Kamis, 13 Februari 2014

15. KITAB “ADAB BERKASIH-KASIHAN, PERSAUDARAAN, PERSAHABATAN DAN PERGAULAN DENGAN SEGALA JENIS MANUSIA”.



KITAB “ADAB BERKASIH-KASIHAN, PERSAUDARAAN, PERSAHABATAN DAN PERGAULAN DENGAN SEGALA JENIS MANUSIA”.
(Yaitu Kitab Ke-5 dan Rubu’ ke-2 dari Adat Kebiasaan).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menganugerahkan dengan berlimpah-ruah kepada hambaNya yang pilihan, kerahmatan dan kenikmatan dengan segala kehalusan penentuan. Yang menjinakkan dengan berkasih-kasihan diantara hati mereka, lalu jadilah mereka itu bersaudara dengan kenikmatanNya. Yang mencabut kedengkian daripada mereka, lalu senantiasalah mereka itu di dunia berteman dan bersahabat dan di akhirat berkawan dan bertolan. Selawat kepada Muhammad yang pilihan dan kepada keluarganya serta para sahabatnya yang mengikuti dan menuruti jejaknya, dengan perkataan dan perbuatan, dengan keadilan dan keikhlasan. Kemudian, sesungguhnya berkasih-kasihan pada jalan Allah Ta’ala dan persaudaraan pada jalan agamaNya, adalah pendekatan diri yang paling utama kepadaNya. Dan faedah yang paling halus, yang diperoleh dari segala ketaatan pada segala adat kebiasaan yang berlaku. Dan semuanya itu mempunyai syarat-syarat, dimana dengan syarat-syarat itu, berhubunganlah segala yang bersahabat dengan orang-orang yang dikasihinya pada jalan Allah Ta’ala. Dan pada syarat-syarat itu, terdapat hak-hak, dimana dengan menjagakannya, bersihlah persaudaraan itu dari campuran segala kekotoran dan gangguan setan. Maka dengan menegakkan hak-haknya itu, mendekatlah ia kepada Allah dalam tingkatannya. Dan dengan menjaga hak-hak itu, tercapailah derajat yang tinggi. Kami akan menerangkan segala maksud dari Kitab ini 3 bab:
Bab Pertama: tentang kelebihan berkasih-kasihan dan persaudaraan pada jalan Allah Ta’ala, syarat-syarat, derajat-derajat dan faedah-faedahnya.
Bab Kedua: tentang hak-hak persahabatan, adabnya, hakikat dan segala keharusannya.
Bab Ketiga: tentang hak orang muslim, keluarga, tetangga dan hamba sahaya yang dimiliki dan cara bergaul dengan orang-orang yang memperoleh percobaan dengan sebab-sebab tersebut.
BAB PERTAMA: tentang kelebihan berkasih-sayang (ulfah) dan persaudaraan, mengenai syarat-syarat, derajat dan faedah-faedahnya.
Kelebihan: berkasih-sayang dan persaudaraan:
Ketahuilah, bahwa berkasih-sayang, adalah buah kebaikan budi. Dan bercerai-berai, adalah buah keburukan budi. Maka kebaikan budi itu mengharuskan berkasih-kasihan, berjinak-jinakan hati dan penyesuaian paham. Dan keburukan budi itu, membuahkan bermarah-marahan, berdengki-dengkian dan belakang-membelakangi. Manakala yang mendatangkan buah itu terpuji, niscaya buahnya adalah terpuji. Dan kebaikan budi itu, tidaklah tersembunyi pada agama akan kelebihan dan keutamaannya. Dan kebaikan budi itulah yang dipujikan Allah swt akan NabiNya, dimana Ia berfirman: “Dan sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang tinggi”. S 68 Al Qalam ayat 4. Dan Nabi saw bersabda: “Yang membanyakkan manusia masuk sorga, ialah taqwa kepada Allah dan kebaikan budi”. Usamah bin Syuraik berkata: “Kami bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah yang terbaik diberikan kepada manusia ?”. Nabi saw menjawab: “Budi yang baik”. Nabi saw bersabda: “Diutuskan aku untuk menyempurnakan kebaikan budi”. Nabi saw bersabda: “Yang terberat dari apa yang diletakkan dalam al-mizan (timbangan amal), ialah budi yang baik”. Nabi saw bersabda: “Tiada dibaguskan oleh Allah akan kejadian dan budinya seseorang manusia, lalu dia itu dijadikan menjadi makanan neraka”. Nabi saw bersabda: “Hai Abu Hurairah ! haruslah engkau berbaik budi”. Lalu Abu Hurairah ra bertanya: “Bagaimanakah budi yang baik itu wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Engkau menyambung silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau, engkau maafkan orang yang berbuat dzalim kepada engkau dan engkau memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa buah kebaikan budi itu, ialah berkasih-sayang (ulfah) dan habisnya keliaran hati. Dan manakala baguslah yang mendatangkan buah, niscaya baguslah buahnya. Bagaimana tidak ? dan telah datang pujian kepada jiwa berkasih-sayang itu, lebih-lebih apabila ikatannya itu adalah: taqwa, agama, dan mencintai Allah, dari ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar, dimana padanya cukup dan memuaskan penjelasannya. Allah Ta’ala berfirman, untuk menjelaskan keagungan nikmatNya kepada manusia dengan kenikmatan berjinak-jinakan hati: “Kalau kiranya engkau belanjakan seluruh apa yang ada di bumi, niscaya engkau tidak juga dapat menyatukan (menjinakkan) hati mereka, tetapi Allah menyatukan hati mereka”. S 8 Al Anfaal ayat 63. Dan Allah berfirman: “Maka dengan nikmat Allah, kamu menjadi bersaudara”. S 3 Ali ‘Imran ayat 103. Artinya: dengan ulfah (berjinak-jinakan hati, berkasih-sayang). Kemudian Allah Ta’ala mencela perpecahan dan memperingatkan supaya perpecahan itu ditinggalkan. Maka Maha Agunglah IA yang berfirman: “Dan berpegang eratlah kamu sekalian dengan tali Allah (agama Allah) dan janganlah berpecah belah ! ingatilah kurnia Allah kepada kamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu dipersatukannya hati kamu (dalam agama Allah), sehingga dengan kurnia Allah itu, kamu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulu berada di tepi lobang neraka, maka dilepaskanNya kamu daripadanya. Begitulah Allah menjelaskan keterangan-keteranganNya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk”. S 3 Ali ‘Imran ayat 103. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukanmu kepadaku, ialah yang terbaik akhlaq (budi pekerti) daripada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka”. Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu, ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan, pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya”. Nabi saw bersabda tentang pujian kepada pesaudaraan dalam agama: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kepadanya kebajikan, niscaya dianugerahiNya kepadanya teman yang baik. Kalau ia lupa, maka teman itu yang memperingatinya. Dan jikalau ia teringat, maka teman itu yang menolongnya”. Nabi saw bersabda: “2 orang yang bersaudara itu, apabila berjumpa, adalah seumpama dua tangan, yang satu membasuh yang lain. Dan tidaklah sekali-kali dua orang mu’min itu bertemu melainkan diberi faedah oleh Allah dengan kebajikan akan salah seorang dari keduanya dari temannya”. Nabi saw bersabda tentang mengajak kepada pesaudaraan pada jalan Allah: “Barangsiapa mempersaudarakan seseorang saudara pada jalan Allah, niscaya ia ditinggikan oleh Allah suatu tingkat dalam sorga, yang tiada akan dicapainya dengan sesuatu dari amal perbuatannya”. Abu Idris Al-Khaulani berkata kepada Mu’az: “Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah. Maka menjawab Mu’az: “Gembiralah kamu kiranya ! gembiralah kamu kiranya ! maka sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Akan diletakkan untuk segolongan manusia, beberapa kursi di keliling ‘Arasy pada hari qiamat, dimana wajah mereka itu seperti bulan pada malam punama raya, dimana manusia lain gentar dan mereka tidak gentar ddan manusia lain takut dan mereka tidak takut. Mereka itu ialah wali-wali Allah, yang tak ada pada mereka ketakutan dan kegundahan”. Lalu orang menanyakan: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah !” Nabi saw menjawab: “Mereka itu ialah orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah Ta’ala”. Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra. Dan Abu Hurairah ra menerangkan, bahwa pada hadits itu tersebut: “Sesungguhnya di keliling ‘Arasy itu beberapa mimbar dari nur, dimana atas mimbar itu suatu kaum, pakaiannya nur dan wajahnya nur. Mereka itu bukanlah nabi-nabi dan orang-orang syahid. Mereka itu disenangi oleh nabi-nabi dan orang-orang syahid”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! terangkanlah kepada kami siapa mereka itu !”. Maka Nabi saw menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, sama-sama duduk pada jalan Allah dan kunjung-mengunjungi pada jalan Allah”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah berkasih-kasihan dua orang pada jalan Allah, melainkan yang lebih mencintai Allah dari keduanya. Itulah yang paling mencintai temannya, dari keduanya itu”. Dan dikatakan, bahwa dua orang bersaudara pada jalan Allah itu, apabila seorang dari keduanya lebih tinggi kedudukannya dari yang lain, niscaya ditinggikan oleh Allah yang lain itu bersamanya kepada kedudukannya. Dan yang lain itu akan menghubungi dengan dia, sebagaimana keturunan menghubungi dengan dua ibu bapak dan keluarga, sebagiannya dengan sebagian yang lain. Karena persaudaraan itu apabila diusahakan pada jalan Allah, niscaya tidaklah berkurang dari persaudaraan dengan kelahiran. Allah Azza Wa Jalla berfirman:: “Nanti mereka akan kami pertemukan dengan keturunannya itu dan tiada Kami kurangi amal mereka barang sedikitpun”. S 52 Ath Thuur ayat 21. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Benarlah kesayanganKu kepada mereka yang kunjung-mengunjungi dari karenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka, yang berkasih-kasihan dari kerenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka, yang beri-memberi, dari karenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka yang tolong-menolong dari karenaKu”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari qiamat: “Dimanakah sekarang mereka, yang berkasih-kasihan dengan sebab kebesaranKu ? pada hari ini, Aku naungi mereka pada naunganKu, pada hari yang tidak ada naungan, selain naunganKu”. Nabi saw bersabda: “7 orang yang dinaungi oleh Allah pada naunganNya, pada hari yang tak ada naungan, selain dari naunganNya: imam yang adil, pemuda yang berkembang dalam ibadah kepada Allah, laki-laki yang hatinya tersangkut di Masjid, apabila ia keluar dari Masjid, sehingga kembalilah ia ke Masjid, dua orang laki-laki yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah diatas yang demikian, laki-laki yang mengingati Allah (berdzikir) pada tempat yang sunyi sepi, lalu bergenanglah kedua matanya dengan air mata, laki-laki yang dipanggil oleh wanita bangsawan dan cantik, lalu menjawab: “Aku takut kepada Allah Ta’ala dan laki-laki yang bersedekah suatu sedekah, lalu menyembunyikannya, sehingga tiada diketahui oleh tangan kirinya apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah seorang laki-laki yang berkunjung kepada seorang laki-laki pada jalan Allah, karena rindu kepadanya dan ingin menjumpainya, melainkan ia dipanggil oleh Malaikat dari belakangnya dengan kata-kata: “Baiklah engkau kiranya, baiklah tempat jalannya engkau dan baiklah sorga bagi engkau !”. Nabi saw bersabda: “Bahwa seorang laki-laki berkunjung (berziarah) kepada saudaranya pada jalan Allah. Maka Allah mengirimkan kepadanya Malaikat, untuk menanyakan: “Kamu hendak kemana ?”. Laki-laki itu menjawab: “Mau mengunjungi saudaraku si Anu”. Lalu Malaikat itu bertanya lagi: “Adakah keperluanmu padanya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak ada !”. Malaikat itu menyambung: “Karena kefamiliankah diantara kamu dan dia ?”. Laki-laki itu menyahut: “Tidak !”. Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah disebabkan nikmat pemberiannya kepadamu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Malaikat itu bertanya pula: “Kalau begitu, apakah sebabnya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku mencintainya pada jalan Allah”. Lalu Malaikat itu menyambung: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus aku kepadamu untuk menerangkan, bahwa Dia mencintaimu, karena cintamu kepadaNya. Dan telah diharuskanNya sorga untukmu”. Nabi saw bersabda: “Yang terlebih kokoh perpegangan tali iman, ialah kasih-sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah”. Maka karena inilah, harus bagi seseorang mempunyai musuh yang dimarahinya pada jalan Allah, sebagaimana ia mempunyai teman dan saudara yang dicintainya pada jalan Allah. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada seorang dari nabi-nabi, dengan fiirmanNya: “Adapun zuhudmu di dunia (bencimu kepada dunia), maka telah menyegerakan kamu beristirahat. Adapun putusmu dari dunia, karena beribadah kepadaKu, maka sesungguhnya kamu telah memperoleh kemuliaan dengan Aku. Tetapi adakah kamu bermusuh pada jalanKu akan seseorang musuh ? atau adakah kamu berkasih-sayang pada jalanKu dengan seseorang kekasihKu ?”. Nabi saw bersabda: “Wahai Allah Tuhanku ! janganlah kiranya Engkau menjadikan nikmat kepunyaan orang dzalim kepadaku, lalu Engkau anugerahkan kecintaanku kepadanya !”. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Isa as dengan firmanNya: “Jikalau engkau mengerjakan ibadah kepadaKu, dengan ibadah penduduk langit dan bumi dan tidak ada kecintaan pada jalan Allah dan tidak ada kemarahan pada jalan Allah, niscaya tidaklah yang demikian itu mencukupkan akan sesuatu pada engkau”. Isa as bersabda: “Berkasih-sayanglah kamu pada jalan Allah, dengan kemarahan orang-orang yang berbuat ma’siat ! mendekat dirilah kamu kepada Allah, dengan menjauhkan diri dari mereka ! dan carilah kerelaan Allah dengan kemarahan mereka !”. Para sahabat Isa as bertanya: “Wahai kekasih Allah ! maka dengan siapakah kami duduk-duduk ?”. Isa as menjawab: “Duduklah kamu dengan orang, yang dengan melihatnya, mengingatkan kamu kepada Allah, dengan orang, yang dengan perkataannya menambahkan amalanmu dan dengan orang, yang dengan amalannya menggemarkan kamu kepada akhirat”. Diriwayatkan dalam berita-berita zaman dahulu, bahwa Allah Azza Wa Jalla menurunkan wahyu kepada Musa as dengan firmanNya: “Wahai Ibnu ‘Imran ! hendaklah kamu waspada dan tariklah saudara-saudara itu untuk dirimu ! tiap-tiap teman dan sahabat yang tidak menolong engkau kepada kesukaanKu, maka itu adalah musuhmu". Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Dawud as dengan firmanNya: “Wahai Dawud ! mengapakah Aku melihat engkau tercampak sendirian ?”. Dawud as menjawab: “Wahai Tuhanku ! aku benci kepada makhluk dari karena Engkau”. Maka Allah berfirman: “Wahai Dawud ! hendaklah engkau waspada dan tariklah teman-teman itu untuk dirimu ! dan tiap-tiap teman yang tiada sesuai dengan engkau kepada kesukaanKu, maka janganlah engkau berteman dengan dia ! karena dia musuhmu, yang mengesatkan hatimu dan menjauhkan kamu daripadaKu”. Tersebut pada akhbar (berita-berita) Dawud as, bahwa Dawud as bertanya kepada Allah: “Wahai Tuhanku ! bagaimanakah supaya aku disukai oleh semua manusia dan aku selamat mengenai sesuatu antaraku dan Engkau ?”. Allah Ta’ala menjawab: “Bergaullah dengan manusia menurut akhlaq mereka ! dan berbuat baiklah mengenai sesuatu antara Aku dan engkau !”. Dan pada setengah akhbar tersebut: “Berakhlaqlah dengan penduduk dunia dengan akhlaq dunia dan berakhlaqlah dengan penduduk akhirat dengan akhlaq akhirat !”. Nabi saw bersabda: “Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan yang amat dimarahi diantara kamu oleh Allah, ialah orang-orang yang menyiarkan khabar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai Malaikat, setengahnya dari api dan setengahnya dari salju, dimana Malaikat itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sebagaimana Engkau jinakkan antara salju dan api, maka demikian pula, jinakkanlah antara hati segala hambaMu yang shalih”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Tiada diadakan oleh seorang hamba, akan persaudaraan pada jalan Allah, melainkan diadakan oleh Allah untuknya, suatu tingkat dalam sorga”. Nabi saw bersabda: “Mereka yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, adalah diatas suatu tiang dari mutiara yaqut yang merah. Pada puncak tiang itu 70 ribu kamar. Mereka itu menoleh kepada penduduk sorga, yang kebagusan mereka, memberi cahaya kepada penduduk sorga itu, sebagaimana matahari memberi cahaya kepada penduduk dunia. Maka berkatalah penduduk sorga: “Pergilah kepada kami, supaya kami melihat kepada orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah ! lalu kebagusan mereka menyinarkan penduduk sorga, sebagaimana matahari menyinarkan. Pada mereka, kain sutera hijau, yang tertulis pada dahi mereka: “Orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah”. Menurut atsar, diantara lain, ‘Ali ra berkata: “Haruslah kamu bersaudara (berteman) ! karena teman-teman itu adalah alat (media) di dunia dan di akhirat. Apakah kamu tidak mendengar ucapan penduduk neraka: “Bahwa kami tiada mempunyai orang-orang yang akan menolong. Dan tiada mempunyai teman yang setia !”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 100-101. ‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata: “Demi Allah ! jikalau aku berpuasa siang, dimana aku tiada berbuka padanya dan aku bershalat malam, dimana aku tiada tidur padanya dan aku belanjakan hartaku yang baik-baik pada jalan Allah, maka aku mati pada hari aku mati dan tidak ada dalam hatiku kecintaan kepada orang-orang yang mentaati Allah dan kemarahan kepada orang-orang yang mendurhakai Allah, niscaya tiadalah bermanfaat kepadaku sedikitpun dari yang demikian itu”. Ibnus-Samak mendoa ketika akan meninggal: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwa aku, apabila mendurhakai Engkau, maka aku adalah mencintai orang yang mentaati Engkau. Maka jadikanlah yang demikian itu, mendekatkan aku kepada Engkau !”. Al-Hasan berkata sebaliknya: “Wahai anak Adam ! janganlah kamu terperdaya dengan perkataan orang yang mengatakan: ‘Manusia itu bersama orang yang dikasihinya’. Karena engkau tiada akan memperoleh derajat orang baik-baik, kecuali dengan beramal segala amalan mereka. Sesungguhnya orang Yahudi dan orang Nasrani, adalah mencintai nabi-nabinya dan tidaklah mereka itu bersama nabi-nabinya”. Dan ini menunjukkan, bahwa semata-mata demikian, tanpa bersesuaian pada sebahagian perbuatan atau seluruhnya, niscaya tidaklah bermanfaat. Al-Fudlail berkata pada sebahagian perkataannya: “Wah, kamu ingin menempati sorga Firdaus dan mendekati Tuhan Yang Maha Pengasih pada rumahNya, bersama nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Dengan amal apakah yang engkau kerjakan ? dengan syahwat apakah yang engkau tinggalkan ? dengan kemarahan apakah yang engkau tahan kemarahan itu ? dengan siltaurrahim manakah yang telah putus, engkau sambungkan ? dengan kesalahan manakah bagi saudaramu, yang telah engkau ampunkan ? dengan yang dekat manakah, yang telah engkau jauhkan pada jalan Allah ? dan dengan yang jauh manakah, yang telah engkau dekatkan pada jalan Allah ?”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as dengan firmanNya: “Adakah engkau berbuat amal semata-mata bagiKu ?”. Musa as menjawab: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku mengerjakan shalat bagiMu, berpuasa, bersedekah dan berzakat”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat bagimu itu suatu dalil. Puasa itu suatu benteng. Sedekah itu suatu naungan. Dan zakat itu suatu nur. Maka amal manakah yang engkau perbuat untukKu ?”. Musa mendoa: “Wahai Tuhanku ! tunjukilah aku akan amal yang untukMu ?”. Tuhan berfirman: “Wahai Musa ! adakah engkau berteman untukKu saja teman itu ? dan adakah engkau bermusuh pada jalanKu saja musuh itu ?”. Maka tahulah Musa, bahwa amal yang paling utama, ialah mencintai pada jalan Allah dan memarahi pada jalan Allah. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jikalau adalah seorang laki-laki berdiri mengerjakan shalat antara ar-rukn (sudut Ka’bah) ddan Al-Maqam (Maqam Ibrahim dekat Ka’bah). Ia beribadah kepada Allah selama 70 tahun. Niscaya ia dibangkitkan oleh Allah pada hari qiamat, bersama orang yang dikasihinya”. Al-Hasan ra berkata: “Memutuskan silaturrahim dengan orang fasiq, adalah pendekatan diri kepada Allah”. Seorang laki-laki berkata kepada Muhammad bin Wasi’: “Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah”. Maka menjawab Muhammad bin Wasi’: “Engkau dicintai Allah, dimana engkau mencintai aku karenaNya”. Kemudian Muhammad bin Wasi’ memalingkan wajahnya dan mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku mencintai pada jalan Engkau, sedang Engkau memarahi aku”. Seorang laki-laki masuk ke tempat Dawud Ath-Tha’i. Lalu Dawud bertanya kepadanya: “Apakah hajatmu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Mengunjungi Engkau”. Maka Dawud menyambung: “Adapun engkau sesungguhnya, telah berbuat kebajikan, ketika berkunjung kemari. Tetapi perhatikanlah, apa yang menimpa kepada diriku, apabila orang menanyakan kepadaku: “Siapakah engkau, maka dikunjungi ? adakah termasuk orang zahid engkau ini ? “Tidak demi Allah !”. Adakah termasuk orang ‘abid engkau ini ? “Tidak, demi Allah !”. Adakah termasuk orang shalih engkau ini ? “Tidak, demi Allah !”. Kemudian, beliau tujukan untuk menjelekkan dirinya sendiri, dengan mengatakan: “Adalah aku pada waktu muda dahulu, seorang yang fasiq. Maka tatkala aku telah tua, lalu aku menjadi seorang yang ria. Demi Allah, orang yang ria itu adalah lebih jahat daripada orang yang fasiq”. ‘Umar ra berkata: “Apabila seorang kamu memperoleh kesayangan dari saudaranya, maka hendaklah ia berpegang teguh dengan kesayangan itu. Amat sedikitlah orang yang memperoleh demikian”. Mujahid berkata: “Orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, apabila berjumpa, lalu mengerutkan muka satu sama lain. Berguguranlah segala kesalahan dari mereka, sebagaimana berguguran daun kayu pada musim dingin, apabila daun kayu itu telah kering”. Al-fudlail berkata: “Pandangan seseorang kepada wajah saudaranya (temannya) dengan kecintaan dan kesayangan, adalah ibadah”.
PENJELASAN: Arti persaudaraan pada jalan Allah dan perbedaannya dari persaudaraan pada jalan dunia.
Ketahuilah, kiranya kecintaan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah, adalah soal yang kabur. Dan akan terbuka tutupnya dengan apa yang akan kami sebutkan. Yaitu: bahwa persahabatan itu terbagi kepada: yang terjadi dengan kebetulan, seperti pesahabatan disebabkan bertetangga. Atau disebabkan pergaulan di surau atau di sekolah atau di pasar atau pada pintu sultan atau dalam perjalanan. Dan kepada: yang terjadi dengan pilihan sendiri dan dengan maksud. Yaitu: yang kami maksudkan menerangkannya. Karena persaudaraan dalam agama itu terjadi sudah pasti, dalam bahagian ini. Karena tiada pahala, selain pada perbuatan yang pilihan sendiri (al-‘af-‘aal – al-ikhtiyariyyah). Dan tak ada penggemaran, kecuali pada perbuatan yang pilihan itu. Persahabatan adalah: ibarat dari duduk bersama, bercampur dan bergaul. Dan segala hal ini, tiada dimaksudkan oleh seorang manusia dengan manusia lain, kecuali apabila dikasihinya. Maka yang tidak dikasihi itu, dijauhkan dan disingkirkan. Dan tidak bermaksud bercampur-baur dengan dia. Dan yang dikasihi itu, adakalanya dikasihi, karena diri benda itu sendiri. Bukan untuk menyampaikan kepada yang dikasihi dan yang dimaksudkan di belakangnya. Dan adakalanya dikasihi untuk menyampaikan kepada sesuatu maksud. Dan maksud itu, adakalanya terbatas pada dunia dan bahagian-bahagiannya. Adakalanya berhubungan dengan akhirat. Dan adakalanya berhubungan dengan Allah Ta’ala. Maka inilah 4 bahagian:
Bahagian pertama: yaitu, engkau mencintai seorang manusia, karena diri orang itu. Dan yang demikian itu mungkin. Yaitu: ada pada dirinya yang tercinta bagimu. Dengan pengertian, bahwa engkau merasa senang melihatnya, mengenalinya dan menyaksikan segala tingkah lakunya. Karena engkau memandang baik kepadanya. Maka sesungguhnya tiap-tiap yang cantik itu, adalah enak pada pihak orang yang mengetahui kecantikannya. Dan tiap-tiap yang enak itu, disukai. Keenakan itu mengikuti akan istihsan (memandang baik). Dan istihsan itu mengikuti akan penyesuaian, berpatutan dan kesepakatan antara karakter-karakter (tabiat-tabiat). Kemudian yang dipandang baik itu, adakalanya bentuk zhahir, yakni: kecantikan kejadian (bagus bentuknya). Dan adakalanya bentuk bathin. Yakni: kesempurnaan akal pikiran dan kebagusan budi pekerti. Dan kebagusan budi pekerti itu tidak mustahil akan diikuti oleh kebagusan perbuatan. Dan kesempurnaan akal pikiran, akan diikuti oleh banyaknya ilmu pengetahuan. Dan semua itu, dipandang baik pada karakter yang sejahtera dan akal yang lurus (betul). Dan tiap-tiap yang dipandang baik itu, maka dirasa enak dan disayangi. Bahkan pada penjinakan hati itu, ada suatu hal yang lebih kabur dari ini. Karena kadang-kadang, kekasih-sayangan itu kokoh kuat diantara dua orang, tanpa manis rupa, budi pekerti dan bagus bentuk. Tetapi karena persesuaian bathin, mengharuskan kejinakkan hati dan kesepatakan jiwa. Karena keserupaan sesuatu itu, tertarik kepadanya dengan tabiat. Dan keserupaan-keserupaan bathin itu tersembunyi. Dan mempunyai sebab-sebab yang halus, yang tidak sanggup kekuatan manusia menyelaminya. Rasulullah saw mengibaratkan dari yang demikian, dimana beliau bersabda: “Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul. Maka yang kenal mengenal daripadanya, niscaya jinak-menjinakkan. Dan yang bertentangan daripadanya niscaya berselisihlah”. Pertentangan, adalah hasil (natijah) dari perbedaan. Dan kejinakan hati adalah hasil dari kesesuaian, yang diibaratkan dengan: ta’aruf (berkenalan satu sama lain). Pada sebahagian kata-kata hadits tadi, terdapat yang maksudnya: “Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul dan berjumpa. Lalu berciuman di udara”. Setengah ‘ulama menyebutkan ini dengan cara kinayah (sindiran), dengan mengatakan, bahwa Allah Ta’ala menjadikan segala nyawa. Maka dipecahkanNya setengahnya berpecahan dan dithawafkanNya (dikelilingkanNya) di keliling ‘Arasy. Maka mana diantara dua nyawa dari dua pecahan yang berkenalan itu, lalu keduanya bertemu, sebagai sambungan di dunia. Dan Nabi saw bersabda: “Bahwa nyawa dua orang mu’min, bertemu dalam perjalanan sehari. Dan tiada sekali-kali, salah seorang dari keduanya melihat temannya”. Diriwayatkan: “Bahwa di Makkah ada seorang wanita, suka menertawakan wanita lain. Dan di Madinah ada lagi seorang. Lalu wanita Makkah tadi tinggal di Madinah. Maka datanglah ia ke tempat ‘Aisyah. Lalu menertawakannya. Maka ‘Aisyah bertanya: “Dimanakah engkau tinggal ?”. Wanita tadi, lalu menyebutkan kepada ‘Aisyah temannya. Maka ‘Aisyah berkata: “Benarlah kiranya Allah dan RasulNya. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul.....sampai akhir hadits diatas tadi”. Yang sebenarnya mengenai ini, ialah: bahwa pandang memandang dan percobaan, menjadi saksi kejinakan hati, ketika terdapat kesesuaian. Dan kesesuaian tentang tabiat dan akhlaq pada bathin dan pada zhahir, adalah hal yang dapat dipahami. Adapun sebab-sebab yang mengharuskan persesuaian itu, tidaklah sanggup kemampuan manusia mendalaminya. Dan sejauh kelucuan ahli nujum, bahwa ia mengatakan: apabila bintangnya berada 6 kali dari bintang orang lain atau 3 kali, maka ini memperlihatkan persesuaian dan kesayangan. Lalu yang demikian itu menghendaki kepada kesesuaian dan berkasih-kasihan. Dan apabila sebaliknya atau berada 4 kali, niscaya membawa kepada bermarah-marahan dan permusuhan. Maka ini kalau benar adanya seperti demikian, dalam berlakunya sunnah Allah (yang ditetapkan oleh Allah) pada kejadian langit dan bumi, niscaya persoalan padanya, adalah lebih banyak dari persoalan tentang pokok kesesuaian. Maka tak ada artinya, memasuki hal yang tidak terbuka rahasianya (sirr) bagi umat manusia. Maka tidaklah dianugerahkan kepada kita, dari ilmu pengetahuan, kecuali sedikit saja. Dan mencukupilah bagi kita, untuk membenarkan yang demikian itu, percobaan dan penyaksian. Dan telah datang hadits tentang yang demikian, dimana Nabi saw bersabda: “Jikalau seorang mu’min masuk ke suatu majelis, dimana pada majelis itu 100 orang munafiq dan seorang orang mu’min, sesungguhnya orang mu’min itu datang, sehingga duduk pada seorang mu’min tadi. Dan jikalau seorang munafiq masuk ke suatu majelis, dimana pada majelis itu 100 orang mu’min dan seorang orang munafiq, sesungguhnya orang munafiq itu datang, sehingga ia duduk pada seorang munafiq itu”. Ini menunjukkan, bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik kepadanya dengan tabiat, walaupun ua tiada terasa yang demikian itu. Malik bin Dinar berkata: “Tidak akan sesuai dua orang dalam 10 orang, selain pada salah seorang dari keduanya, terdapat sifat dari yang seorang lagi. Sesungguhnya jenis-jenis manusia, adalah seperti jenis-jenis burung. Tidak akan sepakat dua macam burung terbang bersama, kecuali diantara keduanya ada kesesuaian”. Lalu Malik bin Dinar meneruskan dengan mengatakan bahwa pada suatu hari, beliau melihat seekor burung gagak, bersama seekor burung merpati. Maka heranlah beliau melihat demikian, lalu berkata: “Keduanya itu telah sepakat dan tidaklah keduanya itu dari satu bentuk”. Kemudian, kedua ekor burung itu terbang. Rupanya, keduanya pincang. Lalu Malik bin Dinar berkata: “Dari segi inilah keduanya sepakat”. Karena itulah, setengah ahli hikmat (hukama’) berkata: “Tiap-tiap manusia, jinak hatinya kepada yang sebentuk dengan dia sebagaimana masing-masing burung itu terbang bersama jenisnya. Dan apabila dua orang bersahabat pada suatu waktu dan keadaan keduanya tidak serupa, maka tak dapat tidak, keduanya akan berpisah”. Dan inilah suatu pengertian yang tersembunyi, yang telah dipahami dengan kecerdikan oleh penyair-penyair. Sehingga berkatalah seorang dari mereka:
“Seorang bertanya:
“Bagaimana, engkau berdua jadi berpisah ?”.
Maka aku menjawab,
dengan jawaban keinsyafan:
“Dia tidak sebentuk dengan aku,
maka aku berpisah dengan dia.......”.
Manusia itu berbagai bentuk
dan beribu macam keadaan.......”.
Maka jelaslah dari yang tersebut ini, bahwa manusia kadang-kadang mencintai karena zat barang itu sendiri. Bukan karena sesuatu faedah, yang akan dicapai, pada masa yang sekarang atau pada masa yang akan datang. Tetapi, karena semata-mata kesejenisan dan kesesuaian pada sifat-sifat bathin dan budi pekerti yang tersembunyi. Dan termasuk dalam bahagian ini, cinta karena cantik, apabila, tidak ada maksudnya untuk melepaskan nafsu syahwat. Sesungguhnya, rupa yang cantik adalah enak dipandang mata, walaupun diumpamakan tidak ada nafsu syahwat sama sekali. Sehingga enaklah memandang kepada buah-buahan, sinar, bunga-bungaan, buah rufah yang warnanya bercampur dengan kemerah-merahan, memandang kepada air yang mengalir dan kepada benda yang kehijau-hijauan, tanpa suatu maksud, selain daripada benda itu sendiri. Kecintaan tadi tidaklah termasuk kecintaan kepada Allah. Tetapi itu, adalah kecintaan dengan tabiat (sifat masing-masing) dan hawa nafsu. Dan yang demikian itu, tergambar dari orang yang tidak beriman kepada Allah. Kecuali, sesungguhnya, kalau hal yang tersebut tadi, mempunyai hubungan dengan suatu maksud yang tercela, niscaya jadilah ia tercela. Seperti kecintaan kepada rupa yang cantik untuk melepaskan hawa nafsu, dimana tidak halal melepaskannya. Dan jikalau tidak berhubungan dengan suatu maksud yang tercela, maka itu diperbolehkan (mubah), yang tidak disifatkan dengan pujian dan celaan. Karena kecintaan itu, adakalanya terpuji, adakalanya tercela dan adakalanya mubah, tidak terpuji dan tidak tercela.
Bahagian kedua: bahwa mencintai sesuatu, untuk memperoleh dari benda itu, selain dari bendanya. Maka jadilah benda itu, wasilah (jalan) untuk sampai kepada yang dicintai, yang lain dari benda itu. Dan wasilah kepada yang dicintai, adalah dicintai. Dan apa yang dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya, adalah yang lain itu pada hakikatnya yang dicintai. Tetapi jalan kepada yang dicintai, adalah dicintai juga. Karena itulah, manusia mencintai emas dan perak. Dan tak ada maksud pada keduanya. Karena ia tidak diambil untuk menjadi makanan dan pakaian. Tetapi keduanya, adalah wasilah kepada segala yang dicintai. Sebahagian manusia, ada orang yang dicintai, sebagaimana dicintai emas dan perak, dari segi dia itu wasilah kepada sesuatu maksud. Karena dengan dia, dapat mencintai kemegahan atau harta atau ilmu pengetahuan. Sebagaimana orang mencintai seorang sultan (penguasa), karena dapat mempergunakan hartanya atau kemegahannya. Dan mencintai orang-orang tertentu dari orang-orang sultan, karena mereka akan menerangkan yang baik-baik tentang dirinya kepada sultan. Dan menyediakan persoalannya untuk masuk ke dalam hati sultan. Maka jalan yang dicari untuk sampai kepadanya, kalau faedahnya terbatas pada dunia saja, niscaya tidaklah kecintaannya itu dari jumlah kecintaan pada jalan Allah. Dan kalau tidak terbatas faedahnya pada dunia, tetapi tiada dimaksudkan kecuali untuk dunia, seperti kecintaan murid kepada gurunnya, maka itu juga diluar dari kecintaan kepada Allah. Karena sesungguhnya, mencintai guru, adalah supaya memperoleh ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri. Maka yang dicintainya adalah ilmu pengetahuan. Apabila tidak dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan itu, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tetapi untuk memperoleh kemegahan, harta dan penerimaan dari orang banyak, maka yang dicintainya, adalah kemegahan dan penerimaan orang banyak. Dan ilmu pengetahuan itu adalah wasilah (jalan) kepadanya. Dan guru itu adalah wasilah kepada ilmu pengetahuan. Maka tiada sedikitpun dari yang demikian itu, kecintaan kepada Allah. Karena tergambarlah semuanya itu, dari orang yang tiada beriman sekali-kali kepada Allah Ta’ala. Kemudian, ini terbagi pula kepada: yang tercela dan yang mubah. Kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, supaya tercapai maksud-maksud yang tercela: dari pemaksaan teman-teman, pengambilan harta anak-anak yatim, kedzaliman pemimpin-pemimpin dengan urusan kehakiman atau lainnya, niscaya adalah kecintaan itu tercela. Dan kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, untuk mencapai yang mubah (yang diperbolehkan), maka itu adalah mubah. Sesungguhnya wasilah itu, mengusahakan hukum dan sifat dari tujuan yang dimaksudkan mencapainya. Maka wasilah itu mengikuti tujuan. Ia tidak berdiri sendiri.
Bahagian ketiga: bahwa mencintai sesuatu, tidak karena dzat sesuatu itu. Tetapi untuk yang lain. Dan yang lain itu, tidak kembali kepada segala bahagiannya dalam dunia. Tetapi kembali kepada segala bahagiannya di akhirat. Maka inipun jelas, tak ada kekaburan padanya. Dan yang demikian itu, seperti orang yang mencintai gurunya dan syaikhnya. Karena dengan guru dan syaikhnya itu, ia berhasil untuk memperoleh ilmu dan kepandaian beramal. Dan maksudnya dari ilmu dan amal itu, ialah kemenangan di akhirat. Maka ini, termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitupula orang yang mencintai muridnya. Karena murid itu memperoleh ilmu daripadanya. Dan ia mencapai dengan perantaraan muridnya itu: pangkat pengajar. Dan ia meningkat dengan itu, ke derajat: pengagungan di alam tinggi (alam malakut). Karena Isa as bersabda: “Barangsiapa belajar, berbuat dan mengajar, maka orang yang demikian itu dinamakan: ‘Orang besar, di alam tinggi”. Mengajar itu tidak akan sempurna, kecuali ada yang belajar (murid). Jadi murid itu adalah alat (media) untuk memperoleh kesempurnaan tersebut. Maka kalau ia mencintai murid, karena menjadi alatnya, sebab murid itu menjadikan dadanya kebun untuk tanaman dari guru, yang menjadi sebab meningkatnya guru itu ke tingkat: pengagungan di alam malakut, maka adalah ia mencintai pada jalan Allah. Bahkan orang yang bersedekah dengan hartanya karena Allah, dikumpulkannya tamu-tamu dan disediakannya bagi mereka makanan yang enak-enak, yang jarang terdapat, karena mendekatkan diri kepada Allah, lalu disayanginya tukang masak, karena bagus pekerjaannya dalam memasak, maka dia itu termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitupula, kalau ia mencintai orang yang diserahkannya untuk menyampaikan sedekah (zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, maka sesungguhnya ia mencintai orang itu pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan diatas ini lagi dan kami mengatakan: “Apabila ia mencintai orang yang menjadi pelayannya pada mencuci pakaiannya, menyapu rumahnya dan memasak makanannya dan dengan itu ia dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ilmu pengetahuan atau amal perbuatan dan maksudnya dari memakai pelayan pada segala perbuatan yang tersebut itu, adalah untuk dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ibadah, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah”. Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan:  “Apabila ia mencintai orang yang membelanjainya dengan harta, yang menolonginya dengan pakaian, makanan, tempat tinggal dan semua maksud yang dimaksudkannya di dunia, dan maksudnya dari jumlah yang demikian itu, adalah untuk dapaat menyerahkan segala waktunya bagi ilmu dan amal yang mendekatkan kepada Allah, maka dia itu adalah mencintai pada jalan Allah”. Sesungguhnya, adalah suatu kumpulan dari orang-orang dahulu (salaf), yang keperluannya ditanggung oleh serombongan orang-orang kaya. Dan adalah yang menolong dan yang ditolong itu semua termasuk sebagian dari orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan: “Bahwa orang yang mengawini seorang wanita yang shalih, supaya ia terpelihara dengan wanita itu dari gangguan setan dan dapat ia menjaga dengan wanita itu akan agamanya atau supaya ia memperoleh dari wanita itu anak yang shalih, yang akan berdoa kepadanya dan ia mencintai isterinya itu, karena menjadi alat untuk mencapai maksud-maksud keagamaan tersebut, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah”. Dan karena itulah, datang banyak hadits yang menerangkan dengan kesempurnaan pahala dan balasan pada mengeluarkan perbelanjaan kepada keluarga, sehingga sesuap makanan yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam mulut isterinya. Bahkan kami mengatakan: bahwa tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencintai kerelaanNya dan mencintai menemuiNya di negeri akhirat, maka apabila ia mencintai orang lain, niscaya adalah ia mencintai pada jalan Allah. Karena tiada tergambar ia mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk yang menjadi kecintaannya. Yaitu: kerelaan Allah Azza Wa Jalla. Bahkan aku tambahkan diatas ini lagi dan aku mengatakan: apabila terkumpul didalam hatinya dua kecintaan: kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada dunia dan berkumpul pada orang seorang dua maksud bersama-sama, sehingga patut untuk ia memperoleh wasilah (jalan) kepada Allah dan kepada dunia. Maka apabila dicintainya itu untuk kebaikan kedua hal tersebut, niscaya adalah ia termasuk orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Seperti: orang mencintai gurunya yang mengajarinya agama dan mencukupkan kepadanya segala keperluan duniawi, dengan memberikan harta. Maka dicintainya gurunya itu, dimana menurut sifatnya, ialah mencari kesenangan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Lalu gurunya itu, adalah wasilah kepada keduanya. Maka adalah ia mencintai pada jalan Allah. Dan tidaklah termasuk syarat mencintai Allah, bahwa ia tidak mencintai sedikitpun kebahagiaan di dunia. Karena doa yang disuruh nabi-nabi, dimana pada doa itu, berhimpun antara dunia dan akhirat. Dan sebahagian dari doa yang semacam itu, ialah doa: “Wahai Tuhan kami ! datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat !”. Isa as membacakan dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! janganlah Engkau kecewakan musuhku, disebabkan aku ! janganlah Engkau burukkan temanku, disebabkan aku ! janganlah Engkau jadikan bahaya yang menimpa diriku, atas agamaku ! dan janganlah Engkau jadikan dunia, yang terbesar dari cita-citaku !”. Maka menolak kekecewaan musuh, adalah termasuk bahagian duniawi. Dan Isa as tidak mengucapkan: “Janganlah Engkau jadikan dunia pokok dari cita-citaku !”. Tetapi ia mengucapkan: “Janganlah Engkau jadikan dunia itu, yang terbesar dari cita-citaku !”. Nabi kita Muhammad saw membacakan pada doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku memohonkan rahmat padaMu, yang aku capai dengan rahmat itu akan kemuliaan kelimpahan kurniaMu, di dunia dan di akhirat !”. Dan Nabi saw membacakan: “Wahai Allah Tuhanku ! datangkanlah kepadaku ke’afiatan dari bencana dunia dan bencana akhirat !”. Kesimpulannya, maka apabila tidaklah kecintaan kepada kebahagiaan di akhirat berlawanan dengan kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka kecintaan kepada keselamatan, kesehatan, kecukupan dan kemuliaan di dunia, lalu bagaimanakah ia berlawanan dengan kecintaan kepada Allah ?”. Dunia dan akhirat, adalah ibarat dua hal, yang satu lebih dekat dari yang lain. Maka bagaimanakah dapat digambarkan bahwa manusia itu mencintai bahagian-bahagian untuk dirinya esok dan tidak mencintai bahagian-bahagiannya yang hari ini ? sesungguhnya ia mencintai yang esok, karena yang esok itu akan menjadi persediaan yang disediakan. Maka yang disediakan itu, tak boleh tidak adalah dituntut juga. Kecuali bahagian-bahagian yang sekarang ini (di dunia), adalah terbagi kepada: yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang di akhirat dan yang mencegah daripadanya. Dan itu, yang dijaga benar daripadanya, oleh nabi-nabi dan wali-wali. Dan mereka menyuruh menjaga daripadanya. Dan kepada: yang tidak berlawanan. Yaitu: yang mereka, tidak mencegah diri daripadanya, seperti: nikah yang shah, memakan yang halal dll. Apa yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang akan diperoleh di akhirat, maka hak dari orang yang berakal pikiran, membencikannya dan tidak mencintainya. Yakni: membencikannya dengan akal pikirannya, tidak dengan nalurinya. Sebagaimana ia membenci mengambil makanan yang enak untuk seorang raja, dimana ia mengetahui, kalau ia mengambil makanan tersebut, niscaya tangannya dipotong atau lehernya dipancung. Bukan dengan pengerian, bahwa makanan yang lezat rasanya itu, ia tidak merindukannya dengan nalurinya dan tidak merasa kelezatannya, jikalau dimakannya. Karena yang demikian itu, adalah mustahil. Tetapi, dengan pengertian, bahwa ia digertak dengan siksaan oleh akal pikirannya, untuk datang mengambil makanan tersebut. Dan terjadilah padanya kebencian oleh kemelaratan yang berhubungan dengan makanan itu. Dan yang dimaksudkan dari ini, ialah jikalau ia mencintai gurunya, karena menolongnya dan mengajarinya. Atau ia mencintai muridnya, karena murid itu belajar padanyya dan berkhidmat padanya. Dan salah satu dari yang dua itu, adalah bahagian yang diperolehnya dengan segera (di dunia) dan yang lain pada masa yang lambat (di akhirat), niscaya adalah ia dalam rombongan orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah. Tetapi dengan satu syarat, yaitu: jikalau gurunya itu tidak mau memberikan kepadanya suatu ilmu –umpamanya-atau sukar ia memperoleh ilmu itu dari gurunya yang tersebut, niscaya berkuranglah kecintaannya disebabkan yang demikian. Maka kadar yang berkurang disebabkan tidak adanya yang tersebut tadi, itu adalah bagi Allah Ta’ala. Dan baginya atas kadar yang berkurang itu, mempunyai pahala kecintaan pada jalan Allah. Dan tidaklah dapat dibantah, bahwa kecintaanmu bertambah keras kepada seseorang manusia, karena sejumlah maksud-maksud yang terikat satu sama lain bagimu dengan orang itu. Maka jikalau terhambat sebahagian dari maksud-maksud itu, niscaya berkuranglah kecintaanmu kepadanya. Dan jika bertambah bahagian dari maksud-maksud itu, niscaya kecintaanmu menjadi bertambah. Maka tidaklah kecintaanmu kepada emas, seperti kecintaanmu kepada perak, apabila jumlahnya bersamaan. Karena emas itu menyampaikan kepada maksud-maksud yang lebih banyak, dari apa yang dapat disampaikan oleh perak. Jadi, kecintaan itu bertambah dengan bertambahnya maksud. Dan tidaklah mustahil berkumpul maksud-maksud duniawi dan ukhrawi (maksud-maksud dunia dan akhirat). Maka itu adalah termasuk dalam jumlah kecintaan kepada Allah. Dan batasnya, ialah: bahwa tiap-tiap kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah dan hari akhirat, lalu tidak tergambar adanya kecintaan itu, maka itu adalah kecintaan pada jalan Allah. Dan begitupula, tiap-tiap tambahan pada kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah, niscaya tambahan itu tidak ada. Maka tambahan tersebut adalah dari kecintaan pada jalan Allah. Yang demikian itu, walaupun halus, adalah ia mulia. Al-Jurairi berkata: “Manusia bergaul pada kurun pertama dengan agama, sehingga tipislah agama itu. Mereka bergaul pada kurun kedua dengan kesetiaan, sehingga hilanglah kesetiaan itu. Dan pada kurun ketiga, dengan kehormatan diri (muruah), sehingga hilanglah kehormatan diri itu. Dan tidak ada tinggal, selain dari ketakutan dan keinginan”.
Bahagian keempat: bahwa ia mencintai karena Allah dan pada jalan Allah. Tidak untuk memperoleh daripadanya ilmu atau pekerjaan. Atau untuk dipergunakan menjadi wasilah kepada sesuatu hal, dibalik diri orang itu sendiri. Dan inilah derajat yang tertinggi ! dan itulah yang paling halus dan yang paling kabur. Bahagian ini juga mungkin. Karena setengah dari bekas kerasnya kecintaan, ialah bahwa melampaui dari yang dicintai, kepada tiap-tiap orang yang bersangkutan dengan yang dicintai dan yang bersesuaian dengan yang dicintai, walaupun dari jauh. Maka orang yang mencintai seorang manusia dengan kecintaan yang keras, niscaya ia mencintai orang yang mencintai manusia itu. Ia mencintai orang yang dicintai oleh manusia itu. Ia mencintai orang yang melayani manusia itu. Ia mencintai orang yang dipuji oleh kecintaannya itu. Dan ia mencintai orang yang bekerja cepat untuk kesenangan kecintaannya itu. Sehingga berkata Baqiyah bin al-Walid: “Bahwa orang mu’min apabila mencintai orang mu’min, niscaya ia akan mencintai akan anjingnya”. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Baqiyah itu. Dibuktikan oleh percobaan dalam keadaan orang-orang yang sedang asyik dan maksyuk. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh syair-syair para penyair. Dan karena itulah, orang menyimpan kain dari kecintaannya dan menyembunyikannya untuk kenang-kenangan dari pihak kecintaannya itu. Dan mencintai rumah, tempat tinggal dan tetangga dari kecintaan. Sehingga bermadahlah seorang yang mabuk cinta (majnun) dari kabilah (suku) Bani ‘Amir:
“Aku lalu di hadapan rumah,
rumah kecintaanku Laila.
Aku menghadap ke dinding ini
dan ke dinding itu......
Tidaklah kecintaan kepada rumah,
yang melekat pada jantung hatiku.
Tetapi kecintaan kepada orang,
yang mendiami rumah itu.......”.
Jadi, penyaksian dan percobaan menunjukkan, bahwa kecintaan itu melampaui dari diri yang dicintai, kepada yang mengelilinginya, yang berhubungan dengan sebab-sebabnya dan yang bersesuaian dengan dia, walaupun dari jauh. Tetapi yang demikian itu, adalah dari salah satu kekhususan bersangatannya kecintaan. Maka pokok kecintaan, tidaklah mencukupi pada orang yang dicintai saja. Dan adalah meluasnya kecintaan itu pada melampauinya dari yang dicintai, kepada yang meliputi, yang mengelilingi dan yang bersangkutan dengan sebab-sebabnya, menurut berlebih-lebihan dan kuatnya kecintaan itu. Dan seperti itu pulalah kecintaan kepada Allah swt, apabila kuat dan mengeras pada hari dan menguasao padanya. Sehingga sampai kepada batas membuta tuli. Maka melampauilah kecintaan itu, kepada segala yang ada (maujud), selain Dia. Karena segala yang maujud, selain Dia, adalah bekas dari bekas qudrahNya. Dan barangsiapa mencintai seorang manusia, niscaya dicintainya akan perbuatan, tulisan dan segala pekerjaan dari manusia itu. Dan karena itulah, Nabi saw apabila dibawa kepadanya, buah-buahan yang menjadi petikan pertama dari pohonnya, lalu beliau menyapu kedua matanya dengan buah-buahan itu dan memuliakannya. Dan bersabda: “Dia baru saja dengan Tuhan kita”. Mencintai Allah Ta’ala, sekali adalah benarnya harapan pada janji-janjiNya dan apa yang akan terjadi di akhirat dari nikmatNya. Sekali, karena apa yang telah terdahulu, dari rahmat-rahmatNya dan bermacam-macam nikmatNya. Sekali, karena DzatNya, tidak karena sesuatu hal yang lain. Dan inilah yang terhalus dan yang tertinggi, dari segala macam kecintaan. Dan akan datang pentahkikan (pembuktian)nya, pada “Kitab Kecintaan” dari Rubu’ Al-Munjiyat (Rubu’ yang melepaskan) Insya Allahu Ta’ala. Betapapun kesepakatan kecintaan kepada Allah, maka apabila telah kuat, niscaya melampauilah kepada semua yang bersangkutan dengan Dia, dalam macam manapun sangkutan itu. Sehingga melampaui kepada apa, yang padanya menyakitkan dan tidak menyukakan pada dirinya. Tetapi berlebihan cinta itu, melemahkan perasaan sakit. Dan kegembiraan dengan perbuatan orang yang dicintai dan perbuatan itu maksudnya menyakitkan, dapat menghilangkan perasaan kesakitan itu. Dan yang demikian, seperti kegembiraan dengan pukulan yang datang dari yang dicintai atau perkataan yang menyakitkan, dimana padanya semacam perkataan yang tidak menyenangkan. Sesungguhnya kuatnya kecintaan yang membekas kesenangan itu, menghilangkan perasaan kesakitan. Dan telah sampailah kecintaan kepada Allah bagi suatu kaum, sehingga sampailah mereka itu mengatakan: “Kami tidak membedakan antara bencana dan nikmat. Karena semuanya itu dari Allah. Dan tidak kami bergembira, kecuali dengan yang ada padanya kerelaan Allah”. Sehingga setengah mereka mengatakan: “Aku tidak bermaksud memperoleh pengampunan Allah pada kema’siatan kepada Allah”. Samnun bermadah:
“Tidaklah bagiku,
bahagian pada selain Engkau.
Maka bagaimanapun kehendakMu,
cobakanlah kepadaku......”.
Dan akan datang pentahkikan yang demikian, pada Kitab Kecintaan. Dan yang dimaksud, ialah: bahwa kecintaan kepada Allah apabila telah kuat, niscaya membuahkan kecintaan kepada tiap-tiap orang yang berdiri dengan hak peribadatan kepada Allah, mengenai pengetahuan atau amalan. Dan membuahkan kecintaan kepada tiap-tiap orang yang ada padanya, sifat yang direlai Allah, dari kelakuan yang baik atau beradab dengan adab-adab agama. Dan tidaklah dari seorang mu’min yang mencintai akhirat dan mencintai Allah, melainkan apabila diterangkan kepadanya, tentang hal dua orang. Yang seorang alim abid, dan yang seorang lagi jahil fasiq. Maka ia memperoleh pada dirinya, kecondongan kepada orang alim yang abid. Kemudian kecondongan itu lemah dan kuat, menurut kelemahan dan kekuatan imannya. Dan menurut kelemahan dan kekuatan cintanya kepada Allah. Dan kecondongan itu diperoleh, walaupun kedua orang itu jauh daripadanya, dimana ia mengetahui, bahwa dia tidak akan memperoleh dari kedua orang tersebut, kebajikan atau kejahatan, baik di dunia atau di akhirat. Maka kecondongan itu, ialah kecintaan kepada Allah dan karena Allah, tanpa memperoleh bahagian apa-apa. Sesungguhnya ia mencintai orang itu, karena Allah mencintainya. Dan karena orang itu memperoleh kerelaan pada sisi Allah Ta’ala. Dan karena ia mencintai Allah Ta’ala. Dan ia selalu beribadah kepada Allah Ta’ala. Kecuali, apabila kecintaan itu lemah, niscaya bekasnya tidak menampak dan tidak lahir padanya pembalasan dan pahala. Apabila kecintaan itu kuat, niscaya membawa kepada berkawan, tolong-menolong, memelihara jiwa, harta dan lidah. Dan manusia berlebih-kurang padanya, menurut berlebih-kurangnya mereka mencintai Allah Azza Wa Jalla. Dan adalah kalau kecintaan itu terbatas, kepada memperoleh bahagian yang akan diperoleh dari yang dicintai, baik sekarang atau pada masa yang akan datang, niscaya tidaklah tergambar mencintai orang-orang yang telah meninggal, dari alim ‘Ulama, abid-abid, para sahabat dan tabi’in. Bahkan juga nabi-nabi yang telah silam, kiranya rahmat dan sejahtera daripada Allah berkekalan kepada mereka sekalian. Dan kecintaan kepada semua mereka itu, adalah tersembunyi dalam hati tiap-tiap muslim yang beragama. Yang demikian itu, jelas dengan marahnya, ketika musuh-musuh mencaci salah seorang dari mereka yang tersebut tadi dan dengan senangnya ketika mereka mendapat pujian dan disebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Semuanya itu adalah kecintaan karena Allah. Karena mereka, adalah hamba-hamba Allah yang tertentu. Barangsiapa mencintai seorang raja atau seorang yang baik, niscaya ia mencintai pembantu-pembantu dan pelayan-pelayannya. Dan mencintai orang-orang yang dicintai oleh raja atau orang yang baik tadi. Kecuali dia itu menguji akan kecintaannya dengan timbal balik dengan segala bahagian untuk dirinya. Kadang-kadang mengeras, dimana tidak tinggal bagi dirinya bahagian, selain pada yang menjadi bahagian bagi yang dicintai. Dan tentang itu, bersajaklah orang yang bersajak:
“Aku mau bersilaturrahmi,
ia mau meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan apa yang aku kehendaki,
untuk apa yang ia mau........”.
Dan berkatalah orang yang mengatakan:
“Apabila luka itu.........
apabila telah menyenangkan bagimu kesakitan”.
Kadang-kadang kecintaan itu, ditinggalkan sebahagian dan tinggal lagi sebahagian. Seumpama: orang yang diperbolehkan oleh jiwanya untuk menyerahkan kepada kekasihnya, setengah hartanya atau 1/3 nya atau 1/10 nya. Maka menurut jumlah harta yang diserahkan itu, adalah menjadi timbangan kecintaannya. Karena tidak diketahui tingkat kecintaan itu, melainkan dengan kecintaan yang ditinggalkan sebagai timbal-baliknya. Maka orang yang tenggelam dalam kecintaan dengan seluruh jiwanya, niscaya tidaklah tinggal baginya lagi, kecintaan yang lain. Maka tidaklah ditahan untuk dirinya sesuatu, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Beliau tidak meninggalkan lagi untuk dirinya sendiri, baik keluarga atau harta. Maka diserahkannya puterinya yang menjadi jantung hatinya dan diberikannya semua hartanya. Ibnu ‘Umar ra berkata: “Sewaktu Rasulullah saw sedang duduk dan di sisinya Abu Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang, tiba-tiba turun Jibril as. Maka Jibril as menyampaikan salam sejahtera daripada Allah kepada Nabi dan mengatakan: “Wahai Rasulullah ! mengapakah saya meliihat Abu Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang ?”. Nabi saw menjawab: “”Beliau telah membelanjakan hartanya kepadaku sebelum penaklukan Makkah”. Jibril menyambung: “Sampaikanlah salam sejahtera daripada Allah kepadanya dan katakanlah kepadanya: “Tuhanmu bertanya kepadamu: ‘Adakah engkau rela dariKu tentang kemiskinanmu ini atau engkau marah ?”. Ibnu ‘Umar ra menerangkan seterusnya: “Lalu Nabi saw berpaling kepada Abu Bakar dan bersabda: “Wahai Abu Bakar ! inilah Jibril yang membacakan kepadamu salam sejahtera daripada Allah dan berfirman: ‘Adakah engkau rela dariKu tentang kemiskinanmu ini atau engkau marah ?”. Ibnu ‘Umar meneruskan ceritanya: “Maka menangislah Abu Bakar ra seraya berkata: “Adakah aku marah kepada Tuhanku ? aku rela kepada Tuhanku, aku rela kepada Tuhanku !”. Maka dapatlah diambil kesimpulan dari ini, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai orang alim atau orang abid atau mencintai orang yang menggemari ilmu atau ibadah atau kebajikan, maka sesungguhnya ia mencintai orang yang tersebut tadi, pada jalan Allah dan karena Allah. Dan ia memperoleh pahala dan pembalasan, menurut kekuatan kecintaannya. Maka inilah uraian kecintaan pada jalan Allah dan tingkat-tingkatnya. Dan dengan ini, menjadi jelaslah pula tentang kemarahan pada jalan Allah. Tetapi akan kami tambahkan lagi penjelasan:
PENJELASAN: kemarahan pada jalan Allah.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai pada jalan Allah, niscaya tak boleh tidak, ia memarahi pada jalan Allah. Karena jikalau engkau mencintai seseorang manusia, karena ia mentaati Allah dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah, niscaya tak boleh tidak, engkau akan memarahinya. Karena ia berbuat ma’siat kepada Allah dan ia tercela pada sisi Allah. Dan barangsiapa mencintai disebabkan sesuatu sebab, maka dengan sendirinya ia memarahi bagi lawan sebab itu. Dan hal yang dua ini, adalah perlu-memerlukan. Tidak berpisah yang satu dari lainnya. Dan itu menurut kebiasaan, banyak terjadi pada kecintaan dan kemarahan. Tetapi masing-masing dari kecintaan dan kemarahan itu, penyakit yang tertanam dalam hati. Dan sesungguhnya ia tiris ketika mengeras. Ia tiris dengan lahirnya perbuatan orang-orang yang mencintai dan yang memarahi, pada dekat-mendekati dan jauh-menjauhi, pada perselisihan dan persesuaian. Maka apabila telah lahir pada perbuata, niscaya dinamakan yang demikian: berteman dan bermusuh. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Adakah engkau mengambil seorang teman pada jalan agamaKu ? Adakah engkau bermusuh dengan seorang musuh pada jalan agamaKu ?”, sebagaimana telah kami nukilkan dahulu. Dan ini adalah jelas terhadap orang yang tiada terang bagimu, selain dari ketaatannya yang menentukan bagimu untuk mencintainya. Atau tiada jelas bagimu, selain dari kefasiqan dan kedzalimannya dan budi pekertinya yang jahat. Lalu engkau menentukan untuk memarahinya. Sesungguhnya yang sulit, ialah apabila bercampur ketaatan dengan kema’siatan. Maka engkau akan bertanya: “Bagaimanakah aku kumpulkan antara marah dan cinta, sedang keduanya itu berlawanan ?”. Dan begitupula berlawanan buahnya, dari persesuaian dan perselisihan, persahabatan dan permusuhan. Maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu tidaklah berlawanan terhadap Allah Ta’ala, sebagaimana tidak berlawanan pada bahagian-bahagian kemanusiaan. Karena manakala berkumpul pada diri seseorang, beberapa perkara yang disenangi sebahagiannya dan tidak disukai sebahagiannya, maka engkau mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari segi yang lain. Orang yang mempunyai seorang isteri yang cantik yang durhaka atau seorang anak yang cerdik dan patuh, tetapi fasiq, maka ia akan mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari suatu segi. Dan adalah bersama orang itu, atas suatu keadaan diantara dua keadaan. Karena kalau diumpamakan, ia mempunyai 3 orang anak: seorang cerdik yang selalu berbuat kebaikan, seorang bodoh yang durhaka dan seorang lagi bodoh yang selalu berbuat kebaikan atau cerdik yang mendurhakai orang tuanya, maka orang tersebut, akan menjumpai dirinya, bersama anak-anaknya itu, dalam 3 hal yang berlebih kurang, menurut berlebih-kurangnya hal-hal yang menyangkut dengan anak-anaknya. Maka begitupula, seyogyalah keadaanmu terhadap orang yang banyak berbuat kedzaliman dan orang yang banyak berbuat ketaatan. Dan orang yang berkumpul padanya kedua-duanya, berlebih-kurang diatas tiga tingkat. Yaitu: engkau berikan kepada masing-masing sifat tadi, bahagiannya, dari kemarahan dan kesayangan, berpaling daripadanya dan menolah kepadanya, berteman dan memutuskan perhubungan dan tindakan-tindakan lain yang timbul daripadanya. Kalau engkau bertanya: “Tiap-tiap muslim itu, adalah keislamannya merupakan ketaatan daripadanya. Maka bagaimanakah aku memarahinya serta keislamannya itu ?”. Aku menjawab, bahwa engkau menyayanginya adalah karena keislamannya. Dan engkau memarahinya adalah karena kema’siatannya. Dan adalah engkau terhadap orang itu dalam suatu keadaan, jikalau engkau bandingkan keadaan tersebut dengan keadaan orang kafir atau orang dzalim, niscaya engkau memperoleh perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu adalah kecintaan bagi Islam dan menunaikan hak Islam. Dan kadar pelanggaran terhadap hak Allah dan ketaatan kepadamu, adalah seperti pelanggaran terhadap hakmu dan ketaatan kepadamu. Orang yang bersesuaian dengan kamu pada suatu maksud dan berlainan dengan kamu pada maksud yang lain, maka adalah kamu bersama orang itu, dalam keadaan di tengah. Diantara tergenggam dan terlepas. Diantara menghadap dan berpaling. Diantara berkasih-kasihan kepadanya dan berjauhan hati daripadanya. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan memuliakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan pada memuliakan orang yang bersesuaian dengan kamu, dalam semua maksudmu. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan menghinakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan menghinakan orang yang berselisih dengan kamu dalam segala maksudmu. Kemudian keadaan di tengah itu (ta-tawash-shuth), sekali adalah kecondongannya ke pinggir penghinaan, ketika mengerasnya pelanggaran. Dan sekali ke pinggir berbaik-baikan dan pemuliaan, ketika mengerasnya persesuaian. Maka begitulah seyogyalah terhadap orang yang mentaati Allah Ta’ala dan mendurhakaiNya, yang berbuat sekali bagi kerelaanNya dan pada kali yang lain bagi kemarahanNya. Kalau enggan bertanya: “Dengan apakah kemarahan itu mungkin dilahirkan ?”. Aku menjawab: adapun mengenai perkataan, maka sekali dengan mencegah lisan daripada berkata-kata dan bercakap-cakap dengan dia. Dan pada kali yang lain, dengan meringankan dan memberatkan perkataan itu. Mengenai perbuatan, maka sekali dengan memutuskan usaha memberi pertolongan kepadanya. Dan pada kali yang lain, dengan usaha yang memburukkan dan merusakkan segala maksudnya. Dan sebahagian ini, lebih keras dari sebahagian yang lain. Yaitu menurut tingkat kefasiqan dan kema’siatan yang timbul daripadanya. Adapun hal yang terjadi karena kesilapan, yang diketahui bahwa orang itu menyesal atas perbuatan tersebut dan ia tidak meneruskannya lagi, maka yang lebih utama ialah menutup dan memicingkan mata daripadanya. Adapun yang dikerjakannya terus-terusan, baik kecil atau besar, maka jikalau orang itu termasuk orang yang kuat berkasih-kasihan, persahabatan dan persaudaraan antara engkau dan dia, maka untuk itu mempunyai hukum lain. Dan akan datang penjelasannya. Dan pada persoalan ini terdapat perbedaan antara para ulama. Adapun apabila tiada teguh persaudaraan dan persahabatan, maka tak boleh tidak daripada menampakkan bekas kemarahan. Adakalanya berpaling muka dan menjauhkan diri daripadanya, serta sedikit sekali menoleh kepadanya. Dan adakalanya meringankan dan memberatkan perkataan kepadanya. Dan ini adalah lebih berat daripada berpaling muka daripadanya. Yaitu menurut berat dan ringannya kema’siatan. Begitupula tentang perbuatan, terdapat dua tingkat. Salah satu daripadanya, memutuskan pertolongan, kekasih-sayangan dan perbantuan. Dan itu adalah tingkat yang paling rendah. Dan tingkat yang lain (tingkat yang satu lagi), ialah berusaha merusakkan segala maksudnya, seperti perbuatan musuh yang sangat marah. Dan ini tak dapat tiada daripadanya. Tetapi, adalah pada sesuatu yang dapat merusakkan padanya jalan kema’siatan. Adapun hal-hal yang tak membekas padanya, maka janganlah diperbuat. Umpamanya: orang yang berbuat ma’siat kepada Allah dengan meminum khamar dan ia telah meminang seorang wanita. Jikalau mudah ia mengawininya, niscaya ia amat gembira dengan wanita tersebut, disebabkan harta, kecantikan dan kemegahannya. Hanya, yang demikian itu, tidak membekas untuk mencegahnya dari meminum khamar dan tidak untuk membangkit dan menggerakkannya kepada meminum khamar. Maka apabila engkau sanggup menolongnya, supaya sempurna maksudnya dan hajatnya itu dan engkau sanggup pula untuk mengacaukan maksudnya itu, supaya maksudnya tadi tidak tercapai, maka janganlah engkau berusaha mengacaukannya. Adapun menolong, kalau engkau tinggalkan memberi pertolongan itu, untuk melahirkan kemarahan kepadanya karena kefasiqannya, maka tiada mengapa. Dan tidaklah wajib meninggalkan pertolongan itu. Karena kadang-kadang engkau mempunyai niatan untuk melahirkan kasih sayang dengan memberi pertolongan dan menampakkan belas-kasihan kepadanya. Supaya ia percaya akan kasih sayangmu dan menerima akan nasehatmu. Ini adalah baik. Dan kalau tidak jeals yang demikian bagimu, tetapi engkau berpendapat untuk menolongnya, buat mencapai maksudnya, sebagai pelaksanaan terhadap keislamannya, maka yang demikian itu, tidaklah dilarang. Bahkan adalah yang terbaik, jikalau kema’siatannya itu, adalah pelanggaran terhadap hakmu atau hak orang yang ada sangkutannya dengan kamu. Dan mengenai ini, tersebut dalam firman Allah Ta’alla: “Dan janganlah orang-orang yang mampu dan berkelapangan dari antara kamu (bersumpah) tidak mau membantu akan keluarga yang dekat dan orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, tetapi hendaklah mereka maafkan dan berlapang dada ! bukankah engkau suka kiranya Allah mengampunkan kamu”. S 24 An Nur ayat 22. Karena Musaththah bin Atsatsah yang membicarakan ke sana-sini tentang peristiwa berita bohong itu (berita fitnah tentang perbuatan seorang laki-laki terhadap ‘Aisyah). Lalu Abu Bakar ra bersumpah untuk memutuskan bantuannya kepada Musaththah tersebut, dimana beliau memberi pertolongan harta kepadanya. Maka turunlah ayat tadi, serta betapa besarnya kema’siatan yang dilakukan Musaththah. Dan manakah ma’siat yang melebihi dari tuduhan yang amat keji itu terhadap isteri Rasulullah saw dan memanjangkan lidahnya kepada seumpama ‘Aisyah ? Kecuali Abu Bakar Shiddiq ra (ayahanda ‘Aisyah) adalah orang yang teraniaya dirinya dengan peristiwa itu dan memberi maaf kepada orang yang berbuat aniaya dan berbuat baik (ihsan) kepada orang yang berbuat jahat, adalah termasuk akhlaq orang-orang shiddiq. Dan sesungguhnya amatlah baiknya berbuat ihsan kepada orang yang berbuat aniaya kepada kamu. Adapun orang yang berbuat dzalim kepada orang lain dan melakukan perbuatan ma’siat kepada Allah dengan dia, maka tidaklah baik berbuat ihsan kepadanya. Karena pada berbuat ihsan kepada orang dzalim, adalah berbuat kejahatan kepada orang yang teraniaya. Dan hak orang yang teraniaya adalah lebih utama dipelihara. Dan menguatkan hatinya dengan memalingkan muka dari orang dzalim, adalah lebih disukai oleh Allah, daripada menguatkan hati orang dzalim. Adapun apabila engkau menjadi orang yang teraniaya, maka yang lebih baik, pada hak dirimu itu, memaafkan dan berlapang dada. Cara orang-orang terdahulu (salaf), adalah berlain-lainan tentang menyatakan kemarahan terhadap orang-orang yang berbuat ma’siat. Dan mereka itu semua, sepakat melahirkan kemarahan terhadap orang-orang dzalim, orang-orang bid’ah dan tiap-tiap orang yang berbuat ma’siat kepada Allah, dengan kema’siatan yang menjalar kepada orang lain. Adapun orang yang berbuat ma’siat kepada Allah pada dirinya sendiri, maka sebahagian salaf ada yang memandang, dengan mata kasih-sayang kepada semua orang-orang ma’siat itu. Dan sebahagian dari mereka, ada yang sangat menantang dan memilih jalan berhijrah. Adalah Ahmad bin Hanbal berhijrah (meninggalkan) orang-orang besar, dengan perkataan yang sedikit saja. Sehingga beliau meninggalkan Yahya bin Mu’in karena katanya: “Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang akan sesuatu. Dan kalau sultan membawa kepadaku sesuatu, niscaya aku ambil”. Dan Ahmad bin Hanbal meninggalkan Al-Harts AL-Muhasibi, tentang setengah-setengah ia menolak kaum mu’tazilah. Dan mengatakan: “Sesungguhnya haruslah pertama-tama engkau menyebutkan syubhat (keragu-raguan yang didatangkan oleh orang mu’tazilah itu). Dan engkau ajak manusia berpikir padanya. Kemudian engkau tolak dalil-dalil orang mu’tazilah itu”. Dan Ahmad bin Hanbal berhijrah dari Abu Tsaur, mengenai penta’wilannya akan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menjadikan Adam diatas bentukNya”. Dan ini adalah keadaan yang berlainan dengan berlainannya niat. Dan niat itu berlain-lainan dengan berlainannya keadaan. Maka jikalau yang mengeras pada hati, adalah memandang kepada  terpaksa dan lemahnya manusia dan bahwa manusia itu terperintah kepada apa yang ditaqdirkan baginya, niscaya ini membawa kepada tasaahul (memandang enteng) pada permusuhan dan kemarahan. Dan ia mempunyai segi tersendiri. Tetapi kadang-kadang berminyak-minyak air (al-mudahanah), menyerupai dengan yang demikian. Maka yang terbanyak membangkitkan kepada menutup mata dari perbuatan-perbuatan ma’siat, ialah sifat berminyak-minyak air, menjaga hati, takut dari keliaran dan kejauhan hati. kadang-kadang setan itu memakaikan yang demikian, kepada orang bodoh yang dungu, dengan orang itu memandang dengan mata kasih-sayang. Dan menghapuskan yang demikian, ialah: ia memandang kepadanya dengan mata kasih-sayang, jika orang itu berbuat aniaya kepada khusus haknya sendiri. Dan mengatakan, bahwa orang itu terperintah bagi perbuatan tersebut. Dan taqdir tidaklah bermanfaat daripadanya kehati-hatian. Dan bagaimanakah tidak diperbuatnya yang demikian dan sesungguhnya telah dituliskan yang demikian itu kepadanya ? Maka hal yang seperti ini, kadang-kadang shah niat baginya pada memicingkan mata dari pelanggaran terhadap hak Allah. Dan kalau ia berkesal hati ketika pelanggaran terhadap haknya dan menaruh belas kasihan ketika pelanggaran terhadap hak Allah, maka ini adalah orang yang berminyak-minyak air, yang tertipu dengan salah satu dari tipuan-tipuan setan. Maka hendaklah waspada untuk yang demikian itu !. Kalau anda mengatakan, bahwa derajat yang paling kurang pada melahirkan kemarahan, ialah meninggalkan, memalingkan muka, memutuskan kasih-sayang dan pertolongan, maka adakah yang demikian itu wajib, sehingga ma’siatlah seorang hamba denngan meninggalkan kemarahan yang demikian ? Maka aku menjawab, bahwa tidaklah masuk yang demikian dalam ilmu zhahir dibawah taklif (pembebasan tugas agama) dan pengwajiban. Sesungguhnya kita tahu, bahwa mereka yang meminum khamar dan mengerjakan perbuatan keji pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat, tidaklah para sahabat itu meninggalkan mereka secara keseluruhan. Tetapi cara sahabat itu, terbagi pada menghadapi orang-orang yang berbuat keji tadi, kepada: yang mengeraskan perkataan dan melahirkan kemarahan kepadanya, kepada yang berpaling muka dan tidak mendatangi kepadanya dan kepada yang memandang kepada orang yang berbuat kekejian itu dengan mata kasih-sayang dan tidak memilih berputus silaturrahim dan menjauhkan diri. Maka inilah titik-titik halus keagamaan, yang berlainan padanya jalan orang-orang yang menjalani ke jalan akhirat. Dan adalah amalan masing-masing, menurut yang dikehendaki oleh keadaan dan waktu. Dan yang dikehendaki oleh keadaan pada segala hal ini, adakalanya yang dimakruhkan atau yang disunatkan. Maka adalah pada tingkat hal-hal yang utama dan tidaklah berkesudahan kepada pengharaman dan pengwajiban. Karena yang masuk di bawah taklif, ialah pokok pengenalan (ma’rifah) akan Allah Ta’ala dan pokok kecintaan. Dan yang demikian, kadang-kadang tidak melewati dari yang dicintai kepada lainnya. Dan yang melewati, ialah berlebih-lebihan dan kerasnya kecintaan itu. Dan yang demikian, tidaklah sekali-kali masuk dalam fatwa dan dibawah taklif yang jelas pada pihak orang awam.
PENJELASAN: tingkat-tingkat mereka yang dimarahi pada jalan Allah dan cara bergaul dengan mereka.
Kalau anda mengatakan, bahwa melahirkan kemarahan dan permusuhan dengan perbuatan, jikalau tidak wajib, maka tidak ragu lagi, bahwa itu sunat. Dan orang-orang ma’siat dan fasiq itu, adalah pada tingkat-tingkat yang berlain-lainan. Maka bagaimanakah memperoleh keutamaan bergaul dengan mereka ? adakah ditempuh suatu jalan, dengan semua mereka atau tidak ? Maka ketahuilah, bahwa orang yang menyalahi perintah Allah swt selalu ada. Adakalanya menyalahi pada i’tiqad atau pada amalannya. Dan yang menyalahi pada i’tiqad, adakalanya orang bid’ah atau orang kafir. Dan orang bid’ah itu, adakalanya melakukan da’wah kepada kebid’ahannya atau berdiam diri saja. Dan yang berdiam diri itu, adakalanya disebabkan kelemahan atau pilihannya yang demikian. Maka pembahagian kerusakan pada i’tiqad itu, adalah 3:
Pertama: kekafiran (kufur). Dan orang kafir itu, kalau ia kafir harbi (kafir yang dalam keadaan perang dengan orang muslimin), maka ia berhak dibunuh dan diambil menjadi budak. Dan tak ada lagi penghinaan, sesudah yang dua ini. Adapun kafir zimmi (kafir yang keamanannya dalam jaminan pamerintah Islam), maka tidak boleh menyakitinya. Kecuali dengan memalingkan muka daripadanya dan menghinakannya dengan paksaan kepada jalan yang sempit dan meninggalkan memulai salam. Apabila ia mengucapkan: “Assalamu’alaikum (salam sejahtera kepadamu), maka engkau menjawab: “Wa’alaika” (dan kepadamu). Dan yang lebih utama, ialah mencegah daripada bercampur, bergaul dan wakil-mewakilkan dengan dia. Adapun berlapang dada dan berjinakkan hati kepadanya, sebagaimana berjinakan hati kepada teman-teman, adalah sangat makruh, yang hampir berkesudahan yang kuat dari kemakruhan itu, kepada batas pengharaman. Allah Ta’ala berfirman: “Engkau tidak akan mendekati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, menunjukkan kecintaan mereka kepada orang-orang yang menantang Allah dan RasulNya, walaupun adalah mereka (yang menantang) itu, bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Mereka itu telah dituliskan oleh Allah dalam hatinya keimanan dan telah dikuatkanNya mereka dengan pertolongan daripadaNya dan Ia akan memasukkan mereka ke dalam sorga, yang mengalir padanya sungai-sungai, dimana mereka itu kekal didalamnya, Allah telah merelai mereka dan merekapun rela kepadaNya. Mereka itu tentara Allah. Ketahuilah, bahwa tentara Allah itulah yang memperoleh kemenangan”. S 58 Al Mujaadalah ayat 22. Nabi saw bersabda: “Orang muslim dan orang musyrik tidaklah akan lihat-melihat neraka keduanya”. Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu jadikan musuhKu dan musuhmu itu pemimpin, yang kamu tunjukkan kepada mereka kasih-sayang”. S 60 Al Mumtahanah ayat 1.
Kedua: orang yang berbuat bid’ah, yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya. Jikalau bid’ah itu, dimana dapat mengkufurkan, maka keadaannya adalah lebih berat daripada orang dzimmi. Karena orang bid’ah itu, tidak diakui dengan pembayaran pajak (jizyah). Dan tidak diperbolehkan mengadakan ikatan menjadi tanggung jawab pemerintah Islam (‘aqdi dzimmah). Dan kalau orang bid’ah itu, termasuk orang yang tidak dihukum kafir, maka persoalannya diantara dia dan Allah, sudah pasti lebih ringan daripada persoalan orang kafir. Tetapi persoalan menantangnya, adalah lebih berat daripada orang kafir. Karena kejahatan kafir itu, tidaklah menjalar. Karena orang-orang Islam itu yakin atas kekafirannya. Maka mereka tidak menoleh kepada kata-katanya, disebabkan ia tidak mendakwakan dirinya Islam dan beri’tiqak benar. Adapun orang bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya dan mendakwakan bahwa apa yang diajaknya itu adalah benar, maka itu adalah sebab tertipunya orang banyak. Kejahatannya menjalar kepada orang lain. Maka sunnah melahirkan kemarahan, permusuhan, memutuskan hubungan, menghinakan, memburukkannya dengan kebid’ahannya dan mengajak manusia untuk menjauhkan diri daripadanya. Dan kalau ia memberi salam pada tempat yang tak ada orang, maka tiada mengapa menjawab salamnya. Dan kalau anda ketahui, bahwa berpaling muka daripadanya dan berdiam diri daripada menjawab salamnya, adalah memburukkan kebid’ahan orang itu, pada dirinya dan mengesankan pada menjauhkannya, maka meninggalkan jawab salamnya, adalah lebih utama. Karena menjawab salam, walaupun wajib, menjadi gugur dengan maksud yang kecil saja, dimana padanya ada kemuslihatan. Sehingga gugurlah wajib menjawab salam, dengan adanya orang yang menerima salam itu di kamar mandi atau sedang membuang air. Dan maksud pencegahan itu, adalah lebih penting dari maksud-maksud tadi. Dan kalau salam dari orang bid’ah itu di muka orang banyak, maka meninggalkan jawabnya adalah lebih utama, untuk menjauhkan manusia daripadanya dan memburukkan kebid’ahannya dihadapan mereka. Dan begitu juga lebih utama mencegah berbuat lisan memberi pertolongan kepada orang bid’ah itu. Lebih-lebih mengenai sesuatu yang tampak kepada orang banyak. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menggertak orang bid’ah, niscaya ia diamankan oleh Allah pada hari kegundahan besar (hari qiamat). Dan barangsiapa melunakkan dan memuliakan orang bid’ah atau bertemu dengan dia dengan kegembiraan, maka sesungguhnya ia telah memandang ringan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw”.
Ketiga: orang bid’ah yang awam, yang tidak mampu mengajak orang dan tidak dikuatiri, orang akan mengikutinya. Maka persoalannya lebih mudah. Yang lebih utama, ialah tidak memburuk-burukkannya dengan kata-kata kasar dan penghinaan. Tetapi dengan kata-kata yang lemah lembut, menasehatinya. Karena hati orang awam itu, lekas bertukar. Kalau nasehat itu tidak bermanfaat dan dengan memalingkan muka daripadanya adalah memburukkan kebid’ahannya pada diri orang itu, niscaya amatlah sunnah berpaling muka dari orang bid’ah itu. Dan kalau diketahuinya bahwa yang demikian tidak membekas pada orang bid’ah tersebut, disebabkan keras tabiatnya dan mendalam kepercayaan itu pada hatinya, maka memalingkan muka adalah lebih utama. Karena bid’ah itu, apabila tidak secara berlebih-lebihan memburukkannya, niscaya menjadi terkenal diantara orang banyak dan meratalah kerusakannya. Adapun orang yang berbuat ma’siat dengan perbuatan dan amalan, bukan dengan i’tiqad, maka tidaklah terlepas, adakalanya dia itu, dimana orang lain mendapat kesakitan dengan sebab dia, seperti kedzaliman, perampokan, kesaksian palsu, cacian, pemukulan diantara orang banyak, berjalan kesana-kemari dengan lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (berita fitnah) dan hal-hal yang seumpama dengan yang demikian. Atau ma’siatnya itu tidak terbatas padanya saja, tetapi menyakitkan orang lain juga. Dan yang demikian itu, terbagi kepada: apa yang membawa orang lain kepada kerusakan, seumpama orang yang memiliki tempat kejahatan, dimana ia mengumpulkan lelaki dan wanita dan menyediakan sebab-sebab minuman dan kerusakan, untuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Atau ia tiada mengajak orang lain kepada perbuatannya, seumpama orang yang meminum khamar dan melakukan perzinaan. Dan ini, yang tidak mengajak orang lain kepada perbuatannya, adakalanya ma’siatnya itu dosa besar atau dosa kecil. Dan masing-masing daripadanya, adakalanya terus-menerus mengerjakan ma’siat atau tidak terus-menerus. Maka dari pembahagian-pembahagian ini, berhasillah tiga bahagian. Dan tiap-tiap bahagian daripadanya mempunyai tingkatan. Dan setengahnya lebih keras dari yang lain. Dan tidaklah kami tempuh semuanya itu dengan satu jalan.
Bahagian pertama: yaitu yang lebih keras mendatangkan melarat kepada orang banyak, seperti: berbuat dzalim, merampok, naik saksi palsu, mengumpat dan memfitnah. Maka terhadap mereka itu, yang lebih utama, ialah berpaling muka dari mereka, meninggalkan bercampur-baur dan menghentikan bergaul. Karena kema’siatan itu berat sekali, tentang apa yang mendatangkan kepada menyakitkan orang banyak. Kemudian, mereka itu terbagi kepada: orang yang berbuat dzalim pada darah (pembunuhan) dan kepada orang yang berbuat dzalim pada memalukan orang lain. Dan sebahagiannya, adalah lebih keras dari sebahagian yang lain. Maka diisunatkan benar menghina dan berpaling muka dari orang-orang dzalim tersebut. Dan manakala diharapkan dari penghinaan, itu dapat mengejutkan mereka atau orang lain, maka hal yang demikian itu, lebih dikuatkan dan dikeraskan lagi.
Bahagian kedua: orang yang mempunyai tempat kejahatan, yang menyediakan segala sebab kerusakan dan memudahkan jalan kerusakan itu kepada orang banyak. Maka orang tersebut, tidak menyakitkan orang banyak pada dunia mereka. Tetapi dengan perbuatan itu, merusakkan keagamaan mereka. Dan kalau perbuatan itu, sesuai dengan kesukaan mereka, maka bahagian yang kedua ini, mendekati dengan bahagian yang pertama itu. Tetapi lebih ringan daripadanya. Karena kema’siatan diantara hamba dan Allah Ta’ala, adalah lebih mendekati kepada kemaafan. Tetapi dari segi, bahwa perbuatan itu umumnya menjalar kepada orang lain, maka adalah lebih berat. Dan juga ini menghendaki penghinaan, memalingkan muka, memutuskan silaturrahim dan meninggalkan menjawab salamnya, apabila diduga bahwa pada tindakan yang demikian, adalah semacam gertak kepada orang itu dan kepada orang lain.
Bahagian ketiga: orang yang berbuat fasiq pada dirinya sendiri, dengan meminum khamar atau meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang terlarang yang tertentu baginya. Maka mengenai ini, persoalannya adalah lebih ringan. Tetapi jikalau dijumpai ia pada waktu sedang mengerjakan yang terlarang tadi, niscaya wajiblah dicegah dengan cara, dimana ia mencegah dirinya dari perbuatan itu. Meskipun dengan pukulan dan penghinaan. Karena mencegah dari yang munkar, adalah wajib. Dan apabila orang itu telah selesai mengerjakan ma’siat tersebut dan diketahui bahwa yang demikian itu adalah termasuk kebiasaannya dan ia selalu mengerjakan kejahatan itu, maka dalam hal ini, jikalau ia yakin bahwa nasehatnya mencegah orang itu dari kembali kepada kejahatan tadi, niscaya wajiblah dinasehati. Dan jikalau ia tidak yakin yang demikian, tetapi ia mengharap yang demikian, maka yang lebih utama, ialah menasehati dan menakutkannya dengan kasar, jikalau yang demikian itu lebih bermanfaat. Adapun berpaling muka daripada menjawab salamnya dan mencegah daripada bercampur-baur dengan dia, dimana dia itu diketahui terus-menerus berbuat kejahatan dan nasehat tidak bermanfaat kepadanya, maka dalam hal ini ada pandangan. Dan pendapat ulama mengenainya, berbeda-beda. Dan yang shahih (yang benar), bahwa yang demikian itu, berbeda-beda dengan berbedanya niat orang. Maka ketika ini, dikatakan: bahwa segala perbuatan itu dengan niat. Karena tentang kasih-sayang dan memandang dengan kacamata kesayangan kepada orang banyak, adalah semacam merendahkan diri (tawadlu’). Dan pada sikap kasar dan memalingkan muka, adalah semacam gertak. Dan yang meminta fatwa kepadanya, adalah hati. Maka apa yang dilihatnya, lebih condong kepada hawa nafsunya dan kehendak tabiatnya, maka yang lebih utama, ialah lawan dari yang demikian. Karena kadang-kadang adalah memandang enteng dan menggertak orang yang berbuat kejahatan itu, timbul dari kesombongan dan kebanggaan, merasa senang dengan melahirkan ketinggian dan penunjukkan kepada perbaikan. Kadang-kadang kasih-sayangnya itu, timbul dari berminyak-minyak air dan kecondongan hati untuk mencapai sesuatu maksud atau karena takut dari membekas keliaran dan keliaran hati pada kemegahan atau harta dengan dugaan yang dekat atau yang jauh. Dan semuanya itu kembali kepada penunjukkan setan dan jauh dari amal perbuatan orang-orang akhirat. Maka tiap-tiap orang yang gemar pada amalan agama itu, bersungguh-sungguh dirinya memeriksa yang halus-halus ini dan mengintip (muraqabah) segala keadaan yang tersebut. Dan hati adalah yang mengeluarkan fatwa padanya. Kadang-kadang ia memperoleh kebenaran pada ijtihadnya dan kadang-kadang ia tersalah. Kadang-kadang ia tampil mengikuti hawa nafsunya dan ia mengetahui yang demikian. Kadang-kadang ia tampil dan karena tertipu, lalu menyangka bahwa ia berbuat karena Allah dan berjalan pada jalan akhirat. Dan akan datang penjelasan yang halus-halus ini pada “Kitab Tertipu” dari “Rubu’ Yang Membinasakan” (Rubu’ Al Muhlikat). Dan ditunjukkan kepada peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledoar, diantara hamba dan Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul dihadapan Rasulullah saw berkali-kali. Dan orang itu kembali berbuat yang demikian. Lalu seorang sahabat berkata: “Dikutuki Allah kiranya orang, yang alangkah banyaknya meminum khamar”. Maka Nabi saw menjawab: “Janganlah engkau menolong setan terhadap saudaramu”. Atau kata-kata lain yang diucapkan Nabi saw yang searti dengan yang tadi. Dan ini menunjukkan bahwa berkasih-sayang adalah lebih utama daripada bersikap kasar dan keras.
PENJELASAN: sifat-sifat yang disyaratkan, mengenai orang yang dipilih menjadi teman.
Ketahuilah kiranya, bahwa tidak patut menjadi teman semua manusia. Nabi saw bersabda: “Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman”. Dan tak boleh tidak, diperbedakan hal-hal dan sifat-sifat, dimana ia ingin dengan sebab yang demikian, untuk bersahabat dengan orang itu. Disyaratkan hal-hal itu, menurut faedah yang dicari dari persahabatan. Karena arti syarat ialah: yang tak boleh tidak daripadanya, untuk sampai kepada maksud. Maka dengan tambahan kepada maksud tersebut, lahirlah syarat-syarat itu. Dari persahabatan itu dicari faedah-faedah keagamaan dan keduniaan. Adapun faedah keduniaa, maka seperti memperoleh manfaat dengan harta atau kemegahan atau semata-mata berjinakkan hati dengan pandang-memandang dan bergaul. Dan tidaklah yang demikian itu, termasuk maksud kita di sini. Adapun faedah keagamaan, maka berkumpul padanya maksud yang bermacam-macam. Karena setengah daripadanya, memperoleh faedah dari pengetahuan dan amal perbuatan. Setengah daripadanya, memperoleh faedah dari kemegahan, dimana dengan kemegahan itu, kita dapat menjaga daripada disakiti oleh orang yang mengganggu ketentraman hati. Dan yang menghambat dari beribadah. Setengah daripadanya, memperoleh faedah harta, untuk mencukupkan dengan harta itu, daripada menyia-nyiakan waktu pada mencari makanan. Setengah daripadanya, memperoleh pertolongan pada segala hal yang penting. Maka adalah yang demikian itu, senjata untuk menghadapi segala bahaya dan kekuatan dalam segala hal. Setengah daripadanya, memperoleh barakah dengan semata-mata mendoa. Dan setengah daripadanya, menunggu syafa’at pada hari akhirat. Berkata setengah salaf: “Carilah banyak teman ! karena sesungguhnya tiap-tiap mu’min itu, mempunyai syafa’at. Maka semoga engkau dapat masuk kedalam syafa’at temanmu !”. Diriwayatkan pada tafsir yang agak ganjil (tafsir gharib), tentang firman Allah Ta’ala: “Dan Ia memperkenankan (permintaan) orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan Ia menambahkan kepada mereka dari kuniaNya”. S 42 Asy Syuura ayat 26. Berkata setengah salaf, menurut tafsir yang gharib itu, bahwa orang yang beriman dan yang beramal shalih, dapat memberi syafa’at kepada teman-temannya. Lalu ia memasukkan mereka ke dalam sorga bersama mereka. Dan dikatakan, bahwa apabila Allah mengampunkan dosa seorang hamba, niscaya hamba itu dapat memberi syafa’at kepada teman-temannya. Karena itulah, dianjurkan oleh segolongan salaf supaya berteman, berjinak-jinakkan hati dan bercampur-baur. Mereka itu tiada menyukai pengasingan diri dan sendirian. Inilah faedah-faedah itu, dimana tiap-tiap faedah meminta beberapa syarat. Dan faedah itu tidak akan berhasil, selain dengan syarat-syarat tersebut. Dan akan kami uraikan semuanya. Adapun secara keseluruhan, maka seyogyalah hendaknya ada lima perkata pada orang yang akan dipilih menjadi teman. Yaitu: berakal, baik budi pekerti, tidak fasiq, tidak berbuat bid’ah dan tidak loba kepada dunia. Adapun akal, adalah pokok dan itulah asalnya. Tak ada kebajikan berteman dengan orang bengal. Kesudahannya, akan kembali kepada keliaran hati dan putus silaturrahim, walaupun persahabatan itu telah berjalan lama. Sayidina Ali ra bermadah:
“Janganlah engkau berteman dengan orang bodoh,
awasilah dirimu dan dirinya......!
Berapa banyak orang yang bodoh,
memburukkan orang penyabar ketika ia mengambil
menjadi temannya.
Dibandingkan yang seorang dengan yang seorang,
apabila orang itu sama-sama berjalan.
Sesuatu mempunyai dari sesuatu,
perbandingan dan keserupaan.
Qalbu terhadap qalbu,
mempunyai petunjuk ketika perjumpaan”.
Betapa tidak ? orang bengal itu kadang-kadang mendatangkan kemelaratan kepadamu, sedang maksudnya mendatangkan kemanfaatan kepadamu dan menolong kamu, dimana sebenarnya, ia tidak tahu. Dan karena itulah, berkata penyair:
“Sesungguhnya aku merasa aman dari musuh yang berakal.
Dan aku takut kepada teman, yang ditelanjangi oleh gila.
Akal itu suatu macam dan jalannya aku ketahui, lalu aku perhatikan.
Dan gila itu bermacam-macam............”.
Dan karena itulah, dikatakan, bahwa memutuskan perhubungan dengan orang bengal, adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ats-Tsuri berkata: “Memandang kepada muka orang yang bengal itu, adalah kesalahan yang dituliskan”. Kami maksudkan dengan “orang berakal”, ialah orang yang memahami segala persoalan, menurut yang sebenarnya. Adakalanya oleh dirinya sendiri dan adakalanya apabila diberi peringatan oleh orang lain. Adapun baik budi-pekerti, maka tak boleh tidak daripadanya. Karena banyaklah orang berakal, mengetahui segala sesuatu menurut yang sebenarnya. Tetapi apabila sangatlah marahnya atau nafsu syahwat atau kekikiran atau ketidak beranian, niscaya ia mengikuti hawa nafsunya. Dan ia menyalahi dengan apa yang diketahuinya. Karena lemahnya daripada paksaan sifat-sifatnya dan pembetulan budi-pekertinya. Maka tak ada kebajikan pada persahabatan dengan dia. Adapun orang fasiq yang berkekalan pada kefasiqannya, maka tak ada faedah berteman dengan dia. Karena orang yang takut kepada Allah, tidak akan terus-menerus diatas dosa besar. Dan orang yang tidak takut kepada Allah, maka orang tidak akan merasa aman daripada tipuannya. Dan tidak dipercayai dengan kebenarannya. Tetapi ia selalu berobah dengan perobahan maksud-maksudnya. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau turut orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami dan ia menurutkan hawa nafsunya”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Oleh yang demikian, janganlah engkau dipalingkan daripada (mempercayai)nya, oleh orang yang tidak percaya kepadanya serta menurut hawa nafsunya”. S 20 Thaahaa ayat 16. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Oleh karena itu, maka tinggalkanlah orang yang berpaling dari mengingati Kami dan ia tidak ingin, selain dari penghidupan yang rendah ini”. S 53 An Najm ayat 29. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan turutlah jalan orang yang kembali kepadaKu !”. S 31 Lukman ayat 15. Dan dalam pengertian yang tersebut itu, ialah menghardik daripada berteman dengan orang fasiq. Adapun orang yang berbuat bid’ah, maka berteman dengan dia, terdapat bahaya menjalarnya bid’ah itu dan berkembang kutukan bid’ah kepadanya. Dari itu, orang bid’ah berhaklah disingkir dan diputuskan hubungan silaturrahim. Bagaimanakah ia dipilih menjadi sahabat ? ‘Umar ra telah berkata, menghasung untuk mencari unsur keagamaan pada teman itu, menurut yang diriwayatkan Sa’id bin Al-Musayyab, dimana Umar ra berkata: “Haruslah kamu berteman dengan orang-orang benar ! kamu akan hidup dalam lindungan mereka. Sesungguhnya mereka itu, adalah hiasan pada waktu senang dan perisai pada waktu susah. Letakkanlah persoalan saudaramu (temanmu) dalam keadaan yang sebaik-baiknya ! sehingga ia membawa kepada kamu, apa yang memenangkan kamu. Dan asingkanlah dirimu dari musuhmu dan berhati-hatilah dari temanmu, kecuali yang kepercayaan dari kamu itu ! dan tidak ada yang kepercayaan, selain orang yang takut kepada Allah. Maka janganlah engkau berteman dengan orang dzalim, nanti kamu akan memperoleh pengetahuan dari kedzalimannya ! dan janganlah engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau ! dan bermusyawaralah tentang urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Allah !”. Adapun budi yang baik, maka telah dikumpulkan oleh ‘Alqamah Al-‘Atharidi di dalam wasianya kepada anaknya, ketika ia hampir meninggal dunia. Ia berkata: “Hai anakku ! apabila datang keperluan bagimu untuk berteman dengan orang, maka bertemanlah dengan orang, dimana apabila engkau melayaninya, niscaya ia menjaga engkau ! dan jikalau engkau menemaninya, niscaya ia menimbang dengan penghargaan akan engkau. Dan jikalau engkau memerlukan perbelanjaan, niscaya ia membelanjai engkau. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau mengulurkan tanganmu kepadanya dengan kebajikan, niscaya iapun mengulurkannya. Jikalau ia melihat daripadamu kebajikan, niscaya diperkirakannya. Dan jikalau ia melihat kejahatan, niscaya ditutupkannya. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau meminta padanya, niscaya diberikannya kepadamu ! dan kalau engkau berdiam diri, niscaya dimulainya memberikan kepadamu ! dan jikalau datang bencana kepadamu, niscaya ditolongnya kamu. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau berkata, niscaya dibenarkannya perkataanmu ! dan kalau kamu berdua berusaha tentang sesuatu, niscaya dipentingkannya urusanmu. Dan kalau kamu berdua berselisih, niscaya diutamakannya kamu”. Seakan-akan ‘Alqamah telah mengumpulkan dengan perkataannya itu, segala hak persahabatan. Dan disyaratkannya supaya anaknya itu, menjalankan semuanya. Berkata Ibnu Aktsam: “Al-Ma’mun berkata: “Dari manakah ini ?”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Adakah engkau ketahui, mengapakah ‘Alqamah mewasiatkan anaknya demikian ?”. Al-Ma’mun menjawab: “Tidak tahu”. Lalu orang itu menerangkan: “Karena Alqamah bermaksud supaya anaknya, tidak akan berkawan dengan seseorang”. Berkata setengah pujangga: “Janganlah kamu berteman, kecuali dengan orang yang menyembunyikan rahasiamu dan yang menutupkan kekuranganmu ! lalu dia berada bersama kamu pada segala duka cita. Dia mendahulukan kamu pada segala duka cita. Dia menyiarkan kebajikanmu dan menyembunyikan keburukanmu. Jikalau engkau tiada memperoleh orang yang seperti itu, maka janganlah berteman, selain dengan dirimu sendiri !”. Ali ra bermadah:
“Temanmu yang sebenarnya,
ialah orang yang ada bersamamu.
Dan orang yang menyusahkan dirinya,
supaya ia bermanfaat kepadamu.
Pada waktu membimbangkan,
ia berkata terus-terang kepadamu.
Dia sendiri pecah berantakan,
supaya kamu terkumpulkan selalu”.
Berkata setengah ulama: “Janganlah kamu berteman, selain dengan salah seorang dari dua: orang yang engkau pelajari daripadanya, sesuatu tentang urusan agamamu. Maka ia memanfaatkan kepadamu. Atau orang yang engkau ajarkan sesuatu tentang urusan agamanya, lalu diterimanya daripadamu. Dan orang yang ketiga (orang yang tidak engkau pelajari agama padanya dan tidak engkau ajari agama kepadanya), maka larilah daripadanya !”. Berkata setengah mereka: “Manusia itu 4 macam: yang seorang manis seluruhnya. Maka orang tidak akan kenyang-kenyang daripadanya. Yang seorang pahit seluruhnya. Maka tidak termakan apa-apa daripadanya. Yang seorang terdapat masam padanya. Maka ambillah dari orang itu, sebelum ia mengambil daripadamu ! dan yang seorang lagi, terdapat asin padanya. Maka ambillah daripadanya, pada waktu diperlukan saja !”. Berkata Ja’far Ash-Shadiq ra: “Janganlah engkau berteman dengan 5 orang:
Pertama: pendusta. Maka engkau berada dalam penipuannya. Dia adalah seumpama cahaya panas (fatamorgana), dekat kepadamu yang jauh dan jauh kepadamu yang dekat.
Ke-2: orang dungu. Maka tidaklah engkau memperoleh daripadanya sesuatu. Ia mau mendatangkan manfaat kepadamu, lalu ia memelaratkan akan kamu.
Ke-3: orang kikir. Maka ia putuskan daripada kamu, sesuatu yang kamu amat memerlukan kepadanya.
Ke-4: orang pengecut. Maka ia akan menyerahkan kamu dan ia akan lari ketika menghadapi kesulitan.
Dan ke-5: orang fasiq. Maka ia akan menjual kamu dengan sesuap makanan atau kurang dari itu !”.
Lalu orang bertanya kepada Ja’far Ash-Shadiq tadi: “Apakah yang kurang lagi dari sesuap makanan itu ?”. Ja’far Ash-Shadiq ra menjawab: “Loba pada makanan yang sesuap itu, kemudian ia tidak memperolehnya”. Berkata Al-Junaid: “Aku lebih suka ditemani oleh seorang fasiq, yang berbudi baik, daripada seorang qari’ (ahli qiraah Alquran), yang berbudi buruk”. Berkata Ibnu Abil Hawari: “Berkata kepadaku guruku Abu Sulaiman: “Hai Ahmad (nama dari Ibnu Abi Hawari) ! janganlah engkau berteman, selain dari salah seorang dari dua: orang yang dapat engkau memperoleh manfaat padanya mengenai urusan duniamu. Atau orang yang dapat engkau menambahkan bersama dia dan memperoleh kemafaatan dengan dia, mengenai urusan akhiratmu ! dan berurusan dengan orang yang lain daripada yang dua ini, adalah dungu sekali”. Berkata Sahl bin Abdullah: “Jauhilah berteman dengan tiga macam manusia: orang-orang yang gagah perkasa yang lalai, orang-orang qari’ yang berminyaak-minyak air dan orang-orang shufi yang bodoh !”. Dan ketahuilah kiranya, bahwa segala kata-kata ini, kebanyakannya tiada meliputi semua maksud persahabatan. Dan yang meliputinya, ialah apa yang telah kami sebutkan, tentang memperhatikan maksud-maksudnya dan menjaga syarat-syaratnya, sebagai tambahan kepadanya. Maka tidaklah apa yang disyaratkan bagi persahabatan pada maksud-maksud keduniaan, menjadi disyaratkan bagi persahabatan pada keakhiratan dan persaudaraan. Sebagaimana yang dikatakan Bisyr: “Saudara itu 3: saudara untuk akhiratmu, saudara untuk duniamu dan saudara untuk kamu berjinak-jinakan hati dengan dia”. Dan amat sedikitlah terkumpul maksud-maksud ini pada orang seorang. Tetapi berpisah-pisah pada sekumpulan orang. Maka sudah pastilah, berpisah-pisah syarat-syarat itu pada mereka. Dan sesungguhnya Al-Ma’mun berkata: “Saudara itu 3: yang seorang, adalah seumpama makanan, yang tidak boleh tidak daripadanya. Yang seorang, adalah seumpama obat yang diperlukan kepadanya, pada suatu waktu dan tidak diperlukan pada waktu yang lain. Dan yang ketiga, adalah seumpama penyakit, yang tidak diperlukan sekali-kali padanya. Bahkan hamba itu, kadang-kadang memperoleh bencana dengan orang ini. Yaitu orang yang tak ada kejinakan hati padanya dan tak ada kemanfaatan”. Dan ada yang mengatakan: “Kumpulan manusia itu adalah seumpama kayu-kayuan dan tumbuh-tumbuhan. Sebahagian daripadanya, mempunyai naungan dan tidak berbuah. Dan itu adalah seumpama, yang dapat dimanfaatkan di dunia dan tidak di akhirat. Karena kemanfaatan dunia itu, adalah seumpama naungan (bayang-bayang) yang cepat hilang. Dan sebahagian daripadanya, ada yang berbuah dan tidak mempunyai naungan. Dan itu adalah seumpama yang patut bagi akhirat dan tidak bagi dunia. Dan sebahagian daripadanya sama-sama, berbuah dan bernaungan. Dan sebahagian daripadanya, tiada satupun daripada keduanya (buah dan bayang-bayang), seperti Ummi Ghailan yang merobek-robekkan kain dan tak ada padanya makanan dan minuman. Dan contohnya dari binatang, ialah tikus dan kalajengking, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dia mendoakan kepada sesuatu yang bahayanya lebih dekat dari manfaatnya; sesungguhnya itulah penolong dan teman yang paling buruk”. S 22 Al Hajj ayat 13. Dan seorang penyair bermadah:
“Manusia itu berbagai ragam,
apabila engkau merasakan mereka.
Mereka tiada bersamaan,
seperti kayu-kayuan tiada sama.
Yang ini berbuah,
manis rasanya.....
Yang itu tidaklah
mempunyai rasa dan buahnya”.
Maka apabila tiada memperoleh teman, yang dapat diambil menjadi saudara dan mendapat faedah daripadanya, salah satu dari maksud-maksud yang tersebut tadi, maka sendirian adalah lebih utama. Abu Dzar ra berkata: “Sendirian itu adalah lebih baik daripada mengambil teman duduk orang jahat. Dan teman duduk orang baik, adalah lebih bagus daripada sendirian”. Dan perkataan Abu Dzar ini, diriwayatkan sebagai hadits marfu’. Adapun keagamaan dan tak ada kefasiqan, maka berfirman Allah Ta’ala: “Dan turutlah jalan orang yang kembali kepadaku”. S 31 Lukman ayat 15. Dan karena menyaksikan kefasiqan dan orang-orang fasiq itu, memudahkan anggapan ringan kepada perbuatan ma’siat dalam hati. Dan menghilangkan larinya hati daripada kema’siatan itu. Berkata Sa’id bin Al-Musayyab: “Janganlah kamu memandang kepada orang-orang dzalim ! maka batallah amal perbuatanmu yang baik-baik. Bahkan tak adalah keselamatan dalam bercampur-baur dengan orang-orang dzalim itu. Sesungguhnya keselamatan, adalah pada memutuskan perhubungan dengan mereka”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan kepada mereka, lalu mereka menjawab: “Selamat !”. S 25 Al Furqaan ayat 63. Pada ayat tadi, disebutkan salaamaa, artinya: selamat. Alif pada: salaamaa (pada tulisan Arabnya), adalah ganti daripada: ha. Dan artinya: “Sesungguhnya kami selamat daripada kedosaan kamu. Dan kamu selamat daripada kejahatan kami”. Inilah apa yang kami maksudkan dahulu menyebutkannya dari segala pengertian persaudaraan, syarat-syarat dan faedah-faedahnya. Maka hendaklah kita mengulangi menyebutkan hak-hak, keharusan-keharusan dan jalan-jalan menegakkan haknya. Adapun orang yang loba kepada dunia, maka berteman dengan dia, adalah racun pembunuh. Karena tabiat (karakter) manusia itu, tertarik untuk menyerupai dan mengikuti. Bahkan karakter itu mencuri dari karakter orang lain, dimana tanpa diketahui oleh orang yang mempunyai karakter itu sendiri. Maka duduk-duduk bersama orang yang loba kepada dunia itu, dapat menggerakkan kelobaan. Dan duduk bersama orang zahid, dapat mendatangkan kezuhudan di dunia. Karena itulah, tiada disukai berteman dengan orang-orang yang mencari dunia. Dan disunnahkan berteman, dengan orang-orang yang gemar pada akhirat. Berkata Ali ra: “Hidupkanlah ketaatan dengan duduk-duduk bersama orang yang disegani !”. Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Tiada yang menjatuhkan aku kedalam bencana, selain karena berteman dengan orang yang aku tidak malu kepadanya”. Berkata Lukman: “Hai anakku ! duduk-duduklah dengan ulama dan berdesak-desaklah kepada mereka dengan kedua lututmu ! karena sesungguhnya hati itu hidup, dengan pengetahuan tinggi (ilmu hikmah), sebagaimana tanah mati hidup dengan banjir dari hujan”.
BAB KEDUA: tentang hak-hak persaudaraan dan persahabatan.
Ketahuilah, bahwa tali persaudaraan itu mengikatkan diantara dua orang, seperti tali perkawinan diantara suami-isteri. Dan sebagaimana dikehendaki oleh perkawinan, akan hak-hak yang wajib disempurnakan untuk menegakkan hak perkawinan, sebagaimana telah disebutkan dahulu pada “Kitab Adab Nikah”, maka begitu pula ikatan persaudaraan. Saudaramu (temanmu) mempunyai hak atasmu, tentang harta dan jiwa, lidah dan hati, dengan kemaafan dan doa, keikhlasan dan kesetiaan, dengan meringankan, meninggalkan pemberatan dan diberatkan. Yang demikian itu, dikumpulkan oleh 8 hak:
Hak Pertama: tentang harta.
Rasulullah saw bersabda: “Dua orang yang bersaudara itu, adalah seumpama dua tangan, yang satu membasuh yang lain”. Sesungguhnya Nabi saw menyerupakan dua orang bersaudara itu, dengan dua tangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Karena keduanya itu, tolong-menolong pada sesuatu maksud. Begitupula kedua orang bersaudara itu, bahwa persaudaraan keduanya baru sempurna, apabila keduanya saling tolong-menolong pada sesuatu tujuan. Maka keduanya dari suatu segi, adalah seperti orang yang seorang. Dan ini menghendaki untuk bersama-sama bagi-membagi suka dan duka, bersekutu pada masa depan dan masa sekarang, meningkatkan kekhususan dan pemilihan. Bantu-membantu dengan harta bersama teman-teman itu, adalah diatas 3 tingkat:
Tingkat yang paling rendah: ialah, bahwa engkau menempatkan teman itu pada tingkat budakmu atau pelayanmu. Maka engkau melaksanakan hajatnya, daripada kelebihan hartamu. Apabila ia mempunyai suatu hajat keperluan dan ada padamu kelebihan dari hajat keperluanmu sendiri, maka terus engkau berikan kepadanya. Dan tidak engkau memerlukan dia meminta. Jikalau engkau memerlukan dia meminta, maka itu adalah keteledoran sekali terhadap hak persaudaraan.
Tingkat kedua: ialah, bahwa engkau menempatkan dia pada tingkat dirimu sendiri. Dan engkau rela mempersekutukannya dengan engkau, pada harta engkau dan menempatkannya pada kedudukan engkau. Sehingga engkau memperbolehkannya bahagian pada harta engkau. Al-Hasan berkata: “Adalah seorang daripada mereka itu, membelahkan kain sarungnya diantara dia sendiri dan saudaranya (temannya)”.
Tingkat ketiga: ialah, yang paling tinggi, bahwa engkau utamakan dia diatas dirimu sendiri. Engkau dahulukan keperluannya diatas keperluanmu. Dan ini adalah tingkat orang-orang shiddiq. Dan derajat yang penghabisan dari orang-orang yang berkasih-kasihan. Dan sebahagian dari buah tingkat ini, ialah mengutamakan juga penyerahan jiwa, sebagaimana diriwayatkan, bahwa telah dibawa segolongan orang-orang shufi kehadapan sebahagian khalifah-khalifah. Lalu khalifah itu memerintahkan membunuh mereka. Dan dalam golongan mereka itu, terdapat Abul-Husain An-Nuri. Maka iapun bersegera ke muka orang pemegang pedang. Supaya ia menjadi orang pertama yang dibunuh. Lalu ia ditanyakan tentang itu. Maka ia menjawab: “Aku suka bahwa aku mengutamakan teman-temanku untuk hidup pada detik-detik ini”. Sehingga yang demikian itu, menjadi sebab kelepasan mereka semuanya, sebagaimana tersebut dalam suatu cerita yang panjang. Jikalau tidak engkau jumpai dirimu pada salah satu tingkat dari tingkat-tingkat tadi bersama saudaramu, maka ketahuilah bahwa ikatan persaudaraan itu tidaklah terbuhul kuat dalam batin. Dan sesungguhnya yang berlaku diantara kedua kamu, ialah bercampur-bauran resmi, yang tidak jatuh mendalam pada akal dan agama. Maimun bin Mahran berkata: “Barangsiapa rela daripada saudara-saudaranya, meninggalkan keutamaan, maka hendaklah ia bersaudara dengan orang-orang yang dalam kuburan !”. Adapun derajat yang paling rendah, maka tidak pula disenangi oleh orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Diriwayatkan, bahwa ‘Atbah Al-Ghallam, datang ke tempat orang yang telah diambilnya menjadi saudara (teman). Maka ia berkata: “Aku memerlukan dari hartamu 4000”. Lalu orang itu menjawab: “Ambillah 2000 !”. Maka ‘Atbah Al-Ghallam meninggalkan orang itu, dengan mengatakan: “Engkau memilih dunia daripada Allah. Apakah engkau tidak malu, bahwa engkau mendakwakan persaudaraan pada jalan Allah (fillah) dan engkau mengatakan kata-kata itu tadi ?”. Dan orang yang berada dalam persaudaraan, pada tingkat yang terendah itu, seyogyalah engkau tidak bergaul dengan dia di dunia ini. Abu Hazim berkata: “Apabila engkau mempunyai teman pada jalan Allah, maka janganlah engkau bergaul dengan dia, pada urusan-urusan duniamu !”. Sesungguhnya Abu Hazim bermaksud dengan yang demikian, ialah orang yang ada pada tingkat yang tersebut. Adapun tingkat yang tertinggi, ialah yang disifatkan oleh Allah Ta’ala, akan orang-orang mu’min dengan firmanNya: “Urusan mereka (dilakukan) dengan permusyawaratan diantara mereka dan mereka yang menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. S 42 Asy Syuura ayat 38. Artinya: adalah mereka mencampur-baurkan harta sesama mereka. Sehingga tidak dapat diperbedakan oleh sebahagian mereka akan kendaraannya dari sebahagian yang lain. Dan ada sebahagian dari mereka, tidak mau berteman dengan orang yang mengatakan: “Ini alas kakiku”. Karena disandarkannya, barang itu kepada dirinya sendiri. Fathul-Maushuli datang ke tempat temannya dan kebetulan temannya itu tidak ada di rumah. Lalu Fathul-Maushuli menyuruh isteri temannya, mengeluarkan peti uang. Maka isteri temannya itu mengeluarkan peti uangnya. Lalu Fathul-Maushuli membukakannya dan mengambil menurut hajat keperluannya. Maka budak temannya itu menerangkan kepada tuannya. Lalu teman itu menjawab: “Jikalau engkau itu benar, maka engkau merdeka karena Allah”. Karena kegembiraan dengan apa yang diperbuat oleh Fathul-Maushuli tadi. Seorang laki-laki datang kepada Abu Hurairah ra seraya berkata: “Saya ingin bersaudara dengan engkau pada jalan Allah (fillah)”. Maka Abu Hurairah menjawab: “Tahukah engkau, apakah hak bersaudara itu ?”. Orang itu menjawab: “Beritahukanlah kepadaku akan hak itu !”. Abu Hurairah menerangkan: “Bahwa tidaklah engkau lebih berhak dengan dinarmu dan dirhammu daripadaku”. Orang itu menyambung: “Aku tidak akan sampai kepada tingkat itu”. Lalu Abu Hurairah berkata: “Pergilah daripadaku !”. Ali bin Al-Husain ra berkata kepada seorang laki-laki: “Adakah seorang kamu memasukkan tangannya kedalam lengan baju temannya atau kedalam saku bajunya, lalu ia mengambil daripadanya, apa yang dikehendakinya, dengan tidak seizinnya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Ali bin Al-Husain ra menyambung: “Kalau begitu, tidaklah kamu bersaudara”. Suatu kaum datang kepada Al-Hasan ra. Lalu mereka bertanya: “Hai Abu Said ! sudahkah engkau mengerjakan shalat ?”. Maka Al-Hasan menjawab: “Sudah !”. Lalu mereka itu menyambung: “Sesungguhnya orang-orang pasar itu, tidaklah nanti mengerjakan shalat”. Al-Hasan ra lalu bertanya: “Siapakah yang mengambil agamanya dari orang-orang pasar ? telah sampai berita kepadaku, bahwa seorang darii mereka tidak mau memberikan kepada temannya uang sedirham”. Al-Hasan mengucapkan kata-kata tadi, seperti orang yang merasa heran, dari yang demikian itu. Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham ra, dimana Ibrahim bin Adham ra ingin mengunjungi Baitul-Maqdis. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku ingin menemanimu !”. Ibrahim bin Adham menjawab kepada orang itu: “Atas dasar, bahwa adalah aku, yang lebih berhak memiliki barangmu, daripadamu !”. Orang itu menyahut: “Tidak !”. Maka Ibrahim bin Adham menyambung: “Amatlah mengherankan aku, oleh kebenaranmu !”. Orang itu menerangkan lebih lanjut: “Adalah Ibrahim bin Adham ra apabila ditemani oleh seseorang, ia tidak akan berselisih dengan orang itu. Dan ia tidak akan berteman, kecuali dengan orang yang sesuai dengan dia”. Ibrahim bin Adham ditemani oleh seorang laki-laki penjual tali sepatu. Lalu pada suatu tempat, ada orang yang menghadiahkan kepada Ibrahim, sepiring roti hancur berkuah. Maka Ibrahim membuka karung temannya dan mengambil seikat tali sepatu dan diletakkannya dalam piring. Dan dikembalikannya piring itu kepada orang yang menghadiahkan roti berkuah tadi. Tatkala temannya datang, lalu bertanya: “Manakah tali sepatu itu ?”. Ibrahim menjawab: “Telah menjadi roti hancur berkuah, yang telah aku makan”. Teman itu menjawab: “Hendaknya engkau berikan dua atau tiga potong tali saja”. Ibrahim menyahut: “Maafkanlah, niscaya engkau akan dimaafkan !”. Pada suatu kali, Ibrahim bin Adham memberikan seekor keledai kepunyaan temannya, tanpa izin teman itu, kepada seorang laki-laki yang dilihatnya berjalan kaki. Tatkala teman itu datang, maka teman itu berdiam diri. Dan ia suka dengan yang demikian. Ibnu ‘Umar ra berkata: “Aku hadiahkan kepada salah seorang sahabat Rasulullah saw kepala kambing. Lalu sahabat itu berkata: “Saudaraku Anu lebih berhajat daripadaku kepada kepala kambing ini”. Lalu orang itu mengirimkan kepala kambing tersebut kepada si Anu itu. Maka orang tersebut mengirimkan kepala kambing itu kepada orang lain. Maka senantiasalah kepala kambing itu, dikirim oleh yang seorang kepada seorang yang lain. Sehingga kembalilah kepada yang pertama, setelah berpindah tangan sampai 7 orang. Diriwayatkan bahwa Masruq mempunyai banyak hutang dan temannya Khaitsamah juga mempunyai hutang. Maka teman itu menerangkan, bahwa Masruq lalu pergi membayar hutang Khaitsamah, sedang Khaitsamah tiada mengetahuinya. Dan Khaitsamah pergi membayar hutang Masruq, sedang Masruqpun tiada mengetahuinya. Tatkala Rasulullah saw mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’id bin Ar-Rabi’, lalu Abdur Rahman mengutamakan Sa’id bin Ar-Rabi’, dengan harta dan jiwanya. Abdur Rahman berkata: “Diberkati oleh Allah kiranya bagimu pada keduanya itu (harta dan jiwa) !”. Sa’id Ar-Rabi’ mengutamakan Abdur Rahman dengan apa yang diutamakan Abdur Rahman kepadanya. Dan seakan-akan Sa’id bin Ar-Rabi’ menerimanya, kemudian mengutamakan Abdur Rahman dengan barang tersebut. Dan itu adalah persamaan. Dan permulaan, ialah mengutamakan. Dan mengutamakan itu adalah lebih utama daripada persamaan. Berkata Sulaiman Ad-Darani: “Jikalau dunia semuanya bagiku, maka aku letakkan ke dalam mulut salah seorang dari teman-temanku. Supaya aku bebaskan dunia itu untuk teman itu”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata pula: “Sesungguhnya aku suapkan sesuap makanan kepada salah seorang dari teman-temanku. Maka aku memperoleh rasanya pada hulqumku (kerongkonganku)”. Dan tatkala mengeluarkan perbelanjaan kepada saudara-saudara itu, lebih utama daripada bersedekah kepada fakir miskin, maka Ali ra berkata: “Sesungguhnya 20 dirham aku berikan kepada temanku pada jalan Allah (temanku fillah), lebih aku sukai daripada aku bersedekah 100 dirham kepada orang-orang miskin”. Dan Ali ra berkata pula: “Sesungguhnya aku perbuat segantang makanan dan aku kumpulkan teman-temanku fillah pada makanan itu, adalah lebih aku sukai daripada memerdekakan seorang budak”. Dan seluruh sahabat mengikuti Rasulullah saw tentang mengutamakan teman. Beliau masuk ke tempat pohon-pohonan bersama beberapa orang sahabatnya. Lalu beliau mengambil dari pohon-pohonan itu, dua potong kayu penyikat gigi (sugi). Yang satu bengkok dan yang satu lagi lurus. Lalu beliau serahkan yang lurus itu kepada sahabatnya. Maka sahabat itu berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah ! demi Allah, engkau kiranya yang lebih berhak dengan yang lurus, daripada aku”. Nabi saw menjawab: “Tiadalah seorang teman yang menemani seseorang teman, walaupun sesaat dari hari, melainkan ditanyakan tentang persahabatannya itu, adakah ia menegakkan pada persahabatan itu, akan hak Allah atau ia menyia-nyiakannya ?”. Maka dengan sabda itu, Nabi saw mengisyaratkan bahwa mengutamakan teman, adalah menegakkan hak Allah pada persahabatan. Rasulullah saw pergi ke sumur dan beliau mandi pada sumur itu. Lalu Hudzaifah bin Al-Yaman memegang kain dan berdiri menutupkan Rasulullah saw. sehingga beliau selesai mandi. Kemudian, duduklah Hudzaifah untuk mandi. Lalu Rasulullah saw memegang kain dan berdiri menutupkan Hudzaifah dari mata orang banyak. Hudzaifah tidak mau, seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah ! janganlah engkau berbuat ini !”. Rasulullah saw tidak mau, melainkan terus menutupkannya dengan kain, sehingga Hudzaifah selesai mandi”. Nabi saw bersabda: “Tiada sekali-kali berteman dua orang, melainkan adalah yang lebih disukai Allah, ialah yang lebih kasih-sayangnya kepada temannya”. Diriwayatkan, bahwa Malik bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ masuk ke tempat Al-Hasan. Dan waktu itu Al-Hasan tidak ada di rumah. Lalu Muhammad bin Wasi’ mengeluarkan sebuah keranjang yang berisi makanan, dari bawah tempat tidur Al-Hasan. Dan terus memakannya. Maka Malik menegur Muhammad: “Cegahkanlah tanganmu, sehingga datang yang punya rumah !”. Muhammad tiada memperhatikan perkataan Malik dan ia terus makan. Dan adalah Malik lebih lapang dan lebih baik budi pekertinya daripada Muhammad. Maka masuklah Al-Hasan seraya berkata: “Wahai teman ! begitulah adanya kita, tiada malu diantara kita sesama kita. Sehingga tampaklah engkau dan sahabat-sahabat engkau”. Al-Hasan mengisyaratkan dengan itu, bahwa berlapang dada pada rumah teman, adalah setengah daripada kebersihan pada persaudaraan. Bagaimana tidak ? Allah Ta’ala berfirman: “Atau rumah kawan-kawanmu”. Dan Allah Ta’ala berfirman (sebelum firman yang tadi): “Atau rumah yang kuncinya kepunyaan kamu”. (kedua firman tadi adalah pada S 24 An Nur ayat 61). Karena adalah teman itu menyerahkan kunci rumahnya kepada temannya. Dan menyerahkan urusan menurut yang diingininya. Dan adalah temannya merasa berkeberatan daripada makan, disebabkan ketaqwaan. Sehingga diturunkan oleh Allah Ta’ala ayat yang tersebut tadi. Dan diizinkan kepada mereka berlapang dada pada makanan saudara dan teman.
Hak Kedua: tentang menolong dengan jiwa pada penunaian segala keperluan dan pelaksanaannya sebelum diminta dan mendahulukannya diatas hajat-hajat yang tertentu.              
Dan ini juga, mempunyai derajat-derajat, sebagaimana pada memberi pertolongan dengan harta. Maka yang paling rendah daripadanya, ialah tegak melaksanakan keperluan teman, ketika diminta dan mampu. Tetapi dengan disertakan wajah yang tersenyum, gembira, melahirkan kesenangan dan menerimakan kenikmatan. Setengah mereka berkata: “Apabila engkau meminta kepada saudaramu sesuatu keperluan, maka tidak dilaksanakannya. Lalu ingatkanlah dia kali kedua; karena mungkin ia telah lupa. Jikalau tidak dilaksanakan juga, maka bertakbirlah kepadanya. Dan bacalah ayat ini: “Dan orang-orang yang mati, akan dibangkitkan oleh Allah”. S 6 Al An’aam ayat 36. Ibnu Syabramah melaksanakan suatu keperluan besar bagi sebahagian temannya. Lalu teman itu datang membawa hadiah. Maka Ibnu Syabramah bertanya: “Apa ini ?”. Teman itu menjawab: “Untuk yang telah engkau bermurah hati kepadaku”. Maka Ibnu Syabramah menyambung: “Ambillah hartamu ! kiranya Allah mengurniakan kepadamu ke’afiatan 1 apabila engkau meminta kepada saudaramu sesuatu keperluan, maka ia tidak menyugguhkan dirinya pada melaksanakan keperluan itu, maka berwudlu’lah untuk shalat ! dan bertakbirlah kepadanya 4 kali takbir ! dan hitungkanlah dia dalam golongan orang-orang yang telah mati !”. Berkata Ja’far bin Muhammad: “Sesungguhnya aku bersegera melaksanakan keperluan musuh-musuhku. Karena takut nanti aku tolak permintaan mereka. Maka mereka tidak memerlukan lagi kepadaku”. Ini, adalah terhadap musuh ! maka bagaimana pula terhadap teman ? dan adalah dalam kalangan salaf, orang yang menghabiskan hartanya kepada keluarga dan anak-anak temannya, sesudah teman itu meninggal, selama 40 tahun. Ia bangun melaksanakan keperluan mereka. Dan tiap-tiap hari bulak-balik kepada mereka dan membelanjai mereka dari hartanya. Maka adalah mereka tiada merasa ketiadaan ayah. Hanya diri ayahnya saja yang tidak ada. Bahkan mereka melihat dari sikap yang menolong itu, apa yang tiada pernah dilihatnya dari ayahnya sewaktu ayahnya masih hidup. Dan salah seorang dari mereka pulang-pergi ke pintu rumah temannya, menanyakan dan mengatakan:  “Adakah kamu mempunyai minyak ? adakah kamu mempunyai garam ? adakah kamu mempunyai sesuatu keperluan ? dan ia bangun melaksanakan keperluan itu, dimana teman itu sendiri tiada mengetahuinya. Dan dengan ini, lahirlah kekasih-sayangan dan persaudaraan. Apabila tidak berbuah kekasih-sayangan, sehingga ia kasih-sayang kepada temannya seperti ia kasih-sayang kepada dirinya sendiri, maka tak adalah kebajikan pada kekasih-sayangan itu. Maimun bin Mahran berkata: “Orang yang tiada engkau memperoleh manfaat dengan persahabatannya, niscaya tidaklah mendatangkan kemelaratan kepada engkau oleh permusuhannya”. Nabi saw bersabda: “Ketahuilah ! bahwa Allah Ta’ala mempunyai bejana-bejana di bumiNya, yaitu: hati. Maka bejana yang paling disukai Allah Ta’ala, ialah yang paling bersih, yang paling keras dan yang paling halus”. Yang paling bersih dari dosa, yang paling keras pada agama dan yang paling halus kepada teman. Kesimpulannya, maka seyogyalah adanya keperluan temanmu, seperti keperluanmu sendiri. Atau lebih penting daripada keperluanmu. Dan adalah kamu meniadakan yang lain, untuk waktu-waktu keperluan teman. Tidak melalaikan segala hal-ikhwal teman, sebagaimana kamu tidak melalaikan segala hal dirimu sendiri. Dan engkau tidak memerlukan dari teman itu, meminta-minta dan melahirkan keperluan kepada pertolongan. Tetapi engkau bangun menegakkan keperluannya, seakan-akan engkau tiada mengetahui telah menegakkan keperluan teman. Dan engkau tiada melihat bagi dirimu sendiri akan sesuatu hak, disebabkan engkau menegakkan keperluan teman. Tetapi engkau memperoleh kenikmatan, disebabkan diterimanya usaha engkau pada hak teman itu dan bangun engkau mengurus urusannya. Dan tiada seyogyalah engkau menyingkatkan pada menunaikan hajatnya saja, tetapi engkau bersungguh-sungguh pada permulaannya; dengan memuliakannya tambah-bertambah, mengutamakan dan mendahulukannya diatas kaum kerabat dan anak sendiri. Adalah Al-Hasan berkata: “Teman-teman kita adalah lebih kita kasihi dari keluarga dan anak-anak kita. Karena keluarga kita mengingatkan kita kepada dunia dan teman-teman kita mengingatkan kita kepada akhirat”. Al-Hasan berkata: “Barangsiapa mengantarkan jenazah temannya fillah, niscaya diutuskan oleh Allah para malaikat dari bawah ‘ArasyNya, yang akan mengantarkannya ke sorga”. Pada atsar tersebut: “Tiadalah seseorang mengunjungi temannya fillah, karena ingin menjumpainya, melainkan ia dipanggil oleh malaikat dari belakangnya: “Engkau baik dan sorga baik untuk engkau !”. Atha’ berkata: “Habiskanlah waktumu untuk temanmu, sesudah teman itu mempunyai 3 perkara: jikalau mereka itu sakit, maka kunjungilah ! atau mereka banyak pekerjaan, maka berilah pertolongan ! atau mereka lupa maka peringatkanlah !”. Dan diriwayatkan: “Bahwa Ibnu ‘Umar berpaling ke kanan dan ke kiri, dihadapan Rasulullah saw. Lalu beliau menanyakannya yang demikian. Maka Ibnu ‘Umar menjawab: “Aku mencintai seorang laki-laki, maka aku mencarinya dan tiada aku melihatnya”. Lalu Nabi saw bersabda: “Apabila engkau mencintai seseorang maka tanyakanlah namanya, nama ayahnya dan tempatnya. Maka jikalau ia sakit, engkau berkunjung kepadanya. Dan jikalau ia banyak pekerjaan, engkau berikan kepadanya pertolongan”. Dan pada riwayat yang lain: “Engkau tanyakan nama neneknya dan nama keluarganya”. Berkata Asy-sya’bi tentang orang yang duduk-duduk dengan orang, lalu mengatakan: “Aku kenal mukanya dan tidak aku kenal namanya”, bahwa itu, adalah kenalan yang bodoh. Ada orang menanyakan kepada Ibnu Abbas: “Siapakah orang yang paling engkau cintai ?”. Ibnu Abbas menjawab: “Orang yang menjadi teman dudukku”. Dan Ibnu Abbas meneruskan: “Tiadalah pulang-pergi seorang laki-laki ke tempatku 3 kali, tanpa ada keperluannya kepadaku, maka tahulah aku, apakah pembalasannya dari dunia”. Sa’id bin Al-Ash berkata: “Teman dudukku mempunyai padaku 3 perkara: apabila ia mendekati, niscaya sambut kedatangannya. Apabila ia berbicara, niscaya aku perhatikan pembicaraannya. Dan apabila ia duduk, niscaya aku luaskan tempat baginya”’. Allah Ta’ala berfirman: “Bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29, adalah isyarat kepada kekasih-sayangan dan pemuliaan. Dan setengah dari kesempurnaan kasih-sayang, ialah tidak sendirian dengan makanan yang enak atau datang pada suatu hak kegembiraan, tanpa temannya. Tetapi merasa sedih karena berpisah dengan teman dan merasa sepi dengan sendirian, jauh dari teman.
Hak Ketiga: tentang lidah, sekali dengan: diam dan kali yang lain, dengan: bicara.
Adapun diam, ialah: diam daripada menyebutkan kekurangan-kekurangan teman, di belakang atau di muka teman. Tetapi membuat diri tidak tahu dalam hal itu. Dan diam daripada menolak mengenai apa yang diperkatakan teman. Tidak melawan dan tidak bertengkar dengan teman. Dan berdiam diri daripada mengintip dan menanyakan kepada teman. Apabila melihat teman di jalan atau pada suatu keperluan, niscaya tiada dimulai pembicaraan, dengan menyebutkan maksudnya: dari tempat mana datangnya dan ke tempat mana akan didatangi. Dan tidak menanyakan teman tentang itu. Karena kadang-kadang teman itu, merasa berat menyebutkannya atau memerlukan kepada berdusta. Dan hendaklah berdiam diri, daripada menyebutkan rahasia-rahasia teman, yang dibisikkan kepadanya ! dan tidaklah sekali-kali dibisikkan kepada orang lain dan tidak kepada teman-temannya yang terkhusus. Dan tidaklah dibuka sedikitpun dari rahasia-rahasia itu, walaupun setelah putus persahabatan dan perhubungan batin. Karena yang demikian itu, adalah termasuk tabiat yang tercela dan batin yang kotor. Dan hendaklah berdiam diri, dari kekurangan-kekurangan teman, keluarga dan anaknya. Dan berdiam diri pula, daripada menceritakan kekurangan orang lain kepadanya. Karena yang mencaci engkau, ialah orang yang menyampaikan itu kepada engkau. Anas berkata: “Adalah Nabi saw tidak menghadapkan mukanya kepada seseorang, dengan sesuatu yang tiada disukainya”. Dan hal yang menyakitkan itu, mula-mula terjadi daripada yang menyampaikan, kemudian daripada yang mengatakan”. Benar, tiada seyogyalah menyembunyikan apa yang didengar dari pujian kepada teman. Karena kegembiraan dengan yang demikian, mula-mula terjadi adalah daripada yang menyampaikan pujian itu. Kemudian daripada yang mengatakan. Dan menyembunyikan yang demikian itu, adalah termasuk dengki. Kesimpulannya, hendaklah berdiam diri daripada tiap-tiap perkataan yang tiada menyenangkan teman, secara keseluruhan dan secara terperinci. Kecuali apabila harus diperkatakan, mengenai amar ma’ruf atau nahi munkar. Dan tidaklah diperoleh dalam hal ini, pembolehan berdiam diri. Karena itu, tidaklah dihiraukan dengan tiada senangnya teman. Sesungguhnya yang demikian, pada hakekatnya, adalah: ihsan (berbuat baik) kepada teman, walaupun teman itu menyangka, bahwa yang demikian, adalah perbuatan jahat pada zhahirnya. Adapun menyebutkan keburukan-keburukan dan kekurangan-kekurangan teman dan keburukan-keburukan keluarganya, maka itu termasuk: umpatan. Dan adalah haram pada hak tiap-tiap orang muslim. Dan engkau diperingatkan dari itu oleh dua perkara:
Pertama: bahwa engkau memperhatikan keadaan dirimu sendiri. Kalau engkau memperoleh pada dirimu, suatu hal yang tercela, maka pandanglah enteng atas dirimu, akan apa yang engkau lihat pada temanmu !. Dan umpamakanlah, bahwa teman itu lemah daripada menguasai dirinya pada perkara yang satu itu, sebagaimana engkau lemah dari apa yang mencoba kepadamu. Dan tidaklah engkau memandang berat, dengan perkara yang satu, yang tercela itu. Maka manakah orang yang bersih ? dan tiap-tiap yang tidak engkau peroleh dari dirimu tentang hak Allah, maka janganlah itu engkau tunggu dari temanmu, tentang hak dirimu sendiri. Karena tidaklah hakmu di atas teman itu, lebih banyak daripada hak Allah diatas dirimu.
Kedua: sesungguhnya engkau mengetahui, bahwa kalau engkau mencari orang yang bersih dari tiap-tiap kekurangan, niscaya engkau akan mengasingkan diri daripada makhluq seluruhnya. Dan tidak akan engkau peroleh sekali-kali orang yang akan engkau ambil menjadi teman. Tiada seorangpun daripada manusia, melainkan mempunyai kebaikan dan keburukan. Apabila kebaikan mengalahkan keburukan, maka itulah tujuan dan kesudahan. Orang mu’min yang mulia, selalu mendatangkan pada dirinya kebaikan temannya. Supaya tergeraklah dari hatinya rasa pemuliaan, kekasih-sayangan dan penghormatan. Adapun orang munafiq yang terkutuk, maka selamanya memperhatikan keburukan dan kekurangan orang. Ibnul-Mubarak berkata: “Orang mu’min itu, mencari hal-hal yang dapat dimaafkan, orang munafiq itu, mencari hal-hal yang terlanjur”. Al-Fudlail berkata: “Orang yang berjiwa pemuda, ialah yang memaafkan segala ketelanjuran teman”. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Berlindunglah dengan Allah dari tetangga yang jahat, dimana kalau ia melihat yang baik, disembunyikannya dan kalau dilihatnya yang buruk, dilahirkannya”. Dan tiada seorangpun, melainkan mungkin dipandang baik hal ihwalnya, dengan keadaan yang ada padanya dan mungkin pula dipandang buruk. Diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki memuji seseorang dihadapan Rasulullah saw. Maka pada keesokan harinya dicacinya. Lalu Nabi saw bersabda: “Kemarin engkau pujikan dia dan hari ini engkau cacikan dia”. Lalu orang itu menjawab: “Demi Allah ! sesungguhnya aku benar terhadap orang itu kemarin. Dan aku tidak berdusta terhadap dia hari ini. Sesungguhnya kemarin, ia menyukakan aku, lalu aku mengatakan: “Amat baiklah apa yang aku ketahui padanya”. Dan pada hari ini, ia membuat kemarahanku, lalu aku mengatakan: “Amat buruklah apa yang aku ketahui padanya”. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setengah dari penjelasan itu mengandung sihir”. Seakan-akan Nabi saw tidak menyukai yang demikian. Lalu beliau menyerupakannya dengan sihir”. Dan karena itulah Nabi saw bersabda pada hadits yang lain: “Perkataan keji dan perkataan jelas, adalah dua cabang dari nifaq (kemunafiqan)”. Dan pada hadits lain: “Sesungguhnya Allah tiada menyukai bagi kamu penjelasan, seluruh penjelasan”. Begitupula, Imam Asy-Syafi’i ra berkata: “Tiada seorangpun dari kaum muslimin yang mentaati Allah dan tiada mengerjakan ma’siat kepadaNya. Dan tiada seorangpun yang berbuat ma’siat kepada Allah dan tiada mentaatiNya. Maka barangsiapa, ketaatannya lebih banyak daripada kema’siatannya, maka dia itu, adalah orang adil”. Apabila yang seperti ini, dijadikan adil terhadap hak Allah, maka untuk memandangnya adil terhadap hak dirimu sendiri dan yang dikehendaki oleh teman-temanmu, adalah lebih utama lagi. Sebagaimana harus engkau diam dengan lidah engkau, dari segala keburukan teman, maka harus pula engkau diam dengan hati engkau. Yaitu: dengan meninggalkan buruk sangka. Buruk sangka itu adalah umpatan dengan hati. Dan itu dilarang juga. Dan batasnya ialah bahwa tiada engkau bawa perbuatan teman kepada segi yang buruk. Sedapat mungkin, engkau bawa kepada segi yang baik. Adapun yang terbuka jelas dengan keyakinan dan penyaksiaan, maka tidak mungkin engkau tiada mengetahuinya. Dan haruslah engkau bawa apa yang engkau saksikan itu, kepada kelengahan dan kelupaan teman, jikalau mungkin. Dan sangkaan itu terbagi kepada: apa yang dinamakan: secara firasat (tafarrus). Yaitu: yang disandarkan kepada sesuatu tanda (alamat). Maka yang demikian itu, menggerakkan sangkaan secara mudah, yang tiada sanggup menolaknya. Dan kepada: apa yang sumber kejadiannya dari buruk i’tiqad engkau kepadanya. Sehingga timbul daripadanya, perbuatan yang mempunyai dua segi. Lalu engkau dibawa oleh jahat i’tiqad tadi padanya, kepada menempatkannya: pada segi yang lebih buruk, tanpa tanda yang menentukan demikian. Dan yang demikian itu, adalah penganiayaan dengan batin kepada teman. Dan yang demikian itu, haram terhadap hak tiap-tiap mu’min. Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mu’min, dari orang mu’min: darahnya, hartanya, kehormatannya dan menyangkakannya dengan sangkaan buruk”. Nabi saw bersabda: “Awaslah dari sangkaan, karena sangkaan itu lebih dusta daripada pembicaraan”. Jahat sangka itu membawa kepada: mengintip-intip (at-tajassus) dan menengok-nengok (at-tahassus). Dan Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu melakukan at-tahassus, janganlah kamu melakukan at-tajassus, janganlah kamu putus-memutuskan silaturrahim, janganlah kamu belakang-membelakangi dan adalah kamu hamba Allah yang bersaudara !”. At-tajassus, ialah mengintip-intip mencari-cari berita. Dan at-tahassus, ialah mengintip-intip dengan mata (menengok-nengok). Maka menutup kekurangan teman, bersikap tidak tahu-menahu dan tidak memperhatikan kepada kekurangan-kekurangan itu, adalah: tanda orang beragama. Dan mencukupilah bagi anda, kiranya peringatan kepada sempurnanya tingkatan pada menutupkan kekejian dan melahirkan keelokan, bahwa Allah Ta’ala disifatkan dengan demikian pada doa, dimana orang membacakan doanya: “Wahai Yang Melahirkan keelokan dan Yang Menutupkan keburukan !”. Yang direlai pada sisi Allah, ialah orang yang berakhlaq dengan akhlaqNya. Sesungguhnya Ia yang menutupkan segala kekurangan, yang mengampunkan segala dosa dan yang melepaskan segala hamba. Maka bagaimanakah engkau tidak melepaskan orang yang seperti engkau sendiri atau yang diatas engkau. Dan tidaklah dia itu dalam segala hal, budak engkau dan makhluq engkau. Nabi Isa as bersabda kepada para sahabatnya: “Apakah yang engkau perbuat apabila engkau melihat temanmu tidur dan angin telah membuka kainnya dari tubuhnya ?”. Mereka menjawab: “Kami tutupkan dan selimutkan dia”. Nabi Isa as menyambung: “Tetapi engkau membuka auratnya”. Mereka menjawab: “Subhaanallaah ! siapakah yang berbuat demikian ?”. Maka Nabi Isa as menyahut: “Seseorang dari kamu mendengar sepatah kata mengenai saudaranya. Lalu ia menambahkannya dan menyiarkannya dengan yang lebih besar dari itu”. Ketahuilah kiranya, bahwa tiada sempurna iman seseorang, selama ia tiada mencintai saudaranya, akan apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri. Dan sekurang-kurangnya derajat persaudaraan itu, bahwa ia bergaul dengan saudaranya, dengan apa yang disukainya, bahwa saudaranya itu bergaul dengan dia. Dan tak ragu lagi, bahwa ia menunggu dari saudaranya itu, menutupkan auratnya, berdiam diri diatas segala keburukan dan kekurangannya. Dan jikalau lahirlah daripada saudaranya itu berlawanan daripada apa yang ditungguinya, niscaya bersangatanlah kekesalan hati dan kemarahannya kepada saudaranya itu. Alangkah jauhnya, apabila yang ditungguinya dari teman, apa yang tidak terkandung dalam hatinya (dlamirnya) untuk teman dan tidak dicita-citakannya keatas teman, karenaa berteman. Dan azab sengsaralah baginya, yang tersebut dalam nash (dalil yang tegas), dalam Kitab Allah Ta’ala, dimana IA berfirman: “Celakalah bagi orang-orang yang menipu. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya) dipenuhkannya (sukatan). Tetapi apabila mereka menyukat untuk orang lain atau menimbang untuk orang lain, dikuranginya”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 1,2,3. Dan tiap-tiap orang yang meminta daripadanya keinsyafan, lebih banyak daripada apa yang diperbolehkan oleh dirinya sendiri, adalah termasuk dalam kehendak ayat tersebut tadi. Dan sumber kelalaian pada menutupkan aurat atau berusaha pada membukakannya, ialah penyakit yang tertanam dalam batin. Yaitu: dengki dan busuk hati. Maka sesungguhnya orang yang dengki, yang busuk hati itu, memenuhi batinnya dengan kekejian. Tetapi ditahannya dalam batinnya, disembunyikannya dan tidak dilahirkannya, manakala belum diperolehnya jalan. Dan apabila diperolehnya kesempatan, niscaya terbukalah ikatan, terangkatlah malu dan bocorlah batinnya dengan kekejian yang tertanam itu. Manakala batin telah terlipat diatas kedengkian dan kebusukan hati, maka yang lebih utama, ialah memutuskan hubungan dengan orang itu. Berkata setengah ahli hikmat (hukama’): “Cacian yang terang adalah lebih baik daripada kedengkian yang tersembunyi. Dan tidaklah bertambah kehalusan orang-orang yang dengki itu, melainkan keliaran hati daripadanya. Dan orang yang dalam kedengkian kepada orang muslim, maka imannya adalah lemah, keadaannya adalah membahayakan dan hatinya adalah busuk, tidak patut untuk menjumpai Allah. Sesungguhnya diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Jubair bin Nufair dari ayahnya, bahwa ayahnya itu berkata: “Adalah aku di negeri Yaman dan mempunyai tetangga seorang Yahudi yang menceritakan kepadaku tentang Taurat. Yahudi itu mengemukakan kepadaku, dari salah satu bahagian dari kitab tadi. Lalu aku menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutuskan kepada kami seorang Nabi. Maka diajaknya kami kepada agama Islam. Lalu Islamlah kami. Dan diturunkanNya kepada kami sebuah Kitab, yang membenarkan Taurat”. Yahudi itu menjawab: “Benarlah engkau ! tetapi engkau tidak sanggup menegakkan apa yang dibawanya kepadamu. Sesungguhnya kami menjumpai sifatnya dan sifat umatnya dalam Taurat. Bahwa tidak halal bagi seorang manusia, untuk keluar dari muka pintunya dan dalam hatinya kedengkian kepada saudaranya muslim”. Dan dari karena itulah, bahwa ia berdiam diri daripada menyiarkan rahasia seseorang yang disimpan padanya. Dan ia berhak membantahnya, walaupun ia membohong. Maka tidaklah bersifat benar itu, wajib pada segala tempat. Sesungguhnya, sebagaimana dibolehkan bagi seseorang menyembunyikan kekurangan dan rahasia dirinya, walaupun memerlukan kepada membohong, maka iapun boleh berbuat yang demikian terhadap saudaranya. Karena saudaranya itu berkedudukan pada kedudukannya. Dan keduanya adalah seperti orang seorang yang tidak berlainan, kecuali tubuh. Inilah hakekatnya persaudaraan !. Begitupula, tidak berbuat dihadapan teman, dengan ria dan keluar dari amal perbuatan rahasia, kepada amal perbuatan yang nyata. Karena mengenal temannya dengan perbuatannya, adalah seperti mengenal dirinya sendiri, tanpa ada perbedaan. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menutupkan aurat temannya, niscaya ia ditutupkan oleh Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat”. Dan pada hadits lain tersebut: “Maka seakan-akan ia telah nenghidupkan anak perempuannya yang ditanam hidup-hidup”. Dan Nabi saw bersabda: “Apabila berbicara seseorang suatu pembicaraan, kemudian ia menoleh ke kiri atau ke kanan, maka itu adalah amanah”. Dan Nabi saw bersabda: “Segala Majlis itu adalah dengan amanah, selain dari 3 Majlis: Majlis yang ditumpahkan padanya darah yang haram (dilakukan pembunuhan yang diharamkan), majlis yang dihalalkan padanya faraj yang haram (dilakukan padanya penzinaan) dan majlis yang dihalalkan padanya harta dengan tidak halal”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya duduk-duduklah dua orang yang duduk-duduk dengan amanah dan tidaklah halal bagi salah seorang daripada keduanya, menyiarkan terhadap temannya apa yang tidak disukainya”. Ditanyakan kepada setengah pujangga: “Bagaimanakah tuan menjaga rahasia ?”. Pujangga itu menjawab: “Aku kuburannya !”. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa dada orang merdeka itu, kuburan rahasia. Dan ada yang mengatakan, bahwa hati orang dungu itu pada mulutnya dan lidah orang berakal itu pada  hatinya. Artinya: tidak sanggup orang dungu itu menyembunyikan apa yang dalam dirinya, lalu dilahirkannya, dimana ia tiada mengetahuinya. Maka dari itulah, wajib memutuskan hubungan dengan orang-orang dungu dan menjaga diri daripada bersahabat dengan mereka. Bahkan daripada pandang-memandang dengan mereka. Ada yang menanyakan kepada orang yang lain: “Bagaimanakah tuan menjaga rahasia ?”. Orang yang ditanyakan itu menjawab: “Aku mungkir yang menceritakan dan aku bersumpah bagi yang meminta diceritakan”. Dan berkata yang lain lagi: “Aku tutup rahasia itu dan aku tutup bahwa aku menutupnya”. Diibaratkan yang demikian itu oleh Ibnul-Mu’taz dengan bermadah:
“Yang menyimpankan rahasia padaku,
maka aku mendiami tempat menyembunyikannya.
Aku simpankan dalam dadaku,
maka jadilah dadaku kuburannya”.
Dan yang lain bermadah dan ingin menambahkan kepada yang tadi:
“Tidaklah rahasia dalam dadaku,
seperti orang mati dalam kuburannya.
Karena terlihat olehku,
bahwa orang yang terkubur menantikan kebangkitannya.
Tetapi aku melupakan rahasia itu,
sehingga seakan-akan aku,
apa yang terkandung dalam rahasia itu,
belum pernah sesaatpun aku tahu.
Jikalau bolehlah menyembunyikan rahasia,
antara aku dan rahasia itu,
dari rahasia dan segala isi perut kita,
niscaya engkau tidak akan tahu rahasia itu”.
Setengah mereka membuka rahasianya kepada temannya. Kemudian ia berkata kepada teman itu: “Engkau simpan rahasia tadi ?”. Teman itu menjawab: “Bahkan aku telah lupa”. Abu Sa’id Ats-Tsuri berkata: “Apabila engkau ingin mengambil seseorang menjadi teman, maka buatlah dia supaya marah ! kemudian selundupkan kepadanya, orang yang akan bertanya kepadanya tentang engkau dan rahasia engkau. Maka kalau ia mengatakan yang baik dan menyembunyikan rahasia engkau, maka ambillah dia menjadi teman !”. Ada orang yang bertanya kepada Abu Yazid: “Siapakah yang engkau berkawan dari manusia ?”. Abu Yazid menjawab: “Orang yang mengetahui dari engkau apa yang diketahui oleh Allah. Kemudian ia tutupkan diatas diri engkau, sebagaimana ditutupkan oleh Allah”. Dzun-Nun berkata: “Tak ada kebaikan berteman dengan orang, yang tidak suka melihat engkau, selain orang yang terpelihara dari kesalahan (orang Ma’shum). Dan barangsiapa membuka rahasia ketika marah, maka orang itu terkutuk. Karena menyembunyikan ketika hati senang, adalah dikehendaki oleh tabiat sejahtera seluruhnya”. Berkata setengah ahli hikmat (hukama’): “Janganlah berteman dengan orang yang berobah terhadap engkau ketika 4 hal: ketika marahnya dan senang hatinya, ketika lobanya dan hawa nafsunya. Tetapi seyogyalah kebenaran persaudaraan itu, berada dalam keadaan tetap, dalam berbedanya keadaan-keadaan yang tersebut tadi”. Dan karena itulah ada orang yang bermadah:
“Akan engkau melihat orang yang mulia,
apabila putus hubungan, disambungnya.
Disembunyikannya yang keji, hina,
dan dilahirkannya perbuatan baiknya.
Akan engkau melihat orang yang tercela,
apabila putus hubungan, disambungnya.
Disembunyikannya yang elok nyata,
dan dilahirkannya yang palsu belaka”.
Al-Abbas berkata kepada puteranya ‘Abdullah: “Sesungguhnya aku melihat lelaki itu, yakni: ‘Umar ra mendahulukan engkau dari orang yang tua-tua. Maka hafalkanlah daripadaku 5 perkara: jangan engkau buka rahasia kepadanya, jangan engkau mencaci seseorang padanya, jangan engkau melakukan kedustaan padanya, jangan engkau berbuat durhaka kepadanya pada sesuatu pekerjaan dan jangan ia melihat daripada engkau pengkhianatan !”. Asy-Sya’bi berkata: “Tiap-tiap kalimah dari yang 5 tadi, adalah lebih baik daripada 1000 kalimat yang lain”. Dan sebahagian dari yang demikian ialah berdiam diri daripada bertengkar dan tolak-menolak pada tiap-tiap apa yang dikatakan oleh temanmu”. Ibnu Abbas berkata: “Janganlah bertengkar dengan orang kurang akal, maka ia akan menyakitkan kamu ! dan jangan bertengkar dengan orang penyantun, maka ia akan benci kepadamu”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggalkan pertengkaran dan dia itu dalam keadaan salah, niscaya didirikan baginya, sebuah rumah di tengah-tengah sorga. Dan barangsiapa meninggalkan pertengkaran dan dia itu dalam keadaan benar, niscaya didirikan baginya sebuah rumah di tempat yang tertinggi dari sorga”. Pahamilah ini, serta meninggalkan yang batil, adalah wajib. Dan sesungguhnya dijadikan pahala sunat itu lebih besar. Karena berdiam diri dari kebenaran, adalah lebih berat kepada jiwa, daripada berdiam diri daripada yang batil. Dan bahwa pahala itu adalah menurut tenaga yang diberikan. Dan sebab yang paling keras untuk mengobarkan api kedengkian diantara teman-teman itu, ialah pertengkaran dan perlombaan. Karena sebab itu, adalah belakang-membelakangi dan putus-memutuskan silaturrahim yang sebenarnya. Putus-memutuskan silaturrahim terjadi, pada mulanya dengan buah pikiran. Kemudian dengan perkataan. Kemudian dengan badan. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu belakang-membelakangi, marah-memarahi, dengki-mendengki dan putus-memutuskan silaturrahim ! dan adalah kamu semuanya hamba Allah yang bersaudara ! orang muslim adalah saudara orang muslim. Tidak akan dianiayakannya, tidak akan diharamkannya dan tidak akan dihinakannya. Mencukupilah dari manusia itu kejahatan, bahwa ia menghinakan saudaranya muslim”. Dan penghinaan yang paling berat, ialah pertengkaran. Karena orang yang menolak perkataan orang lain, adalah meletakkan orang itu pada kebodohan dan kedunguan. Atau pada kelalaian dan kelupaan daripada memahami sesuatu menurut yang sebenarnya. Dan semua itu, adalah penghinaan, penusukan dada dan peliaran hati. Dan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Amamah Al-Bahili, dimana beliau berkata: “Telah datang ke tempat kami Rasulullah saw dan kami sedang bertengkar. Maka beliau marah dan bersabda: “Tinggalkanlah pertengkaran, karena kurang baiknya ! tinggalkanlah pertengkaran, karena manfaatnya sedikit dan akan menggerakkan permusuhan diantara teman-teman !”. Setengah salaf berkata: “Barangsiapa berbantah dan bertengkar dengan temannya, niscaya kuranglah kepribadiannya dan hilanglah kehormatan dirinya”. Abdullah bin Al-Hasan berkata: “Jagalah dirimu dari bertengkar dengan orang ! karena engkau tidak akan dapat meniadakan penipuan orang penyantun atau tindakan yang tiba-tiba orang tercela”. Setengah salaf berkata: “Manusia yang paling lemah, ialah orang yang tidak sanggup mencari teman. Dan yang paling lemah dari itu lagi, ialah orang yang menyia-nyiakan teman yang telah diperolehnya. Dan banyaknya pertengkaran itu, mengharuskan penyia-nyiaan dan pemutusan silaturrahim dan mempusakai permusuhan”. Al-Hasan berkata: “Janganlah engkau membeli permusuhan orang seorang, dengan kesayangan 100 orang !”. Pada umumnya, tiadalah yang menggerakkan kepada pertengkaran, selain oleh keinginan melahirkan perbedaan, dengan ketambahan akal pikiran dan keutamaan. Dan penghinaan kepada orang yang ditolak pikirannya, dengan menampakkan kebodohannya. Dan itu melengkapi kepada kesombongan, penghinaan, penyakitan dan pencelaan dengan kedunguan dan kebodohan. Dan tak ada arti bagi permusuhan, selain inilah ! maka bagaimana terjamin pada yang tersebut tadi, persaudaraan dan kebersihan hati ? Ibnul-Abbas meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Janganlah engkau bertengkar dengan temanmu ! janganlah engkau bersenda gurau dengan dia ! dan janganlah berjanji dengan dia sesuatu perjanjian, lalu engkau menyalahinya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kamu tiada akan memberi kelapangan kepada manusia dengan hartamu. Tetapi melapangkan mereka daripada kamu, oleh kejernihan muka dan kebaikan budimu”. Pertengkaran itu berlawanan bagi kebaikan budi. Ulama salaf telah sampai ke batas yang terakhir pada memperingatkan dari pertengkaran. Dan mendorong kepada tolong-menolong sampai kepada batas, dimana mereka tiada melihat sekali-kali akan perlunya meminta. Mereka itu mengatakan: “Apabila engkau berkata kepada temanmu: “Bangunlah !”, lalu temanmu itu bertanya: “Kemana ?”, maka janganlah engkau berteman dengan dia !”. Tetapi ulama salaf itu mengatakan: “Seyogyalah teman itu terus bangun dan tiada menanyakan apa-apa”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Aku mempunyai seorang teman di Irak. Maka aku mengunjunginya pada segala musibah yang menimpa atas dirinya. Aku mengatakan kepadanya: “Berikanlah sedikit kepadaku dari hartamu !”. Lalu dicampakkannya kepadaku dompetnya. Maka aku ambil daripadanya apa yang aku kehendaki. Pada suatu hari aku datang kepadanya, lalu aku mengatakan: “Aku memerlukan sesuatu !”. Maka ia menjawab: “Berapakah kamu kehendaki ?”. Maka keluarlah (tak ada lagi) kemanisan persaudaraannya dari hatiku. Yang lain berkata pula: “Apabila engkau meminta uang pada temanmu, lalu ia bertanya: “Apakah yang akan engkau perbuat dengan uang itu ?, maka sesungguhnya teman tersebut telah meninggalkan hak persaudaraan”. Ketahuilah, bahwa tegaknya persaudaraan itu, ialah dengan kesesuaian pada perkataan, perbuatan dan kesayangan. Abu Usman Al-Hiari berkata: “Kesesuaian dengan teman-teman itu, adalah lebih baik daripada kesayangan kepada mereka”. Dan benarlah kiranya, seperti yang dikatakan oleh Abu Usman Al-Hiari itu !
Hak Keempat: diatas lisan dengan penuturan.
Sesungguhnya persaudaraan itu, sebagaimana ia menghendaki berdiam diri daripada hal-hal yang tidak disenangi, maka ia menghendaki pula penuturan dengan hal-hal yang disukai. Bahkan itulah yang lebih tertentu dengan persaudaraan. Karena orang yang merasa puas dengan berdiam diri, adalah ia telah berteman dengan orang-orang yang di dalam kuburan. Sesungguhnya dimaksudkan dengan teman-teman itu, ialah supayaa memperoleh faedah daripada mereka. Tidak supaya terlepas daripada kesakitan yang diperbuat mereka. Dan diam, artinya: mencegah kesakitan. Maka haruslah menaruh kasih-sayang kepada teman dengan lisannya. Dan tidak menggunakan lisan itu dalam hal-hal, yang ia sukai tidak menggunakannya padanya, seperti: menanyakan tentang suatu rintangan, jikalau rintangan itu terjadi, melahirkan kesedihan hati dengan sebab terjadinya kejadian itu dan tentang terlambatnya sembuh dari kejadian tersebut. Demikian pula, sejumlah hal-hal teman yang tidak disukainya, maka seyogyalah, bahwa dilahirkannya, dengan lisan dan perbuatan akan tidak disenangnya terjadinya hal-haal itu. Dan sejumlah hal-hal yang disenangi teman, maka seyogyalah dilahirkannya dengan lisan akan turutnya bersama-sama dalam kesenangan tersebut. Maka arti persaudaraan, ialah: sama-sama mengambil bahagian dalam suka dan duka. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang kamu mencintai saudaranya, maka hendaklah diceritakannya kepadanya !”. Sesungguhnya disuruh menceritakan itu, karena yang demikian mengharuskan bertambahnya kasih-sayang. Jikalau diketahuinya, bahwa engkau mencintainya, niscaya iapun, sudah pasti, dengan sendirinya akan mencintai engkau. Maka apabila engkau mengetahui, bahwa dia juga mencintai engkau, niscaya sudah pasti, bertambah kecintaan engkau kepadanya. Maka senantiasalah cinta-mencintai itu tambah-bertambah dari kedua pihak dan terus ganda-berganda. Berkasih-sayang diantara sesama mu’min, adalah disuruh pada syara’ dan disunnahkan pada agama. Dan karena itulah, Nabi saw mengajarkan jalannya, dengan sabdanya: “Tunjuk-menunjukkanlah kamu, niscaya kamu akan berkasih-kasihan !”. Dan termasuk yang demikian, ialah memanggilkannya dengan nama yang paling disukainya, baik waktu dia tidak ada atau pada waktu adanya. ‘Umar ra berkata: “3 perkara membersihkan bagimu kesayangan temanmu: Engkau memberi salam kepadanya mula-mula apabila engkau bertemu dengan dia, engkau lapangkan baginya tempat duduk dan engkau panggilkan dia dengan nama yang paling disukainya”. Dan termasuk yang demikian, bahwa engkau memujikannya, menurut yang engkau ketahui dari hal-ikhwalnya yang baik, terhadap orang yang suka menerima pujian. Karena yang demikian, adalah termasuk sebab yang terbesar untuk menarik kekasih-sayangan. Begitupula, pujian kepada anak-anaknya, keluarganya, perusahaannya dan perbuatannya. Sehingga kepada akal pikirannya, budi pekertinya, sikapnya, tulisannya, syairnya, karangannya dan semua yang menyenangkannya. Dan yang demikian itu, tanpa dusta dan berlebih-lebihan. Tetapi membaikkan terhadap apa yang menerima pembaikan adalah hal yang tak boleh tidak. Dan yang lebih kuat dari itu lagi, ialah engkau menyampaikan kepadanya, pujian orang yang memujikannya, serta melahirkan kegembiraan. Karena menyembunyikan yang demikian itu, adalah semata-mata kedengkian. Dan termasuk yang demikian juga, bahwa engkau bersyukur (berterima kasih) kepadanya, doa atas usahanya terhadap engkau. Bahkan diatas niatnya saja, walaupun yang demikian itu belum lagi sempurna. Ali ra berkata: “Orang yang tiada memujikan temannya diatas niat yang baik, niscaya tiada akan dipujikannya diatas perbuatan yang baik”. Yang lebih besar dari itu membekasnya pada menarik kekasih-sayangan, ialah: mempertahankan teman, waktu teman itu tidak ada, manakala teman itu dimaksudkan orang dengan kejahatan. Atau disinggung kehormatannya, dengan kata-kata yang tegas atau secara sindiran. Maka menjadi hak persaudaraan, selalu melindungi dan menolongnya, mendiamkan orang yang dengki kepadanya. Dan melepaskan kata-kata yang keras terhadap orang yang berniat tidak baik kepadanya. Berdiam diri daripada yang demikian, adalah menusukkan dada, menjauhkan hati. Dan sesuatu kelalaian dalam hak persaudaraan. Rasulullah saw menyerupakan dua orang yang bersaudara, dengan dua tangan, yang satu membasuh yang lain, supaya yang satu menolong yang lain dan menjadi ganti daripada yang lain itu. Dan Rasulullah saw bersabda: “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim. Tiada akan dianiayainya, tiada akan dihinakannya dan tiada akkan dirusakkannya”. Dan mendiamkan diri itu, adalah termasuk merusakkan dan menghinakan teman. Maka menyia-nyiakan yang demikian, untuk mengoyak-oyakkan kehormatannya, adalah seperti menyia-nyiakannya untuk mengotak-oyakkan dagingnya. Maka pandanglah keji sekali teman yang melihat engkau, dimana anjing-anjing sedang membuat engkau menjadi mangsanya dan mengoyak-oyakkan daging engkau. Dan teman itu berdiam diri, tidak digerakkan oleh kasih-sayang dan jiwa pembelaan, untuk mempertahankan engkau. Mengoyak-oyakkan kehormatan, adalah lebih berat kepada jiwa daripada mengoyak-oyakkan daging. Dan karena itulah, diserupakan oleh Allah Ta’ala yang demikian itu, dengan memakan daging bangkai. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah agak seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Dan malaikat yang memberikan contoh dalam tidur (mimpi), apa yang dibacakan oleh roh dari Luh-Mahfudh dengan contoh-contoh yang dapat dirasakan, memberikan contoh mengumpat itu dengan memakan daging bagkai. Sehingga orang yang kelihatan memakan daging bangkai, sesungguhnya orang itu mengumpat manusia. Karena malaikat dalam memberikan contoh itu, menjaga kesekutuan dan kesesuaian antara barang itu dan contohnya, dalam pengertian yang berlaku pada contoh, dalam perlakuan roh. Tidak dalam kelahiran bentuk, jadi, melindungi persaudaraan dengan menolak celaan musuh dan kedengkian orang-orang yang dengki, adalah wajib dalam ikatan persaudaraan. Mujahid berkata: “Janganlah engkau menyebutkan temanmu di belakang, kecuali sebagaimana engkau menyukai disebutkanya engkau di belakang engkau !”. Jadi dalam hal tersebut, engkau mempunyai dua ukuran:
Pertama: Engkau umpamakan, bahwa yang dikatakan kepada teman, jikalau sekiranya dikatakan kepada engkau dan temanmu hadir di situ, maka apakah yang engkau sukai, bahwa dikatakan oleh teman itu terhadap engkau ? maka seyogyalah engkau bertindak terhadap orang yang menyinggung kehormatan teman, dengan yang tersebut tadi.
Kedua: Engkau umpamakan bahwa temanmu itu berada di balik dinding, yang mendengar perkataan engkau. Dan ia menyangka bahwa engkau tidak tahu akan beradanya di situ. Maka apakah yang tergerak dalam hati engkau daripada memberi pertolongan kepadanya, dengan didengar dan dilihatnya itu ? maka seyogyalah ada seperti yang demikian itu, apabila di belakangnya. Setengah mereka berkata: “Tiadalah disebutkan oleh teman terhadapku di belakang, melainkan aku menggambarkan dia sedang duduk. Lalu aku berkata mengenainya, apa yang disukainya untuk didengarnya, jikalau ia berada di situ”. Berkata yang lain: “Tiadalah disebutkan orang akan temanku, melainkan aku gambarkan diriku dalam bentuknya. Lalu aku mengatakan terhadapnya, apa yang aku sukai dikatakan terhadapku”. Inilah sebahagian dari kebenaran Islam ! yaitu: bahwa ia tiada melihat untuk temannya, kecuali apa yang dilihat untuk dirinya sendiri. Abud Darda’ melihat dua ekor lembu, sedang menarik bajak di ladang. Maka berhentilah yang seekor menggaruk tubuhnya, lalu berhentilah yang lain. Maka menangislah Abud-Darda’, seraya berkata: “Begitulah hendaknya dua orang bersaudara fillah, yang berbuat karena Allah ! apabila yang seorang berhenti, lalu disetujui oleh yang lain”. Dengan penyesuaian itu, sempurnalah keikhlasan. Dan orang yang tiada ikhlas dalam persaudaraannya, adalah orang munafiq. Dan keikhlasan itu, adalah sama waktu di belakang dan dihadapan, lisan dan hati, di waktu tersembunyi dan di waktu terang, di muka orang banyak dan di tempat sunyi. Berlainan dan berlebih-kurang mengenai sesuatu daripada yang demikian itu, adalah perasaan pada kesayangan. Dan itu masuk dalam agama dan dalam jalan orang mu’min. Dan barangsiapa tiada sanggup dirinya menurut yang tersebut tadi, maka memutuskan hubungan dan mengasingkan diri, adalah lebih utama baginya, daripada mengadakan persaudaraan dan persahabatan. Karena hak persahabatan itu adalah berat. Tiada sanggup, kecuali orang yang berkeyakinan teguh. Maka tak dapat disangkal, bahwa pahalanya banyak, tiada akan diperoleh, kecuali oleh orang yang memperoleh taufiq. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! baikkanlah bertetangga dengan orang yang bertetangga dengan engkau, niscaya adalah engkau muslim ! dan baikkanlah berteman dengan orang yang berteman dengan engkau, niscaya adalah engkau mu’min !”. Maka lihatlah, bagaimana dijadikan iman untuk balasan bagi persahabatan dan Islam untuk balasan bagi ketetanggaan. Bedanya diantara kelebihan iman dan kelebihan Islam, adalah diatas batas bedanya diantara kesulitan menegakkan hak ketetanggaan dan hak persahabatan. Sesungguhnya persahabatan itu menghendaki banyak hak dalam hal-hal yang berhampiran dan bersamaan secara terus-menerus. Dan ketetanggaan itu, tiada menghendaki, kecuali hak-hak yang dekat dalam waktu-waktu yang berjauhan, yang tiada terus-menerus. Dan termasuk yang demikian, ialah pengajaran dan nasehat. Maka keperluan temanmu kepada ilmu, tidaklah berkurang dibandingkan daripada keperluannya kepada harta. Jikalau engkau kaya ilmu, maka haruslah engkau membantunya dari kemurahan hati engkau. Dan menunjukkannya kepada semua yang bermanfaat kepadanya, pada agama dan dunia. Maka kalau engkau telah mengajarinya dan menunjukkan jalan kepadanya dan teman itu tiada berbuat menurut yang dikehendaki oleh ilmu, maka haruslah engkau menasehatinya ! dan yang demikian itu, dengan engkau sebutkan bahaya-bahaya perbuatan itu dan faedah-faedah meninggalkannya. Dan engkau takutkan dia dengan apa yang tiada disukainya di dunia dan di akhirat. Supaya ia tercegah daripadanya. Dan engkau beritahukan kepadanya kekurangan-kekurangannya. Engkau burukkan yang buruk pada pandangannya dan engkau baikkan yang baik. Tetapi seyogyalah yang demikian itu secara rahasia, tiada seorangpun melihatnya. Maka apa yang dihadapan orang banyak, adalah memburukkan dan mengejikan. Dan apa yang secara rahasia, adalah kasih-sayang dan nasehat. Karena Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu adalah cermin bagi orang mu’min”. Artinya: ia melihat daripadanya, apa yang tiada dilihatnya dari dirinya sendiri. Maka manusia itu memperoleh faedah dari temannya, untuk mengetahui kekurangan dirinya. Dan kalau ia sendirian, niscaya tiada akan diperolehnya faedah itu. Sebagaimana ia memperoleh faedah dengan cermin, dapat mengetahui kekurangan bentuknya yang zhahiriah. Imam Asy-Syafi’i ra berkata: “Barangsiapa mengajari temannya secara rahasia, maka sesungguhnya ia telah menasehati dan menghiasi temannya itu. Dan barangsiapa mengajari temannya secara terbuka, maka sesungguhnyya ia telah memburukkan dan mengejikan temannya itu”. Ada yang bertanya kepada Mus’ir: “Sukakah engkau kepada orang yang menceritakan kepada engkau, kekurangan-kekurangan engkau ?”. Mus’ir menjawab: “Kalau ia menasehati aku, mengenai sesuatu diantara aku dan dia, maka ya, aku suka. Dan jikalau ia menggertak aku dihadapan orang banyak, maka tidak, aku tidak suka”. Dan benarlah Mus’ir ! karena nasehat di muka orang banyak, adalah suatu kekejian. Dan Allah Ta’ala mencela orang mu’min pada hari qiamat, dibawah lindunganNya dalam naungan tiraiNya. Maka diberitahukanNya kepada orang mu’min itu, segala dosanya secara rahasia. Kadang-kadang diserahkanNya kitab amalan mu’min yang sudah dicap kepada para malaikat, yang dibawa mereka ke sorga. Apabila para malaikat itu telah mendekati pintu sorga, lalu diserahkan mereka kepada orang mu’min tadi, kitab yang bercap itu, untuk dibacanya. Adapun orang yang terkutuk, maka mereka dipanggil dihadapan orang banyak dan anggota tubuh mereka menuturkan segala kekejian mereka. Lalu bertambahlah dengan demikian, kehinaan dan kekejian. Kita berlindung dengan Allah dari kehinaan, pada hari pembentangan amal yang agung itu. Maka perbedaan antara penghinaan dan nasehat dengan secara rahasia dan secara dinyatakan di muka orang banyak, adalah sebagaimana perbedaan antara berhalus-halusan sikap dan berminyak-minyakkan air, dengan maksud menggerakkan kepada memincingkan mata daripada sesuatu. Jikalau engkau memincingkan mata untuk keselamatan agama dan karena engkau melihat perbaikan temanmu dengan memincingkan mata itu, maka engkau adalah orang yang bersikap halus. Dan jikalau engkau memincingkan mata untuk nasib dirimu dan menarik hawa nafsumu serta keselamatan kemegahanmu, maka engkau adalah orang yang berminyak-minyak air. Dzun-Nun berkata: “Janganlah engkau bersahabat serta jalan Allah, kecuali dengan yang bersesuaian ! janganlah bersahabat serta makhluk, kecuali dengan nasehat-menasehatkan ! janganlah serta hawa nafsu, kecuali dengan pertentangan ! dan janganlah serta setan, kecuali dengan permusuhan !”. Jikalau anda mengatakan: “Apabila pada nasehat itu, disebutkan kekurangan-kekurangan, maka padanya meliarkan hati. Lalu bagaimanakah yang demikian itu, termasuk hak persaudaraan ?”. Ketahuilah, bahwa yang meliarkan hati itu, hanya terdapat dengan menyebutkan kekurangan yang diketahui oleh temanmu dari dirinya sendiri. Adapun memberitahukannya, terhadap apa yang tiada diketahuinya, maka itu adalah kekasih-sayangan yang sebenarnya. Dan itu, adalah mencenderungkan hati. Yaitu: hati orang-orang berakal. Adapun orang-orang dungu, maka tak usahlah diperhatikan !. Sesungguhnya orang yang memberitahukan kepada engkau, perbuatan tercela yang engkau kerjakan atau sifat tercela yang menjadi sifat engkau, untuk membersihkan diri engkau daripadanya, adalah seperti orang yang memberitahukan kepada engkau seekor ular atau kalajengking di bawah lengan baju engkau, yang bermaksud membinasakan engkau. Jikalau engkau tiada senang yang demikian, maka alangkah dungunya engkau ! dan sifat-sifat yang tercela itu, adalah kala-kala dan ular-ular. Dan di akhirat nanti, adalah yang membinasakan. Karena dia menggigit hati dan nyawa. Kesakitannya adalah lebih keras daripada yang menggigit badan zahiriah dan tubuh kasar. Kalajengking dan ular itu dijadikan dari api Allah, yang bernyala-nyala. Karena itulah, ‘Umar ra meminta petunjuk dari teman-temannya, seraya berdoa: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah kepada orang yang menunjukkan kepada temannya, kekurangan-kekurangannya”. Dan karena itulah, ‘Umar bertanya kepada Salman dan ia datang kepada Salman itu: “Apakah yang sampai kepadamu daripadaku, tentang hal-hal yang tiada engkau sukai ? maka aku akan meminta maaf daripadanya”. ‘Umar bertanya berkali-kali. Lalu Salman menjawab: “Sampai kepadaku, bahwa engkau mempunyai dua helai pakaian. Yang sehelai engkau pakai siang dan yang sehelai lagi malam. Dan sampai kepadaku, bahwa engkau mengumpulkan dua macam makanan diatas satu hidangan”. Maka ‘Umar ra menjawab: “Adapun yang dua hal ini, sesungguhnya telah mencukupi bagiku. Adakah sampai kepadamu yang lain ?”. Salman menjawab: “Tidak !”. Hudzairah Al-Mar’asyi menulis surat kepada Yusuf bin Asbath: “Sampai kepadaku bahwa engkau menjual agama engkau dengan dua biji-bijian. Engkau berdiri pada orang yang mempunyai susu. Lalu engkau bertanya: “Berapakah harganya ?”. Lalu yang mempunyai susu itu menjawab: “Dengan 1/6 !”. Maka engkau mengatakan kepadanya: “Tidakkah dengan 1/8 ?”. Orang itu menjawab: “Biarlah untukmu”. Dan orang itu mengenal kamu. Bukalah dari kepalamu rasa kepuasan orang-orang yang lalai ! dan perhatikanlah dari ketiduran orang-orang mati ! dan ketahuilah, bahwa barangsiapa membaca Alquran dan tiada merasa cukup dan melebihkan dunia, niscaya tiadalah ia aman dariipada menjadi sebahagian dari orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah. Dan Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang pendusta, dengan marahnya mereka kepada orang-orang yang memberi nasehat. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberikan nasehat”. S 7 Al A’raaf ayat 79. Dan ini, adalah pada kekurangan, dimana teman itu lengah daripadanya. Adapun apa yang engkau ketahui, bahwa teman itu mengetahui dari dirinya sendiri dan dia itu terpaksa kepadanya, dari tabiat kepribadiannya, maka tiada seyogyalah dibukakan yang tertutup itu, jikalau teman itu menyembunyikannya. Jikalau ia melahirkannya, maka tak boleh tidak, dengan berlemah-lembut pada menasehatkannya. Sekali dengan cara sindiran dan kali yang lain, dengan cara terus-terang, sampai kepada batas yang tiada membawa kepada keliaran hati. Jikalau engkau tahu, bahwa nasehat itu tiada berbekas kepadanya dan teman itu terpaksa dari tabiat kepribadiannya, kepada terus-menerus diatas kekurangan itu, maka berdiam diri daripadanya adalah lebih utama. Dan ini semuanya, adalah mengenai yang bersangkutan dengan kepentingan-kepentingan temanmu pada agamanya atau dunianya. Adapun yang berhubungan dengan keteledorannya terhadap hak engkau, maka yang wajib padanya, ialah menanggung, memaafkan, berjabatan tangan dan membutakan mata. Dan mendatangkan persoalan untuk yang demikian, tidaklah termasuk sedikitpun sebagian dari nasehat. Ya, jikalau teman itu, dimana terus-menerusnya diatas kekurangan tersebut, membawa kepada putusnya silaturrahim, maka mencacinya secara rahasia, adalah lebih baik daripada memutuskan silaturrahim. Dan menyindir dengan cacian itu, adalah lebih baik daripada berterus-terang. Dan surat-menyurat, adalah lebih baik daripada berbicara langsung dengan lisan. Dan menanggung atas keburukan teman, adalah lebih baik daripada semua. Karena seyogyalah, bahwa maksud engkau dari teman engkau itu, memperbaiki diri engkau sendiri, dengan engkau memeliharakannya. Dan engkau bangun menegakkan haknya dan menanggung keteledorannya. Tidak meminta pertolongan dan belas-kasihan daripadanya. Abu Bakar AL-Kattani berkata: “Ditemani aku oleh seorang laki-laki. Dan dia itu adalah berat pada hatiku. Lalu pada suatu hari, aku berikan kepadanya sesuatu, supaya hilanglah apa yang dalam hatiku. Tetapi tiada juga hilang. Lalu aku bawa dia pada suatu hari ke rumah dan aku katakan kepadanya: “Letakkanlah kakimu di atas pipiku !”. Ia tidak mau, maka aku katakan: “Tak boleh tidak !”. Maka diperbuatnya. Lalu hilanglah yang demikian itu dari hatiku”. Abu ‘Ali Ar-Ribathi berkata: “Aku menemani ‘Abdullah Ar-Razi dan dia itu memasuki desa. Maka beliau berkata: “Haruslah engkau ‘amir atau aku !”. Lalu aku menjawab: “Tuanlah !”. Maka ‘Abdullah Ar-Razi menjawab: “Haruslah engkau patuh !”. Lalu aku menjawab: “Ya, baik !”. Maka beliau mengambil sebuah keranjang rumput dan diletakkannya dalam keranjang itu perbekalan dan dibawanya diatas punggungnya (dipikulkannya). Apabila aku katakan kepadanya: “Serahkanlah kepadaku !”, maka beliau menjawab: “Bukankah aku telah mengatakan: “Engkau amir, maka engkau harus patuh ?”. Pada suatu malam, kami diserang hujan. Maka beliau berdiri melindungi kepalaku sampai pagi, dimana di atasnya ada pakaian, sedang aku duduk saja, yang tercegah daripadaku hujan. Maka aku mengatakan dalam hatiku: “Semoga kiranya aku mati ! dan tidak aku mengatakan: “Engkau amir !”.
Hak Kelima: memaafkan dari ketelanjuran dan kesalahan.   
Kesalahan teman itu tidak terlepas, adakalanya, kesalahan itu pada agamanya, dengan mengerjakan ma’siat atau pada hak engkau sendiri, disebabkan keteledoran dalam persaudaraan. Adapun perbuatan yang mengenai agama, seperti: mengerjakan ma’siat dan berkekalan diatas kema’siatan itu, maka haruslah engkau berlemah lembut menasehatinya, dengan cara yang meluruskan kebengkokannya, mengumpulkan kecerai-beraiannya dan mengembalikan keadaannya kepada kebaikan dan wara’. Jikalau engkau tidak sanggup dan teman itu terus-menerus demikian, maka sesungguhnya berbagai macamlah jalan para sahabat dan tabi’in untuk meneruskan kesayangannya atau memutuskan hubungannya. Abu Dzar ra berpendapat, kepada memutuskan hubungan. Dan beliau berkata: “Apabila telah bertukar temanmu daripada apa yang ada padanya, maka marahilah dia, dimana tadinya engkau menyayanginya". Abu Dzar ra berpendapat yang demikian, dari kehendak kesayangan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah. Adapun Abud Darda’ dan segolongan sahabat, berpendapat sebaliknya. Maka berkatalah Abud Darda’: “Apabila berobahlah temanmu dan bertukarlah keadaannya daripada yang ada padanya, maka janganlah engkau tinggalkan dia karena itu. Karena temanmu itu, sekali ia membengkok dan sekali ia melurus !”. Berkata Ibrahim An-Nakha’i: “Janganlah engkau putuskan hubungan dengan temanmu ! dan janganlah engkau membekot dia ketika berdosa dengan dosa yang dikerjakannya ! karena dia mengerjakannya pada hari ini dan meninggalkannya pada hari esok”. Berkata Ibrahim An-Nakha’i pula: “Janganlah engkau memperkatakan kepada manusia, dengan ketelanjuran seorang yang berilmu ! karena orang yang berilmu (orang ‘alim) itu, terlanjur dengan suatu keterlanjuran. Kemudian ditinggalkannya”. Dan pada hadits tersebut: “Takutilah akan keterlanjuran orang yang berilmu dan janganlah engkau memutuskan hubungan dengan dia dan tunggulah akan kembalinya”. Dan dalam cerita ‘Umar, dimana beliau menanyakan tentang teman yang telah beliau ambil menjadi temannya. Maka pergilah teman itu ke negeri Syam. Lalu Umar bertanya tentang temannya itu pada orang yang datang kepadanya. Beliau bertanya: “Apakah yang diperbuat temanku ?”. Orang tempat bertanya itu, menjawab: “Dia itu, teman setan”. Umar menyahuti: “Jangan engkau berkata begitu !”. Orang itu menjawab: “Bahwa ia mengerjakan dosa besar, sehingga ia terperosok pada meminum khamar”. Maka Umar menyambung: “Apabila kamu bermaksud pergi nanti, beritahukanlah kepadaku !”. Lalu Umar menulis surat ketika orang itu pergi ke negeri Syam, yang isinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Haa Miim. Penurunan Kitab ini dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Pengampun dosa, Penerima taubat, Keras siksaan”. Petikan S 40 Al Mukmin ayat 1-2-3. Kemudian di bawah itu, Umar memakinya dan menghinakannya. Maka tatkala teman itu membaca surat Umar, lalu menangis dan berkata: “Benarlah Allah dan Umar telah menasehatkan aku”. Maka orang itu bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Diceritakan, bahwa dua orang bersaudara, dimana seorang dari keduanya dicobakan dengan hawa nafsu. Lalu ia melahirkan yang demikian kepada temannya, seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah berpenyakit. Jikalau engkau kehendaki, bahwa engkau tiada akan mengikatkan persahabatan dengan aku karena Allah, maka laksanakanlah yang demikian !”. Lalu teman itu menjawab: “Tiadalah aku akan membuka ikatan persaudaraan dengan engkau selama-lamanya, karena kesalahan engkau !”. Kemudian, teman itu mengikat janji antaranya dan Allah, bahwa ia tiada akan makan dan minum, sebelum disembuhkan oleh Allah orang itu dari hawa nafsunya. Maka iapun menderita kelaparan 40 hari, dimana dalam keseluruhan hari-hari itu, ia menanyakan kepada orang itu, tentang hawa nafsunya. Orang itu selalu menjawab: “Hati itu tetap dalam keadaan semula”. Dan senantiasalah ia diselubungi kesedihan dan kelaparan. Sehingga hilanglah hawa nafsunya dari hati temannya, sesudah 40 hari itu. Lalu temannya itu menceritakan kepadanya dengan demikian. Lalu ia makan dan minum, setelah hampir tewas dengan kurus dan melarat. Dan begitupula diceritakan tentang dua orang bersaudara dari orang-orang terdahulu, dimana seorang dari keduanya terbalik dari pendirian yang lurus. Lalu orang bertanya kepada temannya: “Apakah tidak engkau putuskan hubungan dan membekotnya ?”. Teman itu menjawab: “Yang lebih perlu kepadaku pada waktu ini, ialah tatkala ia jatuh dalam kesalahan, bahwa aku pegang tangannya dan aku bersikap lemah-lembut kepadanya pada mencacinya. Dan aku ajak ia kembali kepada keadaannya dahulu”. Diriwayatkan pada cerita orang-orang Israil (orang Yahudi), bahwa dua orang bersaudara yang ‘abid, berada di suatu gunung. Lalu turunlah salah seorang dari keduanya, hendak membeli daging ke kota dengan sedirham. Maka ia melihat seorang wanita jahat pada penjual daging, lalu diperhatikannya dan mengasyikkannya, seraya ditarikkanlah ke tempat sepi dan disetubuhinya. Kemudian ia tinggal pada wanita itu, selama 3 hari dan ia malu kembali kepada temannya. Karena malu dari perbuatan yang melanggar itu. Seterusnya cerita itu menerangkan, bahwa temannya yang masih di gunung merasa ketiadaan teman dan ingin mengetahui keadaannya. Lalu ia turun ke kota. Maka selalulah menanyakan kesana-kemari tentang teman itu, sehingga ditunjukkan orang tempatnya. Lalu ia masuk dan dijumpainya teman itu duduk bersama wanita jahat tadi. Maka dirangkulnya temannya itu, dipeluknya dan ia terus tidak bergerak di situ. Dan temannya itu membantah, mengatakan, tidak mengenalnya sama sekali, disebabkan sangat malunya dari temannya itu. Maka berkatalah teman yang datang itu: “Bangunlah, wahai temanku ! aku telah mengetahui keadaanmu dan kisahmu. Dan tiadalah sekali-kali engkau yang lebih aku cintai dan muliakan, selain dari saatmu yang ini. Tatkala teman itu melihat, bahwa tingkah-lakunya yang demikian, tidak menjatuhkan dia dari pandangan temannya yang datang itu, lalu iapun berdiri dan pergi bersama temannya tadi. Inilah cara kaum itu ! dan adalah lebih halus dan lebih dapat difahami dari sistim Abu Dzar ra. Dan sistim Abu Dzar adalah lebih baik dan lebih menyelamatkan. Maka kalau anda mengatakan: Mengapakah aku mengatakan tadi, bahwa itu lebih halus dan lebih dapat dipahami ? dan orang yang melakukan ma’siat tersebut, tiada boleh sejak semulanya, diambil menjadi teman. Maka wajiblah memutuskan hubungan dengan orang itu, pada kesudahannya. Karena hukum apabila telah tetap dengan sesuatu sebab (‘illah), maka menurut qias (analogi), bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya ‘illah. Dan ‘illah ikatan pesaudaraan itu, ialah tolong-menolong pada agama. Dan tidaklah yang demikian itu, dapat diteruskan, serta mengerjakan ma’siat. Maka aku menjawab: adapun adanya lebih halus, karena padanya kekasih-sayangan, kecondongan hati dan belas kasihan, yang membawa kepada kembali kepada kebenaran dan bertaubat. Karena terus-terusan malu, ketika kekalnya persahabatan. Dan manakala hubungan itu diputuskan dan harapan untuk menjadi persahabatan terputus, niscaya teman yang berbuat kesalahan itu, terus berkekalan dan terus-terusan diatas kesalahannya. Adapun adanya lebih dapat dipahami, maka dari segi bahwa persaudaraan itu adalah suatu ikatan, yang berkedudukan pada tempat kedudukan kekeluargaan. Maka apabila persaudaraan itu telah mengikat-membuhul, niscaya teguhlah yang benar. Dan wajiblah disempurnakan menurut yang diwajibkan oleh ikatan. Dan setengah daripada menyermpurnakan itu, ialah tidak menyia-nyiakan akan hari-hari kejahatan dan keperluannya. Dan keperluan agama, adalah lebih berat daripada keperluan harta. Dan telah menimpa pada teman itu, hal yang meliarkan dan bahaya yang menyakitkan, yang memerlukan pertolongan disebabkan yang demikian itu pada agamanya. Maka seyogyalah ia diperhatikan, dipelihara dan tidak disia-siakan. Tetapi senantiasalah diperlakukan dengan lemah-lembut, supaya ia tertolong kepada terlepasnya dari kejadian itu, yang menyakitkannya. Persaudaraan adalah suatu perisai bagi segala bencana dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di segala zaman. Dan yang tersebut itu adalah termasuk bencana yang paling berat. Orang dzalim, apabila berteman dengan orang taqwa dan memperhatikan kepada takutnya dan kekekalan takutnya itu, maka ia akan kembali kepada kebenaran pada masa yang dekat. Dan ia malu daripada berkekalan di dalam perbuatan yang salah. Bahkan orang malas, yang berteman dengan orang yang rajin bekerja, maka akan rajin, karena malu kepadanya. Ja’far bin Sulaiman berkata: “Tatkala aku lesu pada pekerjaan, lalu aku melihat Muhammad bin Wasi’ dan ketekunannya berbuat taat. Maka kembalilah kepadaku kerajinanku pada ibadah. Dan terpisahlah daripadaku kemalasan. Dan teruslah aku bekerja sampai seminggu lamanya”. Penegasan ini, ialah bahwa persaudaraan itu adalah sekerat daging, seperti sekerat daging keturunan. Dan kekeluargaan itu, tidak boleh disingkirkan dengan sebab kema’siatan. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya saw tentang keluarganya: “Dan jika mereka tidak mau mengikut perintah engkau, katakanlah: ‘Aku berlepas tangan dari apa yang kamu kerjakan itu”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 216. Dan tidak dikatakan: “Sesungguhnya aku berlepas tangan daripada kamu”. Karena menjaga hak kefamilian dan kedagingan keturunan. Dan kepada inilah, diisyaratkan oleh Abud Darda’ tatkala orang bertanya kepadanya: “Apakah engkau tidak memarahi teman engkau, padahal dia berbuat demikian ?”. Maka menjawab Abud Darda’: “Sesungguhnya aku memarahi perbuatannya. Dan kalau tidak perbuatan itu, maka dia adalah temanku”. Persaudaraan agama adalah lebih kokoh, daripada persaudaraan kefamilian. Dan karena itulah, orang bertanya kepada seorang ahli hikmat: “Manakah yang lebih tuan cintai, saudara tuan atau teman tuan ?”. Ahli hikmat itu menjawab: “Sesungguhnya aku mencintai saudaraku, apabila ia temanku”. Al-Hasan berkata: “Berapa banyak saudara, yang tidak dilahirkan oleh ibumu sendiri”. Dan karena itulah, ada orang yang mengatakan: “Kefamilian itu memerlukan kepada kesayangan. Dan kesayangan itu, tidak memerlukan kepada kefamilian”. Ja’far Ash-Shadiq ra berkata: “Kesayangan sehari itu, adalah suatu hubungan (silaturrahim). Kesayangan sebulan itu, adalah suatu kefamilian. Dan kesayangan setahun itu, adalah kefamilian keturunan. Barangsiapa memutuskannya, niscaya ia diputuskan oleh Allah”. Jadi, memenuhi akan ikatan persaudaraan, apabila telah terdahulu pengikatannya, adalah wajib. Dan inilah jawaban kami tentang permulaan persaudaraan dengan orang fasiq. Karena belum lagi terdahulu sesuatu hak. Kalau telah terdahulu kefamilian, niscaya tidak dapat dielakkan, bahwa tiada seyogyalah berputus-putuskan silaturrahim. Tetapi berelok-elokkanlah. Dalilnya, ialah: bahwa meninggalkan persaudaraan dan persahabatan pada sejak mulanya, tidaklah tercela dan tidaklah makruh. Bahkan berkata orang-orang yang mengatakan, bahwa sendirian itu adalah lebih utama. Adapun memutuskan persaudaraan daripada terusnya persaudaraan, adalah dilarang dan dicela, terhadap pemutusan itu sendiri. Dan bandingannya dengan meninggalkannya sejak mulanya, adalah seperti: bandingan talak dengan meninggalkan perkawinan. Dan talak itu, adalah lebih dimarahi Allah Ta’ala daripada meninggalkan perkawinan (tidak kawin). Nabi saw bersabda: “Yang terjahat dari hamba Allah, ialah mereka yang melakukan perbuatan lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (berbuat fitnah kesana-kemari), yang mencerai-beraikan diantara teman-teman yang dikasihi”. Sebahagian salaf (orang terdahulu) mengatakan tentang menutupkan ketelanjuran teman-teman: “Setan itu suka melemparkan kepada saudaramu seperti perbuatan ini. Sehingga kamu menyingkirkannya dan memutuskan hubungan dengan dia. Maka apakah yang kamu jaga daripada kesayangan musuhmu ?”. Dan ini, karena mencerai-beraikan diantara teman-teman yang dikasihi, adalah setengah daripada yang disukai setan. Sebagaimana mengerjakan perbuatan ma’siat, adalah sebahagian daripada kesenangan setan. Apabila telah berhasil bagi setan, salah satu dari kedua maksudnya itu, maka tiada seyogyalah ditambahkan kepaadnya, maksud yang kedua. Dan kepada inilah, diisyaratkan oleh Nabi saw mengenai orang yang memaki seseorang yang telah berbuat perbuatan keji. Karena ia bersabda: “Jauhkanlah dari sikap yang demikian !”. Beliau melarang dari tindakan yang demikian dan bersabda: “Janganlah kamu menjadi penolong setan terhadap saudaramu !”. Dengan ini semuanya, nyatalah perbedaan antara terus-terusan dan permulaan. Karena bercampur-baur dengan orang-orang fasiq, adalah ditakuti. Dan pisah-memisahkan diri dengan teman-teman dan saudara-saudara juga ditakuti. Dan tidaklah orang yang selamat daripada pertentangan dengan orang lain, seperti orang yang tidak selamat. Dan pada permulaannya, ia telah selamat. Kami berpendapat, bahwa menyingkirkan (al-Muhaajarah) dan menjauhkan diri (at-Taba’ud), adalah lebih utama. Dan pada terusnya persahabatan itu, terjadilah pertentangan antara keduanya. Maka adalah menyempurnakan hak persaudaraan itu lebih utama. Dan ini semuanya adalah mengenai tergelincirnya dalam agamanya. Adapun tergelincirnya dalam hak teman, dengan sesuatu yang mengharuskan keliaran hati, maka tiada terdapat perbedaan pendapat lagi, bahwa yang lebih utama, ialah memaafkan dan menanggung akibatnya. Bahkan semua yang mungkin ditempatkan pada segi yang baik dan digambarkan permulaan kemaafan padanya, yang dekat atau yang jauh, adalah wajib, demi hak persaudaraan. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa seyogyalah engkau mencari dalil bagi ketelanjuran temanmu 70 kemaafan. Kalau hatimu tidak menerimanya, maka kembalikanlah makian itu kepada dirimu sendiri !. Maka engkau mengatakan kepada hatimu: “Alangkah kesatnya engkau ! temanmu meminta maaf kepadamu 70 kemaafan, engkau tidak mau menerimanya. Engkaulah yang berbuat hal yang memalukan, bukan temanmu”. Kalau ternyata, dimana teman itu tidak menerima perbaikan, maka seyogyalah engkau tidak memarahinya, kalau engkau sanggup yang demikian. Tetapi yang demikian itu, tidak mungkin. Imam Asy-Syafi’i ra berkata: “Orang yang dibuat marah, lalu tidak marah, maka dia itu keledai. Dan orang yang dibuat rela, lalu ia tidak rela, maka dia itu setan". Maka janganlah kamu itu keledai atau setan ! carilah, kerelaan hatimu dengan dirimu sendiri, sebagai ganti dari temanmu ! jagalah daripada kamu menjadi setan, jikalau kamu tidak suka menerimanya !. Al-Ahnaf berkata: “Hak teman, ialah bahwa engkau tanggung daripadanya 3 perkara: kedzaliman marah, kedzaliman kemashuran dan kedzaliman salah”. Dan yang lain berkata pula: “Tiadalah aku sekali-kali mencaci seseorang, karena jikalau aku dicaci oleh orang mulia, maka aku adalah orang yang lebih berhak mengampunkannya. Atau aku dicaci oleh orang jahat, maka tidaklah aku jadikan kehormatanku suatu maksud baginya”. Kemudian ia membuat contoh dan bermadah:
“Aku maafkan perkataan buruk dari orang mulia,
sebagai simpanan padanya.......
Aku berpaling dari makian orang tercela,
sebagai pemuliaan kepadanya.........”.
Dan ada lagi, yang bermadah:
“Ambilkanlah dari temanmu yang bersih !
Tinggalkanlah yang kotor padanya !
Umur itu adalah amat pendek,
daripada caci-mencaci teman, kepada yang lain”.
Manakala temanmu meminta maaf padamu, berdusta ia atau benar, maka terimalah permintaan maafnya !. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang diminta temannya padanya kemaafan, lalu tiada diterimanya permintaan kemaafan itu, maka atasnya seperti dosa orang yang mengambil cukai”. Dan Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu lekas marah dan lekas rela (memaafkan)”. Nabi saw tiada menyifatkan orang mu’min itu, dengan tidak marah. Dan begitupula Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Dan tidak dikatakan: “Dan yang tiada mempunyai kemarahan”. Ini, adalah menurut kebiasaan, tidaklah berkesudahan kepada melukakan hati orang. Lalu ia tiada merasa pedih. Tetapi berkesudahan, kepada bersabar dan sanggup menanggungnya. Dan sebagaimana rasa kepedihan dengan luka, adalah kehendak dari sifat tubuh, maka rasa kepedihan dengan sebab-sebab kemarahan, adalah sifat hati. Dan tak mungkin mencabutnya. Tetapi mungkin mengekanginya, menahankannya dan berbuat kebalikan dari yang dikehendakinya. Karena kemarahan itu menghendaki kesembuhan, kedendaman dan pembalasan yang setimpal. Dan meninggalkan perbuatan menurut yang dikehendaki oleh kemarahan itu, adalah mungkin. Seorang penyair bermadah:
“Tidaklah engkau akan kekal berteman,
dengan orang yang tidak engkau kumpulkan,
perihalnya yang berserak-serakan.
Manakah orang yang selalu dalam kebersihan ?”.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata kepada Ahmad bin Abil-Huwari: “Apabila engkau bersaudara dengan seseorang pada zaman ini, maka janganlah ia engkau cacikan terhadap apa yang tiada engkau sukai ! karena sesungguhnnya engkau tiada akan aman daripada melihat dalam jawaban engkau, apa yang lebih buruk dari yang pertama”. Maka berkata Ahmad bin Abil-Huwari: “Lalu aku coba, maka aku dapati seperti yang demikian itu”. Setengah mereka berkata: “Sabar di atas yang menyakitkan dari teman, adalah lebih baik daripada mencacinya. Dan mencaci adalah lebih baik daripada memutuskan silaturrahim. Dan memutuskan silaturrahim, adalah lebih baik daripada berperang tanding”. Dan seyogyalah, bahwa: tidak bersangatan pada kemarahan itu ketika berperang tanding. Allah Ta’ala berfirman: “Mudah-mudahan Allah nanti mengadakan kasih-sayang antara kamu dengan orang-orang yang (sekarang) menjadi musuh kamu”. S 60 Al Mumtahanah ayat 7. Nabi saw bersabda: “Cintailah temanmu dengan tidak berlebih-lebihan ! mungkin ia pada suatu hari menjadi orang kemarahanmu ! dan marahilah orang yang menjadi kemarahanmu dengan tidak berlebih-lebihan ! mungkin ia pada suatu hari menjadi temanmu”. Umar ra berkata: “Janganlah kecintaanmu itu memberatkan dan kemarahanmu itu membinasakan !”. Yaitu: bahwa engkau menyukai kerusakan temanmu serta kebinasaan engkau.
Hak Keenam: doa untuk teman pada masa hidupnya dan sesudah matinya, dengan apa yang disukainya bagi dirinya sendiri, dan bagi keluarganya dan semua yang berhubungan dengan dia. 
Maka engkau berdoa bagi teman, sebagaimana engkau berdoa bagi dirimu sendiri. Dan janganlah kamu membeda-bedakan diantara dirimu sendiri dan temanmu ! karena doamu baginya, pada hakekatnya adalah doamu bagii dirimu sendiri. Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Apabila berdoalah seseorang bagi saudaranya di belakang (tidak dihadapan saudaranya itu), niscaya Malaikat berkata: ‘Dan bagimu seperti yang demikian juga”. Dan pada kata-kata yang lain dari hadits berbunyi: “Allah Ta’ala berfirman:: “Dengan engkau aku mulai, wahai hambaKu !”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Diterima bagi seseorang mengenai saudaranya, apa yang tiada diterima baginya mengenai dirinya sendiri”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Doa seseorang bagi saudaranya di belakang saudaranya itu, tiada akan tertolak”. Dan Abid-Darda’ berkata: “Sesungguhnya aku berdoa bagi 70 orang dari saudara-saudaraku dalam sujudku. Aku sebutkan nama mereka semuanya”. Muhammad bin Yusuf Al-Ashfahani berkata: “Manakah seperti teman yang baik itu ? keluargamu membagi-bagikan pusaka yang kamu tinggalkan. Bersenang-senang dengan apa yang kamu tinggalkan. Dan dia itu (teman baik) seorang diri dengan kesedihanmu, mementingkan dengan apa yang kamu datangkan dan apa yang kamu jadikan kepadanya. Ia berdoa bagimu dalam kegelapan malam dan engkau berada di bawah lapisan bumi. Dan seakan-akan teman baik itu mengikuti Malaikat, karena tersebut pada hadits: “Apabila meninggallah hamba, lalu manusia bertanya: ‘Apakah yang ditinggalkannya ? Dan Malaikat bertanya: ‘Apakah yang dibawanya ?. Para Malaikat itu senang dengan orang tersebut, dengan apa yang dibawanya. Mereka bertanya tentang dia dan merasa sayang kepadanya”. Ada yang mengatakan: “Barangsiapa sampai kepadanya, berita kematian saudaranya, lalu ia memohonkan rahmat dan ampun kepadanya, niscaya dituliskan baginya, seolah-olah ia mengunjungi jenazahnya dan bershalat padanya”. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Mayit dalam kuburnya, adalah seumpama orang karam, yang bergantung pada tiap-tiap sesuatu. Mayit itu menunggu doa dari anaknya atau bapaknya atau saudaranya atau keluarganya. Dan sesungguhnya masuk ke dalam kubur orang-orang mati, doa dari orang-orang hidup dari nur, seperti bukit”. Dan setengah salaf berkata: “Doa bagi orang-orang mati adalah seperti hadiah bagi orang-orang hidup. Maka masuklah Malaikat kepada orang mati itu dan besertanya sebuah talam dari nur, yang di atasnya sehelai sapu tangan dari nur. Lalu Malaikat itu berkata: “Inilah hadiah bagimu dari saudaramu si Anu, dari keluargamu si Anu”. Salaf tadi berkata seterusnya: “Maka senanglah mayit itu dengan yang demikian, sebagaimana senangnya orang hidup dengan mendapat hadiah”.
Hak Ketujuh: kesetiaan dan keikhlasan. 
Arti: Kesetiaan (al-wafa’), ialah tetap berkasih-kasihan dan terus-menerus sampai kepada mati bersama teman. Dan sesudah teman itu meninggal, kesetiaan tadi bersama anak-anak dan teman-temannya. Sesungguhnya kecintaan itu, dimaksudkan untuk akhirat. Maka jikalau terputus sebelum mati, niscaya binasalah perbuatan dan lenyaplah usaha. Dan karena itulah Nabi saw bersabda:: “Tentang 7 orang yang dilindungi Allah dalam naunganNya. Dan dua orang yang berkasih-kasihan fillah (pada jalan Allah). keduanya berkumpul untuk yang demikian dan berpisah terhadap yang demikian”. Setengah mereka berkata: “Sedikitnya kesetiaan sesudah meninggal, adalah lebih baik daripada banyaknya pada masa hidup”. Karena itulah diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Memuliakan seorang wanita tua yang datang kepadanya. Lalu beliau ditanyakan tentang hal itu, maka beliau menjawab: “Sesungguhnya wanita tua tersebut telah datang kepada kami sewaktu Khadijah masih hidup. Dan sesungguhnya kemuliaan masa itu, adalah setengah dari agama”. Setengah dari kesetiaan kepada teman, ialah menjaga semua teman, keluarga dan orang-orang yang berhubungan dengan teman. Dan menjaga mereka itu semuanya, adalah lebih membekas dalam hati teman, daripada menjaga teman itu sendiri. Karena kesenangannya dengan mencari yang tidak ada, dari orang yang berhubungan dengan dia, adalah lebih banyak. Karena tidaklah menunjukkan kepada kuatnya kasih-sayang dan cinta, kecuali dengan melampaui keduanya dari yang dicintai, kepada semua orang yang berhubungan dengan dia. Sehingga anjing yang berada di pintu rumahnya, seyogyalah dibedakan dalam hati, dari anjing-anjing yang lain. Manakala terputuslah kesetiaan dengan kekalnya kecintaan, niscaya gembiralah setan dengan demikian. Sesungguhnya setan tiadalah merasa dengki terhadap dua orang yang tolong menolong diatas kebajikan, sebagaimana dengkinya terhadap dua orang yang bersaudara pada jalan Allah dan berkasih-kasihan padanya. Maka setan itu sesungguhnya berusaha benar-benar untuk merusakkan perhubungan diantara keduanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu, (supaya) mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menyebarkan perselisihan diantara mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 53. Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang Yusuf: “Sesudah setan memecah-belah antara aku dengan saudara-saudaraku”. S 12 Yusuf ayat 100. Ada yang mengatakan, bahwa tiadalah bersaudara dua orang fillah, lalu terjadilah perceraian diantara keduanya, kecuali disebabkan dosa yang dikerjakan oleh salah seorang daripada keduanya. Bisyr berkata: “Apabila teledorlah hamba pada mentaati Allah, niscaya ditarik oleh Allah orang yang berjinakkan hati dengan dia”. Yang demikian, karena sesungguhnya teman-teman itu adalah yang memberi penghiburan dalam kesusahan dan pertolongan pada agama. Karena itulah, Ibnul-Mubarak berkata: “Yang paling mengenakkan dari segala sesuatu itu, ialah duduk-duduk dengan teman dan berbalik kepada rasa mencukupi. Kesayangan yang kekal, ialah yang ada pada jalan Allah (fillah). Dan pada yang ada karena sesuatu maksud, akan hilang dengan hilangnya maksud itu”. Setengah daripada buah kesayangan fillah, ialah tidak ada kesayangan itu beserta kedengkian pada agama dan dunia. Bagaimanakah ia mendengkinya, sedang semua itu adalah bagi temannya ? Maka kepadanya kembali faedahnya. Dan dengan yang tersebut itulah, disifatkan oleh Allah Ta’ala orang-orang yang berkasih-kasihan fillah (pada jalan Allah). Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (yang berpindah itu), bahkan mereka mengutamakan (kawannya) lebih dari diri sendiri”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan adanya keinginan itu, ialah dengki. Dan sebahagian dari kesetiaan, ialah tiada berobah keadaannya tentang merendahkan diri bersama temannya, meskipun kedudukannya telah meninggi, wilayahnya telah meluas dan kemegahannya telah membesar. Maka meninggikan diri terhadap teman-teman, disebabkan hal-ikhwal yang terjadi membaru itu, adalah tercela. Berkata seorang penyair:
“Sesungguhnya orang-orang mulia,
apabila telah kaya-raya,
mereka teringat kepada orang yang berpautan jiwa,
dalam gubuk kasar yang penuh derita.........”.
Setengah salaf mewasiatkan kepada anaknya, lalu berkata: “Wahai anakku ! janganlah engkau berteman dengan manusia, kecuali orang, apabila engkau memerlukan kepadanya, niscaya ia mendekati engkau. Jikalau engkau tidak memerlukan kepadanya, niscaya ia tidak mengharap kepada engkau. Jikalau meninggi kedudukannya, niscaya ia tidak meninggi terhadap engkau”. Setengah ahli hikmat (hukama’) berkata: “Apabila temanmu memegang sesuatu wilayah, lalu tetap setengah kesayangannya kepadamu, maka itu adalah banyak”. Diceritakan oleh Ar-Rabi’, bahwa Imam Asy-Syafi’i ra mengadakan persaudaraan dengan seorang laki-laki di Baghdad. Kemudian saudaranya itu memegang wilayah As-Saibain. Lalu berobahlah sikapnya terhadap beliau, dari yang sudah-sudah. Maka Asy-Syafi’i ra menulis kepada teman itu beberapa kuntum syair ini:
Pergilah ! kesayangan kepadamu dari hatiku,
telah bercerai lepas untuk selama-lamanya.
Tetapi bukanlah cerai, yang tidak boleh kembali lagi.
Kalau engkau kembali, maka itu adalah talak satu,
dan kekallah kesayanganmu bagiku tinggal dua.
Kalau engkau tidak mau kembali,
aku genapkan yang satu itu dengan satu lagi.
Maka engkau tertalak dua dalam dua haidh.
Dan yang ketiga, pasti datang kepadamu daripadaku.
Sehingga tak mencukupi lagi bagimu wilayah As-Saibain itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa tidaklah dari kesetiaan, bersesuaian dengan teman, tentang sesuatu yang menyalahi kebenaran dalam hal yang berhubungan dengan agama. Tetapi termasuk kesetiaan, ialah bersalahan bagi yang demikian itu. Adalah Asy-Syafi’i ra mengadakan persaudaraan dengan Muhammad bin Abdul Hakam. Ia mendekatkannya, merangkulkannya dan mengatakan: “Tidaklah yang mendudukkan aku di Mesir, selain dia”. Maka sakitlah Muhammad itu, lalu dikunjungi oleh Asy-Syafi’i ra seraya beliau bermadah:
“Telah sakitlah teman,
maka aku mengunjunginya.
Lalu sakitlah aku,
dari penjagaanku kepadanya.
Dan datanglah teman,
mengunjungi aku.
Lalu sembuhlah aku,
demi memandangnya”.
Manusia menyangka, karena benarnya kasih-sayang diantara keduanya, bahwa Asy-Syafi’i akan menyerahkan urusan halqahnya (tempat beliau mengajar) kepada Muhammad bin Abdul Hakam, setelah beliau wafat. Maka orang bertanya kepada Asy-Syafi’i dalam sakitnya, dimana beliau ra wafat dalam sakit itu: “Dengan siapakah kami duduk sesudahmu wahai Abu Abdillah ?”. Muhammad bin Abdul Hakam memandang kepada Asy-Syafi’i ra, dimana ia duduk di samping kepalanya, supaya beliau menunjukkan dia. Lalu Asy-Syafi’i berkata: “Subhaanallaah ! adakah diragukan mengenai ini, Abu Ya’qub Al-Buaithi ?”. Maka hancur-remuklah hati Muhammad bin Abdul Hakam karenanya. Dan para sahabat Asy-Syafi’i tertarik kepada Al-Buaithi, sedang Muhammad bin Abdul Hakam telah membawa dari Imam Asy-Syafi’i madzhabnya seluruhnya. Tetapi Al-Buaithi adalah lebih utama dan lebih dekat kepada zuhud dan wara’. Maka Asy-Syafi’i ra menasehatkan karena Allah, karena kaum muslimin dan karena meninggalkan berminyak-minyakan air. Dan tidak mengutamakan kerelaan makhluq dari kerelaan Allah Ta’ala. Setelah Asy-Syafi’i meninggal, lalu Muhammad bin Abdul Hakam berbalik dari madzhab Asy-Syafi’i dan kembali kepada madzhab bapaknya. Dan mempelajari kitab-kitab Malik ra. Dan dia termasuk sebahagian dari sahabat-sahabat Malik ra yang terbesar. Al-Buaithi mengutamakan zuhud dan tidak suka kemegahan. Dan tidak menarik hatinya berkumpul dan duduk di halqah. Ia sibuk beribadah dan menyusun Kitab Al-Umm, yang disebut-sebut sekarang karangan Ar-Rabi’ bin Sulaiman dan terkenal yang demikian,. Sesungguhnya Kitab Al-Umm itu disusun oleh Al-Buaithi. Tetapi beliau tidak menyebutkan namanya padanya dan tidak menyandarkan kepada dirinya sendiri. Lalu Ar-Rabi’ menambahkan pada Al-Umm, membuat dan menyiarkan Al-Umm itu kepada orang banyak. Dan yang dimaksud, bahwa kesetiaan dengan kasih-sayang, sebahagian dari kesempurnaannya, ialah: nasehat karena Allah. Berkata Al-Ahnaf: “Persaudaraan itu, adalah mutiara yang halus. Kalau tidak engkau menjaganya, niscaya mendatangkan beberapa bahaya. Maka jagalah dengan menahan kemarahan, sehingga engkau meminta maaf pada orang yang berbuat dzalim kepada engkau. Dan dengan kerelaan, sehingga engkau tidak berbanyak keutamaan dari dirimu dan keteledoran dari saudaramu. Setengah dari tanda-tanda kebenaran, keikhlasan dan kesempurnaan setia, ialah, bahwa: engkau merasa sangat gundah berpisah, akan liarnya tabiat dari sebab-sebabnya perpisahan, sebagaimana tersebut pada sekuntum syair:
Aku peroleh segala malapetaka,
yang terjadi sembarang waktu.
Semuanya mudah saja,
selain berpisah dengan teman-temanku.
Ibnu ‘Uyainah menyanyikan madah ini. Dan berkata: “Sesungguhnya telah aku kenal beberapa kaum, yang aku telah berpisah dengan mereka semenjak 30 tahun. Tidak terkhayal kepadaku, bahwa kesedihan berpisah dengan mereka, telah hilang dari qalbuku”. Dan setengah dari kesetiaan, ialah bahwa: ia tidak memperdengarkan segala apa yang disampaikan orang, kepada temannya. Lebih-lebih orang yang pada mulanya melahirkan, bahwa ia cinta kasih kepada temannya. Agar ia tidak kena tuduhan. Kemudian, ia mengemukakan kata-kata dengan tiba-tiba dan membawa dari teman kata-kata yang menusukkan jantung. Yang demikian, adalah termasuk daya-upaya yang halus dalam pemukulan kepada teman. Barangsiapa tiada menjaga daripadanya, niscaya tidaklah sekali-kali kekal kesayangan diantaranya. Seorang berkata kepada ahli hikmat: “Sesungguhnya aku datang kemari, ingin meminang kesayangan tuan”. Ahli hikmat itu menjawab: “Jikalau engkau jadikan emas kawinnya 3, niscaya aku laksanakan”. Orang itu bertanya: “Apakah yang 3 itu ?”. Ahli hikmat tadi menjawab: “Jangan engkau perdengarkan kepadaku apa yang disampaikan orang ! jangan engkau menyalahi aku pada sesuatu urusan ! dan jangan engkau sampaikan kepadaku berita yang tidak terang !”. Dan setengah dari kesetiaan, ialah tiada berteman dengan musuh teman sendiri. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Apabila temanmu mentaati musuhmu, maka keduanya telah bersekutu memusuhi kamu”.
Hak Kedelapan: meringankan, meninggalkan yang berat kepada diri sendiri (at-takalluf) dan yang memberatkan kepada orang lain (at-taklif). 
Yang demikian, ialah bahwa: tiidak memberatkan kepada teman apa yang sukar kepadanya. Tetapi menyenangkan hati teman, dengan membantu segala kepentingan dan keperluannya. Dan menghiburkannya, dengan tidak memikulkan sesuatu daripada tugas-tugasnya. Maka tidaklah mengambil dari teman, dari kemegahan dan hartanya. Dan tidak memberatkan teman untuk merendahkan diri kepadanya. Mencari yang hilang dari hal ikhwalnya dan menegakkan hak-haknya. Tetapi, ia tidak bermaksud dengan berkasih-sayangan dengan teman itu, selain Allah Ta’ala. Karena mengharap barakah dengan doa teman, senang hati dengan bertemu teman, memperoleh pertolongan dengan teman untuk agama, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menegakkan segala hak teman dan menanggung perbelanjaan teman. Setengah mereka berkata: “Barangsiapa menghendaki dari kawan-kawannya, apa yang tiada dikehendaki mereka, maka sesungguhnya ia telah berbuat dzalim kepada mereka. Dan barangsiapa menghendaki dari mereka, seperti apa yang dikehendaki mereka, maka sesungguhnya ia telah memayahkan mereka. Dan barangsiapa yang tiada menghendaki, maka ia adalah orang yang berbuat keutamaan kepada mereka”. Setengah ahli hikmat berkata: “Barangsiapa menjadikan dirinya pada teman-temannya, diatas dari kesanggupannya, niscaya ia berdosa dan teman-teman itupun berdosa. Barangsiapa menjadikan dirinya menurut kesanggupannya, niscaya ia payah dan memayahkan teman-temannya. Dan barangsiapa menjadikan dirinya kurang dari kesanggupannya, niscaya ia selamat dan teman-temannyapun selamat”. Dan kesempurnaan peringanan, ialah dengan melipatkan tikar permadani pemberatan. Sehingga ia tidak malu dari teman, pada apa yang ia tidak malu dari dirinya sendiri. Al-Junaid berkata: “Tidaklah berteman dua orang fillah, lalu merasa liar salah seorang daripada keduanya dari temannya atau merasa malu, kecuali karena sesuatu sebab pada salah seorang dari keduanya”. Ali ra berkata: “Yang jahat dari teman-teman, ialah orang yang memberatkan dirinya untuk kamu, orang yang memerlukan kamu kepada berlemah-lembut dan orang yang membawa kamu keapdaa meminta maaf”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya manusia putus-memutuskan hubungan dengan sebab memberatkan teman. Seorang dari mereka berziarah kepada temannya, lalu merasa berat untuk temannya itu. Maka yang demikian, memutuskan dia dari teman”. ‘Aisyah berkata: “Orang mu’min itu saudara orang mu’min. Tiada memperoleh ghanimah (harta rampasan) daripadanya dan tiada merasa malu kepadanya”. Al-Junaid berkata: “Aku berteman dengan 4 tingkat dari golongan ini. Masing-masing tingkat 30 orang: Harits Al-Muhasibi dan tingkatnya, Hasan Al-Masuhi dan tingkatnya, Sariyya As-Suqthi dan tingkatnya dan Ibnul Kuraibi dan tingkatnya. Maka tidaklah berteman dua orang fillah dan salah seorang dari keduanya merasa malu kepada temannya atau hatinya merasa liar, kecuali karena sesuatu sebab pada salah seorang dari keduanya”. Ada yang bertanya kepada setengah mereka: “Siapakah yang kami berteman ?”. Lalu yang ditanyakan itu menjawab: “Orang yang mengangkatkan daripada engkau, pikulan yang memberatkan dan gugur antara engkau dan dia, perbelanjaan menjagakan diri”. Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq ra berkata: “Yang terberat teman-temanku diatas diriku, ialah orang yang memberatkan dirinya untukku dan aku menjaga diri daripadanya. Dan yang teringan mereka diatas qalbuku, ialah orang, dimana aku bersama dia, sebagaimana aku berada seorang diri”. Sebahagian orang shufi berkata: “Janganlah engkau bergaul dengan manusia, selain orang, yang tidak bertambah engkau padanya dengan kebajikan dan engkau tidak berkurang padanya dengan dosa. Adalah yang demikian itu bagi engkau dan atas engkau. Dan engkau padanya sama”. Sesungguhnya ia mengatakan ini, karena dengan demikian ia terlepas daripada keadaan yang memberatkan dan yang menjagakan dirinya. Kalau tidak demikian, maka karakter manusia membawanya kepada menjaga diri daripada teman, apabila diketahuinya bahwa yang demikian akan mengurangkan padanya. Setengah mereka berkata: “Hendaklah kamu dengan anak-anak dunia itu dengan adab-sopan ! dengan anak-anak akhirat, dengan ilmu pengetahuan ! dan dengan orang arifin (orang-orang yang berilmu ma’rifah) bagaimana yang kamu kehendaki !”. Yang lain berkata: “Janganlah engkau berteman, kecuali dengan orang yang mengajak engkau bertaubat, apabila engkau berdosa. Dan memberi maaf kepada engkau, apabila engkau berbuat kejahatan. Menanggung perbelanjaan engkau dan mencukupkan akan engkau oleh perbelanjaan dirinya”. Yang mengatakan diatas ini, telah menyempitkan jalan persaudaraan kepada manusia. Dan tidaklah persoalannya seperti yang demikian. Tetapi seyogyalah bahwa mengadakan persaudaraan tiap-tiap orang yang beragama, berakal dan bercita-cita menegakkan syarat-syarat tersebut. Dan tidak memberatkan orang lain dengan syarat-syarat itu. Sehingga banyaklah temannya. Karena dengan demikian, adalah ia bersaudara fillah. Kalau tidak demikian, niscaya adalah persaudaraannya itu untuk kebaikan dirinya sendiri saja. Dan karena itulah, seorang laki-laki bertanya kepada Al-Junaid: “Sesungguhnya telah sukarlah teman pada masa ini. Manakah temanku pada jalan Allah (fillah). Al-Junaid berpaling dari orang itu. Sehingga orang itu mengulanginya 3 kali. Maka tatkala telah banyak kali diulanginya, lalu Al-Junaid berkata kepada orang itu: “Jikalau engkau menghendaki teman, yang mencukupkan akan engkau perbelanjaan engkau dan yang menanggung kesakitan engkau, maka demi umurku, ini adalah sedikit. Dan jikalau engkau menghendaki teman fillah, dimana engkau menanggung perbelanjaannya dan engkau bersabar diatas kesakitan yang dibuatnya, maka padaku segolongan orang yang akan aku perkenalkan mereka bagimu”. Maka laki-laki itu diam. Ketahuilah kiranya, bahwa manusia itu 3: seorang yang engkau memperoleh manfaat berteman dengan dia, seorang yang engkau sanggup mendatangkan manfaat kepadanya dan engkau tiada memperoleh melarat dengan dia, tetapi juga engkau tiada memperoleh manfaat daripadanya dan seorang yang engkau tiada sanggup pula mendatangkan manfaat kepadanya dan engkau memperoleh melarat daripadanya. Itulah orang dungu atau orang jahat budi. Maka yang ketiga ini, seyogyalah engkau menjauhinya. Adapun yang kedua, maka jangan engkau menjauhinya. Karena engkau memperoleh manfaat di akhirat dengan syafa’at dan doanya. Dan dengan pahala engkau berdiri berbuat dengan sebabnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada Musa as: “Jikalau engkau taat kepadaKu, maka alangkah banyaknya temanmu”. Artinya: jikalau engkau menolong mereka, menanggung yang tidak enak dari mereka dan tiada engkau dengki kepada mereka”. Setengah mereka berkata: “Aku berteman dengan manusia selama 50 tahun. Maka tidaklah terjadi diantara aku dan mereka perselisihan. Sesungguhnya adalah aku bersama mereka diatas tanggungan diriku”. Dan orang yang ini sifatnya, maka banyaklah temannya. Sebahagian dari peringanan dan meninggalkan at-takalluf, ialah, bahwa tiada mendatangkan halangan dalam ibadah-ibadah sunnah. Dan adalah segolongan kaum shufi berteman diatas syarat pesamaan, diantara 4 arti: jikalau salah seorang mereka makan siang seluruhnya, niscaya tidaklah temannya berkata: “Puasalah !”. Dan jikalau ia berpuasa suntuk masa seluruhnya, niscaya temannya tidak mengatakan kepadanya: “Berbukalah !”. Dan jikalau ia tidur malam seluruhnya, niscaya temannya tidak mengatakan kepadanya: “Bangunlah mengerjakan shalat malam !”. Dan bagi orang yang mengerjakan shalat malam seluruhnya, niscaya temannya tiada mengatakan kepadanya: “Tidurlah !”. Dan bersamaanlah hal ikhwalnya pada teman dengan tiada tambahan dan kekurangan. Karena yang demikian itu, jikalau berlebih kurang, niscaya sudah pasti, tabiat diri menggerakkan kepada ria dan penjagaan diri. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “Barangsiapa gugur (tak ada) pemberatannya, niscaya kekallah kejinakan hatinya. Dan barangsiapa ringan pembelanjaannya, niscaya kekallah kekasih-sayangannya”. Setengah sahabat berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutuk orang-orang yang berbuat-buat pemberatan (al-mutakallifin)”. Dan Nabi saw bersabda: “Aku dan orang-orang yang bertaqwa dari umatku, adalah merasa terlepas (bebas) daripada at-takalluf”. Setengah mereka berkata: “Apabila diperbuat seseorang pada rumah temannya 4 perkara, maka sesungguhnya telah sempurnalah kejinakan hatinya dengan teman itu: apabila ia makan padanya, ia masuk kamar tempat buang air, ia mengerjakan shalat dan tidur di rumah teman itu”. Lalu diterangkan yang demikian kepada setengah syaikh-syaikh (guru-guru), maka beliau itu menjawab: “Masih ada yang kelima. Yaitu: ia datang bersama isterinya ke rumah temannya dan disetubuhinya isterinya di situ”. Karena rumah itu diperbuatnya untuk melakukan dengan tersembunyi hal-hal yang lima tadi. Kalau bukan yang demikian, maka masjid-masjid adalah lebih menyenangkan hati orang-orang yang beribadah. Apabila telah diperbuat yang lima tadi, maka sesungguhnya telah sempurnalah persaudaraan. Terangkatlah malu dan teguhlah kelapangan dada. Dan ucapan orang Arab pada bersalaman mereka, menunjukkan kepada yang demikian. Karena salah seorang dari mereka mengatakan kepada temannya: “Marhaban wa ahlan wa sahlan !”. artinya: “Bagimu pada kami marhab, yaitu: kelapangan hati dan tempat ! dan bagimu pada kami kekeluargaan, dimana engkau merasa kejinakan hati dengan kekeluargaan itu, tanpa keliaran hati bagimu dari kami. Dan bagimu pada kami kemudahan pada yang demikian itu semuanya. Artinya: tiada sukar bagimu sesuatu pada kami, dari apa yang engkau kehendaki”. Dan tiada sempurnalah peringanan dan meninggalkan at-takalluf itu, kecuali dengan memandang dirinya sendiri, kurang dari teman-temannya. Membaikkan sangka kepada mereka dan memburukkan sangka kepada dirinya sendiri. Apabila ia melihat mereka lebih baik dari dirinya sendiri, maka pada ketika itu, ia adalah lebih baik dari mereka. Abu Mu’awiah Al-Aswad berkata: “Teman-temanku semuanya adalah lebih baik daripadaku”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimanakah maka begitu ?”. Ia menjawab: “Semua mereka memandang, bahwa aku mempunyai keutamaan (kelebihan) daripadanya. Dan siapa yang melebihkan aku dari dirinya, maka dia adalah lebih baik daripadaku”. Nabi saw bersabda: “Manusia itu diatas agama temannya. Dan tak ada kebajikan pada bersahabat dengan orang, yang tiada melihat bagi engkau, seperti apa yang engkau lihat baginya”. Inilah derajat yang sekurang-kurangnya. Yaitu: memandang dengan mata persamaan dan kesempurnaan pada melihat keutamaan teman. Dan karena itulah, Sufyan berkata: “Apabila dikatakan kepadamu: “Hai orang jahat !. Lalu kamu marah. Maka kamu itu orang jahat. Artinya: seyogyalah engkau beri’tiqad yang demikian itu pada diri engkau untuk selama-lamanya. Dan akan datang bentuk yang demikian, pada “Kitab Takabur dan Kebanggaan diri”. Sesungguhnya ada orang bermadah, tentang arti merendahkan diri dan melihat kelebihan teman, dengan beberapa kuntum syair:
“Hinakanlah diri pada orang,
kalau engkau menghinakan diri padanya,
maka dia memandang itu keutamaan,
bukan karena kebebalan.
Kesampingkanlah bersahabat,
dengan orang yang selalu,
memandang dirinya lebih derajat,
dari teman-temannya itu”.
Yang lain bermadah pula:
“Berapa banyak teman,
yang aku kenal sebagai teman,
lebih beruntung daripada teman lama.
Kawan yang aku lihat di jalan,
padaku menjadi,
teman yang hakiki”.
Manakala ia melihat kelebihan bagi dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah menghinakan temannya. Dan ini pada umumnya kaum muslimin itu tercela. Nabi saw bersabda: “Cukuplah jahat orang mu’min, bahwa ia menghina saudaranya muslim”. Dan setengah dari kesempurnaan kelapangan dada dan meninggalkan at-takalluf, ialah: bahwa ia bermusyawarah dengan teman-temannya pada semua yang dimaksudkannya. Dan diterimanya petunjuk mereka. Allah Taala berfirman: “Dan adakanlah musyawarah dengan mereka dalam beberapa urusan”. S 3 Ali ‘Imran ayat 159. Dan seyogyalah tidak menyembunyikan pada teman-teman, sesuatu dari rahasianya, sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ya’qub bin Akhi Ma’ruf berkata: “Telah datang Aswad bin Salim kepada ‘Ammi Ma’ruf. Dan Aswad telah bersaudara dengan dia. Lalu berkata: “Bahwa Bisyr bin Al-Harits ingin bersaudara dengan kamu. Ia malu mengatakan demikian itu kepadamu, Ia mengutuskan aku kepadamu, meminta supaya kamu mengikatkan persaudaraan diantara kamu dan dia. Ia akan menguji dan berpegang dengan persaudaraan itu. Hanya ia mensyaratkan pada persaudaraan itu syarat-syarat, dimana ia tidak suka bahwa ia menjadi terkenal dengan demikian. Dan tidak ada diantara engkau dan dia, kunjung-mengujungi dan jumpa-menjumpai. Karena ia tidak suka banyak perjumpaan”. Lalu Ma’ruf menjawab: “Adapun aku ini, jikalau bersaudara dengan seseorang, maka aku tiada suka berpisah dengan dia malam dan siang. Dan aku mengunjunginya setiap waktu dan mengutamakan diatas diriku sendiri dalam segala hal”. Kemudian Ma’ruf menerangkan tentang keutamaan persaudaraan dan berkasih-kasihan pada jalan Allah (fillah), beberapa hadits yang banyak. Kemudian, beliau mengatakan dalam hadits-hadits itu: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah mempersaudarakan (mengambil teman) akan ‘Ali, lalu beliau berkongsi dengan ‘Ali pada ilmu pengetahuan”. Beliau bagi-membagikan dengan Ali tentang badan. Beliau mengawinkan dengan Ali puterinya yang utama dan yang lebih dicintainya diantara puteri-puterinya. Dan beliau tentukan kepada Ali yang demikian, karena persaudaraannya itu. Aku mengangkat engkau sebagai saksi, bahwa aku telah mengikatkan persaudaraan antaraku dan dia (Bisyr bin Al-Harts). Dan aku ikatkan persaudaraannya pada jalan Allah (fillah) karena pesanan yang engkau bawa dan karena permintaannya, bahwa tidak akan berziarah kepadaku, kalau ia tidak suka demikian. Tetapi aku akan berziarah kepadanya, manakala aku mengingininya. Dan suruhkanlah dia menjumpai aku pada tempat-tempat yang kami dapat bertemu di tempat-tempat itu ! dan suruhkanlah dia, bahwa ia tidak akan menyembunyikan kepadaku sesuatu tentang keadaannya. Dan bahwa ia akan memperlihatkan kepadaku semua hal-ikhwalnya !”. Maka Aswad bin Salim menceritakan kepada Bisyr yang demikian itu. Bisyr setuju dan merasa gembira dengan berita tersebut. Inilah kumpulan hak-hak persahabatan ! dan telah kami sebutkan sekali secara tidak terperinci dan sekali secara terperinci. Dan yyang demikian itu tidak akan sempurna, kecuali dengan atas diri engkau bagi teman-teman. Dan tidaklah bagi diri engkau atas pundak teman-teman. Dan bahwa engkau tempatkan diri engkau pada tingkat pelayan untuk teman-teman itu. Maka engkau ikatkan semua anggota tubuh engkau demi hak teman-teman. Adapun penglihatan, maka dengan memandang kepada teman-teman itu, dengan pandangan kesayangan, yang mereka mengetahui kesayangan itu daripada engkau. Engkau pandang kepada segala kebaikan mereka dan engkau membutakan mata daripada segala kekurangan mereka. Tiada engkau palingkan mata engkau dari mereka pada waktu penghadapan mereka kepada engkau dan perkataan mereka bersama engkau. Diriwayatkan bahwa Nabi saw memberikan kepada tiap-tiap orang yang duduk padanya, bahagian dari wajahnya. Dan tiada seorangpun yang yang didengar oleh Nabi saw perkataannya, melainkan orang itu menyangka bahwa dialah manusia yang paling mulia pada Nabi saw. Sehingga majlisnya, pendengarannya, pembicaraannya, kelemah-lembutan pertanyaannya dan penghadapan wajahnya, adalah kepada orang yang duduk di sisinya. Adalah majlis Nabi saw itu majlis malu, merendahkan diri dan amanah. Dan adalah Nabi saw manusia yang paling banyak tersenyum dan tertawa di muka sahabat-sahabatnya dan merasa ta’jub daripada apa yang dipercakapkan mereka dengan beliau. Dan adalah ketawa para sahabatnya di sisinya itu, merupakan senyuman. Karena mereka itu mengikuti perbuatannya dan menghormati kepadanya saw. Adapun pendengaran, maka dengan mendengar perkataan teman itu, merasa lezat keenakan dengan mendengarkannya, membenarkannya dan melahirkan kegembiraan dengan perkataan teman itu. Dan tidak engkau memotong pembicaraan teman-teman itu dengan penolakan, dengan pertengkaran, masuk-memasukkan dan penantangan. Jikalau engkau dipaksakan oleh sesuatu hal mendatang, maka engkau minta maaf kepada mereka (meminta izin tidak turut campur). Dan menjaga pendengaran engkau, daripada mendengar apa yang tidak disukai oleh mereka. Adapun lisan, maka telah kami sebutkan dahulu hak-haknya. Sesungguhnya memperkatakan tentang itu, akan panjang. Sebahagian daripada yang demikian, ialah bahwa tiada meninggikan suara diatas teman-teman. Dan tiada menghadapkan percakapan dengan mereka, kecuali dengan apa yang dipahami mereka. Adapun dua tangan, maka tidaklah kedua tangan itu digenggamkan, daripada memberi pertolongan kepada mereka, pada segala sesuatu yang dilaksanakan dengan tangan. Adapun dua kaki, maka dengan berjalan dengan kedua kaki itu, sebagai perjalanan pengikut-pengikut, tidak sebagai perjalanan orang-orang yang diikut. Dan tidak mendahului mereka, kecuali sekedar yang didahului mereka. Dan tidak mendekati mereka, kecuali sekedar yang didekati mereka. Dan bangun berdiri bagi mereka, apabila mereka datang menghadapkan diri. Dan tidak duduk, kecuali dengan duduknya mereka. Dan duduk dengan merendahkan diri, dimana saja duduk. Manakala sempurnalah kesatuan, niscaya ringanlah tanggungan dari semua hak-hak ini. Seumpama: berdiri, meminta maaf dan memberi pujian. Semuanya itu adalah termasuk hak-hak persahabatan. Dan dalam kandungannya, adalah semacam keadaan dari yang asing dan at-takalluf. Apabila telah sempurna kesatuan, niscaya terlipatlah tikar permadani at-takalluf secara keseluruhan. Lalu tidak berjalan, melainkan menurut perjalanannya sendiri. Karena segala adab zhahiriah ini, adalah alamat dari adab-adab bathiniah dan kebersihan hati. Dan manakala hati telah bersih, niscaya tidak memerlukan lagi takalluf (dengan rasa berat) melahirkan apa yang di dalam hati itu. Orang yang pandangannya kepada persahabatan makhluq maka sekali membengkok dan sekali melurus. Dan orang yang pandangannya kepada Khaliq, niscaya haruslah melurus (al-istiqamah) zhahir dan bathin. Bathinnya dihiasi dengan kecintaan kepada Allah dan makhluqNya. Dan zhahirnya dihiasi dengan ibadah kepada Allah dan pengkhidmatan kepada hambaNya. Maka sesungguhnya itu, adalah bahagian-bahagian pengkhidmatan yang tertinggi kepada Allah. Karena tiadalah sampai kepadanya, kecuali dengan kebaikan budi pekerti. Dan hamba itu memperoleh dengan kebaikan budi pekertinya, derajat orang yang menegakkan shalat, yang berpuasa dan tambahan dari itu lagi. 
KHATIMAH (KESUDAHAN) BAB INI:
Akan kami sebutkan pada khatimah ini, sejumlah adab bergaul dan duduk-duduk bersama berbagai macam manusia, yang dipetik dari perkataan sebahagian hukama’ (ahli-ahli hikmat). Jikalau anda menghendaki pergaulan yang baik, maka temuilah teman dan musuh anda dengan wajah kerelaan, tanpa penghinaan kepada mereka dan tanpa menakutkan mereka. Memuliakan, dengan tidak sombong dan merendahkan diri dengan tidak menghinakan diri ! dan adalah anda dalam semua urusan anda, di tengah-tengah (ausath) ! maka tiap-tiap dua tepi dari kesederhanaan urusan-urusan itu (tepi sangat baiknya dan tepi sangat buruknya) adalah tercela. Janganlah engkau melihat pada kedua ketiak engkau ! janganlah engkau memperbanyak menoleh ! janganlah engkau berdiri dihadapan orang banyak ! dan apabila anda duduk, maka janganlah duduk tidak tenang ! dan jagalah daripada menjerjakkan jari tangan anda, bermain-main dengan janggut dan cincin anda, mencungkil-cungkil gigi anda, memasukkan jari tangan anda kedalam hidung, membanyakkan meludah, berdaham-daham, mengusir lalat dari muka, membanyakkan memanjang-manjangkan badan dan menguap dihadapan orang banyak, dalam shalat dan lainnya !. Hendaklah majelismu itu tenang, pembicaraanmu itu teratur lagi tersusun ! dengarkanlah pembicaraan yang baik dari orang yang berbicara dengan anda, dengan tidak melahirkan keheran-heranan yang berlebih-lebihan ! dan janganlah anda meminta diulangi pembicaraan itu ! diamlah dari segala tertawa dan cerita-cerita !. Janganlah anda memperkatakan tentang kebanggaan anda dengan anak anda, pelayan anda, syair anda, karangan anda dll yang khusus bagi anda ! janganlah anda membuat-buat seperti kaum wanita membuat-buat pada peghiasan diri ! janganlah meninggalkan rasa malu seperti budak yang tidak berrnalu itu ! dan jagalah dari kebanyakan celak mata dan berlebih-lebihan memakai minyak ! janganlah berkeras meminta hajat keperluan ! janganlah memberanikan seseorang untuk melakukan kedzaliman ! janganlah anda beritahukan kepada isteri dan anak anda akan kelebihan dari orang lain, kadar yang anda punyai ! karena jikalau mereka melihatnya sedikit, niscaya hinalah anda pada pandangan mereka. Dan jikalau banyak niscaya tidaklah sekali-kali anda akan sampai kepada kerelaan mereka. Takutkanlah mereka, dengan tidak gertakan ! dan berlemah-lembutlah kepada mereka, dengan tidak kelemahan ! dan janganlah bersenda-gurau dengan babu dan pelayan anda ! maka jatuhlah kehormatan diri anda. Apabila anda bertengkar, maka jagalah kehormatan diri dan peliharalah dari kebodohan anda ! jauhkanlah tergopoh-gopoh ! pikirkanlah tentang alasan anda ! janganlah anda memperbanyak menunjuk dengan kedua tangan anda ! janganlah anda memperbanyak menolah kepada orang yang di belakang anda ! dan janganlah menjongkok diatas kedua lutut anda ! dan apabila telah tenang dari kemarahan anda, maka berbicaralah ! jikalau anda didekati sultan, maka adalah anda padanya seumpama tajamnya anak panah ! jikalau ia melepaskan kelapangan hatinya kepada anda, maka jangan anda merasa aman daripada terbaliknya terhadap anda ! dan berkasih-sayanglah dengan sultan itu, sebagaimana kasih-sayangnya anda dengan anak kecil ! dan berbicaralah dengan dia, menurut yang disukainya, selama itu tidak ma’siat ! dan janganlah dibawa anda oleh kelemah-lembutannya dengan anda, bahwa anda masuk diantara dia dan isterinya, anaknya dan pengiringnya, walaupun karena yang demikian itu anda berhak padanya ! karena kejatuhan orang yang masuk diantara raja dan isterinya adalah kejatuhan yang tidak akan dapat lagi mengangkatkan kepala dan terperosok yang tidak akan terkatakan lagi. Awaslah dengan teman sehat wal-afiat ! karena dia itu musuh yang terbesar ! dan janganlah anda jadikan harta anda lebih mulia dari kehormatan anda !. Apabila anda masuk ke suatu majelis, maka adab kesopanannya, ialah memulai dengan memberi salam. Meninggalkan melangkahi orang-orang yang telah lebih dahulu. Dan duduk dimana saja yang lapang dan kira-kira yang lebih mendekatkan kepada merendahkan diri. Dan bahwa memberi hormat dengan salam, orang yang berdekatan dengan anda ketika duduk. Dan janganlah anda duduk di atas jalan ! jikalau anda duduk saja, maka adab kesopanannya ialah memicingkan mata, menolong orang teraniaya, membantu orang kehilangan, menolong orang lemah, menunjukkan jalan orang yang tak tahu jalan, menjawab salam, memberikan orang yang meminta, menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari munkar dan mencari tempat meludah. Dan janganlah meludah ke arah qiblat dan di sebelah kanan anda ! tetapi di sebelah kiri anda dan di bawah tapak kaki anda yang kiri. Janganlah duduk-duduk dengan raja-raja ! jikalau anda lakukan juga, maka adabnya, ialah meninggalkan cacian, menjauhkan kedustaan, menjaga rahasia, mengurangkan keperluan, menghaluskan kata-kata dan melahirkan maksud dengan jelas pada percakapan, mengadakan pembahasan (diskusi) tentang budi pekerti (akhlaq) raja-raja, mengurangkan kata-kata senda-gurau dan membanyakkan penjagaan diri daripada mereka, walaupun telah menampak bagimu kesayangannya. Janganlah anda bersendawa dihadapan mereka dan janganlah mencungkil gigi sesudah makan padanya ! Dan haruslah raja itu menanggung tiap sesuatu, kecuali bocornya rahasia, celaan pada kerajaan dan menjalarnya perbuatan haram. Janganlah anda duduk-duduk dengan orang awam ! jikalau engkau berbuat juga, maka adabnya, ialah meninggalkan turut campur dalam pembicaraan mereka. Mengurangkan perhatian kepada berita-berita yang bersimpang-siur, yang tidak benar dari mereka. Dan pura-pura tidak memperhatikan apa yang berlaku tentang buruknya kata-kata mereka. Dan mengurangkan bertemu dengan mereka, walaupun ada keperluan kepada mereka. Awaslah bersenda-gurau dengan orang yang berakal atau tidak berakal ! karena orang yang berakal itu, akan menaruh kedengkian kepada engkau. Dan orang yang bodoh itu akan menaruh keberanian atas engkau. Karena bersenda-gurau itu mengoyakkan kehebatan diri, menjatuhkan air muka, mengakibatkan kedengkian, menghilangkan kemanisan kasih-sayang, mencacatkan kepahaman ahli paham, memberanikan orang yang lemah pikiran, menjatuhkan kedudukan pada ahli hikmat dan dicaci oleh orang-orang yang taqwa. Bersenda-gurau itu mematikan hati, menjauhkan dari Tuhan Yang Maha Tinggi, membuat kelalaian dan mewariskan kehinaan. Dan dengan bersenda-gurau itu, gelaplah mata hati dan matilah segala gurisan jiwa. Dan dengan bersenda-gurau itu, banyaklah kekurangan dan nyatalah dosa-dosa. Dan sesungguhnya ada orang yang mengatakan: “Tidak adalah bersenda-gurau itu, kecuali dari kelemahan pikiran atau kebatilan”. Dan barangsiapa dicoba orang pada sesuatu majelis dengan senda-gurau, atau hiruk-pikuk, maka hendaklah ia mengingati Allah (berdzikir) ketika ia bangun dari majelis itu !. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa duduk pada sesuatu majelis lalu banyaklah padanya hiruk-pikuk, maka ia membaca sebelum ia berdiri dari majelisnya itu “Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (Maha Suci Engkau wahai Allah Tuhanku ! dengan pujian kepadaMu aku mengaku, bahwa tiada yang disembah selain Engkau, aku meminta ampun pada Engkau dan aku bertaubat kepada engkau)”, melainkan diampunkan baginya apa yang ada dari dosa pada majelisnya itu”.
BAB KETIGA: tentang hak muslim, keluarga, tetangga, milik perbudakan dan cara bergaul dengan orang-orang yang menjadi dekat dengan sebab-sebab yang tersebut.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia, adakalanya sendirian atau bersama orang lain. Apabila sukarlah kehidupan manusia, kecuali dengan bercampur-baur dengan orang-orang yang sebangsa dengan dia, niscaya tak boleh tidak manusia itu mempelajari adab bercampur-baur. Dan tiap-tiap orang yang bercampur-baur itu, maka pada percampur-baurannya, ada adab kesopanan. Dan adab kesopanan itu menurut kadar haknya. Dan haknya itu menurut kadar ikatan, dimana dengan ikatan itu terjadilah percampur-bauran. Ikatan itu, adakalanya kefamilian. Dan itulah yang paling khusus. Atau persaudaraan Islam dan itulah yang paling umum. Dan terkandung dalam pengertian persaudaraan itu, berteman dan bersahabat. Adakalanya ikatan itu ketetanggaan. Dan adakalanya persahabatan dalam perjalanan, di tempat belajar dan pelajaran. Dan adakalanya, karena berteman atau bersaudara. Masing-masing ikatan itu, mempunyai tingkat-tingkat. Kefamilian itu mempunyai hak. Tetapi hak kekeluargaan, yang haram dikawini (mahram) itu, lebih kuat. Dan mahram itu sendiri mempunyai hak. Tetapi hak ibu-bapa, adalah lebih kuat. Begitupula hak tetangga. Tetapi hak itu berlainan, menurut dekat dan jauhnya rumah. Dan jelaslah berlebih-kurang ketika diperbandingkan. Sehingga seorang penduduk di negeri asing, berlaku sebagai famili yang dekat di tanah air. Karena mempunyai ketentuan dengan hak ketetanggaan di negeri itu. Begitupula hak seorang muslim itu, menjadi kuat dengan kuatnya perkenalan. Dan perkenalan itu mempunyai tingkat-tingkat. Maka tidaklah hak orang yang dikenal dengan melihat dengan mata sendiri, seperti hak orang yang dikenal dengan mendengar. Tetapi adalah lebih kuat daripada yang didengar itu. Dan perkenalan setelah terjadinya perkenalan itu, menjadi lebih kuat dengan bercampur-baur. Begitupula persahabatan, berlebih-kurang tingkat-tingkatnya. Maka hak persahabatan pada pelajaran dan di sekolah itu, lebih kuat dari hak persahabatan di perjalanan. Dan begitupula, berteman itu berlebih-kurang. Sesungguhnya apabila telah kuat, niscaya jadilah persaudaraan (ukhuwwah). Apabila persaudaraan itu bertambah, maka jadilah kasih-sayang (mahabbah). Jikalau kasih-sayang itu bertambah, niscaya jadilah cinta kasih (khillah). Dan teman yang dicinta-kasihi (khaliil) itu, lebih dekat dari teman yang dikasih-sayangi (habiib). Maka kasih-sayang, ialah apa yang menetap dari biji hati. Dan cinta-kasih, ialah apa yang menyelang-nyelangi rahasia hati. Maka tiap-tiap teman yang penuh dengan cinta-kasih (khaliil), adalah teman yang dikasih-sayangi (habiib). Dan tidaklah tiap-tiap teman yang dikasih-sayangi (habiib) itu, teman yang dicinta-kasihi (khaliil). Berlebih-kurangnya serajat persahabatan itu, tidaklah tersembunyi, menurut hukum penyaksian dengan mata dan percobaan. Adapun adanya persahabatan yang dengan cinta-kasih itu, melebihi persaudaraan, maka artinya: bahwa kata-kata cinta-kasih adalah ibarat dari suatu keadaan, yang lebih sempurna daripada persaudaraan. Dan anda dapat mengetahuinya dari sabda Nabi saw: “Jikalau aku mengambil teman yang penuh dengan cinta-kasih (khaliil); niscaya aku ambil Abu Bakar menjadi teman yang penuh dengan cinta-kasih. Tetapi temanmu itu yang penuh dengan cinta-kasih bagi Allah (khaliilullaah)”. Karena teman yang penuh cinta-kasih itu (khaliil), ialah orang yang menyelang-nyelangi kecintaan semua bahagian hatinya, zhahir dan pada batin. Dan meratainya. Dan tidaklah yang meratai hati Nabi saw, selain dari kecintaannya kepada Allah. Dan sesungguhnya cinta-kasih (khillah) itu, telah mencegah Nabi saw daripada mempersekutukannya dengan yang lain. Di samping itu, beliau mengambil Ali ra sebagai saudara, lalu Nabi saw bersabda: “Ali padaku adalah seperti kedudukan Harun pada Musa, kecuali tentang kenabian”. Maka Nabi saw menyimpang dengan Ali dari kenabian (an-nubuwwah), sebagaimana beliiau menyimpang dengan Abu Bakar dari cinta-kasih yang sedalam-dalamnya (khillah). Maka Abu Bakar bersekutu dengan Ali ra dalam persaudaraan. Dan Abu Bakar melebihi dari Ali dengan mendekatnya kecinta-kasihan dan kekeluargaannya bagi kecinta-kasihan itu, jikalau sekiranya ada jalan untuk mempersekutukan pada kecinta-kasihan itu. Karena Nabi saw memberitahukan pada yang demikian, dengan sabdanya: “Niscaya aku ambil Abu Bakar menjadi teman yang penuh dengan cinta-kasih”. Nabi saw adalah amat dikasihi (habiibullaah) dan dicintai Allah (khaliilullaah). Diriwayatkan bahwa Nabi saw pada suatu hari naik ke mimbar dengan wajah yang berseri-seri gembira, seraya bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengambil aku menjadi orang yang dicinta-kasihiNya, sebagaimana Ia mengambil Ibrahim menjadi orang yang dicinta-kasihiNya. Maka aku adalah orang yang dikasih-sayangi Allah dan aku adalah orang yang dicinta-kasihi Allah Ta’ala”. Jadi, tidaklah ada ikatan sebelum berkenalan. Dan tidaklah sesudah cinta-kasih itu tingkat yang lebih tinggi lagi. Dan tingkat-tingkat selain dari tingkat yang dua itu (berkenalan dan cinta-kasih), adalah tingkat-tingkat yang berada diantara keduanya. Dan telah kami sebutkan dahulu hak persahabatan dan persaudaraan. Dan masuklah dalam keduanya, yang di belakang keduanya, yaitu: kasih-sayang dan cinta-kasih. Sesungguhnya berlebih-kurang tingkat tentang hak-hak itu, sebagaimana telah disebutkan dahulu, menurut berlebih-kurangnya kasih-sayang dan persaudaraan. Sehingga berkesudahanlah tingkat yang penghabisan, kepada mewajibkan penyerahan jiwa dan harta, sebagaimana yang diserahkan Abu Bakar ra kepada Nabi kita saw. Dan sebagaimana yang diserahkan Thalhah dengan menyerahkan badannya. Karena ia menjadikan dirinya penjagaan bagi pribadi Nabi yang mulia saw. Maka sekarang kami bermaksud menyebutkan hak persaudaraan Islam, hak kekeluargaan, hak ibu-bapak, hak tetangga dan hak pemilikan ya’ni: pemilikan budak. Karena pemilikan dengan perkawinan, telah kami sebutkan hak-hak pada “Kitab Adab Perkawinan”.
HAK-HAK MUSLIM.
Yaitu: anda memberi salam kepadanya, apabila berjumpa. Anda perkenankan undangannya, apabila ia mengundang anda. Anda membacakan tasymit (membaca Yarhamukallaah, artinya: diberikan rahmat kiranya kepadamu oleh Allah. dan orang yang bersin itu membaca: Alhamdulillaah, artinya: segala pujian bagi Allah) apabila ia bersin. Anda mengunjunginya apabila ia sakit. Anda saksikan jenazahnya, apabila ia meninggal dunia. Anda berbuat kebajikan terhadap sumpahnya, apabila ia bersumpah terhadap anda. Anda menasehatinya, apabila ia meminta nasehat anda. Anda memeliharakannya di belakang kepergiannya, apabila ia telah pergi jauh dari anda. Anda menyukai baginya, apa yang anda sukai bagi diri anda sendiri. Dan anda benci baginya, apa yang anda benci bagi diri anda sendiri. Semuanya itu telah tersebut pada hadits dan atsar. Anas ra telah meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Nabi saw bersabda: “4 macam hak muslim diatas diri engkau: engkau menolong yang berbuat baik dari mereka, engkau meminta ampun yang berdosa dari mereka, engkau mengundang yang membelakangi engkau dari mereka dan engkau mengasihi yang taubat dari mereka. Ibnu Abbas ra mengatakan tentang maksud firman Allah Ta’ala: “Bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29, ialah: berdoa orang shalih kepada orang fasiq dari mereka. Dan orang yang fasiq kepada orang yang shalih dari mereka. Apabila orang yang fasiq memandang kepada orang yang shalih dari umat Muhammad saw niscaya ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepadanya barakah, mengenai apa yang telah Engkau bagikan kepadanya dari kebajikan ! dan tetapkanlah dia diatas kebajikan ! dan anugerahilah kepada kami kemanfaatan dengan kebajikan itu !”. Apabila orang yang shalih memandang kepada orang yang fasiq, niscaya ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepadanya petunjuk, terimalah taubatnya dan ampunilah kesalahannya !”. Setengah daripada hak muslim, ialah bahwa: ia mencintai orang mu’min, apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri. Dan tidak menyukai bagi orang mu’min, apa yang tidak disukainya bagi dirinya sendiri. An-Nu’man bin Basyir berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Diumpamakan orang mu’min itu dalam berkasih-kasihan dan bersayang-sayangan, seumpama tubuh, apabila menderita sakit atau anggota daripadanya, niscaya membawa kepada sakit lainnya dengan demam dan tidak mau tidur semalam-malaman”. Abu Musa meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Orang mu’min bagi orang mu’min, adalah seperti bangunan suatu gedung, yang sebahagiannya menguatkan sebahagian yang lain”. Dan setengah dari hak muslim, ialah: bahwa tidak menyakitkan seorangpun dari kaum muslimin, baik dengan perbuatan atau dengan perkataan. Nabi saw bersabda: “Orang muslim ialah orang yang selamat kaum muslimin yang lain dari lidahnya dan tangannya”. Dan Nabi saw bersabda pada suatu hadits yang panjang, dimana beliau menyuruh perbuatan-perbuatan yang utama (al-fadlaa-il): “Jikalau engkau tidak sanggup dengan perbuatan-perbuatan yang utama, maka tinggalkanlah manusia itu daripada kejahatan. Karena itu adalah sedekah, yang engkau sedekahkan diatas dirimu sendiri”. Dan beliau bersabda pula: “Kaum muslimin yang paling utama, ialah orang yang selamat kaum muslimin yang lain, dari lidahnya dan tangannya”. Dan Nabi saw bersabda: “Adakah kamu ketahui, siapakah muslim itu ?”. Lalu para sahabat menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Lalu Nabi saw bersabda: “Orang muslim, ialah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lidahnya dan tangannya”. Maka mereka bertanya: “Siapakah orang mu’min itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu, orang dimana orang-orang mu’min merasa aman daripadanya, terhadap diri dan harta mereka”. Lalu mereka bertanya lagi: “Siapakah orang yang berhijrah itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu, orang yang berhijrah (meninggalkan) yang jahat dan menjauhkan diri daripadanya”. Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah Islam itu ?”. Nabi saw menjawab: “Bahwa selamatlah hatimu bagi Allah dan selamatlah kaum muslimin dari lidahmu dan tanganmu !”. Mujahid berkata: “Amat bersangatanlah kudis kepada ahli neraka. Lalu mereka menggaruk-garuk kulitnya, sehingga tampaklah tulang mereka dari kulitnya. Maka ada yang memanggil: ‘Wahai Anu ! adakah menyakitkan kamu oleh kudis yang gatal itu ?”. Orang itu menjawab: “Ada !”. Lalu yang memanggil itu berkata: “Inilah, disebabkan kamu menyakitkan orang-orang mu’min !”. Nabi saw berkata: “Sesungguhnya aku melihat seorang laki-laki membalik-balikkan dirinya dalam sorga pada sebatang kayu, yang dipotongnya diatas jalan, dimana batang kayu itu adalah menyakitkan kaum muslimin”. Abu Hurairah ra berkata: “Wahai Rasulullah ! ajarilah aku sesuatu yang dapat aku mengambil manfaat daripadanya !”. Nabi saw menjawab: “Jauhkanlah yang menyakitkan dari jalan kaum muslimin !”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjauhkan dari jalan kaum muslimin, sesuatu yang menyakitkan mereka, niscaya dituliskan oleh Allah baginya dengan perbuatan itu suatu kebajikan. Dan barangsiapa dituliskan oleh Allah baginya kebajikan, niscaya diwajibkan Allah baginya sorga”. Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi orang Islam mengisyaratkan kepada saudaranya dengan pandangan yang menyakitkan”. Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi muslim, menakutkan (merisaukan) sesama muslim”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah benci yang menyakitkan orang mu’min”. Ar-Rabi’ bin Khaitsam berkata: “Manusia itu ada dua: orang mu’min, maka janganlah engkau menyakitinya. Dan orang bodoh, maka janganlah engkau memperbodohkannya !”. Dan setengah dari hak muslim, ialah bahwa ia merendahkan diri kepada tiap-tiap muslim dan tidak menyombongkan diri kepadanya. Sesungguhnya Allah tiada menyukai tiap-tiap orang muslim yang menyombong dan membesarkan diri. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadaku: bahwa merendahkan dirilah kamu, sehingga tiada menyombong seseorang terhadap seseorang”. Kemudian jika menyombonglah kepadanya orang lain, maka hendaklah ia menanggungnya. Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya: “Hendaklah engkau pemaaf dan menyuruh mengerjakan yang baik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak berpengatahuan itu”. S 7 Al A’raaf ayat 199. Dari Ibnu Abi-Aufa: “Adalah Rasulullah saw merendahkan diri kepada tiap-tiap muslim, tidak berkeras arang dan tidak menyombong bahwa berjalan kaki bersama perempuan janda dan orang miskin, lalu beliau menunaikan keperluannya”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa tidak mendengar apa yang disampaikan orang, oleh sebahagian orang kepada sebahagian yang lain. Dan tidak disampaikan oleh sebahagian mereka, apa yang didengarnya dari sebahagian yang lain. Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk sorga orang yang bertingkah laku seperti lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (membawa berita dari orang ke orang)”. Al-Khalil bin Ahmad berkata: “Barangsiapa berbuat namimah (menyampaikan berita tentang orang lain) kepada engkau, niscaya ia akan berbuat namimah terhadap engkau. Dan barangsiapa menyampaikan kepada engkau tentang hal orang lain, niscaya ia akan menyampaikan kepada orang lain tentang hal engkau”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa tidak melebihkan tidak tegur-menegur terhadap orang yang dikenalnya, diatas 3 hari, manakala ia telah marah kepada orang itu. Abu Ayyub Al-Anshari berkata: Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi orang muslim tidak menegur saudaranya diatas 3 hari, dimana keduanya itu bertemu, lalu yang ini berpaling muka dan yang itu berpaling muka. Dan yang terbaik dari keduanya, ialah yang memulai salam”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memaafkan orang Islam dari kesalahannya, niscaya ia dimaafkan oleh Allah pada hari qiamat”. Berkata ‘Akramah: “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Yusuf bin Ya’qub: “Dengan kemaafan engkau kepada saudara-saudara engkau, niscaya aku tinggikan sebutan engkau pada dua negeri (negeri dunia dan negeri akhirat)”. ‘Aisyah berkata: “Tiadalah sekali-kali Rasulullah saw berdendam hati untuk kepentingan dirinya sendiri, kecuali karena melanggar kehormatan Allah. Maka beliau menaruh dendam karena Allah”. Ibnu Abbas ra berkata: “Tiada dimaafkan oleh seseorang dari sesuatu kezaliman, melainkan ditambahkan kemuliaan oleh Allah baginya”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah harta itu berkurang dengan bersedekah. Dan tidaklah ditambahkan oleh Allah akan seseorang dengan memaafkan, melainkan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang yang merendahkan dirinya karena Allah, melainkan ia ditinggalkan oleh Allah”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa berbuat baik kepada tiap-tiap orang yang sanggup ia berbuat baik kepadanya, sekedar kesanggupannya. Ia tidak membeda-bedakan antara keluarga dan bukan keluarga. Ali bin Husain meriwayatkan dari bapaknya, dari neneknya ra, dimana neneknya itu berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Berbuatlah yang baik kepada keluarganya dan yang bukan keluarganya ! jikalau engkau memperoleh keluarganya, maka itulah keluarganya. Dan jikalau engkau tidak memperoleh keluarganya, maka engkaulah keluarganya”. Dan dari neneknya (Ali ra), dengan isnadnya, mengatakan: Rasulullah saw bersabda: “Kepala akal, sesudah agama, ialah berkasih-kasihan kepada manusia dan berbuat baik kepada tiap-tiap orang baik dan orang jahat”. Abu Hurairah berkata: “Tiada seseorang yang berpegang tangan dengan Rasulullah saw, lalu beliau menarik tangannya. Sehingga adalah orang itu yang melepaskan tangannya lebih dahulu. Dan tidaklah kelihatan lututnya yang keluar dari lutut orang yang duduk bersama dengan beliau. Dan tidak adalah seseorang yang berbicara dengan beliau, melainkan beliau menghadap kepadanya dengan wajahnya. Kemudian beliau tidak berpaling dari orang itu, sehingga selesailah orang itu berbicara”. Setengah dari hak muslim, ialah bahwa tidak masuk ke tempat seseorang daripada mereka, kecuali dengan seizinnya. Bahkan meminta izin itu sampai 3 kali. Jikalau tidak diizinkan, niscaya pergilah ia. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Meminta izin itu 3 kali. Pertama: diperhatikan oleh yang punya rumah akan orang yang meminta keizinannya. Kedua: yang punya rumah menyediakan tempat duduk yang layak dsb. Dan ketiga: yang punya rumah itu mengizinkan masuk atau menolaknya”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa bertingkah laku terhadap semua orang dengan tingkah laku yang baik (akhlaq yang baik) dan bergaul dengan mereka menurut jalannya. Sesungguhnya jikalau bermaksud mempertemukan orang bodoh dengan ilmu, orang buta huruf dengan pemahaman dan orang bisu dengan keterangan, niscaya menyakitkan dan merasa sakit. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa menghormati orang tua-tua dan menyayangi anak-anak kecil. Jabir ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah termasuk golongan kami, orang yang tidak memuliakan orang tua dari kami dan tidak menyayangi orang kecil dari kami”. Nabi saw bersabda: “Setengah daripada meng-agungkan Allah, ialah memuliakan orang tua muslim”. Setengah dari kesempurnaan memuliakan orang-orang tua, ialah tidak berkata-kata dihadapan mereka, melainkan dengan seizinnya. Jabir berkata: “Telah datang utusan suku Juhainah kepada Nabi saw. Lalu bangunlah seorang pemuda mereka berbicara. Maka Nabi saw bertanya: ‘Hai, manakah orang tua ?”. Pada suatu hadits tersebut: “Tiadalah seorang pemuda memuliakan akan seorang tua, melainkan ditaqdirkan Allah umurnya seperti orang tua yang dimuliakannya”. Dan ini adalah berita gembira dengan lamanya hidup. Maka hendaklah diperhatikan ! maka tidaklah memperoleh taufiq untuk memuliakan orang-orang tua, kecuali orang yang ditaqdirkan Allah dengan panjang umur. Nabi saw bersabda: “Tidaklah qiamat itu datang, sehingga adalah anak itu kasar, hujan itu kemarau, orang hina melimpah-ruah, orang mulia amat berkurang, anak kecil berani terhadap orang besar dan orang hina terhadap orang mulia”. “Berlemah-lembut dengan anak-anak kecil adalah termasuk adat kebiasaan Rasulullah saw”. Adalah Nabi saw datang dari perjalanan jauh. Lalu beliau dijumpai oleh anak-anak. Maka beliau berdiri dihadapan mereka. Kemudian menyuruh anak-anak itu. Lalu mereka mengangkatkan dirinya kepada Nabi. Nabi saw mengangkatkan diantara mereka itu kehadapannya dan ke belakangnya. Dan menyuruh sahabat-sahabatnya menggendong sebahagian dari anak-anak itu. Kadang-kadang anak-anak itu kemudian membanggakan diri. Sebahagian mereka berkata kepada yang lain: “Aku dibawa Rasulullah saw ke hadapannya. Dan engkau dibawanya ke belakangnya”. Dan sebahagian anak-anak itu berkata: “Nabi saw menyuruh sahabat-sahabatnya membawa engkau ke belakang mereka”. “Dibawa kepada Nabi saw seorang anak kecil, supaya beliau berdoa kepadanya dengan barakah dan memberi namanya. Maka Nabi saw mengambil anak kecil itu, lalu meletakkannya pada pangkuannya”. Mungkin anak itu kencing. Maka berteriaklah setengah dari orang-orang yang melihatnya. Lalu Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu putuskan kencing anak kecil itu !”. Nabi saw membiarkan anak kecil itu, sampai habis kencingnya. Kemudian, Nabi saw menyelesaikan doanya kepada anak kecil itu dan menamakannya. Serta menyampaikan kegembiraan keluarganya kepada anak kecil tersebut. Supaya mereka itu tidak melihat, bahwa Nabi saw merasa tidak senang dengan air kencing anak itu. Maka ketika mereka itu telah pergi, barulah Nabi saw membasuh kainnya”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa ia berada dalam keadaan gembira, bermuka jernih, bersemangat persahabatan dengan segala lapisan manusia. Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu, siapakah yang diharamkan neraka kepadanya ?”. Para sahabat itu menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Maka Nabi saw menjawab: “Neraka itu diharamkan kepada orang yang lemah-lembut, mudah dalam pergaulan, menyenangkan dan bersemangat kekeluargaan”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang mudah dalam pergaulan, yang bermuka manis”. Setengah para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah ! tunjukilah aku kepada amalan yang memasukkan aku kedalam sorga !”. Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya, setengah daripada yang mewajibkan pengampunan dosa, ialah memberi salam dan bagus pembicaraan”. Abdullah bin Umar berkata: “Sesungguhnya kebajikan itu suatu perkara yang mudah: muka yang jernih dan perkataan yang lemah-lembut”. Nabi saw bersabda: “Peliharalah dirimu daripada api neraka, walaupun dengan sebelah biji tamar ! barangsiapa tiada memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dalam sorga banyak kamar, yang kelihatan luarnya dari dalamnya dan dalamnya dari luarnya”. Lalu seorang Arab dusun bertanya: “Untuk siapakah kamar-kamar itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Untuk orang yang membaguskan perkataan, memberikan makanan kepada fakir miskin dan mengerjakan shalat pada malam hari, sedang orang-orang lain tidur”. Mu’adz bin Jabal berkata: “Rasulullah saw bersabda kepadaku: ‘Aku wasiatkan kepadamu bertaqwa kepada Allah, benar pembicaraan, menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan khianat, menjaga tetangga, mengasihani anak yatim, lemah-lembut perkataan, memberi salam dan merendahkan sayap (merendahkan diri, tidak sombong)”. Anas ra berkata: “Datang seorang wanita kepada Nabi saw seraya berkata: ‘Aku mempunyai hajat padamu”. Dan bersama Nabi saw banyak orang dari para sahabatnya. Lalu Nabi saw menjawab: “Duduklah pada sudut manapun dari jalan itu, yang engkau kehendaki. Aku akan duduk untuk keperluanmu itu”. Wanita itupun lalu berbuat seperti yang disuruh Nabi saw, Nabi saw pun duduk mengurus keperluan wanita itu, sehingga selesailah keperluannya”. Wahab bin Munabbih berkata: “Bahwa seorang laki-laki dari Bani Israil, telah berpuasa selama 70 tahun. Ia berbuka pada tiap-tiap 7 hari. Maka orang itu bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Allah Ta’ala memperlihatkan kepadanya, bagaimana setan itu menipu manusia. Tatkala telah lama yang demikian, tetapi belum juga diperkenankan oleh Allah doanya, lalu ia berkata: “Jikalau aku melihat kepada kesalahanku dan dosaku, antara aku dan Tuhanku, maka sesungguhnya adalah yang demikian lebih baik bagiku daripada yang aku minta itu”. Maka Allah Ta’ala mengutuskan kepadanya malaikat. Lalu malaikat itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus aku kepadamu dan Dia berfirman kepadamu: “Sesungguhnya perkataanmu yang kamu ucapkan itu, adalah lebih Aku sukai daripada apa yang telah lalu daripada ibadahmu. Dan sesungguhnya Allah telah membuka matamu, maka lihatlah !”. Lalu orang itu melihat. Maka tiba-tiba tentara iblis telah mengelilingi bumi. Sehingga tiada seorangpun manusia, melainkan setan-setan berada dikelilingnya, seperti serigala. Lalu orang itu berdoa: “Wahai Tuhan ! siapakah yang dapat terlepas dari ini ?”. Allah berfirman: “Orang wara’ yang lemah-lembut”. Setengah daripada hak muslim, ialah: bahwa ia tiada berjanji dengan seorang muslim dengan sesuatu perjanjian, melainkan ia akan menepati janji itu. Nabi saw bersabda: “Janji itu suatu pemberian”. Nabi saw bersabda: “Janji itu hutang”. Nabi saw bersabda: “3 perkara itu pada orang munafiq: apabila berbicara, ia dusta. Apabila berjanji, ia menyalahi janji. Dan apabila diserahkan amanah, ia berkhianat”. Dan Nabi saw bersabda: “3 perkara, barangsiapa ada padanya 3 perkara itu, maka dia itu orang munafiq, meskipun dia mengerjakan puasa dan shalat”. Lalu Nabi saw menyebutkan yang 3 perkara diatas tadi”. Setengah daripada hak muslim, ialah bahwa ia memberi keinsyafan kepada manusia dari dirinya. Ia tidak mendatangi mereka, kecuali dengan yang disukainya untuk didatangi orang kepadanya. Nabi saw bersabda: “Tiada sempurna keimanan seorang hamba itu, sehingga ada padanya 3 perkara: berbelanja daripada kepicikan rezekinya, insyaf dari keadaan dirinya dan memberi salam”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa suka supaya dijauhkan dari neraka dan masuk sorga, maka hendaklah ia didatangi kematian, dimana ia mengaku, bahwa tiada yang disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Dan hendaklah ia mendatangkan kepada manusia, apa yang disukainya untuk didatangkan kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Hai Abud-Darda’ ! baguskanlah bertetangga dengan orang yang bertetangga dengan kamu, niscaya kamu adalah orang mu’min ! dan cintailah bagi manusia, akan apa yang kamu cintai bagi dirimu sendiri, niscaya adalah kamu orang muslim”. Al-Hasan berkata: “Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Adam as dengan 4 perkara. Dan Allah Ta’ala berfirman pada yang 4 perkara itu: mengumpulkan pekerjaan bagimu dan bagi anakmu. Satu bagiKu, satu bagimu, satu antaraKu dan kamu dan satu antaramu dan manusia yang lain. Adapun yang bagiKu, ialah: engkau menyembah akan Aku dan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu. Adapun yang bagimu, maka amalanmu yang akan Aku beri balasannya, adalah yang lebih kamu berhajat kepadanya. Adapun yang diantara Aku dan kamu, maka haruslah kamu mendoa dan Aku akan memperkenankannya. Dan adapun yang diantara kamu dan manusia yang lain, maka kamu berteman dengan mereka, dengan cara yang kamu sukai mereka menemani kamu”. Nabi Musa as bermohon kepada Allah Ta’ala, dengan menanyakan: “Wahai Tuhanku ! manakah kiranya hambaMu yang lebih adil ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang insyaf dari hal dirinya”. Setengah daripada hak muslim, ialah: bahwa ia menambahkan memuliakan orang, yang sikap dan pakaiannya, menunjukkan kepada tinggi kedudukannya. Maka, ia menempatkan orang menurut kedudukannya. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah berada dalam suatu perjalanan. Lalu ia turun pada suatu tempat dan meletakkan makanannya. Maka datanglah seorang peminta-minta. Lalu ‘Aisyah berkata: “Berikanlah kepada orang miskin ini sepotong roti !”. Kemudian datang seorang laki-laki dengan berkendaraan, lalu ‘Aisyah berkata: “Undanglah orang itu makan !”. Maka orang menanyakan kepada ‘Aisyah: “Engkau berikan kepada orang miskin dan engkau undang orang kaya ini”. ‘Aisyah menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menempatkan manusia pada tempat-tempat, dimana kita tidak boleh tiidak menempatkan mereka pada tempat-tempat itu. Orang miskin ini rela dengan sepotong roti. Dan kejilah kita apabila memberikan kepada orang kaya ini didalam bentuk yang sedemikian, sepotong roti”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw masuk kesebahagian rumah-rumahnya. Lalu datanglah kepadanya para sahabat, sehingga padatlah tempat itu dan penuh sesak. Maka datang Jarir bin Abdullah Al-Bajli. Ia tidak memperoleh tempat lagi. Lalu ia duduk di pintu. Maka Rasulullah saw melipatkan kain selendangnya (kain penutup badannya). Kemudian melemparkannya kepada Jarir, seraya bersabda: “Duduklah diatas kain itu !”. Lalu Jarir mengambil kain selendang itu dan meletakkannya pada mukanya, memeluknya dan menangis. Kemudian melipatkannya dan menyerahkannya kembali kepada Nabi saw seraya berkata: “Tidaklah aku akan duduk diatas kainmu. Kiranya Allah memuliakan kamu, sebagaimana kamu memuliakan aku”. Lalu Nabi saw memandang ke kanan dan ke kiri. Kemudian bersabda: “Apabila datang kepadamu orang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia”. Begitu juga tiap-tiap orang yang mempunyai hak yang sudah lama padanya, maka hendaklah ia memuliakannya ! diriwayatkan: bahwa ibu susuan Rasulullah saw yang menyusukannya, datang kepadanya. Lalu Rasulullah saw membentangkan kain selendangnya untuk wanita itu. Kemudian bersabda kepadanya: “Selamat datang ibuku !”. Kemudian beliau dudukkan ibu susuannya itu diatas kain selendangnya. Kemudian bersabda kepadanya: “Mintalah syafa’at, niscaya engkau diberikan syafa’at dan mintalah, niscaya engkau diberikan !”. Lalu wanita –ibu susuan Nabi saw-itu bertanya: “Kaumku bagaimana ?”. Nabi saw menjawab: “Adapun hakku dan hak Bani Hasyim adalah untuk engkau !”. Maka bangunlah manusia ramai dari tiap-tiap pojok dan bertanya: “Dan hak kami, wahai Rasulullah ?”.Kemudian, terus Nabi saw mengadakan hubungan silaturrahim dengan wanita itu, dan melayaninya. Dan memberikan kepadanya bahagian Nabi saw sendiri yang diperolehnya pada perang Hunain. Bahagian itu dijual yang berada di tangan Usman bin Affan ra dengan harga 100 ribu dirham. Kadang-kadang datang kepada Nabi saw orang yang datang kepadanya, dimana beliau sedang duduk diatas kasur tempat duduk. Dan tak ada pada tempat duduk itu terluang yang dapat orang itu duduk bersama Nabi saw. Maka Nabi saw mengambil tempat duduk itu dan meletakkannya di bawah orang yang duduk di dekatnya itu. Kalau orang itu menolak, maka Nabi saw terus ber’azam demikian, sampai Nabi saw dapat membuatnya. Setengah dari hak muslim, ialah, bahwa: mengadakan ishlah (perbaikan) diantara hal ikhwal sesama muslim, manakah diperoleh jalan untuk itu. Nabi saw bersabda: “Apabila tidak aku terangkan kepadamu yang lebih utama daripada derajat shalat, puasa dan sedekah ?”. Para sahabat itu menjawab: “Belum !”. Nabi saw lalu menerangkannya: “Yaitu mengadakan ishlah hal-hal yang memisahkan dan kerusakan dari hal-hal yang memisahkan itu, yaitu: perkataan yang jahat”. Nabi saw bersabda: “Sedekah yang paling utama, ialah memperbaiki hal-hal yang memisahkan”. Dan dari Nabi saw mengenai apa yang diriwayatkan Anas ra dimana Anas, menerangkan: “Ketika Rasulullah saw sedang duduk, lalu beliau tertawa, hingga tampaklah gigi depannya. Lalu Umar ra bertanya: “Wahai Rasulullah ! demi sesungguhnya, apakah kiranya yang menertawakan engkau ?”. Rasulullah saw menjawab: “Dua orang dari umatku duduk bertekuk lutut dihadapan Tuhan Rabbul ‘Izzati. Lalu seorang daripadanya berdoa: “Ya Rabbi ! ambillah untukku kedzalimanku dari orang ini !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kembalikanlah kepada saudaramu kedzalimannya !”. Lalu orang itu menjawab: “Ya Rabbi ! tiadalah tinggal untukku sesuatu daripada kebajikanku !”. Maka berfirman Allah Ta’ala kepada orang yang berdoa itu: “Bagaimanakah engkau perbuat dengan saudaramu dan tidak tinggal untuknya sesuatu daripada kebajikannya ?”. Orang itu menjawab: “Ya Rabbi ! hendaklah ia menanggung daripadaku, dari segala dosaku !”. Kemudian berlinanglah kedua mata Rasulullah saw, disebabkan menangis. Lalu bersabda: “Bahwa hari itu adalah hari yang agung, hari dimana manusia memerlukan padanya, ditanggung segala dosanya daripadanya”. Nabi saw menyambung lagi: “Maka Allah Ta’ala berfirman, yaitu: kepada orang yang sabar dari kedzaliman orang lain: “Angkatlah mukamu ! lihatlah dalam sorga !”. Maka orang itu berkata: “Ya Rabbi ! aku melihat kota-kota daripada perak dan istana-istana daripada emas, yang dikelilingi dengan mutiara. Untuk Nabi manakah ini ? atau untuk orang shiddiq yang mana atau untuk orang syahid yang mana ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Ini adalah untuk orang yang memberikan harga !”. Orang itu bertanya: “Ya Rabbi ! siapakah yang memiliki demikian itu ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Engkau yang memilikinya !”. Orang itu bertanya: “Dengan apakah wahai Tuhanku ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Dengan engkau maafkan saudaramu !”. Orang itu berkata: “Ya Rabbi ! aku telah memaafkannya !”. Maka berfirman Allah Ta’ala: “Ambillah tangan saudaramu ! masukkanlah ia ke dalam sorga !”. Kemudian Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah, adakanlah perbaikan hal-hal yang memisahkan antara kamu ! sesungguhnya Allah Ta’ala mengadakan ishlah (perbaikan) diantara orang-orang mu’min pada hari qiamat !”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dikatakan pembohong orang yang berbuat ishlah diantara dua orang. Lalu ia mengatakan yang baik”. Ini menunjukkan kepada wajibnya mengadakan ishlah diantara manusia. Karena meninggalkan bohong adalah wajib. Dan wajib itu tidaklah gugur, kecuali dengan wajib yang lebih kuat daripadanya. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap dusta itu ditulis, selain daripada orang yang berdusta pada peperangan. Sesungguhnya perang itu adalah tipu-daya. Atau ia berdusta diantara dua orang, lalu ia mengadakan ishlah diantara kedua orang itu. Atau ia berdusta bagi isterinya supaya dapat mendatangkan kerelaan isterinya”. Setengah daripada hak muslim ialah: bahwa ditutupkan aurat (hal-hal yang memalukan) orang-orang muslim semuanya. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menutupi sesuatu yang mendatangkan melarat kepada muslim, niscaya ia ditutupi oleh Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat”. Dan Nabi saw bersabda: “Tiadalah seorang hamba menutupi seorang hamba, melainkan ia ditutupi oleh Allah pada hari qiamat”. Abu Sa’id Al-Khudri ra berkata: Nabi saw bersabda: “Tiada melihat orang mu’min sesuatu yang memalukan (aurat) daripada saudaranya, lalu ditutupinya, melainkan ia masuk sorga”. Nabi saw bersabda kepada Ma’iz, tatkala Ma’iz menerangkan sesuatu kepadanya: “Kalau engkau tutupi dia dengan kain engkau, niscaya adalah lebih baik bagi engkau”. Jadi, haruslah muslim menutupi aurat dirinya sendiri. Maka hak keislamannya adalah wajib atas dirinya, seperti hak keislamannya orang lain. Abu Bakar ra berkata: “Jikalau aku dapati orang peminum khamar, niscaya aku sukai, kiranya ia ditutupi oleh Allah. Dan jikalau aku dapati pencuri, sesungguhnya aku sukai, kiranya ia ditutupi oleh Allah”. Diriwayatkan bahwa Umar ra berjalan meronda pada suatu malam di Madinah. Lalu beliau melihat seorang laki-laki dengan seorang wanita berbuat keji (berbuat zina). Tatkala telah pagi hari, maka beliau berkata kepada orang banyak: “Apakah pendapatmu, jikalau imam (khalifah) melihat seorang laki-laki dengan seorang wanita berbuat serong ? Lalu ia menegakkan hukum siksaan kepada kedua orang itu. Apakah kamu tidak akan memperbuatnya ?”. Orang banyak itu menjawab: “Sesungguhnyalah engkau itu imam !”. Lalu Ali ra menjawab: “Tidaklah yang demikian itu hak engkau. Tetapi, hukum siksaan itu akan dijatuhkan ke atas engkau. Karena Allah tidak meletakkan kepercayaan pada urusan ini, kurang daripada 4 orang saksi”. Kemudian Umar ra membiarkan orang banyak itu, masya Allah, membiarkan mereka itu bertukar pikiran. Kemudian, ia menanyakan lagi. Orang banyak itu menjawab seperti penjawabannya yang pertama. Lalu Ali ra berkata seperti perkataannya yang pertama. Ini menunjukkan, bahwa Umar ra bimbang tentang wali negeri (penguasa), adakah baginya melakukan hukum mengenai hukuman yang ditetapkan Allah, dengan pengetahuannya saja ? maka karena itulah, ia bersoal jawab dengan orang banyak itu, dalam bentuk mengumpamakan. Tidak dalam bentuk menerangkan yang terjadi. Karena takut, bahwa ia tidak berhak yang demikian. Lalu ia menjadi penuduh orang berzina, dengan menerangkannya itu. Dan cenderunglah pendapat Ali ra, bahwa Umar tidak berhak yang demikian itu. Ini, adalah dalil yang terkuat atas tuntutan agama untuk menutupi perbuatan-perbuatan yang keji. Dan sesungguhnya perbuatan yang peling keji, ialah: zina. Dan zina itu bergantung dengan 4 orang adil, yang menyaksikan demikian, dari laki-laki pada wanita, seperti: tangkai celak masuk ke dalam botol celak. Dan hal yang begini tidaklah akan bersua sekali-kali. Dan kalau hakim itu mengetahuinya dengan yaqin, niscaya tidaklah baginya membukanya. Maka perhatikanlah akan hikmah menutup rapat pintu perbuatan keji itu, dengan mewajibkan hukuman siksa (rajam), dimana hukuman itu siksaan yang terberat ! Kemudian, perhatikanlah kepada tebalnya tirai yang dibentangkan oleh Allah, ke atas orang-orang yang berbuat ma’siat, daripada makhluqNya, dengan menyempitkan jalan untuk membukakannya. Maka kami mengharap, semoga tidaklah kita mengharamkan kurnia ini, pada hari dicoba rahasia-rahasia yang terpendam itu. Maka tersebutlah pada hadits: “Bahwa Allah apabila menutupi pada hamba akan auratnya di dunia, maka Allah adalah Maha Pemurah daripada membukakannya pada hari akhirat. Dan jikalau Allah membukakannya di dunia, maka Dia adalah Maha Pemurah daripada membukakannya pada kali yang lain”. Dari Abdur Rahman bin ‘Auf ra, dimana ia berkata: “Aku keluar bersama Umar ra pada suatu malam di Madinah. Di waktu kami sedang berjalan, tiba-tiba tampaklah kepada kami sebuah lampu pelita. Lalu kami berjalan menuju kepadanya. Maka tatkala kami telah dekat ke tempat itu, tiba-tiba melihat pintu terkunci, di dalamnya orang banyak dengan bersuara keras dan hiruk-pikuk. Maka Umar ra memegang tanganku dan berkata: “Tahukah kamu rumah siapakah ini ?”. Aku menjawab: “Tidak !”. Maka Umar ra menjawab: “Inilah rumah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalf. Mereka itu sekarang sedang mminum khamar. Apa pendapatmu ?”. Aku menjawab: “Aku berpendapat, bahwa kita telah memperbuat apa yang dilarang Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Maka kembalilah Umar ra dan meninggalkan mereka itu di situ. Ini menunjukkan wajibnya menutupi keburukan orang dan meninggalkan mengikutinya. Nabi saw bersabda kepada Mu’awiyah: “Sesungguhnya jika engkau mengikuti (memperhatikan dengan menyelidiki) akan aurat (hal yang memalukan) manusia, niscaya engkau telah merusakkan mereka atau hampirlah engkau berbuat kerusakan kepada mereka”. Nabi saw bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan iman itu tidak masuk ke dalam hatinya ! janganlah kamu mengumpat orang-orang muslim ! dan janganlah kamu mengikuti aurat (hal-hal yang memalukan) mereka ! sesungguhnya barangsiapa mengikuti aurat saudaranya muslim, niscaya diikuti oleh Allah akan auratnya. Dan barangsiapa diikuti oleh Allah akan auratnya, niscaya Ia membuka kekejiannya, walaupun orang itu, berada di tengah-tengah rumahnya”. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Kalau aku melihat seseorang melakukan perbuatan yang mendapat hukuman Allah Ta’ala, niscaya aku tidak menyiksakannya. Dan tidak aku memanggil seseorang, sehingga ada ia bersama orang selain aku”. Berkata setengah mereka: “Adalah aku sedang duduk bersama Abdullah bin Mas’ud ra. Tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki bersama dengan seorang laki-laki lain. Lalu laki-laki itu berkata: “Dia ini mabuk !”. Maka menjawab Abdullah bin Mas’ud ra: “Ciumlah bau mulutnya !”. Lalu mereka mencium bau mulutnya. Maka diperolehnya dia itu mabuk. Lalu orang itu ditahan, sehingga hilanglah mabuknya. Kemudian, dimintanya cambuk, lalu dipecahkannya tempat ikatan dari cambuk itu. Kemudian, ia berkata kepada tukang cambuk: “Cambuklah ! angkatlah tanganmu ! dan berikanlah tiap-tiap anggota akan haknya !”. Tukang cambuk itu lalu mencambuk pemabuk tadi. Dan pada pemabuk itu ada pakaian lapisan atas atau pakaian bulu yang menjadi kain sarungnya. Tatkala telah selesai, lalu ia menanyakan pada orang yang membawa pemabuk itu: “Apakah hubungan engkau dengan dia ?”. Yang membawa itu menjawab: “Pamannya !”. Maka Abdullah bertanya: “Tidaklah engkau ajarkan dia, lalu engkau baguskan adab sopan-santunnya. Dan tidaklah engkau menutupi kehormatannya. Sesungguhnya seyogyalah bagi imam, apabila sampai kepadanya hukuman, bahwa ditegakkannya hukuman itu. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, yang menyukai kemaafan”. Kemudian ia membaca: “Hendaklah mereka suka memaafkan dan berlapang dada !”. S 24 An Nur ayat 22. Kemudian, Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku akan menyebutkan laki-laki pertama, yang dipotong tangannya oleh Nabi saw, dimana dibawa kepada Nabi saw seorang pencuri, lalu beliau memotong tangannya. Lalu seolah-olah beliau bermuka muram. Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! seolah-olah engkau tidak menyukai memotongnya”. Maka Nabi saw menjawab: “Apakah yang mencegah aku ? janganlah kamu menjadi penolong setan terhadap saudaramu !”. Lalu para sahabat itu bertanya: “Mengapakah tidak engkau maafkan kesalahannya ?”. Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya seyogyalah bagi sultan (penguasa), apabila sampai kepadanya suatu hukuman, bahwa ditegakkannya hukuman itu. Sesungguhnya Allah adalah Maha pemaaf, yang menyukai kemaafan”. Dan beliau membaca ayat: “Hendaklah kamu suka memaafkan dan berlapang dada ! tiadakah kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu ? dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih !”. S 24 An Nur ayat 22. Dan pada suatu riwayat: “Seolah-olah ada abu melekat pada wajah Rasulullah saw, karena sangat berobahnya wajah beliau”. Diriwayatkan bahwa Umar ra meronda malam hari di Madinah. Lalu beliau mendengar suara seorang laki-laki pada suatu rumah bernyanyi-nyanyi. Maka beliau panjat dinding rumah itu. Lalu beliau dapati di samping laki-laki tadi seorang wanita. Dan pada sisi laki-laki tersebut khamar. Maka Umar ra berkata: “Hai musuh Allah ! adakah kamu menyangka, bahwa Allah menutupi akan kesalahan engkau dan engkau berbuat ma’siat kepadaNya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Dan engkau, wahai Amirul-mu’minin, janganlah terburu-buru menuduh ! sesungguhnya aku telah berbuat ma’siat kepada Allah, satu ma’siat. Dan engkau sesungguhnya telah berbuat ma’siat kepada Allah, mengenai aku, 3 ma’siat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Dan engkau telah mencari-cari (tajassus) keburukan aku. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah ada kebaikannya bagimu masuk rumah dari belakangnya”. S 2 Al Baqarah ayat 189. Dan engkau telah memanjat dinding terhadap diriku. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu masak ke dalam rumah yang bukan rumahmu, sebelum minta izin dan memberi salam kepada orang yang di dalamnya”. S 24 An Nur ayat 27. Dan engkau telah masuk ke rumahku, tanpa izin dan salam”. Maka Umar ra bertanya: “Adakah padamu kebaikan, kalau aku maafkan engkau ?”. Orang itu menjawab: “Ada ! demi Allah, wahai Amirul-mu’minin !”. Jikalau engkau maafkan kesalahanku, niscaya tidak akan aku kembali lagi kepada perbuatan yang seperti ini, untuk selama-lamanya. Maka Umar ra memaafkannya dan beliau keluar, meninggalkan orang itu. Seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Umar: “Wahai ayah Abdur Rahman ! bagaimanakah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda tentang pembicaraan rahasia pada hari qiamat ?”. Abdullah bin Umar menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mendekatkan orang mu’min kepadaNya. Lalu meletakkan naunganNya keatas orang itu dan menutupkan kesalahannya dari manusia”. Maka Allah berfirman: “Adakah engkau ketahui dosa yang begitu ? adakah engkau ketahui dosa yang begitu ?”. Orang mu’min itu menjawab: “Ada ! wahai Tuhanku !”. Sehingga apabila orang itu telah menetapkan segala dosanya, lalu melihat pada dirinya, bahwa ia telah binasa. Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai hambaKu ! sesungguhnya Aku tidak menutupkan segala dosamu di dunia, selain Aku bermaksud mengampunkanNya untukmu pada hari ini”. Lalu orang itu diberikan suratan segala amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafiq, maka berkatalah saksi-saksi: “Mereka itu adalah orang-orang yang mendustai Tuhannya. Ketahuilah kiranya, kutukan Allah ke atas orang-orang dzalim”. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang berterang-terangan dengan kesalahannya. Dan termasuk berterang-terangan, ialah: mengerjakan kejahatan secara sembunyi, kemudian menceritakannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mendengar berita tentang suatu golongan dan golongan itu benci kepada berita itu, niscaya dituangkan ke dalam telinganya timah hancur pada hari qiamat”. Setengah dari hak muslim, ialah menjaga diri pada tempat-tempat yang menimbulkan sangkaan-sangkaan yang tidak baik, untuk menjaga hati manusia daripada sangkaan jahat. Dan untuk menjaga lidah mereka, daripada umpatan. Apabila mereka telah berbuat ma’siat kepada Allah dengan menyebutkannya dan dia yang menjadi sebab pada yang demikian, niscaya adalah ia bersekutu. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu nista apa-apa yang mereka sembah, selain dari Allah, supaya mereka jangan pula mencela Allah di luar batas dengan tidak berdasar pengetahuan”. S 6 Al An’aam ayat 108. Nabi saw bersabda: “Bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang menista (mencaci) ibu bapaknya ?”. Lalu para sahabat itu bertanya: “Adakah seseorang manusia menista ibu bapaknya ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Ada ! ia mencaci ibu bapak orang lain, maka orang-orang lain itu, mencaci ibu bapaknya”. Diriwayatkan Anas bin Malik ra: “Bahwa Rasulullah saw bercakap-cakap dengan salah seorang dari isterinya. Maka lalulah di situ seorang laki-laki. Lalu Rasulullah saw memanggil orang itu dan bersabda: “Hai Anu ! ini adalah isteriku Shafiah !”. Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah ! siapakah yang pernah aku menyangka padanya ! sesungguhnyya aku tidak menyangka apa-apa pada engkau”. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada tubuh anak Adam, pada tempat jalan darah”. Dan pada suatu riwayat, Nabi saw menambahkan: “Sesungguhnya aku takut, bahwa setan itu menuduh (qadzaf) sesuatu, dalam hati kamu berdua”. Dan orang itu, adalah dua orang. Maka Nabi saw bersabda: “Bahwa dia ini Shafiah”.....sampai akhir hadits. Dan adalah Shafiah mengunjungi Nabi saw pada 10 hari yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Sayyidina Umar ra berkata: “Barangsiapa menempatkan dirinya pada tempat yang menimbulkan sangkaan tidak baik (tuhmah), maka janganlah ia mencella orang yang menyangka jahat kepadanya”. Sayyidina Umar ra, lalu pada suatu jalan. Tiba-tiba melihat seorang laki-laki bercakap-cakap dengan seorang wanita di tengah jalan. Maka dipukulnya laki-laki itu dengan cemeti. Maka laki-laki itu berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! wanita itu adalah isteriku !”. Lalu sahut Sayyidina Umar ra: “Mengapa tidak engkau bercakap-cakap pada tempat yang tidak dilihat engkau oleh seseorang manusia ?”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa mengusahakan pertolongan, untuk tiap-tiap orang muslim yang memerlukan pada orang yang mempunyai kedudukan. Dan berusaha memenuhi hajat maksud orang itu, menurut kesanggupannya. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku didatangi orang dan dimintainya pada aku. Dan diminta hajat keperluan padaku. Dan engkau berada di sisiku. Maka berilah syafa’at (pertolongan), supaya kamu dibalas dengan pahala ! dan Allah menunaikan pada tangan NabiNya, apa yang disukaiNya”. Mu’awiyah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Berilah syafa’at (pertolongan) kepadaku, niscaya kamu diberi pahala ! sesungguhnya aku menghendaki sesuatu hal dan hal itu aku kemudiankan. Supaya kamu dapat memberi syafa’at kepadaku, lalu kamu dibalaskan dengan pahala”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah sedekah yang lebih utama daripada sedekah lidah”. Lalu orang menanyakan yang demikian kepada Nabi saw: “Bagaimanakah yang demikian itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: syafa’at (pertolongan), dimana dengan syafa’at itu, terpelihara daripada menumpahkan darah. Dan dengan syafa’at itu, terbawalah manfaat kepada orang lain dan tertolaklah dengan syafa’at itu, hal-hal yang tidak disukai dari orang lain”. Diriwayatkan ‘Akramah dari Ibnu Abbas ra: “Bahwa suami Burairah adalah seorang budak, bernama: Mughits. Seakan-akan aku melihat dia di belakang isterinya menangis dan air matanya mengalir berjatuhan atas janggutnya. Lalu Nabi saw bertanya kepada Abbas: “Tidakkah kamu heran betapa hebatnya kecintaan Mughits kepada Burairah dan betapa hebatnya kebencian Burairah kepada Mughits ?”. Maka Nabi saw bersabda kepada Burairah: “Kalaulah engkau kembali bercakap-cakap dengan dia. Maka sesungguhnya dia adalah bapak anak engkau !”. Burairah menjawab: “Wahai Rasulullah ! apakah engkau menyuruh aku ? maka akan aku kerjakan”. Nabi saw menjawab: “Tidak ! aku hanya memberi syafa’at (pertolongan)”. Setengah dari hak muslim, ialah tiap-tiap muslim itu memberi salam sesamanya sebelum berkata-kata. Dan berjabatan tangan ketika memberi salam itu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memulai bercakap-cakap sebelum memberi salam, maka janganlah kamu menjawab percakapannya, sehingga ia memulai dengan memberi salam !”. Berkata setengah mereka: “Aku masuk ke tempat Rasulullah saw dengan tidak memberi salam dan tidak meminta izin. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kembalilah ! lalu katakanlah: “Assalamu’alaikum” dan masuklah !”. Jabir ra meriwayatkan dengan mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu masuk ke rumahmu, maka berilah salam kepada penghuninya ! sesungguhnya apabila seseorang kamu itu memberi salam, maka setan itu tidak akan masuk ke rumahnya”. Anas ra berkata: “Aku melakukan pengkhidmatan (menjadi pelayan) Nabi saw 8 tahun lamanya. Maka beliau bersabda kepadaku: “Hai Anas ! ratakanlah wudlumu, niscaya bertambah umurmu ! berilah salam kepada orang yang engkau jumpai dari umatku, niscaya bertambahlah kebajikanmu ! dan apabila engkau masuk ke tempatmu, maka berilah salam kepada keluargamu, niscaya banyak kebajikan rumah tanggamu !”. Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila bertemulah dua orang mu’min, lalu berjabatan tangan, niscaya dibagikan diantara keduanya 70 ampunan. 69 adalah kepada yang terbaik menyambut daripada keduanya”. Allah Ta’ala berfirman: “Apabila ada orang yang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) dengan cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya) !”. S 4 An Nisaa’ ayat 86. Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan, yang diriku di dalam tangan kekuasaanNya ! kamu tidak akan masuk sorga, sehingga beriman. Dan kamu tidak beriman, sehingga berkasih-kasihan. Apakah tidak aku tunjukkan kamu kepada perbuatan, dimana apabila kamu kerjakan perbuatan itu, niscaya kamu berkasih-kasihan ?”. Para sahabat itu menjawab: “Belum, wahai Rasulullah !”. Nabi saw menjawab: “Kembangkanlah memberi salam diantara kamu !”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Apabila muslim memberi salam kepada muslim, lalu salam itu dibalas, maka berdoalah malaikat kepadanya 70 kali”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya malaikat itu merasa heran, dari muslim yang lalu pada tempat muslim dan tidak memberi salam kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki. Apabila seorang dari orang banyak memberi salam, maka memadailah salam itu dari mereka itu semuanya”. Qatadah berkata: “Penghormatan dari umat sebelum kamu, ialah: sujud. Maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepada umat ini mengucapkan salam. Dan itu adalah penghormatan (tahiyyah) penghuni sorga”. Abu Muslim Al-Khaulani lalu pada suatu kaum, maka beliau tiada memberi salam kepada mereka dan berkata: “Tiadalah yang mencegahku daripada memberi salam itu, kecuali aku takut, bahwa mereka itu tiada akan membalasnya. Maka mereka akan dikutuk oleh malaikat”. Berjabatan tangan juga sunat bersama memberi salam”. Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw seraya mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Maka Nabi saw bersabda: “Itu 10 kebaikan”. Kemudian datang orang lain seraya mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullaah”. Maka Nabi saw bersabda: “Itu 20 kebajikan”. Kemudian datang orang lain lagi, seraya mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, maka Nabi saw bersabda: “Itu 30 kebajikan”. Adalah Anas ra lalu pada tempat anak-anak. Maka ia memberi salam kepada mereka. Dan ia meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau berbuat yang demikian”. Abdul Hamid bin Bahram meriwayatkan: “Bahwa Nabi saw pada suatu hari lalu dalam masjid dan sejumlah orang sedang duduk-duduk. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya memberi salam. Dan Abdul Hamid mengisyaratkan dengan tangannya meniru yang demikian”. Maka Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu memulai memberi salam kepada Yahudi dan Nasrani ! dan apabila kamu bertemu dengan seseorang mereka di jalan, maka desakkanlah dia ke tempat yang tersempit !”. Dari Abu Hurairah ra yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu berjabat tangan dengan kafir zimmi(orang kafir yang bernaung di bawah pemerintahan Islam) ! dan janganlah kamu memulai memberi salam kepada mereka ! apabila kamu bertemu dengan mereka di jalan, maka desakkanlah mereka itu ke jalan yang tersempit !”. ‘Aisyah berkata: “Bahwa sejumlah orang Yahudi masuk ke tempat Rasulullah saw. Lalu Yahudi itu mengucapkan: “Assaam ‘alaik”(yang beracun atas kamu). Lalu Nabi saw menjawab: “Alaikum”(atas kamu juga). ‘Aisyah berkata: “Lalu aku menjawab: “Bal-‘alaikumussaam wal la’nah”(tetapi juga atasmu yang beracun dan kutukan). Maka sahut Nabi saw: “Hai ‘Aisyah ! sesungguhnya Allah menyukai kasih-sayang pada tiap-tiap sesuatu”. ‘Aisyah menjawab: “Tidakkah engkau mendengar apa kata mereka ?”. Rasulullah saw menjawab: “Aku telah mengatakan: “Alaikum (atas kamu juga)”. Nabi saw bersabda: “Yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan kaki. Yang berjalan kaki kepada yang duduk. Yang sedikit kepada yang banyak. Dan yang kecil kepada yang besar”. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu menyerupai Yahudi dan Nasrani ! sesungguhnya salam Yahudi, dengan isyarat dengan anak jari. Dan salam Nasrani, dengan isyarat dengan tapak tangan”. Kata Abu ‘Isa, isnad hadits ini lemah (dla’if). Nabi saw bersabda: “Apabila sampai seorang kamu kepada suatu majelis, hendaklah memberi salam ! kalau bermaksud duduk, maka duduklah ! kemudian apabila bangun, maka hendaklah memberi salam ! tidaklah yang pertama itu lebih utama daripada yang penghabisan !"” Anas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila berjumpa dua orang mu’min, lalu berjabat tangan, niscaya dibagikan diantara keduanya 70 ampunan. 69 adalah bagian yang terbaik menyambut daripada keduanya”. Umar ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila berjumpa dua orang muslim dan masing-masing memberi salam kepada temannya dan berjabat tangan, niscaya diturunkan diantara keduanya 100 rahmat. Bagi yang memulai 90 dan bagi yang berjabat tangan 10”. Al-Hasan berkata: “Berjabat tangan itu menambahkan kasih-sayang”. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Kesempurnaan penghormatan (tahiyyah) kamu diantara kamu, ialah berjabat tangan”. Nabi saw bersabda: “Mengkucup dengan mulut oleh seorang muslim akan saudaranya, itu berjabat tangan”. Dan tiada mengapa mengkucup dengan mulut akan tangan orang yang dimuliakan pada agama, untuk memperoleh barakah (keberkatan) dan penghormatan kepadanya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra yang mengatakan: “Kami telah mengkucup dengan mulut akan tangan Nabi saw”. Dari Ka’ab bin Malik, yang menerangkan: “Tatkala diterima taubatku, lalu aku datang kepada Nabi saw. Aku mengkucup tangannya”. Diriwayatkan bahwa, seorang Arab desa berkata: “Wahai Rasulullah ! izinkanlah kepadaku, untuk mengkucup kepalamu dan tanganmu !”. Arab desa itu menerangkan seterusnya, maka Nabi saw mengizinkan kepadanya, lalu dilaksanakannya”. Abu ‘Ubaidah ra berjumpa dengan Umar bin Al-Khattab ra. Lalu berjabat tangan dengan dia dan mengkucup tangannya dan keduanya menangis terharu. Dari Al-Barra’ bin Azib ra yang menerangkan bahwa: “Ia memberi salam kepada Rasulullah saw dan beliau waktu itu sedang mengambil wudlu. Maka tidak membalasnya, sehingga beliau selesai daripada berwudlu. Lalu membalas salam Al-Barra’ itu dan mengulurkan tangannya kepada Al-Barra’ dan berjabat tangan dengan dia. Maka Al-Barra’ bertanya: “Wahai Rasulullah ! aku tidak melihat seperti ini, selain dari budi pekerti orang-orang Ajam”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya dua orang muslim apabila berjumpa, lalu berjabat tangan, niscaya berguguranlah dosa keduanya”. Nabi saw bersabda: “”Apabila seorang laki-laki, lalu pada suatu kaum, lalu memberi salam kepada mereka dan kaum itu membalas salamnya, niscaya bagi laki-laki itu kelebihan derajat diatas kaum itu. Karena ia mengingatkan mereka kepada memberi salam. Dan jikalau kaum itu tiada membalas salamnya, niscaya kembali kepada laki-laki itu penuh kebajikan dari mereka dan yang lebih baik”. Atau Nabi saw mengatakan: “Dan yang lebih utama”. Membungkuk ketika memberi salam itu dilarang. Anas ra berkata: “Kami bertanya: “Wahai Rasulullah ! adakah sebahagian kami membungkuk kepada sebahagian yang lain ?”. Nabi saw menjawab: “Tidak !”. Anas ra bertanya pula: “Atau mencium tangan sebahagian kami kepada sebahagian ?”. Nabi saw menjawab: “Tidak !”. Anas ra bertanya lagi: “Atau berjabat tangan sebahagian kami kepada sebahagian ?”. Nabi saw menjawab: “Ya !”. Merangkul (berpeluk-pelukan leher) dan mencium tangan telah tersebut pada hadits, ketika datang kembali dari perjalanan. Abu Dzar ra berkata: “Tiap aku berjumpa dengan Rasulullah saw beliau berjabat tangan dengan aku. Dan pada suatu hari beliau mencari aku, tetapi aku tidak ada di rumah. Tatkala diberitahukan kepadaku, lalu aku datang kepadanya, dan beliau diatas tempat tidur. Maka beliau merangkul aku. Adalah yang demikian itu sangat baik, sangat baik”. Menyongsong kendaraan dalam penghormatan kepada ulama, telah ada pada atsar. Ibnu Abbas berbuat yang demikian itu dengan kendaraan Zaid bin Tsabit. Umar menyongsong kendaraan Zaid, sehingga beliau mengangkatkannya, seraya berkata: “Begini perbuatan dengan Zaid dan sahabat-sahabat Zaid !”. Berdiri untuk menyambut kedatangan seseorang itu makruh atas dasar membesarkan. Dan tidak makruh atas dasar memuliakan. Anas berkata: “Tiada seorangpun yang lebih kami cintai, dari Rasulullah saw. Dan mereka apabila melihatnya, tiada berdiri, karena mereka mengetahui kebenciannya akan perbuatan yang demikian”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda pada suatu kali: “Apabila kamu  melihat aku maka janganlah berdiri, seperti yang diperbuat oleh orang-orang ‘Ajam”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa merasa gembira oleh penghormatan orang-orang kepadanya dengan berdiri, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. Nabi saw bersabda: “Janganlah seseorang membangunkan orang lain daripada tempat duduknya, kemudian ia duduk pada tempat duduk itu ! tetapi berluas-luaslah dan berlapang-lapanglah !”. Mereka menjaga yang demikian, karena larangan yang tersebut ini. Nabi saw bersabda: “Apabila orang ramai itu mengambil tempat duduk mereka, maka jikalau seorang memanggil temannya, lalu diluaskannya untuk temannya itu, maka hendaklah diperbuatkannya yang demikian ! sesungguhnya itu adalah kemuliaan, dimana ia dimuliakan yang demikian, oleh temannya. Jikalau tidak diluaskannya tempat duduknya untuk itu, maka hendaklah ia melihat kepada tempat duduk yang lebih lapang yang diperolehnya. Lalu duduklah ia pada tempat duduk itu”. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki memberi salam kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw sedang buang air kecil. Maka beliau tidak menjawab salam itu. Maka makruhlah memberi salam kepada orang yang sedang buang air (berqodo hajat). Dan makruh mengucapkan pada permulaan salam: ‘Alaikassalam. Karena ada seorang laki-laki yang mengucapkan demikian kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Bahwa ‘Alaikassalam itu, adalah salam (tahiyyah) kepada orang mati”. Nabi saw mengucapkan itu 3 kali. Kemudian beliau bersabda: “Apabila salah seorang kamu bertemu dengan seorang temannya, maka hendaklah mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullaah”. Disunnahkan bagi orang yang masuk, apabila telah memberi saalam dan tidak memperoleh tempat duduk, supaya tidak pergi. Tetapi duduklah di belakang shaf. Rasulullah saw duduk dalam masjid, tiba-tiba datanglah menghadap 3 orang. Lalu dua orang datang menghadap kepada Rasulullah saw. Adapun yang seorang mendapat tempat terluang, maka duduklah ia pada tempat itu. Dan yang kedua lalu duduk di belakang orang banyak. Adapun orang yang ketiga, lalu membelakang dan terus pergi. Tatkala Rasulullah saw telah siap dari shalat, maka bertanya: “Adakah tidak aku terangkan kepadamu tentang orang tiga ? Adapun yang seorang, maka ia mengambil tempat pada jalan Allah, maka Allah memberikan tempat kepadanya. Adapun yang kedua, maka ia merasa malu. Maka Allah pun malu kepadanya. Adapun yang ketiga, ia berpaling meninggalkan, maka Allah pun berpaling meninggalkannya”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah dari dua orang muslim yang bertemu, lalu bersalam-salaman, melainkan diampunkan dosa keduanya sebelum keduanya berpisah”. Ummu Hani’ memberi salam kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw bertanya: “Siapakah ini ?”. Lalu ada yang menjawab: “Ummu Hani’ !”. Maka Nabi saw menyambung: “Selamat datang kepada Ummu Hani’ !”. Setengah dari hak muslim, ialah bahwa: menjaga kehormatan, jiwa dan harta saudaranya muslim daripada kedzaliman orang lain, menurut kesanggupannya. Menolak bahaya yang mendatang kepadanya, mempertahankan dan menolongnya. Karena yang demikian itu adalah wajib atas seorang muslim, menurut kehendak persaudaraan Islam. Abud-Darda’ meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki memperoleh kata-kata yang tidak baik dari seorang laki-laki di sisi Rasulullah saw. Lalu seorang laki-laki lain menolak tuduhan itu. Maka Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menolak (membantah) dari hal kehormatan saudaranya, niscaya yang demikian itu menjadi dinding (hijab) baginya dari neraka”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dari seorang manusia muslim yang menolak dari hal kehormatan saudaranya, melainkan ia berhak pada Allah, bahwa Allah menolak neraka jahannam daripadanya pada hari qiamat”. Dari Anas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa disebutkan padanya saudaranya muslim dan ia sanggup menolong saudaranya itu, lalu tidak ditolongnya, niscaya ia didapatkan oleh Allah dengan hal yang memalukan itu di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa disebutkan padanya saudaranya muslim, lalu ditolongnya menolak sebutan yang tidak baik itu, niscaya ia ditolong oleh Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjaga kehormatan saudaranya muslim di dunia, niscaya diutuskan oleh Allah kepadanya Malaikat yang akan menjaganya pada hari qiamat dari neraka”. Berkata Jabir dan Abu Thalhah: “Kami mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tiadalah seorang manusia muslim yang menolong muslim, pada tempat yang dicemarkan kehormatannya dan dihalalkan kemuliaannya, melainkan ia ditolong oleh Allah pada tempat yang ia menyukai padanya pertolongan Allah. Dan tiadalah seorang manusia yang menghinakan muslim pada tempat yang dicemarkan padanya kehormatannya, melainkan ia dihinakan oleh Allah pada tempat yang ia menyukai padanya pertolongan Allah”. Setengah dari hak muslim, ialah bertasymit kepada orang yang bersin. Nabi saw bersabda, mengenai orang yang bersin itu, supaya membaca: “Segala pujian bagi Allah diatas segala keadaan”. Dan orang yang bertasymit kepada orang yang bersin itu, mengucapkan: “Dianugerahi Allah kiranya kepadamu rahmat”. Dan orang yang bersin itu membalas kepada orang yang bertasymit tadi, dengan mengucapkan: “Kiranya kamu diberi petunjuk oleh Allah dan diperbaikiNya keadaan hatimu !”. Dari Ibnu Mas’ud ra yang menerangkan: “Adalah Rasulullah saw mengajarkan kami. Beliau bersabda: “Apabila bersin seorang kamu, maka hendaklah mengucapkan: Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin”. Maka apabila orang yang bersin itu telah mengucapkan yang demikian, lalu hendaklah orang yang di sisinya mengucapkan: “Yarhamukallaah”. Apabila orang-orang yang disampingnya telah mengucapkan yang demikian, lalu hendaklah orang yang bersin itu membacakan: “Kiranya diampunkan oleh Allah aku dan kamu !”. Rasulullah saw bertasymit kepada seorang yang bersin dan beliau tidak bertasymit kepada seorang lain. Lalu orang itu bertanya kepada beliau, tentang yang demikian. Maka beliau menjawab: “Bahwa orang yang bersin itu telah memujikan Allah dan engkau berdiam diri”. Nabi saw bersabda: “Muslim yang bersin ditasymitkan apabila ia bersin 3 kali. Kalau lebih, maka dia itu pilek (selesma)”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw bertasymit kepada seorang yang bersin 3 kali. Lalu ia bersin lagi. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau itu pilek”. Abu Hurairah berkata: “Adalah Rasulullah saw apabila bersin, beliau mencegah bunyinya dan menutupkannya dengan kain atau dengan tangannya”. Dan diriwayatkan: “Beliau menutupkan wajahnya”. Abu Musa Al-Asy’ari berkata: “Adalah orang-orang Yahudi itu sengaja membuat bersin di sisi Rasulullah saw, karena mengharap akan diucapkan oleh Nabi saw: “Yarhamukumullaah”. Tetapi Nabi saw mengucapkan: “Kiranya kamu diberi petunjuk oleh Allah !”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya: “Bahwa seorang laki-laki bersin di belakang Rasulullah saw dalam shalat. Maka ia membaca: “Segala pujian bagi Allah, pujian yang banyak, baik, lagi penuh barakah padanya, sebagaimana yang diridhai oleh Tuhan kami dan sesudah apa yang diridhaiNya. Dan segala pujian bagi Allah diatas tiap-tiap hal”. Maka tatkala Nabi saw telah memberi salam dari shalat, lalu bertanya: “Siapakah yang mempunyai kata-kata tadi ?”. Orang itu menjawab: “Aku, wahai Rasulullah ! aku tiada bermaksud dengan kata-kata itu, melainkan kebajikan”. Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku melihat 12 Malaikat. Semuanya berlomba-lomba kepada kata-kata itu, yang manakah dari mereka itu yang menuliskannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bersin, lalu bersegera mengucapkan al-hamdulillaah, niscaya tidak akan menderita penyakit pinggang”. Nabi saw bersabda: “Bersin itu daripada Allah. Dan menguap itu, daripada setan. Apabila menguap seorang kamu, maka hendaklah meletakkan tangannya pada mulutnya. Apabila ia mengatakan ha-ha (bunyi waktu menguap), maka sesungguhnya setan itu tertawa dari dalam perutnya”. Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Apabila bersin waktu sedang buang air (sedang qodo hajat), maka tiada mengapa mengingati Allah”. Al-Hasan berkata: “Orang yang bersin tadi (yang sedang buang air) memujikan Allah dalam hatinya”. Ka’ab berkata: “Nabi Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! adakah Engkau itu dekat, maka aku akan bermunajah (membisikkan segala isi hati) dengan Engkau ? atau Engkau itu jauh, maka aku akan menyerukan Engkau ?”. Maka Allah berfirman: “Aku itu sedudukan dengan orang yang mengingati Aku (berdzikir kepadaKU) !”. Lalu Nabi Musa as berkata: “Sesungguhnya kami adalah diatas keadaan, yang meng-Agungkan Engkau, dimana kami mengingati Engkau padanya. Seperti dalam janabat dan buang air besar”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Ingatilah Aku pada tiap-tiap keadaan !”. Setengah dari hak muslim, ialah: apabila memperoleh bencana dari orang jahat, maka seyogyalah menanggung dan menjaga diri daripadanya. Berkata setengah Ulama: “Ikhlaskanlah bergaul dengan orang mu’min dan berbaik-baiklah budi pekerti dalam bergaul dengan orang jahat ! karena orang jahat itu rela dengan budi pekerti yang baik pada zhahirnya”. Abud-Darda’ berkata: “Sesungguhnya kami menampakkan kegembiraan di muka orang-orang, sedang hati kami sesungguhnya mengutuk mereka itu”. Inilah artinya berlemah-lembut dengan penipuan. Yaitu terhadap orang yang ditakuti kejahatannya. Allah Ta’ala berfirman: “Tangkislah kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya !”. S 23 Al Mukminuun ayat 96. Ibnu Abbas berkata tentang pengertian firman Allah Ta’ala: “Mereka menolak kejahatan dengan kebaikan”. S 13 Ar Ra’d ayat 22. Yaitu: kekejian dan kesakitan ditolak dengan memberi salam dan kelemah-lembutan. Dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dan kalau tidak adalah pembelaan Allah terhadap serangan manusia, satu sama lain”. S 2 Al Baqarah ayat 251. Maka Ibnu Abbas berkata: “Yaitu: dengan kegemaran, ketakutan, kemalu-maluan dan kelemah-lembutan”. ‘Aisyah berkata: “Seorang laki-laki meminta izin masuk ke tempat Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Izinkanlah ia masuk ! sejahat-jahat orang dalam pergaulah, dia itulah !”. Tatkala orang itu telah masuk, lalu Nabi saw melemah-lembutkan perkataan kepadanya. Sehingga aku menyangka, bahwa orang itu mempunyai kedudukan pada Nabi saw. Tatkala orang itu keluar, lalu aku berkata kepada Nabi saw: “Tatkala oranng itu masuk, engkau katakan apa yang telah engkau katakan itu. Kemudian engkau berlemah-lembut perkataan kepadanya”. Nabi saw menjawab: “Wahai ‘Aisyah ! sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari qiamat, ialah orang yang ditinggalkan oleh manusia, karena ditakuti kekejiannya”. Pada suatu hadits, tersebut: “Sesuatu yang dipeliharakan oleh seseorang akan kehormatannya, maka itu adalah sedekah baginya”. Pada atsar (ucapan sahabat), tersebut: “Bercampurr-baurlah dengan manusia, dengan amal perbuatanmu dan berlainanlah dengan mereka dengan hati”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah ra berkata: “Tidaklah termasuk orang yang bijaksana, siapa yang tidak bergaul dengan cara yang baik, dengan orang, dimana ia, tidak boleh tidak, harus bergaul dengan orang itu. Sehingga Allah memberi kelapangan baginya dari orang tersebut”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa menjauhkan diri daripada bercampur-baur dengan orang-orang kaya. Dan ia bercampur-baur dengan orang-orang miskin. Dan berbuat kebajikan kepada anak-anak yatim. Adalah Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! hidupkanlah aku miskin ! matikanlah aku miskin ! dan bangkitkanlah aku dalam rombongan orang-orang miskin !”. Ka’ab Al-Ahbar berkata: “Adalah Nabi Sulaiman as dalam kerajaannya, apabila ia masuk ke dalam masjid, lalu dilihatnya seorang miskin, maka ia duduk dekat orang miskin itu, seraya berkata: “Orang miskin duduk-duduk bersama orang miskin”. Ada yang meriwayatkan, bahwa perkataan yang diucapkan kepada Nabi Isa as yang paling disukainya, ialah diucapkan kepadanya: “Hai orang miskin !”. Ka’ab Al-Ahbar berkata: Apa yang tersebut dalam Alquran: “Wahai orang-orang yang beriman !”. Maka dalam Taurat, ialah:  “Yaa ayyuhal masaakiin”. Artinya: “Wahai orang-orang miskin !”. ‘Ubbadah bin Ash-Shamit berkata: “Sesungguhnya neraka itu mempunyai 7 pintu: 3 untuk orang-orang kaya, 3 untuk wanita dan 1 untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. Al-Fudlail berkata: “Sampai kepadaku, bahwa salah seorang dari nabi-nabi berdoa: “Wahai Tuhanku ! bagaimanakah aku mengetahui akan ridlaMu kepadaku ?”. Maka Tuhan berfirman: “Perhatikanlah, bagaimana ridlanya orang-orang miskin kepadamu”. Nabi saw bersabda: “Awaslah kamu duduk-duduk dengan orang-orang mati !”. Lalu ada yang menanyakan: “Siapakah orang-orang mati itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Orang-orang kaya !”. Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! dimanakah aku mencari Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Pada mereka yang hancur hatinya”. Nabi saw bersabda: “Janganlah engkau gemar kepada orang dzalim, dengan nikmat yang ada padanya ! karena engkau tiada mengetahui, kemana jadinya ia sesudah mati. Sesungguhnya di belakangnya itu ada yang mencari yang rajin sekali”. Mengenai anak yatim, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengambil anak yatim dari ibu-bapak muslim, sehingga anak yatim itu memperoleh kecukupan, maka sesungguhnya wajiblah tak boleh tidak bagi orang itu sorga”. Nabi saw bersabda: “Aku dan yang memelihara anak yatim dalam sorga, adalah seperti dua anak jari ini”. Nabi saw mengisyaratkan dengan kedua anak jarinya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meletakkan tangannya atas kepala anak yatim, karena cinta-kasih, niscaya baginya kebaikan dari tiap-tiap helai rambut yang dilalui tangannya”. Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik rumah orang muslimin, ialah rumah, yang padanya ada anak yatim, yang diperlakukan dengan perlakuan yang baik. Dan sejahat-jahat rumah orang muslimin, ialah rumah yang padanya anak yatim, yang diperlakukan dengan perlakuan yang buruk”. Setengah dari hak muslim, ialah memberi nasehat kepada tiap-tiap muslim dan bersungguh-sungguh mendatangkan kesukaan pada hatinya. Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu mencintai orang mu’min, sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda: “Tiada bermain seorang kamu, sebelum ia mencintai saudaranya, akan apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang kamu itu adalah cermin saudaranya. Apabila ia melihat sesuatu pada saudaranya, maka hendaklah dihilangkannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyampaikan hajat keperluan saudaranya, maka seolah-olah ia berkhidmat (beribadah) kepada Allah seumur hidupnya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyenangkan mata orang mu’min, niscaya disenangkanlah oleh Allah matanya pada hari kiamat”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berjalan untuk keperluan saudaranya sesaat dari malam atau siang, dimana keperluan itu dapat dilaksanakannya atau tidak, niscaya adalah yang demikian itu lebih baik baginya, daripada i’tikaf dalam masjid dua bulan”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa melapangkan orang mu’min, yang menderita atau menolong orang yang teraniaya, niscaya ia diampunkan oleh Allah 73 ampunan”. Nabi saw bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik ia menganiaya atau teraniaya !”. Lalu ada yang menanyakan: “Bagaimanakah menolongnya, sedang ia menganiaya ?”. Nabi saw menjawab: “Mencegahnya daripada berbuat penganiayaan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan yang amat disukai Allah, ialah mendatangkan kesukaan pada hati mu’min. Atau menghilangkan kerusuhan dari hatinya. Atau membayar hutangnya. Atau memberikan kepadanya makanan dari laparnya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa melindungi orang mu’min dari orang munafik, yang membuat kesusahan kepadanya, niscaya diutuskan oleh Allah kepadanya malaikat pada hari kiamat, yang melindungi dagingnya dari api neraka jahannam”. Nabi saw bersabda: “2 perkara, dimana tiada satupun dari kejahatan yang diatas 2 itu: menyekutukan Allah dan mendatangkan kemelaratan kepada hamba-hamba Allah. dan 2 perkara, dimana tiada satupun dari kebajikan diatas yang dua itu: beriman kepada Allah dan berbuat kemanfaatan kepada hamba-hamba Allah”. Nabi saw bersabda: “Orang yang tidak mementingkan kaum muslim, maka tidaklah ia dari kaum muslimin”. Ma’ruf Al-Karchi berkata: “Barangsiapa membaca pada tiap-tiap hari: “Allaahummarham ummata Muhammad”. (Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah rahmat kepada umat Muhammad), niscaya ia ditulis oleh Allah, setengah dari abdal (wali-wali yang datang silih berganti)”. Pada riwayat lain, tersebut: “Wahai Allah Tuhanku ! perbaikilah umat Muhammad ! wahai Allah Tuhanku ! berikanlah kelapangan bagi umat Muhammad”, tiap-tiap hari 3 kali, niscaya ia ditulis oleh Allah, setengah dari abdal”. Pada suatu hari, Ali bin Al-Fudlail menangis. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang menyebabkan tuan menangis ?”. Ia menjawab: “Aku menangis terhadap orang yang berbuat kedzaliman kepadaku. Apabila ia berdiri esok di hadapan Allah Ta’ala dan ditanyakan kedzalimannya, dan ia tiada mempunyai alasan”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa ia mengunjungi yang sakit dari mereka. Ma’rifah (mengenal Allah) dan Islam adalah mencukupi untuk menetapkan hak ini dan memperoleh keutamaannya. Adab kesopanan orang yang mengunjungi orang sakit, ialah tidak duduk lama-lama, sedikit bertanya, melahirkan kasih-sayang, berdoa lekas sehat, memicingkan mata dari hal-hal yang memalukan di tempat orang sakit. Ketika meminta izin, ia tiada berhadapan dengan pintu. Pintu itu diketuk pelan-pelan. Dan tidak menjawab: “Aku !”, apabila ditanyakan: “Siapa ?”. Dan tidak mengatakan: “Hai bujang !”. Tetapi memuji dan bertasbih kepada Allah. Nabi saw bersabda: “Kesempurnaan mengunjungi orang sakit, ialah meletakkan seorang kamu tangannya diatas dahi atau atau tangan orang sakit. Dan menanyakan, bagaimanakah keadaannya. Dan kesempurnaan tahiyyahmu (salammu), ialah berjabatan tangan”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengunjungi orang sakit, niscaya ia duduk di dalam pagar kebun sorga. Sehingga apabila ia bangun berdiri, niscaya diwakilkan kepadanya 70 ribu malaikat, yang berdoa kepadanya sampai malam”. Nabi saw bersabda: “Apabila seseorang mengunjungi orang sakit, maka ia telah berkecimpung dalam rahmat. Dan apabila ia duduk di sisi orang sakit, niscaya tetaplah rahmat itu padanya”. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang muslim mengunjungi saudaranya yang sakit atau berziarah kepadanya, niscaya Allah Ta’ala berfirman: “Baik engkau dan baik perjalanan engkau dan bertempatlah engkau pada suatu tempat dalam sorga”. Nabi saw bersabda: “Apabila sakitlah hamba Allah, niscaya diutuskan oleh Allah Ta’ala kepadanya dua malaikat, seraya Allah berfirman: “Perhatikanlah wahai kedua kamu, apa yang dikatakan oleh orang sakit itu kepada pengunjung-pengunjungnya ! kalau orang sakit itu, apabila datang pengunjung-pengunjungnya, lalu memuji dan menyanjung Allah, maka oleh kedua malaikat tadi, disampaikannya yang demikian, kepada Allah. dan Allah itu Maha Tahu. Maka Allah berfirman: “”Untuk hambaKu diatas tanggunganKu, jikalau Aku mematikannya, akan memasukkannya ke sorga. Dan jikalau Aku menyembuhkannya, maka akan menggantikan daging baginya, yang lebih baik daripada dagingnya dan darah yang lebih baik daripada darahnya. Dan akan Aku hapuskan daripadanya segala kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kebajikan, niscaya ia diberi musibah”. Usman ra bercerita: “Aku sakit, lalu aku dikunjungi Rasulullah saw seraya membaca: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku mohon perlindungan bagi Engkau pada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tempat meminta, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada bagiNya suatupun yang menyamaiNya, dari kejahatan apa yang kamu peroleh”. Dan dibacakan oleh Nabi saw bacaan tadi beberapa kali. Nabi saw masuk ketempat Ali bin Abi Thalib ra yang sedang sakit. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: “Bacalah !”. “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon kepadaMu akan segera datang kesehatan daripadaMu atau kesabaran diatas percobaanMu atau keluar dari dunia kepada rahmatMu. Sesungguhnya Engkau akan menganugerahkan salah satu dari yang tersebut itu”. Disunatkan juga bagi orang sakit membacakan: “Aku berlindung dengan keagungan dan kekuasaan Allah, dari kejahatan yang aku peroleh dan aku takuti”. Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Apabila seorang kamu menderita sakit perut, maka hendaklah dimintanya kepada isterinya, sedikit dari emas kawinnya. Dan dibelikannya madu lebah dengan emas kawin itu. Dan diminumnya dengan air hujan. Maka berhimpunlah baginya kekenyangan dan kehilang-hausan, keobatan dan keberkatan”. Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! apa tidakkah aku terangkan kepadamu suatu hal, dimana hal itu adalah benar, bahwa barangsiapa membacanya pada permulaan tidurnya dari sakit, niscaya ia dilepaskan oleh Allah dari neraka ?”. Aku menjawab: “Belum, wahai Rasulullah !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Orang itu membaca:: “Tiada yang disembah melainkan Allah, yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia hidup, tiada mati. Maha suci Allah, Tuhan segala hamba dan negeri. Dan segala pujian bagi Allah, pujian yang banyak, yang baik, yang penuh barakah padanya, di atas tiap-tiap keadaan. Allah Maha Besar, Yang Maha Besar. Sesungguhnya kebesaran Tuhan kamu, keagungan dan kekuasaanNya, pada tiap-tiap tempat. Wahai Allah Tuhanku ! jikalau sekiranya Engkau sakitkan aku, untuk Engkau ambilkan nyawaku pada sakitku ini, maka jadikanlah nyawaku ini dalam nyawa orang-orang yang telah terdahulu kebaikan bagi mereka, daripada Engkau ! dan jauhkanlah aku dari neraka, sebagaimana telah Engkau jauhkan wali-wali Engkau, yang telah terdahulu kebaikan bagi mereka daripada Engkau !”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Mengunjungi orang sakit sesudah 3 kali itu, sekedar waktu memerah susu unta”. Thaus berkata: “Kunjungan yang lebih utama pada orang sakit, ialah kunjungannya yang lebih ringan”. Ibnu Abbas ra berkata: “Mengunjungi orang sakit sekali, adalah sunnah. Maka yang lebih dari sekali, adalah amal tambahan”. Setengah ulama berkata: “Mengunjungi orang sakit, adalah sesudah 3 kali”. Nabi saw bersabda: “Jarang-jarangkanlah mengunjungi orang sakit dan kunjungilah empat-empat hari sekali !”. Dan jumlah adab kesopanan bagi orang sakit, ialah: membaikkan kesabaran, menyedikitkan pengaduan sakitnya kepada orang, menyedikitkan keluh-kesah, membanyakkan doa dan bertawakkal sesudah berobat, kepada Yang Menjadikan obat. Setengah dari hak muslim, ialah mengiringkan jenazahnya ke kuburan. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengiringkan jenazah ke kuburan, maka baginya pahala satu qirath emas. Kalau ia menunggu sehingga selesai dikebumikan, maka baginya 2 qirath”. Pada hadits, tersebut: “Qirath itu seperti bukit Uhud”. Tatkala hadits tadi diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan didengar oleh Ibnu Umar, lalu beliau berkata: “Telah kita sia-siakan sampai sekarang banyak qirath”. Yang dimaksud dengan mengiringkan jenazah ke kuburan, ialah: melaksanakan hak kaum muslimin dan mengambil pengajaran padanya. Makhul Ad-Dimasyqi berkata, apabila melihat jenazah: “Bersegeralah pagi-pagi pergi ! sesungguhnya kita memperoleh pengajaran yang mendalam dan kelupaan yang cepat. Pergi orang yang pertama. Dan orang yang penghabisan tidak berakal (tidak memperoleh pengajaran daripadanya)”. Malik bin Dinar keluar di belakang jenazah saudaranya. Ia menangis dan berkata: “Demi Allah ! tidaklah tenang jiwaku, sebelum aku mengetahui apa jadinya aku. Dan tidak, demi Allah, aku tidak mengetahuinya, selama aku masih hidup”. Al-A’masy berkata: “Adalah kami menyaksikan jenazah-jenazah. Maka kami tiada mengetahui, kepada siapa kami menyatakan: berduka-cita. Karena orang banyak seluruhnya bergundah hati”. Ibrahim Az-Zayyat melihat suatu kaum, melahirkan kasih-sayangnya kepada seorang yang sudah meninggal. Lalu ia berkata: “Jikalau kamu melahirkan kasih-sayang kepada dirimu sendiri, niscaya adalah lebih utama. Karena orang yang telah meninggal itu, telah terlepas dari kehuru-haraan 3 perkara: wajah Malikul-maut telah dilihatnya, kepahitan mati telah dirasainya dan ketakutan kesudahan (al-khatimah) telah aman baginya”. Nabi saw bersabda: “Mayyit itu diikuti oleh 3: dua kembali dan satu tinggal. Ia diikuti sampai ke kuburan oleh keluarganya, hartanya dan amalnya. Maka kembalilah keluarga dan hartanya. Dan tinggallah amalnya”. Setengah dari hak muslim, ialah berziarah ke kuburannya. Yang dimaksud dari yang demikian, ialah mendoa, mengambil ibarat dan melembutkan hati. Nabi saw bersabda: “Tiada suatupun pemandangan yang aku lihat, melainkan kuburanlah yang lebih buruk dari pemandangan itu”. Umar ra berkata: “Kami keluar berjalan bersama Rasulullah saw. Lalu beliau mendatangi kuburan-kuburan, seraya duduk pada suatu kuburan. Dan aku adalah orang yang terdekat duduk kepadanya. Maka beliau menangis dan kamipun menangis. Lalu beliau bertanya: “Apakah yang membawa kamu kepada menangis ?”. Lalu kami menjawab: “Kami menangis, karena engkau menangis”. Kemudian beliau menyambung: “Inilah kuburan Aminah binti Wahab ! aku minta izin pada Tuhanku untuk berziarah padanya. Maka diizinkanNya kepadaku. Aku minta izin pada Tuhanku untuk meminta ampun dosanya, maka Ia tiada menerima permohonanku. Lalu terdapatlah padaku apa yang diperoleh oleh seorang anak, yaitu: cinta-kasih kepada ibunya”. Adalah Umar ra apabila berhenti pada kuburan, lalu menangis, sehingga basahlah janggutnya. Dan berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bahwa kuburan itu adalah permulaan tempat diam bagi akhirat. Jikalau terlepas daripadanya orang yang terkubur di kuburan itu, maka apa yang sesudahnya adalah lebih mudah. Dan jikalau tiada terlepas daripadanya, maka amat sukarlah keadaan sesudahnya”. Mujahid berkata: “Yang pertama-tama dikatakan kepada anak Adam oleh kuburannya, ialah: “Aku adalah rumah ulat, rumah sendirian, rumah pengasingan dan rumah gelap-gulita. Maka inilah yang aku sediakan untukmu. Lalu apakah yang kamu sediakan untukku ?”. Abu Dzar berkata: “Apakah tidak aku ceritakan kepadamu, hari kemiskinanku ?”. Yaitu: “hari aku diletakkan dalam kuburanku”. Adalah Abud-Darda’ duduk pada kuburan. Lalu beliau ditanyakan tentang yang demikian. Beliau menjawab: “Aku duduk pada kaum yang mengingatkan aku akan hari kembaliku. Dan kalau aku bangun meninggalkan mereka, niscaya mereka tiada mencaciku”. Hatim Al-Asham berkata: “Barangsiapa melalui kuburan, lalu ia tiada bertafakkur untuk dirinya dan tidak berdoa untuk mereka, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati dirinya dan mereka yang terkubur di kuburan itu”. Nabi saw bersabda: “Tiada satu malampun, melainkan selalu berseru orang yang menyerukan: “Hai orang-orang yang terkubur (ya ahlal qubur) !. Siapakah yang selalu kamu kenangkan ?”. Mereka itu menjawab: “Kami mengenangkan ahlul masajid (keluarga masjid). Karena mereka itu berpuasa dan kami tiada berpuasa. Mereka itu mengerjakan shalat dan kami tiada mengerjakan shalat. Mereka itu berdzikir kepada Allah dan kami tiada berdzikir kepadaNya”. Sufyan berkata: “Barangsiapa banyak mengingati kubur, niscaya diperolehnya kubur itu sebagai kebun dari kebun-kebun sorga. Dan barangsiapa lalai daripada mengingatinya, niscaya diperolehnya kubur itu sebagai suatu lobang daripada lobang-lobang neraka”. Adalah Ar-Rabi’ bin Khaitsam telah menggali kuburan di rumahnya. Maka apabila ia mendapati pada hatinya kekesatan, lalu ia masuk ke dalam kuburan itu. Ia tidur di dalamnya dan berhenti sesaat. Kemudian ia membaca ayat: “Wahai Tuhanku ! kembalikanlah aku (hidup) ! mudah-mudahan aku mengerjakan perbuatan baik yang telah aku tinggalkan itu”. S 23 Al Mukminuun ayat 99-100. Kemudian beliau mengatakan pada dirinya sendiri: “Hai Rabi’ ! engkau telah dikembalikan ! maka beramallah sekarang, sebelum engkau tidak dikembalikan lagi !”. Maimun bin Mahran berkata: “Aku pergi bersama Umar bin Abdul Aziz ke kuburan. Ketika ia memandang ke kuburan, lalu ia menangis seraya berkata: “Wahai Maimun ! inilah kuburan bapak-bapakku Bani Umayyah ! seolah-olah mereka itu, tiada berkongsi dengan penduduk dunia tentang kesenangan mereka. Apakah tidak engkau melihat, mereka itu gila, yang telah berlalu pada mereka itu berbagai macam azab ? dan pada tubuh mereka menimpa penyakit kehausan ?”. Kemudian ia menangis dan berkata: “Demi Allah ! aku tiada tahu seorangpun yang lebih memperoleh nikmat, daripada orang yang telah jadi ke kuburan ini. Dan telah aman daripada azab Allah”. Adab bagi orang yang mengunjungi orang mati (berta’ziyah), ialah merendahkan diri, melahirkan kesedihan, menyedikitkan berkata-kata dan meninggalkan tersenyum. Adab mengiringi jenazah, ialah harus menundukkan diri, meninggalkan berkata-kata, memperhatikan kepada mayit, bertafakkur tentang mati dan menyiapkan diri bagi mati. Dan bahwa ia berjalan di muka jenazah, dengan mendekati jenazah. Dan menyegerakan jenazah ke pekuburan itu sunat”. Inilah sejumlah adab kesopanan, yang mengingatkan kepada sopan-santun pergaulan bersama makhluq umumnya. Dan kesimpulan yang meliputi tentang itu, ialah: bahwa tidak memandang kecil kepada seseorang daripada mereka, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Maka kalau tidak demikian, engkau akan binasa. Karena engkau tiada mengetahui, mungkin dia itu lebih baik daripada engkau. Karena walaupun dia orang fasiq (berbuat dosa), tetapi mudah-mudahan, berkesudahan (al-khatimah) bagi engkau, seperti kesudahannya. Dan berkesudahan baginya dengan yang baik. Dan janganlah memandang kepada manusia, dengan mata pengagungan bagi mereka, tentang hal keduniaan mereka ! karena dunia itu kecil pada Allah. Kecil apa yang menjadi isinya. Dan manakala agunglah penduduk dunia pada diri engkau, maka sesungguhnya engkau telah mengagungkan dunia. Lalu jatuhlah engkau pada pandangan Allah. Dan janganlah engkau berikan bagi manusia itu agama engkau, untuk engkau peroleh dari dunia mereka. Maka kecillah engkau pada pandangan mereka. Kemudian engkau haramkan dunia mereka. Jikalau tidak engkau haramkan niscaya adalah engkau telah menerima gantian yang lebih buruk dengan memberikan yang lebih baik. Dan janganlah engkau bermusuhan dengan mereka, dimana permusuhan itu menampak nyata ! maka panjanglah urusan diatas engkau pada permusuhan itu. Dan hilanglah agama engkau dan dunia engkau pada mereka. Dan hilanglah agama mereka pada engkau. Kecuali, apabila engkau melihat orang yang menantang agama. Maka bermusuhlah terhadap perbuatan mereka yang keji ! dan pandanglah kepada mereka dengan mata kasih-sayang bagi mereka, untuk engkau singkirkan mereka. Karena kutukan dan siksaan Allah disebabkan kema’siatan mereka. Maka mencukupilah bagi mereka neraka jahannam, yang akan mereka masuk kedalamnya. Maka tiadalah bagi engkau mendengki mereka ! dan janganlah berketetapan hati kepada mereka, tentang kasih-sayang mereka kepada engkau ! dan pujian mereka kepada diri engkau di hadapan engkau ! dan baiknya kegembiraan mereka pada engkau ! maka sesungguhnya, jikalau engkau mencari hakekat yang sebenarnya yang demikian itu, niscaya tiada akan engkau peroleh dalam 100, selain seorang. Dan kadang-kadang tiada akan engkau peroleh yang seorang itu. Dan janganlah engkau mengadukan hal ihwal engkau kepada mereka ! nanti diserahkan engkau oleh Allah kepada mereka ! dan janganlah engkau harapkan, bahwa mereka itu untuk engkau, waktu di belakang dan dalam hal rahasia, sebagaimana pada keadaan yang terang. Maka yang demikian itu, adalah harapan yang palsu. Dan jauhlah engkau akan memperolehnya. Dan janganlah engkau mengharapkan sesuatu yang dalam tangan mereka ! maka engkau menyegerakan memperoleh kehinaan dan tiada akan engkau memperoleh maksud !. Janganlah engkau meninggi diri diatas mereka, karena kesombongan ! lantaran engkau tiada memerlukan kepada mereka. Sesungguhnya Allah akan menyandarkan engkau kepada mereka, sebagai siksaan diatas kesombongan engkau, dengan melahirkan ketidakperluan engkau itu. Apabila engkau meminta kepada seorang teman akan sesuatu hajat keperluan, lalu dipenuhinya, maka teman itu adalah teman yang berfaedah. Dan jikalau tidak dipenuhi, maka janganlah engkau mencacikannya ! lalu ia menjadi musuh yang berkepanjangan kekesatan hatinya kepada engkau. Janganlah engkau memberi nasehat pengajaran kepada orang, yang tidak menampak padanya tanda-tanda penerimaan ! maka ia tiada akan mendengar nasehat itu daripada engkau. Dan ia akan memusuhi engkau. Dan hendaklah nasehat pengajaran engkau itu terbentang dan terlepas, tanpa menentukan kepada seseorang ! manakala engkau melihat dari mereka itu kemuliaan dan kebajikan, maka bersyukurlah kepada Allah yang memudahkan mereka untuk mematuhi engkau ! dan berlindunglah dengan Allah, bahwa Allah menyerahkan engkau kepada mereka !. Apabila sampai kepada engkau cacian dari mereka atau engkau melihat dari mereka kejahatan atau menimpa keatas diri engkau dari mereka itu sesuatu yang memburuk bagi engkau, maka serahkanlah urusan mereka kepada Allah ! dan berlindunglah dengan Allah dari kejahatan mereka ! janganlah engkau merepotkan diri engkau dengan pembalasan yang setimpal ! Maka bertambahlah kemelaratan dan menjadi sia-sialah umur dengan urusan itu. Dan janganlah engkau katakan kepada mereka: “Kamu tidak mengenal tempatku”. Dan yaqinlah sesungguhnya, bahwa jikalau engkau simpan yang demikian itu, niscaya Allah menjadikan bagi engkau suatu tempat dalam hati mereka. Allah yang mendatangkan kasih-sayang dan benci-marah kepada hati. Dan adalah engkau mengenai mereka itu, pendengar kebenaran mereka ! berpekak-telingalah tentang kebatilan mereka ! adalah engkau pengucap kebenaran mereka ! dan pendiam dari kebatilan mereka ! takutilah bersahabat dengan kebanyakan manusia ! sesungguhnya mereka itu tidak memaafkan dari tergelincir. Tidak memberi ampun dari perbuatan yang terperosok. Tidak menutupi dari hal yang memalukan. Memperkirakan isi dan kulit. Mereka dengki terhadap yang sedikit dan yang banyak. Mereka diminta keinsyafan dan tidak mau insyaf. Mereka mau menghukum diatas kesalahan dan kelupaan dan tidak memberi kemaafan. Mereka memperdayakan teman-teman terhadap teman-teman, dengan sifat lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang dan berita palsu. Maka berteman dengan kebanyakan mereka adalah merugikan. Dan memutuskan hubungan adalah lebih menguatkan. Jikalau mereka suka, maka yang zhahir dari sikap mereka itu, adalah berminyak air. Dan jikalau mereka marah, maka bathinnya adalah dengki, yang tidak aman dari kedengkian mereka dan tidak akan diharapkan pada berminyak air mereka. Dzhahir mereka itu kain. Dan bathin mereka itu serigala. Mereka memutuskan hubungan dengan sangkaan. Mereka mengedip-edipkan mata di belakang engkau. Mereka menunggu teman mereka dari kedengkian, akan saat-saat kesusahan. Mereka menghitung segala ketelanjuran dirimu dalam persahabatan dengan mereka, untuk dikemukakannya kepadamu pada waktu marah dan liar hati. Dan janganlah engkau bersandar kepada belas-kasihan orang, yang belum engkau coba dengan percobaan yang sebenar-benarnya ! yaitu: dengan berteman, pada suatu waktu di rumah atau di suatu tempat. Lalu engkau cobakan dia, waktu ia diperhatikan dan waktu ia berkuasa. Waktu ia kaya dan waktu ia miskin. Atau engkau bermusafir dengan dia. Atau engkau melakukan muamalah dengan dia tentang dinar dan dirham. Atau engkau jatuh dalam kesulitan, maka engkau memerlukan kepadanya. Jikalau engkau senang kepadanya pada segala hal keadaan itu, maka ambillah dia menjadi ayahmu, kalau ia sudah tua ! atau menjadi anakmu, kalau ia masih kecil ! atau menjadi temanmu, kalau ia sebaya dengan engkau !. Inilah kumpulan adab kesopanan bergaul dengan segala jenis manusia !.
HAK TETANGGA.
Ketahuilah, bahwa tetangga itu menghendaki hak, dibalik apa yang dikehendaki oleh persaudaraan Islam. Tetangga muslim berhak apa yang menjadi hak tiap-tiap muslim, bahkan lebih lagi. Karena Nabi saw bersabda: “Tetangga itu 3: tetangga yang mempunyai 1 hak, tetangga yang mempunyai 2 hak dan tetangga yang mempunyai 3 hak. Maka tetangga yang mempunyai 3 hak, yaitu: tetangga muslim yang mempunyai ikatan kefamilian. Ia mempunyai hak ketetanggaan, hak keislaman dan hak kefamilian. Adapun yang mempunyai 2 hak, yaitu: tetangga muslim, yang mempunyai hak ketetanggaan dan hak keislaman. Adapun yang mempunyai 1 hak, yaitu: tetangga musyrik (bukan muslim) !”. Maka, perhatikanlah, betapa Nabi saw menetapkan bagi orang musyrik itu hak, disebabkan semata-mata ketetanggaan. Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Berbaiklah bertetangga dengan orang yang bertetangga dengan engkau, niscaya engkau itu muslim”. Nabi saw bersabda: “Senantiasalah Jibril menasehati aku mengenai tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menerima pusaka dari tetangganya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya !”. Nabi saw bersabda: “Tiada beriman seorang hamba sebelum tetangganya aman dari kejahatan-kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Yang pertama dari dua oranng lawan pada hari qiamat, ialah dua orang yang bertetangga”. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau melemparkan anjing tetangga engkau, maka sesungguhnya engkau telah menyakitinya”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas’ud ra, lalu mengatakan kepadanya: “Bahwa aku mempunyai tetangga yang menyakitkan aku, memaki dan menyempitkan aku”. Maka Ibnu Mas’ud ra menjawab: “Pergilah ! jikalau orang itu telah berbuat ma’siat kepada Allah mengenai engkau, maka taatilah Allah mengenainya !”. Ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Bahwa seorang wanita berpuasa siang hari, mengerjakan shalat malam hari dan berbuat yang menyakitkan tetangganya”. Lalu Nabi saw menjawab:” Wanita itu dalam neraka”. Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw mengadukan tetangganya. Maka Nabi saw bersabda kepada laki-laki tadi: “Sabarlah !”. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya kali ke-3 atau kali ke-4: “Campakkanlah harta bendamu ke jalan raya !”. Laki-laki itu menerangkan: “Maka orang banyak melalui tempat itu, seraya bertanya: “Mengapa begini ?”. Maka orang menjawab: “Bahwa yang punya harta benda ini disakiti oleh tetangganya”. Laki-laki itu menyambung: “Lalu orang banyak itu berkata: “Tetangga itu dikutuk oleh Allah kiranya !”. Maka tetangga itu lalu datang kepada orang yang punya harta benda tersebut, seraya berkata kepadanya: “Ambillah kembali harta bendamu itu !”. Demi Allah ! aku tidak akan mengulangi lagi menyakitimu”. Az-Zuhri meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw mengadukan tetangganya. Maka Nabi saw menyuruh orang itu menyerukan di pintu masjid: “Ketahuilah, bahwa 40 rumah itu adalah tetangga !”. Az-Zuhri berkata: “40 begini, 40 begini, 40 begini dan 40 begini !”. Ia menunjukkan ke-4 penjuru. Nabi saw bersabda: “Bahagia dan celaka itu, pada wanita, tempat tinggal dan kuda. Maka bahagia pada wanita, ialah ringan emas kawinnya (maharnya), mudah mengawininya dan baik akhlaqnya. Calakanya pada wanita, ialah mahal emas kawinnya, sukar mengawininya dan buruk akhlaqnya. Bahagia pada tempat tinggal, ialah luas dan baik tetangga yang mendiami tempat itu. Dan celakanya pada tempat tinggal, ialah: sempit dan jahat tetangga yang mendiami tempat itu. Kebahagiaan pada kuda, ialah mudah mengendarainya dan baik tingkah lakunya. Dan celakanya pada kuda, ialah sukar mengendarainya dan jahat tingkah lakunya”. Ketahuilah, bahwa tidaklah hak tetangga itu mencegah menyakitkannya saja, tetapi juga menanggung kesakitan. Sesungguhnya tetangga juga mencegah yang menyakitinya. Maka tidaklah pada yang demikian itu menunaikan hak untuk tetangga. Tidaklah mencukupi menanggung yang menyakitkan saja. Tetapi juga, tidak boleh tidak, daripada berkasih-sayang, berbuat kebajikan dan amal baik. Karena dikatakan; sesungguhnya tetangga yang miskin bergantung pada tetangganya yang kaya pada hari qiamat. Maka berdoalah tetangga yang miskin itu: “Wahai Tuhanku ! tanyakanlah si Ini ! mengapakah ia mencegahkan aku dari kebaikannya dan menutupkan pintunya terhadap aku ?”. Sampai berita kepada Ibnu Muqaffa !, bahwa tetangganya menjual rumahnya, karena hutang yang dipikulnya. Dan Ibnul Muqaffa duduk pada naungan rumah orang itu. Lalu berkata: “Jadi aku tidak akan bangun berdiri, demi kehormatan naungan rumahnya, jikalau dijual rumahnya ini karena kemiskinan”. Maka Ibnul Muqaffa’ menyerahkan kepada tetangganya harga rumah, seraya berkata: “Jangan engkau jual rumah ini !”. Setengah mereka mengadukan banyaknya tikus di rumahnya. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Kalau engkau menyimpan kucing, bagaimana ? Lalu orang itu menjawab: “Aku takut, bahwa tikus itu mendengar suara kucing, lalu lari ke rumah tetangga. Maka jadilah aku menyukai bagi tetangga-tetangga itu, apa yang tidak aku sukai bagi diriku sendiri”. Jumlah hak tetangga, ialah: bahwa memulainya dengan memberi salam. Tidak memanjangkan berkata-kata dengan tetangga. Tidak membanyakkan pertanyaan tentang keadaannya. Mengunjunginya waktu sakit. Berta’ziah kepadanya waktu mendapat musibah dan tegak berdiri bersama dalam berta’ziah itu. Mengucapkan selamat kepadanya pada kegembiraan dan melahirkan bersekutu pada kesukaan bersama dia. Memaafkan kesalahannya. Tidak memandang dari loteng rumah, akan hal-hal yang memalukannya (auratnya). Tidak mempersempitkan kepadanya pada meletakkan kayu atas dindingnya, dan pada tempat menuangkan air dari pancurannya dan pada tempat membuangkan tanah di halamannya. Dan tidak menyempitkan jalannya ke rumah. Dan tidak mengikutinya dengan memandang pada barang yang dibawanya pulang ke rumahnya. Dan menutupkan apa yang terbuka dari hal-hal yang memalukannya (auratnya). Dan mengangkatkan dari kejatuhannya apabila menimpa atas dirinya sesuatu bencana. Dan tidak lupa memperhatikan rumahnya ketika dia tidak ada. Dan tidak mendengar kata-kata yang mengenainya. Dan memicingkan mata daripada melihat wanita yang ada di rumahnya. Dan tidak selalu melihat kepada babunya. Dan bersikap lemah-lembut dalam berkata-kata dengan anaknya. Dan menunjukkannya apa yang tiada diketahuinya, dari urusan agama dan dunianya. Inilah sejumlah hak-hak yang telah kamii sebutkan untuk umumnya kaum muslimin ! sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Adakah engkau ketahui apakkah hak tetangga itu ? kalau ia meminta tolong kepadamu, maka engkau tolong dia. Jikalau ia bermohon bantuanmu, maka bantulah dia. Kalau ia minta berhutang kepadamu, maka hutangilah dia. Kalau ia memerlukan, maka kembalikanlah kepadanya. Kalau ia sakit, maka kunjungilah dia. Kalau ia meninggal, ikutilah jenazahnya. Kalau ia memperoleh kebajikan, maka ucapkanlah selamat kepadanya. Kalau ia memperoleh musibah, maka berta’ziahlah kepadanya. Janganlah engkau meninggikan bangunan rumah terhadap rumahnya. Lalu terlindunglah angin baginya. Kecuali dengan keizinannya. Janganlah engkau menyakitinya ! apabila engkau membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya ! jikalau tidak engkau perbuat yang demikian, maka masukkanlah buah-buahan itu dengan tersembunyi ! dan tidaklah buah-buahan itu dikeluarkan oleh anakmu, untuk membawa kemarahan anaknya. Janganlah engkau menyakitinya dengan bau masakan di kualimu, kecuali engkau ambilkan baginya dari masakan itu”. Kemudian Nabi saw bertanya: “Adakah kamu tahu, apakah hak tetangga itu ? demi Allah, dimana nyawaku dalam kekuasaanNya !. Tiada yang menyampaikan hak tetangga itu, selain orang yang dianugerahkan rahmat oleh Allah”. Begitulah yang diriwayatkan ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari neneknya, dari Nabi saw. Mujahid berkata: “Aku berada pada Abdullah bin Umar dan pelayannya sedang mengupas kambing. Maka berkata Abdullah: “Hai pelayan ! apabila engkau sudah mengupas kambing itu, maka mulailah dengan tetangga kita orang Yahudi !. Ia mengatakan yang demikian itu berkali-kali. Maka bertanya Mujahid kepada Abdullah bin umar: “Berapa kali engkau mengatakan ini ?”. Abdullah menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah saw senantiasa menasehatkan kami mengenai tetangga. Sehingga kami takut, bahwa tetangga itu akan mewarisi dari tetangganya”. Hisyam berkata: “Al-Hasan berpendapat, tiada mengapa engkau memberi makanan kepada tetangga Yahudi dan Nasrani dari Udlhiah (sembelihan kurban) engkau”. Abu Dzar ra berkata: “Diwasiatkan kepadaku oleh kecintaanku Rasulullah saw dan beliau bersabda: “Apabila engkau masak suatu kuali, maka banyakkanlah airnya ! kemudian lihatlah kepada setengah penghuni rumah dari tetanggamu ! maka ambillah untuk mereka daripadanya !”. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku mempunyai dua tetangga. Yang seorang menghadap kepadaku dengan pintunya. Dan yang lain jauh dengan pintunya daripadaku. Kadang-kadang yang ada padaku, tiada mencukupi untuk keduanya. Maka manakah diantara keduanya yang lebih besar haknya ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Yang menghadap kepada engkau dengan pintunya”. Abu Bakar Ash-Shiddiq melihat anaknyya Abdur Rahman, memegang pundak kepala tetangganya, lalu berkata: “Janganlah engkau memegang pundak kepala tetangga engkau ! karena tetangga ini kekal (tidak pergi), sedang manusia lain itu pergi !”. Al-Hasan bin Isa An-Naisaburi berkata: “Aku bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarak dengan mengatakan: “Laki-laki tetangga datang kepadaku, lalu mengadukan pelayanku, bahwa pelayan itu telah mendatangkan kepadanya suatu hal. Dan pelayan itu mungkir terhadap apa yang diadukan. Aku tidak suka memikulnya. Mungkin pelayan itu tidak bersalah. Dan aku tidak suka pula membiarkan pelayan itu begitu saja, nanti tetanggaku bertanya lagi kepadaku. Maka bagaimanakah aku perbuat ?”. Abdullah bin Al-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya pelayanmu itu mungkin telah berbuat suatu perbuatan yang mengharuskan diberi pelajaran. Maka jagalah yang demikian terhadap pelayan itu ! maka apabila ia diadukan oleh tetanggamu, maka ajarilah dia diatas kejadian itu ! sehingga kamu telah menyenangkan tetanggamu dan telah mengajarkan pelayanmu diatas kejadian itu. Dan ini adalah kelemah-lembutan, menghimpunkan diantara dua hak (hak tetangga dan hak pelayan)”. ‘Aisyah berkata: “Sifat mulia itu 10, ada pada laki-laki dan tidak ada pada ayahnya. Ada pada budak belian dan tidak ada pada tuannya. Sifat-sifat itu dibagikan oleh Allah Ta’ala kepada siapa yang dikasihiNya. Yaitu: benar pembicaraannya, dibenarkan orang, memberi kepada yang meminta, membalas dengan layak segala perbuatan, bersilaturrahim, memelihara amanah, menjaga keamanan tetangga, menjaga keamanan teman dan memuliakan tamu. Dan yang diatas (yang lebih utama) dari sifat-sifat itu ialah malu”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Wahai para wanita Islam ! janganlah seorang tetangga menghinakan tetangganya, yang memberikan, walaupun kuku kambing !”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setengah dari kebahagiaan manusia muslim, ialah mempunyai tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih (yang baik) dan kendaraan yang menyenangkan”. Abdullah berkata: “Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah ! bagaimanakah aku mengetahui, bahwa aku telah berbuat baik atau berbuat jahat ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila engkau telah mendengar tetangga engkau mengatakan, bahwa engkau telah berbuat baik, maka adalah engkau telah berbuat baik. Dan apabila engkau mendengar mereka mengatakan bahwa engkau telah berbuat jahat, maka adalah engkau telah berbuat jahat”. Jabir ra berkata: “Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai tetangga pada suatu tanah perkebunan atau tetangga itu sekutunya (teman sekongsi), maka janganlah menjual hartanya, sebelum mengemukakan harta itu kepadanya”. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw telah menetapkan hukumnya, bahwa tetangga itu boleh meletakkan perkayuan rumahnya dalam pagar tetangganya, setuju ia yang demikian atau tidak setuju”. Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Janganlah dilarang oleh seorang kamu akan tetangganya, untuk meletakkan perkayuannya pada dindingnya”. Abu Hurairah berkata: “Tiada suka aku melihat kamu berpaling daripadanya. Demi Allah, sesungguhnya akan aku lemparkan barang-barang itu diantara bahu-bahumu”. Setengah ulama memandang wajib yang demikian. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah padanya kebajikan, niscaya dianugerahinya madu”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah dianugerahiNya madu ?”. Nabi saw menjawab: “DianugerahiNya kepadanya mencintai tetangganya”.
HAK-HAK KERABAT DAN FAMILI.
Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (famili atau kasih-sayang) ini, adalah Aku pecahkan dari salah satu dari namaKu. Maka barangsiapa menyambungkannya (bersilaturrahim), niscaya Aku sambungkan. Dan barangsiapa memutuskannya, niscaya Aku putuskan dia”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengingini dikemudiankan ajalnya (dipanjangkan umurnya) dan diluaskan rizqinya, maka hendaklah ia menyambung kefamiliannya (bersilaturrahim)”. Dan para riwayat lain, tersebut: “Barangsiapa mengingini dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan hendaklah menyambung kefamiliannya (bersilaturrahim)”. Ada yang menanyakan kepada Rasulullah saw: “Manusia manakah yang lebih utama ?”. Beliau menjawab: “Yang paling taqwa kepada Allah dan yang paling menyambung kefamilian (bersilaturrahim), yang paling beramar-ma’ruf dan yang paling bernahi-munkar”. Abu Dzar ra berkata: “Aku wasiaatkan oleh kecintaanku Rasulullah saw bersilaturrahim, walaupun aku dikebelakangkan. Dan menyuruh aku mengatakan yang benar, walaupun pahit”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kefamilian (rahim) itu tergantung di ‘Arasy. Dan tidaklah orang yang menyambungnya itu orang yang memperbuat setimpal. Tetapi orang yang menyambung, ialah orang dimana apabila kefamilian (silaturrahim) itu telah terputus, niscaya disambungkannya (diadakannya silaturrahim)”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ketaatan yang amat melekaskan memperoleh pahala, ialah silaturrahim (menyambung kekeluargaan), sehingga walaupun isi rumah itu fasiq. Maka hartanya akan bertambah dan jumlahnya akan banyak, apabila mereka itu menyambung kekeluargaannya (mengadakan silaturrahim)”. Zaid bin Aslam berkata: “Tatkala Rasulullah saw berangkat ke Makkah, lalu datang kepadanya seorang laki-laki, seraya mengatakan: “Kalau engkau berkehendak kepada wanita, yang putih dan putih bercampur merah, maka haruslah kepada kabilah Bani Mudlij !!”. Maka Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang aku dari Bani Mudlij, disebabkan silaturrahim mereka !”. Asma’ bin Abu Bakar ra berkata: “Telah datang kepadaku ibuku, lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya ibuku telah datang kepadaku dan ia seorang musyrik, apakah aku bersilaturrahim dengan dia ?”. Nabi saw menjawab: “Ya !”. Dan pada suatu riwayat: “Apakah aku berikan sesuatu kepadanya ?”. Dan Nabi saw menjawab: “Ya, sambungkanlah (kekeluargaan) dengan dia !”. Nabi saw bersabda: “Bersedekahlah kepada orang miskin, dibalas pahalanya dengan satu sedekah dan bersedekah kepada famili, dibalas dengan dua pahala sedekah”. Tatkala Abu Thalhah bermaksud bersedekah kebun yang amat disayanginya karena mengamalkan firman Allah Ta’ala: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, hanyalah jika kamu menafkahkan sebahagian dari apa yang kamu kasihi !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 92, lalu ia berkata kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah saw ! kebunku itu sedekah fi sabilillah dan untuk orang-orang fakir dan miskin”. Lalu Nabi saw menjawab: “Wajiblah pahala bagimu atas Allah, maka bagikanlah kepada segala kerabatmu !”. Nabi saw bersabda: “Sedekah yang paling utama ialah kepada famili yang sakit hati kepadanya”. Dan itu adalah terkandung dalam pengertian sabda Nabi saw: “Keutamaan yang paling utama (yang paling afdhal), ialah menyambung silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau, memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau dan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepada engkau”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra menulis surat kepada pegawai-pegawainya, diantara lain isinya: “Suruhlah semua kerabatmu kunjung-mengunjungi dan tidak mereka bertetangga !”. Sesungguhnya ia mengatakan yang demikian, karena bertetangga itu mendatangkan desak-mendesak hak. Dan kadang-kadang mendatangkan kerenggangan hati dan putusnya silaturrahim.
HAK-HAK IBU BAPAK DAN ANAK.
Tiadalah tersembunyi bahwa apabila hak kerabat dan famili sudah demikian kuat, maka adalah kefamilian yang lebih khusus dan lebih melekat, ialah hubungan anak dengan ibu bapak (alwilaadah). Maka berlipat-gandalah teguhnya hak pada al-wiladah itu. Nabi saw bersabda: “Tiadalah seorang anak itu membalasi jasa orang tuanya, sehingga ia mendapati orang tuanya itu sebagai budak orang, lalu dibelinya dan dimerdekakannya”. Nabi saw bersabda: “Berbuat kebajikan kepada ibu bapak adalah lebih utama dari shalat, sedekah, puasa, hajji, umrah dan jihad fi sabilillah”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa pagi-pagi membuat kesenangan kedua ibu bapaknya, niscaya baginya dua pintu yang terbuka ke sorga. Dan barangsiapa sore-sore berbuat demikian, maka seperti itu pula. Jikalau ada yang senang itu seorang, maka mendapat satu pintu saja. Walaupun kedua ibu bapak itu berbuat dzalim, walaupun keduanya berbuat dzalim dan walaupun keduanya berbuat dzalim. Dan barangsiapa pagi-pagi membuat kemarahan kedua ibu bapaknya, niscaya baginya dua pintu yang terbuka ke neraka. Dan jikalau sore-sore seperti itu juga. Jikalau ada yang marah itu seorang, maka mendapat satu pintu saja. Walaupun kedua ibu bapaknya itu berbuat dzalim, walaupun kedua-duanya berbuat dzalim dan walaupun keduanya berbuat dzalim”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sorga itu diperoleh baunya dari perjalanan 500 tahun. Dan baunya itu tiada akan diperoleh oleh orang yang mendurhakai ibu bapaknya dan orang yang memutuskan silaturrahim”. Nabi saw bersabda: “Berbuatlah kebajikan kepada ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu. Kemudian yang lebih dekat kepadamu, lalu yang lebih dekat kepadamu !”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Musa as: ”Hai Musa ! sesungguhnya barangsiapa berbuat kebajikan kepada ibu bapaknya dan mendurhakai akan Aku, niscaya Aku tuliskan dia orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa berbuat kebajikan kepadaKu dan mendurhakai akan ibu bapaknya, niscaya Aku tuliskan dia orang yang berbuat durhaka”. Ada yang menceritakan, bahwa tatkala Nabi Ya’qub as masuk ke tempat Nabi Yusuf as maka Nabi Yusuf as tidak bangun menghormatinya (ayahnya). Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Yusuf as: “Adakah engkau merasa besar untuk bangun berdiri menghormati ayahmu ?”. Demi keagunganKu dan kebesaranKu ! tiada Aku keluarkan dari tulang sulbimu seorang nabipun”. Nabi saw bersabda: “Tiada mengapa seseorang apabila bermaksud bersedekah dengan suatu sedekah, bahwa dijadikannya sedekah itu bagi kedua ibu bapaknya, apabila keduanya itu muslim. Maka pahalanya adalah bagi kedua ibu bapaknya. Dan baginya adalah seperti pahala bagi kedua ibu bapaknya itu tanpa kurang sedikitpun daripada pahala keduanya”. Malik bin Rabi’ah berkata: “Sewaktu kami sedang berada di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Kabilah Bani Salmah. Laki-laki itu bertanya:” Wahai Rasulullah ! adakah tinggal menjadi tanggunganku sesuatu daripada berbuat baik kepada ibu bapakku, yang akan aku perbuat kepada keduanya sesudah keduanya meninggal ?”. Nabi saw menjawab: “Ada ! yaitu, berdoa, beristighfar (meminta ampun dosa) keduanya, melunaskan janji keduanya, memuliakan teman keduanya dan menyambung silaturrahim yang tiada disambungkan, kecuali dengan keduanya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya, setengah kebajikan yang terlebih baik, ialah bahwa orang menghubungkan silaturrahim dengan keluarga orang yang dikasihi ayahnya, sesudah ayahnya menyerahkan kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Kebajikan ibu kepada anaknya adalah dua kali”. Nabi saw bersabda: “Doa ibu adalah sangat cepat diterima”. Lalu ada yang menanyakan: “Wahai Rasulullah ! mengapakah begitu ?”. Nabi saw menjawab: “Ibu itu lebih dekat kefamilian (arham) dari ayah. Dan doa famili dari pihak ibu (arrahim) itu tidak gugur”. Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! siapakah yang saya berbuat kebajikan kepadanya ?”. Nabi saw menjawab: “Berbuatlah kebajikan kepada ibu bapakmu !”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tiada mempunyai ibu bapak lagi”. Lalu Nabi saw menyambung: “Berbuatlah kebajikan kepada anakmu ! sebagaimana ibu bapakmu mempunyai hak atasmu, maka begitupula anakmu mempunyai hak atasmu”. Nabi saw bersabda: “Allah menganugerahkan rahmat kepada seorang ayah yang menolong anaknya diatas kebajikan”. Artinya: ia tiada membawa anaknya kepada kedurhakaan, disebabkan buruk perbuatannya. Nabi saw bersabda: “Samakanlah diantara anak-anakmu pada pemberian”. Ada yang mengatakan: “Anakmu itu keharuman bagimu. Engkau cium dia 7 dan dia berkhidmat kepada engkau 7. Kemudian dia itu musuh engkau atau sekutu engkau”. Anas ra berkata: “Nabi saw bersabda: “Anak itu disembelihkan akikah daripadanya pada hari ke-7 dari lahirnya, diberi nama dan dibuangkan daripadanya yang menyakitinya. Apabila telah berusia sampai 6 tahun, diajari adab sopan-santun. Apabila telah berusia 9 tahun, diasingkan tempat tidurnya. Apabila telah sampai 13 tahun, dipukul atas meninggalkan shalat. Apabila telah sampai 16 tahun dikawinkan oleh ayahnya, kemudian dipegang dengannya seraya mengatakan: “Telah aku ajari engkau sopan-santun, telah aku ajari engkau ilmu pengetahuan dan telah aku kawinkan engkau. Aku berlindung dengan Allah dari fitnah engkau di dunia dan azab yang engkau peroleh di akhirat !”. Nabi saw bersabda: “Setengah hak anak atas bapak, ialah membaguskan adab kesopanannya dan membaikkan namanya”. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap anak itu, baik laki-laki atau perempuan adalah tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihkan pada hari ke-7nya (dari hari kelahirannya) dan dicukurkan rambutnya”. Qatadah berkata: “Apabila disembelihkan hewan aqiqah, niscaya diambiilkan sehelai bulu daripadanya. Maka bertemu dengan bulu itu urat leher dari hewan itu. Kemudian bulu iitu diletakkan diatas pundak bayi, sehingga memanjang dari pundak itu seperti benang. Kemudian dibasuhkan kepalanya dan kemudian dicukurkan rambutnya”. Seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak. Lalu ia mengadukan kepadanya keadaan setengah anaknya. Abdullah bin Al-Mubarak bertanya: “Adakah engkau doakan yang buruk terhadap anak itu ?”. Ada !”, jawab orang itu. Maka Abdullah bin Al-Mubarak menyambung: “Engkau telah merusakkan anak itu”. Disunatkan kasih-sayang kepada anak. Al-Aqra’ bin Habis melihat Nabi saw memeluk anaknya (anak dari anaknya=cucunya) Hasan. Lalu Al-Aqra’ berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai 10 orang anak. Tiada seorangpun aku peluk dari mereka. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa tiada sayang kepada orang, niscaya ia tiada akan disayangi orang”. ‘Aisyah berkata: “Pada suatu hari Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Basuhlah muka Usamah !”. Maka aku basuhkan, sedang aku menyombong. Rasulullah saw memukul tanganku. Kemudian beliau mengambil Usamah, lalu membasuh mukanya. Kemudian memeluknya. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya ia telah berbuat baik bagi kita. Karena Usamah itu bukan pelayan”. Hasan (cucu Nabi Muhammad saw) terpeleset jatuh, sedang Nabi saw berada diatas mimbar. Lalu beliau turun membawanya, seraya membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnyya harta benda dan anak-anakmu hanyalah menjadi ujian”. S 64 Ath Taghabun ayat 15. Abdullah bin Syaddad berkata: “Di waktu Rasulullah saw sedang bershalat jama’’ah dengan orang banyak, tiba-tiba datanglah kepadanya Husain (cucunya). Lalu ia mengendarai lehernya, sedang Nabi saw itu sujud. Maka Nabi saw melamakan sujud bersama orang banyak itu, sehingga mereka itu menyangka, telah terjadi sesuatu kejadian. Tatkala Nabi saw telah menyelesaikan shalatnya, lalu orang banyak berkata: “Wahai Rasulullah ! engkau telah lamakan sujud. Sehingga kami menyangka telah terjadi sesuatu hal”. Nabi saw menjawab: “Anakku telah mengendarai aku. Maka aku tiada suka menyegerakannya, sehingga ia menunaikan hajatnya dengan kepuasan”. Pada yang demikian itu, banyak faedahnya: salah satunya ialah dekat kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya hamba itu, yang paling dekat kepada Allah Ta’ala, ialah apabila ia sedang sujud. Dan pada perbuatan Nabi saw tadi terdapat kasih-sayang kepada anak, perbuatan kebajikan dan pengajaran kepada umatnya. Nabi saw bersabda: “Bau anak itu dari bau sorga”. Ja’iz bin Mu’awiyah berkata: “Ayahku meminta datang Al-Ahnaf bin Qais. Ketika Al-Ahnaf datang kepada ayah, lalu ayah bertanya: “Hai Abu Bahar ! apakah katamu tentang anak ?”. Al-Ahnaf menjawab: “Hai Amirul-mu’minin ! anak itu buah hati kita dan tonggak punggung kita. Dan kita bagi mereka itu bumi yang hina dan langit yang menaungi. Dengan mereka kita melompat tiap-tiap yang mulia. Jikalau mereka meminta, maka berikanlah kepada mereka ! jikalau mereka marah, maka senangkanlah hati mereka ! akan diberikan kepadamu kecintaan mereka. Akan merangkak kepadamu kesungguhan mereka. Janganlah kamu menjadi beban yang berat kepada mereka, maka mereka akan bosan atas hidupnya kamu. Mereka menyukai matinya kamu dan tidak menyenangi dekatnya kamu”. Maka Mu’awiyah berkata kepada Al-Ahnaf: “Masya Allah engkau, wahai Ahnaf ! sesungguhnya engkau telah datang kepadaku, dimana aku sedang marah dan murka kepada Jazid”. Tatkala Al-Ahnaf telah keluar dari tempat Mu’awiyah, maka Mu’awiyah bersenang hati kembali kepada Jazid. Dan mengirimkan kepada Jazid uang 200 ribu dirham dan kain 200 potong. Lalu Jazid mengirimkan kepada Al-Ahnaf 100 ribu dirham dan 100 potong kain. Jazid membagikan uang dan kain itu setengah seorang dengan Al-Ahnaf. Inilah cerita-cerita yang menunjukkan tentang kuatnya hak ibu bapak. Dan bagaimana menegakkan hak keduanya itu. Engkau tahu dari apa yang telah kami sebutkan tentang hak pesaudaraan. Dan sesungguhnya ikatan ibu bapak ini adalah lebih kuat daripada ikatan persaudaraan. Bahwa disini bertambah dua hal. Salah satu dari keduanya itu, ialah bahwa sebahagian besar ulama menetapkan, bahwa mentaati ibu bapak adalah wajib pada hal-hal yang syubhat (yang diragukan halal-haramnya), walaupun tidak wajib pada hal-hal yang semata-mata haram. Sehingga apabila ibu bapak itu merasa tidak enak makan dengan tidak turutnya engkau bersama-sama, maka haruslah engkau makan bersama-sama keduanya. Karena meninggalkan syubhat itu adalah wara’ dan memperoleh kerelaan ibu bapak adalah wajib. Begitupula, tidak boleh engkau bermusafir pada jalan yang mubah atau jalan yang sunat, kecuali dengan izin keduanya. Dan menyegerakan melakukan ibadah hajji yang menjadi rukun Islam itu sunat, karena hajji itu boleh dikemudiankan. Dan pergi menuntut ilmu adalah sunat, kecuali apabila engkau menuntut ilmu yang fardlu, dari hal shalat dan puasa. Dan tak ada di kampungmu orang yang mengajarkan kamu. Dan yang demikian itu seperti orang yang mula-mula memeluk Islam dalam salah satu kampung, dimana tak ada di situ orang yang dapat mengajarkannya syariat Islam. Maka dalam hal ini, haruslah ia berhijrah dan tidak terikat dengan hak ibu bapak. Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Seorang laki-laki berhijrah dari Yaman pergi menjumpai Rasulullah saw dan ingin berjihad. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Adakah di Yaman ibu bapakmu ?”. “Ada !”, jawab orang itu. Maka Nabi saw bertanya pula: “Sudahkah keduanya memberi izin kepadamu ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Kembalilah kepada ibu bapakmu, mintalah izin kepada keduanya ! kalau keduanya menyetujui, maka berjihadlah dan jikalau tidak, maka berbuatlah kebajikan kepada keduanya menurut kesanggupanmu ! sesungguhnya itulah yang sebaik-baik untuk kamu bertemu dengan Allah, sesudah tauhid”. Ada orang lain datang kepada Nabi saw meminta pertimbangan tentang pergi ke medan perang. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Adakah engkau mempunyai ibu ?”. “Ada !”, jawab orang itu. Maka Nabi saw menyambung: “Hendaklah engkau bersama ibu engkau itu ! karena sorga adalah pada kedua kakinya”. Dan datang yang lain lagi meminta bai’ah (janji kesetiaan) untuk berhijrah, seraya berkata: “Tidak aku datang kepada engkau, wahai Rasulullah saw, sehingga telah membawa tangis ibu bapakku !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Kembalilah kepada ibu bapakmu ! buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Hak saudara yang tua diatas saudara yang muda, adalah seperti hak bapak atas anaknya”. Nabi saw bersabda: “Apabila binatang kendaraan seorang kamu mendatangkan kesulitan atau akhlaq isterinya jahat atau akhlaq salah seorang dari keluarganya, maka hendaklah ia melakukan adzan pada telinga yang jahat itu !”.
HAK-HAK BUDAK YANG DIMILIKI (AL-MAMLUK).
Ketahuilah, bahwa yang dipunyai dengan perkawinan (wanita yang dinikahi) telah diterangkan hak-haknya pada “Adab Kesopanan Perkawinan”. Adapun yang dipunyai dengan jalan milik (hamba sahaya), maka itupun menghendaki juga hak-hak dalam pergaulan, yang tak boleh tidak daripada memeliharakannya. Sesungguhnya setengah dari wasiat yang penghabisan, yang diwasiatkan Rasulullah saw ialah beliau bersabda: “Takutilah akan Allah tentang apa yang dimiliki oleh tanganmu ! berilah kepada mereka makanan, dari apa yang kamu makan sendiri ! berilah kepada mereka pakaian dari apa yang kamu pakai sendiri. Janganlah engkau memberatkan mereka dengan pekerjaan yang tiada disanggupinya !. Maka apa yang kamu sukai, peganglah terus. Dan apa yang tiada kamu sukai, jualkanlah ! janganlah kamu menyiksakan makhluq Allah ! sesungguhnya Allah menjadikan mereka milikmu. Dan kalau dikehendakiNya, niscaya dijadikanNya kamu menjadi milik mereka”. Nabi saw bersabda: “Budak yang dimiliki (al-mamluk) itu berhak mendapat makanan dan pakaian yang baik dan tidak diberatkan pekerjaan yang tidak disanggupinya”. Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk sorga penipu, penyombong, pengkhianat dan yang jahat bagi budak yang dimilikinya”. Abdullah bin Umar ra berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw seraya bertanya: “Wahai Rasulullah ! berapa kali kita memaafkan pelayan itu ?”. Rasulullah saw diam, kemudian beliau bersabda: “Maafkanlah pelayan itu pada tiap-tiap hari 70 kali !”. Umar ra pergi pada tiap-tiap hari Sabtu ke kampung-kampung di dalam kota. Apabila beliau mendapat seorang budak pada pekerjaan yang tidak disanggupinya, maka dilarangnya budak itu dari pekerjaan tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Hurairah ra melihat seorang laki-laki diatas kendaraannya dan budaknya berlari-lari kecil di belakangnya. Maka Abu Hurairah berkata kepada orang itu: “Hai hamba Allah ! bawalah budak itu di belakangmu ! sesungguhnya dia adalah saudaramu dan jiwanya seperti jiwamu”. Maka orang itupun lalu membawa budaknya di belakangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Senantiasalah hamba itu bertambah jauh daripada Allah, oleh apa yang berjalan kaki di belakangnya”. Seorang budak wanita berkata kepada Abid-Darda’: “Sesungguhnya aku telah meracunimu sejak setahun yang lalu. Tetapi racun itu tidak menghasilkan apa-apa padamu”. Lalu Abid-Darda’ bertanya: “Mengapakah engkau berbuat demikian ?”. Budak wanita itu menjawab: “Aku ingin lepas daripadamu !”. Maka Abid-Darda’ menjawab: “Pergilah ! engkau merdeka karena Allah !”. Az-Zuhri berkata: “Manakala engkau berkata kepada budak yang dimiliki: ‘Dihinakan kiranya kamu oleh Allah’. maka budak itu menjadi merdeka”. Ditanyakan kepada Al-Ahnaf bin Qais: “Dari siapakah engkau mempelajari tidak lekas marah ?”. Al-Ahnaf menjawab: “Dari Qais bin ‘Ashim”. Ditanyakan: “Sampai dimanakah tidak lekas marahnya itu ?”. Al-Ahnaf menjawab: “Sewaktu Al-Ahnaf bin Qais duduk di rumahnya, tiba-tiba datanglah budak wanitanya membawa tempat membakar daging dari besi, dimana diatasnya daging yang sudah dibakar. Lalu tempat membakar daging itu jatuh dari tangannya, diatas kepala putera Qais. Maka luka parahlah anak itu, kemudian meninggal. Maka gemetarlah tubuh budak wanita itu. Lalu Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Tidaklah tenang dari gemetarnya tubuh budak wanita ini, selain dimerdekakan. Lalu beliau berkata kepada budak itu: “Engkau merdeka, tidak mengapa perbuatan engkau itu”. Aun bin Abdullah apabila didurhakai oleh budaknya, lalu berkata: “Alangkah serupanya engkau dengan maula engkau (maula artinya: tuan atau yang memiliki). Maula engkau mendurhakai maulanya (maula disini maksudnya: Yang memilikinya itu: Allah). Dan engkau mendurhakai maula engkau”. Pada suatu hari Aun bin Abdullah itu memarahi budaknya. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya engkau bermaksud supaya aku memukul engkau. Pergilah ! engkau merdeka !”. Ada seorang tamu pada Maimun bin Mahran. Lalu Maimun meminta pada budak wanitanya supaya menyegerakan makanan malam. Maka datanglah budak wanita itu dengan terburu-buru dan ditangannya piring penuh dengan makanan. Lalu ia terpeleset dan tertumpahlah makanan itu keatas kepala tuannya Maimun. Maka berkatalah Maimun: “Hai budak, engkau membakar aku !”. Budak itu menyahut: “Hai pengajar kebajikan dan pendidikan sopan-santun manusia ! kembalilah kepada firman Allah Ta’ala !”. Maka Maimun bertanya: “Apakah firman Allah Ta’ala itu ?”. Budak wanita itu menjawab: “Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Maimun menjawab: “Sesungguhnya aku telah menahan marahku”. Budak wanita itu menyambung: “Dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain”. Sambungan ayat diatas tadi. Maimun menjawab: “Aku telah memaafkan engkau”. Budak wanita itu menyambung lagi: “Tambahlah ! sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada sesamanya)”. Sambungan ayat diatas tadi juga. Lalu Maimun berkata: “Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Ibnul Munkadir berkata: “Seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw memukul budaknya. Lalu budak itu berkata: ‘Aku bermohon kemaafan pada engkau dengan nama Allah. Aku bermohon pada engkau dengan karena Allah”. tetapi orang itu tidak juga memaafkan kesalahan budaknya. Maka didengar oleh Rasulullah saw pekikan budak itu, lalu beliau pergi kepadanya. Tatkala ia melihat Rasulullah saw, lalu ia menahan tangannya (tidak memukul lagi). Maka bersabda Rasulullah saw: “Budak itu meminta kepadamu dengan karena Allah, lalu engkau tidak memaafkannya. Dan tatkala engkau melihat aku datang, lalu engkau menahan tangan engkau”. Orang itu lalu berkata: “Dia itu merdeka karena Allah, wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Jikalau engkau tidak berbuat demikian, niscaya mukamu ditampar oleh api neraka”. Nabi saw bersabda: “Budak itu apabila menasehati tuannya dan membaguskan ibadah kepada Allah, maka baginya pahala dua kali”. Tatkala Abu Rafi’ dimerdekakan oleh tuannya, maka ia menangis seraya berkata: “Yang sudah-sudah aku mempunyai dua pahala, maka sekarang hilanglah satu daripadanya”. Nabi saw bersabda: “Datang berita kepadaku, 3 pertama yang masuk sorga dan 3 pertama yang masuk neraka. Adapun 3 pertama yang masuk sorga, yaitu: orang syahid, budak yang menjadi milik orang, dimana budak itu membaguskan ibadah kepada Tuhannya dan menasehati tuannya dan orang yang menjaga diri dari memakan harta syubhat yang berkeluarga. Dan 3 pertama yang masuk neraka yaitu: amir (penguasa) yang memakai kekuasaan tidak pada tempatnya, orang kaya yang tidak menunaikan hak Allah dan orang kafir yang sombong”. Dari Abi Mas’ud Al-Anshari, yang menerangkan: “Sewaktu aku sedang memukul budakku, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku: ‘Ketahuilah, hai Abi Mas’ud !, dua kali suara itu terdengar. Lalu aku berpaling ke belakang, kiranya Rasulullah saw. Maka aku campakkan cemeti itu dari tanganku. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah ! Allah lebih berkuasa atas kamu, daripada kamu atas budak ini”. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang kamu membeli pelayan (budak), maka hendaklah yang pertama diberikan untuk makanan budak itu, ialah: yang manis. Karena itulah yang lebih baik bagi dirinya”. Hadits ini dirawikan Muadz. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila pelayan seorang kamu datang membawa makanan, maka hendaklah menyuruh duduk pelayan itu dan hendaklah makan bersama dengan dia ! jikalau tiada berbuat demikian, maka hendaklah memberikan kepada pelayan itu sesuap dari makanan tadi”. Pada suatu riwayat: “Apabila memadai bagi seorang kamu budaknya tentang membuat makanan, maka memadailah baginya kemerdekaannya dan perbelanjaannya. Dan mendekatkan budaknya itu kepadanya. Maka hendaklah ia menyuruh duduk budaknya itu dan hendaklah makan bersama dia ! dan jikalau tidak berbuat demikian, maka hendaklah memberikan makanan kepadanya atau mengambil makanan itu, lalu mencampurkannya dengan lauk-pauk !”. Dan Nabi saw menunjukkan dengan tangannya ! dan hendaklah makanan itu diletakkan pada tangan budaknya, seraya mengatakan: “Makanlah ini !”. Seorang laki-laki datang ke tempat Salman, dimana Salman sedang meramas tepung untuk roti. Orang itu bertanya: “Hai Abu Abdillah, apakah ini ?”. Salman menjawab: “Telah kami utus pelayan kami pada suatu urusan, maka kami tidak suka mengumpulkan atas pundaknya dua perbuatan”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa ada pelayan budak wanita, maka dipeliharakannya dan berbuat baik kepadanya, kemudian dimerdekakannya dan dikawininya, maka yang demikian itu baginya dua pahala”. Nabi saw bersabda: “Maka semua kamu itu penggembala dan semua kamu itu bertanggung jawab dari gembalaannya”. Maka jumlah hak bagi budak yang dimiliki (al-mamluk) ialah: sama dengan dia pada makanan dan pakaian. Tiada memberatkannya diluar kesanggupannya. Tiada memandang kepadanya dengan mata kesombongan dan penghinaan. Memaafkan ketelanjurannya. Berfikir ketika memarahinya, disebabkan kesalahannya atau perbuatannya mendurhakai dan perbuatannya melanggar hak Allah Ta’ala dan keteledorannya pada mentaatinya. Sedang kekuasaan Allah diatas budak itu, adalah diatas kekuasaan dia. Fadl-Dlalah bin ‘Ubaid meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “3 orang tidak ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari jama’ah orang banyak, laki-laki yang mendurhakai imamnya (pemimpinnya), lalu meninggal dalam berbuat ma’siat. Maka kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan wanita yang suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk wanita itu perbelanjaan dunia. Lalu wanita itu berhias diluar batas di belakangnya. Maka tidak ditanyakan dari halnya. Dan 3 orang tiada ditanyakan halnya, yaitu: laki-laki yang bertengkar dengan Allah tentang selendangNya. Dan selendang Allah itu, ialah keagungan (al-kibria’). SarungNya ialah, kemuliaan. Laki-laki yang dalam keraguan tentang Allah. Dan laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah”. Telah tammat Kitab adab berteman dan bergaul dengan segala jenis makhluq”.