KITAB “ADAB BERKASIH-KASIHAN, PERSAUDARAAN, PERSAHABATAN DAN
PERGAULAN DENGAN SEGALA JENIS MANUSIA”.
(Yaitu Kitab Ke-5 dan Rubu’
ke-2 dari Adat Kebiasaan).
Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang menganugerahkan dengan berlimpah-ruah kepada
hambaNya yang pilihan, kerahmatan dan kenikmatan dengan segala kehalusan
penentuan. Yang menjinakkan dengan berkasih-kasihan diantara hati mereka, lalu
jadilah mereka itu bersaudara dengan kenikmatanNya. Yang mencabut kedengkian
daripada mereka, lalu senantiasalah mereka itu di dunia berteman dan bersahabat
dan di akhirat berkawan dan bertolan. Selawat kepada Muhammad yang pilihan dan
kepada keluarganya serta para sahabatnya yang mengikuti dan menuruti jejaknya,
dengan perkataan dan perbuatan, dengan keadilan dan keikhlasan. Kemudian,
sesungguhnya berkasih-kasihan pada jalan Allah Ta’ala dan persaudaraan pada
jalan agamaNya, adalah pendekatan diri yang paling utama kepadaNya. Dan faedah
yang paling halus, yang diperoleh dari segala ketaatan pada segala adat
kebiasaan yang berlaku. Dan semuanya itu mempunyai syarat-syarat, dimana dengan
syarat-syarat itu, berhubunganlah segala yang bersahabat dengan orang-orang
yang dikasihinya pada jalan Allah Ta’ala. Dan pada syarat-syarat itu, terdapat
hak-hak, dimana dengan menjagakannya, bersihlah persaudaraan itu dari campuran
segala kekotoran dan gangguan setan. Maka dengan menegakkan hak-haknya itu,
mendekatlah ia kepada Allah dalam tingkatannya. Dan dengan menjaga hak-hak itu,
tercapailah derajat yang tinggi. Kami akan menerangkan segala maksud dari Kitab
ini 3 bab:
Bab Pertama:
tentang kelebihan berkasih-kasihan dan persaudaraan pada jalan Allah Ta’ala,
syarat-syarat, derajat-derajat dan faedah-faedahnya.
Bab Kedua:
tentang hak-hak persahabatan, adabnya, hakikat dan segala keharusannya.
Bab Ketiga:
tentang hak orang muslim, keluarga, tetangga dan hamba sahaya yang dimiliki dan
cara bergaul dengan orang-orang yang memperoleh percobaan dengan sebab-sebab
tersebut.
BAB PERTAMA: tentang kelebihan
berkasih-sayang (ulfah) dan persaudaraan, mengenai syarat-syarat, derajat dan
faedah-faedahnya.
Kelebihan: berkasih-sayang dan persaudaraan:
Ketahuilah, bahwa
berkasih-sayang, adalah buah kebaikan budi. Dan bercerai-berai, adalah buah
keburukan budi. Maka kebaikan budi itu mengharuskan berkasih-kasihan,
berjinak-jinakan hati dan penyesuaian paham. Dan keburukan budi itu, membuahkan
bermarah-marahan, berdengki-dengkian dan belakang-membelakangi. Manakala yang
mendatangkan buah itu terpuji, niscaya buahnya adalah terpuji. Dan kebaikan
budi itu, tidaklah tersembunyi pada agama akan kelebihan dan keutamaannya. Dan
kebaikan budi itulah yang dipujikan Allah swt akan NabiNya, dimana Ia
berfirman: “Dan sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang tinggi”. S 68
Al Qalam ayat 4. Dan Nabi saw bersabda: “Yang membanyakkan manusia masuk sorga,
ialah taqwa kepada Allah dan kebaikan budi”. Usamah bin Syuraik berkata: “Kami
bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah yang terbaik diberikan kepada manusia ?”.
Nabi saw menjawab: “Budi yang baik”. Nabi saw bersabda: “Diutuskan aku untuk
menyempurnakan kebaikan budi”. Nabi saw bersabda: “Yang terberat dari apa yang
diletakkan dalam al-mizan (timbangan amal), ialah budi yang baik”. Nabi saw
bersabda: “Tiada dibaguskan oleh Allah akan kejadian dan budinya seseorang
manusia, lalu dia itu dijadikan menjadi makanan neraka”. Nabi saw bersabda:
“Hai Abu Hurairah ! haruslah engkau berbaik budi”. Lalu Abu Hurairah ra
bertanya: “Bagaimanakah budi yang baik itu wahai Rasulullah ?”. Nabi saw
menjawab: “Engkau menyambung silaturrahim dengan orang yang memutuskannya
dengan engkau, engkau maafkan orang yang berbuat dzalim kepada engkau dan
engkau memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau”. Dan
tidak tersembunyi lagi, bahwa buah kebaikan budi itu, ialah berkasih-sayang
(ulfah) dan habisnya keliaran hati. Dan manakala baguslah yang mendatangkan
buah, niscaya baguslah buahnya. Bagaimana tidak ? dan telah datang pujian
kepada jiwa berkasih-sayang itu, lebih-lebih apabila ikatannya itu adalah:
taqwa, agama, dan mencintai Allah, dari ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar,
dimana padanya cukup dan memuaskan penjelasannya. Allah Ta’ala berfirman, untuk
menjelaskan keagungan nikmatNya kepada manusia dengan kenikmatan
berjinak-jinakan hati: “Kalau kiranya engkau belanjakan seluruh apa yang ada di
bumi, niscaya engkau tidak juga dapat menyatukan (menjinakkan) hati mereka,
tetapi Allah menyatukan hati mereka”. S 8 Al Anfaal ayat 63. Dan Allah
berfirman: “Maka dengan nikmat Allah, kamu menjadi bersaudara”. S 3 Ali ‘Imran
ayat 103. Artinya: dengan ulfah (berjinak-jinakan hati, berkasih-sayang).
Kemudian Allah Ta’ala mencela perpecahan dan memperingatkan supaya perpecahan
itu ditinggalkan. Maka Maha Agunglah IA yang berfirman: “Dan berpegang eratlah
kamu sekalian dengan tali Allah (agama Allah) dan janganlah berpecah belah !
ingatilah kurnia Allah kepada kamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu
dipersatukannya hati kamu (dalam agama Allah), sehingga dengan kurnia Allah
itu, kamu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulu berada di tepi lobang neraka,
maka dilepaskanNya kamu daripadanya. Begitulah Allah menjelaskan
keterangan-keteranganNya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk”. S 3 Ali
‘Imran ayat 103. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya yang terlebih dekat
kedudukanmu kepadaku, ialah yang terbaik akhlaq (budi pekerti) daripada kamu,
yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati
orang dan orang menjinakkan hati mereka”. Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu,
ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan,
pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya”. Nabi saw
bersabda tentang pujian kepada pesaudaraan dalam agama: “Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah kepadanya kebajikan, niscaya dianugerahiNya kepadanya
teman yang baik. Kalau ia lupa, maka teman itu yang memperingatinya. Dan
jikalau ia teringat, maka teman itu yang menolongnya”. Nabi saw bersabda: “2
orang yang bersaudara itu, apabila berjumpa, adalah seumpama dua tangan, yang
satu membasuh yang lain. Dan tidaklah sekali-kali dua orang mu’min itu bertemu
melainkan diberi faedah oleh Allah dengan kebajikan akan salah seorang dari
keduanya dari temannya”. Nabi saw bersabda tentang mengajak kepada pesaudaraan
pada jalan Allah: “Barangsiapa mempersaudarakan seseorang saudara pada jalan Allah,
niscaya ia ditinggikan oleh Allah suatu tingkat dalam sorga, yang tiada akan
dicapainya dengan sesuatu dari amal perbuatannya”. Abu Idris Al-Khaulani
berkata kepada Mu’az: “Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah. Maka
menjawab Mu’az: “Gembiralah kamu kiranya ! gembiralah kamu kiranya ! maka
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Akan diletakkan untuk
segolongan manusia, beberapa kursi di keliling ‘Arasy pada hari qiamat, dimana
wajah mereka itu seperti bulan pada malam punama raya, dimana manusia lain
gentar dan mereka tidak gentar ddan manusia lain takut dan mereka tidak takut.
Mereka itu ialah wali-wali Allah, yang tak ada pada mereka ketakutan dan
kegundahan”. Lalu orang menanyakan: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah !” Nabi
saw menjawab: “Mereka itu ialah orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan
Allah Ta’ala”. Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra. Dan Abu Hurairah ra
menerangkan, bahwa pada hadits itu tersebut: “Sesungguhnya di keliling ‘Arasy
itu beberapa mimbar dari nur, dimana atas mimbar itu suatu kaum, pakaiannya nur
dan wajahnya nur. Mereka itu bukanlah nabi-nabi dan orang-orang syahid. Mereka
itu disenangi oleh nabi-nabi dan orang-orang syahid”. Lalu para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah ! terangkanlah kepada kami siapa mereka itu !”.
Maka Nabi saw menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang berkasih-kasihan
pada jalan Allah, sama-sama duduk pada jalan Allah dan kunjung-mengunjungi pada
jalan Allah”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah berkasih-kasihan dua orang pada
jalan Allah, melainkan yang lebih mencintai Allah dari keduanya. Itulah yang
paling mencintai temannya, dari keduanya itu”. Dan dikatakan, bahwa dua orang
bersaudara pada jalan Allah itu, apabila seorang dari keduanya lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain, niscaya ditinggikan oleh Allah yang lain itu
bersamanya kepada kedudukannya. Dan yang lain itu akan menghubungi dengan dia,
sebagaimana keturunan menghubungi dengan dua ibu bapak dan keluarga,
sebagiannya dengan sebagian yang lain. Karena persaudaraan itu apabila
diusahakan pada jalan Allah, niscaya tidaklah berkurang dari persaudaraan
dengan kelahiran. Allah Azza Wa Jalla berfirman:: “Nanti mereka akan kami
pertemukan dengan keturunannya itu dan tiada Kami kurangi amal mereka barang
sedikitpun”. S 52 Ath Thuur ayat 21. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala berfirman: “Benarlah kesayanganKu kepada mereka yang kunjung-mengunjungi
dari karenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka, yang berkasih-kasihan
dari kerenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka, yang beri-memberi, dari
karenaKu. Dan benarlah kesayanganKu kepada mereka yang tolong-menolong dari
karenaKu”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari
qiamat: “Dimanakah sekarang mereka, yang berkasih-kasihan dengan sebab
kebesaranKu ? pada hari ini, Aku naungi mereka pada naunganKu, pada hari yang
tidak ada naungan, selain naunganKu”. Nabi saw bersabda: “7 orang yang dinaungi
oleh Allah pada naunganNya, pada hari yang tak ada naungan, selain dari
naunganNya: imam yang adil, pemuda yang berkembang dalam ibadah kepada Allah,
laki-laki yang hatinya tersangkut di Masjid, apabila ia keluar dari Masjid,
sehingga kembalilah ia ke Masjid, dua orang laki-laki yang berkasih-kasihan
pada jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah diatas yang demikian,
laki-laki yang mengingati Allah (berdzikir) pada tempat yang sunyi sepi, lalu
bergenanglah kedua matanya dengan air mata, laki-laki yang dipanggil oleh
wanita bangsawan dan cantik, lalu menjawab: “Aku takut kepada Allah Ta’ala dan
laki-laki yang bersedekah suatu sedekah, lalu menyembunyikannya, sehingga tiada
diketahui oleh tangan kirinya apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. Nabi
saw bersabda: “Tiadalah seorang laki-laki yang berkunjung kepada seorang
laki-laki pada jalan Allah, karena rindu kepadanya dan ingin menjumpainya,
melainkan ia dipanggil oleh Malaikat dari belakangnya dengan kata-kata:
“Baiklah engkau kiranya, baiklah tempat jalannya engkau dan baiklah sorga bagi
engkau !”. Nabi saw bersabda: “Bahwa seorang laki-laki berkunjung (berziarah)
kepada saudaranya pada jalan Allah. Maka Allah mengirimkan kepadanya Malaikat,
untuk menanyakan: “Kamu hendak kemana ?”. Laki-laki itu menjawab: “Mau
mengunjungi saudaraku si Anu”. Lalu Malaikat itu bertanya lagi: “Adakah keperluanmu
padanya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak ada !”. Malaikat itu menyambung:
“Karena kefamiliankah diantara kamu dan dia ?”. Laki-laki itu menyahut: “Tidak
!”. Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah disebabkan nikmat pemberiannya kepadamu
?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Malaikat itu bertanya pula: “Kalau
begitu, apakah sebabnya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku mencintainya pada
jalan Allah”. Lalu Malaikat itu menyambung: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
mengutus aku kepadamu untuk menerangkan, bahwa Dia mencintaimu, karena cintamu
kepadaNya. Dan telah diharuskanNya sorga untukmu”. Nabi saw bersabda: “Yang
terlebih kokoh perpegangan tali iman, ialah kasih-sayang pada jalan Allah dan
marah pada jalan Allah”. Maka karena inilah, harus bagi seseorang mempunyai
musuh yang dimarahinya pada jalan Allah, sebagaimana ia mempunyai teman dan
saudara yang dicintainya pada jalan Allah. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada seorang dari nabi-nabi, dengan fiirmanNya: “Adapun
zuhudmu di dunia (bencimu kepada dunia), maka telah menyegerakan kamu
beristirahat. Adapun putusmu dari dunia, karena beribadah kepadaKu, maka
sesungguhnya kamu telah memperoleh kemuliaan dengan Aku. Tetapi adakah kamu
bermusuh pada jalanKu akan seseorang musuh ? atau adakah kamu berkasih-sayang
pada jalanKu dengan seseorang kekasihKu ?”. Nabi saw bersabda: “Wahai Allah
Tuhanku ! janganlah kiranya Engkau menjadikan nikmat kepunyaan orang dzalim
kepadaku, lalu Engkau anugerahkan kecintaanku kepadanya !”. Diriwayatkan, bahwa
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Isa as dengan firmanNya: “Jikalau engkau
mengerjakan ibadah kepadaKu, dengan ibadah penduduk langit dan bumi dan tidak
ada kecintaan pada jalan Allah dan tidak ada kemarahan pada jalan Allah,
niscaya tidaklah yang demikian itu mencukupkan akan sesuatu pada engkau”. Isa
as bersabda: “Berkasih-sayanglah kamu pada jalan Allah, dengan kemarahan
orang-orang yang berbuat ma’siat ! mendekat dirilah kamu kepada Allah, dengan
menjauhkan diri dari mereka ! dan carilah kerelaan Allah dengan kemarahan
mereka !”. Para sahabat Isa as bertanya: “Wahai kekasih Allah ! maka dengan
siapakah kami duduk-duduk ?”. Isa as menjawab: “Duduklah kamu dengan orang,
yang dengan melihatnya, mengingatkan kamu kepada Allah, dengan orang, yang
dengan perkataannya menambahkan amalanmu dan dengan orang, yang dengan
amalannya menggemarkan kamu kepada akhirat”. Diriwayatkan dalam berita-berita
zaman dahulu, bahwa Allah Azza Wa Jalla menurunkan wahyu kepada Musa as dengan
firmanNya: “Wahai Ibnu ‘Imran ! hendaklah kamu waspada dan tariklah
saudara-saudara itu untuk dirimu ! tiap-tiap teman dan sahabat yang tidak
menolong engkau kepada kesukaanKu, maka itu adalah musuhmu". Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Dawud as dengan firmanNya: “Wahai Dawud ! mengapakah
Aku melihat engkau tercampak sendirian ?”. Dawud as menjawab: “Wahai Tuhanku !
aku benci kepada makhluk dari karena Engkau”. Maka Allah berfirman: “Wahai
Dawud ! hendaklah engkau waspada dan tariklah teman-teman itu untuk dirimu !
dan tiap-tiap teman yang tiada sesuai dengan engkau kepada kesukaanKu, maka
janganlah engkau berteman dengan dia ! karena dia musuhmu, yang mengesatkan
hatimu dan menjauhkan kamu daripadaKu”. Tersebut pada akhbar (berita-berita)
Dawud as, bahwa Dawud as bertanya kepada Allah: “Wahai Tuhanku ! bagaimanakah
supaya aku disukai oleh semua manusia dan aku selamat mengenai sesuatu antaraku
dan Engkau ?”. Allah Ta’ala menjawab: “Bergaullah dengan manusia menurut akhlaq
mereka ! dan berbuat baiklah mengenai sesuatu antara Aku dan engkau !”. Dan
pada setengah akhbar tersebut: “Berakhlaqlah dengan penduduk dunia dengan
akhlaq dunia dan berakhlaqlah dengan penduduk akhirat dengan akhlaq akhirat !”.
Nabi saw bersabda: “Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka
yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain.
Dan yang amat dimarahi diantara kamu oleh Allah, ialah orang-orang yang
menyiarkan khabar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara”. Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai Malaikat, setengahnya dari api dan
setengahnya dari salju, dimana Malaikat itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
sebagaimana Engkau jinakkan antara salju dan api, maka demikian pula,
jinakkanlah antara hati segala hambaMu yang shalih”. Dan Nabi saw bersabda pula:
“Tiada diadakan oleh seorang hamba, akan persaudaraan pada jalan Allah,
melainkan diadakan oleh Allah untuknya, suatu tingkat dalam sorga”. Nabi saw
bersabda: “Mereka yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, adalah diatas suatu
tiang dari mutiara yaqut yang merah. Pada puncak tiang itu 70 ribu kamar.
Mereka itu menoleh kepada penduduk sorga, yang kebagusan mereka, memberi cahaya
kepada penduduk sorga itu, sebagaimana matahari memberi cahaya kepada penduduk
dunia. Maka berkatalah penduduk sorga: “Pergilah kepada kami, supaya kami
melihat kepada orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah ! lalu
kebagusan mereka menyinarkan penduduk sorga, sebagaimana matahari menyinarkan.
Pada mereka, kain sutera hijau, yang tertulis pada dahi mereka: “Orang-orang yang
berkasih-kasihan pada jalan Allah”. Menurut atsar, diantara lain, ‘Ali ra
berkata: “Haruslah kamu bersaudara (berteman) ! karena teman-teman itu adalah
alat (media) di dunia dan di akhirat. Apakah kamu tidak mendengar ucapan
penduduk neraka: “Bahwa kami tiada mempunyai orang-orang yang akan menolong.
Dan tiada mempunyai teman yang setia !”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 100-101.
‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata: “Demi Allah ! jikalau aku berpuasa siang,
dimana aku tiada berbuka padanya dan aku bershalat malam, dimana aku tiada
tidur padanya dan aku belanjakan hartaku yang baik-baik pada jalan Allah, maka
aku mati pada hari aku mati dan tidak ada dalam hatiku kecintaan kepada
orang-orang yang mentaati Allah dan kemarahan kepada orang-orang yang
mendurhakai Allah, niscaya tiadalah bermanfaat kepadaku sedikitpun dari yang
demikian itu”. Ibnus-Samak mendoa ketika akan meninggal: “Wahai Allah Tuhanku !
sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwa aku, apabila mendurhakai Engkau, maka aku
adalah mencintai orang yang mentaati Engkau. Maka jadikanlah yang demikian itu,
mendekatkan aku kepada Engkau !”. Al-Hasan berkata sebaliknya: “Wahai anak Adam
! janganlah kamu terperdaya dengan perkataan orang yang mengatakan: ‘Manusia
itu bersama orang yang dikasihinya’. Karena engkau tiada akan memperoleh
derajat orang baik-baik, kecuali dengan beramal segala amalan mereka.
Sesungguhnya orang Yahudi dan orang Nasrani, adalah mencintai nabi-nabinya dan
tidaklah mereka itu bersama nabi-nabinya”. Dan ini menunjukkan, bahwa
semata-mata demikian, tanpa bersesuaian pada sebahagian perbuatan atau
seluruhnya, niscaya tidaklah bermanfaat. Al-Fudlail berkata pada sebahagian
perkataannya: “Wah, kamu ingin menempati sorga Firdaus dan mendekati Tuhan Yang
Maha Pengasih pada rumahNya, bersama nabi-nabi, orang-orang shiddiq,
orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Dengan amal apakah yang engkau
kerjakan ? dengan syahwat apakah yang engkau tinggalkan ? dengan kemarahan
apakah yang engkau tahan kemarahan itu ? dengan siltaurrahim manakah yang telah
putus, engkau sambungkan ? dengan kesalahan manakah bagi saudaramu, yang telah
engkau ampunkan ? dengan yang dekat manakah, yang telah engkau jauhkan pada
jalan Allah ? dan dengan yang jauh manakah, yang telah engkau dekatkan pada
jalan Allah ?”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as
dengan firmanNya: “Adakah engkau berbuat amal semata-mata bagiKu ?”. Musa as
menjawab: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku mengerjakan shalat bagiMu,
berpuasa, bersedekah dan berzakat”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
shalat bagimu itu suatu dalil. Puasa itu suatu benteng. Sedekah itu suatu
naungan. Dan zakat itu suatu nur. Maka amal manakah yang engkau perbuat untukKu
?”. Musa mendoa: “Wahai Tuhanku ! tunjukilah aku akan amal yang untukMu ?”.
Tuhan berfirman: “Wahai Musa ! adakah engkau berteman untukKu saja teman itu ?
dan adakah engkau bermusuh pada jalanKu saja musuh itu ?”. Maka tahulah Musa,
bahwa amal yang paling utama, ialah mencintai pada jalan Allah dan memarahi
pada jalan Allah. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jikalau adalah seorang laki-laki
berdiri mengerjakan shalat antara ar-rukn (sudut Ka’bah) ddan Al-Maqam (Maqam
Ibrahim dekat Ka’bah). Ia beribadah kepada Allah selama 70 tahun. Niscaya ia
dibangkitkan oleh Allah pada hari qiamat, bersama orang yang dikasihinya”.
Al-Hasan ra berkata: “Memutuskan silaturrahim dengan orang fasiq, adalah
pendekatan diri kepada Allah”. Seorang laki-laki berkata kepada Muhammad bin
Wasi’: “Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah”. Maka menjawab
Muhammad bin Wasi’: “Engkau dicintai Allah, dimana engkau mencintai aku
karenaNya”. Kemudian Muhammad bin Wasi’ memalingkan wajahnya dan mendoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku mencintai
pada jalan Engkau, sedang Engkau memarahi aku”. Seorang laki-laki masuk ke
tempat Dawud Ath-Tha’i. Lalu Dawud bertanya kepadanya: “Apakah hajatmu ?”.
Laki-laki itu menjawab: “Mengunjungi Engkau”. Maka Dawud menyambung: “Adapun
engkau sesungguhnya, telah berbuat kebajikan, ketika berkunjung kemari. Tetapi
perhatikanlah, apa yang menimpa kepada diriku, apabila orang menanyakan
kepadaku: “Siapakah engkau, maka dikunjungi ? adakah termasuk orang zahid
engkau ini ? “Tidak demi Allah !”. Adakah termasuk orang ‘abid engkau ini ?
“Tidak, demi Allah !”. Adakah termasuk orang shalih engkau ini ? “Tidak, demi
Allah !”. Kemudian, beliau tujukan untuk menjelekkan dirinya sendiri, dengan
mengatakan: “Adalah aku pada waktu muda dahulu, seorang yang fasiq. Maka
tatkala aku telah tua, lalu aku menjadi seorang yang ria. Demi Allah, orang
yang ria itu adalah lebih jahat daripada orang yang fasiq”. ‘Umar ra berkata:
“Apabila seorang kamu memperoleh kesayangan dari saudaranya, maka hendaklah ia
berpegang teguh dengan kesayangan itu. Amat sedikitlah orang yang memperoleh
demikian”. Mujahid berkata: “Orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan
Allah, apabila berjumpa, lalu mengerutkan muka satu sama lain. Berguguranlah
segala kesalahan dari mereka, sebagaimana berguguran daun kayu pada musim
dingin, apabila daun kayu itu telah kering”. Al-fudlail berkata: “Pandangan
seseorang kepada wajah saudaranya (temannya) dengan kecintaan dan kesayangan,
adalah ibadah”.
PENJELASAN: Arti persaudaraan pada
jalan Allah dan perbedaannya dari persaudaraan pada jalan dunia.
Ketahuilah, kiranya
kecintaan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah, adalah soal yang
kabur. Dan akan terbuka tutupnya dengan apa yang akan kami sebutkan. Yaitu:
bahwa persahabatan itu terbagi kepada: yang terjadi dengan kebetulan, seperti
pesahabatan disebabkan bertetangga. Atau disebabkan pergaulan di surau atau di
sekolah atau di pasar atau pada pintu sultan atau dalam perjalanan. Dan kepada:
yang terjadi dengan pilihan sendiri dan dengan maksud. Yaitu: yang kami
maksudkan menerangkannya. Karena persaudaraan dalam agama itu terjadi sudah
pasti, dalam bahagian ini. Karena tiada pahala, selain pada perbuatan yang
pilihan sendiri (al-‘af-‘aal – al-ikhtiyariyyah). Dan tak ada penggemaran,
kecuali pada perbuatan yang pilihan itu. Persahabatan adalah: ibarat dari duduk
bersama, bercampur dan bergaul. Dan segala hal ini, tiada dimaksudkan oleh
seorang manusia dengan manusia lain, kecuali apabila dikasihinya. Maka yang
tidak dikasihi itu, dijauhkan dan disingkirkan. Dan tidak bermaksud
bercampur-baur dengan dia. Dan yang dikasihi itu, adakalanya dikasihi, karena
diri benda itu sendiri. Bukan untuk menyampaikan kepada yang dikasihi dan yang
dimaksudkan di belakangnya. Dan adakalanya dikasihi untuk menyampaikan kepada
sesuatu maksud. Dan maksud itu, adakalanya terbatas pada dunia dan
bahagian-bahagiannya. Adakalanya berhubungan dengan akhirat. Dan adakalanya
berhubungan dengan Allah Ta’ala. Maka inilah 4 bahagian:
Bahagian pertama:
yaitu, engkau mencintai seorang manusia, karena diri orang itu. Dan yang
demikian itu mungkin. Yaitu: ada pada dirinya yang tercinta bagimu. Dengan
pengertian, bahwa engkau merasa senang melihatnya, mengenalinya dan menyaksikan
segala tingkah lakunya. Karena engkau memandang baik kepadanya. Maka
sesungguhnya tiap-tiap yang cantik itu, adalah enak pada pihak orang yang
mengetahui kecantikannya. Dan tiap-tiap yang enak itu, disukai. Keenakan itu
mengikuti akan istihsan (memandang baik). Dan istihsan itu mengikuti akan
penyesuaian, berpatutan dan kesepakatan antara karakter-karakter (tabiat-tabiat).
Kemudian yang dipandang baik itu, adakalanya bentuk zhahir, yakni: kecantikan
kejadian (bagus bentuknya). Dan adakalanya bentuk bathin. Yakni: kesempurnaan
akal pikiran dan kebagusan budi pekerti. Dan kebagusan budi pekerti itu tidak
mustahil akan diikuti oleh kebagusan perbuatan. Dan kesempurnaan akal pikiran,
akan diikuti oleh banyaknya ilmu pengetahuan. Dan semua itu, dipandang baik
pada karakter yang sejahtera dan akal yang lurus (betul). Dan tiap-tiap yang
dipandang baik itu, maka dirasa enak dan disayangi. Bahkan pada penjinakan hati
itu, ada suatu hal yang lebih kabur dari ini. Karena kadang-kadang,
kekasih-sayangan itu kokoh kuat diantara dua orang, tanpa manis rupa, budi
pekerti dan bagus bentuk. Tetapi karena persesuaian bathin, mengharuskan kejinakkan
hati dan kesepatakan jiwa. Karena keserupaan sesuatu itu, tertarik kepadanya
dengan tabiat. Dan keserupaan-keserupaan bathin itu tersembunyi. Dan mempunyai
sebab-sebab yang halus, yang tidak sanggup kekuatan manusia menyelaminya.
Rasulullah saw mengibaratkan dari yang demikian, dimana beliau bersabda: “Jiwa
itu adalah laksana tentara yang berkumpul. Maka yang kenal mengenal
daripadanya, niscaya jinak-menjinakkan. Dan yang bertentangan daripadanya
niscaya berselisihlah”. Pertentangan, adalah hasil (natijah) dari perbedaan.
Dan kejinakan hati adalah hasil dari kesesuaian, yang diibaratkan dengan:
ta’aruf (berkenalan satu sama lain). Pada sebahagian kata-kata hadits tadi,
terdapat yang maksudnya: “Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul dan
berjumpa. Lalu berciuman di udara”. Setengah ‘ulama menyebutkan ini dengan cara
kinayah (sindiran), dengan mengatakan, bahwa Allah Ta’ala menjadikan segala
nyawa. Maka dipecahkanNya setengahnya berpecahan dan dithawafkanNya
(dikelilingkanNya) di keliling ‘Arasy. Maka mana diantara dua nyawa dari dua
pecahan yang berkenalan itu, lalu keduanya bertemu, sebagai sambungan di dunia.
Dan Nabi saw bersabda: “Bahwa nyawa dua orang mu’min, bertemu dalam perjalanan
sehari. Dan tiada sekali-kali, salah seorang dari keduanya melihat temannya”.
Diriwayatkan: “Bahwa di Makkah ada seorang wanita, suka menertawakan wanita
lain. Dan di Madinah ada lagi seorang. Lalu wanita Makkah tadi tinggal di
Madinah. Maka datanglah ia ke tempat ‘Aisyah. Lalu menertawakannya. Maka ‘Aisyah
bertanya: “Dimanakah engkau tinggal ?”. Wanita tadi, lalu menyebutkan kepada ‘Aisyah
temannya. Maka ‘Aisyah berkata: “Benarlah kiranya Allah dan RasulNya. Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jiwa itu adalah laksana tentara yang
berkumpul.....sampai akhir hadits diatas tadi”. Yang sebenarnya mengenai ini,
ialah: bahwa pandang memandang dan percobaan, menjadi saksi kejinakan hati,
ketika terdapat kesesuaian. Dan kesesuaian tentang tabiat dan akhlaq pada
bathin dan pada zhahir, adalah hal yang dapat dipahami. Adapun sebab-sebab yang
mengharuskan persesuaian itu, tidaklah sanggup kemampuan manusia mendalaminya.
Dan sejauh kelucuan ahli nujum, bahwa ia mengatakan: apabila bintangnya berada
6 kali dari bintang orang lain atau 3 kali, maka ini memperlihatkan persesuaian
dan kesayangan. Lalu yang demikian itu menghendaki kepada kesesuaian dan
berkasih-kasihan. Dan apabila sebaliknya atau berada 4 kali, niscaya membawa
kepada bermarah-marahan dan permusuhan. Maka ini kalau benar adanya seperti
demikian, dalam berlakunya sunnah Allah (yang ditetapkan oleh Allah) pada
kejadian langit dan bumi, niscaya persoalan padanya, adalah lebih banyak dari
persoalan tentang pokok kesesuaian. Maka tak ada artinya, memasuki hal yang
tidak terbuka rahasianya (sirr) bagi umat manusia. Maka tidaklah dianugerahkan
kepada kita, dari ilmu pengetahuan, kecuali sedikit saja. Dan mencukupilah bagi
kita, untuk membenarkan yang demikian itu, percobaan dan penyaksian. Dan telah
datang hadits tentang yang demikian, dimana Nabi saw bersabda: “Jikalau seorang
mu’min masuk ke suatu majelis, dimana pada majelis itu 100 orang munafiq dan
seorang orang mu’min, sesungguhnya orang mu’min itu datang, sehingga duduk pada
seorang mu’min tadi. Dan jikalau seorang munafiq masuk ke suatu majelis, dimana
pada majelis itu 100 orang mu’min dan seorang orang munafiq, sesungguhnya orang
munafiq itu datang, sehingga ia duduk pada seorang munafiq itu”. Ini
menunjukkan, bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik kepadanya dengan tabiat,
walaupun ua tiada terasa yang demikian itu. Malik bin Dinar berkata: “Tidak
akan sesuai dua orang dalam 10 orang, selain pada salah seorang dari keduanya,
terdapat sifat dari yang seorang lagi. Sesungguhnya jenis-jenis manusia, adalah
seperti jenis-jenis burung. Tidak akan sepakat dua macam burung terbang
bersama, kecuali diantara keduanya ada kesesuaian”. Lalu Malik bin Dinar
meneruskan dengan mengatakan bahwa pada suatu hari, beliau melihat seekor
burung gagak, bersama seekor burung merpati. Maka heranlah beliau melihat
demikian, lalu berkata: “Keduanya itu telah sepakat dan tidaklah keduanya itu
dari satu bentuk”. Kemudian, kedua ekor burung itu terbang. Rupanya, keduanya
pincang. Lalu Malik bin Dinar berkata: “Dari segi inilah keduanya sepakat”.
Karena itulah, setengah ahli hikmat (hukama’) berkata: “Tiap-tiap manusia,
jinak hatinya kepada yang sebentuk dengan dia sebagaimana masing-masing burung
itu terbang bersama jenisnya. Dan apabila dua orang bersahabat pada suatu waktu
dan keadaan keduanya tidak serupa, maka tak dapat tidak, keduanya akan
berpisah”. Dan inilah suatu pengertian yang tersembunyi, yang telah dipahami
dengan kecerdikan oleh penyair-penyair. Sehingga berkatalah seorang dari
mereka:
“Seorang bertanya:
“Bagaimana, engkau berdua jadi
berpisah ?”.
Maka aku menjawab,
dengan jawaban keinsyafan:
“Dia tidak sebentuk dengan aku,
maka aku berpisah dengan dia.......”.
Manusia itu berbagai bentuk
dan beribu macam keadaan.......”.
Maka jelaslah dari yang tersebut ini,
bahwa manusia kadang-kadang mencintai karena zat barang itu sendiri. Bukan
karena sesuatu faedah, yang akan dicapai, pada masa yang sekarang atau pada
masa yang akan datang. Tetapi, karena semata-mata kesejenisan dan kesesuaian
pada sifat-sifat bathin dan budi pekerti yang tersembunyi. Dan termasuk dalam
bahagian ini, cinta karena cantik, apabila, tidak ada maksudnya untuk
melepaskan nafsu syahwat. Sesungguhnya, rupa yang cantik adalah enak dipandang
mata, walaupun diumpamakan tidak ada nafsu syahwat sama sekali. Sehingga
enaklah memandang kepada buah-buahan, sinar, bunga-bungaan, buah rufah yang
warnanya bercampur dengan kemerah-merahan, memandang kepada air yang mengalir
dan kepada benda yang kehijau-hijauan, tanpa suatu maksud, selain daripada
benda itu sendiri. Kecintaan tadi tidaklah termasuk kecintaan kepada Allah. Tetapi
itu, adalah kecintaan dengan tabiat (sifat masing-masing) dan hawa nafsu. Dan
yang demikian itu, tergambar dari orang yang tidak beriman kepada Allah.
Kecuali, sesungguhnya, kalau hal yang tersebut tadi, mempunyai hubungan dengan
suatu maksud yang tercela, niscaya jadilah ia tercela. Seperti kecintaan kepada
rupa yang cantik untuk melepaskan hawa nafsu, dimana tidak halal melepaskannya.
Dan jikalau tidak berhubungan dengan suatu maksud yang tercela, maka itu
diperbolehkan (mubah), yang tidak disifatkan dengan pujian dan celaan. Karena
kecintaan itu, adakalanya terpuji, adakalanya tercela dan adakalanya mubah,
tidak terpuji dan tidak tercela.
Bahagian kedua:
bahwa mencintai sesuatu, untuk memperoleh dari benda itu, selain dari bendanya.
Maka jadilah benda itu, wasilah (jalan) untuk sampai kepada yang dicintai, yang
lain dari benda itu. Dan wasilah kepada yang dicintai, adalah dicintai. Dan apa
yang dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya, adalah yang lain itu pada
hakikatnya yang dicintai. Tetapi jalan kepada yang dicintai, adalah dicintai
juga. Karena itulah, manusia mencintai emas dan perak. Dan tak ada maksud pada
keduanya. Karena ia tidak diambil untuk menjadi makanan dan pakaian. Tetapi
keduanya, adalah wasilah kepada segala yang dicintai. Sebahagian manusia, ada
orang yang dicintai, sebagaimana dicintai emas dan perak, dari segi dia itu
wasilah kepada sesuatu maksud. Karena dengan dia, dapat mencintai kemegahan
atau harta atau ilmu pengetahuan. Sebagaimana orang mencintai seorang sultan
(penguasa), karena dapat mempergunakan hartanya atau kemegahannya. Dan
mencintai orang-orang tertentu dari orang-orang sultan, karena mereka akan
menerangkan yang baik-baik tentang dirinya kepada sultan. Dan menyediakan
persoalannya untuk masuk ke dalam hati sultan. Maka jalan yang dicari untuk
sampai kepadanya, kalau faedahnya terbatas pada dunia saja, niscaya tidaklah
kecintaannya itu dari jumlah kecintaan pada jalan Allah. Dan kalau tidak
terbatas faedahnya pada dunia, tetapi tiada dimaksudkan kecuali untuk dunia,
seperti kecintaan murid kepada gurunnya, maka itu juga diluar dari kecintaan
kepada Allah. Karena sesungguhnya, mencintai guru, adalah supaya memperoleh
ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri. Maka yang dicintainya adalah ilmu
pengetahuan. Apabila tidak dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan itu, untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tetapi untuk memperoleh kemegahan, harta
dan penerimaan dari orang banyak, maka yang dicintainya, adalah kemegahan dan
penerimaan orang banyak. Dan ilmu pengetahuan itu adalah wasilah (jalan)
kepadanya. Dan guru itu adalah wasilah kepada ilmu pengetahuan. Maka tiada
sedikitpun dari yang demikian itu, kecintaan kepada Allah. Karena tergambarlah
semuanya itu, dari orang yang tiada beriman sekali-kali kepada Allah Ta’ala. Kemudian,
ini terbagi pula kepada: yang tercela dan yang mubah. Kalau dimaksudkan dengan
kecintaan itu, supaya tercapai maksud-maksud yang tercela: dari pemaksaan
teman-teman, pengambilan harta anak-anak yatim, kedzaliman pemimpin-pemimpin
dengan urusan kehakiman atau lainnya, niscaya adalah kecintaan itu tercela. Dan
kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, untuk mencapai yang mubah (yang
diperbolehkan), maka itu adalah mubah. Sesungguhnya wasilah itu, mengusahakan
hukum dan sifat dari tujuan yang dimaksudkan mencapainya. Maka wasilah itu
mengikuti tujuan. Ia tidak berdiri sendiri.
Bahagian ketiga:
bahwa mencintai sesuatu, tidak karena dzat sesuatu itu. Tetapi untuk yang lain.
Dan yang lain itu, tidak kembali kepada segala bahagiannya dalam dunia. Tetapi
kembali kepada segala bahagiannya di akhirat. Maka inipun jelas, tak ada
kekaburan padanya. Dan yang demikian itu, seperti orang yang mencintai gurunya
dan syaikhnya. Karena dengan guru dan syaikhnya itu, ia berhasil untuk
memperoleh ilmu dan kepandaian beramal. Dan maksudnya dari ilmu dan amal itu,
ialah kemenangan di akhirat. Maka ini, termasuk dalam jumlah orang-orang yang
mencintai pada jalan Allah. Dan begitupula orang yang mencintai muridnya.
Karena murid itu memperoleh ilmu daripadanya. Dan ia mencapai dengan
perantaraan muridnya itu: pangkat pengajar. Dan ia meningkat dengan itu, ke
derajat: pengagungan di alam tinggi (alam malakut). Karena Isa as bersabda:
“Barangsiapa belajar, berbuat dan mengajar, maka orang yang demikian itu
dinamakan: ‘Orang besar, di alam tinggi”. Mengajar itu tidak akan sempurna,
kecuali ada yang belajar (murid). Jadi murid itu adalah alat (media) untuk
memperoleh kesempurnaan tersebut. Maka kalau ia mencintai murid, karena menjadi
alatnya, sebab murid itu menjadikan dadanya kebun untuk tanaman dari guru, yang
menjadi sebab meningkatnya guru itu ke tingkat: pengagungan di alam malakut,
maka adalah ia mencintai pada jalan Allah. Bahkan orang yang bersedekah dengan
hartanya karena Allah, dikumpulkannya tamu-tamu dan disediakannya bagi mereka
makanan yang enak-enak, yang jarang terdapat, karena mendekatkan diri kepada
Allah, lalu disayanginya tukang masak, karena bagus pekerjaannya dalam memasak,
maka dia itu termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah.
Dan begitupula, kalau ia mencintai orang yang diserahkannya untuk menyampaikan
sedekah (zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, maka sesungguhnya ia
mencintai orang itu pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan diatas ini lagi dan
kami mengatakan: “Apabila ia mencintai orang yang menjadi pelayannya pada
mencuci pakaiannya, menyapu rumahnya dan memasak makanannya dan dengan itu ia
dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ilmu pengetahuan atau amal perbuatan
dan maksudnya dari memakai pelayan pada segala perbuatan yang tersebut itu,
adalah untuk dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ibadah, maka ia adalah
mencintai pada jalan Allah”. Bahkan kami tambahkan lagi dan kami
mengatakan: “Apabila ia mencintai orang
yang membelanjainya dengan harta, yang menolonginya dengan pakaian, makanan,
tempat tinggal dan semua maksud yang dimaksudkannya di dunia, dan maksudnya
dari jumlah yang demikian itu, adalah untuk dapaat menyerahkan segala waktunya
bagi ilmu dan amal yang mendekatkan kepada Allah, maka dia itu adalah mencintai
pada jalan Allah”. Sesungguhnya, adalah suatu kumpulan dari orang-orang dahulu
(salaf), yang keperluannya ditanggung oleh serombongan orang-orang kaya. Dan
adalah yang menolong dan yang ditolong itu semua termasuk sebagian dari
orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan lagi
dan kami mengatakan: “Bahwa orang yang mengawini seorang wanita yang shalih,
supaya ia terpelihara dengan wanita itu dari gangguan setan dan dapat ia
menjaga dengan wanita itu akan agamanya atau supaya ia memperoleh dari wanita
itu anak yang shalih, yang akan berdoa kepadanya dan ia mencintai isterinya
itu, karena menjadi alat untuk mencapai maksud-maksud keagamaan tersebut, maka
ia adalah mencintai pada jalan Allah”. Dan karena itulah, datang banyak hadits
yang menerangkan dengan kesempurnaan pahala dan balasan pada mengeluarkan
perbelanjaan kepada keluarga, sehingga sesuap makanan yang dimasukkan oleh
seorang laki-laki ke dalam mulut isterinya. Bahkan kami mengatakan: bahwa
tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencintai kerelaanNya dan
mencintai menemuiNya di negeri akhirat, maka apabila ia mencintai orang lain,
niscaya adalah ia mencintai pada jalan Allah. Karena tiada tergambar ia
mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk yang menjadi kecintaannya.
Yaitu: kerelaan Allah Azza Wa Jalla. Bahkan aku tambahkan diatas ini lagi dan
aku mengatakan: apabila terkumpul didalam hatinya dua kecintaan: kecintaan
kepada Allah dan kecintaan kepada dunia dan berkumpul pada orang seorang dua
maksud bersama-sama, sehingga patut untuk ia memperoleh wasilah (jalan) kepada
Allah dan kepada dunia. Maka apabila dicintainya itu untuk kebaikan kedua hal
tersebut, niscaya adalah ia termasuk orang-orang yang mencintai pada jalan
Allah. Seperti: orang mencintai gurunya yang mengajarinya agama dan mencukupkan
kepadanya segala keperluan duniawi, dengan memberikan harta. Maka dicintainya
gurunya itu, dimana menurut sifatnya, ialah mencari kesenangan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Lalu gurunya itu, adalah wasilah kepada keduanya. Maka
adalah ia mencintai pada jalan Allah. Dan tidaklah termasuk syarat mencintai
Allah, bahwa ia tidak mencintai sedikitpun kebahagiaan di dunia. Karena doa
yang disuruh nabi-nabi, dimana pada doa itu, berhimpun antara dunia dan
akhirat. Dan sebahagian dari doa yang semacam itu, ialah doa: “Wahai Tuhan kami
! datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat !”. Isa as
membacakan dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! janganlah Engkau kecewakan
musuhku, disebabkan aku ! janganlah Engkau burukkan temanku, disebabkan aku !
janganlah Engkau jadikan bahaya yang menimpa diriku, atas agamaku ! dan
janganlah Engkau jadikan dunia, yang terbesar dari cita-citaku !”. Maka menolak
kekecewaan musuh, adalah termasuk bahagian duniawi. Dan Isa as tidak
mengucapkan: “Janganlah Engkau jadikan dunia pokok dari cita-citaku !”. Tetapi
ia mengucapkan: “Janganlah Engkau jadikan dunia itu, yang terbesar dari
cita-citaku !”. Nabi kita Muhammad saw membacakan pada doanya: “Wahai Allah
Tuhanku ! sesungguhnya aku memohonkan rahmat padaMu, yang aku capai dengan
rahmat itu akan kemuliaan kelimpahan kurniaMu, di dunia dan di akhirat !”. Dan
Nabi saw membacakan: “Wahai Allah Tuhanku ! datangkanlah kepadaku ke’afiatan
dari bencana dunia dan bencana akhirat !”. Kesimpulannya, maka apabila tidaklah
kecintaan kepada kebahagiaan di akhirat berlawanan dengan kecintaan kepada
Allah Ta’ala, maka kecintaan kepada keselamatan, kesehatan, kecukupan dan
kemuliaan di dunia, lalu bagaimanakah ia berlawanan dengan kecintaan kepada Allah
?”. Dunia dan akhirat, adalah ibarat dua hal, yang satu lebih dekat dari yang
lain. Maka bagaimanakah dapat digambarkan bahwa manusia itu mencintai
bahagian-bahagian untuk dirinya esok dan tidak mencintai bahagian-bahagiannya
yang hari ini ? sesungguhnya ia mencintai yang esok, karena yang esok itu akan
menjadi persediaan yang disediakan. Maka yang disediakan itu, tak boleh tidak
adalah dituntut juga. Kecuali bahagian-bahagian yang sekarang ini (di dunia),
adalah terbagi kepada: yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang di akhirat
dan yang mencegah daripadanya. Dan itu, yang dijaga benar daripadanya, oleh
nabi-nabi dan wali-wali. Dan mereka menyuruh menjaga daripadanya. Dan kepada:
yang tidak berlawanan. Yaitu: yang mereka, tidak mencegah diri daripadanya,
seperti: nikah yang shah, memakan yang halal dll. Apa yang berlawanan dengan
bahagian-bahagian yang akan diperoleh di akhirat, maka hak dari orang yang
berakal pikiran, membencikannya dan tidak mencintainya. Yakni: membencikannya
dengan akal pikirannya, tidak dengan nalurinya. Sebagaimana ia membenci
mengambil makanan yang enak untuk seorang raja, dimana ia mengetahui, kalau ia
mengambil makanan tersebut, niscaya tangannya dipotong atau lehernya dipancung.
Bukan dengan pengerian, bahwa makanan yang lezat rasanya itu, ia tidak
merindukannya dengan nalurinya dan tidak merasa kelezatannya, jikalau
dimakannya. Karena yang demikian itu, adalah mustahil. Tetapi, dengan
pengertian, bahwa ia digertak dengan siksaan oleh akal pikirannya, untuk datang
mengambil makanan tersebut. Dan terjadilah padanya kebencian oleh kemelaratan
yang berhubungan dengan makanan itu. Dan yang dimaksudkan dari ini, ialah
jikalau ia mencintai gurunya, karena menolongnya dan mengajarinya. Atau ia
mencintai muridnya, karena murid itu belajar padanyya dan berkhidmat padanya.
Dan salah satu dari yang dua itu, adalah bahagian yang diperolehnya dengan
segera (di dunia) dan yang lain pada masa yang lambat (di akhirat), niscaya
adalah ia dalam rombongan orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah.
Tetapi dengan satu syarat, yaitu: jikalau gurunya itu tidak mau memberikan
kepadanya suatu ilmu –umpamanya-atau sukar ia memperoleh ilmu itu dari gurunya
yang tersebut, niscaya berkuranglah kecintaannya disebabkan yang demikian. Maka
kadar yang berkurang disebabkan tidak adanya yang tersebut tadi, itu adalah
bagi Allah Ta’ala. Dan baginya atas kadar yang berkurang itu, mempunyai pahala
kecintaan pada jalan Allah. Dan tidaklah dapat dibantah, bahwa kecintaanmu
bertambah keras kepada seseorang manusia, karena sejumlah maksud-maksud yang
terikat satu sama lain bagimu dengan orang itu. Maka jikalau terhambat
sebahagian dari maksud-maksud itu, niscaya berkuranglah kecintaanmu kepadanya.
Dan jika bertambah bahagian dari maksud-maksud itu, niscaya kecintaanmu menjadi
bertambah. Maka tidaklah kecintaanmu kepada emas, seperti kecintaanmu kepada
perak, apabila jumlahnya bersamaan. Karena emas itu menyampaikan kepada
maksud-maksud yang lebih banyak, dari apa yang dapat disampaikan oleh perak.
Jadi, kecintaan itu bertambah dengan bertambahnya maksud. Dan tidaklah mustahil
berkumpul maksud-maksud duniawi dan ukhrawi (maksud-maksud dunia dan akhirat).
Maka itu adalah termasuk dalam jumlah kecintaan kepada Allah. Dan batasnya,
ialah: bahwa tiap-tiap kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah dan hari
akhirat, lalu tidak tergambar adanya kecintaan itu, maka itu adalah kecintaan
pada jalan Allah. Dan begitupula, tiap-tiap tambahan pada kecintaan, jikalau
tidak ada iman kepada Allah, niscaya tambahan itu tidak ada. Maka tambahan
tersebut adalah dari kecintaan pada jalan Allah. Yang demikian itu, walaupun
halus, adalah ia mulia. Al-Jurairi berkata: “Manusia bergaul pada kurun pertama
dengan agama, sehingga tipislah agama itu. Mereka bergaul pada kurun kedua
dengan kesetiaan, sehingga hilanglah kesetiaan itu. Dan pada kurun ketiga,
dengan kehormatan diri (muruah), sehingga hilanglah kehormatan diri itu. Dan
tidak ada tinggal, selain dari ketakutan dan keinginan”.
Bahagian keempat:
bahwa ia mencintai karena Allah dan pada jalan Allah. Tidak untuk memperoleh
daripadanya ilmu atau pekerjaan. Atau untuk dipergunakan menjadi wasilah kepada
sesuatu hal, dibalik diri orang itu sendiri. Dan inilah derajat yang tertinggi
! dan itulah yang paling halus dan yang paling kabur. Bahagian ini juga
mungkin. Karena setengah dari bekas kerasnya kecintaan, ialah bahwa melampaui
dari yang dicintai, kepada tiap-tiap orang yang bersangkutan dengan yang
dicintai dan yang bersesuaian dengan yang dicintai, walaupun dari jauh. Maka
orang yang mencintai seorang manusia dengan kecintaan yang keras, niscaya ia
mencintai orang yang mencintai manusia itu. Ia mencintai orang yang dicintai
oleh manusia itu. Ia mencintai orang yang melayani manusia itu. Ia mencintai
orang yang dipuji oleh kecintaannya itu. Dan ia mencintai orang yang bekerja
cepat untuk kesenangan kecintaannya itu. Sehingga berkata Baqiyah bin al-Walid:
“Bahwa orang mu’min apabila mencintai orang mu’min, niscaya ia akan mencintai
akan anjingnya”. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Baqiyah itu. Dibuktikan
oleh percobaan dalam keadaan orang-orang yang sedang asyik dan maksyuk. Dan
ditunjukkan kepada yang demikian, oleh syair-syair para penyair. Dan karena
itulah, orang menyimpan kain dari kecintaannya dan menyembunyikannya untuk
kenang-kenangan dari pihak kecintaannya itu. Dan mencintai rumah, tempat
tinggal dan tetangga dari kecintaan. Sehingga bermadahlah seorang yang mabuk
cinta (majnun) dari kabilah (suku) Bani ‘Amir:
“Aku lalu di hadapan rumah,
rumah kecintaanku Laila.
Aku menghadap ke dinding ini
dan ke dinding itu......
Tidaklah kecintaan kepada rumah,
yang melekat pada jantung hatiku.
Tetapi kecintaan kepada orang,
yang mendiami rumah itu.......”.
Jadi, penyaksian
dan percobaan menunjukkan, bahwa kecintaan itu melampaui dari diri yang
dicintai, kepada yang mengelilinginya, yang berhubungan dengan sebab-sebabnya
dan yang bersesuaian dengan dia, walaupun dari jauh. Tetapi yang demikian itu,
adalah dari salah satu kekhususan bersangatannya kecintaan. Maka pokok
kecintaan, tidaklah mencukupi pada orang yang dicintai saja. Dan adalah
meluasnya kecintaan itu pada melampauinya dari yang dicintai, kepada yang
meliputi, yang mengelilingi dan yang bersangkutan dengan sebab-sebabnya,
menurut berlebih-lebihan dan kuatnya kecintaan itu. Dan seperti itu pulalah
kecintaan kepada Allah swt, apabila kuat dan mengeras pada hari dan menguasao
padanya. Sehingga sampai kepada batas membuta tuli. Maka melampauilah kecintaan
itu, kepada segala yang ada (maujud), selain Dia. Karena segala yang maujud,
selain Dia, adalah bekas dari bekas qudrahNya. Dan barangsiapa mencintai
seorang manusia, niscaya dicintainya akan perbuatan, tulisan dan segala
pekerjaan dari manusia itu. Dan karena itulah, Nabi saw apabila dibawa
kepadanya, buah-buahan yang menjadi petikan pertama dari pohonnya, lalu beliau
menyapu kedua matanya dengan buah-buahan itu dan memuliakannya. Dan bersabda:
“Dia baru saja dengan Tuhan kita”. Mencintai Allah Ta’ala, sekali adalah
benarnya harapan pada janji-janjiNya dan apa yang akan terjadi di akhirat dari
nikmatNya. Sekali, karena apa yang telah terdahulu, dari rahmat-rahmatNya dan
bermacam-macam nikmatNya. Sekali, karena DzatNya, tidak karena sesuatu hal yang
lain. Dan inilah yang terhalus dan yang tertinggi, dari segala macam kecintaan.
Dan akan datang pentahkikan (pembuktian)nya, pada “Kitab Kecintaan” dari Rubu’
Al-Munjiyat (Rubu’ yang melepaskan) Insya Allahu Ta’ala. Betapapun kesepakatan
kecintaan kepada Allah, maka apabila telah kuat, niscaya melampauilah kepada
semua yang bersangkutan dengan Dia, dalam macam manapun sangkutan itu. Sehingga
melampaui kepada apa, yang padanya menyakitkan dan tidak menyukakan pada
dirinya. Tetapi berlebihan cinta itu, melemahkan perasaan sakit. Dan
kegembiraan dengan perbuatan orang yang dicintai dan perbuatan itu maksudnya
menyakitkan, dapat menghilangkan perasaan kesakitan itu. Dan yang demikian,
seperti kegembiraan dengan pukulan yang datang dari yang dicintai atau
perkataan yang menyakitkan, dimana padanya semacam perkataan yang tidak
menyenangkan. Sesungguhnya kuatnya kecintaan yang membekas kesenangan itu,
menghilangkan perasaan kesakitan. Dan telah sampailah kecintaan kepada Allah
bagi suatu kaum, sehingga sampailah mereka itu mengatakan: “Kami tidak
membedakan antara bencana dan nikmat. Karena semuanya itu dari Allah. Dan tidak
kami bergembira, kecuali dengan yang ada padanya kerelaan Allah”. Sehingga
setengah mereka mengatakan: “Aku tidak bermaksud memperoleh pengampunan Allah
pada kema’siatan kepada Allah”. Samnun bermadah:
“Tidaklah bagiku,
bahagian pada selain Engkau.
Maka bagaimanapun kehendakMu,
cobakanlah kepadaku......”.
Dan akan datang
pentahkikan yang demikian, pada Kitab Kecintaan. Dan yang dimaksud, ialah:
bahwa kecintaan kepada Allah apabila telah kuat, niscaya membuahkan kecintaan
kepada tiap-tiap orang yang berdiri dengan hak peribadatan kepada Allah,
mengenai pengetahuan atau amalan. Dan membuahkan kecintaan kepada tiap-tiap
orang yang ada padanya, sifat yang direlai Allah, dari kelakuan yang baik atau
beradab dengan adab-adab agama. Dan tidaklah dari seorang mu’min yang mencintai
akhirat dan mencintai Allah, melainkan apabila diterangkan kepadanya, tentang
hal dua orang. Yang seorang alim abid, dan yang seorang lagi jahil fasiq. Maka
ia memperoleh pada dirinya, kecondongan kepada orang alim yang abid. Kemudian
kecondongan itu lemah dan kuat, menurut kelemahan dan kekuatan imannya. Dan
menurut kelemahan dan kekuatan cintanya kepada Allah. Dan kecondongan itu
diperoleh, walaupun kedua orang itu jauh daripadanya, dimana ia mengetahui,
bahwa dia tidak akan memperoleh dari kedua orang tersebut, kebajikan atau
kejahatan, baik di dunia atau di akhirat. Maka kecondongan itu, ialah kecintaan
kepada Allah dan karena Allah, tanpa memperoleh bahagian apa-apa. Sesungguhnya
ia mencintai orang itu, karena Allah mencintainya. Dan karena orang itu
memperoleh kerelaan pada sisi Allah Ta’ala. Dan karena ia mencintai Allah
Ta’ala. Dan ia selalu beribadah kepada Allah Ta’ala. Kecuali, apabila kecintaan
itu lemah, niscaya bekasnya tidak menampak dan tidak lahir padanya pembalasan
dan pahala. Apabila kecintaan itu kuat, niscaya membawa kepada berkawan,
tolong-menolong, memelihara jiwa, harta dan lidah. Dan manusia berlebih-kurang
padanya, menurut berlebih-kurangnya mereka mencintai Allah Azza Wa Jalla. Dan
adalah kalau kecintaan itu terbatas, kepada memperoleh bahagian yang akan
diperoleh dari yang dicintai, baik sekarang atau pada masa yang akan datang,
niscaya tidaklah tergambar mencintai orang-orang yang telah meninggal, dari
alim ‘Ulama, abid-abid, para sahabat dan tabi’in. Bahkan juga nabi-nabi yang
telah silam, kiranya rahmat dan sejahtera daripada Allah berkekalan kepada
mereka sekalian. Dan kecintaan kepada semua mereka itu, adalah tersembunyi
dalam hati tiap-tiap muslim yang beragama. Yang demikian itu, jelas dengan
marahnya, ketika musuh-musuh mencaci salah seorang dari mereka yang tersebut
tadi dan dengan senangnya ketika mereka mendapat pujian dan disebutkan
kebaikan-kebaikan mereka. Semuanya itu adalah kecintaan karena Allah. Karena
mereka, adalah hamba-hamba Allah yang tertentu. Barangsiapa mencintai seorang
raja atau seorang yang baik, niscaya ia mencintai pembantu-pembantu dan
pelayan-pelayannya. Dan mencintai orang-orang yang dicintai oleh raja atau
orang yang baik tadi. Kecuali dia itu menguji akan kecintaannya dengan timbal
balik dengan segala bahagian untuk dirinya. Kadang-kadang mengeras, dimana
tidak tinggal bagi dirinya bahagian, selain pada yang menjadi bahagian bagi
yang dicintai. Dan tentang itu, bersajaklah orang yang bersajak:
“Aku mau bersilaturrahmi,
ia mau meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan apa yang aku
kehendaki,
untuk apa yang ia mau........”.
Dan berkatalah orang yang mengatakan:
“Apabila luka itu.........
apabila telah menyenangkan bagimu
kesakitan”.
Kadang-kadang
kecintaan itu, ditinggalkan sebahagian dan tinggal lagi sebahagian. Seumpama:
orang yang diperbolehkan oleh jiwanya untuk menyerahkan kepada kekasihnya,
setengah hartanya atau 1/3 nya atau 1/10 nya. Maka menurut jumlah harta yang
diserahkan itu, adalah menjadi timbangan kecintaannya. Karena tidak diketahui
tingkat kecintaan itu, melainkan dengan kecintaan yang ditinggalkan sebagai
timbal-baliknya. Maka orang yang tenggelam dalam kecintaan dengan seluruh
jiwanya, niscaya tidaklah tinggal baginya lagi, kecintaan yang lain. Maka tidaklah
ditahan untuk dirinya sesuatu, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Beliau tidak
meninggalkan lagi untuk dirinya sendiri, baik keluarga atau harta. Maka
diserahkannya puterinya yang menjadi jantung hatinya dan diberikannya semua
hartanya. Ibnu ‘Umar ra berkata: “Sewaktu Rasulullah saw sedang duduk dan di
sisinya Abu Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada
dadanya beberapa lobang, tiba-tiba turun Jibril as. Maka Jibril as menyampaikan
salam sejahtera daripada Allah kepada Nabi dan mengatakan: “Wahai Rasulullah !
mengapakah saya meliihat Abu Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang
telah koyak pada dadanya beberapa lobang ?”. Nabi saw menjawab: “”Beliau telah
membelanjakan hartanya kepadaku sebelum penaklukan Makkah”. Jibril menyambung:
“Sampaikanlah salam sejahtera daripada Allah kepadanya dan katakanlah
kepadanya: “Tuhanmu bertanya kepadamu: ‘Adakah engkau rela dariKu tentang
kemiskinanmu ini atau engkau marah ?”. Ibnu ‘Umar ra menerangkan seterusnya:
“Lalu Nabi saw berpaling kepada Abu Bakar dan bersabda: “Wahai Abu Bakar !
inilah Jibril yang membacakan kepadamu salam sejahtera daripada Allah dan
berfirman: ‘Adakah engkau rela dariKu tentang kemiskinanmu ini atau engkau
marah ?”. Ibnu ‘Umar meneruskan ceritanya: “Maka menangislah Abu Bakar ra
seraya berkata: “Adakah aku marah kepada Tuhanku ? aku rela kepada Tuhanku, aku
rela kepada Tuhanku !”. Maka dapatlah diambil kesimpulan dari ini, bahwa
tiap-tiap orang yang mencintai orang alim atau orang abid atau mencintai orang
yang menggemari ilmu atau ibadah atau kebajikan, maka sesungguhnya ia mencintai
orang yang tersebut tadi, pada jalan Allah dan karena Allah. Dan ia memperoleh
pahala dan pembalasan, menurut kekuatan kecintaannya. Maka inilah uraian
kecintaan pada jalan Allah dan tingkat-tingkatnya. Dan dengan ini, menjadi
jelaslah pula tentang kemarahan pada jalan Allah. Tetapi akan kami tambahkan
lagi penjelasan:
PENJELASAN: kemarahan pada jalan
Allah.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap
orang yang mencintai pada jalan Allah, niscaya tak boleh tidak, ia memarahi
pada jalan Allah. Karena jikalau engkau mencintai seseorang manusia, karena ia
mentaati Allah dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah
dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah, niscaya tak
boleh tidak, engkau akan memarahinya. Karena ia berbuat ma’siat kepada Allah
dan ia tercela pada sisi Allah. Dan barangsiapa mencintai disebabkan sesuatu
sebab, maka dengan sendirinya ia memarahi bagi lawan sebab itu. Dan hal yang
dua ini, adalah perlu-memerlukan. Tidak berpisah yang satu dari lainnya. Dan
itu menurut kebiasaan, banyak terjadi pada kecintaan dan kemarahan. Tetapi
masing-masing dari kecintaan dan kemarahan itu, penyakit yang tertanam dalam
hati. Dan sesungguhnya ia tiris ketika mengeras. Ia tiris dengan lahirnya
perbuatan orang-orang yang mencintai dan yang memarahi, pada dekat-mendekati
dan jauh-menjauhi, pada perselisihan dan persesuaian. Maka apabila telah lahir
pada perbuata, niscaya dinamakan yang demikian: berteman dan bermusuh. Dan
karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Adakah engkau mengambil seorang teman
pada jalan agamaKu ? Adakah engkau bermusuh dengan seorang musuh pada jalan
agamaKu ?”, sebagaimana telah kami nukilkan dahulu. Dan ini adalah jelas
terhadap orang yang tiada terang bagimu, selain dari ketaatannya yang
menentukan bagimu untuk mencintainya. Atau tiada jelas bagimu, selain dari
kefasiqan dan kedzalimannya dan budi pekertinya yang jahat. Lalu engkau
menentukan untuk memarahinya. Sesungguhnya yang sulit, ialah apabila bercampur
ketaatan dengan kema’siatan. Maka engkau akan bertanya: “Bagaimanakah aku
kumpulkan antara marah dan cinta, sedang keduanya itu berlawanan ?”. Dan
begitupula berlawanan buahnya, dari persesuaian dan perselisihan, persahabatan
dan permusuhan. Maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu tidaklah berlawanan
terhadap Allah Ta’ala, sebagaimana tidak berlawanan pada bahagian-bahagian
kemanusiaan. Karena manakala berkumpul pada diri seseorang, beberapa perkara
yang disenangi sebahagiannya dan tidak disukai sebahagiannya, maka engkau
mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari segi yang lain. Orang yang
mempunyai seorang isteri yang cantik yang durhaka atau seorang anak yang cerdik
dan patuh, tetapi fasiq, maka ia akan mencintainya dari suatu segi dan
memarahinya dari suatu segi. Dan adalah bersama orang itu, atas suatu keadaan
diantara dua keadaan. Karena kalau diumpamakan, ia mempunyai 3 orang anak:
seorang cerdik yang selalu berbuat kebaikan, seorang bodoh yang durhaka dan
seorang lagi bodoh yang selalu berbuat kebaikan atau cerdik yang mendurhakai
orang tuanya, maka orang tersebut, akan menjumpai dirinya, bersama anak-anaknya
itu, dalam 3 hal yang berlebih kurang, menurut berlebih-kurangnya hal-hal yang
menyangkut dengan anak-anaknya. Maka begitupula, seyogyalah keadaanmu terhadap
orang yang banyak berbuat kedzaliman dan orang yang banyak berbuat ketaatan.
Dan orang yang berkumpul padanya kedua-duanya, berlebih-kurang diatas tiga
tingkat. Yaitu: engkau berikan kepada masing-masing sifat tadi, bahagiannya,
dari kemarahan dan kesayangan, berpaling daripadanya dan menolah kepadanya,
berteman dan memutuskan perhubungan dan tindakan-tindakan lain yang timbul
daripadanya. Kalau engkau bertanya: “Tiap-tiap muslim itu, adalah keislamannya
merupakan ketaatan daripadanya. Maka bagaimanakah aku memarahinya serta
keislamannya itu ?”. Aku menjawab, bahwa engkau menyayanginya adalah karena
keislamannya. Dan engkau memarahinya adalah karena kema’siatannya. Dan adalah
engkau terhadap orang itu dalam suatu keadaan, jikalau engkau bandingkan
keadaan tersebut dengan keadaan orang kafir atau orang dzalim, niscaya engkau
memperoleh perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu adalah kecintaan bagi
Islam dan menunaikan hak Islam. Dan kadar pelanggaran terhadap hak Allah dan
ketaatan kepadamu, adalah seperti pelanggaran terhadap hakmu dan ketaatan
kepadamu. Orang yang bersesuaian dengan kamu pada suatu maksud dan berlainan
dengan kamu pada maksud yang lain, maka adalah kamu bersama orang itu, dalam
keadaan di tengah. Diantara tergenggam dan terlepas. Diantara menghadap dan
berpaling. Diantara berkasih-kasihan kepadanya dan berjauhan hati daripadanya.
Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan memuliakannya, sebagaimana kamu
berlebih-lebihan pada memuliakan orang yang bersesuaian dengan kamu, dalam
semua maksudmu. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan menghinakannya, sebagaimana
kamu berlebih-lebihan menghinakan orang yang berselisih dengan kamu dalam
segala maksudmu. Kemudian keadaan di tengah itu (ta-tawash-shuth), sekali adalah
kecondongannya ke pinggir penghinaan, ketika mengerasnya pelanggaran. Dan
sekali ke pinggir berbaik-baikan dan pemuliaan, ketika mengerasnya persesuaian.
Maka begitulah seyogyalah terhadap orang yang mentaati Allah Ta’ala dan
mendurhakaiNya, yang berbuat sekali bagi kerelaanNya dan pada kali yang lain
bagi kemarahanNya. Kalau enggan bertanya: “Dengan apakah kemarahan itu mungkin
dilahirkan ?”. Aku menjawab: adapun mengenai perkataan, maka sekali dengan
mencegah lisan daripada berkata-kata dan bercakap-cakap dengan dia. Dan pada
kali yang lain, dengan meringankan dan memberatkan perkataan itu. Mengenai
perbuatan, maka sekali dengan memutuskan usaha memberi pertolongan kepadanya.
Dan pada kali yang lain, dengan usaha yang memburukkan dan merusakkan segala
maksudnya. Dan sebahagian ini, lebih keras dari sebahagian yang lain. Yaitu
menurut tingkat kefasiqan dan kema’siatan yang timbul daripadanya. Adapun hal
yang terjadi karena kesilapan, yang diketahui bahwa orang itu menyesal atas
perbuatan tersebut dan ia tidak meneruskannya lagi, maka yang lebih utama ialah
menutup dan memicingkan mata daripadanya. Adapun yang dikerjakannya
terus-terusan, baik kecil atau besar, maka jikalau orang itu termasuk orang
yang kuat berkasih-kasihan, persahabatan dan persaudaraan antara engkau dan
dia, maka untuk itu mempunyai hukum lain. Dan akan datang penjelasannya. Dan
pada persoalan ini terdapat perbedaan antara para ulama. Adapun apabila tiada
teguh persaudaraan dan persahabatan, maka tak boleh tidak daripada menampakkan
bekas kemarahan. Adakalanya berpaling muka dan menjauhkan diri daripadanya,
serta sedikit sekali menoleh kepadanya. Dan adakalanya meringankan dan
memberatkan perkataan kepadanya. Dan ini adalah lebih berat daripada berpaling
muka daripadanya. Yaitu menurut berat dan ringannya kema’siatan. Begitupula
tentang perbuatan, terdapat dua tingkat. Salah satu daripadanya, memutuskan
pertolongan, kekasih-sayangan dan perbantuan. Dan itu adalah tingkat yang
paling rendah. Dan tingkat yang lain (tingkat yang satu lagi), ialah berusaha
merusakkan segala maksudnya, seperti perbuatan musuh yang sangat marah. Dan ini
tak dapat tiada daripadanya. Tetapi, adalah pada sesuatu yang dapat merusakkan
padanya jalan kema’siatan. Adapun hal-hal yang tak membekas padanya, maka
janganlah diperbuat. Umpamanya: orang yang berbuat ma’siat kepada Allah dengan
meminum khamar dan ia telah meminang seorang wanita. Jikalau mudah ia
mengawininya, niscaya ia amat gembira dengan wanita tersebut, disebabkan harta,
kecantikan dan kemegahannya. Hanya, yang demikian itu, tidak membekas untuk
mencegahnya dari meminum khamar dan tidak untuk membangkit dan menggerakkannya
kepada meminum khamar. Maka apabila engkau sanggup menolongnya, supaya sempurna
maksudnya dan hajatnya itu dan engkau sanggup pula untuk mengacaukan maksudnya
itu, supaya maksudnya tadi tidak tercapai, maka janganlah engkau berusaha
mengacaukannya. Adapun menolong, kalau engkau tinggalkan memberi pertolongan
itu, untuk melahirkan kemarahan kepadanya karena kefasiqannya, maka tiada
mengapa. Dan tidaklah wajib meninggalkan pertolongan itu. Karena kadang-kadang
engkau mempunyai niatan untuk melahirkan kasih sayang dengan memberi
pertolongan dan menampakkan belas-kasihan kepadanya. Supaya ia percaya akan
kasih sayangmu dan menerima akan nasehatmu. Ini adalah baik. Dan kalau tidak
jeals yang demikian bagimu, tetapi engkau berpendapat untuk menolongnya, buat
mencapai maksudnya, sebagai pelaksanaan terhadap keislamannya, maka yang
demikian itu, tidaklah dilarang. Bahkan adalah yang terbaik, jikalau
kema’siatannya itu, adalah pelanggaran terhadap hakmu atau hak orang yang ada
sangkutannya dengan kamu. Dan mengenai ini, tersebut dalam firman Allah
Ta’alla: “Dan janganlah orang-orang yang mampu dan berkelapangan dari antara
kamu (bersumpah) tidak mau membantu akan keluarga yang dekat dan orang-orang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, tetapi hendaklah mereka
maafkan dan berlapang dada ! bukankah engkau suka kiranya Allah mengampunkan
kamu”. S 24 An Nur ayat 22. Karena Musaththah bin Atsatsah yang membicarakan ke
sana-sini tentang peristiwa berita bohong itu (berita fitnah tentang perbuatan
seorang laki-laki terhadap ‘Aisyah). Lalu Abu Bakar ra bersumpah untuk
memutuskan bantuannya kepada Musaththah tersebut, dimana beliau memberi pertolongan
harta kepadanya. Maka turunlah ayat tadi, serta betapa besarnya kema’siatan
yang dilakukan Musaththah. Dan manakah ma’siat yang melebihi dari tuduhan yang
amat keji itu terhadap isteri Rasulullah saw dan memanjangkan lidahnya kepada
seumpama ‘Aisyah ? Kecuali Abu Bakar Shiddiq ra (ayahanda ‘Aisyah) adalah orang
yang teraniaya dirinya dengan peristiwa itu dan memberi maaf kepada orang yang
berbuat aniaya dan berbuat baik (ihsan) kepada orang yang berbuat jahat, adalah
termasuk akhlaq orang-orang shiddiq. Dan sesungguhnya amatlah baiknya berbuat
ihsan kepada orang yang berbuat aniaya kepada kamu. Adapun orang yang berbuat
dzalim kepada orang lain dan melakukan perbuatan ma’siat kepada Allah dengan
dia, maka tidaklah baik berbuat ihsan kepadanya. Karena pada berbuat ihsan
kepada orang dzalim, adalah berbuat kejahatan kepada orang yang teraniaya. Dan
hak orang yang teraniaya adalah lebih utama dipelihara. Dan menguatkan hatinya
dengan memalingkan muka dari orang dzalim, adalah lebih disukai oleh Allah, daripada
menguatkan hati orang dzalim. Adapun apabila engkau menjadi orang yang
teraniaya, maka yang lebih baik, pada hak dirimu itu, memaafkan dan berlapang
dada. Cara orang-orang terdahulu (salaf), adalah berlain-lainan tentang
menyatakan kemarahan terhadap orang-orang yang berbuat ma’siat. Dan mereka itu
semua, sepakat melahirkan kemarahan terhadap orang-orang dzalim, orang-orang
bid’ah dan tiap-tiap orang yang berbuat ma’siat kepada Allah, dengan
kema’siatan yang menjalar kepada orang lain. Adapun orang yang berbuat ma’siat
kepada Allah pada dirinya sendiri, maka sebahagian salaf ada yang memandang,
dengan mata kasih-sayang kepada semua orang-orang ma’siat itu. Dan sebahagian
dari mereka, ada yang sangat menantang dan memilih jalan berhijrah. Adalah
Ahmad bin Hanbal berhijrah (meninggalkan) orang-orang besar, dengan perkataan
yang sedikit saja. Sehingga beliau meninggalkan Yahya bin Mu’in karena katanya:
“Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang akan sesuatu. Dan kalau
sultan membawa kepadaku sesuatu, niscaya aku ambil”. Dan Ahmad bin Hanbal
meninggalkan Al-Harts AL-Muhasibi, tentang setengah-setengah ia menolak kaum
mu’tazilah. Dan mengatakan: “Sesungguhnya haruslah pertama-tama engkau
menyebutkan syubhat (keragu-raguan yang didatangkan oleh orang mu’tazilah itu).
Dan engkau ajak manusia berpikir padanya. Kemudian engkau tolak dalil-dalil
orang mu’tazilah itu”. Dan Ahmad bin Hanbal berhijrah dari Abu Tsaur, mengenai
penta’wilannya akan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menjadikan Adam diatas
bentukNya”. Dan ini adalah keadaan yang berlainan dengan berlainannya niat. Dan
niat itu berlain-lainan dengan berlainannya keadaan. Maka jikalau yang mengeras
pada hati, adalah memandang kepada
terpaksa dan lemahnya manusia dan bahwa manusia itu terperintah kepada
apa yang ditaqdirkan baginya, niscaya ini membawa kepada tasaahul (memandang
enteng) pada permusuhan dan kemarahan. Dan ia mempunyai segi tersendiri. Tetapi
kadang-kadang berminyak-minyak air (al-mudahanah), menyerupai dengan yang
demikian. Maka yang terbanyak membangkitkan kepada menutup mata dari
perbuatan-perbuatan ma’siat, ialah sifat berminyak-minyak air, menjaga hati,
takut dari keliaran dan kejauhan hati. kadang-kadang setan itu memakaikan yang
demikian, kepada orang bodoh yang dungu, dengan orang itu memandang dengan mata
kasih-sayang. Dan menghapuskan yang demikian, ialah: ia memandang kepadanya
dengan mata kasih-sayang, jika orang itu berbuat aniaya kepada khusus haknya
sendiri. Dan mengatakan, bahwa orang itu terperintah bagi perbuatan tersebut.
Dan taqdir tidaklah bermanfaat daripadanya kehati-hatian. Dan bagaimanakah
tidak diperbuatnya yang demikian dan sesungguhnya telah dituliskan yang
demikian itu kepadanya ? Maka hal yang seperti ini, kadang-kadang shah niat
baginya pada memicingkan mata dari pelanggaran terhadap hak Allah. Dan kalau ia
berkesal hati ketika pelanggaran terhadap haknya dan menaruh belas kasihan
ketika pelanggaran terhadap hak Allah, maka ini adalah orang yang
berminyak-minyak air, yang tertipu dengan salah satu dari tipuan-tipuan setan.
Maka hendaklah waspada untuk yang demikian itu !. Kalau anda mengatakan, bahwa
derajat yang paling kurang pada melahirkan kemarahan, ialah meninggalkan,
memalingkan muka, memutuskan kasih-sayang dan pertolongan, maka adakah yang
demikian itu wajib, sehingga ma’siatlah seorang hamba denngan meninggalkan
kemarahan yang demikian ? Maka aku menjawab, bahwa tidaklah masuk yang demikian
dalam ilmu zhahir dibawah taklif (pembebasan tugas agama) dan pengwajiban.
Sesungguhnya kita tahu, bahwa mereka yang meminum khamar dan mengerjakan
perbuatan keji pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat, tidaklah para
sahabat itu meninggalkan mereka secara keseluruhan. Tetapi cara sahabat itu,
terbagi pada menghadapi orang-orang yang berbuat keji tadi, kepada: yang
mengeraskan perkataan dan melahirkan kemarahan kepadanya, kepada yang berpaling
muka dan tidak mendatangi kepadanya dan kepada yang memandang kepada orang yang
berbuat kekejian itu dengan mata kasih-sayang dan tidak memilih berputus
silaturrahim dan menjauhkan diri. Maka inilah titik-titik halus keagamaan, yang
berlainan padanya jalan orang-orang yang menjalani ke jalan akhirat. Dan adalah
amalan masing-masing, menurut yang dikehendaki oleh keadaan dan waktu. Dan yang
dikehendaki oleh keadaan pada segala hal ini, adakalanya yang dimakruhkan atau
yang disunatkan. Maka adalah pada tingkat hal-hal yang utama dan tidaklah
berkesudahan kepada pengharaman dan pengwajiban. Karena yang masuk di bawah
taklif, ialah pokok pengenalan (ma’rifah) akan Allah Ta’ala dan pokok
kecintaan. Dan yang demikian, kadang-kadang tidak melewati dari yang dicintai
kepada lainnya. Dan yang melewati, ialah berlebih-lebihan dan kerasnya
kecintaan itu. Dan yang demikian, tidaklah sekali-kali masuk dalam fatwa dan
dibawah taklif yang jelas pada pihak orang awam.
PENJELASAN: tingkat-tingkat mereka
yang dimarahi pada jalan Allah dan cara bergaul dengan mereka.
Kalau anda
mengatakan, bahwa melahirkan kemarahan dan permusuhan dengan perbuatan, jikalau
tidak wajib, maka tidak ragu lagi, bahwa itu sunat. Dan orang-orang ma’siat dan
fasiq itu, adalah pada tingkat-tingkat yang berlain-lainan. Maka bagaimanakah
memperoleh keutamaan bergaul dengan mereka ? adakah ditempuh suatu jalan,
dengan semua mereka atau tidak ? Maka ketahuilah, bahwa orang yang menyalahi
perintah Allah swt selalu ada. Adakalanya menyalahi pada i’tiqad atau pada
amalannya. Dan yang menyalahi pada i’tiqad, adakalanya orang bid’ah atau orang
kafir. Dan orang bid’ah itu, adakalanya melakukan da’wah kepada kebid’ahannya
atau berdiam diri saja. Dan yang berdiam diri itu, adakalanya disebabkan
kelemahan atau pilihannya yang demikian. Maka pembahagian kerusakan pada
i’tiqad itu, adalah 3:
Pertama:
kekafiran (kufur). Dan orang kafir itu, kalau ia kafir harbi (kafir yang dalam
keadaan perang dengan orang muslimin), maka ia berhak dibunuh dan diambil
menjadi budak. Dan tak ada lagi penghinaan, sesudah yang dua ini. Adapun kafir
zimmi (kafir yang keamanannya dalam jaminan pamerintah Islam), maka tidak boleh
menyakitinya. Kecuali dengan memalingkan muka daripadanya dan menghinakannya
dengan paksaan kepada jalan yang sempit dan meninggalkan memulai salam. Apabila
ia mengucapkan: “Assalamu’alaikum (salam sejahtera kepadamu), maka engkau
menjawab: “Wa’alaika” (dan kepadamu). Dan yang lebih utama, ialah mencegah
daripada bercampur, bergaul dan wakil-mewakilkan dengan dia. Adapun berlapang
dada dan berjinakkan hati kepadanya, sebagaimana berjinakan hati kepada
teman-teman, adalah sangat makruh, yang hampir berkesudahan yang kuat dari
kemakruhan itu, kepada batas pengharaman. Allah Ta’ala berfirman: “Engkau tidak
akan mendekati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, menunjukkan
kecintaan mereka kepada orang-orang yang menantang Allah dan RasulNya, walaupun
adalah mereka (yang menantang) itu, bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka
atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Mereka itu telah dituliskan
oleh Allah dalam hatinya keimanan dan telah dikuatkanNya mereka dengan
pertolongan daripadaNya dan Ia akan memasukkan mereka ke dalam sorga, yang
mengalir padanya sungai-sungai, dimana mereka itu kekal didalamnya, Allah telah
merelai mereka dan merekapun rela kepadaNya. Mereka itu tentara Allah.
Ketahuilah, bahwa tentara Allah itulah yang memperoleh kemenangan”. S 58 Al
Mujaadalah ayat 22. Nabi saw bersabda: “Orang muslim dan orang musyrik tidaklah
akan lihat-melihat neraka keduanya”. Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman ! janganlah kamu jadikan musuhKu dan musuhmu itu
pemimpin, yang kamu tunjukkan kepada mereka kasih-sayang”. S 60 Al Mumtahanah
ayat 1.
Kedua: orang yang berbuat bid’ah,
yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya. Jikalau bid’ah itu, dimana dapat
mengkufurkan, maka keadaannya adalah lebih berat daripada orang dzimmi. Karena
orang bid’ah itu, tidak diakui dengan pembayaran pajak (jizyah). Dan tidak
diperbolehkan mengadakan ikatan menjadi tanggung jawab pemerintah Islam (‘aqdi
dzimmah). Dan kalau orang bid’ah itu, termasuk orang yang tidak dihukum kafir,
maka persoalannya diantara dia dan Allah, sudah pasti lebih ringan daripada
persoalan orang kafir. Tetapi persoalan menantangnya, adalah lebih berat
daripada orang kafir. Karena kejahatan kafir itu, tidaklah menjalar. Karena
orang-orang Islam itu yakin atas kekafirannya. Maka mereka tidak menoleh kepada
kata-katanya, disebabkan ia tidak mendakwakan dirinya Islam dan beri’tiqak
benar. Adapun orang bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya dan
mendakwakan bahwa apa yang diajaknya itu adalah benar, maka itu adalah sebab
tertipunya orang banyak. Kejahatannya menjalar kepada orang lain. Maka sunnah
melahirkan kemarahan, permusuhan, memutuskan hubungan, menghinakan,
memburukkannya dengan kebid’ahannya dan mengajak manusia untuk menjauhkan diri
daripadanya. Dan kalau ia memberi salam pada tempat yang tak ada orang, maka
tiada mengapa menjawab salamnya. Dan kalau anda ketahui, bahwa berpaling muka
daripadanya dan berdiam diri daripada menjawab salamnya, adalah memburukkan
kebid’ahan orang itu, pada dirinya dan mengesankan pada menjauhkannya, maka
meninggalkan jawab salamnya, adalah lebih utama. Karena menjawab salam,
walaupun wajib, menjadi gugur dengan maksud yang kecil saja, dimana padanya ada
kemuslihatan. Sehingga gugurlah wajib menjawab salam, dengan adanya orang yang
menerima salam itu di kamar mandi atau sedang membuang air. Dan maksud
pencegahan itu, adalah lebih penting dari maksud-maksud tadi. Dan kalau salam
dari orang bid’ah itu di muka orang banyak, maka meninggalkan jawabnya adalah
lebih utama, untuk menjauhkan manusia daripadanya dan memburukkan kebid’ahannya
dihadapan mereka. Dan begitu juga lebih utama mencegah berbuat lisan memberi
pertolongan kepada orang bid’ah itu. Lebih-lebih mengenai sesuatu yang tampak
kepada orang banyak. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menggertak orang bid’ah,
niscaya ia diamankan oleh Allah pada hari kegundahan besar (hari qiamat). Dan
barangsiapa melunakkan dan memuliakan orang bid’ah atau bertemu dengan dia
dengan kegembiraan, maka sesungguhnya ia telah memandang ringan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw”.
Ketiga: orang
bid’ah yang awam, yang tidak mampu mengajak orang dan tidak dikuatiri, orang
akan mengikutinya. Maka persoalannya lebih mudah. Yang lebih utama, ialah tidak
memburuk-burukkannya dengan kata-kata kasar dan penghinaan. Tetapi dengan
kata-kata yang lemah lembut, menasehatinya. Karena hati orang awam itu, lekas
bertukar. Kalau nasehat itu tidak bermanfaat dan dengan memalingkan muka
daripadanya adalah memburukkan kebid’ahannya pada diri orang itu, niscaya
amatlah sunnah berpaling muka dari orang bid’ah itu. Dan kalau diketahuinya
bahwa yang demikian tidak membekas pada orang bid’ah tersebut, disebabkan keras
tabiatnya dan mendalam kepercayaan itu pada hatinya, maka memalingkan muka
adalah lebih utama. Karena bid’ah itu, apabila tidak secara berlebih-lebihan
memburukkannya, niscaya menjadi terkenal diantara orang banyak dan meratalah
kerusakannya. Adapun orang yang berbuat ma’siat dengan perbuatan dan amalan,
bukan dengan i’tiqad, maka tidaklah terlepas, adakalanya dia itu, dimana orang
lain mendapat kesakitan dengan sebab dia, seperti kedzaliman, perampokan,
kesaksian palsu, cacian, pemukulan diantara orang banyak, berjalan
kesana-kemari dengan lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang (berita
fitnah) dan hal-hal yang seumpama dengan yang demikian. Atau ma’siatnya itu
tidak terbatas padanya saja, tetapi menyakitkan orang lain juga. Dan yang
demikian itu, terbagi kepada: apa yang membawa orang lain kepada kerusakan,
seumpama orang yang memiliki tempat kejahatan, dimana ia mengumpulkan lelaki dan
wanita dan menyediakan sebab-sebab minuman dan kerusakan, untuk orang-orang
yang berbuat kerusakan. Atau ia tiada mengajak orang lain kepada perbuatannya,
seumpama orang yang meminum khamar dan melakukan perzinaan. Dan ini, yang tidak
mengajak orang lain kepada perbuatannya, adakalanya ma’siatnya itu dosa besar
atau dosa kecil. Dan masing-masing daripadanya, adakalanya terus-menerus
mengerjakan ma’siat atau tidak terus-menerus. Maka dari pembahagian-pembahagian
ini, berhasillah tiga bahagian. Dan tiap-tiap bahagian daripadanya mempunyai
tingkatan. Dan setengahnya lebih keras dari yang lain. Dan tidaklah kami tempuh
semuanya itu dengan satu jalan.
Bahagian pertama: yaitu yang lebih
keras mendatangkan melarat kepada orang banyak, seperti: berbuat dzalim, merampok,
naik saksi palsu, mengumpat dan memfitnah. Maka terhadap mereka itu, yang lebih
utama, ialah berpaling muka dari mereka, meninggalkan bercampur-baur dan
menghentikan bergaul. Karena kema’siatan itu berat sekali, tentang apa yang
mendatangkan kepada menyakitkan orang banyak. Kemudian, mereka itu terbagi
kepada: orang yang berbuat dzalim pada darah (pembunuhan) dan kepada orang yang
berbuat dzalim pada memalukan orang lain. Dan sebahagiannya, adalah lebih keras
dari sebahagian yang lain. Maka diisunatkan benar menghina dan berpaling muka
dari orang-orang dzalim tersebut. Dan manakala diharapkan dari penghinaan, itu
dapat mengejutkan mereka atau orang lain, maka hal yang demikian itu, lebih
dikuatkan dan dikeraskan lagi.
Bahagian kedua:
orang yang mempunyai tempat kejahatan, yang menyediakan segala sebab kerusakan
dan memudahkan jalan kerusakan itu kepada orang banyak. Maka orang tersebut,
tidak menyakitkan orang banyak pada dunia mereka. Tetapi dengan perbuatan itu,
merusakkan keagamaan mereka. Dan kalau perbuatan itu, sesuai dengan kesukaan
mereka, maka bahagian yang kedua ini, mendekati dengan bahagian yang pertama
itu. Tetapi lebih ringan daripadanya. Karena kema’siatan diantara hamba dan
Allah Ta’ala, adalah lebih mendekati kepada kemaafan. Tetapi dari segi, bahwa
perbuatan itu umumnya menjalar kepada orang lain, maka adalah lebih berat. Dan
juga ini menghendaki penghinaan, memalingkan muka, memutuskan silaturrahim dan
meninggalkan menjawab salamnya, apabila diduga bahwa pada tindakan yang demikian,
adalah semacam gertak kepada orang itu dan kepada orang lain.
Bahagian ketiga:
orang yang berbuat fasiq pada dirinya sendiri, dengan meminum khamar atau
meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang terlarang yang tertentu baginya.
Maka mengenai ini, persoalannya adalah lebih ringan. Tetapi jikalau dijumpai ia
pada waktu sedang mengerjakan yang terlarang tadi, niscaya wajiblah dicegah
dengan cara, dimana ia mencegah dirinya dari perbuatan itu. Meskipun dengan
pukulan dan penghinaan. Karena mencegah dari yang munkar, adalah wajib. Dan
apabila orang itu telah selesai mengerjakan ma’siat tersebut dan diketahui
bahwa yang demikian itu adalah termasuk kebiasaannya dan ia selalu mengerjakan
kejahatan itu, maka dalam hal ini, jikalau ia yakin bahwa nasehatnya mencegah
orang itu dari kembali kepada kejahatan tadi, niscaya wajiblah dinasehati. Dan
jikalau ia tidak yakin yang demikian, tetapi ia mengharap yang demikian, maka
yang lebih utama, ialah menasehati dan menakutkannya dengan kasar, jikalau yang
demikian itu lebih bermanfaat. Adapun berpaling muka daripada menjawab salamnya
dan mencegah daripada bercampur-baur dengan dia, dimana dia itu diketahui
terus-menerus berbuat kejahatan dan nasehat tidak bermanfaat kepadanya, maka
dalam hal ini ada pandangan. Dan pendapat ulama mengenainya, berbeda-beda. Dan
yang shahih (yang benar), bahwa yang demikian itu, berbeda-beda dengan
berbedanya niat orang. Maka ketika ini, dikatakan: bahwa segala perbuatan itu
dengan niat. Karena tentang kasih-sayang dan memandang dengan kacamata
kesayangan kepada orang banyak, adalah semacam merendahkan diri (tawadlu’). Dan
pada sikap kasar dan memalingkan muka, adalah semacam gertak. Dan yang meminta
fatwa kepadanya, adalah hati. Maka apa yang dilihatnya, lebih condong kepada
hawa nafsunya dan kehendak tabiatnya, maka yang lebih utama, ialah lawan dari
yang demikian. Karena kadang-kadang adalah memandang enteng dan menggertak
orang yang berbuat kejahatan itu, timbul dari kesombongan dan kebanggaan,
merasa senang dengan melahirkan ketinggian dan penunjukkan kepada perbaikan.
Kadang-kadang kasih-sayangnya itu, timbul dari berminyak-minyak air dan
kecondongan hati untuk mencapai sesuatu maksud atau karena takut dari membekas
keliaran dan keliaran hati pada kemegahan atau harta dengan dugaan yang dekat
atau yang jauh. Dan semuanya itu kembali kepada penunjukkan setan dan jauh dari
amal perbuatan orang-orang akhirat. Maka tiap-tiap orang yang gemar pada amalan
agama itu, bersungguh-sungguh dirinya memeriksa yang halus-halus ini dan
mengintip (muraqabah) segala keadaan yang tersebut. Dan hati adalah yang
mengeluarkan fatwa padanya. Kadang-kadang ia memperoleh kebenaran pada
ijtihadnya dan kadang-kadang ia tersalah. Kadang-kadang ia tampil mengikuti
hawa nafsunya dan ia mengetahui yang demikian. Kadang-kadang ia tampil dan
karena tertipu, lalu menyangka bahwa ia berbuat karena Allah dan berjalan pada
jalan akhirat. Dan akan datang penjelasan yang halus-halus ini pada “Kitab
Tertipu” dari “Rubu’ Yang Membinasakan” (Rubu’ Al Muhlikat). Dan ditunjukkan kepada
peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledoar, diantara hamba dan
Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul dihadapan Rasulullah
saw berkali-kali. Dan orang itu kembali berbuat yang demikian. Lalu seorang
sahabat berkata: “Dikutuki Allah kiranya orang, yang alangkah banyaknya meminum
khamar”. Maka Nabi saw menjawab: “Janganlah engkau menolong setan terhadap
saudaramu”. Atau kata-kata lain yang diucapkan Nabi saw yang searti dengan yang
tadi. Dan ini menunjukkan bahwa berkasih-sayang adalah lebih utama daripada
bersikap kasar dan keras.
PENJELASAN: sifat-sifat yang
disyaratkan, mengenai orang yang dipilih menjadi teman.
Ketahuilah
kiranya, bahwa tidak patut menjadi teman semua manusia. Nabi saw bersabda:
“Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh seseorang
kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman”. Dan tak boleh tidak,
diperbedakan hal-hal dan sifat-sifat, dimana ia ingin dengan sebab yang
demikian, untuk bersahabat dengan orang itu. Disyaratkan hal-hal itu, menurut
faedah yang dicari dari persahabatan. Karena arti syarat ialah: yang tak boleh
tidak daripadanya, untuk sampai kepada maksud. Maka dengan tambahan kepada
maksud tersebut, lahirlah syarat-syarat itu. Dari persahabatan itu dicari
faedah-faedah keagamaan dan keduniaan. Adapun faedah keduniaa, maka seperti
memperoleh manfaat dengan harta atau kemegahan atau semata-mata berjinakkan
hati dengan pandang-memandang dan bergaul. Dan tidaklah yang demikian itu,
termasuk maksud kita di sini. Adapun faedah keagamaan, maka berkumpul padanya
maksud yang bermacam-macam. Karena setengah daripadanya, memperoleh faedah dari
pengetahuan dan amal perbuatan. Setengah daripadanya, memperoleh faedah dari
kemegahan, dimana dengan kemegahan itu, kita dapat menjaga daripada disakiti
oleh orang yang mengganggu ketentraman hati. Dan yang menghambat dari
beribadah. Setengah daripadanya, memperoleh faedah harta, untuk mencukupkan
dengan harta itu, daripada menyia-nyiakan waktu pada mencari makanan. Setengah
daripadanya, memperoleh pertolongan pada segala hal yang penting. Maka adalah
yang demikian itu, senjata untuk menghadapi segala bahaya dan kekuatan dalam
segala hal. Setengah daripadanya, memperoleh barakah dengan semata-mata mendoa.
Dan setengah daripadanya, menunggu syafa’at pada hari akhirat. Berkata setengah
salaf: “Carilah banyak teman ! karena sesungguhnya tiap-tiap mu’min itu,
mempunyai syafa’at. Maka semoga engkau dapat masuk kedalam syafa’at temanmu !”.
Diriwayatkan pada tafsir yang agak ganjil (tafsir gharib), tentang firman Allah
Ta’ala: “Dan Ia memperkenankan (permintaan) orang-orang yang beriman dan
beramal shalih dan Ia menambahkan kepada mereka dari kuniaNya”. S 42 Asy Syuura
ayat 26. Berkata setengah salaf, menurut tafsir yang gharib itu, bahwa orang
yang beriman dan yang beramal shalih, dapat memberi syafa’at kepada
teman-temannya. Lalu ia memasukkan mereka ke dalam sorga bersama mereka. Dan
dikatakan, bahwa apabila Allah mengampunkan dosa seorang hamba, niscaya hamba
itu dapat memberi syafa’at kepada teman-temannya. Karena itulah, dianjurkan
oleh segolongan salaf supaya berteman, berjinak-jinakkan hati dan
bercampur-baur. Mereka itu tiada menyukai pengasingan diri dan sendirian.
Inilah faedah-faedah itu, dimana tiap-tiap faedah meminta beberapa syarat. Dan
faedah itu tidak akan berhasil, selain dengan syarat-syarat tersebut. Dan akan
kami uraikan semuanya. Adapun secara keseluruhan, maka seyogyalah hendaknya ada
lima perkata pada orang yang akan dipilih menjadi teman. Yaitu: berakal, baik
budi pekerti, tidak fasiq, tidak berbuat bid’ah dan tidak loba kepada dunia.
Adapun akal, adalah pokok dan itulah asalnya. Tak ada kebajikan berteman dengan
orang bengal. Kesudahannya, akan kembali kepada keliaran hati dan putus
silaturrahim, walaupun persahabatan itu telah berjalan lama. Sayidina Ali ra
bermadah:
“Janganlah engkau berteman dengan
orang bodoh,
awasilah dirimu dan dirinya......!
Berapa banyak orang yang bodoh,
memburukkan orang penyabar ketika ia
mengambil
menjadi temannya.
Dibandingkan yang seorang dengan yang
seorang,
apabila orang itu sama-sama berjalan.
Sesuatu mempunyai dari sesuatu,
perbandingan dan keserupaan.
Qalbu terhadap qalbu,
mempunyai petunjuk ketika
perjumpaan”.
Betapa tidak ? orang bengal itu
kadang-kadang mendatangkan kemelaratan kepadamu, sedang maksudnya mendatangkan
kemanfaatan kepadamu dan menolong kamu, dimana sebenarnya, ia tidak tahu. Dan
karena itulah, berkata penyair:
“Sesungguhnya aku merasa aman dari
musuh yang berakal.
Dan aku takut kepada teman, yang
ditelanjangi oleh gila.
Akal itu suatu macam dan jalannya aku
ketahui, lalu aku perhatikan.
Dan gila itu
bermacam-macam............”.
Dan karena
itulah, dikatakan, bahwa memutuskan perhubungan dengan orang bengal, adalah
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ats-Tsuri berkata: “Memandang kepada muka
orang yang bengal itu, adalah kesalahan yang dituliskan”. Kami maksudkan dengan
“orang berakal”, ialah orang yang memahami segala persoalan, menurut yang
sebenarnya. Adakalanya oleh dirinya sendiri dan adakalanya apabila diberi
peringatan oleh orang lain. Adapun baik budi-pekerti, maka tak boleh tidak
daripadanya. Karena banyaklah orang berakal, mengetahui segala sesuatu menurut
yang sebenarnya. Tetapi apabila sangatlah marahnya atau nafsu syahwat atau
kekikiran atau ketidak beranian, niscaya ia mengikuti hawa nafsunya. Dan ia
menyalahi dengan apa yang diketahuinya. Karena lemahnya daripada paksaan
sifat-sifatnya dan pembetulan budi-pekertinya. Maka tak ada kebajikan pada
persahabatan dengan dia. Adapun orang fasiq yang berkekalan pada kefasiqannya,
maka tak ada faedah berteman dengan dia. Karena orang yang takut kepada Allah,
tidak akan terus-menerus diatas dosa besar. Dan orang yang tidak takut kepada
Allah, maka orang tidak akan merasa aman daripada tipuannya. Dan tidak
dipercayai dengan kebenarannya. Tetapi ia selalu berobah dengan perobahan
maksud-maksudnya. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau turut orang
yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami dan ia menurutkan hawa
nafsunya”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Oleh yang
demikian, janganlah engkau dipalingkan daripada (mempercayai)nya, oleh orang
yang tidak percaya kepadanya serta menurut hawa nafsunya”. S 20 Thaahaa ayat
16. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Oleh karena itu, maka tinggalkanlah orang yang
berpaling dari mengingati Kami dan ia tidak ingin, selain dari penghidupan yang
rendah ini”. S 53 An Najm ayat 29. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan turutlah
jalan orang yang kembali kepadaKu !”. S 31 Lukman ayat 15. Dan dalam pengertian
yang tersebut itu, ialah menghardik daripada berteman dengan orang fasiq.
Adapun orang yang berbuat bid’ah, maka berteman dengan dia, terdapat bahaya
menjalarnya bid’ah itu dan berkembang kutukan bid’ah kepadanya. Dari itu, orang
bid’ah berhaklah disingkir dan diputuskan hubungan silaturrahim. Bagaimanakah
ia dipilih menjadi sahabat ? ‘Umar ra telah berkata, menghasung untuk mencari
unsur keagamaan pada teman itu, menurut yang diriwayatkan Sa’id bin
Al-Musayyab, dimana Umar ra berkata: “Haruslah kamu berteman dengan orang-orang
benar ! kamu akan hidup dalam lindungan mereka. Sesungguhnya mereka itu, adalah
hiasan pada waktu senang dan perisai pada waktu susah. Letakkanlah persoalan
saudaramu (temanmu) dalam keadaan yang sebaik-baiknya ! sehingga ia membawa
kepada kamu, apa yang memenangkan kamu. Dan asingkanlah dirimu dari musuhmu dan
berhati-hatilah dari temanmu, kecuali yang kepercayaan dari kamu itu ! dan
tidak ada yang kepercayaan, selain orang yang takut kepada Allah. Maka
janganlah engkau berteman dengan orang dzalim, nanti kamu akan memperoleh
pengetahuan dari kedzalimannya ! dan janganlah engkau perlihatkan kepadanya
rahasia engkau ! dan bermusyawaralah tentang urusanmu dengan orang-orang yang
takut kepada Allah !”. Adapun budi yang baik, maka telah dikumpulkan oleh
‘Alqamah Al-‘Atharidi di dalam wasianya kepada anaknya, ketika ia hampir
meninggal dunia. Ia berkata: “Hai anakku ! apabila datang keperluan bagimu
untuk berteman dengan orang, maka bertemanlah dengan orang, dimana apabila
engkau melayaninya, niscaya ia menjaga engkau ! dan jikalau engkau menemaninya,
niscaya ia menimbang dengan penghargaan akan engkau. Dan jikalau engkau
memerlukan perbelanjaan, niscaya ia membelanjai engkau. Bertemanlah dengan
orang, apabila engkau mengulurkan tanganmu kepadanya dengan kebajikan, niscaya
iapun mengulurkannya. Jikalau ia melihat daripadamu kebajikan, niscaya
diperkirakannya. Dan jikalau ia melihat kejahatan, niscaya ditutupkannya.
Bertemanlah dengan orang, apabila engkau meminta padanya, niscaya diberikannya
kepadamu ! dan kalau engkau berdiam diri, niscaya dimulainya memberikan
kepadamu ! dan jikalau datang bencana kepadamu, niscaya ditolongnya kamu.
Bertemanlah dengan orang, apabila engkau berkata, niscaya dibenarkannya
perkataanmu ! dan kalau kamu berdua berusaha tentang sesuatu, niscaya
dipentingkannya urusanmu. Dan kalau kamu berdua berselisih, niscaya
diutamakannya kamu”. Seakan-akan ‘Alqamah telah mengumpulkan dengan
perkataannya itu, segala hak persahabatan. Dan disyaratkannya supaya anaknya
itu, menjalankan semuanya. Berkata Ibnu Aktsam: “Al-Ma’mun berkata: “Dari
manakah ini ?”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Adakah engkau ketahui,
mengapakah ‘Alqamah mewasiatkan anaknya demikian ?”. Al-Ma’mun menjawab: “Tidak
tahu”. Lalu orang itu menerangkan: “Karena Alqamah bermaksud supaya anaknya,
tidak akan berkawan dengan seseorang”. Berkata setengah pujangga: “Janganlah
kamu berteman, kecuali dengan orang yang menyembunyikan rahasiamu dan yang
menutupkan kekuranganmu ! lalu dia berada bersama kamu pada segala duka cita. Dia
mendahulukan kamu pada segala duka cita. Dia menyiarkan kebajikanmu dan
menyembunyikan keburukanmu. Jikalau engkau tiada memperoleh orang yang seperti
itu, maka janganlah berteman, selain dengan dirimu sendiri !”. Ali ra bermadah:
“Temanmu yang sebenarnya,
ialah orang yang ada bersamamu.
Dan orang yang menyusahkan dirinya,
supaya ia bermanfaat kepadamu.
Pada waktu membimbangkan,
ia berkata terus-terang kepadamu.
Dia sendiri pecah berantakan,
supaya kamu terkumpulkan selalu”.
Berkata setengah
ulama: “Janganlah kamu berteman, selain dengan salah seorang dari dua: orang
yang engkau pelajari daripadanya, sesuatu tentang urusan agamamu. Maka ia
memanfaatkan kepadamu. Atau orang yang engkau ajarkan sesuatu tentang urusan
agamanya, lalu diterimanya daripadamu. Dan orang yang ketiga (orang yang tidak
engkau pelajari agama padanya dan tidak engkau ajari agama kepadanya), maka
larilah daripadanya !”. Berkata setengah mereka: “Manusia itu 4 macam: yang
seorang manis seluruhnya. Maka orang tidak akan kenyang-kenyang daripadanya.
Yang seorang pahit seluruhnya. Maka tidak termakan apa-apa daripadanya. Yang
seorang terdapat masam padanya. Maka ambillah dari orang itu, sebelum ia
mengambil daripadamu ! dan yang seorang lagi, terdapat asin padanya. Maka
ambillah daripadanya, pada waktu diperlukan saja !”. Berkata Ja’far Ash-Shadiq
ra: “Janganlah engkau berteman dengan 5 orang:
Pertama: pendusta. Maka engkau berada
dalam penipuannya. Dia adalah seumpama cahaya panas (fatamorgana), dekat
kepadamu yang jauh dan jauh kepadamu yang dekat.
Ke-2: orang
dungu. Maka tidaklah engkau memperoleh daripadanya sesuatu. Ia mau mendatangkan
manfaat kepadamu, lalu ia memelaratkan akan kamu.
Ke-3: orang
kikir. Maka ia putuskan daripada kamu, sesuatu yang kamu amat memerlukan
kepadanya.
Ke-4: orang
pengecut. Maka ia akan menyerahkan kamu dan ia akan lari ketika menghadapi
kesulitan.
Dan ke-5: orang
fasiq. Maka ia akan menjual kamu dengan sesuap makanan atau kurang dari itu !”.
Lalu orang
bertanya kepada Ja’far Ash-Shadiq tadi: “Apakah yang kurang lagi dari sesuap
makanan itu ?”. Ja’far Ash-Shadiq ra menjawab: “Loba pada makanan yang sesuap
itu, kemudian ia tidak memperolehnya”. Berkata Al-Junaid: “Aku lebih suka
ditemani oleh seorang fasiq, yang berbudi baik, daripada seorang qari’ (ahli
qiraah Alquran), yang berbudi buruk”. Berkata Ibnu Abil Hawari: “Berkata
kepadaku guruku Abu Sulaiman: “Hai Ahmad (nama dari Ibnu Abi Hawari) !
janganlah engkau berteman, selain dari salah seorang dari dua: orang yang dapat
engkau memperoleh manfaat padanya mengenai urusan duniamu. Atau orang yang
dapat engkau menambahkan bersama dia dan memperoleh kemafaatan dengan dia,
mengenai urusan akhiratmu ! dan berurusan dengan orang yang lain daripada yang
dua ini, adalah dungu sekali”. Berkata Sahl bin Abdullah: “Jauhilah berteman
dengan tiga macam manusia: orang-orang yang gagah perkasa yang lalai,
orang-orang qari’ yang berminyaak-minyak air dan orang-orang shufi yang bodoh
!”. Dan ketahuilah kiranya, bahwa segala kata-kata ini, kebanyakannya tiada
meliputi semua maksud persahabatan. Dan yang meliputinya, ialah apa yang telah
kami sebutkan, tentang memperhatikan maksud-maksudnya dan menjaga
syarat-syaratnya, sebagai tambahan kepadanya. Maka tidaklah apa yang
disyaratkan bagi persahabatan pada maksud-maksud keduniaan, menjadi disyaratkan
bagi persahabatan pada keakhiratan dan persaudaraan. Sebagaimana yang dikatakan
Bisyr: “Saudara itu 3: saudara untuk akhiratmu, saudara untuk duniamu dan
saudara untuk kamu berjinak-jinakan hati dengan dia”. Dan amat sedikitlah
terkumpul maksud-maksud ini pada orang seorang. Tetapi berpisah-pisah pada
sekumpulan orang. Maka sudah pastilah, berpisah-pisah syarat-syarat itu pada
mereka. Dan sesungguhnya Al-Ma’mun berkata: “Saudara itu 3: yang seorang,
adalah seumpama makanan, yang tidak boleh tidak daripadanya. Yang seorang,
adalah seumpama obat yang diperlukan kepadanya, pada suatu waktu dan tidak
diperlukan pada waktu yang lain. Dan yang ketiga, adalah seumpama penyakit,
yang tidak diperlukan sekali-kali padanya. Bahkan hamba itu, kadang-kadang
memperoleh bencana dengan orang ini. Yaitu orang yang tak ada kejinakan hati
padanya dan tak ada kemanfaatan”. Dan ada yang mengatakan: “Kumpulan manusia
itu adalah seumpama kayu-kayuan dan tumbuh-tumbuhan. Sebahagian daripadanya,
mempunyai naungan dan tidak berbuah. Dan itu adalah seumpama, yang dapat
dimanfaatkan di dunia dan tidak di akhirat. Karena kemanfaatan dunia itu,
adalah seumpama naungan (bayang-bayang) yang cepat hilang. Dan sebahagian
daripadanya, ada yang berbuah dan tidak mempunyai naungan. Dan itu adalah
seumpama yang patut bagi akhirat dan tidak bagi dunia. Dan sebahagian
daripadanya sama-sama, berbuah dan bernaungan. Dan sebahagian daripadanya,
tiada satupun daripada keduanya (buah dan bayang-bayang), seperti Ummi Ghailan
yang merobek-robekkan kain dan tak ada padanya makanan dan minuman. Dan
contohnya dari binatang, ialah tikus dan kalajengking, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Dia mendoakan kepada sesuatu yang bahayanya lebih dekat dari
manfaatnya; sesungguhnya itulah penolong dan teman yang paling buruk”. S 22 Al
Hajj ayat 13. Dan seorang penyair bermadah:
“Manusia itu berbagai ragam,
apabila engkau merasakan mereka.
Mereka tiada bersamaan,
seperti kayu-kayuan tiada sama.
Yang ini berbuah,
manis rasanya.....
Yang itu tidaklah
mempunyai rasa dan buahnya”.
Maka apabila
tiada memperoleh teman, yang dapat diambil menjadi saudara dan mendapat faedah
daripadanya, salah satu dari maksud-maksud yang tersebut tadi, maka sendirian
adalah lebih utama. Abu Dzar ra berkata: “Sendirian itu adalah lebih baik
daripada mengambil teman duduk orang jahat. Dan teman duduk orang baik, adalah
lebih bagus daripada sendirian”. Dan perkataan Abu Dzar ini, diriwayatkan
sebagai hadits marfu’. Adapun keagamaan dan tak ada kefasiqan, maka berfirman
Allah Ta’ala: “Dan turutlah jalan orang yang kembali kepadaku”. S 31 Lukman
ayat 15. Dan karena menyaksikan kefasiqan dan orang-orang fasiq itu, memudahkan
anggapan ringan kepada perbuatan ma’siat dalam hati. Dan menghilangkan larinya
hati daripada kema’siatan itu. Berkata Sa’id bin Al-Musayyab: “Janganlah kamu
memandang kepada orang-orang dzalim ! maka batallah amal perbuatanmu yang
baik-baik. Bahkan tak adalah keselamatan dalam bercampur-baur dengan
orang-orang dzalim itu. Sesungguhnya keselamatan, adalah pada memutuskan perhubungan
dengan mereka”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila orang-orang yang bodoh
menghadapkan perkataan kepada mereka, lalu mereka menjawab: “Selamat !”. S 25
Al Furqaan ayat 63. Pada ayat tadi, disebutkan salaamaa, artinya: selamat. Alif
pada: salaamaa (pada tulisan Arabnya), adalah ganti daripada: ha. Dan artinya:
“Sesungguhnya kami selamat daripada kedosaan kamu. Dan kamu selamat daripada
kejahatan kami”. Inilah apa yang kami maksudkan dahulu menyebutkannya dari
segala pengertian persaudaraan, syarat-syarat dan faedah-faedahnya. Maka
hendaklah kita mengulangi menyebutkan hak-hak, keharusan-keharusan dan
jalan-jalan menegakkan haknya. Adapun orang yang loba kepada dunia, maka
berteman dengan dia, adalah racun pembunuh. Karena tabiat (karakter) manusia
itu, tertarik untuk menyerupai dan mengikuti. Bahkan karakter itu mencuri dari
karakter orang lain, dimana tanpa diketahui oleh orang yang mempunyai karakter
itu sendiri. Maka duduk-duduk bersama orang yang loba kepada dunia itu, dapat
menggerakkan kelobaan. Dan duduk bersama orang zahid, dapat mendatangkan
kezuhudan di dunia. Karena itulah, tiada disukai berteman dengan orang-orang
yang mencari dunia. Dan disunnahkan berteman, dengan orang-orang yang gemar
pada akhirat. Berkata Ali ra: “Hidupkanlah ketaatan dengan duduk-duduk bersama
orang yang disegani !”. Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Tiada yang menjatuhkan
aku kedalam bencana, selain karena berteman dengan orang yang aku tidak malu
kepadanya”. Berkata Lukman: “Hai anakku ! duduk-duduklah dengan ulama dan
berdesak-desaklah kepada mereka dengan kedua lututmu ! karena sesungguhnya hati
itu hidup, dengan pengetahuan tinggi (ilmu hikmah), sebagaimana tanah mati
hidup dengan banjir dari hujan”.
BAB KEDUA: tentang hak-hak
persaudaraan dan persahabatan.
Ketahuilah, bahwa
tali persaudaraan itu mengikatkan diantara dua orang, seperti tali perkawinan
diantara suami-isteri. Dan sebagaimana dikehendaki oleh perkawinan, akan
hak-hak yang wajib disempurnakan untuk menegakkan hak perkawinan, sebagaimana
telah disebutkan dahulu pada “Kitab Adab Nikah”, maka begitu pula ikatan
persaudaraan. Saudaramu (temanmu) mempunyai hak atasmu, tentang harta dan jiwa,
lidah dan hati, dengan kemaafan dan doa, keikhlasan dan kesetiaan, dengan
meringankan, meninggalkan pemberatan dan diberatkan. Yang demikian itu,
dikumpulkan oleh 8 hak:
Hak Pertama: tentang harta.
Rasulullah saw
bersabda: “Dua orang yang bersaudara itu, adalah seumpama dua tangan, yang satu
membasuh yang lain”. Sesungguhnya Nabi saw menyerupakan dua orang bersaudara
itu, dengan dua tangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Karena keduanya itu,
tolong-menolong pada sesuatu maksud. Begitupula kedua orang bersaudara itu,
bahwa persaudaraan keduanya baru sempurna, apabila keduanya saling
tolong-menolong pada sesuatu tujuan. Maka keduanya dari suatu segi, adalah
seperti orang yang seorang. Dan ini menghendaki untuk bersama-sama bagi-membagi
suka dan duka, bersekutu pada masa depan dan masa sekarang, meningkatkan
kekhususan dan pemilihan. Bantu-membantu dengan harta bersama teman-teman itu,
adalah diatas 3 tingkat:
Tingkat yang
paling rendah: ialah, bahwa engkau menempatkan teman itu pada tingkat budakmu
atau pelayanmu. Maka engkau melaksanakan hajatnya, daripada kelebihan hartamu.
Apabila ia mempunyai suatu hajat keperluan dan ada padamu kelebihan dari hajat
keperluanmu sendiri, maka terus engkau berikan kepadanya. Dan tidak engkau
memerlukan dia meminta. Jikalau engkau memerlukan dia meminta, maka itu adalah
keteledoran sekali terhadap hak persaudaraan.
Tingkat kedua:
ialah, bahwa engkau menempatkan dia pada tingkat dirimu sendiri. Dan engkau
rela mempersekutukannya dengan engkau, pada harta engkau dan menempatkannya
pada kedudukan engkau. Sehingga engkau memperbolehkannya bahagian pada harta
engkau. Al-Hasan berkata: “Adalah seorang daripada mereka itu, membelahkan kain
sarungnya diantara dia sendiri dan saudaranya (temannya)”.
Tingkat ketiga:
ialah, yang paling tinggi, bahwa engkau utamakan dia diatas dirimu sendiri.
Engkau dahulukan keperluannya diatas keperluanmu. Dan ini adalah tingkat
orang-orang shiddiq. Dan derajat yang penghabisan dari orang-orang yang
berkasih-kasihan. Dan sebahagian dari buah tingkat ini, ialah mengutamakan juga
penyerahan jiwa, sebagaimana diriwayatkan, bahwa telah dibawa segolongan
orang-orang shufi kehadapan sebahagian khalifah-khalifah. Lalu khalifah itu
memerintahkan membunuh mereka. Dan dalam golongan mereka itu, terdapat
Abul-Husain An-Nuri. Maka iapun bersegera ke muka orang pemegang pedang. Supaya
ia menjadi orang pertama yang dibunuh. Lalu ia ditanyakan tentang itu. Maka ia
menjawab: “Aku suka bahwa aku mengutamakan teman-temanku untuk hidup pada
detik-detik ini”. Sehingga yang demikian itu, menjadi sebab kelepasan mereka
semuanya, sebagaimana tersebut dalam suatu cerita yang panjang. Jikalau tidak engkau
jumpai dirimu pada salah satu tingkat dari tingkat-tingkat tadi bersama
saudaramu, maka ketahuilah bahwa ikatan persaudaraan itu tidaklah terbuhul kuat
dalam batin. Dan sesungguhnya yang berlaku diantara kedua kamu, ialah
bercampur-bauran resmi, yang tidak jatuh mendalam pada akal dan agama. Maimun
bin Mahran berkata: “Barangsiapa rela daripada saudara-saudaranya, meninggalkan
keutamaan, maka hendaklah ia bersaudara dengan orang-orang yang dalam kuburan
!”. Adapun derajat yang paling rendah, maka tidak pula disenangi oleh
orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Diriwayatkan, bahwa ‘Atbah
Al-Ghallam, datang ke tempat orang yang telah diambilnya menjadi saudara
(teman). Maka ia berkata: “Aku memerlukan dari hartamu 4000”. Lalu orang itu
menjawab: “Ambillah 2000 !”. Maka ‘Atbah Al-Ghallam meninggalkan orang itu,
dengan mengatakan: “Engkau memilih dunia daripada Allah. Apakah engkau tidak
malu, bahwa engkau mendakwakan persaudaraan pada jalan Allah (fillah) dan
engkau mengatakan kata-kata itu tadi ?”. Dan orang yang berada dalam
persaudaraan, pada tingkat yang terendah itu, seyogyalah engkau tidak bergaul
dengan dia di dunia ini. Abu Hazim berkata: “Apabila engkau mempunyai teman
pada jalan Allah, maka janganlah engkau bergaul dengan dia, pada urusan-urusan
duniamu !”. Sesungguhnya Abu Hazim bermaksud dengan yang demikian, ialah orang
yang ada pada tingkat yang tersebut. Adapun tingkat yang tertinggi, ialah yang
disifatkan oleh Allah Ta’ala, akan orang-orang mu’min dengan firmanNya: “Urusan
mereka (dilakukan) dengan permusyawaratan diantara mereka dan mereka yang
menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. S 42 Asy
Syuura ayat 38. Artinya: adalah mereka mencampur-baurkan harta sesama mereka.
Sehingga tidak dapat diperbedakan oleh sebahagian mereka akan kendaraannya dari
sebahagian yang lain. Dan ada sebahagian dari mereka, tidak mau berteman dengan
orang yang mengatakan: “Ini alas kakiku”. Karena disandarkannya, barang itu
kepada dirinya sendiri. Fathul-Maushuli datang ke tempat temannya dan kebetulan
temannya itu tidak ada di rumah. Lalu Fathul-Maushuli menyuruh isteri temannya,
mengeluarkan peti uang. Maka isteri temannya itu mengeluarkan peti uangnya.
Lalu Fathul-Maushuli membukakannya dan mengambil menurut hajat keperluannya. Maka
budak temannya itu menerangkan kepada tuannya. Lalu teman itu menjawab:
“Jikalau engkau itu benar, maka engkau merdeka karena Allah”. Karena
kegembiraan dengan apa yang diperbuat oleh Fathul-Maushuli tadi. Seorang
laki-laki datang kepada Abu Hurairah ra seraya berkata: “Saya ingin bersaudara
dengan engkau pada jalan Allah (fillah)”. Maka Abu Hurairah menjawab: “Tahukah
engkau, apakah hak bersaudara itu ?”. Orang itu menjawab: “Beritahukanlah
kepadaku akan hak itu !”. Abu Hurairah menerangkan: “Bahwa tidaklah engkau
lebih berhak dengan dinarmu dan dirhammu daripadaku”. Orang itu menyambung:
“Aku tidak akan sampai kepada tingkat itu”. Lalu Abu Hurairah berkata:
“Pergilah daripadaku !”. Ali bin Al-Husain ra berkata kepada seorang laki-laki:
“Adakah seorang kamu memasukkan tangannya kedalam lengan baju temannya atau
kedalam saku bajunya, lalu ia mengambil daripadanya, apa yang dikehendakinya,
dengan tidak seizinnya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Ali bin
Al-Husain ra menyambung: “Kalau begitu, tidaklah kamu bersaudara”. Suatu kaum
datang kepada Al-Hasan ra. Lalu mereka bertanya: “Hai Abu Said ! sudahkah
engkau mengerjakan shalat ?”. Maka Al-Hasan menjawab: “Sudah !”. Lalu mereka
itu menyambung: “Sesungguhnya orang-orang pasar itu, tidaklah nanti mengerjakan
shalat”. Al-Hasan ra lalu bertanya: “Siapakah yang mengambil agamanya dari
orang-orang pasar ? telah sampai berita kepadaku, bahwa seorang darii mereka
tidak mau memberikan kepada temannya uang sedirham”. Al-Hasan mengucapkan
kata-kata tadi, seperti orang yang merasa heran, dari yang demikian itu.
Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham ra, dimana Ibrahim bin Adham
ra ingin mengunjungi Baitul-Maqdis. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku ingin
menemanimu !”. Ibrahim bin Adham menjawab kepada orang itu: “Atas dasar, bahwa
adalah aku, yang lebih berhak memiliki barangmu, daripadamu !”. Orang itu
menyahut: “Tidak !”. Maka Ibrahim bin Adham menyambung: “Amatlah mengherankan
aku, oleh kebenaranmu !”. Orang itu menerangkan lebih lanjut: “Adalah Ibrahim
bin Adham ra apabila ditemani oleh seseorang, ia tidak akan berselisih dengan
orang itu. Dan ia tidak akan berteman, kecuali dengan orang yang sesuai dengan
dia”. Ibrahim bin Adham ditemani oleh seorang laki-laki penjual tali sepatu.
Lalu pada suatu tempat, ada orang yang menghadiahkan kepada Ibrahim, sepiring
roti hancur berkuah. Maka Ibrahim membuka karung temannya dan mengambil seikat
tali sepatu dan diletakkannya dalam piring. Dan dikembalikannya piring itu
kepada orang yang menghadiahkan roti berkuah tadi. Tatkala temannya datang,
lalu bertanya: “Manakah tali sepatu itu ?”. Ibrahim menjawab: “Telah menjadi
roti hancur berkuah, yang telah aku makan”. Teman itu menjawab: “Hendaknya
engkau berikan dua atau tiga potong tali saja”. Ibrahim menyahut: “Maafkanlah,
niscaya engkau akan dimaafkan !”. Pada suatu kali, Ibrahim bin Adham memberikan
seekor keledai kepunyaan temannya, tanpa izin teman itu, kepada seorang
laki-laki yang dilihatnya berjalan kaki. Tatkala teman itu datang, maka teman
itu berdiam diri. Dan ia suka dengan yang demikian. Ibnu ‘Umar ra berkata: “Aku
hadiahkan kepada salah seorang sahabat Rasulullah saw kepala kambing. Lalu
sahabat itu berkata: “Saudaraku Anu lebih berhajat daripadaku kepada kepala
kambing ini”. Lalu orang itu mengirimkan kepala kambing tersebut kepada si Anu
itu. Maka orang tersebut mengirimkan kepala kambing itu kepada orang lain. Maka
senantiasalah kepala kambing itu, dikirim oleh yang seorang kepada seorang yang
lain. Sehingga kembalilah kepada yang pertama, setelah berpindah tangan sampai
7 orang. Diriwayatkan bahwa Masruq mempunyai banyak hutang dan temannya
Khaitsamah juga mempunyai hutang. Maka teman itu menerangkan, bahwa Masruq lalu
pergi membayar hutang Khaitsamah, sedang Khaitsamah tiada mengetahuinya. Dan Khaitsamah
pergi membayar hutang Masruq, sedang Masruqpun tiada mengetahuinya. Tatkala
Rasulullah saw mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’id bin
Ar-Rabi’, lalu Abdur Rahman mengutamakan Sa’id bin Ar-Rabi’, dengan harta dan
jiwanya. Abdur Rahman berkata: “Diberkati oleh Allah kiranya bagimu pada
keduanya itu (harta dan jiwa) !”. Sa’id Ar-Rabi’ mengutamakan Abdur Rahman
dengan apa yang diutamakan Abdur Rahman kepadanya. Dan seakan-akan Sa’id bin
Ar-Rabi’ menerimanya, kemudian mengutamakan Abdur Rahman dengan barang
tersebut. Dan itu adalah persamaan. Dan permulaan, ialah mengutamakan. Dan
mengutamakan itu adalah lebih utama daripada persamaan. Berkata Sulaiman
Ad-Darani: “Jikalau dunia semuanya bagiku, maka aku letakkan ke dalam mulut
salah seorang dari teman-temanku. Supaya aku bebaskan dunia itu untuk teman
itu”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata pula: “Sesungguhnya aku suapkan sesuap
makanan kepada salah seorang dari teman-temanku. Maka aku memperoleh rasanya
pada hulqumku (kerongkonganku)”. Dan tatkala mengeluarkan perbelanjaan kepada
saudara-saudara itu, lebih utama daripada bersedekah kepada fakir miskin, maka
Ali ra berkata: “Sesungguhnya 20 dirham aku berikan kepada temanku pada jalan
Allah (temanku fillah), lebih aku sukai daripada aku bersedekah 100 dirham
kepada orang-orang miskin”. Dan Ali ra berkata pula: “Sesungguhnya aku perbuat
segantang makanan dan aku kumpulkan teman-temanku fillah pada makanan itu,
adalah lebih aku sukai daripada memerdekakan seorang budak”. Dan seluruh
sahabat mengikuti Rasulullah saw tentang mengutamakan teman. Beliau masuk ke
tempat pohon-pohonan bersama beberapa orang sahabatnya. Lalu beliau mengambil
dari pohon-pohonan itu, dua potong kayu penyikat gigi (sugi). Yang satu bengkok
dan yang satu lagi lurus. Lalu beliau serahkan yang lurus itu kepada
sahabatnya. Maka sahabat itu berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah ! demi Allah,
engkau kiranya yang lebih berhak dengan yang lurus, daripada aku”. Nabi saw
menjawab: “Tiadalah seorang teman yang menemani seseorang teman, walaupun
sesaat dari hari, melainkan ditanyakan tentang persahabatannya itu, adakah ia
menegakkan pada persahabatan itu, akan hak Allah atau ia menyia-nyiakannya ?”.
Maka dengan sabda itu, Nabi saw mengisyaratkan bahwa mengutamakan teman, adalah
menegakkan hak Allah pada persahabatan. Rasulullah saw pergi ke sumur dan
beliau mandi pada sumur itu. Lalu Hudzaifah bin Al-Yaman memegang kain dan
berdiri menutupkan Rasulullah saw. sehingga beliau selesai mandi. Kemudian,
duduklah Hudzaifah untuk mandi. Lalu Rasulullah saw memegang kain dan berdiri
menutupkan Hudzaifah dari mata orang banyak. Hudzaifah tidak mau, seraya
berkata: “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah ! janganlah engkau berbuat ini
!”. Rasulullah saw tidak mau, melainkan terus menutupkannya dengan kain,
sehingga Hudzaifah selesai mandi”. Nabi saw bersabda: “Tiada sekali-kali
berteman dua orang, melainkan adalah yang lebih disukai Allah, ialah yang lebih
kasih-sayangnya kepada temannya”. Diriwayatkan, bahwa Malik bin Dinar dan
Muhammad bin Wasi’ masuk ke tempat Al-Hasan. Dan waktu itu Al-Hasan tidak ada
di rumah. Lalu Muhammad bin Wasi’ mengeluarkan sebuah keranjang yang berisi
makanan, dari bawah tempat tidur Al-Hasan. Dan terus memakannya. Maka Malik
menegur Muhammad: “Cegahkanlah tanganmu, sehingga datang yang punya rumah !”.
Muhammad tiada memperhatikan perkataan Malik dan ia terus makan. Dan adalah
Malik lebih lapang dan lebih baik budi pekertinya daripada Muhammad. Maka
masuklah Al-Hasan seraya berkata: “Wahai teman ! begitulah adanya kita, tiada
malu diantara kita sesama kita. Sehingga tampaklah engkau dan sahabat-sahabat
engkau”. Al-Hasan mengisyaratkan dengan itu, bahwa berlapang dada pada rumah
teman, adalah setengah daripada kebersihan pada persaudaraan. Bagaimana tidak ?
Allah Ta’ala berfirman: “Atau rumah kawan-kawanmu”. Dan Allah Ta’ala berfirman
(sebelum firman yang tadi): “Atau rumah yang kuncinya kepunyaan kamu”. (kedua
firman tadi adalah pada S 24 An Nur ayat 61). Karena adalah teman itu
menyerahkan kunci rumahnya kepada temannya. Dan menyerahkan urusan menurut yang
diingininya. Dan adalah temannya merasa berkeberatan daripada makan, disebabkan
ketaqwaan. Sehingga diturunkan oleh Allah Ta’ala ayat yang tersebut tadi. Dan
diizinkan kepada mereka berlapang dada pada makanan saudara dan teman.
Hak Kedua: tentang menolong dengan jiwa pada penunaian
segala keperluan dan pelaksanaannya sebelum diminta dan mendahulukannya diatas
hajat-hajat yang tertentu.
Dan ini juga,
mempunyai derajat-derajat, sebagaimana pada memberi pertolongan dengan harta.
Maka yang paling rendah daripadanya, ialah tegak melaksanakan keperluan teman,
ketika diminta dan mampu. Tetapi dengan disertakan wajah yang tersenyum,
gembira, melahirkan kesenangan dan menerimakan kenikmatan. Setengah mereka
berkata: “Apabila engkau meminta kepada saudaramu sesuatu keperluan, maka tidak
dilaksanakannya. Lalu ingatkanlah dia kali kedua; karena mungkin ia telah lupa.
Jikalau tidak dilaksanakan juga, maka bertakbirlah kepadanya. Dan bacalah ayat
ini: “Dan orang-orang yang mati, akan dibangkitkan oleh Allah”. S 6 Al An’aam
ayat 36. Ibnu Syabramah melaksanakan suatu keperluan besar bagi sebahagian
temannya. Lalu teman itu datang membawa hadiah. Maka Ibnu Syabramah bertanya:
“Apa ini ?”. Teman itu menjawab: “Untuk yang telah engkau bermurah hati
kepadaku”. Maka Ibnu Syabramah menyambung: “Ambillah hartamu ! kiranya Allah
mengurniakan kepadamu ke’afiatan 1 apabila engkau meminta kepada saudaramu
sesuatu keperluan, maka ia tidak menyugguhkan dirinya pada melaksanakan
keperluan itu, maka berwudlu’lah untuk shalat ! dan bertakbirlah kepadanya 4
kali takbir ! dan hitungkanlah dia dalam golongan orang-orang yang telah mati
!”. Berkata Ja’far bin Muhammad: “Sesungguhnya aku bersegera melaksanakan
keperluan musuh-musuhku. Karena takut nanti aku tolak permintaan mereka. Maka
mereka tidak memerlukan lagi kepadaku”. Ini, adalah terhadap musuh ! maka
bagaimana pula terhadap teman ? dan adalah dalam kalangan salaf, orang yang
menghabiskan hartanya kepada keluarga dan anak-anak temannya, sesudah teman itu
meninggal, selama 40 tahun. Ia bangun melaksanakan keperluan mereka. Dan
tiap-tiap hari bulak-balik kepada mereka dan membelanjai mereka dari hartanya.
Maka adalah mereka tiada merasa ketiadaan ayah. Hanya diri ayahnya saja yang
tidak ada. Bahkan mereka melihat dari sikap yang menolong itu, apa yang tiada
pernah dilihatnya dari ayahnya sewaktu ayahnya masih hidup. Dan salah seorang
dari mereka pulang-pergi ke pintu rumah temannya, menanyakan dan
mengatakan: “Adakah kamu mempunyai
minyak ? adakah kamu mempunyai garam ? adakah kamu mempunyai sesuatu keperluan
? dan ia bangun melaksanakan keperluan itu, dimana teman itu sendiri tiada
mengetahuinya. Dan dengan ini, lahirlah kekasih-sayangan dan persaudaraan.
Apabila tidak berbuah kekasih-sayangan, sehingga ia kasih-sayang kepada
temannya seperti ia kasih-sayang kepada dirinya sendiri, maka tak adalah
kebajikan pada kekasih-sayangan itu. Maimun bin Mahran berkata: “Orang yang
tiada engkau memperoleh manfaat dengan persahabatannya, niscaya tidaklah mendatangkan
kemelaratan kepada engkau oleh permusuhannya”. Nabi saw bersabda: “Ketahuilah !
bahwa Allah Ta’ala mempunyai bejana-bejana di bumiNya, yaitu: hati. Maka bejana
yang paling disukai Allah Ta’ala, ialah yang paling bersih, yang paling keras
dan yang paling halus”. Yang paling bersih dari dosa, yang paling keras pada
agama dan yang paling halus kepada teman. Kesimpulannya, maka seyogyalah adanya
keperluan temanmu, seperti keperluanmu sendiri. Atau lebih penting daripada
keperluanmu. Dan adalah kamu meniadakan yang lain, untuk waktu-waktu keperluan
teman. Tidak melalaikan segala hal-ikhwal teman, sebagaimana kamu tidak
melalaikan segala hal dirimu sendiri. Dan engkau tidak memerlukan dari teman
itu, meminta-minta dan melahirkan keperluan kepada pertolongan. Tetapi engkau
bangun menegakkan keperluannya, seakan-akan engkau tiada mengetahui telah
menegakkan keperluan teman. Dan engkau tiada melihat bagi dirimu sendiri akan
sesuatu hak, disebabkan engkau menegakkan keperluan teman. Tetapi engkau
memperoleh kenikmatan, disebabkan diterimanya usaha engkau pada hak teman itu
dan bangun engkau mengurus urusannya. Dan tiada seyogyalah engkau menyingkatkan
pada menunaikan hajatnya saja, tetapi engkau bersungguh-sungguh pada
permulaannya; dengan memuliakannya tambah-bertambah, mengutamakan dan
mendahulukannya diatas kaum kerabat dan anak sendiri. Adalah Al-Hasan berkata:
“Teman-teman kita adalah lebih kita kasihi dari keluarga dan anak-anak kita.
Karena keluarga kita mengingatkan kita kepada dunia dan teman-teman kita mengingatkan
kita kepada akhirat”. Al-Hasan berkata: “Barangsiapa mengantarkan jenazah
temannya fillah, niscaya diutuskan oleh Allah para malaikat dari bawah
‘ArasyNya, yang akan mengantarkannya ke sorga”. Pada atsar tersebut: “Tiadalah
seseorang mengunjungi temannya fillah, karena ingin menjumpainya, melainkan ia
dipanggil oleh malaikat dari belakangnya: “Engkau baik dan sorga baik untuk
engkau !”. Atha’ berkata: “Habiskanlah waktumu untuk temanmu, sesudah teman itu
mempunyai 3 perkara: jikalau mereka itu sakit, maka kunjungilah ! atau mereka
banyak pekerjaan, maka berilah pertolongan ! atau mereka lupa maka
peringatkanlah !”. Dan diriwayatkan: “Bahwa Ibnu ‘Umar berpaling ke kanan dan
ke kiri, dihadapan Rasulullah saw. Lalu beliau menanyakannya yang demikian.
Maka Ibnu ‘Umar menjawab: “Aku mencintai seorang laki-laki, maka aku mencarinya
dan tiada aku melihatnya”. Lalu Nabi saw bersabda: “Apabila engkau mencintai
seseorang maka tanyakanlah namanya, nama ayahnya dan tempatnya. Maka jikalau ia
sakit, engkau berkunjung kepadanya. Dan jikalau ia banyak pekerjaan, engkau
berikan kepadanya pertolongan”. Dan pada riwayat yang lain: “Engkau tanyakan
nama neneknya dan nama keluarganya”. Berkata Asy-sya’bi tentang orang yang
duduk-duduk dengan orang, lalu mengatakan: “Aku kenal mukanya dan tidak aku
kenal namanya”, bahwa itu, adalah kenalan yang bodoh. Ada orang menanyakan
kepada Ibnu Abbas: “Siapakah orang yang paling engkau cintai ?”. Ibnu Abbas
menjawab: “Orang yang menjadi teman dudukku”. Dan Ibnu Abbas meneruskan: “Tiadalah
pulang-pergi seorang laki-laki ke tempatku 3 kali, tanpa ada keperluannya
kepadaku, maka tahulah aku, apakah pembalasannya dari dunia”. Sa’id bin Al-Ash
berkata: “Teman dudukku mempunyai padaku 3 perkara: apabila ia mendekati,
niscaya sambut kedatangannya. Apabila ia berbicara, niscaya aku perhatikan
pembicaraannya. Dan apabila ia duduk, niscaya aku luaskan tempat baginya”’.
Allah Ta’ala berfirman: “Bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al
Fath ayat 29, adalah isyarat kepada kekasih-sayangan dan pemuliaan. Dan
setengah dari kesempurnaan kasih-sayang, ialah tidak sendirian dengan makanan
yang enak atau datang pada suatu hak kegembiraan, tanpa temannya. Tetapi merasa
sedih karena berpisah dengan teman dan merasa sepi dengan sendirian, jauh dari
teman.
Hak Ketiga: tentang lidah, sekali dengan: diam dan kali
yang lain, dengan: bicara.
Adapun diam,
ialah: diam daripada menyebutkan kekurangan-kekurangan teman, di belakang atau
di muka teman. Tetapi membuat diri tidak tahu dalam hal itu. Dan diam daripada
menolak mengenai apa yang diperkatakan teman. Tidak melawan dan tidak
bertengkar dengan teman. Dan berdiam diri daripada mengintip dan menanyakan
kepada teman. Apabila melihat teman di jalan atau pada suatu keperluan, niscaya
tiada dimulai pembicaraan, dengan menyebutkan maksudnya: dari tempat mana
datangnya dan ke tempat mana akan didatangi. Dan tidak menanyakan teman tentang
itu. Karena kadang-kadang teman itu, merasa berat menyebutkannya atau
memerlukan kepada berdusta. Dan hendaklah berdiam diri, daripada menyebutkan
rahasia-rahasia teman, yang dibisikkan kepadanya ! dan tidaklah sekali-kali
dibisikkan kepada orang lain dan tidak kepada teman-temannya yang terkhusus.
Dan tidaklah dibuka sedikitpun dari rahasia-rahasia itu, walaupun setelah putus
persahabatan dan perhubungan batin. Karena yang demikian itu, adalah termasuk
tabiat yang tercela dan batin yang kotor. Dan hendaklah berdiam diri, dari
kekurangan-kekurangan teman, keluarga dan anaknya. Dan berdiam diri pula,
daripada menceritakan kekurangan orang lain kepadanya. Karena yang mencaci
engkau, ialah orang yang menyampaikan itu kepada engkau. Anas berkata: “Adalah
Nabi saw tidak menghadapkan mukanya kepada seseorang, dengan sesuatu yang tiada
disukainya”. Dan hal yang menyakitkan itu, mula-mula terjadi daripada yang
menyampaikan, kemudian daripada yang mengatakan”. Benar, tiada seyogyalah
menyembunyikan apa yang didengar dari pujian kepada teman. Karena kegembiraan
dengan yang demikian, mula-mula terjadi adalah daripada yang menyampaikan pujian
itu. Kemudian daripada yang mengatakan. Dan menyembunyikan yang demikian itu,
adalah termasuk dengki. Kesimpulannya, hendaklah berdiam diri daripada
tiap-tiap perkataan yang tiada menyenangkan teman, secara keseluruhan dan
secara terperinci. Kecuali apabila harus diperkatakan, mengenai amar ma’ruf
atau nahi munkar. Dan tidaklah diperoleh dalam hal ini, pembolehan berdiam
diri. Karena itu, tidaklah dihiraukan dengan tiada senangnya teman.
Sesungguhnya yang demikian, pada hakekatnya, adalah: ihsan (berbuat baik)
kepada teman, walaupun teman itu menyangka, bahwa yang demikian, adalah
perbuatan jahat pada zhahirnya. Adapun menyebutkan keburukan-keburukan dan
kekurangan-kekurangan teman dan keburukan-keburukan keluarganya, maka itu
termasuk: umpatan. Dan adalah haram pada hak tiap-tiap orang muslim. Dan engkau
diperingatkan dari itu oleh dua perkara:
Pertama: bahwa
engkau memperhatikan keadaan dirimu sendiri. Kalau engkau memperoleh pada
dirimu, suatu hal yang tercela, maka pandanglah enteng atas dirimu, akan apa
yang engkau lihat pada temanmu !. Dan umpamakanlah, bahwa teman itu lemah
daripada menguasai dirinya pada perkara yang satu itu, sebagaimana engkau lemah
dari apa yang mencoba kepadamu. Dan tidaklah engkau memandang berat, dengan
perkara yang satu, yang tercela itu. Maka manakah orang yang bersih ? dan
tiap-tiap yang tidak engkau peroleh dari dirimu tentang hak Allah, maka
janganlah itu engkau tunggu dari temanmu, tentang hak dirimu sendiri. Karena
tidaklah hakmu di atas teman itu, lebih banyak daripada hak Allah diatas
dirimu.
Kedua:
sesungguhnya engkau mengetahui, bahwa kalau engkau mencari orang yang bersih
dari tiap-tiap kekurangan, niscaya engkau akan mengasingkan diri daripada
makhluq seluruhnya. Dan tidak akan engkau peroleh sekali-kali orang yang akan
engkau ambil menjadi teman. Tiada seorangpun daripada manusia, melainkan
mempunyai kebaikan dan keburukan. Apabila kebaikan mengalahkan keburukan, maka
itulah tujuan dan kesudahan. Orang mu’min yang mulia, selalu mendatangkan pada
dirinya kebaikan temannya. Supaya tergeraklah dari hatinya rasa pemuliaan,
kekasih-sayangan dan penghormatan. Adapun orang munafiq yang terkutuk, maka
selamanya memperhatikan keburukan dan kekurangan orang. Ibnul-Mubarak berkata:
“Orang mu’min itu, mencari hal-hal yang dapat dimaafkan, orang munafiq itu,
mencari hal-hal yang terlanjur”. Al-Fudlail berkata: “Orang yang berjiwa
pemuda, ialah yang memaafkan segala ketelanjuran teman”. Dan karena itulah Nabi
saw bersabda: “Berlindunglah dengan Allah dari tetangga yang jahat, dimana
kalau ia melihat yang baik, disembunyikannya dan kalau dilihatnya yang buruk,
dilahirkannya”. Dan tiada seorangpun, melainkan mungkin dipandang baik hal
ihwalnya, dengan keadaan yang ada padanya dan mungkin pula dipandang buruk.
Diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki memuji seseorang dihadapan Rasulullah
saw. Maka pada keesokan harinya dicacinya. Lalu Nabi saw bersabda: “Kemarin
engkau pujikan dia dan hari ini engkau cacikan dia”. Lalu orang itu menjawab:
“Demi Allah ! sesungguhnya aku benar terhadap orang itu kemarin. Dan aku tidak
berdusta terhadap dia hari ini. Sesungguhnya kemarin, ia menyukakan aku, lalu
aku mengatakan: “Amat baiklah apa yang aku ketahui padanya”. Dan pada hari ini,
ia membuat kemarahanku, lalu aku mengatakan: “Amat buruklah apa yang aku
ketahui padanya”. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setengah dari
penjelasan itu mengandung sihir”. Seakan-akan Nabi saw tidak menyukai yang
demikian. Lalu beliau menyerupakannya dengan sihir”. Dan karena itulah Nabi saw
bersabda pada hadits yang lain: “Perkataan keji dan perkataan jelas, adalah dua
cabang dari nifaq (kemunafiqan)”. Dan pada hadits lain: “Sesungguhnya Allah
tiada menyukai bagi kamu penjelasan, seluruh penjelasan”. Begitupula, Imam
Asy-Syafi’i ra berkata: “Tiada seorangpun dari kaum muslimin yang mentaati
Allah dan tiada mengerjakan ma’siat kepadaNya. Dan tiada seorangpun yang
berbuat ma’siat kepada Allah dan tiada mentaatiNya. Maka barangsiapa,
ketaatannya lebih banyak daripada kema’siatannya, maka dia itu, adalah orang
adil”. Apabila yang seperti ini, dijadikan adil terhadap hak Allah, maka untuk
memandangnya adil terhadap hak dirimu sendiri dan yang dikehendaki oleh
teman-temanmu, adalah lebih utama lagi. Sebagaimana harus engkau diam dengan
lidah engkau, dari segala keburukan teman, maka harus pula engkau diam dengan
hati engkau. Yaitu: dengan meninggalkan buruk sangka. Buruk sangka itu adalah
umpatan dengan hati. Dan itu dilarang juga. Dan batasnya ialah bahwa tiada
engkau bawa perbuatan teman kepada segi yang buruk. Sedapat mungkin, engkau
bawa kepada segi yang baik. Adapun yang terbuka jelas dengan keyakinan dan
penyaksiaan, maka tidak mungkin engkau tiada mengetahuinya. Dan haruslah engkau
bawa apa yang engkau saksikan itu, kepada kelengahan dan kelupaan teman,
jikalau mungkin. Dan sangkaan itu terbagi kepada: apa yang dinamakan: secara
firasat (tafarrus). Yaitu: yang disandarkan kepada sesuatu tanda (alamat). Maka
yang demikian itu, menggerakkan sangkaan secara mudah, yang tiada sanggup
menolaknya. Dan kepada: apa yang sumber kejadiannya dari buruk i’tiqad engkau
kepadanya. Sehingga timbul daripadanya, perbuatan yang mempunyai dua segi. Lalu
engkau dibawa oleh jahat i’tiqad tadi padanya, kepada menempatkannya: pada segi
yang lebih buruk, tanpa tanda yang menentukan demikian. Dan yang demikian itu,
adalah penganiayaan dengan batin kepada teman. Dan yang demikian itu, haram
terhadap hak tiap-tiap mu’min. Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas orang mu’min, dari orang mu’min: darahnya, hartanya,
kehormatannya dan menyangkakannya dengan sangkaan buruk”. Nabi saw bersabda:
“Awaslah dari sangkaan, karena sangkaan itu lebih dusta daripada pembicaraan”.
Jahat sangka itu membawa kepada: mengintip-intip (at-tajassus) dan
menengok-nengok (at-tahassus). Dan Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu melakukan
at-tahassus, janganlah kamu melakukan at-tajassus, janganlah kamu
putus-memutuskan silaturrahim, janganlah kamu belakang-membelakangi dan adalah
kamu hamba Allah yang bersaudara !”. At-tajassus, ialah mengintip-intip mencari-cari
berita. Dan at-tahassus, ialah mengintip-intip dengan mata (menengok-nengok).
Maka menutup kekurangan teman, bersikap tidak tahu-menahu dan tidak
memperhatikan kepada kekurangan-kekurangan itu, adalah: tanda orang beragama.
Dan mencukupilah bagi anda, kiranya peringatan kepada sempurnanya tingkatan
pada menutupkan kekejian dan melahirkan keelokan, bahwa Allah Ta’ala disifatkan
dengan demikian pada doa, dimana orang membacakan doanya: “Wahai Yang
Melahirkan keelokan dan Yang Menutupkan keburukan !”. Yang direlai pada sisi
Allah, ialah orang yang berakhlaq dengan akhlaqNya. Sesungguhnya Ia yang
menutupkan segala kekurangan, yang mengampunkan segala dosa dan yang melepaskan
segala hamba. Maka bagaimanakah engkau tidak melepaskan orang yang seperti engkau
sendiri atau yang diatas engkau. Dan tidaklah dia itu dalam segala hal, budak
engkau dan makhluq engkau. Nabi Isa as bersabda kepada para sahabatnya: “Apakah
yang engkau perbuat apabila engkau melihat temanmu tidur dan angin telah
membuka kainnya dari tubuhnya ?”. Mereka menjawab: “Kami tutupkan dan
selimutkan dia”. Nabi Isa as menyambung: “Tetapi engkau membuka auratnya”.
Mereka menjawab: “Subhaanallaah ! siapakah yang berbuat demikian ?”. Maka Nabi
Isa as menyahut: “Seseorang dari kamu mendengar sepatah kata mengenai
saudaranya. Lalu ia menambahkannya dan menyiarkannya dengan yang lebih besar
dari itu”. Ketahuilah kiranya, bahwa tiada sempurna iman seseorang, selama ia
tiada mencintai saudaranya, akan apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri. Dan
sekurang-kurangnya derajat persaudaraan itu, bahwa ia bergaul dengan
saudaranya, dengan apa yang disukainya, bahwa saudaranya itu bergaul dengan
dia. Dan tak ragu lagi, bahwa ia menunggu dari saudaranya itu, menutupkan
auratnya, berdiam diri diatas segala keburukan dan kekurangannya. Dan jikalau
lahirlah daripada saudaranya itu berlawanan daripada apa yang ditungguinya,
niscaya bersangatanlah kekesalan hati dan kemarahannya kepada saudaranya itu.
Alangkah jauhnya, apabila yang ditungguinya dari teman, apa yang tidak
terkandung dalam hatinya (dlamirnya) untuk teman dan tidak dicita-citakannya
keatas teman, karenaa berteman. Dan azab sengsaralah baginya, yang tersebut
dalam nash (dalil yang tegas), dalam Kitab Allah Ta’ala, dimana IA berfirman:
“Celakalah bagi orang-orang yang menipu. Apabila mereka menyukat dari orang
lain (untuk dirinya) dipenuhkannya (sukatan). Tetapi apabila mereka menyukat
untuk orang lain atau menimbang untuk orang lain, dikuranginya”. S 83 Al
Muthaffifiin ayat 1,2,3. Dan tiap-tiap orang yang meminta daripadanya
keinsyafan, lebih banyak daripada apa yang diperbolehkan oleh dirinya sendiri,
adalah termasuk dalam kehendak ayat tersebut tadi. Dan sumber kelalaian pada
menutupkan aurat atau berusaha pada membukakannya, ialah penyakit yang tertanam
dalam batin. Yaitu: dengki dan busuk hati. Maka sesungguhnya orang yang dengki,
yang busuk hati itu, memenuhi batinnya dengan kekejian. Tetapi ditahannya dalam
batinnya, disembunyikannya dan tidak dilahirkannya, manakala belum diperolehnya
jalan. Dan apabila diperolehnya kesempatan, niscaya terbukalah ikatan,
terangkatlah malu dan bocorlah batinnya dengan kekejian yang tertanam itu.
Manakala batin telah terlipat diatas kedengkian dan kebusukan hati, maka yang
lebih utama, ialah memutuskan hubungan dengan orang itu. Berkata setengah ahli
hikmat (hukama’): “Cacian yang terang adalah lebih baik daripada kedengkian
yang tersembunyi. Dan tidaklah bertambah kehalusan orang-orang yang dengki itu,
melainkan keliaran hati daripadanya. Dan orang yang dalam kedengkian kepada
orang muslim, maka imannya adalah lemah, keadaannya adalah membahayakan dan
hatinya adalah busuk, tidak patut untuk menjumpai Allah. Sesungguhnya
diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Jubair bin Nufair dari ayahnya, bahwa
ayahnya itu berkata: “Adalah aku di negeri Yaman dan mempunyai tetangga seorang
Yahudi yang menceritakan kepadaku tentang Taurat. Yahudi itu mengemukakan
kepadaku, dari salah satu bahagian dari kitab tadi. Lalu aku menjawab:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutuskan kepada kami seorang Nabi. Maka
diajaknya kami kepada agama Islam. Lalu Islamlah kami. Dan diturunkanNya kepada
kami sebuah Kitab, yang membenarkan Taurat”. Yahudi itu menjawab: “Benarlah
engkau ! tetapi engkau tidak sanggup menegakkan apa yang dibawanya kepadamu.
Sesungguhnya kami menjumpai sifatnya dan sifat umatnya dalam Taurat. Bahwa
tidak halal bagi seorang manusia, untuk keluar dari muka pintunya dan dalam
hatinya kedengkian kepada saudaranya muslim”. Dan dari karena itulah, bahwa ia
berdiam diri daripada menyiarkan rahasia seseorang yang disimpan padanya. Dan
ia berhak membantahnya, walaupun ia membohong. Maka tidaklah bersifat benar
itu, wajib pada segala tempat. Sesungguhnya, sebagaimana dibolehkan bagi
seseorang menyembunyikan kekurangan dan rahasia dirinya, walaupun memerlukan
kepada membohong, maka iapun boleh berbuat yang demikian terhadap saudaranya.
Karena saudaranya itu berkedudukan pada kedudukannya. Dan keduanya adalah
seperti orang seorang yang tidak berlainan, kecuali tubuh. Inilah hakekatnya
persaudaraan !. Begitupula, tidak berbuat dihadapan teman, dengan ria dan
keluar dari amal perbuatan rahasia, kepada amal perbuatan yang nyata. Karena
mengenal temannya dengan perbuatannya, adalah seperti mengenal dirinya sendiri,
tanpa ada perbedaan. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menutupkan aurat temannya,
niscaya ia ditutupkan oleh Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat”. Dan pada
hadits lain tersebut: “Maka seakan-akan ia telah nenghidupkan anak perempuannya
yang ditanam hidup-hidup”. Dan Nabi saw bersabda: “Apabila berbicara seseorang
suatu pembicaraan, kemudian ia menoleh ke kiri atau ke kanan, maka itu adalah
amanah”. Dan Nabi saw bersabda: “Segala Majlis itu adalah dengan amanah, selain
dari 3 Majlis: Majlis yang ditumpahkan padanya darah yang haram (dilakukan pembunuhan
yang diharamkan), majlis yang dihalalkan padanya faraj yang haram (dilakukan
padanya penzinaan) dan majlis yang dihalalkan padanya harta dengan tidak
halal”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya duduk-duduklah dua orang yang
duduk-duduk dengan amanah dan tidaklah halal bagi salah seorang daripada
keduanya, menyiarkan terhadap temannya apa yang tidak disukainya”. Ditanyakan
kepada setengah pujangga: “Bagaimanakah tuan menjaga rahasia ?”. Pujangga itu
menjawab: “Aku kuburannya !”. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa dada
orang merdeka itu, kuburan rahasia. Dan ada yang mengatakan, bahwa hati orang
dungu itu pada mulutnya dan lidah orang berakal itu pada hatinya. Artinya: tidak sanggup orang dungu
itu menyembunyikan apa yang dalam dirinya, lalu dilahirkannya, dimana ia tiada
mengetahuinya. Maka dari itulah, wajib memutuskan hubungan dengan orang-orang
dungu dan menjaga diri daripada bersahabat dengan mereka. Bahkan daripada
pandang-memandang dengan mereka. Ada yang menanyakan kepada orang yang lain:
“Bagaimanakah tuan menjaga rahasia ?”. Orang yang ditanyakan itu menjawab: “Aku
mungkir yang menceritakan dan aku bersumpah bagi yang meminta diceritakan”. Dan
berkata yang lain lagi: “Aku tutup rahasia itu dan aku tutup bahwa aku
menutupnya”. Diibaratkan yang demikian itu oleh Ibnul-Mu’taz dengan bermadah:
“Yang menyimpankan rahasia padaku,
maka aku mendiami tempat
menyembunyikannya.
Aku simpankan dalam dadaku,
maka jadilah dadaku kuburannya”.
Dan yang lain bermadah dan ingin
menambahkan kepada yang tadi:
“Tidaklah rahasia dalam dadaku,
seperti orang mati dalam kuburannya.
Karena terlihat olehku,
bahwa orang yang terkubur menantikan
kebangkitannya.
Tetapi aku melupakan rahasia itu,
sehingga seakan-akan aku,
apa yang terkandung dalam rahasia
itu,
belum pernah sesaatpun aku tahu.
Jikalau bolehlah menyembunyikan
rahasia,
antara aku dan rahasia itu,
dari rahasia dan segala isi perut
kita,
niscaya engkau tidak akan tahu
rahasia itu”.
Setengah mereka
membuka rahasianya kepada temannya. Kemudian ia berkata kepada teman itu:
“Engkau simpan rahasia tadi ?”. Teman itu menjawab: “Bahkan aku telah lupa”.
Abu Sa’id Ats-Tsuri berkata: “Apabila engkau ingin mengambil seseorang menjadi
teman, maka buatlah dia supaya marah ! kemudian selundupkan kepadanya, orang
yang akan bertanya kepadanya tentang engkau dan rahasia engkau. Maka kalau ia
mengatakan yang baik dan menyembunyikan rahasia engkau, maka ambillah dia
menjadi teman !”. Ada orang yang bertanya kepada Abu Yazid: “Siapakah yang
engkau berkawan dari manusia ?”. Abu Yazid menjawab: “Orang yang mengetahui
dari engkau apa yang diketahui oleh Allah. Kemudian ia tutupkan diatas diri
engkau, sebagaimana ditutupkan oleh Allah”. Dzun-Nun berkata: “Tak ada kebaikan
berteman dengan orang, yang tidak suka melihat engkau, selain orang yang
terpelihara dari kesalahan (orang Ma’shum). Dan barangsiapa membuka rahasia
ketika marah, maka orang itu terkutuk. Karena menyembunyikan ketika hati
senang, adalah dikehendaki oleh tabiat sejahtera seluruhnya”. Berkata setengah
ahli hikmat (hukama’): “Janganlah berteman dengan orang yang berobah terhadap
engkau ketika 4 hal: ketika marahnya dan senang hatinya, ketika lobanya dan
hawa nafsunya. Tetapi seyogyalah kebenaran persaudaraan itu, berada dalam
keadaan tetap, dalam berbedanya keadaan-keadaan yang tersebut tadi”. Dan karena
itulah ada orang yang bermadah:
“Akan engkau melihat orang yang
mulia,
apabila putus hubungan, disambungnya.
Disembunyikannya yang keji, hina,
dan dilahirkannya perbuatan baiknya.
Akan engkau melihat orang yang
tercela,
apabila putus hubungan, disambungnya.
Disembunyikannya yang elok nyata,
dan dilahirkannya yang palsu belaka”.
Al-Abbas berkata
kepada puteranya ‘Abdullah: “Sesungguhnya aku melihat lelaki itu, yakni: ‘Umar
ra mendahulukan engkau dari orang yang tua-tua. Maka hafalkanlah daripadaku 5
perkara: jangan engkau buka rahasia kepadanya, jangan engkau mencaci seseorang
padanya, jangan engkau melakukan kedustaan padanya, jangan engkau berbuat
durhaka kepadanya pada sesuatu pekerjaan dan jangan ia melihat daripada engkau
pengkhianatan !”. Asy-Sya’bi berkata: “Tiap-tiap kalimah dari yang 5 tadi,
adalah lebih baik daripada 1000 kalimat yang lain”. Dan sebahagian dari yang
demikian ialah berdiam diri daripada bertengkar dan tolak-menolak pada
tiap-tiap apa yang dikatakan oleh temanmu”. Ibnu Abbas berkata: “Janganlah
bertengkar dengan orang kurang akal, maka ia akan menyakitkan kamu ! dan jangan
bertengkar dengan orang penyantun, maka ia akan benci kepadamu”. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa meninggalkan pertengkaran dan dia itu dalam keadaan
salah, niscaya didirikan baginya, sebuah rumah di tengah-tengah sorga. Dan
barangsiapa meninggalkan pertengkaran dan dia itu dalam keadaan benar, niscaya
didirikan baginya sebuah rumah di tempat yang tertinggi dari sorga”. Pahamilah
ini, serta meninggalkan yang batil, adalah wajib. Dan sesungguhnya dijadikan
pahala sunat itu lebih besar. Karena berdiam diri dari kebenaran, adalah lebih
berat kepada jiwa, daripada berdiam diri daripada yang batil. Dan bahwa pahala
itu adalah menurut tenaga yang diberikan. Dan sebab yang paling keras untuk
mengobarkan api kedengkian diantara teman-teman itu, ialah pertengkaran dan
perlombaan. Karena sebab itu, adalah belakang-membelakangi dan putus-memutuskan
silaturrahim yang sebenarnya. Putus-memutuskan silaturrahim terjadi, pada
mulanya dengan buah pikiran. Kemudian dengan perkataan. Kemudian dengan badan.
Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu belakang-membelakangi, marah-memarahi,
dengki-mendengki dan putus-memutuskan silaturrahim ! dan adalah kamu semuanya hamba
Allah yang bersaudara ! orang muslim adalah saudara orang muslim. Tidak akan
dianiayakannya, tidak akan diharamkannya dan tidak akan dihinakannya.
Mencukupilah dari manusia itu kejahatan, bahwa ia menghinakan saudaranya
muslim”. Dan penghinaan yang paling berat, ialah pertengkaran. Karena orang
yang menolak perkataan orang lain, adalah meletakkan orang itu pada kebodohan
dan kedunguan. Atau pada kelalaian dan kelupaan daripada memahami sesuatu
menurut yang sebenarnya. Dan semua itu, adalah penghinaan, penusukan dada dan
peliaran hati. Dan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Amamah
Al-Bahili, dimana beliau berkata: “Telah datang ke tempat kami Rasulullah saw
dan kami sedang bertengkar. Maka beliau marah dan bersabda: “Tinggalkanlah
pertengkaran, karena kurang baiknya ! tinggalkanlah pertengkaran, karena
manfaatnya sedikit dan akan menggerakkan permusuhan diantara teman-teman !”.
Setengah salaf berkata: “Barangsiapa berbantah dan bertengkar dengan temannya,
niscaya kuranglah kepribadiannya dan hilanglah kehormatan dirinya”. Abdullah
bin Al-Hasan berkata: “Jagalah dirimu dari bertengkar dengan orang ! karena
engkau tidak akan dapat meniadakan penipuan orang penyantun atau tindakan yang
tiba-tiba orang tercela”. Setengah salaf berkata: “Manusia yang paling lemah,
ialah orang yang tidak sanggup mencari teman. Dan yang paling lemah dari itu
lagi, ialah orang yang menyia-nyiakan teman yang telah diperolehnya. Dan
banyaknya pertengkaran itu, mengharuskan penyia-nyiaan dan pemutusan
silaturrahim dan mempusakai permusuhan”. Al-Hasan berkata: “Janganlah engkau
membeli permusuhan orang seorang, dengan kesayangan 100 orang !”. Pada umumnya,
tiadalah yang menggerakkan kepada pertengkaran, selain oleh keinginan
melahirkan perbedaan, dengan ketambahan akal pikiran dan keutamaan. Dan
penghinaan kepada orang yang ditolak pikirannya, dengan menampakkan
kebodohannya. Dan itu melengkapi kepada kesombongan, penghinaan, penyakitan dan
pencelaan dengan kedunguan dan kebodohan. Dan tak ada arti bagi permusuhan,
selain inilah ! maka bagaimana terjamin pada yang tersebut tadi, persaudaraan
dan kebersihan hati ? Ibnul-Abbas meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau
bersabda: “Janganlah engkau bertengkar dengan temanmu ! janganlah engkau
bersenda gurau dengan dia ! dan janganlah berjanji dengan dia sesuatu
perjanjian, lalu engkau menyalahinya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kamu
tiada akan memberi kelapangan kepada manusia dengan hartamu. Tetapi melapangkan
mereka daripada kamu, oleh kejernihan muka dan kebaikan budimu”. Pertengkaran
itu berlawanan bagi kebaikan budi. Ulama salaf telah sampai ke batas yang
terakhir pada memperingatkan dari pertengkaran. Dan mendorong kepada
tolong-menolong sampai kepada batas, dimana mereka tiada melihat sekali-kali
akan perlunya meminta. Mereka itu mengatakan: “Apabila engkau berkata kepada
temanmu: “Bangunlah !”, lalu temanmu itu bertanya: “Kemana ?”, maka janganlah
engkau berteman dengan dia !”. Tetapi ulama salaf itu mengatakan: “Seyogyalah
teman itu terus bangun dan tiada menanyakan apa-apa”. Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata: “Aku mempunyai seorang teman di Irak. Maka aku mengunjunginya pada
segala musibah yang menimpa atas dirinya. Aku mengatakan kepadanya: “Berikanlah
sedikit kepadaku dari hartamu !”. Lalu dicampakkannya kepadaku dompetnya. Maka
aku ambil daripadanya apa yang aku kehendaki. Pada suatu hari aku datang
kepadanya, lalu aku mengatakan: “Aku memerlukan sesuatu !”. Maka ia menjawab:
“Berapakah kamu kehendaki ?”. Maka keluarlah (tak ada lagi) kemanisan
persaudaraannya dari hatiku. Yang lain berkata pula: “Apabila engkau meminta
uang pada temanmu, lalu ia bertanya: “Apakah yang akan engkau perbuat dengan
uang itu ?, maka sesungguhnya teman tersebut telah meninggalkan hak
persaudaraan”. Ketahuilah, bahwa tegaknya persaudaraan itu, ialah dengan
kesesuaian pada perkataan, perbuatan dan kesayangan. Abu Usman Al-Hiari
berkata: “Kesesuaian dengan teman-teman itu, adalah lebih baik daripada
kesayangan kepada mereka”. Dan benarlah kiranya, seperti yang dikatakan oleh
Abu Usman Al-Hiari itu !
Hak Keempat: diatas lisan dengan penuturan.
Sesungguhnya persaudaraan itu,
sebagaimana ia menghendaki berdiam diri daripada hal-hal yang tidak disenangi,
maka ia menghendaki pula penuturan dengan hal-hal yang disukai. Bahkan itulah
yang lebih tertentu dengan persaudaraan. Karena orang yang merasa puas dengan
berdiam diri, adalah ia telah berteman dengan orang-orang yang di dalam
kuburan. Sesungguhnya dimaksudkan dengan teman-teman itu, ialah supayaa
memperoleh faedah daripada mereka. Tidak supaya terlepas daripada kesakitan
yang diperbuat mereka. Dan diam, artinya: mencegah kesakitan. Maka haruslah
menaruh kasih-sayang kepada teman dengan lisannya. Dan tidak menggunakan lisan
itu dalam hal-hal, yang ia sukai tidak menggunakannya padanya, seperti: menanyakan
tentang suatu rintangan, jikalau rintangan itu terjadi, melahirkan kesedihan
hati dengan sebab terjadinya kejadian itu dan tentang terlambatnya sembuh dari
kejadian tersebut. Demikian pula, sejumlah hal-hal teman yang tidak disukainya,
maka seyogyalah, bahwa dilahirkannya, dengan lisan dan perbuatan akan tidak
disenangnya terjadinya hal-haal itu. Dan sejumlah hal-hal yang disenangi teman,
maka seyogyalah dilahirkannya dengan lisan akan turutnya bersama-sama dalam
kesenangan tersebut. Maka arti persaudaraan, ialah: sama-sama mengambil
bahagian dalam suka dan duka. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang kamu
mencintai saudaranya, maka hendaklah diceritakannya kepadanya !”. Sesungguhnya
disuruh menceritakan itu, karena yang demikian mengharuskan bertambahnya kasih-sayang.
Jikalau diketahuinya, bahwa engkau mencintainya, niscaya iapun, sudah pasti,
dengan sendirinya akan mencintai engkau. Maka apabila engkau mengetahui, bahwa
dia juga mencintai engkau, niscaya sudah pasti, bertambah kecintaan engkau
kepadanya. Maka senantiasalah cinta-mencintai itu tambah-bertambah dari kedua
pihak dan terus ganda-berganda. Berkasih-sayang diantara sesama mu’min, adalah
disuruh pada syara’ dan disunnahkan pada agama. Dan karena itulah, Nabi saw
mengajarkan jalannya, dengan sabdanya: “Tunjuk-menunjukkanlah kamu, niscaya
kamu akan berkasih-kasihan !”. Dan termasuk yang demikian, ialah
memanggilkannya dengan nama yang paling disukainya, baik waktu dia tidak ada
atau pada waktu adanya. ‘Umar ra berkata: “3 perkara membersihkan bagimu kesayangan
temanmu: Engkau memberi salam kepadanya mula-mula apabila engkau bertemu dengan
dia, engkau lapangkan baginya tempat duduk dan engkau panggilkan dia dengan
nama yang paling disukainya”. Dan termasuk yang demikian, bahwa engkau
memujikannya, menurut yang engkau ketahui dari hal-ikhwalnya yang baik,
terhadap orang yang suka menerima pujian. Karena yang demikian, adalah termasuk
sebab yang terbesar untuk menarik kekasih-sayangan. Begitupula, pujian kepada
anak-anaknya, keluarganya, perusahaannya dan perbuatannya. Sehingga kepada akal
pikirannya, budi pekertinya, sikapnya, tulisannya, syairnya, karangannya dan
semua yang menyenangkannya. Dan yang demikian itu, tanpa dusta dan
berlebih-lebihan. Tetapi membaikkan terhadap apa yang menerima pembaikan adalah
hal yang tak boleh tidak. Dan yang lebih kuat dari itu lagi, ialah engkau
menyampaikan kepadanya, pujian orang yang memujikannya, serta melahirkan
kegembiraan. Karena menyembunyikan yang demikian itu, adalah semata-mata
kedengkian. Dan termasuk yang demikian juga, bahwa engkau bersyukur (berterima
kasih) kepadanya, doa atas usahanya terhadap engkau. Bahkan diatas niatnya
saja, walaupun yang demikian itu belum lagi sempurna. Ali ra berkata: “Orang
yang tiada memujikan temannya diatas niat yang baik, niscaya tiada akan
dipujikannya diatas perbuatan yang baik”. Yang lebih besar dari itu membekasnya
pada menarik kekasih-sayangan, ialah: mempertahankan teman, waktu teman itu
tidak ada, manakala teman itu dimaksudkan orang dengan kejahatan. Atau
disinggung kehormatannya, dengan kata-kata yang tegas atau secara sindiran.
Maka menjadi hak persaudaraan, selalu melindungi dan menolongnya, mendiamkan
orang yang dengki kepadanya. Dan melepaskan kata-kata yang keras terhadap orang
yang berniat tidak baik kepadanya. Berdiam diri daripada yang demikian, adalah
menusukkan dada, menjauhkan hati. Dan sesuatu kelalaian dalam hak persaudaraan.
Rasulullah saw menyerupakan dua orang yang bersaudara, dengan dua tangan, yang
satu membasuh yang lain, supaya yang satu menolong yang lain dan menjadi ganti
daripada yang lain itu. Dan Rasulullah saw bersabda: “Orang muslim itu adalah
saudara orang muslim. Tiada akan dianiayainya, tiada akan dihinakannya dan
tiada akkan dirusakkannya”. Dan mendiamkan diri itu, adalah termasuk merusakkan
dan menghinakan teman. Maka menyia-nyiakan yang demikian, untuk
mengoyak-oyakkan kehormatannya, adalah seperti menyia-nyiakannya untuk
mengotak-oyakkan dagingnya. Maka pandanglah keji sekali teman yang melihat
engkau, dimana anjing-anjing sedang membuat engkau menjadi mangsanya dan
mengoyak-oyakkan daging engkau. Dan teman itu berdiam diri, tidak digerakkan
oleh kasih-sayang dan jiwa pembelaan, untuk mempertahankan engkau.
Mengoyak-oyakkan kehormatan, adalah lebih berat kepada jiwa daripada
mengoyak-oyakkan daging. Dan karena itulah, diserupakan oleh Allah Ta’ala yang
demikian itu, dengan memakan daging bangkai. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah
agak seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati
?”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Dan malaikat yang memberikan contoh dalam tidur
(mimpi), apa yang dibacakan oleh roh dari Luh-Mahfudh dengan contoh-contoh yang
dapat dirasakan, memberikan contoh mengumpat itu dengan memakan daging bagkai.
Sehingga orang yang kelihatan memakan daging bangkai, sesungguhnya orang itu
mengumpat manusia. Karena malaikat dalam memberikan contoh itu, menjaga
kesekutuan dan kesesuaian antara barang itu dan contohnya, dalam pengertian
yang berlaku pada contoh, dalam perlakuan roh. Tidak dalam kelahiran bentuk,
jadi, melindungi persaudaraan dengan menolak celaan musuh dan kedengkian
orang-orang yang dengki, adalah wajib dalam ikatan persaudaraan. Mujahid
berkata: “Janganlah engkau menyebutkan temanmu di belakang, kecuali sebagaimana
engkau menyukai disebutkanya engkau di belakang engkau !”. Jadi dalam hal
tersebut, engkau mempunyai dua ukuran:
Pertama: Engkau
umpamakan, bahwa yang dikatakan kepada teman, jikalau sekiranya dikatakan
kepada engkau dan temanmu hadir di situ, maka apakah yang engkau sukai, bahwa
dikatakan oleh teman itu terhadap engkau ? maka seyogyalah engkau bertindak
terhadap orang yang menyinggung kehormatan teman, dengan yang tersebut tadi.
Kedua: Engkau
umpamakan bahwa temanmu itu berada di balik dinding, yang mendengar perkataan
engkau. Dan ia menyangka bahwa engkau tidak tahu akan beradanya di situ. Maka
apakah yang tergerak dalam hati engkau daripada memberi pertolongan kepadanya,
dengan didengar dan dilihatnya itu ? maka seyogyalah ada seperti yang demikian
itu, apabila di belakangnya. Setengah mereka berkata: “Tiadalah disebutkan oleh
teman terhadapku di belakang, melainkan aku menggambarkan dia sedang duduk.
Lalu aku berkata mengenainya, apa yang disukainya untuk didengarnya, jikalau ia
berada di situ”. Berkata yang lain: “Tiadalah disebutkan orang akan temanku,
melainkan aku gambarkan diriku dalam bentuknya. Lalu aku mengatakan
terhadapnya, apa yang aku sukai dikatakan terhadapku”. Inilah sebahagian dari
kebenaran Islam ! yaitu: bahwa ia tiada melihat untuk temannya, kecuali apa
yang dilihat untuk dirinya sendiri. Abud Darda’ melihat dua ekor lembu, sedang
menarik bajak di ladang. Maka berhentilah yang seekor menggaruk tubuhnya, lalu
berhentilah yang lain. Maka menangislah Abud-Darda’, seraya berkata: “Begitulah
hendaknya dua orang bersaudara fillah, yang berbuat karena Allah ! apabila yang
seorang berhenti, lalu disetujui oleh yang lain”. Dengan penyesuaian itu,
sempurnalah keikhlasan. Dan orang yang tiada ikhlas dalam persaudaraannya,
adalah orang munafiq. Dan keikhlasan itu, adalah sama waktu di belakang dan
dihadapan, lisan dan hati, di waktu tersembunyi dan di waktu terang, di muka
orang banyak dan di tempat sunyi. Berlainan dan berlebih-kurang mengenai
sesuatu daripada yang demikian itu, adalah perasaan pada kesayangan. Dan itu
masuk dalam agama dan dalam jalan orang mu’min. Dan barangsiapa tiada sanggup
dirinya menurut yang tersebut tadi, maka memutuskan hubungan dan mengasingkan
diri, adalah lebih utama baginya, daripada mengadakan persaudaraan dan
persahabatan. Karena hak persahabatan itu adalah berat. Tiada sanggup, kecuali
orang yang berkeyakinan teguh. Maka tak dapat disangkal, bahwa pahalanya
banyak, tiada akan diperoleh, kecuali oleh orang yang memperoleh taufiq. Karena
itulah Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! baikkanlah bertetangga dengan
orang yang bertetangga dengan engkau, niscaya adalah engkau muslim ! dan
baikkanlah berteman dengan orang yang berteman dengan engkau, niscaya adalah
engkau mu’min !”. Maka lihatlah, bagaimana dijadikan iman untuk balasan bagi
persahabatan dan Islam untuk balasan bagi ketetanggaan. Bedanya diantara
kelebihan iman dan kelebihan Islam, adalah diatas batas bedanya diantara
kesulitan menegakkan hak ketetanggaan dan hak persahabatan. Sesungguhnya
persahabatan itu menghendaki banyak hak dalam hal-hal yang berhampiran dan
bersamaan secara terus-menerus. Dan ketetanggaan itu, tiada menghendaki,
kecuali hak-hak yang dekat dalam waktu-waktu yang berjauhan, yang tiada
terus-menerus. Dan termasuk yang demikian, ialah pengajaran dan nasehat. Maka
keperluan temanmu kepada ilmu, tidaklah berkurang dibandingkan daripada
keperluannya kepada harta. Jikalau engkau kaya ilmu, maka haruslah engkau
membantunya dari kemurahan hati engkau. Dan menunjukkannya kepada semua yang
bermanfaat kepadanya, pada agama dan dunia. Maka kalau engkau telah
mengajarinya dan menunjukkan jalan kepadanya dan teman itu tiada berbuat
menurut yang dikehendaki oleh ilmu, maka haruslah engkau menasehatinya ! dan
yang demikian itu, dengan engkau sebutkan bahaya-bahaya perbuatan itu dan
faedah-faedah meninggalkannya. Dan engkau takutkan dia dengan apa yang tiada
disukainya di dunia dan di akhirat. Supaya ia tercegah daripadanya. Dan engkau
beritahukan kepadanya kekurangan-kekurangannya. Engkau burukkan yang buruk pada
pandangannya dan engkau baikkan yang baik. Tetapi seyogyalah yang demikian itu
secara rahasia, tiada seorangpun melihatnya. Maka apa yang dihadapan orang
banyak, adalah memburukkan dan mengejikan. Dan apa yang secara rahasia, adalah
kasih-sayang dan nasehat. Karena Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu adalah
cermin bagi orang mu’min”. Artinya: ia melihat daripadanya, apa yang tiada
dilihatnya dari dirinya sendiri. Maka manusia itu memperoleh faedah dari
temannya, untuk mengetahui kekurangan dirinya. Dan kalau ia sendirian, niscaya
tiada akan diperolehnya faedah itu. Sebagaimana ia memperoleh faedah dengan
cermin, dapat mengetahui kekurangan bentuknya yang zhahiriah. Imam Asy-Syafi’i
ra berkata: “Barangsiapa mengajari temannya secara rahasia, maka sesungguhnya
ia telah menasehati dan menghiasi temannya itu. Dan barangsiapa mengajari
temannya secara terbuka, maka sesungguhnyya ia telah memburukkan dan mengejikan
temannya itu”. Ada yang bertanya kepada Mus’ir: “Sukakah engkau kepada orang
yang menceritakan kepada engkau, kekurangan-kekurangan engkau ?”. Mus’ir
menjawab: “Kalau ia menasehati aku, mengenai sesuatu diantara aku dan dia, maka
ya, aku suka. Dan jikalau ia menggertak aku dihadapan orang banyak, maka tidak,
aku tidak suka”. Dan benarlah Mus’ir ! karena nasehat di muka orang banyak,
adalah suatu kekejian. Dan Allah Ta’ala mencela orang mu’min pada hari qiamat,
dibawah lindunganNya dalam naungan tiraiNya. Maka diberitahukanNya kepada orang
mu’min itu, segala dosanya secara rahasia. Kadang-kadang diserahkanNya kitab
amalan mu’min yang sudah dicap kepada para malaikat, yang dibawa mereka ke
sorga. Apabila para malaikat itu telah mendekati pintu sorga, lalu diserahkan
mereka kepada orang mu’min tadi, kitab yang bercap itu, untuk dibacanya. Adapun
orang yang terkutuk, maka mereka dipanggil dihadapan orang banyak dan anggota
tubuh mereka menuturkan segala kekejian mereka. Lalu bertambahlah dengan
demikian, kehinaan dan kekejian. Kita berlindung dengan Allah dari kehinaan,
pada hari pembentangan amal yang agung itu. Maka perbedaan antara penghinaan dan
nasehat dengan secara rahasia dan secara dinyatakan di muka orang banyak,
adalah sebagaimana perbedaan antara berhalus-halusan sikap dan
berminyak-minyakkan air, dengan maksud menggerakkan kepada memincingkan mata
daripada sesuatu. Jikalau engkau memincingkan mata untuk keselamatan agama dan
karena engkau melihat perbaikan temanmu dengan memincingkan mata itu, maka
engkau adalah orang yang bersikap halus. Dan jikalau engkau memincingkan mata
untuk nasib dirimu dan menarik hawa nafsumu serta keselamatan kemegahanmu, maka
engkau adalah orang yang berminyak-minyak air. Dzun-Nun berkata: “Janganlah
engkau bersahabat serta jalan Allah, kecuali dengan yang bersesuaian !
janganlah bersahabat serta makhluk, kecuali dengan nasehat-menasehatkan !
janganlah serta hawa nafsu, kecuali dengan pertentangan ! dan janganlah serta
setan, kecuali dengan permusuhan !”. Jikalau anda mengatakan: “Apabila pada
nasehat itu, disebutkan kekurangan-kekurangan, maka padanya meliarkan hati.
Lalu bagaimanakah yang demikian itu, termasuk hak persaudaraan ?”. Ketahuilah,
bahwa yang meliarkan hati itu, hanya terdapat dengan menyebutkan kekurangan
yang diketahui oleh temanmu dari dirinya sendiri. Adapun memberitahukannya,
terhadap apa yang tiada diketahuinya, maka itu adalah kekasih-sayangan yang
sebenarnya. Dan itu, adalah mencenderungkan hati. Yaitu: hati orang-orang
berakal. Adapun orang-orang dungu, maka tak usahlah diperhatikan !.
Sesungguhnya orang yang memberitahukan kepada engkau, perbuatan tercela yang
engkau kerjakan atau sifat tercela yang menjadi sifat engkau, untuk
membersihkan diri engkau daripadanya, adalah seperti orang yang memberitahukan
kepada engkau seekor ular atau kalajengking di bawah lengan baju engkau, yang
bermaksud membinasakan engkau. Jikalau engkau tiada senang yang demikian, maka
alangkah dungunya engkau ! dan sifat-sifat yang tercela itu, adalah kala-kala
dan ular-ular. Dan di akhirat nanti, adalah yang membinasakan. Karena dia
menggigit hati dan nyawa. Kesakitannya adalah lebih keras daripada yang
menggigit badan zahiriah dan tubuh kasar. Kalajengking dan ular itu dijadikan
dari api Allah, yang bernyala-nyala. Karena itulah, ‘Umar ra meminta petunjuk
dari teman-temannya, seraya berdoa: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah kepada
orang yang menunjukkan kepada temannya, kekurangan-kekurangannya”. Dan karena
itulah, ‘Umar bertanya kepada Salman dan ia datang kepada Salman itu: “Apakah
yang sampai kepadamu daripadaku, tentang hal-hal yang tiada engkau sukai ? maka
aku akan meminta maaf daripadanya”. ‘Umar bertanya berkali-kali. Lalu Salman
menjawab: “Sampai kepadaku, bahwa engkau mempunyai dua helai pakaian. Yang
sehelai engkau pakai siang dan yang sehelai lagi malam. Dan sampai kepadaku,
bahwa engkau mengumpulkan dua macam makanan diatas satu hidangan”. Maka ‘Umar
ra menjawab: “Adapun yang dua hal ini, sesungguhnya telah mencukupi bagiku.
Adakah sampai kepadamu yang lain ?”. Salman menjawab: “Tidak !”. Hudzairah
Al-Mar’asyi menulis surat kepada Yusuf bin Asbath: “Sampai kepadaku bahwa
engkau menjual agama engkau dengan dua biji-bijian. Engkau berdiri pada orang
yang mempunyai susu. Lalu engkau bertanya: “Berapakah harganya ?”. Lalu yang
mempunyai susu itu menjawab: “Dengan 1/6 !”. Maka engkau mengatakan kepadanya:
“Tidakkah dengan 1/8 ?”. Orang itu menjawab: “Biarlah untukmu”. Dan orang itu
mengenal kamu. Bukalah dari kepalamu rasa kepuasan orang-orang yang lalai ! dan
perhatikanlah dari ketiduran orang-orang mati ! dan ketahuilah, bahwa
barangsiapa membaca Alquran dan tiada merasa cukup dan melebihkan dunia,
niscaya tiadalah ia aman dariipada menjadi sebahagian dari orang-orang yang
mempermainkan ayat-ayat Allah. Dan Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang
pendusta, dengan marahnya mereka kepada orang-orang yang memberi nasehat.
Karena Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang
memberikan nasehat”. S 7 Al A’raaf ayat 79. Dan ini, adalah pada kekurangan,
dimana teman itu lengah daripadanya. Adapun apa yang engkau ketahui, bahwa
teman itu mengetahui dari dirinya sendiri dan dia itu terpaksa kepadanya, dari
tabiat kepribadiannya, maka tiada seyogyalah dibukakan yang tertutup itu,
jikalau teman itu menyembunyikannya. Jikalau ia melahirkannya, maka tak boleh
tidak, dengan berlemah-lembut pada menasehatkannya. Sekali dengan cara sindiran
dan kali yang lain, dengan cara terus-terang, sampai kepada batas yang tiada
membawa kepada keliaran hati. Jikalau engkau tahu, bahwa nasehat itu tiada
berbekas kepadanya dan teman itu terpaksa dari tabiat kepribadiannya, kepada
terus-menerus diatas kekurangan itu, maka berdiam diri daripadanya adalah lebih
utama. Dan ini semuanya, adalah mengenai yang bersangkutan dengan
kepentingan-kepentingan temanmu pada agamanya atau dunianya. Adapun yang
berhubungan dengan keteledorannya terhadap hak engkau, maka yang wajib padanya,
ialah menanggung, memaafkan, berjabatan tangan dan membutakan mata. Dan
mendatangkan persoalan untuk yang demikian, tidaklah termasuk sedikitpun
sebagian dari nasehat. Ya, jikalau teman itu, dimana terus-menerusnya diatas
kekurangan tersebut, membawa kepada putusnya silaturrahim, maka mencacinya
secara rahasia, adalah lebih baik daripada memutuskan silaturrahim. Dan
menyindir dengan cacian itu, adalah lebih baik daripada berterus-terang. Dan
surat-menyurat, adalah lebih baik daripada berbicara langsung dengan lisan. Dan
menanggung atas keburukan teman, adalah lebih baik daripada semua. Karena
seyogyalah, bahwa maksud engkau dari teman engkau itu, memperbaiki diri engkau
sendiri, dengan engkau memeliharakannya. Dan engkau bangun menegakkan haknya
dan menanggung keteledorannya. Tidak meminta pertolongan dan belas-kasihan
daripadanya. Abu Bakar AL-Kattani berkata: “Ditemani aku oleh seorang
laki-laki. Dan dia itu adalah berat pada hatiku. Lalu pada suatu hari, aku
berikan kepadanya sesuatu, supaya hilanglah apa yang dalam hatiku. Tetapi tiada
juga hilang. Lalu aku bawa dia pada suatu hari ke rumah dan aku katakan
kepadanya: “Letakkanlah kakimu di atas pipiku !”. Ia tidak mau, maka aku
katakan: “Tak boleh tidak !”. Maka diperbuatnya. Lalu hilanglah yang demikian
itu dari hatiku”. Abu ‘Ali Ar-Ribathi berkata: “Aku menemani ‘Abdullah Ar-Razi
dan dia itu memasuki desa. Maka beliau berkata: “Haruslah engkau ‘amir atau aku
!”. Lalu aku menjawab: “Tuanlah !”. Maka ‘Abdullah Ar-Razi menjawab: “Haruslah
engkau patuh !”. Lalu aku menjawab: “Ya, baik !”. Maka beliau mengambil sebuah
keranjang rumput dan diletakkannya dalam keranjang itu perbekalan dan dibawanya
diatas punggungnya (dipikulkannya). Apabila aku katakan kepadanya: “Serahkanlah
kepadaku !”, maka beliau menjawab: “Bukankah aku telah mengatakan: “Engkau
amir, maka engkau harus patuh ?”. Pada suatu malam, kami diserang hujan. Maka
beliau berdiri melindungi kepalaku sampai pagi, dimana di atasnya ada pakaian,
sedang aku duduk saja, yang tercegah daripadaku hujan. Maka aku mengatakan
dalam hatiku: “Semoga kiranya aku mati ! dan tidak aku mengatakan: “Engkau amir
!”.
Hak Kelima: memaafkan dari ketelanjuran dan
kesalahan.
Kesalahan teman
itu tidak terlepas, adakalanya, kesalahan itu pada agamanya, dengan mengerjakan
ma’siat atau pada hak engkau sendiri, disebabkan keteledoran dalam
persaudaraan. Adapun perbuatan yang mengenai agama, seperti: mengerjakan
ma’siat dan berkekalan diatas kema’siatan itu, maka haruslah engkau berlemah
lembut menasehatinya, dengan cara yang meluruskan kebengkokannya, mengumpulkan
kecerai-beraiannya dan mengembalikan keadaannya kepada kebaikan dan wara’.
Jikalau engkau tidak sanggup dan teman itu terus-menerus demikian, maka
sesungguhnya berbagai macamlah jalan para sahabat dan tabi’in untuk meneruskan
kesayangannya atau memutuskan hubungannya. Abu Dzar ra berpendapat, kepada
memutuskan hubungan. Dan beliau berkata: “Apabila telah bertukar temanmu
daripada apa yang ada padanya, maka marahilah dia, dimana tadinya engkau
menyayanginya". Abu Dzar ra berpendapat yang demikian, dari kehendak
kesayangan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah. Adapun Abud Darda’
dan segolongan sahabat, berpendapat sebaliknya. Maka berkatalah Abud Darda’:
“Apabila berobahlah temanmu dan bertukarlah keadaannya daripada yang ada
padanya, maka janganlah engkau tinggalkan dia karena itu. Karena temanmu itu,
sekali ia membengkok dan sekali ia melurus !”. Berkata Ibrahim An-Nakha’i:
“Janganlah engkau putuskan hubungan dengan temanmu ! dan janganlah engkau
membekot dia ketika berdosa dengan dosa yang dikerjakannya ! karena dia
mengerjakannya pada hari ini dan meninggalkannya pada hari esok”. Berkata
Ibrahim An-Nakha’i pula: “Janganlah engkau memperkatakan kepada manusia, dengan
ketelanjuran seorang yang berilmu ! karena orang yang berilmu (orang ‘alim)
itu, terlanjur dengan suatu keterlanjuran. Kemudian ditinggalkannya”. Dan pada
hadits tersebut: “Takutilah akan keterlanjuran orang yang berilmu dan janganlah
engkau memutuskan hubungan dengan dia dan tunggulah akan kembalinya”. Dan dalam
cerita ‘Umar, dimana beliau menanyakan tentang teman yang telah beliau ambil
menjadi temannya. Maka pergilah teman itu ke negeri Syam. Lalu Umar bertanya
tentang temannya itu pada orang yang datang kepadanya. Beliau bertanya: “Apakah
yang diperbuat temanku ?”. Orang tempat bertanya itu, menjawab: “Dia itu, teman
setan”. Umar menyahuti: “Jangan engkau berkata begitu !”. Orang itu menjawab:
“Bahwa ia mengerjakan dosa besar, sehingga ia terperosok pada meminum khamar”.
Maka Umar menyambung: “Apabila kamu bermaksud pergi nanti, beritahukanlah
kepadaku !”. Lalu Umar menulis surat ketika orang itu pergi ke negeri Syam,
yang isinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Haa
Miim. Penurunan Kitab ini dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Pengampun
dosa, Penerima taubat, Keras siksaan”. Petikan S 40 Al Mukmin ayat 1-2-3.
Kemudian di bawah itu, Umar memakinya dan menghinakannya. Maka tatkala teman
itu membaca surat Umar, lalu menangis dan berkata: “Benarlah Allah dan Umar
telah menasehatkan aku”. Maka orang itu bertaubat dan kembali kepada kebenaran.
Diceritakan, bahwa dua orang bersaudara, dimana seorang dari keduanya dicobakan
dengan hawa nafsu. Lalu ia melahirkan yang demikian kepada temannya, seraya
berkata: “Sesungguhnya aku telah berpenyakit. Jikalau engkau kehendaki, bahwa
engkau tiada akan mengikatkan persahabatan dengan aku karena Allah, maka
laksanakanlah yang demikian !”. Lalu teman itu menjawab: “Tiadalah aku akan
membuka ikatan persaudaraan dengan engkau selama-lamanya, karena kesalahan
engkau !”. Kemudian, teman itu mengikat janji antaranya dan Allah, bahwa ia
tiada akan makan dan minum, sebelum disembuhkan oleh Allah orang itu dari hawa
nafsunya. Maka iapun menderita kelaparan 40 hari, dimana dalam keseluruhan
hari-hari itu, ia menanyakan kepada orang itu, tentang hawa nafsunya. Orang itu
selalu menjawab: “Hati itu tetap dalam keadaan semula”. Dan senantiasalah ia
diselubungi kesedihan dan kelaparan. Sehingga hilanglah hawa nafsunya dari hati
temannya, sesudah 40 hari itu. Lalu temannya itu menceritakan kepadanya dengan
demikian. Lalu ia makan dan minum, setelah hampir tewas dengan kurus dan
melarat. Dan begitupula diceritakan tentang dua orang bersaudara dari
orang-orang terdahulu, dimana seorang dari keduanya terbalik dari pendirian
yang lurus. Lalu orang bertanya kepada temannya: “Apakah tidak engkau putuskan
hubungan dan membekotnya ?”. Teman itu menjawab: “Yang lebih perlu kepadaku
pada waktu ini, ialah tatkala ia jatuh dalam kesalahan, bahwa aku pegang
tangannya dan aku bersikap lemah-lembut kepadanya pada mencacinya. Dan aku ajak
ia kembali kepada keadaannya dahulu”. Diriwayatkan pada cerita orang-orang
Israil (orang Yahudi), bahwa dua orang bersaudara yang ‘abid, berada di suatu
gunung. Lalu turunlah salah seorang dari keduanya, hendak membeli daging ke
kota dengan sedirham. Maka ia melihat seorang wanita jahat pada penjual daging,
lalu diperhatikannya dan mengasyikkannya, seraya ditarikkanlah ke tempat sepi
dan disetubuhinya. Kemudian ia tinggal pada wanita itu, selama 3 hari dan ia
malu kembali kepada temannya. Karena malu dari perbuatan yang melanggar itu.
Seterusnya cerita itu menerangkan, bahwa temannya yang masih di gunung merasa
ketiadaan teman dan ingin mengetahui keadaannya. Lalu ia turun ke kota. Maka
selalulah menanyakan kesana-kemari tentang teman itu, sehingga ditunjukkan
orang tempatnya. Lalu ia masuk dan dijumpainya teman itu duduk bersama wanita
jahat tadi. Maka dirangkulnya temannya itu, dipeluknya dan ia terus tidak
bergerak di situ. Dan temannya itu membantah, mengatakan, tidak mengenalnya
sama sekali, disebabkan sangat malunya dari temannya itu. Maka berkatalah teman
yang datang itu: “Bangunlah, wahai temanku ! aku telah mengetahui keadaanmu dan
kisahmu. Dan tiadalah sekali-kali engkau yang lebih aku cintai dan muliakan,
selain dari saatmu yang ini. Tatkala teman itu melihat, bahwa tingkah-lakunya
yang demikian, tidak menjatuhkan dia dari pandangan temannya yang datang itu,
lalu iapun berdiri dan pergi bersama temannya tadi. Inilah cara kaum itu ! dan
adalah lebih halus dan lebih dapat difahami dari sistim Abu Dzar ra. Dan sistim
Abu Dzar adalah lebih baik dan lebih menyelamatkan. Maka kalau anda mengatakan:
Mengapakah aku mengatakan tadi, bahwa itu lebih halus dan lebih dapat dipahami
? dan orang yang melakukan ma’siat tersebut, tiada boleh sejak semulanya,
diambil menjadi teman. Maka wajiblah memutuskan hubungan dengan orang itu, pada
kesudahannya. Karena hukum apabila telah tetap dengan sesuatu sebab (‘illah),
maka menurut qias (analogi), bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya ‘illah.
Dan ‘illah ikatan pesaudaraan itu, ialah tolong-menolong pada agama. Dan
tidaklah yang demikian itu, dapat diteruskan, serta mengerjakan ma’siat. Maka
aku menjawab: adapun adanya lebih halus, karena padanya kekasih-sayangan,
kecondongan hati dan belas kasihan, yang membawa kepada kembali kepada
kebenaran dan bertaubat. Karena terus-terusan malu, ketika kekalnya
persahabatan. Dan manakala hubungan itu diputuskan dan harapan untuk menjadi
persahabatan terputus, niscaya teman yang berbuat kesalahan itu, terus
berkekalan dan terus-terusan diatas kesalahannya. Adapun adanya lebih dapat
dipahami, maka dari segi bahwa persaudaraan itu adalah suatu ikatan, yang
berkedudukan pada tempat kedudukan kekeluargaan. Maka apabila persaudaraan itu
telah mengikat-membuhul, niscaya teguhlah yang benar. Dan wajiblah
disempurnakan menurut yang diwajibkan oleh ikatan. Dan setengah daripada
menyermpurnakan itu, ialah tidak menyia-nyiakan akan hari-hari kejahatan dan
keperluannya. Dan keperluan agama, adalah lebih berat daripada keperluan harta.
Dan telah menimpa pada teman itu, hal yang meliarkan dan bahaya yang
menyakitkan, yang memerlukan pertolongan disebabkan yang demikian itu pada
agamanya. Maka seyogyalah ia diperhatikan, dipelihara dan tidak disia-siakan.
Tetapi senantiasalah diperlakukan dengan lemah-lembut, supaya ia tertolong
kepada terlepasnya dari kejadian itu, yang menyakitkannya. Persaudaraan adalah
suatu perisai bagi segala bencana dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
segala zaman. Dan yang tersebut itu adalah termasuk bencana yang paling berat.
Orang dzalim, apabila berteman dengan orang taqwa dan memperhatikan kepada
takutnya dan kekekalan takutnya itu, maka ia akan kembali kepada kebenaran pada
masa yang dekat. Dan ia malu daripada berkekalan di dalam perbuatan yang salah.
Bahkan orang malas, yang berteman dengan orang yang rajin bekerja, maka akan
rajin, karena malu kepadanya. Ja’far bin Sulaiman berkata: “Tatkala aku lesu
pada pekerjaan, lalu aku melihat Muhammad bin Wasi’ dan ketekunannya berbuat
taat. Maka kembalilah kepadaku kerajinanku pada ibadah. Dan terpisahlah
daripadaku kemalasan. Dan teruslah aku bekerja sampai seminggu lamanya”.
Penegasan ini, ialah bahwa persaudaraan itu adalah sekerat daging, seperti
sekerat daging keturunan. Dan kekeluargaan itu, tidak boleh disingkirkan dengan
sebab kema’siatan. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya saw
tentang keluarganya: “Dan jika mereka tidak mau mengikut perintah engkau,
katakanlah: ‘Aku berlepas tangan dari apa yang kamu kerjakan itu”. S 26 Asy
Syu’araaa’ ayat 216. Dan tidak dikatakan: “Sesungguhnya aku berlepas tangan
daripada kamu”. Karena menjaga hak kefamilian dan kedagingan keturunan. Dan
kepada inilah, diisyaratkan oleh Abud Darda’ tatkala orang bertanya kepadanya:
“Apakah engkau tidak memarahi teman engkau, padahal dia berbuat demikian ?”.
Maka menjawab Abud Darda’: “Sesungguhnya aku memarahi perbuatannya. Dan kalau
tidak perbuatan itu, maka dia adalah temanku”. Persaudaraan agama adalah lebih
kokoh, daripada persaudaraan kefamilian. Dan karena itulah, orang bertanya
kepada seorang ahli hikmat: “Manakah yang lebih tuan cintai, saudara tuan atau
teman tuan ?”. Ahli hikmat itu menjawab: “Sesungguhnya aku mencintai saudaraku,
apabila ia temanku”. Al-Hasan berkata: “Berapa banyak saudara, yang tidak
dilahirkan oleh ibumu sendiri”. Dan karena itulah, ada orang yang mengatakan:
“Kefamilian itu memerlukan kepada kesayangan. Dan kesayangan itu, tidak
memerlukan kepada kefamilian”. Ja’far Ash-Shadiq ra berkata: “Kesayangan sehari
itu, adalah suatu hubungan (silaturrahim). Kesayangan sebulan itu, adalah suatu
kefamilian. Dan kesayangan setahun itu, adalah kefamilian keturunan.
Barangsiapa memutuskannya, niscaya ia diputuskan oleh Allah”. Jadi, memenuhi
akan ikatan persaudaraan, apabila telah terdahulu pengikatannya, adalah wajib.
Dan inilah jawaban kami tentang permulaan persaudaraan dengan orang fasiq.
Karena belum lagi terdahulu sesuatu hak. Kalau telah terdahulu kefamilian,
niscaya tidak dapat dielakkan, bahwa tiada seyogyalah berputus-putuskan
silaturrahim. Tetapi berelok-elokkanlah. Dalilnya, ialah: bahwa meninggalkan
persaudaraan dan persahabatan pada sejak mulanya, tidaklah tercela dan tidaklah
makruh. Bahkan berkata orang-orang yang mengatakan, bahwa sendirian itu adalah
lebih utama. Adapun memutuskan persaudaraan daripada terusnya persaudaraan,
adalah dilarang dan dicela, terhadap pemutusan itu sendiri. Dan bandingannya
dengan meninggalkannya sejak mulanya, adalah seperti: bandingan talak dengan
meninggalkan perkawinan. Dan talak itu, adalah lebih dimarahi Allah Ta’ala
daripada meninggalkan perkawinan (tidak kawin). Nabi saw bersabda: “Yang
terjahat dari hamba Allah, ialah mereka yang melakukan perbuatan lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang (berbuat fitnah kesana-kemari), yang
mencerai-beraikan diantara teman-teman yang dikasihi”. Sebahagian salaf (orang
terdahulu) mengatakan tentang menutupkan ketelanjuran teman-teman: “Setan itu
suka melemparkan kepada saudaramu seperti perbuatan ini. Sehingga kamu menyingkirkannya
dan memutuskan hubungan dengan dia. Maka apakah yang kamu jaga daripada
kesayangan musuhmu ?”. Dan ini, karena mencerai-beraikan diantara teman-teman
yang dikasihi, adalah setengah daripada yang disukai setan. Sebagaimana
mengerjakan perbuatan ma’siat, adalah sebahagian daripada kesenangan setan.
Apabila telah berhasil bagi setan, salah satu dari kedua maksudnya itu, maka
tiada seyogyalah ditambahkan kepaadnya, maksud yang kedua. Dan kepada inilah,
diisyaratkan oleh Nabi saw mengenai orang yang memaki seseorang yang telah
berbuat perbuatan keji. Karena ia bersabda: “Jauhkanlah dari sikap yang
demikian !”. Beliau melarang dari tindakan yang demikian dan bersabda:
“Janganlah kamu menjadi penolong setan terhadap saudaramu !”. Dengan ini
semuanya, nyatalah perbedaan antara terus-terusan dan permulaan. Karena
bercampur-baur dengan orang-orang fasiq, adalah ditakuti. Dan pisah-memisahkan
diri dengan teman-teman dan saudara-saudara juga ditakuti. Dan tidaklah orang
yang selamat daripada pertentangan dengan orang lain, seperti orang yang tidak
selamat. Dan pada permulaannya, ia telah selamat. Kami berpendapat, bahwa
menyingkirkan (al-Muhaajarah) dan menjauhkan diri (at-Taba’ud), adalah lebih
utama. Dan pada terusnya persahabatan itu, terjadilah pertentangan antara
keduanya. Maka adalah menyempurnakan hak persaudaraan itu lebih utama. Dan ini
semuanya adalah mengenai tergelincirnya dalam agamanya. Adapun tergelincirnya
dalam hak teman, dengan sesuatu yang mengharuskan keliaran hati, maka tiada
terdapat perbedaan pendapat lagi, bahwa yang lebih utama, ialah memaafkan dan
menanggung akibatnya. Bahkan semua yang mungkin ditempatkan pada segi yang baik
dan digambarkan permulaan kemaafan padanya, yang dekat atau yang jauh, adalah
wajib, demi hak persaudaraan. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa
seyogyalah engkau mencari dalil bagi ketelanjuran temanmu 70 kemaafan. Kalau
hatimu tidak menerimanya, maka kembalikanlah makian itu kepada dirimu sendiri
!. Maka engkau mengatakan kepada hatimu: “Alangkah kesatnya engkau ! temanmu
meminta maaf kepadamu 70 kemaafan, engkau tidak mau menerimanya. Engkaulah yang
berbuat hal yang memalukan, bukan temanmu”. Kalau ternyata, dimana teman itu
tidak menerima perbaikan, maka seyogyalah engkau tidak memarahinya, kalau
engkau sanggup yang demikian. Tetapi yang demikian itu, tidak mungkin. Imam
Asy-Syafi’i ra berkata: “Orang yang dibuat marah, lalu tidak marah, maka dia
itu keledai. Dan orang yang dibuat rela, lalu ia tidak rela, maka dia itu
setan". Maka janganlah kamu itu keledai atau setan ! carilah, kerelaan
hatimu dengan dirimu sendiri, sebagai ganti dari temanmu ! jagalah daripada
kamu menjadi setan, jikalau kamu tidak suka menerimanya !. Al-Ahnaf berkata:
“Hak teman, ialah bahwa engkau tanggung daripadanya 3 perkara: kedzaliman marah,
kedzaliman kemashuran dan kedzaliman salah”. Dan yang lain berkata pula:
“Tiadalah aku sekali-kali mencaci seseorang, karena jikalau aku dicaci oleh
orang mulia, maka aku adalah orang yang lebih berhak mengampunkannya. Atau aku
dicaci oleh orang jahat, maka tidaklah aku jadikan kehormatanku suatu maksud
baginya”. Kemudian ia membuat contoh dan bermadah:
“Aku maafkan perkataan buruk dari
orang mulia,
sebagai simpanan padanya.......
Aku berpaling dari makian orang
tercela,
sebagai pemuliaan kepadanya.........”.
Dan ada lagi, yang bermadah:
“Ambilkanlah dari temanmu yang bersih
!
Tinggalkanlah yang kotor padanya !
Umur itu adalah amat pendek,
daripada caci-mencaci teman, kepada
yang lain”.
Manakala temanmu
meminta maaf padamu, berdusta ia atau benar, maka terimalah permintaan maafnya
!. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang diminta temannya padanya kemaafan, lalu
tiada diterimanya permintaan kemaafan itu, maka atasnya seperti dosa orang yang
mengambil cukai”. Dan Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu lekas marah dan
lekas rela (memaafkan)”. Nabi saw tiada menyifatkan orang mu’min itu, dengan
tidak marah. Dan begitupula Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan
marahnya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Dan tidak dikatakan: “Dan yang tiada
mempunyai kemarahan”. Ini, adalah menurut kebiasaan, tidaklah berkesudahan
kepada melukakan hati orang. Lalu ia tiada merasa pedih. Tetapi berkesudahan,
kepada bersabar dan sanggup menanggungnya. Dan sebagaimana rasa kepedihan
dengan luka, adalah kehendak dari sifat tubuh, maka rasa kepedihan dengan
sebab-sebab kemarahan, adalah sifat hati. Dan tak mungkin mencabutnya. Tetapi
mungkin mengekanginya, menahankannya dan berbuat kebalikan dari yang
dikehendakinya. Karena kemarahan itu menghendaki kesembuhan, kedendaman dan pembalasan
yang setimpal. Dan meninggalkan perbuatan menurut yang dikehendaki oleh
kemarahan itu, adalah mungkin. Seorang penyair bermadah:
“Tidaklah engkau akan kekal berteman,
dengan orang yang tidak engkau
kumpulkan,
perihalnya yang berserak-serakan.
Manakah orang yang selalu dalam
kebersihan ?”.
Abu Sulaiman
Ad-Darani berkata kepada Ahmad bin Abil-Huwari: “Apabila engkau bersaudara
dengan seseorang pada zaman ini, maka janganlah ia engkau cacikan terhadap apa
yang tiada engkau sukai ! karena sesungguhnnya engkau tiada akan aman daripada
melihat dalam jawaban engkau, apa yang lebih buruk dari yang pertama”. Maka
berkata Ahmad bin Abil-Huwari: “Lalu aku coba, maka aku dapati seperti yang
demikian itu”. Setengah mereka berkata: “Sabar di atas yang menyakitkan dari
teman, adalah lebih baik daripada mencacinya. Dan mencaci adalah lebih baik
daripada memutuskan silaturrahim. Dan memutuskan silaturrahim, adalah lebih
baik daripada berperang tanding”. Dan seyogyalah, bahwa: tidak bersangatan pada
kemarahan itu ketika berperang tanding. Allah Ta’ala berfirman: “Mudah-mudahan
Allah nanti mengadakan kasih-sayang antara kamu dengan orang-orang yang
(sekarang) menjadi musuh kamu”. S 60 Al Mumtahanah ayat 7. Nabi saw bersabda:
“Cintailah temanmu dengan tidak berlebih-lebihan ! mungkin ia pada suatu hari
menjadi orang kemarahanmu ! dan marahilah orang yang menjadi kemarahanmu dengan
tidak berlebih-lebihan ! mungkin ia pada suatu hari menjadi temanmu”. Umar ra
berkata: “Janganlah kecintaanmu itu memberatkan dan kemarahanmu itu membinasakan
!”. Yaitu: bahwa engkau menyukai kerusakan temanmu serta kebinasaan engkau.
Hak Keenam: doa untuk teman pada masa hidupnya dan sesudah
matinya, dengan apa yang disukainya bagi dirinya sendiri, dan bagi keluarganya
dan semua yang berhubungan dengan dia.
Maka engkau berdoa bagi teman,
sebagaimana engkau berdoa bagi dirimu sendiri. Dan janganlah kamu
membeda-bedakan diantara dirimu sendiri dan temanmu ! karena doamu baginya,
pada hakekatnya adalah doamu bagii dirimu sendiri. Sesungguhnya Nabi saw
bersabda: “Apabila berdoalah seseorang bagi saudaranya di belakang (tidak
dihadapan saudaranya itu), niscaya Malaikat berkata: ‘Dan bagimu seperti yang
demikian juga”. Dan pada kata-kata yang lain dari hadits berbunyi: “Allah
Ta’ala berfirman:: “Dengan engkau aku mulai, wahai hambaKu !”. Dan pada suatu
hadits, tersebut: “Diterima bagi seseorang mengenai saudaranya, apa yang tiada
diterima baginya mengenai dirinya sendiri”. Dan pada suatu hadits, tersebut:
“Doa seseorang bagi saudaranya di belakang saudaranya itu, tiada akan
tertolak”. Dan Abid-Darda’ berkata: “Sesungguhnya aku berdoa bagi 70 orang dari
saudara-saudaraku dalam sujudku. Aku sebutkan nama mereka semuanya”. Muhammad
bin Yusuf Al-Ashfahani berkata: “Manakah seperti teman yang baik itu ? keluargamu
membagi-bagikan pusaka yang kamu tinggalkan. Bersenang-senang dengan apa yang
kamu tinggalkan. Dan dia itu (teman baik) seorang diri dengan kesedihanmu,
mementingkan dengan apa yang kamu datangkan dan apa yang kamu jadikan
kepadanya. Ia berdoa bagimu dalam kegelapan malam dan engkau berada di bawah
lapisan bumi. Dan seakan-akan teman baik itu mengikuti Malaikat, karena
tersebut pada hadits: “Apabila meninggallah hamba, lalu manusia bertanya:
‘Apakah yang ditinggalkannya ? Dan Malaikat bertanya: ‘Apakah yang dibawanya ?.
Para Malaikat itu senang dengan orang tersebut, dengan apa yang dibawanya.
Mereka bertanya tentang dia dan merasa sayang kepadanya”. Ada yang mengatakan:
“Barangsiapa sampai kepadanya, berita kematian saudaranya, lalu ia memohonkan
rahmat dan ampun kepadanya, niscaya dituliskan baginya, seolah-olah ia
mengunjungi jenazahnya dan bershalat padanya”. Diriwayatkan dari Rasulullah saw
bahwa beliau bersabda: “Mayit dalam kuburnya, adalah seumpama orang karam, yang
bergantung pada tiap-tiap sesuatu. Mayit itu menunggu doa dari anaknya atau
bapaknya atau saudaranya atau keluarganya. Dan sesungguhnya masuk ke dalam
kubur orang-orang mati, doa dari orang-orang hidup dari nur, seperti bukit”.
Dan setengah salaf berkata: “Doa bagi orang-orang mati adalah seperti hadiah
bagi orang-orang hidup. Maka masuklah Malaikat kepada orang mati itu dan
besertanya sebuah talam dari nur, yang di atasnya sehelai sapu tangan dari nur.
Lalu Malaikat itu berkata: “Inilah hadiah bagimu dari saudaramu si Anu, dari
keluargamu si Anu”. Salaf tadi berkata seterusnya: “Maka senanglah mayit itu
dengan yang demikian, sebagaimana senangnya orang hidup dengan mendapat
hadiah”.
Hak Ketujuh: kesetiaan dan keikhlasan.
Arti: Kesetiaan
(al-wafa’), ialah tetap berkasih-kasihan dan terus-menerus sampai kepada mati
bersama teman. Dan sesudah teman itu meninggal, kesetiaan tadi bersama
anak-anak dan teman-temannya. Sesungguhnya kecintaan itu, dimaksudkan untuk
akhirat. Maka jikalau terputus sebelum mati, niscaya binasalah perbuatan dan lenyaplah
usaha. Dan karena itulah Nabi saw bersabda:: “Tentang 7 orang yang dilindungi
Allah dalam naunganNya. Dan dua orang yang berkasih-kasihan fillah (pada jalan
Allah). keduanya berkumpul untuk yang demikian dan berpisah terhadap yang
demikian”. Setengah mereka berkata: “Sedikitnya kesetiaan sesudah meninggal,
adalah lebih baik daripada banyaknya pada masa hidup”. Karena itulah
diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Memuliakan seorang wanita tua yang datang
kepadanya. Lalu beliau ditanyakan tentang hal itu, maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya wanita tua tersebut telah datang kepada kami sewaktu Khadijah
masih hidup. Dan sesungguhnya kemuliaan masa itu, adalah setengah dari agama”.
Setengah dari kesetiaan kepada teman, ialah menjaga semua teman, keluarga dan
orang-orang yang berhubungan dengan teman. Dan menjaga mereka itu semuanya,
adalah lebih membekas dalam hati teman, daripada menjaga teman itu sendiri.
Karena kesenangannya dengan mencari yang tidak ada, dari orang yang berhubungan
dengan dia, adalah lebih banyak. Karena tidaklah menunjukkan kepada kuatnya
kasih-sayang dan cinta, kecuali dengan melampaui keduanya dari yang dicintai,
kepada semua orang yang berhubungan dengan dia. Sehingga anjing yang berada di
pintu rumahnya, seyogyalah dibedakan dalam hati, dari anjing-anjing yang lain.
Manakala terputuslah kesetiaan dengan kekalnya kecintaan, niscaya gembiralah
setan dengan demikian. Sesungguhnya setan tiadalah merasa dengki terhadap dua
orang yang tolong menolong diatas kebajikan, sebagaimana dengkinya terhadap dua
orang yang bersaudara pada jalan Allah dan berkasih-kasihan padanya. Maka setan
itu sesungguhnya berusaha benar-benar untuk merusakkan perhubungan diantara
keduanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu,
(supaya) mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu
menyebarkan perselisihan diantara mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 53. Allah Ta’ala
berfirman, menerangkan tentang Yusuf: “Sesudah setan memecah-belah antara aku
dengan saudara-saudaraku”. S 12 Yusuf ayat 100. Ada yang mengatakan, bahwa
tiadalah bersaudara dua orang fillah, lalu terjadilah perceraian diantara
keduanya, kecuali disebabkan dosa yang dikerjakan oleh salah seorang daripada
keduanya. Bisyr berkata: “Apabila teledorlah hamba pada mentaati Allah, niscaya
ditarik oleh Allah orang yang berjinakkan hati dengan dia”. Yang demikian,
karena sesungguhnya teman-teman itu adalah yang memberi penghiburan dalam
kesusahan dan pertolongan pada agama. Karena itulah, Ibnul-Mubarak berkata:
“Yang paling mengenakkan dari segala sesuatu itu, ialah duduk-duduk dengan
teman dan berbalik kepada rasa mencukupi. Kesayangan yang kekal, ialah yang ada
pada jalan Allah (fillah). Dan pada yang ada karena sesuatu maksud, akan hilang
dengan hilangnya maksud itu”. Setengah daripada buah kesayangan fillah, ialah
tidak ada kesayangan itu beserta kedengkian pada agama dan dunia. Bagaimanakah
ia mendengkinya, sedang semua itu adalah bagi temannya ? Maka kepadanya kembali
faedahnya. Dan dengan yang tersebut itulah, disifatkan oleh Allah Ta’ala
orang-orang yang berkasih-kasihan fillah (pada jalan Allah). Allah Ta’ala
berfirman: “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa
yang diberikan kepada mereka (yang berpindah itu), bahkan mereka mengutamakan
(kawannya) lebih dari diri sendiri”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan adanya keinginan
itu, ialah dengki. Dan sebahagian dari kesetiaan, ialah tiada berobah
keadaannya tentang merendahkan diri bersama temannya, meskipun kedudukannya
telah meninggi, wilayahnya telah meluas dan kemegahannya telah membesar. Maka
meninggikan diri terhadap teman-teman, disebabkan hal-ikhwal yang terjadi
membaru itu, adalah tercela. Berkata seorang penyair:
“Sesungguhnya orang-orang mulia,
apabila telah kaya-raya,
mereka teringat kepada orang yang berpautan
jiwa,
dalam gubuk kasar yang penuh
derita.........”.
Setengah salaf
mewasiatkan kepada anaknya, lalu berkata: “Wahai anakku ! janganlah engkau
berteman dengan manusia, kecuali orang, apabila engkau memerlukan kepadanya,
niscaya ia mendekati engkau. Jikalau engkau tidak memerlukan kepadanya, niscaya
ia tidak mengharap kepada engkau. Jikalau meninggi kedudukannya, niscaya ia
tidak meninggi terhadap engkau”. Setengah ahli hikmat (hukama’) berkata:
“Apabila temanmu memegang sesuatu wilayah, lalu tetap setengah kesayangannya
kepadamu, maka itu adalah banyak”. Diceritakan oleh Ar-Rabi’, bahwa Imam
Asy-Syafi’i ra mengadakan persaudaraan dengan seorang laki-laki di Baghdad.
Kemudian saudaranya itu memegang wilayah As-Saibain. Lalu berobahlah sikapnya
terhadap beliau, dari yang sudah-sudah. Maka Asy-Syafi’i ra menulis kepada
teman itu beberapa kuntum syair ini:
Pergilah ! kesayangan kepadamu dari
hatiku,
telah bercerai lepas untuk
selama-lamanya.
Tetapi bukanlah cerai, yang tidak
boleh kembali lagi.
Kalau engkau kembali, maka itu adalah
talak satu,
dan kekallah kesayanganmu bagiku
tinggal dua.
Kalau engkau tidak mau kembali,
aku genapkan yang satu itu dengan
satu lagi.
Maka engkau tertalak dua dalam dua
haidh.
Dan yang ketiga, pasti datang
kepadamu daripadaku.
Sehingga tak mencukupi lagi bagimu
wilayah As-Saibain itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa tidaklah
dari kesetiaan, bersesuaian dengan teman, tentang sesuatu yang menyalahi
kebenaran dalam hal yang berhubungan dengan agama. Tetapi termasuk kesetiaan,
ialah bersalahan bagi yang demikian itu. Adalah Asy-Syafi’i ra mengadakan
persaudaraan dengan Muhammad bin Abdul Hakam. Ia mendekatkannya,
merangkulkannya dan mengatakan: “Tidaklah yang mendudukkan aku di Mesir, selain
dia”. Maka sakitlah Muhammad itu, lalu dikunjungi oleh Asy-Syafi’i ra seraya
beliau bermadah:
“Telah sakitlah teman,
maka aku mengunjunginya.
Lalu sakitlah aku,
dari penjagaanku kepadanya.
Dan datanglah teman,
mengunjungi aku.
Lalu sembuhlah aku,
demi memandangnya”.
Manusia menyangka, karena benarnya kasih-sayang
diantara keduanya, bahwa Asy-Syafi’i akan menyerahkan urusan halqahnya (tempat
beliau mengajar) kepada Muhammad bin Abdul Hakam, setelah beliau wafat. Maka
orang bertanya kepada Asy-Syafi’i dalam sakitnya, dimana beliau ra wafat dalam
sakit itu: “Dengan siapakah kami duduk sesudahmu wahai Abu Abdillah ?”.
Muhammad bin Abdul Hakam memandang kepada Asy-Syafi’i ra, dimana ia duduk di
samping kepalanya, supaya beliau menunjukkan dia. Lalu Asy-Syafi’i berkata:
“Subhaanallaah ! adakah diragukan mengenai ini, Abu Ya’qub Al-Buaithi ?”. Maka
hancur-remuklah hati Muhammad bin Abdul Hakam karenanya. Dan para sahabat
Asy-Syafi’i tertarik kepada Al-Buaithi, sedang Muhammad bin Abdul Hakam telah
membawa dari Imam Asy-Syafi’i madzhabnya seluruhnya. Tetapi Al-Buaithi adalah
lebih utama dan lebih dekat kepada zuhud dan wara’. Maka Asy-Syafi’i ra
menasehatkan karena Allah, karena kaum muslimin dan karena meninggalkan
berminyak-minyakan air. Dan tidak mengutamakan kerelaan makhluq dari kerelaan
Allah Ta’ala. Setelah Asy-Syafi’i meninggal, lalu Muhammad bin Abdul Hakam
berbalik dari madzhab Asy-Syafi’i dan kembali kepada madzhab bapaknya. Dan
mempelajari kitab-kitab Malik ra. Dan dia termasuk sebahagian dari
sahabat-sahabat Malik ra yang terbesar. Al-Buaithi mengutamakan zuhud dan tidak
suka kemegahan. Dan tidak menarik hatinya berkumpul dan duduk di halqah. Ia
sibuk beribadah dan menyusun Kitab Al-Umm, yang disebut-sebut sekarang karangan
Ar-Rabi’ bin Sulaiman dan terkenal yang demikian,. Sesungguhnya Kitab Al-Umm itu
disusun oleh Al-Buaithi. Tetapi beliau tidak menyebutkan namanya padanya dan
tidak menyandarkan kepada dirinya sendiri. Lalu Ar-Rabi’ menambahkan pada
Al-Umm, membuat dan menyiarkan Al-Umm itu kepada orang banyak. Dan yang
dimaksud, bahwa kesetiaan dengan kasih-sayang, sebahagian dari kesempurnaannya,
ialah: nasehat karena Allah. Berkata Al-Ahnaf: “Persaudaraan itu, adalah
mutiara yang halus. Kalau tidak engkau menjaganya, niscaya mendatangkan
beberapa bahaya. Maka jagalah dengan menahan kemarahan, sehingga engkau meminta
maaf pada orang yang berbuat dzalim kepada engkau. Dan dengan kerelaan,
sehingga engkau tidak berbanyak keutamaan dari dirimu dan keteledoran dari
saudaramu. Setengah dari tanda-tanda kebenaran, keikhlasan dan kesempurnaan
setia, ialah, bahwa: engkau merasa sangat gundah berpisah, akan liarnya tabiat
dari sebab-sebabnya perpisahan, sebagaimana tersebut pada sekuntum syair:
Aku peroleh segala malapetaka,
yang terjadi sembarang waktu.
Semuanya mudah saja,
selain berpisah dengan teman-temanku.
Ibnu ‘Uyainah
menyanyikan madah ini. Dan berkata: “Sesungguhnya telah aku kenal beberapa
kaum, yang aku telah berpisah dengan mereka semenjak 30 tahun. Tidak terkhayal
kepadaku, bahwa kesedihan berpisah dengan mereka, telah hilang dari qalbuku”.
Dan setengah dari kesetiaan, ialah bahwa: ia tidak memperdengarkan segala apa
yang disampaikan orang, kepada temannya. Lebih-lebih orang yang pada mulanya
melahirkan, bahwa ia cinta kasih kepada temannya. Agar ia tidak kena tuduhan.
Kemudian, ia mengemukakan kata-kata dengan tiba-tiba dan membawa dari teman
kata-kata yang menusukkan jantung. Yang demikian, adalah termasuk daya-upaya
yang halus dalam pemukulan kepada teman. Barangsiapa tiada menjaga daripadanya,
niscaya tidaklah sekali-kali kekal kesayangan diantaranya. Seorang berkata
kepada ahli hikmat: “Sesungguhnya aku datang kemari, ingin meminang kesayangan
tuan”. Ahli hikmat itu menjawab: “Jikalau engkau jadikan emas kawinnya 3,
niscaya aku laksanakan”. Orang itu bertanya: “Apakah yang 3 itu ?”. Ahli hikmat
tadi menjawab: “Jangan engkau perdengarkan kepadaku apa yang disampaikan orang
! jangan engkau menyalahi aku pada sesuatu urusan ! dan jangan engkau sampaikan
kepadaku berita yang tidak terang !”. Dan setengah dari kesetiaan, ialah tiada
berteman dengan musuh teman sendiri. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Apabila temanmu
mentaati musuhmu, maka keduanya telah bersekutu memusuhi kamu”.
Hak Kedelapan: meringankan, meninggalkan yang berat kepada
diri sendiri (at-takalluf) dan yang memberatkan kepada orang lain (at-taklif).
Yang demikian, ialah bahwa: tiidak
memberatkan kepada teman apa yang sukar kepadanya. Tetapi menyenangkan hati
teman, dengan membantu segala kepentingan dan keperluannya. Dan
menghiburkannya, dengan tidak memikulkan sesuatu daripada tugas-tugasnya. Maka
tidaklah mengambil dari teman, dari kemegahan dan hartanya. Dan tidak
memberatkan teman untuk merendahkan diri kepadanya. Mencari yang hilang dari
hal ikhwalnya dan menegakkan hak-haknya. Tetapi, ia tidak bermaksud dengan
berkasih-sayangan dengan teman itu, selain Allah Ta’ala. Karena mengharap
barakah dengan doa teman, senang hati dengan bertemu teman, memperoleh
pertolongan dengan teman untuk agama, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
dengan menegakkan segala hak teman dan menanggung perbelanjaan teman. Setengah
mereka berkata: “Barangsiapa menghendaki dari kawan-kawannya, apa yang tiada
dikehendaki mereka, maka sesungguhnya ia telah berbuat dzalim kepada mereka.
Dan barangsiapa menghendaki dari mereka, seperti apa yang dikehendaki mereka,
maka sesungguhnya ia telah memayahkan mereka. Dan barangsiapa yang tiada
menghendaki, maka ia adalah orang yang berbuat keutamaan kepada mereka”.
Setengah ahli hikmat berkata: “Barangsiapa menjadikan dirinya pada
teman-temannya, diatas dari kesanggupannya, niscaya ia berdosa dan teman-teman
itupun berdosa. Barangsiapa menjadikan dirinya menurut kesanggupannya, niscaya
ia payah dan memayahkan teman-temannya. Dan barangsiapa menjadikan dirinya
kurang dari kesanggupannya, niscaya ia selamat dan teman-temannyapun selamat”.
Dan kesempurnaan peringanan, ialah dengan melipatkan tikar permadani
pemberatan. Sehingga ia tidak malu dari teman, pada apa yang ia tidak malu dari
dirinya sendiri. Al-Junaid berkata: “Tidaklah berteman dua orang fillah, lalu
merasa liar salah seorang daripada keduanya dari temannya atau merasa malu,
kecuali karena sesuatu sebab pada salah seorang dari keduanya”. Ali ra berkata:
“Yang jahat dari teman-teman, ialah orang yang memberatkan dirinya untuk kamu,
orang yang memerlukan kamu kepada berlemah-lembut dan orang yang membawa kamu
keapdaa meminta maaf”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya manusia
putus-memutuskan hubungan dengan sebab memberatkan teman. Seorang dari mereka
berziarah kepada temannya, lalu merasa berat untuk temannya itu. Maka yang
demikian, memutuskan dia dari teman”. ‘Aisyah berkata: “Orang mu’min itu
saudara orang mu’min. Tiada memperoleh ghanimah (harta rampasan) daripadanya
dan tiada merasa malu kepadanya”. Al-Junaid berkata: “Aku berteman dengan 4
tingkat dari golongan ini. Masing-masing tingkat 30 orang: Harits Al-Muhasibi
dan tingkatnya, Hasan Al-Masuhi dan tingkatnya, Sariyya As-Suqthi dan
tingkatnya dan Ibnul Kuraibi dan tingkatnya. Maka tidaklah berteman dua orang
fillah dan salah seorang dari keduanya merasa malu kepada temannya atau hatinya
merasa liar, kecuali karena sesuatu sebab pada salah seorang dari keduanya”.
Ada yang bertanya kepada setengah mereka: “Siapakah yang kami berteman ?”. Lalu
yang ditanyakan itu menjawab: “Orang yang mengangkatkan daripada engkau,
pikulan yang memberatkan dan gugur antara engkau dan dia, perbelanjaan
menjagakan diri”. Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq ra berkata: “Yang terberat
teman-temanku diatas diriku, ialah orang yang memberatkan dirinya untukku dan
aku menjaga diri daripadanya. Dan yang teringan mereka diatas qalbuku, ialah
orang, dimana aku bersama dia, sebagaimana aku berada seorang diri”. Sebahagian
orang shufi berkata: “Janganlah engkau bergaul dengan manusia, selain orang,
yang tidak bertambah engkau padanya dengan kebajikan dan engkau tidak berkurang
padanya dengan dosa. Adalah yang demikian itu bagi engkau dan atas engkau. Dan
engkau padanya sama”. Sesungguhnya ia mengatakan ini, karena dengan demikian ia
terlepas daripada keadaan yang memberatkan dan yang menjagakan dirinya. Kalau
tidak demikian, maka karakter manusia membawanya kepada menjaga diri daripada
teman, apabila diketahuinya bahwa yang demikian akan mengurangkan padanya.
Setengah mereka berkata: “Hendaklah kamu dengan anak-anak dunia itu dengan
adab-sopan ! dengan anak-anak akhirat, dengan ilmu pengetahuan ! dan dengan
orang arifin (orang-orang yang berilmu ma’rifah) bagaimana yang kamu kehendaki
!”. Yang lain berkata: “Janganlah engkau berteman, kecuali dengan orang yang
mengajak engkau bertaubat, apabila engkau berdosa. Dan memberi maaf kepada
engkau, apabila engkau berbuat kejahatan. Menanggung perbelanjaan engkau dan
mencukupkan akan engkau oleh perbelanjaan dirinya”. Yang mengatakan diatas ini,
telah menyempitkan jalan persaudaraan kepada manusia. Dan tidaklah persoalannya
seperti yang demikian. Tetapi seyogyalah bahwa mengadakan persaudaraan
tiap-tiap orang yang beragama, berakal dan bercita-cita menegakkan
syarat-syarat tersebut. Dan tidak memberatkan orang lain dengan syarat-syarat
itu. Sehingga banyaklah temannya. Karena dengan demikian, adalah ia bersaudara
fillah. Kalau tidak demikian, niscaya adalah persaudaraannya itu untuk kebaikan
dirinya sendiri saja. Dan karena itulah, seorang laki-laki bertanya kepada
Al-Junaid: “Sesungguhnya telah sukarlah teman pada masa ini. Manakah temanku
pada jalan Allah (fillah). Al-Junaid berpaling dari orang itu. Sehingga orang
itu mengulanginya 3 kali. Maka tatkala telah banyak kali diulanginya, lalu
Al-Junaid berkata kepada orang itu: “Jikalau engkau menghendaki teman, yang
mencukupkan akan engkau perbelanjaan engkau dan yang menanggung kesakitan
engkau, maka demi umurku, ini adalah sedikit. Dan jikalau engkau menghendaki
teman fillah, dimana engkau menanggung perbelanjaannya dan engkau bersabar
diatas kesakitan yang dibuatnya, maka padaku segolongan orang yang akan aku
perkenalkan mereka bagimu”. Maka laki-laki itu diam. Ketahuilah kiranya, bahwa
manusia itu 3: seorang yang engkau memperoleh manfaat berteman dengan dia,
seorang yang engkau sanggup mendatangkan manfaat kepadanya dan engkau tiada
memperoleh melarat dengan dia, tetapi juga engkau tiada memperoleh manfaat
daripadanya dan seorang yang engkau tiada sanggup pula mendatangkan manfaat
kepadanya dan engkau memperoleh melarat daripadanya. Itulah orang dungu atau
orang jahat budi. Maka yang ketiga ini, seyogyalah engkau menjauhinya. Adapun
yang kedua, maka jangan engkau menjauhinya. Karena engkau memperoleh manfaat di
akhirat dengan syafa’at dan doanya. Dan dengan pahala engkau berdiri berbuat
dengan sebabnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada Musa as:
“Jikalau engkau taat kepadaKu, maka alangkah banyaknya temanmu”. Artinya:
jikalau engkau menolong mereka, menanggung yang tidak enak dari mereka dan
tiada engkau dengki kepada mereka”. Setengah mereka berkata: “Aku berteman
dengan manusia selama 50 tahun. Maka tidaklah terjadi diantara aku dan mereka
perselisihan. Sesungguhnya adalah aku bersama mereka diatas tanggungan diriku”.
Dan orang yang ini sifatnya, maka banyaklah temannya. Sebahagian dari
peringanan dan meninggalkan at-takalluf, ialah, bahwa tiada mendatangkan
halangan dalam ibadah-ibadah sunnah. Dan adalah segolongan kaum shufi berteman
diatas syarat pesamaan, diantara 4 arti: jikalau salah seorang mereka makan
siang seluruhnya, niscaya tidaklah temannya berkata: “Puasalah !”. Dan jikalau
ia berpuasa suntuk masa seluruhnya, niscaya temannya tidak mengatakan
kepadanya: “Berbukalah !”. Dan jikalau ia tidur malam seluruhnya, niscaya
temannya tidak mengatakan kepadanya: “Bangunlah mengerjakan shalat malam !”.
Dan bagi orang yang mengerjakan shalat malam seluruhnya, niscaya temannya tiada
mengatakan kepadanya: “Tidurlah !”. Dan bersamaanlah hal ikhwalnya pada teman
dengan tiada tambahan dan kekurangan. Karena yang demikian itu, jikalau
berlebih kurang, niscaya sudah pasti, tabiat diri menggerakkan kepada ria dan
penjagaan diri. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “Barangsiapa gugur (tak ada)
pemberatannya, niscaya kekallah kejinakan hatinya. Dan barangsiapa ringan
pembelanjaannya, niscaya kekallah kekasih-sayangannya”. Setengah sahabat
berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutuk orang-orang yang berbuat-buat
pemberatan (al-mutakallifin)”. Dan Nabi saw bersabda: “Aku dan orang-orang yang
bertaqwa dari umatku, adalah merasa terlepas (bebas) daripada at-takalluf”.
Setengah mereka berkata: “Apabila diperbuat seseorang pada rumah temannya 4
perkara, maka sesungguhnya telah sempurnalah kejinakan hatinya dengan teman
itu: apabila ia makan padanya, ia masuk kamar tempat buang air, ia mengerjakan
shalat dan tidur di rumah teman itu”. Lalu diterangkan yang demikian kepada
setengah syaikh-syaikh (guru-guru), maka beliau itu menjawab: “Masih ada yang
kelima. Yaitu: ia datang bersama isterinya ke rumah temannya dan disetubuhinya
isterinya di situ”. Karena rumah itu diperbuatnya untuk melakukan dengan
tersembunyi hal-hal yang lima tadi. Kalau bukan yang demikian, maka
masjid-masjid adalah lebih menyenangkan hati orang-orang yang beribadah.
Apabila telah diperbuat yang lima tadi, maka sesungguhnya telah sempurnalah
persaudaraan. Terangkatlah malu dan teguhlah kelapangan dada. Dan ucapan orang
Arab pada bersalaman mereka, menunjukkan kepada yang demikian. Karena salah
seorang dari mereka mengatakan kepada temannya: “Marhaban wa ahlan wa sahlan
!”. artinya: “Bagimu pada kami marhab, yaitu: kelapangan hati dan tempat ! dan
bagimu pada kami kekeluargaan, dimana engkau merasa kejinakan hati dengan
kekeluargaan itu, tanpa keliaran hati bagimu dari kami. Dan bagimu pada kami
kemudahan pada yang demikian itu semuanya. Artinya: tiada sukar bagimu sesuatu
pada kami, dari apa yang engkau kehendaki”. Dan tiada sempurnalah peringanan
dan meninggalkan at-takalluf itu, kecuali dengan memandang dirinya sendiri,
kurang dari teman-temannya. Membaikkan sangka kepada mereka dan memburukkan
sangka kepada dirinya sendiri. Apabila ia melihat mereka lebih baik dari
dirinya sendiri, maka pada ketika itu, ia adalah lebih baik dari mereka. Abu
Mu’awiah Al-Aswad berkata: “Teman-temanku semuanya adalah lebih baik
daripadaku”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimanakah maka begitu ?”. Ia
menjawab: “Semua mereka memandang, bahwa aku mempunyai keutamaan (kelebihan)
daripadanya. Dan siapa yang melebihkan aku dari dirinya, maka dia adalah lebih
baik daripadaku”. Nabi saw bersabda: “Manusia itu diatas agama temannya. Dan
tak ada kebajikan pada bersahabat dengan orang, yang tiada melihat bagi engkau,
seperti apa yang engkau lihat baginya”. Inilah derajat yang sekurang-kurangnya.
Yaitu: memandang dengan mata persamaan dan kesempurnaan pada melihat keutamaan
teman. Dan karena itulah, Sufyan berkata: “Apabila dikatakan kepadamu: “Hai
orang jahat !. Lalu kamu marah. Maka kamu itu orang jahat. Artinya: seyogyalah
engkau beri’tiqad yang demikian itu pada diri engkau untuk selama-lamanya. Dan
akan datang bentuk yang demikian, pada “Kitab Takabur dan Kebanggaan diri”.
Sesungguhnya ada orang bermadah, tentang arti merendahkan diri dan melihat
kelebihan teman, dengan beberapa kuntum syair:
“Hinakanlah diri pada orang,
kalau engkau menghinakan diri
padanya,
maka dia memandang itu keutamaan,
bukan karena kebebalan.
Kesampingkanlah bersahabat,
dengan orang yang selalu,
memandang dirinya lebih derajat,
dari teman-temannya itu”.
Yang lain bermadah pula:
“Berapa banyak teman,
yang aku kenal sebagai teman,
lebih beruntung daripada teman lama.
Kawan yang aku lihat di jalan,
padaku menjadi,
teman yang hakiki”.
Manakala ia
melihat kelebihan bagi dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah menghinakan
temannya. Dan ini pada umumnya kaum muslimin itu tercela. Nabi saw bersabda:
“Cukuplah jahat orang mu’min, bahwa ia menghina saudaranya muslim”. Dan
setengah dari kesempurnaan kelapangan dada dan meninggalkan at-takalluf, ialah:
bahwa ia bermusyawarah dengan teman-temannya pada semua yang dimaksudkannya.
Dan diterimanya petunjuk mereka. Allah Taala berfirman: “Dan adakanlah
musyawarah dengan mereka dalam beberapa urusan”. S 3 Ali ‘Imran ayat 159. Dan
seyogyalah tidak menyembunyikan pada teman-teman, sesuatu dari rahasianya,
sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ya’qub bin Akhi Ma’ruf berkata: “Telah datang
Aswad bin Salim kepada ‘Ammi Ma’ruf. Dan Aswad telah bersaudara dengan dia.
Lalu berkata: “Bahwa Bisyr bin Al-Harits ingin bersaudara dengan kamu. Ia malu
mengatakan demikian itu kepadamu, Ia mengutuskan aku kepadamu, meminta supaya
kamu mengikatkan persaudaraan diantara kamu dan dia. Ia akan menguji dan
berpegang dengan persaudaraan itu. Hanya ia mensyaratkan pada persaudaraan itu
syarat-syarat, dimana ia tidak suka bahwa ia menjadi terkenal dengan demikian.
Dan tidak ada diantara engkau dan dia, kunjung-mengujungi dan jumpa-menjumpai.
Karena ia tidak suka banyak perjumpaan”. Lalu Ma’ruf menjawab: “Adapun aku ini,
jikalau bersaudara dengan seseorang, maka aku tiada suka berpisah dengan dia
malam dan siang. Dan aku mengunjunginya setiap waktu dan mengutamakan diatas
diriku sendiri dalam segala hal”. Kemudian Ma’ruf menerangkan tentang keutamaan
persaudaraan dan berkasih-kasihan pada jalan Allah (fillah), beberapa hadits
yang banyak. Kemudian, beliau mengatakan dalam hadits-hadits itu: “Sesungguhnya
Rasulullah saw telah mempersaudarakan (mengambil teman) akan ‘Ali, lalu beliau
berkongsi dengan ‘Ali pada ilmu pengetahuan”. Beliau bagi-membagikan dengan Ali
tentang badan. Beliau mengawinkan dengan Ali puterinya yang utama dan yang
lebih dicintainya diantara puteri-puterinya. Dan beliau tentukan kepada Ali
yang demikian, karena persaudaraannya itu. Aku mengangkat engkau sebagai saksi,
bahwa aku telah mengikatkan persaudaraan antaraku dan dia (Bisyr bin Al-Harts).
Dan aku ikatkan persaudaraannya pada jalan Allah (fillah) karena pesanan yang
engkau bawa dan karena permintaannya, bahwa tidak akan berziarah kepadaku,
kalau ia tidak suka demikian. Tetapi aku akan berziarah kepadanya, manakala aku
mengingininya. Dan suruhkanlah dia menjumpai aku pada tempat-tempat yang kami
dapat bertemu di tempat-tempat itu ! dan suruhkanlah dia, bahwa ia tidak akan
menyembunyikan kepadaku sesuatu tentang keadaannya. Dan bahwa ia akan
memperlihatkan kepadaku semua hal-ikhwalnya !”. Maka Aswad bin Salim
menceritakan kepada Bisyr yang demikian itu. Bisyr setuju dan merasa gembira
dengan berita tersebut. Inilah kumpulan hak-hak persahabatan ! dan telah kami
sebutkan sekali secara tidak terperinci dan sekali secara terperinci. Dan yyang
demikian itu tidak akan sempurna, kecuali dengan atas diri engkau bagi
teman-teman. Dan tidaklah bagi diri engkau atas pundak teman-teman. Dan bahwa
engkau tempatkan diri engkau pada tingkat pelayan untuk teman-teman itu. Maka
engkau ikatkan semua anggota tubuh engkau demi hak teman-teman. Adapun
penglihatan, maka dengan memandang kepada teman-teman itu, dengan pandangan
kesayangan, yang mereka mengetahui kesayangan itu daripada engkau. Engkau
pandang kepada segala kebaikan mereka dan engkau membutakan mata daripada
segala kekurangan mereka. Tiada engkau palingkan mata engkau dari mereka pada
waktu penghadapan mereka kepada engkau dan perkataan mereka bersama engkau.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw memberikan kepada tiap-tiap orang yang duduk
padanya, bahagian dari wajahnya. Dan tiada seorangpun yang yang didengar oleh
Nabi saw perkataannya, melainkan orang itu menyangka bahwa dialah manusia yang
paling mulia pada Nabi saw. Sehingga majlisnya, pendengarannya, pembicaraannya,
kelemah-lembutan pertanyaannya dan penghadapan wajahnya, adalah kepada orang
yang duduk di sisinya. Adalah majlis Nabi saw itu majlis malu, merendahkan diri
dan amanah. Dan adalah Nabi saw manusia yang paling banyak tersenyum dan
tertawa di muka sahabat-sahabatnya dan merasa ta’jub daripada apa yang
dipercakapkan mereka dengan beliau. Dan adalah ketawa para sahabatnya di
sisinya itu, merupakan senyuman. Karena mereka itu mengikuti perbuatannya dan
menghormati kepadanya saw. Adapun pendengaran, maka dengan mendengar perkataan
teman itu, merasa lezat keenakan dengan mendengarkannya, membenarkannya dan
melahirkan kegembiraan dengan perkataan teman itu. Dan tidak engkau memotong
pembicaraan teman-teman itu dengan penolakan, dengan pertengkaran,
masuk-memasukkan dan penantangan. Jikalau engkau dipaksakan oleh sesuatu hal
mendatang, maka engkau minta maaf kepada mereka (meminta izin tidak turut
campur). Dan menjaga pendengaran engkau, daripada mendengar apa yang tidak
disukai oleh mereka. Adapun lisan, maka telah kami sebutkan dahulu hak-haknya.
Sesungguhnya memperkatakan tentang itu, akan panjang. Sebahagian daripada yang
demikian, ialah bahwa tiada meninggikan suara diatas teman-teman. Dan tiada
menghadapkan percakapan dengan mereka, kecuali dengan apa yang dipahami mereka.
Adapun dua tangan, maka tidaklah kedua tangan itu digenggamkan, daripada
memberi pertolongan kepada mereka, pada segala sesuatu yang dilaksanakan dengan
tangan. Adapun dua kaki, maka dengan berjalan dengan kedua kaki itu, sebagai
perjalanan pengikut-pengikut, tidak sebagai perjalanan orang-orang yang diikut.
Dan tidak mendahului mereka, kecuali sekedar yang didahului mereka. Dan tidak
mendekati mereka, kecuali sekedar yang didekati mereka. Dan bangun berdiri bagi
mereka, apabila mereka datang menghadapkan diri. Dan tidak duduk, kecuali
dengan duduknya mereka. Dan duduk dengan merendahkan diri, dimana saja duduk.
Manakala sempurnalah kesatuan, niscaya ringanlah tanggungan dari semua hak-hak
ini. Seumpama: berdiri, meminta maaf dan memberi pujian. Semuanya itu adalah
termasuk hak-hak persahabatan. Dan dalam kandungannya, adalah semacam keadaan
dari yang asing dan at-takalluf. Apabila telah sempurna kesatuan, niscaya
terlipatlah tikar permadani at-takalluf secara keseluruhan. Lalu tidak
berjalan, melainkan menurut perjalanannya sendiri. Karena segala adab zhahiriah
ini, adalah alamat dari adab-adab bathiniah dan kebersihan hati. Dan manakala
hati telah bersih, niscaya tidak memerlukan lagi takalluf (dengan rasa berat)
melahirkan apa yang di dalam hati itu. Orang yang pandangannya kepada
persahabatan makhluq maka sekali membengkok dan sekali melurus. Dan orang yang
pandangannya kepada Khaliq, niscaya haruslah melurus (al-istiqamah) zhahir dan
bathin. Bathinnya dihiasi dengan kecintaan kepada Allah dan makhluqNya. Dan
zhahirnya dihiasi dengan ibadah kepada Allah dan pengkhidmatan kepada hambaNya.
Maka sesungguhnya itu, adalah bahagian-bahagian pengkhidmatan yang tertinggi
kepada Allah. Karena tiadalah sampai kepadanya, kecuali dengan kebaikan budi
pekerti. Dan hamba itu memperoleh dengan kebaikan budi pekertinya, derajat
orang yang menegakkan shalat, yang berpuasa dan tambahan dari itu lagi.
KHATIMAH (KESUDAHAN) BAB INI:
Akan kami
sebutkan pada khatimah ini, sejumlah adab bergaul dan duduk-duduk bersama
berbagai macam manusia, yang dipetik dari perkataan sebahagian hukama’
(ahli-ahli hikmat). Jikalau anda menghendaki pergaulan yang baik, maka temuilah
teman dan musuh anda dengan wajah kerelaan, tanpa penghinaan kepada mereka dan
tanpa menakutkan mereka. Memuliakan, dengan tidak sombong dan merendahkan diri
dengan tidak menghinakan diri ! dan adalah anda dalam semua urusan anda, di
tengah-tengah (ausath) ! maka tiap-tiap dua tepi dari kesederhanaan
urusan-urusan itu (tepi sangat baiknya dan tepi sangat buruknya) adalah
tercela. Janganlah engkau melihat pada kedua ketiak engkau ! janganlah engkau
memperbanyak menoleh ! janganlah engkau berdiri dihadapan orang banyak ! dan
apabila anda duduk, maka janganlah duduk tidak tenang ! dan jagalah daripada
menjerjakkan jari tangan anda, bermain-main dengan janggut dan cincin anda,
mencungkil-cungkil gigi anda, memasukkan jari tangan anda kedalam hidung,
membanyakkan meludah, berdaham-daham, mengusir lalat dari muka, membanyakkan
memanjang-manjangkan badan dan menguap dihadapan orang banyak, dalam shalat dan
lainnya !. Hendaklah majelismu itu tenang, pembicaraanmu itu teratur lagi
tersusun ! dengarkanlah pembicaraan yang baik dari orang yang berbicara dengan
anda, dengan tidak melahirkan keheran-heranan yang berlebih-lebihan ! dan
janganlah anda meminta diulangi pembicaraan itu ! diamlah dari segala tertawa
dan cerita-cerita !. Janganlah anda memperkatakan tentang kebanggaan anda
dengan anak anda, pelayan anda, syair anda, karangan anda dll yang khusus bagi
anda ! janganlah anda membuat-buat seperti kaum wanita membuat-buat pada
peghiasan diri ! janganlah meninggalkan rasa malu seperti budak yang tidak
berrnalu itu ! dan jagalah dari kebanyakan celak mata dan berlebih-lebihan
memakai minyak ! janganlah berkeras meminta hajat keperluan ! janganlah
memberanikan seseorang untuk melakukan kedzaliman ! janganlah anda beritahukan kepada
isteri dan anak anda akan kelebihan dari orang lain, kadar yang anda punyai !
karena jikalau mereka melihatnya sedikit, niscaya hinalah anda pada pandangan
mereka. Dan jikalau banyak niscaya tidaklah sekali-kali anda akan sampai kepada
kerelaan mereka. Takutkanlah mereka, dengan tidak gertakan ! dan
berlemah-lembutlah kepada mereka, dengan tidak kelemahan ! dan janganlah
bersenda-gurau dengan babu dan pelayan anda ! maka jatuhlah kehormatan diri
anda. Apabila anda bertengkar, maka jagalah kehormatan diri dan peliharalah
dari kebodohan anda ! jauhkanlah tergopoh-gopoh ! pikirkanlah tentang alasan
anda ! janganlah anda memperbanyak menunjuk dengan kedua tangan anda !
janganlah anda memperbanyak menolah kepada orang yang di belakang anda ! dan
janganlah menjongkok diatas kedua lutut anda ! dan apabila telah tenang dari
kemarahan anda, maka berbicaralah ! jikalau anda didekati sultan, maka adalah
anda padanya seumpama tajamnya anak panah ! jikalau ia melepaskan kelapangan
hatinya kepada anda, maka jangan anda merasa aman daripada terbaliknya terhadap
anda ! dan berkasih-sayanglah dengan sultan itu, sebagaimana kasih-sayangnya
anda dengan anak kecil ! dan berbicaralah dengan dia, menurut yang disukainya,
selama itu tidak ma’siat ! dan janganlah dibawa anda oleh kelemah-lembutannya
dengan anda, bahwa anda masuk diantara dia dan isterinya, anaknya dan
pengiringnya, walaupun karena yang demikian itu anda berhak padanya ! karena
kejatuhan orang yang masuk diantara raja dan isterinya adalah kejatuhan yang
tidak akan dapat lagi mengangkatkan kepala dan terperosok yang tidak akan
terkatakan lagi. Awaslah dengan teman sehat wal-afiat ! karena dia itu musuh
yang terbesar ! dan janganlah anda jadikan harta anda lebih mulia dari
kehormatan anda !. Apabila anda masuk ke suatu majelis, maka adab kesopanannya,
ialah memulai dengan memberi salam. Meninggalkan melangkahi orang-orang yang
telah lebih dahulu. Dan duduk dimana saja yang lapang dan kira-kira yang lebih
mendekatkan kepada merendahkan diri. Dan bahwa memberi hormat dengan salam,
orang yang berdekatan dengan anda ketika duduk. Dan janganlah anda duduk di
atas jalan ! jikalau anda duduk saja, maka adab kesopanannya ialah memicingkan
mata, menolong orang teraniaya, membantu orang kehilangan, menolong orang
lemah, menunjukkan jalan orang yang tak tahu jalan, menjawab salam, memberikan
orang yang meminta, menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari munkar dan mencari
tempat meludah. Dan janganlah meludah ke arah qiblat dan di sebelah kanan anda
! tetapi di sebelah kiri anda dan di bawah tapak kaki anda yang kiri. Janganlah
duduk-duduk dengan raja-raja ! jikalau anda lakukan juga, maka adabnya, ialah
meninggalkan cacian, menjauhkan kedustaan, menjaga rahasia, mengurangkan
keperluan, menghaluskan kata-kata dan melahirkan maksud dengan jelas pada
percakapan, mengadakan pembahasan (diskusi) tentang budi pekerti (akhlaq)
raja-raja, mengurangkan kata-kata senda-gurau dan membanyakkan penjagaan diri
daripada mereka, walaupun telah menampak bagimu kesayangannya. Janganlah anda
bersendawa dihadapan mereka dan janganlah mencungkil gigi sesudah makan padanya
! Dan haruslah raja itu menanggung tiap sesuatu, kecuali bocornya rahasia,
celaan pada kerajaan dan menjalarnya perbuatan haram. Janganlah anda
duduk-duduk dengan orang awam ! jikalau engkau berbuat juga, maka adabnya,
ialah meninggalkan turut campur dalam pembicaraan mereka. Mengurangkan
perhatian kepada berita-berita yang bersimpang-siur, yang tidak benar dari
mereka. Dan pura-pura tidak memperhatikan apa yang berlaku tentang buruknya
kata-kata mereka. Dan mengurangkan bertemu dengan mereka, walaupun ada
keperluan kepada mereka. Awaslah bersenda-gurau dengan orang yang berakal atau
tidak berakal ! karena orang yang berakal itu, akan menaruh kedengkian kepada
engkau. Dan orang yang bodoh itu akan menaruh keberanian atas engkau. Karena
bersenda-gurau itu mengoyakkan kehebatan diri, menjatuhkan air muka,
mengakibatkan kedengkian, menghilangkan kemanisan kasih-sayang, mencacatkan
kepahaman ahli paham, memberanikan orang yang lemah pikiran, menjatuhkan
kedudukan pada ahli hikmat dan dicaci oleh orang-orang yang taqwa.
Bersenda-gurau itu mematikan hati, menjauhkan dari Tuhan Yang Maha Tinggi,
membuat kelalaian dan mewariskan kehinaan. Dan dengan bersenda-gurau itu,
gelaplah mata hati dan matilah segala gurisan jiwa. Dan dengan bersenda-gurau
itu, banyaklah kekurangan dan nyatalah dosa-dosa. Dan sesungguhnya ada orang
yang mengatakan: “Tidak adalah bersenda-gurau itu, kecuali dari kelemahan
pikiran atau kebatilan”. Dan barangsiapa dicoba orang pada sesuatu majelis
dengan senda-gurau, atau hiruk-pikuk, maka hendaklah ia mengingati Allah
(berdzikir) ketika ia bangun dari majelis itu !. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa duduk pada sesuatu majelis lalu banyaklah padanya hiruk-pikuk,
maka ia membaca sebelum ia berdiri dari majelisnya itu “Subhaanakallaahumma wa
bihamdika, asyhadu anlaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (Maha
Suci Engkau wahai Allah Tuhanku ! dengan pujian kepadaMu aku mengaku, bahwa
tiada yang disembah selain Engkau, aku meminta ampun pada Engkau dan aku
bertaubat kepada engkau)”, melainkan diampunkan baginya apa yang ada dari dosa
pada majelisnya itu”.
BAB KETIGA: tentang hak muslim,
keluarga, tetangga, milik perbudakan dan cara bergaul dengan orang-orang yang
menjadi dekat dengan sebab-sebab yang tersebut.
Ketahuilah
kiranya, bahwa manusia, adakalanya sendirian atau bersama orang lain. Apabila
sukarlah kehidupan manusia, kecuali dengan bercampur-baur dengan orang-orang
yang sebangsa dengan dia, niscaya tak boleh tidak manusia itu mempelajari adab
bercampur-baur. Dan tiap-tiap orang yang bercampur-baur itu, maka pada
percampur-baurannya, ada adab kesopanan. Dan adab kesopanan itu menurut kadar
haknya. Dan haknya itu menurut kadar ikatan, dimana dengan ikatan itu
terjadilah percampur-bauran. Ikatan itu, adakalanya kefamilian. Dan itulah yang
paling khusus. Atau persaudaraan Islam dan itulah yang paling umum. Dan
terkandung dalam pengertian persaudaraan itu, berteman dan bersahabat.
Adakalanya ikatan itu ketetanggaan. Dan adakalanya persahabatan dalam
perjalanan, di tempat belajar dan pelajaran. Dan adakalanya, karena berteman
atau bersaudara. Masing-masing ikatan itu, mempunyai tingkat-tingkat.
Kefamilian itu mempunyai hak. Tetapi hak kekeluargaan, yang haram dikawini
(mahram) itu, lebih kuat. Dan mahram itu sendiri mempunyai hak. Tetapi hak
ibu-bapa, adalah lebih kuat. Begitupula hak tetangga. Tetapi hak itu berlainan,
menurut dekat dan jauhnya rumah. Dan jelaslah berlebih-kurang ketika
diperbandingkan. Sehingga seorang penduduk di negeri asing, berlaku sebagai
famili yang dekat di tanah air. Karena mempunyai ketentuan dengan hak
ketetanggaan di negeri itu. Begitupula hak seorang muslim itu, menjadi kuat
dengan kuatnya perkenalan. Dan perkenalan itu mempunyai tingkat-tingkat. Maka
tidaklah hak orang yang dikenal dengan melihat dengan mata sendiri, seperti hak
orang yang dikenal dengan mendengar. Tetapi adalah lebih kuat daripada yang
didengar itu. Dan perkenalan setelah terjadinya perkenalan itu, menjadi lebih
kuat dengan bercampur-baur. Begitupula persahabatan, berlebih-kurang
tingkat-tingkatnya. Maka hak persahabatan pada pelajaran dan di sekolah itu,
lebih kuat dari hak persahabatan di perjalanan. Dan begitupula, berteman itu
berlebih-kurang. Sesungguhnya apabila telah kuat, niscaya jadilah persaudaraan
(ukhuwwah). Apabila persaudaraan itu bertambah, maka jadilah kasih-sayang
(mahabbah). Jikalau kasih-sayang itu bertambah, niscaya jadilah cinta kasih
(khillah). Dan teman yang dicinta-kasihi (khaliil) itu, lebih dekat dari teman yang
dikasih-sayangi (habiib). Maka kasih-sayang, ialah apa yang menetap dari biji
hati. Dan cinta-kasih, ialah apa yang menyelang-nyelangi rahasia hati. Maka
tiap-tiap teman yang penuh dengan cinta-kasih (khaliil), adalah teman yang
dikasih-sayangi (habiib). Dan tidaklah tiap-tiap teman yang dikasih-sayangi
(habiib) itu, teman yang dicinta-kasihi (khaliil). Berlebih-kurangnya serajat
persahabatan itu, tidaklah tersembunyi, menurut hukum penyaksian dengan mata
dan percobaan. Adapun adanya persahabatan yang dengan cinta-kasih itu, melebihi
persaudaraan, maka artinya: bahwa kata-kata cinta-kasih adalah ibarat dari
suatu keadaan, yang lebih sempurna daripada persaudaraan. Dan anda dapat
mengetahuinya dari sabda Nabi saw: “Jikalau aku mengambil teman yang penuh dengan
cinta-kasih (khaliil); niscaya aku ambil Abu Bakar menjadi teman yang penuh
dengan cinta-kasih. Tetapi temanmu itu yang penuh dengan cinta-kasih bagi Allah
(khaliilullaah)”. Karena teman yang penuh cinta-kasih itu (khaliil), ialah
orang yang menyelang-nyelangi kecintaan semua bahagian hatinya, zhahir dan pada
batin. Dan meratainya. Dan tidaklah yang meratai hati Nabi saw, selain dari
kecintaannya kepada Allah. Dan sesungguhnya cinta-kasih (khillah) itu, telah
mencegah Nabi saw daripada mempersekutukannya dengan yang lain. Di samping itu,
beliau mengambil Ali ra sebagai saudara, lalu Nabi saw bersabda: “Ali padaku
adalah seperti kedudukan Harun pada Musa, kecuali tentang kenabian”. Maka Nabi
saw menyimpang dengan Ali dari kenabian (an-nubuwwah), sebagaimana beliiau
menyimpang dengan Abu Bakar dari cinta-kasih yang sedalam-dalamnya (khillah).
Maka Abu Bakar bersekutu dengan Ali ra dalam persaudaraan. Dan Abu Bakar
melebihi dari Ali dengan mendekatnya kecinta-kasihan dan kekeluargaannya bagi
kecinta-kasihan itu, jikalau sekiranya ada jalan untuk mempersekutukan pada
kecinta-kasihan itu. Karena Nabi saw memberitahukan pada yang demikian, dengan
sabdanya: “Niscaya aku ambil Abu Bakar menjadi teman yang penuh dengan
cinta-kasih”. Nabi saw adalah amat dikasihi (habiibullaah) dan dicintai Allah
(khaliilullaah). Diriwayatkan bahwa Nabi saw pada suatu hari naik ke mimbar
dengan wajah yang berseri-seri gembira, seraya bersabda: “Sesungguhnya Allah
telah mengambil aku menjadi orang yang dicinta-kasihiNya, sebagaimana Ia
mengambil Ibrahim menjadi orang yang dicinta-kasihiNya. Maka aku adalah orang
yang dikasih-sayangi Allah dan aku adalah orang yang dicinta-kasihi Allah
Ta’ala”. Jadi, tidaklah ada ikatan sebelum berkenalan. Dan tidaklah sesudah
cinta-kasih itu tingkat yang lebih tinggi lagi. Dan tingkat-tingkat selain dari
tingkat yang dua itu (berkenalan dan cinta-kasih), adalah tingkat-tingkat yang
berada diantara keduanya. Dan telah kami sebutkan dahulu hak persahabatan dan
persaudaraan. Dan masuklah dalam keduanya, yang di belakang keduanya, yaitu:
kasih-sayang dan cinta-kasih. Sesungguhnya berlebih-kurang tingkat tentang
hak-hak itu, sebagaimana telah disebutkan dahulu, menurut berlebih-kurangnya
kasih-sayang dan persaudaraan. Sehingga berkesudahanlah tingkat yang penghabisan,
kepada mewajibkan penyerahan jiwa dan harta, sebagaimana yang diserahkan Abu
Bakar ra kepada Nabi kita saw. Dan sebagaimana yang diserahkan Thalhah dengan
menyerahkan badannya. Karena ia menjadikan dirinya penjagaan bagi pribadi Nabi
yang mulia saw. Maka sekarang kami bermaksud menyebutkan hak persaudaraan
Islam, hak kekeluargaan, hak ibu-bapak, hak tetangga dan hak pemilikan ya’ni:
pemilikan budak. Karena pemilikan dengan perkawinan, telah kami sebutkan
hak-hak pada “Kitab Adab Perkawinan”.
HAK-HAK MUSLIM.
Yaitu: anda
memberi salam kepadanya, apabila berjumpa. Anda perkenankan undangannya,
apabila ia mengundang anda. Anda membacakan tasymit (membaca Yarhamukallaah,
artinya: diberikan rahmat kiranya kepadamu oleh Allah. dan orang yang bersin itu
membaca: Alhamdulillaah, artinya: segala pujian bagi Allah) apabila ia bersin.
Anda mengunjunginya apabila ia sakit. Anda saksikan jenazahnya, apabila ia
meninggal dunia. Anda berbuat kebajikan terhadap sumpahnya, apabila ia
bersumpah terhadap anda. Anda menasehatinya, apabila ia meminta nasehat anda.
Anda memeliharakannya di belakang kepergiannya, apabila ia telah pergi jauh
dari anda. Anda menyukai baginya, apa yang anda sukai bagi diri anda sendiri.
Dan anda benci baginya, apa yang anda benci bagi diri anda sendiri. Semuanya
itu telah tersebut pada hadits dan atsar. Anas ra telah meriwayatkan dari
Rasulullah saw bahwa Nabi saw bersabda: “4 macam hak muslim diatas diri engkau:
engkau menolong yang berbuat baik dari mereka, engkau meminta ampun yang berdosa
dari mereka, engkau mengundang yang membelakangi engkau dari mereka dan engkau
mengasihi yang taubat dari mereka. Ibnu Abbas ra mengatakan tentang maksud
firman Allah Ta’ala: “Bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath
ayat 29, ialah: berdoa orang shalih kepada orang fasiq dari mereka. Dan orang
yang fasiq kepada orang yang shalih dari mereka. Apabila orang yang fasiq
memandang kepada orang yang shalih dari umat Muhammad saw niscaya ia berdoa:
“Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepadanya barakah, mengenai apa yang telah
Engkau bagikan kepadanya dari kebajikan ! dan tetapkanlah dia diatas kebajikan
! dan anugerahilah kepada kami kemanfaatan dengan kebajikan itu !”. Apabila
orang yang shalih memandang kepada orang yang fasiq, niscaya ia berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! berilah kepadanya petunjuk, terimalah taubatnya dan ampunilah
kesalahannya !”. Setengah daripada hak muslim, ialah bahwa: ia mencintai orang
mu’min, apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri. Dan tidak menyukai bagi
orang mu’min, apa yang tidak disukainya bagi dirinya sendiri. An-Nu’man bin
Basyir berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Diumpamakan orang
mu’min itu dalam berkasih-kasihan dan bersayang-sayangan, seumpama tubuh,
apabila menderita sakit atau anggota daripadanya, niscaya membawa kepada sakit
lainnya dengan demam dan tidak mau tidur semalam-malaman”. Abu Musa
meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Orang mu’min bagi orang
mu’min, adalah seperti bangunan suatu gedung, yang sebahagiannya menguatkan sebahagian
yang lain”. Dan setengah dari hak muslim, ialah: bahwa tidak menyakitkan
seorangpun dari kaum muslimin, baik dengan perbuatan atau dengan perkataan.
Nabi saw bersabda: “Orang muslim ialah orang yang selamat kaum muslimin yang
lain dari lidahnya dan tangannya”. Dan Nabi saw bersabda pada suatu hadits yang
panjang, dimana beliau menyuruh perbuatan-perbuatan yang utama (al-fadlaa-il):
“Jikalau engkau tidak sanggup dengan perbuatan-perbuatan yang utama, maka
tinggalkanlah manusia itu daripada kejahatan. Karena itu adalah sedekah, yang
engkau sedekahkan diatas dirimu sendiri”. Dan beliau bersabda pula: “Kaum
muslimin yang paling utama, ialah orang yang selamat kaum muslimin yang lain,
dari lidahnya dan tangannya”. Dan Nabi saw bersabda: “Adakah kamu ketahui,
siapakah muslim itu ?”. Lalu para sahabat menjawab: “Allah dan RasulNya yang
lebih mengetahui”. Lalu Nabi saw bersabda: “Orang muslim, ialah orang yang
selamat orang muslim lainnya dari lidahnya dan tangannya”. Maka mereka
bertanya: “Siapakah orang mu’min itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu, orang
dimana orang-orang mu’min merasa aman daripadanya, terhadap diri dan harta
mereka”. Lalu mereka bertanya lagi: “Siapakah orang yang berhijrah itu ?”. Nabi
saw menjawab: “Yaitu, orang yang berhijrah (meninggalkan) yang jahat dan
menjauhkan diri daripadanya”. Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah !
apakah Islam itu ?”. Nabi saw menjawab: “Bahwa selamatlah hatimu bagi Allah dan
selamatlah kaum muslimin dari lidahmu dan tanganmu !”. Mujahid berkata: “Amat
bersangatanlah kudis kepada ahli neraka. Lalu mereka menggaruk-garuk kulitnya,
sehingga tampaklah tulang mereka dari kulitnya. Maka ada yang memanggil: ‘Wahai
Anu ! adakah menyakitkan kamu oleh kudis yang gatal itu ?”. Orang itu menjawab:
“Ada !”. Lalu yang memanggil itu berkata: “Inilah, disebabkan kamu menyakitkan
orang-orang mu’min !”. Nabi saw berkata: “Sesungguhnya aku melihat seorang
laki-laki membalik-balikkan dirinya dalam sorga pada sebatang kayu, yang
dipotongnya diatas jalan, dimana batang kayu itu adalah menyakitkan kaum
muslimin”. Abu Hurairah ra berkata: “Wahai Rasulullah ! ajarilah aku sesuatu
yang dapat aku mengambil manfaat daripadanya !”. Nabi saw menjawab: “Jauhkanlah
yang menyakitkan dari jalan kaum muslimin !”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
menjauhkan dari jalan kaum muslimin, sesuatu yang menyakitkan mereka, niscaya
dituliskan oleh Allah baginya dengan perbuatan itu suatu kebajikan. Dan
barangsiapa dituliskan oleh Allah baginya kebajikan, niscaya diwajibkan Allah
baginya sorga”. Nabi saw bersabda: “Tiada halal bagi orang Islam mengisyaratkan
kepada saudaranya dengan pandangan yang menyakitkan”. Nabi saw bersabda: “Tiada
halal bagi muslim, menakutkan (merisaukan) sesama muslim”. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah benci yang menyakitkan orang mu’min”. Ar-Rabi’ bin Khaitsam
berkata: “Manusia itu ada dua: orang mu’min, maka janganlah engkau
menyakitinya. Dan orang bodoh, maka janganlah engkau memperbodohkannya !”. Dan
setengah dari hak muslim, ialah bahwa ia merendahkan diri kepada tiap-tiap muslim
dan tidak menyombongkan diri kepadanya. Sesungguhnya Allah tiada menyukai
tiap-tiap orang muslim yang menyombong dan membesarkan diri. Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadaku: bahwa
merendahkan dirilah kamu, sehingga tiada menyombong seseorang terhadap
seseorang”. Kemudian jika menyombonglah kepadanya orang lain, maka hendaklah ia
menanggungnya. Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya: “Hendaklah engkau pemaaf
dan menyuruh mengerjakan yang baik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak
berpengatahuan itu”. S 7 Al A’raaf ayat 199. Dari Ibnu Abi-Aufa: “Adalah
Rasulullah saw merendahkan diri kepada tiap-tiap muslim, tidak berkeras arang
dan tidak menyombong bahwa berjalan kaki bersama perempuan janda dan orang
miskin, lalu beliau menunaikan keperluannya”. Setengah dari hak muslim, ialah:
bahwa tidak mendengar apa yang disampaikan orang, oleh sebahagian orang kepada
sebahagian yang lain. Dan tidak disampaikan oleh sebahagian mereka, apa yang
didengarnya dari sebahagian yang lain. Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk
sorga orang yang bertingkah laku seperti lalat merah/suka menceritakan
kekurangan orang (membawa berita dari orang ke orang)”. Al-Khalil bin Ahmad
berkata: “Barangsiapa berbuat namimah (menyampaikan berita tentang orang lain)
kepada engkau, niscaya ia akan berbuat namimah terhadap engkau. Dan barangsiapa
menyampaikan kepada engkau tentang hal orang lain, niscaya ia akan menyampaikan
kepada orang lain tentang hal engkau”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa tidak
melebihkan tidak tegur-menegur terhadap orang yang dikenalnya, diatas 3 hari,
manakala ia telah marah kepada orang itu. Abu Ayyub Al-Anshari berkata: Nabi
saw bersabda: “Tiada halal bagi orang muslim tidak menegur saudaranya diatas 3
hari, dimana keduanya itu bertemu, lalu yang ini berpaling muka dan yang itu
berpaling muka. Dan yang terbaik dari keduanya, ialah yang memulai salam”. Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa memaafkan orang Islam dari kesalahannya, niscaya ia
dimaafkan oleh Allah pada hari qiamat”. Berkata ‘Akramah: “Allah Ta’ala
berfirman kepada Nabi Yusuf bin Ya’qub: “Dengan kemaafan engkau kepada
saudara-saudara engkau, niscaya aku tinggikan sebutan engkau pada dua negeri
(negeri dunia dan negeri akhirat)”. ‘Aisyah berkata: “Tiadalah sekali-kali
Rasulullah saw berdendam hati untuk kepentingan dirinya sendiri, kecuali karena
melanggar kehormatan Allah. Maka beliau menaruh dendam karena Allah”. Ibnu
Abbas ra berkata: “Tiada dimaafkan oleh seseorang dari sesuatu kezaliman,
melainkan ditambahkan kemuliaan oleh Allah baginya”. Nabi saw bersabda:
“Tidaklah harta itu berkurang dengan bersedekah. Dan tidaklah ditambahkan oleh
Allah akan seseorang dengan memaafkan, melainkan kemuliaan. Dan tidaklah
seseorang yang merendahkan dirinya karena Allah, melainkan ia ditinggalkan oleh
Allah”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa berbuat baik kepada tiap-tiap
orang yang sanggup ia berbuat baik kepadanya, sekedar kesanggupannya. Ia tidak
membeda-bedakan antara keluarga dan bukan keluarga. Ali bin Husain meriwayatkan
dari bapaknya, dari neneknya ra, dimana neneknya itu berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Berbuatlah yang baik kepada keluarganya dan yang bukan keluarganya !
jikalau engkau memperoleh keluarganya, maka itulah keluarganya. Dan jikalau
engkau tidak memperoleh keluarganya, maka engkaulah keluarganya”. Dan dari
neneknya (Ali ra), dengan isnadnya, mengatakan: Rasulullah saw bersabda:
“Kepala akal, sesudah agama, ialah berkasih-kasihan kepada manusia dan berbuat
baik kepada tiap-tiap orang baik dan orang jahat”. Abu Hurairah berkata: “Tiada
seseorang yang berpegang tangan dengan Rasulullah saw, lalu beliau menarik
tangannya. Sehingga adalah orang itu yang melepaskan tangannya lebih dahulu.
Dan tidaklah kelihatan lututnya yang keluar dari lutut orang yang duduk bersama
dengan beliau. Dan tidak adalah seseorang yang berbicara dengan beliau,
melainkan beliau menghadap kepadanya dengan wajahnya. Kemudian beliau tidak
berpaling dari orang itu, sehingga selesailah orang itu berbicara”. Setengah
dari hak muslim, ialah bahwa tidak masuk ke tempat seseorang daripada mereka,
kecuali dengan seizinnya. Bahkan meminta izin itu sampai 3 kali. Jikalau tidak
diizinkan, niscaya pergilah ia. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Meminta izin itu 3 kali. Pertama: diperhatikan oleh yang punya rumah
akan orang yang meminta keizinannya. Kedua: yang punya rumah menyediakan tempat
duduk yang layak dsb. Dan ketiga: yang punya rumah itu mengizinkan masuk atau
menolaknya”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa bertingkah laku terhadap
semua orang dengan tingkah laku yang baik (akhlaq yang baik) dan bergaul dengan
mereka menurut jalannya. Sesungguhnya jikalau bermaksud mempertemukan orang
bodoh dengan ilmu, orang buta huruf dengan pemahaman dan orang bisu dengan
keterangan, niscaya menyakitkan dan merasa sakit. Setengah dari hak muslim,
ialah: bahwa menghormati orang tua-tua dan menyayangi anak-anak kecil. Jabir ra
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah termasuk golongan kami, orang yang
tidak memuliakan orang tua dari kami dan tidak menyayangi orang kecil dari
kami”. Nabi saw bersabda: “Setengah daripada meng-agungkan Allah, ialah
memuliakan orang tua muslim”. Setengah dari kesempurnaan memuliakan orang-orang
tua, ialah tidak berkata-kata dihadapan mereka, melainkan dengan seizinnya.
Jabir berkata: “Telah datang utusan suku Juhainah kepada Nabi saw. Lalu
bangunlah seorang pemuda mereka berbicara. Maka Nabi saw bertanya: ‘Hai,
manakah orang tua ?”. Pada suatu hadits tersebut: “Tiadalah seorang pemuda
memuliakan akan seorang tua, melainkan ditaqdirkan Allah umurnya seperti orang
tua yang dimuliakannya”. Dan ini adalah berita gembira dengan lamanya hidup.
Maka hendaklah diperhatikan ! maka tidaklah memperoleh taufiq untuk memuliakan
orang-orang tua, kecuali orang yang ditaqdirkan Allah dengan panjang umur. Nabi
saw bersabda: “Tidaklah qiamat itu datang, sehingga adalah anak itu kasar,
hujan itu kemarau, orang hina melimpah-ruah, orang mulia amat berkurang, anak
kecil berani terhadap orang besar dan orang hina terhadap orang mulia”.
“Berlemah-lembut dengan anak-anak kecil adalah termasuk adat kebiasaan
Rasulullah saw”. Adalah Nabi saw datang dari perjalanan jauh. Lalu beliau
dijumpai oleh anak-anak. Maka beliau berdiri dihadapan mereka. Kemudian
menyuruh anak-anak itu. Lalu mereka mengangkatkan dirinya kepada Nabi. Nabi saw
mengangkatkan diantara mereka itu kehadapannya dan ke belakangnya. Dan menyuruh
sahabat-sahabatnya menggendong sebahagian dari anak-anak itu. Kadang-kadang
anak-anak itu kemudian membanggakan diri. Sebahagian mereka berkata kepada yang
lain: “Aku dibawa Rasulullah saw ke hadapannya. Dan engkau dibawanya ke
belakangnya”. Dan sebahagian anak-anak itu berkata: “Nabi saw menyuruh
sahabat-sahabatnya membawa engkau ke belakang mereka”. “Dibawa kepada Nabi saw
seorang anak kecil, supaya beliau berdoa kepadanya dengan barakah dan memberi
namanya. Maka Nabi saw mengambil anak kecil itu, lalu meletakkannya pada
pangkuannya”. Mungkin anak itu kencing. Maka berteriaklah setengah dari
orang-orang yang melihatnya. Lalu Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu putuskan
kencing anak kecil itu !”. Nabi saw membiarkan anak kecil itu, sampai habis
kencingnya. Kemudian, Nabi saw menyelesaikan doanya kepada anak kecil itu dan
menamakannya. Serta menyampaikan kegembiraan keluarganya kepada anak kecil
tersebut. Supaya mereka itu tidak melihat, bahwa Nabi saw merasa tidak senang
dengan air kencing anak itu. Maka ketika mereka itu telah pergi, barulah Nabi
saw membasuh kainnya”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa ia berada dalam
keadaan gembira, bermuka jernih, bersemangat persahabatan dengan segala lapisan
manusia. Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu, siapakah yang diharamkan neraka
kepadanya ?”. Para sahabat itu menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui”. Maka Nabi saw menjawab: “Neraka itu diharamkan kepada orang yang
lemah-lembut, mudah dalam pergaulan, menyenangkan dan bersemangat
kekeluargaan”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengasihi orang yang mudah dalam pergaulan, yang bermuka manis”. Setengah
para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah ! tunjukilah aku kepada amalan yang
memasukkan aku kedalam sorga !”. Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya, setengah
daripada yang mewajibkan pengampunan dosa, ialah memberi salam dan bagus
pembicaraan”. Abdullah bin Umar berkata: “Sesungguhnya kebajikan itu suatu
perkara yang mudah: muka yang jernih dan perkataan yang lemah-lembut”. Nabi saw
bersabda: “Peliharalah dirimu daripada api neraka, walaupun dengan sebelah biji
tamar ! barangsiapa tiada memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik”. Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya dalam sorga banyak kamar, yang kelihatan luarnya
dari dalamnya dan dalamnya dari luarnya”. Lalu seorang Arab dusun bertanya:
“Untuk siapakah kamar-kamar itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Untuk
orang yang membaguskan perkataan, memberikan makanan kepada fakir miskin dan
mengerjakan shalat pada malam hari, sedang orang-orang lain tidur”. Mu’adz bin
Jabal berkata: “Rasulullah saw bersabda kepadaku: ‘Aku wasiatkan kepadamu
bertaqwa kepada Allah, benar pembicaraan, menepati janji, menunaikan amanah,
meninggalkan khianat, menjaga tetangga, mengasihani anak yatim, lemah-lembut
perkataan, memberi salam dan merendahkan sayap (merendahkan diri, tidak
sombong)”. Anas ra berkata: “Datang seorang wanita kepada Nabi saw seraya
berkata: ‘Aku mempunyai hajat padamu”. Dan bersama Nabi saw banyak orang dari
para sahabatnya. Lalu Nabi saw menjawab: “Duduklah pada sudut manapun dari
jalan itu, yang engkau kehendaki. Aku akan duduk untuk keperluanmu itu”. Wanita
itupun lalu berbuat seperti yang disuruh Nabi saw, Nabi saw pun duduk mengurus
keperluan wanita itu, sehingga selesailah keperluannya”. Wahab bin Munabbih
berkata: “Bahwa seorang laki-laki dari Bani Israil, telah berpuasa selama 70
tahun. Ia berbuka pada tiap-tiap 7 hari. Maka orang itu bermohon kepada Allah
Ta’ala, kiranya Allah Ta’ala memperlihatkan kepadanya, bagaimana setan itu
menipu manusia. Tatkala telah lama yang demikian, tetapi belum juga
diperkenankan oleh Allah doanya, lalu ia berkata: “Jikalau aku melihat kepada
kesalahanku dan dosaku, antara aku dan Tuhanku, maka sesungguhnya adalah yang
demikian lebih baik bagiku daripada yang aku minta itu”. Maka Allah Ta’ala
mengutuskan kepadanya malaikat. Lalu malaikat itu berkata kepadanya:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus aku kepadamu dan Dia berfirman kepadamu:
“Sesungguhnya perkataanmu yang kamu ucapkan itu, adalah lebih Aku sukai
daripada apa yang telah lalu daripada ibadahmu. Dan sesungguhnya Allah telah
membuka matamu, maka lihatlah !”. Lalu orang itu melihat. Maka tiba-tiba
tentara iblis telah mengelilingi bumi. Sehingga tiada seorangpun manusia,
melainkan setan-setan berada dikelilingnya, seperti serigala. Lalu orang itu
berdoa: “Wahai Tuhan ! siapakah yang dapat terlepas dari ini ?”. Allah berfirman:
“Orang wara’ yang lemah-lembut”. Setengah daripada hak muslim, ialah: bahwa ia
tiada berjanji dengan seorang muslim dengan sesuatu perjanjian, melainkan ia
akan menepati janji itu. Nabi saw bersabda: “Janji itu suatu pemberian”. Nabi
saw bersabda: “Janji itu hutang”. Nabi saw bersabda: “3 perkara itu pada orang
munafiq: apabila berbicara, ia dusta. Apabila berjanji, ia menyalahi janji. Dan
apabila diserahkan amanah, ia berkhianat”. Dan Nabi saw bersabda: “3 perkara,
barangsiapa ada padanya 3 perkara itu, maka dia itu orang munafiq, meskipun dia
mengerjakan puasa dan shalat”. Lalu Nabi saw menyebutkan yang 3 perkara diatas
tadi”. Setengah daripada hak muslim, ialah bahwa ia memberi keinsyafan kepada
manusia dari dirinya. Ia tidak mendatangi mereka, kecuali dengan yang
disukainya untuk didatangi orang kepadanya. Nabi saw bersabda: “Tiada sempurna
keimanan seorang hamba itu, sehingga ada padanya 3 perkara: berbelanja daripada
kepicikan rezekinya, insyaf dari keadaan dirinya dan memberi salam”. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa suka supaya dijauhkan dari neraka dan masuk sorga, maka hendaklah
ia didatangi kematian, dimana ia mengaku, bahwa tiada yang disembah selain
Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Dan hendaklah ia mendatangkan kepada
manusia, apa yang disukainya untuk didatangkan kepadanya”. Nabi saw bersabda:
“Hai Abud-Darda’ ! baguskanlah bertetangga dengan orang yang bertetangga dengan
kamu, niscaya kamu adalah orang mu’min ! dan cintailah bagi manusia, akan apa
yang kamu cintai bagi dirimu sendiri, niscaya adalah kamu orang muslim”.
Al-Hasan berkata: “Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Adam as dengan 4
perkara. Dan Allah Ta’ala berfirman pada yang 4 perkara itu: mengumpulkan
pekerjaan bagimu dan bagi anakmu. Satu bagiKu, satu bagimu, satu antaraKu dan
kamu dan satu antaramu dan manusia yang lain. Adapun yang bagiKu, ialah: engkau
menyembah akan Aku dan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu. Adapun yang
bagimu, maka amalanmu yang akan Aku beri balasannya, adalah yang lebih kamu
berhajat kepadanya. Adapun yang diantara Aku dan kamu, maka haruslah kamu
mendoa dan Aku akan memperkenankannya. Dan adapun yang diantara kamu dan
manusia yang lain, maka kamu berteman dengan mereka, dengan cara yang kamu
sukai mereka menemani kamu”. Nabi Musa as bermohon kepada Allah Ta’ala, dengan
menanyakan: “Wahai Tuhanku ! manakah kiranya hambaMu yang lebih adil ?”. Allah
Ta’ala berfirman: “Orang yang insyaf dari hal dirinya”. Setengah daripada hak
muslim, ialah: bahwa ia menambahkan memuliakan orang, yang sikap dan pakaiannya,
menunjukkan kepada tinggi kedudukannya. Maka, ia menempatkan orang menurut
kedudukannya. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah berada dalam suatu perjalanan. Lalu ia
turun pada suatu tempat dan meletakkan makanannya. Maka datanglah seorang
peminta-minta. Lalu ‘Aisyah berkata: “Berikanlah kepada orang miskin ini
sepotong roti !”. Kemudian datang seorang laki-laki dengan berkendaraan, lalu
‘Aisyah berkata: “Undanglah orang itu makan !”. Maka orang menanyakan kepada
‘Aisyah: “Engkau berikan kepada orang miskin dan engkau undang orang kaya ini”.
‘Aisyah menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menempatkan manusia pada
tempat-tempat, dimana kita tidak boleh tiidak menempatkan mereka pada
tempat-tempat itu. Orang miskin ini rela dengan sepotong roti. Dan kejilah kita
apabila memberikan kepada orang kaya ini didalam bentuk yang sedemikian,
sepotong roti”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw masuk kesebahagian rumah-rumahnya.
Lalu datanglah kepadanya para sahabat, sehingga padatlah tempat itu dan penuh
sesak. Maka datang Jarir bin Abdullah Al-Bajli. Ia tidak memperoleh tempat
lagi. Lalu ia duduk di pintu. Maka Rasulullah saw melipatkan kain selendangnya
(kain penutup badannya). Kemudian melemparkannya kepada Jarir, seraya bersabda:
“Duduklah diatas kain itu !”. Lalu Jarir mengambil kain selendang itu dan
meletakkannya pada mukanya, memeluknya dan menangis. Kemudian melipatkannya dan
menyerahkannya kembali kepada Nabi saw seraya berkata: “Tidaklah aku akan duduk
diatas kainmu. Kiranya Allah memuliakan kamu, sebagaimana kamu memuliakan aku”.
Lalu Nabi saw memandang ke kanan dan ke kiri. Kemudian bersabda: “Apabila
datang kepadamu orang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia”. Begitu juga
tiap-tiap orang yang mempunyai hak yang sudah lama padanya, maka hendaklah ia
memuliakannya ! diriwayatkan: bahwa ibu susuan Rasulullah saw yang
menyusukannya, datang kepadanya. Lalu Rasulullah saw membentangkan kain
selendangnya untuk wanita itu. Kemudian bersabda kepadanya: “Selamat datang
ibuku !”. Kemudian beliau dudukkan ibu susuannya itu diatas kain selendangnya.
Kemudian bersabda kepadanya: “Mintalah syafa’at, niscaya engkau diberikan
syafa’at dan mintalah, niscaya engkau diberikan !”. Lalu wanita –ibu susuan
Nabi saw-itu bertanya: “Kaumku bagaimana ?”. Nabi saw menjawab: “Adapun hakku dan
hak Bani Hasyim adalah untuk engkau !”. Maka bangunlah manusia ramai dari
tiap-tiap pojok dan bertanya: “Dan hak kami, wahai Rasulullah ?”.Kemudian,
terus Nabi saw mengadakan hubungan silaturrahim dengan wanita itu, dan
melayaninya. Dan memberikan kepadanya bahagian Nabi saw sendiri yang
diperolehnya pada perang Hunain. Bahagian itu dijual yang berada di tangan
Usman bin Affan ra dengan harga 100 ribu dirham. Kadang-kadang datang kepada
Nabi saw orang yang datang kepadanya, dimana beliau sedang duduk diatas kasur
tempat duduk. Dan tak ada pada tempat duduk itu terluang yang dapat orang itu
duduk bersama Nabi saw. Maka Nabi saw mengambil tempat duduk itu dan
meletakkannya di bawah orang yang duduk di dekatnya itu. Kalau orang itu
menolak, maka Nabi saw terus ber’azam demikian, sampai Nabi saw dapat
membuatnya. Setengah dari hak muslim, ialah, bahwa: mengadakan ishlah
(perbaikan) diantara hal ikhwal sesama muslim, manakah diperoleh jalan untuk
itu. Nabi saw bersabda: “Apabila tidak aku terangkan kepadamu yang lebih utama
daripada derajat shalat, puasa dan sedekah ?”. Para sahabat itu menjawab:
“Belum !”. Nabi saw lalu menerangkannya: “Yaitu mengadakan ishlah hal-hal yang
memisahkan dan kerusakan dari hal-hal yang memisahkan itu, yaitu: perkataan
yang jahat”. Nabi saw bersabda: “Sedekah yang paling utama, ialah memperbaiki
hal-hal yang memisahkan”. Dan dari Nabi saw mengenai apa yang diriwayatkan Anas
ra dimana Anas, menerangkan: “Ketika Rasulullah saw sedang duduk, lalu beliau
tertawa, hingga tampaklah gigi depannya. Lalu Umar ra bertanya: “Wahai
Rasulullah ! demi sesungguhnya, apakah kiranya yang menertawakan engkau ?”.
Rasulullah saw menjawab: “Dua orang dari umatku duduk bertekuk lutut dihadapan
Tuhan Rabbul ‘Izzati. Lalu seorang daripadanya berdoa: “Ya Rabbi ! ambillah
untukku kedzalimanku dari orang ini !”. Maka Allah Ta’ala berfirman:
“Kembalikanlah kepada saudaramu kedzalimannya !”. Lalu orang itu menjawab: “Ya
Rabbi ! tiadalah tinggal untukku sesuatu daripada kebajikanku !”. Maka
berfirman Allah Ta’ala kepada orang yang berdoa itu: “Bagaimanakah engkau
perbuat dengan saudaramu dan tidak tinggal untuknya sesuatu daripada
kebajikannya ?”. Orang itu menjawab: “Ya Rabbi ! hendaklah ia menanggung
daripadaku, dari segala dosaku !”. Kemudian berlinanglah kedua mata Rasulullah
saw, disebabkan menangis. Lalu bersabda: “Bahwa hari itu adalah hari yang
agung, hari dimana manusia memerlukan padanya, ditanggung segala dosanya
daripadanya”. Nabi saw menyambung lagi: “Maka Allah Ta’ala berfirman, yaitu:
kepada orang yang sabar dari kedzaliman orang lain: “Angkatlah mukamu !
lihatlah dalam sorga !”. Maka orang itu berkata: “Ya Rabbi ! aku melihat
kota-kota daripada perak dan istana-istana daripada emas, yang dikelilingi
dengan mutiara. Untuk Nabi manakah ini ? atau untuk orang shiddiq yang mana
atau untuk orang syahid yang mana ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Ini adalah untuk
orang yang memberikan harga !”. Orang itu bertanya: “Ya Rabbi ! siapakah yang
memiliki demikian itu ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Engkau yang memilikinya !”.
Orang itu bertanya: “Dengan apakah wahai Tuhanku ?”. Allah Ta’ala berfirman:
“Dengan engkau maafkan saudaramu !”. Orang itu berkata: “Ya Rabbi ! aku telah
memaafkannya !”. Maka berfirman Allah Ta’ala: “Ambillah tangan saudaramu !
masukkanlah ia ke dalam sorga !”. Kemudian Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah
kepada Allah, adakanlah perbaikan hal-hal yang memisahkan antara kamu !
sesungguhnya Allah Ta’ala mengadakan ishlah (perbaikan) diantara orang-orang
mu’min pada hari qiamat !”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dikatakan pembohong
orang yang berbuat ishlah diantara dua orang. Lalu ia mengatakan yang baik”.
Ini menunjukkan kepada wajibnya mengadakan ishlah diantara manusia. Karena
meninggalkan bohong adalah wajib. Dan wajib itu tidaklah gugur, kecuali dengan
wajib yang lebih kuat daripadanya. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap dusta itu
ditulis, selain daripada orang yang berdusta pada peperangan. Sesungguhnya
perang itu adalah tipu-daya. Atau ia berdusta diantara dua orang, lalu ia
mengadakan ishlah diantara kedua orang itu. Atau ia berdusta bagi isterinya
supaya dapat mendatangkan kerelaan isterinya”. Setengah daripada hak muslim
ialah: bahwa ditutupkan aurat (hal-hal yang memalukan) orang-orang muslim
semuanya. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menutupi sesuatu yang mendatangkan
melarat kepada muslim, niscaya ia ditutupi oleh Allah Ta’ala di dunia dan di
akhirat”. Dan Nabi saw bersabda: “Tiadalah seorang hamba menutupi seorang
hamba, melainkan ia ditutupi oleh Allah pada hari qiamat”. Abu Sa’id Al-Khudri
ra berkata: Nabi saw bersabda: “Tiada melihat orang mu’min sesuatu yang
memalukan (aurat) daripada saudaranya, lalu ditutupinya, melainkan ia masuk
sorga”. Nabi saw bersabda kepada Ma’iz, tatkala Ma’iz menerangkan sesuatu
kepadanya: “Kalau engkau tutupi dia dengan kain engkau, niscaya adalah lebih
baik bagi engkau”. Jadi, haruslah muslim menutupi aurat dirinya sendiri. Maka
hak keislamannya adalah wajib atas dirinya, seperti hak keislamannya orang
lain. Abu Bakar ra berkata: “Jikalau aku dapati orang peminum khamar, niscaya
aku sukai, kiranya ia ditutupi oleh Allah. Dan jikalau aku dapati pencuri,
sesungguhnya aku sukai, kiranya ia ditutupi oleh Allah”. Diriwayatkan bahwa
Umar ra berjalan meronda pada suatu malam di Madinah. Lalu beliau melihat
seorang laki-laki dengan seorang wanita berbuat keji (berbuat zina). Tatkala
telah pagi hari, maka beliau berkata kepada orang banyak: “Apakah pendapatmu,
jikalau imam (khalifah) melihat seorang laki-laki dengan seorang wanita berbuat
serong ? Lalu ia menegakkan hukum siksaan kepada kedua orang itu. Apakah kamu
tidak akan memperbuatnya ?”. Orang banyak itu menjawab: “Sesungguhnyalah engkau
itu imam !”. Lalu Ali ra menjawab: “Tidaklah yang demikian itu hak engkau.
Tetapi, hukum siksaan itu akan dijatuhkan ke atas engkau. Karena Allah tidak
meletakkan kepercayaan pada urusan ini, kurang daripada 4 orang saksi”.
Kemudian Umar ra membiarkan orang banyak itu, masya Allah, membiarkan mereka
itu bertukar pikiran. Kemudian, ia menanyakan lagi. Orang banyak itu menjawab
seperti penjawabannya yang pertama. Lalu Ali ra berkata seperti perkataannya
yang pertama. Ini menunjukkan, bahwa Umar ra bimbang tentang wali negeri
(penguasa), adakah baginya melakukan hukum mengenai hukuman yang ditetapkan
Allah, dengan pengetahuannya saja ? maka karena itulah, ia bersoal jawab dengan
orang banyak itu, dalam bentuk mengumpamakan. Tidak dalam bentuk menerangkan
yang terjadi. Karena takut, bahwa ia tidak berhak yang demikian. Lalu ia
menjadi penuduh orang berzina, dengan menerangkannya itu. Dan cenderunglah pendapat
Ali ra, bahwa Umar tidak berhak yang demikian itu. Ini, adalah dalil yang
terkuat atas tuntutan agama untuk menutupi perbuatan-perbuatan yang keji. Dan
sesungguhnya perbuatan yang peling keji, ialah: zina. Dan zina itu bergantung
dengan 4 orang adil, yang menyaksikan demikian, dari laki-laki pada wanita,
seperti: tangkai celak masuk ke dalam botol celak. Dan hal yang begini tidaklah
akan bersua sekali-kali. Dan kalau hakim itu mengetahuinya dengan yaqin,
niscaya tidaklah baginya membukanya. Maka perhatikanlah akan hikmah menutup
rapat pintu perbuatan keji itu, dengan mewajibkan hukuman siksa (rajam), dimana
hukuman itu siksaan yang terberat ! Kemudian, perhatikanlah kepada tebalnya
tirai yang dibentangkan oleh Allah, ke atas orang-orang yang berbuat ma’siat,
daripada makhluqNya, dengan menyempitkan jalan untuk membukakannya. Maka kami
mengharap, semoga tidaklah kita mengharamkan kurnia ini, pada hari dicoba
rahasia-rahasia yang terpendam itu. Maka tersebutlah pada hadits: “Bahwa Allah
apabila menutupi pada hamba akan auratnya di dunia, maka Allah adalah Maha
Pemurah daripada membukakannya pada hari akhirat. Dan jikalau Allah
membukakannya di dunia, maka Dia adalah Maha Pemurah daripada membukakannya
pada kali yang lain”. Dari Abdur Rahman bin ‘Auf ra, dimana ia berkata: “Aku
keluar bersama Umar ra pada suatu malam di Madinah. Di waktu kami sedang
berjalan, tiba-tiba tampaklah kepada kami sebuah lampu pelita. Lalu kami
berjalan menuju kepadanya. Maka tatkala kami telah dekat ke tempat itu,
tiba-tiba melihat pintu terkunci, di dalamnya orang banyak dengan bersuara
keras dan hiruk-pikuk. Maka Umar ra memegang tanganku dan berkata: “Tahukah
kamu rumah siapakah ini ?”. Aku menjawab: “Tidak !”. Maka Umar ra menjawab:
“Inilah rumah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalf. Mereka itu sekarang sedang mminum
khamar. Apa pendapatmu ?”. Aku menjawab: “Aku berpendapat, bahwa kita telah
memperbuat apa yang dilarang Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Maka kembalilah Umar
ra dan meninggalkan mereka itu di situ. Ini menunjukkan wajibnya menutupi
keburukan orang dan meninggalkan mengikutinya. Nabi saw bersabda kepada
Mu’awiyah: “Sesungguhnya jika engkau mengikuti (memperhatikan dengan
menyelidiki) akan aurat (hal yang memalukan) manusia, niscaya engkau telah
merusakkan mereka atau hampirlah engkau berbuat kerusakan kepada mereka”. Nabi
saw bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan iman itu
tidak masuk ke dalam hatinya ! janganlah kamu mengumpat orang-orang muslim !
dan janganlah kamu mengikuti aurat (hal-hal yang memalukan) mereka !
sesungguhnya barangsiapa mengikuti aurat saudaranya muslim, niscaya diikuti
oleh Allah akan auratnya. Dan barangsiapa diikuti oleh Allah akan auratnya,
niscaya Ia membuka kekejiannya, walaupun orang itu, berada di tengah-tengah
rumahnya”. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Kalau aku melihat seseorang
melakukan perbuatan yang mendapat hukuman Allah Ta’ala, niscaya aku tidak
menyiksakannya. Dan tidak aku memanggil seseorang, sehingga ada ia bersama
orang selain aku”. Berkata setengah mereka: “Adalah aku sedang duduk bersama
Abdullah bin Mas’ud ra. Tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki bersama
dengan seorang laki-laki lain. Lalu laki-laki itu berkata: “Dia ini mabuk !”. Maka
menjawab Abdullah bin Mas’ud ra: “Ciumlah bau mulutnya !”. Lalu mereka mencium
bau mulutnya. Maka diperolehnya dia itu mabuk. Lalu orang itu ditahan, sehingga
hilanglah mabuknya. Kemudian, dimintanya cambuk, lalu dipecahkannya tempat
ikatan dari cambuk itu. Kemudian, ia berkata kepada tukang cambuk: “Cambuklah !
angkatlah tanganmu ! dan berikanlah tiap-tiap anggota akan haknya !”. Tukang
cambuk itu lalu mencambuk pemabuk tadi. Dan pada pemabuk itu ada pakaian
lapisan atas atau pakaian bulu yang menjadi kain sarungnya. Tatkala telah
selesai, lalu ia menanyakan pada orang yang membawa pemabuk itu: “Apakah
hubungan engkau dengan dia ?”. Yang membawa itu menjawab: “Pamannya !”. Maka
Abdullah bertanya: “Tidaklah engkau ajarkan dia, lalu engkau baguskan adab sopan-santunnya.
Dan tidaklah engkau menutupi kehormatannya. Sesungguhnya seyogyalah bagi imam,
apabila sampai kepadanya hukuman, bahwa ditegakkannya hukuman itu. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, yang menyukai kemaafan”. Kemudian ia membaca:
“Hendaklah mereka suka memaafkan dan berlapang dada !”. S 24 An Nur ayat 22.
Kemudian, Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku akan menyebutkan laki-laki
pertama, yang dipotong tangannya oleh Nabi saw, dimana dibawa kepada Nabi saw
seorang pencuri, lalu beliau memotong tangannya. Lalu seolah-olah beliau
bermuka muram. Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! seolah-olah
engkau tidak menyukai memotongnya”. Maka Nabi saw menjawab: “Apakah yang
mencegah aku ? janganlah kamu menjadi penolong setan terhadap saudaramu !”. Lalu
para sahabat itu bertanya: “Mengapakah tidak engkau maafkan kesalahannya ?”.
Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya seyogyalah bagi sultan (penguasa), apabila
sampai kepadanya suatu hukuman, bahwa ditegakkannya hukuman itu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha pemaaf, yang menyukai kemaafan”. Dan beliau membaca ayat:
“Hendaklah kamu suka memaafkan dan berlapang dada ! tiadakah kamu suka Allah
akan memberikan ampunan kepada kamu ? dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha
Pengasih !”. S 24 An Nur ayat 22. Dan pada suatu riwayat: “Seolah-olah ada abu
melekat pada wajah Rasulullah saw, karena sangat berobahnya wajah beliau”.
Diriwayatkan bahwa Umar ra meronda malam hari di Madinah. Lalu beliau mendengar
suara seorang laki-laki pada suatu rumah bernyanyi-nyanyi. Maka beliau panjat
dinding rumah itu. Lalu beliau dapati di samping laki-laki tadi seorang wanita.
Dan pada sisi laki-laki tersebut khamar. Maka Umar ra berkata: “Hai musuh Allah
! adakah kamu menyangka, bahwa Allah menutupi akan kesalahan engkau dan engkau
berbuat ma’siat kepadaNya ?”. Laki-laki itu menjawab: “Dan engkau, wahai
Amirul-mu’minin, janganlah terburu-buru menuduh ! sesungguhnya aku telah
berbuat ma’siat kepada Allah, satu ma’siat. Dan engkau sesungguhnya telah
berbuat ma’siat kepada Allah, mengenai aku, 3 ma’siat. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12.
Dan engkau telah mencari-cari (tajassus) keburukan aku. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah ada kebaikannya bagimu masuk rumah dari belakangnya”. S 2 Al
Baqarah ayat 189. Dan engkau telah memanjat dinding terhadap diriku. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu masak ke dalam rumah yang bukan rumahmu,
sebelum minta izin dan memberi salam kepada orang yang di dalamnya”. S 24 An Nur
ayat 27. Dan engkau telah masuk ke rumahku, tanpa izin dan salam”. Maka Umar ra
bertanya: “Adakah padamu kebaikan, kalau aku maafkan engkau ?”. Orang itu
menjawab: “Ada ! demi Allah, wahai Amirul-mu’minin !”. Jikalau engkau maafkan
kesalahanku, niscaya tidak akan aku kembali lagi kepada perbuatan yang seperti
ini, untuk selama-lamanya. Maka Umar ra memaafkannya dan beliau keluar,
meninggalkan orang itu. Seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Umar:
“Wahai ayah Abdur Rahman ! bagaimanakah engkau mendengar Rasulullah saw
bersabda tentang pembicaraan rahasia pada hari qiamat ?”. Abdullah bin Umar
menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mendekatkan orang mu’min kepadaNya. Lalu meletakkan naunganNya keatas orang itu
dan menutupkan kesalahannya dari manusia”. Maka Allah berfirman: “Adakah engkau
ketahui dosa yang begitu ? adakah engkau ketahui dosa yang begitu ?”. Orang
mu’min itu menjawab: “Ada ! wahai Tuhanku !”. Sehingga apabila orang itu telah
menetapkan segala dosanya, lalu melihat pada dirinya, bahwa ia telah binasa.
Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai hambaKu ! sesungguhnya Aku tidak
menutupkan segala dosamu di dunia, selain Aku bermaksud mengampunkanNya untukmu
pada hari ini”. Lalu orang itu diberikan suratan segala amal kebaikannya.
Adapun orang-orang kafir dan munafiq, maka berkatalah saksi-saksi: “Mereka itu
adalah orang-orang yang mendustai Tuhannya. Ketahuilah kiranya, kutukan Allah
ke atas orang-orang dzalim”. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap umatku dimaafkan,
kecuali orang-orang yang berterang-terangan dengan kesalahannya. Dan termasuk
berterang-terangan, ialah: mengerjakan kejahatan secara sembunyi, kemudian
menceritakannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mendengar berita tentang
suatu golongan dan golongan itu benci kepada berita itu, niscaya dituangkan ke
dalam telinganya timah hancur pada hari qiamat”. Setengah dari hak muslim,
ialah menjaga diri pada tempat-tempat yang menimbulkan sangkaan-sangkaan yang
tidak baik, untuk menjaga hati manusia daripada sangkaan jahat. Dan untuk
menjaga lidah mereka, daripada umpatan. Apabila mereka telah berbuat ma’siat
kepada Allah dengan menyebutkannya dan dia yang menjadi sebab pada yang
demikian, niscaya adalah ia bersekutu. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu
nista apa-apa yang mereka sembah, selain dari Allah, supaya mereka jangan pula
mencela Allah di luar batas dengan tidak berdasar pengetahuan”. S 6 Al An’aam
ayat 108. Nabi saw bersabda: “Bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang
menista (mencaci) ibu bapaknya ?”. Lalu para sahabat itu bertanya: “Adakah
seseorang manusia menista ibu bapaknya ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Ada ! ia
mencaci ibu bapak orang lain, maka orang-orang lain itu, mencaci ibu bapaknya”.
Diriwayatkan Anas bin Malik ra: “Bahwa Rasulullah saw bercakap-cakap dengan
salah seorang dari isterinya. Maka lalulah di situ seorang laki-laki. Lalu
Rasulullah saw memanggil orang itu dan bersabda: “Hai Anu ! ini adalah isteriku
Shafiah !”. Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah ! siapakah yang pernah aku
menyangka padanya ! sesungguhnyya aku tidak menyangka apa-apa pada engkau”.
Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada tubuh anak Adam,
pada tempat jalan darah”. Dan pada suatu riwayat, Nabi saw menambahkan:
“Sesungguhnya aku takut, bahwa setan itu menuduh (qadzaf) sesuatu, dalam hati
kamu berdua”. Dan orang itu, adalah dua orang. Maka Nabi saw bersabda: “Bahwa
dia ini Shafiah”.....sampai akhir hadits. Dan adalah Shafiah mengunjungi Nabi
saw pada 10 hari yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Sayyidina Umar ra
berkata: “Barangsiapa menempatkan dirinya pada tempat yang menimbulkan sangkaan
tidak baik (tuhmah), maka janganlah ia mencella orang yang menyangka jahat
kepadanya”. Sayyidina Umar ra, lalu pada suatu jalan. Tiba-tiba melihat seorang
laki-laki bercakap-cakap dengan seorang wanita di tengah jalan. Maka dipukulnya
laki-laki itu dengan cemeti. Maka laki-laki itu berkata: “Wahai Amirul-mu’minin
! wanita itu adalah isteriku !”. Lalu sahut Sayyidina Umar ra: “Mengapa tidak
engkau bercakap-cakap pada tempat yang tidak dilihat engkau oleh seseorang
manusia ?”. Setengah dari hak muslim, ialah: bahwa mengusahakan pertolongan,
untuk tiap-tiap orang muslim yang memerlukan pada orang yang mempunyai
kedudukan. Dan berusaha memenuhi hajat maksud orang itu, menurut kesanggupannya.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku didatangi orang dan dimintainya pada aku.
Dan diminta hajat keperluan padaku. Dan engkau berada di sisiku. Maka berilah
syafa’at (pertolongan), supaya kamu dibalas dengan pahala ! dan Allah
menunaikan pada tangan NabiNya, apa yang disukaiNya”. Mu’awiyah berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Berilah syafa’at (pertolongan) kepadaku, niscaya kamu
diberi pahala ! sesungguhnya aku menghendaki sesuatu hal dan hal itu aku
kemudiankan. Supaya kamu dapat memberi syafa’at kepadaku, lalu kamu dibalaskan
dengan pahala”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah sedekah yang lebih utama daripada
sedekah lidah”. Lalu orang menanyakan yang demikian kepada Nabi saw:
“Bagaimanakah yang demikian itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: syafa’at (pertolongan),
dimana dengan syafa’at itu, terpelihara daripada menumpahkan darah. Dan dengan
syafa’at itu, terbawalah manfaat kepada orang lain dan tertolaklah dengan
syafa’at itu, hal-hal yang tidak disukai dari orang lain”. Diriwayatkan
‘Akramah dari Ibnu Abbas ra: “Bahwa suami Burairah adalah seorang budak,
bernama: Mughits. Seakan-akan aku melihat dia di belakang isterinya menangis
dan air matanya mengalir berjatuhan atas janggutnya. Lalu Nabi saw bertanya
kepada Abbas: “Tidakkah kamu heran betapa hebatnya kecintaan Mughits kepada
Burairah dan betapa hebatnya kebencian Burairah kepada Mughits ?”. Maka Nabi
saw bersabda kepada Burairah: “Kalaulah engkau kembali bercakap-cakap dengan
dia. Maka sesungguhnya dia adalah bapak anak engkau !”. Burairah menjawab:
“Wahai Rasulullah ! apakah engkau menyuruh aku ? maka akan aku kerjakan”. Nabi
saw menjawab: “Tidak ! aku hanya memberi syafa’at (pertolongan)”. Setengah dari
hak muslim, ialah tiap-tiap muslim itu memberi salam sesamanya sebelum
berkata-kata. Dan berjabatan tangan ketika memberi salam itu. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa memulai bercakap-cakap sebelum memberi salam, maka
janganlah kamu menjawab percakapannya, sehingga ia memulai dengan memberi salam
!”. Berkata setengah mereka: “Aku masuk ke tempat Rasulullah saw dengan tidak
memberi salam dan tidak meminta izin. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kembalilah
! lalu katakanlah: “Assalamu’alaikum” dan masuklah !”. Jabir ra meriwayatkan
dengan mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu masuk ke rumahmu, maka
berilah salam kepada penghuninya ! sesungguhnya apabila seseorang kamu itu
memberi salam, maka setan itu tidak akan masuk ke rumahnya”. Anas ra berkata:
“Aku melakukan pengkhidmatan (menjadi pelayan) Nabi saw 8 tahun lamanya. Maka
beliau bersabda kepadaku: “Hai Anas ! ratakanlah wudlumu, niscaya bertambah
umurmu ! berilah salam kepada orang yang engkau jumpai dari umatku, niscaya
bertambahlah kebajikanmu ! dan apabila engkau masuk ke tempatmu, maka berilah
salam kepada keluargamu, niscaya banyak kebajikan rumah tanggamu !”. Anas ra
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila bertemulah dua orang mu’min, lalu
berjabatan tangan, niscaya dibagikan diantara keduanya 70 ampunan. 69 adalah
kepada yang terbaik menyambut daripada keduanya”. Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila ada orang yang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat
(salamnya) dengan cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa
dengan penghormatannya) !”. S 4 An Nisaa’ ayat 86. Nabi saw bersabda: “Demi
Tuhan, yang diriku di dalam tangan kekuasaanNya ! kamu tidak akan masuk sorga,
sehingga beriman. Dan kamu tidak beriman, sehingga berkasih-kasihan. Apakah
tidak aku tunjukkan kamu kepada perbuatan, dimana apabila kamu kerjakan
perbuatan itu, niscaya kamu berkasih-kasihan ?”. Para sahabat itu menjawab:
“Belum, wahai Rasulullah !”. Nabi saw menjawab: “Kembangkanlah memberi salam
diantara kamu !”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Apabila muslim memberi salam
kepada muslim, lalu salam itu dibalas, maka berdoalah malaikat kepadanya 70
kali”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya malaikat itu merasa heran, dari
muslim yang lalu pada tempat muslim dan tidak memberi salam kepadanya”. Nabi
saw bersabda: “Orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan
kaki. Apabila seorang dari orang banyak memberi salam, maka memadailah salam
itu dari mereka itu semuanya”. Qatadah berkata: “Penghormatan dari umat sebelum
kamu, ialah: sujud. Maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepada umat ini
mengucapkan salam. Dan itu adalah penghormatan (tahiyyah) penghuni sorga”. Abu
Muslim Al-Khaulani lalu pada suatu kaum, maka beliau tiada memberi salam kepada
mereka dan berkata: “Tiadalah yang mencegahku daripada memberi salam itu,
kecuali aku takut, bahwa mereka itu tiada akan membalasnya. Maka mereka akan dikutuk
oleh malaikat”. Berjabatan tangan juga sunat bersama memberi salam”. Telah
datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw seraya mengucapkan
“Assalamu’alaikum”. Maka Nabi saw bersabda: “Itu 10 kebaikan”. Kemudian datang
orang lain seraya mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullaah”. Maka Nabi saw
bersabda: “Itu 20 kebajikan”. Kemudian datang orang lain lagi, seraya
mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, maka Nabi saw
bersabda: “Itu 30 kebajikan”. Adalah Anas ra lalu pada tempat anak-anak. Maka
ia memberi salam kepada mereka. Dan ia meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa
beliau berbuat yang demikian”. Abdul Hamid bin Bahram meriwayatkan: “Bahwa Nabi
saw pada suatu hari lalu dalam masjid dan sejumlah orang sedang duduk-duduk.
Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya memberi salam. Dan Abdul Hamid
mengisyaratkan dengan tangannya meniru yang demikian”. Maka Nabi saw bersabda:
“Janganlah kamu memulai memberi salam kepada Yahudi dan Nasrani ! dan apabila
kamu bertemu dengan seseorang mereka di jalan, maka desakkanlah dia ke tempat
yang tersempit !”. Dari Abu Hurairah ra yang mengatakan: “Rasulullah saw
bersabda: “Janganlah kamu berjabat tangan dengan kafir zimmi(orang kafir yang
bernaung di bawah pemerintahan Islam) ! dan janganlah kamu memulai memberi
salam kepada mereka ! apabila kamu bertemu dengan mereka di jalan, maka
desakkanlah mereka itu ke jalan yang tersempit !”. ‘Aisyah berkata: “Bahwa
sejumlah orang Yahudi masuk ke tempat Rasulullah saw. Lalu Yahudi itu
mengucapkan: “Assaam ‘alaik”(yang beracun atas kamu). Lalu Nabi saw menjawab:
“Alaikum”(atas kamu juga). ‘Aisyah berkata: “Lalu aku menjawab:
“Bal-‘alaikumussaam wal la’nah”(tetapi juga atasmu yang beracun dan kutukan).
Maka sahut Nabi saw: “Hai ‘Aisyah ! sesungguhnya Allah menyukai kasih-sayang
pada tiap-tiap sesuatu”. ‘Aisyah menjawab: “Tidakkah engkau mendengar apa kata
mereka ?”. Rasulullah saw menjawab: “Aku telah mengatakan: “Alaikum (atas kamu
juga)”. Nabi saw bersabda: “Yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan
kaki. Yang berjalan kaki kepada yang duduk. Yang sedikit kepada yang banyak.
Dan yang kecil kepada yang besar”. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu
menyerupai Yahudi dan Nasrani ! sesungguhnya salam Yahudi, dengan isyarat
dengan anak jari. Dan salam Nasrani, dengan isyarat dengan tapak tangan”. Kata
Abu ‘Isa, isnad hadits ini lemah (dla’if). Nabi saw bersabda: “Apabila sampai
seorang kamu kepada suatu majelis, hendaklah memberi salam ! kalau bermaksud
duduk, maka duduklah ! kemudian apabila bangun, maka hendaklah memberi salam !
tidaklah yang pertama itu lebih utama daripada yang penghabisan !"” Anas
ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila berjumpa dua orang mu’min, lalu
berjabat tangan, niscaya dibagikan diantara keduanya 70 ampunan. 69 adalah bagian
yang terbaik menyambut daripada keduanya”. Umar ra berkata: “Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Apabila berjumpa dua orang muslim dan masing-masing
memberi salam kepada temannya dan berjabat tangan, niscaya diturunkan diantara
keduanya 100 rahmat. Bagi yang memulai 90 dan bagi yang berjabat tangan 10”.
Al-Hasan berkata: “Berjabat tangan itu menambahkan kasih-sayang”. Abu Hurairah
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Kesempurnaan penghormatan (tahiyyah) kamu
diantara kamu, ialah berjabat tangan”. Nabi saw bersabda: “Mengkucup dengan
mulut oleh seorang muslim akan saudaranya, itu berjabat tangan”. Dan tiada
mengapa mengkucup dengan mulut akan tangan orang yang dimuliakan pada agama,
untuk memperoleh barakah (keberkatan) dan penghormatan kepadanya. Diriwayatkan
dari Ibnu Umar ra yang mengatakan: “Kami telah mengkucup dengan mulut akan
tangan Nabi saw”. Dari Ka’ab bin Malik, yang menerangkan: “Tatkala diterima
taubatku, lalu aku datang kepada Nabi saw. Aku mengkucup tangannya”.
Diriwayatkan bahwa, seorang Arab desa berkata: “Wahai Rasulullah ! izinkanlah
kepadaku, untuk mengkucup kepalamu dan tanganmu !”. Arab desa itu menerangkan
seterusnya, maka Nabi saw mengizinkan kepadanya, lalu dilaksanakannya”. Abu
‘Ubaidah ra berjumpa dengan Umar bin Al-Khattab ra. Lalu berjabat tangan dengan
dia dan mengkucup tangannya dan keduanya menangis terharu. Dari Al-Barra’ bin
Azib ra yang menerangkan bahwa: “Ia memberi salam kepada Rasulullah saw dan
beliau waktu itu sedang mengambil wudlu. Maka tidak membalasnya, sehingga
beliau selesai daripada berwudlu. Lalu membalas salam Al-Barra’ itu dan
mengulurkan tangannya kepada Al-Barra’ dan berjabat tangan dengan dia. Maka
Al-Barra’ bertanya: “Wahai Rasulullah ! aku tidak melihat seperti ini, selain
dari budi pekerti orang-orang Ajam”. Maka Rasulullah saw menjawab:
“Sesungguhnya dua orang muslim apabila berjumpa, lalu berjabat tangan, niscaya
berguguranlah dosa keduanya”. Nabi saw bersabda: “”Apabila seorang laki-laki,
lalu pada suatu kaum, lalu memberi salam kepada mereka dan kaum itu membalas
salamnya, niscaya bagi laki-laki itu kelebihan derajat diatas kaum itu. Karena
ia mengingatkan mereka kepada memberi salam. Dan jikalau kaum itu tiada
membalas salamnya, niscaya kembali kepada laki-laki itu penuh kebajikan dari
mereka dan yang lebih baik”. Atau Nabi saw mengatakan: “Dan yang lebih utama”.
Membungkuk ketika memberi salam itu dilarang. Anas ra berkata: “Kami bertanya:
“Wahai Rasulullah ! adakah sebahagian kami membungkuk kepada sebahagian yang
lain ?”. Nabi saw menjawab: “Tidak !”. Anas ra bertanya pula: “Atau mencium
tangan sebahagian kami kepada sebahagian ?”. Nabi saw menjawab: “Tidak !”. Anas
ra bertanya lagi: “Atau berjabat tangan sebahagian kami kepada sebahagian ?”.
Nabi saw menjawab: “Ya !”. Merangkul (berpeluk-pelukan leher) dan mencium
tangan telah tersebut pada hadits, ketika datang kembali dari perjalanan. Abu
Dzar ra berkata: “Tiap aku berjumpa dengan Rasulullah saw beliau berjabat
tangan dengan aku. Dan pada suatu hari beliau mencari aku, tetapi aku tidak ada
di rumah. Tatkala diberitahukan kepadaku, lalu aku datang kepadanya, dan beliau
diatas tempat tidur. Maka beliau merangkul aku. Adalah yang demikian itu sangat
baik, sangat baik”. Menyongsong kendaraan dalam penghormatan kepada ulama,
telah ada pada atsar. Ibnu Abbas berbuat yang demikian itu dengan kendaraan
Zaid bin Tsabit. Umar menyongsong kendaraan Zaid, sehingga beliau
mengangkatkannya, seraya berkata: “Begini perbuatan dengan Zaid dan
sahabat-sahabat Zaid !”. Berdiri untuk menyambut kedatangan seseorang itu
makruh atas dasar membesarkan. Dan tidak makruh atas dasar memuliakan. Anas
berkata: “Tiada seorangpun yang lebih kami cintai, dari Rasulullah saw. Dan
mereka apabila melihatnya, tiada berdiri, karena mereka mengetahui kebenciannya
akan perbuatan yang demikian”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda pada suatu
kali: “Apabila kamu melihat aku maka
janganlah berdiri, seperti yang diperbuat oleh orang-orang ‘Ajam”. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa merasa gembira oleh penghormatan orang-orang kepadanya
dengan berdiri, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. Nabi saw
bersabda: “Janganlah seseorang membangunkan orang lain daripada tempat
duduknya, kemudian ia duduk pada tempat duduk itu ! tetapi berluas-luaslah dan
berlapang-lapanglah !”. Mereka menjaga yang demikian, karena larangan yang
tersebut ini. Nabi saw bersabda: “Apabila orang ramai itu mengambil tempat
duduk mereka, maka jikalau seorang memanggil temannya, lalu diluaskannya untuk
temannya itu, maka hendaklah diperbuatkannya yang demikian ! sesungguhnya itu
adalah kemuliaan, dimana ia dimuliakan yang demikian, oleh temannya. Jikalau
tidak diluaskannya tempat duduknya untuk itu, maka hendaklah ia melihat kepada
tempat duduk yang lebih lapang yang diperolehnya. Lalu duduklah ia pada tempat
duduk itu”. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki memberi salam kepada
Rasulullah saw dan Rasulullah saw sedang buang air kecil. Maka beliau tidak
menjawab salam itu. Maka makruhlah memberi salam kepada orang yang sedang buang
air (berqodo hajat). Dan makruh mengucapkan pada permulaan salam:
‘Alaikassalam. Karena ada seorang laki-laki yang mengucapkan demikian kepada
Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Bahwa ‘Alaikassalam itu, adalah salam
(tahiyyah) kepada orang mati”. Nabi saw mengucapkan itu 3 kali. Kemudian beliau
bersabda: “Apabila salah seorang kamu bertemu dengan seorang temannya, maka
hendaklah mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullaah”. Disunnahkan bagi orang
yang masuk, apabila telah memberi saalam dan tidak memperoleh tempat duduk,
supaya tidak pergi. Tetapi duduklah di belakang shaf. Rasulullah saw duduk
dalam masjid, tiba-tiba datanglah menghadap 3 orang. Lalu dua orang datang
menghadap kepada Rasulullah saw. Adapun yang seorang mendapat tempat terluang,
maka duduklah ia pada tempat itu. Dan yang kedua lalu duduk di belakang orang
banyak. Adapun orang yang ketiga, lalu membelakang dan terus pergi. Tatkala
Rasulullah saw telah siap dari shalat, maka bertanya: “Adakah tidak aku
terangkan kepadamu tentang orang tiga ? Adapun yang seorang, maka ia mengambil
tempat pada jalan Allah, maka Allah memberikan tempat kepadanya. Adapun yang
kedua, maka ia merasa malu. Maka Allah pun malu kepadanya. Adapun yang ketiga,
ia berpaling meninggalkan, maka Allah pun berpaling meninggalkannya”. Nabi saw
bersabda: “Tiadalah dari dua orang muslim yang bertemu, lalu bersalam-salaman,
melainkan diampunkan dosa keduanya sebelum keduanya berpisah”. Ummu Hani’
memberi salam kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw bertanya: “Siapakah ini ?”. Lalu
ada yang menjawab: “Ummu Hani’ !”. Maka Nabi saw menyambung: “Selamat datang
kepada Ummu Hani’ !”. Setengah dari hak muslim, ialah bahwa: menjaga
kehormatan, jiwa dan harta saudaranya muslim daripada kedzaliman orang lain,
menurut kesanggupannya. Menolak bahaya yang mendatang kepadanya, mempertahankan
dan menolongnya. Karena yang demikian itu adalah wajib atas seorang muslim,
menurut kehendak persaudaraan Islam. Abud-Darda’ meriwayatkan: “Bahwa seorang
laki-laki memperoleh kata-kata yang tidak baik dari seorang laki-laki di sisi
Rasulullah saw. Lalu seorang laki-laki lain menolak tuduhan itu. Maka Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa menolak (membantah) dari hal kehormatan saudaranya,
niscaya yang demikian itu menjadi dinding (hijab) baginya dari neraka”. Nabi
saw bersabda: “Tidaklah dari seorang manusia muslim yang menolak dari hal
kehormatan saudaranya, melainkan ia berhak pada Allah, bahwa Allah menolak
neraka jahannam daripadanya pada hari qiamat”. Dari Anas ra bahwa Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa disebutkan padanya saudaranya muslim dan ia sanggup
menolong saudaranya itu, lalu tidak ditolongnya, niscaya ia didapatkan oleh
Allah dengan hal yang memalukan itu di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa
disebutkan padanya saudaranya muslim, lalu ditolongnya menolak sebutan yang
tidak baik itu, niscaya ia ditolong oleh Allah Ta’ala di dunia dan di akhirat”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjaga kehormatan saudaranya muslim di dunia,
niscaya diutuskan oleh Allah kepadanya Malaikat yang akan menjaganya pada hari
qiamat dari neraka”. Berkata Jabir dan Abu Thalhah: “Kami mendengar Rasulullah
saw bersabda: “Tiadalah seorang manusia muslim yang menolong muslim, pada
tempat yang dicemarkan kehormatannya dan dihalalkan kemuliaannya, melainkan ia
ditolong oleh Allah pada tempat yang ia menyukai padanya pertolongan Allah. Dan
tiadalah seorang manusia yang menghinakan muslim pada tempat yang dicemarkan
padanya kehormatannya, melainkan ia dihinakan oleh Allah pada tempat yang ia
menyukai padanya pertolongan Allah”. Setengah dari hak muslim, ialah bertasymit
kepada orang yang bersin. Nabi saw bersabda, mengenai orang yang bersin itu,
supaya membaca: “Segala pujian bagi Allah diatas segala keadaan”. Dan orang
yang bertasymit kepada orang yang bersin itu, mengucapkan: “Dianugerahi Allah
kiranya kepadamu rahmat”. Dan orang yang bersin itu membalas kepada orang yang
bertasymit tadi, dengan mengucapkan: “Kiranya kamu diberi petunjuk oleh Allah
dan diperbaikiNya keadaan hatimu !”. Dari Ibnu Mas’ud ra yang menerangkan:
“Adalah Rasulullah saw mengajarkan kami. Beliau bersabda: “Apabila bersin
seorang kamu, maka hendaklah mengucapkan: Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin”.
Maka apabila orang yang bersin itu telah mengucapkan yang demikian, lalu
hendaklah orang yang di sisinya mengucapkan: “Yarhamukallaah”. Apabila
orang-orang yang disampingnya telah mengucapkan yang demikian, lalu hendaklah
orang yang bersin itu membacakan: “Kiranya diampunkan oleh Allah aku dan kamu
!”. Rasulullah saw bertasymit kepada seorang yang bersin dan beliau tidak
bertasymit kepada seorang lain. Lalu orang itu bertanya kepada beliau, tentang
yang demikian. Maka beliau menjawab: “Bahwa orang yang bersin itu telah
memujikan Allah dan engkau berdiam diri”. Nabi saw bersabda: “Muslim yang
bersin ditasymitkan apabila ia bersin 3 kali. Kalau lebih, maka dia itu pilek
(selesma)”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw bertasymit kepada seorang yang bersin
3 kali. Lalu ia bersin lagi. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau itu
pilek”. Abu Hurairah berkata: “Adalah Rasulullah saw apabila bersin, beliau
mencegah bunyinya dan menutupkannya dengan kain atau dengan tangannya”. Dan
diriwayatkan: “Beliau menutupkan wajahnya”. Abu Musa Al-Asy’ari berkata:
“Adalah orang-orang Yahudi itu sengaja membuat bersin di sisi Rasulullah saw,
karena mengharap akan diucapkan oleh Nabi saw: “Yarhamukumullaah”. Tetapi Nabi
saw mengucapkan: “Kiranya kamu diberi petunjuk oleh Allah !”. Diriwayatkan oleh
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya: “Bahwa seorang laki-laki bersin di
belakang Rasulullah saw dalam shalat. Maka ia membaca: “Segala pujian bagi
Allah, pujian yang banyak, baik, lagi penuh barakah padanya, sebagaimana yang
diridhai oleh Tuhan kami dan sesudah apa yang diridhaiNya. Dan segala pujian
bagi Allah diatas tiap-tiap hal”. Maka tatkala Nabi saw telah memberi salam
dari shalat, lalu bertanya: “Siapakah yang mempunyai kata-kata tadi ?”. Orang
itu menjawab: “Aku, wahai Rasulullah ! aku tiada bermaksud dengan kata-kata
itu, melainkan kebajikan”. Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku melihat 12
Malaikat. Semuanya berlomba-lomba kepada kata-kata itu, yang manakah dari
mereka itu yang menuliskannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bersin, lalu
bersegera mengucapkan al-hamdulillaah, niscaya tidak akan menderita penyakit
pinggang”. Nabi saw bersabda: “Bersin itu daripada Allah. Dan menguap itu,
daripada setan. Apabila menguap seorang kamu, maka hendaklah meletakkan
tangannya pada mulutnya. Apabila ia mengatakan ha-ha (bunyi waktu menguap),
maka sesungguhnya setan itu tertawa dari dalam perutnya”. Ibrahim An-Nakha’i
berkata: “Apabila bersin waktu sedang buang air (sedang qodo hajat), maka tiada
mengapa mengingati Allah”. Al-Hasan berkata: “Orang yang bersin tadi (yang
sedang buang air) memujikan Allah dalam hatinya”. Ka’ab berkata: “Nabi Musa as
berdoa: “Wahai Tuhanku ! adakah Engkau itu dekat, maka aku akan bermunajah
(membisikkan segala isi hati) dengan Engkau ? atau Engkau itu jauh, maka aku
akan menyerukan Engkau ?”. Maka Allah berfirman: “Aku itu sedudukan dengan
orang yang mengingati Aku (berdzikir kepadaKU) !”. Lalu Nabi Musa as berkata:
“Sesungguhnya kami adalah diatas keadaan, yang meng-Agungkan Engkau, dimana
kami mengingati Engkau padanya. Seperti dalam janabat dan buang air besar”.
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Ingatilah Aku pada tiap-tiap keadaan !”. Setengah
dari hak muslim, ialah: apabila memperoleh bencana dari orang jahat, maka
seyogyalah menanggung dan menjaga diri daripadanya. Berkata setengah Ulama:
“Ikhlaskanlah bergaul dengan orang mu’min dan berbaik-baiklah budi pekerti
dalam bergaul dengan orang jahat ! karena orang jahat itu rela dengan budi
pekerti yang baik pada zhahirnya”. Abud-Darda’ berkata: “Sesungguhnya kami
menampakkan kegembiraan di muka orang-orang, sedang hati kami sesungguhnya
mengutuk mereka itu”. Inilah artinya berlemah-lembut dengan penipuan. Yaitu
terhadap orang yang ditakuti kejahatannya. Allah Ta’ala berfirman: “Tangkislah
kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya !”. S 23 Al Mukminuun ayat 96.
Ibnu Abbas berkata tentang pengertian firman Allah Ta’ala: “Mereka menolak
kejahatan dengan kebaikan”. S 13 Ar Ra’d ayat 22. Yaitu: kekejian dan kesakitan
ditolak dengan memberi salam dan kelemah-lembutan. Dan Ibnu Abbas berkata
tentang firman Allah Ta’ala: “Dan kalau tidak adalah pembelaan Allah terhadap
serangan manusia, satu sama lain”. S 2 Al Baqarah ayat 251. Maka Ibnu Abbas
berkata: “Yaitu: dengan kegemaran, ketakutan, kemalu-maluan dan
kelemah-lembutan”. ‘Aisyah berkata: “Seorang laki-laki meminta izin masuk ke
tempat Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Izinkanlah ia masuk !
sejahat-jahat orang dalam pergaulah, dia itulah !”. Tatkala orang itu telah
masuk, lalu Nabi saw melemah-lembutkan perkataan kepadanya. Sehingga aku
menyangka, bahwa orang itu mempunyai kedudukan pada Nabi saw. Tatkala orang itu
keluar, lalu aku berkata kepada Nabi saw: “Tatkala oranng itu masuk, engkau
katakan apa yang telah engkau katakan itu. Kemudian engkau berlemah-lembut
perkataan kepadanya”. Nabi saw menjawab: “Wahai ‘Aisyah ! sesungguhnya
seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari qiamat, ialah orang
yang ditinggalkan oleh manusia, karena ditakuti kekejiannya”. Pada suatu
hadits, tersebut: “Sesuatu yang dipeliharakan oleh seseorang akan
kehormatannya, maka itu adalah sedekah baginya”. Pada atsar (ucapan sahabat),
tersebut: “Bercampurr-baurlah dengan manusia, dengan amal perbuatanmu dan
berlainanlah dengan mereka dengan hati”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah ra berkata:
“Tidaklah termasuk orang yang bijaksana, siapa yang tidak bergaul dengan cara
yang baik, dengan orang, dimana ia, tidak boleh tidak, harus bergaul dengan orang
itu. Sehingga Allah memberi kelapangan baginya dari orang tersebut”. Setengah
dari hak muslim, ialah: bahwa menjauhkan diri daripada bercampur-baur dengan
orang-orang kaya. Dan ia bercampur-baur dengan orang-orang miskin. Dan berbuat
kebajikan kepada anak-anak yatim. Adalah Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku
! hidupkanlah aku miskin ! matikanlah aku miskin ! dan bangkitkanlah aku dalam
rombongan orang-orang miskin !”. Ka’ab Al-Ahbar berkata: “Adalah Nabi Sulaiman
as dalam kerajaannya, apabila ia masuk ke dalam masjid, lalu dilihatnya seorang
miskin, maka ia duduk dekat orang miskin itu, seraya berkata: “Orang miskin
duduk-duduk bersama orang miskin”. Ada yang meriwayatkan, bahwa perkataan yang
diucapkan kepada Nabi Isa as yang paling disukainya, ialah diucapkan kepadanya:
“Hai orang miskin !”. Ka’ab Al-Ahbar berkata: Apa yang tersebut dalam Alquran:
“Wahai orang-orang yang beriman !”. Maka dalam Taurat, ialah: “Yaa ayyuhal masaakiin”. Artinya: “Wahai
orang-orang miskin !”. ‘Ubbadah bin Ash-Shamit berkata: “Sesungguhnya neraka
itu mempunyai 7 pintu: 3 untuk orang-orang kaya, 3 untuk wanita dan 1 untuk
orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. Al-Fudlail berkata: “Sampai
kepadaku, bahwa salah seorang dari nabi-nabi berdoa: “Wahai Tuhanku ! bagaimanakah
aku mengetahui akan ridlaMu kepadaku ?”. Maka Tuhan berfirman: “Perhatikanlah,
bagaimana ridlanya orang-orang miskin kepadamu”. Nabi saw bersabda: “Awaslah
kamu duduk-duduk dengan orang-orang mati !”. Lalu ada yang menanyakan:
“Siapakah orang-orang mati itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab:
“Orang-orang kaya !”. Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! dimanakah aku mencari
Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Pada mereka yang hancur hatinya”. Nabi saw
bersabda: “Janganlah engkau gemar kepada orang dzalim, dengan nikmat yang ada
padanya ! karena engkau tiada mengetahui, kemana jadinya ia sesudah mati.
Sesungguhnya di belakangnya itu ada yang mencari yang rajin sekali”. Mengenai
anak yatim, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengambil anak yatim dari ibu-bapak
muslim, sehingga anak yatim itu memperoleh kecukupan, maka sesungguhnya
wajiblah tak boleh tidak bagi orang itu sorga”. Nabi saw bersabda: “Aku dan
yang memelihara anak yatim dalam sorga, adalah seperti dua anak jari ini”. Nabi
saw mengisyaratkan dengan kedua anak jarinya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
meletakkan tangannya atas kepala anak yatim, karena cinta-kasih, niscaya
baginya kebaikan dari tiap-tiap helai rambut yang dilalui tangannya”. Nabi saw
bersabda: “Sebaik-baik rumah orang muslimin, ialah rumah, yang padanya ada anak
yatim, yang diperlakukan dengan perlakuan yang baik. Dan sejahat-jahat rumah
orang muslimin, ialah rumah yang padanya anak yatim, yang diperlakukan dengan
perlakuan yang buruk”. Setengah dari hak muslim, ialah memberi nasehat kepada
tiap-tiap muslim dan bersungguh-sungguh mendatangkan kesukaan pada hatinya.
Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu mencintai orang mu’min, sebagaimana
mencintai dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda: “Tiada bermain seorang kamu,
sebelum ia mencintai saudaranya, akan apa yang ia cintai untuk dirinya
sendiri”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang kamu itu adalah cermin
saudaranya. Apabila ia melihat sesuatu pada saudaranya, maka hendaklah
dihilangkannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyampaikan hajat keperluan
saudaranya, maka seolah-olah ia berkhidmat (beribadah) kepada Allah seumur
hidupnya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyenangkan mata orang mu’min,
niscaya disenangkanlah oleh Allah matanya pada hari kiamat”. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa berjalan untuk keperluan saudaranya sesaat dari malam atau siang,
dimana keperluan itu dapat dilaksanakannya atau tidak, niscaya adalah yang
demikian itu lebih baik baginya, daripada i’tikaf dalam masjid dua bulan”. Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa melapangkan orang mu’min, yang menderita atau
menolong orang yang teraniaya, niscaya ia diampunkan oleh Allah 73 ampunan”.
Nabi saw bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik ia menganiaya atau teraniaya !”.
Lalu ada yang menanyakan: “Bagaimanakah menolongnya, sedang ia menganiaya ?”.
Nabi saw menjawab: “Mencegahnya daripada berbuat penganiayaan”. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan yang amat disukai Allah, ialah
mendatangkan kesukaan pada hati mu’min. Atau menghilangkan kerusuhan dari
hatinya. Atau membayar hutangnya. Atau memberikan kepadanya makanan dari
laparnya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa melindungi orang mu’min dari orang
munafik, yang membuat kesusahan kepadanya, niscaya diutuskan oleh Allah
kepadanya malaikat pada hari kiamat, yang melindungi dagingnya dari api neraka
jahannam”. Nabi saw bersabda: “2 perkara, dimana tiada satupun dari kejahatan
yang diatas 2 itu: menyekutukan Allah dan mendatangkan kemelaratan kepada
hamba-hamba Allah. dan 2 perkara, dimana tiada satupun dari kebajikan diatas
yang dua itu: beriman kepada Allah dan berbuat kemanfaatan kepada hamba-hamba
Allah”. Nabi saw bersabda: “Orang yang tidak mementingkan kaum muslim, maka
tidaklah ia dari kaum muslimin”. Ma’ruf Al-Karchi berkata: “Barangsiapa membaca
pada tiap-tiap hari: “Allaahummarham ummata Muhammad”. (Wahai Allah Tuhanku !
anugerahilah rahmat kepada umat Muhammad), niscaya ia ditulis oleh Allah,
setengah dari abdal (wali-wali yang datang silih berganti)”. Pada riwayat lain,
tersebut: “Wahai Allah Tuhanku ! perbaikilah umat Muhammad ! wahai Allah
Tuhanku ! berikanlah kelapangan bagi umat Muhammad”, tiap-tiap hari 3 kali,
niscaya ia ditulis oleh Allah, setengah dari abdal”. Pada suatu hari, Ali bin
Al-Fudlail menangis. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang menyebabkan
tuan menangis ?”. Ia menjawab: “Aku menangis terhadap orang yang berbuat
kedzaliman kepadaku. Apabila ia berdiri esok di hadapan Allah Ta’ala dan
ditanyakan kedzalimannya, dan ia tiada mempunyai alasan”. Setengah dari hak
muslim, ialah: bahwa ia mengunjungi yang sakit dari mereka. Ma’rifah (mengenal
Allah) dan Islam adalah mencukupi untuk menetapkan hak ini dan memperoleh
keutamaannya. Adab kesopanan orang yang mengunjungi orang sakit, ialah tidak
duduk lama-lama, sedikit bertanya, melahirkan kasih-sayang, berdoa lekas sehat,
memicingkan mata dari hal-hal yang memalukan di tempat orang sakit. Ketika
meminta izin, ia tiada berhadapan dengan pintu. Pintu itu diketuk pelan-pelan.
Dan tidak menjawab: “Aku !”, apabila ditanyakan: “Siapa ?”. Dan tidak
mengatakan: “Hai bujang !”. Tetapi memuji dan bertasbih kepada Allah. Nabi saw
bersabda: “Kesempurnaan mengunjungi orang sakit, ialah meletakkan seorang kamu
tangannya diatas dahi atau atau tangan orang sakit. Dan menanyakan,
bagaimanakah keadaannya. Dan kesempurnaan tahiyyahmu (salammu), ialah
berjabatan tangan”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengunjungi orang sakit,
niscaya ia duduk di dalam pagar kebun sorga. Sehingga apabila ia bangun
berdiri, niscaya diwakilkan kepadanya 70 ribu malaikat, yang berdoa kepadanya
sampai malam”. Nabi saw bersabda: “Apabila seseorang mengunjungi orang sakit,
maka ia telah berkecimpung dalam rahmat. Dan apabila ia duduk di sisi orang
sakit, niscaya tetaplah rahmat itu padanya”. Nabi saw bersabda: “Apabila
seorang muslim mengunjungi saudaranya yang sakit atau berziarah kepadanya,
niscaya Allah Ta’ala berfirman: “Baik engkau dan baik perjalanan engkau dan
bertempatlah engkau pada suatu tempat dalam sorga”. Nabi saw bersabda: “Apabila
sakitlah hamba Allah, niscaya diutuskan oleh Allah Ta’ala kepadanya dua
malaikat, seraya Allah berfirman: “Perhatikanlah wahai kedua kamu, apa yang
dikatakan oleh orang sakit itu kepada pengunjung-pengunjungnya ! kalau orang
sakit itu, apabila datang pengunjung-pengunjungnya, lalu memuji dan menyanjung
Allah, maka oleh kedua malaikat tadi, disampaikannya yang demikian, kepada
Allah. dan Allah itu Maha Tahu. Maka Allah berfirman: “”Untuk hambaKu diatas
tanggunganKu, jikalau Aku mematikannya, akan memasukkannya ke sorga. Dan
jikalau Aku menyembuhkannya, maka akan menggantikan daging baginya, yang lebih
baik daripada dagingnya dan darah yang lebih baik daripada darahnya. Dan akan
Aku hapuskan daripadanya segala kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah kebajikan, niscaya ia diberi musibah”. Usman ra
bercerita: “Aku sakit, lalu aku dikunjungi Rasulullah saw seraya membaca:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku mohon
perlindungan bagi Engkau pada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tempat meminta, yang
tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada bagiNya suatupun yang
menyamaiNya, dari kejahatan apa yang kamu peroleh”. Dan dibacakan oleh Nabi saw
bacaan tadi beberapa kali. Nabi saw masuk ketempat Ali bin Abi Thalib ra yang
sedang sakit. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: “Bacalah !”. “Wahai Allah
Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon kepadaMu akan segera datang kesehatan
daripadaMu atau kesabaran diatas percobaanMu atau keluar dari dunia kepada
rahmatMu. Sesungguhnya Engkau akan menganugerahkan salah satu dari yang
tersebut itu”. Disunatkan juga bagi orang sakit membacakan: “Aku berlindung
dengan keagungan dan kekuasaan Allah, dari kejahatan yang aku peroleh dan aku
takuti”. Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Apabila seorang kamu menderita sakit
perut, maka hendaklah dimintanya kepada isterinya, sedikit dari emas kawinnya.
Dan dibelikannya madu lebah dengan emas kawin itu. Dan diminumnya dengan air
hujan. Maka berhimpunlah baginya kekenyangan dan kehilang-hausan, keobatan dan
keberkatan”. Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! apa tidakkah aku
terangkan kepadamu suatu hal, dimana hal itu adalah benar, bahwa barangsiapa
membacanya pada permulaan tidurnya dari sakit, niscaya ia dilepaskan oleh Allah
dari neraka ?”. Aku menjawab: “Belum, wahai Rasulullah !”. Lalu Nabi saw
bersabda: “Orang itu membaca:: “Tiada yang disembah melainkan Allah, yang
menghidupkan dan yang mematikan. Dia hidup, tiada mati. Maha suci Allah, Tuhan
segala hamba dan negeri. Dan segala pujian bagi Allah, pujian yang banyak, yang
baik, yang penuh barakah padanya, di atas tiap-tiap keadaan. Allah Maha Besar,
Yang Maha Besar. Sesungguhnya kebesaran Tuhan kamu, keagungan dan kekuasaanNya,
pada tiap-tiap tempat. Wahai Allah Tuhanku ! jikalau sekiranya Engkau sakitkan
aku, untuk Engkau ambilkan nyawaku pada sakitku ini, maka jadikanlah nyawaku
ini dalam nyawa orang-orang yang telah terdahulu kebaikan bagi mereka, daripada
Engkau ! dan jauhkanlah aku dari neraka, sebagaimana telah Engkau jauhkan
wali-wali Engkau, yang telah terdahulu kebaikan bagi mereka daripada Engkau !”.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Mengunjungi orang sakit sesudah 3 kali
itu, sekedar waktu memerah susu unta”. Thaus berkata: “Kunjungan yang lebih
utama pada orang sakit, ialah kunjungannya yang lebih ringan”. Ibnu Abbas ra
berkata: “Mengunjungi orang sakit sekali, adalah sunnah. Maka yang lebih dari
sekali, adalah amal tambahan”. Setengah ulama berkata: “Mengunjungi orang
sakit, adalah sesudah 3 kali”. Nabi saw bersabda: “Jarang-jarangkanlah
mengunjungi orang sakit dan kunjungilah empat-empat hari sekali !”. Dan jumlah
adab kesopanan bagi orang sakit, ialah: membaikkan kesabaran, menyedikitkan
pengaduan sakitnya kepada orang, menyedikitkan keluh-kesah, membanyakkan doa
dan bertawakkal sesudah berobat, kepada Yang Menjadikan obat. Setengah dari hak
muslim, ialah mengiringkan jenazahnya ke kuburan. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa mengiringkan jenazah ke kuburan, maka baginya pahala satu qirath
emas. Kalau ia menunggu sehingga selesai dikebumikan, maka baginya 2 qirath”.
Pada hadits, tersebut: “Qirath itu seperti bukit Uhud”. Tatkala hadits tadi
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan didengar oleh Ibnu Umar, lalu beliau
berkata: “Telah kita sia-siakan sampai sekarang banyak qirath”. Yang dimaksud
dengan mengiringkan jenazah ke kuburan, ialah: melaksanakan hak kaum muslimin
dan mengambil pengajaran padanya. Makhul Ad-Dimasyqi berkata, apabila melihat
jenazah: “Bersegeralah pagi-pagi pergi ! sesungguhnya kita memperoleh
pengajaran yang mendalam dan kelupaan yang cepat. Pergi orang yang pertama. Dan
orang yang penghabisan tidak berakal (tidak memperoleh pengajaran
daripadanya)”. Malik bin Dinar keluar di belakang jenazah saudaranya. Ia
menangis dan berkata: “Demi Allah ! tidaklah tenang jiwaku, sebelum aku
mengetahui apa jadinya aku. Dan tidak, demi Allah, aku tidak mengetahuinya,
selama aku masih hidup”. Al-A’masy berkata: “Adalah kami menyaksikan
jenazah-jenazah. Maka kami tiada mengetahui, kepada siapa kami menyatakan:
berduka-cita. Karena orang banyak seluruhnya bergundah hati”. Ibrahim Az-Zayyat
melihat suatu kaum, melahirkan kasih-sayangnya kepada seorang yang sudah
meninggal. Lalu ia berkata: “Jikalau kamu melahirkan kasih-sayang kepada dirimu
sendiri, niscaya adalah lebih utama. Karena orang yang telah meninggal itu,
telah terlepas dari kehuru-haraan 3 perkara: wajah Malikul-maut telah
dilihatnya, kepahitan mati telah dirasainya dan ketakutan kesudahan
(al-khatimah) telah aman baginya”. Nabi saw bersabda: “Mayyit itu diikuti oleh
3: dua kembali dan satu tinggal. Ia diikuti sampai ke kuburan oleh keluarganya,
hartanya dan amalnya. Maka kembalilah keluarga dan hartanya. Dan tinggallah
amalnya”. Setengah dari hak muslim, ialah berziarah ke kuburannya. Yang
dimaksud dari yang demikian, ialah mendoa, mengambil ibarat dan melembutkan
hati. Nabi saw bersabda: “Tiada suatupun pemandangan yang aku lihat, melainkan
kuburanlah yang lebih buruk dari pemandangan itu”. Umar ra berkata: “Kami
keluar berjalan bersama Rasulullah saw. Lalu beliau mendatangi kuburan-kuburan,
seraya duduk pada suatu kuburan. Dan aku adalah orang yang terdekat duduk
kepadanya. Maka beliau menangis dan kamipun menangis. Lalu beliau bertanya:
“Apakah yang membawa kamu kepada menangis ?”. Lalu kami menjawab: “Kami
menangis, karena engkau menangis”. Kemudian beliau menyambung: “Inilah kuburan
Aminah binti Wahab ! aku minta izin pada Tuhanku untuk berziarah padanya. Maka
diizinkanNya kepadaku. Aku minta izin pada Tuhanku untuk meminta ampun dosanya,
maka Ia tiada menerima permohonanku. Lalu terdapatlah padaku apa yang diperoleh
oleh seorang anak, yaitu: cinta-kasih kepada ibunya”. Adalah Umar ra apabila
berhenti pada kuburan, lalu menangis, sehingga basahlah janggutnya. Dan
berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bahwa kuburan itu adalah
permulaan tempat diam bagi akhirat. Jikalau terlepas daripadanya orang yang
terkubur di kuburan itu, maka apa yang sesudahnya adalah lebih mudah. Dan
jikalau tiada terlepas daripadanya, maka amat sukarlah keadaan sesudahnya”.
Mujahid berkata: “Yang pertama-tama dikatakan kepada anak Adam oleh kuburannya,
ialah: “Aku adalah rumah ulat, rumah sendirian, rumah pengasingan dan rumah
gelap-gulita. Maka inilah yang aku sediakan untukmu. Lalu apakah yang kamu
sediakan untukku ?”. Abu Dzar berkata: “Apakah tidak aku ceritakan kepadamu,
hari kemiskinanku ?”. Yaitu: “hari aku diletakkan dalam kuburanku”. Adalah
Abud-Darda’ duduk pada kuburan. Lalu beliau ditanyakan tentang yang demikian.
Beliau menjawab: “Aku duduk pada kaum yang mengingatkan aku akan hari
kembaliku. Dan kalau aku bangun meninggalkan mereka, niscaya mereka tiada mencaciku”.
Hatim Al-Asham berkata: “Barangsiapa melalui kuburan, lalu ia tiada bertafakkur
untuk dirinya dan tidak berdoa untuk mereka, maka sesungguhnya ia telah
mengkhianati dirinya dan mereka yang terkubur di kuburan itu”. Nabi saw
bersabda: “Tiada satu malampun, melainkan selalu berseru orang yang menyerukan:
“Hai orang-orang yang terkubur (ya ahlal qubur) !. Siapakah yang selalu kamu
kenangkan ?”. Mereka itu menjawab: “Kami mengenangkan ahlul masajid (keluarga
masjid). Karena mereka itu berpuasa dan kami tiada berpuasa. Mereka itu
mengerjakan shalat dan kami tiada mengerjakan shalat. Mereka itu berdzikir
kepada Allah dan kami tiada berdzikir kepadaNya”. Sufyan berkata: “Barangsiapa
banyak mengingati kubur, niscaya diperolehnya kubur itu sebagai kebun dari
kebun-kebun sorga. Dan barangsiapa lalai daripada mengingatinya, niscaya
diperolehnya kubur itu sebagai suatu lobang daripada lobang-lobang neraka”.
Adalah Ar-Rabi’ bin Khaitsam telah menggali kuburan di rumahnya. Maka apabila
ia mendapati pada hatinya kekesatan, lalu ia masuk ke dalam kuburan itu. Ia
tidur di dalamnya dan berhenti sesaat. Kemudian ia membaca ayat: “Wahai Tuhanku
! kembalikanlah aku (hidup) ! mudah-mudahan aku mengerjakan perbuatan baik yang
telah aku tinggalkan itu”. S 23 Al Mukminuun ayat 99-100. Kemudian beliau
mengatakan pada dirinya sendiri: “Hai Rabi’ ! engkau telah dikembalikan ! maka
beramallah sekarang, sebelum engkau tidak dikembalikan lagi !”. Maimun bin
Mahran berkata: “Aku pergi bersama Umar bin Abdul Aziz ke kuburan. Ketika ia
memandang ke kuburan, lalu ia menangis seraya berkata: “Wahai Maimun ! inilah
kuburan bapak-bapakku Bani Umayyah ! seolah-olah mereka itu, tiada berkongsi
dengan penduduk dunia tentang kesenangan mereka. Apakah tidak engkau melihat,
mereka itu gila, yang telah berlalu pada mereka itu berbagai macam azab ? dan
pada tubuh mereka menimpa penyakit kehausan ?”. Kemudian ia menangis dan
berkata: “Demi Allah ! aku tiada tahu seorangpun yang lebih memperoleh nikmat,
daripada orang yang telah jadi ke kuburan ini. Dan telah aman daripada azab
Allah”. Adab bagi orang yang mengunjungi orang mati (berta’ziyah), ialah
merendahkan diri, melahirkan kesedihan, menyedikitkan berkata-kata dan
meninggalkan tersenyum. Adab mengiringi jenazah, ialah harus menundukkan diri,
meninggalkan berkata-kata, memperhatikan kepada mayit, bertafakkur tentang mati
dan menyiapkan diri bagi mati. Dan bahwa ia berjalan di muka jenazah, dengan
mendekati jenazah. Dan menyegerakan jenazah ke pekuburan itu sunat”. Inilah
sejumlah adab kesopanan, yang mengingatkan kepada sopan-santun pergaulan
bersama makhluq umumnya. Dan kesimpulan yang meliputi tentang itu, ialah: bahwa
tidak memandang kecil kepada seseorang daripada mereka, baik yang masih hidup
atau yang sudah mati. Maka kalau tidak demikian, engkau akan binasa. Karena
engkau tiada mengetahui, mungkin dia itu lebih baik daripada engkau. Karena
walaupun dia orang fasiq (berbuat dosa), tetapi mudah-mudahan, berkesudahan
(al-khatimah) bagi engkau, seperti kesudahannya. Dan berkesudahan baginya dengan
yang baik. Dan janganlah memandang kepada manusia, dengan mata pengagungan bagi
mereka, tentang hal keduniaan mereka ! karena dunia itu kecil pada Allah. Kecil
apa yang menjadi isinya. Dan manakala agunglah penduduk dunia pada diri engkau,
maka sesungguhnya engkau telah mengagungkan dunia. Lalu jatuhlah engkau pada
pandangan Allah. Dan janganlah engkau berikan bagi manusia itu agama engkau,
untuk engkau peroleh dari dunia mereka. Maka kecillah engkau pada pandangan
mereka. Kemudian engkau haramkan dunia mereka. Jikalau tidak engkau haramkan
niscaya adalah engkau telah menerima gantian yang lebih buruk dengan memberikan
yang lebih baik. Dan janganlah engkau bermusuhan dengan mereka, dimana
permusuhan itu menampak nyata ! maka panjanglah urusan diatas engkau pada
permusuhan itu. Dan hilanglah agama engkau dan dunia engkau pada mereka. Dan
hilanglah agama mereka pada engkau. Kecuali, apabila engkau melihat orang yang
menantang agama. Maka bermusuhlah terhadap perbuatan mereka yang keji ! dan
pandanglah kepada mereka dengan mata kasih-sayang bagi mereka, untuk engkau
singkirkan mereka. Karena kutukan dan siksaan Allah disebabkan kema’siatan
mereka. Maka mencukupilah bagi mereka neraka jahannam, yang akan mereka masuk
kedalamnya. Maka tiadalah bagi engkau mendengki mereka ! dan janganlah
berketetapan hati kepada mereka, tentang kasih-sayang mereka kepada engkau !
dan pujian mereka kepada diri engkau di hadapan engkau ! dan baiknya
kegembiraan mereka pada engkau ! maka sesungguhnya, jikalau engkau mencari
hakekat yang sebenarnya yang demikian itu, niscaya tiada akan engkau peroleh
dalam 100, selain seorang. Dan kadang-kadang tiada akan engkau peroleh yang
seorang itu. Dan janganlah engkau mengadukan hal ihwal engkau kepada mereka !
nanti diserahkan engkau oleh Allah kepada mereka ! dan janganlah engkau
harapkan, bahwa mereka itu untuk engkau, waktu di belakang dan dalam hal
rahasia, sebagaimana pada keadaan yang terang. Maka yang demikian itu, adalah
harapan yang palsu. Dan jauhlah engkau akan memperolehnya. Dan janganlah engkau
mengharapkan sesuatu yang dalam tangan mereka ! maka engkau menyegerakan
memperoleh kehinaan dan tiada akan engkau memperoleh maksud !. Janganlah engkau
meninggi diri diatas mereka, karena kesombongan ! lantaran engkau tiada
memerlukan kepada mereka. Sesungguhnya Allah akan menyandarkan engkau kepada
mereka, sebagai siksaan diatas kesombongan engkau, dengan melahirkan
ketidakperluan engkau itu. Apabila engkau meminta kepada seorang teman akan
sesuatu hajat keperluan, lalu dipenuhinya, maka teman itu adalah teman yang
berfaedah. Dan jikalau tidak dipenuhi, maka janganlah engkau mencacikannya !
lalu ia menjadi musuh yang berkepanjangan kekesatan hatinya kepada engkau.
Janganlah engkau memberi nasehat pengajaran kepada orang, yang tidak menampak padanya
tanda-tanda penerimaan ! maka ia tiada akan mendengar nasehat itu daripada
engkau. Dan ia akan memusuhi engkau. Dan hendaklah nasehat pengajaran engkau
itu terbentang dan terlepas, tanpa menentukan kepada seseorang ! manakala
engkau melihat dari mereka itu kemuliaan dan kebajikan, maka bersyukurlah
kepada Allah yang memudahkan mereka untuk mematuhi engkau ! dan berlindunglah
dengan Allah, bahwa Allah menyerahkan engkau kepada mereka !. Apabila sampai
kepada engkau cacian dari mereka atau engkau melihat dari mereka kejahatan atau
menimpa keatas diri engkau dari mereka itu sesuatu yang memburuk bagi engkau,
maka serahkanlah urusan mereka kepada Allah ! dan berlindunglah dengan Allah
dari kejahatan mereka ! janganlah engkau merepotkan diri engkau dengan pembalasan
yang setimpal ! Maka bertambahlah kemelaratan dan menjadi sia-sialah umur
dengan urusan itu. Dan janganlah engkau katakan kepada mereka: “Kamu tidak
mengenal tempatku”. Dan yaqinlah sesungguhnya, bahwa jikalau engkau simpan yang
demikian itu, niscaya Allah menjadikan bagi engkau suatu tempat dalam hati
mereka. Allah yang mendatangkan kasih-sayang dan benci-marah kepada hati. Dan
adalah engkau mengenai mereka itu, pendengar kebenaran mereka !
berpekak-telingalah tentang kebatilan mereka ! adalah engkau pengucap kebenaran
mereka ! dan pendiam dari kebatilan mereka ! takutilah bersahabat dengan
kebanyakan manusia ! sesungguhnya mereka itu tidak memaafkan dari tergelincir.
Tidak memberi ampun dari perbuatan yang terperosok. Tidak menutupi dari hal yang
memalukan. Memperkirakan isi dan kulit. Mereka dengki terhadap yang sedikit dan
yang banyak. Mereka diminta keinsyafan dan tidak mau insyaf. Mereka mau
menghukum diatas kesalahan dan kelupaan dan tidak memberi kemaafan. Mereka
memperdayakan teman-teman terhadap teman-teman, dengan sifat lalat merah/suka
menceritakan kekurangan orang dan berita palsu. Maka berteman dengan kebanyakan
mereka adalah merugikan. Dan memutuskan hubungan adalah lebih menguatkan.
Jikalau mereka suka, maka yang zhahir dari sikap mereka itu, adalah berminyak
air. Dan jikalau mereka marah, maka bathinnya adalah dengki, yang tidak aman
dari kedengkian mereka dan tidak akan diharapkan pada berminyak air mereka.
Dzhahir mereka itu kain. Dan bathin mereka itu serigala. Mereka memutuskan hubungan
dengan sangkaan. Mereka mengedip-edipkan mata di belakang engkau. Mereka
menunggu teman mereka dari kedengkian, akan saat-saat kesusahan. Mereka
menghitung segala ketelanjuran dirimu dalam persahabatan dengan mereka, untuk
dikemukakannya kepadamu pada waktu marah dan liar hati. Dan janganlah engkau
bersandar kepada belas-kasihan orang, yang belum engkau coba dengan percobaan
yang sebenar-benarnya ! yaitu: dengan berteman, pada suatu waktu di rumah atau
di suatu tempat. Lalu engkau cobakan dia, waktu ia diperhatikan dan waktu ia
berkuasa. Waktu ia kaya dan waktu ia miskin. Atau engkau bermusafir dengan dia.
Atau engkau melakukan muamalah dengan dia tentang dinar dan dirham. Atau engkau
jatuh dalam kesulitan, maka engkau memerlukan kepadanya. Jikalau engkau senang
kepadanya pada segala hal keadaan itu, maka ambillah dia menjadi ayahmu, kalau
ia sudah tua ! atau menjadi anakmu, kalau ia masih kecil ! atau menjadi
temanmu, kalau ia sebaya dengan engkau !. Inilah kumpulan adab kesopanan
bergaul dengan segala jenis manusia !.
HAK TETANGGA.
Ketahuilah, bahwa
tetangga itu menghendaki hak, dibalik apa yang dikehendaki oleh persaudaraan
Islam. Tetangga muslim berhak apa yang menjadi hak tiap-tiap muslim, bahkan
lebih lagi. Karena Nabi saw bersabda: “Tetangga itu 3: tetangga yang mempunyai
1 hak, tetangga yang mempunyai 2 hak dan tetangga yang mempunyai 3 hak. Maka
tetangga yang mempunyai 3 hak, yaitu: tetangga muslim yang mempunyai ikatan
kefamilian. Ia mempunyai hak ketetanggaan, hak keislaman dan hak kefamilian. Adapun
yang mempunyai 2 hak, yaitu: tetangga muslim, yang mempunyai hak ketetanggaan
dan hak keislaman. Adapun yang mempunyai 1 hak, yaitu: tetangga musyrik (bukan
muslim) !”. Maka, perhatikanlah, betapa Nabi saw menetapkan bagi orang musyrik
itu hak, disebabkan semata-mata ketetanggaan. Sesungguhnya Nabi saw bersabda:
“Berbaiklah bertetangga dengan orang yang bertetangga dengan engkau, niscaya
engkau itu muslim”. Nabi saw bersabda: “Senantiasalah Jibril menasehati aku
mengenai tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menerima
pusaka dari tetangganya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah
dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya !”. Nabi saw
bersabda: “Tiada beriman seorang hamba sebelum tetangganya aman dari
kejahatan-kejahatannya”. Nabi saw bersabda: “Yang pertama dari dua oranng lawan
pada hari qiamat, ialah dua orang yang bertetangga”. Nabi saw bersabda:
“Apabila engkau melemparkan anjing tetangga engkau, maka sesungguhnya engkau
telah menyakitinya”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu
Mas’ud ra, lalu mengatakan kepadanya: “Bahwa aku mempunyai tetangga yang
menyakitkan aku, memaki dan menyempitkan aku”. Maka Ibnu Mas’ud ra menjawab:
“Pergilah ! jikalau orang itu telah berbuat ma’siat kepada Allah mengenai
engkau, maka taatilah Allah mengenainya !”. Ditanyakan kepada Rasulullah saw:
“Bahwa seorang wanita berpuasa siang hari, mengerjakan shalat malam hari dan
berbuat yang menyakitkan tetangganya”. Lalu Nabi saw menjawab:” Wanita itu dalam
neraka”. Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw mengadukan tetangganya. Maka
Nabi saw bersabda kepada laki-laki tadi: “Sabarlah !”. Kemudian Nabi saw
bersabda kepadanya kali ke-3 atau kali ke-4: “Campakkanlah harta bendamu ke
jalan raya !”. Laki-laki itu menerangkan: “Maka orang banyak melalui tempat
itu, seraya bertanya: “Mengapa begini ?”. Maka orang menjawab: “Bahwa yang
punya harta benda ini disakiti oleh tetangganya”. Laki-laki itu menyambung:
“Lalu orang banyak itu berkata: “Tetangga itu dikutuk oleh Allah kiranya !”.
Maka tetangga itu lalu datang kepada orang yang punya harta benda tersebut,
seraya berkata kepadanya: “Ambillah kembali harta bendamu itu !”. Demi Allah !
aku tidak akan mengulangi lagi menyakitimu”. Az-Zuhri meriwayatkan: “Bahwa seorang
laki-laki datang kepada Nabi saw mengadukan tetangganya. Maka Nabi saw menyuruh
orang itu menyerukan di pintu masjid: “Ketahuilah, bahwa 40 rumah itu adalah
tetangga !”. Az-Zuhri berkata: “40 begini, 40 begini, 40 begini dan 40 begini
!”. Ia menunjukkan ke-4 penjuru. Nabi saw bersabda: “Bahagia dan celaka itu,
pada wanita, tempat tinggal dan kuda. Maka bahagia pada wanita, ialah ringan
emas kawinnya (maharnya), mudah mengawininya dan baik akhlaqnya. Calakanya pada
wanita, ialah mahal emas kawinnya, sukar mengawininya dan buruk akhlaqnya.
Bahagia pada tempat tinggal, ialah luas dan baik tetangga yang mendiami tempat
itu. Dan celakanya pada tempat tinggal, ialah: sempit dan jahat tetangga yang
mendiami tempat itu. Kebahagiaan pada kuda, ialah mudah mengendarainya dan baik
tingkah lakunya. Dan celakanya pada kuda, ialah sukar mengendarainya dan jahat
tingkah lakunya”. Ketahuilah, bahwa tidaklah hak tetangga itu mencegah
menyakitkannya saja, tetapi juga menanggung kesakitan. Sesungguhnya tetangga
juga mencegah yang menyakitinya. Maka tidaklah pada yang demikian itu
menunaikan hak untuk tetangga. Tidaklah mencukupi menanggung yang menyakitkan
saja. Tetapi juga, tidak boleh tidak, daripada berkasih-sayang, berbuat
kebajikan dan amal baik. Karena dikatakan; sesungguhnya tetangga yang miskin
bergantung pada tetangganya yang kaya pada hari qiamat. Maka berdoalah tetangga
yang miskin itu: “Wahai Tuhanku ! tanyakanlah si Ini ! mengapakah ia
mencegahkan aku dari kebaikannya dan menutupkan pintunya terhadap aku ?”. Sampai
berita kepada Ibnu Muqaffa !, bahwa tetangganya menjual rumahnya, karena hutang
yang dipikulnya. Dan Ibnul Muqaffa duduk pada naungan rumah orang itu. Lalu
berkata: “Jadi aku tidak akan bangun berdiri, demi kehormatan naungan rumahnya,
jikalau dijual rumahnya ini karena kemiskinan”. Maka Ibnul Muqaffa’ menyerahkan
kepada tetangganya harga rumah, seraya berkata: “Jangan engkau jual rumah ini
!”. Setengah mereka mengadukan banyaknya tikus di rumahnya. Lalu orang
mengatakan kepadanya: “Kalau engkau menyimpan kucing, bagaimana ? Lalu orang
itu menjawab: “Aku takut, bahwa tikus itu mendengar suara kucing, lalu lari ke
rumah tetangga. Maka jadilah aku menyukai bagi tetangga-tetangga itu, apa yang
tidak aku sukai bagi diriku sendiri”. Jumlah hak tetangga, ialah: bahwa
memulainya dengan memberi salam. Tidak memanjangkan berkata-kata dengan
tetangga. Tidak membanyakkan pertanyaan tentang keadaannya. Mengunjunginya
waktu sakit. Berta’ziah kepadanya waktu mendapat musibah dan tegak berdiri
bersama dalam berta’ziah itu. Mengucapkan selamat kepadanya pada kegembiraan
dan melahirkan bersekutu pada kesukaan bersama dia. Memaafkan kesalahannya.
Tidak memandang dari loteng rumah, akan hal-hal yang memalukannya (auratnya).
Tidak mempersempitkan kepadanya pada meletakkan kayu atas dindingnya, dan pada
tempat menuangkan air dari pancurannya dan pada tempat membuangkan tanah di
halamannya. Dan tidak menyempitkan jalannya ke rumah. Dan tidak mengikutinya
dengan memandang pada barang yang dibawanya pulang ke rumahnya. Dan menutupkan
apa yang terbuka dari hal-hal yang memalukannya (auratnya). Dan mengangkatkan
dari kejatuhannya apabila menimpa atas dirinya sesuatu bencana. Dan tidak lupa
memperhatikan rumahnya ketika dia tidak ada. Dan tidak mendengar kata-kata yang
mengenainya. Dan memicingkan mata daripada melihat wanita yang ada di rumahnya.
Dan tidak selalu melihat kepada babunya. Dan bersikap lemah-lembut dalam
berkata-kata dengan anaknya. Dan menunjukkannya apa yang tiada diketahuinya,
dari urusan agama dan dunianya. Inilah sejumlah hak-hak yang telah kamii
sebutkan untuk umumnya kaum muslimin ! sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Adakah
engkau ketahui apakkah hak tetangga itu ? kalau ia meminta tolong kepadamu,
maka engkau tolong dia. Jikalau ia bermohon bantuanmu, maka bantulah dia. Kalau
ia minta berhutang kepadamu, maka hutangilah dia. Kalau ia memerlukan, maka
kembalikanlah kepadanya. Kalau ia sakit, maka kunjungilah dia. Kalau ia
meninggal, ikutilah jenazahnya. Kalau ia memperoleh kebajikan, maka ucapkanlah
selamat kepadanya. Kalau ia memperoleh musibah, maka berta’ziahlah kepadanya.
Janganlah engkau meninggikan bangunan rumah terhadap rumahnya. Lalu
terlindunglah angin baginya. Kecuali dengan keizinannya. Janganlah engkau
menyakitinya ! apabila engkau membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya
! jikalau tidak engkau perbuat yang demikian, maka masukkanlah buah-buahan itu
dengan tersembunyi ! dan tidaklah buah-buahan itu dikeluarkan oleh anakmu,
untuk membawa kemarahan anaknya. Janganlah engkau menyakitinya dengan bau masakan
di kualimu, kecuali engkau ambilkan baginya dari masakan itu”. Kemudian Nabi
saw bertanya: “Adakah kamu tahu, apakah hak tetangga itu ? demi Allah, dimana
nyawaku dalam kekuasaanNya !. Tiada yang menyampaikan hak tetangga itu, selain
orang yang dianugerahkan rahmat oleh Allah”. Begitulah yang diriwayatkan ‘Amr
bin Syu’aib, dari ayahnya, dari neneknya, dari Nabi saw. Mujahid berkata: “Aku
berada pada Abdullah bin Umar dan pelayannya sedang mengupas kambing. Maka
berkata Abdullah: “Hai pelayan ! apabila engkau sudah mengupas kambing itu,
maka mulailah dengan tetangga kita orang Yahudi !. Ia mengatakan yang demikian
itu berkali-kali. Maka bertanya Mujahid kepada Abdullah bin umar: “Berapa kali
engkau mengatakan ini ?”. Abdullah menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah saw
senantiasa menasehatkan kami mengenai tetangga. Sehingga kami takut, bahwa
tetangga itu akan mewarisi dari tetangganya”. Hisyam berkata: “Al-Hasan
berpendapat, tiada mengapa engkau memberi makanan kepada tetangga Yahudi dan
Nasrani dari Udlhiah (sembelihan kurban) engkau”. Abu Dzar ra berkata:
“Diwasiatkan kepadaku oleh kecintaanku Rasulullah saw dan beliau bersabda:
“Apabila engkau masak suatu kuali, maka banyakkanlah airnya ! kemudian lihatlah
kepada setengah penghuni rumah dari tetanggamu ! maka ambillah untuk mereka
daripadanya !”. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya: “Wahai Rasulullah !
sesungguhnya aku mempunyai dua tetangga. Yang seorang menghadap kepadaku dengan
pintunya. Dan yang lain jauh dengan pintunya daripadaku. Kadang-kadang yang ada
padaku, tiada mencukupi untuk keduanya. Maka manakah diantara keduanya yang
lebih besar haknya ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Yang menghadap kepada engkau
dengan pintunya”. Abu Bakar Ash-Shiddiq melihat anaknyya Abdur Rahman, memegang
pundak kepala tetangganya, lalu berkata: “Janganlah engkau memegang pundak
kepala tetangga engkau ! karena tetangga ini kekal (tidak pergi), sedang
manusia lain itu pergi !”. Al-Hasan bin Isa An-Naisaburi berkata: “Aku bertanya
kepada Abdullah bin Al-Mubarak dengan mengatakan: “Laki-laki tetangga datang
kepadaku, lalu mengadukan pelayanku, bahwa pelayan itu telah mendatangkan
kepadanya suatu hal. Dan pelayan itu mungkir terhadap apa yang diadukan. Aku
tidak suka memikulnya. Mungkin pelayan itu tidak bersalah. Dan aku tidak suka
pula membiarkan pelayan itu begitu saja, nanti tetanggaku bertanya lagi
kepadaku. Maka bagaimanakah aku perbuat ?”. Abdullah bin Al-Mubarak menjawab:
“Sesungguhnya pelayanmu itu mungkin telah berbuat suatu perbuatan yang
mengharuskan diberi pelajaran. Maka jagalah yang demikian terhadap pelayan itu
! maka apabila ia diadukan oleh tetanggamu, maka ajarilah dia diatas kejadian
itu ! sehingga kamu telah menyenangkan tetanggamu dan telah mengajarkan
pelayanmu diatas kejadian itu. Dan ini adalah kelemah-lembutan, menghimpunkan
diantara dua hak (hak tetangga dan hak pelayan)”. ‘Aisyah berkata: “Sifat mulia
itu 10, ada pada laki-laki dan tidak ada pada ayahnya. Ada pada budak belian
dan tidak ada pada tuannya. Sifat-sifat itu dibagikan oleh Allah Ta’ala kepada
siapa yang dikasihiNya. Yaitu: benar pembicaraannya, dibenarkan orang, memberi
kepada yang meminta, membalas dengan layak segala perbuatan, bersilaturrahim,
memelihara amanah, menjaga keamanan tetangga, menjaga keamanan teman dan
memuliakan tamu. Dan yang diatas (yang lebih utama) dari sifat-sifat itu ialah
malu”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Wahai para wanita
Islam ! janganlah seorang tetangga menghinakan tetangganya, yang memberikan,
walaupun kuku kambing !”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setengah dari
kebahagiaan manusia muslim, ialah mempunyai tempat tinggal yang luas, tetangga
yang shalih (yang baik) dan kendaraan yang menyenangkan”. Abdullah berkata:
“Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah ! bagaimanakah aku mengetahui,
bahwa aku telah berbuat baik atau berbuat jahat ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila
engkau telah mendengar tetangga engkau mengatakan, bahwa engkau telah berbuat
baik, maka adalah engkau telah berbuat baik. Dan apabila engkau mendengar
mereka mengatakan bahwa engkau telah berbuat jahat, maka adalah engkau telah
berbuat jahat”. Jabir ra berkata: “Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai
tetangga pada suatu tanah perkebunan atau tetangga itu sekutunya (teman
sekongsi), maka janganlah menjual hartanya, sebelum mengemukakan harta itu
kepadanya”. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw telah menetapkan hukumnya,
bahwa tetangga itu boleh meletakkan perkayuan rumahnya dalam pagar tetangganya,
setuju ia yang demikian atau tidak setuju”. Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah
saw bersabda: “Janganlah dilarang oleh seorang kamu akan tetangganya, untuk
meletakkan perkayuannya pada dindingnya”. Abu Hurairah berkata: “Tiada suka aku
melihat kamu berpaling daripadanya. Demi Allah, sesungguhnya akan aku lemparkan
barang-barang itu diantara bahu-bahumu”. Setengah ulama memandang wajib yang
demikian. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah padanya
kebajikan, niscaya dianugerahinya madu”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah
dianugerahiNya madu ?”. Nabi saw menjawab: “DianugerahiNya kepadanya mencintai
tetangganya”.
HAK-HAK KERABAT DAN FAMILI.
Rasulullah saw
bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim
(famili atau kasih-sayang) ini, adalah Aku pecahkan dari salah satu dari
namaKu. Maka barangsiapa menyambungkannya (bersilaturrahim), niscaya Aku
sambungkan. Dan barangsiapa memutuskannya, niscaya Aku putuskan dia”. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa mengingini dikemudiankan ajalnya (dipanjangkan umurnya)
dan diluaskan rizqinya, maka hendaklah ia menyambung kefamiliannya
(bersilaturrahim)”. Dan para riwayat lain, tersebut: “Barangsiapa mengingini
dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah menyambung kefamiliannya (bersilaturrahim)”. Ada yang
menanyakan kepada Rasulullah saw: “Manusia manakah yang lebih utama ?”. Beliau
menjawab: “Yang paling taqwa kepada Allah dan yang paling menyambung kefamilian
(bersilaturrahim), yang paling beramar-ma’ruf dan yang paling bernahi-munkar”.
Abu Dzar ra berkata: “Aku wasiaatkan oleh kecintaanku Rasulullah saw
bersilaturrahim, walaupun aku dikebelakangkan. Dan menyuruh aku mengatakan yang
benar, walaupun pahit”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kefamilian (rahim) itu
tergantung di ‘Arasy. Dan tidaklah orang yang menyambungnya itu orang yang
memperbuat setimpal. Tetapi orang yang menyambung, ialah orang dimana apabila
kefamilian (silaturrahim) itu telah terputus, niscaya disambungkannya
(diadakannya silaturrahim)”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ketaatan yang
amat melekaskan memperoleh pahala, ialah silaturrahim (menyambung
kekeluargaan), sehingga walaupun isi rumah itu fasiq. Maka hartanya akan
bertambah dan jumlahnya akan banyak, apabila mereka itu menyambung
kekeluargaannya (mengadakan silaturrahim)”. Zaid bin Aslam berkata: “Tatkala
Rasulullah saw berangkat ke Makkah, lalu datang kepadanya seorang laki-laki,
seraya mengatakan: “Kalau engkau berkehendak kepada wanita, yang putih dan
putih bercampur merah, maka haruslah kepada kabilah Bani Mudlij !!”. Maka Nabi
saw menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang aku dari Bani Mudlij,
disebabkan silaturrahim mereka !”. Asma’ bin Abu Bakar ra berkata: “Telah
datang kepadaku ibuku, lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya
ibuku telah datang kepadaku dan ia seorang musyrik, apakah aku bersilaturrahim
dengan dia ?”. Nabi saw menjawab: “Ya !”. Dan pada suatu riwayat: “Apakah aku
berikan sesuatu kepadanya ?”. Dan Nabi saw menjawab: “Ya, sambungkanlah
(kekeluargaan) dengan dia !”. Nabi saw bersabda: “Bersedekahlah kepada orang
miskin, dibalas pahalanya dengan satu sedekah dan bersedekah kepada famili,
dibalas dengan dua pahala sedekah”. Tatkala Abu Thalhah bermaksud bersedekah
kebun yang amat disayanginya karena mengamalkan firman Allah Ta’ala: “Kamu
tidak akan memperoleh kebajikan, hanyalah jika kamu menafkahkan sebahagian dari
apa yang kamu kasihi !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 92, lalu ia berkata kepada Nabi
saw: “Wahai Rasulullah saw ! kebunku itu sedekah fi sabilillah dan untuk
orang-orang fakir dan miskin”. Lalu Nabi saw menjawab: “Wajiblah pahala bagimu
atas Allah, maka bagikanlah kepada segala kerabatmu !”. Nabi saw bersabda:
“Sedekah yang paling utama ialah kepada famili yang sakit hati kepadanya”. Dan
itu adalah terkandung dalam pengertian sabda Nabi saw: “Keutamaan yang paling
utama (yang paling afdhal), ialah menyambung silaturrahim dengan orang yang
memutuskannya dengan engkau, memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan
kepada engkau dan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepada engkau”.
Diriwayatkan, bahwa Umar ra menulis surat kepada pegawai-pegawainya, diantara
lain isinya: “Suruhlah semua kerabatmu kunjung-mengunjungi dan tidak mereka
bertetangga !”. Sesungguhnya ia mengatakan yang demikian, karena bertetangga
itu mendatangkan desak-mendesak hak. Dan kadang-kadang mendatangkan
kerenggangan hati dan putusnya silaturrahim.
HAK-HAK IBU BAPAK DAN ANAK.
Tiadalah
tersembunyi bahwa apabila hak kerabat dan famili sudah demikian kuat, maka
adalah kefamilian yang lebih khusus dan lebih melekat, ialah hubungan anak dengan
ibu bapak (alwilaadah). Maka berlipat-gandalah teguhnya hak pada al-wiladah
itu. Nabi saw bersabda: “Tiadalah seorang anak itu membalasi jasa orang tuanya,
sehingga ia mendapati orang tuanya itu sebagai budak orang, lalu dibelinya dan
dimerdekakannya”. Nabi saw bersabda: “Berbuat kebajikan kepada ibu bapak adalah
lebih utama dari shalat, sedekah, puasa, hajji, umrah dan jihad fi sabilillah”.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa pagi-pagi membuat kesenangan kedua ibu
bapaknya, niscaya baginya dua pintu yang terbuka ke sorga. Dan barangsiapa
sore-sore berbuat demikian, maka seperti itu pula. Jikalau ada yang senang itu
seorang, maka mendapat satu pintu saja. Walaupun kedua ibu bapak itu berbuat
dzalim, walaupun keduanya berbuat dzalim dan walaupun keduanya berbuat dzalim.
Dan barangsiapa pagi-pagi membuat kemarahan kedua ibu bapaknya, niscaya baginya
dua pintu yang terbuka ke neraka. Dan jikalau sore-sore seperti itu juga.
Jikalau ada yang marah itu seorang, maka mendapat satu pintu saja. Walaupun
kedua ibu bapaknya itu berbuat dzalim, walaupun kedua-duanya berbuat dzalim dan
walaupun keduanya berbuat dzalim”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sorga itu
diperoleh baunya dari perjalanan 500 tahun. Dan baunya itu tiada akan diperoleh
oleh orang yang mendurhakai ibu bapaknya dan orang yang memutuskan
silaturrahim”. Nabi saw bersabda: “Berbuatlah kebajikan kepada ibumu, bapakmu,
saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu. Kemudian yang lebih dekat
kepadamu, lalu yang lebih dekat kepadamu !”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala
berfirman kepada Nabi Musa as: ”Hai Musa ! sesungguhnya barangsiapa berbuat
kebajikan kepada ibu bapaknya dan mendurhakai akan Aku, niscaya Aku tuliskan
dia orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa berbuat kebajikan kepadaKu dan
mendurhakai akan ibu bapaknya, niscaya Aku tuliskan dia orang yang berbuat
durhaka”. Ada yang menceritakan, bahwa tatkala Nabi Ya’qub as masuk ke tempat
Nabi Yusuf as maka Nabi Yusuf as tidak bangun menghormatinya (ayahnya). Maka
Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Yusuf as: “Adakah engkau merasa besar untuk
bangun berdiri menghormati ayahmu ?”. Demi keagunganKu dan kebesaranKu ! tiada
Aku keluarkan dari tulang sulbimu seorang nabipun”. Nabi saw bersabda: “Tiada
mengapa seseorang apabila bermaksud bersedekah dengan suatu sedekah, bahwa
dijadikannya sedekah itu bagi kedua ibu bapaknya, apabila keduanya itu muslim.
Maka pahalanya adalah bagi kedua ibu bapaknya. Dan baginya adalah seperti
pahala bagi kedua ibu bapaknya itu tanpa kurang sedikitpun daripada pahala
keduanya”. Malik bin Rabi’ah berkata: “Sewaktu kami sedang berada di samping
Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Kabilah Bani Salmah.
Laki-laki itu bertanya:” Wahai Rasulullah ! adakah tinggal menjadi tanggunganku
sesuatu daripada berbuat baik kepada ibu bapakku, yang akan aku perbuat kepada
keduanya sesudah keduanya meninggal ?”. Nabi saw menjawab: “Ada ! yaitu,
berdoa, beristighfar (meminta ampun dosa) keduanya, melunaskan janji keduanya,
memuliakan teman keduanya dan menyambung silaturrahim yang tiada disambungkan,
kecuali dengan keduanya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya, setengah kebajikan
yang terlebih baik, ialah bahwa orang menghubungkan silaturrahim dengan
keluarga orang yang dikasihi ayahnya, sesudah ayahnya menyerahkan kepadanya”.
Nabi saw bersabda: “Kebajikan ibu kepada anaknya adalah dua kali”. Nabi saw
bersabda: “Doa ibu adalah sangat cepat diterima”. Lalu ada yang menanyakan:
“Wahai Rasulullah ! mengapakah begitu ?”. Nabi saw menjawab: “Ibu itu lebih
dekat kefamilian (arham) dari ayah. Dan doa famili dari pihak ibu (arrahim) itu
tidak gugur”. Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah !
siapakah yang saya berbuat kebajikan kepadanya ?”. Nabi saw menjawab:
“Berbuatlah kebajikan kepada ibu bapakmu !”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tiada
mempunyai ibu bapak lagi”. Lalu Nabi saw menyambung: “Berbuatlah kebajikan
kepada anakmu ! sebagaimana ibu bapakmu mempunyai hak atasmu, maka begitupula
anakmu mempunyai hak atasmu”. Nabi saw bersabda: “Allah menganugerahkan rahmat
kepada seorang ayah yang menolong anaknya diatas kebajikan”. Artinya: ia tiada
membawa anaknya kepada kedurhakaan, disebabkan buruk perbuatannya. Nabi saw
bersabda: “Samakanlah diantara anak-anakmu pada pemberian”. Ada yang
mengatakan: “Anakmu itu keharuman bagimu. Engkau cium dia 7 dan dia berkhidmat
kepada engkau 7. Kemudian dia itu musuh engkau atau sekutu engkau”. Anas ra
berkata: “Nabi saw bersabda: “Anak itu disembelihkan akikah daripadanya pada
hari ke-7 dari lahirnya, diberi nama dan dibuangkan daripadanya yang
menyakitinya. Apabila telah berusia sampai 6 tahun, diajari adab sopan-santun.
Apabila telah berusia 9 tahun, diasingkan tempat tidurnya. Apabila telah sampai
13 tahun, dipukul atas meninggalkan shalat. Apabila telah sampai 16 tahun
dikawinkan oleh ayahnya, kemudian dipegang dengannya seraya mengatakan: “Telah
aku ajari engkau sopan-santun, telah aku ajari engkau ilmu pengetahuan dan
telah aku kawinkan engkau. Aku berlindung dengan Allah dari fitnah engkau di
dunia dan azab yang engkau peroleh di akhirat !”. Nabi saw bersabda: “Setengah
hak anak atas bapak, ialah membaguskan adab kesopanannya dan membaikkan
namanya”. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap anak itu, baik laki-laki atau perempuan
adalah tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihkan pada hari ke-7nya (dari
hari kelahirannya) dan dicukurkan rambutnya”. Qatadah berkata: “Apabila
disembelihkan hewan aqiqah, niscaya diambiilkan sehelai bulu daripadanya. Maka
bertemu dengan bulu itu urat leher dari hewan itu. Kemudian bulu iitu
diletakkan diatas pundak bayi, sehingga memanjang dari pundak itu seperti
benang. Kemudian dibasuhkan kepalanya dan kemudian dicukurkan rambutnya”.
Seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak. Lalu ia mengadukan
kepadanya keadaan setengah anaknya. Abdullah bin Al-Mubarak bertanya: “Adakah
engkau doakan yang buruk terhadap anak itu ?”. Ada !”, jawab orang itu. Maka
Abdullah bin Al-Mubarak menyambung: “Engkau telah merusakkan anak itu”.
Disunatkan kasih-sayang kepada anak. Al-Aqra’ bin Habis melihat Nabi saw
memeluk anaknya (anak dari anaknya=cucunya) Hasan. Lalu Al-Aqra’ berkata:
“Sesungguhnya aku mempunyai 10 orang anak. Tiada seorangpun aku peluk dari
mereka. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa tiada sayang kepada
orang, niscaya ia tiada akan disayangi orang”. ‘Aisyah berkata: “Pada suatu
hari Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Basuhlah muka Usamah !”. Maka aku
basuhkan, sedang aku menyombong. Rasulullah saw memukul tanganku. Kemudian
beliau mengambil Usamah, lalu membasuh mukanya. Kemudian memeluknya. Kemudian
beliau bersabda: “Sesungguhnya ia telah berbuat baik bagi kita. Karena Usamah
itu bukan pelayan”. Hasan (cucu Nabi Muhammad saw) terpeleset jatuh, sedang
Nabi saw berada diatas mimbar. Lalu beliau turun membawanya, seraya membaca
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnyya harta benda dan anak-anakmu hanyalah
menjadi ujian”. S 64 Ath Taghabun ayat 15. Abdullah bin Syaddad berkata: “Di
waktu Rasulullah saw sedang bershalat jama’’ah dengan orang banyak, tiba-tiba
datanglah kepadanya Husain (cucunya). Lalu ia mengendarai lehernya, sedang Nabi
saw itu sujud. Maka Nabi saw melamakan sujud bersama orang banyak itu, sehingga
mereka itu menyangka, telah terjadi sesuatu kejadian. Tatkala Nabi saw telah
menyelesaikan shalatnya, lalu orang banyak berkata: “Wahai Rasulullah ! engkau
telah lamakan sujud. Sehingga kami menyangka telah terjadi sesuatu hal”. Nabi
saw menjawab: “Anakku telah mengendarai aku. Maka aku tiada suka
menyegerakannya, sehingga ia menunaikan hajatnya dengan kepuasan”. Pada yang
demikian itu, banyak faedahnya: salah satunya ialah dekat kepada Allah Ta’ala.
Sesungguhnya hamba itu, yang paling dekat kepada Allah Ta’ala, ialah apabila ia
sedang sujud. Dan pada perbuatan Nabi saw tadi terdapat kasih-sayang kepada
anak, perbuatan kebajikan dan pengajaran kepada umatnya. Nabi saw bersabda:
“Bau anak itu dari bau sorga”. Ja’iz bin Mu’awiyah berkata: “Ayahku meminta
datang Al-Ahnaf bin Qais. Ketika Al-Ahnaf datang kepada ayah, lalu ayah
bertanya: “Hai Abu Bahar ! apakah katamu tentang anak ?”. Al-Ahnaf menjawab: “Hai
Amirul-mu’minin ! anak itu buah hati kita dan tonggak punggung kita. Dan kita
bagi mereka itu bumi yang hina dan langit yang menaungi. Dengan mereka kita
melompat tiap-tiap yang mulia. Jikalau mereka meminta, maka berikanlah kepada
mereka ! jikalau mereka marah, maka senangkanlah hati mereka ! akan diberikan
kepadamu kecintaan mereka. Akan merangkak kepadamu kesungguhan mereka.
Janganlah kamu menjadi beban yang berat kepada mereka, maka mereka akan bosan
atas hidupnya kamu. Mereka menyukai matinya kamu dan tidak menyenangi dekatnya
kamu”. Maka Mu’awiyah berkata kepada Al-Ahnaf: “Masya Allah engkau, wahai Ahnaf
! sesungguhnya engkau telah datang kepadaku, dimana aku sedang marah dan murka
kepada Jazid”. Tatkala Al-Ahnaf telah keluar dari tempat Mu’awiyah, maka
Mu’awiyah bersenang hati kembali kepada Jazid. Dan mengirimkan kepada Jazid
uang 200 ribu dirham dan kain 200 potong. Lalu Jazid mengirimkan kepada
Al-Ahnaf 100 ribu dirham dan 100 potong kain. Jazid membagikan uang dan kain
itu setengah seorang dengan Al-Ahnaf. Inilah cerita-cerita yang menunjukkan
tentang kuatnya hak ibu bapak. Dan bagaimana menegakkan hak keduanya itu.
Engkau tahu dari apa yang telah kami sebutkan tentang hak pesaudaraan. Dan
sesungguhnya ikatan ibu bapak ini adalah lebih kuat daripada ikatan
persaudaraan. Bahwa disini bertambah dua hal. Salah satu dari keduanya itu,
ialah bahwa sebahagian besar ulama menetapkan, bahwa mentaati ibu bapak adalah
wajib pada hal-hal yang syubhat (yang diragukan halal-haramnya), walaupun tidak
wajib pada hal-hal yang semata-mata haram. Sehingga apabila ibu bapak itu
merasa tidak enak makan dengan tidak turutnya engkau bersama-sama, maka
haruslah engkau makan bersama-sama keduanya. Karena meninggalkan syubhat itu
adalah wara’ dan memperoleh kerelaan ibu bapak adalah wajib. Begitupula, tidak
boleh engkau bermusafir pada jalan yang mubah atau jalan yang sunat, kecuali
dengan izin keduanya. Dan menyegerakan melakukan ibadah hajji yang menjadi
rukun Islam itu sunat, karena hajji itu boleh dikemudiankan. Dan pergi menuntut
ilmu adalah sunat, kecuali apabila engkau menuntut ilmu yang fardlu, dari hal
shalat dan puasa. Dan tak ada di kampungmu orang yang mengajarkan kamu. Dan
yang demikian itu seperti orang yang mula-mula memeluk Islam dalam salah satu
kampung, dimana tak ada di situ orang yang dapat mengajarkannya syariat Islam.
Maka dalam hal ini, haruslah ia berhijrah dan tidak terikat dengan hak ibu
bapak. Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Seorang laki-laki berhijrah dari Yaman
pergi menjumpai Rasulullah saw dan ingin berjihad. Lalu Rasulullah saw
bertanya: “Adakah di Yaman ibu bapakmu ?”. “Ada !”, jawab orang itu. Maka Nabi
saw bertanya pula: “Sudahkah keduanya memberi izin kepadamu ?”. Orang itu
menjawab: “Tidak !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Kembalilah kepada ibu bapakmu,
mintalah izin kepada keduanya ! kalau keduanya menyetujui, maka berjihadlah dan
jikalau tidak, maka berbuatlah kebajikan kepada keduanya menurut kesanggupanmu
! sesungguhnya itulah yang sebaik-baik untuk kamu bertemu dengan Allah, sesudah
tauhid”. Ada orang lain datang kepada Nabi saw meminta pertimbangan tentang
pergi ke medan perang. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Adakah engkau mempunyai
ibu ?”. “Ada !”, jawab orang itu. Maka Nabi saw menyambung: “Hendaklah engkau
bersama ibu engkau itu ! karena sorga adalah pada kedua kakinya”. Dan datang
yang lain lagi meminta bai’ah (janji kesetiaan) untuk berhijrah, seraya
berkata: “Tidak aku datang kepada engkau, wahai Rasulullah saw, sehingga telah
membawa tangis ibu bapakku !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Kembalilah kepada ibu
bapakmu ! buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya
menangis !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Hak saudara yang tua diatas saudara yang
muda, adalah seperti hak bapak atas anaknya”. Nabi saw bersabda: “Apabila
binatang kendaraan seorang kamu mendatangkan kesulitan atau akhlaq isterinya
jahat atau akhlaq salah seorang dari keluarganya, maka hendaklah ia melakukan
adzan pada telinga yang jahat itu !”.
HAK-HAK BUDAK YANG DIMILIKI
(AL-MAMLUK).
Ketahuilah, bahwa
yang dipunyai dengan perkawinan (wanita yang dinikahi) telah diterangkan
hak-haknya pada “Adab Kesopanan Perkawinan”. Adapun yang dipunyai dengan jalan
milik (hamba sahaya), maka itupun menghendaki juga hak-hak dalam pergaulan,
yang tak boleh tidak daripada memeliharakannya. Sesungguhnya setengah dari
wasiat yang penghabisan, yang diwasiatkan Rasulullah saw ialah beliau bersabda:
“Takutilah akan Allah tentang apa yang dimiliki oleh tanganmu ! berilah kepada
mereka makanan, dari apa yang kamu makan sendiri ! berilah kepada mereka
pakaian dari apa yang kamu pakai sendiri. Janganlah engkau memberatkan mereka
dengan pekerjaan yang tiada disanggupinya !. Maka apa yang kamu sukai,
peganglah terus. Dan apa yang tiada kamu sukai, jualkanlah ! janganlah kamu
menyiksakan makhluq Allah ! sesungguhnya Allah menjadikan mereka milikmu. Dan
kalau dikehendakiNya, niscaya dijadikanNya kamu menjadi milik mereka”. Nabi saw
bersabda: “Budak yang dimiliki (al-mamluk) itu berhak mendapat makanan dan
pakaian yang baik dan tidak diberatkan pekerjaan yang tidak disanggupinya”.
Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk sorga penipu, penyombong, pengkhianat dan
yang jahat bagi budak yang dimilikinya”. Abdullah bin Umar ra berkata: “Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah saw seraya bertanya: “Wahai Rasulullah !
berapa kali kita memaafkan pelayan itu ?”. Rasulullah saw diam, kemudian beliau
bersabda: “Maafkanlah pelayan itu pada tiap-tiap hari 70 kali !”. Umar ra pergi
pada tiap-tiap hari Sabtu ke kampung-kampung di dalam kota. Apabila beliau
mendapat seorang budak pada pekerjaan yang tidak disanggupinya, maka
dilarangnya budak itu dari pekerjaan tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra bahwa Abu Hurairah ra melihat seorang laki-laki diatas kendaraannya dan
budaknya berlari-lari kecil di belakangnya. Maka Abu Hurairah berkata kepada
orang itu: “Hai hamba Allah ! bawalah budak itu di belakangmu ! sesungguhnya
dia adalah saudaramu dan jiwanya seperti jiwamu”. Maka orang itupun lalu
membawa budaknya di belakangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Senantiasalah
hamba itu bertambah jauh daripada Allah, oleh apa yang berjalan kaki di
belakangnya”. Seorang budak wanita berkata kepada Abid-Darda’: “Sesungguhnya
aku telah meracunimu sejak setahun yang lalu. Tetapi racun itu tidak
menghasilkan apa-apa padamu”. Lalu Abid-Darda’ bertanya: “Mengapakah engkau
berbuat demikian ?”. Budak wanita itu menjawab: “Aku ingin lepas daripadamu !”.
Maka Abid-Darda’ menjawab: “Pergilah ! engkau merdeka karena Allah !”. Az-Zuhri
berkata: “Manakala engkau berkata kepada budak yang dimiliki: ‘Dihinakan
kiranya kamu oleh Allah’. maka budak itu menjadi merdeka”. Ditanyakan kepada
Al-Ahnaf bin Qais: “Dari siapakah engkau mempelajari tidak lekas marah ?”.
Al-Ahnaf menjawab: “Dari Qais bin ‘Ashim”. Ditanyakan: “Sampai dimanakah tidak
lekas marahnya itu ?”. Al-Ahnaf menjawab: “Sewaktu Al-Ahnaf bin Qais duduk di
rumahnya, tiba-tiba datanglah budak wanitanya membawa tempat membakar daging
dari besi, dimana diatasnya daging yang sudah dibakar. Lalu tempat membakar
daging itu jatuh dari tangannya, diatas kepala putera Qais. Maka luka parahlah
anak itu, kemudian meninggal. Maka gemetarlah tubuh budak wanita itu. Lalu
Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Tidaklah tenang dari gemetarnya tubuh budak wanita
ini, selain dimerdekakan. Lalu beliau berkata kepada budak itu: “Engkau
merdeka, tidak mengapa perbuatan engkau itu”. Aun bin Abdullah apabila
didurhakai oleh budaknya, lalu berkata: “Alangkah serupanya engkau dengan maula
engkau (maula artinya: tuan atau yang memiliki). Maula engkau mendurhakai
maulanya (maula disini maksudnya: Yang memilikinya itu: Allah). Dan engkau
mendurhakai maula engkau”. Pada suatu hari Aun bin Abdullah itu memarahi
budaknya. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya engkau bermaksud supaya aku memukul
engkau. Pergilah ! engkau merdeka !”. Ada seorang tamu pada Maimun bin Mahran.
Lalu Maimun meminta pada budak wanitanya supaya menyegerakan makanan malam.
Maka datanglah budak wanita itu dengan terburu-buru dan ditangannya piring
penuh dengan makanan. Lalu ia terpeleset dan tertumpahlah makanan itu keatas
kepala tuannya Maimun. Maka berkatalah Maimun: “Hai budak, engkau membakar aku
!”. Budak itu menyahut: “Hai pengajar kebajikan dan pendidikan sopan-santun
manusia ! kembalilah kepada firman Allah Ta’ala !”. Maka Maimun bertanya:
“Apakah firman Allah Ta’ala itu ?”. Budak wanita itu menjawab: “Allah Ta’ala
berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Maimun
menjawab: “Sesungguhnya aku telah menahan marahku”. Budak wanita itu
menyambung: “Dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain”. Sambungan
ayat diatas tadi. Maimun menjawab: “Aku telah memaafkan engkau”. Budak wanita
itu menyambung lagi: “Tambahlah ! sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada sesamanya)”. Sambungan ayat
diatas tadi juga. Lalu Maimun berkata: “Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”.
Ibnul Munkadir berkata: “Seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw memukul
budaknya. Lalu budak itu berkata: ‘Aku bermohon kemaafan pada engkau dengan
nama Allah. Aku bermohon pada engkau dengan karena Allah”. tetapi orang itu
tidak juga memaafkan kesalahan budaknya. Maka didengar oleh Rasulullah saw
pekikan budak itu, lalu beliau pergi kepadanya. Tatkala ia melihat Rasulullah
saw, lalu ia menahan tangannya (tidak memukul lagi). Maka bersabda Rasulullah
saw: “Budak itu meminta kepadamu dengan karena Allah, lalu engkau tidak
memaafkannya. Dan tatkala engkau melihat aku datang, lalu engkau menahan tangan
engkau”. Orang itu lalu berkata: “Dia itu merdeka karena Allah, wahai
Rasulullah”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Jikalau engkau tidak berbuat
demikian, niscaya mukamu ditampar oleh api neraka”. Nabi saw bersabda: “Budak
itu apabila menasehati tuannya dan membaguskan ibadah kepada Allah, maka
baginya pahala dua kali”. Tatkala Abu Rafi’ dimerdekakan oleh tuannya, maka ia
menangis seraya berkata: “Yang sudah-sudah aku mempunyai dua pahala, maka
sekarang hilanglah satu daripadanya”. Nabi saw bersabda: “Datang berita
kepadaku, 3 pertama yang masuk sorga dan 3 pertama yang masuk neraka. Adapun 3
pertama yang masuk sorga, yaitu: orang syahid, budak yang menjadi milik orang,
dimana budak itu membaguskan ibadah kepada Tuhannya dan menasehati tuannya dan
orang yang menjaga diri dari memakan harta syubhat yang berkeluarga. Dan 3 pertama
yang masuk neraka yaitu: amir (penguasa) yang memakai kekuasaan tidak pada
tempatnya, orang kaya yang tidak menunaikan hak Allah dan orang kafir yang
sombong”. Dari Abi Mas’ud Al-Anshari, yang menerangkan: “Sewaktu aku sedang
memukul budakku, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku: ‘Ketahuilah, hai
Abi Mas’ud !, dua kali suara itu terdengar. Lalu aku berpaling ke belakang,
kiranya Rasulullah saw. Maka aku campakkan cemeti itu dari tanganku. Lalu
Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah ! Allah lebih berkuasa atas kamu, daripada
kamu atas budak ini”. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang kamu membeli pelayan
(budak), maka hendaklah yang pertama diberikan untuk makanan budak itu, ialah:
yang manis. Karena itulah yang lebih baik bagi dirinya”. Hadits ini dirawikan
Muadz. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila pelayan
seorang kamu datang membawa makanan, maka hendaklah menyuruh duduk pelayan itu
dan hendaklah makan bersama dengan dia ! jikalau tiada berbuat demikian, maka
hendaklah memberikan kepada pelayan itu sesuap dari makanan tadi”. Pada suatu
riwayat: “Apabila memadai bagi seorang kamu budaknya tentang membuat makanan,
maka memadailah baginya kemerdekaannya dan perbelanjaannya. Dan mendekatkan
budaknya itu kepadanya. Maka hendaklah ia menyuruh duduk budaknya itu dan
hendaklah makan bersama dia ! dan jikalau tidak berbuat demikian, maka
hendaklah memberikan makanan kepadanya atau mengambil makanan itu, lalu
mencampurkannya dengan lauk-pauk !”. Dan Nabi saw menunjukkan dengan tangannya !
dan hendaklah makanan itu diletakkan pada tangan budaknya, seraya mengatakan:
“Makanlah ini !”. Seorang laki-laki datang ke tempat Salman, dimana Salman
sedang meramas tepung untuk roti. Orang itu bertanya: “Hai Abu Abdillah, apakah
ini ?”. Salman menjawab: “Telah kami utus pelayan kami pada suatu urusan, maka
kami tidak suka mengumpulkan atas pundaknya dua perbuatan”. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa ada pelayan budak wanita, maka dipeliharakannya dan berbuat baik
kepadanya, kemudian dimerdekakannya dan dikawininya, maka yang demikian itu
baginya dua pahala”. Nabi saw bersabda: “Maka semua kamu itu penggembala dan
semua kamu itu bertanggung jawab dari gembalaannya”. Maka jumlah hak bagi budak
yang dimiliki (al-mamluk) ialah: sama dengan dia pada makanan dan pakaian.
Tiada memberatkannya diluar kesanggupannya. Tiada memandang kepadanya dengan
mata kesombongan dan penghinaan. Memaafkan ketelanjurannya. Berfikir ketika
memarahinya, disebabkan kesalahannya atau perbuatannya mendurhakai dan
perbuatannya melanggar hak Allah Ta’ala dan keteledorannya pada mentaatinya.
Sedang kekuasaan Allah diatas budak itu, adalah diatas kekuasaan dia.
Fadl-Dlalah bin ‘Ubaid meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “3 orang tidak
ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari jama’ah orang banyak,
laki-laki yang mendurhakai imamnya (pemimpinnya), lalu meninggal dalam berbuat
ma’siat. Maka kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan wanita yang
suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk wanita itu perbelanjaan
dunia. Lalu wanita itu berhias diluar batas di belakangnya. Maka tidak
ditanyakan dari halnya. Dan 3 orang tiada ditanyakan halnya, yaitu: laki-laki
yang bertengkar dengan Allah tentang selendangNya. Dan selendang Allah itu,
ialah keagungan (al-kibria’). SarungNya ialah, kemuliaan. Laki-laki yang dalam
keraguan tentang Allah. Dan laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah”.
Telah tammat Kitab adab berteman dan bergaul dengan segala jenis makhluq”.