KITAB ADAB MAKAN.
Yaitu: yang pertama dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari Kitab
“Ihya’ ‘Ulumiddin”.
Segala pujian bagi Allah yang telah menyusun dengan
sebaik-baiknya pimpinan alam. DijadikanNya bumi dan langit, diturunkanNya air
yang tawar dari awan. Lalu dengan air itu, dikeluarkanNya biji-bijian dan
tumbuh-tumbuhan. DitakarkanNya rezeki dan makanan. DipeliharakanNya dengan
segala macam makanan itu akan kekuatan segala yang hidup (al-hayawanat) dan
ditolongNya kepada berbuat taat dan amal shalih dengan memakan segala yang
baik-baik. Dan selawat kepada Muhammad yang mempunyai kemu’jizatan yang
mengagumkan. Dan kepada kaum keluarganya serta para sahabatnya dengan rahmat
yang terus-menerus sepanjang waktu dan yang berlipat ganda sepanjang masa. Dan
anugerahilah keselamatan kepada mereka yang sebanyak-banyaknya !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya maksud
dari orang-orang yang mempunyai hati (akal pikiran), ialah menjumpai Allah
Ta’ala di negeri balasan. Dan tiada jalan untuk sampai berjumpa dengan Allah,
selain dengan ilmu dan amal. Dan tiada mungkin rajin mengerjakan keduanya itu,
selain dengan keselamatan badan. Dan tiada bersih keselamatan badan itu, selain
dengan berbagai macam pangan dan makanan sehari-hari dan memperolehnya sekedar
yang diperlukan sepanjang waktu. Maka dari segi ini, berkatalah sebahagian
salaf yang shalih: “Sesungguhnya makan itu sebahagian dari agama”. Dan
berdasarkan kepada ini, diperingatkan oleh Tuhan semesta alam, dengan firmanNya
–dan DIA adalah yang terbenar dari segala yang berkata: “Makanlah yang
baik-baik dan berbuatlah amal shalih !". S 23 Al Mukminuun ayat 51.
Maka barangsiapa yang makan, supaya dengan
makan itu ia memperoleh kekuatan untuk ilmu dan amal serta kuat kepada
bertaqwa, niscaya tiada seyogyalah membiarkan dirinya tersia-sia, melepaskan
diri, lepas bebas dalam makan, sebagaimana lepas bebasnya binatang ternak di tempat
penggembalaan. Dan apa yang menjadi jalan dan wasilah kepada agama,
sewajarnyalah dilahirkan sinar agama padanya. Dan sinar agama itu, ialah
adab-adab dan sunat-sunatnya, yang dipegang teguh kekangnya oleh hamba. Dan
dicemetikan oleh orang yang bertaqwa dengan cemetinya. Sehingga ia menimbang
dengan timbangan agama akan keinginan makan itu, untuk maju dan mengekanginya.
Maka jadilah ia dengan sebab yang demikian, menolak dosa dan menarik pahala,
walaupun ada padanya bahagian yang menyempurnakan bagi nafsunya.
Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya orang itu
akan diberi pahala, sehingga pada suap yang diangkatnya ke mulutnya dan ke
mulut isterinya”. Dan yang demikian itu, adalah apabila diangkatnya dengan
agama dan untuk agama, dengan menjaga segala adab dan tugas agama. Dan sekarang
kami akan tunjukkan tugas-tugas agama mengenai makan, segala yang fardlu, yang
sunat, segala adab, segala kepribadian dan cara-caranya, dalam 4 bab dan 1
pasal pada akhirnya.
Bab Pertama:
mengenai yang tak boleh tidak diperhatikan oleh orang yang makan,
walaupun ia makan sendirian.
Bab Kedua:
mengenai tambahan dari adab-adab (etikanya), disebabkan makan
bersama-sama.
Bab Ketiga: khusus
mengenai penyuguan makanan kepada teman-teman yang datang berkunjung.
Bab Keempat: khusus
mengenai dengan undangan, jamuan dan yang menyerupainya.
BAB
PERTAMA:
mengenai yang tak boleh tidak (yang harus) bagi orang yang
makan sendirian. Dan yaitu: 3 bahagian:
1. sebelum makan,
2. sedang makan dan
3. sesudah selesai dari makan.
BAHAGIAN
PERTAMA: mengenai adab yang mendahului makan, yaitu: 7.
Pertama: bahwa adalah makanan itu, sesudah keadaannya halal, adalah
baik segi mengusahakannya, sesuai dengan sunnah dan wara’ (menjaga diri). Tidak
diusahakan dengan sebab-sebab yang tidak disukai agama. Tidak menurut kemauan
hawa nafsu dan berminyak air (mudahanah) pada agama, menurut apa yang akan
datang nanti penjelasannya tentang pengertian baik mutlak pada Kitab Halal dan
Haram. Allah Ta’ala telah menyuruh memakan yang baik-baik, yaitu: yang halal.
Dan Ia mendahulukan: larangan memakan yang batil/salah, daripada: membunuh.
Karena pengagungan persoalan haram dan pembesaran barakah halal, dimana IA
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu memakan harta sesama
kamu dengan jalan yang salah, melainkan dengan perniagaan diatas suka rela satu
sama lain dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu”. S 4 An Nisaa’ ayat 29. Pokoknya pada makanan itu, adanya
itu baik. Dan baik itu, termasuk sebahagian dari fardlu dan pokok agama.
Kedua: membasuh tangan.
Bersabda Nabi saw: “Berwudlu’ sebelum makan itu menidakkan kemiskinan dan
sesudah makan, menidakkan gangguan setan”. Pada suatu riwayat: “menidakkan kemisikinan
sebelum makan dan sesudahnya”. Karena tangan itu tidak terlepas dari kotoran dalam
melaksanakan segala pekerjaan. Maka membasuhnya adalah lebih dekat kepada
kebersihan dan kejernihan. Dan karena makan itu, dengan maksud meminta
pertolongan kepada agama, adalah ibadah. Maka wajarlah didahulukan kepada makan
itu, apa yang berlaku pada agama, sebagaimana berlakunya suci pada shalat.
Ketiga: bahwa diletakkan
makanan itu diatas alas meja yang diletakkan diatas lantai. Dan itu, adalah
lebih mendekati kepada perbuatan Rasulullah saw daripada mengangkatkannya ke
atas meja makan. Adalah Rasulullah saw, apabila beliau diberikan makanan, lalu
meletakannya diatas lantai”. Dan ini adalah lebih mendekati kepada tawadlu’
(merendahkan diri). Kalau tak diletakkan atas lantai, maka diletakkanlah diatas
alas meja (sufrah). Karena kata-kata: sufrah itu mengingatkan kepada: safar
(bermusafir). Dan teringat dari safar itu, akan safar akhirat (perjalanan ke
akhirat) dan perlunya kepada perbekalan taqwa. Berkata Anas bin Malik ra:
“Rasulullah saw tidak makan diatas meja makan dan nampan/pinggan makanan”.
Ditanyakan Anas: “Diatas apa kamu makan ?”. Beliau menjawab: “Diatas alas
meja”. Orang mengatakan, bahwa 4 perkara diada-adakan sesudah Rasulullah saw:
meja makan, pengayak tepung, pembasuh tangan dari semacam tumbuh-tumbuhan
(al-isynan) dan kenyang. Ketahuilah, bahwa kami, walaupun kami mengatakan,
bahwa makan di alas meja itu lebih utama, tetapi tidaklah kami mengatakan:
bahwa makan diatas meja makan itu dilarang, sebagai larangan makruh atau haram.
Karena tak ada padanya larangan. Dan apa yang dikatakan, bahwa itu diada-adakan
sesudah Rasulullah saw maka tidaklah segala apa yang diada-adakan itu dilarang.
Tetapi yang dilarang, ialah yang diada-adakan yang berlawanan dengan sunnah
yang sudah tegas. Dan bid’ah (yang diada-adakan) itu mengangkat urusan itu dari
agama, padahal masih ada alasan agama.
Bahkan, kadang-kadang mengadakan kebid’ahan
(yang diada-adakan) itu wajib pada sebahagian hal, apabila sebab-sebabnya sudah
berobah. Dan tak ada pada meja makan itu, selain daripada mengangkat makanan dari
lantai untuk memudahkan makan. Dan hal-hal yang seperti itu tidaklah makruh
padanya. 4 macam yang dikumpulkan tadi, mengenai bid’ahnya (yang diada-adakan)
tidaklah sama. Tetapi al-isynan (pembasuh tangan dari semacam tumbuh-tumbuhan)
itu, adalah baik, karena padanya kebersihan. Sesungguhnya membasuh itu
disunatkan, karena bersih. Dan al-isynan itu, adalah lebih menyempurnakan
kebersihan. Dan mereka tidak memakainya, mungkin karena tidak dibiasakan pada
mereka atau tidak mudah melakukannya. Atau mereka itu sibuk dengan
urusan-urusan penting, tanpa ada waktu untuk berlebih-lebihan pada kebersihan.
Ada juga mereka itu tidak membasuhkan tangan. Dan sapu tangannya, ialah tumit
kakinya. Dan yang demikian itu, tidaklah mencegah akan sunatnya membasuh.
Adapun pengayak tepung, maka maksudnya, ialah membaguskan makanan. Dan itu
diperbolehkan, selama tidak sampai kepada mengenakkan yang melewati batas.
Adapun meja makan itu, adalah memudahkan makan dan itu juga diperbolehkan,
selama tidak sampai kepada takabur dan membesarkan diri. Adapun kenyang, maka
adalah yang terberat dari 4 perkara tersebut. Karena kenyang itu membawa kepada
bergeloranya hawa nafsu dan membangkitnya penyakit pada badan. Dari itu,
hendaklah diketahui perbedaannya diantara yang bid’ah-bid’ah (yang
diada-adakan) tadi.
Keempat: bahwa membaguskan
duduk pada permulaan duduk, diatas alas meja dan meneruskan seperti yang
demikian. “Adalah Rasulullah saw kadang-kadang meletakkan kedua lututnya untuk
makan dan beliau duduk atas punggung kedua tapak kakinya. Dan kadang-kadang
beliau menegakkan kakinya yang kanan dan duduk diatas kakinya yang kiri”. Ada
beliau mengatakan: “Tidak aku makan dengan bersandar. Sesungguhnya aku adalah
seorang hamba yang makan, sebagaimana makannya hamba dan aku duduk sebagaimana
duduknya hamba”. Minum dengan bersandar dimakruhkan, karena mendatangkan
kemelaratan juga kepada perut. Dan dimakruhkan makan sedang tidur dan
bersandar, kecuali barang yang dapat dibawa-bawa, dari biji-bijian umpamanya.
Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa beliau memakan roti yang dibuat dari tepung,
susu dan gula (ka’kah) diatas tilamnya dan beliau berbaring. Dan ada yang
mengatakan, beliau bertelungkup diatas perutnya. Dan orang Arab kadang-kadang
berbuat demikian.
Kelima: berniat dengan makan itu, untuk memperoleh kekuatan berbuat
taat kepada Allah Ta’ala. Supaya ia menjadi orang yang taat dengan makan itu.
Dan tidak bermaksud untuk berlezat-lezat dan bernikmat-nikmat dengan makan.
Berkata Ibrahim bin Syaiban: “Semenjak 80 tahun, tidak aku makan sesuatu untuk
hawa nafsuku”. Dalam pada itu, bercita-cita menyedikitkan makan. Karena apabila
makan untuk kuatnya beribadah, niscaya tidak benarlah niatnya itu, kecuali
dengan makan kurang dari kenyang. Sebab kenyang itu, mencegah dari ibadah dan tidak
akan kuat kepada beribadah. Maka dari pentingnya niat ini, membawa hancurnya
hawa nafsu dan mengutamakan sifat qana’ah daripada meluaskan. Bersabda
Rasulullah saw: “Tidak dipenuhkan oleh seorang manusia akan karungnya, yang
lebih jahat dari perutnya. Mencukupilah bagi anak Adam itu beberapa suap, yang
menegakkan tulang punggungnya. Kalau tidak diperbuatnya yang demikian, maka 1/3
makanan dan 1/3 minuman serta 1/3 untuk nafas”. Dan dari pentingnya niat ini,
bahwa ia tidak mengulurkan tangannya kepada makanan, kecuali ia sudah lapar.
Maka adalah lapar itu menjadi sesuatu yang harus mendahului makan. Kemudian,
seyogyalah mengangkat tangan sebelum kenyang. Dan barangsiapa berbuat demikian,
niscaya ia tidak memerlukan dokter. Dan akan datang penjelasan faedahnya
sedikit makan dan cara mengangsur pada menyedikitkan makan itu, pada Kitab
Menghancurkan Nafsu Makan dari “Rubu Membinasakan”.
Keenam: bahwa merasa
senang dengan rezeki yang ada dan makanan yang berada di hadapan. Dan tidak
bersungguh-sungguh mencari kenikmatan, meminta tambah dan menunggu lauk-pauk.
Tetapi sebagai kehormatan bagi roti, bahwa ia tidak lagi menunggu datangnya
lauk-pauk. Dan telah datang hadits menyuruh memuliakan roti. Maka tiap-tiap
yang mengekalkan hidup (dapat meneruskan hidup) dan menguatkan kepada ibadah,
adalah mempunyai banyak kebajikan, yang tidak wajarlah dipandang hina. Bahkan
tidak ditunggu shalat dengan roti, walaupun waktunya telah tiba, apabila berada
dalam waktu yang luas. Bersabda Nabi saw: “Apabila datang waktu shalat Isya’
dan waktu makan malam, maka mulailah dengan makan malam”. Adalah Ibnu Umar ra
kadang-kadang mendengar bacaan imam dan tidak bangun dari makan malamnya.
Manakala nafsu belum ingin kepada makan dan tak ada melarat melambatkan makan,
maka yang lebih utama ialah mendahulukan shalat. Apabila telah datang makanan
dan iqamat untuk shalat telah dilaksanakan dan pada mengemudiankannya,
mendinginkan makanan atau mengganggu pikiran, maka mendahulukan makan adalah
lebih sunat, ketika luas waktu. Apakah nafsu makan itu ada atau tidak. Karena
umumnya bunyi hadits yang tersebut tadi dan karena hati tiada terlepas daripada
menoleh kepada makanan yang terletak itu, meskipun ia tidak lapar benar.
Ketujuh: berusaha membanyakkan tangan pada makanan, walaupun dari
keluarga dan anaknya sendiri. Bersabda Nabi saw: “Berkumpullah pada makananmu,
supaya diberkati kamu padanya”. Berkata Anas ra: “Adalah Rasulullah saw tidak
makan sendirian”. Dan bersabda Nabi saw: “Makanan yang baik, ialah yang banyak
tangan padanya”.
BAHAGIAN
KEDUA: mengenai adab ketika makan.
Yaitu: dimulai dengan “Bismillah” pada
permulaannya dan dengan “Alhamdulillah” pada akhirnya. Kalau dibacakan
“Bismillah” serta tiap-tiap suap, maka itu adalah baik. Sehingga orang yang
rakus itu, tidak lupa daripada mengingati Allah Ta’ala. Dibacakan serta suap
pertama: “Bismillah”, serta suap kedua: “Bismillahir-rahman” dan serta suap
ketiga: “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”. Dan hendaklah dikeraskan membacanya,
supaya mengingatkan kepada orang lain. Dan makan itu dengan tangan kanan,
dimulai dengan garam dan disudahi dengan garam. Dikecilkan suap, dibaguskan
pengunyahannya. Dan selama belum ditelannya suap itu, tidaklah tangan diulurkan
kepada suap yang lain. Karena cara yang demikian itu, adalah tergopoh-gopoh
pada makan. Dan janganlah dicaci sesuatu makanan. Adalah “Rasulullah saw tidak
pernah memburukkan sesuatu makanan. Apabila berkenan, dimakannya. Apabila
tidak, ditinggalkannya”. Dan hendaklah dimakan yang dekat padanya, kecuali
buah-buahan, maka boleh ia mengulurkan tangannya pada buah-buahan itu.
Bersabda Nabi saw: “Makanlah yang
mendekati kamu !”. Kemudian, adalah Nabi saw menoleh kepada buah-buahan, lalu
ia ditanyakan mengenai itu, maka Nabi saw menjawab: “Tidaklah buah-buahan itu
satu macam”. Dan janganlah dimakan dari tengah piring dan dari tengah hidangan.
Tetapi dimakan dari tepi (keliling) roti, kecuali roti itu sedikit, maka
dipecahkan saja dan tidak dipotong, dengan pisau. Dan juga daging itu tidak
dipotong. Telah dilarang oleh Nabi saw dari yang demikian, dengan sabdanya:
“Gigitlah daging itu !”. Dan tidaklah diletakkan atas roti itu piring dan
lainnya, kecuali sesuatu, dimana roti itu dimakan dengan dia. Bersabda Nabi
saw: “Muliakanlah roti itu karena Allah Ta’ala menurunkannya dari keberkatan
langit !”. Dan jangan disapu tangan dengan roti. Dan bersabda Nabi saw:
“Apabila jatuh suapan seseorang dari kamu, maka hendaklah diambilnya ! dan
hendaklah dibuang kotoran-kotoran yang ada padanya dan janganlah suapan yang
jatuh itu, ditinggalkan untuk setan ! dan janganlah disapu tangannya dengan
sapu tangan, sebelum dijilati jari-jarinya. Karena ia tidak tahu, pada makanan
yang mana terdapat keberkatan”. Dan jangan dihembus/ditiup makanan yang panas.
Itu adalah dilarang. Tetapi bersabarlah, sampai mudah memakannya. Dan dimakan
tamar itu yang ganjil jumlahnya, yaitu 7 atau 11 atau 21 atau apa yang
kebetulan dapat. Dan jangan dikumpulkan antara tamar dan bijinya pada satu
baki. Dan jangan dikumpulkan pada tapak tangannya tetapi diletakkan biji, yang
dari mulutnya itu keatas punggung tapak tangannya, kemudian dicampakkan. Dan
begitupula tiap-tiap yang berbiji dan yang bersisa yang tidak dimakan. Dan
tidak dibiarkan sesuatu dari makanan yang buruk, yang tidak dimakan, lalu
diletakkan diatas piring. Tetapi hendaklah diletakkan bersama sisa yang tidak
dimakan. Sehingga tidak meragukan dengan yang lain, lalu termakan nanti. Dan
tidak banyak minum sedang makan, kecuali karena tersangkut dari suap makanan
pada lehernya atau karena sangat hausnya. Ada yang mengatakan, bahwa yang
demikian itu disunatkan menurut ilmu kedokteran dan menjadi penyamak bagi
perut.
Adapun minum, maka adabnya, ialah
mengambil gelas dengan tangan kanan, seraya membaca: “Bismillah. Dan diminumnya
itu, dengan pelan-pelan sambil bernafas (dengan menghisap). Tidak secara minum,
tanpa bernafas. Bersabda Nabi saw: “Minumlah air dengan pelan-pelan sambil
bernafas (dengan menghisap) dan janganlah diminum tanpa bernafas ! karena sesungguhnya
penyakit jantung itu dari meminum air, tanpa bernafas”. Dan jangan diminum
ketika sedang berdiri dan berbaring, karena Nabi saw melarang minum sedang
berdiri. Dan ada yang meriwayatkan bahwa Nabi saw minum sedang berdiri, maka
yang demikian itu mungkin, karena sesuatu halangan (‘udzur). Dan dijaga akan
bawah kendi, sehingga tidak menitik air keatasnya dan dilihat kedalam kendi
sebelum minum. Dan tidak bersendawa/betahak dan bernafas dalam kendi air minum.
Tetapi dijauhkannya kendi itu dari mulutnya dengan membaca “Alhamdulillah”. Dan
dikembalikannya ke mulutnya dengan membaca “Bismillah”. Sesungguhnya Nabi saw
membaca sesudah minum: “Segala pujian bagi Allah yang menjadikan tawar, lagi
manis dengan rahmatNya dan tidak menjadikannya asin, lagi pahit, disebabkan
dosa kami”. Kendi dan tiap-tiap yang diedarkan kepada orang banyak, hendaklah
diedarkan ke pihak kanan. “Sesungguhnya Rasulullah saw meminum susu, Abubakar
ra dikirinya, seorang Arab desa dikanannya dan Umar setentang dengan Nabi saw.
Maka berkata Umar ra: “Berikan kepada Abubakar !” Lalu Arab desa itu
mengambilnya dan Nabi saw lalu bersabda: “Minum dari kanan, terus ke kanan !”.
Dan air itu diminum pada tiga nafas, dimana memuji Allah pada akhir nafas-nafas
itu dan membaca “Bismillah” pada awalnya. Dibaca pada akhir nafas pertama:
“Alhamdulillah”, pada akhir nafas kedua ditambahkan “Rabbil-alamin” dan pada
akhir nafas ketiga, ditambahkan “Arrahmaanir-rahiim”. Maka inilah mendekati 20
adab (etika) pada waktu sedang makan dan minum, yang dibuktikan oleh hadits dan
atsar.
BAHAGIAN
KETIGA: mengenai apa yang disunatkan sesudah makan.
Yaitu:
bahwa menahan (berhenti) sebelum kenyang, lalu menjilati jarinya. Kemudian
menyapu dengan sapu tangan. Kemudian membasuhnya. Dan memungut pecahan makanan
yang jatuh. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa memakan apa yang jatuh dari
hidangan niscaya hidup ia dalam kelapangan dan disembuhkan anaknya dari
penyakit”. Dan mencungkil giginya serta tidak menelan apa yang keluar dari
antara gigi-giginya itu, dengan cungkilan, kecuali apa yang terkumpul dari
pangkal giginya dengan lidahnya. Adapun apa yang dikeluarkan dengan cungkilan,
maka hendaklah diludahkannya. Dan hendaklah berkumur-kumur sesudah mencungkil
gigi itu. Mengenai ini, diperoleh atsar dari keluarga rumah tangga Nabi saw.
Dan hendaklah dijilati piring serta diminum airnya. Dan dikatakan: “Barangsiapa
menjilati piringnya, membasuh dan meminum airnya, niscaya adalah baginya
seperti memerdekakan budak. Dan memungut sisa-sisa makanan, adalah menjadi
mahar (mas-kawin) bagi bidadari”. Dan hendaklah bersyukur kepada Allah Ta’ala
dengan hatinya, terhadap apa yang telah dianugerahkan Nya dari makanan. Lalu ia
melihat makanan itu suatu nikmat daripadaNya.
Berfirman Allah Ta’ala: “Makanlah
rezeki yang Kami berikan kepadamu yang baik dan bersyukurlah kepada Allah”. S 2
Al Baqarah ayat 172. Manakala telah memakan yang halal, maka bacalah: “Segala
pujian bagi Allah, yang dengan nikmatNya sempurnalah segala yang baik dan
turunlah segala barakah. Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepada kami makanan yang
baik dan pakaikanlah kami ini pada jalan yang shalih”. Dan kalau makan yang
syubhat (diragukan), maka hendaklah dibaca: “Segala pujian bagi Allah dalam
segala hal. Wahai Allah Tuhanku ! janganlah engkau jadikan yang kami makan itu,
menjadi kekuatan kami untuk durhaka (berbuat ma’shiat) kepadaMu !”. Dan
dibacakan sesudah makan, surat: “Qul huallaahu ahad” dan surat: “Li-ilaafi
quraisyin”. Dan janganlah bangun dari hidangan, sebelum hidangan itu diangkat
lebih dahulu. Kalau ia memakan makanan orang lain, maka hendaklah berdoa
kepadanya dan hendaklah mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! banyakkanlah kebajikan
orang itu, berikanlah barakah kepadanya, pada apa yang Engkau berikan rezeki
kepadanya ! mudahkanlah untuk ia berbuat kebajikan padanya ! berikanlah
kepadanya sifat qana’ah (berkecukupan) dengan apa yang telah Engkau berikan
kepadanya ! dan jadikanlah kami dan dia, menjadi orang-orang yang mensyukuri
nikmatMu !”. Kalau berbuka puasa pada suatu kaum, maka hendaklah diucapkan:
“Telah berbuka puasa pada kamu, oleh orang-orang yang berpuasa. Dan telah
memakan makanan kamu, oleh orang yang baik-baik. Dan telah mendoa dengan
kerahmatan kepadamu, oleh para malaikat”. Hendaklah diperbanyak membaca
istighfar dan kegundahan hati, terhadap apa yang telah dimakan dari harta
syubhat (diragukan). Supaya kiranya, terpadamlah dengan air mata dan kegundahan
hatinya itu, akan kepanasan api neraka, yang akan mendatanginya. Karena sabda
Nabi saw: “Tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka adalah
lebih utama dengan daging itu”. Dan tidaklah orang yang memakan dan menangis,
seperti orang yang memakan dan bermain-main. Dan hendaklah dibacakan apabila
meminum susu: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepada kami keberkatan mengenai
apa yang telah Engkau berikan rezeki kepada kami dan tambahkanlah kepada kami
daripadanya !”. Kalau dimakan yang lain, maka dibaca: “Wahai Allah Tuhanku !
berilah kami keberkatan mengenai apa yang Engkau berikan rezeki kepada kami dan
berikanlah rezeki kepada kami yang lebih baik lagi daripadanya !”. Doa tersebut
adalah diantara doa yang dikhususkan oleh Nabi saw
untuk susu, karena merata kemanfaatannya. Dan disunatkan sesudah
makan, membaca doa: “Segala pujian bagi Allah yang memberikan makanan kepada
kami dan memberikan minuman kepada kami dan memberikan kecukupan kepada kami
dan yang memberikan tempat tinggal bagi kami. Yang Memimpin dan Yang Mengurusi
kami. Wahai Yang Cukup dari segala sesuatu dan tidaklah segala sesuatu itu
merasa cukup daripadaNya ! Engkau berikan makanan dari kelaparan dan Engkau
berikan keamanan dari ketakutan, maka bagi Engkaulah segala pujian ! Engkau
berikan tempat tinggal dari keyatiman. Engkau berikan petunjuk dari kesesatan.
Dan Engkau berikan kekayaan dari kebutuhan. Maka bagi Engkaulah pujian dengan
sebanyak-banyaknya, yang terus-menerus, yang baik, yang bermanfaat, lagi
bertambah-tambah barakah padanya, sebagaimana Engkau yang mempunyai dan yang
layak dimiliki padanya. Wahai Allah Tuhanku ! Engkau telah memberikan kepada
kami makanan yang baik, maka pakaikanlah kami dengan pemakaian yang baik !
jadikanlah dia suatu pertolongan bagi kami untuk mentaatiMu. Dan kami
berlindung dengan Engkau, bahwa kami memperoleh pertolongan dengan makanan yang
baik itu, kepada perbuatan yang mendurhakai Engkau !”
Adapun membasuh kedua tangan dengan
semacam tumbuh-tumbuhan yang rasanya asin dan pahit (al-asynan) (kalau sekarang
dengan sabun. pent) maka caranya, ialah meletakkan al-asynan itu
pada telapak tangan kiri. Dan dibasuhkan mula-mula 3 anak jari tangan kanan.
Dan segala anak jarinya itu, dipukulkan ke atas al-asynan yang kering, lalu
disapukan dengan itu bibirnya. Kemudian dilicinkan pembasuhan mulut dengan anak
jarinya, menggosok bahagian muka dan bahagian dalam dari gigi-giginya,
langit-langit dan lidahnya. Kemudian membasuh segala anak jarinya dari yang
demikian itu dengan air. Kemudian, menggosok dengan yang tinggal dari al-asynan
yang kering itu, segala jari-jarinya bahagian luar dan bahagian dalam. Dan
mencukupilah dengan yang demikian tanpa mengulangi al-asynan itu ke mulut dan
mengulangi membasuhnya.
BAB
KEDUA: mengenai apa yang bertambah, disebabkan berkumpul dan bersama-sama
makan. Yaitu: 7.
Pertama: bahwa tidak memulai
mengambil makanan, bila bersama dengan orang yang lebih mustahak/utama
didahulukan, disebabkan karena tuanya atau lebih keutamaannya. Kecuali dia itu,
orang yang diikuti & yang dituruti. Maka ketika itu, seyogyalah tidak
melamakan menunggu, apabila mereka telah bersiap dan berkumpul untuk makan.
Kedua: bahwa tidak berdiam diri ketika makan, karena
yang demikian itu, adalah sifat orang ‘Ajam. Tetapi berbicaralah dengan yang ma’ruf
(hal-hal yang baik) dan bercerita tentang cerita orang-orang shalih, mengenai
makanan dan lainnya.
Ketiga: bahwa berperasaan
halus dengan temannya pada pinggan makanan. Maka tidaklah ia bermaksud makan
melebihi daripada yang dimakan temannya. Karena yang demikian itu haram, kalau
tidak bersesuaian dengan kerelaan temannya, manakala makanan itu berkongsi.
Tetapi seyogyalah bermaksud melebihkan teman dan tidak memakan dua tamar
sekali, kecuali apabila mereka berbuat demikian atau telah memperoleh keizinan
dari mereka. Kalau dilihatnya temannya sedikit makan, maka hendaklah dirajinkan
dan digembirakan teman itu kepada makan, serta dikatakan kepadanya: “Makanlah
!” Dan tidaklah dilebihkan mengatakan: “Makanlah” itu dari 3 kali. Karena yang
demikian itu, sudah merupakan paksaan dan
berlebih-lebihan. Adalah Rasulullah saw apabila ditujukan perkataan
kepadanya tentang sesuatu 3 kali, maka tidak diulangi lagi sesudah 3 kali itu.
Dan adalah ia saw mengulang-ulangi perkataan 3 kali. Maka tidaklah termasuk
adab, melebihkan dari 3 kali itu. Adapun memaksakan teman dengan makan, maka
dilarang. Berkata Al-Hasan bin Ali ra: “Makan itu adalah lebih mudah daripada
dipaksakan kepadanya”.
Keempat: bahwa ia tidak
memerlukan temannya, sampai mengatakan kepadanya: “Makanlah !” Berkata
sebahagian orang yang ahli ilmu kesopanan: “Sebaik-baik orang makan, ialah yang
tidak memerlukan temannya mencarinya untuk makan dan menghilangkan dari
temannya itu kewajiban berkata-kata (membujuknya dengan kata-kata untuk
makan)”. Dan tidak wajarlah meninggalkan (tidak memakan) sesuatu yang disukai,
lantaran dilihat orang lain kepadanya. Karena yang demikian itu adalah
tingkah-laku yang dibuat-buat (tashannu’). Tetapi berlakulah menurut yang biasa
dan tidak berkurang sedikitpun dari kebiasaannya waktu sendirian. Tetapi
hendaklah membiasakan dirinya dengan adab sopan yang baik ketika sendirian.
Sehingga tidak memerlukan kepada berbuat-buat, ketika makan bersama. Ya, kalau
ia menyedikitkan makannya, karena mengutamakan bagi kawan-kawannya dan memperhatikan
untuk mereka ketika memerlukan kepada yang demikian, maka itu adalah baik.
Kalau ia menambah makan, dengan niat menolong dan menggerakkan kesungguhan
orang banyak kepada makan, maka tiada mengapa. Bahkan itu baik.
Adalah Ibnul-Mubarak mengemukakan tamar
basah yang bagus, kepada teman-temannya, seraya berkata: “Barangsiapa mau makan
lebih banyak, niscaya kuberikan kepadanya sedirham tiap-tiap sebiji yang
dimakannya”. Lalu ia menghitung biji-biji itu dan diberikannya uang dirham
kepada tiap-tiap orang yang mempunyai kelebihan biji, menurut jumlah
bilangannya. Yang demikian itu, adalah untuk menghilangkan malu dan menambahkan
kegembiraan untuk melapangkan dada.
Berkata Ja’far bin Muhammad ra: “Yang
paling saya sayangi dari kawan-kawanku, ialah yang lebih banyak makan dan yang
lebih besar suap. Dan yang paling berat kepadaku, ialah orang yang memerlukan
aku kepada mengadakan perjanjian dengan dia tentang makan”. Semuanya itu,
adalah ditujukan untuk bersikap menurut kebiasaan dan meninggalkan berbuat-buat
(tashannu’). Berkata Ja’far ra pula: “Nyatalah kebagusan berkasih-sayang antara
seorang dengan temannya, yaitu dengan bagus makannya di rumahnya”.
Kelima: bahwa membasuh
tangan pada tempat cuci tangan, tidak mengapa. Dan boleh berdahak kedalam tempat
cuci tangan itu, kalau ia makan sendirian. Dan kalau makan bersama orang lain,
maka tidak wajarlah berbuat yang demikian itu. Apabila disuguhkan tempat cuci
tangan kepadanya oleh orang lain, karena menghormatinya, maka hendaklah
diterimanya. Anas bin Malik dan Tsabit Al-Bannani ra berkumpul pada suatu
tempat makan. Lalu Anas menyugukan tempat cuci tangan kepada Tsabit, maka
Tsabit menolak. Lalu berkata Anas: “Apabila tuan dimuliakan oleh teman tuan,
maka terimalah kemuliaan itu ! jangan ditolak ! karena dia itu memuliakan Allah
‘Azza Wa Jalla”. Diriwayatkan, bahwa Harunurrasyid mengundang Abu Ma’awiah
Adl-Dlarir, lalu Harunurrasyid menuangkan air keatas tangan Abu Ma’awiah pada
tempat cuci tangan. Setelah selesai, lalu bertanya Harunurrasyid: “Wahai Abu Ma’awiah
! tahukah tuan, siapa yang menyiram tangan tuan ?”. Maka menjawab Abu Ma’awiah:
“Tidak !”. Lalu menyambung Harunurrasyid: “Disiram oleh Amirul-mu’minin !” Maka
berkata Abu Ma’awiah: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya Tuanku memuliakan
dan mengagungkan ilmu. Maka tuanku diagungkan oleh Allah dan dimuliakanNya,
sebagaimana tuanku memuliakan ilmu dan ahli ilmu”. Dan tiada mengapa berkumpul
membasuh tangan pada satu tempat cuci tangan pada satu ketika. Karena itu
adalah lebih mendekatkan kepada merendahkan diri dan menjauhkan daripada lama
menunggu. Kalau tidak mereka perbuat yang demikian maka tidak wajarlah
dituangkan air masing-masing. Tetapi dikumpulkan air dalam satu tempat cuci
tangan.
Karena bersabda Nabi saw: “Kumpulkan air
sembahyangmu, niscaya dikumpulkan oleh Allah akan perceraianmu”. Ada yang
mengatakan, bahwa yang dimaksudkan dengan hadits ini, ialah yang diatas tadi.
Khlaifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz menulis surat ke kota-kota besar, yang isinya:
“Jangan diangkat tempat cuci tangan dari hadapan orang banyak, kecuali sudah
penuh. Dan janganlah kamu menyerupai dengan orang ‘ajam (bukan Arab) !”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Berkumpullah membasuh tangan pada suatu tempat cuci
tangan dan janganlah berbuat kebiasaan, menurut kebiasaan orang-orang ‘ajam !”.
Pelayan yang menuangkan air keatas tangan orang yang makan, dipandang makruh
oleh sebahagian ulama, bahwa pelayan itu dengan berdiri. Dan lebih disukai dia
itu duduk, karena lebih mendekati kepada tawadlu’ (merendahkan diri). Dan
sebagian mereka memandang makruh secara duduk. Diriwayatkan, bahwa dituangkan
air ke tangan seorang yang duduk, oleh seorang pelayan yang duduk. Lalu
bangunlah orang yang dituangkan air keatas tangannya. Maka ia ditanyakan:
“Mengapa anda bangun ?”. Lalu ia menjawab: “Salah seorang dari kita haruslah
berdiri. Dan ini, adalah lebih utama, karena memudahkan penuangan air dan
membasuh. Dan lebih mendekati kepada tawadlu’ orang yang menuangkan. Dan
apabila pelayang itu mempunyai niat yang baik pada pelayanan itu, maka
ketekunannya pada pelayanan, tak adalah padanya kesombongan. Karena kebiasaan
berlaku dengan demikian. Jadi, pada tempat mencuci tangan itu, terdapat 7 adab
kesopanan: bahwa tidak meludah kedalamnya. Bahwa didahulukan orang yang diikuti
(yang menjadi ikutan orang banyak), dengan tempat cuci tangan. Bahwa diterima
kehormatan dengan penyuguan tempat cuci tangan itu. Bahwa diedarkan tempat cuci
tangan itu ke sebelah kanan. Bahwa berkumpul padanya orang banyak. Bahwa
dikumpulkan air kedalam tempat cuci tangan itu. Bahwa pelayan itu berdiri.
Bahwa diludahkan air dari mulut dan dilepaskan tempat cuci tangan itu dari
tangannya, dengan pelan-pelan. Sehingga tidak terpercik keatas lantai dan
teman-temannya. Dan hendaklah disiramkan air oleh tuan rumah sendiri keatas
tangan tamunya.
Begitulah diperbuat oleh Imam Malik dengan
Asy-Syafi’i ra pada permulaan tibanya kepada Imam Malik. Dan Imam Malik itu
berkata: “Jangan menggundahkan anda, dengan apa yang anda lihat daripadaku.
Pengkhidmatan kepada tamu itu wajib”.
Keenam: bahwa tidak
memandang kepada teman-temannya dan tidak mengintip mereka makan. Lalu mereka
malu dengan demikian. Tetapi hendaklah memicingkan mata dari teman-teman dan
berbuatlah untuk diri sendiri. Dan jangan menyelesaikan makan sebelum
teman-teman, apabila mereka itu malu makan sesudahnya. Tetapi ulurkan tangan
dan peganglah makanan dengan tangan, serta ambillah sedikit-sedikit, sehingga
mereka itu siap makan. Kalau sedikit makan, berhentilah dulu pada permulaan.
Dan sedikitkan makan, sehingga apabila mereka itu memakan secara meluas, lalu
makan bersama mereka pada penghabisan. Begitulah diperbuat oleh kebanyakan
sahabat ra. Kalau tidak turut makan, disebabkan sesuatu hal, maka hendaklah
meminta maaf pada mereka, untuk menghilang kan malu dari mereka.
Ketujuh: bahwa tidak
diperbuat apa yang dipandang jijik oleh orang lain. Maka janganlah
digerak-gerakkan tangan pada piring makan dan janganlah ditundukkan kepala
kepadanya, ketika memasukkan suap kedalam mulut. Apabila dikeluarkan sesuatu
dari mulutnya, hendaklah dipalingkan muka dari makanan dan diambilkannya dengan
tangan kiri. Dan jangan dimasukkan suap yang berlemak kedalam cuka dan jangan
dimasukkan cuka kedalam makanan yang berlemak, karena kadang-kadang tidak
disukai lagi oleh orang lain. Dan suap yang dipotongnya dengan giginya,
janganlah dibenamkan sisanya kedalam kuah dan cuka. Dan janganlah berkata-kata
dengan apa yang mengingatkan orang kepada yang jijik.
BAB
KETIGA: mengenai adab menyugukan makanan kepada teman-teman dan
pengunjung-pengunjung.
Menyugukan makanan kepada teman-teman, adalah padanya banyak
keutamaan. Berkata Ja’far bin Muhammad ra: “Apabila kamu duduk bersama
teman-teman pada suatu hidangan, maka lamakanlah duduk itu. Karena itu adalah
saat, yang tidak diperhitungkan kepadamu daripada umurmu !”. Berkata Al-Hasan
ra: “Tiap-tiap perbelanjaan yang dibelanjakan oleh seseorang kepada dirinya,
kepada ibu bapaknya, lalu kepada orang-orang bawahannya, maka diperhitungkan
itu kepadanya. Kecuali perbelanjaan oleh seseorang kepada teman-temannya tentang
makanan. Maka Allah malu menanyakannya tentang itu”. Inilah, serta apa yang
tersebut dari hadits-hadits, mengenai memberikan makanan itu.
Bersabda Nabi saw: “Senantiasalah para
malaikat mendoa kepada seseorang dari kamu, selama hidangannya terletak di hadapannya,
sehingga diangkatkan”. Diriwayatkan dari setengah ulama Khurasan, bahwa ia
menyugukan kepada teman-temannya makanan yang banyak, yang tidak sanggup mereka
makan semuanya. Ulama itu mengatakan: “Sampai kepada kami dari Rasulullah saw
bahwa beliau bersabda: “Bahwa teman-teman itu apabila mengangkat tangannya dari
makanan, niscaya tidak diadakan hitungan amal (tidak dihisab) orang yang
memakan sisanya”. Maka saya menyukai memperbanyakkan, apa yang akan saya
sugukan kepada tuan-tuan, supaya dapat kami memakan sisanya itu”. Pada suatu
hadits tersebut: “Tidak diadakan hisab amal, akan hamba (hamba Allah atau
seseorang), atas apa yang dimakannya bersama teman-temannya. Karena itulah
sebagian mereka memakan banyak bersama orang ramai dan memakan sedikit, apabila
makan sendirian. Dan pada hadits tersebut: “3 perkara yang tiada dihisab
(diperhitungkan) akan seorang hamba Allah padanya, yaitu: makanan yang dimakan
waktu sahur, makanan yang dimakan ketika berbuka dan makanan yang dimakan
bersama saudara-saudara (teman-teman)”.
Berkata Ali ra: “Lebih saya sukai
mengumpulkan teman-teman pada satu gantang makanan, daripada aku memerdekakan
seorang budak. Ibnu Umar ra berkata: “Setengah dari tanda kemurahan hati
seseorang, ialah membaguskan perbekalannya dalam perjalanan dan memberikannya
kepada teman-temannya”. Dan para sahabat ra itu berkata: “Berkumpul memakan
makanan, adalah setengah dari perangai mulia”. Mereka -direlakan oleh Allah
kiranya mereka –berkumpul pada pembacaan Alquran. Dan mereka tiada berpisah, kecuali
daripada merasakan makanan.
Ada ulama yang mengatakan, bahwa berkumpul
bersama teman-teman pada makanan yang mencukupi serta bersuka-sukaan dan
berjinak-jinakan hati, tidaklah itu termasuk dunia yang sia-sia. Tersebut pada
hadits: “Allah Ta’ala berfirman kepada hambaNya pada hari kiamat: “Hai anak
Adam ! Aku lapar, lalu engkau tidak memberikan makanan kepadaKu”. Lalu menjawab
hamba itu: “Bagaimanakah aku memberikan makanan kepada Engkau, sedang Engkau
adalah Tuhan semesta alam ?”. Maka menjawab Allah Ta’ala: “Telah lapar
saudaramu yang muslim, lalu tidak engkau berikan makanan kepadanya. Kalau
engkau telah memberikan makanan kepadanya, maka adalah engkau telah memberikan
makanan kepadaKu”.
Bersabda Nabi saw: “Apabila datang kepadamu
orang berkunjung maka muliakanlah dia !”. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya
dalam sorga itu, ada kamar-kamar, yang kelihatan zhahirnya dari dalam
(batinnya) dan kelihatan batinnya dari zhahirnya. Kamar-kamar itu adalah untuk
orang-orang yang berkata lemah lembut, memberikan makanan kepada orang dan
mengerjakan shalat pada malam hari, dimana manusia lain sedang tidur”.
Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik kamu, ialah
orang yang memberikan makanan kepada orang”. Bersabda Nabi saw: Barangsiapa
memberi makanan kepada saudaranya, sehingga mengenyangkannya dan memberi
minuman, sampai hilang hausnya, niscaya ia dijauhkan oleh Allah Ta’ala dari
neraka, sejauh 7 parit besar, dimana diantara dua parit itu, sejauh perjalanan
500 tahun”.
Adapun adab kesopanannya, maka
sebahagiannya tentang masuk dan sebahagiannya tentang penyuguhan makanan.
Adapun masuk, maka tidaklah dari sunnah Nabi saw menuju ke tempat orang yang
sedang menanti waktu makanannya. Lalu masuk waktu makan itu. Karena yang
demikian, termasuk hal yang tiba-tiba dan telah dilarang dari yang demikian.
Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi kecuali jika
kamu diizinkan untuk makan, dengan tidak menanti-nanti makanan masak”. S 33 Al
Ahzab ayat 53 –ya’ni: menunggu waktunya dan masaknya. Pada satu hadits, tersebut:
“Barangsiapa berjalan kepada makanan, dimana dia tidak diundang kepadanya, maka
sesungguhnya ia berjalan ke situ, sebagai orang fasiq dan ia memakan yang
haram”. Tetapi orang yang masuk ke tempat orang, apabila ia tidak menunggu dan
kebetulan didapatinya orang-orang itu sedang makan, maka janganlah ia makan,
sebelum diizinkan kepadanya. Apabila dikatakan kepadanya: “Makanlah !” maka
hendaklah ia melihat dahulu. Kalau diketahuinya, bahwa mereka mengatakan itu,
berdasarkan kasihan untuk menolonginya maka hendaklah ia menolong orang itu
untuk memperoleh pahala (artinya: ia makan). Dan kalau mereka itu mengatakan
yang demikian, karena malu, maka tidak sewajarnyalah
ia makan. Tetapi sewajarnyalah ia mencari alasan untuk tidak makan.
Apabila ia lapar lalu menuju kepada sebahagian temannya untuk meminta makanan
dan ia tidak menunggu waktu makan, maka tiada mengapalah yang demikian.
Rasulullah saw, Abubakar ra dan Umar ra
menuju ke rumah Abil-Haitsam bin At-Taihan dan Abi Ayyub Al-Anshari, untuk
memperoleh makanan yang akan dimakan. Dan mereka itu semuanya lapar. Dan masuk
ke rumah teman, dalam hal yang seperti ini, adalah menolong orang muslim itu
sendiri untuk memperoleh pahala memberi makanan kepada orang. Dan itu adalah
adat kebiasaan salaf (ulama-ulama terdahulu).
Adalah ‘Aun bin Abdullah Al-Mas’udi
mempunyai 360 teman. Ia berkeliling kepada mereka dalam setahun. Dan orang lain
mempunyai 30 teman. Ia berkeliling kepada mereka dalam sebulan. Dan orang lain
pula mempunyai 7 orang teman, dimana ia berkeliling kepada mereka dalam
seminggu. Maka adalah teman-teman itu, yang diketahui mereka, sebagai ganti
dari usaha yang diusahakan mereka. Dan bangunnya teman-teman itu dengan maksud
memperoleh keberkatan, adalah ibadah bagi mereka. Kalau ia masuk dan tidak mendapati
yang punya rumah dan ia percaya dengan persahabatannya dan mengetahui dengan
kegembiraannya, apabila ia makan dari makanannya, maka bolehlah ia makan, tanpa
izin yang punya rumah itu. Karena dimaksudkan dengan keizinan, ialah rela,
lebih-lebih lagi mengenai makanan. Dan urusannya adalah berdasarkan kepada
kesanggupan. Maka banyaklah orang yang menegaskan dengan keizinannya serta
bersumpah-sumpah, padahal ia tidak setuju. Maka dalam hal ini, memakan
makanannya adalah makruh. Dan banyaklah orang yang tidak ada di rumahnya, yang
tidak memberi izin, dimana memakan makanannya adalah amat disukainya.
Berfirman Allah Ta’ala: “atau rumah
kawanmu”. S 24 An Nur ayat 61. Rasulullah saw masuk ke rumah Burairah dan
memakan makanannya, sedang Burairah itu tidak ada di rumah. Dan adalah makanan
itu termasuk sedekah, seraya Nabi saw bersabda: “Telah sampailah sedekah pada
tempatnya”. Dan adalah yang demikian, karena diketahui oleh Nabi saw akan
kesenangan hati Burairah itu dengan demikian. Karena itulah diperbolehkan masuk
ke rumah orang lain, tanpa izin. Karena dirasa cukup dengan mengetahui
keizinannya. Kalau tidak diketahui keizinannya itu, maka tak boleh tidak
daripada meminta keizinan lebih dahulu. Kemudian, baru boleh masuk.
Dan adalah Muhammad bin Wasi’ dan sahabat-sahabatnya,
masuk ke rumah Al-Hasan, lalu memakan apa yang didapatinya, tanpa izin.
Al-Hasan masuk dan melihat yang demikian itu, maka amatlah menggembirakannya,
seraya berkata: “Beginilah kita adanya !”. Diriwayatkan dari Al-Hasan ra bahwa
dia sedang berdiri memakan buah-buahan kepunyaan seorang penjual buah-buahan di
pasar, dimana diambilnya dari keranjang ini buah tin dan dari keranjang itu
buah tamar kering, lalu berkata Hisyam kepadanya: “Apakah yang tampak bagimu,
hai Abu Sa’id tentang wara’, dimana engkau memakan harta orang, tanpa izinnya
?”. Maka menjawab Al-Hasan: “Hai orang bodoh ! bacalah kepadaku ayat makan
(ayat Alquran yang menerangkan tentang makan) !”. Lalu Hisyam membacanya,
sampai kepada firman Allah Ta’ala: “aw shadiiqikum” –artinya: “atau kawanmu”.
–S 24 An Nur ayat 61. Maka bertanya Hisyam: “Siapa kawan itu, wahai Abu Sa’id
?”. Menjawab Al-Hasan: “Yaitu orang yang senang kepadanya jiwa dan tenteram
kepadanya hati”.
Suatu golongan pergi ke rumah Sufyan
Ats-Tsuri, lalu mereka tiada mendapatinya di rumah. Maka mereka membuka pintu
dan menempati tempat hidangan, serta terus memakannya. Kemudian masuk Ats-Tsuri
seraya berkata: “Kamu memperingatkan aku akan budi pekerti orang-orang
terdahulu (orang-orang salaf)”. Begitulah mereka itu adanya ! Suatu kaum
mengunjungi sebahagian tabi’in, yang tak ada padanya, apa yang akan disugukan
kepada kaum itu. Lalu tabi’in tadi pergi ke rumah sebahagian temannya, tetapi
tiada diperolehnya teman itu di rumah. Lalu terus ia masuk, seraya dilihatnya
ke periuk yang telah dipakai untuk pemasakan, kepada roti yang telah dibuat dan
kepada yang lain-lain. Semuanya lalu dibawanya, kemudian disugukannya kepada
teman-temannya, seraya berkata: “Makanlah !”. Kemudian, datang yang punya
rumah, lalu melihat tidak ada apa-apa lagi. Maka diterangkan kepadanya oleh
orang yang melihat peristiwa itu: “Telah diambil oleh si Anu !”. Lalu menjawab
yang punya: “Sesungguhnya ia telah berbuat yang baik”. Sewaktu bertemu yang
punya makanan itu dengan yang mengambil, lalu mengatakan: “Wahai temanku, kalau saudara-saudara itu
kembali lagi, maka kembali pulalah engkau mengambil makanan itu untuk mereka
!”. Inilah adab-kesopanan masuk !.
Adapun
adab kesopanan penyuguan makanan, ialah 4:
Pertama-tama: meninggalkan
pemaksaan diri (takalluf) dan menyugukan apa yang ada saja. Kalau belum
tersedia apa-apa dan tidak mempunyainya, maka janganlah berhutang untuk itu.
Karena akan menyusahkan kepada dirinya. Kalau ada tersedia, tetapi ia sendiri
memerlukannya untuk makanannya sendiri dan tidak memungkinkan untuk disugukan,
maka seyogyalah tidak disugukan. Datang sebahagian mereka kepada seorang zuhud
yang sedang makan, maka berkata orang zuhud itu: “Kalau bukanlah makanan ini
aku peroleh dengan hutang, niscaya akan aku berikan sebahagian daripadanya
kepadamu”. Berkata sebahagian salaf, mengenai penafsiran takalluf, yaitu:
“Engkau berikan makanan kepada temanmu, apa yang tidak engkau makan sendiri.
Tetapi engkau maksudkan untuk menambah kan kebagusan dan kenilaian makanan itu
kepada temanmu”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya dengan takalluf/pemaksaan
diri itu manusia berputus-hubungan silaturrahim satu sama lain, dimana salah
seorang dari mereka memanggil temannya, lalu secara pemaksaan diri menyediakan
makanan kepada teman itu. Maka dengan cara yang demikian, memutuskan teman itu
daripada kembali lagi kepadanya”.
Berkata sebahagian mereka: “Tiada aku
perduli siapa yang datang kepadaku dari teman-temanku. Sesungguhnya aku tiada
memaksaan diri baginya, tetapi aku dekatkan apa yang ada padaku. Kalau aku
memaksakan diri baginya, sesungguhnya aku benci akan kedatangannya dan aku
bosan kepadanya”. Berkata sebahagian mereka: “Aku masuk ke tempat salah seorang
temanku, lalu ia memaksakan diri bagiku. Maka aku katakan kepadanya:
“Sesungguhnya, janganlah engkau makan ini sendirian dan aku tidak engkau
berikan. Maka bagaimanakah keadaan kita, apabila kita berkumpul, lalu kita
memakannya ? adakalanya, engkau membuang pemaksaan diri ini atau aku putuskan,
tidak datang-datang lagi. Lalu dihilangkannya pemaksaan diri itu dan tetaplah
pergaulan kami disebabkan yang demikian”. Termasuk dalam pemaksakan diri, ialah
menyugukan segala yang ada padanya. Maka yang demikian itu, merusakkan
keluarganya dan menyakitkan hati mereka.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki
mengundang Ali ra, maka Ali ra menjawab: “Aku akan memperkenankan undanganmu
dengan 3 syarat: tidak engkau masukkan sesuatu dari pasar, tidak engkau simpan
apa yang didalam rumah dan tidak engkau merusakkan keluargamu”.
Adalah sebahagian mereka menyuguhkan semua
yang ada dalam rumahnya. Tidak ditinggalkannya suatupun, melainkan
dihidangkannya. Sebahagian mereka berkata: “Kami masuk ke rumah Jabir bin
Abdullah ra. Lalu beliau menyuguhkan kepada kami roti dan cuka, seraya berkata:
“Jikalau bukanlah kita dilarang dari pemaksakan diri, niscaya aku memaksakan
diri untukmu”. Berkata sebahagian mereka: “Apabila engkau dimaksud untuk
dikunjungi, maka suguhkanlah apa yang ada ! dan kalau engkau diminta untuk
berkunjung, maka janganlah engkau tinggalkan dan biarkan untuk tidak dipenuhi
!”.
Berkata Salman: “Kami disuruh oleh
Rasulullaah saw tidak memaksakan diri untuk tamu, akan apa yang tidak ada pada
kami. Dan bahwa kami sugukan kepada tamu, apa yang ada pada kami”. Dan pada sabda
Nabi Yunus as, bahwa dia dikunjungi oleh teman-temannya, lalu disugukannya
kepada mereka tulang yang berdaging dan dipotong-potongnya sayuran yang
ditanaminya sendiri, kemudian ia mengatakan kepada mereka: “Makanlah ! jikalau
Allah tidak mengutuk orang-orang yang memaksakan diri, niscaya aku akan
memaksakan diri untukmu”.
Dari Anas bin Malik ra dan para sahabat
lainnya, sesungguhnya mereka itu menyugukan apa yang ada, dari tulang-tulang
yang berdaging kering dan buah tamar yang buruk, seraya mereka mengatakan:
“Kami tidak mengetahui, manakah yang lebih besar dosanya, antara orang yang
melecehkan apa yang disugukan kepadanya atau orang yang melecehkan akan apa
yang ada padanya untuk disugukannya”.
Adab kedua: yaitu, bagi
pengunjung bahwa tidak menyarankan dan tidak bertegas menentukan sesuatu yang
tertentu. Karena kadang-kadang sulit bagi yang dikunjungi mengadakannya. Kalau
disuruh pilih oleh temannya (tuan rumah) diantara dua macam makanan, maka
hendaklah dipilih yang paling mudah diantara kedua makanan itu kepada tuan
rumah. Begitulah sunnah Nabi saw pada suatu hadits, tersebut, bahwa Nabi saw
manakala beliau disuruh pilih diantara dua barang, maka dipilihnya yang paling
mudah memperolehnya”.
Diriwayatkan oleh Al-A’masy dari Abi Wail,
bahwa Abi Wail berkata: “Aku pergi bersama temanku mengunjungi Salman, maka
disugukannya kepada kami roti syair (roti terbuat dari tepung syair) dan garam
bertumbuk kasar. Lalu berkata temanku: “Kalau ada dalam garam ini sa’tar
(semacam tumbuh-tumbuhan yang wangi baunya), niscaya adalah lebih baik”. Maka
keluarlah Salman, pergi menggadaikan pancinya dan mencari sa’tar. Maka tatkala
kami makan, lalu temanku itu berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah
mencukupkan bagi kita dengan apa yang dianugerahiNya kepada kita !”. Maka sahut
Salman: “Kalau engkau merasa cukup dengan apa yang telah dianugerahi rezeki
kepada engkau, niscaya tidaklah panciku tergadai”. Itu tadi, apabila
disangkanya sukar yang demikian kepada temannya atau temannya itu tidak suka
yang demikian. Tetapi kalau diketahuinya, bahwa temannya (tuan rumah) itu suka
dengan usulannya dan tidak menyukarkan yang demikian kepada tuan rumah, maka
tidaklah dimakruhkan baginya (bagi yang mengunjung) mengusulkannya.
Telah dilakukan yang demikian oleh Imam
Asy-Syafi’i ra pada Az-Za’farani, ketika Asy-Syafi’i singgah padanya di
Baghdad. Dan adalah Az-Za’farani menulis tiap-tiap hari pada sehelai kertas,
akan warna-warna apa yang akan dimasak dan diserahkannya kepada budak
wanitanya. Pada suatu hari Asy-Syafi’i mengambil kertas itu dan menuliskan
padanya, warna yang lain dengan tulisannya sendiri. Sewaktu Az-Za’farani
melihat warna itu, lalu membantah dan mengatakan: “Aku tidak menyuruh dengan
warna itu !” Maka diserahkan kepadanya kertas, yang terlampir padanya tulisan
Asy-Syafi’i. Tatkala dilihatnya tulisan Asy-Syafi’i itu, maka amat gembiralah
ia dengan yang demikian. Dan dimerdekakannya budak wanita itu, karena gembira
dengan usul Imam Asy-Syafi’i kepadanya.
Berkata Abubakar Al-Kattani: “Aku masuk ke
rumah As-Sirri, lalu beliau datang dengan membawa makanan yang sudah hancur dan
separoh daripadanya diletakannya dalam gelas. Maka aku bertanya kepadanya:
“Apakah yang saudara kerjakan ?” Aku meminumnya seluruhnya dalam satu kali.
Maka tertawalah As-Sirri, seraya berkata: “Ini adalah lebih utama bagi saudara
daripada memberi keterangan !”. Berkata sebahagian mereka: “Makan itu adalah 3
macam: bersama orang-orang miskin dengan mengutamakan mereka, bersama
teman-teman dengan berlapang dada dan bersama anak-anak dunia dengan adab
kesopanan”.
Adab ketiga: bahwa tuan rumah
(yang dikunjungi) menyugukan yang disukai temannya yang berkunjung. Dan meminta
daripadanya akan saran-saran, manakala dirinya dapat menerima dengan baik,
untuk melaksanakan apa yang akan disarankan itu. Yang demikian itu adalah baik.
Dan padanya pahala dan banyak keutamaan. Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa
memperoleh dari temannya makanan yang disukainya, niscaya diampunkan dosanya.
Dan barangsiapa menggembirakan temannya yang mu’min maka sesungguhnya ia telah
menggembirakan akan Allah Ta’ala”. Dan bersabda Nabi saw menurut yang
diriwayatkan oleh Jabir: “Barangsiapa memberi kesenangan kepada temannya dengan
yang disukai temannya itu, niscaya dituliskan oleh Allah baginya beribu-ribu
kebaikan, dihapuskan daripadanya beribu-ribu kejahatan dan ditinggikan untuknya
beribu-ribu derajat dan diberikan oleh Allah kepadanya makanan dari 3 sorga:
sorga firdaus, sorga ‘adnin dan sorga Al-Khuldi”.
Adab keempat: bahwa tidak
ditanyakan kepada tamu yang berkunjung itu: “Apakah kami sugukan kepada saudara
makanan ?”. Tetapi seyogyalah disugukan kalau ada. Berkata Ats-Tsuri: “Apabila
berkunjung kepadamu temanmu, maka janganlah engkau tanyakan kepadanya: “Apakah
saudara makan ?” Atau: “Aku sugukan makanan kepada saudara ?” Tetapi
sugukanlah, kalau ia makan, syukur. Kalau tidak maka angkatkan kembali !”.
Kalau tidak bermaksud memberikan sesuatu makanan kepada para tamu itu, maka
tiada seyogyalah diucapka yang demikian kepada mereka atau diterangkan kepada
mereka.
Berkata Ats-Tsuri: “Apabila anda bermaksud,
tidak memberikan makanan kepada keluarga anda, dari apa yang anda makan, maka
janganlah anda katakan itu kepada mereka, dan janganlah anda perlihatkan kepada
mereka !” Berkata setengah ulama Shufi: “Apabila masuk ke tempat anda,
orang-orang fakir, maka sugukanlah kepada mereka makanan. Dan apabila masuk
orang-orang faqih (ahli ilmu fiqih), maka tanyakanlah kepada mereka tentang
sesuatu masalah (persoalan). Dan apabila masuk orang-orang qurra’ (ahli qiraat
Alquran), maka tunjukkanlah kepada mereka mihrab (tempat imam berdiri
mengerjakan shalat dalam masjid !”).
BAB
KEEMPAT: tentang adab bertamu.
Tempat-tempat yang memberatkan dugaan, ada padanya adab
bertamu itu 6, yaitu: pertama-tama: undangan, kemudian: jawaban, kemudian:
datang, kemudian: penyuguan makanan, kemudian: makan dan kemudian: kembali. Dan
akan kami dahulukan uraiannya insya Allah Ta’ala, akan keutamaan bertamu.
Bersabda Nabi saw: “Janganlah kamu
memaksakan diri untuk tamu, nanti kamu marahi dia. Karena barangsiapa marah
kepada tamu, maka ia telah marah kepada Allah. Dan barangsiapa marah kepada
Allah, niscaya ia dimarahi Allah”. Bersabda Nabi saw: “Tiada kebajikan pada
orang yang tiada menjamukan tamu”. “Rasulullah saw lalu pada tempat seorang
laki-laki yang mempunyai banyak unta dan lembu. Tetapi ia tiada menjamukan
Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw lalu pada tempat seorang wanita yang
mempunyai beberapa ekor kambing, lalu disembelihkannya untuk Rasulullah saw.
Maka bersabda Nabi saw: “Lihatlah kepada kedua orang itu ! sesungguhnya budi
luhur itu adalah ditangan Allah. Maka barangsiapa dikehendakiNya untuk
dianugerahiNya budi yang baik, niscaya diperbuatNya”.
Berkata Abu Rafi’i, bekas budak (maula)
Rasulullah saw: “Telah singgah pada Nabi saw seorang tamu, lalu Nabi saw
bersabda kepadaku: “Katakanlah kepada si Anu orang Yahudi itu, bahwa telah
singgah seorang tamu padaku. Dari itu, mintalah dia memperhutangkan aku sedikit
tepung, yang akan aku bayar sampai bulan Rajab !”. Maka menjawab Yahudi itu:
“Demi Allah, aku tiada akan memperhutangkannya, kecuali dengan jaminan”. Lalu
aku terangkan yang demikian itu kepada Nabi saw maka beliau menjawab: “Demi
Allah, sesungguhnya aku adalah orang kepercayaan (aminun) di langit, lagi orang
kepercayaan di bumi. Kalau diperhutangkannya aku, niscaya aku bayar. Pergilah
bawa baju-besiku dan gadaikanlah kepadanya !”.
Adalah Nabi Ibrahim as apabila bermaksud
makan, lalu keluar 1 mil atau 2 mil, mencari orang yang akan makan bersama
beliau, sehingga beliau digelarkan “Bapak tamu” (Abudl-dlaifan). Dan karena
benar niatnya itu, maka selalulah ada tamunya pada tempat syahidnya sampai
sekarang ini. Dan tidak berjalan semalampun, melainkan makan pada tempat tadi
orang banyak, diantara 3 sampai 10, bahkan sampai 100 orang. Dan berkata yang
memimpin tempat tersebut, bahwa tidak semalampun yang kosong dari tamu sampai
sekarang.
Ditanyakan Rasulullah saw: “Apakah iman itu
? maka Rasulullah menjawab: “Menyediakan makanan untuk tamu dan memberi salam”.
Dan bersabda Nabi saw: “Untuk kafarat dan memperoleh derajat, adalah dengan
memberi makanan kepada tamu dan mengerjakan shalat di malam hari, sedang
manusia lain sedang tidur nyenyak”. Ditanyakan Nabi saw tentang hajji mabrur,
maka Nabi saw menjawab: “Memberikan makanan dan berkata yang baik”.
Berkata Anas ra: “Tiap-tiap rumah yang
tidak dimasuki tamu, niscaya tidak dimasuki malaikat”. Hadits-hadits yang
mengemukakan tentang kelebihan menerima tamu dan memberi makanan kepada tamu
itu, adalah tidak terhingga jumlahnya. Dari itu, hendaklah kami sebutkan akan
adab kesopanannya ! Adapun undangan: maka seyogyalah bagi pengundang menujukan
dengan undangannya orang-orang taqwa. Tidak orang-orang fasiq.
Bersabda Nabi saw: “Dimakan kiranya
makananmu oleh orang-orang baik”. Dalam doanya bagi sebahagian orang, dimana
Nabi saw berdoa untuknya. Dan sabda Nabi saw: “Jangan kamu makan, selain
makanan orang yang bertaqwa dan jangan dimakan makananmu selain oleh orang yang
bertaqwa !”’. Dan hendaklah ditujukan dengan memberi makanan itu, orang-orang
miskin, tidak orang-orang kaya khususnya.
Bersabda Nabi saw: “Seburuk-buruk makanan,
ialah makanan peralatan (walimah) yang diundang padanya orang-orang kaya, tidak
orang-orang miskin”. Dan seyogyalah, tidak disia-siakan keluarga pada perjamuan
itu. Karena menyia-nyiakan mereka, adalah meretakkan hati dan memutuskan
silaturrahim. Dan begitupula dijaga urutan tentang teman-teman dan kenalan-kenalan
yang diundang. Karena dalam penentuan sebahagian itu meretakkan hati yang lain.
Dan seyogyalah tidak dimaksud dengan undangan itu, kemegahan dan penyombongan
diri. Tetapi mengambil hati teman-teman dan menjalankan sunnah Rasulullah saw
tentang penyuguan makanan dan memasukkan kesenangan hati orang-orang mu’min.
Dan seyogyalah tidak diundang orang yang diketahui sukar kepadanya
memperkenankan undangan. Dan apabila ia datang, maka menjadi penyakit kepada
pengunjung-pengunjung yang lain, disebabkan oleh suatu sebab. Dan seyogyalah
tidak diundang, selain orang yang di ingini perkenaan nya.
Berkata Sufyan: “Barangsiapa mengundang
makan seseorang dan ia tidak senang orang itu datang, maka yang mengundang itu
satu kesalahan. Dan kalau yang diundang itu datang, maka yang mengundang
mendapat dua kesalahan. Karena ia membawa yang diundang kepada makan, sedang ia
tidak suka.
Dan kalau yang diundang itu tahu yang demikian, niscaya ia
tidak akan makan”. Memberi makanan kepada orang yang bertaqwa, adalah menolong
kepada ketaatannya. Dan memberi makanan kepada orang yang fasiq, adalah memberi
kekuatan kepadanya untuk perbuatan fasiq. Bertanya seorang penjahit kepada
Ibnul-Mubarak: “Saya menjahit pakaian sultan-sultan. Maka adakah tuan takut
bahwa saya ini termasuk orang yang menolong orang-orang zalim ?”. Menjawab
Ibnul-Mubarak: “Tidak ! sesungguhnya yang menolong orang zalim, itu ialah yang
menjual kain dan jarum kepadamu. Adapun engkau, maka adalah termasuk orang
zalim itu sendiri”. Adapun jawaban (memenuhi undangan) itu, adalah sunnat yang
dikuatkan (sunnat muakkadah). Ada yang mengatakan: wajib, pada sebahagian
tempat. Bersabda Nabi saw: “Jikalau aku diundang memakan kaki kambing, niscaya
aku perkenankan dan jikalau aku diberi hadiah lengan kambing niscaya aku
terima”.
Dan untuk
memenuhi undangan makan itu, 5 macam adab:
Pertama: bahwa tidak
membeda-bedakan antara orang kaya dengan orang miskin, dalam memenuhi undangan
itu. Karena membeda-bedakan itu, adalah takabur yang dilarang. Dan karena
itulah, sebahagian mereka tidak mau sekali-kali memenuhi undangan itu dan
berkata: “Menunggu sayur itu suatu kehinaan”. Dan berkata yang lain: “Apabila
aku letakkan tangan pada piring orang lain, maka telah hinalah diriku
karenanya”. Setengah dari orang yang takabur, ialah yang memenuhi undangan
orang yang kaya, tidak orang yang miskin. Dan itu, adalah berlawanan dengan
sunnah. Adalah Nabi saw memenuhi undangan budak dan undangan orang miskin.
Al-Hasan bin Ali ra melalui tempat sekumpulan orang miskin, dimana mereka itu
meminta-minta pada orang di tengah jalan. Mereka itu telah menghamburkan pecahan-pecahan
roti diatas tanah pada pasir, dimana mereka itu memakannya, sedang Al-Hasan
berada diatas baghalnya (hewan peranakan antara kuda dan keledai). Lalu
Al-Hasan memberi salam kepada mereka. Maka mereka berkata kepada Al-Hasan:
“Marilah makan bersama kami, wahai putera dari puteri Rasulullah !”. Maka
Al-Hasan menjawab: “Ya, boleh ! sesungguhnya Allah tiada menyukai orang-orang
yang takabur !”. Lalu beliau turun dari kendaraannya dan duduk bersama mereka
diatas tanah dan makan. Kemudian, ia memberi salam kepada mereka dan
berkendaraan kembali, seraya berkata: “Aku telah penuhi panggilanmu, maka
penuhilah nanti akan panggilanku !”. Mereka itu menjawab: “Boleh !”. Maka
Al-Hasan menjanjikan dengan mereka akan suatu waktu tertentu. Maka datanglah
mereka, lalu beliau menyugukan makanan yang mewah dan duduk makan bersama
dengan mereka.
Adapun perkataan dari orang yang
mengatakan: “Bahwa orang, dimana aku meletakkan tanganku dalam piringnya, maka
sesungguhnya telah hinalah diriku karenanya” –maka sebahagian mereka
mengatakan, bahwa ucapan itu adalah menyalahi sunnah. Sebenarnya, tidaklah
demikian. Karena kehinaan itu, baru ada, apabila yang mengundang tidak senang
dipenuhi undanganya. Dan tidak diikuti dengan dipenuhi undangannya, sebagai
suatu nikmat. Dan si pengundang memandang yang demikian itu, bahwa dia telah
mempunyai kekuasaan keatas yang diundang. Dan Rasulullah saw datang memenuhi
sesuatu undangan, karena beliau tahu bahwa yang mengundang itu merasa dirinya
berbuat suatu nikmat bagi Nabi saw. Dan memandang yang demikian, suatu
kemuliaan dan simpanan untuk dirinya di dunia dan di akhirat. Hal itu berlainan
dengan berlainan keadaan. Maka barangsiapa menyangka, bahwa yang mengundang
merasa berat memberi makanan kepada yang diundang dan diperbuatnya yang demikian,
adalah karena kebanggaan atau memaksakan diri, maka tidaklah termasuk sunat,
memenuhi undangan itu. Bahkan yang lebih utama, mencari alasan untuk
menolaknya. Karena itulah, berkata sebahagian orang shufi: “Janganlah kamu
memperkenankan, kecuali undangan orang, yang memandang bahwa engkau memakan
rezeki engkau sendiri. Dan bahwa dia telah menyerahkan kepada engkau akan
simpanan milik engkau, yang ada padanya. Dan memandang, bahwa engkau mempunyai
kelebihan kepadanya, dalam menerima simpanan daripadanya”.
Berkata Sirr/rahasiai As-Suqthi ra: “Ah,
kepadaku sesuap, yang tak ada akibat padanya terhadap Allah dan tak ada padanya
cacian bagi makhluk”. Apabila diketahui oleh yang diundang, bahwa tak ada
cacian padanya, maka tidak wajarlah ditolak. Berkata Abu Turab An-Nakhsyabi ra:
“Disuguhkan kepadaku makanan, lalu aku menolak. Maka aku memperoleh bencana
dengan kelaparan, 14 hari lamanya. Lalu aku mengetahui, bahwa itu adalah
siksaannya”. Ada yang bertanya kepada Ma’ruf Al-Kharki ra: “Tiap-tiap orang yang
mengundang engkau, maka engkau pergi kepadanya ?”. Maka menjawab Ma’ruf: “Saya
adalah tamu, saya akan bertempat dimana mereka itu menempatkan saya.
Kedua: bahwa tiada wajar
menolak dari memenuhi undangan, disebabkan karena jauh, sebagaimana tiada
menolak karena kemiskinan yang mengundang dan tiada terkenalnya. Tetapi
tiap-tiap jarak jauh yang mungkin ditempuh menurut kebiasaan, maka tiada wajar
ditolak. Karena itulah tersebut dalam Taurat atau sebahagian kitab-kitab:
“Berjalanlah 1 mil, untuk mengunjungi orang sakit ! berjalanlah 2 mil, untuk
berkunjung ke tempat kematian ! berjalanlah 3 mil, untuk memenuhi undangan !
berjalanlah 4 mil untuk mengunjungi teman seagama !”. Sesungguhnya didahulukan
memenuhi undangan dan berkunjung, karena padanya, menunaikan hak orang hidup.
Maka orang hidup itu adalah lebih utama dari orang mati.
Bersabda Nabi saw: “Jikalau aku diundang ke
Kura’ Al-Ghumaim, niscaya aku perkenankan”. Al-Ghumaim, adalah suatu tempat
yang jauhnya beberapa mil dari Madinah, dimana Rasulullah saw berbuka puasa
padanya dalam bulan Ramadlan, tatkala sampai kesitu dan mengqasharkan shalat
padanya dalam perjalanan.
Ketiga: bahwa tidak
menolak lantaran berpuasa, tetapi datanglah. Kalau menggembirakan teman oleh
berbuka, maka berbukalah. Dan hendaklah memperhitungkan dalam berbuka itu,
dengan niat mendatangkan kegembiraan kedalam hati teman, akan apa yang
diperhitungkannya pada puasa. Bahkan lebih utama lagi. Dan yang demikian itu
ialah pada puasa sunat. Dan kalau ia tidak meyakini akan kesukaan hati temannya,
maka hendaklah dibenarkannya menurut yang zahir dan hendaklah ia berbuka. Dan
kalau ia meyakini, bahwa temannya itu bertakalluf (memaksakan diri mengadakan
jamuan itu), maka hendaklah ia mencari alasan untuk melepaskan diri. Bersabda
Nabi saw terhadap orang yang menolak undangan, disebabkan halangan berpuasa:
“Telah memaksakan diri untukmu saudaramu dan kamu mengatakan: “Bahwa aku
berpuasa”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Diantara
kebajikan yang terutama, ialah memuliakan orang-orang yang duduk
bersama-sama, dengan berbuka puasa”. Maka berbuka puasa itu menjadi ibadah
dengan niat tersebut dan suatu kebagusan budi. Pahalanya melebihi pahala puasa.
Manakala tidak berbuka dari puasa, maka jamuannya ialah bau-bauan, air mawar
dan pembicaraan yang baik. Ada yang mengatakan, bahwa celak dan minyak itu,
adalah salah satu daripada dua yang disugukan kepada tamu.
Keempat: bahwa menolak
dari memperkenankan undangan, kalau makanan yang akan disugukan itu, makanan
syubhat (diragukan) atau tempat atau tikar yang dibentang dari yang tidak
halal. Atau terdapat pada tempat jamuan itu, suatu kemunkaran, seperti tikar
sutera atau bejana perak atau gambar binatang diatas loteng atau dinding atau
mendengar suatu dari bunyi-bunyian dan permainan atau berbuat dengan semacam
permainan, bersenda gurau, perbuatan yang sia-sia, mendengar cacian, lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang, berita palsu dan yang diada-adakan
serta kebohongan dan yang serupa dengan yang demikian. Maka semuanya itu,
adalah sebahagian dari yang melarang untuk mempekenankan undangan dan sunatnya
memperkenankannya. Dan mewajibkan keharaman atau kemakruhannya. Dan begitupula,
apabila yang mengundang itu seorang zalim atau seorang pembuat bid’ah (yang
diada-adakan) atau seorang fasiq atau seorang jahat atau seorang yang
memaksakan diri, karena mencari kemegahan dan keagungan.
Kelima: bahwa tidak
bermaksud dengan memenuhi undangan itu, untuk memenuhi hawa nafsu perut,
sehingga ia menjadi seorang yang berbuat pada pintu-pintu duniawi. Tetapi ia
membaguskan niatnya untuk menjadikan diri dengan sambutan undangan itu, sebagai
seorang yang beramal untuk akhirat. Yaitu, bahwa adalah niatnya itu mengikuti
jejak dan sunnah Rasulullah saw pada sabdanya: “Kalau sekiranya aku diundang ke
Kura’, niscaya aku perkenankan”. Dan hendaklah diniatkan menjauhkan diri
berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala, karena sabdanya saw: “Barangsiapa tiada
memperkenankan undangan dari yang mengundang, maka sesungguhnya ia telah
mendurhakai Allah dan RasulNya”. Dan diniatkan memuliakan saudaranya sesama
mu’min, karena mengikuti sabda Nabi saw: “Barangsiapa memuliakan saudaranya
mu’min, maka seolah-olah ia telah memuliakan Allah”. Dan diniatkan mendatangkan
kegembiraan kedalam hati teman, karena mengikuti sabda Nabi saw: “Barangsiapa
menggembirakan orang mu’min niscaya sesungguhnya ia telah menggembirakan
Allah”. Dan diniatkan bersama yang tadi, untuk berkunjung, supaya menjadi
berkasih-kasihan pada jalan Allah. Karena “disyaratkan oleh Rasulullah saw
padanya kunjung-mengunjungi dan beri-memberi karena Allah”. Dan telah berhasil
pemberian itu dari salah satu pihak, lalu berhasillah pula kunjungan dari salah
satu pihak lagi. Dan diniatkan memelihara diri daripada buruk sangkaan orang
tentang tidak datangnya itu, lalu tersiar pembicaraan, bahwa yang demikian itu
disebabkan oleh kesombongan atau keburukan budi atau penghinaan kepada teman
muslim. Atau hal-hal yang serupa dengan yang demikian. Maka inilah 6 macam niat
yang dihubungkan pada memperkenankan undangan, dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala, secara satu-persatu daripadanya. Maka betapa pula secara
keseluruhannya !
Ada sebahagian salaf berkata: “Saya
menyukai supaya pada tiap-tiap amal perbuatan saya ada niat padanya, sehingga
pada makan dan minum”. Dan dalam contoh yang seperti ini, telah bersabda Nabi
saw: “Segala amal perbuatan itu dengan niat dan sesungguhnya bagi tiap-tiap
manusia itu apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berniat dengan
hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya. Dan barangsiapa yang berniat dengan hijrahnya kepada dunia yang ingin
diperolehnya atau kepada wanita yang ingin dikawininya, maka hijrahnya itu
adalah kepada apa yang diniatkan hijrah kepadanya”. Niat itu hanya membekas
pada perbuatan mubah dan perbuatan taat. Adapun pada perbuatan yang terlarang,
maka tiadalah membekas. Kalau sekiranya ia berniat menggembirakan
teman-temannya dengan memberi pertolongan kepada mereka pada minum khamar atau
perbuatan haram yang lain, niscaya niat itu tidak bermanfaat. Dan tidaklah
boleh dikatakan: “Segala amal perbuatan itu dengan niat” dalam hal ini. Tetapi
kalau bermaksud dengan tampil ke medan perang –dimana ia adalah suatu perbuatan
taat –untuk memperoleh kemegahan dan mencari kekayaan, niscaya berkisarlah ia
dari segi ketaatan. Begitupula perbuatan mubah (perbuatan yang dibolehkan),
yang berkisar diantara segi kebajikan dan tidaknya, akan berhubungan dengan
segi kebajikannya itu, dengan niat. Maka berpengaruhlah niat pada dua bahagian
ini (perbuatan mubah dan taat) dan tidak berpengaruh pada bahagian yang ketiga
(bahagian yang terlarang).
Adapun mengenai kedatangan, maka adabnya
ialah memasuki rumah itu dan tidak duduk di kepala majlis, lalu mengambil
tempat yang terbagus. Tetapi hendaklah dengan tawadlu’ (merendah diri) dan
tidak melamakan orang-orang yang telah datang untuk menunggu kedatangannya. Dan
tidak pula mencepatkan, dimana ia datang dengan cara yang tiba-tiba, sebelum
sempurna persediaan. Dan tidak menyempitkan tempat kepada orang-orang yang
telah datang lebih dahulu, dengan desak-mendesak. Tetapi bila ditunjukkan oleh
tuan rumah kepadanya suatu tempat, maka janganlah sekali-kali membantahnya.
Karena kadang-kadang tuan rumah itu telah menyusun untuk masing-masing undangan
itu tempatnya. Maka kalau ditentang, niscaya membawa kekacauan kepada tuan
rumah. Kalau diisyaratkan kepadanya oleh sebahagian tamu, dengan ketinggian
derajat, karena memuliakannya, maka hendaklah ia bertawadlu’ (merendahkan
diri).
Bersabda Nabi saw: “Diantara sifat
merendahkan diri karena Allah, ialah rela dengan yang kurang dari tempat
duduk”. Dan tiada wajarlah duduk setentang pintu kamar untuk wanita dan tabir
mereka. Dan janganlah banyak memandang ke tempat yang dikeluarkan makanan
daripadanya. Karena itu menunjukkan kepada kerakusan. Dan dikhususkan salam dan
pertanyaan kepada orang yang berdekatan dengan dia, apabila ia telah duduk.
Apabila masuk seorang tamu untuk bermalam, maka hendaklah diberitahukan oleh
tuan rumah kepadanya, ketika masuk itu: qiblat, tempat buang air dan tempat
berwudlu’. Begitulah diperbuat oleh Imam Malik kepada Imam Asy-Syafi’i ra. Dan
Imam Malik ra membasuh tangannya sebelum makan, sebelum orang lain membasuh
tangannya, seraya berkata: “Tuan rumah membasuh tangannya sebelum makan, adalah
lebih utama. Karena membawa orang kepada memuliakannya”. Maka caranya, ialah
tuan rumah itu mendahulukan membasuh tangannya pada awal makan dan
mengemudiankan membasuh tangannya pada akhir makan, untuk menunggu masuk orang
yang akan makan, lalu makan bersama dengan dia. Apabila memasuki tempat jamuan,
lalu melihat yang munkar, maka hendaklah menghilangkan kemungkaran itu, kalau
sanggup. Dan kalau tidak, maka hendaklah ditantangnya dengan lisan dan
kemudian, pergilah. Perbuatan munkar, yaitu: tikar sutera, pemakaian bejana
perak dan emas, gambar pada dinding, diperdengarkan permainan dan
bunyi-bunyian, hadir kaum wanita yang terbuka mukanya dll lagi dari
perbuatan-perbuatan haram. Sehingga Ahmad ra berkata: “Apabila ia melihat alat
celak, dimana kepalanya terbuat dari perak, maka seyogyalah keluar. Dan
janganlah setuju duduk, kecuali pada palang pintu”. Dan beliau berkata pula:
“Apabila melihat tabir halus, maka seyogyalah keluar, karena itu adalah
pemaksakan diri. Tak ada padanya faedah, tidak menolak panas dan dingin dan
tidak menutupkan sesuatu”. Begitupula beliau berkata: “Keluarlah, apabila
melihat dinding rumah, ditutupi dengan sutera, sebagaimana menutupkan Ka’bah !”
Seterusnya Ahmad ra berkata: “Apabila menyewa rumah, dimana padanya gambar atau
memasuki kamar mandi, lalu menampak gambar, maka seyogyalah mengikiskan gambar
itu. Kalau tidak sanggup, maka keluarlah”. Semua yang disebut oleh Ahmad ra itu
benar. Hanya harus diperhatikan tentang tabir halus dan penghiasan dinding
dengan sutera. Karena itu tidaklah sampai kepada: mengharamkan. Karena sutera
hanya diharamkan kepada laki-laki saja.
Rasulullah saw bersabda: “Yang dua ini
(emas dan perak), diharamkan kepada umatku yang laki-laki dan dihalalkan kepada
yang wanita daripadanya”. Dan apa yang diatas dinding itu tidaklah ditujukan
kepada laki-laki. Dan kalau itu diharamkan, niscaya diharamkanlah penghiasan
Ka’bah. Bahkan yang lebih utama ialah membolehkannya, karena menurut pemahaman
yang semestinya dari firman Allah Ta’ala: “Katakanlah ! siapakah yang
mengharamkan (memakai) perhiasan Allah ?”. S 7 Al- A’raaf ayat 32. Lebih-lebih
pada waktu hiasan itu, apabila tidak diambil menurut adat kebiasaan untuk
bermegah-megah. Walaupun dapat dikhayalkan, bahwa orang laki-laki mengambil
manfaat dengan memandang kepada dinding itu. Dan tidaklah diharamkan kepada
laki-laki mengambil manfaat dengan memandang kepada sutera, manakala dipakai
oleh budak-budak wanita dan kaum perempuan. Dan dinding tadi, adalah seperti
dengan wanita. Karena ia tidak disifatkan dengan jantan.
Adapun
menghidangkan makanan, maka 5 adabnya:
Pertama: menyegerakan
makanan itu, karena yang demikian adalah sebahagian dari memuliakan tamu. Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka
hendaklah ia memuliakan tamunya ! manakala telah banyak yang datang dan belum
datang seorang atau dua dan mereka itu terkemudian dari waktu yang dijanjikan,
maka hak orang-orang yang telah datang untuk disegerakan, adalah lebih utama
dari hak mereka yang datang kemudian. Kecuali yang datang kemudian itu orang
miskin atau merasa kecil hati dengan yang demikian. Maka dalam hal ini tiada mengapa
dikemudiankan. Dan salah satu dari dua pengertian, mengenai firman Allah
Ta’ala: “Sudah datangkah kepadamu cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan ?” S 51
Adz Dzaariyaat ayat 24 bahwa para tamu
itu dimuliakan dengan menyegerakan penyuguan makanan kepada mereka. Dibuktikan
kepada yang demikian oleh firman Allah Ta’ala: “Setelah seketika lamanya,
dihidangkannya daging sapi yang dibakar”. S 11 Huud ayat 69. Dan firmanNya:
“Lalu dia pergi dengan diam-diam kepada keluarganya dan dibawanya daging anak
sapi yang gemuk”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 26. Ragha dan mashdarnya, yaitu:
raughan pada ayat diatas, artinya: berjalan dengan cepat. Dan ada yang
mengatakan: berjalan dengan diam-diam. Dan ada yang mengatakan: dia datang
dengan daging-paha. Dan dinamakan daging paha itu dengan: ‘ijlin (pada ayat
diatas), karena dia menyegerakan membawanya dan dalam seketika saja.
Berkata Hatim Al-Ashamm: “Cepat
tergopoh-gopoh itu dari setan, kecuali pada 5 perkara. Maka yang 5 ini, adalah
dari sunnah Rasulullah saw, yaitu: memberi makanan kepada tamu,
menyelenggarakan (tajhiz) mayit, mengawinkan anak gadis, membayar hutang dan
bertaubat daripada dosa”. Dan disunatkan menyegerakan walimah (pesta
perkawinan). Ada ulama yang mengatakan, bahwa: pesta kawin pada hari pertama
itu sunat, pada hari ke-2 suatu yang ma’ruf (dikenal sebagai adat kebiasaan
dalam masyarakat) dan pada hari ke-3 itu ria.
Kedua: penerbitan
makanan, dengan mendahulukan pertama-tama buah-buahan, kalau ada. Yang demikian
itu, adalah lebih bersesuaian dengan kesehatan, karena lebih melekaskan
pencernaan makanan. Maka sewajarnyalah buah-buahan itu jatuh pada bahagian
bawah perut besar. Dan dalam Alquran terdapat peringatan untuk mendahulukan
buah-buahan, pada firman Allah Ta’ala:
“Dan buah-buahan, mana yang mereka pilih”. S 56 Al Waaqi’ah
ayat 20. Kemudian Allah berfirman:
“Dan daging burung, mana yang mereka ingini”. S 56 Al
Waaqi’ah ayat 21. Kemudian, yang lebih utama didahulukan sesudah buah-buahan,
ialah: daging dan roti yang dihancurkan ke dalam kuah (tsarid). Bersabda Nabi
saw: “Kelebihan ‘Aisyah dari wanita-wanita lain, adalah seperti kelebihan
tsarid dari makanan-makanan lain”. Kalau dikumpulkan kepada makanan itu, yang
manis sesudah tsarid, maka sesungguhnya telah berkumpul segala yang baik-baik.
Dan dibuktikan berhasilnya memuliakan tamu dengan daging, ialah firman Allah
Ta’ala: mengenai tamu Nabi Ibrahim as karena ia menyugukan daging sapi yang
dibakar, yaitu, yang telah bagus masakannya. Dan itu adalah salah satu dari
pengertian memuliakan, ya’ni dengan mendahulukan daging. Allah Ta’ala
berfirman, tentang: menyifatkan: yang baik-baik (ath-thayyibaat): “Dan Kami
turunkan kepadamu al-manna dan assalwa”. S 2 Al Baqarah ayat 57. Al-manna,
yaitu: manisan lebah. Dan assalwa, yaitu: daging. Dinamakan: daging itu, dengan:
assalwa. Karena ia menyenangkan, dari semua lauk-pauk yang lain. Dan tidak
dapat yang lain menggantikan kedudukan daging. Karena itulah, bersabda Nabi
saw: “Penghulu lauk-pauk, ialah daging”. Kemudian, sesudah menyebutkan Al-manna
dan assalwa, maka Allah Ta’ala berfirman: “Makanlah makanan yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu !”. S 2 Al Baqarah ayat 57 yang tersebut diatas. Maka
daging dan makanan yang manis (halwa) itu, termasuk dari: yang baik-baik.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani ra: “Memakan
yang baik-baik, mewarisi kerelaan Allah”. Dan yang baik-baik itu sempurna
dengan meminum air dingin dan menuangkan air yang sudah sejuk keatas tangan
ketika membasuhnya. Berkata Al-Ma’mun: “Meminum air dengan es, adalah
mengikhlaskan kesyukuran”. Berkata setengah orang yang ahli tentang adab:
“Apabila kamu mengundang teman-temanmu, lalu engkau sugukan kepada mereka
makanan dari buah-buahan dan ikan, kemudian kamu berikan minuman air dingin,
maka sesungguhnya engkau telah menyempurnakan jamuan”. Dan sebahagian mereka
mengeluarkan belanja beberapa dirham untuk jamuan, lalu berkata sebahagian
hukama’: “Kami tidak berhajat kepada ini, apabila rotimu bagus, airmu dingin
dan cukamu masam. Maka sekedar itu sudah mencukupi”. Berkata setengah mereka:
“Adanya kue yang manis sesudah makan, adalah lebih baik daripada banyaknya
macam makanan. Dan menetap dengan kepuasan pada satu hidangan dengan satu
macam, adalah lebih baik daripada lebih kepada dua macam”. Ada yang mengatakan,
bahwa malaikat mendatangi hidangan, apabila ada padanya sayur-sayuran. Maka
sayur-sayuran itu disunatkan pula. Dan karena padanya itu, penghiasan bagi
makanan dengan kehijauan. Dan pada suatu berita, tersebut: “Bahwa hidangan yang
diturunkan kepada kaum Bani Israil itu, adalah padanya bermacam-macam
sayur-sayuran, kecuali daun kurrats (busuk baunya, menyerupai bawang). Dan ada
pada hidangan itu ikan, dimana pada kepalanya cuka, pada ekornya garam. Dan
pada hidangan itu 7 buah roti dan diatas masing-masing roti itu, buah zaitun
dan biji buah delima”. Ini, apabila berkumpul semuanya, adalah baik karena
bersesuaian.
Ketiga: bahwa didahulukan
dari berbagai macam makanan itu, yang lebih lembut, sehingga dapat dihabiskan
daripadanya oleh siapa yang mau. Dan tidak diperbanyakkan makan lagi
sesudahnya. Dan kebiasaan orang-orang yang mewah, ialah mendahulukan makanan
yang kasar. Supaya kembali tergerak nafsunya dengan memperoleh makanan yang lembut kemudian. Dan itu adalah
berlawanan dengan sunnah. Itu, adalah helah untuk membanyakkan makan. Dan
adalah diantara kebiasaan orang-orang terdahulu, menyugukan sejumlah macam
makanan sekaligus dan mengatur berbaris-baris piring makanan diatas meja makan.
Supaya masing-masing boleh makan menurut kesukaannya. Dan kalau tak ada pada
tuan rumah itu, selain semacam saja, maka hendaklah disebutkannya. Supaya para
tamu dapat menyempurnakan makan dari yang semacam itu. Dan tidak lagi menunggu
akan yang lebih baik. Diceritakan dari sebahagian orang-orang yang mempunyai
kehormatan diri (muruah), bahwa ia menulis pada sehelai kertas, berbagai macam
makanan yang ada padanya dan disugukannya kepada para tetamu. Berkata setengah
para guru: “Disugukan kepadaku oleh sebahagian para guru, suatu macam makanan
negeri Syam, lalu aku berkata: “Pada kami di Irak, sesungguhnya ini disugukan pada
penghabisan”. Lalu menjawab guru tadi: “Begitulah pada kami di negeri Syam”.
Dan tak adalah baginya makanan yang lain. Maka malulah aku daripadanya”.
Berkata sebahagian guru yang lain: “Adalah kami serombongan pada suatu
perjamuan. Lalu disugukan kepada kami berbagai macam kepala ikan yang
dipanggang, yang dimasak dan terpotong-potong. Kami tidak terus makan, tetapi
menunggu macam atau bawaan yang lain. Lalu dibawalah kepada kami baki dan tidak
disugukan makanan yang lain. Maka pandang-memandanglah diantara kami satu sama
lain. Lalu berkata sebahagian guru secara berkelakar: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala mentaqdirkan menjadikan kepala, tanpa badan”. Guru tadi meneruskan
ceritanya: “Maka bermalamlah kami pada malam itu dengan perut lapar. Kami
mencari pecahan-pecahan roti sampai kepada waktu sahur”. Maka dari itulah,
disunatkan menyugukan semuanya atau diterangkan apa yang ada pada tuan rumah.
Keempat: bahwa tidak
mencepatkan mengangkat makanan-makanan itu, sebelum para tamu cukup memakannya.
Sehingga mereka telah mengangkat tangannya dari makanan-makanan tersebut.
Karena mungkin diantara mereka, masih ingin kepada yang masih tinggal daripada
yang telah disugukan itu atau ia masih berhajat kepada makan. Maka tertahanlah
ia daripada memakannya, lantaran cepat mengangkatnya. Dan adalah dengan tetap
pada suatu hidangan, dimana dikatakan, yang demikian itu, adalah lebih baik
dari dua macam makanan. Maka mungkin dimaksudkan dengan kata-kata tadi, ialah
tidak menyegerakan mengangkatkannya. Dan mungkin pula dimaksudkan dengan suatu
hidangan itu, akan keluasan tempat.
Diceritakan dari As-Satturi, yang mana
beliau ini adalah seorang shufi yang suka berkelakar, bahwa ia telah berkunjung
pada salah seorang anak dunia dalam suatu perbidangan. Maka disugukan seekor
kibasy dan adalah tuan rumah itu seorang yang kikir. Maka tatkala dilihatnya
para tamu merobek-robekkan kibasy tadi, maka sempitlah dadanya (tiada merasa senang).
Lalu ia memanggil pelayannya: “Hai pelayan, angkatlah kepada anak-anak makanan
ini!” Lalu pelayan itu mengangkatnya kedalam rumah. Maka bangunlah As-Satturi,
berlari-lari di belakang kibasy itu. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mau
kemana?”. Beliau menjawab: “Saya mau makan bersama anak-anak”. Maka malulah
tuan rumah dan menyuruh mengembalikan kibasy tadi. Dari macam inilah, bahwa
yang mempunyai hidangan tidak mengangkat tangannya sebelum para tamu. Karena
mereka itu malu. Bahkan seyogyalah yang mempunyai makanan, orang yang terakhir
siap makan. Adalah setengah orang-orang mulia menerangkan kepada orang ramai
(para tamunya) segala macam makanan dan membiarkan mereka memakannya dengan
cukup. Maka apabila mereka hampir siap makan, lalu tuan rumah itu duduk
berlutut dan mengulurkan tangannya kepada makanan, lalu maka, seraya berkata:
“Bismillaah, tolonglah aku, kiranya Allah memberkati padamu dan kepadamu !” Dan
ulama-ulama terdahulu (salaf) memandang baik yang demikian.
Kelima: bahwa disugukan
dari makanan, sekedar mencukupi. Karena kurang dari mencukupi, adalah
mengurangkan kehormatan diri (muruah). Dan menambahkan dari yang mencukupi,
adalah berbuat-buat (tashannu’) dan ria. Lebih-lebih apabila dari tuan rumah
itu, tidak membolehkan dimakan seluruhnya. Kecuali bahwa disugukan banyak dan
tuan rumah itu baik hati, kalau para tamu mengambil semuanya. Dan berniat
memperoleh barakah dengan kelebihan makanan yang dimakan para tamu itu. Karena
tersebut pada suatu hadits, tuan rumah itu tidak dihisabkan dosanya (tidak
dikira dosa yang memberatkannya). Ibrahim bin Adham ra telah menyugukan banyak
makanan pada hidangannya. Lalu berkata Abu Sufyan: “Hai Abu Ishaq ! apakah
tidak engkau takut, bahwa ini adalah berlebih-lebihan ?”. Ibrahim menjawab:
“Tidak adalah pada makanan itu berlebih-lebihan”. Kalau tidak ada niat itu,
maka membanyakkan makanan, adalah “pemaksakan diri”. Berkata Ibnu Mas’ud ra:
“Kami dilarang memperkenankan undangan orang yang bermegah-megah dengan
makanannya”. Segolongan sahabat memandang makruh memakan makanan yang
bermegah-megah. Dari itulah, tidak pernah sekali-kali diangkat dari hadapan
Rasulullah saw kelebihan dari sesuatu makanan. Karena mereka itu tidak
menyugukan, selain sekadar yang perlu saja dan mereka tidak memakan dengan
sempurna kenyang. Dan seyogyalah mula-mula diasingkan bahagian dari keluarga
tuan rumah (ahlil-bait). Sehingga pandangan mereka tidak tertuju dengan
pengharapan akan kembali sedikit dari makanan itu. Dan mungkin tidak ada yang
kembali, maka sempitlah dada mereka dan keluarlah pembicaraan yang tidak baik
terhadap para tamu itu. Dan adalah apa yang telah disugukannya kepada tamu-tamu
tadi, termasuk kepada apa yang diikuti oleh kebenciannya kepada mereka. Dan itu
adalah pengkhianatan terhadap para tamu. Apa yang tinggal dari makanan, maka
tidaklah bagi tamu-tamu itu mengambilnya. Dan itu adalah apa yang dinamakan
oleh kaum shufi dengan “tergelincir”. Kecuali telah ditegaskan oleh yang punya
makanan itu, dengan keizinan diambil, dengan rela hati atau diketahui yang
demikian itu, dengan tanda-tanda dari keadaan. Dan tuan rumah itu amat merasa
senang dengan yang demikian. Kalau berat dugaan, bahwa tuan rumah itu kurang
senang, maka tidak seyogyalah diambil. Dan apabila diketahui kerelaan dari yang
punya makanan itu, maka seyogyalah dijaga keadilan dan keinsyafan kepada
teman-teman. Maka tidak wajarlah diambil oleh seseorang selain yang tertentu
untuknya atau apa yang direlai oleh temannya dengan kepatuhan. Tidak dengan
rasa kemalu-maluan.
Adapun
kembali dari perjamuan, maka mempunyai 3 adab kesopanan:
Pertama: bahwa tuan rumah
keluar bersama tamu sampai ke pintu rumah. Dan itu adalah sunat. Dan termasuk
sebahagian daripada memuliakan tamu. Dan disuruh memuliakan tamu. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka hendaklah
memuliakan tamunya !”. Dan Nabi saw bersabda: “Setengah dari sunat bagi orang
yang mempunyai tamu, ialah mengantarkannya sampai ke pintu rumah”. Berkata Abu
Qatadah, bahwa telah datang utusan raja Habsyi (Negus) kepada Rasulullah saw,
maka bangunlah Rasulullah sendiri mengurus kedatangan mereka itu. Lalu berkata
para sahabatnya: “Kami saja cukup, wahai Rasulullah !”. Lalu Nabi saw menjawab:
“Tidak ! adalah mereka dahulu telah memuliakan sahabatku, maka sekarang aku
ingin membalas budi baik mereka itu !”. Kesempurnaan memuliakan tamu itu, ialah
dengan bermanis muka dan berbicara dengan baik ketika masuk, ketika keluar dan
pada hidangan. Ditanyakan kepada Al-Auza’i ra: “Bagaimanakah memuliakan tamu
itu ?”. Maka beliau menjawab: “Bermanis muka dan berbicara baik”. Berkata Yazid
bin Abi Ziad: “Tidak pernah aku masuk ke tempat Abdurrahman bin Abi Laila,
melainkan selalu ia berbicara dengan kami, pembicaraan yang baik dan memberikan
kami makanan yang baik”.
Kedua: bahwa tamu itu
pulang dengan baik hati, meskipun terjadi terhadap dirinya keteledoran dari
pihak tuan rumah. Karena yang demikian itu, termasuk kebaikan budi dan tawadlu’
(merendahkan diri). Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang itu akan memperoleh
dengan kebaikan budinya, derajat orang yang membanyakkan puasa dan mengerjakan
shalat”. Setengah orang terdahulu (ulama salaf) diundang dengan perantaraan
utusan. Lalu salaf tadi, tidak berjumpa dengan utusan itu. Tatkala beliau
mendengar, lalu beliau datang, dimana para tamu telah bercerai-berai dan telah
selesai serta telah keluar. Maka keluarlah tuan rumah menyongsong kedatangan
ulama salaf itu, seraya menerangkan, bahwa para tamu telah pulang. Lalu ulama
itu, bertanya: “Adakah masih tinggal makanannya?”. Menjawab tuan rumah: “Tidak
ada”. Beliau itu, bertanya lagi: “Adakah tinggal yang hancur-hancur saja ?”.
Tuan rumah menjawab: “Tidak ada !”. Maka beliau menyambung: “Periuknya saja aku
sapu”. Tuan rumah menjawab: “Telah kami basuh”. Lalu ulama itu keluar
meninggalkan tempat itu dengan memuji Allah Ta’ala. Maka ditanyakan kepada
beliau tentang yang tadi itu, lalu beliau menjawab: “Lelaki yang mempunyai
rumah itu telah berbuat baik. Dia mengundang kami dengan niat yang baik dan
melepaskan kami dengan niat yang baik”. Itulah artinya merendahkan diri dan
kebaikan budi ! Diceritakan bahwa Ustadz Abil-Qasim Al-Junaid diundang oleh
seorang anak kecil kedalam undangan ayahnya sebanyak 4 kali. Maka ditolak oleh
ayahnya pada ke-4 kali itu. Dan Abil-Qasim itu kembali pada tiap-tiap kali,
dengan memandang baik hati anak kecil itu, dengan kedatangannya dan hati ayah
anak kecil itu, dengan kembalinya. Maka inilah jiwa yang telah menghinakan diri
dengan tawadlu’ karena Allah Ta’ala dan merasa tentram dengan kekeesaanan. Dan
memandang pada tiap-tiap penolakan dan penerimaan itu, sebagai suatu ibarat
diantaranya dan Tuhannya. Sehingga jiwa itu tidak merasa hancur dengan apa yang
berlalu dari segala hamba itu, dari kehinaan, sebagaimana jiwa itu tidak
bergembira dengan apa yang berlaku daripada hamba itu, dari penghormatan.
Tetapi semuanya itu mereka memandangnya dari Yang Maha Esa dan Maha Perkasa.
Dan karena itulah, berkata sebahagian mereka: “Sesungguhnya aku tidak
memperkenankan sesuatu undangan, melainkan karena aku teringat dengan undangan
itu akan makanan sorga. Yaitu: makanan yang baik, yang menghilangkan dari kami
kepayahan, perbelanjaan dan perkiraannya”.
Ketiga: bahwa tamu itu
tidak keluar, melainkan dengan kerelaan dan keizinan tuan rumah, serta menjaga
hatinya tentang lamanya berdiam disitu. Dan apabila ia bertempat selaku tamu,
maka janganlah berlebih dari 3 hari. Karena kalau lebih dari itu, kadang-kadang
tuan rumah itu tidak merasa senang lagi dan memerlukan untuk mengeluarkannya.
Nabi saw bersabda: “Bertamu itu 3 hari, maka yang lebih dari itu, adalah
sedekah”. Benar, kalau yang punya rumah itu mendesak lebih dari 3 hari, dengan
keikhlasan hati, maka bolehlah baginya tinggal lebih dari 3 hari dalam hal ini.
Dan disunatkan ada pada yang punya rumah itu, tikar (tempat tidur) bagi tamu
yang menginap padanya. Rasulullah saw bersabda: “Suatu tempat tidur bagi
laki-laki, suatu tempat bagi wanita, suatu tempat tidur bagi tamu dan yang
keempat itu bagi setan”.
PASAL:
yang mengumpulkan segala adab & larangan, menurut ilmu kedokteran dan
keagamaan, yang bercerai-berai disana-sini.
Pertama: diceritakan dari
Ibrahim An-Nakha’i, bahwa beliau berkata: “Makan di pasar itu, adalah suatu
kehinaan”. Disandarkannya (diisnadkannya) ucapan itu kepada Rasulullah saw. Dan
isnadnya ini, adalah mendekati kepada kebenaran. Dan telah dinuqilkan yang berlawanan
dengan ucapan tadi dari Ibnu Umar ra bahwa Ibnu Umar berkata: “Adalah kami
memakan pada masa Rasulullah saw dan kami itu berjalan. Kami minum dan kami itu
berdiri”. Sebahagian guru dari ulama tasawwuf/ahli suffi yang terkenal, dilihat
orang makan dipasar. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian, maka
beliau menjawab: “Apakah saya harus lapar dipasar dan baru nanti makan dirumah
?”. Lalu yang bertanya itu menyarankan: “Tuan guru makan di masjid saja !”.
Maka beliau menjawab: “Saya malu memasuki BaitNya untuk makan didalamnya”. Cara
mengumpulkan diantara dalil-dalil itu, ialah bahwa makan dipasar adalah
tawadlu’/merendahkan diri dan meninggalkan pemaksakan diri. Dari sebahagian
manusia itu baik dan dari sebahagian yang lain adalah merusakkan muruah
(merusakkan kehormatan diri). Maka menjadi makruh. Dari itu, adalah berlainan
menurut adat-istiadat dari masing-masing negeri dan menurut keadaan
masing-masing orang. Maka orang yang tiada layak yang demikian, melihat kepada
pekerjaan-pekerjaannya yang lain, niscaya hal itu membawa kepada kurangnya
kehormatan diri dan kesangatan rakusnya. Dan membawa kepada kecederaannya dari
menjadi saksi. Dan orang yang layak demikian, dengan semua keadaan dan
pekerjaannya, untuk meninggalkan pemaksakan diri, maka yang demikian itu adalah
menjadi tawadlu’ (merendahkan diri) daripadanya.
Kedua: berkata Ali ra:
“Barangsiapa memulai makannya dengan garam, niscaya dihilangkan oleh Allah
daripadanya 70 macam bencana. Barangsiapa memakan dalam sehari 7 biji
tamar/buah kurma kering yang belum terkubak, niscaya terbunuhlah tiap-tiap
binatang yang ada dalam perutnya. Dan barangsiapa memakan tiap-tiap hari 21
biji buah anggur kering yang berwarna merah, niscaya ia tidak akan melihat pada
tubuhnya, sesuatu yang tiada disukainya. Daging itu menumbuhkan daging. Tsarid
(roti yang dipecah-pecahkan, kemudian dimasukkan kedalam kuah), adalah makanan
orang Arab. Bisqarijat (semacam makanan) itu membesarkan perut dan melemahkan
dua buah pinggang. Daging lembu itu penyakit, susunya itu penyembuh, minyak
saminnya itu obat. Dan lemak itu keluar seperti itu dari penyakit. Dan tidaklah
akan memperoleh kesembuhan wanita yang beranak, dengan sesuatu, yang lebih
utama daripada tamar muda. Ikan itu melemahkan tubuh. Membaca Alquran dan
menggosok gigi, itu menghilangkan dahak. Dan barangsiapa berkehendak kekal –dan
sebenarnya tidak adalah kekal –maka hendaklah bersegera memakan makan siang,
berkali-kali mengulangi makanan malam dan memakai sepatu. Dan tidaklah berobat
manusia dengan sesuatu, seperti minyak samin. Hendaklah menyedikitkan
mendatangi wanita dan meringankan pakaian. Dan itu adalah agama”.
Ketiga: berkata Al-Hajjaj
kepada sebahagian tabib (dokter): “Terangkanlah kepadaku suatu keterangan yang
akan aku pegangi dan tidak akan aku langkahi !”. Maka menjawab tabib itu:
“Jangan engkau kawini wanita, kecuali yang gadis ! jangan engkau makan daging,
kecuali yang hancur ! jangan engkau makan masakan, sehingga bagus masakannya !
jangan engkau minum obat, kecuali dari karena penyakit ! jangan engkau makan
buah-buahan, kecuali yang masak ! jangan engkau makan makanan, kecuali telah
engkau baguskan pengunyahannya ! makanlah makanan yang engkau sukai ! dan
janganlah engkau minum diwaktu sedang makan ! apabila engkau minum, maka
janganlah memakan sesuatu diatas minuman itu ! jangan engkau tahan air besar
dan air kecil ! dan apabila engkau telah makan siang, maka tidurlah ! dan
apabila engkau sudah makan malam, maka berjalan-jalanlah sebelum tidur,
walaupun 100 langkah !”. Dan seirama dengan yang tadi, ialah kata orang Arab:
“Engkau makan siang, maka engkau memanjang. Dan engkau makan malam, maka engkau
berjalan”. Ya’ni: mengembang (tamaddad), sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Kemudian itu dia pergi kepada keluarganya dengan penuh kesombongan”. S 75 Al
Qiyaamah ayat 33. “Yatamath-tha” pada ayat tadi, artinya: yatamath-thath
(mengembang laksana karet). Ada ulama yang mengatakan, bahwa menahan air kecil
itu merusak badan, sebagaimana sungai merusakkan sekelilingnya apabila
tersumbat tempat mengalirnya.
Keempat: tersebut pada
hadits: “Memotong urat membawa kepada sakit dan meninggalkan makan malam
membawa kepada lemah”. Orang Arab mengatakan: “Meninggalkan makan pagi (awal
siang) dapat menghilangkan minyak buah pinggang”. Berkata setengah ahli hikmat
kepada puteranya: “Hai anakku ! janganlah engkau keluar dari tempat tinggalmu,
sebelum engkau mengambil santunanmu !” Artinya: engkau makan. Karena dengan
makan itu mengekalkan kesantunan dan menghilangkan kelemahan pikiran. Dan juga
mengurangkan hawa nafsu ketika melihat sesuatu di pasar. Berkata seorang ahli
hikmat kepada seorang gemuk: “Saya melihat padamu yang sudah busuk dari barisan
gusimu. Darimanakah datangnya ?”. Orang gemuk itu menjawab: “Dari memakan yang
halus dari gandum, yang kecil-kecil dari kambing. Aku berminyak dengan minyak
kacang dan aku berpakaian dengan kain katun”.
Kelima: menjaga diri dari
hal makanan (alha-miyyah), adalah membawa melarat kepada orang yang sehat,
sebagaimana meninggalkannya membawa melarat kepada orang yang sakit. Begitulah
dikatakan orang. Dan berkata sebahagian mereka: “Barangsiapa menjaga diri
(menjaga diri dari hal makanan atau al-hamiyyah) maka dia adalah diatas
keyakinan dari barang yang tidak disukai dan diatas keraguan dari barang-barang
yang menyehatkan”. Dan ini adalah bagus dalam hal keadaan sehat. “Rasulullah
saw melihat Shuhaib memakan tamar, sedang salah satu dari kedua matanya sakit,
lalu beliau bertanya: “Apakah engkau makan tamar, sedang engkau sakit mata ?”.
Shuhaib menjawab: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku makan dengan keping yang
lain”. Ya’ni: tepi yang sehat. Maka tertawalah Rasulullah saw mendengar yang
demikian.
Keenam: disunatkan
membawa makanan kepada keluarga orang yang meninggal dunia. Tatkala datang
berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
keluarga Ja’far itu sibuk dengan orang yang meninggal, daripada menyediakan
makanan mereka. Dari itu, bawalah kepada mereka apa yang akan mereka makan
nanti !”. Membawa makanan itu adalah sunat. Apabila disugukan yang demikian kepada
orang banyak, halallah memakan daripada nya. Kecuali yang disediakan untuk
orang-orang yang menangis dan yang menolong kepadanya dengan tangisan dan
kegundahan. Maka tidak seyogya lah makan bersama mereka itu.
Ketujuh: tidak seyogyalah
menghadiri perjamuan orang yang zalim. Kalau dipaksakan, maka hendaklah
disedikitkan memakannya. Dan janganlah menuju kepada makanan yang lebih bagus !
Sebahagian orang yang amat memperhatikan kebersihan batin (al-muzakki), menolak
menjadi saksi orang yang menghadiri perjamuan sultan (penguasa yang zalim
tentunya). Maka orang yang ditolak menjadi saksi tadi, menjawab: “Aku adalah
karena terpaksa maka menghadiri perjamuan itu”. Lalu menjawab al-muzakki tadi:
“Aku melihat anda menuju makanan yang lebih bagus dan membesarkan suap. Dan
tidaklah anda terpaksa untuk itu”. Kemudian, sultan memaksakan al-muzakki itu
kepada makan. Maka ia menjawab: “Adakalanya aku makan dan aku melepaskan
kebersihan batin atau aku mempertahankan kebersihan batin dan tidak makan”.
Maka terpaksalah mereka mengakui kebersihan batin al-muzakki tadi dan
membiarkannya tidak makan. Diceritakan orang, bahwa Zun-Nun Al-Mishri,
dipenjarakan dan beliau tidak makan beberapa hari dalam penjara. Beliau
mempunyai seorang saudara perempuan pada jalan Allah (fillaah). Wanita ini
mengirimkan makanan kepadanya dalam bungkusan, dengan perantaraan pengawal
penjara. Beliau tidak mau makan makanan itu. Setelah mengetahui yang demikian,
maka wanita tadi amat menyesali akan sikap beliau itu. Beliau menjawab:
“Makanan itu betul halal, tetapi sampai kepadaku diatas baki yang zalim”.
Dimaksudkan beliau dengan yang zalim itu, ialah tangan pengawal penjara. Dan
ini, adalah wara’ yang paling penghabisan.
Kedelapan: diriwayatkan dari
Fathul-Mausuli ra bahwa beliau berkunjung kepada Bisyr Al-Hafi. Lalu Bisyr
mengeluarkan uang sedirham dan memberikannya kepada Ahmad Al-Jala’ –pelayannya,
seraya mengatakan: “Belilah dengan uang ini makanan yang baik dan lauk-pauk
yang bagus !”. Pelayan tadi menerangkan: “Lalu aku belikan roti yang bersih,
seraya aku mengatakan: “Tidakkah Nabi saw berdoa bagi sesuatu: “Wahai Allah
Tuhanku, berilah barakah bagi kami padanya dan tambahkanlah kepada kami
daripadanya !”, selain dari: susu. Maka aku belikan susu dan tamar yang bagus.
Lalu aku sugukan kepadanya”. Fathul-Mausuli lalu makan dan mengambil yang
tinggal (yang tidak dimakan). Maka berkata Bisyr kepada pelayannya: “Tahukah
kamu, mengapa aku katakan: belilah makanan yang bagus ? karena makanan yang
bagus, menghasilkan kesyukuran yang ikhlas. Tahukah kamu, mengapa
Fathul-Mausuli tidak mengatakan kepadaku: “Makanlah !” Karena tidaklah bagi
seorang tamu, mengatakan kepada tuan rumah: “Makanlah !” Tahukah kamu, mengapa
Fathul-Mausuli membawa yang tinggal ? karena apabila benarlah penyerahan, maka
tidak apalah dibawa”.
Bercerita Abu Ali Ar-Raudzabari ra, bahwa
ia mengadakan suatu perjamuan, lalu memasang pada perjamuan itu 1000 buah
lampu. Maka berkata kepadanya seorang laki-laki: “Tuan telah berlebih-lebihan
!”. Abu Ali menjawab: “Silakan masuk ! maka semua lampu yang aku pasang itu
bukan karena Allah, padamkanlah !”. Orang itupun lalu masuk, maka ia tidak
sanggup memadamkan satu lampupun daripadanya. Lalu ia tidak dapat berkata
apa-apa. Abu Ali Ar-Raudzabari memberi beberapa pikul gula dan menyuruh
tukang-tukang gula itu membawanya. Sehingga membangun sebuah dinding dari gula
itu, dengan berkamar dan bermihrab diatas tiang-tiang yang terukir, dimana
seluruhnya dari gula. Kemudian, Abu Ali itu mengundang beberapa orang shufi,
lalu membongkar dan mengambilkannya.
Kesembilan: berkata
Asy-Syafi’i ra: “Makan itu diatas 4 macam: makan dengan satu jari, adalah
cacian; dengan 2 jari, adalah sombong; dengan 3 jari adalah sunnah Nabi saw;
dengan 4 dan 5 jari, adalah serakah.
4 perkara, adalah
menguatkan badan: memakan daging, mencium bau-bauan, membanyakkan mandi dari
bukan bersetubuh dan memakai kain katun.
4 perkara, adalah
melemahkan badan: banyak bersetubuh, banyak dukacita, banyak meminum air, tanpa
memakan sesuatu dan banyak memakan yang masam.
4 perkara adalah
menguatkan penglihatan: duduk arah ke qiblat, bercelak ketika tidur, memandang
kepada yang hijau dan membersihkan pakaian.
4 perkara, adalah
melemahkan penglihatan: memandang kepada yang jijik, memandang kepada orang
yang dipancung, memandang kepada kemaluan wanita dan duduk membelakangi qiblat.
4 macam menambah
kekuatan bersetubuh: memakan daging burung, memakan ithrifil besar, memakan
fustuq (semacam buah-buahan, satu tangkai terdapat berpuluh buah banyaknya –pent.)
dan memakan jirjir (semacam sayur-sayuran yang tumbuh atas air dan dimakan
–pent.).
Tidur itu, adalah 4
macam: tidur diatas kuduk, yaitu tidur para nabi as, dimana mereka itu
bertafakkur tentang kejadian langit dan bumi; tidur diatas lambung kanan, yaitu
tidur para ulama dan ‘abid; tidur diatas lembung kiri, yaitu tidur raja-raja,
untuk menghancurkan makanan yang dimakan mereka dan tidur atas muka
(menelungkup), yaitu tidur setan-setan.
4 perkara
menambahkan akal kecerdasan: meninggalkan perkataan yang tidak perlu, bersugi,
duduk-duduk dengan orang shalih dan dengan ulama-ulama.
4 perkara adalah
termasuk ibadah: tidak melangkah dengan suatu langkah (maksudnya: bila akan
melangkahkan kaki kemana saja), melainkan dengan berwudlu’, membanyakkan sujud
(shalat), membiasakan diri di masjid dan membanyakkan pembacaan Alquran”.
Dan Asy-Syafi’i ra
berkata pula: “Aku heran orang yang masuk ke kamar mandi, tanpa memakan
sesuatu. Kemudian melambatkan makan sesudah keluar daripadanya. Bagaimanakah ia
tidak mati ? dan aku heran kepada orang yang berbekam, kemudian menyegerakan
makan, bagaimanakah ia tidak mati ?” Dan seterusnya, beliau berkata: “Tiada aku
melihat sesuatu yang lebih bermanfaat waktu berkecamuk penyakit kolera, selain
dari buah binafsaj, dibuat menjadi minyak dan diminum”. Wallahu a’lam
bish-shawab ! Allah yang Maha Tahu dengan yang benar !.