Kamis, 13 Februari 2014

18. KITAB ADAB MENDENGAR DAN KESANNYA DI HATI.



KITAB ADAB MENDENGAR DAN KESANNYA DI HATI.
Yaitu: Kitab Ke-8 dari Rubu’ Adat dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah yang membakar hati para auliaNya dengan api kasih-sayangNya. Melemah-lembutkan cita-cita dan jiwa mereka dengan kerinduan kepada bertemu dan bermusyahadah denganNya. Dan menegakkan pandangan dzahir dan pandangan bathin mereka kepada memperhatikan keelokan hadharatNya. Sehingga jadilah mereka mabuk dari hembusan kelezatan perhubungan itu. Dan jadilah hati mereka dari memperhattikan kesucian keagungan itu, tenggelam diri, lagi heran. Maka tidaklah dilihat mereka dalam dua alam itu (alam ghaib dan alam nyata) akan sesuatu, selain Dia. Dan tidaklah disebut mereka pada dua negeri itu (dunia dan akhirat), selain Dia. Jikalau didatangkan kepada mata mereka suatu bentuk, niscaya melintasilah mata hati mereka kepada Pembentuknya. Jikalau pendengaran mereka diketuk oleh bunyi yang merdu, niscaya mendahuluilah segala gurisan jiwa mereka kepada Yang Dicintai. Jikalau datang kepada mereka suara yang mengejutkan atau yang mengagetkan atau yang menggembirakan atau yang menyedihkan atau yang mengesankan atau yang merindukan atau yang menyemangatkan, niscaya tidaklah kekejutan mereka itu, selain kepadaNya. Dan tidaklah kegembiraan mereka itu, melainkan dengan Dia. Dan tidaklah kekagetan mereka itu, melainkan kepadaNya. Dan tidaklah kesedihan mereka itu, melainkan padaNya. Dan tidaklah kerinduan mereka itu, melainkan kepada apa yang di sisiNya (dari kenikmatan yang abadi). Dan tidaklah gerakan mereka itu, melainkan karenaNya. Dan tidaklah bulak-balik mereka itu, melainkan di kelilingNya. Maka daripadaNyalah pendengaran mereka dan kepadaNyalah perhatian pendengaran mereka itu. Tertutuplah dari yang lain, penglihatan dan pendengaran mereka. Mereka itu ialah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi waliNya. Dan dianugerahiNya kepada mereka itu, kemurnian dari antara orang-orang pilihan dan orang-orang tertentu bagiNya. Dan rahmat kepada Muhammad, yang diutus dengan kerasulannya dan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, imam-imam dan pahlawan-pahlawan kebenaran. Dan anugerahilah kiranya kesejahteraan yang banyak !. Amma ba’du –kemudian, sesungguhnya hati dan isi hati (sarirah) itu, gudang segala rahasia dan tambang segala intan permata. Dan sesungguhnya tersembunyi di dalam hati segala intan permatanya, sebagaimana tersembunyinya api pada besi dan batu. Dan tersembunyinya segala intan permata itu, sebagaimana tersembunyinya air di bawah tanah dan tanah liat. Dan tiada jalan untuk melahirkan rahasia yang tersembunyi itu, selain dengan cetusan pendengaran. Dan tiada yang menembuskan kepada hati, selain dari pendengaran yang menjadi tempat masuknya. Maka segala dengungan yang berirama, lagi enak didengar itu, mengeluarkan apa yang di dalamnya. Melahirkan segala yang baik atau segala yang buruk daripadanya. Maka tidaklah lahir dari hati, ketika digerakkan, selain apa yang dikandunginya. Sebagaimana tidak disaring oleh bejana air, selain dengan apa yang ada di dalamnya. Maka pendengaran bagi hati itu batu asahan yang benar dan ukuran yang menuturkan. Maka tiada sampai jiwa pendengaran kepada hati, melainkan telah bergerak di dalamnya, apa yang menguasainya (dari kebajikan atau kejahatan). Apabila adalah hati itu menurut sifatnya patuh kepada pendengaran, sehingga ia melahirkan dengan segala yang datang bagi pendengaran itu, akan segala yang tersembunyi pada hati, membuka segala keburukan dan melahirkan segala kebaikannya, niscaya wajiblah diuraikan perkataan tentang: mendengar nyanyian dan kesannya di hati. Dan menjelaskan segala faedah dan bahaya yang ada pada keduanya. Dan apa yang disunatkan pada keduanya, dari adab-adab dan cara-cara. Dan apa yang mendatangkan kepada mendengar nyanyian dan kesannya di hati, dari perselisihan para ulama, tentang yang dilarang atau yang diperbolehkan pada mendengar nyanyian dan kesannya di hati itu. Dan akan kami terangkan yang demikian itu, pada: dua bab:
Bab Pertama: tentang pembolehan mendengar.
Bab Kedua: tentang adab mendengar dan kesan-kesan pendengaran pada hati dengan perasaan. Dan kesan pada anggota badan dengan tarian, suara keras dan pengoyakan kain.
BAB PERTAMA: Menyebutkan tentang perselisihan ulama tentang pembolehan mendengar nyanyian dan menyingkapkan yang benar padanya.
PENJELASAN: Kata-kata ulama fiqh dan ahli tasawwuf tentang penghalalan dan pengharamannya.
Ketahuilah, bahwa: mendengar, ialah: permulaan urusan. Dan pendengaran itu membuahkan suatu keadaan dalam hati, yang dinamai: kesannya (al-wajd). Dan kesannya itu membuahkan penggerakan anggota badan. Adakalanya dengan gerakan, yang tidak bertimbangan. Maka dinamai: kegoncangan. Dan adakalanya dengan bertimbangan. Maka dinamai: tepukan tangan dan tarian. Maka marilah kita mulai dengan: hukum mendengar. Dan itulah yang pertama. Dan akan kami nukilkan padanya kata-kata yang lahir dari madzhab-madzhab. Kemudian, kami sebutkan dalil atas pembolehannya. Kemudian, kami ikutkan dengan penjawaban dari apa yang menjadi pegangan orang-orang yang mengatakan: pengharamannya. Tentang menukilkan madzhab-madzhab, telah diceritakan oleh Al-Qadli Abuth-Thayyib Ath-Thabari dari Imam Asy-Syafi’i ra, Imam Malik ra, Imam Abu Hanifah ra, Sufyan dan segolongan ulama, aakan kata-kata yang menjadi dalil, bahwa mereka itu berpendapat akan haramnya. Asy-syafi’ir ra berkata dalam Kitab Adab Kehakiman (Kitab Adabil-Qodo’), bahwa sesungguhnya nyanyian adalah makruh, menyerupai batil. Barangsiapa memperbanyak menyanyi, maka dia itu orang bodoh (safih), yang ditolak kesaksiannya. Al-Qadli Abuth-Thayyib berkata: “Mendengar nyanyian dari wanita yang bukan mahram tidak boleh pada para sahabat Asy-Syafi’i ra, dalam keadaan apapun juga. Sama saja keadaan wanita itu terbuka atau di belakang hijab. Sama saja, wanita itu merdeka atau hamba sahaya (budak). Berkata Al-Qadli: “Asy-Syafi’i ra berkata: “Orang yang punya budak perempuan, apabila mengumpulkan manusia untuk mendengar nyanyian budak itu, maka dia adalah orang safih, yang ditolak kesaksiannya”. Berkata Al-Qadli: “Diceritakan dari Asy-Syafi’i, bahwa Asy-Syafi’i memandang makruh memukul kuku-kuku binatang dengan kayu”. Dan ia mengatakan: “Bahwa alat permainan itu diadakan oleh orang-orang zindiq (orang yang tidak beragama). Supaya mereka melalaikan diri dari Alquran”. Asy-Syafi’i ra berkata: “Dimakruhkan menurut hadits, permainan musik dengan nard, lebih banyak daripada makruhnya permainan dengan sesuatu alat permainan yang lain. Aku tidak menyukai permainan catur. Dan aku memandang makruh setiap apa yang menjadi permainan manusia. Karena permainan itu tidaklah dari perbuatan ahli agama dan berkepribadian (muruah)”. Adapun Malik ra, maka beliau melarang nyanyian. Dan berkata: “Apabila membeli budak wanita, lalu mendapatinya seorang penyanyi, niscaya bolehlah mengembalikannya kepada si penjual”. Dan itu adalah madzhab ahli Madinah lainnya, kecuali Ibrahim bin Sa’d seorang. Adapun Abu Hanifah ra memandang makruh yang demikian. Dan menjadikan mendengar nyanyian termasuk dosa. Begitupula ahli Kufah lainnya, seperti: Sufyan Ats-Tsuri, Hammad, Ibrahim, Asy-Sya’bi dll. Ini semuanya, dinukilkan oleh Al-Qadli Abuth-Thayyib Ath-Thabari. Dan dinukilkan oleh Abu Thalib Al-Makki, membolehkan mendengarkan nyanyian-nyanyian dari suatu golongan ulama. Ia berkata: “Didengar dari sahabat Nabi saw oleh ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Az-Zubair, Al-Mughirah bin Sya’bbah, Mu’awiyah dll”. Dan Abu Thalib Al-Makki berkata seterusnya: “Telah diperbuat demikian oleh kebanyakan salaf (ulama terdahulu) yang shalih: baik sahabat atau tabi’in, dengan sebaik-baiknya”. Seterusnya beliau mengatakan: “Senantiasalah orang-orang Hijaz pada kami di Makkah, mendengar nyanyian pada hari-hari yang utama dari tahun. Yaitu: hari-hari yang terbilang, yang disuruh oleh Allah akan hambaNya padanya dengan berdzikir (mengingatiNya), seperti: hari-hari tasyriq. Dan senantiasalah penduduk Madinah itu, seperti penduduk Makkah, terbiasa mendengar lagu, sampai kepada zaman kita sekarang ini. Maka kami dapati Abu Marwan al-Qadli mempunyai budak-budak wanita, yang memperdengarkan nyanyiannya kepada orang banyak. Sesungguhnya mereka itu disediakan untuk orang-orang shufi”. Berkata Abu Thalib Al-Makki: “Adalah ‘Atha’ mempunyai dua budak wanita yang bernyanyi. Maka teman-temannya mendengar nyanyian kedua budak wanita itu”. Berkata Abu Thalib Al-Makki: “Ditanyakan Abil-Hasan bin Salim: ‘Bagaimana tuan menantang mendengar lagu. Dan adalah Al-Junaid, Sirri As-Saqathi dan Dzun-Nun mendengarnya ?”. Maka Abil-Hasan menjawab: “Bagaimana aku menantang mendengar lagi, padahal telah diperbolehkan dan didengar oleh orang-orang yang lebih baik daripadaku. Sesungguhnya adalah ‘Abdullah bin Ja’far Ath-Thayyar mendengar lagu. Dan yang aku tantang, ialah senda gurau permainan dalam mendengar lagu itu”. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’adz, bahwa Yahya berkata: “Kami berketiadaan 3 perkara. Maka kami tidak melihatnya  dan aku tidak melihatnya, bertambah, melainkan kurangnya kebagusan muka serta pemeliharaan, kebagusan perkataan serta keagamaan dan kebagusan persaudaraan serta kesetiaan. Aku melihat pada sebagian kitab-kitab, akan ini, diceritakan dengan sebenarnya dari Al-Harits Al-Muhasibi. Dan padanya menunjukkan, bahwa Al-Harits membolehkan mendengar nyanyian, serta dzuhudnya dan pemeliharaan kesan hatinya dan kesetiaannya kepada agama”. Abu Thalib Al-Makki berkata: “Adalah Ibnu Mujahid tidak memperkenankan suatu undangan, kecuali ada padanya nyanyian”. Dan bukan seorang yang menceritakan, bahwa Abu Thalib berkata: “Kami berkumpul pada suatu undangan dan bersama kami, Abul-Qasim bin Bintu Muni’, Abu Bakar bin Daud dan Ibnu Mujahid bersama teman-teman mereka. Maka datanglah nyanyian. Lalu Ibnu Mujahid mendorong bin Bintu Muni’, supaya mengajak bin Daud mendengarnya. Maka bin Daud menjawab: ‘Disampaikan kepadaku oleh ayahku, dari Ahmad bin Hambal, bahwa Ahmad bin Hambal memandang makruh mendengar nyanyian. Dan ayahku memakruhkannya dan aku atas madzhab (aliran) ayahku”. Maka menjawab Abdul Qasim bin Bintu Muni’: “Adapun nenekku ialah Ahmad bin Bintu Muni’. Beliau menceritakan kepadaku dari Shalih bin Ahmad, bahwa ayahnya mendengar nyanyian Ibnul-Khabbazah”. Lalu Ibnu Mujahid berkata kepada Bin Daud: “Biarkanlah saudara dengan ayah saudara !”. Dan kepada Bin Bintu Muni’, Ibnu Mujahid berkata pula: “Biarkanlah saudara dengan nenek saudara ! sekarang, apa yang akan engkau katakan, wahai Abu Bakar (Abu Bakar bin Daud), mengenai orang yang menyanyikan sekuntum sya’ir, adakah itu haram ?”. Bin Daud menjawab: “Tidak !”. Menyambung Ibnu Mujahid: “Jikalau suaranya bagus, haramkah ia menyanyikannya ?”. Bin Daud menjawab: “Tidak !”. Menyambung Ibnu Mujahid lagi: “Jikalau dinyanyikannya dan dipanjangkannya, dipendekkannya yang panjang dan dipanjangkannya yang pendek, adalah haram yang demikian kepadanya ?”. Bin Daud menjawab: “Aku tidak kuat untuk satu setan, maka bagaimanakah aku kuat untuk dua setan ?”. Abu Thalib Al-Makki berkata: “Abul-Hasan Al-‘Usqalani Al-Aswad, adalah termasuk aulia yang mendengar nyanyian dan terpesona ketika mendengar nyanyian itu. Ia mengarang suatu kitab tentang nyanyian. Dan menolak orang-orang yang menantang nyanyian”. Begitupula suatu jama’ah dari mereka menyusun kitab untuk menolak orang-orang yang menantang nyanyian. Diceritakan dari setengah syaikh-syaikh tasawwuf, bahwa mengatakan: “Aku bertemu dengan Abul-Abbas Al-Khidlir as. Lalu aku bertanya: ‘Apakah kata tuan tentang mendengar nyanyian ini, yang dipertengkarkan oleh sahabat-sahabat kami ?”. Maka menjawab AL-Khidlir: “Mendengar nyanyian itu hal yang bersih yang menggelincirkan, yang tidak tetap di atasnya, selain tapak kaki ulama-ulama”. Diceritakan dari Mimsyad Ad-Dainuri, bahwa mengatakan: “Aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! adakah engkau menantang sesuatu dari mendengar nyanyian ini ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Tidaklah aku menantang sesuatu darpadanya. Tetapi katakanlah kepada mereka, supaya mereka memulai sebelumnya dengan Alquran dan menyudahi sesudahnya dengan Alquran !”. Diceritakan dari Thahir bin Bilal Al-Hamdani Al-Warraq dan ia adalah termasuk ahli ilmu, yang mengatakan: “Aku ber-i’tikaf pada masjid jami’ Jeddah dekat laut. Maka pada suatu hari aku melihat sekumpulan orang bernyanyi pada suatu sudut dari masjid itu suatu nyanyian. Dan mereka itu mendengarnya. Lalu aku menantang yang demikian dengan hatiku. Dan aku berkata pada diriku: ‘Dalam suatu rumah dari rumah Allah (baitullah), mereka itu mengatakan pantun”. Thahir meneruskan ceritanya: “Lalu pada malam itu aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Dan beliau itu duduk pada sudut itu dan di sampingnya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Dan tiba-tiba Abu Bakar mengucapkan sesuatu dari nyanyian itu dan Nabi saw mendengarkannya. Dan meletakkan tangannya di atas dadanya seperti orang yang terpesona dengan demikian. Lalu aku berkata pada diriku: “Tiada seyogyalah aku menantang mereka yang mendengar itu. Dan ini Rasulullah saw mendengar dan Abu Bakar melagukan. Lalu Rasulullah saw berpaling kepadaku, seraya bersabda: “Ini adalah kebenaran dengan kebenaran”. Atau beliau bersabda: “Kebenaran dari kebenaran”, aku ragu yang mana diantara dua perkataan itu yang diucapkan oleh Nabi saw”. Al-Junaid berkata: “Diturunkan rahmat kepada golongan ini, (golongan shufi) pada 3 tempat: ketika makan. Karena mereka itu tidak makan, selain dari sangat lapar. Ketika membicarakan ilmu pengetahuan (mudzakarah). Karena mereka itu tiada bersoal-jawab, selain mengenai kedudukan orang-orang shiddiq (orang yang benar-benar membenarkan agama). Dan ketika mendengar nyanyian. Karena mereka itu mendengar dengan berkesan di hati dan mengakui akan kebenaran”. Dari Ibnu Juraij, bahwa ia memandang ringan tentang nyanyian. Lalu ia ditanyakan orang: “Adakah nyanyian itu didatangkan pada hari qiamat, dalam jumlah kebaikanmu atau kejahatanmu ?”. Lalu Ibnu Juraij menjawab: “”Tidak dalam kebaikan dan tidak dalam kejahatan. Karena nyanyian itu menyerupai dengan perbuatan yang yang sia-sia. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak mengadakan tuntutan -kewajiban- karena sumpahmu yang tidak disengaja”. S 2 Al Baqarah ayat 225. Inilah yang dinukilkan dari ucapan-ucapan ulama ! barangsiapa mencari kebenaran pada bertaqlid (mengikuti ulama-ulama), maka bagaimanapun ia memeriksa dengan mendalam, niscaya bertentanganlah ucapan-ucapan itu pada bertaqlid tadi. Lalu tinggallah ia dalam keheranan atau condong kepada sebahagian dari ucapan-ucapan itu dengan keinginan saja. Dan semua itu adalah teledor. Tetapi seyogyalah mencari kebenaran menurut jalannya. Dan yang demikian itu, dengan pembahasan dari tempat-tempat diketahui pelarangan dan pembolehan, sebagaimana akan kami terangkan ini.
PENJELASAN: Dalil tentang pembolehan mendengar nyanyian.
Ketahuilah, bahwa perkataan dari orang yang mengatakan: mendengar nyanyian itu haram, artinya: bahwa Allah Ta’ala menyiksakannya. Dan ini adalah suatu hal yang tidak dapat diketahui, dengan semata-mata akal. Tetapi dengan mendengar dalil agama. Mengenal hukum keagamaan itu terbatas pada nash (dalil agama yang tegas). Atau qias (analogi) kepada yang dinashkan. Yang dimaksud dengan nash, ialah apa yang dijelaskan oleh Nabi saw dengan perkataan atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan qias, ialah: pengertian yang dipahami dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Nabi saw. Jikalau tidak ada padanya nash dan tidak lurus padanya qias kepada yang dinashkan, niscaya batallah perkataan mengharamkannya. Dan tinggallah sebagai perbuatan yang tidak ada apa-apa padanya, seperti perbuatan-perbuatan lain yang diperbolehkan (perbuatan mubah). Dan tidak adalah nash dan qias yang menunjukkan kepada mengharamkan mendengar nyanyian. Dan yang demikian itu jelas pada jawaban kami, dari dalil-dalil mereka yang cenderung kepada mengharamkannya. Manakala telah sempurnalah jawaban dari dalil-dalil mereka, niscaya adalah yang demikian, jalan yang mencukupi tentang mempositifkan (menetapkan) maksud ini. Tetapi kami mulai dan mengatakan: sesungguhnya bersama-sama nash dan qias menunjukkan kepada membolehkannya. Adapun qias, yaitu: sesungguhnya nyanyian iitu, berkumpul padanya segala pengertian, yang seyogyalah dibahas masing-masing daripadanya, kemudian dari keseluruhannya. Maka sesungguhnya pada nyanyian itu, ada nyanyian dengan suara merdu yang bertimbangan (mempunyai not), yang dipahami maksudnya, yang menggerakkan hati. Maka sifat yang lebih umum, ialah bahwa nyanyian itu, suara yang merdu. Kemudian suara yang merdu itu terbagi kepada: yang bertimbangan dan yang tidak bertimbangan. Yang bertimbangan, terbagi kepada: yang dipahami, seperti: pantun-pantun. Dan yang tidak dipahami, seperti: bunyi barang-barang keras dan binatang-binatang lainnya. Adapun mendengar suara yang merdu, dari segi kemerduannya, maka tiada seyogyalah diharamkan. Tetapi adalah halal dengan nash dan qias. Adapun qias, maka yaitu: kembali kepada mendapat kelezatan pancaindra (perasaan) mendengar, dengan memperoleh hal yang khusus dengan pendengaran itu. Dan manusia itu, mempunyai akal-pikiran dan 5 pancaindra. Masing-masing pancaindra itu, mempunyai perasaan memperoleh sesuatu. Dan pada yang didapati pancaindra itu ada sesuatu yang melezatkan. Kelezatan memandang adalah pada pandangan-pandangan yang cantik, seperti: sayur-sayuran yang menghijau, air yang mengalir dan muka yang cantik. Pada umumnya, segala warna yang cantik lainnya. Dan itu adalah kebalikan dari apa yang tidak sukai, dari warna-warna yang keruh lagi buruk. Dan penciuman mempunyai bau-bauan yang harum. Dan itu adalah kebalikan dari bau busuk yang tidak disukai. Dan perasaan, mempunyai makanan yang lezat cita rasanya, seperti: lemak, manis dan masam. Dan itu adalah kebalikan rasa pahit yang tidak baik. Dan penyentuhan, mempunyai kelezatan lembut, licin dan halus. Dan itu adalah kebalikan dari kasar dan buruk budi. Dan akal pikiran, mempunyai kelezatan ilmu dan pengenalan (ma’rifah). Dan itu adalah kebalikan dari bodoh dan dungu. Maka demikian juga suara-suara yang diperoleh dengan pendengaran, terbagi kepada yang dilezati (disenangi), seperti: suara burung murai dan bunyi serunai. Dan yang tiada disenangi, seperti: suara keledai dan lainnya. Maka alangkah jelasnya kiasan pancaindra ini dan kelezatannya, dibandingkan dengan pancaindra lainnya dan kelezatannya. Adapun nash, maka menunjukkan kepada bolehnya mendengar suara yang merdu, suatu nikmat Allah Ta’ala kepada hambaNya dengan suara yang merdu itu. Karena Ia berfirman: “Ia (Allah) menambah pada makhluqNya apa yang dikehendakiNya”. S 35 Faathir ayat 1. Maka ada yang mengatakan, ialah: suara yang merdu. Dan pada hadits, tersebut: “Allah Ta’ala tiada mengutus seorang Nabi, melainkan bagus suaranya”. Dan Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala sangat mendengar orang yang bagus suaranya dengan pembacaan Alquran yang dibacanya dengan suara keras, daripada orang yang mempunyai budak perempuan, yang mendengar bacaan budak perempuannya itu”. Dan tersebut pada hadits yang menerangkan pujian kepada Nabi Daud as: “Sesungguhnya Nabi Daud as bagus suaranya pada berlagu yang membawa kepada menangis atas dirinya sendiri dan pada membaca Zabur. Sehingga berkumpullah manusia, jin, binatang-binatang liar dan burung-burung untuk mendengar suaranya. Dan adalah dibawa pada majelis Nabi Daud as itu 400 jenazah (orang yang meninggal) dan mendekati 400 pada segala waktu”. Bersabda Nabi saw memuji Abu Musa Al-Asy’ari: “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya (Abu Musa Al-Asy’ari) serunai dari serunai-serunai keluarga Daud”. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnnya suara yang amat buruk, ialah suara himar (keledai)”. S 31 Lukman ayat 19, menunjukkan dengan yang terpaham daripadanya, kepada pujian suara yang bagus. Jikalau boleh dikatakan, bahwa diperbolehkan yang demikian, dengan syarat adanya pada Alquran, niscaya haruslah diharamkan mendengar suara burung murai. Karena dia itu tidak dari Alquran. Dan apabila boleh mendengar suara kelalaian, yang tak ada arti, maka mengapakah tidak diperbolehkan mendengar suara yang dapat dipahami hikmat dan pengertian-pengertian yang benar daripadanya ? dan sesungguhnya pada sya’ir itu mengandung hikmat. Ini adalah pandangan pada suara, dari segi bahwa suara itu bagus dan baik.
Derajat kedua, ialah memandang pada suara yang bagus lagi bertimbangan. Karena bertimbangan itu adalah dibalik kebagusan. Berapa banyak suara yang bagus diluar dari bertimbangan. Dan berapa banyak suara yang bertimbangan, tidak bagus. Dan suara bertimbangan, memandang kepada tempat keluarnya (sumbernya) itu 3: adakalanya keluar (bersumber) dari benda keras, seperti suara (bunyi) serunai, gitar, suling, tambur dll. Adakalanya keluar dari kerongkongan hewan. Dan hewan itu, adakalanya manusia atau lainnya, seperti suara murai, merpati dan suara burung-burung yang bersajak. Suara itu serta bagusnya adalah bertimbangan, bersesuaian terbit dan putusnya. Maka karena itulah enak didengar. Dan asal segala suara itu ialah dari kerongkongan hewan. Dan sesungguhnya meletakkan serunai diatas suara kerongkongan, ialah penyerupaan suara yang diperbuat manusia (shun’ah), dengan suara yang dijadikan oleh Allah (khilqah). Dan tiada suatupun yang dicapai oleh ahli-ahli pembuat, dengan pembuatannya, kepada memberi bentuknya, melainkan telah mempunyai contoh pada makhluq (alam) yang dipilih oleh Allah Ta’ala dengan menciptakannya. Maka daripada itulah, para pembuat (pengusaha-pengusaha pabrik) mempelajarinya. Dan dengan contoh itulah mereka bermaksud menurutinya. Dan uraian yang demikian itu akan panjang !. Maka mendengar suara-suara tersebut, mustahillah diharamkan, lantaran bagusnya atau bertimbangannya. Tiadalah jalan kepada mengharamkan suara burung murai dan burung-burung yang lain. Dan tiada bedanya antara satu kerongkongan dengan satu kerongkongan dan antara barang keras dan hewan. Maka seyogyalah diqiaskan kepada suara burung murai, suara-suara yang keluar dari tubuh-tubuh lainnya dengan usaha manusia. Seperti yang keluar dari kerongkongannya atau dari suling, tambur, genderang dan lainnya. Dan tiada dikecualikan dari ini, selain alat-alat permainan, gitar dan serunai yang ditegaskan oleh agama pelarangannya. Tidak karena keenakannya. Karena kalau karena keenakannya, tentulah akan diqiaskan kepadanya segala yang dirasakan manusia keenakannya. Tetapi diharamkan khamar (minuman yang memabukkan). Dan dikehendaki oleh tertariknya manusia kepada khamar, untuk bersangatan mencegahkannya. Sehingga berkesudahanlah perintah sebagai langkah permulaan, kepada memecahkan bejana tempat pembuatan khamar. Maka diharamkan bersama khamar, apa-apa yang menjadi syi’ar (simbul) bagi peminum, yaitu: gitar dan serunai saja. Dan pengharamannya adalah dari segi mengikutkan. Sebagaimana diharamkan sendirian (khilwah) dengan wanita ajnabiyah (wanita asing, bukan keluarga yang hararm dikawini). Karena itu adalah pendahuluan bagi bersetubuh. Dan diharamkan memandang kepada paha, karena bersambungnya dengan bagian depan dan bagian belakang. Dan diharamkan sedikit khamar, walaupun tidak memabukkan. Karena membawa kepada mabuk. Dan tiadalah dari yang haram, melainkan mempunyai yang diharamkan yang berkisar padanya. Dan hukum pengharamannya meratai kepada semua yang diharamkan. Supaya menjadi penjagaan dan pemeliharaan bagi haram dan pencegahan yang mencegah di kelilingnya. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya tiap-tiap raja itu mempunyai pertahanan dan pertahanan Allah ialah, segala yang diharamkanNya”. Maka permainan yang menjadi simbul peminum khamar itupun diharamkan. Karena mengikuti pengharaman khamar, disebabkan 3 alasan:
Pertama: bahwa permainan-permainan itu, membawa kepada meminum khamar. Karena kelezatan yang diperoleh dengan yang demikian, menjadi sempurna dengan khamar. Dan karena alasan yang seperti ini, maka diharamkan sedikit khamar.
Kedua: bahwa terhadap orang yang baru saja meminum khamar, mengingatkannya tempat duduk bersenang-senang meminumnya. Maka permainan-permainan itu menjadi sebab teringat. Dan teringat itu menjadi sebab membangkitnya keinginan. Dan membangkitnya keinginan, apabila telah menjadi kuat, adalah sebab tampil untuk minum. Dan karena alasan inilah, dilarang membuat buah anggur kering dalam bejana bercat hitam, belanga berwarna hijau dan bejana yang terbuat dari batu atau kayu yang dikorek. Itulah bejana-bejana yang sudah tertentu bentuknya. Maka yang diartikan dengan ini ialah, bahwa dengan melihat bentuknya saja akan mengingatkan kepada khamar. Alasan ini berbeda dengan alasan pertama. Karena tak ada padanya perkiraan kelezatan pada ingatan. Karena, tak ada kelezatan pada melihat botol dan bejana-bejana minuman. Tetapi dari segi memperoleh ingatan dengan bejana-bejana itu. Jikalau mendengar nyanyian lalu mengingatkan minum, yang merindukan kepada khamar pada orang yang menyukai demikian beserta minum, maka adalah dilarang dari mendengar itu, karena ketentuan alasan ini padanya.
Ketiga: kesepakatan padanya, manakala telah menjadi adat-kebiasaan orang-orang fasiq (orang suka berbuat dosa). Maka dilaranglah menyerupai dengan mereka itu. Karena barangsiapa menyerupai dengan suatu golongan maka dia termasuk golongan itu. Dan dengan alasan inilah, kami mengatakan: ditinggalkan sunnah manakala sunnah itu telah menjadi syi’ar (simbul) bagi golongan bid’ah. Karena ditakuti menyerupai dengan mereka itu. Dan dengan alasan inilah, diharamkan memukul kubah. Yaitu: gendang panjang, kecil tengahnya, luas dua tepinya. Memukulnya waktu itu adalah adat-kebiasaan orang-orang yang menyerupakan dirinya seperti kaum wanita (mukhannats). Jikalau tak ada padanya penyerupaan, niscaya menyerupailah dengan gendang orang naik hajji dan pergi berperang. Dengan alasan inilah, kami mengatakan, bahwa jikalau berkumpullah suatu kumpulan orang, mereka menghiaskan suatu pertemuan dan mendatangkan perkakas-perkakas minuman dan gelas-gelasnya dan menuangkan ke dalamnya sakanjabin (semacam minuman yang diperbuat dari cuka dan madu) dan menentukan seorang pelayan yang mengelilingi mereka dan memberikannya minuman. Lalu mereka itu mengambil minuman dari pelayan tadi, meminum dan menghormati satu sama lain, dengan kata-kata yang dibiasakan diantara mereka, niscaya haramlah yang demikian kepada mereka. Walaupun yang diminum itu minuman yang diperbolehkan. Karena pada keadaan yang seperti ini, adalah penyerupaan dengan orang-orang yang berbuat kerusakan. Bahkan karena inilah, maka dilarang memakai qabba’ (semacam pakaian yang terbuka di bagian depan) dan membiarkan rambut di kepala dengan qaza’ (digunting sebagian dari kepala dan tidak digunting yang sebagian) pada negeri-negeri, dimana pemakaian qabba’ termasuk pakaian orang-orang yang membuat kerusakan. Dan tidak dilarang yang demikian, pada negeri-negeri di belakang sungai. Karena dibiasakan yang demikian, oleh orang baik-baik (orang-orang shalih) pada mereka. Maka dengan pengertian inilah, diharamkan serunai Irak dan gitar semuanya, seperti: ‘iid (mandolin), marakas, rebab, barbath dan lainnya. Selain dari itu, tidaklah seperti alat-alat permainan tadi, seperti: alat permainan gembala, orang-orang naik hajji dan alat permainan tukang pemukul tambur dan seperti tambur, suling dan tiap-tiap alat permainan yang mendatangkan suara merdu yang bertimbangan, selain dari yang dibiasakan oleh tukang-tukang minum. Karena semuanya itu, tidak ada hubungannya dengan khamar. Tidak mengingatkan kepada khamar. Tidak merindukan kepada khamar. Dan tidak mengharuskan penyerupaan dengan tukang-tukang khamar. Maka tidaklah termasuk dalam pengertian khamar. Sehingga tinggallah diatas aslinya: diperbolehkan. Karena diperbandingkan (diqiaskan) kepada bunyi burung-burung dan lainnya. Bahkan aku berkata: mendengar gitar dari orang yang memainkannya tanpa timbangan yang sesuai, yang mengenakkan, adalah haram juga. Dan dengan ini, nyatalah bahwa tidak ada alasan pada mengharamkannya semata-mata kelezatan yang bagus. Tetapi menurut qias itu menghalalkan segala yang bagus. Kecuali ada pada penghalalannya itu kerusakan. Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan (memakan) rezeqi yang baik yang diadakanNya untuk hamba-hambaNya ?”. S 7 Al A’raaf ayat 32. Semua suara ini tiada diharamkan, dari segi suara-suara itu adalah suara-suara yang bertimbangan. Hanya diharamkan disebabkan suatu hal lain yang mendatang, sebagaimana akan diterangkan tentang hal-hal mendatang yang mengharamkan.
Derajat ketiga: yang bertimbangan dan dapat dipahami. Yaitu: sya’ir. Yang demikian tidaklah keluar, selain dari kerongkongan manusia. Maka diyakini pembolehan yang demikian. Karena tidak lebih selain adanya itu merupakan suatu yang dapat dipahami (mafhum). Dan perkataan yang dapat dipahami, tidaklah haram. Dan suara yang baik, yang bertimbangan, tidaklah haram. Maka apabila tidak diharamkan satu-satu, lalu dari manakah diharamkan kesemuanya (yang berkumpul) itu ?. Benar, mengenai yang dipahami itu diperhatikan. Kalau ada padanya sesuatu yang terlarang, niscaya haramlah proza dan puisinya. Dan haramlah mengucapkannya, baik dengan dilagukan atau tidak. Yang benar dalam hal ini, ialah yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i ra. Karena beliau mengatakan: “Syair itu perkataan. Maka yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk”. Manakala boleh menyanyikan sya’ir tanpa suara yang merdu dan lagu, niscaya bolehlah menyanyikannya dengan lagu. Karena kata-kata tunggal yang diperbolehkan, apabila terkumpul, tentu yang sudah terkumpul itu diperbolehkan. Manakala bercampur yang diperbolehkan, niscaya tidak haram. Kecuali yang terkumpul itu mengandung yang dilarang, dimana larangan itu tidak ada pada kata-kata tunggalnya. Dan di sini larangan itu tidak ada. Bagaimana membantah dinyanyikan sya’ir, sedang dihadapan Rasulullah saw sya’ir itu dinyanyikan ?. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dari sya’ir itu ada hikmah”. ‘Aisyah menyanyikan pantun:
Telah pergi mereka,
yang diperoleh penghidupan dalam asuhannya.
Dan tinggallah aku di belakang sebatang kara,
seperti kulit orang yang berkudis pada kulitnya.
Diriwayatkan pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah berkata: “Tatkala Rasulullah saw datang di Madinah, lalu Abu Bakar ra dan Bilal ra bangkit demamnya. Dan ada di Madinah waktu itu penyakit kolera. Maka aku bertanya: ‘Wahai ayahku ! bagaimanakah perasaan ayah sekarang ? dan wahai Bilal ! bagaimanakah perasaanmu sekarang ?”. Maka Abu Bakar ra berpantun apabila bangkit demamnya:
Semua manusia,
pagi-pagi berada dalam keluarganya.
Dan mati itu berada,
lebih dekat dari tali kasutnya.
Dan Bilal, ketika hilang demamnya, lalu mengeraskan suaranya dan berpantun:
Adakah tidak kiranya ingatanku,
adakah aku bermalam pada suatu malam,
di suatu lembah, sedang di kelilingku,
rumput hijau dan rumput yang tidak panjang ?.
Adakah pada suatu hari,
aku mengambil air Mijannah ?
Adakah terang bagiku,
air Syammah dan Tufail ?.
‘Aisyah mengatakan: “Lalu aku terangkan yang demikian, kepada Rasulullah saw. Maka beliau berdoa: ‘Ya Allah, ya Tuhanku ! curahkanlah kecintaan kami kepada Madinah, seperti kecintaan kami kepada Makkah atau lebih dari itu !”. Adalah Rasulullah saw mengangkat batu merah bersama orang banyak pada pembangunan masjid Madinah. Dan beliau bermadah:
Beban ini tidaklah,
seperti beban perang Khaibar.
Tetapi lebih besar kebajikannya pada sisi Allah,
dan lebih suci (ath-har).
Pada kali yang lain, Rasulullah saw bermadah pula:
Wahai Tuhanku ! sesungguhnnya hidup,
ialah hidup akhirat.
Maka anugerahilah rahmat,
kepada orang Anshar dan muhajirin !.
Dan ini tersebut pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Adalah Nabi saw meletakkan sebuah mimbar untuk Hassan bin Tsabit (seorang penyair ulung) dalam masjid, Hassan itu berdiri memuji Rasulullah saw atau mempertahankannya. Dan Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menguatkan Hassan dengan Ruhul-Qudus, tentang apa yyang dipertahankannya atau yang dipujikannya, mengenai Rasulullah saw”. Sewaktu An-Nabighah Al-Ja’dy melagukan syairnya, lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Tidaklah kiranya mulutmu dipecahkan oleh Allah !”. ‘Aisyah berkata: “Adalah para sahabat Rasulullah saw nyanyi-bernyanyi beberapa kuntum syair di sisi Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw tersenyum”. Dari ‘Amr bin Asy-Syuraid, dari ayahnya, dimana ayahnya itu menerangkan: “Aku telah menyanyikan di hadapan Rasulullah saw 100 kuntum syair, gubahan Ummiyah bin Abish-Shult. Semuanya disambut oleh Rasulullah saw dengan: ‘Lagi-lagi......!’. Kemudian Rasulullah saw menyambung: ‘Hampirlah Ummiyah itu dalam syairnya memeluk agama Islam”. Dari Anas ra bahwa: “Nabi saw dalam perjalanan, ada orang yang bernyanyi untuknya. Dan Anjusyah bernyanyi pada rombongan wanita. Dan Al-Barra’ bin Malik bernyanyi pada rombongan pria. Lalu Rasulullah saw bersabda: ‘Hai Anjusyah ! pelan-pelanlah engkau membawa wanita-wanita itu, yang ibarat kaca, mudah pecah !”. Dan selalu orang yang bernyanyi itu, di belakang unta menurut adat kebiasaan orang Arab pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat ra. Dan tidak lain yang dilagukan selain dari syair-syair, yang dibawa dengan suara merdu dan lagu-lagu yang bertimbangan. Dan tiada seorangpun dari para sahabat yang menantangnya. Bahkan kadang-kadang mereka itu meminta yang demikian. Sekali untuk menggerakkan unta itu berjalan cepat dan sekali untuk kesenangan. Maka tidak boleh diharamkan, dari segi bahwa syair itu perkataan yang dipahami, yang disenangi, yang dibawa dengan suara merdu dan lagu yang bertimbangan.
Derajat keempat: memperhatikan syair itu dari segi menggerakkan hati dan membangunkan sesuatu yang mendesakkan kepada hati. Maka dalam hal ini, aku berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai rahasia dalam kesesuaian lagu-lagu yang bertimbangan itu bagi jiwa. Sehingga membawa bekas kepada jiwa yang amat mena’jubkan”. Sebahagian dari suara-suara itu, menggembirakan. Sebahagian menyedihkan. Sebahagian menidurkan. Sebahagian menertawakan dan mengasyikkan. Dan sebahagian, apa yang keluar dari anggota badan, adalah gerakan-gerakan menurut timbangannya, dengan tangan, kaki dan kepala. Dan tiada seyogyalah disangka, bahwa yang demikian itu untuk memahami arti syair. Tetapi ini berlaku pada tali-tali gambus. Sehingga ada yang mengatakan, bahwa: orang yang tidak digerakkan oleh kecantikan musim bunga dan kembang-kembangnya, oleh gambus dan tali-talinya, adalah orang yang rusak susunan tubuhnya, yang tidak dapat diobati. Bagaimanakah yang demikian itu untuk memahami artinya, sedang bekasnya kelihatan pada bayi di dalam buaian ? suara yang merdu, sesungguhnya mendiamkan bayi itu dari menangis. Membawa ia dari menangis, kepada mendengar suara yang merdu itu. Dan unta serta sifatnya yang dungu terpengaruh dengan nyanyian pembawanya, meringankannya dari pikulan yang berat. Memendekkannya dari perjalanan yang jauh, karena sangat gembiranya mendengar nyanyian-nyanyian itu. Membangkitkan kegembiraan ke taraf yang memabukkan dan melalaikannya. Kita dapat menyaksikan, ketika telah jauhlah lembah yang dilampaui dan telah dirasakan letih dan jemu, dengan beban dan pikulan, lalu apabila unta-unta itu mendengar panggilan pembawanya dengan gema nyanyian, maka tegaklah lehernya, mendengar nyanyian itu dengan tegak daun telinganya. Dan cepatlah ia berjalan, sehingga bergoyanglah beban dan pikulannya. Kadang-kadang membinasakan dirinya karena cepatnya berjalan dan beratnya pikulan. Sedang unta-unta itu tidak merasa, karena rajinnya. Abu Bakar Muhammad bin Daud Ad-Dainuri, yang terkenal dengan panggilan Ar-Ruqy ra bercerita: “Aku berada pada suatu desa. Lalu aku mendatangi suatu kabilah Arab. Maka aku menjadi tetamu salah seorang dari mereka. Dimasukkannya aku ke dalam pondoknya. Maka aku melihat dalam pondok itu, seorang budak hitam yang diikat dengan seutas tali. Dan aku melihat beberapa ekor unta telah mati di halaman rumah itu. Dan yang tinggal hanya seekor unta saja dalam keadaan kurus kering dan lesu. Seakan-akan nyawanya akan dicabut. Lalu budak itu berkata kepadaku: “Tuan adalah tamu. Tuan berhak memberi syafaat (memberi pertolongan) untukku pada tuanku. Karena tuanku amat memuliakan tetamunya. Maka tidak akan ditolaknya syafaat tuan dalam hal yang seperti ini. Mudah-mudahan ia melepaskan ikatan daripadaku !”. Abu Bakar meneruskan ceritanya: “Ketika mereka itu menghidangkan makanan, maka aku menolak dan berkata: ‘Aku tidak akan makan, sebelum memberi pertolongan kepada budak ini”. Tuan rumah menjawab: “Budak ini telah mendatangkan kemiskinan kepadaku. Dan telah membinasakan semua hartaku”. Lalu aku bertanya: “Apakah yang telah diperbuatnya ?”. Tuan rumah menjawab: “Dia mempunyai suara merdu dan aku hidup dari hasil punggung unta-unta ini. Dia pikulkan pada unta-unta ini beban yang berat dan dia bernyanyi di belakang unta-unta ini. Sehingga unta-unta ini melakukan perjalanan 3 hari dalam satu malam saja, dari karena bagus lagu nyanyiannya. Ketika semua beban unta itu diturunkan, maka matilah semuanya. Kecuali seekor ini. Tetapi berhubung tuan tamuku, maka demi kemuliaanmu, aku berikan budak ini untukmu”. Maka Abu Bakar menjawab: “Aku ingin mendengar suaranya”. Setengah pagi hari, tuan rumah itu menyuruh budak tersebut bernyanyi di belakang unta, yang mengambil air di situ dari sebuah sumur. Tatkala budak itu mengeraskan suara nyanyiannya, berlarianlah unta itu dan putuslah tali-talinya. Dan aku jatuh tersungkur ke bumi. Aku tiada menyangka sekali-kali akan mendengar suara yang semerdu itu”. Jadi, membekasnya pendengaran nyanyian pada hati, dapat dirasakan. Dan orang yang tidak digerakkan oleh pendengaran itu, adalah orang yang kekurangan, yang miring dari normal (abnormal), jauh dari kejiwaan, bertambah kekasaran dan ketebalan karakter (tabiat), dibandingkan dari unta dan burung. Bahkan dari semua binatang. Karena semua binatang itu terpengaruh dengan lagu-lagu yang berirama. Dan karena itulah, maka burung-burung berdiri di atas kepala Nabi Daud as, karena mendengar suaranya. Dan manakala yang menjadi perhatian pada mendengarkan nyanyian itu, diukur dengan membekasnya pada hati, niscaya tiada boleh dihukum secara mutlak dengan mubah dan haram. Tetapi berbeda yang demikian, menurut keadaan, orang dan berlainan cara nyanyian-nyanyian itu. Maka hukumnya adalah hukum sesuatu yang di dalam hati. Abu Sulaiman berkata: “Mendengar nyanyian itu tidak membuat di dalam hati apa yang tidak ada di dalamnya. Tetapi menggerakkan apa yang ada di dalam hati”. Menyanyikan kalimat-kalimat yang bersajak, yang bertimbangan itu, dibiasakan pada beberapa tempat, karena maksud-maksud tertentu, yang terikat bekas-bekasnya di dalam hati. Yaitu 7 tempat:
Pertama: nyanyian orang-orang hajji. Pertama-tama mereka itu berjalan keliling kampung dengan membawa tambur, rebab dan nyanyian. Yang demikian itu mubah (diperbolehkan). Karena merupakan syair-syair yang disusun tentang menyifatkan Ka’bah, Maqam Ibrahim, Hathim, Sumur Zam-zam dan tempat-tempat syiar agama yang lain dan menyifatkan desa dan lainnya. Bekas yang demikian itu, membangkitkan kerinduan untuk mengerjakan hajji ke Baitullah. Dan mengobar-ngobarkan api semangatnya, jikalau ada di situ kerinduan yang berhasil. Atau membangkitkan dan menarikkan kerinduan, manakala kerinduan itu belum berhasil. Apabila ibadah hajji itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan rindu kepada hajji itu terpuji, niscaya membuat kerinduan kepada hajji dengan segala cara yang merindukan adalah terpuji. Dan sebagaimana diperbolehkan bagi juru nasehat (wa’idh) menyusun perkataannya dalam memberi nasehat, menghiasinya dengan sajak dan merindukan manusia kepada hajji dengan menyifatkan Baitullah dan tempat-tempat syiar agama lainnya dan menyifatkan pahala dengan mengerjakan hajji itu, niscaya bolehlah yang demikian bagi yang lain dari hajji, dengan penyusunan syair. Sesungguhnya irama apabila ditambahkan kepada sajak, niscaya kata-kata itu lebih lagi jatuh ke dalam hati. maka apabila ditambahkan kepadanya suara yang merdu dan nyanyian yang bertimbangan, niscaya bertambahlah jatuhnya dalam hati. Jikalau ditambahkan lagi kepadanya tambur, rebab dan gerakan-gerakan yang lebih menjatuhkan ke dalam hati, niscaya bertambahlah membekasnya. Semua itu dibolehkan (jaiz), selama tidak turut di dalamnya seruling dan rebab, yang menjadi simbul dari orang-orang jahat. Ya, jikalau dimaksudkan dengan nyanyian itu, untuk menarik orang yang tidak diperbolehkan pergi hajji, seperti orang yang telah digugurkan fardlu hajji dari dirinya dan tidak diizinkan oleh ibu bapaknya pergi hajji, maka orang tersebut haramlah pergi mengerjakan hajji. Maka haramlah menariknya kepada hajji dengan mendengar nyanyian dan semua perkataan yang menarik hatinya kepada pergi hajji. Karena menarik kepada yang haram adalah haram. Begitupula jikalau jalan tidak aman dan sering mendapat kecelakaan. Maka tidak boleh menggerakkan dan mengobatkan hati itu dengan menariknya kepada hajji.
Kedua: apa yang dibiasakan oleh pemimpin-pemimpin peperangan untuk membangkitkan semangat manusia kepada perang. Itu juga diperbolehkan, sebagaimana bagi orang hajji. Tetapi seyogyalah berbeda syair dan cara nyanyian mereka, dari syair dan caranya nyanyian orang hajji. Karena pembangkitan semangat yang memanggil kepada perang, dengan pemberanian, penggerakan kasar hati dan marah pada peperangan itu kepada orang-orang kafir yang diperangi dan membaikkan keberanian, merasa ringan memberi nyawa dan harta kepada peperangan, dengan menambahkan kepadanya, dengan syair-syair yang memberanikan hati. Umpamanya kata Al-Mutanabbi dalam madahnya:
Kalau engkau tidak mati,
di bawah kilatan pedang dengan kemuliaan,
niscaya engkau akan mati,
menderita kehinaan, tanpa kemuliaan.
Dan katanya lagi:
Orang penakut memandang,
bahwa sifat penakut itu hati-hati.
Itu adalah tipuan,
dari sifat yang buruk sekali.
Contoh-contoh yang seperti itu dan jalan-jalan irama yang membangkitkan keberanian, adalah berlainan dari cara-cara yang menarik kepada kerinduan hati. Ini juga diperbolehkan pada waktu diperbolehkan peperangan. Dan disunatkan pada waktu disunatkan peperangan. Tetapi terhadap orang yang diperbolehkan keluar ke medan perang.
Ketiga: pantun-pantun yang diucapkan oleh orang-orang yang berani, waktu bertemu dengan musuh. Maksudnya, ialah menimbulkan keberanian bagi diri sendiri dan bagi teman-teman seperjuangan. Dan menggerakkan kesungguhan mereka untuk berperang. Pada pantun itu mengandung pujian kepada keberanian dan pada memberikan bantuan kepada teman. Yang demikian itu apabila diucapkan dengan kata-kata yang lemah-lembut dan suara yang merdu, niscaya lebih mendalam jatuhnya ke dalam jiwa. Yang demikian itu diperbolehkan pada semua peperangan yang diperbolehkan. Dan disunatkan pada semua peperangan yang disunatkan. Dan dilarang pada peperangan antara kaum muslimin dan orang dzimmi (orang kafir yang berada dalam perlindungan kaum muslimin) dan pada semua peperangan yang dilarang. Karena menggerakkan hal-hal yang membawa kepada terlarang, adalah terlarang. Yang demikian itu, adalah dinukilkan dari para sahabat yang berani, seperti ‘Ali ra, Khalid ra dll. Karena itulah kami katakan: “Seyogyalah dilarang memukul rebab pada asrama tentara yang berperang. Karena bunyinya halus menyedihkan, melepaskan ikatan keberanian, melemahkan kekerasan jiwa, merindukan kepada keluarga dan kampung halaman, mempusakakan kelunturan pada peperangan. Demikian juga bunyi-bunyian yang lain dan nyanyian-nyanyian yang melembutkan hati. Maka nyanyian-nyanyian yang melembutkan dan yang menyedihkan hati, berlainan dari nyanyian-nyanyian yang menggerakkan semangat dan memberanikan hati. Orang yang berbuat demikian dengan maksud mengobahkan hati dan melumpuhkan pikiran dari peperangan yang wajib, adalah berdosa. Dan orang yang berbuat demikian dengan maksud melumpuhkan pikiran dari peperangan yang dilarang, adalah menjadi orang yang taat (beroleh pahala) dengan demikian.
Keempat: suara dan nyanyian ratapan, membekasnya pada pembangkitan kesedihan, tangisan dan selalu berduka cita. Kesedihan itu dua macam: terpuji dan tercela. Yang terpuji, seperti kesedihan kepada yang telah hilang. Allah Ta’ala berfirman: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu”. S 57 Al Hadiid ayat 23. Kesedihan terhadap orang yang telah meninggal, termasuk golongan ini. Maka sesungguhnya itu marah kepada qodo’ (hukum) Allah Ta’ala. Dan merasa kesal terhadap apa yang tiada diperolehnya lagi. Manakala kesedihan ini tercela, maka menggerakkannya dengan ratapan adalah tercela. Karena itulah datang larangan yang tegas tentang ratapan. Apabila kesedihan yang terpuji, ialah kesedihan seseorang terhadap keteledorannya dalam urusan agamanya. Dan tangisnya terhadap segala kesalahan, tangis dan tangis-menangisi, sedih dan sedih-menyedihi diatas yang demikian, adalah terpuji. Di atas yang demikianlah, tangisan Nabi Adam as. Menggerakkan dan menguatkan kesedihan ini adalah terpuji. Karena membangkitkan untuk terus-menerus memperoleh apa yang telah hilang. Dan karena itulah, ratapan Nabi Daud as terpuji. Karena adanya yang demikian serta berkekalan kesedihan dan lamanya tangisan, disebabkan kesalahan dan dosa. Adalah Nabi Daud as menangis dan membuat menangisnya orang lain. Ia sedih dan membuat sedihnya orang lain. Sehingga jenazah-jenazah itu diangkat dari majelis ratapannya. Ia berbuat demikian dengan kata-kata dan nyanyian-nyanyiannya. Yang demikian itu terpuji. Karena yang membawa kepada terpuji, adalah terpuji. Dan di atas dasar inilah, tidak diharamkan kepada juru nasehat (muballigh) yang merdu suaranya, menyanyi di atas mimbar (podium) dengan menyanyikan syair-syair yang menyedihkan, yang melembutkan hati. Dan tidak haram menangis dan tangis-menangisi supaya sampai dengan yang demikian, kepada membuat orang lain menangis dan membangkitkan kesedihannya.
Kelima: mendengar nyanyian pada waktu-waktu gembira, untuk memperkuatkan dan mengobar-ngobarkan kegembiraan. Dan itu adalah mubah, jikalau kegembiraan itu mubah. Seperti menyanyi pada hari-hari lebaran, pada perkawinan, pada waktu kedatangan orang yang berpergian jauh (orang musafir), pada waktu pesta perkawinan, ‘aqiqah (menyembelih kambing ‘aqiqah sesudah beberapa waktu dari kelahiran anak), ketika lahir anak, ketika pengkhitanan dan ketika anak itu telah menghafal Alquran Mulia. Semua itu mubah, untuk melahirkan kegembiraan. Dan dasar pembolehannya, ialah bahwa sebahagian dari nyanyian itu adalah membangkitkan kesenangan, kegembiraan dan kesukaan. Maka semua yang membolehkan kegembiraan, niscaya bolehlah membangkitkan kegembiraan padanya. Dan untuk ini dibuktikan dari naqal oleh nyanyian para wanita di atas rumah di Madinah, dengan rebana dan nyanyian, ketika datang Rasulullah saw, yaitu: “Telah terbit purnama raya kepada kita, dari bukit Tsaniyyatil-Wada’ di Makkah, wajiblah bersyukur, diatas pundak kita, apa yang diserukan oleh Penyeru kepada Allah”. Ini adalah melahirkan kegembiraan karena kedatangan Nabi saw. Dan itu adalah kegembiraan yang terpuji. Maka melahirkannya dengan syair, nyanyian, tarian dan gerakan-gerakan juga terpuji. Telah dinukilkan dari segolongan sahabat ra, bahwa mereka itu menari pada suatu kegembiraan yang diperoleh mereka, sebagaimana akan diterangkan nanti mengenai hukum menari. Dan adalah diperbolehkan pada waktu kedatangan tiap-tiap orang yang datang, yang diperbolehkan bergembira dengan kedatangannya. Dan pada semua sebab kesenangan yang diperbolehkan. Dan untuk ini berdalilkan apa yang dirawikan pada Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim (Ash-Shahihain) dari ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnyya aku melihat Nabi saw menutupkan aku dengan selendangnya dan aku melihat orang Habsyi bermain, dalam masjid. Sehingga akulah yang menjemukan Nabi saw”. Maka taksirlah akan keadaan wanita yang masih muda yang suka kepada permainan (tetapi ia sudah bosan), adalah menunjukkan kepada lamanya berdiri melihat permainan itu. dirawikan Al-Bukhari dan juga Muslim dalam Kitab Shahih keduanya, hadits ‘Uqail, dari Az-Zuhri, dari ‘Arwah, dari ‘Aisyah: “Bahwa Abu Bakar ra masuk ke rumah ‘Aisyah. Dan di sampingnya dua budak wanita pada hari-hari Mina (masih berada di Mina pada waktu hajji). Kedua budak tadi memukul genderang dan Nabi saw menutupkan mukanya. Lalu kedua orang budak wanita itu, dibentak oleh Abu Bakar ra. Maka Nabi saw membuka mukanya, seraya bersabda: “Biarkanlah keduanya bermain, wahai Abu Bakar, karena sekarang hari lebaran”. ‘Aisyah berkata: “Aku melihat Nabi saw menutupkan aku dengan selendangnya. Aku melihat orang-orang Habsyi, mereka itu bermain dalam masjid. Lalu mereka dibentak oleh ‘Umar ra. Maka Nabi saw bersabda: “Kami jamin keamanan, wahai Bani Arfadah !”, yakni keamanan dari gangguan. Dari hadits ‘Amir bin Al-Hars, dari Ibni Syihab seperti hadits itu juga. Dan pada hadits ini, kedua budak di atas nyanyian dan memukul rebana. Dan pada hadits Abi Thahir, dari Ibni Wahab, riwayat ‘Aisyah itu berbunyi: “Demi Allah ! sesungguhnya aku melihat Rasulullah saw, berdiri pada pintu kamarku. Dan orang-orang Habsyi itu bermain tombak dalam masjid Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw menutupkan aku dengan kainnya atau dengan selendangnya. Supaya aku melihat permainan mereka itu. Kemudian Rasulullah saw berdiri dari karenaku, sehingga aku berpindah dari tempat itu”. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dimana beliau berkata: “Aku bermain dengan anak-anak perempuan di sisi Rasulullah saw. ‘Aisyah meneruskan ceritanya: “Dan telah datang kepadaku teman-temanku wanita. Mereka itu malu kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw gembira karena datangnya mereka kepadaku. Lalu mereka bermain-main bersama aku”. Pada suatu riwayat, Nabi saw pada suatu hari bertanya kepada ‘Aisyah: “Apakah ini ?”. ‘Aisyah menjawab: “Anak-anak perempuanku !”. Rasulullah saw bertanya lagi: “Apakah ini yang aku lihat di tengah-tengah mereka ?”. ‘Aisyah menjawab: “Kuda”. Nabi saw bertanya ppula: “Apakah ini yang diatasnya ?”. ‘Aisyah menjawab: “Dua sayap”. Nabi saw bersabda: “Kuda mempunyai dua sayap ?”. ‘Aisyah menyambung: “Apakah tiada engkau mendengar, bahwa Nabi Sulaiman bin Daud as mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap ?”. ‘Aisyah menerangkan: “Lalu Rasulullah saw tertawa, sehingga tampak gigi depannya”. Hadits ini menurut kami maksudnya dibawakan kepada kebiasaan anak-anak, membuat bentuk sesuatu dari tanah liat dan kertas, tanpa sempurna bentuknya. Berdalilkan apa yang dirawikan pada setengah riwayat, bahwa kuda tersebut mempunyai dua sayap dari kertas. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw masuk ke tempatku dan bersamaku dua budak wanita menyanyikan nyanyian Bu’ats (nama suatu tempat di Madinah). Lalu Rasulullah saw merebahkan badannya di tempat tidur dan memalingkan mukanya dari kedua wanita itu. Maka masuklah Abu Bakar ra, lalu membentakkan aku, seraya berkata: ‘Seruling setan di sisi Rasulullah saw’. Maka Rasulullah saw memandang kepada Abu Bakar dan bersabda: ‘Biarkanlah keduanya itu !’. Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi, lalu aku isyaratkan dengan mata, maka kedua orang budak wanita itupun keluarlah’. Pada hari Raya, orang hitam (Habsyi) itu bermain dengan perisai dan lembing. Adakalanya, aku bertanya kepada Rasulullah saw dan adakalanya, beliau bersabda: “Kalau suka, lihatlah !”. Lalu aku menjawab: “Ya !”. Lalu Rasulullah saw menyuruh aku berdiri di belakangnya dan pipiku atas pipinya. Dan beliau bersabda kepada orang hitam itu: “Ambillah bahagianmu untuk bermain, hai Bani Arfadah !”. Sehingga apabila aku bosan, Rasulullah saw bertanya: “Sudah cukup ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kalau begitu pergilah !”. Pada Shahih Muslim tersebut (cerita ‘Aisyah tadi): “Maka aku letakkan kepalaku atas bahunya, lalu aku melihat permainan mereka itu, sehingga aku pergi dari tempat itu”. Hadits-hadits ini semuanya, tersebut pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Yaitu suatu nash (dalil) yang tegas, bahwa nyanyian dan permainan tidak haram. Dan pada hadits-hadits tersebut menunjukkan kepada berbagai macam keringanan:
Pertama: permainan. Dan tidaklah tersembunyi kebiasaan orang Habsyi mengenai tarian dan permainan.
Kedua: berbuat demikian dalam masjid.
Ketiga: sabda Nabi saw: “Ambillah bahagianmu untuk bermain, hai Bani Arfadah !”. Ini adalah suruhan dan tuntutan untuk bernain. Maka bagaimanakah dinilai permainan itu haram ?.
Keempat: larangan Nabi saw kepada Abu Bakar ra dan ‘Umar ra dari menantang dan merobah dan diberinya alasan dengan hari lebaran, artinya: waktu kegembiraan. Dan permainan ini adalah sebagian dari sebab-sebab kegembiraan.
Kelima: lamanya berdiri menyaksikan dan mendengar permainan itu, karena persetujuan ‘Aisyah. Pada peristiwa ini menunjukkan bahwa kebagusan budi pada membaguskan jiwa kaum wanita dan anak-anak dengan menyaksikan permainan, adalah lebih baik daripada kekasaran pencegahan dan keburukan keadaan pada keengganan dan pelarangan daripadanya.
Keenam: sabdanya Nabi saw pada mulanya kepada ‘Aisyah: “Adakah engkau suka menyaksikannya ?”. Dan tidaklah itu memerlukan kepada pertolongan keluarga, karena ditakuti dari kemarahan atau ketegangan. Karena tuntutan apabila telah terlanjur, kadang-kadang penolakannya menjadi sebab ketegangan. Dan itu hendaklah dijaga. Maka didahulukanlah penjagaan atas penjagaan. Adapun mulanya ditanya, maka tidaklah diperlukan.
Ketujuh: pembolehan menyanyi dan memikul rebab dari kedua budak wanita itu, serta yang demikian dapat diserupakan dengan seruling setan. Dan padanya penjelasan bahwa seruling yang diharamkan bukanlah yang demikian.
Kedelapan: bahwa Rasulullah saw telah diketuk pendengarannya oleh suara dua budak wanita itu. Dan beliau berbaring di tempat tidur. Dan jikalau ada dipukul rebab pada suatu tempat, niscaya tidak diperbolehkan duduk. Kemudian dia situ bunyi rebab itu mengetuk pendengaran beliau. Maka ini menunjukkan bahwa suara wanita tidaklah diharamkan mendengarnya, sebagaimana haramnya mendengar bunyi seruling. Tetapi diharamkan ketika dikuatirkan timbulnya fitnah. Segala qias (analogi) dan dalil-dalil tadi, menunjukkan kepada pembolehan menyanyi, menari, memukul genderang, bermain perisai dan lembing dan melihat tarian orang Habsyi dan orang hitam pada waktu-waktu kegembiraan, diqiaskan (dianalogikan) kepada hari lebaran. Karena hari lebaran itu adalah hari kegembiraan. Dan yang searti dengan hari lebaran, ialah: hari perkawinan, hari pesta kawin (walimah), ‘aqiqah, pengkhitanan, hari kedatangan dari perjalanan jauh (musafir) dan sebab-sebab kegembiraan yang lain. Yaitu: semua yang diperbolehkan kegembiraan pada agama. Dan boleh bergembira dengan mengunjungi teman-teman, menjumpai dan berkumpul dengan mereka pada suatu tempat, untuk makan-makan dan bercakap-cakap. Maka itupun tempat dugaan boleh mendengarnya juga.
Keenam: pendengaran orang yang asyik bercinta untuk menggerakkan kerinduan, mengobar-ngobarkan kecintaan dan menyenangkan jiwa. Jikalau mendengar nyanyian itu dengan menyaksikan yang dirindui, maka maksudnya menguatkan kesenangan. Jikalau mendengarnya sedang berpisah dengan yang dirindui, maka maksudnya mengobar-ngobarkan kerinduan dan lagi kerinduan. Walaupun itu suatu kepedihan, tetapi pada mendengarnya itu, adalah semacam kesenangan, apabila ditambahkan pada pendengaran itu akan harapan bersambung kembali. Karena harapan itu kesenangan. Dan putus asa dari bertemu kembali itu memedihkan hati. Kuatnya kesenangan harapan adalah menurut kuatnya kerinduan dan kecintaan kepada yang diharapkan itu. maka pada mendengar itu, mengobar-ngobarkan kecintaan dan menggerakkan kerinduan. Dan menghasilkan kesenangan harapan yang dikhayalkan pada perhubungan, serta berpanjangan kata, pada penyifatan kecantikan yang dicintai. Dan ini halal, jikalau yang dirindukan itu termasuk orang yang diperbolehkan berhubungan. Seperti orang merindui isterinya atau budak wanitanya. Maka didengarinya nyanyian wanita itu untuk bertambah-tambahnya kesenangan pada perjumpaan nantinya. Lalu berbahagialah mata dengan melihat dan telinga dengan mendengar. Dan dipahami oleh hati, yang halus-halus dari arti berjumpa dan berpisah. Maka ikut-mengikutilah sebab-sebab kesenangan itu. Inilah masing-masing kesedapan sebagian dari jumlah yang diperbolehkan di dunia ini dan harta bendanya. Dan tidaklah kehidupan duniawi itu, selain dari kelengahan dan permainan. Dan yang tersebut tadi adalah sebahagian daripadanya. Demikian juga, jikalau budak wanita itu marah kepadanya atau terhalang diantaranya dan budak wanita itu, disebabkan oleh suatu sebab, maka bolehlah ia menggerakkan kerinduannya dengan mendengar nyanyian budak itu. Dan mengobarkan kelezatan harapan bersambung kembali dengan pendengaran tadi. Jikalau budak wanita itu telah dijualnya atau isterinya itu telah diceraikannya, maka haramlah yang demikian baginya sesudah itu. Karena tidak boleh menggerakkan kerinduan, dimana tidak diperbolehkan pelaksanaannya dengan menyambung dan bertemu. Adapun orang yang tergambar pada hatinya gambar seorang anak laki-laki atau seorang wanita, yang tidak halal bagi orang itu memandang dan ia menempatkan apa yang didengarnya pada apa yang tergambar pada hatinya, maka itu haram. Karena, itu menggerakkan pikiran pada perbuatan yang terlarang. Dan mengobarkan pendorong kepada yang tidak diperbolehkan sampai kepadanya. Dan kebanyakan orang yang asyik dengan percintaan dan pemuda-pemuda yang berotak lemah pada waktu nafsu syahwatnya bergelora, senantiasalah mereka menyembunyikan sesuatu dari yang demikian. Dan itu adalah terlarang bagi mereka. Karena padanya penyakit yang tersembunyi. Bukan karena sesuatu yang terdapat pada pendengaran itu sendiri. Dan karena itulah seorang ahli hikmah ditanyakan tentang kerinduan (percintaan). Lalu menjawab: “Percintaan itu asap yang naik ke otak manusia, yang dihilangkan oleh bersetubuh (jima’) dan dikobar-kobarkan oleh pendengaran”.
Ketujuh: pendengaran orang yang mencintai Allah, asyik dan rindu bertemu dengan Dia. Maka orang itu tiada memandang kepada sesuatu, melainkan melihat Allah swt padanya. Tiada sesuatu yang mengetuk pendengarannya, melainkan mendengar Allah Ta’ala dari padanya atau padanya. Maka pendengaran orang itu adalah mengobar-ngobarkan kerinduannya, menguatkan keasyikan dan kecintaannya. Menggoncangkan hulu hatinya dan mengeluarkan berbagai hal yang terbuka dan halus lembut, yang tidak dapat disifatkan dengan kata-kata. Hanya diketahui oleh orang yang dapat merasakannya. Dan dibantah oleh orang yang tumpul perasaannya daripada merasakannya. Semua hal tadi dinamakan menurut istilah kaum shufi: wajda, diambil dari kata-kata: wujus dan mushadafah, artinya: menjumpai dari dirinya hal-hal yang tidak dijumpainya sebelum mendengar. Kemudian, hal-hal yang itu menjadi sebab yang menghasilkan hal-hal yang mengiringi dan mengikutinya. Yang membakarkan hati dengan apinya dan membersihkan hati dari segala kotoran. Sebagaimana api membersihkan mutiara yang diletakkan padanya, dari kotoran. Kemudian, kebersihan yang diperoleh itu, diiringi oleh menampaknya nur yang gemilang dan membukanya rahasia yang terpendam. Dan itu adalah tujuan (ghayah) dari semua yang menjadi tuntutan bagi orang-orang yang mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kesudahan (nihayah) dari buah semua amalan, mendekatkan diri kepadaNya. Maka yang membawa kepada pendekatan diri itu, termasuk dalam jumlah mendekatkan diri. Tidak dalam jumlah perbuatam ma’siat dan perbuatan mubah. Hasilnya segala hal ini bagi hati dengan mendengar. Sebabnya itu suatu rahasia (sirr) Allah Ta’ala pada kesesuaian nyanyian-nyanyian yang berirama bagi jiwa. Penyerahan jiwa bagi nyanyian itu dan membekasnya karena kerinduan, kegembiraan, kesedihan, kelapangan dan kesempitan. Dan mengenal sebab pada pembekasan jiwa dengan bunyi-bunyian itu, adalah termasuk sebahagian yang terhalus dari: Ilmu Mukasyafah. Orang bodoh yang membeku, yang berhati kesat, yang tidak memperoleh kelezatan pendengaran itu, merasa heran dari kelezatan dan berkesannya di hati seorang pendengar, kegoncangan keadaan dan perobahan warnanya. Sebagaimana herannya hewan dari lezat cita rasanya roti yang enak. Herannya orang ‘anin (impoten) dari lezatnya bersetubuh. Herannya anak kecil dari enaknya menjadi kepala dan luasnya sebab-sebab untuk memperoleh kemegahan. Dan herannya orang bodoh (orang jahil) dari lezatnya mengenal Allah Ta’ala, mengenal keagungan dan kebesaranNya dan keajaiban-keajaiban makhluqNya. Semua itu mempunyai suatu sebab saja, yaitu: bahwa kelezatan adalah semacam idrak (pengetahuan dengan perasaan). Idrak itu membawa yang diketahui dan membawa kekuatan idrak. Orang yang tidak sempurna kekuatan idraknya, niscaya tidak tergambar daripadanya kelezatan itu. Bagaimanakah kiranya orang yang ketiadaan pancaindra: perasaan lidah mengetahui lezatnya makanan ? bagaimanakah kiranya orang yang ketiadaan pendengaran, mengetahui lezatnya (enaknya) nyanyian. Dan orang yang ketiadaan akal-pikiran mengetahui lezatnya buah pikiran ?. Begitu juga, rasa mendengar dengan hati, sesudah sampainya bunyi kepada pendengaran, akan mengetahui dengan pancaindra yang tersembunyi dalam hati. Maka orang yang tiada mempunyainya, niscaya tidak mustahil tidak ada kelezatannya. Mungin anda bertanya: bagaimanakah tergambar kerinduan itu pada Allah Ta’ala, sehingga pendengaran itu menjadi penggeraknya ?. Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang mengenal (ma’rifah) akan Allah, niscaya sudah pasti mencintaiNya. Dan orang yang teguh ma’rifahnya, niscaya teguhlah kecintaannya, menurut keteguhan ma’rifahnya itu. Dan kecintaan itu apabila telah teguh, maka dinamai: rindu (‘isyq). Dan tidak ada arti rindu, selain dari cinta yang bersangatan teguhnya. Karena itulah orang Arab mengatakan: bahwa Muhammad itu telah asyik dengan Tuhannya, tatkala mereka melihat Nabi kita saw berkhilwah untuk ibadah di gua Hira’. Ketahuilah, bahwa semua yang bagus itu disukai oleh orang yang mengetahui kebagusannya. Dan Allah Ta’ala itu elok, menyukai keelokan. Tetapi keelokan itu, jikalau bersesuaian bentuk dan kebersihan warna, niscaya diketahui dengan pancaindra: penglihatan. Dan jikalau keelokan itu dengan keagungan, kebesaran, ketinggian derajat, kebagusan sifat dan budi pekerti, kemauan kebajikan untuk seluruh makhluq dan melimpah ruahnya kebajikan itu berkekalan kepada makhluq itu dll dari segala sifat bathiniyah, niscaya diketahui dengan pancaindra: hati. Kata-kata: bagus, kadang-kadang dipinjam pula untuk pancaindra tadi. Lalu dikatakan: si Anu itu baik dan bagus. Dan tidaklah dimaksudkan: bentuknya. Tetapi dimaksudkan, bahwa si Anu itu baik akhlaknya, terpuji sifat-sifatnya, bagus perjalanan hidupnya. Sehingga kadang-kadang ia disukai orang disebabkan sifat-sifat bathiniyah ini, karena memandang baiknya sifat-sifat tersebut. Sebagaimana disukai bentuk dzahiriyah. Kadang-kadang kesukaan ini teguh kuat, maka dinamakan: ‘isyq (rindu). Berapa banyak orang yang berlebih-lebihan mencintai pelopor-pelopor madzhab, seperti: Asy-Syafi’i ra, Malik ra dan Abu Hanifah ra. Sehingga mereka bersedia menyerahkan harta dan jiwanya, untuk membantu dan menolong. Dan mereka menambah berlebih-lebihan dan bersangatan di atas semua orang ‘isyq (orang yang rindu). Dan setengah dari yang mena’jubkan, bahwa dapat dipahami mendalamnya kecintaan kepada seseorang, yang belum pernah sekali-kali dilihat bentuknya. Adakah dia itu bagus atau jelek. Dan orang itu sekarang sudah meninggal. Tetapi karena kebagusan bentuk bathiniyahnya, perjalanan hidupnya yang disukai dan kebaikan-kebaikan yang datang dari amal-perbuatannya, untuk orang-orang agama dan hal-hal yang lain. Kemudian, tidak dapat dipikiri, kerinduan kepada yang terlihat kebajikan-kebajikan daripadaNya. Bahkan sebenarnya, yang tidak ada berkebajikan, tidak ada berkebagusan dan tidak ada kesayangan di alam ini, melainkan itu, adalah salah satu daripada kebaikan-kebaikanNya, suatu bekas dari bekas-bekas kemurahanNya dan suatu ceduk dari lautan kemurahanNya. Bahkan semua kebagusan dan keelokan dalam dunia, yang diketahui dengan akal-pikiran, penglihatan, pendengaran dan pencaindra-pancaindra lainnya, dari permulaan kejadian alam sampai kepada kehancurannya, dari puncak bintang Surayya sampai kepada lapisan tanah yang paling bawah, adalah suatu bijian yang halus dari gudang qudrahNya dan suatu kilatan dari Nur HadharatNya. Wahai kiranya, bagaimanakah tidak dapat dipahami kecintaan yang begini sifatnya ? bagaimanakah tidak teguhnya kecintaan pada orang-orang yang berilmu ma’rifah (al-‘arifiin) kepadaNya dengan segala sifatNya ? sehingga melampaui batasan, dimana pemakaian nama: rindu kepadaNya, merupakan kedzaliman terhadap hakNya. Karena keteledoran memberitahukan tentang kesangatan kecintaan kepadaNya. Maka Maha Suci Allah yang terhijab (terdinding) dari terang, disebabkan sangat terangNya. Dan tertutup dari penglihatan mata, disebabkan cemerlang NurNya. Jikalau tidaklah terhijabNya dengan 70 hijab dari NurNya, niscaya keMAha-Suciann WajahNya akan membakar mata orang-orang yang memperhatikan keelokan HadharatNya. Jikalau tidaklah kelihatanNya itu sebab ketersembunyianNya, niscaya tercenganglah segala akal-pikiran. Dan heranlah segala hati. Lumpuhlah segala kekuatan dan centang-perenanglah segala anggota badan. Jikalau tersusunlah hati dari batu dan besi, niscaya jadilah hati itu di bawah permulaan Nur-TajalliNya secara pelan-pelan. Bagaimanakah hakikat cahaya matahari menguasai penglihatan burung kelelawar ? akan datanglah penjelasan isyarat ini pada “Kitab Al-Mahabbah” (Kitab Kecintaan). Dan jelaslah bahwa mencintai selain Allah Ta’ala itu, kekurangan pikiran dan kebodohan. Tetapi orang yang berkeyakinan dengan mengenal Allah (ma’rifah kepada Allah), ia tiada mengenal selain Allah Ta’ala. Karena tidak adalah pada wujud menurut yang sebenarnya, selain Allah dan af’alNya (perbuatanNya). Dan orang yang mengenal af’al, dari segi bahwa itu af’al, niscaya tidak akan melewatkan dari mengenal Pembuat af’al itu kepada orang lain. Orang yang mengenal Imam Asy-Syafi’i ra umpamanya, mengenal pengetahuan dan karangannya, dari segi itu karangannya, tidak dari segi bahwa karangannya itu halaman putih, kulit, tinta, kertas, kata-kata yang tersusun dan bahasa Arab, maka sesungguhnya ia telah mengenal Imam Asy-Syafi’i ra. Dan ia tidak akan melewatkan dari mengenal Imam Asy-Syafi’i ra kepada orang lain. Dan tidak akan melampaui kecintaannya kepada orang lain. Semua yang maujud (yang ada) selain dari Allah Ta’ala, maka itu adalah susunan, perbuatan dan yang elok dari segala perbuatanNya. Siapa yang mengenal perbuatan itu, dari segi bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah Ta’ala, maka ia melihat dari ciptaan itu akan sifat Penciptanya, sebagaimana ia melihat dari kebagusan susunan, akan keutamaan penyusun dan keagungan kadarnya, niscaya ma’rifah dan kecintaannya adalah tertentu kepada Allah Ta’ala. Tidak melampaui kepada yang lain daripadaNya. Dan dari batasan kerinduan ini, bahwa ia tidak menerima penyekutuan. Dan semua yang lain dari kerinduan ini, adalah menerima penyekutuan. Karena tiap-tiap yang dicintai selain daripadaNya, niscaya tergambarlah ada tandingan. Adakalanya tentang adanya tandingan itu dan adakalanya tentang kemungkinan adanya tandingan itu. Adapun Keelokan ini (Allah Ta’ala), maka tidaklah tergambar ada duanya. Tidak secaar kemungkinan dan tidak secara adanya kemungkinan. Maka nama kerinduan kepada selain Allah, adalah secara majazi semata-mata, bukan hakiki. Benar, orang yang kurang, yang mendekati kekurangannya kepada hewan, kadang-kadang tidak mengenal dari kata-kata “rindu”, selain daripada mencari perhubungan. Yaitu: ibarat dari penyentuhan tubuh dzahir dan tertunai nafsu syahwat bersetubuh. Maka seperti keledai ini (orang yang berkekurangan sifatnya yang mendekati hewan tadi), seyogyalah tidak dipakai padanya, kata-kata: asyik, rindu, penyambungan dan kejinakan hati. tetapi kata-kata dan maksud-maksud tadi dijauhkan, sebagaimana dijauhkan dari hewan, tumbuh-tumbuhan yang harum dan bunga yang wangi. Dan khusus bagi hewan, tumbuh-tumbuhan, rumput dan daun-daun bambu. Sesungguhnya kata-kata itu boleh, dipakai pada Allah Ta’ala, apabila tidak meragukan pengertian, yang wajib diquduskan Allah Ta’ala daripadanya. Dan keraguan-keraguan itu berbeda dengan berbedanya pengertian. Maka hendaklah diperhatikan yang halus ini mengenai kata-kata yang seperti ini. Bahkan tidak jauh, bahwa akan terjadi dari semata-mata mendengar sifat Allah Ta’ala, suatu kesan yang menonjol, yang terputus ikatan hati karenanya. Abu Hurairah ra merawikan dari Rasulullah saw, bahwa: “Rasulullah saw menerangkan: ada seorang anak laki-laki dari Bani Israil di atas sebuah bukit. Lalu ia bertanya kepada ibunya: ‘Siapakah yang menjadikan langit ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Kemudian anak itu bertanya lagi: “Siapakah yang menjadikan bumi ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Kemudian anak itu bertanya pula: “Siapakah yang menjadikan bukit ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Kemudian anak itu bertanya lagi: “Siapakah yang menjadikan kabut ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Lalu anak itu menyambung: “Sesungguhnya aku mendengar keadaan yang dahsyat dari Allah”. Lalu ia melemparkan dirinya dari atas bukit, maka badannya hancur binasa. Ini adalah, seakan-akan ia mendengar apa yang menunjukkan kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan qudrahNya. Maka bergoncanglah sendi-sendinya karenanya. Dan memperoleh sesuatu perasaan pada dirinya. Lalu melemparkan dirinya, dari adanya perasaan itu. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab suci, selain untuk memperoleh kegoncangan sendi-sendi dengan mengingati Allah Ta’ala. Setengah mereka itu berkata: “Aku melihat tertulis dalam injil: ‘Kami bernyanyi untuk kamu, maka kamu tidak bergoncang hati dengan kegembiraan atau kesedihan. Kami meniupkan seruling untuk kamu, maka kamu tidak menari”. Artinya: “Kami bawa kamu untuk rindu mengingati Allah Ta’ala, tetapi kamu tidak merinduiNya”. Inilah yang kami maksudkan menyebutkannya, dari segala macam pendengaran, segala penggerak dan segala yang dikehendaki daripadanya. Dan telah jelas dengan pasti pembolehannya pada sebahagian tempat dan kesunatannya pada sebahagian tempat. Jikalau anda bertanya: “Adakah mendengar itu mempunyai suatu keadaan yang haram ?”. Aku menjawab, bahwa mendengar itu haram, disebabkan 5 penghalang: penghalang pada yang memperdengarkan, penghalang pada perkakas nyanyian, penghalang pada susunan suara, penghalang pada dari yang mendengar atau pada kerajinannya dan penghalang tentang adanya orang itu dari golongan orang awam. Karena sendi (rukun) mendengar itu, ialah: yang memperdengarkan, yang mendengar dan alat menperdengarkan.
Penghalang pertama: bahwa yang memperdengarkan nyanyian itu wanita yang tidak halal memandang kepadanya. Dan ditakutkan fitnah dari mendengar nyanyiannya. Dan searti dengan wanita itu, anak yang muda-belia yang ditakutkan fitnah. Ini adalah haram. Karena padanya ditakutkan fitnah. Dan tidaklah yang demikian itu karena nyanyian. Bahkan jikalau wanita itu, ditakutkan fitnah disebabkan suaranya dalam percakapan, tanpa lagu, maka tidak diperbolehkan bercakap-cakap dan berbicara dengan dia. Dan juga untuk memperdengarkan suaranya pada pembacaan Alquran. Begitu juga anak-anak (yang muda belia) yang ditakutkan fitnah. Jikalau anda bertanya: “Adakah tuan mengatakan, bahwa yang demikian itu haram dalam segala hal, demi menutup pintu fitnah. Atau tidak diharamkan, kecuali, dimana ditakutkan fitnah terhadap orang yang takut akan terjadi perzinaan”. Aku menjawab: ini masalah kemungkinan dari segi fiqh, yang tarik-menarik padanya dua pokok:
Pertama: bahwa khilwah (bersepi-sepian) dengan wanita lain dan memandang kepada wajahnya adalah haram. Sama saja ditakutkan fitnah atau tidak ditakutkan. Karena wanita itu –pada umumnya –tempat dugaan datangnyya fitnah. Maka agama menetapkan untuk menutup pintunya, tanpa memandang bentuk-bentuk persoalannya.
Kedua: bahwa memandang kepada anak-anak muda belia diperbolehkan. Kecuali ketika ditakutkan fitnah. Maka tidak dihubungkan anak-anak muda beliau itu dengan wanita, tentang umumnya penutupan pintu. Tetapi diikutkan padanya keadaan suasana. Dan suara wanita itu berkisar diantara dua pokok ini. Jikalau kita qiaskan mendengar suara wanita kepada memandang wajahnya, niscaya wajiblah menutup pintu (tidak diperbolehkan sama sekali). Dan itu adalah qias yang dekat (analogi yang berdekatan). Tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Karena nafsu syahwat meminta untuk memandang pada permulaan berkobarnya. Dan tidak meminta untuk mendengar suaranya. Dan tidaklah yang digerakkan oleh pandangan untuk nafsu syahwat yang ingin disentuh, seperti yang digerakkan oleh mendengar suaranya. Tetapi yang digerakkan oleh pandangan itu adalah lebih hebat. Dan suara wanita pada bukan nyanyian, tidak termasuk aurah (yang tidak boleh dilihat orang). Kaum wanita pada masa sahabat ra selalu berbicara dengan laki-laki: pada memberi salam, minta fatwa, bertanya, bermusyawarah dll. Tetapi nyanyian itu mempunya lebih membekas pada menggerakkan nafsu syahwat. Maka membandingkan (mengqiaskan) mendengar suara wanita dengan memandang anak-anak muda belia, adalah lebih utama. Karena anak-anak muda belia itu tidak disuruh menghijabkan (menutupkan dirinya), sebagaimana kaum wanita tidak disuruh menutupkan suaranya. Maka seyogyalah diikuti (diperhatikan) tempat berkobarnya fitnah dan dibatasi pengharamannya kepadanya saja. Inilah qias yang terbaik pada pendapatku. Dan ini dikuatkan oleh hadits dua budak wanita yang menyanyi di rumah ‘Aisyah. Karena diketahui bahwa Nabi saw mendengar suara nyanyian keduanya. Dan beliau tiada menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah fitnah itu ditakutkan terhadap diri Nabi saw. Dari itu, maka beliau saw tidak menjaga diri daripadanya. Jadi, persoalan ini berlainan dengan keadaan wanita dan keadaan pria, tentang mudanya dan tuannya pria itu. Dan tidak jauh pula bahwa persoalan dalam hal yang seperti ini berlainan dengan berbagai macam keadaan. Kita mengatakan, bahwa bagi orang tua boleh memeluk isterinya sedang berpuasa dan tidak boleh yang demikian bagi seorang muda. Karena pelukan itu membawa kepada persetubuhan dalam puasa dan itu terlarang. Dan mendengar suara nyanyiannya membawa kepada ingin memandang dan berdekatan. Dan itu haram. Yang demikian itu berlainan pula menurut masing-masing orang.
Penghalang kedua: tentang alat nyanyian, di mana perkakas itu menjadi simbul peminum atau orang yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Yaitu: serunai, rebab, dan genderang yang kecil tengahnya. Maka inilah 3 macam yang terlarang. Dan selain dari itu, tetap pada pokoknya: diperbolehkan. Seperti: rebana, walaupun ada padanya genta. Dan seperti: tambur, serunai dan yang dipukul dengan kayu bulat dan alat-alat permainan lainnya.
Penghalang ketiga: tentang susuna suara, yaitu: sya’ir. Jikalau dalam sya’ir itu terdapat perkataan buruk, keji dan caci-maki atau perkataan dusta terhadap Allah Ta’ala dan RasulNya saw atau terhadap para sahabat ra, seperti yang disusun oleh golongan Rafidli (suatu golongan dari kaum Syi’ah) tentang menyerang para sahabat Nabi saw dan lainnya, maka mendengar yang demikian itu haram. dengan nyanyian atau tidak dengan nyanyian. Dan yang mendengar itu sekongkol dengan yang mengatakannya. Begitu pula yang ada padanya penyifatan bentuk wanita. Sesungguhnya tiada boleh penyifatan wanita dihadapan kaum pria. Adapun menyerang orang kafir dan orang bid’ah dengan kata-kata itu diperbolehkan. Adalah Hassan bin Tsabit ra mempertahankan Rasulullah saw dengan sya'irnya dan menyerang kaum kafir. Dan Rasulullah saw menyuruhkannya dengan yang demikian. Adapun an-nasiib, yaitu: penyerupaan dengan menyifatkan pipi, alis mata, bagus bentuk badan, tinggi semampai dan sifat-sifat wanita yang lain, maka dalam hal ini harus diperhatikan. Pendapat yang lebih kuat (ash-shahih), bahwa yang tersebut tadi tidak haram menyusun kata-katanya dengan pantun dan menyanyikannya dengan berirama atau tanpa berirama. Dan yang mendengarkannya tidak menempatkan nyanyian itu kepada seorang wanita tertentu. Kalau ditempatkannya, maka hendaklah ditempatkannya kepada wanita yang halal baginya. Yaitu: isterinya dan budak wanitanya. Kalau ditempatkannya kepada wanita lain, maka dia berdosa dengan penempatan dan pemutaran pikiran padanya. Orang yang begini sifatnya, maka seyogyalah terus menjauhkan diri daripada mendengarnya. Karena orang yang keras kerinduannya, niscaya menempatkan semua yang didengarnya kepada kerinduan itu. Sama saja perkataan itu sesuai atau tidak sesuai untuk kerinduan itu. Karena tiada suatu perkataanpun, melainkan mungkin menempatkannya kepada beberapa arti, dengan jalan isti’arah (peminjaman kata-kata). Orang yang mengerasi pada hatinya kecintaan kepada Allah Ta’ala, akan teringat dengan kehitaman alis mata –umpamanya- kegelapan kufur. Dan dengan kecantikan pipi akan cahaya iman. Dan dengan menyebut: bersambung, teringat akan bertemu dengan Allah Ta’ala. Dan dengan menyebut: bercerai, teringat akan terhijab daripada Allah Ta’ala dalam kumpulan orang-orang yang tertolak amalannya. Dan dengan menyebut: pengintip yang mengganggu jiwa persambungan, teringat akan segala penghalang dan bahaya duniawi yang mengganggu kekalnya kejinakan hati dengan Allah Ta’ala. Dan tidak memerlukan pada penempatan demikian, kepada pemahaman, pemikiran dan penangguhan waktu. Tetapi oleh segala arti yang mengerasi pada hati, mendahulukan kepada pemahaman bersama perkataan. Sebagaimana diriwayatkan dari sebahagian syaikh, bahwa beliau lalu pada suatu pasar. Lalu mendengar seorang mengatakan: “Al-khiar ‘asyarah bi habbah (Buah al-khiar (seperti buah mentimun) 10, harganya sebiji dirham)”. Lalu syaikh tadi memperoleh kesan yang mendalam. Ketika ditanyakan yang demikian, beliau menjawab: “Apabila al-khiar (yang berarti juga: orang-orang baik) 10, nilainya sebiji dirham, maka apakah nilainya orang-orang jahat ?”. Setengah mereka (para syaikh) singgah pada sebuah pasar. Lalu mendengar orang mengatakan: “Ya sa’tara birri” (wahai sa’tara/nama semacam tumbuh-tumbuhan yang terkenal dalam buku-buku kedokteran, tumbuh sendiri). Maka beliaupun memperoleh kesan yang mendalam. Orang yang menanyakan kepadanya: “Berdasar apakah, maka kesan tuan demikian ?”. Beliau menjawab: “Aku mendengar seolah-olah orang itu mengatakan: “Is’a tara birri” (rajinlah mematuhi aku, engkau akan melihat kebaikan dan pemberianku). Sehingga orang Ajam (orang yang tidak pandai bahasa Arab)pun kadang-kadang mengerasi padanya kesan yang mendalam, bila mendengar susunan sya’ir yang tersusun dengan bahasa Arab. Karena sebahagian hurufnya bertimbangan (menyerupai) huruf Ajam. Lalu memahami daripadanya maksud yang lain. Setengah mereka berpantun: “Tak adalah yang berkunjung kepadaku pada malam hari, selain bentuknya dalam impian”. Lalu seorang laki-laki bangsa Ajam memperoleh kesan perasaan yang mendalam. Maka ditanyakan tentang sebab kesannya itu. Ia menjawab, bahwa penya’ir itu mengatakan: “ma zaraimi”. Yaitu: sama seperti ia mengatakannya. Sesungguhnya perkataan “zara”, pada bahasa Ajam (bahasa Persia), menunjukkan kepada orang yang hampir mendapat kecelakaan. Lalu ia menyangka bahwa penya’ir itu mengatakan: “Kita semua mendekati kepada kecelakaan”. Maka ia merasa ketika itu akan bahaya kebinasaan di akhirat. Dan orang yang membakar (berkobar-kobar) kecintaannya kepada Allah Ta’ala dan kesan perasaannya itu, menurut pemahamannya. Dan pemahamannya menurut khayalannya. Dan tidaklah termasuk syarat khayalannya itu, bahwa bersesuaian dengan maksud dan bahasa dari si penya’ir. Maka kesan perasaan ini adalah hak dan benar. Orang yang mempunyai penuh perasaan akan bahayanya kebinasaan di akhirat, maka patut dan layak terganggu akal-pikirannya dan terjadi kegoncangan sendi anggota tubuhnya. Jadi, tidaklah pada perobahan kata-kata itu sendiri besar faedahnya. Tetapi orang yang mengerasi pada dirinya kerinduan kepada makhluq, seyogyalah menjaga diri daripada mendengarnya, dengan kata-kata apapun adanya. Dan orang yang mengerasi padanya kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh kata-kata. Dan tidak mencegahkannya daripada memahami arti-arti yang halus, yang menyangkut dengan tempat lalu cita-citanya yang mulia.
Penghalang keempat: tentang orang yang mendengar. Yaitu: nafsu syahwatnya adalah amat mengerasinya. Dan dia berada pada masa muda remaja. Dan keadaan tersebut lebih mengerasinya dari keadaan lainnya. Maka mendengar itu haram kepadanya, sama saja mengerasi pada hatinya kecintaan kepada seorang tertentu atau tidak mengerasinya. Karena bagaimanapun adanya, maka ia tidak mendengar penyifatan alis mata, pipi, bercerai dan bersambung, melainkan yang demikian itu akan menggerakkan nafsu syahwatnya. Dan menempatkannya di atas bentuk yang tertentu yang dihembuskan oleh setan ke dalam hatinya dengan yang demikian. Maka berkobar-kobarlah api nafsu syahwatnya. Dan tajamlah segala pembangkit kejahatan. Dan yang demikian itu menjadi penolong barisan setan. Dan membuat kekecewaan bagi akal yang mencegahnya, yang menjadi barisan Allah Ta’ala. Dan peperangan dalam hati itu berkekalan terus diantara tentara setan, yaitu: nafsu syahwat dan barisan Allah Ta’ala, yaitu: cahaya akal-pikiran. Kecuali dalam hati yang telah dimenangkan oleh salah satu dari dua tentara. Dan telah dikuasainya secara keseluruhan. Dan kebanyakan hati sekarang telah dimenangkan oleh tentara setan dan telah dikuasainya. Maka anda memerlukan ketika itu kepada mengulang kembali sebab-sebab peperangan untuk mengertakkannya. Bagaimanakah boleh memperbanyakkan persenjataan dan menajamkan pedang dan gigi, sedang mendengar itu adalah menajamkan senjata tentara setan terhadap orang yang seperti itu ?. Maka hendaklah orang yang seperti itu keluar dari kumpulan mendengar. Karena mendengar itu akan mendatangkan melarat baginya.
Penghalang kelima: bahwa orang itu termasuk orang awam. Dan tidak mengerasi padanya, kecintaan kepada Allah Ta’ala. Maka mendengar disunatkan kepadanya. Dan tidak mengerasi kepadanya nafsu syahwat, lalu mendengar terhadap dirinya dicegah. Akan tetapi diperbolehkan, sebagaimana segala macam kesenangan yang diperbolehkan lainnya. Kecuali apabila diperbuatnya mendengar nyanyian itu, menjadi adat-kebiasaannya dan jalan hidupnya. Dan teledorlah kepadanya bahagian yang terbanyak dari waktunya. Inilah kiranya orang bodoh yang ditolak kesaksiannya. Karena sesungguhnya, selalu berbuat yang sia-sia itu, suatu penganiayaan. Sebagaimana dosa kecil dengan terus-menerus dan berkekalan dikerjakan menjadi dosa besar, maka demikian pula sebahagian perbuatan mubah, dengan berkekalan dikerjakan itu, menjadi dosa kecil. Yaitu: seperti terus-terusan mengikuti orang Hitam dan orang Habsyi dan melihat permainan mereka terus-menerus. Itu adalah terlarang, walaupun asalnya tiadk terlarang. Karena telah diperbuat oleh Rasulullah saw. Dan dari golongan ini, ialah permainan catur. Permainan catur itu mubah. Akan tetapi terus-terusan mengerjakannya, menjadi sangat makruh. Manakala maksudnya itu permainan dan kesenangan dengan permainan tersebut, maka yang demikian dibolehkan. Karena padanya terdapat penyenangan hati. Karena kesenangan hati itu adalah obat bagi hati pada setengah waktu. Supaya membangkit segala yang dipanggil oleh hati. Lalu yang dipanggil oleh hati itu bekerja dengan rajin pada waktu-waktu lainnya pada dunia ini, seperti berusaha dan berniaga. Atau pada agama seperti shalat dan membaca Alquran. Dan kebagusan yang demikian, pada berlipat-gandanya kerajinan adalah seperti bagusnya tahi lalat di atas pipi. Jikalau tahi lalat itu meratai seluruh muka, niscaya menjelekkan. Alangkah jeleknya ! maka yang bagus itu kembali menjadi jelek, disebabkan banyaknya. Tidaklah tiap-tiap yang bagus menjadi bagus oleh banyaknya. Dan tidaklah tiap-tiap yang mubah menjadi mubah oleh banyaknya. Bahkan roti itu mubah dan berbanyak daripadanya adalah haram. Maka yang mubah ini adalah seperti mubah-mubah lainnya !. Jikalau anda mengatakan, bahwa alunan perkataan tadi telah membawa kepada mubah pada sebahagian keadaan dan kepada tidak mubah pada sebahagian. Maka mengapakah Tuan pertama-tama mengatakan secara mutlak dengan: mubah ? karena mengatakan: secara mutlak pada persoalan yang terurai, dengan: tidak atau dengan: ya, adalah menyalahi dan salah. Ketahuilah kiranya, bahwa kesimpulan anda ini tidak benar. Karena mutlak itu dilarang untuk penguraian yang terjadi dari suatu persoalan yang ada padanya penelitian. Adapun yang terjadi dari hal-hal yang mendatang, yang bersambungan dengan dia dari luar, maka tidak dilarang dikatakan: mutlak. Apakah tidak anda ketahui, bahwa apabila kita ditanyakan tentang: madu lebah, halalkah dia atau tidak ? Kita menjawab, bahwa madu lebah itu halal secara mutlak. Sedang madu itu haram terhadap orang yang sifatnya panas-darah, dimana ia akan mendapat kemelaratan dengan madu itu. Dan apabila kita ditanyakan tentang: khamar (minuman yang memabukkan), maka kita menjawab: bahwa khamar itu haram. Sedang sebenarnya ia halal bagi orang yang tersumbat kerongkongannya dengan makanan, untuk meminumnya, manakala tidak terdapat yang lain. Akan tetapi dari segi dia itu khamar, adalah haram. Dan diperbolehkan adalah karena keperluan yang mendatang. Dan madu lebah itu dari segi dia itu madu adalah halal. Dan diharamkan adalah karena kemelaratan yang mendatang. Dan sesuatu yang adanya karena yang mendatang, tidaklah menjadi perhatian benar. Bahwa berjual-beli itu halal. Dan diharamkan disebabkan mendatang terjadinya waktu adzan hari Jum’at. Dan sebagainya dari hal-hal mendatang yang lain. Dan mendengar nyanyian itu termasuk jumlah yang diperbolehkan, dari segi mendengar suara merdu, yang bertimbangan, yang dipahami. Dan pengharamannya, ialah hal yang mendatang, dari luar dirinya sendiri. Maka apabila terbuka tutup dari dalil pembolehan, maka kita tidak perduli orang yang menyalahinya sesudah terangnya dalil. Adapun Asy-Syafi’i ra, maka tidaklah sekali-kali pengharaman nyanyian dari madzhabnya. Asy-Syafi’i ra mengeluarkan nash dan berkata tentang orang yang membuat nyanyian itu menjadi perusahaan: tidak boleh menjadi saksi. Yang demikian itu, karena nyanyian termasuk permainan makruh yang menyerupai perbuatan batil. Orang yang membuatnya menjadi perusahaan, maka dinamakan bodoh dan hilangnya kemuliaan diri (muruah), walaupun tidak diharamkan diantara yang haram. Jikalau tidak menghubungkan dirinya kepada nyanyian, ia tidak dibawa untuk itu dan ia tidak datang karenanya, hanya ia dikenal kadang-kadang terus bernyanyi, lalu melagukan nyanyian itu, maka cara yang demikian, tidaklah menjatuhkan muruahnya. Dan tidaklah batal kesaksiannya. Berdalilkan dengan hadits dua budak wanita yang bernyanyi di rumah ‘Aisyah. Yunus bin Abdul-A’la berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i ra tentang diperbolehkan oleh penduduk Madinah mendengar nyanyian. Lalu Asy-Syafi’i ra menjawab: ‘Aku tiada tahu seorangpun dari ulama Hijaz yang memakruhkan mendengar nyanyian. Kecuali ada padanya mengenai sifat-sifat tertentu”. Adapun nyanyian meninggi suara di belakang unta, menyebutkan bentuk-bentuk dan tempat-tempat di musim bunga, membaguskan suara dengan melagukan pantun-pantun itu mubah. Dan dimana Asy-Syafi’i ra mengatakan, bahwa itu adalah permainan makruh, yang menyerupai batil, maka perkataannya: permainan adalah benar. Akan tetapi suatu permainan, dari segi dia itu permainan, tidaklah haram. Permainan orang Habsyi dan tarian mereka adalah permainan. Dan Nabi saw melihatnya dan tidak memakruhkannya. Bahkan permainan dan perbuatan yang sia-sia, tidaklah disiksakan oleh Allah Ta’ala orang mengerjakannya, jikalau dimaksudkan bahwa itu adalah perbuatan yang tak berfaedah. Sesungguhnya manusia, jikalau membiasakan dirinya meletakkan tangan diatas kepalanya sehari 100 kali, maka itu adalah permainan yang tak befaedah dan tidak haram. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak mengadakan tuntutan kewajiban karena sumpahmu yang tidak disengaja”. S 2 Al Baqarah ayat 225. Apabila menyebutkan nama Allah Ta’ala atas sesuatu dengan jalan sumpah, tanpa ‘aqad (ikatan dengan jual-beli atau lainnya), dan tidak bersungguh-sungguh dan menyalahi pada sumpah itu, serta tak ada faedah padanya, maka tidak diadakan tuntutan (siksaan). Maka bagaimanakah diadakan tuntutan (siksaan), disebabkan sya’ir dan tarian ?. Adapun kata Asy-Syafi’i ra: menyerupai batil, maka ini tidak menunjukkan kepada keyakinan pengharamannya. Bahkan, jikalau beliau mengatakan, bahwa: nyanyian itu tegasnya batil, niscaya tidaklah menunjukkan kepada pengharamannya. Hanya menunjukkan kepada kosongnya daripada faedah. Maka yang batil ialah sesuatu yang tiada berfaedah. Perkataan seorang laki-laki umpamanya kepada isterinya: “Aku jual diriku kepada engkau”, dan jawaban si isteri: “Aku beli”, adalah ‘aqad batil, betapapun maksudnya permainan dan berbaik-baikan. Dan tidak haram, kecuali apabila dimaksudkan pemilikan yang sebenarnya yang dilarang oleh agama. Adapun kata Asy-Syafi’i ra: makruh, maka ditempatkan pada setengah tempat yang telah aku sebutkan kepada anda. Atau ditempatkan kepada pembersihan dari segala yang meragukan (at-tanzih). Karena Asy-Syafi’i ra telah menyatakan dengan nash, atas mubahnya permainan catur. Dan menyebutkan: “Bahwa aku memandang makruh tiap-tiap permainan”. Dan alasan yang dikemukakannya menunjukkan kepada yang  demikian. Karena beliau berkata, bahwa tidaklah yang demikian itu adat-kebiasaan kaum agama dan orang bermuruah. Ini menunjukkan kepada at-tanzih. Dan tertolaknya kesaksian dengan selalu melakukan permainan itu, tidak juga menunjukkan kepada pengharamannya. Bahkan kadang-kadang kesaksian itu, ditolak (tidak dapat diterima) dari orang yang makan di pasar dan melakukan perbuatan yang merusakkan muruah. Bahkan menenun itu perbuatan mubah dan tidak termasuk perusahaan orang yang tidak bermuruah. Kadang-kadang ditolak kesaksian orang yang bekerja dengan pekerjaan hina. Maka alasan yang dikemukakannya menunjukkan, bahwa beliau maksudnya dengan makruh itu, ialah at-tanzih. Dan ini adalah sangkaan juga kepada yang lain dari Asy-Syafi’i ra dari imam-imam besar. Dan jikalau mereka maksudkan akan pengharaman, maka apa yang telah kami sebutkan adalah menjadi hujjah (dalil) terhadap mereka.
PENJELASAN: Dalil orang-orang yang mengatakan, diharamkan mendengar nyanyian dan jawaban terhadap dalil-dalil itu.
Mereka itu berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Dan diantara manusia itu ada orang yang membeli cerita kosong”. S 31 Lukman ayat 6. Ibnu Mas’ud ra, Al-Hasan Al-Bashari ra dan An-Nakha’i ra mengatakan, bahwa cerita kosong ialah: nyanyian. ‘Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala mengharamkan “al-qainah”, menjual, harga dan mengajarkannya”. Kami berkata, adapun “al-qainah”, yang dimaksudkan dengan al-qainah itu, ialah: budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki pada tempat minuman (bar). Dan telah kami sebutkan, bahwa nyanyian wanita ajnabiah (bukan keluarga yang haram dikawini) untuk orang-orang fasiq dan orang-orang yang ditakuti akan datang fitnah, adalah haram. Dan tiada mereka maksudkan dengan fitnah, selain sesuatu yang terlarang. Adapun nyanyian seorang budak perempuan untuk pemiliknya, maka tidak terpaham pengharamannya dari hadits ini. Bahkan bagi bukan pemiliknya boleh mendengar ketika tiada fitnah, berdalilkan apa yang diriwayatkan pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), tentang nyanyian dua budak perempuan di rumah ‘Aisyah. Adapun membeli cerita kosong dengan agama menjadi harganya, sebagai gantian dengan cerita kosong itu, untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka adalah haram yang tercela. Dan tidak ada padanya pertikaian pendapat. Dan tidaklah semua nyanyian itu ganti agama yang dijualkan dan yang menyesatkan dari jalan Allah Ta’ala. Dan itulah yang dimaksud pada ayat di atas. Jikalau dibacakan Alquran untuk menyesatkan dari jalan Allah, niscaya haram juga. Diceritakan tentang setengah orang-orang munafiq, bahwa ia mengimami shalat orang banyak dan tidak dibacannya, selain surat “Abasa”. Karena ada pada surat itu, teguran kepada Rasulullah saw. Lalu Umar ra bercita-cita membunuhnya. Dan memandang perbuatan munafiq itu haram, menyesatkan. Dari itu, menyesatkan dengan sya’ir dan nyanyian adalah lebih utama mengharamkannya. Mereka yang berpendapat demikian mengambil dalil dengan firman Allah Ta’ala: “Apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini ? dan kamu akan tertawa dan tiada menangis ? sedang kamu tiada memperhatikannya ?”. S 53 An Najm ayat 59-60-61. Ibnu Abbas ra berkata: “Yaitu nyanyian menurut bahasa Himyar”, maksudnya kata-kata: as-samdu/menyanyi. Maka kami menjawab, bahwa seyogyalah diharamkan juga tertawa dan tidak menangis. Karena diantara ayat di atas, melengkapi yang demikian. Jikalau dikatakan, bahwa yang demikian itu khusus dengan penertawaan terhadap kaum muslimin, karena keIslaman mereka. Maka ini juga khusus dengan syair dan nyanyian mereka, dalam hal memperolok-olokan kaum muslimin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan penyair-penyair itu, diikuti oleh orang-orang jahat”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 224. Yang dimaksudkan, ialah: penyair-penyair kafir. Dan tidak menunjukkan yang demikian kepada pengharaman menyusun syair itu sendiri. Mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Jabir ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Adalah Iblis orang pertama yang menangis dengan memekik-mekik dan orang pertama yang menyanyi-nyanyi”. Dan hadits ini telah mengumpulkan diantara tangisan dengan memekik-mekik dan nyanyian. Kami menjawab, bahwa tak dapat tidak, sebagaimana dikecualikan daripadanya tangisan dengan memekik-mekik Daud as dan tangisan dengan memekik-mekik orang-orang yang berdosa di atas kesalahan mereka. Maka demikian juga dikecualikan nyanyian yang dimaksudkan untuk menggerakkan kegembiraan, kesedihan dan kerinduan, dimana diperbolehkan penggerakkan itu. Bahkan sebagaimana dikecualikan nyanyian dua orang budak wanita pada hari Raya di rumah Rasulullah saw dan nyanyian kaum wanita ketika tiba Nabi saw di Madinah dengan mengucapkan:
Telah terbit
kepada kita bulan purnama raya,
dari bukit
Tsaniyyatil wada’.
Dan mereka mengambil dalil pula, dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Umamah dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Tidaklah seseorang meninggikan suaranya dengan nyanyian, melainkan diutuskan oleh Allah kepadanya dua setan diatas kedua bahunya. Kedua setan itu memukul dada orang tadi dengan tumitnya, sehingga orang itu berhenti”. Kami menjawab, bahwa yang demikian itu ditempatkan kepada sebagian macam nyanyian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: nyanyian yang menggerakkan hati kepada nafsu syahwat dan kerinduan orang banyak, yang menjadi tujuan setan. Adapun yang digerakkan oleh kerinduan kepada Allah atau oleh kegembiraan dengan hari raya atau oleh kelahiran anak atau kedatangan orang dari jauh, maka ini semuanya berlawanan dengan maksud setan, berdalilkan kisah dua budak wanita dan orang Habsyi dan hadits-hadits yang kami nukilkan dari hadits-hadits shahih. Maka pembolehan pada suatu tempat, adalah menjadi nash tentang pembolehan (ibahah). Dan pelarangan pada 1000 tempat, adalah suatu kemungkinan bagi penta’wilan dan suatu kemungkinan bagi penempatan menurut keadaannya. Adapun perbuatan, maka tak ada mempunyai penta’wilan. Karena apa yang diharamkan memperbuatnya, sesungguhnya dihalalkan, disebabkan datang paksaan saja. Dan apa yang diperbolehkan memperbuatnya, akan diharamkan dengan sebab-sebab mendatang yang banyak, sampai kepada niat-niat dan maksud-maksud. Dan mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap sesuatu yang dimainkan oleh laki-laki adalah batil, kecuali mengajari kudanya, melempari busurnya dan bermain-main dengan isterinya”. Kami menjawab, bahwa sabdanya: batil, tidaklah menunjukkan kepada haram. Tetapi menunjukkan kepada: tidak berfaedah. Dan kadang-kadang dapat diterima yang demikian, berdasarkan bahwa bermain-main melihat orang Habsyi itu adalah diluar dari yang 3 tadi. Dan tidak haram. Bahkan dihubungkan yang tidak terbatas, dengan yang terbatas, karena diqiaskan, seperti sabda Nabi saw: “Tidak halal darah orang Islam, kecuali dengan salah satu dari 3 sebab”. Maka dihubungkan dengan salah satu dari 3 itu, akan yang ke-4 dan yang ke-5. Maka seperti itu juga bermain-main dengan isterinya. Tak ada faedah padanya, selain kesenangan. Dan pada ini menunjukkan, bahwa bersenang-senang di kebun-kebun, mendengar suara burung dan bermacam-macam permainan yang dimainkan laki-laki, tidaklah diharamkan suatupun daripadanya, walaupun boleh disifatkan dengan batil. Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan ‘Utsman ra: “Tiada aku menyanyi, tiada aku berangan-angan dan tiada aku sentuh kemaluanku dengan tangan kananku, sejak aku bersumpah taat setia kepada Rasulullah saw”. Kami menjawab, maka tentulah berangan-angan dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan itu haram hukumnya, jikalau itu menjadi dalil mengharamkan nyanyian. Maka darimanakah dapat ditetapkan, bahwa ‘Utsman ra tidak meninggalkan selain yang haram ?. Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan Ibnu Mas’ud ra bahwa: nyanyian itu menumbuhkan nifaq di dalam hati. Dan setengah mereka menambahkan: seperti air menumbuhkan sayur-sayuran. Setengah mereka mengatakan bahwa perkataan Ibnu Mas’ud ra di atas tadi, berasal dari sabda Rasulullah saw (hadits marfu’). Dan itu tidak benar (ghairu-shahih). Mereka mengatakan, bahwa telah datang kepada Ibnu ‘Umar ra suatu kaum yang sedang ihram hajji. Dan dalam rombongan itu terdapat seorang laki-laki yang menyanyi. Maka Ibnu Umar ra berkata: “Ketahuilah ! kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu ! ketahuilah ! kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu !”. Dari Nafi’, dimana ia berkata: “Aku berada bersama Ibnu Umar ra pada suatu jalan. Lalu ia mendengar seruling penggembala. Maka diletakkannya kedua anak jarinya dalam kedua telinganya. Kemudian ia berpaling dari jalan itu. Dan selalu ia mengatakan: “Wahai Nafi’ ! adakah engkau mendengar itu ?”. Sehingga aku mengatakan: “Tidak !”. Maka barulah ia mengeluarkan kedua anak jarinya. Dan berkata: “Begitulah aku melihat Rasulullah saw berbuat !”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Nyanyian itu perangsang bagi zina”. Setengah mereka berkata: “Nyanyian ialah utusan dari utusan-utusan penzina”. Yazid bin Al-Walid berkata: “Awaslah dari nyanyian ! sesungguhnya nyanyian itu mengurangkan malu, menambahkan nafsu syahwat dan meruntuhkan muruah. Nyanyian itu menggantikan khamar dan memperbuat apa yang diperbuat oleh mabuk. Jikalau kamu tak boleh tidak memperbuatnya, maka jauhkanlah nyanyian itu dari wanita ! karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan”. Maka kami jawab, bahwa perkataan Ibnu Mas’ud ra:  nyanyian itu menumbuhkan nifaq, dimaksudkan ialah pada pihak penyanyi. Maka nyanyian itu pada pihak si penyanyi menumbuhkan nifaq. Karena seluruh maksudnya, ialah mempertontonkan dirinya kepada orang lain dan menawarkan suaranya kepada orang lain. Dan senantiasa ia bersikap munafiq dan berbuat sayang kepada manusia, agar manusia itu menyukai nyanyiannya. Juga yang demikian itu tidak mewajibkan pengharaman. Maka sesungguhnya memakai pakaian yang cantik, mengendarai kuda yang cepat lari, berbagai perhiasan lainnya, bermegah-megahan dengan tanaman, binatang ternak, tumbuh-tumbuhan dan yang lain dari itu, adalah menumbuhkan nifaq dan ria di dalam hati. Dan tidaklah secara mutlak dikatakan haramnya semua itu. Maka tidaklah yang menjadi sebab pada lahirnya nifaq di dalam hati itu, perbuatan ma’siat saja. Bahkan perbuatan mubah yang menjadi tempat sorotan makhluq ramai, adalah lebih banyak membekasnya. Karena itulah ‘Umar ra turun dari kuda yang cepat lari yang sedang dikendarainya. Dan memotong ekornya, karena ia merasa sombong dalam hatinya karena bagus larinya kuda itu. Maka nifaq ini termasuk hal-hal mubah. Adapun perkataan Ibnu ‘Umar ra: “Ketahuilah ! kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu !", tidaklah menunjukkan kepada haram dari segi nyanyiannya. Tetapi mereka itu sedang mengerjakan ihram hajji. Dan tidaklah layak mereka itu bercakap kotor. Dan jelaslah dari khayalan mereka, bahwa pendengaran mereka tidaklah karena kesan yang mendalam dan kerinduan hati berkunjung ke Baitullah (Ka’bah). Akan tetapi karena permainan semata-mata. Maka ditantang yang demikian terhadap para rombongan yang sedang ihram itu. Karena nyanyian itu menjadi perbuatan munka, dilihat kepada hal-ihwal mereka dan hal-ihwal ihram. Cerita-cerita tentang hal-ihwal tersebut, banyaklah terdapat segi-segi kemungkinan padanya. Adapun Nabi saw meletakkan kedua anak jarinya ke dalam kedua telinganya, maka ditantang pengharamannya oleh karena Nabi saw tidak menyuruh Nafi’ ra berbuat yang demikian. Dan Nabi saw tidak menentang Nafi’ ra memdengarkannya. Sesungguhnya beliau berbuat demikian, karena beliau memandang untuk mensucikan (at-tanzih) pendengarannya sekarang juga. Dan mensucikan hatinya dari suara, yang kadang-kadang menggerakkan permainan dan mencegahnya dari pemikiran yang ada padanya atau dzikir, yang lebih utama lagi dari pemikiran itu. Dan seperti itu pula perbuatan Rasulullah saw, dimana beliau tidak melarang Ibnu Umar ra, adalah tidak pula menunjukkan kepada pengharamannya. Bahkan menunjukkan, bahwa yang lebih utama, ialah meninggalkan nyanyian itu. Dan kali berpendapat, bahwa yang lebih utama ialah meninggalkan nyanyian itu, pada kebanyakan hal. Bahkan kebanyakan hal-ihwal dunia yang mubah, yang lebih utama ialah meninggalkannya, apabila diketahui yang demikian itu membekas dalam hati. Rasulullah saw sesudah selesai dari shalat, membuka kain Abi Jahm. Karena ada padanya gambaran-gambaran bendera, yang mengganggu hatinya. Apakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada haramnya gambaran-gambaran bendera atas kain ? mungkin Nabi saw berada dalam keadaan, dimana bunyi seruling penggembala mengganggukannya atas keadaan itu, sebagaimana bendera mengganggukannya dari shalat. Bahkan perlunya mengobar-ngobarkan hal-hal yang mulia pada hati, dengan jalan mendengar nyanyian itu, suatu keteledoran, bagi orang yang berkekalan menyaksikan kebenaran. Walaupun ia bersifat sempurna dibandingkan kepada orang lain. Karena itulah, Al-Hashri berkata: “Apakah yang akan aku perbuat dengan mendengar yang terputus, apabila telah mati orang yang didengarkan nyanyian daripadanya ?”. Itu adalah suatu isyarat, bahwa mendengar daripada Allah Ta’ala adalah yang kekal. Nabi-nabi as berada terus-menerus pada kesenangan mendengar dan menyaksikan. Mereka tidak memerlukan kepada menggerakkannya dengan sesuatu daya-upaya. Adapun perkataan Al-Fudlail: nyanyian itu perangsang bagi perzinaan, dan begitupula lainnya dari perkataan-perkataan yang mendekati nyanyian, maka perkataan itu ditempatkan pada pendengaran orang-orang fasiq dan pemuda-pemuda yang berkobar-kobar hawa nafsunya, walaupun yang demikian itu adalah umum. Karena apa yang telah didengar dari dua budak wanita pada rumah Rasulullah saw. Adapun qias (analogi), maka kesudahan apa yang disebutkan, ialah diqiaskan kepada rebab. Dan telah disebutkan perbedaannya. Atau dikatakan, bahwa nyanyian itu ialah senda gurau dan permainan. Dan benarlah yang demikian. Bahkan dunia seluruhnya ialah senda gurau dan perrmainan. ‘Umar ra berkata kepada isterinya: “Engkau sesungguhnya, alat permainan di sudut rumah”. Dan semua permainan bersama wanita adalah senda-gurau, selain bersetubuh yang menjadi sebab adanya anak. Dan begitupula senda-gurau yang tak ada padanya kekejian adalah halal. Dinukilkan yang demikian dari Rasulullah saw dan dari para sahabat, sebagaimana akan datang uraiannya pada “Kitab Bahata Lidah”, insya Allah. Dan manakah permainan yang melebihi dari permainan orang Habsyi dan orang Hitam ? tentang permainan mereka itu, telah jelas dengan nash pembolehannya. Dan aku mengatakan, bahwa permainan itu menyenangkan bagi hati dan meringankan beban pikiran. Dan hati apabila dipaksakan, niscaya buta. Menyenangkannya adalah pertolongan baginya untuk rajin. Orang yang rajin mempelajari ilmu umpamanya seyogyalah beristirahat (berlibur) pada hari Jum’at. Karena berlibur sehari membangkitkan kerajinan pada hari-hari yang lain. Orang yang rajin mengerjakan shalat sunat pada waktu-waktu yang lain, seyogyalah berlibur pada sebahagian waktu. Dan karena itulah dimakruhkan shalat pada sebahagian waktu. Maka liburan itu menolong kepada pekerjaan. Dan permainan itu menolong kepada kesungguhan. Dan tidak adalah yang sabar kepada semata-mata kesungguhan dan kebenaran yang pahit, selain daripada jiwa (diri) nabi-nabi as. Maka permainan itu adalah obat bagi hati daripada penyakit kepayahan dan kebosanan. Maka seyogyalah permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi tiada seyogyalah, bahwa memperbanyak permainan, sebagaimanna tiada memperbanyak obat. Jadi, berdasarkan niat ini jadilah permainan itu qurbah (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala). Ini, terdapat orang yang tiada digerakkan hatinya oleh mendengar nyanyian itu kepada sifat terpuji yang diminta menggerakkannya. Bahkan tiada baginya, selain daripada kelezatan dan kesenangan semata-mata. Maka seyogyalah disunatkan baginya permainan, untuk menyampaikannya kepada maksud yang telah kami sebutkan itu. Benar, ini menunjukkan kepada kekurangan dari puncak kesempurnaan. Karena orang sempurna (al-kamil), yaitu: orang yang tiada berhajat menyenangkan dirinya dengan yang tidak benar. Bahkan kebaikan orang-orang baik menjadi kejahatan bagi orang-orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala). Dan orang yang mengetahui ilmu pengobatan hati dan cara-cara melembutkannya untuk membawanya kepada kebenaran, niscaya pastilah mengetahui, bahwa menyenangkan hati dengan hal-hal seperti diatas adalah merupakan obat yang bermanfaat, yang tidak boleh tidak.
BAB KEDUA: Tentang bekas mendengar nyanyian dan adab sopan-santunnya.
Ketahuilah, bahwa permulaan derajat mendengar, ialah memahami yang didengar dan menempatkannya kepada pengertian yang jatuh ke dalam otak pendengar. Kemudian pemahaman itu membuahkan rasa yang mendalam. Dan rasa yang mendalam itu membuahkan gerak anggota badan. Maka hendaklah diperhatikan pada 3 tingkat ini:
Tingkat Pertama: tentang pemahaman. Pemahaman itu berlainan dengan berlainan keadaan pendengar. Dan pendengar itu mempunyai 4 keadaan:
1.       Pendengarannya itu adalah semata-mata tabiat. Artinya: ia tiada mempunyai apa-apa pada pendengarannya itu, selain daripada kelezatan nyanyian dan lagu. Dan ini diperbolehkan. Dan itu adalah tingkat pendengaran yang paling rendah. Karena unta dan orang itu sama dalam hal ini. Demikian juga binatang ternak lainnya. Bahkan tiada yang membawa kepada perasaan ini, selain oleh hidup. Maka tiap-tiap yang hidup (hewan) mempunyai macam kesenangan dengan suara-suara yang merdu.
2.       Mendengar dengan memahami isinya. Tetapi menempatkan pemahaman itu kepada bentuk makhluq, adakalanya: sudah tertentu dan adakalanya: tidak tertentu. Yaitu: pendengaran pemuda-pemuda dan orang-orang yang kuat nafsu syahwatnya. Mereka itu menempatkan yang didengarnya menurut nafsu syahwatnya dan yang dikehendaki oleh hal-ihwalnya sendiri. Hal ini adalah yang lebih buruk untuk memperkatakannya, selain menerangkan keburukannya dan melarangkannya.
3.       Ia menempatkan apa yang didengarnya kepada keadaan dirinya pada Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)nya dengan Allah Ta’ala. Dan pertukaran hal-ihwalnya, sekali pada keadaan tetap tenang, dan lain kali pada keadaan yang dapat dimaafkan. Dan ini pendengaran murid-murid (orang-orang yang menghendaki jalan Allah). lebih-lebih yang masih tingkat permulaan (al-mubtadi-in). Sesungguhnya, murid itu sudah pasti mempunyai kehendak, yaitu, yang menjadi maksudnya. Dan maksudnya itu, ialah mengenal Allah swt, bertemu dan sampai kepadaNya dengan jalan musyahadah dengan siir (menyaksikan dengan rahasia) dan terbuka tutup (terbuka hijab).
Dalam mencapai maksudnya, si murid itu mempunyai jalan yang akan ditempuhnya, mempunyai mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) yang harus ia bertekun melaksanakannya dan mempunyai hal-hal yang dihadapinya pada mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)nya. Apabila ia mendengar sebutan cacian atau percakapan, penerimaan atau penolakan, sambungan silaturrahim atau pemutusan silaturrahim, pendekatan atau penjauhan, kesedihan kepada yang hilang atau kehausan kepada yang dinanti, kerinduan kepada yang datang atau mengharap atau putus asa, keliaran hati atau kejinakan hati, penepatan janji atau pelanggaran janji, ketakutan bercerai atau kesenangan bersambung, ingatan perhatian yang dikasihi dan penolakan yang mengintip, berlinangnya air mata atau berturut-turutnya kesedihan, lamanya perpisahan atau kembalinya persambungan atau yang lain-lain, tentang hal-hal yang dikandung penyifatannya oleh syair-syair, maka tak boleh tidak, sebahagiannya akan bersesuaian dengan keadaan si murid mengenai yang dicarinya. Maka berlakulah yang demikian, sebagaimana berlakunya sentuhan api yang menyalakan urat hatinya. Lalu dengan demikian, bernyala-nyalalah apinya, kuatlah yang membangkitkan kerinduan dan berkobar-kobarlah. Dan dengan sebabnya itu, ia diserang oleh hal-hal yang menyalahi adat-kebiasaannya. Dan baginya jalan yang lapang pada menempatkan kata-kata di atas hal-ihwalnya. Dan tidaklah menjaddi keharusan bagi pendengar menjaga maksud penyair dari perkataannya. Tetapi tiap-tiap perkataan itu mempunyai beberapa bentuk. Dan tiap-tiap yang berpaham mempunyai bahagian-bahagian pada pengutipan pengertian dari perkataan itu. Dan marilah kami berikan contoh-contoh untuk penempatan-penempatan dan pemahaman-pemahaman itu. Supaya tidak disangka oleh orang bodoh, bahwa orang yang mendengar beberapa kuntum syair, yang tersebut padanya: mulut, pipi dan alis, hanya dipahamkan daripadanya dzahiriahnya saja. Dan kita tidak memerlukan kepada menyebut cara memahami pengertian-pengertian dari kuntum-kuntum syair itu. Maka pada cerita orang-orang yang ahli mendengar nyanyian itu, apa yang terbuka dari yang demikian itu. Sesungguhnya diceritakan, bahwa setengah mereka mendengar seorang penyair itu bermadah: “Utusan itu berkata: ‘Besok yang dicintai akan datang bertamu’. Lalu aku bertanya: ‘Tahukah anda apa yang anda katakan itu ?”. Maka lagu dan perkataan itu amat menggembirakan si pendengar tadi. Ia mendapat kesan yang mendalam, lalu diulang-ulanginya perkataan itu. Dan ia meletakkan nun pada tempat ta. Sehingga pantun diatas berobah menjadi: “Qalarrasuulu ghadan nazuuru”, (diatas tadi: tazuuru. Dan nazuuru, artinya: kami datang bertamu). Sehingga pendengar itu jatuh pingsan, karena bersangatan gembira, lezat dan suka cita. Ketika telah sembuh, lalu ia ditanyakan tentang perasaannya itu, darimana datangnya ?. Ia menjawab: Aku teringat akan sabda Rasulullah saw: “Bahwa ahli sorga itu datang mengunjungi (datang bertamu) kepada Tuhannya pada tiap-tiap hari Jum’at sekali”. Ar-Ruqi menceritakan dari Ibnud-Darraj, bahwa Ibnud-Darraj menerangkan: “Aku dan Ibnul-Futhi melalui sungai Tigris (Ad-Dajlah) antara Basrah dan Ubullah. Tiba-tiba tampat sebuah istana cantik, mempunyai pemandangan indah. Pada istana itu kelihatan seorang laki-laki. Dihadapannya seorang budak wanita yang menyanyi dan bermadah:
Tiap-tiap hari,
engkau berwarna
yang bukan ini,
yang lebih cantik bagi anda.
Tiba-tiba seorang pemuda yang berdiri di bawah pemandangan yang indah itu, ditangannya sebuah tempat air dari kulit dan pada badannya pakaian buruk, mendengar nyanyian itu. Lalu berkata: “Wahai budak wanita ! demi Allah dan demi hidup tuanmu ! apakah engkau tidak mau mengulangi pantun ini kepadaku ?”. Budak wanita itu lalu mengulanginya. Maka pemuda itu berkata: “Inilah ! demi Allah, engkau warnai aku bersama Allah dalam hal keadaanku”. Lalu pemuda itu memekik-mekik dan meninggal dunia....Ar- Rug=qi meneruskan ceritanya: “Maka kami mengatakan, sesungguhnya fardlu telah menerima kami. Lalu kami berhenti. Maka berkatalah yang empunya istana kepada budak wanitanya: “Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Ar-Ruqi meneruskan ceritanya: “Kemudian, penduduk kota Basrah datang beramai-ramaii. Lalu bershalat jenazah kepada pemuda itu. Setelah selesai menguburkannya, maka yang empunya istana itu berkata: ‘Aku mengaku dihadapan saudara-saudara, bahwa semua milikku dipergunakan pada jalan Allah. Semua budakku merdeka. Dan istana ini untuk jalan Allah”. Ar-Ruqi meneruskan ceritanya: “Kemudian yang empunya istana itu melemparkan semua pakaiannya. Dan ia bersarung dengan sehelai kain sarung. Dan berselendang dengan sehelai kain lainnya. Dan terus ia berjalan menuju entah kemana. Manusia ramai memandang kepadanya, sampai ia hilang dari mata mereka. Dan orang banyak itu semuanya menangis. Maka tidaklah terdengar kabar apa-apa lagi tentang orang itu kemudian”. Maksudnya, bahwa orang itu telah menghabiskan waktu dengan perihal keadaannya serta Allah Ta’ala. Dan mengetahui kelemahannya, untuk tetap di atas bagus kesopanan dalam pergaulan. Dan rasa kekesalannya, diatas bulak-balik hatinya dan miringnya dari jalan-jalan kebenaran. Tatkala pendengarannya diketok oleh sesuatu yang bersesuaian dengan keadaannya, maka didengarnya daripada Allah Ta’ala, seakan-akan Allah Ta’ala menghadapkan firmanNya kepadanya dan berfirman:
Tiap-tiap hari
engkau berwarna
yang bukan ini
yang lebih cantik bagi anda.
Dan orang yang ada pendengarannya dari Allah Ta’ala, atas Allah dan pada Allah, maka seyogyalah bahwa orang itu telah memperkuatkan undang-undang pengetahuan tentang mengenal Allah Ta’ala dan mengenal sifat-sifatNya. Kalau tidak demikian, niscaya tergurislah baginya pendengaran tentang hak Allah Ta’ala, apa yang mustahil bagi Allah dan yang mengkafirkannya. Maka pada pendengaran murid yang permulaan (murid-mubtadi) itu, ada bahayanya. Kecuali apabila murid itu tidak menempatkan apa yang didengarnya, selain di atas hal-ihwalnya, dari segi yang tiada menyangkut dengan sifat Allah Ta’ala. Dan contoh kesalahan padanya, ialah pantun tadi itu sendiri. Jikalau ia mendengar pantun itu pada dirinya dan ia menghadapkan perkataannya itu kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, maka ia menyandarkan pewarnaan itu kepada Allah Ta’ala. Lalu menjadi kafirlah dia. Kadang-kadang ini terjadi semata-mata kebodohan mutlak, yang tiada bercampur dengan pendalilan kebenaran. Kadang-kadang terjadinya dari kebodohan yang ditarik oleh semacam pendalilan kebenaran. Yaitu: bahwa ia melihat pertukaran keadaan hatinya (jiwanya), bahkan pertukaran keadaan-keadaan alam lainnya, adalah dari Allah. Dan itu adalah benar. Karena sekali Allah melapangkan hatinya dan sekali menyempitkannya. Sekali menyinarkannya dan sekali menggelapkannya. Sekali mengkasarkannya dan sekali melembutkannya. Sekali menetapkannya di atas mentaatiNya dan menguatkannya di atas ketaatan itu. Dan sekali menguasakan akan setan ke atas hatinya. Supaya setan itu memalingkan hatinya dari jalan kebenaran. Ini semuanya adalah daripada Allah Ta’ala. Dan orang yang terbit daripadanya hal-hal yang bermacam-macam, dalam waktu-waktu yang berdekatan, maka kadang-kadang dikatakan kepadanya menurut kebiasaan, bahwa orang itu: mempunyai bermacam-macam pikiran dan berbagai warna. Dan mungkin penyair dari syair yang tersebut di atas tadi, tidak bermaksud lain, selain daripada menyandarkan kekasihnya kepada pewarnaan, tentang penerimaan dan penolakannya, tentang pendekatan dan penjauhannya. Dan inilah yang dimaksudkan !. Maka mendengarkan ini seperti yang demikian terhadap Allah Ta’ala, adalah kufur semata-mata. Tetapi seyogyalah hendaknya diketahui, bahwa Allah swt mewarnakan dan Ia tiada berwarna. Ia mengobahkan dan IA tiada berobah. Kebalikan dari hambaNya. Dan pengetahun itu berhasil bagi murid dengan: keimanan secara taqlid (i’tiqad taqlidi imani). Dan berhasil bagi orang yang berma’rifah, yang bermata hati, dengan: keyakinan terbuka hakikat kebenaran (yaqin kasyfi haqiqi). Dan itu adalah termasuk keajaiban sifat-sifat ketuhanan. Dialah yang mengobahkan, tanpa Dia sendiri berobah. Dan tiada tergambar yang demikian, selain pada haq Allah Ta’ala. Bahkan tiap-tiap perobah selain Allah, maka perobah itu tidak dapat merobahkan sesuatu, selama sesuatu itu tiada berobah. Diantara orang-orang yang mempunyai perasaan yang berkesan, ialah orang yang dikerasi oleh sesuatu keadaan, seperti: mabuk yang dahsyat. Lalu ia melepaskan lidahnya mencerca Allah Ta’ala. Mengingkari keperkasaanNya terhadap hati dan pembahagianNya bagi hal-hal yang mulia secara berlebih-kurang. Sesungguhnya Allah itu yang membersihkan hati orang-orang shiddiq dan yang menjauhkan dari raahmatNya, hati orang-orang yang ingkar dan yang tertipu. Maka tiadalah yang melarang, apa yang dianugerahkanNya. Dan tiada yang memberi apa yang dilarangNya. Tiadalah putus taufiq kepada orang-orang kafir karena pelanggaran yang terdahulu. Dan tiadalah putus pertolongan nabi-nabi as dengan taufiq dan nur-hidayahNya, karena wasilah yang dahulu. Bahkan Ia berfirman: “Dan sesungguhnya perkataan Kami itu telah berlaku atas hamba-hamba Kami yang diutus”. S 37 Ash Shaffaat ayat 171. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Tetapi perkataan daripadaKu sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S 32 As Sajdah ayat 13. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang telah lebih dahulu menerima kebaikan dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 101. Jikalau terguris di hatimu, mengapakah berbeda yang dahulu, sedang mereka itu bersekutu pada ikatan perhambaan yang dipanggil dari perkemahan keagungan yang tiada melampaui batas adab ? sesungguhnya IA (Allah) tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya. Sedang mereka itu ditanyakan. Demi umurku, beradabnya lisan dan dzahiriah adalah sebahagian dari yang disanggupi oleh kebanyakan orang. Adapun beradabnya bathiniah (sirr) daripada menyembunyikan hal-hal yang menjauhkan, dengan perbedaan dzahiriah ini, mengenai: pendekatan dan penjauhan, pencelakaan dan pembahagian, serta kekalnya kebahagiaan dan kecelakaan untuk selama-lamanya, maka tiadalah yang kuat melaksanakannya, kecuali para ulama yang mendalam pengetahuannya. Karena inilah Nabi Khidlir as menjawab, tatkala beliau ditanyakan dari hal mendengar dalam tidur: “Bahwa itu adalah keikhlasan berkasih-kasihan yang menggelincirkan, yang tiada tetap di atasnya, selain daripada tapak kaki para ulama. Karena pendengaran itu menggerakkan segala rahasia hati dan segala yang tersembunyi padanya. Mengacaukan hati, sebagaimana kekacauan yang ditimbulkan oleh mabuk yang dahsyat, yang hampir membukakan ikatan adab dari rahasia bathin. Selain dari orang-orang yang dipeliharakan oleh Allah Ta’ala dengan nur-hidayahNya dan kelemah-lembutan pemeliharaanNya. Karena itulah sebahagian mereka berkata: “Moga-moga kiranya kita terlepas dari pendengaran ini satu demi satu”. Maka pada pendengaran dari semacam ini, terdapat bahaya yang lebih daripada bahaya pendengaran yang menggerakkan nafsu syahwat. Karena kesudahan yang itu adalah ma’siat, sedang kesudahan dari kesalahan itu di sini ialah kufur. Ketauhilah, bahwa pemahaman kadang-kadang berbeda menurut hal-ihwal yang mendengar. Lalu mengeraslah perasaan yang berkesan kepada dua pendengar sekuntum syair. Salah seorang dari keduanya benar pahamnya dan yang lain salah. Atau keduanya benar. Dan keduanya telah memahami dua pengertian yang berlainan, lagi berlawanan. Tetapi dibandingkan kepada perbedaan hal-ihwal diantara keduanya adalah tidak berlawanan. Sebagaimana diceritakan dari ‘Atabah Al-Ghallam, dimana ia mendengar seorang laki-laki bermadah:
Maha Suci Tuhan
Yang Maha Menguasai langit.
Sesungguhnya orang dalam kecintaan
berada dalam keadaan sulit.
Lalu ‘Atabah menjawab: “Benar engkau !”. Dan ada seorang laki-laki lain yang mendengar, lalu menjawab: “Dusta engkau !”. Maka berkata setengah mereka yang bermata-hati: “Keduanya itu betul !”. Itulah yang benar. Pembenaran itu, perkataan orang yang bercintaan yang tidak dimungkinkan dari maksud. Bahkan tercegah, yang memayahkan dengan cegahan dan ditinggalkan. Dan pendustaan itu, perkataan orang yang merasa kejinakan hati dengan percintaan, merasa enak bagi apa yang dideritainya. Disebabkan kesangatan cintanya, yang tiada merasa pembekasan dengan penderitaan itu. Atau perkataan orang yyang bercintaan, yang tiada tercegah dari maksudnya pada waktu sekarang. Dan tiada merasa bahayanya cegahan itu pada masa yang akan datang. Yang demikian adalah karena kerasnya harapan dan baik sangkaan pada hatinya. Maka dengan berlainannya hal-ihwal ini, berlainanlah paham. Diceritakan dari Abil-Qasim bin Marwan dan dia telah menemani Abu Sa’id Al-Charraz ra. Dan meninggalkan menghadiri pendengaran pantun-pantun beberapa tahun lamanya. Lalu Abil-Qasim menghadiri suatu undangan. Dan pada undangan tersebut, seorang laki-laki bermadah:
Orang itu berdiri
dalam air kehausan.
Tetapi....
Ia tiada minum.
Lalu bangunlah orang banyak dan mempunyai kesan yang mendalam. Tatkala orang banyak itu telah tenang, lalu Abil-Qasim bertanya: kepada mereka, pengertian apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hati mereka, dari pengertian pantun itu. Mereka itu menunjukkan kepada kehausan, akan hal-ihwal yang mulia (sifat-sifat yang mulia) dan tidak memperoleh sifat-sifat itu, sedang sebab-sebab untuk memperolehnya ada. Abil-Qasim tiada merasa puas dengan jawaban tersebut. Lalu mereka itu bertanya kepada Abil-Qasim: “Apakah yang ada padamu pada pantun itu ?”. Abil-Qasim menjawab: “Bahwa orang itu berada di tengah-tengah hal-ihwal (sifat-sifat) itu. Dan ia dimuliakan dengan segala kemuliaan dan tiada diberikan kepadanya dari kemuliaan-kemuliaan itu sebesar biji sawipun. Ini menunjukkan kepada adanya hakikat di balik segala hal-ihwal dan kemuliaan itu. Dan segala hal-ihwal itu adalah yang mendahului dari segala kemuliaan. Dan segala kemuliaan itu memperoleh kesempatan pada permulaannya segala hal-ihwal. Dan hakikat sesudahnya tiada akan sampai kepadanya. Tiada perbedaan antara pengertian yang dipahaminya dan apa yang disebutkan mereka. Selain pada berlebih-kurangnya derajat orang yang kehausan kepadanya. Karena orang yang tiada memperoleh hal-ihwal yang mulia atau tiada merasa haus kepadanya, maka jikalau memungkinkan daripadanya, niscaya ia merasa haus kepada yang sebaliknya dari hal-ihwal yang mulia itu. Maka tiadalah perbedaan diantara dua pengertian pada pemahamannya. Tetapi perbedaan diantara dua tingkat (derajat). Asy-Syibli ra banyak merasa dengan kesan yang mendalam di atas sekuntum syair ini:
Sayangmu itu menjauhkan diri
Cintamu itu kebencian.
Silaturrahimmu itu memutuskan tali.
Perdamaianmu itu peperangan.
Pantun ini memungkinkan pendengarannya kepada bermacam-macam segi. Sebahagiannya benar dan sebahagian lagi batil. Dan arti yang lebih jelas, ialah memahamkan ini pada makhluq. Bahkan pada dunia keseluruhannya. Bahkan pada semua, yang selain dari Allah Ta’ala. Sesungguhnya dunia itu memperdayakan, menipu, membunuh orang-orangnya, bermusuhan dengan mereka pada bathin dan mendzahirkan rupa kasih-sayang. “Maka tidak memenuhi dunia itu oleh perkampungan kesukaan, melainkan telah memenuhinya oleh gelombang air mata”. Sebagaimana tersebut pada hadits. Dan sebagaimana Ats-Tsa’labi bermadah pada menyifatkan dunia:
Sesak suaramu tentang dunia,
maka janganlah berbicara dengan dunia ini !.
Janganlah berbicara,
dengan pembunuh orang-orang yang akan engkau kawini !.
Tiadalah sempurna yang diharap dari dunia,
dengan yang ditakuti padanya.
Yang dibenci dari dunia,
apabila kita perhatikan, adalah kuat adanya.
Orang-orang yang menyifatkan dunia,
telah berkata banyak tentang dunia.
Padaku dunia itu mempunyai suatu sifat saja,
demi umurku, yang lebih patut adanya:
“Khamar, kesudahannya pahit.
Kendaraan penuh hawa nafsu.
Apabila engkau sudah merasa lezat,
maka iapun datang menyerbu.
Orang yang cantik,
disukai manusia oleh kecantikannya.
Tetapi mempunyai rahasia yang pelik,
yang jahat sekali apabila ternyata nantinya”.
Arti kedua: menempatkan pantun itu ke atas dirinya pada hak Allah Ta’ala. Karena apabila ia bertafakkur, tentang Allah Ta’ala, maka ma’rifahnya itu kebodohan. Karena tiadalah mereka itu dapat menentukan tentang Allah dengan ketentuan yang sebenarnya. Taatnya akan Allah itu ria. Karena ia tidak bertaqwa akan Allah dengan taqwa yang sebenarnya. Kecintaannya akan Allah itu berpenyakit. Karena ia tidak meninggalkan suatupun dari hawa nafsunya pada mencintai Allah. Dan orang yang dikehendaki oleh Allah akan memperoleh kebajikan, niscaya diperlihatkan oleh Allah kepada orang itu segala keaiban (kekurangan) dirinya. Maka orang itu melihat kebenaran pantun tersebut pada dirinya, walaupun ia berderajat tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang lalai. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Tiada aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau pujikan diri Engkau sendiiri”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah sehari-semalam 70 kali”. Istighfarnya Nabi saw (meminta ampunan) adalah dari hal-ihwal. Yaitu: derajat-derajat yang jauh, dibandingkan kepada hal-ihwal sesudahnya. Walaupun berdekatan dibandingkan kepada hal-ihwal sebelumnya. Tiadalah kedekatan, selain masih ada, dibelakangnya kedekatan, yang tiada berkesudahan. Karena jalan yang dijalani kepada Allah Ta’ala itu tiada berkesudahan. Dan sampai kepada penghabisan derajat kedekatan itu mustahil.
Arti ketiga: bahwa ia memandang pada permulaan hal-ihwalnya. Maka ia rela dengan hal-ihwal itu. Kemudian ia memandang pada akibat-akibatnya, maka ia menghinakannya. Karena dilihatnya kepada tipuan-tipuan yang tersembunyi padanya. Lalu ia melihat yang demikian itu dari Allah Ta’ala. Maka ia mendengar sekuntum syair pada hak Allah Ta’ala, sebagai pengaduan dari qodo’ dan qadar. Ini adalah kufur, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan tiada satupun dari pantun, melainkan mungkin menempatkannya diatas beberapa pengertian. Yang demikian itu menurut qadar banyaknya pengetahuan dari yang mendengar dan kebersihan hatinya.
Hal keempat: pendengaran orang yang melampaui hal-ihwal dan tingkat-tingkat (al-maqamat). Lalu ia lenyap daripada memahami selain Allah Ta’ala. Sehingga ia lenyap daripada dirinya sendiri, hal-ihwalnya dan pergaulannya. Dia adalah seperti orang keheranan, yang menyelam dalam lautan “Diri yang Disaksikan” (‘Ainusy-syuhud), yang keadaannya menyerupai dengan keadaan para wanita yang memotong tangannya pada menyaksikan kecantikan Nabi Yusuf as. Sehingga mereka itu merasa dahsyat sekali dan hilang perasaan pancaindranya. Dari contoh keadaan ini, kaum shufi meibaratkan, bahwa ia telah fana’ (lenyap/hilang) dari dirinya sendiri. Manakala telah lenyap dari dirinya sendiri, maka lebih-lebih lagi lenyap dari orang lain. Seakan-akan ia telah fana’ dari tiap-tiap sesuatu, selain dari Yang Maha Esa yang disaksikannya (Al-wahidul-Masyhud). Dan juga ia telah fana’ dari Yang Disaksikan. Karena hati itu juga apabila berpaling kepada Yang Disaksikan dan kepada dirinya sendiri, sebagai yang menyaksikan, sesungguhnya ia telah lupa daripada Yang Disaksikan. Maka orang yang tenggelam dengan yang dilihatnya tak ada perhatiannya pada waktu tenggelamnya itu kepada penglihatannya. Dan kepada matanya, yang dengan matanya itu ia melihatnya. Dan kepada hatinya, yang dengan hatinya itu ia merasa lezat. Maka pemabuk tak ada berita baginya dari kemabukannya. Orang yang merasa kelezatan, tak ada berita baginya dari kelezatannya. Hanya beritanya dari benda yang dirasakan kelezatannya saja. Contohnya: pengetahuan mengenai sesuatu. Maka pengetahuan itu berlainan bagi pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu. Orang yang mengetahui sesuatu, manakala datang kepadanya pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu, niscaya adalah ia telah berpaling dari sesuatu itu. Contoh keadaan ini kadang-kadang datang pada diri makhluq. Dan datang juga pada hak Khaliq. Tetapi menurut biasanya, adalah keadaan itu seperti kilat yang menyambar, yang tidak tetap dan tidak kekal. Dan jikalaupun kekal, niscaya tidak disanggupi oleh kekuatan manusia ini. Kadang-kadang ia gementar di bawah berat tekanannya, gementar yang membinasakan dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abil-Hasan An-Nuri, bahwa ia menghadiri suatu majelis. Lalu mendengar pantun ini:
Senantiasalah aku menempati
suatu tempat dari kasih-sayangmu,
Amat heranlah hati
ketika menempatinya itu.
Lalu Abil-Hasan berdiri, mendapat kesan yang mendalam dan berjalan dengan tak tentu arah. Maka ia jatuh dalam rumpun bambu yang sudah dipotong. Dan pokok-pokoknya tinggal seperti pedang. Dia berjalan dalam rumpun bambu itu. Dan ia kembali ke rumah besok pagi. Darah keluar dari dua kakinya, sehingga bengkak dua tapak kakinya dan dua betisnya. Dan sesudah itu ia dapat hidup beberapa hari saja dan meninggal dunia. Kiranya Allah merahmatinya !. Inilah derajat orang-orang shiddiq pada pemahaman dan perasaan hati. Itulah derajat yang tertinggi. Karena mendengarkan segala hal-ihwal itu turun dari derajat kesempurnaan. Ia bercampur dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dan itu adalah semacam keteledoran. Dan sesungguhnya kesempurnaan (al-kamal), ialah: bahwa ia fana’ secara keseluruhan dari dirinya sendiri dan hal-ihwalnya. Ya’ni: ia lupa akan dirinya. Maka tidak tinggal lagi perhatian kepada dirinya itu, sebagaimana bagi para wanita, tiada lagi perhatian kepada tangannya dan pisau. Maka ia mendengar bagi Allah, dengan Allah, pada Allah dan dari Allah. Inilah martabat orang, yang masuk ke dalam lautan hakikat. Dan melintasi pantai hal-ihwal dan amal perbuatan. Bersatu dengan kebersihan tauhid dan meyakini dengan semata-mata ikhlas. Maka tidak sekali-kali tinggal padanya suatupun, kemanusiaannya telah padam secara keseluruhan. Dan terus fana’ perhatiannya kepada sifat-sifat kemanusiaannya. Tidaklah aku maksudkan dengan fana’nya itu fana’ tubuhnya. Akan tetapi fana’ hatinya. Dan tidaklah aku maksudkan dengan hati itu, daging dan darah. Akan tetapi rahasianya yang halus itu mempunyai bandingan yang tersembunyi kepada hati dzahir, yang di belakangnya rahasia ruh, dimana rahasia ruh itu termasuk urusan Allah ‘Azza Wa Jalla. Diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh yang tidak mengetahuinya. Rahasia (sirr) itu mempunyai wujud. Bentuk wujud itu ialah apa yang datang padanya. Apabila datang yang lain, maka seolah-olah tiada wujudnya, selain bagi yang datang itu. Contohnya, ialah cermin yang terang, karena tiada mempunyai warna pada dirinya. Bahkan warnanya ialah warna benda yang datang padanya. Demikian juga kaca, dimana kaca itu menerangkan warna barang yang tetap padanya. Dan warnanya ialah warna barang yang datang padanya. Ia tiada mempunyai bentuk pada dirinya. Tetapi bentuknya ialah menerima segala bentuk. Dan warnanya ialah: keadaan pesediaan menerima segala warna itu. Dan dilahirkan akan hakikat ini, ya’ni: rahasia hati, dibandingkan kepada yang datang padanya, oleh madah seorang penyair:
Haluslah kaca,
haluslah khamar.
Keduanya serupa,
hingga menjadi samar.
Seolah-olah khamar,
bukan kaca.
Seolah-olah kaca,
bukan khamar.....
Inilah maqam (derajat) diantara maqam-maqam ilmu-mukasyafah. Daripadanya jadilah khayalan (fantasi) orang yang menda’wakan hulul (bertempatnya Tuhan pada makhluq) dan ittihad (bersatunya Tuhan dengan makhluq). Dan mengatakan: Anal-haqq (Aku itu Haq. Haq salah satu dari nama Tuhan Yang Maha Suci. Artinya: Yang Besar). Dan sekitar perkataan itu, berdengunglah perkataan kaum Nasrani yang menda’wakan: kesatuan Tuhan dengan manusia. Atau berpakaian Tuhan dengan manusia. Atau bertempatnya Tuhan pada manusia. Menurut bermacam-macam perkataan yang dikatakan mereka. Itu adalah salah semata-mata ! menyerupai salahnya orang yang menetapkan kaca dengan rupa merah. Karena nyata pada kaca itu warna merah dari sebaliknya. Apabila ini tiada layak dengan ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan), maka marilah kita kembali kepada maksud ! dan telah kita sebutkan berlebih-kurangnya derajat (tingkat) pada memahami yang didengar.
Tingkat kedua: sesudah memahami dan menempatkan yang dipahami, itulah perasaan yang berkesan. Dan manusia mempunyai perkataan yang panjang tentang hakikatnya perasaan yang berkesan (al-wajd). Ya’ni: orang-orang shufi dan para ahli hikmat, yang memandang pada segi kesesuaian pendengaran bagi ruh. Maka marilah kami nukilkan beberapa perkataan dari ucapan mereka. Kemudian kami menyingkapkan tentang hakikat padanya. Adapun kaum shufi, maka Dzunnun Al-Masri ra telah berkata tentang pendengaran: Bahwa pendengaran itu yang mendatangkan kebenaran, yang datang mengejutkan hati kepada kebenaran. Maka orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian, dengan kebenaran, niscaya yaqinlah ia dengan penuh keyaqinan. Dan orang yang mendengarkannya dengan jiwa zindiq, maka seolah-olah ia menyeberang dari perasaan yang berkesan itu, dengan terkejutnya hati, kepada kebenaran. Yaitu yang diperolehnya ketika datangnya yang mendatangkan pendengaran. Karena pendengaran itu dinamakan: yang mendatangkan kebenaran. Abul-Husain Ad-Darraj berkata, sebagai menerangkan apa yang didapatinya pada pendengaran: “Al-wajd (perasaan yang diperoleh dari pendengaran), ialah: ibarat dari apa yang diperoleh ketika mendengar”. Abul-Husain berkata lagi: “Bergoncanglah pendengaran bagiku pada medan keagungan Allah. Lalu pendengaran itu mengadakan bagiku akan wujudnya Al-Haq ketika memberi. Lalu memberi minum akan aku dengan segelas suci bersih. Lalu aku memperoleh dengan demikian, tempat-tempat kerelaan. Dia mengeluarkan aku ke kebun-kebun tempat istirahat dan lapangan luas”. Asy-Syibli ra berkata: “Pendengaran itu, dzahirnya fitnah dan bathinnya menjadi ibarat. Barangsiapa mengetahui isyarat, niscaya bertempatlah padanya pendengaran ibarat. Jikalau tidak, maka terpanggillah fitnah dan mendatangkan bencana”. Setengah mereka berkata: “Pendengaran itu makanan ruh bagi ahli ma’rifah. Karena pendengaran itu suatu sifat yang tergedor dari amal-perbuatan lainnya. Diketahui dengan kehalusan tabiat karena halusnya. Dengan kemurnian rahasia karena kemurniannya dan kelemah-lembutannya pada ahlinya”. ‘Amr bin ‘Utsman Al-Makki berkata: “Tiadalah terjadi suatu ibarat di atas cara al-wajd (perasaan yang berkesan). Karena al-wajd itu rahasia (sirr) Allah pada hambaNya yang mu’min, yang berkeyakinan teguh”. Setengah mereka berkata: “Al-wajd itu terbuka (mukasyafah) dari Al-Haq”. Abu Sa’id bin Al-A’rabi berkata: “Al-wajd itu pengangkatan hijab, penyaksian yang mengintip (ar-raqib), kedatangan pemahaman, perhatian Yang Ghaib, percakapan dengan rahasia dan berjinakan hati dengan Yang Tiada Dijumpai (Al-Mafqud). Yaitu: fana’ engkau dimana saja engkau itu”. Abu Sa’id tadi berkata pula: “Al-wajd ialah: permulaan derajat khusus. Yaitu: pusaka pembenaran dengan Yang Ghaib. Manakala mereka telah merasainya dan cemerlang pada hatinya NurNya, niscaya hilanglah dari mereka, setiap sangkaan dan keraguan”. Beliau itu berkata pula: “Yang menghijabkan (mendindingkan) dari al-wajd, ialah melihat bekas-bekas jiwa dan kegantungannya dengan segala gantungan dan sebab-sebab. Karena jiwa itu terdinding dengan sebab-sebabnya. Apabila sebab-sebab itu terputus, ingatan bersih, hati jernih, halus dan murni, pengajaran membekas padanya, bertempat dari munajah pada tempat yang dekat, diajak berbicara dan dia mendengar ajakan itu dengan telinga yang nyaring, hati yang menyaksikan dan rahasia yang nyata, lalu ia menyaksikan apa yang ia kosong daripadanya, maka itulah yang dikatakan: al-wajd. Karena ia telah memperoleh apa yang tidak ada padanya”. Beliau itu berkata pula: “Al-wajd, ialah apa yang ada, ketika ingatan mengejutkan, atau takut yang menggoncangkan atau penghinaan atas tergelincir atau percakapan dengan kelemah-lembutan atau isyarat kepada suatu faedah atau rindu kepada yang ghaib atau sedih atas yang hilang atau penyesalan kepada yang lalu atau penarikan kepada sesuatu hal atau memanggil kepada kewajiban atau munajah dengan rahasia. Dan itu, adalah berhadapan dzahir dengan dzahir, bathin dengan bathin, ghaib dengan ghaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr), mengeluarkan apa yang kepunyaan engkau dengan apa yang menjadi kewajiban engkau, daripada apa yang telah lalu bagi engkau, mengusahakannya. Maka dituliskan yang demikian itu lagi engkau, sesudah adanya dari engkau. Maka tetaplah tapak kaki engkau, tanpa tapak kaki. Dan dzikir, tanpa dzikir. Karena adalah Dia yang memulai dengan segala ni’mat dan yang memerintahkannya. KepadaNyalah kembali persoalan seluruhnya”. Itulah dzahiriah ilmu al-wajd. Perkataan-perkataan kaum shufi, adalah banyak dari jenis ini tentang al-wajd itu. Adapun kaum hukama’ (ahli hikmat), setengah mereka berkata: “Dalam hati ada keutamaan yang mulia, yang tidak sanggup kekuatan berkata-kata, mengeluarkannya dengan perkataan. Lalu dikeluarkan oleh jiwa dengan alunan suara (nyanyian). Manakala nyanyian itu timbul, lalu disukai dan disenangi kepadanya. Maka dengarkanlah dari jiwa ! bermunajahlah (berbisik-bisik) dengan jiwa ! dan tinggalkanlah munajah dzahiriah !”. Setengah mereka berkata: “Natijah mendengar ialah membangkitkan pendapat yang lemah. Menarik pikiran yang hilang. Dan menajamkan paham dan pendapat yang tumpul. Sehingga kembalilah barang yang hilang. Bangkitlah barang yang lemah. Bersihlah barang yang keruh. Dan bergembiralah pada semua pendapat dan niat. Lalu ia benar dan tidak salah. Dan ia datang dan tidak terlambat”. Yang lain berkata: “Sebagaimana pikiran mengetuk pengetahuan kepada yang diketahui, maka pendengaran itu mengetuk hati kepada alam ruhani”. Setengah mereka menjawab, dimana ia ditanyakan tentang apa sebabnya bergerak anggota badan secara tabiat atas bunyinya lagu dan pengaruhnya suara, lalu menjawab: “Yang demikian itu keasyikan akal. Orang yang asyik akalnya tidak memerlukan kepada berbicara dengan yang diasyikannya (dirindukannya) dengan alat pembicaraan kebendaan. Tetapi ia berbicara dan berbisik-bisik, dengan senyuman, perhatian, gerakan yang halus dengan bulu kening, pelupuk mata dan isyarat. Dan ini semua, adalah pembicaraan-pembicaraan. Hanya sifatnya itu, ruhaniah. Adapun orang yang asyik kehewanan, maka ia memakai alat tutur yang bertubuh, untuk mengibaratkan dengan demikian, akan buah dzahiriah kerinduannya yang lemah dan keasyikannya yang hina”. Yang lain berkata: “Orang yang susah hati, hendaklah mendengar nyanyian ! karena jiwa apabila dimasuki oleh kesusahan, niscaya suramlah cahayanya. Dan apabila gembira, niscaya cemerlanglah cahayanya dan lahirlah kegembiraannya. Maka lahirlah kerinduan, dengan qadar penerimaan yang menerima. Yang demikian itu, dengan qadar bersih dan sucinya daripada penipuan dan pengotoran”. Ucapan-ucapan yang tetap dari ulama-ulama tentang pendengaran dan perasaan yang berkesan dari pendengaran itu (al-wajd) adalah banyak. Dan tiada arti memperbanyakkan mendatangkannya di sini. Maka marilah kita meneruskan pemahaman maksud dari perkataan al-wajd itu !. Kami menerangkan bahwa: al-wajd, ialah ibarat dari keadaan yang dihasilkan oleh pendengaran. Dan dia itu yang mendatangkan kebenaran baru, sesudah pendengaran, yang diperoleh oleh si pendengar dari dirinya. Dan keadaan itu tiada terlepas daripada dua bahagian. Yaitu: adakalanya, bahwa ia kembali kepada mukasyafah dan musyahadah. Yaitu: dari segi pengetahuan dan peringatan. Dan adakalanya ia kembali kepada perobahan-perobahan dan hal0ihwal yang tidak termasuk pengetahuan. Bahkan dia itu, seperti: kerinduan, ketakutan, kesedihan, kebimbangan, kegembiraan, kegundahan, penyesalan, kelapangan dan kesempitan hati. Segala hal-ihwal tersebut digerakkan oleh pendengaran dan dikuatkannya. Jikalau lemahm dimana tidak membekaskan pada menggerakkan dzahir atau mendiamkannya atau mengobahkan halnya, sehingga ia bergerak berlainan dari kebiasaannya atau menundukkan kepala atau diam dari melihat, berbicara dan bergerak dengan berlainan dari kebiasaannya, niscaya tidak dinamakan: al-wajd. Dan jikalau tampak diatas dzahiriah, maka dinamakan: al-wajd. Adakalanya lemah dan adakalanya kuat menurut dzahirnya, perobahannya bagi dzahiriah dan penggerakkannya menurut kuat datangnnya dan penjagaan dzahiriah dari perobahan, menurut kuatnya orang yang berperasaan itu dan kemampuannya membatasi anggota tubuhnya. Kadang-kadang al-wajd itu kuat pada bathin. Dan dzahir tidak berobah karena kuatnya yang mempunyai al-wajd itu. Kadang-kadang tiada tampak, karena lemahnya yang datang, oendeknya dari yang menggerakkan dan terbukanya ikatan yang berpegangan satu dengan lainnya. Kepada pengertian pertama itu diisyaratkan oleh Abu Sa’id Al-A’rabi, dimana beliau berkata tentang al-wajd: “Bahwa al-wajd itu musyahadah bagi yang mengintip (Ar-Raqib), kehadiran pemahaman dan pemerhatian yang Ghaib”. Tiada jauhlah, bahwa pendengaran itu adalah sebab untuk membuka sesuatu yang tiada terbuka sebelumnya. Terbukanya (al-kasyaf) itu, berhasil dengan beberapa sebab:
Diantaranya: peringatan (at-tanbih). Dan pendengaran itu memperingatkan.
Diantaranya: berobah hal keadaan, menyaksikan dan mengetahuinya. Karena mengetahuinya itu semacam pengetahuan, yang mendatangkan faedah penjelasan hal-hal, yang tidak diketahui sebelum datangnya.
Diantaranya: kebersihan hati. Dan pendengaran itu membekas pada pembersihan hati. Dan kebersihan itu menyebabkan terbuka (al-kasyaf).
Diantaranya: membangkitkan kerajinan hati dengan kekuatan pendengaran. Maka ia kuat untuk menyaksikan tentang apa yang kurang kekuatannya sebelum itu. Sebagaimana kuatnya keledai membawa apa yang ia tidak kuat sebelumnya. Amalan hati ialah menerima al-kasyaf dan memperhatikan segala rahasia alam malakut. Sebagaimana pekerjaan keledai membawa pikulan-pikulan yang berat-berat. Maka dengan perantaraan sebab-sebab ini, ia menjadi sebab al-kasyaf. Bahkan hati itu apabila telah bersih, kadang-kadang Al-Haq membentuk baginya dalam bentuk musyahadah. Atau dalam kata-kata yang teratur yang mengetuk pendengarannya, yang diibaratkan dengan: suara al-haatif (terdengar suaranya dan tiada terlihat orangnya), apabila ia berada dalam keadaan tidak tidur. Dan dengan mimpi, apabila ia berada dalam keadaan tidur. Dan itu adalah sebagian daripada 46 bagian dari nubuwwah (kenabian). Pengetahuan pembuktian yang demikian itu, diluar dari ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Yang demikian sebagaimana diriwayatkan dari Muhammad bin Masruq Al-Baghdadi, dimana beliau berkata: “Pada suatu malam aku keluar di hari-hari aku masih muda remaja dan aku sedang mabuk minum khamar. Dan aku menyanyikan nyanyian ini:
Di Torsina ada kebun penuh kayu-kayuan,
aku tiada pernah lalu di situ.
Tetapi aku heran,
orang yang meminum airnya itu.
Lalu aku mendengar suara yang tiada kelihatan orangnya, menyanyikan:
Dalam neraka jahannam ada air,
tiada seorangpun yang meminumnya,
lalu bisa tinggal sesudah itu,
perut panjang dalam rongga tubuhnya.
Muhammad bin Masruq tadi menerangkan: “Itulah yang menjadi sebab taubatku dan seluruh perhatianku kepada ilmu dan ibadah”. Perhatikanlah, bagaimana membekasnya nyanyian pada membersihkan hati Muhammad bin Masruq. Sehingga mengumpamakan hakikat kebenaran baginya, tentang sifat neraka jahannam, dalam kata-kata yang dipahami dan bertimbangan. Dan yang demikian itu mengetuk pendengaran dzahiriahnya. Diriwayatkan dari Muslim Al-‘Abadani, bahwa beliau menerangkan: “Pada suatu kali, telah datang kepadaku Shalih Al-Marri, ‘Atabah AL-Ghallam, Abdul-Wahid bin Zaid dan Muslim Al-Aswari. Mereka itu semuanya bertempat di tepi pantai ‘Abadan. Muslim Al-‘Abadani meneruskan ceritanya”. Maka pada suatu malam, aku menyediakan makanan untuk mereka. Lalu aku mengundang mereka makan. Merekapun datang. Tatkala aku meletakkan makanan dihadapan mereka, tiba-tiba salah seorang menyanyikan dengan suara tinggi nyanyian ini:
Engkau dilalaikan dari negeri yang berkekalan,
oleh bermacam-macam makanan,
Kelezatan jiwa disesatkan,
oleh yang tiada mempunyai kemanfaatan.
Muslim Al-‘Abadani menerangkan seterusnya: “Maka ‘Atabah Al-Ghallam memekik dengan suara keras. Ia jatuh pingsan. Dan orang banyak tinggal disitu. Aku lalu mengangkat makanan itu. Dan demi Allah, mereka tiada merasakan sesuap-pun daripadanya”. Sebagaimana terdengar suara al-haatif ketika hati bersih, maka terlihat juga dengan mata, rupa Nabi Khidr as. Dia merupakan dirinya bagi segala orang yang berhati bersih, dengan bermacam-macam bentuk. Dan pada contoh keadaan yang seperti ini, para malaikat merupakan dirinya bagi nabi-nabi as. Adakalanya di atas hakikat bentuknya. Dan adakalanya di atas contoh yang meniru sebahagian bentuknya. Rasulullah saw melihat Jibril as dua kali dalam bentuknya. Dan Nabi saw menerangkan bahwa Jibril as itu menutupkan tepi langit. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dia diberi pelajaran oleh yang sangat kuat. Yang mempunyai kepintaran. Dan dia cukup sempurna. Sedang dia dibagian yang tinggi dari tepi langit”. S 53 An Najm ayat 5-6-7....sampai akhir ayat-ayat tersebut. Pada bersihnya hati seperti hal-hal ini, terjadilah penglihatan kepada yang tersembunyi bagi hati. Kadang-kadang diibaratkan dari penglihatan itu: mencari firasat (at-tafarrus). Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Takutilah akan firasat orang mu’min. Karena orang mu’min itu melihat dengan nur Allah”. Diceritakan, bahwa seorang laki-laki beragama majusi (penyembah api) mendatangi orang Islam dan menanyakan: “Apakah artinya sabda Nabi saw: “Takutilah akan firasat orang mu’min”. Lalu diterangkan kepada orang majusi itu, tafsir hadits itu. Tetapi tiada memuaskan hatinya penjawaban itu. Sehingga sampailah orang majusi itu kepada sebahagian syaikh shufi. Maka iapun menanyakan kepada syaikh shufi itu. Syaikh shufi itu mengatakan kepadanya: “Maksud hadits itu ialah: bahwa engkau potong benang kekufuran yang terikat pada pinggang engkau, dibawah kain engkau”. Lalu majusi itu menjawab: “Benar engkau ! inilah artinya”. Dan orang majusi itupun terus memeluk agama Islam. Dan berlata: “Sekarang aku tahu, bahwa engkau mu’min dan keimanan engkau itu benar”. Dan sebagaimana diceritakan dari Ibrahim Al-Khawwash, yang menceritakan: “Aku berada di Baghdad dalam rombongan orang-orang fakir dalam masjid jami’. Lalu seorang pemuda yang harum baunya dan cantik wajahnya datang ke depan. Maka aku berkata kepada teman-temanku: “Menurut dugaanku, bahwa pemuda itu orang Yahudi”. Lalu semua mereka benci kepada pemuda itu. Maka akupun keluar dan pemuda itupun keluar. Kemudian ia kembali kepada orang banyak itu dan bertanya: “Apakah kata Syaikh itu terhadap aku ?”. Mereka itu tidak mau menjawab. Lalu ia mendesak orang banyak itu. Maka mereka itu berkata kepadanya: “Syaikh mengatakan, engkau orang Yahudi”. Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceritanya: “Lalu pemuda itu datang kepadaku, mencium kedua tanganku, memeluk kepalaku dan memeluk Islam seraya berkata: ‘Kami dapati dalam kitab-kitab kami, bahwa orang shiddiq itu tidak salah firasatnya. Lalu aku berkata pada diriku, aku uji kaum muslimin. Lalu aku perhatikan tingkah laku mereka. Maka aku berkata, jikalau ada orang shiddiq pada mereka, maka dalam golongan inilah. Karena mereka itu mengatakan haditsnya yang maha suci dan membacakan kalamNya. Maka ragulah aku di atas mereka itu. Maka tatkala Syaikh itu melihat kepadaku dan mengambil firasat terhadap diriku, maka tahulah aku, bahwa syaikh itu orang shiddiq”. Ibrahim Al-Khawwash meneruskaan ceritanya: “Demi jadilah pemuda itu termasuk orang shufi besar”. Dan kepada contoh al-kasyaf inilah, isyaratnya sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam, niscaya mereka itu memandang kepada alam malakut yang tinggi”. Sesungguhnya setan-setan itu mengelilingi hati, apabila hati itu, dipenuhi dengan sifat-sifat tercela. Sesungguhnya sifat-sifat tercela itu, tempat gembalaan setan dan tentaranya. Orang yang membersihkan hatinya dari sifat-sifat itu dan memurnikannya, niscaya setan tidak berkeliling di keliling hatinya. Dan kepada inilah isyarat firman Allah Ta’ala: “Selain dari hamba Engkau yang suci diantara mereka”. S 15 Al Hijr ayat 40. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, tiadalah engkau berkuasa atas mereka”. S 15 Al Hijr ayat 42. Pendengaran itu sebab bagi kebersihan hati. Yaitu jalan bagi kebenaran dengan perantaraan kebersihan itu. Diatas inilah, ditunjukkan oleh apa yang dirawikan, bahwa Dzun-nun Al-Misri ra masuk ke Baghdad. Maka berkumpullah padanya suatu golongan dari kaum shufi dan bersama mereka seorang penyanyi. Lalu mereka itu meminta keizinan Dzun-nun, supaya penyair tadi bernyanyi sesuatu untuk mereka. Dzun-nun mengizinkan mereka untuk yang demikian itu. Lalu penyanyi tadi bernyanyi:
Kecil hawa nafsumu,
telah menyiksakan aku.
Maka betapa lagi,
apabila bertambah kuatnya nanti ?.
Engkau kumpulkan dalam hatiku,
hawa nafsu itu.
Sesungguhnya ia dahulu,
telah bersatu.
Tidakkah engkau meratapi,
kepada orang yang berduka-cita ?.
Apabila tertawa orang yang bersenang hati,
lalu ia menangis saja.
Lalu Dzun-nun berdiri dan jatuh tersungkur. Kemudian berdiri orang lain, seraya berkata: “Dzun-nun yang melihat engkau, ketika engkau bangun berdiri”. Lalu orang itu duduk kembali. Yang demikian itu adalah penglihatan dari Dzun-nun kepada hatinya, bahwa orang itu memberatkan diri, berperasaan yang berkesan itu. Maka Dzun-nun memperkenalkan kepadanya, bahwa orang yang dilihatnya ketika bangun berdiri itu, ialah musuh, dallam berdirinyya itu bukan karena Allah Ta’ala. Jikalau orang itu benar, niscaya ia tidak duduk. Jadi, sesungguhnya hasil al-wajd itu kembali kepada: mukasyafah dan kepada: hal-hal keadaan. Dan ketahuilah bahwa masing-masing dari keduanya itu terbagi kepada: yang mungkin dita’birkan (diambiil ibarat) ketika sembuh daripadanya. Dan kepada: yang tidak mungkin sekali-kali diambil ibarat daripadanya. Mudah-mudahan engkau dapat menjauhkan hal-keadaan atau pengetahuan yang tiada engkau ketahui akan hakikatnya. Dan tidak mungkin menta’birkan akan hakikatnya. Maka janganlah engkau menjauhkan yang demikian. Sesungguhnya engkau akan mendapati dalam hal-keadaan engkau yang dekat beberapa kesaksian untuk yang demikian. Adapun pengetahuan, maka banyaklah ahli-fiqh (faqih), yang dikemukakan kepadanya dia persoalan yang serupa dalam bentuk. Dan diketahui oleh faqih itu dengan perasaannya (dzauq), bahwa diantara dia persoalan itu terdapat perbedaan dalam hukum. Dan apabila diberati untuk menyebutkan segi perbedaan, niscaya lidah tidak menolongnya untuk mengatakannya, walaupun faqih tersebut termasuk orang yang paling lancar berbicara. Maka diketahuinya perbedaan itu dengan perasaannya (dzauq) dan tidak mungkin diucapkannya. Dan pengetahuannya alan perbedaan itu, ialah pengetahuan yang diperolehnya dalam hatinya dengan dzauq. Dan ia tidak ragu bahwa mengenai jatuhnya dalam hatinya itu mempunyai sebab. Dan sebab itu mempunyai hakikat pada sisi Allah Ta’ala. Dan tidak mungkin ia menerangkan dari hal sebab itu, bukan karena singkat pada lisannya. Akan tetapi karena halusnya arti pada dirinya, daripada dapat dicapai oleh kata-kata. Dan ini sesungguhnya termasuk diantara yang dapat dipahami dengan mendalam, oleh orang-orang yang rajin memperhatikan hal-hal yang sulit. Adapun hal-keadaan, maka berapa banyak manusia yang mendapat dalam hatinya akan hal-keadaan, pada waktu ia berada dalam keadaan sempit atau lapang. Dan ia tiada mengetahui sebabnya. Kadang-kadang manusia itu, berpikir tentang sesuatu. Lalu membekas pada jiwanya sesuatu bekas. Maka ia lupa akan sebab itu. Dan tinggallah bekas itu pada jiwanya dan ia merasakan dengan bekas itu. Kadang-kadang hal-keadaan yang dirasakannya itu suatu kegembiraan yang tetap pada jiwanya, disebabkan pemikirannya pada suatu sebab yang mengharuskan kegembiraan. Atau suatu kesedihan. Lalu yang berpikir itu lupa padanya. Dan ia merasakan bekas sesudahnya. Kadang-kadang hal-keadaan itu suatu hal-keadaan yang ganjil, yang tidak dapat dilahirkan dengan kata-kata: kegembiraan atau kesedihan. Dan tidak dijumpai baginya kata-kata yang sesuai, yang menjelaskan maksudnya. Akan tetapi hanya perasaan pantun yang bertimbangan. Perbedaan antara pantun yang bertimbangan dan pantun yang tidak bertimbangan itu, tertentu mengetahuinya bagi sebagian manusia. Tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Yaitu: keadaan yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai dzauq (perasaan), dimana ia tidak ragu padanya. Ya’ni: perbedaan antara yang bertimbangan dan yang tidak teratur timbangan suaranya. Maka tidaklah mungkin memperkatakan perbedaan itu dengan sesuatu yang jelas maksudnya, bagi orang yang tidak mempunyai dzauq (perasaan). Dan dalam jiwa itu ada hal-hal yang ganjil, yang ini sifatnya. Bahkan, pengertian-pengertian yang dikenal dari hal ketakutan, kesedihan dan kegembiraan, sesungguhnya berhasil pada pendengaran dari nyanyian yang dipahami. Adapun rebab dan bunyi-bunyian lainnya yang tidak dipahami, maka sesungguhnya memberi bekas pada jiwa yang mena’jubkan. Dan tidak mungkin melahirkan dengan kata-kata dari keajaiban bekas-bekas itu. Kadang-kadang dikatakan dari hal tadi dengan kata-kata: kerinduan. Tetapi kerinduannya itu tiada diketahui oleh yang mempunyainya, akan yang dirinduinya. Itulah suatu keajaiban !. Orang yang menggeletar hatinya dengan mendengar rebab atau serunai atau yang menyerupainya, tidaklah ia mengetahui kepada apa kerinduannya itu. Ia memperolleh pada dirinya suatu keadaan, seakan-akan menuntut sesuatu, yang tiada diketahuinya apakah sesuatu itu. Sehingga terjadilah yang demikian bagi orang awam dan orang yang tiada keras pada hatinya, baik kecintaan kepada sesama anak Adam atau kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dan ini mempunyai rahasia. Yaitu: bahwa tiap-tiap kerinduan mempunyai dua rukun (dua sendi):
Pertama: sifat yang merindui. Yaitu semacam penyesuaian serta yang dirindui.
Kedua: mengenal yang dirindui dan mengenal caranya sampai kepada yang dirindui.
Jikalau diperoleh sifat yang menjadi kerinduan dan diperoleh pengetahuan akan bentuk yang dirindui itu, niscaya persoalannya jelas. Dan jikalau tidak diperoleh pengetahuan untuk mengetahui yang dirindui dan diperoleh sifat yang merindukan dan sifat itu menggerakkan hati engkau dan menyalakan apinya, niscaya tidak mustahil, yang demikian itu mewariskan kedahsyatan dan keheranan. Jikalau terjadilah seorang anak Adam itu sendirian, dimana ia tidak melihat rupa wanita dan tidak mengenal bentuk bersetubuh, kemudian ia menghadapi kedewasaan dan nafsu syahwat melandainya, niscaya ia merasakan dari dirinya, api nafsu syahwat. Akan tetapi, ia tidak mengetahui, bahwa ia rindu kepada bersetubuh. Karena ia tidak mengetahui, bentuk bersetubuh itu. Dan tidak mengenal bentuk wanita. Maka seperti itu pula, pada diri anak Adam terdapat kesesuaian serta alam tinggi dan kelezatan yang dijanjikan pada Sidratul-Muntaha dan Firdaus Tinggi. Hanya ia tidak dapat mengkhayalkan segala hal ini, kecuali sifat dan namanya. Seperti ia mendengar kata-kata: bersetubuh dan nama wanita. Dan ia tidak pernah sekali-kali melihat rupa perempuan, rupa laki-laki dan rupa dirinya sendiri pada cermin, supaya dikenalnya dengan memperbandingkan. Maka pendengaran itu menggerakkan kerinduan daripadanya. Dan kebodohan yang bersangatan dan kesibukan dengan duniawi dapat melupakannya akan dirinya. Melupakannya akan Tuhannya. Dan melupakannya akan tempat kediamannya, yang dirindui dan dicintainya secara naluri. Maka hatinya ingin menetapkan sesuatu yang tiada diketahuinya, apakah sesuatu itu ? lalu ia tercengang, heran dan bergoncang pikirannya. Dan adalah ia seperti orang yang tercekek leher, yang tiada mengetahui jalan kelepasan daripadanya. Maka inilah ddan hal-hal yang serupa dengan ini, yang tiada diketahui kesempurnaan hakikatnya. Dan tiada mungkin orang yang bersifat dengan hal-hal tersebut, bahwa menjelaskannya. Sesungguhnya telah jelaslah pembagian al-wajd itu kepada: yang mungkin melahirkannya dan kepada: yang tiada mungkin melahirkannya. Dan ketahuilah pula bahwa al-wajd itu terbagi kepada: hajim (al-wajd itu datang menyerbu, tanpa dengan rasa berat) dan mutakallif dan dinamakan: at-tawajud (al-wajd itu datang dengan rasa berat). At-tawajud yang dengan rasa berat itu, maka sebahagian daripadanya tercela. Yaitu yang dimaksudkan dengan demikian itu, ria dan melahirkkan hal-hal yang mulia serta kosong dari sifat-sifat yang mulia itu. Dan sebahagian daripadanya terpuji. Yaitu: yang menyampaikan kepada terbawanya hal-hal yang mulia, terusaha dan tertariknya dengan daya-upaya. Sesungguhnya usaha itu mempunyai tempat masuk (madkhal) pada menarikkan hal-hal yang mulia. Dan karena itulah, Rasulullah saw menyuruh orang yang tidak datang tangisnya pada waktu membaca Alquran, supaya membuat tangis dan membuat gundah hati. Sesungguhnya segala hal-ihwal ini kadang-kadang terasa berat pada permulaannya. Kemudian menjadi hakikat kenyataan pada akhirnya. Bagaimanakah at-takalluf itu tidak menjadi sebab untuk menjadikan yang diberati itu sebagai tabiat pada akhirnya ? tiap-tiap orang yang mempelajari Alquran, mula-mula menghapalkannya dengan rasa berat. Dan membacakannya dengan rasa berat serta sempurnanya perhatian dan kesungguhan hati. Kemudian yang demikian itu menjadi kebiasaan bagi lidah yang mudah saja datangnya. Sehingga berjalanlah lidahnya dalam shalat dan lainnya, sedang ia dalam keadaan lengah. Maka dibacanya surat Alquran seluruhnya dan dirinya kembali kepadanya sesudah selesainya pembacaan itu sampai kepada penghabisannya. Ia mengetahui bahwa ia membacanya itu dalam keadaan ia sedang lengah. Demikian pula penulis yang menulis pada mulanya, dengan tenaga yang berat. Kemudian tangannya terlatih menulis. Lalu jadilah menulis itu suatu tabiat baginya. Ia menulis beberapa banyak lembar kertas, sedang hatinya tenggelam dengan pikiran lain. Maka semua sifat yang dibawa oleh jiwa dan anggota badan, tiada  jalan memperolehnya, kecuali pada mulanya dengan rasa berat dan dibuat-buat. Kemudian dengan dibiasakan, lalu menjadi tabiat. Dan itulah yang dimaksudkan oleh perkataan setengah mereka: “Adat kebiasaan itu tabiat yang kelima”. Seperti itu pulalah hal-ihwal yang mulia. Tiada seyogyalah bahwa menjadi berputus-asa daripadanya, ketika tidak adanya. Tetapi seyogyalah, bahwa memaksakan diri menariknya dengan pendengaran dan lainnya. Sesungguhnya dipersaksikan pada adat kebiasaan orang yang ingin merindukan seseorang dan belum ia merinduinya. Lalu senantiasalah ia mengulang-ulangi mengingatinya pada hatinya. Terus-menerus berkekalan memandang kepadanya. Dan menetapkan pada dirinya akan sifat-sifat yang disukai dan budi pekerti yang terpuji pada orang itu. Sehingga ia merinduinya. Dan melekatlah yang demikian pada hatinya, dalam keadaan sudah di luar dari batas usahanya. Lalu kemudian, ia ingin melepaskan diri dari orang itu. Maka tidak dapat terlepas lagi. Maka seperti itu, jugalah mencintai Allah Ta’ala. Rindu menjumpaiNya. Takut dari kemarahanNya. Dan yang lain-lain dari hal-hal yang mulia. Apabila tiada dipunyai oleh seorang insan, maka seyogyalah memaksakan dirinya menarik sifat-sifat itu, dengan duduk-duduk bersama orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut. Menyaksikan hal-ihwal mereka. Dan memandang baik sifat-sifat mereka pada diri sendiri. Dan dengan duduk bersama mereka itu pada mendengar segala ucapannya dan dengan doa dan merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia menganugerahkan kepadanya hal tersebut dengan memudahkan baginya segala sebabnya. Diantara sebab-sebabnya, ialah: mendengar dan duduk bersama orang-orang shalih, orang-orang yang takut kepada Tuhan, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang rindu dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala. Orang yang suka duduk-duduk dengan seseorang, niscaya berjalanlah kepadanya sifat-sifat orang itu, tanpa diketahuinya. Dan ditunjukkan kepada mungkinnya memperoleh kecintaan dan hal-hal lainnya dengan sebab-sebab itu, oleh sabda Rasulullah saw dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai orang yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau !”. Rasulullah saw telah bergundah hati kepada berdoa dalam mencari kecintaan itu. Maka inilah penjelasan pembahagian al-wajd kepada: mukasyafah dan hal-hal keadaan. Dan pembahagiannya kepada: yang mungkin menjelaskannya dan kepada: yang tidak mungkin. Dan pembahagiannya kepada: al-mutakallaf dan kepada: yang telah menjadi tabiat (al-mathbu’). Jikalau engkau bertanya: apa halnnya mereka yang tidak lahir al-wajdnya ketika mendengar Alquran. Yaitu: kalam Allah. Dan al-wajd itu lahir ketika mendengar nyanyian. Dan itu adalah perkataan penyair-penyair. Jikalau yang demikian itu benar dari kasih-sayangnya Allah Ta’ala dan tidak batil dari tipuan setan, niscaya sesungguhnya Alquran itu adalah lebih utama dari nyanyian. Kami jawab, bahwa al-wajd yang benar, ialah yang terjadi dari bersangatannya mencintai Allah Ta’ala, benar maksudnya dan rindu menjumpaiNya. Dan yang demikian itu bergoncang juga dengan mendengar Alquran. Dan yang tidak bergoncang dengan mendengar Alquran, ialah yang mencintai makhluq dan rindu kepadanya. Yang demikian itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Dan firman Allah Ta’ala: “Allah telah menurunkan pemberitaan yang sebaik-baiknya, yaitu Kitab (Alquran), isinya serupa dan berulang-ulang. Seram kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan karenanya, kemudian itu lembut kulit dan hati mereka untuk mengingati Allah”. S 39 Az Zumar ayat 23. Semua yang didapati pada jiwa sesudah mendengar, disebabkan pendengaran, itulah al-wajd. Ketentraman dan kegoncangan hati, ketakutan dan kelembutan hati, semuanya itu al-wajd. Allah Ta’ala berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah hatinya penuh ketakutan”. S 8 Al Anfaal ayat 2. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Kalau Alquran itu Kami turunkan kepada sebuah gunung, sudah tentu engkau akan melihat gunung itu tunduk dan belah karena takutnya kepada Allah”. S 59 Al Hasyr ayat 21. Takut dan khusyu’ itu adaalah al-wajd dari pihak hal-keadaan. Walaupun bukan dari pihak mukasyafah. Tetapi kadang-kadang, ia menjadi sebab bagi mukasyafah dan peringatan. Dan karena inilah Nabi saw bersabda: “Hiasilah Alquran itu dengan suaramu !”. Nabi saw telah bersabda kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Sesungguhnyya telah diberikan kepadanya salah satu daripada seruling keluarga Nabi Daud as”. Cerita-cerita yang menunjukkan, bahwa orang-orang yang mempunyai hati suci itu, banyak yang lahir al-wajd kepada mereka ketika mendengar Alquran. Sabda Nabi saw: “Berubannya aku ialah karena surat Hud dan surat-surat lain yang serupa dengan surat Hud”, adalah menerangkan tentang al-wajd itu. Karena ubanan itu terjadi dari kesedihan dan ketakutan. Dan itulah al-wajd. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra membaca dihadapan Rasulullah saw surat An-Nisa’. Maka tatkala sampai kepada firman Allah Ta’ala: “Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini ?”. S 4 An Nisaa’ ayat 41 –lalu Nabi saw bersabda: “Cukup !”, dan kedua matanya bercucuran air mata. Pada suatu riwayat Nabi saw membaca ayat ini atau dibacakan orang di sisinya: “Sesungguhnya di sisi Kami ada rantai yang berat dan api neraka. Dan makanan yang mencekikkan dan siksa yang pedih”. S 73 Al Muzzammil ayat 12-13. Lalu beliau pingsan. Pada suatu riwayat Nabi saw membaca: “Kalau mereka Engkau siksa, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau”. S 5 Al Maaidah ayat 118. Lalu beliau menangis. Adalah Nabi saw apabila telah membaca ayat rahmat (ayat yang isinya tentang rahmat), lalu beliau berdoa dan bergembira. Kegembiraan itu ialah: al-wajd. Dan Allah Ta’ala memuji orang-orang yang mempunyai al-wajd (ahlul-wajd) disebabkan Alquran. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat air mata mereka bercucuran, disebabkan mereka mengenal kebenaran”. S 5 Al Maaidah ayat 83. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat dan dadanya berbunyi menggelegak seperti bunyi menggelegaknya periuk. Adapun yang dinukilkan dari hal al-wajd dari para sahabat ra dan tabi’in disebabkan Alquran, banyak sekali. Diantara mereka ada yang pingsan. Diantara mereka ada yang menangis. Diantara mereka ada yang jatuh tersungkur. Dan diantara mereka ada yang meninggal dunia pada tersungkurnya itu. Diriwayatkan bahwa Zararah bin Aufa dan dia termasuk golongan tabi’in, menjadi imam shalat orang banyak dengan penuh rasa malu. Lalu ia membaca ayat: “Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8, maka ia pingsan dan meninggal pada mihrabnya –kiranya Allah menurunkan rahmat kepadanya. ‘Umar ra mendengar seorang laki-laki membaca: “Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya”. S 52 Ath Thuur ayat 7-8, lalu beliau memekik-mekik dan jatuh tersungkur. Maka beliaupun dibawa pulang ke rumahnya. Dan terus sakit di rumahnya sebulan lamanya. Abu Jarir termasuk golongan tabi’in. Shalih Al-Marri membacakan beberapa ayat Alquran kepadanyaa dengan suaranya yang sangat merdu. Lalu Abu Jarir pingsan dan meninggal dunia. Imam Asy-Syafi’i ra mendengar pembaca Alquran membaca: “Inilah hari yang di kala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)”. S 77 Al Mursalaat ayat 35-36, lalu ia jatuh tersungkur. ‘Alli bin Al-Fudlail mendengar seorang pembaca Alquran membaca: “Di hari manusia berdiri dihadapan Tuhan semesta alam”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 6, lalu ia jatuh pingsan. Maka Al-Fudlail (ayahnya) berkata: “Allah mengucapkan terima kasih kepadamu, apa yang diketahuiNya daripadamu”. Begitupula dinukilkan dari segolongan mereka. Dan begitupula kaum shufi. Pada suatu malam bulan Ramadlan, Asy-Syibli berada di masjidnya. Ia mengerjakan shalat di belakang imamnya. Lalu imam itu membaca: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami hilangkan (ambil) apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau”. S 17 Al Israa’ ayat 86, maka Asy-Syibli berteriak-teriak, sehingga orang banyak menyangka bahwa Asy-Syibli telah terbang nyawanya, merah padam mukanya dan amat takut hatinya. Dia mengatakan seperti itu, menghadapkan kata-katanya kepada teman-temannya. Dan banyak kali mengulang-ulanginya yang demikian. Al-Junaid berkata: “Aku masuk ke tempat Sirri Al-Suqthi. Aku melihat dihadapannya seorang laki-laki yang telah jatuh pingsan”. Lalu Sirri berkata kepadaku: “Ini adalah orang yang telah mendengar suatu ayat dari Alquran, lalu jatuh pingsan”. Maka aku menjawab: “Bacalah kepadanya ayat itu lagi !”. Lalu dibacakan, maka iapun sembuh. Lalu Sirri bertanya: “Dari manakah sumbernyaa, maka engkau mengatakan ini ?”. Aku menjawab: “Aku melihat Nabi Ya’qub as buta matanya dari karena makhluq. Maka dengan makhluq pula ia dapat melihat kembali. Dan jikalau butanya dari karena Al-Haq, niscaya ia tidak dapat melihat dengan sebabnya makhluq”. Sirri memandang baik jawaban itu. Dan terhadap apa yang dikatakan oleh Al-Junaid tadi, ditunjukkan oleh pantun seorang penyair:
Segelas khamar aku minum
untuk kesenangan.
Dan segelas lagi aku minum
untuk pengobatan.
Setengah kaum shufi berkata: “Pada suatu malam aku membaca ayat ini: “Tiap-tiap yang bernyawa merasakan kematian”. S 3 Ali ‘Imran ayat 185. Aku ulang-ulangi membacakannya. Tiba-tiba seorang meneriakkan suaranya kepadaku: “Berapa kalikah engkau sudah mengulang-ulangi ayat itu ? engkau telah membunuh 4 jin, di mana mereka tidak pernah mengangkatkan kepalanya ke langit, semenjak mereka dijadikan”. Abu ‘Ali Al-Maghazili berkata kepada Asy-Syibli: “Kadang-kadang pendengaranku diketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah Ta’ala. Lalu menghelakan aku kepada berpaling dari dunia. Kemudian aku kembali kepada hal-keadaanku dan kepada manusia. Maka aku tiada kekal di atas yang demikian”. Asy-Syibli menjawab: “Apa yang mengetuk pendengaranmu dari Alquran, lalu menghelakan kamu kepadanya, adalah kasih-sayang dari Alquran kepadamu dan lemah-lembutnya Alquran kepadamu. Apabila ia mengembalikan kamu kepada dirimu sendiri, maka adalah kasih-sayangnya Alquran kepadamu. Sesungguhnya tiada yang lebih baik bagimu, selain daripada memohonkan daya dan upaya untuk menghadapkan diri kepadanya”. Seorang ahli tashawwuf mendengar seorang pembaca Alquran membaca: “Hai jiwa yang tenang tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat 27-28. Lalu meminta pembaca itu mengulanginya. Kemudian ahli tasawwuf tersebut berkata: “Berapa kali aku mengatakan kepada jiwa: ‘Kembalilah ! dan ia tidak kembali”. Ahli tasawwuf itu mendapat kesan yang mendalam (alwajd) dan memekik-mekik. Lalu nyawanya keluar. Bakr bin Ma’adz mendengar seorang pembaca Alquran membaca: “Peringatkanlah kepada mereka akan hari yang sudah dekat waktunya”. S 40 Al Mukmin ayat 18. Lalu badannya gemetar. Kemudian berteriak: “Kasihanilah orang yang telah Engkau memperingatinya dan tidak menghadap kepada Engkau –sesudah peringatan itu- dengan mentaati Engkau !”. Kemudian ia pingsan. Ibrahim bin Adham ra apabila mendengar seseorang membaca: “Ketika langit belah”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 1, lalu sendi-sendinya gemetar, sehingga badannya menjadi gempa. Dari Muhammad bin Shubaih, yang berkata: “Ada seorang laki-laki mandi di sungai Al-Furat. Maka lalulah seorang laki-laki di pinggir sungai itu membaca: “Bersisihlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berdosa !”. S 36 Yaa Siin ayat 59. Maka orang itu terus gemetar, sehingga tenggelam dalam sungai dan meninggal dunia. Tersebutlah, bahwa Salman Al-Farisi melihat seorang pemuda, membaca Alquran. Maka sampailah pada suatu ayat. Lalu gemetarlah kulit pemuda itu. Salman amat menyukai pemuda tersebut dan tiada diketahuinya kemana perginya. Lalu ia bertanya tentang pemuda itu. Ada yang menjawab, bahwa pemuda tersebut sakit. Lalu Salman datang menziarahinya. Tiba-tiba pemuda itu dalam keadaan mati. Maka pemuda itu berkata kepada Salman: “Wahai Bapak Abdullah ! adakah engkau melihat kegoncangan itu yang ada pada badanku ? sesungguhnya kegoncangan itu telah datang pada diriku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia menerangkan kepadaku, bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni segala dosaku dengan sebabnya”. Kesimpulannya, tidaklah terlepas orang yang mempunyai hati, dari al-wajd ketika mendengar Alquran. Jikalau Alquran itu tidak membekas sedikitpun padanya, maka dia “adalah sebagai orang yang memanggil apa-apa yang tidak bisa mendengar, hanya (mendengar) panggilan dan teriakan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, sebab itu mereka tidak mengerti”. Tetapi orang yang mempunyai hati itu, membekas padanya kata hikmat yang didengarnya. Ja’far Al-Khuldi menerangkan, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Khurasan masuk ke tempat AL-Junaid. Dan disisi Al-Junaid banyak orang. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Al-Junaid: “Kapankah sama pada hamba itu, antara yang memujikannya dan yang mencacikannya ?”. Lalu setengah dari syaikh-syaikh itu menjawab: “Apabila hamba itu masuk ke Al-Bimaristan dan diikat dengan dua ikatan”. Lalu Al-Junaid menjawab: “Tidaklah ini termasuk utusanmu !”. Kemudian Al-Junaid memandang laki-laki yang bertanya tadi, seraya berkata: “Apabila hamba itu meyakini bahwa dia itu makhluq”. Maka pingsanlah laki-laki yang bertanya itu dan meninggal dunia. Jikalau anda bertanya, bahwa kalau adalah mendengar Alquran itu memberi faedah kepada al-wajd, maka mengapakah mereka itu berkumpul untuk mendengar nyanyian dari orang-orang yang mengada-adakan, tidak daripada para pembaca Alquran ? seyogyalah hendaknya perhimpunan dan perasaan mereka yang mendalam itu pada halqah para pembaca Alquran (para qari’). Tidak dalam halqah para penyanyi. Dan seyogyalah dicari seorang qari’, tidak seorang yang mengada-adakan, pada tiap-tiap perhimpunan dalam semua undangan. Maka sesungguhnya, kalam Allah sudah pasti –adalah lebih utama dari nyanyian. Ketahuilah, bahwa nyanyian itu, lebih mengobarkan perasaan (al-wajd), dibandingkan dengan Alquran dari 7 segi:
Segi pertama: bahwa tidaklah sekalian ayat Alquran sesuai dengan perihal pendengar. Dan tidaklah patut untuk pemahaman dan penempatannya, kepada yang mengena bagi dirinya. Orang yang tertimpa ke atasnya kesedihan atau kerinduan atau penyesalan, maka dari manakah persesuaian perihalnya dengan firman Allah Ta’ala: “Allah telah menentukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. S 4 An Nisaa’ ayat 11. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih”. S 24 An Nur ayat 4. Begitupula sekalian ayat, yang padanya penjelasan hukum-hukum pusaka, talak, hukum pidana dan lainnya. Sesungguhnya penggerak bagi apa yang dalam hati, ialah apa yang bersesuaian dengan dia. Dan pantun-pantun itu disusun oleh para penyair untuk melahirkan perihal-ihwal hati. Maka tidaklah memerlukan pada memahami perihal hati itu, kepada bersusah-susah. Benar, orang yang dikuasai atas dirinya, oleh suatu keadaan yang mengeras, lagi memaksa, niscaya tidak tinggal lagi padanya suatu lapangan untuk lainnya. Sedang ia sadar dan mempunyai kecerdasan yang tembus, yang dapat meneliti segala pengertian yang jauh dari kata-katanya. Maka kadang-kadang keluarlah al-wajd (perasaannya yang mendalam) kepada tiap-tiap yang didengar. Seperti orang yang terguris dalam hatinya ketika menyebut firman Allah Ta’ala: “Allah telah menentukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu”. S 4 An Nisaa’ ayat 11, akan perihal mati yang memerlukan kepada wasiat. Dan tiap-tiap manusia –tidak boleh tidak –akan meninggalkan harta dan anaknya. Dan keduanya itu adalah kekasihnya dari dunia. Maka ditinggalkannya salah satu dari dua kekasih tadi (harta) untuk kekasih kedua (anak). dan ia sendiri meninggalkan kedua-duanya sekali. Maka keraslah ketakutan dan kegundahan pada dirinya. Atau ia mendengar sebutan nama Allah pada firman tadi, lalu ia merasa dahsyat dengan semata-mata penyebutan nama, dari apa yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atau terguris pada hatinya Rahmat Allah dan kasih-sayangNya kepada hamba-hambaNya, dengan penyusunan bahagian pusaka mereka oleh Allah Ta’ala sendiri. Ia (Allah) memandang kepada mereka, pada kehidupan dan kematian mereka. Lalu ia mengatakan: “Apabila Allah memandang kepada anak-anak kita sesudah mati kita, maka tidak syak wasangka lagi, bahwa Allah Ta’ala memandang kepada kita”. Maka berkobarlah padanya perihal harapan. Dan yang demikian itu mempusakakan baginya kegembiraan dan kesukaan. Atau terguris dalam hatinya dari firman Allah Ta’ala: “Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. S 4 An Nisaa’ ayat 11, akan kelebihan laki-laki, disebabkan dianya laki-laki, di atas perempuan. Dan kelebihan di akhirat untuk laki-laki itu, janganlah mereka dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli daripada mengingati (berdzikir) akan Allah. Dan orang yang dilalaikan oleh selain Allah Ta’ala daripada mengingati Allah Ta’ala, adalah ia sebenarnya sebagian dari perempuan. Tidak sebagian dari laki-laki. Maka ia takut terhijab (terdinding) atau terkemudian pada memperoleh ni’mat akhirat, sebagaimana terkemudiannya wanita pada harta dunia. Hal-hal yang seperti ini, kadang-kadang menggerakkan al-wajd. Tetapi bagi orang yang ada padanya dua sifat:
Pertama: suatu keadaan yang mengerasi, yang menenggelamkan dan yang memaksa.
Kedua: kecerdikan yang bersangatan, kesadaran yang menyampaikan, yang menyempurnakan peringatan segala hal-keadaan yang dekat kepada pengertian-pengertian yang jauh. Yang demikian termasuk hal yang sukar. Maka karena itulah, orang meminta bantuan kepada nyanyian, dimana kata-katanya bersesuaian dengan keadaan. Sehingga lekaslah berkobarnya. Diriwayatkan bahwa Abul-Husain An-Nuri berada bersama suatu kumpulan orang banyak, pada suatu undangan. Lalu berjalanlah diantara mereka pembicaraan suatu masalah ilmu. Dan Abul-Husain itu diam saja. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya dan berpantun dihadapan mereka itu:
Banyaklah burung merpati
bernyanyi pada waktu pagi.
Ia bersedih hati
lalu bernyanyi pada ranting yang tinggi.
Ia teringat akan kesayangannya,
pada masa yang lalu.
Ia menangis karena kesedihannya
lalu membangkitkan kesedihanku.
Maka tangisanku kadang-kadang
membawa dia tidak tertidur.
Dan tangisannya kadang-kadang
membawa aku tidak tertidur.
Kadang-kadang aku mengadu
Tetapi aku tidak dapat memberi pengertian kepadanya.
Kadang-kadang ia mengadu
tetapi kepadaku ia tidak dapat memberi pengertiannya.
Kecuali aku
mengenalinya dengan perasaan.
Dan ia juga mengenali aku
dengan perasaan........
Abul-Husain mengatakan, bahwa tiada seorangpun dari orang banyak itu yang tinggal, melainkan bangun berdiri dan memperoleh perasaan yang mendalam. Dan perasaan mendalam tersebut (al-wajd), tiada menghasilkan bagi mereka pengetahuan, yang telah dimasukinya tadi. Walaupun pengetahuan itu secara bersungguh-sungguh dan benar.
Segi kedua: bahwa Alquran itu dihafal oleh kebanyakan orang. Dan berulang-ulang pada pendengaran dan hati. Tiap kali didengar pada pertama kali, niscaya besar bekasnya pada hati. Dan pada kali kedua, bekasnya menjadi lemah. Dan pada kali ketiga, hampir-hampir bekas itu hilang. Jikalau ditugaskan orang yang mempunyai perasaan yang keras, untuk mendatangkan perasaannya yang mendalam (al-wajd) pada sekuntum syair terus-menerus, pada berkali-kali yang berdekatan waktunya, dalam sehari atau seminggu, niscaya tidak mungkinlah yang demikian. Dan kalau diganti dengan sekuntum syair yang lain, niscaya membarulah bekas pada hatinya. Walaupun syair yang baru ini melahirkan maksud yang sama. Akan tetapi adanya susunan dan kata-kata yang ganjil, dibandingkan dengan pertama itu, menggerakkan jiwa. Meskipun pengertiannya satu. Dan tidak adalah kesanggupan seorang qari’ untuk membaca Alquran yang ganjil (yang berlainan) pada setiap waktu dan undangan. Sesungguhnya Alquran itu terbatas, tidak mungkin menambahkannya. Dan semuanya dihafal yang berulang-ulang. Dan kepada yang telah kami sebutkan itu, diisyaratkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, dimana beliau melihat serombongan Arab desa datang ke Madinah. Maka mendengar Alquran dan mereka itu menangis. Maka Abu Bakar ra berkata: “Adalah kami seperti kamu. Tetapi hati kami telah kesat”. Janganlah anda menyangka bahwa hati Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berada lebih kesat dari hati orang-orang Arab desa itu dan hatinya berada lebih kosong daripada mencintai Allah Ta’ala dan mencintai KalamNya dibandingkan dengan hati mereka. Akan tetapi berulang-ulang ke atas hatinya itu, membawa kelemahan kepadanya dan sedikit membekasnya. Karena kejinakan yang diperolehnya dengan sebab banyak mendengarnya. Karena mustahil menurut adat-kebiasaan, bahwa seorang pendengar, yang mendengar suatu ayat yang belum didengarnya sebelumnya, lalu ia menangis. Kemudian terus-menerus ia menangis pada ayat itu sampai 20 tahun. Kemudian diulang-ulanginya ayat itu dan menangis. Tidaklah yang pertama itu berbeda dengan yang akhir, selain yang pertama itu ganjil dan baru. Dan tiap-tiap yang baru enak. Dan tiap-tiap yang datang menggoncangkan. Dan tiap-tiap yang disukai, lagi menjinakkan hati, menentang kegoncangan itu. Dan karena inilah, ‘Umar ra bercita-cita melarang manusia daripada membanyakkan thawaf. Beliau berkata: “Aku takut bahwa manusia mempermudah-mudahkan Rumah (Ka’bah) ini, artinya: mereka berjinak-jinakan hati dengan dia”. Orang yang baru datang untuk melakukan ibadah hajji, lalu melihat Rumah (Ka’bah) itu pada pertama kalinya, niscaya menangis dan pingsan. Kadang-kadang ia jatuh tersungkur, tatakala matanya memandang Ka’bah. Kadang-kadang dengan bermukimnya di Makkah barang sebulan, lalu tiada merasa bekasnya yang demikian itu pada jiwanya. Jadi penyanyi itu, sanggup menyanyikan beberapa kuntum syair yang ganjil pada setiap waktu. Dan qari’ itu tidak sanggup pada setiap waktu kepada suatu ayat yang ganjil.
Segi ketiga: bahwa irama perkataan dengan perasaan syair itu, memberi bekas pada jiwa. Maka tidaklah suara yang berirama yang bagus, seperti suara yang bagus yang tidak berirama. Sesungguhnya berirama yang bertimbangan hanya terdapat pada syair. Tidak pada ayat-ayat Alquran. Jikalau seorang penyanyi melakukan dengan merangkak-rangkak, pantun yang dinyanyikannya atau diubahnya nyanyian itu atau diselewengkannya dari batas jalannya pada nyanyian, niscaya bergoncanglah hati pendengar. Dan batal perasaan dan pendengarannya. Dan lari tabiatnya, karena tidak adanya kesesuaian. Dan apabila tabiat itu lari, niscaya bergoncanglah hati dan kacau. Jadi, timbangan suaralah yang memberi bekas. Maka karena demikian, baiklah syair.
Segi keempat: bahwa syair yang bertimbangan suara, berlainan pengaruhnya (bekasnya) pada jiwa, dengan nyanyian-nyanyian yang dinamakan: thuraq (jalan suara yang tidak menurut semestinya) dan dastanat (lagu yang tiada teratur). Sesungguhnya berlainan jalan suara itu, ialah dengan memanjangkan yang pendek, memendekkan yang panjang. Berhenti di tengah kata-kata memotong dan menyambung pada sebahagiannya. Perlakuan yang demikian diperbolehkan pada syair. Dan tidak diperbolehkan pada Alquran, selaim membaca (tilawah) sebagaimana diturunkan. Memendekkan, memanjangkan, memberhentikan suara (waqf), menyambungkan suara (washl) dan memutuskan suara yang berlainan daripada yang dikehendaki oleh tilaawah, adalah haram atau makruh. Apabila Alquran dibacakan, sebagaimana diturunkan, niscaya hilanglah bekas, yang sebabnya irama nyanyian. Yaitu sebab tersendiri pada pembekasan. Meskipun tidak dipahami artinya. Sebagaimana pada rebab, seruling, serunai dan suara-suara lainnya yang tidak dipahami.
Segi kelima: bahwa nyanyian yang bertimbangan suara itu dikuatkan dan diteguhkan dengan bentuk nyanyian yang semestinya dan bunyi-bunyian lain yang berirama, di luar kerongkongan. Seperti memukul tambur, genderang dan lainnya. Karena perasaan yang lemah, tidak akan berkobar, selain dengan sebab yang kuat. Dan sebab itu menjadi kuat, dengan berkumpulnya sebab-sebab itu. Masing-masing sebab tersebut, mempunyai bahagian pada pembekasan. Dan Alquran wajib dijaga dari hal-hal yang seperti itu. Karena bentuknya pada pandangan umum adalah bentuk senda-gurau dan permainan. Dan Alquran adalah kesungguhan seluruhnya pada makhluq umumnya. Maka tidak boleh dicampurkan dengan kebenaran yang sejati, apa yang menjadi senda-gurau pada orang awam. Dan bentuknya, bentuk senda-gurau pada orang-orang tertentu. Walaupun mereka tiada memandang kepadanya dari segi bahwa dia itu senda-gurau. Tetapi seyogyalah Alquran itu dimuliakan. Maka ia tidak dibacakan pada jalanan umum. Akan tetapi pada tempat majelis yang ditempati. Tidak pada keadaan sedang berjanabat (berhadats besar) dan dalaam keadaan tidak suci. Dan tidak sanggup menyempurnakan hak kehormatan Alquran dalam segala hal. Kecuali orang-orang yang selalu memperhatikan hal-keadaannya sendiri. Maka ia berpaling kepada nyanyian orang-orang yang tiada mempunyai perhatian dan pemeliharaan tersebut. Dan karena itulah, tidak diperbolehkan memukul rebana serta membaca Alquran pada malam perkawinan. Rasulullah saw menyuruh memukul rebana pada perkawinan, dengan sabdanya: “Lahirkanlah perkawinan itu, walaupun dengan memukul rebana !”. Atau sabda tadi dengan kata-kata yang semaksud dengan hadits diatas. Dan yang demikian itu, boleh bersama syair. Tidak bersama Alquran. Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw masuk ke rumah Ar-Rabi’ binti Mu’awwadz dan di sisinya beberapa orang budak wanita sedang menyanyi, lalu Nabi saw mendengar salah seorang dari mereka mengatakan: “Pada kita sekarang ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”, secara nyanyian. Lalu Nabi saw bersabda: “Tiinggalkanlah perkataan ini dan katakanlah apa yang telah engkau katakan itu !”. Perkataan ini yang diucapkan wanita tadi adalah pengakuan dengan kenabian. Nabi saw melarangkannya dan mengembalikannya kepada nyanyian yang bersifat senda-gurau itu. Karena perkataan ini (yang menyangkut dengan kenabian), adalah kesungguhan semata-mata. Maka tidaklah dibarengi dengan bentuk senda-gurau. Jadi disebabkan yang demikian, dimaafkan penguatan sebab-sebab yang menjadikan pendengaran itu, penggerak bagi hati. Maka wajib pada penghormatan tadi, berpaling dari Alquran kepada nyanyian. Sebagaimana wajib di atas budak wanita itu berpaling dari kesaksian kenabian, kepada nyanyian.
Segi keenam: kadang-kadang penyanyi itu menyanyikan sekuntum syair, yang tiada sesuai dengan keadaan pendengar. Lalu pendengaran itu tiada menyukainya dan melarangkannya daripada menyanyikannya. Dan meminta yang lain. Maka tidaklah semua perkataan itu, sesuai dengan semua keadaan. Jikalau berkumpullah orang ramai pada da’wah, dengan seorang qari’, maka kadang-kadang qari’ tadi membaca ayat yang tiada bersesuaian dengan keadaan mereka. Karena Alquran itu obat bagi manusia semua di dalam keadaan mereka yang berlain-lainan. Maka ayat rahmat itu obat bagi orang yang takut. Dan ayat azab itu obat bagi orang yang terpedaya, yang merasa aman. Dan penguraian yang demikian, termasuk yang panjang uraiannya. Apabila merasa tiada terpelihara, bahwa yang dibaca itu tiada akan bersesuaian dengan keadaan dan akan dibenci oleh hawa nafsu, maka dengan demikian ia mendatangkan bahaya kebencian kepada Kalam Allah Ta’ala, dimana ia tiadaa mendapat jalan untuk mempertahankannya. Maka menjaga dari bahaya yang demikian itu adalah kehati-hatian yang menyampaikan kepada maksud dan kewajiban yang diperlukan. Karena tidaklah mendapat kelepasan daripadanya, selain dengan menempatkannya menurut yang bersesuaian dengan keadaannya. Dan tidak boleh menempatkan Kalam Allah Ta’ala, selain menurut apa yang dikehendaki Allah Ta’ala. Adapun perkataan penyair, maka boleh menempatkannya berlainan dari maksudnya. Lalu padanya bahaya kebencian. Atau bahaya penta’wilan itu kesalahan bagi penyesuaian dengan keadaan. Maka wajiblah memuliakan Kalam Allah dan memeliharakannya dari yang demikian. Inilah yang membekas pada hatiku, tentang sebab-sebab berpalingnya para guru (para syaikh) kepada mendengar nyanyian, daripada mendengar Alquran. Disini ada lagi segi ke-7 yang disebutkan oleh Abu Nashar As-Siraj Ath-Thusi, tentang kemaafan dari yang demikian. Beliau berkata: “Alquran itu Kalam Allah dan salah satu dari sifat-sifatNya. Alquran itu benar, tiada akan sanggup ditiru oleh sifat manusiawi. Karena Alquran itu bukan makhluq. Maka tiada akan sanggup ditiru oleh sifat-sifat makhluq”. Jikalau dibukakan bagi hati sebesar biji sawi dari maksud dan kehebatannya, niscaya hati itu merasa pening, dahsyat dan heran. Dan nyanyian-nyanyian yang merdu itu bersesuaian dengan tabiat. Hubungannya itu adalah hubungan untung, tidak hubungan hak. Dan pantun itu, hubungannya hubungan untung. Apabila disangkutkan nyanyian dan suara dengan isyarat-isyarat dan pengertian-pengertian yang halus, dengan apa yang ada pada kuntum-kuntum syair, yang sebahagiannya sebentuk dengan sebahagian yang lain, niscaya adalah yang demikian itu lebih mendekati kepada untung dan lebih ringan kepada hati. Karena keserupaan makhluq dengan makhluq. Maka selama sifat kemanusiaan itu tetap dan kita dengan sifat-sifat dan untung kita merasa nikmat dengan lagu-lagu yang menyedihkan dan suara yang merdu, maka kegembiraan kita untuk menyaksikan kekekalan untung ini, kepada kasidah-kasidah, adalah lebih utama daripada kegembiraan kita kepada Kalam Allah Ta’ala, yang menjadi sifatNya dan KalamNya, yang daripadaNya mulai dan kepadaNya kembali. Inilah hasil maksud dari perkataan dan permohonan kemaafannya. Diceritakan dari Abil-Hasan Ad-Daraj, bahwa ia berkata: “Aku bermaksud datang dari Baghdad kepada Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi, untuk berkunjung dan bersalaman dengan dia. Ketika aku masuk kota Ar-Razi, lalu aku bertanya tentang dia. Maka tiap-tiap orang yang aku tanyakan itu menjawab: ‘Apakah yang akan engkau perbuat dengan orang zindiq itu ?”. mereka itu menyempitkan dadaku, sehingga aku berazam untuk pergi. Kemudian, aku berkata pada diriku: “Aku telah melewati jalan ini semua, maka aku tidak mengatakan untuk melihatnya”. Maka terus-meneruslah aku menanyakan dia, sehingga aku masuk menemukannya dalam suatu masjid. Dan ia sedang duduk di mihrab. Dihadapannya seorang laki-laki dan ditangannya Alquran. Dan ia sedang membacainya. Rupanya ia seorang tua yang cantik, elok paras dan janggutnya. Lalu aku bersalam kepadanya. Maka iapun menghadapkan mukanya kepadaku, seraya berkata: “Darimana kamu datang ?”. Aku menjawab: “Dari Baghdad”. Beliau menyambung: “Apakah yang menyebabkan engkau kemari ?”. Aku menjawab: “Aku bermaksud kepada tuan, untuk menyampaikan salam kepada tuan”. Beliau menjawab: “Jikalau ada pada sebahagian negeri ini, orang yang mengatakan kepadamu: ‘Tinggallah pada kami, sehingga akan kami belikan bagimu rumah atau budak wanita !’, apakah yang demikian itu membawa engkau duduk, daripada datang kepada kami ?”. Aku menjawab: “Tidaklah aku diuji oleh Allah Ta’ala dengan sesuatu daripada yang demikian. Dan jikalau aku diuji, niscaya aku tidak tahu, bagaimana jadinya aku ini”. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Adakah engkau merasa baik untuk mengatakan sesuatu ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Lalu beliau berkata: “Keluarkanlah apa yang mau dikatakan itu !. Maka akupun lalu bermadah:
Aku melihat engkau selalu,
membangun kemuliaan dalam kebencianku.
Jikalaulah ada akal bagiku,
tentu aku runtuhkan apa yang engkau bangun itu.
Seolah-olah aku dengan kamu
dan “mudah-mudahan” itu yang terutama perkataanmu.
Ketahuilah, mudah-mudahan beradalah kita itu,
karena “mudah-mudahan” saja tidak mencukupkan sesuatu.
Abil-Hasan Ad-Darraj meneruskan ceritanya: “Lalu Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi menutupkan Alqurannya. Dan terus-meneruslah beliau menangis, sehingga basahlah janggutnya dan kainnya. Sehingga timbullah belas-kasihanku kepadanya lantaran banyak tangisnya. Kemudian, beliau berkata: “Wahai anakku ! engkau mencaci penduduk Ar-Razi ini, yang mengatakan, Yusuf itu zindiq. Inilah aku ! dari shalat pagi aku membaca Alquran, tiada menitik sebutirpun air mataku. Dan telah datanglah qiamat kepadaku, karena dua kuntum syair tadi”. Jadi hati itu, meskipun ia terbakar dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala, tetapi sekuntum syair yang ganjil itu, menggerakkan hati, apa yang tidak digerakkan oleh tilawah Alquran. Yang demikian itu karena bertimbangannya syair dan bersesuaian dengan tabiat. Dan karena bersesuaiannya dengan tabit, maka manusia sanggup menyusun syair. Adapun Alquran, maka susunannya adalah di luar dari susunan dan sistemnya kata-kata. Karena itulah, ia mu’jizat, tidak masuk dalam kesanggupan manusia. Karena tiada kesesuaian bagi tabiatnya. Diriwayatkan, bahwa Israfil –guru dari Dzinnun Al-Misri –telah masuk ke tempatnya seorang laki-laki. Lalu laki-laki tersebut melihat Israfil memukul-mukul tanah dengan jarinya dan menyanyikan sekuntum syair. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Israfil: “Pandaikah engkau menyanyikan sesuatu ?”. Israfil itu menjawab: “Tidak !”. Laki-laki itu menyambung: “Engkau itu tanpa hati !”, sebagai isyarat bahwa orang yang mempunyai hati dan mengetahui tabiat hati, niscaya tahu, bahwa itu digerakkan oleh pantun-pantun dan nyanyian-nyanyian, suatu gerakan yang tiada diperoleh pada selain dari pantun dan nyanyian. Lalu memberati diri akan jalan penggerakan itu. Adakalanya dengan sendiri atau dengan lainnya. Dan telah kami sebutkan hukum tingkat pertama tentang memahami yang didengar dan menempatkannya. Dan hukum tingkat kedua tentang kesan yang mendalam (al-wajd) yang dijumpai dalam hati. Maka sekarang marilah kami sebutkan bekas al-wajd itu. Yakni: apa yang tersaring daripadanya kepada dzahir, baik terkejut, tangisan, gerakan badan, pengoyakan kain dan lainnya. Maka kami terangkan:
TINGKAT KETIGA DARI PENDENGARAN.
Akan kami sebutkan padanya adab mendengar, dzahir dan bathin. Dan apa yang terpuji dan apa yang tercela dari bekas-bekas al-wajd. Adapun adab, yaitu: 5 kesimpulan:
Pertama: menjaga zaman, tempat dan teman. Al-Junaid berkata: “Pendengaran itu memerlukan kepada 3 perkara. Jikalau tidak, maka engkau tidak mendengar”. Yaitu: zaman, tempat dan teman. Artinya: bahwa sibuk dengan pendengaran, pada waktu datang makanan atau permusuhan atau shalat atau sesuatu yang memalingkan perhatian dari pendengaran serta kekacauan hati (pikiran), tiada faedah padanya. Inilah artinya menjaga zaman (masa). Maka pendengaran itu dijaga dalam keadaan selesainya hati untuk mendengar. Adapun tempat, kadang-kadang di jalanan yang dijalani orang atau tempat yang buruk bentuknya atau ada padanya sebab yang membimbangkan hati. Maka hendaklah dijauhkan yang demikian. Adapun teman, maka sebabnya ialah apabila datang yang tidak sejenis, dari orang yang menantang pendengaran, yang bersikap zuhud secara dzahiriah, yang tidak mempunyai perasaan hati yang halus, niscaya adalah yang demikian itu menjadi berat dalam majelis. Dan membimbangkan hati dengan dia. Dan seperti itu juga, apabila datang orang yang bersikap sombong dari golongan duniawi, yang memerlukan kepada mengintip dan memperhatikannya. Atau datang orang yang memberatkan diri, yang membuat-buat al-wajd, dari ahli tasawwuf, yang bersikap ria dengan al-wajd, tarian dan pengrobekan kainnya. Maka semua itu adalah pengganggu-pengganggu pendengaran. Meninggalkan pendengaran ketika tidak adanya syarat-syarat tersebut diatas itu lebih utama. Maka pada syarat-syarat itu perhatian kepada pendengar.
Adab kedua: yaitu perhatian yang hadir, bahwa syaikh (guru), apabila ada di sekelilingnya murid-murid, yang mendatangkan kemelaratan mendengar bagi mereka, maka tiada seyogyalah ia melakukan pendengaran pada waktu kehadiran murid-murid itu. Jikalau ia melakukan pendengaran, maka hendaklah murid-murid itu disibukkan dengan kesibukan yang lain. Murid yang mendapat kemelaratan dengan mendengar itu, ialah salah satu dari 3:
1.       Derajat yang paling kurang, yaitu: yang tiada memperoleh dari jalanan, selain perbuatan dzahiriah. Dan tiada mempunyai perasaan-pendengaran. Maka kesibukannya dengan pendengaran, adalah kesibukan dengan yang tiada berfaedah baginya. Karena ia bukan ahli bersenda-gurau, lalu bersenda-gurau. Tidak dari ahli yang berperasaan, lalu mencari keni’matan dengan perasaan pendengaran. Dari itu, maka hendaklah bekerja dengan berdzikir atau berkhidmat (melayani kepentingan umum). Jikalau tidak, maka adalah menyia-nyiakan waktunyaa.
2.       Yaitu: yang mempunyai rasa (dzauq) pendengaran. Tetapi ada padanya sisa bahagian ketabiatan dan perhatian kepada nafsu syahwat dan sifat kemanusiaan. Dan itu tidak pecah kemudian, yang menjamin keamanan dari hal-hal yang membinasakan. Kadang-kadang pendengaran itu menggerakkan hal yang memanggil senda-gurau dan nafsu syahwat. Lalu memotong kepadanya jalan pendengaran. Dan mencegahnya dari kesempurnaan.
3.       Bahwa orang itu telah hancur nafsu syahwatnya. Telah merasa aman dari hal yang membinasakannya. Telah terbuka matahatinya. Dan telah mempengaruhi pada hatinya, kecintaan kepada Allah Ta’ala. Tetapi, tidak teguh pemahamannya akan ilmu dzahiriah. Tidak mengenal nama Allah dan sifat-sifatNya, apa yang jaiz (yang boleh) dan yang mustahil kepadaNya.
Maka apabila telah terbuka baginya pintu pendengaran, niscaya bertempatlah yang didengarnya itu pada hak Allah Ta’ala, kepada apa yang jaiz dan apa yang tidak jaiz. Maka adalah kemelaratannya dari bahaya-bahaya itu, dimana bahaya-bahayanya itu ialah kekufuran, adalah lebih besar daripada kemanfaatan pendengaran. Sahl ra berkata: “Tiap-tiap al-wajd yang tidak diakui oleh Al-Kitab (Alquran) dan As-Sunnah, adalah batil. Maka tidaklah patut pendengaran kepada contoh yang seperti ini. Dan tidak bagi orang yang hatinya kemudian, berlumuran dengan kecintaan kepada dunia. Kecintaan kepada pujian dan sanjungan. Dan tidak bagi orang, yang mendengar karena kelezatan dan dirasa baik oleh tabiat. Maka jadilah yang demikian adat-kebiasaan baginya. Dan yang demikian itu mengganggukannya daripada ibadah dan pemeliharaan hatinya. Dan terputuslah jalannya. Maka pendengaran itu menggelincirkan tapak, yang wajib dipelihara daripadanya orang-orang yang lemah. Al-Junaid berkata: “Aku bermimpi melihat Iblis. Lalu aku bertanya kepadanya: ‘Adakah kamu memperoleh sesuatu pada sahabat-sahabat kami ? Iblis itu menjawab: “Ada, pada dua waktu: waktu mendengar dan waktu melihat. Maka aku masuk kepada mereka dengan waktu itu”. Maka menjawab setengah syaikh: “Jikalau aku bermimpi melihat Iblis itu, niscaya aku katakan kepadanya: ‘Alangkah dungunya engkau ! orang yang mendengar daripadanya apabila mendengar dan orang yang memandang kepadanya apabila memandang, bagaimanakah engkau memperoleh dengan dia ?”. Al-Junaid menjawab: “Benar engkau !”.
Adab ketiga: bahwa memperhatikan benar-benar kepada apa yang dikatakan oleh orang yang mengatakan, yang berkehadiran hati, yang sedikit menoleh ke segala pihak, yang menjaga diri dari memandang kepada muka para pendengar dan apa yang lahir pada mereka dari hal-ihwal al-wajd. Yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjaga hatinya dan mengintip apa yang dibuka oleh allah ta’ala baginya dari rahmat pada bathinnya. Yang menjaga dari gerak-gerik yang mengganggu hati para sahabatnya. Akan tetapi, ia tetap dzhiariahnyam tenang sendi-sendinya, menjaga diri dari batuk-batuk dan menguap. Ia duduk menekurkan kepalanya, seperti duduknya dalam pemikiran yang tenggelam untuk hatinya, yang berpegang teguh, tidak bertepuk, menari dll gerakan, secara dibuat-buat, memberatkan diri dan ria. Yang berdiam diri dari berbicara pada waktu sedang berkata-kata, dengan tiap sesuatu yang tidak boleh tidak daripadanya. Jikalau ia dikerasi oleh al-wajd dan digerakkannya tanpa pilihan (ikhtiar)nya, maka itu dimaafkan, tiada tercela. Dan manakala telah kembali, kepadanya ikhtiar itu maka hendaklah ia kembali kepada ketenangan dan ketentramannya !. Tiada seypgyalah ia berkekalan oleh malunya, daripada dikatakan, bahwa al-wajdnya akan habis dalam waktu dekat. Dan tidak membuat-buat al-wajd, karena takut akan dikatakan, bahwa dia itu kesat hati, tiada bersih jiwa dan halus perasaan. Diceritakan, bahwa seorang pemuda menemani Al-Junaid. Maka apabila pemuda itu mendengar sesuatu dzikir, lalu memekik. Lalu pada suatu hari Al-Junaid berkata kepadanya: “Jikalau engkau perbuat yang demikian sekali lagi, maka engkau jangan lagi menemaniku !”. Lalu sesudah itu, pemuda tadi menekan dirinya, sehingga menitik dari tiap-tiap bulunya titikan air. Dan ia tidak memekik. Kemudian diceritakan bahwa pada suatu hari tercekik kerongkongannya, karena ia bersangatan menahan diri. Lalu menangis terisak-isak. Maka pecah hatinya dan hilang nyawanya. Diriwayatkan, bahwa Nabi Musa as bercerita pada kaum Bani Israil. Lalu salah seorang dari mereka, mengoyakkan kainnya atau kemejanya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as: “Katakanlah kepadanya: ‘Koyakkanlah untukKu hatimu ! dan jangan engkau koyakkan kainmu !”. Abul-Kasim An-Nasarabazi berkata kepada Abi ‘Amr bin ‘Ubaid: “Aku mengatakan, bahwa apabila berkumpul suatu kaum, lalu seorang penyanyi bersama mereka bernyanyi, adalah lebih baik daripada mereka mengumpat”. Lalu Abi ‘Amr berkata: “Ria itu pada pendengaran. Yaitu: bahwa engkau memperlihatkan dari diri engkau, keadaan yang tidak ada pada engkau -,adalah lebih jahat daripada engkau mengumpat 30 tahun atau seumpama dengan itu”. Jikalau engkau berkata: bahwa yang lebih utama, ialah yang tidak digerakkan oleh pendengaran dan tidak membekas pada dzahirnya atau yang dzahir padanya ?. Ketahuilah kiranya, bahwa tiada dzhahirnya pada suatu kali adalah karena lemahnya yang mendatang dari al-wajd. Maka itu adalah kekurangan. Dan pada suatu kali, adalah ia bersama kuatnya al-wajd pada bathin. Tetapi tiada dzahir, karena sempurnanya kekuatan menahan anggota tubuh. Maka itu adalah kesempurnaan. Pada suatu kali, adalah ia karena keadaan al-wajd mengikuti dan menyertai dalam semua keadaan. Maka tiada terang bagi pendengaran, bertambahnya membekas. Dan itu adalah sangat sempurna. Karena yang mempunyai al-wajd itu dalam kebanyakan hal, tiada kekal al-wajdnya. Maka orang yang selalu dalam al-wajd, maka ia terikat bagi kebenaran dan selalu tiada berpisah bagi zat yang dipersaksikannya (‘ainisy-syhuhud). Maka ini tiada akan dirobahkan oleh jalan-jalannya keadaan. Dan tiada jauh, bahwa isyarat itu adalah dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra: “Adalah kami sebagaimana adanya kamu. Kemudian kesatlah hati kami”. Artinya: “Telah kuat hati kami dan keras. Lalu sanggup terus-menerus adanya al-wajd pada semua keadaan”. Maka kita itu dalam mendengar maksud Alquran terus-menerus. Maka tidaklah Alquran itu baru terhadap kita, yang datang kepada kita. Sehingga kita memperoleh kesan dengan dia. Jadi, kekuatan al-wajd itu menggerakkan. Dan kekuatan akal dan perpegangan itu menentukan yang dzahir. Kadang-kadang salah satu daripada keduanya lebih keras dari yang lain. Adakalanya lantaran sangat kuatnya. Dan adakalanya lantaran lemah apa yang dihadapinya. Dan adalah kekurangan dan kesempurnaan itu menurut yang demikian tadi. Maka janganlah engkau menyangka bahwa orang yang membalik-balikkan dirinya di atas tanah itu, lebih sempurna al-wajdnya dari orang yang tenang dari membalik-balikkan dirinya. Bahkan, banyak orang yang tetap tentram itu lebih sempurna al-wajdnya daripada orang yang membalik-balikkan diri. Adalah Al-Junaid bergerak-gerak pada mendengar pada permulaannya. Kemudian tiada bergerak-gerak lagi. Lalu ia ditanyakan orang, tentang yang demikian, maka ia membaca: “Engkau melihat gunung-gunung, engkau kira bahwa dia tetap (tiada bergerak), padahal dia berjalan kencang, sebagai awan berjalan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat segala sesuatu dengan kokohnya”. S 27 An Naml ayat 88, sebagai pertanda bahwa hati itu bergerak, berputar dalam alam tinggi (alam malakut) dan anggota tubuh bersikap dengan adab tentram pada dzahirnya. Abul-Hasan Muhammad bin Ahmad berkata dan ketika itu dia berada di Basrah: “Aku menyertai Sahl bin Abdillah 60 tahun lamanya. Tiada aku melihat dia berobah pada suatupun yang didengarnya, baik dzikir atau Alquran”. Maka tatkala ia pada akhir umurnya (hidupnya), seorang laki-laki membaca dihadapannya ayat: “Sebab itu, di hari ini tiada diterima tebusan dari kamu dan tiada pula dari orang-orang yang kafir. Tempat diam kamu ialah neraka, itulah tempat kamu berlindung dan tempat tujuan yang amat buruk !”. S 57 Al Hadiid ayat 15. Lalu aku melihat dia gemetar dan hampir jatuh ke lantai. Maka tatkala telah kembali kepada keadaannya semula, lalu aku tanyakan dari yang demikian. Maka ia menjawab: “Benar, wahai temanku, aku telah lemah”. Begitupula pada suatu kali ia mendengar firman Allah Ta’ala: “Kerajaan yang sebenarnya pada hari itu kepunyaan (Tuhan) Yang Maha Pemurah”. S 25 Al Furqaan ayat 26. Lalu ia gemetar. Maka ditanyakan oleh Ibnu Salim. Dan Ibnu Salim itu termasuk sahabatnya. Sahl bin Abdillah menjawab: “Aku lemah !”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Jikalau ini sebahagian dari kelemahan, maka apakah kekuatan keadaan itu ?”. Ia menjawab: “Bahwa tidak datang kepadanya apa yang datang, melainkan ia menemuinya dengan kekuatan keadaannya. Maka apa yang datang itu, tidak mengobahkannya, walaupun yang datang itu kuat”. Sebabnnya mampu mengekang dzahiriahnya serta adanya al-wajd, ialah melurusnya segala hal-keadaan, disebabkan tiada putus-putusnya penyaksian (mulazamatusy-syhud). Sebagaimana diceritakan dari Sahl ra, yang mengatakan: “Keadaanku sebelum shalat dan sesudahnya ialah satu”. Karena ia memeliharakan hatinya, hadir ingatan kepada Allah Ta’ala pada semua keadaan. Maka begitu pula ia sebelum mendengar dan sesudahnya. Karena al-wajdnya kekal selalu. Kehausannya terus bersambung dan minumnya terus berkekalan, dimana pendengaran itu tidaklah membekas pada tambahannya. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Mimsyad Ad-Dainuri mendekati suatu jamaah (kumpulan orang ramai), yang dalam jamaah itu ada seorang penyanyi. Lalu mereka itu dia semuanya. Maka berkata Mimsyad: “Kembalilah kepada keadaanmu tadi ! jikalau dikumpulkan segala permainan dunia pada telingaku, niscaya tiada akan mengganggu cita-citaku. Dan tidak akan menyembuhkan setengah apa yang ada padaku”. Al-Junaid ra berkata: “Tiada akan mendatangkan kemelaratan oleh kurangnya al-wajd, serta lebihnya pengetahuan. Dan lebihnya pengetahuan adalah lebih sempurna daripada lebihnya al-wajd”. Jikalau engkau mengatakan, bahwa orang yang seperti itu tidak menghadiri pendengaran (untuk mendengarkan sesuatu). Ketahuilah kiranya, bahwa diantara mereka ada orang yang meninggalkan mendengar itu pada waktu tuanya. Ia tidak menghadiri pendengaran itu, kecuali jarang sekali, untuk menolong salah seorang temannya dan memasukkan kegembiraan ke dalam hatinya. Kadang-kadang ia hadir, supaya diketahui oleh kaum itu kesempurnaan kekuatannya. Lalu mereka itu mengetahui bahwa tidaklah kesempurnaan itu dengan al-wajd dzhariah. Maka mereka itu mempelajari daripadanya pengekangan dzahiriah, tanpa memaksakan diri. Walaupun mereka tidak sanggup mengikutinya, pada menjadikannya tabiat (sifat yang tetap) bagi mereka. Jikalau bersesuaian kehadiran mereka itu, bersama bukan putera bangsanya, maka adalah mereka itu bersama mereka dengan badan-tubuh saja. Dan jauh dari mereka dengan hati dan bathin. Sebagaimana mereka duduk tanpa mendengar, bersama bukan bangsa mereka. Disebabkan oleh sebab-sebab yang mendatang, yang menghendaki duduknya bersama mereka. Sebahagian mereka dinukilkan daripadanya, meninggalkan mendengar. Dan diduga bahwa sebabnya meninggakan pendengaran itu, ialah karena tiada memerlukan kepada pendengaran, disebabkan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Dan setengah mereka terdiri dari orang-orang zuhud. Dan tiada mempunyai untung kerohanian pada pendengaran itu. Dan ia tidak dari golongan senda-gurau. Maka ia meninggalkan mendengar itu, supaya tidak habis waktunya dengan apa yang tidak penting. Dan setengah mereka meninggalkan pendengaran itu, karena ketiadaan teman-teman. Ditanyakan kepada setengah mereka: “Mengapa engkau tidak mendengar ?”. Lalu menjawab: “Dari siapa dan bersama siapa ?”.
Adab keempat: bahwa ia tidak berdiri dan tidak meninggikan suaranya dengan menangis. Ia sanggup membatasi diri. Tetapi jikalau ia menari atau membuat-buat menangis, maka diperbolehkan (mubah), apabila ia tidak bermaksud dengan demikian, untuk ria. Karena membuat-buat menangis itu menarik kepada kesedihan. Dan menari itu sebab pada menggerakkan kegembiraan dan kerajinan. Semua kegembiraan itu mubah. Boleh menggerakkannya. Jikalau menggerakkan kegembiraan itu haram, niscaya ‘Aisyah tidak melihat orang-orang Habsyi bersama Rasulullah saw, dimana orang-orang Habsyi itu menari. Itulah perkataan ‘Aisyah pada setengah riwayat !. Diriwayatkan dari suatu jamaah dari sahabat ra, bahwa mereka itu melompat-lompat kegirangan, tatkala datang kepada mereka kegembiraan yang mengharuskan demikian. Yaitu: mengenai kisah anak perempuan Saidina Hamzah, tatkala timbul pertengkaran antara ‘Ali bin Abi Thalib dan saudaranya Ja’far dan Zaid bin Haritsah. Ketiganya bertengkar tentang siapa yang lebih berhak mendidik puteri Saidina Hamzah itu (namanya Amamah). Lalu Nabi saw bersabda kepada Ali: “Engkau daripadaku dan aku daripada engkau”. Lalu Ali melompat-lompat kegembiraan. Kepada Ja’far, Nabi saw bersabda: “Engkau serupa dengan bentukku dan budi pekertiku”. Lalu ia melompat-lompat kegembiraan di belakang Ali melompat-lompat. Kepada Zaid beliau saw bersabda: “Engkau saudara kami dan kekasih kami”. Lalu Zaid melompat-lompat kegirangan di belakang Ja-far melompat-lompat. Kemudian Nabi saw bersabda: “Puteri itu untuk Ja’far. Karena saudara ibunya yang perempuan (khalahnya) adalah di bawah Ja’far. Dan khalah itu ibu”. Pada suatu riwayat, Nabi saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Sukakah engkau melihat tarian (zafan) orang Habsyi ?”. Zafan dan hajal ialah raqash (menari). Dan yang demikian adalah karena kesenangan atau kerinduan. Hukumnya ialah hukum yang membangkitkannya, jikalau kesenangan itu terpuji. Dan tarian itu menambahkan dan menguatkan kesenangan tadi. Maka tarian itu terpuji. Jikalau kesenangan itu mubah, maka tarian itu mubah. Dan jikalau kesenangan itu tercela, maka tarian itu tercela. Ya, tiada layak membiasakan yang demikian dengan kedudukan orang-orang besar dan orang-orang yang menjadi ikutan orang banyak. Karena kebanyakan tarian itu adalah dari senda-gurau dan permainan. Dan apa yang mempunyai bentuk permainan dan senda-gurau pada pandangan orang banyak, seyogyalah dijauhkan oleh orang yang menjadi ikutan orang banyak. Supaya ia tidak menjadi kecil pada pandangan manusia. Lalu ia ditinggalkan, tidak diikuti lagi. Adapun pencabikan kain, maka tidak diperbolehkan. Kecuali ketika terjadi hal itu, tanpa ikhtiar (kemauannya). Dan tidak jauh dari kebenaran, bahwa keraslah al-wajd itu, dimana ia mencabik kainnya. Dan ia tidak tahu, karena kesangatan mabuknya al-wajd atas dirinya. Atau ia tahu. Tetapi ia berada seperti orang yang terpaksa, yang tidak sanggup mengekang diri. Dan adalah bentuknya itu bentuk orang yang terpaksa. Karena ada baginyaa pada gerakan atau pencabikan kain itu penafasan. Maka ia memerlukan kepadanya, seperti orang sakit memerlukan kepada pengeluhan. Jikalau diberati menahan diri (bersabar) dari yang demikian, niscaya ia tidak sanggup, sedang perbuatan itu adalah perbuatan ikhtiari (perbuatan berdasarkan kemauan atau pilihan sendiri). Maka tidaklah tiap-tiap perbuatan, yang terjadi dengan kemauan (iradah) itu, manusia sanggup meninggalkannya. Bernafas adalah perbuatan yang terjadi dengan kemauan. Jikalau manusia diberati menahan nafas 1 jam, niscaya dipaksakan oleh bathinnya kepada mengusahakan bernafas. Maka begitupula berteriak dan mencabik kain. Kadang-kadang ada seperti yang demikian. Maka itu tidak disifatkan dengan pengharaman ! Disebutkan pada As-Sirri berita al-wajd yang sangat keras, yang mengalahkan kesadaran. Maka beliau menjawab: “Ya, orang itu memukul mukanya dengan pedang dan ia tidak tahu (tidak sadar)”. Lalu beliau diminta meninjau kembali tentang penjawabannya tadi. Dan dirasa jauhlah dari kejadian, bahwa al-wajd akan sampai kepada batas itu. Tetapi beliau tetap pada penjawabannya dan tidak mau rujuk dari jawaban itu. Maksudnya, bahwa pada setengah keadaan, kadang-kadang sampai kepada batas tadi pada sebahagian orang. Jikalau engkau bertanya: “Apakah kata anda mengenai orang-orang shufi yang mengoyakkan kain-kain baru, sesudah tenangnya al-wajd dan selesai dari mendengar ? mereka itu mengoyak-ngoyakkan kainnya menjadi potongan kecil-kecil. Dan membagi-bagikannya kepada orang banyak. Dan mereka menamakan potongan-potongan kain itu al-khirqah (sobekan kain)”. Ketahuilah, bahwa yang demikian itu mubah, apabila dipotong, potongan 4 persegi, yang patut bagi pengepingan kain dan sajadah (kain tempat shalat). Sesungguhnya kain tebal dirobekkan, sehingga dapat dijahitkan kemeja. Dan yang demikian tidaklah menyia-nyiakan harta. Karena pengoyakan itu untuk suatu maksud. Demikian pula pengepingan kain, yang tidak mungkin, selain dengan potongan kecil-kecil. Dan itulah maksudnya. Dan pembagian kepada semua orang, supaya meratai kebajikan itu, adalah suatu maksud yang mubah. Masing-masing pemilik memotong kainnya 100 potong. Dan memberikannya kepada 100 orang miskin. Akan tetapi seyogyalah semua potongan itu mungkin dimanfaatkan pada tiap-tiap sobekannya. Sesungguhnya kami larang pada mendengar itu, akan pengoyakan yang merusakkan kain, yang menghancurkan sebahagiannya, dimana tidak tinggal yang dapat dimanfaatkan. Maka itu penyia-nyiaan semata-mata, yang tidak diperbolehkan dengan pilihan sendiri (ikhtiar).
Adab kelima: bersesuaian dengan orang banyak pada berdiri, apabila berdiri salah seorang dari mereka pada al-wajd yang benar. Tanpa ria dan memberatkan. Atau berdiri dengan pilihan sendiri, tanpa melahirkan al-wajd dan lalu berdiri untuk itu orang banyak. Maka tak boleh tidak daripada penyesuaian. Itulah sebahagian dari adab berteman !. Begitupula, jikalau berlaku adat-kebiasaan suatu golongan, dengan menanggalkan syurban, atas sepakat orang yang mempunyai al-wajd itu, apabila jatuh syurbannya. Atau menanggalkan pakaian apabila jatuh kainnya, disebabkan pengoyakan. Maka kesepakatan dalam segala hal ini, adalah sebahagian dari kebagusan berteman dan bergaul. Karena perselisihan itu meliarkan hati. Dan masing-masing golongan mempunyai yang resmi. Dan haruslah bertingkah-laku dengan manusia, menurut tingkah-laku mereka, sebagaimana tersebut pada hadits. Lebih-lebih lagi apabila tingkah laku itu, adalah tingkah laku yang padanya bagus pergaulan, berbaik-baikan dan pembaikan hati dengan tolong-menolong. Perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu bid’ah, tidak ada pada sahabat. Maka tidaklah semua yang dihukum (ditetapkan) dengan pembolehan (ibahah) itu dinukilkan dari para sahabat ra. Sesungguhnya yang dijaga, ialah mengerjakan bid’ah yang berlawanan dengan sunnah yang dinukilkan. Dan tidak dinukilkan larangan suatupun dalam hal ini. Berdiri ketika masuk orang yang masuk ke suatu majelis, tidaklah termasuk sebahagian daru adat-kebiasaan orang Arab. Bahkan para sahabat ra tidak berdiri untuk Rasulullah saw pada setengah hal-keadaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas ra. Tetapi apabila tidak ada padanya larangan umum, maka kami berpendapat tiada mengapa pada negeri-negeri yang berlaku adat-kebiasaan padanya, memuliakan orang yang masuk ke suatu majelis, dengan berdiri. Karena yang dimaksud ialah penghormatan, pemuliaan dan pembaikan hati dengan berdiri itu. Begitupula segala macam tolong-menolong yang lain. Apabila dimaksudkan pembaikan hati dan telah dipandang patut oleh orang banyak. Maka tiada mengapa bertolong-tolongan diatas yang demikian. Bahkan lebih baik bertolong-tolongan, kecuali mengenai apa yang telah datang larangan padanya, yang tidak menerima penta’wilan. Setengah dari adab-kesopanan ialah: bahwa tidak berdiri untuk menari bersama kaum (golongan) yang dirasakan berat tariannya dan tidak mengacau keadaan mereka. Karena tarian tanpa melahirkan al-wajd yang dipaksakan, itu mubah (diperbolehkan). Al-wajd yang dipaksakan, ialah: yang menampakkan bagi orang banyak kesan dipaksakan. Dan orang yang bangun berdiri dari perasaan yang benar, tidak dirasakan berat oleh tabiat. Maka hati orang yang hadir itu, apabila mereka dari orang-orang yang mempunyai hati bersih, dapat menunjuk kebenaran dan rasa dipaksakan. Setengah mereka ditanyakan tentang al-wajd yang sebenarnya, lalu menjawab: “Al-wajd yang sebenarnya, ialah: benarnya diterima oleh hati segala orang yang hadir bagi al-wajd itu, apabila mereka itu berada dalam bentuk yang tidak berlawanan”. Jikalau anda bertanya: bagaimana keadaannya tabiat yang lari dari tarian dan mendahului kepada sangkaan, bahwa tarian itu perbuatan batil, senda-gurau dan menyalahi agama ? lalu orang yang mempunyai kesungguhan pada agama, tidak memandang akan tarian itu, melainkan menantanginya. Ketahuilah, bahwa kesungguhan tidaklah melebihi di atas kesungguhan Rasulullah saw. Dan sesungguhnya beliau itu melihat orang-orang Habsyi menari dalam masjid. Dan tidak menantangnya, karena adanya tarian itu pada waktu yang layak. Yaitu hari Raya. Dan dari orang yang layak, yaitu orang Habsyi. Benar, tabiat (sifat) manusia lari dari tarian itu. Karena melihat biasanya tarian itu diserta dengan senda-gurau dan permainan. Senda-gurau dan permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi untuk orang-orang awam dari orang-orang hitam, orang-orang Habsyi dan yang menyerupai dengan mereka. Dan makruh bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan. Karena tiada layak bagi mereka. Dan apa yang dimakruhkan karena tiada layak dengan kedudukan orang yang mempunyai kedudukan, maka tiada boleh disebut haram. Siapa yang meminta pada orang fakir sesuatu, lalu diberikannya sepotong roti, maka yang demikian itu adalah taat (ibadah) yang baik. Dan jikalau orang itu meminta pada seorang raja, lalu diberikannya sepotong atau dua potong roti, maka yang demikian itu munkar (mendapat tantangan) dari manusia seluruhnya. Dan tertulis dalam sejarah berita-berita, dari sejumllah kejahatan-kejahatannya dan memalukan anak-anaknya dan pengikut-pengikutnya. Dan dalam pada itu, tidak boleh dikatakan, bahwa apa yang djperbuat raja tadi adalah haram. Karena dari segi ia memberikan roti itu kepada orang fakir, adalah perbuatan baik. Dan dari segi dibandingkan kepada kedudukannya, seperti tidak memberikan, dibandingkan kepada orang fakir itu, dipandang keji. Maka demikian pulalah tarian dan apa yang berlaku seperti tarian itu, dari perbuatan-perbuatan mubah lainnya. Perbuatan mubah bagi orang awam, menjadi perbuatan buruk bagi orang baik-baik (al-ibrar). Prebuatan baik bagi orang baik-baik, menjadi perbuatan buruk bagi orang muqarribin (orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala). Ini adalah dari segi menoleh kepada kedudukan !. Adapun apabila dipandang kepada perbuatan itu sendiri, niscaya wajiblah dihukum bahwa perbuatan itu sendiri tak ada pengharaman padanya. Allah Maha Tahu. Sesungguhnya hal itu telah keluar dari jumlah penguraian yang lalu, dimana pendengkian itu kadang-kadang adalah haram semata-mata. Kadang-kadang mubah. Kadang-kadang makruh. Dan kadang-kadang sunat. Adapun haram adalah bagi kebanyakan manusia dari pemuda-pemuda dan orang-orang yang keras padanya keinginan dunia. Maka pendengaran itu tidak menggerakkan pada mereka, kecuali apa yang mengerasi pada hatinya, dari sifat-sifat tercela. Adapun makruh, maka yaitu bagi orang yang tidak menempatkannya di atas bentuk makhluq. Akan tetapi membuatkannya selaku suatu kebiasaan pada kebanyakan waktu di atas jalan senda-gurau. Adapun mubah, maka yaitu bagi orang yang tiada mengambil keuntungan daripadanya, selain kelezatan dengan suara merdu. Adapun sunat (mustahab), maka yaitu bagi orang yang mengerasi kepadanya kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dan tiada yang menggerakkan pendengarannya, kecuali oleh sifat yang terpuji. Segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dan Allah menganugerahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya !.