Kamis, 13 Februari 2014

38. KITAB AL-MURAQABAH DAN AL-MUHASABAH.

KITAB AL-MURAQABAH DAN AL-MUHASABAH.
KITAB memperhatikan, mengintip, menjaga DAN memperhitungkan, memperkirakan
Yaitu: Kitab Ke-8 dari Rubu’ Yang Melepaskan dari kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah Yang Mengetahui atas tiap diri, akan apa yang diusahakannya. Yang Memperhatikan atas tiap anggota badan, akan apa yang diperbuatkannya. Yang Menengok atas yang tersembunyi di hati, apabila terguris. Yang Menghitung atas segala gurisan hati hamba-hambaNya, apabila tergerak. Yang tidak hilang dari IlmuNya seberat atompun, di langit & di bumi, yang bergerak atau diam. Yang Memperhitungkan akan segala titik-titik yg halus & segala sesuatu, sedikit & banyak dari segala perbuatan, walaupun yg tersembunyi. Yang Berkeutamaan dengan menerima segala ketaatan hamba, walaupun yg kecil.
Yang Berkemurahan dengan memberi kemaafan dari segala kemaksiatan mereka, walaupun banyak. Sesungguhnya Allah memperhitungkan amal perbuatan mereka, untuk diketahui oleh setiap diri, akan apa yang didatangkannya. Dan dipandangnya pada apa yang dikerjakannya, yang dahulu dan yang kemudian. Maka ia tahu, bahwa jikalau tidak ia mengharuskan bagi memperhatikan DAN memperhitungkan di dunia, niscaya ia celaka pada jalan kiamat dan binasa. Dan sesudah bersungguh‑sungguh, memperhitungkan dan memperhatikan, jikalau tidaklah kurniaNya dengan menerima barang-jualannya yang bercampur, niscaya diri itu kecewa dan rugi.
Maka Maha Sucilah Allah yang meratai nikmatNya kepada seluruh hamba dan lengkap. Dan menghabisi rahmatNya akan segala makhluk di dunia dan akhirat dan meliputi semuanya. Maka dengan segala pemberian anugerahNya, meluaslah hati bagi iman dan melapang. Dan dengan kenikmatan taufiqNya/ petunjukNya, terikatlah segala anggota badan dengan ibadah dan beradab. Dan dengan baik hidayahNya (anugrahNya/petunjukNYA), terhapuslah dari hati, kegelapan bodoh dan terserak-serak.
Dan dengan penguatan dan pertolonganNya, terputuslah segala tipuan setan dan tertolak. Dan dengan kehalusan ‘inayahNya (bantuan pertolongan dari allah), bertambah kuatlah daun neraca kebaikan, apabila telah berat. Dan dengan permudahanNya, menjadi mudahlah dari segala amalan taat, akan apa yang telah mudah. Maka daripadaNyalah pemberian, balasan, penjauhan, pendekatan, bahagia dan celaka. Rahmat itu kepada Muhammad, penghulu nabi-nabi, kepada keluarganya, penghulu orang-orang pilihan, dan kepada para sahabatnya pemimpim orang-orang yang taqwa.
Adapun kemudian, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan pada hari kiamat (kebangunan) itu. Kami tegakkan neraca yang betul, sehingga satu diri tidak akan dirugikan barang sedikitpun: dan kalau ada(usaha) sebesar biji sawi Kami kemukakan juga dan cukuplah Kami membuat perhitungan”. S21 Al Anbiyaa’ ayat47
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan diletakkan kitab (buku amalan), lalu engkau lihat orang-orang yang bersalah itu merasa ketakutan kepada apa yang di dalamnya dan mereka mengeluh: Aduhai ! malangnya kami ! kitab apakah ini ! tidak ditinggalkannya perkara yang kecil dan besar, melainkan dihitungnya semuanya. Mereka mendapati apa yang telah dikerjakannya semuanya bertemu dan Tuhan engkau tidak merugikan kepada seorangpun”. S 18 Al Kahfi ayat 49.
- Allah Ta’ala berfirman: “Di hari Allah membangkitkan mereka semuanya, lalu diberitakan oleh Allah kepada mereka, apa yang telah dikerjakannya. Allah telah membuat perhitunganNya, sedang mereka melupakan itu. Dan Allah menyaksikan segala sesuatu”. S 58 Al Mujaadalah ayat 6.
- Allah Ta’ala berfirman: “Di hari itu manusia berangkat dalam beberapa rombongan, supaya kepada mereka diperlihatkan perbuatannya. Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 6-7-8.
- Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian dicukupkanNya kepada setiap diri pembayaran (pembalasan) apa yang telah diusahakannya dan mereka tidak dirugikan”. S 2 Al Baqarah ayat 281.
-Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari kiamat, kepada tiap-tiap diri, dikemukakan kebaikan yang telah dikerjakannya dan juga kejahatan yang diperbuatnya. Dia ingin supaya antaranya dengan kejahatan itu ada jarak yang jauh. Dan Allah memperingatkan kepadamu akan kewajibanmu terhadap Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat 30.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yg dalam hatimu. Sebab itu berhati-hatilah dengan Allah”. S2 Al Baqarah ayat235
Maka orang-orang yang mempunyai mata hati dari sejumlah hamba itu, tahu bahwa Allah Ta’ala mengintip mereka. Dan mereka diperdebatkan pada hitungan amal. Mereka dituntut dengan seberat atom dari segala gurisan hati dan masa-masa sekejap mata. Dan mereka yakin, bahwa tidaklah yang melepaskan mereka dari segala gurisan hati ini, selain oleh selalu memperhitungkan amal, benarnya memperhatikan dan menuntut diri pada segala tarikan nafas dan gerak-gerik. Dan mengadakan memperhitungkan amal pada segala gurisan hati dan masa-masa sekejap mata.
Barangsiapa mengadakan memperhitungkan amal akan dirinya, sebelum dia diadakan perhitungan amal, niscaya ringanlah pada hari kiamat akan perhitungan amalnya. Dan terhinggalah ketika pertanyaan akan jawabannya. Dan baiklah berbalik-baliknya dan kembalinya. Dan barangsiapa yang tiada melakukan perhitungan amal pada dirinya, niscaya berkekalanlah penyesalannya. Dan lamalah pada lapangan kiamat berdirinya. Dan ia dibawa kepada kehinaan dan kutukan oleh kejahatannya.
Maka apabila telah tersingkap bagi mereka yang demikian, niscaya mereka tahu, bahwa tiada yang melepaskan mereka daripadanya, selain oleh perbuatan taat kepada Allah. Dan Allah Ta’ala menyuruh mereka dengan sabar dan keteguhan kekuatan. Maka Allah Yang Maha Agung berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! sabarlah dan cukupkanlah kesabaran dan perteguhkanlah kekuatanmu !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 200. Maka perteguhkanlah dirimu, pertama-tama dengan memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama. Kemudian, dengan memperhatikan. Kemudian, dengan memperhitungkan. Kemudian, dengan memikirkan akibat. Kemudian, dengan bersungguh‑sungguh. Dan kemudian, dengan mengoreksi akan kesalahan. Maka adalah bagi mereka itu pada keteguhan kekuatan, 6 maqam/tingkat. Dan tidak boleh tidak daripada menguraikan, menjelaskan hakikat/maknanya dan keutamaannya. Dan menguraikan amal perbuatan padanya. Dan pokok yang demikian itu ialah, memperhitungkan. Akan tetapi, setiap perhitungan itu, adalah sesudah memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama dan memperhatikan. Dan diikuti ketika kerugian, oleh mengoreksi akan kesalahan dan memikirkan akibat. Marilah kami sebutkan uraian maqam-maqam (tingkat-tingkat) ini ! dan taufiq/petunjuk kiranya dari Allah.
MAQAM/TINGKAT PERTAMA DARI Al-MURABATHAH (memperhatikan perbuatan diri):
ialah: al-musyarathah (memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama)
Ketahuilah, bahwa yang dicari oleh orang-orang yang meletakkan mu’amalah (pada perniagaan), yang berkongsi pada benda-benda yang diperniagakan, ketika diadakan perhitungan, ialah: selamatnya keuntungan. Sebagaimana orang yang berniaga meminta pertolongan dengan kongsinya (sekutunya), lalu diserahkan kepadanya harta, sehingga ia berniaga, kemudian ia mengadakan perhitungan dengan kongsinya itu, maka seperti demikian pula akal, di mana ia berniaga pada jalan akhirat. Bahwa yang dicarinya dan keuntungannya, ialah: pembersihan jiwa. Karena dengan demikianlah kemenangannya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa)nya. Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorkannya”. S 91 Asy Syams ayat 9-10. Sesungguhnya kemenangannya, ialah dengan amal-amal shalih. Dan akal itu meminta tolong dengan jiwa pada perniagaan ini. Karena akan dipakainya dan dipergunakannya, pada apa yang akan membersihkan jiwa itu. Sebagaimana orang yang berniaga (saudagar) meminta tolong dengan kongsinya dan budaknya, yang akan berniaga pada hartanya. Sebagaimana kongsi itu menjadi lawan yang bertengkar, yang menarikkannya pada keuntungan, maka diperlukan kepada: pertama-tama, melakukan memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama, kedua melakukan memperhatikan, ketiga melakukan memperhitung kan dan keempat melakukan memikirkan akibat mengoreksi akan kesalahan.
Maka seperti demikian juga akal. Ia memerlukan kepada memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama pada diri pada pertama-tamanya. Maka ditugaskan kepadanya akan tugas-tugas dan diisyaratkan akan syarat-syarat. Diberi petunjuk dia kepada jalan-jalan kemenangan. Dan diyakinkan kepadanya akan urusan dengan menempuh jalan-jalan yang demikian.
Kemudian, ia tidak lalai sekejap matapun daripada memperhatikannya. Bahwa jikalau ia menyia-nyiakannya, niscaya ia tidak melihat daripadanya, selain pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal perniagaan. Seperti budak yang berkhianat, apabila terbuka baginya kesempatan dan sendirian dengan harta. Kemudian, sesudah selesai, seyogyalah bahwa diadakannya memperhitungkan dan dimintanya dengan menepati syarat-syarat yang telah diperbuat. Bahwa ini adalah perniagaan, yang keuntungannya sorga Al-Firdaus yang tertinggi dan sampai ke Sadratul-muntaha bersama nabi-nabi dan orang-orang syahid.
Maka ketelitian perhitungan (al-hisab) pada ini bersama diri, adalah besar kepentingannya daripada ketelitiannya pada keuntungan-keuntungan duniawi, serta keuntungan-keuntungan duniawi itu adalah terpandang hina, dibandingkan dengan nikmat masa depan (akhirat). Kemudian, bagaimanapun adanya, maka kembalinya itu kepada terputus dan berlalu. Dan tiada kebajikan itu pada kebajikan yang tiada kekal. Bahkan kejahatan yang tiada kekal itu lebih baik dari kebajikan yang tidak kekal. Karena kejahatan yang tiada kekal, apabila ia terputus, niscaya kekallah kegembiraannya selalu dengan terputusnya itu. Dan telah berlalulah kejahatan itu. Dan kebajikan yang tiada kekal itu meninggalkan kesedihan selalu di atas terputusnya. Dan telah berlalu kebajikan itu. Dan karena itulah, diucapkan orang pada suatu madah:
Yang paling sedih menurutku,
ialah pada kegembiraan,
yang diyakini oleh yang empunya itu,
karena kepindahan.....
Maka haruslah atas setiap orang yang mempunyai al-‘azam (cita-cita yang telah diputuskan dengan mantap), yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, bahwa ia tidak lalai daripada memperhitungkan dirinya. Dan mempersempitkan kepadanya, pada segala gerak dan diamnya, segala gurisan hati dan bahagian-bahagian yang kecil daripadanya. Bahwa setiap nafas dari nafas-nafas umur itu adalah mutiara yang berharga, yang tiada gantinya, yang mungkin dibelikan dengan dia itu suatu gudang dari gudang-gudang yang tiada berkesudahan nikmatnya untuk selama-lamanya. Maka berlalunya nafas-nafas ini yg lenyap atau menjurus kepada yang menghela kebinasaan itu adalah kerugian besar, yang menakutkan, yang tidak diperbolehkan oleh diri orang yg berakal. Jadi, apabila datang waktu shubuh bagi seorang hamba & ia selesai dari shalat fardhu Shubuh, niscaya seyogyalah ia mengosongkan hatinya sesaat bagi memperlaku kan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama kepada diri. Sebagaimana saudagar ketika menyerahkan harta perniagaan kepada kongsi yang mengerjakan, maka kosonglah majelis bagi memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama. Lalu ia mengatakan kepada diri: “Apakah bagiku harta perniagaan, selain umur. Manakala umur itu lenyap, maka lenyaplah modal perniagaan. Dan terjadilah keputus-asaan dari perniagaan dan mencari laba. Dan hari ini yang baru, telah ditangguhkan oleh Allah akan aku padanya. Dan Ia melambatkan akan ajalku. Ia menganugerahkan nikmat kepadaku dengan dia. Jikalau Ia mematikan aku, niscaya adalah aku bercita-cita bahwa Ia mengembalikan aku ke dunia, walaupun 1hari. Sehingga aku mengerjakan padanya amal shalih.
Maka hai diriku, perkirakanlah, bahwa engkau telah mati. Kemudian, engkau dikembalikan ke dunia. Maka awaslah, kemudian, awaslah bahwa engkau menyia-nyiakan hari ini ! bahwa setiap nafas dari nafas-nafas itu adalah mutiara, yang tidak ternilai. Dan ketahuilah, hai diri bahwa sehari-semalam itu 24 jam. Dan telah datang pada hadits, bahwa terbentang bagi hamba setiap hari dan malam, 24 gudang (khazanah) yang berbaris. Maka dibuka bagi hamba itu daripadanya sebuah gudang. Lalu dilihatnya penuh cahaya dari kebaikan-kebaikannya yang dikerjakannya pada saat itu. Maka diperolehnya dari kegembiraan, kesukaan dan kesenangan dengan menyaksikan cahaya-cahaya, yang adalah cahaya-cahaya itu menjadi wasilah(jalan yang menyampaikan kepadaNya) baginya di sisi Yang Memerintahi, Yang Maha Perkasa, akan apa, yang jikalau dibagi-bagikan kepada isi neraka, niscaya mendahsyatkan akan mereka oleh kegembiraan itu, ketika merasakan dengan kepedihan neraka.
Dan dibukakan baginya gudang yang lain, yang hitam dan gelap, yang berkembang bau busuknya dan ditutupi oleh kegelapannya. Yaitu: saat yang ia berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala padanya. Maka diperolehnya dari kehuru-haraan dan kegundahan, akan apa, yang jikalau dibagi-bagikan kepada penduduk sorga, niscaya menyempitkan kepada mereka akan kenikmatan sorga itu. Dan terbuka baginya gudang yang lain, yang kosong, yang tidak ada baginya dalam gudang itu, apa yang mengembirakannya dan tidak ada, apa yang memburukkannya. Yaitu: saat yang ia tidur padanya atau ia lalai atau ia sibuk dengan sesuatu dari hal-hal yang diperbolehkan di dunia ini.
Maka ia mengeluh atas kosongnya saat itu dan diperolehnya dari tipuan jual-beli yang demikian, akan apa yang diperoleh oleh orang yang mampu kepada keuntungan banyak dan kemilikan yang besar, apabila disia-siakannya dan dianggapnya mudah. Sehingga luput baginya akan yang demikian. Alangkah yang demikian itu mencegah engkau dari keluhan dan tipu daya perniagaan ! Begitulah didatangkan kepadanya gudang-gudang waktunya sepanjang umurnya. Maka ia berkata kepada dirinya: “Bersungguh-sungguhlah hari ini, bahwa engkau memakmurkan gudang engkau ! dan janganlah engkau membiarkannya kosong dari gudang-gudang engkau, yang itu adalah sebab-sebab bagi hak milik engkau ! dan janganlah engkau cenderung kepada kemalasan, kesia-siaan dan keistirahatan ! maka luputlah bagi engkau dari derajat orang-orang yang tinggi, yang diperoleh orang yang lain dari engkau. Dan tinggallah pada engkau keluhan, yang tiada akan bercerai dari engkau, walaupun engkau masuk sorga.
Maka kepedihan tipuan dalam perniagaan dan keluhannya itu tidak sanggup dipikul, walaupun kurang dari kepedihan api neraka. Sebahagian mereka berkata: “Umpamakanlah, bahwa orang yang berbuat jahat itu telah dimaafkan. Bukankah telah luput baginya pahala orang-orang yang berbuat baik ? Yang berbicara itu mengisyaratkan dengan yang demikian, kepada penipuan dalam perniagaan dan keluhan. Allah Ta’ala berfirman: “Di hari Dia mengumpulkan kamu untuk hari pertemuan. Itulah hari tipu-menipu”. S 64 Ath Taghabun ayat 9. Maka inilah wasiat seseorang bagi dirinya pada waktu-waktunya. Kemudian, hendaklah ia mengulangi kembali akan wasiat pada anggota-anggota tubuhnya yang 7. Yaitu: mata, telinga, lidah, perut, faraj (kemaluan), tangan dan kaki. Dan menyerahkannya kepada dirinya.
Sesungguhnya anggota-anggota tubuh itu adalah rakyat yang melayani dirinya pada perniagaan ini. Dengan anggota-anggota tubuh tersebut, sempurnalah amal perbuatan perniagaan ini. Dan neraka jahannam itu mempunyai 7 pintu. Bagi setiap pintu dari mereka itu mempunyai bahagian yang terbagi. Sesungguhnya tertentulah pintu-pintu itu bagi orang yang berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dengan anggota-anggota tubuh itu. Maka ia mewasiatkan kepada anggota-anggota tubuh tersebut, dengan menjagakannya dari kemaksiatan-kemaksiatannya.
Adapun mata, maka dijaganya daripada memandang kepada wajah orang yang bukan mahramnya atau kepada aurat orang Islam. Atau memandang kepada orang Islam, dengan mata penghinaan. Bahkan dari setiap yang berlebihan yang tidak diperlukan. Bahwa Allah Ta’ala menanyakan hambaNya dari yang berlebihan pandangan, sebagaimana Ia menanyakan dari yang berlebihan perkataan. Kemudian, apabila ia telah memalingkan mata itu dari yang tersebut, niscaya ia tidak cukupkan dengan yang demikian saja. Sehingga ia sibukkan mata itu dengan apa, yang padanya perniagaan dan keuntungan bagi mata. Yaitu: apa yang diciptakan mata baginya, daripada memandang kepada keajaiban-keajaiban ciptaan Allah dengan pandangan ibarat. Dan memandang kepada amal perbuatan kebajikan, untuk diikuti. Dan memandang pada Kitab Allah dan sunnah RasulNya. Dan membaca kitab-kitab ilmu hikmah, untuk mengambil pengajaran dan memperoleh faedah. Begitulah seyogyanya bahwa yg diuraikan keadaan pada mata, untuk anggota-anggota badan yang lain. Lebih-lebih mengenai lidah & perut
Adapun lidah, maka dia itu menurut tabiatnya berjalan dengan lancar. Dan tiada perbelanjaan atasnya pada gerak. Dan penganiayaannya itu besar dengan mengumpat, berdusta, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, membersihkan diri, mencaci makhluk dan makanan, mengutuk, berdoa atas musuh, bertengkar pada perkataan dll, dari apa yang telah kami sebutkan pada Kitab Bahaya Lidah. Maka lidah itu di samping semua yang demikian, serta dia itu diciptakan untuk berdzikir, memperingati orang, mengulang-ulangi ilmu dan mengajar, menunjukkan hamba-hamba Allah kepada jalan Allah, mendamaikan antara orang yang berselisih dan perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya, maka hendaklah ia mensyaratkan atas dirinya, bahwa ia tidak menggerakkan lidah sepanjang hari, selain pada berdzikir. Maka tuturan orang mu’min itu dzikir. Pandangannya mengandung ibarat. Diamnya mengandung pikiran. Ia tidak melafalkan sesuatu perkataan, selain ada padanya pengawas, yang siap-sedia mencatatnya.
Adapun perut, maka diberatinya meninggalkan kerakusan, menyedikitkan makan dari yang halal dan menjauhkan harta-harta yang diragukan halalnya (harta syubhat). Ia mencegah perutnya dari nafsu syahwat. Menyingkatkan atas sekedar darurat. Dan mensyaratkan atas dirinya, bahwa jikalau ia menyalahi akan sesuatu dari yang demikian, niscaya disiksakannya dengan mencegah dari nafsu keinginan perut. Supaya menghilangkannya akan lebih banyak, dari apa yang diperolehnya dengan nafsu keinginan itu. Begitulah ia mensyaratkan atas nafsu keinginan itu pada semua anggota badannya. Dan membahas yang demikian secara mendalam akan panjang. Dan tidaklah tersembunyi perbuatan-perbuatan maksiat anggota badan dan perbuatan-perbuatan taatnya. Kemudian, ia mengulangi akan wasiatnya pada tugas-tugas ketaatan yang berulang-ulang kepadanya pada siang dan malam. Kemudian pada amalan-amalan sunat, yang disanggupinya. Dan ia sanggup atas memperbanyakkannya. Dan ia menertibkan baginya akan penguraian, caranya dan cara menyiapkannya dengan sebab-sebabnya. Inilah syarat-syarat yang dihajati pada setiap hari ! akan tetapi, apabila insan membiasakan syarat yang demikian atas dirinya beberapa hari dan dipatuhi oleh dirinya pada menepati semuanya, niscaya ia tidak memerlukan kepada memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama padanya.
Dan jikalau ia mematuhi pada sebahagiannya, maka tetaplah dibutuhkan kepada pembaruan memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama, pada yang tinggal itu. Akan tetapi, tidaklah terlepas setiap hari dari kepentingan yang baru. Dan kejadian yang baru itu mempunyai hukum yang baru. Dan Allah mempunyai hak atasnya pada yang demikian. Dan banyaklah ini atas orang yang sibuk dengan sesuatu dari urusan-urusan duniawi, dari: pemerintahan atau perniagaan atau memberi pelajaran. Karena sedikitlah terlepas seharipun dari kejadian yang baru, yang membutuhkan bahwa ditunaikan akan hak Allah padanya. Maka haruslah ia mensyaratkan atas dirinya akan al-istiqamah padanya dan mengikuti akan kebenaran pada jalur-jalurnya. Dan ia mengingati akan dirinya akibat kelengahan. Dan mengajarinya sebagaimana diajari budak yang lari, yang durhaka.
Bahwa nafsu itu menurut tabiatnya durhaka dari amalan-amalan taat, berbuat kemaksiatan dari memperhambakan diri. Akan tetapi, pengajaran dan memberi pelajaran adab sopan-santun itu membekas padanya. Berilah peringatan, bahwa peringatan itu bermanfaat bagi orang mu’min. Maka ini dan yang berkata seperti ini, adalah permulaan maqam keteguhan kekuatan serta diri. Yaitu: mengadakan perhitungan sebelum berbuat memperhitungkan itu sekali adalah sebelum berbuat dan lain kali sesudahnya, untuk menjagakan diri.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dalam dirimu. Sebab itu jagalah dengan hati-hati !”. S 2 Al Baqarah ayat 235. Ini adalah untuk masa yang akan datang. Setiap pandangan pada banyak dan sekedar untuk mengetahui bertambah dan berkurang, maka itu dinamakan: memperhitungkan. Maka perhatian pada apa, yang di hadapan hamba pada siangnya, adalah untuk diketahui tambahannya dari kekurangannya, dari memperhitungkan.
- Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! apabila kamu berperang di jalan Allah, lakukanlah penyelidikan !”. S 4 An Nisaa’ ayat 94.
- Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! kalau datang kepadamu orang jahat membawa berita, maka periksalah dengan seksama !”. S 49 Al Hujuraat ayat 6.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya”. S 50 Qaaf ayat 16. Allah Ta’ala menyebutkan yang demikian, untuk menjaga-jaga dan memberitahukan bagi pemeliharaan daripadanya pada masa mendatang. Diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Nabi saw bersabda kepada seorang laki-laki yang meminta kepadanya, supaya memberi wasiat dan memberi pengajaran kepadanya, yaitu: “Apabila engkau menghendaki akan suatu urusan, maka pikirkanlah secara mendalam akan akibatnya ! maka jikalau baik, teruskanlah dan jikalau buruk, maka hentikanlah !”.
Berkata sebahagian ahli hikmah (filosuf): “Apabila engkau menghendaki bahwa akal itu yang menang atas hawa nafsu, maka janganlah engkau berbuat dengan memenuhi nafsu syahwat, sehingga engkau memperhatikan akan akibat. Sesungguhnya berhentinya penyesalan dalam hati itu lebih banyak dari berhentinya keringanan nafsu syahwat”.
Lukman berkata: “Bahwa orang mu’min, apabila memperhatikan akan akibat, niscaya ia aman dari penyesalan. Syaddad bin Aus meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Orang yang pintar, ialah orang yang mengagamakan dirinya dan beramal untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh, ialah orang yang mengikutkan dirinya dengan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. Mengagamakan dirinya, artinya: mengadakan perhitungan akan dirinya. Hari agama (yaumuddin), ialah: hari perhitungan (yaumul-hisab). Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya kita akan menerima perhitungan ?”. S 37 Ash Shaffaat ayat 53. Artinya: madiinuuna, ialah: muhaasibuuna, yaitu: mengadakan memperhitungkan.
Umar ra berkata: “Adakanlah memperhitungkan akan dirimu, sebelum kamu diadakan perhitungan ! timbangkanlah dia, sebelum engkau ditimbangkan ! bersiaplah untuk penampilan yang terbesar (hari kiamat) !”. Umar ra menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Adakanlah memperhitungkan akan dirimu pada waktu lapang, sebelum perhitungan/al-hisab di waktu sempit!”. Umar ra bertanya kepada Ka’ab: “Bagaimana engkau mendapatinya dalam Kitab Allah ?”. Ka’ab menjawab: “Azab bagi yang mengadakan perkiraan di bumi dari yang mengadakan perkiraan di langit. Maka di atasnya itu dengan permata”. Umar menjawab: “Kecuali orang yang mengadakan memperhitungkan akan dirinya”. Lalu Ka’ab berkata: “Hai Amirul-mu’minin ! bahwa perkataan tersebut sampai tepinya itu dalam Taurat. Tiada diantara keduanya itu huruf, selain orang yang mengadakan perhitungan akan dirinya”. Ini semuanya adalah isyarat kepada memperhitungkan untuk masa mendatang. Karena Nabi saw bersabda pada hadits yang lalu: “Orang yang mengagamakan dirinya itu berbuat untuk apa yang sesudah mati”. Artinya: pertama-tama ia menimbang segala urusan dan dinilainya. Diperhatikannya dan dipahaminya dengan mendalam. Kemudian, ia tampil kepada urusan itu. Lalu dilaksanakannya.
AL-MURABATHAH(memperhatikan perbuatan diri). KEDUA: al-muraqabah (memperhatikan, mengintip, menjaga).
Apabila insan mewasiatkan akan dirinya dan mensyaratkan kepadanya, akan apa yang telah kami sebutkan itu, maka tiada tinggal lagi, selain: menjaga baginya ketika terjun pada amal perbuatan dan memperhatikannya dengan mata yang menjaga. Bahwa diri itu, jikalau ditinggalkan begitu saja, niscaya ia durhaka dan rusak. Marilah kami sebutkan keutamaan menjaga. Kemudian derajat-derajatnya !
Adapun keutamaan, maka Jibril as bertanya kepada Nabi saw dari hal (al-ihsan) Balasan perbuatan baik. Lalu Nabi saw menjawab: “Bahwa engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau melihatNya”. Nabi saw bersabda: “Beribadahlah kepada Allah, seakan-akan engkau melihatNya. Maka jikalau engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat engkau”.
- Allah Ta’ala berfirman: “Adakah Yang Menjaga tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya ?”. S 13 Ar Ra’d ayat 33.
-Allah Ta’ala berfirman: “Tiadakah diketahuinya, bahwa Allah itu melihat ?”. S 96 Al ‘Alaq ayat 14.
-Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah itu Penjaga kamu sekalian”. S 4 An Nisaa’ ayat 1.
-Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang memelihara amanat & perjanjiannya. Dan orang-orang yg tegak dengan lurus dalam kesaksiannya”. S 70 Al Ma’arij ayat 32-33.
Ibnul-Mubarak berkata kepada seorang laki-laki: “Berintiplah dengan Allah Ta’ala !”. Lalu laki-laki itu menanyakan tentang penafsirannya. Maka Ibnul-Mubarak menjawab: “Adalah engkau selama-lamanya, seakan-akan engkau melihat Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Abdul-Wahid bin Zaid berkata: “Apabila adalah Penghuluku itu memperhatikan aku, maka tiada aku perduli dengan yang lain”. Abu Usman Al-Maghribi berkata: “Yang lebih utama diharuskan oleh manusia akan dirinya pada jalan ini, ialah: memperhitungkan dan memperhatikan. Dan siasat amalnya itu dengan ilmu”. Ibnu ‘Atha berkata: “Taat yang paling utama, ialah: memperhatikan akan Yang Maha Benar (Al-Haq) pada selalu waktu”.
Al-Jurairi berkata: “Urusan kita ini terbina atas dua pokok: bahwa diri engkau selalu akan memperhatikan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan bahwa adalah ilmu itu berdiri atas zahiriyah engkau”. Abu Usman berkata: “Berkata Abu Hafash kepadaku: “Apabila engkau duduk untuk manusia, maka adalah engkau itu yang memberi pengajaran bagi diri engkau dan hati engkau dan tidaklah tertipu engkau oleh berkumpulnya mereka terhadap engkau. Sesungguhnya mereka memperhatikan akan zahiriyah engkau. Dan Allah itu memperhatikan akan batiniyah engkau”.
Diceritakan, bahwa ada bagi sebahagian para syaikh dari golongan ini, seorang murid yang masih pemuda. Syaikh itu memuliakan dan menonjolkan murid tersebut. Lalu sebahagian sahabatnya bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau memuliakan dia ini ? dan dia itu masih pemuda dan kami ini orang-orang tua”. Syaikh itu lalu meminta beberapa ekor burung. Dan diberikannya kepada setiap orang dari mereka, seekor burung dan pisau. Dan berkata: “Hendaklah masing-masing kamu menyembelih burungnya pada tempat yang tidak dilihat oleh seseorang”. Dan ia berikan kepada pemuda itu seperti yang demikian. Dan ia mengatakan kepada pemuda itu seperti yang dikatakannya kepada mereka. Maka masing-masing mereka kembali dengan membawa burungnya yang sudah disembelih. Dan pemuda itu kembali dan burungnya masih hidup dalam tangannya. Lalu syaikh itu bertanya: “Bagaimana engkau tidak menyembelih sebagaimana disembelih oleh teman-teman engkau ?”. Pemuda itu menjawab: “Aku tidak mendapati tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang padanya. Karena Allah melihat kepadaku pada setiap tempat”. Maka mereka itu memperoleh yang baik dari pemuda itu akan Al muraqabah (memperhatikan, mengintip, menjaga) ini. Dan mereka berkata: “Benarlah engkau bahwa memuliakannya”.
Diceritakan, bahwa Zulaikha tatkala tinggal berdua dengan Yusuf as lalu bangun berdiri dan menutupkan muka patung yang ada kepunyaannya. Lalu Yusuf as berkata: “Bagaimana engkau ini ? adakah engkau malu dari dilihat benda beku & tidak malu dari dilihat Yang Memiliki, Yang Maha Perkasa ?”.
Diceritakan dari sebahagian pemuda, bahwa ia membujuk seorang pelayan wanita tentang diri pelayan itu. Maka pelayan tersebut berkata kepada pemuda itu: “Apakah engkau tidak malu?”. Pemuda itu menjawab: “Kepada siapa aku malu ? dan kita ini tidak dilihat oleh bintang-bintang”. Pelayan wanita itu menjawab: “Maka dimanakah Yang Empunya bintang-bintang itu ?”.
Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Junaid: “Dengan apa aku minta tolong memicingkan mata ?”. Al-Junaid lalu menjawab: “Dengan ilmu engkau, bahwa pandangan Yang Memandang kepada engkau itu lebih dahulu dari pandangan engkau kepada Yang Dipandang itu”. Al-Junaid berkata: “Sesungguhnya diyakinilah dengan memperhatikan itu, oleh orang yang takut atas kehilangan keberuntungannya dari Tuhannya ‘Azza Wa Jalla”.
Dari Malik bin Dinar, yang mengatakan: “Sorga ‘Adnen itu dari sorga Firdaus. Di dalamnya bidadari yang diciptakan dari bunga mawar sorga”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Siapakah yang menempatinya ?”. Malik bin Dinar menjawab: “Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang menempati sorga Adnen itu, ialah mereka, apabila bercita-cita mengerjakan perbuatan maksiat, niscaya mereka ingat akan pengajaranKu. Lalu mereka memperhatikan akan Aku. Dan mereka yang bungkuk tulang punggungnya dari ketakutan kepadaKu. Demi kemuliaan dan keagunganKu ! bahwa tiada cita-cita bagiKu dengan mengazabkan penduduk bumi. Apabila Aku melihat kepada orang-orang yang lapar dan haus dari ketakutannya kepadaKu, niscaya Aku palingkan dari mereka akan azab itu”.
Ditanyakan Al-Muhasibi tentang memperhatikan. Maka beliau menjawab: “Permulaannya ialah, diketahui oleh hati akan dekat dengan Tuhan Yang Maha Tinggi”. Berkata Al-Murta’isy An-Naisaburi: “memperhatikan, ialah memelihara rahasia dengan memperhatikan yang ghaib, bersama setiap kejap mata dan lafal perkataan”. Dirawikan, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya: “Kamu diwakilkan mengurus yang zahir (urusan zahiriyah) dan Aku Yang Menjaga atas batiniah”.
Muhammad bin Ali At-Tarmidzi berkata: “Jadikanlah perharian engkau bagi Yang Tidak Ghaib(tidak nyata) dari pandanganNya kepada engkau ! jadikanlah syukur engkau bagi Yang Tidak putus nikmatNya kepada engkau ! jadikanlah ketaatan engkau kepada Yang Tidak terlepas engkau daripadaNya ! dan jadikanlah merendah diri (khudlu’) engkau kepada Yang Tidak Keluar engkau dari kepunyaan dan kekuasaanNya !”.
Sahal berkata: “Tiada terhiaslah hati dengan sesuatu, yang lebih utama dan lebih mulia, dari ilmu hamba, bahwa Allah menyaksikannya, dimana saja ia berada”. Ditanyakan sebahagian mereka akan firman Allah Ta’ala: “Allah ridha (merasa senang) kepada mereka dan mereka merasa senang kepada Allah. Itu untuk siapa yang takut kepada Tuhannya”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Maka sebahagian mereka tadi menjawab: “Maknanya, yang demikian itu bagi orang yang memperhatikan akan Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, yang mengadakan perhatian kepada dirinya dan menyediakan perbekalan bagi kekembaliannya (hari akhirat)”.
Ditanyakan kepada Dzun-nun: “Dengan apa, hamba itu memperoleh sorga ?”. Maka Dzun-nun menjawab: “Dengan 5 perkara: istiqamah, yang tidak ada padanya penyimpangan, kesungguhan (ijtihad), yang tidak ada bersamanya itu kelupaan, mengintip kepada Allah Ta’ala pada yang tersembunyi dan yang terbuka, menunggu mati dengan persiapan untuk mati dan memperhitungkan akan diri engkau, sebelum engkau di perhitungkan”.
Sungguh dimadahkan orang kepada yang demikian:
Apabila anda sunyi sepi, pada suatu hari,
maka janganlah anda berkata: aku sunyi sepi.
Akan tetapi.........
katakanlah: kepadaku ada Pemerhati.........
Janganlah anda menyangka,
bahwa Allah lalai sesaatpun......
Tidaklah apa yang anda sembunyikan daripadaNya,
akan menghilang sekejappun...........
Apakah anda tidak melihat,
bahwa hari ini pergi dengan cepat sekali ?
Bahwa besok itu dekat,
bagi mereka yang menunggui ?
Hamid Ath-Thawil berkata kepada Sulaiman bin Ali: “Berilah aku pengajaran !”. Sulaiman bin Ali menjawab: “Jikalau engkau, apabila telah berbuat maksiat kepada Allah dalam keadaan sendirian, maka yakinlah, bahwa Dia melihat engkau, telah berani melakukan perbuatan besar. Jikalau engkau menyangka bahwa Dia tidak melihat engkau, maka sesungguhnya engkau telah kufur”.
Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Haruslah engkau menjaga, kepada Siapa, yang tidak tersembunyi padaNya sesuatu yang tersembunyi. Haruslah engkau mengharap kepada Siapa, Yang Memiliki penepatan janji. Dan haruslah engkau menjaga diri kepada Siapa Yang Memiliki kesiksaan”.
Farqad As-Sabakhi Al-Bashari  berkata: “Bahwa orang munafiq itu memperhatikan. Maka apabila ia tidak melihat seseorang, niscaya ia masuk ke tempat jahat. Sesungguhnya ia menjaga kepada manusia. Dan tidak ia menjaga kepada Allah Ta’ala”.
Abdullah bin Dinar berkata: “Aku pergi bersama Umar bin Al-Khattab ra ke Makkah. Lalu kami berhenti untuk beristirahat pada sebahagian jalan. Maka turunlah ke jalan itu seorang penggembala dari bukit. Umar ra lalu berkata kepada penggembala itu: “Hai penggembala ! juallah seekor dari kambing-kambing ini kepadaku !”. Penggembala itu menjawab: “Bahwa aku ini milik orang (hamba-sahaya)”. Umar ra menjawab: “Katakanlah kepada tuanmu, bahwa kambing itu dimakan serigala !”. Budak itu lalu menjawab: “Maka dimana Allah ?”. Abdullah bin Dinar meneruskan ceritanya: “Maka menangislah Umar ra. Kemudian, pada besok paginya, Umar ra pergi kepada budak itu, lalu membelinya dari tuannya dan dimerdekakannya, seraya berkata: “Engkau dimerdekakan dalam dunia ini, oleh kalimat itu. Dan aku mengharap, bahwa kalimat itu akan memerdekakan engkau di akhirat”.
PENJELASAN: hakikat/makna Al muraqabah = memperhatikan, mengintip, menjaga dan derajat-derajatnya.
Ketahuilah, bahwa hakikat/makna al-muraqabah/memperhatikan, ialah: perhatian yang menjaga dan terarah cita-cita kepadanya. Maka siapa yang menjaga dari sesuatu urusan, dengan sebab orang lain, niscaya dikatakan: bahwa dia menjaga (al-muraqabah) si Anu dan memelihara akan pihaknya. Dan dikehendaki dengan penjagaan ini, ialah keadaan bagi hati, yang dihasilkan oleh semacam dari pengenalan (ma’rifah). Dan dihasilkan oleh keadaan itu, akan amal perbuatan pada anggota-anggota badan dan pada hati.
Adapun keadaan itu, ialah menjaga hati bagi Yang Menjaga, menyibukkan hati dengan Dia, berpalingnya hati kepadaNya, perhatiannya hati kepadaNya dan terarahnya hati kepadaNya. Adapun ma’rifah/pengenalan, yang menghasilkan keadaan itu, maka ialah: ilmu, bahwa Allah itu melihat segala isi hati, mengetahui segala rahasia, menjaga segala amal hamba, berdiri di atas setiap diri, dengan apa yang diusahakannya. Bahwa rahasia hati pada Allah Ta’ala itu terbuka, sebagaimana yang tampak pada kulit itu terbuka bagi makhluk. Bahkan lebih jelas dari yang demikian. Maka ma’rifah/pengenalan ini, apabila telah menjadi keyakinan, yakni: bahwa pengenalan itu telah terlepas dari keraguan, kemudian, sesudah itu, pengenalan tersebut menguasai dan mengerasi akan hati, maka kerapkali ilmu yang tak ada keraguan padanya itu tidak mengerasi atas hati, seperti: mengetahui (ilmu) dengan mati.
Maka apabila pengenalan itu telah menguasai hati, niscaya ia menghelakan hati kepada menjaga pihak Yang Menjaga dan mengarahkan cita-citanya kepadaNya. Mereka yang yakin dengan pengenalan ini, ialah: mereka orang-orang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin). Mereka itu terbagi kepada: orang-orang shiddiqin dan orang-orang kaum kanan (ash-habul-yamin). Maka penjagaan mereka itu di atas dua derajat:
Derajat pertama: ialah penjagaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dari orang-orang ash-shiddiqin. Yaitu: memperhatikan, mengintip, menjaga (al-muraqabah) penghormatan dan pemuliaan. Yaitu: bahwa jadilah hati itu tenggelam dengan perhatian kepada keagungan itu dan pecah berderai di bawah kehebatan. Maka tiada tinggal padanya keluasan sekali-kali bagi menoleh kepada yang lain. Dan inilah penjagaan yang tidak kami panjangkan perhatian pada penguraian amal perbuatannya. Bahwa penjagaan itu terbatas kepada hati. Adapun anggota-anggota badan, maka dia itu kosong dari penolehan kepada hal-hal yang diperbolehkan (al-mubahat), lebih-lebih lagi dari hal-hal yang dilarang. Dan apabila anggota-anggota badan itu bergerak dengan amalan taat, niscaya adalah dia seperti yang dipakaikan dengan amalan taat tersebut. Maka ia tidak memerlukan kepada pengaturan dan penetapan pada penjagaannya, di atas cara-cara yang betul. Akan tetapi, ia membetulkan rakyat dari kepunyaan keseluruhan penggembala. Dan hati itu, ialah: penggembala. Maka apabila hati itu tenggelam dengan Yang Disembah, niscaya jadilah anggota-anggota badan itu yang dipakai, yang berlaku di atas yang betul dan istiqamah, dari tanpa pemberatan. Inilah dia yang menjadi cita-citanya, sebagai suatu cita-cita. Maka ia dicukupkan oleh Allah dari cita-cita lainnya. Dan siapa yang mencapai derajat ini, maka ia kadang-kadang lupa kepada makhluk. Sehingga ia tidak melihat orang yang hadir di sisinya, sedang ia membuka kedua matanya. Dan ia tidak mendengar apa yang dikatakan kepadanya, sedang ia tidak tuli dengan yang demikian. Kadang-kadang –umpamanya- ia lalu kepada anaknya, maka ia tidak berbicara dengan anaknya itu. Sehingga adalah sebahagian mereka berlaku yang demikian itu kepadanya. Lalu ia mengatakan kepada orang yang mencacinya: “Apabila engkau lalu kepadaku, maka gerakkanlah aku !”. Tidaklah engkau memandang ini jauh dari kebenaran. Sesungguhnya engkau memperoleh akan bandingan ini pada hati orang-orang yang membesarkan raja-raja di bumi. Sehingga pelayan-pelayan raja itu kadang-kadang tidak merasakan, apa yang berlaku kepada mereka, pada majelis raja-raja, karena kesangatan tenggelamnya mereka kepada raja-raja itu. Bahkan, kadang-kadang hati itu sibuk dengan suatu kepentingan yang tidak berarti dari kepentingan-kepentingan duniawi. Maka orang itu lalu menyelam dalam pikiran padanya dan berjalan. Maka kadang-kadang ia melampaui tempat yang dimaksudkannya. Dan ia lupa kepada pekerjaan yang ia bangkit berdiri kepadanya.
Ditanyakan kepada Abdul-wahid bin Zaid: “Adakah engkau kenal pada zaman engkau ini, akan laki-laki yang sibuk dengan keadaannya sendiri, tanpa memperhatikan akan orang lain ?”. Abdul-wahid bin Zaid menjawab: “Aku tidak kenal, selain seorang laki-laki yang akan masuk ke tempatmu sesaat lagi”. Maka tidaklah yang demikian itu, selain berjalan cepat. Sehingga masuklah ‘Utbah Al-Ghallam. Lalu Abdul-wahid bin Zaid bertanya kepadanya: “Dari mana engkau datang, hai ‘Utbah ?”. ‘Utbah lalu menjawab: “Dari tempat itu dan adalah jalannya ke pasar”. Abdul-wahid bin Zaid bertanya lagi: “Siapa yang engkau jumpai di jalan ?”. ‘Utbah menjawab: “Aku tiada melihat seorangpun”.
Diriwayatkan dari Yahya bin Zakaria as, bahwa ia lalu dekat seorang wanita. Maka ditolaknya wanita itu, sehingga jatuh tersungkur. Maka ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau berbuat demikian ?”. Yahya bin Zakaria as menjawab: “Aku tidak menyangkakannya, selain dinding ?”. Diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa ia berkata: “Aku lalu dengan segolongan orang, yang lempar-melemparkan. Dan seorang duduk jauh dari mereka. Lalu aku datang ke depannya. Aku bermaksud akan bebicara dengan dia”. Lalu orang itu berkata: “Berdzikir kepada Allah Ta’ala itu merindukan”. Maka aku bertanya: “Engkau sendirian ?”. Orang itu menjawab: “Bersamaku Tuhanku dan dua malaikatku”. Aku lalu bertanya: “Siapa yang dahulu dari mereka itu ?”. Orang itu menjawab: “Siapa yang diampunkan oleh Allah baginya”. Maka aku bertanya: “Mana jalan ?”. Orang itu menunjuk arah ke langit. Ia bangun berdiri dan berjalan, seraya mengucapkan: “Kebanyakan makhluk Engkau sibuk, tanpa mengingati Engkau”. Maka inilah perkataan yang tenggelam dengan musyahadah (penyaksian) kepada Allah Ta’ala. Ia tidak berkata-kata, selain daripadaNya. Dan ia tidak mendengar, selain padaNya. Maka orang ini tidak berhajat kepada penjagaan lisannya dan anggota-anggota badannya. Semua itu tidak bergerak, selain dengan apa yang ia padaNya.
Asy-Syibli masuk mendekati Abil-Husain An-Nuri. Dan dia ini sedang melakukan i’tikaf dalam masjid. Maka didapatinya Abil-Husain itu diam, baik pergaulan, yang tidak bergerak sesuatupun dari zahiriyahnya. Maka Asy-Syibli bertanya kepadanya: “Dari mana engkau mengambil penjagaan ini dan ketenangan ?”. Abil-Husain menjawab: “Dari kucing yang ada kepunyaan kami. Apabila kucing itu mau menangkap sesuatu, lalu ia menetapkan kepalanya seperti batu, tiada sehelai bulunya pun yang bergerak”.
Abu Abdillah, Ibnu Khufaif Asy-Syairazi berkata: “Aku keluar dari Mesir, bermaksud ke Ar-Ramlah, untuk bertemu dengan Abi Ali Ar-Raudzabari. Lalu berkata kepadaku Isa bin Yunus Al-Mishri yang terkenal dengan Az-Zahid: “Bahwa di Shur ada seorang pemuda dan seorang tua, yang keduanya berkumpul di atas keadaan penjagaan. Maka jikalau engkau pandang kepada keduanya sekali pandang, mudah-mudahan engkau mendapat faedah dari keduanya itu”. Maka aku masuk ke Shur dan aku dalam keadaan lapar dan dahaga. Pada pinggangku sehelai kain buruk, yang koyak-koyak. Dan tiada atas bahuku suatupun. Aku lalu masuk masjid. Tiba-tiba bertemu dengan dua orang yang duduk menghadap qiblat. Maka aku memberi salam kepada keduanya. Keduanya itu tiada menjawab salamku. Lalu aku memberi salam kali kedua dan ketiga. Tiada juga aku mendengar jawaban. Lalu aku berkata: “Aku mencari kedua engkau dengan nama Allah. Mengapa kedua engkau tidak membalas salamku”. Lalu pemuda itu mengangkatkan kepalanya dari pakaian buruknya. Maka ia memandang kepadaku, seraya berkata: “Hai Ibnu Khufaif ! dunia itu sedikit. Dan tiada tinggal dari yang sedikit itu, selain sedikit. Maka ambillah dari yang sedikit itu akan banyak. Hai Ibnu Khufaif ! alangkah sedikitnya kesibukan engkau, sehingga engkau memperoleh keluangan waktu untuk bertemu dengan kami !”. Ibnu Khufaif meneruskan ceritanya: “Maka ia memegang dengan keseluruhanku. Kemudian, ia menekurkan kepalanya pada tempat itu untuk kembali kepada penjagaan. Aku tinggal bersama keduanya itu, sehingga kami mengerjakan shalat Dhuhur dan ‘Ashar. Maka hilanglah laparku, hausku dan letihku. Tatkala telah waktu ‘Ashar, maka aku berkata: “Berilah aku pengajaran !”. Ia lalu mengangkatkan kepalanya kepadaku dan berkata: “Hai Ibnu Khufaif ! kami ini orang-orang yang mempunyai musibah. Tiada bagi kami lisan untuk pengajaran”. Aku tinggal pada keduanya itu 3 hari, tiada aku makan, tiada minum dan tiada tidur. Dan aku tiada melihat keduanya memakan dan meminum sesuatu. Tatkala hari ketiga, maka aku mengatakan pada batinku: “Aku bersumpah pada keduanya, kiranya keduanya itu memberi pengajaran kepadaku. Mudah-mudahan aku memperoleh manfaat dengan pengajaran keduanya itu”. Maka pemuda itu mengangkatkan kepalanya, seraya berkata kepadaku: “Hai Ibnu Khufaif ! haruslah engkau bersahabat dengan orang, yang diingatkan engkau oleh Allah melihatnya ! dan jatuh kehebatannya atas hati engkau. Ia mengajarkan engkau dengan lisan perbuatannya. Dan ia tidak mengajarkan engkau dengan lisan perkataannya. Wassalam. Bangunlah dari kami !”. Maka inilah derajat orang-orang yang bermuraqabah/memperhatikan, yang mengerasi atas hati mereka, oleh pengagungan dan penghormatan. Lalu tidak tinggal pada mereka, keluasan bagi yang lain dari itu.
Derajat kedua: ialah: Al muraqabah (memperhatikan, mengintip, menjaga) orang-orang yang wara’ dari golongan kanan. Mereka itu ialah suatu kaum, yang mengerasi keyakinan bahwa Allah melihat zahiriah dan batiniah mereka atas hati mereka. Akan tetapi, tidak mendahsyatkan mereka oleh perhatian keagungan. Tetapi, hati mereka tetap atas batas sedang, yang meluasi bagi penolehan kepada segala hal-ihwal dan amal perbuatan. Hanya, bahwa hati itu serta melaksanakan segala amal perbuatan, tidaklah terlepas dari perhatian. Benar, telah mengerasi atas mereka, oleh malu kepada Allah. Maka mereka tidak maju dan tidak mundur, selain, sesudah berketetapan hati padanya. Dan mereka mencegah diri dari setiap apa, yang mereka memperoleh kekejian dengan dia pada hari kiamat. Bahwa mereka itu melihat Allah di dunia menengok kepada mereka. Maka mereka tidak berhajat kepada menunggu hari kiamat. Engkau mengenal perbedaan dua derajat tadi dengan musyahadah (penyaksian). Bahwa engkau pada tempat kesepian engkau, kadang-kadang mengerjakan amal perbuatan. Lalu datang kepada engkau, anak kecil atau wanita. Lalu engkau ketahui bahwa dia menengok engkau. Maka engkau malu kepadanya. Lalu engkau baguskan duduk engkau dan engkau jaga hal keadaan engkau. Tidak dari karena pengagungan dan pemuliaan, akan tetapi dari karena malu. Bahwa penyaksiannya itu, walaupun tidak mendahsyatkan engkau dan tidak menenggelamkan engkau, maka penyaksian itu membangkitkan malu kepada engkau. Kadang-kadang masuk ke tempat engkau, salah seorang raja atau salah seorang pembesar. Lalu menenggelamkan engkau oleh pemuliaan. Sehingga, engkau tinggalkan apa yang sedang engkau kerjakan, karena sibuk menyambutnya. Tidak karena malu kepadanya. Maka begitulah bermacam-macam martabat hamba pada Al muraqabah(memperhatikan, mengintip, menjaga) kepada Allah Ta’ala. Dan orang yang berada pada derajat ini, maka ia berhajat bahwa ia menjaga akan semua gerak-geriknya, diamnya, gurisan dalam hatinya dan detik-detik masanya.
Kesimpulannya, semua usaha pilihannya. Dan baginya padanya itu dua perhatian: perhatian sebelum kerja dan perhatian pada kerja. Adapun sebelum kerja, maka hendaklah ia perhatikan, bahwa apa yang tampak baginya dan tergerak gurisan hatinya dengan mengerjakannya, adakah dia itu karena Allah khususnya ? ataukah dia itu pada hawa nafsu dan mengikuti setan ? maka ia berhenti sebentar daripadanya dan menetapkan pikiran. Sehingga tersingkap baginya yang demikian itu dengan nur Al-Haq (cahaya kebenaran Tuhan Yang Maha Benar). Maka jikalau adalah karena Allah Ta’ala, niscaya diteruskannya. Dan jikalau adalah bagi selain Allah, niscaya ia malu kepada Allah dan mencegah diri daripadanya. Kemudian, ia mencaci dirinya atas kegemarannya padanya itu, cita-citanya dan kecenderungannya kepadanya. Ia perkenalkan kepada dirinya, akan buruk perbuatannya dan usahanya pada kekejiannya. Bahwa dirinya itu musuh dirinya, jikalau tidak dibaikkan oleh Allah dengan pemeliharaanNya. Keberhentian sebentar ini pada permulaan segala urusan, hingga batas memperoleh penjelasan itu harus yang diwajibkan, yang tak boleh lari seorangpun daripadanya.
Sesungguhnya pada hadits, bahwa disebarkan bagi hamba pada setiap gerak dari gerak-geriknya walaupun kecil, 3 lembaran pertanyaan. Lembaran pertanyaan pertama: mengapa ? lembaran pertanyaan kedua: bagaimana ? dan lembaran pertanyaan ketiga: untuk siapa ? makna mengapa, artinya: mengapa engkau perbuat ini ? adakah harus atas engkau, bahwa engkau memperbuatnya karena Tuhan engkau atau engkau cenderung kepadanya dengan keinginan engkau atau kenafsuan engkau ? Jikalau ia selamat dari yang demikian, dengan adanya ia mengerjakan yang demikian karena Tuhannya, niscaya ia ditanyakan dengan lembaran pertanyaan kedua. Lalu ditanyakan kepadanya: Bagaimana engkau berbuat ini ? bahwa Allah mempunyai syarat dan hukum pada setiap perbuatan, yang tidak diketahui kadarnya, waktunya dan sifatnya, selain dengan: ilmu. Maka ditanyakan kepadanya: bagaimana engkau perbuat, adakah dengan ilmu yang dibuktikan dengan dalil (‘ilmin muhaqqaqin) atau dengan kebodohan dan sangkaan ? Maka jikalau ia selamat dari yang demikian, niscaya dikembangkan akan lembaran ketiga. Yaitu: penuntutan dengan keikhlasan. Lalu ditanyakan kepadanya: untuk siapa engkau kerjakan ? adakah karena Wajah Allah semata-mata, karena memenuhi ucapan engkau “Laa Ilaaha Illallaah”, maka adalah pahala engkau atas Allah ? atau karena manusia yang diciptakan seperti engkau, maka ambillah pahala engkau daripadanya ? atau engkau mengerjakannya, untuk engkau memperoleh hal yang segera dari dunia engkau ? maka telah Kami penuhi kepada engkau akan bahagian engkau dari dunia. Atau engkau mengerjakannya disebabkan lupa atau lalai, maka telah gugurlah pahala engkau, binasalah amal engkau dan sia-sialah usaha engkau.
Dan jikalau engkau kerjakan untuk selain Aku, maka engkau harus memperoleh kutukanKu dan siksaanKu. Karena adalah engkau hamba bagiKu. Engkau makan rezeki yang Aku berikan. Engkau bersenang-senang dengan nikmatKu. Kemudian, engkau berbuat bagi selain Aku. Apakah engkau tidak mendengar, bahwa Aku berfirman: “Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu, yaitu bukan Allah, adalah hamba-hamba serupa kamu juga”. S 7 Al A’raaf ayat 194. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya apa kamu sembah selain dari Allah itu, tiada berkuasa untuk memberikan rezeki dari Allah dan sembahlah Dia”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 17. Rugilah engkau ! apakah tidak engkau mendengar Aku, bahwa Aku berfirman: “Ketahuilah, bahwa agama yang bersih itu hanya kepunyaan Allah !”. S 39 Az Zumar ayat 3.
Apabila hamba mengetahui, bahwa berbetulan dengan segala tuntutan dan pengejekan ini, ia menuntut akan dirinya, sebelum diri itu dituntut. Dan ia menyediakan jawaban bagi pertanyaan. Dan hendaklah ada jawaban itu betul. Maka tidak ia mulai dan tidak ia ulangi, selain sesudah bertetapan hati. Dan ia tidak menggerakkan pelupuk mata dan anak jari, selain sesudah memperhatikan betul-betul.
Nabi saw bersabda kepada Ma’adz: “Bahwa orang itu ditanyakan dari celak kedua matanya dan dari dihancurkannya tanah dengan dua anak jarinya dan dari disentuhnya akan kain saudaranya”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Adalah salah seorang mereka apabila berkehendak bersedekah dengan sesuatu sedekah, niscaya ia memperhatikan dan berketetapan hati. Maka jikalau ada yang demikian itu karena Allah, niscaya diteruskannya”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Allah merahmati akan hamba, yang berhenti ketika timbul cita-citanya. Maka jikalau adalah cita-cita itu karena Allah, niscaya ia teruskan. Dan jikalau bagi lainNya, niscaya ia kemudiankan”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata tentang hadits, yang dirawikan Sa’ad, yang diwasiatkan Salman, yaitu: “Bertaqwalah akan Allah ketika timbul cita-cita engkau, apabila engkau bercita-cita”.
Berkata Muhammad bin Ali: “Bahwa orang mu’min itu yang berhenti sebentar, lagi berhati-hati. Ia berhenti ketika timbul cita-citanya. Dan tidaklah orang mu’min itu seperti orang yang memotong kayu dalam gelap malam”. Maka inilah dia itu pandangan pertama pada menjaga ini. Dan tidaklah bersih dari ini, selain oleh ilmu yang teguh, ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala):  yang hakiki dengan rahasia-rahasia amal perbuatan, lobang-lobang hawa nafsu dan tipu-daya setan. Maka manakala ia tidak mengenal dirinya, Tuhannya dan musuhnya Iblis, ia tidak mengenal akan apa yang bersesuaian dengan hawa nafsunya dan ia tidak membedakan diantaranya dan apa yang disukai oleh Allah dan yang diridhaiNya, pada niatnya, cita-citanya, pikirannya, diamnya dan geraknya, maka ia tiada akan selamat pada penjagaan ini.
Bahkan kebanyakan mereka itu mengendarai kebodohan, pada apa yang tiada disukai oleh Allah Ta’ala. Dan mereka itu menyangka, bahwa mereka itu membaguskan perkataan. Jangan engkau menyangka, bahwa orang bodoh dengan apa yang disanggupinya kepada belajar, bahwa dia itu dimaafkan. Amat jauh dari yang demikian ! akan tetapi, menuntut ilmu itu fardhu atas setiap orang muslim. Dan karena inilah, 2 rakaat shalat dari orang yang berilmu itu lebih utama dari 1000 rakaat dari orang yang tidak berilmu. Karena orang yang berilmu itu mengetahui bahaya-bahaya hawa nafsu, tipuan-tipuan setan dan tempat-tempat terpedaya. Maka ia menjaga diri dari yang demikian. Dan orang yang bodoh tidak mengetahuinya. Maka bagaimana ia menjaga diri daripadanya ? maka senantiasalah orang yang bodoh itu dalam kepayahan. Dan setan itu kepadanya dalam kegembiraan dan makian. Maka kita berlindung dengan Allah dari kebodohan dan kelalaian. Kebodohan itu pangkal setiap kedurhakaan dan sendi setiap kerugian. Maka hukum Allah Ta’ala atas setiap hamba itu, bahwa ia memperhatikan akan dirinya ketika timbul cita-citanya dengan berbuat dan usahanya dengan anggota badan. Maka ia berhenti sebentar dari cita-cita dan dari usaha. Sehingga tersingkaplah baginya dengan nur ilmu, bahwa perbuatan itu karena Allah Ta’ala. Maka diteruskannya. Atau perbuatan itu karena hawa nafsu, maka ia menjagainya. Ia memperingatkan hati kepada berfikir padanya dan dari bercita-cita dengan perbuatan tersebut.
Bahwa bahaya pertama pada perbuatan batil/salah itu, apabila tidak ditolak, niscaya ia mewariskan kegemaran. Kegemaran itu mewariskan cita-cita. Cita-cita itu mewariskan keyakinan akan maksud. Keyakinan akan maksud mewariskan perbuatan. Dan perbuatan itu mewariskan kebinasaan dan kutukan. Maka seyogyalah bahwa disumbatkan benda kejahatan itu dari sumbernya yang pertama. Yaitu: yang terguris di hati. Bahwa semua yang di sebaliknya itu mengikutinya. Manakala sukar yang demikian itu atas hamba dan digelapkan oleh kejadi-jadian, maka tidaklah tersingkap baginya. Lalu ia bertafakkur/berfikir pada yang demikian itu dengan nur-ilmu. Ia meminta perlindungan dengan Allah dari tipuan setan, dengan perantaraan hawa nafsu. Maka jikalau ia lemah dari ijtihad (mengeluarkan pendapat),  dan berfikir dengan dirinya sendiri, maka ia memperoleh cahaya dgn nur ulama-ulama agama. Dan hendaklah ia lari dari ulama-ulama yang menyesatkan, yg menghadap kepada dunia, sebagaimana larinya dari setan. Bahkan, lebih keras lagi.
Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada Daud as: “Janganlah engkau bertanya dari halKu pada orang yang berilmu (orang alim), yang telah dimabukkan oleh kecintaan kepada dunia. Lalu ia memutuskan engkau dari kecintaan kepadaKu. Mereka itu orang-orang perampok di jalan raya, atas hamba-hambaKu. Maka hati yang gelap dengan kecintaan kepada dunia, sangat rakus dan sangat loba kepada dunia itu terdinding (terhijab) dari Nur Allah Ta’ala. Bahwa tempat memperoleh cahaya nur hati itu adalah Hadlarat/keajaiban Ketuhanan. Maka bagaimana memperoleh cahaya dengan keajaiban/Hadlarat Ketuhanan, orang yang membelakanginya dan menghadap kepada musuhnya dan asyik dengan orang yang memarahi dan mengutukinya ? ialah: hawa nafsu dunia.
Maka hendaklah cita-cita seorang murid, pertama-tama, pada hukum-hukum ilmu atau mencari orang yang berilmu yang berpaling dari dunia atau lemah kegemarannya pada dunia, jikalau ia tidak memperoleh orang yang tiada gemar pada dunia.
Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah menyukai penglihatan yang mengecam, ketika datang hal-hal yang syubhat (yang meragukan diantara yang halal dengan yang haram) dan akal yang sempurna ketika datang serangan hawa nafsu”. Nabi saw mengumpulkan diantara dua hal itu. Dan keduanya sebenarnya harus-mengharuskan. Siapa yang tiada mempunyai akal yang dapat membagikan pikiran, jauh dari nafsu syahwat, maka tiadalah baginya penglihatan yang mengecam pada hal-hal yang syubhat (diragukan). Karena itulah Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh akalnya, yang tiada akan kembali kepadanya untuk selama-lamanya”.
Maka apakah kadar akal yang lemah yang berbahagia anak Adam, dengan dia itu, sehingga anak Adam itu sengaja menyapu dan menghapuskannya dengan mengerjakan dosa-dosa ? Mengenal bahaya-bahaya amal itu telah terhapus pada masa-masa ini. Manusia semua telah meninggalkan ilmu-ilmu ini dan sibuk dengan menengahi diantara makhluk pada permusuhan-permusuhan yang berkobar pada mengikuti nafsu syahwat. Mereka itu mengatakan: “Ini adalah fikih”. Mereka mengeluarkan ilmu ini, yang dia itu fikih agama, dari jumlah ilmu-ilmu. Dan mereka menjurus kepada fikih dunia, yang tidak dimaksudkan, selain untuk menolak pembimbang-pembimbang dari hati. Supaya dapat menyelesaikan diri untuk fikih agama. Maka adalah fikih dunia itu sebahagian dari agama, dengan perantaraan fikih ini. Tersebut pada hadits: “Kamu pada hari ini adalah pada zaman, yang terbaik kamu padanya, ialah yang bekerja dengan tergopoh-gopoh. Dan akan datang kepadamu suatu zaman, yang terbaik kamu padanya, ialah yang bekerja tidak tergopoh-gopoh”. Karena inilah, berhenti sebentar untuk golongan dari para sahabat pada peperangan bersama penduduk Irak dan Syam (Suriah), tatkala timbul kesulitan urusannya kepada mereka, seperti: Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Usamah, Muhammad bin Maslamah dll. Maka siapa yang tidak berhenti sebentar, ketika meragukan, niscaya adalah dia itu pengikut hawa nafsu, yang merasa takjub dengan pendapatnya. Dan adalah dia termasuk orang yang disifatkan oleh Rasulullah saw, karena beliau bersabda: “Maka apabila engkau melihat kerakusan yang dituruti dan hawa nafsu yang diikuti dan ketakjuban oleh setiap orang yang mempunyai pendapat dengan pendapatnya, maka haruslah atas engkau dengan yang khusus bagi diri engkau”. Setiap orang yang masuk dalam suatu syubhat (diragukan), dengan tanpa dibuktikan dengan dalil, maka sesungguhnya ia telah menyalahi dengan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak engkau ketahui”. S 17 Al Israa’ ayat 36.
Sabda Nabi saw: “Jagalah dirimu dari sangkaan. Sesungguhnya sangkaan itu pembicaraan yang terbohong”. Dikehendaki oleh Rasulullah saw dengan yang demikian itu, ialah sangkaan dengan tidak berdalil. Sebagaimana sebahagian orang awam meminta fatwa pada hatinya sendiri, mengenai hal yang sulit baginya dan ia mengikuti akan sangkaannya. Dan karena sukarnya persoalan ini dan besarnya, itulah adanya doa Abubakar Ash-Shiddiq ra: “Ya Allah, Tuhanku! perlihatkanlah kepadaku yang benar itu benar dan anugerahkanlah kepadaku mengikutinya ! dan perlihatkanlah kepadaku yang salah itu salah dan anugerahkan lah kepadaku menjauhinya ! dan tidaklah Engkau jadikan dia itu meragukan kepadaku, lalu aku menuruti hawa nafsu”.
Nabi Isa as berkata: “Persoalan-persoalan itu 3: suatu persoalan terang betulnya, maka ikutilah ! suatu persoalan terang salahnya, maka jauhilah ! dan suatu persoalan menyulitkan kepadamu, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya !”.
Dan adalah dari doa Nabi saw: “Ya Allah, Tuhanku ! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku berkata mengenai agama, dengan tanpa ilmu”. Maka nikmat Allah yang terbesar kepada hambaNya, ialah: ilmu. Terbukanya kebenaran dan iman itu adalah ibarat dari semacam terbuka hijab dan ilmu. Dan karena itulah, berfirman Allah Ta’ala, untuk keanugerahan nikmat kepada hambaNya: “Adalah kurnia Allah kepada engkau itu sangat besarnya”. S 4 An Nisaa’ ayat 113. Dikehendaki dengan yang demikian itu: ilmu.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengertian, kalau kamu tidak tahu !”. S 16 An Nahl ayat 43.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya atas Kamilah memberi petunjuk”. S 92 Al Lail ayat 12.
Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian itu urusan Kami menjelaskannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 19.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan atas Allah itu membukakan jalan yang benar”. S 16 An Nahl ayat 9.
Ali ra berkata: “Hawa nafsu itu kongsi kebutaan mata. Dan sebahagian dari taufiq ialah berhenti sebentar ketika timbul keheranan. Sebaik-baik yang menolak kesusahan itu yakin. Akibat dusta itu penyesalan. Pada yang benar itu selamat. Kerap-kali yang jauh itu lebih dekat dari yang dekat. Orang yang asing itu, ialah siapa yang tiada baginya kekasih. Teman itu ialah orang yang membenarkan ketidak-hadirannya. Dan tidak meniadakan engkau dari kekasih, oleh buruk sangka. Sebaik-baik akhlak, ialah kemurahan hati. Malu itu sebab kepada setiap keelokan. Tali yang paling kokoh, ialah: taqwa. Sebab yang paling kokoh yang engkau ambil, ialah sebab antara engkau dan Allah Ta’ala. Sesungguhnya bagi engkau dari dunia engkau, ialah: apa yang engkau perbaiki dengan dia, akan tempat tinggal engkau di akhirat. Rezeki itu dua macam: rezeki yang engkau cari dan rezeki yang mencari engkau. Maka jikalau engkau tidak datang kepadanya, niscaya ia datang kepada engkau. Dan jikalau engkau gundah atas apa yang menimpa, dari apa yang dalam tangan engkau, maka janganlah engkau gundah atas apa, yang tidak sampai kepada engkau ! ambillah dalil atas apa yang tidak ada, dengan apa yang ada ! sesungguhnya persoalan-persoalan itu serupa. Dan manusia itu menyukakannya memperoleh apa yang tidak ada, untuk hilang daripadanya. Dan memburukkan baginya hilang apa yang tidak ada, untuk diperolehnya. Maka apa yang tercapai bagi engkau dari dunia engkau, maka janganlah engkau perbanyakkan kegembiraan ! dan apa yang hilang bagi engkau daripadanya, maka janganlah engkau ikutkan akan diri engkau dengan kesedihan ! hendaklah ada kegembiraan engkau itu dengan apa yang engkau datangkan dan kesedihan engkau atas apa yang engkau tinggalkan ! kesibukan engkau bagi akhirat engkau dan cita-cita engkau pada apa yang sesudah mati”. Maksud kami dari menukilkan kalimat-kalimat tadi, ialah ucapannya: dan sebahagian dari taufiq, ialah berhenti sebentar ketika timbul keheranan. Jadi, pandangan pertama bagi orang yang bermuraqabah/memperhatikan, ialah pandangannya pada cita-cita dan gerak, adakah dia itu karena Allah atau karena hawa nafsu ?
Nabi saw bersabda: “3 perkara, maka siapa yang ada padanya 3 perkara tersebut, niscaya ia telah menyempurnakan imannya. Yaitu: orang yang tidak takut pada jalan Allah akan cacian yang mencacikan, orang yang tidak berbuat ria dengan sesuatu dari amal perbuatannya dan orang, apabila datang baginya dua persoalan, yang satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, maka ia memilih akhirat atas dunia”. Dan kebanyakan apa yang terbuka baginya pada gerak-geriknya, bahwa adalah yang demikian itu mubah (yang diperbolehkan). Akan tetapi, tidak penting baginya, maka ditinggalkannya, karena sabda Nabi saw: “Dari kebagusan Islam manusia itu, ialah ditinggalkannya apa yang tidak penting baginya”.
Pandangan kedua: bagi al-muraqabah/memperhatikan ketika masuk pada amal pekerjaan. Dan yang demikian itu dengan mencari cara beramal, untuk menunaikan hak Allah padanya. Dan membaguskan niat pada menyempurnakannya. Menyempurnakan bentuknya dan mengerjakannya dengan sesempurna mungkin. Dan ini yang mengharuskannya dalam semua hal keadaannya. Bahwa ia tidak terlepas dalam semua hal keadaannya dari gerak dan diam. Maka apabila ia memperhatikan akan Allah Ta’ala pada semua yang demikian, niscaya ia mampu kepada beribadah akan Allah Ta’ala padanya dengan niat, bagus perbuatan dan menjaga adab sopan santun. Kalau ia duduk –umpamanya- maka seyogyalah ia duduk dengan menghadap kiblat, karena sabda Nabi saw: “Majelis yang terbaik, ialah yang menghadap kiblat padanya”. Ia tidak duduk bersila. Karena ia tidak duduk dengan raja-raja seperti yang demikian. Dan Raja Diraja itu menengok kepadanya.
Ibrahim bin Adham ra berkata: “Pada suatu kali aku duduk bersila. Lalu aku mendengar suara berteriak: “Begitulah engkau duduk dengan raja-raja?”. Maka sesudah itu, tidak pernah lagi aku duduk bersila”. Kalau tidur, maka ia tidur atas tangan kanan, dengan menghadap kiblat, serta adab-adab yang lain yang telah kami sebutkan pada tempat-tempatnya. Setiap yang demikian itu masuk dalam memperhatikan. Bahkan, jikalau ia berada dalam qodo-hajat (membuang air besar atau air kecil), maka dijagakannya akan adab-adabnya, karena menepati dengan memperhatikan. Jadi, tiada terlepaslah hamba, adakalanya dalam taat atau dalam maksiat atau pada perbuatan mubah. Maka memperhatikan nya pada taat itu dengan ikhlas, penyempurnaan, pemeliharaan adab dan penjagaannya dari bahaya-bahaya. Jikalau ia pada maksiat, maka memperhatikan nya dengan taubat, sesal, mencabut diri dari perbuatan maksiat, malu dan berbuat dengan bertafakkur/berfikir. Dan jikalau ia pada perbuatan mubah, maka memperhatikan nya dengan memelihara adab. Kemudian, dengan pengakuan kepada Yang Memberikan nikmat pada nikmat yang diberikan dan dengan bersyukur atas nikmat itu. Tiada tersembunyilah hamba dalam sejumlah hal keadaannya dari percobaan, yang tidak boleh tidak daripada bersabar padanya. Dan dari nikmat, yang tidak boleh tidak daripada bersyukur atas nikmat itu. Dan semua yang demikian itu sebahagian dari memperhatikan. Bahkan, tidaklah terlepas hamba pada setiap keadaan dari fardhu/wajib karena Allah Ta’ala padanya. Adakalanya perbuatan, yang harus dikerjakannya atau larangan yang harus ditinggalkannya atau sunat, yang digerakkan kepadanya, supaya ia bersegera dengan perbuatan sunat itu, kepada ampunan Allah Ta’ala. Dan ia berlomba-lomba padanya dengan hamba-hamba Allah. Atau perbuatan mubah, padanya kebaikan bagi tubuh dan hatinya. Dan padanya pertolongan baginya kepada mentaatiNya. Bagi masing-masing dari yang demikian itu ada batas-batas, yang tidak boleh tidak menjagakan nya dengan berkekalan memperhatikan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang melampaui batas-batas yang ditentukan Allah itu, maka sesungguhnya dia menganiaya dirinya sendiri”. S 65 Ath Thalaaq ayat 1. Maka seyogyalah hamba itu mencari dirinya pada semua waktunya, pada bahagian-bahagian yang 3 ini. Maka apabila ia kosong dari yang fardhu dan ia sanggup atas amalan-amalan yang utama, maka seyogyalah ia mencari amalan yang paling utama, untuk dikerjakannya. Bahwa orang yang hilang baginya kelebihan untung dan ia sanggup memperolehnya, maka orang itu terperdaya pada jual-beli. Dan untung itu diperoleh dengan kelebihan keutamaan. Maka yang demikian, hamba itu mengambil dari dunianya bagi akhiratnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan jangan engkau lupakan bagian engkau di dunia ini”. S 28 Al Qashash ayat 77. Semua yang demikian itu hanya mungkin dengan sabar sesaat. Bahwa saat-saat itu 3: saat yang telah lewat. Tiada kepayahan lagi padanya atas hamba, bagaimanapun telah berlalu dalam kesukaran atau kesenangan. Saat yang akan datang, yang tidak akan datang kemudian. Dan hamba itu tidak tahu, apakah ia akan hidup pada saat itu atau tidak. Ia tidak tahu, apa yang menjadi qodo (hukum taqdir) Allah padanya. Dan saat yang sedang berjalan, yang seyogyalah ia bersungguh‑sungguh padanya akan dirinya dan ia berjaga padanya akan Tuhannya. Jikalau tidak datang kepadanya saat yang kedua, niscaya ia tidak mengeluh atas luputnya saat ini. Dan jikalau datang kepadanya saat yang kedua, niscaya ia menyempurnakan haknya daripadanya. Sebagaimana ia menyempurnakan dari yang pertama. Dan tidak panjanglah angan-angannya untuk 50 tahun. Lalu panjanglah kepadanya al-‘azam (cita-cita yang telah diputuskan dengan mantap), atas memperhatikan/al-muraqabah padanya.
Bahkan adalah dia putera waktunya. Seakan-akan itu pada akhir nafasnya. Maka mudah-mudahan itu akhir nafasnya dan ia tidak tahu. Apabila mungkin bahwa adalah itu akhir nafasnya, maka seyogyalah bahwa ada itu di atas bentuk, yang ia tidak benci bahwa ia didapati oleh mati dan dia di atas keadaan yang demikian. Dan adalah semua hal-ihwalnya terbatas atas apa, yang dirawikan Abu Dzar ra dari sabda Nabi saw: “”Tiada orang mu’min itu berangkat, selain pada 3: mencari untuk hari kembali (akhirat) atau perbaikan untuk penghidupan atau kelezatan pada yang tidak diharamkan”. Dan apa yang dirawikan Abu Dzar juga dari Nabi saw dalam arti yang seperti itu, yaitu: “Atas orang yang berakal, bahwa ada baginya 4 saat: saat, yang ia bermunajat padanya dengan Tuhannya, saat yang ia bermuhasabah (menghitungkan amalan) dirinya padanya, saat yang ia bertafakkur/berfikir padanya tentang ciptaan Allah Ta’ala dan saat yang ia kosongkan padanya untuk makan dan minum”.
Bahwa pada saat ini menjadi pertolongan baginya atas saat-saat yang masih tinggal. Kemudian, saat ini yang dia padanya itu, seluruh anggota badannya sibuk dengan makanan dan minuman, tiada seyogyalah terlepas dari amalan, yaitu: yang paling utama dari segala amalan. Ialah: dzikir dan fikir. Bahwa makanan yang diperolehnya –umpamanya- padanya, dari segala keajaiban, akan apa, jikalau ia bertafakkur/berfikir padanya dan ia cerdik baginya, niscaya adalah yang demikian itu, lebih utama daripada banyaknya amalan anggota badan.
Manusia padanya itu berbagai macam bagian. Sebagian adalah mereka itu memandang kepadanya dengan mata penglihatan yang penuh perhatian dan ibarat/i’tibar. Lalu mereka memandang tentang keajaiban-keajaiban ciptaannya, cara keterikatan keteguhan binatang dengan dia, cara taqdir Allah bagi sebab-sebabnya, kejadian nafsu syahwat yang membangkitkan kepadanya dan kejadian alat-alat yang diperuntukkan untuk nafsu syahwat padanya, sebagaimana telah kami uraikan sebahagian daripadanya pada “Kitab Syukur”. Dan ini adalah maqam bagi orang-orang yang mempunyai hati.
Sebagian adalah mereka itu memandang padanya dengan mata kutukan dan kebencian. Mereka memperhatikan segi diperlukan kepadanya. Dan dengan kesayangan mereka, jikalau mereka tidak memerlukan kepadanya. Akan tetapi, mereka melihat dirinya dipaksakan padanya, diperuntukkan bagi nafsu syahwatnya. Dan ini adalah maqam orang-orang zahid. Suatu kaum adalah melihat tentang ciptaan yang menciptakan. Dan mereka mendaki daripadanya itu kepada sifat-sifat Al-Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah penyaksian/musyahadah yang demikian itu menjadi sebab untuk mengingati pintu-pintu pikiran, yang terbuka kepada mereka dengan sebabnya. Dan itu adalah maqam yang tertinggi. Yaitu dari maqam orang-orang yang mengenal/berma’rifah (al-‘arifin) dan tanda orang-orang yang bercinta. Karena orang yang bercinta itu, apabila melihat ciptaan dari yang dicintainya, bukunya dan karangannya, niscaya ia lupa akan ciptaan dan sibuk hatinya dengan yang menciptakan. Dan setiap apa, yang bulak-baliklah hamba padanya akan ciptaan Allah Ta’ala, maka baginya pada pandangan daripadanya itu kepada yang menciptakan adalah jalan yang lapang, jikalau terbukalah baginya pintu-pintu alam al-malakut. Dan yang demikian itu adalah jarang sekali.
Bahagian keempat adalah mereka itu memandang kepadanya dengan mata kegemaran dan kelobaan. Maka mereka itu merasa sedih atas yang hilang daripadanya. Mereka bergembira dengan yang ada bagi mereka dari jumlahnya itu. Mereka mencela daripadanya, akan yang tiada bersesuaian dengan hawa nafsu mereka. Dan mereka menjelekkannya dan mencela yang memperbuatnya. Maka mereka mencela masakan dan tukang masak. Dan mereka tiada mengetahui, bahwa Yang Berbuat bagi masakan dan tukang masak dan bagi kemampuannya dan ilmunya, adalah Allah Ta’ala. Bahwa barangsiapa mencela sesuatu dari ciptaan Allah, dengan tidak seizin Allah, maka sesungguhnya ia telah mencela Allah. Dan karena demikianlah Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu memaki masa ! sesungguhnya Allah itu Yang Menciptakan masa”. Maka memperhatikan perbuatan diri yang kedua ini adalah dengan memperhatika segala amal secara terus-menerus dan berkesinambungan. Dan penguraian yang demikian itu akan panjang. Dan pada apa yang telah kami sebutkan itu adalah pemberitahuan kepada jalan, bagi orang yang meneguhkan pokok-pokok.
AL-MURABATHAH KETIGA: memperhitungkan diri sesudah berbuat. Dan marilah kami sebutkan keutamaan al-muhasabah/memperhitungkan, kemudian hakikat/maknanya.
Adapun keutamaan, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! bertaqwalah kepada Allah ! dan setiap diri hendaklah memperhatikan apakah yang akan dikemukakannya lebih dahulu untuk hari esok !”. S 59 Al Hasyr ayat 18. Ini adalah isyarat kepada memperhitungkan kepada segala amal perbuatan yang telah berlalu. Dan karena itulah, Umar ra berkata: “Adakanlah memperhitungkan akan dirimu sendiri, sebelum kamu diadakan orang akan memperhitung kan dan timbangkanlah akan dirimu itu sebelum kamu ditimbangkan orang !”. Tersebut pada hadits, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! berikanlah aku nasehat !”. Maka Nabi saw bersabda: “Adakah engkau itu orang yang menerima nasehat ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ya !”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Apabila engkau bercita-cita dengan sesuatu maka berfikirlah dengan penuh pemahaman akan akibatnya ! jikalau betul, maka teruskan ! dan jikalau salah, maka cegahkanlah dirimu daripadanya !”. Tersebut pada hadits, bahwa seyogyalah bagi orang yang berakal mempunyai 4 saat. Satu saat, ia memperhitungkan padanya akan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman: “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kamu memperoleh kemenangan”. S 24 An Nur ayat 31. Taubat itu adalah pandangan pada perbuatan, sesudah selesai daripadanya, dengan penyesalan atas perbuatan itu. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah Ta’ala dan bertaubat kepadaNya dalam sehari 100 kali”. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu setan yang datang berkunjung, niscaya mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201.
Diriwayatkan dari Umar ra, bahwa beliau memukul dua tapak kakinya dengan cemeti, apabila malam telah gelap dan bertanya kepada dirinya: “Apakah yang engkau kerjakan pada hari ini ?”. Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, bahwa ia berkata: “Tiadalah hamba itu termasuk orang yang bertaqwa, sehingga ia memperhitungkan akan dirinya lebih banyak dari dimuhasabahkan/diperhitungkan oleh kongsinya. Dan dua orang yang berkongsi itu memperhitung-hitungkan sesudah bekerja”.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Abubakar ra berkata kepadanya, ketika akan wafat: “Tiada seorangpun dari manusia, yang lebih aku cintai dari Umar”. Kemudian, Abubakar ra bertanya kepada ‘Aisyah: “Bagaimana engkau katakan ?”. Lalu ‘Aisyah mengulangi kepada Abubakar ra apa yang dikatakannya. Maka Abubakar ra berkata: “Tiada seorangpun dari manusia, yang lebih mulia padaku dari Umar”. Maka lihatlah, bagaimana Abubakar ra memandang sesudah selesai dari suatu kalimat, lalu dipikirkannya dengan mendalam dan digantikannya dengan kalimat yang lain.
Berita tentang Abi Thalhah, ketika ia dilalaikan oleh seekor burung dalam shalatnya, maka ia memikirkan yang demikian itu dengan mendalam. Maka dijadikannya kebunnya sedekah karena Allah Ta’ala, lantaran menyesal dan mengharap untuk gantian dari yang hilang baginya.
Pada berita Ibnu Salam, bahwa ia membawa seberkas kayu api, lalu orang mengatakan kepadanya: “Hai Abu Yusuf ! sesungguhnya adalah pada anak-anakmu dan pembantu-pembantumu, yg memadai bagi engkau akan ini”. Ibnu Salam lalu menjawab: “Aku menghendaki bahwa aku mencoba akan diriku, adakah ia tidak menyukakannya?”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Orang mu’min itu pemimpin atas dirinya, yang ia memperhitungkannya karena Allah. Sesungguhnya ringanlah hitungan amal (al-hisab) atas suatu kaum, yang mengadakan perhitungan atas dirinya di dunia. Dan sesungguhnya sukarlah al-hisan pada hari kiamat atas suatu kaum, yang mengambil akan persoalan ini, tanpa al-muhasabah/memperhitungkan”. Kemudian, Al-Hasan Al-Bashari  menafsirkan memperhitungkan, seraya berkata: “Bahwa orang mu’min itu dibergegas-gegaskan oleh sesuatu yang menakjubkannya”. Lalu beliau berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau menakjubkan aku dan engkau itu dari hajat keperluanku. Akan tetapi, alangkah jauhnya, didindingi diantara aku dan engkau”. Ini adalah al-hisab sebelum berbuat. Kemudian Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Dan sia-sialah daripadanya akan sesuatu, lalu ia kembali kepada dirinya, seraya bertanya: “Apakah yang engkau kehendaki dengan ini ? demi Allah, tiada akan diterima halanganku dengan ini. Demi Allah, aku tiada akan kembali untuk ini selama-lamanya insya Allah”.
Anas bin Malik berkata: “Aku mendengar Umar bin Al-Khattab ra pada suatu hari dan ia sudah keluar untuk keperluannya dan aku keluar bersama dia, lalu ia masuk ke suatu kebun, dimana ia berkata: “Diantara aku dan dia ada dinding dan dia di dalam kebun. Umar bin Al-Khattab itu amirul-mu’minin. Bagus sekali. Demi Allah ! sesungguhnya engkau bertaqwa kepada Allah atau Ia mengazabkan engkau”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat 2, dengan mengatakan: “Tiada ditemui oleh orang mu’min, selain ia mencerca dirinya, dengan kata-kata: “Apakah yang aku kehendaki dengan perkataanku? apakah yang aku kehendaki dengan makanku ? apakah yang aku kehendaki dengan minumku. Dan orang zalim itu melalukan tapak kakinya, dengan tidak mencercakan dirinya”.
Malik bin Dinar ra berkata: “Allah merahmati akan hamba yang berkata kepada dirinya: “Apakah tidak engkau itu teman bagi yang demikian ? apakah tidak engkau itu teman yang demikian ?”. Kemudian, ia mencelanya. Kemudian ia mendiamkannya. Kemudian, ia membiasakannya akan Kitab Allah Ta’ala yang menuntunkan nya. Ini termasuk dari mencela diri, sebagaimana yang akan datang penjelasannya pada tempatnya.
Maimun bin Mahran berkata: “Orang yang taqwa itu lebih kuat memperhitungkan bagi dirinya dari penguasa yang zalim dan dari kongsi yang kikir”. Ibrahim At-Taimi berkata: “Aku umpamakan diriku dalam sorga, yang aku makan dari buah-buahannya, aku minum dari sungai-sungainya dan aku berpelukan dengan anak-anak daranya. Kemudian, aku umpamakan diriku dalam neraka, yang aku makan dari buah kayu zaqumnya, aku minum dari nanah yang bercampur darahnya dan aku mengalami dengan rantai dan belenggunya. Maka aku bertanya kepada diriku: “Hai diri ! apakah yang engkau kehendaki ?”. Maka diri itu menjawab: “Aku kehendaki bahwa aku dikembalikan ke dunia, lalu aku mengerjakan amal shalih”. Aku berkata: “Maka engkau itu dalam cita-cita, maka berbuatlah !”.
Malik bin Dinar berkata: “Aku mendengar Al-Hajjaj berpidato dan ia mengatakan: “Allah merahmati akan manusia yang mengadakan memperhitungkan kepada dirinya, sebelum jadilah al-hisab (perhitungan amalnya) itu kepada orang lain. Allah merahmati akan manusia yang mengambil dengan tali kekang amalnya. Lalu ia memandang akan apa yang dikehendakinya. Allah merahmati akan manusia, yang memandang pada sukatannya. Dan Allah merahmati manusia yang memandang pada timbangannya”. Maka terus-meneruslah ia mengatakan, sehingga ia membawa aku menangis”.
Diceritakan oleh teman Al-Ahnaf bin Qais, dengan mengatakan: “Adalah aku menemaninya. Umumnya shalatnya di malam hari itu doa. Dan ia datang kepada lampu. Lalu diletakkannya anak jarinya pada lampu itu, sehingga ia merasa dengan api. Kemudian, ia berkata kepada dirinya: “Hai Hunaif ! apakah yang membawa engkau kepada apa yang engkau berbuat pada hari itu ? apakah yang membawa engkau kepada apa yg engkau berbuat pada hari itu ?”.
PENJELASAN: hakikat/makna memperhitungkan sesudah amal perbuatan.
Ketahuilah, bahwa hamba itu, sebagaimana ada baginya waktu pada awal siang, yang ia mengisyaratkan padanya akan dirinya di atas jalan nasehat-menasehati dengan kebenaran, maka seyogyalah bahwa ada baginya pada akhir siang, saat yang ia menuntut padanya akan diri dan memperhitungkannya di atas segala gerak-geriknya dan diamnya. Sebagaimana para saudagar berbuat di dunia bersama kongsi-kongsinya pada akhir setiap tahun atau bulan atau hari, kelobaan dari mereka kepada dunia dan karena takut akan hilangnya dari mereka, di mana jikalau hilang, niscaya ada kebajikan bagi mereka pada kehilangannya. Dan jikalau berhasil yang demikian itu bagi mereka, maka tiada tinggal lagi, selain beberapa hari yang sedikit. Maka bagaimana orang yang berakal, tiada bermuhasabah/ memperkirakan akan dirinya, pada apa yang menyangkut bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan untuk selama-lamanya ? tiadalah anggapan enteng ini, selain dari kelalaian, kekacauan pikiran dan kurang memperoleh taufiq. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian ! Makna memperhitungkan serta kongsi, ialah: bahwa ia melihat pada modal, untung dan rugi. Supaya terang baginya kelebihan dari kekurangan. Maka jikalau ada dari kelebihan yang berhasil, niscaya dicukupkannya dan disyukurinya. Dan jikalau ada dari kerugian, niscaya dituntutnya kongsi itu menanggungnya dan diberatinya memperoleh kembali dari kerugian itu pada masa mendatang. Maka seperti demikianlah modal hamba pada agamanya yang fardhu-fardhu/wajib2, keuntungannya yang sunat-sunat dan keutamaan-keutamaan dan kerugian-kerugiannya perbuatan-perbuatan maksiat.
Musim perniagaan ini adalah jumlah hari seluruhnya dan bermu’amalah (berniagaan) dengan nafsunya yang menyuruh dengan kejahatan. Maka diadakannya memperhitungkankan dirinya, pertama-tama di atas ibadah yang fardhu-fardhu. Maka jikalau telah ditunaikannya di atas caranya yang sebenarnya, niscaya ia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas yang demikian. Dan ia mengingininya pada yang seumpamanya. Dan jikalau luput dari asalnya, niscaya dicarinya dengan qodo (gantinya di luar waktu). Dan jikalau ditunaikannya dengan berkurang, niscaya diberatinya untuk menambal dengan amal ibadah sunat. Dan jikalau dikerjakannya suatu perbuatan maksiat, niscaya ia sibuk berpikir dengan siksaan, jatuhnya azab dan celaan atas perbuatan maksiat itu. Supaya sempurnalah daripadanya apa yang didapatinya kembali, apa yang telah hilang. Sebagaimana seorang saudagar dengan kongsinya. Sebagaimana ia memeriksa pada perhitungan dunia dari biji-bijian dan krat dari intan permata, lalu dijaganya tempat kemasukan bertambah dan berkurang, sehingga ia tidak tertipu pada sesuatu daripadanya, maka seyogyalah bahwa ia membersihkan akan ketipuan nafsu dan rencana buruknya. Bahwa nafsu itu penipu, pencampur-adukkan, pembuat rencana yang tidak baik. Maka dicarinya –pertama-tama, dengan pembetulan jawaban dari semua yang diperkatakannya sepanjang harinya. Dan hendaklah ditanggungnya dengan dirinya dari al-hisab, akan apa yang akan diurus oleh orang lain, pada dataran tinggi kiamat. Dan begitulah dari pandangannya, bahkan dari segala gurisannya dan pikirannya, berdirinya dan duduknya, makannya, minumnya dan tidurnya. Sehingga dari diamnya, bahwa mengapa ia diam. Dan dari tenangnya, mengapa dia tenang. Apabila ia telah mengetahui jumlah yang wajib atas diri dan telah shah padanya kadar penunaian yang wajib padanya, niscaya adalah kadar yang demikian itu diperhitungkan baginya. Maka lahirlah baginya yang menjadi sisa atas dirinya. Maka hendaklah ditetapkannya yang demikian itu atas dirinya dan hendaklah dituliskannya atas halaman lembaran hatinya. Sebagaimana dituliskan yang sisa, yang atas kongsinya, atas hatinya dan pada harian perhitungannya. Kemudian, diri itu berhutang, yang mungkin dilunasi daripadanya segala hutang. Adapun setengahnya dengan uang pembayaran dan jaminan. Setengahnya dengan dikembalikan benda itu sendiri. Dan setengahnya dengan siksaan baginya di atas yang demikian. Dan tidak mungkin sesuatu dari yang demikian itu, selain sesudah pentahkikan al-hisab dan membedakan yang sisa dari hak yang wajib atasnya. Apabila telah berhasil yang demikian, niscaya ia menyibukkan diri sesudahnya itu dengan penuntutan dan penyempurnaan. Kemudian, seyogyalah bahwa diri itu mengadakan memperhitungkan atas semua umur, hari demi hari, jam demi jam, pada semua anggota badan, yang zahir dan yang batin, sebagaimana dinukilkan dari Taubah bin Ash-Shammah. Ia berada di negeri Ar-Raqqah. Ia bermuhasabah bagi dirinya. Pada suatu hari ia menghitung. Maka tiba-tiba dia itu sudah berumur 60 tahun. Lalu dihitungnya hari-harinya. Maka tiba-tiba adalah 21 ribu dan 500 hari. Lalu ia memekik dan berkata: “Wahai celaka bagiku ! aku bertemu dengan malaikat, dengan 21 ribu dosa ! maka bagaimana dan pada setiap hari itu 10 ribu dosa ?”. Kemudian, ia jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba, dia itu sudah wafat. Lalu mereka itu mendengar orang yang berkata, dengan mengatakan: “Wahai kiranya, engkau lari ke Firdaus yang tertinggi !”. Maka begitulah, seyogyanya bahwa dia bermuhasabah akan dirinya di atas nafas-nafas yang dihembuskannya dan di atas kemaksiatannya dengan hati dan anggota badan pada setiap saat. Dan jikalau hamba itu melempar dengan setiap kemaksiatan akan sebutir batu dalam rumahnya, niscaya penuhlah rumahnya dalam masa yang sedikit, yang dekat, dari umurnya. Akan tetapi, hamba itu menganggap enteng pada menjaga perbuatan-perbuatan maksiat. Dan dua malaikat menjaga atasnya yang demikian, yang dihinggakan oleh Allah dan mereka melupakannya.
AL-MURABATHAH KEEMPAT: tentang penyiksaan diri atas keteledorannya.
Manakala hamba itu mengadakan memperhitungkanakan dirinya, maka diri itu tidak selamat dari mengerjakan maksiat dan berbuat keteledoran pada hak Allah Ta’ala. Maka tiada seyogyalah bahwa disia-siakannya. Bahwa, jikalau disia-siakannya, niscaya mudahlah atasnya mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan melupakan dengan yang demikian akan dirinya. Dan sukarlah kepadanya berpisah daripadanya. Dan adalah yang demikian itu sebab kebinasaannya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ia menyiksakan diri itu. Apabila ia memakan sesuap harta syubhat (diragukan), dengan keinginan nafsu, niscaya seyogyalah bahwa disiksakannya perut dengan lapar. Dan apabila ia memandang kepada bukan mahramnya, niscaya seyogyalah bahwa disiksakannya mata dengan mencegah memandang. Dan begitu juga, disiksakannya setiap anggota dari anggota-anggota badannya, dengan mencegahkannya dari keinginan-keinginannya. Begitulah adanya adat kebiasaan orang-orang yang menempuh jalan akhirat.
Dirawikan dari Manshur bin Ibrahim, bahwa seorang laki-laki dari orang-orang yang banyak beribadah, berbicara dengan seorang wanita. Lalu teruslah yang demikian, sehingga ia meletakkan tangannya atas paha wanita itu. Kemudian, ia menyesal, lalu ia meletakkan tangannya atas api, sehingga tangannya itu kering. Diriwayatkan, bahwa ada pada kaum Bani Israil seorang laki-laki yang beribadah dalam kelentengnya. Maka ia tinggal seperti yang demikian dalam masa yang panjang. Maka terlihat pada suatu hari, tiba-tiba dia dengan seorang wanita. Lalu ia terpesona dengan wanita itu dan ia ingin kepadanya. Maka dikeluarkannya kakinya, untuk ia turun kepada wanita tersebut. Maka Allah memberitahukannya dengan yang dahulu dari kesungguhannya, lalu laki-laki itu berkata: “Apakah ini yang aku kehendaki membuatnya ?”. Lalu kembalilah kepadanya dirinya dan Allah Ta’ala memeliharakannya. Lalu ia menyesal. Tatkala ia menghendaki mengembalikan kakinya ke kelenteng, maka ia berkata: “Amat jauhlah, amat jauhlah ! kaki yang keluar, yang menghendaki berbuat maksiat kepada Allah, ia kembali bersama aku dalam kelentengku ! demi Allah ! tidaklah ada yang demikian itu selama-lamanya”. Maka ditinggalkannya kakinya tergantung pada kelenteng, ditimpa hujan, angin, salju dan matahari. Sehingga terpotong-potong, lalu jatuh. Maka ia bersyukur kepada Allah baginya yang demikian. Dan diturunkan pada sebahagian kitab-kitabnya akan sebutan yang demikian.
Diceritakan dari Al-Junaid, yang mengatakan: “Aku mendengar Ibnul-Kuraibi berkata: “Tertimpa aku pada suatu malam dengan janabah (hadats besar dengan keluar mani). Maka aku berhajat untuk mandi. Dan adalah malam itu malam yang dingin. Lalu aku merasa pada diriku mundur dan teledor. Lalu dikatakan kepadaku oleh diriku dengan mengemudiankan, sampai kepada waktu shubuh. Dan aku memanaskan air atau aku masuk ke tempat permandian air panas. Dan aku tidak bersungguh-sungguh atas diriku. Maka aku mengatakan: “Alangkah mengherankan ! aku bermu’amalah (perniagaan) dengan Allah dalam sepanjang umurku. Maka wajiblah bagiNya hak atasku. Lalu aku tidak mendapati padaku akan kesegeraan. Dan aku dapati kehentian dan kelambatan. Aku bersumpah bahwa aku tidak mandi, selain pada pakaian-burukku ini. Aku bersumpah, bahwa aku tidak akan membukanya, tiada akan memerasnya dan tiada akan mengeringkannya pada matahari”.
Diceritakan, dari Ghazwan dan Abu Musa berada pada sebahagian tempat peperangan. Maka tampaklah seorang wanita pelayan yang cantik. Lalu Ghazwan memandang kepadanya. Maka ia mengangkat tangannya, lalu menampar matanya, sehingga mata itu pecah. Ia berkata: “Sungguh engkau itu memperhatikan kepada yang mendatangkan melarat kepada engkau”. Sebahagian mereka memandang dengan sekali pandangan kepada seorang wanita. Lalu ia menjadikan atas dirinya bahwa tiada akan meminum air dingin sepanjang hidupnya. Ia meminum air panas untuk mengeruhkan kehidupan atas dirinya.
Diceritakan, bahwa Hassan bin Abi Sannan melalui suatu kamar rumah. Lalu bertanya: “Kapan dibangun ini ?”. Kemudian ia menghadapkan perkataan atas dirinya, seraya berkata: “Engkau menanyakan apa yang tidak penting bagi engkau. Aku akan menyiksakan engkau dengan puasa setahun”. Lalu ia puasa setahun itu.
Malik bin Dlai-gham berkata: “Datang Rabbah Al-Qaisi, menanyakan dari hal ayahku sesudah waktu ‘Ashar. Lalu kamu menjawab, bahwa beliau tidur”. Lalu Rabbah Al-Qaisi bertanya: “Adakah tidur saat ini ? ini waktu tidur ?”. Kemudian, ia berpaling dan pergi. Maka kami utus seorang utusan kepadanya dan kami bertanya: “Apakah tidak kami membangunkannya demi engkau ?”. Utusan itu datang kembali dan berkata: “Rabbah Al-Qaisi itu sibuk, daripada memahami sesuatu daripadaku. Aku mendapatinya dan ia masuk ke perkuburan. Ia mencaci dirinya dan mengatakan: “Adakah aku katakan: wakatu tidur saat ini ? adakah maka ini atas engkau ? laki-laki itu tidur, kapan dikehendakinya. Apakah yang yang memberitahukan engkau, bahwa ini bukan waktu tidur ? engkau berkata dengan apa yang tidak engkau ketahui. Apakah tidak, bahwa bagi Allah itu janji atasku, yang tidak akan aku langgar untuk selama-lamanya ? bumi tidak memberikan engkau bantal bagi tidur akan perobahan, selain karena sakit yang menghalangi atau karena akal yang hilang, karena kebiasaan bagi engkau. Apakah engkau tidak malu ? berapa banyak engkau mengajak ? dari kesalahan engkau, tidak engkau cegah ?”. Utusan itu meneruskan ceritanya: “Rabbah Al-Qaisi terus menangis. Dan ia tidak tahu dengan tempatku berdiri. Maka tatkala aku melihat yang demikian, lalu aku berpaling daripadanya dan meninggalkannya”.
Diceritakan dari Tanim Ad-Dari, bahwa ia tidur pada suatu malam, yang ia tidak bangun padanya untuk shalat malam (shalat tahajjud). Maka ia bangun berdiri satu tahun, yang ia tidak tidur padanya, untuk siksaan bagi yang telah diperbuatnya.
Dari Thalhah ra yang mengatakan: “Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan. Lalu membuka kainnya dan ia berguling pada bumi yang kena panas matahari. Ia mengatakan kepada dirinya: “Rasailah ! api neraka jahannam lebih keras panasnya ! adakah bangkai di malam hari itu menjadi batal di siang hari?”. Dalam keadaan dia seperti yang demikian, tiba-tiba ia melihat Nabi saw pada naungan sepohon kayu. Lalu ia datang kepadanya, seraya berkata: “Telah dikeraskan aku oleh diriku”. Maka Nabi saw bersabda: “Apakah sudah semestinya bagi engkau, dari yang engkau perbuat itu ? apakah tidak, sesungguhnya telah dibukakan bagi engkau pintu-pintu langit dan Allah membanggakan dengan engkau akan para malaikat ?”. Kemudian Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya: “Ambillah perbekalan dari saudaramu ini !”. Laki-laki itu lalu berkata kepadanya: “Hai Anu ! berdoalah bagiku ! hai Anu ! berdoalah bagiku !”. Maka Nabi saw bersabda: “Secara umum bagi mereka”. Maka orang itu berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jadikanlah taqwa perbekalan mereka ! kumpulkanlah atas petunjuk urusan mereka !”. Lalu Nabi saw berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! betulkanlah dia !”. Laki-laki itu lalu berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jadikanlah sorga tempat kembalinya mereka !”.
Hudzaifah bin Qatadah berkata: “Ditanyakan kepada seorang laki-laki: “Bagaimana engkau berbuat dengan diri engkau tentang nafsu syahwatnya?”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Tiadalah di atas permukaan bumi ini, diri yang lebih aku marahi daripadanya. Maka bagaimanakah aku memberikan nafsu keinginannya ?”.
Ibnus-Samak masuk ke tempat Daud Ath-Tha-i, ketika ia meninggalk dunia dan dia dalam rumahnya di atas tanah. Lalu Ibnus-Samak berkata: “Hai Daud ! engkau penjarakan diri engkau, sebelum dipenjarakan. Engkau azabkan diri engkau, sebelum diazabkan. Maka pada hari ini, engkau melihat akan pahala orang yang engkau berbuat baginya”.
Dari Wahab bin Munabbih, bahwa seorang laki-laki beribadah pada masa yang panjang. Kemudian, tampak baginya hajat keperluan kepada Allah Ta’ala. Lalu ia bangun berdiri 70 kali Sabtu, di mana ia makan pada setiap Sabtu 11 butir tamar. Kemudian, ia meminta hajat keperluannya. Maka tidak diberikan. Lalu ia kembali kepada dirinya dan berkata: “Dari engkau aku datang. Jikalau ada pada engkau itu kebajikan, niscaya aku berikan akan hajat keperluan engkau”. Maka turunlah kepadanya malaikat, seraya berkata: “Hai anak Adam ! saatmu ini adalah lebih baik daripada ibadahmu yang telah lalu. Dan Allah telah menunaikan hajat keperluan engkau”.
Abdullah bin Qais berkata: “Adalah kami dalam suatu peperangan bagi kami. Lalu datanglah musuh. Lalu diteriakkan pada manusia. Maka bangun berdirilah mereka ke barisan perang pada hari yang sangat deras angin. Tiba-tiba, seorang laki-laki di depanku dan ia berbicara dengan dirinya, dengan mengatakan: “Hai diriku ! apakah tidak aku menyaksikan tempat kesyahidan itu dan itu, lalu engkau mengatakan kepadaku: isteri engkau dan keluarga engkau? lalu aku taati engkau dan aku kembali ? apakah tidak aku menyaksikan tempat kesyahidan itu dan itu ? lalu engkau mengatakan kepadaku isteri engkau dan keluarga engkau ? lalu aku taati engkau dan aku kembali ? demi Allah ! sesungguhnya aku datangkan engkau pada hari ini kepada Allah, mengambil engkau atau meninggalkan engkau. Lalu engkau mengatakan: “Sesungguhnya aku memperhatikan dia pada hari ini !”. Lalu engkau memperhatikannya. Lalu laki-laki itu membawa manusia kepada musuh mereka. Dan adalah dia dalam golongan yang pertama dari mereka. Kemudian, musuh itu dibawa kepada manusia banyak. Maka menampaklah mereka. Maka laki-laki itu ada di tempatnya, sehingga manusia itu menampak beberapa kali. Dan laki-laki itu tetap berperang. Maka demi Allah, senantiasalah yang demikian itu kebiasaannya. Sehingga aku melihatnya terpelanting ke tanah. Lalu aku hitung padanya dan pada kendaraannya 60 atau lebih banyak dari 60 tusukan senjata tajam”.
Telah kami sebutkan berita Abi Thalhah, tatkala hatinya terganggu dalam shalat dengan seekor burung dalam kebunnya. Lalu ia sedekahkan kebunnya sebagai kafarat bagi yang demikian. Bahwa Umar ra memukul dua tapak kakinya dengan cemeti pada setiap malam dan mengatakan: “Apakah yang telah engkau kerjakan hari ini ?”.
Dari Mujamma’ bin Sham-ghan At-Taimi, bahwa ia mengangkatkan kepalanya ke loteng. Lalu jatuh penglihatannya kepada seorang wanita. Maka ia jadikan atas dirinya, bahwa ia tidak akan mengangkatkan kepalanya ke langit selama ia di dunia.
Adalah Al-Ahnaf bin Qais, tidak berpisah dengan lampu di malam hari. Ia meletakkan anak jarinya atas lampu itu dan ia berkata kepada dirinya: “Apakah yang membawa engkau kepada berbuat hari itu, itu ?”. Wahib bin Al-Ward menantang sesuatu atas dirinya. Lalu ia mencabut beberapa helai rambut dadanya. Sehingga bersangatanlah pedihnya. Kemudian ia berkata kepada dirinya: “Celaka engkau ! sesungguhnya aku menghendaki dengan engkau itu kebajikan”.
Muhammad bin Bisyr melihat Daud Ath-Tha-i dan ia memakan ketika berbuka puasa sepotong roti, tanpa garam. Lalu Muhammad bin Bisyr bertanya kepada Daud Ath-Tha-i: “Jikalau engkau memakannya dengan garam ?”. Daud Ath-Tha-i lalu menjawab: “Bahwa diriku mengajak aku kepada garam semenjak setahun yang lalu”. Dan Daud tidaklah merasakan garam selama ia di dunia. Maka begitulah adanya penyiksaan orang-orang yang keras cita-cita bagi dirinya. Dan yang mengherankan, bahwa engkau menyiksakan hamba engkau, yang laki-laki dan yang perempuan, isteri engkau dan anak engkau, atas apa yang timbul dari mereka, dari kejahatan akhlak dan keteledoran pada sesuatu urusan. Dan engkau takut, bahwa jikalau engkau lewatkan saja dari mereka, niscaya keluarlah urusan mereka dari pilihan dan mereka mendurhakai engkau. Kemudian engkau menyia-nyiakan diri engkau sendiri. Dan nafsu diri itu adalah musuh yang terbesar bagi engkau. Yang sangat durhaka atas engkau. Dan melaratnya engkau dari kedurhakaannya itu lebih besar dari melaratnya engkau dari kedurhakaan isteri engkau. Bahwa tujuan mereka ialah mengacaukan atas engkau kehidupan dunia. Jikalau engkau menggunakan akal, niscaya engkau ketahui, bahwa hidup itu hidup akhirat. Bahwa padanya nikmat yang berketetapan, yang tiada berakhir. Dan nafsu diri engkau itu, ialah yang mengeruhkan kepada engkau akan hidup akhirat. Maka itu dengan siksa-menyiksakan adalah lebih utama dari lainnya.
AL-MURABATHAH KELIMA: al-mujahadah.
Yaitu, bahwa apabila hamba itu memperhitungkan akan dirinya, maka dilihatnya telah berpisah dengan perbuatan maksiat. Maka seyogyalah bahwa ia menyiksakan diri itu dengan siksaan-siksaan yang telah berlalu. Dan jikalau dilihatnya datang dengan lambat-lambat, dengan adanya kemalasan pada sesuatu dari perbuatan-perbuatan utama atau salah satu dari perbuatan-perbuatan wirid, maka seyogyalah bahwa ditunaikannya dengan memberatkan wirid-wirid atas dirinya dan diharuskannya, merupakan beberapa macam dari tugas-tugas, untuk penampalan bagi apa yang telah luput daripadanya dan memperoleh kembali bagi apa yang telah hilang. Maka begitulah adanya berbuat orang-orang yang mengerjakan amalan bagi Allah Ta’ala.
Umar bin Al-Khattab menyiksakan dirinya, ketika luput baginya shalat Ashar dalam berjama’ah, dengan menyedekahkan tanah yang menjadi kepunyaannya, yang harganya 200 ribu dirham. Adalah Ibnu Umar apabila luput baginya suatu shalat dalam berjama’ah, niscaya ia hidupkan (dengan beribadah) malam itu. Dan diriwayatkan; bahwa ia mengemudiankan malam bagi shalat Maghrib, sehingga terbitlah dua bintang, maka Ibnu Umar memerdekakan dua orang budak.
Luput 2 rakaat fajar bagi Ibnu Abi Rabi’ah, lalu ia memerdekakan seorang budak. Dan sebahagian mereka menjadikan atas dirinya puasa setahun atau mengerjakan hajji dengan berjalan kaki atau bersedekah dengan semua hartanya. Semua yang demikian itu adalah murabathah bagi diri dan penyiksaan baginya, dengan yang melepaskannya dari kebinasaan abadi. Kalau anda bertanya: “Jikalau adalah diriku tidak mematuhi aku kepada mujahadah dan muwadhabah (rajin) kepada wirid-wirid, maka apakah jalan mengobatinya ?”. Aku menjawab: “Jalan anda pada yang demikian itu, ialah bahwa anda perdengarkan kepada diri anda, akan apa yang datang dari Nabi saw pada hadits-hadits dari kelebihan orang-orang yang bersungguh-sungguh (al-mujtahidin). Dan sebahagian dari sebab-sebab pengobatan yang lebih bermanfaat, ialah: bahwa anda mencari teman dengan seseorang dari hamba Allah, yang bersungguh-sungguh pada beribadah. Maka anda perhatikan segala perkataannya dan anda ikuti dia”.
Adalah sebahagian mereka mengatakan: “Adalah aku, apabila menimpa atas diriku oleh kekosongan pada ibadah, niscaya aku memandang kepada hal keadaan Muhammad bin Wasi’ dan kepada kesungguhannya. Maka aku berbuat atas yang demikian selama seminggu. Hanya, bahwa pengobatan ini sungguh sukar sekarang. Karena telah tidak ada pada zaman ini, orang yang bersungguh-sungguh pada beribadah, sebagaimana kesungguhan orang-orang dahulu. Maka seyogyalah bahwa dialihkan dari penyaksian kepada mendengar. Maka tiada suatupun yang lebih bermanfaat, daripada mendengar hal keadaan mereka, membaca berita-berita mengenai mereka dan apa yang ada pada mereka, dari kesungguhan yang sangat menyungguhkan. Dan telah berlalu kepayahan mereka dan tinggallah pahala dan kenikmatan mereka yang abadi, yang tiada akan putus-putus. Alangkah besarnya kepunyaan mereka ! alangkah sangatnya penyesalan orang yang tiada mengikuti mereka ! ia menyenangkan dirinya pada hari-hari yang sedikit dengan nafsu syahwat yang keruh. Kemudian, ia didatangi oleh mati dan didindingkan diantara dia dan setiap apa yang dirinduinya untuk selama-lamanya. Kita berlindung dengan Allah Ta’ala dari yang demikian.
Kami kemukakan dari sifat-sifat orang yang bersungguh-sungguh itu dan kelebihan-kelebihan mereka akan apa yang mengerakkan kegemaran murid pada bersungguh-sungguh, lantaran mengikuti mereka. Maka Rasulullah saw bersabda: “Dianugerahkan rahmat oleh Allah akan beberapa kaum yang diperkirakan oleh manusia, bahwa mereka itu sakit. Dan sebenarnya mereka itu tidak sakit”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Mereka itu disungguhkan oleh ibadah”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya, dengan hatinya yang takut (kepada Allah)”. S 23 Al Mukminuun ayat 60. Berkata Al-Hasan: “Mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan dari amal perbuatan kebajikan. Dan mereka takut bahwa yang demikian itu tidak melepaskan mereka dari azab Allah”.
Rasulullah saw bersabda: “Amat baiklah bagi siapa yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya: “Apakah keadaan hamba-hambaKu yang bersungguh-sungguh ?”. Para malaikat itu menjawab: “Wahai Tuhan kami ! engkau takutkan mereka akan sesuatu, maka mereka takut kepadanya. Dan Engkau rindukan mereka kepada sesuatu, maka mereka rindu kepadanya”. Maka berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Maka bagaimana jikalau hamba-hambaKu melihat akan Aku, niscaya adalah mereka itu lebih bersangatan kesungguhan”.
Al-Hasan Al-Bshari berkata: “Aku mendapati beberapa kaum dan aku berteman dengan beberapa golongan dari mereka. Tiadalah mereka itu bergembira dengan sesuatu dari dunia yang menghadap dan tiadalah mereka itu merasa sedih atas sesuatu daripadanya yang membelakang. Sesungguhnya dunia itu adalah lebih hina pada mata mereka, dari tanah ini yang kamu injak dengan kaki kamu. Jikalau seseorang dari mereka, untuk hidup umurnya semuanya, niscaya tidaklah terlipatkan baginya sehelai kain. Tidaklah disuruhkan isterinya sekali-kali dengan membikin makanan. Dan tidak dijadikan sekali-kali akan sesuatu diantara dia dan bumi. Aku dapati mereka itu berbuat menurut Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka. Apabila datanglah kegelapan malam bagi mereka, maka mereka berdiri dengan kaki mereka mengerjakan shalat. Mereka menghamparkan muka mereka dengan sujud. Air mata mereka mengalir atas pipi mereka. Mereka  membisikkan segala isi hati dengan Tuhan mereka pada melepaskan leher mereka. Apabila mereka mengerjakan kebaikan, niscaya mereka bergembira dengan kebaikan itu. Dan menjadi kebiasaan mereka mensyukurinya. Dan mereka bermohon pada Allah, bahwa menerimanya. Dan apabila mereka mengerjakan kejahatan, niscaya kejahatan itu menggundahkan mereka. Mereka bermohon pada Allah, bahwa Ia mengampunkan mereka daripadanya. Demi Allah ! senantiasalah mereka itu seperti yang demikian dan di atas yang demikian. Demi Allah ! senantiasalah mereka itu seperti yang demikian dan di atas yang demikian. Demi Allah ! mereka tiada selamat dari dosa dan mereka tiada terlepas, selain dengan ampunan”.
Diceritakan, bahwa suatu kaum masuk ke tempat Umar bin Abdul-‘aziz, dimana mereka itu mengunjunginya pada sakitnya. Tiba-tiba dalam kalangan mereka itu ada seorang pemuda, yang kurus badannya. Lalu Umar bertanya kepadanya: “Hai pemuda ! apakah yang sampai dengan engkau, akan apa yang aku lihat ?”. Pemuda itu menjawab: “Hai Amirul-mu’minin ! penyakit-penyakit dan sakit-sakit”. Umar bin Abdul-‘aziz lalu berkata: “Aku tanyakan engkau dengan nama Allah, melainkan engkau membenarkan aku”. Anak muda itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! aku rasakan kemanisan dunia, maka aku mendapati nya pahit. Kecil padaku hiasannya dan manisnya. Bersamaan padaku, emasku dan batunya. Dan seakan-akan aku memandang kepada ‘Arasy Tuhanku dan manusia dihalau ke sorga dan neraka. Maka hauslah aku bagi yang demikian akan siangku dan tidak tidurlah aku akan malamku. Sedikit yang hina akan setiap apa yang aku padanya, pada pihak pahala Allah dan siksaanNya”.
Abu Na’im berkata: “Adalah Daud Ath-Tha-i meminum roti yang dihancurkan dalam air dan ia tidak memakan roti. Lalu ditanyakan kepadanya yang demikian. Maka ia menjawab: “Diantara mengunyahkan roti dan meminum yang dihancurkan dalam air itu bacaan 50 ayat”. Pada suatu hari masuklah seorang laki-laki ke tempat Daud Ath-Tha-i, lalu laki-laki itu bertanya: “Bahwa pada atap rumah engkau itu ada batang tamar yang pecah”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Hai anak saudaraku ! bahwa bagiku dalam rumah ini semenjak 20 tahun yang lalu, tidak pernah aku melihat ke atap”. Adalah mereka itu benci kepada pandangan yang tidak perlu, sebagaimana mereka itu benci kepada pembicaraan yang tidak perlu.
Muhammad bin Abdul-‘aziz berkata: “Kami duduk di depan Ahmad bin Razin dari pagi sampai ‘Ashar. Ia tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka ia menjawab: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan dua mata, supaya hamba melihat dengan keduanya itu kepada keagungan Allah Ta’ala. Maka setiap orang yang memandang, dengan tidak mengambil ibarat, niscaya dituliskan atasnya kesalahan”.
Berkata isteri Masruq Al-Hamdani: “Tidaklah didapati Masruq, selain kedua betisnya bengkak dari lamanya shalat”. Isterinya itu berkata lagi: “Demi Allah! jikalau adalah aku itu duduk di belakangnya, maka aku akan menangis, karena kasihan kepadanya”.
Abud-Darda’ berkata: “Jikalau tidaklah 3 perkara, maka aku tidak menyukai hidup satu haripun: haus karena Allah pada hari yang amat panas, sujud karena Allah di tengah malam dan duduk-duduk dengan kaum yang mereka itu membersihkan dengan perkataan yang baik, sebagaimana dibersihkan buah-buahan yang baik”. Adalah Al-Aswad bin Yazid bersungguh-sungguh pada ibadah. Ia berpuasa pada hari panas, sehingga hijau dan kuning tubuhnya. Maka ‘Al-qamah bin Qais bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menyiksakan diri engkau ?”. Lalu Al-Aswad bin Yazid menjawab: “Aku kehendaki akan kemuliaannya diri”. Adalah Al-Aswad bin Yazid itu berpuasa, sehingga hijau tubuhnya. Dan ia mengerjakan shalat sehingga ia jatuh. Maka masuklah ke tempatnya Anas bin Malik dan Al-Hasan. Lalu keduanya berkata kepada Al-Aswad bin Yazid: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla tidak menyuruh engkau dengan semua ini”. Maka Al-Aswad bin Yazid menjawab: “Sesungguhnya aku hamba yang dimiliki orang. Tidak aku tinggalkan dari ketundukan akan sesuatu, melainkan aku datang kepadanya”. Sebahagian orang yang bersungguh-sungguh (al-mujtahidin) itu mengerjakan shalat setiap hari 1000 rakaat, sehingga ia mendudukkan dari kedua kakinya. Maka ia mengerjakan shalat dengan duduk 1000 rakaat. Apabila ia mengerjakan shalat ‘Ashar, niscaya ia berihtiba’ (duduk dengan membelikan kain dari pinggang ke lutut). Kemudian ia mengatakan: “Aku heran bagi makhluk, bagaimana ia menghendaki dengan Engkau akan ganti dari Engkau ! aku heran bagi makhluk, bagaimana ia berjinak-jinakan dengan selain Engkau ! bahkan aku heran bagi makhluk, bagaimana bersinar hatinya dengan menyebutkan selain Engkau !’.
Adalah Tsabit Al-Bannani telah begitu mencintai shalat. Ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jikalau Engkau izinkan bagi seseorang bahwa mengerjakan shalat bagi Engkau dalam kuburnya, maka izinkanlah bagiku bahwa aku mengerjakan shalat dalam kuburku”.
Al-Junaid berkata: “Tidaklah aku melihat yang lebih kuat beribadah, dari As-Sirri. Datang kepadanya 98 tahun dari umurnya, maka dia tidak terlihat berbaring, selain dalam sakit yang membawanya wafat”.
Al-Harits bin Sa’ad berkata: “Suatu kaum melalui di tempat seorang pendeta Yahudi. Maka kaum itu melihat apa yang diperbuat oleh pendeta itu dengan dirinya, dari kesangatan kesungguhannya beribadah. Lalu kaum itu memperkatakannya pada yang demikian. Maka pendeta itu menjawab: “Dan tidaklah ini pada apa, yang dikehendaki dengan makhluk dari menjumpai huru-hara dan mereka itu lalai ! sungguh mereka itu berhenti di atas keberuntungan diri mereka. Dan mereka itu lupa akan keberuntungan mereka yang terbesar dari Tuhan mereka”. Maka kaum itu menangis sampai kepada yang terakhir dari mereka.
Dari Abi Muhammad Al-Maghazili, yang berkata: “Bertetangga Abu Muhammad Al-Hariri dengan Makkah setahun. Ia tidak tidur, tidak berkata-kata dan tidak bersandar kepada tiang dan tidak kepada dinding. Dan ia tidak memanjangkan kedua kakinya. Lalu lewatlah kepadanya Abubakar Al-Kattani. Maka ia memberi salam kepada Abu Muhammad Al-Hariri dan berkata: “Hai Abu Muhammad ! dengan apa engkau sanggup atas i’tikaf (duduk berhenti untuk ibadah)mu ini ?”. Abu Muhammad Al-Hariri menjawab: “Ilmu benarnya batinku, maka ia menolong aku atas zahirku”. Abubakar Al-Kattani lalu menundukkan kepala dan berjalan dengan bertafakkur. Dari sebahagian mereka, yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Fathul-Maushuli. Maka aku melihat dia memanjangkan (membuka) dua tapak tangannya menangis. Sehingga aku melihat air mata berderai diantara anak-anak jarinya. Lalu aku mendekatinya. Tiba-tiba kelihatan air matanya telah bercampur berwarna kuning. Lalu aku bertanya: “Demi Allah, hai Fathu, mengapa engkau tangisi darah ?”. Fathul-Maushuli menjawab: “Jikalau tidaklah engkau bersumpah dengan aku atas nama Allah, niscaya tidak aku terangkan kepada engkau. Benar, aku tangisi darah”. Lalu aku bertanya lagi: “Atas dasar apa engkau tangisi air mata ?”. Maka Fathul-Maushuli menjawab: “Atas tertinggalnya aku dari kewajiban akan hak Allah Ta’ala. Dan aku tangisi darah atas air mata, supaya tidaklah ada, apa yang shah bagiku air mata itu”. Yang punya cerita itu meneruskan ceritanya: “Maka aku mimpikan Fathul-Maushuli sesudah wafatnya. Maka aku bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?”. Fathul-Maushuli menjawab: “Allah Ta’ala mengampunkan aku”. Lalu aku bertanya lagi: “Apa yang diperbuat Allah Ta’ala pada air mata engkau ?”. Fathul-Maushuli menjawab: “Aku didekatkan oleh Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Dan IA berfirman kepadaku: “Hai Fathu ! air mata atas apa ? Aku menjawab: “Hai Tuhanku ! atas teringgalnya aku dari kewajiban hakMu ?”. Maka Allah bertanya: “Dan darah itu atas apa ?”. Aku menjawab: “Atas air mataku, bahwa tidak shahlah dia bagiku”. Maka Ia bertanya kepadaku: “Hai Fathu ! apakah yang engkau kehendaki dengan ini semua ? demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! telah naiklah dua malaikat yang menjaga engkau 40 tahun, dengan lembaran amalmu, yang tidak ada padanya kesalahan”.
Dikatakan, bahwa suatu kaum bermaksud hendak berjalan jauh. Lalu mereka menyimpang dari jalan. Maka sampailah mereka kepada seorang pendeta Yahudi, yang bersendirian dari manusia. Lalu mereka memanggil pendeta itu. Maka ia mendekati kepada mereka dari kelentengnya. Mereka itu berkata: “Hai pendeta ! bahwa kami telah salah jalan. Maka bagaimanakah jalan itu ?”. Maka pendeta itu mengisyaratkan dengan kepalanya ke langit. Maka tahulah kaum itu apa yang dikehendaki oleh pendeta tersebut. Kaum itu lalu berkata: “Hai pendeta ! bahwa kami adalah penanya kepada engkau. Maka adakah engkau penjawab bagi kami ?”. Pendeta itu maka berkata: “Tanyalah dan jangan engkau membanyakkan pertanyaan ! bahwa siang itu tiada akan kembali dan umur itu tiada akan berulang lagi. Dan orang yang mencari itu bersegera pada yang dicarinya ?”. Kaum itu tercengang dari perkataannya. Lalu mereka itu bertanya: “Hai pendeta ! atas apa makhluk itu besok pada Yang Memilikinya ?”. Pendeta itu menjawab: “Diatas niat mereka”. Lalu mereka berkata lagi: “Berilah nasehat kepada kami!”. Pendeta itu menjawab: “Siapkanlah perbekalan di atas kadar perjalananmu ! bahwa perbekalan yang baik, ialah apa yang menyampaikan kepada tujuan”. Kemudian, pendeta itu menunjukkan jalan kepada mereka. Dan ia memasukkan kepalanya dalam kelentengnya.
Abdul-wahid bin Zaid berkata: “Aku lalu di suatu kelenteng salah seorang pendeta Cina. Lalu aku memanggilnya: “Hai pendeta !”. Maka ia tidak menyahut panggilanku. Lalu aku panggilkan dia kali kedua. Juga ia tidak menyahut akan panggilanku. Maka aku memanggil dia kali ketiga. Lalu ia mendekati aku dan berkata: “Hai orang ini ! tidaklah aku ini pendeta. Sesungguhnya pendeta, ialah orang yang takut akan Allah pada ketinggianNya, mengagungkan akan Allah pada kebesaranNya, sabar atas percobaanNya, ridha dengan qodoNya, memujikanNya atas segala nikmatNya, bersyukur atas nikmat-nikmatNya, merendahkan diri karena kebesaranNya, merasa hina diri, karena kemuliaanNya, menyerah bagi qudrah ( kuasa )Nya, tunduk karena kehebatanNya dan berfikir pada al-hisab dan siksaanNya. Maka siangnya ia berpuasa dan malamnya ia berdiri menegakkan shalat. Membawa ia tidak tidur oleh ingatan kepada neraka dan pertanyaan Tuhan Yang Maha Perkasa. Maka yang demikian itulah yang dikatakan pendeta ! adapun aku ini, maka adalah anjing yang melukakan. Aku tahan diriku dalam kelenteng ini, dari manusia. Supaya aku tidak melukakan mereka”. Lalu aku bertanya: “Hai pendeta ! apakah yang memutuskan makhluk dari Allah sesudah mereka mengenalNya ?”. Pendeta itu menjawab: “Hai saudaraku ! tidaklah yang memutuskan makhluk dari Allah, selain oleh cinta dunia dan perhiasannya. Karena dunia itu tempat maksiat dan dosa. Dan orang yang berakal, ialah orang yang melemparkan dunia dari hatinya. Ia bertaubat kepada Allah Ta’ala dari dosanya. Dan ia menghadap kepada yang mendekatkannya kepada Tuhannya”.
Ditanyakan Daud Ath-Tha-i: “Jikalau engkau sisirkan janggut engkau ?”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Jadi aku ini mempunyai kekosongan waktu ?”.
Adalah Uwais Al-Qarani berkata: “Inilah malam ruku !”. Maka ia hidupkan malam seluruhnya dalam ruku’. Apabila pada malam mendatang, maka ia berkata: “Inilah malam sujud !”. Maka ia hidupkan malam seluruhnya dalam sujud.
Dikatakan, tatkala bertaubat ‘Utbah Al-Ghallam: “Adalah dia tidak merasa puas dengan makan dan minum”. Maka bertanya ibunya kepadanya: “Jikalau engkau berteman dengan diri engkau ?”. ‘Utbah Al-Ghallam menjawab: “Berteman itu aku cari. Biarkanlah aku letih sedikit dan aku bersenang-senang lama”.
Masruq Al-Hamdani itu naik hajji. Maka ia tidak tidur sekali-kali, selain ia bersujud.
Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Ketika pagi hari, kaum itu memuji orang yang bermusafir malam hari dan ketika mati kaum itu memuji orang yang taqwa”.
Berkata Abdullah bin Daud: “Adalah salah seorang mereka, apabila telah sampai 40 tahun, niscaya ia lipatkan tikarnya”. Artinya: ia tidak tidur sepanjang malam.
Adalah Kahmas bin Al-Hasan mengerjakan shalat setiap hari 1000 rakaat. Kemudian ia mengatakan kepada dirinya: “Bangunlah, hai tempat setiap kejahatan !”. Tatkala ia telah lemah, maka ia singkatkan atas 500 rakaat. Kemudian ia menangis dan berkata: “Telah hilang setengah amalku”.
Adalah anak perempuan Ar-Rabi’ bin Khaitsam bertanya kepada Ar-Rabi’: “Hai ayahku ! apakah kiranya aku melihat manusia itu tidur dan ayah tidak tidur?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Hai anakku ! bahwa ayahmu itu takut akan serangan atas musuh pada malam hari”. Tatkala ibu Ar-Rabi’ melihat apa yang ditemui oleh Ar-Rabi’ dari menangis dan tidak tidur malam, lalu ibu itu memanggil Ar-Rabi’: “Hai anakku ! mungkin engkau membunuh akan seorang yang terbunuh?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Ya benar, wahai ibuku !”. Ibunya lalu bertanya: “Siapa orang itu ? supaya kita minta maaf pada keluarganya. Lalu ia memaafkan engkau. Demi Allah ! jikalau mereka tahu, apa yang engkau kerjakan, niscaya mereka sayang kepada engkau. Dan mereka akan memaafkan engkau”. Ar-Rabi’ lalu menjawab: “Hai ibuku ! dia itu diriku !”.
Dari Umar –anak saudara perempuan Bisyr bin Al-Harits, berkata: “Aku mendengar pamanku Bisyr bin Al-Harits mengatakan kepada ibuku: “Hai saudaraku perempuan ! ronggaku dan rusuk-rusukku itu memukul atasku”. Lalu ibuku berkata kepadanya: “Hai saudaraku ! engkau izinkan bagiku, sehingga aku buat yang lebih baik bagi engkau sedikit sup dengan segenggam tepung padaku, yang engkau akan menghirupnya, yang membaikkan rongga engkau”. Bisyr bin Al-Harits berkata kepada ibu Umar itu: “Susah ! aku takut bahwa orang bertanya: darimana tepung ini bagi engkau. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan kepada orang itu”. Maka ibuku menangis dan Bisyr bin Al-Harits menangis bersama ibu dan aku menangis pula bersamanya”. Umar meneruskan riwayatnya: “Ibuku melihat akan keadaan Bisyr dengan sangat lapar. Ia bernafas dengan nafas yang lemah. Lalu ibuku berkata kepadanya: “Hai saudaraku ! kiranya ibumu tidak melahirkan aku. Demi Allah ! telah putus-putus jantungku, dari apa, yang aku lihat padamu”. Lalu aku mendengar Bisyr berkata kepada ibu: “Aku, kiranya ibuku tidak melahirkan aku ! dan karena ia telah melahirkan aku, kiranya tidak diberikannya susunya kepadaku”. Umar meneruskan riwayatnya: “Adalah ibuku menangis atas keadaan Bisyr malam dan siang”.
Ar-Rabi’ berkata: “Aku datang kepada Uwais, lalu aku dapati dia itu duduk, lalu aku duduk. Maka aku berkata, bahwa aku tidak menganggukannya dari bertasbih. Maka ia menetap pada tempatnya, sehingga ia mengerjakan shalat Dhuhur. Kemudian, ia bangun berdiri mengerjakan shalat, sehingga ia bershalat ‘Ashar. Kemudian, ia duduk pada tempatnya, sehingga ia bershalat Maghrib. Kemudian, ia menetap pada tempatnya, sehingga ia bershalat ‘Isya. Kemudian, ia menetap pada tempatnya, sehingga ia bershalat Shubuh. Kemudian, ia duduk. Lalu ia dikerasi oleh dua matanya (untuk tidur). Maka ia berdoa: “Hai Allah Tuhanku ! bahwa aku berlindung dengan Engkau dari mata yang sangat tidur dan dari perut yang tidak kenyang !”. Maka aku berkata: “Mencukupilah ini bagiku daripadanya ! kemudian aku kembali”.
Seorang laki-laki memandang kepada Uwais, lalu bertanya: “Hai ayah Abdullah ! apakah kiranya, bahwa aku melihat engkau seakan-akan sakit ?”. Uwais lalu menjawab: “Apakah bagi Uwais bahwa ia tidak sakit ? diberi makanan orang sakit dan Uwais tidak makan. Dan tidur orang sakit dan Uwais tidak tidur”. Berkata Ahmad bin Harb: “Wahai heran kiranya, bagi orang yang mengetahui bahwa sorga itu menghiaskan di atasnya dan neraka itu memanaskan di bawahnya. Maka bagaimana orang itu dapat tidur diantara keduanya ?”. Seorang laki-laki dari orang-orang yang kuat beribadah berkata: “Aku datang kepada Ibrahim bin Adham. Maka aku dapati dia itu sudah bershalat ‘Isya. Lalu aku duduk memperhatikannya. Ia membalutkan dirinya dengan baju kurung panjang. Kemudian ia merebahkan dirinya. Maka ia tidak berbalik dari lembung ke lembung pada malam itu seluruhnya, sehingga terbit fajar dan azan oleh juru azan. Lalu ia melompat kepada shalat dan ia tidak mengambil wudhu’. Maka meresaplah yang demikian dalam dadaku. Lalu aku berkata kepadanya: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau ! engkau telah tidur malam seluruhnya dengan berbaring, kemudian engkau tidak membarukan wudhu’ ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Adalah aku malam ini seluruhnya berjalan di kebun-kebun sorga beberapa ketika dan di lembah-lembah neraka beberapa ketika. Maka adalah pada yang demikian itu tidur ?”.
Tsabit Al-Bannani berkata: “Aku mendapati beberapa orang laki-laki. Salah seorang dari mereka itu mengerjakan shalat. Lalu ia lemah dari datang ke tempat tidurnya, selain dengan merangkak”.
Dikatakan, bahwa Abubakar bin ‘Ayyasy tetap di tempatnya 40 tahun, dimana ia tidak meletakkan lembungnya di atas tempat tidur. Dan turunlah air pada salah satu dua matanya. Maka tetap di tempatnya 20 tahun, yang tidak diketahui oleh keluarganya.
Dikatakan, bahwa adalah wirid Samnun pada setiap hari 500 rakaat. Dan dari Abubakar Al-Muthawwa’i, yang mengatakan: “Adalah wiridku pada masa mudaku setiap hari dan malam, dimana aku membaca padanya: Qul huwal-laahu ahad sebanyak 31 ribu kali atau 40 ribu kali –ragu perawi tentang jumlahnya.
Adalah Manshur bin Al-Mu’tamir, apabila aku melihatnya, maka aku mengatakan: “Seorang laki-laki yang tertimpa dengan suatu musibah, pecah mata, rendah suara, basah kedua matanya. Bahwa gerakannya itu datanglah kedua matanya dengan 4. Telah berkata ibunya kepadanya: “Apakah ini yang engkau perbuat dengan diri engkau ? engkau menangis malam seumumnya, tiada engkau diam ! mungkin engkau hai anakku, engkau mendapat musibah pada diri. Dan mungkin engkau membunuh seorang yang terbunuh”. Manshur bin Al-Mu’tamir itu menjawab: “Aku lebih mengetahui dengan apa yang aku perbuat dengan diriku”.
Ditanyakan kepada ‘Amir bin Abdullah: “Bagaimana sabarnya engkau atas tidak tidur malam dan haus pada siangnya yang panas ?”. ‘Amir bin Abdullah menjawab: “Adakah itu, selain bahwa aku mengalihkan makanan siang kepada malam dan tidur malam kepada siang. Dan tidak adalah pada yang demikian itu urusan yang berbahaya”.
Adalah Amir bin Abdullah itu berkata: “Tidaklah aku melihat seperti sorga, yang tidur pencarinya. Dan tidaklah seperti neraka, yang tidur orang yang lari daripadanya”.
Adalah Amir bin Abdullah apabila datang malam, maka ia berkata: “Kepanasan neraka itu menghilangkan tidur”. Maka ia tidak tidur, sehingga datang waktu subuh. Apabila datang siang, maka ia mengatakan: “Kepanasan api neraka menghilangkan tidur”. Maka ia tidak tidur, sehingga datang waktu sore. Maka apabila datang malam, lalu ia berkata: “Siapa yang takut, niscaya berjalan malam. Dan ketika pagi, kaum itu memujikan orang yang bermusafir malam hari”. Sebahagian mereka itu berkata: “Aku menemani Amir bin Al-Qais selama 4 bulan. Maka aku tiada melihatnya ia tidur di malam hari dan siangnya”.
Diriwayatkan dari seorang laki-laki dari shahabat Ali bin Abi Thalib ra, bahwa laki-laki itu berkata: “Aku bershalat di belakang Ali ra shalat fajar. Maka tatkala ia telah memberi salam, melilitlah di kanan dan di atasnya kegundahan. Maka ia berhenti duduk di tempatnya, sehingga terbit matahari. Kemudian, ia membalikkan tangannya dan berkata: “Demi Allah ! sesungguhnya aku telah melihat para shahabat Muhammad saw dan tiadalah aku melihat pada hari ini akan sesuatu yang menyerupai dengan mereka. Para sahabat itu berpagi hari dengan rambut yang kusut-musut, berdebu, berwajah pucat. Mereka bermalam hari karena Allah, dengan sujud dan berdiri menegakkan shalat. Mereka membaca Kitab Allah. Mereka itu bergiliran antara tapak kaki mereka untuk berdiri bagi shalat dan dahi mereka untuk sujud. Adalah mereka itu, apabila menyebut (berdzikir) akan Allah, niscaya mereka bergoncang badannya, sebagaimana bergoncangnya pohon kayu pada hari angin. Dan berhamburanlah air mata mereka, sehingga basah kain mereka. Seakan-akan kaum itu bermalam dalam keadaan yang lalai. Yakni: orang yang ada di sekelilingnya”.
Adalah Abu Muslim Al-Khaulani menggantungkan cambuk dalam masjid rumahnya untuk menakutkan dirinya. Ia mengatakan kepada dirinya: “Bangunlah! maka demi Allah ! aku akan merangkak dengan engkau, dengan rangkak, sehingga adalah kepenatan itu dari engkau, tidak daripada aku”. Apabila telah masuk waktu kekosongan, niscaya ia mengambil cambuknya dan dipukulnya pahanya, seraya berkata: “Engkau lebih utama dengan pukulan, daripada binatang kendaraanku”. Ia mengatakan: “Adakah disangkakan oleh para sahabat Muhammad saw bahwa mereka mengambil untuk dirinya dengan yang demikian, tidak kita ? demi Allah, sekali-kali tidak ! kita sesungguhnya mendesak mereka kepadanya, dengan desakan, sehingga mereka itu tahu, bahwa mereka telah meninggalkan di belakang mereka beberapa orang”.
Adalah Shafwan bin Salim telah bersampul kedua betisnya dari lamanya berdiri untuk shalat. Dan sampailah dari kesungguhannya, bahwa jikalau dikatakan baginya: berdiri besok, niscaya ia tidak mendapat akan ketambahan. Adalah Shafwan bin Salim apabila datang musim dingin, niscaya ia berbaring di atas atap, supaya ia dipukul oleh kedinginan. Dan apabila pada musim panas, niscaya ia berbaring di dalam rumah, supaya diperolehnya kepanasan. Lalu ia tidak tidur. Dia meninggal dunia dan dia sedang sujud. Adalah ia berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! sesungguhnya aku menyukai bertemu dengan Engkau, maka sukailah bertemu dengan aku !”.
Al-Qasim bin Muhammad berkata: “Pada suatu hari aku berjalan, pagi-pagi. Dan aku apabila berjalan pagi-pagi, niscaya aku mulai kepada ‘Aisyah. Aku memberi salam kepadanya. Maka pada suatu hari aku berjalan pagi-pagi kepadanya. Tiba-tiba dia sedang mengerjakan shalat Dhuha. Dan ia membaca ayat: “Maka Allah memberikan kurnia kepada kita dan memelihara kita dari siksaan angin yang amat panas”. S 52 Ath Thuur ayat 27. ‘Aisyah itu menangis dan berdoa serta ia ulang-ulangi ayat tersebut. Lalu aku bangun berdiri, sehingga aku jemu. Dan dia seperti yang demikian terus. Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pergi ke pasar. Dan aku mengatakan: “Aku selesai dari keperluanku. Kemudian aku kembali”. Lalu aku selesai dari keperluanku. Kemudian, aku kembali. Dan ‘Aisyah seperti yang demikian terus. Ia mengulang-ulangi ayat itu. Ia menangis dan berdoa”.
Muhammad bin Ishak berkata: “Tatkala datang kepada kami Abdurrahman bin Al-Aswad dalam rangka menunaikan ibadah hajji, maka sakitlah salah satu tapak kakinya. Lalu ia bangun berdiri mengerjakan shalat di atas satu tapak kaki. Sehingga ia mengerjakan shalat Shubuh dengan wudhu’ Isya”. Sebahagian mereka itu berkata: “Tiada aku takut kepada mati, selain dari segi, bahwa mati itu menghalangi antara aku dan bangun malam mengerjakan shalat”.
Berkata Ali bin Abi Thalib ra: “Tanda orang-orang shalih itu, ialah: pucat warnanya dari tidaknya tidur malam, kabur mata serta meleleh airnya dari menangis dan pucat bibirnya dari karena puasa. Pada mereka itu debu orang-orang yang khusyu”.
Ditanyakan kepada Al-Hasan Al-Bashari : “Apakah halnya orang-orang yang mengerjakan shalat tahajjud, dimana mereka adalah manusia yang tercantik wajahnya ?”. Al-Hasan Al-Bashari  menjawab: “Karena mereka itu berkhilwah dengan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka Ia memberikan mereka pakaian nur dari nurNya”.
Adalah Amir bin Abdul-qais berdoa: “Tuhanku ! Engkau jadikan aku dan Engkau tidak bermusyawarah dengan aku. Engkau mematikan aku dan Engkau tidak memberitahukan aku. Engkau jadikan bersamaku itu musuh dan Engkau jadikan dia berjalan padaku pada tempat berjalannya darah. Engkau jadikan dia melihatku dan aku tidak melihat dia. Kemudian, Engkau berfirman kepadaku: “Pegang-teguhlah !”. Hai Tuhanku ! bagaimana aku berpegang-teguh, jikalau Engkau tidak memegang aku ? hai Tuhanku ! dalam dunia itu kesusahan dan kegundahan. Dan di akhirat itu siksaan dan hitungan amal. Maka dimanakah kesenangan dan kegembiraan ?”.
Ja’far bin Muhammad berkata: “Adalah ‘Utbah Al-Ghallam menghabiskan malam dengan 3 pekikan. Adalah dia apabila telah mengerjakan shalat 1/3 malam (al-‘atamah), niscaya ia meletakkan kepalanya diantara dua lututnya bertafakkur. Maka apabila telah berlalu 1/3 malam, niscaya ia memekik sekali. Kemudian, ia meletakkan kepalanya diantara dua lututnya bertafakkur. Maka apabila telah berlalu malam pertiga kedua, niscaya ia memekik sekali. Kemudian, ia meletakkan kepalanya diantara dua lututnya bertafakkur. Maka apabila datang waktu sahur, niscaya ia memekik sekali”.
 Ja’far bin Muhammad berkata: “Maka aku bicarakan tentang Utbah Al-Ghallam dengan sebahagian orang-orang Basrah, lalu orang itu menjawab: “Janganlah engkau pandang kepada pekikannya. Akan tetapi, pandanglah kepada apa yang ada padanya, diantara dua pekikan itu, sehingga ia memekik lagi”.
Dari Al-Qasim bin Rasyid Asy-Syaibani, yang mengatakan: “Adalah Zam’ah Al-Yamani bertempat pada kami di Al-Mahshab (suatu tempat dekat Makkah). Ia mempunyai isteri dan anak-anak perempuan. Adalah ia bangun malam, lalu mengerjakan shalat sepanjang malam. Apabila tiba waktu sahur, ia berseru dengan setinggi-tinggi suaranya: “Hai orang-orang yang berkendaraan, yang berpesta kawin ! adakah seluruh malam ini engkau tidur ? apakah kamu tidak bangun, lalu pergi berjalan ?”. Lalu mereka itu berlompatan. Maka terdengarlah di sini orang menangis. Di sana orang berdoa. Disitu orang membaca Alquran dan disana orang mengambil wudhu’. Maka apabila telah terbit fajar, lalu ia berseru dengan setinggi-tinggi suaranya: “Dan ketika shubuh, kaum itu memujikan akan orang yang bermusafir malam hari”. Sebahagian hukama’ berkata: “Bahwa bagi Allah itu mempunyai hamba-hamba, yang dianugerahkan nikmat kepada mereka. Maka mereka mengenalNya. Ia melapangkan dada mereka. Maka mereka mentaatiNya. Dan mereka bertawakkal kepadaNya. Maka mereka menyerahkan makhluk dan urusan kepadaNya. Lalu jadilah hati mereka itu tempat barang tambang bagi kemurnian yakin, rumah bagi ilmu hikmat, peti bagi kebesaran dan gudang bagi qudrah (kemampuan). Maka mereka diantara makhluk itu yang menghadap dan membelakang. Hati mereka berkeliling di alam al-malakut dan bersenang-senang dengan yang terdinding bagi Yang Maha Ghaib. Kemudian, ia kembali dan bersamanya golongan-golongan dari faedah-faedah yang halus dan yang tidak memungkinkan bagi orang yang menyifatkan, bahwa akan menyifatkannya. Mereka dalam batiniyah urusannya adalah seperti kain sutera yang bagus. Dan mereka pada zahiriyahnya adalah sapu tangan-sapu tangan yang diberikan kepada orang, yang menghendaki mereka itu merendahkan diri”. Inilah jalan yang tidak sampai kepadanya dengan memberatkan diri. Dan itu adalah kurnia Allah yang dianugerahkanNya kepada siapa yang dikehendakiNya.
Sebahagian orang-orang shalih berkata: “Sewaktu aku berjalan pada sebahagian bukit-bukit Baitul-maqdis, tiba-tiba aku turun pada suatu lembah di sana. Tiba-tiba aku mendengar suara yang telah meninggi. Tiba-tiba bukit-bukit itu menggemakan baginya suara yang tinggi itu. Maka aku mengikuti suara tersebut. Tiba-tiba aku di suatu kebun, yang padanya batang kayu yang rindang. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang laki-laki yang berdiri dalam kebun itu, mengulang-ulangi membaca ayat: “Pada hari (kiamat) kepada tiap-tiap diri dikemukakan kebaikan yang telah dikerjakannya dan juga kejahatan yang diperbuatnya. Dan ingin supaya antaranya dengan kejahatan itu ada jarak yang jauh. Dan Allah memperingatkan kepadamu akan kewajibanmu terhadap Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat 30. Orang shalih itu meneruskan ceritanya: “Lalu aku duduk di belakang orang tersebut. Aku mendengar perkataannya. Ia mengulang-ulangi ayat tadi. Tiba-tiba ia memekik dengan pekikan yang membawa ia jatuh tersungkur. Lalu aku berkata: “Alangkah sedihnya ! ini adalah karena kesengsaraan hidupku”. Kemudian, aku menunggu sembuhnya. Maka sesudah sesaat, lalu ia sembuh. Maka aku mendengar ia berdoa: “Aku berlindung dengan Engkau dari kedudukan orang-orang yang berdusta. Aku berlindung dengan Engkau dari amal perbuatan orang-orang yang batil/salah. Aku berlindung dengan Engkau dari berpalingnya orang-orang yang lalai”. Kemudian, orang shalih tadi berdoa: “Bagi Engkau khusyu’lah hati orang-orang yang takut. Kepada Engkau gundahlah angan-angan orang-orang yang teledor. Dan karena keagungan Engkau hinalah hati orang-orang yang berma’rifah”. Kemudian, ia gerak-gerakkan tangannya, lalu mengatakan: “Apakah bagiku dan dunia ! apalah bagiku dan dunia ! atas engkau hai dunia, dengan anak-anak jenismu dan penjinak-penjinak kenikmatanmu. Maka pergilah kepada pencinta-pencintamu ! maka tipulah mereka !”. Kemudian, ia berkata: “Di mana abad-abad yang lalu dan penduduk masa-masa yang lampau ? mereka busuk dalam tanah. Mereka lenyap dibawa zaman”. Maka aku panggil orang itu: “Hai hamba Allah ! aku semenjak hari ini di belakang engkau. Aku menunggu selesainya engkau”. Orang itu lalu menjawab: “Bagaimanakah selesai orang yang mengejar waktu dan waktu mengejarnya ? ia takut akan kedahuluan waktu itu dengan mati kepada dirinya ? atau bagaimana selesainya orang yang pergilah hari-harinya dan tinggallah dosa-dosanya ?”. Kemudian, ia berdoa: “Engkau baginya dan bagi setiap kesulitan, yang aku harapkan turunnya ! kemudian baginya daripadaku sesaat”. Dan ia membaca: “Dan jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada mengira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Kemudian, ia memekik dengan pekikan yang lain, yang lebih keras dari yang pertama. Dan ia jatuh tersungkur. Lalu aku mengatakan, bahwa telah keluar nyawanya. Maka aku dekati kepadanya. Tiba-tiba dia itu bergerak-gerak badannya. Kemudian, ia sembuh, seraya ia berkata: “Siapa aku ? apakah yang terguris di hatiku ? berikanlah bagiku akan kejahatanku dari kurnia Engkau ! besarkanlah aku dengan tirai Engkau ! maafkanlah dari dosa-dosaku dengan kemurahan wajah Engkau, apabila aku berdiri di hadapan Engkau”. Maka aku mengatakan kepadanya: “Dengan yang engkau harapkan bagi diri engkau dan engkau percaya kepadanya, kecuali hendaknya engkau bicarakan kepadaku”. Orang itu lalu menjawab: “Atas engkau dengan pembicaraan orang, yang bermanfaat bagi engkau oleh pembicaraannya ! dan tinggalkanlah pembicaraan orang yang telah dirusakkan oleh dosa-dosanya ! sesungguhnya aku pada tempat ini, semenjak dikehendaki oleh Allah bahwa aku memerangi Iblis dan Iblis memerangi aku. Maka Iblis itu tiada memperoleh pertolongan atasku, untuk ia mengeluarkan aku, dari apa yang aku padanya, selain engkau. Maka jauhlah engkau daripadaku, hai orang yang tertipu ! engkau telah cegahkan atasku lidahku dari berdzikir. Engkau cenderungkan kepada pembicaraan engkau akan suatu cabang dari hatiku. Aku berlindung dengan Allah dari kejahatan engkau. Kemudian, aku berharap bahwa Ia melindungi aku dari kemarahanNya dan Ia mengurniakan kepadaku dengan rahmatNya”. Orang shalih itu meneruskan ceritanya: “Lalu aku berkata: “Ini adalah waliullah. Aku takut bahwa menyibukkannya, maka aku akan disiksakan pada tempatku ini. Lalu aku pergi dan meninggalkannya”.
Berkata sebahagian orang-orang shalih: “Sewaktu aku berjalan dalam perjalananku, tiba-tiba aku tertarik kepada sepohon kayu, untuk aku beristirahat di bawahnya. Tiba-tiba aku dengan seorang tua, yang datang mendekati aku. Maka ia berkata kepadaku: “Hai orang ini ! bangunlah berdiri ! bahwa mati itu tidak mati”. Kemudian, ia berjalan di depanku. Maka aku ikuti dia. Maka aku dengar, bahwa ia membaca: “Tiap-tiap yang bernyawa itu merasakan mati”. S 3 Ali ‘Imran ayat 185. Wahai Allah Tuhanku ! berkahilah aku pada mati !”. Lalu aku menyambung: “Dan pada yang sesudah mati”. Maka ia menjawab: “Barangsiapa yakin dengan yang sesudah mati, niscaya ia bersungguh-sungguh dengan ikatan penjagaan diri. Dan tidak ada baginya di dunia tempat ketetapan”. Kemudian, ia berdoa: “Wahai, yang untuk WajahNya bersungguhlah segala wajah ! putihkanlah wajahku dengan memandang kepada Engkau ! penuhkanlah hatiku dengan kecintaan kepada Engkau ! dan lepaskanlah aku dari kehinaan pencelaan besok di sisi Engkau ! sesungguhnya telah datanglah malu sekarang bagiku dari Engkau. Dan telah datang waktunya bagiku kembali daripada berpaling dari Engkau”. Kemudian, ia menyambung: “Jikalau tidaklah oleh kesantunan Engkau, niscaya tidaklah meluas bagiku akan ajalku. Dan jikalau tidaklah kemaafanMu, niscaya tidaklah terhampar angan-anganku pada apa yang di sisi Engkau”. Kemudian, orang itu berlalu dan meninggalkan aku”. Mereka itu berpantun dalam pengertian ini:
Kurus badan dan hati susah,
engkau melihatnya di puncak atau di perut lembah.
Ia meratap atas kemaksiatan yang parah,
dikeruhkan oleh beratnya akan kejernihan orang yang melepaskan lelah.
Kalau menggelagaklah ketakutannya dan bertambah,
maka doanya: “Tolonglah aku, hai Penolongku !
Engkau Maha Tahu dengan yang aku jumpai,
yang banyak memaafkan dari tergelincirnya hambaMu ini !”.
Dimadahkan pula:
Adalah yang paling lezat penyanyi-penyanyi wanita,
apabila mereka menghadap dengan pakaian-pakaian indah.
Orang yang taubat itu lari dari isteri dan harta,
berkelana dari tempat ke tempat......
Supaya tidak terkenal sebutannya dan hidup sendirian,
ia tampak dalam ibadah dengan angan-angan.
Kelezatannya membaca kemana saja ia berjalan,
ia disebutkan dengan hati dan lisan.
Ketika mati yang datang kepadanya dengan gembira,
ia bergembira dengan lepasnya dari kehinaan.
Maka didapatinya apa yang ia kehendaki dan cita-cita,
dari berbagai kesenangan dalam ruang kamar sorga.
Adalah Karaz bin Wabrah menamatkan bacaan Alquran pada setiap hari 3 kali. Ia bermujahadah dengan dirinya pada beribadah dengan mujahadah yang maksimal. Lalu dikatakan kepadanya: “Sungguh engkau telah memayahkan diri engkau”. Karaz bin Wabrah menjawab: “Berapa umur dunia ?”. Maka dikatakan: “7000 tahun”. Ia bertanya lagi: “Berapa kadar hari kiamat ?”. Maka dikatakan: “50 ribu tahun”. Lalu ia bertanya: “Betapa lemahnya seseorang kamu, bahwa ia bekerja 1/7 hari sehingga amanlah hari itu ! ya’ni: bahwa jikalau hiduplah engkau seumur dunia dan engkau bersungguh-sungguh beribadah selama 7000 tahun dan engkau terlepas dari huru-hara satu hari, yang adalah kadarnya 50 ribu tahun, niscaya adalah keuntungan engkau itu banyak. Dan adalah engkau itu pantas dengan bergembira padanya. Maka bagaimana dan umur engkau itu pendek dan akhirat itu tiada berkesudahan ?”. Maka begitulah adanya perjalanan hidup ulama yang terdahulu (ulama salaf) yang shalih-shalih, mengenai murabathah (memperhatikan perbuatan diri) dan muraqabahnya (memperhatikan, mengintip, menjaga). Maka manakala menyombonglah diri engkau atas engkau dan ia mencegah dari kerajinan kepada ibadah, maka lihatlah akan hal-ihwal ulama-ulama salaf itu ! sesungguhnya sekarang sukarlah adanya seperti mereka itu. Jikalau engkau sanggup menyaksikan orang, yang mereka itu menjadi orang yang diikuti, maka itu adalah lebih berguna pada hati dan lebih menggerakkan kepada pengikutan. Maka tidaklah berita itu seperti yang dilihat dengan mata. Apabila engkau lemah dari ini, maka janganlah engkau lalai daripada mendengar hal-ihwal mereka. Maka jikalau tidak adalah unta, maka kambingpun jadi. Dan pilihlah dirimu diantara mengikuti mereka dan berada dalam jamaah dan lingkungan mereka ! dan mereka itu orang-orang yang berakal, orang-orang ahli hikmat dan mempunyai mata hati dalam agama. Dan diantara mengikuti orang-orang bodoh yang lalai dari orang-orang masa engkau. Dan tidaklah engkau ridhai bagi diri engkau bahwa engkau termasuk dalam jaringan orang-orang dungu. Dan engkau merasa puas dengan penyerupaan dengan orang-orang bebal. Dan engkau mengutamakan berselisih dengan orang-orang yang berakal. Jikalau diri engkau mengatakan kepada engkau, bahwa mereka itu orang-orang kuat, yang tidak sanggup mereka diikuti, maka lihatlah kepada hal-ihwal wanita-wanita yang bersungguh-sungguh beribadah ! dan katakanlah kepada diri engkau: “Hai diri ! janganlah engkau merasa memadai bahwa ada engkau itu berkurang dari perempuan ! maka alangkah buruknya laki-laki yang teledor dibandingkan dengan perempuan dalam urusan agama dan dunianya !
Marilah kami sebutkan sekarang sekelumit dari hal-keadaan kaum wanita yang bersungguh-sungguh dalam ibadah ! diriwayatkan dari Habibah Al-‘Adawiyah, bahwa ia apabila mengerjakan shalat 1/3 malam (al-‘atamah), niscaya ia berdiri untuk shalat itu di atas suthuh rumahnya (atap yang datar yang dipakai juga untuk tempat tinggal dari rumah-rumah tembok). Dan ia ikatkan dengan kuat akan bajunya dan penutup kepalanya. Kemudian ia berdoa: “Hai Tuhanku ! telah masuklah bintang-bintang menghilang. Telah tidurlah semua mata orang. Raja-raja itu telah menguncikan pintu-pintu istananya. Dan setiap kekasih itu telah bersunyi-sepi dengan kekasihnya. Dan ini maqamku di hadapan Engkau !”. Kemudian, ia masuk kepada shalatnya. Maka apabila telah terbit fajar, niscaya ia berdoa: “Wahai Tuhanku ! malam ini telah membelakang dan siang ini telah tampak sinarnya. Maka semoga kiranya, menghadaplah kepadaku malamku, lalu aku merasa senang. Atau Engkau kembalikan dia kepadaku, maka aku terhibur. Demi kemuliaanMu ! untuk inilah kebiasaanku dan kebiasaanMu, selama Engkau menghidupkan aku ! demi kemuliaanMu ! jikalau Engkau menghardik aku dari pintu rahmat Engkau, niscaya senantiasalah aku untuk apa yang terjadi pada diriku, dari kemurahan dan kurnia Engkau”.
Diriwayatkan dari Ujrah (seorang wanita Basrah yang sungguh beribadah), bahwa ia menghidupkan malam dengan beribadah. Dan adalah ia tidak dapat melihat. Apabila datang waktu sahur, maka ia menyerukan dengan suaranya yang menyedihkan: “Kepada Engkau, orang-orang abid (yang banyak beribadah) itu memotong kegelapan malam. Mereka mendahulukan kepada rahmat Engkau dan kurnia ampunan Engkau. Maka dengan Engkau –wahai Tuhanku –aku bermohon kepada Engkau, tidak dengan selain Engkau –bahwa Engkau menjadikan aku pada permulaan jama’ah orang-orang yang dahulu. Bahwa Engkau mengangkatkan aku pada sisi Engkau dalam sorga tinggi, pada derajat orang-orang al-muqarabin. Dan bahwa Engkau hubungkan aku dengan hamba-hamba Engkau yang shalih. Maka Engkau itu yang paling pengasih dari orang-orang yang pengasih dan paling agung dari orang-orang yang agung. Dan yang paling pemurah dari yang pemurah, wahai Yang Maha Pemurah !”. Kemudian ia jatuh tersungkur bersujud. Maka terdengarlah suara jatuhnya itu. Kemudian senantiasalah ia berdoa dan menangis sampai fajar.
Berkata Yahya bin Bustham: “Adalah aku menghadiri majlis Sya’wanah (Seorang wanita yang rajin beribadah, semasa dengan Al-Fudlail bin ‘Iyadl). Maka aku melihat apa yang diperbuatnya dari meratap dan menangis. Maka aku berkata kepada temanku: ”Jikalau kita mendatangi dia, apabila ia sepi sendirian. Lalu kita menyuruhnya dengan kasih-sayang kepada dirinya”. Teman itu menjawab: “Bolehlah yang demikian !”. Yahya bin Bustham meneruskan ceritanya: “Maka kami mendatangi Sya’wanah. Lalu aku berkata kepadanya: “Jikalau engkau sayang kepada diri engkau dan engkau singkatkan sedikit dari tangisan ini, maka adalah bagi engkau lebih menguatkan atas apa yang engkau kehendaki”. Yahya bin Bustham meneruskan ceritanya: “Sya’wanah lalu menangis. Kemudian berkata: “Demi Allah ! sungguh aku suka bahwa aku menangis, sehingga tidak ada lagi air mataku. Kemudian, aku menangis dengan darah, sehingga tidak tinggal setitik darahpun pada anggota dari anggota-anggota tubuhku. Sesungguhnya bagiku itu dengan tangisan ! sesungguhnya bagiku itu dengan tangisan”. Maka selalulah diulang-ulanginya: sesungguhnya bagiku itu dengan tangisan”, sehingga ia jatuh pingsan.
Muhammad bin Ma’adz berkata: “Seorang wanita yang banyak beribadah bercerita kepadaku, dengan mengatakan: “Aku bermimpi dalam tidurku, seakan-akan aku masuk sorga. Tiba-tiba penduduk sorga itu bangun berdiri pada pintu mereka. Maka aku bertanya: “Mengapakah penduduk sorga itu berdiri?”. Lalu menjawab kepadaku seorang penjawab: “Mereka itu keluar melihat wanita itu, yang berhiaslah sorga-sorga karena kedatangannya”. Maka aku bertanya: “Siapakah wanita itu ?”. Maka dijawab: seorang budak wanita hitam dari penduduk Al-Ubullah, yang disebutkan namanya: Sya’wanah. Berkata wanita yang bermimpi itu: “Lalu aku menjawab: “Saudaraku perempuan pada jalan Allah !”. Perempuan yang bermimpi itu meneruskan ceritanya: “Maka sewaktu aku seperti yang demikian, tiba-tiba aku berhadapan dengan wanita itu di atas keadaan yang pintar, dimana ia terbang di udara. Tatkala aku melihatnya, lalu aku panggil: “Hai saudaraku perempuan ! apakah engkau tidak melihat tempatku dari tempat engkau ? maka jikalau engkau berdoa bagiku pada Tuhan engkau, maka Ia menghubungkan aku dengan engkau”. Perempuan yang bermimpi itu meneruskan ceritanya: “Maka wanita itu tersenyum kepadaku dan berkata: “Ia tidak dekat bagi kedatanganmu. Akan tetapi, peliharalah dua perkara dari aku: terus-meneruslah kesedihan bagi hatimu dan dahulukanlah kecintaan kepada Allah dari hawa nafsumu dan tidak akan mendatangkan melarat, manakala engkau mati”.
Abdullah bin Al-Hasan berkata: “Aku mempunyai seorang budak perempuan dari bangsa Rumawi. Aku merasa tertarik benar dengan budak itu. Maka pada sebahagian malam ia tidur di sampingku. Lalu aku terbangun, maka aku ingin menyentuhkannya. Lalu aku tidak mendapatinya. Maka aku bangun berdiri mencarinya. Tiba-tiba ia sedang sujud dan berdoa: “Dengan kesayangan Engkau kepadaku, bahwa tidaklah Engkau mengampunkan segala dosaku ?”. Maka aku berkata kepadanya: “Jangan engkau katakan: dengan kesayangan Engkau kepadaku, akan tetapi, katakanlah: Dengan kesayangku kepada Engkau”. Wanita itu lalu menjawab: “Tidak, wahai tuanku ! dengan kesayanganNya kepadaku, Ia mengeluarkan aku dari syirik kepada Islam. Dan dengan kesayanganNya kepadaku, Ia membangunkan mataku, sedang kebanyakan dari makhlukNya itu tidur”.
Berkata Abu Hasyim Al-Qurasyi: “Datang kepada kami seorang wanita dari penduduk Yaman, yang dipanggil dengan:  Berjalan malam (Suryah. Ia bertempat pada sebahagian rumah kami”. Abu Hasyim Al-Qurasyi meneruskan ceritanya: “Maka aku mendengar ia pada malam hari merintih dan menarik nafas. Pada suatu hari, lalu aku berkata kepada pelayanku: “Perhatikanlah wanita itu, apa yang dikerjakannya !”. Abu Hasyim Al-Qurasyi meneruskan ceritanya: “Maka pelayan itu memperhatikan wanita tersebut. Ia tiada melihatnya berbuat sesuatu, selain ia tidak menutup matanya dari langit. Dan ia menghadap kiblat, seraya mengatakan: “Engkau jadikan aku berjalan malam. Kemudian Engkau memberikan aku makanan dari nikmat Engkau, dari keadaan ke keadaan. Semua hal keadaan Engkau baginya itu baik. Semua percobaan Engkau padanya itu bagus. Dan dia beserta yang demikian itu mendatangkan bagi kemarahan Engkau, dengan melompat kepada kemaksiatan Engkau, kesalahan demi kesalahan. Adakah Engkau melihat dia menyangka, bahwa Engkau tidak melihat akan kejahatan perbuatannya ? dan Engkau itu Maha Tahu, lagi Maha pandai dan Engkau itu Maha Kuasa atas tiap sesuatu”.
Dzun-Nun Al-Mishri berkata: “Pada suatu malam aku keluar dari lembah Kan’an. Maka tatkala aku telah berada di atas lembah, tiba-tiba suatu yang hitam menghadap kepadaku dan membaca ayat: “Dan jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada mengira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Dan terus ia menangis. Maka tatkala yang hitam itu dekat kepadaku, tiba-tiba adalah seorang wanita yang memakai baju jubah bulu. Dan di tangannya tabung. Wanita itu bertanya kepadaku: “Siapa engkau ?”. Tidak takut kepadaku ?”. Maka aku menjawab: “Orang yang jauh !”. Lalu ia berkata: “Hai orang ini ! adakah terdapat bersama Allah itu kejauhan ?”. Dzun-Nun menerangkan seterusnya: “Lalu aku menangis karena katanya itu”. Lalu ia bertanya kepadaku: “Apakah yang membawa engkau kepada menangis ?”. Maka aku menjawab: “Telah jatuh obat atas penyakit yang telah luka. Maka bersegeralah ia pada kemenangannya”. Wanita itu menjawab: “Jikalau engkau itu benar, maka mengapa engkau menangis ?”. Aku menjawab: “Kiranya Allah menganugerahkan rahmat kepada engkau ! dan orang benar itu tidak menangis”. Ia menjawab: “Tidak !”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian ?”. Ia menjawab: “Karena menangis itu kesenangan bagi hati”. Maka aku diam karena merasa ta’jub dari ucapannya itu”.
Ahmad bin Ali berkata: “Kami minta izin kepada Ghufairah (Seorang penduduk Basrah yang rajin beribadah) untuk masuk. Maka ia melarang kami masuk. Lalu kami terus-menerus di pintu. Tatkala ia tahu yang demikian, maka ia bangun berdiri, untuk membukakan pintu bagi kami. Lalu aku mendengar ia berdoa: “Hai Allah, Tuhanku ! bahwa aku berlindung dengan Engkau dari orang yang datang, yang akan mengganggu aku dari berdzikir kepada Engkau”. Kemudian, ia membuka pintu dan kami masuk ke tempatnya. Lalu kami berkata kepadanya: “Hai hamba Allah ! berdoalah untuk kami !”. Ia lalu menjawab: “Allah menjadikan dusunmu di rumahku itu akan ampunan”. Kemudian, ia mengatakan kepada kami, bahwa Atha’ As-Silmi berhenti pada tempatnya selama 40 tahun. Ia tidak pernah melihat ke langit. Lalu pada suatu ketika, jatuh pandangannya ke langit. Maka ia jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu menimpa kepadanya kepecahan dalam perutnya. Maka kiranya Ghufairah, apabila ia mengangkatkan kepalanya, niscaya ia tidak menjadi maksiat. Dan wahai kiranya, apabila ia berbuat maksiat, niscaya tidak dihitung.
Sebahagian orang-orang shalih berkata: “Pada suatu hari aku keluar ke pasar dan bersamaku seorang budak perempuan bangsa Habsyi. Maka aku suruh dia duduk di suatu tempat di sudut pasar. Dan aku pergi untuk sebahagian keperluanku. Aku mengatakan kepada budak itu: “Senantiasa engkau di sini, sampai aku kembali kepada engkau”. Orang itu menerangkan: “Tatkala aku datang kembali, maka aku tidak mendapatinya di tempat. Maka aku kembali ke rumahku dan aku sangat marah kepadanya. Tatkala ia melihat aku, maka ia tahu akan kemarahan pada wajahku. Lalu ia berdatang sembah: “Wahai tuanku ! janganlah terlalu cepat menghukum aku ! bahwa tuanku menempatkan aku pada suatu tempat, yang tiada aku melihat padanya, orang yang berdzikir kepada Allah Ta’ala. Maka aku takut bahwa hilang cahayanya di tempat itu”. Aku merasa ta’jub dengan ucapannya itu, seraya aku berkata kepadanya: “Engkau merdeka!”. Lalu ia menjawab: “Tidak baik yang tuanku perbuat. Aku melayani tuanku, maka bagiku 2 pahala. Adapun sekarang, maka telah hilang daripadaku salah satu dari keduanya”.
Ibnul-‘Ala’ As-Sa’di berkata: “Aku mempunyai anak perempuan pamanku, namanya Burairah. Ia seorang wanita yang banyak beribadah. Ia banyak membaca Alquran. Setiap kali ia sampai pada ayat, yang tersebut padanya neraka, niscaya ia menangis. Maka senantiasalah ia menangis, sampai hilang kedua matanya (penglihatannya) dari karena tangisan. Lalu berkata anak-anak laki pamannya: “Marilah kita pergi kepada wanita itu, sehingga kita menasehatinya tentang banyaknya menangis !”. Ibnul-‘Ala’ As-Sa’di meneruskan ceritanya: “Maka kami masuk ke tempat perempuan itu, lalu kami berkata: “Hai Burairah ! bagaimana engkau sekarang ?”. Burairah menjawab: “Kami ini adalah tamu yang berdiam di bumi asing. Kami menunggu, kapan kami dipanggil, maka kami akan memperkenankannya”. Lalu kamu berkata kepada Burairah: “Berapa banyak tangisan ini ! telah menghilangkan kedua mata engkau daripadanya”. Burairah lalu menjawab: “Jikalau ada bagi kedua mataku kebajikan pada sisi Allah, maka tidaklah mendatangkan melarat bagi keduanya, oleh apa yang hilang dari keduanya di dunia. Dan jikalau ada bagi keduanya kejahatan pada sisi Allah, maka Allah akan menambahkan bagi keduanya akan tangisan yang lebih lama dari ini”. Kemudian, Burairah itu berpaling dari kami. Ibnul-‘Ala As-Sa’di meneruskan ceritanya: “Lalu orang ramai berkata: “Bangunlah bersama kami ! Dia itu –demi Allah –pada sesuatu, yang kita tidak padanya”.
Adalah Ma’adzah binti Abdullah Al-‘Adawiyah, apabila datang siang, maka ia mengatakan: “Ini hariku, yang aku mati padanya”. Ia tidak makan, sehingga sore hari. Maka apabila datang malam, ia mengatakan: “Ini malam yang akan aku mati padanya”. Maka ia mengerjakan shalat, sehingga pagi hari. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Pada suatu malam aku bermalam pada Rabi’ah Al-‘Adawiyah. Maka ia bangun berdiri di mihrab (tempat shalat)nya dan aku bangun berdiri ke suatu sudut dari rumah. Maka terus-meneruslah Rabi’ah itu berdiri mengerjakan shalat sampai waktu sahur. Tatkala telah ada waktu sahur, lalu aku bertanya: “Apakah balasan untuk Yang Menguatkan kita berdiri mengerjakan shalat malam ini ?”. Rabi’ah Al-‘Adawiyah menjawab: “Balasannya, ialah bahwa kita berpuasa bagiNya besok hari”.
Adalah Sya’wanah mengucapkan dalam doanya: “Wahai Tuhanku ! alangkah rindunya aku kepada menemuiMu ! alangkah besarnya harapanku bagi balasanMu ! Engkau Yang Maha Pemurah, yang tidak menyia-nyiakan pada sisi Engkau, akan angan-angan orang-orang yang berangan-angan. Dan tidak batal pada sisi Engkau akan kerinduan orang-orang yang rindu. Wahai Tuhanku ! jikalau telah dekatlah ajalku dan tidak mendekatkan aku oleh amalku kepada Engkau, maka aku telah menjadikan pengakuan dengan dosa akan jalan bagi alasan-alasanku. Maka jikalau Engkau maafkan, maka siapakah yang lebih utama daripada Engkau dengan yang demikian ? dan jikalau Engkau azabkan, maka siapakah yang lebih adil dari Engkau di situ itu ? wahai Tuhanku ! aku telah berbuat zalim atas diriku pada memandang kepadanya. Dan tinggallah bagi diriku kebaikan pandangan Engkau. Maka sengsaralah baginya, jikalau Engkau tidak membahagiakannya. Wahai Tuhanku ! bahwa senantiasalah Engkau menganugerahkan kebajikan hari-hari hidupku. Maka janganlah Engkau putuskan daripadaku kebajikan Engkau, sesudah kematianku. Sesungguhnya aku mengharap dari Siapa yang memerintahkan aku dalam hidupku dengan keikhlasanNya, bahwa Ia menolong aku ketika kematianku dengan ampunanNya. Wahai Tuhanku ! bagaimana aku berputus asa dari kebaikan pandangan Engkau sesudah kematianku. Dan Engkau tidak memerintahkan aku, melainkan dengan keelokan dalam hidupku. Wahai Tuhanku ! jikalau adalah dosa-dosaku telah menakutkan aku, maka sesungguhnya kecintaanku kepada Engkau telah melepaskan aku. Maka uruslah dari urusanku, akan apa yang Engkau yang mempunyainya. Dan janjikanlah dengan kurnia Engkau kepada siapa, yang tertipu oleh kebodohannya !
wahai Tuhanku ! jikalau Engkau berkehendak akan menghinakan aku, niscaya tidaklah Engkau memberi petunjuk akan aku. Dan jikalau Engkau berkehendak akan menyiarkan kekuranganku, niscaya Engkau tidak menutupkan akan kekuranganku. Maka senangkanlah akan aku, dengan apa, yang baginya hadiah bagiku ! dan terus-meneruslah bagiku, akan apa, yang dengan dia itu menutupkan aku !
wahai Tuhanku ! aku tidak menyangka Engkau akan menolak aku pada keperluan, yang aku habiskan umur padanya. Wahai Tuhanku ! jikalau tidaklah aku mengerjakan dosa, niscaya tidaklah aku takut akan siksaan Engkau. Dan jikalau tidaklah aku mengetahui akan kemurahan Engkau, niscaya tidaklah aku mengharap akan pahala Engkau”.
Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Kami masuk ke tempat Rihlah Al-‘Abidah (Rihlah yang banyak ibadahnya). Ia berpuasa, sehingga ia hitam. Ia menangis sehingga ia buta. Ia mengerjakan shalat, sehingga ia terduduk. Dan ia mengerjakan shalat dengan duduk. Lalu kami memberi salam kepadanya. Kemudian, kami sebutkan kepadanya akan sesuatu dari kemaafan, supaya mudahlah urusan dengan dia”. Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceritanya: “Lalu ia menarik nafas, kemudian ia berkata: “Ilmuku dengan diriku melukakan hatiku dan melukakan jantungku. Demi Allah ! aku sesungguhnya menyukai, bahwa Allah tidak menjadikan aku. Dan tidaklah aku itu sesuatu yang disebutkan”. Kemudian, ia masuk kembali kepada shalatnya.
Maka haruslah atas anda, jikalau adalah anda dari orang-orang yang bermurabathah dan yang bermuraqabah bagi diri anda, bahwa anda menengok akan hal-ihwal orang laki-laki dan kaum wanita, dari orang-orang yang rajin beribadah, supaya tergeraklah kerajinan anda dan bertambahlah kesungguhan anda. Jagalah akan diri anda bahwa anda memandang kepada orang-orang yang sezaman dengan anda ! sesungguhnya jikalau anda mengikuti akan kebanyakan orang di bumi, niscaya mereka menyesatkan anda dari jalan Allah. Cerita-cerita orang-orang yang rajin beribadah itu tidak terhingga jumlahnya. Dan tentang apa yang telah kami sebutkan mencukupilah bagi orang yang mengambil ibarat daripadanya. Jikalau engkau menghendaki akan tambahan, maka haruslah engkau rajin membaca Kitab Hilyatil-Auliya’ (Kitab Pakaian Wali-wali). Dia itu melengkapi atas uraian hal-ihwal para sahabat, kaum tabi’in (para pengikut sahabat) dan orang-orang sesudah mereka. Dan dengan mengetahui yang demikian, jelaslah bagi anda kejauhan anda dan kejauhan orang semasa anda, dari ahli agama. Jikalau diri anda berbicara dengan anda, dengan memandang kepada orang-orang sezaman anda dan diri anda itu mengatakan: “Bahwa mudahnya kebajikan pada masa itu adalah karena banyak penolong dan sekarang, jikalau anda menyalahi dengan orang-orang sezaman anda, niscaya mereka memandang anda orang gila. Dan mereka menghinakan anda. Maka sesuaikanlah dengan mereka, tentang apa, yang ada mereka padanya dan di atasnya. Maka tidak akan berlaku atas anda, selain apa yang berlaku atas mereka. Musibah itu, apabila telah merata, niscaya baik. Maka anda jagalah bahwa diri anda itu terulur dengan tali keterpedayaannya dan tertipu dengan kepalsuannya. Dan katakanlah kepada diri anda itu: “Apakah pendapatmu, jikalau diserang oleh banjir besar, yang menenggelamkan penduduk negeri dan mereka itu tetap di tempatnya, tidak mengambil penjagaan diri, karena bodohnya mereka dengan keadaan yang sebenarnya dan engkau sanggup berpisah dengan mereka dan menumpang dalam perahu yang melepaskan engkau dari tenggelam ? adakah terguris pada hati engkau, bahwa musibah itu apabila merata, niscaya baik ? atau engkau tinggalkan kesepakatan dengan mereka dan engkau memandang bodoh pada tindakan mereka dan engkau mengambil kepenjagaan engkau, dari apa yang telah mencerdaskan engkau ? maka apabila engkau meninggalkan kesepakatan dengan mereka, karena takut dari tenggelam dan siksaan tenggelam itu tidak lama, hanya sesaat, maka bagaimana engkau tidak lari dari azab yang abadi dan engkau datang kepadanya pada setiap keadaan ? dan dari manakah musibah itu baik, apabila ia telah merata ? dan bagi penduduk neraka itu kesibukan yang menyibukkan daripada menoleh kepada umum dan khusus ? dan tidaklah orang-orang kafir itu binasa, selain disebabkan kesepakatan dengan orang-orang yang sezaman dengan mereka, dimana mereka itu mengatakan, sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami memeluk suatu agama dan sudah tentu kami ikuti saja jejak mereka”. S 43 Az Zukhruuf ayat 23. Maka haruslah atas anda, apabila anda menyibukkan diri dengan mencela diri anda dan membawanya kepada kesungguhan, lalu ia tidak patuh, bahwa anda tidak meninggalkan mencela, menghina, mengetuk dan memperkenalkannya akan buruk pandangannya bagi dirinya. Semoga ia tercegah dari kedurhakaannya !
AL-MURABATHAH KEENAM: tentang penghinaan diri dan pencelaannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang paling memusuhi engkau, ialah diri engkau sendiri yang berada diantara dua lembung engkau. Diri engkau (nafsu engkau) itu diciptakan, yang menyuruh kepada kejahatan, yang cenderung kepada kejahatan, yang lari dari kebajikan. Ia disuruh dengan pembersihannya, pelurusannya, menghalaunya dengan rantai paksaan kepada beribadah kepada Tuhannya, Khaliq (yang maha pencipta)nya. Dan mencegahnya dari nafsu syahwatnya dan menceraikannya dari kelezatannya. Maka jikalau engkau sia-siakan, niscaya ia menanduk dan lari dan engkau tidak menjumpainya lagi sesudah itu. Jikalau engkau selalu bertindak dengan penghinaan, pencernaan, perendahan dan pencacian, niscaya adalah diri anda itu yang pencaci (nafsul-lawwamah), yang Allah bersumpah dengan dia. Dan engkau halau, bahwa jadilah dia nafsu muthmainnah (diri yang tenang tentram) yang diajak, bahwa ia masuk dalam jama’ah hamba Allah yang rela dan direlakan. Engkau tidak lupa sesaatpun memperingatinya dan mencelanya. Dan engkau tidak menyibukkan diri dengan memberi pengajaran kepada orang lain, selama engkau tidak pertama-tama menyibukkan diri dengan pengajaran bagi diri engkau sendiri.
Allah Ta’ala mewahyukan kepada Isa as: “Hai Putera Maryam ! ajarilah diri engkau sendiri ! maka jikalau sudah memberi pelajaran bagi engkau, lalu ajarilah orang lain ! jikalau tidak, maka malulah kepadaKu !”. Allah Ta’ala berfirman: “Berilah mereka peringatan, karena peringatan itu bermanfaat untuk orang-orang yang beriman”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 55. Jalan engkau, ialah bahwa engkau berhadapan kepadanya. Lalu engkau menetapkan pada diri itu akan kebodohan dan kedunguannya. Dan diri itu akan mulia selama-lamanya dengan kecerdikan dan petunjuknya. Dan bersangatanlah keras hidungnya dan tantangannya, apabila ia dikatakan bodoh. Maka engkau katakan kepada diri itu: “Hai diri ! alangkah besarnya kebodohan engkau ! engkau mendakwakan hikmah, cerdik dan pintar. Dan engkau itu manusia yang paling bodoh dan dungu. Apakah engkau tidak tahu, akan apa yang di hadapan engkau, dari sorga dan neraka ? dan engkau akan jadi kepada salah satu dari keduanya pada masa dekat. Maka apakah engkau itu maka bergembira, tertawa dan sibuk dengan bermain-main ? dan engkau itu dicari untuk bahaya yang besar ini. Dan mungkin engkau pada hari ini, tertangkap atau besok ? lalu aku melihat engkau, bahwa engkau melihat mati itu jauh dan Allah melihatnya dekat. Apakah tidak engkau ketahui, bahwa setiap yang akan datang itu dekat dan bahwa yang jauh itu, ialah apa yang tidak akan datang ? apakah tidak engkau tahu, bahwa mati itu akan datang dengan tiba-tiba, tanpa didahulukan dengan kedatangan utusan, tanpa ada perjanjian dan permufakatan ? dan bahwa mati itu tidak akan datang pada sesuatu tidak sesuatu. Tidak pada musim dingin, tidak musim panas. Dan tidak pada musim panas, tidak musim dingin. Tidak pada siang, tidak malam. Tidak pada malam, tidak siang. Ia tidak datang pada masa kanak-kanak, tidak masa muda. Dan tidak pada masa muda, tidak masa kanak-kanak. Akan tetapi, setiap nyawa dari nyawa-nyawa itu mungkin bahwa ada padanya kematian dengan tiba-tiba sekali. Jikalau tidak mati itu yang tiba-tiba, maka adalah sakit itu yang tiba-tiba. Kemudian, sakit itu membawa kepada mati. Maka mengapakah engkau tidak merasa berbahagia dengan mati dan dia itu yang paling dekat kepada engkau dari setiap yang dekat ? apakah engkau tidak memperhatikan akan firman Allah Ta’ala: “Telah hampir datang kepada manusia perhitungan mereka, sedangkan mereka masih dalam kelalaian dan tiada memperdulikannya. Apa-apa peringatan baru yang datang kepada mereka dari Tuhannya, mereka hanya dengar-dengar dan mereka bermain-main saja. Hatinya lalai”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 1-2 dan 3. Kasihan engkau hai diri ! jikalau adalah keberanian engkau kepada kemaksiatan kepada Allah, karena kepercayaan engkau, bahwa Allah tidak melihat engkau, maka alangkah sangatnya kekafiran engkau ! dan jikalau yang demikian, serta tahunya engkau dengan dilihatNya kepada engkau, maka alangkah sangatnya tidak bermalu engkau dan terlalu sedikit malunya engkau ! Kasihan engkau hai diri ! jikalau salah seorang dari hambamu berhadapan dengan kamu, bahkan salah seorang dari saudaramu, dengan apa yang tidak engkau senangi, maka bagaimanakah adanya kemarahan engkau kepadanya dan kutukan engkau atasnya? maka dengan keberanian apakah engkau datang untuk kutukan Allah, kemarahan dan kesangatan siksaannya ? apakah engkau menyangka bahwa engkau sanggup menahan azabNya ? amat jauh-amat jauh dari itu ! cobalah akan dirimu, jikalau dilalaikan engkau oleh kesombongan dari kepedihan azabNya ! maka tahanlah sesaat pada matahari atau pada tempat mandi dengan air panas ! atau dekatkanlah anak jarimu kepada api ! supaya terang bagimu kadar kemampuan. Atau engkau terpedaya dengan kemurahan dan kurnia Allah dan ketidak-hajatan Allah kepada taat dan ibadahmu. Maka bagaimanakah engkau tidak berpegang kepada kemurahan Allah Ta’ala pada kepentingan-kepentingan dunia engkau ? maka apabila musuh bermaksud kepadamu, maka kamu tidak mencari daya-upaya untuk menolaknya dan kamu tidak menyerah kepada kemurahan Allah Ta’ala. Apabila kamu dipaksakan oleh suatu hajat keperluan kepada salah satu dari keinginan duniawi, dari apa yang tidak akan terpenuhi, selain dengan dinar dan dirham, maka bagaimanakah engkau akan mencabut nyawa pada mencari dan menghasilkan nya dengan segala cara daya-upaya ? maka mengapakah tidak engkau berpegang kepada kemurahan Allah Ta’ala, sehingga Ia memberitahukan kepada engkau akan suatu gudang. Atau Ia memerintahkan salah seorang dari hambaNya, lalu membawa kepada engkau akan keperluan engkau, tanpa usaha dari engkau dan tanpa mencari. Apakah engkau tidak menyangka bahwa Allah itu Maha Pemurah di akhirat, tidak di dunia ? dan engkau telah tahu, bahwa sunnah Allah itu tidak ada penggantinya. Dan bahwa Tuhan akhirat dan dunia itu Esa. Dan bahwa tidak ada bagi manusia, selain apa yang diusahakannya. Kasihan engkau hai diri ! alangkah ajaibnya kemunafikan engkau dan dakwaan-dakwaan engkau yang batil/salah ! sesungguhnya engkau mendakwakan iman dengan lidah engkau. Dan bekas kemunafikan itu tampak pada engkau. Apakah tidak berfirman Tuhan engkau kepada engkau: “Tidak ada yang merangkak-rangkak di bumi ini, melainkan atas Allah rezekinya”. S 11 Huud ayat 6. Allah berfirman tentang urusan akhirat: “Bahwa tidak adalah bagi manusia itu, selain apa yang diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Maka Allah Ta’ala telah menanggung bagi engkau dengan urusan dunia khususnya dan mengarahkan engkau kepada berusaha padanya. Maka engkau mendustakanNya dengan perbuatan engkau. Dan jadilah engkau berterang-terangan kepada mencarinya, sebagaimana berterang-terangan orang yang keheranan, yang kehilangan akal. Allah Ta’ala menyerahkan urusan akhirat kepada usaha engkau. Lalu engkau berpaling daripadanya, sebagaimana berpalingnya orang yang terperdaya yang hina. Apakah ini dari tanda-tanda iman ? jikalau adalah iman itu dengan lisan, maka mengapakah orang-orang munafiq itu pada lapisan yang terbawah dari neraka ? Kasihan engkau hai diri ? seakan-akan engkau tidak beriman dengan hari perhitungan amal (yaumul-hisab). Engkau menyangka bahwa apabila engkau telah mati, niscaya engkau bebas dan terlepas. Amat jauh dari itu ! adakah engkau menyangka bahwa engkau akan dibiarkan begitu saja ? apakah tidak engkau itu dari air mani, yang ditumpahkan ? kemudian adalah engkau itu sekumpal darah. Lalu diciptakan, maka lahirlah dengan sebaik-baiknya ? tidakkah yang demikian itu oleh Yang Maha Kuasa yang dapat menghidupkan yang mati ? maka jikalau adalah ini dari kandungan hati engkau, maka alangkah tertutupnya hati engkau dan alangkah bodohnya engkau ! apakah tidak engkau berpikir, bahwa dari apakah Ia menciptakan engkau ? dari air hanyir, Ia menciptakan engkau. Lalu Ia mentakdirkan engkau. Kemudian, jalan yang dimudahkanNya kepada engkau. Kemudian, Ia mematikan engkau. Lalu Ia menguburkan engkau. Adakah engkau mendustakanNya tentang firmanNya: “Kemudian, apabila dikehendakiNya, niscaya Ia membangkitkan engkau ?”. Maka jikalau tidaklah engkau itu mendustakan, maka mengapakah engkau tidak menjaga diri engkau ? dan jikalau seorang Yahudi menerangkan kepada engkau mengenai makanan engkau yang paling enak, bahwa makanan itu mendatangkan melarat kepada engkau pada penyakit engkau, niscaya engkau bersabar dari makanan tersebut dan engkau tinggalkan. Dan engkau berjuang dengan diri engkau pada yang demikian. Maka adakah sabda nabi-nabi yang dikokohkan dengan mu’jizat dan firman Allah Ta’ala dalam Kitab-kitabNya yang diturunkan itu begitu sedikitnya berkesan, dibandingkan dengan perkataan seorang Yahudi yang menerangkan kepada engkau dengan kiraan, taksiran dan sangkaan, serta kurangnya akal dan singkatnya ilmu ? Yang mengherankan, ialah bahwa jikalau seorang anak kecil menerangkan kepada engkau, bahwa dalam kain engkau ada kalajengking, niscaya engkau lemparkan kain engkau itu dengan seketika, tanpa meminta pada anak kecil itu dalil dan keterangan. Maka adakah ucapan nabi-nabi, ulama-ulama, hukama-hukama dan wali-wali umumnya begitu sedikit kesannya pada engkau dari perkataan seorang anak kecil yang termasuk dalam jumlah orang-orang bodoh ? adakah panasnya neraka Jahannam, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya, buah kayu zaqumnya, lalat-lalatnya, air nanahnya, racun-racunnya, ular-ularnya dan kalajengking-kalajengkingnya itu lebih hina pada engkau dari seekor kalajengking, yang tidak engkau rasakan kepedihannya, selain sehari atau lebih kurang daripadanya ? Tidaklah ini perbuatan orang-orang yang berakal. Bahkan, jikalau tersingkaplah keadaan engkau kepada binatang-hewan, niscaya dia tertawa dari hal engkau dan dia hinakan akan akal engkau.
Jikalau adalah engkau, hai diri telah mengetahui akan semua yang demikian dan engkau mempercayainya, maka mengapakah amal itu engkau katakan nanti dan mati itu mengintip engkau ? mungkin ia akan menangkap engkau tanpa tangguhan ? maka dengan apakah engkau merasa aman dari bersegeranya ajal? umpamakanlah engkau dijanjikan dengan tangguhan 100 tahun, maka adakah engkau menyangka bahwa orang yang memberi makanan hewan di lembah lereng bukit akan merasa kesenangan dan mampu menyeberangi lereng bukit itu ? jikalau engkau menyangka yang demikian, maka alangkah bersangatan kebodohan engkau ! adakah engkau melihat, jikalau bermusafirlah seorang laki-laki untuk mempelajari agama di negeri asing, lalu ia menetap di situ beberapa tahun, dalam keadaan tidak bekerja, lagi dalam keadaan batil/salah, ia hitungkan dirinya dengan mempelajari ilmu pada tahun terakhir, ketika kembalinya ke tanah airnya ? adakah engkau akan tertawa dengan akal dan sangkaannya, bahwa mengajarkan diri dari apa yang diharapkan padanya dengan tempo yang dekat atau sangkaannya, bahwa tingkat para ahli fikih itu dicapai, tanpa mempelajarinya, karena berpegang kepada kemurahan Allah swt ?.
Kemudian, umpamakanlah bahwa kesungguhan pada akhir umur itu bermanfaat dan itu akan menyampaikan kepada derajat yang tertinggi. Maka mudah-mudahan hari ini akhir umur engkau, lalu mengapakah engkau tidak berbuat padanya dengan yang demikian ? maka jikalau diwahyukan kepada engkau dengan ditangguhkan, maka apakah halangannya untuk bersegera ? dan apakah yang membangkitkan bagi engkau untuk mengatakan nanti ? adakah baginya sebab, selain lemahnya engkau daripada menyalahi nafsu syahwatmu, karena padanya kepayahan dan kesulitan ? apakah engkau menunggu akan suatu hari, yang akan datang kepada engkau, yang tiada sukar padanya menyalahi nafsu syahwat ? itu adalah hari, yang tidak sekali-kali dijadikan oleh Allah dan tidak boleh makhlukNya. Tidak adalah sorga itu, selain dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disenangi. Dan tidaklah hal-hal yang tidak disenangi itu sekali-kali ringan atas diri. Dan ini mustahil adanya. Apakah tidak engkau perhatikan sejak kapan engkau janjikan kepada diri engkau dan engkau katakan: besok-besok ? maka sungguh telah datanglah besok itu dan telah menjadi hari. Maka bagaimana engkau mendapatinya ? apakah engkau tidak tahu, bahwa besok yang telah datang dan yang telah menjadi hari itu, adalah baginya hukum kemarin. Tidak, bahkan engkau lemah daripadanya pada hari ini. Maka engkau besok itu lebih lemah dan lemah. Karena nafsu syahwat itu seperti pohon kayu yang teguh dalam tanah, yang telah bertekadlah hamba dengan mencabutkannya. Maka apabila hamba itu lemah dari mencabutnya, karena kelemahan dan diundurkannya, niscaya adalah dia seperti orang yang lemah dari mencabut pohon, padahal dia itu seorang pemuda yang kuat. Lalu diundurkannya kepada tahun yang lain, serta diketahui, bahwa lamanya waktu itu akan menambahkan pohon itu semakit kuat dan teguh. Dan yang mencabut itu akan bertambah lemah dan tidak bertenaga. Maka apa yang tidak disanggupi pada waktu muda, maka tidaklah sekali-kali akan disanggupi pada waktu tua. Bahkan termasuk kepayahan, latihan bagi orang tua. Dan termasuk mengazabkan melatih serigala. Bambu yang masih basah (belum kering) itu dapat dibengkokan. Apabila telah kering dan telah lama masanya, niscaya tidak dapat lagi dibuat yang demikian.
Apabila engkau, wahai diri tidak memahami hal-hal yang terang ini dan engkau cenderung kepada mengatakan biarlah nanti, maka apakah hal engkau yang mendakwakan hikmah ? manakah kedunguan yang melebihi dari kedunguan ini ? semoga engkau mengatakan, bahwa tidak ada yang mencegahkan aku dari al-istiqamah (berdiri di atas kebenaran), selain oleh kerakusanku kepada kelezatan nafsu syahwat dan sedikit kesabaranku atas segala kepedihan dan kesukaran. Maka alangkah sangatnya kedunguan engkau ! dan alangkah kejinya engkau meminta keuzuran ! jikalau adalah engkau itu benar pada yang demikian, maka carilah kenikmatan dengan nafsu keinginan yang bersih dari kekeruhan-kekeruhan yang berkekalan sepanjang abad. Dan tidak ada tempat harapan pada yang demikian, selain dalam sorga. Jikalau engkau memandang kepada nafsu syahwat engkau, maka memandang kepadanya, ialah dengan menyalahinya. Maka kerap-kali, sekali makan itu mencegah berkali-kali makan. Apa kata engkau, tentang akal yang sakit, yang diisyaratkan oleh dokter, dengan meninggalkan air yang dingin 3 hari, supaya ia sehat dan merasa nyaman dengan meminumnya sepanjang umurnya. Dokter itu menerangkan kepadanya, bahwa jikalau ia minum yang demikian, niscaya ia akan sakit dengan penyakit yang melumpuhkan. Dan ia mencegah dirinya dari meminum itu sepanjang umur. Maka apakah yang dikehendaki oleh akal pada memenuhi hak nafsu syahwat ? adakah ia bersabar 3 hari, untuk ia bersenang-senang sepanjang umur ? atau ia memenuhi akan nafsu syahwatnya sekarang, karena takut dari kepedihan menyalahi itu akan 3 hari ? sehingga mengharuskan dia menyalahi, selama 3300 hari ? dan semua umur engkau dengan dibandingkan kepada yang abadi, yang menjadi masa kenikmatan penduduk sorga dan kesengsaraan penduduk sorga adalah kurang dari 3 hari dibandingkan kepada semua umur, walaupun panjang masanya. Kiranya aku dapat mengetahui, bahwa kepedihan sabar dari nafsu syahwat itu lebih berat dan lebih lama masanya. Atau kepedihan neraka dalam lapisan neraka Jahannam. Maka siapa yang tidak sanggup bersabar atas kepedihan bermujahadah, maka bagaimana ia sanggup menahan kepedihan azab Allah. Aku tidak melihat engkau berlambatan daripada memandang kepada diri engkau, selain karena kekufuran yang tersembunyi atau kedunguan yang terang.
Adapun kekufuran yang tersembunyi, maka yaitu lemahnya iman engkau kepada hari perhitungan amal (yaumul-hisab) dan kurangnya ma’rifah engkau dengan besarnya kadar pahala dan siksa. Adapun kedunguan yang terang, maka yaitu perpegangan engkau kepada kemurahan dan kemaafan Allah Ta’ala, tanpa menoleh kepada rencanaNya, bawaanNya kepada kebinasaan dan tidak diperlukanNya kepada ibadah engkau, sedang engkau tidak berpegang kepada kemurahanNya pada sesuap dari roti atau sebiji dari harta atau satu kalimat yang engkau dengar dari makhluk. Bahkan engkau sampai kepada maksud engkau pada yangdemikian itu dengan semua daya-upaya. Dengan kebodohan itu engkau berhak mendapat gelar “kedunguan” dari Rasulullah saw yang bersabda: “Orang pintar, ialah orang yang mengagamakan dirinya dan beramal untuk sesudah mati. Dan orang dungu, ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan bermacam-macam angan-angan”.
Kasihan engkau hari diri ! tiada seyogyalah bahwa engkau diperdayakan oleh hidup duniawi dan tidaklah engkau ditipu oleh yang menipukan dengan memakai nama agama Allah ! lihatlah kepada dirimu, maka apakah urusanmu yang penting untuk orang lain ? janganlah engkau sia-siakan waktu engkau ! maka nafas itu dapat dihitung. Apabila telah berlalu dari engkau senafas, maka telah hilang sebahagian engkau. Maka rampaskanlah kesehatan sebelum sakit, kesempatan sebelum kesibukan, kekayaan sebelum kemiskinan, kemudaan sebelum ketuaan dan kehidupan sebelum kematian ! bersedialah untuk akhirat menurut kadar kekekalan engkau padanya ! hai diri ! apa tidakkah engkau bersedia bagi musim dingin menurut kadar lama masanya ? maka engkau kumpulkan baginya makanan, pakaian, kayu api dan semua sebab-sebabnya. Dan tidaklah engkau bertawakkal pada yang demikian itu atas kurnia dan kemurahan Allah. Sehingga tertolaklah dari engkau kedinginan, tanpa baju tebal, baju bulu, kayu api dll. Sesungguhnya sanggup atas yang demikian. Apakah tidak engkau sangka, hai diri bahwa hawa dingin jahannam itu lebih ringan dinginnya dan lebih pendek masanya dari hawa dingin musim dingin ? atau engkau menyangka bahwa yang demikian itu kurang dari ini ? tidaklah sekali-kali bahwa ada ini seperti yang demikian. Atau bahwa ada diantara keduanya itu kesesuaian pada kesangatan dan kedinginan. Apakah engkau menyangka bahwa hamba itu terlepas daripadanya, tanpa usaha ? amat jauh dari itu ! sebagaimana tidaklah tertolak dinginnya musim dingin, selain dengan baju tebal, api dan sebab-sebab yang lain. Maka tidaklah tertolak panasnya api neraka dan dinginnya, selain dengan benteng keesaan dan parit pertahanan taat. Sesungguhnya kemurahan Allah Ta’ala ialah: pada memperkenalkan kepada engkau jalan pemeliharaan dan memudahkan bagi engkau akan sebab-sebabnya. Tidak pada penolakan dari engkau akan azab, tanpa bentengnya. Sebagaimana kemurahan Allah Ta’ala pada penolakan kedinginan musim dingin, bahwa Ia menciptakan api. Ia memberi petunjuk kepada engkau jalan mengeluarkan api itu, dari antara besi dan batu. Sehingga tertolaklah dengan dia itu kedinginan musim dingin dari diri engkau. Dan sebagaimana membeli kayu api dan baju tebal termasuk yang tidak diperlukan oleh Khaliq (yang maha pencipta) engkau dan Tuhan engkau. Sesungguhnya engkau belikan bagi diri engkau. Karena Ia menciptakannya untuk menjadi sebab kesenangan engkau. Maka ketaatan engkau dan juga mujahadah (bersungguh‑sungguh) engkau itu tidak diperlukan oleh Allah. Bahwa itu semua adalah jalan engkau kepada kelepasan engkau. Maka siapa yang berbuat baik, maka bagi dirinya dan siapa yang berbuat jahat, maka tertimpa ke atas dirinya. Dan Allah itu tidak memerlukan kepada alam semuanya. Kasihan engkau hai diri ! cabutlah dari kebodohanmu ! bandingkanlah akan akhiratmu dengan duniamu ! maka tidaklah kejadianmu dan kebangkitanmu, melainkan seperti satu diri. Dan “sebagaimana Kami memulai penciptaan yang pertama dan akan Kami ulangi lagi seperti itu”. Sebagaimana Allah memulai menciptakan kamu, maka begitulah kamu akan kembali. Dan sunnah Allah Ta’ala itu tiada akan kamu dapati baginya pergantian dan perobahan. Kasihan engkau hai diri ! tiada aku melihat engkau, melainkan engkau itu menyukai dunia dan berjinakan hati dengan dunia. Maka sukarlah atas engkau berpisah dengan dunia. Dan engkau itu menghadap kepada mendekatinya. Engkau menguatkan pada diri engkau akan mencintainya. Maka hitunglah, bahwa engkau lupa dari siksaan Allah dan pahalaNya, dari huru-hara kiamat dan hal-ihwalnya ! maka engkau itu tidak percaya dengan mati, yang menceraikan diantara engkau dan kekasih engkau. Apakah engkau melihat, bahwa orang yang masuk ke istana raja, untuk dia keluar dari sudut lain, lalu terpandang penglihatannya ke suatu wajah yang manis, yang ia tahu, bahwa yang demikian itu akan menenggelamkan hatinya. Kemudian –sudah pasti- ia terpaksa berpisah dengan wajah yang manis itu. Adakah orang itu terhitung dari orang yang berakal atau dari orang dungu ? apakah engkau tidak tahu, bahwa dunia itu negeri kepunyaan Raja Diraja dan yang memilikinya itu tidaklah yang sebenarnya (secara majazi) ? dan setiap apa yang di dalamnya, tiada akan menemani orang-orang yang singgah di dunia itu, sesudah mati. Dan karena itulah. Penghulu manusia saw bersabda: “Bahwa Ruhul-qudus (Ruh suci) itu meludah dalam hatiku: “Cintailah siapa yang engkau cintai, maka engkau akan berpisah dengan dia ! dan bekerjalah (beramallah) akan apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan dibalaskan dengan amal itu ! dan hiduplah akan apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan mati !”. Kasihan engkau hai diri ! adakah engkau tahu, bahwa setiap orang yang berpaling kepada kelezatan dunia dan berjinakkan hati dengan dunia, serta mati itu di belakangnya, maka sesungguhnya ia membanyakkan penyesalan ketika berpisah ? sesungguhnya ia mengambil perbekalan dari racun yang membinasakan. Dan ia tidak tahu. Atau tidakkah engkau melihat, kepada mereka yang telah lalu, bagaimana mereka itu membangun dan tinggi, kemudian mereka itu pergi dan berlalu ? betapa Allah mewariskan bumi mereka dan kampung halaman mereka kepada musuh-musuh mereka ? apakah engkau tidak melihat mereka mengumpulkan apa yang tidak mereka makan, membangun apa yang tidak mereka tempati dan mengangan-angankan apa yang tidak mereka capai ? setiap seorang membangun istana yang tinggi ke arah langit. Dan tempat ketetapannya adalah kuburan yang dikorek di bawah bumi. Maka adakah dalam dunia, kedunguan dan keterbalikan yang lebih besar dari ini ? seseorang itu membangun dunianya dan dia itu akan berangkat dengan yakin daripadanya. Ia merobohkan akhiratnya dan dia sudah pasti akan jadi kepadanya. Apakah tidak malu, wahai diri, daripada pertolongan orang-orang yang bodoh itu, di atas kebodohannya ? Hitungkanlah, bahwa engkau tidak mempunyai mata hati, yang mendapat petunjuk kepada urusan-urusan ini ! sesungguhnya engkau cenderung dengan tabiat kepada penyerupaan dan pengikutan. Maka bandingkanlah dengan akal nabi-nabi, ulama-ulama dan hukama-hukama, akan akal mereka yang menelungkup kepada dunia ! dan ikutilah dari dua golongan itu, dengan orang yang lebih berakal pada engkau, jikalau engkau berkeyakinan pada diri engkau akan akal dan kecerdikan ! Hai diri ! alangkah mengherankan urusan engkau, alangkah bersangatan kebodohan engkau dan alangkah menampak kedurhakaan engkau ! heran engkau ! bagaimana engkau buta dari urusan ini yang terang, lagi jelas ! kiranya engkau, hai diri, dimabukkan oleh kesukaan kepada kemegahan. Didahsyatkannya engkau daripada memahaminya. Atau tidakkah engkau berfikir, bahwa kemegahan itu tidak mempunyai arti, kecuali kecenderungan hati dari sebahagian manusia kepada engkau ? maka hitunglah, bahwa setiap orang di atas permukaan bumi itu sujud kepada engkau mentaati engkau ! apakah tidak engkau ketahui, bahwa sesudah 50 tahun, engkau tidak ada lagi dan tidak ada seorangpun di atas permukaan bumi, dari orang yang menyembah engkau dan bersujud kepada engkau ? dan akan datang suatu zaman, yang tidak ada lagi sebutan nama engkau dan tiada sebutan orang yang menyebutkan engkau. Sebagaimana telah datang kepada raja-raja yang ada sebelum engkau. Maka “adakah engkau lihat agak seorang diantara mereka atau adakah engkau dengar rintihannya (keluhannya)”. Maka bagaimana engkau menjual, hai diri, akan apa yang kekal sepanjang abad, dengan apa yang tidak kekal, lebih banyak dari 50 tahun, jikalaupun kekal ? Pahamilah ini, jikalau ada engkau itu salah seorang raja di bumi, yang diserahkan kepada engkau Timur dan Barat, sehingga mengaku bagi engkau segala leher dan teratur bagi engkau segala sebab ! bagaimana dan enggan oleh pembelakangan engkau dan celakanya engkau, bahwa diserahkan kepada engkau urusan tempat engkau, bahkan urusan rumah engkau, lebih-lebih dari tempat engkau ? Maka jikalau ada engkau hal diri, tidak meninggalkan dunia, karena gemar pada akhirat, karena kebodohan engkau dan buta mata hati engkau, maka mengapa engkau tidak meninggalkannya, karena meninggikan dari kekejian kongsi-kongsinya, menjaga dari banyak kepayahannya dan memelihara dari kecepatan kehancurannya ? atau mengapa tidak engkau zuhud pada sedikitnya, sesudah zuhud pada engkau oleh banyaknya ? mengapa engkau bergembira dengan dunia, jikalau ia menolong engkau, lalu tidak telepas negeri engkau dari orang Yahudi dan orang Majusi yang mendahului engkau dengan dunia ? dan mereka bertambah dari engkau tentang kenikmatan dan perhiasan dunia ? maka cislah bagi dunia, yang didahului engkau oleh mereka yang keji-keji itu dengan dunia ! alangkah bodohnya engkau, alangkah kejinya cita-cita engkau dan alangkah jatuhnya pendapat engkau ! karena engkau tidak suka bahwa ada engkau dalam kumpulan orang muqarrabin, dari nabi-nabi dan orang-orang shiddiq, di sisi Tuhan Rabbul-‘alamin selama-lamanya. Supaya ada engkau dalam barisan sandal, dari jumlah orang-orang dungu yang bodoh dalam beberapa hari yang sedikit. Wahai penyesalan atas engkau, bahwa rugilah dunia dan agama. Maka bersegeralah ! celakalah engkau hai diri ! sesungguhnya engkau telah hampir kepada kebinasaan. Telah mendekatilah mati. Dan telah datang yang memberi kabar pertakut (an-nadzir). Maka siapakah yang sembahyang pada engkau sesudah mati ? siapakah yang berpuasa dari engkau sesudah mati ? siapakah yang meminta keridhaan Tuhan engkau dari engkau sesudah mati ? Kasihan engkau hai diri ! tiadalah bagi engkau, selain beberapa hari yang dapat dihitung, yang menjadi kepunyaan engkau, jikalau engkau berniaga padanya. Dan telah engkau sia-siakan yang terbanyak dari hari-hari itu. Maka jikalau engkau tangisi akan sisa umur engkau, atas apa yang telah engkau sia-siakan daripadanya, niscaya adalah engkau itu teledor pada hal diri engkau. Maka bagaimana, apabila engkau sia-siakan akan sisanya dan engkau terus berkekalan di atas adat kebiasaan engkau ? apakah engkau tidak tahu, hai diri, bahwa mati itu janjian bagi engkau, kubur itu rumah engkau, tanah itu tempat tidur engkau, ulat itu teman engkau dan ketakutan besar itu di hadapan engkau ? apakah engkau tidak tahu, hai diri, bahwa laskar orang-orang mati di sisi engkau pada pintu negeri itu menunggu engkau. Mereka bersumpah atas diri mereka semua, dengan sumpah yang berat, bahwa mereka senantiasa pada tempatnya, sebelum mereka mengambil engkau bersama mereka. Apakah engkau tidak tahu, hai diri bahwa mereka bercita-cita kembali ke dunia pada suatu hari, untuk mengerjakan kembali apa yang tertinggal dahulu dari mereka. Dan engkau dalam cita-cita mereka. Dan sehari dari umur engkau, jikalau dijual kepada mereka dengan dunia seluruhnya, niscaya mereka beli, jikalau mereka ditakdirkan atas yang demikian. Dan engkau menyia-nyiakan hari-hari engkau dalam kelalaian dan pengangguran. Kasihan engkau hai diri, apakah engkau tidak malu ? engkau hiaskan zahiriyah engkau bagi makhluk. Dan engkau berlomba-lomba dengan Allah dalam rahasia dengan perbuatan-perbuatan besar. Apakah engkau malu kepada makhluk dan engkau tidak malu kepada Khaliq (yang maha pencipta) ? celaka engkau adakah Dia yang terhina dari yang memandang kepada engkau ? adakah engkau menyuruh manusia dengan kebajikan dan engkau berlumuran dengan hal-hal yang hina ? engkau menyeru kepada Allah dan engkau sendiri lari daripadaNya ? engkau peringatkan orang kepada Allah dan engkau sendiri lupa kepadaNya ? apakah engkau tidak tahu, hai diri, bahwa orang yang berdosa itu lebih busuk dari tai ? dan Bab itu tidak dapat menyucikan yang lain ? maka mengapakah engkau mengharap pada pensucian lain engkau dan engkau itu tidak baik pada diri engkau ? Kasihan engkau, hai diri, jikalau engkau kenal akan diri engkau dengan kenal yang sebenar-benarnya, niscaya engkau menyangka bahwa manusia tidak tertimpa kepadanya bencana, selain dengan nasib malang engkau. Kasihan engkau, hai diri ! engkau telah jadikan diri engkau, keledai bagi Iblis, yang dikendalikannya engkau kemana dikehendakinya dan dipergunakannya engkau. Dan bersamaan dengan itu, engkau mengherani amal engkau sendiri. Dan padanya banyak bahaya. Jikalau terlepaslah engkau daripadanya satu sesudah yang lain, niscaya adalah keuntungan dalam dua tangan engkau. Dan bagaimana engkau merasa bangga dengan amal engkau, serta banyaknya kesalahan engkau dan tergelincirnya engkau ? Allah telah mengutuk Iblis dengan satu kesalahan, sesudah ia beribadah kepadaNya 200 ribu tahun. Allah mengeluarkan Adam as dari sorga dengan satu kesalahan, serta dianya itu nabi dan pilihanNya. Kasihan engkau hai diri ! alangkah engkau menyalahi janji ! celaka engkau hai diri ! alangkah engkau tidak bermalu ! celaka engkau hai diri ! alangkah bodohnya engkau ! alangkah beraninya engkau kepada perbuatan maksiat ! celaka engkau ! berapa kali engkau mengikatkan janji, lalu engkau langgar ! celaka engkau ! berapa kali engkau berjanji, lalu engkau menyalahinya ! Kasihan engkau, hai diri ! adakah engkau sibuk bersama kesalahan-kesalahan ini dengan membangun dunia engkau, seakan-akan engkau tiada akan berangkat dari dunia itu ? apakah tidak engkau melihat kepada orang-orang dalam kubur, bagaimana mereka itu berada ? mereka telah mengumpulkan banyak. Telah membangun dengan kokoh. Telah berangan-angan jauh. Maka jadilah yang dikumpulkan mereka itu berantakan. Bangunan mereka itu kubur. Dan angan-angan mereka itu terperdaya. Kasihan engkau, hai diri ! apakah tidak ada bagi engkau mengambil ibarat dengan mereka itu ? apakah tidak ada bagi engkau mempunyai pandangan kepada mereka itu ? adakah engkau menyangka, bahwa mereka itu dipanggil ke akhirat dan engkau itu dari orang-orang yang kekal di dunia ? amat jauh-amat jauh dari itu ! amat jahatlah apa yang engkau dugakan itu ! tidaklah engkau, selain dalam meruntuhkan umur engkau, semenjak engkau dilahirkan dari perut ibu engkau. Maka bangunkanlah di atas permukaan bumi itu istana engkau ! sesungguhnya perut bumi itu dalam waktu yang sedikit ini akan menjadi kubur engkau. Adakah tidak engkau takut, apabila sampai nafas dari engkau itu naik-turun, bahwa menampaklah utusan-utusan Tuhan engkau itu turun datang kepada engkau dengan warna hitam, masam muka dan berita dengan azab ? adakah bermanfaat bagi engkau ketika itu oleh penyesalan atau diterimakah dari engkau kegundahan atau dikasihani oleh tangisan dari engkau ? Dan heran sekali dari engkau, hai diri ! bahwa engkau bersama ini, mendakwakan akan penglihatan dengan mata hati dan kecerdikan. Dan dari kecerdikan engkau, bahwa engkau bergembira setiap hari dengan bertambahnya harta engkau. Dan engkau tidak gundah hati dengan berkurangnya umur engkau. Apakah manfaatnya harta bertambah dan umur berkurang ? Kasihan engkau, hai diri ! engkau berpaling dari akhirat dan akhirat itu menghadap kepada engkau. Engkau menghadap kepada dunia dan dunia itu berpaling dari engkau.
Maka berapa banyak dari yang akan datang, dimana pada suatu hari, tidak dapat disempurnakan. Dan berapa banyak dari yang diangan-angankan untuk esok hari, yang tidak sampai. Maka engkau menyaksikan yang demikian pada saudara-saudara engkau, keluarga engkau dan tetangga engkau. Maka engkau melihat, akan penyesalan mereka itu ketika mati. Kemudian, engkau tidak kembali dari kebodohan engkau. Maka jagalah hai diri yang patut dikasihani, pada hari, yang Allah bersumpah padanya kepada DiriNya, bahwa Ia tidak akan membiarkan seorang hamba, yang disuruhNya di dunia dan yang dilarangNya, sehingga akan ditanyaNya dari hal amalan hamba itu, kecilnya dan besarnya, tersembunyinya dan terangnya. Maka lihatlah, hai diri ! dengan tubuh mana engkau berdiri di hadapan Allah ? dengan lidah mana engkau menjawab ? sediakanlah jawaban bagi pertanyaan ! dan bagi jawaban itu yang betul ! bekerjalah untuk sisa umur engkau pada hari-hari yang pendek untuk hari-hari yang panjang ! pada negeri yang hilang untuk negeri yang tetap berdiri ! pada negeri kegundahan dan lelah untuk negeri kenikmatan dan kekal ! beramallah sebelum engkau diamalkan ! keluarlah dari dunia dengan pilihan sendiri, sebagai keluarnya orang-orang merdeka, sebelum dikeluarkan daripadanya dengan paksaan ! janganlah engkau bergembira, dengan apa yang menolong engkau, dari kembang-kembang dunia ! maka kerap-kali yang menggembirakan itu tertipu ! kerap-kali yang tertipu itu tidak merasakan ! maka kesengsaraanlah bagi orang, yang baginya kesengsaraan, kemudian ia tidak merasakan ! ia tertawa dan bergembira, bermain dan bersenda-gurau, makan dan minum. Dan telah benarlah baginya dalam Kitab Allah, bahwa dia itu dari kayu bakaran api neraka. Maka hendaklah ada pandangan engkau hai diri, kepada dunia, dengan mengambil ibarat. Usaha engkau baginya secara yang diperlukan. Penolakan engkau baginya dengan pilihan sendiri. Dan tuntutan engkau bagi akhirat itu dengan segera. Jangan adalah engkau dari orang yang lemah, daripada mensyukuri apa yang diberikan. Dan mencari tambahan pada apa yang masih ada. Melarang manusia dan ia sendiri tidak menerima larangan itu. Ketahuilah, hai diri ! bahwa tidak ada bagi agama itu gantian. Tidak ada bagi iman itu tukaran. Dan tidak ada bagi tubuh itu yang menggantikan. Dan siapa yang ada kendaraannya malam dan siang, maka dia itu dimudahkan baginya, walaupun tidak mudah. Maka ambillah menjadi pengajaran dengan pengajaran ini, hai diri ! dan terimalah nasehat ini ! maka siapa yang berpaling dari pengajaran, niscaya dia itu telah rela dengan neraka. Dan aku tidak melihat engkau itu rela dengan neraka. Dan tidak memperhatikan akan pengajaran ini. Jikalau adalah kekesatan hati yang melarang engkau daripada menerima pengajaran, maka minta tolonglah kepadanya dengan berkekalan shalat tahajjud dan berdiri mengerjakan shalat. Maka jikalau tidak hilang juga kekesatan hati itu, maka dengan rajin mengerjakan puasa. Maka jikalau tidak hilang juga, maka dengan sedikit bercampur dengan manusia dan sedikit bicara. Maka jikalau tidak hilang juga, maka dengan silaturrahim dan kasih-sayang kepada anak yatim. Maka jikalau tidak hilang juga, maka ketahuilah bahwa Allah telah mencapkan atas hati engkau dan telah menguncikannya. Bahwa telah bertindis-lapislah kegelapan dosa atas zahiriyah dan batiniyah hati itu. Maka tempatkanlah dirimu dalam neraka ! sesungguhnya Allah telah menjadikan sorga dan menjadikan baginya isinya. Ia menjadikan neraka dan menjadikan baginya isinya. Maka masing-masing itu dimudahkan bagi apa, yang ia jadikan. Maka jikalau tidak ada lagi bagi engkau jalan kepada pengajaran, maka putus-asakanlah dari diri engkau ! dan putus asa itu termasuk salah satu dari dosa besar. Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Maka tiada jalan bagi engkau kepada berputus-asa. Dan tiada jalan bagi engkau kepada harapan, serta tersumbatnya jalan-jalan kebajikan kepada engkau. Maka yang demikian itu tertipu dan bukan harapan. Maka lihatlah sekarang, adakah engkau mengalami kesedihan atas musibah ini, yang engkau mendapat percobaan dengan dia ? adakah mata engkau membolehkan keluarnya air mata, karena kasihan dari engkau kepada diri engkau ? jikalau mata engkau itu membolehkan, maka penerimaan siraman air mata itu adalah dari laut rahmat. Maka masih ada pada engkau itu tempat harapan. Maka rajinlah meratap dan menangis dan minta tolonglah kepada Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih ! dan mengadulah kepada Yang Maha Pemurah dari yang pemurah ! dan terus-meneruslah meminta pertolongan ! dan janganlah bosan atas lamanya pengaduan ! semoga Ia akan mengasihani kelemahan engkau dan menolong engkau ! bahwa musibah yang telah menimpa engkau itu telah besar. Dan bencana atas diri engkau telah bertindis-lapis. Jauhnya pergi engkau itu telah lama. Telah berputus dari engkau itu daya-upaya. Dan telah pergi dari engkau itu segala alasan. Maka tiada jalan, tiada tuntutan, tiada tempat pertolongan, tiada tempat lari, tiada tempat penyantunan dan tempat kelepasan, selain kepada Tuhan engkau. Maka berlindunglah kepadaNya dengan merendahkan diri ! dan khusyu’lah pada engkau merendahkan diri itu menurut kadar besarnya kebodohan engkau dan banyaknya dosa engkau ! karena Allah itu mengasihani orang yang merendahkan diri, yang menghinakan diri. Ia menolong orang yang meminta dengan berulang-ulang dan memperkenankan doa orang yang berhajat kepada pertolongan. Engkau pada hari ini telah memerlukan kepadaNya dan berhajat kepada rahmatNya. Telah sempit bagi engkau segala jalan. Telah tersumbat kepada engkau segala tempat lalu. Dan telah terputus dari engkau segala daya-upaya. Tidak berguna pada engkau segala pengajaran. Dan tidak dihancurkan engkau oleh penghinaan. Maka yang dicari itu Maha Pemurah. Yang diminta itu Maha Pengasih. Yang diminta pertolongan itu Mahabaik, Mahabelas-kasihan. Rahmat itu luas. Kemurahan itu melimpah-limpah. Kemaafan itu merata. Dan ucapkanlah: “Wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih ! wahai Yang Maha Pemurah ! wahai Yang Maha Pengasih ! wahai Yang Maha Penyantun ! wahai Yang Maha Besar ! wahai Yang Maha Pemurah ! aku ini yang berdosa terus-menerus ! aku ini yang berani yang tidak mencabut ! aku ini yang berkepanjangan, yang tidak malu ! inilah tempat orang yang merendahkan diri, yang miskin, yang putus asa, yang fakir, yang lemah, yang hina, yang binasa, yang tenggelam ! maka segerakanlah menolong aku dan kelapangan bagiku ! perlihatkanlah kepadaku akan kesan-kesan rahmatMu ! berikanlah kepadaku rasa dinginnya kemaafanMu dan ampunanMu ! anugerahkanlah kepadaku kekuatan pemeliharaanMu, wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih !”. Yang demikian itu, karena mengikuti bapakmu Adam as.
Wahab bin Munabbih berkata: “Tatkala Allah menurunkan Adam as dari sorga ke bumi, maka Adam itu terus menumpahkan air mata. Maka Allah ‘Azza wa Jalla melihat kepadanya pada hari ke-7. Dan Adam as itu sedih, dukacita, berdiam diri, menekur kepalanya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Adam ! apakah kesungguhan ini yang Aku lihat pada engkau ?”. Adam as menjawab: “Wahai Tuhanku ! telah beratlah musibahku. Telah mengelilingi aku oleh kesalahanku. Dan aku telah dikeluarkan dari alam tinggi Tuhanku. Maka jadilah aku dalam negeri kehinaan, sesudah dalam negeri kemuliaan. Dalam negeri kesengsaraan, sesudah dalam negeri kebahagiaan. Dalam negeri kelelahan, sesudah dalam negeri kesenangan. Dalam negeri bala-bencana, sesudah dalam negeri sehat wal-afiat. Dalam negeri yang hilang, sesudah dalam negeri ketetapan. Dan dalam negeri kematian dan kebinasaan, sesudah dalam negeri kekal dan baqa. Maka bagaimana aku tidak menangis di atas kesalahanku ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Adam ! apakah tidak Aku memilih engkau bagi diriKu ? Aku tempatkan engkau pada rumahKu ? Aku tentukan engkau dengan kemuliaanKu ? Aku peringatkan engkau akan kemarahanKu ? apakah tidak Aku ciptakan engkau dengan qudrah ( kuasa )Ku ? Aku tiupkan pada engkau dari ruhKu ? Aku suruh sujud kepada engkau malaikatKu ? lalu engkau durhaka akan perintahKu ? engkau lupa akan janjiKu? engkau datangkan bagi kemarahanKu? maka demi kemuliaan dan keagunganKu! jikalau penuhlah bumi dengan orang-orang semuanya seperti engkau, yang menyembahkan Aku dan bertasbih kepadaKu, kemudian mereka itu berbuat maksiat kepadaKu, niscaya Aku tempatkan mereka pada tempat orang-orang yang berbuat maksiat”. Maka menangislah Adam as ketika itu 300 tahun. Adalah ‘Ubaidullah Al-Bajali itu banyak menangis. Ia mengucapkan dalam tangisnya sepanjang malamnya: “Wahai Tuhanku ! akulah yang setiap kali panjang umurku, niscaya bertambahlah dosaku. Akulah orang yang setiap kali aku bercita-cita meninggalkan kesalahan, maka datanglah bagiku nafsu-syahwat yang lain. Wahai hamba yang kecil ! kesalahan yang tidak busuk. Dan yang empunya kesalahan itu dalam mencari kesalahan yang lain. Wahai hamba yang kecil ! jikalau adalah api itu bagi engkau tempat tidur dan tempat tinggal ! wahai hamba yang kecil ! jikalau adalah besi pemukul manusia, disiapkan bagi kepala engkau ! wahai hamba yang kecil ! engkau telah laksanakan segala hajat keperluan orang-orang yang menuntutnya dan semoga hajat keperluan engkau tidak dilaksanakan”.

Manshur bin ‘Ammar berkata: “Aku mendengar pada sebahagian malam di Kufah, seorang abid  membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya dan ia mengucapkan: “Wahai Tuhanku ! demi kemuliaanMu ! aku tidak bermaksud dengan berbuat maksiat kepadaMu, akan menyalahiMu. Aku tidak berbuat maksiat kepadaMu ketika aku berbuat maksiat. Dan aku itu bodoh dengan kedudukanMu. Tidaklah aku mendatangi siksaanMu. Dan tidak memandang ringan untuk memandangMu. Akan tetapi, diriku memperelokkan kerja bagiku. Ditolong aku atas yang demikian itu oleh ketidak-beruntunganku. Dan aku ditipu oleh tabir Engkau yang diturunkan atasku. Maka aku berbuat maksiat kepada Engkau dengan kebodohanku. Aku menyalahi akan Engkau dengan perbuatanku. Maka dari azab Engkau sekarang, siapakah yang melepaskan aku ? atau dengan tali siapa aku berpegang, jikalau Engkau putuskan tali Engkau daripadaku ? wahai buruknya dari berhenti di hadapan Engkau besok, apabila dikatakan bagi orang asing yang diringankan: “Lewatlah !”. Dan dikatakan bagi orang-orang yang diberatkan: “Turunlah !”. Adakah bersama orang-orang yang diringankan itu, aku lewat ? adakah bersama orang-orang yang diberatkan itu, aku turun ? celaka aku ! tiap bertambah tua umurku, lalu banyaklah dosa-dosaku. Celaka aku ! tiap lanjut usiaku, lalu banyaklah kemaksiatanku. Maka hingga kapan aku bertaubat ? dan hingga kapan aku kembali ? apakah tidak datang sekarang waktunya bagiku bahwa aku malu kepada Tuhanku ? Maka inilah jalan kaum shufi dalam  membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya dan pada mencela (bermu’atabah) akan dirinya. Adapun tuntutan mereka dari kelepasan itu mohon kerelaan. Dan maksud mereka dari al-mu’atabah itu pemberitahuan dan mencari penjagaan. Maka siapa yang melengahkan al-mu’atabah (mengoreksi akan kesalahan) dan al-munajah (membisikkan segala isi hati), niscaya tidaklah dia itu memelihara dirinya. Dan hampirlah bahwa tidaklah Allah Ta’ala ridha kepadanya. Wassalam. Telah tammat Kitab Memperhitungkan dan Al-muraqabah/memperhatikan, yang akan diiringi dengan “Kitab Tafakkur” insya Allahu Ta’ala. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Selamat dan salam kepada Penghulu kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya sekalian.