Kamis, 13 Februari 2014

13. KITAB ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN.

KITAB ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN.
Yiatu: kitab ke-3 dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”.
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kita memuji Allah sebagai pujian dari yang mengesakanNya, yang tersapu dan menghancurlah dalam kekeesaananNya, selain Yang Maha Esa, yang Maha Benar. Kita mengagungkanNya, sebagai pengagungan dari orang yang menegaskan, bahwa tiap-tiap sesuatu selain Allah itu salah dan tidak suci. Dan sesungguhnya tiap-tiap yang bertempat di langit dan di bumi, tidak sanggup menjadikan lalat dan kumbang, walaupun mereka berkumpul bersatu padu. Kita bersyukur kepadaNya, karena ditinggikanNya langit bagi hambaNya, sebagai atap yang dibangun. DisediakanNya bumi, sebagai hambal bagi mereka dan tikar. DijadikanNya malam mengikuti siang, maka dijadikanNya malam sebagai pakaian dan siang tempat mencari penghidupan. Agar mereka itu berkembang mencari kurniaNya dan bangun menundukkan segala hajat keperluan. Kita berselawat kepada RasulNya, dimana orang-orang mu’min keluar dari kolamnya dengan kepuasan, setelah datang kepadanya dengan kehausan. Dan kepada kaum keluarga dan para sahabatnya yang tidak meninggalkan sejenakpun selalu menolong agamanya dengan terus-menerus dan berkekalan. Anugerahilah kesejahteraan yang banyak kepada mereka !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya Yang Maha Memiliki bagi segala yang memiliki dan Yang Mendatangkan sebab bagi segala sebab, menjadikan akhirat itu negeri balasan dan siksaan dan dunia negeri penempatan, kekacauan, perjalanan cepat dan perusahaan. Dan tidaklah perjalanan cepat itu di dunia, terbatas kepada tempat kembali, tidak tempat hidup. Tetapi tempat kehidupan itu, adalah jalan kepada tempat kembali dan yang menolong kepadanya. Di dunia adalah kebun akhirat dan tempat masuk kepadanya.
Manusia itu 3 macam: orang yang disibukkan oleh tempat hidupnya dari tempat kembalinya. Maka dia itu sebahagian dari orang-orang yang binasa. Orang yang disibukkan oleh tempat kembalinya dari tempat hidupnya. Maka dia ini sebahagian dari orang-orang yang memperoleh kemenangan. Dan orang yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, yaitu: orang ketiga yang disibukkan oleh tempat hidupnya untuk tempat kembalinya. Orang tersebut, adalah setengah dari orang yang sederhanna. Dan tidak akan memperoleh tingkat kesederhanaan, orang yang tiada membiasakan mencari penghidupan dengan jalan yang benar. Dan tiada ia tergerak dari dunia, akan jalan ke akhirat, selama tidak ia beradab-kesopanan pada mencarinya dengan adab-kesopanan agama.
Nah, sekarang kami ingin membentangkan adab-kesopanan perniagaan, perusahaan, bermacam-macam usaha dan sunat-sunatnya. Dan kami bermaksud menguraikannya dalam 5 bab:
Bab Pertama:  tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.
Bab Kedua:      tentang pengetahuan yang mensahkan jual beli dan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)
Bab Ketiga:      tentang penjelasan keadilan dalam mu’amalah (perniagaan)
Bab Keempat:  tentang penjelasan berbuat baik (ihsan) dalam mu’amalah
Bab Kelima:     tentang kasih sayang saudagar terhadap dirinya dan agamanya.

BAB PERTAMA: tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.
Adapun dari Alquran, maka firman Allah Ta’ala:
“Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”. S 78 An Nabaa’ ayat 11. Maka Allah Ta’ala menyebutkan siang itu untuk tempat memperoleh keni’matan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami jadikan di bumi lapangan penghidupanmu, tetapi sedikit sekalli kamu berterima kasih”. S 7 Al A’raaf ayat 10. Tuhanmu menjadikan bumi itu suatu ni’mat dan Ia meminta kesyukuran diatas ni’mat itu.
Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah mengapa kalau kamu mencari kurnia Tuhanmu (rezeki)”. S 2 Al Baqarah ayat 198. Dan
Allah Ta’ala berfiirman: “Dan yang lain sedang berjalan di muka bumi untuk mencari kurnia Allah”. S 73 Al Muzzammil ayat 20. Dan
Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah ayat 10.
Adapun hadits, maka
Nabi saw bersabda: “Sebahagian dari dosa ialah dosa yang tiada dihapuskan, melainkan oleh kesusahan pada mencari penghidupan”.
Nabi saw bersabda: “Saudagar yang benar, akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang-orang shiddiq dan orang-orang shahid”. Dan
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mencari dunia secara halal, menjaga diri dari meminta-minta, berusahalah untuk keluarga dan menaruh kasih sayang kepada tetangga, niscaya ia menjumpai Allah, sedang mukanya seperti bulan pada malam purnama raya”. “Adalah Nabi saw duduk bersama para sahabatnya pada suatu hari, lalu mereka itu melihat seorang pemuda yang tabah dan kuat. Ia pagi-pagi benar pergi berusaha. Maka mereka itu berkata: “Alangkah baiknya, pemuda ini, kalau adalah mudanya dan tabahnya fi sabilillah !”. Maka Nabi saw menjawab: “Jangan engkau mengatakan itu ! karena kalau ia berusaha untuk dirinya, supaya ia tercegah dari meminta-minta dan ia tidak memerlukan kepada pertolongan orang lain, maka dia itu sudah fi sabilillah. Dan kalau ia berusaha untuk kedua ibu bapaknya yang lemah atau keturunannya yang lemah, untuk memenuhi dan mencukupkan keperluan mereka, maka ia sudah fi sabilillah. Dan jikalau ia berusaha untuk membanggakan diri dan membanyakkan harta, maka ia sudah fi sabilisy-syaithan (pada jalan setan)”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang mengambil sesuatu pekerjaan, untuk memperoleh kecukupan, daripada bantuan orang lain. Dan Allah memarahi hambaNya yang mempelajari ilmu pengetahuan, yang diperbuatnya ilmu itu untuk perusahaan”. Pada suatu hadits tersebut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai orang mu’min yang berusaha”.
Dan Nabi saw bersabda: “Yang lebih halal, dari apa yang dimakan oleh seseorang, ialah dari usahanya sendiri. Dan segala jual beli itu mempunyai kebajikan”. Dan pada hadits yang lain tersebut: “Yang lebih halal dari apa yang dimakan oleh seorang hamba, ialah usaha dari tangan pekerja apabila ia bekerja, dengan jujur”. Dan Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu berniaga, karena pada perniagaan itu, 9/10 dari rezeki !”.
Dan diriwayatkan, bahwa ‘Isa as melihat seorang laki-laki, lalu bertanya: “Apakah yang engkau kerjakan ?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku beribadah”. ‘Isa as bertanya lagi: “Siapakah yang menanggung perbelanjaanmu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Saudara saya !”. Lalu ‘Isa as menyambung: “Saudaramu lebih banyak ibadanya daripada kamu !”.
Nabi kita saw bersabda: “Sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang mendekatkan kamu ke sorga dan menjauhkan kamu dari neraka, melainkan aku suruh kamu dengan dia. Dan sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang menjauhkan kamu dari sorga dan mendekatkan kamu ke neraka, melainkan aku larang kamu daripadanya. Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku, bahwa nyawa itu tidak mati, sehingga ia memperoleh dengan sempurna akan rezekinya, walaupun terlambat daripadanya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan bertindaklah dengan baik pada mencari !”.
Nabi saw menyuruh dengan tindakan yang baik pada mencari dan beliau tidak mengatakan: “Tinggalkanlah mencari !”. Kemudian beliau bersabda pada akhir hadits itu: “Janganlah dibawa kamu oleh kelambatan sesuatu, dari mencari rezeki itu, dengan jalan ma’siat kepada Allah Ta’ala. Karena Allah tiada akan memberi apa yang padaNya dengan mendurhakaiNya”. Nabi saw bersabda: “Pasar itu adalah hidangan Allah Ta’ala. Maka barangsiapa datang ke pasar, niscaya akan memperoleh daripadanya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya diambil oleh seseorang dari kamu akan talinya, lalu diikatnya kayu bakar pada punggungnya, adalah lebih baik daripada ia mendatangi seseorang yang dikurniai oleh Allah dari kelimpahanNya, lalu dimintanya. Ia beri atau tidak”. Dan
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membuka kepada dirinya satu pintu dari meminta-minta, niscaya dibukakan oleh Allah kepadanya 70 pintu dari kemiskinan”.
Adapun atsar (kata-kata yang berhikmah dari orang-orang terdahulu), maka telah berkata Lukmanul-hakim kepada puternya: “Hai anakku ! hendaklah engkau merasa kaya dengan usaha yang halal, dari kemiskinan ! karena sesungguhnya tidaklah sekali-kali, seseorang merasa miskin, melainkan ia ditimpakan 3 perkara: tipis keagamaannya, lemah akalnya dan hilang kehormatan dirinya. Dan yang paling besar dari yang 3 ini, ialah manusia memandang enteng kepadanya”.
Umar ra berkata: “Janganlah duduk seorang kamu dari mencari rezeki, seraya berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku rezeki !”. Sesungguh nya kamu mengetahui, bahwa langit itu tidak menurunkan hujan emas dan perak”. Adalah Zaid bin Maslamah bercocok tanam pada tanahnya. Lalu Umar ra berkata kepadanya: “Engkau betul ! jadilah engkau tidak memerlukan kepada orang, niscaya jadilah dia lebih memelihara akan agama engkau dan lebih mulia engkau pada mereka, sebagaimana kata sahabatmu Uhaihah:
Senantiasalah aku,
membenamkan diri pada sumur yang dalam.
Bahwa orang yang pemurah itu,
dipandang berharta oleh teman-teman.......
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya aku amat benci melihat orang tidak bekerja, tidak untuk urusan dunianya dan tidak untuk urusan akhiratnya”. Ditanyakan Ibrahim tentang saudagar yang benar: “Adakah engkau lebih suka kepadanya atau orang yang menggunakan seluruh waktunya untuk ibadah ?”. Ibrahim menjawab: “Saudagar yang benar, lebih aku sukai. Karena dia dalam perjuangan (jihad), yang didatangi setan, dari jalan sukatan dan timbangan. Dan barangsiapa menerima untuk mengambil dan memberi maka ia berjihad melawan setan”. Al-Hasan Al-Bashari berbeda pendapat dengan Ibrahim dalam hal ini.
Dan Umar ra berkata: “Tiadalah tempat yang didatangi akan aku oleh kematian, yang lebih aku sukai, dari tempat, dimana aku berkedai padanya untuk keluargaku, aku menjual dan membeli”. Al-Haitsam berkata: “Kadang-kadang sampai kepadaku sesuatu dari orang yang datang kepadaku, lalu aku terangkan, bahwa aku tidak memerlukan kepada barang itu. Maka mudahlah yang demikian kepadaku”. Ayyub berkata: “Usaha, dimana dengan usaha itu memperoleh sesuatu, adalah lebih aku sukai daripada meminta-minta pada orang”’. Berhembuslah angin badai di laut, lalu bertanyalah anak kapal kepada Ibrahim bin Adham ra dimana beliau berada serta mereka didalam kapal itu: “Apakah pikiran tuan tentang kesukaran ini ?”. Beliau menjawab: “Apakah kesukaran ini ? sesungguhnya kesukaran itu, ialah suatu keperluan bagi manusia”. Ayyub berkata: “Abu Qallabah berkata kepadaku: “Haruslah engkau terus di pasar ! karena kaya itu dari kesehatan. Ya’ni: kaya, tanpa memerlukan kepada bantuan orang”.
Orang menanyakan kepada Ahmad: “Apakah kata tuan, tentang orang yang duduk di rumahnya atau dalam masjid ? dan dia mengatakan: “Aku tidak mengerjakan sesuatu, sehingga datanglah kepadaku rezekiku”. Ahmad menjawab: “Itu adalah orang yang tiada mengetahui ilmu pengetahuan ! tidakkah ia mendengar sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menjadikan rezekiku, dibawah bayang-bayang tombakku”.
Dan sabda Nabi saw ketika beliau menyebutkan burung, lalu beliau bersabda: “Dia keluar pagi-pagi dengan tembolok kosong dan pulang sore dengan tembolok berisi”. Lalu menyebutkan, bahwa burung itu keluar pagi-pagi mencari rezekinya. Dan adalah para sahabat Nabi saw pergi berniaga di daratan dan di lautan. Mereka bekerja di kebun tamar dan haruslah mengikuti jejak mereka.
Abu Qallabah berkata kepada seorang laki-laki: “Sesungguhnya aku melihat engkau mencari penghidupan, adalah lebih aku sukai daripada melihat engkau di sudut masjid”.
Menurut riwayat, bahwa Al-Auza’i bertemu dengan Ibrahim bin Adham ra dimana pada bahunya seberkas kayu api. Lalu Al-Auza’i menegur: “Hai Abu Ishaq ! sampai kapan ini ? teman-temanmu merasa puas begini ?”. Maka Ibrahim bin Adham menjawab: “Biarkanlah aku begini wahai Abu ‘Amr. Karena sampai kepadaku kabar, bahwa barangsiapa berdiri pada tempat kehinaan, mencari yang halal, niscaya haruslah baginya sorga”.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Bukanlah bernama ibadah pada kami, bahwa engkau meletakkan kedua tapak kaki engkau berbaris, sedang makanan mu diberikan oleh orang lain. Tetapi mulailah dengan dua potong roti engkau ! peliharalah keduanya, kemudian beribadahlah !”.
Ma’az bin Jabal ra berkata: “Pada hari kiamat, diserukan oleh penyeru: “Manakah orang yang dimarahi oleh Allah di bumiNya ?”. Lalu bangunlah peminta di masjid-masjid”. Inilah celaan agama kepada meminta-minta dan berpegang kepada bantuan orang lain. Dan orang yang tiada mempunyai harta pusaka, maka tidaklah terlepas yang demikian, kecuali oleh usaha dan perniagaan. Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada diwahyukan kepadaku: supaya engkau mengumpulkan harta dan menjadi saudagar. Tetapi diwahyukan kepadaku, supaya engkau bertasbih dengan memujikan Tuhanmu dan hendaklah engkau orang yang bersujud. Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga datanglah kepadamu yakin”.
Orang meminta kepada Salman Al-Farisi dengan berkata: “Berilah nasehat kepada kami !”. Lalu Salman menjawab: “Barangsiapa sanggup daripadamu meninggal dengan mengerjakan hajji atau berperang atau meramaikan masjid Tuhannya, maka hendaklah berbuat yang demikian ! dan janganlah ia meninggal selaku saudagar dan pengkhianat”. Maka jawaban atas pertanyaan anda tadi, sesungguhnya cara mengumpulkan diantara hadits dan keterangan-keterangan itu, memerlukan kepada penguraian segala hal keadaan. Maka sekarang kami terangkan: “Tidaklah kami mengatakan, bahwa berniaga itu lebih utama mutlak dari segala yang lain. Tetapi berniaga itu, adakalanya untuk mencari kecukupan atau kekayaan atau tambahan kepada kecukupan. Kalau dari perniagaan itu dicari tambahan kepada kecukupan, untuk memperbanyak dan menyimpan harta, bukan untuk dipergunakan kepada jalan kebajikan dan sedekah, maka itu adalah tercela. Karena itu, adalah menghadapkan diri kepada dunia, dimana mencintai dunia itu, adalah pokok tiap-tiap kesalahan. Kalau bersama dengan itu, ia berbuat zalim dan berkhianat, maka itu adalah kezaliman dan kefasikan. Dan inilah yang dimaksud oleh Salman dengan katanya: “Janganlah kamu meninggal, sebagai saudagar dan pengkhianat !” Dan beliau maksudkan dengan saudagar, ialah orang yang mencari tambahan.
Adapun apabila dengan perniagaan itu dicari kecukupan untuk dirinya dan anak-anaknya dan ia sanggup untuk memperolah kecukupan itu dengan meminta-minta, maka berniaga untuk menjaga diri dari meminta-minta itu, adalah lebih utama. Dan kalau ia tidak memerlukan kepada meminta-minta, tetapi ia diberikan tanpa meminta-minta, maka berusaha adalah lebih utama. Karena sesungguhnya ia diberikan, adalah karena ia meminta dengan perihal keadaannya dan mengumandangkan diri antara manusia dengan kemiskinan. Maka menjaga diri dan menutup diri dan kekurangan, adalah lebih utama dari keperkasaan. Bahkan dari melaksanakan segala ibadah badaniah (amalan peribadatan yang dilaksanakan dengan tubuh).
Meninggalkan usaha, adalah lebih utama bagi 4 orang: orang yang mengerjakan ibadah badaniyah. Atau orang yang mempunyai perjalanan dengan batin dan amalan dengan hati dalam segala ilmu keadaan dan diminta untuk mengetahuinya saja (ilmu mukasyafah). Atau orang yang berilmu yang bekerja dengan pendidikan ilmu zhahir, dari apa yang dapat dimanfaatkan oleh orang banyak pada agamanya, seperti: mufti, ahli tafsir, ahli hadits dsb. Atau orang yang bekerja untuk kemuslihatan kaum muslimin dan ia menanggung mengurus segala urusan mereka, seperti sultan, kadli dan saksi. Maka mereka yang tersebut tadi, apabila memperoleh kecukupan dari harta-harta yang ditujukan bagi segala kemuslihatan itu atau harta-harta waqaf yang diwaqafkan kepada orang-orang miskin atau alim-ulama, maka mereka menghadapkan diri kepada perbuatan yang mereka laksanakan itu, adalah lebih utama, daripada mereka bekerja dengan berusaha mencari penghidupan. Dan karena itulah, diwahyukan kepada Rasulullah saw: “Supaya bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu dan hendaklah kamu menjadi orang-orang yang bersujud kepada Allah !”. Dan tidak diwahyukan kepadanya: “Supaya adalah kamu dari orang-orang yang berniaga”. Karena dengan demikian, adalah mengumpulkan segala pengertian yang 4 tadi, kepada tambahan-tambahan yang tidak dapat dihinggakan sifatnya. Dan karena inilah, diisyaratkan oleh para sahabat kepada Abubakar ra supaya meninggalkan perniagaan, tatkala beliau menjabat kedudukan Khalifah. Karena perniagaan itu mengganggu beliau dari mengurus segala kemuslihatan umat. Dan beliau dapat mengambil yang mencukupkan baginya dari harta kepentingan umum. Dan beliau sendiri berpendapat yang demikian itu, adalah lebih utama. Kemudian, tatkala hampir wafat, beliau meninggalkan wasiat, supaya dikembalikan harta itu ke Baitul-mal (kas umum). Tetapi beliau pada mulanya dahulu, berpendapat mengambilnya lebih utama. Dan bagi orang yang 4 itu, mempunyai hal yang lain:
Hal yang pertama: adalah perbelanjaan yang mencukupkan bagi mereka ketika meninggalkan berusaha, terdapat dari pemberian orang banyak dan apa yang disedekahkan kepada mereka, dari zakat atau sedekah, tanpa memerlukan kepada meminta. Maka meninggalkan usaha dan meneruskan apa yang dikerjakan oleh mereka itu sekarang, adalah lebih utama. Karena padanya menolong manusia kepada kebajikan dan menerima dari mereka apa yang menjadi hak dan yang lebih utama bagi orang yang 4 itu.
Hal yang kedua: memerlukan kepada meminta-minta. Dan ini memerlukan kepada perhatian. Penegasan-penegasan yang telah kami riwayatkan dahulu tentang meminta-minta serta celaan kepadanya, adalah menunjukkan dengan jelas, bahwa menjaga diri dari meminta-minta, adalah lebih utama. Dan berkata secara mutlak tentang meminta-minta itu, tanpa memperhatikan hal-keadaan dan orang-orangnya, adalah sulit. Bahkan itu diserahkan kepada kesungguhan pemikiran dan perhatian seseorang hamba untuk dirinya, dengan membandingkan apa yang diperolehnya pada meminta-minta itu, ialah kehinaan dan kerusakan harga diri. Serta memerlukan kepada pemberatan dan permintaan dengan mendesak, dibandingkan dengan apa yang berhasil, dari kesibukannya dengan ilmu dan amal, yang merupakan faedah untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Banyak jugalah orang, yang banyak faedahnya untuk makhluk (orang banyak). Dan faedahnya itu, adalah dalam usahanya dengan ilmu atau amal. Dan mudahlah baginya, dengan sindiran yang sedikit saja pada meminta, untuk memperoleh kecukupan (kifayah). Kadang-kadang adalah sebaliknya dan kadang-kadang berhadapan dengan yang dicari dan yang diawasi. Maka seyogyalah murid (yang menuntut jalan akhirat) itu, meminta fatwa pada hatinya sendiri, meskipun telah diberi fatwa oleh para mufti yang lain. Karena segala fatwa itu tidak meliputi dengan segala uraian bentuk dan hal-ikhwal yang halus-halus. Dan adalah dalam golongan salaf dahulu, orang yang mempunyai teman 360 orang, dimana ia bertempat pada masing-masing mereka itu semalam. Dan sebahagian mereka mempunyai teman 30 orang. Mereka itu mengerjakan ibadah, karena mereka itu tahu, bahwa orang-orang yang dibebani itu, akan merasa memperoleh ni’mat dari penerimaan mereka akan kebajikan-kebajikan dari orang-orang itu. Maka adalah penerimaan mereka segala kebajikan orang-orang itu, merupakan kebajikan tambahan kepada peribadatan mereka.
Maka seyogyalah diperhatikan dengan sehalus-halusnya pada segala persoalan tersebut. Karena pahala orang yang mengambil, adalah seperti pahala orang yang memberi, manakala yang mengambil itu memperoleh pertolongan dengan pengambilannya kepada agama. Dan orang yang memberi, memberikannya dengan baik hati. Orang yang dapat menoleh kepada segala pengertian tersebut, niscaya memungkinkan kepadanya untuk mengenal akan keadaan dirinya. Dan memperoleh penjelasan dari kalbunya, apakah yang lebih utama baginya, dibandingkan kepada keadaan dan waktunya. Maka inilah keutamaan usaha ! dan hendaklah ikatan (‘aqad), dimana dengan ikatan itu usaha dijalankan, dapat mengumpulkan 4 perkara: kesehatan, keadilan, ihsan dan kasih-sayang kepada agama. Dan kami akan mengikatkan pada tiap-tiap satu daripadanya, suatu bab. Dan kami mulai menyebutkan sebab-sebab kesehatan pada Bab Kedua ini.

BAB KEDUA: tentang ilmu berusaha dengan jalan berjualan, riba, pembelian dengan pemesanan, penyewaan, penyerahan modal untuk diperniaga kan dan perkongsian. Dan penjelasan syarat-syarat agama tentang sahnya segala perbuatan itu, yang menjadi tempat berkisarnya segala usaha pada agama.
Ketahuilah bahwa menghasilkan ilmu pengetahuan bab ini, adalah diwajibkan atas tiap-tiap muslim yang berusaha. Karena menuntut ilmu itu, menjadi kewajiban atas tiap-tiap muslim. Yaitu, menuntut ilmu yang diperlukan. Dan orang yang berusaha itu, memerlukan kepada ilmu perusahaan. Manakala telah memperoleh pengetahuan bab ini, lalu mengetahui segala yang merusakkan mu’amalah (perniagaan). Maka dapatlah menjagakannya. Dan soal-soal yang jarang terjadi, mengenai furu’-furu’(cabang2) yang sulit, lalu terjadilah disebabkan kesulitan itu. Maka haruslah berhenti dahulu, sampai memperoleh kesempatan untuk menanyakan kepada orang yang berilmu. Karena apabila tiada tahu akan sebab-sebab fasidnya (batalnya) dengan pengetahuan secara umum, maka tidaklah mengetahui, bilakah harus ia berhenti dan bertanya. Kalau ada yang berkata: “Tidak aku dahulukan pengetahuan untuk itu, tetapi aku bersabar, sampai terjadilah kejadian itu bagiku. Maka ketika peristiwa itu terjadi, baru aku belajar dan aku meminta fatwa”. Maka hendaklah dijawab kepada orang itu: “Dengan apakah engkau ketahui, bahwa peristiwa itu terjadi, manakala engkau tiada mengetahui kumpulan yang merusakkan ikatan-ikatan (‘aqad-aqad) itu ?”. Karena ia terus-menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dan menyangka bahwa pekerjaan-pekerjaan itu benar dan diperbolehkan. Dari itu, haruslah mempunyai sekedar yang diperlukan dari ilmu berniaga. Supaya dapat membedakan, yang diperbolehkan dan yang dilarang tempat yang mengandung kesulitan dan yang jelas terang.
Dan karena itulah, diriwayatkan dari ‘Umar ra, bahwa beliau berjalan berkeliling di pasar dan memukul sebagian saudagar dengan cemeti, seraya berkata: “Tidaklah berjualan di pasar kita ini, selain orang yang berpengetahuan ilmu fiqh. Kalau tidak, dia akan memakan riba. Dengan kemauannya yang demikian atau tidak dengan kemauannya”. Pengetahuan tentang aqad (berjual-beli dan lainnya) itu, adalah banyak. Tetapi berjual-beli dan lainnya yang 6 yang tersebut diatas tadi, tidaklah terlepas seseorang pengusaha daripadanya. Yaitu: berjualan, riba, pembelian dengan pemesanan, penyewaan, perkongsian dan penyerahan modal untuk diperniagakan (al-qiradl). Maka marilah kami uraikan syarat-syaratnya dibawah ini:
AQAD PERTAMA: berjualan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghalalkan berjualan. Dan berjualan itu, mempunyai 3 sendi (3 rukun): “aqid, ma’qud alaih dan lafadh”.
Sendi Pertama: ‘aqid (orang yang melakukan aqad berjual beli). Seyogyalah bagi saudagar, tidak melakukan mu’amalah (jual-beli) dengan 4 golongan manusia: anak kecil, orang gila, budak belian dan orang buta. Karena anak kecil itu belum mukallaf (belum dewasa dan berakal). Dan begitu juga orang gila. Berjual beli dengan keduanya itu batal (tidak sah). Maka tidaklah sah berjual-beli dengan anak kecil, walaupun telah diizinkan oleh walinya, menurut mazhab Asy-Syafi’i. Dan apa yang diambil dari kepunyaan keduanya, maka menjadi tanggungan si pengambil untuk keduanya. Dan apa yang diserahkan dalam mu’amalah (jual-beli) kepada keduanya, lalu hilang dalam tangan keduanya, maka yang bertanggung jawab itulah, yang meng hilangkannya.
Adapun budak yang berakal, maka tidak sah menjual dan membeli, kecuali dengan seizin tuannya. Maka haruslah tukang sayur, tukang roti, tukang daging dan lainnya, tidak melakukan perdagangan mu’amalah (jual-beli) dengan budak-budak, selama belum diizinkan oleh tuannya dalam bermuamalah (jual-beli). Keizinan itu didengarnya dengan tegas atau tersiar dalam negeri, bahwa kepada budak itu telah diizinkan membeli dan menjual untuk tuannya. Maka bolehlah berpegang diatas berita yang tersiar atau keterangan seorang yang adil, yang menerangkan dengan yang demikian itu. Kalau mengadakan mu’amalah (jual-beli) dengan budak, tanpa izin tuannya maka ‘aqad itu batal. Dan apa yang diambil dari budak itu, adalah menjadi tanggung jawab si pengambil untuk tuannya. Dan yang diterimanya itu, jikalau hilang dalam tangan budak tadi, niscaya tidaklah tersangkut pada leher budak itu. Dan tidak menjadi tanggungan tuannya. Bahkan tuannya tidak dapat menuntut, kecuali apabila budak itu telah merdeka nanti.
Adapun orang buta, yang menjual dan membeli apa yang tidak dapat dilihatnya itu, maka tidaklah sah yang demikian. Maka hendaklah disuruhnya, dengan cara mewakilkan kepada orang-orang yang dapat melihat. Supaya dibeli atau dijualkan untuk dia. Maka sahlah mewakilkan itu dan sahlah dijual oleh wakilnya. Kalau saudagar itu mengadakan jual-beli  dengan orang buta itu sendiri, maka mu’amalah (jual-beli)  itu batal. Dan apa yang diambilnya dari orang buta itu, menjadi tanggungan saudagar itu menurut nilainya. Dan apa yang diserahkannya kepada orang buta itu, menjadi tanggungannya juga menurut nilainya.
Adapun kafir, maka boleh bermu’amalah (berjual-beli) dengan dia. Tetapi tidak dijual kepadanya Alquran Suci dan budak muslim. Dan senjata, kalau kafir itu dari golongan yang berperang dengan orang muslimin (ahlil-harb). Kalau diperbuat juga, maka mu’amalah (jual-beli) itu ditolak. Dan yang melakukannya, telah berbuat ma’siat kepada Tuhannya.
Adapun tentara dari orang-orang Turki, Turkistan, orang Arab, orang Kurdistan, pencuri, pengkhianat, pemakan riba, orang zalim dan semua orang, yang kebanyakan hartanya haram, maka tidak seyogyalah dimiliki sesuatu benda yang dalam tangannya. Karena benda-benda itu, adalah haram. Kecuali telah diketahui, akan suatu barang tertentu, bahwa barang itu halal. Dan akan datang penguraian yang demikian itu nanti pada “Kitab Halal dan Haram”.
Sendi Kedua: mengenai ma’qud ‘alaih (benda yang dilakukan  jual-beli padanya). Yaitu: harta yang dimaksudkan pemindahannya dari salah seorang ‘aqid (orang yang melakukan aqad berjual beli). kepada aqid yang lain, baik harga atau barangnya. Maka mengenai ma’qud ‘alaih(benda yang dilakukan  jual-beli padanya) itu bukan zat najis (najis ‘aini). Maka tidaklah sah menjual anjing, babi, kotoran, berak, gading dan tempat-tempat yang diperbuat dari gading itu. Karena tulang itu bernajis disebabkan mati. Dan gajah itu, tidak suci dengan disembelih dan tulangnya tidak suci dengan dibersihkan. Dan tidak dibolehkan menjual khamar dan minyak najis yang diperbuat dari hewan yang tidak dimakan, meskipun dapat dipakai untuk lampu dan cat kapal. Dan tiada mengapa menjual minyak yang zatnya suci, yang telah bernajis dengan jatuh najis atau mati tikus didalamnya. Maka boleh mengambil manfaat dengan minyak itu pada bukan makan. Karena zat minyak itu tidaklah bernajis. Begitupula, aku berpendapat tiada mengapa menjual biji ulat sutera. Karena berasal dari hewan yang bermanfaat. Dan menyerupakannya dengan telur, dimana telur itu adalah asal hewan, adalah lebih utama, daripada menyerupakannya dengan tai. Dan boleh menjual kantong kesturi dan dihukum dengan kesuciannya, apabila bercerai dari kijang, pada waktu sedang hidup.
2. Bahwa ma’qud ‘alaih (benda yang dilakukan  jual-beli padanya) itu bermanfaat. Maka tidak boleh menjual binatang-binatang kecil merayap (al-hasyarat), tikus dan ular. Dan tidak harus menoleh, atas kemanfaatan yang diperoleh tukang sunglap dengan ular itu. Dan tidak harus menoleh kepada kemanfaatan yang diambil oleh orang-orang yang mempunyai binatang ternak dengan mengeluarkannya dari keranjang dan meletakkannya dihadapan orang banyak. Dan boleh menjual kucing, lebah, beruang, singa dan yang patut dipakai untuk berburu atau dapat dimanfaatkan kulitnya. Dan boleh menjual gajah, untuk membawa barang-barang. Dan boleh menjual tiung, merak, burung-burung yang cantik bentuknnya, meskipun tidak dimakan. Karena meni’mati dengan suaranya dan memandang kepadanya, adalah suatu maksud yang dimaksudkan dan diperbolehkan. Dan sesungguhnnya anjing, tidak boleh dipelihara, karena merasa takjub dengan bentuknya, disebabkan Rasulullah saw melarang yang demikian. Dan tidak boleh menjual gitar, begeres, seruling dan alat-alat permainan. Karena tak ada manfaatnya pada agama. Begitu pula menjual gambar-gambar yang terbuat dari tanah, seperti gambar binatang-binatang yang dijual pada hari-hari lebaran, untuk mainan anak-anak. Maka wajiblah memecahkannya, menurut agama. Dan gambar pohon-pohonan diperbolehkan. Adapun kain dan baki, yang bergambar hewan padanya, maka sah menjualkannya. Dan begitupula tabir-tabir. Rasulullah saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Buatlah daripadanya, bantal-bantal kecil !”. Dan tidak boleh memakai bantal-bantal kecil yang bergambarkan hewan-hewan itu dengan ditegakkan. Dan boleh secara diletakkan (direbahkan). Dan apabila boleh diambil kemanfaatannya dari satu segi, niscaya sahlah menjualnya karena segi itu.
3. Bahwa benda yang dilakukan ‘aqad padanya, adalah kepunyaan si ‘aqid atau orang yang memperoleh keizinan dari si pemilik. Dan tidak boleh membeli dari bukan si pemiliknya, sementara menunggu keizinan dari si pemilik. Bahkan walaupun si pemilik itu menyetujui kemudian, maka wajiblah mengulangi ‘aqadnya. Dan tiada seyogyalah membeli dari isteri, harta suami dan tidak dari suami harta isteri. Dan tidak dari bapak, harta anak dan tidak dari anak harta bapak, karena berpegang, bahwa kalau yang mempunyai itu tahu, niscaya menyetujuinya. Karena apabila keizinan itu tidak diperoleh lebih dahulu, niscaya penjualan itu tidak sah. Dan contoh-contoh yang demikian itu, adalah sebahagian yang berlaku di pasar-pasar sekarang. Maka haruslah bagi hamba yang beragama menjaga diri daripadanya.
4. Bahwa adalah ma’qud ‘alaih(benda yang dilakukan  jual-beli padanya) itu sanggup diserahkan menurut agama dan kenyataan. Maka yang tidak sanggup diserahkan secara kenyataan, niscaya tidaklah sah menjualnya, seperti budak yang sudah hilang, tak tentu kemana perginya (al-abiq), ikan dalam air, anak hewan yang masih dalam kandungan (al-janin) dan bibit keturunan dari hewan jantan. Dan begitupula, menjual bulu (bulu wol) yang masih dipunggung hewannya dan susu yang masih pada susu hewannya, adalah tidak dibolehkan. Karena sukar menyerahkannya, lantaran bercampur yang tidak dijual dengan yang dijual. Dan yang tidak sanggup menyerahkannya menurut agama, adalah seperti harta yang tergadai, yang diwaqafkan dan budak perempuan yang beranak  dari tuannya. Maka tidak juga sah menjualnya. Begitupula, menjual induk tanpa anaknya, apabila anak itu masih kecil. Dan juga menjual anak tanpa induknya. Karena dengan penyerahannya nanti, menceraikan antara anak dan induknya. Dan itu adalah haram. Maka tidak sah menceraikan diantara keduanya dengan penjualan.
5. Bahwa benda yang dijual itu diketahui bendanya, jumlahnya dan sifatnya. Adapun mengetahui bendanya, adalah dengan ditunjukkan kepada benda itu. Kalau penjual mengatakan: “Aku jual kepadamu seekor dari kumpulan kambing itu, artinya: seekor yang engkau sukai dari kambing-kambing itu. Atau aku jual sehelai dari kain-kain ini yang dihadapan engkau. Atau sehasta dari kain kasar ini dan ambillah dari segi mana engkau sukai. Atau 10 hasta dari tanah ini dan ambillah dari tepi mana engkau kehendaki”. Maka penjualan itu batal. Semuanya itu, adalah termasuk yang dibiasakan oleh orang-orang yang melengahkan agama. Kecuali menjual yang bersifat umum (syai’), seperti: menjual setengah barang atau 1/10 nya. Maka yang demikian itu, diperbolehkan.
Adapun mengetahui jumlahnya, maka sesungguhnya berhasil dengan sukatan atau timbangan atau melihat kepadanya. Maka kalau si penjual itu mengatakan: “Aku jual kepadamu kain ini, dengan harga yang dijualkan oleh si Anu kainnya, “sedang keduanya tidak mengetahui yang demikian itu, maka penjualan itu batal. Kalau si penjual mengatakan: “Aku jual kepadamu dengan harga menurut timbangan alat neraca ini”, maka penjualan itu batal, apabila berat neraca itu tidak diketahui. Kalau si penjual mengatakan: “Aku jual kepadamu kumpulan gandum ini (yang belum disukat atau ditimbang)”, maka penjualan itu batal. Atau si penjual itu mengatakan: “Aku jual kepadamu dengan harga kumpulan dirham ini atau dengan sepotong emas ini”. Sedang ia melihatnya, niscaya sah lah penjualan itu. Dan taksirannya dengan melihat itu, mencukupilah untuk mengetahui takarannya.
Adapun mengetahui sifatnya, maka berhasil dengan melihat pada benda-benda itu sendiri. Dan tidaklah syah menjual benda jauh, kecuali telah dilihat lebih dahulu sejak beberapa waktu, yang tidak banyak mendatangkan perobahan padanya. Menyifatkan dengan kata-kata, tidaklah sama seperti dilihat dengan mata kepala. Dan ini, adalah salah satu dari dua aliran (Salah satu dari dua mazhab). Dan tidaklah boleh menjual kain dalam tenunannya, karena berpegang kepada angka-angkanya. Dan tidaklah boleh menjual gandum yang masih pada tangkainya. Dan boleh menjual beras yang dalam kulitnya (padi), dimana dia disimpan dalam kulit itu. Dan begitupula, boleh menjual buah kelapa dan buah lauz (batangnya hampir mendekati batang delima) dalam kulit yang dibawah (tempurung) dan tidak dibolehkan masih dalam kedua kulitnya. Dan boleh menjual buah kacang (baqila’) yang belum kering dalam kulitnya, karena sesuatu keperluan. Dan diperbolehkan menjual fuqqa’ (minuman yang diperbuat dari syair), karena telah berjalan adat kebiasaan orang-orang yang terdahulu dengan yang demikian. Tetapi kita jadikan itu diperbolehkan, adalah sebagai penukaran dengan pembayaran harga (‘iwadl). Kalau dibeli untuk dijual lagi, maka menurut qiasnya/secara logika, adalah batal. Karena tidaklah ia tertutup dengan tutup kejadiannya. Dan tidak jauh untuk diperbolehkan dengan yang demikian. Karena pada mengeluarkannya, mendatangkan kerusakan, seperti buah delima dan segala apa yang tertutup dengan tutup kejadiannya (kulitnya yang asli sebagai penutup).
6. Bahwa adalah barang yang dijual itu diterima dengan tangan, kalau sudah memperoleh miliknya dengan membayar harganya. Dan ini, adalah syarat khusus. Dan Rasulullah saw telah melarang menjual barang yang tidak bisa diterima dengan tangan. Sama saja barang itu, barang tetap atau barang yang dapat dipindahkan (barang bergerak). Maka tiap-tiap yang dibeli atau dijual sebelum diterima dengan tangan, adalah penjualannya batal. Menerima barang yang bisa dipindahkan itu, adalah memindahkannya. Dan menerima barang tetap (barang tidak bergerak), adalah dengan dikosongkan. Dan penerimaan barang yang dibeli, dengan syarat disukat, adalah tidak sempurna penerimaan itu, kecuali dengan disukat. Adapun penjualan harta pusaka, wasiat, barang simpanan dan barang-barang yang dimiliki, tidak dengan pembayaran harga, maka itu dibolehkan sebelum diterima dengan tangan.
Sendi Ketiga: lafadh ‘aqad. Maka haruslah berlaku ijab dan qabul yang bersambung, dengan lafadh (kata-kata), yang menunjukkan kepada yang dimaksud dan yang dapat dipahami. Adakalanya dengan tegas (sharih) atau tidak tegas (kinayah). Kalau penjual itu mengatakan: “Aku berikan kepadamu ini dengan itu”, sebagai ganti katanya: “Aku jualkan kepadamu”, lalu si pembeli itu menjawab: “Aku terima”, niscaya boleh, manakala keduanya bermaksud jual-beli. Karena kadang-kadang yang demikian itu, memungkinkan kepada peminjaman, apabila berlaku mengenai dua helai kain atau dua ekor hewan. Maka dengan niat tadi, tertolaklah kemungkinan tersebut. Perkataan yang sharih (tegas) itu, dapat menghilangkan persengketaan. Tetapi kata-kata yang tidak tegas (kinayah), dapat mendatangkan hak milik dan halal juga tentang apa yang dipilihkan itu. Dan tiada seyogyalah penjualan itu disertai dengan syarat, yang berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ‘aqad. Kalau disyaratkan, supaya ditambahkan sesuatu yang lain atau supaya barang yang dijual itu dibawa ke rumah si pembeli atau si pembeli itu membeli kayu api dengan syarat diangkut ke rumahnya, maka semuanya itu tidak sah penjualannya. Kecuali apabila disertakan penyewaan pengangkutan itu dengan ongkos tertentu, yang terasing dari pembelian, untuk pengangkutan itu. Manakala tidak berlaku antara si penjual dan si pembeli, selain dari beri-memberi dengan perbuatan, tanpa perkataan dengan lisan, niscaya tidaklah sah sekali-kali penjualan itu pada Asy-Syafi’i.
Dan pada Imam Abu Hanifah sah, apabila penjualan itu pada barang-barang yang tidak begitu berharga. Kemudian, menentukan “barang-barang yang tidak begitu berharga” amat sulit pula. Sesungguhnya mengembalikan persoalan kepada adat-kebiasaan, maka manusia itu telah melewati dari “barang-barang yang tidak begitu berharga” dalam beri-memberi itu. Karena –umpamanya –seorang perantara (dallal), datang kepada penjual kain (bazzar), lalu mengambil daripadanya, sehelai kain sutera, seharga 10 dinar dan dibawanya kepada seorang pembeli. Kemudian ia kembali kepada pembeli itu dan menerangkan, bahwa si pemiliknya menyetujui dengan harga demikian. Lalu perantara tadi mengatakan kepada si pembeli: “Ambillah 10 !”. Maka perantara tersebut, mengambil dari temannya (yang menjadi pembeli) itu uang 10 dinar. Dibawanya dan diserahkannya kepada penjual kain, pemilik kain sutera tadi. Dan si penjual kain itu mengambilnya dan mempergunakan uang tersebut. Dan si pembeli kain sutera itu memotongkannya. Dan tidak berlaku sekali-kali diantara keduanya ijab dan qabul. Dan begitupula, berkumpul orang-orang yang bersedia membeli, di muka toko seorang penjual. Lalu penjual itu mengemukakan sebuah barang, dengan harga 100 dinar umpamanya, kepada orang yang mau menambah. Lalu seorang dari mereka itu menjawab: “Ini untuk saya dengan harga 90”. Dan yang lain menjawab: “Biar untuk saya dengan harga 95”. Dan yang lain menjawab lagi: “Biar untuk saya dengan harga 100”. Lalu dikatakan kepada pembeli itu: “Timbanglah !”. Maka ia timbang dan menyerahkan harganya. Dan mengambil barang tadi, tanpa ijab dan qabul. Sehingga terus-menerus adat-kebiasaan itu berlaku. Dan ini adalah setengah dari penyakit yang tiada menerima obat, karena kemungkinan-kemungkinannya ada 3:
Kemungkinan pertama: adakalanya membuka pintu beri-memberi secara mutlak pada barang yang tidak berharga dan barang yang bernilai tinggi. Dan itu, adalah mustahil. Karena cara yang demikian, adalah pemindahan milik tanpa lafadh yang menunjukkan kepadanya. Dan Allah Ta’ala menghalalkan jual-beli. Dan jual-beli itu, adalah nama bagi ijab dan qabul. Dan ijab serta qabul itu tidak dilakukan. Dan tidaklah berlaku nama jual-beli, dengan semata-mata perbuatan dengan penyerahan dan penerimaan. Maka dengan apakah dihukum pemindahan hak milik dari kedua pihak itu ? lebih-lebih tentang budak-budak wanita dan pria, barang-barang tetap, hewan-hewan yang berharga dan barang-barang yang banyak terjadi pertengkaran padanya. Karena bagi yang menyerah dapat meminta kembali, seraya mengatakan: “Aku sudah menyesal dan aku tidak jualkan barang itu. Karena tidak keluar daripadaku, kecuali semata-mata penyerahan. Dan cara yang demikian itu, bukanlah penjualan”.
Kemungkinan kedua: bahwa kita tutup pintu beri-memberi itu secara keseluruhan, sebagaimana kata Imam Asy-Syafi’i: batalnya ‘aqad dengan cara yang demikian. Mengenai ini, ada dua segi kemusykilan/kesulitan:
1.      Meragukan yang demikian itu pada barang-barang yang tidak berharga, karena telah menjadi kebiasaan pada zaman sahabat ra. Kalaulah mereka itu memberatkan ijab dan qabul dengan tukang sayur, tukang roti dan tukang daging, niscaya beratlah bagi mereka melaksanakannya. Dan tentulah yang demikian itu menjalar dan berkembang. Dan tentulah ada waktu, yang terkenal meninggalkan adat-kebiasaan tadi secara keseluruhan. Sedang masa-masa tentang hal yang seperti itu, berlebih kurang keadaannya.
2.      Bahwa manusia sekarang telah terbenam dalam cara ber -memberi. Orang tidak membeli sesuatu, baik makanan atau lainnya, melainkan mengetahui bahwa si penjual telah memilikkan barang itu kepada si pembeli dengan cara beri-memberi. Maka apakah faedahnya lagi, melafadhkan pada ‘aqad itu, apabila pekerjaan sudah sedemikian ?
Kemungkinan ketiga: bahwa dipisahkan diantara barang yang tidak berharga dengan lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah ra. Dan dalam hal ini, sukar pula menentukan barang yang tidak berharga itu. Dan kesulitan cara pemindahan hak milik, tanpa lafadh, menunjukkan kepada yang demikian itu. Dan Ibnu Suraij beraliran kepada mengemukakan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dengan menyetujuinya. Dan itu, adalah kemungkinan yang lebih mendekati kepada jalan tengah (al-i’tidal). Maka tiada mengapa kalau kita condong kepadanya, karena kepentingan meminta. Dan karena umum telah berlaku diantara orang banyak. Dan karena telah berat dugaan, bahwa yang demikian itu, telah dibiasakan pada masa-masa pertama dahulu. Adapun jawaban dari kedua kemusykilan/kesulitan diatas, maka kami mengatakan:
1.      Adakalanya penentuan tentang pemisahan diantara barang-barang yang tidak berharga dengan yang berharga. Maka tidaklah itu memberatkan kita untuk menaksir. Karena yang demikian itu, tidaklah mungkin. Tetapi mempunyai dua segi yang jelas. Karena tidaklah tersembunyi bahwa membeli sayur-sayuran dan sedikit buah-buahan, roti dan daging itu, terhitung barang-barang yang tidak berharga, yang tidak dibiasakan padanya, kecuali beri-memberi. Dan yang meminta ijab dan qabul dalam hal yang seperti itu, terhitung orang yang berlebih-lebihan. Dan permintaan untuk itu dipandang dingin dan berat. Dan ia digolongkan kepada orang yang menegakkan timbangan bagi barang yang tak berharga. Dan tak adalah cara yang demikian. Ini, adalah segi barang yang tidak berharga. Dan segi yang kedua, ialah hewan, budak, benda-benda tetap dan kain-kain yang bernilai tinggi. Maka yang demikian, adalah tidak dapat dipandang jauh dari kebenaran, untuk memaksakan ijab dan qabul padanya. Dan diantara yang pertama dan yang kedua itu, hal-hal yang menengah yang meragukan, yang diragukan padanya, tentang dia itu pada tempat yang meragukan. Maka hak bagi orang yang memegang teguh akan agama, untuk condong padanya kepada berhati-hati. Dan semua ketentuan agama mengenai apa yang diketahui dengan adat-kebiasaan, seperti itu juga, terbagi kepada beberapa segi yang nyata dan hal-hal yang ditengah-tengah yang menyulitkan.
2.      Yaitu: mencari sebab untuk pemindahan hak milik. Maka itu adalah menjadikan perbuatan dengan tangan, sebagai mengambil dan menyerah untuk menjadi “sebab”. Karena lafadh (kata-kata), tidaklah menjadikan sebab itu sendiri, tetapi hanya menunjukkan kepada sebab itu. Dan perbuatan itu, adalah menunjukkan kepada maksud dari penjualan, suatu penunjukkan yang terus-menerus, menurut adat-kebiasaan. Dan bercampur kepadanya singgungan keperluan, adat-kebiasaan orang-orang dahulu dan banyak terjadinya segala adat-kebiasaan, dengan menerima hadiah-hadiah itu.
Apakah perbedaannya, antara ada pada benda itu ‘iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) atau tidak ada ? karena hak milik itu tak boleh tidak pula daripada pemindahannya pada hibah (pemberian). Kecuali adat-kebiasaan yang dahulu-dahulu, yang tidak membedakan pada hadiah-hadiah itu, antara yang tidak bernilai dan yang bernilai tinggi. Bahkan menuntut adanya ijab dan qabul itu, dipandang kurang baik, betapapun adanya. Dan pada benda yang dijual itu, tidaklah dipandang keji ijab dan qabul pada barang-barang yang bernilai.
Inilah yang kami lihat lebih adil dari segala kemungkinan-kemungkinan itu. Dan menjadi hak orang yang wara’ dan beragama, untuk tidak meninggalkan ijab dan qabul, untuk dapat melepaskan diri dari syubhat (diragukan) khilaf diantara para ulama. Maka tidak wajarlah ia mencegah diri dari ijab dan qabul, lantaran si penjual telah memiliki barang yang dijualnya itu dahulu, tanpa ijab dan qabul. Karena yang demikian itu, sebenarnya ia tiada mengetahui akan hakikat/makna yang sebenarnya. Mungkin dibelinya dahulu dengan ijab dan qabul. Kalau ia hadir ketika dibeli oleh si penjual itu dahulu atau si penjual itu mengakui dengan demikian, maka hendaklah ia mencegah diri dari membeli pada si penjual itu. Dan hendaklah membeli pada orang lain. Jikalau barang itu tidak berharga dan ia memerlukan kepadanya, maka hendaklah ia melafadhkan dengan ijab dan qabul. Karena yang demikian itu, memberi faedah tidak adanya pertengkaran pada masa depan.
Sebab kembali (tidak meneruskan penjualan) sesudah adanya kata-kata ijab dan qabul yang tegas, adalah tidak mungkin. Dan dari perbuatan saja itu mungkin (penerimaan saja, tanpa ijab dan qabul). Kalau anda bertanya, bahwa kalau itu mungkin mengenai apa yang dibelinya, maka bagaimana ia berbuat, apabila menghadiri suatu jamuan atau hidangan, sedangkan ia mengetahui, bahwa yang mempunyai jamuan atau hidangan itu, mencukupkan dengan beri-memberi saja pada penjualan dan pembelian. Atau ia mendengar dari mereka itu yang demikian atau melihatnya.
Adakah wajib ia mencegah diri dari makan ? Maka aku menjawab: wajiblah ia mencegah diri dari membeli, apabila barang yang dibeli mereka itu, mempunyai jumlah yang berharga tinggi dan tidak dari barang-barang yang tidak berharga. Adapun makan, maka tidaklah wajib mencegah diri daripadanya. Sesungguhnya aku mengatakan, bahwa ragunya kita, tentang menjadikan perbuatan itu, untuk menunjukkan kepada pemindahan hak milik, maka tiada seyogyalah kita tidak menjadikannya penunjukkan kepada pembolehan. Karena hal pembolehan (ibahah) itu, adalah lebih luas. Dan hal pemindahan hak milik itu, adalah lebih sempit. Maka tiap-tiap makanan yang berlaku padanya penjualan secara beri-memberi (mu’athah), adalah penyerahan si penjual itu, merupakan keizinan untuk makan, yang diketahui demikian dengan peri keadaan. Seperti keizinan penjaga tempat permandian air panas untuk memasuki tempat permandian. Dan keizinan pada makan bagi orang yang dimaksud oleh pembeli. Maka yang demikian itu dapat ditempatkan pada kedudukan, seumpama kalau dikatakan oleh si pembeli: “Aku perbolehkan kepadamu memakan makanan ini atau engkau beri makan kepada siapa saja yang engkau kehendaki !” maka yang demikian itu menghalalkan baginya. Dan kalau ditegaskannya, dengan mengatakan: “Makanlah makanan ini ! kemudian bayarlah bagiku ‘iwadlnya (harganya) !”, niscaya halallah dimakan. Dan haruslah ia membayar sesudah makan. Ini, adalah qias ilmu fiqh padaku. Tetapi orang itu, sesudah beri-memberi, adalah memakan hak miliknya dan menghabiskan hak miliknya. Maka haruslah ia menjamin dan jaminan itu adalah dalam tanggung jawabnya. Dan harga yang diserahkannya, kalau harga itu menurut nilainya, maka yang berhak itu telah memperoleh menurut nilai haknya. Maka ia boleh memilikinya, manakala ia lemah daripada mencari orang yang berkewajiban melunasinya. Dan kalau ia sanggup mencari orang yang harus melunasinya, maka janganlah ia memiliki apa yang diperolehnya dari hak milik orang yang bertanggung jawab melunasinya. Karena kadang-kadang ia tidak rela benda itu, untuk diserahkannya pembayaran hutangnya. Maka haruslah ia menanyakan kembali kepada yang berkewajiban membayar itu.
Adapun dalam hal yang tersebut, ia telah mengetahui akan rela yang mempunyai barang, dengan tanda bukti keadaan, ketika penyerahan itu. Sehingga tidak jauhlah untuk dijadikan perbuatan itu, sebagai bukti kepada keizinan, bahwa hutang itu akan diterimanya dengan sempurna, dari harga apa yang diserahkannya itu. Sehingga adalah ia mengambil haknya. Tetapi dalam tiap keadaan itu pihak si penjual, adalah lebih kabur. Karena apa yang telah diambilnya, kadang-kadang dikehendaki oleh si pemiliknya, hendak berbuat sesuatu padanya. Dan tiada mungkin ia memiliki apa yang diambilnya itu, kecuali apabila telah rusaklah benda makanannya dalam tangan si pembeli. Kemudian kadang-kadang ia menghendaki kepada pengulangan kembali maksud memiliki. Kemudian adalah ia memiliki itu dengan kerelaan semata-mata, yang diperolehnya dari perbuatan, bukan dari perkataan.
Adapun pihak si pembeli makanan itu, dimana dia tidak bermaksud selain dari makan, maka adalah soal mudah. Karena yang demikian itu, diperbolehkan dengan pembolehan yang dipahami dari perihal keadaan. Tetapi, kadang-kadang harus dari musyawarah, bahwa tamu itu menanggung akan apa yang telah dirusakkannya. Dan tanggungan itu gugur daripada tamu tadi, apabila si penjual telah memiliki akan apa yang diambilnya dari si pembeli. Maka gugurlah tanggungan itu, seperti orang yang membayar hutangnya dan yang menanggung dari hutang itu. Maka inilah, apa yang kami lihat tentang kaidah beri-memberi tentang kesulitannya. Dan ilmu yang sebenarnya, adalah pada sisi Allah. Dan yang tersebut itu adalah kemungkinan-kemungkinan dan persangkaan-persangkaan yang telah kami tolak. Dan tidak mungkin mendasarkan fatwa, selain diatas sangkaan-sangkaan tersebut. Adapun orang wara’, maka seyogyalah mencari fatwa dari hatinya sendiri dan menjaga diri dari tempat-tempat syubhat (tempat-tempat yang meragukan).
‘AQAD KEDUA: ‘aqad riba.
Riba itu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala sangat mengeraskan tentang riba itu. Dan haruslah menjaga diri dari riba, atas orang-orang yang pekerjaannya menukar uang, yang melakukan mu’amalah (jual beli) atas dua macam uang dan atas orang-orang yang melakukan mu’amalah pada makanan-makanan. Karena tak ada riba itu, selain pada uang (naqd) atau pada makanan. Dan haruslah penukar-penukar uang (ash-shairafi), menjaga diri daripada penangguhan dan kelebihan.
Adapun penangguhan, yaitu: ia tidak menjual sesuatu dari zat dua mata uang, dengan sesuatu dari zat dua mata uang itu, kecuali dengan tunai (yadan bi yadin). Yaitu: bahwa berlaku terima-menerima pada tempat pembelian itu. Dan inilah artinya penjagaan diri dari penangguhan itu ! Penyerahan oleh penukar-penukar uang akan emas ke gudang pembikinan uang dan pembelian dinar-dinar yang sudah dibikin menjadi uang, adalah haram dari segi penangguhan. Dan dari segi, bahwa biasanya berlakulah padanya berlebih kurang (tafadlul), karena tidak dikembalikan uang yang sudah dibikin itu, menurut timbangannya semula. Adapun kelebihan, maka haruslah menjaga diri dalam 3 hal:
1.      Pada penjualan yang pecah dengan yang tidak pecah. Maka tidaklah harus melakukan mu’amalah (jual beli) pada keduanya, selain bersamaan diantara keduanya.
2.      Pada penjualan yang bagus dengan yang buruk. Maka tidaklah wajar membeli yang buruk dengan yang bagus yang berkurang timbangannya atau menjual yang buruk dengan yang bagus yang lebih tinggi timbangannya. Ini, saya maksudkan, apabila menjual emas dengan emas dan perak dengan perak. Kalau ke 2 jenis itu berlainan, maka tidak mengapa tentang berkelebihan.
3.      Pada bercampur dari emas dan perak, seperti dinar yang bercampur dari emas dan perak. Kalau takaran emas tidak diketahui sama sekali, niscaya mu’amalah (jual beli)  itu tidak sah sekali-kali. Kecuali apabila yang demikian itu, adalah uang yang berlaku dalam negeri. Maka kita perbolehkan bermu’amalah (perniagaan) dengan uang tersebut, apabila tidak berhadapan dengan sesama uang.
Begitupula dirham yang bercampur dengan tembaga, jikalau tidak menjadi uang yang berlaku dalam negeri, niscaya tidaklah sah bermu’amalah (perniagaan) dengan dia. Karena yang dimaksud daripadanya, ialah potongan yang dihancurkan dari emas dan perak. Dan potongan itu tidak diketahui. Dan kalau telah menjadi uang yang berlaku dalam negeri, maka kita perbolehkan dalam bermu’amalah (perniagaan). Karena diperlukan  dan karena potongan emas dan perak itu, telah keluar daripada dimaksudkan mengerluarkannya dari uang itu. Tetapi tidaklah sekali-kali berhadapan dengan sesama potongan emas dan perak itu. Begitu pula, tiap-tiap perhiasan yang tersusun dari campuran emas dan perak. Maka tidaklah dibolehkan membelinya, tidak dengan emas dan tidak dengan perak. Tetapi, seyogyalah dibeli dengan benda yang lain. Hal itu kalau takaran emas padanya dimaklumi. Lain halnya apabila benda itu dicelup dengan emas, sebagai celupan yang tidak menghasilkan emas yang dimaksud, ketika diletakkan di atas api. Maka dalam hal ini, bolehlah menjualnya dengan yang sama dari potongan yang dihancurkan dari emas dan perak itu, dengan apa saja yang dimaksudkan dari yang bukan potongan yang dihancurkan tadi.
Dan begitu pula, tidak dibolehkan bagi penukar-penukar uang, membeli kalung, yang ada padanya batu-batu berharga dan emas, dengan emas. Dan tidak boleh juga menjualnya. Tetapi dibolehkan membeli dan menjual itu, bila dibayar dengan perak, dengan tunai, kalau tak ada pada kalung itu perak. Dan tidak dibolehkan membeli kain yang ditenuni dengan emas, yang berhasil darpadanya emas dimaksud, ketika diletakkan diatas api, dengan pembayarannya emas. dan dibolehkan bila pembayarannya dengan perak dan lainnya.
Adapun orang-orang yang melakukan mu’amalah (jual beli)tentang makanan-makanan, maka haruslah terima-menerima pada tempat jual-beli itu, berlainankah diantara jenis makanan yang dijual dan dibeli atau tidak berlainan. Kalau jenisnya satu, maka haruslah terima-menerima dan menjaga persamaan (al-mumatsalah). Dalam hal ini yang dibiasakan, ialah mu’amalah (jual beli)nya tukang daging, dengan diserahkan kepadanya kambing. Dan dengan kambing itu dibelikan daging, secara tunai atau ditangguhkan. Maka itu adalah haram. Dan mu’amalah (perniagaan)nya tukang roti, dengan diserahkan kepadanya gandum dan dibelikan dengan gandum itu roti, secara ditangguhkan atau tunai. Maka itu adalah haram. Dan mu’amalah (perniagaan) nya pembuat-pembuat minyak, dengan diserahkan kepadanya biji-bijian, biji simsim dan zaitun, untuk diambil daripadanya minyak. Maka itu adalah haram. Dan begiitu pula mu’amalah (perniagaan) tukang susu, yang diserahkan kepadanya susu, untuk diambilkan daripadanya susu kental, minyak samin, susu keras dan bahagian-bahagian susu yang lain, maka itupun haram. Dan tidak dijualkan makanan dengan makanan yang bukan jenisnya, kecuali dengan tunai. Dan tidak boleh dijualkan dengan yang sejenis, kecuali dengan tunai dan sama. Dan tiap-tiap yang terbuat dari barang makanan, maka tidak boleh diperjual-belikan, baik sama atau lebih-kurang. Sehingga tidaklah dijual tepung roti dan tepung yang paling halus, dengan gandum. Dan tidak diperjual belikan air yang diperas dari buah anggur yang telah dimasak pada api (addibs), cuka dan air yang diperas dari buah anggur, dengan buah anggur kering (‘inab) dan tamar. Dan tidak diperjual-belikan minyak samin, susu kental, susu masam, air yang menetes dari susu dan susu yang sudah keras, dengan susu. Dan persamaan, tidaklah mendatangkan faedah, apabila makanan itu tidak ada dalam keadaan sempurna penyimpanannya. Maka tidaklah dijual ruthab (buah anggur yang belum kering) dengan ruthab dan ‘inab (buah anggur yang sudah kering) dengan ‘inab, baik lebih-kurang atau sama. Maka inilah kumpulan yang kira-kira mencukupi tentang definisi (ta’rif) penjualan, serta peringatan untuk diketahui oleh saudagar, tempat-tempat yang merusakkan. Sehingga ia mencari fatwa ulama apabila ia ragu dan samar tentang sesuatu daripadanya. Apabila ini tidak diketahuinya, niscaya ia tidak memperoleh pemahaman bagi tempat-tempat pertanyaan. Lalu berkecamuklah riba dan haram, sedang ia tidak mengetahuinya.
‘AQAD KETIGA: pembelian dengan pemesanan.
Hendaklah saudagar pada pembelian dengan pemesanan ini menjaga 10 syarat:
1. Modal itu diketahui dengan yang menyamainya, sehingga jikalau sukar menyerahkan benda yang dipesan itu, niscaya mungkinlah dikembalikan nilai dari modal itu. Kalau pemilik modal itu menyerahkan segenggam dirham, tanpa dihitung dan ditimbang, dalam karung gandum, niscaya tidaklah sah menurut salah satu qaul (salah satu pendapat ulama).
2. Bahwa modal itu diserahkan dalam majlis ‘aqad (tempat diadakan ikatan perjanjian), sebelum perpisahan. Kalau keduanya berpisah, sebelum modal diterima, niscaya perjanjian itu terlepas dengan sendirinya.
3. Bahwa yang dipesan itu termasuk barang yang mungkin dikenal sifat-sifatnya, seperti: biji-bijian, hewan, logam, kapas, bulu wol, sutera, susu, daging, benda-benda yang dipergunakan oleh pembuat-pembuat minyak wangi dsb. Dan tidak dibolehkan ma’jun, barang yang tersusun bercampur dan yang berlain-lainan bahagian-bahagiannya, seperti barang-barang bikinan kasar, tombak yang diperbuat, sepatu pansus, alas kaki yang berlainan bahagian dan perbuatannya dan kulit binatang. Dan boleh pemesana itu pada roti. Dan apa yang terjadi pada roti tentang berbeda takaran garam dan air dengan banyaknya pemasakan dan sedikitnya, adalah dimaafkan dan tidak diperhitungkan benar.
4. Bahwa dilakukan penjelasan tentang sifat dari barang-barang yang dapat disifatkan itu dengan seteliti-telitinya. Sehingga tiada tinggal suatu sifatpun, yang menimbulkan berlebih kurang nilai, dimana tidak tipu-menipu manusia dengan hal yang seperti itu, melainkan disebutkannya. Karena penyifatan itu, adalah menyerupai melihat dengan mata, dalam hal penjualan.
5. Bahwa lama waktunya diketahui, kalau perjanjian itu memakan waktu. Maka tidaklah ditangguhkan sampai kepada menyabit dan kepada mendapat hasil buah-buahan. Tetapi ditangguhkan kepada beberapa bulan dan hari yang tertentu. Karena mendapat buah-buahan itu kadang-kadang terdahulu dan kadang-kadang terkemudian.
6. Adalah benda yang dibeli dengan pesanan itu, dapat diserahkan pada waktunya dan dipercayai adanya pada waktu itu biasanya. Maka tiada wajarlah dilakukan ikatan perjanjian tersebut pada anggur kering (‘inab), sampai kepada waktu yang tidak akan diperoleh. Dan begitu pula buah-buahan yang lain. Kalau biasanya ada dan datanglah waktu yang ditangguhkan itu, lalu tidak sanggup diserahkan, disebabkan sesuatu bencana, maka boleh diminta tangguh lagi kalau mau atau dilepaskan dan dikembalikan modal kalau mau.
7. Bahwa disebutkan tempat penyerahan, mengenai hal yang berlainan maksud dengan tempat itu, supaya tidak mengakibatkan pertengkaran nanti.
8. Bahwa perjanjian itu tidak tergantung dengan sesuatu yang ditentukan. Kalau disebutkan: dari gandum tanaman ini atau buah-buahan kebun ini –maka yang demikian itu membatalkan perjanjian tersebut selaku hutang. Tetapi, kalau ditambah: buah-buahan negeri itu atau kampung yang besar itu maka yang demikian itu tidak merusakkan perjanjian tersebut.
9. Bahwa tidaklah dilakukan perjanjian itu pada benda yang bernilai tinggi dan sukar didapat, seperti permata yang disifatkan dengan sifat, yang sukar adanya seperti itu atau budak wanita yang sangat cantik bersama anaknya atau yang lain dari itu, yang tidak disanggupi biasanya.
10, Bahwa tidak diikat perjanjian ini pada makanan, manakala modal (yang akan menjadi harganya) itu, makanan, sama ada dari yang sejenis atau tidak sejenis. Dan tidak diikat perjanjian itu pada naqad (emas dan perak), apabila modal itu naqad. Dan telah kami terangkan ini pada “Riba” dahulu.
‘AQAD KEEMPAT: sewa-menyewa.
Sewa-menyewa mempunyai dua sendi (rukun): sewa dan kemanfaatan.
Rukun kesatu Adapun ‘aqid (yang mengadakan ikatan: penyewa dan yang mempersewakan) dan lafadh, maka dipegang apa yang telah kami terangkan dahulu pada: jual beli. Dan sewa, adalah seperti harga. Maka seyogyalah bahwa itu diketahui dan diterangkan sifatnya dengan segala apa yang telah kami syaratkan dahulu pada jual-beli, kalau sewa itu merupakan benda. Dan kalau merupakan hutang, maka seyogyalah diketahui sifatnya dan jumlahnya. Dan hendaklah dijaga dari hal-hal yang berlaku sepanjang adat kebiasaan. Yaitu: seperti mempesewakan rumah, dengan membangunnya (memperbaikinya). Maka yang demikian itu, adalah batal. Karena kadar pembangunan itu tidak diketahui. Kalau ditentukan beberapa dirham dan disyaratkan kepada si penyewa, untuk dipergunakannya kepada pembangunan itu, niscaya tidak diperbolehkan. Karena perbuatannya dalam menyerahkan kepada pembangunan itu, adalah tidak diketahui. Dan sebahagian dari yang berlaku menurut adat kebiasaan, ialah menyewa tenaga (mengongkosi) tukang kulit hewan yang disembelih, dengan diambilnya kulit sesudah dikupasnya. Dan menyewa tenaga pembawa bangkai dengan kulit bangkai ongkosnya dan menyewa tenaga tukang tumbuk dengan kulit atau sebahagian tepung untuk ongkosnya, maka itu batal hukumnya. Dan begitu pula segala sesuatu yang terletak hasilnya dan berpisahnya, atas perbuatan orang yang diongkosi (yang disewakan tenaganya). Maka tidaklah boleh dijadikan untuk upah. Dan sebahagian dari yang berlaku menurut adat kebiasaan, ialah menentukan pada sewa-menyewa rumah dan toko, jumlah sewanya. Kalau berkata pemiliknya: “Untuk tiap-tiap bulan, sewanya satu dinar” dan tidak ditentukannya jumlah bulan penyewaan, niscaya adalah lamanya tidak diketahui dan tidaklah sah penyewaan.
Rukun kedua: Kemanfataan yang dimaksudkan dengan penyewaan. Yaitu perbuatan saja dari orang yang disewakan tenaganya, kalau adalah perbuatan itu diperbolehkan dan diketahui, yang menghubungi pekerja itu padanya sebagai tanggungan. Dan yang membawa kepada kepatuhan seseorang kepada orang lain. Maka bolehlah, disewakan tenaga orang itu. Maka jumlah cabang-cabang dari bab ini, termasuk di bawah ikatan tersebut.
Tetapi kami tidak akan memanjangkan uraiannya. Sesungguhnya telah kami memperpanjangkan pembahasannya dalam kitab-kitab fiqh. Sesungguh nya yang kami singgung disini, ialah: kepada persoalan-persoalan yang merata bahayanya. Maka hendaklah dijaga mengenai pekerjaan dari orang yang disewakan tenaganya, akan 5 perkara:
1.      Adalah pekerjaan itu bernilai, dengan ada padanya tanggungan dan kepayahan. Kalau menyewa makanan untuk dihiasi toko atau pohon-pohonan untuk dikeringkan kain padanya atau uang-uang dirham untuk dihiasi toko, maka tidak diperbolehkan. Karena segala kemanfaatan tersebut, berlaku seperti sebiji simsim dan sebiji gandum dari benda-benda. Dan yang demikian itu, tidak diperbolehkan penjualannya. Dan adalah itu, seperti memandang pada cermin orang lain, meminum dari sumurnya, bernaung pada dindingnya dan mengambil manfaat dari apinya. Dan karena inilah, kalau menyewa tenaga seorang penjual, untuk ia berkata-kata dengan kata-kata yang membuat laku barangnya, niscaya tidak diperbolehkan. Dan apa yang diambil oleh penjual-penjual, untuk menjadi ‘iwadl (ganti jerih payah) dari kepayahan, kemegahan dan penerimaan kata-katanya dalam melakukan benda-benda, maka adalah haram. Karena tiada terbit dari mereka, selain kata-kata yang tak ada keletihan padanya dan tidak bernilai. Sesungguhnya halal yang demikian itu bagi mereka, apabila mereka penat dengan banyaknya pulang pergi atau dengan banyaknya perkataan pada penyusunan urusan mu’amalah (perniagaan). Kemudian, dalam pada itu, mereka tidak berhak selain dari ongkos yang patut (ujratul-mitsl). Adapun apa yang disepakati oleh para penjual, maka itu, adalah zalim dan tidaklah itu diambil dengan kebenaran
2.      Bahwa penyewaan itu tidak mengandung untuk kesempurnaan suatu benda yaang dimaksudkan. Maka tidaklah boleh penyewaan batang anggur karena kemanfaatannya, penyewaan hewan karena susunya dan penyewaan kebun karena buah-buahannya. Dan bolehlah menyewa seorang wanita penyusu dan adalah susunya menjadi pengikut, karena tidak mungkin memisahkannya. Dan demikian juga, dimaafkan (diberi tasamuh), tinta si penulis dan benang si penjahit. Karena keduanya itu tidak dimaksudkan diatas tenaga si penulis dan si penjahit itu.
3.      Adalah pekerjaan itu sanggup diserahkan pada kenyataan dan agama. Maka tidaklah sah penyewaan tenaga orang lemah untuk sesuatu pekerjaan yang tidak disanggupinya. Dan tidaklah sah penyewaan tenaga orang bisu untuk mengajar dsb. Dan apa yang haram dikerjakan, maka agama melarang penyerahannya. Seperti menyewa tenaga orang untuk mencabut gigi yang sehat. Atau untuk memotong anggota badan yang tidak diperbolehkan oleh agama memotongnya. Atau menyewa tenaga wanita yang sedang berhaid untuk menyapu masjid. Atau menyewa seorang guru sihir untuk mengajarkan sihir atau perbuatan keji. Atau menyewa tenaga isteri orang untuk menyusukan anak kecil, tanpa izin suaminya. Atau menyewakan tenaga pemggambar untuk menggambar binatang-binatang. Atau menyewakan tenaga tukang logam untuk membuat bejana-bejana dari emas dan perak. Maka semuanya itu, adalah batal.
4.      Adalah perbuatan itu tidak menjadi kewajiban dari orang yang disewakan tenaganya. Atau tidaklah termasuk perbuatan yang tidak boleh digantikan dari orang yang menyewa tenaga itu. Maka tidak dibolehkan mengambil upah pada jihad dan segala ibadah yang lain yang tidak boleh digantikan dengan orang lain. Karena perbuatan itu tidak akan terlepas dari yang menyewa tenaga itu. Dan dibolehkan pada hajji, memandikan mayit, mengorek kuburan, menguburkan orang mati dan membawa jenazah ke pekuburan. Dan mengenai pengambilan ongkos (upah) untuk mengimami shalat tarawih, untuk melakukan adzan, untuk memberi pengajaran dan mengajari Alquran maka dalam hal ini terdapat perbedaan diantara para alim ulama. Adapun mengongkosi untuk mengajari sesuatu persoalan tertentu atau mengajari suatu surat dari Alquran, untuk orang tertentu, maka itu adalah sah.
5.      Adalah perbuatan dan kemanfaatan itu diketahui. Maka penjahit itu diketahui perbuatannya dengan kain dan pengajaran Alquran diketahui perbuatannya dengan menentukan surat dan batasnya. Dan pembawa hewan itu, diketahui dengan jumlah yang dibawa dan jaraknya. Dan tiap-tiap yang menimbulkan permusuhan menurut adat kebiasaan, maka tidaklah diperbolehkan melengahkannya. Dan penjelasan itu, adalah panjang. Dan sesungguhnya kami sebutkan sekadar ini, untuk diketahui akan hukum-hukum yang nyata tegas dan dapat diperhatikan pada tempat-tempat yang menimbulkan kesulitan, lalu dapat ditanyakan. Karena sesungguhnya penyelidikan mendalam itu, adalah tugas mufti (yang memberi fatwa), bukan tugas orang kebanyakan (orang awwam).
‘AQAD KELIMA: penyerahan modal untuk diperniagakan (qiradl).
Hendaklah dijaga pada perniagaan/qiradl ini, 3 sendi (rukun)
1.  Modal. Syaratnya modal itu naqad (emas dan perak yang telah dijadikan uang), dimaklumi jumlahnya dan diserahkan kepada yang akan mengerjakannya dalam perniagaan. Maka tidak diperbolehkan qiradl pada fulus (uang-uang kecil yang diperbuat bukan dari naqad) dan pada barang-barang. Karena perniagaan itu menjadi sempit padanya. Dan tidak diperbolehkan perniagaan pada suatu timbunan dirham. Karena kadar keuntungan, tidak jelas padanya. Dan kalau disyaratkan oleh pemilik modal supaya modal itu di tangannya, maka tidak dibolehkan. Karena dengan demikian, menyempitkan jalan perniagaan.
2.  Keuntungan. Hendaklah keuntungan itu diketahui pembahagiannya dengan disyaratkan bagi pemilik modal 1/3 atau ½ atau berapa yang dikehendakinya. Kalau pemilik modal itu mengatakan: “Untuk kamu, keuntungan 100 dan sisanya bagiku”, niscaya tidak boleh. Karena kadang-kadang keuntungan itu tidak lebih dari 100. Maka tidak boleh menentukannya dengan jumlah tertentu. Tetapi hendaklah dengan jumlah yang umum.
3.  Perbuatan yang menjadi tugas yang melaksanakan (‘amil). Dan syaratnya, bahwa adalah perniagaan itu, tidak menyempitkan kepada yang melaksanakan, dengan penentuan barang dan waktu. Kalau disyaratkan, supaya dengan modal itu, dibelikan binatang ternak, untuk mencarikan anaknya, lalu anaknya itu dibagi-bagikan diantara kedua orang yang melakukan perjanjian perniagaan. Atau dibelikan gandum untuk dibuat roti, lalu keuntungan dari roti itu dibagi-bagikan diantara keduanya. Maka tidak sah. Karena perniagaan adalah diizinkan pada perniagaan, yaitu: jual dan beli dan sesuatu yang menjadi kepentingan yang dua ini saja. Dan yang itu, adalah pekerjaan: ya’ni: membuat roti dan memelihara binatang ternak. Kalau dipersempitkan kepada yang melaksanakan dan disyaratkan, bahwa dia tidak membeli, kecuali dari si Anu atau tidak berniaga, kecuali tentang sutera merah atau disyaratkan sesuatu yang menyempitkan pintu perniagaan, niscaya ‘aqad qiradl/perniagaan itu batal. Kemudian, manakala aqad itu telah dilaksanakan, maka si ‘amil/ yang melaksanakan  (pekerja pada perniagaan/qiradl) itu, adalah merupakan: wakil. Maka dia bekerja dengan gembira, sebagai wakil-wakil dalam perusahaan. Manakala si pemilik modal bermaksud melepaskan ikatan, maka dia dapat berbuat demikian. Dan apabila perjanjian itu telah dilepaskan pada masa keadaan harta seluruhnya telah menjadi uang tunai, niscaya jelaslah cara membaginya. Dan kalau ketika itu, masih bersifat barang-barang dan tak ada keuntungan padanya, niscaya barang-barang itu dikembalikan kepada si pemilik modal. Dan tiadalah si pemilik modal itu memaksakan si ‘amil/yang melaksanakan untuk mengembalikan barang-barang itu kepada uang tunai (naqad). Karena ikatan perjanjian telah terlepas dan dia tidak lagi dapat mewajibkan sesuatu kepada si ‘amil. Kalau ‘amil berkata: “Aku jual barang-barang itu!”, sedang si pemilik modal menolak, maka yang dituruti, ialah pendapat pemilik modal. Kecuali apabila si ‘amil memperoleh tanda-tanda yang jelas ada keuntungan pada modal. Manakala keuntungan itu ada, maka si ‘amil harus menjual sejumlah barang-barang yang berasal dari modal, dengan harga dari jenis modal dahulu. Tidak dengan naqad yang lain (kalau dahulu dengan modal emas, maka dijual dengan emas dan kalau dengan perak, maka dijual dengan perak). Sehingga berbedalah yang lebih itu menjadi keuntungan. Lalu berkongsilah keduanya pada keuntungan itu. Dan tidaklah ‘amil itu menjual barang yang lebih dari pembeliannya dengan modal itu.
                  Manakala telah datang akhir tahun, maka haruslah mereka memperhatikan nilai harta yang diperniagakan itu, untuk menunaikan zakat. Apabila telah menampak sesuatu keuntungan, maka menurut yang lebih sesuai dengan qias, bahwa zakat bahagian si ‘amil/ yang melaksanakan itu diatas si ‘amil sendiri. Dan si ‘amil itu memiliki keuntungan dengan menampaknya keuntungan itu. Dan tidak boleh si ‘amil berjalan jauh dengan membawa harta qiradl/perniagaan , tanpa izin si pemilik modal. Kalau diperbuatnya juga, niscaya perbuatannya itu sah. Tetapi apabila ia meneruskan, maka ia menanggung segala benda bersama dengan harganya seluruhnya. Karena penganiayaannya dengan dibawanya harta qiradl/ perniagaan itu, menjalar sampai kepada harga dari barang yang dibawanya. Kalau si ‘amil itu berjalan jauh dengan keizinan si pemilik modal niscaya diperbolehkan. Dan ongkos membawa serta menjaga harta itu, adalah atas harta perniagaan/qiradl. Sebagaimana ongkos timbang, sukat dan angkut yang tiada dibiasakan oleh si saudagar sendiri akan barang yang seperti itu, adalah terpikul atas modal.
Adapun membuka kain, melipatnya dan pekerjaan yang sedikit yang biasa dilakukan, maka tidaklah boleh si ‘amil, itu mengeluarkan ongkos, yang terpikul keatas modal. Dan diatas si ‘amil/ yang melaksanakan sendiri, perbelanjaan dan tempat tinggalnya bila di negerinya sendiri. Dan tidak menjadi kewajibannya, sewa gudang. Dan manakala ia berangkat berjalan jauh untuk harta qiradl/ perniagaan, maka perbelanjaannya dalam perjalanan itu, adalah atas harta perniagaan. Dan apabila telah kembali, maka haruslah ia mengembalikan sisa-sisa alat perjalanan, seperti piring, kain alas makanan dll.
‘AQAD KEENAM: perkongsian.
Yaitu: 4 macam. 3 daripadanya batal, yaitu:
1.  Perkongsian al-mufawadlah, namanya. Yaitu: kedua orang yang berkongsi itu berkata: “Kita berserah-serahan diri, supaya kita berkongsi dalam tiap-tiap sesuatu yang mendatangkan keuntungan bagi kita dan kerugian bagi kita”. Dan harta keduanya berbeda. Maka perkongsian yang seperti ini batal.
2.  Perkongsian al-abdan (tubuh) namanya. Yaitu: keduanya mensyaratkan perkongsian pada upah pekerjaannya. Maka perkongisan inipun batal.
3. Perkongsian al-wujuh (muka) namanya, yaitu: bila salah seorang daripada keduanya disegani orang dan kata-katanya didengar. Maka dari pihaknya menggunakan perkataan. Dan dari pihak yang seorang lagi, bekerja. Maka ini juga batal.
Dan yang sah, ialah ikatan perkongsian yang ke-4, yang dinamakan perkongsian: al-‘inan, yaitu: bercampur harta keduanya, sehingga sukar membedakan diantara keduanya, kecuali dengan dibagi. Dan masing-masing mengizinkan kepada temannya untuk melaksanakan usaha pada harta itu. Kemudian, ketetapan dari keduanya, membagikan keuntungan dan kerugian menurut dua harta modal itu. Dan tidak dibolehkan mengobah yang demikian dengan dibuat syarat. Kemudian, dengan diasingkan dari harta itu, yang tercegah melaksanakan usaha dari harta yang diasingkan. Dan dengan pembagian, yang terpisah kepunyaan yang seorang dari kepunyaan lainnya. Dan yang sah (ash-shahih), ialah diperbolehkan mengadakan ikatan perkongsian pada barang-barang yang dibeli. Dan tidak disyaratkan naqad (uang tunai dari emas dan perak), kecuali pada qiradl/perniagaan.
Maka sekedar ini dari Ilmu fiqh, adalah wajib dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berusaha. Kalau tidak, niscaya ia akan terjerumus kepada yang haram, tanpa disadarinya. Adapun mu’amalah (jual beli) dengan tukang daging, tukang roti dan tukang sayur, maka tidak dapatlah melepaskan diri daripadanya, baik sebagai seorang pengusaha atau bukan pengusaha. Dan kecederaan padanya, adalah dari 3 segi: dari segi melengahkan syarat-syarat berjual beli. Atau melengahkan syarat-syarat pembelian dengan pemesanan. Atau mencukupkaan dengan cara beri-memberi saja. Karena adat-kebiasaan, adalah berlaku dengan menuliskan garis-garis terhadap mereka, berdasarkan keperluan tiap-tiap hari. Kemudian diperhitungkan pada tiap-tiap waktu, lalu diperkirakan, menurut apa yang terjadi itu dengan rela-merelakan. Dan yang demikian itu, termasuk apa yang kita pandang akan penetapannya dengan diperbolehkan karena kepentingan. Dan penyerahan itu, dianggap untuk membolehkan penggunaan, serta menunggu harganya sebagi tukaran (‘iwadl)-nya. Lalu halallah memakannya. Tetapi wajib menjamin pembayaran dengan memakan itu. Dan harus membayar menurut nilainya kalau hilang –pada hari kehilangannya. Lalu terkumpullah dalam tangungannya segala harga nilai itu. Apabila terdapat rela-merelakan dalam jumlah manapun juga, maka seyogyalah diminta dari mereka yang bermu’amalah (berdagang) itu, melepaskan tuntutan secara mutlak. Sehingga tidak ada lagi suatu janjipun, kalau terdapat berlebih kurang tentang penilaian di belakang hari. Maka inilah yang harus dirasa mencukupi. Karena memberatkan timbangan harga untuk tiap-tiap keperluan, tiap-tiap hari dan tiap-tiap jam, adalah pemberatan yang berlebih lebihan. Dan begitu pula pemberatan ijab qabul serta menentukan harga sampai kepada jumlah yang amat sedikitpun, adalah menimbulkan kesulitan. Dan apabila banyak dari masing-masing macamnya, niscaya mudahlah menilaikannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiqNya kepada kita !.
BAB KETIGA:Tentang penjelasan keadilan dan penjauhan kezaliman pada mu’amalah (jual beli)
Ketahuilah kiranya, bahwa mu’amalah (jual beli) itu kadang-kadang berlaku diatas cara, yang ditetapkan oleh mufti (yang memberi fatwa), dengan sah dan berlakunya. Tetapi mengandung kezaliman yang dikerjakan oleh yang melakukannya mu’amalah (jual beli) itu, karena dimarahi Allah Ta’ala. Sebab, tidaklah tiap-tiap larangan itu menghendaki kebatalan ‘aqad (kebatalan ikatan perjanjian). Dan kezaliman ini, dimaksudkan, ialah: yang mendatangkan kemelaratan kepada orang lain. Maka kezaliman itu, terbagi kepada: yang umum melaratnya dan kepada: yang khusus kepada yang melakukan mu’amalah (jual beli) saja.
BAHAGIAN PERTAMA: mengenai yang umum melaratnya. Dan yaitu: bermacam-macam.
Macam pertama: ihtikar. Maka penjual makanan, yang menyimpan makanannya, menunggu mahal harganya, adalah kezaliman yang umum. Dan yang melakukan demikian, adalah tercela pada agama. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyimpan makanan 40 hari, kemudian ia bersedekah dengan makanan itu, niscaya tidaklah sedekahnya itu menjadi kafarat bagi penyimpanan (ihtikar)nya”. Dan Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa menyimpan makanan 40 hari, maka terlepaslah ia daripada Allah dan terlepaslah Allah daripadanya”. Dan ada yang mengatakan: “Seolah-olah ia membunuh manusia semuanya”. Dan dari Ali ra: “Barangsiapa menyimpan makanan 40 hari, niscaya kesat hatinya”. Dan dari Ali ra juga: “Sesungguhnya dibakar makanan orang yang melakukan ihtikar itu, dengan api neraka”. Dan diriwayatkan dari Nabi saw tentang keutamaan meninggalkan ihtikar, yang bersabda: “Barangsiapa mendatangkan makanan, lalu menjualkannya dengan harga hari itu, maka seolah-olah ia bersedekah dengan makanan itu”. Dan pada kata yang lain: “maka seolah-olah ia telah memerdekakan seorang budak”. Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan barangsiapa ingin melakukan kezaliman padanya dengan tidak jujur, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksaan yang pedih”. S 22 Al-Hajj ayat 25, bahwa ihtikar, adalah dari kezaliman dan masuk di bawah kezaliman dalam perbuatan yang dijanjikan dengan azab (wa’id). Dan diriwayatkan dari setengah salaf, bahwa beliau ada di Wasith, lalu membawa sekapal gandum ke Basrah. Dan beliau menuliskan kepada wakilnya: “Juallah makanan ini pada hari memasuki Basrah dan janganlah engkau lambatkan sampai besok !”. Maka sesuailah makanan itu dengan kelapangan tentang harganya. Lalu saudagar-saudagar lain mengatakan kepada sang wakil dari salaf tadi: “Kalau engkau lambatkan sampai hari Jum’at, niscaya engkau akan beroleh keuntungan berlipat-ganda”. Maka wakil itu melambatkannya sampai hari Jum’at. Lalu ia beruntung dengan beberapa kali dari pokok. Maka disuratinya kepada yang punya makanan itu, dengan demikian. Lalu yang mempunyai makanan itu, membalasinya: “Hai Anu ! kami telah merasa cukup dengan keuntungan yang sedikit, serta agama kami selamat. Dan engkau telah menyalahi. Kami tidak suka memperoleh keuntungan yang berlipat-ganda, dengan kehilangan waktu sedikit dari agama. Sesungguhnya engkau telah menganiaya kami dengan suatu penganiayaan. Maka apabila sampai kepadamu suratku ini, lalu ambillah harta itu seluruhnya dan sedekahkanlah kepada orang-orang fakir di Basrah. Dan semoga aku terlepas dari dosa ihtikar, dengan tercegahnya, baik keatas diriku atau terhadap harta milikku”. Ketahuilah kiranya, bahwa larangan itu mutlak. Dan pemandangan padanya bergantung kepada waktu dan jenis dari makanan. Mengenai jenis, maka larangan itu datang mengenai segala jenis makanan.
Adapun yang bukan makanan dan bukan yang menolong kepada makanan, seperti obat-obatan, jamu-jamuan, za’faran dsb, maka tiada sampailah larangan itu kepadanya, meskipun dia itu barang yang dimakan. Adapun yang menolong kepada makanan, seperti daging, buah-buahan dan yang dapat menggantikan makanan dalam sebahagian hal keadaan, walaupun tidak mungkin secara terus-menerus, maka ini termasuk hal yang menjadi perhatian.
Maka sebagian dari para ulama, ada yang mengemukakan haram ihtikar pada minyak samin, madu, minyak kacang, dadih, minyak zait dan yang berlaku seperti itu. Adapun mengenai waktu, maka mungkin juga larangan itu datang pada segala waktu. Dan kepadanyalah, dibuktikan oleh cerita yang telah kami sebutkan tadi, tentang makanan yang memperoleh keluasan harga di Basrah. Dan mungkin juga, waktu itu ditentukan dengan waktu kekurangan makanan dan manusia berhajat kepadanya. Sehingga dengan mengemudiankan penjualannya, mendatangkan kemelaratan.
Adapun, apabila makanan itu meluas dan banyak dan manusia tidak memerlukan kepadanya dan tidak mengingininya, selain dengan harga yang murah, maka yang mempunyai makanan itu dapat menunggu. Dan ia tidak menunggu musim kemarau. Maka dalam hal yang tersebut ini, tidaklah mendatangkan kemelaratan. Apabila waktu itu musim kemarau, niscaya dengan menyimpan madu, minyak samin, minyak kacang dsb, dapat mendatangkan kemelaratan. Maka seyogyalah dihukum dengan haramnya. Dan yang menjadi perpegangan tentang tidaknya haram atau adanya haram itu, adalah berdasarkan kepada mendatangkan kemelaratan. Dan ini dapat dipahami benar-benar, dengan penentuan makanan itu. Dan apabila tak ada kemelaratan, maka tidaklah tersembunyi, tentang kemakruhannya ihtikar makanan. Karena ditunggu oleh dasar-dasar yang membawa kemelaratan. Yaitu: ketinggian harga. Dan menunggu dasar-dasar yang membawa kemelaratan, adalah harus diawasi, seperti menunggu kemelaratan itu sendiri. Tetapi dalam tingkat yang masih di bawah daripadanya. Dan menunggu kemelaratan itu sendiri juga, adalah masih kurang dari kemelaratan. Maka dengan kadar tingkat kemelaratan itu, berlebih kurangnya derajat kemakruhan dan keharaman.
Kesimpulannya, berniaga makanan itu, adalah termasuk tidak disunatkan. Karena perniagaan itu, adalah mencari keuntungan. Sedang makanan itu adalah barang pokok, yang dijadikan sebagai tiang kehidupan. Dan keuntungan itu, adalah termasuk tambahan. Maka seyogyalah keuntungan itu dicari pada apa yang dijadikan dalam jumlah tambahan yang tidak mendatangkan kemelaratan kepada orang banyak. Dan karena itulah, setengah tabi’in mewasiatkan kepada seorang laki-laki, seraya berkata: “Janganlah engkau serahkan anak engkau pada dua macam penjualan dan dua macam pekerjaan: menjual makanan dan menjual kain kafan ! Karena ia mengharap mahal dan banyak orang mati”. Dan dua pekerjaan itu, ialah: menjadi tukang potong. Karena pekerjaan ini mendatangkan kesesatan hati. Atau menjadi tukang emas. Karena yang demikian itu menghiasi dunia dengan emas dan perak.
Macam kedua: melakukan dirham palsu di tengah-tengah naqad (emas dan perak yang sejati). Maka itu, adalah perbuatan zalim. Karena mendatangkan kemelaratan kepada orang yang melakukan mu’amalah (perdagangan), kalau ia tidak mengetahuinya. Dan kalau ia mengetahuinya, maka akan dilakukan penjualan kepada orang lain. Maka begitulah, ke orang yang ketiga dan keempat. Dan terus-meneruslah pulang-pergi dari tangan ke tangan. Dan umumlah kemelaratannya dan meluaslah kerusakannya. Dan dosa serta bencana semuanya itu, adalah kembali kepadanya. Karena dialah yang membuka pintu tersebut.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berbuat jalan yang jahat, lalu dikerjakan jalan itu oleh orang yang kemudian daripadanya, niscaya dosa dari kejahatan itu ke atas pundaknya dan seumpama dosa orang-orang yang berbuat dengan kejahatan itu, dimana tidak berkurang sedikitpun dari dosa mereka”.
Dan berkata setengah ulama: “Berbelanja dengan sedirham palsu, adalah lebih berat dosanya daripada mencuri 100 dirham”. Karena mencuri itu, adalah sesuatu kema’siatan. Dan sudah sempurna dan habis sehingga itu saja. Dan berbelanja dengan dirham palsu, adalah suatu perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) yang menonjol pada agama dan suatu sunnah (jalan) yang jahat, yang dikerjakan oleh orang-orang sesudahnya. Maka dosa dari kejahatan itu ke atasnya, sesudah ia meninggal sampai 100 atau 200 tahun. Sehingga lenyaplah dirham itu. Dan adalah tanggung jawabnya dengan kerusakan harta manusia dengan perbuatannya itu. Dan amat baiklah orang, apabila ia mati, lalu matilah bersamanya segala dosanya. Dan azab yang berkepanjangan bagi orang yang mati dan dosanya tinggal terus 100 dan 200 tahun atau lebih banyak lagi, dimana dia diazabkan dengan dosa itu didalam kuburnya. Dan ia ditanyakan dari dosa itu, sampai kepada akhir kehancuran dari dosa tadi.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami tuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas peninggalan mereka”. S 36 Yaa Siin ayat 12. Artinya: “Kami tuliskan juga apa yang mereka kemudiankan, dari bekas-bekas perbuatan mereka, sebagaimana Kami tuliskan apa yang telah mereka dahulukan mengerjakannya”. Dan seumpama itu, firmanNya: “Di hari itu diberitakan kepada manusia apa yang didahulukannya dan apa yang dikemudiankannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 13. Sesungguhnya yang dikemudiankan, ialah: bekas-bekas perbuatannya dari jalan yang jahat, yang dikerjakan oleh orang lain akan jalan yang jahat itu. Dan hendaklah dimaklumi, bahwa pada pemalsuan uang itu ada 5 hal:
1.       Apabila dikembalikan kepadanya sesuatu dari uang palsu itu, maka seyogyalah dilemparkannya ke dalam sumur, sehingga tidak sampai kepadanya lagi tangan manusia. Dan hendaklah ia menjaga diri, daripada melakukannya lagi pada penjualan lain. Dan kalau dirusakkannya sehingga tidak mungkin menjadi alat penukar lagi, niscaya bolehlah yang demikian.
2.       Haruslah saudagar itu mengetahui tentang keuangan, bukan untuk secara mendalam betul bagi dirinya, akan tetapi supaya ia tidak menyerahkan uang palsu kepada seseorang muslim dimana ia tidak mengetahuinya. Sehingga ia berdosa, dengan sebab keteledorannya tentang mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Tiap-tiap perbuatan itu ada pengetahuannya, dimana dengan pengetahuan itu, sempurnalah nasehat bagi kaum muslimin. Dari itu, haruslah berusaha memperolehnya. Dan karena seperti inilah, ulama terdahulu mempelajari tanda-tanda uang naqad, (emas dan perak). Karena memandang kepada agama, bukan karena keduniaan mereka.
3.       Kalau diserahkan dan diketahui oleh yang bermuamalah/berdagang, bahwa itu uang palsu, niscaya ia tidak keluar dari dosa. Karena tidaklah diambilnya itu, selain untuk dilakukannya kepada orang lain dan tidak diberitahukannya kepada orang lain itu. Dan kalaulah tidak ia bercita-cita demikian, niscaya ia tidak ingin sekali-kali mengambilkannya. Sesungguhnya ia dapat melepaskan diri dari dosa kemelaratan yang tertentu kepada orang yang melakukan mu’amalah (perdagangan) dengan dia saja.
4.       Bahwa ia mengambil uang palsu itu, supaya ia dapat berbuat menurut sabda Nabi saw: “Dikasihi oleh Allah akan manusia, yang memudahkan penjualan dan yang memudahkan pembelian, yang memudahkan pembayaran dan yang memudahkan menerima bayaran”. Maka ia termasuk ke dalam barakah dari doa ini, kalau ia bercita-cita mencampakkannya ke dalam sumur. Kalau ia bercita-cita untuk melakukannya pada mu’amalah (perdagangan) yang lain lagi, maka itu adalah kejahatan, yang telah dilakukan setan kepadanya dalam pameran kebajikan. Maka tidaklah ia termasuk dalam bahagian orang yang memandang enteng pada menerima bayaran.
5.       Kami maksudkan dengan uang palsu, ialah uang yang tak ada padanya perak sekali-kali, tetapi hanya celupan. Atau tak ada padanya emas, ya’ni: pada dinar. Adapun yang ada padanya perak, kalau bercampur dengan tembaga, maka itu, adalah uang negara (uang yang dikeluarkan oleh pemerintah). Para ulama berbeda pendapat mengenai mu’amalah (jual beli)dengan uang tersebut. Dan sebagian besar pendapat kita, memberi kesempatan padanya, apabila naqad (emas dan perak yang telah dijadikan uang),  itu uang negeri itu sendiri. Diketahui jumlah peraknya atau tidak diketahui. Kalau bukan uang negeri itu sendiri, niscaya tidak dibolehkan, kecuali apabila diketahui jumlah peraknya. Kalau ada dalam hartanya sepotong, yang peraknya kurang dari uang negeri itu sendiri, maka haruslah ia menerangkan yang demikian kepada orang yang dilakukannya mu’amalah (pengurusan/perniagaan). Dan jangan ia melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan), kecuali dengan orang yang tidak menghalalkan melakukan uang itu dalam jumlah naqad(emas dan perak yang telah dijadikan uang), dengan cara yang tidak tegas (jalan talbis) itu. Adapun orang yang menghalalkan yang demikian itu, maka menyerahkan kepadanya, adalah pemaksaan terhadap orang itu kepada kebatalan. Maka yaitu, adalah seperti menjual buah anggur kepada orang yang diketahui akan membuatkannya khamar. Dan itu, adalah dilarang, menolong kepada kejahatan dan bersekutu kepada kejahatan. Dan menempuh jalan kebenaran dengan contoh yang seperti ini dalam perniagaan, adalah lebih sukar daripada bermuadhabah (melaksanakan dengan rajin) segala ibadah sunat dan menjuruskan segala waktu baginya. Karena itulah, setengah ulama berkata: “Saudagar yang benar, adalah lebih utama pada sisi Allah Ta’ala dari seorang yang beribadah banyak”. Orang-orang yang terdahulu, amat berhati-hati dalam hal-hal yang seperti ini. Sehingga diriwayatkan dari sebahagian orang-orang yang tampil ke medan perang sabilillah, yang mengatakan: “Aku tunggangi kudaku, karena hendak memerangi kafir. Maka kudaku itu tak sanggup, lalu aku kembali. Kemudian kafir itu mendekati aku, lalu aku bangun membawa diri kali kedua. Maka kudaku pun tidak sanggup, lalu aku kembali lagi. Kemudian aku berangkat bangun kali ketiga, maka kudaku itu lari daripadaku, padahal aku belum pernah mengalami yang demikian dari kudaku itu. Maka kembalilah aku dengan perasaan sedih duduk menundukkan kepala dan hati yang hancur luluh. Karena aku tidak memperoleh kesempatan memerangi orang kafir dan apa yang telah menampak kepadaku tentang tingkah laku kuda itu. Maka aku letakkan kepalaku pada tiang rumah dari bulu dan kudaku itu tidur. Lalu aku bermimpi, seolah-olah kuda itu berbicara dengan aku dan mengatakan kepadaku: “Demi Allah, engkau bermaksud memerangi kafir 3 kali. Dan engkau kemarin membeli rumput untukku dan engkau bayar harganya dengan dirham palsu, dimana yang demikian itu, hendaklah jangan sekali-kali terjadi selama-lamanya”. Orang tadi meneruskan ceritanya: “Maka aku terbangun dengan perasaan gundah. Lalu aku pergi kepada tukang rumput dan aku gantikan dirham itu”. Maka inilah contohnya apa yang umum kemelaratannya itu. Dan hendaklah pikirkan secara logika kepada hal yang seperti ini akan lainnya !
BAHAGIAN KEDUA: yang tertentu kemelaratannya kepada yang melakukan mu’amalah (perniagaan)
Maka tiap-tiap yang membawa kemelaratan kepada yang melakukan mu’amalah (perniagaan) adalah kezaliman. Dan sesungguhnya keadilan, ialah tidak mendatangkan kemelaratan kepada saudara sesama muslim. Dan penentuan yang melengkapi tentang keadilan itu, ialah: bahwa ia tidak mencintai saudaranya, selain apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri. Maka tiap-tiap apa saja, kalau ia dimuamalahkan dengan demikian, lalu ia merasa sukar dan berat pada hatinya, maka seyogyalah ia tidak akan bermuamalah orang lain dengan cara yang demikian. Tetapi seyogyalah sama padanya, antara dirhamnya sendiri dan dirham orang lain.
Sebahagian ulama berkata: “Barangsiapa menjual kepada saudaranya sesuatu dengan harga sedirham dan tidak pantas itu, kalau dibelinya untuk dirinya sendiri selain dengan harga 5 danaq (lebih sedikit dari sedirham), maka sesungguhnya ia telah meninggalkan nasehat yang disuruh dalam bermu’amalah (berdagang). Dan ia tidak mencintai saudaranya, akan apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri”. Inilah secara tersimpul (secara global) !
Adapun terperincinya, maka pada 4 perkara: tidak memuji barang yang dijualnya itu, dengan apa yang tidak sebenarnya, tidak menyembunyikan sekali-kali segala kekurangan dan sifat-sifatnya yang tersembunyi sedikitpun, tidak menyembunyikan timbangan dan jumlahnya sedikitpun dan tidak menyembunyikan harganya, dimana jikalau yang melakukan mu’amalah (perniagaan) itu mengetahuinya, niscaya tidak akan meneruskan pembelian itu.
Yang pertama  tadi, yaitu –meninggalkan pujian –maka kalau disifatkannya benda itu dengan sifat yang tak ada padanya, maka itu adalah bohong. Kalau si pembeli menerimanya, maka itu adalah penipuan dan penganiayaan, serta pendustaan. Dan kalau si pembeli itu tidak menerimanya, maka itu adalah pendustaan dan penjatuhan harga diri. Karena pendustaan yang dilakukan itu, kadang-kadang tidak mencederakan harga diri secara zhahir. Kalau dipujinya barang itu, menurut yang sebenarnya, maka itu adalah kata-kata yang tidak disertakan pikiran yang murni dan berkata-kata dengan kata-kata yang tidak perlu. Dan ia akan diperkirakan (dihisab) terhadap tiap-tiap kalimat yang terbit daripadanya, mengapakah ia mengucapkannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu perkataan yang diucapkan manusia, melainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)”. S 50 Qaaf ayat 18. Kecuali dipujinya barang yang tidak dikenal oleh si pembeli, kalau tidak disebutkannya, seperti disifatkannya hal-hal yang tersembunyi dari budi-pekerti budak yang pria dan yang wanita dan hewan. Maka tidak mengapa menyebutkan sekedar yang ada padanya tanpa berlebih-lebihan dan bertele-tele. Dan hendak lah maksudnya, supaya diketahui oleh saudaranya muslim. Lalu ia ingin pada barang itu dan sampai hajat maksudnya disebabkan yang demikian. Dan tiada seyogyalah sekali-kali ia bersumpah terhadap yang demikian. Karena kalau ia berdusta, maka ia telah berbuat sumpah yang menjerumuskan dirinya. Dan sumpah itu, adalah termasuk dosa besar, yang menyebarkan kegoncangan, tanpa keberanian dengan kata-kata. Dan kalau ia benar, maka telah dijadikannya Allah Ta’ala untuk menegakkan sumpahnya. Dan sesungguhnya ia telah berbuat jahat terhadap Allah. Karena dunia adalah lebih keji untuk dimaksudkan melakukannya dengan menyebut nama Allah, tanpa ada darurat. Dan pada hadits tersebut: “Azab neraka bagi saudagar yang mengatakan: “Ya, demi Allah !” dan: “Tidak, demi Allah !”. Dan azab neraka bagi tukang, yang mengatakan: “Besok dan lusa !”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Sumpah palsu adalah menghabiskan barang perdagangan dan menghapuskan keberkatan”.
Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi saw dimana beliau bersabda: “3 orang, tidak dipandang oleh Allah kepada mereka pada hari kiamat: orang yang kasar lagi takabur, orang yang membangkit-bangkit dengan pemberiannya dan orang yang membelanjakan barangnya dengan bersumpah”. Apabila pujian kepada barang dengan benar itu dimakruhkan, dari segi pujian itu hal yang tidak perlu, yang tidak menambahkan rezeki, maka tidaklah tersembunyi beratnya perhatian tentang persoalan sumpah. Diriwayatkan dari Yunus bin ‘Ubaid dan dia adalah penjual sutera, bahwa orang mencari sutera daripadanya untuk dibeli. Lalu dikeluarkan oleh budaknya yang buruk dan yang baik dari sutera itu. Budak itu memandang kepadanya dan berkata: “Wahai Allah, Tuhanku ! anugerahilah kami rezeki !”. Maka ia berkata kepada budaknya: “Bawalah kembali sutera ini ke tempatnya !” Dan tidak dijualnya. Ia takut, bahwa yang demikian itu, sindiran pujian kepada barang yang diperdagangkan itu. Orang-orang yang seperti mereka ini, ialah mereka yang berniaga di dunia dan tidak menyia-nyiakan agamanya dalam perniagaan. Tetapi mereka itu mengetahui bahwa keuntungan akhirat, adalah lebih utama dicari dari keuntungan dunia.
Yang kedua: ia menyatakan segala kekurangan dari barang yang akan dijual, baik yang tersembunyi atau yang nyata dan tidak menyembunyikan sesuatu daripadanya. Yang demikian itu, adalah wajib. Kalau disembunyikannya, niscaya adalah ia orang zalim dan penipu. Dan penipuan itu haram dan telah meninggal kan nasehat pada mu’amalah (perniagaan). Dan nasehat itu wajib. Manakala dibukanya salah satu dari dua belahan kain dan disembunyikannya yang sebelah lagi, niscaya dia itu penipu. Begitu pula, apabila dibentangkannya kain pada tempat yang gelap. Dan begitu pula apabila diperlihatkannya satu yang terbaik dari sepasang sepatu atau selop dsb. Dibuktikan haramnya penipuan itu oleh apa yang diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw melalui pada seorang laki-laki yang menjual makanan. Maka Nabi saw merasa tertarik kepada makanan itu. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Maka beliau melihat basah, lalu bertanya: “Apakah ini ?”. Laki-laki itu menjawab: “Kena hujan !”. Lalu Nabi saw menyahut: “Mengapakah tidak kamu letakkan atas makanan, supaya dilihat orang ? barangsiapa menipu kami, maka tidaklah ia daripada kami”. Dibuktikan kepada wajibnya ketegasan dengan menerangkan kekurangan-kekurangan, ialah apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw tatkala sudah menerima sumpah setia (bai-‘ah) Jurair kepada Islam, lalu beliau pergi hendak meninggalkan tempat itu. Maka beliau tarik kain Jurair kepadanya dan mensyaratkan kepada Jurair supaya tegas dalam berjual beli bagi tiap-tiap orang Islam. Dari itu, Jurair, apabila bangun menjualkan barang dagangannya, niscaya dilihatnya kekurangan-kekurangannya kemudian diterangkannya. Kemudian disuruhnya pilih kepada pembeli itu, dengan berkata: “Kalau mau, ambillah dan kalau tidak mau tinggalkanlah !”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Kalau engkau berbuat seperti ini, niscaya tidak akan berlangsung penjualanmu !”. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya kami telah bersumpah setia dengan Rasulullah saw untuk menjelaskan dalam pembelian bagi setiap muslim”.
Adalah Wailah bin Al-Aqsa’ berhenti di suatu tempat. Lalu seorang laki-laki menjual untanya dengan harga 300 dirham. Wailah terlupa dan laki-laki yang membeli telah pergi dengan membawa unta yang dibelinya. Lalu Wailah berjalan cepat di belakang orang itu dan berteriak memanggil: “Hai yang membeli unta ! engkau belikan unta itu untuk dagingnya atau untuk kendaraan ?”. Pembeli itu menjawab: “Untuk kendaraannya !”. Lalu Wailah berkata: “Sesungguhnya pada alas kakinya berlobang. Telah aku lihat lobang itu. Unta itu tidak akan sanggup berjalan terus-menerus”. Maka pembeli itu kembali, lalu mengembalikan unta yang telah dibelinya. Dan oleh penjual itu mengurangkan harga unta itu dengan 100 dirham, seraya berkata kepada Wailah: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadamu ! engkau telah batalkan terhadapku akan penjualanku”. Wailah menjawab: “Sesungguhnya kami telah mengadakan bai’ah (sumpah setia) dengan Rasulullah saw untuk menegaskan pada jual-beli kepada tiap-tiap muslim”. Dan seterusnya ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu penjualan, kecuali menerangkan kekurangannya. Dan tidak halal bagi orang yang mengetahui demikian, kecuali menerangkannya”. Mereka memahami dari nasehat itu, bahwa tidak rela untuk saudaranya, selain apa yang ia rela untuk dirinya sendiri. Dan mereka tidak mempercayai bahwa yang demikian itu, sebahagian dari amal-perbuatan yang utama dan tambahan kedudukan yang tinggi. Tetapi mereka mempercayai bahwa yang demikian itu, sebahagian dari syarat-syarat Islam yang masuk di bawah bai’ah (sumpah setia) mereka. Dan ini adalah hal yang sukar bagi kebanyakan orang. Maka karena itulah mereka memilih menjuruskan diri kepada ibadah dan mengasingkan diri dari manusia ramai. Karena menegakkan hak-hak Allah serta bercampur-baur dan bermu’amalah (berniaga), adalah perjuangan (mujahadah) yang tidak bangun menegakkannya, selain oleh orang-orang shiddiq. Dan tidak mudah yang demikian bagi seseorang hamba, kecuali dengan mempercayai dua hal:
1.       Bahwa mencampurkan dengan kekurangan-kekurangan dan melakukan benda itu, tidaklah menambah rezeki. Tetapi menghapuskan rezeki
dan menghilangkan keberkatannya. Dan apa yang dikumpulkannya dari campuran yang bermacam-macam itu, akan dibinasakan oleh Allah dengan sekaligus. Menurut cerita, ada seorang laki-laki mempunyai lembu betina yang diperahnya susunya dan dicampurkannya susu itu dengan air dan dijualkannya. Maka datanglah banjir, lalu karamlah lembu betina itu. Maka berkata sebahagian anaknya: “Bahwa air yang berpisah-pisah yang telah kita tuangkan dahulu ke dalam susu itu, telah berkumpul sekaligus dan mengambil lembu betina kita”. Bagaimana tidak ? sedangkan Nabi saw telah bersabda: “Dua orang yang berjual-beli, apabila keduanya benar dan berterus-terang (nasehat-menasehati), niscaya diberkati kepada keduanya dalam berjual-beli. Dan apabila keduanya menyembunyi kan dan membohong, niscaya dicabut keberkatan jual-beli itu”.
Pada suatu hadits, tersebut: “Tangan Qudrah / kuasa Allah diatas dua orang yang berkongsi, selama keduanya tidak khianat-mengkhianati. Apabila keduanya khianat-mengkhianati, niscaya Allah mengangkatkan tanganNya daripada keduanya”. Jadi, harta itu tidak akan bertambah dari pengkhianatan, sebagaimana tidak akan berkurang dengan bersedekah. Dan orang yang tidak mengenali tambahan dan kekurangan, kecuali dengan timbangan, niscaya tidak akan membenarkan hadits diatas tadi. Dan barangsiapa mengetahui, bahwa sedirham saja, kadang-kadang diberkati padanya, sehingga menjadi sebab kebahagiaan manusia di dunia dan pada agama. Dan beribu-ribu yang susun-bersusun, kadang-kadang dicabut oleh Allah akan keberkatan daripadanya. Sehingga menjadi sebab kepada kebinasaan pemiliknya, dimana ia berangan-angan akan memboros dengan uang itu. Dan dipandangnya lebih mendatangkan kemuslihatan baginya dalam beberapa hal. Lalu ia mengetahui akan arti perkataan kami: “Bahwa pengkhianatan itu, tidak menambahkan harta dan sedekah itu tidak mengurangkan harta”.
2.       Yang tak boleh tidak dari kepercayaan itu, supaya sempurnalah nasehat itu dan menjadi mudah baginya, ialah: bahwa ia tahu keuntungan
dan kekayaan akhirat, adalah lebih baik dari kekayaan dunia. Dan segala faedah harta dunia itu akan habis dengan habisnya umur. Dan tinggallah segala kezaliman dan kedosaan. Maka bagaimanakah orang yang berakal itu membolehkan, untuk menggantikan barang yang lebih baik dengan yang lebih buruk ? dan kebaikan seluruhnya, ialah pada keselamatan agama. Rasulullah saw bersabda: “Senantiasalah “Laa ilaaha illallaah” menolak kemarahan Allah dari makhluk, selama mereka tidak melebihkan perbuatan dunianya dari akhiratnya”. Dan menurut kata-kata yang lain: “Selama mereka tidak memperdulikan akan apa yang kurang dari dunia mereka dengan keselamatan agamanya. Apabila mereka berbuat yang demikian itu dan mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”, niscaya Allah Ta’ala berfirman: “Bohong kamu, tidaklah kamu itu benar dengan ucapan itu !”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa mengucapkan “Laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas, niscaya ia masuk sorga”. Lalu orang bertanya: “Apakah keikhlasannya itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bahwa dipeliharanya keikhlasan itu daripada apa yang diharamkan oleh Allah”. Dan bersabda Nabi saw pula: “Tidaklah beriman dengan Alquran, orang yang menghalalkan segala yang diharamkan oleh Alquran”. Dan orang yang mengetahui, bahwa segala pekerjaan itu merusakkan keimanannya dan keimanannya itu adalah modalnya dalam perniagaan pada jalan akhirat, niscaya ia tidak akan menyia-nyiakan modalnya itu, yang tersedia untuk umur yang tak berkesudahan, disebabkan keuntungan yang dimanfaatinya dalam beberapa hari yang terbilang jumlahnya.
Dari sebahagian tabi’in, yang mengatakan: “Kalau aku masuk ke masjid jami’ dan masjid itu berdesak-desak dengan pengunjungnya, lalu ditanyakan kepadaku: “Siapakah yang terbaik dari mereka ?”. Sesungguhnya aku menjawab: “Siapa yang lebih banyak memberi nasehat kepada mereka. Maka apabila mereka menjawab:  “Ini !” niscaya aku menjawab: “Dia itu adalah yang terbaik dari mereka !”. Dan kalau ditanyakan kepadaku: “Siapakah yang terjahat dari mereka ?” niscaya aku menjawab: “Siapa yang lebih banyak menipu mereka”. Maka apabila ada orang yang mengatakan: “Ini !” niscaya aku menjawab:  “Dia itu adalah yang terjahat dari mereka”. Penipuan itu haram pada penjualan dan perusahaan seluruhnya. Dan tidak seyogyalah seorang tukang mempermudah-mudahkan perbuatannya, diatas cara, jikalau orang lain berbuat demikian terhadap dia, niscaya ia tidak menyetujui untuk dirinya sendiri. Tetapi seyogyalah membaguskan dan meneguh-kuatkan perbuatan itu. Kemudian menerangkan kekurangan-kekurangannya, kalau ada padanya kekurangan. Maka dengan demikian, terlepaslah dia. Seorang laki-laki pembuat sepatu bertanya kepada Bin Salim. Orang itu bertanya: “Bagaimanakah supaya aku selamat dalam menjual selop-selop itu ?”. Bin Salim menjawab: “Buatlah kedua muka sepatu itu sama ! janganlah engkau lebihkan kanan dari yang lain dan baguskanlah isinya ! dan hendaklah sepatu itu menjadi sebuah benda yang sempurna ! dekatkan diantara lobang-lobangnya dan janganlah engkau tindihkan salah satu dari kedua selop itu ke atas yang lain !”. Dan dari bahagian inilah, apa yang ditanyakan orang kepada Ahmad bin Hanbal ra dari perbaikan kain, dimana perbaikan itu tidak terang. Imam Ahmad menjawab: “Tidak boleh bagi orang yang menjualnya menyembunyikannya”. Dan sesungguhnya halal dijual kain yang diperbaiki dengan jahitan itu, apabila diketahui akan diterangkannya. Atau ia tidak bermaksud perbaikan itu untuk menjualkannya”.
Kalau anda berkata: “Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/) itu tidak akan sempurna, manakala wajib orang menyebutkan segala kekurangan dari barang yang dijual”. Maka aku menjawab: “Bukanlah demikian ! karena syarat saudagar itu, tidaklah membeli untuk dijual, melainkan yang baik yang disenangi untuk dirinya sendiri, jikalau ditahannya (tidak dijualnya). Kemudian, ia merasa puas pada penjualannya dengan keuntungan yang sedikit. Lalu diberkati oleh Allah baginya pada penjualannya. Dan ia tidak berhajat kepada penipuan. Dan sesungguhnya sukar yang demikian itu. Karena mereka tidak merasa puas dengan keuntungan yang sedikit. Dan tidak selamat yang banyak itu, kecuali dengan penipuan. Orang yang membiasakan dirinya yang tersebut diatas itu, niscaya tidak akan menutup yang kekurangan. Kalau jatuh ke dalam tangannya yang kekurangan, walaupun yang jarang terjadi, maka hendaklah disebutkannya dan hendaklah ia merasa puas dengan harganya itu.
Ibnu Sirrin menjual seekor kambing, lalu ia berkata kepada pembelinya: “Aku jelaskan kepadamu kekurangan yang ada pada kambing itu, yaitu: terbalik kuku pada kakinya”. Al-Hasan bin Shalih menjual budak wanita, lalu mengatakan kepada pembelinya: “Budak ini selama pada kami, pada suatu kali ia berdahak darah”. Maka begitulah adanya jalan yang ditempuh oleh kaun agama. Siapa yang tidak sanggup cara yang demikian, maka hendaklah meninggalkan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/) ! atau menempatkan dirinya pada azab akhirat.
Yang ketiga: bahwa tidak menyembunyikan sedikitpun tentang kadarnya. Yang demikian itu, adalah dengan kejujuran timbangan dan berhati-hati padanya dan pada sukatan. Maka seyogyalah menyukat sebagaimana mestinnya disukatkan. Allah Ta’ala berfirman: “Celaka untuk orang-orang yang mengecuh. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatan). Tetapi apabila mereka menyukat untuk orang lain atau menimbang untuk orang lain, dikuranginya”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 1-2-3. Dan tidak akan terlepas dari ini, kecuali dengan melebihkan apabila memberi dan mengurangkan apabila mengambil. Karena keadilan yang sebenarnya, amat sedikitlah tergambar ke alam kenyataan. Dari itu, hendaklah keadilan itu zhahir/luar dengan zhahirnya kelebihan dan kekurangan. Maka orang yang meminta benar-benar akan haknya dengan sesempurna mungkin, mungkin akan melampauinya. Sebahagian mereka itu mengatakan: “Aku tidak akan membeli neraka daripada Allah dengan sebutir biji-bijian”. Dari itu, apabila ia mengambil, maka dikuranginya setengah biji-bijian. Dan apabila ia memberi, maka ditambahinya sebutir biji-bijian. Ia mengatakan: “Nerakalah bagi orang yang menjual sorga dengan sebutir biji-bijian, dimana sorga itu, lebarnya langit dan bumi. Maka alangkah meruginya orang yang menjual yang baik dengan neraka !”. Sesungguhnya bersangatan benar mereka menjaga diri dari yang tersebut tadi dan yang menyerupainya, adalah karena semuanya itu perbuatan zalim, yang tidak mungkin berobat daripadanya. Karena ia tidak mengenal lagi pemilik-pemilik dari biji-bijian itu, untuk dapat dikumpulkannya dan diselesaikannya hak-hak mereka. Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw membeli sesuatu, lalu berkata kepada yang menimbang, tatkala menimbang menurut harganya: “Timbanglah dan lebihkanlah timbangan itu !”. Fudlail melihat anaknya yang sedang membasuh dinar, yang akan dibelanjakannya. Dan anak itu menghilangkan kotoran yang ada pada dinar dan membersihkannya. Sehingga tidak bertambah timbangannya, disebabkan yang demikian. Maka Fudlail berkata: “Hai anakku ! perbuatanmu ini adalah lebih utama daripada dua kali hajji dan 20 kali ‘umrah”. Setengah salaf berkata: “Saya heran melihat saudagar dan penjual, bagaimana ia terlepas. Ia menimbang dan bersumpah pada siang hari dan tidur pada malam hari”.
Nabi Sulaiman as bersabda kepada puteranya: “Hai anakku ! sebagaimana masuknya biji-bijian diantara dua batu, maka begitu pulalah masuknya kesalahan diantara dua orang yang berjual beli”. Setengah orang-orang shalih telah melakukan shalat mayit kepada seorang yang  keperempuan-perempuanan. Lalu ada orang yang mengatakan kepadanya, bahwa orang itu fasiq. Maka orang shalih tadi diam. Kemudian diulangi lagi perkataan tersebut. Lalu beliau menjawab: “Seolah-olah engkau berkata kepadaku: “Adalah orang itu mempunyai dua timbangan. Dia memberi dengan satu timbangan dan dia mengambil dengan timbangan yang lain”. Beliau tunjukkan dengan itu, bahwa fasiq adalah kezaliman antara seseorang dengan Allah Ta’ala. Dan ini, adalah setengah dari kezaliman hamba. Toleransi dan pemaafan padanya, adalah lebih jauh. Dan tindakan keras mengenai urusan timbangan itu, adalah besar. Dan melepaskan diri daripadanya, berhasil dengan sebutir dan setengah butir biji-bijian. Dan pada qira’ah (bacaan) Abdullah bin Mas’ud ra pada firman Allah Ta’ala: “Supaya kamu jangan melanggar aturan berkenaan dengan neraca (al-mizan). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan (al-mizan)” –artinya: jarum dari timbangan (lisanul-mizan) S 55 Ar Rahmaan ayat 8 dan 9. Karena kekurangan dan kelebihan itu, nyata dengan merengnya jarum neraca itu.
Kesimpulannya, tiap-tiap orang yang menginsafi untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain, walaupun dalam sepatah kata dan tidak menaruh keinsyafan seperti apa yang diinsyafkannya itu, maka termasuklah dia dalam firman Allah Ta’ala: “Celaka untuk orang-orang yang mengecuh. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatan)” –sampai beberapa ayat lagi. S 83 Al Muthaffifiin ayat 1 dan 2. Pengharaman yang demikian itu pada sukatan, tidaklah karena dia itu sukatan. Tetapi karena ada suatu hal yang dimaksudkan. Yaitu: meninggalkan keadilan dan keinsyafan akan arti keadilan. Maka dia itu zalim pada segala perbuatan yang dilakukannya. Maka yang mempunyai neraca itu berada dalam bahaya neraka. Tiap-tiap orang mukallaf (yang telah dewasa dan berpikiran sehat), adalah mempunyai neraca dalam segala perbuatan, perkataan dan segala gurisan hatinya. Maka nerakalah baginya, jika ia berpaling dari keadilan dan mereng dari kelurusan. Dan jikalau tidak sukarlah ini dan mustahilnya, niscaya tidaklah datang firman Allah Ta’ala: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71.
Maka senantiasalah hamba itu tidak terpelihara (tidak ma’shum) dan kemerengan dari kelurusan. Hanya derajat kemerengan itu berlebih-kurang secara besar-besaran. Maka karena itulah, berlebih-kurangnya masa manusia itu menetap dalam neraka sampai kepada masa kelepasan. Sehingga setengah mereka tidak tinggal dalam neraka, melainkan sekedar kafarat sumpah. Dan setengahnya tinggal beribu-ribu tahun. Maka marilah kita bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya mendekatkan kita kepada kelurusan dan keadilan. Sesungguhnya kesulitan diatas titian Ashshirathal-mustaqim, tanpa mereng padanya, adalah tak dapat diharapkan. Karena titian itu, adalah lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Jikalau tidaklah pertolongan Allah, niscaya orang yang luruspun tidak akan sanggup melewati jalan yang memanjang diatas titian neraka, yang sifatnya lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang itu. Dan menurut kadar kelurusan diatas Ash-shirathal-mustaqim itu, ringanlah hamba pada hari kiamat diatas titian itu. Tiap-tiap orang yang mencampurkan makanan dengan tanah atau lainnya, kemudian disukatinya, maka adalah dia itu orang yang mengecuh (menipu) pada sukatan. Tiap-tiap penjual daging, yang menimbang bersama daging tulangnya, yang tidak berlaku kebiasaan seperti itu, maka dia itu adalah orang yang menipu pada timbangan. Dan qiaskanlah kepada yang tersebut ini, perumpamaan-perumpamaan yang lain, sehingga pada hasta yang dilakukan oleh penjual kain. Karena apabila ia membeli, lalu dilepaskannya kain pada waktu penghastaan. Dan tidak dipanjangkannya menurut semestinya. Dan apabila ia menjualkannya, lalu dipanjangkannya pada penghastaan, supaya menampak berlebih-kurang ukurannya. Maka semua itu, adalah termasuk pembohongan yang orangnya dibawa ke neraka.
Yang keempat: bahwa berkata benar tentang harga barang dan tidak disembunyikannya sesuatu. Rasulullah saw melarang “talaqqirrukban” dan melarang pula ‘an-najasy”. Talaqqirrukban: yaitu, menghadapi rombongan yang datang ke kota dan menerima barang yang dibawa mereka serta berdusta tentang harga barang di kota. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu melakukan “talaqqirukban”. Dan barangsiapa melakukan yang demikian, maka yang mempunyai barang itu, boleh ber-khiar (memilih antara meneruskan atau membatalkan jual-beli), setelah ia datang di pasar. Pembelian itu sah. Akan tetapi kalau ternyata bohongnya, maka boleh si penjual itu berkhiar. Dan kalau ia benar, maka tentang khiar itu, terdapat khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama). Karena timbul pertentangan dari umumnya bunyi hadits diatas tadi, serta tak ada padanya penipuan. Dan dilarang pula, orang kota menjual untuk orang kampung. Yaitu: orang itu datang ke kota dengan membawa barang makanan, dengan maksud mau dijualnya dengan segera. Lalu berkata orang kota kepadanya: “Tinggalkanlah makanan itu padaku, sehingga aku dapat memahalkan harganya dan aku menunggu ketinggian harganya itu !”. Cara ini diharamkan pada makanan. Dan mengenai barang-barang lain, terdapat khilaf diantara para ulama. Dan yang lebih terang kepada kebenaran, diharamkan, karena umumnya larangan itu. Dan karena perbuatan yang tersebut, adalah melambatkan penjualan, untuk menyempitkan orang banyak pada umumnya, tanpa faedah, untuk mencari kelebihan yang menyempitkan.
Rasulullah saw melarang “an-najasy”, yaitu: datang kepada si penjual, yang sedang berhadapan dengan orang yang ingin membeli barang itu. Dan meminta barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi, sedang sebenarnya ia tidak bermaksud membelinya. Hanya ia bermaksud, menggerakkan keinginan si pembeli kepada barang itu. Cara ini, jika tak ada kesepakatan dengan si penjual, adalah perbuatan haram dari yang melakukan an-najasy. Dan jual beli itu sah. Dan jika ada kesepakatan dengan si penjual, maka tentang boleh khiar bagi si pembelii, terdapat khilaf diantara para ulama. Dan pendapat yang lebih utama, boleh si pembeli melakukan khiar. Karena terdapat penipuan dengan perbuatan, yang menyerupai dengan penipuan pada mengikat susu lembu (supaya tidak diminum oleh anaknya, lalu timbul sangkaan bagi si pembeli bahwa binatang itu banyak susunya). Dan menyerupai pula dengan penipuan pada “talaqqirukban. Maka segala larangan tersebut menunjukkan, bahwa tidak diperbolehkan berbuat yang menimbulkan keragu-raguan kepada si penjual dan si pembeli tentang harga barang di waktu itu. Dan menyembunyikan sesuatu hal, dimana kalau si penjual atau si pembeli mengetahuinya, niscaya ia tidak akan mau melakukan jual-beli itu. Maka perbuatan tersebut, termasuk penipuan yang diharamkan, yang berlawanan dengan nasehat yang diwajibkan dalam jual beli.
Diceritakan bahwa seorang dari tabi’in berada di Basrah dan ia mempunyai seorang budak di Sus, yang berusaha menyediakan gula kepadanya. Lalu budak itu menulis surat kepada tabi’in tadi, yang menerangkan: Bahwa batang tebu telah diserang penyakit pada tahun ini. Dari itu, belilah gula !”. Tabi’in itu menerangkan seterusnya. Lalu beliau membeli gula banyak-banyak. Tatkala sampai waktunya, maka beliau beruntung 30 ribu. Lalu pulang ke rumahnya. Maka beliau berpikir pada malamnya, seraya berkata: “Aku telah beruntung 30 ribu dan aku telah merugi akan nasehat kepada seorang lelaki muslim”. Tatkala pagi hari, terus datang kepada penjual gula itu dan menyerahkan kepadanya uang yang 30 ribu, seraya berkata: “Diberkahi Allah kiranya engkau pada uang ini !”. maka bertanya penjual gula itu: “Dari manakah uang ini untukku ?”. Tabi’in itu menjawab: “Sesungguhnya aku telah menyembunyikan padamu akan hakikat/makna keadaan yang sebenarnya. Adalah gula telah mahal pada waktu itu !”. Penjual gula itu menjawab: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah akan kamu! sesungguhnya telah engkau beritahukan sekarang kepadaku dan aku memandang baik uang ini untukmu !”. Tabi’in itu meneruskan ceritanya. Lalu beliau pulang dengan uang itu ke rumahnya, berpikir dan semalam-malaman tidak tidur. Dan berkata: “Apakah kiranya, yang telah aku nasehatkan kepadanya ? mungkin ia malu kepadaku, maka ditinggalkannya uang itu untukku”. Maka pagi-pagi benar, beliau datang lagi kepada penjual gula itu, seraya berkata: “Kiranya Allah mendatangkan sehat-wal’afiat kepadamu ! ambillah hartamu kepadamu ! yang begitu adalah lebih membaikkan bagi hatiku”. Maka penjual itu lalu mengambil dari tabi’in uang itu 30 ribu itu. Maka hadits-hadits tadi tentang larangan-larangan dan cerita-cerita, menunjukkan kepada tidak menunggu kesempatan dan kelengahan dari yang mempunyai barang. Lalu tersembunyilah dari penjual akan mahalnya harga atau dari pembeli untuk menanya-nanyakan berbagai macam harga. Kalau diperbuat yang demikian, maka itu adalah zalim, meninggalkan keadilan dan kenasehatan bagi kaum muslimin. Manakala si penjual itu menjual dengan beruntung, dimana ia berkata: “Aku jual dengan apa yang harus atasku atau dengan apa yang aku belikan” maka haruslah ia bersikap benar. Kemudian harus ia menerangkan dengan apa yang terjadi sesudah ‘aqad, tentang kerusakan atau kekurangan. Dan kalau ia membeli sampai kepada suatu waktu yang ditangguhkan, niscaya wajiblah diterangkannya. Dan kalau ia membeli dengan bertoleransi, dari teman atau anaknya, niscaya wajiblah disebutkannya. Karena orang yang melakukan mu’amalah (jual beli) itu, berpegang kepada adat kebiasaan, pada penyelidikan, dimana ia tidak meninggalkan perhatian untuk kepentingan dirinya sendiri. Apabila ia meninggalkan yang demikian, disebabkan sesuatu sebab maka haruslah diterangkan. Karena pegangan kepadanya, adalah kepada amanahnya.
BAB KEEEMPAT: tentang ihsan pada mu’amalah (jual beli yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan).
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh dengan keadilan dan berbuat ihsan segala-galanya. Keadilan itu adalah sebab kelepasan saja dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya modal. Dan ihsan (berbuat kebaikan), adalah sebab kemenangan dan memperoleh kebahagiaan. Dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya keuntungan. Dan tidak terhitung dari orang yang berakal pikiran, orang yang merasa puas pada mu’amalah (jual beli)dunia, dengan modalnya saja. Maka seperti itu pulalah pada mu’amalah (jual beli) akhirat. Tiada seyogyalah bagi orang yang beragama, mencukupkan dengan keadilan dan menjauhkan kezaliman saja dan meninggalkan segala pintu ihsan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan buatlah kebaikan, sebagaimana Allah telah berbuat kebaikan kepada engkau”. S 28 Al Qashash ayat 77. Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan dan berbuat kebaikan (ihsan)”. S 16 An Nahl ayat 90. Dan Allah swt berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (berbuat ihsan)”. S 7 Al A’raaf ayat 56. Dan kami maksudkan dengan “ihsan”, yaitu: perbuatan yang bermanfaat kepada orang yang melakukan mu’amalah (jual beli). Sedang perbuatan itu tidak menjadi kewajibannya. Tetapi sebagai perbuatan keutamaan daripadanya. Yang wajib itu masuk dalam bab keadilan dan meninggalkan kezaliman. Dan itu telah kami sebutkan dahulu. Derajat ihsan itu tercapai dengan salah satu dari 6 perkara:
1.       Pada tipu-daya jual-beli (al-mughabanah). Maka seyogyalah tidak menipu temannya, dengan apa yang menurut kebiasaannya, dia tidak
akan bertipu-daya dengan itu. Adapun pokok penipu-dayaan itu, diizinkan. Karena berjual beli adalah untuk memperoleh keuntungan dan keuntungan itu tidak mungkin, kecuali dengan sesuatu tipu-daya. Tetapi hendaklah dijaga berlebih kurang padanya. Kalau si pembeli memberikan tambahan diatas keuntungan yang biasa, adakalanya karena bersangatan keinginannya atau bersangatan hajatnya sekarang juga kepada barang itu. Maka seyogyalah penjual tidak menolak menerimanya. Maka itu adalah termasuk ihsan. Manakala tak ada penipuan, niscaya tidaklah mengambil kelebihan itu dinamakan kezaliman. Dan sebahagian ulama beraliran, bahwa yang tipu-daya dengan melebihi dari 1/3 modal itu mengharuskan khiar (memilih antara meneruskan aqad itu atau merombaknya). Kami tidak berpendapat demikian. Tetapi sebahagian ihsan itu, ialah mengurangkan tipu-daya itu.
Menurut riwayat, bahwa pada Yunus bin ‘Ubaid terdapat pakaian-pakaian yang berbagai macam harganya. Semacam, harga tiap-tiap sehelai daripadanya 400 dan semacam harga tiap-tiap sehelai 200. Kemudian, Yunus pergi shalat dan ditinggalkannya di toko anak saudaranya. Maka datanglah seorang Arab dusun dan meminta sehelai kain yang harganya 400. Lalu anak itu membentangkan kepada yang ingin membeli tadi, dari kain-kain yang berharga 200. Maka Arab dusun itupun menerima dengan baik dan menyetujuinya. Lalu membeli dan terus pergi, sedang kain itu pada tangannya. Ditengah jalan bertemu dengan Yunus dan beliau mengenal kainnya, seraya bertanya kepada Arab dusun itu: “Berapa saudara beli ?”. Arab dusun itu menjawab: 400 !”. Belliau menjawab: “Tidak sampai melebihi dari 200. Mari kembali supaya aku kembalikan yang lebih !”. Arab dusun itu menjawab: “Kain ini sama di negeri kami, dengan harga 500 dan saya setuju dengan kain ini dengan harga sekian tadi”. Lalu Yunus berkata kepada orang Arab dusun itu: “Pergilah, karena nasehat pada agama itu, adalah lebih baik dari dunia dengan isinya !”. Kemudian orang Arab itu kembali ke toko dan dikembalikan kepadanya uang yang 200 dirham itu. Dan beliau bertengkar dengan anak saudaranya tentang yang tadi itu dan beliau marahi seraya berkata: “Apakah kamu tidak malu, apakah kamu tidak takut kepada Allah, engkau mengambil keuntungan seperti harga itu dan engkau tinggalkan nasehat untuk kaum muslimin ?”. Anak itu menjawab: “Demi Allah, tidak dia ambil kain itu, kecuali dia telah setuju !”. Yunus menjawab: “Mengapakah tidak kamu rela untuk dia, dengan apa yang engkau rela untuk dirimu sendiri ?”. Dan itu, kalau ada padanya penyembunyian harga dan penipuan, maka itu termasuk dalam pintu kezaliman. Dan telah diterangkan dahulu. Dan pada hadits, tersebut: “Tipu-daya orang yang melepaskan barangnya itu, haram”.
Adalah Zubair bin ‘Uda berkata: “Aku mendapati 18 orang sahabat, tiada seorangpun dari mereka memandang ihsan, membeli daging dengan sedirham”. Maka tipu-daya oleh orang-orang yang melepaskan barang-barangnya itu, adalah zalim. Kalau itu terjadi, tanpa penipuan maka termasuklah dalam bahagian meninggalkan ihsan. Dan sedikitlah sempurna ini, kecuali dengan ada semacam penipuan dan penyembunyian harga masa itu. Dan sesungguhnya yang semata-mata ihsan ialah apa yang dinukilkan dari As-Sirri As-Saqathi, bahwa beliau membeli satu sukatan buah lauz (hampir serupa dengan buah delima), dengan harga 60 dinar. Beliau menulis pada daftar hariannya, 3 dinar keuntungannya. Seakan-akan beliau telah berpendapat, untuk memperoleh keuntungan setengah dinar pada tiap-tiap 10 dinar pokoknya. Kemudian lauz itu sudah berharga 90 dinar. Maka datanglah perantara kepadanya, meminta lauz. Lalu beliau menjawab: “Ambillah !”. “Berapa harganya ?” tanya perantara (agen barang-barang). Beliau menjawab: “63 dinar !”. Maka agen itu menjawab dan dia termasuk orang yang shalih: “Harga lauz sekarang sudah 90 dinar”. As-Sirri menjawab: “Aku telah mengikatkan suatu ikatan, yang tidak akan aku lepaskan, bahwa tidak aku jualkan lauz itu, kecuali dengan 63 dinar”. Orang perantara itu menjawab: “Dan aku telah berjanji antara aku dan Allah Ta’ala tidak akan menipu seseorang muslim. Tidak akan aku ambil daripada engkau, kecuali dengan 90 dinar”. Dan menurut riwayat itu, agen itu tak jadi membeli dari As-Sirri dan As-Sirri tak jadi menjual kepada agen itu. Maka inilah semata-mata ihsan dari kedua pihak. Sesungguhnya disertakan dengan pengetauhan itu akan hakikat/makna keadaan yang sebenarnya.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa ia mempunyai beberapa potong kain panjang. Sebahagian dengan harga 5 dan sebahagian lagi dengan harga 10. Maka oleh pesuruhnnya dijualnya, waktu dia tidak ada, potongan yang harga 5, dengan harga 10. Tatkala diketahuinya, maka selalulah dicarinya Arab dusun yang membeli barang itu sepanjang hari, sehingga berjumpa. Lalu beliau berkata kepada yang membeli: “Sesungguhnya pesuruhku sudah salah. Dijualnya kepadamu, potongan yang harganya 5, dengan harga 10. Pembeli itu menjawab: “Wahai Tuan ! aku telah setuju yang demikian !”. Muhammad bin Al-Munkadir menjawab: “Meskipun kamu rela tetapi aku tidak rela untukmu, kecuali apa yang aku relakan untuk diriku sendiri. Maka pilihlah satu dari 3 perkara: adakalanya engkau ambil potongan yang harganya 10 dengan dirhammu itu. Adakalanya kami kembalikan kepadamu 5 dirham. Dan adakalanya kamu kembalikan barang kami dan kamu ambil dirhammu kembali”. Maka si pembeli itu menjawab: “Berikanlah kepadaku 5 dirham itu !”. Lalu dikembalikan kepadanya 5 dirham. Dan Arab dusun itu pergi, sambil bertanya dan berkata: “Siapakah syaikh yang tadi itu ?”. Lalu orang menjawab kepadanya: “Itulah Muhammad bin Al-Munkadir !”. Maka Arab dusun itu menyahut: “Laa ilaaha illallaah. Itulah kiranya orang yang kita minta air di desa-desa apabila kita di musim kemarau !”. Itulah ihsan, tidak mau ia beruntung dalam 10, kecuali setengah atau satu, menurut kebiasaan yang berlaku pada barang yang seperti itu pada tempat itu. Dan barangsiapa yang merasa puas dengan keuntungan yang sedikit, niscaya banyaklah mu’amalah (jual beli)nya. Dan memperoleh faedah dari berulang-ulangnya mu’amalah (perniagaan) akan banyak keuntungan. Dan dengan itu terliharlah keberkatan.
Adalah Ali ra berkeliling di pasar Kufah dengan tongkat pemukul di tangannya, seraya berkata: “Wahai para saudagar ! ambillah yang benar, niscaya kamu selamat ! janganlah kamu menolak keuntungan yang sedikit, maka kamu tidak akan memperoleh keuntungan yang banyak !”. Ada orang yang menanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “Apakah sebabnya maka tuan menjadi kaya?”. Abdurrahman bin ‘Auf menjawab: “Karena 3 perkara: “Tiada aku menolak keuntungan sekali-kali. Tiada orang yang meminta kepadaku hewan, lalu aku lambatkan menjualnya. Dan tidak aku menjual dengan tangguhan pembayaran”. Dan ada yang mengatakan, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf, menjual 1000 ekor untanya, dimana beliau tidak beruntung, kecuali tali pengikatnya. Lalu dijualnya tiap-tiap sehelai tali itu dengan sedirham. Maka ia beruntung 1000 dirham. Dan beruntunglah ia dari perbelanjaannya kepada unta itu untuk sehari 1000 dirham.
2.       Pada menanggung tipu-daya pada jual-beli. Maka si pembeli, kalau membeli makanan dari orang yang lemah atau membeli sesuatu dari
orang miskin maka tidak apalah ia menanggung tipu-daya itu dan memandang enteng. Dan adalah ia dengan yang demikian, telah berbuat ihsan dan termasuk pada sabda saw: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah, akan orang yang memudahkan penjualan sebagai mudahnya pembelian”.
Adapun apabila ia membeli dari saudagar yang kaya, yang mencari keuntungan melebihi dari keperluannya, maka menanggung tipu-daya dari pembelian itu, tidaklah terpuji. Bahkan itu adalah menyia-nyiakan harta, tanpa pahala dan pujian. Telah tersebut pada suatu hadits yang diriwayatkan dari jalan keluarga Nabi saw (ahlul-bait). Yang maksudnya: “Orang yang kena tipu-daya pada pembelian, tidaklah terpuji dan memperoleh pahala”. Iyas bin Ma’awiah bin Qurrah –qadli negeri Basrah –seorang tabi’in yang berpikiran cerdas, berkata: “Tidaklah aku ini penipu. Dan penipu itu tidaklah akan menipu aku dan tidak akan menipu Ibnu Sirin. Tetapi akan menipu Al-Hasan dan akan menipu bapakku”. Ya’ni: Ma’awiah bin Qarrah. Dan yang sempurna, ialah: pada tidak menipu dan tidak akan tertipu, sebagaimana disifatkan oleh setengah mereka, akan Umar ra dengan mengatakan: “Adalah Umar seorang yang mulia, daripada untuk menipu dan lebih berakal, daripada untuk ditipu”.
Al-Hasan dan Al-Husain dll daripada para salaf pilihan, adalah amat menyelidiki tentang pembelian. Kemudian, mereka berikan bersama yang demikian, akan harta banyak. Lalu ada orang yang menanyakan kepada sebahagian mereka: “Engkau selidiki benar tentang pembelianmu kepada barang yang sedikit. Kemudian engkau berikan yang banyak dan tidak engkau perdulikan yang demikian ?”. Maka yang ditanyakan itu, menjawab: “Bahwa yang memberi itu, memberikan kelebihannya dan orang yang tertipu itu, tertipu akalnya”.
Setengah mereka berkata: “Sesungguhnya aku tipu akalku dan pemandanganku. Maka tidaklah mungkin yang menipu daripadanya. Apabila aku memberi niscaya aku memberi karena Allah. Dan tidak aku meminta lebih banyak daripada Allah akan sesuatu”.
3.       Pada penyempurnaan harga dan hutang-hutang yang lain. Dan ihsan padanya, sekali dengan maaf-memaafkan dan mengurangkan
sebahagian daripadanya. Sekali dengan menangguhkan dan mengemudiankan. Dan sekali dengan memudahkan (tidak menyulitkan) pada meminta uang yang bagus. Semuanya itu disunatkan dan dianjurkan. Nabi saw bersabda: “Diberi rahmat kiranya oleh Allah akan orang, yang memudahkan penjualan, memudahkan pembelian, memudahkan pembayaran dan memudahkan meminta bayaran”. Maka hendaklah memperoleh doa Rasulullah saw itu !. Dan Nabi saw bersabda: “Maafkanlah, niscaya kamupun akan dimaafkan”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menangguhkan orang yang sukar membayar hutang atau meninggalkan hutang itu untuknya, niscaya Allah akan menghitung amalannya dengan hisab (hitungan) yang mudah” (bukan orang yg hoby ngutang dan malas membayar- itu namanya PENCURI. Biasanya orang yg suka berhutang hidupnya selalu kekurangan- Pent) Dan menurut bunyi yang lain: “niscaya ia dinaungi oleh Allah dibawah naungan ‘Arasy Nya, pada hari, yang tak ada naungan, selain daripada naunganNya”. Rasulullah saw menyebutkan seorang laki-laki yang begitu boros terhadap kepada dirinya sendiri, dimana diperhitungkan amalannya (dihisab), maka tidak diperoleh baginya satu kebaikanpun. Lalu ditanyakan kepadanya: “Adakah kamu kerjakan kebajikan walaupun sekali ?”. Ia menjawab: “Tidak ! kecuali aku ini, adalah seorang laki-laki yang memperhutangkan manusia lalu aku katakan kepada budak-budakku: “Bermaaf-maaflah kepada orang yang kaya dan tunggulah orang yang miskin !”. Dan menurut bunyi yang lain: “Lewatkan yang miskin yang sukar membayar hutang !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kami lebih berhak dengan yang demikian daripada engkau. Maka Allah melewatkan daripadanya dan mengampunkan dosanya”.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memperhutangkan uang sedinar dengan ditangguhkan kepada sesuatu waktu, maka baginya tiap-
tiap hari itu menjadi sedekah, sampai kepada waktu pembayarannya. Apabila waktu itu telah datang maka ditunggunya lagi sesudah itu, (karena orang itu belum sanggup juga) maka baginya tiap-tiap hari, menjadi sedekah seperti hutang itu”. Dan adalah sebahagian salaf, yang tidak menyukai orang yang berhutang padanya, membayar hutangnya, lantaran hadits tadi. Sehingga adalah ia seperti orang yang bersedekah dengan seluruhnya tiap-tiap hari.
Nabi saw bersabda: “Aku melihat pada pintu sorga, tertulis sedekah, pahalanya 10 kali, hutang pahalanya 18 kali”. Lalu ada yang mengatakan tentang pengertian hadits ini, yaitu: bahwa sedekah itu jatuh ke tangan orang yang memerlukan dan yang tidak memerlukan. Dan kehinaan berhutang itu, tidak ditanggung, kecuali oleh orang yang memerlukan. “Nabi saw melihat kepada seorang laki-laki yang selalu menghubungi seorang laki-laki lain dengan berhutang padanya. Lalu Nabi saw menunjukkan kepada yang mempunyai uang hutang (yang memperhutangkan) itu dengan tangannya: “Letakkanlah setengah !” Lalu orang itu meletakkannya. Maka Nabi saw bersabda kepada yang berhutang. “Bangun, berikanlah kepadanya !”. Tiap-tiap orang yang menjualkan sesuatu dan meninggalkan harganya di waktu itu dan tidak memberatkan memintanya, maka itu adalah searti dengan memperhutangkan.
Diriwayatkan, bahwa Al-Hasan Al-Bashari  menjual seekor keledai betina kepunyaannya dengan harga 400 dirham. Maka tatkala telah datang waktu wajib pembayarannya, lalu si pembeli itu berkata kepada Al-Hasan: “Wahai Bapak Sa’id ! maafkanlah dulu !”. Lalu menjawab Al-Hasan: “Aku telah maafkan daripadamu 100”. Maka menjawab si pembeli: “Engkau telah berbuat ihsan, wahai Bapak Sa’id !”. Lalu Al-Hasan menyambung: “Aku berikan untukmu 100 lagi”. Maka Al-Hasan menerima haknya 200 dirham. Lalu orang itu berkata kepadanya: “Itu adalah setengah harga !”. Al-Hasan menjawab: “Begitulah adanya ihsan itu. Kalau tidak demikian, maka ihsan itu, tidak ada”. Pada suatu hadits, tersebut: “Ambillah hakmu dalam penjagaan dan pemeliharaan, sempurna atau tidak sempurna, niscaya dikirakan untukmu oleh Allah dengan kiraan yang mudah”.
4.       Pada pembayaran hutang. Dan setengah dari ihsan pada pembayaran hutang itu, ialah baik pembayarannya. Yaitu, dengan ia pergi kepada
yang mempunyai hak (yang memperhutangkan). Dan tidak memberatkan yang mempunyai hak supaya pergi kepada yang berhutang, yang akan membayar hutangnya. Nabi saw bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah orang yang terbaik membayar hutangnya”. Manakala telah sanggup membayar hutang, maka hendaklah bersegera membayarnya, walaupun belum waktunya. Dan hendaklah menyerahkan yang terbaik dari apa yang disyaratkan kepadanya dan yang terbagus. Dan kalau belum sanggup, maka hendaklah berniat akan membayarnya, manakala telah sanggup nanti.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berhutang dengan sesuatu hutang dan berniat akan membayarnya, niscaya diwakilkan oleh Allah beberapa malaikat yang akan memeliharanya dan mendoa untuknya, sehingga ia membayar hutang itu nanti”. Dan adalah segolongan ulama salaf membuat hutang, tanpa ada keperluan, lantaran hadits tersebut. Dan manakala yang mempunyai hak (yang memperhutangkan) berkata-kata dengan perkataan yang kasar, maka hendaklah ditahannya dan dihadapinya dengan lemah lembut, karena mengikat Rasulullah saw: “tatkala datang kepadanya yang memperhutangkannya, ketika telah sampai waktunya. Dan tidaklah Rasulullah saw dapat melunasinya. Lalu orang itu mengeluarkan kata-kata keras kepada Rasulullah saw. Maka bercita-cita para sahabatnya membalaskannya. Lalu Nabi saw bersabda: “Biarkanlah orang itu ! sesungguhnya yang mempunyai hak, berhaklah berkata-kata”. Manakala telah berputar perkataan antara yang berhutang dengan yang memperhutangkan, maka yang ihsan, ialah kecondongan yang lebih banyak bagi golongan yang menengah kepada orang yang berhutang. Karena orang yang memperhutangkan, adalah memperhutangkan dari kekayaan yang ada padanya. Dan orang yang berhutang, adalah berhutang lantaran keperluan. Dan seperti itu pula, seyogyalah ada pertolongan bagi si pembeli yang lebih banyak. Karena si penjual itu, adalah tidak suka kepada barang, yang ia ingini melakukannya. Dan si pembeli itu berhajat kepada barang tersebut. Ini yang terbaik ! kecuali orang yang berhutang itu melampaui batasnya. Maka ketika itu, menolonginya, ialah mencegahkannya daripada melampaui batas serta menolong yang memperhutangkannya, karena Nabi saw bersabda: “Tolonglah saudaramu, yang menganiaya atau yang teraniaya !”. Lalu ada yang menanyakan: “Bagaimanakah kami menolong kalau dia itu yang menganiaya”. Maka Nabi saw menjawab: “Engkau larang dia dari kezaliman, adalah pertolongan kepadanya”.
5.       Bahwa menerima kembali dari orang yang mengembalikan pembeliannya. Karena tidaklah menyerahkan kembali, selain orang yang
menyesal dan merasa keberatan dengan penjualan itu. Dan tiada seyogyalah untuk memperoleh kerelaan bagi dirinya sendiri, lalu menjadi sebab kemelaratan bagi saudaranya. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menerima kembali pembelian dari orang yang menyesal dengan pembelian itu, niscaya diterima kembali oleh Allah akan kesalahannya (diampunkan oleh Allah akan kesalahannya) pada hari kiamat”. Atau seperti apa yang semaksud dengan itu pada hadits yang lain.
6.    Bahwa ia bermaksud dalam melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan) dengan golongan orang-orang miskin, menangguhkan
Menerima pembayaran. Yaitu, pada waktu itu juga, ia bercita-cita tidak akan meminta bayar pada orang-orang miskin itu, kalau belum menampak kesanggupan mereka. Sesungguhnya pada orang-orang shalih dahulu, ada yang mempunyai dua buku kiraan. Yang satu, penjelasannya tidak diketahui. Hanya didalamnya nama-nama orang lemah dan miskin yang tidak dikenal. Yang demikian ialah: bahwa ada orang miskin yang melihat makanan atau buah-buahan, maka timbul keinginannya, lalu mengatakan: “Saya berhajat 5 kati –umpamanya –dari barang ini dan tidak ada pada saya sekarang uang untuk harganya”. Lalu orang shalih penjual itu, menjawab: “Ambillah dan bayarlah harganya nanti ketika ada kesanggupan !”. Dan tidaklah itu terhitung sebahagian dari khiar (boleh memilih antara meneruskan aqad itu atau merombaknya). Tetapi yang terhitung sebahagian dari khiar, ialah orang yang tidak tercantum namanya sekali-kali dalam buku dan tidak dijadikan itu sebagai hutang. Tetapi disini, ia mengatakan: “Ambillah, apa yang engkau kehendaki ! kalau sanggup, bayarlah sekarang ! dan kalau tidak, maka engkau halal memakannya dan dalam keluasan waktu untuk membayarnya”. Inilah jalan-jalan perniagaan, yang ditempuh orang-orang salaf dahulu. Dan jalan-jalan ini sudah terbenam. Dan yang menegakkannya, ialah orang yang menghidupkan sunnah ini! Kesimpulannya, perniagaan itu adalah perbantahan orang-orang. Dengan perniagaan, dapat diuji agama dan wara’ dari seseorang. Dan karena itulah, bermadah seorang penyair:
Janganlah tertipu engkau dari manusia,
bajunya kumal berjahit-jahitan,
sarungnya terangkat tinggi diatas tumit,
dahinya menunjukkan bekas sujud yang mengupas,
padanya dirham dan dinar.......
Maka.......
Perhatikanlah sesatnya atau wara’nya.......!
Karena itulah, ada yang mengatakan: “Apabila dipuji seseorang oleh tetangganya di kampung, oleh teman sahabatnya dalam perjalanan dan oleh orang-orang yang melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan) dengan dia di pasar, maka janganlah kamu syak wasangka lagi, tentang baiknya orang tersebut”. Seorang saksi menjadi saksi pada Umar ra, lalu beliau berkata: “Datangkanlah kepadaku orang yang mengenal kamu !”. Maka saksi itu membawa seorang laki-laki, lalu memuji saksi tersebut dengan pujian yang baik. Maka Umar ra bertanya kepada orang itu: “Apakah engkau tetangganya yang terdekat yang mengenal masuk dan keluarnya ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya lagi: “Apakah engkau temannya dalam perjalanan, yang membuktikan, dia itu berbudi pekerti mulia ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya pula: “Apakah engkau telah melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan dia, dengan dinar dan dirham, yang dengan itu menerangkan bahwa dia orang wara’ ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Umar ra menyambung: “Aku menyangka, engkau telah melihat dia mengerjakan shalat dalam masjid. Ia membaca Alquran dengan suara rendah. Ia merendahkan kepala sekali dan mengangkatkannya pada kali yang lain”. Orang itu menjawab: “Ya !”. Maka Umar ra berkata: “Pergilah, engkau belum mengenal orang ini !”. Dan kepada orang itu, beliau berkata: “Pergilah, bawalah kepadaku orang yang mengenal kamu !”.
BAB KELIMA: tentang kasih-sayang seorang saudagar kepada agamanya, pada suatu yang khusus dengan agama dan yang umum dengan akhirat.
Tiada seyogyalah bagi seorang saudagar, diumbang-ambingkan oleh kehidupannya, tanpa mengingati akhiratnya. Maka jadilah umurnya lenyap percuma, dan perusahaannya merugi. Dan apa yang tidak diperolehnya dari keuntungan di akhirat, tidak dapat disempurnakan oleh apa yang dicapainya di dunia. Maka adalah dia termasuk orang yang membeli kehidupan dunia dengan melepaskan akhirat. Tetapi, orang yang berakal, seyogyalah menaruh kasih-sayang kepada dirinya sendiri. Dan kekasih-sayangan kepada diri sendiri itu, ialah dengan memelihara modalnya. Dan modalnya itu, ialah agama dan perniagaannya pada agama. Berkata setengah salaf: “Barang yang lebih utama bagi seorang yang berakal, ialah yang lebih diperlukannya kepada barang itu pada masa yang cepat. Dan yang lebih diperlukan pada masa cepat, ialah yang lebih terpuji akibatnya pada masa lambat yang akan datang (masa akhirat)”. Berkata Ma’az bin Jabal ra dalam wasiatnya: “Sesungguhnya tak boleh tidak bagimu mempunyai bahagian di dunia. Dan engkau lebih berhajat lagi kepada bahagianmu di akhirat. Maka mulailah dengan bahagianmu dari akhirat, lalu ambilkanlah ! sesungguhnya engkau akan melalui di atas bahagianmu dari dunia, maka hendaklah engkau mengaturkannya! Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau lupakan bahagian engkau di dunia ini !”. S 28 Al Qashash ayat 77. Artinya: “Janganlah engkau lupakan dalam dunia ini, akan bahagianmu dari dunia untuk akhirat. Karena dunia adalah tempat menanam (kebun) bagi akhirat. Dan dalam dunialah diusahakan segala kebaikan. Sesungguhnya akan sempurna kasih-sayang seorang saudagar kepada agamanya, dengan menjaga 7 perkara:
1.      Baik niat dan keyakinan/aqidah pada permulaan perniagaan. Maka hendaklah berniat dengan perniagaan itu untuk menjaga diri daripada
meminta-minta. Dan mencegah daripada mengharap kepada orang lain karena merasa cukup dengan yang halal, tanpa dari orang lain. Dan dapat memperoleh pertolongan dengan apa yang diusahakan sendiri untuk agama dan menunaikan kebutuhan kaum keluarga. Supaya ia termasuk kedalam jumlah orang-orang mujahidin. Dan hendaklah berniat untuk nasehat bagi kaum muslimin ! dan bahwa mencintai orang lain, akan apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Dan hendaklah berniat mengikuti jalan adil dan ihsan pada dagangan nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dahulu. Dan hendaklah berniat menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang munkar, pada tiap-tiap apa yang dilihatnya di pasar ! Maka apabila ia letakkan dalam jantung hati, keyakinan-keyakinan dan niat-niat ini, niscaya adalah ia orang yang bekerja pada jalan akhirat. Maka jika ia memperoleh faedah akan harta, niscaya ia memperoleh kelebihan. Dan kalau ia merugi di dunia, niscaya ia beruntung di akhirat.
2.      Bahwa tujuannya dalam berusaha atau berniaga itu adalah menegakkan salah satu daripada fardhu-kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakkan
pekerjaan itu sudah cukup). Sesungguhnya perusahaan dan perniagaan jikalau ditinggalkan, niscaya batallah kehidupan dan binasalah kebanyakan makhluq. Maka teraturnya urusan semua, adalah dengan tolong-menolong semua. Dan menanggung masing-masing golongan dengan pekerjaannya. Dan jikalau semua orang menghadapi suatu perusahaan, niscaya menganggurlah segala perusahaan yang lain dan binasalah semua. Dan kepada inilah, dibawa oleh setengah manusia akan sabda Nabi saw: “Perbedaan umatku, adalah menjadi rahmat”. Artinya: perbedaan cita-cita mereka dalam perusahaan dan pekerjaan. Dan sebahagian dari perusahaan itu, ada yang penting dan sebahagian daripadanya, ada yang tidak diperlukan. Karena kembalinya untuk mencari keni’matan dan perhiasan dunia. Maka bekerjalah pada perusahaan yang penting, supaya dalam mengerjakannya itu memperoleh kecukupan, tanpa meminta bantuan orang muslimin lainnya dan yang penting pada agama. Dan hendaklah menjauhkan perusahaan membuat ukiran, bertukang emas dan perak dan membangun gedung-gedung dengan batu-batu merah dan segala apa yang menjadi hiasan dunia. Semua itu tidak disukai oleh orang-orang agama.
Adapun segala perbuatan permainan dan alat-alat yang haram memakainya, maka menjauhkan yang demikian itu, termasuk segi meninggalkan kezaliman. Dan termasuk dari jumlah yang demikian, ialah: dijahit oleh tukang jahit pakaian luar (qaba’) dari sutera bagi laki-laki, dituang oleh tukang emas kendaraan emas atau cincin emas bagi laki-laki. Maka semua itu, termasuk perbuatan ma’siat. Dan ongkos yang dipungut padanya, adalah haram. Dan karena itulah, kita wajibkan zakat padanya dan walaupun kita tidak mewajibkan zakat pada pakaian. Karena apabila dimaksudkan pakaian itu untuk laki-laki, maka diharamkan. Dan adanya disediakan untuk kaum wanita, tidak akan menghubungkan dengan pakaian yang mubah, selama tidak dimaksudkan yang demikian, dengan pakaian itu. Maka hukumnya dihasilkan dari maksud. Dan kami telah menyebutkan dahulu, bahwa menjual makanan dan kain kafan, adalah makruh. Karena penjualan itu mengharuskan menunggu orang mati dan memerlukan kepada mahal harganya. Dan dimakruhkan menjadi tukang daging, karena padanya kekesatan hati. Dan dimakruhkan menjadi tukang bekam atau tukang sapu, karena padanya berlumur dengan najis. Dan begitu pula menjadi tukang penyamak kulit dan perbuatan-perbuatan lain yang searti dengan itu.
Ibnu Sirin memandang makruh pekerjaan saudagar perantara (menjadi agen barang-barang). Dan Qatadah memandang makruh upah bagi agen barang itu. Mungkin sebabnya, karena sedikit kemungkinan terlepasnya agen itu daripada membohong dan berlebih-lebihan memuji barang yang diageninya, untuk melakukannya. Dan karena pekerjaan dari agen itu tidak dapat ditentukan. Kadang-kadang sedikit dan kadang-kadang banyak. Dan tidak dipandang pada jumlah ongkosnya kepada pekerjaan, tetapi kepada jumlah harga kain. Dan ini, adalah kebiasaan dan suatu kezaliman. Tetapi seyogyalah diperhatikan kepada keadaan kepayahan tenaga yang dipergunakan. Dan para ulama itu memandang makruh membeli hewan untuk diperniagakan. Karena si pembeli tidak suka akan taqdir Allah padanya, yaitu: mati yang akan menimpa terjadinya dan bukan mustahil, pada hewan itu. Dan ada yang mengatakan: “Bi’il-hayawan wasytaril-mawatan!”. Artinya: “Juallah yang hidup dan belilah yang mati !”.
Mereka memandang makruh berusaha dalam bidang tukar-menukar uang. Karena amat sukar menjaga dari riba yang halus-halus. Dan karena tukar-menukar uang itu meminta kepada memperhatikan sifat yang halus-halus, pada apa yang tidak dimaksudkan bendanya. Dan yang dimaksudkan, ialah lakunya. Dan amat sedikitlah bagi shairafi (orang yang kerjanya tukar-menukar uang, ya’ni: menukar uang emas dengan uang perak atau uang dari satu negeri dengan uang dari negeri yang lain) itu, memperoleh keuntungan. Kecuali dengan berpegang kepada kebodohan orang yang dilakukan mu’amalah (jual beli), tentang keadaan yang halus-halus dari keuangan itu. Maka amat sedikitlah shairafi memperoleh keselamatan dari yang demikian, walaupun ia berhati-hati benar. Dan dimakruhkan bagi shairafi dan lainnya, menghancurkan uang yang sah dan uang-uang dinar, kecuali ketika ragu tentang bagusnya atau ketika darurat.
Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Telah datang larangan dari Rasulullah saw dan para sahabatnya, tentang menghancurkan uang yang sah dan saya memandang makruh menghancurkan itu”. Dan seterusnya Ahmad bin Hanbal ra berkata: “Shairafi itu membeli dengan dinar akan dirham, kemudian membeli dengan dirham akan emas, lalu dihancurkannya”.
Para ulama memandang sunat berjualan kain. Sa’id Al-Musayyab berkata: “Tiadalah perniagaan yang lebih aku sukai, dari berjualan kain, selama tak ada padanya sumpah-menyumpah”. Dan diriwayatkan pada hadits: “Sebaik-baik perniagaan kamu, ialah kain dan sebaik-baik perusahaan kamu, ialah melobangi dan menjahit kulit”. Dan pada hadits lain tersebut: “Jikalau berniagalah ahli sorga, niscaya mereka berniaga kain. Dan jikalau berniagalah ahli neraka, niscaya mereka berniaga tukar-menukar uang”.
Dan kebanyakan pekerjaan orang-orang pilihan dari salaf, adalah 10 macam: menjahit kulit, berniaga, membawa barang, menjahit, membuat alas baki, mencelup kain, membuat sepatu, bertukang besi, bertenun kain, berusaha berburu binatang darat dan menangkap ikan di laut dan membuat kertas. Dan mengenai membuat kertas, berkata Abdulwahab Al-Warraq: “Bertanya kepadaku Ahmad bin Hanbal: “Apakah usahamu ?”. Aku menjawab: “Al-wiraqah (membuat dan menjual kertas)”. Lalu Ahmad bin Hanbal menyambung: “Usaha yang baik. Kalau aku bekerja pekerjaan tangan, niscaya aku berusaha seperti perusahaanmu”. Kemudian Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku: “Janganlah engkau menulis, melainkan di tengah dan tinggalkanlah pinggir-pinggirnya dan kulit dari tiap-tiap bahagian (juzu’) dari buku yang ditulis !”. 4 golongan dari para tukang, tertanda pada orang banyak dengan kelemahan pikiran: tukang tenun, tukang jual kapas pemintal benang bulu dan guru-guru. Mungkin sebabnya, karena yang terbanyak mereka bergaul, ialah dengan kaum wanita dan anak-anak. Dan bergaul dengan orang-orang yang lemah akal pikiran, adalah melemahkan pikiran, sebagaimana bergaul dengan orang-orang yang berakal pikiran, maka menambahkan akal pikiran.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Maryam as melalui tempat orang bertenun kain waktu mencari Isa as. Maka Maryam menanyakan jalan, lalu mereka menunjukkan yang bukan jalan. Lalu Maryam as berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! cabutkanlah keberkatan dari usaha mereka dan umat mereka itu miskin-miskin dan hina pada mata manusia !”. Maka diperkenankanlah doa Maryam as itu.
Ulama salaf memandang makruh mengambil upah atas tiap-tiap sesuatu perbuatan dari bagian ibadah dan fardhu-kifayah, seperti memandikan mayit dan menguburkannya. Dan begitupula adzan dan shalat tarawih, walaupun dipandang menurut hukum, sah mengambil upah daripadanya. Dan begitupula mengajarkan Alquran dan ilmu agama. Maka itu semuanya, adalah amal, yang haknya diperniagakan untuk akhirat. Dan mengambil upah padanya, adalah menggantikan dengan dunia, meninggalkan akhirat. Dan tidaklah disunatkan yang demikian.
3.       Bahwa tidak dicegah oleh pasar dunia dari pasar akhirat. Dan pasar akhirat itu, ialah masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Beberapa
orang laki-laki yang tidak lalai oleh karena perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah, mengerjakan shalat dan membayar zakat”. S 24 An Nur ayat 37. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Didalam rumah, yang diizinkan Allah untuk meninggikan dan menyebutkan namaNya padanya”. S 24 An Nur ayat 36. Maka seyogyalah dijadikan permulaan siang sampai kepada waktu masuk pasar, untuk akhiratnya. Ia mengharuskan ke masjid dan rajin mengerjakan segala wirid.
Adalah Umar ra berkata kepada para saudagar: “Jadikanlah permulaan siangmu bagi akhiratmu dan sesudahnya itu bagi duniamu !”. Adalah orang-orang shalih terdahulu menjadikan permulaan siang dan penghabisannya untuk akhirat dan pertengahannya untuk perniagaan. Dan tidaklah yang menjual harisah (makanan yang terbuat dari biji-bijian yang tertumbuk dan daging) dan kepala-kepala kambing pada pagi hari, selain dari anak-anak dan orang dzimmi (orang yang tidak Islam, di bawah naungan pemerintahan Islam). Karena orang-orang shalih itu berada di masjid semuanya.
Dan pada hadits, tersebut: “Sesungguhnya malaikat apabila menaikkan lembaran amal hamba dan pada lembaran itu pada permulaan siang dan pada penghabisannya dzikir kepada Allah dan kebajikan, niscaya ditutup oleh Allah daripadanya diantara kedua waktu tadi, dari segala amal perbuatan jahat”. Dan pada hadits, tersebut: “Berjumpalah malaikat malam dan siang ketika terbit fajar dan ketika shalat ‘Ashar,
Maka Allah Ta’ala berfirman dan IA Maha Tahu tentang mereka: “Bagaimanakah kamu meninggalkan hamba-hambaKu ?”.
Para malaikat itu menjawab: “Kami tinggalkan mereka, dimana mereka itu sedang mengerjakan shalat dan kami datang kepada mereka dan merekapun sedang mengerjakan shalat”.
Maka Allah swt berfirman: “Aku naik saksi kepada kamu semua, bahwa Aku telah mengampunkan segala dosa mereka”.
Kemudian, manakala telah mendengar adzan pada tengah hari untuk Dhuhur dan ‘Ashar, maka seyogyalah tidak menambahkan pekerjaan dan terkejut di tempatnya. Dan hendaklah meninggalkan segala pekerjaan yang sedang dikerjakan. Maka apa yang tertinggal dari keutamaan takbir pertama bersama imam pada permulaan waktu, tidak akan sama oleh dunia dengan isinya. Dan manakala tidak menghadiri shalat jama’ah, niscaya telah berbuat ma’siat, menurut setengah ulama.
Adalah ulama salaf bersegera ketika mendengar adzan. Dan meninggalkan toko-toko untuk anak-anak dan orang-orang dzimmi. Dan mereka mengeluarkan ongkos beberapa dirham untuk penjagaan toko pada waktu shalat. Sehingga yang demikian itu, menjadi penghidupan bagi orang-orang yang menjaga. Dan ada penafsiran firman Allah Ta’ala: “Tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan dan jual beli daripada mengingati Allah”. S 24 An Nur ayat 37, bahwa adalah mereka itu tukang besi dan tukang melobangi dan menjahit kulit. Maka adalah seorang dari mereka, apabila mengangkat palu atau melobangi kulit yang hendak dilobangi, lalu mendengar adzan, niscaya ia tidak akan mengeluarkan kulit itu dari alat pelobang dan tidak akan menjatuhkan palu keatas besi. Dan terus melemparkannya dan tegak berdiri kepada shalat.
4.       Bahwa tidak mencukupkan kepada itu saja, tetapi membiasakan berdzikir kepada Allah swt di toko dan mengerjakan tahlil dan
tasbih. Maka berdzikir kepada Allah di toko, diantara orang-orang yang melupakannya, adalah lebih afdhal. Nabi saw bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah dalam golongan orang-orang yang melupakannya, adalah seperti orang yang berperang di belakang orang-orang yang lari dan seperti orang yang hidup diantara orang-orang yang mati”. Dan pada kata-kata yang lain: “seperti pohon kayu yang hijau diantara yang kering”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke pasar, lalu membaca: “Laa ilaaha illallaah, wahdahu laa syarika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyi wa yumitu wa hua hayyun la yamutu bi yadihil-khairu wa hua ‘ala kulli syai-in qadir”, niscaya ditulis Allah baginya beribu-ribu kebajikan”.
Adalah Ibnu Umar, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Wasi’ dan beberapa orang yang lain, masuk ke pasar, dengan tujuan untuk memperoleh keutamaan dzikir  tadi. Al-Hasan berkata: “Orang yang berdzikir kepada Allah di pasar, akan datang kepadanya pada hari kiamat, cahaya seperti cahaya bulan dan tanda seperti tanda matahari. Dan barangsiapa meminta ampun kepada Allah di pasar, niscaya diampunkan oleh Allah baginya menurut bilangan penduduk pasar itu”. Adalah Umar ra apabila masuk ke pasar, lalu membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kekufuran dan kefasikan dan dari kejahatan apa yang dilingkungi oleh pasar ! wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau daripada sumpah yang zalim dan dari ikatan penjual-belian yang merugi”.
Abu Ja’far Al-Farghani berkata: “Pada suatu hari kami berada di sisi Al-Junaid. Maka berlakulah dzikir dari orang-orang yang duduk dalam masjid. Mereka itu menyerupakan dirinya dengan kaum shufi. Dan menyingkatkan sekedar yang wajib diatas mereka dari hak duduk di masjid dan mereka membusukkan orang-orang yang masuk ke pasar. Lalu Al-Junaid berkata: “Berapa banyak orang yang di pasar, hukumnya ia memasuki masjid dan mengambil telinga setengah orang yang ada di dalam masjid, lalu mengeluarkannya dan menduduki tempatnya. Dan sesungguhnya aku mengenal orang yang masuk ke pasar dan wiridnya tiap-tiap hari 300 rakaat dan 30 ribu tasbih”. Abu Ja’far menyambung seterusnya: “Lalu terdahululah kepada sangkaanku, bahwa yang beliau kehendaki, ialah dirinya sendiri”. Maka begitulah kiranya, perniagaan orang yang berniaga untuk mencari yang mencukupkan. Bukan untuk besenang-senang di dunia. Maka sesungguhnya orang yang mencari dunia untuk memperoleh pertolongan dengan dunia itu, kepada akhirat, maka bagaimanakah ia meninggalkan keuntungan akhirat ? pasar, masjid dan rumah, baginya sama hukumnya. Dan sesungguhnya kelepasan itu adalah dengan taqwa.
Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah, dimana saja kamu berada !”. Tugas taqwa tidaklah terputus dari orang-orang yang menjuruskan hidupnya bagi agama, betapapun bertukarnya keadaan. Dan dengan taqwalah adanya kehidupan dan penghidupan mereka. Karena padanya mereka melihat perniagaan dan keuntungan.
Ada ulama yang mengatakan: “Barangsiapa mencintai akhirat, niscaya hiduplah ia dan barangsiapa mencintai dunia, niscaya bodohlah dia. Orang yang dungu, maka berpagi dan bersorelah ia dalam kejatuhan. Dan orang yang berakal, adalah menyelidiki tentang kekurangan diri.
5.       Bahwa tidaklah ia terlalu loba ke pasar dan kepada perniagaan. Yang demikian, adalah dia itu orang yang pertama masuk dan
orang yang penghabisan keluar. Dia pergi menyeberang lautan untuk perniagaan. Keduanya itu, adalah makruh. Ada ulama yang mengatakan: “Sesungguhnya orang yang menyeberang lautan, telah menghabiskan tenaganya pada mencari rezeki. Dan pada hadits tersebut: “Janganlah lautan itu diseberangi, kecuali untuk hajji atau ‘umrah atau perang”. Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash ra berkata: “Janganlah engkau orang yang pertama masuk ke pasar dan orang yang penghabisan dari pasar ! karena di pasar itu, setan bertelur dan beranak”. Diriwayatkan dari Ma’az bin Jabal dan Abdullah bin ‘Umar: “Bahwa Iblis berkata kepada anaknya Zalanbur: “Pergilah dengan segala pasukanmu, datangilah orang-orang yang mempunyai toko ! hiasilah bagi mereka kebohongan, kesumpahan, penipuan, pendayaan dan pengkhianatan ! dan adalah engkau bersama orang yang permulaan masuk dan yang penghabisan keluar dari pasar itu !”. Dan pada hadits, tersebut: “Sejahat-jahat tempat, adalah pasar dan sejahat-jahat penduduknya, ialah yang permulaan masuk dari mereka dan yang penghabisan keluar”. Dan untuk kesempurnaan penjagaan diri daripadanya, ialah memperhatikan akan waktu kecukupan saja. Apabila waktu kecukupan itu telah berhasil, maka tinggalkan pasar itu dan pergilah bekerja dengan perniagaan akhirat. Begitulah adanya orang-orang shalih terdahulu. Ada diantara mereka, apabila telah memperoleh, keuntungan satu daniq (1/6 dirham), lalu pergi, karena telah merasa cukup dengan demikian. Adalah Hammad bin Salmah menjual sutera dalam tas pada tangannya. Apabila ia telah beruntung seberat timbangan 4 biji syair (1/8 dinar), maka ia mengangkat tasnya dan pergi. Ibrahim bin Basysyar berkata: “Aku mengatakan kepada Ibrahim bin Adham ra bahwa aku lewatkan hari ini dengan bekerja pada tanah”. Lalu Ibrahim menjawab: “Hai Ibnu Basysyar ! sesungguhnya engkau itu mencari dan yang dicari. Engkau dicari oleh orang yang tidak engkau hilangkan dia dari ingatan engkau. Dan engkau mencari sesuatu yang telah engkau menganggap puas kepadanya. Apakah tidak engkau melihat orang loba yang tidak memperoleh apa-apa dan orang lemah yang mendapat rezeki ?”. Maka aku menjawab: “Sesungguhnya aku mempunyai satu daniq pada tukang sayur”. Lalu beliau berkata: “Aku amat merasa bangga dengan engkau. Engkau mempunyai satu daniq dan engkau mencari amal !”. Dan ada dalam golongan mereka, orang yang pergi meninggalkan pasar sesudah Dhuhur. Dan sebahagian dari mereka, sesudah ‘Ashar. Dan sebahagian dari mereka, ada yang tidak bekerja dalam seminggu, kecuali sehari atau dua hari. Dan mereka merasa cukup dengan yang demikian.
6.       Bahwa tidak menyingkatkan sekedar menjauhkan yang haram saja, tetapi menjaga diri dari segala tempat syubhat (diragukan)
dan tempat-tempat yang menimbulkan sangkaan keraguan. Dan tidak memandang kepada fatwa-fatwa, tetapi mintalah fatwa kepada hati sendiri ! maka apabila ia mendapati dalam hatinya itu penyakit, niscaya ia jauhkan. Dan apabila dibawa kepadanya suatu barang, yang meragukannya tentang keadaan barang itu, niscaya ditanyakannya, sehingga dikenalnya. Kalau tidak, niscaya ia akan makan syubhat (diragukan). Sesungguhnya telah dibawa orang kepada Rasulullah saw susu. Lalu beliau bertanya: “Dari manakah engkau memperoleh susu ini ?”. Sahabat itu menjawab: “Dari kambing !”. Maka Nabi saw bertanya lagi: “Dari manakah kamu memperoleh kambing itu ?”. Lalu sahabat itu menjawab lagi: “Dari tempat anu !”. Barulah Nabi saw meminumnya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya kami, para nabi, kami disuruh untuk tidak memakan, kecuali yang baik dan tidak berbuat, kecuali yang baik”. Dan beliau menyambung: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh orang-orang mu’min, dengan apa yang disuruhNya rasul-rasul”. Lalu Nabi saw membacakan ayat: “Hai orang-orang yang beriman ! makanlah rezeki yang Kami berikan kepadamu yang baik !”. S 2 Al Baqarah ayat 172. Maka Nabi saw menanyakan tentang asal sesuatu dan asal dari asal itu dan beliau tidak lebihkan dari itu. Karena dibalik yang demikian, adalah sulit memeriksakannya. Dan akan kami terangkan nanti pada “Kitab Halal dan Haram” tempat wajibnya pertanyaan ini. Karena Nabi saw tidaklah menanyakan tentang semua yang dibawakan kepadanya. Sesungguhnya yang wajib, ialah saudagar itu memperhatikan akan orang yang melakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan) dengan dia. Maka tiap-tiap orang yang disebut zalim atau khianat atau mencuri atau berbuat riba, maka janganlah melakukan mu’amalah (jual beli) dengan orang tersebut. Dan begitupula tentara dan orang-orang zalim, tidaklah melakukan sekali-kali mu’amalah (jual beli) dengan mereka. Dan tidak melakukan mu’amalah (jual beli)dengan teman-teman dan pembantu-pembantu mereka. Karena dengan demikian ia telah menolong kepada kezaliman.
Diceritakan dari seorang laki-laki yang ditugaskan membangun tembok untuk suatu benteng pertahanan, dimana orang laki-laki itu bercerita seterusnya: “Lalu terjadilah dalam hatiku suatu dari yang demikian itu, walaupun perbuatan itu termasuk perbuatan yang baik. Bahkan termasuk sebagian dari yang fardhu dalam Islam. Tetapi amir yang memerintah pada tempat benteng tersebut, adalah dari orang zalim”. Laki-laki tadi meneruskan ceritanya: “Lalu aku bertanya kepada Sufyan ra. Maka Sufyan menjawab: “Janganlah engkau menjadi penolong mereka, baik sedikit atau banyak !”. Maka aku menjawab: “Itu, adalah benteng pada sabilullah bagi orang muslimin”. Sufyan menjawab: “Ya, benar ! tetapi sekurang-kurangnya yang akan masuk kepadamu, ialah kamu ingin tetapnya mereka. Supaya sempurnalah kamu memperoleh pahala bagimu. Maka adalah kamu telah mencintai tetap bersama orang yang berbuat ma’siat kepada Allah. Dan telah datang pada hadits: “Barangsiapa berdoa bagi orang zalim dengan tetapnya, maka sesungguhnya ia menyukai berbuat ma’siat kepada Allah di bumiNya”. Dan pada hadits, tersebut: “Sesungguhnya Allah marahi, apabila dipujikan orang fasiq”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa memuliakan orang fasiq, maka sesungguhnya ia telah menolong meruntuhkan Islam”.
Sufyan masuk ke tempat Al-Mahdi dan di tangannya lembaran putih. Lalu Al-Mahdi berkata: “Hai Sufyan ! berilah kepadaku tinta, sehingga aku menulis”. Sufyan berkata: “Terangkanlah kepadaku, apakah yang akan engkau tulis ! kalau yang akan ditulis itu benar, niscaya aku berikan kepadamu”.
Sebahagian amir meminta kepada sebahagian ulama yang terpenjara padanya, untuk memberikan kepadanya tanah liat. Karena ia akan mencap kitab dengan tanah liat itu. Maka ulama itu menjawab: “Perlihatkanlah lebih dahulu kitab itu kepadaku, sehingga dapat aku melihat isinya !”. Maka begitulah kiranya mereka menjaga diri daripada memberi pertolongan kepada orang-orang zalim. Dan mengadakan mu’amalah (jual beli)dengan mereka, adalah yang lebih berat, bagi segala macam perbantuan. Maka seyogyalah bantuan itu dijauhkan oleh orang-orang yang beragama, selama masih memperoleh jalan keluar.
Kesimpulannya, maka seyogyalah bahwa manusia itu terbagi padanya, kepada orang yang akan dilakukan mu’amalah (jual beli)dan orang yang tidak akan dilakukan mu’amalah (pengurusan/perniagaan). Dan hendaklah ada orang yang akan dilakukannya mu’amalah (jual beli)itu, lebih sedikit dari orang yang tidak akan dilakukannya mu’amalah, pada masa sekarang ini. Sebahagian ulama berkata: “Telah datang kepada manusia suatu zaman, dimana orang laki-laki masuk ke pasar dan bertanya: “Siapakah yang engkau lihat untukku dari manusia, untuk aku melakukan mu’amalah dengan dia ?”. Lalu orang menjawab kepadanya: Lakukanlah mu’amalah (perdagangan) itu dengan siapa saja yang engkau kehendaki !”. Kemudian, datang kepada manusia zaman yang lain, dimana mereka itu berkata: “Lakukanlah mu’amalah (perdagangan) dengan siapa saja yang engkau kehendaki, kecuali si Anu dan si Anu !”. Kemudian datang zaman yang lain lagi, maka dikatakan kepadanya: “Janganlah engkau melakukan mu’amalah (perdagangan) dengan seorangpun, selain si Anu dan si Anu ! dan aku takut akan datang zaman, yang akan hilang ini pula”. Seolah-olah adalah yang ditakutinya akan terjadi, ialah: “Sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita kembali kepadaNya”.
7.       Seyogyalah mengawasi dalam segala perlakuan mu’amalah nya dengan seseorang dari orang-orang yang melakukan
mu’amalah (perdagangan) dengan dia. Karena sesungguhnya dia itu yang mengawasi dan yang menghitung amalan diri. Maka hendaklah menyediakan jawaban bagi hari perkiraan amal dan penyiksaan, dalam tiap-tiap perbuatan dan perkataan, mengapakah ia tampil mengerjakannya dan karena apa. Sesungguhnya dikatakan, bahwa disuruh berdiri sebentar saudagar itu pada hari kiamat berserta tiap-tiap orang yang telah dijualkannya kepada orang itu sesuatu. Dan diperkirakan dari tiap-tiap seseorang menurut kiraan sebanyak orang yang bermu’amalah (perdagangan) dengan dia.
Berkata setengah mereka: “Aku bermimpi berjumpa dengan setengah saudagar, lalu aku tanyakan: “Apakah diperbuat oleh Allah kepadamu ?”.
Saudagar itu menjawab: “Dibukakan kepadaku 50 ribu halaman, lalu aku bertanya: "Ini semuanya dosa ?”.

Lalu dijawab: “Ini adalah mu’amalah (perdagangan) manusia sebanyak bilangan orang yang engkau adakan mu’amalah/perdagangan dengan dia di dunia. Masing-masing orang mempunyai lembaran tersendiri, diantara engkau dan dia, dari permulaan mu’amalah nya, sampai kepada penghabisan”. Maka inilah berdasarkan apa yang diusahakan pada amal-perbuatan dari keadilan, keihsanan dan kekasih-sayangan kepada agama. Kalau disingkatkannya kepada keadilan saja, maka ia termasuk orang yang shalih. Dan kalau ditambahkannya kepada keadilan itu akan ihsan, maka ia termasuk orang yang muqarrabin (orang-orang mendekatkan diri kepada Allah). Dan kalau dijaganya pula bersama itu akan segala tugas agama, sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab Kelima, niscaya ia termasuk orang yang shiddiq. Wallahu A’lam bish-shawab ! dan Allah Maha Tahu dengan yang benar ! Telah tammatlah kiranya “Kitab Adab Perusahaan dan Penghidupan” dengan pujian kepada Allah dan keni’matanNya.