Kamis, 13 Februari 2014

24. KITAB BAHAYA LIDAH

KITAB BAHAYA LIDAH
Yaitu Kitab ke 4 dari Rubu Yang membinasakan dari Kitab Ihya Ulumiddin
Segala pujian bagi Allah yang menjadikan manusia dengan sebaik-baiknya dan sepadan-padannya. Diilhami Allah cahaya iman, lalu dihiasi Allah dan diperelokkan Allah. Diajari Allah keterangan, lalu didahulukan Allah dan diutamakan Allah dari makhluk lain,  Dilimpahkan Allah kedalam hati manusia itu gudang ilmu‑pengetahuan, lalu disempurnakan Allah. Kemudian, diutus Allah kepada manusia itu tabir rahmat Allah dan diturunkan Allah. Kemudian, diperbantukannya manusia itu dengan lidah yang akan menterjemahkan, apa yang dikandung oleh hati dan akaInya. Dan disingkapkan Allah dari hati manusia itu, tirainya yang dilepaskan Allah. Lalu manusia itu melepaskan lidahnya dengan kebenaran dan menegaskan dengan kesyukuran, dari apa yang diutamakan dan dianuhgerahkan oleh Allah, dari ilmu‑pengetahuan yang diperolehnya dan tutur‑kata yang memudahkannya. Aku mengaku bahwa, tiada yang disembah selain Allah, Yang Tunggal, tiada mempunyai sekutu. Dan bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul Allah yang dimuliakan Allah dan yang diagungkan Allah dan Nabi Allah yang diutuskan Allah dengan Kitab yang diturunkan Allah. Dan ditinggikan Allah kelebihannya. Dan diterangkan Allah jalan‑jalan Allah. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya, kepada keluarganya dan para sahabatnya serta orang‑orang sebelumnya, apa yang diagungkan dan dipujikan oleh hamba Allah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adapun kemudian: sesungguhnya lidah itu termasuk diantara nikmat Allah yang besar dan diantara yang dijadikan oleh Allah yang halus dan ganjil. Sesungguhnya lidah itu kecil tubuhnya, besar keta'atannya dan kedosaannya. Karena kufur dan iman itu, tiada terang, selain dengan kesaksian lidah. Dan kufur dan iman itu adalah keta'atan dan kemaksiatan yang penghabisan.
Kemudian apa saja yang ada atau tidak ada, Khalik atau makhluk, hayalan (fantasi) atau yang diketahui, yang disangka atau yang diduga, semuanya dapat dicapai dengan lidah. Dan dapat didatangi oleh lidah dengan ia atau tidak. Semua yang dicapai oleh ilmu‑pengetahuan itu, dapat dilahirkan oleh lidah, baik yang benar atau yang salah. Tiada suatupun, melainkan ilmu itu menerima untuk lidah. Dan ini adalah suatu kekhususan (khasiat), yang tidak terdapat pada anggota badan lainnya. Sesungguhnya mata tiada sampai, selain kepada warna dan bentuk. Telinga tiada sampai, kepada bukan suara. Tangan tiada sampai, kepada bukan yang bertubuh. Dan begitu pula anggota‑anggota badan yang lain. Lidah itu medan luas. Tiada mempunyai tempat tertolak. Dan tiada mem­punyai jalan yang berkesudahan dan berbatas. Ia mempunyai lapangan lu­as pada kebajikan. Dan mempunyai ekor yang dapat ditarik pada kejahat­an. Barangsiapa melepaskan manisnya lidah dan menyia‑nyiakannya terle­pas ikatan, niscaya setan berjalan dengan dia dalam setiap lapangan. Dan menghalaunya ke tepi jurang yang menjatuhkan, sampai membawanya kepada kebinasaan. Dan manusia itu, tiada jatuh dalam api neraka atas hidungnya, melainkan oleh yang dipetik/dikatakan lidahnya. Dan tidak terlepas dari kejahatan lidah, selain orang yang mengikatkan lidahnya dengan tali‑ke­kang Agama. Maka ia tidak melepaskan lidahnya, selain pada yang ber­manfa'at di dunia dan di akhirat. la mencegah lidahnya dari setiap yang ditakuti bahayanya, pada waktu yang cepat (di dunia) dan pada waktu yang lambat (di akhirat). Untuk mengetahui apa yang dipujikan atau yang dicela melepaskan lidah padanya, adalah tersembunyi dan sulit. Berbuat menurut kehendak lidah bagi orang yang mengetahuinya adalah berat dan sukar. Anggota badan yang paling durhaka kepada manusia, ialah: “lidah”. Karena ia tiada payah pada melepaskannya. Dan tiada perbelanjaan pada menggerak‑gerakkan­nya. Dan manusia itu mempermudah‑mudahkan pada penjagaan dari se­gala bahaya dan malapetakanya dan pada berhati‑hati dari segala pan­cingan dan buruannya.
Sesungguhnya lidah itu perkakas setan yang terbesar untuk menipu manu­sia. Maka dengan taufiq dan pimpinan Allah yang baik, kami akan me­nguraikan semua bahaya lidah. Dan akan kami menyebutkannya satu per­satu dengan batas‑batas, sebab‑sebab, dan segala malapetaka yang ditim­bulkannya. Akan kami perkenalkan jalan menjaga daripadanya. Akan kami kemukakan hadits‑hadist dan atsar‑atsar yang mencelanya.
Marilah kami sebutkan untuk pertama kali. “Kelebihan Diam”. Dan akan kami iringi dengan menyebutkan bahaya berkata‑kata, mengenai yang tidak penting.
1. Kemudian, bahaya kata‑kata yang berlebihan.
2. Kemudian, bahaya bercakap kosong pada yang salah.
3. Kemudian, bahaya berbantah dan bertengkar.
4. Kemudian, bahaya bermusuhan.
5. Kemudian, bahaya mengelu­arkan perkataan dari kerongkongan, dengan membuat‑buat mulut, me­maksakan kata‑kata dengan bersajak dan kepandaian berkata‑kata dan memperbuat‑buat yang demikian. dllnya yang telah men­jadi adat‑kebiasaan orang‑orang yang memperbuat‑buat pandai berbicara, yang mengajak untuk berpidato.
6. Kemudian, bahaya kata‑kata keji, memaki dan lidah kotor (suka berkata-­kata cabul dan mencarut‑carut).
7. Kemudian, bahaya kata‑kata mengutuk, baik kepada binatang atau benda beku atau manusia.
8. Kemudian, bahaya menyanyi dengan pantun. Dan sudah kami sebutkan dahulu pada Kitab “Mendengar", nyanyian yang diharamkan dan yang dihalalkan. Maka kami tiada mengulanginya lagi.
9. Kemudian, bahaya bersenda‑gurau.
10. Kemudian, bahaya kata‑kata menghi­na dan mengejek.
11. Kemudian, bahaya menyiarkan rahasia.
12. Kemudian, ba­haya janji bohong.
13. Kemudian, bahaya perkataan bohong dan sumpah bo­hong.
14. Kemudian, penjelasan tentang kata‑kata sindiran pada bohong.
15. Ke­mudian, bahaya mengumpat,
16. Kemudian bahaya lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang ( lalat yang berasal dari bangkai atau dari kotoran hewan dan manusia ).
17. Kemudian, ba­haya dua lidah yang bersimpang‑siur diantara orang‑orang yang bermu­suhan. Masing‑masing berkata dengan perkataan yang sesuai baginya.
18. Kemudian, bahaya pujian.
19. Kemudian, bahaya lengah dari kesalahan yang kecil‑kecil dalam kandungan perkataan. Lebih‑lebih pada yang menyang­kut dengan Allah dan sifat‑sifat Allah dan yang bertalian dengan pokok‑po­kok Agama.
20. Kemudian, bahaya pertanyaan orang awam dari hal sifat‑sifat Allah 'Azza wa Jalla, dari hal Kalam (berkata-kata) Allah dan huruf‑hurufnya. Apakah tiada berpemulaan/dahulu atau baru?. Itulah bahaya yang terakhir dan yang menyangkut dengan demikian. Jumlah semuanya adalah 20 bahaya. Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq Allah dengan kenikmatan dan kurnia Allah.
PENJELASAN: besarnya bahaya lidah dan keutamaan diam,
Ketahuilah, bahwa bahaya lidah itu besar. Tiada terlepas daripada baha­yanya, selain dengan diam. Maka karena itulah, Agama memuji diam dan mengajak kepada diam. Nabi saw Bersabda: "Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)".  Dan "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang melaksanakannya” Hukum pada hadits ini, artinya: hikmah dan memikirkan akibat. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Sufyan dari ayahnya, dimana ayahnya berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku tentang Islam, akan sesuatu hal, dimana aku tiada akan bertanya lagi tentang itu, kepada seseorang, sesudah engkau!”. Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah! Aku beriman dengan Allah. Kemudian engkau berpendirian teguh". Ayah Abdullah itu meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bertanya: "Apakah yang aku pelihara?". Maka Nabi saw menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya". Uqbah bin 'Amir berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah jalan kelepasan?". Rasulu'llah saw menjawab: “Tahankan lidahmu! Hendaklah rumahmu memberi kelapangan bagimu dan menangislah atas kesalahanmu!”.
Sahl bin Sa'ad As‑Sa'idi berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsi­apa menjamin bagiku, apa yang diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang diantara dua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin baginya sorga".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya/perut, dzabdzabnya/kemaluan dan laqlaqnya/lidah, niscaya ia terjaga dari kejahatan seluruhnya". Hawa‑nafsu yang tiga inilah yang membinasakan banyak manusia. Karena itulah, kami menyibukkan diri kami, menyebutkan bahaya lidah sesudah kami selesai daripada menyebutkan bahaya nafsu‑syahwat: perut dan kemaluan.
Ditanyakan Rasulu'llah saw tentang sebab terbesar, yang membawa ma­nusia masuk sorga. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: “Taqwa kepada Allah dan bagus akhlaq". Dan ditanyakan pula sebab terbesar yang mem­bawa manusia masuk neraka. Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Dua rongga badan, yaitu: “mulut dan kemaluan”  Maka mungkin yang dimaksud dengan mulut itu, ialah: bahaya lidah. Ka­rena mulut itu tempat lidah. Dan mungkin pula yang dimaksud perut, ka­rena mulut itu, tempat yang tembus dari perut.
Ma'az bin Jabal berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Adakah ki­ta ini disiksa dengan apa yang kita katakan?". Rasulu'llah saw menjawab: "Dipupus kamu oleh ibumu, hai Ibnu Jabal! Adakah manusia meringkuk dalam neraka atas hidungnya, selain oleh yang diperbuat lidahnya?” .
Abdullah Ats‑Tsaqafi berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku akan sesuatu, yang akan aku pegang teguh!”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah! Tuhanku Allah. Kemu­dian, kamu berpendirian teguh (istiqamah)!”. Aku bertanya lagi: “Wahai Rasulu'llah! Apakah yang lebih engkau takuti padaku?". Rasulu'llah saw Ialu mengambil Iidahnya, seraya bersabda: "Ini!”.
Diriwayatkan, bahwa Ma'az bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Amal apakah yang paling utama?". Lalu Rasulu'llah saw: “mengeluarkan lidahnya. Kemudian meletakkan ja­rinya atas lidah itu".
Anas bin Malik berkata: Rasulu'llah saw bersabda: “Tidaklah berdiri teguh (lurus) iman hamba Allah, sebelum berdiri teguh (lurus) hatinya. Dan hatinya itu tidak berdiri teguh (lurus) sebelum berdiri teguh (lurus) lidahnya. Dan tidak akan masuk sorga seseorang, dimana tetangganya ti­dak merasa aman dari kejahatannya". Nabi saw bersabda:  “Barangsiapa suka selamat, maka hendaklah ia membiasakan di­am".
Dari Sa'id bin Jubair yang diteruskan kepada Rasulu'llah saw, bahwa beliau bersabda: "Apabila anak Adam (manusia) itu berpagi hari, niscaya semua anggota badannya memperingatkan lidah. Arti­nya: anggota badan itu berkata: "Takutilah Allah mengenai kami. Karena jikalau engkau berdiri lurus, niscaya kamipun dapat berdiri lurus. Dan ji­kalau engkau bengkok (menyeleweng), niscaya kami pun menjadi beng­kok".
Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Al khattab ra melihat Abubakar Ash ­Shiddiq ra, menarik lidahnya dengan tangannya. Lalu 'Umar bertanya kepada Abubakar: "Wahai Khalifah Rasulu'llah! Apakah yang anda per­buat?". Abubakar Ash‑Shiddiq ra menjawab: "Ini mendatangkan kepadaku jalan yang kebinasaan”. Sesungguhnya Rasulu'llah saw bersabda: "Tiada suatu pun dari tubuh, yang tiada mengadu kepada Allah tentang lidah diatas ketajamannya".
Dari Ibnu Masud diriwayatkan bahwa ia berada diatas bukit Shafa, mem­baca talbiah/doa-doa , seraya mengatakan: "Hai lidah! Katakanlah yang baik, niscaya engkau beruntung! Diamlah dari yang jahat, niscaya engkau sela­mat, sebelum engkau menyesal!”. Lalu orang bertanya kepada Ibnu Mas'ud tadi: "Hai ayah Abdurrahman! Adakah ini engkau katakan sendiri atau engkau dengar dari orang lain?". Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak! Tetapi aku dengar Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa kebanyakan dosa anak Adam itu, pada lidahnya". 
Ibnu Umar berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mence­gah lidanya daripada memperkatakan kehormatan orang, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (hal‑hal yang memalukan kalau diketahui orang lain). Barangsiapa menguasai kemarahannya, niscaya ia dipelihara oleh Allah akan azabnya. Dan barangsiapa meminta kelonggaran pada Allah, niscaya diterima oleh Allah kelonggarannya". Diriwayatkan, bahwa Ma'az bin Jabal berkata: "Wahai Rasulu'llah! Beri­kanlah kepadaku kata‑kata wasiat!”. Rasulu'llah saw menjawab: Sembahlah (beribadahlah) akan Allah, se­akan‑akan engkau melihat Allah! Dan hitunglah dirimu dalam golongan o­rang yang sudah mati, jikalau engkau mau, akan kuberitahukan kepada­mu, sesuatu yang lebih kamu miliki dari ini semua". Seraya Nabi saw menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya".
Dari Shafwan bin Salim, yang mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: “Apakah tidak aku kabarkan kepadamu, ibadah yang paling mudah dan paling ringan kepada badan? Yaitu: diam dan bagus akhlak”.
Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hen­daklah ia berkata yang baik atau ia diam".
Al Hasan AI Bashari berkata: "Disebutkan kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Diberi rahmat oleh Allah kepada seorang ham­ba, yang berkata‑kata, lalu memperoleh faedah. Atau diam, maka ia selamat".
Ada orang yang meminta kepada Isa as dengan katanya: "Tunjukilah kami suatu amalan, yang membawa kami masuk sorga!”. Lalu nabi Isa as menjawab: "Jangan kamu bertutur‑kata selama‑lamanya!”. Maka mereka menjawab: "Kami tidak sanggup demikian". Lalu nabi Isa as berkata: "Jangan kamu bertutur‑kata, selain yang keba­jikan".
Nabi Sulaiman bin Daud as bersabda: "Kalau berkata itu perak, maka diam itu emas".
Dari AI‑Barra' bin 'Azib, yang mengatakan: "Seorang Arab desa datang pada Nabi saw lalu berkata: "Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, yang membawa aku masuk sorga!” Lalu Nabi saw menjawab: "Berilah makan orang yang lapar dan berilah minum orang yang haus! Suruhlah yang baik (amar ma'ruf) dan laranglah yang mungkar (nahi mungkar)! Jikalau engkau tidak sanggup, maka cegahlah lidahmu, selain yang kebajikan!”. Nabi saw bersabda: "Simpanlah lidahmu, selain pada yang kebajikan! Karena dengan demikian, engkau dapat mengalahkan setan". Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah pada lidah setiap orang yang berkata. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah, manusia yang mengeta­hui apa yang dikatakannya!”. Nabi saw bersabda: "Apabila kamu melihat orang mu'min itu pendiam dan mempunyai kehormatan diri, maka dekatilah dia! Karena ia akan me­ngajarkan ilmu‑hikmah".
Ibnu Masud berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Manusia itu 3ma­cam: yang mendapat pahala, yang selamat dari dosa dan yang binasa. Yang mendapat pahala, ialah yang berzikir akan Allah. Yang selamat dari dosa, ialah yang diam. Dan yang binasa, ialah yang masuk da­lam perbuatan salah".
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya lidah orang mu'min itu dibelakang hatinya. Apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu, niscaya dipahami­nya dengan hatinya. Kemudian, dilalukannya dengan lidahnya. Dan lidah orang munafiq itu, di­hadapan hatinya. Apabila ia bercita‑cita akan sesuatu, niscaya dilakukan­nya dengan lidahnya dan tidak dipahaminya dengan hatinya".
Nabi Isa as bersabda: “Ibadah itu 10 bahagian. Sembilan bahagian daripadanya pada diam. Dan sebahagian lagi pada lari dari manusia".
Nabi kita saw bersabda: “Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya ba­nyak terperosoknya. Barangsiapa banyak terperosoknya, niscaya banyak dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya, niscaya neraka lebih utama baginya".
Dari atsar (ucapan para sahabat), diantaranya, ialah: Abubakar Siddik ra meletakkan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah dirinya dari berkata‑kata. la menunjukkan kepada lidahnya dan berkata: “Inilah yang mendatangkan kepadaku hal‑hal kebinasaan". Abdullah bin Mas'ud berkata: "Demi Allah, yang tiada disembah, selain DIA. Tiadalah sesuatu yang lebih memerlukan kepada lamanya ditahan, selain lidah". Ibnu Thaus berkata: "Lidahku itu binatang buas. Jikalau aku lepaskan, niscaya ia makan aku". Wahab bin Munabbih berkata tentang hikmah keluarga Daud a.s, bahwa menjadi hak kewajiban orang yang berakal, mengetahui keadaan zaman­nya, menjaga lidahnya dan menghadapi dengan baik persoalannya". Al Hasan AI‑Bashari berkata: “Tiada memahami agamanya yang tiada menjaga lidahnya". AI‑Auza'i berkata: “Khalifah Umar bin Abdul‑aziz 'ra menulis surat ke­pada kami, yang bunyinya sebagai berikut: "Adapun kemudian, sesungguhnya orang yang banyak mengingati mati, niscaya rela dengan mendapat sedikit dari dunia. Dan orang yang menghi­tung perkataannya dari perbuatannya, niscaya sedikitlah perkataannya, kecuali pada yang diperlukannya". Setengah mereka berkata: "Diam itu mengumpulkan dua kelebihan bagi seseorang: selamat pada agamanya dan memahami tentang temannya”. Muhammad bin Wasi' berkata kepada Malik bin Dinar: “Hai Abu Yahya! Menjaga lidah itu lebih sukar bagi manusia, daripada menjaga dinar dan dirham (harta)". Yunus bin 'Ubaid berkata: "Tiada seseorang manusia yang lidahnya diatas yang baik, melainkan aku melihat kebaikan itu pada amalannya yang lain”. Al Hasan AI‑Bashari berkata: "Suatu kaum (golongan) berkata‑kata disamping Mu'awiah bin Abi Sufyan. Dan AI‑Ahnaf bin Qais itu diam. Lalu Mu'awiah bertanya kepada AI‑Ahnaf: “Bagaimana engkau, hai Aba Bahr, tiada berkata‑kata?". Lalu AI‑Ahnaf menjawab: "Aku takut kepada Allah, jikalau aku bohong dan aku takut kepada engkau, jikalau aku be­nar".
Abubakar bin 'Ayyasy berkata: "Berkumpullah 4 orang raja, yaitu: raja India, raja Cina raja, Parsia (Kisra) dan raja Rum (Kaisar). Salah se­orang mereka berkata: "Aku menyesal terhadap apa yang sudah aku kata­kan dan tidak menyesal terhadap apa yang tidak aku katakan". Yang lain berkata pula: "Aku apabila berkata‑kata dengan suatu perkataan, maka perkataan itu menguasai aku dan aku tiada menguasainya. Dan apabila aku tiada berkata‑kata dengan perkataan itu, maka aku menguasainya dan ia tiada menguasai aku". Yang ketiga berkata: "Aku heran terhadap orang yang berbicara, jikalau perkataannya itu kembali kepadanya, nisca­ya mendatangkan kemelaratan baginya. Dan jikalau tidak kembali, nisca­ya tiada bermanfaat baginya". Raja yang keempat berkata. "Aku lebih sanggup menolak apa yang tidak aku katakan, daripada menolak apa yang aku katakan".
Ada yang mengatakan, bahwa AI‑Mansur bin AI‑Mu'taz tinggal, tidak berkata‑kata dengan sepatah katapun sesudah shalat 'Isya, selama 40 tahun. Ada yang mengatakan, bahwa Ar‑Rabi bin Khaisan tidak berkata‑kata dengan perkataan dunia, selama 20 tahun. Apabila pagi hari, ia meletakkan tinta, kertas dan pena, Ialu semua yang diucap­kannya ditulisnya. Kemudian, ia memperhitungkan dirinya pada sore hari.
Kalau anda bertanya: kelebihan besar ini bagi diam, apa sebabnya? Maka ketahuilah, bahwa sebabnya adalah banyaknya bahaya lidah, dari kesalah­an, bohong, mengumpat, Ialat merah, ria, nifaq (sifat bermuka dua), perka­taan keji, perbantahan, membersihkan diri, terjun dalam perbuatan salah, permusuhan, perbuatan yang sia‑sia, menyeleweng, menambahkan, mengurangi, menyakiti orang lain dan merusak kehormatan orang (mem­buka hal‑hal yang seharusnya ditutup). Inilah bahaya yang banyak. Dan yang menghalau kepada lidah, yang tidak berat bagi lidah. Mempunyai keenakan pada hati. Ada penggerak‑pengge­rak dari sifat (tabi'at) manusia dan dari setan. Orang yang terjun pada hal‑hal diatas, sedikitlah yang sanggup menahan lidahnya. Lalu dilepas­kannya menurut yang disukainya dan ditahannya dari yang tiada disukai­nya. Yang demikian itu termasuk pengetahuan yang sulit, sebagaimana akan datang uraiannya. Terjun dalam hal‑hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang terkandung dalam diam itu, yaitu: terkumpulnya cita‑cita, tetapnya kehormatan diri, penggunaan waktu untuk berfikir, untuk berzikir dan untuk beriba­dah, selamat dari mengikutkan kata-kata pada urusan duniawi dan dari hi­tungannya (hisabnya) dihari akhirat. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu perkataan yang diucapkan manusia melainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)". S. 50 Qaaf, ayat 18.
Ada suatu hal yang menunjukkan kepada engkau atas utamanya selalu di­am, yaitu: bahwa perkataan itu 4 bahagian:
1. Melarat semata‑mata.
2. Manfa'at semata‑mata.
3. Ada padanya melarat dan manfa'at.
4. Tidak ada padanya melarat dan manfa'at.
Adapun yang melarat semata‑mata, maka haruslah diam daripadanya. Be­gitu pula yang padanya melarat. Dan manfa'at itu tidak sempurna dengan a­danya melarat. Adapun yang tak ada padanya manfa'at dan melarat, maka i­tu hal yang sia‑sia. Berbuat dengan hal yang sia‑sia itu membuang‑buang waktu. Dan itu adalah kerugian yang sebenarnya. Maka tinggal lagi baha­gian ke 4. Berguguranlah 3/4 perkataan dan tinggallah 1/4. Dan yang 1/4 ini ada pula bahayanya. Karena bercampur dengan perkataan, yang ada padanya dosa, yaitu: ria yang sangat halus, ber­buat‑buat perkataan, mengumpat, membersihkan diri dari perkataan sia‑sia, suatu percampuran yang sukar diketahui. Maka manusia berada dalam ke­adaan bahaya. Barang siapa mengetahui bahaya lidah yang halus‑halus, sebagaimana yang akan kami sebutkan, niscaya pasti ia mengetahui, bahwa apa yang disebut­kan oleh Nabi saw adalah uraian ucapan, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas dari bahaya". Sesungguhnya, demi Allah, sudah pasti dianugerahkan kepada Nabi saw mutiara hikmah dan kata‑kata yang menghimpunkan segala maksud. Dan ti­ada yang mengetahui pengertian‑pengertian yang melaut luasnya yang ter­kandung dibawah satu‑satu kalimat ‑ ucapannya, selain ulama‑ulama tertentu. Apa yang akan kami sebutkan nanti tentang bahaya‑bahaya dan kesulitan menjaganya, akan memperkenalkan kepada anda hakikat/maknanya itu, insya Al­lah Ta’ala.
Dan kami sekarang akan menghitung bahaya‑bahaya lidah. Akan kami mulai dengan yang seringan‑ringannya dan akan kami mendaki kepada yang sedikit lebih berat. Dan akan kami akhiri memperkatakan tentang mengumpat, Ialat merah dan dusta. Karena amat panjang untuk meninjau pada hal‑hal tersebut. Yaitu: 20 bahaya. Maka ketahuilah yang de­mikian, niscaya anda akan memperoleh petunjuk dengan pertolongan Allah Ta’ala.
BAHAYA PERTAMA: perkataan pada yang tidak memerlukan.
Ketahuilah, bahwa keadaan anda yang paling baik, ialah bahwa anda me­melihara kata‑kata anda dari semua bahaya yang sudah kami sebutkan da­hulu, yaitu dari mengumpat, Ialat‑merah, bohong, berbantah, bertengkar dllnya. Dan anda berkata‑kata mengenai yang mubah (yang diperbolehkan), yang tidak ada sekali‑kali mendatangkan melarat atas anda dan atas orang muslim. Kecuali anda berkata‑kata dengan apa yang tidak an­da perlukan. Dan tak ada hajat keperluan padanya. Maka anda sudah me­nyia‑nyiakan waktu anda. Dan mengadakan perhitungan (hisab) terhadap perbuatan lidah anda. Dan anda menggantikan sesuatu yang kurang baik, dengan yang baik. Karena jikalau anda alihkan masa berkata‑kata itu ke­pada berflkir, niscaya kadang‑kadang akan membukakan bagi anda pem­berian rahmat Allah ketika berfikir yang besar faedahnya. Jikalau anda membaca tahlil (mengucapkan "Laa ilaaha i'llallaah/tidak ada Tuhan kecuali Allah), berzikir dan meng­ucapkan tasbih (mengucapkan Subhaanallah = maha suci Allah) kepada Allah Subbanahu wa Ta’ala, niscaya adalah lebih baik bagi anda. Berapa banyak kalimat yang dapat dibangun, istana dalam sorga.
Siapa yang sanggup mengambil satu dari gudang‑gudang, Ialu di­ambilnya tempat itu menjadi tempat tanah, yang tidak dimanfa'atkan nya, niscaya ia merugi, kerugian yang nyata. Inilah contoh orang yang meninggalkan zikir kepada Allah Ta’ala dan ber­buat dengan perbuatan yang diperbolehkan, yang tidak diperlukannya. Ka­rena walaupun ia tidak berdosa, tetapi ia merugi, dimana telah lenyap ke­untungan besar dengan berzikir kepada Allah Ta’ala.
"Sesungguhnya orang mu'min itu, diamnya adalah berpikir, pandangannya, adalah ibarat dan tutur‑katanya adalah zikir", begitulah Nabi saw ber­sabda Bahkan modal seorang hamba Allah itu, ialah: waktunya. Manakala diarah­kannya waktunya itu kepada yang tidak diperlukannya dan tidak disimpan­nya untuk pahala diakhirat, maka sesungguhnya ia sudah menyia‑nyiakan modalnya. Karena inilah, Nabi saw bersabda: “Diantara bagusnya Islam manusia itu, ialah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya". Bahkan tersebut pada hadits yang lebih berat dari yang tadi, dimana Anas berkata: "Seorang anak‑anak dari kami (golongan Anshar) telah shahid pa­da hari perang Uhud. Lalu kami dapati diatas perutnya batu terikat, lantaran lapar. Maka ibunya menyapu tanah dari mukanya, seraya berkata: "Se­lamat, sorga bagimu wahai anakku!”. Lalu Nabi saw menjawab: “Dimana engkau tahu?. Mungkin ia berkata‑kata yang tak diperlukan dan ia tidak ber­kata‑kata, apa yang tidak mendatangkan melarat baginya". Pada hadits lain tersebut: "Bahwa Nabi saw kehilangan Ka’ab bin 'Ajrah. Lalu beliau tanyakan dimana Ka’ab sekarang. Mereka menjawab: "Ia sakit”. Lalu Nabi saw keluar berjalan, sehingga sampai kepada Ka’ab. Se­waktu Nabi saw masuk ketempat Ka’ab, lalu beliau bersabda: "Gembi­ralah, hai Ka'ab!”. Maka sahut ibu Ka’ab "Selamat, bagimu sorga, hai Ka'ab!”. Lalu Nabi saw bertanya: "Siapakah wanita yang bersumpah ini terhadap Allah?". Ka’ab menjawab: "Ibuku, wahai Rasulu'llah!”. Lalu Nabi saw menyambung: "Apakah yang memberitahukan kepada engkau, wahai Ibu Ka'ab? Mungkin Ka'ab berkata perkataan yang tidak diperlukan atau tidak berkata yang diperlukan". Artinya: sesungguhnya sorga itu disediakan bagi orang yang tidak kena hi­sab (hitungan amal pada hari akhirat). Orang yang berkata‑kata, mengenai yang tidak diperlukan, niscaya ia kena hisab amal, walaupun perkataannya pada yang diperbolehkan (mubah).
Maka tidak disediakan sorga serta ada­nya perdebatan pada hisab itu. Sesungguhnya itu adalah semacam azab. Dari Muhammad bin Ka’ab, yang mengatakan: "Rasulu'llah saw bersab­da: "Sesungguhnya orang pertama yang masuk dari pintu ini, ialah seorang laki‑laki dari penduduk sorga". Maka masuklah Abdullah bin Salam. Lalu bangunlah beberapa orang sahabat Rasulu'llah menyambutnya, seraya mereka menerangkan kepadanya demikian. Mereka berkata kepada Abdul­lah bin Salam: "Terangkanlah kepada kami, amal yang terpercaya pada di­rimu, yang engkau harapkan!”. Maka Abdullah bin Salam menjawab: "Se­sungguhnya aku ini orang yang lemah. Dan amal yang terpercaya, yang aku harapkan pada Allah, ialah: selamat dada(iman) dan meninggalkan apa yang tidak penting (perlu) bagiku".
Abu Dzar berkata: "Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: “Apakah aku tidak memberitahukan kepadamu, amal yang ringan pada badan dan berat pada timbangan?". Lalu aku menjawab: Belum, wahai Rasulu'llah!”. Maka Rasulu'llah saw menjawab: “Yaitu: diam, bagus akhlak dan meninggalkan apa yang tidak penting bagimu”
Mujahid berkata: "Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: "Ada 5 hal, yang lebih aku sukai, melebihi dari kuda yang sudah disiapkan untuk ­dikendarai, 
1. Jangan engkau berkata‑kata pada yang tidak pen­ting bagi engkau. Karena itu adalah hal yang berlebihan (tidak penting) dan tidak aman engkau dari dosa dan jangan engkau berkata‑kata pada yang tidak ­penting bagi engkau, sebelum engkau mendapat tempat bagi perkataan itu. Karena banyak orang yang berkata‑kata tentang sesuatu yang penting ba­ginya, yang diletakkannya pada bukan tempatnya. Lalu ia menghadapi kesu­litan. 
2. Jangan engkau bertengkar dengan orang yang lemah‑lembut dan o­rang yang bodoh. Karena orang yang lemah lembut itu, akan marah kepada engkau dalam hatinya dan orang yang bodoh akan menyakiti engkau dengan lidahnya.
3. Sebutlah temanmu apabila ia jauh dari engkau, dengan perkataan yang engkau sukai, ia menyebut engkau. Dan ma'afkanlah dia dari apa yang engkau sukai  ia mema'afkan engkau.
4. Bergaullah dengan teman engkau dengan cara yang engkau sukai ia bergaul dengan engkau.
5. Berbuatlah sebagai perbuatan seseorang yang tahu bahwa perbu­atan itu dibalas dengan baik & disiksa dengan dosa".
Orang bertanya kepada Lukmanul‑hakim: "Apakah falsafah hidupmu (hik­mahmu)?”. Lukmanul‑hakim menjawab: "Aku tidak bertanya tentang sesu­atu yang telah memadai bagiku. Dan aku tidak memberatkan diriku akan se­suatu yang tidak penting bagiku".
Muriq Al -‘Ajli berkata: "Suatu hal, aku sudah mencarinya semenjak 20 tahun yang Ialu, tetapi aku tidak memperolehnya. Dan aku tidak me­ninggalkan mencarinya". Lalu mereka bertanya: "Apakah hal itu?". Maka Muriq menjawab: "Diam daripada yang tidak penting bagiku"
Umar ra berkata: "Jangan engkau datangi sesuatu yang tidak penting bagi engkau! Asingkanlah diri dari musuh engkau! Awasilah teman engkau dari orang banyak, kecuali orang yang kepercayaan! Tidak ada orang yang ke­percayaan, selain orang yang takut akan Allah Ta’ala. Jangan engkau te­mani orang zalim, nanti engkau memperoleh pengetahuan dari kezaliman­nya! Jangan engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusya­warahlah tentang urusan engkau dengan mereka yang takut akan AllahTa'ala". Batas perkataan tentang yang tidak penting bagi engkau, ialah: bahwa eng­kau berkata‑kata dengan perkataan, dimana jikalau engkau diam dari per­kataan itu, niscaya engkau tidak berdosa. Dan tidak mendatangkan melarat bagi engkau dalam hal dan harta apa pun. umpamanya: engkau duduk bersama orang banyak. Lalu engkau sebutkan kepada mereka tentang perja­lanan engkau dan apa yang engkau lihat dalam perjalanan itu, mengenai gunung‑gunung, sungai‑sungai, kejadian‑kejadian yang terjadi atas diri eng­kau, apa yang engkau rasakan baik, dari hal makanan dan pakaian dan apa yang engkau merasa heran tentang kepala‑kepala kampung dan peristiwa-­peristiwa mereka. Inilah hal‑hal, jikalau engkau diam daripadanya. niscaya engkau tidak ber­dosa dan tidak melarat. Apabila engkau berusaha sungguh‑sungguh, se­hingga ceritera engkau itu tidak bercampur dengan tambahan, dengan ke­kurangan dan dengan pembersihan diri, dimana merasa bangga dengan menyaksikan hal‑hal yang besar dan tidak ada pula mencaci seseorang dan mencela sesuatu dari apa yang dijadikan oleh Allah Ta’ala, maka meskipun demikian semuanya, engkau adalah menyia‑nyiakan waktu engkau. Semoga engkau selamat dari bahaya‑bahaya yang telah kami sebutkan itu! Diantara jumlah bahaya tersebut, bahwa engkau bertanya kepada orang lain tentang yang tidak penting bagi engkau. Maka dengan pertanyaan itu, engkau menyia‑nyiakan waktu engkau. Dan engkau bawa pula teman eng­kau itu dengan jawaban tadi, kepada menyia‑nyiakan waktunya. Dan ini, apabila hal itu tidak mendatangkan bahaya pada pertanyaan tersebut. Dan kebanyakan pertanyaan, ada bahayanya. Sesungguhnya engkau menanya­kan orang lain tentang ibadahnya‑umpamanya, Ialu engkau bertanya: "Adalah engkau berpuasa?". Kalau ia menjawab: “Ada!”, maka orang itu menampakkan ibadahnya. Lalu masuklah ria kepadanya. Jikalau tidak ma­suk ria, niscaya ibadahnya jatuh dari pembukaan rahasia. Dan ibadah rahasia itu, melebihi dari ibadah terang (yang diperlihatkan) dengan beberapa tingkat. Dan kalau ia menjawab: "Tidak!”, maka orang itu pembohong. Dan kalau ia diam (tidak menjawab), maka ia menghina engkau. Dan engkau merasa sakit dengan demikian. Dan kalau ia mencari helah untuk menolak jawab­an niscaya ia memerlukan kepada tenaga dan letih. Maka sesungguhnya engkau telah kemukakan kepadanya pertanyaan, adakalanya karena ria atau bohong atau menghina atau untuk memayahkannya pada mencari he­lah untuk menolak. Dan begitu pula pertanyaan engkau pada ibadah-­ibadah lainnya. Demikian juga, pertanyaan engkau dari hal perbuatan ma'siat dan dari tiap‑tiap yang disembunyikannya dan ia malu daripadanya. Dan pertanyaan engkau tentang apa yang dibicarakan orang lain, Ialu engkau bertanya ke­padanya: "Apa yang anda katakan? Dan pada soal apa anda sekarang?". Begitu pula engkau melihat manusia dijalan, Ialu engkau bertanya: “Dari mana?". Kadang‑kadang ada sesuatu yang melarangnya untuk disebutkan­nya. Kalau disebutkannya, niscaya ia merasa sakit dan merasa malu. Dan kalau ia tidak menyebut dengan benar, niscaya ia jatuh dalam kedustaan. Dan adalah engkau yang menjadi sebabnya. Begitu pula, engkau bertanya tentang sesuatu persoalan, yang tidak perlu bagi engkau. Dan yang ditanya itu, kadang‑kadang tidak membolehkan bagi dirinya, untuk mengatakan: "Aku tidak tahu!”. Lalu ia menjawab tan­pa melihat lebih jauh. Aku tidak maksudkan dengan kata‑kata yang tidak penting itu, segala jenis yang tersebut. Karena perkataan itu berlaku padanya dosa atau melarat. Contoh perkataan yang tidak penting, ialah apa yang dirawikan, bahwa Lukman al hakim masuk ketempat Nabi Daud as Dan Nabi Daud as itu sedang menjahit baju besinya.
Dan Lukman al hakim belum pernah melihat baju besi sebelum hari itu. Lalu ia amat heran dari apa yang dilihatnya. Ia bermaksud menanyakannya yang demikian. Tetapi dilarang oleh hikmah­nya (kebijaksanaannya). Maka ia menahan dirinya dan tidak ditanyakan­nya. Tatkala telah siap, lalu Nabi Daud as berdiri dan memakai baju besi itu. Kemudian ia berkata: “Bagus sekali baju besi ini untuk perang". Maka Lukman menjawab: “Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang mel­aksanakannya". Artinya: pengetahuan itu berhasil, tanpa ditanyakan. Lalu tidak memerlu­kan kepadanya pertanyaan.
Ada yang mengatakan, bahwa Lukman pulang pergi kepada Daud as selama setahun. la bermaksud mengetahui yang de­mikian, tanpa bertanya. Inilah dan contoh‑contohnya, dari pertanyaan‑pertanyaan, apabila tak ada padanya melarat, tidak merusakkan rahasia yang tertutup, tidak menjeru­muskan kedalam ria dan bohong. Dan itu termasuk apa yang tidak penting. Dan meninggalkannya termasuk kebagusan Islam seseorang. Itulah batasnya!
Adapun sebab yang membangkitkan kepada berkata‑kata, ialah: ingin me­ngetahui apa yang tidak perlu kepadanya. Atau berbanyak perkataan, ke­pada jalan berkasih‑kasihan. Atau mengisi waktu dengan ceritera‑ceritera hal‑ihwal yang tidak berfaedah. Obatnya semua itu, ialah: tahu bahwa mati berada dihadapan nya. Ia ber­tanggung jawab dari setiap perkataan yang diucapkannya. Nafasnya itu adalah modalnya. Lidahnya itu jala, yang sanggup untuk menangkap bidadari /bidadara. Maka menyia‑nyiakan yang demikian dan membuang‑buang waktu­nya, adalah kerugian yang nyata. Inilah obatnya dari segi pengetahuan! Adapun dari segi amal, maka ialah: mengasingkan diri atau meletakkan batu‑kecil pada mulutnya. Membiasakan dirinya diam dari sebahagian yang penting baginya. Sehingga terbiasalah lidahnya, meninggalkan hal yang tidak penting. Dan mengendalikan lidah dalam hal ini bagi orang yang tidak me­ngasingkan diri, adalah sulit sekali.
BAHAYA KEDUA: perkataan yang berlebihan.
Itu juga tercela. Dan ini termasuk turut campur pada yang tidak penting dan menambah pada yang penting sekedar perlu. Karena orang yang memen­tingkan sesuatu itu mungkin ia menyebutkannya dengan perkataan pendek. Dan mungkin membesarkannya, menetapkan dan mengulang‑ulanginya. Dan manakala tercapai maksudnya dengan sepatah kata, lalu disebutnya 2 patah kata. Maka kata ke 2 itu berlebihan, Artinya: berlebihan dari ke­perluan. Itu juga tercela, karena apa yang tersebut dahulu, walaupun tak ada dosa dan melarat padanya.
'Atha' bin Abi Rabah berkata: "Bahwa orang‑orang sebelum kamu, tidak suka akan perkataan yang berlebihan. Mereka meng­hitung kata‑kata yang berlebihan, selain Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Ra­sulu'llah saw atau amar ma'ruf (perbuataan baik) atau nahi munkar (melarang perbuatan jelek) atau engkau memper­katakan keperluan engkau dalam kehidupan engkau, yang tidak boleh tidak. Adakah engkau membantah, bahwa terhadap diri engkau ada para malaikat yang menjaga, yang menulis amalan, duduk dikanan dan dikiri ? Apa saja perkataan yang diucapkan, ada padanya yang mengawas dan yang mencatat. Apakah seseorang engkau tidak malu, apabila disiarkan lembarannya yang di‑imla'‑kan (didiktekan) oleh permulaan siangnya, adalah kebanyakan pa­danya tiada menyangkut dengan urusan Agama dan dunianya?"
Dari sebahagian sahabat, ada yang mengatakan: "Bahwa seseorang yang a­kan berkata‑kata dengan aku dengan suatu perkataan, dimana jawabannya lebih menyukakan aku, dibandingkan dengan air dingin bagi orang yang ha­us, maka aku tingalkan jawaban itu. Karena takut jawaban itu perkataan yang berlebihan".
Matraf bin Abdullah berkata: "Hendaklah kebesaran Allah itu agung da­lam hatimu! Maka janganlah engkau menyebutkan Allah, pada seumpama perkataan salah seorang kamu untuk anjing dan keledai: "Wahai Allah, Tuhanku! Hinakanlah dia!”. Dan kata‑kata lain yang serupa dengan itu”. Ketahuilah, bahwa perkataan yang berlebihan itu tidak terhingga banyak­nya. Tetapi yang penting itu, terhingga pada Kitab Allah Ta’ala. Allah 'Azza wa Jalla/Allah Mulia & Maha Besar berfirman: “Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya rapat‑rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, orang‑orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia". S.4 An Nisaa' ayat 114.
Nabi saw bersabda: "Berbahagialah orang yang menahan kelebihan dari lidahnya dan membelanjakan kelebihan dari hartanya". Maka perhatikanlah, bagaimana manusia memutar‑balikkan keadaan pada yang demikian. Mereka menahan kelebihan harta dan melepaskan kelebihan lidah. Dari Matraf bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan: "Aku da­tang pada Rasulu'llah saw yang sedang berada dalam kaum keluarga Bani 'Amir. Lalu mereka itu berkata: "Engkau bapa kami! Engkau penghulu ka­mi! Engkau mempunyai banyak kelebihan dari kami! Engkau lebih gagah dari kami! Engkau pelupuk mata yang cemerlang! Engkau ......engkau ..............!” Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah perkataanmu! Jangan kamu diumbang‑ambingkan oleh setan!” Hadits ini menunjukkan, bahwa lidah apabila dilepaskan dengan pujian, meskipun benar, maka ditakuti akan diumbang‑ambingkan oleh setan, ke­pada kata‑ kata tambahan yang tidak diperlukan.
Ibnu Mas'ud berkata: "Aku peringatkan kamu akan kelebihan perkataan­mu. Mencukupilah perkataan seseorang manusia, yang menyampaikan akan hajat‑keperluannya". Mujahid berkata: "Bahwa perkataan itu untuk ditulis. Sehingga seorang laki‑laki, untuk mendiamkan anaknya, lalu mengatakan: "Aku akan belikan untukmu itu‑itu...., maka ia akan ditulis kan: “pembohong”.
Al Hasan AI‑Bashari berkata: "Hai anak Adam! Dibentangkan sebuah lembaran untukmu. Diwakilkan dengan lembaran itu, dua orang malaikat yang mulia, yang akan menuliskan semua amal‑perbuatanmu. Maka ber­buatlah apa yang kamu kehendaki! Engkau perbanyakkan atau engkau se­dikitkan!”.
Diriwayatkan, bahwa Nabi Sulaiman as mengutus sebahagian jin ifritnya. Dan ia mengutus serombongan manusia yang akan melihat apa yang dika­takan oleh jin ifrit itu. Dan mereka akan menerangkannya kepada Sulai­man as. Lalu mereka menerangkan kepada Nabi Sulaiman as, bahwa jin ifrit itu melalui sebuah pasar. Lalu ia mengangkat kepalanya kelangit. Ke­mudian, ia melihat kepada manusia banyak dan menggerakkan kepalanya. Maka Sulaiman as bertanya kepada jin ifrit itu tentang yang demikian. Lalu jin itu menjawab: "Aku heran dari hal malaikat diatas kepala manu­sia. Alangkah cepatnya mereka itu menulis. Dan dari mereka yang berada dibawah manusia, alangkah cepatnya mereka itu me‑imla'‑kan (mendikte­kan)".
Ibrahim At‑Taimy berkata: "Apabila orang mukmin itu bermaksud ber­bicara, niscaya ia perhatikan. Kalau ada yang bermanfa'at baginya, maka ia berkata. Kalau tidak, niscaya ia menahan lidahnya dari berkata. Orang za­lim, lidahnya terus‑menerus terlepas". Al Hasan AI‑Bashari berkata: “Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak bohongnya. Barangsiapa banyak hartanya, niscaya banyak dosanya. Dan barang siapa buruk akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya".
'Amr bin Dinar berkata: “Seorang laki‑laki berkata‑kata disamping Nabi saw. Lalu ia membanyakkan perkataannya itu. Maka Nabi saw bertanya kepadanya: "Berapa adanya dinding yang menghambat lidahmu?". Laki‑la­ki itu menjawab: "Dua bibirku & gigi‑gigiku". Lalu Nabi saw  menyam­bung: "Apakah pada yang demikian, engkau tiada mempunyai sesuatu yang dapat menolak perkataanmu?" Pada suatu riwayat, bahwa Nabi saw bersabda yang demikian, pada se­orang laki‑laki yang memuji‑muji Nabi saw. Lalu perkataannya itu terlalu bersangatan & panjang. Kemudian Nabi saw bersabda: “Tiada diberikan kepada seseorang akan kejahatan dari kelebihan pada lidahnya".
Umar bin Abdul‑aziz ra berkata: "Sesungguhnya mencegah aku dari ba­nyak berkata‑kata, karena takut membanggakan diri". Setengah ahli hikmah (hukama') berkata: "Apabila seseorang berada pada suatu majelis, Ialu mena'jubkannya oleh pembicaraan, maka hendaklah ia di­am! Dan jikalau ia diam, Ialu menajubkannya oleh diam, maka hendaklah ia berkata‑kata!”.
Yazid bin Abi Habib berkata: “Diantara fitnah orang yang berilmu (orang alim), ialah: berkata‑kata lebih disukainya daripada mendengar. Kalau tidak diperolehnya orang yang memadai baginya, maka pada mendengar itu sela­mat & pada berkata‑kata itu, penghiasan, penambahan & pengurangan".
Ibnu Umar berkata: "Sesungguh nya yang lebih berhak dibersihkan oleh se­seorang, ialah: “lidahnya”. Abud‑ Darda' melihat seorang wanita tajam lidah. Lalu berkata: "Kalau wa­nita ini bisu, adalah lebih baik baginya". Ibrahim An‑Nakha'i berkata: "Manusia dibinasakan oleb dua sifat”. “Kele­bihan harta & kelebihan perkataan". Inilah kecelakaan kelebihan perkataan, banyaknya & sebabnya yang menggerakkan kepadanya. Dan obatnya, ialah tidak mendahului pada per­kataan, mengenai yang tidak penting!
BAHAYA KETIGA: bercakap kosong pada yang batil/salah.
Yaitu: perkataan pada perbuatan ma'siat, seperti: menceriterakan hal‑kea­daan wanita, hal keadaan tempat minuman khamar, tempat orang‑orang fasik, kesenangan orang‑orang kaya, keperkasaan raja‑raja, tempat‑tempat resmi mereka yang tercela dan hal‑ihwal mereka yang tidak disukai. Maka semua itu termasuk diantara yang tidak halal bercakap kosong pada­nya. Dan itu: “haram”.
Adapun berkata‑kata pada yang tidak penting atau lebih banyak daripada yang penting, maka itu adalah meninggalkan yang utama. Dan tak ada ha­ram padanya. Benar, bahwa orang yang banyak berkata‑kata pada yang ti­dak penting, niscaya ia tiada akan aman daripada bercakap kosong pada yang batil/salah. Dan kebanyakan manusia itu suka duduk‑duduk, untuk berse­nang‑senang dengan percakapan. Dan perkataannya tidak melampaui untuk bersedap‑sedap memperkatakan kehormatan orang lain atau bercakap ko­song pada yang batil/salah. Macamnya yang batil/salah itu, tidak mungkin dihinggakan, karena banyaknya dan bermacarn‑macam. Maka karena itulah, tiada yang melepaskan dari ber­macam‑macam batil/salah itu, selain dengan menyingkatkan perkataan kepada yang penting dari kepentingan‑kepentingan Agama dan dunia. Dalam jenis ini, terjadilah kata‑kata yang membinasakan yang punya kata-­kata itu, pada hal ia memandang enteng akan kata‑kata tersebut.
Bilal bin AI‑Harts berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya orang berkata‑kata dengan perkataan dari kerelaan Allah, akan apa yang disang­kanya, bahwa perkataan itu akan sampai apa yang sampai, maka Allah me­nulis dengan perkataan itu akan kerelaan Allah sampai kepada hari kiamat. Dan sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan perkataan dari kema­rahan Allah, akan apa yang disangkanya, bahwa perkataan itu, akan sampai apa yang sampai, maka  Allah menuliskan kemarahan Allah kepada orang itu sampai hari kiamiat".
'Al qamah berkata: "Berapa banyak perkataan yang melarang aku menga­takannya, oleh hadits Bilal bin AI‑Harts diatas ini". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan perkataan yang menertawakan teman‑teman duduknya, maka ia akan jatuh dengan perkataan itu, lebih jauh dari bintang Surayya”.
Abu Hurairah berkata: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan perkataan, yang tiada dijumpainya bagi perkataan itu hal yang penting, maka ia akan jatuh dalam neraka jahannam. Dan sesungguhnya, orang yang berkata‑kata dengan perkataan, apa yang dijumpainya bagi perkataan itu, hal yang penting, maka ia diangkat oleh Allah kedalam sorga terting­gi”. Nabi saw bersabda: "Manusia yang terbesar dosanya pada hari kiamat, ia­lah orang yang paling banyak turut campur, dalam hal yang batil/salah".  Kepada hadits inilah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan kami bercakap kosong bersama‑sama dengan orang‑orang yang bercakap kosong". S. 74 AI Muddatstsir ayat 45. Dan dengan firman Allah Ta’ala: "Maka janganlah kamu duduk dekat mereka, kecuali kalau mereka masuk untuk pembicaraan yang lain. Kalau kamu berbuat begitu, tentulah kamu serupa dengan mereka". S.4 An Nisaa’ ayat 140.
Salman AI‑Farisi berkata: "Manusia yang terbanyak dosanya pada hari ki­amat, ialah yang terbanyak perkataannya pada perbuatan ma'siat terhadap Allah". Ibnu Sirin berkata: "Adalah seorang laki‑laki dari golongan anshar (pen­duduk Madinah yang membantu Nabi saw) melalui suatu majlis orang‑o­rang anshar itu. Lalu orang itu berkata kepada mereka: "Berwudlu lah! Karena sebahagian yang kamu katakan itu, lebih jahat dari hadats". Inilah yang dikatakan bercakap kosong pada yang batil/salah ! Yaitu: dibalik apa yang akan diterangkan nanti, tentang: umpatan, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, perkataan keji dan lainnya. Bahkan itu, bercakap kosong, pada menyebutkan hal‑hal yang terlarang, yang telah dahulu adanya. Atau berpikir untuk sampai kepada­nya, tanpa ada keperluan keagamaan kepada menyebutkannya. Dan masuk pula pada yang demikian, bercakap bohong pada ceritera‑ceri­tera bid’ah (yang diada-adakan) dan aliran‑aliran yang merusak dan ceritera yang terjadi pada pe­perangan antara para sahabat Nabi saw dengan cara yang meragukan ca­cian terhadap sebahagian mereka. Semua itu salah. Dan bercakap kosong padanya, adalah bercakap kosong pa­da yang batil/salah. Kami bermohon pada Allah akan baiknya pertolongan dengan kasih sayang dan kemurahan Allah!.
BAHAYA KEEMPAT: perbantahan dan pertengkaran
Yang demikian itu terlarang Nabi saw bersabda: "Jangan kamu berbantah‑bantahan dengan saudaramu, jangan ka­mu bersenda‑gurau dan menjanjikan dengan dia sesuatu janji, lalu engkau menyalahi janji itu!”. Nabi saw bersabda: “Tinggalkanlah perbantahan. Karena dengan perbantahan, tiada a­kan dipahami hikmah dan tidak akan aman dari fitnah". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu benar, niscaya dibangun suatu rumah baginya dalam sorga tertinggi. Dan ba­rangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu dalam hal yang batil/salah, nis­caya dibangun baginya suatu rumah ditengah‑tengah sorga".
Dari Ummi Salmah ra yang mengatakan: "Nabi saw bersabda: "Bahwa yang pertama‑tama diberi tahukan kepadaku oleh Tuhanku dan dilarang aku daripadanya, sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah: “mencaci orang”. Nabi saw bersabda pula: “Tiada sesatlah suatu golongan, sesudah mereka mendapat petunjuk Allah, selain oleh karena mereka suka bertengkar".  Nabi saw bersabda pula: “Tiada akan sempurna hakikat/makna iman bagi se­seorang hamba, sebelum ia meninggalkan perbantahan, walaupun ia dipihak yang benar". Nabi saw bersabda pula: "Barangsiapa ada padanya enam perkara, nis­caya ia sampai pada hakikat/makna iman, yaitu: berpuasa pada musim panas, me­mukul musuh Allah dengan pedang, menyegerakan shalat pada hari hujan lebat, bersabar diatas semua musibah, meratakan wudlu' diatas semua tem­pat yang tidak disenangi dan meninggalkan perbantahan, walaupun ia be­nar".
Az‑Zubair berkata kepada puteranya: "Jangan kamu bertengkar dengan o­rang, dengan menggunakan AI‑Qur‑an! Karena kamu tiada akan sanggup menghadapi mereka. Akan tetapi haruslah kamu menggunakan Sunnah Na­bi saw”. ‘Umar bin Abdul‑aziz ra berkata: "Barangsiapa menjadikan agamanya alat permusuhan, niscaya membanyakkan ia berpindah tempat”. Muslim bin Yassar berkata: "Jagalah kamu dari perbantahan! karena per­bantahan itu sa'at bodohnya orang berilmu. Dan pada sa'at itulah, setan ber­usaha supaya ia tergelincir". Ada yang mengatakan, bahwa suatu kaum itu tiada akan sesat, karena me­reka sudah mendapat petunjuk Allah, selain disebabkan pertengkaran.
Malik bin Anas ra berkata: "Pertengkaran itu tiada mempunyai arti apapun dari agama". la berkata pula: "Perbantahan itu mengesatkan hati dan mem­pusakai kedengkian". Lukman berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau berteng­kar dengan ulama, nanti mereka sangat marah kepada engkau!”. Bilal bin Sa’ad berkata: "Apabila engkau melihat seseorang bersikap keras kepala, suka bertengkar dan membanggakan dengan pendapatnya, maka su­dah sempurnalah kerugiannya". Sufyan berkata: "Jikalau aku berselisih dengan temanku tentang buah de­lima, ia mengatakan manis, tetapi aku mengatakan masam, niscaya ia akan membawa aku kepada sultan". Sufyan berkata pula: "lkhlaskanlah dengan cinta‑kasih kepada siapa saja yang engkau kehendaki. Kemudian, engkau membuat kemarahannya dengan pertengkaran, Maka ia akan melemparkan engkau dengan kecerdikannya, yang menyusahkan engkau dalam kehidup­an".
Ibnu Abi Laila berkata: "Aku tiada akan berbantah dengan temanku. Ka­rena akibatnya, adakalanya aku akan mendustainya dan adakalanya aku a­kan memarahinya". Abud‑Darda' berkata. "Cukuplah dosa bagimu, bahwa kamu senantiasa ber­bantah‑bantahan". Nabi saw bersabda: "Untuk kafarat (menutupkan dosa) pertengkaran, ialah 2 ra­ka'at shalat". Umar ra berkata: "Jangan engkau mempelajari ilmu karena 3 perkara dan jangan pula engkau meninggalkan belajar karena 3 perkara. Yaitu: ja­ngan engkau belajar karena untuk berbantah‑bantahan, karena untuk ­menyombong dan karena untuk memperlihatkan kepada orang (untuk ria). Dan jangan engkau meninggalkan belajar, karena malu menuntut ilmu, karena zuhud dan karena rela menjadi orang bodoh!”.
Nabi Isa as berkata: “Barangsiapa banyak dustanya, niscaya hilang ke­cantikannya. Barangsiapa suka bertengkar dengan orang, niscaya gugur (hi­lang) kehormatannya. Barangsiapa banyak dukanya, niscaya sakit tubuhnya. Dan barangsiapa jahat akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya sendiri". Orang bertanya kepada Maimun bin Mahran (penulis khalifah Umar bin Ab­dul‑aziz): "Mengapa engkau tiada meninggalkan teman dari kemarahan?". Maimun bin Mahran menjawab: "Karena aku tiada bermusuhan dan tiada berbantahan dengan dia". Apa yang tersebut tentang celaan terhadap perbantahan dan pertengkaran, adalah banyak dari dapat dihinggakan. Dan batas perbantahan itu, ialah: tiap‑tiap penentangan terhadap perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya. Adakalanya pada kata‑kata atau pada arti atau pada maksud dari yang mengatakan itu sendiri. Meninggalkan perbantahan itu, ia­lah dengan jalan meninggalkan perlawanan dan pertentangan. Maka setiap perkataan yang anda dengar, kalau benar, maka benarkanlah. Dan kalau batil/salah atau bohong dan tiada menyangkut dengan urusan Agama, maka diam sajalah! Mengecam perkataan orang lain, sekali adalah pada kata‑katanya, dengan melahirkan cacat padanya, dari segi tata‑bahasa atau dari segi bahasa atau dari segi bahasa Arabnya atau dari segi susunan dan tertib kata, dengan bu­ruknya mendahulukan kata‑kata atau mengemudiankannya. Pada lain kali, ka­rena kurangnya pengetahuan. Dan pada lain kali lagi, disebabkan karena se­lipnya lidah. Maka bagaimanapun adanya, tiada cara untuk melahirkan kecacatannya.
Adapun mengenai arti kata, ialah, bahwa dikatakan: “Tidaklah seperti yang engkau katakan. Engkau salah pada arti kata itu, dari segianu...segianu....” Adapun pada maksud perkataan, maka umpamanya, bahwa dikatakan: Per­kataan ini benar, akan tetapi, tidaklah maksud engkau dari padanya itu be­nar. Dan engkau padanya mempunyai maksud tertentu". Dan hal‑hal lain yang berlaku seperti demikian. Hal yang seperti ini, kalau berlaku pada masalah ilmiah, kadang‑kadang dikhususkan dengan nama: perdebatan. Ini juga tercela. Bahkan harus diam atau bertanya, dalam arti: ingin memperoleh faedah. Tidak atas cara ke­dengkian dan penentangan. Atau berlemah‑lembut pada memperkenalkan, tidak dalam cara mengemukakan kecaman.
Perdebatan (mujadalah)  (bertengkar), adalah ibarat dari maksud mendiamkan orang lain dengan alasan (hujjah), melemahkannya dan mengurangkan nya dengan ce­laan pada perkataannya, menghubunginya kepada keteledoran dan kebo­dohan. Tandanya yang demikian, ialah: bahwa peringatannya kepada kebenaran dari segi yang lain itu tidak disukai oleh pihak yang bertengkar. la suka, bah­wa ia yang melahirkan kesalahan orang yang bertengkar itu, supaya terang de­ngan demikian, kelebihan dirinya dan kekurangan temannya. Dan tiada ja­lan kelepasan dari ini, selain dengan diam, dari tiap‑tiap yang tidak akan ber­dosa, kalau didiamkan. Adapun penggerak kepada pertengkaran itu, ialah ingin tinggi dengan melahirkan ilmu‑pengetahuan dan kelebihan. Dan menyerang orang lain, dengan melahirkan kekurangannya. Itulah dua nafsu‑keinginan batiniah yang kuat bagi diri seseorang.
Adapun melahirkan kelebihan diri, maka itu termasuk segi membersihkan diri. Dan itu, sebahagian dari kehendak apa yang terkandung pada seseo­rang, dari durhakanya pendakwaan tinggi dan sombong. Dan itu adalah ter­masuk sifat ketuhanan. Adapun mengurangkan orang lain, maka itu termasuk diantara kehendak si­fat binatang buas. la menghendaki mengoyak‑ngoyakkan lainnya, mema­tahkannya, memukulkannya dan menyakitinya. Inilah 2 sifat tercela, yang membinasakan. Kekuatan 2 sifat ini, ialah: perbantahan dan pertengkaran. Orang yang biasa berbantah dan bertengkar itu menguatkan sifat‑sifat ini yang membinasa kan. Dan ini melampaui batas kemakruhan (perbuatan yang tidak disukai Agama), Tetapi itu, suatu per­buatan ma'siat, manakala terjadi padanya menyakitkan orang lain. Dan ber­bantah‑bantahan itu, tiada terlepas dari menyakitkan, mengobarkan kemarahan dan membawa orang yang sudah melakukannya untuk mengu­langi kembali. Lalu ia menolong perkataannya, dengan apa saja yang mung­kin, baik yang hak atau yang batil/salah. la mencela pada yang mengatakannya, dengan apa saja yang tergambar baginya. Lalu berkobarlah pertengkaran di­antara dua orang yang bertengkar itu, sebagaimana berkobarnya perkela­hian diantara 2 ekor anjing. Masing‑masing bermaksud menggigit te­mannya, dengan cara yang lebih menewaskan, lebih kuat mendiamkan dan mencambukkan. Adapun pengobatannya, ialah: dengan menghancurkan kesombongan yang menggerakkannya kepada melahirkan kelebihannya. Dan menghancurkan sifat binatang buas yang menggerakkannya kepada melahirkan kekurangan orang lain.
Sebagaimana akan datang yang demikian nanti penjelasannya pada "Kitab Celaan  Kesombongan Dan Mengherani Diri”  dan "Kitab Celaan Marah”. Sesungguhnya pengobatan setiap penyakit, ialah: dengan menghilangkan sebabnya. Dan sebab perbantahan dan pertengkaran, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu. Kemudian membiasakan diri pada perbantahan itu menjadikannya kebiasaan dan sifat diri (tabiat). Sehingga menetap pada diri dan sukar bersabar daripadanya.
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah ra bertanya kepada Daud AthTha‑i: "Mengapa engkau memilih disudut?" Daud Ath‑Tha‑i menjawab: "Untuk berjuang dengan diriku, meninggalkan pertengkaran". Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Hadirilah semua majlis dan dengarlah apa yang dikatakan orang dan jangan engkau berkata‑kata!”. Daud Ath‑Tha‑i menerangkan seterusnya: “Lalu aku perbuat demikian. Maka tiada aku melihat perjuangan yang lebih berat atas diriku dari itu”. Dan itu benar, sebagaimana dikatakannya. karena orang yang mendengar kesalahan dari orang lain dan ia sanggup membukakannya, niscaya sukar sekali baginya bersabar ketika itu. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggalkan perbantahan, sedang ia dipihak yang benar, niscaya dibangun oleh Allah baginya suatu rumah dalam sorga tertinggi". Karena sangat berat yang demikian kepada jiwa. Kebanyakan yang terjadi demikian, pada aliran‑aliran dan aqidah‑aqidah. Karena perbantahan itu adalah suatu tabiat. Apabila ia menyangka akan memperoleh pahala, niscaya bersangatanlah keinginannya dan bertolong-tolonglah antara tabiat dan agama padanya. Dan itu adalah salah semata‑mata. Tetapi sayogialah bagi manusia, mencegah lidahnya dari ahli‑qiblah (orang yang ta’at menghadap kiblat dengan shalat).
Apabila melihat orang berbuat bid’ah, maka dengan lemah‑lembut menasehatinya pada tempat sepi, tidak dengan jalan pertengkaran. Karena pertengkaran itu menggambarkan kepadanya, bahwa itu adalah suatu usaha untuk mengacaukan. Dan itu adalah suatu bikinan, dimana orang‑orang yang suka bertengkar dari ahli alirannya, sanggup berbuat seperti itu, jikalau mereka mau. Lalu terus‑meneruslah bid’ah itu dalam hatinya dan bertambah kuat, disebabkan pertengkaran itu. Apabila diketahui bahwa nasehat tidak bermanfa'at, maka berbuatlah untuk diri sendiri dan tinggalkanlah orang itu.
Nabi saw bersabda: "Allah mengasihi orang yang mencegah lidahnya dari ahli qiblah, kecuali dengan sebaik‑baiknya apa yang disanggupinya". Hisyam bin 'Urwah berkata: “Adalah Nabi saw mengulang‑ulangi sabdanya tadi 7X ". Setiap orang yang membiasakan bertengkar pada suatu waktu dan ia memujikan manusia kepadanya, dan ia memperoleh bagi dirinya dengan sebab demikian, kemuliaan dan penerimaan, niscaya menguatlah segala yang membinasa kan ini padanya. Dan ia tidak akan sanggup lagi menyebut dirinya daripada yang membinasakan itu, apabila berkumpul padanya, kekuasaan marah, sombong, ria, suka kemegahan dan membanggakan diri dengan kelebihan. Dan masing‑masing sifat ini sukar melawannya. Maka bagaimana pula dengan berkumpulnya sifat‑sifat itu?
BAHAYA KELIMA: permusuhan
Sifat ini juga tercela. Dan dia itu, dibalik pertengkaran dan perbantahan. Perbantahan itu, tusukan pada perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya, tanpa terikat dengan suatu maksud, selain untuk menghina orang lain dan melahirkan kelebihan kecerdikan diri sendiri. Pertengkaran itu, ibarat sesuatu hal, yang menyangkut dengan melahirkan aliran‑aliran dan menetapkannya. Dan permusuhan itu, gelombang pada perkataan, untuk memperoleh kesempurnaan harta atau sesuatu hak yang dimaksud. Yang demikian itu, sekali adalah permulaan dan pada kali yang lain, adalah teguran. Dan perbantahan itu tidak ada, selain dengan teguran terhadap perkataan yang sudah terdahulu.
Aisyah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Orang yang sangat dimarahi oleh Allah, ialah orang yang sangat bermusuhan". Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barang siapa berteng­kar dalam suatu permusuhan, tanpa ilmu, niscaya senantiasalah ia dalam amarah Allah, sehingga ia mencabut dirinya daripadanya". Sebahagian mereka berkata: “Jagalah dirimu dari permusuhan!. Karena permusuhan itu menghapuskan agama". Dan dikatakan, bahwa orang wara' tidak sekali‑kali bermusuhan mengenai agama.
Ibnu Qutaibah berkata: “Datang padaku, Bisyr bin Abdullah bin Abi Bak­rah. Lalu ia bertanya: "Apakah yang menyebabkan engkau duduk disini?". Aku jawab, lantaran permusuhan antaraku dan anak pamanku". Lalu Bisyr berkata: "Bahwa ayahmu mempunyai perbuatan baik padaku. Dan aku bermaksud membalasnya kepadamu. Dan demi Allah, aku tiada melihat suatu pun yang menghilangkan agama, yang mengurangkan kepribadian, yang me­nyia‑nyiakan kesenangan dan yang mengganggu hati, selain dari permusuh­an". Ibnu Qutaibah meneruskan ceriteranya: “Lalu aku bangun berdiri, hendak pergi. Maka musuhku berkata kepadaku: "Apa kabar engkau sekarang?". Lalu aku jawab: "Tidak ada akan aku bermusuh lagi dengan engkau". Mu­suh itu berkata: "Sesungguhnya engkau tahu, bahwa kebenaran adalah pada pihakku". Lalu aku jawab: "Tidak, aku tidak tahu. Tetapi aku muliakan diriku dari hal itu". Maka musuh itu menjawab: "Aku tiada meminta sesuatu dari padamu, yang menjadi milikmu!”.
Jikalau anda bertanya, bahwa apabila manusia mempunyai sesuatu hak, ma­ka tak boleh tidak ia bermusuhan pada menuntutnya atau pada menjaganya, manakala ia dianiaya oleh orang zalim. Maka bagaimana hukumnya dan ba­gaimana mencela permusuhannya? Ketahuilah kiranya, bahwa celaan ini termasuk yang bermusuhan dengan yang batil/salah dan yang bermusuhan, tanpa ilmu, seperti wakil hakim (qadli). Maka wakil hakim itu sebelum mengetahui bahwa hak itu pada pihak yang mana, maka ia menyerah pada permusuhan itu, dari pihak mana adanya. Lalu ia bermusuhan, tanpa ilmu. Dan termasuk orang yang menuntut hak­nya. Tetapi ia tidak membatasi sekadar perlu saja. Bahkan ia melahirkan ke­sangatan permusuhan itu, dengan maksud menguasai atau dengan maksud menyakiti. Dan termasuk orang yang mencampur‑baurkan dengan permusuhan itu, kata‑kata yang menyakitkan, yang tidak diperlukan untuk menolong alasan dan melahirkan kebenaran. Dan termasuk pula orang yang dibawa kepada permusuhan itu oleh kedengkian semata‑mata, untuk me­maksakan musuh dan menghancurkannya, sedang ia kadang‑kadang memandang leceh harta yang sekadar itu. Dan dalam manusia, ada orang yang menegaskan demikian, seraya berkata: "Sesungguhnya maksudku itu, dengki kepadanya dan menghancurkan ke­hormatannya. Sesungguhnya, jikalau aku mengambil harta ini daripadanya, mungkin aku lemparkan kedalam sumur. Dan aku tidak perduli". Inilah maksudnya yang sangat bersangatan, permusuhan dan perbantahan. Dan itu tercela sekali.
Adapun orang yang teraniaya, yang menolong alasannya (hujjahnya) dengan jalan Agama, tanpa bersangatan, berlebih‑lebihan dan tambahan perban­tahan sekadar perlu, tanpa maksud kedengkian dan menyakitkan, maka per­buatan yang demikian tidak haram. Tetapi yang lebih utama ditinggalkan, bila diperoleh jalan lain. Karena mengekang lidah pada permusuhan dalam batas sederhana, adalah sukar. Dan permusuhan itu memenuhi dada dan mengobarkan kemarahan. Apabila kemarahan itu telah berkobar, niscaya lupalah apa yang dipertengkarkan. Dan kekallah kedengkian diantara dua orang yang bermusuhan itu. Sehingga masing‑masing bergembira dengan nasib buruk temannya. Dan merasa susah dengan gembiranya teman itu. ­Dan lidah dilepaskan terhadap kehormatan teman tersebut.
Siapa yang memulai permusuhan, maka sesungguhnya ia telah mendatangi bagi segala yang harus diawasi itu. Sekurang‑kurangnya apa yang padanya mengacaukan batinnya. Sehingga ia dalam shalatnya, berbuah untuk meng­hadapi musuhnya. Maka hal itu tidak tinggal atas batas yang wajib saja. Permusuhan itu permulaan tiap‑tiap kejahatan. Begitu pula perbantahan dan pertengkaran. Maka sayogialah tidak dibuka pintunya, selain karena daru­rat. Dan ketika darurat itu, sayogialah lidah dan hati dijaga dari akibat­-akibat permusuhan. Dan yang demikian itu memang sukar sekali.
Barangsiapa membatasi dalam permusuhannya kepada yang perlu saja, nis­caya ia selamat dari dosa. Dan tidak tercela permusuhannya, kecuali kalau ia tidak memerlukan kepada permusuhan, mengenai apa yang dipermusuhkan itu. Karena padanya, ada yang mencukupkannya. Maka adalah ia mening­galkan untuk yang lebih utama. Dan tidaklah ia orang berdosa. Benar, seku­rang‑kurangnya dalam permusuhan, perbantahan dan pertengkaran itu, hi­langnya perkataan yang baik dan pahala yang dapat diperoleh padanya. Ka­rena sekurang‑kurangnya tingkat perkataan yang baik itu, melahirkan perse­tujuan. Dan tak ada perkataan yang kasar, yang lebih besar daripada tusu­kan dan teguran, yang hasilnya, adakalanya membodohkan dan adakalanya mendustakan.
Sesungguhnya orang yang bertengkar dengan orang lain atau berbantah‑bantahan atau bermusuh‑musuhan, maka ia telah membodohkan atau mendustakan orang tersebut. Lalu lenyaplah dengan dia perkataan yang baik. Nabi saw bersabda: “Menjadikan kamu dari isi sorga, oleh perkataan yang baik dan memberi makanan (kepada orang yang memerlukan)". Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah perkataan yang baik kepada manusia!”. S 2 Al ­Baqarah ayat 83. Ibnu Abbas ra berkata: "Siapa saja dari makhluk Allah memberi salam ke­padamu, maka jawablah salam itu, walaupun ia orang majusi (penyembah api)”. Karena Allah Ta'ala berfirman: "Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balas­lah hormat (salamnya) dengan cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya)!”. S 4 An‑Nisaa' ayat 86.
Ibnu Abbas berkata pula: "Kalau sekiranya Firaun berkata baik kepadaku, niscaya aku balas kepadanya (dengan baik)". Anas berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya dalam sorga ada beberapa kamar, yang dilihat lahirnya (luarnya) dari batinnya (dalamnya) dan batinnya dari lahirnya. Kamar‑kamar itu disediakan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang memberi makanan dan melembutkan perkataan".
Diriwayatkan, bahwa Nabi Isa as dilewati seekor babi, Ialu ia berkata: "La­lulah dengan selamat!”. Lalu orang bertanya kepadanya: "Wahai Ruhu'llah ! Engkau katakan yang demikian itu kepada babi?". Maka Nabi Isa as men­jawab: "Aku tidak suka membiasakan lidahku dengan yang buruk".
Nabi kita saw bersabda: "Kata yang baik itu sedekah". Nabi saw ber­sabda: "Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun dengan sekeping tamar ! Kalau kamu tidak memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik!". Umar ra berkata: "Kebajikan itu barang yang mudah: muka yang jernih dan perkataan yang lemah lembut". Setengah hukama' berkata: "Perkataan yang lemah lembut itu membasuh kedengkian yang tersembunyi dalam anggota badan". Setengah hukama' berkata: "Tiap‑tiap perkataan yang tidak memarahkan Tuhanmu, melainkan juga kamu menyenangkan orang yang duduk bersama­mu. Maka janganlah kamu kikir terhadap perkataan itu ! Mudah‑mudahan akan menggantikan kepadamu, pahala orang yang berbuat baik daripada­nya”. Ini semua mengenai kelebihan perkataan yang baik. Dan lawannya, ialah: permusuhan, perbantahan, pertengkaran dan pergaduhan. Itu adalah perka­taan yang tidak disukai, yang meliarkan, yang menyakitkan hati, yang mengeruhkan kehidupan, menggerakkan kemarahan dan yang menyesakkan dada. Kita bermohon kepada Allah akan kebagusan taufiq dengan nikmat dan kurnia Allah !
BAHAYA KEENAM:
Berbuat dalamnya keluar kata‑kata dalam rahang, berbuat sajak & kelancaran berbicara dengan dipak­sakan, berbuat‑buat dengan kata‑kata kemuda-muda­an dan kata‑kata pendahuluan dan apa yang biasa dilakukan oleh kebiasaan orang‑orang yang membu­at‑buat kelancaran berbicara, yang menyerukan kepada berpidato. Semua yang tersebut itu, termasuk bikin‑bikinan yang tercela dan termasuk yang dipaksa‑paksakan yang tercela, dimana Rasulu'llah saw bersabda: "Aku dan ummatku yang taqwa itu terlepas daripada yang di­paksa‑paksakan (at‑takalluf)" Nabi saw bersabda: "Sesungguh nya yang lebih aku marahi dan yang lebih jauh tempat duduknya daripadaku, ialah: orang‑orang yang berbicara me­lantur kesana kemari, yang berbuat seolah-olah memahami dan yang ber­bicara, yang keluarnya dari rahang", Fatimah ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Ummatku yang paling jahat, ialah: mereka yang makan dengan kenikmatan, memakan bermacam-­macam warna makanan, memakai bermacam‑macam warna kain dan ber­bicara dengan mengeluarkan perkataan dari rahang" Nabi saw bersabda: "Ketahuilah, orang‑orang tanath‑thu' (mendalam-dalamkan dan menghabis-habiskan keluarnya perkataan) itu binasa". Ti­ga kali beliau saw menyabdakannya. Umar ra berkata: "Perkataan yang gemuruh itu adalah dari gemuruhnya suara setan".
Amr bin Sa’ad bin Abi Waqqash datang kepada ayahnya Sa’ad, meminta sesuatu keperluan. Lalu ia berkata dengan perkataan yang membentangkan hajat keperluannya. Lalu menjawab Sa'ad: "Adalah aku lebih jauh dari ha­jatmu pada hari ini. Aku mendengar Rasulu'llah saw bersabda: "Akan da­tang kepada manusia suatu zaman, dimana mereka rnenyelang‑nyelangi per­kataan dengan lidahnya, seperti sapi betina menyelang‑nyelangi rumput dengan lidahnya". Seakan‑akan Sa’ad membantah apa yang dikemukakan oleh anaknya, atas perkataan dari kemuda‑mudaan dan kata pendahuluan yang dibuat‑buat, secara dipaksakan. Ini juga termasuk bahaya lidah. Dan masuk juga dalam bahagian ini, setiap sajak yang disusun secara berat. Begitu pula kata‑kata yang faseh (kepan­daian bercakap), yang keluar dari batas kebiasaan. Begitu pula sajak yang dibuat dengan berat pada percakapan-percakapan. Karena Rasulu'llah saw menghukum kuatnya air pada janin (anak dalam kandungan). Lalu berkata setengah kaum yang menganiaya: “Bagaimana basah orang yang ti­dak minum, orang yang  tidak makan, tidak menjerit dan tidak berkata de­ngan suara nyaring. Hal yang seperti itu batil/salah". Lalu Rasulullah saw menjawab:  "Adakah sajak itu seperti sajaknya Arab badui?" Nabi saw menentang yang demikian. Karena kesan memberat‑berati dan berbuat-buat itu nyata sekali pada perkataan tersebut. Tetapi sayogialah disingkatkan pada tiap‑tiap sesuatu itu diatas  maksudnya. Dan maksud perka­taan itu, ialah memberi pemahaman kepada maksud. Dan dibalik yang de­mikian, adalah  dibuat‑buat, yang tercela. Tidak masuk pada katagori ini, membaguskan kata-kata pidato dan peri­ngatan tanpa  berlebih‑lebihan dan keganjilan. Karena yang dimaksud dari pidato itu menggerakkan hati, menyukakannya, menggenggam dan mem­bentangkannya. Maka  karena manisnya kata‑kata itu mempunyai bekas pa­danya. Dan itu adalah layak.
Adapun pembicaraan-pembicaraan yang berlaku untuk menunaikan keper­luan, maka tidak layak bersajak, mengeluarkan perkataan yang keluar dari rahang dan melaksanakan-nya dengan dipaksakan, yang tercela. Dan tak ada penggerak kepada yang demikian, selain oleh ria, melahirkan kefasehan (kelancaran berkata‑kata) dan perbedaan diri dengan kecerdikan. Semua itu  tercela, tidak disukai oleh Agama dan dilarang dari padanya.
BAHAYA KETUJUH: kekejian, makian dan kekotoran lidah.
Itu adalah tercela dan terlarang. Sumbernya, ialah: sifat keji dan jahat. Nabi saw bersabda: "Jagalah dirimu dari kekejian! Karena Allah Ta’ala tiada menyukai kekejian dan membuat kekejian". Rasulu'llah saw melarang memaki orang‑orang musyrik yang terbunuh pa­da perang Badar. Beliau bersabda: "Janganlah kamu memaki mereka! Se­sungguhnya tiada sampai sesuatu kepada mereka, dari apa yang kamu ka­takan. Dan kamu menyakiti orang‑orang yang hidup. Ketahuilah, bahwa ke­kotoran lidah itu tercela". Nabi saw bersabda: "Tidaklah orang mu'min itu pencela, pengutuk, pem­buat perbuatan keji dan berlidah kotor". Nabi saw bersabda: "Sorga itu haram kepada tiap‑tiap orang yang berbuat kekejian, memasukinya". Nabi saw bersabda: "Empat orang yang menyakiti ahli neraka (penduduk neraka) dalam neraka, terhadap kesakitan yang dideritai mereka. Mereka berjalan diantara api yang panas dan neraka jahim. Mereka menyerukan azab dan kebinasaan. Yaitu: orang yang mengalir pada mulutnya nanah dan darah. Lalu ditanyakan kepadanya: "Apa kabar orang yang jauh, yang telah menyakiti kami, terhadap kesakitan yang kami alami?" Lalu orang itu men­jawab, "Bahwa orang yang jauh itu memandang kepada tiap‑tiap kata keji dan kotor. Lalu ia merasa enak dengan perkataan itu, seperti ia merasa enak dengan perkataan buruk”.
Nabi saw bersabda kepada Aisyah: "Hai Aisyah! Jikalau yang keji itu seorang laki‑laki, maka itu a­dalah laki‑laki jahat".  Nabi saw bersabda: “Ke­kejian dan penjelasan itu dua cabang dari cabang‑cabang nifaq (sifat orang munafiq)". Mungkin yang dimaksudkan dengan penjelasan (al‑bayaan) diatas tadi, me­nyingkapkan apa yang tidak boleh disingkapkan. Dan mungkin pula, ber­sangatan pada penjelasan. Sehingga sampai kepada batas memberat‑berat­kan. Dan mungkin pula, penjelasan pada urusan Agama dan pada sifat Allah Ta’ala. Sesungguhnya menyampaikan yang demikian secara keseluruhan (se­cara global) kepada pendengaran orang awam, itu lebih utama, daripada bersangatan pada menerangkannya. Karena kadang‑kadang dari terlalunya penjelasan, Ialu berkobar keragu‑raguan dan waswas. Maka apabila disam­paikan secara global, niscaya bersegeralah hati menerimanya. Dan tidak kacau. Tetapi menyebutkannya dengan disertai perkataan kotor, itu menye­rupai, bahwa maksudnya berterus‑terang menjelaskan apa yang memalukan orang untuk diterangkan. Maka yang lebih utama pada contoh yang seperti ini, ialah: menutup mata dan melupakan. Tidak disingkapkan dan diterang­kan. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyukai orang keji, yang mem­buat‑buat keji, yang menjerit‑jerit dipasar".
Jabir bin Samrah berkata: Aku duduk disamping Nabi saw dan ayahku dihadapanku. Lalu Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya kekejian dan berbuat‑buat kekejian, tidaklah sedi­kitpun dari Islam. Sesungguhnya manusia yang terbaik Islamnya, ialah mere­ka yang baik akhlaknya". Ibrahim bin Maisarah berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa orang keji, yang berbuat keji, akan dibawa pada hari kiamat dalam bentuk anjing atau dalam perut anjing".
AI‑Ahnaf bin Qais berkata: "Apakah belum aku beritakan kepadamu, pe­nyakit yang paling berbahaya ?, Yaitu: “lidah kotor dan akhlak rendah". Maka inilah celaan kekejian. Adapun batas dan hakikat/maknanya, maka itu menerangkan hal‑hal yang keji, dengan kata‑kata yang tegas. Dan kebanyakannya berlaku pada kata‑kata perzinaan dan yang berhubungan dengan perzinaan. Karena orang‑orang yang berbuat kerusakan itu, mempunyai kata‑kata tegas, yang keji, yang di­pakainya pada maksud tersebut. Dan orang‑orang yang baik, menjauhkan diri daripadanya. Bahkan mereka mengucapkan dengan sindiran (kinayah) dan menunjukkannya dengan isyarat‑isyarat(rumuz). Mereka menyebut­kannya dengan kata‑kata yang mendekati atau yang berhubungan dengan hal itu.
Ibnu Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah Hidup, Yang Pemurah, Yang Mema'afkan dan Yang Menyebut dengan sindiran (kinayah)". Allah Ta’ala menyebutkan dengan kinayah: menyintuh, buat: bersetubuh. Maka kata‑kata: menyintuh, memegang, dukhul (memasukkan) dan berteman (shuhbah), adalah kata‑kata kinayah buat: bersetubuh. Dan tidaklah kata‑kata tadi, kata‑kata yang keji. Disamping itu, ada kata‑kata keji, yang dipandang keji menyebutkannya kebanyakannya dipakai pada makian dan memalukan orang. Dan kata‑kata itu berlebih‑kurang kekejiannya. Sebahagian sangat kejinya dibandingkan dengan sebahagian lainnya. Kadang‑kadang berselisih yang demikian, disebabkan oleh berbedanya adat‑kebiasaan dari negeri‑negeri yang bersangkutan. Permulaannya makruh dan penghabisannya haram. Dan diantara ke duanya, terdapat tingkat‑tingkat yang bulak‑balik padanya. Dan tidaklah ini khusus dengan: bersetubuh. Tetapi dengan kinayah, de­ngan nemakai perkataan qadha' hajat (menunaikan hajat) untuk kencing dan berak itu, lebih utama dari kata‑kata: membuang berak, kencing dan lainnya. Karena ini juga termasuk hal yang disembunyikan. Tiap‑tiap yang disembunyikan, adalah malu disebut terang‑terangan.
Maka tiada sayogia­lah disebut kata‑katanya yang tegas. Karena itu adalah keji. Begitu pula, dipandang baik pada adat kebiasaan, menyebutkan secara ki­nayah, tentang: wanita. Maka tidak dikatakan: “Isteri anda berkata demi­kian". Tetapi dikatakan: "Dikatakan dalam kamar atau dibalik tabir"'. Atau. "Kata ibu anak‑anak". Maka menggunakan kata‑kata tersebut secara halus itu terpuji. Dan berterus‑terang padanya, membawa kepada kekejian. Begitu pula orang yang mempunyai kekurangan, yang malu disebutkan. Ma­ka tidak sayogialah dikatakan dengan kata‑kata terus‑terang, seperti: supak, botak dan penyakit wasir. Akan tetapi, dikatakan bahwa hal yang me­nimpa, yang dideritanya dan hal‑hal yang seperti itu. Maka menyebutkannya dengan terus‑terang itu, termasuk dalam kekejian. Dan semuanya itu dari bahaya‑bahaya lidah.
AL-‘Ala' bin Harun berkata: "Adalah Umar bin Abdul‑aziz itu Menjaga da­lam pembicaraannya. Maka keluarlah bisul dibawah ketiaknya. Lalu kami datang kepadanya, menanyakannya, untuk mengetahui apa yang akan dija­wabnya. Kami bertanya: "Dari mana bisul itu keluar?". Lalu ia menjawab: "Dari dalam tangan". Penggerak kepada kekejian itu, adakalanya dengan maksud menyakitkan o­rang. Dan adakalanya karena kebiasaan yang diperoleh dari pergaulan de­ngan orang‑orang fasik, ahli kekejian dan kecelaan. Dan diantara kebiasaan mereka itu: memaki.
Seorang Arab Badui berkata kepada Rasulu'llah saw: "Berilah aku wa­siat!”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Engkau harus bertakwa kepada Allah. Jikalau seseorang memberi malu kepada engkau, dengan sesuatu yang diketahuinya pada engkau, rnaka janganlah engkau memberi malu dia dengan sesuatu, yang engkau ketahui padanya, niscaya adalah celakanya kepadanya dan pahalanya kepada eng­kau! Dan janganlah engkau memaki sesuatu!” Orang Arab Badui itu meneruskan ceriteranya: "Maka tidaklah sesudah itu, aku memaki sesuatu".
Ayyadl bin Himar berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesung­guhnya seorang laki‑laki dari kaumku, memaki aku. Dan dia itu, darajatnya kurang dari aku. Bolehkah aku memperoleh kemenangan daripadanya?". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Dua orang yang bermaki‑makian itu, keduannya adalah setan, yang nyalak‑menyalak dan kacau‑mengacau". Nabi saw bersabda: "Makian orang mu'min itu fasik dan pembunuhannya itu kufur”. Nabi saw bersabda: "Dua orang yang bermaki‑makian itu adalah apa yang dikatakan oleh keduanya. Maka yang berdosa ialah yang memulai diantara keduanya, sehingga yang teraniaya itu menyerang". Nabi saw bersabda: "Terkutuklah orang yang memaki ibu‑bapaknya". Pada suatu riwayat, tersebut: "Temasuk dosa terbesar itu, bahwa orang me­maki ibu‑bapaknya". Lalu mereka bertanya: "Wahai Rasulullah! Bagaimana orang memaki ibu bapanya?". Nabi saw menjawab: "Ia memaki bapak orang, lalu orang memaki bapaknya".
BAHAYA KEDELAPAN: mengutuk.
Adakalanya untuk hewan atau benda keras atau manusia. Semua itu tercela. Rasulu'llah saw bersabda: "Orang mu'min itu bukanlah pe­ngutuk". Nabi saw bersabda: "Janganlah kamu kutuk‑mengutuk dengan kutukan Allah, dengan kemarahan Allah dan dengan neraka jahannam". Hudzaifah berkata: “Tidaklah sekali‑kali suatu kaum itu kutuk‑mengutuk, melainkan akan benarlah perkataan kutukan itu keatas mereka".
Imran bin Hushain berkata: "Ketika Rasulu'llah saw dalam sebahagian perjalanannya, maka terlihat seorang wanita Anshar berada diatas untanya. Lalu ia bosan kepada unta itu, maka diku­tuknya. Mendengar yang demikian, Ialu Nabi saw bersabda: kepada para shahabatnya: "Ambillah apa yang ada diatas unta itu dan pinjamkanlah! Sesungguhnya dia itu terkutuk". 'Imran berkata: "Seakan‑akan aku melihat kepada unta itu berjalan diantara orang banyak, yang tiada seorang pun menggangguinya".
Abu'd‑Darda' berkata: "Apabila seseorang mengutuk bumi, maka bumi itu berkata: "Allah mengutuk orang yang paling durhaka kepada Allah diantara kita". 'Aisyah berkata: "Rasulu'llah saw mendengar Abubakar, mengutuk sebahagian budaknya. Lalu Rasulu'llah saw menoleh kepada Abubakar, seraya bersabda "Hai Abubakar! Adakah orang siddiq dan pengutuk? Ti­daklah sekali‑kali yang demikian, demi Tuhan yang Empunya Ka'bah!”. Na­bi saw mengatakan itu 2 kali atau 3 kali". Pada hari itu juga  Abubakar memerdekakan budaknya itu. Dan ia datang kepada Nabi saw, Ialu berkata: “Tiada akan aku ulang lagi yang demi­kian". Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya pengutuk‑pengutuk itu, tiada a­kan memperoleh syafa'at dan syahid pada hari kiamat".
Anas berkata: "Seorang laki‑laki berjalan bersama Rasulu'llah saw me­ngendarai keledai. Lalu laki‑laki itu mengutuk keledainya. Maka Rasulu'llah saw bersabda: "Hai hamba Allah! Jangan engkau berjalan bersama kami, diatas keledai yang terkutuk!”. Nabi saw bersabda demikian, karena menantang atas perbuatan tersebut. Kutuk, adalah ibarat dari menghalau dan menjauhkan dari Allah Ta'ala. Dan yang demikian, tidak dibolehkan. Kecuali terhadap orang yang bersifat dengan sifat yang menjauhkannya daripada Allah 'Azza wa Jalla. Yaitu kufur dan zalim. Lalu ia mengatakan: "Kutukan Allah atas orang‑orang za­lim dan orang‑orang kafir". Dan sayogialah diikutkan padanya kata‑kata A­gama. Karena pada kutukan itu bahaya. Karena ia menetap kan atas Allah 'Azza wa Jalla, bahwa Allah telah menjauhkan orang yang terkutuk itu. Dan yang demikian itu adalah hal ghaib, yang tidak dilihat, selain oleh Allah Ta’ala. Dan Rasulu'llah saw melihatnya, apabila diperlihatkan oleh Allah Ta’ala. Sifat‑sifat yang membawa kepada kutukan itu tiga: kufur, bid’ah (yang diada-adakan) dan fasik. Untuk kutukan pada masing‑masing yang tiga tadi, ada tiga tingkat: ­
Tingkat Pertama: kutukan dengan sifat yang lebih umum. Seperti engkau katakan: "Kutukan Allah atas orang‑orang kafir, orang‑orang pembuat bid’ah dan orang‑orang fasik
Tingkat Keduakutukan dengan sifat‑sifat yang lebih khusus. Seperti engkau katakan: "Kutukan Allah atas
1.      orang Yahudi,
2.      Nasrani,
3.      Majusi (orang beragama zoroaster atau penyembah pohon/api sekarang masih ada sisanya di Iran dan India),
4.      orang Qadariyah (berkeyakinan bahwa bukan Allah yang menjadikan segala  perbuatan manusia, tetapi manusia itu sendiri  yang berkuasa penuh terhadap perbuatannya  qudrah ( kuasa ) ada pada manusia itu sendiri ),
5.      orang Khawarij (suatu golongan yang tidak mau mengikuti dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah hal itu terjadi pada masa pemerintahan Ali bin abi Thalib)
6.      orang Rafidh (segolongan syiah yang ektrim, menolak pimpinan dalam peperangan atau diluar peperangan).
7.      orang‑orang penzina,
8.      orang-orang zalim
9.      pemakan riba.
Dan setiap yang demikian itu boleh. Akan tetapi pada mengutuk sifat‑sifat orang yang berbuat bid’ah itu, bahaya. Karena mengenal bid’ah itu sulit. Dan tak terdapat suatu kata‑kata yang diperoleh dari Nabi saw dan para shahabat yang mengenai demikian. Maka sayogialah orang awam dilarang daripadanya. Karena yang demikian itu membawa kepada pertentangan yang menyamai dengan kutukan itu. Dan mengobarkan percecokan diantara sesama manusia dan kerusakan.
Tingkat Ketigakutukan bagi orang tertentu. Dan ini berbahaya, seperti engkau katakan: "Si Zaid yang dikutuk oleh Allah. Dia itu kafir atau fasik a­tau pembuat bid’ah". Penguraian mengenai hal tersebut, ialah bahwa tiap‑tiap orang yang telah te­gas terkutuknya pada Agama, maka bolehlah mengutukinya. Seperti anda katakan: "Fir'aun yang dikutuk oleh Allah. Dan Abu Jahal yang dikutuk oleh Allah. Karena telah tegas, bahwa mereka itu mati diatas kekufuran. Dan yang dimikian itu telah diketahui pada Agama. Adapun orang seorang yang tertentu pada masa kita sekarang, seperti kata anda: "Si Zaid yang dikutuk oleh Allah Ta’ala” dan dia itu orang Yahudi, umpa­manya, maka ini berbahaya. Karena mungkin ia muslim. Lalu meninggal, dengan mendekatkan diri pada sisi Allah. Maka bagaimana dihukum dia itu terkutuk? Kalau anda katakan, dia itu terkutuk karena dia itu kafir sekarang, seba­gaimana dikatakan kepada orang muslim: "Kiranya ia dicurahkan rahmat o­leh Allah", karena dia itu muslim sekarang, walaupun dapat digambarkan bahwa orang itu akan murtad. Maka ketahuilah, bahwa arti perkataan kita: “Kiranya ia dicurahkan rahmat oleh Allah”, artinya: kiranya ditetapkan dia oleh Allah pada Agama Islam, yang menjadi sebab memperoleh rahmat dan diatas keta'atan. Dan tidak mungkin dikatakan: “Kiranya ditetapkan oleh Allah akan orang kafir diatas keadaan yang menjadi sebab kutukan. Karena ini adalah persoalan kufur. Dan orang itu adalah kufur pada dirinya sendiri. Tetapi boleh dikatakan: "Kiranya ia dikutuk oleh Allah, jikalau ia mati diatas kekufuran. Dan kiranya tiada dikutuk oleh Allah, jikalau ia mati diatas keIslaman". Dan itu adalah hal ghaib, yang tidak diketahui. Dan hal yang mutlak itu diragukan diantara dua arah. Maka pada hal yang demikian itu bahaya. Dan tidak ada bahayanya pada meninggalkan kutukan. Apabila anda telah mengerti akan ini mengenai orang kafir, maka mengenai: si Zaid fasik atau si Zaid pembuat bid’ah itu lebih utama lagi. Mengutuki pribadi‑pribadi yang demikian itu bahaya. Karena pribadi‑pribadi itu perihal keadaannya, berobah‑robah. Kecuali orang yang telah diberitahukan oleh Rasulu'llah saw. Maka bolehlah diketahui, siapa yang akan mati diatas kekufuran. Dan karena itulah, Rasulu'llah saw menentukan sesuatu kaum dengan kutukan. Ia mengatakan dalam do'anya atas orang Qurasy: "Wahai Allah Tuhanku! Diatas Engkaulah Abu Jahal bin Hisyam dan 'Utbah bin Rabi'ah". Dan Rasulu'llah saw menyebut suatu golongan yang ter­bunuh pada perang Badar diatas kekufuran. Sehingga orang yang tidak di­ketahui kesudahannya, Ialu dikutukinya. Maka Rasulu'llah saw dilarang o­leh Allah SWT dari yang demikian. Karena diriwayatkan: "Bahwa Nabi saw mengutuk orang‑orang yang membunuh penduduk Bi’ru Ma'unah dalam qunutnya (pada shalat Subuh) selama sebulan. Lalu turunlah firman Allah Ta’ala: “Tiadalah engkau mempunyai kepentingan dalam perkara itu se­dikitpun. Tuhan menerima tobat mereka atau menyiksa mereka, karena se­sungguhnya mereka adalah orang‑orang yang zalim". S 3 Ali ‘Imran ayat 128. Ya'kni: sesungguhnya mereka itu boleh jadi muslim. Maka dari manakah engkau tahu, bahwa mereka itu terkutuk? Begitu pula, orang yang telah nyata bagi kita kematiannya diatas kekufuran, niscaya boleh mengutukinya dan boleh mencelanya, jikalau tak ada padanya menyakiti orang Islam. Kalau ada, niscaya tidak dibolehkan.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa: Rasulu'llah saw bertanya kepada Abubakar ra tentang kuburan yang dilaluinya, sedang ia bermaksud ke Thaif. Lalu Abu­bakar ra menjawab: "Ini kuburan seorang laki‑laki yang mendurhakai Allah dan RasuI Allah. Yaitu: Said bin Al-‘Ash. Maka marahlah anak Sa'id, yaitu: 'Amr bin Said. 'Amr berkata: "Wahai Rasulu'llah! Ini kuburan laki­-laki, yang memberi makanan karena makanan dan yang menghilangkan yang berat dari Abi Quhafah (ayah Abubakar ra). Lalu Abubakar ra menjawab: “Dikatakan kepadaku oleh sianu, wahai Rasulu'llah, dengan perkataan seperti ini". Maka Rasul'llah saw berkata kepada 'Amr bin Sa'id: "Cegahlah dirimu dari Abubakar!” Lalu 'Amr bin Said itu pergi. Kemudian Rasulu'llah saw menghadapkan wajahnya kepada Abubakar, seraya bersabda: "Hai Abubakar! Apabila kamu menyebut orang‑orang ka­fir, maka sebutlah secara umum! Sesungguhnya apabila kamu khususkan, niscaya marahlah anak‑anak mereka karena bapak‑bapaknya".  Lalu Abubakar melarang manusia dari yang demikian.
Adalah Nu’aiman An‑Najjari meminum khamar. Lalu dihukum dengan pukulan (hadd), berkali‑kali pada majelis Rasulu'llah saw. Maka sebahagian shahabat berkata: "Kiranya dia itu dikutuk oleh Allah Ta’ala! Alangkah banyaknya yang dilakukan kepadanya". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Janganlah engkau itu penolong setan terhadap saudara engkau". Dan pada suatu riwayat: "Jangan engkau katakan perkataan  tersebut! Karena dia mencintai Allah dan RasuI Allah". Lalu Nabi saw me­larang shahabat itu dari yang demikian. Dan ini menunjuk kan, bahwa mengutuk diri orang fasik itu tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya, bahwa pada mengutuki orang‑orang itu bahaya. Maka hendaklah dijauhkan! Dan tiada bahaya pada berdiam diri daripada mengutuki Iblis‑umpamanya. Apalagi mengutuki lainnya. Kalau orang bertanya, bolehkan mengutuk Yazid (Yazid bin Mu’awiyah)? Karena ia pernbunuh Saidina Husain (putera Saidina Ali ra dan cucu Rasulu'llah saw) atau yang menyuruh membunuhnya. Kami jawab, bahwa itu tidak terbukti sama sekali. Maka tidak boleh dikatakan, bahwa Yazid membunuh Husain atau menyuruh membunuhnya, sebelum terbukti. Lebih‑lebih mengutuknya. Karena tidak boleh disangkutkan seorang muslim kepada dosa besar, tanpa dalil yang menguatkan (tahqiq). Benar, boleh dikatakan, bahwa Ibnu Muljam membunuh Ali. Dan Abu Lu'luah membunuh Umar ra. Karena yang demikian itu telah terbukti dengan berita yang mutawatir (berita dari orang banyak yang meyakinkan). Maka tidak boleh dituduh seorang muslim dengan fasik atau kufur, tanpa pembuktian yang meyakinkan.
Nabi saw bersabda: “Tidaklah seorang menuduh seseorang dengan kufur dan tidak menuduhnya dengan fasik, kecuali ia kembali kepadanya, jikalau temannya (orang itu) tidak demikian". Nabi saw bersabda: "Tidaklah seseorang naik saksi terhadap orang lain dengan kekufuran, melainkan salah seorang dari keduanya mengembalikan­nya dengan kekufuran, jikalau dia itu kafir". Maka itu, seperti yang disabdakan Nabi saw (pada hadits lain): “Dan jikalau ia bukan kafir, maka ia telah menjadi kafir, dengan mengkafirkan orang itu”. Ini artinya, bahwa ia mengkafirkan orang, sedang ia tahu, bahwa orang itu Muslim. Jikalau ia menyangka, bahwa orang itu kafir, disebabkan perbuatan bid’ah atau lainnya, niscaya dia itu bersalah. Tidak menjadi kafir.
Mu’adz bin Jabal ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: "Aku larang engkau memaki orang Muslim atau engkau mendur­hakai imam yang adil (penguasa yang adil)". Dan mendatangkan tuduhan kepada orang‑orang yang sudah mati itu lebih berat lagi. Masruq bin Al-Ajda’ berkata: "Aku masuk ketempat 'Aisyah  lalu ia bertanya: "Apakah yang diperbuat si Anu? Kiranya ia dikutuk oleh Allah". Aku menjawab: "Ia sudah mati". Maka Aisyah menyambung: "Ki­ranya ia dicurahkan rahmat oleh Allah". Lalu. aku bertanya: “Bagaimana maka begitu?". Aisyah menjawab: "Rasulu'llah saw bersabda: "Jangan engkau memaki orang‑orang yang sudah mati! Karena me­reka telah membawa, menurut apa yang dikerjakan mereka". Nabi saw bersabda: “Jangan engkau memaki orang‑orang yang sudah mati! Maka dengan itu, engkau menyakiti orang‑orang yang masih hi­dup". Nabi saw bersabda: "Hai manusia! Jagalah aku, tentang shahabat‑shahabatku, saudara-­saudaraku dan ipar‑iparku! Janganlah engkau memaki mereka! Hai manu­sia! Apabila orang sudah mati, maka sebutlah yang baik daripadanya!”. Kalau orang bertanya, bolehkah dikatakan, bahwa pembunuh Husain itu kiranya dikutuk oleh Allah? Atau yang menyuruh membunuhnya, kiranya di­kutuk oleh Allah? Kami menjawab, bahwa yang benar untuk dikatakan, ialah: pembunuh Hu­sain itu jika mati ia sebelum bertobat, kiranya ia dikutuk oleh Allah. Karena mungkin pembunuh itu mati sesudah bertobat.
Bahwa Wahsyi bin Harb pembunuh Hamzah paman Rasulu'llah saw (pada perang Uhud), dimana ia membunuhnya dan waktu itu ia masih kafir. Kemudian, ia bertobat dari sekalian, dari kekufuran dan pembunuhan. Dan tidak boleh ia dikutuk. Membunuh itu dosa besar. Dan tidak sampai kepada tingkat kufur. Maka apabila tidak disangkutkan dengan tobat dan disebut secara mutlak (umum) saja, niscaya padanya bahaya. Dan tidaklah pada didiamkan itu bahaya. Maka diam itu adalah lebih utama. Sesungguhnya kami kemukakan ini, adalah dikarenakan manusia meman­dang enteng mengutuk itu. Dan lidah dilepaskan begitu saja untuk mengu­tuk. Dan orang mu'min itu tidaklah pengutuk. Maka tidak sayogialah lidah itu dilepaskan dengan mengutuk. Kecuali atas orang yang mati diatas keku­furan atau atas golongan‑golongan yang terkenal dengan sifat‑sifatnya. Ti­dak atas orang‑orang tertentu. Maka menyibukkan diri dengan berzikir ke­pada Allah Ta’ala itu lebih utama. Kalau tidak maka berdiam diri itu lebih selamat.
Makki bin Ibrahim berkata: “Pada suatu hari kami berada pada Ibnu 'Aun. Lalu mereka menyebutkan Bilal bin Abi Burdah (amir negeri Basarah). Mereka mengutukinya dan mereka terjerumus dengan memaki dan mencacinya. Dan Ibnu 'Aun itu diam. Lalu mereka berkata: "Hai Ibnu 'Aun! Se­sungguhnya kami menyebutkan Bilal bin Abi Burdah itu, karena ia berbuat dosa terhadap engkau". Maka Ibnu 'Aun menjawab: "Sesungguhnya itu dua perkataan yang akan keluar dari suratan amalanku pada hari kiamat. Yaitu: Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan yang disembah selain Allah) dan La'anal ­Iaahu fulaanan (Dikutuk oleh Allah kiranya si Anu). Aku lebih suka supaya keluar dari suratan amalanku: Laa ilaaha illaallah, daripada akan keluar: “La'anal‑laahu fulaanan”.
Seorang laki‑laki berkata kepada Rasulu'llah saw: "Berilah aku wasiat (nasehat)!”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Aku wasiatkan kepadamu, bahwa kamu tidak mengutuk orang". Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya orang yang sangat dimarahi Allah, ia­lah: tiap‑tiap orang yang mencela, lagi mengutuk orang". Setengah mereka berkata: "Mengutuk orang mu'min itu menyamai dengan membunuhnya". Hammad bin Zaid berkata sesudah meriwayatkan ucapan ini: "Jikalau engkau katakan, bahwa ucapan tadi itu hadits marfu', niscaya aku tiada akan memperdulikannya". Dari Abi Qatadah, yang berkata: "Ada dikatakan: “Barangsiapa mengutuk orang mu'min maka dia adalah seperti membunuhnya". Ucapan ini dinukilkan sebagai hadits marfu' kepada Rasulu'llah saw (hadits marfu’ ialah hadits yang ditingkat­kan sampai kepada Nabi saw walaupun diantara perawinya, ada yang terputus, yang tiada diketahui). Dan mendekati dengan mengutuk, ialah: berdoa terhadap manusia dengan tidak baik (jahat), sehingga berdoa terhadap orang zalim sekalipun. Seperti orang mengatakan umpamanya: "Kiranya Allah tidak menyehatkan tubuhnya dan kiranya Allah tidak menyelamatkannya”. Dan kata‑kata lain yang seperti itu. Maka yang demikian itu tercela. Dan pada hadits, tersebut: "Sesungguhnya orang yang teraniaya berdoa terhadap orang yang menganiayainya, sehingga menyamai pada penganiayaan. Kemudian, tinggallah bagi orang yang me­nganiaya, pada orang yang teraniaya, kelebihan pada hari kiamat.
BAHAYA KESEMBILAN: nyanyian dan syair.
Telah kami sebutkan pada "Kitab Mendengar", apa yang diharamkan dari nyanyian dan apa yang dihalalkan. Maka tiada kami mengulanginya lagi. Adapun syair, maka adalah perkataan, yang baiknya itu baik dan yang bu­ruknya itu buruk. Hanya bersungguh‑sungguh untuk bersyair itu tercela. Ra­sulu'llah saw bersabda: "Bahwa penuhnya rongga seseorang kamu dengan nanah, sehing­ga membusukkannya, adalah lebih baik daripada penuhnya rongga itu de­ngan syair". Dari Masruq bin Al-Ajda', bahwa ia ditanyakan tentang sekuntum syair, Ialu tiada disukainya. Maka dikatakan kepadanya tentang yang demikian itu. La­lu ia menjawab: "Aku tiada suka dijumpai syair dalam lembaran amalku (pada hari kiamat)". Sebahagian mereka ditanyakan tentang sesuatu mengenai syair, lalu men­jawab: "Jadikanlah tempat syair itu untuk zikir. Sesungguhnya zikir kepada Allah lebih baik daripada syair".
Kesimpulannya, menyanyikan syair dan menyusunnya itu tidak haram, apa­bila tak ada padanya perkataan yang dimakruhkan (pada Agama). Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya dari syair itu ada hikmah". Benar, yang dimaksudkan dari syair itu pujian, celaan dan kemuda‑mudian. Dan kadang‑kadang dimasuki bohong. Dan Rasulu'llah saw menyuruh Hassan bin Tsabit AI‑Anshari menyerang orang‑orang kafir. Dan berluas‑luasan pada pujian, walaupun dia itu bohong. Maka sesungguh­nya tiada berhubungan pada pengharaman itu dengan bohong. Seperti kata seorang penyair:
Dan kalau dalam tapak tangannya,
tak ada selain nyawanya,
sungguh ia bermurah hati menyerahkannya.
Maka bertaqwalah kepada Allah yang memintakannya!
Ini adalah ibarat menyifatkan kesangatan sifat pemurah. Jikalau orangnya i­tu tidak pemurah, maka penyair itu bohong. Dan jikalau ia pemurah, maka berlebih‑lebihan membuat syair tersebut. Maka tidaklah dimaksudkan untuk diyakini bentuknya. Telah dinyanyikan beberapa kuntum syair dihadapan Rasulu'llah saw. Dan kalau diikuti, niscaya akan didapati padanya seperti yang demikian. Tetapi Rasulu'llah tidak melarangnya. Aisyah berkata: "Adalah Rasulu'llah saw  memperbaiki kulit san­daInya dan aku duduk memintal bulu. Lalu memandang kepadanya. Maka membuat tepi dahinya berkeringat. Dan membuat keringatnya menjadi nur (bersinar)”. 'Aisyah meneruskan riwayatnya: "Maka aku tercengang. Lalu ia meman­dang kepadaku, seraya bersabda: "Mengapa engkau tercengang?". Lalu aku menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Aku memandang kepadamu, lalu membuat tepi dahimu berkeringat dan membuat keringatmu menjadi nur. Dan jikalau engkau dilihat oleh Abu Kabir AI‑Huzali, niscaya ia tahu, bahwa engkau le­bih berhak dengan syairnya". Lalu Nabi saw bertanya: "Apakah yang dikatakan, wahai Aisyah, oleh Abu Kabir AI‑Huzali?". Aku menjawab: "Ia akan mengatakan dua bait ini:
Terlepas dari semua
sisa darah kotor wanita
dan kerusakan wanita penyusu
dan penyakit wanita yang menyusukan sedang hamil.
Apabila engkau memandang
kepada garis‑garis yang kelihatan pada dahinya,
niscaya ia berkilat,
seperti kilatnya awan hujan gerimis.
'Aisyah  meneruskan riwayatnya: "Lalu Rasulu'llah saw meletakkan apa yang ada pada tangannya. Dan beliau bangun datang kepadaku dan be­liau peluk diantara dua mataku, seraya bersabda: "Kiranya Allah memberi balasan kepada engkau dengan kebajikan, wahai 'Aisyah! Tiadalah engkau memperoleh kegembiraan daripadaku, seperti gembiranya aku daripada engkau”. Sewaktu Rasulu'llah saw membagi harta rampasan perang pada hari pe­rang Hunain, lalu beliau suruh untuk diberikan kepada Abbas bin Mardas 4 ekor unta betina. Abbas bin Mardas menolak, lalu mengadu dalam syairnya. Dan pada akhir syair itu, sebagai berikut:
Tidaklah si Badar dan si Habis,
lebih tinggi dari Mardas dalam masyarakat.
Tidaklah aku manusia yang kurang dari keduanya.
Apa yang engkau rendahkan pada hari ini,
Tidak akan terangkat lagi ...............
Lalu Nabi saw bersabda: "Potonglah dari perintahku, akan lidahnya!”. Maka pergilah Abubakar Ash‑Shiddiq ra dengan Abbas bin Mardas dan diberikannya kepada Abbas 100 ekor unta. Kemudian, Abbas itu kembali dan dia termasuk manusia, yang paling disukai. Lalu Rasulu'llah saw bertanya: "Adakah engkau menyusun lagi syair terhadap aku?". Lalu Abbas bin Mardas meminta ma'af pada Rasulu'llah saw, seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya aku memperoleh syair itu berjalan pada lidahku, seperti berjalannya semut. Kemudian, ia menggigit aku seperti menggigitnya semut. Maka aku tiada mendapat jalan untuk tidak bersyair". Lalu Nabi saw tersenyum, seraya bersabda: "Orang Arab itu tiada akan meninggalkan syair, sehingga unta meninggalkan suaranya yang berdenting.
BAHAYA KESEPULUH: senda‑gurau.
Asalnya senda‑gurau itu tercela dan terlarang, kecuali sekedar sedikit yang dapat dikecualikan. Nabi saw bersabda:  "Jangan engkau berbantahan dan bergurau dengan saudaramu!”. Jikalau anda berkata, bahwa berbantah‑bantahan itu menyakitkan. Karena padanya pembohongan kepada saudara dan teman atau pembodohan kepa­danya. Sedang senda‑gurau, adalah berbaik‑baikan. Dan padanya kelapang­an dada dan kebaikan hati. Maka mengapa dilarang? Ketahuilah kiranya, bahwa yang dilarang itu berlebih‑lebihan atau berke­kalan bergurau. Adapun berkekalan, karena ia menghabiskan waktu dengan bermain dan bergurau. Dan bermain itu dibolehkan. Akan tetapi rajin ber­main itu tercela.
Adapun berlebih‑lebihan pada bergurau, maka akan mempusakai banyak tertawa. Dan banyak tertawa itu mematikan hati dan mewarisi kedengkian pada setengah keadaan. Dan menjatuhkan kehebatan diri dan kemuliaan. Dan apa yang terlepas dari hal‑hal tersebut, maka tidak tercela, sebagaimana dirawikan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya aku bersenda‑gurau dan aku tiada mengatakan, se­lain yang benar". Hanya orang yang seperti Nabi saw yang sanggup bergurau dan tidak ber­kata selain yang benar. Adapun yang lainnya, apabila ia membuka pintu ber­gurau, niscaya adalah maksudnya mentertawakan orang, bagaimana pun ada­nya. Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan suatu perkataan untuk mentertawakan teman‑teman duduknya, akan jatuh dalam api neraka, lebih jauh dari bintang suray'ya.
Umar ra berkata: "Barangsiapa banyak tertawanya, niscaya kurang hai­bahnya (kurang disegani). Barangsiapa bergurau, niscaya ia dianggap ringan. Barangsiapa memperbanyakkan sesuatu, niscaya menjadi terkenal dengan se­suatu itu. Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak jatuhnya (jatuh dalam kebohongan). Barangsiapa banyak jatuhnya, niscaya kurang malu­nya. Barangsiapa kurang malunya, niscaya kurang wara'nya. Dan barangsiapa kurang waranya, niscaya mati hatinya". Dan karena tertawa itu menunjukkan kepada kelalaian dari akhirat.
Nabi saw bersabda: "Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu menangis ba­nyak dan kamu tertawa sedikit". Seorang laki‑laki bertanya kepada saudaranya (dimana ia melihat sedang ter­tawa): "Hai saudaraku! Adakah datang berita kepadamu, bahwa engkau a­kan datang keneraka?". Saudaranya itu menjawab: "Ya, ada!”. Laki‑laki itu menyambung pertanyaannya: "Adakah datang kepadamu berita, bahwa engkau akan keluar dari neraka?". Saudaranya itu menjawab: "Tidak!”. La­lu laki‑laki itu menyambung pertanyaannya: "Maka pada apakah tertawa itu?" Ada orang mengatakan, bahwa orang itu tidak terlihat lagi tertawa, sampai ia mati.
Yusuf bin Asbath berkata: "AI‑Hasan AI‑Bashri menetap selama 30 tahun tidak tertawa". Dan orang mengatakan, bahwa', Atha' As‑Salmi mene­tap selama 40 tahun tidak tertawa. Wahib bin AI‑Ward melihat suatu kaum tertawa pada hari raya idul‑fitri. Lalu beliau berkata: "Jikalau mereka telah diampuni dosanya, maka tidaklah ini perbuatan orang‑orang yang bersyukur. Jikalau mereka tidak diampuni, maka tidaklah ini perbu­atan orang‑orang yang takut".
Adalah Abdullah bin Abi Yu’la berkata: "Adakah engkau tertawa? Mudah-­mudahan kain kafan engkau keluar dari pihak yang pendek". Ibnu Abbas berkata: "Barangsiapa berdosa dengan suatu dosa dan ia ter­tawa, niscaya ia masuk neraka dan ia menangis". Muhammad bin Wasi' berkata: "Apabila engkau melihat seseorang dalam sorga menangis, adakah engkau tidak heran dari tangisannya itu?". Lalu ada yang menjawab: "Ya!”. Maka Muhammad bin Wasi’ menyambung: "Orang yang tertawa didunia dan ia tidak tahu, kepada apa ia akan terjadi, adalah orang yang paling di­herankan dari yang tadi". Maka inilah bahaya tertawa! Orang yang tercela pada tertawa, ialah orang yang menghabiskan waktunya buat tertawa. Dan yang terpuji pada tertawa, ialah tersenyum, yang terbuka giginya pada tertawa dan tiada terdengar suaranya. Begitulah adanya tertawa Rasulu'llah saw!. 
Al-Qasim bekas budak (maula) Mu'awiyah bin Abi Sufyan berkata: "Se­orang Arab badui datang, menghadap Nabi saw dengan mengendarai ku­danya yang panjang kakinya dan sukar dikendalikan. Lalu ia memberi salam. Kemudian, setiap kali ia ingin mendekati Nabi saw untuk bertanya, tetapi kuda itu lari (tidak mau mendekatinya). Maka para shahabat Nabi saw tertawa melihat yang demikian. Orang badui tadi berbuat demikian berkali‑kali. Kemudian, ia menjatuhkan kepalanya kebawah, lalu ia terbu­nuh (mati) dengan sebab yang demikian. Maka ada yang berkata kepada Na­bi saw: "Wahai Rasulullah! Bahwa, orang Arab badui itu telah dijatuhkan oleh untanya dan sudah binasa (meninggal)". Lalu Nabi saw menjawab: "Ya! Mulutmu penuh dari darahnya".
Adapun bergurau itu membawa kepada hilang kehormatan diri, maka Umar ra telah berkata: “Barangsiapa bergurau, niscaya ia menjadi ringan (ku­rang dihargai orang) disebabkan bergurau itu" Muhammad bin AI‑Munkadir berkata: "Ibuku berkata kepadaku: "Hai a­nakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan anak‑anak, maka hinalah engkau pada mereka". Said bin Al‑'Ash berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan orang yang mulia, maka ia sakit hati kepada engkau (tersinggung)! Dan janganlah dengan orang yang rendah (orang hina), maka ia berani kepada engkau!”.
'Umar bin Abdul‑aziz ra berkata: "Bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah dari bergurau! Karena mewarisi sakit hati dan menghela kepada kekejian. Berbicaralah mengenai AI‑Qur’an dan duduk‑duduklah memperkatakan Al Qur’an! Kalau itu berat padamu, maka perkataan yang baik dari perkataan orang ‑ orang yang terkemuka. Umar ra berkata: "Tahukah kamu, mengapa dinamakan senda‑gurau (al­muzaah) dengan kata‑kata: al‑muzaah?" (al‑muzaah itu asal artinya: alih). Mereka itu menjawab: "Tidak!”. Maka Umar ra menjawab: "Karena senda‑gurau (almuzaah) itu, mengalihkan orang yang bergurau dari kebenaran". Ada yang mengatakan, bahwa tiap sesuatu itu mempunyai bibit. Dan bibit permusuhan, ialah: senda‑gurau. Ada pula yang mengatakan, bahwa bergurau itu menghilangkan pikiran dan memutuskan hubungan dengan teman‑teman. Jikalau anda berkata, bahwa bergurau itu dinukilkan dari Rasulu'llah saw dan para sahabatnya. Maka bagaimanakah dilarang daripadanya? Aku menjawab: "Jikalau anda sanggup menurut yang disanggupi Rasulu'llah saw dan para shahabatnya, yaitu: bahwa anda bergurau dan anda tidak mengatakan, selain yang benar. Anda tidak menyakiti hati orang dan tidak berlebih‑lebihan pada bergurau. Dan anda ringkaskan bergurau itu kadang-­kadang dengan sedikit sekali.
Maka dengan demikian, anda tidak berdosa”. Tetapi termasuk kesalahan besar, bahwa manusia mengambil bergurau itu menjadi pekerjaan yang selalu dikerjakannya/pelawak. Dan ia berlebih‑lebihan pa­danya. Kemudian (ia berkata), bahwa ia berpegang dengan perbuatan Rasul saw. Orang itu samalah haInya dengan orang yang berkeliling pada siang harinya bersama orang‑orang Zanji (orang berkulit hitam), yang melihat ke­pada mereka dan kepada tari‑tarian mereka. Lalu (ia berkata), bahwa ia ber­pegang, bahwa Rasulu'llah saw  memberi izin kepada Aisyah melihat ta­rian orang Zanji pada hari raya. Pendapat yang demikian itu salah. Karena dari dosa kecil itu, ada yang akan menjadi dosa besar, dengan berkekalan memperbuatnya. Dan dari perbua­tan‑perbuatan yang diperbolehkan (mubah) itu, ada yang akan menjadi dosa kecil dengan berkekalan dikerjakan. Maka tiada sayogialah dilupakan dari yang demikian!
Benar, Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa mereka (para sahabat) berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya engkau bermain‑main (bergurau) de­ngan kami". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Sesungguhnya aku, walaupun aku bersenda‑gurau dengan kamu, tetapi aku tiada berkata, selain yang benar". 'Atha' berkata, bahwa seorang laki‑laki bertanya kepada Ibnu Abbas: "­Adakah Rasulu'llah saw bergurau?" Ibnu Abbas menjawab: "Ada!”. Orang tadi bertanya lagi: "Apakah guraunya itu?". Ibnu Abbas menjawab: "Guraunya ialah, bahwa pada suatu hari, Nabi saw memberi pakaian kepada salah seorang istrinya, kain yang lapang. Lalu beliau bersabda kepada istrinya itu: “Pakailah, pujilah Allah dan ta­riklah daripadanya kaki kain, seperti kaki kainnya penganten?". Anas berkata, bahwa Nabi saw adalah paling banyak bergurau dengan is­trinya. Dan diriwayatkan, bahwa Nabi saw banyak tersenyum. Dari Al‑Hasan AI‑Bashari, yang mengatakan: "Seorang wanita tua datang kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: ”Tidak masuk sorga wanita tua". Lalu wanita itu menangis. Maka Nabi saw bersabda: "Engkau pada hari itu tidak wanita tua lagi". Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya (gadis‑gadis itu) Kami jadikan dengan kejadian (yang istimewa). Dan mereka kami jadikan perawan suci". S 56 Al waaqi'ah a­yat 35‑36.
Zaid bin Aslam berkata: "Bahwa seorang wanita, yang dikatakan namanya: Ummu Aiman, datang kepada Nabi saw. Maka ia berkata: "Bahwa sua­miku mengundang engkau". Lalu Nabi saw bertanya: "Siapakah dia? Adakah dia yang pada matanya putih?". Wanita itu menjawab: "Demi Allah, tiada putih pada matanya". Maka Nabi saw menjawab: "Ada! Sesungguhnya ada putih pada matanya",. Wanita itu berkata: "Tidak demi Allah!”. Lalu Nabi saw bersabda: “Tiada seorang pun yang tidak ada putih pada matanya". Nabi saw bermaksud: putih yang mengelilingi mata hitam. Seorang wanita lain datang kepada Nabi saw seraya berkata: "Wahai Ra­sulu'llah! Bawalah aku diatas unta!”. Lalu Nabi saw menjawab: "Tetapi kami akan membawa engkau diatas anak unta". Wanita itu lalu menyahut: "Apa yang akan aku perbuat dengan anak unta itu?. la tiada sanggup mem­bawa aku". Lalu Nabi saw bersabda: "Tiadalah unta itu melainkan ada­lah anak unta". Nabi saw adalah bergurau dengan yang demikian. Anas berkata: "Bahwa Abi Thalhah mempunyai seorang anak laki-laki, na­manya: Abu Umair. Rasululah saw datang kepada mereka, seraya ber­sabda: "Hai Abu Umair! Apa kabar nughair?". Karena nughair itu adalah burung yang dimain ‑ mainkannya. Nughair, ialah: anak burung pipit. 
'Aisyah berkata: "Aku pergi bersama Rasulu'llah saw pada perang Badar. Maka beliau bersabda: "Marilah, sehingga aku mendahului eng­kau!”. Lalu aku ikatkan baju besiku pada perutku. Kemudian, kami garis­kan suatu garis. Lalu kami berdiri diatas garis itu. Dan kami dahulu men­dahului. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini tempat, Dzil‑Majaz namanya". Yang demikian itu, ialah bahwa pada suatu hari Rasulu'llah saw datang dan kami berada di Dzil‑Majaz. Dan aku waktu itu Masih anak kecil. Diutus oleh ayahku membawa sesuatu. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Berilah itu kepadaku!”. Aku tidak mau memberinya dan aku terus berjalan. Dan Rasulu'llah saw berjalan dibelakangku. Tetapi ia ti­dak dapat menjumpai aku". 'Aisyah berkata pula: "Rasulu'llah saw dahulu ‑ mendahului dengan aku. Lalu aku mendahuluinya. Tatkala aku membawa daging, ia dahulu mendahului dengan aku. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini dengan yang itu". 'Aisyah berkata pula: "Adalah padaku, Rasulu'llah saw dan Saudah binti Zam’ah. Lalu aku membuat harirah (tepung yang dibuat dengan susu). Aku bawa makanan tersebut, seraya aku berkata kepada Saudah: "Makanlah!”. Lalu Saudah menjawab: "Aku tidak suka". Maka aku ja­wab: "Demi Allah, engkau makan atau aku lumurkan muka engkau dengan makanan ini". Saudah menjawab: "Aku tidak akan mencicipinya". Lalu aku ambil dengan tanganku sedikit dari makanan itu dari piring. Maka aku lumurkan mukanya. Dan Rasulu'llah duduk diantara aku dan dia. Lalu Ra­sulu'llah saw merendahkan kedua lututnya, supaya Saudah tercegah da­ripadaku. Lalu aku ambil sedikit dari isi piring itu. Dan aku sapu mukaku dengan dia. Dan membuat Rasulu'llah saw tertawa".
Diriwayatkan, bahwa Adl‑Dlahhak bin Sufyan Al-Kallabi adalah seorang yang pendek dan buruk bentuknya. Ketika ia diangkat dengan sumpah (di­bai'ah) oleh Nabi saw  menjadi kepala dari kaumnya yang sudah memeluk Agama Islam, Ialu ia berkata: "Sesungguhnya  padaku ada dua orang wanita yang lebih cantik dari Al-Humaira (panggilan kepada 'Aisyah) ini". Peristiwa ini terjadi sebelum turunnya ayat‑hijab. "Apakah aku bawakan salah seorang dari keduanya untuk engkau, Ialu engkau kawini dia?". 'Aisyah duduk saja dengan tenang dan mendengar. Lalu bertanya: "Adakah wanita itu yang lebih cantik atau engkau?”. Maka orang itu men­jawab: "Aku yang lebih cantik dan yang lebih mulia dari wanita itu". Maka tertawalah Rasulu'llah saw dari pertanyaan Aisyah tadi kepada laki‑laki itu. Karena laki‑laki tersebut adalah seorang yang pendek dan buruk ben­tuknya".
Diriwayatkan oleh 'Alqamah dari Abi Salmah, bahwa Nabi saw menge­luarkan lidahnya dari mulutnya untuk Hasan bin Ali ra (cucu Nabi saw). lalu anak kecil itu melihat lidah Nabi saw dan ia amat bergem­bira. Lalu 'Uyainah bin Badar AI‑Fazzari berkata kepada Nabi saw: "De­mi Allah, kiranya aku mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah kawin dan ia mengeluarkan mukanya dan aku sekali‑kali tiada akan memeluk­nya". Lalu Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya siapa yang tiada mencintai, niscaya tiada akan di­cintai".
Kebanyakan hal berbaik‑baikan ini dinukilkan bersama kaum wanita dan anak-anak. Yang demikian itu merupakan obat dari Nabi saw karena kelemahan hati mereka, tanpa kecenderungan kepada bersenda‑gurau. Pada suatu kali Nabi saw bersabda kepada Shuhaib dan ia sakit mata. Dan ia memakan tamar: "Adakah engkau memakan tamar, sedang engkau sakit mata?". Lalu Shuhaib menjawab, "Sesungguhnya aku memakannya dengan yang sebelah lagi, wahai Rasulu’llah!”. Maka tersenyumlah Nabi saw. Setengah perawi hadits ini berkata: "Sehingga aku melihat gigi geraham­nya".
Diriwayatkan, bahwa "Khawwat bin Jubair AI‑Anshari duduk bersama wa­nita suku Bani Ka’ab di jalan Makkah. Lalu dilihat oleh Rasulu'llah saw, seraya menegur: “Hai Aba Abdillah! Ada apa engkau bersama wanita?". Khawwat, yang dipanggil tadi dengan Aba Abdillah, Ialu menjawab: “Mereka memintal tali untaku, yang suka lari". Khawwat berkata: "Maka Rasulu'llah saw terus pergi untuk keperluan­nya. Kemudian, beliau kembali lagi, seraya bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?". Khawwat berkata: "Lalu aku diam dan merasa malu dan aku sesudah itu, selalu melarikan diri daripada Nabi saw manakala melihatnya, karena malu kepadanya. Sehingga aku datang di Madinah. Dan sesudah aku da­tang di Madinah, Khawwat meneruskan ceriteranya maka pada suatu ha­ri, Nabi saw melihat aku mengerjakan shalat di masjid. Lalu beliau du­duk dekat aku. Maka aku panjangkan shalat. Lalu beliau bersabda: “Ja­ngan engkau panjangkan! Sesungguhnya aku menunggu engkau!”. Sesudah aku memberi salam dari sholat, lalu beliau bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?". Khawwat menerangkan lebih lanjut: "Lalu aku diam dan aku merasa malu. Dan Rasulu'llah pun bangun, berdiri. Dan adalah aku sesudah itu melarikan diri daripadanya. Sehingga pada suatu hari, ia mengikuti aku dan ia me­ngendarai keledai. Dan kedua kakinya diletakkannya disatu pihak. Maka beliau bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?”.  Lalu aku menjawab: "Demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran! Unta itu tidak lari lagi semenjak aku memeluk Agama Islam". Lalu Nabi saw mengucapkan: "Allahu Akbar! Allahu Ak­bar!  Wahai Allah, Tuhanku! Tunjukilah Aba Abdillah!”. Yang meriwayatkan peristiwa ini, meneruskan riwayatnya: "Maka baguslah Islamnya Khawwat itu. Dan ia ditunjuki oleh Allah dengan hidayah Allah".
Adalah Nuaiman AI‑Anshari seorang laki‑laki yang suka bergurau. Ia mi­num khamar di Madinah. Lalu ia dibawa kepada Nabi saw. Maka dipukul oleh Nabi saw dengan sandalnya. Dan beliau menyuruh para shahabat­nya. Lalu mereka memukulnya dengan sandaInya. Sewaktu telah banyak de­mikian, maka seorang diantara para shahabat itu berkata kepada Nuaiman: "Kiranya engkau dikutuk oleh Allah!”. Lalu Nabi saw bersabda kepada shahabat tersebut: "Jangan engkau berbuat demikian! Karena ia mencintai Allah dan RasuI Allah". Adalah Nuaiman tersebut, apabila ia masuk ke kota Madinah dengan mu­dah perjalanan dan sekejap mata, ia membeli apa‑apa daripadanya. Kemudian dibawanya kepada Nabi saw seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Ini aku belikan untukmu dan aku hadiahkan kepadamu". Apabila yang punya barang itu datang, meminta pada Nu’aiman harganya, lalu Nu’aiman datang kepada Nabi saw, seraya berkata: "Wahai Rasu­lu'llah! Berilah kepada orang itu harga barangnya!”. Lalu Nabi saw men­jawab: "Apakah engkau tidak menghadiahkan barang itu kepada kami?". Nu’aiman tersebut menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya aku ti­dak mempunyai uang untuk membayar harganya. Dan aku ingin engkau makan barang tersebut. Lalu Nabi saw tertawa dan menyuruh shahabatnya membayar harga ba­rang itu. Inilah kata‑kata berbaik‑baikan, yang diperbolehkan seperti itu secara sedi­kit. Tidak secara terus‑terusan. Membiasakan kata‑kata yang demikian, a­dalah senda‑gurau yang tercela dan sebab bagi tertawa yang mematikan ha­ti.
BAHAYA KESEBELAS: ejekan dan memperolok‑olok
Perbuatan tersebut adalah diharamkan, manakaIa menyakitkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Hai orang‑orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang la­ki- laki merendahkan (menertawakan) kumpulan yang lain; boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan). Dan jangan pula sekumpulan perempuan (merendahkan) kumpulan perempuan yang lain; boleh jadi (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka". S 49 Al‑Hujuraat ayat 11. Arti mengejek, ialah: menghina, melecehkan dan memberitahukan sifat‑si­fat yang memalukan dan kekurangan‑kekurangan dengan cara yang men­tertawakan. Yang demikian itu, kadang‑kadang dengan meniru pada per­buatan dan perkataan. Dan kadang‑kadang dengan isyarat dan tunjukan. Apabila ada yang demikian itu dihadapan orang yang diejek, niscaya tidak dinamakan: umpatan. Tetapi mengandung arti umpatan.
Aisyah berka­ta: "Aku menceriterakan tentang seseorang, lalu Nabi saw bersab­da kepadaku: "Demi Allah! Aku tidak suka menceriterakan tentang se­seorang, sedang aku mempunyai keadaan demikian‑demikian". Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah Ta’ala: "Aduhai! Malangnya kami! Kitab apakah ini? Tidak ditinggal­kannya perkara yang kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semu­anya". S 18 Al Kahfi ayat 49. "Bahwa yang kecil itu, ialah: tersenyum dengan memperolok‑olokkan orang mu'min. Dan yang besar itu, ialah: tertawa terbahak‑bahak dengan yang demikian". Itu menunjukkan, bahwa tertawa kepada orang, termasuk dalam jumlah dosa kecil dan dosa besar.
Dari Abdullah bin Zam’ah, dimana ia berkata: "Aku mendengar RasuIu’llah saw dan beliau berkhutbah. Maka beliau menasehati mereka tentang tertawanya karena kentut. Lalu beliau bertanya: "Berdasarkan apakah tertawanya salah seorang kamu dari apa yang diperbuatnya?" Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang‑orang yang memperolok‑olok­kan manusia itu, dibukakan pintu sorga bagi salah seorang mereka. Lalu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!”. Lalu orang yang memperolok‑o­lokkan itu datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Tatkala ia datang kepintu sorga itu, Ialu pintu tersebut dikuncikan terhadap orang itu. Kemudian dibukakan lagi pintu lain untuknya. Lalu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!”. Lalu ia datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Tatkala ia datang kepintu itu Ialu pintu tersebut dikuncikan terhadap dia. Maka se­nantiasalah seperti yang demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, Ialu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!”. Maka ia tidak da­tang ”lagi ke pintu itu".
Mu’adz bin Jabal berkata: "Nabi saw bersabda: "Barangsiapa memalukan saudaranya dengan dosa yang telah di­tobatinya, niscaya ia ( orang yang memalukan saudaranya ) tiada akan mati sebelum ia mengerjakan dosa itu". Semua ini kembali kepada menghina orang lain dan tertawa kepadanya, un­tuk menghinakan dan memandangnya kecil. Dan kepada itulah, firman Al­lah Ta’ala memperingatkan: "Boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawa kan)". S 49 Al Hujuraat ayat 11. Artinya: jangan engkau menghinakannya, karena memandangnya kecil. Boleh jadi, ia lebih baik daripada engkau. Sesungguh nya perbuatan tersebut diharamkan, mengenai orang yang me­rasa sakit dengan perbuatan itu.
Adapun orang yang membuat dirinya terhina dan kadang‑kadang ia ber­gembira dihinakan, niscaya adalah pengejekan mengenai dirinya itu, terma­suk dalam jumlah senda‑gurau. Dan telah diterangkan dahulu, apa yang tercela dan yang terpuji daripadanya. Sesungguhnya yang diharamkan itu, pandangan kecil, yang menyakitkan o­rang yang dihinakan. Karena padanya penghinaan dan pelecehan. Dan yang demikian itu, kadang‑kadang dengan ditertawakan pada perkataannya, apabila hilang tujuan pada perkataan itu dan tidak tersusun baik. Atau di tertawakan pada perbuatannya, apabila perbuatan itu kacau. Seperti terta­wa pada tulisannya dan pada perusahaannya. Atau ditertawakan pada ru­panya dan bentuknya, apabila ia pendek atau kurang karena sesuatu keku­rangan yang memalukan. Maka tertawa pada semua itu, termasuk pada pe­ngejekan yang dilarang.
BAHAYA KEDUA BELAS: membuka rahasia.
Membuka rahasia itu dilarang. Karena padanya menyakitkan dan penghi­naan akan hak orang yang dikenal dan teman‑teman. Nabi saw bersabda:  "Apabila seseorang berbicara sesuatu pembicaraan, kemudian ia pergi, maka itu adalah amanah". Dan Nabi saw bersabda: "Secara mutlak pembicaraan diantara sesama kamu itu amanah". Al-Hasan AI‑Bishri ra berkata: "Sesungguhnya termasuk pengkhianatan, bahwa engkau membicarakan rahasia saudara engkau”. Diriwayatkan, bahwa Mu'awiah ra merahasiakan suatu pembicaraan kepada Al-Walid bin 'Utbah. Lalu Al-Walid berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, bahwa Amirul‑mu'minin merahasiakan suatu pembicaraan kepadaku. Aku tidak melihat, bahwa ia menutup kepada ayah, apa yang di­bentangkannya kepada orang lain". Maka menjawab ayah Al-Walid: "Ja­ngan engkau katakan kepadaku! Sesungguhnya orang yang menyembunyi­kan rahasianya, adalah pilihan kepada nya. Dan orang yang membuka ra­hasianya, adalah pilihan atas dirinya". Al-Walid meneruskan ceriteranya: "Lalu aku berkata: "Wahai ayahku! Sesungguh nya ini termasuk urusan diantara orang dengan anaknya". Ayah Al-Walid ('Utbah) menjawab: "Demi Allah, tidak, wahai anakku! Akan tetapi, aku menyukai, bahwa engkau tidak menghinakan lidah eng­kau dengan pembicaraan‑pembicaraan rahasia". Al-Walid meneruskan ceriteranya: “Lalu aku datang kepada Mu'awiah, maka aku ceriterakan kepadanya. Lalu ia menjawab: "Hai Walid! Bapak­mu telah memerdekakan kamu dari perbudakan kesalahan". Maka membuka rahasia itu suatu pengkhianatan. Dan itu haram, apabila a­da padanya mendatangkan kerugian. Dan tercela, jikalau tak ada padanya kerugian. Dan telah kami sebutkan apa yang menyangkut dengan menyem­bunyikan rahasia, pada "Kitab Adab Berteman". Maka tidak perlu lagi di­ulangi.
BAHAYA KETIGA BELAS: janji dusta.
Sesungguhnya lidah itu mendahului kepada janji. Kemudian, kadang‑ka­dang jiwa tidak membolehkan agar janji itu ditepati. Lalu jadilah menyalahi janji. Dan yang demikian itu setengah dari tanda‑tanda nifaq (tanda-­tanda orang munafiq). Allah Ta’ala berfirman: "Hai orang‑orang yang beriman! Tepatilah segala janji!”. S 5 Al ­Maa-idah ayat 1. Nabi saw bersabda: "Janji itu suatu pemberian". Nabi saw bersabda: "AI‑wa’yu (janji) itu seperti hutang atau lebih utama daripada hu­tang". Allah Ta’ala memuji nabi Allah Ismail as dalam Kitab Allah yang mulia. Ia berfirman: "Sesungguhnya dia (Nabi Ismail as) adalah seorang yang membenari (memenuhi) janji". S 19 Maryam ayat 54. Dikatakan, bahwa nabi Ismail as berjanji dengan seorang insan pada sua­tu tempat. Lalu orang tersebut tiada kembali ketempat tadi, karena lupa. Maka tinggallah nabi Ismail as ditempat itu selama 22 hari me­nunggu kedatangannya.
Tatkala Abdullah bin Umar hampir wafat, lalu ia berkata: "Sesungguhnya seorang laki‑laki dari suku Quraisy telah meminang anak‑perempuanku. Dan sesungguhnya sudah menyerupai janji daripadaku kepadanya. Maka, demi Allah kiranya aku tidak menemui Allah dengan sepertiga nifaq. Aku saksikan kamu, bahwa aku telah mengawinkan anak‑perempuanku dengan laki‑laki itu".
Dari Abdullah bin Abil‑Khansa', yang mengatakan: "Aku telah berjual‑be­li dengan Nabi saw sebelum beliau diutus menjadi rasul Tuhan. Dan ma­sih ada sisa kepunyannya padaku. Aku berjanji dengan dia, bahwa aku a­kan datang membawa sisa itu ke tempatnya. Lalu aku lupa pada hari ter­sebut dan besoknya. Baru aku datang kepadanya pada hari ke 3 dan beliau berada pada tempatnya itu. Lalu beliau bersabda: "Hai anak muda! Engkau sudah menyusahkan aku. Aku disini semenjak 3 hari yang Ialu menunggu engkau".
Ditanyakan kepada Ibrahim An‑Nakha’i, tentang seseorang yang berjanji dengan seseorang. Lalu orang itu tidak datang. Ibrahim An‑Nakha'i men­jawab: "Supaya ia menunggu, sampai masuk waktu shalat yang akan da­tang". Rasulu'llah saw apabila berjanji dengan suatu janji, mengatakan: "Asaa" artinya mudah-mudahan. Ibnu Mas'ud apabila berjanji dengan suatu janji, mengatakan: "Insya Allah" artinya jika dikehendaki Allah. Dan itu adalah lebih utama.
Kemudian, apabila dipahami dari perkataan itu, akan keteguhan pada janji, maka tak boleh tidak harus ditepati, kecuali berhalangan. Jikalau waktu berjanji, sudah ada keteguhan tidak akan di­tepati, maka ini nifaq namanya. Abu Hurairah berkata: Nabi saw bersabda: "Tiga perkara, barang siapa ada pada tiga perkara itu, maka dia itu orang munafiq, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendak­wakan bahwa ia muslim. Yaitu: apabila berbicara, ia berdusta, apabila ber­janji, ia menyalahi janji dan apabila dipercayai, ia berkhianat".
Abdullah bin 'Amr ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Empat per­kara, barangsiapa ada padanya, niscaya dia itu orang munafiq. Dan barang­siapa ada padanya suatu sifat dari yang empat itu, niscaya ada padanya su­atu sifat dari nifaq, sehingga ditinggalkannya sifat tersebut. Yaitu: Apabila berbicara, ia berdusta. Apabila berjanji, ia menyalahi janji. Apabila membuat suatu perjanjian, ia membelok. Dan apabila bermusuh‑musuhan, ia menganiaya (zalim)". Hadits ini ditempatkan terhadap orang yang berjanji dan ia bercita‑cita me­nyalahi janji tersebut. Atau meninggalkan menepatinya tanpa ada halang­an. Adapun orang yang bercita‑cita akan menepatinya, lalu datanglah halangan yang mencegahnya daripada menepatinya, niscaya ia tidak termasuk orang munafiq. Walaupun berlaku padanya bentuk nifaq. Akan tetapi sayogialah dijaga juga dari bentuk nifaq itu, sebagaimana dijaga dari hakikat/maknanya. Dan tiada sayogianya menjadikan dirinya berhalangan, tanpa ada darurat (ke­adaan terpaksa) yang menghalanginya.
Diriwayatkan: "bahwa Rasulu'llah saw  menjanjikan seorang pembantu (khadim) kepada Abulhaitam bin At‑Tayyihan. Lalu beliau mendatangkan tiga orang tawanan perang. Maka diberinya dua orang dan tinggallah satu orang. Kemudian datanglah Fathimah ra meminta seorang pembantu dari Rasulu'llah saw. Dan ia berkata: "Tidakkah ayah anda melihat bekas menggiling bumbu makanan pada tanganku?". Rasulu'llah saw Ialu menyebut janjinya kepada Abulhaitsam, seraya bersabda: “Bagaimana de­ngan janjiku kepada Abulhaitsam?". Rasulu'llah saw mendahulukan Abulhaitsam daripada Fathimah ra me­ngenai pembantu itu. Karena ia telah lebih dahulu berjanji kepada Abulhait­sam, sedang Fathimah ra menggiling bumbu makanan dengan tangannya yang lemah.
Adalah Nabi saw duduk membagi harta rampasan perang Hawazin di Hunain. Lalu berdirilah seorang laki‑laki dari orang banyak dihadapan Na­bi saw. Orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya ada jan­jimu untukku!”. Nabi saw menjawab: "Benar engkau! Engkau boleh memutuskan menu­rut kehendak engkau". Orang itu lalu menjawab: "Aku memutuskan 80 domba‑betina dan penggembalanya". Nabi saw menjawab: "Boleh itu untuk engkau”. Dan Nabi saw me­nambahkan: "Engkau telah menetapkan hukum dengan mudah”.
Seorang wanita tua yang menemani Musa as, yang menunjukkan kepadanya tulang belulang Yusuf as, adalah lebih kokoh dan lebih banyak hukumnya da­ripada engkau, ketika ia diberi hak hukum (untuk memutuskan sesuatu) o­leh Nabi Musa as. Wanita itu Ialu berkata: "Hukumku, ialah: bahwa eng­kau kembalikan aku muda dan masuk sorga bersama engkau". ( Menurut riwayat, lalu Nabi Musa as berdo'a kepada Allah, supaya wanita itu muda kembali. Maka diterima oleh Allah do'anya. Dan wanita itu menjadi cantik kembali dan diteri­ma pula do'anya supaya wanita itu masuk sorga bersama Nabi Musa as. Maka wanita itu menunjukkan tempat tulang belulang nabi Yusuf as pada dasar sungai Nil. Lalu Nabi Musa as meletakkkan tongkatnya, maka terbelahlah air dan kelihatanlah petinya. Nabi Musa as membawa peti itu ke Baitul maqdis dan dikuburkan disana ). Dikatakan, lalu orang banyak tadi memandang lemah apa yang diputuskan oleh orang laki‑laki itu. Sehingga laki‑laki tersebut dibuat menjadi pepatah, dimana dikatakan: Lebih kikir dari orang yang punya 80 domba betina dan penggembalanya. Nabi saw bersabda: “Tidaklah menyalahi janji, bahwa seseorang berjanji dengan seseorang dan pada niatnya akan menepatinya”. Pada bunyi hadist yang lain ialah: "Apabila seseorang berjanji dengan saudaranya dan pada niatnya akan menepatinya, lalu tidak diperolehnya jalan, maka tidaklah dosa atas dirinya".
BAHAYA KEEMPAT BELAS: dusta pada perkataan dan sumpah.
Itu termasuk dosa yang paling buruk dan kekurangan yang paling keji. Is­mail bin Wasith berkata: "Aku mendengar Abubakar Ash‑Shiddiq ra ber­khutbah sesudah wafat Rasulu'llah saw. Beliau berkata: "Berdiri dite­ngah‑tengah kami Rasulu'llah saw pada tempat aku berdiri ini, ditahun pertama. Kemudian beliau menangis, dan seraya bersabda: "Awaslah berdusta! Sesungguhnya orang yang berdusta itu ber­sama orang yang zalim. Keduanya dalam neraka". Abu Amamah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa dusta itu su­atu pintu dari pintu‑pintu nifaq".  Al-Hasan AI‑Bashari berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa termasuk ni­faq, berbeda rahasia dan yang terang, berbeda perkataan dan perbuatan dan berbeda masuk dan keluar. Sesungguhnya pokok yang terbangun nifaq padanya, ialah: “dusta". Nabi saw bersabda: “Amat besarlah khianatnya, bahwa engkau berbicara sesuatu pembicaraan dengan saudara engkau, dimana ia membenarkan engkau dan engkau dusta dengan pembicaraan tersebut".
Ibnu Mas'ud berkata: "Nabi saw bersabda: "Selalulah seorang hamba itu berdusta dan merasa patut berdusta. Sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: amat pendusta”. Rasulu'llah saw lalu ditempat dua orang laki‑laki, yang berjual beli se­ekor kambing dan keduanya sumpah‑menyumpah. Salah seorang dari ke­duanya berkata: "Demi Allah! Tidak akan aku kurangkan bagimu dari se­kian dan sekian". Lalu yang lain berkata: “Demi Allah! Tidak akan aku tambahkan bagimu diatas sekian dan sekian". Lalu Rasulu'llah saw da­tang pada kambing itu dan sudah dibeli oleh salah seorang dari keduanya. Lalu Nabi bersabda: "Diwajibkan salah seorang dari keduanya: dosa dan kafarat sumpah". Nabi saw bersabda: "Dusta itu mengurangkan rezeki". Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya saudagar‑saudagar itu orang‑orang yang zalim". Lalu ditanyakan: "Wahai Rasulu'llah! Bukankah Allah telah menghalalkan berjual‑beli?". Nabi saw menjawab: "Ya, benar! Tetapi mereka itu ber­sumpah, maka mereka berdosa. Dan mereka berkata‑kata, lalu mereka berdusta". Nabi saw bersabda: "Tiga golongan manusia, yang Allah Ta’ala tidak ber­kata‑kata dengan mereka pada hari kiamat dan tidak memandang kepada me­reka. Yaitu: orang yang menyebut‑nyebut dengan pemberiannya, orang yang melakukan barang dagangannya dengan sumpah palsu dan orang yang merendahkan kain sarungnya" (melambangkan tanda kesombongan dari itu maka dipandang tidak baik). Nabi saw bersabda: "Apabila seorang bersumpah dengan membawa na­ma  Allah, lalu dimasukkannya dalam sumpah itu seperti sayap lalat, maka adalah suatu titik pada hatinya sampai hari kiamat".
Abu Dzart berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tiga orang, dicintai me­reka oleh Allah Ta’ala. Yaitu: laki‑laki yang ada dalam jama'ah teman-temannya. Lalu menegakkan lehernya menghadapi musuh, sehingga ia ter­bunuh atau ia dimenangkan oleh Allah dan teman‑temannya. Dan laki‑laki yang mempunyai tetangga jahat yang menyakitinya. Maka ia bersabar dia­tas kesakitan itu. Sehingga dipisahkan diantara keduanya oleh mati atau pindah. Dan laki‑laki, dimana bersama dia ada suatu kaum dalam perja­lanan jauh atau perjalanan malam. Lalu mereka itu meneruskan perjalanan malam itu, sehingga mengherankan mereka, oleh menyintuhkan tanah (maksudnya sangat tertidur). Maka mereka itu turun dari kenderaan. Lalu laki‑laki tersebut berpindah tempat untuk mengerjakan shalat, sampai ia membangunkan teman‑temannya itu untuk meneruskan perjalanan. Dan ti­ga macam manusia yang dimarahi Allah. Yaitu: “Pedagang atau penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang sombong dan orang kikir yang su­ka menyebut‑ nyebut pemberiannya". Nabi saw bersabda: “Neraka bagi orang yang berbicara, lalu berdusta, untuk mener­tawakan orang banyak dengan pembicaraannya itu. Neraka baginya ‑ ne­raka baginya".
Nabi saw bersabda: "Aku bermimpi seolah‑olah seorang laki‑laki datang padaku. Lalu ia berkata kepadaku: "Bangunlah!”. Lalu aku bangun ber­sama dia. Tiba‑tiba aku bersama dua orang laki‑laki. Yang seorang berdiri dan yang lain duduk. Ditangan yang berdiri itu, besi yang bengkok kepa­lanya, yang dimasukkannya kedalam mulut yang duduk. Lalu ditariknya, sehingga sampai keatas bahunya. Kemudian ditariknya lagi, lalu dimasuk­kannya kepinggir yang lain, maka dipanjangkan nya. Apabila telah dipan­jangkannya, niscaya yang lain itu kembali, sebagaimana yang telah ada ta­di. Lalu aku bertanya kepada orang, yang meminta aku berdiri tadi: "Apakah ini?” Orang itu lalu, menjawab: "Inilah laki‑laki pendusta, yang dia­zabkan dalam kuburnya sampai hari kiamat".
Dari Abdullah bin Jarrad, dimana ia berkata: "Aku bertanya kepada Ra­sulu'llah saw, seraya aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Adakah orang mu'min itu berzina?". Rasulu’llah saw menjawab: "Kadang‑kadang ada yang demikian". Abdullah bin Jarrad bertanya lagi; "Wahai Nabi Allah! Adakah orang mu'­min itu berdusta?". Rasulu'llah saw menjawab: "Tidak!”. Kemudian, Rasulu'llah saw menyambungkannya dengan firman Allah Ta’ala: "Hanyalah orang‑orang yang tidak percaya kepada keterangan‑ke­terangan Allah itulah yang mengada‑adakan kedustaan". S16 An Nahl ayat 105.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata: "Aku mendengar Rasulu'llah saw berdo'a, seraya mengucapkan dalam do'anya:  "Wahai Allah Tuhanku! Sucikanlah hatiku dari nifaq, kemaluanku dari zina dan lidahku dari dusta". Nabi saw bersabda: "Tiga golongan manusia, dimana Allah Ta’ala tiada berkata‑kata dengan mereka, tiada memandang kepada mereka dan tiada mensucikan mereka. Dan bagi mereka siksaan yang pedih. Yaitu: guru (syaikh) yang berzina, raja yang berdusta dan orang miskin yang sombong". 
Abdullah bin 'Amir berkata: "Rasulu'llah saw datang kerumah kami dan aku (waktu itu) kanak‑kanak masih kecil. Lalu aku pergi untuk bermain-­main. Maka ibuku berkata: "Hai Abdullah! Mari, supaya aku berikan ke­padamu sesuatu!”. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Apakah yang mau engkau berikan kepadanya?". Ibu itu menjawab: "Tamar!”. Lalu Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya jikalau tidak engkau perbuat, niscaya dituliskan pada engkau suatu kedustaan". Nabi saw bersabda: "Jikalau Allah Ta’ala menganugerahkan kepadaku nikmat menurut bilangan batu ini, niscaya aku bagi‑bagikan diantara kamu. Kemudian, kamu tiada akan mendapati aku orang yang kikir, yang berdus­ta dan yang penakut". Nabi saw bersabda dan beliau waktu itu bersandar: "Tidakkah aku beri­ tahukan kepadamu, dosa besar yang terbesar?. Yaitu: “mempersekutukan Allah dan mendurhakai ibu‑bapa". Kemudian beliau duduk, seraya bersabda: “Ketahuilah: dan berkata dusta".
Ibnu Umar berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba Allah yang berbuat dusta dengan suatu kedustaan, maka jauhlah malaikat daripadanya, sejauh perjalanan satu mil, dari karena busuknya apa yang didatangkannya". Anas bin Malik ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Tanggunglah untukku dengan 6 perkara, niscaya aku tang­gung untukmu dengan sorga". Mereka (para shahabat) lalu bertanya: "Apakah yang 6 perkara itu?". Rasulu'llah saw menjawab:
1. Apabila seorang kamu berbicara, maka jangan ia berdusta.
2. Apabila ia berjanji, ma­ka jangan ia menyalahinya.
3. Apabila ia diberi kepercayaan (amanah), maka Jangan ia berkhianat.
4. Dan tutuplah matamu! 
5. Jagalah kemaluanmu!
6. Dan ce­gahlah tanganmu.
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya setan itu mempunyai celak (kahalan), barang yang disendok dalam mulut (Ia’uuq) dan barang yang dihirup dalam hidung (na­syuuq). Adapun barang yang disendok dalam mulut itu, maka itulah: dusta. Dan barang yang dihirup dalam hidung itu, maka itulah: marah. Adapun celaknya (benda seperti tepung yang dipakai pada mata), ialah: “tidur”. 
Pada suatu hari 'Umar ra berpidato. Beliau berkata: "Rasulu'llah saw berdiri ditengah‑tengah kami, seperti berdirinya aku ini ditengah‑tengah kamu. Lalu beliau bersabda: "Berbuat‑baiklah kepada shahabat‑shahabat­ku, kemudian kepada mereka yang kemudiannya (para pengikutnya atau tabi'in). Kemudian berkembanglah dusta. Sehingga bersumpahlah seorang laki‑laki diatas sumpah dan tidak diminta sumpahnya. Ia naik saksi dan ti­dak diminta kesaksiannya".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membicarakan daripadaku sesuatu ha­dits, padahal ia tahu, bahwa itu dusta, maka adalah ia salah seorang pen­dusta". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bersumpah diatas sesuatu sumpah dengan dosa, untuk mengambil harta manusia muslim dengan tidak sebenar­nya, niscaya ia menemui Allah 'Azza wa Jalla dan Allah sangat marah ke­padanya". Diriwayatkan, dari Nabi saw, bahwa: "Nabi saw menolak kesaksian se­seorang laki‑laki dalam kedustaan yang didustainya", Nabi saw bersabda: "Diatas setiap perkara itu mungkin menjadi tabiat atau dilalui padanya orang Islam, selain khianat dan dusta".
Aisyah berkata: "Tiadalah suatu tingkah‑laku yang sangat berat diatas para shahabat Rasulu'llah saw, selain daripada: dusta. Dan adalah Ra­sulullah saw melihat pada salah seorang shahabatnya diatas kedustaan. Maka tiada hilang ia dari dada Rasulu'llah saw, sebelum beliau tahu, bahwa shahabatnya itu telah bertobat kepada Allah 'Azza wa Jalla dari ke­dustaan tersebut". Nabi Musa as berdo'a: "Wahai Tuhanku! Yang manakah dari hambaMu yang terbaik amalannya kepadaMu?". Allah Ta’ala berfirman: "Siapa yang tidak berdusta lidahnya, tidak zalim hatinya dan tidak berzina kemaluan­nya".
Lukman berkata kepada anaknya. "Hai anakku! Takutilah berdusta! Ka­rena dusta itu disukai, seperti daging burung pipit. Amat sedikit yang tidak disukai oleh yang berdusta itu sendiri". Nabi saw bersabda, memujikan kebenaran (berkata benar): "Empat perkara apabila ada pada kamu, niscaya tidak mendatang­kan melarat kepadamu, apa yang tidak kamu peroleh dari dunia, yaitu: “be­nar pembicaraan, memelihara amanah, bagus tingkah‑laku dan menjaga makanan (dari yang haram atau yang diragukan halalnya)".
Abubakar ra mengucapkan dalam pidatonya sesudah wafat Rasulu'llah saw: "Rasulu'llah saw berdiri ditengah‑tengah kami pada tahun pertama seperti berdirinya aku ini. Kemudian beliau menangis & ber­sabda: "Haruslah kamu benar! Sesungguhnya kebenaran itu bersama ke­bajikan & keduanya itu dalam sorga"
Mu'az berkata: "Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: "Aku nasehatkan engkau, bertaqwa kepada Allah, benar pembicaraan, menu­naikan amanah, menepati janji, memberi salam dan merendahkan diri". Adapun atsar (Kata‑kata shahabat dan orang-orang terkemuka), diantara lain Ali ra berkata: "Kesalahan yang terbesar pada sisi Allah, ialah: lidah yang banyak dustanya. Dan penyesalan yang terburuk, ialah: “penyesalan pada hari kiamat”.
Umar bin Abdul Aziz ra berkata: "Tiada pernah aku berdusta dengan su­atu kedustaanpun, semenjak aku dapat mengikat kain sarungku". 'Umar bin Al-Khath‑thab ra berkata: “Yang paling kami sukai dari kamu, ialah: selama kami tiada melihat namamu yang terbaik. Apabila kami me­lihat kamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: kamu yang ter­baik tingkah‑lakunya. Apabila kami mencobai kamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: yang paling benar pembicaraannya dan yang paling besar amanahnya”.
Dari Maimun bin Abi Syubaib, yang mengatakan: "Aku duduk menulis su­atu‑kitab, Ialu aku sampai pada suatu huruf. Jikalau aku tuliskan huruf ter­sebut, niscaya aku sudah menghiasi kitab itu. Dan aku sudah berdusta. Ma­ka aku berazam meninggalkannya, Ialu aku terpanggil dari pinggir rumah, dengan suara: "Allah meneguhkan kedudukan orang‑orang yang beriman de­ngan perkataan yang teguh dalam kehidupan dunia ini dan hari akhirat”  S 14 Ibrahim ayat 27.
  Asy‑Sya'bi berkata: "Saya tidak tahu, yang manakah yang lebih jauh da­lamnya dalam neraka: “pendusta atau orang kikir”. Ibnus‑Sammak berkata: "Aku tidak melihat, diriku diberi pahala, dengan meninggalkan dusta. Karena aku meninggalkannya karena sombong". Ditanyakan Khalid bin Shubaih: "Adakah dinamakan seseorang itu pen­dusta dengan sekali dusta?". Khalid menjawab: "Ya, benar!”. Malik bin Dinar berkata: "Aku membaca pada setengah kitab‑kitab yang maksudnya: “Masing‑ masing orang berkhutbah (khatib) itu, didatangkan khutbahnya menurut amal ‑ pekerjaannya. Jikalau ia benar, niscaya benarlah dia. Dan jikalau ia dusta, maka kedua bibirnya digunting dengan gunting a­pi neraka. Setiap kali kedua bibir itu digunting, Ialu tumbuh kembali". Malik' bin Dinar berkata: "Benar dan dusta itu keduanya berperang dalam hati, sehingga dikeluarkan oleh salah satu daripada keduanya akan teman­nya”. 'Umar bin Abdul aziz berbicara dengan Al-Walid bin Abdulmalik tentang sesuatu. Lalu Al-Walid berkata kepada 'Umar: "Engkau dusta!”. Lalu 'Umar men­jawab: "Tidak pernah aku berdusta, semenjak aku tahu, bahwa dusta itu memburukkan orang yang berdusta".
PENJELASAN: tentang hal‑hal yang dibolehkan berdusta.
Ketahuilah, bahwa dusta itu tidaklah haram karena diri dusta itu sendiri. Tetapi, karena ada padanya melarat kepada orang yang ditujukan atau ke­pada lainnya. Sekurang‑kurang tingkat melarat itu, ialah: bahwa yang ber­ceritera itu berkeyakinan akan sesuatu, kebalikan dari yang sebenarnya. Maka orang tersebut adalah orang bodoh. Dan kadang‑kadang menyangkut melarat itu kepada orang lain dengan kedustaan tersebut. Dan banyak pada kebodohan itu terdapat kemanfaatan dan kemuslihatan. Maka dusta itu menghasilkan kebodohan tersebut, Lalu kedustaan itu diizinkan. Dan ka­dang‑kadang dusta itu wajib. 
Maimun bin Mahran berkata: "Kedustaan pada setengah tempat itu lebih baik daripada benar. Jikalau engkau melihat, bahwa seorang laki‑laki ber­jalan dibelakang seorang manusia, dengan rnembawa pedang untuk mem­bunuhnya. Lalu orang itu masuk kesebuah kampung. Maka sampailah laki-­laki itu kepada engkau, seraya ia bertanya: "Adakah engkau melihat si A­nu?". Apakah yang akan engkau katakan? Tidakkah engkau akan menja­wab: "Aku tidak melihatnya". Dan orang itu tidak bersikap benar dengan penjawabannya?. Dan kedustaan ini wajib. Maka kami menerangkan, bahwa perkataan itu jalan kepada maksud. Tiap­ tiap maksud yang terpuji, yang mungkin sampai kepadanya dengan benar dan dusta, maka kedustaan padanya haram. Dan jikalau mungkin sampai kepadanya dengan kedustaan, tidak dengan kebenaran, maka kedustaan padanya diperbolehkan (mubah), jikalau adalah menghasilkan maksud ter­sebut mubah. Dan wajib, jikalau maksud itu wajib. Seperti memelihara darah orang Islam dari penumpahan itu wajib. Maka manakala pada kebe­naran itu menumpahkan darah manusia muslim, yang bersembunyi dari o­rang zalim, maka kedustaan dalam hal ini wajib hukumnya. Dan manakala tidak sempurna maksud peperangan atau memperbaiki selang‑sengketa a­tau menarik hati orang yang teraniaya, selain dengan dusta, maka dalam hal ini, kedustaan itu mubah(diperbolehkan). Hanya sayogialah dijaga daripa­danya sedapat mungkin. Karena apabila ia membuka pintu kedustaan pada dirinya, maka ditakuti bahwa kedustaan itu akan membawa kepada yang ti­ada perlu dan kepada yang tidak terbatas kepada batas yang darurat saja. Maka pada pokoknya, kedustaan itu haram, selain karena darurat. Dan yang menunjukkan kepada pengecualian itu, ialah yang dirawikan dari Ummi Kalsum, yang mengatakan: "Aku tidak mendengar Rasulu'llah saw memberi keringanan berdusta pada sesuatu, kecuali pada tiga tempat. Yai­tu: orang yang mengatakan sesuatu perkataan, yang dimaksudkannya un­tuk perbaikan, orang yang mengatakan sesuatu perkataan dalam peperang­an dan orang yang berbicara dengan isterinya dan isteri yang berbicara de­ngan suaminya". Ummi Kalsum berkata pula: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tidaklah dinamakan pendusta, orang yang memperbaiki diantara dua orang yang berselisih. Lalu ia mengatakan yang baik atau ia menam­bahkan yang baik”.
Asma' binti Yasid berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tiap‑tiap kedus­taan itu dituliskan terhadap anak Adam (manusia), selain orang yang ber­dusta diantara dua orang muslim untuk memperbaiki diantara keduanya". Diriwayatkan dari Abu Kahil yang mengatakan: "Telah terjadi diantara dua orang shahabat Nabi saw perkataan (percekcokan), hingga keduanya berputus‑putusan silaturrahim. Lalu aku jumpai salah seorang daripada ke­duanya. Aku bertanya: "Ada apa diantara anda dengan si Anu? Aku se­sungguhnya mendengar ia selalu memuji anda". Kemudian, aku jumpai yang lain, seraya aku mengatakan kepadanya seperti itu pula. Sehingga keduanya berdamai. Kemudian, aku berkata, bahwa aku telah membinasakan diriku dan aku memperbaiki diantara dua orang tersebut. Lalu aku ceriterakan kepada Nabi saw maka beliau bersabda: "Hai Abu Kahil, perbaikilah diantara manusia!”. walau dengan dusta sekalipun.
 'Atha' bin Yassar berkata: "Seorang laki‑laki bertanya kepada Nabi saw: "Bolehkah aku berdusta kepada istriku". Maka Nabi saw menjawab: “Tak ada baiknya pada kedustaan". Laki‑laki tersebut berkata seterusnya: "Aku berjanji kepada istriku dengan sesuatu janji dan aku katakan kepada­nya". Lalu Nabi saw menjawab: “Tiada dosa atas kamu!”.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Abi 'Udzarah Ad‑Duali melakukan khulu' de­ngan wanita‑wanita yang dikawininya. Dan hal ini terjadi pada masa pe­merintahan (khilafah) 'Umar ra. Maka berterbanganlah berita pada orang banyak dari yang demikian, dimana ia tiada menyukainya. Sewaktu ia tahu yang demikian, lalu dipegangnya tangan Abdullah bin AI‑Arqam, diba­wanya sampai datang dirumahnya. Kemudian, Ibnu Abi 'Udzrah bertanya kepada istrinya: "Aku minta kepada engkau dengan sumpah dengan nama Allah. Adakah engkau marah kepadaku?". Lalu istrinya menjawab: "Ja­ngan engkau minta kepadaku dengan sumpah!”. Ibnu Abi 'Udzrah men­jawab: “Sesungguhnya aku meminta kepada engkau dengan sumpah de­ngan nama Allah". Lalu isterinya menjawab: "Benar, aku marah kepada engkau". Ibnu Abi 'Udzrah lalu bertanya kepada Abdullah bin AI‑Arqam: "Adakah engkau mendengar apa yang dikatakannya?". Kemudian, keduanya (Ibnu Abi 'Udzrah dan Abdullah bin AI‑Arqam) per­gi, sehingga keduanya datang kepada Umar ra. Maka berkata Ibnu Abi ‘Udzrah: “Sesungguhnya kamu membicarakan, bahwa aku orang yang pa­ling menganiaya wanita dan melaksanakan khuluk/perceraian terhadap mereka. Maka tanyalah kepada Abdullah bin AI‑Arqam!”. Lalu Umar ra bertanya kepada Abdullah, maka Abdullah menceriterakannya. Umar ra lalu mengutus orang kepada isteri Ibnu Abi 'Udzrah. Maka datanglah wanita itu bersama  pamannya. Lalu Umar ra bertanya kepada wanita itu: "Engkau yang menceriterakan terhadap suami engkau, bahwa engkau marah kepadanya?". Maka wanita itu menjawab: "Sesungguhnya aku orang pertama yang ber­tobat dan kembali menyerahkan kepada urusan Allah Ta’ala. Sesungguh­nya suamiku itu, meminta aku bersumpah. Maka aku takut akan berdosa, jikalau aku berdusta. Apakah, aku berdusta, wahai Amirul‑mu'minin?". Umar ra menjawab: "Ya, berdustalah! Jikalau salah seorang dari kamu tiada menyukai akan salah seorang dari kami, maka janganlah engkau membicarakannya dengan yang demikian! Karena sedikit‑dikitnya rumah itu dibangun diatas kecintaan. Tetapi manusia itu bergaul dengan kesejah­teraan dan perhitungan". 
Dari An‑Nawwas bin Sam'an AI‑Kallabi, yang berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apa kiranya yang menyebabkan aku melihat kamu berjatuhan dalam kedustaan, sebagaimana berjatuhan kupu‑kupu dalam api? Tiap‑tiap kedustaan itu akan ditulis sudah pasti diatas anak Adam (manusia), ke­cuali orang yang berdusta dalam peperangan. Karena perang itu tipuan. A­tau ada permusuhan diantara dua orang, lalu ia memperbaiki diantara dua orang tersebut. Atau ia berbicara dengan istrinya yang akan menyenangkannya”.
Tsauban berkata: "Dusta itu semuanya dosa, kecuali yang bermanfa'at kepada orang muslim atau yang menolak melarat dari orang muslim". Ali ra berkata: "Apabila aku berbicara dengan kamu dari hal Nabi saw, maka aku lebih suka bahwa aku jatuh dari langit kebumi, daripada aku ber­buat kedustaan kepadanya. Dan apabila aku berbicara dengan kamu ten­tang hal yang menyangkut, diantara aku dan kamu, maka perang itu tipu­an". Maka tiga perkara tersebut telah tegas dikecualikan. Dan yang seperti tiga perkara itu, ialah lain‑lainnya, apabila ada menyangkut maksud yang benar untuk orang itu sendiri atau untuk orang lain. Adapun mengenai hartanya, maka umpamanya: bahwa harta itu akan di­ambil oleh orang zalim. Dan orang zalim tersebut menanyakannya tempat harta itu. Maka boleh ia membantahnya. Maka boleh ia memungkirinya. Atau mau diambil oleh penguasa. Lalu penguasa itu menanyakan tentang perbuatan keji yang  dikerjakan nya, diantara dia dan Allah Ta’ala (maksudnya, hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya). Maka boleh ia membantahnya yang demikian, seraya ia mengatakan: "Aku tidak berzinah dan aku tidak mencuri".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berbuat sesuatu dari kekotoran‑kekotoran ini, maka hendaklah ia menutupinya dengan tutupan Allah (tidak diceriterakan nya kepada seseorang)". Yang demikian itu, ialah bahwa melahirkan kekejian (menyatakan kepada orang lain) itu, merupakan suatu kekejian lagi. Maka bagi seseorang berhak menjaga darahnya dan hartanya yang akan diambil daripadanya, secara zalim. Dan menjaga kehormatannya dengan lidahnya, walaupun ia berdus­ta. Adapun kehormatan orang lain, maka dengan ia ditanyakan tentang rahasia temannya. Maka baginya membantahnya. Dan ia memperbaiki diantara dua orang yang berselisih. Dan ia memperbaiki diantara madu‑madu is­terinya, dengan melahirkan kepada masing‑masing istrinya, bahwa ia amat mencintainya. Dan kalau isterinya tidak mau menta'atinya, kecuali dengan suatu janji yang tidak disanggupinya, maka ia menjanjikannya waktu itu ju­ga, untuk membaikkan hati isterinya. Atau ia meminta ma'af kepada sese­orang dan hatinya tidak akan baik, kecuali dengan memungkiri dosa dan menambah kan kasih‑sayang. Maka tiada mengapa dengan demikian. Tetapi batas padanya itu, bahwa kedustaan itu ditakuti. Jikalau ia bersikap benar pada tempat‑tempat tersebut, niscaya terjadilah padanya yang ditakuti. Maka sayogialah ia membandingkan, diantara yang satu dengan lainnya. Dan ia menimbang dengan timbangan yang adil. Apabila diketahu­inya, bahwa yang ditakuti, yang terjadi dengan sikap benar itu, akan lebih mendalam pengaruhnya pada Agama, dibandingkan dengan dusta, maka bolehlah ia berdusta. Dan jikalau maksud tersebut lebih ringan dari mak­sud benar, maka wajiblah bersikap benar. Dan kadang‑kadang berhadapan dua hal, dimana ia bimbang padanya. Dan ketika itu, kecenderungan kepada kebenaran itu lebih utama. Karena kedustaan itu diperbolehkan karena darurat atau keperluan yang penting. Jikalau ia ragu tentang adanya keperluan itu penting, maka pada pokoknya diharamkan. Lalu kembalilah kepada pokok itu. Karena sulitnya mengetahui tingkat‑tingkat maksud itu, sayogialah manusia menjaga diri dari dusta, selama memungkin kepadanya. Begitu pula, ma­nakala ada keperluan bagi dirinya, maka disunatkan ia meninggalkan mak­sud‑maksudnya dan menjauhkan kedustaan. Apabila menyangkut dengan maksud orang lain, maka tidak boleh bertoleransi (musamahah), karena hak orang lain. Dan mendatangkan kemelaratan dengan yang demikian. Kebanyakan kedustaan manusia, sesungguhnya itu, karena untung tuah diri mereka itu sendiri. Kemudian, itu karena bertambahnya harta dan keme­gahan. Dan karena hal‑hal, yang tidak hilangnya itu ditakuti. Sehingga se­orang wanita sesungguhnya, menceritera kan tentang suaminya, apa yang dibanggakannya. Dan ia berdusta karena menyakitkan hati madu‑madunya. Dan yang demikian itu haram hukumnya.
Asma' binti Abubakar Siddik (istri Az‑Zubair ra) berkata: "Aku mende­ngar seorang wanita bertanya kepada Rasulu'llah saw yang mengatakan: "Aku sesungguhnya mempunyai seorang madu. Aku membanyakkan ceri­tera, tentang suamiku, yang tidak diperbuatnya, untuk menyusahkan hati maduku dengan yang demikian. Adakah sesuatu atas diriku pada yang demikian?". Lalu Nabi saw menjawab: "Orang yang membuat‑buat kekenyangan, dengan sesuatu yang ti­dak diberikan, adalah seperti orang yang memakai dua pakaian bo­hong". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang membuat‑buat memakan, dengan apa, yang tidak ia diberi makan atau ia mengatakan, bahwa: barang ini kepunyaanku, pada hal bukan kepunyaannya atau aku diberikan, pada hal tidak diberikan kepadanya, maka ia adalah seperti o­rang yang memakai dua kain bohong pada hari kiamat". Dan masuk dalam bagian ini, fatwa seorang yang berilmu (orang alim), apa yang tidak diyakininya dengan dalil. Dan diriwayatkannya hadits yang tidak diyakini adanya. Karena maksudnya, adalah untuk melahirkan kelebihan dirinya. Maka karena itu, ia menyombongkan dirinya, daripada ia menga­takan: "Saya tidak tahu". Sikap yang begini adalah haram hukumnya. Dan termasuk yang dapat dihubungkan dengan kaum wanita, ialah: kanak­-kanak. Sesungguhnya anak‑anak, apabila ia tidak suka kesekolah, kecuali dengan janji yang muluk‑muluk atau dengan ancaman atau dengan gertak yang bo­hong, niscaya adalah yang demikian itu diperbolehkan. Ya, benar, kami me­rawikan pada beberapa hadits, bahwa yang demikian itu, dituliskan selaku perbuatan dusta. Akan tetapi, kedustaan yang diperbolehkan, juga kadang-­kadang ditulis. Dan dilakukan hitungan amal atas orang yang berdusta itu. Dan dituntut dengan membenarkan maksudnya pada yang demikian. Ke­mudian, ia dima'afkan. Karena sesungguhnya diperbolehkan dengan mak­sud perbaikan (ishlah). Dan berjalan kepadanya tipuan besar. Karena, ka­dang‑kadang yang menggerakkan kepada yang demikian itu, untung tuah­nya dan maksudnya yang tidak diperlukan. la hanya mencari dalih pada za­hiriahnya, dengan dalih perbaikan. Maka karena itulah, ia ditulis (dalam daftar amalannya diakhirat). Tiap‑tiap orang yang berbuat suatu kedustaan, maka sesungguhnya ia telah jatuh dalam bahaya berfikir sungguh‑sungguh (ijtihad). Supaya ia tahu, bahwa maksud yang membawa ia berdusta lantaran maksud itu, adakah berdusta itu lebih penting pada Agama, daripada berkata benar, atau ti­dak? Dan itu adalah sulit sekali. Dan yang lebih hati‑hati ialah mening­galkannya, kecuali menjadi wajib, dimana tidak boleh ditinggalkan. Seper­ti: kalau membawa kepada pertumpahan darah atau berbuat perbuatan maksiat, betapa pun adanya. Disangka oleh orang‑orang yang menyangka (dari golongan ahli tasawwuf/ahli suffi yang bodoh), bahwa boleh buat membuat hadits‑hadits paIsu (hadits maudlu) pada menggerakkan amalan‑amalan u­tama dan pada mengeraskan larangan pada perbuatan‑perbuatan maksiat. Mereka mendakwakan, bahwa maksudnya benar. Padahal itu salah semata-mata. Karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berbuat kedustaan dengan sengaja, terhadap aku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dari api‑neraka". Dan ini tidak dikerjakan, selain karena darurat. Dan tak ada padanya darurat. Karena pada kebenaran itu terbuka lebar, tanpa berdusta. Dan pada apa yang telah dibentangkan dari ayat‑ayat dan hadits‑hadits tadi, sudah mencukupi dari yang lain‑lain. Perkataan ini dari orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu telah berulang‑ulang pada pendengaran dan sudah hilang kesannya. Dan apa yang baru, kesannya itu lebih besar. Maka ini perkataan yang tidak dite­rima oleh akal yang sehat. Karena, tidaklah ini termasuk maksud‑maksud yang melawan ketakutan dusta kepada Rasulu'llah saw dan kepada Allah Ta’ala. Dan terbuka pintunya, akan membawa kepada hal‑hal yang menga­cau‑balaukan hukum agama. Maka tidaklah sekali‑kali kebajikannya yang tersebut, akan melawan kejahatannya. Dan kedustaan kepada Rasulu'llah saw itu termasuk dosa besar yang tidak akan dilawani oleh suatupun. Kita bermohon kepada Allah akan ma'af pada diri kita dan sekalian ka­um muslimin.
PENJELASAN: menjaga dari dusta, dengan kata‑kata sindiran.
Dinukilkan dari ulama salaf (ulama terdahulu), bahwa pada kata‑kata sindir­an itu, kebebasan dari pada kedustaan. Umar ra berkata: "Adapun pada kata‑kata sindiran itu, apa yang mencukupkan bagi seseorang, daripada ke­dustaan. Dan diriwayatkan ucapan yang demikian, dari Ibnu Abbas dan lain­nya. Sesungguhnya, mereka bermaksud dengan yang demikian, apabila manusia memerlukan kepada kedustaan. Maka apabila tidak ada hajat dan darurat, maka tidak boleh menyindir dan berterus‑terang. Akan tetapi menyindir itu lebih mudah. Contoh menyindir, ialah: dirawikan, bahwa Mathrap masuk ketempat Zi­yad (wali negeri Basrah dan Kufah). Lalu  Ziyad mencelanya karena ter­lambat datang. Maka Matraf membuat alasan karena sakit. Dan berkata: "Tidak dapat aku mengangkat lembungku, semenjak aku berpisah dengan Amir, kecuali apa yang diangkatkan aku oleh Allah".
Ibrahim An‑Nakha'i berkata: "Apabila sampai sesuatu daripada engkau kepada seseorang, lalu engkau tidak suka berdusta, maka katakanlah: "Se­sungguhnya Allah mengetahui apa yang aku katakan (maa ‑ quItu) tentang sesuatu, daripada yang demikian". Maka katanya maa itu, pada pendengar, (adalah huruf nafi). Dan padanya sendiri untuk meragukan. Adalah Mu'az bin Jabal ra pekerja pada Umar ra Sewaktu Mu'az kem­bali dari pekerjaannya, lalu istrinya berkata kepadanya: "Tidakkah engkau membawa, apa yang dibawa oleh para pekerja kepada keluarganya?". Mu’­az tidak membawa pulang sesuatu kepada istrinya. Lalu Mu'az menjawab: "Ada disisiku pengintip (dlaghith). Maka menjawab istrinya: "Engkau adalah kepercayaan pada RasuluIlah saw dan pada Abubakar ra Lalu Umar mengutus bersama engkau se­orang pengintip!”. Isteri Mu'az itu bangun dengan sebab yang demikian, diantara wanita‑wa­nita yang lain. Dan ia mengadu kepada Umar. Tatkala berita itu sampai kepada Umar ra, lalu Umar ra memanggil Mu'az ra. Dan bertanya: "Adakah aku utus pengintip bersama kamu?". Mu'az ra menjawab: "Aku tidak mendapat alasan lain untuk meminta ma'af kepadanya, selain yang demikian". Maka tertawalah Umar ra dan memberikan sesuatu kepada Mu'az ra, seraya berkata: "Senangkanlah dia dengan barang ini!”. Maksud perkataan Mu'az: dlaghith, ialah: raqib, artinya: pengintip. Dan yang dimaksudkannya dengan Pengintip itu, ialah: Allah Ta'ala.
Adalah An‑Nakha'i tidak mengatakan kepada anak perempuannya: "Aku akan membeli gula untuk engkau". Tetapi ia mengatakan: "Apa pendapat engkau, jikalau aku belikan gula untuk engkau?". Karena kadang‑kadang, kebetulan ia tidak membeli yang demikian” Adalah Ibrahim An‑Nakha'i tadi, apabila dicari oleh orang yang tidak di­sukainya bertemu dengan orang tersebut, pada hal ia berada dirumah, maka dikatakannya kepada pembantunya: "Katakanlah kepada orang itu: "Carilah dia di masjid!”. Dan jangan engkau katakan: "Dia tidak ada disini!”, supaya tidak dusta".
Adalah Asy‑Sya’bi, apabila dicari dirumahnya dan ia tidak suka bertemu dengan orang itu, maka ia membuat garis suatu lingkaran dan mengatakan kepada pembantunya: "Letakkanlah anak jarimu dalam lingkaran ini, sera­ya engkau mengatakan: "Ia tidak ada disini!”. Ini semuanya adalah pada tempat keperluan. Adapun pada tempat yang ti­dak diperlukan, maka tidak diperbuat yang demikian. Karena ini memberi pengertian kepada dusta. Dan jikalau perkataan itu tidak dusta, maka pada umumnya, adalah makruh (tidak disukai). Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Utbah, yang berkata: "Aku datang bersama ayahku kepada Umar bin Abdul‑'aziz ra Lalu aku keluar dari tempat pertemuan itu de­ngan memakai pakaian baru. Maka orang banyak bertanya: “Pakaian ini yang dianugerahkan kepadamu oleh Amirul‑mu'minin?". Lalu aku menja­wab: "Kiranya Allah memberi balasan kebajikan kepada Amirul‑mu'mi­nin!”. Maka ayahku berkata kepadaku: "Hai anakku! Takutlah kepada berdusta dan yang serupa dengan dusta!”. Maka dilarangnya dari yang de­mikian. Karena padanya menetapkan cita‑cita kepada sangkaan bohong, dengan maksud membanggakan diri. Dan ini adalah maksud yang batil/salah, tak ada faedah padanya.
Benar, kata‑kata sindiran itu diperbolehkan untuk maksud yang ringan, se­perti menyenangkan hati orang lain dengan senda‑gurau, seperti sabda Na­bi saw: “Tidak akan masuk sorga wanita tua”. Dan sabdanya kepada wani­ta yang lain: “Yang pada mata suamimu putih” dan kepada wanita yang la­in lagi, beliau bersabda: "Kami bawa engkau atas anak unta” dan yang se­rupa dengan yang demikian.
Adapun dusta yang terang‑terangan, seperti yang diperbuat oleh Nu’aiman AI‑Anshari serta Usman bin Affan ra pada ceritra orang buta, karena di­katakan kepadanya: bahwa itu Nu’aiman. Dan sebagaimana dibiasa­kan oleh orang banyak mempermain‑mainkan orang yang kurang pikiran, dengan menggodanya, bahwa ada wanita yang suka kawin dengan engkau. Jikalau pada yang demikian ada melaratnya/kerugiannya, yang membawa kepada menyakitkan hati, maka itu haram. Dan jikalau tidak ada, kecuali untuk membaik‑baikkan saja, maka orang yang berbuat demikian, tidak dinamakan fasik. Tetapi yang demikian itu mengurangkan tingkat keimanannya.
Nabi saw bersabda:­ "Tiada sempurna iman seseorang manusia, sehingga dicintainya saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Dan sehingga ia menjauhkan dusta pada senda‑guraunya". Adapun sabda Nabi saw: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata de­ngan perkataan, untuk mentertawakan manusia, maka ia akan jatuh dalam api neraka, lebih jauh dari bintang Surayya". Maka yang dimaksudkan, ialah ada padanya umpatan terhadap muslim atau menyakitkan hati, tanpa semata‑mata bersenda‑gurau. Setengah dari kedustaan, yang mendatangkan fasik, ialah apa yang berlaku menurut kebiasaan, pada perkataan yang bersangatan (mubalaghah). Seperti katanya: "Aku minta padamu, sekian dan sekian kali. Aku menga­takan kepadamu itu ratusan kali". Maka dengan perkataan tersebut, tidak dimaksudkan, memberi pengertian kali dengan bilangannya. Tetapi mem­beri pengertian bersangatan. Jikalau permintaannya hanya sekali, maka ia berdusta. Dan jikalau permintaannya berkali‑kali yang tiada dibiasakan seperti itu tentang banyaknya, maka ia tidak berdosa, walaupun tidak sampai seratus kali. Dan diantara keduanya tadi, tingkat‑tingkat yang membawa terlanjurnya lidah dengan bersangatan, lantaran bahayanya terjadi kedus­taan. Diantara yang dibiasakan kedustaan dan dianggap mudah, ialah dikatakan: "Makanlah makanan ini!”. Lalu orang yang diminta makan itu, menjawab: "Aku tidak ingin makan ini", Dan yang demikian itu dilarang dan haram hukumnya, walaupun tak ada padanya maksud yang sebenarnya.
Mujahid bin Jabar AI‑Makki berkata: "Asma' binti 'Umais berkata: "A­dalah aku teman 'Aisyah, pada malam yang aku siapkan dan membawanya masuk ketempat Rasulu'llah. Dan bersama aku, wanita‑wanita lain­nya”. Asma' binti 'Umais meneruskan ceriteranya: "Demi Allah! Aku tidak dapati pada Rasulu'llah saw jamuan, selain semangkuk besar susu. Lalu Rasulu'llah saw meminumnya. Kemudian beliau memberikannya kepada 'Aisyah". Asma' berkata seterusnya: "Budak itu malu. Lalu aku berkata: "Jangan engkau menolak tangan Rasulu'llah saw! Ambillah pemberiannya!” Asma' menyambung perkataannya: "Lalu Aisyah mengambil dari Ra­sulu'llah saw dengan malu. Lalu ia minum. Kemudian, Rasulu'llah saw bersabda: "Berilah lagi kepada teman‑teman engkau!” Lalu wanita ‑ wanita itu menjawab: "Kami tidak suka kepada susu". Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Janganlah engkau kumpulkan lapar dan dusta!”. Lalu Asma' menyambung ceriteranya: "Maka aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Jikalau salah seorang kami mengatakan pada sesuatu yang di­sukainya: "Aku tidak menyukainya” adakah yang demikian itu dihitung dusta?". Rasulu'llah saw menjawab: "Sesungguhnya dusta itu akan ditulis dusta, sehingga suatu dusta kecil akan ditulis sebagai dusta kecil".
Adalah ahli wara' (orang‑orang yang menjaga diri benar‑benar dari per­buatan yang kurang baik) menjaga benar daripada bertoleransi (ber‑tasa'­muh) dengan kedustaan yang seperti ini. Al‑Laits bin Sa'd  berkata: "Ada­lah kedua mata Sa’id bin AI‑Musayyab bertai, sampai tai mata itu keluar dari kedua matanya. Lalu orang berkata kepadanya: "Jikalau engkau sapu kedua mata engkau....”. Lalu Sa’id bin AI‑Musayyab menjawab: “Bagaimana dengan perkataan tabib: "Jangan engkau sapu kedua mata­ mu!”. Lalu aku menjawab: "Tidak akan aku berbuat menyapunya". Inilah ketelitian ahli wara'! Siapa yang meninggalkannya, niscaya terlan­jurlah lidahnya kepada kedustaan dari batas pilihannya. Lalu ia berdusta dan tanpa merasa.
Dari Khawwat At‑Taimy yang menceriterakan: “Datang saudara perempuan Ar‑Rabi’ bin Khusaim, berkunjung melihat anak Ar‑Rabi' sakit. Lalu saudara perempuan itu menelungkup diatas anak Ar‑Rabi’ yang sakit tadi, seraya bertanya: “Bagaimana keadaan engkau wahai anakku?". Lalu Ar­ Rabi’ duduk, seraya berkata: "Adakah engkau menyusukannya?". Saudara perempuannya itu menjawab: "Tidak!”. Lalu Ar‑Rabi’ menyambung: "Apa salahnya, jikalau engkau mengatakan: "Wahai anak saudaraku". La­lu engkau benar pada perkataan itu?". Menurut kebiasaan, seseorang itu berkata, bahwa Allah mengetahui ten­tang apa yang tiada diketahuinya.
Nabi Isa as berkata: "Sesungguhnya diantara dosa yang terbesar pada sisi Allah, ialah seorang hamba  Allah itu berkata, bahwa: “Allah mengetahui, apa yang tidak diketahuinya”. (Karena  Nabi Isa as adalah salah seorang Rosul Allah yang paling dekat kepada Allah swt. Lihat S 3 ujung ayat 45: “Ia seorang yang terkemuka didunia dan diakhirat dan salah seorang yang dekat kepada ALLAh”.)
Kadang-kadang orang berdusta tentang ceritra tidur. Dan dosa padanya itu besar. Karena Rasulu'llah saw bersabda: "Diantara dusta yang amat keji, ialah: dipanggil seseorang sebagai anak bukan bapaknya. Atau ia mengatakan matanya melihat sesuatu dalam tidur, (bermimpi) apa yang tidak dilihat­nya. Atau ia mengatakan terhadap aku sesuatu, apa yang tidak aku kata­kan". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berdusta tentang tidurnya, niscaya ia diberatkan pada hari kiamat untuk mengikat antara dua helai rambut. Dan ia tiada akan menjadi pengikat diantara dua helai rambut itu untuk selama­ lamanya".
BAHAYA KELIMA BELAS: umpatan.
Pembahasan mengenai umpatan itu panjang. Maka marilah pertama‑tama kami menyebutkan, tentang tercelanya umpatan itu dan dalil‑dalil Agama yang membahas tentang umpatan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegaskan tentang tercelanya umpatan dalam Kitab Allah (AI‑Qur’an). Dan Ia serupakan orang yang mengumpat itu dengan orang yang memakan daging bangkai. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah mengumpat satu sama lain. Adakah agaknya se­orang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu tiada menyukainya". S 49 Al Hujuraat ayat 12. Nabi saw bersabda: "Semua orang Islam terhadap orang Islam itu haram: darahnya, hartanya dan kehormatannya". Mengumpat itu menyinggung kehormatan orang. Dan Allah Ta’ala mengumpulkan diantara kehormatan, harta dan darah. Abu Hurairah berkata: "Nabi saw bersabda: "Janganlah kamu dengki‑mendengki, janganlah marah‑memarahi, janganlah tambah‑menambah pada berjual‑beli dllnya, janganlah be­lakang‑membelakangi dan janganlah mengumpat satu sama lain! Adalah kamu semua hamba Allah bersaudara!”.
Dari Jabir dan Abi Sa'id, yang mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: "Awaslah daripada mengumpat! Karena mengumpat itu lebih keras dari zi­na". Sesungguhnya seseorang terkadang ia berzina dan bertobat. Maka diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan tobatnya. Dan sesungguhnya seorang yang mengumpat, tiada akan diampunkan dosanya sebelum diampuni oleh temannya yang diumpatnya itu”.
Anas berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Aku lalu pada malam aku di‑isra'kan, pada beberapa kaum (go­longan), yang mencakar mukanya dengan kukunya. Lalu aku bertanya: "Hai Jibrail! Siapakah mereka itu?". Jibril menjawab: "Mereka itu ialah orang‑orang yang mengumpat manusia dan terperosok memperkatakan ke­hormatan orang". Salim bin Jabir berkata: "Aku mendatangi Nabi saw, lalu aku berkata: "Ajarilah aku kebajikan yang akan aku mengambil manfaat daripadanya!”. Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Janganlah engkau memandang hina sedikitpun akan perbuatan yang baik dan walaupun engkau menuang­kan air dari timba engkau dalam bejana (tempat air) orang yang meminta minum! Dan bahwa engkau berjumpa dengan teman engkau dengan gem­bira dan baik. Dan jikalau ia membelakangi, maka janganlah engkau me­ngumpatnya!”.
Al‑Barra bin 'Azib berkata: "Rasulu'llah saw berpidato (berkhutbah) pada kami, sehingga aku mendengar suara wanita‑wanita pingitan dalam rumahnya. Diantara lain beliau bersabda: "Hai golongan orang yang beri­man dengan lidahnya dan tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kamu mengumpati kaum muslimin dan janganlah kamu mengintip hal‑hal yang memalukan mereka (aurat mereka)! Sesungguhnya, barangsiapa mengintip hal‑hal yang memalukan saudaranya, niscaya Allah mengintip hal‑hal yang memalukannya. Dan barangsiapa diintip oleh Allah auratnya, niscaya disi­arkan Allah dan orang itu ditengah‑tengah rumahnya".
Ada yang mengatakan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Na­bi Musa as yang maksudnya: “Barangsiapa meninggal dengan tobat dari mengumpat orang, maka dia adalah orang yang penghabisan masuk sorga. Dan barangsiapa meninggal dengan berkekalan mengumpat orang, maka dia adalah orang pertama masuk neraka".
Anas berkata: "Rasulu'llah saw menyuruh manusia berpuasa satu hari. Lalu beliau bersabda: "Jangan seorangpun membuka puasanya sebelum aku izinkan". Maka berpuasalah manusia. Sehingga ketika hari sudah petang, lalu seo­rang laki‑laki datang kepada Rasulu'llah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Aku terus puasa, izinkanlah aku berbuka!”. Lalu beliau mengizinkannya berbuka. Kemudian datang lagi seorang, demi seorang. Sehingga datanglah seorang laki‑laki, seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Dua orang anak gadis dari keluargamu (dari suku Qurasy) terus‑menerus berpuasa. Mereka malu datang kepada engkau. Maka izinkanlah keduanya membuka puasanya!”. Lalu Rasulu'llah saw berpaling muka dari orang itu. Kemudian, dan mengulangi lagi meminta izin. Maka Rasulu'llah saw berpaling muka lagi. Kemudian, laki‑laki itu mengulangi pula meminta izin. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Kedua anak gadis itu tidak berpuasa. Bagaimana ber­puasa orang yang sejak dari siang harinya, memakan daging manusia. Per­gilah kamu, lalu suruhlah keduanya, kalau benar ia berpuasa, supaya ia muntah!”. Lalu laki‑laki tersebut kembali menjumpai kedua anak gadis itu. Maka ia menceriterakan kepada keduanya apa yang disuruh oleh Nabi. Lalu keduanya muntah. Maka masing‑masing memuntahkan sepotong da­rah beku. Kemudian, laki‑laki itu kembali kepada Nabi saw, lalu menceriterakan apa yang terjadi. Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Demi Allah yang nyawaku dalam Tangan Allah. Jikalau darah be­ku itu terus berada dalam perutnya, niscaya keduanya akan dimakan api neraka". Pada suatu riwayat, bahwa tatkala Rasulu'llah saw berpaling muka dari orang tersebut, maka kemudian ia datang lagi, seraya berkata, "Wahai Rasulu'llah! Demi Allah “Sesungguhnya kedua anak gadis itu sudah meninggal atau hampir meninggal”. Maka Nabi saw menjawab: “Bawalah keduanya kemari!”. Lalu kedua anak gadis itu datang. Maka Rasulu'llah saw meminta gelas, seraya bersabda kepada salah seorang dari keduanya: "Muntahlah!” Lalu ia muntahkan nanah, darah dan nanah bercampur darah, sehingga pe­nuh gelas tersebut. Dan Rasulu'llah saw bersabda kepada yang seorang lagi: "Muntahlah!”. Lalu ia muntah seperti itu juga. Maka bersabdalah Ra­sulu'llah saw: "Bahwa kedua anak gadis ini berpuasa daripada yang diha­Ialkan oleh Allah kepadanya dan berbuka dengan yang diharamkan oleh Allah kepadanya. Salah seorang dari keduanya duduk berdekatan dengan yang lain, lalu keduanya memakan daging manusia".
Anas bin Malik berkata: "Rasulu'llah saw berpidato diha­dapan kami. Lalu beliau menyebut riba dan membesarkan keadaan bahaya­nya. Beliau bersabda, bahwa satu dirham yang diperoleh oleh seseorang da­ri riba, adalah lebih besar kesalahan nya pada Allah, dari pada 36 kali zina yang dizinai oleh seseorang. Dan riba yang paling besar ri­banya., ialah: ”kehormatan seorang muslim”.
Jabir bin Abdullah ra berkata: "Adalah kami bersama Rasulu'llah saw dalam suatu perjalanan. Lalu Rasulu'llah saw datang pada dua pekubu­ran yang diazabkan kedua orang yang punya kuburan itu. Maka beliau ber­sabda: "Keduanya diazabkan. Dan tidak diazabkan karena dosa besar. Adapun yang seorang, ia mengumpat manusia. Dan yang seorang lagi, ia tidak membersihkan dari kencingnya". Lalu Rasulu'llah saw meminta satu pelapah kurma yang belum kering a­tau dua pelapah kurma. Maka dibelahkannya. Kemudian, disuruhnya tiap belahan itu supaya ditanam diatas kuburan, seraya beliau bersabda: "Akan enteng dari azab yang diderita oleh kedua orang ini selama ke­dua belahan pelapah kurma itu masih basah atau selama belum kering".
Sewaktu Rasulu'llah saw merajam (menghukum mati) Ma’iz bin Malik AI‑As‑lami lantaran berzina, lalu seorang laki‑laki berkata kepada teman­nya: "Orang ini mati ditempat, seperti anjing mati ditempat. Maka Ialulah Rasulu'llah saw bersama kedua orang tadi dekat suatu bangkai. Lalu Ra­sulullah saw bersabda: "Makanlah dari bangkai ini!”. Kedua orang ter­sebut bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Kami makan bangkai?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Apa yang kamu peroleh dari saudaramu itu adalah lebih busuk dari bangkai ini!”.
Adalah para shahabat Nabi saw jumpa - menjumpai dengan orang banyak dan mereka tidak umpat ‑ mengumpat dibelakang. Mereka melihat yang demikian itu, perbuatan yang paling utama Dan mereka melihat yang sebaliknya, akan adat kebiasaan orang‑orang munafik. Abu Hurairah ra berkata: “Barangsiapa memakan daging saudaranya di dunia, niscaya didekatkan kepadanya daging saudaranya itu diakhirat. Dan dikatakan kepadanya: "Makanlah dia yang sudah mati, sebagaimana eng­kau makan dahulu sewaktu ia masih hidup!”. Lalu dimakannya, maka ia memekik dan berkerut mukanya". Yang dikatakan Abu Hurairah ini, dirawikan seperti yang demikian, seba­gai hadits marfu'/dipercaya. Diriwayatkan, bahwa dua orang laki‑laki duduk pada salah satu pintu Masjidil haram. Lalu lewatlah seorang laki‑laki yang menyerupai perempuan. Lalu laki‑laki itu ditinggalkan, maka keduanya berkata: "Masih ada pada laki‑laki itu sesuatu". Lalu kedengaran iqamah untuk shalat, maka keduanyapun masuk kedalam masjid dan bershalat bersama orang banyak. Lalu tergurislah pada hati ke­duanya, apa yang dikatakannnya tadi. Maka sesudah shalat, keduanya mendatangi 'Atha' bin Abi Rabah (mufti Makkah), menanyakannya. Lalu Atha' menyuruh keduanya mengulangi Wudlu' dan shalat. Dan beliau me­nyuruh pula keduanya mengqodo puasa, jikalau keduanya berpuasa.
Dari Mujahid bin Jabar AI‑Makki AI‑Tabi’i, yang mengatakan tentang fir­man Allah Ta’ala, S 104 AI Humazah ayat l: “Celaka untuk setiap humazah lumazah”, bahwa: humazah itu ialah: men­cela orang dan lumazah itu, ialah: yang memakan daging orang. Qatadah bin Di’amah As‑Sudusi berkata: Disebutkan kepada kami, bahwa azab kubur itu tiga pertiga. Sepertiga dari mengumpat, sepertiga dari lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang dan sepertiga lagi dari kencing".
Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Demi Allah! Mengumpat itu mempu­nyai pengaruh yang lebih cepat pada agama orang mu'min, daripada penga­ruh sekali makan pada tubuh". Setengah mereka berkata: "Kami mendapati ulama terdahulu (ulama sa­laf). Mereka tiada melihat ibadah itu pada puasa dan pada shalat, akan te­tapi pada mencegah diri dari memperkatakan kehormatan orang".
Ibnu Abbas ra berkata: "Apabila engkau bermaksud hendak menyebut kekurangan teman engkau, maka sebutlah kekurangan engkau sendiri”. Abu Hurairah ra berkata: "Salah seorang kamu melihat benda kecil pada mata temannya. Dan ia tiada melihat unta pada matanya sendiri". Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Hai anak Adam! Engkau tidak akan memperoleh hakekat iman, sebelum engkau mengukur kekurangan orang dengan kekurangan yang ada pada dirimu sendiri. Dan sebelum engkau mulai memperbaiki kekurangan itu. Maka engkau memperbaikinya dari di­rimu sendiri. Apabila engkau sudah berbuat yang demikian, niscaya adalah kesibukanmu tertentu pada dirimu. Dan hamba Allah yang lebih dikasihi o­leh Allah, ialah orang yang seperti demikian".
Malik bin Dinar berkata: "Nabi Isa as bersama para shahabatnya (Al-hawariyyun) lalu dekat bangkai anjing. Lalu shahabatnya itu berkata: "Alangkah busuknya bau anjing ini!”. Maka Nabi Isa as menjawab: "Alangkah sangat putih giginya!”. Seolah‑olah beliau as melarang mereka mengum­pat anjing dan memberitahukan kepada mereka, bahwa tidaklah disebut sesuatu dari makhluk Allah, melainkan yang baiknya saja".
Ali bin AI‑Husain ra mendengar seorang laki‑laki mengumpat orang lain. Lalu beliau berkata kepadanya: “Jagalah dari mengumpat! Karena mengumpat itu hidangan anjing‑anjing manusia". Umar ra berkata: "Selalulah engkau berzikir (menyebut/mengingat) akan Allah”. Karena berzikir itu obat. Dan jagalah daripada menyebut manu­sia! Karena itu adalah penyakit". Kita bermohon pada Allah akan kebaikan taufiq untuk menta'ati Allah.
PENJELASAN arti umpatan dan batas‑batasnya.
Ketahuilah, bahwa batas umpatan itu ialah, bahwa engkau menyebut sau­dara engkau, dengan yang tidak disenanginya, jikalau sampai kepadanya. Sama saja yang engkau sebutkan itu, berkenaan dengan kekurangan pada tubuhnya atau keturunannya atau pada kelakuannya atau pada perbuatan­nya atau pada perkataan nya atau pada agamanya atau pada dunianya. Se­hingga pada kainnya, rumahnya dan kenderaannya.
-        Adapun tubuhnya, yaitu: seperti engkau sebutkan: buruk matanya, juling, botak, pendek, panjang, hitam, kuning dan semua yang dapat digambarkan untuk menyifatkannya dari hal‑hal yang tidak disenangi, betapa pun ada­nya.
-        Adapun keturunan, yaitu: bahwa engkau mengatakan: ayahnya peluku tanah atau orang Hindu atau orang fasiq atau orang jahat atau tukang buat sandal atau tukang sapu atau sesuatu dari hal‑hal yang tiada disenanginya, betapa pun adanya.
-        Adapun kelakuan, yaitu: bahwa engkau mengatakan: dia itu buruk kela­kuannya, orang kikir, orang sombong, orang ria, sangat pemarah, pemalas, lemah, dla'if/lemah hatinya, terlalu berani dan sifat‑sifat lainnya yang mengarahi dengan hal‑hal yang tersebut.
-        Adapun perbuatannya, yang menyangkut dengan Agama, seperti: engkau mengatakan, bahwa: dia itu pencuri atau pendusta atau peminum khamar atau pengkhianat atau orang zalim atau orang yang mempermudah‑mudah­kan shalat atau zakat atau orang yang tidak pandai ruku' atau sujud atau orang yang tidak menjaga diri dari najis atau orang yang tidak berbuat baik kepada ibu‑bapa atau tidak meletakkan zakat pada tempatnya atau tidak pandai membagi zakat atau tidak menjaga puasanya dari perkataan keji, dari mengumpat dan dari memperkatakan kehormatan orang lain.
-        Adapun tentang perbuatannya yang menyangkut dengan duniawi, seperti engkau katakan: bahwa ia kurang sopan, menganggap enteng orang lain atau ia tidak melihat adanya hak seseorang atas dirinya. Atau ia melihat, dirinya mempunyai hak atas orang lain. Atau ia banyak bicara, banyak ma­kan, banyak tidur, tidur tidak pada waktu, tidur dan duduk tidak pada tem­patnya.
-        Adapun tentang pakaiannya, maka seperti engkau katakan: dia itu lengan bajunya luas, panjang ekornya (pakaiannya kepanjangan), kotor pakaian­nya. Segolongan ulama mengatakan: tiada umpatan mengenai Agama. Karena ia mencela apa yang dicela oleh Allah Ta'ala. Maka disebutkannya dengan perbuatan‑perbuatan maksiat. Dan mencelanya dengan yang demikian itu diperbolehkan, berdasarkan dalil yang diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah saw, diterangkan kepadanya tentang seorang wanita, banyak shalatnya dan puasanya. Akan tetapi ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Wanita itu dalam neraka”. Disebutkan pula pada Nabi saw tentang seorang wanita lain, bahwa wa­nita itu kikir. Lalu beliau menjawab: "Jadi, apa kebajikannya?". Maka ini merusak. Karena mereka menyebutkan yang demikian, untuk keperluan mengetahui hukumnya dengan pertanyaan. Dan tidak adalah maksud me­reka untuk menerangkan kekurangan wanita tadi. Dan tidak diperlukan ke­pada pertanyaan tersebut pada bukan majlis Rasul saw.
Dan dalilnya itu kesepakatan umat, bahwa barangsiapa menyebut orang lain, dengan yang tidak disukainya, maka dia itu pengumpat. Karena termasuk dalam a­pa yang disebut oleh Rasulu'llah saw dalam: batas umpatan. Dan semua ini walaupun ia benar, maka dia itu pengumpat, durhaka kepada Tuhannya dan memakan daging saudaranya, dengan dalil yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: "Tahukah kamu apakah umpatan itu?". Para sha­habat menjawab: "Allah dan rasul Allah yang lebih tahu!”. Lalu Nabi saw menjawab: "Engkau menyebut saudara engkau dengan yang tidak disukai­nya". Maka Nabi saw ditanyakan: "Adakah yang demikian, walaupun pada saudaraku itu benar apa yang kukatakan?". Nabi saw menjawab: "Jikalau benar apa yang kamu katakan itu, maka engkau telah mengumpatnya. Dan jikalau tidak benar, maka engkau telah berbuat dusta kepadanya" .
Mu'az bin Jabal ra mengatakan, bahwa disebutkan tentang seorang laki-­laki pada Rasulu'llah saw Mereka mengatakan "Alangkah lemahnya laki-­laki itu!” Lalu Nabi saw menjawab: "Kamu telah mengumpat saudaramu". Mere­ka menjawah. "Wahai Rasulu'llah! Kami mengatakan apa adanya". Nabi saw menjawab: "Jikalau kamu mengatakan apa yang tidak ada, maka ka­mu telah berbuat dusta kepadanya".
Dari Huzhaifah, dimana ia menerima dari Aisyah bahwa Aisyah  menyebut tentang seorang wanita pada Rasulu'llah saw, dengan katanya, bahwa wanita itu pendek. Lalu Nabi saw menjawab: "Engkau mengum­patnya".
Al Hasan AI‑Bishri ra berkata: "Menyebutkan orang lain itu 3 macam: mengumpat (al‑qhaibah), membohong (al‑buhtan) dan dusta (al-ifku). Se­muanya tersebut dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla. AI‑ghaibah, yaitu: eng­kau katakan apa adanya. AI‑buhtan, yaitu engkau katakan apa yang tidak ada. Dan Al-ifku, yaitu: engkau katakan apa yang disampaikan kepada eng­kau”.
Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki‑laki, Ialu mengatakan: itu laki‑laki hi­tam. Kemudian beliau mengucapkan: “Astaghfiru'llaah (aku meminta am­pun pada Allah). Sesungguhnya aku melihat diriku ini telah mengumpat­nya". Ibnu Sirin menyebutkan Ibrahim An‑Nakha'i, Ialu meletakkan tangannya atas matanya. Dan beliau tidak mengatakan: juling. Aisyah berkata, "Janganlah seseorang dari kamu mengumpat seseo­rang! sesungguhnya aku pada suatu kali berkata kepada seorang wanita dan aku disamping Nabi saw: "Bahwa wanita ini panjang ekornya (bajunya panjang sampai ketanah)". Lalu Nabi saw bersabda kepadaku: “Ludah­lah! Ludahlah!”. Lalu aku meludahkan sepotong daging".
PENJELASAN: bahwa umpatan itu tidak terbatas pada lidah.
Ketahuilah, bahwa menyebut dengan lisan itu diharamkan. Karena padanya memberi pengertian kepada orang lain, akan kekurangan saudaramu dan memperkenalkannya dengan apa yang tiada disukainya. Maka menyin­dir dengan yang demikian itu seperti menegaskannya. Dan perbuatan pa­danya itu seperti perkataan, isyarat, penunjukan dengan tangan, isyarat dengan mata (al‑ghamzi), tunjukan (ar‑ramzi), tulisan, gerak dan tiap yang memberi pengertian akan yang dimaksud. Maka itu termasuk dalam umpat­an. Dan itu haram. Maka termasuk yang demikian itu kata Aisyah: "Masuk ketempat ka­mi seorang wanita. Sewaktu ia berpaling, Ialu aku isyaratkan dengan ta­nganku, bahwa wanita itu pendek. Lalu Nabi saw bersabda: "Engkau telah mengumpatnya". Dan termasuk yang demikian, peniruan. Seperti berjalan dengan membuat­-buat pincang atau sebagaimana orang itu berjalan. Maka itu umpatan. Bah­kan lebih berat dari umpatan. Karena yang demikian lebih besar kesannya pada menggambarkan dan memberi pengertian. Sewaktu Rasulu'llah saw melihat Aisyah, meniru seorang wanita, Ialu beliau bersabda: "Aku tidak senang bahwa aku meniru seseorang manusia, sedang aku mempunyai hal yang demikian dan yang demikian". Dan seperti yang demikian, umpatan dengan tulisan.
Sesungguhnya pena i­tu salah satu dari dua lisan. Seorang pengarang yang menyebutkan orang tertentu dan menyalahkan perkataannya dalam bukunya, itu umpatan. Ke­cuali disertai oleh sesuatu kepentingan yang memerlukan kepada menyebut­kannya, sebagaimana akan datang penjelasannya. Adapun katanya dalam bukunya itu: “Kata suatu kaum demikian”, maka tidaklah itu umpatan. Karena umpatan itu menyinggung kepada orang ter­tentu, baik masih hidup atau sudah mati. Dan termasuk umpatan, bila anda mengatakan: “Sebahagian orang yang datang pada kami hari ini” atau “Sebahagian orang yang kami lihat”, a­pabila orang yang diajak berbicara itu, memahami akan orang tertentu dari pembicaraan tersebut. Karena yang ditakuti, ialah memberi pemahaman­nya. Bukan apa yang menjadi pemahaman. Apabila tidak dipahaminya akan diri orang itu, niscaya boleh.
Adalah Rasulu'llah saw apabila tidak menyukai sesuatu dari seseorang manusia., niscaya beliau bersabda: "Apalah kiranya hal keadaan kaum‑kaum (golongan‑golongan) yang berbuat demikian dan demikian". Maka adalah Rasulu'llah saw tidak menentukan orang tertentu. Dan kata engkau: ”sebahagian orang yang datang dari perjalanan" atau “sebahagian orang yang menda'wakan berilmu”, jikalau ada pada perkataan itu suatu petunjuk yang memberi pengertian akan diri seseorang, maka itu umpatan. Yang paling keji diantara bermacam‑macam umpatan itu, ialah umpatan­nya ulama‑ulama yang ria. Karena mereka memberi pengertian akan mak­sudnya, dengan kata‑kata ahli perbaikan, untuk melahirkan dari dirinya, terpelihara dari mengumpat. Dan mereka itu memberi pengertian akan maksudnya. Dan mereka tidak tahu, disebabkan kebodohannya, bahwa mereka telah mengumpulkan dua perbuatan keji, yaitu. umpatan dan ria. Yang demikian itu, umpamanya: disebutkan padanya seseorang Manusia. Lalu ia mengatakan: ”Segala pujian bagi Allah yang tidak mendatangkan bencana bagi kita, dengan masuk kerumah Sultan dan meminta pemberian dalam mencari harta benda dunia”. Atau ia mengatakan: “Kita berlindung dengan Allah dari kurangnya malu. Kita bermohon kepada Allah, kiranya dipelihara Allah kita dari kurangnya malu”.
Sesungguhnya maksudnya itu, ia­lah memberi pengertian akan kekurangan orang lain. Lalu disebutkannya dengan kata‑kata do'a. Begitu juga kadang‑kadang, ia mengemukakan pujian kepada orang yang mau diumpatinya. Lalu ia mengatakan: "Alangkah baiknya keadaan si A­nu. Ia tidak pernah menyia‑nyiakan ibadah. Tetapi sekarang telah diganggu oleh lemahnya kemauan dan telah dicoba dengan apa yang dicoba semua kita, yaitu: kurang sabar". Maka ia menyebut dirinya. Dan maksudnya mencaci orang lain dalam kandungan kata‑kata yang demikian. la memuji dirinya dengan menyerupakannya dengan orang‑orang shalih (orang‑orang baik), dengan mencaci dirinya sendiri. Maka adalah orang yang demikian itu pengumpat, ria dan membersihkan dirinya. Ia mengumpulkan diantara 3 kekejian. Yaitu: dengan kebodoh­annya, ia menyangka, bahwa ia termasuk orang‑orang shalih yang menjaga diri dari umpatan. Dan karena itulah, setan bermain‑main dengan orang bodoh, apabila mereka mengerjakan ibadah, tanpa pengetahuan. Maka se­tan itu mengikuti mereka dan mengelilingi amal mereka dengan tipu da­yanya. Setan itu tertawa kepada mereka dan memperolok‑olokkannya.
Termasuk yang demikian juga, menyebut kekurangan orang. Lalu sebaha­gian yang hadir tidak menyadarinya. Lalu ia mengucapkan: ”Subhaana’Ilah! Alangkah mena'jubkan ini!”. Sehingga perkataannya diperhatikan orang dan diketahui apa yang dikatakannya. Maka ia menyebutkan nama Allah Ta’ala dan memakai nama Allah, menjadi alat baginya pada melaksanakan kekejiannya. la membangkit‑bangkit atas Allah Azza wa Jalla dengan menyebutkan Allah, karena kebodohannya dan tertipu.
Begitu pula dengan mengatakan: "Sesungguhnya menyakitkan aku dengan apa yang terjadi atas teman kita dari penghinaan terhadap dirinya. Kita bermohon kepada Allah untuk disenangkan hatinya". Adalah orang itu dusta dalam dakwaannya berduka-cita dan pada mela­hirkan do'a kepada temannya itu. Tetapi kalau benar‑benar ia bermaksud berdoa, niscaya ia akan rnenyembunyikan do'anya, dalam kesunyiannya sesudah shalat. Dan jikalau benar ia berduka-cita, niscaya ia berduka-cita pula dengan melahirkan apa yang tidak disenanginya. Begitu pula dikatakannya: "Orang miskin itu (orang yang patut dikasihani itu) telah mendapat percobaan dengan bahaya besar. Kiranya Allah mem­beri tobat kepada kita dan kepadanya". Maka pada semua yang demikian, ia melahirkan do'a. Dan Allah melihat kekejian hatinya dan maksudnya yang tersembunyi. Dan dia karena kebodohannya itu, tidak mengetahui, bahwa ia telah berbuat cacian, yang lebih besar daripada yang diperbuat oleh orang‑orang bodoh, apabila mereka itu berbuat terus‑terang. Termasuk yang demikian juga mendengar dengan penuh perhatian kepa­da umpatan yang dilakukan seseorang dengan jalan ta'jub. Karena sesung­guhnya ia melahirkan keta'juban itu, untuk menambahkan kegemaran o­rang yang mengumpat, pada umpatan. Lalu orang tersebut semakin terdo­rong pada mengumpat. Dan seolah‑olah ia mengeluarkan umpatan dari o­rang tersebut dengan jalan itu. Maka ia mengatakan: “Heran, sesungguhnya aku tidak tahu ia seperti yang demikian. Aku tidak mengenal dia sampai sekarang, kecuali baik. Dan aku menyangka padanya bukan itu. Ki­ranya kita diselamatkan (diafiatkan) oleh Allah daripada bencananya”.
Sesungguhnya semua yang demikian itu, membenarkan orang yang meng­umpat. Dan membenarkan umpatan adalah umpatan. Bahkan orang yang diam itu menjadi sekutu orang yang mengumpat. Nabi saw bersabda: "Yang mendengar itu adalah salah seorang dari orang‑orang yang mengumpat". Diriwayatkan dari Abubakar ra dan Umar ra bahwa salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya: "Bahwa si Anu banyak sekali tidur­nya". Kemudian keduanya meminta lauk‑pauk dari Rasulu'llah saw un­tuk memakan roti. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Kamu berdua telah makan!”. Lalu keduanya menjawab: "Kami tidak tahu". Rasulu'llah saw menjawab: "Ya! Sesungguhnya kamu berdua telah memakan daging sauda­ramu". Maka perhatikanlah, bagaimana Rasulu'llah saw mengumpul kan keduanya. Adalah yang berkata salah seorang dari keduanya. Dan yang lain mendengar. Rasulu'llah saw bersabda kepada dua orang laki‑laki yang berkata salah seorang dari keduanya, bahwa orang itu dibunuh ditem­patnya, sebagaimana anjing dibunuh ditempat, dengan sabdanya: "Makanlah dari bangkai ini!”. Rasulu'llah saw mengumpulkan (menyamakan) diantara kedua orang yang tersebut. Maka yang mendengar tidak terlepas dari dosa mengumpat, kecuali ia menantang dengan lisannya atau dengan hatinya, jikalau ia takut. Dan jikalau ia sanggup bangun berdiri (meninggalkan tempat tersebut) atau memutuskan percakapan dengan pembicaraan yang lain, Ialu tidak dilakukannya, niscaya harus ia berdosa. Dan jikalau ia mengatakan dengan lidahnya: “Diamlah!”, pada hal ia ingin pembicaraan itu dengan hatinya, maka itu adalah nifaq. Dan ia tidak terlepas dari dosa, selama ia tidak benci dengan hatinya. Dan tidak memadai pada yang demikian, bahwa la mengisyaratkan dengan ta­ngan, yang artinya: "Diamlah!”. Atau ia mengisyaratkan dengan ke­ningnya dan tepi dahinya. Karena yang demikian itu penghinaan bagi orang yang disebutkan. Akan tetapi, sayogialah ia menghormati orang itu. Maka dipertahankannya de­ngan terus‑terang.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dihinakan disisinya seorang mu'min, Ialu tidak di­tolongnya, pada hal ia sanggup menolongnya, niscaya ia dihinakan oleh Al­lah pada hari kiamat dihadapan orang banyak". Abud Darda' berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa menolak dari penghinaan ke­hormatan saudaranya yang dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah hak atas Allah menolak dari penghinaan kehormatannya pada hari kiamat". Nabi saw bersabda pula: “Barangsiapa menjaga kehormatan saudaranya, yang dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah hak atas Allah memerde­kakannya dari api neraka". Telah  datang banyak hadits tentang menolong orang Islam dalam hal um­patan dan tentang keutamaan nya, yang telah kami kemukakan pada "kitab ­Adab Berteman Dan Hak‑hak Kaum Muslimin", maka kami tidak memanjangkannya lagi dengan mengulanginya.
PENJELASAN: sebab‑sebab yang menggerakkan kepada umpatan.
Ketahuilah, bahwa penggerak-penggerak kepada mengumpat itu banyak. Tetapi dikumpulkan oleh 11 macam sebab. 8 daripadanya ba­nyak terjadi pada orang awam. Dan 3 daripadanya tertentu dengan ahli agama dan orang‑orang khusus. Adapun yang 8 perkara itu maka:
Yang pertama: untuk menyembuhkan kemarahan. Dan yang demikian, apabila terjadi sesuatu sebab, yang membawa kemarahanya kepada orang tersebut. Maka apabila berkobar kemarahannya, niscaya ia merasa sembuh dengan menyebutkan kejahatan‑kejahatan orang itu. Maka dengan naluri telanjurlah lidahnya kepada yang demikian, jikalau tak ada disitu agama yang mencegahnya. Kadang‑kadang penyembuhan kemarahan itu tercegah ketika datangnya kemarahan. Lalu tertahan kemarahan itu didalam. Maka jadilah suatu kedengkian yang tetap. Lalu menjadi sebab yang terus‑mene­rus untuk menyebutkan kejahatan‑ kejahatan orang itu. Maka kedengkian dan kemarahan itu termasuk diantara penggerak‑penggerak yang besar ke­pada mengumpat.
Yang kedua: kesesuaian dengan teman‑teman, berbaik‑baikan (mujama­lah) dengan sahabat‑sahabat dan menolong mereka dalam percakapan. Maka apabila teman‑teman itu bersenang‑senang dengan menyebutkan ke­hormatan orang, Ialu ia berpendapat, kalau dilawannya atau diputuskannya majlis tersebut, niscaya teman‑teman itu memandang berat dan hati mereka lari daripadanya. Maka ditolongnya mereka. Dan ia berpendapat, bahwa yang demikian itu termasuk diantara pergaulan yang baik. Dan ia me­nyangka, bahwa yang demikian itu berbaik‑baikan dalam persahabatan. Kadang‑kadang teman‑temannya marah, Ialu ia memerlukan untuk ia ma­rah, lantaran kemarahan teman‑teman tadi, untuk melahirkan turut mengambil bahagian dalam senang dan susah. Maka terjerumuslah ia bersama teman‑teman itu dalam menyebutkan kekurangan dan keburu­kan orang lain.
Yang Ketiga: bahwa ia merasa dari seseorang, bahwa orang itu bermaksud kepadanya. Dan akan memanjangkan lidahnya kepadanya. Atau akan memburukkan hal‑ihwaInya pada orang yang dimalui. Atau akan naik saksi terhadap dirinya dengan suatu kesaksian. Maka ia bersegera sebelum orang tersebut memburukkan hal‑ihwaInya dan menusuk dirinya. Supaya hilang bekas kesaksian orang tersebut. Atau ia memulai menyebutkan apa yang padanya itu benar, untuk didustakannya kemudian. Lalu lakulah kedustaannya itu, disebabkan kebenaran­nya yang pertama. Dan ia mengemukakan kesaksian dan berkata: “Tiada­lah dari ke biasaanku itu berdusta". Maka sesungguhnya aku telah menceri­terakan kepadamu tentang hal‑ihwaInya, demikian & demikian. Maka adalah seperti yang kukatakan”
Yang Keempat: bahwa ia dikatakan orang berbuat sesuatu. Lalu ia bermaksud melepaskan diri daripadanya. Maka ia menyebutkan orang yang memperbuatnya. Dan adalah menjadi haknya untuk melepaskan dirinya dari perbuatan tersebut. Dan ia tidak menyebutkan orang yang memper­buatnya. Sehingga ia tidak mengatakan orang lain yang berbuat. Atau ia menyebutkan orang lain dengan mengatakan bahwa orang tersebut se­kongkol dengan dia pada perbuatan itu. Supaya ia dengan demikian, me­nyiapkan dirinya untuk dima'afkan pada perbuatannya.
Yang Kelima: hendak berbuat‑buat dan membanggakan diri. Yaitu: bahwa ia mengangkat dirinya dengan mengurangkan orang lain. Lalu ia mengata­kan: si Anu itu bodoh, pahamnya tidak teratur dan perkataannya lemah. Maksudnya untuk menetapkan dalam kandungan perkataan tersebut, akan kelebihan dirinya. Dan ia rnemperlihatkan kepada mereka bahwa ia lebih tahu dari orang itu atau ia takut bahwa orang itu akan dibesarkan seperti pembesaran kepadanya. Karena itu Ialu ia mencela orang tersebut.
Yang Keenam: dengki. Yaitu: ia kadang‑kadang dengan akan orang yang di­puji oleh manusia banyak, yang disukai dan yang dimuliakan oleh orang ba­nyak. Lalu ia bermaksud menghilangkan nikmat itu dari orang tersebut. Maka ia tiada memperoleh jalan kepada yang dimaksud, selain dengan mencaci orang itu. Lalu ia bermaksud menjatuhkan air muka orang tadi dimuka orang banyak. Sehingga orang banyak mencegah memuliakan dan memuji orang tersebut. Karena ia merasa berat mendengar perkataan, pu­jian dan pemuliaan orang banyak kepada orang itu. Inilah dengki yang sebenarnya! Yaitu lain dari marah dan sakit hati. Ka­rena yang demikian itu membawa kepada penganiayan kepada orang yang dimarahi. Dan dengki itu kadang‑kadang ada serta teman yang berbuat ba­ik dan kawan yang sesuai.
Yang Ketujuh: bermain, bersenda‑gurau, berbaik‑baikan dan menggunakan waktu dengan tertawa. Lalu ia menyebutkan kekurangan orang lain, dengan cara yang menertawakan orang banyak, dengan jalan meniru. Dan  sumbernya, ialah: sombong dan mengherani diri.
Yang Kedelapan: penghinaan dan mempermain‑mainkan untuk menghina orang tersebut. Sesungguhnya yang demikian, kadang‑kadang berlaku dimuka orang tersebut. Dan kadang‑kadang juga dibelakangnya. Dan sum­bernya, ialah sombong dan memandang kecil akan orang yang dipermain-­mainkan itu.
Adapun sebab yang 3  yang terdapat pada orang‑orang khusus, maka itu yang paling kabur dan paling halus. Karena itu adalah kejahatan‑kejahatan, yang disembunyikan oleh setan dalam pelaksanaan kebajikan. Dan pada­nya ada kebajikan. Akan tetapi dicampurkan oleh setan akan kejahatan dengan kebajikan‑kebajikan itu.
1.      Bahwa digerakkan dari agama oleh panggilan keta'juban, pada menentang yang munkar dan kesalahan pada agama. Lalu ia menga­takan: "Alangkah herannya apa yang aku lihat dari si Anu! Sesungguhnya kadang‑kadang dia itu benar dengan yang demikian". Dan adalah keta'­jubannya itu termasuk munkar. Akan tetapi, adalah haknya untuk merasa ta’jub. Dan ia tidak menyebutkan nama orang itu. Maka dipermudahkan o­leh setan kepadanya, menyebutkan nama orang tersebut, pada melahirkan keta'jubannya. Lalu jadilah ia dengan demikian, orang yang mengumpat dan berdosa, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Termasuk juga yang demikian, kata seseorang: "Aku heran dari keadaan si Anu, bagaimana ia mencintai budak wanitanya, pada hal budak wanitanya itu buruk. Dan bagaimana ia duduk dihadapan si Anu, pada hal ia orang bodoh.
2.      Kasih sayang. Yaitu: bahwa ia berdukacita disebabkan ben­cana yang menimpa seseorang. Lalu ia berkata: "Kasihan si Anu, yang menduka citakan aku oleh keadaannya dan apa yang menimpa dirinya". Maka dia itu benar tentang dakwaan kedukacitaannya itu. Dan ia dilalaikan oleh kedukacitaan tersebut, daripada ketakutan menyebutkan nama orang tadi. Lalu disebutnya. Maka jadilah ia mengumpat. Lalu dukacitanya dan kasih‑sayangnya itu suatu kebajikan. Begitu pula keheranannya. Akan tetapi ia telah dihalau oleh setan kepada kejahatan, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Dan kekasih sayangan dan keduka‑citaan itu mungkin tanpa menyebutkan nama orang itu. Lalu ia digerakkan oleh se­tan untuk menyebutkan namanya, supaya dengan demikian batallah pahala kedukacitaan dan kekasih‑sayangannya.
3.      Marah karena Allah Ta'ala. Sesungguhnya kadang-kadang ia marah atas perbuatan munkar, yang dikerjakan manusia, apabila dilihatnya atau didengarnya. Lalu lahirlah kemarahannya dan menyebutkan nama 0­rang itu. Dan adalah wajib bahwa ia melahirkan kemarahannya kepada o­rang tersebut, dengan amar‑ma'ruf  dan Nahi‑munkar. Dan tidak dilahirkannya kepada orang lain atau ditutupnya nama orang ter­sebut dan tidak disebutnya dengan jahat.
Maka 3 perkara tadi termasuk yang tersembunyi memperolehnya pada a­lim‑ulama, lebih‑lebih pada orang awam. Sesungguhnya mereka itu me­nyangka, bahwa ketakjuban, kekasih‑sayangan dan kemarahan, apabila ka­rena Allah Ta’ala, niscaya dima'afkan pada menyebutkan nama. Itu adalah salah. Akan tetapi yang diperbolehkan pada mengumpat, ialah beberapa keperluan tertentu, yang tiada jalan lain. selain daripada menyebutkan na­ma, sebagaimana akan datang uraian nya.
Dirawikan dari 'Amir bin Watsilah: "Bahwa seorang laki‑laki Ialu pada su­atu golongan pada masa hidup Rasulu'llah saw. Maka ia memberi salam kepada mereka itu. Lalu mereka itu menjawab salamnya. Tatkala o­rang tadi telah lewat dari mereka, lalu salah seorang daripada mereka ber­kata: “Sesungguhnya aku sangat marah pada orang tadi karena Allah Ta'ala". Maka yang duduk dalam majlis itu berkata: "Sesungguhnya bu­ruklah apa yang kamu katakan itu! Demi Allah, hendaknya engkau jelas­kan yang engkau katakan itu!”. Kemudian, mereka mengatakan kepada salah seorang dari mereka: "Hai Anu! Bangunlah! Jumpailah orang tadi dan terangkanlah kepadanya, apa yang dikatakan oleh orang itu!”. Lalu orang tersebut dijumpai oleh utusan mereka. Maka utusan tadi men­ceriterakan apa yang dikatakan orang itu. Lalu laki‑laki tersebut datang ke­pada Rasulu'llah saw dan menceriterakan kepada Rasulu'llah saw apa yang dikatakan oleh orang itu. Dan dimintanya, supaya rasulu'llah saw memanggiI orang itu. Lalu beliau memanggilnya dan menanyakannya. 0­rang itu lalu menjawab: “Sesungguhnya aku sudah mengatakan demikian". Rasulu'llah saw Ialu bertanya: “Mengapa engkau marah kepadanya?". Maka orang itu menjawab: "Aku tetangganya dan aku mengetahui hal‑ih­walnya. Demi Allah! Aku tidak pernah melihatnya, ia mengerjakan suatu shalat pun, selain daripada shalat fardlu ini". Laki‑laki itu menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Tanyakanlah kepadanya, a­dakah ia melihat aku memperlambat shalat dari waktunya? Atau aku tidak baik mengambil wudhu Atau ruku' atau sujud pada shalat itu?". Lalu Rasulu'llah saw menanyakan yang demikian pada orang tersebut. Maka orang itu menjawab: "Tidak!”. Lalu ia berkata pula: "Demi Allah Aku tiada melihatnya berpuasa sebulan pun, selain bulan ini (bulan Rama­dlan) yang berpuasa padanya orang baik dan orang zalim". Orang itu berkata lagi: "Wahai Rasulu'llah! Tanyakanlah kepadanya, ada­kah ia melihat aku sekali‑sekali berbuka puasa (tidak berpuasa) padanya? Atau aku kurangkan walaupun sedikit daripada hak puasa itu?". Maka Rasulu'llah saw bertanya kepada laki‑laki tersebut. Lalu laki‑laki i­tu menjawab: "Demi Allah! Aku tiada pernah sekali‑kali melihatnya ia memberi kepada orang meminta‑minta dan orang miskin. Dan aku tiada pernah melihatnya, ia membelanjakan sesuatu dari hartanya pada jalan Al­lah (fi sabili'llah), selain dari zakat ini yang diberikan oleh orang baik dan orang zalim". Orang itu berkata pula: "Tanyakanlah dia, wahai Rasulu'llah, adakah ia melihat aku mengurangkan zakat itu? Atau aku tawar‑menawar dengan o­rang yang mencari zakat, yang memintakannya. Lalu Rasulu'llah saw bertanya kepada orang itu, maka dijawabnya: “Tidak!”. Maka Rasulu'llah saw bersabda kepada laki‑laki tersebut: "Berdirilah! Moga‑moga dia itu lebih baik dari engkau!”.
PENJELASAN: obat yang mencegah lidah daripada mengumpat.
Ketahuilah, bahwa setiap akhlak yang buruk, sesungguhnya diobati dengan majun (obat) ilmu dan amal. Dan sesungguhnya obat tiap‑tiap penyakit, ialah dengan sebabnya melawani. Maka hendaklah kita memeriksa dari hal sebabnya ! Obat mencegah lidah dari mengumpat, terdiri atas 2 cara.
Salah satu da­ripadanya: secara global (tidak terperinci) dan yang satu lagi: secara ter­urai.
Adapun yang secara global, maka yaitu: bahwa diketahuinya mendatang­kan kemarahan Allah Ta’ala dengan pengumpatannya, dengan hadits‑ha­dits tadi, yang telah kami rawikan. Dan bahwa diketahuinya, bahwa pengumpatan itu membuat kebaikannya menjadi sia‑sia pada hari kiamat. Ka­rena pengumpatan itu memindahkan kebaikannya pada hari kiamat kepada orang yang diumpatinya, untuk ganti dari apa yang telah diperbolehkannya melanggar kehormatan orang lain. Jikalau ia tiada mempunyai kebaikan, niscaya dipindah kan kepadanya keburukan lawannya. Dan bersaman de­ngan yang demikian, ia mendatangi kepada kutukan Allah 'Azza wa Jalla dan ia menyerupai dengan orang memakan bangkai. Bahkan hamba itu ma­suk neraka, dengan beratnya daun neraca kejahatannya daripada daun ne­raca kebaikannya. Kadang‑kadang dipindahkan kepadanya, satu kejahatan dari orang yang diumpatinya. Lalu dengan demikian, terjadilah beratnya daun neraca kejahatan dan ia masuk neraka. Dan paling kurang tingkatnya, ialah berkurangnya pahala a­malnya. Dan yang demikian itu, sesudah bermusuhan, tuntut‑menuntut, bersoal-jawab dan perhitungan amal (hisab).
Nabi saw bersabda: "Tidaklah api itu lebih cepat memakan kayu kering, dibandingkan dengan cepatnya umpatan memakan kebaikan‑kebaikan seorang hamba". Dirawikan bahwa seorang laki‑laki berkata kepada Al-Hasan AI‑Bashari: "Telah sampai kepadaku bahwa anda mengumpati aku". Lalu Al-Hasan menjawab: "Tidaklah sampai dari kadarmu padaku, bahwa aku menghu­kum kamu pada kebajikan‑kebajikanku. Maka manakala seorang hamba, beriman (mempercayai) dengan hadits‑hadits yang datang, tentang umpat­an, niscaya ia tidak akan melepaskan lidahnya dengan pengumpatan itu. Karena takut daripada yang demikian. Dan juga bermanfa'at baginya, un­tuk memahami pada dirinya sendiri. Kalau ia memperoleh pada dirinya, su­atu kekurangan, niscaya ia berusaha dengan kekurangan dirinya itu untuk menghilangkannya".
Dan Al-Hasan membaca sabda Nabi saw: "Berbahagialah orang yang disibukkan oleh kekurangan dirinya, daripada memperkatakan kekurangan orang lain". Manakala memperoleh suatu kekurangan, maka‑sayogialah malu mening­galkan mencaci diri sendiri dan mencaci orang lain. Akan tetapi sayogialah meyakini, bahwa kelemahan orang lain tentang dirinya, pada menjauhkan dari kekurangan itu, adalah seperti kelemahannya sendiri. Dan ini, jikalau itu adalah suatu kekurangan yang menyangkut dengan perbuatannya dan pilihannya. Dan jikalau itu suatu hal yang dijadikan oleh Allah (amran khalqiyyan), maka mencelanya itu adalah mencela Al-Khaliq (yang maha pencipta). Sesungguh­nya barangsiapa mencela suatu hasil perbuatan, maka dia itu mencela tukangnya. Seorang laki‑laki mengatakan kepada seorang filosuf (ahli, hikmah): "Hai yang buruk muka!!”. Lalu filosuf itu menjawab: "Tidaklah kejadian mu­kaku terserah kepadaku, lalu aku dapat mencantikkannya". Apabila seorang hamba tiada memperoleh kekurangan pada dirinya, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah ia mencemarkan dirinya dengan kekurangan yang terbesar. Sesungguhnya mencela manusia dan memakan daging bangkai itu, termasuk kekurangan yang terbesar. Bahkan, jikalau ia insyaf, niscaya ia tahu, bahwa persangkaannya kepada dirinya terlepas dari semua kekurangan itu, suatu kebodohan terhadap diri­nya. Dan itu termasuk kekurangan yang terbesar. Dan bermanfa'atlah un­tuk diketahuinya, bahwa orang lain merasa sakit dengan umpatannya, adalah seperti terasa sakitnya dengan pengumpatan orang lain terhadap diri­nya. Apabila ia tidak merasa senang dirinya diumpati orang, maka sayo­gialah ia tidak senang untuk orang lain, apa yang ia tidak senang untuk di­rinya sendiri. Inilah pengobatan‑pengobatan yang baik.
Adapun yang terurai, ialah: bahwa ia melihat pada sebab yang mengge­rakkan kepada pengumpatan. Maka obatnya penyakit itu, ialah dengan me­motong sebabnya. Dan sudah kami kemukakan sebab‑sebab itu dahulu.
Adapun kemarahan, maka akan diobati dengan apa yang akan datang pen­jelasannya pada “Kitab Bahaya Marah”. Yaitu, bahwa dikatakan: "Sesung­guhnya, apabila aku meneruskan kemarahanku kepadanya, maka semoga Allah Ta’ala meneruskan kemarahan Allah kepadaku disebabkan pengumpa­tan. Karena la melarangku daripada pengumpatan. Lalu aku berani atas larangan Allah dan memandang ringan dengan hardikan Allah".
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya neraka jahannam mempunyai sebuah pintu, yang tidak dimasuki, selain orang yang menyembuhkan kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya, niscaya tumpullah lidahnya dan ia tidak menyembuhkan amarahnya". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menahan amarahnya, sedang ia sanggup meneruskannya, niscaya ia dipanggil oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat dihadapan manusia ramai, sehingga Allah Ta’ala meminta padanya untuk memilih bi­dadari/bidadara yang mana ia kehendaki".
Pada sebahagian kitab‑kitab yang diturunkan kepada sebahagian nabi‑nabi tersebut: "Hai anak Adam! Ingatlah‑kepadaKU ketika engkau marah, nis­caya AKU ingat kepadamu ketika AKU marah! Maka tidak AKU hapus­kan engkau dalam orang‑orang yang AKU hapuskan". Adapun sepakat dengan teman‑teman, yaitu: engkau tahu, bahwa Allah Ta’ala memarahi engkau, apabila engkau mencari kemarahan Allah untuk mencari keridlaan (kesenangan) makhluk. Maka bagaimanakah engkau me­nyenangkan dirimu, bahwa engkau memuliakan orang lain dan menghina kan Tuhanmu ? Maka engkau tinggalkan keridlaan Allah, untuk memperoleh keridlaan mereka. Kecuali, bahwa kemarahanmu itu karena Allah Ta’ala. Dan yang demikian, tidak mengharuskan untuk engkau sebutkan orang yang dimarahi itu dengan sebutan jahat. Akan tetapi sayogialah, bahwa engkau marah pula akan teman‑temanmu karena Allah Ta’ala, apabila me­reka menyebutnya dengan sebutan jahat. Karena mereka telah mendurhakai Tuhan engkau dengan dosa yang ter­keji. Yaitu: umpatan.
Adapun membersihkan diri sendiri (tanzihun‑nafsi), dengan menyandarkan orang lain kepada pengkhianatan, dimana sebetulnya ia tidak memerlu­kan menyebutkan orang lain itu, maka engkau mengobatinya, ialah: de­ngan mengetahui bahwa tampil untuk membenci AL‑KHALIQ (YANG MAHA PENCIPTA) itu lebih be­rat dibandingkan dari tampilnya untuk membenci makhIuq. Dan engkau dengan mengumpat itu, tampil untuk kemarahan Allah dengan yakin. Dan engkau tidak tahu, bahwa engkau melepaskan diri dari kemarahan manusia atau tidak. Lalu engkau melepaskan dirimu di dunia, dengan sangka‑wa­ham. Dan engkau akan binasa di akhirat dan merugilah kebaikan engkau dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Dan hasilnya bagi engkau, ialah celaan Allah Ta’ala sekarang juga. Dan engkau menantikan akan penolakan ce­laan makhluk pada masa depan. Inilah kebodohan dan kehinaan yang penghabisan.
Adapun alasan engkau, seperti engkau katakan: jikalau aku memakan ha­ram, maka si Anu pun memakannya. Dan jikalau aku menerima harta sul­tan, maka si Anu pun menerimanya. Maka ini suatu kebodohan. Karena engkau membuat alasan, dengan mengikuti orang yang tidak boleh diikuti. Karena orang yang menyalahi perintah Allah Ta’ala, maka tidak diikuti, si­apa pun orangnya. Dan jikalau orang lain masuk neraka dan engkau sanggup untuk tidak memasukinya, niscaya janganlah engkau sepakat dengan dia. Jikalau engkau sepakat, niscaya bodohlah pikiranmu. Maka pada apa yang engkau sebutkannya umpatan dan tambahan perbua­tan maksiat itu, telah engkau tambahkan kepada apa yang engkau meminta maaf daripadanya. Dan engkau daftarkan serta berkumpulnya diantara dua perbuatan maksiat, diatas kebodohan dan kedunguan engkau. Dan adalah engkau seperti kambing betina yang memandang kepada kambing jantan, yang menjatuhkan dirinya dari puncak bukit. Lalu dia juga menjatuhkan dirinya. Dan jikalau kambing betina itu mempunyai lidah yang menuturkan dengan meminta ma'af dan dia menegaskan dengan permintaan ma'af itu dan berkata: "Kambing jantan itu lebih pandai daripadaku” dan ia telah membinasakan dirinya, maka begitulah pula aku berbuat, niscaya engkau a­kan tertawa dari kebodohan kambing betina itu. Dan keadaan engkau sa­malah dengan keadaannya. Kemudian, engkau tidak merasa heran dan ti­dak tertawa dari diri engkau sendiri. Adapun maksud engkau berbangga dan membersihkan diri dengan kele­bihan keutamaan, dengan engkau mencela orang lain, maka sayogialah engkau ketahui, bahwa engkau dengan apa yang engkau sebutkan itu, telah engkau batalkan kelebihan engkau pada sisi Allah. Dan engkau dari ke­yakinan manusia itu, kelebihan engkau dalam bahaya. Kadang‑kadang ber­kurang kepercayaan mereka pada engkau, apabila mereka mengetahui a­kan engkau mencela manusia. Maka adalah engkau, sesungguhnya telah menjualkan apa yang pada AL‑KHALIO dengan yakin dengan apa yang pada makhluk dengan sangka‑waham. Jikalau berhasil bagi engkau dari makhluk, keyakinan kelebihan, niscaya sesungguhnya mereka tidak terle­pas sesuatu pun daripada Allah dengan engkau.
Adapun pengumpatan dikarenakan oleh dengki, maka itu adalah pengum­pulan diantara 2 azab. Karena engkau dengki kepadanya diatas kenik­matan duniawi dan adalah engkau di dunia ini diazabkan dengan kedeng­kian. Maka tidaklah engkau merasa cukup dengan demikian, sehingga eng­kau tambahkan kepadanya azab akhirat. Maka engkau rugikan diri engkau sendiri di dunia. Lalu menjadi pula eng­kau merugi di akhirat. Karena engkau kumpulkan diantara dua larangan. Engkau maksudkan orang yang engkau dengkikan, lalu engkau kenakan a­kan diri engkau sendiri. Dan engkau hadiahkan kepadanya kebaikan eng­kau. Jadi engkau adalah temannya dan musuh diri engkau sendiri. Karena tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh pengumpatan engkau. Dan engkau mendatangkan melarat akan engkau sendiri. Dan memberi man­fat kepadanya. Karena engkau pindahkan kepadanya kebaikan‑kebaikan engkau. Atau engkau pindahkan kepada engkau sendiri keburukan‑kebu­rukannya. Dan tidak bermanfa'at bagi engkau. Engkau telah kumpulkan kepada kekejian dengki, akan bodohnya kedunguan. Kadang‑kadang ke­dengkian engkau dan kecelaan engkau, menjadi sebab tersiarnya kelebihan orang yang engkau dengki, sebagai dikatakan pada sekuntum syair:
“Apabila dikehendaki oleh Allah,
tersiarnya keutamaan yang tersembunyi,
maka disediakan untuknya oleh Allah,
suatu lidah yang pendengki ...........
Adapun penghinaan, maka maksud engkau dari penghinaan itu, ialah menghinakan orang lain dihadapan manusia, dengan menghinakan dirimu sendiri pada sisi Allah Ta’ala, pada sisi malaikat‑malaikat dan nabi‑nabi. Kepada mereka rahmat dan sejahtera. Jikalau engkau berpikir pada kerugian engkau, penganiayaan engkau, malunya engkau dan hinanya engkau pada hari kiamat, hari yang engkau bawa kejahatan‑kejahatan orang yang engkau permainkannya dan engkau dihalau keapi neraka, niscaya mendahsyatkan akan engkau, oleh yang de­mikian, dari menghinakan akan sahabat engkau. Jikalau engkau tahu akan keadaan engkau, niscaya adalah engkau lebih utama untuk tertawa dari hal engkau sendiri. Karena engkau memperolok‑olokkannya dihadapan orang yang sedikit jumlahnya (teman‑teman engkau) dan engkau bawa diri eng­kau sendiri, untuk diambilnya tangan engkau pada hari kiamat, dibawanya kehadapan manusia ramai. Dan dihalaunya engkau dibawah kejahatan‑ke­jahatannya, sebagaimana dihalau keledai ke dalam api, dimana ia memper­main‑mainkan engkau, gembira dengan kehinaan engkau dan merasa se­nang dengan pertolongan Allah Ta'ala kepadanya, diatas kerugian engkau dan kekuasaannya membalas dendam atas engkau.
Adapun kasih sayang kepada orang diatas dosanya, maka itu baik. Akan tetapi, engkau didengkikan oleh Iblis, lalu disesatkannya engkau. Dan di­ajaknya berbicara dengan engkau dengan apa yang dipindahkan daripada kebaikan‑kebaikan engkau kepada orang itu, akan apa yang lebih banyak dari kekasih‑sayangan engkau. Maka itu adalah tambalan untuk dosa orang yang dikasih‑sayangi. Lalu keluarlah orang itu dari keadaannya dikasih‑sa­yangi dan terbaliklah engkau yang berhak untuk dikasih sayangi. Karena telah batal pahala engkau dan engkau telah berkurang dari kebaikan‑keba­ikan engkau. Begitu pula kemarahan karena Allah Ta’ala, tidak mengharuskan mengum­pat. Dan sesungguhnya setan yang menyukakan engkau untuk mengumpat, supaya batal pahala kemarahan engkau. Dan jadilah engkau yang tampil dengan pengumpatan untuk dibenci oleh Allah 'Azza wa Jalla.
Adapun keheranan kepada diri (ta'jub), apabila membawa engkau kepada pengumpatan, lalu engkau merasa heran dari diri engkau sendiri, bagaima­na engkau telah membinasakan diri engkau dan agama engkau, dengan a­gama atau dunia orang lain. Dan dalam pada itu, engkau tidak aman dari siksaan dunia. Yaitu dikoyakkan oleh Allah tabir yang menutupi keku­rangan engkau, sebagaimana engkau dengan keta'juban itu, mengoyakkan tabir yang menutupi kekurangan saudara engkau. Jadi, obat semua yang demikian itu, ialab: ma'rifah saja dan meyakini hal-­hal itu yang menjadi pintu keimanan. Maka barangsiapa yang kuat imannya dengan semua itu, niscaya sudah pasti tercegahlah lidahnya daripada me­ngumpat.
PENJELASAN: pengharaman mengumpat dengan hati.
Ketahuilah, bahwa jahat sangka itu haram, seperti jahatnya perkataan. Ma­ka sebagaimana diharamkan kepada engkau memperkatakan orang lain de­ngan lidah engkau, dengan menyebutkan keburukan‑keburukan orang lain, maka tiadalah bagi engkau untuk memperkatakan diri engkau sendiri dan berjahat sangka akan saudara engkau. Dan tidaklah maksudku yang demi­kian, selain dari kebusukan hati dan menghukum buruk orang lain.
Adapun gurisan‑gurisan dalam hati dan kata hati, maka itu dima'afkan. Bahkan syak‑wasangka pun dima'afkan. Akan tetapi yang dilarang, ialah bahwa: menyangka dan sangkaan itu, ibarat daripada kecenderungan diri dan hati kepadanya. Allah Ta'ala berfirman:­ "Hai orang‑orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan purba­sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa!”. S 49 Al­ Hujuraat ayat 12. Sebab pengharamannya, ialah, bahwa rahasia hati itu, tiada yang menge­tahuinya, selain Allah yang Maha Tahu yang ghaib‑ghaib. Maka tiadalah berhak engkau, meyakini akan kejahatan pada orang lain, kecuali apabila telah terbuka bagi engkau dengan jelas, yang tidak menerima untuk dita'­wilkan. Maka ketika itu, tidak mungkin bagi engkau, selain mempercayai apa yang engkau ketahui dan engkau saksikan. Yang tidak engkau saksikan dengan mata engkau dan tidak engkau dengar dengan telinga engkau, kemudian jatuh dalam hati engkau, maka adalah setan yang mencampakkannya kepada engkau. Seyogialah engkau mendus­takan setan itu. Karena itu adalah yang lebih fasik dari semua orang fasik. Allah Ta’ala berfirman: ”Hai orang‑orang yang beriman! Kalau datang kepada, kamu o­rang jahat membawa berita, periksalah dengan seksama, supaya kamu jangan sampai mencelakakan suatu kaum dengan tiada diketahui, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. S 49 Al Hujuraat ayat 6. Maka tidak boleh membenarkan Iblis. Dan jikalau ada disitu suatu ba­yangan, yang menunjukkan kepada kerusakan dan mungkin sebaliknya, niscaya tidak boleh engkau membenarkannya. Karena orang fasik itu menggambarkan, bahwa ia akan dibenarkan perkhabarannya.
Akan tetapi, tidak boleh bagi engkau membenarkannya. Sehingga seorang yang berbau mulutnya, lalu didapati padanya bau khamar/alkohol, tidak boleh ia disiksa. Karena dapat dikatakan, bahwa mungkin ia telah berkumur‑kumur dengan khamar dan diludahinya. Dan ia tidak meminum nya. Atau dibawa orang kepadanya dengan paksaan.
Maka semua itu tidak mustahil dalil yang mungkin. Ma­ka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berjahat sangka kepada orang muslim dengan yang demikian. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan dari orang muslim, darahnya dan hartanya dan bahwa menyangkakannya dengan sangkaan ja­hat". Maka tidak diperbolehkan sangkaan jahat, kecuali dengan apa yang diper­bolehkan harta. Yaitu: penyaksian itu sendiri atau saksi yang adil. Maka apabila tidak ada seperti yang demikian dan terguris bagi engkau was-was jahat sangkaan, maka seyogialah engkau menolakkannya dari hati engkau. Dan engkau menetapkan, bahwa keadaan orang itu pada engkau tertutup, sebagaimana adanya. Dan bahwa yang engkau lihat dari orang tersebut, mungkin baik dan mungkin buruk. Maka jikalau engkau bertanya: "Dengan apa dapat dikenal ikatan sangka dan keraguan hati yang tergerak didalam dada dan hati yang berbicara”. Kami jawab, bahwa ikatan jahatnya sangka itu ialah berobahnya hati da­ripada yang sudah‑sudah. Lalu hati itu lari (tidak dekat) lagi dari hal itu, merasa berat dan lemah daripada memeliharanya, merasa kehilangan, me­muliakan dan merasa sedih, disebabkan jahat sangka itu. Maka inilah tanda‑tanda ikatan‑sangkaan dan mencari bukti‑buktinya.
Nabi saw bersabda: “Tiga perkara pada orang mu'min, dimana ia mempunyai jalan ke­luar dari masing‑masing yang 3 perkara itu. Maka jalan keluar dari jahat sangka, ialah: bahwa ia tidak mencari bukti‑buktinya". Ar­tinya: ia tidak mencari bukti‑buktinya pada dirinya dengan ikatan (ikatan pada jahat sangka tersebut) dan dengan perbuatan. Dan tidak pula mem­benarkannya pada hati dan pada anggota badannya.
Adapun pada hati, ialah: dengan berobahnya hati itu kepada menjauhi (liar hati) dan benci.
Adapun pada anggota badan, ialah: dengan tindakan (per­buatan) yang mengharuskan (menghendaki adanya) jahat sangka. Dan se­tan kadang‑kadang menetapkan didalam hati itu, dengan bayangan yang se­sedikit‑dikitnya, akan jahatnya orang itu. Dan dijatuhkan oleh setan bisi­kan kedalam hati, bahwa: yang demikian, adalah termasuk kecerdikan engkau, kecepatan pemahaman engkau dan kepintaran engkau. Dan sesung­guhnya orang mukmin itu melihat dengan nur (cahaya) Allah Ta’ala. Dan orang mu'min itu diatas sebenarnya, memperhatikan diatas penipuan dan kezaliman setan.
Apabila diterangkan kepada engkau oleh seorang adil (jujur) akan sesuatu, lalu cenderung sangkaan engkau kepada membenarkannya, niscaya dalam hal ini engkau dima'afkan. Karena jikalau engkau mendustakannya, nisca­ya engkau penganiaya diatas keadilan (kejujuran) tersebut. Karena engkau telah menyangka akan kedustaannya. Dan yang demikian, termasuk pula dalam jahat sangka. Maka tiada seyogialah engkau berbaik sangka dengan seseorang dan berjahat sangka dengan orang lain. Benar sayogianya engkau memeriksa, adakah diantara kedua orang tersebut permusuhan, perdeng­kian dan pertengkaran? Lalu timbul tuduhan, dengan sebab itu? Agama menolak kesaksian bapak yang adil untuk kepentingan anaknya, karena ke­curigan. Dan agama menolak kesaksian musuh. Maka engkau ketika itu dapat menghentikan pikiran (tawaqquf). Jikalau ia adil, maka jangan engkau benarkan dan jangan engkau dustakan. Akan te­tapi engkau katakan pada diri sendiri: "Orang yang tersebut keadaannya adalah padaku dalam penutupan Allah Ta'ala dan urusannya adalah ter­dinding (terhijab) daripadaku. Dan tinggal seperti yang telah ada, tiada terbuka sedikitpun dari urusannya bagiku".
Kadang‑kadang orang itu, zahiriahnya adil dan tak ada dengki‑mendengki diantaranya dan orang tersebut. Tetapi kadang‑kadang termasuk kebiasa­annya, memperkatakan orang lain dan menyebutkan keburukan‑keburukan mereka. Dan ini, kadang‑kadang disangka orang itu adil, pada hal ia tidak adil. Karena orang pengumpat itu adalah orang fasik. Dan jikalau demikian kebiasaannya, niscaya kesaksiannya ditolak. Hanya karena banyaknya kebiasaan yang demikian, lalu manusia mengang­gap mudah urusan pengumpatan. Dan tidak memperdulikan tentang ­perkatakan kehormatan orang banyak. Manakala terguris dalam hati engkau suatu gurisan jahat kepada seseorang muslim, maka sayogialah engkau menambahkan pada penjagaannya dan engkau do'a kan kebajikan kepadanya. Sesungguhnya yang demikian memarahkan setan dan menolaknya daripada engkau. Lalu ia tidak me­lemparkan kepada engkau gurisan jahat, karena ketakutan dari usaha eng­kau dengan do'a dan penjagaan. Manakala engkau mengetahui akan kesalahan seorang muslim dengan ada alasan, maka nasehatilah dia secara rahasia. Dan jangan engkau ditipu oleh setan, lalu setan itu mengajak engkau kepada mengumpatinya. Dan apa­bila engkau menasehatinya, maka janganlah engkau menasehatinya, sedang engkau gembira melihatnya diatas kekurangan itu. Supaya ia memandang kepada engkau dengan pandangan penghormatan. Dan engkau memandang kepadanya dengan pandangan penghinaan. Dan engkau meninggi diri dari padanya, dengan melahirkan nasehat. Dan hendaklah ada maksud engkau, untuk melepaskannya dari dosa.  Dan engkau merasa sedih, sebagaimana sedihnya engkau atau diri engkau sen­diri, apabila timbul kekurangan atas engkau pada agama engkau. Dan sa­yogialah lantaran itu, ditinggalkannya perbuatan dosa itu tanpa nasehat engkau, lebih engkau sukai, daripada ditinggalkannya dengan nasehat eng­kau. Apabila engkau berbuat demikian, niscaya sesungguhnya engkau telah mengumpulkan diantara pahala nasehat dan pahala sedih dengan musibah yang menimpa orang itu dan pahala memberi pertolongan kepadanya pada Agamanya.
Termasuk diantara buah jahat sangka itu mengintip‑intip(at‑tajassus). Hati sesungguhnya tidak merasa puas dengan sangkaan saja dan mencaci hakikat / makna yang sebenarnya. Lalu hati itu berusaha dengan mengintip‑intip. Dan me­ngintip‑intip itu juga dilarang. Allah Ta’ala berfirman:“Janganlah kamu mengintip‑intip (mencari‑cari keburukan orang) & janganlah mengumpat satu sama lain”. S 49 Al Hujuraat, ayat 12. Mengumpat, jahat sangka & mengintip‑intip itu dilarang pada satu ayat tersebut. Arti mengintip-intip (at‑tajassus), ialah: tidak dibiarkan hamba Allah itu dibawah tabir Allah (ditutup kesalahannya oleh Allah). Lalu di­cari  jalan supaya sampai kepada mengetahuinya & merusakkan tabir tersebut. Sehingga terbukalah baginya hal‑hal, jikalau tertutup, niscaya lebih menyelamatkan hati & agamanya. Dan telah kami sebutkan hukum meng­intip‑intip & hakikat/maknanya pada “Kitab Amar Ma’ruf”.

s/d baca dan rekaman
PENJELASAN: halangan‑halangan yang  membolehkan  mengumpat.
Ketahuilah, bahwa yang membolehkan menyebut keburukan orang lain, yaitu: suatu maksud yang dibenarkan Agama, yang tidak mungkin sampai kepada maksud tersebut, selain dengan menyebut keburukan itu. Maka yang demikian, menolak dosa umpatan. Yaitu: 6 perkara.
Pertama: penderitaan kezaliman. Sesungguhnya siapa yang menyebutkan se­orang hakim dengan kezaliman, pengkhianatan dan mengambil uang suap, maka orang tersebut itu pengumpat yang maksiat, jikalau ia tidak dizalimi. Adapun orang yang dizalimi oleh pihak hakim, maka ia berhak mengadu kezaliman itu kepada pemerintah. Dan dikatakannya hakim itu za­lim, karena tidak mungkin ia memperoleh haknya, kecuali dengan demi­kian. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya yang punya hak itu mempunyai perkataan (berhak berbicara)". Nabi saw bersabda: “Pertangguhannya orang kaya itu, membayar hutang suatu keza­liman". Nabi saw bersabda: "Pertangguhan orang yang memperoleh uang (untuk membayar hutangnya), itu menghalalkan penyiksaannya dan kehormatannya".
Kedua: permintaan bantuan untuk mengobah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat, kepada jalan yang baik, sebagaimana dirawikan, bahwa 'Umar ra singgah pada 'Usman ra Dan ada yang mengatakan, 'Umar ra itu singgah pada Thalhah ra. Lalu 'Umar ra memberi salam kepadanya, maka tidak dibalasnya salam itu. Lalu 'Umar ra pergi kepada Abubakar ra. Maka diceriterakannya yang demikian ke­pada Abubakar ra. Lalu pergilah Abubakar ra kepada 'Usman ra (atau kepada Thalhah ra menurut riwayat yang lain), untuk memperbaiki yang demikian. Dan tidaklah itu pengumpatan pada para shababat. Begitu pula ketika sampai berita kepada 'Umar ra, bahwa Abu Jundul membuat khamar di negeri Syam (Syria), lalu 'Umar ra menulis surat ke­padanya, sebagai berikut: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang. Haa Mim. Diturunkan Kitab ini dari Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tahu, Pengampun dosa, Penerima tobat, Keras hukuman dan Banyak mem­beri. Tiada Tuhan selain daripada DIA. Kepada Allah kesudahan tujuan”. S 40 Al Mukmin ayat 1‑2‑3. Maka bertobatlah Abu Jundul. Dan 'Umar ra tidak berpendapat, bahwa apa yang disampaikannya itu pengumpatan. Karena maksudnya, adalah un­tuk menentang Abu Jundul pada kemungkaran tersebut. Maka bermanfa'at baginya nasehat 'Umar ra apa yang tidak bermanfa'at baginya nasehat o­rang lain. Dan sesungguhnya diperbolehkan ini, dengan maksud yang be­nar. Maka kalau tidaklah yang demikian dimaksudkan, niscaya adalah ha­ram.
Ketiga: meminta fatwa, seperti dikatakannya kepada mufti (yang menge­luarkan fatwa): "Aku telah dianiaya oleh bapakku atau oleh istriku atau oleh saudaraku. Maka bagaimana jalanku pada melepaskan diri?". Dan yang lebih menyelamatkan itu, dengan kata‑kata sindiran (kata‑kata yang tidak langsung), dengan dikatakannya: "Apa katamu tentang, orang yang dianiaya oleh ayahnya atau oleh saudaranya atau oleh isterinya?". Tetapi penentuan, diperbolehkan sekedar ini. Karena diriwayatkan dari Hindun binti 'Utbah, bahwa Hindun berkata kepada Nabi saw: "Bahwa Abu Sufyan itu laki‑laki yang kikir. la tidak memberikan kepadaku, apa yang mencukupkan bagiku dan anakku. Apakah aku ambil, tanpa setahunya?". Maka Nabi saw menjawab: "Ambillah apa yang mencukupkan bagi engkau dan anak engkau dengan yang baik. Hindun menyebutkan kekikiran dan kezaliman terhadap dia dan anaknya. Dan Nabi saw tidak mencegahnya, karena maksud Hindun, ialah: me­minta fatwa/nasehat.
Keempat  menakutkan orang muslim daripada kejahatan. Apabila engkau melihat seorang ahli fikh (faqih) sering kali datang kepada orang yang ber­buat bid’ah (mubtadi') atau orang fasik dan engkau takut menularnya bid’ah dan fasik itu kepada faqih tadi, maka engkau berhak membuka ke­bid’ahan dan kefasikan orang tersebut, manakala yang menggerakkan eng­kau bertindak demikian, lantaran takut menjalarnya bid’ah dan fasik. Bu­kan lantaran sebab yang lain. Dan itu adalah tempat tipu‑daya. Karena, kadang‑kadang kedengkianlah yang menjadi penggerak. Dan dikacau‑balaukan oleh setan yang demikian, dengan melahirkan kasih‑sayang kepada orang banyak.
Begitu pula orang yang membeli seorang budak. Dan engkau mengetahui bahwa budak itu suka mencuri atau berbuat fasik atau berbuat kekurangan yang lain. Maka engkau berhak menyebutkan yang demikian. Karena diamnya engkau itu mendatangkan kerugian bagi si pembeli. Dan dalam engkau menyebutkan itu, mendatangkan melarat bagi budak tersebut. Dan pihak pembeli itu le­bih utama dijaga.
Begitu pula al‑muzakki (orang yang mengetahui bersih tidaknya seseorang), apabila ia ditanyakan tentang keadaan seorang saksi, maka si al‑muzakki i­tu boleh mencaci si saksi, kalau diketahuinya bahwa saksi itu tercela. 
Begitu pula orang yang diminta pikirannya (al‑mustasyar) tentang perka­winan dan penyimpanan amanah, maka ia boleh menerangkan apa yang di­ketahuinya, dengan maksud nasehat kepada orang yang memintanya nase­hat (al‑mustasyir) itu. Tidak dengan maksud mencaci. Kalau diketahuinya, bahwa orang tersebut akan meninggalkan perkawinan dengan semata‑mata perkataannya: "Wanita itu tidak pantas untuk eng­kau", maka itu yang sewajibnya dan mencukupi. Dan kalau diketahuinya, bahwa orang tersebut tidak akan meninggalkan perkawinan, kecuali dengan kata terus‑terang dengan kekurangannya, maka bolehlah berkata terus‑te­rang. Karena Rasulu'llah saw bersabda: "Adakah kamu mencegah, daripada menyebutkan orang fasik? Bukalah hal‑ihwalnya sehingga diketahui oleh manusia! Sebutkanlah apa yang ada padanya, sehingga ia ditakuti oleh manusia!”. Mereka mengatakan, bahwa 3 macam manusia, tidak ada pengumpatan untuk mereka. Yaitu: penguasa yang zalim, orang yang berbuat bid’ah dan orang yang menampakkan kefasikannya.
Kelima: bahwa adalah orang itu terkenal dengan gelaran yang melahirkan kekurangannya. Seperti: si Pincang dan si Kabur mata. Maka tidak berdosa orang yang mengatakan: "Dirawikan oleh Abuz‑Zanad, dari Si Pincang (Al-A'raj) dan dirawikan oleh Salman dari Si Kabur Mata (Al-A’masy)". Dan yang lain‑lain yang serupa dengan itu. Para ulama sudah berbuat demikian, karena pentingnya pengenalan. Dan karena yang demikian telah terjadi, yang tidak dibenci oleh yang bersang­kutan sendiri, kalau diketahuinya, sesudah menjadi termasyur dengan yang demikian. Ya, jikalau diperoleh yang sederhana dan mungkin untuk pengenalan de­ngan kata‑kata yang lain, maka itu lebih utama. Karena itu dikatakan bagi orang buta (al‑a'ma): yang melihat (al‑bashir). Karena tukaran dari nama kekurangan.
Keenam: bahwa orang tersebut menampakkan kefasikannya, seperti: orang yang menampakkan dirinya seperti wanita, orang yang mempunyai tempat minuman keras, orang yang menampakkan dirinya meminum khamar dan meminta harta orang dengan setengah paksa. Dan orang tersebut termasuk orang yang menzahirkan perbuatannya, dimana ia tidak mencegah untuk disebutkan dan tidak benci untuk disebutkan dengan demikian. Maka apa­bila engkau sebutkan pada orang tersebut, apa yang dizahirkannya, maka engkau tidak berdosa. Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa mencampakkan baju malunya dari mukanya, maka tiada menjadi pengumpatan baginya". 'Umar ra berkata: "Tiada kehormatan bagi orang yang berbuat maksiat". Yang dimaksud, ialah: orang yang menampakkan kefasikannya, tidak o­rang yang menutupkannya. Karena orang yang menutupkannya, harus di­pelihara kehormatannya. Ash‑Shultu bin Thuraif berkata: "Aku bertanya pada Al-Hasan AI‑Bashari: “Laki‑laki yang fasik, yang menampakkan kemaksiatannya, apakah sebu­tanku kepadanya, dengan apa adanya itu, pengumpatan kepadanya?". AI Hasan menjawab: "Tidak dan tidak ada kemuliaan bagi orang itu". Al-Hasan berkata: "Tiga macam manusia, tiada menjadi pengumpatan bagi mereka, yaitu: orang yang mengikuti hawa‑nafsu, orang fasik yang menampakkan kefasikannya dan imam (penguasa) yang zalim". Maka orang 3 macam tersebut, dikumpulkan mereka oleh menzahirkan perbuatan itu. Dan kadang‑kadang mereka berbangga diri dengan perbuat­an tersebut. Maka bagaimanakah mereka tiada menyukai yang demikian? Dan mereka bermaksud menzahirkannya. Benar, jikalau disebut apa yang tidak dizahirkannya, maka itu berdosa. Berkata 'Auf bin Abi Jamilah Al-A'rabi: "Aku masuk ke tempat lbnu Sirin. Maka aku perkatakan padanya tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats‑Tsaqafi. Lalu Ibnu Sirin menjawab: "Sesungguhnya Allah menghukum dengan adil. IA akan menuntut balas untuk Al-Hajjaj dari orang yang mengumpatinya, sebagaimana ia menuntut balas dari Al-Haijaj untuk orang dianiayainya. Dan engkau sesungguhnya apabila menjumpai Allah Ta'ala besok, niscaya dosa yang paling kecil yang engkau peroleh adalah lebih berat atas engkau dari dosa yang paling besar yang diperoleh oleh Al-Hajjaj".
PENJELASAN. kafarat umpatan.
Ketahuilah, bahwa wajib atas orang yang mengumpat itu menyesal, ber­tobat dan merasa sedih diatas perbuatan yang telah diperbuatnya. Supaya dengan demikian, ia keluar dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian ia minta pada orang yang diumpatinya itu supaya dihalalkannya. Lalu keluarlah ia daripada menganiayainya. Dan sayogialah untuk meminta dihalalkan itu, dimana ia dengan keadaan sedih, sangat terharu dan me­nyesal diatas perbuatannya. Karena orang yang ria kadang‑kadang memin­ta dihalalkan, untuk melahirkan dirinya orang wara', sedang pada batinnya, ia tidak menyesal. Maka ia telah mengerjakan suatu maksiat lain. Al-Hasan AI‑Bashari berkata: "Mencukupilah dia ber‑istighfar (meminta ampun Tuhan), tanpa meminta dihalalkan (dima'afkan)". Mungkin beliau mengambil dalil pada yang demikian, dengan apa yang dirawikan Anas bin Malik, dimana Anas berkata: "Rasulu'llah saw bersabda:  “Kaffarah (pembayar hutang dosa) kepada orang yang engkau umpati ialah bahwa engkau meminta diampuni dosanya (engkau membaca istighfar bagi dosanya)". Mujahid berkata: "Kaffarah engkau makan daging saudara engkau ialah bahwa engkau pujikan dia dan engkau do'akan kebajikan baginya". Ditanyakan 'Atha' bin Abi Ribah, tentang tobat daripada mengumpat. La­lu ia menjawab: "Bahwa engkau pergi kepada teman engkau itu, lalu engkau katakan kepadanya: "Aku berdusta tentang apa yang aku katakan. Dan aku telah berbuat aniaya dan berbuat jahat kepada engkau. Maka  kalau engkau mau, engkau ambillah hak engkau. Dan jikalau engkau mau, engkau ma'afkanlah". Inilah yang lebih benar. Kata orang yang mengatakan, bahwa kehormatan tiada gantinya, Maka ti­ada wajib meminta dihalalkan, kecuali harta, adalah perkataan lemah. Ka­rena wajib pada kehormatan, hukum qadzaf (hukum karena menuduh 0­rang berzina dan tidak dapat dikemukakan 4 orang saksi). Dan adanya hak menuntut hukum tersebut. Bahkan pada hadits shahih, diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa ada padanya perbuatan kezaliman bagi saudaranya, mengenai kehormatan atau harta maka hendaklah ia meminta dihalalkan dari saudaranya itu, sebelum datangnya hari, dimana disitu tidak ada dinar dan dirham. Sesungguhnya diambilkan dari kebaikan‑kebaikannya. Jikalau ia tiada mempunyai perbuatan kebaikan, niscaya diambilkan dari perbuatan kejahatan saudaranya, lalu ditambahkan pada kejahatannya".
 'Aisyah berkata kepada seorang wanita, yang mengatakan kepada wa­nita lain, bahwa wanita itu panjang ekor: "Sesungguhnya engkau telah me­ngumpatinya, maka mintalah ia menghalalkannya!” Jadi, haruslah meminta dihalalkan, jikalau sanggup atas yang demikian. Kalau orang yang diumpati itu berada jauh atau sudah mati, maka sayogi­alah membanyakkan istighfar dan do'a kepadanya. Dan meminta banyak kebaikannya. Kalau anda bertanya: Adakah wajib meminta dihalalkan itu. Maka aku menjawab: tidak! Karena itu adalah perbuatan berbuat kebaikan (tabarru'). Dan tabarru' itu suatu keutamaan dan tidak wajib. Akan tetapi perbuatan yang dipandang baik. Dan jalannya orang yang meminta ma'af itu, bahwa ia membanyakkan pujian kepada orang yang bersangkut­an dan kasih‑sayang kepadanya. Dan selalu ia berbuat demikian, sehingga orang tersebut baik hatinya. Jikalau tidak juga baik hatinya, maka permintaan kema'afannya dan kekasih‑sayangannya itu suatu perbuatan baik yang diperhitungkan baginya, yang mengimbangi kejahatan, pada hari kiamat.
Sebagian ulama terdahulu (ulama salaf), tidak mau menghafalkan. Sa'id bin AI‑Musayyab berkata: "Aku tidak akan menghalalkan orang yang Meng­aniayai aku". Ibnu Sirin berkata: "Aku tidaklah yang mengharamkan pe­ngumpatan kepadanya, Ialu aku yang menghalalkannya. Sesungguhnya Al­lah yang mengharam kan pengumpatan kepadanya. Dan tidaklah aku yang berhak menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah untuk selama‑lama­nya.
Kalau anda bertanya: "Apakah artinya sabda Nabi saw: "Sayogianya bahwa meminta dihalalkan pengumpatan itu", sedang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu tidak mungkin?. Maka kami menjawab: "Bahwa yang dimaksudkan, ialah meminta ma'af dari perbuatan penganiayaan, Bukan untuk membalikkan yang haram men­jadi‑halal. Dan apa yang dikatakan Ibnu Sirin itu baik, pada penghalalan sebelum pengumpatan. Karena sesungguhnya tidak boleh ia menghalalkan pengumpatan bagi orang lain". Kalau anda bertanya: "Apa artinya sabda Nabi saw: "Adakah seseorang kamu lemah untuk menjadi seperti Abu Dlamdlam? Ia apabila keluar dari rumahnya, berdo'a: "Wahai Allah Tu­hanku! Sesungguhnya aku telah bersedekah dengan kehormatanku kepada manusia". Maka bagaimanakah ia bersedekah dengan kehormatan? Orang yang ber­sedekah dengan kehormatan, bolehkah diambil? Jikalau sedekah itu tidak dilaksanakan, maka apakah artinya menggerakkan perbuatan tersebut? Maka kami jawab, bahwa: "Sesungguhnya aku tidak mencari ke­zaliman pada hari kiamat daripadanya dan aku tidak bermusuh‑musuhan dengan dia". Kalau tidak demikian, maka pengumpatan itu tidak menjadi halal dan kezaliman itu tidak gugur daripadanya. Karena itu adalah kema'­afan sebelum wajib. Kecuali itu, adalah janji dan ia berhak bercita‑cita menepati janji, dengan tidak akan bermusuh ‑ musuhan. Kalau ia kembali dan bermusuh‑musuhan, maka perbandingannya adalah seperti hak‑hak yang lain, bahwa ia berhak yang demikian. Bahkan para ulama fiqh menegas­kan, bahwa barangsiapa memperbolehkan qazaf (tuduhan berzina), niscaya tidaklah gugur (hilang) haknya, dari hukuman si penuduh zina itu. Dan ke­zaliman akhirat itu seperti kezaliman dunia.
Pada umumnya, kema'afan itu lebih utama. Al-Hasan AI‑Bashari ra ber­kata: "Apabila dikumpulkan segala ummat dihadapan Allah 'Azza wa Jalla pada hari kiamat, niscaya mereka itu dipanggil: "Hendaklah bangun berdiri siapa yang mempunyai pahala pada Allah. Maka tiada yang bangun ber­diri, selain orang‑orang yang mema'afkan manusia di dunia. Allah Ta’ala berfirman: ”Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik dan tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu”. S 7 Al A’raaf ayat 199. Nabi saw bersabda: "Hai Jibril! Apakah ma'af itu?”. Lalu Jibril menjawab: "Bahwa Allah Ta'ala menyuruh engkau untuk memberi ma'af orang yang menganiaya engkau, menyambung (shilaturrahim) dengan orang yang memutus­kan shilaturrahim dengan engkau dan memberikan kepada orang yang ti­dak mau (mengharamkan) memberi kepada engkau". Diriwayatkan dari Al-Hasan AI‑Bashari ra, bahwa seorang laki‑laki ber­kata kepadanya: "Bahwa si Anu telah mengumpat engkau". Lalu Al-Hasan mengirimkan satu baki kurma belum kering (ruthab) kepadanya. Dan ia berkata kepada orang itu: "Telah sampai kepadaku, bahwa engkau telah menghadiahkan kepadaku, dari kebaikan‑kebaikan engkau. Maka aku ber­maksud membalas hadiah engkau kepada engkau. Maka ma'afkan aku, bahwa aku tidak sanggup membalas kepada engkau dengan sempurna”.
BAHAYA KE ENAM BELAS: FITNAH (NAMIMAH).
Allah Ta’ala berfirman: “Suka mencela, berjalan membuat hasut dan fitnah”. S 68 Al Qa­lam ayat 11. Sesudah ayat tadi, Allah Ta’ala berfirman: “Berbudi rendah, selain dari itu tak tentu pula siapa bapanya”. S 68 Al Qalam ayat 13. Abdullah bin AI‑Mubarak berkata: “Az‑zaniim pada ayat diatas (yang ar­tinya: tak tentu pula siapa bapanya), ialah anak zina  yang tidak me­nyembunyikan perkataan". Abdulllah bin AI‑Mubarak mengisyaratkan de­ngan yang demikian, bahwa tiap‑tiap orang yang tidak menyembunyikan perkataan dan berjalan kesana‑kemari dengan membawa fitnah itu menun­jukkan bahwa orang itu anak zina, karena difahami dari firman Allah Azza wa Jalla ayat 13 . Az‑zaniim itu bapa angkat (ad‑da'iyyu). Allah Ta’ala berfirman: "Celaka untuk setiap pengumpat, penista". S 104 Al Humazah ayat 1. Ada yang mengatakan, bahwa al‑humazah (yang diartikan diatas: pe­ngumpat), ialah: pembawa fitnah (an‑nammam). Allah Ta’ala berfirman: "Pemikul kayu api". S 111 AI Lahab ayat 4. Ada yang mengatakan, bahwa pemikul kayu api (hammaalatal‑hathab) itu, ialah: pembawa fitnah (nammamah), pembawa perkataan (dari seorang ­keseorang).
Allah Ta’ala berfirman: “maka kedua isteri itu (isteri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth) ber­khianat kepada kedua (suaminya). Karena itu kedua suaminya tiada dapat memberikan pertolongan sedikit juapun kepadanya terhadap hukuman Allah”. S 66  At Tahrim ayat 10. Ada yang mengatakan, bahwa istri Luth menerangkan dengan kedatangan tamu dan istri Nuh, menerangkan bahwa Nabi Nuh itu orang gila. Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk sorga pembawa fitnah". Pada hadits lain, yaitu: "Tidak akan masuk sorga qattaat (tukang fitnah)". Qattaat, yaitu: nammaam (pembawa fitnah).
Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Yang paling dikasihi oleh Allah diantara kamu, ialah: mereka yang baik akhlak (tingkah‑laku), yang merendahkan sayapnya (merendah­kan diri), yang suka dengan orang dan yang disukai orang. Dan yang paling dimarahi oleh Allah, ialah: mereka yang pergi membawa fitnah, yang men­cerai‑beraikan diantara sesama saudara dan mencaci orang yang tidak ber­salah akan kesalahannya".
Nabi saw bersabda: "Apakah tidak aku terangkan kepadamu akan orang yang paling jahat daripada kamu?". Para shahabat menjawab: "Belum”. Lalu Nabi saw bersabda: "Mereka yang berjalan kesana‑kemari memba­wa fitnah, mereka yang membuat kerusakan diantara sesama teman dan mereka yang mencari kekurangan pada orang yang tidak bersalah".
Abu Dzar AI‑Ghaffari ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa menyiarkan terhadap orang muslim suatu perkata­an, untuk memalukannya dengan tidak sebenarnya, niscaya ia akan diberi­ malu oleh Allah dalam neraka pada hari kiamat". Abud‑Darda' berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Laki‑laki manapun, yang menyiarkan terhadap seseorang, suatu perkataan, dimana orang itu terlepas (tiada tersangkut dengan perkataan tersebut), untuk memalukannya di dunia, niscaya berhak Allah menghancurkan laki‑laki itu pada hari kiamat dalam api neraka".
Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa men­jadi saksi terhadap seorang muslim, dengan kesaksian, dimana ia tidak mempunyai keahlian mengenai kesaksian tersebut, maka ia telah menyedi­akan tempat duduknya dari api neraka". Ada yang mengatakan: bahwa 1/3 siksaan kubur itu dari perbuatan fitnah.
Dari Ibnu 'Umar, yang mendengar dari Nabi saw, yang bersabda: "Se­sungguhnya tatkala Allah telah menjadikan sorga, lalu berfirman kepada sorga itu: "Berbicaralah”. Maka sorga itu berkata: "Berbahagialah siapa yang masuk kepadaku". Lalu berfirman Allah Yang Maha Perkasa, Yang Maha Mulia Kebesaran­ Allah: "Demi kemulianKu dan keagunganKu! Tiada akan menempati pada engkau, 8 golongan manusia: “Tiada akan menempati engkau, orang yang selalu minum khamar, yang selalu berzina, yang qattaat, yaitu: pem­bawa fitnah (nammaam), yang mengepalai peperangan (dayyuts), pengawal penguasa, orang yang berbuat seperti wanita/banci, yang memutuskan shilaturra­him dan orang yang berkata: “Atas diriku janji Allah, kalau aku tidak berbuat demikian dan demikian. Kemudian ia tidak menepati perkataannya itu".
Dirawikan Ka'bul‑Ahbar, bahwa kemarau telah menimpa atas kaum Bani Israil. Lalu Nabi Musa as meminta hujan berkali‑kali. Tetapi tidak juga diturunkan hujan kepada mereka. Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa: "Sesungguhnya AKU tiada menerima do'a engkau dan do'a orang‑orang bersama engkau, dimana pada engkau itu ada nammaam (pembawa fitnah), yang berkekalan berbuat fitnah". Maka Musa berdo'a: "Wahai Tuhanku! Siapakah orang itu? Tunjukkan­lah kepadaku, pembuat fitnah itu! Sehingga aku dapat mengeluarkannya dari kalangan kami". Tuhan berfirman. "Hai Musa! AKU melarang kamu dari namimah/fitnah dan Aku adalah nammaam/pembawa fitnah!”. Maka bertobatlah mereka semua. Lalu diturunkan hujan kepada mereka.
Diceriterakan, bahwa seorang laki‑laki mengikuti seorang ahli ilmu hikmah (filosuf) dalam perjalanan 700 farsakh (satu farsakh adalah 3 mil), mendengar 7 kalimat. Tatkala ia datang dihadapan filosuf tersebut, ma­ka ia berkata: "Sesungguhnya aku datang kepada engkau, karena ilmu yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada engkau. Terangkanlah kepadaku dari hal langit dan apa yang lebih berat dari langit. Tentang bumi dan apa yang lebih luas dari bumi. Tentang batu dan apa yang lebih kesat dari batu. Tentang api dan apa yang lebih panas dari api. Tentang bulan dan apa yang lebih sejuk dari bulan. Tentang laut dan apa yang lebih kaya dari laut. Dan tentang anak yatim dan apa yang lebih hina dari anak yatim". Filosuf tadi menjawab: Berkata bohong terhadap orang yang tak bersalah itu, lebit berat dari langit. Kebenaran itu lebih luas dari bumi. Hati yang qani (merasa cukup apa yang ada) itu, lebih kaya dari laut. Loba dan dengki itu lebih panas dari api. Keperluan kepada kerabat, apabila ke­perluan tersebut belum berhasil itu, lebih dingin dari bulan. Hati orang ka­fir itu lebih kesat dari batu. Dan pembuat fitnah, apabila jelas keada­annya itu, lebih hina dari anak yatim".
PENJELASAN: batas fitnah dan apa yang harus diperbuat pada penola­kannya.
Ketahuilah, bahwa nama namimah (fitnah) itu, sesungguhnya ditujukan pada umumnya, kepada orang yang menyampaikan kata orang lain kepada orang yang diperkatakannya. Seperti engkau mengatakan: "Si Anu menga­takan tentang engkau demikian dan demikian". Dan namimah itu tidak khusus dengan begitu saja. Akan tetapi batasnya, ialah: menyingkapkan apa yang tidak disukai menyingkapkannya. Sama saja ketidak‑sukaan itu oleh orang yang diambil berita dari padanya atau oleh orang yang disampai­kan berita kepadanya. Ataupun oleh orang ketiga. Dan sama saja penying­kapan itu dengan perkataan atau dengan isyarat. Dan sama saja yang dipin­dahkan (yang disampaikan) itu, terdiri dari perbuatan atau perkataan. Dan sama saja yang demikian itu, suatu hal yang memalukan dan yang mengu­rangkan pada diri orang yang diambil berita daripadanya atau tidak. Tetapi, hakikat/makna namimah itu, ialah: menyiarkan rahasia dan merusak  tirai, dari apa yang tidak disukai menyingkapkannya.
Bahkan tiap‑tiap yang dilihat oleh orang banyak tentang keadaan orang lain, yang termasuk tidak disukai, maka sayogialah didiamkan (tidak diperkatakan). Kecuali tentang cerita yang berfaedah bagi orang muslim atau menolak maksiat. Seperti: apabila ia melihat orang mengambil harta orang lain, maka haruslah ia naik saksi, untuk menjaga hak orang yang dinaik saksikan baginya. Adapun, apabila ia melihat seseorang menyembunyikan harta kepunyaan­nya, Ialu ia sebutkan yang demikian kepada orang lain, maka itu namimah/fitnah na­manya dan menyiarkan rahasia orang. Jikalau yang difitnahkannya itu suatu kekurangan dan memalukan bagi orang yang diceriterakan, maka ia telah mengumpulkan antara umpatan dan fitnah. Maka yang menggerakkan orang berbuat fitnah, adakalanya dengan mak­sud jahat terhadap orang yang diceriterakannya. Atau untuk melahirkan kasih sayang kepada orang yang diceriterakan kepadanya. Atau untuk ke­senangan dengan pembicaraan itu dan memasuki perbuatan yang sia‑sia dan batil/salah. Setiap orang yang disampaikan kepadanya fitnah dan dikatakan kepada­nya: bahwa si Anu mengatakan tentang engkau demikian atau ia berbuat pada hak engkau demikian atau ia menyusun rencana untuk merusakkan urusan engkau/pada mencari kesesuaian dengan musuh engkau/menjelekkan keadaan engkau atau hal‑hal yang seperti demikian, maka di­atas orang tersebut, 6 keadaan:
Pertama: bahwa ia tidak membenarkan penyampai berita itu. Karena pembuat fitnah/nammaam itu orang fasik. Dan orang fasik ditolak kesak­siannya. Allah Ta'ala berfirman: ”Hai orang‑orang yang beriman! Kalau datang kepada kamu o­rang jahat membawa berita, periksalah dengan seksama, supaya kamu ja­ngan sampai mencelakakan suatu kaum dengan tiada diketahui, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu”  S 49 Al Hujaraat ayat 6.
Kedua: bahwa ia melarang penyampai berita itu dari yang demikian. Dan menasehatinya dan menjelekkan perbuatannya. Allah Ta'ala berfirman: “Suruhlah mengerjakan yang baik, cegahlah dari perbuatan yang buruk”. S 31 Lukman ayat 17.
Ketiga: bahwa ia memarahi penyampai berita itu pada jalan Allah Ta’ala. Karena penyampai berita tersebut kena marah pada sisi Allah Ta’ala. Dan haruslah memarahi orang yang dimarahi oleh Allah Ta’ala.
Keempat: bahwa engkau tidak menyangka jahat  kepada saudara engkau yang jauh, karena firman Allah Ta'ala: "Hai orang‑orang yang beriman!  Jauhilah kebanyakan purba­sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. S 49 Al ­Hujuraat ayat 12.
Kelima: bahwa tidak akan membawa engkau, oleh apa yang diceritera­kan kepada engkau, kepada memata‑matai dan menyelidiki, supaya eng­kau memperoleh hakikat/makna yang sebenarnya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mencari‑cari keburukan orang (memata‑matai dan menyelidiki keburukan orang)”. S 49 Al Hujuraat ayat 12.
Keenam: bahwa engkau tidak menyenangi  bagi diri engkau sendiri apa yang engkau larang tukang fitnah daripadanya. Dan engkau tidak akan menceriterakan fitnahnya, dengan mengatakan: si Anu telah menceritera­kan kepadaku, demikian, demikian. Lalu engkau dengan itu, menjadi tu­kang fitnah dan pengumpat. Kadang‑kadang engkau telah berbuat, akan a­pa yang engkau larang.
Diriwayatkan dari 'Umar bin Abdul‑'aziz ra, bahwa seorang laki‑laki datang kepadanya. Lalu orang itu menerangkan sesuatu tentang orang lain. Maka 'Umar berkata kepadanya: "Kalau engkau mau, maka kami akan memperhatikan tentang keadaanmu. Kalau engkau dusta, maka engkau termasuk orang yang disebut pada ayat ini: Kalau datang kepada kamu orang jahat membawa berita, periksa­lah dengan seksama!”. S 49 Al Hujuraat ayat 6. Dan kalau engkau benar, maka engkau termasuk orang yang disebut pada ayat ini: “Suka mencela, berjalan membuat hasut dan fitnah". S 68 Al Qa­lam ayat 11. Kalau engkau kehendaki niscaya kami ma'afkan engkau". Lalu laki‑laki itu menjawab maafkan amirul mikminin. “Dan aku tidak akan mengulangi lagi untuk selama‑lamanya".
Diceriterakan, bahwa salah seorang filosuf dikunjungi oleh sebahagian te­man‑temannya. Lalu teman tersebut mengabarkan kepadanya, tentang se­bahagian teman‑temannya. Maka filosuf tersebut berkata kepada temannya yang berkunjung: "Engkau telah terlambat berkunjung. Dan engkau mem­bawa 3 penganiayaan: engkau marahkan saudaraku kepadaku, engkau pekerjakan hati ku yang kosong dan engkau tuduhkan diri engkau yang da­pat dipercayai".
Diriwayatkan, bahwa Sulaiman bin Abdulmalik sedang duduk dan disam­pingnya Az‑Zuhri. Maka datang kepadanya seorang laki‑laki. Maka Sulai­man berkata kepada laki‑laki itu: "Telah sampai berita kepadaku, bahwa engkau memperkatakan tentang aku dan engkau katakan demikian, demi­kian'. Orang tadi lalu menjawab: "Aku tidak berbuat dan tidak mengatakan yang demikian". Maka menjawab Sulaiman: "Bahwa yang menceriterakan kepadaku itu o­rang benar". Lalu berkata Az‑Zuhri kepada Sulaiman: "Pembawa fitnah (nammaam) itu tidaklah orang benar". Maka Sulaiman menjawab: "Benar engkau Kemudian, Sulaiman berkata kepada laki‑laki itu: "Pergilah dengan sela­mat!”.
Al-Hasan AI‑Bashari berkata: "Barangsiapa membawa fitnah kepada eng­kau, niscaya ia akan membawa fitnah terhadap engkau". Ini mengisyaratkan, bahwa pembawa fitnah itu sayogialah dimarahi. Dan ti­dak dipercayai perkataannya. Dan tidak dengan sedekahnya. Bagaimana ia tidak dimarahi, sedang ia tidak terlepas dari kedustaan, pengumpatan, penyalahan janji, khianat, iri hati, dengki, nifaq, perusakan diantara ma­nusia dan penipuan. Dan orang itu termasuk orang yang berusaha memo­tong, apa yang disuruh oleh Allah disambungkan. Dan mereka membuat kerusakan di bumi.
Allah Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya berdosalah orang-orang yang melakukan kezaliman kepada manusia dan melampaui batas dimuka bumi yang tidak menurut semestinya. Mereka ditimpa azab yang berat” S 42 Asy Syuura ayat 42. Dan pembawa fitnah (nammaam) itu termasuk diantara mereka. Nabi saw bersabda:  “Sesungguhnya termasuk manusia yang terjahat, ialah orang yang ditakuti manusia karena jahatnya". Dan pembawa fitnah (nammaam) itu termasuk diantara mereka. Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk sorga, pemotong”.  Lalu ditanyakan: "Apa­kah yang dimaksud dengan pemotong itu?". Lalu Nabi saw menjawab: "Pemotong diantara sesama manusia". Yaitu: nammaam (pembawa fitnah). Dan ada yang mengatakan: pemotong silaturrahim.
Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa seorang laki‑laki datang kepadanya ber­sama‑sama dengan seorang laki‑laki lain. Lalu Ali ra berkata kepadanya: “Hai saudara ini! Kami akan bertanya tentang apa yang engkau katakan. Kalau engkau benar, niscaya kami memarahi engkau. Dan kalau engkau dusta, niscaya kami siksa engkau, Dan kalau engkau kehendaki supaya ka­mi mema'afkan engkau, maka kami akan mema'afkan engkau". Lalu laki‑laki tersebut menjawab: "Ma'afkan aku, wahai Amirul‑mu'kminin.
Ditanyakan kepada Muhammad bin Ka'ab AI‑Ourdhi (golongan Tabi’iin yang terpercaya) ra: "Perkara manakah bagi orang mu'min yang lebih merendahkan darajatnya?". Muhammad bin Ka'ab ra lalu menjawab: ”Banyak perkataan, membuka rahasia dan menerima perkataan setiap orang”.
Seorang laki‑laki berkata kepada Abdullah bin 'Amir bin Rabiah dan ia a­dalah amir negeri Basrah: "Sampai kepadaku, bahwa si Anu memberitahukan kepada amir, bahwa aku menyebutnya jahat". Lalu Abdullah bin 'Amir menjawab: "Sesungguhnya benarlah yang demi­kian". Laki‑laki tersebut menyambung: "Terangkanlah kepadaku apa katanya ke­pada engkau, sehingga aku lahirkan kedustaannya pada engkau!” Abdullah bin 'Amir menjawab: "Aku tidak suka mencaci diriku dengan lidahku. Dan cukuplah, bahwa aku tidak membenarkannya apa yang dika­takannya. Dan aku tidak memutuskan hubungan (silaturrahim) dengan engkau".
Dan disebutkan as‑si'ayah (fitnah) pada sebagian orang‑orang shalih. Lalu orang shaleh itu menjawab: "Apa sangkaanmu terhadap suatu kaum (go­longan), dimana kebenaran itu dipuji pada tiap‑tiap golongan manusia, se­lain dari mereka?”. Mas'ab bin Az‑Zubair berkata: "Kami melihat, bahwa menerima as‑si'a­yah itu lebih jahat dari as‑si'ayah. Karena as‑si'ayah itu suatu petunjuk. Dan menerimanya itu suatu balasan (ijazah). Dan tidaklah orang yang me­nunjukkan atas sesuatu, lalu menceriterakannya, seperti orang yang mene­rimanya dan membalasnya. Maka jagalah dirimu dari orang yang membawa as‑si'ayah!  Kalau ia benar pada perkataannya, niscaya ia tercela pada ke­benarannya, dimana ia tidak menjaga kehormatan dan tidak menutup hal yang memalukan ('aurat)". As‑si'ayah, ialah: namimah (fitnah). Hanya bila namimah itu ditujukan kepada pihak orang yang ditakuti (seperti kepada pembesar negeri), maka dinamakan: as‑si'ayah. Nabi saw bersabda: "Orang yang membawa as‑si'ayah (fitnah) dari orang ke orang, sesungguhnya tidaklah orang itu diatas jalan yang benar". Yaitu: tidaklah orang itu anak halal.
Seorang laki‑laki masuk ketempat Sulaiman bin Abdulmalik bin Marwan. Lalu meminta izin berbicara. la berkata: "Aku akan berbicara dengan engkau, wahai Amirul‑mukminin, suatu pembicaraan. Maka tanggungkanlah, walaupun engkau tidak menyukainya. Karena dibalik perkataan itu, ada yang engkau sukai, kalau engkau menerimanya. Lalu Sulaiman menjawab: "Katakanlah!”. Maka laki‑laki itu berkata: "Wahai Amirul‑mukminin! Sesungguhnya telah dikelilingi engkau oleh orang‑orang yang membeli dunia engkau dengan a­gama mereka dan kerelaan engkau dengan kemarahan Tuhan mereka. Me­reka takut akan engkau mengenai Allah. Dan mereka tiada takut akan Al­lah mengenai engkau. Maka janganlah engkau merasa aman pada mereka, terhadap apa yang diamanahkan oleh Allah pada engkau! Dan janganlah engkau serahkan kepada mereka apa yang disuruh pelihara oleh Allah pa­da engkau! Sesungguhnya mereka tidak berhenti menghina ummat, menyia‑nyiakan amanah, memotong dan membinasakan perangai‑perangai mulia.
Pendekatan mereka yang tertinggi, ialah: kezaliman dan fitnah. Ja­lan mereka yang termulia, ialah: pengumpatan dan pencacian. Engkau ber­tanggung jawab dari perbuatan mereka yang berdosa, sedang mereka tidak bertanggung jawab dari perbuatan engkau yang berdosa. Maka tidaklah ba­ik dunia mereka dengan kerusakan akhirat engkau. Sesungguhnya penipu­an manusia yang terbesar pada berjual‑beli, ialah: orang yang menjual akhirat nya dengan dunia orang lain. Seorang laki‑laki berjalan dengan Ziad Al-A'jam ke tempat Sulaiman bin Abdulmalik. Lalu Sulaiman mengumpulkan diantara kedua orang tadi un­tuk memperoleh kesepakatan. Maka Ziad berhadapan dengan laki‑laki ta­di, seraya bermadah:
Engkau adalah manusia,
kalau aku mempercayai engkau,
lalu dengan sembunyi engkau berkhianat,
dan adakalanya engkau berkata suatu perkataan, tanpa ilmu......
Maka engkau termasuk diantara urusan,
yang ada diantara kita,
Seakan‑akan diantara pengkhianatan
dan dosa ....................
Seorang laki‑laki berkata kepada 'Amr bin 'Ubaid At‑Tamimi: "Bahwa su­ku Uswari senantiasa menyebutkan engkau jahat dalam ceritera-­ceriteranya". Lalu 'Amr menjawab kepada laki‑laki tersebut: "Hai saudara ini! Engkau tidak menjaga hak duduk‑duduk orang laki‑laki, dimana engkau bawa ke­pada kami pembicaraan nya. Engkau tidak menunaikan hakku, ketika eng­kau memberitahukan kepadaku. Tentang saudaraku, perihal yang tiada aku sukai. Akan tetapi beritahu­kanlah kepadanya, bahwa maut itu meratai kita, kubur mencampurkan kita dan kiamat mengumpulkan kita. Dan Allah Ta’ala menghukum diantara ki­ta. Dan DIAlah hakim yang Maha‑baik".
Sebagian pembawa as‑si'ayah (fttnah) menyampaikan kepada Ash‑Shahib bin 'Ubbad secarik kertas, dimana diberitahukan padanya, tentang harta anak yatim, yang membawanya kepada mengambil harta itu, karena ba­nyaknya. Lalu Ash‑Shahib menulis diatas belakang kertas tadi: "As‑si'ayah itu keji, walau pun benar. Kalau engkau lakukan sebagai nasehat, maka kerugian engkau lebih utama padanya daripada keuntungan. Kita berlin­dung pada Allah, bahwa kita menerima barang yang koyak dalam keadaan tertutup. Kalau tidaklah engkau dalam kawalan ketuaan engkau, niscaya kami akan berhadapan dengan engkau, menurut apa yang dikehendaki olen perbuatan engkau, dalam keadaan seperti engkau. Maka jagalah, hai yang terkutuk dengan kekurangan! Sesungguhnya Allah maha‑tahu akan yang ghaib.
Orang yang sudah mati, kiranya diberi rahmat oleh Allah. Anak yatim, kiranya ditutup kekurangannya oleh Allah. Harta kiranya diberi ha­silnya oleh Allah. Dan orang yang berbuat as‑si'ayah (fitnah), kiranya ­dikutuk oleh Allah".
Lukman berkata kepada anaknya: “Hai anakku! Aku wasiatkan engkau dengan sifat‑sifat, jikalau engkau berpegang teguh dengan sifat‑sifat tersebut, niscaya engkau senantiasa menjadi kepala diantara teman‑teman engkau. La­pangkanlah budi‑pekerti engkau kepada orang dekat dan orang jauh! Pe­gangkanlah kebodohan engkau dari orang mulia dan orang tercela! Jagalah teman‑teman engkau, sambunglah silaturrahim dengan kerabat‑kerabat eng­kau! Amankanlah mereka daripada menerima perkataan pembawa fitnah atau mendengar orang zalim, yang menghendaki kerusakan engkau dan ber­maksud menipu engkau! Dan hendaklah teman‑teman engkau itu, orang-o­rang apabila engkau berpisah dengan mereka dan mereka berpisah dengan engkau, niscaya engkau tidak memalukan mereka dan mereka tidak mema­lukan engkau”.
Setengah mereka berkata: "Fitnah itu ditegakkan diatas kedustaan, kedengkian dan kemunafikan. Dan ketiga hal ini adalah tungku dapur ke­hinaan". Dan setengah mereka berkata: "Jikalau benarlah apa yang disampaikan o­leh tukang fitnah kepada engkau, niscaya adalah ia orang yang berani me­maki engkau. Dan orang yang diambil berita fitnah daripadanya, adalah le­bih utama dengan kasih‑sayang engkau. Karena dia tidak berhadapan de­ngan engkau, dengan memaki engkau". Kesimpulannya, kejahatan pembawa fitnah itu besar. Sayogialah dijaga da­ripadanya.
Hammad bin Salmah berkata: "Seorang laki‑laki menjual bu­daknya dan ia mengatakan kepada pembeli: “Tiada kekurangan apa‑apa pada budak ini, selain berbuat fitnah (namimah). Pembeli itu menjawab: "Aku sudah setuju membelinya". Lalu dibelinya. Sesudah budak itu tinggal beberapa hari pada pembeli itu, Kemudian ia berkata kepada isteri tuannya: "Bahwa tuanku tidak mencintai engkau. Ia bermaksud berbuat‑buat kemurahan hati kepada engkau. Maka ambillah pisau cukur dan cukurlah bulu kuduknya beberapa helai ketika ia tidur. Se­hingga membawanya pagi diatas keadaan yang demikian. Maka ia akan mencintai engkau". Kemudian, ia berkata kepada suami (tuannya): "Bahwa Isteri tuan hamba sudah mengambil teman lain. la bermaksud membunuh tuan hamba. Maka pura‑puralah tidur, sehingga tuan hamba akan mengetahui yang demikian". Lalu suami itu pura‑pura tidur. Maka datanglah isterinya dengan pisau cukur. Lalu suami itu menyangka bahwa isterinya mau membunuhnya. Maka ia ba­ngun lalu dibunuhnya isterinya. Maka datanglah famili perempuan itu. Lalu mereka membunuh suami tersebut & terjadilah peperangan diantara ke­dua kabilah itu (kabilah isteri & kabilah suami). Kita bermohon pada Allah Ta’ala akan taufiq yang baik!
BAHAYA KETUJUH BELAS.
Perkatan orang yang berlidah dua, yang bulak‑balik di antara dua orang yang bermusuhan. Dan masing‑masing dari dua orang tersebut, berkata dengan perkatan yang bersesuaian dengan perkatan orang tadi. Dan sedikitlah terlepas orang yang menyaksikan dua orang yang bermu­suhan, dari yang demikian. Dan itulah kemunafikan yang sebenarnya.
Ammar bin Yasir berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua muka di dunia, niscaya mempunyai dua lidah dari api neraka, pada hari kiamat". Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Akan kamu dapati diantara hamba‑hamba Allah yang jahat pada hari kiamat, orang yang bermuka dua, yang mendatangi mereka ini dengan suatu pembicaraan dan mereka itu dengan suatu pembicaraan". Dan menurut bunyi yang lain: "Yang mendatangi mereka ini dengan suatu muka dan mereka itu dengan suatu muka".
Abu Hurairah berkata: "Tiada sayogialah orang yang bermuka dua itu, bahwa ia orang yang dipercayai pada sisi Allah". Malik bin Dinar berkata: "Aku membaca dalam Taurat: "Rusaklah ama­nah, dimana seorang laki‑laki serta temannya, dengan dua bibir yang ber­lainan. Dibinasakan oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat, tiap‑tiap yang ber­bibir dua yang berlainan".
Nabi saw bersabda: "Makhluk Allah yang amat dimarahi oleh Allah pada hari kiamat ialah: orang‑orang pendusta, orang‑orang sombong dan mereka yang mem­banyakkan kemarahan dalam dadanya kepada temannya. Apabila mereka bertemu dengan temannya, niscaya mereka berminyak‑minyak air (pura-pura baik tapi hatinya benci kepada temennya itu). Dan mereka apabila dipanggil kepada jalan Allah dan Rasul‑Nya, niscaya me­reka itu lambat. Dan apabila dipanggil kepada (jalan) setan dan urusannya niscaya mereka itu cepat".
Ibnu Mas'ud berkata: "Jangan adalah seseorang kamu itu imma'ah.  Mereka Ialu bertanya: "Apakah imma'ah itu?”. Ibnu Mas'ud menjawab: "Orang yang bersikap menurut angin". Mereka (para orang‑orang sufi) sepakat, bahwa pertemuan dua orang de­ngan dua muka, itu nifaq (suatu kemunafikan). Dan nifaq itu mempunyai banyak tanda. Dan yang tadi itu, termasuk dalam jumlahnya.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki‑laki dari sahabat Rasulu'llah saw me­ninggal. Lalu Hudzaifah tidak bershalat jenazah kepadanya. Maka 'Umar ra bertanya kepada Hudzaifah: "Seorang laki‑laki dari sahabat RasuIullah saw meninggal dan engkau tidak bershalat kepadanya" Maka Hudzaifah menjawab: "Wahai Amirul‑mu'minin! Karena dia terma­suk orang munafik". Lalu Umar menjawab: "Demi Allah! Aku minta tolong padamu, apakah aku ini termasuk diantara mereka atau tidak?”. Hudzaifah menjawab: "Allahumma (ya Allah, ya Tuhanku)! Tidak! Dan aku tidak merasa aman daripadanya seseorang, sesudah engkau.
 Kalau anda bertanya: "Dengan apakah orang menjadi berdua lidah dan apa batasnya yang demikian?”. Aku menjawab, bahwa apabila orang itu masuk ke tempat dua orang yang bermusuhan dan ia bersikap mujamalah (berbuat‑buat baik) terhadap ma­sing‑masing dari dua orang tadi dan benar dalam hal itu, niscaya ia bukan orang munafik dan bukan orang berlidah dua. Karena seseorang kadang-­kadang berbuat‑buat persaudaraan terhadap dua orang yang bermusuhan. Tetapi persandaran yang lemah itu tidak sampai kepada batas al‑ukhuw­wah (persaudaraan yang sebenarnya). Karena kalau sebenarnyalah tercipta persaudaraan, niscaya akan membawa kepada permusuhan dengan musuh­nya, sebagaimana telah kami sebutkan pada "Kitab Adab Bersahabat Dan Bersaudara". Benar, kalau dibawa perkataan masing‑masing dari dua orang itu kepada yang lain, maka itu berdua lidah namanya. Dan itu lebih jahat dari nami­mah (fitnah). Karena ia telah menjadi tukang fitnah (nammam), dengan membawa saja perkataan dari salah satu kedua pihak. Maka apabila dibawa dari kedua pihak, maka itu lebih jahat dari nammam (pembawa filnah). Kalau ia tidak membawa perkataan, akan tetapi ia membaguskan permusuhan bagi masing‑masing dua orang tersebut serta temannya, maka ini berdua lidah‑namanya. Begitu pula, apabila ia berjanji kepada masing‑masing dari keduanya, bahwa ia akan menolongnya. Begitu pula, apabila ia memuji kepada masing‑masing dari keduanya, pada permusuhannya. Dan begitu pula, apabila ia memuji salah seorang dari keduanya dan apabila ia keluar dari yang seorang itu lalu dicacinya. Maka itu berdua lidah namanya. Akan tetapi seyogialah ia ber­diam diri atau memujikan yang benar dari kedua orang yang bermusuhan itu. Dan ia memujikannya dibelakangnya, dihadapannya dan dihadapan musuhnya.
Ditanyakan kepada Ibnu 'Umar ra: "Sesungguhnya kami masuk ketem­pat amir‑amir kami. Lalu kami mengatakan sesuatu perkataan. Maka apa­bila kami keluar, lalu kami katakan perkataan yang lain". Maka Ibnu 'Umar ra menjawab: "Kami hitung perbuatan tersebut nifaq pada masa Rasulu'llah saw". Dan ini adalah nifaq, walaupun ia tidak memerlukan masuk ke tempat a­mir dan memujikannya. Kalau ia tidak memerlukan masuk, akan tetapi apabila ia masuk, niscaya ia takut kalau ia tidak memujikannya, maka itu adalah nifaq. Karena ia membuat dirinya memerlukan kepada demikian. Kalau ia tidak memerlu­kan masuk, jikalau ia cukupkan dengan yang sedikit dan ia meninggalkan harta dan kemegahan, lalu ia masuk karena pentingnya kemegahan dan ke­kayaan dan ia memuji‑muji disitu, maka orang itu adalah munafiq. Dan inilah artinya sabda Nabi saw: "Cinta harta dan kemegahan itu menumbuhkan nifaq dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur‑sayuran". ( contohnya jika anda menerima sedekah dari orang itu, maka anda memujinya. Dilain waktu jika orang tersebut tidak memberikan apa-apa dan beliau salah berkata sedikit saja  maka anda menjelekkannya. Itulah  sifat dari kebanyakkan manusia. Tidak pernah ingat atas kebaikkan orang tersebut yang anda ingat hanyalah kejelekkannya saja dan kebaikkannya hilang sudah...pent).
Karena ia memerlukan kepada amir‑amir itu dan kepada menjaga mereka dan memperlihatkan yang baik (berbuat ria) kepada mereka. Apabila ia mendapat percobaan karena sesuatu kepentingan dan ia takut, kalau ia tidak memuji, maka itu dima'afkan. Karena menjaga diri dari ke­jahatan itu diperbolehkan. Abud‑Darda' ra berkata: "Kami sesungguhnya melahirkan kesukaan dihadapan kaum‑kaum itu dan sesungguhnya hati ka­mi mengutuki mereka".
 'Aisyah berkata: "Seorang laki‑laki meminta izin masuk ketempat Ra­sulullah saw. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Izinkanlah ia masuk! Orang yang paling jahat dari kaum itu, ialah: dia”. Kemudian, tatkala orang itu sudah masuk, maka Rasulu'llah saw berlemah‑lembut perkataan dengan dia. Setelah orang itu keluar, lalu aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Engkau telah mengatakan kepada orang tadi, apa yang telah engkau katakan. Kemudian, engkau berlemah ‑ lembut perkataan dengan dia. Rasulu'llah saw menjawab: "Hai Aisyah! Sesungguhnya manusia yang paling jahat, ialah orang yang dimuliakan, karena menjaga kejahatannya". Akan tetapi, yang tersebut itu berkenaan pada penerimaan tamu, pada me­lahirkan kesukaan dimuka dan pada tersenyum.
Adapun pujian, maka itu adalah kedustaan yang tegas. Dan tidak dibolehkan, kecuali karena darurat atau karena paksaan yang membolehkan dusta dari paksaan yang seperti itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada "Bahaya Dusta". Akan tetapi, tidak dibolehkan pujian, pembenaran dan penggerakan kepala pada penun­jukan penetapan atas tiap‑tiap perkataan salah. Kalau diperbuatnya demikian, maka orang itu munafiq. Akan tetapi, sayo­gialah ditantang. Kalau ia tidak sanggup, maka ia diam dengan lidahnya dan ia menantang dengan hatinya.
BAHAYA KEDELAPAN BELAS: pujian.
Pujian itu dilarang pada sebahagian tempat. Adapun cacian, maka itu pe­ngumpatan dan makian. Dan telah kami sebutkan hukumnya. Masuk pada pujian 6 bahaya. 4 pada si pemuji dan 2 pada si terpuji.
Adapun si pemuji, maka bahaya yang pertama, ialah: kadang-kadang ia berlebih‑lebihan memuji. Lalu berkesudahan kepada dusta. Khalid bin Mi’dan berkata: “Barangsiapa memuji penguasa (pemerintah) atau seseorang, dengan hal yang tiada sebenarnya, dimuka orang banyak, niscaya ia di­bangkitkan oleh Allah pada hari kiamat, jatuh tersungkur, disebabkan li­dahnya".
Bahaya yang kedua: ialah, kadang‑kadang ia kemasukan ria. Karena de­ngan pujian itu melahirkan kecintaan. Kadang‑ kadang kecintaan itu, tidaklah isi hatinya. Dan tidak menjadi keyakinannya, semua yang dikata­kannya. Maka dengan demikian, ia menjadi orang ria yang munafik.
Bahaya yang ketiga: ialah, kadang‑kadang dikatakannya apa yang tidak di­periksakannya (di tahqiqkannya). Dan ia tidak mempunyai jalan kepada penyelidikan itu. Diriwayatkan, bahwa: seorang laki‑laki memuji laki‑laki lain dihadapan Nabi saw. Lalu beliau saw  menjawab: "Kasihan engkau! Telah engkau potong leher teman engkau. Ka­lau didengarnya, niscaya ia tidak memperoleh kemenangan". Kemudian, Rasulu'llah saw menyambung: "Kalau ada seseorang kamu, tak dapat ti­dak, harus memuji temannya, maka hendaklah ia mengatakan: "Aku me­nyangka si Anu dan aku tidak mensucikan seseorang terhadap Allah. Men­cukupilah Allah baginya, jikalau Allah melihat bahwa dia itu seperti yang demikian". Bahaya ini berjalan kepada pujian dengan sifat‑sifat mutlak, yang dikenal dengan dalil‑dalil (keterangan‑keterangan). Seperti katanya: bahwa dia itu orang taqwa, wara', zuhud, baik dsb nya.
Adapun, apabila ia mengatakan: aku melihatnya mengerjakan shalat di ma­lam hari, bersedekah dan mengerjakan hajji, maka ini adalah hal‑hal yang diyakini. Diantara yang demikian, katanya: bahwa orang itu adil dan menyenang­kan. Bahwa yang demikian ini, adalah hal yang tersembunyi. Maka tidak sayogialah menetapkan perkataan itu padanya, kecuali sesudah percobaan yang mendalam. 'Umar ra mendengar seorang laki‑laki memuji laki‑laki lain. Lalu beliau menjawab "Adakah engkau bermusafir bersama orang itu. Laki‑laki pemuji tadi menjawab: "Tidak”. Bertanya lagi: "Adakah engkau bergaul dengan dia dalam berjual‑beli dan pergaulan lainnya?”. Laki‑laki itu menjawab: "Tidak”.  'Umar menyambung lagi: "Apakah engkau tetangganya pada pagi hari dan sorenya?”. Orang itu menjawab: "Tidak”. Lalu 'Umar ra berkata: "Wa’Ilahi, demi Allah, yang tiada disembah, se­lain DIA! Aku tidak berpendapat, bahwa engkau mengenalinya".
Bahaya yang keempat  bahwa ia kadang‑kadang membuat kegembiraan o­rang yang dipuji, pada hal orang itu zalim atau fasik (jahat). Dan yang de­mikian itu tidak dibolehkan. Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala marah, apabila orang fasik itu dipu­ji”. Al-Hasan AI‑Bashri ra berkata: “Barangsiapa berdo'a untuk orang za­lim, dengan panjang umurnya, maka sesungguhnya ia menyukai orang za­lim itu berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dimuka bumi Allah" . Orang zalim yang fasik, sayogialah dicaci, supaya ia berduka‑cita. Dan tidaklah dipuji supaya ia bergembira. Adapun si terpuji, maka membawa melarat kepadanya dari dua segi:
Salah satu daripadanya, ialah: bahwa pujian itu mendatangkan kesom­bongan dan kebanggaan pada si terpuji. Dan dua sifat ini adalah sifat yang membinasakan. Al-Hasan AI‑Bashar i berkata: "Adalah 'Umar ra duduk dan padanya cemeti kulit, sedang orang banyak di kelilingnya, tatkala Al-Jarud bin AI‑Munzir datang menghadap. Lalu seorang laki‑laki dari yang hadlir berkata: "Ini kepala suku Rabiah!”. Perkataan tersebut didengar oleh 'Umar dan orang‑orang dikelilingnya. Dan didengar pula oleh AI‑Jarud sendiri. Maka ketika AI‑Jarud dekat de­ngan 'Umar, Ialu 'Umar memukulnya dengan cemeti kulit tadi. AI‑Jarud menjawab: "Apakah kiranya antara aku dan engkau, wahai Ami­rul‑mu'minin?”. 'Umar ra menjawab: "Ada apa antara aku dan engkau? Apakah engkau tidak mendengar kata orang itu tadi?”. AI‑Jarud menjawab: "Aku dengar perkataan itu dari mulutnya". Lalu 'Umar ra menyambung: "Aku takut bahwa sesuatu dari perkataan itu akan bercampur dengan hatimu. Maka aku menyukai, bahwa me­nundukkan kepalamu".
Yang kedua:  apabila dipuji dengan kebaikan, niscaya ia bergembira dan menjadi lemah (dari kesungguhan untuk berbakti). Dan merasa senang de­ngan diri sendiri. Orang yang menyombongkan dirinya, niscaya sedikitlah kesungguhannya beribadah. Sesungguhnya yang rajin beramal, ialah orang yang melihat dirinya teledor. Adapun apabila telah lancarlah lidah memujinya, niscaya ia menyangka, bahwa ia telah memperoleh kedudukan tinggi. Dan karena inilah, Nabi saw bersabda: "Telah engkau potong leher teman engkau. Jikalau dide­ngarnya, niscaya ia tidak memperoleh kemenangan". Nabi saw bersabda: “Apabila engkau memuji teman engkau dimukanya, maka seolah-­olah engkau telah melalukan pisau cukur yang tajam atas urat leher‑nya". Nabi saw bersabda pula terhadap orang yang memuji seseorang: "Eng­kau sembelih orang itu, niscaya engkau disembelih oleh Allah".
Mathraf bin Abdullah AI‑Bashari (seorang 'abid yang kepercayaan) berka­ta: “Tidak sekali‑kali aku mendengar pujian dan sanjungan, kecuali aku merasa hina kepada diriku sendiri". Ziad bin Abi Muslim berkata: "Tiada seseorang yang mendengar sanjungan atau pujian kepadanya, melainkan setan membuatnya menjadi ria. Tetapi orang mu'min surut kembali". Lalu Ibnul‑ Mubarak berkata: "Sesungguhnya benarlah kedua perkataan ta­di. Adapun yang disebutkan oleh Ziad, maka itu adalah hati orang awam. Dan yang disebabkan oleh Mathraf, maka itu adalah hati orang khawwash (orang‑orang tertentu).
Nabi saw bersabda: "Jikalau berjalanlah seorang laki‑laki kepada laki‑laki yang lain, dengan membawa pisau tipis tajam, niscaya adalah lebih baik baginya da­ripada memujinya dimukanya". 'Umar ra berkata: ”Pujian itu ialah: penyembelihan”. Yang demikian, disebabkan karena yang dipuji itu, ialah: orang yang lesu (malas) daripada bekerja. Dan pujian itu mengharuskan kelesuan. Atau, karena pujian itu mempusakai keangkuhan dan kesombongan. Dan dua sifat ini membina­sakan, seperti: penyembelihan. Maka karena itulah, diserupakan pujian dengan penyembelihan. Kalau selamatlah pujian itu dari bahaya‑bahaya ini, pada pihak si pemuji dan si terpuji, niscaya tiada mengapalah pujian itu. Bahkan, kadang‑ka­dang pujian itu disunatkan.
Dan karena itulah, Rasulu'llah saw memuji sahahabatnya, seraya beliau bersabda: "Jikalau ditimbang iman Abubakar dengan iman alam ini, sesung­guhnya lebih berat iman Abubakar". Nabi saw bersabda terhadap 'Umar ra: "Jikalau aku tidak diutus menjadi rasul, niscaya engkau diutus, hai 'Umar". Manakah pujian lagi yang melebihi ini? Tetapi Nabi saw berkata diatas kebenaran & penglihatan mata hati. Dan adalah para shahabat ra itu berkedudukan mulia, tidak akan membawakan mereka oleh yang demiki­an, kepada kesombongan, kebanggaan & kelesuan bekerja. Akan tetapi, pujian orang akan dirinya itu perbuatan keji. Karena padanya kesom­bongan & kebanggaan. Bahwa Nabi saw bersabda: "Aku penghulu anak Adam & tidak menyombong" Tidaklah aku mengatakan ini karena menyombong, sebagai mana yang dimaksudkan oleh manusia dengan pujian kepada dirinya sendiri. Yang demikian, ialah: karena menyombongnya Nabi saw, adalah dengan Allah & dengan mendekatkan diri kepada Allah. Tidak dengan anak A­dam & terkemukanya diatas anak Adam. Sebagaimana orang yang diterima disisi raja dengan penerimaan kebesaran, sesungguhnya ia merasa bangga dengan diterimanya oleh raja. Dan dengan penerimaan itu ia merasa gembira. Tidak dengan terkemukanya atas seba­hagian rakyatnya. Dengan penguraian bahaya‑bahaya ini, dapat dinilai atas berkumpulnya an­tara celaan pujian & gerakan kepada pujian. Nabi saw bersabda: wa­jabat/wajib, tatkala para sahabat memujikan sebahagian orang yang sudah me­ninggal. Mujahid berkata: "Bahwa anak Adam itu mempunyai teman duduk dari malaikat‑malaikat. Apabila seorang laki‑laki muslim menyebut saudaranya muslim dengan kebajikan, niscaya para malaikat berkata: "Bagimu se­perti itu". Dan apabila disebutnya dengan kejahatan, niscaya para malaikat berkata: "Hai anak Adam yang tertutup auratmu! Berhentilah atas dirimu! Dan pujilah Allah yang menutup auratmu Inilah bahaya ‑ bahaya pujian.
PENJELASAN:  apa yang harus atas si terpuji.
Ketahuilah, bahwa harus atas si terpuji, menjaga diri dengan keras dari bahaya kesombongan, keangkuhan dan bahaya kelesuan. Ia tidak terlepas daripadanya, selain dengan mengenali diri dan memperhatikan apa yang terdapat pada bahaya kesudahan, yang halus‑halus dari ria dan bahaya a­mal perbuatan. Sesungguhnya ia mengenal dari dirinya, apa yang dikenal oleh si pemuji. Dan jikalau tersingkaplah semua rahasianya dan apa yang berlalu dalam gurisan hatinya, niscaya tercegahlah si pemuji daripada me­mujinya. Dan haruslah atas si terpuji, melahirkan ke tidak senangan dipuji, dengan menghinakan si pemuji. Nabi saw bersabda: "Lemparlah debu tanah pada muka si pemuji". Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Tidak mendatangkan melarat pujian kepada orang yang mengenal dirinya". Salah seorang dari orang‑orang salih dipuji. Lalu ia berdo'a: “Wahai Allah, Tuhanku! Sesungguhnya mereka tiada mengenali aku dan ENGKAU mengenali aku". Seorang salih yang lain berdo'a tatkala ia dipuiji: "Wahai Allah, Tuhanku Sesungguhnya hambaMu ini mendekatiku dengan kebencianMU. Dan aku bersaksi kepadaMU atas kebenciannya". Ali ra berdo'a tatkala ia dipuji: "Wahai Allah, Tuhanku! Ampunilah aku akan apa yang tiada diketahui mereka! Dan janganlah ENGKAU me­nyiksakan aku, dengan apa yang dikatakan mereka! Jadikanlah aku keba­jikan, daripada apa yang disangkakan mereka!' Seorang laki‑laki memuji 'Umar ra. Lalu ia menjawab: "Apakah engkau akan membinasakan aku dan engkau akan membinasakan diri engkau sen­diri?". Seorang laki‑laki memuji Ali ra dihadapannya. Dan sudah sampai kabar kepada Ali ra bahwa orang tersebut memakinya. Lalu Ali ra menjawab: "Aku adalah kurang dari apa yang engkau katakan dan diatas apa yang pa­da diri engkau".
BAHAYA KESEMBILAN BELAS
Lalai dari kesalahan yang halus‑halus, dalam kandungan perkataan. Lebih‑lebih mengenai yang menyangkut dengan Allah dan sifat‑sifat Allah dan yang terikat dengan urusan agama. Maka tiada yang sanggup meluruskan kata‑kata dalam urusan‑urusan aga­ma, selain para ulama yang cakap kata‑kata (fashiih). Maka orang yang singkat ilmunya atau kefasehannya, niscaya tidak terlepas perkataannya da­ri tergelincir. Tetapi Allah Ta'ala mema'afkannya karena kebodohannya. Contohnya, ialah: apa yang dikatakan Hudzaifah: "Nabi saw bersabda: “Jangan dikatakan oleh seseorang kamu: apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang engkau kehendaki. Akan tetapi, hendaklah dikatakan­nya: "Apa yang dikehendaki oleh Allah, kemudian yang engkau kehen­daki ". Yang demikian itu, karena pada 'athaf mutlak (kata penyambung dengan: kata‑kata dan) itu perkongsian dan penyamaan. Dan itu adalah tidak hor­mat.
Ibnu Abbas ra berkata: "Datang seorang laki‑laki kepada Rasulu'llah saw, yang memperkatakan dengan Rasulu'llah saw pada sebahagian persoalan. Lalu orang tersebut mengatakan: Masyaa Allaahu wa syi'ta (apa yang dikehendaki oleh Allah dan  yang engkau kehendaki). Lalu Nabi saw menjawab: "Adakah engkau jadikan aku sebanding dengan Allah? Tetapi: Apa yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Esa".
Seorang laki‑laki berpidato disisi RasuluIllah saw. Lalu ia mengatakan: "Barangsiapa menta'ati Allah dan RasuI Allah, maka sesungguhnya ia men­dapat petunjuk. Dan barangsiapa mendurhakai keduanya, maka sesungguhnya ia sesat". Lalu Nabi saw menjawab: “Katakanlah barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul Allah maka sesungguhnya ia sesat”. Rasulu'llah saw tidak menyukai perkataannya: “Barangsiapa mendurha­kai keduanya”, karena yang demikian itu penyamaan dan pengumpulan.
Adalah Ibrahim An‑Nakha'i tidak menyukai, dikatakan oleh seseorang: A'uudzubi'llaahiwa bika (aku berlindung dengan Allah dan dengan engkau). Dan ia membolehkan dikatakan: A’uudw bi'llaahi tsumma bika (Aku berlindung dengan Allah, kemudian dengan engkau). Dan ia membolehkan pula dikatakan: Kalau tidaklah Allah, kemudian si Anu. Dan ia tidak mem­bolehkan dikatakan: Kalau tidaklah Allah dan si Anu.
Sebahagian mereka tidak menyukai dikatakan, "Wahai Allah, Tuhanku Merdekakanlah kami dari api neraka“. Dan adalah dikatakan, bahwa Ke­merdekaan itu, sesudah datang di dalamnya. Dan adalah mereka meminta Pertolongan, supaya tidak masuk neraka dan meminta perlindungan, agar tidak masuk neraka. Seorang laki‑laki berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Jadikanlah aku dian­tara orang yang memperoleh syafa'at Muhammad saw. Lalu Hudzaifah menjawab: "Sesungguhnya Allah tidak memerlukan bagi 0­rang mu'min akan syafa'at Muhammad saw. Dan adalah syafa'atnya itu, bagi orang‑orang muslim yang berdosa".
Ibrahim An‑Nakha'i berkata: "Apabila seseorang berkata kepada orang la­in: "Hai keledai! Hai babi!”, niscaya dikatakan kepadanya pada hari ki­amat: "Keledaikah yang engkau lihat AKU jadikan? Babikah yang engkau lihat AKU jadikan?”.
Dari Ibnu Abbas ra, yang mengatakan: "Sesungguhnya seseorang kamu itu akan mempersekutukan Allah, sehingga ia mempersekutukan Allah de­ngan anjingnya, dimana ia mengatakan: "Jikalau tidak adalah anjing itu, niscaya kami akan kecurian tadi malam".
'Umar ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang kamu bersumpah atas na­ma bapakmu. Barangsiapa akan bersumpah, maka bersumpahlah: atas na­ma Allah atau diamlah. 'Umar ra berkata: "Maka demi Allah, aku tidak pernah lagi bersumpah atas nama bapak, semenjak aku mendengarnya".
Nabi saw bersabda: "Janganlah kamu namakan buah inab (buah anggur) itu buah karm. Sesungguhnya karm (Mulia) itu, ialah: orang Muslim, Abu Hurairah ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tidaklah dikatakan oleh seseorang kamu: 'abdii (budakku) bagi yang laki‑laki). Dan amati (budakku) bagi yang perempuan). Semua kamu itu budak Allah (abii'du'llaahi ‑jama' dari ' abdun: budak laki‑laki). Dan semua wanita kamu imaa‑u'llaahi (imaa‑un ‑jama': amatun, artinya: budak perempuan). Dan hendaklah dikatakan: ghulaamii (hamba‑sahayaku) (bagi yang laki‑laki), jaariatii (hamba‑sahayaku ‑bagi yang perempuan), fa­taya (anak mudaku‑ bagi yang laki‑laki dan fataatii (anak mudiku‑ bagi yang perempuan). Dan tidaklah dikatakan oleh budak yang dimiliki (mam­luuk): rabbii (perkataan: rabbii, dapat diartikan: yang memimpinku, yang mendidikku dan dapat diartikan pula: tuhanku‑perkataan rabbii itu, bagi: laki‑laki) dan rabbatii (artinya: sama dengan rabbii, tetapi ditujukan bagi: perempuan). Dan hendaklah dikatakan: sayyidii (tuanku bagi laki‑laki) dan sayyidatii (tuanku‑ bagi perempuan). Semua kamu itu 'abiidu'llaahi (budak Allah). Dan arrabbu (artinya: seperti yang tercantum diatas pada:rabbi) itu, ialah ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA.
Nabi saw bersabda: "Jangan kamu katakan kepada orang fasik: say­yidinaa (tuan kami). Sesungguhnya kalaupun tuanmu, maka kamu sudah membuat kemarahan Tuhanmu”. Nabi saw bersabda: "Barangsiapa mengatakan: “Aku terlepas dari Is­lam”, kalau ia benar, maka ia seperti yang dikatakannya. Dan kalau ia dus­ta, maka ia tidak kembali kepada Islam, dalam keadaan selamat sejahte­ra)".
Maka ini yang tersebut tadi contoh-contoh yang seperti ini, adalah diantara kata‑kata yang masuk dalam perkataan. Dan tidak mungkin menghinggai­nya. Dan barangsiapa memperhatikan semua yang kami bentangkan: dari bahaya‑bahaya lidah, niscaya ia ketahui, bahwa apabila ia melepaskan li­dahnya, niscaya ia tidak akan selamat. Dan ketika itu, ia akan mengetahui rahasia sabda Nabi saw: “Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya lidah)". Karena bahaya‑bahaya ini semuanya, adalah tempat‑tempat binasa dan me­rusakkan. Yaitu: atas jalan orang yang berkata‑kata. Maka jikalau ia diam, niscaya ia selamat sejahtera dari semua. Dan jikalau ia bertutur dan berkata‑kata, nis­caya ia berbuat binasa bagi dirinya. Kecuali, bahwa bersesuaian dengan li­dah yang fasih, ilmu yang banyak, wara' dan muraqabah. Dan ia menyedikitkan perkataan. Maka semoga ia akan selamat se­jahtera dari yang demikian. Dan bersamaan dengan semua itu, ia tidak ter­lepas dari bahaya. Maka jikalau anda tidak sanggup untuk bahwa anda ter­masuk orang yang berbicara, lalu memperoleh faedah, maka hendaklah an­da termasuk orang yang diam, maka selamat. Maka keselamatan itu a­dalah satu dari dua harta rampasan perang.
BAHAYA KEDUA PULUH
Pertanyaan orang awam tentang sifat‑sifat Allah Ta'ala, tentang kalam (berkata-kata)­ Allah (firmanAllah), tentang huruf firman itu, tiada berpemulaan/dahulu huruf‑huruf itu atau baru/baru. Dan termasuk hak orang awam itu berbuat, menurut yang tersebut dalam AI‑Ouran. Hanya yang demikian itu berat bagi jiwa. Dan perbuatan yang sia‑sia itu ringan pada hati. Dan orang awam itu bergembira dengan ter­jun dalam pengetahuan. Karena setan membayangkan kepadanya: bahwa engkau termasuk ulama dan mempunyai kelebihan. Dan senantiasalah di­sukakan kepadanya yang demikian. Sehingga orang awam itu berbicara tentang pengetahuan, dengan hal yang mengkufurkan. Dan ia tidak tahu. Dan tiap‑tiap dosa besar yang dikerjakan oleh orang awam, maka dosa besar itu lebih menyelamatkan si awam dari pada ia memperkatakan ten­tang pengetahuan. Lebih‑lebih yang menyangkut dengan Allah dan sifat‑si­fat Allah.
Sesungguhnya, pekerjaan orang awam, ialah berbuat ibadah, beriman de­ngan apa yang dibawa oleh AI‑Ouran dan menyerah kepada apa yang dibawa oleh Rasul, tanpa pembahasan. Pertanyaan mereka tentang hal yang tiada menyangkut dengan ibadah itu kurang adab. Mereka berhak keben­cian Allah 'Azza wa Jalla. Mereka mendatangi kepada bahaya kufur. Dan itu adalah seperti pertanyaan penjaga‑penjaga hewan tentang rahasia‑raha­sia raja. Dan itu mengharuskan siksaan. Dan tiap‑tiap orang yang bertanya tentang pengetahuan yang sulit dan tidak sampai pemahamannya kepada tingkat yang demikian, maka orang tersebut tercela. Karena dia dibanding­kan kepada pengetahuan itu, adalah orang awam. Karena itulah. Nabi saw bersabda: "Tinggalkanlah aku dari pertanyaan, akan apa yang aku tinggal­kan kamu! Sesungguhnya telah binasa orang‑orang sebelum kamu, dise­babkan banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka dengan nabi‑nabi mereka. Apa yang aku larangkan kamu daripadanya, maka jauhilah! Dan apa yang aku suruhkan kamu kepadanya, maka kerjakanlah, menurut kesanggupanmu!”.
Anas ra berkata: “Pada suatu hari orang banyak bertanya kepada Rasu­lu'llah saw. Lalu mereka membanyakkan pertanyaan itu dan memarahkan Rasulu'llah saw. Maka beliau naik di atas mimbar, seraya bersabda: “Ta­nyalah kepadaku! Dan apabila kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, niscaya aku beritahukan kepadamu akan jawabannya". Lalu seorang laki‑laki bangun berdiri, seraya bertanya: "Wahai Rasulu'llah Siapakah ayahku?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Ayahmu Hudzafah". Lalu bangun 2 pemuda bersaudara, seraya bertanya: "Wahai Rasullullah! Siapakah ayah kami?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Ayahmu ialah, orang yang dipanggil kamu kepadanya". Kemudian, bangun seorang laki‑laki lain, seraya bertanya: "Wahai RasuIullah! Adakah aku ini dalam sorga atau dalam neraka?”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Tidak! Tetapi engkau dalam neraka". Tatkala orang banyak melihat kemarahan Rasulu'llah saw, lalu mereka menahan diri dari bertanya.
Maka bangunlah 'Umar ra seraya berkata: "Kami rela Allah Tuhan kami, Islam Agama kami dan Muham­mad saw Nabi kami". Lalu Nabi saw menjawab: "Duduklah hai Umar! Kiranya Allah mencurahkan rahmat Allah  kepadamu! Sesungguhnya engkau, apa yang engkau ketahui itu, mendapat taufiq". Dalam hadits, tersebut: "Rasulu'llah saw melarang dari hal qil dan qal, membuang‑buang harta dan banyak soal".
Nabi saw bersabda: "Hampirlah manusia itu banyak tanya‑bertanya, se­hingga mereka itu mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk, maka siapakah yang menjadikan Allah?. Maka apabila mereka berkata demikian, maka jawablah: "Katakan: Allah itu Esa. Allah itu tempat meminta sehingga engkau sudahi surah (AI‑Ikhlash) ini. Kemudian, hendaklah salah seorang dari kamu meludah kekiri 3 X dan memohonkan perlindungan pada Allah, dari setan yang terkutuk".
Jabir ra berkata: "Tidaklah turun ayat mengenai orang‑orang yang mene­rima laknat Allah, selain karena banyak bertanya". Pada kisah Musa dan Khidir as itu pemberitahuan tentang terlarang ber­tanya, sebelum waktunya berhak untuk pertanyaan. Karena Nabi Khidir as bersabda: "Kalau engkau mengikuti aku, janganlah ditanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkan itu kepada eng­kau" S 18 Al Kahfi ayat 70. Maka tatkala Nabi Musa as bertanya tentang perahu, Ialu Nabi Khidir as menantang pertanyaan tersebut. Lalu Musa as meminta ma'af, seraya berkata: “Janganlah aku engkau hukum karena kelupaanku itu, dan janganlah engkau perintahkan kepadaku perkara‑perkara yang sangat sulit bagiku”. S 18 Al Kahfi ayat 73. Tatkala Nabi Musa as tak bisa bersabar, sehingga ia telah tiga kali ber­tanya, Ialu Nabi Khidir as berkata: “Inilah perpisahan antara aku dan engkau”  S 18 Al Khafi ayat 78. Dan Nabi Khidir as pun berpisah dengan Nabi Musa as.
Pertanyaan orang awam tentang persoalan agama yang sulit‑sulit, terma­suk bahaya yang terbesar. Dan termasuk diantara yang dapat mengobar-­ngobarkan fitnah. Maka wajiblah ditolak dan dilarang mereka dari yang de­mikian. Dan masuknya mereka memperkatakan huruf‑huruf AI‑Quran itu, menyerupai halnya orang, yang ditulis oleh raja kepadanya sepucuk surat, dimana raja itu menggambarkan dalam surat tersebut, beberapa hal untuk­nya. Lalu ia tidak memperhatikan suatu pun dari isi surat itu. Dan ia meng­habiskan waktunya, mengenai kertas surat tadi, adalah kertas itu sudah tua atau masih baru. Maka dengan demikian, orang tersebut sudah pasti berhak mendapat hukuman. Maka demikian pula, orang awam yang menyia‑nyiakan batas‑batas Al-Quran dan menghabiskan waktunya mengenai huruf‑huruf AI‑Ouran, apakah huruf‑huruf itu tiada berpemulaan atau baru. Dan seperti itu pulalah sifat­-sifat Allah S.W.T. lainnya. Wa'llahu Ta’ala A’1am ‑ Dan Allah Ta’ala Yang Maha Tahu.