KITAB
ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN.
Yiatu: kitab ke-3 dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari “Kitab
Ihya’ Ulumiddin”.
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kita memuji Allah
sebagai pujian dari yang mengesakanNya, yang tersapu dan menghancurlah dalam
kekeesaananNya, selain Yang Maha Esa, yang Maha Benar. Kita mengagungkanNya,
sebagai pengagungan dari orang yang menegaskan, bahwa tiap-tiap sesuatu selain
Allah itu salah dan tidak suci. Dan sesungguhnya tiap-tiap yang bertempat di
langit dan di bumi, tidak sanggup menjadikan lalat dan kumbang, walaupun mereka
berkumpul bersatu padu. Kita bersyukur kepadaNya, karena ditinggikanNya langit
bagi hambaNya, sebagai atap yang dibangun. DisediakanNya bumi, sebagai hambal
bagi mereka dan tikar. DijadikanNya malam mengikuti siang, maka dijadikanNya
malam sebagai pakaian dan siang tempat mencari penghidupan. Agar mereka itu
berkembang mencari kurniaNya dan bangun menundukkan segala hajat keperluan.
Kita berselawat kepada RasulNya, dimana orang-orang mu’min keluar dari kolamnya
dengan kepuasan, setelah datang kepadanya dengan kehausan. Dan kepada kaum
keluarga dan para sahabatnya yang tidak meninggalkan sejenakpun selalu menolong
agamanya dengan terus-menerus dan berkekalan. Anugerahilah kesejahteraan yang
banyak kepada mereka !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya Yang Maha
Memiliki bagi segala yang memiliki dan Yang Mendatangkan sebab bagi segala
sebab, menjadikan akhirat itu negeri balasan dan siksaan dan dunia negeri
penempatan, kekacauan, perjalanan cepat dan perusahaan. Dan tidaklah perjalanan
cepat itu di dunia, terbatas kepada tempat kembali, tidak tempat hidup. Tetapi
tempat kehidupan itu, adalah jalan kepada tempat kembali dan yang menolong
kepadanya. Di dunia adalah kebun akhirat dan tempat masuk kepadanya.
Manusia itu 3
macam: orang yang disibukkan oleh tempat hidupnya dari tempat kembalinya. Maka
dia itu sebahagian dari orang-orang yang binasa. Orang yang disibukkan oleh
tempat kembalinya dari tempat hidupnya. Maka dia ini sebahagian dari
orang-orang yang memperoleh kemenangan. Dan orang yang lebih mendekati kepada
kesederhanaan, yaitu: orang ketiga yang disibukkan oleh tempat hidupnya untuk
tempat kembalinya. Orang tersebut, adalah setengah dari orang yang sederhanna.
Dan tidak akan memperoleh tingkat kesederhanaan, orang yang tiada membiasakan
mencari penghidupan dengan jalan yang benar. Dan tiada ia tergerak dari dunia,
akan jalan ke akhirat, selama tidak ia beradab-kesopanan pada mencarinya dengan
adab-kesopanan agama.
Nah, sekarang kami
ingin membentangkan adab-kesopanan perniagaan, perusahaan, bermacam-macam usaha
dan sunat-sunatnya. Dan kami bermaksud menguraikannya dalam 5 bab:
Bab Pertama: tentang
kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.
Bab Kedua: tentang
pengetahuan yang mensahkan jual beli dan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang
diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)
Bab Ketiga: tentang
penjelasan keadilan dalam mu’amalah (perniagaan)
Bab Keempat: tentang
penjelasan berbuat baik (ihsan) dalam mu’amalah
Bab Kelima: tentang kasih sayang saudagar terhadap
dirinya dan agamanya.
BAB
PERTAMA: tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.
Adapun dari Alquran, maka firman Allah
Ta’ala:
“Dan kami jadikan siang untuk mencari
penghidupan”. S 78 An Nabaa’ ayat 11. Maka Allah Ta’ala menyebutkan siang itu
untuk tempat memperoleh keni’matan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami jadikan
di bumi lapangan penghidupanmu, tetapi sedikit sekalli kamu berterima kasih”. S
7 Al A’raaf ayat 10. Tuhanmu menjadikan bumi itu suatu ni’mat dan Ia meminta
kesyukuran diatas ni’mat itu.
Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah mengapa
kalau kamu mencari kurnia Tuhanmu (rezeki)”. S 2 Al Baqarah ayat 198. Dan
Allah Ta’ala berfiirman: “Dan yang lain
sedang berjalan di muka bumi untuk mencari kurnia Allah”. S 73 Al Muzzammil
ayat 20. Dan
Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertebaranlah
di muka bumi dan carilah kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah ayat 10.
Adapun hadits, maka
Nabi saw bersabda: “Sebahagian dari dosa
ialah dosa yang tiada dihapuskan, melainkan oleh kesusahan pada mencari
penghidupan”.
Nabi saw bersabda: “Saudagar yang benar,
akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang-orang shiddiq dan orang-orang
shahid”. Dan
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mencari
dunia secara halal, menjaga diri dari meminta-minta, berusahalah untuk keluarga
dan menaruh kasih sayang kepada tetangga, niscaya ia menjumpai Allah, sedang
mukanya seperti bulan pada malam purnama raya”. “Adalah Nabi saw duduk bersama
para sahabatnya pada suatu hari, lalu mereka itu melihat seorang pemuda yang
tabah dan kuat. Ia pagi-pagi benar pergi berusaha. Maka mereka itu berkata:
“Alangkah baiknya, pemuda ini, kalau adalah mudanya dan tabahnya fi sabilillah
!”. Maka Nabi saw menjawab: “Jangan engkau mengatakan itu ! karena kalau ia
berusaha untuk dirinya, supaya ia tercegah dari meminta-minta dan ia tidak
memerlukan kepada pertolongan orang lain, maka dia itu sudah fi sabilillah. Dan
kalau ia berusaha untuk kedua ibu bapaknya yang lemah atau keturunannya yang
lemah, untuk memenuhi dan mencukupkan keperluan mereka, maka ia sudah fi
sabilillah. Dan jikalau ia berusaha untuk membanggakan diri dan membanyakkan
harta, maka ia sudah fi sabilisy-syaithan (pada jalan setan)”.
Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang mengambil sesuatu pekerjaan, untuk
memperoleh kecukupan, daripada bantuan orang lain. Dan Allah memarahi hambaNya
yang mempelajari ilmu pengetahuan, yang diperbuatnya ilmu itu untuk
perusahaan”. Pada suatu hadits tersebut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai
orang mu’min yang berusaha”.
Dan Nabi saw
bersabda: “Yang lebih halal, dari apa yang dimakan oleh seseorang, ialah dari
usahanya sendiri. Dan segala jual beli itu mempunyai kebajikan”. Dan pada
hadits yang lain tersebut: “Yang lebih halal dari apa yang dimakan oleh seorang
hamba, ialah usaha dari tangan pekerja apabila ia bekerja, dengan jujur”. Dan
Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu berniaga, karena pada perniagaan itu, 9/10
dari rezeki !”.
Dan diriwayatkan, bahwa ‘Isa as melihat seorang
laki-laki, lalu bertanya: “Apakah yang engkau kerjakan ?”. Laki-laki itu
menjawab: “Aku beribadah”. ‘Isa as bertanya lagi: “Siapakah yang menanggung
perbelanjaanmu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Saudara saya !”. Lalu ‘Isa as
menyambung: “Saudaramu lebih banyak ibadanya daripada kamu !”.
Nabi kita saw bersabda:
“Sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang mendekatkan kamu ke sorga dan
menjauhkan kamu dari neraka, melainkan aku suruh kamu dengan dia. Dan
sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang menjauhkan kamu dari sorga dan
mendekatkan kamu ke neraka, melainkan aku larang kamu daripadanya. Sesungguhnya
malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku, bahwa nyawa itu tidak mati,
sehingga ia memperoleh dengan sempurna akan rezekinya, walaupun terlambat
daripadanya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan bertindaklah dengan baik pada
mencari !”.
Nabi saw menyuruh
dengan tindakan yang baik pada mencari dan beliau tidak mengatakan:
“Tinggalkanlah mencari !”. Kemudian beliau bersabda pada akhir hadits itu:
“Janganlah dibawa kamu oleh kelambatan sesuatu, dari mencari rezeki itu, dengan
jalan ma’siat kepada Allah Ta’ala. Karena Allah tiada akan memberi apa yang
padaNya dengan mendurhakaiNya”. Nabi saw bersabda: “Pasar itu adalah hidangan
Allah Ta’ala. Maka barangsiapa datang ke pasar, niscaya akan memperoleh daripadanya”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya diambil oleh seseorang dari kamu akan talinya,
lalu diikatnya kayu bakar pada punggungnya, adalah lebih baik daripada ia
mendatangi seseorang yang dikurniai oleh Allah dari kelimpahanNya, lalu
dimintanya. Ia beri atau tidak”. Dan
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membuka kepada dirinya satu pintu dari
meminta-minta, niscaya dibukakan oleh Allah kepadanya 70 pintu dari
kemiskinan”.
Adapun atsar
(kata-kata yang berhikmah dari orang-orang terdahulu), maka telah berkata
Lukmanul-hakim kepada puternya: “Hai anakku ! hendaklah engkau merasa kaya
dengan usaha yang halal, dari kemiskinan ! karena sesungguhnya tidaklah
sekali-kali, seseorang merasa miskin, melainkan ia ditimpakan 3 perkara: tipis
keagamaannya, lemah akalnya dan hilang kehormatan dirinya. Dan yang paling
besar dari yang 3 ini, ialah manusia memandang enteng kepadanya”.
Umar ra berkata:
“Janganlah duduk seorang kamu dari mencari rezeki, seraya berdoa: “Wahai Allah
Tuhanku ! anugerahilah aku rezeki !”. Sesungguh nya kamu mengetahui, bahwa
langit itu tidak menurunkan hujan emas dan perak”. Adalah Zaid bin Maslamah
bercocok tanam pada tanahnya. Lalu Umar ra berkata kepadanya: “Engkau betul !
jadilah engkau tidak memerlukan kepada orang, niscaya jadilah dia lebih memelihara
akan agama engkau dan lebih mulia engkau pada mereka, sebagaimana kata
sahabatmu Uhaihah:
Senantiasalah aku,
membenamkan diri pada sumur yang dalam.
Bahwa orang yang pemurah itu,
dipandang berharta oleh teman-teman.......
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya aku amat benci melihat
orang tidak bekerja, tidak untuk urusan dunianya dan tidak untuk urusan
akhiratnya”. Ditanyakan Ibrahim tentang saudagar yang benar: “Adakah engkau
lebih suka kepadanya atau orang yang menggunakan seluruh waktunya untuk ibadah
?”. Ibrahim menjawab: “Saudagar yang benar, lebih aku sukai. Karena dia dalam
perjuangan (jihad), yang didatangi setan, dari jalan sukatan dan timbangan. Dan
barangsiapa menerima untuk mengambil dan memberi maka ia berjihad melawan
setan”. Al-Hasan Al-Bashari berbeda pendapat dengan Ibrahim dalam hal ini.
Dan Umar ra berkata: “Tiadalah tempat yang
didatangi akan aku oleh kematian, yang lebih aku sukai, dari tempat, dimana aku
berkedai padanya untuk keluargaku, aku menjual dan membeli”. Al-Haitsam
berkata: “Kadang-kadang sampai kepadaku sesuatu dari orang yang datang
kepadaku, lalu aku terangkan, bahwa aku tidak memerlukan kepada barang itu.
Maka mudahlah yang demikian kepadaku”. Ayyub berkata: “Usaha, dimana dengan
usaha itu memperoleh sesuatu, adalah lebih aku sukai daripada meminta-minta
pada orang”’. Berhembuslah angin badai di laut, lalu
bertanyalah anak kapal kepada Ibrahim bin Adham ra dimana beliau berada serta
mereka didalam kapal itu: “Apakah pikiran tuan tentang kesukaran ini ?”. Beliau
menjawab: “Apakah kesukaran ini ? sesungguhnya kesukaran itu, ialah suatu
keperluan bagi manusia”. Ayyub berkata: “Abu Qallabah berkata kepadaku:
“Haruslah engkau terus di pasar ! karena kaya itu dari kesehatan. Ya’ni: kaya,
tanpa memerlukan kepada bantuan orang”.
Orang menanyakan
kepada Ahmad: “Apakah kata tuan, tentang orang yang duduk di rumahnya atau
dalam masjid ? dan dia mengatakan: “Aku tidak mengerjakan sesuatu, sehingga
datanglah kepadaku rezekiku”. Ahmad menjawab: “Itu adalah orang yang tiada
mengetahui ilmu pengetahuan ! tidakkah ia mendengar sabda Nabi saw:
“Sesungguhnya Allah menjadikan rezekiku, dibawah bayang-bayang tombakku”.
Dan sabda Nabi saw ketika beliau
menyebutkan burung, lalu beliau bersabda: “Dia keluar pagi-pagi dengan tembolok
kosong dan pulang sore dengan tembolok berisi”. Lalu menyebutkan, bahwa burung
itu keluar pagi-pagi mencari rezekinya. Dan adalah para sahabat Nabi saw pergi
berniaga di daratan dan di lautan. Mereka bekerja di kebun tamar dan haruslah mengikuti
jejak mereka.
Abu Qallabah berkata kepada seorang
laki-laki: “Sesungguhnya aku melihat engkau mencari penghidupan, adalah lebih
aku sukai daripada melihat engkau di sudut masjid”.
Menurut riwayat, bahwa Al-Auza’i bertemu
dengan Ibrahim bin Adham ra dimana pada bahunya seberkas kayu api. Lalu
Al-Auza’i menegur: “Hai Abu Ishaq ! sampai kapan ini ? teman-temanmu merasa
puas begini ?”. Maka Ibrahim bin Adham menjawab: “Biarkanlah aku begini wahai
Abu ‘Amr. Karena sampai kepadaku kabar, bahwa barangsiapa berdiri pada tempat
kehinaan, mencari yang halal, niscaya haruslah baginya sorga”.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Bukanlah
bernama ibadah pada kami, bahwa engkau meletakkan kedua tapak kaki engkau
berbaris, sedang makanan mu diberikan oleh orang lain. Tetapi mulailah dengan
dua potong roti engkau ! peliharalah keduanya, kemudian beribadahlah !”.
Ma’az bin Jabal ra berkata: “Pada hari
kiamat, diserukan oleh penyeru: “Manakah orang yang dimarahi oleh Allah di
bumiNya ?”. Lalu bangunlah peminta di masjid-masjid”. Inilah celaan agama
kepada meminta-minta dan berpegang kepada bantuan orang lain. Dan orang yang
tiada mempunyai harta pusaka, maka tidaklah terlepas yang demikian, kecuali
oleh usaha dan perniagaan. Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada
diwahyukan kepadaku: supaya engkau mengumpulkan harta dan menjadi saudagar.
Tetapi diwahyukan kepadaku, supaya engkau bertasbih dengan memujikan Tuhanmu
dan hendaklah engkau orang yang bersujud. Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga
datanglah kepadamu yakin”.
Orang meminta kepada Salman Al-Farisi
dengan berkata: “Berilah nasehat kepada kami !”. Lalu Salman menjawab:
“Barangsiapa sanggup daripadamu meninggal dengan mengerjakan hajji atau
berperang atau meramaikan masjid Tuhannya, maka hendaklah berbuat yang demikian
! dan janganlah ia meninggal selaku saudagar dan pengkhianat”. Maka jawaban
atas pertanyaan anda tadi, sesungguhnya cara mengumpulkan diantara hadits dan
keterangan-keterangan itu, memerlukan kepada penguraian segala hal keadaan.
Maka sekarang kami terangkan: “Tidaklah kami mengatakan, bahwa berniaga itu
lebih utama mutlak dari segala yang lain. Tetapi berniaga itu, adakalanya untuk
mencari kecukupan atau kekayaan atau tambahan kepada kecukupan. Kalau dari
perniagaan itu dicari tambahan kepada kecukupan, untuk memperbanyak dan
menyimpan harta, bukan untuk dipergunakan kepada jalan kebajikan dan sedekah,
maka itu adalah tercela. Karena itu, adalah menghadapkan diri kepada dunia,
dimana mencintai dunia itu, adalah pokok tiap-tiap kesalahan. Kalau bersama
dengan itu, ia berbuat zalim dan berkhianat, maka itu adalah kezaliman dan
kefasikan. Dan inilah yang dimaksud oleh Salman dengan katanya: “Janganlah kamu
meninggal, sebagai saudagar dan pengkhianat !” Dan beliau maksudkan dengan
saudagar, ialah orang yang mencari tambahan.
Adapun apabila dengan perniagaan itu dicari
kecukupan untuk dirinya dan anak-anaknya dan ia sanggup untuk memperolah
kecukupan itu dengan meminta-minta, maka berniaga untuk menjaga diri dari
meminta-minta itu, adalah lebih utama. Dan kalau ia tidak memerlukan kepada
meminta-minta, tetapi ia diberikan tanpa meminta-minta, maka berusaha adalah
lebih utama. Karena sesungguhnya ia diberikan, adalah karena ia meminta dengan
perihal keadaannya dan mengumandangkan diri antara manusia dengan kemiskinan.
Maka menjaga diri dan menutup diri dan kekurangan, adalah lebih utama dari
keperkasaan. Bahkan dari melaksanakan segala ibadah badaniah (amalan
peribadatan yang dilaksanakan dengan tubuh).
Meninggalkan usaha, adalah lebih utama bagi
4 orang: orang yang mengerjakan ibadah badaniyah. Atau orang yang mempunyai
perjalanan dengan batin dan amalan dengan hati dalam segala ilmu keadaan dan
diminta untuk mengetahuinya saja (ilmu mukasyafah). Atau orang yang berilmu
yang bekerja dengan pendidikan ilmu zhahir, dari apa yang dapat dimanfaatkan
oleh orang banyak pada agamanya, seperti: mufti, ahli tafsir, ahli hadits dsb.
Atau orang yang bekerja untuk kemuslihatan kaum muslimin dan ia menanggung
mengurus segala urusan mereka, seperti sultan, kadli dan saksi. Maka mereka
yang tersebut tadi, apabila memperoleh kecukupan dari harta-harta yang
ditujukan bagi segala kemuslihatan itu atau harta-harta waqaf yang diwaqafkan
kepada orang-orang miskin atau alim-ulama, maka mereka menghadapkan diri kepada
perbuatan yang mereka laksanakan itu, adalah lebih utama, daripada mereka
bekerja dengan berusaha mencari penghidupan. Dan karena itulah, diwahyukan
kepada Rasulullah saw: “Supaya bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu dan
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang bersujud kepada Allah !”. Dan tidak
diwahyukan kepadanya: “Supaya adalah kamu dari orang-orang yang berniaga”.
Karena dengan demikian, adalah mengumpulkan segala pengertian yang 4 tadi,
kepada tambahan-tambahan yang tidak dapat dihinggakan sifatnya. Dan karena
inilah, diisyaratkan oleh para sahabat kepada Abubakar ra supaya meninggalkan
perniagaan, tatkala beliau menjabat kedudukan Khalifah. Karena perniagaan itu
mengganggu beliau dari mengurus segala kemuslihatan umat. Dan beliau dapat
mengambil yang mencukupkan baginya dari harta kepentingan umum. Dan beliau
sendiri berpendapat yang demikian itu, adalah lebih utama. Kemudian, tatkala
hampir wafat, beliau meninggalkan wasiat, supaya dikembalikan harta itu ke Baitul-mal
(kas umum). Tetapi beliau pada mulanya dahulu, berpendapat mengambilnya lebih
utama. Dan bagi orang yang 4 itu, mempunyai hal yang lain:
Hal yang pertama: adalah
perbelanjaan yang mencukupkan bagi mereka ketika meninggalkan berusaha,
terdapat dari pemberian orang banyak dan apa yang disedekahkan kepada mereka,
dari zakat atau sedekah, tanpa memerlukan kepada meminta. Maka meninggalkan
usaha dan meneruskan apa yang dikerjakan oleh mereka itu sekarang, adalah lebih
utama. Karena padanya menolong manusia kepada kebajikan dan menerima dari
mereka apa yang menjadi hak dan yang lebih utama bagi orang yang 4 itu.
Hal yang kedua: memerlukan kepada meminta-minta. Dan ini
memerlukan kepada perhatian. Penegasan-penegasan yang telah kami riwayatkan
dahulu tentang meminta-minta serta celaan kepadanya, adalah menunjukkan dengan
jelas, bahwa menjaga diri dari meminta-minta, adalah lebih utama. Dan berkata
secara mutlak tentang meminta-minta itu, tanpa memperhatikan hal-keadaan dan
orang-orangnya, adalah sulit. Bahkan itu diserahkan kepada kesungguhan
pemikiran dan perhatian seseorang hamba untuk dirinya, dengan membandingkan apa
yang diperolehnya pada meminta-minta itu, ialah kehinaan dan kerusakan harga
diri. Serta memerlukan kepada pemberatan dan permintaan dengan mendesak,
dibandingkan dengan apa yang berhasil, dari kesibukannya dengan ilmu dan amal,
yang merupakan faedah untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Banyak
jugalah orang, yang banyak faedahnya untuk makhluk (orang banyak). Dan
faedahnya itu, adalah dalam usahanya dengan ilmu atau amal. Dan mudahlah
baginya, dengan sindiran yang sedikit saja pada meminta, untuk memperoleh
kecukupan (kifayah). Kadang-kadang adalah sebaliknya dan kadang-kadang
berhadapan dengan yang dicari dan yang diawasi. Maka seyogyalah murid (yang
menuntut jalan akhirat) itu, meminta fatwa pada hatinya sendiri, meskipun telah
diberi fatwa oleh para mufti yang lain. Karena segala fatwa itu tidak meliputi
dengan segala uraian bentuk dan hal-ikhwal yang halus-halus. Dan adalah dalam
golongan salaf dahulu, orang yang mempunyai teman 360 orang, dimana ia
bertempat pada masing-masing mereka itu semalam. Dan sebahagian mereka
mempunyai teman 30 orang. Mereka itu mengerjakan ibadah, karena mereka itu
tahu, bahwa orang-orang yang dibebani itu, akan merasa memperoleh ni’mat dari
penerimaan mereka akan kebajikan-kebajikan dari orang-orang itu. Maka adalah
penerimaan mereka segala kebajikan orang-orang itu, merupakan kebajikan
tambahan kepada peribadatan mereka.
Maka seyogyalah diperhatikan dengan sehalus-halusnya
pada segala persoalan tersebut. Karena pahala orang yang mengambil, adalah
seperti pahala orang yang memberi, manakala yang mengambil itu memperoleh
pertolongan dengan pengambilannya kepada agama. Dan orang yang memberi,
memberikannya dengan baik hati. Orang yang dapat menoleh kepada segala
pengertian tersebut, niscaya memungkinkan kepadanya untuk mengenal akan keadaan
dirinya. Dan memperoleh penjelasan dari kalbunya, apakah yang lebih utama
baginya, dibandingkan kepada keadaan dan waktunya. Maka inilah keutamaan usaha
! dan hendaklah ikatan (‘aqad), dimana dengan ikatan itu usaha dijalankan,
dapat mengumpulkan 4 perkara: kesehatan, keadilan, ihsan dan kasih-sayang
kepada agama. Dan kami akan mengikatkan pada tiap-tiap satu daripadanya, suatu
bab. Dan kami mulai menyebutkan sebab-sebab kesehatan pada Bab Kedua ini.
BAB KEDUA: tentang ilmu berusaha dengan jalan
berjualan, riba, pembelian dengan pemesanan, penyewaan, penyerahan modal untuk
diperniaga kan dan perkongsian. Dan penjelasan syarat-syarat agama tentang
sahnya segala perbuatan itu, yang menjadi tempat berkisarnya segala usaha pada
agama.
Ketahuilah bahwa
menghasilkan ilmu pengetahuan bab ini, adalah diwajibkan atas tiap-tiap muslim
yang berusaha. Karena menuntut ilmu itu, menjadi kewajiban atas tiap-tiap
muslim. Yaitu, menuntut ilmu yang diperlukan. Dan orang yang berusaha itu,
memerlukan kepada ilmu perusahaan. Manakala telah memperoleh pengetahuan bab
ini, lalu mengetahui segala yang merusakkan mu’amalah (perniagaan). Maka dapatlah
menjagakannya. Dan soal-soal yang jarang terjadi, mengenai furu’-furu’(cabang2)
yang sulit, lalu terjadilah disebabkan kesulitan itu. Maka haruslah berhenti
dahulu, sampai memperoleh kesempatan untuk menanyakan kepada orang yang
berilmu. Karena apabila tiada tahu akan sebab-sebab fasidnya (batalnya) dengan
pengetahuan secara umum, maka tidaklah mengetahui, bilakah harus ia berhenti
dan bertanya. Kalau ada yang berkata: “Tidak aku dahulukan pengetahuan untuk
itu, tetapi aku bersabar, sampai terjadilah kejadian itu bagiku. Maka ketika
peristiwa itu terjadi, baru aku belajar dan aku meminta fatwa”. Maka hendaklah
dijawab kepada orang itu: “Dengan apakah engkau ketahui, bahwa peristiwa itu
terjadi, manakala engkau tiada mengetahui kumpulan yang merusakkan ikatan-ikatan
(‘aqad-aqad) itu ?”. Karena ia terus-menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu
dan menyangka bahwa pekerjaan-pekerjaan itu benar dan diperbolehkan. Dari itu,
haruslah mempunyai sekedar yang diperlukan dari ilmu berniaga. Supaya dapat
membedakan, yang diperbolehkan dan yang dilarang tempat yang mengandung
kesulitan dan yang jelas terang.
Dan karena itulah,
diriwayatkan dari ‘Umar ra, bahwa beliau berjalan berkeliling di pasar dan
memukul sebagian saudagar dengan cemeti, seraya berkata: “Tidaklah berjualan di
pasar kita ini, selain orang yang berpengetahuan ilmu fiqh. Kalau tidak, dia
akan memakan riba. Dengan kemauannya yang demikian atau tidak dengan
kemauannya”. Pengetahuan tentang aqad (berjual-beli dan lainnya) itu, adalah
banyak. Tetapi berjual-beli dan lainnya yang 6 yang tersebut diatas tadi,
tidaklah terlepas seseorang pengusaha daripadanya. Yaitu: berjualan, riba,
pembelian dengan pemesanan, penyewaan, perkongsian dan penyerahan modal untuk
diperniagakan (al-qiradl). Maka marilah kami uraikan syarat-syaratnya dibawah
ini:
AQAD
PERTAMA: berjualan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
menghalalkan berjualan. Dan berjualan itu, mempunyai 3 sendi (3 rukun): “aqid, ma’qud alaih dan lafadh”.
Sendi Pertama: ‘aqid (orang yang
melakukan aqad berjual beli). Seyogyalah bagi saudagar, tidak melakukan
mu’amalah (jual-beli) dengan 4 golongan manusia: anak kecil, orang gila, budak
belian dan orang buta. Karena anak kecil itu belum mukallaf (belum dewasa dan
berakal). Dan begitu juga orang gila. Berjual beli dengan keduanya itu batal
(tidak sah). Maka tidaklah sah berjual-beli dengan anak kecil, walaupun telah
diizinkan oleh walinya, menurut mazhab Asy-Syafi’i. Dan apa yang diambil dari
kepunyaan keduanya, maka menjadi tanggungan si pengambil untuk keduanya. Dan
apa yang diserahkan dalam mu’amalah (jual-beli) kepada keduanya, lalu hilang
dalam tangan keduanya, maka yang bertanggung jawab itulah, yang meng
hilangkannya.
Adapun budak yang berakal, maka tidak sah
menjual dan membeli, kecuali dengan seizin tuannya. Maka haruslah tukang sayur,
tukang roti, tukang daging dan lainnya, tidak melakukan perdagangan mu’amalah
(jual-beli) dengan budak-budak, selama belum diizinkan oleh tuannya dalam
bermuamalah (jual-beli). Keizinan itu didengarnya dengan tegas atau tersiar
dalam negeri, bahwa kepada budak itu telah diizinkan membeli dan menjual untuk
tuannya. Maka bolehlah berpegang diatas berita yang tersiar atau keterangan
seorang yang adil, yang menerangkan dengan yang demikian itu. Kalau mengadakan
mu’amalah (jual-beli) dengan budak, tanpa izin tuannya maka ‘aqad itu batal.
Dan apa yang diambil dari budak itu, adalah menjadi tanggung jawab si pengambil
untuk tuannya. Dan yang diterimanya itu, jikalau hilang dalam tangan budak
tadi, niscaya tidaklah tersangkut pada leher budak itu. Dan tidak menjadi
tanggungan tuannya. Bahkan tuannya tidak dapat menuntut, kecuali apabila budak
itu telah merdeka nanti.
Adapun orang buta, yang menjual dan membeli
apa yang tidak dapat dilihatnya itu, maka tidaklah sah yang demikian. Maka
hendaklah disuruhnya, dengan cara mewakilkan kepada orang-orang yang dapat
melihat. Supaya dibeli atau dijualkan untuk dia. Maka sahlah mewakilkan itu dan
sahlah dijual oleh wakilnya. Kalau saudagar itu mengadakan jual-beli dengan orang buta itu sendiri, maka mu’amalah
(jual-beli) itu batal. Dan apa yang
diambilnya dari orang buta itu, menjadi tanggungan saudagar itu menurut
nilainya. Dan apa yang diserahkannya kepada orang buta itu, menjadi
tanggungannya juga menurut nilainya.
Adapun kafir, maka boleh bermu’amalah
(berjual-beli) dengan dia. Tetapi tidak dijual kepadanya Alquran Suci dan budak
muslim. Dan senjata, kalau kafir itu dari golongan yang berperang dengan orang
muslimin (ahlil-harb). Kalau diperbuat juga, maka mu’amalah (jual-beli) itu
ditolak. Dan yang melakukannya, telah berbuat ma’siat kepada Tuhannya.
Adapun tentara dari orang-orang Turki,
Turkistan, orang Arab, orang Kurdistan, pencuri, pengkhianat, pemakan riba,
orang zalim dan semua orang, yang kebanyakan hartanya haram, maka tidak
seyogyalah dimiliki sesuatu benda yang dalam tangannya. Karena benda-benda itu,
adalah haram. Kecuali telah diketahui, akan suatu barang tertentu, bahwa barang
itu halal. Dan akan datang penguraian yang demikian itu nanti pada “Kitab Halal
dan Haram”.
Sendi Kedua: mengenai ma’qud ‘alaih (benda yang dilakukan
jual-beli padanya). Yaitu: harta yang dimaksudkan pemindahannya dari
salah seorang ‘aqid (orang yang melakukan aqad berjual beli). kepada aqid yang
lain, baik harga atau barangnya. Maka mengenai ma’qud ‘alaih(benda yang
dilakukan jual-beli padanya) itu bukan
zat najis (najis ‘aini). Maka tidaklah sah menjual anjing, babi, kotoran,
berak, gading dan tempat-tempat yang diperbuat dari gading itu. Karena tulang
itu bernajis disebabkan mati. Dan gajah itu, tidak suci dengan disembelih dan
tulangnya tidak suci dengan dibersihkan. Dan tidak dibolehkan menjual khamar
dan minyak najis yang diperbuat dari hewan yang tidak dimakan, meskipun dapat
dipakai untuk lampu dan cat kapal. Dan tiada mengapa menjual minyak yang zatnya
suci, yang telah bernajis dengan jatuh najis atau mati tikus didalamnya. Maka
boleh mengambil manfaat dengan minyak itu pada bukan makan. Karena zat minyak
itu tidaklah bernajis. Begitupula, aku berpendapat tiada mengapa menjual biji
ulat sutera. Karena berasal dari hewan yang bermanfaat. Dan menyerupakannya
dengan telur, dimana telur itu adalah asal hewan, adalah lebih utama, daripada
menyerupakannya dengan tai. Dan boleh menjual kantong kesturi dan dihukum dengan
kesuciannya, apabila bercerai dari kijang, pada waktu sedang hidup.
2.
Bahwa ma’qud ‘alaih (benda yang dilakukan
jual-beli padanya) itu bermanfaat. Maka tidak boleh menjual
binatang-binatang kecil merayap (al-hasyarat), tikus dan ular. Dan tidak harus
menoleh, atas kemanfaatan yang diperoleh tukang sunglap dengan ular itu. Dan
tidak harus menoleh kepada kemanfaatan yang diambil oleh orang-orang yang
mempunyai binatang ternak dengan mengeluarkannya dari keranjang dan
meletakkannya dihadapan orang banyak. Dan boleh menjual kucing, lebah, beruang,
singa dan yang patut dipakai untuk berburu atau dapat dimanfaatkan kulitnya.
Dan boleh menjual gajah, untuk membawa barang-barang. Dan boleh menjual tiung,
merak, burung-burung yang cantik bentuknnya, meskipun tidak dimakan. Karena
meni’mati dengan suaranya dan memandang kepadanya, adalah suatu maksud yang
dimaksudkan dan diperbolehkan. Dan sesungguhnnya anjing, tidak boleh
dipelihara, karena merasa takjub dengan bentuknya, disebabkan Rasulullah saw
melarang yang demikian. Dan tidak boleh menjual gitar, begeres, seruling dan
alat-alat permainan. Karena tak ada manfaatnya pada agama. Begitu pula menjual
gambar-gambar yang terbuat dari tanah, seperti gambar binatang-binatang yang
dijual pada hari-hari lebaran, untuk mainan anak-anak. Maka wajiblah
memecahkannya, menurut agama. Dan gambar pohon-pohonan diperbolehkan. Adapun
kain dan baki, yang bergambar hewan padanya, maka sah menjualkannya. Dan
begitupula tabir-tabir. Rasulullah saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Buatlah daripadanya,
bantal-bantal kecil !”. Dan tidak boleh memakai bantal-bantal kecil yang
bergambarkan hewan-hewan itu dengan ditegakkan. Dan boleh secara diletakkan
(direbahkan). Dan apabila boleh diambil kemanfaatannya dari satu segi, niscaya
sahlah menjualnya karena segi itu.
3.
Bahwa benda yang dilakukan ‘aqad padanya, adalah kepunyaan si ‘aqid atau orang
yang memperoleh keizinan dari si pemilik. Dan tidak boleh membeli dari bukan si
pemiliknya, sementara menunggu keizinan dari si pemilik. Bahkan walaupun si pemilik
itu menyetujui kemudian, maka wajiblah mengulangi ‘aqadnya. Dan tiada
seyogyalah membeli dari isteri, harta suami dan tidak dari suami harta isteri.
Dan tidak dari bapak, harta anak dan tidak dari anak harta bapak, karena
berpegang, bahwa kalau yang mempunyai itu tahu, niscaya menyetujuinya. Karena
apabila keizinan itu tidak diperoleh lebih dahulu, niscaya penjualan itu tidak
sah. Dan contoh-contoh yang demikian itu, adalah sebahagian yang berlaku di
pasar-pasar sekarang. Maka haruslah bagi hamba yang beragama menjaga diri
daripadanya.
4.
Bahwa adalah ma’qud ‘alaih(benda yang dilakukan
jual-beli padanya) itu sanggup diserahkan menurut agama dan kenyataan.
Maka yang tidak sanggup diserahkan secara kenyataan, niscaya tidaklah sah
menjualnya, seperti budak yang sudah hilang, tak tentu kemana perginya
(al-abiq), ikan dalam air, anak hewan yang masih dalam kandungan (al-janin) dan
bibit keturunan dari hewan jantan. Dan begitupula, menjual bulu (bulu wol) yang
masih dipunggung hewannya dan susu yang masih pada susu hewannya, adalah tidak
dibolehkan. Karena sukar menyerahkannya, lantaran bercampur yang tidak dijual
dengan yang dijual. Dan yang tidak sanggup menyerahkannya menurut agama, adalah
seperti harta yang tergadai, yang diwaqafkan dan budak perempuan yang
beranak dari tuannya. Maka tidak juga
sah menjualnya. Begitupula, menjual induk tanpa anaknya, apabila anak itu masih
kecil. Dan juga menjual anak tanpa induknya. Karena dengan penyerahannya nanti,
menceraikan antara anak dan induknya. Dan itu adalah haram. Maka tidak sah
menceraikan diantara keduanya dengan penjualan.
5.
Bahwa benda yang dijual itu diketahui bendanya, jumlahnya dan sifatnya. Adapun
mengetahui bendanya, adalah dengan ditunjukkan kepada benda itu. Kalau penjual
mengatakan: “Aku jual kepadamu seekor dari kumpulan kambing itu, artinya:
seekor yang engkau sukai dari kambing-kambing itu. Atau aku jual sehelai dari
kain-kain ini yang dihadapan engkau. Atau sehasta dari kain kasar ini dan
ambillah dari segi mana engkau sukai. Atau 10 hasta dari tanah ini dan ambillah
dari tepi mana engkau kehendaki”. Maka penjualan itu batal. Semuanya itu,
adalah termasuk yang dibiasakan oleh orang-orang yang melengahkan agama.
Kecuali menjual yang bersifat umum (syai’), seperti: menjual setengah barang
atau 1/10 nya. Maka yang demikian itu, diperbolehkan.
Adapun mengetahui jumlahnya, maka
sesungguhnya berhasil dengan sukatan atau timbangan atau melihat kepadanya.
Maka kalau si penjual itu mengatakan: “Aku jual kepadamu kain ini, dengan harga
yang dijualkan oleh si Anu kainnya, “sedang keduanya tidak mengetahui yang
demikian itu, maka penjualan itu batal. Kalau si penjual mengatakan: “Aku jual
kepadamu dengan harga menurut timbangan alat neraca ini”, maka penjualan itu
batal, apabila berat neraca itu tidak diketahui. Kalau si penjual mengatakan:
“Aku jual kepadamu kumpulan gandum ini (yang belum disukat atau ditimbang)”,
maka penjualan itu batal. Atau si penjual itu mengatakan: “Aku jual kepadamu
dengan harga kumpulan dirham ini atau dengan sepotong emas ini”. Sedang ia
melihatnya, niscaya sah lah penjualan itu. Dan taksirannya dengan
melihat itu, mencukupilah untuk mengetahui takarannya.
Adapun mengetahui sifatnya, maka berhasil
dengan melihat pada benda-benda itu sendiri. Dan tidaklah syah menjual benda
jauh, kecuali telah dilihat lebih dahulu sejak beberapa waktu, yang tidak banyak
mendatangkan perobahan padanya. Menyifatkan dengan kata-kata, tidaklah sama
seperti dilihat dengan mata kepala. Dan ini, adalah salah satu dari dua aliran
(Salah satu dari dua mazhab). Dan tidaklah boleh menjual kain dalam tenunannya,
karena berpegang kepada angka-angkanya. Dan tidaklah boleh menjual gandum yang
masih pada tangkainya. Dan boleh menjual beras yang dalam kulitnya (padi),
dimana dia disimpan dalam kulit itu. Dan begitupula, boleh menjual buah kelapa
dan buah lauz (batangnya hampir mendekati batang delima) dalam kulit yang
dibawah (tempurung) dan tidak dibolehkan masih dalam kedua kulitnya. Dan boleh
menjual buah kacang (baqila’) yang belum kering dalam kulitnya, karena sesuatu
keperluan. Dan diperbolehkan menjual fuqqa’ (minuman yang diperbuat dari
syair), karena telah berjalan adat kebiasaan orang-orang yang terdahulu dengan
yang demikian. Tetapi kita jadikan itu diperbolehkan, adalah sebagai penukaran
dengan pembayaran harga (‘iwadl). Kalau dibeli untuk dijual lagi, maka menurut
qiasnya/secara logika, adalah batal. Karena tidaklah ia tertutup dengan tutup
kejadiannya. Dan tidak jauh untuk diperbolehkan dengan yang demikian. Karena
pada mengeluarkannya, mendatangkan kerusakan, seperti buah delima dan segala
apa yang tertutup dengan tutup kejadiannya (kulitnya yang asli sebagai
penutup).
6.
Bahwa adalah barang yang dijual itu diterima dengan tangan, kalau sudah
memperoleh miliknya dengan membayar harganya. Dan ini, adalah syarat khusus.
Dan Rasulullah saw telah melarang menjual barang yang tidak bisa diterima
dengan tangan. Sama saja barang itu, barang tetap atau barang yang dapat
dipindahkan (barang bergerak). Maka tiap-tiap yang dibeli atau dijual sebelum
diterima dengan tangan, adalah penjualannya batal. Menerima barang yang bisa
dipindahkan itu, adalah memindahkannya. Dan menerima barang tetap (barang tidak
bergerak), adalah dengan dikosongkan. Dan penerimaan barang yang dibeli, dengan
syarat disukat, adalah tidak sempurna penerimaan itu, kecuali dengan disukat.
Adapun penjualan harta pusaka, wasiat, barang simpanan dan barang-barang yang
dimiliki, tidak dengan pembayaran harga, maka itu dibolehkan sebelum diterima
dengan tangan.
Sendi
Ketiga: lafadh ‘aqad. Maka haruslah
berlaku ijab dan qabul yang bersambung, dengan lafadh (kata-kata), yang
menunjukkan kepada yang dimaksud dan yang dapat dipahami. Adakalanya dengan
tegas (sharih) atau tidak tegas (kinayah). Kalau penjual itu mengatakan: “Aku
berikan kepadamu ini dengan itu”, sebagai ganti katanya: “Aku jualkan
kepadamu”, lalu si pembeli itu menjawab: “Aku terima”, niscaya boleh, manakala
keduanya bermaksud jual-beli. Karena kadang-kadang yang demikian itu,
memungkinkan kepada peminjaman, apabila berlaku mengenai dua helai kain atau
dua ekor hewan. Maka dengan niat tadi, tertolaklah kemungkinan tersebut.
Perkataan yang sharih (tegas) itu, dapat menghilangkan persengketaan. Tetapi
kata-kata yang tidak tegas (kinayah), dapat mendatangkan hak milik dan halal
juga tentang apa yang dipilihkan itu. Dan tiada seyogyalah penjualan itu
disertai dengan syarat, yang berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ‘aqad.
Kalau disyaratkan, supaya ditambahkan sesuatu yang lain atau supaya barang yang
dijual itu dibawa ke rumah si pembeli atau si pembeli itu membeli kayu api
dengan syarat diangkut ke rumahnya, maka semuanya itu tidak sah penjualannya.
Kecuali apabila disertakan penyewaan pengangkutan itu dengan ongkos tertentu,
yang terasing dari pembelian, untuk pengangkutan itu. Manakala tidak berlaku
antara si penjual dan si pembeli, selain dari beri-memberi dengan perbuatan,
tanpa perkataan dengan lisan, niscaya tidaklah sah sekali-kali penjualan itu
pada Asy-Syafi’i.
Dan pada Imam Abu Hanifah sah, apabila
penjualan itu pada barang-barang yang tidak begitu berharga. Kemudian,
menentukan “barang-barang yang tidak begitu berharga” amat sulit pula.
Sesungguhnya mengembalikan persoalan kepada adat-kebiasaan, maka manusia itu
telah melewati dari “barang-barang yang tidak begitu berharga” dalam
beri-memberi itu. Karena –umpamanya –seorang perantara (dallal), datang kepada
penjual kain (bazzar), lalu mengambil daripadanya, sehelai kain sutera, seharga
10 dinar dan dibawanya kepada seorang pembeli. Kemudian ia kembali kepada
pembeli itu dan menerangkan, bahwa si pemiliknya menyetujui dengan harga
demikian. Lalu perantara tadi mengatakan kepada si pembeli: “Ambillah 10 !”.
Maka perantara tersebut, mengambil dari temannya (yang menjadi pembeli) itu
uang 10 dinar. Dibawanya dan diserahkannya kepada penjual kain, pemilik kain sutera tadi. Dan si penjual kain itu mengambilnya dan mempergunakan uang tersebut. Dan si
pembeli kain sutera itu memotongkannya. Dan tidak berlaku sekali-kali diantara
keduanya ijab dan qabul. Dan begitupula, berkumpul orang-orang yang bersedia
membeli, di muka toko seorang penjual. Lalu penjual itu mengemukakan sebuah
barang, dengan harga 100 dinar umpamanya, kepada orang yang mau menambah. Lalu
seorang dari mereka itu menjawab: “Ini untuk saya dengan harga 90”. Dan yang
lain menjawab: “Biar untuk saya dengan harga 95”. Dan yang lain menjawab lagi:
“Biar untuk saya dengan harga 100”. Lalu dikatakan kepada pembeli itu:
“Timbanglah !”. Maka ia timbang dan menyerahkan harganya. Dan mengambil barang
tadi, tanpa ijab dan qabul. Sehingga terus-menerus adat-kebiasaan itu berlaku.
Dan ini adalah setengah dari penyakit yang tiada menerima obat, karena
kemungkinan-kemungkinannya ada 3:
Kemungkinan
pertama: adakalanya membuka pintu beri-memberi secara mutlak pada barang yang
tidak berharga dan barang yang bernilai tinggi. Dan itu, adalah mustahil.
Karena cara yang demikian, adalah pemindahan milik tanpa lafadh yang
menunjukkan kepadanya. Dan Allah Ta’ala menghalalkan jual-beli. Dan jual-beli
itu, adalah nama bagi ijab dan qabul. Dan ijab serta qabul itu tidak dilakukan.
Dan tidaklah berlaku nama jual-beli, dengan semata-mata perbuatan dengan
penyerahan dan penerimaan. Maka dengan apakah dihukum pemindahan hak milik dari
kedua pihak itu ? lebih-lebih tentang budak-budak wanita dan pria,
barang-barang tetap, hewan-hewan yang berharga dan barang-barang yang banyak
terjadi pertengkaran padanya. Karena bagi yang menyerah dapat meminta kembali,
seraya mengatakan: “Aku sudah menyesal dan aku tidak jualkan barang itu. Karena
tidak keluar daripadaku, kecuali semata-mata penyerahan. Dan cara yang demikian
itu, bukanlah penjualan”.
Kemungkinan
kedua: bahwa kita tutup pintu beri-memberi itu secara keseluruhan, sebagaimana
kata Imam Asy-Syafi’i: batalnya ‘aqad dengan cara yang demikian. Mengenai ini,
ada dua segi kemusykilan/kesulitan:
1.
Meragukan yang demikian itu pada barang-barang yang tidak
berharga, karena telah menjadi kebiasaan pada zaman sahabat ra. Kalaulah mereka
itu memberatkan ijab dan qabul dengan tukang sayur, tukang roti dan tukang
daging, niscaya beratlah bagi mereka melaksanakannya. Dan tentulah yang
demikian itu menjalar dan berkembang. Dan tentulah ada waktu, yang terkenal
meninggalkan adat-kebiasaan tadi secara keseluruhan. Sedang masa-masa tentang
hal yang seperti itu, berlebih kurang keadaannya.
2.
Bahwa manusia sekarang telah terbenam dalam cara ber
-memberi. Orang tidak membeli sesuatu, baik makanan atau lainnya, melainkan
mengetahui bahwa si penjual telah memilikkan barang itu kepada si pembeli
dengan cara beri-memberi. Maka apakah faedahnya lagi, melafadhkan pada ‘aqad
itu, apabila pekerjaan sudah sedemikian ?
Kemungkinan
ketiga: bahwa dipisahkan diantara barang yang tidak berharga dengan lainnya,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah ra. Dan dalam hal ini, sukar pula
menentukan barang yang tidak berharga itu. Dan kesulitan cara pemindahan hak
milik, tanpa lafadh, menunjukkan kepada yang demikian itu. Dan Ibnu Suraij
beraliran kepada mengemukakan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dengan menyetujuinya.
Dan itu, adalah kemungkinan yang lebih mendekati kepada jalan tengah
(al-i’tidal). Maka tiada mengapa kalau kita condong kepadanya, karena
kepentingan meminta. Dan karena umum telah berlaku diantara orang banyak. Dan
karena telah berat dugaan, bahwa yang demikian itu, telah dibiasakan pada
masa-masa pertama dahulu. Adapun jawaban dari kedua kemusykilan/kesulitan
diatas, maka kami mengatakan:
1.
Adakalanya penentuan tentang pemisahan diantara barang-barang
yang tidak berharga dengan yang berharga. Maka tidaklah itu memberatkan kita
untuk menaksir. Karena yang demikian itu, tidaklah mungkin. Tetapi mempunyai
dua segi yang jelas. Karena tidaklah tersembunyi bahwa membeli sayur-sayuran
dan sedikit buah-buahan, roti dan daging itu, terhitung barang-barang yang
tidak berharga, yang tidak dibiasakan padanya, kecuali beri-memberi. Dan yang
meminta ijab dan qabul dalam hal yang seperti itu, terhitung orang yang
berlebih-lebihan. Dan permintaan untuk itu dipandang dingin dan berat. Dan ia
digolongkan kepada orang yang menegakkan timbangan bagi barang yang tak berharga.
Dan tak adalah cara yang demikian. Ini, adalah segi barang yang tidak berharga.
Dan segi yang kedua, ialah hewan, budak, benda-benda tetap dan kain-kain yang
bernilai tinggi. Maka yang demikian, adalah tidak dapat dipandang jauh dari
kebenaran, untuk memaksakan ijab dan qabul padanya. Dan diantara yang pertama
dan yang kedua itu, hal-hal yang menengah yang meragukan, yang diragukan
padanya, tentang dia itu pada tempat yang meragukan. Maka hak bagi orang yang
memegang teguh akan agama, untuk condong padanya kepada berhati-hati. Dan semua
ketentuan agama mengenai apa yang diketahui dengan adat-kebiasaan, seperti itu
juga, terbagi kepada beberapa segi yang nyata dan hal-hal yang ditengah-tengah
yang menyulitkan.
2.
Yaitu: mencari sebab untuk pemindahan hak milik. Maka itu
adalah menjadikan perbuatan dengan tangan, sebagai mengambil dan menyerah untuk
menjadi “sebab”. Karena lafadh (kata-kata), tidaklah menjadikan sebab itu
sendiri, tetapi hanya menunjukkan kepada sebab itu. Dan perbuatan itu, adalah
menunjukkan kepada maksud dari penjualan, suatu penunjukkan yang terus-menerus,
menurut adat-kebiasaan. Dan bercampur kepadanya singgungan keperluan,
adat-kebiasaan orang-orang dahulu dan banyak terjadinya segala adat-kebiasaan,
dengan menerima hadiah-hadiah itu.
Apakah perbedaannya, antara ada pada benda itu ‘iwadl
(penukaran dengan pembayaran harga) atau tidak ada ? karena hak milik itu tak
boleh tidak pula daripada pemindahannya pada hibah (pemberian). Kecuali
adat-kebiasaan yang dahulu-dahulu, yang tidak membedakan pada hadiah-hadiah
itu, antara yang tidak bernilai dan yang bernilai tinggi. Bahkan menuntut
adanya ijab dan qabul itu, dipandang kurang baik, betapapun adanya. Dan pada
benda yang dijual itu, tidaklah dipandang keji ijab dan qabul pada barang-barang
yang bernilai.
Inilah yang kami lihat lebih adil dari
segala kemungkinan-kemungkinan itu. Dan menjadi hak orang yang wara’ dan
beragama, untuk tidak meninggalkan ijab dan qabul, untuk dapat melepaskan diri
dari syubhat (diragukan) khilaf diantara para ulama. Maka tidak wajarlah ia
mencegah diri dari ijab dan qabul, lantaran si penjual telah memiliki barang
yang dijualnya itu dahulu, tanpa ijab dan qabul. Karena yang demikian itu,
sebenarnya ia tiada mengetahui akan hakikat/makna yang sebenarnya. Mungkin dibelinya
dahulu dengan ijab dan qabul. Kalau ia hadir ketika dibeli oleh si penjual itu
dahulu atau si penjual itu mengakui dengan demikian, maka hendaklah ia mencegah
diri dari membeli pada si penjual itu. Dan hendaklah membeli pada orang lain.
Jikalau barang itu tidak berharga dan ia memerlukan kepadanya, maka hendaklah
ia melafadhkan dengan ijab dan qabul. Karena yang demikian itu, memberi faedah
tidak adanya pertengkaran pada masa depan.
Sebab kembali (tidak meneruskan penjualan)
sesudah adanya kata-kata ijab dan qabul yang tegas, adalah tidak mungkin. Dan
dari perbuatan saja itu mungkin (penerimaan saja, tanpa ijab dan qabul). Kalau
anda bertanya, bahwa kalau itu mungkin mengenai apa yang dibelinya, maka
bagaimana ia berbuat, apabila menghadiri suatu jamuan atau hidangan, sedangkan
ia mengetahui, bahwa yang mempunyai jamuan atau hidangan itu, mencukupkan
dengan beri-memberi saja pada penjualan dan pembelian. Atau ia mendengar dari
mereka itu yang demikian atau melihatnya.
Adakah wajib ia mencegah diri dari makan ?
Maka aku menjawab: wajiblah ia mencegah diri dari membeli, apabila barang yang
dibeli mereka itu, mempunyai jumlah yang berharga tinggi dan tidak dari
barang-barang yang tidak berharga. Adapun makan, maka tidaklah wajib mencegah
diri daripadanya. Sesungguhnya aku mengatakan, bahwa ragunya kita, tentang
menjadikan perbuatan itu, untuk menunjukkan kepada pemindahan hak milik, maka
tiada seyogyalah kita tidak menjadikannya penunjukkan kepada pembolehan. Karena
hal pembolehan (ibahah) itu, adalah lebih luas. Dan hal pemindahan hak milik
itu, adalah lebih sempit. Maka tiap-tiap makanan yang berlaku padanya penjualan
secara beri-memberi (mu’athah), adalah penyerahan si penjual itu, merupakan
keizinan untuk makan, yang diketahui demikian dengan peri keadaan. Seperti
keizinan penjaga tempat permandian air panas untuk memasuki tempat permandian.
Dan keizinan pada makan bagi orang yang dimaksud oleh pembeli. Maka yang
demikian itu dapat ditempatkan pada kedudukan, seumpama kalau dikatakan oleh si
pembeli: “Aku perbolehkan kepadamu memakan makanan ini atau engkau beri makan
kepada siapa saja yang engkau kehendaki !” maka yang demikian itu menghalalkan
baginya. Dan kalau ditegaskannya, dengan mengatakan: “Makanlah makanan ini ! kemudian
bayarlah bagiku ‘iwadlnya (harganya) !”, niscaya halallah dimakan. Dan haruslah
ia membayar sesudah makan. Ini, adalah qias ilmu fiqh padaku. Tetapi orang itu,
sesudah beri-memberi, adalah memakan hak miliknya dan menghabiskan hak
miliknya. Maka haruslah ia menjamin dan jaminan itu adalah dalam tanggung
jawabnya. Dan harga yang diserahkannya, kalau harga itu menurut nilainya, maka
yang berhak itu telah memperoleh menurut nilai haknya. Maka ia boleh
memilikinya, manakala ia lemah daripada mencari orang yang berkewajiban
melunasinya. Dan kalau ia sanggup mencari orang yang harus melunasinya, maka
janganlah ia memiliki apa yang diperolehnya dari hak milik orang yang
bertanggung jawab melunasinya. Karena kadang-kadang ia tidak rela benda itu,
untuk diserahkannya pembayaran hutangnya. Maka haruslah ia menanyakan kembali
kepada yang berkewajiban membayar itu.
Adapun dalam hal yang tersebut, ia telah
mengetahui akan rela yang mempunyai barang, dengan tanda bukti keadaan, ketika
penyerahan itu. Sehingga tidak jauhlah untuk dijadikan perbuatan itu, sebagai
bukti kepada keizinan, bahwa hutang itu akan diterimanya dengan sempurna, dari
harga apa yang diserahkannya itu. Sehingga adalah ia mengambil haknya. Tetapi
dalam tiap keadaan itu pihak si penjual, adalah lebih kabur. Karena apa yang telah
diambilnya, kadang-kadang dikehendaki oleh si pemiliknya, hendak berbuat
sesuatu padanya. Dan tiada mungkin ia memiliki apa yang diambilnya itu, kecuali
apabila telah rusaklah benda makanannya dalam tangan si pembeli. Kemudian
kadang-kadang ia menghendaki kepada pengulangan kembali maksud memiliki.
Kemudian adalah ia memiliki itu dengan kerelaan semata-mata, yang diperolehnya
dari perbuatan, bukan dari perkataan.
Adapun pihak si pembeli makanan itu, dimana
dia tidak bermaksud selain dari makan, maka adalah soal mudah. Karena yang
demikian itu, diperbolehkan dengan pembolehan yang dipahami dari perihal
keadaan. Tetapi, kadang-kadang harus dari musyawarah, bahwa tamu itu menanggung
akan apa yang telah dirusakkannya. Dan tanggungan itu gugur daripada tamu tadi,
apabila si penjual telah memiliki akan apa yang diambilnya dari si pembeli.
Maka gugurlah tanggungan itu, seperti orang yang membayar hutangnya dan yang
menanggung dari hutang itu. Maka inilah, apa yang kami lihat tentang kaidah
beri-memberi tentang kesulitannya. Dan ilmu yang sebenarnya, adalah pada sisi
Allah. Dan yang tersebut itu adalah kemungkinan-kemungkinan dan
persangkaan-persangkaan yang telah kami tolak. Dan tidak mungkin mendasarkan
fatwa, selain diatas sangkaan-sangkaan tersebut. Adapun orang wara’, maka
seyogyalah mencari fatwa dari hatinya sendiri dan menjaga diri dari
tempat-tempat syubhat (tempat-tempat yang meragukan).
‘AQAD
KEDUA: ‘aqad riba.
Riba itu telah diharamkan oleh Allah
Ta’ala. Dan Allah Ta’ala sangat mengeraskan tentang riba itu. Dan haruslah
menjaga diri dari riba, atas orang-orang yang pekerjaannya menukar uang, yang
melakukan mu’amalah (jual beli) atas dua macam uang dan atas orang-orang yang
melakukan mu’amalah pada makanan-makanan. Karena tak ada riba itu, selain pada
uang (naqd) atau pada makanan. Dan haruslah penukar-penukar uang (ash-shairafi), menjaga diri
daripada penangguhan dan kelebihan.
Adapun penangguhan, yaitu: ia tidak menjual
sesuatu dari zat dua mata uang, dengan sesuatu dari zat dua mata uang itu,
kecuali dengan tunai (yadan bi yadin). Yaitu: bahwa berlaku terima-menerima
pada tempat pembelian itu. Dan inilah artinya penjagaan diri dari penangguhan
itu ! Penyerahan oleh penukar-penukar uang akan emas ke gudang pembikinan uang
dan pembelian dinar-dinar yang sudah dibikin menjadi uang, adalah haram dari
segi penangguhan. Dan dari segi, bahwa biasanya berlakulah padanya berlebih
kurang (tafadlul), karena tidak dikembalikan uang yang sudah dibikin itu,
menurut timbangannya semula. Adapun kelebihan, maka
haruslah menjaga diri dalam 3 hal:
1.
Pada penjualan yang pecah dengan yang tidak pecah. Maka
tidaklah harus melakukan mu’amalah (jual beli) pada keduanya, selain bersamaan
diantara keduanya.
2.
Pada penjualan yang bagus dengan yang buruk. Maka tidaklah
wajar membeli yang buruk dengan yang bagus yang berkurang timbangannya atau
menjual yang buruk dengan yang bagus yang lebih tinggi timbangannya. Ini, saya
maksudkan, apabila menjual emas dengan emas dan perak dengan perak. Kalau ke 2
jenis itu berlainan, maka tidak mengapa tentang berkelebihan.
3.
Pada bercampur dari emas dan perak, seperti dinar yang
bercampur dari emas dan perak. Kalau takaran emas tidak diketahui sama sekali,
niscaya mu’amalah (jual beli) itu tidak
sah sekali-kali. Kecuali apabila yang demikian itu, adalah uang yang berlaku
dalam negeri. Maka kita perbolehkan bermu’amalah (perniagaan) dengan uang
tersebut, apabila tidak berhadapan dengan sesama uang.
Begitupula dirham yang bercampur dengan
tembaga, jikalau tidak menjadi uang yang berlaku dalam negeri, niscaya tidaklah
sah bermu’amalah (perniagaan) dengan dia. Karena yang dimaksud daripadanya,
ialah potongan yang dihancurkan dari emas dan perak. Dan potongan itu tidak
diketahui. Dan kalau telah menjadi uang yang berlaku dalam negeri, maka kita
perbolehkan dalam bermu’amalah (perniagaan). Karena diperlukan dan karena potongan emas dan perak itu, telah
keluar daripada dimaksudkan mengerluarkannya dari uang itu. Tetapi tidaklah
sekali-kali berhadapan dengan sesama potongan emas dan perak itu. Begitu pula,
tiap-tiap perhiasan yang tersusun dari campuran emas dan perak. Maka tidaklah
dibolehkan membelinya, tidak dengan emas dan tidak dengan perak. Tetapi,
seyogyalah dibeli dengan benda yang lain. Hal itu kalau takaran emas padanya
dimaklumi. Lain halnya apabila benda itu dicelup dengan emas, sebagai celupan
yang tidak menghasilkan emas yang dimaksud, ketika diletakkan di atas api. Maka
dalam hal ini, bolehlah menjualnya dengan yang sama dari potongan yang
dihancurkan dari emas dan perak itu, dengan apa saja yang dimaksudkan dari yang
bukan potongan yang dihancurkan tadi.
Dan begitu pula, tidak dibolehkan bagi
penukar-penukar uang, membeli kalung, yang ada padanya batu-batu berharga dan
emas, dengan emas. Dan tidak boleh juga menjualnya. Tetapi dibolehkan membeli
dan menjual itu, bila dibayar dengan perak, dengan tunai, kalau tak ada pada
kalung itu perak. Dan tidak dibolehkan membeli kain yang ditenuni dengan emas,
yang berhasil darpadanya emas dimaksud, ketika diletakkan diatas api, dengan
pembayarannya emas. dan dibolehkan bila pembayarannya dengan perak dan lainnya.
Adapun orang-orang yang melakukan mu’amalah
(jual beli)tentang makanan-makanan, maka haruslah terima-menerima pada tempat
jual-beli itu, berlainankah diantara jenis makanan yang dijual dan dibeli atau
tidak berlainan. Kalau jenisnya satu, maka haruslah terima-menerima dan menjaga
persamaan (al-mumatsalah). Dalam hal ini yang dibiasakan, ialah mu’amalah (jual
beli)nya tukang daging, dengan diserahkan kepadanya kambing. Dan dengan kambing
itu dibelikan daging, secara tunai atau ditangguhkan. Maka itu adalah haram.
Dan mu’amalah (perniagaan)nya tukang roti, dengan diserahkan kepadanya gandum
dan dibelikan dengan gandum itu roti, secara ditangguhkan atau tunai. Maka itu
adalah haram. Dan mu’amalah (perniagaan) nya pembuat-pembuat
minyak, dengan diserahkan kepadanya biji-bijian, biji simsim dan zaitun, untuk
diambil daripadanya minyak. Maka itu adalah haram. Dan begiitu pula mu’amalah
(perniagaan) tukang susu, yang diserahkan kepadanya susu, untuk diambilkan
daripadanya susu kental, minyak samin, susu keras dan bahagian-bahagian susu
yang lain, maka itupun haram. Dan tidak dijualkan makanan dengan makanan yang
bukan jenisnya, kecuali dengan tunai. Dan tidak boleh dijualkan dengan
yang sejenis, kecuali dengan tunai dan sama. Dan tiap-tiap yang terbuat dari
barang makanan, maka tidak boleh diperjual-belikan, baik sama atau lebih-kurang.
Sehingga tidaklah dijual tepung roti dan tepung yang paling halus, dengan
gandum. Dan tidak diperjual belikan air yang diperas dari buah anggur yang
telah dimasak pada api (addibs), cuka dan air yang diperas dari buah anggur,
dengan buah anggur kering (‘inab) dan tamar. Dan tidak diperjual-belikan minyak
samin, susu kental, susu masam, air yang menetes dari susu dan susu yang sudah
keras, dengan susu. Dan persamaan, tidaklah mendatangkan faedah, apabila
makanan itu tidak ada dalam keadaan sempurna penyimpanannya. Maka tidaklah
dijual ruthab (buah anggur yang belum kering) dengan ruthab dan ‘inab (buah
anggur yang sudah kering) dengan ‘inab, baik lebih-kurang atau sama. Maka
inilah kumpulan yang kira-kira mencukupi tentang definisi (ta’rif) penjualan,
serta peringatan untuk diketahui oleh saudagar, tempat-tempat yang merusakkan.
Sehingga ia mencari fatwa ulama apabila ia ragu dan samar tentang sesuatu
daripadanya. Apabila ini tidak diketahuinya, niscaya ia tidak memperoleh
pemahaman bagi tempat-tempat pertanyaan. Lalu berkecamuklah riba dan haram,
sedang ia tidak mengetahuinya.
‘AQAD
KETIGA: pembelian dengan pemesanan.
Hendaklah saudagar pada pembelian dengan pemesanan ini
menjaga 10 syarat:
1. Modal itu diketahui dengan yang menyamainya, sehingga
jikalau sukar menyerahkan benda yang dipesan itu, niscaya mungkinlah
dikembalikan nilai dari modal itu. Kalau pemilik modal itu menyerahkan
segenggam dirham, tanpa dihitung dan ditimbang, dalam karung gandum, niscaya
tidaklah sah menurut salah satu qaul (salah satu pendapat ulama).
2. Bahwa modal itu diserahkan dalam majlis ‘aqad (tempat
diadakan ikatan perjanjian), sebelum perpisahan. Kalau keduanya berpisah,
sebelum modal diterima, niscaya perjanjian itu terlepas dengan sendirinya.
3. Bahwa yang dipesan itu termasuk barang yang mungkin
dikenal sifat-sifatnya, seperti: biji-bijian, hewan, logam, kapas, bulu wol,
sutera, susu, daging, benda-benda yang dipergunakan oleh pembuat-pembuat minyak
wangi dsb. Dan tidak dibolehkan ma’jun, barang yang tersusun bercampur dan yang
berlain-lainan bahagian-bahagiannya, seperti barang-barang bikinan kasar,
tombak yang diperbuat, sepatu pansus, alas kaki yang berlainan bahagian dan
perbuatannya dan kulit binatang. Dan boleh pemesana itu pada roti. Dan apa yang
terjadi pada roti tentang berbeda takaran garam dan air dengan banyaknya
pemasakan dan sedikitnya, adalah dimaafkan dan tidak diperhitungkan benar.
4. Bahwa dilakukan penjelasan tentang sifat dari
barang-barang yang dapat disifatkan itu dengan seteliti-telitinya. Sehingga
tiada tinggal suatu sifatpun, yang menimbulkan berlebih kurang nilai, dimana
tidak tipu-menipu manusia dengan hal yang seperti itu, melainkan disebutkannya.
Karena penyifatan itu, adalah menyerupai melihat dengan mata, dalam hal
penjualan.
5. Bahwa lama waktunya diketahui, kalau perjanjian itu
memakan waktu. Maka tidaklah ditangguhkan sampai kepada menyabit dan kepada
mendapat hasil buah-buahan. Tetapi ditangguhkan kepada beberapa bulan dan hari
yang tertentu. Karena mendapat buah-buahan itu kadang-kadang terdahulu dan
kadang-kadang terkemudian.
6. Adalah benda yang dibeli dengan pesanan itu, dapat
diserahkan pada waktunya dan dipercayai adanya pada waktu itu biasanya. Maka
tiada wajarlah dilakukan ikatan perjanjian tersebut pada anggur kering (‘inab),
sampai kepada waktu yang tidak akan diperoleh. Dan begitu pula buah-buahan yang
lain. Kalau biasanya ada dan datanglah waktu yang ditangguhkan itu, lalu tidak
sanggup diserahkan, disebabkan sesuatu bencana, maka boleh diminta tangguh lagi
kalau mau atau dilepaskan dan dikembalikan modal kalau mau.
7. Bahwa disebutkan tempat penyerahan, mengenai hal yang
berlainan maksud dengan tempat itu, supaya tidak mengakibatkan pertengkaran
nanti.
8. Bahwa perjanjian itu tidak tergantung dengan sesuatu yang
ditentukan. Kalau disebutkan: dari gandum tanaman ini atau buah-buahan kebun
ini –maka yang demikian itu membatalkan perjanjian tersebut selaku hutang.
Tetapi, kalau ditambah: buah-buahan negeri itu atau kampung yang besar itu maka
yang demikian itu tidak merusakkan perjanjian tersebut.
9. Bahwa tidaklah dilakukan perjanjian itu pada benda yang
bernilai tinggi dan sukar didapat, seperti permata yang disifatkan dengan
sifat, yang sukar adanya seperti itu atau budak wanita yang sangat cantik
bersama anaknya atau yang lain dari itu, yang tidak disanggupi biasanya.
10, Bahwa tidak diikat perjanjian ini pada makanan, manakala
modal (yang akan menjadi harganya) itu, makanan, sama ada dari yang sejenis
atau tidak sejenis. Dan tidak diikat perjanjian itu pada naqad (emas dan
perak), apabila modal itu naqad. Dan telah kami terangkan ini pada “Riba”
dahulu.
‘AQAD
KEEMPAT: sewa-menyewa.
Sewa-menyewa mempunyai dua sendi (rukun): sewa dan
kemanfaatan.
Rukun kesatu Adapun ‘aqid (yang
mengadakan ikatan: penyewa dan yang mempersewakan) dan lafadh, maka dipegang
apa yang telah kami terangkan dahulu pada: jual beli. Dan sewa, adalah seperti
harga. Maka seyogyalah bahwa itu diketahui dan diterangkan sifatnya dengan segala
apa yang telah kami syaratkan dahulu pada jual-beli, kalau sewa itu merupakan
benda. Dan kalau merupakan hutang, maka seyogyalah diketahui sifatnya dan
jumlahnya. Dan hendaklah dijaga dari hal-hal yang berlaku sepanjang adat
kebiasaan. Yaitu: seperti mempesewakan rumah, dengan membangunnya
(memperbaikinya). Maka yang demikian itu, adalah batal. Karena kadar
pembangunan itu tidak diketahui. Kalau ditentukan beberapa dirham dan
disyaratkan kepada si penyewa, untuk dipergunakannya kepada pembangunan itu, niscaya
tidak diperbolehkan. Karena perbuatannya dalam menyerahkan kepada pembangunan
itu, adalah tidak diketahui. Dan sebahagian dari yang berlaku menurut adat
kebiasaan, ialah menyewa tenaga (mengongkosi) tukang kulit hewan yang
disembelih, dengan diambilnya kulit sesudah dikupasnya. Dan menyewa tenaga
pembawa bangkai dengan kulit bangkai ongkosnya dan menyewa tenaga tukang tumbuk
dengan kulit atau sebahagian tepung untuk ongkosnya, maka itu batal hukumnya.
Dan begitu pula segala sesuatu yang terletak hasilnya dan berpisahnya, atas
perbuatan orang yang diongkosi (yang disewakan tenaganya). Maka tidaklah boleh
dijadikan untuk upah. Dan sebahagian dari yang berlaku menurut adat kebiasaan,
ialah menentukan pada sewa-menyewa rumah dan toko, jumlah sewanya. Kalau berkata
pemiliknya: “Untuk tiap-tiap bulan, sewanya satu dinar” dan tidak ditentukannya
jumlah bulan penyewaan, niscaya adalah lamanya tidak diketahui dan tidaklah sah
penyewaan.
Rukun
kedua: Kemanfataan yang
dimaksudkan dengan penyewaan. Yaitu perbuatan saja dari orang yang disewakan
tenaganya, kalau adalah perbuatan itu diperbolehkan dan diketahui, yang
menghubungi pekerja itu padanya sebagai tanggungan. Dan yang membawa kepada
kepatuhan seseorang kepada orang lain. Maka bolehlah, disewakan tenaga orang itu.
Maka jumlah cabang-cabang dari bab ini, termasuk di bawah ikatan tersebut.
Tetapi kami tidak akan memanjangkan
uraiannya. Sesungguhnya telah kami memperpanjangkan pembahasannya dalam
kitab-kitab fiqh. Sesungguh nya yang kami singgung disini, ialah: kepada
persoalan-persoalan yang merata bahayanya. Maka hendaklah dijaga mengenai
pekerjaan dari orang yang disewakan tenaganya, akan 5 perkara:
1.
Adalah pekerjaan itu bernilai, dengan ada padanya tanggungan
dan kepayahan. Kalau menyewa makanan untuk dihiasi toko atau pohon-pohonan
untuk dikeringkan kain padanya atau uang-uang dirham untuk dihiasi toko, maka
tidak diperbolehkan. Karena segala kemanfaatan tersebut, berlaku seperti sebiji
simsim dan sebiji gandum dari benda-benda. Dan yang demikian itu, tidak diperbolehkan
penjualannya. Dan adalah itu, seperti memandang pada cermin orang lain, meminum
dari sumurnya, bernaung pada dindingnya dan mengambil manfaat dari apinya. Dan
karena inilah, kalau menyewa tenaga seorang penjual, untuk ia berkata-kata
dengan kata-kata yang membuat laku barangnya, niscaya tidak diperbolehkan. Dan
apa yang diambil oleh penjual-penjual, untuk menjadi ‘iwadl (ganti jerih payah)
dari kepayahan, kemegahan dan penerimaan kata-katanya dalam melakukan
benda-benda, maka adalah haram. Karena tiada terbit dari mereka, selain
kata-kata yang tak ada keletihan padanya dan tidak bernilai. Sesungguhnya halal
yang demikian itu bagi mereka, apabila mereka penat dengan banyaknya pulang
pergi atau dengan banyaknya perkataan pada penyusunan urusan mu’amalah
(perniagaan). Kemudian, dalam pada itu, mereka tidak berhak selain dari ongkos
yang patut (ujratul-mitsl). Adapun apa yang disepakati oleh para penjual, maka
itu, adalah zalim dan tidaklah itu diambil dengan kebenaran
2.
Bahwa penyewaan itu tidak mengandung untuk kesempurnaan suatu
benda yaang dimaksudkan. Maka tidaklah boleh penyewaan batang anggur karena
kemanfaatannya, penyewaan hewan karena susunya dan penyewaan kebun karena
buah-buahannya. Dan bolehlah menyewa seorang wanita penyusu dan adalah susunya
menjadi pengikut, karena tidak mungkin memisahkannya. Dan demikian juga,
dimaafkan (diberi tasamuh), tinta si penulis dan benang si penjahit. Karena
keduanya itu tidak dimaksudkan diatas tenaga si penulis dan si penjahit itu.
3.
Adalah pekerjaan itu sanggup diserahkan pada kenyataan dan
agama. Maka tidaklah sah penyewaan tenaga orang lemah untuk sesuatu pekerjaan
yang tidak disanggupinya. Dan tidaklah sah penyewaan tenaga orang bisu untuk
mengajar dsb. Dan apa yang haram dikerjakan, maka agama melarang penyerahannya.
Seperti menyewa tenaga orang untuk mencabut gigi yang sehat. Atau untuk
memotong anggota badan yang tidak diperbolehkan oleh agama memotongnya. Atau
menyewa tenaga wanita yang sedang berhaid untuk menyapu masjid. Atau menyewa
seorang guru sihir untuk mengajarkan sihir atau perbuatan keji. Atau menyewa
tenaga isteri orang untuk menyusukan anak kecil, tanpa izin suaminya. Atau
menyewakan tenaga pemggambar untuk menggambar binatang-binatang. Atau
menyewakan tenaga tukang logam untuk membuat bejana-bejana dari emas dan perak.
Maka semuanya itu, adalah batal.
4.
Adalah perbuatan itu tidak menjadi kewajiban dari orang yang
disewakan tenaganya. Atau tidaklah termasuk perbuatan yang tidak boleh
digantikan dari orang yang menyewa tenaga itu. Maka tidak dibolehkan mengambil
upah pada jihad dan segala ibadah yang lain yang tidak boleh digantikan dengan
orang lain. Karena perbuatan itu tidak akan terlepas dari yang menyewa tenaga
itu. Dan dibolehkan pada hajji, memandikan mayit, mengorek kuburan, menguburkan
orang mati dan membawa jenazah ke pekuburan. Dan mengenai pengambilan ongkos
(upah) untuk mengimami shalat tarawih, untuk melakukan adzan, untuk memberi
pengajaran dan mengajari Alquran maka dalam hal ini terdapat perbedaan diantara
para alim ulama. Adapun mengongkosi untuk mengajari sesuatu persoalan tertentu
atau mengajari suatu surat dari Alquran, untuk orang tertentu, maka itu adalah
sah.
5.
Adalah perbuatan dan kemanfaatan itu diketahui. Maka penjahit
itu diketahui perbuatannya dengan kain dan pengajaran Alquran diketahui
perbuatannya dengan menentukan surat dan batasnya. Dan pembawa hewan itu,
diketahui dengan jumlah yang dibawa dan jaraknya. Dan tiap-tiap yang
menimbulkan permusuhan menurut adat kebiasaan, maka tidaklah diperbolehkan
melengahkannya. Dan penjelasan itu, adalah panjang. Dan sesungguhnya kami
sebutkan sekadar ini, untuk diketahui akan hukum-hukum yang nyata tegas dan
dapat diperhatikan pada tempat-tempat yang menimbulkan kesulitan, lalu dapat
ditanyakan. Karena sesungguhnya penyelidikan mendalam itu, adalah tugas mufti
(yang memberi fatwa), bukan tugas orang kebanyakan (orang awwam).
‘AQAD
KELIMA: penyerahan modal untuk diperniagakan (qiradl).
Hendaklah dijaga pada perniagaan/qiradl ini, 3 sendi (rukun)
1. Modal. Syaratnya
modal itu naqad (emas dan perak yang telah dijadikan uang), dimaklumi jumlahnya
dan diserahkan kepada yang akan mengerjakannya dalam perniagaan. Maka tidak
diperbolehkan qiradl pada fulus (uang-uang kecil yang diperbuat bukan dari naqad)
dan pada barang-barang. Karena perniagaan itu menjadi sempit padanya. Dan tidak
diperbolehkan perniagaan pada suatu timbunan dirham. Karena kadar keuntungan,
tidak jelas padanya. Dan kalau disyaratkan oleh pemilik modal supaya modal itu
di tangannya, maka tidak dibolehkan. Karena dengan demikian, menyempitkan jalan
perniagaan.
2. Keuntungan.
Hendaklah keuntungan itu diketahui pembahagiannya dengan disyaratkan bagi
pemilik modal 1/3 atau ½ atau berapa yang dikehendakinya. Kalau pemilik modal
itu mengatakan: “Untuk kamu, keuntungan 100 dan sisanya bagiku”, niscaya tidak
boleh. Karena kadang-kadang keuntungan itu tidak lebih dari 100. Maka tidak
boleh menentukannya dengan jumlah tertentu. Tetapi hendaklah dengan jumlah yang
umum.
3. Perbuatan yang
menjadi tugas yang melaksanakan (‘amil). Dan syaratnya, bahwa adalah perniagaan
itu, tidak menyempitkan kepada yang melaksanakan, dengan penentuan barang dan
waktu. Kalau disyaratkan, supaya dengan modal itu, dibelikan binatang ternak,
untuk mencarikan anaknya, lalu anaknya itu dibagi-bagikan diantara kedua orang
yang melakukan perjanjian perniagaan. Atau dibelikan gandum untuk dibuat roti,
lalu keuntungan dari roti itu dibagi-bagikan diantara keduanya. Maka tidak sah.
Karena perniagaan adalah diizinkan pada perniagaan, yaitu: jual dan beli dan
sesuatu yang menjadi kepentingan yang dua ini saja. Dan yang itu, adalah
pekerjaan: ya’ni: membuat roti dan memelihara binatang ternak. Kalau
dipersempitkan kepada yang melaksanakan dan disyaratkan, bahwa dia tidak membeli,
kecuali dari si Anu atau tidak berniaga, kecuali tentang sutera merah atau
disyaratkan sesuatu yang menyempitkan pintu perniagaan, niscaya ‘aqad
qiradl/perniagaan itu batal. Kemudian, manakala aqad itu telah dilaksanakan,
maka si ‘amil/ yang melaksanakan (pekerja pada perniagaan/qiradl) itu, adalah
merupakan: wakil. Maka dia bekerja dengan gembira, sebagai wakil-wakil dalam
perusahaan. Manakala si pemilik modal bermaksud melepaskan ikatan, maka dia
dapat berbuat demikian. Dan apabila perjanjian itu telah dilepaskan pada masa
keadaan harta seluruhnya telah menjadi uang tunai, niscaya jelaslah cara
membaginya. Dan kalau ketika itu, masih bersifat barang-barang dan tak ada
keuntungan padanya, niscaya barang-barang itu dikembalikan kepada si pemilik
modal. Dan tiadalah si pemilik modal itu memaksakan si ‘amil/yang melaksanakan
untuk mengembalikan barang-barang itu kepada uang tunai (naqad). Karena ikatan
perjanjian telah terlepas dan dia tidak lagi dapat mewajibkan sesuatu kepada si
‘amil. Kalau ‘amil berkata: “Aku jual barang-barang itu!”, sedang si pemilik
modal menolak, maka yang dituruti, ialah pendapat pemilik modal. Kecuali
apabila si ‘amil memperoleh tanda-tanda yang jelas ada keuntungan pada modal.
Manakala keuntungan itu ada, maka si ‘amil harus menjual sejumlah barang-barang
yang berasal dari modal, dengan harga dari jenis modal dahulu. Tidak dengan
naqad yang lain (kalau dahulu dengan modal emas, maka dijual dengan emas dan
kalau dengan perak, maka dijual dengan perak). Sehingga berbedalah yang lebih itu
menjadi keuntungan. Lalu berkongsilah keduanya pada keuntungan itu. Dan
tidaklah ‘amil itu menjual barang yang lebih dari pembeliannya dengan modal
itu.
Manakala
telah datang akhir tahun, maka haruslah mereka memperhatikan nilai harta yang
diperniagakan itu, untuk menunaikan zakat. Apabila telah menampak sesuatu
keuntungan, maka menurut yang lebih sesuai dengan qias, bahwa zakat bahagian si
‘amil/ yang melaksanakan itu diatas si ‘amil sendiri. Dan si ‘amil itu memiliki
keuntungan dengan menampaknya keuntungan itu. Dan tidak boleh si ‘amil berjalan
jauh dengan membawa harta qiradl/perniagaan , tanpa izin si pemilik modal.
Kalau diperbuatnya juga, niscaya perbuatannya itu sah. Tetapi apabila ia
meneruskan, maka ia menanggung segala benda bersama dengan harganya seluruhnya.
Karena penganiayaannya dengan dibawanya harta qiradl/ perniagaan itu, menjalar
sampai kepada harga dari barang yang dibawanya. Kalau si ‘amil itu berjalan
jauh dengan keizinan si pemilik modal niscaya diperbolehkan. Dan ongkos membawa
serta menjaga harta itu, adalah atas harta perniagaan/qiradl. Sebagaimana
ongkos timbang, sukat dan angkut yang tiada dibiasakan oleh si saudagar sendiri
akan barang yang seperti itu, adalah terpikul atas modal.
Adapun membuka kain, melipatnya dan
pekerjaan yang sedikit yang biasa dilakukan, maka tidaklah boleh si ‘amil, itu
mengeluarkan ongkos, yang terpikul keatas modal. Dan diatas si ‘amil/ yang
melaksanakan sendiri, perbelanjaan dan tempat tinggalnya bila di negerinya
sendiri. Dan tidak menjadi kewajibannya, sewa gudang. Dan manakala ia berangkat
berjalan jauh untuk harta qiradl/ perniagaan, maka perbelanjaannya dalam
perjalanan itu, adalah atas harta perniagaan. Dan apabila telah kembali, maka
haruslah ia mengembalikan sisa-sisa alat perjalanan, seperti piring, kain alas
makanan dll.
‘AQAD
KEENAM: perkongsian.
Yaitu: 4 macam. 3
daripadanya batal, yaitu:
1. Perkongsian
al-mufawadlah, namanya. Yaitu: kedua orang yang berkongsi itu berkata: “Kita
berserah-serahan diri, supaya kita berkongsi dalam tiap-tiap sesuatu yang
mendatangkan keuntungan bagi kita dan kerugian bagi kita”. Dan harta keduanya
berbeda. Maka perkongsian yang seperti ini batal.
2. Perkongsian
al-abdan (tubuh) namanya. Yaitu: keduanya mensyaratkan perkongsian pada upah
pekerjaannya. Maka perkongisan inipun batal.
3. Perkongsian al-wujuh (muka) namanya, yaitu: bila salah
seorang daripada keduanya disegani orang dan kata-katanya didengar. Maka dari
pihaknya menggunakan perkataan. Dan dari pihak yang seorang lagi, bekerja. Maka
ini juga batal.
Dan yang sah, ialah ikatan perkongsian yang
ke-4, yang dinamakan perkongsian: al-‘inan, yaitu: bercampur harta keduanya,
sehingga sukar membedakan diantara keduanya, kecuali dengan dibagi. Dan
masing-masing mengizinkan kepada temannya untuk melaksanakan usaha pada harta
itu. Kemudian, ketetapan dari keduanya, membagikan keuntungan dan kerugian
menurut dua harta modal itu. Dan tidak dibolehkan mengobah yang demikian dengan
dibuat syarat. Kemudian, dengan diasingkan dari harta itu, yang tercegah
melaksanakan usaha dari harta yang diasingkan. Dan dengan pembagian, yang
terpisah kepunyaan yang seorang dari kepunyaan lainnya. Dan yang sah
(ash-shahih), ialah diperbolehkan mengadakan ikatan perkongsian pada
barang-barang yang dibeli. Dan tidak disyaratkan naqad (uang tunai dari emas
dan perak), kecuali pada qiradl/perniagaan.
Maka sekedar ini dari Ilmu fiqh, adalah
wajib dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berusaha. Kalau tidak, niscaya ia
akan terjerumus kepada yang haram, tanpa disadarinya. Adapun mu’amalah (jual
beli) dengan tukang daging, tukang roti dan tukang sayur, maka tidak dapatlah
melepaskan diri daripadanya, baik sebagai seorang pengusaha atau bukan
pengusaha. Dan kecederaan padanya, adalah dari 3 segi: dari segi melengahkan
syarat-syarat berjual beli. Atau melengahkan syarat-syarat pembelian dengan
pemesanan. Atau mencukupkaan dengan cara beri-memberi saja. Karena
adat-kebiasaan, adalah berlaku dengan menuliskan garis-garis terhadap mereka,
berdasarkan keperluan tiap-tiap hari. Kemudian diperhitungkan pada tiap-tiap
waktu, lalu diperkirakan, menurut apa yang terjadi itu dengan rela-merelakan.
Dan yang demikian itu, termasuk apa yang kita pandang akan penetapannya dengan
diperbolehkan karena kepentingan. Dan penyerahan itu, dianggap untuk
membolehkan penggunaan, serta menunggu harganya sebagi tukaran (‘iwadl)-nya.
Lalu halallah memakannya. Tetapi wajib menjamin pembayaran dengan memakan itu.
Dan harus membayar menurut nilainya kalau hilang –pada hari kehilangannya. Lalu
terkumpullah dalam tangungannya segala harga nilai itu. Apabila terdapat
rela-merelakan dalam jumlah manapun juga, maka seyogyalah diminta dari mereka
yang bermu’amalah (berdagang) itu, melepaskan tuntutan secara mutlak. Sehingga
tidak ada lagi suatu janjipun, kalau terdapat berlebih kurang tentang penilaian
di belakang hari. Maka inilah yang harus dirasa mencukupi. Karena memberatkan
timbangan harga untuk tiap-tiap keperluan, tiap-tiap hari dan tiap-tiap jam,
adalah pemberatan yang berlebih lebihan. Dan begitu pula pemberatan ijab qabul
serta menentukan harga sampai kepada jumlah yang amat sedikitpun, adalah
menimbulkan kesulitan. Dan apabila banyak dari masing-masing macamnya, niscaya
mudahlah menilaikannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiqNya kepada kita !.
BAB
KETIGA:Tentang penjelasan keadilan dan penjauhan kezaliman pada mu’amalah (jual
beli)
Ketahuilah kiranya, bahwa mu’amalah (jual
beli) itu kadang-kadang berlaku diatas cara, yang ditetapkan oleh mufti (yang memberi fatwa),
dengan sah dan
berlakunya. Tetapi mengandung kezaliman yang dikerjakan oleh yang melakukannya
mu’amalah (jual beli) itu, karena dimarahi Allah Ta’ala. Sebab, tidaklah
tiap-tiap larangan itu menghendaki kebatalan ‘aqad (kebatalan ikatan
perjanjian). Dan kezaliman ini, dimaksudkan, ialah: yang mendatangkan
kemelaratan kepada orang lain. Maka kezaliman itu, terbagi kepada: yang umum
melaratnya dan kepada: yang khusus kepada yang melakukan mu’amalah (jual beli)
saja.
BAHAGIAN
PERTAMA: mengenai yang umum melaratnya. Dan yaitu: bermacam-macam.
Macam pertama: ihtikar. Maka penjual makanan, yang menyimpan makanannya,
menunggu mahal harganya, adalah kezaliman yang umum. Dan yang melakukan
demikian, adalah tercela pada agama. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
menyimpan makanan 40 hari, kemudian ia bersedekah dengan makanan itu, niscaya
tidaklah sedekahnya itu menjadi kafarat bagi penyimpanan (ihtikar)nya”. Dan
Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa
menyimpan makanan 40 hari, maka terlepaslah ia daripada Allah dan terlepaslah Allah
daripadanya”. Dan ada yang mengatakan: “Seolah-olah ia membunuh manusia
semuanya”. Dan dari Ali ra: “Barangsiapa menyimpan makanan 40 hari, niscaya
kesat hatinya”. Dan dari Ali ra juga: “Sesungguhnya dibakar makanan orang yang
melakukan ihtikar itu, dengan api neraka”. Dan diriwayatkan dari Nabi saw
tentang keutamaan meninggalkan ihtikar, yang bersabda: “Barangsiapa
mendatangkan makanan, lalu menjualkannya dengan harga hari itu, maka
seolah-olah ia bersedekah dengan makanan itu”. Dan pada kata yang lain: “maka
seolah-olah ia telah memerdekakan seorang budak”. Dan ada yang mengatakan,
mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan barangsiapa ingin melakukan kezaliman
padanya dengan tidak jujur, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksaan yang
pedih”. S 22 Al-Hajj ayat 25, bahwa ihtikar, adalah dari kezaliman dan masuk di
bawah kezaliman dalam perbuatan yang dijanjikan dengan azab (wa’id). Dan
diriwayatkan dari setengah salaf, bahwa beliau ada di Wasith, lalu membawa
sekapal gandum ke Basrah. Dan beliau menuliskan kepada wakilnya: “Juallah
makanan ini pada hari memasuki Basrah dan janganlah engkau lambatkan sampai
besok !”. Maka sesuailah makanan itu dengan kelapangan tentang harganya. Lalu
saudagar-saudagar lain mengatakan kepada sang wakil dari salaf tadi: “Kalau engkau
lambatkan sampai hari Jum’at, niscaya engkau akan beroleh keuntungan
berlipat-ganda”. Maka wakil itu melambatkannya sampai hari Jum’at. Lalu ia
beruntung dengan beberapa kali dari pokok. Maka disuratinya kepada yang punya
makanan itu, dengan demikian. Lalu yang mempunyai makanan itu, membalasinya:
“Hai Anu ! kami telah merasa cukup dengan keuntungan yang sedikit, serta agama
kami selamat. Dan engkau telah menyalahi. Kami tidak suka memperoleh keuntungan
yang berlipat-ganda, dengan kehilangan waktu sedikit dari agama. Sesungguhnya
engkau telah menganiaya kami dengan suatu penganiayaan. Maka apabila sampai
kepadamu suratku ini, lalu ambillah harta itu seluruhnya dan sedekahkanlah
kepada orang-orang fakir di Basrah. Dan semoga aku terlepas dari dosa ihtikar,
dengan tercegahnya, baik keatas diriku atau terhadap harta milikku”. Ketahuilah
kiranya, bahwa larangan itu mutlak. Dan pemandangan padanya bergantung kepada
waktu dan jenis dari makanan. Mengenai jenis, maka larangan itu datang mengenai
segala jenis makanan.
Adapun yang bukan makanan dan bukan yang
menolong kepada makanan, seperti obat-obatan, jamu-jamuan, za’faran dsb, maka
tiada sampailah larangan itu kepadanya, meskipun dia itu barang yang dimakan.
Adapun yang menolong kepada makanan, seperti daging, buah-buahan dan yang dapat
menggantikan makanan dalam sebahagian hal keadaan, walaupun tidak mungkin
secara terus-menerus, maka ini termasuk hal yang menjadi perhatian.
Maka sebagian dari para ulama, ada yang
mengemukakan haram ihtikar pada minyak samin, madu, minyak kacang, dadih,
minyak zait dan yang berlaku seperti itu. Adapun mengenai waktu, maka mungkin
juga larangan itu datang pada segala waktu. Dan kepadanyalah, dibuktikan oleh
cerita yang telah kami sebutkan tadi, tentang makanan yang memperoleh keluasan
harga di Basrah. Dan mungkin juga, waktu itu ditentukan dengan waktu kekurangan
makanan dan manusia berhajat kepadanya. Sehingga dengan mengemudiankan
penjualannya, mendatangkan kemelaratan.
Adapun, apabila makanan itu meluas dan
banyak dan manusia tidak memerlukan kepadanya dan tidak mengingininya, selain
dengan harga yang murah, maka yang mempunyai makanan itu dapat menunggu. Dan ia
tidak menunggu musim kemarau. Maka dalam hal yang tersebut ini, tidaklah
mendatangkan kemelaratan. Apabila waktu itu musim kemarau, niscaya dengan
menyimpan madu, minyak samin, minyak kacang dsb, dapat mendatangkan
kemelaratan. Maka seyogyalah dihukum dengan haramnya. Dan yang menjadi
perpegangan tentang tidaknya haram atau adanya haram itu, adalah berdasarkan
kepada mendatangkan kemelaratan. Dan ini dapat dipahami benar-benar, dengan
penentuan makanan itu. Dan apabila tak ada kemelaratan, maka tidaklah
tersembunyi, tentang kemakruhannya ihtikar makanan. Karena ditunggu oleh
dasar-dasar yang membawa kemelaratan. Yaitu: ketinggian harga. Dan menunggu
dasar-dasar yang membawa kemelaratan, adalah harus diawasi, seperti menunggu
kemelaratan itu sendiri. Tetapi dalam tingkat yang masih di bawah daripadanya.
Dan menunggu kemelaratan itu sendiri juga, adalah masih kurang dari kemelaratan.
Maka dengan kadar tingkat kemelaratan itu, berlebih kurangnya derajat
kemakruhan dan keharaman.
Kesimpulannya, berniaga makanan itu, adalah
termasuk tidak disunatkan. Karena perniagaan itu, adalah mencari keuntungan.
Sedang makanan itu adalah barang pokok, yang dijadikan sebagai tiang kehidupan.
Dan keuntungan itu, adalah termasuk tambahan. Maka seyogyalah keuntungan itu
dicari pada apa yang dijadikan dalam jumlah tambahan yang tidak mendatangkan
kemelaratan kepada orang banyak. Dan karena itulah, setengah tabi’in
mewasiatkan kepada seorang laki-laki, seraya berkata: “Janganlah engkau
serahkan anak engkau pada dua macam penjualan dan dua macam pekerjaan: menjual
makanan dan menjual kain kafan ! Karena ia mengharap mahal dan banyak orang
mati”. Dan dua pekerjaan itu, ialah: menjadi tukang potong. Karena pekerjaan
ini mendatangkan kesesatan hati. Atau menjadi tukang emas. Karena yang demikian
itu menghiasi dunia dengan emas dan perak.
Macam
kedua: melakukan dirham
palsu di tengah-tengah naqad (emas dan perak yang sejati). Maka itu, adalah
perbuatan zalim. Karena mendatangkan kemelaratan kepada orang yang melakukan
mu’amalah (perdagangan), kalau ia tidak mengetahuinya. Dan kalau ia
mengetahuinya, maka akan dilakukan penjualan kepada orang lain. Maka begitulah,
ke orang yang ketiga dan keempat. Dan terus-meneruslah pulang-pergi dari tangan
ke tangan. Dan umumlah kemelaratannya dan meluaslah kerusakannya. Dan dosa
serta bencana semuanya itu, adalah kembali kepadanya. Karena dialah yang
membuka pintu tersebut.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
berbuat jalan yang jahat, lalu dikerjakan jalan itu oleh orang yang kemudian
daripadanya, niscaya dosa dari kejahatan itu ke atas pundaknya dan seumpama
dosa orang-orang yang berbuat dengan kejahatan itu, dimana tidak berkurang
sedikitpun dari dosa mereka”.
Dan berkata setengah ulama: “Berbelanja
dengan sedirham palsu, adalah lebih berat dosanya daripada mencuri 100 dirham”.
Karena mencuri itu, adalah sesuatu kema’siatan. Dan sudah sempurna dan habis
sehingga itu saja. Dan berbelanja dengan dirham palsu, adalah suatu perbuatan
bid’ah (yang diada-adakan) yang menonjol pada agama dan suatu sunnah (jalan)
yang jahat, yang dikerjakan oleh orang-orang sesudahnya. Maka dosa dari
kejahatan itu ke atasnya, sesudah ia meninggal sampai 100 atau 200 tahun.
Sehingga lenyaplah dirham itu. Dan adalah tanggung jawabnya dengan kerusakan
harta manusia dengan perbuatannya itu. Dan amat baiklah orang, apabila ia mati,
lalu matilah bersamanya segala dosanya. Dan azab yang berkepanjangan bagi orang
yang mati dan dosanya tinggal terus 100 dan 200 tahun atau lebih banyak lagi,
dimana dia diazabkan dengan dosa itu didalam kuburnya. Dan ia ditanyakan dari
dosa itu, sampai kepada akhir kehancuran dari dosa tadi.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami tuliskan
apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas peninggalan mereka”. S 36 Yaa
Siin ayat 12. Artinya: “Kami tuliskan juga apa yang mereka kemudiankan, dari
bekas-bekas perbuatan mereka, sebagaimana Kami tuliskan apa yang telah mereka
dahulukan mengerjakannya”. Dan seumpama itu, firmanNya: “Di hari itu
diberitakan kepada manusia apa yang didahulukannya dan apa yang
dikemudiankannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 13. Sesungguhnya yang dikemudiankan,
ialah: bekas-bekas perbuatannya dari jalan yang jahat, yang dikerjakan oleh
orang lain akan jalan yang jahat itu. Dan hendaklah dimaklumi, bahwa pada
pemalsuan uang itu ada 5 hal:
1.
Apabila dikembalikan kepadanya sesuatu dari uang palsu itu,
maka seyogyalah dilemparkannya ke dalam sumur, sehingga tidak sampai kepadanya
lagi tangan manusia. Dan hendaklah ia menjaga diri, daripada melakukannya lagi
pada penjualan lain. Dan kalau dirusakkannya sehingga tidak mungkin menjadi
alat penukar lagi, niscaya bolehlah yang demikian.
2.
Haruslah saudagar itu mengetahui tentang keuangan, bukan
untuk secara mendalam betul bagi dirinya, akan tetapi supaya ia tidak
menyerahkan uang palsu kepada seseorang muslim dimana ia tidak mengetahuinya.
Sehingga ia berdosa, dengan sebab keteledorannya tentang mempelajari ilmu
pengetahuan tersebut. Tiap-tiap perbuatan itu ada pengetahuannya, dimana dengan
pengetahuan itu, sempurnalah nasehat bagi kaum muslimin. Dari itu, haruslah
berusaha memperolehnya. Dan karena seperti inilah, ulama terdahulu mempelajari
tanda-tanda uang naqad, (emas dan perak). Karena memandang kepada agama, bukan
karena keduniaan mereka.
3.
Kalau diserahkan dan diketahui oleh yang
bermuamalah/berdagang, bahwa itu uang palsu, niscaya ia tidak keluar dari dosa.
Karena tidaklah diambilnya itu, selain untuk dilakukannya kepada orang lain dan
tidak diberitahukannya kepada orang lain itu. Dan kalaulah tidak ia
bercita-cita demikian, niscaya ia tidak ingin sekali-kali mengambilkannya.
Sesungguhnya ia dapat melepaskan diri dari dosa kemelaratan yang tertentu
kepada orang yang melakukan mu’amalah (perdagangan) dengan dia saja.
4.
Bahwa ia mengambil uang palsu itu, supaya ia dapat berbuat
menurut sabda Nabi saw: “Dikasihi oleh Allah akan manusia, yang memudahkan
penjualan dan yang memudahkan pembelian, yang memudahkan pembayaran dan yang
memudahkan menerima bayaran”. Maka ia termasuk ke dalam barakah dari doa ini,
kalau ia bercita-cita mencampakkannya ke dalam sumur. Kalau ia bercita-cita
untuk melakukannya pada mu’amalah (perdagangan) yang lain lagi, maka itu adalah
kejahatan, yang telah dilakukan setan kepadanya dalam pameran kebajikan. Maka
tidaklah ia termasuk dalam bahagian orang yang memandang enteng pada menerima
bayaran.
5.
Kami maksudkan dengan uang palsu, ialah uang yang tak ada
padanya perak sekali-kali, tetapi hanya celupan. Atau tak ada padanya emas,
ya’ni: pada dinar. Adapun yang ada padanya perak, kalau bercampur dengan
tembaga, maka itu, adalah uang negara (uang yang dikeluarkan oleh pemerintah).
Para ulama berbeda pendapat mengenai mu’amalah (jual beli)dengan uang tersebut.
Dan sebagian besar pendapat kita, memberi kesempatan padanya, apabila naqad
(emas dan perak yang telah dijadikan uang),
itu uang negeri itu sendiri. Diketahui jumlah peraknya atau tidak
diketahui. Kalau bukan uang negeri itu sendiri, niscaya tidak dibolehkan, kecuali
apabila diketahui jumlah peraknya. Kalau ada dalam hartanya sepotong, yang
peraknya kurang dari uang negeri itu sendiri, maka haruslah ia menerangkan yang
demikian kepada orang yang dilakukannya mu’amalah (pengurusan/perniagaan). Dan
jangan ia melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan), kecuali dengan orang
yang tidak menghalalkan melakukan uang itu dalam jumlah naqad(emas dan perak
yang telah dijadikan uang), dengan cara yang tidak tegas (jalan talbis) itu.
Adapun orang yang menghalalkan yang demikian itu, maka menyerahkan kepadanya,
adalah pemaksaan terhadap orang itu kepada kebatalan. Maka yaitu, adalah
seperti menjual buah anggur kepada orang yang diketahui akan membuatkannya
khamar. Dan itu, adalah dilarang, menolong kepada kejahatan dan bersekutu
kepada kejahatan. Dan menempuh jalan kebenaran dengan contoh yang seperti ini
dalam perniagaan, adalah lebih sukar daripada bermuadhabah (melaksanakan dengan
rajin) segala ibadah sunat dan menjuruskan segala waktu baginya. Karena itulah,
setengah ulama berkata: “Saudagar yang benar, adalah
lebih utama pada sisi Allah Ta’ala dari seorang yang beribadah banyak”. Orang-orang
yang terdahulu, amat berhati-hati dalam hal-hal yang seperti ini. Sehingga
diriwayatkan dari sebahagian orang-orang yang tampil ke medan perang
sabilillah, yang mengatakan: “Aku tunggangi kudaku, karena hendak memerangi
kafir. Maka kudaku itu tak sanggup, lalu aku kembali. Kemudian kafir itu mendekati
aku, lalu aku bangun membawa diri kali kedua. Maka kudaku pun tidak sanggup,
lalu aku kembali lagi. Kemudian aku berangkat bangun kali ketiga, maka kudaku
itu lari daripadaku, padahal aku belum pernah mengalami yang demikian dari
kudaku itu. Maka kembalilah aku dengan perasaan sedih duduk menundukkan kepala
dan hati yang hancur luluh. Karena aku tidak memperoleh kesempatan memerangi
orang kafir dan apa yang telah menampak kepadaku tentang tingkah laku kuda itu.
Maka aku letakkan kepalaku pada tiang rumah dari bulu dan kudaku itu tidur.
Lalu aku bermimpi, seolah-olah kuda itu berbicara dengan aku dan mengatakan
kepadaku: “Demi Allah, engkau bermaksud memerangi kafir 3 kali. Dan engkau
kemarin membeli rumput untukku dan engkau bayar harganya dengan dirham palsu,
dimana yang demikian itu, hendaklah jangan sekali-kali terjadi selama-lamanya”.
Orang tadi meneruskan ceritanya: “Maka aku terbangun dengan perasaan gundah.
Lalu aku pergi kepada tukang rumput dan aku gantikan dirham itu”. Maka inilah
contohnya apa yang umum kemelaratannya itu. Dan hendaklah pikirkan secara
logika kepada hal yang seperti ini akan lainnya !
BAHAGIAN KEDUA: yang tertentu kemelaratannya kepada
yang melakukan mu’amalah (perniagaan)
Maka tiap-tiap yang membawa kemelaratan kepada yang melakukan
mu’amalah (perniagaan) adalah kezaliman. Dan sesungguhnya keadilan, ialah tidak
mendatangkan kemelaratan kepada saudara sesama muslim. Dan penentuan yang
melengkapi tentang keadilan itu, ialah: bahwa ia tidak mencintai saudaranya,
selain apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri. Maka tiap-tiap apa saja,
kalau ia dimuamalahkan dengan demikian, lalu ia merasa sukar dan berat pada
hatinya, maka seyogyalah ia tidak akan bermuamalah orang lain dengan cara yang
demikian. Tetapi seyogyalah sama padanya, antara dirhamnya sendiri dan dirham
orang lain.
Sebahagian ulama berkata: “Barangsiapa
menjual kepada saudaranya sesuatu dengan harga sedirham dan tidak pantas itu,
kalau dibelinya untuk dirinya sendiri selain dengan harga 5 danaq (lebih
sedikit dari sedirham), maka sesungguhnya ia telah meninggalkan nasehat yang
disuruh dalam bermu’amalah (berdagang). Dan ia tidak mencintai saudaranya, akan
apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri”. Inilah secara tersimpul (secara
global) !
Adapun terperincinya, maka pada 4 perkara:
tidak memuji barang yang dijualnya itu, dengan apa yang tidak sebenarnya, tidak
menyembunyikan sekali-kali segala kekurangan dan sifat-sifatnya yang
tersembunyi sedikitpun, tidak menyembunyikan timbangan dan jumlahnya sedikitpun
dan tidak menyembunyikan harganya, dimana jikalau yang melakukan mu’amalah
(perniagaan) itu mengetahuinya, niscaya tidak akan meneruskan pembelian itu.
Yang pertama tadi, yaitu –meninggalkan pujian –maka
kalau disifatkannya benda itu dengan sifat yang tak ada padanya, maka itu
adalah bohong. Kalau si pembeli menerimanya, maka itu adalah penipuan dan
penganiayaan, serta pendustaan. Dan kalau si pembeli itu tidak menerimanya,
maka itu adalah pendustaan dan penjatuhan harga diri. Karena pendustaan yang
dilakukan itu, kadang-kadang tidak mencederakan harga diri secara zhahir. Kalau
dipujinya barang itu, menurut yang sebenarnya, maka itu adalah kata-kata yang
tidak disertakan pikiran yang murni dan berkata-kata dengan kata-kata yang
tidak perlu. Dan ia akan diperkirakan (dihisab) terhadap tiap-tiap kalimat yang
terbit daripadanya, mengapakah ia mengucapkannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu
perkataan yang diucapkan manusia, melainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia
(mencatatnya)”. S 50 Qaaf ayat 18. Kecuali dipujinya barang yang tidak dikenal
oleh si pembeli, kalau tidak disebutkannya, seperti disifatkannya hal-hal yang
tersembunyi dari budi-pekerti budak yang pria dan yang wanita dan hewan. Maka
tidak mengapa menyebutkan sekedar yang ada padanya tanpa berlebih-lebihan dan
bertele-tele. Dan hendak lah maksudnya, supaya diketahui oleh saudaranya
muslim. Lalu ia ingin pada barang itu dan sampai hajat maksudnya disebabkan
yang demikian. Dan tiada seyogyalah sekali-kali ia bersumpah terhadap yang
demikian. Karena kalau ia berdusta, maka ia telah berbuat sumpah yang
menjerumuskan dirinya. Dan sumpah itu, adalah termasuk dosa besar, yang
menyebarkan kegoncangan, tanpa keberanian dengan kata-kata. Dan kalau ia benar,
maka telah dijadikannya Allah Ta’ala untuk menegakkan sumpahnya. Dan
sesungguhnya ia telah berbuat jahat terhadap Allah. Karena dunia adalah lebih
keji untuk dimaksudkan melakukannya dengan menyebut nama Allah, tanpa ada
darurat. Dan pada hadits tersebut: “Azab neraka bagi saudagar yang mengatakan:
“Ya, demi Allah !” dan: “Tidak, demi Allah !”. Dan azab neraka bagi tukang,
yang mengatakan: “Besok dan lusa !”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Sumpah
palsu adalah menghabiskan barang perdagangan dan menghapuskan keberkatan”.
Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi saw
dimana beliau bersabda: “3 orang, tidak dipandang oleh Allah kepada mereka pada
hari kiamat: orang yang kasar lagi takabur, orang yang membangkit-bangkit
dengan pemberiannya dan orang yang membelanjakan barangnya dengan bersumpah”.
Apabila pujian kepada barang dengan benar itu dimakruhkan, dari segi pujian itu
hal yang tidak perlu, yang tidak menambahkan rezeki, maka tidaklah tersembunyi
beratnya perhatian tentang persoalan sumpah. Diriwayatkan dari Yunus bin ‘Ubaid
dan dia adalah penjual sutera, bahwa orang mencari sutera daripadanya untuk
dibeli. Lalu dikeluarkan oleh budaknya yang buruk dan yang baik dari sutera
itu. Budak itu memandang kepadanya dan berkata: “Wahai Allah, Tuhanku !
anugerahilah kami rezeki !”. Maka ia berkata kepada budaknya: “Bawalah kembali
sutera ini ke tempatnya !” Dan tidak dijualnya. Ia takut, bahwa yang demikian
itu, sindiran pujian kepada barang yang diperdagangkan itu. Orang-orang yang
seperti mereka ini, ialah mereka yang berniaga di dunia dan tidak
menyia-nyiakan agamanya dalam perniagaan. Tetapi mereka itu mengetahui bahwa
keuntungan akhirat, adalah lebih utama dicari dari keuntungan dunia.
Yang kedua: ia menyatakan
segala kekurangan dari barang yang akan dijual, baik yang tersembunyi atau yang
nyata dan tidak menyembunyikan sesuatu daripadanya. Yang demikian itu, adalah
wajib. Kalau disembunyikannya, niscaya adalah ia orang zalim dan penipu. Dan
penipuan itu haram dan telah meninggal kan nasehat pada mu’amalah (perniagaan).
Dan nasehat itu wajib. Manakala dibukanya salah satu dari dua belahan kain dan
disembunyikannya yang sebelah lagi, niscaya dia itu penipu. Begitu pula,
apabila dibentangkannya kain pada tempat yang gelap. Dan begitu pula apabila
diperlihatkannya satu yang terbaik dari sepasang sepatu atau selop dsb.
Dibuktikan haramnya penipuan itu oleh apa yang diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw
melalui pada seorang laki-laki yang menjual makanan. Maka Nabi saw merasa
tertarik kepada makanan itu. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Maka
beliau melihat basah, lalu bertanya: “Apakah ini ?”. Laki-laki itu menjawab:
“Kena hujan !”. Lalu Nabi saw menyahut: “Mengapakah tidak kamu letakkan atas
makanan, supaya dilihat orang ? barangsiapa menipu kami, maka tidaklah ia
daripada kami”. Dibuktikan kepada wajibnya ketegasan dengan menerangkan
kekurangan-kekurangan, ialah apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw tatkala
sudah menerima sumpah setia (bai-‘ah) Jurair kepada Islam, lalu beliau pergi
hendak meninggalkan tempat itu. Maka beliau tarik kain Jurair kepadanya dan
mensyaratkan kepada Jurair supaya tegas dalam berjual beli bagi tiap-tiap orang
Islam. Dari itu, Jurair, apabila bangun menjualkan barang dagangannya, niscaya
dilihatnya kekurangan-kekurangannya kemudian diterangkannya. Kemudian
disuruhnya pilih kepada pembeli itu, dengan berkata: “Kalau mau, ambillah dan
kalau tidak mau tinggalkanlah !”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Kalau
engkau berbuat seperti ini, niscaya tidak akan berlangsung penjualanmu !”. Maka
beliau menjawab: “Sesungguhnya kami telah bersumpah setia dengan Rasulullah saw
untuk menjelaskan dalam pembelian bagi setiap muslim”.
Adalah Wailah bin Al-Aqsa’ berhenti di
suatu tempat. Lalu seorang laki-laki menjual untanya dengan harga 300 dirham.
Wailah terlupa dan laki-laki yang membeli telah pergi dengan membawa unta yang
dibelinya. Lalu Wailah berjalan cepat di belakang orang itu dan berteriak
memanggil: “Hai yang membeli unta ! engkau belikan unta itu untuk dagingnya
atau untuk kendaraan ?”. Pembeli itu menjawab: “Untuk kendaraannya !”. Lalu
Wailah berkata: “Sesungguhnya pada alas kakinya berlobang. Telah aku lihat
lobang itu. Unta itu tidak akan sanggup berjalan terus-menerus”. Maka pembeli
itu kembali, lalu mengembalikan unta yang telah dibelinya. Dan oleh penjual itu
mengurangkan harga unta itu dengan 100 dirham, seraya berkata kepada Wailah:
“Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadamu ! engkau telah batalkan terhadapku
akan penjualanku”. Wailah menjawab: “Sesungguhnya kami telah mengadakan bai’ah
(sumpah setia) dengan Rasulullah saw untuk menegaskan pada jual-beli kepada
tiap-tiap muslim”. Dan seterusnya ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu penjualan, kecuali
menerangkan kekurangannya. Dan tidak halal bagi orang yang mengetahui demikian,
kecuali menerangkannya”. Mereka memahami dari nasehat itu, bahwa tidak rela
untuk saudaranya, selain apa yang ia rela untuk dirinya sendiri. Dan mereka
tidak mempercayai bahwa yang demikian itu, sebahagian dari amal-perbuatan yang
utama dan tambahan kedudukan yang tinggi. Tetapi mereka mempercayai bahwa yang
demikian itu, sebahagian dari syarat-syarat Islam yang masuk di bawah bai’ah
(sumpah setia) mereka. Dan ini adalah hal yang sukar bagi kebanyakan orang.
Maka karena itulah mereka memilih menjuruskan diri kepada ibadah dan
mengasingkan diri dari manusia ramai. Karena menegakkan hak-hak Allah serta
bercampur-baur dan bermu’amalah (berniaga), adalah perjuangan (mujahadah) yang
tidak bangun menegakkannya, selain oleh orang-orang shiddiq. Dan tidak mudah
yang demikian bagi seseorang hamba, kecuali dengan mempercayai dua hal:
1.
Bahwa mencampurkan dengan kekurangan-kekurangan dan melakukan
benda itu, tidaklah menambah rezeki. Tetapi menghapuskan rezeki
dan menghilangkan keberkatannya. Dan apa yang dikumpulkannya
dari campuran yang bermacam-macam itu, akan dibinasakan oleh Allah dengan
sekaligus. Menurut cerita, ada seorang laki-laki mempunyai lembu betina yang
diperahnya susunya dan dicampurkannya susu itu dengan air dan dijualkannya.
Maka datanglah banjir, lalu karamlah lembu betina itu. Maka berkata sebahagian
anaknya: “Bahwa air yang berpisah-pisah yang telah kita tuangkan dahulu ke
dalam susu itu, telah berkumpul sekaligus dan mengambil lembu betina kita”.
Bagaimana tidak ? sedangkan Nabi saw telah bersabda: “Dua orang yang
berjual-beli, apabila keduanya benar dan berterus-terang (nasehat-menasehati),
niscaya diberkati kepada keduanya dalam berjual-beli. Dan apabila keduanya
menyembunyi kan dan membohong, niscaya dicabut keberkatan jual-beli itu”.
Pada suatu hadits, tersebut: “Tangan Qudrah
/ kuasa Allah diatas dua orang yang berkongsi, selama keduanya tidak
khianat-mengkhianati. Apabila keduanya khianat-mengkhianati, niscaya Allah
mengangkatkan tanganNya daripada keduanya”. Jadi, harta itu tidak akan
bertambah dari pengkhianatan, sebagaimana tidak akan berkurang dengan
bersedekah. Dan orang yang tidak mengenali tambahan dan kekurangan, kecuali
dengan timbangan, niscaya tidak akan membenarkan hadits diatas tadi. Dan
barangsiapa mengetahui, bahwa sedirham saja, kadang-kadang diberkati padanya,
sehingga menjadi sebab kebahagiaan manusia di dunia dan pada agama. Dan
beribu-ribu yang susun-bersusun, kadang-kadang dicabut oleh Allah akan
keberkatan daripadanya. Sehingga menjadi sebab kepada kebinasaan pemiliknya,
dimana ia berangan-angan akan memboros dengan uang itu. Dan dipandangnya lebih
mendatangkan kemuslihatan baginya dalam beberapa hal. Lalu ia mengetahui akan
arti perkataan kami: “Bahwa pengkhianatan itu, tidak menambahkan harta dan
sedekah itu tidak mengurangkan harta”.
2.
Yang tak boleh tidak dari kepercayaan itu, supaya sempurnalah
nasehat itu dan menjadi mudah baginya, ialah: bahwa ia tahu keuntungan
dan kekayaan akhirat, adalah lebih baik dari kekayaan dunia.
Dan segala faedah harta dunia itu akan habis dengan habisnya umur. Dan
tinggallah segala kezaliman dan kedosaan. Maka bagaimanakah orang yang berakal
itu membolehkan, untuk menggantikan barang yang lebih baik dengan yang lebih
buruk ? dan kebaikan seluruhnya, ialah pada keselamatan agama. Rasulullah saw
bersabda: “Senantiasalah “Laa ilaaha illallaah” menolak kemarahan Allah dari
makhluk, selama mereka tidak melebihkan perbuatan dunianya dari akhiratnya”.
Dan menurut kata-kata yang lain: “Selama mereka tidak memperdulikan akan apa
yang kurang dari dunia mereka dengan keselamatan agamanya. Apabila mereka
berbuat yang demikian itu dan mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”, niscaya Allah
Ta’ala berfirman: “Bohong kamu, tidaklah kamu itu benar dengan ucapan itu !”.
Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”
dengan ikhlas, niscaya ia masuk sorga”. Lalu orang bertanya: “Apakah
keikhlasannya itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bahwa dipeliharanya keikhlasan
itu daripada apa yang diharamkan oleh Allah”. Dan bersabda Nabi saw pula:
“Tidaklah beriman dengan Alquran, orang yang menghalalkan segala yang
diharamkan oleh Alquran”. Dan orang yang mengetahui, bahwa segala pekerjaan itu
merusakkan keimanannya dan keimanannya itu adalah modalnya dalam perniagaan
pada jalan akhirat, niscaya ia tidak akan menyia-nyiakan modalnya itu, yang
tersedia untuk umur yang tak berkesudahan, disebabkan keuntungan yang
dimanfaatinya dalam beberapa hari yang terbilang jumlahnya.
Dari sebahagian tabi’in, yang mengatakan:
“Kalau aku masuk ke masjid jami’ dan masjid itu berdesak-desak dengan
pengunjungnya, lalu ditanyakan kepadaku: “Siapakah yang terbaik dari mereka ?”.
Sesungguhnya aku menjawab: “Siapa yang lebih banyak memberi nasehat kepada
mereka. Maka apabila mereka menjawab:
“Ini !” niscaya aku menjawab: “Dia itu adalah yang terbaik dari mereka
!”. Dan kalau ditanyakan kepadaku: “Siapakah yang terjahat dari mereka ?”
niscaya aku menjawab: “Siapa yang lebih banyak menipu mereka”. Maka apabila ada
orang yang mengatakan: “Ini !” niscaya aku menjawab: “Dia itu adalah yang terjahat dari mereka”.
Penipuan itu haram pada penjualan dan perusahaan seluruhnya. Dan tidak
seyogyalah seorang tukang mempermudah-mudahkan perbuatannya, diatas cara,
jikalau orang lain berbuat demikian terhadap dia, niscaya ia tidak menyetujui
untuk dirinya sendiri. Tetapi seyogyalah membaguskan dan meneguh-kuatkan
perbuatan itu. Kemudian menerangkan kekurangan-kekurangannya, kalau ada padanya
kekurangan. Maka dengan demikian, terlepaslah dia. Seorang laki-laki pembuat
sepatu bertanya kepada Bin Salim. Orang itu bertanya: “Bagaimanakah supaya aku
selamat dalam menjual selop-selop itu ?”. Bin Salim menjawab: “Buatlah kedua
muka sepatu itu sama ! janganlah engkau lebihkan kanan dari yang lain dan
baguskanlah isinya ! dan hendaklah sepatu itu menjadi sebuah benda yang
sempurna ! dekatkan diantara lobang-lobangnya dan janganlah engkau tindihkan
salah satu dari kedua selop itu ke atas yang lain !”. Dan dari bahagian inilah,
apa yang ditanyakan orang kepada Ahmad bin Hanbal ra dari perbaikan kain,
dimana perbaikan itu tidak terang. Imam Ahmad menjawab: “Tidak boleh bagi orang
yang menjualnya menyembunyikannya”. Dan sesungguhnya halal dijual kain yang
diperbaiki dengan jahitan itu, apabila diketahui akan diterangkannya. Atau ia
tidak bermaksud perbaikan itu untuk menjualkannya”.
Kalau anda berkata: “Mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/) itu tidak akan sempurna, manakala wajib orang
menyebutkan segala kekurangan dari barang yang dijual”. Maka aku menjawab:
“Bukanlah demikian ! karena syarat saudagar itu, tidaklah membeli untuk dijual,
melainkan yang baik yang disenangi untuk dirinya sendiri, jikalau ditahannya
(tidak dijualnya). Kemudian, ia merasa puas pada penjualannya dengan keuntungan
yang sedikit. Lalu diberkati oleh Allah baginya pada penjualannya. Dan ia tidak
berhajat kepada penipuan. Dan sesungguhnya sukar yang demikian itu. Karena
mereka tidak merasa puas dengan keuntungan yang sedikit. Dan tidak selamat yang
banyak itu, kecuali dengan penipuan. Orang yang membiasakan dirinya yang
tersebut diatas itu, niscaya tidak akan menutup yang kekurangan. Kalau jatuh ke
dalam tangannya yang kekurangan, walaupun yang jarang terjadi, maka hendaklah
disebutkannya dan hendaklah ia merasa puas dengan harganya itu.
Ibnu Sirrin menjual seekor kambing, lalu ia
berkata kepada pembelinya: “Aku jelaskan kepadamu kekurangan yang ada pada
kambing itu, yaitu: terbalik kuku pada kakinya”. Al-Hasan bin Shalih menjual
budak wanita, lalu mengatakan kepada pembelinya: “Budak ini selama pada kami,
pada suatu kali ia berdahak darah”. Maka begitulah adanya jalan yang ditempuh
oleh kaun agama. Siapa yang tidak sanggup cara yang demikian, maka hendaklah
meninggalkan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/) ! atau menempatkan dirinya pada
azab akhirat.
Yang ketiga: bahwa tidak
menyembunyikan sedikitpun tentang kadarnya. Yang demikian itu, adalah dengan
kejujuran timbangan dan berhati-hati padanya dan pada sukatan. Maka seyogyalah
menyukat sebagaimana mestinnya disukatkan. Allah Ta’ala berfirman: “Celaka
untuk orang-orang yang mengecuh. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk
dirinya), dipenuhkannya (sukatan). Tetapi apabila mereka menyukat untuk orang
lain atau menimbang untuk orang lain, dikuranginya”. S 83 Al Muthaffifiin ayat
1-2-3. Dan tidak akan terlepas dari ini, kecuali dengan melebihkan apabila
memberi dan mengurangkan apabila mengambil. Karena keadilan yang sebenarnya,
amat sedikitlah tergambar ke alam kenyataan. Dari itu, hendaklah keadilan itu zhahir/luar
dengan zhahirnya kelebihan dan kekurangan. Maka orang yang meminta benar-benar
akan haknya dengan sesempurna mungkin, mungkin akan melampauinya. Sebahagian
mereka itu mengatakan: “Aku tidak akan membeli neraka daripada Allah dengan
sebutir biji-bijian”. Dari itu, apabila ia mengambil, maka dikuranginya
setengah biji-bijian. Dan apabila ia memberi, maka ditambahinya sebutir
biji-bijian. Ia mengatakan: “Nerakalah bagi orang yang menjual sorga dengan
sebutir biji-bijian, dimana sorga itu, lebarnya langit dan bumi. Maka alangkah
meruginya orang yang menjual yang baik dengan neraka !”. Sesungguhnya
bersangatan benar mereka menjaga diri dari yang tersebut tadi dan yang
menyerupainya, adalah karena semuanya itu perbuatan zalim, yang tidak mungkin
berobat daripadanya. Karena ia tidak mengenal lagi pemilik-pemilik dari
biji-bijian itu, untuk dapat dikumpulkannya dan diselesaikannya hak-hak mereka.
Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw membeli sesuatu, lalu berkata kepada
yang menimbang, tatkala menimbang menurut harganya: “Timbanglah dan lebihkanlah
timbangan itu !”. Fudlail melihat anaknya yang sedang membasuh dinar, yang akan
dibelanjakannya. Dan anak itu menghilangkan kotoran yang ada pada dinar dan
membersihkannya. Sehingga tidak bertambah timbangannya, disebabkan yang
demikian. Maka Fudlail berkata: “Hai anakku ! perbuatanmu ini adalah lebih
utama daripada dua kali hajji dan 20 kali ‘umrah”. Setengah salaf berkata:
“Saya heran melihat saudagar dan penjual, bagaimana ia terlepas. Ia menimbang
dan bersumpah pada siang hari dan tidur pada malam hari”.
Nabi Sulaiman as bersabda kepada puteranya:
“Hai anakku ! sebagaimana masuknya biji-bijian diantara dua batu, maka begitu
pulalah masuknya kesalahan diantara dua orang yang berjual beli”. Setengah
orang-orang shalih telah melakukan shalat mayit kepada seorang yang keperempuan-perempuanan. Lalu ada orang yang
mengatakan kepadanya, bahwa orang itu fasiq. Maka orang shalih tadi diam.
Kemudian diulangi lagi perkataan tersebut. Lalu beliau menjawab: “Seolah-olah
engkau berkata kepadaku: “Adalah orang itu mempunyai dua timbangan. Dia memberi
dengan satu timbangan dan dia mengambil dengan timbangan yang lain”. Beliau
tunjukkan dengan itu, bahwa fasiq adalah kezaliman antara seseorang dengan
Allah Ta’ala. Dan ini, adalah setengah dari kezaliman hamba. Toleransi dan
pemaafan padanya, adalah lebih jauh. Dan tindakan keras mengenai urusan
timbangan itu, adalah besar. Dan melepaskan diri daripadanya, berhasil dengan
sebutir dan setengah butir biji-bijian. Dan pada qira’ah (bacaan) Abdullah bin
Mas’ud ra pada firman Allah Ta’ala: “Supaya kamu jangan melanggar aturan
berkenaan dengan neraca (al-mizan). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kamu mengurangi timbangan (al-mizan)” –artinya: jarum dari
timbangan (lisanul-mizan) S 55 Ar Rahmaan ayat 8 dan 9. Karena kekurangan dan
kelebihan itu, nyata dengan merengnya jarum neraca itu.
Kesimpulannya, tiap-tiap orang yang
menginsafi untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain, walaupun dalam
sepatah kata dan tidak menaruh keinsyafan seperti apa yang diinsyafkannya itu,
maka termasuklah dia dalam firman Allah Ta’ala: “Celaka untuk orang-orang yang
mengecuh. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya),
dipenuhkannya (sukatan)” –sampai beberapa ayat lagi. S 83 Al Muthaffifiin ayat
1 dan 2. Pengharaman yang demikian itu pada sukatan, tidaklah karena dia itu
sukatan. Tetapi karena ada suatu hal yang dimaksudkan. Yaitu: meninggalkan
keadilan dan keinsyafan akan arti keadilan. Maka dia itu zalim pada segala
perbuatan yang dilakukannya. Maka yang mempunyai neraca itu berada dalam bahaya
neraka. Tiap-tiap orang mukallaf (yang telah dewasa dan berpikiran sehat),
adalah mempunyai neraca dalam segala perbuatan, perkataan dan segala gurisan
hatinya. Maka nerakalah baginya, jika ia berpaling dari keadilan dan mereng
dari kelurusan. Dan jikalau tidak sukarlah ini dan
mustahilnya, niscaya tidaklah datang firman Allah Ta’ala: “Dan tiada
seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan
yang tak dapat dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71.
Maka senantiasalah hamba itu tidak
terpelihara (tidak ma’shum) dan kemerengan dari kelurusan. Hanya derajat
kemerengan itu berlebih-kurang secara besar-besaran. Maka karena itulah,
berlebih-kurangnya masa manusia itu menetap dalam neraka sampai kepada masa kelepasan.
Sehingga setengah mereka tidak tinggal dalam neraka, melainkan sekedar kafarat
sumpah. Dan setengahnya tinggal beribu-ribu tahun. Maka marilah kita bermohon
kepada Allah Ta’ala, kiranya mendekatkan kita kepada kelurusan dan keadilan.
Sesungguhnya kesulitan diatas titian Ashshirathal-mustaqim, tanpa mereng
padanya, adalah tak dapat diharapkan. Karena titian itu, adalah lebih halus
dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Jikalau tidaklah pertolongan Allah,
niscaya orang yang luruspun tidak akan sanggup melewati jalan yang memanjang
diatas titian neraka, yang sifatnya lebih halus dari rambut dan lebih tajam
dari pedang itu. Dan menurut kadar kelurusan diatas Ash-shirathal-mustaqim itu,
ringanlah hamba pada hari kiamat diatas titian itu. Tiap-tiap orang yang
mencampurkan makanan dengan tanah atau lainnya, kemudian disukatinya, maka
adalah dia itu orang yang mengecuh (menipu) pada sukatan. Tiap-tiap penjual
daging, yang menimbang bersama daging tulangnya, yang tidak berlaku kebiasaan
seperti itu, maka dia itu adalah orang yang menipu pada timbangan. Dan
qiaskanlah kepada yang tersebut ini, perumpamaan-perumpamaan yang lain,
sehingga pada hasta yang dilakukan oleh penjual kain. Karena apabila ia
membeli, lalu dilepaskannya kain pada waktu penghastaan. Dan tidak
dipanjangkannya menurut semestinya. Dan apabila ia menjualkannya, lalu
dipanjangkannya pada penghastaan, supaya menampak berlebih-kurang ukurannya.
Maka semua itu, adalah termasuk pembohongan yang orangnya dibawa ke neraka.
Yang keempat: bahwa berkata benar tentang harga
barang dan tidak disembunyikannya sesuatu. Rasulullah saw melarang
“talaqqirrukban” dan melarang pula ‘an-najasy”. Talaqqirrukban: yaitu,
menghadapi rombongan yang datang ke kota dan menerima barang yang dibawa mereka
serta berdusta tentang harga barang di kota. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu
melakukan “talaqqirukban”. Dan barangsiapa melakukan yang demikian, maka yang
mempunyai barang itu, boleh ber-khiar (memilih antara meneruskan atau
membatalkan jual-beli), setelah ia datang di pasar. Pembelian itu sah. Akan
tetapi kalau ternyata bohongnya, maka boleh si penjual itu berkhiar. Dan kalau
ia benar, maka tentang khiar itu, terdapat khilaf (perbedaan pendapat diantara
para ulama). Karena timbul pertentangan dari umumnya bunyi hadits diatas tadi,
serta tak ada padanya penipuan. Dan dilarang pula, orang kota menjual untuk
orang kampung. Yaitu: orang itu datang ke kota dengan membawa barang makanan,
dengan maksud mau dijualnya dengan segera. Lalu berkata orang kota kepadanya:
“Tinggalkanlah makanan itu padaku, sehingga aku dapat memahalkan harganya dan
aku menunggu ketinggian harganya itu !”. Cara ini diharamkan pada makanan. Dan
mengenai barang-barang lain, terdapat khilaf diantara para ulama. Dan yang
lebih terang kepada kebenaran, diharamkan, karena umumnya larangan itu. Dan
karena perbuatan yang tersebut, adalah melambatkan penjualan, untuk
menyempitkan orang banyak pada umumnya, tanpa faedah, untuk mencari kelebihan
yang menyempitkan.
Rasulullah saw melarang “an-najasy”, yaitu:
datang kepada si penjual, yang sedang berhadapan dengan orang yang ingin
membeli barang itu. Dan meminta barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi,
sedang sebenarnya ia tidak bermaksud membelinya. Hanya ia bermaksud,
menggerakkan keinginan si pembeli kepada barang itu. Cara ini, jika tak ada
kesepakatan dengan si penjual, adalah perbuatan haram dari yang melakukan
an-najasy. Dan jual beli itu sah. Dan jika ada kesepakatan dengan si penjual,
maka tentang boleh khiar bagi si pembelii, terdapat khilaf diantara para ulama.
Dan pendapat yang lebih utama, boleh si pembeli melakukan khiar. Karena
terdapat penipuan dengan perbuatan, yang menyerupai dengan penipuan pada
mengikat susu lembu (supaya tidak diminum oleh anaknya, lalu timbul sangkaan
bagi si pembeli bahwa binatang itu banyak susunya). Dan menyerupai pula dengan
penipuan pada “talaqqirukban. Maka segala larangan tersebut menunjukkan, bahwa
tidak diperbolehkan berbuat yang menimbulkan keragu-raguan kepada si penjual
dan si pembeli tentang harga barang di waktu itu. Dan menyembunyikan sesuatu
hal, dimana kalau si penjual atau si pembeli mengetahuinya, niscaya ia tidak
akan mau melakukan jual-beli itu. Maka perbuatan tersebut, termasuk penipuan
yang diharamkan, yang berlawanan dengan nasehat yang diwajibkan dalam jual
beli.
Diceritakan bahwa seorang dari tabi’in
berada di Basrah dan ia mempunyai seorang budak di Sus, yang berusaha
menyediakan gula kepadanya. Lalu budak itu menulis surat kepada tabi’in tadi,
yang menerangkan: Bahwa batang tebu telah diserang penyakit pada tahun ini.
Dari itu, belilah gula !”. Tabi’in itu menerangkan seterusnya. Lalu beliau
membeli gula banyak-banyak. Tatkala sampai waktunya, maka beliau beruntung 30
ribu. Lalu pulang ke rumahnya. Maka beliau berpikir pada malamnya, seraya
berkata: “Aku telah beruntung 30 ribu dan aku telah merugi akan nasehat kepada
seorang lelaki muslim”. Tatkala pagi hari, terus datang kepada penjual gula itu
dan menyerahkan kepadanya uang yang 30 ribu, seraya berkata: “Diberkahi Allah
kiranya engkau pada uang ini !”. maka bertanya penjual gula itu: “Dari manakah
uang ini untukku ?”. Tabi’in itu menjawab: “Sesungguhnya aku telah
menyembunyikan padamu akan hakikat/makna keadaan yang sebenarnya. Adalah gula
telah mahal pada waktu itu !”. Penjual gula itu menjawab: “Diberi rahmat kiranya
oleh Allah akan kamu! sesungguhnya telah engkau beritahukan sekarang kepadaku
dan aku memandang baik uang ini untukmu !”. Tabi’in itu meneruskan ceritanya.
Lalu beliau pulang dengan uang itu ke rumahnya, berpikir dan semalam-malaman
tidak tidur. Dan berkata: “Apakah kiranya, yang telah aku nasehatkan kepadanya
? mungkin ia malu kepadaku, maka ditinggalkannya uang itu untukku”. Maka
pagi-pagi benar, beliau datang lagi kepada penjual gula itu, seraya berkata:
“Kiranya Allah mendatangkan sehat-wal’afiat kepadamu ! ambillah hartamu
kepadamu ! yang begitu adalah lebih membaikkan bagi hatiku”. Maka penjual itu
lalu mengambil dari tabi’in uang itu 30 ribu itu. Maka hadits-hadits tadi
tentang larangan-larangan dan cerita-cerita, menunjukkan kepada tidak menunggu
kesempatan dan kelengahan dari yang mempunyai barang. Lalu tersembunyilah dari
penjual akan mahalnya harga atau dari pembeli untuk menanya-nanyakan berbagai
macam harga. Kalau diperbuat yang demikian, maka itu adalah zalim, meninggalkan
keadilan dan kenasehatan bagi kaum muslimin. Manakala si penjual itu menjual
dengan beruntung, dimana ia berkata: “Aku jual dengan apa yang harus atasku
atau dengan apa yang aku belikan” maka haruslah ia bersikap benar. Kemudian
harus ia menerangkan dengan apa yang terjadi sesudah ‘aqad, tentang kerusakan
atau kekurangan. Dan kalau ia membeli sampai kepada suatu waktu yang
ditangguhkan, niscaya wajiblah diterangkannya. Dan kalau ia membeli dengan
bertoleransi, dari teman atau anaknya, niscaya wajiblah disebutkannya. Karena
orang yang melakukan mu’amalah (jual beli) itu, berpegang kepada adat
kebiasaan, pada penyelidikan, dimana ia tidak meninggalkan perhatian untuk
kepentingan dirinya sendiri. Apabila ia meninggalkan yang demikian, disebabkan
sesuatu sebab maka haruslah diterangkan. Karena pegangan kepadanya, adalah
kepada amanahnya.
BAB
KEEEMPAT: tentang ihsan pada mu’amalah (jual beli yang diminta mengetahuinya
hendaklah diamalkan).
Sesungguhnya Allah
Ta’ala menyuruh dengan keadilan dan berbuat ihsan segala-galanya. Keadilan itu
adalah sebab kelepasan saja dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya
modal. Dan ihsan (berbuat kebaikan), adalah sebab kemenangan dan memperoleh
kebahagiaan. Dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya keuntungan. Dan
tidak terhitung dari orang yang berakal pikiran, orang yang merasa puas pada mu’amalah
(jual beli)dunia, dengan modalnya saja. Maka seperti itu pulalah pada mu’amalah
(jual beli) akhirat. Tiada seyogyalah bagi orang yang beragama, mencukupkan
dengan keadilan dan menjauhkan kezaliman saja dan meninggalkan segala pintu
ihsan.
Allah Ta’ala
berfirman: “Dan buatlah kebaikan, sebagaimana Allah telah berbuat kebaikan
kepada engkau”. S 28 Al Qashash ayat 77. Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan dan berbuat kebaikan
(ihsan)”. S 16 An Nahl ayat 90. Dan Allah swt berfirman: “Sesungguhnya rahmat
Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (berbuat ihsan)”. S 7
Al A’raaf ayat 56. Dan kami maksudkan dengan “ihsan”, yaitu: perbuatan yang
bermanfaat kepada orang yang melakukan mu’amalah (jual beli). Sedang perbuatan
itu tidak menjadi kewajibannya. Tetapi sebagai perbuatan keutamaan daripadanya.
Yang wajib itu masuk dalam bab keadilan dan meninggalkan kezaliman. Dan itu
telah kami sebutkan dahulu. Derajat ihsan itu tercapai dengan salah satu dari 6
perkara:
1.
Pada tipu-daya jual-beli (al-mughabanah). Maka seyogyalah
tidak menipu temannya, dengan apa yang menurut kebiasaannya, dia tidak
akan bertipu-daya dengan itu. Adapun pokok penipu-dayaan itu,
diizinkan. Karena berjual beli adalah untuk memperoleh keuntungan dan
keuntungan itu tidak mungkin, kecuali dengan sesuatu tipu-daya. Tetapi
hendaklah dijaga berlebih kurang padanya. Kalau si pembeli memberikan tambahan
diatas keuntungan yang biasa, adakalanya karena bersangatan keinginannya atau
bersangatan hajatnya sekarang juga kepada barang itu. Maka seyogyalah penjual
tidak menolak menerimanya. Maka itu adalah termasuk ihsan. Manakala tak ada
penipuan, niscaya tidaklah mengambil kelebihan itu dinamakan kezaliman. Dan
sebahagian ulama beraliran, bahwa yang tipu-daya dengan melebihi dari 1/3 modal
itu mengharuskan khiar (memilih antara meneruskan aqad itu atau merombaknya).
Kami tidak berpendapat demikian. Tetapi sebahagian ihsan itu, ialah
mengurangkan tipu-daya itu.
Menurut riwayat, bahwa pada Yunus bin
‘Ubaid terdapat pakaian-pakaian yang berbagai macam harganya. Semacam, harga
tiap-tiap sehelai daripadanya 400 dan semacam harga tiap-tiap sehelai 200.
Kemudian, Yunus pergi shalat dan ditinggalkannya di toko anak saudaranya. Maka
datanglah seorang Arab dusun dan meminta sehelai kain yang harganya 400. Lalu
anak itu membentangkan kepada yang ingin membeli tadi, dari kain-kain yang
berharga 200. Maka Arab dusun itupun menerima dengan baik dan menyetujuinya.
Lalu membeli dan terus pergi, sedang kain itu pada tangannya. Ditengah jalan
bertemu dengan Yunus dan beliau mengenal kainnya, seraya bertanya kepada Arab
dusun itu: “Berapa saudara beli ?”. Arab dusun itu menjawab: 400 !”. Belliau menjawab:
“Tidak sampai melebihi dari 200. Mari kembali supaya aku kembalikan yang lebih
!”. Arab dusun itu menjawab: “Kain ini sama di negeri kami, dengan harga 500
dan saya setuju dengan kain ini dengan harga sekian tadi”. Lalu Yunus berkata
kepada orang Arab dusun itu: “Pergilah, karena nasehat pada agama itu, adalah
lebih baik dari dunia dengan isinya !”. Kemudian orang Arab itu kembali ke toko
dan dikembalikan kepadanya uang yang 200 dirham itu. Dan beliau bertengkar
dengan anak saudaranya tentang yang tadi itu dan beliau marahi seraya berkata:
“Apakah kamu tidak malu, apakah kamu tidak takut kepada Allah, engkau mengambil
keuntungan seperti harga itu dan engkau tinggalkan nasehat untuk kaum muslimin
?”. Anak itu menjawab: “Demi Allah, tidak dia ambil kain itu, kecuali dia telah
setuju !”. Yunus menjawab: “Mengapakah tidak kamu rela untuk dia, dengan apa
yang engkau rela untuk dirimu sendiri ?”. Dan itu, kalau ada padanya
penyembunyian harga dan penipuan, maka itu termasuk dalam pintu kezaliman. Dan
telah diterangkan dahulu. Dan pada hadits, tersebut: “Tipu-daya orang yang
melepaskan barangnya itu, haram”.
Adalah Zubair bin ‘Uda berkata: “Aku
mendapati 18 orang sahabat, tiada seorangpun dari mereka memandang ihsan,
membeli daging dengan sedirham”. Maka tipu-daya oleh orang-orang yang
melepaskan barang-barangnya itu, adalah zalim. Kalau itu terjadi, tanpa
penipuan maka termasuklah dalam bahagian meninggalkan ihsan. Dan sedikitlah
sempurna ini, kecuali dengan ada semacam penipuan dan penyembunyian harga masa itu.
Dan sesungguhnya yang semata-mata ihsan ialah apa yang dinukilkan dari As-Sirri
As-Saqathi, bahwa beliau membeli satu sukatan buah lauz (hampir serupa dengan
buah delima), dengan harga 60 dinar. Beliau menulis pada daftar hariannya, 3
dinar keuntungannya. Seakan-akan beliau telah berpendapat, untuk memperoleh
keuntungan setengah dinar pada tiap-tiap 10 dinar pokoknya. Kemudian lauz itu
sudah berharga 90 dinar. Maka datanglah perantara kepadanya, meminta lauz. Lalu
beliau menjawab: “Ambillah !”. “Berapa harganya ?” tanya perantara (agen
barang-barang). Beliau menjawab: “63 dinar !”. Maka agen itu menjawab dan dia
termasuk orang yang shalih: “Harga lauz sekarang sudah 90 dinar”. As-Sirri
menjawab: “Aku telah mengikatkan suatu ikatan, yang tidak akan aku lepaskan,
bahwa tidak aku jualkan lauz itu, kecuali dengan 63 dinar”. Orang perantara itu
menjawab: “Dan aku telah berjanji antara aku dan Allah Ta’ala tidak akan menipu
seseorang muslim. Tidak akan aku ambil daripada engkau, kecuali dengan 90
dinar”. Dan menurut riwayat itu, agen itu tak jadi membeli dari As-Sirri dan
As-Sirri tak jadi menjual kepada agen itu. Maka inilah semata-mata ihsan dari
kedua pihak. Sesungguhnya disertakan dengan pengetauhan itu akan hakikat/makna
keadaan yang sebenarnya.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir,
bahwa ia mempunyai beberapa potong kain panjang. Sebahagian dengan harga 5 dan
sebahagian lagi dengan harga 10. Maka oleh pesuruhnnya dijualnya, waktu dia
tidak ada, potongan yang harga 5, dengan harga 10. Tatkala diketahuinya, maka
selalulah dicarinya Arab dusun yang membeli barang itu sepanjang hari, sehingga
berjumpa. Lalu beliau berkata kepada yang membeli: “Sesungguhnya pesuruhku
sudah salah. Dijualnya kepadamu, potongan yang harganya 5, dengan harga 10.
Pembeli itu menjawab: “Wahai Tuan ! aku telah setuju yang demikian !”. Muhammad
bin Al-Munkadir menjawab: “Meskipun kamu rela tetapi aku tidak rela untukmu,
kecuali apa yang aku relakan untuk diriku sendiri. Maka pilihlah satu dari 3
perkara: adakalanya engkau ambil potongan yang harganya 10 dengan dirhammu itu.
Adakalanya kami kembalikan kepadamu 5 dirham. Dan adakalanya kamu kembalikan
barang kami dan kamu ambil dirhammu kembali”. Maka si pembeli itu menjawab:
“Berikanlah kepadaku 5 dirham itu !”. Lalu dikembalikan kepadanya 5 dirham. Dan
Arab dusun itu pergi, sambil bertanya dan berkata: “Siapakah syaikh yang tadi
itu ?”. Lalu orang menjawab kepadanya: “Itulah Muhammad bin Al-Munkadir !”.
Maka Arab dusun itu menyahut: “Laa ilaaha illallaah. Itulah kiranya orang yang
kita minta air di desa-desa apabila kita di musim kemarau !”. Itulah ihsan,
tidak mau ia beruntung dalam 10, kecuali setengah atau satu, menurut kebiasaan
yang berlaku pada barang yang seperti itu pada tempat itu. Dan barangsiapa yang
merasa puas dengan keuntungan yang sedikit, niscaya banyaklah mu’amalah (jual
beli)nya. Dan memperoleh faedah dari berulang-ulangnya mu’amalah (perniagaan)
akan banyak keuntungan. Dan dengan itu terliharlah keberkatan.
Adalah Ali ra berkeliling di pasar Kufah
dengan tongkat pemukul di tangannya, seraya berkata: “Wahai para saudagar !
ambillah yang benar, niscaya kamu selamat ! janganlah kamu menolak keuntungan
yang sedikit, maka kamu tidak akan memperoleh keuntungan yang banyak !”. Ada
orang yang menanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “Apakah sebabnya maka tuan
menjadi kaya?”. Abdurrahman bin ‘Auf menjawab: “Karena 3 perkara: “Tiada aku
menolak keuntungan sekali-kali. Tiada orang yang meminta kepadaku hewan, lalu
aku lambatkan menjualnya. Dan tidak aku menjual dengan tangguhan pembayaran”.
Dan ada yang mengatakan, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf, menjual 1000 ekor untanya,
dimana beliau tidak beruntung, kecuali tali pengikatnya. Lalu dijualnya
tiap-tiap sehelai tali itu dengan sedirham. Maka ia beruntung 1000 dirham. Dan
beruntunglah ia dari perbelanjaannya kepada unta itu untuk sehari 1000 dirham.
2.
Pada menanggung tipu-daya pada jual-beli. Maka si pembeli,
kalau membeli makanan dari orang yang lemah atau membeli sesuatu dari
orang miskin maka tidak apalah ia menanggung tipu-daya itu
dan memandang enteng. Dan adalah ia dengan yang demikian, telah berbuat ihsan
dan termasuk pada sabda saw: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah, akan orang yang
memudahkan penjualan sebagai mudahnya pembelian”.
Adapun apabila ia membeli dari saudagar
yang kaya, yang mencari keuntungan melebihi dari keperluannya, maka menanggung
tipu-daya dari pembelian itu, tidaklah terpuji. Bahkan itu adalah
menyia-nyiakan harta, tanpa pahala dan pujian. Telah tersebut pada suatu hadits
yang diriwayatkan dari jalan keluarga Nabi saw (ahlul-bait). Yang maksudnya:
“Orang yang kena tipu-daya pada pembelian, tidaklah terpuji dan memperoleh
pahala”. Iyas bin Ma’awiah bin Qurrah –qadli negeri Basrah –seorang tabi’in
yang berpikiran cerdas, berkata: “Tidaklah aku ini penipu. Dan penipu itu
tidaklah akan menipu aku dan tidak akan menipu Ibnu Sirin. Tetapi akan menipu
Al-Hasan dan akan menipu bapakku”. Ya’ni: Ma’awiah bin Qarrah. Dan yang
sempurna, ialah: pada tidak menipu dan tidak akan tertipu, sebagaimana
disifatkan oleh setengah mereka, akan Umar ra dengan mengatakan: “Adalah Umar
seorang yang mulia, daripada untuk menipu dan lebih berakal, daripada untuk
ditipu”.
Al-Hasan dan Al-Husain dll daripada para
salaf pilihan, adalah amat menyelidiki tentang pembelian. Kemudian, mereka
berikan bersama yang demikian, akan harta banyak. Lalu ada orang yang
menanyakan kepada sebahagian mereka: “Engkau selidiki benar tentang pembelianmu
kepada barang yang sedikit. Kemudian engkau berikan yang banyak dan tidak
engkau perdulikan yang demikian ?”. Maka yang ditanyakan itu, menjawab: “Bahwa
yang memberi itu, memberikan kelebihannya dan orang yang tertipu itu, tertipu
akalnya”.
Setengah mereka berkata: “Sesungguhnya aku
tipu akalku dan pemandanganku. Maka tidaklah mungkin yang menipu daripadanya.
Apabila aku memberi niscaya aku memberi karena Allah. Dan tidak aku meminta
lebih banyak daripada Allah akan sesuatu”.
3.
Pada penyempurnaan harga dan hutang-hutang yang lain. Dan
ihsan padanya, sekali dengan maaf-memaafkan dan mengurangkan
sebahagian daripadanya. Sekali dengan menangguhkan dan
mengemudiankan. Dan sekali dengan memudahkan (tidak menyulitkan) pada meminta
uang yang bagus. Semuanya itu disunatkan dan dianjurkan. Nabi saw bersabda:
“Diberi rahmat kiranya oleh Allah akan orang, yang memudahkan penjualan,
memudahkan pembelian, memudahkan pembayaran dan memudahkan meminta bayaran”.
Maka hendaklah memperoleh doa Rasulullah saw itu !. Dan Nabi saw bersabda:
“Maafkanlah, niscaya kamupun akan dimaafkan”. Dan Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa menangguhkan orang yang sukar membayar hutang atau meninggalkan
hutang itu untuknya, niscaya Allah akan menghitung amalannya dengan hisab
(hitungan) yang mudah” (bukan orang yg hoby ngutang
dan malas membayar- itu namanya PENCURI. Biasanya orang yg suka berhutang
hidupnya selalu kekurangan- Pent) Dan menurut bunyi yang lain:
“niscaya ia dinaungi oleh Allah dibawah naungan ‘Arasy Nya, pada hari, yang tak
ada naungan, selain daripada naunganNya”. Rasulullah saw menyebutkan seorang
laki-laki yang begitu boros terhadap kepada dirinya sendiri, dimana
diperhitungkan amalannya (dihisab), maka tidak diperoleh baginya satu
kebaikanpun. Lalu ditanyakan kepadanya: “Adakah kamu kerjakan kebajikan
walaupun sekali ?”. Ia menjawab: “Tidak ! kecuali aku ini, adalah seorang
laki-laki yang memperhutangkan manusia lalu aku katakan kepada budak-budakku:
“Bermaaf-maaflah kepada orang yang kaya dan tunggulah orang yang miskin !”. Dan
menurut bunyi yang lain: “Lewatkan yang miskin yang sukar membayar hutang !”.
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kami lebih berhak dengan yang demikian daripada
engkau. Maka Allah melewatkan daripadanya dan mengampunkan dosanya”.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
memperhutangkan uang sedinar dengan ditangguhkan kepada sesuatu waktu, maka
baginya tiap-
tiap hari itu menjadi sedekah, sampai kepada waktu
pembayarannya. Apabila waktu itu telah datang maka ditunggunya lagi sesudah
itu, (karena orang itu belum sanggup juga) maka baginya tiap-tiap hari, menjadi
sedekah seperti hutang itu”. Dan adalah sebahagian salaf, yang tidak menyukai
orang yang berhutang padanya, membayar hutangnya, lantaran hadits tadi.
Sehingga adalah ia seperti orang yang bersedekah dengan seluruhnya tiap-tiap
hari.
Nabi saw bersabda: “Aku melihat pada pintu
sorga, tertulis sedekah, pahalanya 10 kali, hutang pahalanya 18 kali”. Lalu ada
yang mengatakan tentang pengertian hadits ini, yaitu: bahwa sedekah itu jatuh
ke tangan orang yang memerlukan dan yang tidak memerlukan. Dan kehinaan
berhutang itu, tidak ditanggung, kecuali oleh orang yang memerlukan. “Nabi saw
melihat kepada seorang laki-laki yang selalu menghubungi seorang laki-laki lain
dengan berhutang padanya. Lalu Nabi saw menunjukkan kepada yang mempunyai uang
hutang (yang memperhutangkan) itu dengan tangannya: “Letakkanlah setengah !”
Lalu orang itu meletakkannya. Maka Nabi saw bersabda kepada yang berhutang.
“Bangun, berikanlah kepadanya !”. Tiap-tiap orang yang menjualkan sesuatu dan
meninggalkan harganya di waktu itu dan tidak memberatkan memintanya, maka itu
adalah searti dengan memperhutangkan.
Diriwayatkan, bahwa Al-Hasan
Al-Bashari menjual seekor keledai betina
kepunyaannya dengan harga 400 dirham. Maka tatkala telah datang waktu wajib
pembayarannya, lalu si pembeli itu berkata kepada Al-Hasan: “Wahai Bapak Sa’id
! maafkanlah dulu !”. Lalu menjawab Al-Hasan: “Aku telah maafkan daripadamu
100”. Maka menjawab si pembeli: “Engkau telah berbuat ihsan, wahai Bapak Sa’id
!”. Lalu Al-Hasan menyambung: “Aku berikan untukmu 100 lagi”. Maka Al-Hasan
menerima haknya 200 dirham. Lalu orang itu berkata kepadanya: “Itu adalah
setengah harga !”. Al-Hasan menjawab: “Begitulah adanya ihsan itu. Kalau tidak
demikian, maka ihsan itu, tidak ada”. Pada suatu hadits, tersebut: “Ambillah
hakmu dalam penjagaan dan pemeliharaan, sempurna atau tidak sempurna, niscaya
dikirakan untukmu oleh Allah dengan kiraan yang mudah”.
4.
Pada pembayaran hutang. Dan setengah dari ihsan pada
pembayaran hutang itu, ialah baik pembayarannya. Yaitu, dengan ia pergi kepada
yang mempunyai hak (yang memperhutangkan). Dan tidak
memberatkan yang mempunyai hak supaya pergi kepada yang berhutang, yang akan
membayar hutangnya. Nabi saw bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah orang
yang terbaik membayar hutangnya”. Manakala telah sanggup membayar hutang, maka
hendaklah bersegera membayarnya, walaupun belum waktunya. Dan hendaklah
menyerahkan yang terbaik dari apa yang disyaratkan kepadanya dan yang terbagus.
Dan kalau belum sanggup, maka hendaklah berniat akan membayarnya, manakala telah
sanggup nanti.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berhutang
dengan sesuatu hutang dan berniat akan membayarnya, niscaya diwakilkan oleh
Allah beberapa malaikat yang akan memeliharanya dan mendoa untuknya, sehingga
ia membayar hutang itu nanti”. Dan adalah segolongan ulama salaf membuat
hutang, tanpa ada keperluan, lantaran hadits tersebut. Dan manakala yang
mempunyai hak (yang memperhutangkan) berkata-kata dengan perkataan yang kasar,
maka hendaklah ditahannya dan dihadapinya dengan lemah lembut, karena mengikat
Rasulullah saw: “tatkala datang kepadanya yang memperhutangkannya, ketika telah
sampai waktunya. Dan tidaklah Rasulullah saw dapat melunasinya. Lalu orang itu
mengeluarkan kata-kata keras kepada Rasulullah saw. Maka bercita-cita para
sahabatnya membalaskannya. Lalu Nabi saw bersabda: “Biarkanlah orang itu !
sesungguhnya yang mempunyai hak, berhaklah berkata-kata”. Manakala telah
berputar perkataan antara yang berhutang dengan yang memperhutangkan, maka yang
ihsan, ialah kecondongan yang lebih banyak bagi golongan yang menengah kepada
orang yang berhutang. Karena orang yang memperhutangkan, adalah memperhutangkan
dari kekayaan yang ada padanya. Dan orang yang berhutang, adalah berhutang
lantaran keperluan. Dan seperti itu pula, seyogyalah ada pertolongan bagi si
pembeli yang lebih banyak. Karena si penjual itu, adalah tidak suka kepada
barang, yang ia ingini melakukannya. Dan si pembeli itu berhajat kepada barang
tersebut. Ini yang terbaik ! kecuali orang yang berhutang itu melampaui
batasnya. Maka ketika itu, menolonginya, ialah mencegahkannya daripada
melampaui batas serta menolong yang memperhutangkannya, karena Nabi saw
bersabda: “Tolonglah saudaramu, yang menganiaya atau yang teraniaya !”. Lalu
ada yang menanyakan: “Bagaimanakah kami menolong kalau dia itu yang
menganiaya”. Maka Nabi saw menjawab: “Engkau larang dia dari kezaliman, adalah
pertolongan kepadanya”.
5.
Bahwa menerima kembali dari orang yang mengembalikan
pembeliannya. Karena tidaklah menyerahkan kembali, selain orang yang
menyesal dan merasa keberatan dengan penjualan itu. Dan tiada
seyogyalah untuk memperoleh kerelaan bagi dirinya sendiri, lalu menjadi sebab
kemelaratan bagi saudaranya. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menerima kembali
pembelian dari orang yang menyesal dengan pembelian itu, niscaya diterima
kembali oleh Allah akan kesalahannya (diampunkan oleh Allah akan kesalahannya)
pada hari kiamat”. Atau seperti apa yang semaksud dengan itu pada hadits yang
lain.
6. Bahwa ia
bermaksud dalam melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan) dengan golongan
orang-orang miskin, menangguhkan
Menerima pembayaran. Yaitu, pada waktu itu juga, ia
bercita-cita tidak akan meminta bayar pada orang-orang miskin itu, kalau belum
menampak kesanggupan mereka. Sesungguhnya pada orang-orang shalih dahulu, ada
yang mempunyai dua buku kiraan. Yang satu, penjelasannya tidak diketahui. Hanya
didalamnya nama-nama orang lemah dan miskin yang tidak dikenal. Yang demikian
ialah: bahwa ada orang miskin yang melihat makanan atau buah-buahan, maka
timbul keinginannya, lalu mengatakan: “Saya berhajat 5 kati –umpamanya –dari
barang ini dan tidak ada pada saya sekarang uang untuk harganya”. Lalu orang
shalih penjual itu, menjawab: “Ambillah dan bayarlah harganya nanti ketika ada
kesanggupan !”. Dan tidaklah itu terhitung sebahagian dari khiar (boleh memilih antara
meneruskan aqad itu atau merombaknya). Tetapi yang terhitung sebahagian dari
khiar, ialah orang yang tidak tercantum namanya sekali-kali dalam buku dan
tidak dijadikan itu sebagai hutang. Tetapi disini, ia mengatakan: “Ambillah,
apa yang engkau kehendaki ! kalau sanggup, bayarlah sekarang ! dan kalau tidak,
maka engkau halal memakannya dan dalam keluasan waktu untuk membayarnya”.
Inilah jalan-jalan perniagaan, yang ditempuh orang-orang salaf dahulu. Dan
jalan-jalan ini sudah terbenam. Dan yang menegakkannya, ialah orang yang
menghidupkan sunnah ini! Kesimpulannya, perniagaan itu adalah perbantahan
orang-orang. Dengan perniagaan, dapat diuji agama dan wara’ dari seseorang. Dan
karena itulah, bermadah seorang penyair:
Janganlah tertipu engkau dari manusia,
bajunya kumal berjahit-jahitan,
sarungnya terangkat tinggi diatas tumit,
dahinya menunjukkan bekas sujud yang
mengupas,
padanya dirham dan dinar.......
Maka.......
Perhatikanlah sesatnya atau
wara’nya.......!
Karena itulah, ada
yang mengatakan: “Apabila dipuji seseorang oleh tetangganya di kampung, oleh
teman sahabatnya dalam perjalanan dan oleh orang-orang yang melakukan mu’amalah
(pengurusan/perniagaan) dengan dia di pasar, maka janganlah kamu syak wasangka
lagi, tentang baiknya orang tersebut”. Seorang saksi menjadi saksi pada Umar
ra, lalu beliau berkata: “Datangkanlah kepadaku orang yang mengenal kamu !”.
Maka saksi itu membawa seorang laki-laki, lalu memuji saksi tersebut dengan
pujian yang baik. Maka Umar ra bertanya kepada orang itu: “Apakah engkau
tetangganya yang terdekat yang mengenal masuk dan keluarnya ?”. Orang itu
menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya lagi: “Apakah engkau temannya dalam
perjalanan, yang membuktikan, dia itu berbudi pekerti mulia ?”. Orang itu
menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya pula: “Apakah engkau telah melakukan
mu’amalah (perniagaan) dengan dia, dengan dinar dan dirham, yang dengan itu
menerangkan bahwa dia orang wara’ ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Umar
ra menyambung: “Aku menyangka, engkau telah melihat dia mengerjakan shalat
dalam masjid. Ia membaca Alquran dengan suara rendah. Ia merendahkan kepala
sekali dan mengangkatkannya pada kali yang lain”. Orang itu menjawab: “Ya !”.
Maka Umar ra berkata: “Pergilah, engkau belum mengenal orang ini !”. Dan kepada
orang itu, beliau berkata: “Pergilah, bawalah kepadaku orang yang mengenal kamu
!”.
BAB KELIMA: tentang kasih-sayang
seorang saudagar kepada agamanya, pada suatu yang khusus dengan agama dan yang
umum dengan akhirat.
Tiada seyogyalah bagi seorang saudagar,
diumbang-ambingkan oleh kehidupannya, tanpa mengingati akhiratnya. Maka jadilah
umurnya lenyap percuma, dan perusahaannya merugi. Dan apa yang tidak
diperolehnya dari keuntungan di akhirat, tidak dapat disempurnakan oleh apa
yang dicapainya di dunia. Maka adalah dia termasuk orang yang membeli kehidupan
dunia dengan melepaskan akhirat. Tetapi, orang yang berakal, seyogyalah menaruh
kasih-sayang kepada dirinya sendiri. Dan kekasih-sayangan kepada diri sendiri
itu, ialah dengan memelihara modalnya. Dan modalnya itu, ialah agama dan
perniagaannya pada agama. Berkata setengah salaf: “Barang yang lebih utama bagi
seorang yang berakal, ialah yang lebih diperlukannya kepada barang itu pada
masa yang cepat. Dan yang lebih diperlukan pada masa cepat, ialah yang lebih
terpuji akibatnya pada masa lambat yang akan datang (masa akhirat)”. Berkata
Ma’az bin Jabal ra dalam wasiatnya: “Sesungguhnya tak boleh tidak bagimu
mempunyai bahagian di dunia. Dan engkau lebih berhajat lagi kepada bahagianmu
di akhirat. Maka mulailah dengan bahagianmu dari akhirat, lalu ambilkanlah !
sesungguhnya engkau akan melalui di atas bahagianmu dari dunia, maka hendaklah
engkau mengaturkannya! Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau lupakan
bahagian engkau di dunia ini !”. S 28 Al Qashash ayat 77. Artinya: “Janganlah
engkau lupakan dalam dunia ini, akan bahagianmu dari dunia untuk akhirat.
Karena dunia adalah tempat menanam (kebun) bagi akhirat. Dan dalam dunialah
diusahakan segala kebaikan. Sesungguhnya akan sempurna kasih-sayang seorang
saudagar kepada agamanya, dengan menjaga 7 perkara:
1.
Baik niat dan keyakinan/aqidah pada permulaan perniagaan.
Maka hendaklah berniat dengan perniagaan itu untuk menjaga diri daripada
meminta-minta. Dan mencegah daripada mengharap kepada orang
lain karena merasa cukup dengan yang halal, tanpa dari orang lain. Dan dapat
memperoleh pertolongan dengan apa yang diusahakan sendiri untuk agama dan
menunaikan kebutuhan kaum keluarga. Supaya ia termasuk kedalam jumlah
orang-orang mujahidin. Dan hendaklah berniat untuk nasehat bagi kaum muslimin !
dan bahwa mencintai orang lain, akan apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.
Dan hendaklah berniat mengikuti jalan adil dan ihsan pada dagangan nya,
sebagaimana yang telah kami sebutkan dahulu. Dan hendaklah berniat menyuruh
yang ma’ruf dan melarang yang munkar, pada tiap-tiap apa yang dilihatnya di
pasar ! Maka apabila ia letakkan dalam jantung hati, keyakinan-keyakinan dan
niat-niat ini, niscaya adalah ia orang yang bekerja pada jalan akhirat. Maka
jika ia memperoleh faedah akan harta, niscaya ia memperoleh kelebihan. Dan
kalau ia merugi di dunia, niscaya ia beruntung di akhirat.
2.
Bahwa tujuannya dalam berusaha atau berniaga itu adalah
menegakkan salah satu daripada fardhu-kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakkan
pekerjaan itu sudah cukup). Sesungguhnya perusahaan dan
perniagaan jikalau ditinggalkan, niscaya batallah kehidupan dan binasalah
kebanyakan makhluq. Maka teraturnya urusan semua, adalah dengan tolong-menolong
semua. Dan menanggung masing-masing golongan dengan pekerjaannya. Dan jikalau
semua orang menghadapi suatu perusahaan, niscaya menganggurlah segala
perusahaan yang lain dan binasalah semua. Dan kepada inilah, dibawa oleh
setengah manusia akan sabda Nabi saw: “Perbedaan umatku, adalah menjadi
rahmat”. Artinya: perbedaan cita-cita mereka dalam perusahaan dan pekerjaan.
Dan sebahagian dari perusahaan itu, ada yang penting dan sebahagian
daripadanya, ada yang tidak diperlukan. Karena kembalinya untuk mencari
keni’matan dan perhiasan dunia. Maka bekerjalah pada perusahaan yang penting,
supaya dalam mengerjakannya itu memperoleh kecukupan, tanpa meminta bantuan
orang muslimin lainnya dan yang penting pada agama. Dan hendaklah menjauhkan
perusahaan membuat ukiran, bertukang emas dan perak dan membangun gedung-gedung
dengan batu-batu merah dan segala apa yang menjadi hiasan dunia. Semua itu
tidak disukai oleh orang-orang agama.
Adapun segala perbuatan permainan dan
alat-alat yang haram memakainya, maka menjauhkan yang demikian itu, termasuk
segi meninggalkan kezaliman. Dan termasuk dari jumlah yang demikian, ialah:
dijahit oleh tukang jahit pakaian luar (qaba’) dari sutera bagi laki-laki,
dituang oleh tukang emas kendaraan emas atau cincin emas bagi laki-laki. Maka
semua itu, termasuk perbuatan ma’siat. Dan ongkos yang dipungut padanya, adalah
haram. Dan karena itulah, kita wajibkan zakat padanya dan walaupun kita tidak
mewajibkan zakat pada pakaian. Karena apabila dimaksudkan pakaian itu untuk
laki-laki, maka diharamkan. Dan adanya disediakan untuk kaum wanita, tidak akan
menghubungkan dengan pakaian yang mubah, selama tidak dimaksudkan yang
demikian, dengan pakaian itu. Maka hukumnya dihasilkan dari maksud. Dan kami
telah menyebutkan dahulu, bahwa menjual makanan dan kain kafan, adalah makruh.
Karena penjualan itu mengharuskan menunggu orang mati dan memerlukan kepada
mahal harganya. Dan dimakruhkan menjadi tukang daging, karena padanya kekesatan
hati. Dan dimakruhkan menjadi tukang bekam atau tukang sapu, karena padanya
berlumur dengan najis. Dan begitu pula menjadi tukang penyamak kulit dan
perbuatan-perbuatan lain yang searti dengan itu.
Ibnu Sirin memandang makruh pekerjaan saudagar
perantara (menjadi agen barang-barang). Dan Qatadah memandang makruh upah bagi
agen barang itu. Mungkin sebabnya, karena sedikit kemungkinan terlepasnya agen
itu daripada membohong dan berlebih-lebihan memuji barang yang diageninya,
untuk melakukannya. Dan karena pekerjaan dari agen itu tidak dapat ditentukan.
Kadang-kadang sedikit dan kadang-kadang banyak. Dan tidak dipandang pada jumlah
ongkosnya kepada pekerjaan, tetapi kepada jumlah harga kain. Dan ini, adalah
kebiasaan dan suatu kezaliman. Tetapi seyogyalah diperhatikan kepada keadaan
kepayahan tenaga yang dipergunakan. Dan para ulama itu memandang makruh membeli
hewan untuk diperniagakan. Karena si pembeli tidak suka akan taqdir Allah
padanya, yaitu: mati yang akan menimpa terjadinya dan bukan mustahil, pada
hewan itu. Dan ada yang mengatakan: “Bi’il-hayawan wasytaril-mawatan!”.
Artinya: “Juallah yang hidup dan belilah yang mati !”.
Mereka memandang makruh berusaha dalam
bidang tukar-menukar uang. Karena amat sukar menjaga dari riba yang halus-halus.
Dan karena tukar-menukar uang itu meminta kepada memperhatikan sifat yang
halus-halus, pada apa yang tidak dimaksudkan bendanya. Dan yang dimaksudkan,
ialah lakunya. Dan amat sedikitlah bagi shairafi (orang yang kerjanya
tukar-menukar uang, ya’ni: menukar uang emas dengan uang perak atau uang dari
satu negeri dengan uang dari negeri yang lain) itu, memperoleh keuntungan.
Kecuali dengan berpegang kepada kebodohan orang yang dilakukan mu’amalah (jual
beli), tentang keadaan yang halus-halus dari keuangan itu. Maka amat sedikitlah
shairafi memperoleh keselamatan dari yang demikian, walaupun ia berhati-hati
benar. Dan dimakruhkan bagi shairafi dan lainnya, menghancurkan uang yang sah
dan uang-uang dinar, kecuali ketika ragu tentang bagusnya atau ketika darurat.
Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Telah datang
larangan dari Rasulullah saw dan para sahabatnya, tentang menghancurkan uang
yang sah dan saya memandang makruh menghancurkan itu”. Dan seterusnya Ahmad bin
Hanbal ra berkata: “Shairafi itu membeli dengan dinar akan dirham, kemudian
membeli dengan dirham akan emas, lalu dihancurkannya”.
Para ulama memandang sunat berjualan kain.
Sa’id Al-Musayyab berkata: “Tiadalah perniagaan yang lebih aku sukai, dari
berjualan kain, selama tak ada padanya sumpah-menyumpah”. Dan diriwayatkan pada
hadits: “Sebaik-baik perniagaan kamu, ialah kain dan sebaik-baik perusahaan
kamu, ialah melobangi dan menjahit kulit”. Dan pada hadits lain tersebut:
“Jikalau berniagalah ahli sorga, niscaya mereka berniaga kain. Dan jikalau
berniagalah ahli neraka, niscaya mereka berniaga tukar-menukar uang”.
Dan kebanyakan pekerjaan orang-orang
pilihan dari salaf, adalah 10 macam: menjahit kulit, berniaga, membawa barang,
menjahit, membuat alas baki, mencelup kain, membuat sepatu, bertukang besi, bertenun
kain, berusaha berburu binatang darat dan menangkap ikan di laut dan membuat
kertas. Dan mengenai membuat kertas, berkata Abdulwahab Al-Warraq: “Bertanya
kepadaku Ahmad bin Hanbal: “Apakah usahamu ?”. Aku menjawab: “Al-wiraqah
(membuat dan menjual kertas)”. Lalu Ahmad bin Hanbal menyambung: “Usaha yang
baik. Kalau aku bekerja pekerjaan tangan, niscaya aku berusaha seperti
perusahaanmu”. Kemudian Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku: “Janganlah engkau
menulis, melainkan di tengah dan tinggalkanlah pinggir-pinggirnya dan kulit
dari tiap-tiap bahagian (juzu’) dari buku yang ditulis !”. 4 golongan dari para
tukang, tertanda pada orang banyak dengan kelemahan pikiran: tukang tenun,
tukang jual kapas pemintal benang bulu dan guru-guru. Mungkin sebabnya, karena
yang terbanyak mereka bergaul, ialah dengan kaum wanita dan anak-anak. Dan
bergaul dengan orang-orang yang lemah akal pikiran, adalah melemahkan pikiran,
sebagaimana bergaul dengan orang-orang yang berakal pikiran, maka menambahkan
akal pikiran.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Maryam as
melalui tempat orang bertenun kain waktu mencari Isa as. Maka Maryam menanyakan
jalan, lalu mereka menunjukkan yang bukan jalan. Lalu Maryam as berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! cabutkanlah keberkatan dari usaha mereka dan umat mereka itu
miskin-miskin dan hina pada mata manusia !”. Maka diperkenankanlah doa Maryam
as itu.
Ulama salaf memandang makruh mengambil upah
atas tiap-tiap sesuatu perbuatan dari bagian ibadah dan fardhu-kifayah, seperti
memandikan mayit dan menguburkannya. Dan begitupula adzan dan shalat tarawih,
walaupun dipandang menurut hukum, sah mengambil upah daripadanya. Dan
begitupula mengajarkan Alquran dan ilmu agama. Maka itu semuanya, adalah amal,
yang haknya diperniagakan untuk akhirat. Dan mengambil upah padanya, adalah
menggantikan dengan dunia, meninggalkan akhirat. Dan tidaklah disunatkan yang
demikian.
3.
Bahwa tidak dicegah oleh pasar dunia dari pasar akhirat. Dan
pasar akhirat itu, ialah masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Beberapa
orang laki-laki yang tidak lalai oleh karena perniagaan dan
jual beli dari mengingati Allah, mengerjakan shalat dan membayar zakat”. S 24
An Nur ayat 37. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Didalam rumah, yang diizinkan
Allah untuk meninggikan dan menyebutkan namaNya padanya”. S 24 An Nur ayat 36.
Maka seyogyalah dijadikan permulaan siang sampai kepada waktu masuk pasar,
untuk akhiratnya. Ia mengharuskan ke masjid dan rajin mengerjakan segala wirid.
Adalah Umar ra berkata kepada para
saudagar: “Jadikanlah permulaan siangmu bagi akhiratmu dan sesudahnya itu bagi
duniamu !”. Adalah orang-orang shalih terdahulu menjadikan permulaan siang dan
penghabisannya untuk akhirat dan pertengahannya untuk perniagaan. Dan tidaklah
yang menjual harisah (makanan yang terbuat dari biji-bijian yang tertumbuk dan
daging) dan kepala-kepala kambing pada pagi hari, selain dari anak-anak dan
orang dzimmi (orang yang tidak Islam, di bawah naungan pemerintahan Islam).
Karena orang-orang shalih itu berada di masjid semuanya.
Dan pada hadits, tersebut: “Sesungguhnya
malaikat apabila menaikkan lembaran amal hamba dan pada lembaran itu pada
permulaan siang dan pada penghabisannya dzikir kepada Allah dan kebajikan,
niscaya ditutup oleh Allah daripadanya diantara kedua waktu tadi, dari segala
amal perbuatan jahat”. Dan pada hadits, tersebut: “Berjumpalah malaikat malam
dan siang ketika terbit fajar dan ketika shalat ‘Ashar,
Maka Allah Ta’ala berfirman dan IA Maha Tahu tentang mereka:
“Bagaimanakah kamu meninggalkan hamba-hambaKu ?”.
Para malaikat itu menjawab: “Kami tinggalkan mereka, dimana
mereka itu sedang mengerjakan shalat dan kami datang kepada mereka dan
merekapun sedang mengerjakan shalat”.
Maka Allah swt berfirman: “Aku naik saksi kepada kamu semua,
bahwa Aku telah mengampunkan segala dosa mereka”.
Kemudian, manakala telah mendengar adzan pada tengah hari
untuk Dhuhur dan ‘Ashar, maka seyogyalah tidak menambahkan pekerjaan dan
terkejut di tempatnya. Dan hendaklah meninggalkan segala pekerjaan yang sedang
dikerjakan. Maka apa yang tertinggal dari keutamaan takbir pertama bersama imam
pada permulaan waktu, tidak akan sama oleh dunia dengan isinya. Dan manakala
tidak menghadiri shalat jama’ah, niscaya telah berbuat ma’siat, menurut
setengah ulama.
Adalah ulama salaf bersegera ketika
mendengar adzan. Dan meninggalkan toko-toko untuk anak-anak dan orang-orang
dzimmi. Dan mereka mengeluarkan ongkos beberapa dirham untuk penjagaan toko
pada waktu shalat. Sehingga yang demikian itu, menjadi penghidupan bagi
orang-orang yang menjaga. Dan ada penafsiran firman Allah Ta’ala: “Tidak
dilalaikan mereka oleh perniagaan dan jual beli daripada mengingati Allah”. S
24 An Nur ayat 37, bahwa adalah mereka itu tukang besi dan tukang melobangi dan
menjahit kulit. Maka adalah seorang dari mereka, apabila mengangkat palu atau
melobangi kulit yang hendak dilobangi, lalu mendengar adzan, niscaya ia tidak
akan mengeluarkan kulit itu dari alat pelobang dan tidak akan menjatuhkan palu
keatas besi. Dan terus melemparkannya dan tegak berdiri kepada shalat.
4.
Bahwa tidak mencukupkan kepada itu saja, tetapi membiasakan
berdzikir kepada Allah swt di toko dan mengerjakan tahlil dan
tasbih. Maka berdzikir kepada Allah di toko, diantara
orang-orang yang melupakannya, adalah lebih afdhal. Nabi saw bersabda: “Orang
yang berdzikir kepada Allah dalam golongan orang-orang yang melupakannya,
adalah seperti orang yang berperang di belakang orang-orang yang lari dan
seperti orang yang hidup diantara orang-orang yang mati”. Dan pada kata-kata
yang lain: “seperti pohon kayu yang hijau diantara yang kering”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke
pasar, lalu membaca: “Laa ilaaha illallaah, wahdahu laa syarika lah,
lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyi wa yumitu wa hua hayyun la yamutu bi
yadihil-khairu wa hua ‘ala kulli syai-in qadir”, niscaya ditulis Allah baginya
beribu-ribu kebajikan”.
Adalah Ibnu Umar, Salim bin Abdullah,
Muhammad bin Wasi’ dan beberapa orang yang lain, masuk ke pasar, dengan tujuan
untuk memperoleh keutamaan dzikir tadi.
Al-Hasan berkata: “Orang yang berdzikir kepada Allah di pasar, akan datang
kepadanya pada hari kiamat, cahaya seperti cahaya bulan dan tanda seperti tanda
matahari. Dan barangsiapa meminta ampun kepada Allah di pasar, niscaya
diampunkan oleh Allah baginya menurut bilangan penduduk pasar itu”. Adalah Umar
ra apabila masuk ke pasar, lalu membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya
aku berlindung dengan Engkau dari kekufuran dan kefasikan dan dari kejahatan
apa yang dilingkungi oleh pasar ! wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku
berlindung dengan Engkau daripada sumpah yang zalim dan dari ikatan
penjual-belian yang merugi”.
Abu Ja’far Al-Farghani berkata: “Pada suatu
hari kami berada di sisi Al-Junaid. Maka berlakulah dzikir dari orang-orang
yang duduk dalam masjid. Mereka itu menyerupakan dirinya dengan kaum shufi. Dan
menyingkatkan sekedar yang wajib diatas mereka dari hak duduk di masjid dan
mereka membusukkan orang-orang yang masuk ke pasar. Lalu Al-Junaid berkata:
“Berapa banyak orang yang di pasar, hukumnya ia memasuki masjid dan mengambil
telinga setengah orang yang ada di dalam masjid, lalu mengeluarkannya dan
menduduki tempatnya. Dan sesungguhnya aku mengenal orang yang masuk ke pasar
dan wiridnya tiap-tiap hari 300 rakaat dan 30 ribu tasbih”. Abu Ja’far
menyambung seterusnya: “Lalu terdahululah kepada sangkaanku, bahwa yang beliau
kehendaki, ialah dirinya sendiri”. Maka begitulah kiranya, perniagaan orang
yang berniaga untuk mencari yang mencukupkan. Bukan untuk besenang-senang di
dunia. Maka sesungguhnya orang yang mencari dunia untuk memperoleh pertolongan
dengan dunia itu, kepada akhirat, maka bagaimanakah ia meninggalkan keuntungan
akhirat ? pasar, masjid dan rumah, baginya sama
hukumnya. Dan sesungguhnya kelepasan itu adalah dengan taqwa.
Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah kepada
Allah, dimana saja kamu berada !”. Tugas taqwa tidaklah terputus dari
orang-orang yang menjuruskan hidupnya bagi agama, betapapun bertukarnya
keadaan. Dan dengan taqwalah adanya kehidupan dan penghidupan mereka. Karena
padanya mereka melihat perniagaan dan keuntungan.
Ada ulama yang mengatakan: “Barangsiapa
mencintai akhirat, niscaya hiduplah ia dan barangsiapa mencintai dunia, niscaya
bodohlah dia. Orang yang dungu, maka berpagi dan bersorelah ia dalam kejatuhan.
Dan orang yang berakal, adalah menyelidiki tentang kekurangan diri.
5.
Bahwa tidaklah ia terlalu loba ke pasar dan kepada
perniagaan. Yang demikian, adalah dia itu orang yang pertama masuk dan
orang yang penghabisan keluar. Dia pergi menyeberang lautan
untuk perniagaan. Keduanya itu, adalah makruh. Ada ulama yang mengatakan:
“Sesungguhnya orang yang menyeberang lautan, telah menghabiskan tenaganya pada
mencari rezeki. Dan pada hadits tersebut: “Janganlah lautan itu diseberangi,
kecuali untuk hajji atau ‘umrah atau perang”. Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash ra
berkata: “Janganlah engkau orang yang pertama masuk ke pasar dan orang yang
penghabisan dari pasar ! karena di pasar itu, setan bertelur dan beranak”.
Diriwayatkan dari Ma’az bin Jabal dan Abdullah bin ‘Umar: “Bahwa Iblis berkata
kepada anaknya Zalanbur: “Pergilah dengan segala pasukanmu, datangilah
orang-orang yang mempunyai toko ! hiasilah bagi mereka kebohongan, kesumpahan,
penipuan, pendayaan dan pengkhianatan ! dan adalah engkau bersama orang yang
permulaan masuk dan yang penghabisan keluar dari pasar itu !”. Dan pada hadits,
tersebut: “Sejahat-jahat tempat, adalah pasar dan sejahat-jahat penduduknya,
ialah yang permulaan masuk dari mereka dan yang penghabisan keluar”. Dan untuk
kesempurnaan penjagaan diri daripadanya, ialah memperhatikan akan waktu
kecukupan saja. Apabila waktu kecukupan itu telah berhasil, maka tinggalkan
pasar itu dan pergilah bekerja dengan perniagaan akhirat. Begitulah adanya
orang-orang shalih terdahulu. Ada diantara mereka, apabila telah memperoleh,
keuntungan satu daniq (1/6 dirham), lalu pergi, karena telah merasa cukup
dengan demikian. Adalah Hammad bin Salmah menjual sutera dalam tas pada
tangannya. Apabila ia telah beruntung seberat timbangan 4 biji syair (1/8
dinar), maka ia mengangkat tasnya dan pergi. Ibrahim bin Basysyar berkata: “Aku
mengatakan kepada Ibrahim bin Adham ra bahwa aku lewatkan hari ini dengan
bekerja pada tanah”. Lalu Ibrahim menjawab: “Hai Ibnu Basysyar ! sesungguhnya
engkau itu mencari dan yang dicari. Engkau dicari oleh orang yang tidak engkau
hilangkan dia dari ingatan engkau. Dan engkau mencari sesuatu yang telah engkau
menganggap puas kepadanya. Apakah tidak engkau melihat orang loba yang tidak
memperoleh apa-apa dan orang lemah yang mendapat rezeki ?”. Maka aku menjawab:
“Sesungguhnya aku mempunyai satu daniq pada tukang sayur”. Lalu beliau berkata:
“Aku amat merasa bangga dengan engkau. Engkau mempunyai satu daniq dan engkau
mencari amal !”. Dan ada dalam golongan mereka, orang yang pergi meninggalkan
pasar sesudah Dhuhur. Dan sebahagian dari mereka, sesudah ‘Ashar. Dan
sebahagian dari mereka, ada yang tidak bekerja dalam seminggu, kecuali sehari
atau dua hari. Dan mereka merasa cukup dengan yang demikian.
6.
Bahwa tidak menyingkatkan sekedar menjauhkan yang haram saja,
tetapi menjaga diri dari segala tempat syubhat (diragukan)
dan tempat-tempat yang menimbulkan sangkaan keraguan. Dan tidak
memandang kepada fatwa-fatwa, tetapi mintalah fatwa kepada hati sendiri ! maka
apabila ia mendapati dalam hatinya itu penyakit, niscaya ia jauhkan. Dan
apabila dibawa kepadanya suatu barang, yang meragukannya tentang keadaan barang
itu, niscaya ditanyakannya, sehingga dikenalnya. Kalau tidak, niscaya ia akan
makan syubhat (diragukan). Sesungguhnya telah dibawa orang kepada Rasulullah
saw susu. Lalu beliau bertanya: “Dari manakah engkau memperoleh susu ini ?”.
Sahabat itu menjawab: “Dari kambing !”. Maka Nabi saw bertanya lagi: “Dari
manakah kamu memperoleh kambing itu ?”. Lalu sahabat itu menjawab lagi: “Dari
tempat anu !”. Barulah Nabi saw meminumnya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya
kami, para nabi, kami disuruh untuk tidak memakan, kecuali yang baik dan tidak
berbuat, kecuali yang baik”. Dan beliau menyambung: “Sesungguhnya Allah Ta’ala
menyuruh orang-orang mu’min, dengan apa yang disuruhNya rasul-rasul”. Lalu Nabi
saw membacakan ayat: “Hai orang-orang yang beriman ! makanlah rezeki yang Kami
berikan kepadamu yang baik !”. S 2 Al Baqarah ayat 172. Maka Nabi saw
menanyakan tentang asal sesuatu dan asal dari asal itu dan beliau tidak
lebihkan dari itu. Karena dibalik yang demikian, adalah sulit memeriksakannya.
Dan akan kami terangkan nanti pada “Kitab Halal dan Haram” tempat wajibnya
pertanyaan ini. Karena Nabi saw tidaklah menanyakan tentang semua yang
dibawakan kepadanya. Sesungguhnya yang wajib, ialah saudagar itu memperhatikan
akan orang yang melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan) dengan dia. Maka
tiap-tiap orang yang disebut zalim atau khianat atau mencuri atau berbuat riba,
maka janganlah melakukan mu’amalah (jual beli) dengan orang tersebut. Dan
begitupula tentara dan orang-orang zalim, tidaklah melakukan sekali-kali mu’amalah
(jual beli) dengan mereka. Dan tidak melakukan mu’amalah (jual beli)dengan
teman-teman dan pembantu-pembantu mereka. Karena dengan demikian ia telah
menolong kepada kezaliman.
Diceritakan dari seorang laki-laki yang
ditugaskan membangun tembok untuk suatu benteng pertahanan, dimana orang
laki-laki itu bercerita seterusnya: “Lalu terjadilah dalam hatiku suatu dari
yang demikian itu, walaupun perbuatan itu termasuk perbuatan yang baik. Bahkan
termasuk sebagian dari yang fardhu dalam Islam. Tetapi amir yang memerintah pada
tempat benteng tersebut, adalah dari orang zalim”. Laki-laki tadi meneruskan
ceritanya: “Lalu aku bertanya kepada Sufyan ra. Maka Sufyan menjawab:
“Janganlah engkau menjadi penolong mereka, baik sedikit atau banyak !”. Maka
aku menjawab: “Itu, adalah benteng pada sabilullah bagi orang muslimin”. Sufyan
menjawab: “Ya, benar ! tetapi sekurang-kurangnya yang akan masuk kepadamu,
ialah kamu ingin tetapnya mereka. Supaya sempurnalah kamu memperoleh pahala
bagimu. Maka adalah kamu telah mencintai tetap bersama orang yang berbuat
ma’siat kepada Allah. Dan telah datang pada hadits: “Barangsiapa berdoa bagi
orang zalim dengan tetapnya, maka sesungguhnya ia menyukai berbuat ma’siat
kepada Allah di bumiNya”. Dan pada hadits, tersebut: “Sesungguhnya Allah
marahi, apabila dipujikan orang fasiq”. Dan pada hadits lain, tersebut:
“Barangsiapa memuliakan orang fasiq, maka sesungguhnya ia telah menolong
meruntuhkan Islam”.
Sufyan masuk ke tempat Al-Mahdi dan di
tangannya lembaran putih. Lalu Al-Mahdi berkata: “Hai Sufyan ! berilah kepadaku
tinta, sehingga aku menulis”. Sufyan berkata: “Terangkanlah kepadaku, apakah
yang akan engkau tulis ! kalau yang akan ditulis itu benar, niscaya aku berikan
kepadamu”.
Sebahagian amir meminta kepada sebahagian
ulama yang terpenjara padanya, untuk memberikan kepadanya tanah liat. Karena ia
akan mencap kitab dengan tanah liat itu. Maka ulama itu menjawab:
“Perlihatkanlah lebih dahulu kitab itu kepadaku, sehingga dapat aku melihat
isinya !”. Maka begitulah kiranya mereka menjaga diri daripada memberi
pertolongan kepada orang-orang zalim. Dan mengadakan mu’amalah (jual beli)dengan
mereka, adalah yang lebih berat, bagi segala macam perbantuan. Maka seyogyalah
bantuan itu dijauhkan oleh orang-orang yang beragama, selama masih memperoleh
jalan keluar.
Kesimpulannya, maka seyogyalah bahwa
manusia itu terbagi padanya, kepada orang yang akan dilakukan mu’amalah (jual
beli)dan orang yang tidak akan dilakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan). Dan
hendaklah ada orang yang akan dilakukannya mu’amalah (jual beli)itu, lebih
sedikit dari orang yang tidak akan dilakukannya mu’amalah, pada masa sekarang
ini. Sebahagian ulama berkata: “Telah datang kepada manusia suatu zaman, dimana
orang laki-laki masuk ke pasar dan bertanya: “Siapakah yang engkau lihat
untukku dari manusia, untuk aku melakukan mu’amalah dengan dia ?”. Lalu orang
menjawab kepadanya: Lakukanlah mu’amalah (perdagangan) itu dengan siapa saja
yang engkau kehendaki !”. Kemudian, datang kepada manusia zaman yang lain,
dimana mereka itu berkata: “Lakukanlah mu’amalah (perdagangan) dengan siapa
saja yang engkau kehendaki, kecuali si Anu dan si Anu !”. Kemudian datang zaman
yang lain lagi, maka dikatakan kepadanya: “Janganlah engkau melakukan mu’amalah
(perdagangan) dengan seorangpun, selain si Anu dan si Anu ! dan aku takut akan
datang zaman, yang akan hilang ini pula”. Seolah-olah adalah yang ditakutinya
akan terjadi, ialah: “Sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan sesungguhnya
kita kembali kepadaNya”.
7.
Seyogyalah mengawasi dalam segala perlakuan mu’amalah nya
dengan seseorang dari orang-orang yang melakukan
mu’amalah (perdagangan) dengan dia. Karena sesungguhnya dia
itu yang mengawasi dan yang menghitung amalan diri. Maka hendaklah menyediakan
jawaban bagi hari perkiraan amal dan penyiksaan, dalam tiap-tiap perbuatan dan
perkataan, mengapakah ia tampil mengerjakannya dan karena apa. Sesungguhnya
dikatakan, bahwa disuruh berdiri sebentar saudagar itu pada hari kiamat
berserta tiap-tiap orang yang telah dijualkannya kepada orang itu sesuatu. Dan
diperkirakan dari tiap-tiap seseorang menurut kiraan sebanyak orang yang
bermu’amalah (perdagangan) dengan dia.
Berkata setengah mereka: “Aku bermimpi berjumpa dengan
setengah saudagar, lalu aku tanyakan: “Apakah diperbuat oleh Allah kepadamu ?”.
Saudagar itu menjawab: “Dibukakan kepadaku 50 ribu halaman,
lalu aku bertanya: "Ini semuanya dosa ?”.
Lalu dijawab: “Ini adalah mu’amalah (perdagangan) manusia
sebanyak bilangan orang yang engkau adakan mu’amalah/perdagangan dengan dia di
dunia. Masing-masing orang mempunyai lembaran tersendiri, diantara engkau dan
dia, dari permulaan mu’amalah nya, sampai kepada penghabisan”. Maka inilah
berdasarkan apa yang diusahakan pada amal-perbuatan dari keadilan, keihsanan
dan kekasih-sayangan kepada agama. Kalau disingkatkannya kepada keadilan saja,
maka ia termasuk orang yang shalih. Dan kalau ditambahkannya kepada keadilan
itu akan ihsan, maka ia termasuk orang yang muqarrabin (orang-orang
mendekatkan diri kepada Allah). Dan kalau dijaganya pula bersama itu akan
segala tugas agama, sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab Kelima, niscaya
ia termasuk orang yang shiddiq. Wallahu A’lam bish-shawab ! dan Allah Maha Tahu
dengan yang benar ! Telah tammatlah kiranya “Kitab Adab Perusahaan dan
Penghidupan” dengan pujian kepada Allah dan keni’matanNya.