KITAB AL-MURAQABAH DAN AL-MUHASABAH.
KITAB memperhatikan, mengintip,
menjaga DAN memperhitungkan, memperkirakan
Yaitu: Kitab Ke-8 dari Rubu’ Yang
Melepaskan dari kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah
Yang Mengetahui atas tiap diri, akan apa yang diusahakannya. Yang Memperhatikan
atas tiap anggota badan, akan apa yang diperbuatkannya. Yang Menengok atas yang
tersembunyi di hati, apabila terguris. Yang Menghitung atas segala gurisan hati
hamba-hambaNya, apabila tergerak. Yang tidak hilang dari IlmuNya seberat
atompun, di langit & di bumi, yang bergerak atau diam. Yang Memperhitungkan
akan segala titik-titik yg halus & segala sesuatu, sedikit & banyak
dari segala perbuatan, walaupun yg tersembunyi. Yang Berkeutamaan dengan
menerima segala ketaatan hamba, walaupun yg kecil.
Yang Berkemurahan dengan
memberi kemaafan dari segala kemaksiatan mereka, walaupun banyak. Sesungguhnya
Allah memperhitungkan amal perbuatan mereka, untuk diketahui oleh setiap diri,
akan apa yang didatangkannya. Dan dipandangnya pada apa yang dikerjakannya,
yang dahulu dan yang kemudian. Maka ia tahu, bahwa jikalau tidak ia
mengharuskan bagi memperhatikan DAN memperhitungkan di dunia, niscaya ia celaka
pada jalan kiamat dan binasa. Dan sesudah bersungguh‑sungguh, memperhitungkan dan memperhatikan,
jikalau tidaklah kurniaNya dengan menerima barang-jualannya yang bercampur,
niscaya diri itu kecewa dan rugi.
Maka Maha Sucilah Allah
yang meratai nikmatNya kepada seluruh hamba dan lengkap. Dan menghabisi
rahmatNya akan segala makhluk di dunia dan akhirat dan meliputi semuanya. Maka
dengan segala pemberian anugerahNya, meluaslah hati bagi iman dan melapang. Dan
dengan kenikmatan taufiqNya/ petunjukNya, terikatlah segala anggota badan
dengan ibadah dan beradab. Dan dengan baik hidayahNya (anugrahNya/petunjukNYA),
terhapuslah dari hati, kegelapan bodoh dan terserak-serak.
Dan dengan penguatan dan
pertolonganNya, terputuslah segala tipuan setan dan tertolak. Dan dengan kehalusan
‘inayahNya (bantuan pertolongan dari allah), bertambah kuatlah daun neraca
kebaikan, apabila telah berat. Dan dengan permudahanNya, menjadi mudahlah dari
segala amalan taat, akan apa yang telah mudah. Maka daripadaNyalah pemberian,
balasan, penjauhan, pendekatan, bahagia dan celaka. Rahmat itu kepada Muhammad,
penghulu nabi-nabi, kepada keluarganya, penghulu orang-orang pilihan, dan
kepada para sahabatnya pemimpim orang-orang yang taqwa.
Adapun kemudian, maka
Allah Ta’ala berfirman: “Dan pada hari kiamat (kebangunan) itu. Kami tegakkan
neraca yang betul, sehingga satu diri tidak akan dirugikan barang sedikitpun:
dan kalau ada(usaha) sebesar biji sawi Kami kemukakan juga dan cukuplah Kami
membuat perhitungan”. S21 Al Anbiyaa’ ayat47
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan
diletakkan kitab (buku amalan), lalu engkau lihat orang-orang yang bersalah itu
merasa ketakutan kepada apa yang di dalamnya dan mereka mengeluh: Aduhai !
malangnya kami ! kitab apakah ini ! tidak ditinggalkannya perkara yang kecil
dan besar, melainkan dihitungnya semuanya. Mereka mendapati apa yang telah
dikerjakannya semuanya bertemu dan Tuhan engkau tidak merugikan kepada
seorangpun”. S 18 Al Kahfi ayat 49.
- Allah Ta’ala berfirman: “Di hari
Allah membangkitkan mereka semuanya, lalu diberitakan oleh Allah kepada mereka,
apa yang telah dikerjakannya. Allah telah membuat perhitunganNya, sedang mereka
melupakan itu. Dan Allah menyaksikan segala sesuatu”. S 58 Al Mujaadalah ayat
6.
- Allah Ta’ala berfirman: “Di hari itu
manusia berangkat dalam beberapa rombongan, supaya kepada mereka diperlihatkan
perbuatannya. Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan
dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan
dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 6-7-8.
- Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian
dicukupkanNya kepada setiap diri pembayaran (pembalasan) apa yang telah
diusahakannya dan mereka tidak dirugikan”. S 2 Al Baqarah ayat 281.
-Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari
kiamat, kepada tiap-tiap diri, dikemukakan kebaikan yang telah dikerjakannya
dan juga kejahatan yang diperbuatnya. Dia ingin supaya antaranya dengan
kejahatan itu ada jarak yang jauh. Dan Allah memperingatkan kepadamu akan
kewajibanmu terhadap Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat 30.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan
ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yg dalam hatimu. Sebab itu berhati-hatilah
dengan Allah”. S2 Al Baqarah ayat235
Maka orang-orang yang
mempunyai mata hati dari sejumlah hamba itu, tahu bahwa Allah Ta’ala mengintip
mereka. Dan mereka diperdebatkan pada hitungan amal. Mereka dituntut dengan
seberat atom dari segala gurisan hati dan masa-masa sekejap mata. Dan mereka yakin, bahwa
tidaklah yang melepaskan mereka dari segala gurisan hati ini, selain oleh
selalu memperhitungkan amal, benarnya memperhatikan dan menuntut diri pada
segala tarikan nafas dan gerak-gerik. Dan mengadakan memperhitungkan amal pada
segala gurisan hati dan masa-masa sekejap mata.
Barangsiapa mengadakan
memperhitungkan amal akan dirinya, sebelum dia diadakan perhitungan amal,
niscaya ringanlah pada hari kiamat akan perhitungan amalnya. Dan terhinggalah
ketika pertanyaan akan jawabannya. Dan baiklah berbalik-baliknya dan
kembalinya. Dan barangsiapa yang tiada melakukan perhitungan amal pada dirinya,
niscaya berkekalanlah penyesalannya. Dan lamalah pada lapangan kiamat
berdirinya. Dan ia dibawa kepada kehinaan dan kutukan oleh kejahatannya.
Maka apabila telah
tersingkap bagi mereka yang demikian, niscaya mereka tahu, bahwa tiada yang
melepaskan mereka daripadanya, selain oleh perbuatan taat kepada Allah. Dan
Allah Ta’ala menyuruh mereka dengan sabar dan keteguhan kekuatan. Maka Allah
Yang Maha Agung berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! sabarlah dan
cukupkanlah kesabaran dan perteguhkanlah kekuatanmu !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 200.
Maka perteguhkanlah dirimu, pertama-tama dengan memperlakukan syarat diantara
orang-orang yang bekerja sama. Kemudian, dengan memperhatikan. Kemudian, dengan
memperhitungkan. Kemudian, dengan memikirkan akibat. Kemudian, dengan bersungguh‑sungguh. Dan kemudian, dengan mengoreksi akan
kesalahan. Maka adalah bagi mereka itu pada keteguhan kekuatan, 6
maqam/tingkat. Dan tidak boleh tidak daripada menguraikan, menjelaskan
hakikat/maknanya dan keutamaannya. Dan menguraikan amal perbuatan padanya. Dan
pokok yang demikian itu ialah, memperhitungkan. Akan tetapi, setiap perhitungan
itu, adalah sesudah memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama
dan memperhatikan. Dan diikuti ketika kerugian, oleh mengoreksi akan kesalahan
dan memikirkan akibat. Marilah kami sebutkan uraian maqam-maqam
(tingkat-tingkat) ini ! dan taufiq/petunjuk kiranya dari Allah.
MAQAM/TINGKAT PERTAMA DARI
Al-MURABATHAH (memperhatikan perbuatan diri):
ialah: al-musyarathah
(memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama)
Ketahuilah, bahwa yang dicari oleh
orang-orang yang meletakkan mu’amalah (pada perniagaan), yang berkongsi pada
benda-benda yang diperniagakan, ketika diadakan perhitungan, ialah: selamatnya
keuntungan. Sebagaimana orang yang berniaga meminta pertolongan dengan
kongsinya (sekutunya), lalu diserahkan kepadanya harta, sehingga ia berniaga,
kemudian ia mengadakan perhitungan dengan kongsinya itu, maka seperti demikian
pula akal, di mana ia berniaga pada jalan akhirat. Bahwa yang dicarinya dan
keuntungannya, ialah: pembersihan jiwa. Karena dengan demikianlah
kemenangannya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan (jiwa)nya. Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorkannya”.
S 91 Asy Syams ayat 9-10. Sesungguhnya kemenangannya, ialah dengan amal-amal
shalih. Dan akal itu meminta tolong dengan jiwa pada perniagaan ini. Karena
akan dipakainya dan dipergunakannya, pada apa yang akan membersihkan jiwa itu.
Sebagaimana orang yang berniaga (saudagar) meminta tolong dengan kongsinya dan
budaknya, yang akan berniaga pada hartanya. Sebagaimana kongsi itu menjadi
lawan yang bertengkar, yang menarikkannya pada keuntungan, maka diperlukan
kepada: pertama-tama, melakukan memperlakukan syarat diantara orang-orang yang
bekerja sama, kedua melakukan memperhatikan, ketiga melakukan memperhitung kan
dan keempat melakukan memikirkan akibat mengoreksi akan kesalahan.
Maka seperti demikian juga
akal. Ia memerlukan kepada memperlakukan syarat diantara orang-orang yang
bekerja sama pada diri pada pertama-tamanya. Maka ditugaskan kepadanya akan
tugas-tugas dan diisyaratkan akan syarat-syarat. Diberi petunjuk dia kepada
jalan-jalan kemenangan. Dan diyakinkan kepadanya akan urusan dengan menempuh
jalan-jalan yang demikian.
Kemudian, ia tidak lalai
sekejap matapun daripada memperhatikannya. Bahwa jikalau ia menyia-nyiakannya,
niscaya ia tidak melihat daripadanya, selain pengkhianatan dan penyia-nyiaan
modal perniagaan. Seperti budak yang berkhianat, apabila terbuka baginya
kesempatan dan sendirian dengan harta. Kemudian, sesudah selesai, seyogyalah
bahwa diadakannya memperhitungkan dan dimintanya dengan menepati syarat-syarat
yang telah diperbuat. Bahwa ini adalah perniagaan, yang keuntungannya sorga
Al-Firdaus yang tertinggi dan sampai ke Sadratul-muntaha bersama nabi-nabi dan
orang-orang syahid.
Maka ketelitian
perhitungan (al-hisab) pada ini bersama diri, adalah besar kepentingannya
daripada ketelitiannya pada keuntungan-keuntungan duniawi, serta
keuntungan-keuntungan duniawi itu adalah terpandang hina, dibandingkan dengan
nikmat masa depan (akhirat). Kemudian, bagaimanapun adanya, maka kembalinya itu
kepada terputus dan berlalu. Dan tiada kebajikan itu pada kebajikan yang tiada
kekal. Bahkan kejahatan yang tiada kekal itu lebih baik dari kebajikan yang
tidak kekal. Karena kejahatan yang tiada kekal, apabila ia terputus, niscaya
kekallah kegembiraannya selalu dengan terputusnya itu. Dan telah berlalulah
kejahatan itu. Dan kebajikan yang tiada kekal itu meninggalkan kesedihan selalu
di atas terputusnya. Dan telah berlalu kebajikan itu. Dan karena itulah,
diucapkan orang pada suatu madah:
Yang paling sedih menurutku,
ialah pada kegembiraan,
yang diyakini oleh yang empunya itu,
karena kepindahan.....
Maka haruslah atas setiap
orang yang mempunyai al-‘azam (cita-cita yang telah diputuskan dengan mantap),
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, bahwa ia tidak lalai daripada
memperhitungkan dirinya. Dan mempersempitkan kepadanya, pada segala gerak dan
diamnya, segala gurisan hati dan bahagian-bahagian yang kecil daripadanya.
Bahwa setiap nafas dari nafas-nafas umur itu adalah mutiara yang berharga, yang
tiada gantinya, yang mungkin dibelikan dengan dia itu suatu gudang dari
gudang-gudang yang tiada berkesudahan nikmatnya untuk selama-lamanya. Maka
berlalunya nafas-nafas ini yg lenyap atau menjurus kepada yang menghela
kebinasaan itu adalah kerugian besar, yang menakutkan, yang tidak diperbolehkan
oleh diri orang yg berakal. Jadi, apabila datang waktu shubuh bagi seorang
hamba & ia selesai dari shalat fardhu Shubuh, niscaya seyogyalah ia
mengosongkan hatinya sesaat bagi memperlaku kan syarat diantara orang-orang
yang bekerja sama kepada diri. Sebagaimana saudagar ketika menyerahkan harta
perniagaan kepada kongsi yang mengerjakan, maka kosonglah majelis bagi
memperlakukan syarat diantara orang-orang yang bekerja sama. Lalu ia mengatakan
kepada diri: “Apakah bagiku harta perniagaan, selain umur. Manakala umur itu
lenyap, maka lenyaplah modal perniagaan. Dan terjadilah keputus-asaan dari
perniagaan dan mencari laba. Dan hari ini yang baru, telah ditangguhkan oleh
Allah akan aku padanya. Dan Ia melambatkan akan ajalku. Ia menganugerahkan
nikmat kepadaku dengan dia. Jikalau Ia mematikan aku, niscaya adalah aku
bercita-cita bahwa Ia mengembalikan aku ke dunia, walaupun 1hari. Sehingga aku
mengerjakan padanya amal shalih.
Maka hai diriku,
perkirakanlah, bahwa engkau telah mati. Kemudian, engkau dikembalikan ke dunia.
Maka awaslah, kemudian, awaslah bahwa engkau menyia-nyiakan hari ini ! bahwa
setiap nafas dari nafas-nafas itu adalah mutiara, yang tidak ternilai. Dan
ketahuilah, hai diri bahwa sehari-semalam itu 24 jam. Dan telah datang pada
hadits, bahwa terbentang bagi hamba setiap hari dan malam, 24 gudang (khazanah)
yang berbaris. Maka dibuka bagi hamba itu daripadanya sebuah gudang. Lalu
dilihatnya penuh cahaya dari kebaikan-kebaikannya yang dikerjakannya pada saat
itu. Maka diperolehnya dari kegembiraan, kesukaan dan kesenangan dengan
menyaksikan cahaya-cahaya, yang adalah cahaya-cahaya itu menjadi wasilah(jalan yang menyampaikan kepadaNya)
baginya di sisi Yang Memerintahi, Yang Maha Perkasa, akan apa, yang jikalau
dibagi-bagikan kepada isi neraka, niscaya mendahsyatkan akan mereka oleh
kegembiraan itu, ketika merasakan dengan kepedihan neraka.
Dan dibukakan baginya
gudang yang lain, yang hitam dan gelap, yang berkembang bau busuknya dan
ditutupi oleh kegelapannya. Yaitu: saat yang ia berbuat maksiat kepada Allah
Ta’ala padanya. Maka diperolehnya dari kehuru-haraan dan kegundahan, akan apa,
yang jikalau dibagi-bagikan kepada penduduk sorga, niscaya menyempitkan kepada
mereka akan kenikmatan sorga itu. Dan terbuka baginya gudang yang lain, yang
kosong, yang tidak ada baginya dalam gudang itu, apa yang mengembirakannya dan
tidak ada, apa yang memburukkannya. Yaitu: saat yang ia tidur padanya atau ia
lalai atau ia sibuk dengan sesuatu dari hal-hal yang diperbolehkan di dunia
ini.
Maka ia mengeluh atas
kosongnya saat itu dan diperolehnya dari tipuan jual-beli yang demikian, akan
apa yang diperoleh oleh orang yang mampu kepada keuntungan banyak dan kemilikan
yang besar, apabila disia-siakannya dan dianggapnya mudah. Sehingga luput
baginya akan yang demikian. Alangkah yang demikian itu mencegah engkau dari
keluhan dan tipu daya perniagaan ! Begitulah didatangkan kepadanya
gudang-gudang waktunya sepanjang umurnya. Maka ia berkata kepada dirinya:
“Bersungguh-sungguhlah hari ini, bahwa engkau memakmurkan gudang engkau ! dan
janganlah engkau membiarkannya kosong dari gudang-gudang engkau, yang itu
adalah sebab-sebab bagi hak milik engkau ! dan janganlah engkau cenderung
kepada kemalasan, kesia-siaan dan keistirahatan ! maka luputlah bagi engkau
dari derajat orang-orang yang tinggi, yang diperoleh orang yang lain dari
engkau. Dan tinggallah pada engkau keluhan, yang tiada akan bercerai dari
engkau, walaupun engkau masuk sorga.
Maka kepedihan tipuan
dalam perniagaan dan keluhannya itu tidak sanggup dipikul, walaupun kurang dari
kepedihan api neraka. Sebahagian mereka berkata: “Umpamakanlah, bahwa orang
yang berbuat jahat itu telah dimaafkan. Bukankah telah luput baginya pahala
orang-orang yang berbuat baik ? Yang berbicara itu mengisyaratkan dengan yang
demikian, kepada penipuan dalam perniagaan dan keluhan. Allah Ta’ala berfirman:
“Di hari Dia mengumpulkan kamu untuk hari pertemuan. Itulah hari tipu-menipu”.
S 64 Ath Taghabun ayat 9. Maka inilah wasiat seseorang bagi dirinya pada
waktu-waktunya. Kemudian, hendaklah ia mengulangi kembali akan wasiat pada
anggota-anggota tubuhnya yang 7. Yaitu: mata, telinga, lidah, perut, faraj
(kemaluan), tangan dan kaki. Dan menyerahkannya kepada dirinya.
Sesungguhnya
anggota-anggota tubuh itu adalah rakyat yang melayani dirinya pada perniagaan
ini. Dengan anggota-anggota tubuh tersebut, sempurnalah amal perbuatan
perniagaan ini. Dan neraka jahannam itu mempunyai 7 pintu. Bagi setiap pintu
dari mereka itu mempunyai bahagian yang terbagi. Sesungguhnya tertentulah
pintu-pintu itu bagi orang yang berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dengan
anggota-anggota tubuh itu. Maka ia mewasiatkan kepada anggota-anggota tubuh
tersebut, dengan menjagakannya dari kemaksiatan-kemaksiatannya.
Adapun mata, maka
dijaganya daripada memandang kepada wajah orang yang bukan mahramnya atau
kepada aurat orang Islam. Atau memandang kepada orang Islam, dengan mata
penghinaan. Bahkan dari setiap yang berlebihan yang tidak diperlukan. Bahwa
Allah Ta’ala menanyakan hambaNya dari yang berlebihan pandangan, sebagaimana Ia
menanyakan dari yang berlebihan perkataan. Kemudian, apabila ia telah
memalingkan mata itu dari yang tersebut, niscaya ia tidak cukupkan dengan yang
demikian saja. Sehingga ia sibukkan mata itu dengan apa, yang padanya
perniagaan dan keuntungan bagi mata. Yaitu: apa yang diciptakan mata baginya,
daripada memandang kepada keajaiban-keajaiban ciptaan Allah dengan pandangan
ibarat. Dan memandang kepada amal perbuatan kebajikan, untuk diikuti. Dan
memandang pada Kitab Allah dan sunnah RasulNya. Dan membaca kitab-kitab ilmu
hikmah, untuk mengambil pengajaran dan memperoleh faedah. Begitulah seyogyanya
bahwa yg diuraikan keadaan pada mata, untuk anggota-anggota badan yang lain.
Lebih-lebih mengenai lidah & perut
Adapun lidah, maka dia itu
menurut tabiatnya berjalan dengan lancar. Dan tiada perbelanjaan atasnya pada
gerak. Dan penganiayaannya itu besar dengan mengumpat, berdusta, lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang, membersihkan diri, mencaci makhluk dan
makanan, mengutuk, berdoa atas musuh, bertengkar pada perkataan dll, dari apa
yang telah kami sebutkan pada Kitab Bahaya Lidah. Maka lidah itu di samping
semua yang demikian, serta dia itu diciptakan untuk berdzikir, memperingati
orang, mengulang-ulangi ilmu dan mengajar, menunjukkan hamba-hamba Allah kepada
jalan Allah, mendamaikan antara orang yang berselisih dan perbuatan-perbuatan
kebajikan lainnya, maka hendaklah ia mensyaratkan atas dirinya, bahwa ia tidak
menggerakkan lidah sepanjang hari, selain pada berdzikir. Maka tuturan orang
mu’min itu dzikir. Pandangannya mengandung ibarat. Diamnya mengandung pikiran.
Ia tidak melafalkan sesuatu perkataan, selain ada padanya pengawas, yang
siap-sedia mencatatnya.
Adapun perut, maka
diberatinya meninggalkan kerakusan, menyedikitkan makan dari yang halal dan
menjauhkan harta-harta yang diragukan halalnya (harta syubhat). Ia mencegah
perutnya dari nafsu syahwat. Menyingkatkan atas sekedar darurat. Dan
mensyaratkan atas dirinya, bahwa jikalau ia menyalahi akan sesuatu dari yang
demikian, niscaya disiksakannya dengan mencegah dari nafsu keinginan perut.
Supaya menghilangkannya akan lebih banyak, dari apa yang diperolehnya dengan
nafsu keinginan itu. Begitulah ia mensyaratkan atas nafsu keinginan itu pada
semua anggota badannya. Dan membahas yang demikian secara mendalam akan
panjang. Dan tidaklah tersembunyi perbuatan-perbuatan maksiat anggota badan dan
perbuatan-perbuatan taatnya. Kemudian, ia mengulangi akan wasiatnya pada
tugas-tugas ketaatan yang berulang-ulang kepadanya pada siang dan malam.
Kemudian pada amalan-amalan sunat, yang disanggupinya. Dan ia sanggup atas
memperbanyakkannya. Dan ia menertibkan baginya akan penguraian, caranya dan
cara menyiapkannya dengan sebab-sebabnya. Inilah syarat-syarat yang dihajati
pada setiap hari ! akan tetapi, apabila insan membiasakan syarat yang demikian
atas dirinya beberapa hari dan dipatuhi oleh dirinya pada menepati semuanya,
niscaya ia tidak memerlukan kepada memperlakukan syarat diantara orang-orang
yang bekerja sama padanya.
Dan jikalau ia mematuhi
pada sebahagiannya, maka tetaplah dibutuhkan kepada pembaruan memperlakukan
syarat diantara orang-orang yang bekerja sama, pada yang tinggal itu. Akan
tetapi, tidaklah terlepas setiap hari dari kepentingan yang baru. Dan kejadian
yang baru itu mempunyai hukum yang baru. Dan Allah mempunyai hak atasnya pada
yang demikian. Dan banyaklah ini atas orang yang sibuk dengan sesuatu dari
urusan-urusan duniawi, dari: pemerintahan atau perniagaan atau memberi
pelajaran. Karena sedikitlah terlepas seharipun dari kejadian yang baru, yang
membutuhkan bahwa ditunaikan akan hak Allah padanya. Maka haruslah ia
mensyaratkan atas dirinya akan al-istiqamah padanya dan mengikuti akan
kebenaran pada jalur-jalurnya. Dan ia mengingati akan dirinya akibat
kelengahan. Dan mengajarinya sebagaimana diajari budak yang lari, yang durhaka.
Bahwa nafsu itu menurut
tabiatnya durhaka dari amalan-amalan taat, berbuat kemaksiatan dari
memperhambakan diri. Akan tetapi, pengajaran dan memberi pelajaran adab sopan-santun
itu membekas padanya. Berilah peringatan, bahwa peringatan itu bermanfaat bagi
orang mu’min. Maka ini dan yang berkata seperti ini, adalah permulaan maqam
keteguhan kekuatan serta diri. Yaitu: mengadakan perhitungan sebelum berbuat
memperhitungkan itu sekali adalah sebelum berbuat dan lain kali sesudahnya,
untuk menjagakan diri.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan
ketahuilah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dalam dirimu. Sebab itu
jagalah dengan hati-hati !”. S 2 Al Baqarah ayat 235. Ini adalah untuk masa
yang akan datang. Setiap pandangan pada banyak dan sekedar untuk mengetahui
bertambah dan berkurang, maka itu dinamakan: memperhitungkan. Maka perhatian
pada apa, yang di hadapan hamba pada siangnya, adalah untuk diketahui
tambahannya dari kekurangannya, dari memperhitungkan.
- Allah Ta’ala berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman ! apabila kamu berperang di jalan Allah, lakukanlah
penyelidikan !”. S 4 An Nisaa’ ayat 94.
- Allah Ta’ala berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman ! kalau datang kepadamu orang jahat membawa berita,
maka periksalah dengan seksama !”. S 49 Al Hujuraat ayat 6.
- Allah Ta’ala berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya”. S 50 Qaaf ayat 16. Allah Ta’ala menyebutkan yang demikian, untuk
menjaga-jaga dan memberitahukan bagi pemeliharaan daripadanya pada masa
mendatang. Diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Nabi saw bersabda
kepada seorang laki-laki yang meminta kepadanya, supaya memberi wasiat dan memberi
pengajaran kepadanya, yaitu: “Apabila engkau menghendaki akan suatu urusan,
maka pikirkanlah secara mendalam akan akibatnya ! maka jikalau baik,
teruskanlah dan jikalau buruk, maka hentikanlah !”.
Berkata sebahagian ahli
hikmah (filosuf): “Apabila engkau menghendaki bahwa akal itu yang menang atas
hawa nafsu, maka janganlah engkau berbuat dengan memenuhi nafsu syahwat,
sehingga engkau memperhatikan akan akibat. Sesungguhnya berhentinya penyesalan
dalam hati itu lebih banyak dari berhentinya keringanan nafsu syahwat”.
Lukman berkata: “Bahwa
orang mu’min, apabila memperhatikan akan akibat, niscaya ia aman dari
penyesalan. Syaddad bin Aus meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw
bersabda: “Orang yang pintar, ialah orang yang mengagamakan dirinya dan beramal
untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh, ialah orang yang mengikutkan dirinya
dengan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. Mengagamakan dirinya,
artinya: mengadakan perhitungan akan dirinya. Hari agama (yaumuddin), ialah:
hari perhitungan (yaumul-hisab). Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya kita
akan menerima perhitungan ?”. S 37 Ash Shaffaat ayat 53. Artinya: madiinuuna,
ialah: muhaasibuuna, yaitu: mengadakan memperhitungkan.
Umar ra berkata:
“Adakanlah memperhitungkan akan dirimu, sebelum kamu diadakan perhitungan !
timbangkanlah dia, sebelum engkau ditimbangkan ! bersiaplah untuk penampilan
yang terbesar (hari kiamat) !”. Umar ra menulis surat kepada Abu Musa
Al-Asy’ari: “Adakanlah memperhitungkan akan dirimu pada waktu lapang, sebelum perhitungan/al-hisab
di waktu sempit!”. Umar ra bertanya kepada Ka’ab: “Bagaimana engkau
mendapatinya dalam Kitab Allah ?”. Ka’ab menjawab: “Azab bagi yang mengadakan
perkiraan di bumi dari yang mengadakan perkiraan di langit. Maka di atasnya itu
dengan permata”. Umar menjawab: “Kecuali orang yang mengadakan memperhitungkan
akan dirinya”. Lalu Ka’ab berkata: “Hai Amirul-mu’minin ! bahwa perkataan
tersebut sampai tepinya itu dalam Taurat. Tiada diantara keduanya itu huruf,
selain orang yang mengadakan perhitungan akan dirinya”. Ini semuanya adalah
isyarat kepada memperhitungkan untuk masa mendatang. Karena Nabi saw bersabda
pada hadits yang lalu: “Orang yang mengagamakan dirinya itu berbuat untuk apa
yang sesudah mati”. Artinya: pertama-tama ia menimbang segala urusan dan
dinilainya. Diperhatikannya dan dipahaminya dengan mendalam. Kemudian, ia
tampil kepada urusan itu. Lalu dilaksanakannya.
AL-MURABATHAH(memperhatikan
perbuatan diri). KEDUA: al-muraqabah (memperhatikan, mengintip, menjaga).
Apabila insan mewasiatkan akan dirinya
dan mensyaratkan kepadanya, akan apa yang telah kami sebutkan itu, maka tiada
tinggal lagi, selain: menjaga baginya ketika terjun pada amal perbuatan dan
memperhatikannya dengan mata yang menjaga. Bahwa diri itu, jikalau ditinggalkan
begitu saja, niscaya ia durhaka dan rusak. Marilah kami sebutkan keutamaan
menjaga. Kemudian derajat-derajatnya !
Adapun keutamaan, maka
Jibril as bertanya kepada Nabi saw dari hal (al-ihsan) Balasan perbuatan baik.
Lalu Nabi saw menjawab: “Bahwa engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau
melihatNya”. Nabi saw bersabda: “Beribadahlah kepada Allah, seakan-akan engkau
melihatNya. Maka jikalau engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat
engkau”.
- Allah Ta’ala berfirman: “Adakah Yang
Menjaga tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya ?”. S 13 Ar Ra’d ayat
33.
-Allah Ta’ala berfirman: “Tiadakah
diketahuinya, bahwa Allah itu melihat ?”. S 96 Al ‘Alaq ayat 14.
-Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
Allah itu Penjaga kamu sekalian”. S 4 An Nisaa’ ayat 1.
-Allah Ta’ala berfirman: “Dan
orang-orang yang memelihara amanat & perjanjiannya. Dan orang-orang yg
tegak dengan lurus dalam kesaksiannya”. S 70 Al Ma’arij ayat 32-33.
Ibnul-Mubarak berkata
kepada seorang laki-laki: “Berintiplah dengan Allah Ta’ala !”. Lalu laki-laki
itu menanyakan tentang penafsirannya. Maka Ibnul-Mubarak menjawab: “Adalah
engkau selama-lamanya, seakan-akan engkau melihat Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Abdul-Wahid bin Zaid
berkata: “Apabila adalah Penghuluku itu memperhatikan aku, maka tiada aku
perduli dengan yang lain”. Abu Usman Al-Maghribi berkata: “Yang lebih utama
diharuskan oleh manusia akan dirinya pada jalan ini, ialah: memperhitungkan dan
memperhatikan. Dan siasat amalnya itu dengan ilmu”. Ibnu ‘Atha berkata: “Taat
yang paling utama, ialah: memperhatikan akan Yang Maha Benar (Al-Haq) pada
selalu waktu”.
Al-Jurairi berkata:
“Urusan kita ini terbina atas dua pokok: bahwa diri engkau selalu akan
memperhatikan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan bahwa adalah ilmu itu berdiri
atas zahiriyah engkau”. Abu Usman berkata: “Berkata Abu Hafash kepadaku:
“Apabila engkau duduk untuk manusia, maka adalah engkau itu yang memberi
pengajaran bagi diri engkau dan hati engkau dan tidaklah tertipu engkau oleh
berkumpulnya mereka terhadap engkau. Sesungguhnya mereka memperhatikan akan
zahiriyah engkau. Dan Allah itu memperhatikan akan batiniyah engkau”.
Diceritakan, bahwa ada
bagi sebahagian para syaikh dari golongan ini, seorang murid yang masih pemuda.
Syaikh itu memuliakan dan menonjolkan murid tersebut. Lalu sebahagian
sahabatnya bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau memuliakan dia ini ? dan dia
itu masih pemuda dan kami ini orang-orang tua”. Syaikh itu lalu meminta
beberapa ekor burung. Dan diberikannya kepada setiap orang dari mereka, seekor
burung dan pisau. Dan berkata: “Hendaklah masing-masing kamu menyembelih
burungnya pada tempat yang tidak dilihat oleh seseorang”. Dan ia berikan kepada
pemuda itu seperti yang demikian. Dan ia mengatakan kepada pemuda itu seperti
yang dikatakannya kepada mereka. Maka masing-masing mereka kembali dengan
membawa burungnya yang sudah disembelih. Dan pemuda itu kembali dan burungnya
masih hidup dalam tangannya. Lalu syaikh itu bertanya: “Bagaimana engkau tidak
menyembelih sebagaimana disembelih oleh teman-teman engkau ?”. Pemuda itu
menjawab: “Aku tidak mendapati tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang
padanya. Karena Allah melihat kepadaku pada setiap tempat”. Maka mereka itu
memperoleh yang baik dari pemuda itu akan Al muraqabah (memperhatikan, mengintip,
menjaga) ini. Dan mereka berkata: “Benarlah engkau bahwa memuliakannya”.
Diceritakan, bahwa
Zulaikha tatkala tinggal berdua dengan Yusuf as lalu bangun berdiri dan
menutupkan muka patung yang ada kepunyaannya. Lalu Yusuf as berkata: “Bagaimana
engkau ini ? adakah engkau malu dari dilihat benda beku & tidak malu dari
dilihat Yang Memiliki, Yang Maha Perkasa ?”.
Diceritakan dari
sebahagian pemuda, bahwa ia membujuk seorang pelayan wanita tentang diri
pelayan itu. Maka pelayan tersebut berkata kepada pemuda itu: “Apakah engkau
tidak malu?”. Pemuda itu menjawab: “Kepada siapa aku malu ? dan kita ini tidak
dilihat oleh bintang-bintang”. Pelayan wanita itu menjawab: “Maka dimanakah
Yang Empunya bintang-bintang itu ?”.
Seorang laki-laki bertanya
kepada Al-Junaid: “Dengan apa aku minta tolong memicingkan mata ?”. Al-Junaid
lalu menjawab: “Dengan ilmu engkau, bahwa pandangan Yang Memandang kepada
engkau itu lebih dahulu dari pandangan engkau kepada Yang Dipandang itu”.
Al-Junaid berkata: “Sesungguhnya diyakinilah dengan memperhatikan itu, oleh
orang yang takut atas kehilangan keberuntungannya dari Tuhannya ‘Azza Wa
Jalla”.
Dari Malik bin Dinar, yang
mengatakan: “Sorga ‘Adnen itu dari sorga Firdaus. Di dalamnya bidadari yang
diciptakan dari bunga mawar sorga”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Siapakah yang
menempatinya ?”. Malik bin Dinar menjawab: “Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang menempati sorga Adnen itu, ialah mereka, apabila
bercita-cita mengerjakan perbuatan maksiat, niscaya mereka ingat akan pengajaranKu.
Lalu mereka memperhatikan akan Aku. Dan mereka yang bungkuk tulang punggungnya
dari ketakutan kepadaKu. Demi kemuliaan dan keagunganKu ! bahwa tiada cita-cita
bagiKu dengan mengazabkan penduduk bumi. Apabila Aku melihat kepada orang-orang
yang lapar dan haus dari ketakutannya kepadaKu, niscaya
Aku palingkan dari mereka akan azab itu”.
Ditanyakan Al-Muhasibi
tentang memperhatikan. Maka beliau menjawab: “Permulaannya ialah, diketahui
oleh hati akan dekat dengan Tuhan Yang Maha Tinggi”. Berkata Al-Murta’isy
An-Naisaburi: “memperhatikan, ialah memelihara rahasia dengan memperhatikan
yang ghaib, bersama setiap kejap mata dan lafal perkataan”. Dirawikan, bahwa
Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya: “Kamu diwakilkan mengurus yang
zahir (urusan zahiriyah) dan Aku Yang Menjaga atas batiniah”.
Muhammad bin Ali
At-Tarmidzi berkata: “Jadikanlah perharian engkau bagi Yang Tidak Ghaib(tidak
nyata) dari pandanganNya kepada engkau ! jadikanlah syukur engkau bagi Yang
Tidak putus nikmatNya kepada engkau ! jadikanlah ketaatan engkau kepada Yang
Tidak terlepas engkau daripadaNya ! dan jadikanlah merendah diri (khudlu’)
engkau kepada Yang Tidak Keluar engkau dari kepunyaan dan kekuasaanNya !”.
Sahal berkata: “Tiada
terhiaslah hati dengan sesuatu, yang lebih utama dan lebih mulia, dari ilmu
hamba, bahwa Allah menyaksikannya, dimana saja ia berada”. Ditanyakan
sebahagian mereka akan firman Allah Ta’ala: “Allah ridha (merasa senang) kepada
mereka dan mereka merasa senang kepada Allah. Itu untuk siapa yang takut kepada
Tuhannya”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Maka sebahagian mereka tadi menjawab:
“Maknanya, yang demikian itu bagi orang yang memperhatikan akan Tuhannya ‘Azza
Wa Jalla, yang mengadakan perhatian kepada dirinya dan menyediakan perbekalan
bagi kekembaliannya (hari akhirat)”.
Ditanyakan kepada
Dzun-nun: “Dengan apa, hamba itu memperoleh sorga ?”. Maka Dzun-nun menjawab:
“Dengan 5 perkara: istiqamah, yang tidak ada padanya penyimpangan, kesungguhan
(ijtihad), yang tidak ada bersamanya itu kelupaan, mengintip kepada Allah
Ta’ala pada yang tersembunyi dan yang terbuka, menunggu mati dengan persiapan
untuk mati dan memperhitungkan akan diri engkau, sebelum engkau di
perhitungkan”.
Sungguh dimadahkan orang kepada yang
demikian:
Apabila anda sunyi sepi, pada suatu
hari,
maka janganlah anda berkata: aku sunyi
sepi.
Akan tetapi.........
katakanlah: kepadaku ada
Pemerhati.........
Janganlah anda menyangka,
bahwa Allah lalai sesaatpun......
Tidaklah apa yang anda sembunyikan
daripadaNya,
akan menghilang sekejappun...........
Apakah anda tidak melihat,
bahwa hari ini pergi dengan cepat
sekali ?
Bahwa besok itu dekat,
bagi mereka yang menunggui ?
Hamid Ath-Thawil berkata
kepada Sulaiman bin Ali: “Berilah aku pengajaran !”. Sulaiman bin Ali menjawab:
“Jikalau engkau, apabila telah berbuat maksiat kepada Allah dalam keadaan
sendirian, maka yakinlah, bahwa Dia melihat engkau, telah berani melakukan
perbuatan besar. Jikalau engkau menyangka bahwa Dia tidak melihat engkau, maka
sesungguhnya engkau telah kufur”.
Sufyan Ats-Tsuri berkata:
“Haruslah engkau menjaga, kepada Siapa, yang tidak tersembunyi padaNya sesuatu
yang tersembunyi. Haruslah engkau mengharap kepada Siapa, Yang Memiliki
penepatan janji. Dan haruslah engkau menjaga diri kepada Siapa Yang Memiliki kesiksaan”.
Farqad As-Sabakhi
Al-Bashari berkata: “Bahwa orang munafiq
itu memperhatikan. Maka apabila ia tidak melihat seseorang, niscaya ia masuk ke
tempat jahat. Sesungguhnya ia menjaga kepada manusia. Dan tidak ia menjaga kepada
Allah Ta’ala”.
Abdullah bin Dinar
berkata: “Aku pergi bersama Umar bin Al-Khattab ra ke Makkah. Lalu kami
berhenti untuk beristirahat pada sebahagian jalan. Maka turunlah ke jalan itu
seorang penggembala dari bukit. Umar ra lalu berkata kepada penggembala itu:
“Hai penggembala ! juallah seekor dari kambing-kambing ini kepadaku !”.
Penggembala itu menjawab: “Bahwa aku ini milik orang (hamba-sahaya)”. Umar ra
menjawab: “Katakanlah kepada tuanmu, bahwa kambing itu dimakan serigala !”.
Budak itu lalu menjawab: “Maka dimana Allah ?”. Abdullah bin Dinar meneruskan
ceritanya: “Maka menangislah Umar ra. Kemudian, pada besok paginya, Umar ra
pergi kepada budak itu, lalu membelinya dari tuannya dan dimerdekakannya,
seraya berkata: “Engkau dimerdekakan dalam dunia ini, oleh kalimat itu. Dan aku
mengharap, bahwa kalimat itu akan memerdekakan engkau di akhirat”.
PENJELASAN: hakikat/makna Al
muraqabah = memperhatikan, mengintip, menjaga dan derajat-derajatnya.
Ketahuilah, bahwa
hakikat/makna al-muraqabah/memperhatikan, ialah: perhatian yang menjaga dan
terarah cita-cita kepadanya. Maka siapa yang menjaga dari sesuatu urusan,
dengan sebab orang lain, niscaya dikatakan: bahwa dia menjaga (al-muraqabah) si
Anu dan memelihara akan pihaknya. Dan dikehendaki dengan penjagaan ini, ialah
keadaan bagi hati, yang dihasilkan oleh semacam dari pengenalan (ma’rifah). Dan
dihasilkan oleh keadaan itu, akan amal perbuatan pada anggota-anggota badan dan
pada hati.
Adapun keadaan itu, ialah
menjaga hati bagi Yang Menjaga, menyibukkan hati dengan Dia, berpalingnya hati
kepadaNya, perhatiannya hati kepadaNya dan terarahnya hati kepadaNya. Adapun
ma’rifah/pengenalan, yang menghasilkan keadaan itu, maka ialah: ilmu, bahwa
Allah itu melihat segala isi hati, mengetahui segala rahasia, menjaga segala
amal hamba, berdiri di atas setiap diri, dengan apa yang diusahakannya. Bahwa
rahasia hati pada Allah Ta’ala itu terbuka, sebagaimana yang tampak pada kulit
itu terbuka bagi makhluk. Bahkan lebih jelas dari yang demikian. Maka ma’rifah/pengenalan
ini, apabila telah menjadi keyakinan, yakni: bahwa pengenalan itu telah
terlepas dari keraguan, kemudian, sesudah itu, pengenalan tersebut menguasai
dan mengerasi akan hati, maka kerapkali ilmu yang tak ada keraguan padanya itu
tidak mengerasi atas hati, seperti: mengetahui (ilmu) dengan mati.
Maka apabila pengenalan
itu telah menguasai hati, niscaya ia menghelakan hati kepada menjaga pihak Yang
Menjaga dan mengarahkan cita-citanya kepadaNya. Mereka yang yakin dengan
pengenalan ini, ialah: mereka orang-orang mendekatkan diri kepada Allah
(al-muqarrabin). Mereka itu terbagi kepada: orang-orang shiddiqin dan
orang-orang kaum kanan (ash-habul-yamin). Maka penjagaan mereka itu di atas dua
derajat:
Derajat
pertama: ialah penjagaan orang-orang yang mendekatkan diri
kepada Allah dari orang-orang ash-shiddiqin. Yaitu: memperhatikan, mengintip,
menjaga (al-muraqabah) penghormatan dan pemuliaan. Yaitu: bahwa jadilah hati
itu tenggelam dengan perhatian kepada keagungan itu dan pecah berderai di bawah
kehebatan. Maka tiada tinggal padanya keluasan sekali-kali bagi menoleh kepada
yang lain. Dan inilah penjagaan yang tidak kami panjangkan perhatian pada
penguraian amal perbuatannya. Bahwa penjagaan itu terbatas kepada hati. Adapun
anggota-anggota badan, maka dia itu kosong dari penolehan kepada hal-hal yang
diperbolehkan (al-mubahat), lebih-lebih lagi dari hal-hal yang dilarang. Dan
apabila anggota-anggota badan itu bergerak dengan amalan taat, niscaya adalah
dia seperti yang dipakaikan dengan amalan taat tersebut. Maka ia tidak
memerlukan kepada pengaturan dan penetapan pada penjagaannya, di atas cara-cara
yang betul. Akan tetapi, ia membetulkan rakyat dari kepunyaan keseluruhan
penggembala. Dan hati itu, ialah: penggembala. Maka apabila hati itu tenggelam
dengan Yang Disembah, niscaya jadilah anggota-anggota badan itu yang dipakai,
yang berlaku di atas yang betul dan istiqamah, dari tanpa pemberatan. Inilah
dia yang menjadi cita-citanya, sebagai suatu cita-cita. Maka ia dicukupkan oleh
Allah dari cita-cita lainnya. Dan siapa yang mencapai derajat ini, maka ia
kadang-kadang lupa kepada makhluk. Sehingga ia tidak melihat orang yang hadir
di sisinya, sedang ia membuka kedua matanya. Dan ia tidak mendengar apa yang
dikatakan kepadanya, sedang ia tidak tuli dengan yang demikian. Kadang-kadang
–umpamanya- ia lalu kepada anaknya, maka ia tidak berbicara dengan anaknya itu.
Sehingga adalah sebahagian mereka berlaku yang demikian itu kepadanya. Lalu ia
mengatakan kepada orang yang mencacinya: “Apabila engkau lalu kepadaku, maka
gerakkanlah aku !”. Tidaklah engkau memandang ini jauh dari kebenaran.
Sesungguhnya engkau memperoleh akan bandingan ini pada hati orang-orang yang
membesarkan raja-raja di bumi. Sehingga pelayan-pelayan raja itu kadang-kadang
tidak merasakan, apa yang berlaku kepada mereka, pada majelis raja-raja, karena
kesangatan tenggelamnya mereka kepada raja-raja itu. Bahkan, kadang-kadang hati
itu sibuk dengan suatu kepentingan yang tidak berarti dari
kepentingan-kepentingan duniawi. Maka orang itu lalu menyelam dalam pikiran
padanya dan berjalan. Maka kadang-kadang ia melampaui tempat yang
dimaksudkannya. Dan ia lupa kepada pekerjaan yang ia bangkit berdiri kepadanya.
Ditanyakan kepada
Abdul-wahid bin Zaid: “Adakah engkau kenal pada zaman engkau ini, akan
laki-laki yang sibuk dengan keadaannya sendiri, tanpa memperhatikan akan orang
lain ?”. Abdul-wahid bin Zaid menjawab: “Aku tidak kenal, selain seorang
laki-laki yang akan masuk ke tempatmu sesaat lagi”. Maka tidaklah yang demikian
itu, selain berjalan cepat. Sehingga masuklah ‘Utbah Al-Ghallam. Lalu
Abdul-wahid bin Zaid bertanya kepadanya: “Dari mana engkau datang, hai ‘Utbah
?”. ‘Utbah lalu menjawab: “Dari tempat itu dan adalah jalannya ke pasar”.
Abdul-wahid bin Zaid bertanya lagi: “Siapa yang engkau jumpai di jalan ?”.
‘Utbah menjawab: “Aku tiada melihat seorangpun”.
Diriwayatkan dari Yahya
bin Zakaria as, bahwa ia lalu dekat seorang wanita. Maka ditolaknya wanita itu,
sehingga jatuh tersungkur. Maka ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau berbuat
demikian ?”. Yahya bin Zakaria as menjawab: “Aku tidak menyangkakannya, selain
dinding ?”. Diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa ia berkata: “Aku lalu
dengan segolongan orang, yang lempar-melemparkan. Dan seorang duduk jauh dari
mereka. Lalu aku datang ke depannya. Aku bermaksud akan bebicara dengan dia”.
Lalu orang itu berkata: “Berdzikir kepada Allah Ta’ala itu merindukan”. Maka
aku bertanya: “Engkau sendirian ?”. Orang itu menjawab: “Bersamaku Tuhanku dan
dua malaikatku”. Aku lalu bertanya: “Siapa yang dahulu dari mereka itu ?”.
Orang itu menjawab: “Siapa yang diampunkan oleh Allah baginya”. Maka aku
bertanya: “Mana jalan ?”. Orang itu menunjuk arah ke langit. Ia bangun berdiri
dan berjalan, seraya mengucapkan: “Kebanyakan makhluk Engkau sibuk, tanpa
mengingati Engkau”. Maka inilah perkataan yang tenggelam dengan musyahadah
(penyaksian) kepada Allah Ta’ala. Ia tidak berkata-kata, selain daripadaNya.
Dan ia tidak mendengar, selain padaNya. Maka orang ini tidak berhajat kepada
penjagaan lisannya dan anggota-anggota badannya. Semua itu tidak bergerak,
selain dengan apa yang ia padaNya.
Asy-Syibli masuk mendekati
Abil-Husain An-Nuri. Dan dia ini sedang melakukan i’tikaf dalam masjid. Maka
didapatinya Abil-Husain itu diam, baik pergaulan, yang tidak bergerak
sesuatupun dari zahiriyahnya. Maka Asy-Syibli bertanya kepadanya: “Dari mana
engkau mengambil penjagaan ini dan ketenangan ?”. Abil-Husain menjawab: “Dari
kucing yang ada kepunyaan kami. Apabila kucing itu mau menangkap sesuatu, lalu
ia menetapkan kepalanya seperti batu, tiada sehelai bulunya pun yang bergerak”.
Abu Abdillah, Ibnu Khufaif
Asy-Syairazi berkata: “Aku keluar dari Mesir, bermaksud ke Ar-Ramlah, untuk
bertemu dengan Abi Ali Ar-Raudzabari. Lalu berkata kepadaku Isa bin Yunus
Al-Mishri yang terkenal dengan Az-Zahid: “Bahwa di Shur ada seorang pemuda dan
seorang tua, yang keduanya berkumpul di atas keadaan penjagaan. Maka jikalau
engkau pandang kepada keduanya sekali pandang, mudah-mudahan engkau mendapat
faedah dari keduanya itu”. Maka aku masuk ke Shur dan aku dalam keadaan lapar
dan dahaga. Pada pinggangku sehelai kain buruk, yang koyak-koyak. Dan tiada
atas bahuku suatupun. Aku lalu masuk masjid. Tiba-tiba bertemu dengan dua orang
yang duduk menghadap qiblat. Maka aku memberi salam kepada keduanya. Keduanya
itu tiada menjawab salamku. Lalu aku memberi salam kali kedua dan ketiga. Tiada
juga aku mendengar jawaban. Lalu aku berkata: “Aku mencari kedua engkau dengan
nama Allah. Mengapa kedua engkau tidak membalas salamku”. Lalu pemuda itu
mengangkatkan kepalanya dari pakaian buruknya. Maka ia memandang kepadaku,
seraya berkata: “Hai Ibnu Khufaif ! dunia itu sedikit. Dan tiada tinggal dari
yang sedikit itu, selain sedikit. Maka ambillah dari yang sedikit itu akan
banyak. Hai Ibnu Khufaif ! alangkah sedikitnya kesibukan engkau, sehingga
engkau memperoleh keluangan waktu untuk bertemu dengan kami !”. Ibnu Khufaif
meneruskan ceritanya: “Maka ia memegang dengan keseluruhanku. Kemudian, ia
menekurkan kepalanya pada tempat itu untuk kembali kepada penjagaan. Aku
tinggal bersama keduanya itu, sehingga kami mengerjakan shalat Dhuhur dan
‘Ashar. Maka hilanglah laparku, hausku dan letihku. Tatkala telah waktu ‘Ashar,
maka aku berkata: “Berilah aku pengajaran !”. Ia lalu mengangkatkan kepalanya
kepadaku dan berkata: “Hai Ibnu Khufaif ! kami ini orang-orang yang mempunyai
musibah. Tiada bagi kami lisan untuk pengajaran”. Aku tinggal pada keduanya itu
3 hari, tiada aku makan, tiada minum dan tiada tidur. Dan aku tiada melihat
keduanya memakan dan meminum sesuatu. Tatkala hari ketiga, maka aku mengatakan
pada batinku: “Aku bersumpah pada keduanya, kiranya keduanya itu memberi
pengajaran kepadaku. Mudah-mudahan aku memperoleh manfaat dengan pengajaran
keduanya itu”. Maka pemuda itu mengangkatkan kepalanya, seraya berkata
kepadaku: “Hai Ibnu Khufaif ! haruslah engkau bersahabat dengan orang, yang
diingatkan engkau oleh Allah melihatnya ! dan jatuh kehebatannya atas hati
engkau. Ia mengajarkan engkau dengan lisan perbuatannya. Dan ia tidak
mengajarkan engkau dengan lisan perkataannya. Wassalam. Bangunlah dari kami !”.
Maka inilah derajat orang-orang yang bermuraqabah/memperhatikan, yang mengerasi
atas hati mereka, oleh pengagungan dan penghormatan. Lalu tidak tinggal pada
mereka, keluasan bagi yang lain dari itu.
Derajat kedua: ialah: Al muraqabah (memperhatikan, mengintip, menjaga) orang-orang yang wara’
dari golongan kanan. Mereka itu ialah suatu kaum, yang mengerasi keyakinan
bahwa Allah melihat zahiriah dan batiniah mereka atas hati mereka. Akan tetapi,
tidak mendahsyatkan mereka oleh perhatian keagungan. Tetapi, hati mereka tetap
atas batas sedang, yang meluasi bagi penolehan kepada segala hal-ihwal dan amal
perbuatan. Hanya, bahwa hati itu serta melaksanakan segala amal perbuatan,
tidaklah terlepas dari perhatian. Benar, telah mengerasi atas mereka, oleh malu
kepada Allah. Maka mereka tidak maju dan tidak mundur, selain, sesudah
berketetapan hati padanya. Dan mereka mencegah diri dari setiap apa, yang
mereka memperoleh kekejian dengan dia pada hari kiamat. Bahwa mereka itu
melihat Allah di dunia menengok kepada mereka. Maka mereka tidak berhajat
kepada menunggu hari kiamat. Engkau mengenal perbedaan dua derajat tadi dengan
musyahadah (penyaksian). Bahwa engkau pada tempat kesepian engkau,
kadang-kadang mengerjakan amal perbuatan. Lalu datang kepada engkau, anak kecil
atau wanita. Lalu engkau ketahui bahwa dia menengok engkau. Maka engkau malu
kepadanya. Lalu engkau baguskan duduk engkau dan engkau jaga hal keadaan
engkau. Tidak dari karena pengagungan dan pemuliaan, akan tetapi dari karena
malu. Bahwa penyaksiannya itu, walaupun tidak mendahsyatkan engkau dan tidak
menenggelamkan engkau, maka penyaksian itu membangkitkan malu kepada engkau.
Kadang-kadang masuk ke tempat engkau, salah seorang raja atau salah seorang
pembesar. Lalu menenggelamkan engkau oleh pemuliaan. Sehingga, engkau
tinggalkan apa yang sedang engkau kerjakan, karena sibuk menyambutnya. Tidak
karena malu kepadanya. Maka begitulah bermacam-macam martabat hamba pada Al
muraqabah(memperhatikan, mengintip, menjaga) kepada Allah Ta’ala. Dan orang
yang berada pada derajat ini, maka ia berhajat bahwa ia menjaga akan semua
gerak-geriknya, diamnya, gurisan dalam hatinya dan detik-detik masanya.
Kesimpulannya, semua usaha
pilihannya. Dan baginya padanya itu dua perhatian: perhatian sebelum kerja dan
perhatian pada kerja. Adapun sebelum kerja, maka hendaklah ia perhatikan, bahwa
apa yang tampak baginya dan tergerak gurisan hatinya dengan mengerjakannya,
adakah dia itu karena Allah khususnya ? ataukah dia itu pada hawa nafsu dan mengikuti
setan ? maka ia berhenti sebentar daripadanya dan menetapkan pikiran. Sehingga
tersingkap baginya yang demikian itu dengan nur Al-Haq (cahaya kebenaran Tuhan
Yang Maha Benar). Maka jikalau adalah karena Allah Ta’ala, niscaya
diteruskannya. Dan jikalau adalah bagi selain Allah, niscaya ia malu kepada
Allah dan mencegah diri daripadanya. Kemudian, ia mencaci dirinya atas
kegemarannya padanya itu, cita-citanya dan kecenderungannya kepadanya. Ia
perkenalkan kepada dirinya, akan buruk perbuatannya dan usahanya pada
kekejiannya. Bahwa dirinya itu musuh dirinya, jikalau tidak dibaikkan oleh
Allah dengan pemeliharaanNya. Keberhentian sebentar ini pada permulaan segala
urusan, hingga batas memperoleh penjelasan itu harus yang diwajibkan, yang tak
boleh lari seorangpun daripadanya.
Sesungguhnya pada hadits,
bahwa disebarkan bagi hamba pada setiap gerak dari gerak-geriknya walaupun
kecil, 3 lembaran pertanyaan. Lembaran pertanyaan pertama: mengapa ? lembaran
pertanyaan kedua: bagaimana ? dan lembaran pertanyaan ketiga: untuk siapa ?
makna mengapa, artinya: mengapa engkau perbuat ini ? adakah harus atas engkau,
bahwa engkau memperbuatnya karena Tuhan engkau atau engkau cenderung kepadanya
dengan keinginan engkau atau kenafsuan engkau ? Jikalau ia selamat dari yang
demikian, dengan adanya ia mengerjakan yang demikian karena Tuhannya, niscaya
ia ditanyakan dengan lembaran pertanyaan kedua. Lalu ditanyakan kepadanya:
Bagaimana engkau berbuat ini ? bahwa Allah mempunyai syarat dan hukum pada
setiap perbuatan, yang tidak diketahui kadarnya, waktunya dan sifatnya, selain
dengan: ilmu. Maka ditanyakan kepadanya: bagaimana engkau perbuat, adakah
dengan ilmu yang dibuktikan dengan dalil (‘ilmin muhaqqaqin) atau dengan
kebodohan dan sangkaan ? Maka jikalau ia selamat dari yang demikian, niscaya
dikembangkan akan lembaran ketiga. Yaitu: penuntutan dengan keikhlasan. Lalu
ditanyakan kepadanya: untuk siapa engkau kerjakan ? adakah karena Wajah Allah
semata-mata, karena memenuhi ucapan engkau “Laa Ilaaha Illallaah”, maka adalah pahala
engkau atas Allah ? atau karena manusia yang diciptakan seperti engkau, maka
ambillah pahala engkau daripadanya ? atau engkau mengerjakannya, untuk engkau
memperoleh hal yang segera dari dunia engkau ? maka telah Kami penuhi kepada
engkau akan bahagian engkau dari dunia. Atau engkau mengerjakannya disebabkan
lupa atau lalai, maka telah gugurlah pahala engkau, binasalah amal engkau dan
sia-sialah usaha engkau.
Dan jikalau engkau
kerjakan untuk selain Aku, maka engkau harus memperoleh kutukanKu dan siksaanKu.
Karena adalah engkau hamba bagiKu. Engkau makan rezeki yang Aku berikan. Engkau
bersenang-senang dengan nikmatKu. Kemudian, engkau berbuat bagi selain Aku.
Apakah engkau tidak mendengar, bahwa Aku berfirman: “Sesungguhnya apa yang kamu
sembah itu, yaitu bukan Allah, adalah hamba-hamba serupa kamu juga”. S 7 Al
A’raaf ayat 194. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya apa kamu sembah selain dari
Allah itu, tiada berkuasa untuk memberikan rezeki dari Allah dan sembahlah
Dia”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 17. Rugilah engkau ! apakah tidak engkau mendengar
Aku, bahwa Aku berfirman: “Ketahuilah, bahwa agama yang bersih itu hanya
kepunyaan Allah !”. S 39 Az Zumar ayat 3.
Apabila hamba mengetahui,
bahwa berbetulan dengan segala tuntutan dan pengejekan ini, ia menuntut akan
dirinya, sebelum diri itu dituntut. Dan ia menyediakan jawaban bagi pertanyaan.
Dan hendaklah ada jawaban itu betul. Maka tidak ia mulai dan tidak ia ulangi,
selain sesudah bertetapan hati. Dan ia tidak menggerakkan pelupuk mata dan anak
jari, selain sesudah memperhatikan betul-betul.
Nabi saw bersabda kepada
Ma’adz: “Bahwa orang itu ditanyakan dari celak kedua matanya dan dari
dihancurkannya tanah dengan dua anak jarinya dan dari disentuhnya akan kain
saudaranya”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Adalah salah seorang mereka apabila
berkehendak bersedekah dengan sesuatu sedekah, niscaya ia memperhatikan dan
berketetapan hati. Maka jikalau ada yang demikian itu karena Allah, niscaya
diteruskannya”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Allah merahmati akan hamba, yang
berhenti ketika timbul cita-citanya. Maka jikalau adalah cita-cita itu karena
Allah, niscaya ia teruskan. Dan jikalau bagi lainNya, niscaya ia kemudiankan”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata tentang hadits, yang dirawikan Sa’ad,
yang diwasiatkan Salman, yaitu: “Bertaqwalah akan Allah ketika timbul cita-cita
engkau, apabila engkau bercita-cita”.
Berkata Muhammad bin Ali:
“Bahwa orang mu’min itu yang berhenti sebentar, lagi berhati-hati. Ia berhenti
ketika timbul cita-citanya. Dan tidaklah orang mu’min itu seperti orang yang
memotong kayu dalam gelap malam”. Maka inilah dia itu pandangan pertama pada
menjaga ini. Dan tidaklah bersih dari ini, selain oleh ilmu yang teguh,
ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala):
yang hakiki dengan rahasia-rahasia amal perbuatan, lobang-lobang hawa
nafsu dan tipu-daya setan. Maka manakala ia tidak mengenal dirinya, Tuhannya
dan musuhnya Iblis, ia tidak mengenal akan apa yang bersesuaian dengan hawa
nafsunya dan ia tidak membedakan diantaranya dan apa yang disukai oleh Allah dan
yang diridhaiNya, pada niatnya, cita-citanya, pikirannya, diamnya dan geraknya,
maka ia tiada akan selamat pada penjagaan ini.
Bahkan kebanyakan mereka
itu mengendarai kebodohan, pada apa yang tiada disukai oleh Allah Ta’ala. Dan
mereka itu menyangka, bahwa mereka itu membaguskan perkataan. Jangan engkau
menyangka, bahwa orang bodoh dengan apa yang disanggupinya kepada belajar,
bahwa dia itu dimaafkan. Amat jauh dari yang demikian ! akan tetapi, menuntut
ilmu itu fardhu atas setiap orang muslim. Dan karena inilah, 2 rakaat shalat
dari orang yang berilmu itu lebih utama dari 1000 rakaat dari orang yang tidak
berilmu. Karena orang yang berilmu itu mengetahui bahaya-bahaya hawa nafsu,
tipuan-tipuan setan dan tempat-tempat terpedaya. Maka ia menjaga diri dari yang
demikian. Dan orang yang bodoh tidak mengetahuinya. Maka bagaimana ia menjaga
diri daripadanya ? maka senantiasalah orang yang bodoh itu dalam kepayahan. Dan
setan itu kepadanya dalam kegembiraan dan makian. Maka kita berlindung dengan
Allah dari kebodohan dan kelalaian. Kebodohan itu pangkal setiap kedurhakaan
dan sendi setiap kerugian. Maka hukum Allah Ta’ala atas setiap hamba itu, bahwa
ia memperhatikan akan dirinya ketika timbul cita-citanya dengan berbuat dan
usahanya dengan anggota badan. Maka ia berhenti sebentar dari cita-cita dan
dari usaha. Sehingga tersingkaplah baginya dengan nur ilmu, bahwa perbuatan itu
karena Allah Ta’ala. Maka diteruskannya. Atau perbuatan itu karena hawa nafsu,
maka ia menjagainya. Ia memperingatkan hati kepada berfikir padanya dan dari
bercita-cita dengan perbuatan tersebut.
Bahwa bahaya pertama pada
perbuatan batil/salah itu, apabila tidak ditolak, niscaya ia mewariskan
kegemaran. Kegemaran itu mewariskan cita-cita. Cita-cita itu mewariskan
keyakinan akan maksud. Keyakinan akan maksud mewariskan perbuatan. Dan
perbuatan itu mewariskan kebinasaan dan kutukan. Maka seyogyalah bahwa
disumbatkan benda kejahatan itu dari sumbernya yang pertama. Yaitu: yang
terguris di hati. Bahwa semua yang di sebaliknya itu mengikutinya. Manakala
sukar yang demikian itu atas hamba dan digelapkan oleh kejadi-jadian, maka
tidaklah tersingkap baginya. Lalu ia bertafakkur/berfikir pada yang demikian
itu dengan nur-ilmu. Ia meminta perlindungan dengan Allah dari tipuan setan,
dengan perantaraan hawa nafsu. Maka jikalau ia lemah dari ijtihad (mengeluarkan
pendapat), dan berfikir dengan dirinya
sendiri, maka ia memperoleh cahaya dgn nur ulama-ulama agama. Dan hendaklah ia
lari dari ulama-ulama yang menyesatkan, yg menghadap kepada dunia, sebagaimana
larinya dari setan. Bahkan, lebih keras lagi.
Allah Ta’ala telah
mewahyukan kepada Daud as: “Janganlah engkau bertanya dari halKu pada orang
yang berilmu (orang alim), yang telah dimabukkan oleh kecintaan kepada dunia.
Lalu ia memutuskan engkau dari kecintaan kepadaKu. Mereka itu orang-orang
perampok di jalan raya, atas hamba-hambaKu. Maka hati yang gelap dengan
kecintaan kepada dunia, sangat rakus dan sangat loba kepada dunia itu
terdinding (terhijab) dari Nur Allah Ta’ala. Bahwa tempat memperoleh cahaya nur
hati itu adalah Hadlarat/keajaiban Ketuhanan. Maka bagaimana memperoleh cahaya
dengan keajaiban/Hadlarat Ketuhanan, orang yang membelakanginya dan menghadap
kepada musuhnya dan asyik dengan orang yang memarahi dan mengutukinya ? ialah:
hawa nafsu dunia.
Maka hendaklah cita-cita
seorang murid, pertama-tama, pada hukum-hukum ilmu atau mencari orang yang
berilmu yang berpaling dari dunia atau lemah kegemarannya pada dunia, jikalau
ia tidak memperoleh orang yang tiada gemar pada dunia.
Rasulullah saw bersabda:
“Bahwa Allah menyukai penglihatan yang mengecam, ketika datang hal-hal yang
syubhat (yang meragukan diantara yang halal dengan yang haram) dan akal yang
sempurna ketika datang serangan hawa nafsu”. Nabi saw mengumpulkan diantara dua
hal itu. Dan keduanya sebenarnya harus-mengharuskan. Siapa yang tiada mempunyai
akal yang dapat membagikan pikiran, jauh dari nafsu syahwat, maka tiadalah
baginya penglihatan yang mengecam pada hal-hal yang syubhat (diragukan). Karena
itulah Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan
oleh akalnya, yang tiada akan kembali kepadanya untuk selama-lamanya”.
Maka apakah kadar akal
yang lemah yang berbahagia anak Adam, dengan dia itu, sehingga anak Adam itu
sengaja menyapu dan menghapuskannya dengan mengerjakan dosa-dosa ? Mengenal
bahaya-bahaya amal itu telah terhapus pada masa-masa ini. Manusia semua telah
meninggalkan ilmu-ilmu ini dan sibuk dengan menengahi diantara makhluk pada
permusuhan-permusuhan yang berkobar pada mengikuti nafsu syahwat. Mereka itu
mengatakan: “Ini adalah fikih”. Mereka mengeluarkan ilmu ini, yang dia itu
fikih agama, dari jumlah ilmu-ilmu. Dan mereka menjurus kepada fikih dunia,
yang tidak dimaksudkan, selain untuk menolak pembimbang-pembimbang dari hati.
Supaya dapat menyelesaikan diri untuk fikih agama. Maka adalah fikih dunia itu
sebahagian dari agama, dengan perantaraan fikih ini. Tersebut pada hadits:
“Kamu pada hari ini adalah pada zaman, yang terbaik kamu padanya, ialah yang
bekerja dengan tergopoh-gopoh. Dan akan datang kepadamu suatu zaman, yang
terbaik kamu padanya, ialah yang bekerja tidak tergopoh-gopoh”. Karena inilah,
berhenti sebentar untuk golongan dari para sahabat pada peperangan bersama
penduduk Irak dan Syam (Suriah), tatkala timbul kesulitan urusannya kepada
mereka, seperti: Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Usamah, Muhammad bin
Maslamah dll. Maka siapa yang tidak berhenti sebentar, ketika meragukan,
niscaya adalah dia itu pengikut hawa nafsu, yang merasa takjub dengan
pendapatnya. Dan adalah dia termasuk orang yang disifatkan oleh Rasulullah saw,
karena beliau bersabda: “Maka apabila engkau melihat kerakusan yang dituruti
dan hawa nafsu yang diikuti dan ketakjuban oleh setiap orang yang mempunyai
pendapat dengan pendapatnya, maka haruslah atas engkau dengan yang khusus bagi
diri engkau”. Setiap orang yang masuk dalam suatu syubhat (diragukan), dengan
tanpa dibuktikan dengan dalil, maka sesungguhnya ia telah menyalahi dengan
firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak engkau ketahui”.
S 17 Al Israa’ ayat 36.
Sabda Nabi saw: “Jagalah
dirimu dari sangkaan. Sesungguhnya sangkaan itu pembicaraan yang terbohong”.
Dikehendaki oleh Rasulullah saw dengan yang demikian itu, ialah sangkaan dengan
tidak berdalil. Sebagaimana sebahagian orang awam meminta fatwa pada hatinya
sendiri, mengenai hal yang sulit baginya dan ia mengikuti akan sangkaannya. Dan
karena sukarnya persoalan ini dan besarnya, itulah adanya doa Abubakar Ash-Shiddiq
ra: “Ya Allah, Tuhanku! perlihatkanlah kepadaku yang benar itu benar dan
anugerahkanlah kepadaku mengikutinya ! dan perlihatkanlah kepadaku yang salah
itu salah dan anugerahkan lah kepadaku menjauhinya ! dan tidaklah Engkau
jadikan dia itu meragukan kepadaku, lalu aku menuruti hawa nafsu”.
Nabi Isa as berkata:
“Persoalan-persoalan itu 3: suatu persoalan terang betulnya, maka ikutilah !
suatu persoalan terang salahnya, maka jauhilah ! dan suatu persoalan
menyulitkan kepadamu, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya !”.
Dan adalah dari doa Nabi
saw: “Ya Allah, Tuhanku ! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku
berkata mengenai agama, dengan tanpa ilmu”. Maka nikmat Allah yang terbesar
kepada hambaNya, ialah: ilmu. Terbukanya kebenaran dan iman itu adalah ibarat
dari semacam terbuka hijab dan ilmu. Dan karena itulah, berfirman Allah Ta’ala,
untuk keanugerahan nikmat kepada hambaNya: “Adalah kurnia Allah kepada engkau
itu sangat besarnya”. S 4 An Nisaa’ ayat 113. Dikehendaki dengan yang demikian
itu: ilmu.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengertian, kalau kamu tidak tahu !”. S
16 An Nahl ayat 43.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya atas
Kamilah memberi petunjuk”. S 92 Al Lail ayat 12.
Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian itu
urusan Kami menjelaskannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 19.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan atas
Allah itu membukakan jalan yang benar”. S 16 An Nahl ayat 9.
Ali ra berkata: “Hawa nafsu itu kongsi
kebutaan mata. Dan sebahagian dari taufiq ialah berhenti sebentar ketika timbul
keheranan. Sebaik-baik yang menolak kesusahan itu yakin. Akibat dusta itu
penyesalan. Pada yang benar itu selamat. Kerap-kali yang jauh itu lebih dekat
dari yang dekat. Orang yang asing itu, ialah siapa yang tiada baginya kekasih.
Teman itu ialah orang yang membenarkan ketidak-hadirannya. Dan tidak meniadakan
engkau dari kekasih, oleh buruk sangka. Sebaik-baik akhlak, ialah kemurahan
hati. Malu itu sebab kepada setiap keelokan. Tali yang paling kokoh, ialah:
taqwa. Sebab yang paling kokoh yang engkau ambil, ialah sebab antara engkau dan
Allah Ta’ala. Sesungguhnya bagi engkau dari dunia engkau, ialah: apa yang
engkau perbaiki dengan dia, akan tempat tinggal engkau di akhirat. Rezeki itu
dua macam: rezeki yang engkau cari dan rezeki yang mencari engkau. Maka jikalau
engkau tidak datang kepadanya, niscaya ia datang kepada engkau. Dan jikalau
engkau gundah atas apa yang menimpa, dari apa yang dalam tangan engkau, maka
janganlah engkau gundah atas apa, yang tidak sampai kepada engkau ! ambillah
dalil atas apa yang tidak ada, dengan apa yang ada ! sesungguhnya
persoalan-persoalan itu serupa. Dan manusia itu menyukakannya memperoleh apa
yang tidak ada, untuk hilang daripadanya. Dan memburukkan baginya hilang apa
yang tidak ada, untuk diperolehnya. Maka apa yang tercapai bagi engkau dari dunia
engkau, maka janganlah engkau perbanyakkan kegembiraan ! dan apa yang hilang
bagi engkau daripadanya, maka janganlah engkau ikutkan akan diri engkau dengan
kesedihan ! hendaklah ada kegembiraan engkau itu dengan apa yang engkau
datangkan dan kesedihan engkau atas apa yang engkau tinggalkan ! kesibukan
engkau bagi akhirat engkau dan cita-cita engkau pada apa yang sesudah mati”.
Maksud kami dari menukilkan kalimat-kalimat tadi, ialah ucapannya: dan
sebahagian dari taufiq, ialah berhenti sebentar ketika timbul keheranan. Jadi,
pandangan pertama bagi orang yang bermuraqabah/memperhatikan, ialah
pandangannya pada cita-cita dan gerak, adakah dia itu karena Allah atau karena
hawa nafsu ?
Nabi saw bersabda: “3
perkara, maka siapa yang ada padanya 3 perkara tersebut, niscaya ia telah
menyempurnakan imannya. Yaitu: orang yang tidak takut pada jalan Allah akan
cacian yang mencacikan, orang yang tidak berbuat ria dengan sesuatu dari amal
perbuatannya dan orang, apabila datang baginya dua persoalan, yang satu untuk
dunia dan yang lain untuk akhirat, maka ia memilih akhirat atas dunia”. Dan
kebanyakan apa yang terbuka baginya pada gerak-geriknya, bahwa adalah yang
demikian itu mubah (yang diperbolehkan). Akan tetapi, tidak penting baginya,
maka ditinggalkannya, karena sabda Nabi saw: “Dari kebagusan Islam manusia itu,
ialah ditinggalkannya apa yang tidak penting baginya”.
Pandangan
kedua: bagi
al-muraqabah/memperhatikan ketika masuk pada amal pekerjaan. Dan yang demikian
itu dengan mencari cara beramal, untuk menunaikan hak Allah padanya. Dan
membaguskan niat pada menyempurnakannya. Menyempurnakan bentuknya dan
mengerjakannya dengan sesempurna mungkin. Dan ini yang mengharuskannya dalam
semua hal keadaannya. Bahwa ia tidak terlepas dalam semua hal keadaannya dari gerak
dan diam. Maka apabila ia memperhatikan akan Allah Ta’ala pada semua yang
demikian, niscaya ia mampu kepada beribadah akan Allah Ta’ala padanya dengan
niat, bagus perbuatan dan menjaga adab sopan santun. Kalau ia duduk –umpamanya-
maka seyogyalah ia duduk dengan menghadap kiblat, karena sabda Nabi saw:
“Majelis yang terbaik, ialah yang menghadap kiblat padanya”. Ia tidak duduk
bersila. Karena ia tidak duduk dengan raja-raja seperti yang demikian. Dan Raja
Diraja itu menengok kepadanya.
Ibrahim bin Adham ra
berkata: “Pada suatu kali aku duduk bersila. Lalu aku mendengar suara
berteriak: “Begitulah engkau duduk dengan raja-raja?”. Maka sesudah itu, tidak
pernah lagi aku duduk bersila”. Kalau tidur, maka ia tidur atas tangan kanan,
dengan menghadap kiblat, serta adab-adab yang lain yang telah kami sebutkan
pada tempat-tempatnya. Setiap yang demikian itu masuk dalam memperhatikan.
Bahkan, jikalau ia berada dalam qodo-hajat (membuang air besar atau air kecil),
maka dijagakannya akan adab-adabnya, karena menepati dengan memperhatikan.
Jadi, tiada terlepaslah hamba, adakalanya dalam taat atau dalam maksiat atau
pada perbuatan mubah. Maka memperhatikan nya pada taat itu dengan ikhlas,
penyempurnaan, pemeliharaan adab dan penjagaannya dari bahaya-bahaya. Jikalau ia
pada maksiat, maka memperhatikan nya dengan taubat, sesal, mencabut diri dari
perbuatan maksiat, malu dan berbuat dengan bertafakkur/berfikir. Dan jikalau ia
pada perbuatan mubah, maka memperhatikan nya dengan memelihara adab. Kemudian,
dengan pengakuan kepada Yang Memberikan nikmat pada nikmat yang diberikan dan
dengan bersyukur atas nikmat itu. Tiada tersembunyilah hamba dalam sejumlah hal
keadaannya dari percobaan, yang tidak boleh tidak daripada bersabar padanya.
Dan dari nikmat, yang tidak boleh tidak daripada bersyukur atas nikmat itu. Dan
semua yang demikian itu sebahagian dari memperhatikan. Bahkan, tidaklah
terlepas hamba pada setiap keadaan dari fardhu/wajib karena Allah Ta’ala
padanya. Adakalanya perbuatan, yang harus dikerjakannya atau larangan yang
harus ditinggalkannya atau sunat, yang digerakkan kepadanya, supaya ia
bersegera dengan perbuatan sunat itu, kepada ampunan Allah Ta’ala. Dan ia
berlomba-lomba padanya dengan hamba-hamba Allah. Atau perbuatan mubah, padanya
kebaikan bagi tubuh dan hatinya. Dan padanya pertolongan baginya kepada
mentaatiNya. Bagi masing-masing dari yang demikian itu ada batas-batas, yang
tidak boleh tidak menjagakan nya dengan berkekalan memperhatikan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang melampaui batas-batas yang ditentukan Allah itu, maka
sesungguhnya dia menganiaya dirinya sendiri”. S 65 Ath Thalaaq ayat 1. Maka
seyogyalah hamba itu mencari dirinya pada semua waktunya, pada
bahagian-bahagian yang 3 ini. Maka apabila ia kosong dari yang fardhu dan ia
sanggup atas amalan-amalan yang utama, maka seyogyalah ia mencari amalan yang
paling utama, untuk dikerjakannya. Bahwa orang yang hilang baginya kelebihan
untung dan ia sanggup memperolehnya, maka orang itu terperdaya pada jual-beli.
Dan untung itu diperoleh dengan kelebihan keutamaan. Maka yang demikian, hamba
itu mengambil dari dunianya bagi akhiratnya, sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman: “Dan jangan engkau lupakan bagian engkau di dunia ini”. S 28 Al
Qashash ayat 77. Semua yang demikian itu hanya mungkin dengan sabar sesaat.
Bahwa saat-saat itu 3: saat yang telah lewat. Tiada kepayahan lagi padanya atas
hamba, bagaimanapun telah berlalu dalam kesukaran atau kesenangan. Saat yang
akan datang, yang tidak akan datang kemudian. Dan hamba itu tidak tahu, apakah
ia akan hidup pada saat itu atau tidak. Ia tidak tahu, apa yang menjadi qodo (hukum taqdir) Allah padanya. Dan saat yang sedang
berjalan, yang seyogyalah ia bersungguh‑sungguh padanya akan dirinya dan ia berjaga
padanya akan Tuhannya. Jikalau tidak datang kepadanya saat yang kedua, niscaya
ia tidak mengeluh atas luputnya saat ini. Dan jikalau datang kepadanya saat
yang kedua, niscaya ia menyempurnakan haknya daripadanya. Sebagaimana ia
menyempurnakan dari yang pertama. Dan tidak panjanglah angan-angannya untuk 50
tahun. Lalu panjanglah kepadanya al-‘azam (cita-cita yang telah diputuskan
dengan mantap), atas memperhatikan/al-muraqabah padanya.
Bahkan adalah dia putera
waktunya. Seakan-akan itu pada akhir nafasnya. Maka mudah-mudahan itu akhir
nafasnya dan ia tidak tahu. Apabila mungkin bahwa adalah itu akhir nafasnya,
maka seyogyalah bahwa ada itu di atas bentuk, yang ia tidak benci bahwa ia
didapati oleh mati dan dia di atas keadaan yang demikian. Dan adalah semua
hal-ihwalnya terbatas atas apa, yang dirawikan Abu Dzar ra dari sabda Nabi saw:
“”Tiada orang mu’min itu berangkat, selain pada 3: mencari untuk hari kembali
(akhirat) atau perbaikan untuk penghidupan atau kelezatan pada yang tidak
diharamkan”. Dan apa yang dirawikan Abu Dzar juga dari Nabi saw dalam arti yang
seperti itu, yaitu: “Atas orang yang berakal, bahwa ada baginya 4 saat: saat,
yang ia bermunajat padanya dengan Tuhannya, saat yang ia bermuhasabah
(menghitungkan amalan) dirinya padanya, saat yang ia bertafakkur/berfikir
padanya tentang ciptaan Allah Ta’ala dan saat yang ia kosongkan padanya untuk
makan dan minum”.
Bahwa pada saat ini
menjadi pertolongan baginya atas saat-saat yang masih tinggal. Kemudian, saat
ini yang dia padanya itu, seluruh anggota badannya sibuk dengan makanan dan
minuman, tiada seyogyalah terlepas dari amalan, yaitu: yang paling utama dari
segala amalan. Ialah: dzikir dan fikir. Bahwa makanan yang diperolehnya
–umpamanya- padanya, dari segala keajaiban, akan apa, jikalau ia
bertafakkur/berfikir padanya dan ia cerdik baginya, niscaya adalah yang
demikian itu, lebih utama daripada banyaknya amalan anggota badan.
Manusia padanya itu
berbagai macam bagian. Sebagian adalah mereka itu memandang kepadanya dengan
mata penglihatan yang penuh perhatian dan ibarat/i’tibar. Lalu mereka memandang
tentang keajaiban-keajaiban ciptaannya, cara keterikatan keteguhan binatang
dengan dia, cara taqdir Allah bagi sebab-sebabnya, kejadian nafsu syahwat yang
membangkitkan kepadanya dan kejadian alat-alat yang diperuntukkan untuk nafsu
syahwat padanya, sebagaimana telah kami uraikan sebahagian daripadanya pada
“Kitab Syukur”. Dan ini adalah maqam bagi orang-orang yang mempunyai hati.
Sebagian adalah mereka itu
memandang padanya dengan mata kutukan dan kebencian. Mereka memperhatikan segi
diperlukan kepadanya. Dan dengan kesayangan mereka, jikalau mereka tidak
memerlukan kepadanya. Akan tetapi, mereka melihat dirinya dipaksakan padanya,
diperuntukkan bagi nafsu syahwatnya. Dan ini adalah maqam orang-orang zahid.
Suatu kaum adalah melihat tentang ciptaan yang menciptakan. Dan mereka mendaki
daripadanya itu kepada sifat-sifat Al-Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah
penyaksian/musyahadah yang demikian itu menjadi sebab untuk mengingati
pintu-pintu pikiran, yang terbuka kepada mereka dengan sebabnya. Dan itu adalah
maqam yang tertinggi. Yaitu dari maqam orang-orang yang mengenal/berma’rifah
(al-‘arifin) dan tanda orang-orang yang bercinta. Karena orang yang bercinta
itu, apabila melihat ciptaan dari yang dicintainya, bukunya dan karangannya,
niscaya ia lupa akan ciptaan dan sibuk hatinya dengan yang menciptakan. Dan
setiap apa, yang bulak-baliklah hamba padanya akan ciptaan Allah Ta’ala, maka
baginya pada pandangan daripadanya itu kepada yang menciptakan adalah jalan
yang lapang, jikalau terbukalah baginya pintu-pintu alam al-malakut. Dan yang
demikian itu adalah jarang sekali.
Bahagian
keempat adalah mereka itu memandang kepadanya
dengan mata kegemaran dan kelobaan. Maka mereka itu merasa sedih atas yang
hilang daripadanya. Mereka bergembira dengan yang ada bagi mereka dari
jumlahnya itu. Mereka mencela daripadanya, akan yang tiada bersesuaian dengan
hawa nafsu mereka. Dan mereka menjelekkannya dan mencela yang memperbuatnya.
Maka mereka mencela masakan dan tukang masak. Dan mereka tiada mengetahui,
bahwa Yang Berbuat bagi masakan dan tukang masak dan bagi kemampuannya dan ilmunya,
adalah Allah Ta’ala. Bahwa barangsiapa mencela sesuatu dari ciptaan Allah,
dengan tidak seizin Allah, maka sesungguhnya ia telah mencela Allah. Dan karena
demikianlah Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu memaki masa ! sesungguhnya Allah
itu Yang Menciptakan masa”. Maka memperhatikan perbuatan diri yang kedua ini
adalah dengan memperhatika segala amal secara terus-menerus dan
berkesinambungan. Dan penguraian yang demikian itu akan panjang. Dan pada apa
yang telah kami sebutkan itu adalah pemberitahuan kepada jalan, bagi orang yang
meneguhkan pokok-pokok.
AL-MURABATHAH KETIGA: memperhitungkan diri sesudah berbuat. Dan marilah
kami sebutkan keutamaan al-muhasabah/memperhitungkan, kemudian
hakikat/maknanya.
Adapun keutamaan, maka Allah Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! bertaqwalah kepada Allah ! dan
setiap diri hendaklah memperhatikan apakah yang akan dikemukakannya lebih
dahulu untuk hari esok !”. S 59 Al Hasyr ayat 18. Ini adalah isyarat kepada
memperhitungkan kepada segala amal perbuatan yang telah berlalu. Dan karena
itulah, Umar ra berkata: “Adakanlah memperhitungkan akan dirimu sendiri,
sebelum kamu diadakan orang akan memperhitung kan dan timbangkanlah akan dirimu
itu sebelum kamu ditimbangkan orang !”. Tersebut pada hadits, bahwa telah
datang seorang laki-laki kepada Nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah !
berikanlah aku nasehat !”. Maka Nabi saw bersabda: “Adakah engkau itu orang
yang menerima nasehat ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ya !”. Maka Rasulullah saw
bersabda: “Apabila engkau bercita-cita dengan sesuatu maka berfikirlah dengan
penuh pemahaman akan akibatnya ! jikalau betul, maka teruskan ! dan jikalau
salah, maka cegahkanlah dirimu daripadanya !”. Tersebut pada hadits, bahwa
seyogyalah bagi orang yang berakal mempunyai 4 saat. Satu saat, ia
memperhitungkan padanya akan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman,
mudah-mudahan kamu memperoleh kemenangan”. S 24 An Nur ayat 31. Taubat itu
adalah pandangan pada perbuatan, sesudah selesai daripadanya, dengan penyesalan
atas perbuatan itu. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun pada
Allah Ta’ala dan bertaubat kepadaNya dalam sehari 100 kali”. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu setan
yang datang berkunjung, niscaya mereka ingat kembali dan ketika itu mereka
menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201.
Diriwayatkan dari Umar ra,
bahwa beliau memukul dua tapak kakinya dengan cemeti, apabila malam telah gelap
dan bertanya kepada dirinya: “Apakah yang engkau kerjakan pada hari ini ?”.
Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, bahwa ia berkata: “Tiadalah hamba itu
termasuk orang yang bertaqwa, sehingga ia memperhitungkan akan dirinya lebih banyak
dari dimuhasabahkan/diperhitungkan oleh kongsinya. Dan dua orang yang berkongsi
itu memperhitung-hitungkan sesudah bekerja”.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah,
bahwa Abubakar ra berkata kepadanya, ketika akan wafat: “Tiada seorangpun dari
manusia, yang lebih aku cintai dari Umar”. Kemudian, Abubakar ra bertanya
kepada ‘Aisyah: “Bagaimana engkau katakan ?”. Lalu ‘Aisyah mengulangi kepada
Abubakar ra apa yang dikatakannya. Maka Abubakar ra berkata: “Tiada seorangpun
dari manusia, yang lebih mulia padaku dari Umar”. Maka lihatlah, bagaimana
Abubakar ra memandang sesudah selesai dari suatu kalimat, lalu dipikirkannya
dengan mendalam dan digantikannya dengan kalimat yang lain.
Berita tentang Abi
Thalhah, ketika ia dilalaikan oleh seekor burung dalam shalatnya, maka ia
memikirkan yang demikian itu dengan mendalam. Maka dijadikannya kebunnya
sedekah karena Allah Ta’ala, lantaran menyesal dan mengharap untuk gantian dari
yang hilang baginya.
Pada berita Ibnu Salam,
bahwa ia membawa seberkas kayu api, lalu orang mengatakan kepadanya: “Hai Abu
Yusuf ! sesungguhnya adalah pada anak-anakmu dan pembantu-pembantumu, yg
memadai bagi engkau akan ini”. Ibnu Salam lalu menjawab: “Aku menghendaki bahwa
aku mencoba akan diriku, adakah ia tidak menyukakannya?”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Orang mu’min itu pemimpin atas
dirinya, yang ia memperhitungkannya karena Allah. Sesungguhnya ringanlah
hitungan amal (al-hisab) atas suatu kaum, yang mengadakan perhitungan atas
dirinya di dunia. Dan sesungguhnya sukarlah al-hisan pada hari kiamat atas
suatu kaum, yang mengambil akan persoalan ini, tanpa
al-muhasabah/memperhitungkan”. Kemudian, Al-Hasan Al-Bashari menafsirkan memperhitungkan, seraya berkata:
“Bahwa orang mu’min itu dibergegas-gegaskan oleh sesuatu yang menakjubkannya”.
Lalu beliau berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau menakjubkan aku dan
engkau itu dari hajat keperluanku. Akan tetapi, alangkah jauhnya, didindingi
diantara aku dan engkau”. Ini adalah al-hisab sebelum berbuat. Kemudian
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Dan sia-sialah
daripadanya akan sesuatu, lalu ia kembali kepada dirinya, seraya bertanya:
“Apakah yang engkau kehendaki dengan ini ? demi Allah, tiada akan diterima
halanganku dengan ini. Demi Allah, aku tiada akan kembali untuk ini
selama-lamanya insya Allah”.
Anas bin Malik berkata:
“Aku mendengar Umar bin Al-Khattab ra pada suatu hari dan ia sudah keluar untuk
keperluannya dan aku keluar bersama dia, lalu ia masuk ke suatu kebun, dimana
ia berkata: “Diantara aku dan dia ada dinding dan dia di dalam kebun. Umar bin
Al-Khattab itu amirul-mu’minin. Bagus sekali. Demi Allah ! sesungguhnya engkau
bertaqwa kepada Allah atau Ia mengazabkan engkau”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dan aku
bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat 2,
dengan mengatakan: “Tiada ditemui oleh orang mu’min, selain ia mencerca
dirinya, dengan kata-kata: “Apakah yang aku kehendaki dengan perkataanku?
apakah yang aku kehendaki dengan makanku ? apakah yang aku kehendaki dengan
minumku. Dan orang zalim itu melalukan tapak kakinya, dengan tidak mencercakan
dirinya”.
Malik bin Dinar ra
berkata: “Allah merahmati akan hamba yang berkata kepada dirinya: “Apakah tidak
engkau itu teman bagi yang demikian ? apakah tidak engkau itu teman yang demikian
?”. Kemudian, ia mencelanya. Kemudian ia mendiamkannya. Kemudian, ia
membiasakannya akan Kitab Allah Ta’ala yang menuntunkan nya. Ini termasuk dari
mencela diri, sebagaimana yang akan datang penjelasannya pada tempatnya.
Maimun bin Mahran berkata:
“Orang yang taqwa itu lebih kuat memperhitungkan bagi dirinya dari penguasa
yang zalim dan dari kongsi yang kikir”. Ibrahim At-Taimi berkata: “Aku
umpamakan diriku dalam sorga, yang aku makan dari buah-buahannya, aku minum
dari sungai-sungainya dan aku berpelukan dengan anak-anak daranya. Kemudian,
aku umpamakan diriku dalam neraka, yang aku makan dari buah kayu zaqumnya, aku
minum dari nanah yang bercampur darahnya dan aku mengalami dengan rantai dan
belenggunya. Maka aku bertanya kepada diriku: “Hai diri ! apakah yang engkau
kehendaki ?”. Maka diri itu menjawab: “Aku kehendaki bahwa aku dikembalikan ke
dunia, lalu aku mengerjakan amal shalih”. Aku berkata: “Maka engkau itu dalam
cita-cita, maka berbuatlah !”.
Malik bin Dinar berkata:
“Aku mendengar Al-Hajjaj berpidato dan ia mengatakan: “Allah merahmati akan
manusia yang mengadakan memperhitungkan kepada dirinya, sebelum jadilah al-hisab
(perhitungan amalnya) itu
kepada orang lain. Allah merahmati akan manusia yang mengambil dengan tali
kekang amalnya. Lalu ia memandang akan apa yang dikehendakinya. Allah merahmati
akan manusia, yang memandang pada sukatannya. Dan Allah merahmati manusia yang
memandang pada timbangannya”. Maka terus-meneruslah ia mengatakan, sehingga ia
membawa aku menangis”.
Diceritakan oleh teman
Al-Ahnaf bin Qais, dengan mengatakan: “Adalah aku menemaninya. Umumnya
shalatnya di malam hari itu doa. Dan ia datang kepada lampu. Lalu diletakkannya
anak jarinya pada lampu itu, sehingga ia merasa dengan api. Kemudian, ia
berkata kepada dirinya: “Hai Hunaif ! apakah yang membawa engkau kepada apa
yang engkau berbuat pada hari itu ? apakah yang membawa engkau kepada apa yg
engkau berbuat pada hari itu ?”.
PENJELASAN: hakikat/makna
memperhitungkan sesudah amal perbuatan.
Ketahuilah, bahwa hamba itu,
sebagaimana ada baginya waktu pada awal siang, yang ia mengisyaratkan padanya
akan dirinya di atas jalan nasehat-menasehati dengan kebenaran, maka seyogyalah
bahwa ada baginya pada akhir siang, saat yang ia menuntut padanya akan diri dan
memperhitungkannya di atas segala gerak-geriknya dan diamnya. Sebagaimana para
saudagar berbuat di dunia bersama kongsi-kongsinya pada akhir setiap tahun atau
bulan atau hari, kelobaan dari mereka kepada dunia dan karena takut akan
hilangnya dari mereka, di mana jikalau hilang, niscaya ada kebajikan bagi
mereka pada kehilangannya. Dan jikalau berhasil yang demikian itu bagi mereka,
maka tiada tinggal lagi, selain beberapa hari yang sedikit. Maka bagaimana
orang yang berakal, tiada bermuhasabah/ memperkirakan akan dirinya, pada apa
yang menyangkut bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan untuk selama-lamanya ?
tiadalah anggapan enteng ini, selain dari kelalaian, kekacauan pikiran dan
kurang memperoleh taufiq. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian !
Makna memperhitungkan serta kongsi, ialah: bahwa ia melihat pada modal, untung
dan rugi. Supaya terang baginya kelebihan dari kekurangan. Maka jikalau ada
dari kelebihan yang berhasil, niscaya dicukupkannya dan disyukurinya. Dan
jikalau ada dari kerugian, niscaya dituntutnya kongsi itu menanggungnya dan
diberatinya memperoleh kembali dari kerugian itu pada masa mendatang. Maka
seperti demikianlah modal hamba pada agamanya yang fardhu-fardhu/wajib2,
keuntungannya yang sunat-sunat dan keutamaan-keutamaan dan kerugian-kerugiannya
perbuatan-perbuatan maksiat.
Musim perniagaan ini
adalah jumlah hari seluruhnya dan bermu’amalah (berniagaan) dengan nafsunya
yang menyuruh dengan kejahatan. Maka diadakannya memperhitungkankan dirinya,
pertama-tama di atas ibadah yang fardhu-fardhu. Maka jikalau telah
ditunaikannya di atas caranya yang sebenarnya, niscaya ia bersyukur kepada
Allah Ta’ala atas yang demikian. Dan ia mengingininya pada yang seumpamanya.
Dan jikalau luput dari asalnya, niscaya dicarinya dengan qodo (gantinya di luar
waktu). Dan jikalau ditunaikannya dengan berkurang, niscaya diberatinya untuk
menambal dengan amal ibadah sunat. Dan jikalau dikerjakannya suatu perbuatan
maksiat, niscaya ia sibuk berpikir dengan siksaan, jatuhnya azab dan celaan
atas perbuatan maksiat itu. Supaya sempurnalah daripadanya apa yang didapatinya
kembali, apa yang telah hilang. Sebagaimana seorang saudagar dengan kongsinya.
Sebagaimana ia memeriksa pada perhitungan dunia dari biji-bijian dan krat dari
intan permata, lalu dijaganya tempat kemasukan bertambah dan berkurang,
sehingga ia tidak tertipu pada sesuatu daripadanya, maka seyogyalah bahwa ia
membersihkan akan ketipuan nafsu dan rencana buruknya. Bahwa nafsu itu penipu,
pencampur-adukkan, pembuat rencana yang tidak baik. Maka dicarinya –pertama-tama,
dengan pembetulan jawaban dari semua yang diperkatakannya sepanjang harinya.
Dan hendaklah ditanggungnya dengan dirinya dari al-hisab, akan apa yang akan
diurus oleh orang lain, pada dataran tinggi kiamat. Dan begitulah dari
pandangannya, bahkan dari segala gurisannya dan pikirannya, berdirinya dan
duduknya, makannya, minumnya dan tidurnya. Sehingga dari diamnya, bahwa mengapa
ia diam. Dan dari tenangnya, mengapa dia tenang. Apabila ia telah mengetahui
jumlah yang wajib atas diri dan telah shah padanya kadar penunaian yang wajib
padanya, niscaya adalah kadar yang demikian itu diperhitungkan baginya. Maka
lahirlah baginya yang menjadi sisa atas dirinya. Maka hendaklah ditetapkannya
yang demikian itu atas dirinya dan hendaklah dituliskannya atas halaman lembaran
hatinya. Sebagaimana dituliskan yang sisa, yang atas kongsinya, atas hatinya
dan pada harian perhitungannya. Kemudian, diri itu berhutang, yang mungkin
dilunasi daripadanya segala hutang. Adapun setengahnya dengan uang pembayaran
dan jaminan. Setengahnya dengan dikembalikan benda itu sendiri. Dan setengahnya
dengan siksaan baginya di atas yang demikian. Dan tidak mungkin sesuatu dari
yang demikian itu, selain sesudah pentahkikan al-hisab dan membedakan yang sisa
dari hak yang wajib atasnya. Apabila telah berhasil yang demikian, niscaya ia
menyibukkan diri sesudahnya itu dengan penuntutan dan penyempurnaan. Kemudian,
seyogyalah bahwa diri itu mengadakan memperhitungkan atas semua umur, hari demi
hari, jam demi jam, pada semua anggota badan, yang zahir dan yang batin,
sebagaimana dinukilkan dari Taubah bin Ash-Shammah. Ia berada di negeri
Ar-Raqqah. Ia bermuhasabah bagi dirinya. Pada suatu hari ia menghitung. Maka
tiba-tiba dia itu sudah berumur 60 tahun. Lalu dihitungnya hari-harinya. Maka
tiba-tiba adalah 21 ribu dan 500 hari. Lalu ia memekik dan berkata: “Wahai
celaka bagiku ! aku bertemu dengan malaikat, dengan 21 ribu dosa ! maka
bagaimana dan pada setiap hari itu 10 ribu dosa ?”. Kemudian, ia jatuh
tersungkur dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba, dia itu sudah wafat. Lalu mereka
itu mendengar orang yang berkata, dengan mengatakan: “Wahai kiranya, engkau
lari ke Firdaus yang tertinggi !”. Maka begitulah, seyogyanya bahwa dia
bermuhasabah akan dirinya di atas nafas-nafas yang dihembuskannya dan di atas
kemaksiatannya dengan hati dan anggota badan pada setiap saat. Dan jikalau
hamba itu melempar dengan setiap kemaksiatan akan sebutir batu dalam rumahnya,
niscaya penuhlah rumahnya dalam masa yang sedikit, yang dekat, dari umurnya.
Akan tetapi, hamba itu menganggap enteng pada menjaga perbuatan-perbuatan
maksiat. Dan dua malaikat menjaga atasnya yang demikian, yang dihinggakan oleh
Allah dan mereka melupakannya.
AL-MURABATHAH KEEMPAT:
tentang penyiksaan diri atas keteledorannya.
Manakala hamba itu mengadakan
memperhitungkanakan dirinya, maka diri itu tidak selamat dari mengerjakan
maksiat dan berbuat keteledoran pada hak Allah Ta’ala. Maka tiada seyogyalah
bahwa disia-siakannya. Bahwa, jikalau disia-siakannya, niscaya mudahlah atasnya
mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan melupakan dengan yang demikian
akan dirinya. Dan sukarlah kepadanya berpisah daripadanya. Dan adalah yang
demikian itu sebab kebinasaannya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ia menyiksakan
diri itu. Apabila ia memakan sesuap harta syubhat (diragukan), dengan keinginan
nafsu, niscaya seyogyalah bahwa disiksakannya perut dengan lapar. Dan apabila
ia memandang kepada bukan mahramnya, niscaya seyogyalah bahwa disiksakannya
mata dengan mencegah memandang. Dan begitu juga, disiksakannya setiap anggota
dari anggota-anggota badannya, dengan mencegahkannya dari
keinginan-keinginannya. Begitulah adanya adat kebiasaan orang-orang yang
menempuh jalan akhirat.
Dirawikan dari Manshur bin
Ibrahim, bahwa seorang laki-laki dari orang-orang yang banyak beribadah,
berbicara dengan seorang wanita. Lalu teruslah yang demikian, sehingga ia
meletakkan tangannya atas paha wanita itu. Kemudian, ia menyesal, lalu ia
meletakkan tangannya atas api, sehingga tangannya itu kering. Diriwayatkan,
bahwa ada pada kaum Bani Israil seorang laki-laki yang beribadah dalam
kelentengnya. Maka ia tinggal seperti yang demikian dalam masa yang panjang.
Maka terlihat pada suatu hari, tiba-tiba dia dengan seorang wanita. Lalu ia
terpesona dengan wanita itu dan ia ingin kepadanya. Maka dikeluarkannya
kakinya, untuk ia turun kepada wanita tersebut. Maka Allah memberitahukannya
dengan yang dahulu dari kesungguhannya, lalu laki-laki itu berkata: “Apakah ini
yang aku kehendaki membuatnya ?”. Lalu kembalilah kepadanya dirinya dan Allah
Ta’ala memeliharakannya. Lalu ia menyesal. Tatkala ia menghendaki mengembalikan
kakinya ke kelenteng, maka ia berkata: “Amat jauhlah, amat jauhlah ! kaki yang
keluar, yang menghendaki berbuat maksiat kepada Allah, ia kembali bersama aku
dalam kelentengku ! demi Allah ! tidaklah ada yang demikian itu
selama-lamanya”. Maka ditinggalkannya kakinya tergantung pada kelenteng,
ditimpa hujan, angin, salju dan matahari. Sehingga terpotong-potong, lalu
jatuh. Maka ia bersyukur kepada Allah baginya yang demikian. Dan diturunkan
pada sebahagian kitab-kitabnya akan sebutan yang demikian.
Diceritakan dari
Al-Junaid, yang mengatakan: “Aku mendengar Ibnul-Kuraibi berkata: “Tertimpa aku
pada suatu malam dengan janabah (hadats besar dengan keluar mani). Maka aku
berhajat untuk mandi. Dan adalah malam itu malam yang dingin. Lalu aku merasa
pada diriku mundur dan teledor. Lalu dikatakan kepadaku oleh diriku dengan
mengemudiankan, sampai kepada waktu shubuh. Dan aku memanaskan air atau aku
masuk ke tempat permandian air panas. Dan aku tidak bersungguh-sungguh atas
diriku. Maka aku mengatakan: “Alangkah mengherankan ! aku bermu’amalah (perniagaan) dengan Allah dalam sepanjang
umurku. Maka wajiblah bagiNya hak atasku. Lalu aku tidak mendapati padaku akan
kesegeraan. Dan aku dapati kehentian dan kelambatan. Aku bersumpah bahwa aku
tidak mandi, selain pada pakaian-burukku ini. Aku bersumpah, bahwa aku tidak
akan membukanya, tiada akan memerasnya dan tiada akan mengeringkannya pada
matahari”.
Diceritakan, dari Ghazwan
dan Abu Musa berada pada sebahagian tempat peperangan. Maka tampaklah seorang
wanita pelayan yang cantik. Lalu Ghazwan memandang kepadanya. Maka ia
mengangkat tangannya, lalu menampar matanya, sehingga mata itu pecah. Ia
berkata: “Sungguh engkau itu memperhatikan kepada yang mendatangkan melarat
kepada engkau”. Sebahagian mereka memandang dengan sekali pandangan kepada
seorang wanita. Lalu ia menjadikan atas dirinya bahwa tiada akan meminum air
dingin sepanjang hidupnya. Ia meminum air panas untuk mengeruhkan kehidupan
atas dirinya.
Diceritakan, bahwa Hassan
bin Abi Sannan melalui suatu kamar rumah. Lalu bertanya: “Kapan dibangun ini
?”. Kemudian ia menghadapkan perkataan atas dirinya, seraya berkata: “Engkau
menanyakan apa yang tidak penting bagi engkau. Aku akan menyiksakan engkau
dengan puasa setahun”. Lalu ia puasa setahun itu.
Malik bin Dlai-gham
berkata: “Datang Rabbah Al-Qaisi, menanyakan dari hal ayahku sesudah waktu
‘Ashar. Lalu kamu menjawab, bahwa beliau tidur”. Lalu Rabbah Al-Qaisi bertanya:
“Adakah tidur saat ini ? ini waktu tidur ?”. Kemudian, ia berpaling dan pergi.
Maka kami utus seorang utusan kepadanya dan kami bertanya: “Apakah tidak kami
membangunkannya demi engkau ?”. Utusan itu datang kembali dan berkata: “Rabbah
Al-Qaisi itu sibuk, daripada memahami sesuatu daripadaku. Aku mendapatinya dan
ia masuk ke perkuburan. Ia mencaci dirinya dan mengatakan: “Adakah aku katakan:
wakatu tidur saat ini ? adakah maka ini atas engkau ? laki-laki itu tidur,
kapan dikehendakinya. Apakah yang yang memberitahukan engkau, bahwa ini bukan
waktu tidur ? engkau berkata dengan apa yang tidak engkau ketahui. Apakah
tidak, bahwa bagi Allah itu janji atasku, yang tidak akan aku langgar untuk
selama-lamanya ? bumi tidak memberikan engkau bantal bagi tidur akan perobahan,
selain karena sakit yang menghalangi atau karena akal yang hilang, karena
kebiasaan bagi engkau. Apakah engkau tidak malu ? berapa banyak engkau mengajak
? dari kesalahan engkau, tidak engkau cegah ?”. Utusan itu meneruskan
ceritanya: “Rabbah Al-Qaisi terus menangis. Dan ia tidak tahu dengan tempatku
berdiri. Maka tatkala aku melihat yang demikian, lalu aku berpaling daripadanya
dan meninggalkannya”.
Diceritakan dari Tanim
Ad-Dari, bahwa ia tidur pada suatu malam, yang ia tidak bangun padanya untuk
shalat malam (shalat tahajjud). Maka ia bangun berdiri satu tahun, yang ia
tidak tidur padanya, untuk siksaan bagi yang telah diperbuatnya.
Dari Thalhah ra yang
mengatakan: “Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan. Lalu membuka kainnya
dan ia berguling pada bumi yang kena panas matahari. Ia mengatakan kepada
dirinya: “Rasailah ! api neraka jahannam lebih keras panasnya ! adakah bangkai
di malam hari itu menjadi batal di siang hari?”. Dalam keadaan dia seperti yang
demikian, tiba-tiba ia melihat Nabi saw pada naungan sepohon kayu. Lalu ia
datang kepadanya, seraya berkata: “Telah dikeraskan aku oleh diriku”. Maka Nabi
saw bersabda: “Apakah sudah semestinya bagi engkau, dari yang engkau perbuat
itu ? apakah tidak, sesungguhnya telah dibukakan bagi engkau pintu-pintu langit
dan Allah membanggakan dengan engkau akan para malaikat ?”. Kemudian Nabi saw
bersabda kepada para sahabatnya: “Ambillah perbekalan dari saudaramu ini !”.
Laki-laki itu lalu berkata kepadanya: “Hai Anu ! berdoalah bagiku ! hai Anu ! berdoalah
bagiku !”. Maka Nabi saw bersabda: “Secara umum bagi mereka”. Maka orang itu
berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jadikanlah taqwa perbekalan mereka ! kumpulkanlah
atas petunjuk urusan mereka !”. Lalu Nabi saw berdoa: “Ya Allah Tuhanku !
betulkanlah dia !”. Laki-laki itu lalu berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jadikanlah
sorga tempat kembalinya mereka !”.
Hudzaifah bin Qatadah
berkata: “Ditanyakan kepada seorang laki-laki: “Bagaimana engkau berbuat dengan
diri engkau tentang nafsu syahwatnya?”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Tiadalah
di atas permukaan bumi ini, diri yang lebih aku marahi daripadanya. Maka
bagaimanakah aku memberikan nafsu keinginannya ?”.
Ibnus-Samak masuk ke
tempat Daud Ath-Tha-i, ketika ia meninggalk dunia dan dia dalam rumahnya di
atas tanah. Lalu Ibnus-Samak berkata: “Hai Daud ! engkau penjarakan diri
engkau, sebelum dipenjarakan. Engkau azabkan diri engkau, sebelum diazabkan.
Maka pada hari ini, engkau melihat akan pahala orang yang engkau berbuat
baginya”.
Dari Wahab bin Munabbih,
bahwa seorang laki-laki beribadah pada masa yang panjang. Kemudian, tampak
baginya hajat keperluan kepada Allah Ta’ala. Lalu ia bangun berdiri 70 kali
Sabtu, di mana ia makan pada setiap Sabtu 11 butir tamar. Kemudian, ia meminta
hajat keperluannya. Maka tidak diberikan. Lalu ia kembali kepada dirinya dan
berkata: “Dari engkau aku datang. Jikalau ada pada engkau itu kebajikan,
niscaya aku berikan akan hajat keperluan engkau”. Maka turunlah kepadanya
malaikat, seraya berkata: “Hai anak Adam ! saatmu ini adalah lebih baik
daripada ibadahmu yang telah lalu. Dan Allah telah menunaikan hajat keperluan
engkau”.
Abdullah bin Qais berkata:
“Adalah kami dalam suatu peperangan bagi kami. Lalu datanglah musuh. Lalu
diteriakkan pada manusia. Maka bangun berdirilah mereka ke barisan perang pada
hari yang sangat deras angin. Tiba-tiba, seorang laki-laki di depanku dan ia
berbicara dengan dirinya, dengan mengatakan: “Hai diriku ! apakah tidak aku
menyaksikan tempat kesyahidan itu dan itu, lalu engkau mengatakan kepadaku: isteri
engkau dan keluarga engkau? lalu aku taati engkau dan aku kembali ? apakah
tidak aku menyaksikan tempat kesyahidan itu dan itu ? lalu engkau mengatakan
kepadaku isteri engkau dan keluarga engkau ? lalu aku taati engkau dan aku
kembali ? demi Allah ! sesungguhnya aku datangkan engkau pada hari ini kepada
Allah, mengambil engkau atau meninggalkan engkau. Lalu engkau mengatakan:
“Sesungguhnya aku memperhatikan dia pada hari ini !”. Lalu engkau
memperhatikannya. Lalu laki-laki itu membawa manusia kepada musuh mereka. Dan
adalah dia dalam golongan yang pertama dari mereka. Kemudian, musuh itu dibawa
kepada manusia banyak. Maka menampaklah mereka. Maka laki-laki itu ada di
tempatnya, sehingga manusia itu menampak beberapa kali. Dan laki-laki itu tetap
berperang. Maka demi Allah, senantiasalah yang demikian itu kebiasaannya.
Sehingga aku melihatnya terpelanting ke tanah. Lalu aku hitung padanya dan pada
kendaraannya 60 atau lebih banyak dari 60 tusukan senjata tajam”.
Telah kami sebutkan berita
Abi Thalhah, tatkala hatinya terganggu dalam shalat dengan seekor burung dalam
kebunnya. Lalu ia sedekahkan kebunnya sebagai kafarat bagi yang demikian. Bahwa
Umar ra memukul dua tapak kakinya dengan cemeti pada setiap malam dan
mengatakan: “Apakah yang telah engkau kerjakan hari ini ?”.
Dari Mujamma’ bin
Sham-ghan At-Taimi, bahwa ia mengangkatkan kepalanya ke loteng. Lalu jatuh
penglihatannya kepada seorang wanita. Maka ia jadikan atas dirinya, bahwa ia
tidak akan mengangkatkan kepalanya ke langit selama ia di dunia.
Adalah Al-Ahnaf bin Qais,
tidak berpisah dengan lampu di malam hari. Ia meletakkan anak jarinya atas
lampu itu dan ia berkata kepada dirinya: “Apakah yang membawa engkau kepada
berbuat hari itu, itu ?”. Wahib bin Al-Ward menantang sesuatu atas dirinya.
Lalu ia mencabut beberapa helai rambut dadanya. Sehingga bersangatanlah
pedihnya. Kemudian ia berkata kepada dirinya: “Celaka engkau ! sesungguhnya aku
menghendaki dengan engkau itu kebajikan”.
Muhammad bin Bisyr melihat
Daud Ath-Tha-i dan ia memakan ketika berbuka puasa sepotong roti, tanpa garam.
Lalu Muhammad bin Bisyr bertanya kepada Daud Ath-Tha-i: “Jikalau engkau
memakannya dengan garam ?”. Daud Ath-Tha-i lalu menjawab: “Bahwa diriku
mengajak aku kepada garam semenjak setahun yang lalu”. Dan Daud tidaklah merasakan
garam selama ia di dunia. Maka begitulah adanya penyiksaan orang-orang yang
keras cita-cita bagi dirinya. Dan yang mengherankan, bahwa engkau menyiksakan
hamba engkau, yang laki-laki dan yang perempuan, isteri engkau dan anak engkau,
atas apa yang timbul dari mereka, dari kejahatan akhlak dan keteledoran pada
sesuatu urusan. Dan engkau takut, bahwa jikalau engkau lewatkan saja dari
mereka, niscaya keluarlah urusan mereka dari pilihan dan mereka mendurhakai
engkau. Kemudian engkau menyia-nyiakan diri engkau sendiri. Dan nafsu diri itu
adalah musuh yang terbesar bagi engkau. Yang sangat durhaka atas engkau. Dan
melaratnya engkau dari kedurhakaannya itu lebih besar dari melaratnya engkau
dari kedurhakaan isteri engkau. Bahwa tujuan mereka ialah mengacaukan atas
engkau kehidupan dunia. Jikalau engkau menggunakan akal, niscaya engkau
ketahui, bahwa hidup itu hidup akhirat. Bahwa padanya nikmat yang berketetapan,
yang tiada berakhir. Dan nafsu diri engkau itu, ialah yang mengeruhkan kepada
engkau akan hidup akhirat. Maka itu dengan siksa-menyiksakan adalah lebih utama
dari lainnya.
AL-MURABATHAH KELIMA:
al-mujahadah.
Yaitu, bahwa apabila hamba itu
memperhitungkan akan dirinya, maka dilihatnya telah berpisah dengan perbuatan
maksiat. Maka seyogyalah bahwa ia menyiksakan diri itu dengan siksaan-siksaan
yang telah berlalu. Dan jikalau dilihatnya datang dengan lambat-lambat, dengan
adanya kemalasan pada sesuatu dari perbuatan-perbuatan utama atau salah satu
dari perbuatan-perbuatan wirid, maka seyogyalah bahwa ditunaikannya dengan
memberatkan wirid-wirid atas dirinya dan diharuskannya, merupakan beberapa
macam dari tugas-tugas, untuk penampalan bagi apa yang telah luput daripadanya
dan memperoleh kembali bagi apa yang telah hilang. Maka begitulah adanya
berbuat orang-orang yang mengerjakan amalan bagi Allah Ta’ala.
Umar bin Al-Khattab
menyiksakan dirinya, ketika luput baginya shalat Ashar dalam berjama’ah, dengan
menyedekahkan tanah yang menjadi kepunyaannya, yang harganya 200 ribu dirham.
Adalah Ibnu Umar apabila luput baginya suatu shalat dalam berjama’ah, niscaya
ia hidupkan (dengan beribadah) malam itu. Dan diriwayatkan; bahwa ia
mengemudiankan malam bagi shalat Maghrib, sehingga terbitlah dua bintang, maka
Ibnu Umar memerdekakan dua orang budak.
Luput 2 rakaat fajar bagi
Ibnu Abi Rabi’ah, lalu ia memerdekakan seorang budak. Dan sebahagian mereka
menjadikan atas dirinya puasa setahun atau mengerjakan hajji dengan berjalan
kaki atau bersedekah dengan semua hartanya. Semua yang demikian itu adalah murabathah bagi diri dan penyiksaan baginya, dengan
yang melepaskannya dari kebinasaan abadi. Kalau anda bertanya: “Jikalau adalah
diriku tidak mematuhi aku kepada mujahadah dan muwadhabah (rajin) kepada
wirid-wirid, maka apakah jalan mengobatinya ?”. Aku menjawab: “Jalan anda pada
yang demikian itu, ialah bahwa anda perdengarkan kepada diri anda, akan apa
yang datang dari Nabi saw pada hadits-hadits dari kelebihan orang-orang yang
bersungguh-sungguh (al-mujtahidin). Dan sebahagian dari sebab-sebab pengobatan
yang lebih bermanfaat, ialah: bahwa anda mencari teman dengan seseorang dari
hamba Allah, yang bersungguh-sungguh pada beribadah. Maka anda perhatikan
segala perkataannya dan anda ikuti dia”.
Adalah sebahagian mereka
mengatakan: “Adalah aku, apabila menimpa atas diriku oleh kekosongan pada
ibadah, niscaya aku memandang kepada hal keadaan Muhammad bin Wasi’ dan kepada
kesungguhannya. Maka aku berbuat atas yang demikian selama seminggu. Hanya,
bahwa pengobatan ini sungguh sukar sekarang. Karena telah tidak ada pada zaman
ini, orang yang bersungguh-sungguh pada beribadah, sebagaimana kesungguhan
orang-orang dahulu. Maka seyogyalah bahwa dialihkan dari penyaksian kepada
mendengar. Maka tiada suatupun yang lebih bermanfaat, daripada mendengar hal
keadaan mereka, membaca berita-berita mengenai mereka dan apa yang ada pada
mereka, dari kesungguhan yang sangat menyungguhkan. Dan telah berlalu kepayahan
mereka dan tinggallah pahala dan kenikmatan mereka yang abadi, yang tiada akan
putus-putus. Alangkah besarnya kepunyaan mereka ! alangkah sangatnya penyesalan
orang yang tiada mengikuti mereka ! ia menyenangkan dirinya pada hari-hari yang
sedikit dengan nafsu syahwat yang keruh. Kemudian, ia didatangi oleh mati dan
didindingkan diantara dia dan setiap apa yang dirinduinya untuk selama-lamanya.
Kita berlindung dengan Allah Ta’ala dari yang demikian.
Kami kemukakan dari
sifat-sifat orang yang bersungguh-sungguh itu dan kelebihan-kelebihan mereka
akan apa yang mengerakkan kegemaran murid pada bersungguh-sungguh, lantaran
mengikuti mereka. Maka Rasulullah saw bersabda: “Dianugerahkan rahmat oleh
Allah akan beberapa kaum yang diperkirakan oleh manusia, bahwa mereka itu
sakit. Dan sebenarnya mereka itu tidak sakit”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Mereka itu disungguhkan oleh
ibadah”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya,
dengan hatinya yang takut (kepada Allah)”. S 23 Al Mukminuun ayat 60. Berkata
Al-Hasan: “Mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan dari amal perbuatan
kebajikan. Dan mereka takut bahwa yang demikian itu tidak melepaskan mereka
dari azab Allah”.
Rasulullah saw bersabda:
“Amat baiklah bagi siapa yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya”.
Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya: “Apakah
keadaan hamba-hambaKu yang bersungguh-sungguh ?”. Para malaikat itu menjawab:
“Wahai Tuhan kami ! engkau takutkan mereka akan sesuatu, maka mereka takut
kepadanya. Dan Engkau rindukan mereka kepada sesuatu, maka mereka rindu
kepadanya”. Maka berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Maka
bagaimana jikalau hamba-hambaKu melihat akan Aku, niscaya adalah mereka itu
lebih bersangatan kesungguhan”.
Al-Hasan Al-Bshari
berkata: “Aku mendapati beberapa kaum dan aku berteman dengan beberapa golongan
dari mereka. Tiadalah mereka itu bergembira dengan sesuatu dari dunia yang
menghadap dan tiadalah mereka itu merasa sedih atas sesuatu daripadanya yang
membelakang. Sesungguhnya dunia itu adalah lebih hina pada mata mereka, dari
tanah ini yang kamu injak dengan kaki kamu. Jikalau seseorang dari mereka,
untuk hidup umurnya semuanya, niscaya tidaklah terlipatkan baginya sehelai
kain. Tidaklah disuruhkan isterinya sekali-kali dengan membikin makanan. Dan
tidak dijadikan sekali-kali akan sesuatu diantara dia dan bumi. Aku dapati mereka
itu berbuat menurut Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka. Apabila
datanglah kegelapan malam bagi mereka, maka mereka berdiri dengan kaki mereka
mengerjakan shalat. Mereka menghamparkan muka mereka dengan sujud. Air mata
mereka mengalir atas pipi mereka. Mereka
membisikkan segala isi hati dengan Tuhan mereka pada melepaskan leher
mereka. Apabila mereka mengerjakan kebaikan, niscaya mereka bergembira dengan
kebaikan itu. Dan menjadi kebiasaan mereka mensyukurinya. Dan mereka bermohon
pada Allah, bahwa menerimanya. Dan apabila mereka mengerjakan kejahatan,
niscaya kejahatan itu menggundahkan mereka. Mereka bermohon pada Allah, bahwa
Ia mengampunkan mereka daripadanya. Demi Allah ! senantiasalah mereka itu
seperti yang demikian dan di atas yang demikian. Demi Allah ! senantiasalah
mereka itu seperti yang demikian dan di atas yang demikian. Demi Allah ! mereka
tiada selamat dari dosa dan mereka tiada terlepas, selain dengan ampunan”.
Diceritakan, bahwa suatu
kaum masuk ke tempat Umar bin Abdul-‘aziz, dimana mereka itu mengunjunginya
pada sakitnya. Tiba-tiba dalam kalangan mereka itu ada seorang pemuda, yang
kurus badannya. Lalu Umar bertanya kepadanya: “Hai pemuda ! apakah yang sampai
dengan engkau, akan apa yang aku lihat ?”. Pemuda itu menjawab: “Hai Amirul-mu’minin
! penyakit-penyakit dan sakit-sakit”. Umar bin Abdul-‘aziz lalu berkata: “Aku
tanyakan engkau dengan nama Allah, melainkan engkau membenarkan aku”. Anak muda
itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! aku rasakan kemanisan dunia, maka aku
mendapati nya pahit. Kecil padaku hiasannya dan manisnya. Bersamaan padaku,
emasku dan batunya. Dan seakan-akan aku memandang kepada ‘Arasy Tuhanku dan
manusia dihalau ke sorga dan neraka. Maka hauslah aku bagi yang demikian akan
siangku dan tidak tidurlah aku akan malamku. Sedikit yang hina akan setiap apa
yang aku padanya, pada pihak pahala Allah dan siksaanNya”.
Abu Na’im berkata: “Adalah
Daud Ath-Tha-i meminum roti yang dihancurkan dalam air dan ia tidak memakan
roti. Lalu ditanyakan kepadanya yang demikian. Maka ia menjawab: “Diantara
mengunyahkan roti dan meminum yang dihancurkan dalam air itu bacaan 50 ayat”.
Pada suatu hari masuklah seorang laki-laki ke tempat Daud Ath-Tha-i, lalu
laki-laki itu bertanya: “Bahwa pada atap rumah engkau itu ada batang tamar yang
pecah”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Hai anak saudaraku ! bahwa bagiku dalam rumah
ini semenjak 20 tahun yang lalu, tidak pernah aku melihat ke atap”. Adalah
mereka itu benci kepada pandangan yang tidak perlu, sebagaimana mereka itu
benci kepada pembicaraan yang tidak perlu.
Muhammad bin Abdul-‘aziz
berkata: “Kami duduk di depan Ahmad bin Razin dari pagi sampai ‘Ashar. Ia tidak
berpaling ke kanan dan ke kiri. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang
demikian. Maka ia menjawab: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan dua mata,
supaya hamba melihat dengan keduanya itu kepada keagungan Allah Ta’ala. Maka
setiap orang yang memandang, dengan tidak mengambil ibarat, niscaya dituliskan
atasnya kesalahan”.
Berkata isteri Masruq
Al-Hamdani: “Tidaklah didapati Masruq, selain kedua betisnya bengkak dari
lamanya shalat”. Isterinya itu berkata lagi: “Demi Allah! jikalau adalah aku
itu duduk di belakangnya, maka aku akan menangis, karena kasihan kepadanya”.
Abud-Darda’ berkata:
“Jikalau tidaklah 3 perkara, maka aku tidak menyukai hidup satu haripun: haus
karena Allah pada hari yang amat panas, sujud karena Allah di tengah malam dan
duduk-duduk dengan kaum yang mereka itu membersihkan dengan perkataan yang
baik, sebagaimana dibersihkan buah-buahan yang baik”. Adalah Al-Aswad bin Yazid
bersungguh-sungguh pada ibadah. Ia berpuasa pada hari panas, sehingga hijau dan
kuning tubuhnya. Maka ‘Al-qamah bin Qais bertanya kepadanya: “Mengapa engkau
menyiksakan diri engkau ?”. Lalu Al-Aswad bin Yazid menjawab: “Aku kehendaki
akan kemuliaannya diri”. Adalah Al-Aswad bin Yazid itu berpuasa, sehingga hijau
tubuhnya. Dan ia mengerjakan shalat sehingga ia jatuh. Maka masuklah ke
tempatnya Anas bin Malik dan Al-Hasan. Lalu keduanya berkata kepada Al-Aswad
bin Yazid: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla tidak menyuruh engkau dengan semua ini”.
Maka Al-Aswad bin Yazid menjawab: “Sesungguhnya aku hamba yang dimiliki orang.
Tidak aku tinggalkan dari ketundukan akan sesuatu, melainkan aku datang
kepadanya”. Sebahagian orang yang bersungguh-sungguh (al-mujtahidin) itu
mengerjakan shalat setiap hari 1000 rakaat, sehingga ia mendudukkan dari kedua
kakinya. Maka ia mengerjakan shalat dengan duduk 1000 rakaat. Apabila ia
mengerjakan shalat ‘Ashar, niscaya ia berihtiba’ (duduk dengan membelikan kain
dari pinggang ke lutut). Kemudian ia mengatakan: “Aku heran bagi makhluk,
bagaimana ia menghendaki dengan Engkau akan ganti dari Engkau ! aku heran bagi
makhluk, bagaimana ia berjinak-jinakan dengan selain Engkau ! bahkan aku heran
bagi makhluk, bagaimana bersinar hatinya dengan menyebutkan selain Engkau !’.
Adalah Tsabit Al-Bannani
telah begitu mencintai shalat. Ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jikalau Engkau
izinkan bagi seseorang bahwa mengerjakan shalat bagi Engkau dalam kuburnya,
maka izinkanlah bagiku bahwa aku mengerjakan shalat dalam kuburku”.
Al-Junaid berkata:
“Tidaklah aku melihat yang lebih kuat beribadah, dari As-Sirri. Datang
kepadanya 98 tahun dari umurnya, maka dia tidak terlihat berbaring, selain
dalam sakit yang membawanya wafat”.
Al-Harits bin Sa’ad berkata:
“Suatu kaum melalui di tempat seorang pendeta Yahudi. Maka kaum itu melihat apa
yang diperbuat oleh pendeta itu dengan dirinya, dari kesangatan kesungguhannya
beribadah. Lalu kaum itu memperkatakannya pada yang demikian. Maka pendeta itu
menjawab: “Dan tidaklah ini pada apa, yang dikehendaki dengan makhluk dari
menjumpai huru-hara dan mereka itu lalai ! sungguh mereka itu berhenti di atas
keberuntungan diri mereka. Dan mereka itu lupa akan keberuntungan mereka yang
terbesar dari Tuhan mereka”. Maka kaum itu menangis sampai kepada yang terakhir
dari mereka.
Dari Abi Muhammad
Al-Maghazili, yang berkata: “Bertetangga Abu Muhammad Al-Hariri dengan Makkah
setahun. Ia tidak tidur, tidak berkata-kata dan tidak bersandar kepada tiang
dan tidak kepada dinding. Dan ia tidak memanjangkan kedua kakinya. Lalu
lewatlah kepadanya Abubakar Al-Kattani. Maka ia memberi salam kepada Abu
Muhammad Al-Hariri dan berkata: “Hai Abu Muhammad ! dengan apa engkau sanggup
atas i’tikaf (duduk berhenti untuk ibadah)mu ini ?”. Abu Muhammad Al-Hariri
menjawab: “Ilmu benarnya batinku, maka ia menolong aku atas zahirku”. Abubakar
Al-Kattani lalu menundukkan kepala dan berjalan dengan bertafakkur. Dari
sebahagian mereka, yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Fathul-Maushuli. Maka
aku melihat dia memanjangkan (membuka) dua tapak tangannya menangis. Sehingga
aku melihat air mata berderai diantara anak-anak jarinya. Lalu aku
mendekatinya. Tiba-tiba kelihatan air matanya telah bercampur berwarna kuning.
Lalu aku bertanya: “Demi Allah, hai Fathu, mengapa engkau tangisi darah ?”.
Fathul-Maushuli menjawab: “Jikalau tidaklah engkau bersumpah dengan aku atas
nama Allah, niscaya tidak aku terangkan kepada engkau. Benar, aku tangisi
darah”. Lalu aku bertanya lagi: “Atas dasar apa engkau tangisi air mata ?”.
Maka Fathul-Maushuli menjawab: “Atas tertinggalnya aku dari kewajiban akan hak
Allah Ta’ala. Dan aku tangisi darah atas air mata, supaya tidaklah ada, apa
yang shah bagiku air mata itu”. Yang punya cerita itu meneruskan ceritanya:
“Maka aku mimpikan Fathul-Maushuli sesudah wafatnya. Maka aku bertanya: “Apakah
yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?”. Fathul-Maushuli menjawab: “Allah
Ta’ala mengampunkan aku”. Lalu aku bertanya lagi: “Apa yang diperbuat Allah
Ta’ala pada air mata engkau ?”. Fathul-Maushuli menjawab: “Aku didekatkan oleh
Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Dan IA berfirman kepadaku: “Hai Fathu ! air mata atas
apa ? Aku menjawab: “Hai Tuhanku ! atas teringgalnya aku dari kewajiban hakMu
?”. Maka Allah bertanya: “Dan darah itu atas apa ?”. Aku menjawab: “Atas air
mataku, bahwa tidak shahlah dia bagiku”. Maka Ia bertanya kepadaku: “Hai Fathu
! apakah yang engkau kehendaki dengan ini semua ? demi kemuliaanKu dan
keagunganKu ! telah naiklah dua malaikat yang menjaga engkau 40 tahun, dengan
lembaran amalmu, yang tidak ada padanya kesalahan”.
Dikatakan, bahwa suatu
kaum bermaksud hendak berjalan jauh. Lalu mereka menyimpang dari jalan. Maka
sampailah mereka kepada seorang pendeta Yahudi, yang bersendirian dari manusia.
Lalu mereka memanggil pendeta itu. Maka ia mendekati kepada mereka dari
kelentengnya. Mereka itu berkata: “Hai pendeta ! bahwa kami telah salah jalan.
Maka bagaimanakah jalan itu ?”. Maka pendeta itu mengisyaratkan dengan
kepalanya ke langit. Maka tahulah kaum itu apa yang dikehendaki oleh pendeta
tersebut. Kaum itu lalu berkata: “Hai pendeta ! bahwa kami adalah penanya
kepada engkau. Maka adakah engkau penjawab bagi kami ?”. Pendeta itu maka
berkata: “Tanyalah dan jangan engkau membanyakkan pertanyaan ! bahwa siang itu
tiada akan kembali dan umur itu tiada akan berulang lagi. Dan orang yang
mencari itu bersegera pada yang dicarinya ?”. Kaum itu tercengang dari
perkataannya. Lalu mereka itu bertanya: “Hai pendeta ! atas apa makhluk itu
besok pada Yang Memilikinya ?”. Pendeta itu menjawab: “Diatas niat mereka”.
Lalu mereka berkata lagi: “Berilah nasehat kepada kami!”. Pendeta itu menjawab:
“Siapkanlah perbekalan di atas kadar perjalananmu ! bahwa perbekalan yang baik,
ialah apa yang menyampaikan kepada tujuan”. Kemudian, pendeta itu menunjukkan
jalan kepada mereka. Dan ia memasukkan kepalanya dalam kelentengnya.
Abdul-wahid bin Zaid
berkata: “Aku lalu di suatu kelenteng salah seorang pendeta Cina. Lalu aku
memanggilnya: “Hai pendeta !”. Maka ia tidak menyahut panggilanku. Lalu aku
panggilkan dia kali kedua. Juga ia tidak menyahut akan panggilanku. Maka aku
memanggil dia kali ketiga. Lalu ia mendekati aku dan berkata: “Hai orang ini !
tidaklah aku ini pendeta. Sesungguhnya pendeta, ialah orang yang takut akan
Allah pada ketinggianNya, mengagungkan akan Allah pada kebesaranNya, sabar atas
percobaanNya, ridha dengan qodoNya, memujikanNya atas segala nikmatNya,
bersyukur atas nikmat-nikmatNya, merendahkan diri karena kebesaranNya, merasa
hina diri, karena kemuliaanNya, menyerah bagi qudrah ( kuasa )Nya, tunduk
karena kehebatanNya dan berfikir pada al-hisab dan siksaanNya. Maka siangnya ia
berpuasa dan malamnya ia berdiri menegakkan shalat. Membawa ia tidak tidur oleh
ingatan kepada neraka dan pertanyaan Tuhan Yang Maha Perkasa. Maka yang
demikian itulah yang dikatakan pendeta ! adapun aku ini, maka adalah anjing
yang melukakan. Aku tahan diriku dalam kelenteng ini, dari manusia. Supaya aku
tidak melukakan mereka”. Lalu aku bertanya: “Hai pendeta ! apakah yang
memutuskan makhluk dari Allah sesudah mereka mengenalNya ?”. Pendeta itu
menjawab: “Hai saudaraku ! tidaklah yang memutuskan makhluk dari Allah, selain
oleh cinta dunia dan perhiasannya. Karena dunia itu tempat maksiat dan
dosa. Dan orang yang berakal, ialah orang yang melemparkan dunia dari hatinya.
Ia bertaubat kepada Allah Ta’ala dari dosanya. Dan ia menghadap kepada yang
mendekatkannya kepada Tuhannya”.
Ditanyakan Daud Ath-Tha-i: “Jikalau
engkau sisirkan janggut engkau ?”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Jadi aku ini
mempunyai kekosongan waktu ?”.
Adalah Uwais Al-Qarani berkata:
“Inilah malam ruku !”. Maka ia hidupkan malam seluruhnya dalam ruku’. Apabila
pada malam mendatang, maka ia berkata: “Inilah malam sujud !”. Maka ia hidupkan
malam seluruhnya dalam sujud.
Dikatakan, tatkala bertaubat ‘Utbah
Al-Ghallam: “Adalah dia tidak merasa puas dengan makan dan minum”. Maka
bertanya ibunya kepadanya: “Jikalau engkau berteman dengan diri engkau ?”.
‘Utbah Al-Ghallam menjawab: “Berteman itu aku cari. Biarkanlah aku letih
sedikit dan aku bersenang-senang lama”.
Masruq Al-Hamdani itu naik hajji. Maka
ia tidak tidur sekali-kali, selain ia bersujud.
Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Ketika pagi
hari, kaum itu memuji orang yang bermusafir malam hari dan ketika mati kaum itu
memuji orang yang taqwa”.
Berkata Abdullah bin Daud: “Adalah
salah seorang mereka, apabila telah sampai 40 tahun, niscaya ia lipatkan
tikarnya”. Artinya: ia tidak tidur sepanjang malam.
Adalah Kahmas bin Al-Hasan mengerjakan
shalat setiap hari 1000 rakaat. Kemudian ia mengatakan kepada dirinya:
“Bangunlah, hai tempat setiap kejahatan !”. Tatkala ia telah lemah, maka ia
singkatkan atas 500 rakaat. Kemudian ia menangis dan berkata: “Telah hilang
setengah amalku”.
Adalah anak perempuan
Ar-Rabi’ bin Khaitsam bertanya kepada Ar-Rabi’: “Hai ayahku ! apakah kiranya
aku melihat manusia itu tidur dan ayah tidak tidur?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Hai
anakku ! bahwa ayahmu itu takut akan serangan atas musuh pada malam hari”.
Tatkala ibu Ar-Rabi’ melihat apa yang ditemui oleh Ar-Rabi’ dari menangis dan
tidak tidur malam, lalu ibu itu memanggil Ar-Rabi’: “Hai anakku ! mungkin
engkau membunuh akan seorang yang terbunuh?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Ya benar,
wahai ibuku !”. Ibunya lalu bertanya: “Siapa orang itu ? supaya kita minta maaf
pada keluarganya. Lalu ia memaafkan engkau. Demi Allah ! jikalau mereka tahu,
apa yang engkau kerjakan, niscaya mereka sayang kepada engkau. Dan mereka akan
memaafkan engkau”. Ar-Rabi’ lalu menjawab: “Hai ibuku ! dia itu diriku !”.
Dari Umar –anak saudara
perempuan Bisyr bin Al-Harits, berkata: “Aku mendengar pamanku Bisyr bin
Al-Harits mengatakan kepada ibuku: “Hai saudaraku perempuan ! ronggaku dan
rusuk-rusukku itu memukul atasku”. Lalu ibuku berkata kepadanya: “Hai saudaraku
! engkau izinkan bagiku, sehingga aku buat yang lebih baik bagi engkau sedikit
sup dengan segenggam tepung padaku, yang engkau akan menghirupnya, yang
membaikkan rongga engkau”. Bisyr bin Al-Harits berkata kepada ibu Umar itu:
“Susah ! aku takut bahwa orang bertanya: darimana tepung ini bagi engkau. Maka
aku tidak tahu, apa yang aku katakan kepada orang itu”. Maka ibuku menangis dan
Bisyr bin Al-Harits menangis bersama ibu dan aku menangis pula bersamanya”.
Umar meneruskan riwayatnya: “Ibuku melihat akan keadaan Bisyr dengan sangat
lapar. Ia bernafas dengan nafas yang lemah. Lalu ibuku berkata kepadanya: “Hai
saudaraku ! kiranya ibumu tidak melahirkan aku. Demi Allah ! telah putus-putus
jantungku, dari apa, yang aku lihat padamu”. Lalu aku mendengar Bisyr berkata
kepada ibu: “Aku, kiranya ibuku tidak melahirkan aku ! dan karena ia telah
melahirkan aku, kiranya tidak diberikannya susunya kepadaku”. Umar meneruskan
riwayatnya: “Adalah ibuku menangis atas keadaan Bisyr malam dan siang”.
Ar-Rabi’ berkata: “Aku
datang kepada Uwais, lalu aku dapati dia itu duduk, lalu aku duduk. Maka aku
berkata, bahwa aku tidak menganggukannya dari bertasbih. Maka ia menetap pada
tempatnya, sehingga ia mengerjakan shalat Dhuhur. Kemudian, ia bangun berdiri
mengerjakan shalat, sehingga ia bershalat ‘Ashar. Kemudian, ia duduk pada
tempatnya, sehingga ia bershalat Maghrib. Kemudian, ia menetap pada tempatnya,
sehingga ia bershalat ‘Isya. Kemudian, ia menetap pada tempatnya, sehingga ia
bershalat Shubuh. Kemudian, ia duduk. Lalu ia dikerasi oleh dua matanya (untuk
tidur). Maka ia berdoa: “Hai Allah Tuhanku ! bahwa aku berlindung dengan Engkau
dari mata yang sangat tidur dan dari perut yang tidak kenyang !”. Maka aku
berkata: “Mencukupilah ini bagiku daripadanya ! kemudian aku kembali”.
Seorang laki-laki
memandang kepada Uwais, lalu bertanya: “Hai ayah Abdullah ! apakah kiranya,
bahwa aku melihat engkau seakan-akan sakit ?”. Uwais lalu menjawab: “Apakah
bagi Uwais bahwa ia tidak sakit ? diberi makanan orang sakit dan Uwais tidak
makan. Dan tidur orang sakit dan Uwais tidak tidur”. Berkata Ahmad bin Harb:
“Wahai heran kiranya, bagi orang yang mengetahui bahwa sorga itu menghiaskan di
atasnya dan neraka itu memanaskan di bawahnya. Maka bagaimana orang itu dapat
tidur diantara keduanya ?”. Seorang laki-laki dari orang-orang yang kuat beribadah
berkata: “Aku datang kepada Ibrahim bin Adham. Maka aku dapati dia itu sudah
bershalat ‘Isya. Lalu aku duduk memperhatikannya. Ia membalutkan dirinya dengan
baju kurung panjang. Kemudian ia merebahkan dirinya. Maka ia tidak berbalik
dari lembung ke lembung pada malam itu seluruhnya, sehingga terbit fajar dan
azan oleh juru azan. Lalu ia melompat kepada shalat dan ia tidak mengambil
wudhu’. Maka meresaplah yang demikian dalam dadaku. Lalu aku berkata kepadanya:
“Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau ! engkau telah tidur malam
seluruhnya dengan berbaring, kemudian engkau tidak membarukan wudhu’ ?”.
Ibrahim bin Adham menjawab: “Adalah aku malam ini seluruhnya berjalan di
kebun-kebun sorga beberapa ketika dan di lembah-lembah neraka beberapa ketika.
Maka adalah pada yang demikian itu tidur ?”.
Tsabit Al-Bannani berkata:
“Aku mendapati beberapa orang laki-laki. Salah seorang dari mereka itu
mengerjakan shalat. Lalu ia lemah dari datang ke tempat tidurnya, selain dengan
merangkak”.
Dikatakan, bahwa Abubakar
bin ‘Ayyasy tetap di tempatnya 40 tahun, dimana ia tidak meletakkan lembungnya
di atas tempat tidur. Dan turunlah air pada salah satu dua matanya. Maka tetap
di tempatnya 20 tahun, yang tidak diketahui oleh keluarganya.
Dikatakan, bahwa adalah wirid
Samnun pada setiap hari 500 rakaat. Dan dari Abubakar Al-Muthawwa’i, yang
mengatakan: “Adalah wiridku pada masa mudaku setiap hari dan malam, dimana aku
membaca padanya: Qul huwal-laahu ahad sebanyak 31 ribu kali atau 40 ribu kali
–ragu perawi tentang jumlahnya.
Adalah Manshur bin
Al-Mu’tamir, apabila aku melihatnya, maka aku mengatakan: “Seorang laki-laki
yang tertimpa dengan suatu musibah, pecah mata, rendah suara, basah kedua
matanya. Bahwa gerakannya itu datanglah kedua matanya dengan 4. Telah berkata
ibunya kepadanya: “Apakah ini yang engkau perbuat dengan diri engkau ? engkau
menangis malam seumumnya, tiada engkau diam ! mungkin engkau hai anakku, engkau
mendapat musibah pada diri. Dan mungkin engkau membunuh seorang yang terbunuh”.
Manshur bin Al-Mu’tamir itu menjawab: “Aku lebih mengetahui dengan apa yang aku
perbuat dengan diriku”.
Ditanyakan kepada ‘Amir
bin Abdullah: “Bagaimana sabarnya engkau atas tidak tidur malam dan haus pada
siangnya yang panas ?”. ‘Amir bin Abdullah menjawab: “Adakah itu, selain bahwa
aku mengalihkan makanan siang kepada malam dan tidur malam kepada siang. Dan
tidak adalah pada yang demikian itu urusan yang berbahaya”.
Adalah Amir bin Abdullah
itu berkata: “Tidaklah aku melihat seperti sorga, yang tidur pencarinya. Dan tidaklah
seperti neraka, yang tidur orang yang lari daripadanya”.
Adalah Amir bin Abdullah
apabila datang malam, maka ia berkata: “Kepanasan neraka itu menghilangkan
tidur”. Maka ia tidak tidur, sehingga datang waktu subuh. Apabila datang siang,
maka ia mengatakan: “Kepanasan api neraka menghilangkan tidur”. Maka ia tidak
tidur, sehingga datang waktu sore. Maka apabila datang malam, lalu ia berkata:
“Siapa yang takut, niscaya berjalan malam. Dan ketika pagi, kaum itu memujikan
orang yang bermusafir malam hari”. Sebahagian mereka itu berkata: “Aku menemani
Amir bin Al-Qais selama 4 bulan. Maka aku tiada melihatnya ia tidur di malam
hari dan siangnya”.
Diriwayatkan dari seorang
laki-laki dari shahabat Ali bin Abi Thalib ra, bahwa laki-laki itu berkata:
“Aku bershalat di belakang Ali ra shalat fajar. Maka tatkala ia telah memberi
salam, melilitlah di kanan dan di atasnya kegundahan. Maka ia berhenti duduk di
tempatnya, sehingga terbit matahari. Kemudian, ia membalikkan tangannya dan
berkata: “Demi Allah ! sesungguhnya aku telah melihat para shahabat Muhammad
saw dan tiadalah aku melihat pada hari ini akan sesuatu yang menyerupai dengan
mereka. Para sahabat itu berpagi hari dengan rambut yang kusut-musut, berdebu,
berwajah pucat. Mereka bermalam hari karena Allah, dengan sujud dan berdiri
menegakkan shalat. Mereka membaca Kitab Allah. Mereka itu bergiliran antara
tapak kaki mereka untuk berdiri bagi shalat dan dahi mereka untuk sujud. Adalah
mereka itu, apabila menyebut (berdzikir) akan Allah, niscaya mereka bergoncang
badannya, sebagaimana bergoncangnya pohon kayu pada hari angin. Dan
berhamburanlah air mata mereka, sehingga basah kain mereka. Seakan-akan kaum
itu bermalam dalam keadaan yang lalai. Yakni: orang yang ada di sekelilingnya”.
Adalah Abu Muslim Al-Khaulani
menggantungkan cambuk dalam masjid rumahnya untuk menakutkan dirinya. Ia mengatakan
kepada dirinya: “Bangunlah! maka demi Allah ! aku akan merangkak dengan engkau,
dengan rangkak, sehingga adalah kepenatan itu dari engkau, tidak daripada aku”.
Apabila telah masuk waktu kekosongan, niscaya ia mengambil cambuknya dan
dipukulnya pahanya, seraya berkata: “Engkau lebih utama dengan pukulan,
daripada binatang kendaraanku”. Ia mengatakan: “Adakah disangkakan oleh para
sahabat Muhammad saw bahwa mereka mengambil untuk dirinya dengan yang demikian,
tidak kita ? demi Allah, sekali-kali tidak ! kita sesungguhnya mendesak mereka
kepadanya, dengan desakan, sehingga mereka itu tahu, bahwa mereka telah
meninggalkan di belakang mereka beberapa orang”.
Adalah Shafwan bin Salim
telah bersampul kedua betisnya dari lamanya berdiri untuk shalat. Dan sampailah
dari kesungguhannya, bahwa jikalau dikatakan baginya: berdiri besok, niscaya ia
tidak mendapat akan ketambahan. Adalah Shafwan bin Salim apabila datang musim
dingin, niscaya ia berbaring di atas atap, supaya ia dipukul oleh kedinginan.
Dan apabila pada musim panas, niscaya ia berbaring di dalam rumah, supaya
diperolehnya kepanasan. Lalu ia tidak tidur. Dia meninggal dunia dan dia sedang
sujud. Adalah ia berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! sesungguhnya aku menyukai
bertemu dengan Engkau, maka sukailah bertemu dengan aku !”.
Al-Qasim bin Muhammad
berkata: “Pada suatu hari aku berjalan, pagi-pagi. Dan aku apabila berjalan
pagi-pagi, niscaya aku mulai kepada ‘Aisyah. Aku memberi salam kepadanya. Maka
pada suatu hari aku berjalan pagi-pagi kepadanya. Tiba-tiba dia sedang
mengerjakan shalat Dhuha. Dan ia membaca ayat: “Maka Allah memberikan kurnia
kepada kita dan memelihara kita dari siksaan angin yang amat panas”. S 52 Ath
Thuur ayat 27. ‘Aisyah itu menangis dan berdoa serta ia ulang-ulangi ayat
tersebut. Lalu aku bangun berdiri, sehingga aku jemu. Dan dia seperti yang
demikian terus. Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pergi ke pasar. Dan
aku mengatakan: “Aku selesai dari keperluanku. Kemudian aku kembali”. Lalu aku
selesai dari keperluanku. Kemudian, aku kembali. Dan ‘Aisyah seperti yang
demikian terus. Ia mengulang-ulangi ayat itu. Ia menangis dan berdoa”.
Muhammad bin Ishak
berkata: “Tatkala datang kepada kami Abdurrahman bin Al-Aswad dalam rangka
menunaikan ibadah hajji, maka sakitlah salah satu tapak kakinya. Lalu ia bangun
berdiri mengerjakan shalat di atas satu tapak kaki. Sehingga ia mengerjakan
shalat Shubuh dengan wudhu’ Isya”. Sebahagian mereka itu berkata: “Tiada aku
takut kepada mati, selain dari segi, bahwa mati itu menghalangi antara aku dan
bangun malam mengerjakan shalat”.
Berkata Ali bin Abi Thalib
ra: “Tanda orang-orang shalih itu, ialah: pucat warnanya dari tidaknya tidur
malam, kabur mata serta meleleh airnya dari menangis dan pucat bibirnya dari
karena puasa. Pada mereka itu debu orang-orang yang khusyu”.
Ditanyakan kepada Al-Hasan
Al-Bashari : “Apakah halnya orang-orang yang mengerjakan shalat tahajjud,
dimana mereka adalah manusia yang tercantik wajahnya ?”. Al-Hasan
Al-Bashari menjawab: “Karena mereka itu
berkhilwah dengan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka Ia memberikan mereka pakaian
nur dari nurNya”.
Adalah Amir bin Abdul-qais
berdoa: “Tuhanku ! Engkau jadikan aku dan Engkau tidak bermusyawarah dengan
aku. Engkau mematikan aku dan Engkau tidak memberitahukan aku. Engkau jadikan
bersamaku itu musuh dan Engkau jadikan dia berjalan padaku pada tempat
berjalannya darah. Engkau jadikan dia melihatku dan aku tidak melihat dia.
Kemudian, Engkau berfirman kepadaku: “Pegang-teguhlah !”. Hai Tuhanku !
bagaimana aku berpegang-teguh, jikalau Engkau tidak memegang aku ? hai Tuhanku
! dalam dunia itu kesusahan dan kegundahan. Dan di akhirat itu siksaan dan
hitungan amal. Maka dimanakah kesenangan dan kegembiraan ?”.
Ja’far bin Muhammad
berkata: “Adalah ‘Utbah Al-Ghallam menghabiskan malam dengan 3 pekikan. Adalah
dia apabila telah mengerjakan shalat 1/3 malam (al-‘atamah), niscaya ia
meletakkan kepalanya diantara dua lututnya bertafakkur. Maka apabila telah
berlalu 1/3 malam, niscaya ia memekik sekali. Kemudian, ia meletakkan kepalanya
diantara dua lututnya bertafakkur. Maka apabila telah berlalu malam pertiga
kedua, niscaya ia memekik sekali. Kemudian, ia meletakkan kepalanya diantara
dua lututnya bertafakkur. Maka apabila datang waktu sahur, niscaya ia memekik
sekali”.
Ja’far bin Muhammad berkata: “Maka aku
bicarakan tentang Utbah Al-Ghallam dengan sebahagian orang-orang Basrah, lalu
orang itu menjawab: “Janganlah engkau pandang kepada pekikannya. Akan tetapi, pandanglah
kepada apa yang ada padanya, diantara dua pekikan itu, sehingga ia memekik
lagi”.
Dari Al-Qasim bin Rasyid
Asy-Syaibani, yang mengatakan: “Adalah Zam’ah Al-Yamani bertempat pada kami di
Al-Mahshab (suatu tempat dekat Makkah). Ia mempunyai isteri dan anak-anak
perempuan. Adalah ia bangun malam, lalu mengerjakan shalat sepanjang malam. Apabila
tiba waktu sahur, ia berseru dengan setinggi-tinggi suaranya: “Hai orang-orang
yang berkendaraan, yang berpesta kawin ! adakah seluruh malam ini engkau tidur
? apakah kamu tidak bangun, lalu pergi berjalan ?”. Lalu mereka itu
berlompatan. Maka terdengarlah di sini orang menangis. Di sana orang berdoa.
Disitu orang membaca Alquran dan disana orang mengambil wudhu’. Maka apabila
telah terbit fajar, lalu ia berseru dengan setinggi-tinggi suaranya: “Dan
ketika shubuh, kaum itu memujikan akan orang yang bermusafir malam hari”.
Sebahagian hukama’ berkata: “Bahwa bagi Allah itu mempunyai hamba-hamba, yang
dianugerahkan nikmat kepada mereka. Maka mereka mengenalNya. Ia melapangkan
dada mereka. Maka mereka mentaatiNya. Dan mereka bertawakkal kepadaNya. Maka mereka
menyerahkan makhluk dan urusan kepadaNya. Lalu jadilah hati mereka itu tempat
barang tambang bagi kemurnian yakin, rumah bagi ilmu hikmat, peti bagi
kebesaran dan gudang bagi qudrah (kemampuan). Maka mereka diantara makhluk itu
yang menghadap dan membelakang. Hati mereka berkeliling di alam al-malakut dan
bersenang-senang dengan yang terdinding bagi Yang Maha Ghaib. Kemudian, ia
kembali dan bersamanya golongan-golongan dari faedah-faedah yang halus dan yang
tidak memungkinkan bagi orang yang menyifatkan, bahwa akan menyifatkannya.
Mereka dalam batiniyah urusannya adalah seperti kain sutera yang bagus. Dan
mereka pada zahiriyahnya adalah sapu tangan-sapu tangan yang diberikan kepada
orang, yang menghendaki mereka itu merendahkan diri”. Inilah jalan yang tidak
sampai kepadanya dengan memberatkan diri. Dan itu adalah kurnia Allah yang
dianugerahkanNya kepada siapa yang dikehendakiNya.
Sebahagian orang-orang
shalih berkata: “Sewaktu aku berjalan pada sebahagian bukit-bukit
Baitul-maqdis, tiba-tiba aku turun pada suatu lembah di sana. Tiba-tiba aku
mendengar suara yang telah meninggi. Tiba-tiba bukit-bukit itu menggemakan
baginya suara yang tinggi itu. Maka aku mengikuti suara tersebut. Tiba-tiba aku
di suatu kebun, yang padanya batang kayu yang rindang. Tiba-tiba aku bertemu
dengan seorang laki-laki yang berdiri dalam kebun itu, mengulang-ulangi membaca
ayat: “Pada hari (kiamat) kepada tiap-tiap diri dikemukakan kebaikan yang telah
dikerjakannya dan juga kejahatan yang diperbuatnya. Dan ingin supaya antaranya dengan
kejahatan itu ada jarak yang jauh. Dan Allah memperingatkan kepadamu akan
kewajibanmu terhadap Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat 30. Orang shalih itu
meneruskan ceritanya: “Lalu aku duduk di belakang orang tersebut. Aku mendengar
perkataannya. Ia mengulang-ulangi ayat tadi. Tiba-tiba ia memekik dengan
pekikan yang membawa ia jatuh tersungkur. Lalu aku berkata: “Alangkah sedihnya
! ini adalah karena kesengsaraan hidupku”. Kemudian, aku menunggu sembuhnya.
Maka sesudah sesaat, lalu ia sembuh. Maka aku mendengar ia berdoa: “Aku
berlindung dengan Engkau dari kedudukan orang-orang yang berdusta. Aku
berlindung dengan Engkau dari amal perbuatan orang-orang yang batil/salah. Aku
berlindung dengan Engkau dari berpalingnya orang-orang yang lalai”. Kemudian, orang
shalih tadi berdoa: “Bagi Engkau khusyu’lah hati orang-orang yang takut. Kepada
Engkau gundahlah angan-angan orang-orang yang teledor. Dan karena keagungan
Engkau hinalah hati orang-orang yang berma’rifah”. Kemudian, ia gerak-gerakkan
tangannya, lalu mengatakan: “Apakah bagiku dan dunia ! apalah bagiku dan dunia
! atas engkau hai dunia, dengan anak-anak jenismu dan penjinak-penjinak
kenikmatanmu. Maka pergilah kepada pencinta-pencintamu ! maka tipulah mereka
!”. Kemudian, ia berkata: “Di mana abad-abad yang lalu dan penduduk masa-masa
yang lampau ? mereka busuk dalam tanah. Mereka lenyap dibawa zaman”. Maka aku
panggil orang itu: “Hai hamba Allah ! aku semenjak hari ini di belakang engkau.
Aku menunggu selesainya engkau”. Orang itu lalu menjawab: “Bagaimanakah selesai
orang yang mengejar waktu dan waktu mengejarnya ? ia takut akan kedahuluan
waktu itu dengan mati kepada dirinya ? atau bagaimana selesainya orang yang
pergilah hari-harinya dan tinggallah dosa-dosanya ?”. Kemudian, ia berdoa:
“Engkau baginya dan bagi setiap kesulitan, yang aku harapkan turunnya !
kemudian baginya daripadaku sesaat”. Dan ia membaca: “Dan jelas bagi mereka,
bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada mengira itu, memang dari Allah”. S 39
Az Zumar ayat 47. Kemudian, ia memekik dengan pekikan yang lain, yang lebih
keras dari yang pertama. Dan ia jatuh tersungkur. Lalu aku mengatakan, bahwa
telah keluar nyawanya. Maka aku dekati kepadanya. Tiba-tiba dia itu
bergerak-gerak badannya. Kemudian, ia sembuh, seraya ia berkata: “Siapa aku ?
apakah yang terguris di hatiku ? berikanlah bagiku akan kejahatanku dari kurnia
Engkau ! besarkanlah aku dengan tirai Engkau ! maafkanlah dari dosa-dosaku
dengan kemurahan wajah Engkau, apabila aku berdiri di hadapan Engkau”. Maka aku
mengatakan kepadanya: “Dengan yang engkau harapkan bagi diri engkau dan engkau
percaya kepadanya, kecuali hendaknya engkau bicarakan kepadaku”. Orang itu lalu
menjawab: “Atas engkau dengan pembicaraan orang, yang bermanfaat bagi engkau
oleh pembicaraannya ! dan tinggalkanlah pembicaraan orang yang telah dirusakkan
oleh dosa-dosanya ! sesungguhnya aku pada tempat ini, semenjak dikehendaki oleh
Allah bahwa aku memerangi Iblis dan Iblis memerangi aku. Maka Iblis itu tiada
memperoleh pertolongan atasku, untuk ia mengeluarkan aku, dari apa yang aku
padanya, selain engkau. Maka jauhlah engkau daripadaku, hai orang yang tertipu
! engkau telah cegahkan atasku lidahku dari berdzikir. Engkau cenderungkan
kepada pembicaraan engkau akan suatu cabang dari hatiku. Aku berlindung dengan
Allah dari kejahatan engkau. Kemudian, aku berharap bahwa Ia melindungi aku
dari kemarahanNya dan Ia mengurniakan kepadaku dengan rahmatNya”. Orang shalih
itu meneruskan ceritanya: “Lalu aku berkata: “Ini adalah waliullah. Aku takut
bahwa menyibukkannya, maka aku akan disiksakan pada tempatku ini. Lalu aku
pergi dan meninggalkannya”.
Berkata sebahagian
orang-orang shalih: “Sewaktu aku berjalan dalam perjalananku, tiba-tiba aku
tertarik kepada sepohon kayu, untuk aku beristirahat di bawahnya. Tiba-tiba aku
dengan seorang tua, yang datang mendekati aku. Maka ia berkata kepadaku: “Hai
orang ini ! bangunlah berdiri ! bahwa mati itu tidak mati”. Kemudian, ia
berjalan di depanku. Maka aku ikuti dia. Maka aku dengar, bahwa ia membaca:
“Tiap-tiap yang bernyawa itu merasakan mati”. S 3 Ali ‘Imran ayat 185. Wahai
Allah Tuhanku ! berkahilah aku pada mati !”. Lalu aku menyambung: “Dan pada
yang sesudah mati”. Maka ia menjawab: “Barangsiapa yakin dengan yang sesudah
mati, niscaya ia bersungguh-sungguh dengan ikatan penjagaan diri. Dan tidak ada
baginya di dunia tempat ketetapan”. Kemudian, ia berdoa: “Wahai, yang untuk
WajahNya bersungguhlah segala wajah ! putihkanlah wajahku dengan memandang
kepada Engkau ! penuhkanlah hatiku dengan kecintaan kepada Engkau ! dan
lepaskanlah aku dari kehinaan pencelaan besok di sisi Engkau ! sesungguhnya
telah datanglah malu sekarang bagiku dari Engkau. Dan telah datang waktunya
bagiku kembali daripada berpaling dari Engkau”. Kemudian, ia menyambung:
“Jikalau tidaklah oleh kesantunan Engkau, niscaya tidaklah meluas bagiku akan
ajalku. Dan jikalau tidaklah kemaafanMu, niscaya tidaklah terhampar
angan-anganku pada apa yang di sisi Engkau”. Kemudian, orang itu berlalu dan
meninggalkan aku”. Mereka itu berpantun dalam pengertian ini:
Kurus badan dan hati susah,
engkau melihatnya di puncak atau di
perut lembah.
Ia meratap atas kemaksiatan yang
parah,
dikeruhkan oleh beratnya akan
kejernihan orang yang melepaskan lelah.
Kalau menggelagaklah ketakutannya dan
bertambah,
maka doanya: “Tolonglah aku, hai
Penolongku !
Engkau Maha Tahu dengan yang aku
jumpai,
yang banyak memaafkan dari
tergelincirnya hambaMu ini !”.
Dimadahkan pula:
Adalah yang paling lezat
penyanyi-penyanyi wanita,
apabila mereka menghadap dengan
pakaian-pakaian indah.
Orang yang taubat itu lari dari isteri
dan harta,
berkelana dari tempat ke tempat......
Supaya tidak terkenal sebutannya dan
hidup sendirian,
ia tampak dalam ibadah dengan
angan-angan.
Kelezatannya membaca kemana saja ia
berjalan,
ia disebutkan dengan hati dan lisan.
Ketika mati yang datang kepadanya
dengan gembira,
ia bergembira dengan lepasnya dari
kehinaan.
Maka didapatinya apa yang ia kehendaki
dan cita-cita,
dari berbagai kesenangan dalam ruang
kamar sorga.
Adalah Karaz bin Wabrah
menamatkan bacaan Alquran pada setiap hari 3 kali. Ia bermujahadah dengan
dirinya pada beribadah dengan mujahadah yang maksimal. Lalu dikatakan
kepadanya: “Sungguh engkau telah memayahkan diri engkau”. Karaz bin Wabrah
menjawab: “Berapa umur dunia ?”. Maka dikatakan: “7000 tahun”. Ia bertanya
lagi: “Berapa kadar hari kiamat ?”. Maka dikatakan: “50 ribu tahun”. Lalu ia
bertanya: “Betapa lemahnya seseorang kamu, bahwa ia bekerja 1/7 hari sehingga
amanlah hari itu ! ya’ni: bahwa jikalau hiduplah engkau seumur dunia dan engkau
bersungguh-sungguh beribadah selama 7000 tahun dan engkau terlepas dari
huru-hara satu hari, yang adalah kadarnya 50 ribu tahun, niscaya adalah
keuntungan engkau itu banyak. Dan adalah engkau itu pantas dengan bergembira
padanya. Maka bagaimana dan umur engkau itu pendek dan akhirat itu tiada
berkesudahan ?”. Maka begitulah adanya perjalanan hidup ulama yang terdahulu
(ulama salaf) yang shalih-shalih, mengenai murabathah (memperhatikan
perbuatan diri) dan muraqabahnya (memperhatikan, mengintip, menjaga).
Maka manakala menyombonglah diri engkau atas engkau dan ia mencegah dari
kerajinan kepada ibadah, maka lihatlah akan hal-ihwal ulama-ulama salaf itu !
sesungguhnya sekarang sukarlah adanya seperti mereka itu. Jikalau engkau
sanggup menyaksikan orang, yang mereka itu menjadi orang yang diikuti, maka itu
adalah lebih berguna pada hati dan lebih menggerakkan kepada pengikutan. Maka
tidaklah berita itu seperti yang dilihat dengan mata. Apabila engkau lemah dari
ini, maka janganlah engkau lalai daripada mendengar hal-ihwal mereka. Maka
jikalau tidak adalah unta, maka kambingpun jadi. Dan pilihlah dirimu diantara
mengikuti mereka dan berada dalam jamaah dan lingkungan mereka ! dan mereka itu
orang-orang yang berakal, orang-orang ahli hikmat dan mempunyai mata hati dalam
agama. Dan diantara mengikuti orang-orang bodoh yang lalai dari orang-orang
masa engkau. Dan tidaklah engkau ridhai bagi diri engkau bahwa engkau termasuk
dalam jaringan orang-orang dungu. Dan engkau merasa puas dengan penyerupaan
dengan orang-orang bebal. Dan engkau mengutamakan berselisih dengan orang-orang
yang berakal. Jikalau diri engkau mengatakan kepada engkau, bahwa mereka itu
orang-orang kuat, yang tidak sanggup mereka diikuti, maka lihatlah kepada hal-ihwal
wanita-wanita yang bersungguh-sungguh beribadah ! dan katakanlah kepada diri
engkau: “Hai diri ! janganlah engkau merasa memadai bahwa ada engkau itu
berkurang dari perempuan ! maka alangkah buruknya laki-laki yang teledor
dibandingkan dengan perempuan dalam urusan agama dan dunianya !
Marilah kami sebutkan
sekarang sekelumit dari hal-keadaan kaum wanita yang bersungguh-sungguh dalam
ibadah ! diriwayatkan dari Habibah Al-‘Adawiyah, bahwa ia apabila mengerjakan
shalat 1/3 malam (al-‘atamah), niscaya ia berdiri untuk shalat itu di atas
suthuh rumahnya (atap yang datar yang dipakai juga untuk tempat tinggal dari
rumah-rumah tembok). Dan ia ikatkan dengan kuat akan bajunya dan penutup
kepalanya. Kemudian ia berdoa: “Hai Tuhanku ! telah masuklah bintang-bintang
menghilang. Telah tidurlah semua mata orang. Raja-raja itu telah menguncikan
pintu-pintu istananya. Dan setiap kekasih itu telah bersunyi-sepi dengan
kekasihnya. Dan ini maqamku di hadapan Engkau !”. Kemudian, ia masuk kepada
shalatnya. Maka apabila telah terbit fajar, niscaya ia berdoa: “Wahai Tuhanku !
malam ini telah membelakang dan siang ini telah tampak sinarnya. Maka semoga
kiranya, menghadaplah kepadaku malamku, lalu aku merasa senang. Atau Engkau
kembalikan dia kepadaku, maka aku terhibur. Demi kemuliaanMu ! untuk inilah
kebiasaanku dan kebiasaanMu, selama Engkau menghidupkan aku ! demi kemuliaanMu
! jikalau Engkau menghardik aku dari pintu rahmat Engkau, niscaya senantiasalah
aku untuk apa yang terjadi pada diriku, dari kemurahan dan kurnia Engkau”.
Diriwayatkan dari Ujrah
(seorang wanita Basrah yang sungguh beribadah), bahwa ia menghidupkan malam
dengan beribadah. Dan adalah ia tidak dapat melihat. Apabila datang waktu
sahur, maka ia menyerukan dengan suaranya yang menyedihkan: “Kepada Engkau,
orang-orang abid (yang banyak beribadah) itu memotong kegelapan malam. Mereka
mendahulukan kepada rahmat Engkau dan kurnia ampunan Engkau. Maka dengan Engkau
–wahai Tuhanku –aku bermohon kepada Engkau, tidak dengan selain Engkau –bahwa
Engkau menjadikan aku pada permulaan jama’ah orang-orang yang dahulu. Bahwa
Engkau mengangkatkan aku pada sisi Engkau dalam sorga tinggi, pada derajat
orang-orang al-muqarabin. Dan bahwa Engkau hubungkan aku dengan hamba-hamba
Engkau yang shalih. Maka Engkau itu yang paling pengasih dari orang-orang yang
pengasih dan paling agung dari orang-orang yang agung. Dan yang paling pemurah
dari yang pemurah, wahai Yang Maha Pemurah !”. Kemudian ia jatuh tersungkur
bersujud. Maka terdengarlah suara jatuhnya itu. Kemudian senantiasalah ia
berdoa dan menangis sampai fajar.
Berkata Yahya bin Bustham:
“Adalah aku menghadiri majlis Sya’wanah (Seorang wanita yang rajin beribadah,
semasa dengan Al-Fudlail bin ‘Iyadl). Maka aku melihat apa yang diperbuatnya
dari meratap dan menangis. Maka aku berkata kepada temanku: ”Jikalau kita
mendatangi dia, apabila ia sepi sendirian. Lalu kita menyuruhnya dengan
kasih-sayang kepada dirinya”. Teman itu menjawab: “Bolehlah yang demikian !”.
Yahya bin Bustham meneruskan ceritanya: “Maka kami mendatangi Sya’wanah. Lalu
aku berkata kepadanya: “Jikalau engkau sayang kepada diri engkau dan engkau
singkatkan sedikit dari tangisan ini, maka adalah bagi engkau lebih menguatkan
atas apa yang engkau kehendaki”. Yahya bin Bustham meneruskan ceritanya:
“Sya’wanah lalu menangis. Kemudian berkata: “Demi Allah ! sungguh aku suka
bahwa aku menangis, sehingga tidak ada lagi air mataku. Kemudian, aku menangis
dengan darah, sehingga tidak tinggal setitik darahpun pada anggota dari
anggota-anggota tubuhku. Sesungguhnya bagiku itu dengan tangisan ! sesungguhnya
bagiku itu dengan tangisan”. Maka selalulah diulang-ulanginya: sesungguhnya
bagiku itu dengan tangisan”, sehingga ia jatuh pingsan.
Muhammad bin Ma’adz
berkata: “Seorang wanita yang banyak beribadah bercerita kepadaku, dengan
mengatakan: “Aku bermimpi dalam tidurku, seakan-akan aku masuk sorga. Tiba-tiba
penduduk sorga itu bangun berdiri pada pintu mereka. Maka aku bertanya: “Mengapakah
penduduk sorga itu berdiri?”. Lalu menjawab kepadaku seorang penjawab: “Mereka
itu keluar melihat wanita itu, yang berhiaslah sorga-sorga karena
kedatangannya”. Maka aku bertanya: “Siapakah wanita itu ?”. Maka dijawab:
seorang budak wanita hitam dari penduduk Al-Ubullah, yang disebutkan namanya:
Sya’wanah. Berkata wanita yang bermimpi itu: “Lalu aku menjawab: “Saudaraku
perempuan pada jalan Allah !”. Perempuan yang bermimpi itu meneruskan
ceritanya: “Maka sewaktu aku seperti yang demikian, tiba-tiba aku berhadapan
dengan wanita itu di atas keadaan yang pintar, dimana ia terbang di udara. Tatkala
aku melihatnya, lalu aku panggil: “Hai saudaraku perempuan ! apakah engkau
tidak melihat tempatku dari tempat engkau ? maka jikalau engkau berdoa bagiku
pada Tuhan engkau, maka Ia menghubungkan aku dengan engkau”. Perempuan yang
bermimpi itu meneruskan ceritanya: “Maka wanita itu tersenyum kepadaku dan
berkata: “Ia tidak dekat bagi kedatanganmu. Akan tetapi, peliharalah dua
perkara dari aku: terus-meneruslah kesedihan bagi hatimu dan dahulukanlah
kecintaan kepada Allah dari hawa nafsumu dan tidak akan mendatangkan melarat,
manakala engkau mati”.
Abdullah bin Al-Hasan
berkata: “Aku mempunyai seorang budak perempuan dari bangsa Rumawi. Aku merasa
tertarik benar dengan budak itu. Maka pada sebahagian malam ia tidur di
sampingku. Lalu aku terbangun, maka aku ingin menyentuhkannya. Lalu aku tidak
mendapatinya. Maka aku bangun berdiri mencarinya. Tiba-tiba ia sedang sujud dan
berdoa: “Dengan kesayangan Engkau kepadaku, bahwa tidaklah Engkau mengampunkan
segala dosaku ?”. Maka aku berkata kepadanya: “Jangan engkau katakan: dengan
kesayangan Engkau kepadaku, akan tetapi, katakanlah: Dengan kesayangku kepada
Engkau”. Wanita itu lalu menjawab: “Tidak, wahai tuanku ! dengan kesayanganNya
kepadaku, Ia mengeluarkan aku dari syirik kepada Islam. Dan dengan kesayanganNya
kepadaku, Ia membangunkan mataku, sedang kebanyakan dari makhlukNya itu tidur”.
Berkata Abu Hasyim
Al-Qurasyi: “Datang kepada kami seorang wanita dari penduduk Yaman, yang
dipanggil dengan: Berjalan malam
(Suryah. Ia bertempat pada sebahagian rumah kami”. Abu Hasyim Al-Qurasyi
meneruskan ceritanya: “Maka aku mendengar ia pada malam hari merintih dan
menarik nafas. Pada suatu hari, lalu aku berkata kepada pelayanku:
“Perhatikanlah wanita itu, apa yang dikerjakannya !”. Abu Hasyim Al-Qurasyi
meneruskan ceritanya: “Maka pelayan itu memperhatikan wanita tersebut. Ia tiada
melihatnya berbuat sesuatu, selain ia tidak menutup matanya dari langit. Dan ia
menghadap kiblat, seraya mengatakan: “Engkau jadikan aku berjalan malam.
Kemudian Engkau memberikan aku makanan dari nikmat Engkau, dari keadaan ke
keadaan. Semua hal keadaan Engkau baginya itu baik. Semua percobaan Engkau
padanya itu bagus. Dan dia beserta yang demikian itu mendatangkan bagi
kemarahan Engkau, dengan melompat kepada kemaksiatan Engkau, kesalahan demi
kesalahan. Adakah Engkau melihat dia menyangka, bahwa Engkau tidak melihat akan
kejahatan perbuatannya ? dan Engkau itu Maha Tahu, lagi Maha pandai dan Engkau
itu Maha Kuasa atas tiap sesuatu”.
Dzun-Nun Al-Mishri
berkata: “Pada suatu malam aku keluar dari lembah Kan’an. Maka tatkala aku
telah berada di atas lembah, tiba-tiba suatu yang hitam menghadap kepadaku dan
membaca ayat: “Dan jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada
mengira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Dan terus ia menangis.
Maka tatkala yang hitam itu dekat kepadaku, tiba-tiba adalah seorang wanita
yang memakai baju jubah bulu. Dan di tangannya tabung. Wanita itu bertanya
kepadaku: “Siapa engkau ?”. Tidak takut kepadaku ?”. Maka aku menjawab: “Orang
yang jauh !”. Lalu ia berkata: “Hai orang ini ! adakah terdapat bersama Allah
itu kejauhan ?”. Dzun-Nun menerangkan seterusnya: “Lalu aku menangis karena
katanya itu”. Lalu ia bertanya kepadaku: “Apakah yang membawa engkau kepada
menangis ?”. Maka aku menjawab: “Telah jatuh obat atas penyakit yang telah
luka. Maka bersegeralah ia pada kemenangannya”. Wanita itu menjawab: “Jikalau
engkau itu benar, maka mengapa engkau menangis ?”. Aku menjawab: “Kiranya Allah
menganugerahkan rahmat kepada engkau ! dan orang benar itu tidak menangis”. Ia
menjawab: “Tidak !”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian ?”. Ia menjawab:
“Karena menangis itu kesenangan bagi hati”. Maka aku diam karena merasa ta’jub
dari ucapannya itu”.
Ahmad bin Ali berkata:
“Kami minta izin kepada Ghufairah (Seorang penduduk Basrah yang rajin
beribadah) untuk masuk. Maka ia melarang kami masuk. Lalu kami terus-menerus di
pintu. Tatkala ia tahu yang demikian, maka ia bangun berdiri, untuk membukakan
pintu bagi kami. Lalu aku mendengar ia berdoa: “Hai Allah, Tuhanku ! bahwa aku
berlindung dengan Engkau dari orang yang datang, yang akan mengganggu aku dari
berdzikir kepada Engkau”. Kemudian, ia membuka pintu dan kami masuk ke
tempatnya. Lalu kami berkata kepadanya: “Hai hamba Allah ! berdoalah untuk kami
!”. Ia lalu menjawab: “Allah menjadikan dusunmu di rumahku itu akan ampunan”.
Kemudian, ia mengatakan kepada kami, bahwa Atha’ As-Silmi berhenti pada
tempatnya selama 40 tahun. Ia tidak pernah melihat ke langit. Lalu pada suatu
ketika, jatuh pandangannya ke langit. Maka ia jatuh tersungkur dalam keadaan
pingsan. Lalu menimpa kepadanya kepecahan dalam perutnya. Maka kiranya
Ghufairah, apabila ia mengangkatkan kepalanya, niscaya ia tidak menjadi
maksiat. Dan wahai kiranya, apabila ia berbuat maksiat, niscaya tidak dihitung.
Sebahagian orang-orang
shalih berkata: “Pada suatu hari aku keluar ke pasar dan bersamaku seorang
budak perempuan bangsa Habsyi. Maka aku suruh dia duduk di suatu tempat di
sudut pasar. Dan aku pergi untuk sebahagian keperluanku. Aku mengatakan kepada
budak itu: “Senantiasa engkau di sini, sampai aku kembali kepada engkau”. Orang
itu menerangkan: “Tatkala aku datang kembali, maka aku tidak mendapatinya di
tempat. Maka aku kembali ke rumahku dan aku sangat marah kepadanya. Tatkala ia
melihat aku, maka ia tahu akan kemarahan pada wajahku. Lalu ia berdatang
sembah: “Wahai tuanku ! janganlah terlalu cepat menghukum aku ! bahwa tuanku
menempatkan aku pada suatu tempat, yang tiada aku melihat padanya, orang yang
berdzikir kepada Allah Ta’ala. Maka aku takut bahwa hilang cahayanya di tempat
itu”. Aku merasa ta’jub dengan ucapannya itu, seraya aku berkata kepadanya:
“Engkau merdeka!”. Lalu ia menjawab: “Tidak baik yang tuanku perbuat. Aku
melayani tuanku, maka bagiku 2 pahala. Adapun sekarang, maka telah hilang
daripadaku salah satu dari keduanya”.
Ibnul-‘Ala’ As-Sa’di
berkata: “Aku mempunyai anak perempuan pamanku, namanya Burairah. Ia seorang
wanita yang banyak beribadah. Ia banyak membaca Alquran. Setiap kali ia sampai
pada ayat, yang tersebut padanya neraka, niscaya ia menangis. Maka
senantiasalah ia menangis, sampai hilang kedua matanya (penglihatannya) dari
karena tangisan. Lalu berkata anak-anak laki pamannya: “Marilah kita pergi
kepada wanita itu, sehingga kita menasehatinya tentang banyaknya menangis !”.
Ibnul-‘Ala’ As-Sa’di meneruskan ceritanya: “Maka kami masuk ke tempat perempuan
itu, lalu kami berkata: “Hai Burairah ! bagaimana engkau sekarang ?”. Burairah
menjawab: “Kami ini adalah tamu yang berdiam di bumi asing. Kami menunggu,
kapan kami dipanggil, maka kami akan memperkenankannya”. Lalu kamu berkata
kepada Burairah: “Berapa banyak tangisan ini ! telah menghilangkan kedua mata
engkau daripadanya”. Burairah lalu menjawab: “Jikalau ada bagi kedua mataku
kebajikan pada sisi Allah, maka tidaklah mendatangkan melarat bagi keduanya,
oleh apa yang hilang dari keduanya di dunia. Dan jikalau ada bagi keduanya
kejahatan pada sisi Allah, maka Allah akan menambahkan bagi keduanya akan
tangisan yang lebih lama dari ini”. Kemudian, Burairah itu berpaling dari kami.
Ibnul-‘Ala As-Sa’di meneruskan ceritanya: “Lalu orang ramai berkata: “Bangunlah
bersama kami ! Dia itu –demi Allah –pada sesuatu, yang kita tidak padanya”.
Adalah Ma’adzah binti
Abdullah Al-‘Adawiyah, apabila datang siang, maka ia mengatakan: “Ini hariku,
yang aku mati padanya”. Ia tidak makan, sehingga sore hari. Maka apabila datang
malam, ia mengatakan: “Ini malam yang akan aku mati padanya”. Maka ia
mengerjakan shalat, sehingga pagi hari. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Pada
suatu malam aku bermalam pada Rabi’ah Al-‘Adawiyah. Maka ia bangun berdiri di
mihrab (tempat shalat)nya dan aku bangun berdiri ke suatu sudut dari rumah.
Maka terus-meneruslah Rabi’ah itu berdiri mengerjakan shalat sampai waktu
sahur. Tatkala telah ada waktu sahur, lalu aku bertanya: “Apakah balasan untuk
Yang Menguatkan kita berdiri mengerjakan shalat malam ini ?”. Rabi’ah
Al-‘Adawiyah menjawab: “Balasannya, ialah bahwa kita berpuasa bagiNya besok
hari”.
Adalah Sya’wanah
mengucapkan dalam doanya: “Wahai Tuhanku ! alangkah rindunya aku kepada
menemuiMu ! alangkah besarnya harapanku bagi balasanMu ! Engkau Yang Maha
Pemurah, yang tidak menyia-nyiakan pada sisi Engkau, akan angan-angan
orang-orang yang berangan-angan. Dan tidak batal pada sisi Engkau akan
kerinduan orang-orang yang rindu. Wahai Tuhanku ! jikalau telah dekatlah ajalku
dan tidak mendekatkan aku oleh amalku kepada Engkau, maka aku telah menjadikan
pengakuan dengan dosa akan jalan bagi alasan-alasanku. Maka jikalau Engkau
maafkan, maka siapakah yang lebih utama daripada Engkau dengan yang demikian ?
dan jikalau Engkau azabkan, maka siapakah yang lebih adil dari Engkau di situ
itu ? wahai Tuhanku ! aku telah berbuat zalim atas diriku pada memandang
kepadanya. Dan tinggallah bagi diriku kebaikan pandangan Engkau. Maka sengsaralah
baginya, jikalau Engkau tidak membahagiakannya. Wahai Tuhanku ! bahwa
senantiasalah Engkau menganugerahkan kebajikan hari-hari hidupku. Maka
janganlah Engkau putuskan daripadaku kebajikan Engkau, sesudah kematianku.
Sesungguhnya aku mengharap dari Siapa yang memerintahkan aku dalam hidupku
dengan keikhlasanNya, bahwa Ia menolong aku ketika kematianku dengan
ampunanNya. Wahai Tuhanku ! bagaimana aku berputus asa dari kebaikan pandangan
Engkau sesudah kematianku. Dan Engkau tidak memerintahkan aku, melainkan dengan
keelokan dalam hidupku. Wahai Tuhanku ! jikalau adalah dosa-dosaku telah
menakutkan aku, maka sesungguhnya kecintaanku kepada Engkau telah melepaskan
aku. Maka uruslah dari urusanku, akan apa yang Engkau yang mempunyainya. Dan
janjikanlah dengan kurnia Engkau kepada siapa, yang tertipu oleh kebodohannya !
wahai Tuhanku ! jikalau
Engkau berkehendak akan menghinakan aku, niscaya tidaklah Engkau memberi
petunjuk akan aku. Dan jikalau Engkau berkehendak akan menyiarkan kekuranganku,
niscaya Engkau tidak menutupkan akan kekuranganku. Maka senangkanlah akan aku,
dengan apa, yang baginya hadiah bagiku ! dan terus-meneruslah bagiku, akan apa,
yang dengan dia itu menutupkan aku !
wahai Tuhanku ! aku tidak
menyangka Engkau akan menolak aku pada keperluan, yang aku habiskan umur
padanya. Wahai Tuhanku ! jikalau tidaklah aku mengerjakan dosa, niscaya
tidaklah aku takut akan siksaan Engkau. Dan jikalau tidaklah aku mengetahui
akan kemurahan Engkau, niscaya tidaklah aku mengharap akan pahala Engkau”.
Ibrahim Al-Khawwash
berkata: “Kami masuk ke tempat Rihlah Al-‘Abidah (Rihlah yang banyak
ibadahnya). Ia berpuasa, sehingga ia hitam. Ia menangis sehingga ia buta. Ia
mengerjakan shalat, sehingga ia terduduk. Dan ia mengerjakan shalat dengan
duduk. Lalu kami memberi salam kepadanya. Kemudian, kami sebutkan kepadanya
akan sesuatu dari kemaafan, supaya mudahlah urusan dengan dia”. Ibrahim
Al-Khawwash meneruskan ceritanya: “Lalu ia menarik nafas, kemudian ia berkata:
“Ilmuku dengan diriku melukakan hatiku dan melukakan jantungku. Demi Allah !
aku sesungguhnya menyukai, bahwa Allah tidak menjadikan aku. Dan tidaklah aku
itu sesuatu yang disebutkan”. Kemudian, ia masuk kembali kepada shalatnya.
Maka haruslah atas anda,
jikalau adalah anda dari orang-orang yang bermurabathah dan yang bermuraqabah
bagi diri anda, bahwa anda menengok akan hal-ihwal orang laki-laki dan kaum
wanita, dari orang-orang yang rajin beribadah, supaya tergeraklah kerajinan
anda dan bertambahlah kesungguhan anda. Jagalah akan diri anda bahwa anda
memandang kepada orang-orang yang sezaman dengan anda ! sesungguhnya jikalau
anda mengikuti akan kebanyakan orang di bumi, niscaya
mereka menyesatkan anda dari jalan Allah. Cerita-cerita orang-orang
yang rajin beribadah itu tidak terhingga jumlahnya. Dan tentang apa yang telah
kami sebutkan mencukupilah bagi orang yang mengambil ibarat daripadanya.
Jikalau engkau menghendaki akan tambahan, maka haruslah engkau rajin membaca Kitab Hilyatil-Auliya’ (Kitab Pakaian Wali-wali). Dia
itu melengkapi atas uraian hal-ihwal para sahabat, kaum tabi’in (para pengikut
sahabat) dan orang-orang sesudah mereka. Dan dengan mengetahui yang demikian,
jelaslah bagi anda kejauhan anda dan kejauhan orang semasa anda, dari ahli
agama. Jikalau diri anda berbicara dengan anda, dengan memandang kepada
orang-orang sezaman anda dan diri anda itu mengatakan: “Bahwa mudahnya
kebajikan pada masa itu adalah karena banyak penolong dan sekarang, jikalau
anda menyalahi dengan orang-orang sezaman anda, niscaya mereka memandang anda
orang gila. Dan mereka menghinakan anda. Maka sesuaikanlah dengan mereka,
tentang apa, yang ada mereka padanya dan di atasnya. Maka tidak akan berlaku
atas anda, selain apa yang berlaku atas mereka. Musibah itu, apabila telah
merata, niscaya baik. Maka anda jagalah bahwa diri anda itu terulur dengan tali
keterpedayaannya dan tertipu dengan kepalsuannya. Dan katakanlah kepada diri
anda itu: “Apakah pendapatmu, jikalau diserang oleh banjir besar, yang
menenggelamkan penduduk negeri dan mereka itu tetap di tempatnya, tidak
mengambil penjagaan diri, karena bodohnya mereka dengan keadaan yang sebenarnya
dan engkau sanggup berpisah dengan mereka dan menumpang dalam perahu yang
melepaskan engkau dari tenggelam ? adakah terguris pada hati engkau, bahwa
musibah itu apabila merata, niscaya baik ? atau engkau tinggalkan kesepakatan
dengan mereka dan engkau memandang bodoh pada tindakan mereka dan engkau
mengambil kepenjagaan engkau, dari apa yang telah mencerdaskan engkau ? maka
apabila engkau meninggalkan kesepakatan dengan mereka, karena takut dari
tenggelam dan siksaan tenggelam itu tidak lama, hanya sesaat, maka bagaimana
engkau tidak lari dari azab yang abadi dan engkau datang kepadanya pada setiap
keadaan ? dan dari manakah musibah itu baik, apabila ia telah merata ? dan bagi
penduduk neraka itu kesibukan yang menyibukkan daripada menoleh kepada umum dan
khusus ? dan tidaklah orang-orang kafir itu binasa, selain disebabkan
kesepakatan dengan orang-orang yang sezaman dengan mereka, dimana mereka itu
mengatakan, sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Sesungguhnya kami dapati
bapak-bapak kami memeluk suatu agama dan sudah tentu kami ikuti saja jejak
mereka”. S 43 Az Zukhruuf ayat 23. Maka haruslah atas anda, apabila anda
menyibukkan diri dengan mencela diri anda dan membawanya kepada kesungguhan,
lalu ia tidak patuh, bahwa anda tidak meninggalkan mencela, menghina, mengetuk
dan memperkenalkannya akan buruk pandangannya bagi dirinya. Semoga ia tercegah
dari kedurhakaannya !
AL-MURABATHAH KEENAM:
tentang penghinaan diri dan pencelaannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang paling
memusuhi engkau, ialah diri engkau sendiri yang berada diantara dua lembung
engkau. Diri engkau (nafsu engkau) itu diciptakan, yang menyuruh kepada
kejahatan, yang cenderung kepada kejahatan, yang lari dari kebajikan. Ia
disuruh dengan pembersihannya, pelurusannya, menghalaunya dengan rantai paksaan
kepada beribadah kepada Tuhannya, Khaliq (yang maha pencipta)nya. Dan
mencegahnya dari nafsu syahwatnya dan menceraikannya dari kelezatannya. Maka
jikalau engkau sia-siakan, niscaya ia menanduk dan lari dan engkau tidak
menjumpainya lagi sesudah itu. Jikalau engkau selalu bertindak dengan
penghinaan, pencernaan, perendahan dan pencacian, niscaya adalah diri anda itu
yang pencaci (nafsul-lawwamah), yang Allah bersumpah dengan dia. Dan engkau
halau, bahwa jadilah dia nafsu muthmainnah (diri yang tenang tentram) yang
diajak, bahwa ia masuk dalam jama’ah hamba Allah yang rela dan direlakan.
Engkau tidak lupa sesaatpun memperingatinya dan mencelanya. Dan engkau tidak
menyibukkan diri dengan memberi pengajaran kepada orang lain, selama engkau
tidak pertama-tama menyibukkan diri dengan pengajaran bagi diri engkau sendiri.
Allah Ta’ala mewahyukan
kepada Isa as: “Hai Putera Maryam ! ajarilah diri engkau sendiri ! maka jikalau
sudah memberi pelajaran bagi engkau, lalu ajarilah orang lain ! jikalau tidak,
maka malulah kepadaKu !”. Allah Ta’ala berfirman: “Berilah mereka peringatan,
karena peringatan itu bermanfaat untuk orang-orang yang beriman”. S 51 Adz
Dzaariyaat ayat 55. Jalan engkau, ialah bahwa engkau berhadapan kepadanya. Lalu
engkau menetapkan pada diri itu akan kebodohan dan kedunguannya. Dan diri itu
akan mulia selama-lamanya dengan kecerdikan dan petunjuknya. Dan bersangatanlah
keras hidungnya dan tantangannya, apabila ia dikatakan bodoh. Maka engkau
katakan kepada diri itu: “Hai diri ! alangkah besarnya kebodohan engkau !
engkau mendakwakan hikmah, cerdik dan pintar. Dan engkau itu manusia yang
paling bodoh dan dungu. Apakah engkau tidak tahu, akan apa yang di hadapan
engkau, dari sorga dan neraka ? dan engkau akan jadi kepada salah satu dari
keduanya pada masa dekat. Maka apakah engkau itu maka bergembira, tertawa dan
sibuk dengan bermain-main ? dan engkau itu dicari untuk bahaya yang besar ini.
Dan mungkin engkau pada hari ini, tertangkap atau besok ? lalu aku melihat
engkau, bahwa engkau melihat mati itu jauh dan Allah melihatnya dekat. Apakah
tidak engkau ketahui, bahwa setiap yang akan datang itu dekat dan bahwa yang
jauh itu, ialah apa yang tidak akan datang ? apakah tidak engkau tahu, bahwa
mati itu akan datang dengan tiba-tiba, tanpa didahulukan dengan kedatangan
utusan, tanpa ada perjanjian dan permufakatan ? dan bahwa mati itu tidak akan
datang pada sesuatu tidak sesuatu. Tidak pada musim dingin, tidak musim panas.
Dan tidak pada musim panas, tidak musim dingin. Tidak pada siang, tidak malam.
Tidak pada malam, tidak siang. Ia tidak datang pada masa kanak-kanak, tidak
masa muda. Dan tidak pada masa muda, tidak masa kanak-kanak. Akan tetapi,
setiap nyawa dari nyawa-nyawa itu mungkin bahwa ada padanya kematian dengan
tiba-tiba sekali. Jikalau tidak mati itu yang tiba-tiba, maka adalah sakit itu
yang tiba-tiba. Kemudian, sakit itu membawa kepada mati. Maka mengapakah engkau
tidak merasa berbahagia dengan mati dan dia itu yang paling dekat kepada engkau
dari setiap yang dekat ? apakah engkau tidak memperhatikan akan firman Allah
Ta’ala: “Telah hampir datang kepada manusia perhitungan mereka, sedangkan
mereka masih dalam kelalaian dan tiada memperdulikannya. Apa-apa peringatan baru
yang datang kepada mereka dari Tuhannya, mereka hanya dengar-dengar dan mereka
bermain-main saja. Hatinya lalai”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 1-2 dan 3. Kasihan
engkau hai diri ! jikalau adalah keberanian engkau kepada kemaksiatan kepada
Allah, karena kepercayaan engkau, bahwa Allah tidak melihat engkau, maka
alangkah sangatnya kekafiran engkau ! dan jikalau yang demikian, serta tahunya
engkau dengan dilihatNya kepada engkau, maka alangkah sangatnya tidak bermalu
engkau dan terlalu sedikit malunya engkau ! Kasihan engkau hai diri ! jikalau
salah seorang dari hambamu berhadapan dengan kamu, bahkan salah seorang dari
saudaramu, dengan apa yang tidak engkau senangi, maka bagaimanakah adanya
kemarahan engkau kepadanya dan kutukan engkau atasnya? maka dengan keberanian
apakah engkau datang untuk kutukan Allah, kemarahan dan kesangatan siksaannya ?
apakah engkau menyangka bahwa engkau sanggup menahan azabNya ? amat jauh-amat
jauh dari itu ! cobalah akan dirimu, jikalau dilalaikan engkau oleh kesombongan
dari kepedihan azabNya ! maka tahanlah sesaat pada matahari atau pada tempat
mandi dengan air panas ! atau dekatkanlah anak jarimu kepada api ! supaya
terang bagimu kadar kemampuan. Atau engkau terpedaya dengan kemurahan dan
kurnia Allah dan ketidak-hajatan Allah kepada taat dan ibadahmu. Maka
bagaimanakah engkau tidak berpegang kepada kemurahan Allah Ta’ala pada
kepentingan-kepentingan dunia engkau ? maka apabila musuh bermaksud kepadamu,
maka kamu tidak mencari daya-upaya untuk menolaknya dan kamu tidak menyerah
kepada kemurahan Allah Ta’ala. Apabila kamu dipaksakan oleh suatu hajat
keperluan kepada salah satu dari keinginan duniawi, dari apa yang tidak akan
terpenuhi, selain dengan dinar dan dirham, maka bagaimanakah engkau akan
mencabut nyawa pada mencari dan menghasilkan nya dengan segala cara daya-upaya
? maka mengapakah tidak engkau berpegang kepada kemurahan Allah Ta’ala,
sehingga Ia memberitahukan kepada engkau akan suatu gudang. Atau Ia
memerintahkan salah seorang dari hambaNya, lalu membawa kepada engkau akan keperluan
engkau, tanpa usaha dari engkau dan tanpa mencari. Apakah engkau tidak
menyangka bahwa Allah itu Maha Pemurah di akhirat, tidak di dunia ? dan engkau
telah tahu, bahwa sunnah Allah itu tidak ada penggantinya. Dan bahwa Tuhan
akhirat dan dunia itu Esa. Dan bahwa tidak ada bagi manusia, selain apa yang
diusahakannya. Kasihan engkau hai diri ! alangkah ajaibnya kemunafikan engkau
dan dakwaan-dakwaan engkau yang batil/salah ! sesungguhnya engkau mendakwakan
iman dengan lidah engkau. Dan bekas kemunafikan itu tampak pada engkau. Apakah
tidak berfirman Tuhan engkau kepada engkau: “Tidak ada yang merangkak-rangkak
di bumi ini, melainkan atas Allah rezekinya”. S 11 Huud ayat 6. Allah berfirman
tentang urusan akhirat: “Bahwa tidak adalah bagi manusia itu, selain apa yang
diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Maka Allah Ta’ala telah menanggung bagi
engkau dengan urusan dunia khususnya dan mengarahkan engkau kepada berusaha
padanya. Maka engkau mendustakanNya dengan perbuatan engkau. Dan jadilah engkau
berterang-terangan kepada mencarinya, sebagaimana berterang-terangan orang yang
keheranan, yang kehilangan akal. Allah Ta’ala menyerahkan urusan akhirat kepada
usaha engkau. Lalu engkau berpaling daripadanya, sebagaimana berpalingnya orang
yang terperdaya yang hina. Apakah ini dari tanda-tanda iman ? jikalau adalah
iman itu dengan lisan, maka mengapakah orang-orang munafiq itu pada lapisan
yang terbawah dari neraka ? Kasihan engkau hai diri ? seakan-akan engkau tidak
beriman dengan hari perhitungan amal (yaumul-hisab). Engkau menyangka bahwa
apabila engkau telah mati, niscaya engkau bebas dan terlepas. Amat jauh dari
itu ! adakah engkau menyangka bahwa engkau akan dibiarkan begitu saja ? apakah
tidak engkau itu dari air mani, yang ditumpahkan ? kemudian adalah engkau itu
sekumpal darah. Lalu diciptakan, maka lahirlah dengan sebaik-baiknya ? tidakkah
yang demikian itu oleh Yang Maha Kuasa yang dapat menghidupkan yang mati ? maka
jikalau adalah ini dari kandungan hati engkau, maka alangkah tertutupnya hati
engkau dan alangkah bodohnya engkau ! apakah tidak engkau berpikir, bahwa dari
apakah Ia menciptakan engkau ? dari air hanyir, Ia menciptakan engkau. Lalu Ia
mentakdirkan engkau. Kemudian, jalan yang dimudahkanNya kepada engkau.
Kemudian, Ia mematikan engkau. Lalu Ia menguburkan engkau. Adakah engkau
mendustakanNya tentang firmanNya: “Kemudian, apabila dikehendakiNya, niscaya Ia
membangkitkan engkau ?”. Maka jikalau tidaklah engkau itu mendustakan, maka
mengapakah engkau tidak menjaga diri engkau ? dan jikalau seorang Yahudi
menerangkan kepada engkau mengenai makanan engkau yang paling enak, bahwa
makanan itu mendatangkan melarat kepada engkau pada penyakit engkau, niscaya
engkau bersabar dari makanan tersebut dan engkau tinggalkan. Dan engkau
berjuang dengan diri engkau pada yang demikian. Maka adakah sabda nabi-nabi
yang dikokohkan dengan mu’jizat dan firman Allah Ta’ala dalam Kitab-kitabNya
yang diturunkan itu begitu sedikitnya berkesan, dibandingkan dengan perkataan
seorang Yahudi yang menerangkan kepada engkau dengan kiraan, taksiran dan
sangkaan, serta kurangnya akal dan singkatnya ilmu ? Yang mengherankan, ialah
bahwa jikalau seorang anak kecil menerangkan kepada engkau, bahwa dalam kain
engkau ada kalajengking, niscaya engkau lemparkan kain engkau itu dengan seketika,
tanpa meminta pada anak kecil itu dalil dan keterangan. Maka adakah ucapan
nabi-nabi, ulama-ulama, hukama-hukama dan wali-wali umumnya begitu sedikit
kesannya pada engkau dari perkataan seorang anak kecil yang termasuk dalam
jumlah orang-orang bodoh ? adakah panasnya neraka Jahannam, rantai-rantainya,
belenggu-belenggunya, buah kayu zaqumnya, lalat-lalatnya, air nanahnya,
racun-racunnya, ular-ularnya dan kalajengking-kalajengkingnya itu lebih hina
pada engkau dari seekor kalajengking, yang tidak engkau rasakan kepedihannya,
selain sehari atau lebih kurang daripadanya ? Tidaklah ini perbuatan
orang-orang yang berakal. Bahkan, jikalau tersingkaplah keadaan engkau kepada
binatang-hewan, niscaya dia tertawa dari hal engkau dan dia hinakan akan akal
engkau.
Jikalau adalah engkau, hai
diri telah mengetahui akan semua yang demikian dan engkau mempercayainya, maka
mengapakah amal itu engkau katakan nanti dan mati itu mengintip engkau ? mungkin
ia akan menangkap engkau tanpa tangguhan ? maka dengan apakah engkau merasa
aman dari bersegeranya ajal? umpamakanlah engkau dijanjikan dengan tangguhan
100 tahun, maka adakah engkau menyangka bahwa orang yang memberi makanan hewan
di lembah lereng bukit akan merasa kesenangan dan mampu menyeberangi lereng
bukit itu ? jikalau engkau menyangka yang demikian, maka alangkah bersangatan
kebodohan engkau ! adakah engkau melihat, jikalau bermusafirlah seorang
laki-laki untuk mempelajari agama di negeri asing, lalu ia menetap di situ
beberapa tahun, dalam keadaan tidak bekerja, lagi dalam keadaan batil/salah, ia
hitungkan dirinya dengan mempelajari ilmu pada tahun terakhir, ketika
kembalinya ke tanah airnya ? adakah engkau akan tertawa dengan akal dan
sangkaannya, bahwa mengajarkan diri dari apa yang diharapkan padanya dengan
tempo yang dekat atau sangkaannya, bahwa tingkat para ahli fikih itu dicapai,
tanpa mempelajarinya, karena berpegang kepada kemurahan Allah swt ?.
Kemudian, umpamakanlah
bahwa kesungguhan pada akhir umur itu bermanfaat dan itu akan menyampaikan
kepada derajat yang tertinggi. Maka mudah-mudahan hari ini akhir umur engkau,
lalu mengapakah engkau tidak berbuat padanya dengan yang demikian ? maka
jikalau diwahyukan kepada engkau dengan ditangguhkan, maka apakah halangannya
untuk bersegera ? dan apakah yang membangkitkan bagi engkau untuk mengatakan
nanti ? adakah baginya sebab, selain lemahnya engkau daripada menyalahi nafsu
syahwatmu, karena padanya kepayahan dan kesulitan ? apakah engkau menunggu akan
suatu hari, yang akan datang kepada engkau, yang tiada sukar padanya menyalahi
nafsu syahwat ? itu adalah hari, yang tidak sekali-kali dijadikan oleh Allah
dan tidak boleh makhlukNya. Tidak adalah sorga itu, selain dikelilingi dengan
hal-hal yang tidak disenangi. Dan tidaklah hal-hal yang tidak disenangi itu
sekali-kali ringan atas diri. Dan ini mustahil adanya. Apakah tidak engkau
perhatikan sejak kapan engkau janjikan kepada diri engkau dan engkau katakan:
besok-besok ? maka sungguh telah datanglah besok itu dan telah menjadi hari.
Maka bagaimana engkau mendapatinya ? apakah engkau tidak tahu, bahwa besok yang
telah datang dan yang telah menjadi hari itu, adalah baginya hukum kemarin.
Tidak, bahkan engkau lemah daripadanya pada hari ini. Maka engkau besok itu
lebih lemah dan lemah. Karena nafsu syahwat itu seperti pohon kayu yang teguh
dalam tanah, yang telah bertekadlah hamba dengan mencabutkannya. Maka apabila
hamba itu lemah dari mencabutnya, karena kelemahan dan diundurkannya, niscaya
adalah dia seperti orang yang lemah dari mencabut pohon, padahal dia itu
seorang pemuda yang kuat. Lalu diundurkannya kepada tahun yang lain, serta
diketahui, bahwa lamanya waktu itu akan menambahkan pohon itu semakit kuat dan
teguh. Dan yang mencabut itu akan bertambah lemah dan tidak bertenaga. Maka apa
yang tidak disanggupi pada waktu muda, maka tidaklah sekali-kali akan
disanggupi pada waktu tua. Bahkan termasuk kepayahan, latihan bagi orang tua.
Dan termasuk mengazabkan melatih serigala. Bambu yang masih basah (belum
kering) itu dapat dibengkokan. Apabila telah kering dan telah lama masanya,
niscaya tidak dapat lagi dibuat yang demikian.
Apabila engkau, wahai diri
tidak memahami hal-hal yang terang ini dan engkau cenderung kepada mengatakan
biarlah nanti, maka apakah hal engkau yang mendakwakan hikmah ? manakah
kedunguan yang melebihi dari kedunguan ini ? semoga engkau mengatakan, bahwa
tidak ada yang mencegahkan aku dari al-istiqamah (berdiri di atas kebenaran),
selain oleh kerakusanku kepada kelezatan nafsu syahwat dan sedikit kesabaranku
atas segala kepedihan dan kesukaran. Maka alangkah sangatnya kedunguan engkau !
dan alangkah kejinya engkau meminta keuzuran ! jikalau adalah engkau itu benar
pada yang demikian, maka carilah kenikmatan dengan nafsu keinginan yang bersih
dari kekeruhan-kekeruhan yang berkekalan sepanjang abad. Dan tidak ada tempat
harapan pada yang demikian, selain dalam sorga. Jikalau engkau memandang kepada
nafsu syahwat engkau, maka memandang kepadanya, ialah dengan menyalahinya. Maka
kerap-kali, sekali makan itu mencegah berkali-kali makan. Apa kata engkau, tentang
akal yang sakit, yang diisyaratkan oleh dokter, dengan meninggalkan air yang
dingin 3 hari, supaya ia sehat dan merasa nyaman dengan meminumnya sepanjang
umurnya. Dokter itu menerangkan kepadanya, bahwa jikalau ia minum yang
demikian, niscaya ia akan sakit dengan penyakit yang melumpuhkan. Dan ia
mencegah dirinya dari meminum itu sepanjang umur. Maka apakah yang dikehendaki
oleh akal pada memenuhi hak nafsu syahwat ? adakah ia bersabar 3 hari, untuk ia
bersenang-senang sepanjang umur ? atau ia memenuhi akan nafsu syahwatnya
sekarang, karena takut dari kepedihan menyalahi itu akan 3 hari ? sehingga
mengharuskan dia menyalahi, selama 3300 hari ? dan semua umur engkau dengan
dibandingkan kepada yang abadi, yang menjadi masa kenikmatan penduduk sorga dan
kesengsaraan penduduk sorga adalah kurang dari 3 hari dibandingkan kepada semua
umur, walaupun panjang masanya. Kiranya aku dapat mengetahui, bahwa kepedihan
sabar dari nafsu syahwat itu lebih berat dan lebih lama masanya. Atau kepedihan
neraka dalam lapisan neraka Jahannam. Maka siapa yang tidak sanggup bersabar
atas kepedihan bermujahadah, maka bagaimana ia sanggup menahan kepedihan azab
Allah. Aku tidak melihat engkau berlambatan daripada memandang kepada diri
engkau, selain karena kekufuran yang tersembunyi atau kedunguan yang terang.
Adapun kekufuran yang
tersembunyi, maka yaitu lemahnya iman engkau kepada hari perhitungan amal
(yaumul-hisab) dan kurangnya ma’rifah engkau dengan besarnya kadar pahala dan
siksa. Adapun kedunguan yang terang, maka yaitu perpegangan engkau kepada
kemurahan dan kemaafan Allah Ta’ala, tanpa menoleh kepada rencanaNya, bawaanNya
kepada kebinasaan dan tidak diperlukanNya kepada ibadah engkau, sedang engkau
tidak berpegang kepada kemurahanNya pada sesuap dari roti atau sebiji dari
harta atau satu kalimat yang engkau dengar dari makhluk. Bahkan engkau sampai
kepada maksud engkau pada yangdemikian itu dengan semua daya-upaya. Dengan
kebodohan itu engkau berhak mendapat gelar “kedunguan” dari Rasulullah saw yang
bersabda: “Orang pintar, ialah orang yang mengagamakan dirinya dan beramal
untuk sesudah mati. Dan orang dungu, ialah orang yang mengikutkan dirinya
kepada hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan bermacam-macam
angan-angan”.
Kasihan engkau hari diri !
tiada seyogyalah bahwa engkau diperdayakan oleh hidup duniawi dan tidaklah
engkau ditipu oleh yang menipukan dengan memakai nama agama Allah ! lihatlah
kepada dirimu, maka apakah urusanmu yang penting untuk orang lain ? janganlah
engkau sia-siakan waktu engkau ! maka nafas itu dapat dihitung. Apabila telah
berlalu dari engkau senafas, maka telah hilang sebahagian engkau. Maka
rampaskanlah kesehatan sebelum sakit, kesempatan sebelum kesibukan, kekayaan
sebelum kemiskinan, kemudaan sebelum ketuaan dan kehidupan sebelum kematian !
bersedialah untuk akhirat menurut kadar kekekalan engkau padanya ! hai diri !
apa tidakkah engkau bersedia bagi musim dingin menurut kadar lama masanya ?
maka engkau kumpulkan baginya makanan, pakaian, kayu api dan semua
sebab-sebabnya. Dan tidaklah engkau bertawakkal pada yang demikian itu atas
kurnia dan kemurahan Allah. Sehingga tertolaklah dari engkau kedinginan, tanpa
baju tebal, baju bulu, kayu api dll. Sesungguhnya sanggup atas yang demikian.
Apakah tidak engkau sangka, hai diri bahwa hawa dingin jahannam itu lebih ringan
dinginnya dan lebih pendek masanya dari hawa dingin musim dingin ? atau engkau
menyangka bahwa yang demikian itu kurang dari ini ? tidaklah sekali-kali bahwa
ada ini seperti yang demikian. Atau bahwa ada diantara keduanya itu kesesuaian
pada kesangatan dan kedinginan. Apakah engkau menyangka bahwa hamba itu
terlepas daripadanya, tanpa usaha ? amat jauh dari itu ! sebagaimana tidaklah
tertolak dinginnya musim dingin, selain dengan baju tebal, api dan sebab-sebab
yang lain. Maka tidaklah tertolak panasnya api neraka dan dinginnya, selain
dengan benteng keesaan dan parit pertahanan taat. Sesungguhnya kemurahan Allah
Ta’ala ialah: pada memperkenalkan kepada engkau jalan pemeliharaan dan
memudahkan bagi engkau akan sebab-sebabnya. Tidak pada penolakan dari engkau
akan azab, tanpa bentengnya. Sebagaimana kemurahan Allah Ta’ala pada penolakan
kedinginan musim dingin, bahwa Ia menciptakan api. Ia memberi petunjuk kepada
engkau jalan mengeluarkan api itu, dari antara besi dan batu. Sehingga
tertolaklah dengan dia itu kedinginan musim dingin dari diri engkau. Dan
sebagaimana membeli kayu api dan baju tebal termasuk yang tidak diperlukan oleh
Khaliq (yang maha pencipta) engkau dan Tuhan engkau. Sesungguhnya engkau
belikan bagi diri engkau. Karena Ia menciptakannya untuk menjadi sebab
kesenangan engkau. Maka ketaatan engkau dan juga mujahadah (bersungguh‑sungguh) engkau itu tidak
diperlukan oleh Allah. Bahwa itu semua adalah jalan engkau kepada kelepasan
engkau. Maka siapa yang berbuat baik, maka bagi dirinya dan siapa yang berbuat
jahat, maka tertimpa ke atas dirinya. Dan Allah itu tidak memerlukan kepada
alam semuanya. Kasihan engkau hai diri ! cabutlah dari kebodohanmu !
bandingkanlah akan akhiratmu dengan duniamu ! maka tidaklah kejadianmu dan
kebangkitanmu, melainkan seperti satu diri. Dan “sebagaimana Kami memulai
penciptaan yang pertama dan akan Kami ulangi lagi seperti itu”. Sebagaimana Allah
memulai menciptakan kamu, maka begitulah kamu akan kembali. Dan sunnah Allah
Ta’ala itu tiada akan kamu dapati baginya pergantian dan perobahan. Kasihan
engkau hai diri ! tiada aku melihat engkau, melainkan engkau itu menyukai dunia
dan berjinakan hati dengan dunia. Maka sukarlah atas engkau berpisah dengan
dunia. Dan engkau itu menghadap kepada mendekatinya. Engkau menguatkan pada
diri engkau akan mencintainya. Maka hitunglah, bahwa engkau lupa dari siksaan
Allah dan pahalaNya, dari huru-hara kiamat dan hal-ihwalnya ! maka engkau itu
tidak percaya dengan mati, yang menceraikan diantara engkau dan kekasih engkau.
Apakah engkau melihat, bahwa orang yang masuk ke istana raja, untuk dia keluar
dari sudut lain, lalu terpandang penglihatannya ke suatu wajah yang manis, yang
ia tahu, bahwa yang demikian itu akan menenggelamkan hatinya. Kemudian –sudah
pasti- ia terpaksa berpisah dengan wajah yang manis itu. Adakah orang itu
terhitung dari orang yang berakal atau dari orang dungu ? apakah engkau tidak
tahu, bahwa dunia itu negeri kepunyaan Raja Diraja dan yang memilikinya itu
tidaklah yang sebenarnya (secara majazi) ? dan setiap apa yang di dalamnya,
tiada akan menemani orang-orang yang singgah di dunia itu, sesudah mati. Dan
karena itulah. Penghulu manusia saw bersabda: “Bahwa Ruhul-qudus (Ruh suci) itu
meludah dalam hatiku: “Cintailah siapa yang engkau cintai, maka engkau akan
berpisah dengan dia ! dan bekerjalah (beramallah) akan apa yang engkau
kehendaki, maka engkau akan dibalaskan dengan amal itu ! dan hiduplah akan apa
yang engkau kehendaki, maka engkau akan mati !”. Kasihan engkau hai diri !
adakah engkau tahu, bahwa setiap orang yang berpaling kepada kelezatan dunia
dan berjinakkan hati dengan dunia, serta mati itu di belakangnya, maka
sesungguhnya ia membanyakkan penyesalan ketika berpisah ? sesungguhnya ia
mengambil perbekalan dari racun yang membinasakan. Dan ia tidak tahu. Atau tidakkah
engkau melihat, kepada mereka yang telah lalu, bagaimana mereka itu membangun
dan tinggi, kemudian mereka itu pergi dan berlalu ? betapa Allah mewariskan
bumi mereka dan kampung halaman mereka kepada musuh-musuh mereka ? apakah
engkau tidak melihat mereka mengumpulkan apa yang tidak mereka makan, membangun
apa yang tidak mereka tempati dan mengangan-angankan apa yang tidak mereka
capai ? setiap seorang membangun istana yang tinggi ke arah langit. Dan tempat
ketetapannya adalah kuburan yang dikorek di bawah bumi. Maka adakah dalam
dunia, kedunguan dan keterbalikan yang lebih besar dari ini ? seseorang itu
membangun dunianya dan dia itu akan berangkat dengan yakin daripadanya. Ia
merobohkan akhiratnya dan dia sudah pasti akan jadi kepadanya. Apakah tidak
malu, wahai diri, daripada pertolongan orang-orang yang bodoh itu, di atas
kebodohannya ? Hitungkanlah, bahwa engkau tidak mempunyai mata hati, yang
mendapat petunjuk kepada urusan-urusan ini ! sesungguhnya engkau cenderung
dengan tabiat kepada penyerupaan dan pengikutan. Maka bandingkanlah dengan akal
nabi-nabi, ulama-ulama dan hukama-hukama, akan akal mereka yang menelungkup
kepada dunia ! dan ikutilah dari dua golongan itu, dengan orang yang lebih
berakal pada engkau, jikalau engkau berkeyakinan pada diri engkau akan akal dan
kecerdikan ! Hai diri ! alangkah mengherankan urusan engkau, alangkah
bersangatan kebodohan engkau dan alangkah menampak kedurhakaan engkau ! heran
engkau ! bagaimana engkau buta dari urusan ini yang terang, lagi jelas ! kiranya
engkau, hai diri, dimabukkan oleh kesukaan kepada kemegahan. Didahsyatkannya
engkau daripada memahaminya. Atau tidakkah engkau berfikir, bahwa kemegahan itu
tidak mempunyai arti, kecuali kecenderungan hati dari sebahagian manusia kepada
engkau ? maka hitunglah, bahwa setiap orang di atas permukaan bumi itu sujud
kepada engkau mentaati engkau ! apakah tidak engkau ketahui, bahwa sesudah 50
tahun, engkau tidak ada lagi dan tidak ada seorangpun di atas permukaan bumi,
dari orang yang menyembah engkau dan bersujud kepada engkau ? dan akan datang
suatu zaman, yang tidak ada lagi sebutan nama engkau dan tiada sebutan orang
yang menyebutkan engkau. Sebagaimana telah datang kepada raja-raja yang ada
sebelum engkau. Maka “adakah engkau lihat agak seorang diantara mereka atau
adakah engkau dengar rintihannya (keluhannya)”. Maka bagaimana engkau menjual,
hai diri, akan apa yang kekal sepanjang abad, dengan apa yang tidak kekal,
lebih banyak dari 50 tahun, jikalaupun kekal ? Pahamilah ini, jikalau ada
engkau itu salah seorang raja di bumi, yang diserahkan kepada engkau Timur dan
Barat, sehingga mengaku bagi engkau segala leher dan teratur bagi engkau segala
sebab ! bagaimana dan enggan oleh pembelakangan engkau dan celakanya engkau,
bahwa diserahkan kepada engkau urusan tempat engkau, bahkan urusan rumah
engkau, lebih-lebih dari tempat engkau ? Maka jikalau ada engkau hal diri,
tidak meninggalkan dunia, karena gemar pada akhirat, karena kebodohan engkau
dan buta mata hati engkau, maka mengapa engkau tidak meninggalkannya, karena
meninggikan dari kekejian kongsi-kongsinya, menjaga dari banyak kepayahannya
dan memelihara dari kecepatan kehancurannya ? atau mengapa tidak engkau zuhud
pada sedikitnya, sesudah zuhud pada engkau oleh banyaknya ? mengapa engkau
bergembira dengan dunia, jikalau ia menolong engkau, lalu tidak telepas negeri
engkau dari orang Yahudi dan orang Majusi yang mendahului engkau dengan dunia ?
dan mereka bertambah dari engkau tentang kenikmatan dan perhiasan dunia ? maka
cislah bagi dunia, yang didahului engkau oleh mereka yang keji-keji itu dengan
dunia ! alangkah bodohnya engkau, alangkah kejinya cita-cita engkau dan
alangkah jatuhnya pendapat engkau ! karena engkau tidak suka bahwa ada engkau
dalam kumpulan orang muqarrabin, dari nabi-nabi dan orang-orang shiddiq, di
sisi Tuhan Rabbul-‘alamin selama-lamanya. Supaya ada engkau dalam barisan
sandal, dari jumlah orang-orang dungu yang bodoh dalam beberapa hari yang
sedikit. Wahai penyesalan atas engkau, bahwa rugilah dunia dan agama. Maka
bersegeralah ! celakalah engkau hai diri ! sesungguhnya engkau telah hampir
kepada kebinasaan. Telah mendekatilah mati. Dan telah datang yang memberi kabar
pertakut (an-nadzir). Maka siapakah yang sembahyang pada engkau sesudah mati ?
siapakah yang berpuasa dari engkau sesudah mati ? siapakah yang meminta
keridhaan Tuhan engkau dari engkau sesudah mati ? Kasihan engkau hai diri !
tiadalah bagi engkau, selain beberapa hari yang dapat dihitung, yang menjadi
kepunyaan engkau, jikalau engkau berniaga padanya. Dan telah engkau sia-siakan
yang terbanyak dari hari-hari itu. Maka jikalau engkau tangisi akan sisa umur
engkau, atas apa yang telah engkau sia-siakan daripadanya, niscaya adalah
engkau itu teledor pada hal diri engkau. Maka bagaimana, apabila engkau
sia-siakan akan sisanya dan engkau terus berkekalan di atas adat kebiasaan
engkau ? apakah engkau tidak tahu, hai diri, bahwa mati itu janjian bagi
engkau, kubur itu rumah engkau, tanah itu tempat tidur engkau, ulat itu teman
engkau dan ketakutan besar itu di hadapan engkau ? apakah engkau tidak tahu,
hai diri, bahwa laskar orang-orang mati di sisi engkau pada pintu negeri itu
menunggu engkau. Mereka bersumpah atas diri mereka semua, dengan sumpah yang
berat, bahwa mereka senantiasa pada tempatnya, sebelum mereka mengambil engkau bersama
mereka. Apakah engkau tidak tahu, hai diri bahwa mereka bercita-cita kembali ke
dunia pada suatu hari, untuk mengerjakan kembali apa yang tertinggal dahulu
dari mereka. Dan engkau dalam cita-cita mereka. Dan sehari dari umur engkau,
jikalau dijual kepada mereka dengan dunia seluruhnya, niscaya mereka beli,
jikalau mereka ditakdirkan atas yang demikian. Dan engkau menyia-nyiakan
hari-hari engkau dalam kelalaian dan pengangguran. Kasihan engkau hai diri,
apakah engkau tidak malu ? engkau hiaskan zahiriyah engkau bagi makhluk. Dan
engkau berlomba-lomba dengan Allah dalam rahasia dengan perbuatan-perbuatan
besar. Apakah engkau malu kepada makhluk dan engkau tidak malu kepada Khaliq
(yang maha pencipta) ? celaka engkau adakah Dia yang terhina dari yang memandang
kepada engkau ? adakah engkau menyuruh manusia dengan kebajikan dan engkau
berlumuran dengan hal-hal yang hina ? engkau menyeru kepada Allah dan engkau
sendiri lari daripadaNya ? engkau peringatkan orang kepada Allah dan engkau
sendiri lupa kepadaNya ? apakah engkau tidak tahu, hai diri, bahwa orang yang
berdosa itu lebih busuk dari tai ? dan Bab itu tidak dapat menyucikan yang lain
? maka mengapakah engkau mengharap pada pensucian lain engkau dan engkau itu
tidak baik pada diri engkau ? Kasihan engkau, hai diri, jikalau engkau kenal
akan diri engkau dengan kenal yang sebenar-benarnya, niscaya engkau menyangka
bahwa manusia tidak tertimpa kepadanya bencana, selain dengan nasib malang
engkau. Kasihan engkau, hai diri ! engkau telah jadikan diri engkau, keledai
bagi Iblis, yang dikendalikannya engkau kemana dikehendakinya dan
dipergunakannya engkau. Dan bersamaan dengan itu, engkau mengherani amal engkau
sendiri. Dan padanya banyak bahaya. Jikalau terlepaslah engkau daripadanya satu
sesudah yang lain, niscaya adalah keuntungan dalam dua tangan engkau. Dan
bagaimana engkau merasa bangga dengan amal engkau, serta banyaknya kesalahan
engkau dan tergelincirnya engkau ? Allah telah mengutuk Iblis dengan satu
kesalahan, sesudah ia beribadah kepadaNya 200 ribu tahun. Allah mengeluarkan
Adam as dari sorga dengan satu kesalahan, serta dianya itu nabi dan pilihanNya.
Kasihan engkau hai diri ! alangkah engkau menyalahi janji ! celaka engkau hai
diri ! alangkah engkau tidak bermalu ! celaka engkau hai diri ! alangkah bodohnya
engkau ! alangkah beraninya engkau kepada perbuatan maksiat ! celaka engkau !
berapa kali engkau mengikatkan janji, lalu engkau langgar ! celaka engkau !
berapa kali engkau berjanji, lalu engkau menyalahinya ! Kasihan engkau, hai
diri ! adakah engkau sibuk bersama kesalahan-kesalahan ini dengan membangun
dunia engkau, seakan-akan engkau tiada akan berangkat dari dunia itu ? apakah
tidak engkau melihat kepada orang-orang dalam kubur, bagaimana mereka itu
berada ? mereka telah mengumpulkan banyak. Telah membangun dengan kokoh. Telah
berangan-angan jauh. Maka jadilah yang dikumpulkan mereka itu berantakan.
Bangunan mereka itu kubur. Dan angan-angan mereka itu terperdaya. Kasihan
engkau, hai diri ! apakah tidak ada bagi engkau mengambil ibarat dengan mereka
itu ? apakah tidak ada bagi engkau mempunyai pandangan kepada mereka itu ?
adakah engkau menyangka, bahwa mereka itu dipanggil ke akhirat dan engkau itu
dari orang-orang yang kekal di dunia ? amat jauh-amat jauh dari itu ! amat
jahatlah apa yang engkau dugakan itu ! tidaklah engkau, selain dalam
meruntuhkan umur engkau, semenjak engkau dilahirkan dari perut ibu engkau. Maka
bangunkanlah di atas permukaan bumi itu istana engkau ! sesungguhnya perut bumi
itu dalam waktu yang sedikit ini akan menjadi kubur engkau. Adakah tidak engkau
takut, apabila sampai nafas dari engkau itu naik-turun, bahwa menampaklah
utusan-utusan Tuhan engkau itu turun datang kepada engkau dengan warna hitam,
masam muka dan berita dengan azab ? adakah bermanfaat bagi engkau ketika itu
oleh penyesalan atau diterimakah dari engkau kegundahan atau dikasihani oleh
tangisan dari engkau ? Dan heran sekali dari engkau, hai diri ! bahwa engkau
bersama ini, mendakwakan akan penglihatan dengan mata hati dan kecerdikan. Dan
dari kecerdikan engkau, bahwa engkau bergembira setiap hari dengan bertambahnya
harta engkau. Dan engkau tidak gundah hati dengan berkurangnya umur engkau.
Apakah manfaatnya harta bertambah dan umur berkurang ? Kasihan engkau, hai diri
! engkau berpaling dari akhirat dan akhirat itu menghadap kepada engkau. Engkau
menghadap kepada dunia dan dunia itu berpaling dari engkau.
Maka berapa banyak dari
yang akan datang, dimana pada suatu hari, tidak dapat disempurnakan. Dan berapa
banyak dari yang diangan-angankan untuk esok hari, yang tidak sampai. Maka
engkau menyaksikan yang demikian pada saudara-saudara engkau, keluarga engkau
dan tetangga engkau. Maka engkau melihat, akan penyesalan mereka itu ketika
mati. Kemudian, engkau tidak kembali dari kebodohan engkau. Maka jagalah hai diri
yang patut dikasihani, pada hari, yang Allah bersumpah padanya kepada DiriNya,
bahwa Ia tidak akan membiarkan seorang hamba, yang disuruhNya di dunia dan yang
dilarangNya, sehingga akan ditanyaNya dari hal amalan hamba itu, kecilnya dan
besarnya, tersembunyinya dan terangnya. Maka lihatlah, hai diri ! dengan tubuh
mana engkau berdiri di hadapan Allah ? dengan lidah mana engkau menjawab ?
sediakanlah jawaban bagi pertanyaan ! dan bagi jawaban itu yang betul !
bekerjalah untuk sisa umur engkau pada hari-hari yang pendek untuk hari-hari
yang panjang ! pada negeri yang hilang untuk negeri yang tetap berdiri ! pada
negeri kegundahan dan lelah untuk negeri kenikmatan dan kekal ! beramallah
sebelum engkau diamalkan ! keluarlah dari dunia dengan pilihan sendiri, sebagai
keluarnya orang-orang merdeka, sebelum dikeluarkan daripadanya dengan paksaan !
janganlah engkau bergembira, dengan apa yang menolong engkau, dari
kembang-kembang dunia ! maka kerap-kali yang menggembirakan itu tertipu !
kerap-kali yang tertipu itu tidak merasakan ! maka kesengsaraanlah bagi orang,
yang baginya kesengsaraan, kemudian ia tidak merasakan ! ia tertawa dan
bergembira, bermain dan bersenda-gurau, makan dan minum. Dan telah benarlah
baginya dalam Kitab Allah, bahwa dia itu dari kayu bakaran api neraka. Maka
hendaklah ada pandangan engkau hai diri, kepada dunia, dengan mengambil ibarat.
Usaha engkau baginya secara yang diperlukan. Penolakan engkau baginya dengan
pilihan sendiri. Dan tuntutan engkau bagi akhirat itu dengan segera. Jangan adalah
engkau dari orang yang lemah, daripada mensyukuri apa yang diberikan. Dan
mencari tambahan pada apa yang masih ada. Melarang manusia dan ia sendiri tidak
menerima larangan itu. Ketahuilah, hai diri ! bahwa tidak ada bagi agama itu
gantian. Tidak ada bagi iman itu tukaran. Dan tidak ada bagi tubuh itu yang
menggantikan. Dan siapa yang ada kendaraannya malam dan siang, maka dia itu
dimudahkan baginya, walaupun tidak mudah. Maka ambillah menjadi pengajaran
dengan pengajaran ini, hai diri ! dan terimalah nasehat ini ! maka siapa yang
berpaling dari pengajaran, niscaya dia itu telah rela dengan neraka. Dan aku
tidak melihat engkau itu rela dengan neraka. Dan tidak memperhatikan akan
pengajaran ini. Jikalau adalah kekesatan hati yang melarang engkau daripada menerima
pengajaran, maka minta tolonglah kepadanya dengan berkekalan shalat tahajjud
dan berdiri mengerjakan shalat. Maka jikalau tidak hilang juga kekesatan hati
itu, maka dengan rajin mengerjakan puasa. Maka jikalau tidak hilang juga, maka
dengan sedikit bercampur dengan manusia dan sedikit bicara. Maka jikalau tidak
hilang juga, maka dengan silaturrahim dan kasih-sayang kepada anak yatim. Maka
jikalau tidak hilang juga, maka ketahuilah bahwa Allah telah
mencapkan atas hati engkau dan telah menguncikannya. Bahwa telah
bertindis-lapislah kegelapan dosa atas zahiriyah dan batiniyah hati itu. Maka
tempatkanlah dirimu dalam neraka ! sesungguhnya Allah telah menjadikan sorga
dan menjadikan baginya isinya. Ia menjadikan neraka dan menjadikan baginya
isinya. Maka masing-masing itu dimudahkan bagi apa, yang ia jadikan. Maka
jikalau tidak ada lagi bagi engkau jalan kepada pengajaran, maka
putus-asakanlah dari diri engkau ! dan putus asa itu termasuk salah satu dari
dosa besar. Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Maka tiada
jalan bagi engkau kepada berputus-asa. Dan tiada jalan bagi engkau kepada
harapan, serta tersumbatnya jalan-jalan kebajikan kepada engkau. Maka yang
demikian itu tertipu dan bukan harapan. Maka lihatlah sekarang, adakah engkau
mengalami kesedihan atas musibah ini, yang engkau mendapat percobaan dengan dia
? adakah mata engkau membolehkan keluarnya air mata, karena kasihan dari engkau
kepada diri engkau ? jikalau mata engkau itu membolehkan, maka penerimaan
siraman air mata itu adalah dari laut rahmat. Maka masih ada pada engkau itu
tempat harapan. Maka rajinlah meratap dan menangis dan minta tolonglah kepada
Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih ! dan mengadulah kepada Yang Maha
Pemurah dari yang pemurah ! dan terus-meneruslah meminta pertolongan ! dan
janganlah bosan atas lamanya pengaduan ! semoga Ia akan mengasihani kelemahan
engkau dan menolong engkau ! bahwa musibah yang telah menimpa engkau itu telah
besar. Dan bencana atas diri engkau telah bertindis-lapis. Jauhnya pergi engkau
itu telah lama. Telah berputus dari engkau itu daya-upaya. Dan telah pergi dari
engkau itu segala alasan. Maka tiada jalan, tiada tuntutan, tiada tempat
pertolongan, tiada tempat lari, tiada tempat penyantunan dan tempat kelepasan,
selain kepada Tuhan engkau. Maka berlindunglah kepadaNya dengan merendahkan
diri ! dan khusyu’lah pada engkau merendahkan diri itu menurut kadar besarnya
kebodohan engkau dan banyaknya dosa engkau ! karena Allah itu mengasihani orang
yang merendahkan diri, yang menghinakan diri. Ia menolong orang yang meminta
dengan berulang-ulang dan memperkenankan doa orang yang berhajat kepada
pertolongan. Engkau pada hari ini telah memerlukan kepadaNya dan berhajat
kepada rahmatNya. Telah sempit bagi engkau segala jalan. Telah tersumbat kepada
engkau segala tempat lalu. Dan telah terputus dari engkau segala daya-upaya.
Tidak berguna pada engkau segala pengajaran. Dan tidak dihancurkan engkau oleh
penghinaan. Maka yang dicari itu Maha Pemurah. Yang diminta itu Maha Pengasih.
Yang diminta pertolongan itu Mahabaik, Mahabelas-kasihan. Rahmat itu luas.
Kemurahan itu melimpah-limpah. Kemaafan itu merata. Dan ucapkanlah: “Wahai Yang
Maha Pengasih dari segala yang pengasih ! wahai Yang Maha Pemurah ! wahai Yang
Maha Pengasih ! wahai Yang Maha Penyantun ! wahai Yang Maha Besar ! wahai Yang
Maha Pemurah ! aku ini yang berdosa terus-menerus ! aku ini yang berani yang
tidak mencabut ! aku ini yang berkepanjangan, yang tidak malu ! inilah tempat
orang yang merendahkan diri, yang miskin, yang putus asa, yang fakir, yang
lemah, yang hina, yang binasa, yang tenggelam ! maka segerakanlah menolong aku
dan kelapangan bagiku ! perlihatkanlah kepadaku akan kesan-kesan rahmatMu !
berikanlah kepadaku rasa dinginnya kemaafanMu dan ampunanMu ! anugerahkanlah
kepadaku kekuatan pemeliharaanMu, wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang
pengasih !”. Yang demikian itu, karena mengikuti bapakmu Adam as.
Wahab bin Munabbih
berkata: “Tatkala Allah menurunkan Adam as dari sorga ke bumi, maka Adam itu
terus menumpahkan air mata. Maka Allah ‘Azza wa Jalla melihat kepadanya pada
hari ke-7. Dan Adam as itu sedih, dukacita, berdiam diri, menekur kepalanya.
Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Adam ! apakah kesungguhan
ini yang Aku lihat pada engkau ?”. Adam as menjawab: “Wahai Tuhanku ! telah
beratlah musibahku. Telah mengelilingi aku oleh kesalahanku. Dan aku telah
dikeluarkan dari alam tinggi Tuhanku. Maka jadilah aku dalam negeri kehinaan,
sesudah dalam negeri kemuliaan. Dalam negeri kesengsaraan, sesudah dalam negeri
kebahagiaan. Dalam negeri kelelahan, sesudah dalam negeri kesenangan. Dalam
negeri bala-bencana, sesudah dalam negeri sehat wal-afiat. Dalam negeri yang
hilang, sesudah dalam negeri ketetapan. Dan dalam negeri kematian dan
kebinasaan, sesudah dalam negeri kekal dan baqa. Maka bagaimana aku tidak
menangis di atas kesalahanku ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya:
“Hai Adam ! apakah tidak Aku memilih engkau bagi diriKu ? Aku tempatkan engkau
pada rumahKu ? Aku tentukan engkau dengan kemuliaanKu ? Aku peringatkan engkau
akan kemarahanKu ? apakah tidak Aku ciptakan engkau dengan qudrah ( kuasa )Ku ?
Aku tiupkan pada engkau dari ruhKu ? Aku suruh sujud kepada engkau malaikatKu ?
lalu engkau durhaka akan perintahKu ? engkau lupa akan janjiKu? engkau
datangkan bagi kemarahanKu? maka demi kemuliaan dan keagunganKu! jikalau
penuhlah bumi dengan orang-orang semuanya seperti engkau, yang menyembahkan Aku
dan bertasbih kepadaKu, kemudian mereka itu berbuat maksiat kepadaKu, niscaya
Aku tempatkan mereka pada tempat orang-orang yang berbuat maksiat”. Maka
menangislah Adam as ketika itu 300 tahun. Adalah ‘Ubaidullah Al-Bajali itu
banyak menangis. Ia mengucapkan dalam tangisnya sepanjang malamnya: “Wahai
Tuhanku ! akulah yang setiap kali panjang umurku, niscaya bertambahlah dosaku.
Akulah orang yang setiap kali aku bercita-cita meninggalkan kesalahan, maka
datanglah bagiku nafsu-syahwat yang lain. Wahai hamba yang kecil ! kesalahan
yang tidak busuk. Dan yang empunya kesalahan itu dalam mencari kesalahan yang lain.
Wahai hamba yang kecil ! jikalau adalah api itu bagi engkau tempat tidur dan
tempat tinggal ! wahai hamba yang kecil ! jikalau adalah besi pemukul manusia,
disiapkan bagi kepala engkau ! wahai hamba yang kecil ! engkau telah laksanakan
segala hajat keperluan orang-orang yang menuntutnya dan semoga hajat keperluan
engkau tidak dilaksanakan”.
Manshur bin ‘Ammar
berkata: “Aku mendengar pada sebahagian malam di Kufah, seorang abid membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya
dan ia mengucapkan: “Wahai Tuhanku ! demi kemuliaanMu ! aku tidak bermaksud
dengan berbuat maksiat kepadaMu, akan menyalahiMu. Aku tidak berbuat maksiat
kepadaMu ketika aku berbuat maksiat. Dan aku itu bodoh dengan kedudukanMu.
Tidaklah aku mendatangi siksaanMu. Dan tidak memandang ringan untuk
memandangMu. Akan tetapi, diriku memperelokkan kerja bagiku. Ditolong aku atas
yang demikian itu oleh ketidak-beruntunganku. Dan aku ditipu oleh tabir Engkau
yang diturunkan atasku. Maka aku berbuat maksiat kepada Engkau dengan
kebodohanku. Aku menyalahi akan Engkau dengan
perbuatanku. Maka dari azab Engkau sekarang, siapakah yang melepaskan
aku ? atau dengan tali siapa aku berpegang, jikalau Engkau putuskan tali Engkau
daripadaku ? wahai buruknya dari berhenti di hadapan Engkau besok, apabila dikatakan
bagi orang asing yang diringankan: “Lewatlah !”. Dan dikatakan bagi orang-orang
yang diberatkan: “Turunlah !”. Adakah bersama orang-orang yang diringankan itu,
aku lewat ? adakah bersama orang-orang yang diberatkan itu, aku turun ? celaka
aku ! tiap bertambah tua umurku, lalu banyaklah dosa-dosaku. Celaka aku ! tiap
lanjut usiaku, lalu banyaklah kemaksiatanku. Maka hingga kapan aku bertaubat ?
dan hingga kapan aku kembali ? apakah tidak datang sekarang waktunya bagiku
bahwa aku malu kepada Tuhanku ? Maka inilah jalan kaum shufi dalam membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya
dan pada mencela (bermu’atabah) akan dirinya. Adapun tuntutan mereka dari
kelepasan itu mohon kerelaan. Dan maksud mereka dari al-mu’atabah itu
pemberitahuan dan mencari penjagaan. Maka siapa yang
melengahkan al-mu’atabah (mengoreksi akan kesalahan) dan al-munajah (membisikkan
segala isi hati), niscaya tidaklah dia itu memelihara dirinya. Dan hampirlah
bahwa tidaklah Allah Ta’ala ridha kepadanya. Wassalam. Telah tammat Kitab Memperhitungkan
dan Al-muraqabah/memperhatikan, yang akan diiringi dengan “Kitab Tafakkur”
insya Allahu Ta’ala. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Selamat dan salam
kepada Penghulu kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya sekalian.