KITAB ADAB MENDENGAR DAN KESANNYA DI HATI.
Yaitu: Kitab Ke-8 dari Rubu’
Adat dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian
bagi Allah yang membakar hati para auliaNya dengan api kasih-sayangNya.
Melemah-lembutkan cita-cita dan jiwa mereka dengan kerinduan kepada bertemu dan
bermusyahadah denganNya. Dan menegakkan pandangan dzahir dan pandangan bathin
mereka kepada memperhatikan keelokan hadharatNya. Sehingga jadilah mereka mabuk
dari hembusan kelezatan perhubungan itu. Dan jadilah hati mereka dari
memperhattikan kesucian keagungan itu, tenggelam diri, lagi heran. Maka
tidaklah dilihat mereka dalam dua alam itu (alam ghaib dan alam nyata) akan
sesuatu, selain Dia. Dan tidaklah disebut mereka pada dua negeri itu (dunia dan
akhirat), selain Dia. Jikalau didatangkan kepada mata mereka suatu bentuk,
niscaya melintasilah mata hati mereka kepada Pembentuknya. Jikalau pendengaran
mereka diketuk oleh bunyi yang merdu, niscaya mendahuluilah segala gurisan jiwa
mereka kepada Yang Dicintai. Jikalau datang kepada mereka suara yang
mengejutkan atau yang mengagetkan atau yang menggembirakan atau yang
menyedihkan atau yang mengesankan atau yang merindukan atau yang
menyemangatkan, niscaya tidaklah kekejutan mereka itu, selain kepadaNya. Dan
tidaklah kegembiraan mereka itu, melainkan dengan Dia. Dan tidaklah kekagetan
mereka itu, melainkan kepadaNya. Dan tidaklah kesedihan mereka itu, melainkan
padaNya. Dan tidaklah kerinduan mereka itu, melainkan kepada apa yang di
sisiNya (dari kenikmatan yang abadi). Dan tidaklah gerakan mereka itu,
melainkan karenaNya. Dan tidaklah bulak-balik mereka itu, melainkan di
kelilingNya. Maka daripadaNyalah pendengaran mereka dan kepadaNyalah perhatian
pendengaran mereka itu. Tertutuplah dari yang lain, penglihatan dan pendengaran
mereka. Mereka itu ialah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi
waliNya. Dan dianugerahiNya kepada mereka itu, kemurnian dari antara
orang-orang pilihan dan orang-orang tertentu bagiNya. Dan rahmat kepada
Muhammad, yang diutus dengan kerasulannya dan kepada keluarga dan
sahabat-sahabatnya, imam-imam dan pahlawan-pahlawan kebenaran. Dan anugerahilah
kiranya kesejahteraan yang banyak !. Amma ba’du –kemudian, sesungguhnya hati
dan isi hati (sarirah) itu, gudang segala rahasia dan tambang segala intan
permata. Dan sesungguhnya tersembunyi di dalam hati segala intan permatanya,
sebagaimana tersembunyinya api pada besi dan batu. Dan tersembunyinya segala
intan permata itu, sebagaimana tersembunyinya air di bawah tanah dan tanah
liat. Dan tiada jalan untuk melahirkan rahasia yang tersembunyi itu, selain
dengan cetusan pendengaran. Dan tiada yang menembuskan kepada hati, selain dari
pendengaran yang menjadi tempat masuknya. Maka segala dengungan yang berirama,
lagi enak didengar itu, mengeluarkan apa yang di dalamnya. Melahirkan segala
yang baik atau segala yang buruk daripadanya. Maka tidaklah lahir dari hati,
ketika digerakkan, selain apa yang dikandunginya. Sebagaimana tidak disaring
oleh bejana air, selain dengan apa yang ada di dalamnya. Maka pendengaran bagi
hati itu batu asahan yang benar dan ukuran yang menuturkan. Maka tiada sampai
jiwa pendengaran kepada hati, melainkan telah bergerak di dalamnya, apa yang
menguasainya (dari kebajikan atau kejahatan). Apabila adalah hati itu menurut
sifatnya patuh kepada pendengaran, sehingga ia melahirkan dengan segala yang
datang bagi pendengaran itu, akan segala yang tersembunyi pada hati, membuka
segala keburukan dan melahirkan segala kebaikannya, niscaya wajiblah diuraikan
perkataan tentang: mendengar nyanyian dan kesannya di hati. Dan menjelaskan
segala faedah dan bahaya yang ada pada keduanya. Dan apa yang disunatkan pada
keduanya, dari adab-adab dan cara-cara. Dan apa yang mendatangkan kepada
mendengar nyanyian dan kesannya di hati, dari perselisihan para ulama, tentang
yang dilarang atau yang diperbolehkan pada mendengar nyanyian dan kesannya di
hati itu. Dan akan kami terangkan yang demikian itu, pada: dua bab:
Bab Pertama: tentang
pembolehan mendengar.
Bab Kedua: tentang adab mendengar
dan kesan-kesan pendengaran pada hati dengan perasaan. Dan kesan pada anggota
badan dengan tarian, suara keras dan pengoyakan kain.
BAB PERTAMA: Menyebutkan tentang perselisihan ulama tentang
pembolehan mendengar nyanyian dan menyingkapkan yang benar padanya.
PENJELASAN: Kata-kata ulama
fiqh dan ahli tasawwuf tentang penghalalan dan pengharamannya.
Ketahuilah, bahwa:
mendengar, ialah: permulaan urusan. Dan pendengaran itu membuahkan suatu
keadaan dalam hati, yang dinamai: kesannya (al-wajd). Dan kesannya itu
membuahkan penggerakan anggota badan. Adakalanya dengan gerakan, yang tidak
bertimbangan. Maka dinamai: kegoncangan. Dan adakalanya dengan bertimbangan.
Maka dinamai: tepukan tangan dan tarian. Maka marilah kita mulai dengan: hukum
mendengar. Dan itulah yang pertama. Dan akan kami nukilkan padanya kata-kata
yang lahir dari madzhab-madzhab. Kemudian, kami sebutkan dalil atas
pembolehannya. Kemudian, kami ikutkan dengan penjawaban dari apa yang menjadi
pegangan orang-orang yang mengatakan: pengharamannya. Tentang menukilkan
madzhab-madzhab, telah diceritakan oleh Al-Qadli Abuth-Thayyib Ath-Thabari dari
Imam Asy-Syafi’i ra, Imam Malik ra, Imam Abu Hanifah ra, Sufyan dan segolongan
ulama, aakan kata-kata yang menjadi dalil, bahwa mereka itu berpendapat akan
haramnya. Asy-syafi’ir ra berkata dalam Kitab Adab Kehakiman (Kitab Adabil-Qodo’),
bahwa sesungguhnya nyanyian adalah makruh, menyerupai batil. Barangsiapa
memperbanyak menyanyi, maka dia itu orang bodoh (safih), yang ditolak
kesaksiannya. Al-Qadli Abuth-Thayyib berkata: “Mendengar nyanyian dari wanita
yang bukan mahram tidak boleh pada para sahabat Asy-Syafi’i ra, dalam keadaan
apapun juga. Sama saja keadaan wanita itu terbuka atau di belakang hijab. Sama
saja, wanita itu merdeka atau hamba sahaya (budak). Berkata Al-Qadli:
“Asy-Syafi’i ra berkata: “Orang yang punya budak perempuan, apabila
mengumpulkan manusia untuk mendengar nyanyian budak itu, maka dia adalah orang
safih, yang ditolak kesaksiannya”. Berkata Al-Qadli: “Diceritakan dari
Asy-Syafi’i, bahwa Asy-Syafi’i memandang makruh memukul kuku-kuku binatang
dengan kayu”. Dan ia mengatakan: “Bahwa alat permainan itu diadakan oleh
orang-orang zindiq (orang yang tidak beragama). Supaya mereka melalaikan diri
dari Alquran”. Asy-Syafi’i ra berkata: “Dimakruhkan menurut hadits, permainan
musik dengan nard, lebih banyak daripada makruhnya permainan dengan sesuatu
alat permainan yang lain. Aku tidak menyukai permainan catur. Dan aku memandang
makruh setiap apa yang menjadi permainan manusia. Karena permainan itu tidaklah
dari perbuatan ahli agama dan berkepribadian (muruah)”. Adapun Malik ra, maka
beliau melarang nyanyian. Dan berkata: “Apabila membeli budak wanita, lalu
mendapatinya seorang penyanyi, niscaya bolehlah mengembalikannya kepada si
penjual”. Dan itu adalah madzhab ahli Madinah lainnya, kecuali Ibrahim bin Sa’d
seorang. Adapun Abu Hanifah ra memandang makruh yang demikian. Dan menjadikan
mendengar nyanyian termasuk dosa. Begitupula ahli Kufah lainnya, seperti:
Sufyan Ats-Tsuri, Hammad, Ibrahim, Asy-Sya’bi dll. Ini semuanya, dinukilkan
oleh Al-Qadli Abuth-Thayyib Ath-Thabari. Dan dinukilkan oleh Abu Thalib
Al-Makki, membolehkan mendengarkan nyanyian-nyanyian dari suatu golongan ulama.
Ia berkata: “Didengar dari sahabat Nabi saw oleh ‘Abdullah bin Ja’far,
‘Abdullah bin Az-Zubair, Al-Mughirah bin Sya’bbah, Mu’awiyah dll”. Dan Abu
Thalib Al-Makki berkata seterusnya: “Telah diperbuat demikian oleh kebanyakan
salaf (ulama terdahulu) yang shalih: baik sahabat atau tabi’in, dengan
sebaik-baiknya”. Seterusnya beliau mengatakan: “Senantiasalah orang-orang Hijaz
pada kami di Makkah, mendengar nyanyian pada hari-hari yang utama dari tahun.
Yaitu: hari-hari yang terbilang, yang disuruh oleh Allah akan hambaNya padanya
dengan berdzikir (mengingatiNya), seperti: hari-hari tasyriq. Dan senantiasalah
penduduk Madinah itu, seperti penduduk Makkah, terbiasa mendengar lagu, sampai
kepada zaman kita sekarang ini. Maka kami dapati Abu Marwan al-Qadli mempunyai
budak-budak wanita, yang memperdengarkan nyanyiannya kepada orang banyak.
Sesungguhnya mereka itu disediakan untuk orang-orang shufi”. Berkata Abu Thalib
Al-Makki: “Adalah ‘Atha’ mempunyai dua budak wanita yang bernyanyi. Maka
teman-temannya mendengar nyanyian kedua budak wanita itu”. Berkata Abu Thalib
Al-Makki: “Ditanyakan Abil-Hasan bin Salim: ‘Bagaimana tuan menantang mendengar
lagu. Dan adalah Al-Junaid, Sirri As-Saqathi dan Dzun-Nun mendengarnya ?”. Maka
Abil-Hasan menjawab: “Bagaimana aku menantang mendengar lagi, padahal telah
diperbolehkan dan didengar oleh orang-orang yang lebih baik daripadaku.
Sesungguhnya adalah ‘Abdullah bin Ja’far Ath-Thayyar mendengar lagu. Dan yang
aku tantang, ialah senda gurau permainan dalam mendengar lagu itu”.
Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’adz, bahwa Yahya berkata: “Kami berketiadaan 3
perkara. Maka kami tidak melihatnya dan
aku tidak melihatnya, bertambah, melainkan kurangnya kebagusan muka serta
pemeliharaan, kebagusan perkataan serta keagamaan dan kebagusan persaudaraan
serta kesetiaan. Aku melihat pada sebagian kitab-kitab, akan ini, diceritakan
dengan sebenarnya dari Al-Harits Al-Muhasibi. Dan padanya menunjukkan, bahwa
Al-Harits membolehkan mendengar nyanyian, serta dzuhudnya dan pemeliharaan
kesan hatinya dan kesetiaannya kepada agama”. Abu Thalib Al-Makki berkata:
“Adalah Ibnu Mujahid tidak memperkenankan suatu undangan, kecuali ada padanya
nyanyian”. Dan bukan seorang yang menceritakan, bahwa Abu Thalib berkata: “Kami
berkumpul pada suatu undangan dan bersama kami, Abul-Qasim bin Bintu Muni’, Abu
Bakar bin Daud dan Ibnu Mujahid bersama teman-teman mereka. Maka datanglah
nyanyian. Lalu Ibnu Mujahid mendorong bin Bintu Muni’, supaya mengajak bin Daud
mendengarnya. Maka bin Daud menjawab: ‘Disampaikan kepadaku oleh ayahku, dari
Ahmad bin Hambal, bahwa Ahmad bin Hambal memandang makruh mendengar nyanyian.
Dan ayahku memakruhkannya dan aku atas madzhab (aliran) ayahku”. Maka menjawab
Abdul Qasim bin Bintu Muni’: “Adapun nenekku ialah Ahmad bin Bintu Muni’.
Beliau menceritakan kepadaku dari Shalih bin Ahmad, bahwa ayahnya mendengar
nyanyian Ibnul-Khabbazah”. Lalu Ibnu Mujahid berkata kepada Bin Daud:
“Biarkanlah saudara dengan ayah saudara !”. Dan kepada Bin Bintu Muni’, Ibnu
Mujahid berkata pula: “Biarkanlah saudara dengan nenek saudara ! sekarang, apa
yang akan engkau katakan, wahai Abu Bakar (Abu Bakar bin Daud), mengenai orang
yang menyanyikan sekuntum sya’ir, adakah itu haram ?”. Bin Daud menjawab:
“Tidak !”. Menyambung Ibnu Mujahid: “Jikalau suaranya bagus, haramkah ia
menyanyikannya ?”. Bin Daud menjawab: “Tidak !”. Menyambung Ibnu Mujahid lagi:
“Jikalau dinyanyikannya dan dipanjangkannya, dipendekkannya yang panjang dan
dipanjangkannya yang pendek, adalah haram yang demikian kepadanya ?”. Bin Daud
menjawab: “Aku tidak kuat untuk satu setan, maka bagaimanakah aku kuat untuk dua
setan ?”. Abu Thalib Al-Makki berkata: “Abul-Hasan Al-‘Usqalani Al-Aswad,
adalah termasuk aulia yang mendengar nyanyian dan terpesona ketika mendengar
nyanyian itu. Ia mengarang suatu kitab tentang nyanyian. Dan menolak
orang-orang yang menantang nyanyian”. Begitupula suatu jama’ah dari mereka
menyusun kitab untuk menolak orang-orang yang menantang nyanyian. Diceritakan
dari setengah syaikh-syaikh tasawwuf, bahwa mengatakan: “Aku bertemu dengan
Abul-Abbas Al-Khidlir as. Lalu aku bertanya: ‘Apakah kata tuan tentang
mendengar nyanyian ini, yang dipertengkarkan oleh sahabat-sahabat kami ?”. Maka
menjawab AL-Khidlir: “Mendengar nyanyian itu hal yang bersih yang
menggelincirkan, yang tidak tetap di atasnya, selain tapak kaki ulama-ulama”.
Diceritakan dari Mimsyad Ad-Dainuri, bahwa mengatakan: “Aku bermimpi bertemu
dengan Nabi saw lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! adakah engkau menantang
sesuatu dari mendengar nyanyian ini ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Tidaklah aku
menantang sesuatu darpadanya. Tetapi katakanlah kepada mereka, supaya mereka
memulai sebelumnya dengan Alquran dan menyudahi sesudahnya dengan Alquran !”.
Diceritakan dari Thahir bin Bilal Al-Hamdani Al-Warraq dan ia adalah termasuk
ahli ilmu, yang mengatakan: “Aku ber-i’tikaf pada masjid jami’ Jeddah dekat
laut. Maka pada suatu hari aku melihat sekumpulan orang bernyanyi pada suatu
sudut dari masjid itu suatu nyanyian. Dan mereka itu mendengarnya. Lalu aku
menantang yang demikian dengan hatiku. Dan aku berkata pada diriku: ‘Dalam
suatu rumah dari rumah Allah (baitullah), mereka itu mengatakan pantun”. Thahir
meneruskan ceritanya: “Lalu pada malam itu aku bermimpi bertemu dengan
Rasulullah saw. Dan beliau itu duduk pada sudut itu dan di sampingnya Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra. Dan tiba-tiba Abu Bakar mengucapkan sesuatu dari nyanyian itu
dan Nabi saw mendengarkannya. Dan meletakkan tangannya di atas dadanya seperti
orang yang terpesona dengan demikian. Lalu aku berkata pada diriku: “Tiada
seyogyalah aku menantang mereka yang mendengar itu. Dan ini Rasulullah saw
mendengar dan Abu Bakar melagukan. Lalu Rasulullah saw berpaling kepadaku,
seraya bersabda: “Ini adalah kebenaran dengan kebenaran”. Atau beliau bersabda:
“Kebenaran dari kebenaran”, aku ragu yang mana diantara dua perkataan itu yang
diucapkan oleh Nabi saw”. Al-Junaid berkata: “Diturunkan rahmat kepada golongan
ini, (golongan shufi) pada 3 tempat: ketika makan. Karena mereka itu tidak
makan, selain dari sangat lapar. Ketika membicarakan ilmu pengetahuan
(mudzakarah). Karena mereka itu tiada bersoal-jawab, selain mengenai kedudukan
orang-orang shiddiq (orang yang benar-benar membenarkan agama). Dan ketika
mendengar nyanyian. Karena mereka itu mendengar dengan berkesan di hati dan
mengakui akan kebenaran”. Dari Ibnu Juraij, bahwa ia memandang ringan tentang
nyanyian. Lalu ia ditanyakan orang: “Adakah nyanyian itu didatangkan pada hari
qiamat, dalam jumlah kebaikanmu atau kejahatanmu ?”. Lalu Ibnu Juraij menjawab:
“”Tidak dalam kebaikan dan tidak dalam kejahatan. Karena nyanyian itu
menyerupai dengan perbuatan yang yang sia-sia. Allah Ta’ala berfirman: “Allah
tidak mengadakan tuntutan -kewajiban- karena sumpahmu yang tidak disengaja”. S
2 Al Baqarah ayat 225. Inilah yang dinukilkan dari ucapan-ucapan ulama !
barangsiapa mencari kebenaran pada bertaqlid (mengikuti ulama-ulama), maka
bagaimanapun ia memeriksa dengan mendalam, niscaya bertentanganlah
ucapan-ucapan itu pada bertaqlid tadi. Lalu tinggallah ia dalam keheranan atau
condong kepada sebahagian dari ucapan-ucapan itu dengan keinginan saja. Dan
semua itu adalah teledor. Tetapi seyogyalah mencari kebenaran menurut jalannya.
Dan yang demikian itu, dengan pembahasan dari tempat-tempat diketahui
pelarangan dan pembolehan, sebagaimana akan kami terangkan ini.
PENJELASAN: Dalil tentang pembolehan mendengar nyanyian.
Ketahuilah, bahwa perkataan
dari orang yang mengatakan: mendengar nyanyian itu haram, artinya: bahwa Allah
Ta’ala menyiksakannya. Dan ini adalah suatu hal yang tidak dapat diketahui,
dengan semata-mata akal. Tetapi dengan mendengar dalil agama. Mengenal hukum
keagamaan itu terbatas pada nash (dalil agama yang tegas). Atau qias (analogi)
kepada yang dinashkan. Yang dimaksud dengan nash, ialah apa yang dijelaskan
oleh Nabi saw dengan perkataan atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan qias,
ialah: pengertian yang dipahami dari perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan Nabi saw. Jikalau tidak ada padanya nash dan tidak lurus
padanya qias kepada yang dinashkan, niscaya batallah perkataan mengharamkannya.
Dan tinggallah sebagai perbuatan yang tidak ada apa-apa padanya, seperti
perbuatan-perbuatan lain yang diperbolehkan (perbuatan mubah). Dan tidak adalah
nash dan qias yang menunjukkan kepada mengharamkan mendengar nyanyian. Dan yang
demikian itu jelas pada jawaban kami, dari dalil-dalil mereka yang cenderung
kepada mengharamkannya. Manakala telah sempurnalah jawaban dari dalil-dalil
mereka, niscaya adalah yang demikian, jalan yang mencukupi tentang
mempositifkan (menetapkan) maksud ini. Tetapi kami mulai dan mengatakan:
sesungguhnya bersama-sama nash dan qias menunjukkan kepada membolehkannya.
Adapun qias, yaitu: sesungguhnya nyanyian iitu, berkumpul padanya segala
pengertian, yang seyogyalah dibahas masing-masing daripadanya, kemudian dari
keseluruhannya. Maka sesungguhnya pada nyanyian itu, ada nyanyian dengan suara
merdu yang bertimbangan (mempunyai not), yang dipahami maksudnya, yang
menggerakkan hati. Maka sifat yang lebih umum, ialah bahwa nyanyian itu, suara
yang merdu. Kemudian suara yang merdu itu terbagi kepada: yang bertimbangan dan
yang tidak bertimbangan. Yang bertimbangan, terbagi kepada: yang dipahami,
seperti: pantun-pantun. Dan yang tidak dipahami, seperti: bunyi barang-barang
keras dan binatang-binatang lainnya. Adapun mendengar suara yang merdu, dari
segi kemerduannya, maka tiada seyogyalah diharamkan. Tetapi adalah halal dengan
nash dan qias. Adapun qias, maka yaitu: kembali kepada mendapat kelezatan
pancaindra (perasaan) mendengar, dengan memperoleh hal yang khusus dengan
pendengaran itu. Dan manusia itu, mempunyai akal-pikiran dan 5 pancaindra.
Masing-masing pancaindra itu, mempunyai perasaan memperoleh sesuatu. Dan pada
yang didapati pancaindra itu ada sesuatu yang melezatkan. Kelezatan memandang
adalah pada pandangan-pandangan yang cantik, seperti: sayur-sayuran yang
menghijau, air yang mengalir dan muka yang cantik. Pada umumnya, segala warna
yang cantik lainnya. Dan itu adalah kebalikan dari apa yang tidak sukai, dari
warna-warna yang keruh lagi buruk. Dan penciuman mempunyai bau-bauan yang
harum. Dan itu adalah kebalikan dari bau busuk yang tidak disukai. Dan
perasaan, mempunyai makanan yang lezat cita rasanya, seperti: lemak, manis dan
masam. Dan itu adalah kebalikan rasa pahit yang tidak baik. Dan penyentuhan,
mempunyai kelezatan lembut, licin dan halus. Dan itu adalah kebalikan dari kasar
dan buruk budi. Dan akal pikiran, mempunyai kelezatan ilmu dan pengenalan
(ma’rifah). Dan itu adalah kebalikan dari bodoh dan dungu. Maka demikian juga
suara-suara yang diperoleh dengan pendengaran, terbagi kepada yang dilezati
(disenangi), seperti: suara burung murai dan bunyi serunai. Dan yang tiada
disenangi, seperti: suara keledai dan lainnya. Maka alangkah jelasnya kiasan
pancaindra ini dan kelezatannya, dibandingkan dengan pancaindra lainnya dan
kelezatannya. Adapun nash, maka menunjukkan kepada bolehnya mendengar suara
yang merdu, suatu nikmat Allah Ta’ala kepada hambaNya dengan suara yang merdu
itu. Karena Ia berfirman: “Ia (Allah) menambah pada makhluqNya apa yang
dikehendakiNya”. S 35 Faathir ayat 1. Maka ada yang mengatakan, ialah: suara yang
merdu. Dan pada hadits, tersebut: “Allah Ta’ala tiada mengutus seorang Nabi,
melainkan bagus suaranya”. Dan Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala sangat
mendengar orang yang bagus suaranya dengan pembacaan Alquran yang dibacanya
dengan suara keras, daripada orang yang mempunyai budak perempuan, yang
mendengar bacaan budak perempuannya itu”. Dan tersebut pada hadits yang
menerangkan pujian kepada Nabi Daud as: “Sesungguhnya Nabi Daud as bagus
suaranya pada berlagu yang membawa kepada menangis atas dirinya sendiri dan
pada membaca Zabur. Sehingga berkumpullah manusia, jin, binatang-binatang liar
dan burung-burung untuk mendengar suaranya. Dan adalah dibawa pada majelis Nabi
Daud as itu 400 jenazah (orang yang meninggal) dan mendekati 400 pada segala
waktu”. Bersabda Nabi saw memuji Abu Musa Al-Asy’ari: “Sesungguhnya telah
diberikan kepadanya (Abu Musa Al-Asy’ari) serunai dari serunai-serunai keluarga
Daud”. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnnya suara yang amat buruk, ialah
suara himar (keledai)”. S 31 Lukman ayat 19, menunjukkan dengan yang terpaham
daripadanya, kepada pujian suara yang bagus. Jikalau boleh dikatakan, bahwa
diperbolehkan yang demikian, dengan syarat adanya pada Alquran, niscaya
haruslah diharamkan mendengar suara burung murai. Karena dia itu tidak dari
Alquran. Dan apabila boleh mendengar suara kelalaian, yang tak ada arti, maka
mengapakah tidak diperbolehkan mendengar suara yang dapat dipahami hikmat dan
pengertian-pengertian yang benar daripadanya ? dan sesungguhnya pada sya’ir itu
mengandung hikmat. Ini adalah pandangan pada suara, dari segi bahwa suara itu
bagus dan baik.
Derajat kedua, ialah
memandang pada suara yang bagus lagi bertimbangan. Karena bertimbangan itu
adalah dibalik kebagusan. Berapa banyak suara yang bagus diluar dari bertimbangan.
Dan berapa banyak suara yang bertimbangan, tidak bagus. Dan suara bertimbangan,
memandang kepada tempat keluarnya (sumbernya) itu 3: adakalanya keluar
(bersumber) dari benda keras, seperti suara (bunyi) serunai, gitar, suling,
tambur dll. Adakalanya keluar dari kerongkongan hewan. Dan hewan itu,
adakalanya manusia atau lainnya, seperti suara murai, merpati dan suara
burung-burung yang bersajak. Suara itu serta bagusnya adalah bertimbangan,
bersesuaian terbit dan putusnya. Maka karena itulah enak didengar. Dan asal
segala suara itu ialah dari kerongkongan hewan. Dan sesungguhnya meletakkan
serunai diatas suara kerongkongan, ialah penyerupaan suara yang diperbuat
manusia (shun’ah), dengan suara yang dijadikan oleh Allah (khilqah). Dan tiada
suatupun yang dicapai oleh ahli-ahli pembuat, dengan pembuatannya, kepada
memberi bentuknya, melainkan telah mempunyai contoh pada makhluq (alam) yang
dipilih oleh Allah Ta’ala dengan menciptakannya. Maka daripada itulah, para
pembuat (pengusaha-pengusaha pabrik) mempelajarinya. Dan dengan contoh itulah
mereka bermaksud menurutinya. Dan uraian yang demikian itu akan panjang !. Maka
mendengar suara-suara tersebut, mustahillah diharamkan, lantaran bagusnya atau
bertimbangannya. Tiadalah jalan kepada mengharamkan suara burung murai dan
burung-burung yang lain. Dan tiada bedanya antara satu kerongkongan dengan satu
kerongkongan dan antara barang keras dan hewan. Maka seyogyalah diqiaskan
kepada suara burung murai, suara-suara yang keluar dari tubuh-tubuh lainnya
dengan usaha manusia. Seperti yang keluar dari kerongkongannya atau dari
suling, tambur, genderang dan lainnya. Dan tiada dikecualikan dari ini, selain
alat-alat permainan, gitar dan serunai yang ditegaskan oleh agama
pelarangannya. Tidak karena keenakannya. Karena kalau karena keenakannya,
tentulah akan diqiaskan kepadanya segala yang dirasakan manusia keenakannya.
Tetapi diharamkan khamar (minuman yang memabukkan). Dan dikehendaki oleh
tertariknya manusia kepada khamar, untuk bersangatan mencegahkannya. Sehingga
berkesudahanlah perintah sebagai langkah permulaan, kepada memecahkan bejana
tempat pembuatan khamar. Maka diharamkan bersama khamar, apa-apa yang menjadi
syi’ar (simbul) bagi peminum, yaitu: gitar dan serunai saja. Dan pengharamannya
adalah dari segi mengikutkan. Sebagaimana diharamkan sendirian (khilwah) dengan
wanita ajnabiyah (wanita asing, bukan keluarga yang hararm dikawini). Karena
itu adalah pendahuluan bagi bersetubuh. Dan diharamkan memandang kepada paha,
karena bersambungnya dengan bagian depan dan bagian belakang. Dan diharamkan
sedikit khamar, walaupun tidak memabukkan. Karena membawa kepada mabuk. Dan
tiadalah dari yang haram, melainkan mempunyai yang diharamkan yang berkisar
padanya. Dan hukum pengharamannya meratai kepada semua yang diharamkan. Supaya
menjadi penjagaan dan pemeliharaan bagi haram dan pencegahan yang mencegah di
kelilingnya. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya tiap-tiap raja itu
mempunyai pertahanan dan pertahanan Allah ialah, segala yang diharamkanNya”.
Maka permainan yang menjadi simbul peminum khamar itupun diharamkan. Karena
mengikuti pengharaman khamar, disebabkan 3 alasan:
Pertama: bahwa
permainan-permainan itu, membawa kepada meminum khamar. Karena kelezatan yang
diperoleh dengan yang demikian, menjadi sempurna dengan khamar. Dan karena
alasan yang seperti ini, maka diharamkan sedikit khamar.
Kedua: bahwa terhadap orang
yang baru saja meminum khamar, mengingatkannya tempat duduk bersenang-senang
meminumnya. Maka permainan-permainan itu menjadi sebab teringat. Dan teringat
itu menjadi sebab membangkitnya keinginan. Dan membangkitnya keinginan, apabila
telah menjadi kuat, adalah sebab tampil untuk minum. Dan karena alasan inilah,
dilarang membuat buah anggur kering dalam bejana bercat hitam, belanga berwarna
hijau dan bejana yang terbuat dari batu atau kayu yang dikorek. Itulah
bejana-bejana yang sudah tertentu bentuknya. Maka yang diartikan dengan ini
ialah, bahwa dengan melihat bentuknya saja akan mengingatkan kepada khamar.
Alasan ini berbeda dengan alasan pertama. Karena tak ada padanya perkiraan
kelezatan pada ingatan. Karena, tak ada kelezatan pada melihat botol dan
bejana-bejana minuman. Tetapi dari segi memperoleh ingatan dengan bejana-bejana
itu. Jikalau mendengar nyanyian lalu mengingatkan minum, yang merindukan kepada
khamar pada orang yang menyukai demikian beserta minum, maka adalah dilarang
dari mendengar itu, karena ketentuan alasan ini padanya.
Ketiga: kesepakatan padanya,
manakala telah menjadi adat-kebiasaan orang-orang fasiq (orang suka berbuat
dosa). Maka dilaranglah menyerupai dengan mereka itu. Karena barangsiapa
menyerupai dengan suatu golongan maka dia termasuk golongan itu. Dan dengan
alasan inilah, kami mengatakan: ditinggalkan sunnah manakala sunnah itu telah
menjadi syi’ar (simbul) bagi golongan bid’ah. Karena ditakuti menyerupai dengan
mereka itu. Dan dengan alasan inilah, diharamkan memukul kubah. Yaitu: gendang
panjang, kecil tengahnya, luas dua tepinya. Memukulnya waktu itu adalah
adat-kebiasaan orang-orang yang menyerupakan dirinya seperti kaum wanita
(mukhannats). Jikalau tak ada padanya penyerupaan, niscaya menyerupailah dengan
gendang orang naik hajji dan pergi berperang. Dengan alasan inilah, kami
mengatakan, bahwa jikalau berkumpullah suatu kumpulan orang, mereka menghiaskan
suatu pertemuan dan mendatangkan perkakas-perkakas minuman dan gelas-gelasnya
dan menuangkan ke dalamnya sakanjabin (semacam minuman yang diperbuat dari cuka
dan madu) dan menentukan seorang pelayan yang mengelilingi mereka dan
memberikannya minuman. Lalu mereka itu mengambil minuman dari pelayan tadi,
meminum dan menghormati satu sama lain, dengan kata-kata yang dibiasakan
diantara mereka, niscaya haramlah yang demikian kepada mereka. Walaupun yang
diminum itu minuman yang diperbolehkan. Karena pada keadaan yang seperti ini,
adalah penyerupaan dengan orang-orang yang berbuat kerusakan. Bahkan karena
inilah, maka dilarang memakai qabba’ (semacam pakaian yang terbuka di bagian
depan) dan membiarkan rambut di kepala dengan qaza’ (digunting sebagian dari
kepala dan tidak digunting yang sebagian) pada negeri-negeri, dimana pemakaian
qabba’ termasuk pakaian orang-orang yang membuat kerusakan. Dan tidak dilarang
yang demikian, pada negeri-negeri di belakang sungai. Karena dibiasakan yang
demikian, oleh orang baik-baik (orang-orang shalih) pada mereka. Maka dengan
pengertian inilah, diharamkan serunai Irak dan gitar semuanya, seperti: ‘iid
(mandolin), marakas, rebab, barbath dan lainnya. Selain dari itu, tidaklah
seperti alat-alat permainan tadi, seperti: alat permainan gembala, orang-orang
naik hajji dan alat permainan tukang pemukul tambur dan seperti tambur, suling
dan tiap-tiap alat permainan yang mendatangkan suara merdu yang bertimbangan,
selain dari yang dibiasakan oleh tukang-tukang minum. Karena semuanya itu,
tidak ada hubungannya dengan khamar. Tidak mengingatkan kepada khamar. Tidak
merindukan kepada khamar. Dan tidak mengharuskan penyerupaan dengan
tukang-tukang khamar. Maka tidaklah termasuk dalam pengertian khamar. Sehingga
tinggallah diatas aslinya: diperbolehkan. Karena diperbandingkan (diqiaskan)
kepada bunyi burung-burung dan lainnya. Bahkan aku berkata: mendengar gitar
dari orang yang memainkannya tanpa timbangan yang sesuai, yang mengenakkan,
adalah haram juga. Dan dengan ini, nyatalah bahwa tidak ada alasan pada mengharamkannya
semata-mata kelezatan yang bagus. Tetapi menurut qias itu menghalalkan segala
yang bagus. Kecuali ada pada penghalalannya itu kerusakan. Allah Ta’ala
berfirman: “Katakan: Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan
(memakan) rezeqi yang baik yang diadakanNya untuk hamba-hambaNya ?”. S 7 Al
A’raaf ayat 32. Semua suara ini tiada diharamkan, dari segi suara-suara itu
adalah suara-suara yang bertimbangan. Hanya diharamkan disebabkan suatu hal
lain yang mendatang, sebagaimana akan diterangkan tentang hal-hal mendatang
yang mengharamkan.
Derajat ketiga: yang
bertimbangan dan dapat dipahami. Yaitu: sya’ir. Yang demikian tidaklah keluar,
selain dari kerongkongan manusia. Maka diyakini pembolehan yang demikian.
Karena tidak lebih selain adanya itu merupakan suatu yang dapat dipahami
(mafhum). Dan perkataan yang dapat dipahami, tidaklah haram. Dan suara yang
baik, yang bertimbangan, tidaklah haram. Maka apabila tidak diharamkan
satu-satu, lalu dari manakah diharamkan kesemuanya (yang berkumpul) itu ?.
Benar, mengenai yang dipahami itu diperhatikan. Kalau ada padanya sesuatu yang
terlarang, niscaya haramlah proza dan puisinya. Dan haramlah mengucapkannya,
baik dengan dilagukan atau tidak. Yang benar dalam hal ini, ialah yang
dikatakan Imam Asy-Syafi’i ra. Karena beliau mengatakan: “Syair itu perkataan.
Maka yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk”. Manakala boleh
menyanyikan sya’ir tanpa suara yang merdu dan lagu, niscaya bolehlah
menyanyikannya dengan lagu. Karena kata-kata tunggal yang diperbolehkan,
apabila terkumpul, tentu yang sudah terkumpul itu diperbolehkan. Manakala
bercampur yang diperbolehkan, niscaya tidak haram. Kecuali yang terkumpul itu
mengandung yang dilarang, dimana larangan itu tidak ada pada kata-kata
tunggalnya. Dan di sini larangan itu tidak ada. Bagaimana membantah dinyanyikan
sya’ir, sedang dihadapan Rasulullah saw sya’ir itu dinyanyikan ?. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya dari sya’ir itu ada hikmah”. ‘Aisyah menyanyikan
pantun:
Telah pergi mereka,
yang diperoleh penghidupan
dalam asuhannya.
Dan tinggallah aku di
belakang sebatang kara,
seperti kulit orang yang
berkudis pada kulitnya.
Diriwayatkan pada
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah
berkata: “Tatkala Rasulullah saw datang di Madinah, lalu Abu Bakar ra dan Bilal
ra bangkit demamnya. Dan ada di Madinah waktu itu penyakit kolera. Maka aku
bertanya: ‘Wahai ayahku ! bagaimanakah perasaan ayah sekarang ? dan wahai Bilal
! bagaimanakah perasaanmu sekarang ?”. Maka Abu Bakar ra berpantun apabila
bangkit demamnya:
Semua manusia,
pagi-pagi berada dalam keluarganya.
Dan mati itu berada,
lebih dekat dari tali kasutnya.
Dan Bilal, ketika
hilang demamnya, lalu mengeraskan suaranya dan berpantun:
Adakah tidak kiranya ingatanku,
adakah aku bermalam pada suatu malam,
di suatu lembah, sedang di
kelilingku,
rumput hijau dan rumput yang tidak
panjang ?.
Adakah pada suatu hari,
aku mengambil air Mijannah ?
Adakah terang bagiku,
air Syammah dan Tufail ?.
‘Aisyah
mengatakan: “Lalu aku terangkan yang demikian, kepada Rasulullah saw. Maka
beliau berdoa: ‘Ya Allah, ya Tuhanku ! curahkanlah kecintaan kami kepada
Madinah, seperti kecintaan kami kepada Makkah atau lebih dari itu !”. Adalah
Rasulullah saw mengangkat batu merah bersama orang banyak pada pembangunan
masjid Madinah. Dan beliau bermadah:
Beban ini tidaklah,
seperti beban perang Khaibar.
Tetapi lebih besar kebajikannya pada
sisi Allah,
dan lebih suci (ath-har).
Pada kali yang
lain, Rasulullah saw bermadah pula:
Wahai Tuhanku ! sesungguhnnya hidup,
ialah hidup akhirat.
Maka anugerahilah rahmat,
kepada orang Anshar dan muhajirin !.
Dan ini tersebut
pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Adalah Nabi saw
meletakkan sebuah mimbar untuk Hassan bin Tsabit (seorang penyair ulung) dalam
masjid, Hassan itu berdiri memuji Rasulullah saw atau mempertahankannya. Dan
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menguatkan Hassan dengan
Ruhul-Qudus, tentang apa yyang dipertahankannya atau yang dipujikannya,
mengenai Rasulullah saw”. Sewaktu An-Nabighah Al-Ja’dy melagukan syairnya, lalu
Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Tidaklah kiranya mulutmu dipecahkan oleh
Allah !”. ‘Aisyah berkata: “Adalah para sahabat Rasulullah saw nyanyi-bernyanyi
beberapa kuntum syair di sisi Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw tersenyum”.
Dari ‘Amr bin Asy-Syuraid, dari ayahnya, dimana ayahnya itu menerangkan: “Aku
telah menyanyikan di hadapan Rasulullah saw 100 kuntum syair, gubahan Ummiyah
bin Abish-Shult. Semuanya disambut oleh Rasulullah saw dengan: ‘Lagi-lagi......!’.
Kemudian Rasulullah saw menyambung: ‘Hampirlah Ummiyah itu dalam syairnya
memeluk agama Islam”. Dari Anas ra bahwa: “Nabi saw dalam perjalanan, ada orang
yang bernyanyi untuknya. Dan Anjusyah bernyanyi pada rombongan wanita. Dan
Al-Barra’ bin Malik bernyanyi pada rombongan pria. Lalu Rasulullah saw
bersabda: ‘Hai Anjusyah ! pelan-pelanlah engkau membawa wanita-wanita itu, yang
ibarat kaca, mudah pecah !”. Dan selalu orang yang bernyanyi itu, di belakang
unta menurut adat kebiasaan orang Arab pada masa Rasulullah saw dan masa para
sahabat ra. Dan tidak lain yang dilagukan selain dari syair-syair, yang dibawa
dengan suara merdu dan lagu-lagu yang bertimbangan. Dan tiada seorangpun dari
para sahabat yang menantangnya. Bahkan kadang-kadang mereka itu meminta yang
demikian. Sekali untuk menggerakkan unta itu berjalan cepat dan sekali untuk
kesenangan. Maka tidak boleh diharamkan, dari segi bahwa syair itu perkataan
yang dipahami, yang disenangi, yang dibawa dengan suara merdu dan lagu yang
bertimbangan.
Derajat keempat:
memperhatikan syair itu dari segi menggerakkan hati dan membangunkan sesuatu
yang mendesakkan kepada hati. Maka dalam hal ini, aku berkata: “Sesungguhnya
Allah Ta’ala mempunyai rahasia dalam kesesuaian lagu-lagu yang bertimbangan itu
bagi jiwa. Sehingga membawa bekas kepada jiwa yang amat mena’jubkan”.
Sebahagian dari suara-suara itu, menggembirakan. Sebahagian menyedihkan.
Sebahagian menidurkan. Sebahagian menertawakan dan mengasyikkan. Dan
sebahagian, apa yang keluar dari anggota badan, adalah gerakan-gerakan menurut
timbangannya, dengan tangan, kaki dan kepala. Dan tiada seyogyalah disangka,
bahwa yang demikian itu untuk memahami arti syair. Tetapi ini berlaku pada
tali-tali gambus. Sehingga ada yang mengatakan, bahwa: orang yang tidak digerakkan
oleh kecantikan musim bunga dan kembang-kembangnya, oleh gambus dan
tali-talinya, adalah orang yang rusak susunan tubuhnya, yang tidak dapat
diobati. Bagaimanakah yang demikian itu untuk memahami artinya, sedang bekasnya
kelihatan pada bayi di dalam buaian ? suara yang merdu, sesungguhnya mendiamkan
bayi itu dari menangis. Membawa ia dari menangis, kepada mendengar suara yang
merdu itu. Dan unta serta sifatnya yang dungu terpengaruh dengan nyanyian
pembawanya, meringankannya dari pikulan yang berat. Memendekkannya dari
perjalanan yang jauh, karena sangat gembiranya mendengar nyanyian-nyanyian itu.
Membangkitkan kegembiraan ke taraf yang memabukkan dan melalaikannya. Kita
dapat menyaksikan, ketika telah jauhlah lembah yang dilampaui dan telah dirasakan
letih dan jemu, dengan beban dan pikulan, lalu apabila unta-unta itu mendengar
panggilan pembawanya dengan gema nyanyian, maka tegaklah lehernya, mendengar
nyanyian itu dengan tegak daun telinganya. Dan cepatlah ia berjalan, sehingga
bergoyanglah beban dan pikulannya. Kadang-kadang membinasakan dirinya karena
cepatnya berjalan dan beratnya pikulan. Sedang unta-unta itu tidak merasa,
karena rajinnya. Abu Bakar Muhammad bin Daud Ad-Dainuri, yang terkenal dengan
panggilan Ar-Ruqy ra bercerita: “Aku berada pada suatu desa. Lalu aku
mendatangi suatu kabilah Arab. Maka aku menjadi tetamu salah seorang dari
mereka. Dimasukkannya aku ke dalam pondoknya. Maka aku melihat dalam pondok
itu, seorang budak hitam yang diikat dengan seutas tali. Dan aku melihat beberapa
ekor unta telah mati di halaman rumah itu. Dan yang tinggal hanya seekor unta
saja dalam keadaan kurus kering dan lesu. Seakan-akan nyawanya akan dicabut.
Lalu budak itu berkata kepadaku: “Tuan adalah tamu. Tuan berhak memberi syafaat
(memberi pertolongan) untukku pada tuanku. Karena tuanku amat memuliakan
tetamunya. Maka tidak akan ditolaknya syafaat tuan dalam hal yang seperti ini.
Mudah-mudahan ia melepaskan ikatan daripadaku !”. Abu Bakar meneruskan
ceritanya: “Ketika mereka itu menghidangkan makanan, maka aku menolak dan
berkata: ‘Aku tidak akan makan, sebelum memberi pertolongan kepada budak ini”.
Tuan rumah menjawab: “Budak ini telah mendatangkan kemiskinan kepadaku. Dan
telah membinasakan semua hartaku”. Lalu aku bertanya: “Apakah yang telah diperbuatnya
?”. Tuan rumah menjawab: “Dia mempunyai suara merdu dan aku hidup dari hasil
punggung unta-unta ini. Dia pikulkan pada unta-unta ini beban yang berat dan
dia bernyanyi di belakang unta-unta ini. Sehingga unta-unta ini melakukan
perjalanan 3 hari dalam satu malam saja, dari karena bagus lagu nyanyiannya.
Ketika semua beban unta itu diturunkan, maka matilah semuanya. Kecuali seekor
ini. Tetapi berhubung tuan tamuku, maka demi kemuliaanmu, aku berikan budak ini
untukmu”. Maka Abu Bakar menjawab: “Aku ingin mendengar suaranya”. Setengah
pagi hari, tuan rumah itu menyuruh budak tersebut bernyanyi di belakang unta,
yang mengambil air di situ dari sebuah sumur. Tatkala budak itu mengeraskan
suara nyanyiannya, berlarianlah unta itu dan putuslah tali-talinya. Dan aku
jatuh tersungkur ke bumi. Aku tiada menyangka sekali-kali akan mendengar suara
yang semerdu itu”. Jadi, membekasnya pendengaran nyanyian pada hati, dapat
dirasakan. Dan orang yang tidak digerakkan oleh pendengaran itu, adalah orang
yang kekurangan, yang miring dari normal (abnormal), jauh dari kejiwaan,
bertambah kekasaran dan ketebalan karakter (tabiat), dibandingkan dari unta dan
burung. Bahkan dari semua binatang. Karena semua binatang itu terpengaruh
dengan lagu-lagu yang berirama. Dan karena itulah, maka burung-burung berdiri
di atas kepala Nabi Daud as, karena mendengar suaranya. Dan manakala yang
menjadi perhatian pada mendengarkan nyanyian itu, diukur dengan membekasnya
pada hati, niscaya tiada boleh dihukum secara mutlak dengan mubah dan haram.
Tetapi berbeda yang demikian, menurut keadaan, orang dan berlainan cara
nyanyian-nyanyian itu. Maka hukumnya adalah hukum sesuatu yang di dalam hati.
Abu Sulaiman berkata: “Mendengar nyanyian itu tidak membuat di dalam hati apa
yang tidak ada di dalamnya. Tetapi menggerakkan apa yang ada di dalam hati”.
Menyanyikan kalimat-kalimat yang bersajak, yang bertimbangan itu, dibiasakan
pada beberapa tempat, karena maksud-maksud tertentu, yang terikat
bekas-bekasnya di dalam hati. Yaitu 7 tempat:
Pertama: nyanyian
orang-orang hajji. Pertama-tama mereka itu berjalan keliling kampung dengan
membawa tambur, rebab dan nyanyian. Yang demikian itu mubah (diperbolehkan).
Karena merupakan syair-syair yang disusun tentang menyifatkan Ka’bah, Maqam
Ibrahim, Hathim, Sumur Zam-zam dan tempat-tempat syiar agama yang lain dan
menyifatkan desa dan lainnya. Bekas yang demikian itu, membangkitkan kerinduan
untuk mengerjakan hajji ke Baitullah. Dan mengobar-ngobarkan api semangatnya,
jikalau ada di situ kerinduan yang berhasil. Atau membangkitkan dan menarikkan
kerinduan, manakala kerinduan itu belum berhasil. Apabila ibadah hajji itu
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan rindu kepada hajji itu terpuji,
niscaya membuat kerinduan kepada hajji dengan segala cara yang merindukan adalah
terpuji. Dan sebagaimana diperbolehkan bagi juru nasehat (wa’idh) menyusun
perkataannya dalam memberi nasehat, menghiasinya dengan sajak dan merindukan
manusia kepada hajji dengan menyifatkan Baitullah dan tempat-tempat syiar agama
lainnya dan menyifatkan pahala dengan mengerjakan hajji itu, niscaya bolehlah
yang demikian bagi yang lain dari hajji, dengan penyusunan syair. Sesungguhnya
irama apabila ditambahkan kepada sajak, niscaya kata-kata itu lebih lagi jatuh
ke dalam hati. maka apabila ditambahkan kepadanya suara yang merdu dan nyanyian
yang bertimbangan, niscaya bertambahlah jatuhnya dalam hati. Jikalau
ditambahkan lagi kepadanya tambur, rebab dan gerakan-gerakan yang lebih
menjatuhkan ke dalam hati, niscaya bertambahlah membekasnya. Semua itu dibolehkan
(jaiz), selama tidak turut di dalamnya seruling dan rebab, yang menjadi simbul
dari orang-orang jahat. Ya, jikalau dimaksudkan dengan nyanyian itu, untuk
menarik orang yang tidak diperbolehkan pergi hajji, seperti orang yang telah
digugurkan fardlu hajji dari dirinya dan tidak diizinkan oleh ibu bapaknya
pergi hajji, maka orang tersebut haramlah pergi mengerjakan hajji. Maka
haramlah menariknya kepada hajji dengan mendengar nyanyian dan semua perkataan
yang menarik hatinya kepada pergi hajji. Karena menarik kepada yang haram
adalah haram. Begitupula jikalau jalan tidak aman dan sering mendapat
kecelakaan. Maka tidak boleh menggerakkan dan mengobatkan hati itu dengan
menariknya kepada hajji.
Kedua: apa yang dibiasakan
oleh pemimpin-pemimpin peperangan untuk membangkitkan semangat manusia kepada
perang. Itu juga diperbolehkan, sebagaimana bagi orang hajji. Tetapi seyogyalah
berbeda syair dan cara nyanyian mereka, dari syair dan caranya nyanyian orang
hajji. Karena pembangkitan semangat yang memanggil kepada perang, dengan
pemberanian, penggerakan kasar hati dan marah pada peperangan itu kepada
orang-orang kafir yang diperangi dan membaikkan keberanian, merasa ringan
memberi nyawa dan harta kepada peperangan, dengan menambahkan kepadanya, dengan
syair-syair yang memberanikan hati. Umpamanya kata Al-Mutanabbi dalam madahnya:
Kalau engkau tidak mati,
di bawah kilatan pedang dengan
kemuliaan,
niscaya engkau akan mati,
menderita kehinaan, tanpa kemuliaan.
Dan katanya lagi:
Orang penakut memandang,
bahwa sifat penakut itu hati-hati.
Itu adalah tipuan,
dari sifat yang buruk sekali.
Contoh-contoh
yang seperti itu dan jalan-jalan irama yang membangkitkan keberanian, adalah
berlainan dari cara-cara yang menarik kepada kerinduan hati. Ini juga
diperbolehkan pada waktu diperbolehkan peperangan. Dan disunatkan pada waktu
disunatkan peperangan. Tetapi terhadap orang yang diperbolehkan keluar ke medan
perang.
Ketiga: pantun-pantun yang
diucapkan oleh orang-orang yang berani, waktu bertemu dengan musuh. Maksudnya,
ialah menimbulkan keberanian bagi diri sendiri dan bagi teman-teman
seperjuangan. Dan menggerakkan kesungguhan mereka untuk berperang. Pada pantun
itu mengandung pujian kepada keberanian dan pada memberikan bantuan kepada
teman. Yang demikian itu apabila diucapkan dengan kata-kata yang lemah-lembut
dan suara yang merdu, niscaya lebih mendalam jatuhnya ke dalam jiwa. Yang
demikian itu diperbolehkan pada semua peperangan yang diperbolehkan. Dan
disunatkan pada semua peperangan yang disunatkan. Dan dilarang pada peperangan
antara kaum muslimin dan orang dzimmi (orang kafir yang berada dalam
perlindungan kaum muslimin) dan pada semua peperangan yang dilarang. Karena
menggerakkan hal-hal yang membawa kepada terlarang, adalah terlarang. Yang
demikian itu, adalah dinukilkan dari para sahabat yang berani, seperti ‘Ali ra,
Khalid ra dll. Karena itulah kami katakan: “Seyogyalah dilarang memukul rebab
pada asrama tentara yang berperang. Karena bunyinya halus menyedihkan,
melepaskan ikatan keberanian, melemahkan kekerasan jiwa, merindukan kepada
keluarga dan kampung halaman, mempusakakan kelunturan pada peperangan. Demikian
juga bunyi-bunyian yang lain dan nyanyian-nyanyian yang melembutkan hati. Maka
nyanyian-nyanyian yang melembutkan dan yang menyedihkan hati, berlainan dari nyanyian-nyanyian
yang menggerakkan semangat dan memberanikan hati. Orang yang berbuat demikian
dengan maksud mengobahkan hati dan melumpuhkan pikiran dari peperangan yang
wajib, adalah berdosa. Dan orang yang berbuat demikian dengan maksud
melumpuhkan pikiran dari peperangan yang dilarang, adalah menjadi orang yang
taat (beroleh pahala) dengan demikian.
Keempat: suara dan
nyanyian ratapan, membekasnya pada pembangkitan kesedihan, tangisan dan selalu
berduka cita. Kesedihan itu dua macam: terpuji dan tercela. Yang terpuji,
seperti kesedihan kepada yang telah hilang. Allah Ta’ala berfirman: “Supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu”. S 57 Al Hadiid
ayat 23. Kesedihan terhadap orang yang telah meninggal, termasuk golongan ini.
Maka sesungguhnya itu marah kepada qodo’ (hukum) Allah Ta’ala. Dan merasa kesal
terhadap apa yang tiada diperolehnya lagi. Manakala kesedihan ini tercela, maka
menggerakkannya dengan ratapan adalah tercela. Karena itulah datang larangan
yang tegas tentang ratapan. Apabila kesedihan yang terpuji, ialah kesedihan
seseorang terhadap keteledorannya dalam urusan agamanya. Dan tangisnya terhadap
segala kesalahan, tangis dan tangis-menangisi, sedih dan sedih-menyedihi diatas
yang demikian, adalah terpuji. Di atas yang demikianlah, tangisan Nabi Adam as.
Menggerakkan dan menguatkan kesedihan ini adalah terpuji. Karena membangkitkan
untuk terus-menerus memperoleh apa yang telah hilang. Dan karena itulah,
ratapan Nabi Daud as terpuji. Karena adanya yang demikian serta berkekalan
kesedihan dan lamanya tangisan, disebabkan kesalahan dan dosa. Adalah Nabi Daud
as menangis dan membuat menangisnya orang lain. Ia sedih dan membuat sedihnya
orang lain. Sehingga jenazah-jenazah itu diangkat dari majelis ratapannya. Ia
berbuat demikian dengan kata-kata dan nyanyian-nyanyiannya. Yang demikian itu
terpuji. Karena yang membawa kepada terpuji, adalah terpuji. Dan di atas dasar
inilah, tidak diharamkan kepada juru nasehat (muballigh) yang merdu suaranya,
menyanyi di atas mimbar (podium) dengan menyanyikan syair-syair yang
menyedihkan, yang melembutkan hati. Dan tidak haram menangis dan
tangis-menangisi supaya sampai dengan yang demikian, kepada membuat orang lain
menangis dan membangkitkan kesedihannya.
Kelima: mendengar nyanyian
pada waktu-waktu gembira, untuk memperkuatkan dan mengobar-ngobarkan
kegembiraan. Dan itu adalah mubah, jikalau kegembiraan itu mubah. Seperti
menyanyi pada hari-hari lebaran, pada perkawinan, pada waktu kedatangan orang
yang berpergian jauh (orang musafir), pada waktu pesta perkawinan, ‘aqiqah
(menyembelih kambing ‘aqiqah sesudah beberapa waktu dari kelahiran anak),
ketika lahir anak, ketika pengkhitanan dan ketika anak itu telah menghafal
Alquran Mulia. Semua itu mubah, untuk melahirkan kegembiraan. Dan dasar pembolehannya,
ialah bahwa sebahagian dari nyanyian itu adalah membangkitkan kesenangan,
kegembiraan dan kesukaan. Maka semua yang membolehkan kegembiraan, niscaya
bolehlah membangkitkan kegembiraan padanya. Dan untuk ini dibuktikan dari naqal
oleh nyanyian para wanita di atas rumah di Madinah, dengan rebana dan nyanyian,
ketika datang Rasulullah saw, yaitu: “Telah terbit purnama raya kepada kita,
dari bukit Tsaniyyatil-Wada’ di Makkah, wajiblah bersyukur, diatas pundak kita,
apa yang diserukan oleh Penyeru kepada Allah”. Ini adalah melahirkan
kegembiraan karena kedatangan Nabi saw. Dan itu adalah kegembiraan yang
terpuji. Maka melahirkannya dengan syair, nyanyian, tarian dan gerakan-gerakan
juga terpuji. Telah dinukilkan dari segolongan sahabat ra, bahwa mereka itu
menari pada suatu kegembiraan yang diperoleh mereka, sebagaimana akan
diterangkan nanti mengenai hukum menari. Dan adalah diperbolehkan pada waktu
kedatangan tiap-tiap orang yang datang, yang diperbolehkan bergembira dengan
kedatangannya. Dan pada semua sebab kesenangan yang diperbolehkan. Dan untuk
ini berdalilkan apa yang dirawikan pada Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
(Ash-Shahihain) dari ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnyya aku melihat
Nabi saw menutupkan aku dengan selendangnya dan aku melihat orang Habsyi
bermain, dalam masjid. Sehingga akulah yang menjemukan Nabi saw”. Maka
taksirlah akan keadaan wanita yang masih muda yang suka kepada permainan
(tetapi ia sudah bosan), adalah menunjukkan kepada lamanya berdiri melihat
permainan itu. dirawikan Al-Bukhari dan juga Muslim dalam Kitab Shahih
keduanya, hadits ‘Uqail, dari Az-Zuhri, dari ‘Arwah, dari ‘Aisyah: “Bahwa Abu
Bakar ra masuk ke rumah ‘Aisyah. Dan di sampingnya dua budak wanita pada
hari-hari Mina (masih berada di Mina pada waktu hajji). Kedua budak tadi
memukul genderang dan Nabi saw menutupkan mukanya. Lalu kedua orang budak
wanita itu, dibentak oleh Abu Bakar ra. Maka Nabi saw membuka mukanya, seraya
bersabda: “Biarkanlah keduanya bermain, wahai Abu Bakar, karena sekarang hari lebaran”.
‘Aisyah berkata: “Aku melihat Nabi saw menutupkan aku dengan selendangnya. Aku
melihat orang-orang Habsyi, mereka itu bermain dalam masjid. Lalu mereka
dibentak oleh ‘Umar ra. Maka Nabi saw bersabda: “Kami jamin keamanan, wahai
Bani Arfadah !”, yakni keamanan dari gangguan. Dari hadits ‘Amir bin Al-Hars,
dari Ibni Syihab seperti hadits itu juga. Dan pada hadits ini, kedua budak di
atas nyanyian dan memukul rebana. Dan pada hadits Abi Thahir, dari Ibni Wahab,
riwayat ‘Aisyah itu berbunyi: “Demi Allah ! sesungguhnya aku melihat Rasulullah
saw, berdiri pada pintu kamarku. Dan orang-orang Habsyi itu bermain tombak
dalam masjid Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw menutupkan aku dengan kainnya
atau dengan selendangnya. Supaya aku melihat permainan mereka itu. Kemudian
Rasulullah saw berdiri dari karenaku, sehingga aku berpindah dari tempat itu”.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dimana beliau berkata: “Aku bermain dengan anak-anak
perempuan di sisi Rasulullah saw. ‘Aisyah meneruskan ceritanya: “Dan telah
datang kepadaku teman-temanku wanita. Mereka itu malu kepada Rasulullah saw.
Dan Rasulullah saw gembira karena datangnya mereka kepadaku. Lalu mereka
bermain-main bersama aku”. Pada suatu riwayat, Nabi saw pada suatu hari
bertanya kepada ‘Aisyah: “Apakah ini ?”. ‘Aisyah menjawab: “Anak-anak
perempuanku !”. Rasulullah saw bertanya lagi: “Apakah ini yang aku lihat di
tengah-tengah mereka ?”. ‘Aisyah menjawab: “Kuda”. Nabi saw bertanya ppula:
“Apakah ini yang diatasnya ?”. ‘Aisyah menjawab: “Dua sayap”. Nabi saw bersabda:
“Kuda mempunyai dua sayap ?”. ‘Aisyah menyambung: “Apakah tiada engkau
mendengar, bahwa Nabi Sulaiman bin Daud as mempunyai kuda yang mempunyai
beberapa sayap ?”. ‘Aisyah menerangkan: “Lalu Rasulullah saw tertawa, sehingga
tampak gigi depannya”. Hadits ini menurut kami maksudnya dibawakan kepada
kebiasaan anak-anak, membuat bentuk sesuatu dari tanah liat dan kertas, tanpa
sempurna bentuknya. Berdalilkan apa yang dirawikan pada setengah riwayat, bahwa
kuda tersebut mempunyai dua sayap dari kertas. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw
masuk ke tempatku dan bersamaku dua budak wanita menyanyikan nyanyian Bu’ats
(nama suatu tempat di Madinah). Lalu Rasulullah saw merebahkan badannya di
tempat tidur dan memalingkan mukanya dari kedua wanita itu. Maka masuklah Abu Bakar
ra, lalu membentakkan aku, seraya berkata: ‘Seruling setan di sisi Rasulullah
saw’. Maka Rasulullah saw memandang kepada Abu Bakar dan bersabda: ‘Biarkanlah
keduanya itu !’. Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi, lalu aku
isyaratkan dengan mata, maka kedua orang budak wanita itupun keluarlah’. Pada
hari Raya, orang hitam (Habsyi) itu bermain dengan perisai dan lembing.
Adakalanya, aku bertanya kepada Rasulullah saw dan adakalanya, beliau bersabda:
“Kalau suka, lihatlah !”. Lalu aku menjawab: “Ya !”. Lalu Rasulullah saw
menyuruh aku berdiri di belakangnya dan pipiku atas pipinya. Dan beliau
bersabda kepada orang hitam itu: “Ambillah bahagianmu untuk bermain, hai Bani
Arfadah !”. Sehingga apabila aku bosan, Rasulullah saw bertanya: “Sudah cukup
?”. Aku menjawab: “Ya !”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kalau begitu pergilah
!”. Pada Shahih Muslim tersebut (cerita ‘Aisyah tadi): “Maka aku letakkan
kepalaku atas bahunya, lalu aku melihat permainan mereka itu, sehingga aku
pergi dari tempat itu”. Hadits-hadits ini semuanya, tersebut pada Ash-Shahihain
(Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Yaitu suatu nash (dalil) yang tegas,
bahwa nyanyian dan permainan tidak haram. Dan pada hadits-hadits tersebut
menunjukkan kepada berbagai macam keringanan:
Pertama: permainan.
Dan tidaklah tersembunyi kebiasaan orang Habsyi mengenai tarian dan permainan.
Kedua: berbuat
demikian dalam masjid.
Ketiga: sabda Nabi saw: “Ambillah
bahagianmu untuk bermain, hai Bani Arfadah !”. Ini adalah suruhan dan tuntutan
untuk bernain. Maka bagaimanakah dinilai permainan itu haram ?.
Keempat: larangan
Nabi saw kepada Abu Bakar ra dan ‘Umar ra dari menantang dan merobah dan
diberinya alasan dengan hari lebaran, artinya: waktu kegembiraan. Dan permainan
ini adalah sebagian dari sebab-sebab kegembiraan.
Kelima: lamanya
berdiri menyaksikan dan mendengar permainan itu, karena persetujuan ‘Aisyah.
Pada peristiwa ini menunjukkan bahwa kebagusan budi pada membaguskan jiwa kaum
wanita dan anak-anak dengan menyaksikan permainan, adalah lebih baik daripada
kekasaran pencegahan dan keburukan keadaan pada keengganan dan pelarangan
daripadanya.
Keenam: sabdanya
Nabi saw pada mulanya kepada ‘Aisyah: “Adakah engkau suka menyaksikannya ?”.
Dan tidaklah itu memerlukan kepada pertolongan keluarga, karena ditakuti dari
kemarahan atau ketegangan. Karena tuntutan apabila telah terlanjur,
kadang-kadang penolakannya menjadi sebab ketegangan. Dan itu hendaklah dijaga.
Maka didahulukanlah penjagaan atas penjagaan. Adapun mulanya ditanya, maka
tidaklah diperlukan.
Ketujuh:
pembolehan menyanyi dan memikul rebab dari kedua budak wanita itu, serta yang
demikian dapat diserupakan dengan seruling setan. Dan padanya penjelasan bahwa
seruling yang diharamkan bukanlah yang demikian.
Kedelapan: bahwa
Rasulullah saw telah diketuk pendengarannya oleh suara dua budak wanita itu.
Dan beliau berbaring di tempat tidur. Dan jikalau ada dipukul rebab pada suatu
tempat, niscaya tidak diperbolehkan duduk. Kemudian dia situ bunyi rebab itu
mengetuk pendengaran beliau. Maka ini menunjukkan bahwa suara wanita tidaklah
diharamkan mendengarnya, sebagaimana haramnya mendengar bunyi seruling. Tetapi
diharamkan ketika dikuatirkan timbulnya fitnah. Segala qias (analogi) dan
dalil-dalil tadi, menunjukkan kepada pembolehan menyanyi, menari, memukul genderang,
bermain perisai dan lembing dan melihat tarian orang Habsyi dan orang hitam
pada waktu-waktu kegembiraan, diqiaskan (dianalogikan) kepada hari lebaran.
Karena hari lebaran itu adalah hari kegembiraan. Dan yang searti dengan hari
lebaran, ialah: hari perkawinan, hari pesta kawin (walimah), ‘aqiqah,
pengkhitanan, hari kedatangan dari perjalanan jauh (musafir) dan sebab-sebab
kegembiraan yang lain. Yaitu: semua yang diperbolehkan kegembiraan pada agama.
Dan boleh bergembira dengan mengunjungi teman-teman, menjumpai dan berkumpul
dengan mereka pada suatu tempat, untuk makan-makan dan bercakap-cakap. Maka
itupun tempat dugaan boleh mendengarnya juga.
Keenam: pendengaran orang
yang asyik bercinta untuk menggerakkan kerinduan, mengobar-ngobarkan kecintaan dan
menyenangkan jiwa. Jikalau mendengar nyanyian itu dengan menyaksikan yang
dirindui, maka maksudnya menguatkan kesenangan. Jikalau mendengarnya sedang
berpisah dengan yang dirindui, maka maksudnya mengobar-ngobarkan kerinduan dan
lagi kerinduan. Walaupun itu suatu kepedihan, tetapi pada mendengarnya itu,
adalah semacam kesenangan, apabila ditambahkan pada pendengaran itu akan
harapan bersambung kembali. Karena harapan itu kesenangan. Dan putus asa dari
bertemu kembali itu memedihkan hati. Kuatnya kesenangan harapan adalah menurut
kuatnya kerinduan dan kecintaan kepada yang diharapkan itu. maka pada mendengar
itu, mengobar-ngobarkan kecintaan dan menggerakkan kerinduan. Dan menghasilkan
kesenangan harapan yang dikhayalkan pada perhubungan, serta berpanjangan kata,
pada penyifatan kecantikan yang dicintai. Dan ini halal, jikalau yang
dirindukan itu termasuk orang yang diperbolehkan berhubungan. Seperti orang
merindui isterinya atau budak wanitanya. Maka didengarinya nyanyian wanita itu
untuk bertambah-tambahnya kesenangan pada perjumpaan nantinya. Lalu
berbahagialah mata dengan melihat dan telinga dengan mendengar. Dan dipahami
oleh hati, yang halus-halus dari arti berjumpa dan berpisah. Maka
ikut-mengikutilah sebab-sebab kesenangan itu. Inilah masing-masing kesedapan
sebagian dari jumlah yang diperbolehkan di dunia ini dan harta bendanya. Dan
tidaklah kehidupan duniawi itu, selain dari kelengahan dan permainan. Dan yang
tersebut tadi adalah sebahagian daripadanya. Demikian juga, jikalau budak
wanita itu marah kepadanya atau terhalang diantaranya dan budak wanita itu,
disebabkan oleh suatu sebab, maka bolehlah ia menggerakkan kerinduannya dengan
mendengar nyanyian budak itu. Dan mengobarkan kelezatan harapan bersambung
kembali dengan pendengaran tadi. Jikalau budak wanita itu telah dijualnya atau
isterinya itu telah diceraikannya, maka haramlah yang demikian baginya sesudah
itu. Karena tidak boleh menggerakkan kerinduan, dimana tidak diperbolehkan
pelaksanaannya dengan menyambung dan bertemu. Adapun orang yang tergambar pada
hatinya gambar seorang anak laki-laki atau seorang wanita, yang tidak halal
bagi orang itu memandang dan ia menempatkan apa yang didengarnya pada apa yang
tergambar pada hatinya, maka itu haram. Karena, itu menggerakkan pikiran pada
perbuatan yang terlarang. Dan mengobarkan pendorong kepada yang tidak
diperbolehkan sampai kepadanya. Dan kebanyakan orang yang asyik dengan
percintaan dan pemuda-pemuda yang berotak lemah pada waktu nafsu syahwatnya
bergelora, senantiasalah mereka menyembunyikan sesuatu dari yang demikian. Dan
itu adalah terlarang bagi mereka. Karena padanya penyakit yang tersembunyi.
Bukan karena sesuatu yang terdapat pada pendengaran itu sendiri. Dan karena
itulah seorang ahli hikmah ditanyakan tentang kerinduan (percintaan). Lalu
menjawab: “Percintaan itu asap yang naik ke otak manusia, yang dihilangkan oleh
bersetubuh (jima’) dan dikobar-kobarkan oleh pendengaran”.
Ketujuh: pendengaran
orang yang mencintai Allah, asyik dan rindu bertemu dengan Dia. Maka orang itu
tiada memandang kepada sesuatu, melainkan melihat Allah swt padanya. Tiada
sesuatu yang mengetuk pendengarannya, melainkan mendengar Allah Ta’ala dari
padanya atau padanya. Maka pendengaran orang itu adalah mengobar-ngobarkan
kerinduannya, menguatkan keasyikan dan kecintaannya. Menggoncangkan hulu
hatinya dan mengeluarkan berbagai hal yang terbuka dan halus lembut, yang tidak
dapat disifatkan dengan kata-kata. Hanya diketahui oleh orang yang dapat
merasakannya. Dan dibantah oleh orang yang tumpul perasaannya daripada merasakannya.
Semua hal tadi dinamakan menurut istilah kaum shufi: wajda, diambil dari
kata-kata: wujus dan mushadafah, artinya: menjumpai dari dirinya hal-hal yang
tidak dijumpainya sebelum mendengar. Kemudian, hal-hal yang itu menjadi sebab
yang menghasilkan hal-hal yang mengiringi dan mengikutinya. Yang membakarkan
hati dengan apinya dan membersihkan hati dari segala kotoran. Sebagaimana api
membersihkan mutiara yang diletakkan padanya, dari kotoran. Kemudian,
kebersihan yang diperoleh itu, diiringi oleh menampaknya nur yang gemilang dan
membukanya rahasia yang terpendam. Dan itu adalah tujuan (ghayah) dari semua
yang menjadi tuntutan bagi orang-orang yang mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan
kesudahan (nihayah) dari buah semua amalan, mendekatkan diri kepadaNya. Maka
yang membawa kepada pendekatan diri itu, termasuk dalam jumlah mendekatkan
diri. Tidak dalam jumlah perbuatam ma’siat dan perbuatan mubah. Hasilnya segala
hal ini bagi hati dengan mendengar. Sebabnya itu suatu rahasia (sirr) Allah
Ta’ala pada kesesuaian nyanyian-nyanyian yang berirama bagi jiwa. Penyerahan
jiwa bagi nyanyian itu dan membekasnya karena kerinduan, kegembiraan,
kesedihan, kelapangan dan kesempitan. Dan mengenal sebab pada pembekasan jiwa
dengan bunyi-bunyian itu, adalah termasuk sebahagian yang terhalus dari: Ilmu
Mukasyafah. Orang bodoh yang membeku, yang berhati kesat, yang tidak memperoleh
kelezatan pendengaran itu, merasa heran dari kelezatan dan berkesannya di hati
seorang pendengar, kegoncangan keadaan dan perobahan warnanya. Sebagaimana
herannya hewan dari lezat cita rasanya roti yang enak. Herannya orang ‘anin
(impoten) dari lezatnya bersetubuh. Herannya anak kecil dari enaknya menjadi
kepala dan luasnya sebab-sebab untuk memperoleh kemegahan. Dan herannya orang
bodoh (orang jahil) dari lezatnya mengenal Allah Ta’ala, mengenal keagungan dan
kebesaranNya dan keajaiban-keajaiban makhluqNya. Semua itu mempunyai suatu
sebab saja, yaitu: bahwa kelezatan adalah semacam idrak (pengetahuan dengan
perasaan). Idrak itu membawa yang diketahui dan membawa kekuatan idrak. Orang
yang tidak sempurna kekuatan idraknya, niscaya tidak tergambar daripadanya
kelezatan itu. Bagaimanakah kiranya orang yang ketiadaan pancaindra: perasaan
lidah mengetahui lezatnya makanan ? bagaimanakah kiranya orang yang ketiadaan
pendengaran, mengetahui lezatnya (enaknya) nyanyian. Dan orang yang ketiadaan
akal-pikiran mengetahui lezatnya buah pikiran ?. Begitu juga, rasa mendengar
dengan hati, sesudah sampainya bunyi kepada pendengaran, akan mengetahui dengan
pancaindra yang tersembunyi dalam hati. Maka orang yang tiada mempunyainya,
niscaya tidak mustahil tidak ada kelezatannya. Mungin anda bertanya:
bagaimanakah tergambar kerinduan itu pada Allah Ta’ala, sehingga pendengaran
itu menjadi penggeraknya ?. Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang mengenal
(ma’rifah) akan Allah, niscaya sudah pasti mencintaiNya. Dan orang yang teguh
ma’rifahnya, niscaya teguhlah kecintaannya, menurut keteguhan ma’rifahnya itu.
Dan kecintaan itu apabila telah teguh, maka dinamai: rindu (‘isyq). Dan tidak
ada arti rindu, selain dari cinta yang bersangatan teguhnya. Karena itulah
orang Arab mengatakan: bahwa Muhammad itu telah asyik dengan Tuhannya, tatkala
mereka melihat Nabi kita saw berkhilwah untuk ibadah di gua Hira’. Ketahuilah,
bahwa semua yang bagus itu disukai oleh orang yang mengetahui kebagusannya. Dan
Allah Ta’ala itu elok, menyukai keelokan. Tetapi keelokan itu, jikalau
bersesuaian bentuk dan kebersihan warna, niscaya diketahui dengan pancaindra:
penglihatan. Dan jikalau keelokan itu dengan keagungan, kebesaran, ketinggian
derajat, kebagusan sifat dan budi pekerti, kemauan kebajikan untuk seluruh
makhluq dan melimpah ruahnya kebajikan itu berkekalan kepada makhluq itu dll
dari segala sifat bathiniyah, niscaya diketahui dengan pancaindra: hati.
Kata-kata: bagus, kadang-kadang dipinjam pula untuk pancaindra tadi. Lalu
dikatakan: si Anu itu baik dan bagus. Dan tidaklah dimaksudkan: bentuknya.
Tetapi dimaksudkan, bahwa si Anu itu baik akhlaknya, terpuji sifat-sifatnya,
bagus perjalanan hidupnya. Sehingga kadang-kadang ia disukai orang disebabkan
sifat-sifat bathiniyah ini, karena memandang baiknya sifat-sifat tersebut.
Sebagaimana disukai bentuk dzahiriyah. Kadang-kadang kesukaan ini teguh kuat,
maka dinamakan: ‘isyq (rindu). Berapa banyak orang yang berlebih-lebihan
mencintai pelopor-pelopor madzhab, seperti: Asy-Syafi’i ra, Malik ra dan Abu
Hanifah ra. Sehingga mereka bersedia menyerahkan harta dan jiwanya, untuk
membantu dan menolong. Dan mereka menambah berlebih-lebihan dan bersangatan di atas
semua orang ‘isyq (orang yang rindu). Dan setengah dari yang mena’jubkan, bahwa
dapat dipahami mendalamnya kecintaan kepada seseorang, yang belum pernah
sekali-kali dilihat bentuknya. Adakah dia itu bagus atau jelek. Dan orang itu
sekarang sudah meninggal. Tetapi karena kebagusan bentuk bathiniyahnya,
perjalanan hidupnya yang disukai dan kebaikan-kebaikan yang datang dari
amal-perbuatannya, untuk orang-orang agama dan hal-hal yang lain. Kemudian,
tidak dapat dipikiri, kerinduan kepada yang terlihat kebajikan-kebajikan
daripadaNya. Bahkan sebenarnya, yang tidak ada berkebajikan, tidak ada
berkebagusan dan tidak ada kesayangan di alam ini, melainkan itu, adalah salah
satu daripada kebaikan-kebaikanNya, suatu bekas dari bekas-bekas kemurahanNya
dan suatu ceduk dari lautan kemurahanNya. Bahkan semua kebagusan dan keelokan
dalam dunia, yang diketahui dengan akal-pikiran, penglihatan, pendengaran dan
pencaindra-pancaindra lainnya, dari permulaan kejadian alam sampai kepada
kehancurannya, dari puncak bintang Surayya sampai kepada lapisan tanah yang
paling bawah, adalah suatu bijian yang halus dari gudang qudrahNya dan suatu
kilatan dari Nur HadharatNya. Wahai kiranya, bagaimanakah tidak dapat dipahami
kecintaan yang begini sifatnya ? bagaimanakah tidak teguhnya kecintaan pada
orang-orang yang berilmu ma’rifah (al-‘arifiin) kepadaNya dengan segala
sifatNya ? sehingga melampaui batasan, dimana pemakaian nama: rindu kepadaNya,
merupakan kedzaliman terhadap hakNya. Karena keteledoran memberitahukan tentang
kesangatan kecintaan kepadaNya. Maka Maha Suci Allah yang terhijab (terdinding)
dari terang, disebabkan sangat terangNya. Dan tertutup dari penglihatan mata,
disebabkan cemerlang NurNya. Jikalau tidaklah terhijabNya dengan 70 hijab dari
NurNya, niscaya keMAha-Suciann WajahNya akan membakar mata orang-orang yang
memperhatikan keelokan HadharatNya. Jikalau tidaklah kelihatanNya itu sebab
ketersembunyianNya, niscaya tercenganglah segala akal-pikiran. Dan heranlah
segala hati. Lumpuhlah segala kekuatan dan centang-perenanglah segala anggota
badan. Jikalau tersusunlah hati dari batu dan besi, niscaya jadilah hati itu di
bawah permulaan Nur-TajalliNya secara pelan-pelan. Bagaimanakah hakikat cahaya
matahari menguasai penglihatan burung kelelawar ? akan datanglah penjelasan isyarat
ini pada “Kitab Al-Mahabbah” (Kitab Kecintaan). Dan jelaslah bahwa mencintai
selain Allah Ta’ala itu, kekurangan pikiran dan kebodohan. Tetapi orang yang
berkeyakinan dengan mengenal Allah (ma’rifah kepada Allah), ia tiada mengenal
selain Allah Ta’ala. Karena tidak adalah pada wujud menurut yang sebenarnya,
selain Allah dan af’alNya (perbuatanNya). Dan orang yang mengenal af’al, dari
segi bahwa itu af’al, niscaya tidak akan melewatkan dari mengenal Pembuat af’al
itu kepada orang lain. Orang yang mengenal Imam Asy-Syafi’i ra umpamanya,
mengenal pengetahuan dan karangannya, dari segi itu karangannya, tidak dari
segi bahwa karangannya itu halaman putih, kulit, tinta, kertas, kata-kata yang
tersusun dan bahasa Arab, maka sesungguhnya ia telah mengenal Imam Asy-Syafi’i
ra. Dan ia tidak akan melewatkan dari mengenal Imam Asy-Syafi’i ra kepada orang
lain. Dan tidak akan melampaui kecintaannya kepada orang lain. Semua yang
maujud (yang ada) selain dari Allah Ta’ala, maka itu adalah susunan, perbuatan
dan yang elok dari segala perbuatanNya. Siapa yang mengenal perbuatan itu, dari
segi bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah Ta’ala, maka ia melihat dari
ciptaan itu akan sifat Penciptanya, sebagaimana ia melihat dari kebagusan
susunan, akan keutamaan penyusun dan keagungan kadarnya, niscaya ma’rifah dan
kecintaannya adalah tertentu kepada Allah Ta’ala. Tidak melampaui kepada yang
lain daripadaNya. Dan dari batasan kerinduan ini, bahwa ia tidak menerima
penyekutuan. Dan semua yang lain dari kerinduan ini, adalah menerima
penyekutuan. Karena tiap-tiap yang dicintai selain daripadaNya, niscaya
tergambarlah ada tandingan. Adakalanya tentang adanya tandingan itu dan
adakalanya tentang kemungkinan adanya tandingan itu. Adapun Keelokan ini (Allah
Ta’ala), maka tidaklah tergambar ada duanya. Tidak secaar kemungkinan dan tidak
secara adanya kemungkinan. Maka nama kerinduan kepada selain Allah, adalah
secara majazi semata-mata, bukan hakiki. Benar, orang yang kurang, yang
mendekati kekurangannya kepada hewan, kadang-kadang tidak mengenal dari
kata-kata “rindu”, selain daripada mencari perhubungan. Yaitu: ibarat dari
penyentuhan tubuh dzahir dan tertunai nafsu syahwat bersetubuh. Maka seperti
keledai ini (orang yang berkekurangan sifatnya yang mendekati hewan tadi),
seyogyalah tidak dipakai padanya, kata-kata: asyik, rindu, penyambungan dan
kejinakan hati. tetapi kata-kata dan maksud-maksud tadi dijauhkan, sebagaimana
dijauhkan dari hewan, tumbuh-tumbuhan yang harum dan bunga yang wangi. Dan
khusus bagi hewan, tumbuh-tumbuhan, rumput dan daun-daun bambu. Sesungguhnya
kata-kata itu boleh, dipakai pada Allah Ta’ala, apabila tidak meragukan
pengertian, yang wajib diquduskan Allah Ta’ala daripadanya. Dan
keraguan-keraguan itu berbeda dengan berbedanya pengertian. Maka hendaklah diperhatikan
yang halus ini mengenai kata-kata yang seperti ini. Bahkan tidak jauh, bahwa
akan terjadi dari semata-mata mendengar sifat Allah Ta’ala, suatu kesan yang
menonjol, yang terputus ikatan hati karenanya. Abu Hurairah ra merawikan dari
Rasulullah saw, bahwa: “Rasulullah saw menerangkan: ada seorang anak laki-laki
dari Bani Israil di atas sebuah bukit. Lalu ia bertanya kepada ibunya:
‘Siapakah yang menjadikan langit ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Kemudian anak itu bertanya lagi: “Siapakah yang menjadikan bumi ?”. Ibunya
menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Kemudian anak itu bertanya pula: “Siapakah
yang menjadikan bukit ?”. Ibunya menjawab: “Allah ‘Azza Wa Jalla”. Kemudian
anak itu bertanya lagi: “Siapakah yang menjadikan kabut ?”. Ibunya menjawab:
“Allah ‘Azza Wa Jalla”. Lalu anak itu menyambung: “Sesungguhnya aku mendengar
keadaan yang dahsyat dari Allah”. Lalu ia melemparkan dirinya dari atas bukit,
maka badannya hancur binasa. Ini adalah, seakan-akan ia mendengar apa yang
menunjukkan kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan qudrahNya. Maka
bergoncanglah sendi-sendinya karenanya. Dan memperoleh sesuatu perasaan pada
dirinya. Lalu melemparkan dirinya, dari adanya perasaan itu. Dan tidaklah
diturunkan kitab-kitab suci, selain untuk memperoleh kegoncangan sendi-sendi
dengan mengingati Allah Ta’ala. Setengah mereka itu berkata: “Aku melihat
tertulis dalam injil: ‘Kami bernyanyi untuk kamu, maka kamu tidak bergoncang
hati dengan kegembiraan atau kesedihan. Kami meniupkan seruling untuk kamu, maka
kamu tidak menari”. Artinya: “Kami bawa kamu untuk rindu mengingati Allah
Ta’ala, tetapi kamu tidak merinduiNya”. Inilah yang kami maksudkan
menyebutkannya, dari segala macam pendengaran, segala penggerak dan segala yang
dikehendaki daripadanya. Dan telah jelas dengan pasti pembolehannya pada
sebahagian tempat dan kesunatannya pada sebahagian tempat. Jikalau anda
bertanya: “Adakah mendengar itu mempunyai suatu keadaan yang haram ?”. Aku
menjawab, bahwa mendengar itu haram, disebabkan 5 penghalang: penghalang pada
yang memperdengarkan, penghalang pada perkakas nyanyian, penghalang pada
susunan suara, penghalang pada dari yang mendengar atau pada kerajinannya dan
penghalang tentang adanya orang itu dari golongan orang awam. Karena sendi
(rukun) mendengar itu, ialah: yang memperdengarkan, yang mendengar dan alat
menperdengarkan.
Penghalang
pertama: bahwa yang memperdengarkan nyanyian itu wanita yang tidak halal
memandang kepadanya. Dan ditakutkan fitnah dari mendengar nyanyiannya. Dan
searti dengan wanita itu, anak yang muda-belia yang ditakutkan fitnah. Ini
adalah haram. Karena padanya ditakutkan fitnah. Dan tidaklah yang demikian itu
karena nyanyian. Bahkan jikalau wanita itu, ditakutkan fitnah disebabkan
suaranya dalam percakapan, tanpa lagu, maka tidak diperbolehkan bercakap-cakap
dan berbicara dengan dia. Dan juga untuk memperdengarkan suaranya pada
pembacaan Alquran. Begitu juga anak-anak (yang muda belia) yang ditakutkan
fitnah. Jikalau anda bertanya: “Adakah tuan mengatakan, bahwa yang demikian itu
haram dalam segala hal, demi menutup pintu fitnah. Atau tidak diharamkan,
kecuali, dimana ditakutkan fitnah terhadap orang yang takut akan terjadi
perzinaan”. Aku menjawab: ini masalah kemungkinan dari segi fiqh, yang
tarik-menarik padanya dua pokok:
Pertama: bahwa
khilwah (bersepi-sepian) dengan wanita lain dan memandang kepada wajahnya
adalah haram. Sama saja ditakutkan fitnah atau tidak ditakutkan. Karena wanita
itu –pada umumnya –tempat dugaan datangnyya fitnah. Maka agama menetapkan untuk
menutup pintunya, tanpa memandang bentuk-bentuk persoalannya.
Kedua: bahwa
memandang kepada anak-anak muda belia diperbolehkan. Kecuali ketika ditakutkan
fitnah. Maka tidak dihubungkan anak-anak muda beliau itu dengan wanita, tentang
umumnya penutupan pintu. Tetapi diikutkan padanya keadaan suasana. Dan suara
wanita itu berkisar diantara dua pokok ini. Jikalau kita qiaskan mendengar
suara wanita kepada memandang wajahnya, niscaya wajiblah menutup pintu (tidak
diperbolehkan sama sekali). Dan itu adalah qias yang dekat (analogi yang
berdekatan). Tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Karena nafsu syahwat
meminta untuk memandang pada permulaan berkobarnya. Dan tidak meminta untuk
mendengar suaranya. Dan tidaklah yang digerakkan oleh pandangan untuk nafsu
syahwat yang ingin disentuh, seperti yang digerakkan oleh mendengar suaranya.
Tetapi yang digerakkan oleh pandangan itu adalah lebih hebat. Dan suara wanita
pada bukan nyanyian, tidak termasuk aurah (yang tidak boleh dilihat orang).
Kaum wanita pada masa sahabat ra selalu berbicara dengan laki-laki: pada
memberi salam, minta fatwa, bertanya, bermusyawarah dll. Tetapi nyanyian itu
mempunya lebih membekas pada menggerakkan nafsu syahwat. Maka membandingkan
(mengqiaskan) mendengar suara wanita dengan memandang anak-anak muda belia,
adalah lebih utama. Karena anak-anak muda belia itu tidak disuruh menghijabkan
(menutupkan dirinya), sebagaimana kaum wanita tidak disuruh menutupkan
suaranya. Maka seyogyalah diikuti (diperhatikan) tempat berkobarnya fitnah dan
dibatasi pengharamannya kepadanya saja. Inilah qias yang terbaik pada
pendapatku. Dan ini dikuatkan oleh hadits dua budak wanita yang menyanyi di
rumah ‘Aisyah. Karena diketahui bahwa Nabi saw mendengar suara nyanyian
keduanya. Dan beliau tiada menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah fitnah itu
ditakutkan terhadap diri Nabi saw. Dari itu, maka beliau saw tidak menjaga diri
daripadanya. Jadi, persoalan ini berlainan dengan keadaan wanita dan keadaan
pria, tentang mudanya dan tuannya pria itu. Dan tidak jauh pula bahwa persoalan
dalam hal yang seperti ini berlainan dengan berbagai macam keadaan. Kita
mengatakan, bahwa bagi orang tua boleh memeluk isterinya sedang berpuasa dan
tidak boleh yang demikian bagi seorang muda. Karena pelukan itu membawa kepada
persetubuhan dalam puasa dan itu terlarang. Dan mendengar suara nyanyiannya
membawa kepada ingin memandang dan berdekatan. Dan itu haram. Yang demikian itu
berlainan pula menurut masing-masing orang.
Penghalang kedua:
tentang alat nyanyian, di mana perkakas itu menjadi simbul peminum atau orang
yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Yaitu: serunai, rebab, dan genderang
yang kecil tengahnya. Maka inilah 3 macam yang terlarang. Dan selain dari itu,
tetap pada pokoknya: diperbolehkan. Seperti: rebana, walaupun ada padanya genta.
Dan seperti: tambur, serunai dan yang dipukul dengan kayu bulat dan alat-alat
permainan lainnya.
Penghalang
ketiga: tentang susuna suara, yaitu: sya’ir. Jikalau dalam sya’ir itu terdapat
perkataan buruk, keji dan caci-maki atau perkataan dusta terhadap Allah Ta’ala
dan RasulNya saw atau terhadap para sahabat ra, seperti yang disusun oleh
golongan Rafidli (suatu golongan dari kaum Syi’ah) tentang menyerang para
sahabat Nabi saw dan lainnya, maka mendengar yang demikian itu haram. dengan
nyanyian atau tidak dengan nyanyian. Dan yang mendengar itu sekongkol dengan
yang mengatakannya. Begitu pula yang ada padanya penyifatan bentuk wanita.
Sesungguhnya tiada boleh penyifatan wanita dihadapan kaum pria. Adapun
menyerang orang kafir dan orang bid’ah dengan kata-kata itu diperbolehkan.
Adalah Hassan bin Tsabit ra mempertahankan Rasulullah saw dengan sya'irnya dan
menyerang kaum kafir. Dan Rasulullah saw menyuruhkannya dengan yang demikian.
Adapun an-nasiib, yaitu: penyerupaan dengan menyifatkan pipi, alis mata, bagus
bentuk badan, tinggi semampai dan sifat-sifat wanita yang lain, maka dalam hal
ini harus diperhatikan. Pendapat yang lebih kuat (ash-shahih), bahwa yang
tersebut tadi tidak haram menyusun kata-katanya dengan pantun dan
menyanyikannya dengan berirama atau tanpa berirama. Dan yang mendengarkannya
tidak menempatkan nyanyian itu kepada seorang wanita tertentu. Kalau
ditempatkannya, maka hendaklah ditempatkannya kepada wanita yang halal baginya.
Yaitu: isterinya dan budak wanitanya. Kalau ditempatkannya kepada wanita lain,
maka dia berdosa dengan penempatan dan pemutaran pikiran padanya. Orang yang
begini sifatnya, maka seyogyalah terus menjauhkan diri daripada mendengarnya.
Karena orang yang keras kerinduannya, niscaya menempatkan semua yang
didengarnya kepada kerinduan itu. Sama saja perkataan itu sesuai atau tidak
sesuai untuk kerinduan itu. Karena tiada suatu perkataanpun, melainkan mungkin
menempatkannya kepada beberapa arti, dengan jalan isti’arah (peminjaman
kata-kata). Orang yang mengerasi pada hatinya kecintaan kepada Allah Ta’ala,
akan teringat dengan kehitaman alis mata –umpamanya- kegelapan kufur. Dan
dengan kecantikan pipi akan cahaya iman. Dan dengan menyebut: bersambung,
teringat akan bertemu dengan Allah Ta’ala. Dan dengan menyebut: bercerai, teringat
akan terhijab daripada Allah Ta’ala dalam kumpulan orang-orang yang tertolak
amalannya. Dan dengan menyebut: pengintip yang mengganggu jiwa persambungan,
teringat akan segala penghalang dan bahaya duniawi yang mengganggu kekalnya
kejinakan hati dengan Allah Ta’ala. Dan tidak memerlukan pada penempatan
demikian, kepada pemahaman, pemikiran dan penangguhan waktu. Tetapi oleh segala
arti yang mengerasi pada hati, mendahulukan kepada pemahaman bersama perkataan.
Sebagaimana diriwayatkan dari sebahagian syaikh, bahwa beliau lalu pada suatu
pasar. Lalu mendengar seorang mengatakan: “Al-khiar ‘asyarah bi habbah (Buah
al-khiar (seperti buah mentimun) 10, harganya sebiji dirham)”. Lalu syaikh tadi
memperoleh kesan yang mendalam. Ketika ditanyakan yang demikian, beliau
menjawab: “Apabila al-khiar (yang berarti juga: orang-orang baik) 10, nilainya
sebiji dirham, maka apakah nilainya orang-orang jahat ?”. Setengah mereka (para
syaikh) singgah pada sebuah pasar. Lalu mendengar orang mengatakan: “Ya sa’tara
birri” (wahai sa’tara/nama semacam tumbuh-tumbuhan yang terkenal dalam
buku-buku kedokteran, tumbuh sendiri). Maka beliaupun memperoleh kesan yang
mendalam. Orang yang menanyakan kepadanya: “Berdasar apakah, maka kesan tuan
demikian ?”. Beliau menjawab: “Aku mendengar seolah-olah orang itu mengatakan:
“Is’a tara birri” (rajinlah mematuhi aku, engkau akan melihat kebaikan dan
pemberianku). Sehingga orang Ajam (orang yang tidak pandai bahasa Arab)pun
kadang-kadang mengerasi padanya kesan yang mendalam, bila mendengar susunan
sya’ir yang tersusun dengan bahasa Arab. Karena sebahagian hurufnya
bertimbangan (menyerupai) huruf Ajam. Lalu memahami daripadanya maksud yang
lain. Setengah mereka berpantun: “Tak adalah yang berkunjung kepadaku pada
malam hari, selain bentuknya dalam impian”. Lalu seorang laki-laki bangsa Ajam
memperoleh kesan perasaan yang mendalam. Maka ditanyakan tentang sebab kesannya
itu. Ia menjawab, bahwa penya’ir itu mengatakan: “ma zaraimi”. Yaitu: sama
seperti ia mengatakannya. Sesungguhnya perkataan “zara”, pada bahasa Ajam
(bahasa Persia), menunjukkan kepada orang yang hampir mendapat kecelakaan. Lalu
ia menyangka bahwa penya’ir itu mengatakan: “Kita semua mendekati kepada
kecelakaan”. Maka ia merasa ketika itu akan bahaya kebinasaan di akhirat. Dan orang
yang membakar (berkobar-kobar) kecintaannya kepada Allah Ta’ala dan kesan
perasaannya itu, menurut pemahamannya. Dan pemahamannya menurut khayalannya.
Dan tidaklah termasuk syarat khayalannya itu,
bahwa bersesuaian dengan maksud dan bahasa dari si penya’ir. Maka kesan
perasaan ini adalah hak dan benar. Orang yang mempunyai penuh perasaan akan
bahayanya kebinasaan di akhirat, maka patut dan layak terganggu akal-pikirannya
dan terjadi kegoncangan sendi anggota tubuhnya. Jadi, tidaklah pada perobahan
kata-kata itu sendiri besar faedahnya. Tetapi orang yang mengerasi pada dirinya
kerinduan kepada makhluq, seyogyalah menjaga diri daripada mendengarnya, dengan
kata-kata apapun adanya. Dan orang yang mengerasi padanya kecintaan kepada
Allah Ta’ala, maka tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh kata-kata. Dan
tidak mencegahkannya daripada memahami arti-arti yang halus, yang menyangkut
dengan tempat lalu cita-citanya yang mulia.
Penghalang
keempat: tentang orang yang mendengar. Yaitu: nafsu syahwatnya adalah amat
mengerasinya. Dan dia berada pada masa muda remaja. Dan keadaan tersebut lebih
mengerasinya dari keadaan lainnya. Maka mendengar itu haram kepadanya, sama
saja mengerasi pada hatinya kecintaan kepada seorang tertentu atau tidak
mengerasinya. Karena bagaimanapun adanya, maka ia tidak mendengar penyifatan
alis mata, pipi, bercerai dan bersambung, melainkan yang demikian itu akan
menggerakkan nafsu syahwatnya. Dan menempatkannya di atas bentuk yang tertentu
yang dihembuskan oleh setan ke dalam hatinya dengan yang demikian. Maka
berkobar-kobarlah api nafsu syahwatnya. Dan tajamlah segala pembangkit
kejahatan. Dan yang demikian itu menjadi penolong barisan setan. Dan membuat
kekecewaan bagi akal yang mencegahnya, yang menjadi barisan Allah Ta’ala. Dan
peperangan dalam hati itu berkekalan terus diantara tentara setan, yaitu: nafsu
syahwat dan barisan Allah Ta’ala, yaitu: cahaya akal-pikiran. Kecuali dalam
hati yang telah dimenangkan oleh salah satu dari dua tentara. Dan telah
dikuasainya secara keseluruhan. Dan kebanyakan hati sekarang telah dimenangkan
oleh tentara setan dan telah dikuasainya. Maka anda memerlukan ketika itu
kepada mengulang kembali sebab-sebab peperangan untuk mengertakkannya.
Bagaimanakah boleh memperbanyakkan persenjataan dan menajamkan pedang dan gigi,
sedang mendengar itu adalah menajamkan senjata tentara setan terhadap orang
yang seperti itu ?. Maka hendaklah orang yang seperti itu keluar dari kumpulan
mendengar. Karena mendengar itu akan mendatangkan melarat baginya.
Penghalang
kelima: bahwa orang itu termasuk orang awam. Dan tidak mengerasi padanya,
kecintaan kepada Allah Ta’ala. Maka mendengar disunatkan kepadanya. Dan tidak
mengerasi kepadanya nafsu syahwat, lalu mendengar terhadap dirinya dicegah.
Akan tetapi diperbolehkan, sebagaimana segala macam kesenangan yang
diperbolehkan lainnya. Kecuali apabila diperbuatnya mendengar nyanyian itu,
menjadi adat-kebiasaannya dan jalan hidupnya. Dan teledorlah kepadanya bahagian
yang terbanyak dari waktunya. Inilah kiranya orang bodoh yang ditolak kesaksiannya.
Karena sesungguhnya, selalu berbuat yang sia-sia itu, suatu penganiayaan.
Sebagaimana dosa kecil dengan terus-menerus dan berkekalan dikerjakan menjadi
dosa besar, maka demikian pula sebahagian perbuatan mubah, dengan berkekalan
dikerjakan itu, menjadi dosa kecil. Yaitu: seperti terus-terusan mengikuti
orang Hitam dan orang Habsyi dan melihat permainan mereka terus-menerus. Itu
adalah terlarang, walaupun asalnya tiadk terlarang. Karena telah diperbuat oleh
Rasulullah saw. Dan dari golongan ini, ialah permainan catur. Permainan catur
itu mubah. Akan tetapi terus-terusan mengerjakannya, menjadi sangat makruh.
Manakala maksudnya itu permainan dan kesenangan dengan permainan tersebut, maka
yang demikian dibolehkan. Karena padanya terdapat penyenangan hati. Karena
kesenangan hati itu adalah obat bagi hati pada setengah waktu. Supaya
membangkit segala yang dipanggil oleh hati. Lalu yang dipanggil oleh hati itu
bekerja dengan rajin pada waktu-waktu lainnya pada dunia ini, seperti berusaha
dan berniaga. Atau pada agama seperti shalat dan membaca Alquran. Dan kebagusan
yang demikian, pada berlipat-gandanya kerajinan adalah seperti bagusnya tahi
lalat di atas pipi. Jikalau tahi lalat itu meratai seluruh muka, niscaya
menjelekkan. Alangkah jeleknya ! maka yang bagus itu kembali menjadi jelek,
disebabkan banyaknya. Tidaklah tiap-tiap yang bagus menjadi bagus oleh
banyaknya. Dan tidaklah tiap-tiap yang mubah menjadi mubah oleh banyaknya.
Bahkan roti itu mubah dan berbanyak daripadanya adalah haram. Maka yang mubah
ini adalah seperti mubah-mubah lainnya !. Jikalau anda mengatakan, bahwa alunan
perkataan tadi telah membawa kepada mubah pada sebahagian keadaan dan kepada
tidak mubah pada sebahagian. Maka mengapakah Tuan pertama-tama mengatakan
secara mutlak dengan: mubah ? karena mengatakan: secara mutlak pada persoalan
yang terurai, dengan: tidak atau dengan: ya, adalah menyalahi dan salah.
Ketahuilah kiranya, bahwa kesimpulan anda ini tidak benar. Karena mutlak itu
dilarang untuk penguraian yang terjadi dari suatu persoalan yang ada padanya
penelitian. Adapun yang terjadi dari hal-hal yang mendatang, yang bersambungan
dengan dia dari luar, maka tidak dilarang dikatakan: mutlak. Apakah tidak anda
ketahui, bahwa apabila kita ditanyakan tentang: madu lebah, halalkah dia atau
tidak ? Kita menjawab, bahwa madu lebah itu halal secara mutlak. Sedang madu
itu haram terhadap orang yang sifatnya panas-darah, dimana ia akan mendapat
kemelaratan dengan madu itu. Dan apabila kita ditanyakan tentang: khamar
(minuman yang memabukkan), maka kita menjawab: bahwa khamar itu haram. Sedang
sebenarnya ia halal bagi orang yang tersumbat kerongkongannya dengan makanan,
untuk meminumnya, manakala tidak terdapat yang lain. Akan tetapi dari segi dia
itu khamar, adalah haram. Dan diperbolehkan adalah karena keperluan yang
mendatang. Dan madu lebah itu dari segi dia itu madu adalah halal. Dan
diharamkan adalah karena kemelaratan yang mendatang. Dan sesuatu yang adanya
karena yang mendatang, tidaklah menjadi perhatian benar. Bahwa berjual-beli itu
halal. Dan diharamkan disebabkan mendatang terjadinya waktu adzan hari Jum’at.
Dan sebagainya dari hal-hal mendatang yang lain. Dan mendengar nyanyian itu
termasuk jumlah yang diperbolehkan, dari segi mendengar suara merdu, yang
bertimbangan, yang dipahami. Dan pengharamannya, ialah hal yang mendatang, dari
luar dirinya sendiri. Maka apabila terbuka tutup dari dalil pembolehan, maka
kita tidak perduli orang yang menyalahinya sesudah terangnya dalil. Adapun
Asy-Syafi’i ra, maka tidaklah sekali-kali pengharaman nyanyian dari madzhabnya.
Asy-Syafi’i ra mengeluarkan nash dan berkata tentang orang yang membuat
nyanyian itu menjadi perusahaan: tidak boleh menjadi saksi. Yang demikian itu,
karena nyanyian termasuk permainan makruh yang menyerupai perbuatan batil. Orang
yang membuatnya menjadi perusahaan, maka dinamakan bodoh dan hilangnya
kemuliaan diri (muruah), walaupun tidak diharamkan diantara yang haram. Jikalau
tidak menghubungkan dirinya kepada nyanyian, ia tidak dibawa untuk itu dan ia
tidak datang karenanya, hanya ia dikenal kadang-kadang terus bernyanyi, lalu
melagukan nyanyian itu, maka cara yang demikian, tidaklah menjatuhkan
muruahnya. Dan tidaklah batal kesaksiannya. Berdalilkan dengan hadits dua budak
wanita yang bernyanyi di rumah ‘Aisyah. Yunus bin Abdul-A’la berkata: “Aku
bertanya kepada Asy-Syafi’i ra tentang diperbolehkan oleh penduduk Madinah
mendengar nyanyian. Lalu Asy-Syafi’i ra menjawab: ‘Aku tiada tahu seorangpun
dari ulama Hijaz yang memakruhkan mendengar nyanyian. Kecuali ada padanya mengenai
sifat-sifat tertentu”. Adapun nyanyian meninggi suara di belakang unta,
menyebutkan bentuk-bentuk dan tempat-tempat di musim bunga, membaguskan suara
dengan melagukan pantun-pantun itu mubah. Dan dimana Asy-Syafi’i ra mengatakan,
bahwa itu adalah permainan makruh, yang menyerupai batil, maka perkataannya:
permainan adalah benar. Akan tetapi suatu permainan, dari segi dia itu
permainan, tidaklah haram. Permainan orang Habsyi dan tarian mereka adalah
permainan. Dan Nabi saw melihatnya dan tidak memakruhkannya. Bahkan permainan
dan perbuatan yang sia-sia, tidaklah disiksakan oleh Allah Ta’ala orang
mengerjakannya, jikalau dimaksudkan bahwa itu adalah perbuatan yang tak
berfaedah. Sesungguhnya manusia, jikalau membiasakan dirinya meletakkan tangan
diatas kepalanya sehari 100 kali, maka itu adalah permainan yang tak befaedah
dan tidak haram. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak mengadakan tuntutan
kewajiban karena sumpahmu yang tidak disengaja”. S 2 Al Baqarah ayat 225.
Apabila menyebutkan nama Allah Ta’ala atas sesuatu dengan jalan sumpah, tanpa
‘aqad (ikatan dengan jual-beli atau lainnya), dan tidak bersungguh-sungguh dan
menyalahi pada sumpah itu, serta tak ada faedah padanya, maka tidak diadakan
tuntutan (siksaan). Maka bagaimanakah diadakan tuntutan (siksaan), disebabkan
sya’ir dan tarian ?. Adapun kata Asy-Syafi’i ra: menyerupai batil, maka ini
tidak menunjukkan kepada keyakinan pengharamannya. Bahkan, jikalau beliau
mengatakan, bahwa: nyanyian itu tegasnya batil, niscaya tidaklah menunjukkan
kepada pengharamannya. Hanya menunjukkan kepada kosongnya daripada faedah. Maka
yang batil ialah sesuatu yang tiada berfaedah. Perkataan seorang laki-laki
umpamanya kepada isterinya: “Aku jual diriku kepada engkau”, dan jawaban si
isteri: “Aku beli”, adalah ‘aqad batil, betapapun maksudnya permainan dan
berbaik-baikan. Dan tidak haram, kecuali apabila dimaksudkan pemilikan yang
sebenarnya yang dilarang oleh agama. Adapun kata Asy-Syafi’i ra: makruh, maka
ditempatkan pada setengah tempat yang telah aku sebutkan kepada anda. Atau
ditempatkan kepada pembersihan dari segala yang meragukan (at-tanzih). Karena
Asy-Syafi’i ra telah menyatakan dengan nash, atas mubahnya permainan catur. Dan
menyebutkan: “Bahwa aku memandang makruh tiap-tiap permainan”. Dan alasan yang
dikemukakannya menunjukkan kepada yang
demikian. Karena beliau berkata, bahwa tidaklah yang demikian itu
adat-kebiasaan kaum agama dan orang bermuruah. Ini menunjukkan kepada
at-tanzih. Dan tertolaknya kesaksian dengan selalu melakukan permainan itu,
tidak juga menunjukkan kepada pengharamannya. Bahkan kadang-kadang kesaksian
itu, ditolak (tidak dapat diterima) dari orang yang makan di pasar dan
melakukan perbuatan yang merusakkan muruah. Bahkan menenun itu perbuatan mubah
dan tidak termasuk perusahaan orang yang tidak bermuruah. Kadang-kadang ditolak
kesaksian orang yang bekerja dengan pekerjaan hina. Maka alasan yang
dikemukakannya menunjukkan, bahwa beliau maksudnya dengan makruh itu, ialah
at-tanzih. Dan ini adalah sangkaan juga kepada yang lain dari Asy-Syafi’i ra
dari imam-imam besar. Dan jikalau mereka maksudkan akan pengharaman, maka apa
yang telah kami sebutkan adalah menjadi hujjah (dalil) terhadap mereka.
PENJELASAN: Dalil orang-orang yang
mengatakan, diharamkan mendengar nyanyian dan jawaban terhadap dalil-dalil itu.
Mereka itu
berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Dan diantara manusia itu ada orang yang
membeli cerita kosong”. S 31 Lukman ayat 6. Ibnu Mas’ud ra, Al-Hasan Al-Bashari
ra dan An-Nakha’i ra mengatakan, bahwa cerita kosong ialah: nyanyian. ‘Aisyah
meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala mengharamkan
“al-qainah”, menjual, harga dan mengajarkannya”. Kami berkata, adapun
“al-qainah”, yang dimaksudkan dengan al-qainah itu, ialah: budak perempuan yang
menyanyi untuk laki-laki pada tempat minuman (bar). Dan telah kami sebutkan,
bahwa nyanyian wanita ajnabiah (bukan keluarga yang haram dikawini) untuk
orang-orang fasiq dan orang-orang yang ditakuti akan datang fitnah, adalah
haram. Dan tiada mereka maksudkan dengan fitnah, selain sesuatu yang terlarang.
Adapun nyanyian seorang budak perempuan untuk pemiliknya, maka tidak terpaham
pengharamannya dari hadits ini. Bahkan bagi bukan pemiliknya boleh mendengar
ketika tiada fitnah, berdalilkan apa yang diriwayatkan pada Ash-Shahihain (Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim), tentang nyanyian dua budak perempuan di rumah ‘Aisyah.
Adapun membeli cerita kosong dengan agama menjadi harganya, sebagai gantian
dengan cerita kosong itu, untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka adalah haram
yang tercela. Dan tidak ada padanya pertikaian pendapat. Dan tidaklah semua
nyanyian itu ganti agama yang dijualkan dan yang menyesatkan dari jalan Allah
Ta’ala. Dan itulah yang dimaksud pada ayat di atas. Jikalau dibacakan Alquran
untuk menyesatkan dari jalan Allah, niscaya haram juga. Diceritakan tentang
setengah orang-orang munafiq, bahwa ia mengimami shalat orang banyak dan tidak
dibacannya, selain surat “Abasa”. Karena ada pada surat itu, teguran kepada
Rasulullah saw. Lalu Umar ra bercita-cita membunuhnya. Dan memandang perbuatan
munafiq itu haram, menyesatkan. Dari itu, menyesatkan dengan sya’ir dan
nyanyian adalah lebih utama mengharamkannya. Mereka yang berpendapat demikian
mengambil dalil dengan firman Allah Ta’ala: “Apakah kamu merasa heran terhadap
bacaan ini ? dan kamu akan tertawa dan tiada menangis ? sedang kamu tiada
memperhatikannya ?”. S 53 An Najm ayat 59-60-61. Ibnu Abbas ra berkata: “Yaitu
nyanyian menurut bahasa Himyar”, maksudnya kata-kata: as-samdu/menyanyi. Maka
kami menjawab, bahwa seyogyalah diharamkan juga tertawa dan tidak menangis.
Karena diantara ayat di atas, melengkapi yang demikian. Jikalau dikatakan,
bahwa yang demikian itu khusus dengan penertawaan terhadap kaum muslimin,
karena keIslaman mereka. Maka ini juga khusus dengan syair dan nyanyian mereka,
dalam hal memperolok-olokan kaum muslimin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan penyair-penyair itu, diikuti oleh orang-orang jahat”. S 26 Asy Syu’araa’
ayat 224. Yang dimaksudkan, ialah: penyair-penyair kafir. Dan tidak menunjukkan
yang demikian kepada pengharaman menyusun syair itu sendiri. Mereka mengambil
dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Jabir ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Adalah Iblis orang pertama yang menangis dengan memekik-mekik dan orang
pertama yang menyanyi-nyanyi”. Dan hadits ini telah mengumpulkan diantara
tangisan dengan memekik-mekik dan nyanyian. Kami menjawab, bahwa tak dapat
tidak, sebagaimana dikecualikan daripadanya tangisan dengan memekik-mekik Daud
as dan tangisan dengan memekik-mekik orang-orang yang berdosa di atas kesalahan
mereka. Maka demikian juga dikecualikan nyanyian yang dimaksudkan untuk
menggerakkan kegembiraan, kesedihan dan kerinduan, dimana diperbolehkan
penggerakkan itu. Bahkan sebagaimana dikecualikan nyanyian dua orang budak
wanita pada hari Raya di rumah Rasulullah saw dan nyanyian kaum wanita ketika
tiba Nabi saw di Madinah dengan mengucapkan:
Telah terbit
kepada kita bulan purnama raya,
dari bukit
Tsaniyyatil wada’.
Dan mereka
mengambil dalil pula, dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Umamah dari Nabi
saw, bahwa beliau bersabda: “Tidaklah seseorang meninggikan suaranya dengan
nyanyian, melainkan diutuskan oleh Allah kepadanya dua setan diatas kedua
bahunya. Kedua setan itu memukul dada orang tadi dengan tumitnya, sehingga
orang itu berhenti”. Kami menjawab, bahwa yang demikian itu ditempatkan kepada
sebagian macam nyanyian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: nyanyian yang
menggerakkan hati kepada nafsu syahwat dan kerinduan orang banyak, yang menjadi
tujuan setan. Adapun yang digerakkan oleh kerinduan kepada Allah atau oleh
kegembiraan dengan hari raya atau oleh kelahiran anak atau kedatangan orang
dari jauh, maka ini semuanya berlawanan dengan maksud setan, berdalilkan kisah
dua budak wanita dan orang Habsyi dan hadits-hadits yang kami nukilkan dari
hadits-hadits shahih. Maka pembolehan pada suatu tempat, adalah menjadi nash
tentang pembolehan (ibahah). Dan pelarangan pada 1000 tempat, adalah suatu
kemungkinan bagi penta’wilan dan suatu kemungkinan bagi penempatan menurut
keadaannya. Adapun perbuatan, maka tak ada mempunyai penta’wilan. Karena apa
yang diharamkan memperbuatnya, sesungguhnya dihalalkan, disebabkan datang
paksaan saja. Dan apa yang diperbolehkan memperbuatnya, akan diharamkan dengan
sebab-sebab mendatang yang banyak, sampai kepada niat-niat dan maksud-maksud.
Dan mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir,
bahwa Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap sesuatu yang dimainkan oleh laki-laki
adalah batil, kecuali mengajari kudanya, melempari busurnya dan bermain-main
dengan isterinya”. Kami menjawab, bahwa sabdanya: batil, tidaklah menunjukkan
kepada haram. Tetapi menunjukkan kepada: tidak berfaedah. Dan kadang-kadang
dapat diterima yang demikian, berdasarkan bahwa bermain-main melihat orang
Habsyi itu adalah diluar dari yang 3 tadi. Dan tidak haram. Bahkan dihubungkan
yang tidak terbatas, dengan yang terbatas, karena diqiaskan, seperti sabda Nabi
saw: “Tidak halal darah orang Islam, kecuali dengan salah satu dari 3 sebab”.
Maka dihubungkan dengan salah satu dari 3 itu, akan yang ke-4 dan yang ke-5.
Maka seperti itu juga bermain-main dengan isterinya. Tak ada faedah padanya,
selain kesenangan. Dan pada ini menunjukkan, bahwa bersenang-senang di
kebun-kebun, mendengar suara burung dan bermacam-macam permainan yang dimainkan
laki-laki, tidaklah diharamkan suatupun daripadanya, walaupun boleh disifatkan
dengan batil. Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan ‘Utsman ra: “Tiada
aku menyanyi, tiada aku berangan-angan dan tiada aku sentuh kemaluanku dengan
tangan kananku, sejak aku bersumpah taat setia kepada Rasulullah saw”. Kami
menjawab, maka tentulah berangan-angan dan menyentuh kemaluan dengan tangan
kanan itu haram hukumnya, jikalau itu menjadi dalil mengharamkan nyanyian. Maka
darimanakah dapat ditetapkan, bahwa ‘Utsman ra tidak meninggalkan selain yang
haram ?. Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan Ibnu Mas’ud ra bahwa:
nyanyian itu menumbuhkan nifaq di dalam hati. Dan setengah mereka menambahkan:
seperti air menumbuhkan sayur-sayuran. Setengah mereka mengatakan bahwa
perkataan Ibnu Mas’ud ra di atas tadi, berasal dari sabda Rasulullah saw
(hadits marfu’). Dan itu tidak benar (ghairu-shahih). Mereka mengatakan, bahwa
telah datang kepada Ibnu ‘Umar ra suatu kaum yang sedang ihram hajji. Dan dalam
rombongan itu terdapat seorang laki-laki yang menyanyi. Maka Ibnu Umar ra
berkata: “Ketahuilah ! kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu ! ketahuilah
! kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu !”. Dari Nafi’, dimana ia berkata:
“Aku berada bersama Ibnu Umar ra pada suatu jalan. Lalu ia mendengar seruling
penggembala. Maka diletakkannya kedua anak jarinya dalam kedua telinganya.
Kemudian ia berpaling dari jalan itu. Dan selalu ia mengatakan: “Wahai Nafi’ !
adakah engkau mendengar itu ?”. Sehingga aku mengatakan: “Tidak !”. Maka
barulah ia mengeluarkan kedua anak jarinya. Dan berkata: “Begitulah aku melihat
Rasulullah saw berbuat !”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Nyanyian itu
perangsang bagi zina”. Setengah mereka berkata: “Nyanyian ialah utusan dari
utusan-utusan penzina”. Yazid bin Al-Walid berkata: “Awaslah dari nyanyian !
sesungguhnya nyanyian itu mengurangkan malu, menambahkan nafsu syahwat dan
meruntuhkan muruah. Nyanyian itu menggantikan khamar dan memperbuat apa yang
diperbuat oleh mabuk. Jikalau kamu tak boleh tidak memperbuatnya, maka
jauhkanlah nyanyian itu dari wanita ! karena nyanyian itu mengajak kepada
perzinaan”. Maka kami jawab, bahwa perkataan Ibnu Mas’ud ra: nyanyian itu menumbuhkan nifaq, dimaksudkan ialah
pada pihak penyanyi. Maka nyanyian itu pada pihak si penyanyi menumbuhkan
nifaq. Karena seluruh maksudnya, ialah mempertontonkan dirinya kepada orang
lain dan menawarkan suaranya kepada orang lain. Dan senantiasa ia bersikap
munafiq dan berbuat sayang kepada manusia, agar manusia itu menyukai
nyanyiannya. Juga yang demikian itu tidak mewajibkan pengharaman. Maka
sesungguhnya memakai pakaian yang cantik, mengendarai kuda yang cepat lari,
berbagai perhiasan lainnya, bermegah-megahan dengan tanaman, binatang ternak,
tumbuh-tumbuhan dan yang lain dari itu, adalah menumbuhkan nifaq dan ria di
dalam hati. Dan tidaklah secara mutlak dikatakan haramnya semua itu. Maka
tidaklah yang menjadi sebab pada lahirnya nifaq di dalam hati itu, perbuatan
ma’siat saja. Bahkan perbuatan mubah yang menjadi tempat sorotan makhluq ramai,
adalah lebih banyak membekasnya. Karena itulah ‘Umar ra turun dari kuda yang
cepat lari yang sedang dikendarainya. Dan memotong ekornya, karena ia merasa
sombong dalam hatinya karena bagus larinya kuda itu. Maka nifaq ini termasuk hal-hal
mubah. Adapun perkataan Ibnu ‘Umar ra: “Ketahuilah ! kiranya Allah tidak
memperdengarkan bagimu !", tidaklah menunjukkan kepada haram dari segi
nyanyiannya. Tetapi mereka itu sedang mengerjakan ihram hajji. Dan tidaklah
layak mereka itu bercakap kotor. Dan jelaslah dari khayalan mereka, bahwa
pendengaran mereka tidaklah karena kesan yang mendalam dan kerinduan hati
berkunjung ke Baitullah (Ka’bah). Akan tetapi karena permainan semata-mata.
Maka ditantang yang demikian terhadap para rombongan yang sedang ihram itu.
Karena nyanyian itu menjadi perbuatan munka, dilihat kepada hal-ihwal mereka
dan hal-ihwal ihram. Cerita-cerita tentang hal-ihwal tersebut, banyaklah
terdapat segi-segi kemungkinan padanya. Adapun Nabi saw meletakkan kedua anak
jarinya ke dalam kedua telinganya, maka ditantang pengharamannya oleh karena
Nabi saw tidak menyuruh Nafi’ ra berbuat yang demikian. Dan Nabi saw tidak
menentang Nafi’ ra memdengarkannya. Sesungguhnya beliau berbuat demikian,
karena beliau memandang untuk mensucikan (at-tanzih) pendengarannya sekarang
juga. Dan mensucikan hatinya dari suara, yang kadang-kadang menggerakkan
permainan dan mencegahnya dari pemikiran yang ada padanya atau dzikir, yang
lebih utama lagi dari pemikiran itu. Dan seperti itu pula perbuatan Rasulullah
saw, dimana beliau tidak melarang Ibnu Umar ra, adalah tidak pula menunjukkan
kepada pengharamannya. Bahkan menunjukkan, bahwa yang lebih utama, ialah
meninggalkan nyanyian itu. Dan kali berpendapat, bahwa yang lebih utama ialah
meninggalkan nyanyian itu, pada kebanyakan hal. Bahkan kebanyakan hal-ihwal
dunia yang mubah, yang lebih utama ialah meninggalkannya, apabila diketahui
yang demikian itu membekas dalam hati. Rasulullah saw sesudah selesai dari
shalat, membuka kain Abi Jahm. Karena ada padanya gambaran-gambaran bendera,
yang mengganggu hatinya. Apakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu
menunjukkan kepada haramnya gambaran-gambaran bendera atas kain ? mungkin Nabi
saw berada dalam keadaan, dimana bunyi seruling penggembala mengganggukannya atas
keadaan itu, sebagaimana bendera mengganggukannya dari shalat. Bahkan perlunya
mengobar-ngobarkan hal-hal yang mulia pada hati, dengan jalan mendengar
nyanyian itu, suatu keteledoran, bagi orang yang berkekalan menyaksikan
kebenaran. Walaupun ia bersifat sempurna dibandingkan kepada orang lain. Karena
itulah, Al-Hashri berkata: “Apakah yang akan aku perbuat dengan mendengar yang
terputus, apabila telah mati orang yang didengarkan nyanyian daripadanya ?”.
Itu adalah suatu isyarat, bahwa mendengar daripada Allah Ta’ala adalah yang
kekal. Nabi-nabi as berada terus-menerus pada kesenangan mendengar dan
menyaksikan. Mereka tidak memerlukan kepada menggerakkannya dengan sesuatu
daya-upaya. Adapun perkataan Al-Fudlail: nyanyian itu perangsang bagi
perzinaan, dan begitupula lainnya dari perkataan-perkataan yang mendekati
nyanyian, maka perkataan itu ditempatkan pada pendengaran orang-orang fasiq dan
pemuda-pemuda yang berkobar-kobar hawa nafsunya, walaupun yang demikian itu
adalah umum. Karena apa yang telah didengar dari dua budak wanita pada rumah
Rasulullah saw. Adapun qias (analogi), maka kesudahan apa yang disebutkan,
ialah diqiaskan kepada rebab. Dan telah disebutkan perbedaannya. Atau
dikatakan, bahwa nyanyian itu ialah senda gurau dan permainan. Dan benarlah
yang demikian. Bahkan dunia seluruhnya ialah senda gurau dan perrmainan. ‘Umar
ra berkata kepada isterinya: “Engkau sesungguhnya, alat permainan di sudut
rumah”. Dan semua permainan bersama wanita adalah senda-gurau, selain
bersetubuh yang menjadi sebab adanya anak. Dan begitupula senda-gurau yang tak
ada padanya kekejian adalah halal. Dinukilkan yang demikian dari Rasulullah saw
dan dari para sahabat, sebagaimana akan datang uraiannya pada “Kitab Bahata
Lidah”, insya Allah. Dan manakah permainan yang melebihi dari permainan orang
Habsyi dan orang Hitam ? tentang permainan mereka itu, telah jelas dengan nash
pembolehannya. Dan aku mengatakan, bahwa permainan itu menyenangkan bagi hati
dan meringankan beban pikiran. Dan hati apabila dipaksakan, niscaya buta.
Menyenangkannya adalah pertolongan baginya untuk rajin. Orang yang rajin
mempelajari ilmu umpamanya seyogyalah beristirahat (berlibur) pada hari Jum’at.
Karena berlibur sehari membangkitkan kerajinan pada hari-hari yang lain. Orang
yang rajin mengerjakan shalat sunat pada waktu-waktu yang lain, seyogyalah
berlibur pada sebahagian waktu. Dan karena itulah dimakruhkan shalat pada
sebahagian waktu. Maka liburan itu menolong kepada pekerjaan. Dan permainan itu
menolong kepada kesungguhan. Dan tidak adalah yang sabar kepada semata-mata
kesungguhan dan kebenaran yang pahit, selain daripada jiwa (diri) nabi-nabi as.
Maka permainan itu adalah obat bagi hati daripada penyakit kepayahan dan
kebosanan. Maka seyogyalah permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi tiada
seyogyalah, bahwa memperbanyak permainan, sebagaimanna tiada memperbanyak obat.
Jadi, berdasarkan niat ini jadilah permainan itu qurbah (mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala). Ini, terdapat orang yang tiada digerakkan hatinya oleh
mendengar nyanyian itu kepada sifat terpuji yang diminta menggerakkannya.
Bahkan tiada baginya, selain daripada kelezatan dan kesenangan semata-mata.
Maka seyogyalah disunatkan baginya permainan, untuk menyampaikannya kepada
maksud yang telah kami sebutkan itu. Benar, ini menunjukkan kepada kekurangan
dari puncak kesempurnaan. Karena orang sempurna (al-kamil), yaitu: orang yang
tiada berhajat menyenangkan dirinya dengan yang tidak benar. Bahkan kebaikan
orang-orang baik menjadi kejahatan bagi orang-orang muqarrabin (orang-orang yang
mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala). Dan orang yang mengetahui ilmu
pengobatan hati dan cara-cara melembutkannya untuk membawanya kepada kebenaran,
niscaya pastilah mengetahui, bahwa menyenangkan hati dengan hal-hal seperti
diatas adalah merupakan obat yang bermanfaat, yang tidak boleh tidak.
BAB KEDUA: Tentang bekas mendengar
nyanyian dan adab sopan-santunnya.
Ketahuilah, bahwa
permulaan derajat mendengar, ialah memahami yang didengar dan menempatkannya
kepada pengertian yang jatuh ke dalam otak pendengar. Kemudian pemahaman itu
membuahkan rasa yang mendalam. Dan rasa yang mendalam itu membuahkan gerak
anggota badan. Maka hendaklah diperhatikan pada 3 tingkat ini:
Tingkat Pertama:
tentang pemahaman. Pemahaman itu berlainan dengan berlainan keadaan pendengar.
Dan pendengar itu mempunyai 4 keadaan:
1.
Pendengarannya itu
adalah semata-mata tabiat. Artinya: ia tiada mempunyai apa-apa pada
pendengarannya itu, selain daripada kelezatan nyanyian dan lagu. Dan ini
diperbolehkan. Dan itu adalah tingkat pendengaran yang paling rendah. Karena
unta dan orang itu sama dalam hal ini. Demikian juga binatang ternak lainnya.
Bahkan tiada yang membawa kepada perasaan ini, selain oleh hidup. Maka
tiap-tiap yang hidup (hewan) mempunyai macam kesenangan dengan suara-suara yang
merdu.
2.
Mendengar dengan
memahami isinya. Tetapi menempatkan pemahaman itu kepada bentuk makhluq,
adakalanya: sudah tertentu dan adakalanya: tidak tertentu. Yaitu: pendengaran
pemuda-pemuda dan orang-orang yang kuat nafsu syahwatnya. Mereka itu menempatkan
yang didengarnya menurut nafsu syahwatnya dan yang dikehendaki oleh
hal-ihwalnya sendiri. Hal ini adalah yang lebih buruk untuk memperkatakannya,
selain menerangkan keburukannya dan melarangkannya.
3.
Ia menempatkan apa
yang didengarnya kepada keadaan dirinya pada Mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)nya
dengan Allah Ta’ala. Dan pertukaran hal-ihwalnya, sekali pada keadaan tetap
tenang, dan lain kali pada keadaan yang dapat dimaafkan. Dan ini pendengaran
murid-murid (orang-orang yang menghendaki jalan Allah). lebih-lebih yang masih
tingkat permulaan (al-mubtadi-in). Sesungguhnya, murid itu sudah pasti
mempunyai kehendak, yaitu, yang menjadi maksudnya. Dan maksudnya itu, ialah
mengenal Allah swt, bertemu dan sampai kepadaNya dengan jalan musyahadah dengan
siir (menyaksikan dengan rahasia) dan terbuka tutup (terbuka hijab).
Dalam mencapai
maksudnya, si murid itu mempunyai jalan yang akan ditempuhnya, mempunyai mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) yang
harus ia bertekun melaksanakannya dan mempunyai hal-hal yang dihadapinya pada mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)nya.
Apabila ia mendengar sebutan cacian atau percakapan, penerimaan atau penolakan,
sambungan silaturrahim atau pemutusan silaturrahim, pendekatan atau penjauhan,
kesedihan kepada yang hilang atau kehausan kepada yang dinanti, kerinduan
kepada yang datang atau mengharap atau putus asa, keliaran hati atau kejinakan
hati, penepatan janji atau pelanggaran janji, ketakutan bercerai atau
kesenangan bersambung, ingatan perhatian yang dikasihi dan penolakan yang
mengintip, berlinangnya air mata atau berturut-turutnya kesedihan, lamanya
perpisahan atau kembalinya persambungan atau yang lain-lain, tentang hal-hal
yang dikandung penyifatannya oleh syair-syair, maka tak boleh tidak,
sebahagiannya akan bersesuaian dengan keadaan si murid mengenai yang dicarinya.
Maka berlakulah yang demikian, sebagaimana berlakunya sentuhan api yang menyalakan
urat hatinya. Lalu dengan demikian, bernyala-nyalalah apinya, kuatlah yang
membangkitkan kerinduan dan berkobar-kobarlah. Dan dengan sebabnya itu, ia
diserang oleh hal-hal yang menyalahi adat-kebiasaannya. Dan baginya jalan yang
lapang pada menempatkan kata-kata di atas hal-ihwalnya. Dan tidaklah menjaddi
keharusan bagi pendengar menjaga maksud penyair dari perkataannya. Tetapi
tiap-tiap perkataan itu mempunyai beberapa bentuk. Dan tiap-tiap yang berpaham
mempunyai bahagian-bahagian pada pengutipan pengertian dari perkataan itu. Dan
marilah kami berikan contoh-contoh untuk penempatan-penempatan dan
pemahaman-pemahaman itu. Supaya tidak disangka oleh orang bodoh, bahwa orang
yang mendengar beberapa kuntum syair, yang tersebut padanya: mulut, pipi dan
alis, hanya dipahamkan daripadanya dzahiriahnya saja. Dan kita tidak memerlukan
kepada menyebut cara memahami pengertian-pengertian dari kuntum-kuntum syair
itu. Maka pada cerita orang-orang yang ahli mendengar nyanyian itu, apa yang
terbuka dari yang demikian itu. Sesungguhnya diceritakan, bahwa setengah mereka
mendengar seorang penyair itu bermadah: “Utusan itu berkata: ‘Besok yang
dicintai akan datang bertamu’. Lalu aku bertanya: ‘Tahukah anda apa yang anda
katakan itu ?”. Maka lagu dan perkataan itu amat menggembirakan si pendengar
tadi. Ia mendapat kesan yang mendalam, lalu diulang-ulanginya perkataan itu.
Dan ia meletakkan nun pada tempat ta. Sehingga pantun diatas berobah menjadi:
“Qalarrasuulu ghadan nazuuru”, (diatas tadi: tazuuru. Dan nazuuru, artinya:
kami datang bertamu). Sehingga pendengar itu jatuh pingsan, karena bersangatan
gembira, lezat dan suka cita. Ketika telah sembuh, lalu ia ditanyakan tentang
perasaannya itu, darimana datangnya ?. Ia menjawab: Aku teringat akan sabda
Rasulullah saw: “Bahwa ahli sorga itu datang mengunjungi (datang bertamu)
kepada Tuhannya pada tiap-tiap hari Jum’at sekali”. Ar-Ruqi menceritakan dari
Ibnud-Darraj, bahwa Ibnud-Darraj menerangkan: “Aku dan Ibnul-Futhi melalui
sungai Tigris (Ad-Dajlah) antara Basrah dan Ubullah. Tiba-tiba tampat sebuah
istana cantik, mempunyai pemandangan indah. Pada istana itu kelihatan seorang
laki-laki. Dihadapannya seorang budak wanita yang menyanyi dan bermadah:
Tiap-tiap hari,
engkau berwarna
yang bukan ini,
yang lebih cantik bagi anda.
Tiba-tiba seorang
pemuda yang berdiri di bawah pemandangan yang indah itu, ditangannya sebuah
tempat air dari kulit dan pada badannya pakaian buruk, mendengar nyanyian itu.
Lalu berkata: “Wahai budak wanita ! demi Allah dan demi hidup tuanmu ! apakah
engkau tidak mau mengulangi pantun ini kepadaku ?”. Budak wanita itu lalu
mengulanginya. Maka pemuda itu berkata: “Inilah ! demi Allah, engkau warnai aku
bersama Allah dalam hal keadaanku”. Lalu pemuda itu memekik-mekik dan meninggal
dunia....Ar- Rug=qi meneruskan ceritanya: “Maka kami mengatakan, sesungguhnya
fardlu telah menerima kami. Lalu kami berhenti. Maka berkatalah yang empunya
istana kepada budak wanitanya: “Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Ar-Ruqi
meneruskan ceritanya: “Kemudian, penduduk kota Basrah datang beramai-ramaii.
Lalu bershalat jenazah kepada pemuda itu. Setelah selesai menguburkannya, maka
yang empunya istana itu berkata: ‘Aku mengaku dihadapan saudara-saudara, bahwa
semua milikku dipergunakan pada jalan Allah. Semua budakku merdeka. Dan istana
ini untuk jalan Allah”. Ar-Ruqi meneruskan ceritanya: “Kemudian yang empunya
istana itu melemparkan semua pakaiannya. Dan ia bersarung dengan sehelai kain
sarung. Dan berselendang dengan sehelai kain lainnya. Dan terus ia berjalan
menuju entah kemana. Manusia ramai memandang kepadanya, sampai ia hilang dari
mata mereka. Dan orang banyak itu semuanya menangis. Maka tidaklah terdengar
kabar apa-apa lagi tentang orang itu kemudian”. Maksudnya, bahwa orang itu
telah menghabiskan waktu dengan perihal keadaannya serta Allah Ta’ala. Dan
mengetahui kelemahannya, untuk tetap di atas bagus kesopanan dalam pergaulan.
Dan rasa kekesalannya, diatas bulak-balik hatinya dan miringnya dari
jalan-jalan kebenaran. Tatkala pendengarannya diketok oleh sesuatu yang bersesuaian
dengan keadaannya, maka didengarnya daripada Allah Ta’ala, seakan-akan Allah
Ta’ala menghadapkan firmanNya kepadanya dan berfirman:
Tiap-tiap hari
engkau berwarna
yang bukan ini
yang lebih cantik bagi anda.
Dan orang yang
ada pendengarannya dari Allah Ta’ala, atas Allah dan pada Allah, maka
seyogyalah bahwa orang itu telah memperkuatkan undang-undang pengetahuan
tentang mengenal Allah Ta’ala dan mengenal sifat-sifatNya. Kalau tidak
demikian, niscaya tergurislah baginya pendengaran tentang hak Allah Ta’ala, apa
yang mustahil bagi Allah dan yang mengkafirkannya. Maka pada pendengaran murid
yang permulaan (murid-mubtadi) itu, ada bahayanya. Kecuali apabila murid itu
tidak menempatkan apa yang didengarnya, selain di atas hal-ihwalnya, dari segi
yang tiada menyangkut dengan sifat Allah Ta’ala. Dan contoh kesalahan padanya,
ialah pantun tadi itu sendiri. Jikalau ia mendengar pantun itu pada dirinya dan
ia menghadapkan perkataannya itu kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, maka ia
menyandarkan pewarnaan itu kepada Allah Ta’ala. Lalu menjadi kafirlah dia.
Kadang-kadang ini terjadi semata-mata kebodohan mutlak, yang tiada bercampur
dengan pendalilan kebenaran. Kadang-kadang terjadinya dari kebodohan yang
ditarik oleh semacam pendalilan kebenaran. Yaitu: bahwa ia melihat pertukaran
keadaan hatinya (jiwanya), bahkan pertukaran keadaan-keadaan alam lainnya,
adalah dari Allah. Dan itu adalah benar. Karena sekali Allah melapangkan
hatinya dan sekali menyempitkannya. Sekali menyinarkannya dan sekali
menggelapkannya. Sekali mengkasarkannya dan sekali melembutkannya. Sekali
menetapkannya di atas mentaatiNya dan menguatkannya di atas ketaatan itu. Dan
sekali menguasakan akan setan ke atas hatinya. Supaya setan itu memalingkan
hatinya dari jalan kebenaran. Ini semuanya adalah daripada Allah Ta’ala. Dan
orang yang terbit daripadanya hal-hal yang bermacam-macam, dalam waktu-waktu
yang berdekatan, maka kadang-kadang dikatakan kepadanya menurut kebiasaan,
bahwa orang itu: mempunyai bermacam-macam pikiran dan berbagai warna. Dan mungkin
penyair dari syair yang tersebut di atas tadi, tidak bermaksud lain, selain
daripada menyandarkan kekasihnya kepada pewarnaan, tentang penerimaan dan
penolakannya, tentang pendekatan dan penjauhannya. Dan inilah yang dimaksudkan
!. Maka mendengarkan ini seperti yang demikian terhadap Allah Ta’ala, adalah
kufur semata-mata. Tetapi seyogyalah hendaknya diketahui, bahwa Allah swt
mewarnakan dan Ia tiada berwarna. Ia mengobahkan dan IA tiada berobah.
Kebalikan dari hambaNya. Dan pengetahun itu berhasil bagi murid dengan:
keimanan secara taqlid (i’tiqad taqlidi imani). Dan berhasil bagi orang yang
berma’rifah, yang bermata hati, dengan: keyakinan terbuka hakikat kebenaran
(yaqin kasyfi haqiqi). Dan itu adalah termasuk keajaiban sifat-sifat ketuhanan.
Dialah yang mengobahkan, tanpa Dia sendiri berobah. Dan tiada tergambar yang
demikian, selain pada haq Allah Ta’ala. Bahkan tiap-tiap perobah selain Allah,
maka perobah itu tidak dapat merobahkan sesuatu, selama sesuatu itu tiada
berobah. Diantara orang-orang yang mempunyai perasaan yang berkesan, ialah
orang yang dikerasi oleh sesuatu keadaan, seperti: mabuk yang
dahsyat. Lalu ia melepaskan lidahnya mencerca Allah Ta’ala. Mengingkari
keperkasaanNya terhadap hati dan pembahagianNya bagi hal-hal yang mulia secara
berlebih-kurang. Sesungguhnya Allah itu yang membersihkan hati orang-orang
shiddiq dan yang menjauhkan dari raahmatNya, hati orang-orang yang ingkar dan
yang tertipu. Maka tiadalah yang melarang, apa yang dianugerahkanNya. Dan tiada
yang memberi apa yang dilarangNya. Tiadalah putus taufiq kepada orang-orang
kafir karena pelanggaran yang terdahulu. Dan tiadalah putus pertolongan
nabi-nabi as dengan taufiq dan nur-hidayahNya, karena wasilah yang dahulu.
Bahkan Ia berfirman: “Dan sesungguhnya perkataan Kami itu telah berlaku atas
hamba-hamba Kami yang diutus”. S 37 Ash Shaffaat ayat 171. Dan Allah ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Tetapi perkataan daripadaKu sebenarnya akan terjadi:
sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia
semuanya”. S 32 As Sajdah ayat 13. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang telah lebih dahulu menerima kebaikan dari Kami, mereka
dijauhkan dari neraka”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 101. Jikalau terguris di hatimu,
mengapakah berbeda yang dahulu, sedang mereka itu bersekutu pada ikatan
perhambaan yang dipanggil dari perkemahan keagungan yang tiada melampaui batas
adab ? sesungguhnya IA (Allah) tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya.
Sedang mereka itu ditanyakan. Demi umurku, beradabnya lisan dan dzahiriah
adalah sebahagian dari yang disanggupi oleh kebanyakan orang. Adapun beradabnya
bathiniah (sirr) daripada menyembunyikan hal-hal yang menjauhkan, dengan
perbedaan dzahiriah ini, mengenai: pendekatan dan penjauhan, pencelakaan dan
pembahagian, serta kekalnya kebahagiaan dan kecelakaan untuk selama-lamanya,
maka tiadalah yang kuat melaksanakannya, kecuali para ulama yang mendalam
pengetahuannya. Karena inilah Nabi Khidlir as menjawab, tatkala beliau
ditanyakan dari hal mendengar dalam tidur: “Bahwa itu adalah keikhlasan
berkasih-kasihan yang menggelincirkan, yang tiada tetap di atasnya, selain
daripada tapak kaki para ulama. Karena pendengaran itu menggerakkan segala
rahasia hati dan segala yang tersembunyi padanya. Mengacaukan hati, sebagaimana
kekacauan yang ditimbulkan oleh mabuk yang dahsyat, yang hampir membukakan
ikatan adab dari rahasia bathin. Selain dari orang-orang yang dipeliharakan
oleh Allah Ta’ala dengan nur-hidayahNya dan kelemah-lembutan pemeliharaanNya.
Karena itulah sebahagian mereka berkata: “Moga-moga kiranya kita terlepas dari
pendengaran ini satu demi satu”. Maka pada pendengaran dari semacam ini,
terdapat bahaya yang lebih daripada bahaya pendengaran yang menggerakkan nafsu
syahwat. Karena kesudahan yang itu adalah ma’siat, sedang kesudahan dari
kesalahan itu di sini ialah kufur. Ketauhilah, bahwa pemahaman kadang-kadang
berbeda menurut hal-ihwal yang mendengar. Lalu mengeraslah perasaan yang
berkesan kepada dua pendengar sekuntum syair. Salah seorang dari keduanya benar
pahamnya dan yang lain salah. Atau keduanya benar. Dan keduanya telah memahami
dua pengertian yang berlainan, lagi berlawanan. Tetapi dibandingkan kepada
perbedaan hal-ihwal diantara keduanya adalah tidak berlawanan. Sebagaimana
diceritakan dari ‘Atabah Al-Ghallam, dimana ia mendengar seorang laki-laki
bermadah:
Maha Suci Tuhan
Yang Maha Menguasai langit.
Sesungguhnya orang dalam kecintaan
berada dalam keadaan sulit.
Lalu ‘Atabah
menjawab: “Benar engkau !”. Dan ada seorang laki-laki lain yang mendengar, lalu
menjawab: “Dusta engkau !”. Maka berkata setengah mereka yang bermata-hati:
“Keduanya itu betul !”. Itulah yang benar. Pembenaran itu, perkataan orang yang
bercintaan yang tidak dimungkinkan dari maksud. Bahkan tercegah, yang
memayahkan dengan cegahan dan ditinggalkan. Dan pendustaan itu, perkataan orang
yang merasa kejinakan hati dengan percintaan, merasa enak bagi apa yang
dideritainya. Disebabkan kesangatan cintanya, yang tiada merasa pembekasan
dengan penderitaan itu. Atau perkataan orang yyang bercintaan, yang tiada
tercegah dari maksudnya pada waktu sekarang. Dan tiada merasa bahayanya cegahan
itu pada masa yang akan datang. Yang demikian adalah karena kerasnya harapan
dan baik sangkaan pada hatinya. Maka dengan berlainannya hal-ihwal ini,
berlainanlah paham. Diceritakan dari Abil-Qasim bin Marwan dan dia telah
menemani Abu Sa’id Al-Charraz ra. Dan meninggalkan menghadiri pendengaran
pantun-pantun beberapa tahun lamanya. Lalu Abil-Qasim menghadiri suatu
undangan. Dan pada undangan tersebut, seorang laki-laki bermadah:
Orang itu berdiri
dalam air kehausan.
Tetapi....
Ia tiada minum.
Lalu bangunlah
orang banyak dan mempunyai kesan yang mendalam. Tatkala orang banyak itu telah
tenang, lalu Abil-Qasim bertanya: kepada mereka, pengertian apa yang telah
jatuh ke dalam lubuk hati mereka, dari pengertian pantun itu. Mereka itu
menunjukkan kepada kehausan, akan hal-ihwal yang mulia (sifat-sifat yang mulia)
dan tidak memperoleh sifat-sifat itu, sedang sebab-sebab untuk memperolehnya
ada. Abil-Qasim tiada merasa puas dengan jawaban tersebut. Lalu mereka itu
bertanya kepada Abil-Qasim: “Apakah yang ada padamu pada pantun itu ?”.
Abil-Qasim menjawab: “Bahwa orang itu berada di tengah-tengah hal-ihwal
(sifat-sifat) itu. Dan ia dimuliakan dengan segala kemuliaan dan tiada
diberikan kepadanya dari kemuliaan-kemuliaan itu sebesar biji sawipun. Ini
menunjukkan kepada adanya hakikat di balik segala hal-ihwal dan kemuliaan itu.
Dan segala hal-ihwal itu adalah yang mendahului dari segala kemuliaan. Dan
segala kemuliaan itu memperoleh kesempatan pada permulaannya segala hal-ihwal.
Dan hakikat sesudahnya tiada akan sampai kepadanya. Tiada perbedaan antara
pengertian yang dipahaminya dan apa yang disebutkan mereka. Selain pada
berlebih-kurangnya derajat orang yang kehausan kepadanya. Karena orang yang
tiada memperoleh hal-ihwal yang mulia atau tiada merasa haus kepadanya, maka
jikalau memungkinkan daripadanya, niscaya ia merasa haus kepada yang sebaliknya
dari hal-ihwal yang mulia itu. Maka tiadalah perbedaan diantara dua pengertian
pada pemahamannya. Tetapi perbedaan diantara dua tingkat (derajat). Asy-Syibli
ra banyak merasa dengan kesan yang mendalam di atas sekuntum syair ini:
Sayangmu itu menjauhkan diri
Cintamu itu kebencian.
Silaturrahimmu itu memutuskan tali.
Perdamaianmu itu peperangan.
Pantun ini
memungkinkan pendengarannya kepada bermacam-macam segi. Sebahagiannya benar dan
sebahagian lagi batil. Dan arti yang lebih jelas, ialah memahamkan ini pada
makhluq. Bahkan pada dunia keseluruhannya. Bahkan pada semua, yang selain dari
Allah Ta’ala. Sesungguhnya dunia itu memperdayakan, menipu, membunuh
orang-orangnya, bermusuhan dengan mereka pada bathin dan mendzahirkan rupa
kasih-sayang. “Maka tidak memenuhi dunia itu oleh perkampungan kesukaan,
melainkan telah memenuhinya oleh gelombang air mata”. Sebagaimana tersebut pada
hadits. Dan sebagaimana Ats-Tsa’labi bermadah pada menyifatkan dunia:
Sesak suaramu tentang dunia,
maka janganlah berbicara dengan dunia
ini !.
Janganlah berbicara,
dengan pembunuh orang-orang yang akan
engkau kawini !.
Tiadalah sempurna yang diharap dari
dunia,
dengan yang ditakuti padanya.
Yang dibenci dari dunia,
apabila kita perhatikan, adalah kuat
adanya.
Orang-orang yang menyifatkan dunia,
telah berkata banyak tentang dunia.
Padaku dunia itu mempunyai suatu
sifat saja,
demi umurku, yang lebih patut adanya:
“Khamar, kesudahannya pahit.
Kendaraan penuh hawa nafsu.
Apabila engkau sudah merasa lezat,
maka iapun datang menyerbu.
Orang yang cantik,
disukai manusia oleh kecantikannya.
Tetapi mempunyai rahasia yang pelik,
yang jahat sekali apabila ternyata
nantinya”.
Arti kedua:
menempatkan pantun itu ke atas dirinya pada hak Allah Ta’ala. Karena apabila ia
bertafakkur, tentang Allah Ta’ala, maka ma’rifahnya itu kebodohan. Karena
tiadalah mereka itu dapat menentukan tentang Allah dengan ketentuan yang
sebenarnya. Taatnya akan Allah itu ria. Karena ia tidak bertaqwa akan Allah
dengan taqwa yang sebenarnya. Kecintaannya akan Allah itu berpenyakit. Karena
ia tidak meninggalkan suatupun dari hawa nafsunya pada mencintai Allah. Dan orang
yang dikehendaki oleh Allah akan memperoleh kebajikan, niscaya diperlihatkan
oleh Allah kepada orang itu segala keaiban (kekurangan) dirinya. Maka orang itu
melihat kebenaran pantun tersebut pada dirinya, walaupun ia berderajat tinggi
dibandingkan dengan orang-orang yang lalai. Karena itulah, Nabi saw bersabda:
“Tiada aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau pujikan diri
Engkau sendiiri”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah
sehari-semalam 70 kali”. Istighfarnya Nabi saw (meminta ampunan) adalah dari
hal-ihwal. Yaitu: derajat-derajat yang jauh, dibandingkan kepada hal-ihwal
sesudahnya. Walaupun berdekatan dibandingkan kepada hal-ihwal sebelumnya.
Tiadalah kedekatan, selain masih ada, dibelakangnya kedekatan, yang tiada
berkesudahan. Karena jalan yang dijalani kepada Allah Ta’ala itu tiada
berkesudahan. Dan sampai kepada penghabisan derajat kedekatan itu mustahil.
Arti ketiga:
bahwa ia memandang pada permulaan hal-ihwalnya. Maka ia rela dengan hal-ihwal
itu. Kemudian ia memandang pada akibat-akibatnya, maka ia menghinakannya.
Karena dilihatnya kepada tipuan-tipuan yang tersembunyi padanya. Lalu ia
melihat yang demikian itu dari Allah Ta’ala. Maka ia mendengar sekuntum syair
pada hak Allah Ta’ala, sebagai pengaduan dari qodo’ dan qadar. Ini adalah
kufur, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan tiada satupun dari pantun,
melainkan mungkin menempatkannya diatas beberapa pengertian. Yang demikian itu
menurut qadar banyaknya pengetahuan dari yang mendengar dan kebersihan hatinya.
Hal keempat: pendengaran orang yang
melampaui hal-ihwal dan tingkat-tingkat (al-maqamat). Lalu ia lenyap daripada
memahami selain Allah Ta’ala. Sehingga ia lenyap daripada dirinya sendiri,
hal-ihwalnya dan pergaulannya. Dia adalah seperti orang keheranan, yang
menyelam dalam lautan “Diri yang Disaksikan” (‘Ainusy-syuhud), yang keadaannya
menyerupai dengan keadaan para wanita yang memotong tangannya pada menyaksikan
kecantikan Nabi Yusuf as. Sehingga mereka itu merasa dahsyat sekali dan hilang
perasaan pancaindranya. Dari contoh keadaan ini, kaum shufi meibaratkan, bahwa
ia telah fana’ (lenyap/hilang) dari dirinya sendiri. Manakala telah lenyap dari
dirinya sendiri, maka lebih-lebih lagi lenyap dari orang lain. Seakan-akan ia
telah fana’ dari tiap-tiap sesuatu, selain dari Yang Maha Esa yang
disaksikannya (Al-wahidul-Masyhud). Dan juga ia telah fana’ dari Yang
Disaksikan. Karena hati itu juga apabila berpaling kepada Yang Disaksikan dan
kepada dirinya sendiri, sebagai yang menyaksikan, sesungguhnya ia telah lupa
daripada Yang Disaksikan. Maka orang yang tenggelam dengan yang dilihatnya tak
ada perhatiannya pada waktu tenggelamnya itu kepada penglihatannya. Dan kepada
matanya, yang dengan matanya itu ia melihatnya. Dan kepada hatinya, yang dengan
hatinya itu ia merasa lezat. Maka pemabuk tak ada berita baginya dari
kemabukannya. Orang yang merasa kelezatan, tak ada berita baginya dari
kelezatannya. Hanya beritanya dari benda yang dirasakan kelezatannya saja.
Contohnya: pengetahuan mengenai sesuatu. Maka pengetahuan itu berlainan bagi
pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu. Orang yang mengetahui sesuatu, manakala
datang kepadanya pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu, niscaya adalah ia telah
berpaling dari sesuatu itu. Contoh keadaan ini kadang-kadang datang pada diri
makhluq. Dan datang juga pada hak Khaliq. Tetapi menurut biasanya, adalah
keadaan itu seperti kilat yang menyambar, yang tidak tetap dan tidak kekal. Dan
jikalaupun kekal, niscaya tidak disanggupi oleh kekuatan manusia ini.
Kadang-kadang ia gementar di bawah berat tekanannya, gementar yang membinasakan
dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abil-Hasan An-Nuri, bahwa ia menghadiri
suatu majelis. Lalu mendengar pantun ini:
Senantiasalah aku menempati
suatu tempat dari kasih-sayangmu,
Amat heranlah hati
ketika menempatinya itu.
Lalu Abil-Hasan
berdiri, mendapat kesan yang mendalam dan berjalan dengan tak tentu arah. Maka
ia jatuh dalam rumpun bambu yang sudah dipotong. Dan pokok-pokoknya tinggal
seperti pedang. Dia berjalan dalam rumpun bambu itu. Dan ia kembali ke rumah
besok pagi. Darah keluar dari dua kakinya, sehingga bengkak dua tapak kakinya
dan dua betisnya. Dan sesudah itu ia dapat hidup beberapa hari saja dan
meninggal dunia. Kiranya Allah merahmatinya !. Inilah derajat orang-orang
shiddiq pada pemahaman dan perasaan hati. Itulah derajat yang tertinggi. Karena
mendengarkan segala hal-ihwal itu turun dari derajat kesempurnaan. Ia bercampur
dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dan itu adalah semacam keteledoran. Dan
sesungguhnya kesempurnaan (al-kamal), ialah: bahwa ia fana’ secara keseluruhan
dari dirinya sendiri dan hal-ihwalnya. Ya’ni: ia lupa akan dirinya. Maka tidak
tinggal lagi perhatian kepada dirinya itu, sebagaimana bagi para wanita, tiada
lagi perhatian kepada tangannya dan pisau. Maka ia mendengar bagi Allah, dengan
Allah, pada Allah dan dari Allah. Inilah martabat orang, yang masuk ke dalam
lautan hakikat. Dan melintasi pantai hal-ihwal dan amal perbuatan. Bersatu
dengan kebersihan tauhid dan meyakini dengan semata-mata ikhlas. Maka tidak
sekali-kali tinggal padanya suatupun, kemanusiaannya telah padam secara
keseluruhan. Dan terus fana’ perhatiannya kepada sifat-sifat kemanusiaannya.
Tidaklah aku maksudkan dengan fana’nya itu fana’ tubuhnya. Akan tetapi fana’
hatinya. Dan tidaklah aku maksudkan dengan hati itu, daging dan darah. Akan
tetapi rahasianya yang halus itu mempunyai bandingan yang tersembunyi kepada
hati dzahir, yang di belakangnya rahasia ruh, dimana rahasia ruh itu termasuk
urusan Allah ‘Azza Wa Jalla. Diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak
diketahui oleh yang tidak mengetahuinya. Rahasia (sirr) itu mempunyai wujud.
Bentuk wujud itu ialah apa yang datang padanya. Apabila datang yang lain, maka
seolah-olah tiada wujudnya, selain bagi yang datang itu. Contohnya, ialah
cermin yang terang, karena tiada mempunyai warna pada dirinya. Bahkan warnanya
ialah warna benda yang datang padanya. Demikian juga kaca, dimana kaca itu
menerangkan warna barang yang tetap padanya. Dan warnanya ialah warna barang
yang datang padanya. Ia tiada mempunyai bentuk pada dirinya. Tetapi bentuknya
ialah menerima segala bentuk. Dan warnanya ialah: keadaan pesediaan menerima
segala warna itu. Dan dilahirkan akan hakikat ini, ya’ni: rahasia hati,
dibandingkan kepada yang datang padanya, oleh madah seorang penyair:
Haluslah kaca,
haluslah khamar.
Keduanya serupa,
hingga menjadi samar.
Seolah-olah khamar,
bukan kaca.
Seolah-olah kaca,
bukan khamar.....
Inilah maqam
(derajat) diantara maqam-maqam ilmu-mukasyafah. Daripadanya jadilah khayalan
(fantasi) orang yang menda’wakan hulul (bertempatnya Tuhan pada makhluq) dan
ittihad (bersatunya Tuhan dengan makhluq). Dan mengatakan: Anal-haqq (Aku itu
Haq. Haq salah satu dari nama Tuhan Yang Maha Suci. Artinya: Yang Besar). Dan
sekitar perkataan itu, berdengunglah perkataan kaum Nasrani yang menda’wakan:
kesatuan Tuhan dengan manusia. Atau berpakaian Tuhan dengan manusia. Atau
bertempatnya Tuhan pada manusia. Menurut bermacam-macam perkataan yang
dikatakan mereka. Itu adalah salah semata-mata ! menyerupai salahnya orang yang
menetapkan kaca dengan rupa merah. Karena nyata pada kaca itu warna merah dari
sebaliknya. Apabila ini tiada layak dengan ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan), maka
marilah kita kembali kepada maksud ! dan telah kita sebutkan berlebih-kurangnya
derajat (tingkat) pada memahami yang didengar.
Tingkat kedua:
sesudah memahami dan menempatkan yang dipahami, itulah perasaan yang berkesan.
Dan manusia mempunyai perkataan yang panjang tentang hakikatnya perasaan yang
berkesan (al-wajd). Ya’ni: orang-orang shufi dan para ahli hikmat, yang
memandang pada segi kesesuaian pendengaran bagi ruh. Maka marilah kami nukilkan
beberapa perkataan dari ucapan mereka. Kemudian kami menyingkapkan tentang
hakikat padanya. Adapun kaum shufi, maka Dzunnun Al-Masri ra telah berkata
tentang pendengaran: Bahwa pendengaran itu yang mendatangkan kebenaran, yang
datang mengejutkan hati kepada kebenaran. Maka orang yang mendengarkannya
dengan penuh perhatian, dengan kebenaran, niscaya yaqinlah ia dengan penuh
keyaqinan. Dan orang yang mendengarkannya dengan jiwa zindiq, maka seolah-olah
ia menyeberang dari perasaan yang berkesan itu, dengan terkejutnya hati, kepada
kebenaran. Yaitu yang diperolehnya ketika datangnya yang mendatangkan
pendengaran. Karena pendengaran itu dinamakan: yang mendatangkan kebenaran.
Abul-Husain Ad-Darraj berkata, sebagai menerangkan apa yang didapatinya pada
pendengaran: “Al-wajd (perasaan yang diperoleh dari pendengaran), ialah: ibarat
dari apa yang diperoleh ketika mendengar”. Abul-Husain berkata lagi:
“Bergoncanglah pendengaran bagiku pada medan keagungan Allah. Lalu pendengaran
itu mengadakan bagiku akan wujudnya Al-Haq ketika memberi. Lalu memberi minum
akan aku dengan segelas suci bersih. Lalu aku memperoleh dengan demikian,
tempat-tempat kerelaan. Dia mengeluarkan aku ke kebun-kebun tempat istirahat
dan lapangan luas”. Asy-Syibli ra berkata: “Pendengaran itu, dzahirnya fitnah
dan bathinnya menjadi ibarat. Barangsiapa mengetahui isyarat, niscaya
bertempatlah padanya pendengaran ibarat. Jikalau tidak, maka terpanggillah
fitnah dan mendatangkan bencana”. Setengah mereka berkata: “Pendengaran itu
makanan ruh bagi ahli ma’rifah. Karena pendengaran itu suatu sifat yang
tergedor dari amal-perbuatan lainnya. Diketahui dengan kehalusan tabiat karena
halusnya. Dengan kemurnian rahasia karena kemurniannya dan kelemah-lembutannya
pada ahlinya”. ‘Amr bin ‘Utsman Al-Makki berkata: “Tiadalah terjadi suatu
ibarat di atas cara al-wajd (perasaan yang berkesan). Karena al-wajd itu rahasia
(sirr) Allah pada hambaNya yang mu’min, yang berkeyakinan teguh”. Setengah
mereka berkata: “Al-wajd itu terbuka (mukasyafah) dari Al-Haq”. Abu Sa’id bin
Al-A’rabi berkata: “Al-wajd itu pengangkatan hijab, penyaksian yang mengintip
(ar-raqib), kedatangan pemahaman, perhatian Yang Ghaib, percakapan dengan
rahasia dan berjinakan hati dengan Yang Tiada Dijumpai (Al-Mafqud). Yaitu:
fana’ engkau dimana saja engkau itu”. Abu Sa’id tadi berkata pula: “Al-wajd
ialah: permulaan derajat khusus. Yaitu: pusaka pembenaran dengan Yang Ghaib.
Manakala mereka telah merasainya dan cemerlang pada hatinya NurNya, niscaya
hilanglah dari mereka, setiap sangkaan dan keraguan”. Beliau itu berkata pula:
“Yang menghijabkan (mendindingkan) dari al-wajd, ialah melihat bekas-bekas jiwa
dan kegantungannya dengan segala gantungan dan sebab-sebab. Karena jiwa itu
terdinding dengan sebab-sebabnya. Apabila sebab-sebab itu terputus, ingatan
bersih, hati jernih, halus dan murni, pengajaran membekas padanya, bertempat
dari munajah pada tempat yang dekat, diajak berbicara dan dia mendengar ajakan
itu dengan telinga yang nyaring, hati yang menyaksikan dan rahasia yang nyata,
lalu ia menyaksikan apa yang ia kosong daripadanya, maka itulah yang dikatakan:
al-wajd. Karena ia telah memperoleh apa yang tidak ada padanya”. Beliau itu
berkata pula: “Al-wajd, ialah apa yang ada, ketika ingatan mengejutkan, atau
takut yang menggoncangkan atau penghinaan atas tergelincir atau percakapan
dengan kelemah-lembutan atau isyarat kepada suatu faedah atau rindu kepada yang
ghaib atau sedih atas yang hilang atau penyesalan kepada yang lalu atau
penarikan kepada sesuatu hal atau memanggil kepada kewajiban atau munajah
dengan rahasia. Dan itu, adalah berhadapan dzahir dengan dzahir, bathin dengan
bathin, ghaib dengan ghaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr),
mengeluarkan apa yang kepunyaan engkau dengan apa yang menjadi kewajiban
engkau, daripada apa yang telah lalu bagi engkau, mengusahakannya. Maka
dituliskan yang demikian itu lagi engkau, sesudah adanya dari engkau. Maka
tetaplah tapak kaki engkau, tanpa tapak kaki. Dan dzikir, tanpa dzikir. Karena
adalah Dia yang memulai dengan segala ni’mat dan yang memerintahkannya.
KepadaNyalah kembali persoalan seluruhnya”. Itulah dzahiriah ilmu al-wajd.
Perkataan-perkataan kaum shufi, adalah banyak dari jenis ini tentang al-wajd
itu. Adapun kaum hukama’ (ahli hikmat), setengah mereka berkata: “Dalam hati
ada keutamaan yang mulia, yang tidak sanggup kekuatan berkata-kata,
mengeluarkannya dengan perkataan. Lalu dikeluarkan oleh jiwa dengan alunan
suara (nyanyian). Manakala nyanyian itu timbul, lalu disukai dan disenangi
kepadanya. Maka dengarkanlah dari jiwa ! bermunajahlah (berbisik-bisik) dengan
jiwa ! dan tinggalkanlah munajah dzahiriah !”. Setengah mereka berkata: “Natijah
mendengar ialah membangkitkan pendapat yang lemah. Menarik pikiran yang hilang.
Dan menajamkan paham dan pendapat yang tumpul. Sehingga kembalilah barang yang
hilang. Bangkitlah barang yang lemah. Bersihlah barang yang keruh. Dan
bergembiralah pada semua pendapat dan niat. Lalu ia benar dan tidak salah. Dan
ia datang dan tidak terlambat”. Yang lain berkata: “Sebagaimana pikiran
mengetuk pengetahuan kepada yang diketahui, maka pendengaran itu mengetuk hati
kepada alam ruhani”. Setengah mereka menjawab, dimana ia ditanyakan tentang apa
sebabnya bergerak anggota badan secara tabiat atas bunyinya lagu dan
pengaruhnya suara, lalu menjawab: “Yang demikian itu keasyikan akal. Orang yang
asyik akalnya tidak memerlukan kepada berbicara dengan yang diasyikannya (dirindukannya)
dengan alat pembicaraan kebendaan. Tetapi ia berbicara dan berbisik-bisik,
dengan senyuman, perhatian, gerakan yang halus dengan bulu kening, pelupuk mata
dan isyarat. Dan ini semua, adalah pembicaraan-pembicaraan. Hanya sifatnya itu,
ruhaniah. Adapun orang yang asyik kehewanan, maka ia memakai alat tutur yang
bertubuh, untuk mengibaratkan dengan demikian, akan buah dzahiriah kerinduannya
yang lemah dan keasyikannya yang hina”. Yang lain berkata: “Orang yang susah
hati, hendaklah mendengar nyanyian ! karena jiwa apabila dimasuki oleh
kesusahan, niscaya suramlah cahayanya. Dan apabila gembira, niscaya
cemerlanglah cahayanya dan lahirlah kegembiraannya. Maka lahirlah kerinduan,
dengan qadar penerimaan yang menerima. Yang demikian itu, dengan qadar bersih
dan sucinya daripada penipuan dan pengotoran”. Ucapan-ucapan yang tetap dari
ulama-ulama tentang pendengaran dan perasaan yang berkesan dari pendengaran itu
(al-wajd) adalah banyak. Dan tiada arti memperbanyakkan mendatangkannya di
sini. Maka marilah kita meneruskan pemahaman maksud dari perkataan al-wajd itu
!. Kami menerangkan bahwa: al-wajd, ialah ibarat dari keadaan yang dihasilkan
oleh pendengaran. Dan dia itu yang mendatangkan kebenaran baru, sesudah
pendengaran, yang diperoleh oleh si pendengar dari dirinya. Dan keadaan itu tiada terlepas daripada dua bahagian. Yaitu:
adakalanya, bahwa ia kembali kepada mukasyafah dan musyahadah. Yaitu: dari segi
pengetahuan dan peringatan. Dan adakalanya ia kembali kepada
perobahan-perobahan dan hal0ihwal yang tidak termasuk pengetahuan. Bahkan dia
itu, seperti: kerinduan, ketakutan, kesedihan, kebimbangan, kegembiraan,
kegundahan, penyesalan, kelapangan dan kesempitan hati. Segala hal-ihwal
tersebut digerakkan oleh pendengaran dan dikuatkannya. Jikalau lemahm dimana
tidak membekaskan pada menggerakkan dzahir atau mendiamkannya atau mengobahkan
halnya, sehingga ia bergerak berlainan dari kebiasaannya atau menundukkan
kepala atau diam dari melihat, berbicara dan bergerak dengan berlainan dari
kebiasaannya, niscaya tidak dinamakan: al-wajd. Dan jikalau tampak diatas
dzahiriah, maka dinamakan: al-wajd. Adakalanya lemah dan adakalanya kuat
menurut dzahirnya, perobahannya bagi dzahiriah dan penggerakkannya menurut kuat
datangnnya dan penjagaan dzahiriah dari perobahan, menurut kuatnya orang yang
berperasaan itu dan kemampuannya membatasi anggota tubuhnya. Kadang-kadang
al-wajd itu kuat pada bathin. Dan dzahir tidak berobah karena kuatnya yang
mempunyai al-wajd itu. Kadang-kadang tiada tampak, karena lemahnya yang datang,
oendeknya dari yang menggerakkan dan terbukanya ikatan yang berpegangan satu
dengan lainnya. Kepada pengertian pertama itu diisyaratkan oleh Abu Sa’id
Al-A’rabi, dimana beliau berkata tentang al-wajd: “Bahwa al-wajd itu musyahadah
bagi yang mengintip (Ar-Raqib), kehadiran pemahaman dan pemerhatian yang
Ghaib”. Tiada jauhlah, bahwa pendengaran itu adalah sebab untuk membuka sesuatu
yang tiada terbuka sebelumnya. Terbukanya (al-kasyaf) itu, berhasil dengan
beberapa sebab:
Diantaranya:
peringatan (at-tanbih). Dan pendengaran itu memperingatkan.
Diantaranya:
berobah hal keadaan, menyaksikan dan mengetahuinya. Karena mengetahuinya itu
semacam pengetahuan, yang mendatangkan faedah penjelasan hal-hal, yang tidak
diketahui sebelum datangnya.
Diantaranya:
kebersihan hati. Dan pendengaran itu membekas pada pembersihan hati. Dan
kebersihan itu menyebabkan terbuka (al-kasyaf).
Diantaranya: membangkitkan kerajinan
hati dengan kekuatan pendengaran. Maka ia kuat untuk menyaksikan tentang apa
yang kurang kekuatannya sebelum itu. Sebagaimana kuatnya keledai membawa apa
yang ia tidak kuat sebelumnya. Amalan hati ialah menerima al-kasyaf dan
memperhatikan segala rahasia alam malakut. Sebagaimana pekerjaan keledai
membawa pikulan-pikulan yang berat-berat. Maka dengan perantaraan sebab-sebab
ini, ia menjadi sebab al-kasyaf. Bahkan hati itu apabila telah bersih,
kadang-kadang Al-Haq membentuk baginya dalam bentuk musyahadah. Atau dalam
kata-kata yang teratur yang mengetuk pendengarannya, yang diibaratkan dengan:
suara al-haatif (terdengar suaranya dan tiada terlihat orangnya), apabila ia
berada dalam keadaan tidak tidur. Dan dengan mimpi, apabila ia berada dalam
keadaan tidur. Dan itu adalah sebagian daripada 46 bagian dari nubuwwah
(kenabian). Pengetahuan pembuktian yang demikian itu, diluar dari ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Yang
demikian sebagaimana diriwayatkan dari Muhammad bin Masruq Al-Baghdadi, dimana
beliau berkata: “Pada suatu malam aku keluar di hari-hari aku masih muda remaja
dan aku sedang mabuk minum khamar. Dan aku menyanyikan nyanyian ini:
Di Torsina ada kebun penuh
kayu-kayuan,
aku tiada pernah lalu di situ.
Tetapi aku heran,
orang yang meminum airnya itu.
Lalu aku mendengar suara yang tiada
kelihatan orangnya, menyanyikan:
Dalam neraka jahannam ada air,
tiada seorangpun yang meminumnya,
lalu bisa tinggal sesudah itu,
perut panjang dalam rongga tubuhnya.
Muhammad bin
Masruq tadi menerangkan: “Itulah yang menjadi sebab taubatku dan seluruh
perhatianku kepada ilmu dan ibadah”. Perhatikanlah, bagaimana membekasnya
nyanyian pada membersihkan hati Muhammad bin Masruq. Sehingga mengumpamakan
hakikat kebenaran baginya, tentang sifat neraka jahannam, dalam kata-kata yang
dipahami dan bertimbangan. Dan yang demikian itu mengetuk pendengaran
dzahiriahnya. Diriwayatkan dari Muslim Al-‘Abadani, bahwa beliau menerangkan:
“Pada suatu kali, telah datang kepadaku Shalih Al-Marri, ‘Atabah AL-Ghallam,
Abdul-Wahid bin Zaid dan Muslim Al-Aswari. Mereka itu semuanya bertempat di tepi
pantai ‘Abadan. Muslim Al-‘Abadani meneruskan ceritanya”. Maka pada suatu
malam, aku menyediakan makanan untuk mereka. Lalu aku mengundang mereka makan.
Merekapun datang. Tatkala aku meletakkan makanan dihadapan mereka, tiba-tiba
salah seorang menyanyikan dengan suara tinggi nyanyian ini:
Engkau dilalaikan dari negeri yang
berkekalan,
oleh bermacam-macam makanan,
Kelezatan jiwa disesatkan,
oleh yang tiada mempunyai
kemanfaatan.
Muslim
Al-‘Abadani menerangkan seterusnya: “Maka ‘Atabah Al-Ghallam memekik dengan
suara keras. Ia jatuh pingsan. Dan orang banyak tinggal disitu. Aku lalu
mengangkat makanan itu. Dan demi Allah, mereka tiada merasakan sesuap-pun
daripadanya”. Sebagaimana terdengar suara al-haatif ketika hati bersih, maka
terlihat juga dengan mata, rupa Nabi Khidr as. Dia merupakan dirinya bagi
segala orang yang berhati bersih, dengan bermacam-macam bentuk. Dan pada contoh
keadaan yang seperti ini, para malaikat merupakan dirinya bagi nabi-nabi as.
Adakalanya di atas hakikat bentuknya. Dan adakalanya di atas contoh yang meniru
sebahagian bentuknya. Rasulullah saw melihat Jibril as dua kali dalam
bentuknya. Dan Nabi saw menerangkan bahwa Jibril as itu menutupkan tepi langit.
Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dia diberi pelajaran oleh
yang sangat kuat. Yang mempunyai kepintaran. Dan dia cukup sempurna. Sedang dia
dibagian yang tinggi dari tepi langit”. S 53 An Najm ayat 5-6-7....sampai akhir
ayat-ayat tersebut. Pada bersihnya hati seperti hal-hal ini, terjadilah
penglihatan kepada yang tersembunyi bagi hati. Kadang-kadang diibaratkan dari
penglihatan itu: mencari firasat (at-tafarrus). Dan karena itulah, Nabi saw
bersabda: “Takutilah akan firasat orang mu’min. Karena orang mu’min itu melihat
dengan nur Allah”. Diceritakan, bahwa seorang laki-laki beragama majusi
(penyembah api) mendatangi orang Islam dan menanyakan: “Apakah artinya sabda
Nabi saw: “Takutilah akan firasat orang mu’min”. Lalu diterangkan kepada orang
majusi itu, tafsir hadits itu. Tetapi tiada memuaskan hatinya penjawaban itu.
Sehingga sampailah orang majusi itu kepada sebahagian syaikh shufi. Maka iapun
menanyakan kepada syaikh shufi itu. Syaikh shufi itu mengatakan kepadanya:
“Maksud hadits itu ialah: bahwa engkau potong benang kekufuran yang terikat
pada pinggang engkau, dibawah kain engkau”. Lalu majusi itu menjawab: “Benar
engkau ! inilah artinya”. Dan orang majusi itupun terus memeluk agama Islam.
Dan berlata: “Sekarang aku tahu, bahwa engkau mu’min dan keimanan engkau itu
benar”. Dan sebagaimana diceritakan dari Ibrahim Al-Khawwash, yang
menceritakan: “Aku berada di Baghdad dalam rombongan orang-orang fakir dalam
masjid jami’. Lalu seorang pemuda yang harum baunya dan cantik wajahnya datang
ke depan. Maka aku berkata kepada teman-temanku: “Menurut dugaanku, bahwa pemuda
itu orang Yahudi”. Lalu semua mereka benci kepada pemuda itu. Maka akupun
keluar dan pemuda itupun keluar. Kemudian ia kembali kepada orang banyak itu
dan bertanya: “Apakah kata Syaikh itu terhadap aku ?”. Mereka itu tidak mau
menjawab. Lalu ia mendesak orang banyak itu. Maka mereka itu berkata kepadanya:
“Syaikh mengatakan, engkau orang Yahudi”. Ibrahim Al-Khawwash meneruskan
ceritanya: “Lalu pemuda itu datang kepadaku, mencium kedua tanganku, memeluk
kepalaku dan memeluk Islam seraya berkata: ‘Kami dapati dalam kitab-kitab kami,
bahwa orang shiddiq itu tidak salah firasatnya. Lalu aku berkata pada diriku,
aku uji kaum muslimin. Lalu aku perhatikan tingkah laku mereka. Maka aku
berkata, jikalau ada orang shiddiq pada mereka, maka dalam golongan inilah.
Karena mereka itu mengatakan haditsnya yang maha suci dan membacakan kalamNya.
Maka ragulah aku di atas mereka itu. Maka tatkala Syaikh itu melihat kepadaku
dan mengambil firasat terhadap diriku, maka tahulah aku, bahwa syaikh itu orang
shiddiq”. Ibrahim Al-Khawwash meneruskaan ceritanya: “Demi jadilah pemuda itu
termasuk orang shufi besar”. Dan kepada contoh al-kasyaf inilah, isyaratnya
sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam,
niscaya mereka itu memandang kepada alam malakut yang tinggi”. Sesungguhnya
setan-setan itu mengelilingi hati, apabila hati itu, dipenuhi dengan
sifat-sifat tercela. Sesungguhnya sifat-sifat tercela itu, tempat gembalaan
setan dan tentaranya. Orang yang membersihkan hatinya dari sifat-sifat itu dan
memurnikannya, niscaya setan tidak berkeliling di keliling hatinya. Dan kepada
inilah isyarat firman Allah Ta’ala: “Selain dari hamba Engkau yang suci
diantara mereka”. S 15 Al Hijr ayat 40. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
hamba-hambaKu, tiadalah engkau berkuasa atas mereka”. S 15 Al Hijr ayat 42.
Pendengaran itu sebab bagi kebersihan hati. Yaitu jalan bagi kebenaran dengan
perantaraan kebersihan itu. Diatas inilah, ditunjukkan oleh apa yang dirawikan,
bahwa Dzun-nun Al-Misri ra masuk ke Baghdad. Maka berkumpullah padanya suatu
golongan dari kaum shufi dan bersama mereka seorang penyanyi. Lalu mereka itu
meminta keizinan Dzun-nun, supaya penyair tadi bernyanyi sesuatu untuk mereka.
Dzun-nun mengizinkan mereka untuk yang demikian itu. Lalu penyanyi tadi
bernyanyi:
Kecil hawa nafsumu,
telah menyiksakan aku.
Maka betapa lagi,
apabila bertambah kuatnya nanti ?.
Engkau kumpulkan dalam hatiku,
hawa nafsu itu.
Sesungguhnya ia dahulu,
telah bersatu.
Tidakkah engkau meratapi,
kepada orang yang berduka-cita ?.
Apabila tertawa orang yang bersenang
hati,
lalu ia menangis saja.
Lalu Dzun-nun
berdiri dan jatuh tersungkur. Kemudian berdiri orang lain, seraya berkata:
“Dzun-nun yang melihat engkau, ketika engkau bangun berdiri”. Lalu orang itu
duduk kembali. Yang demikian itu adalah penglihatan dari Dzun-nun kepada
hatinya, bahwa orang itu memberatkan diri, berperasaan yang berkesan itu. Maka
Dzun-nun memperkenalkan kepadanya, bahwa orang yang dilihatnya ketika bangun
berdiri itu, ialah musuh, dallam berdirinyya itu bukan karena Allah Ta’ala.
Jikalau orang itu benar, niscaya ia tidak duduk. Jadi, sesungguhnya hasil
al-wajd itu kembali kepada: mukasyafah dan kepada: hal-hal keadaan. Dan
ketahuilah bahwa masing-masing dari keduanya itu terbagi kepada: yang mungkin
dita’birkan (diambiil ibarat) ketika sembuh daripadanya. Dan kepada: yang tidak
mungkin sekali-kali diambil ibarat daripadanya. Mudah-mudahan engkau dapat
menjauhkan hal-keadaan atau pengetahuan yang tiada engkau ketahui akan
hakikatnya. Dan tidak mungkin menta’birkan akan hakikatnya. Maka janganlah
engkau menjauhkan yang demikian. Sesungguhnya engkau akan mendapati dalam
hal-keadaan engkau yang dekat beberapa kesaksian untuk yang demikian. Adapun
pengetahuan, maka banyaklah ahli-fiqh (faqih), yang dikemukakan kepadanya dia
persoalan yang serupa dalam bentuk. Dan diketahui oleh faqih itu dengan
perasaannya (dzauq), bahwa diantara dia persoalan itu terdapat perbedaan dalam
hukum. Dan apabila diberati untuk menyebutkan segi perbedaan, niscaya lidah
tidak menolongnya untuk mengatakannya, walaupun faqih tersebut termasuk orang
yang paling lancar berbicara. Maka diketahuinya perbedaan itu dengan
perasaannya (dzauq) dan tidak mungkin diucapkannya. Dan pengetahuannya alan
perbedaan itu, ialah pengetahuan yang diperolehnya dalam hatinya dengan dzauq.
Dan ia tidak ragu bahwa mengenai jatuhnya dalam hatinya itu mempunyai sebab.
Dan sebab itu mempunyai hakikat pada sisi Allah Ta’ala. Dan tidak mungkin ia
menerangkan dari hal sebab itu, bukan karena singkat pada lisannya. Akan tetapi
karena halusnya arti pada dirinya, daripada dapat dicapai oleh kata-kata. Dan
ini sesungguhnya termasuk diantara yang dapat dipahami dengan mendalam, oleh
orang-orang yang rajin memperhatikan hal-hal yang sulit. Adapun hal-keadaan,
maka berapa banyak manusia yang mendapat dalam hatinya akan hal-keadaan, pada
waktu ia berada dalam keadaan sempit atau lapang. Dan ia tiada mengetahui
sebabnya. Kadang-kadang manusia itu, berpikir tentang sesuatu. Lalu membekas
pada jiwanya sesuatu bekas. Maka ia lupa akan sebab itu. Dan tinggallah bekas
itu pada jiwanya dan ia merasakan dengan bekas itu. Kadang-kadang hal-keadaan
yang dirasakannya itu suatu kegembiraan yang tetap pada jiwanya, disebabkan
pemikirannya pada suatu sebab yang mengharuskan kegembiraan. Atau suatu
kesedihan. Lalu yang berpikir itu lupa padanya. Dan ia merasakan bekas
sesudahnya. Kadang-kadang hal-keadaan itu suatu hal-keadaan yang ganjil, yang
tidak dapat dilahirkan dengan kata-kata: kegembiraan atau kesedihan. Dan tidak
dijumpai baginya kata-kata yang sesuai, yang menjelaskan maksudnya. Akan tetapi
hanya perasaan pantun yang bertimbangan. Perbedaan antara pantun yang
bertimbangan dan pantun yang tidak bertimbangan itu, tertentu mengetahuinya
bagi sebagian manusia. Tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Yaitu: keadaan
yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai dzauq (perasaan), dimana ia
tidak ragu padanya. Ya’ni: perbedaan antara yang bertimbangan dan yang tidak
teratur timbangan suaranya. Maka tidaklah mungkin memperkatakan perbedaan itu
dengan sesuatu yang jelas maksudnya, bagi orang yang tidak mempunyai dzauq
(perasaan). Dan dalam jiwa itu ada hal-hal yang ganjil, yang ini sifatnya.
Bahkan, pengertian-pengertian yang dikenal dari hal ketakutan, kesedihan dan
kegembiraan, sesungguhnya berhasil pada pendengaran dari nyanyian yang
dipahami. Adapun rebab dan bunyi-bunyian lainnya yang tidak dipahami, maka
sesungguhnya memberi bekas pada jiwa yang mena’jubkan. Dan tidak mungkin
melahirkan dengan kata-kata dari keajaiban bekas-bekas itu. Kadang-kadang
dikatakan dari hal tadi dengan kata-kata: kerinduan. Tetapi kerinduannya itu
tiada diketahui oleh yang mempunyainya, akan yang dirinduinya. Itulah suatu
keajaiban !. Orang yang menggeletar hatinya dengan mendengar rebab atau serunai
atau yang menyerupainya, tidaklah ia mengetahui kepada apa kerinduannya itu. Ia
memperolleh pada dirinya suatu keadaan, seakan-akan menuntut sesuatu, yang
tiada diketahuinya apakah sesuatu itu. Sehingga terjadilah yang demikian bagi
orang awam dan orang yang tiada keras pada hatinya, baik kecintaan kepada
sesama anak Adam atau kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dan ini mempunyai rahasia.
Yaitu: bahwa tiap-tiap kerinduan mempunyai dua rukun (dua sendi):
Pertama: sifat
yang merindui. Yaitu semacam penyesuaian serta yang dirindui.
Kedua: mengenal
yang dirindui dan mengenal caranya sampai kepada yang dirindui.
Jikalau diperoleh
sifat yang menjadi kerinduan dan diperoleh pengetahuan akan bentuk yang
dirindui itu, niscaya persoalannya jelas. Dan jikalau tidak diperoleh
pengetahuan untuk mengetahui yang dirindui dan diperoleh sifat yang merindukan
dan sifat itu menggerakkan hati engkau dan menyalakan apinya, niscaya tidak
mustahil, yang demikian itu mewariskan kedahsyatan dan keheranan. Jikalau
terjadilah seorang anak Adam itu sendirian, dimana ia tidak melihat rupa wanita
dan tidak mengenal bentuk bersetubuh, kemudian ia menghadapi kedewasaan dan
nafsu syahwat melandainya, niscaya ia merasakan dari dirinya, api nafsu
syahwat. Akan tetapi, ia tidak mengetahui, bahwa ia rindu kepada bersetubuh.
Karena ia tidak mengetahui, bentuk bersetubuh itu. Dan tidak mengenal bentuk
wanita. Maka seperti itu pula, pada diri anak Adam terdapat kesesuaian serta
alam tinggi dan kelezatan yang dijanjikan pada Sidratul-Muntaha dan Firdaus
Tinggi. Hanya ia tidak dapat mengkhayalkan segala hal ini, kecuali sifat dan
namanya. Seperti ia mendengar kata-kata: bersetubuh dan nama wanita. Dan ia
tidak pernah sekali-kali melihat rupa perempuan, rupa laki-laki dan rupa
dirinya sendiri pada cermin, supaya dikenalnya dengan memperbandingkan. Maka
pendengaran itu menggerakkan kerinduan daripadanya. Dan kebodohan yang
bersangatan dan kesibukan dengan duniawi dapat melupakannya akan dirinya.
Melupakannya akan Tuhannya. Dan melupakannya akan tempat kediamannya, yang dirindui
dan dicintainya secara naluri. Maka hatinya ingin menetapkan sesuatu yang tiada
diketahuinya, apakah sesuatu itu ? lalu ia tercengang, heran dan bergoncang
pikirannya. Dan adalah ia seperti orang yang tercekek leher, yang tiada
mengetahui jalan kelepasan daripadanya. Maka inilah ddan hal-hal yang serupa
dengan ini, yang tiada diketahui kesempurnaan hakikatnya. Dan tiada mungkin
orang yang bersifat dengan hal-hal tersebut, bahwa menjelaskannya. Sesungguhnya
telah jelaslah pembagian al-wajd itu kepada: yang mungkin melahirkannya dan
kepada: yang tiada mungkin melahirkannya. Dan ketahuilah pula bahwa al-wajd itu
terbagi kepada: hajim (al-wajd itu datang menyerbu, tanpa dengan rasa berat)
dan mutakallif dan dinamakan: at-tawajud (al-wajd itu datang dengan rasa
berat). At-tawajud yang dengan rasa berat itu, maka sebahagian daripadanya
tercela. Yaitu yang dimaksudkan dengan demikian itu, ria dan melahirkkan
hal-hal yang mulia serta kosong dari sifat-sifat yang mulia itu. Dan sebahagian
daripadanya terpuji. Yaitu: yang menyampaikan kepada terbawanya hal-hal yang
mulia, terusaha dan tertariknya dengan daya-upaya. Sesungguhnya usaha itu
mempunyai tempat masuk (madkhal) pada menarikkan hal-hal yang mulia. Dan karena
itulah, Rasulullah saw menyuruh orang yang tidak datang tangisnya pada waktu
membaca Alquran, supaya membuat tangis dan membuat gundah hati. Sesungguhnya
segala hal-ihwal ini kadang-kadang terasa berat pada permulaannya. Kemudian
menjadi hakikat kenyataan pada akhirnya. Bagaimanakah at-takalluf itu tidak menjadi
sebab untuk menjadikan yang diberati itu sebagai tabiat pada akhirnya ?
tiap-tiap orang yang mempelajari Alquran, mula-mula menghapalkannya dengan rasa
berat. Dan membacakannya dengan rasa berat serta sempurnanya perhatian dan
kesungguhan hati. Kemudian yang demikian itu menjadi kebiasaan bagi lidah yang
mudah saja datangnya. Sehingga berjalanlah lidahnya dalam shalat dan lainnya,
sedang ia dalam keadaan lengah. Maka dibacanya surat Alquran seluruhnya dan
dirinya kembali kepadanya sesudah selesainya pembacaan itu sampai kepada
penghabisannya. Ia mengetahui bahwa ia membacanya itu dalam keadaan ia sedang
lengah. Demikian pula penulis yang menulis pada mulanya, dengan tenaga yang
berat. Kemudian tangannya terlatih menulis. Lalu jadilah menulis itu suatu
tabiat baginya. Ia menulis beberapa banyak lembar kertas, sedang hatinya
tenggelam dengan pikiran lain. Maka semua sifat yang dibawa oleh jiwa dan
anggota badan, tiada jalan
memperolehnya, kecuali pada mulanya dengan rasa berat dan dibuat-buat. Kemudian
dengan dibiasakan, lalu menjadi tabiat. Dan itulah yang dimaksudkan oleh
perkataan setengah mereka: “Adat kebiasaan itu tabiat yang kelima”. Seperti itu
pulalah hal-ihwal yang mulia. Tiada seyogyalah bahwa menjadi berputus-asa
daripadanya, ketika tidak adanya. Tetapi seyogyalah, bahwa memaksakan diri
menariknya dengan pendengaran dan lainnya. Sesungguhnya dipersaksikan pada adat
kebiasaan orang yang ingin merindukan seseorang dan belum ia merinduinya. Lalu
senantiasalah ia mengulang-ulangi mengingatinya pada hatinya. Terus-menerus
berkekalan memandang kepadanya. Dan menetapkan pada dirinya akan sifat-sifat
yang disukai dan budi pekerti yang terpuji pada orang itu. Sehingga ia
merinduinya. Dan melekatlah yang demikian pada hatinya, dalam keadaan sudah di
luar dari batas usahanya. Lalu kemudian, ia ingin melepaskan diri dari orang
itu. Maka tidak dapat terlepas lagi. Maka seperti itu, jugalah mencintai Allah
Ta’ala. Rindu menjumpaiNya. Takut dari kemarahanNya. Dan yang lain-lain dari
hal-hal yang mulia. Apabila tiada dipunyai oleh seorang insan, maka seyogyalah
memaksakan dirinya menarik sifat-sifat itu, dengan duduk-duduk bersama
orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut. Menyaksikan hal-ihwal
mereka. Dan memandang baik sifat-sifat mereka pada diri sendiri. Dan dengan
duduk bersama mereka itu pada mendengar segala ucapannya dan dengan doa dan
merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia menganugerahkan kepadanya hal
tersebut dengan memudahkan baginya segala sebabnya. Diantara sebab-sebabnya, ialah:
mendengar dan duduk bersama orang-orang shalih, orang-orang yang takut kepada
Tuhan, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang rindu dan khusyu’ kepada
Allah Ta’ala. Orang yang suka duduk-duduk dengan seseorang, niscaya berjalanlah
kepadanya sifat-sifat orang itu, tanpa diketahuinya. Dan ditunjukkan kepada
mungkinnya memperoleh kecintaan dan hal-hal lainnya dengan sebab-sebab itu,
oleh sabda Rasulullah saw dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku
mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai orang
yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau !”. Rasulullah saw telah bergundah
hati kepada berdoa dalam mencari kecintaan itu. Maka inilah penjelasan
pembahagian al-wajd kepada: mukasyafah dan hal-hal keadaan. Dan pembahagiannya
kepada: yang mungkin menjelaskannya dan kepada: yang tidak mungkin. Dan
pembahagiannya kepada: al-mutakallaf dan kepada: yang telah menjadi tabiat
(al-mathbu’). Jikalau engkau bertanya: apa halnnya mereka yang tidak lahir
al-wajdnya ketika mendengar Alquran. Yaitu: kalam Allah. Dan al-wajd itu lahir
ketika mendengar nyanyian. Dan itu adalah perkataan penyair-penyair. Jikalau
yang demikian itu benar dari kasih-sayangnya Allah Ta’ala dan tidak batil dari
tipuan setan, niscaya sesungguhnya Alquran itu adalah lebih utama dari
nyanyian. Kami jawab, bahwa al-wajd yang benar, ialah yang terjadi dari
bersangatannya mencintai Allah Ta’ala, benar maksudnya dan rindu menjumpaiNya.
Dan yang demikian itu bergoncang juga dengan mendengar Alquran. Dan yang tidak
bergoncang dengan mendengar Alquran, ialah yang mencintai makhluq dan rindu
kepadanya. Yang demikian itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: “Ingatlah,
bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Dan
firman Allah Ta’ala: “Allah telah menurunkan pemberitaan yang sebaik-baiknya,
yaitu Kitab (Alquran), isinya serupa dan berulang-ulang. Seram kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhan karenanya, kemudian itu lembut kulit dan
hati mereka untuk mengingati Allah”. S 39 Az Zumar ayat 23. Semua yang didapati
pada jiwa sesudah mendengar, disebabkan pendengaran, itulah al-wajd.
Ketentraman dan kegoncangan hati, ketakutan dan kelembutan hati, semuanya itu
al-wajd. Allah Ta’ala berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman itu, ialah
mereka yang ketika disebut nama Allah hatinya penuh ketakutan”. S 8 Al Anfaal
ayat 2. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Kalau Alquran itu Kami turunkan kepada
sebuah gunung, sudah tentu engkau akan melihat gunung itu tunduk dan belah
karena takutnya kepada Allah”. S 59 Al Hasyr ayat 21. Takut dan khusyu’ itu
adaalah al-wajd dari pihak hal-keadaan. Walaupun bukan dari pihak mukasyafah.
Tetapi kadang-kadang, ia menjadi sebab bagi mukasyafah dan peringatan. Dan
karena inilah Nabi saw bersabda: “Hiasilah Alquran itu dengan suaramu !”. Nabi
saw telah bersabda kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Sesungguhnyya telah diberikan
kepadanya salah satu daripada seruling keluarga Nabi Daud as”. Cerita-cerita
yang menunjukkan, bahwa orang-orang yang mempunyai hati suci itu, banyak yang
lahir al-wajd kepada mereka ketika mendengar Alquran. Sabda Nabi saw:
“Berubannya aku ialah karena surat Hud dan surat-surat lain yang serupa dengan
surat Hud”, adalah menerangkan tentang al-wajd itu. Karena ubanan itu terjadi
dari kesedihan dan ketakutan. Dan itulah al-wajd. Diriwayatkan bahwa Ibnu
Mas’ud ra membaca dihadapan Rasulullah saw surat An-Nisa’. Maka tatkala sampai
kepada firman Allah Ta’ala: “Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap
umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini ?”. S 4 An
Nisaa’ ayat 41 –lalu Nabi saw bersabda: “Cukup !”, dan kedua matanya bercucuran
air mata. Pada suatu riwayat Nabi saw membaca ayat ini atau dibacakan orang di
sisinya: “Sesungguhnya di sisi Kami ada rantai yang berat dan api neraka. Dan
makanan yang mencekikkan dan siksa yang pedih”. S 73 Al Muzzammil ayat 12-13.
Lalu beliau pingsan. Pada suatu riwayat Nabi saw membaca: “Kalau mereka Engkau
siksa, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau”. S 5 Al Maaidah ayat
118. Lalu beliau menangis. Adalah Nabi saw apabila telah membaca ayat rahmat
(ayat yang isinya tentang rahmat), lalu beliau berdoa dan bergembira.
Kegembiraan itu ialah: al-wajd. Dan Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
mempunyai al-wajd (ahlul-wajd) disebabkan Alquran. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
apabila mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat air mata
mereka bercucuran, disebabkan mereka mengenal kebenaran”. S 5 Al Maaidah ayat
83. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat dan dadanya berbunyi
menggelegak seperti bunyi menggelegaknya periuk. Adapun yang dinukilkan dari
hal al-wajd dari para sahabat ra dan tabi’in disebabkan Alquran, banyak sekali.
Diantara mereka ada yang pingsan. Diantara mereka ada yang menangis. Diantara
mereka ada yang jatuh tersungkur. Dan diantara mereka ada yang meninggal dunia
pada tersungkurnya itu. Diriwayatkan bahwa Zararah bin Aufa dan dia termasuk
golongan tabi’in, menjadi imam shalat orang banyak dengan penuh rasa malu. Lalu
ia membaca ayat: “Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8, maka
ia pingsan dan meninggal pada mihrabnya –kiranya Allah menurunkan rahmat
kepadanya. ‘Umar ra mendengar seorang laki-laki membaca: “Sesungguhnya siksaan
Tuhan engkau pasti terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya”. S 52 Ath Thuur
ayat 7-8, lalu beliau memekik-mekik dan jatuh tersungkur. Maka beliaupun dibawa
pulang ke rumahnya. Dan terus sakit di rumahnya sebulan lamanya. Abu Jarir
termasuk golongan tabi’in. Shalih Al-Marri membacakan beberapa ayat Alquran
kepadanyaa dengan suaranya yang sangat merdu. Lalu Abu Jarir pingsan dan
meninggal dunia. Imam Asy-Syafi’i ra mendengar pembaca Alquran membaca: “Inilah
hari yang di kala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada
diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)”. S
77 Al Mursalaat ayat 35-36, lalu ia jatuh tersungkur. ‘Alli bin Al-Fudlail
mendengar seorang pembaca Alquran membaca: “Di hari manusia berdiri dihadapan
Tuhan semesta alam”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 6, lalu ia jatuh pingsan. Maka
Al-Fudlail (ayahnya) berkata: “Allah mengucapkan terima kasih kepadamu, apa
yang diketahuiNya daripadamu”. Begitupula dinukilkan dari segolongan mereka.
Dan begitupula kaum shufi. Pada suatu malam bulan Ramadlan, Asy-Syibli berada
di masjidnya. Ia mengerjakan shalat di belakang imamnya. Lalu imam itu membaca:
“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami hilangkan (ambil) apa yang telah Kami
wahyukan kepada engkau”. S 17 Al Israa’ ayat 86, maka Asy-Syibli
berteriak-teriak, sehingga orang banyak menyangka bahwa Asy-Syibli telah
terbang nyawanya, merah padam mukanya dan amat takut hatinya. Dia mengatakan
seperti itu, menghadapkan kata-katanya kepada teman-temannya. Dan banyak kali
mengulang-ulanginya yang demikian. Al-Junaid berkata: “Aku masuk ke tempat
Sirri Al-Suqthi. Aku melihat dihadapannya seorang laki-laki yang telah jatuh
pingsan”. Lalu Sirri berkata kepadaku: “Ini adalah orang yang telah mendengar
suatu ayat dari Alquran, lalu jatuh pingsan”. Maka aku menjawab: “Bacalah
kepadanya ayat itu lagi !”. Lalu dibacakan, maka iapun sembuh. Lalu Sirri
bertanya: “Dari manakah sumbernyaa, maka engkau mengatakan ini ?”. Aku
menjawab: “Aku melihat Nabi Ya’qub as buta matanya dari karena makhluq. Maka
dengan makhluq pula ia dapat melihat kembali. Dan jikalau butanya dari karena
Al-Haq, niscaya ia tidak dapat melihat dengan sebabnya makhluq”. Sirri
memandang baik jawaban itu. Dan terhadap apa yang dikatakan oleh Al-Junaid
tadi, ditunjukkan oleh pantun seorang penyair:
Segelas khamar aku minum
untuk kesenangan.
Dan segelas lagi aku minum
untuk pengobatan.
Setengah kaum
shufi berkata: “Pada suatu malam aku membaca ayat ini: “Tiap-tiap yang bernyawa
merasakan kematian”. S 3 Ali ‘Imran ayat 185. Aku ulang-ulangi membacakannya.
Tiba-tiba seorang meneriakkan suaranya kepadaku: “Berapa kalikah engkau sudah
mengulang-ulangi ayat itu ? engkau telah membunuh 4 jin, di mana mereka tidak
pernah mengangkatkan kepalanya ke langit, semenjak mereka dijadikan”. Abu ‘Ali
Al-Maghazili berkata kepada Asy-Syibli: “Kadang-kadang pendengaranku diketuk
oleh suatu ayat dari Kitab Allah Ta’ala. Lalu menghelakan aku kepada berpaling
dari dunia. Kemudian aku kembali kepada hal-keadaanku dan kepada manusia. Maka
aku tiada kekal di atas yang demikian”. Asy-Syibli menjawab: “Apa yang mengetuk
pendengaranmu dari Alquran, lalu menghelakan kamu kepadanya, adalah
kasih-sayang dari Alquran kepadamu dan lemah-lembutnya Alquran kepadamu.
Apabila ia mengembalikan kamu kepada dirimu sendiri, maka adalah
kasih-sayangnya Alquran kepadamu. Sesungguhnya tiada yang lebih baik bagimu,
selain daripada memohonkan daya dan upaya untuk menghadapkan diri kepadanya”.
Seorang ahli tashawwuf mendengar seorang pembaca Alquran membaca: “Hai jiwa
yang tenang tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan)
dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat 27-28. Lalu meminta
pembaca itu mengulanginya. Kemudian ahli tasawwuf tersebut berkata: “Berapa
kali aku mengatakan kepada jiwa: ‘Kembalilah ! dan ia tidak kembali”. Ahli
tasawwuf itu mendapat kesan yang mendalam (alwajd) dan memekik-mekik. Lalu
nyawanya keluar. Bakr bin Ma’adz mendengar seorang pembaca Alquran membaca:
“Peringatkanlah kepada mereka akan hari yang sudah dekat waktunya”. S 40 Al
Mukmin ayat 18. Lalu badannya gemetar. Kemudian berteriak: “Kasihanilah orang
yang telah Engkau memperingatinya dan tidak menghadap kepada Engkau –sesudah
peringatan itu- dengan mentaati Engkau !”. Kemudian ia pingsan. Ibrahim bin
Adham ra apabila mendengar seseorang membaca: “Ketika langit belah”. S 84 Al
Insyiqaaq ayat 1, lalu sendi-sendinya gemetar, sehingga badannya menjadi gempa.
Dari Muhammad bin Shubaih, yang berkata: “Ada seorang laki-laki mandi di sungai
Al-Furat. Maka lalulah seorang laki-laki di pinggir sungai itu membaca:
“Bersisihlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berdosa !”. S 36 Yaa Siin
ayat 59. Maka orang itu terus gemetar, sehingga tenggelam dalam sungai dan
meninggal dunia. Tersebutlah, bahwa Salman Al-Farisi melihat seorang pemuda,
membaca Alquran. Maka sampailah pada suatu ayat. Lalu gemetarlah kulit pemuda
itu. Salman amat menyukai pemuda tersebut dan tiada diketahuinya kemana
perginya. Lalu ia bertanya tentang pemuda itu. Ada yang menjawab, bahwa pemuda
tersebut sakit. Lalu Salman datang menziarahinya. Tiba-tiba pemuda itu dalam
keadaan mati. Maka pemuda itu berkata kepada Salman: “Wahai Bapak Abdullah !
adakah engkau melihat kegoncangan itu yang ada pada badanku ? sesungguhnya
kegoncangan itu telah datang pada diriku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia
menerangkan kepadaku, bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni segala dosaku dengan
sebabnya”. Kesimpulannya, tidaklah terlepas orang yang mempunyai hati, dari
al-wajd ketika mendengar Alquran. Jikalau Alquran itu tidak membekas sedikitpun
padanya, maka dia “adalah sebagai orang yang memanggil apa-apa yang tidak bisa
mendengar, hanya (mendengar) panggilan dan teriakan saja. Mereka tuli, bisu dan
buta, sebab itu mereka tidak mengerti”. Tetapi orang yang mempunyai hati itu,
membekas padanya kata hikmat yang didengarnya. Ja’far Al-Khuldi menerangkan,
bahwa seorang laki-laki dari penduduk Khurasan masuk ke tempat AL-Junaid. Dan
disisi Al-Junaid banyak orang. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Al-Junaid:
“Kapankah sama pada hamba itu, antara yang memujikannya dan yang mencacikannya
?”. Lalu setengah dari syaikh-syaikh itu menjawab: “Apabila hamba itu masuk ke
Al-Bimaristan dan diikat dengan dua ikatan”. Lalu Al-Junaid menjawab: “Tidaklah
ini termasuk utusanmu !”. Kemudian Al-Junaid memandang laki-laki yang bertanya
tadi, seraya berkata: “Apabila hamba itu meyakini bahwa dia itu makhluq”. Maka
pingsanlah laki-laki yang bertanya itu dan meninggal dunia. Jikalau anda
bertanya, bahwa kalau adalah mendengar Alquran itu memberi faedah kepada
al-wajd, maka mengapakah mereka itu berkumpul untuk mendengar nyanyian dari
orang-orang yang mengada-adakan, tidak daripada para pembaca Alquran ?
seyogyalah hendaknya perhimpunan dan perasaan mereka yang mendalam itu pada
halqah para pembaca Alquran (para qari’). Tidak dalam halqah para penyanyi. Dan
seyogyalah dicari seorang qari’, tidak seorang yang mengada-adakan, pada
tiap-tiap perhimpunan dalam semua undangan. Maka sesungguhnya, kalam Allah
sudah pasti –adalah lebih utama dari nyanyian. Ketahuilah, bahwa nyanyian itu,
lebih mengobarkan perasaan (al-wajd), dibandingkan dengan Alquran dari 7 segi:
Segi pertama: bahwa tidaklah sekalian ayat
Alquran sesuai dengan perihal pendengar. Dan tidaklah patut untuk pemahaman dan
penempatannya, kepada yang mengena bagi dirinya. Orang yang tertimpa ke atasnya
kesedihan atau kerinduan atau penyesalan, maka dari manakah persesuaian
perihalnya dengan firman Allah Ta’ala: “Allah telah menentukan kepada kamu
(tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu: bagian seorang laki-laki sama
dengan bagian dua orang perempuan”. S 4 An Nisaa’ ayat 11. Dan firman Allah
Ta’ala: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih”. S 24 An
Nur ayat 4. Begitupula sekalian ayat, yang padanya penjelasan hukum-hukum
pusaka, talak, hukum pidana dan lainnya. Sesungguhnya penggerak bagi apa yang
dalam hati, ialah apa yang bersesuaian dengan dia. Dan pantun-pantun itu
disusun oleh para penyair untuk melahirkan perihal-ihwal hati. Maka tidaklah
memerlukan pada memahami perihal hati itu, kepada bersusah-susah. Benar, orang
yang dikuasai atas dirinya, oleh suatu keadaan yang mengeras, lagi memaksa,
niscaya tidak tinggal lagi padanya suatu lapangan untuk lainnya. Sedang ia
sadar dan mempunyai kecerdasan yang tembus, yang dapat meneliti segala
pengertian yang jauh dari kata-katanya. Maka kadang-kadang keluarlah al-wajd
(perasaannya yang mendalam) kepada tiap-tiap yang didengar. Seperti orang yang
terguris dalam hatinya ketika menyebut firman Allah Ta’ala: “Allah telah
menentukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu”. S 4 An Nisaa’
ayat 11, akan perihal mati yang memerlukan kepada wasiat. Dan tiap-tiap manusia
–tidak boleh tidak –akan meninggalkan harta dan anaknya. Dan keduanya itu
adalah kekasihnya dari dunia. Maka ditinggalkannya salah satu dari dua kekasih
tadi (harta) untuk kekasih kedua (anak). dan ia sendiri meninggalkan
kedua-duanya sekali. Maka keraslah ketakutan dan kegundahan pada dirinya. Atau
ia mendengar sebutan nama Allah pada firman tadi, lalu ia merasa dahsyat dengan
semata-mata penyebutan nama, dari apa yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atau
terguris pada hatinya Rahmat Allah dan kasih-sayangNya kepada hamba-hambaNya,
dengan penyusunan bahagian pusaka mereka oleh Allah Ta’ala sendiri. Ia (Allah)
memandang kepada mereka, pada kehidupan dan kematian mereka. Lalu ia
mengatakan: “Apabila Allah memandang kepada anak-anak kita sesudah mati kita,
maka tidak syak wasangka lagi, bahwa Allah Ta’ala memandang kepada kita”. Maka
berkobarlah padanya perihal harapan. Dan yang demikian itu mempusakakan baginya
kegembiraan dan kesukaan. Atau terguris dalam hatinya dari firman Allah Ta’ala:
“Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. S 4 An
Nisaa’ ayat 11, akan kelebihan laki-laki, disebabkan dianya laki-laki, di atas
perempuan. Dan kelebihan di akhirat untuk laki-laki itu, janganlah mereka
dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli daripada mengingati (berdzikir) akan
Allah. Dan orang yang dilalaikan oleh selain Allah Ta’ala daripada mengingati
Allah Ta’ala, adalah ia sebenarnya sebagian dari perempuan. Tidak sebagian dari
laki-laki. Maka ia takut terhijab (terdinding) atau terkemudian pada memperoleh
ni’mat akhirat, sebagaimana terkemudiannya wanita pada harta dunia. Hal-hal
yang seperti ini, kadang-kadang menggerakkan al-wajd. Tetapi bagi orang yang ada padanya dua sifat:
Pertama: suatu
keadaan yang mengerasi, yang menenggelamkan dan yang memaksa.
Kedua: kecerdikan
yang bersangatan, kesadaran yang menyampaikan, yang menyempurnakan peringatan
segala hal-keadaan yang dekat kepada pengertian-pengertian yang jauh. Yang
demikian termasuk hal yang sukar. Maka karena itulah, orang meminta bantuan
kepada nyanyian, dimana kata-katanya bersesuaian dengan keadaan. Sehingga
lekaslah berkobarnya. Diriwayatkan bahwa Abul-Husain An-Nuri berada bersama
suatu kumpulan orang banyak, pada suatu undangan. Lalu berjalanlah diantara
mereka pembicaraan suatu masalah ilmu. Dan Abul-Husain itu diam saja. Kemudian
ia mengangkatkan kepalanya dan berpantun dihadapan mereka itu:
Banyaklah burung merpati
bernyanyi pada waktu pagi.
Ia bersedih hati
lalu bernyanyi pada ranting yang
tinggi.
Ia teringat akan kesayangannya,
pada masa yang lalu.
Ia menangis karena kesedihannya
lalu membangkitkan kesedihanku.
Maka tangisanku kadang-kadang
membawa dia tidak tertidur.
Dan tangisannya kadang-kadang
membawa aku tidak tertidur.
Kadang-kadang aku mengadu
Tetapi aku tidak dapat memberi
pengertian kepadanya.
Kadang-kadang ia mengadu
tetapi kepadaku ia tidak dapat
memberi pengertiannya.
Kecuali aku
mengenalinya dengan perasaan.
Dan ia juga mengenali aku
dengan perasaan........
Abul-Husain mengatakan, bahwa tiada
seorangpun dari orang banyak itu yang tinggal, melainkan bangun berdiri dan
memperoleh perasaan yang mendalam. Dan perasaan mendalam tersebut (al-wajd),
tiada menghasilkan bagi mereka pengetahuan, yang telah dimasukinya tadi.
Walaupun pengetahuan itu secara bersungguh-sungguh dan benar.
Segi kedua: bahwa
Alquran itu dihafal oleh kebanyakan orang. Dan berulang-ulang pada pendengaran
dan hati. Tiap kali didengar pada pertama kali, niscaya besar bekasnya pada
hati. Dan pada kali kedua, bekasnya menjadi lemah. Dan pada kali ketiga,
hampir-hampir bekas itu hilang. Jikalau ditugaskan orang yang mempunyai
perasaan yang keras, untuk mendatangkan perasaannya yang mendalam (al-wajd)
pada sekuntum syair terus-menerus, pada berkali-kali yang berdekatan waktunya,
dalam sehari atau seminggu, niscaya tidak mungkinlah yang demikian. Dan kalau
diganti dengan sekuntum syair yang lain, niscaya membarulah bekas pada hatinya.
Walaupun syair yang baru ini melahirkan maksud yang sama. Akan tetapi adanya
susunan dan kata-kata yang ganjil, dibandingkan dengan pertama itu,
menggerakkan jiwa. Meskipun pengertiannya satu. Dan tidak adalah kesanggupan
seorang qari’ untuk membaca Alquran yang ganjil (yang berlainan) pada setiap
waktu dan undangan. Sesungguhnya Alquran itu terbatas, tidak mungkin
menambahkannya. Dan semuanya dihafal yang berulang-ulang. Dan kepada yang telah
kami sebutkan itu, diisyaratkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, dimana beliau
melihat serombongan Arab desa datang ke Madinah. Maka mendengar Alquran dan
mereka itu menangis. Maka Abu Bakar ra berkata: “Adalah kami seperti kamu.
Tetapi hati kami telah kesat”. Janganlah anda menyangka bahwa hati Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra berada lebih kesat dari hati orang-orang Arab desa itu dan
hatinya berada lebih kosong daripada mencintai Allah Ta’ala dan mencintai
KalamNya dibandingkan dengan hati mereka. Akan tetapi berulang-ulang ke atas
hatinya itu, membawa kelemahan kepadanya dan sedikit membekasnya. Karena
kejinakan yang diperolehnya dengan sebab banyak mendengarnya. Karena mustahil
menurut adat-kebiasaan, bahwa seorang pendengar, yang mendengar suatu ayat yang
belum didengarnya sebelumnya, lalu ia menangis. Kemudian terus-menerus ia
menangis pada ayat itu sampai 20 tahun. Kemudian diulang-ulanginya ayat itu dan
menangis. Tidaklah yang pertama itu berbeda dengan yang akhir, selain yang
pertama itu ganjil dan baru. Dan tiap-tiap yang baru enak. Dan tiap-tiap yang
datang menggoncangkan. Dan tiap-tiap yang disukai, lagi menjinakkan hati,
menentang kegoncangan itu. Dan karena inilah, ‘Umar ra bercita-cita melarang
manusia daripada membanyakkan thawaf. Beliau berkata: “Aku takut bahwa manusia
mempermudah-mudahkan Rumah (Ka’bah) ini, artinya: mereka berjinak-jinakan hati
dengan dia”. Orang yang baru datang untuk melakukan ibadah hajji, lalu melihat
Rumah (Ka’bah) itu pada pertama kalinya, niscaya menangis dan pingsan.
Kadang-kadang ia jatuh tersungkur, tatakala matanya memandang Ka’bah.
Kadang-kadang dengan bermukimnya di Makkah barang sebulan, lalu tiada merasa
bekasnya yang demikian itu pada jiwanya. Jadi penyanyi itu, sanggup menyanyikan
beberapa kuntum syair yang ganjil pada setiap waktu. Dan qari’ itu tidak
sanggup pada setiap waktu kepada suatu ayat yang ganjil.
Segi ketiga:
bahwa irama perkataan dengan perasaan syair itu, memberi bekas pada jiwa. Maka
tidaklah suara yang berirama yang bagus, seperti suara yang bagus yang tidak
berirama. Sesungguhnya berirama yang bertimbangan hanya terdapat pada syair.
Tidak pada ayat-ayat Alquran. Jikalau seorang penyanyi melakukan dengan
merangkak-rangkak, pantun yang dinyanyikannya atau diubahnya nyanyian itu atau
diselewengkannya dari batas jalannya pada nyanyian, niscaya bergoncanglah hati
pendengar. Dan batal perasaan dan pendengarannya. Dan lari tabiatnya, karena
tidak adanya kesesuaian. Dan apabila tabiat itu lari, niscaya bergoncanglah
hati dan kacau. Jadi, timbangan suaralah yang memberi bekas. Maka karena
demikian, baiklah syair.
Segi keempat:
bahwa syair yang bertimbangan suara, berlainan pengaruhnya (bekasnya) pada
jiwa, dengan nyanyian-nyanyian yang dinamakan: thuraq (jalan suara yang tidak
menurut semestinya) dan dastanat (lagu yang tiada teratur). Sesungguhnya
berlainan jalan suara itu, ialah dengan memanjangkan yang pendek, memendekkan yang
panjang. Berhenti di tengah kata-kata memotong dan menyambung pada
sebahagiannya. Perlakuan yang demikian diperbolehkan pada syair. Dan tidak
diperbolehkan pada Alquran, selaim membaca (tilawah) sebagaimana diturunkan.
Memendekkan, memanjangkan, memberhentikan suara (waqf), menyambungkan suara
(washl) dan memutuskan suara yang berlainan daripada yang dikehendaki oleh
tilaawah, adalah haram atau makruh. Apabila Alquran dibacakan, sebagaimana
diturunkan, niscaya hilanglah bekas, yang sebabnya irama nyanyian. Yaitu sebab
tersendiri pada pembekasan. Meskipun tidak dipahami artinya. Sebagaimana pada
rebab, seruling, serunai dan suara-suara lainnya yang tidak dipahami.
Segi kelima:
bahwa nyanyian yang bertimbangan suara itu dikuatkan dan diteguhkan dengan bentuk
nyanyian yang semestinya dan bunyi-bunyian lain yang berirama, di luar
kerongkongan. Seperti memukul tambur, genderang dan lainnya. Karena perasaan
yang lemah, tidak akan berkobar, selain dengan sebab yang kuat. Dan sebab itu
menjadi kuat, dengan berkumpulnya sebab-sebab itu. Masing-masing sebab
tersebut, mempunyai bahagian pada pembekasan. Dan Alquran wajib dijaga dari
hal-hal yang seperti itu. Karena bentuknya pada pandangan umum adalah bentuk
senda-gurau dan permainan. Dan Alquran adalah kesungguhan seluruhnya pada
makhluq umumnya. Maka tidak boleh dicampurkan dengan kebenaran yang sejati, apa
yang menjadi senda-gurau pada orang awam. Dan bentuknya, bentuk senda-gurau
pada orang-orang tertentu. Walaupun mereka tiada memandang kepadanya dari segi
bahwa dia itu senda-gurau. Tetapi seyogyalah Alquran itu dimuliakan. Maka ia
tidak dibacakan pada jalanan umum. Akan tetapi pada tempat majelis yang
ditempati. Tidak pada keadaan sedang berjanabat (berhadats besar) dan dalaam
keadaan tidak suci. Dan tidak sanggup menyempurnakan hak kehormatan Alquran
dalam segala hal. Kecuali orang-orang yang selalu memperhatikan hal-keadaannya
sendiri. Maka ia berpaling kepada nyanyian orang-orang yang tiada mempunyai
perhatian dan pemeliharaan tersebut. Dan karena itulah, tidak diperbolehkan
memukul rebana serta membaca Alquran pada malam perkawinan. Rasulullah saw
menyuruh memukul rebana pada perkawinan, dengan sabdanya: “Lahirkanlah
perkawinan itu, walaupun dengan memukul rebana !”. Atau sabda tadi dengan
kata-kata yang semaksud dengan hadits diatas. Dan yang demikian itu, boleh
bersama syair. Tidak bersama Alquran. Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw
masuk ke rumah Ar-Rabi’ binti Mu’awwadz dan di sisinya beberapa orang budak
wanita sedang menyanyi, lalu Nabi saw mendengar salah seorang dari mereka
mengatakan: “Pada kita sekarang ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi
besok”, secara nyanyian. Lalu Nabi saw bersabda: “Tiinggalkanlah perkataan ini
dan katakanlah apa yang telah engkau katakan itu !”. Perkataan ini yang
diucapkan wanita tadi adalah pengakuan dengan kenabian. Nabi saw melarangkannya
dan mengembalikannya kepada nyanyian yang bersifat senda-gurau itu. Karena
perkataan ini (yang menyangkut dengan kenabian), adalah kesungguhan
semata-mata. Maka tidaklah dibarengi dengan bentuk senda-gurau. Jadi disebabkan
yang demikian, dimaafkan penguatan sebab-sebab yang menjadikan pendengaran itu,
penggerak bagi hati. Maka wajib pada penghormatan tadi, berpaling dari Alquran
kepada nyanyian. Sebagaimana wajib di atas budak wanita itu berpaling dari
kesaksian kenabian, kepada nyanyian.
Segi keenam:
kadang-kadang penyanyi itu menyanyikan sekuntum syair, yang tiada sesuai dengan
keadaan pendengar. Lalu pendengaran itu tiada menyukainya dan melarangkannya
daripada menyanyikannya. Dan meminta yang lain. Maka tidaklah semua perkataan
itu, sesuai dengan semua keadaan. Jikalau berkumpullah orang ramai pada da’wah,
dengan seorang qari’, maka kadang-kadang qari’ tadi membaca ayat yang tiada
bersesuaian dengan keadaan mereka. Karena Alquran itu obat bagi manusia semua
di dalam keadaan mereka yang berlain-lainan. Maka ayat rahmat itu obat bagi
orang yang takut. Dan ayat azab itu obat bagi orang yang terpedaya, yang merasa
aman. Dan penguraian yang demikian, termasuk yang panjang uraiannya. Apabila
merasa tiada terpelihara, bahwa yang dibaca itu tiada akan bersesuaian dengan
keadaan dan akan dibenci oleh hawa nafsu, maka dengan demikian ia mendatangkan
bahaya kebencian kepada Kalam Allah Ta’ala, dimana ia tiadaa mendapat jalan
untuk mempertahankannya. Maka menjaga dari bahaya yang demikian itu adalah
kehati-hatian yang menyampaikan kepada maksud dan kewajiban yang diperlukan.
Karena tidaklah mendapat kelepasan daripadanya, selain dengan menempatkannya
menurut yang bersesuaian dengan keadaannya. Dan tidak boleh menempatkan Kalam
Allah Ta’ala, selain menurut apa yang dikehendaki Allah Ta’ala. Adapun
perkataan penyair, maka boleh menempatkannya berlainan dari maksudnya. Lalu
padanya bahaya kebencian. Atau bahaya penta’wilan itu kesalahan bagi
penyesuaian dengan keadaan. Maka wajiblah memuliakan Kalam Allah dan
memeliharakannya dari yang demikian. Inilah yang membekas pada hatiku, tentang
sebab-sebab berpalingnya para guru (para syaikh) kepada mendengar nyanyian,
daripada mendengar Alquran. Disini ada lagi segi ke-7 yang disebutkan oleh Abu
Nashar As-Siraj Ath-Thusi, tentang kemaafan dari yang demikian. Beliau berkata:
“Alquran itu Kalam Allah dan salah satu dari sifat-sifatNya. Alquran itu benar,
tiada akan sanggup ditiru oleh sifat manusiawi. Karena Alquran itu bukan
makhluq. Maka tiada akan sanggup ditiru oleh sifat-sifat makhluq”. Jikalau
dibukakan bagi hati sebesar biji sawi dari maksud dan kehebatannya, niscaya
hati itu merasa pening, dahsyat dan heran. Dan nyanyian-nyanyian yang merdu itu
bersesuaian dengan tabiat. Hubungannya itu adalah hubungan untung, tidak
hubungan hak. Dan pantun itu, hubungannya hubungan untung. Apabila disangkutkan
nyanyian dan suara dengan isyarat-isyarat dan pengertian-pengertian yang halus,
dengan apa yang ada pada kuntum-kuntum syair, yang sebahagiannya sebentuk
dengan sebahagian yang lain, niscaya adalah yang demikian itu lebih mendekati
kepada untung dan lebih ringan kepada hati. Karena keserupaan makhluq dengan
makhluq. Maka selama sifat kemanusiaan itu tetap dan kita dengan sifat-sifat
dan untung kita merasa nikmat dengan lagu-lagu yang menyedihkan dan suara yang
merdu, maka kegembiraan kita untuk menyaksikan kekekalan untung ini, kepada
kasidah-kasidah, adalah lebih utama daripada kegembiraan kita kepada Kalam
Allah Ta’ala, yang menjadi sifatNya dan KalamNya, yang daripadaNya mulai dan
kepadaNya kembali. Inilah hasil maksud dari perkataan dan permohonan
kemaafannya. Diceritakan dari Abil-Hasan Ad-Daraj, bahwa ia berkata: “Aku
bermaksud datang dari Baghdad kepada Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi, untuk
berkunjung dan bersalaman dengan dia. Ketika aku masuk kota Ar-Razi, lalu aku
bertanya tentang dia. Maka tiap-tiap orang yang aku tanyakan itu menjawab:
‘Apakah yang akan engkau perbuat dengan orang zindiq itu ?”. mereka itu
menyempitkan dadaku, sehingga aku berazam untuk pergi. Kemudian, aku berkata
pada diriku: “Aku telah melewati jalan ini semua, maka aku tidak mengatakan
untuk melihatnya”. Maka terus-meneruslah aku menanyakan dia, sehingga aku masuk
menemukannya dalam suatu masjid. Dan ia sedang duduk di mihrab. Dihadapannya
seorang laki-laki dan ditangannya Alquran. Dan ia sedang membacainya. Rupanya
ia seorang tua yang cantik, elok paras dan janggutnya. Lalu aku bersalam
kepadanya. Maka iapun menghadapkan mukanya kepadaku, seraya berkata: “Darimana
kamu datang ?”. Aku menjawab: “Dari Baghdad”. Beliau menyambung: “Apakah yang
menyebabkan engkau kemari ?”. Aku menjawab: “Aku bermaksud kepada tuan, untuk
menyampaikan salam kepada tuan”. Beliau menjawab: “Jikalau ada pada sebahagian
negeri ini, orang yang mengatakan kepadamu: ‘Tinggallah pada kami, sehingga
akan kami belikan bagimu rumah atau budak wanita !’, apakah yang demikian itu
membawa engkau duduk, daripada datang kepada kami ?”. Aku menjawab: “Tidaklah
aku diuji oleh Allah Ta’ala dengan sesuatu daripada yang demikian. Dan jikalau
aku diuji, niscaya aku tidak tahu, bagaimana jadinya aku ini”. Kemudian beliau
berkata kepadaku: “Adakah engkau merasa baik untuk mengatakan sesuatu ?”. Aku
menjawab: “Ya !”. Lalu beliau berkata: “Keluarkanlah apa yang mau dikatakan itu
!. Maka akupun lalu bermadah:
Aku melihat engkau selalu,
membangun kemuliaan dalam
kebencianku.
Jikalaulah ada akal bagiku,
tentu aku runtuhkan apa yang engkau
bangun itu.
Seolah-olah aku dengan kamu
dan “mudah-mudahan” itu yang terutama
perkataanmu.
Ketahuilah, mudah-mudahan beradalah
kita itu,
karena “mudah-mudahan” saja tidak
mencukupkan sesuatu.
Abil-Hasan
Ad-Darraj meneruskan ceritanya: “Lalu Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi menutupkan
Alqurannya. Dan terus-meneruslah beliau menangis, sehingga basahlah janggutnya
dan kainnya. Sehingga timbullah belas-kasihanku kepadanya lantaran banyak
tangisnya. Kemudian, beliau berkata: “Wahai anakku ! engkau mencaci penduduk
Ar-Razi ini, yang mengatakan, Yusuf itu zindiq. Inilah aku ! dari shalat pagi
aku membaca Alquran, tiada menitik sebutirpun air mataku. Dan telah datanglah
qiamat kepadaku, karena dua kuntum syair tadi”. Jadi hati itu, meskipun ia
terbakar dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala, tetapi sekuntum syair yang ganjil
itu, menggerakkan hati, apa yang tidak digerakkan oleh tilawah Alquran. Yang
demikian itu karena bertimbangannya syair dan bersesuaian dengan tabiat. Dan
karena bersesuaiannya dengan tabit, maka manusia sanggup menyusun syair. Adapun
Alquran, maka susunannya adalah di luar dari susunan dan sistemnya kata-kata.
Karena itulah, ia mu’jizat, tidak masuk dalam kesanggupan manusia. Karena tiada
kesesuaian bagi tabiatnya. Diriwayatkan, bahwa Israfil –guru dari Dzinnun
Al-Misri –telah masuk ke tempatnya seorang laki-laki. Lalu laki-laki tersebut
melihat Israfil memukul-mukul tanah dengan jarinya dan menyanyikan sekuntum
syair. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Israfil: “Pandaikah engkau
menyanyikan sesuatu ?”. Israfil itu menjawab: “Tidak !”. Laki-laki itu menyambung:
“Engkau itu tanpa hati !”, sebagai isyarat bahwa orang yang mempunyai hati dan
mengetahui tabiat hati, niscaya tahu, bahwa itu digerakkan oleh pantun-pantun
dan nyanyian-nyanyian, suatu gerakan yang tiada diperoleh pada selain dari
pantun dan nyanyian. Lalu memberati diri akan jalan penggerakan itu. Adakalanya
dengan sendiri atau dengan lainnya. Dan telah kami sebutkan hukum tingkat
pertama tentang memahami yang didengar dan menempatkannya. Dan hukum tingkat
kedua tentang kesan yang mendalam (al-wajd) yang dijumpai dalam hati. Maka
sekarang marilah kami sebutkan bekas al-wajd itu. Yakni: apa yang tersaring
daripadanya kepada dzahir, baik terkejut, tangisan, gerakan badan, pengoyakan
kain dan lainnya. Maka kami terangkan:
TINGKAT KETIGA DARI PENDENGARAN.
Akan kami sebutkan padanya adab
mendengar, dzahir dan bathin. Dan apa yang terpuji dan apa yang tercela dari
bekas-bekas al-wajd. Adapun adab, yaitu: 5 kesimpulan:
Pertama: menjaga zaman,
tempat dan teman. Al-Junaid berkata: “Pendengaran itu memerlukan kepada 3
perkara. Jikalau tidak, maka engkau tidak mendengar”. Yaitu: zaman, tempat dan
teman. Artinya: bahwa sibuk dengan pendengaran, pada waktu datang makanan atau
permusuhan atau shalat atau sesuatu yang memalingkan perhatian dari pendengaran
serta kekacauan hati (pikiran), tiada faedah padanya. Inilah artinya menjaga
zaman (masa). Maka pendengaran itu dijaga dalam keadaan selesainya hati untuk
mendengar. Adapun tempat, kadang-kadang di jalanan yang dijalani orang atau
tempat yang buruk bentuknya atau ada padanya sebab yang membimbangkan hati.
Maka hendaklah dijauhkan yang demikian. Adapun teman, maka sebabnya ialah
apabila datang yang tidak sejenis, dari orang yang menantang pendengaran, yang
bersikap zuhud secara dzahiriah, yang tidak mempunyai perasaan hati yang halus,
niscaya adalah yang demikian itu menjadi berat dalam majelis. Dan membimbangkan
hati dengan dia. Dan seperti itu juga, apabila datang orang yang bersikap
sombong dari golongan duniawi, yang memerlukan kepada mengintip dan memperhatikannya.
Atau datang orang yang memberatkan diri, yang membuat-buat al-wajd, dari ahli
tasawwuf, yang bersikap ria dengan al-wajd, tarian dan pengrobekan kainnya.
Maka semua itu adalah pengganggu-pengganggu pendengaran. Meninggalkan
pendengaran ketika tidak adanya syarat-syarat tersebut diatas itu lebih utama.
Maka pada syarat-syarat itu perhatian kepada pendengar.
Adab kedua: yaitu perhatian
yang hadir, bahwa syaikh (guru), apabila ada di sekelilingnya murid-murid, yang
mendatangkan kemelaratan mendengar bagi mereka, maka tiada seyogyalah ia
melakukan pendengaran pada waktu kehadiran murid-murid itu. Jikalau ia
melakukan pendengaran, maka hendaklah murid-murid itu disibukkan dengan
kesibukan yang lain. Murid yang mendapat kemelaratan dengan mendengar itu, ialah
salah satu dari 3:
1.
Derajat yang paling
kurang, yaitu: yang tiada memperoleh dari jalanan, selain perbuatan dzahiriah.
Dan tiada mempunyai perasaan-pendengaran. Maka kesibukannya dengan pendengaran,
adalah kesibukan dengan yang tiada berfaedah baginya. Karena ia bukan ahli
bersenda-gurau, lalu bersenda-gurau. Tidak dari ahli yang berperasaan, lalu
mencari keni’matan dengan perasaan pendengaran. Dari itu, maka hendaklah
bekerja dengan berdzikir atau berkhidmat (melayani kepentingan umum). Jikalau
tidak, maka adalah menyia-nyiakan waktunyaa.
2.
Yaitu: yang
mempunyai rasa (dzauq) pendengaran. Tetapi ada padanya sisa bahagian ketabiatan
dan perhatian kepada nafsu syahwat dan sifat kemanusiaan. Dan itu tidak pecah
kemudian, yang menjamin keamanan dari hal-hal yang membinasakan. Kadang-kadang
pendengaran itu menggerakkan hal yang memanggil senda-gurau dan nafsu syahwat.
Lalu memotong kepadanya jalan pendengaran. Dan mencegahnya dari kesempurnaan.
3.
Bahwa orang itu
telah hancur nafsu syahwatnya. Telah merasa aman dari hal yang membinasakannya.
Telah terbuka matahatinya. Dan telah mempengaruhi pada hatinya, kecintaan
kepada Allah Ta’ala. Tetapi, tidak teguh pemahamannya akan ilmu dzahiriah.
Tidak mengenal nama Allah dan sifat-sifatNya, apa yang jaiz (yang boleh) dan yang
mustahil kepadaNya.
Maka apabila
telah terbuka baginya pintu pendengaran, niscaya bertempatlah yang didengarnya
itu pada hak Allah Ta’ala, kepada apa yang jaiz dan apa yang tidak jaiz. Maka
adalah kemelaratannya dari bahaya-bahaya itu, dimana bahaya-bahayanya itu ialah
kekufuran, adalah lebih besar daripada kemanfaatan pendengaran. Sahl ra
berkata: “Tiap-tiap al-wajd yang tidak diakui oleh Al-Kitab (Alquran) dan
As-Sunnah, adalah batil. Maka tidaklah patut pendengaran kepada contoh yang
seperti ini. Dan tidak bagi orang yang hatinya kemudian, berlumuran dengan
kecintaan kepada dunia. Kecintaan kepada pujian dan sanjungan. Dan tidak bagi
orang, yang mendengar karena kelezatan dan dirasa baik oleh tabiat. Maka
jadilah yang demikian adat-kebiasaan baginya. Dan yang demikian itu
mengganggukannya daripada ibadah dan pemeliharaan hatinya. Dan terputuslah
jalannya. Maka pendengaran itu menggelincirkan tapak, yang wajib dipelihara
daripadanya orang-orang yang lemah. Al-Junaid berkata: “Aku bermimpi melihat
Iblis. Lalu aku bertanya kepadanya: ‘Adakah kamu memperoleh sesuatu pada
sahabat-sahabat kami ? Iblis itu menjawab: “Ada, pada dua waktu: waktu
mendengar dan waktu melihat. Maka aku masuk kepada mereka dengan waktu itu”.
Maka menjawab setengah syaikh: “Jikalau aku bermimpi melihat Iblis itu, niscaya
aku katakan kepadanya: ‘Alangkah dungunya engkau ! orang yang mendengar
daripadanya apabila mendengar dan orang yang memandang kepadanya apabila
memandang, bagaimanakah engkau memperoleh dengan dia ?”. Al-Junaid menjawab:
“Benar engkau !”.
Adab ketiga: bahwa
memperhatikan benar-benar kepada apa yang dikatakan oleh orang yang mengatakan,
yang berkehadiran hati, yang sedikit menoleh ke segala pihak, yang menjaga diri
dari memandang kepada muka para pendengar dan apa yang lahir pada mereka dari
hal-ihwal al-wajd. Yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjaga hatinya dan
mengintip apa yang dibuka oleh allah ta’ala baginya dari rahmat pada bathinnya.
Yang menjaga dari gerak-gerik yang mengganggu hati para sahabatnya. Akan tetapi,
ia tetap dzhiariahnyam tenang sendi-sendinya, menjaga diri dari batuk-batuk dan
menguap. Ia duduk menekurkan kepalanya, seperti duduknya dalam pemikiran yang
tenggelam untuk hatinya, yang berpegang teguh, tidak bertepuk, menari dll
gerakan, secara dibuat-buat, memberatkan diri dan ria. Yang berdiam diri dari
berbicara pada waktu sedang berkata-kata, dengan tiap sesuatu yang tidak boleh
tidak daripadanya. Jikalau ia dikerasi oleh al-wajd dan digerakkannya tanpa
pilihan (ikhtiar)nya, maka itu dimaafkan, tiada tercela. Dan manakala telah
kembali, kepadanya ikhtiar itu maka hendaklah ia kembali kepada ketenangan dan
ketentramannya !. Tiada seypgyalah ia berkekalan oleh malunya, daripada
dikatakan, bahwa al-wajdnya akan habis dalam waktu dekat. Dan tidak membuat-buat
al-wajd, karena takut akan dikatakan, bahwa dia itu kesat hati, tiada bersih
jiwa dan halus perasaan. Diceritakan, bahwa seorang pemuda menemani Al-Junaid.
Maka apabila pemuda itu mendengar sesuatu dzikir, lalu memekik. Lalu pada suatu
hari Al-Junaid berkata kepadanya: “Jikalau engkau perbuat yang demikian sekali
lagi, maka engkau jangan lagi menemaniku !”. Lalu sesudah itu, pemuda tadi
menekan dirinya, sehingga menitik dari tiap-tiap bulunya titikan air. Dan ia
tidak memekik. Kemudian diceritakan bahwa pada suatu hari tercekik
kerongkongannya, karena ia bersangatan menahan diri. Lalu menangis
terisak-isak. Maka pecah hatinya dan hilang nyawanya. Diriwayatkan, bahwa Nabi
Musa as bercerita pada kaum Bani Israil. Lalu salah seorang dari mereka, mengoyakkan
kainnya atau kemejanya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as:
“Katakanlah kepadanya: ‘Koyakkanlah untukKu hatimu ! dan jangan engkau koyakkan
kainmu !”. Abul-Kasim An-Nasarabazi berkata kepada Abi ‘Amr bin ‘Ubaid: “Aku
mengatakan, bahwa apabila berkumpul suatu kaum, lalu seorang penyanyi bersama
mereka bernyanyi, adalah lebih baik daripada mereka mengumpat”. Lalu Abi ‘Amr
berkata: “Ria itu pada pendengaran. Yaitu: bahwa engkau memperlihatkan dari
diri engkau, keadaan yang tidak ada pada engkau -,adalah lebih jahat daripada
engkau mengumpat 30 tahun atau seumpama dengan itu”. Jikalau engkau berkata:
bahwa yang lebih utama, ialah yang tidak digerakkan oleh pendengaran dan tidak
membekas pada dzahirnya atau yang dzahir padanya ?. Ketahuilah kiranya, bahwa
tiada dzhahirnya pada suatu kali adalah karena lemahnya yang mendatang dari
al-wajd. Maka itu adalah kekurangan. Dan pada suatu kali, adalah ia bersama
kuatnya al-wajd pada bathin. Tetapi tiada dzahir, karena sempurnanya kekuatan
menahan anggota tubuh. Maka itu adalah kesempurnaan. Pada suatu kali, adalah ia
karena keadaan al-wajd mengikuti dan menyertai dalam semua keadaan. Maka tiada
terang bagi pendengaran, bertambahnya membekas. Dan itu adalah sangat sempurna.
Karena yang mempunyai al-wajd itu dalam kebanyakan hal, tiada kekal al-wajdnya.
Maka orang yang selalu dalam al-wajd, maka ia terikat bagi kebenaran dan selalu
tiada berpisah bagi zat yang dipersaksikannya (‘ainisy-syhuhud). Maka ini tiada
akan dirobahkan oleh jalan-jalannya keadaan. Dan tiada jauh, bahwa isyarat itu
adalah dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra: “Adalah kami sebagaimana adanya
kamu. Kemudian kesatlah hati kami”. Artinya: “Telah kuat hati kami dan keras.
Lalu sanggup terus-menerus adanya al-wajd pada semua keadaan”. Maka kita itu
dalam mendengar maksud Alquran terus-menerus. Maka tidaklah Alquran itu baru
terhadap kita, yang datang kepada kita. Sehingga kita memperoleh kesan dengan
dia. Jadi, kekuatan al-wajd itu menggerakkan. Dan kekuatan akal dan perpegangan
itu menentukan yang dzahir. Kadang-kadang salah satu daripada keduanya lebih
keras dari yang lain. Adakalanya lantaran sangat kuatnya. Dan adakalanya
lantaran lemah apa yang dihadapinya. Dan adalah kekurangan dan kesempurnaan itu
menurut yang demikian tadi. Maka janganlah engkau menyangka bahwa orang yang
membalik-balikkan dirinya di atas tanah itu, lebih sempurna al-wajdnya dari
orang yang tenang dari membalik-balikkan dirinya. Bahkan, banyak orang yang
tetap tentram itu lebih sempurna al-wajdnya daripada orang yang
membalik-balikkan diri. Adalah Al-Junaid bergerak-gerak pada mendengar pada
permulaannya. Kemudian tiada bergerak-gerak lagi. Lalu ia ditanyakan orang,
tentang yang demikian, maka ia membaca: “Engkau melihat gunung-gunung, engkau
kira bahwa dia tetap (tiada bergerak), padahal dia berjalan kencang, sebagai
awan berjalan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat segala sesuatu dengan
kokohnya”. S 27 An Naml ayat 88, sebagai pertanda bahwa hati itu bergerak,
berputar dalam alam tinggi (alam malakut) dan anggota tubuh bersikap dengan
adab tentram pada dzahirnya. Abul-Hasan Muhammad bin Ahmad berkata dan ketika
itu dia berada di Basrah: “Aku menyertai Sahl bin Abdillah 60 tahun lamanya.
Tiada aku melihat dia berobah pada suatupun yang didengarnya, baik dzikir atau
Alquran”. Maka tatkala ia pada akhir umurnya (hidupnya), seorang laki-laki
membaca dihadapannya ayat: “Sebab itu, di hari ini tiada diterima tebusan dari
kamu dan tiada pula dari orang-orang yang kafir. Tempat diam kamu ialah neraka,
itulah tempat kamu berlindung dan tempat tujuan yang amat buruk !”. S 57 Al
Hadiid ayat 15. Lalu aku melihat dia gemetar dan hampir jatuh ke lantai. Maka
tatkala telah kembali kepada keadaannya semula, lalu aku tanyakan dari yang
demikian. Maka ia menjawab: “Benar, wahai temanku, aku telah lemah”. Begitupula
pada suatu kali ia mendengar firman Allah Ta’ala: “Kerajaan yang sebenarnya
pada hari itu kepunyaan (Tuhan) Yang Maha Pemurah”. S 25 Al Furqaan ayat 26.
Lalu ia gemetar. Maka ditanyakan oleh Ibnu Salim. Dan Ibnu Salim itu termasuk
sahabatnya. Sahl bin Abdillah menjawab: “Aku lemah !”. Lalu orang bertanya
kepadanya: “Jikalau ini sebahagian dari kelemahan, maka apakah kekuatan keadaan
itu ?”. Ia menjawab: “Bahwa tidak datang kepadanya apa yang datang, melainkan
ia menemuinya dengan kekuatan keadaannya. Maka apa yang datang itu, tidak
mengobahkannya, walaupun yang datang itu kuat”. Sebabnnya mampu mengekang
dzahiriahnya serta adanya al-wajd, ialah melurusnya segala hal-keadaan,
disebabkan tiada putus-putusnya penyaksian (mulazamatusy-syhud). Sebagaimana
diceritakan dari Sahl ra, yang mengatakan: “Keadaanku sebelum shalat dan
sesudahnya ialah satu”. Karena ia memeliharakan hatinya, hadir ingatan kepada
Allah Ta’ala pada semua keadaan. Maka begitu pula ia sebelum mendengar dan
sesudahnya. Karena al-wajdnya kekal selalu. Kehausannya terus bersambung dan
minumnya terus berkekalan, dimana pendengaran itu tidaklah membekas pada
tambahannya. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Mimsyad Ad-Dainuri mendekati suatu
jamaah (kumpulan orang ramai), yang dalam jamaah itu ada seorang penyanyi. Lalu
mereka itu dia semuanya. Maka berkata Mimsyad: “Kembalilah kepada keadaanmu
tadi ! jikalau dikumpulkan segala permainan dunia pada telingaku, niscaya tiada
akan mengganggu cita-citaku. Dan tidak akan menyembuhkan setengah apa yang ada
padaku”. Al-Junaid ra berkata: “Tiada akan mendatangkan kemelaratan oleh
kurangnya al-wajd, serta lebihnya pengetahuan. Dan lebihnya pengetahuan adalah
lebih sempurna daripada lebihnya al-wajd”. Jikalau engkau mengatakan, bahwa
orang yang seperti itu tidak menghadiri pendengaran (untuk mendengarkan
sesuatu). Ketahuilah kiranya, bahwa diantara mereka ada orang yang meninggalkan
mendengar itu pada waktu tuanya. Ia tidak menghadiri pendengaran itu, kecuali
jarang sekali, untuk menolong salah seorang temannya dan memasukkan kegembiraan
ke dalam hatinya. Kadang-kadang ia hadir, supaya diketahui oleh kaum itu
kesempurnaan kekuatannya. Lalu mereka itu mengetahui bahwa tidaklah
kesempurnaan itu dengan al-wajd dzhariah. Maka mereka itu mempelajari
daripadanya pengekangan dzahiriah, tanpa memaksakan diri. Walaupun mereka tidak
sanggup mengikutinya, pada menjadikannya tabiat (sifat yang tetap) bagi mereka.
Jikalau bersesuaian kehadiran mereka itu, bersama bukan putera bangsanya, maka adalah
mereka itu bersama mereka dengan badan-tubuh saja. Dan jauh dari mereka dengan
hati dan bathin. Sebagaimana mereka duduk tanpa mendengar, bersama bukan bangsa
mereka. Disebabkan oleh sebab-sebab yang mendatang, yang menghendaki duduknya
bersama mereka. Sebahagian mereka dinukilkan daripadanya, meninggalkan
mendengar. Dan diduga bahwa sebabnya meninggakan pendengaran itu, ialah karena
tiada memerlukan kepada pendengaran, disebabkan apa yang telah kami sebutkan
dahulu. Dan setengah mereka terdiri dari orang-orang zuhud. Dan tiada mempunyai
untung kerohanian pada pendengaran itu. Dan ia tidak dari golongan senda-gurau.
Maka ia meninggalkan mendengar itu, supaya tidak habis waktunya dengan apa yang
tidak penting. Dan setengah mereka meninggalkan pendengaran itu, karena
ketiadaan teman-teman. Ditanyakan kepada setengah mereka: “Mengapa engkau tidak
mendengar ?”. Lalu menjawab: “Dari siapa dan bersama siapa ?”.
Adab keempat: bahwa ia tidak
berdiri dan tidak meninggikan suaranya dengan menangis. Ia sanggup membatasi
diri. Tetapi jikalau ia menari atau membuat-buat menangis, maka diperbolehkan
(mubah), apabila ia tidak bermaksud dengan demikian, untuk ria. Karena
membuat-buat menangis itu menarik kepada kesedihan. Dan menari itu sebab pada
menggerakkan kegembiraan dan kerajinan. Semua kegembiraan itu mubah. Boleh
menggerakkannya. Jikalau menggerakkan kegembiraan itu haram, niscaya ‘Aisyah
tidak melihat orang-orang Habsyi bersama Rasulullah saw, dimana orang-orang
Habsyi itu menari. Itulah perkataan ‘Aisyah pada setengah riwayat !.
Diriwayatkan dari suatu jamaah dari sahabat ra, bahwa mereka itu
melompat-lompat kegirangan, tatkala datang kepada mereka kegembiraan yang
mengharuskan demikian. Yaitu: mengenai kisah anak perempuan Saidina Hamzah,
tatkala timbul pertengkaran antara ‘Ali bin Abi Thalib dan saudaranya Ja’far
dan Zaid bin Haritsah. Ketiganya bertengkar tentang siapa yang lebih berhak
mendidik puteri Saidina Hamzah itu (namanya Amamah). Lalu Nabi saw bersabda
kepada Ali: “Engkau daripadaku dan aku daripada engkau”. Lalu Ali
melompat-lompat kegembiraan. Kepada Ja’far, Nabi saw bersabda:
“Engkau serupa dengan bentukku dan budi pekertiku”. Lalu ia melompat-lompat
kegembiraan di belakang Ali melompat-lompat. Kepada Zaid beliau saw bersabda:
“Engkau saudara kami dan kekasih kami”. Lalu Zaid melompat-lompat kegirangan di
belakang Ja-far melompat-lompat. Kemudian Nabi saw bersabda: “Puteri itu untuk
Ja’far. Karena saudara ibunya yang perempuan (khalahnya) adalah di bawah
Ja’far. Dan khalah itu ibu”. Pada suatu riwayat, Nabi saw bersabda kepada ‘Aisyah:
“Sukakah engkau melihat tarian (zafan) orang Habsyi ?”. Zafan dan hajal ialah
raqash (menari). Dan yang demikian adalah karena kesenangan atau kerinduan.
Hukumnya ialah hukum yang membangkitkannya, jikalau kesenangan itu terpuji. Dan
tarian itu menambahkan dan menguatkan kesenangan tadi. Maka tarian itu terpuji.
Jikalau kesenangan itu mubah, maka tarian itu mubah. Dan jikalau kesenangan itu
tercela, maka tarian itu tercela. Ya, tiada layak membiasakan yang demikian dengan
kedudukan orang-orang besar dan orang-orang yang menjadi ikutan orang banyak.
Karena kebanyakan tarian itu adalah dari senda-gurau dan permainan. Dan apa
yang mempunyai bentuk permainan dan senda-gurau pada pandangan orang banyak,
seyogyalah dijauhkan oleh orang yang menjadi ikutan orang banyak. Supaya ia
tidak menjadi kecil pada pandangan manusia. Lalu ia ditinggalkan, tidak diikuti
lagi. Adapun pencabikan kain, maka tidak diperbolehkan. Kecuali ketika terjadi
hal itu, tanpa ikhtiar (kemauannya). Dan tidak jauh dari kebenaran, bahwa
keraslah al-wajd itu, dimana ia mencabik kainnya. Dan ia tidak tahu, karena
kesangatan mabuknya al-wajd atas dirinya. Atau ia tahu. Tetapi ia berada
seperti orang yang terpaksa, yang tidak sanggup mengekang diri. Dan adalah bentuknya
itu bentuk orang yang terpaksa. Karena ada baginyaa pada gerakan atau
pencabikan kain itu penafasan. Maka ia memerlukan kepadanya, seperti orang
sakit memerlukan kepada pengeluhan. Jikalau diberati menahan diri (bersabar)
dari yang demikian, niscaya ia tidak sanggup, sedang perbuatan itu adalah
perbuatan ikhtiari (perbuatan berdasarkan kemauan atau pilihan sendiri). Maka
tidaklah tiap-tiap perbuatan, yang terjadi dengan kemauan (iradah) itu, manusia
sanggup meninggalkannya. Bernafas adalah perbuatan yang terjadi dengan kemauan.
Jikalau manusia diberati menahan nafas 1 jam, niscaya dipaksakan oleh bathinnya
kepada mengusahakan bernafas. Maka begitupula berteriak dan mencabik kain.
Kadang-kadang ada seperti yang demikian. Maka itu tidak disifatkan dengan
pengharaman ! Disebutkan pada As-Sirri berita al-wajd yang sangat keras, yang
mengalahkan kesadaran. Maka beliau menjawab: “Ya, orang itu memukul mukanya
dengan pedang dan ia tidak tahu (tidak sadar)”. Lalu beliau diminta meninjau
kembali tentang penjawabannya tadi. Dan dirasa jauhlah dari kejadian, bahwa
al-wajd akan sampai kepada batas itu. Tetapi beliau tetap pada penjawabannya
dan tidak mau rujuk dari jawaban itu. Maksudnya, bahwa pada setengah keadaan,
kadang-kadang sampai kepada batas tadi pada sebahagian orang. Jikalau engkau
bertanya: “Apakah kata anda mengenai orang-orang shufi yang mengoyakkan
kain-kain baru, sesudah tenangnya al-wajd dan selesai dari mendengar ? mereka
itu mengoyak-ngoyakkan kainnya menjadi potongan kecil-kecil. Dan membagi-bagikannya
kepada orang banyak. Dan mereka menamakan potongan-potongan kain itu al-khirqah
(sobekan kain)”. Ketahuilah, bahwa yang demikian itu mubah, apabila dipotong,
potongan 4 persegi, yang patut bagi pengepingan kain dan sajadah (kain tempat
shalat). Sesungguhnya kain tebal dirobekkan, sehingga dapat dijahitkan kemeja.
Dan yang demikian tidaklah menyia-nyiakan harta. Karena pengoyakan itu untuk
suatu maksud. Demikian pula pengepingan kain, yang tidak mungkin, selain dengan
potongan kecil-kecil. Dan itulah maksudnya. Dan pembagian kepada semua orang,
supaya meratai kebajikan itu, adalah suatu maksud yang mubah. Masing-masing
pemilik memotong kainnya 100 potong. Dan memberikannya kepada 100 orang miskin.
Akan tetapi seyogyalah semua potongan itu mungkin dimanfaatkan pada tiap-tiap
sobekannya. Sesungguhnya kami larang pada mendengar itu, akan pengoyakan yang
merusakkan kain, yang menghancurkan sebahagiannya, dimana tidak tinggal yang
dapat dimanfaatkan. Maka itu penyia-nyiaan semata-mata, yang tidak diperbolehkan
dengan pilihan sendiri (ikhtiar).
Adab kelima:
bersesuaian dengan orang banyak pada berdiri, apabila berdiri salah seorang
dari mereka pada al-wajd yang benar. Tanpa ria dan memberatkan. Atau berdiri
dengan pilihan sendiri, tanpa melahirkan al-wajd dan lalu berdiri untuk itu
orang banyak. Maka tak boleh tidak daripada penyesuaian. Itulah sebahagian dari
adab berteman !. Begitupula, jikalau berlaku adat-kebiasaan suatu golongan,
dengan menanggalkan syurban, atas sepakat orang yang mempunyai al-wajd itu, apabila
jatuh syurbannya. Atau menanggalkan pakaian apabila jatuh kainnya, disebabkan
pengoyakan. Maka kesepakatan dalam segala hal ini, adalah sebahagian dari
kebagusan berteman dan bergaul. Karena perselisihan itu meliarkan hati. Dan
masing-masing golongan mempunyai yang resmi. Dan haruslah bertingkah-laku
dengan manusia, menurut tingkah-laku mereka, sebagaimana tersebut pada hadits.
Lebih-lebih lagi apabila tingkah laku itu, adalah tingkah laku yang padanya
bagus pergaulan, berbaik-baikan dan pembaikan hati dengan tolong-menolong.
Perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu bid’ah, tidak ada pada
sahabat. Maka tidaklah semua yang dihukum (ditetapkan) dengan pembolehan
(ibahah) itu dinukilkan dari para sahabat ra. Sesungguhnya yang dijaga, ialah
mengerjakan bid’ah yang berlawanan dengan sunnah yang dinukilkan. Dan tidak
dinukilkan larangan suatupun dalam hal ini. Berdiri ketika masuk orang yang
masuk ke suatu majelis, tidaklah termasuk sebahagian daru adat-kebiasaan orang
Arab. Bahkan para sahabat ra tidak berdiri untuk Rasulullah saw pada setengah
hal-keadaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas ra. Tetapi apabila tidak ada
padanya larangan umum, maka kami berpendapat tiada mengapa pada negeri-negeri
yang berlaku adat-kebiasaan padanya, memuliakan orang yang masuk ke suatu
majelis, dengan berdiri. Karena yang dimaksud ialah penghormatan, pemuliaan dan
pembaikan hati dengan berdiri itu. Begitupula segala macam tolong-menolong yang
lain. Apabila dimaksudkan pembaikan hati dan telah dipandang patut oleh orang
banyak. Maka tiada mengapa bertolong-tolongan diatas yang demikian. Bahkan
lebih baik bertolong-tolongan, kecuali mengenai apa yang telah datang larangan
padanya, yang tidak menerima penta’wilan. Setengah dari adab-kesopanan ialah:
bahwa tidak berdiri untuk menari bersama kaum (golongan) yang dirasakan berat
tariannya dan tidak mengacau keadaan mereka. Karena tarian tanpa melahirkan
al-wajd yang dipaksakan, itu mubah (diperbolehkan). Al-wajd yang dipaksakan,
ialah: yang menampakkan bagi orang banyak kesan dipaksakan. Dan orang yang
bangun berdiri dari perasaan yang benar, tidak dirasakan berat oleh tabiat.
Maka hati orang yang hadir itu, apabila mereka dari orang-orang yang mempunyai
hati bersih, dapat menunjuk kebenaran dan rasa dipaksakan. Setengah mereka
ditanyakan tentang al-wajd yang sebenarnya, lalu menjawab: “Al-wajd yang
sebenarnya, ialah: benarnya diterima oleh hati segala orang yang hadir bagi
al-wajd itu, apabila mereka itu berada dalam bentuk yang tidak berlawanan”.
Jikalau anda bertanya: bagaimana keadaannya tabiat yang lari dari tarian dan
mendahului kepada sangkaan, bahwa tarian itu perbuatan batil, senda-gurau dan
menyalahi agama ? lalu orang yang mempunyai kesungguhan pada agama, tidak
memandang akan tarian itu, melainkan menantanginya. Ketahuilah, bahwa
kesungguhan tidaklah melebihi di atas kesungguhan Rasulullah saw. Dan
sesungguhnya beliau itu melihat orang-orang Habsyi menari dalam masjid. Dan
tidak menantangnya, karena adanya tarian itu pada waktu yang layak. Yaitu hari
Raya. Dan dari orang yang layak, yaitu orang Habsyi. Benar, tabiat (sifat)
manusia lari dari tarian itu. Karena melihat biasanya tarian itu diserta dengan
senda-gurau dan permainan. Senda-gurau dan permainan itu mubah (diperbolehkan).
Tetapi untuk orang-orang awam dari orang-orang hitam, orang-orang Habsyi dan
yang menyerupai dengan mereka. Dan makruh bagi orang-orang yang mempunyai
kedudukan. Karena tiada layak bagi mereka. Dan apa yang dimakruhkan karena
tiada layak dengan kedudukan orang yang mempunyai kedudukan, maka tiada boleh
disebut haram. Siapa yang meminta pada orang fakir sesuatu, lalu diberikannya
sepotong roti, maka yang demikian itu adalah taat (ibadah) yang baik. Dan
jikalau orang itu meminta pada seorang raja, lalu diberikannya sepotong atau
dua potong roti, maka yang demikian itu munkar (mendapat tantangan) dari
manusia seluruhnya. Dan tertulis dalam sejarah berita-berita, dari sejumllah
kejahatan-kejahatannya dan memalukan anak-anaknya dan pengikut-pengikutnya. Dan
dalam pada itu, tidak boleh dikatakan, bahwa apa yang djperbuat raja tadi
adalah haram. Karena dari segi ia memberikan roti itu kepada orang fakir,
adalah perbuatan baik. Dan dari segi dibandingkan kepada kedudukannya, seperti
tidak memberikan, dibandingkan kepada orang fakir itu, dipandang keji. Maka
demikian pulalah tarian dan apa yang berlaku seperti tarian itu, dari
perbuatan-perbuatan mubah lainnya. Perbuatan mubah bagi orang awam, menjadi
perbuatan buruk bagi orang baik-baik (al-ibrar). Prebuatan baik bagi orang
baik-baik, menjadi perbuatan buruk bagi orang muqarribin (orang yang
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala). Ini adalah dari segi menoleh kepada
kedudukan !. Adapun apabila dipandang kepada perbuatan itu sendiri, niscaya
wajiblah dihukum bahwa perbuatan itu sendiri tak ada pengharaman padanya. Allah
Maha Tahu. Sesungguhnya hal itu telah keluar dari jumlah penguraian yang lalu,
dimana pendengkian itu kadang-kadang adalah haram semata-mata. Kadang-kadang
mubah. Kadang-kadang makruh. Dan kadang-kadang sunat. Adapun haram adalah bagi
kebanyakan manusia dari pemuda-pemuda dan orang-orang yang keras padanya
keinginan dunia. Maka pendengaran itu tidak menggerakkan pada mereka, kecuali
apa yang mengerasi pada hatinya, dari sifat-sifat tercela. Adapun makruh, maka
yaitu bagi orang yang tidak menempatkannya di atas bentuk makhluq. Akan tetapi
membuatkannya selaku suatu kebiasaan pada kebanyakan waktu di atas jalan
senda-gurau. Adapun mubah, maka yaitu bagi orang yang tiada mengambil
keuntungan daripadanya, selain kelezatan dengan suara merdu. Adapun sunat
(mustahab), maka yaitu bagi orang yang mengerasi kepadanya kecintaan kepada
Allah Ta’ala. Dan tiada yang menggerakkan pendengarannya, kecuali oleh sifat
yang terpuji. Segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dan Allah
menganugerahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya !.