanannya itu dengan tubuh. Tetapi ia menetap pada suatu tempat dan menyelesaikan hatinya untuk bersenang-senang dengan mendengar alunan suara ucapan tasbih dari satu persatu dzarrah (atom). Maka tidak usahlah ia pulang pergi di sahara-sahara yang luas. Dan ia mempunyai kekayaan di kerajaan langit. Maka matahari, bulan dan bintang itu tunduk dengan perintahNya. Dan matahari, bulan dan bintang itu, bermusafir kepada penglihatan orang-orang yang mempunyai mata hati (bashirah), beberapa kali dalam sebulan dan setahun. Bahkan ia merangkak pada geraknya diatas waktu yang datang silih berganti. Maka setengah dari keganjilan, bahwa merangkak pada mengelilingi satu-persatu masjid, orang yang disuruh oleh Ka’bah, bahwa Ka’bah mengelilinginya. Dan setengah dari keganjilan, bahwa berkeliling pada segala sudut bumi, orang yang berkelilinglah padanya segala penjuru langit. Kemudian, selama orang musafir itu berkehendak kepada dilihat oleh alam kebesaran dan kenyataan (‘alamul-mulki wasy-syahadah) dengan mata-dzakir, maka ia terhitung pada tempat pertama, dari tempat-tempat orang yang berjalan kepada Allah dan bermusafir kehadiratNya. Dan seolah-olah ia beri’tikaf (berhenti duduk) diatas pintu tanah air, yang tiada membawa ia berjalan ke angkasa luas. Dan tiada sebab untuk lamanya berdiri pada tempat ini, selain oleh ketakutan dan keteledoran. Dan karena itulah, setengah orang-orang yang mempunyai hati nurani berkata: “Sesungguhnya manusia mengatakan: ‘Bukalah matamu, sehingga kamu dapat melihat !”. Dan aku mengatakan: “Tutuplah matamu, sehingga kamu melihat !”. Dan masing-masing dari dua perkataan ini benar. Kecuali, bahwa yang pertama itu menerangkan tempat pertama yang dekat dari tanah air. Dan yang kedua itu, menerangkan dari yang sesudahnya, dari tempat-tempat yang jauh dari tanah air, yang tidak diinjak, selain oleh orang yang melemparkan dirinya dalam bahaya besar. Dan orang yang lewat ke tempat itu, kadang-kadang sesat di jalan dan menderita bertahun-tahun. Kadang-kadang ia mengambil taufiq dengan tangannya. Maka taufiq itu menunjukkannya kepada jalan yang benar. Dan orang-orang yang binasa pada tempat yang menyesatkan itu, mereka itu kebanyakan dari orang-orang yang berkendaraan pada jalan ini. Tetapi orang-orang yang mengembara dengan nur taufiq (nurut-taufiq), niscaya memperoleh kemenangan dengan kenikmatan dan kerajaan yang tetap. Yaitu: orang-orang yang telah mendahului bagi mereka, kebaikan daripada Allah. Dan ambillah ibarat akan kerajaan ini, dengan kerajaan duniawi ! maka sesungguhnya sedikitlah yang mencari kerajaan ini, dibandingkan kepada banyaknya makhluq. Manakala besarlah yang dicari, niscaya sedikitlah yang membantu. Kemudian, orang yang binasa adalah lebih banyak daripada orang yang dapat memiliki. Dan tidaklah menghadapkan diri mencari kerajaan itu, orang yang lemah lagi pengecut. Karena besarnya bahaya dan lamanya kepayahan:
Apabila jiwa itu
besar.....
maka payahlah tubuh
mencapai maksudnya.....
Dan Allah Ta’ala tiada menyimpankan kemuliaan dan kerajaan pada agama dan dunia, selain pada tempat bahaya. Kadang-kadang orang pengecut dan orang teledor, menamakan kepengecutan dan keteledoran itu, dengan hati-hati dan waspada, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Orang-orang pengecut itu melihat,
bahwa sifat pengecut adalah hati-hati.
Dan itu adalah tipuan bagi sifat,
yang terkutuk sekali.
Maka inilah hukum perjalanan dzahir, apabila dimaksudkan kepada perjalanan bathin, dengan membacakan tanda-tanda kebesaran Allah di bumi. Dan sekarang, marilah kita kembali kepada maksud, yang kita maksudkan dan marilah kita terangkan:
Bahagian kedua: yaitu, bahwa ia bermusafir karena ibadah. Adakalanya karena mengerjakan hajji atau berjuang fi sabilillah. Dan telah kami sebutkan keutamaan yang demikian, adab-adabnya dan amalannya, yang dzahir dan yang bathin pada “Kitab Rahasia Hajji”. Dan termasuk ke dalam jumlahnya, berziarah ke kuburan nabi-nabi as, berziarah ke kuburan sahabat-sahabat, para pengikut sahabat (tabi’in), ulama-ulama yang lain dan wali-wali. Dan semua orang yang diambil barakah dengan melihatnya pada masa hidupnya, adalah diambil barakah dengan menziarahi kuburannya sesudah wafatnya. Dan bolehlah melakukan perjalanan jauh untuk maksud ini. Dan tidaklah terlarang dari maksud ini, oleh sabda Nabi saw: “Tiadalah diadakan perjalanan jauh, kecuali kepada 3 masjid: Masjidku ini (masjid Madinah), Masjidil-haram (di Makkah) dan Masjidil-aqsha (di Baitul-maqdis)”. Karena yang demikian itu mengenai masjid-masjid, maka yang tersebut itu, samalah satu dengan lainnya, sesudah masjid-masjid yang 3 tadi. Jikalau tidaklah begitu, maka tiadalah berbeda antara berziarah ke kuburan nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama, pada pokok kelebihannya, walaupun yang demikian itu berlebih kurang derajatnya dalam batas yang besar, menurut perbedaan derajat mereka pada sisi Allah. Kesimpulannya, berziarah kepada orang hidup adalah lebih utama daripada berziarah kepada orang mati. Faedah dari menziarahi orang hidup, ialah mencari barakah doa dan barakah memandang kepada wajahnya. Sesungguhnya memandang wajah ulama dan orang-orang shalih adalah ibadah. Dan juga padanya menggerakkan keinginan mengikuti jejaknya. Dan berakhlaq dengan akhlaq dan adab kesopanannya. Ini, selain dari apa yang ditunggu dari faedah-faedah ilmiah, yang diperoleh faedahnya dari diri dan perbuatan mereka. Bagaimana tidak ! semata-mata menziarahi teman pada jalan Allah (al-ihwan fillah), ada padanya kelebihan, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, pada “Kitab Berteman”. Dalam Taurat, tersebut: “Berjalanlah 4 mil ! kunjungilah saudaramu pada jalan Allah !”. Adapun tempat, maka tiadalah arti menziarahinya, selain dari masjid 3 itu dan selain dari benteng-benteng yang diperkuatkan untuk menghadapi musuh. Hadits yang tersebut diatas adalah jelas, tentang tidaklah diadakan perjalanan jauh (safar) untuk mencari barakah tempat, selain kepada masjid 3 itu. Dan telah kami sebutkan kelebihan dua tanah haram (tanah haram Makkah dan tanah haram Madinah) pada “Kitab Hajji”. Dan Baitul-maqdis juga mempunyai besar kelebihan. Ibnu Umar ra keluar dari Madinah menuju Baitul-maqdis. Sehingga ia mengerjakan shalat padanya shalat 5 waktu. Kemudian ia kembali pulang beresoknya ke Madinah. Nabi Sulaiman as meminta kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla: “Bahwa orang yang menuju masjid ini (masjid Baitul-maqdis), yang tidak dipentingkannya, selain bershalat padanya, bahwa: tidak Engkau memalingkan pandangan Engkau daripadanya, selama ia menetap dalam masjid itu sehingga ia keluar daripadanya. Dan bahwa Engkau keluarkan dia dari segala dosanya, seperti hari dilahirkan oleh ibunya”. Maka Allah Ta’ala memperkenankan permintaannya yang demikian.
                  Bahagian ketiga: bahwa perjalanan itu untuk melarikan diri dari suatu sebab yang mengganggu agama. Dan yang demikian itu juga baik. Maka lari dari sesuatu yang tiada disanggupi, adalah termasuk sunnah (jalan yang ditempuh) nabi-nabi dan rasul-rasul. Setengah dari yang wajib melarikan diri daripadanya, ialah: diangkat menjadi anggota pemerintahan, memperoleh kemegahan dan banyak sangkut-paut dan sebab-sebab dengan orang lain. Karena semuanya itu mengganggu kekosongan hati. Dan agama itu tidak sempurna, melainkan dengan hati yang kosong dari selain Allah. Jikalau tidak sempurna kosongnya, maka dengan kadar kekosongan itulah, tergambar bahwa ia bekerja pada agama. Dan tidaklah tergambar kekosongan hati dalam dunia, dari segala kepentingan duniawi dan keperluan-keperluannya yang penting. Tetapi yang tergambar, hanyalah peringanan dan pemberatannya. Dan terlepaslah dari kebinasaan orang-orang yang memandang ringan kepentingan dan keperluan duniawi. Dan binasalah orang-orang yang memandang beratnya (pentingnya). Dan segala pujian bagi Allah yang tidak menggantungkan kelepasan itu, dengan kekosongan mutlak dari segala dosa dan pikulan. Tetapi Ia menerima orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi, dengan kurnia dan lengkap keluasan rahmatNya. Dan orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi itu, ialah orang yang tidaklah dunia itu menjadi cita-citanya yang terbesar. Dan yang demikian tidak mudah di tanah air bagi orang yang meluas kemegahannya dan banyak hubungannya. Maka tidaklah sempurna maksudnya, selain dengan mengasingkan dan menyembunyikan diri. Memutuskan segala hubungan yang tak dapat tidak daripadanya. Sehingga ia melatih dirinya pada waktu yang panjang. Kemudian, kadang-kadang ia ditolong oleh Allah dengan pertolonganNya. Lalu dianugerahiNya nikmat kepadanya, dengan yang menguatkan keyakinannya. Dan menentramkan hatinya. Maka samalah padanya di kampung dan di perjalanan. Dan dekat-mendekatilah padanya, adanya sebab-sebab dan hubungan-hubungan itu atau tidak adanya. Maka tiada suatupun yang menghalanginya dari apa yang sedang dilaksanakannya, daripada dzikir kepada Allah. Dan yang demikian, termasuk hal yang sukar sekali adanya. Bahkan biasanya pada hati itu, ialah kelemahan. Dan singkatnya dari keluasan bagi makhluq dan khaliq. Dan sesungguhnya yang berbahagia dengan kekuatan ini, ialah nabi-nabi dan wali-wali. Dan sampai kepadanya dengan usaha adalah sukar sekali, meskipun ada juga jalan masuk untuk bersungguh-sungguh dan berusaha padanya. Dan contoh lebih kurangnya kekuatan bathiniah padanya, adalah seperti lebih-kurangnya kekuatan dzahiriah pada anggota badan. Maka kadang-kadang seorang laki-laki yang kuat, yang mempunyai cukup kekuatan, sempurna bentuk tubuhnya, kuat urat-uratnya, kokoh bangunan dirinya, dapat membawa sendiri barang yang timbangannya 1000 kati umpamanya. Jikalau seorang lemah yang sakit bermaksud mencapai tingkatannya, dengan membiasakan membawa dan berangsur-angsur padanya sedikit-sedikit, niscaya tiada akan sanggup kepada yang demikian. Tetapi membiasakan dan bersungguh-sungguh itu menambahkan kekuatannya barang sekedarnya. Dan walaupun demikian itu tiada menyampaikannya kepada tingkat orang yang tersebut diatas. Maka tiada seyogyalah ia meninggalkan kesungguhan ketika merasa berputus-asa dari tingkat yang tinggi itu. Maka sesungguhnya yang demikian, adalah bodoh sekali dan sesat benar. Sesungguhnya adalah dari kebiasaan ulama terdahulu (ulama salaf) direlai Allah kiranya mereka itu, berpisah dari tanah air, karena takut dari fitnah. Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Ini zaman buruk. Tak dapat dipercayai pada zaman ini orang yang lemah pikiran. Maka bagaimana pula terhadap orang-orang yang terkenal ? inilah zaman orang berpindah dari satu negeri ke lain negeri. Tiap kali ia sudah dikenal pada suatu tempat, lalu berpindah ke lain tempat”. Abu Na’im berkata:  “Aku melihat Sufyan Ats-Tsuri, telah menggantungkan mangkok airnya di tangannya. Dan meletakkan tempat airnya dari kulit, di punggungnya. Lalu aku bertanya: “Mau kemana, wahai Abu Abdillah ?”. Sufyan Ats-Tsuri menjawab: “Telah sampai berita kepadaku dari suatu desa, dimana harga barang-barangnya murah. Aku ingin tinggal di desa itu”. Maka aku bertanya kepadanya: “Apakah akan engkau laksanakan demikian ?”. Sufyan menjawab: “Ya ! apabila sampai kepadamu, bahwa pada suatu desa, barang-barangnya murah, maka tinggallah di desa itu ! karena yang demikian itu, lebih menyelamatkan agamamu dan lebih menyedikitkan kesusahanmu”. Inilah lari dari kemahalan harga namanya !. Sirri As-Suqthi berkata kepada orang-orang shufi: “Apabila datang musim dingin, maka sesungguhnya telah datang bulan Adzar (bulan Maret). Kayu-kayuan berdaun. Dan baiklah bertebaran. Maka bertebaranlah kamu !”. Orang-orang khawwash (orang-orang tertentu, kuat taatnya kepada Allah), tidak bermukim di suatu negeri melebihi daripada 40 hari. Orang-orang itu termasuk orang-orang yang tawakal. Dan memandang bermukim itu, berperang kepada sebab-sebab, yang merusakkan ketawakalan. Dan akan datang penjelasan rahasia-rahasia berpegang kepada sebab-sebab, pada “Kitab Tawakkal” Insya Allah Ta’ala.
Bahagian keempat: bermusafir karena lari daripada yang merusakkan pada badan, seperti: kolera. Atau pada harta, seperti: kemahalan harga. Atau hal-hal yang berlaku yang seumpama dengan itu. Dan tidaklah berdosa pada yang demikian. Tetapi, kadang-kadang wajib lari pada setengah tempat. Dan kadang-kadang disunatkan pada setengah tempat. Menurut wajibnya dan sunatnya, apa yang teratur atasnya, dari faedah-faedahnya. Tetapi, dikecualikan daripada tadi, ialah penyakit kolera (penyakit tha’un). Maka tiada seyogyalah lari daripadanya, karena datang larangannya. Berkata Usamah bin Zaid: “Rasulullah saw bersabda: “Bahwa penyakit ini atau bahaya ini adalah azab. Telah diazabkan sebahagian umat-umat sebelum kamu dengan penyakit tersebut. Kemudian, ia kekal di bumi sesudahnya. Lalu sekali ia hilang dan datang lagi pada kali yang lain. Maka barangsiapa mendengar penyakit itu pada suatu negeri, maka janganlah datang ke negeri itu ! dan barangsiapa berada di suatu negeri, dimana penyakit tersebut ada, maka janganlah ia dikeluarkan oleh larinya daripadanya !”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kehancuran umatku, ialah dengan kena tusukan tombak (tha’n) dan penyakit kolera (tha’un)”. Lalu aku bertanya: “Tha’un sesungguhnya sudah kami ketahui. Maka tha’un itu apa ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: suatu penyakit, seperti penyakit unta, dimana penyakit itu mengambil mereka pada bahagian bawah perutnya yang halus dan lembut. Muslim yang meninggal daripadanya adalah syahid. Orang yang menetap di tempat itu, yang mencari pahala daripada Allah, adalah seperti orang yang mengikatkan dirinya pada jihad fi sabilillah. Dan orang yang lari daripadanya, adalah seperti orang yang lari dari barisan perang”. Dari Makhul, dimana ia meriwayatkan dari Ummu Aiman, yang mengatakan: “Rasulullah saw menasehatkan setengah sahabatnya, dengan bersabda: “Janganlah engkau mensekutukan Allah dengan sesuatu, walaupun engkau disiksa atau dibakar ! taatilah akan ibu bapakmu ! jikalau keduanya menyuruhkan engkau supaya keluar dari tiap-tiap sesuatu yang menjadi kepunyaan engkau, maka keluarlah daripadanya ! janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja ! sesungguhnya barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka terlepaslah tanggungan Allah daripadanya. Awaslah dari minuman khamar (arak) ! karena khamar itu kunci tiap-tiap kejahatan. Awaslah dari perbuatan ma’siat ! karena perbuatan ma’siat itu memarahkan Allah. Janganlah engkau lari dari barisan perang ! jikalau menimpa manusia oleh banyaknya kematian yang mendahsyatkan dan engkau berada pada mereka, maka tetaplah pada mereka itu ! belanjailah menurut kesanggupanmu kepada ahli baitmu (keluargamu) ! janganlah engkau angkatkan tongkatmu kepada mereka ! takutlah mereka dengan Allah”. Segala hadits tadi menunjukkan kepada lari dari penyakit tha’un itu dilarang. Dan begitu pula datang kepadanya. Dan akan datang uraian itu pada “Kitab Tawakal”. Inilah bahagian-bahagian safar (bermusafir) itu ! dan dipahamkan daripadanya, bahwa safar itu terbagi kepada: tercela, terpuji dan diperbolehkan (mubah). Yang tercela terbagi kepada: haram. Seperti larinya budak dari rumah tuannya dan bermusafir orang yang berbuat kedurhakaan. Dan kepada makruh, seperti keluar dari negeri yang diserang kolera. Dan yang terpuji terbagi kepada: wajib. Seperti mengerjakan ibadah hajji dan menuntut ilmu yang menjadi wajib atas tiap-tiap muslim. Dan kepada: sunat, seperti menziarahi ulama dan menziarahi kuburannya. Dan dari sebab-sebab ini, jelaslah niat pada perjalanan. Karena arti niat, ialah penggerakan sebab, yang menggerakkan dan pembangkitan untuk menyambut panggilannya. Dan hendaklah niatnya itu akhirat dalam segala perjalanannya. Yang demikian itu dzahir pada: yang wajib dan yang sunat. Dan mustahil pada: yang makruh dan yang terlarang. Adapun yang diperbolehkan (mubah), maka tempat kembalinya, ialah kepada niat. Manakala maksudnya mencari harta, umpamanya itu, untuk memelihara diri daripada meminta-minta dan menjaga untuk menutup kehormatan diri isteri dan keluarga dan untuk bersedekah dengan yang berlebih daripada jumlah yang diperlukan, niscaya yang diperbolehkan (mubah) ini, disebabkan niat itu, menjadi setengah dari amalan akhirat. Dan jikalau ia keluar kepada mengerjakan ibadah hajji dan yang menggerakkannya ialah ria dan ingin didengar orang (sum’ah), niscaya keluarlah hajji itu dari amalan akhirat. Karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya segala amalan itu dengan niat”. Maka sabdanya Nabi saw: “Segala amalan dengan niat, adalah umum melengkapi pada yang wajib, yang sunat dan yang diperbolehkan (mubah). Tidak yang dilarang. Karena niat itu, tidaklah mempengaruhi untuk mengeluarkan dari adanya sebagian itu dari yang terlarang”. Setengah ulama terdahulu (salaf) berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewakilkan malaikat, dengan orang-orang musafir, yang akan memperhatikan maksud mereka. Maka masing-masing akan diberikan menurut niatnya. Maka orang yang niatnya itu dunia, niscaya ia diberikan dari dunia. Dan dikurangkan dari akhiratnya beberapa kali lipat. Dan dicerai-beraikan cita-citanya. Dan dibanyakkan kesibukannya dengan kelobaan dan kegemaran kepada dunia. Dan orang yang niatnya akhirat, niscaya ia dianugerahkan dari mata hati (bashirah), hikmah dan kecerdikan. Dan dibukakan baginya ingatan dan pengertian menurut kadar niatnya. Dan dikumpulkan baginya cita-cita. Berdoa baginya para malaikat. Dan para malaikat itu meminta ampunan dosa baginya”. Adapun pandangan tentang: bermusafirkah yang lebih utama atau menetap di tempat sendiri, maka menyerupailah yang demikian dengan pandangan, tentang manakah yang lebih utama, mengasingkan diri (‘uzlah) atau bercampur-baur (mukhalathah). Dan kami telah menyebutkan jalannya pada “Kitab Al-‘Uzlah”. Maka hendaklah dipahami ini dari yang tersebut itu !. Sesungguhnya perjalanan jauh (safar) itu, adalah semacam percampur-bauran dengan manusia, serta tambahan keletihan dan kesukaran. Yang mencerai-beraikan cita-cita. Dan menghancur-lumatkan hati pada kebanyakan orang. Dan yang lebih utama mengenai ini, ialah apa yang lebih menolong kepada agama. Dan kesudahan buah agama di dunia ini, ialah menghasilkan pengenalan (ma’rifah) Allah Ta’ala. Dan menghasilkan kejinakan hati dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kejinakan hati itu berhasil dengan berkekalan dzikir. Dan ma’rifah itu berhasil dengan berkekalan fikir. Orang yang tiada mempelajari jalan fikir dan dzikir, niscaya tiada dapat bertekun pada keduanya. Dan safar (bermusafir) itu, ialah penolong kepada mempelajarinya pada langkah permulaan. Dan menetap di tempat sendiri, ialah penolong kepada mengamalkan ilmu itu pada langkah penghabisan. Adapun mengembara di bumi terus-menerus, adalah setengah daripada yang mengacaukan hati. Kecuali bagi orang-orang kuat. Karena seorang musafir itu dan hartanya, berada pada kekacauan, kecuali apa yang dipeliharai Allah. Maka senantiasalah seorang musafir itu, berkebimbangan hati. Sekali, dengan ketakutan terhadap dirinya sendiri dan hartanya. Sekali, dengan sebab berpisah dengan apa yang dijinakkan hatinya dan dibiasakannya pada tempatnya sendiri. Jikalau tidak ada harta yang ditakuti hilangnya, maka seorang musafir itu tiada terlepaslah dari sifat kelobaan dan perhatian kepada orang lain. Sekali, lemahlah hatinya disebabkan kemiskinan. Sekali, kuatlah dengan kokohnya sebab-sebab kelobaan. Kemudian, pekerjaannya dengan turun-naik, mengganggu semua hal-ikhwalnya. Dari itu, maka tiada seyogyalah seorang murid (orang yang mencari jalan akhirat) itu bermusafir, selain pada menuntut ilmu. Atau melihat wajah syaikh (guru) yang akan diikuti jejaknya. Dan diperoleh faedah kegemaran pada kebajikan dengan melihat wajahnya. Karena sesungguhnya, orang yang bekerja dengan dirinya (dengan terus-menerus dzikir dalam hati), memperoleh bashirah (mata hati) padanya dan terbuka baginya jalan fikiran atau amalan, maka menetap di tempatnya sendiri adalah lebih utama baginya. Hanya, kebanyakan kaum shufi masa ini, tatkala bathinnya kosong dari fikiran-fikiran dan amalan-amalan yang halus dan tiada berhasil baginya kejinakan hati dengan Allah Ta’ala dan dengan dzikir kepadaNya kepada khilwah dan mereka itu orang-orang penganggur, tiada berusaha dan bekerja, mereka telah menyukai pengangguran. Mereka merasa berat bekerja. Merasa sukar menempuh jalan usaha. Merasa lebih enak meminta-minta dan meminta pertolongan pada orang. Merasa lebih baik tinggal di langgar-langgar yang dibangun untuk mereka di desa-desa. Mereka menggunakan tenaga-tenaga pelayan tanpa upah, dimana pelayan-pelayan itu bangun menegakkan pengkhidmatan bagi kaum shufi. Mereka memandang ringan akal pikiran dan agama pelayan-pelayan itu, dimana maksud mereka dengan menggunakan tenaga pelayan tadi, tidak lain melainkan ria (memperlihatkan kepada orang), sum’ah (didengar orang), berkembang suara diantara orang banyak dan memungut harta dengan jalan meminta, beralasan dengan banyak pengikut. Maka mereka di langgar-langgar itu sebenarnya tiada mempunyai wewenang yang ditaati, pengajaran yang bermanfaat bagi murid-muridnya dan pencegahan yang memaksa mereka dari hal yang tiada layak. Mereka memakai pakaian yang berlapis-lapis, membuat tempat-tempat yang menghiburkan di pondok-pondok. Kadang-kadang mereka menghapal kata-kata yang terhias, berasal daripada orang-orang yang berbuat munkar. Lalu mereka memandang kepada dirinya sendiri dan telah menyerupai dengan kaum shufi pada pakaian, pengembaraan, kata-kata dan tutur ibarat pada sopan-santun yang dzahir dari perjalanan hidup mereka. Maka mereka menyangka dirinya baik. Mereka mengira berbuat perbuatan yang baik. Dan meyakini bahwa tiap-tiap yang hitam itu biji tamar. Menyangka bahwa perkongsian pada dzahir itu, mengharuskan memperoleh pembahagian pada bathin. Amat jauhlah yang demikian ! alangkah tebalnya kebodohan orang yang tidak dapat membedakan, antara lemak dan bengkak. Maka mereka itu adalah orang-orang yang dimarahi Allah. Sesungguhnya Allah Ta’ala memarahi pemuda yang kosong waktunya dari pekerjaan. Dan tiada membawa mereka kepada mengembara, selain oleh kemudaan dan kekosongan waktu dari pekerjaan. Kecuali orang yang bermusafir untuk hajji atau ‘umrah, dengan tidak ria dan sum’ah. Atau bermusafir untuk melihat wajah syaikh, yang akan diikuti tentang ilmunya dan perjalanan hidupnya. Telah sunyilah negeri sekarang dari yang demikian. Urusan-urusan keagamaan semuanya telah rusak dan lemah, selain tashawuf. Tashawuf itu telah tersapu secara keseluruhan dan telah batil. Karena ilmu pengetahuan itu tidak terbenam. Orang yang berilmu (alim), walaupun ia orang berilmu yang jahat (ulama su’), maka sesungguhnya kerusakannya adalah pada tindak-tanduknya. Tidak pada ilmu pengetahuannya. Maka ia tetap sebagai seorang yang berilmu (orang alim), yang tiada berbuat menurut ilmunya. Amalan itu, lain dari ilmu. Adapun tashawuf, ialah ibarat dari menjuruskan hati kepada Allah Ta’ala. Dan memandang hina selain Allah. Hasilnya kembali kepada amalan hati dan anggora badan. Manakala telah rusak amal-perbuatan, niscaya hilanglah pokok. Dan pada perjalanan jauh orang-orang shufi itu, ada pandangan bagi ulama-ulama fiqh, di mana perjalanan itu meletihkan diri, tanpa faedah. Kadang-kadang dikatakan, bahwa perjalanan orang-orang tashawuf itu dilarang. Tetapi yang betul pada kami, ialah bahwa menghukumkannya dengan: dibolehkan (ibahah). Bahwa kesenangan yang diperoleh mereka, ialah memperoleh kelegaan dari bencana: menganggur, dengan menyaksikan berbagai negeri. Dan kesenangan ini walaupun dia itu buruk, maka jiwa orang-orang yang bergerak untuk kesenangan ini juga buruk. Dan tiada mengapa melelahkan hewan buruk, untuk kesenangan buruk yang layak dan yang kembali kepadanya. Maka ia memperoleh kesakitan dan kelezatan. Dan fatwa itu menghendaki penghancuran orang awam, pada pekerjaan-pekerjaan mubah, yang tak ada manfaat dan melarat padanya. Maka orang-orang yang mengembara dalam hal yang tidak penting, pada agama dan dunia, tetapi untuk kesenangan semata-mata di dalam negeri-negeri yang dikunjungi, adalah seperti binatang ternak yang pulang-pergi di padang sahara. Maka tiada mengapalah pengembaraan mereka itu, selama mereka mencegah kejahatannya pada manusia. Dan tidak meragukan orang banyak tentang tingkah lakunya. Sesungguhnya kema’siatan mereka, ialah pada meragukan itu dan meminta-minta atas nama tashawuf. Dan memakan harta waqaf yang diwaqafkan kepada orang shufi. Karena yang dimaksudkan dengan orang shufi ialah: orang shalih, adil (jujur) pada agamanya, serta sifat-sifat yang lain di belakang keshalihannya itu. Dan sekurang-kurang sifat keadaan mereka tadi, ialah memakan harta sultan (penguasa). Dan memakan harta haram itu termasuk dosa besar. Maka tak adalah padanya lagi keadilan dan keshalihan serta memakan haram. Jikalau dapatlah digambarkan orang shufi yang fasiq, niscaya dapat pula digambarkan orang shufi yang kafir dan ahli fiqh yang beragama Yahudi. Dan sebagaimana ahli fiqh (faqih) itu dimaksudkan seorang muslim tertentu, maka seorang shufipun dimaksudkan seorang adil tertentu. Yang tidak teledor pada agamanya, diatas kadar yang menghasilkan keadilan. Begitupula orang yang memandang kepada dzahiriah mereka dan tidak mengenal bathiniahnya dan memberikan kepada mereka itu hartanya, diatas jalan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala, niscaya haramlah mereka itu mengambilnya. Dan adalah yang dimakan mereka itu haram. Dan yang aku maksudkan, ialah apabila yang memberi itu, dimana jikalau diketahuinya bathiniah keadaan mereka, niscaya tidaklah diberikannya. Maka mengambilkan harta dengan mendzahirkan ketashawufan, tanpa bersifat dengan hakikat ketashawufan yang sebenarnya, adalah seperti mengambilkan harta itu, dengan mendzahirkan keturunan Rasulullah saw atas jalan menda’wakan dirinya keturunan Nabi saw. Dan barangsiapa menda’wakan dirinya keturunan Saidina Ali ra dan dia itu membohong dan ia diberikan oleh seorang muslim harta kepadanya, karena kecintaannya kepada keluarga Nabi saw dan jikalau yang memberi itu mengetahui bahwa yang menerima itu berdusta, niscaya tidak akan diberikannya sedikitpun, maka mengambilkan diatas cara yang demikian itu haram. Begitupula orang shufi. Dan karena inilah, orang-orang yang berhati-hati menjaga diri daripada memakan dengan nama agama. Sesungguhnya orang yang bersangatan berhati-hati untuk agamanya, senantiasalah pada bathinnya hal-hal yang harus ditutup (aurat), yang jikalau terbukalah bagi orang yang ingin menolongnya, niscaya lemahlah keinginan orang itu untuk menolong. Maka tidak dapat dibantah, adalah mereka itu tidak membeli sesuatu oleh mereka itu sendiri. Karena takut nanti, mereka itu dimaafkan (tidak diminta harga atau dikurangi) karena keagamaan mereka. Maka jadilah mereka itu memakan disebabkan agama. Mereka itu mewakilkan kepada orang yang akan membelikan untuk mereka. Dan mereka mensyaratkan kepada orang yang diwakilkan itu, bahwa tidak menerangkan, untuk siapa dibelinya barang itu. Ya, sesungguhnya halal mengambil apa yang diberikan orang karena agama, apabila yang mengambil itu, jikalau yang memberi mengetahui bathinnya, akan apa yang diketahui oleh Allah Ta’ala, niscaya tidaklah yang demikian itu membawa kelemahan pendapatnya tentang orang itu. Dan orang yang berakal lagi sadar itu, mengetahui dari dirinya sendiri bahwa yang demikian itu terlarang atau soal besar. Dan orang yang tertipu yang bodoh tentang dirinya, adalah lebih layak, bahwa ia bodoh tentang urusan agamanya. Maka sesungguhnya barang yang terdekat kepada bentuknya, ialah hatinya. Apabila tersembunyi kepadanya keadaan hatinya, maka bagaimanakah terbuka baginya yang lain ? Orang yang mengenal akan hakikat ini, niscaya sudah pasti tidak akan makan, selain dari usahanya sendiri. Supaya ia terpelihara dari marabahaya ini. Atau ia tidak akan makan, selain dari harta orang yang diketahuinya dengan pasti, bahwa jikalau terbukalah bagi orang itu bathinnya yang tersembunyi, niscaya tidak mencegah yang demikian kepada orang itu untuk menolongnya. Jikalau diperlukan oleh orang yang mencari halal dan orang yang menghendaki jalan akhirat, kepada mengambil harta orang lain, maka hendaklah ditegaskannya dan dikatakannya kepada orang yang punya harta itu: “Sesungguhnya jikalau engkau memberikan kepadaku karena sesuatu yang engkau percaya padaku dari hal agama, maka tidaklah aku berhak yang demikian. Dan jikalau Allah Ta’ala menyingkapkan yang tertutup padaku, niscaya engkau tidak akan melihat aku dengan mata penghormatan. Bahkan engkau berkepercayaan, bahwa aku adalah makhluq yang terjahat atau dari orang-orang yang jahat”. Maka jikalau diberikannya juga serta yang demikian, maka hendaklah diambilnya ! sesungguhnya kadang-kadang orang itu suka kepadanya akan keadaan yang begini. Yaitu: pengakuan terhadap dirinya sendiri dengan kelemahan agama dan tidak berhaknya apa yang akan diambilnya itu. Tetapi, disini pengicuhan bagi diri sendiri yang nyata, dan penipuan. Maka hendaklah diperhatikan ! yaitu: kadang-kadang ia mengatakan yang demikian, untuk mendzahirkan, bahwa ia menyerupai dengan orang-orang shalih, tentang mencela dan menghinakan dirinya dan memandangnya dengan mata cacian dan hinaan. Maka adalah perkataannya itu berbentuk cacian dan hinaan, sedang bathin dan jiwanya adalah berbentuk pujian dan sanjungan. Maka berapa banyak orang yang mencela dirinya sendiri, padahal ia memujinya dengan mata celaan. Mencela diri dalam khilwah serta sendirian, adalah terpuji. Adapun mencela diri di hadapan orang banyak, maka adalah: Ria sebenarnya. Kecuali apabila ia membuat yang demikian, dengan cara yang mendatangkan keyakinan bagi pendengar, bahwa ia telah berbuat dosa dan mengakui dosa itu. Dan yang demikian, termasuk mungkin memahamkannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan mungkin meragukannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan orang yang benar, diantara ia sendiri dan Allah Ta’ala, mengetahui bahwa penipuannya akan Allah ‘Azza Wa Jalla atau penipuannya akan dirinya sendiri, adalah mustahil. Maka tiada sukar padanya menjaga diri, daripada hal-hal yang seperti demikian. Maka inilah yang merupakan perkataan tentang bermacam-macam safar/perjalanan jauh, niat orang yang melakukan safar (orang yang bermusafir) dan keutamaan safar!.
PASAL KEDUA: tentang adab orang yang bermusafir, dari permulaan keberangkatannya, sampai kepada penghabisan kembalinya. Yaitu 11 perkara:
Pertama: dimulai dengan mengembalikan segala hak orang yang diambil dengan kedzaliman, membayar hutang-hutang dan menyediakan perbelanjaan untuk orang yang harus dibelanjainya. Dan mengembalikan segala simpanan orang kalau ada padanya. Dan tidak diambilnya untuk perbekalan dalam perjalanan, selain yang halal dan baik. Hendaklah perbekalan itu dibawa sekedar yang dapat melapangkan kesulitan bagi teman-temannya. Ibnu Umar ra berkata: “Setengah daripada kemuliaan seseorang, ialah baik perbekalannya dalam perjalanan (safarnya)”. Tak boleh tidak dalam perjalanan itu, perkataan yang baik, memberikan makanan kepada orang yang mendzahirkan kemuliaan budi dalam perjalanan. Sesungguhnya perjalanan itu mengeluarkan segala yang tersembunyi dalam bathin. Siapa yang baik untuk menjadi teman dalam perjalanan, niscaya ia baik untuk menjadi teman di tempat sendiri (tidak dalam perjalanan). Kadang-kadang baik di tempat sendiri, orang yang tidak baik dalam perjalanan. Dan karena itulah dikatakan: “Apabila seseorang dipujikan oleh orang-orang yang bergaul dengan dia, di tempat tinggalnya dan oleh teman-temannya dalam perjalanan, maka janganlah kamu ragu-ragu tentang baiknya !”. Safar adalah setengah dari sebab-sebab yang membosankan. Orang yang baik budi-pekertinya pada waktu yang membosankan, adalah orang yang baik budi. Kalau tidak demikian, maka ketika memberi pertolongan yang bersesuaian dengan maksud, niscaya sedikitlah menampak keburukan budi. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “3 orang tidak dicaci pada keadaan yang membosankan, yaitu: orang yang berpuasa, orang yang sakit dan orang yang bermusafir”. Kesempurnaan baiknya budi orang yang bermusafir itu, ialah berbuat baik kepada pelayannya. Menolong teman dengan segala kemungkinan. Dan berbelas-kasihan kepada semua orang yang berkeputusan, dengan tidak melewatinya, kecuali dengan memberi pertolongan kendaraan atau perbekalan atau berhenti karenanya. Kesempurnaan yang demikian dengan teman-teman ialah dengan bersenda-gurau dan berbaik-baikan pada sebahagian waktu, tanpa ada kekejian dan kema’siatan. Dan hendaklah yang demikian itu untuk obat kejemuan dan kesukaran safar !
Kedua: bahwa ia memilih teman. Maka janganlah keluar sendirian. Yang pertama teman, kemudian jalan yang akan ditempuh dalam perjalanan. Hendaklah teman itu orang yang menolongnya kepada agama. Maka teman itu yang akan mengingatkannya apabila ia lupa. Yang akan menolong dan membantunya, apabila ia ingat. Sesungguhnya manusia itu adalah menurut agama temannya. Dan orang tidak dikenal, kecuali dengan temannya. Nabi saw melarang bermusafir sendirian. Dan bersabda: “3 orang itu satu kumpulan”. Dan bersabda pula: “Apabila kamu 3 orang dalam perjalanan, maka angkatlah seorang menjadi kepala !”. Adalah mereka (para sahabat) berbuat demikian dan mengatakan: “Inilah amir (kepala) kami, yang diangkat oleh Rasulullah saw”. Hendaklah diangkat menjadi kepala yang terbaik akhlaq, yang lebih belas-kasihan kepada teman, yang lebih cepat bertindak mengutamakan orang lain dan mencari persetujuan teman. Sesungguhnya diperlukan kepada kepala (amir), karena pendapat-pendapat itu berlainan pada menentukan tempat, jalan dan kemuslihatan perjalanan. Dan tak ada aturan, selain pada sendirian. Dan tak ada kerusakan, selain pada banyak orang. Dan sesungguhnya teraturlah urusan alam ini, karena yang mengatur semuanya adalah Esa: “Jikalau ada pada langit dan bumi tuhan-tuhan, selain Allah, niscaya rusaklah keduanya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Manakala Yang Mengatur itu Esa, niscaya teraturlah urusan pengaturan. Dan apabila banyak yang mengatur, niscaya rusaklah urusan di tempat sendiri dan di perjalanan. Hanya di tempat penetapan (tempat berdomisili), tidaklah kosong dari kepala umum (amir ‘amm), seperti kepala kampung. Dan kepala khusus (amir khash), seperti pemimpin rumah tangga. Adapun perjalanan (safar), maka tidaklah tertentu padanya seorang kepala (amir), melainkan dengan pengangkatan. Karena itulah, pengangkatan kepala itu wajib. Supaya terkumpullah segala pendapat yang bercerai-berai. Kemudian, menjadi keharusan atas kepala, bahwa ia tidak memperhatikan, selain untuk kepentingan orang banyak. Dan menjadikan dirinya untuk penjagaan mereka, sebagaimana dinuqilkan dari Abdullah Al-Maruzi, bahwa ia ditemani oleh Abu ‘Ali Ar-Ribathi. Lalu ia bertanya: “Bahwa engkau yang menjadi kepala atau aku ?”. Abu ‘Ali Ar-Ribathi menjawab: “Engkau !”. Maka senantiasalah Abdullah memikul perbekalan untuk dirinya sendiri dan untuk Abu ‘Ali di atas punggungnya. Pada suatu malam turunlah hujan. Lalu Abdullah berdiri sepanjang malam pada kepala temannya. Dan pada tangannya kain, dimana ia mencegah hujan daripada temannya itu. Setiap kali Abu ‘Ali Ar-Ribathi berkata kepadanya: “Hai Abdullah, jangan engkau berbuat demikian !”. Lalu Abdullah menjawab: “Apakah tidak engkau mengatakan, bahwa pimpinan diserahkan kepadaku ? maka janganlah engkau menetapkan sesuka hatimu atas diriku ! dan janganlah engkau menarik perkataanmu !”. Sehingga berkatalah Abu ‘Ali: “Aku ingin bahwa aku mati dan tidak mengatakan kepada Abdullah: ‘Engkau kepala !”. Maka demikianlah seyogyalah kepala itu. Dan Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik teman itu 4 orang”. Penentuan 4 diantara bilangan-bilangan yang lain itu, tak boleh tidak, padanya ada faedah. Dan yang membekas pada pemikiran, ialah bahwa seorang musafir itu, tidaklah terlepas dari seorang laki-laki yang memerlukan kepada pemeliharaan dan dari keperluan yang selalu diperlukannya. Jikalau mereka itu 3 orang, niscaya adalah yang mengurus keperluan kesana-kemari, seorang. Maka ia kesana-kemari dalam perjalanan itu, tanpa teman. Sehingga ia tidak terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan hati. Karena ketiadaan kejinakan hati teman. Jikalau yang kesana-kemari mengurus keperluan itu dua orang, niscaya yang menjadi penjaga bagi orang itu seorang. Maka tidak juga ia terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan dada (sesak pikiran). Jadi, kurang daripada 4 orang, tidaklah menyempurnakan maksud. Dan diatas dari 4 orang adalah lebih. Maka mereka tiada dihimpunkan oleh suatu ikatan. Maka tiadalah terjalin diantara mereka kasih-mengasihani. Karena orang ke-5 itu lebih daripada yang diperlukan. Dan orang yang tiada diperlukan itu, tidaklah menjurus cita-cita kepadanya. Lalu tiadalah sempurna persahabatan bersama dia. Ya, pada banyaknya teman-teman itu ada faedahnya, untuk keamanan daripada segala yang ditakuti. Tetapi 4 orang adalah lebih baik bagi persahabatan khusus. Tidak bagi persahabatan umum. Berapa banyak teman di jalan ketika banyaknya teman, yang tidak bercakap-cakap. Dan tidak bercampur-baur sampai kepada akhir perjalanan. Karena tidak diperlukan kepadanya.
Ketiga: mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman di tempat, kepada keluarga dan handai-tolan. Dan hendaklah mendoa ketika berpisah itu, dengan doa Rasulullah saw ! Setengah mereka itu berkata: “Aku menemani Abdullah bin Umar ra dari Makkah ke Madinah dijagakan Allah kiranya Madinah itu. Tatkala aku bermaksud berpisah dengan dia, lalu ia mengucapkan kata-kata perpisahan kepadaku dan berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Lukman berkata: ‘Bahwa Allah Ta’ala apabila menerima simpanan akan sesuatu, niscaya dipeliharakannya. Dan aku menyimpankan pada Allah agamamu, amanahmu dan segala kesudahan amalanmu”. Zaid bin Arqam meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Apabila bermaksud seseorang dari kamu bermusafir, maka hendaklah mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan barakah baginya pada doa mereka itu”. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari neneknya, bahwa Rasulullah saw apabila mengucapkan selamat jalan kepada seseorang, bersabda: “Diperbekali engkau kiranya oleh Allah dengan taqwa. DiampunkanNya dosa engkau. Dan dihadapkanNya engkau kepada kebajikan, kemana saja engkau menuju”. Inilah doa orang yang tinggal untuk orang yang diucapkan selamat jalan. Musa bin Wardan berkata: “Aku datangi Abu Hurairah ra, dimana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku maksudkan. Lalu beliau berkata: “Apakah tidak aku ajarkan kamu, wahai anak saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah saw ketika mengucapkan kata perpisahan ?”. Maka aku menjawab: “Belum !”. Maka beliau menyambung: “Katakanlah ! aku petaruhkan engkau pada Allah, yang tidaklah hilang segala petaruhan padaNya”. Dari Anas bin Malik ra, bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw lalu berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud bermusafir, maka berilah nasehat kepadaku !”. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah ! diberilah kiranya perbekalan taqwa kepada engkau oleh Allah ! diampunkanNya dosa engkau ! dihadapkanNya engkau kepada kebajikan, kemana saja engkau berada atau dimana saja engkau berada !”. Perawi hadits ini ragu, apakah Nabi saw mengucapkan: kemana saja atau dimana saja. Seyogyalah apabila mempertaruhkan kepada Allah Ta’ala, apa yang ditinggalkan, bahwa dipertaruhkannya keseluruhan, tidak ditentukan secara khusus. Diriwayatkan, bahwa Umar ra memberikan kepada orang banyak bermacam-macam pemberian bagi mereka. Ketika datang kepadanya seorang laki-laki bersama puteranya. Lalu Umar ra berkata kepada orang itu: “Belum pernah aku melihat seseorang yang serupa dengan seseorang, dari anak ini dengan engkau !”. Lalu orang itu berkata kepada Umar ra: “Akan aku terangkan kepada engkau tentang anak itu sesuatu, wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku bermaksud bermusafir dan ibunya waktu itu sedang mengandung dia. Maka ibunya mengatakan: “Engkau pergi dan meninggalkan aku dalam keadaan yang begini”. Lalu aku menjawab: “Aku pertaruhkan pada Allah, apa yang dalam perut engkau”. Lalu aku pergi. Kemudian, aku kembali. Rupanya, ibunya telah meninggal dunia. Maka duduklah kami bercakap-cakap. Tiba-tiba kelihatan api diatas kuburannya. Lalu aku bertanya kepada orang banyak: “Apakah api itu ?”. Orang banyak menjawab: “Api itu dari kuburan si Anu, dimana kami melihatnya tiap-tiap malam”. Maka aku menyambung: “Demi Allah ! sesungguhnya wanita itu selalu berpuasa dan menegakkan shalat". Lalu aku mengambil cangkul, pergi sehingga sampailah kami ke kuburan itu. Lalu kami gali. Tiba-tiba kelihatan pelita. Dan tiba-tiba budak kecil ini merangkak-rangkak. Maka orang mengatakan kepadaku: “Bahwa ini adalah petaruhmu (simpananmu). Jikalau engkau mempertaruhkan ibunya, niscaya engkau akan mendapatinya”. Maka Umar ra berkata: “Sesungguhnya budak ini amat serupa dengan engkau, dibandingkan burung gagak dengan burung gagak”.
Keempat: bahwa ia mengerjakan shalat sebelum bermusafir, selaku shalat istikharah (shalat memohonkan kebajikan pada Tuhan). Sebagaimana telah kami terangkan pada “Kitab Shalat”. Dan waktu keluar untuk safar itu, dikerjakan shalat karena safar. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Sesungguhnya aku bernadzar akan bermusafir. Dan telah aku tuliskan wasiatku. Maka kepada siapakah dari orang tiga, aku serahkan wasiat itu ? kepada puteraku atau kepada saudaraku atau ayahku ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Tiadalah seorang hamba meninggalkan pada keluarganya suatu peninggalan, yang lebih disukai Allah, daripada 4 rakaat shalat, yang dikerjakannya di rumahnya, apabila ia telah mengikatkan kain-kain perjalanannya. Ia membaca pada rakaat-rakaat itu surat “Al-Fatihah” dan “Qulhuwallaahu ahad”. Kemudian ia membaca doa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku menghampirkan diriku kepadaMu dengan shalat 4 rakaat ini. Maka gantikanlah akan aku dengan dia pada keluargaku dan hartaku ! maka shalat 4 rakaat itu menjadi khalifah (penggantinya) pada keluarganya dan hartanya. Dan penjagaan keliling rumahnya. Sampai ia kembali kepada keluarganya”.
Kelima: apabila telah berada di pintu rumah, maka hendaklah membaca: “Dengan nama Allah, aku menyerah diri (bertawakkal) kepada Allah. Tiada daya dan upaya, melainkan dengan Allah. Wahai Tuhan ! aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku akan menyesatkan atau aku disesatkan. Bahwa aku akan memperosokkan orang atau aku diperosokkan orang. Bahwa aku akan mendzalimi orang atau aku didzalimi orang. Bahwa aku akan membodohi orang atau aku dibodohi orang !”. Apabila ia berjalan, lalu membaca doa, yang artinya: “Wahai Allah Tuhanku ! dengan Engkau, aku berkembang. Kepada Engkau, aku bertawakal. Dengan Engkau, aku berpegang. Dan kepada Engkau, aku menghadapkan wajahku. Wahai Allah Tuhanku ! Engkaulah kepercayaanku dan Engkaulah harapanku ! maka cukupkanlah akan aku, apa yang penting bagiku dan apa yang tidak aku pentingkan dan apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Mulialah tetangga Engkau dan agunglah pujian bagi Engkau. Dan tiadalah Tuhan selain Engkau ! Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah bagiku perbekalan taqwa ! ampunilah dosaku ! dan hadapkanlah aku kepada kebajikan, kemana saja aku menghadap !”. Hendaklah doa ini dibaca pada tiap-tiap tempat, dimana ia akan berangkat dari tempat itu ! Apabila telah mengendarai kendaraan, maka hendaklah membaca: “Bismillah wabillah wallaahu akbar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan tiada upaya, melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Apa yang dikehendaki oleh Allah, niscaya ada dan apa yang tiada dikehendakiNya, niscaya tidak ada. Maha Suci Allah yang telah mengadakan –semua- ini untuk kita dan kita tak dapat mengendalikannya (hanya dengan kurnia Tuhan). Dan sesungguhnya kita akan kembali kepada Tuhan kita !”. Apabila kendaraan telah lurus di bawahnya, maka hendaklah membaca: “Segala pujian bagi Allah yang menunjukkan kita kepada pekerjaan ini. Dan sesungguhnya tidaklah kita memperoleh petunjuk, jikalau tidak ditunjuki oleh Allah. Wahai Allah Tuhanku ! Engkaulah yang membawa diatas punggung (kendaraan ini) dan Engkaulah yang menolong atas segala pekerjaan !”.
Keenam: bahwa bertolak dari rumah pada pagi-pagi hari. Diriwayatkan oleh Jabir: “Bahwa Nabi saw berangkat pada hari Kamis. Beliau bermaksud ke Tabuk. Dan berangkat pada pagi-pagi hari. Dan berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya barakah bagi umatku pada kepagiannya !”. Disunatkan memulai keluar bermusafir pada hari Kamis. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ka’b bin Malik dari bapaknya, yang mengatakan: “Amat sedikitlah Rasulullah saw keluar untuk bermusafir, selain pada hari Kamis”. Diriwayatkan oleh Anas bahwa Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya barakah bagi umatku pada kepagiannya hari Sabtu !”. Dan Rasulullah saw apabila mengutus suatu pasukan, maka diutuskannya pada pagi hari. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya bagi umatku barakah pada kepagiannya pada hari Kamisnya !”. Abdullah bin Abbas berkata: “Apabila engkau mempunyai suatu keperluan kepada seseorang, maka mintalah keperluan itu daripadanya, pada siang hari ! dan janganlah engkau minta pada malam hari ! dan mintalah pada pagi hari ! sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw berdoa: “Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa”. Artinya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya barakah bagi umatku pada kepagiannya !”. Dan tiada seyogyalah bermusafir sesudah terbit fajar dari hari Jum’at. Maka ia menjadi ma’siat dengan meninggalkan Jum’at. Dan harinya disangkutkan kepada Jum’at. Maka permulaannya hari itu adalah setengah daripada sebab-sebab wajibnya Jum’at. Mengantarkan orang musafir untuk perpisahan adalah disunatkan. Yaitu sunnah Nabi saw. Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya bahwa aku mengantarkan mujahid (pejuang) fi sabilillah, lalu aku mengelilinginya diatas kendaraannya pada pagi-pagi atau petang-petang, adalah lebih aku sukai dari dunia dan isinya”.
Ketujuh: tidak berhenti, sebelum siangnya panas. Dan itu adalah sunat. Dan adalah kebanyakan perjalanannya itu pada malam. Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu berjalan pada malam ! sesungguhnya bumi itu dilipatkan di malam hari, apa yang tidak dilipatkan di siang hari”. Manakala telah dekat kepada tempat perhentian, maka hendaklah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! yang memiliki 7 petala langit dan apa dinaunginya. Yang memiliki 7 petala bumi dan apa yang dibawanya. Yang memiliki setan-setan dan apa disesatkannya. Yang memiliki segala angin dan apa yang diterbangkannya. Dan Yang memiliki segala laut dan apa yang dialirkannya. Aku bermohon kepadaMu akan kebajikan tempat ini dan kebajikan penduduknya ! aku berlindung denganMu daripada kejahatan tempat ini dan kejahatan isinya ! singkirkanlah daripadaku kejahatan orang-orang jahat dari mereka !”. Apabila telah bertempat pada suatu tempat, maka hendaklah mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan kalimah-kalimah Allah yang sempurna, yang tidak akan dilampaui oleh orang baik dan oleh orang jahat, daripada kejahatan apa yang dijadikanNya”. Apabila telah datang malam, maka hendaklah berdoa: “Wahai bumi Tuhanku ! Tuhanmu Allah, aku berlindung dengan Allah, daripada kejahatanmu daripada kejahatan isimu dan daripada kejahatan apa-apa yang merangkak-rangkak di atasmu. Aku berlindung dengan Allah, daripada kejahatan tiap-tiap singa dan singa-singa, ular dan kalajengking. Dan dari kejahatan penduduk negeri, bapak dan anaknya. Kepunyaan Tuhan, apa yang mendiami pada malam dan siang. Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Manakala ia meninggi pada tempat yang tinggi dari bumi pada waktu perjalanan, maka seyogyalah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bagi Engkaulah ketinggian di atas tiap-tiap ketinggian ! bagi Engkaulah pujian di atas tiap-tiap hal keadaan !”. Manakala menurun, niscaya membaca tasbih. Dan manakala takut kesepian dalam perjalanan, niscaya membaca: “Maha Suci Tuhan Yang Memiliki, Yang Maha Suci, Tuhan bagi segala malaikat dan roh, agunglah segala langit dengan kemuliaan dan keperkasaan”.
Kedelapan: bahwa menjaga diri di siang hari. Tidak berjalan sendirian, keluar dari rombongan (qafilah). Karena kadang-kadang diculik atau terputus dari teman. Dan di malam hari menjaga diri ketika tidur. Nabi saw apabila tidur pada permulaan malam dalam perjalanan, beliau merebahkan kedua lengannya. Dan kalau beliau tidur pada akhir malam, beliau menegakkan kedua lengannya dan meletakkan kepalanya pada tapak tangannya. Maksudnya yang demikian itu, bahwa beliau tidak tidur nyenyak. Lalu terbit matahari dan beliau itu tidur tiada mengetahuinya. Lalu yang luput dari shalat, menjadi lebih utama daripada yang dicarinya dengan perjalanan. Disunatkan pada malam hari, berganti-gantian menjaga dengan teman-teman. Apabila tidur seorang, maka yang lain menjaga. Ini adalah sunnah Nabi saw. Dan manakala musuh bermaksud kepadanya atau binatang buas pada malam atau siang hari, maka hendaklah, membaca Ayatul-kursi, Syahidallaahu, surat Al-Ikhlash (Qulhuwalaahu) dan Al-Mu’awwadzatain (Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul-a’uudzu birabbin-naas). Dan hendaklah membaca: “Bismillah”, dengan nama Allah, apa yang dikehendaki Allah. Tiada kekuatan melainkan dengan Allah. Mencukupilah bagiku Allah. Aku bertawakkal kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang mendatangkan segala kebajikan melainkan Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang menjauhkan yang jahat, melainkan Allah. Mencukupilah bagiku Allah dan memadailah. Allah mendengar siapa yang berdoa. Tiadalah di belakang Allah tempat kesudahan. Dan tiadalah pada bukan Allah tempat meminta santunan. Telah ditetapkan oleh Allah: “Sesungguhnya Aku dan rasul-rasulKu pasti menang ! sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Kuasa. Aku membentengi diri dengan Allah Yang Maha Agung. Dan meminta pertolongan dengan Yang Hidup, Yang Berdiri sendiri, yang tidak mati. Wahai Allah Tuhanku ! jagailah kami dengan MataMu yang tiada tidur ! kelilingilah kami dengan kemegahanMu yang tidak dapat dipatahkan ! wahai Allah Tuhanku ! kasihanilah kami dengan qudrahMu kepada kami ! maka kami tiada binasa. Engkaulah kepercayaan dan harapan kami. Wahai Allah Tuhanku ! lembutkanlah kepada kami hati hamba-hambaMu yang laki-laki dan yang wanita, dengan belas-kasihan dan kasih-sayang ! sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari orang-orang yang pengasih”.
Kesembilan: berbelas-kasihan kepada binatang kendaraan, kalau berkendaraan. Maka tidaklah dipikulkan ke atas binatang kendaraan itu, yang tidak disanggupinya. Dan tidak dipukul pada mukanya. Karena yang demikian itu dilarang. Dan tidak tidur di atas binatang kendaraan. Karena memberatkan dengan tidur dan menyakitkan binatang itu. Dan orang-orang wara’ tidak tidur atas binatang kendaraan, kecuali tidur sejenak. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu membuat punggung binatang kendaraanmu menjadi kursi”. Disunatkan turun dari binatang kendaraan pada pagi dan petang hari, yang menyenangkan binatang kendaraan dengan demikian. Itu adalah sunnah Nabi saw. Dan atsar dari ulama-ulama terdahulu (salaf), tentang itu. Setengah salaf menyewa binatang kendaraan dari pemiliknya, dengan syarat dia tidak turun dan menyempurnakan sewanya. Kemudian ia turun, supaya dengan demikian, ia berbuat ihsan (berbuat baik) kepada binatang kendaraan. Maka ihsan itu diletakkan pada neraca amalan kebaikannya. Tidak pada neraca amalan kebaikan orang yang mempersewakan. Dan orang yang menyakiti binatang dengan pukulan atau beban yang tidak disanggupinya, niscaya dituntut pada hari qiamat. Karena pada tiap-tiap jantung yang panas itu pahala. Abud Darda ra berkata kepada untanya ketika unta itu mati: “Wahai unta ! janganlah engkau mengadukan aku kepada Tuhanmu ! sesungguhnya aku tidaklah memikulkan atasmu di atas kesanggupanmu”. Pada turun sesaat itu dua sedekah:
Pertama: menyenangkan binatang kendaraan.
Kedua: mendatangkan kesenangan kepada hati orang yang mempersewakan.
Dan ada lagi faedah lain. Yaitu: gerak badan, penggerakan dua kaki dan menjaga dari kekakuan anggota badan, disebabkan lamanya berkendaraan. Dan seyogyalah ia menetapkan bersama orang yang mempersewakan kendaraan itu, apa yang akan diperpikulkannya atas kendaraan itu satu-persatu. Dan dikemukakannya barang itu kepada yang mempersewakan tadi. Dan ia menyewa binatang kendaraan tersebut, dengan ‘aqad yang syah. Supaya tidak berkobar diantara keduanya pertengkaran yang menyakitkan hati. dan membawa kepada bertambah banyaknya pembicaraan. Tiadalah diucapkan oleh hamba dari perkataan, melainkan di sisinya ada pengawas yang siap sedia mencatatnya. Maka hendaklah dijaga daripada banyak perkataan dan pertengkaran dengan yang mempersewakan itu ! tiada seyogyalah diperpikulkan sesuatu di luar dari yang disyaratkan, walau ringan sekalipun. Maka sesungguhnya yang sedikit, akan menarik yang banyak. Dan barangsiapa berkeliling dikeliling yang dilarang, niscaya mungkin akan terperosok ke dalamnya. Seorang laki-laki berkata kepada Ibnul-Mubarak, dimana Ibnul-Mubarak itu di atas binatang kendaraan: “Bawalah sepotong kertas ini kepunyaanku, kepada si Anu !”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Aku meminta izin yang mempersewakannya lebih dahulu. Sesungguhnya aku tidak membuat syarat dengan dia mengenai kertas ini”. Lihatlah, bagaimana ia tidak menoleh kepada perkataan fuqaha’ (para ulama fiqh), dimana itu termasuk barang yang dimaafkan. Tetapi ia menempuh jalan wara’.
Kesepuluh: seyogyalah dibawa serta 6 perkara. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw apabila bermusafir, membawa serta 5 perkara: kaca muka, botol (tempat) celak, gunting, sugi dan sisir”. Pada lain riwayat dari ‘Aisyah 6 perkara: kaca muka, botol minyak wangi, gunting, sugi, botol (tempat) celak dan sisir”. Ummu Sa’d Al-Anshariyah berkata: “Tiada berpisah dengan Rasulullah saw dalam perjalanan: kaca muka dan tempat celak”. Shuhaib berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Haruslah kamu memakai celak hitam ketika mau tidur. Karena termasuk yang menambahkan penglihatan dan menumbuhkan bulu mata !”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw bercelak tiga-tiga. Dan pada suatu riwayat, beliau bercelak untuk mata kanan 3 kali dan untuk mata kiri 2 kali. Kaum shufi menambahkan: tempat air dan tali. Setengah kaum shufi berkata: “Apabila tidak ada bersama orang fakir itu tempat air dan tali, niscaya menunjukkan kepada kekurangan agamanya”. Sesungguhnya mereka menambahkan ini, karena mereka melihat untuk penjagaan pada kesucian air dan pencucian kain. Tempat air itu untuk menjaga air yang suci. Dan tali untuk mengeringkan kain yang dicuci dan untuk mengambil air dari sumur. Orang-orang dahulu mencukupkan saja dengan tayammum. Dan tidak memerlukan bagi dirinya mengambil air. Mereka tiada memperdulikan mengambil wudlu di selokan-selokan dan dari semua air, selama mereka tiada yakin akan kenajisannya. Sehingga Umar ra mengambil wudhu dari air dalam kendi seorang Nasrani. Mereka mencukupkan dengan tanah dan bukit, tak usah tali. Lalu membentangkan kain yang dicuci diatas tanah dan bukit itu. Ini adalah, bid’ah, tetapi bid’ah hasanah (bid’ah baik). Dan bid’ah tercela ialah yang berlawanan dengan sunah yang sudah tetap. Adapun yang menolong kepada penjagaan agama, maka dipandang perbuatan baik. Dan telah kami sebutkan hukum bersangatan pada bersuci pada “Kitab Bersuci”. Sesungguhnya orang yang menjuruskan dirinya untuk urusan agama, tiadalah seyogya memilih jalan yang mudah. Tetapi menjaga pada bersuci akan sesuatu, yang tidak mencegahkannya dari amal perbuatan yang lebih utama daripadanya. Ada ulama yang mengatakan, bahwa orang-orang khawwash (orang yang khusus), adalah setengah dari orang-orang yang tawakkal. Tiada berpisah daripadanya 4 perkara dalam perjalanan dan di tempat kediamannya. Yaitu: tempat air, tali, penjahit dengan benang-benangnya dan gunting. Dan orang khuwwash itu berkata: “Yang tersebut tadi tidaklah termasuk dunia”.
Kesebelas: tentang adab kembali dari safar (perjalanan). Adalah Nabi saw apabila kembali dari peperangan atau hajji atau umrah atau lainnya, membaca takbir pada tiap-tiap tanah yang tinggi 3 kali takbir dan membaca: “Tiada yang disembah, melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia Maha Kuasa atas segala-galanya. Kami kembali, bertaubat, beribadah, bersujud kepada Tuhan kami dan memujiNya. Allah membenarkan janjiNya, menolong hambaNya dan menghancurkan segala golongan kafir olehNya sendirian”. Apabila telah mendekati kota tempat tinggalnya, maka hendaklah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah bagi kami padanya ketetapan dan rezeki yang baik”. Kemudian, hendaklah ia mengirim orang kepada keluarganya, yang akan menyampaikan berita gembira dengan kedatangannya. Supaya ia tidak datang kepada mereka itu dengan cara tiba-tiba. Lalu melihat apa yang tiada disukainya. Dan tiada seyogyalah baginya, mengetok pintu mereka itu pada malam hari. Karena ada larangan agama tentang yang demikian. Dan adalah Nabi saw apabila datang dari perjalanan, beliau pertama-tama masuk masjid dan mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian baru masuk ke rumah. Dan apabila masuk, beliau membaca: “Bertaubat-taubat kepada Tuhan kita. Kembali-kembali, yang tidak meninggalkan kita usaha kedosaan”. Dan seyogyalah membawa untuk keluarga dan kerabat, hadiah (buah tangan) makanan atau lainnya, sekedar yang memungkinkan. Dan itu adalah sunat. Diriwayatkan dari hadits Nabi saw, bahwa jikalau tiada diperolehnya sesuatu, maka hendaklah diletakkannya batu dalam keranjangnya ! dan seolah-olah ini bersangatan mendorong kepada sifat mulia tersebut. Karena semua mata memperhatikan kepada orang yang datang dari perjalanan jauh. Dan hati gembira dengan kedatangannya. Maka sangatlah disunatkan pada menguatkan kesenangan mereka. Dan mendzahirkan berpalingnya hati dalam perjalanan kepada mengingati mereka, dengan apa yang dibawanya serta di jalan untuk mereka. Maka inilah jumlah banyaknya adab-adab dzahiriah pada bermusafir ! Adapun adab bathiniah, maka pada pasal-pertama, terdapat penjelasan sejumlah daripadanya. Jumlahnya itu ialah, bahwa: tidak bermusafir, kecuali apabila ada dalam perjalanan itu menambahkan keagamaan. Manakala ia memperoleh hatinya berubah kepada kurangnya keagamaan, maka hendaklah ia berhenti dan berpaling kepada yang lain ! dan tiada seyogyalah, bahwa cita-citanya melampaui tempatnya. Tetapi bertempatlah di mana hatinya bertempat. Dan berniat pada memasuki tiap-tiap negeri, bahwa ia akan menjumpai syaikh-syaikh (guru-guru) yang ada di negeri itu. Bersungguh-sungguh untuk memperoleh faedah adab-kesopanan atau ucapan dari masing-masing mereka. Supaya ia memperoleh manfaat dengan yang demikian. Tidak untuk diceritakannya yang demikian itu kepada orang lain. Dan tidak untuk didzahirkannya bahwa ia telah menjumpai syaikh-syaikh itu. Dan ia tidak menetap (bermukim) pada suatu negeri, lebih banyak dari seminggu atau 10 hari. Kecuali disuruh oleh syaikh yang dimaksud dengan yang demikian. Dan ia tidak duduk-duduk selama bermukim itu, selain dengan orang-orang faqir yang benar. Jikalau maksudnya mengunjungi saudara, maka tidak dilebihkan dari 3 hari. Itulah batas: bertamu. Kecuali sukar bagi saudaranya, berpisah dengan dia. Apabila bermaksud menziarahi syaikh (guru), maka tidaklah menetap (bermukim) padanya, lebih dari sehari-semalam. Dan tidak menyibukkan dirinya dengan bergaul. Maka yang demikian itu, menghilangkan barakah perjalanannya. Dan tiap kali ia memasuki suatu negeri, tidaklah ia berbuat sesuatu, selain menziarahi guru (syaikh), dengan menziarahi tempat tinggalnya. Jikalau syaikh itu di rumah, maka tidaklah pintu rumahnya diketok. Dan tidaklah diminta keizinannya, sampai ia keluar. Apabila ia telah keluar, datanglah kepadanya dengan adab. Lalu memberi salam kepadanya. Dan tidak berkata-kata di hadapannya, kecuali, bahwa ia menanyakannya. Kalau syaikh itu bertanya, niscaya dijawab sekedar pertanyaan. Dan tidak menanyakan tentang sesuatu persoalan, sebelum meminta izin lebih dahulu. Apabila berada dalam perjalanan, maka janganlah membanyakkan menyebut makanan-makanan dan orang-orang yang bermurah hati serta teman-temannya di negeri itu. Dan hendaklah ia menyebutkan syaikh-syaikh dan orang-orang faqirnya !. Dan janganlah melengahkan dalam perjalanan itu, menziarahi kuburan orang-orang shalih ! tetapi hendaklah mencari kuburan-kuburannya itu, pada setiap desa dan negeri. Janganlah mendzahirkan hajat-keperluan, selain sekedar yang penting. Dan kepada orang yang mampu menyampaikan hajat keperluan itu. Dan selalu dalam perjalanan itu, berdzikir dan membaca Alquran, dimana tidak memperdengarkannya kepada orang lain. Apabila orang berbicara dengan dia, maka hendaklah meninggalkan dzikir. Dan menjawab pembicaraannya, selama orang itu masih berbicara. Kemudian kembalilah kepada pekerjaan semula !. Jikalau nafsunya (keinginannya) merencanakan bermusafir atau tinggal di negerinya sendiri, maka hendaklah nafsu itu ditantang ! barakah itu adalah pada menantang nafsu. Apabila lebih mudah baginya melayani (berbuat khidmat) kepada orang-orang shalih, maka tiada seyogyalah baginya bermusafir, demi pengkhidmatan itu. Maka yang demikian itu, kufur (tidak mensyukuri) nikmat. Manakala ia memperoleh dirinya kekurangan daripada yang ada padanya sewaktu di negerinya sendiri, maka hendaklah diketahuinya, bahwa perjalanannya itu berpenyakit. Dan hendaklah ia kembali ! karena kalau ada untuk kebenaran, niscaya dzahirlah bekasnya. Seorang laki-laki menerangkan kepada Abi Utsman Al-Maghribi, bahwa si Anu keluar bermusafir. Lalu Abi Utsman Al-Maghribi berkata: “Bermusafir itu terasing dari tanah air. Terasing itu suatu kehinaan. Dan tiadalah bagi mu’min menghinakan dirinya sendiri”. Ia tunjukkan dengan perkataan tersebut, bahwa bagi orang yang tiada bertambah keagamaan dalam perjalanan, maka telah menghinakan dirinya sendiri. Jikalau tidak demikian, maka kemuliaan agama itu, tidak tercapai, melainkan dengan kehinaan terasing dari tanah air. Maka hendaklah perjalanan jauh murid itu, dari tanah air hawa nafsunya, kehendak dan tabiatnya ! sehingga ia mulia dalam pengasingan ini dan tidak hina. Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam perjalanan, niscaya ia hina, tak dapat dibantah. Adakalanya pada waktu segera. Dan adakalanya pada waktu lambat.
BAB KEDUA: mengenai yang tidak boleh tidak bagi orang yang beperjalanan, mempelajarinya, tentang hal-hal yang diberi keentengan (rukhshah) dalam perjalanan, dalil-dalil qiblat dan waktu.
Ketahuilah, bahwa seorang musafir pada awal perjalanannya, memerlukan kepada persediaan perbekalan untuk duniawinya dan untuk akhiratnya. Adapun perbekalan dunia, yaitu: makanan, minuman dan perbelanjaan yang diperlukan. Kalau ia keluar secara tawakkal, tanpa perbekalan, maka tiada mengapa, apabila perjalanannya itu dalam suatu kafilah. Atau diantara desa-desa yang bersambung satu dengan lainnya. Jikalau ia menempuh perjalanan di padang sahara sendirian atau bersama kaum (orang banyak) yang tidak membawa makanan dan minuman, maka kalau ia termasuk orang yang tahan lapar seminggu atau 10 hari umpamanya atau sanggup mencukupkan dengan daun-daunan, niscaya bolehlah ia demikian. Dan kalau tidak kuat menahan lapar dan tidak sanggup mencukupkan dengan daun-daunan, maka keluarnya untuk bermusafir tanpa perbekalan itu, adalah perbuatan ma’siat (berdosa). Karena ia membawa dirinya dengan tangannya sendiri kepada kebinasaan. Dan ini mempunyai rahasia yang akan diterangkan pada “Kitab Tawakkal”. Dan tidaklah arti tawakkal itu, menjauhkan diri secara keseluruhan dari sebab-sebab. Dan jikalau seperti demikian, niscaya batallah tawakkal, dengan mencari timba, tali dan mengambil air dari sumur. Dan wajiblah bersabar, sehingga didatangkan Allah baginya seorang malaikat atau orang lain, untuk menuangkan air ke dalam mulutnya. Jikalau menjaga timba dan tali, tidak merusakkan tawakkal dan itu adalah alat yang menyampaikan kepada minuman, maka membawa barang makanan dan minuman, dimana tidak dapat diharapkan akan ada di perjalanan, adalah lebih utama tidak akan merusakkan tawakkal. Dan akan datang penjelasan “Hakikat Tawakkal” pada tempatnya nanti. Karena tawakkal itu tidaklah begitu jelas, kecuali bagi ulama-ulama agama yang melakukan penelitian, (ulama muhaqqiqin). Adapun perbekalan akhirat, maka yaitu pengetahuan yang diperlukan, mengenai thaharah (bersuci), puasa, shalat dan ibadah-ibadahnya. Maka tak boleh tidak, bahwa mempunyai perbekalan pengetahuan itu. Karena sewaktu-waktu perjalanan itu meringankan beberapa perkara. Maka perlulah mengetahui batas yang diringankan oleh perjalanan itu. seperti: mengqashar dan menjama’ shalat dan berbuka puasa. Dan sewaktu-waktu diberatkan beberapa perkara, dimana di negeri sendiri tidak diperlukan mengetahuinya. Seperti: pengetahuan tentang qiblat dan waktu shalat. Kalau di negeri sendiri, memadailah dengan lain dari pengetahuan. Yaitu: dengan melihat mihrab masjid dan mendengar adzan muadzdzin. Dan dalam perjalanan, kadang-kadang diperlukan mengetahui sendiri. Jadi, apa yang dihajati mengetahuinya, terbagi kepada dua:
BAHAGIAN PERTAMA: pengetahuan tentang hal-hal yang memperoleh keentengan (rukhshah) dalam perjalanan.
Perjalanan jauh itu memberi dua keentengan pada bersuci. Yaitu: menyapu dua sepatu kasut (dua muza) dan bertayammum. Pada shalat fardlu dua keentengan. Yaitu: mengqashar dan menjama’kan shalat. Pada shalat sunat, dua keentengan yaitu: mengerjakannya atas kendaraan dan sedang berjalan kaki. Dan pada puasa, satu keentengan, yaitu: boleh berbuka puasa. Inilah 7 macam keentengan/rukhshah:
Keentengan pertama: menyapu dua muza. Shafwan bin ‘Assal berkata: “Rasulullah saw menyuruh kami, apabila kami bermusafir atau dalam perjalanan, bahwa kami tidak membuka muza kami, 3 hari dengan malam-malamnya”. Maka tiap-tiap orang yang memakai muza sesudah bersuci yang membolehkan shalat, kemudian berhadats, maka boleh menyapu muzanya dari waktu berhadats tadi, 3 hari 3 malam, kalau ia orang musafir. Atau sehari-semalam, kalau ia orang muqim (bukan orang musafir). Tetapi, dengan 5 syarat:
Pertama: bahwa adalah pemakaiannya sesudah sempurna bersuci. Jikalau kaki kanan dibasuhnya dan dimasukkan dalam muza, kemudian kaki kiri dibasuhnya, lalu dimasukkan dalam muza, niscaya tidak dibolehkan menyapu muza itu, menurut madzhab Asy-Syafi’i ra, sebelum muza kaki kanan dibuka dan diulangi kembali memakainya.
Kedua: muza itu kuat, yang memungkinkan berjalan kaki dengan dia. Dan boleh menyapu muza, walau tiada memakai sandal sekalipun. Karena berlaku kebiasaan, berulang-ulangnya, dengan muza itu, pada tempat-tempat perhentian. Karena pada umumnya muza itu kuat. Lain halnya alas kaki kaum shufi. Maka tidak diperbolehkan menyapunya. Dan demikian juga jurmuq yang lemah.
Ketiga: bahwa tidak ada robek pada tempat yang fardlu dibasuh. Jikalau robek, dimana terbuka tempat yang perlu dibasuh, niscaya tidak diperbolehkan menyapu muza itu. Menurut qaul-qadim dari Asy-Syafi’i ra diperbolehkan, selama masih lekat pada kaki. Dan itu adalah madzhab Malik ra. Dan tiada mengapa mengikuti madzhab Malik. Karena dipandang perlu kepadanya. Dan sukarlah menjahit dalam perjalanan setiap waktu. Sepatu yang ditenuni boleh disapu manakala tertutup, yang tidak tampak kulit tapak kaki dari celah-celahnya. Begitupula sepatu yang pecah, yang pada tempat pecahnya itu, diikat dengan benang. Karena hajat keperluan meminta kepada semua itu. Maka tidaklah yang diperhatikan, selain bahwa ada muza itu tertutup sampai ke atas dua mata kaki, bagaimanapun adanya. Adapun apabila tertutup sebahagian dari belakang tapak kaki dan yang lain tertutup dengan pembalutan, niscaya tidak boleh muza itu disapu.
Keempat: bahwa muza itu tidak dibuka sesudah disapu. Kalau dibuka, maka yang lebih utama baginya mengulangi wudlu (mengambil air sembahyang). Kalau ia menyingkatkan, dengan membasuh dua tapak kaki saja, maka dibolehkan.
Kelima: bahwa muza itu disapu pada tempat yang setentang bagi tempat yang perlu dibasuh. Tidak atas betis. Sekurang-kurangnya disapu, ialah apa yang dapat dinamakan: menyapu diatas belakang tapak kaki dari muza itu. Apabila disapu dengan tiga anak jari, niscaya memadai. Dan yang lebih utama ialah, bahwa ia keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan ijtihad ulama yang mendatangkan keraguan). Yang lebih sempurna, bahwa ia menyapu bahagian atasnya dan bahagian bawahnya dari muza itu, dengan sekaligus (sekali jalan), tanpa berulang-ulang. Demikianlah Rasulullah saw memperbuatnya. Caranya: ialah membasahkan dua tangan dan meletakkan ujung anak jari tangan kanan, diatas ujung jari kaki kanan. Dan menyapukannya dengan menarik jari-jari itu ke arah dirinya. Dan meletakkan ujung jari tangan kirinya atas tumitnya dari bawah muza. Dan melakukannya ke ujung tapak kaki. Manakala menyapu muza waktu sedang bermuqim (tinggal di negeri sendiri), kemudian bermusafir atau waktu sedang bermusafir, kemudian bermuqim, niscaya menanglah hukum bermuqim. Maka hendaklah disingkatkan kepada sehari-semalam saja. Bilangan 3 hari itu dihitung dari waktu berhadatsnya, sesudah menyapu muza. Jikalau muza itu dipakai masih di tempatnya (belum lagi bermusafir) dan menyapunya juga masih di tempatnya, kemudian baru ia keluar berjalan dan berhadats dalam perjalanan pada waktu gelincir matahari (waktu zawal) umpamanya, niscaya ia menyapu 3 hari 3 malam, dari semenjak waktu zawal tadi, sampai kepada zawal hari ke-4. Apabila matahari telah zawal dari hari ke-4, niscaya tiadalah baginya mengerjakan shalat, kecuali sesudah membasuh dua kaki. Maka ia membasuh kedua kakinya dan mengulangi memakai muza dan menjaga waktu hadats. Dan mengulangi kembali hitungan dari waktu hadats itu. Jikalau berhadats sesudah memakai muza di kampung (di tempatnya), kemudian keluar bermusafir sesudah berhadats, maka boleh menyapu 3 hari. Karena kadang-kadang adat-kebiasaan menghendaki pemakaian muza sesudah keluar untuk bermusafir. Kemudian tidak mungkin menjaga diri dari hadats. Apabila menyapu di kampung, kemudian bermusafir, niscaya disingkatkan menurut waktu menyapunya orang muqim (sehari semalam). Disunatkan bagi tiap-tiap orang yang bermaksud memakai muza di kampung atau dalam perjalanan, bahwa membalikkan muzanya dan menggerak-gerakkan apa yang di dalamnya, karena menjaga dari ular atau kala atau duri. Sesungguhnya diriwayatkan dari Abi Amamah, bahwa Abi Amamah berkata: “Rasulullah saw meminta kedua muzanya. Lalu beliau memakai salah satu daripada keduanya. Maka datanglah seekor burung gagak. Lalu burung gagak itu membawa yang sebelah lagi dari muza itu. Kemudian melemparkannya. Lalu keluar dari muza tadi seekor ular. Maka Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka ia tidak memakai kedua muzanya, sebelum menggerak-gerakkannya”.
Keentengan kedua: tayammum dengan tanah sebagai ganti dari air ketika ada halangan (udzur). Sesungguhnya diberi ke-‘udzuran dari memakai air, dengan adanya air itu jauh dari tempatnya, sejauh mana jikalau ia berjalan kaki ke tempat air itu, niscaya tidak sampai hubungan kepadanya untuk meminta pertolongan dari kafilahnya (rombongannya), jikalau ia berteriak atau meminta pertolongan. Itulah kejauhan, yang tiada dibiasakan pulang-pergi kepadanya oleh orang-orang yang tinggal di tempat itu pada pulang-pergi mereka untuk membuang air (qodo hajat). Demikian juga, jikalau ada pada air itu musuh atau binatang buas. Maka bolehlah bertayammum, walaupun air itu dekat. Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena kehausannya, baik pada hari itu atau sesudahnya. Karena ketiadaan air dihadapannya. Maka bolehlah ia bertayammum. Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena kehausan salah seorang dari teman-temannya. Maka tidaklah boleh berwudlu. Dan haruslah memberikan air itu. Adakalanya dengan memperoleh bayaran atau tanpa bayaran. Dan kalau ia memerlukan kepada air tadi, untuk memasak sayur atau daging atau untuk membasahkan makanan yang sudah dihancurkan yang dikumpulkannya makanan itu dengan air tadi, niscaya tidak boleh bertayammum. Tetapi haruslah ia mencukupkan dengan makanan hancur itu yang kering. Dan meninggalkan memakai kuah. Manakala diberikan orang kepadanya air, niscaya wajiblah diterima. Dan jikalau diberikan harganya, niscaya tidaklah wajib menerimanya. Karena pada menerima harga itu terdapat omelan. Dan jikalau dijual orang air kepadanya dengan harga yang pantas, niscaya haruslah dibeli. Dan jikalau dijual dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang pantas itu, niscaya tidaklah harus dibeli. Apabila tidak ada air padanya dan ia bermaksud bertayammum, maka yang pertama-tama harus dilakukannya, ialah mencari air, manakala mungkin sampai kepada air, dengan dicari. Yang demikian itu, dengan pulang-pergi, di keliling tempat tinggalnya. Dan memeriksa kendaraan-kendaraan dan mencari sisa-sisa yang ada pada tempat-tempat air dan tempat-tempat membersihkan sesuatu dengan air. Jikalau ia lupa pada air pada kendaraannya atau ia lupa kepada sumur yang dekat daripadanya, niscaya haruslah mengulangi shalat. Karena keteledorannya pada mencari air. Jikalau ia mengetahui bahwa ia akan memperoleh air pada akhir waktu shalat, maka yang lebih utama, bahwa ia mengerjakan shalat dengan tayammum pada awal waktu. Sesungguhnya umur kita tidaklah dapat dipercaya akan lanjut. Dan awal waktu itu adalah keridhaan Allah. Ibnu Umar ra bertayammum. Lalu orang bertanya kepadanya: “Adakah engkau bertayammum, sedang dinding kota Madinah memandang kepada engkau ?”. Maka Ibnu Umar ra menjawab: “Apakah aku akan kekal (tidak meninggal), sampai aku dapat memasuki kota Madinah itu ?”. Manakala diperoleh air sesudah masuk dalam shalat, niscaya tidaklah shalatnya batal. Dan tidaklah wajib ia berwudlu. Dan apabila diperolehnya air sebelum masuk dalam shalat, niscaya haruslah ia mengambil wudlu'. Manakala air itu telah dicari, lalu tidak diperoleh, maka hendaklah ia menuju kepada tanah yang baik (yang suci), dimana di atasnya abu, yang terbang daripadanya debu. Dan hendaklah menepuk kedua tapak tangan di atas debu tadi, sesudah merapatkan anak-anak jarinya, sekali tepuk. Lalu menyapu dengan kedua tapak tangan tadi mukanya. Dan menepuk sekali lagi sesudah menanggalkan cincin dan menjarangkan anak-anak jarinya. Dan menyapu dengan anak-anak jarinya itu kedua tangannya sampai kepada kedua siku-sikunya. Jikalau tidak meratai dengan sekali tepuk seluruh kedua tangannya, niscaya menepuk sekali lagi. Dan cara pelan-pelan pada tayammum itu, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Bersuci. Maka tidaklah kami mengulanginya lagi. Kemudian, apabila telah dikerjakan shalat dengan tayammum, satu shalat fardlu, maka bolehlah mengerjakan shalat sunat sebanyak yang dikehendaki, dengan tayammum itu. Dan jikalau bermaksud menjama’ diantara dua shalat fardlu, maka haruslah mengulangi tayammum untuk shalat kedua. Sehingga tidaklah dikerjakan dua shalat fardlu, kecuali dengan dua tayammum. Tiada seyogyanya bertayammum bagi shalat sebelum masuk waktunya. Jikalau diperbuatnya yang demikian, niscaya wajiblah ia mengulangi tayammum. Dan hendaklah berniat, ketika menyapu muka: memperbolehkan shalat (istibahah shalat). Jikalau diperolehnya air yang mencukupkan untuk sebahagian thaharahnya/bersuci,  maka hendaklah dipakai air itu. Kemudian hendaklah bertayammum sesudah memakai air tadi, dengan tayammum yang sempurna.
Keentengan ketiga: pada shalat fardlu ialah qashar (memendekkan shalat yang 4 rakaat, menjadi 2 rakaat). Boleh mengqasharkan pada masing-masing dari: shalat Dhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’ kepada dua rakaat. Tetapi dengan 3 syarat:
Pertama: dilaksanakannya shalat itu pada waktunya. Jikalau shalat itu merupakan shalat qodo, maka menurut pendapat yang lebih kuat (al-adh-har), harus disempurnakan (jadi 4 rakaat).
Kedua: diniatkan qashar. Jikalau diniatkan menyempurnakan shalat (dikerjakan dengan 4 rakaat), niscaya haruslah disempurnakan. Jikalau ragu, apakah ia sudah meniatkan qashar atau meniatkan disempurnakan, niscaya haruslah disempurnakan (dikerjakan 4 rakaat).
Ketiga: bahwa ia tidak mengikuti (berimam) kepada orang muqim (orang yang tidak bermusafir). Dan tidak dengan orang musafir yang menyempurnakan shalatnya. Jikalau diperbuatnya (diikutinya orang muqim atau orang musafir yang menyempurnakan shalatnya), niscaya haruslah ia menyempurnakan shalat. Tetapi jikalau ia ragu, apakah imamnya itu orang muqim atau orang musafir, niscaya haruslah (wajiblah) menyempurnakan shalat, walaupun ia yakin kemudian, bahwa imamnya itu orang musafir. Karena tanda-tanda seorang musafir itu tidaklah tersembunyi. Dari itu, hendaklah diselidiki lebih dahulu ketika berniat !. Jikalau ia ragu, apakah imamnya itu meniatkan qashar atau tidak, sesudah diketahuinya, bahwa imamnya itu orang musafir, niscaya yang demikian tidaklah mendatangkan melarat baginya. Karena niat-niat itu tidak dapat dilihat. Ini semuanya adalah dalam perjalanan yang jauh dan mubah (diperbolehkan, tidak dilarang oleh agama). Dan batas perjalanan (safar) dari segi permulaan dan kesudahannya, mengandung hal-hal yang penuh pertanyaan. Maka tak boleh tidak harus diketahui. Perjalanan (safar): ialah perpindahan dari tempat tinggal menetap, disertai maksud menuju suatu tempat yang sudah diketahui. Orang yang berkelana dan orang yang tidak tentu tujuannya, tidaklah kepadanya diberi keentengan. Yaitu: orang yang tidak menuju ke suatu tempat yang tertentu. Dan ia tidak menjadi musafir, sebelum ia meninggalkan tempat yang ramai didiami orang dari negerinya. Dan tidak disyaratkan, bahwa ia melewati tempat-tempat yang roboh (tidak didiami lagi) dan kebun-kebun (taman-taman), dimana anak negeri keluar ke taman-taman itu untuk istirahat. Adapun desa, maka bermusafir dari desa, seyogyalah melewati kebun-kebunnya yang dipagari. Tidak kebun-kebun yang tidak dipagari. Jikalau si musafir itu kembali ke kampungnya, untuk mengambil sesuatu yang dilupainya, niscaya ia tidak memperoleh keentengan, jikalau kampung tersebut tempat tinggalnya sendiri, selama ia tidak melewati tempat yang ramai didiami penduduk. Jikalau yang demikian itu, bukan tempat tinggalnya sendiri, maka ia memperoleh keentengan. Karena telah menjadi orang musafir, dengan kesulitan berpisah dan keluar dari tempatnya. Adapun penghabisan safar, maka dengan salah satu dari tiga perkara:
Pertama: sampai ke tempat ramai didiami penduduk, dari negeri yang dicita-citakan untuk berdiam padanya.
Kedua: ber’azam (mengambil keputusan) bermuqim untuk 3 hari atau lebih. Adakalanya pada sesuatu negeri, atau pada sesuatu sahara (tempat yang lapang yang tidak didiami penduduk).
Ketiga: bentuk bermuqim, walaupun ia tidak mengambil keputusan. Seperti, apabila ia bermuqim pada sesuatu tempat 3 hari, selain dari hari masuk (datang). Tidaklah boleh baginya keentengan sesudah bermuqim itu.
Jikalau ia tidak ber’azam (bercita-cita) untuk bermuqim (menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia mengharap pada tiap-tiap hari, akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi dan melambatkan. Maka baginya ber-keentengan. Walaupun masa itu panjang, menurut qias yang terkuat dari dua qaul (pendapat ulama). Karena ia tiada berketentraman hati dan bermusafir dari tempat tinggalnya, menurut bentuknya. Dan tidaklah dihiraukan dengan bentuk diantara adanya menetapnya di satu tempat itu, serta kegoncangan hati. Dan tiada berbeda, urusan itu perang atau lainnya. Dan diantara lamanya waktu menetap atau pendek. Dan diantara terlambatnya keluar karena hujan yang tiada diketahui lamanya sampai 3 hari. Atau karena sebab yang lain. Karena Rasulullah saw memperoleh keentengan. Lalu beliau mengqasharkan shalat pada sebahagian peperangan, 18 hari lamanya pada suatu tempat. Jelasnya, bahwa jikalau lamalah masa peperangan, tentu lamalah masa keentengan. Karena tiada arti dengan menentukan 18 hari itu. Dan yang jelas, bahwa qasharnya Nabi saw adalah karena beliau itu bermusafir. Tidak karena beliau menghadiri peperangan dan berperang. Inilah arti qashar !. Adapun arti pemanjangan, maka yaitu: bahwa perjalanan itu 2 marhalah. Tiap-tiap marhalah 8 farsakh. Tiap-tiap farsakh, 3 mil. Tiap-tiap mil, 4000 langkah. Dan tiap-tiap langkah, 3 tapak kaki. Yang dimaksud dengan: perjalanan mubah, ialah: bahwa yang melakukan perjalanan (safar) itu, bukan orang yang durhaka kepada ibu-bapaknya, yang melarikan diri dari keduanya, yang melarikan diri dari orang yang memilikinya (kalau yang bermusafir itu seorang budak). Dan kalau yang bermusafir itu wanita, maka tidaklah ia melarikan diri dari suaminya. Dan tidaklah orang yang bermusafir itu orang yang berhutang, yang melarikan diri dari yang berpiutang, serta ia mampu membayarnya. Dan tidak bertujuan untuk merampok atau membunuh orang atau mencari kelimpahan harta haram dari seorang penguasa (sultan) yang dzalim atau membuat kerusakan diantara kaum muslimin. Kesimpulannya, tidaklah orang itu bermusafir, kecuali pada suatu maksud. Dan maksud itulah yang menggerakkannya, jikalau yang menghasilkan maksud itu haram dan jikalau tidak adalah maksud itu, niscaya ia tidak tergerak untuk perjalanan itu, maka perjalanan itu ma’siat. Dan tidak diperbolehkan padanya keentengan. Adapun perbuatan fasiq dalam perjalanan, dengan meminum khamar dan lainnya, maka tidaklah mencegahkan keentengan. Tetapi, tiap-tiap perjalanan yang dilarang agama, maka tidaklah perjalanan itu menolong padanya, dengan keentengan. Jikalau orang musafir itu mempunyai dua penggerak, yang satu mubah dan yang lain terlarang (mah-dhur), dimana jikalau penggerak yang terlarang tidak ada, niscaya adalah penggerak mubah itu sendiri, bebas menggerakkannya dan sudah pasti, orang musafir itu bermusafir karena penggerak mubah, maka baginya keentengan. Orang-orang shufi yang berjalan keliling di beberapa negeri, tanpa ada maksud yang syah, selain dari bersenang-senang untuk menyaksikan berbagai tempat, maka tentang keentengan bagi mereka, terdapat khilaf (perbedaan pendapat ulama). Pendapat yang terpilih (yang lebih kuat), bagi mereka itu keentengan.
Keentengan keempat: menjama’kan (mengumpulkan) antara Dhuhur dan ‘Ashar pada waktu keduanya. Dan antara Maghrib dan Isya’ pada waktu keduanya. Juga yang demikian itu, diperbolehkan pada tiap-tiap perjalanan yang jauh, lagi mubah. Tentang diperbolehkan pada perjalanan yang pendek, terdapat dua qaul (pendapat ulama). Kemudian, kalau didahulukan shalat ‘Ashar kepada waktu Dhuhur, maka hendaklah diniatkan jama’ antara Dhuhur dan ‘Ashar pada waktu keduanya itu, sebelum selesai dari Dhuhur. Dan hendaklah dilakukan adzan untuk Dhuhur dan iqamah. Dan ketika selesai, lalu dilakukan iqamah untuk ‘Ashar. Dan pertama sekali diperbaharui tayammum, kalau shalat fardhunya itu dengan tayammum. Dan tidaklah diceraikan diantara shalat Dhuhur dan ‘Ashar itu, dengan lebih banyak dari waktu tayammum dan iqamah !. Kalau didahulukan shalat ‘Ashar, maka tidak diperbolehkan. Jikalau diniatkan jama’ ketika bertakbiratul-ihram shalat ‘Ashar , niscaya boleh pada Imam Al-Mazani. Pendapatnya itu dalam segi qias. Karena tak ada tempat pegangan untuk mewajibkan mendahulukan niat. Tetapi agama membolehkan jama’. Dan ini adalah jama’. Dan keentengan itu pada shalat ‘Ashar. Maka mencukupilah niat pada ‘Ashar. Adapun Dhuhur, maka berlaku diatas hukum. Kemudian, apabila telah selesai dari dua shalat tadi, maka seyogyalah mengumpulkan diantara sunat-sunat dua shalat itu. Adapun ‘Ashar tak ada sunat sesudahnya. Tetapi sunat yang sesudah Dhuhur, dikerjakan sesudah selesai dari shalat ‘Ashar. Adakalanya ia berkendaraan (masih bermusafir) atau sudah bermuqim. Karena kalau dikerjakannya shalat sunat Dhuhur sebelum ‘Ashar, niscaya putuslah muwalah (berturut-turut, beriring-iringan). Dan muwalah itu wajib menurut suatu pendapat (suatu wajah). Jikalau bermaksud mengerjakan 4 rakaat sunat sebelum Dhuhur dan 4 rakaat sunat sebelum ‘Ashar, maka hendaklah dikumpulkan antara semuanya itu, sebelum mengerjakan dua shalat fardhu itu !. Mula-mula dikerjakan sunat Dhuhur. Kemudian sunat ‘Ashar. Kemudian fardhu Dhuhur. Kemudian fardhu ‘Ashar. Kemudian sunat Dhuhur yang 2 rakaat sesudah fardhunya. Dan tidak seyogyalah, disia-siakan shalat sunat dalam perjalanan. Maka apa yang hilang dari pahalanya adalah lebih banyak dari apa yang diperbolehnya dari keuntungan. Lebih-lebih agama telah meringankan kepadanya. Dan membolehkan mengerjakannya di atas kendaraan. Supaya ia tidak terhalang dari teman-temannya, disebabkan shalat itu. Kalau dikemudiankan (di-ta’khirkan) Dhuhur kepada waktu ‘Ashar, maka berlakulah di atas tertib ini. Dan tidak dihiraukan, dengan jadinya sunat Dhuhur, sesudah ‘Ashar pada waktu makruh. Karena shalat yang bersebab, tidaklah dimakruhkan pada waktu itu. Begitupula, dikerjakan mengenai Maghrib, ‘Isya’ dan Witir. Dan apabila didahulukan atau dikemudiankan, maka sesudah selesai dari shalat fardhu, lalu dikerjakan semua shalat sunat rawatib. Dan disudahi semuanya itu dengan shalat Witir. Kalau terguris dalam hatinya, ingatan kepada shalat Dhuhur sebelum habis waktunya, maka hendaklah ia ber’azam mengerjakannya bersama serta ‘Ashar. Itulah niat jama’ ! karena sesungguhnya kosong dari niat ini, adakalanya dengan niat meninggalkan atau dengan niat mengemudiankannya dari waktu ‘Ashar. Dan yang demikian itu haram. Dan bercita-cita kepadanya haram. Dan jikalau tiada teringat kepada shalat Dhuhur, sehingga keluarlah waktunya, adakalanya karena tidur atau karena pekerjaan, maka ia menunaikan shalat Dhuhur bersama ‘Ashar. Dan ia tidak menjadi orang ma’siat. Karena perjalanan itu, sebagaimana melengahkan daripada mengerjakan shalat, maka kadang-kadang melengahkan daripada mengingati shalat. Mungkin pula dikatakan, bahwa shalat Dhuhur jatuh pada waktunya (menjadi ada’ bukan qodo’), apabila ber’azam mengerjakannya, sebelum habis waktunya, tetapi yang lebih jelas (yang lebih kuat), bahwa waktu Dhuhur dan waktu ‘Ashar itu, menjadi bersekutu diantara dua shalat dalam perjalanan. Dan karena itulah, wajib atas wanita yang datang kain kotor (berhaid) meng-qodokan shalat Dhuhur, apabila ia suci sebelum terbenam matahari. Dan karena itulah, jelas bahwa tidak disyaratkan, muwalah dan tertib (yang dahulu didahulukan) diantara Dhuhur dan ‘Ashar, ketika mengemudiankan Dhuhur (jama’-ta’khir). Adapun apabila di-jama’taqdimkan/memajukan  ‘Ashar kepada Dhuhur (pada jama’-taqdim), niscaya tidak diperbolehkan. Karena sesudah selesai dari Dhuhur itulah yang menjadi waktu bagi ‘Ashar. Sebab jauhlah dari dapat dipahami, bahwa dikerjakan shalat ‘Ashar, oleh orang yang ber’azam meninggalkan Dhuhur atau mengemudiankannya. Halangan (‘udzur) hujan itu membolehkan jama’, seperti ‘udzur dengan perjalanan. Meninggalkan shalat Jum’at juga setengah dari keentengan perjalanan. Dan Jum’at itu bergantung pula dengan shalat-shalat fardhu. Jikalau diniatkan muqim sesudah mengerjakan shalat ‘Ashar, lalu mendapati waktu ‘Ashar di kampung (tidak dalam perjalanan lagi), maka wajiblah mengerjakan shalat ‘Ashar itu. Dan apa yang sudah dikerjakan itu, hanya memadai, dengan syarat tetap ada halangan (perjalanan), sampai kepada habisnya waktu ‘Ashar.
Keentengan kelima: mengerjakan shalat sunat dengan berkendaraan. Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat di atas kendaraannya kemana saja kendaraannya itu menghadap. Dan Rasulullah saw mengerjakan shalat Witir di atas kendaraan. Dan tidaklah atas orang yang mengerjakan shalat sunat yang berkendaraan itu, pada ruku’ dan sujudnya, kecuali dengan isyarat saja. Dan seyogyalah membuat sujudnya lebih rendah dari ruku’nya. Dan tidak wajib membungkuk sampai kepada batas, yang mendatangkan bahaya disebabkan kendaraan. Jikalau ia pada tempat tidur, maka hendaklah disempurnakan ruku’ dan sujud, karena ia sanggup yang demikian. Adapun menghadap qiblat, maka tidak wajib. Tidak wajib pada permulaan shalat dan tidak pada waktu meneruskan shalat. Tetapi arah jalan itu ganti qiblat. Maka hendaklah ia dalam semua shalatnya, adakalanya ia menghadap qiblat atau mengarahi pada arah jalan. Supaya ada baginya arah yang tetap padanya. Kalau ia memalingkan kendaraannya dari jalan dengan sengaja, niscaya batallah shalatnya. Kecuali kalau dipalingkannya ke qiblat. Kalau dipalingkannya karena lupa dan pendek waktu, niscaya tidak batal shalatnya. Dan kalau panjang waktunya, maka khilaf (berbeda pendapat) diantara ulama. Kalau kendaraannya itu melawan, lalu berpaling, niscaya tidak batal shalat. Karena yang demikian, termasuk yang banyak terjadi. Dan tidak bersujud sahwi. Karena perlawanan dari binatang kendaraan itu, tidaklah disangkutkan kepadanya. Sebaliknya, jikalau ia berpaling karena lupa, maka ia sujud sahwi dengan isyarat saja.
Keentengan keenam: mengerjakan shalat sunat, bagi orang berjalan kaki, diperbolehkan dalam perjalanan. Dan diisyaratkannya untuk ruku’ dan sujud. Dan tidak duduk untuk tasyahhud. Karena yang demikian, menghilangkan faedah keentengan. Dan hukum orang yang berjalan kaki itu sama dengan hukum orang yang berkendaraan. Tetapi seyogyalah orang yang berjalan kaki itu, bertakbiratul-ihram untuk shalat itu, dengan menghadap qiblat. Karena berpaling pada sekejap itu, tak ada kesukaran padanya. Kecuali orang yang berkendaraan. Maka pada memalingkan kendaraan, meskipun kekang binatang kendaraan itu di tangannya, adalah sukar. Kadang-kadang shalat itu banyak, maka lamalah yang demikian. Tiada seyogyalah berjalan kaki pada najis yang basah, dengan sengaja. Kalau diperbuat yang demikian, niscaya batallah shalatnya. Lain halnya, kalau binatang orang yang berkendaraan itu, menginjak najis. Dan tidak harus ia mengganggu perjalanannya sendiri, dengan menjaga dari najis-najis yang biasanya tiada kosong jalan dari najis-najis itu. Tiap-tiap orang yang melarikan diri dari musuh atau banjir atau binatang buas, boleh mengerjakan shalat fardhu dengan berkendaraan atau berjalan kaki, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada mengerjakan shalat sunat.
Keentengan ketujuh: berbuka. Dan musafir itu dalam puasa. Maka orang musafir boleh berbuka puasa. Kecuali pada pagi hari ia bermuqim, kemudian bermusafir. Maka haruslah menyempurnakan puasa hari itu. Jikalau pagi-pagi telah menjadi musafir yang berpuasa, kemudian ia bermuqim, maka haruslah menyempurnakan puasa. Kalau bermuqim dengan berbuka puasa, maka tidak wajib imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) pada sisa hari itu. Kalau pagi hari bermusafir dengan cita-cita berpuasa, niscaya tidak wajib berpuasa. Tetapi boleh berbuka apabila ia mau. Dan berpuasa lebih utama daripada berbuka. Dan meng-qasharkan shalat lebih utama daripada menyempurnakannya, untuk keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan pendapat diantara ulama yang membawa kepada meragukan). Dan karena dia tidaklah dalam tanggungan qodo. Sebaliknya orang yang berbuka puasa, maka dia adalah dalam tanggungan qodo. Kadang-kadang sukar baginya yang demikian, disebabkan halangan. Maka tetaplah puasa itu dalam tanggungannya. Kecuali apabila puasa mendatangkan kemelaratan baginya. Maka berbuka menjadi lebih utama. Inilah 7 macam keentengan. 3 daripadanya bergantung dengan perjalanan jauh. Yaitu: qashar shalat, membuka puasa dan menyapu muza (kasut) 3 hari. 2 daripadanya bergantung dengan perjalanan, jauh atau dekat. Yaitu: gugur Jum’at dan gugur qodo ketika mengerjakan shalat dengan tayammum. Adapun shalat sunat, sedang berjalan kaki atau berkendaraan, terdapat khilaf utama. Yang lebih shahih (yang lebih kuat) dibolehkan pada
perjalanan yang dekat. Dan menjama’kan antara 2 shalat, terdapat khilaf ulama. Yang lebih dzahir (yang lebih kuat), tertentu menjama’kan itu pada perjalanan yang jauh. Adapun shalat fardhu sedang berkendaraan atau berjalan kaki karena takut, maka tiada sangkutnya dengan safar (perjalanan). Demikian juga memakan bangkai. Demikian juga menunaikan shalat pada waktunya dengan tayammum ketika ketiadaan air. Maka mengenai hal-hal tersebut, sama padanya antara orang muqim dan orang musafir, manakala terdapat sebab-sebabnya. Kalau anda bertanya: pengetahuan mengenai keentengan-keentengan tadi, adakah wajib bagi orang musafir mempelajarinya sebelum berjalan. Atau disunatkan yang demikian kepadanya. Ketahuilah, bahwa kalau musafir itu bercita-cita tidak menyapu muza, tidak meng-qashar, tidak menjama’, tidak membuka puasa dan tidak mengerjakan shalat sunat dengan berkendaraan dan berjalan kaki, niscaya tidaklah wajib mengetahui syarat-syarat keentengan pada yang demikian. Karena menggunakan keentengan tidaklah wajib atasnya. Adapun pengetahuan tentang keentengan tayammum, maka wajib dipelajarinya. Karena ketiadaan air tidaklah terserah kepadanya. Kecuali ia bermusafir pada tepi sungai, yang dipercayai tetap ada airnya. Atau ada menyertainya di jalan, seorang alim yang sanggup memberi fatwa kepadanya, ketika diperlukan. Maka bolehlah mengemudiankan pelajaran itu sampai kepada ketika diperlukan. Apabila berat dugaannya tidak ada air dan tidak ada sertanya seorang alim, maka sudah pasti, wajiblah ia mempelajarinya. Jikalau anda bertanya: “Bahwa tayammum itu diperlukan untuk shalat, yang belum masuk waktunya. Maka bagaimanakah wajib mengetahui ilmu bersuci untuk shalat yang belum wajib dan terkadang tidak akan wajib ?”. Aku menjawab: “Orang yang antaranya dan Ka’bah terdapat suatu jarak jauh, yang tidak tertempuh, selain dalam satu tahun. Maka wajiblah ia memulai perjalanan sebelum datangnya bulan hajji. Dan wajiblah –sudah pasti –mempelajari manasik (segala ibadah hajji), apabila ia menduga, bahwa tidak akan memperoleh di jalan orang, yang dapat ia belajar padanya. Karena dasarnya hidup dan terusnya hidup. Dan apa yang tidak sampai kepada yang wajib, kecuali dengannya, maka itu menjadi wajib. Dan tiap-tiap yang diharapkan wajibnya, secara kenyataan dan keras dugaan dan mempunyai syarat yang tidak akan sampai kepadanya, kecuali dengan mendahulukan syarat tersebut atas waktu wajibnya, maka wajiblah –sudah pasti- mendahulukan mempelajari syarat itu. Seperti ilmu manasik sebelum waktu hajji dan sebelum mengerjakannya. Jadi, maka tidak halal bagi musafir mengadakan perjalanan, selama ia tidak mempelajari sekadar ini dari pengetahuan tayammum. Kalau ia ber’azam/bercita-cita kepada keentengan-keentengan yang lain, maka wajib juga mempelajari sekadar yang telah kami sebukan dari ilmu tayammum dan keentengan-keentengan lainnya. Sesungguhnya apabila tidak mengetahui sekadar yang membolehkan keentengan bagi safar, niscaya tidak memungkinkan dia menyingkatkan demikian. Kalau anda bertanya: “Jikalau tidak dipelajarinya cara mengerjakan shalat sunat, sedang dia itu berkendaraan atau berjalan kaki, apakah yang akan mendatangkan melarat baginya ? kesudahannya, kalau ia mengerjakan shalat, bahwa shalat itu tidak syah, dan shalat itu tidak wajib, maka bagaimanakah pengetahuan mengenai shalat itu menjadi wajib ?”. Maka aku menjawab: termasuk wajib, bahwa ia tidak mengerjakan shalat sunat di atas sifat batal (sifat tidak syah). Maka mengerjakan shalat sunat serta berhadats, bernajis, menghadap tidak ke qiblat dan tanpa menyempurnakan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, adalah haram. Maka haruslah ia mempelajari apa yang memeliharakannya dari shalat sunat yang tidak syah (yang fasid), untuk menjaga dari terjatuhnya ke dalam larangan. Inilah penjelasan pengetahuan mengenai apa yang diringankan bagi musafir dalam perjalanan (safar)nya !.
BAHAGIAN KEDUA: tugas yang terus-menerus, disebabkan perjalanan (safar). Yaitu: ilmu qiblat dan waktu.
Yang demikian itu wajib juga di tempat menetap (tidak dalam perjalanan). Tetapi di tempat menetap, bagi orang yang memadai dengan mihrab yang telah disepakati untuk menunjukkan arah qiblat, maka tidak usah lagi mencari qiblat. Begitupula dengan muadzdzin (orang yang mengerjakan adzan), yang menjaga waktu shalat, maka tidak usah lagi mencari ilmu waktu. Kadang-kadang orang musafir itu, meragukan kepadanya qiblat. Kadang-kadang menyangsikan kepadanya waktu. Maka tidak boleh tidak, mengetahui tanda-tanda yang menunjukkan qiblat dan waktu. Adapun tanda-tanda qiblat, 3 perkara:
a.       Tanda bumi, seperti mengambil tanda (dalil) dengan bukit (gunung), desa dan sungai.
b.       Tanda udara: seperti mengambil tanda (dalil) dengan angin, dari utara dan selatan, timur dan barat.
c.       Tanda langit: yaitu bintang-bintang.
Adapun tanda bumi dan udara, maka berlainan dengan berlainannya negeri. Maka terkadang ada jalan, yang ada padanya bukit yang tinggi, yang diketahui bahwa bukit itu di kanan atau di kiri, di belakang atau di hadapannya orang yang menghadap qiblat. Maka hendaklah diketahui dan dipahami yang demikian !. Begitupula angin. Kadang-kadang ia menunjukkan pada sebahagian negeri. Maka hendaklah yang demikian itu, dipahami ! dan kami tidak sanggup menyelidiki yang demikian. Karena bagi masing-masing negeri dan iklim, mempunyai hukum lain. Adapun tanda langit, maka dalil-dalilnya terbagi kepada: tanda siang dan tanda malam. Tanda siang, yaitu: matahari. Maka tak boleh tidak dijaga, sebelum keluar dari negerinya, bahwa matahari itu ketika tergelincir (zawal), dimana ia berada. Apakah dia diantara dua bulu kening atau diatas mata kanan atau mata kiri atau ia cenderung lebih banyak kepada dahi dari yang tadi. Sesungguhnya matahari pada negeri-negeri bahagian utara tidaklah melampaui tempat-tempat tersebut. Apabila dihafalnya yang demikian, maka manakala diketahui zawal dengan dalilnya yang akan kami sebutkan, niscaya diketahuilah qiblat. Begitupula dijaga tempat matahari waktu ‘Ashar. Karena pada dua waktu ini (Dhuhur dan ‘Ashar) diperlukan kepada qiblat dengan mudah. Dan ini juga, karena adanya berlainan dengan berlainannya negeri-negeri. Maka tidak mungkin menyelidikinya. Adapun qiblat pada waktu Maghrib, maka dapat diketahui dengan tempat terbenam matahari. Yang demikian itu, dengan menghafal, bahwa matahari terbenam dari sebelah kanan orang yang menghadap qiblat. Atau matahari itu condong kepada mukanya atau kuduknya. Dan juga dengan syafaq (cahaya merah setelah terbenam matahari) dapat diketahui qiblat untuk shalat ‘Isya’. Dan dengan tempat terbit matahari, diketahui qiblat untuk shalat Shubuh. Maka seolah-olah matahari itu, menunjukkan qiblat pada shalat 5 waktu. Tetapi yang demikian itu berlainan pada musim dingin dan musim panas. Sesungguhnya tempat terbit dan terbenam matahari itu banyak, walaupun terbatas pada dua arah. Maka tak boleh tidak mempelajari juga yang demikian. Tetapi, kadang-kadang shalat Maghrib dan ‘Isya’ dikerjakan sesudah hilang syafaq. Maka tidak mungkin mendapat petunjuk kepada qiblat dengan syafaq. Maka haruslah dijaga tempat quthub. Yaitu: bintang yang dinamai: anak domba (jad-yi). Dia itu bintang beredar (kaukab), seperti bintang tetap. Tidak terang gerakannya dari tempatnya. Yang demikian itu, adakalanya bintang itu berada atas kuduk orang yang menghadap qiblat. Atau atas bahunya yang kanan dari punggungnya. Atau bahunya yang kiri. Pada negeri-negeri bahagian Utara dan Makkah dan pada negeri-negeri bahagian Selatan, seperti Yaman dan sekitarnya. Maka bintang itu berada pada hadapan orang yang menghadap qiblat. Maka dipelajarilah yang demikian. Dan apa yang diketahuinya pada negerinya, maka hendaklah diperpegangi pada jalan seluruhnya. Kecuali apabila perjalanan itu sudah jauh. Sesungguhnya jarak perjalanan (al-masafah) itu, apabila sudah jauh niscaya berlainanlah tempat berada matahari, tempat berada bintang quthub, tempat matahari terbit dan terbenam. Kecuali, ia sampai di tengah perjalanannya ke beberapa negeri, maka seyogyalah bertanya kepada orang yang pandai atau mengintip bintang-bintang itu, dimana ia menghadap mihrab, dari masjid-jami’ negeri tersebut. Sehingga jelaslah kepadanya yang demikian. Maka manakala diketahui dalil-dalil itu, maka diperpegangilah kepadanya. Kalau telah nyata kepadanya, bahwa ia bersalah dari arah qiblat kepada arah yang lain, dari arah-arah yang 4, maka seyogyalah ia mengqodo’kan shalatnya. Jikalau berpaling dari hakikat yang berbetulan qiblat, tetapi tidak keluar dari arah qiblat, niscaya tidaklah wajib meng-qodo’kan shalat itu. Dan sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat (khilaf) diantara para ahli fiqh (fuqaha’), mengenai yang dituntut: arah qiblat atau qiblat itu sendiri. Dan menyulitkan pengertian yang demikian kepada suatu golongan, karena mereka mengatakan: “Jikalau kita mengatakan, bahwa yang dituntut qiblat itu sendiri, maka kapankah tergambar ini serta negeri-negeri itu berjauhan ? dan jikalau kita mengatakan, bahwa yang dituntut arahnya, maka orang yang berdiri dalam masjid, jikalau ia menghadap arah Ka’bah, sedang badannya keluar dari setentang Ka’bah, niscaya tidak khilaf (tidak ada perbedaan pendapat) tentang tidak syah shalatnya. Dan para ahli fiqh itu telah melebar-panjangkan tentang penta’wilan arti khilaf mengenai arah dan qiblat itu sendiri (‘ainnya). Pertama-tama, tak boleh tidak, memahami arti menghadap ‘ain dan menghadap arah (jihah). Arti: menghadap ‘ain (menghadap qiblat itu sendiri), ialah berdiri pada suatu tempat, jikalau keluarlah garis lurus diantara kedua matanya ke dinding Ka’bah, niscaya bersambunglah kepadanya. Dan berhasillah dari kedua pihak garis, dua sudut yang bersamaan. Inilah gambarnya ! dan garis yang keluar dari tempat berdiri orang yang bershalat, diumpamakan keluar dari antara dua matanya. Maka inilah gambar menghadap ‘ain qiblat:



Adapun menghadap arah (jihah), maka bolehlah padanya bersambung ujung garis luar dari antara dua mata ke Ka’bah, tanpa bersamaan dua sudut dari dua arah garis. Bahkan, kedua sudut itu tidak bersamaan, kecuali apabila sampai garis itu kepada suatu titik tertentu, dimana titik itu satu. Kalau garis ini dipanjangkan secara lurus, kepada garis-garis yang lain, dari kanan atau kirinya, niscaya adalah salah satu dari dua sudut itu lebih sempit. Lalu keluarlah garis itu daripada menghadap ‘ain. Tetapi tidak keluar dari menghadap jihah itu. Karena kalau diumpamakan Ka’bah pada tepi garis itu, niscaya adalah orang yang berdiri itu, menghadap ke arah Ka’bah. Tidak ke ‘ain Ka’bah. Dan batas arah itu, ialah apa yang jatuh diantara dua garis, yang disangka oleh orang yang berdiri itu sedang menghadap ke arah, dimana kedua garis itu keluar dari dua mata. Lalu bertemulah tepi keduanya dalam kepala diantara dua mata, diatas sudut yang berdiri. Maka apa yang jatuh diantara dua garis yang keluar dari dua mata, itulah yang masuk dalam arah, dan luas diantara dua garis itu bertambah-tambah, dengan panjangnya dua garis dan dengan jauhnya dari Ka’bah. Inilah gambarnya !



Apabila telah dipahami maksud ‘ain dan jihah, maka kami katakan, bahwa yang syah (yang benar) pada kami, pada memfatwakannya, ialah: bahwa yang dituntut ialah: ‘ain, kalau Ka’bah itu mungkin dilihat. Dan kalau memerlukan kepada mencari petunjuk kepada Ka’bah, karena sukar (tidak dapat) melihatnya, maka memadailah menghadap: Arah (jihah). Adapun dituntut menghadap ‘ain ketika dapat dilihat, maka telah ijma’ ulama padanya. Adapun mencukupi dengan jihah (arah), ketika sukar dilihat, maka telah dibuktikan oleh Al-Kitab (Alquran), Sunnah, perbuatan sahabat ra dan qias. Adapun Al-Kitab, yaitu firman Allah Ta’ala: “Dan dimana saja kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya (ke arah Al-Masjidil-haram) !”. S 2 Al Baqarah ayat 150. Dan orang yang menghadap ke arah Ka’bah, dikatakan: telah memalingkan (menghadapkan) mukanya ke arah Ka’bah. Adapun Sunnah, maka apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda kepada penduduk Madinah: “Apa yang diantara maghrib (tempat matahari terbenam) dan masyriq (tempat matahari terbit) adalah “Qiblat”. Maghrib (tempat matahari terbenam) itu berada di kanan penduduk Madinah. Dan masyriq (tempat matahari terbit) berada di kirinya. Maka Rasulullah saw menjadikan semua yang ada diantara keduanya itu, qiblat. Dan luas Ka’bah, tidaklah mencukupi dengan apa yang ada diantara masyriq dan maghrib. Hanya mencukupi dengan demikian itu, arahnya. Bunyi hadits tadi diriwayatkan juga dari ‘Umar dan puteranya ra. Adapun perbuatan sahabat ra, ialah: apa yang diriwayatkan, bahwa penduduk masjid Quba’, berada dalam shalat Shubuh di Madinah dengan menghadap ke Baitul-maqdis, membelakangi Ka’bah. Karena Madinah adalah diantara keduanya (antara Ka’bah di Makkah dan Baitul-maqdis). Lalu ada yang mengatakan kepada mereka, bahwa sekarang qiblat sudah diputar ke Ka’bah. Maka mereka itu berputar sedang shalat, tanpa mencari dalil (petunjuk). Dan tidak ada orang yang menantang perbuatan mereka. Dan masjid mereka itu namakan: Dzal-Qiblatain (mempunyai dua qiblat). Menghadap ‘ain dari Madinah ke Makkah, tidak diketahui, kecuali dengan dalil-dalil hindasah (ilmu ukur), yang lamalah penilikan kepadanya. Maka bagaimanakah dapat mereka mengetahui yang demikian, secara jelas pada waktu sedang shalat dan dalam kegelapan malam ?. Dan juga ditunjukkan oleh perbuatan para sahabat ra, bahwa mereka itu membangun masjid di keliling Makkah dan pada negeri-negeri Islam lainnya. Dan mereka tidak sekali-kali mendatangkan seorang insinyur ketika membangun mihrab-mihrabnya. Dan menghadap ‘ain itu, tidaklah dapat diketahui, kecuali dengan tilikan halus ilmu keinsinyuran. Adapun qias, yaitu: bahwa keperluan meminta kepada menghadap qiblat dan membangun masjid-masjid di semua benua di bumi ini. Dan tidak mungkin menghadap ‘ain, kecuali dengan ilmu pengetahuan hindasah (ilmu ukur), yang tidak disuruh agama penelitian padanya. Bahkan, kadang-kadang mengejutkan hati, untuk mendalami pengetahuannya. Maka bagaimanakah terdiri perintah agama di atasnya ? maka wajiblah mencukupi dengan arah saja, karena kesulitan itu. Adapun dalil syahnya gambar yang telah kami gambarkan itu, ialah terbatasnya penjuru dunia pada 4 penjuru. Maka sabda Nabi saw tentang adab membuang air (adab qodo’-hajat): “Janganlah kamu menghadap qiblat dan membelakanginya dengan membuang air itu. Tetapi menghadaplah ke timur (tempat matahari terbit) atau ke barat (tempat matahari terbenam) !”. Nabi saw mengucapkan hadits ini di Madinah. Dan tempat matahari terbit (Timur) adalah di sebelah kiri orang yang menghadap qiblat. Dan tempat matahari terbenam (Barat) adalah di sebelah kanannya. Maka Nabi saw melarang dari dua arah dan memberi keringanan pada dua arah. Dan jumlahnya adalah 4 arah. Dan tidaklah terguris dalam hati seseorang, bahwa penjuru-penjuru dunia itu, mungkin diumpamakan 6 atau 7 atau 10. Dan bagaimanakah adanya, lalu apakah hukumnya yang selebihnya itu ?. Tetapi penjuru-penjuru itu tetap pada kepercayaan, berdasarkan kejadian manusia. Dan tidaklah bagi manusia, selain 4 arah: muka dan belakang, kanan dan kiri. Maka adalah arah-arah itu 4, dengan menghubungkannya kepada manusia, menurut lahirnya pemandangan. Dan agama tidak dibina selain atas kepercayaan-kepercayaan yang seperti ini. Maka jelaslah, bahwa yang dituntut ialah: arah. Dan itu memudahkan urusan ijtihad dan mengajarkan dalil-dalil yang menunjukkan qiblat. Adapun menghadap ‘ain itu, maka sesungguhnyya diketahui dengan mengetahui kadar lintang Makkah dari Khatulistiwa’ dan kadar derajat panjangnya. Yaitu jauhnya dari awal bangunan di Timur. Kemudian, yang demikian itu, memperkenalkan pula tempat tegaknya orang yang mengerjakan shalat. Kemudian, dibandingkan yang satu dengan lainnya. Dan memerlukan kepada alat-alat dan sebab-musabab yang panjang padanya. Dan agama tidaklah sekali-kali dibina kepada yang demikian. Jadi, kadar yang tidak boleh tidak mempelajarinya, dari dalil-dalil qiblat itu, ialah tempat adanya timur dan barat pada waktu zawal. Dan tempat adanya matahari pada waktu ‘Ashar. Maka dengan ini, gugurlah wajib itu. Kalau anda bertanya, bahwa jikalau musafir itu keluar bermusafir, tanpa mengetahui yang demikian, adakah ia ma’siat (berdosa) ?. Maka aku menjawab, jikalau jalan yang ditempuhnya pada desa-desa yang sambung-menyambung, yang padanya ada mihrab-mihrab atau ada bersama dia dalam perjalanan itu, seorang yang tahu dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, yang dapat dipercayai kejujuran dan keahliannya dan ia mampu mengikutinya, maka tidaklah ia ma’siat. Dan jikalau tidak ada suatupun yang demikian tadi bersama dia, niscaya ma’siatlah dia. Karena ia akan melakukan kewajiban menghadap qiblat dan tidak memperoleh pengetahuannya. Maka jadilah yang demikian itu seperti pengetahuan tentang tayammum dan lainnya. Jikalau dipelajarinya dalil-dalil itu dan meragukan kepadanya hal qiblat, disebabkan mendung yang menggelapkan atau karena meninggalkan mempelajarinya dan tidak diperolehnya di jalanan, orang yang akan diikutinya, maka haruslah ia mengerjakan shalat dalam waktu, menurut keadaannya. Kemudian, harus di-qodo’kannya, baik ia betul atau salah. Orang buta, tidaklah baginya, selain daripada bertaqlid (mengikuti). Maka hendaklah ia mengikuti orang, yang dipercayai keagamaannya dan keahliannya, jikalau orang yang diikuti itu bersungguh-sungguh (berijtihad) pada mencari qiblat. Dan kalau qiblat itu terang, maka berpeganglah perkataan tiap-tiap orang yang jujur, yang menerangkan demikian. Baik di kampung atau dalam perjalanan. Dan tidaklah bagi orang buta dan orang bodoh, bermusafir dalam kafilah, yang tak ada padanya orang yang mengetahui dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, dimana diperlukan kepada mencari dalil-dalil itu. Sebagaimana tidak boleh bagi orang awam bermuqim di suatu negeri, yang tak ada orang faqih (ahli ilmu fiqh), yang tahu dengan uraian agama. Tetapi haruslah berhijrah ke tempat yang didapati orang yang mengajarkan agama kepadanya. Demikian juga, jikalau tidak ada dalam negeri, selain seorang faqih yang fasiq. Maka harus juga ia berhijrah. Karena tidak boleh berpegang kepada fatwa orang fasiq itu. Keadilan (kejujuran) adalah syarat bolehnya menerima fatwa, sebagaimana pada penerimaan riwayat hadits. Kalau ahli fiqh itu terkenal ahli, peri keadaannya tersembunyi tentang keadilan dan kefasiqannya, maka bolehlah kata-katanya diterima, manakala tidak diperoleh orang yang terang adilnya. Karena orang yang bermusafir dalam beberapa negeri, tidak akan sanggup menyelidiki keadilan juru-juru fatwa. Kalau dilihatnya ahli fiqh itu memakai sutera atau pakaian yang banyak suteranya atau mengendarai kuda, yang berpelana emas, maka telah teranglah kefasiqan orang itu. Dan terlaranglah menerima kata-katanya. Maka hendaklah dicari orang lain. Dan demikian juga apabila dilihatnya ahli fiqh itu memakan pada meja makan sultan (penguasa), yang kebanyakan hartanya haram. Atau ia mengambil banyak harta dari sultan atau sambung-bersambung, tanpa diketahuinya bahwa harta yang diambilnya itu dari jalan halal. Maka semua itu adalah fasiq, mencederakan keadilan dan melarang untuk diterima fatwa, riwayat hadits dan kesaksiannya. Adapun mengetahui waktu shalat yang 5 itu, maka tidak boleh tidak, daripada mengetahuinya. Maka waktu Dhuhur masuk dengan gelincir matahari (zawal). Sesungguhnya tidak boleh tidak, bahwa semua orang pada permulaan siang hari, mempunyai bayang-bayang yang panjang di pihak matahari terbenam. Kemudian senantiasalah bayang-bayang itu berkurang, sampai kepada waktu zawal. Kemudian bertambah sedikit demi sedikit pada pihak matahari terbit. Dan terus-meneruslah bertambah sampai kepada wakktu matahari terbenam. Maka hendaklah orang musafir itu tegak berdiri, pada suatu tempat ! atau menegakkan kayu lurus dan hendaklah memberi tanda atas kepala bayang-bayang. Kemudian hendaklah memperhatikan sesudah sesaat ! jikalau dilihatnya bayang-bayang itu pada berkurang, maka belumlah masuk waktu Dhuhur. Jalannya pada mengetahui yang demikian, ialah bahwa ia memperhatikan di negeri itu, waktu adzannya juru adzan yang dapat diperpegangi, akan bayang-bayang tegaknya. Kalau bayang-bayangnya itu, umpamanya, panjangnya 3 tapak kaki menurut ukuran tapak kakinya, maka manakala jadi yang demikian dalam perjalanan dan bayang-bayang itu semakin bertambah, niscaya bershalat Dhuhurlah ia. Dan kalau bertambah lagi 6 tapak kaki setengah, menurut tapak kakinya, niscaya masuklah waktu ‘Ashar. Karena bayang-bayang semua orang dengan ukuran tapal kakinya sendiri, adalah lebih kurang enam setengah tapak kaki. Kemudian, bayang-bayang zawal itu tiap-tiap hari bertambah, kalau perjalanannya dari permulaan musim panas. Dan kalau pada permulaan musim dingin, maka tiap-tiap hari bayang-bayang itu berkurang. Jalan yang terbaik untuk mengetahui bayang-bayang zawal, ialah memakai timbangan. Maka hendaklah si musafir itu membawanya serta ! dan hendaklah mempelajari perbedaan bayang-bayang dengan timbangan itu, pada tiap-tiap waktu. Kalau diketahui tempat matahari, dari orang yang menghadap qiblat waktu zawal dan ia berada dalam perjalanan pada tempat, yang terang qiblat padanya dengan dalil lain, maka mungkinlah ia mengetahui waktu dengan matahari, dengan jadinya matahari itu umpamanya diantara dua matanya, kalau ada matahari itu seperti yang demikian pada negeri tersebut. Adapun waktu Maghrib, maka masuk waktunya dengan terbenam matahari. Tetapi, kadang-kadang bukit (gunung) mendindingi tempat terbenam itu. Maka seyogyalah melihat ke pihak matahari terbit. Manakala telah tampak hitam di tepi langit, yang meninggi dari bumi sekadar tombak, maka masuklah waktu Maghrib. Adapun ‘Isya’, diketahui waktunya dengan terbenamnya syafaq. Yaitu: cahaya merah. Kalau cahaya merah itu terdinding dengan bukit (gunung), maka waktu ‘Isya’ itu, dapat diketahui dengan tampak dan banyaknya bintang-bintang kecil. Yang demikian itu, adalah sesudah hilangnya cahaya merah tadi. Adapun Shubuh, maka mula-mulanya lahir memanjang seperti ekor serigala. Dengan itu, belum dihukum waktu Shubuh sudah masuk, sehingga lalulah suatu masa. Kemudian menampak putih melintang, yang tidak sukar mengenalnya dengan mata, karena jelasnya. Maka inilah awal waktu Shubuh ! Nabi saw bersabda: “Tidaklah waktu Shubuh itu begini. Dan beliau mengumpulkan diantara kedua tapak tangannya. Sesungguhnya waktu Shubuh begini. Dan beliau meletakkan salah satu telunjuknya di atas yang lain dan membukakan keduanya”. Nabi saw menunjukkan dengan yang demikian, bahwa cahaya putih itu melintang. Kadang-kadang diambil dalil Shubuh itu dengan kedudukan bulan. Yang demikian adalah lebih kurang, tidak ada kepastian. Tetapi yang diperpegangi ialah melihat bertebarnya cahaya putih melintang. Karena suatu golongan dari para ahli hisab menyangka, bahwa Shubuh itu datang sebelum matahari, sebanyak 4 kedudukan bulan. Dan ini salah. Karena yang demikian itu, ialah: fajar kadzib (fajar yang kemudian menghilang). Dan yang disebut oleh ulama muhaqqiqun (ulama yang mempunyai dalil dengan penyelidikan mendalam), bahwa Shubuh itu mendahului dari terbit matahari dengan dua kedudukan bulan, inipun lebih kurang,. Bahkan, tidak dapat menjadi perpegangan. Karena setengah tempat-tempat kedudukan bulan (al-manazil) itu, terbit melintang lagi miring. Maka pendeklah masa terbitnya. Dan setengah tempat-tempat kedudukan bulan itu tegak lurus. Maka panjanglah masa terbitnya. Yang demikian itu berlain-lainan pada segala negeri, yang panjanglah penjelasannya. Benar, tempat-tempat kedudukan bulan itu patut untuk mengetahui dekat dan jauhnya waktu Shubuh. Adapun permulaan waktu Shubuh yang sebenarnya, tidaklah mungkin menentukannya sekali-kali, dengan dua tempat kedudukan bulan itu. Kesimpulannya, maka apabila tinggal 4 tempat kedudukan bulan sampai kepada terbitnya tanduk matahari (yang pertama-tama menampak dari matahari) sekadar satu tempat bulan, diyakinilah, bahwa itu fajar kadzib (cahaya terang yang menghilang kemudian). Dan apabila tinggal mendekati dua tempat bulan, diyakinilah terbitnya fajar shadiq (cahaya Shubuh yang tidak menghilang lagi). Dan tinggallah diantara dua cahaya terang itu, lebih kurang sekadar 2/3 tempat kedudukan bulan, yang diragukan termasuk waktu terang yang benar (fajar shadiq) atau waktu terang yang bohong (fajar kadzib). Dan itulah permulaan lahir cahaya putih dan bertebarnya sebelum meluas lintangnya. Maka dari waktu yang diragukan tadi (waktu syak), seyogyalah orang yang berpuasa, meninggalkan makan sahur. Dan orang yang bangun malam untuk shalat, mendahulukan shalat witir atas waktu syak itu. Dan tidak mengerjakan shalat Shubuh, sebelum berlalu masa yang diragukan tadi. Apabila telah diyakini, maka dikerjakanlah shalat Shubuh. Dan jikalau orang bermaksud menentukan dengan pasti, waktu yang tertentu, dimana ia minum pada waktu itu selaku orang bersahur, dan berdiri sesudahnya dan mengerjakan shalat Shubuh yang bersambungan dengan itu, niscaya tidaklah ia sanggup kepada yang demikian. Maka tidaklah mengetahui yang demikian itu sekali-kali berada pada kemampuan manusia. Tetapi tak boleh tidak ditangguhkan, demi berhenti sejenak dan karena keraguan. Dan tidaklah yang menjadi pegangan, selain yang tampak di mata. Dan tiada yang menjadi pegangan pada yang tampak itu, selain di atas cahaya yang menjadi bertebar pada lintang langit, sehingga lahirlah permulaan warna kuning. Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang banyak dari manusia yang mengerjakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan terhadap yang demikian, oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Isa At-Tirmidzi dalam Jami’nya (yang terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkannya dari Thalq bin ‘Ali, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Makanlah dan minumlah dan janganlah mengejutkan kamu dengan cahaya terang yang meninggi naik ! makanlah dan minumlah sehingga melintanglah bagimu cahaya merah !”. Dan ini adalah penegasan tentang menjaga cahaya merah itu. Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata: “Dalam bab hadits ini tersebut sanadnya dari ‘Uda bin Hatim, Abi Dzarr dan Samrah bin Jundub. Dan ini adalah hadits hasan (baik), gharib (tidak begitu terkenal). Menurut ahli ilmu hadits, hadits ini dapat diamalkan (dapat diambil menjadi dalil)”. Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Makanlah dan minumlah, selama cahaya itu terang cemerlang !”. Pengarang Al-Gharibain berkata: “Artinya: cahaya itu memanjang”. Jadi, tiada seyogyalah berpegang, kecuali di atas menampaknya cahaya kuning. Dan seolah-olah cahaya kuning itu permulaan cahaya merah. Sesungguhnya orang musafir itu memerlukan kepada mengenal waktu. Karena kadang-kadang ia menyegerakan shalat sebelum berangkat. Sehingga tidak menyusahkannya lagi untuk turun dari kendaraan. Atau ia menyegerakan shalat sebelum tidur, sehingga ia dapat beristirahat. Kalau ia menetapkan dirinya untuk mengemudiankan shalat, sampai kepada waktu yang diyakininya, maka ia membolehkan dirinya kehilangan keutamaan awal waktu. Dan menanggung kepayahan turun dari kendaraan dan kepayahan melambatkan tidur sampai kepada keyakinan, yang tidak memerlukan kepada mempelajari ilmu waktu. Sesungguhnya yang sulit, ialah: awal waktu, tidak di tengah-tengahnya. Telah tammat “Kitab Adab Safar”. Dan akan diiringi oleh “Kitab Adab Mendengar dan Kesannya di Hati”.