Kamis, 13 Februari 2014

11. KITAB ADAB MAKAN.

KITAB ADAB MAKAN.
Yaitu: yang pertama dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari Kitab “Ihya’ ‘Ulumiddin”.
Segala pujian bagi Allah yang telah menyusun dengan sebaik-baiknya pimpinan alam. DijadikanNya bumi dan langit, diturunkanNya air yang tawar dari awan. Lalu dengan air itu, dikeluarkanNya biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan. DitakarkanNya rezeki dan makanan. DipeliharakanNya dengan segala macam makanan itu akan kekuatan segala yang hidup (al-hayawanat) dan ditolongNya kepada berbuat taat dan amal shalih dengan memakan segala yang baik-baik. Dan selawat kepada Muhammad yang mempunyai kemu’jizatan yang mengagumkan. Dan kepada kaum keluarganya serta para sahabatnya dengan rahmat yang terus-menerus sepanjang waktu dan yang berlipat ganda sepanjang masa. Dan anugerahilah keselamatan kepada mereka yang sebanyak-banyaknya !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya maksud dari orang-orang yang mempunyai hati (akal pikiran), ialah menjumpai Allah Ta’ala di negeri balasan. Dan tiada jalan untuk sampai berjumpa dengan Allah, selain dengan ilmu dan amal. Dan tiada mungkin rajin mengerjakan keduanya itu, selain dengan keselamatan badan. Dan tiada bersih keselamatan badan itu, selain dengan berbagai macam pangan dan makanan sehari-hari dan memperolehnya sekedar yang diperlukan sepanjang waktu. Maka dari segi ini, berkatalah sebahagian salaf yang shalih: “Sesungguhnya makan itu sebahagian dari agama”. Dan berdasarkan kepada ini, diperingatkan oleh Tuhan semesta alam, dengan firmanNya –dan DIA adalah yang terbenar dari segala yang berkata: “Makanlah yang baik-baik dan berbuatlah amal shalih !". S 23 Al Mukminuun ayat 51.
Maka barangsiapa yang makan, supaya dengan makan itu ia memperoleh kekuatan untuk ilmu dan amal serta kuat kepada bertaqwa, niscaya tiada seyogyalah membiarkan dirinya tersia-sia, melepaskan diri, lepas bebas dalam makan, sebagaimana lepas bebasnya binatang ternak di tempat penggembalaan. Dan apa yang menjadi jalan dan wasilah kepada agama, sewajarnyalah dilahirkan sinar agama padanya. Dan sinar agama itu, ialah adab-adab dan sunat-sunatnya, yang dipegang teguh kekangnya oleh hamba. Dan dicemetikan oleh orang yang bertaqwa dengan cemetinya. Sehingga ia menimbang dengan timbangan agama akan keinginan makan itu, untuk maju dan mengekanginya. Maka jadilah ia dengan sebab yang demikian, menolak dosa dan menarik pahala, walaupun ada padanya bahagian yang menyempurnakan bagi nafsunya.
Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya orang itu akan diberi pahala, sehingga pada suap yang diangkatnya ke mulutnya dan ke mulut isterinya”. Dan yang demikian itu, adalah apabila diangkatnya dengan agama dan untuk agama, dengan menjaga segala adab dan tugas agama. Dan sekarang kami akan tunjukkan tugas-tugas agama mengenai makan, segala yang fardlu, yang sunat, segala adab, segala kepribadian dan cara-caranya, dalam 4 bab dan 1 pasal pada akhirnya.
Bab Pertama:    mengenai yang tak boleh tidak diperhatikan oleh orang yang makan, walaupun ia makan sendirian.
Bab Kedua:      mengenai tambahan dari adab-adab (etikanya), disebabkan makan bersama-sama.
Bab Ketiga:      khusus mengenai penyuguan makanan kepada teman-teman yang datang berkunjung.
Bab Keempat:  khusus mengenai dengan undangan, jamuan dan yang menyerupainya.
BAB PERTAMA:
mengenai yang tak boleh tidak (yang harus) bagi orang yang makan sendirian. Dan yaitu: 3 bahagian:
1. sebelum makan,
2. sedang makan dan
3. sesudah selesai dari makan.
BAHAGIAN PERTAMA: mengenai adab yang mendahului makan, yaitu: 7.
          Pertama: bahwa adalah makanan itu, sesudah keadaannya halal, adalah baik segi mengusahakannya, sesuai dengan sunnah dan wara’ (menjaga diri). Tidak diusahakan dengan sebab-sebab yang tidak disukai agama. Tidak menurut kemauan hawa nafsu dan berminyak air (mudahanah) pada agama, menurut apa yang akan datang nanti penjelasannya tentang pengertian baik mutlak pada Kitab Halal dan Haram. Allah Ta’ala telah menyuruh memakan yang baik-baik, yaitu: yang halal. Dan Ia mendahulukan: larangan memakan yang batil/salah, daripada: membunuh. Karena pengagungan persoalan haram dan pembesaran barakah halal, dimana IA berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan jalan yang salah, melainkan dengan perniagaan diatas suka rela satu sama lain dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. S 4 An Nisaa’ ayat 29. Pokoknya pada makanan itu, adanya itu baik. Dan baik itu, termasuk sebahagian dari fardlu dan pokok agama.
          Kedua: membasuh tangan. Bersabda Nabi saw: “Berwudlu’ sebelum makan itu menidakkan kemiskinan dan sesudah makan, menidakkan gangguan setan”. Pada suatu riwayat: “menidakkan kemisikinan sebelum makan dan sesudahnya”. Karena tangan itu tidak terlepas dari kotoran dalam melaksanakan segala pekerjaan. Maka membasuhnya adalah lebih dekat kepada kebersihan dan kejernihan. Dan karena makan itu, dengan maksud meminta pertolongan kepada agama, adalah ibadah. Maka wajarlah didahulukan kepada makan itu, apa yang berlaku pada agama, sebagaimana berlakunya suci pada shalat.
          Ketiga: bahwa diletakkan makanan itu diatas alas meja yang diletakkan diatas lantai. Dan itu, adalah lebih mendekati kepada perbuatan Rasulullah saw daripada mengangkatkannya ke atas meja makan. Adalah Rasulullah saw, apabila beliau diberikan makanan, lalu meletakannya diatas lantai”. Dan ini adalah lebih mendekati kepada tawadlu’ (merendahkan diri). Kalau tak diletakkan atas lantai, maka diletakkanlah diatas alas meja (sufrah). Karena kata-kata: sufrah itu mengingatkan kepada: safar (bermusafir). Dan teringat dari safar itu, akan safar akhirat (perjalanan ke akhirat) dan perlunya kepada perbekalan taqwa. Berkata Anas bin Malik ra: “Rasulullah saw tidak makan diatas meja makan dan nampan/pinggan makanan”. Ditanyakan Anas: “Diatas apa kamu makan ?”. Beliau menjawab: “Diatas alas meja”. Orang mengatakan, bahwa 4 perkara diada-adakan sesudah Rasulullah saw: meja makan, pengayak tepung, pembasuh tangan dari semacam tumbuh-tumbuhan (al-isynan) dan kenyang. Ketahuilah, bahwa kami, walaupun kami mengatakan, bahwa makan di alas meja itu lebih utama, tetapi tidaklah kami mengatakan: bahwa makan diatas meja makan itu dilarang, sebagai larangan makruh atau haram. Karena tak ada padanya larangan. Dan apa yang dikatakan, bahwa itu diada-adakan sesudah Rasulullah saw maka tidaklah segala apa yang diada-adakan itu dilarang. Tetapi yang dilarang, ialah yang diada-adakan yang berlawanan dengan sunnah yang sudah tegas. Dan bid’ah (yang diada-adakan) itu mengangkat urusan itu dari agama, padahal masih ada alasan agama.
Bahkan, kadang-kadang mengadakan kebid’ahan (yang diada-adakan) itu wajib pada sebahagian hal, apabila sebab-sebabnya sudah berobah. Dan tak ada pada meja makan itu, selain daripada mengangkat makanan dari lantai untuk memudahkan makan. Dan hal-hal yang seperti itu tidaklah makruh padanya. 4 macam yang dikumpulkan tadi, mengenai bid’ahnya (yang diada-adakan) tidaklah sama. Tetapi al-isynan (pembasuh tangan dari semacam tumbuh-tumbuhan) itu, adalah baik, karena padanya kebersihan. Sesungguhnya membasuh itu disunatkan, karena bersih. Dan al-isynan itu, adalah lebih menyempurnakan kebersihan. Dan mereka tidak memakainya, mungkin karena tidak dibiasakan pada mereka atau tidak mudah melakukannya. Atau mereka itu sibuk dengan urusan-urusan penting, tanpa ada waktu untuk berlebih-lebihan pada kebersihan. Ada juga mereka itu tidak membasuhkan tangan. Dan sapu tangannya, ialah tumit kakinya. Dan yang demikian itu, tidaklah mencegah akan sunatnya membasuh. Adapun pengayak tepung, maka maksudnya, ialah membaguskan makanan. Dan itu diperbolehkan, selama tidak sampai kepada mengenakkan yang melewati batas. Adapun meja makan itu, adalah memudahkan makan dan itu juga diperbolehkan, selama tidak sampai kepada takabur dan membesarkan diri. Adapun kenyang, maka adalah yang terberat dari 4 perkara tersebut. Karena kenyang itu membawa kepada bergeloranya hawa nafsu dan membangkitnya penyakit pada badan. Dari itu, hendaklah diketahui perbedaannya diantara yang bid’ah-bid’ah (yang diada-adakan) tadi.
          Keempat: bahwa membaguskan duduk pada permulaan duduk, diatas alas meja dan meneruskan seperti yang demikian. “Adalah Rasulullah saw kadang-kadang meletakkan kedua lututnya untuk makan dan beliau duduk atas punggung kedua tapak kakinya. Dan kadang-kadang beliau menegakkan kakinya yang kanan dan duduk diatas kakinya yang kiri”. Ada beliau mengatakan: “Tidak aku makan dengan bersandar. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba yang makan, sebagaimana makannya hamba dan aku duduk sebagaimana duduknya hamba”. Minum dengan bersandar dimakruhkan, karena mendatangkan kemelaratan juga kepada perut. Dan dimakruhkan makan sedang tidur dan bersandar, kecuali barang yang dapat dibawa-bawa, dari biji-bijian umpamanya. Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa beliau memakan roti yang dibuat dari tepung, susu dan gula (ka’kah) diatas tilamnya dan beliau berbaring. Dan ada yang mengatakan, beliau bertelungkup diatas perutnya. Dan orang Arab kadang-kadang berbuat demikian.
          Kelima: berniat dengan makan itu, untuk memperoleh kekuatan berbuat taat kepada Allah Ta’ala. Supaya ia menjadi orang yang taat dengan makan itu. Dan tidak bermaksud untuk berlezat-lezat dan bernikmat-nikmat dengan makan. Berkata Ibrahim bin Syaiban: “Semenjak 80 tahun, tidak aku makan sesuatu untuk hawa nafsuku”. Dalam pada itu, bercita-cita menyedikitkan makan. Karena apabila makan untuk kuatnya beribadah, niscaya tidak benarlah niatnya itu, kecuali dengan makan kurang dari kenyang. Sebab kenyang itu, mencegah dari ibadah dan tidak akan kuat kepada beribadah. Maka dari pentingnya niat ini, membawa hancurnya hawa nafsu dan mengutamakan sifat qana’ah daripada meluaskan. Bersabda Rasulullah saw: “Tidak dipenuhkan oleh seorang manusia akan karungnya, yang lebih jahat dari perutnya. Mencukupilah bagi anak Adam itu beberapa suap, yang menegakkan tulang punggungnya. Kalau tidak diperbuatnya yang demikian, maka 1/3 makanan dan 1/3 minuman serta 1/3 untuk nafas”. Dan dari pentingnya niat ini, bahwa ia tidak mengulurkan tangannya kepada makanan, kecuali ia sudah lapar. Maka adalah lapar itu menjadi sesuatu yang harus mendahului makan. Kemudian, seyogyalah mengangkat tangan sebelum kenyang. Dan barangsiapa berbuat demikian, niscaya ia tidak memerlukan dokter. Dan akan datang penjelasan faedahnya sedikit makan dan cara mengangsur pada menyedikitkan makan itu, pada Kitab Menghancurkan Nafsu Makan dari “Rubu Membinasakan”.
          Keenam: bahwa merasa senang dengan rezeki yang ada dan makanan yang berada di hadapan. Dan tidak bersungguh-sungguh mencari kenikmatan, meminta tambah dan menunggu lauk-pauk. Tetapi sebagai kehormatan bagi roti, bahwa ia tidak lagi menunggu datangnya lauk-pauk. Dan telah datang hadits menyuruh memuliakan roti. Maka tiap-tiap yang mengekalkan hidup (dapat meneruskan hidup) dan menguatkan kepada ibadah, adalah mempunyai banyak kebajikan, yang tidak wajarlah dipandang hina. Bahkan tidak ditunggu shalat dengan roti, walaupun waktunya telah tiba, apabila berada dalam waktu yang luas. Bersabda Nabi saw: “Apabila datang waktu shalat Isya’ dan waktu makan malam, maka mulailah dengan makan malam”. Adalah Ibnu Umar ra kadang-kadang mendengar bacaan imam dan tidak bangun dari makan malamnya. Manakala nafsu belum ingin kepada makan dan tak ada melarat melambatkan makan, maka yang lebih utama ialah mendahulukan shalat. Apabila telah datang makanan dan iqamat untuk shalat telah dilaksanakan dan pada mengemudiankannya, mendinginkan makanan atau mengganggu pikiran, maka mendahulukan makan adalah lebih sunat, ketika luas waktu. Apakah nafsu makan itu ada atau tidak. Karena umumnya bunyi hadits yang tersebut tadi dan karena hati tiada terlepas daripada menoleh kepada makanan yang terletak itu, meskipun ia tidak lapar benar.
          Ketujuh: berusaha membanyakkan tangan pada makanan, walaupun dari keluarga dan anaknya sendiri. Bersabda Nabi saw: “Berkumpullah pada makananmu, supaya diberkati kamu padanya”. Berkata Anas ra: “Adalah Rasulullah saw tidak makan sendirian”. Dan bersabda Nabi saw: “Makanan yang baik, ialah yang banyak tangan padanya”.
BAHAGIAN KEDUA: mengenai adab ketika makan.
Yaitu: dimulai dengan “Bismillah” pada permulaannya dan dengan “Alhamdulillah” pada akhirnya. Kalau dibacakan “Bismillah” serta tiap-tiap suap, maka itu adalah baik. Sehingga orang yang rakus itu, tidak lupa daripada mengingati Allah Ta’ala. Dibacakan serta suap pertama: “Bismillah”, serta suap kedua: “Bismillahir-rahman” dan serta suap ketiga: “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”. Dan hendaklah dikeraskan membacanya, supaya mengingatkan kepada orang lain. Dan makan itu dengan tangan kanan, dimulai dengan garam dan disudahi dengan garam. Dikecilkan suap, dibaguskan pengunyahannya. Dan selama belum ditelannya suap itu, tidaklah tangan diulurkan kepada suap yang lain. Karena cara yang demikian itu, adalah tergopoh-gopoh pada makan. Dan janganlah dicaci sesuatu makanan. Adalah “Rasulullah saw tidak pernah memburukkan sesuatu makanan. Apabila berkenan, dimakannya. Apabila tidak, ditinggalkannya”. Dan hendaklah dimakan yang dekat padanya, kecuali buah-buahan, maka boleh ia mengulurkan tangannya pada buah-buahan itu.
         Bersabda Nabi saw: “Makanlah yang mendekati kamu !”. Kemudian, adalah Nabi saw menoleh kepada buah-buahan, lalu ia ditanyakan mengenai itu, maka Nabi saw menjawab: “Tidaklah buah-buahan itu satu macam”. Dan janganlah dimakan dari tengah piring dan dari tengah hidangan. Tetapi dimakan dari tepi (keliling) roti, kecuali roti itu sedikit, maka dipecahkan saja dan tidak dipotong, dengan pisau. Dan juga daging itu tidak dipotong. Telah dilarang oleh Nabi saw dari yang demikian, dengan sabdanya: “Gigitlah daging itu !”. Dan tidaklah diletakkan atas roti itu piring dan lainnya, kecuali sesuatu, dimana roti itu dimakan dengan dia. Bersabda Nabi saw: “Muliakanlah roti itu karena Allah Ta’ala menurunkannya dari keberkatan langit !”. Dan jangan disapu tangan dengan roti. Dan bersabda Nabi saw: “Apabila jatuh suapan seseorang dari kamu, maka hendaklah diambilnya ! dan hendaklah dibuang kotoran-kotoran yang ada padanya dan janganlah suapan yang jatuh itu, ditinggalkan untuk setan ! dan janganlah disapu tangannya dengan sapu tangan, sebelum dijilati jari-jarinya. Karena ia tidak tahu, pada makanan yang mana terdapat keberkatan”. Dan jangan dihembus/ditiup makanan yang panas. Itu adalah dilarang. Tetapi bersabarlah, sampai mudah memakannya. Dan dimakan tamar itu yang ganjil jumlahnya, yaitu 7 atau 11 atau 21 atau apa yang kebetulan dapat. Dan jangan dikumpulkan antara tamar dan bijinya pada satu baki. Dan jangan dikumpulkan pada tapak tangannya tetapi diletakkan biji, yang dari mulutnya itu keatas punggung tapak tangannya, kemudian dicampakkan. Dan begitupula tiap-tiap yang berbiji dan yang bersisa yang tidak dimakan. Dan tidak dibiarkan sesuatu dari makanan yang buruk, yang tidak dimakan, lalu diletakkan diatas piring. Tetapi hendaklah diletakkan bersama sisa yang tidak dimakan. Sehingga tidak meragukan dengan yang lain, lalu termakan nanti. Dan tidak banyak minum sedang makan, kecuali karena tersangkut dari suap makanan pada lehernya atau karena sangat hausnya. Ada yang mengatakan, bahwa yang demikian itu disunatkan menurut ilmu kedokteran dan menjadi penyamak bagi perut.
         Adapun minum, maka adabnya, ialah mengambil gelas dengan tangan kanan, seraya membaca: “Bismillah. Dan diminumnya itu, dengan pelan-pelan sambil bernafas (dengan menghisap). Tidak secara minum, tanpa bernafas. Bersabda Nabi saw: “Minumlah air dengan pelan-pelan sambil bernafas (dengan menghisap) dan janganlah diminum tanpa bernafas ! karena sesungguhnya penyakit jantung itu dari meminum air, tanpa bernafas”. Dan jangan diminum ketika sedang berdiri dan berbaring, karena Nabi saw melarang minum sedang berdiri. Dan ada yang meriwayatkan bahwa Nabi saw minum sedang berdiri, maka yang demikian itu mungkin, karena sesuatu halangan (‘udzur). Dan dijaga akan bawah kendi, sehingga tidak menitik air keatasnya dan dilihat kedalam kendi sebelum minum. Dan tidak bersendawa/betahak dan bernafas dalam kendi air minum. Tetapi dijauhkannya kendi itu dari mulutnya dengan membaca “Alhamdulillah”. Dan dikembalikannya ke mulutnya dengan membaca “Bismillah”. Sesungguhnya Nabi saw membaca sesudah minum: “Segala pujian bagi Allah yang menjadikan tawar, lagi manis dengan rahmatNya dan tidak menjadikannya asin, lagi pahit, disebabkan dosa kami”. Kendi dan tiap-tiap yang diedarkan kepada orang banyak, hendaklah diedarkan ke pihak kanan. “Sesungguhnya Rasulullah saw meminum susu, Abubakar ra dikirinya, seorang Arab desa dikanannya dan Umar setentang dengan Nabi saw. Maka berkata Umar ra: “Berikan kepada Abubakar !” Lalu Arab desa itu mengambilnya dan Nabi saw lalu bersabda: “Minum dari kanan, terus ke kanan !”. Dan air itu diminum pada tiga nafas, dimana memuji Allah pada akhir nafas-nafas itu dan membaca “Bismillah” pada awalnya. Dibaca pada akhir nafas pertama: “Alhamdulillah”, pada akhir nafas kedua ditambahkan “Rabbil-alamin” dan pada akhir nafas ketiga, ditambahkan “Arrahmaanir-rahiim”. Maka inilah mendekati 20 adab (etika) pada waktu sedang makan dan minum, yang dibuktikan oleh hadits dan atsar.
BAHAGIAN KETIGA: mengenai apa yang disunatkan sesudah makan.
Yaitu: bahwa menahan (berhenti) sebelum kenyang, lalu menjilati jarinya. Kemudian menyapu dengan sapu tangan. Kemudian membasuhnya. Dan memungut pecahan makanan yang jatuh. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa memakan apa yang jatuh dari hidangan niscaya hidup ia dalam kelapangan dan disembuhkan anaknya dari penyakit”. Dan mencungkil giginya serta tidak menelan apa yang keluar dari antara gigi-giginya itu, dengan cungkilan, kecuali apa yang terkumpul dari pangkal giginya dengan lidahnya. Adapun apa yang dikeluarkan dengan cungkilan, maka hendaklah diludahkannya. Dan hendaklah berkumur-kumur sesudah mencungkil gigi itu. Mengenai ini, diperoleh atsar dari keluarga rumah tangga Nabi saw. Dan hendaklah dijilati piring serta diminum airnya. Dan dikatakan: “Barangsiapa menjilati piringnya, membasuh dan meminum airnya, niscaya adalah baginya seperti memerdekakan budak. Dan memungut sisa-sisa makanan, adalah menjadi mahar (mas-kawin) bagi bidadari”. Dan hendaklah bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan hatinya, terhadap apa yang telah dianugerahkan Nya dari makanan. Lalu ia melihat makanan itu suatu nikmat daripadaNya.
         Berfirman Allah Ta’ala: “Makanlah rezeki yang Kami berikan kepadamu yang baik dan bersyukurlah kepada Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 172. Manakala telah memakan yang halal, maka bacalah: “Segala pujian bagi Allah, yang dengan nikmatNya sempurnalah segala yang baik dan turunlah segala barakah. Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepada kami makanan yang baik dan pakaikanlah kami ini pada jalan yang shalih”. Dan kalau makan yang syubhat (diragukan), maka hendaklah dibaca: “Segala pujian bagi Allah dalam segala hal. Wahai Allah Tuhanku ! janganlah engkau jadikan yang kami makan itu, menjadi kekuatan kami untuk durhaka (berbuat ma’shiat) kepadaMu !”. Dan dibacakan sesudah makan, surat: “Qul huallaahu ahad” dan surat: “Li-ilaafi quraisyin”. Dan janganlah bangun dari hidangan, sebelum hidangan itu diangkat lebih dahulu. Kalau ia memakan makanan orang lain, maka hendaklah berdoa kepadanya dan hendaklah mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! banyakkanlah kebajikan orang itu, berikanlah barakah kepadanya, pada apa yang Engkau berikan rezeki kepadanya ! mudahkanlah untuk ia berbuat kebajikan padanya ! berikanlah kepadanya sifat qana’ah (berkecukupan) dengan apa yang telah Engkau berikan kepadanya ! dan jadikanlah kami dan dia, menjadi orang-orang yang mensyukuri nikmatMu !”. Kalau berbuka puasa pada suatu kaum, maka hendaklah diucapkan: “Telah berbuka puasa pada kamu, oleh orang-orang yang berpuasa. Dan telah memakan makanan kamu, oleh orang yang baik-baik. Dan telah mendoa dengan kerahmatan kepadamu, oleh para malaikat”. Hendaklah diperbanyak membaca istighfar dan kegundahan hati, terhadap apa yang telah dimakan dari harta syubhat (diragukan). Supaya kiranya, terpadamlah dengan air mata dan kegundahan hatinya itu, akan kepanasan api neraka, yang akan mendatanginya. Karena sabda Nabi saw: “Tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka adalah lebih utama dengan daging itu”. Dan tidaklah orang yang memakan dan menangis, seperti orang yang memakan dan bermain-main. Dan hendaklah dibacakan apabila meminum susu: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah kepada kami keberkatan mengenai apa yang telah Engkau berikan rezeki kepada kami dan tambahkanlah kepada kami daripadanya !”. Kalau dimakan yang lain, maka dibaca: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah kami keberkatan mengenai apa yang Engkau berikan rezeki kepada kami dan berikanlah rezeki kepada kami yang lebih baik lagi daripadanya !”. Doa tersebut adalah diantara doa yang dikhususkan oleh Nabi saw untuk susu, karena merata kemanfaatannya. Dan disunatkan sesudah makan, membaca doa: “Segala pujian bagi Allah yang memberikan makanan kepada kami dan memberikan minuman kepada kami dan memberikan kecukupan kepada kami dan yang memberikan tempat tinggal bagi kami. Yang Memimpin dan Yang Mengurusi kami. Wahai Yang Cukup dari segala sesuatu dan tidaklah segala sesuatu itu merasa cukup daripadaNya ! Engkau berikan makanan dari kelaparan dan Engkau berikan keamanan dari ketakutan, maka bagi Engkaulah segala pujian ! Engkau berikan tempat tinggal dari keyatiman. Engkau berikan petunjuk dari kesesatan. Dan Engkau berikan kekayaan dari kebutuhan. Maka bagi Engkaulah pujian dengan sebanyak-banyaknya, yang terus-menerus, yang baik, yang bermanfaat, lagi bertambah-tambah barakah padanya, sebagaimana Engkau yang mempunyai dan yang layak dimiliki padanya. Wahai Allah Tuhanku ! Engkau telah memberikan kepada kami makanan yang baik, maka pakaikanlah kami dengan pemakaian yang baik ! jadikanlah dia suatu pertolongan bagi kami untuk mentaatiMu. Dan kami berlindung dengan Engkau, bahwa kami memperoleh pertolongan dengan makanan yang baik itu, kepada perbuatan yang mendurhakai Engkau !”
         Adapun membasuh kedua tangan dengan semacam tumbuh-tumbuhan yang rasanya asin dan pahit (al-asynan)  (kalau sekarang dengan sabun. pent) maka caranya, ialah meletakkan al-asynan itu pada telapak tangan kiri. Dan dibasuhkan mula-mula 3 anak jari tangan kanan. Dan segala anak jarinya itu, dipukulkan ke atas al-asynan yang kering, lalu disapukan dengan itu bibirnya. Kemudian dilicinkan pembasuhan mulut dengan anak jarinya, menggosok bahagian muka dan bahagian dalam dari gigi-giginya, langit-langit dan lidahnya. Kemudian membasuh segala anak jarinya dari yang demikian itu dengan air. Kemudian, menggosok dengan yang tinggal dari al-asynan yang kering itu, segala jari-jarinya bahagian luar dan bahagian dalam. Dan mencukupilah dengan yang demikian tanpa mengulangi al-asynan itu ke mulut dan mengulangi membasuhnya.
BAB KEDUA: mengenai apa yang bertambah, disebabkan berkumpul dan bersama-sama makan. Yaitu: 7.
Pertama: bahwa tidak memulai mengambil makanan, bila bersama dengan orang yang lebih mustahak/utama didahulukan, disebabkan karena tuanya atau lebih keutamaannya. Kecuali dia itu, orang yang diikuti & yang dituruti. Maka ketika itu, seyogyalah tidak melamakan menunggu, apabila mereka telah bersiap dan berkumpul untuk makan.
Kedua:  bahwa tidak berdiam diri ketika makan, karena yang demikian itu, adalah sifat orang ‘Ajam. Tetapi berbicaralah dengan yang ma’ruf (hal-hal yang baik) dan bercerita tentang cerita orang-orang shalih, mengenai makanan dan lainnya.
Ketiga: bahwa berperasaan halus dengan temannya pada pinggan makanan. Maka tidaklah ia bermaksud makan melebihi daripada yang dimakan temannya. Karena yang demikian itu haram, kalau tidak bersesuaian dengan kerelaan temannya, manakala makanan itu berkongsi. Tetapi seyogyalah bermaksud melebihkan teman dan tidak memakan dua tamar sekali, kecuali apabila mereka berbuat demikian atau telah memperoleh keizinan dari mereka. Kalau dilihatnya temannya sedikit makan, maka hendaklah dirajinkan dan digembirakan teman itu kepada makan, serta dikatakan kepadanya: “Makanlah !” Dan tidaklah dilebihkan mengatakan: “Makanlah” itu dari 3 kali. Karena yang demikian itu, sudah merupakan paksaan dan  berlebih-lebihan. Adalah Rasulullah saw apabila ditujukan perkataan kepadanya tentang sesuatu 3 kali, maka tidak diulangi lagi sesudah 3 kali itu. Dan adalah ia saw mengulang-ulangi perkataan 3 kali. Maka tidaklah termasuk adab, melebihkan dari 3 kali itu. Adapun memaksakan teman dengan makan, maka dilarang. Berkata Al-Hasan bin Ali ra: “Makan itu adalah lebih mudah daripada dipaksakan kepadanya”.
Keempat: bahwa ia tidak memerlukan temannya, sampai mengatakan kepadanya: “Makanlah !” Berkata sebahagian orang yang ahli ilmu kesopanan: “Sebaik-baik orang makan, ialah yang tidak memerlukan temannya mencarinya untuk makan dan menghilangkan dari temannya itu kewajiban berkata-kata (membujuknya dengan kata-kata untuk makan)”. Dan tidak wajarlah meninggalkan (tidak memakan) sesuatu yang disukai, lantaran dilihat orang lain kepadanya. Karena yang demikian itu adalah tingkah-laku yang dibuat-buat (tashannu’). Tetapi berlakulah menurut yang biasa dan tidak berkurang sedikitpun dari kebiasaannya waktu sendirian. Tetapi hendaklah membiasakan dirinya dengan adab sopan yang baik ketika sendirian. Sehingga tidak memerlukan kepada berbuat-buat, ketika makan bersama. Ya, kalau ia menyedikitkan makannya, karena mengutamakan bagi kawan-kawannya dan memperhatikan untuk mereka ketika memerlukan kepada yang demikian, maka itu adalah baik. Kalau ia menambah makan, dengan niat menolong dan menggerakkan kesungguhan orang banyak kepada makan, maka tiada mengapa. Bahkan itu baik.
Adalah Ibnul-Mubarak mengemukakan tamar basah yang bagus, kepada teman-temannya, seraya berkata: “Barangsiapa mau makan lebih banyak, niscaya kuberikan kepadanya sedirham tiap-tiap sebiji yang dimakannya”. Lalu ia menghitung biji-biji itu dan diberikannya uang dirham kepada tiap-tiap orang yang mempunyai kelebihan biji, menurut jumlah bilangannya. Yang demikian itu, adalah untuk menghilangkan malu dan menambahkan kegembiraan untuk melapangkan dada.
Berkata Ja’far bin Muhammad ra: “Yang paling saya sayangi dari kawan-kawanku, ialah yang lebih banyak makan dan yang lebih besar suap. Dan yang paling berat kepadaku, ialah orang yang memerlukan aku kepada mengadakan perjanjian dengan dia tentang makan”. Semuanya itu, adalah ditujukan untuk bersikap menurut kebiasaan dan meninggalkan berbuat-buat (tashannu’). Berkata Ja’far ra pula: “Nyatalah kebagusan berkasih-sayang antara seorang dengan temannya, yaitu dengan bagus makannya di rumahnya”.
Kelima: bahwa membasuh tangan pada tempat cuci tangan, tidak mengapa. Dan boleh berdahak kedalam tempat cuci tangan itu, kalau ia makan sendirian. Dan kalau makan bersama orang lain, maka tidak wajarlah berbuat yang demikian itu. Apabila disuguhkan tempat cuci tangan kepadanya oleh orang lain, karena menghormatinya, maka hendaklah diterimanya. Anas bin Malik dan Tsabit Al-Bannani ra berkumpul pada suatu tempat makan. Lalu Anas menyugukan tempat cuci tangan kepada Tsabit, maka Tsabit menolak. Lalu berkata Anas: “Apabila tuan dimuliakan oleh teman tuan, maka terimalah kemuliaan itu ! jangan ditolak ! karena dia itu memuliakan Allah ‘Azza Wa Jalla”. Diriwayatkan, bahwa Harunurrasyid mengundang Abu Ma’awiah Adl-Dlarir, lalu Harunurrasyid menuangkan air keatas tangan Abu Ma’awiah pada tempat cuci tangan. Setelah selesai, lalu bertanya Harunurrasyid: “Wahai Abu Ma’awiah ! tahukah tuan, siapa yang menyiram tangan tuan ?”. Maka menjawab Abu Ma’awiah: “Tidak !”. Lalu menyambung Harunurrasyid: “Disiram oleh Amirul-mu’minin !” Maka berkata Abu Ma’awiah: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya Tuanku memuliakan dan mengagungkan ilmu. Maka tuanku diagungkan oleh Allah dan dimuliakanNya, sebagaimana tuanku memuliakan ilmu dan ahli ilmu”. Dan tiada mengapa berkumpul membasuh tangan pada satu tempat cuci tangan pada satu ketika. Karena itu adalah lebih mendekatkan kepada merendahkan diri dan menjauhkan daripada lama menunggu. Kalau tidak mereka perbuat yang demikian maka tidak wajarlah dituangkan air masing-masing. Tetapi dikumpulkan air dalam satu tempat cuci tangan.
Karena bersabda Nabi saw: “Kumpulkan air sembahyangmu, niscaya dikumpulkan oleh Allah akan perceraianmu”. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan dengan hadits ini, ialah yang diatas tadi. Khlaifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz menulis surat ke kota-kota besar, yang isinya: “Jangan diangkat tempat cuci tangan dari hadapan orang banyak, kecuali sudah penuh. Dan janganlah kamu menyerupai dengan orang ‘ajam (bukan Arab) !”. Berkata Ibnu Mas’ud: “Berkumpullah membasuh tangan pada suatu tempat cuci tangan dan janganlah berbuat kebiasaan, menurut kebiasaan orang-orang ‘ajam !”. Pelayan yang menuangkan air keatas tangan orang yang makan, dipandang makruh oleh sebahagian ulama, bahwa pelayan itu dengan berdiri. Dan lebih disukai dia itu duduk, karena lebih mendekati kepada tawadlu’ (merendahkan diri). Dan sebagian mereka memandang makruh secara duduk. Diriwayatkan, bahwa dituangkan air ke tangan seorang yang duduk, oleh seorang pelayan yang duduk. Lalu bangunlah orang yang dituangkan air keatas tangannya. Maka ia ditanyakan: “Mengapa anda bangun ?”. Lalu ia menjawab: “Salah seorang dari kita haruslah berdiri. Dan ini, adalah lebih utama, karena memudahkan penuangan air dan membasuh. Dan lebih mendekati kepada tawadlu’ orang yang menuangkan. Dan apabila pelayang itu mempunyai niat yang baik pada pelayanan itu, maka ketekunannya pada pelayanan, tak adalah padanya kesombongan. Karena kebiasaan berlaku dengan demikian. Jadi, pada tempat mencuci tangan itu, terdapat 7 adab kesopanan: bahwa tidak meludah kedalamnya. Bahwa didahulukan orang yang diikuti (yang menjadi ikutan orang banyak), dengan tempat cuci tangan. Bahwa diterima kehormatan dengan penyuguan tempat cuci tangan itu. Bahwa diedarkan tempat cuci tangan itu ke sebelah kanan. Bahwa berkumpul padanya orang banyak. Bahwa dikumpulkan air kedalam tempat cuci tangan itu. Bahwa pelayan itu berdiri. Bahwa diludahkan air dari mulut dan dilepaskan tempat cuci tangan itu dari tangannya, dengan pelan-pelan. Sehingga tidak terpercik keatas lantai dan teman-temannya. Dan hendaklah disiramkan air oleh tuan rumah sendiri keatas tangan tamunya.
Begitulah diperbuat oleh Imam Malik dengan Asy-Syafi’i ra pada permulaan tibanya kepada Imam Malik. Dan Imam Malik itu berkata: “Jangan menggundahkan anda, dengan apa yang anda lihat daripadaku. Pengkhidmatan kepada tamu itu wajib”.
Keenam: bahwa tidak memandang kepada teman-temannya dan tidak mengintip mereka makan. Lalu mereka malu dengan demikian. Tetapi hendaklah memicingkan mata dari teman-teman dan berbuatlah untuk diri sendiri. Dan jangan menyelesaikan makan sebelum teman-teman, apabila mereka itu malu makan sesudahnya. Tetapi ulurkan tangan dan peganglah makanan dengan tangan, serta ambillah sedikit-sedikit, sehingga mereka itu siap makan. Kalau sedikit makan, berhentilah dulu pada permulaan. Dan sedikitkan makan, sehingga apabila mereka itu memakan secara meluas, lalu makan bersama mereka pada penghabisan. Begitulah diperbuat oleh kebanyakan sahabat ra. Kalau tidak turut makan, disebabkan sesuatu hal, maka hendaklah meminta maaf pada mereka, untuk menghilang kan malu dari mereka.
Ketujuh: bahwa tidak diperbuat apa yang dipandang jijik oleh orang lain. Maka janganlah digerak-gerakkan tangan pada piring makan dan janganlah ditundukkan kepala kepadanya, ketika memasukkan suap kedalam mulut. Apabila dikeluarkan sesuatu dari mulutnya, hendaklah dipalingkan muka dari makanan dan diambilkannya dengan tangan kiri. Dan jangan dimasukkan suap yang berlemak kedalam cuka dan jangan dimasukkan cuka kedalam makanan yang berlemak, karena kadang-kadang tidak disukai lagi oleh orang lain. Dan suap yang dipotongnya dengan giginya, janganlah dibenamkan sisanya kedalam kuah dan cuka. Dan janganlah berkata-kata dengan apa yang mengingatkan orang kepada yang jijik.
BAB KETIGA: mengenai adab menyugukan makanan kepada teman-teman dan pengunjung-pengunjung.
Menyugukan makanan kepada teman-teman, adalah padanya banyak keutamaan. Berkata Ja’far bin Muhammad ra: “Apabila kamu duduk bersama teman-teman pada suatu hidangan, maka lamakanlah duduk itu. Karena itu adalah saat, yang tidak diperhitungkan kepadamu daripada umurmu !”. Berkata Al-Hasan ra: “Tiap-tiap perbelanjaan yang dibelanjakan oleh seseorang kepada dirinya, kepada ibu bapaknya, lalu kepada orang-orang bawahannya, maka diperhitungkan itu kepadanya. Kecuali perbelanjaan oleh seseorang kepada teman-temannya tentang makanan. Maka Allah malu menanyakannya tentang itu”. Inilah, serta apa yang tersebut dari hadits-hadits, mengenai memberikan makanan itu.
Bersabda Nabi saw: “Senantiasalah para malaikat mendoa kepada seseorang dari kamu, selama hidangannya terletak di hadapannya, sehingga diangkatkan”. Diriwayatkan dari setengah ulama Khurasan, bahwa ia menyugukan kepada teman-temannya makanan yang banyak, yang tidak sanggup mereka makan semuanya. Ulama itu mengatakan: “Sampai kepada kami dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Bahwa teman-teman itu apabila mengangkat tangannya dari makanan, niscaya tidak diadakan hitungan amal (tidak dihisab) orang yang memakan sisanya”. Maka saya menyukai memperbanyakkan, apa yang akan saya sugukan kepada tuan-tuan, supaya dapat kami memakan sisanya itu”. Pada suatu hadits tersebut: “Tidak diadakan hisab amal, akan hamba (hamba Allah atau seseorang), atas apa yang dimakannya bersama teman-temannya. Karena itulah sebagian mereka memakan banyak bersama orang ramai dan memakan sedikit, apabila makan sendirian. Dan pada hadits tersebut: “3 perkara yang tiada dihisab (diperhitungkan) akan seorang hamba Allah padanya, yaitu: makanan yang dimakan waktu sahur, makanan yang dimakan ketika berbuka dan makanan yang dimakan bersama saudara-saudara (teman-teman)”.
Berkata Ali ra: “Lebih saya sukai mengumpulkan teman-teman pada satu gantang makanan, daripada aku memerdekakan seorang budak. Ibnu Umar ra berkata: “Setengah dari tanda kemurahan hati seseorang, ialah membaguskan perbekalannya dalam perjalanan dan memberikannya kepada teman-temannya”. Dan para sahabat ra itu berkata: “Berkumpul memakan makanan, adalah setengah dari perangai mulia”. Mereka -direlakan oleh Allah kiranya mereka –berkumpul pada pembacaan Alquran. Dan mereka tiada berpisah, kecuali daripada merasakan makanan.
Ada ulama yang mengatakan, bahwa berkumpul bersama teman-teman pada makanan yang mencukupi serta bersuka-sukaan dan berjinak-jinakan hati, tidaklah itu termasuk dunia yang sia-sia. Tersebut pada hadits: “Allah Ta’ala berfirman kepada hambaNya pada hari kiamat: “Hai anak Adam ! Aku lapar, lalu engkau tidak memberikan makanan kepadaKu”. Lalu menjawab hamba itu: “Bagaimanakah aku memberikan makanan kepada Engkau, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam ?”. Maka menjawab Allah Ta’ala: “Telah lapar saudaramu yang muslim, lalu tidak engkau berikan makanan kepadanya. Kalau engkau telah memberikan makanan kepadanya, maka adalah engkau telah memberikan makanan kepadaKu”.
Bersabda Nabi saw: “Apabila datang kepadamu orang berkunjung maka muliakanlah dia !”. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya dalam sorga itu, ada kamar-kamar, yang kelihatan zhahirnya dari dalam (batinnya) dan kelihatan batinnya dari zhahirnya. Kamar-kamar itu adalah untuk orang-orang yang berkata lemah lembut, memberikan makanan kepada orang dan mengerjakan shalat pada malam hari, dimana manusia lain sedang tidur”.
Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik kamu, ialah orang yang memberikan makanan kepada orang”. Bersabda Nabi saw: Barangsiapa memberi makanan kepada saudaranya, sehingga mengenyangkannya dan memberi minuman, sampai hilang hausnya, niscaya ia dijauhkan oleh Allah Ta’ala dari neraka, sejauh 7 parit besar, dimana diantara dua parit itu, sejauh perjalanan 500 tahun”.
Adapun adab kesopanannya, maka sebahagiannya tentang masuk dan sebahagiannya tentang penyuguhan makanan. Adapun masuk, maka tidaklah dari sunnah Nabi saw menuju ke tempat orang yang sedang menanti waktu makanannya. Lalu masuk waktu makan itu. Karena yang demikian, termasuk hal yang tiba-tiba dan telah dilarang dari yang demikian. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan, dengan tidak menanti-nanti makanan masak”. S 33 Al Ahzab ayat 53 –ya’ni: menunggu waktunya dan masaknya. Pada satu hadits, tersebut: “Barangsiapa berjalan kepada makanan, dimana dia tidak diundang kepadanya, maka sesungguhnya ia berjalan ke situ, sebagai orang fasiq dan ia memakan yang haram”. Tetapi orang yang masuk ke tempat orang, apabila ia tidak menunggu dan kebetulan didapatinya orang-orang itu sedang makan, maka janganlah ia makan, sebelum diizinkan kepadanya. Apabila dikatakan kepadanya: “Makanlah !” maka hendaklah ia melihat dahulu. Kalau diketahuinya, bahwa mereka mengatakan itu, berdasarkan kasihan untuk menolonginya maka hendaklah ia menolong orang itu untuk memperoleh pahala (artinya: ia makan). Dan kalau mereka itu mengatakan yang demikian, karena malu, maka tidak sewajarnyalah ia makan. Tetapi sewajarnyalah ia mencari alasan untuk tidak makan. Apabila ia lapar lalu menuju kepada sebahagian temannya untuk meminta makanan dan ia tidak menunggu waktu makan, maka tiada mengapalah yang demikian.
Rasulullah saw, Abubakar ra dan Umar ra menuju ke rumah Abil-Haitsam bin At-Taihan dan Abi Ayyub Al-Anshari, untuk memperoleh makanan yang akan dimakan. Dan mereka itu semuanya lapar. Dan masuk ke rumah teman, dalam hal yang seperti ini, adalah menolong orang muslim itu sendiri untuk memperoleh pahala memberi makanan kepada orang. Dan itu adalah adat kebiasaan salaf (ulama-ulama terdahulu).
Adalah ‘Aun bin Abdullah Al-Mas’udi mempunyai 360 teman. Ia berkeliling kepada mereka dalam setahun. Dan orang lain mempunyai 30 teman. Ia berkeliling kepada mereka dalam sebulan. Dan orang lain pula mempunyai 7 orang teman, dimana ia berkeliling kepada mereka dalam seminggu. Maka adalah teman-teman itu, yang diketahui mereka, sebagai ganti dari usaha yang diusahakan mereka. Dan bangunnya teman-teman itu dengan maksud memperoleh keberkatan, adalah ibadah bagi mereka. Kalau ia masuk dan tidak mendapati yang punya rumah dan ia percaya dengan persahabatannya dan mengetahui dengan kegembiraannya, apabila ia makan dari makanannya, maka bolehlah ia makan, tanpa izin yang punya rumah itu. Karena dimaksudkan dengan keizinan, ialah rela, lebih-lebih lagi mengenai makanan. Dan urusannya adalah berdasarkan kepada kesanggupan. Maka banyaklah orang yang menegaskan dengan keizinannya serta bersumpah-sumpah, padahal ia tidak setuju. Maka dalam hal ini, memakan makanannya adalah makruh. Dan banyaklah orang yang tidak ada di rumahnya, yang tidak memberi izin, dimana memakan makanannya adalah amat disukainya.
Berfirman Allah Ta’ala: “atau rumah kawanmu”. S 24 An Nur ayat 61. Rasulullah saw masuk ke rumah Burairah dan memakan makanannya, sedang Burairah itu tidak ada di rumah. Dan adalah makanan itu termasuk sedekah, seraya Nabi saw bersabda: “Telah sampailah sedekah pada tempatnya”. Dan adalah yang demikian, karena diketahui oleh Nabi saw akan kesenangan hati Burairah itu dengan demikian. Karena itulah diperbolehkan masuk ke rumah orang lain, tanpa izin. Karena dirasa cukup dengan mengetahui keizinannya. Kalau tidak diketahui keizinannya itu, maka tak boleh tidak daripada meminta keizinan lebih dahulu. Kemudian, baru boleh masuk.
Dan adalah Muhammad bin Wasi’ dan sahabat-sahabatnya, masuk ke rumah Al-Hasan, lalu memakan apa yang didapatinya, tanpa izin. Al-Hasan masuk dan melihat yang demikian itu, maka amatlah menggembirakannya, seraya berkata: “Beginilah kita adanya !”. Diriwayatkan dari Al-Hasan ra bahwa dia sedang berdiri memakan buah-buahan kepunyaan seorang penjual buah-buahan di pasar, dimana diambilnya dari keranjang ini buah tin dan dari keranjang itu buah tamar kering, lalu berkata Hisyam kepadanya: “Apakah yang tampak bagimu, hai Abu Sa’id tentang wara’, dimana engkau memakan harta orang, tanpa izinnya ?”. Maka menjawab Al-Hasan: “Hai orang bodoh ! bacalah kepadaku ayat makan (ayat Alquran yang menerangkan tentang makan) !”. Lalu Hisyam membacanya, sampai kepada firman Allah Ta’ala: “aw shadiiqikum” –artinya: “atau kawanmu”. –S 24 An Nur ayat 61. Maka bertanya Hisyam: “Siapa kawan itu, wahai Abu Sa’id ?”. Menjawab Al-Hasan: “Yaitu orang yang senang kepadanya jiwa dan tenteram kepadanya hati”.
Suatu golongan pergi ke rumah Sufyan Ats-Tsuri, lalu mereka tiada mendapatinya di rumah. Maka mereka membuka pintu dan menempati tempat hidangan, serta terus memakannya. Kemudian masuk Ats-Tsuri seraya berkata: “Kamu memperingatkan aku akan budi pekerti orang-orang terdahulu (orang-orang salaf)”. Begitulah mereka itu adanya ! Suatu kaum mengunjungi sebahagian tabi’in, yang tak ada padanya, apa yang akan disugukan kepada kaum itu. Lalu tabi’in tadi pergi ke rumah sebahagian temannya, tetapi tiada diperolehnya teman itu di rumah. Lalu terus ia masuk, seraya dilihatnya ke periuk yang telah dipakai untuk pemasakan, kepada roti yang telah dibuat dan kepada yang lain-lain. Semuanya lalu dibawanya, kemudian disugukannya kepada teman-temannya, seraya berkata: “Makanlah !”. Kemudian, datang yang punya rumah, lalu melihat tidak ada apa-apa lagi. Maka diterangkan kepadanya oleh orang yang melihat peristiwa itu: “Telah diambil oleh si Anu !”. Lalu menjawab yang punya: “Sesungguhnya ia telah berbuat yang baik”. Sewaktu bertemu yang punya makanan itu dengan yang mengambil, lalu mengatakan:  “Wahai temanku, kalau saudara-saudara itu kembali lagi, maka kembali pulalah engkau mengambil makanan itu untuk mereka !”. Inilah adab-kesopanan masuk !.
Adapun adab kesopanan penyuguan makanan, ialah 4:
Pertama-tama: meninggalkan pemaksaan diri (takalluf) dan menyugukan apa yang ada saja. Kalau belum tersedia apa-apa dan tidak mempunyainya, maka janganlah berhutang untuk itu. Karena akan menyusahkan kepada dirinya. Kalau ada tersedia, tetapi ia sendiri memerlukannya untuk makanannya sendiri dan tidak memungkinkan untuk disugukan, maka seyogyalah tidak disugukan. Datang sebahagian mereka kepada seorang zuhud yang sedang makan, maka berkata orang zuhud itu: “Kalau bukanlah makanan ini aku peroleh dengan hutang, niscaya akan aku berikan sebahagian daripadanya kepadamu”. Berkata sebahagian salaf, mengenai penafsiran takalluf, yaitu: “Engkau berikan makanan kepada temanmu, apa yang tidak engkau makan sendiri. Tetapi engkau maksudkan untuk menambah kan kebagusan dan kenilaian makanan itu kepada temanmu”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya dengan takalluf/pemaksaan diri itu manusia berputus-hubungan silaturrahim satu sama lain, dimana salah seorang dari mereka memanggil temannya, lalu secara pemaksaan diri menyediakan makanan kepada teman itu. Maka dengan cara yang demikian, memutuskan teman itu daripada kembali lagi kepadanya”.
Berkata sebahagian mereka: “Tiada aku perduli siapa yang datang kepadaku dari teman-temanku. Sesungguhnya aku tiada memaksaan diri baginya, tetapi aku dekatkan apa yang ada padaku. Kalau aku memaksakan diri baginya, sesungguhnya aku benci akan kedatangannya dan aku bosan kepadanya”. Berkata sebahagian mereka: “Aku masuk ke tempat salah seorang temanku, lalu ia memaksakan diri bagiku. Maka aku katakan kepadanya: “Sesungguhnya, janganlah engkau makan ini sendirian dan aku tidak engkau berikan. Maka bagaimanakah keadaan kita, apabila kita berkumpul, lalu kita memakannya ? adakalanya, engkau membuang pemaksaan diri ini atau aku putuskan, tidak datang-datang lagi. Lalu dihilangkannya pemaksaan diri itu dan tetaplah pergaulan kami disebabkan yang demikian”. Termasuk dalam pemaksakan diri, ialah menyugukan segala yang ada padanya. Maka yang demikian itu, merusakkan keluarganya dan menyakitkan hati mereka.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki mengundang Ali ra, maka Ali ra menjawab: “Aku akan memperkenankan undanganmu dengan 3 syarat: tidak engkau masukkan sesuatu dari pasar, tidak engkau simpan apa yang didalam rumah dan tidak engkau merusakkan keluargamu”.
Adalah sebahagian mereka menyuguhkan semua yang ada dalam rumahnya. Tidak ditinggalkannya suatupun, melainkan dihidangkannya. Sebahagian mereka berkata: “Kami masuk ke rumah Jabir bin Abdullah ra. Lalu beliau menyuguhkan kepada kami roti dan cuka, seraya berkata: “Jikalau bukanlah kita dilarang dari pemaksakan diri, niscaya aku memaksakan diri untukmu”. Berkata sebahagian mereka: “Apabila engkau dimaksud untuk dikunjungi, maka suguhkanlah apa yang ada ! dan kalau engkau diminta untuk berkunjung, maka janganlah engkau tinggalkan dan biarkan untuk tidak dipenuhi !”.
Berkata Salman: “Kami disuruh oleh Rasulullaah saw tidak memaksakan diri untuk tamu, akan apa yang tidak ada pada kami. Dan bahwa kami sugukan kepada tamu, apa yang ada pada kami”. Dan pada sabda Nabi Yunus as, bahwa dia dikunjungi oleh teman-temannya, lalu disugukannya kepada mereka tulang yang berdaging dan dipotong-potongnya sayuran yang ditanaminya sendiri, kemudian ia mengatakan kepada mereka: “Makanlah ! jikalau Allah tidak mengutuk orang-orang yang memaksakan diri, niscaya aku akan memaksakan diri untukmu”.
Dari Anas bin Malik ra dan para sahabat lainnya, sesungguhnya mereka itu menyugukan apa yang ada, dari tulang-tulang yang berdaging kering dan buah tamar yang buruk, seraya mereka mengatakan: “Kami tidak mengetahui, manakah yang lebih besar dosanya, antara orang yang melecehkan apa yang disugukan kepadanya atau orang yang melecehkan akan apa yang ada padanya untuk disugukannya”.
Adab kedua: yaitu, bagi pengunjung bahwa tidak menyarankan dan tidak bertegas menentukan sesuatu yang tertentu. Karena kadang-kadang sulit bagi yang dikunjungi mengadakannya. Kalau disuruh pilih oleh temannya (tuan rumah) diantara dua macam makanan, maka hendaklah dipilih yang paling mudah diantara kedua makanan itu kepada tuan rumah. Begitulah sunnah Nabi saw pada suatu hadits, tersebut, bahwa Nabi saw manakala beliau disuruh pilih diantara dua barang, maka dipilihnya yang paling mudah memperolehnya”.
Diriwayatkan oleh Al-A’masy dari Abi Wail, bahwa Abi Wail berkata: “Aku pergi bersama temanku mengunjungi Salman, maka disugukannya kepada kami roti syair (roti terbuat dari tepung syair) dan garam bertumbuk kasar. Lalu berkata temanku: “Kalau ada dalam garam ini sa’tar (semacam tumbuh-tumbuhan yang wangi baunya), niscaya adalah lebih baik”. Maka keluarlah Salman, pergi menggadaikan pancinya dan mencari sa’tar. Maka tatkala kami makan, lalu temanku itu berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah mencukupkan bagi kita dengan apa yang dianugerahiNya kepada kita !”. Maka sahut Salman: “Kalau engkau merasa cukup dengan apa yang telah dianugerahi rezeki kepada engkau, niscaya tidaklah panciku tergadai”. Itu tadi, apabila disangkanya sukar yang demikian kepada temannya atau temannya itu tidak suka yang demikian. Tetapi kalau diketahuinya, bahwa temannya (tuan rumah) itu suka dengan usulannya dan tidak menyukarkan yang demikian kepada tuan rumah, maka tidaklah dimakruhkan baginya (bagi yang mengunjung) mengusulkannya.
Telah dilakukan yang demikian oleh Imam Asy-Syafi’i ra pada Az-Za’farani, ketika Asy-Syafi’i singgah padanya di Baghdad. Dan adalah Az-Za’farani menulis tiap-tiap hari pada sehelai kertas, akan warna-warna apa yang akan dimasak dan diserahkannya kepada budak wanitanya. Pada suatu hari Asy-Syafi’i mengambil kertas itu dan menuliskan padanya, warna yang lain dengan tulisannya sendiri. Sewaktu Az-Za’farani melihat warna itu, lalu membantah dan mengatakan: “Aku tidak menyuruh dengan warna itu !” Maka diserahkan kepadanya kertas, yang terlampir padanya tulisan Asy-Syafi’i. Tatkala dilihatnya tulisan Asy-Syafi’i itu, maka amat gembiralah ia dengan yang demikian. Dan dimerdekakannya budak wanita itu, karena gembira dengan usul Imam Asy-Syafi’i kepadanya.
Berkata Abubakar Al-Kattani: “Aku masuk ke rumah As-Sirri, lalu beliau datang dengan membawa makanan yang sudah hancur dan separoh daripadanya diletakannya dalam gelas. Maka aku bertanya kepadanya: “Apakah yang saudara kerjakan ?” Aku meminumnya seluruhnya dalam satu kali. Maka tertawalah As-Sirri, seraya berkata: “Ini adalah lebih utama bagi saudara daripada memberi keterangan !”. Berkata sebahagian mereka: “Makan itu adalah 3 macam: bersama orang-orang miskin dengan mengutamakan mereka, bersama teman-teman dengan berlapang dada dan bersama anak-anak dunia dengan adab kesopanan”.
Adab ketiga: bahwa tuan rumah (yang dikunjungi) menyugukan yang disukai temannya yang berkunjung. Dan meminta daripadanya akan saran-saran, manakala dirinya dapat menerima dengan baik, untuk melaksanakan apa yang akan disarankan itu. Yang demikian itu adalah baik. Dan padanya pahala dan banyak keutamaan. Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa memperoleh dari temannya makanan yang disukainya, niscaya diampunkan dosanya. Dan barangsiapa menggembirakan temannya yang mu’min maka sesungguhnya ia telah menggembirakan akan Allah Ta’ala”. Dan bersabda Nabi saw menurut yang diriwayatkan oleh Jabir: “Barangsiapa memberi kesenangan kepada temannya dengan yang disukai temannya itu, niscaya dituliskan oleh Allah baginya beribu-ribu kebaikan, dihapuskan daripadanya beribu-ribu kejahatan dan ditinggikan untuknya beribu-ribu derajat dan diberikan oleh Allah kepadanya makanan dari 3 sorga: sorga firdaus, sorga ‘adnin dan sorga Al-Khuldi”.
Adab keempat: bahwa tidak ditanyakan kepada tamu yang berkunjung itu: “Apakah kami sugukan kepada saudara makanan ?”. Tetapi seyogyalah disugukan kalau ada. Berkata Ats-Tsuri: “Apabila berkunjung kepadamu temanmu, maka janganlah engkau tanyakan kepadanya: “Apakah saudara makan ?” Atau: “Aku sugukan makanan kepada saudara ?” Tetapi sugukanlah, kalau ia makan, syukur. Kalau tidak maka angkatkan kembali !”. Kalau tidak bermaksud memberikan sesuatu makanan kepada para tamu itu, maka tiada seyogyalah diucapka yang demikian kepada mereka atau diterangkan kepada mereka.
Berkata Ats-Tsuri: “Apabila anda bermaksud, tidak memberikan makanan kepada keluarga anda, dari apa yang anda makan, maka janganlah anda katakan itu kepada mereka, dan janganlah anda perlihatkan kepada mereka !” Berkata setengah ulama Shufi: “Apabila masuk ke tempat anda, orang-orang fakir, maka sugukanlah kepada mereka makanan. Dan apabila masuk orang-orang faqih (ahli ilmu fiqih), maka tanyakanlah kepada mereka tentang sesuatu masalah (persoalan). Dan apabila masuk orang-orang qurra’ (ahli qiraat Alquran), maka tunjukkanlah kepada mereka mihrab (tempat imam berdiri mengerjakan shalat dalam masjid !”).
BAB KEEMPAT: tentang adab bertamu.
Tempat-tempat yang memberatkan dugaan, ada padanya adab bertamu itu 6, yaitu: pertama-tama: undangan, kemudian: jawaban, kemudian: datang, kemudian: penyuguan makanan, kemudian: makan dan kemudian: kembali. Dan akan kami dahulukan uraiannya insya Allah Ta’ala, akan keutamaan bertamu.
Bersabda Nabi saw: “Janganlah kamu memaksakan diri untuk tamu, nanti kamu marahi dia. Karena barangsiapa marah kepada tamu, maka ia telah marah kepada Allah. Dan barangsiapa marah kepada Allah, niscaya ia dimarahi Allah”. Bersabda Nabi saw: “Tiada kebajikan pada orang yang tiada menjamukan tamu”. “Rasulullah saw lalu pada tempat seorang laki-laki yang mempunyai banyak unta dan lembu. Tetapi ia tiada menjamukan Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw lalu pada tempat seorang wanita yang mempunyai beberapa ekor kambing, lalu disembelihkannya untuk Rasulullah saw. Maka bersabda Nabi saw: “Lihatlah kepada kedua orang itu ! sesungguhnya budi luhur itu adalah ditangan Allah. Maka barangsiapa dikehendakiNya untuk dianugerahiNya budi yang baik, niscaya diperbuatNya”.
Berkata Abu Rafi’i, bekas budak (maula) Rasulullah saw: “Telah singgah pada Nabi saw seorang tamu, lalu Nabi saw bersabda kepadaku: “Katakanlah kepada si Anu orang Yahudi itu, bahwa telah singgah seorang tamu padaku. Dari itu, mintalah dia memperhutangkan aku sedikit tepung, yang akan aku bayar sampai bulan Rajab !”. Maka menjawab Yahudi itu: “Demi Allah, aku tiada akan memperhutangkannya, kecuali dengan jaminan”. Lalu aku terangkan yang demikian itu kepada Nabi saw maka beliau menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang kepercayaan (aminun) di langit, lagi orang kepercayaan di bumi. Kalau diperhutangkannya aku, niscaya aku bayar. Pergilah bawa baju-besiku dan gadaikanlah kepadanya !”.
Adalah Nabi Ibrahim as apabila bermaksud makan, lalu keluar 1 mil atau 2 mil, mencari orang yang akan makan bersama beliau, sehingga beliau digelarkan “Bapak tamu” (Abudl-dlaifan). Dan karena benar niatnya itu, maka selalulah ada tamunya pada tempat syahidnya sampai sekarang ini. Dan tidak berjalan semalampun, melainkan makan pada tempat tadi orang banyak, diantara 3 sampai 10, bahkan sampai 100 orang. Dan berkata yang memimpin tempat tersebut, bahwa tidak semalampun yang kosong dari tamu sampai sekarang.
Ditanyakan Rasulullah saw: “Apakah iman itu ? maka Rasulullah menjawab: “Menyediakan makanan untuk tamu dan memberi salam”. Dan bersabda Nabi saw: “Untuk kafarat dan memperoleh derajat, adalah dengan memberi makanan kepada tamu dan mengerjakan shalat di malam hari, sedang manusia lain sedang tidur nyenyak”. Ditanyakan Nabi saw tentang hajji mabrur, maka Nabi saw menjawab: “Memberikan makanan dan berkata yang baik”.
Berkata Anas ra: “Tiap-tiap rumah yang tidak dimasuki tamu, niscaya tidak dimasuki malaikat”. Hadits-hadits yang mengemukakan tentang kelebihan menerima tamu dan memberi makanan kepada tamu itu, adalah tidak terhingga jumlahnya. Dari itu, hendaklah kami sebutkan akan adab kesopanannya ! Adapun undangan: maka seyogyalah bagi pengundang menujukan dengan undangannya orang-orang taqwa. Tidak orang-orang fasiq.
Bersabda Nabi saw: “Dimakan kiranya makananmu oleh orang-orang baik”. Dalam doanya bagi sebahagian orang, dimana Nabi saw berdoa untuknya. Dan sabda Nabi saw: “Jangan kamu makan, selain makanan orang yang bertaqwa dan jangan dimakan makananmu selain oleh orang yang bertaqwa !”’. Dan hendaklah ditujukan dengan memberi makanan itu, orang-orang miskin, tidak orang-orang kaya khususnya.
Bersabda Nabi saw: “Seburuk-buruk makanan, ialah makanan peralatan (walimah) yang diundang padanya orang-orang kaya, tidak orang-orang miskin”. Dan seyogyalah, tidak disia-siakan keluarga pada perjamuan itu. Karena menyia-nyiakan mereka, adalah meretakkan hati dan memutuskan silaturrahim. Dan begitupula dijaga urutan tentang teman-teman dan kenalan-kenalan yang diundang. Karena dalam penentuan sebahagian itu meretakkan hati yang lain. Dan seyogyalah tidak dimaksud dengan undangan itu, kemegahan dan penyombongan diri. Tetapi mengambil hati teman-teman dan menjalankan sunnah Rasulullah saw tentang penyuguan makanan dan memasukkan kesenangan hati orang-orang mu’min. Dan seyogyalah tidak diundang orang yang diketahui sukar kepadanya memperkenankan undangan. Dan apabila ia datang, maka menjadi penyakit kepada pengunjung-pengunjung yang lain, disebabkan oleh suatu sebab. Dan seyogyalah tidak diundang, selain orang yang di ingini perkenaan nya.
Berkata Sufyan: “Barangsiapa mengundang makan seseorang dan ia tidak senang orang itu datang, maka yang mengundang itu satu kesalahan. Dan kalau yang diundang itu datang, maka yang mengundang mendapat dua kesalahan. Karena ia membawa yang diundang kepada makan, sedang ia tidak suka.
Dan kalau yang diundang itu tahu yang demikian, niscaya ia tidak akan makan”. Memberi makanan kepada orang yang bertaqwa, adalah menolong kepada ketaatannya. Dan memberi makanan kepada orang yang fasiq, adalah memberi kekuatan kepadanya untuk perbuatan fasiq. Bertanya seorang penjahit kepada Ibnul-Mubarak: “Saya menjahit pakaian sultan-sultan. Maka adakah tuan takut bahwa saya ini termasuk orang yang menolong orang-orang zalim ?”. Menjawab Ibnul-Mubarak: “Tidak ! sesungguhnya yang menolong orang zalim, itu ialah yang menjual kain dan jarum kepadamu. Adapun engkau, maka adalah termasuk orang zalim itu sendiri”. Adapun jawaban (memenuhi undangan) itu, adalah sunnat yang dikuatkan (sunnat muakkadah). Ada yang mengatakan: wajib, pada sebahagian tempat. Bersabda Nabi saw: “Jikalau aku diundang memakan kaki kambing, niscaya aku perkenankan dan jikalau aku diberi hadiah lengan kambing niscaya aku terima”.
Dan untuk memenuhi undangan makan itu, 5 macam adab:
Pertama: bahwa tidak membeda-bedakan antara orang kaya dengan orang miskin, dalam memenuhi undangan itu. Karena membeda-bedakan itu, adalah takabur yang dilarang. Dan karena itulah, sebahagian mereka tidak mau sekali-kali memenuhi undangan itu dan berkata: “Menunggu sayur itu suatu kehinaan”. Dan berkata yang lain: “Apabila aku letakkan tangan pada piring orang lain, maka telah hinalah diriku karenanya”. Setengah dari orang yang takabur, ialah yang memenuhi undangan orang yang kaya, tidak orang yang miskin. Dan itu, adalah berlawanan dengan sunnah. Adalah Nabi saw memenuhi undangan budak dan undangan orang miskin. Al-Hasan bin Ali ra melalui tempat sekumpulan orang miskin, dimana mereka itu meminta-minta pada orang di tengah jalan. Mereka itu telah menghamburkan pecahan-pecahan roti diatas tanah pada pasir, dimana mereka itu memakannya, sedang Al-Hasan berada diatas baghalnya (hewan peranakan antara kuda dan keledai). Lalu Al-Hasan memberi salam kepada mereka. Maka mereka berkata kepada Al-Hasan: “Marilah makan bersama kami, wahai putera dari puteri Rasulullah !”. Maka Al-Hasan menjawab: “Ya, boleh ! sesungguhnya Allah tiada menyukai orang-orang yang takabur !”. Lalu beliau turun dari kendaraannya dan duduk bersama mereka diatas tanah dan makan. Kemudian, ia memberi salam kepada mereka dan berkendaraan kembali, seraya berkata: “Aku telah penuhi panggilanmu, maka penuhilah nanti akan panggilanku !”. Mereka itu menjawab: “Boleh !”. Maka Al-Hasan menjanjikan dengan mereka akan suatu waktu tertentu. Maka datanglah mereka, lalu beliau menyugukan makanan yang mewah dan duduk makan bersama dengan mereka.
Adapun perkataan dari orang yang mengatakan: “Bahwa orang, dimana aku meletakkan tanganku dalam piringnya, maka sesungguhnya telah hinalah diriku karenanya” –maka sebahagian mereka mengatakan, bahwa ucapan itu adalah menyalahi sunnah. Sebenarnya, tidaklah demikian. Karena kehinaan itu, baru ada, apabila yang mengundang tidak senang dipenuhi undanganya. Dan tidak diikuti dengan dipenuhi undangannya, sebagai suatu nikmat. Dan si pengundang memandang yang demikian itu, bahwa dia telah mempunyai kekuasaan keatas yang diundang. Dan Rasulullah saw datang memenuhi sesuatu undangan, karena beliau tahu bahwa yang mengundang itu merasa dirinya berbuat suatu nikmat bagi Nabi saw. Dan memandang yang demikian, suatu kemuliaan dan simpanan untuk dirinya di dunia dan di akhirat. Hal itu berlainan dengan berlainan keadaan. Maka barangsiapa menyangka, bahwa yang mengundang merasa berat memberi makanan kepada yang diundang dan diperbuatnya yang demikian, adalah karena kebanggaan atau memaksakan diri, maka tidaklah termasuk sunat, memenuhi undangan itu. Bahkan yang lebih utama, mencari alasan untuk menolaknya. Karena itulah, berkata sebahagian orang shufi: “Janganlah kamu memperkenankan, kecuali undangan orang, yang memandang bahwa engkau memakan rezeki engkau sendiri. Dan bahwa dia telah menyerahkan kepada engkau akan simpanan milik engkau, yang ada padanya. Dan memandang, bahwa engkau mempunyai kelebihan kepadanya, dalam menerima simpanan daripadanya”.
Berkata Sirr/rahasiai As-Suqthi ra: “Ah, kepadaku sesuap, yang tak ada akibat padanya terhadap Allah dan tak ada padanya cacian bagi makhluk”. Apabila diketahui oleh yang diundang, bahwa tak ada cacian padanya, maka tidak wajarlah ditolak. Berkata Abu Turab An-Nakhsyabi ra: “Disuguhkan kepadaku makanan, lalu aku menolak. Maka aku memperoleh bencana dengan kelaparan, 14 hari lamanya. Lalu aku mengetahui, bahwa itu adalah siksaannya”. Ada yang bertanya kepada Ma’ruf Al-Kharki ra: “Tiap-tiap orang yang mengundang engkau, maka engkau pergi kepadanya ?”. Maka menjawab Ma’ruf: “Saya adalah tamu, saya akan bertempat dimana mereka itu menempatkan saya.
Kedua: bahwa tiada wajar menolak dari memenuhi undangan, disebabkan karena jauh, sebagaimana tiada menolak karena kemiskinan yang mengundang dan tiada terkenalnya. Tetapi tiap-tiap jarak jauh yang mungkin ditempuh menurut kebiasaan, maka tiada wajar ditolak. Karena itulah tersebut dalam Taurat atau sebahagian kitab-kitab: “Berjalanlah 1 mil, untuk mengunjungi orang sakit ! berjalanlah 2 mil, untuk berkunjung ke tempat kematian ! berjalanlah 3 mil, untuk memenuhi undangan ! berjalanlah 4 mil untuk mengunjungi teman seagama !”. Sesungguhnya didahulukan memenuhi undangan dan berkunjung, karena padanya, menunaikan hak orang hidup. Maka orang hidup itu adalah lebih utama dari orang mati.
Bersabda Nabi saw: “Jikalau aku diundang ke Kura’ Al-Ghumaim, niscaya aku perkenankan”. Al-Ghumaim, adalah suatu tempat yang jauhnya beberapa mil dari Madinah, dimana Rasulullah saw berbuka puasa padanya dalam bulan Ramadlan, tatkala sampai kesitu dan mengqasharkan shalat padanya dalam perjalanan.
Ketiga: bahwa tidak menolak lantaran berpuasa, tetapi datanglah. Kalau menggembirakan teman oleh berbuka, maka berbukalah. Dan hendaklah memperhitungkan dalam berbuka itu, dengan niat mendatangkan kegembiraan kedalam hati teman, akan apa yang diperhitungkannya pada puasa. Bahkan lebih utama lagi. Dan yang demikian itu ialah pada puasa sunat. Dan kalau ia tidak meyakini akan kesukaan hati temannya, maka hendaklah dibenarkannya menurut yang zahir dan hendaklah ia berbuka. Dan kalau ia meyakini, bahwa temannya itu bertakalluf (memaksakan diri mengadakan jamuan itu), maka hendaklah ia mencari alasan untuk melepaskan diri. Bersabda Nabi saw terhadap orang yang menolak undangan, disebabkan halangan berpuasa: “Telah memaksakan diri untukmu saudaramu dan kamu mengatakan: “Bahwa aku berpuasa”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Diantara  kebajikan yang terutama, ialah memuliakan orang-orang yang duduk bersama-sama, dengan berbuka puasa”. Maka berbuka puasa itu menjadi ibadah dengan niat tersebut dan suatu kebagusan budi. Pahalanya melebihi pahala puasa. Manakala tidak berbuka dari puasa, maka jamuannya ialah bau-bauan, air mawar dan pembicaraan yang baik. Ada yang mengatakan, bahwa celak dan minyak itu, adalah salah satu daripada dua yang disugukan kepada tamu.
Keempat: bahwa menolak dari memperkenankan undangan, kalau makanan yang akan disugukan itu, makanan syubhat (diragukan) atau tempat atau tikar yang dibentang dari yang tidak halal. Atau terdapat pada tempat jamuan itu, suatu kemunkaran, seperti tikar sutera atau bejana perak atau gambar binatang diatas loteng atau dinding atau mendengar suatu dari bunyi-bunyian dan permainan atau berbuat dengan semacam permainan, bersenda gurau, perbuatan yang sia-sia, mendengar cacian, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, berita palsu dan yang diada-adakan serta kebohongan dan yang serupa dengan yang demikian. Maka semuanya itu, adalah sebahagian dari yang melarang untuk mempekenankan undangan dan sunatnya memperkenankannya. Dan mewajibkan keharaman atau kemakruhannya. Dan begitupula, apabila yang mengundang itu seorang zalim atau seorang pembuat bid’ah (yang diada-adakan) atau seorang fasiq atau seorang jahat atau seorang yang memaksakan diri, karena mencari kemegahan dan keagungan.
Kelima: bahwa tidak bermaksud dengan memenuhi undangan itu, untuk memenuhi hawa nafsu perut, sehingga ia menjadi seorang yang berbuat pada pintu-pintu duniawi. Tetapi ia membaguskan niatnya untuk menjadikan diri dengan sambutan undangan itu, sebagai seorang yang beramal untuk akhirat. Yaitu, bahwa adalah niatnya itu mengikuti jejak dan sunnah Rasulullah saw pada sabdanya: “Kalau sekiranya aku diundang ke Kura’, niscaya aku perkenankan”. Dan hendaklah diniatkan menjauhkan diri berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala, karena sabdanya saw: “Barangsiapa tiada memperkenankan undangan dari yang mengundang, maka sesungguhnya ia telah mendurhakai Allah dan RasulNya”. Dan diniatkan memuliakan saudaranya sesama mu’min, karena mengikuti sabda Nabi saw: “Barangsiapa memuliakan saudaranya mu’min, maka seolah-olah ia telah memuliakan Allah”. Dan diniatkan mendatangkan kegembiraan kedalam hati teman, karena mengikuti sabda Nabi saw: “Barangsiapa menggembirakan orang mu’min niscaya sesungguhnya ia telah menggembirakan Allah”. Dan diniatkan bersama yang tadi, untuk berkunjung, supaya menjadi berkasih-kasihan pada jalan Allah. Karena “disyaratkan oleh Rasulullah saw padanya kunjung-mengunjungi dan beri-memberi karena Allah”. Dan telah berhasil pemberian itu dari salah satu pihak, lalu berhasillah pula kunjungan dari salah satu pihak lagi. Dan diniatkan memelihara diri daripada buruk sangkaan orang tentang tidak datangnya itu, lalu tersiar pembicaraan, bahwa yang demikian itu disebabkan oleh kesombongan atau keburukan budi atau penghinaan kepada teman muslim. Atau hal-hal yang serupa dengan yang demikian. Maka inilah 6 macam niat yang dihubungkan pada memperkenankan undangan, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, secara satu-persatu daripadanya. Maka betapa pula secara keseluruhannya !
Ada sebahagian salaf berkata: “Saya menyukai supaya pada tiap-tiap amal perbuatan saya ada niat padanya, sehingga pada makan dan minum”. Dan dalam contoh yang seperti ini, telah bersabda Nabi saw: “Segala amal perbuatan itu dengan niat dan sesungguhnya bagi tiap-tiap manusia itu apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berniat dengan hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berniat dengan hijrahnya kepada dunia yang ingin diperolehnya atau kepada wanita yang ingin dikawininya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang diniatkan hijrah kepadanya”. Niat itu hanya membekas pada perbuatan mubah dan perbuatan taat. Adapun pada perbuatan yang terlarang, maka tiadalah membekas. Kalau sekiranya ia berniat menggembirakan teman-temannya dengan memberi pertolongan kepada mereka pada minum khamar atau perbuatan haram yang lain, niscaya niat itu tidak bermanfaat. Dan tidaklah boleh dikatakan: “Segala amal perbuatan itu dengan niat” dalam hal ini. Tetapi kalau bermaksud dengan tampil ke medan perang –dimana ia adalah suatu perbuatan taat –untuk memperoleh kemegahan dan mencari kekayaan, niscaya berkisarlah ia dari segi ketaatan. Begitupula perbuatan mubah (perbuatan yang dibolehkan), yang berkisar diantara segi kebajikan dan tidaknya, akan berhubungan dengan segi kebajikannya itu, dengan niat. Maka berpengaruhlah niat pada dua bahagian ini (perbuatan mubah dan taat) dan tidak berpengaruh pada bahagian yang ketiga (bahagian yang terlarang).
Adapun mengenai kedatangan, maka adabnya ialah memasuki rumah itu dan tidak duduk di kepala majlis, lalu mengambil tempat yang terbagus. Tetapi hendaklah dengan tawadlu’ (merendah diri) dan tidak melamakan orang-orang yang telah datang untuk menunggu kedatangannya. Dan tidak pula mencepatkan, dimana ia datang dengan cara yang tiba-tiba, sebelum sempurna persediaan. Dan tidak menyempitkan tempat kepada orang-orang yang telah datang lebih dahulu, dengan desak-mendesak. Tetapi bila ditunjukkan oleh tuan rumah kepadanya suatu tempat, maka janganlah sekali-kali membantahnya. Karena kadang-kadang tuan rumah itu telah menyusun untuk masing-masing undangan itu tempatnya. Maka kalau ditentang, niscaya membawa kekacauan kepada tuan rumah. Kalau diisyaratkan kepadanya oleh sebahagian tamu, dengan ketinggian derajat, karena memuliakannya, maka hendaklah ia bertawadlu’ (merendahkan diri).
Bersabda Nabi saw: “Diantara sifat merendahkan diri karena Allah, ialah rela dengan yang kurang dari tempat duduk”. Dan tiada wajarlah duduk setentang pintu kamar untuk wanita dan tabir mereka. Dan janganlah banyak memandang ke tempat yang dikeluarkan makanan daripadanya. Karena itu menunjukkan kepada kerakusan. Dan dikhususkan salam dan pertanyaan kepada orang yang berdekatan dengan dia, apabila ia telah duduk. Apabila masuk seorang tamu untuk bermalam, maka hendaklah diberitahukan oleh tuan rumah kepadanya, ketika masuk itu: qiblat, tempat buang air dan tempat berwudlu’. Begitulah diperbuat oleh Imam Malik kepada Imam Asy-Syafi’i ra. Dan Imam Malik ra membasuh tangannya sebelum makan, sebelum orang lain membasuh tangannya, seraya berkata: “Tuan rumah membasuh tangannya sebelum makan, adalah lebih utama. Karena membawa orang kepada memuliakannya”. Maka caranya, ialah tuan rumah itu mendahulukan membasuh tangannya pada awal makan dan mengemudiankan membasuh tangannya pada akhir makan, untuk menunggu masuk orang yang akan makan, lalu makan bersama dengan dia. Apabila memasuki tempat jamuan, lalu melihat yang munkar, maka hendaklah menghilangkan kemungkaran itu, kalau sanggup. Dan kalau tidak, maka hendaklah ditantangnya dengan lisan dan kemudian, pergilah. Perbuatan munkar, yaitu: tikar sutera, pemakaian bejana perak dan emas, gambar pada dinding, diperdengarkan permainan dan bunyi-bunyian, hadir kaum wanita yang terbuka mukanya dll lagi dari perbuatan-perbuatan haram. Sehingga Ahmad ra berkata: “Apabila ia melihat alat celak, dimana kepalanya terbuat dari perak, maka seyogyalah keluar. Dan janganlah setuju duduk, kecuali pada palang pintu”. Dan beliau berkata pula: “Apabila melihat tabir halus, maka seyogyalah keluar, karena itu adalah pemaksakan diri. Tak ada padanya faedah, tidak menolak panas dan dingin dan tidak menutupkan sesuatu”. Begitupula beliau berkata: “Keluarlah, apabila melihat dinding rumah, ditutupi dengan sutera, sebagaimana menutupkan Ka’bah !” Seterusnya Ahmad ra berkata: “Apabila menyewa rumah, dimana padanya gambar atau memasuki kamar mandi, lalu menampak gambar, maka seyogyalah mengikiskan gambar itu. Kalau tidak sanggup, maka keluarlah”. Semua yang disebut oleh Ahmad ra itu benar. Hanya harus diperhatikan tentang tabir halus dan penghiasan dinding dengan sutera. Karena itu tidaklah sampai kepada: mengharamkan. Karena sutera hanya diharamkan kepada laki-laki saja.
Rasulullah saw bersabda: “Yang dua ini (emas dan perak), diharamkan kepada umatku yang laki-laki dan dihalalkan kepada yang wanita daripadanya”. Dan apa yang diatas dinding itu tidaklah ditujukan kepada laki-laki. Dan kalau itu diharamkan, niscaya diharamkanlah penghiasan Ka’bah. Bahkan yang lebih utama ialah membolehkannya, karena menurut pemahaman yang semestinya dari firman Allah Ta’ala: “Katakanlah ! siapakah yang mengharamkan (memakai) perhiasan Allah ?”. S 7 Al- A’raaf ayat 32. Lebih-lebih pada waktu hiasan itu, apabila tidak diambil menurut adat kebiasaan untuk bermegah-megah. Walaupun dapat dikhayalkan, bahwa orang laki-laki mengambil manfaat dengan memandang kepada dinding itu. Dan tidaklah diharamkan kepada laki-laki mengambil manfaat dengan memandang kepada sutera, manakala dipakai oleh budak-budak wanita dan kaum perempuan. Dan dinding tadi, adalah seperti dengan wanita. Karena ia tidak disifatkan dengan jantan.
Adapun menghidangkan makanan, maka 5 adabnya:
Pertama: menyegerakan makanan itu, karena yang demikian adalah sebahagian dari memuliakan tamu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya ! manakala telah banyak yang datang dan belum datang seorang atau dua dan mereka itu terkemudian dari waktu yang dijanjikan, maka hak orang-orang yang telah datang untuk disegerakan, adalah lebih utama dari hak mereka yang datang kemudian. Kecuali yang datang kemudian itu orang miskin atau merasa kecil hati dengan yang demikian. Maka dalam hal ini tiada mengapa dikemudiankan. Dan salah satu dari dua pengertian, mengenai firman Allah Ta’ala: “Sudah datangkah kepadamu cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan ?” S 51 Adz Dzaariyaat ayat 24  bahwa para tamu itu dimuliakan dengan menyegerakan penyuguan makanan kepada mereka. Dibuktikan kepada yang demikian oleh firman Allah Ta’ala: “Setelah seketika lamanya, dihidangkannya daging sapi yang dibakar”. S 11 Huud ayat 69. Dan firmanNya: “Lalu dia pergi dengan diam-diam kepada keluarganya dan dibawanya daging anak sapi yang gemuk”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 26. Ragha dan mashdarnya, yaitu: raughan pada ayat diatas, artinya: berjalan dengan cepat. Dan ada yang mengatakan: berjalan dengan diam-diam. Dan ada yang mengatakan: dia datang dengan daging-paha. Dan dinamakan daging paha itu dengan: ‘ijlin (pada ayat diatas), karena dia menyegerakan membawanya dan dalam seketika saja.
Berkata Hatim Al-Ashamm: “Cepat tergopoh-gopoh itu dari setan, kecuali pada 5 perkara. Maka yang 5 ini, adalah dari sunnah Rasulullah saw, yaitu: memberi makanan kepada tamu, menyelenggarakan (tajhiz) mayit, mengawinkan anak gadis, membayar hutang dan bertaubat daripada dosa”. Dan disunatkan menyegerakan walimah (pesta perkawinan). Ada ulama yang mengatakan, bahwa: pesta kawin pada hari pertama itu sunat, pada hari ke-2 suatu yang ma’ruf (dikenal sebagai adat kebiasaan dalam masyarakat) dan pada hari ke-3 itu ria.
Kedua: penerbitan makanan, dengan mendahulukan pertama-tama buah-buahan, kalau ada. Yang demikian itu, adalah lebih bersesuaian dengan kesehatan, karena lebih melekaskan pencernaan makanan. Maka sewajarnyalah buah-buahan itu jatuh pada bahagian bawah perut besar. Dan dalam Alquran terdapat peringatan untuk mendahulukan buah-buahan, pada firman Allah Ta’ala:
“Dan buah-buahan, mana yang mereka pilih”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 20. Kemudian Allah berfirman:
“Dan daging burung, mana yang mereka ingini”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 21. Kemudian, yang lebih utama didahulukan sesudah buah-buahan, ialah: daging dan roti yang dihancurkan ke dalam kuah (tsarid). Bersabda Nabi saw: “Kelebihan ‘Aisyah dari wanita-wanita lain, adalah seperti kelebihan tsarid dari makanan-makanan lain”. Kalau dikumpulkan kepada makanan itu, yang manis sesudah tsarid, maka sesungguhnya telah berkumpul segala yang baik-baik. Dan dibuktikan berhasilnya memuliakan tamu dengan daging, ialah firman Allah Ta’ala: mengenai tamu Nabi Ibrahim as karena ia menyugukan daging sapi yang dibakar, yaitu, yang telah bagus masakannya. Dan itu adalah salah satu dari pengertian memuliakan, ya’ni dengan mendahulukan daging. Allah Ta’ala berfirman, tentang: menyifatkan: yang baik-baik (ath-thayyibaat): “Dan Kami turunkan kepadamu al-manna dan assalwa”. S 2 Al Baqarah ayat 57. Al-manna, yaitu: manisan lebah. Dan assalwa, yaitu: daging. Dinamakan: daging itu, dengan: assalwa. Karena ia menyenangkan, dari semua lauk-pauk yang lain. Dan tidak dapat yang lain menggantikan kedudukan daging. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Penghulu lauk-pauk, ialah daging”. Kemudian, sesudah menyebutkan Al-manna dan assalwa, maka Allah Ta’ala berfirman: “Makanlah makanan yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu !”. S 2 Al Baqarah ayat 57 yang tersebut diatas. Maka daging dan makanan yang manis (halwa) itu, termasuk dari: yang baik-baik.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani ra: “Memakan yang baik-baik, mewarisi kerelaan Allah”. Dan yang baik-baik itu sempurna dengan meminum air dingin dan menuangkan air yang sudah sejuk keatas tangan ketika membasuhnya. Berkata Al-Ma’mun: “Meminum air dengan es, adalah mengikhlaskan kesyukuran”. Berkata setengah orang yang ahli tentang adab: “Apabila kamu mengundang teman-temanmu, lalu engkau sugukan kepada mereka makanan dari buah-buahan dan ikan, kemudian kamu berikan minuman air dingin, maka sesungguhnya engkau telah menyempurnakan jamuan”. Dan sebahagian mereka mengeluarkan belanja beberapa dirham untuk jamuan, lalu berkata sebahagian hukama’: “Kami tidak berhajat kepada ini, apabila rotimu bagus, airmu dingin dan cukamu masam. Maka sekedar itu sudah mencukupi”. Berkata setengah mereka: “Adanya kue yang manis sesudah makan, adalah lebih baik daripada banyaknya macam makanan. Dan menetap dengan kepuasan pada satu hidangan dengan satu macam, adalah lebih baik daripada lebih kepada dua macam”. Ada yang mengatakan, bahwa malaikat mendatangi hidangan, apabila ada padanya sayur-sayuran. Maka sayur-sayuran itu disunatkan pula. Dan karena padanya itu, penghiasan bagi makanan dengan kehijauan. Dan pada suatu berita, tersebut: “Bahwa hidangan yang diturunkan kepada kaum Bani Israil itu, adalah padanya bermacam-macam sayur-sayuran, kecuali daun kurrats (busuk baunya, menyerupai bawang). Dan ada pada hidangan itu ikan, dimana pada kepalanya cuka, pada ekornya garam. Dan pada hidangan itu 7 buah roti dan diatas masing-masing roti itu, buah zaitun dan biji buah delima”. Ini, apabila berkumpul semuanya, adalah baik karena bersesuaian.
Ketiga: bahwa didahulukan dari berbagai macam makanan itu, yang lebih lembut, sehingga dapat dihabiskan daripadanya oleh siapa yang mau. Dan tidak diperbanyakkan makan lagi sesudahnya. Dan kebiasaan orang-orang yang mewah, ialah mendahulukan makanan yang kasar. Supaya kembali tergerak nafsunya dengan memperoleh  makanan yang lembut kemudian. Dan itu adalah berlawanan dengan sunnah. Itu, adalah helah untuk membanyakkan makan. Dan adalah diantara kebiasaan orang-orang terdahulu, menyugukan sejumlah macam makanan sekaligus dan mengatur berbaris-baris piring makanan diatas meja makan. Supaya masing-masing boleh makan menurut kesukaannya. Dan kalau tak ada pada tuan rumah itu, selain semacam saja, maka hendaklah disebutkannya. Supaya para tamu dapat menyempurnakan makan dari yang semacam itu. Dan tidak lagi menunggu akan yang lebih baik. Diceritakan dari sebahagian orang-orang yang mempunyai kehormatan diri (muruah), bahwa ia menulis pada sehelai kertas, berbagai macam makanan yang ada padanya dan disugukannya kepada para tetamu. Berkata setengah para guru: “Disugukan kepadaku oleh sebahagian para guru, suatu macam makanan negeri Syam, lalu aku berkata: “Pada kami di Irak, sesungguhnya ini disugukan pada penghabisan”. Lalu menjawab guru tadi: “Begitulah pada kami di negeri Syam”. Dan tak adalah baginya makanan yang lain. Maka malulah aku daripadanya”. Berkata sebahagian guru yang lain: “Adalah kami serombongan pada suatu perjamuan. Lalu disugukan kepada kami berbagai macam kepala ikan yang dipanggang, yang dimasak dan terpotong-potong. Kami tidak terus makan, tetapi menunggu macam atau bawaan yang lain. Lalu dibawalah kepada kami baki dan tidak disugukan makanan yang lain. Maka pandang-memandanglah diantara kami satu sama lain. Lalu berkata sebahagian guru secara berkelakar: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mentaqdirkan menjadikan kepala, tanpa badan”. Guru tadi meneruskan ceritanya: “Maka bermalamlah kami pada malam itu dengan perut lapar. Kami mencari pecahan-pecahan roti sampai kepada waktu sahur”. Maka dari itulah, disunatkan menyugukan semuanya atau diterangkan apa yang ada pada tuan rumah.
Keempat: bahwa tidak mencepatkan mengangkat makanan-makanan itu, sebelum para tamu cukup memakannya. Sehingga mereka telah mengangkat tangannya dari makanan-makanan tersebut. Karena mungkin diantara mereka, masih ingin kepada yang masih tinggal daripada yang telah disugukan itu atau ia masih berhajat kepada makan. Maka tertahanlah ia daripada memakannya, lantaran cepat mengangkatnya. Dan adalah dengan tetap pada suatu hidangan, dimana dikatakan, yang demikian itu, adalah lebih baik dari dua macam makanan. Maka mungkin dimaksudkan dengan kata-kata tadi, ialah tidak menyegerakan mengangkatkannya. Dan mungkin pula dimaksudkan dengan suatu hidangan itu, akan keluasan tempat.
Diceritakan dari As-Satturi, yang mana beliau ini adalah seorang shufi yang suka berkelakar, bahwa ia telah berkunjung pada salah seorang anak dunia dalam suatu perbidangan. Maka disugukan seekor kibasy dan adalah tuan rumah itu seorang yang kikir. Maka tatkala dilihatnya para tamu merobek-robekkan kibasy tadi, maka sempitlah dadanya (tiada merasa senang). Lalu ia memanggil pelayannya: “Hai pelayan, angkatlah kepada anak-anak makanan ini!” Lalu pelayan itu mengangkatnya kedalam rumah. Maka bangunlah As-Satturi, berlari-lari di belakang kibasy itu. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mau kemana?”. Beliau menjawab: “Saya mau makan bersama anak-anak”. Maka malulah tuan rumah dan menyuruh mengembalikan kibasy tadi. Dari macam inilah, bahwa yang mempunyai hidangan tidak mengangkat tangannya sebelum para tamu. Karena mereka itu malu. Bahkan seyogyalah yang mempunyai makanan, orang yang terakhir siap makan. Adalah setengah orang-orang mulia menerangkan kepada orang ramai (para tamunya) segala macam makanan dan membiarkan mereka memakannya dengan cukup. Maka apabila mereka hampir siap makan, lalu tuan rumah itu duduk berlutut dan mengulurkan tangannya kepada makanan, lalu maka, seraya berkata: “Bismillaah, tolonglah aku, kiranya Allah memberkati padamu dan kepadamu !” Dan ulama-ulama terdahulu (salaf) memandang baik yang demikian.
Kelima: bahwa disugukan dari makanan, sekedar mencukupi. Karena kurang dari mencukupi, adalah mengurangkan kehormatan diri (muruah). Dan menambahkan dari yang mencukupi, adalah berbuat-buat (tashannu’) dan ria. Lebih-lebih apabila dari tuan rumah itu, tidak membolehkan dimakan seluruhnya. Kecuali bahwa disugukan banyak dan tuan rumah itu baik hati, kalau para tamu mengambil semuanya. Dan berniat memperoleh barakah dengan kelebihan makanan yang dimakan para tamu itu. Karena tersebut pada suatu hadits, tuan rumah itu tidak dihisabkan dosanya (tidak dikira dosa yang memberatkannya). Ibrahim bin Adham ra telah menyugukan banyak makanan pada hidangannya. Lalu berkata Abu Sufyan: “Hai Abu Ishaq ! apakah tidak engkau takut, bahwa ini adalah berlebih-lebihan ?”. Ibrahim menjawab: “Tidak adalah pada makanan itu berlebih-lebihan”. Kalau tidak ada niat itu, maka membanyakkan makanan, adalah “pemaksakan diri”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Kami dilarang memperkenankan undangan orang yang bermegah-megah dengan makanannya”. Segolongan sahabat memandang makruh memakan makanan yang bermegah-megah. Dari itulah, tidak pernah sekali-kali diangkat dari hadapan Rasulullah saw kelebihan dari sesuatu makanan. Karena mereka itu tidak menyugukan, selain sekadar yang perlu saja dan mereka tidak memakan dengan sempurna kenyang. Dan seyogyalah mula-mula diasingkan bahagian dari keluarga tuan rumah (ahlil-bait). Sehingga pandangan mereka tidak tertuju dengan pengharapan akan kembali sedikit dari makanan itu. Dan mungkin tidak ada yang kembali, maka sempitlah dada mereka dan keluarlah pembicaraan yang tidak baik terhadap para tamu itu. Dan adalah apa yang telah disugukannya kepada tamu-tamu tadi, termasuk kepada apa yang diikuti oleh kebenciannya kepada mereka. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap para tamu. Apa yang tinggal dari makanan, maka tidaklah bagi tamu-tamu itu mengambilnya. Dan itu adalah apa yang dinamakan oleh kaum shufi dengan “tergelincir”. Kecuali telah ditegaskan oleh yang punya makanan itu, dengan keizinan diambil, dengan rela hati atau diketahui yang demikian itu, dengan tanda-tanda dari keadaan. Dan tuan rumah itu amat merasa senang dengan yang demikian. Kalau berat dugaan, bahwa tuan rumah itu kurang senang, maka tidak seyogyalah diambil. Dan apabila diketahui kerelaan dari yang punya makanan itu, maka seyogyalah dijaga keadilan dan keinsyafan kepada teman-teman. Maka tidak wajarlah diambil oleh seseorang selain yang tertentu untuknya atau apa yang direlai oleh temannya dengan kepatuhan. Tidak dengan rasa kemalu-maluan.
Adapun kembali dari perjamuan, maka mempunyai 3 adab kesopanan:
Pertama: bahwa tuan rumah keluar bersama tamu sampai ke pintu rumah. Dan itu adalah sunat. Dan termasuk sebahagian daripada memuliakan tamu. Dan disuruh memuliakan tamu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka hendaklah memuliakan tamunya !”. Dan Nabi saw bersabda: “Setengah dari sunat bagi orang yang mempunyai tamu, ialah mengantarkannya sampai ke pintu rumah”. Berkata Abu Qatadah, bahwa telah datang utusan raja Habsyi (Negus) kepada Rasulullah saw, maka bangunlah Rasulullah sendiri mengurus kedatangan mereka itu. Lalu berkata para sahabatnya: “Kami saja cukup, wahai Rasulullah !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Tidak ! adalah mereka dahulu telah memuliakan sahabatku, maka sekarang aku ingin membalas budi baik mereka itu !”. Kesempurnaan memuliakan tamu itu, ialah dengan bermanis muka dan berbicara dengan baik ketika masuk, ketika keluar dan pada hidangan. Ditanyakan kepada Al-Auza’i ra: “Bagaimanakah memuliakan tamu itu ?”. Maka beliau menjawab: “Bermanis muka dan berbicara baik”. Berkata Yazid bin Abi Ziad: “Tidak pernah aku masuk ke tempat Abdurrahman bin Abi Laila, melainkan selalu ia berbicara dengan kami, pembicaraan yang baik dan memberikan kami makanan yang baik”.
Kedua: bahwa tamu itu pulang dengan baik hati, meskipun terjadi terhadap dirinya keteledoran dari pihak tuan rumah. Karena yang demikian itu, termasuk kebaikan budi dan tawadlu’ (merendahkan diri). Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang itu akan memperoleh dengan kebaikan budinya, derajat orang yang membanyakkan puasa dan mengerjakan shalat”. Setengah orang terdahulu (ulama salaf) diundang dengan perantaraan utusan. Lalu salaf tadi, tidak berjumpa dengan utusan itu. Tatkala beliau mendengar, lalu beliau datang, dimana para tamu telah bercerai-berai dan telah selesai serta telah keluar. Maka keluarlah tuan rumah menyongsong kedatangan ulama salaf itu, seraya menerangkan, bahwa para tamu telah pulang. Lalu ulama itu, bertanya: “Adakah masih tinggal makanannya?”. Menjawab tuan rumah: “Tidak ada”. Beliau itu, bertanya lagi: “Adakah tinggal yang hancur-hancur saja ?”. Tuan rumah menjawab: “Tidak ada !”. Maka beliau menyambung: “Periuknya saja aku sapu”. Tuan rumah menjawab: “Telah kami basuh”. Lalu ulama itu keluar meninggalkan tempat itu dengan memuji Allah Ta’ala. Maka ditanyakan kepada beliau tentang yang tadi itu, lalu beliau menjawab: “Lelaki yang mempunyai rumah itu telah berbuat baik. Dia mengundang kami dengan niat yang baik dan melepaskan kami dengan niat yang baik”. Itulah artinya merendahkan diri dan kebaikan budi ! Diceritakan bahwa Ustadz Abil-Qasim Al-Junaid diundang oleh seorang anak kecil kedalam undangan ayahnya sebanyak 4 kali. Maka ditolak oleh ayahnya pada ke-4 kali itu. Dan Abil-Qasim itu kembali pada tiap-tiap kali, dengan memandang baik hati anak kecil itu, dengan kedatangannya dan hati ayah anak kecil itu, dengan kembalinya. Maka inilah jiwa yang telah menghinakan diri dengan tawadlu’ karena Allah Ta’ala dan merasa tentram dengan kekeesaanan. Dan memandang pada tiap-tiap penolakan dan penerimaan itu, sebagai suatu ibarat diantaranya dan Tuhannya. Sehingga jiwa itu tidak merasa hancur dengan apa yang berlalu dari segala hamba itu, dari kehinaan, sebagaimana jiwa itu tidak bergembira dengan apa yang berlaku daripada hamba itu, dari penghormatan. Tetapi semuanya itu mereka memandangnya dari Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Dan karena itulah, berkata sebahagian mereka: “Sesungguhnya aku tidak memperkenankan sesuatu undangan, melainkan karena aku teringat dengan undangan itu akan makanan sorga. Yaitu: makanan yang baik, yang menghilangkan dari kami kepayahan, perbelanjaan dan perkiraannya”.
Ketiga: bahwa tamu itu tidak keluar, melainkan dengan kerelaan dan keizinan tuan rumah, serta menjaga hatinya tentang lamanya berdiam disitu. Dan apabila ia bertempat selaku tamu, maka janganlah berlebih dari 3 hari. Karena kalau lebih dari itu, kadang-kadang tuan rumah itu tidak merasa senang lagi dan memerlukan untuk mengeluarkannya. Nabi saw bersabda: “Bertamu itu 3 hari, maka yang lebih dari itu, adalah sedekah”. Benar, kalau yang punya rumah itu mendesak lebih dari 3 hari, dengan keikhlasan hati, maka bolehlah baginya tinggal lebih dari 3 hari dalam hal ini. Dan disunatkan ada pada yang punya rumah itu, tikar (tempat tidur) bagi tamu yang menginap padanya. Rasulullah saw bersabda: “Suatu tempat tidur bagi laki-laki, suatu tempat bagi wanita, suatu tempat tidur bagi tamu dan yang keempat itu bagi setan”.
PASAL: yang mengumpulkan segala adab & larangan, menurut ilmu kedokteran dan keagamaan, yang bercerai-berai disana-sini.
Pertama: diceritakan dari Ibrahim An-Nakha’i, bahwa beliau berkata: “Makan di pasar itu, adalah suatu kehinaan”. Disandarkannya (diisnadkannya) ucapan itu kepada Rasulullah saw. Dan isnadnya ini, adalah mendekati kepada kebenaran. Dan telah dinuqilkan yang berlawanan dengan ucapan tadi dari Ibnu Umar ra bahwa Ibnu Umar berkata: “Adalah kami memakan pada masa Rasulullah saw dan kami itu berjalan. Kami minum dan kami itu berdiri”. Sebahagian guru dari ulama tasawwuf/ahli suffi yang terkenal, dilihat orang makan dipasar. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian, maka beliau menjawab: “Apakah saya harus lapar dipasar dan baru nanti makan dirumah ?”. Lalu yang bertanya itu menyarankan: “Tuan guru makan di masjid saja !”. Maka beliau menjawab: “Saya malu memasuki BaitNya untuk makan didalamnya”. Cara mengumpulkan diantara dalil-dalil itu, ialah bahwa makan dipasar adalah tawadlu’/merendahkan diri dan meninggalkan pemaksakan diri. Dari sebahagian manusia itu baik dan dari sebahagian yang lain adalah merusakkan muruah (merusakkan kehormatan diri). Maka menjadi makruh. Dari itu, adalah berlainan menurut adat-istiadat dari masing-masing negeri dan menurut keadaan masing-masing orang. Maka orang yang tiada layak yang demikian, melihat kepada pekerjaan-pekerjaannya yang lain, niscaya hal itu membawa kepada kurangnya kehormatan diri dan kesangatan rakusnya. Dan membawa kepada kecederaannya dari menjadi saksi. Dan orang yang layak demikian, dengan semua keadaan dan pekerjaannya, untuk meninggalkan pemaksakan diri, maka yang demikian itu adalah menjadi tawadlu’ (merendahkan diri) daripadanya.
Kedua: berkata Ali ra: “Barangsiapa memulai makannya dengan garam, niscaya dihilangkan oleh Allah daripadanya 70 macam bencana. Barangsiapa memakan dalam sehari 7 biji tamar/buah kurma kering yang belum terkubak, niscaya terbunuhlah tiap-tiap binatang yang ada dalam perutnya. Dan barangsiapa memakan tiap-tiap hari 21 biji buah anggur kering yang berwarna merah, niscaya ia tidak akan melihat pada tubuhnya, sesuatu yang tiada disukainya. Daging itu menumbuhkan daging. Tsarid (roti yang dipecah-pecahkan, kemudian dimasukkan kedalam kuah), adalah makanan orang Arab. Bisqarijat (semacam makanan) itu membesarkan perut dan melemahkan dua buah pinggang. Daging lembu itu penyakit, susunya itu penyembuh, minyak saminnya itu obat. Dan lemak itu keluar seperti itu dari penyakit. Dan tidaklah akan memperoleh kesembuhan wanita yang beranak, dengan sesuatu, yang lebih utama daripada tamar muda. Ikan itu melemahkan tubuh. Membaca Alquran dan menggosok gigi, itu menghilangkan dahak. Dan barangsiapa berkehendak kekal –dan sebenarnya tidak adalah kekal –maka hendaklah bersegera memakan makan siang, berkali-kali mengulangi makanan malam dan memakai sepatu. Dan tidaklah berobat manusia dengan sesuatu, seperti minyak samin. Hendaklah menyedikitkan mendatangi wanita dan meringankan pakaian. Dan itu adalah agama”.
Ketiga: berkata Al-Hajjaj kepada sebahagian tabib (dokter): “Terangkanlah kepadaku suatu keterangan yang akan aku pegangi dan tidak akan aku langkahi !”. Maka menjawab tabib itu: “Jangan engkau kawini wanita, kecuali yang gadis ! jangan engkau makan daging, kecuali yang hancur ! jangan engkau makan masakan, sehingga bagus masakannya ! jangan engkau minum obat, kecuali dari karena penyakit ! jangan engkau makan buah-buahan, kecuali yang masak ! jangan engkau makan makanan, kecuali telah engkau baguskan pengunyahannya ! makanlah makanan yang engkau sukai ! dan janganlah engkau minum diwaktu sedang makan ! apabila engkau minum, maka janganlah memakan sesuatu diatas minuman itu ! jangan engkau tahan air besar dan air kecil ! dan apabila engkau telah makan siang, maka tidurlah ! dan apabila engkau sudah makan malam, maka berjalan-jalanlah sebelum tidur, walaupun 100 langkah !”. Dan seirama dengan yang tadi, ialah kata orang Arab: “Engkau makan siang, maka engkau memanjang. Dan engkau makan malam, maka engkau berjalan”. Ya’ni: mengembang (tamaddad), sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kemudian itu dia pergi kepada keluarganya dengan penuh kesombongan”. S 75 Al Qiyaamah ayat 33. “Yatamath-tha” pada ayat tadi, artinya: yatamath-thath (mengembang laksana karet). Ada ulama yang mengatakan, bahwa menahan air kecil itu merusak badan, sebagaimana sungai merusakkan sekelilingnya apabila tersumbat tempat mengalirnya.
Keempat: tersebut pada hadits: “Memotong urat membawa kepada sakit dan meninggalkan makan malam membawa kepada lemah”. Orang Arab mengatakan: “Meninggalkan makan pagi (awal siang) dapat menghilangkan minyak buah pinggang”. Berkata setengah ahli hikmat kepada puteranya: “Hai anakku ! janganlah engkau keluar dari tempat tinggalmu, sebelum engkau mengambil santunanmu !” Artinya: engkau makan. Karena dengan makan itu mengekalkan kesantunan dan menghilangkan kelemahan pikiran. Dan juga mengurangkan hawa nafsu ketika melihat sesuatu di pasar. Berkata seorang ahli hikmat kepada seorang gemuk: “Saya melihat padamu yang sudah busuk dari barisan gusimu. Darimanakah datangnya ?”. Orang gemuk itu menjawab: “Dari memakan yang halus dari gandum, yang kecil-kecil dari kambing. Aku berminyak dengan minyak kacang dan aku berpakaian dengan kain katun”.
Kelima: menjaga diri dari hal makanan (alha-miyyah), adalah membawa melarat kepada orang yang sehat, sebagaimana meninggalkannya membawa melarat kepada orang yang sakit. Begitulah dikatakan orang. Dan berkata sebahagian mereka: “Barangsiapa menjaga diri (menjaga diri dari hal makanan atau al-hamiyyah) maka dia adalah diatas keyakinan dari barang yang tidak disukai dan diatas keraguan dari barang-barang yang menyehatkan”. Dan ini adalah bagus dalam hal keadaan sehat. “Rasulullah saw melihat Shuhaib memakan tamar, sedang salah satu dari kedua matanya sakit, lalu beliau bertanya: “Apakah engkau makan tamar, sedang engkau sakit mata ?”. Shuhaib menjawab: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku makan dengan keping yang lain”. Ya’ni: tepi yang sehat. Maka tertawalah Rasulullah saw mendengar yang demikian.
Keenam: disunatkan membawa makanan kepada keluarga orang yang meninggal dunia. Tatkala datang berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya keluarga Ja’far itu sibuk dengan orang yang meninggal, daripada menyediakan makanan mereka. Dari itu, bawalah kepada mereka apa yang akan mereka makan nanti !”. Membawa makanan itu adalah sunat. Apabila disugukan yang demikian kepada orang banyak, halallah memakan daripada nya. Kecuali yang disediakan untuk orang-orang yang menangis dan yang menolong kepadanya dengan tangisan dan kegundahan. Maka tidak seyogya lah makan bersama mereka itu.
Ketujuh: tidak seyogyalah menghadiri perjamuan orang yang zalim. Kalau dipaksakan, maka hendaklah disedikitkan memakannya. Dan janganlah menuju kepada makanan yang lebih bagus ! Sebahagian orang yang amat memperhatikan kebersihan batin (al-muzakki), menolak menjadi saksi orang yang menghadiri perjamuan sultan (penguasa yang zalim tentunya). Maka orang yang ditolak menjadi saksi tadi, menjawab: “Aku adalah karena terpaksa maka menghadiri perjamuan itu”. Lalu menjawab al-muzakki tadi: “Aku melihat anda menuju makanan yang lebih bagus dan membesarkan suap. Dan tidaklah anda terpaksa untuk itu”. Kemudian, sultan memaksakan al-muzakki itu kepada makan. Maka ia menjawab: “Adakalanya aku makan dan aku melepaskan kebersihan batin atau aku mempertahankan kebersihan batin dan tidak makan”. Maka terpaksalah mereka mengakui kebersihan batin al-muzakki tadi dan membiarkannya tidak makan. Diceritakan orang, bahwa Zun-Nun Al-Mishri, dipenjarakan dan beliau tidak makan beberapa hari dalam penjara. Beliau mempunyai seorang saudara perempuan pada jalan Allah (fillaah). Wanita ini mengirimkan makanan kepadanya dalam bungkusan, dengan perantaraan pengawal penjara. Beliau tidak mau makan makanan itu. Setelah mengetahui yang demikian, maka wanita tadi amat menyesali akan sikap beliau itu. Beliau menjawab: “Makanan itu betul halal, tetapi sampai kepadaku diatas baki yang zalim”. Dimaksudkan beliau dengan yang zalim itu, ialah tangan pengawal penjara. Dan ini, adalah wara’ yang paling penghabisan.
Kedelapan: diriwayatkan dari Fathul-Mausuli ra bahwa beliau berkunjung kepada Bisyr Al-Hafi. Lalu Bisyr mengeluarkan uang sedirham dan memberikannya kepada Ahmad Al-Jala’ –pelayannya, seraya mengatakan: “Belilah dengan uang ini makanan yang baik dan lauk-pauk yang bagus !”. Pelayan tadi menerangkan: “Lalu aku belikan roti yang bersih, seraya aku mengatakan: “Tidakkah Nabi saw berdoa bagi sesuatu: “Wahai Allah Tuhanku, berilah barakah bagi kami padanya dan tambahkanlah kepada kami daripadanya !”, selain dari: susu. Maka aku belikan susu dan tamar yang bagus. Lalu aku sugukan kepadanya”. Fathul-Mausuli lalu makan dan mengambil yang tinggal (yang tidak dimakan). Maka berkata Bisyr kepada pelayannya: “Tahukah kamu, mengapa aku katakan: belilah makanan yang bagus ? karena makanan yang bagus, menghasilkan kesyukuran yang ikhlas. Tahukah kamu, mengapa Fathul-Mausuli tidak mengatakan kepadaku: “Makanlah !” Karena tidaklah bagi seorang tamu, mengatakan kepada tuan rumah: “Makanlah !” Tahukah kamu, mengapa Fathul-Mausuli membawa yang tinggal ? karena apabila benarlah penyerahan, maka tidak apalah dibawa”.
Bercerita Abu Ali Ar-Raudzabari ra, bahwa ia mengadakan suatu perjamuan, lalu memasang pada perjamuan itu 1000 buah lampu. Maka berkata kepadanya seorang laki-laki: “Tuan telah berlebih-lebihan !”. Abu Ali menjawab: “Silakan masuk ! maka semua lampu yang aku pasang itu bukan karena Allah, padamkanlah !”. Orang itupun lalu masuk, maka ia tidak sanggup memadamkan satu lampupun daripadanya. Lalu ia tidak dapat berkata apa-apa. Abu Ali Ar-Raudzabari memberi beberapa pikul gula dan menyuruh tukang-tukang gula itu membawanya. Sehingga membangun sebuah dinding dari gula itu, dengan berkamar dan bermihrab diatas tiang-tiang yang terukir, dimana seluruhnya dari gula. Kemudian, Abu Ali itu mengundang beberapa orang shufi, lalu membongkar dan mengambilkannya.
Kesembilan: berkata Asy-Syafi’i ra: “Makan itu diatas 4 macam: makan dengan satu jari, adalah cacian; dengan 2 jari, adalah sombong; dengan 3 jari adalah sunnah Nabi saw; dengan 4 dan 5 jari, adalah serakah.
4 perkara, adalah menguatkan badan: memakan daging, mencium bau-bauan, membanyakkan mandi dari bukan bersetubuh dan memakai kain katun.
4 perkara, adalah melemahkan badan: banyak bersetubuh, banyak dukacita, banyak meminum air, tanpa memakan sesuatu dan banyak memakan yang masam.
4 perkara adalah menguatkan penglihatan: duduk arah ke qiblat, bercelak ketika tidur, memandang kepada yang hijau dan membersihkan pakaian.
4 perkara, adalah melemahkan penglihatan: memandang kepada yang jijik, memandang kepada orang yang dipancung, memandang kepada kemaluan wanita dan duduk membelakangi qiblat.
4 macam menambah kekuatan bersetubuh: memakan daging burung, memakan ithrifil besar, memakan fustuq (semacam buah-buahan, satu tangkai terdapat berpuluh buah banyaknya –pent.) dan memakan jirjir (semacam sayur-sayuran yang tumbuh atas air dan dimakan –pent.).
Tidur itu, adalah 4 macam: tidur diatas kuduk, yaitu tidur para nabi as, dimana mereka itu bertafakkur tentang kejadian langit dan bumi; tidur diatas lambung kanan, yaitu tidur para ulama dan ‘abid; tidur diatas lembung kiri, yaitu tidur raja-raja, untuk menghancurkan makanan yang dimakan mereka dan tidur atas muka (menelungkup), yaitu tidur setan-setan.
4 perkara menambahkan akal kecerdasan: meninggalkan perkataan yang tidak perlu, bersugi, duduk-duduk dengan orang shalih dan dengan ulama-ulama.
4 perkara adalah termasuk ibadah: tidak melangkah dengan suatu langkah (maksudnya: bila akan melangkahkan kaki kemana saja), melainkan dengan berwudlu’, membanyakkan sujud (shalat), membiasakan diri di masjid dan membanyakkan pembacaan Alquran”.

Dan Asy-Syafi’i ra berkata pula: “Aku heran orang yang masuk ke kamar mandi, tanpa memakan sesuatu. Kemudian melambatkan makan sesudah keluar daripadanya. Bagaimanakah ia tidak mati ? dan aku heran kepada orang yang berbekam, kemudian menyegerakan makan, bagaimanakah ia tidak mati ?” Dan seterusnya, beliau berkata: “Tiada aku melihat sesuatu yang lebih bermanfaat waktu berkecamuk penyakit kolera, selain dari buah binafsaj, dibuat menjadi minyak dan diminum”. Wallahu a’lam bish-shawab ! Allah yang Maha Tahu dengan yang benar !.