KITAB
BAHAYA LIDAH
Yaitu
Kitab ke 4 dari Rubu Yang membinasakan dari Kitab Ihya Ulumiddin
Segala pujian bagi Allah yang menjadikan
manusia dengan sebaik-baiknya dan sepadan-padannya. Diilhami Allah cahaya iman,
lalu dihiasi Allah dan diperelokkan Allah. Diajari Allah keterangan, lalu
didahulukan Allah dan diutamakan Allah dari makhluk lain, Dilimpahkan Allah kedalam hati manusia itu
gudang ilmu‑pengetahuan, lalu disempurnakan Allah. Kemudian, diutus Allah
kepada manusia itu tabir rahmat Allah dan diturunkan Allah. Kemudian,
diperbantukannya manusia itu dengan lidah yang akan menterjemahkan, apa yang
dikandung oleh hati dan akaInya. Dan disingkapkan Allah dari hati manusia itu,
tirainya yang dilepaskan Allah. Lalu manusia itu melepaskan lidahnya dengan kebenaran
dan menegaskan dengan kesyukuran, dari apa yang diutamakan dan dianuhgerahkan
oleh Allah, dari ilmu‑pengetahuan yang diperolehnya dan tutur‑kata yang
memudahkannya. Aku mengaku bahwa, tiada yang disembah selain Allah, Yang
Tunggal, tiada mempunyai sekutu. Dan bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul
Allah yang dimuliakan Allah dan yang diagungkan Allah dan Nabi Allah yang
diutuskan Allah dengan Kitab yang diturunkan Allah. Dan ditinggikan Allah
kelebihannya. Dan diterangkan Allah jalan‑jalan Allah. Kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepadanya, kepada keluarganya dan para sahabatnya serta
orang‑orang sebelumnya, apa yang diagungkan dan dipujikan oleh hamba Allah
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adapun kemudian: sesungguhnya lidah itu
termasuk diantara nikmat Allah yang besar dan diantara yang dijadikan oleh
Allah yang halus dan ganjil. Sesungguhnya lidah itu kecil tubuhnya, besar
keta'atannya dan kedosaannya. Karena kufur dan iman itu, tiada terang, selain
dengan kesaksian lidah. Dan kufur dan iman itu adalah keta'atan dan kemaksiatan yang penghabisan.
Kemudian
apa saja yang ada atau tidak ada, Khalik atau makhluk, hayalan (fantasi) atau
yang diketahui, yang disangka atau yang diduga, semuanya dapat dicapai dengan
lidah. Dan dapat didatangi oleh lidah dengan ia atau tidak. Semua yang dicapai
oleh ilmu‑pengetahuan itu, dapat dilahirkan oleh lidah, baik yang benar atau
yang salah. Tiada suatupun, melainkan ilmu itu menerima untuk lidah. Dan ini
adalah suatu kekhususan (khasiat), yang tidak terdapat pada anggota badan
lainnya. Sesungguhnya mata tiada sampai, selain kepada warna dan bentuk.
Telinga tiada sampai, kepada bukan suara. Tangan tiada sampai, kepada bukan
yang bertubuh. Dan begitu pula anggota‑anggota badan yang lain. Lidah itu medan
luas. Tiada mempunyai tempat tertolak. Dan tiada mempunyai jalan yang
berkesudahan dan berbatas. Ia mempunyai lapangan luas pada kebajikan. Dan
mempunyai ekor yang dapat ditarik pada kejahatan. Barangsiapa melepaskan
manisnya lidah dan menyia‑nyiakannya terlepas ikatan, niscaya setan berjalan
dengan dia dalam setiap lapangan. Dan menghalaunya ke tepi jurang yang
menjatuhkan, sampai membawanya kepada kebinasaan. Dan manusia itu, tiada jatuh
dalam api neraka atas hidungnya, melainkan oleh yang dipetik/dikatakan lidahnya.
Dan tidak terlepas dari kejahatan lidah, selain orang
yang mengikatkan lidahnya dengan tali‑kekang Agama. Maka
ia tidak melepaskan lidahnya, selain pada yang bermanfa'at di dunia dan di
akhirat. la mencegah lidahnya dari setiap yang ditakuti bahayanya, pada waktu
yang cepat (di dunia) dan pada waktu yang lambat (di akhirat). Untuk mengetahui
apa yang dipujikan atau yang dicela melepaskan lidah padanya, adalah tersembunyi
dan sulit. Berbuat menurut kehendak lidah bagi orang yang mengetahuinya adalah
berat dan sukar. Anggota badan yang paling durhaka kepada manusia, ialah: “lidah”. Karena ia tiada payah pada
melepaskannya. Dan tiada perbelanjaan pada menggerak‑gerakkannya. Dan manusia
itu mempermudah‑mudahkan pada penjagaan dari segala bahaya dan malapetakanya
dan pada berhati‑hati dari segala pancingan dan buruannya.
Sesungguhnya
lidah itu perkakas setan yang terbesar untuk menipu manusia. Maka dengan
taufiq dan pimpinan Allah yang baik, kami akan menguraikan semua bahaya lidah.
Dan akan kami menyebutkannya satu persatu dengan batas‑batas, sebab‑sebab, dan
segala malapetaka yang ditimbulkannya. Akan kami perkenalkan jalan menjaga
daripadanya. Akan kami kemukakan hadits‑hadist dan atsar‑atsar yang mencelanya.
Marilah kami sebutkan untuk
pertama kali. “Kelebihan Diam”. Dan
akan kami iringi dengan menyebutkan bahaya
berkata‑kata, mengenai yang tidak penting.
1. Kemudian, bahaya kata‑kata
yang berlebihan.
2. Kemudian, bahaya bercakap
kosong pada yang salah.
3. Kemudian, bahaya berbantah
dan bertengkar.
4. Kemudian, bahaya bermusuhan.
5. Kemudian, bahaya mengeluarkan
perkataan dari kerongkongan, dengan membuat‑buat mulut, memaksakan kata‑kata
dengan bersajak dan kepandaian berkata‑kata dan memperbuat‑buat yang demikian.
dllnya yang telah menjadi adat‑kebiasaan orang‑orang yang memperbuat‑buat
pandai berbicara, yang mengajak untuk berpidato.
6. Kemudian, bahaya kata‑kata
keji, memaki dan lidah kotor (suka berkata-kata cabul dan mencarut‑carut).
7. Kemudian, bahaya kata‑kata
mengutuk, baik kepada binatang atau benda beku atau manusia.
8. Kemudian, bahaya menyanyi
dengan pantun. Dan sudah kami sebutkan dahulu pada Kitab “Mendengar",
nyanyian yang diharamkan dan yang dihalalkan. Maka kami tiada mengulanginya
lagi.
9. Kemudian, bahaya bersenda‑gurau.
10. Kemudian, bahaya kata‑kata
menghina dan mengejek.
11. Kemudian, bahaya menyiarkan
rahasia.
12. Kemudian, bahaya janji
bohong.
13. Kemudian, bahaya perkataan
bohong dan sumpah bohong.
14. Kemudian, penjelasan tentang
kata‑kata sindiran pada bohong.
15. Kemudian, bahaya mengumpat,
16. Kemudian bahaya lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang ( lalat yang berasal dari bangkai atau
dari kotoran hewan dan manusia ).
17. Kemudian, bahaya dua lidah
yang bersimpang‑siur diantara orang‑orang yang bermusuhan. Masing‑masing
berkata dengan perkataan yang sesuai baginya.
18. Kemudian, bahaya pujian.
19. Kemudian, bahaya lengah dari
kesalahan yang kecil‑kecil dalam kandungan perkataan. Lebih‑lebih pada yang
menyangkut dengan Allah dan sifat‑sifat Allah dan yang bertalian dengan pokok‑pokok
Agama.
20. Kemudian, bahaya pertanyaan
orang awam dari hal sifat‑sifat Allah 'Azza wa Jalla, dari hal Kalam (berkata-kata)
Allah dan huruf‑hurufnya. Apakah tiada berpemulaan/dahulu atau baru?. Itulah
bahaya yang terakhir dan yang menyangkut dengan demikian. Jumlah semuanya
adalah 20 bahaya. Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq Allah dengan
kenikmatan dan kurnia Allah.
PENJELASAN: besarnya bahaya lidah dan keutamaan diam,
Ketahuilah, bahwa bahaya lidah
itu besar. Tiada terlepas daripada bahayanya, selain dengan diam. Maka karena
itulah, Agama memuji diam dan mengajak kepada diam. Nabi saw Bersabda:
"Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)". Dan "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang melaksanakannya” Hukum pada hadits ini, artinya: hikmah dan memikirkan akibat. Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Sufyan dari ayahnya, dimana ayahnya berkata: "Aku berkata: "Wahai
Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku tentang Islam, akan sesuatu hal, dimana aku
tiada akan bertanya lagi tentang itu, kepada seseorang, sesudah engkau!”. Maka
Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah! Aku beriman dengan Allah. Kemudian
engkau berpendirian teguh". Ayah Abdullah itu meneruskan ceriteranya:
"Lalu aku bertanya: "Apakah yang aku pelihara?". Maka Nabi saw
menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya". Uqbah bin 'Amir berkata:
"Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah jalan kelepasan?".
Rasulu'llah saw menjawab: “Tahankan lidahmu! Hendaklah rumahmu memberi
kelapangan bagimu dan menangislah atas kesalahanmu!”.
Sahl bin Sa'ad As‑Sa'idi
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa menjamin bagiku, apa
yang diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang diantara dua kakinya
(kemaluan), niscaya akan aku jamin baginya sorga".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
menjaga dari kejahatan qabqabnya/perut,
dzabdzabnya/kemaluan dan laqlaqnya/lidah,
niscaya ia terjaga dari kejahatan seluruhnya". Hawa‑nafsu yang tiga inilah
yang membinasakan banyak manusia. Karena itulah, kami menyibukkan diri kami,
menyebutkan bahaya lidah sesudah kami selesai daripada menyebutkan bahaya nafsu‑syahwat:
perut dan kemaluan.
Ditanyakan Rasulu'llah saw
tentang sebab terbesar, yang membawa manusia masuk sorga. Lalu Rasulu'llah saw
menjawab: “Taqwa kepada Allah dan bagus akhlaq". Dan ditanyakan pula sebab
terbesar yang membawa manusia masuk neraka. Maka Rasulu'llah saw menjawab:
"Dua rongga badan, yaitu: “mulut dan
kemaluan” Maka mungkin yang dimaksud
dengan mulut itu, ialah: bahaya lidah. Karena
mulut itu tempat lidah. Dan mungkin pula yang dimaksud perut, karena mulut itu, tempat yang tembus dari perut.
Ma'az bin Jabal berkata:
"Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Adakah kita ini disiksa dengan
apa yang kita katakan?". Rasulu'llah saw menjawab: "Dipupus kamu oleh
ibumu, hai Ibnu Jabal! Adakah manusia meringkuk dalam neraka atas hidungnya,
selain oleh yang diperbuat lidahnya?”
.
Abdullah Ats‑Tsaqafi berkata:
"Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku akan sesuatu,
yang akan aku pegang teguh!”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah! Tuhanku
Allah. Kemudian, kamu berpendirian teguh (istiqamah)!”. Aku bertanya lagi:
“Wahai Rasulu'llah! Apakah yang lebih engkau takuti padaku?". Rasulu'llah
saw Ialu mengambil Iidahnya, seraya bersabda: "Ini!”.
Diriwayatkan, bahwa Ma'az
bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Amal apakah yang paling utama?". Lalu
Rasulu'llah saw: “mengeluarkan lidahnya. Kemudian meletakkan jarinya atas
lidah itu".
Anas bin Malik berkata:
Rasulu'llah saw bersabda: “Tidaklah berdiri teguh (lurus) iman hamba Allah,
sebelum berdiri teguh (lurus) hatinya. Dan hatinya itu tidak berdiri teguh
(lurus) sebelum berdiri teguh (lurus) lidahnya. Dan tidak akan masuk sorga
seseorang, dimana tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya". Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa suka selamat,
maka hendaklah ia membiasakan diam".
Dari Sa'id bin Jubair yang
diteruskan kepada Rasulu'llah saw, bahwa beliau bersabda: "Apabila anak
Adam (manusia) itu berpagi hari, niscaya semua anggota badannya memperingatkan
lidah. Artinya: anggota badan itu berkata: "Takutilah Allah mengenai
kami. Karena jikalau engkau berdiri lurus, niscaya kamipun dapat berdiri lurus.
Dan jikalau engkau bengkok (menyeleweng), niscaya kami pun menjadi bengkok".
Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Al
khattab ra melihat Abubakar Ash Shiddiq ra, menarik lidahnya dengan tangannya.
Lalu 'Umar bertanya kepada Abubakar: "Wahai Khalifah Rasulu'llah! Apakah
yang anda perbuat?". Abubakar Ash‑Shiddiq ra menjawab: "Ini
mendatangkan kepadaku jalan yang kebinasaan”. Sesungguhnya Rasulu'llah saw
bersabda: "Tiada suatu pun dari tubuh, yang tiada mengadu kepada Allah
tentang lidah diatas ketajamannya".
Dari Ibnu Masud diriwayatkan
bahwa ia berada diatas bukit Shafa, membaca talbiah/doa-doa , seraya mengatakan: "Hai lidah! Katakanlah
yang baik, niscaya engkau beruntung! Diamlah dari yang jahat, niscaya engkau
selamat, sebelum engkau menyesal!”. Lalu orang bertanya kepada Ibnu Mas'ud
tadi: "Hai ayah Abdurrahman! Adakah ini engkau katakan sendiri atau engkau
dengar dari orang lain?". Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak! Tetapi aku
dengar Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa
kebanyakan dosa anak Adam itu, pada lidahnya".
Ibnu Umar berkata: “Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa mencegah lidanya daripada memperkatakan kehormatan
orang, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (hal‑hal yang
memalukan kalau diketahui orang lain). Barangsiapa menguasai kemarahannya,
niscaya ia dipelihara oleh Allah akan azabnya. Dan barangsiapa meminta
kelonggaran pada Allah, niscaya diterima oleh Allah kelonggarannya".
Diriwayatkan, bahwa Ma'az bin Jabal berkata: "Wahai Rasulu'llah! Berikanlah
kepadaku kata‑kata wasiat!”. Rasulu'llah saw menjawab: Sembahlah (beribadahlah)
akan Allah, seakan‑akan engkau melihat Allah! Dan hitunglah dirimu dalam
golongan orang yang sudah mati, jikalau engkau mau, akan kuberitahukan kepadamu,
sesuatu yang lebih kamu miliki dari ini semua". Seraya Nabi saw
menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya".
Dari Shafwan bin Salim, yang
mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: “Apakah tidak aku kabarkan
kepadamu, ibadah yang paling mudah dan paling ringan kepada badan? Yaitu: “diam dan bagus akhlak”.
Abu Hurairah berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari
akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam".
Al Hasan AI Bashari berkata: "Disebutkan
kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Diberi rahmat oleh Allah
kepada seorang hamba, yang berkata‑kata, lalu memperoleh faedah. Atau diam, maka ia
selamat".
Ada orang yang meminta kepada
Isa as dengan katanya: "Tunjukilah kami suatu amalan, yang membawa kami
masuk sorga!”. Lalu nabi Isa as menjawab: "Jangan kamu bertutur‑kata
selama‑lamanya!”. Maka mereka menjawab: "Kami tidak sanggup
demikian". Lalu nabi Isa as berkata: "Jangan kamu bertutur‑kata,
selain yang kebajikan".
Nabi Sulaiman bin Daud as
bersabda: "Kalau berkata itu perak, maka diam itu emas".
Dari AI‑Barra' bin 'Azib, yang mengatakan:
"Seorang Arab desa datang pada Nabi saw lalu berkata: "Tunjukkanlah
kepadaku suatu amalan, yang membawa aku masuk sorga!” Lalu Nabi saw menjawab:
"Berilah makan orang yang lapar dan berilah minum orang yang haus!
Suruhlah yang baik (amar ma'ruf) dan laranglah yang mungkar (nahi mungkar)!
Jikalau engkau tidak sanggup, maka cegahlah lidahmu, selain yang kebajikan!”.
Nabi saw bersabda: "Simpanlah lidahmu, selain pada yang kebajikan! Karena
dengan demikian, engkau dapat mengalahkan setan". Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah pada lidah setiap orang yang berkata. Maka hendaklah
bertaqwa kepada Allah, manusia yang mengetahui apa yang dikatakannya!”. Nabi
saw bersabda: "Apabila kamu melihat orang mu'min itu pendiam dan mempunyai
kehormatan diri, maka dekatilah dia! Karena ia akan mengajarkan ilmu‑hikmah".
Ibnu Masud berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: “Manusia itu 3macam: yang mendapat pahala,
yang selamat dari dosa dan yang binasa. Yang mendapat pahala, ialah yang berzikir
akan Allah. Yang selamat dari dosa, ialah yang diam. Dan yang binasa, ialah yang
masuk dalam perbuatan salah".
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya lidah orang
mu'min itu dibelakang hatinya. Apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu,
niscaya dipahaminya dengan hatinya. Kemudian, dilalukannya dengan lidahnya. Dan
lidah orang munafiq itu, dihadapan hatinya. Apabila ia bercita‑cita akan
sesuatu, niscaya dilakukannya dengan lidahnya dan tidak dipahaminya dengan
hatinya".
Nabi Isa as bersabda: “Ibadah
itu 10 bahagian. Sembilan bahagian daripadanya pada diam. Dan sebahagian lagi
pada lari dari manusia".
Nabi kita saw bersabda: “Barangsiapa banyak
perkataannya, niscaya banyak terperosoknya. Barangsiapa banyak terperosoknya,
niscaya banyak dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya, niscaya neraka lebih
utama baginya".
Dari atsar (ucapan para sahabat), diantaranya, ialah: Abubakar Siddik ra
meletakkan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah dirinya dari berkata‑kata.
la menunjukkan kepada lidahnya dan berkata: “Inilah yang mendatangkan kepadaku
hal‑hal kebinasaan". Abdullah bin Mas'ud berkata: "Demi Allah, yang
tiada disembah, selain DIA. Tiadalah sesuatu yang lebih memerlukan kepada
lamanya ditahan, selain lidah". Ibnu Thaus berkata: "Lidahku itu
binatang buas. Jikalau aku lepaskan, niscaya ia makan aku". Wahab bin Munabbih
berkata tentang hikmah keluarga Daud a.s, bahwa menjadi hak kewajiban orang
yang berakal, mengetahui keadaan zamannya, menjaga lidahnya dan menghadapi
dengan baik persoalannya". Al Hasan AI‑Bashari berkata: “Tiada memahami
agamanya yang tiada menjaga lidahnya". AI‑Auza'i berkata: “Khalifah Umar
bin Abdul‑aziz 'ra menulis surat kepada kami, yang bunyinya sebagai berikut:
"Adapun kemudian, sesungguhnya orang yang banyak mengingati mati, niscaya
rela dengan mendapat sedikit dari dunia. Dan orang yang menghitung
perkataannya dari perbuatannya, niscaya sedikitlah perkataannya, kecuali pada
yang diperlukannya". Setengah mereka berkata: "Diam itu mengumpulkan
dua kelebihan bagi seseorang: selamat pada
agamanya dan memahami tentang temannya”. Muhammad bin
Wasi' berkata kepada Malik bin Dinar: “Hai Abu Yahya! Menjaga lidah itu lebih
sukar bagi manusia, daripada menjaga dinar dan dirham (harta)". Yunus bin
'Ubaid berkata: "Tiada seseorang manusia yang lidahnya diatas yang baik,
melainkan aku melihat kebaikan itu pada amalannya yang lain”. Al Hasan AI‑Bashari
berkata: "Suatu kaum (golongan) berkata‑kata disamping Mu'awiah bin Abi
Sufyan. Dan AI‑Ahnaf bin Qais itu diam. Lalu Mu'awiah bertanya kepada AI‑Ahnaf:
“Bagaimana engkau, hai Aba Bahr, tiada berkata‑kata?". Lalu AI‑Ahnaf
menjawab: "Aku takut kepada Allah, jikalau aku bohong dan aku takut kepada
engkau, jikalau aku benar".
Abubakar bin 'Ayyasy berkata:
"Berkumpullah 4 orang raja, yaitu: raja India, raja Cina raja, Parsia
(Kisra) dan raja Rum (Kaisar). Salah seorang mereka berkata: "Aku
menyesal terhadap apa yang sudah aku katakan dan tidak menyesal terhadap apa
yang tidak aku katakan". Yang lain berkata pula: "Aku apabila berkata‑kata
dengan suatu perkataan, maka perkataan itu menguasai aku dan aku tiada
menguasainya. Dan apabila aku tiada berkata‑kata dengan perkataan itu, maka aku
menguasainya dan ia tiada menguasai aku". Yang ketiga berkata: "Aku
heran terhadap orang yang berbicara, jikalau perkataannya itu kembali
kepadanya, niscaya mendatangkan kemelaratan baginya. Dan jikalau tidak
kembali, niscaya tiada bermanfaat baginya". Raja yang keempat berkata.
"Aku lebih sanggup menolak apa yang tidak aku katakan, daripada menolak
apa yang aku katakan".
Ada yang mengatakan, bahwa AI‑Mansur
bin AI‑Mu'taz tinggal, tidak berkata‑kata dengan sepatah katapun sesudah shalat
'Isya, selama 40 tahun. Ada yang mengatakan, bahwa Ar‑Rabi bin Khaisan tidak
berkata‑kata dengan perkataan dunia, selama 20 tahun. Apabila pagi hari, ia
meletakkan tinta, kertas dan pena, Ialu semua yang diucapkannya ditulisnya.
Kemudian, ia memperhitungkan dirinya pada sore hari.
Kalau anda bertanya: kelebihan
besar ini bagi diam, apa sebabnya? Maka ketahuilah, bahwa sebabnya adalah
banyaknya bahaya lidah, dari kesalahan, bohong, mengumpat, Ialat merah, ria,
nifaq (sifat bermuka dua), perkataan keji, perbantahan, membersihkan diri,
terjun dalam perbuatan salah, permusuhan, perbuatan yang sia‑sia, menyeleweng,
menambahkan, mengurangi, menyakiti orang lain dan merusak kehormatan orang (membuka
hal‑hal yang seharusnya ditutup). Inilah bahaya yang banyak. Dan yang menghalau
kepada lidah, yang tidak berat bagi lidah. Mempunyai keenakan pada hati. Ada
penggerak‑penggerak dari sifat (tabi'at) manusia dan dari setan. Orang yang
terjun pada hal‑hal diatas, sedikitlah yang sanggup menahan lidahnya. Lalu
dilepaskannya menurut yang disukainya dan ditahannya dari yang tiada disukainya.
Yang demikian itu termasuk pengetahuan yang sulit, sebagaimana akan datang
uraiannya. Terjun dalam hal‑hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu
selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang
terkandung dalam diam itu, yaitu: terkumpulnya cita‑cita, tetapnya kehormatan
diri, penggunaan waktu untuk berfikir, untuk berzikir dan untuk beribadah,
selamat dari mengikutkan kata-kata pada urusan duniawi dan dari hitungannya
(hisabnya) dihari akhirat. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu perkataan yang diucapkan
manusia melainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)".
S. 50 Qaaf, ayat 18.
Ada suatu hal yang menunjukkan kepada engkau atas utamanya
selalu diam, yaitu: bahwa perkataan itu 4 bahagian:
1. Melarat semata‑mata.
2. Manfa'at semata‑mata.
3. Ada padanya melarat dan
manfa'at.
4. Tidak ada padanya melarat dan
manfa'at.
Adapun yang melarat semata‑mata,
maka haruslah diam daripadanya. Begitu pula yang padanya melarat. Dan manfa'at
itu tidak sempurna dengan adanya melarat. Adapun yang tak ada padanya manfa'at
dan melarat, maka itu hal yang sia‑sia. Berbuat dengan hal yang sia‑sia itu
membuang‑buang waktu. Dan itu adalah kerugian yang sebenarnya. Maka tinggal
lagi bahagian ke 4. Berguguranlah
3/4 perkataan dan tinggallah 1/4. Dan yang 1/4 ini ada pula bahayanya. Karena
bercampur dengan perkataan, yang ada padanya dosa, yaitu: ria yang sangat
halus, berbuat‑buat perkataan, mengumpat, membersihkan diri dari perkataan sia‑sia,
suatu percampuran yang sukar diketahui. Maka manusia berada dalam keadaan
bahaya. Barang siapa mengetahui bahaya lidah yang halus‑halus, sebagaimana yang
akan kami sebutkan, niscaya pasti ia mengetahui, bahwa apa yang disebutkan
oleh Nabi saw adalah uraian ucapan, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa diam,
niscaya ia terlepas dari bahaya". Sesungguhnya, demi Allah, sudah pasti
dianugerahkan kepada Nabi saw mutiara hikmah dan kata‑kata yang menghimpunkan
segala maksud. Dan tiada yang mengetahui pengertian‑pengertian yang melaut
luasnya yang terkandung dibawah satu‑satu kalimat ‑ ucapannya, selain ulama‑ulama
tertentu. Apa yang akan kami sebutkan nanti tentang bahaya‑bahaya dan kesulitan
menjaganya, akan memperkenalkan kepada anda hakikat/maknanya itu, insya Allah
Ta’ala.
Dan kami sekarang akan
menghitung bahaya‑bahaya lidah. Akan kami mulai dengan yang seringan‑ringannya
dan akan kami mendaki kepada yang sedikit lebih berat. Dan akan kami akhiri
memperkatakan tentang mengumpat, Ialat merah dan dusta. Karena amat panjang
untuk meninjau pada hal‑hal tersebut. Yaitu: 20 bahaya. Maka ketahuilah yang demikian, niscaya anda akan
memperoleh petunjuk dengan pertolongan Allah Ta’ala.
BAHAYA PERTAMA:
perkataan pada yang tidak memerlukan.
Ketahuilah, bahwa keadaan anda
yang paling baik, ialah bahwa anda memelihara kata‑kata anda dari semua bahaya
yang sudah kami sebutkan dahulu, yaitu dari mengumpat, Ialat‑merah, bohong,
berbantah, bertengkar dllnya. Dan anda berkata‑kata mengenai yang mubah (yang diperbolehkan), yang
tidak ada sekali‑kali mendatangkan melarat atas anda dan atas orang muslim.
Kecuali anda berkata‑kata dengan apa yang tidak anda perlukan. Dan tak ada
hajat keperluan padanya. Maka anda sudah menyia‑nyiakan waktu anda. Dan
mengadakan perhitungan (hisab) terhadap
perbuatan lidah anda. Dan anda menggantikan sesuatu yang kurang baik, dengan
yang baik. Karena jikalau anda alihkan masa berkata‑kata itu kepada berflkir,
niscaya kadang‑kadang akan membukakan bagi anda pemberian rahmat Allah ketika
berfikir yang besar faedahnya. Jikalau anda membaca tahlil (mengucapkan "Laa ilaaha i'llallaah/tidak ada Tuhan
kecuali Allah), berzikir dan mengucapkan tasbih (mengucapkan Subhaanallah = maha suci Allah) kepada Allah Subbanahu wa
Ta’ala, niscaya adalah lebih baik bagi anda. Berapa banyak kalimat yang dapat
dibangun, istana dalam sorga.
Siapa yang sanggup mengambil
satu dari gudang‑gudang, Ialu diambilnya tempat itu menjadi tempat tanah, yang
tidak dimanfa'atkan nya, niscaya ia merugi, kerugian yang nyata. Inilah contoh
orang yang meninggalkan zikir kepada Allah Ta’ala dan berbuat dengan perbuatan
yang diperbolehkan, yang tidak diperlukannya. Karena walaupun ia tidak
berdosa, tetapi ia merugi, dimana telah lenyap keuntungan besar dengan
berzikir kepada Allah Ta’ala.
"Sesungguhnya orang mu'min
itu, diamnya adalah berpikir, pandangannya, adalah ibarat dan tutur‑katanya
adalah zikir", begitulah Nabi saw bersabda Bahkan modal seorang hamba
Allah itu, ialah: waktunya. Manakala
diarahkannya waktunya itu kepada yang tidak diperlukannya dan tidak disimpannya
untuk pahala diakhirat, maka sesungguhnya ia sudah menyia‑nyiakan modalnya.
Karena inilah, Nabi saw bersabda: “Diantara bagusnya Islam manusia itu, ialah
meninggalkan apa yang tidak diperlukannya". Bahkan tersebut pada hadits
yang lebih berat dari yang tadi, dimana Anas berkata: "Seorang anak‑anak
dari kami (golongan Anshar) telah shahid pada hari perang Uhud. Lalu kami
dapati diatas perutnya batu terikat, lantaran lapar. Maka ibunya menyapu tanah
dari mukanya, seraya berkata: "Selamat, sorga bagimu wahai anakku!”. Lalu
Nabi saw menjawab: “Dimana engkau tahu?. Mungkin ia berkata‑kata yang tak
diperlukan dan ia tidak berkata‑kata, apa yang tidak mendatangkan melarat
baginya". Pada hadits lain tersebut: "Bahwa Nabi saw kehilangan Ka’ab
bin 'Ajrah. Lalu beliau tanyakan dimana Ka’ab sekarang. Mereka menjawab:
"Ia sakit”. Lalu Nabi saw keluar berjalan, sehingga sampai kepada Ka’ab.
Sewaktu Nabi saw masuk ketempat Ka’ab, lalu beliau bersabda: "Gembiralah,
hai Ka'ab!”. Maka sahut ibu Ka’ab "Selamat, bagimu sorga, hai Ka'ab!”.
Lalu Nabi saw bertanya: "Siapakah wanita yang bersumpah ini terhadap
Allah?". Ka’ab menjawab: "Ibuku, wahai Rasulu'llah!”. Lalu Nabi saw
menyambung: "Apakah yang memberitahukan kepada engkau, wahai Ibu Ka'ab?
Mungkin Ka'ab berkata perkataan yang tidak diperlukan atau tidak berkata yang
diperlukan". Artinya: sesungguhnya sorga itu disediakan bagi orang yang
tidak kena hisab (hitungan amal pada
hari akhirat). Orang yang berkata‑kata, mengenai yang tidak diperlukan, niscaya
ia kena hisab amal, walaupun perkataannya pada yang diperbolehkan (mubah).
Maka tidak disediakan sorga
serta adanya perdebatan pada hisab itu. Sesungguhnya itu adalah semacam azab.
Dari Muhammad bin Ka’ab, yang mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda:
"Sesungguhnya orang pertama yang masuk dari pintu ini, ialah seorang laki‑laki
dari penduduk sorga". Maka masuklah Abdullah bin Salam. Lalu bangunlah
beberapa orang sahabat Rasulu'llah menyambutnya, seraya mereka menerangkan
kepadanya demikian. Mereka berkata kepada Abdullah bin Salam:
"Terangkanlah kepada kami, amal yang terpercaya pada dirimu, yang engkau
harapkan!”. Maka Abdullah bin Salam menjawab: "Sesungguhnya aku ini orang
yang lemah. Dan amal yang terpercaya, yang aku harapkan pada Allah, ialah:
selamat dada(iman) dan meninggalkan apa yang tidak penting (perlu)
bagiku".
Abu Dzar berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: “Apakah aku tidak memberitahukan
kepadamu, amal yang ringan pada badan dan berat pada timbangan?". Lalu aku
menjawab: Belum, wahai Rasulu'llah!”. Maka Rasulu'llah saw menjawab: “Yaitu:
diam, bagus akhlak dan meninggalkan apa yang tidak penting bagimu”
Mujahid berkata: "Aku
mendengar Ibnu Abbas berkata: "Ada 5 hal, yang lebih aku sukai, melebihi
dari kuda yang sudah disiapkan untuk dikendarai,
1. Jangan engkau
berkata‑kata pada yang tidak penting bagi engkau. Karena itu adalah hal
yang berlebihan (tidak penting) dan tidak aman engkau dari dosa dan jangan
engkau berkata‑kata pada yang tidak penting bagi engkau, sebelum engkau
mendapat tempat bagi perkataan itu. Karena banyak orang yang berkata‑kata
tentang sesuatu yang penting baginya, yang diletakkannya pada bukan tempatnya.
Lalu ia menghadapi kesulitan.
2. Jangan
engkau bertengkar dengan orang yang lemah‑lembut dan orang yang bodoh. Karena
orang yang lemah lembut itu, akan marah kepada engkau dalam hatinya dan orang
yang bodoh akan menyakiti engkau dengan lidahnya.
3. Sebutlah
temanmu apabila ia jauh dari engkau, dengan perkataan yang engkau sukai, ia
menyebut engkau. Dan ma'afkanlah dia dari apa yang engkau sukai ia mema'afkan engkau.
4. Bergaullah
dengan teman engkau dengan cara yang engkau sukai ia bergaul dengan engkau.
5. Berbuatlah
sebagai perbuatan seseorang yang tahu bahwa perbuatan itu dibalas dengan baik
& disiksa dengan dosa".
Orang bertanya kepada Lukmanul‑hakim:
"Apakah falsafah hidupmu (hikmahmu)?”. Lukmanul‑hakim menjawab: "Aku
tidak bertanya tentang sesuatu yang telah memadai bagiku. Dan aku tidak
memberatkan diriku akan sesuatu yang tidak penting bagiku".
Muriq Al -‘Ajli berkata:
"Suatu hal, aku sudah mencarinya semenjak 20 tahun yang Ialu, tetapi aku
tidak memperolehnya. Dan aku tidak meninggalkan mencarinya". Lalu mereka
bertanya: "Apakah hal itu?". Maka Muriq menjawab: "Diam daripada
yang tidak penting bagiku"
Umar ra berkata: "Jangan
engkau datangi sesuatu yang tidak penting bagi engkau! Asingkanlah diri dari
musuh engkau! Awasilah teman engkau dari orang banyak, kecuali orang yang
kepercayaan! Tidak ada orang yang kepercayaan, selain orang yang takut akan
Allah Ta’ala. Jangan engkau temani orang zalim, nanti engkau memperoleh
pengetahuan dari kezalimannya! Jangan engkau perlihatkan kepadanya rahasia
engkau! Dan bermusyawarahlah tentang urusan engkau dengan mereka yang takut
akan AllahTa'ala". Batas perkataan tentang yang tidak penting bagi engkau,
ialah: bahwa engkau berkata‑kata dengan perkataan, dimana jikalau engkau diam
dari perkataan itu, niscaya engkau tidak berdosa. Dan tidak mendatangkan
melarat bagi engkau dalam hal dan harta apa pun. umpamanya: engkau duduk
bersama orang banyak. Lalu engkau sebutkan kepada mereka tentang perjalanan
engkau dan apa yang engkau lihat dalam perjalanan itu, mengenai gunung‑gunung,
sungai‑sungai, kejadian‑kejadian yang terjadi atas diri engkau, apa yang
engkau rasakan baik, dari hal makanan dan pakaian dan apa yang engkau merasa
heran tentang kepala‑kepala kampung dan peristiwa-peristiwa mereka. Inilah hal‑hal,
jikalau engkau diam daripadanya. niscaya engkau tidak berdosa dan tidak
melarat. Apabila engkau berusaha sungguh‑sungguh, sehingga ceritera engkau itu
tidak bercampur dengan tambahan, dengan kekurangan dan dengan pembersihan
diri, dimana merasa bangga dengan menyaksikan hal‑hal yang besar dan tidak ada
pula mencaci seseorang dan mencela sesuatu dari apa yang dijadikan oleh Allah
Ta’ala, maka meskipun demikian semuanya, engkau adalah menyia‑nyiakan waktu
engkau. Semoga engkau selamat dari bahaya‑bahaya yang telah kami sebutkan itu!
Diantara jumlah bahaya tersebut, bahwa engkau bertanya kepada orang lain
tentang yang tidak penting bagi engkau. Maka dengan pertanyaan itu, engkau
menyia‑nyiakan waktu engkau. Dan engkau bawa pula teman engkau itu dengan
jawaban tadi, kepada menyia‑nyiakan waktunya. Dan ini, apabila hal itu tidak
mendatangkan bahaya pada pertanyaan tersebut. Dan kebanyakan pertanyaan, ada
bahayanya. Sesungguhnya engkau menanyakan orang lain tentang ibadahnya‑umpamanya,
Ialu engkau bertanya: "Adalah engkau berpuasa?". Kalau ia menjawab:
“Ada!”, maka orang itu menampakkan ibadahnya. Lalu masuklah ria kepadanya.
Jikalau tidak masuk ria, niscaya ibadahnya jatuh dari pembukaan rahasia. Dan
ibadah rahasia itu, melebihi dari ibadah terang (yang diperlihatkan) dengan
beberapa tingkat. Dan kalau ia menjawab: "Tidak!”, maka orang itu pembohong.
Dan kalau ia diam (tidak menjawab), maka ia menghina engkau. Dan engkau merasa
sakit dengan demikian. Dan kalau ia mencari helah untuk menolak jawaban
niscaya ia memerlukan kepada tenaga dan letih. Maka sesungguhnya engkau telah
kemukakan kepadanya pertanyaan, adakalanya karena ria atau bohong atau menghina
atau untuk memayahkannya pada mencari helah untuk menolak. Dan begitu pula
pertanyaan engkau pada ibadah-ibadah lainnya. Demikian juga, pertanyaan engkau
dari hal perbuatan ma'siat dan dari tiap‑tiap yang disembunyikannya dan ia malu
daripadanya. Dan pertanyaan engkau tentang apa yang dibicarakan orang lain,
Ialu engkau bertanya kepadanya: "Apa yang anda katakan? Dan pada soal apa
anda sekarang?". Begitu pula engkau melihat manusia dijalan, Ialu engkau
bertanya: “Dari mana?". Kadang‑kadang ada sesuatu yang melarangnya untuk
disebutkannya. Kalau disebutkannya, niscaya ia merasa sakit dan merasa malu.
Dan kalau ia tidak menyebut dengan benar, niscaya ia jatuh dalam kedustaan. Dan
adalah engkau yang menjadi sebabnya. Begitu pula, engkau bertanya tentang
sesuatu persoalan, yang tidak perlu bagi engkau. Dan yang ditanya itu, kadang‑kadang
tidak membolehkan bagi dirinya, untuk mengatakan: "Aku tidak tahu!”. Lalu
ia menjawab tanpa melihat lebih jauh. Aku tidak maksudkan dengan kata‑kata
yang tidak penting itu, segala jenis yang tersebut. Karena perkataan itu
berlaku padanya dosa atau melarat. Contoh perkataan yang tidak penting, ialah
apa yang dirawikan, bahwa Lukman al hakim masuk ketempat Nabi Daud as Dan Nabi
Daud as itu sedang menjahit baju besinya.
Dan Lukman al hakim belum pernah
melihat baju besi sebelum hari itu. Lalu ia amat heran dari apa yang
dilihatnya. Ia bermaksud menanyakannya yang demikian. Tetapi dilarang oleh hikmahnya (kebijaksanaannya). Maka ia
menahan dirinya dan tidak ditanyakannya. Tatkala telah siap, lalu Nabi Daud as
berdiri dan memakai baju besi itu. Kemudian ia berkata: “Bagus sekali baju besi
ini untuk perang". Maka Lukman menjawab: “Diam itu suatu hukum dan
sedikitlah yang melaksanakannya". Artinya: pengetahuan itu berhasil,
tanpa ditanyakan. Lalu tidak memerlukan kepadanya pertanyaan.
Ada yang mengatakan, bahwa
Lukman pulang pergi kepada Daud as selama setahun. la bermaksud mengetahui yang
demikian, tanpa bertanya. Inilah dan contoh‑contohnya, dari pertanyaan‑pertanyaan,
apabila tak ada padanya melarat, tidak merusakkan rahasia yang tertutup, tidak
menjerumuskan kedalam ria dan bohong. Dan itu termasuk apa yang tidak penting.
Dan meninggalkannya termasuk kebagusan Islam seseorang. Itulah batasnya!
Adapun sebab yang membangkitkan
kepada berkata‑kata, ialah: ingin mengetahui apa yang tidak perlu kepadanya.
Atau berbanyak perkataan, kepada jalan berkasih‑kasihan. Atau mengisi waktu
dengan ceritera‑ceritera hal‑ihwal yang tidak berfaedah. Obatnya semua itu,
ialah: tahu bahwa mati berada dihadapan nya. Ia bertanggung jawab dari setiap
perkataan yang diucapkannya. Nafasnya itu adalah modalnya. Lidahnya itu jala,
yang sanggup untuk menangkap bidadari /bidadara. Maka menyia‑nyiakan yang
demikian dan membuang‑buang waktunya, adalah kerugian yang nyata. Inilah
obatnya dari segi pengetahuan! Adapun dari segi amal, maka ialah: mengasingkan
diri atau meletakkan batu‑kecil pada mulutnya. Membiasakan dirinya diam dari
sebahagian yang penting baginya. Sehingga terbiasalah lidahnya, meninggalkan
hal yang tidak penting. Dan mengendalikan lidah dalam hal ini bagi orang yang
tidak mengasingkan diri, adalah
sulit sekali.
BAHAYA KEDUA:
perkataan yang berlebihan.
Itu juga tercela. Dan ini
termasuk turut campur pada yang tidak penting dan menambah pada yang penting
sekedar perlu. Karena orang yang mementingkan sesuatu itu mungkin ia
menyebutkannya dengan perkataan pendek. Dan mungkin membesarkannya, menetapkan
dan mengulang‑ulanginya. Dan manakala tercapai maksudnya dengan sepatah kata,
lalu disebutnya 2 patah kata. Maka kata ke 2 itu berlebihan, Artinya:
berlebihan dari keperluan. Itu juga tercela, karena apa yang tersebut dahulu,
walaupun tak ada dosa dan melarat padanya.
'Atha' bin Abi Rabah berkata:
"Bahwa orang‑orang sebelum kamu, tidak suka akan perkataan yang
berlebihan. Mereka menghitung kata‑kata yang berlebihan, selain Kitab Allah
Ta’ala dan Sunnah Rasulu'llah saw atau amar ma'ruf (perbuataan baik) atau nahi
munkar (melarang perbuatan jelek) atau engkau memperkatakan keperluan engkau
dalam kehidupan engkau, yang tidak boleh tidak. Adakah engkau membantah, bahwa
terhadap diri engkau ada para malaikat yang menjaga, yang menulis amalan, duduk
dikanan dan dikiri ? Apa saja perkataan yang diucapkan, ada padanya yang
mengawas dan yang mencatat. Apakah seseorang engkau tidak malu, apabila
disiarkan lembarannya yang di‑imla'‑kan (didiktekan) oleh permulaan siangnya,
adalah kebanyakan padanya tiada menyangkut dengan urusan Agama dan dunianya?"
Dari sebahagian sahabat, ada
yang mengatakan: "Bahwa seseorang yang akan berkata‑kata dengan aku
dengan suatu perkataan, dimana jawabannya lebih menyukakan aku, dibandingkan
dengan air dingin bagi orang yang haus, maka aku tingalkan jawaban itu. Karena
takut jawaban itu perkataan yang berlebihan".
Matraf bin Abdullah berkata:
"Hendaklah kebesaran Allah itu agung dalam hatimu! Maka janganlah engkau
menyebutkan Allah, pada seumpama perkataan salah seorang kamu untuk anjing dan
keledai: "Wahai Allah, Tuhanku! Hinakanlah dia!”. Dan kata‑kata lain yang
serupa dengan itu”. Ketahuilah, bahwa perkataan yang berlebihan itu tidak
terhingga banyaknya. Tetapi yang penting itu, terhingga pada Kitab Allah
Ta’ala. Allah 'Azza wa Jalla/Allah Mulia & Maha Besar berfirman: “Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya
rapat‑rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, orang‑orang yang
menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan
manusia". S.4 An Nisaa' ayat 114.
Nabi saw bersabda:
"Berbahagialah orang yang menahan kelebihan dari lidahnya dan
membelanjakan kelebihan dari hartanya". Maka perhatikanlah, bagaimana
manusia memutar‑balikkan keadaan pada yang demikian. Mereka menahan kelebihan
harta dan melepaskan kelebihan lidah. Dari Matraf bin Abdullah, dari ayahnya,
yang mengatakan: "Aku datang pada Rasulu'llah saw yang sedang berada
dalam kaum keluarga Bani 'Amir. Lalu mereka itu berkata: "Engkau bapa
kami! Engkau penghulu kami! Engkau mempunyai banyak kelebihan dari kami!
Engkau lebih gagah dari kami! Engkau pelupuk mata yang cemerlang! Engkau
......engkau ..............!” Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Katakanlah
perkataanmu! Jangan kamu diumbang‑ambingkan oleh setan!” Hadits ini
menunjukkan, bahwa lidah apabila dilepaskan dengan pujian, meskipun benar, maka
ditakuti akan diumbang‑ambingkan oleh setan, kepada kata‑ kata tambahan yang
tidak diperlukan.
Ibnu Mas'ud berkata: "Aku
peringatkan kamu akan kelebihan perkataanmu. Mencukupilah perkataan seseorang
manusia, yang menyampaikan akan hajat‑keperluannya". Mujahid berkata:
"Bahwa perkataan itu untuk ditulis. Sehingga seorang laki‑laki, untuk
mendiamkan anaknya, lalu mengatakan: "Aku akan belikan untukmu itu‑itu....,
maka ia akan ditulis kan: “pembohong”.
Al Hasan AI‑Bashari berkata:
"Hai anak Adam! Dibentangkan sebuah lembaran untukmu. Diwakilkan dengan
lembaran itu, dua orang malaikat yang mulia, yang akan menuliskan semua amal‑perbuatanmu.
Maka berbuatlah apa yang kamu kehendaki! Engkau perbanyakkan atau engkau sedikitkan!”.
Diriwayatkan, bahwa Nabi
Sulaiman as mengutus sebahagian jin ifritnya. Dan ia mengutus serombongan
manusia yang akan melihat apa yang dikatakan oleh jin ifrit itu. Dan mereka
akan menerangkannya kepada Sulaiman as. Lalu mereka menerangkan kepada Nabi
Sulaiman as, bahwa jin ifrit itu melalui sebuah pasar. Lalu ia mengangkat
kepalanya kelangit. Kemudian, ia melihat kepada manusia banyak dan
menggerakkan kepalanya. Maka Sulaiman as bertanya kepada jin ifrit itu tentang
yang demikian. Lalu jin itu menjawab: "Aku heran dari hal malaikat diatas
kepala manusia. Alangkah cepatnya mereka itu menulis. Dan dari mereka yang
berada dibawah manusia, alangkah cepatnya mereka itu me‑imla'‑kan (mendiktekan)".
Ibrahim At‑Taimy berkata:
"Apabila orang mukmin itu bermaksud berbicara, niscaya ia perhatikan.
Kalau ada yang bermanfa'at baginya, maka ia berkata. Kalau tidak, niscaya ia
menahan lidahnya dari berkata. Orang zalim, lidahnya terus‑menerus
terlepas". Al Hasan AI‑Bashari berkata: “Barangsiapa banyak perkataannya,
niscaya banyak bohongnya. Barangsiapa banyak hartanya, niscaya banyak dosanya.
Dan barang siapa buruk akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya".
'Amr bin Dinar berkata: “Seorang
laki‑laki berkata‑kata disamping Nabi saw. Lalu ia membanyakkan perkataannya
itu. Maka Nabi saw bertanya kepadanya: "Berapa adanya dinding yang
menghambat lidahmu?". Laki‑laki itu menjawab: "Dua bibirku &
gigi‑gigiku". Lalu Nabi saw menyambung:
"Apakah pada yang demikian, engkau tiada mempunyai sesuatu yang dapat
menolak perkataanmu?" Pada suatu riwayat, bahwa Nabi saw bersabda yang
demikian, pada seorang laki‑laki yang memuji‑muji Nabi saw. Lalu perkataannya
itu terlalu bersangatan & panjang. Kemudian Nabi saw bersabda: “Tiada
diberikan kepada seseorang akan kejahatan dari kelebihan pada lidahnya".
Umar bin Abdul‑aziz ra berkata:
"Sesungguhnya mencegah aku dari banyak berkata‑kata, karena takut
membanggakan diri". Setengah ahli hikmah (hukama') berkata: "Apabila
seseorang berada pada suatu majelis, Ialu mena'jubkannya oleh pembicaraan, maka
hendaklah ia diam! Dan jikalau ia diam, Ialu menajubkannya oleh diam, maka
hendaklah ia berkata‑kata!”.
Yazid bin Abi Habib berkata:
“Diantara fitnah orang yang berilmu (orang alim), ialah: berkata‑kata lebih
disukainya daripada mendengar. Kalau tidak diperolehnya orang yang memadai
baginya, maka pada mendengar itu selamat & pada berkata‑kata itu,
penghiasan, penambahan & pengurangan".
Ibnu Umar berkata:
"Sesungguh nya yang lebih berhak dibersihkan oleh seseorang, ialah: “lidahnya”. Abud‑ Darda' melihat seorang
wanita tajam lidah. Lalu berkata: "Kalau wanita ini bisu, adalah lebih
baik baginya". Ibrahim An‑Nakha'i berkata: "Manusia dibinasakan oleb
dua sifat”. “Kelebihan harta & kelebihan perkataan". Inilah
kecelakaan kelebihan perkataan, banyaknya & sebabnya yang menggerakkan
kepadanya. Dan obatnya, ialah tidak mendahului pada perkataan, mengenai yang
tidak penting!
BAHAYA KETIGA: bercakap
kosong pada yang batil/salah.
Yaitu: perkataan pada perbuatan
ma'siat, seperti: menceriterakan hal‑keadaan wanita, hal keadaan tempat
minuman khamar, tempat orang‑orang fasik, kesenangan orang‑orang kaya,
keperkasaan raja‑raja, tempat‑tempat resmi mereka yang tercela dan hal‑ihwal
mereka yang tidak disukai. Maka semua itu termasuk diantara yang tidak halal
bercakap kosong padanya. Dan itu: “haram”.
Adapun berkata‑kata pada yang
tidak penting atau lebih banyak daripada yang penting, maka itu adalah
meninggalkan yang utama. Dan tak ada haram padanya. Benar, bahwa orang yang
banyak berkata‑kata pada yang tidak penting, niscaya ia tiada akan aman
daripada bercakap kosong pada yang batil/salah. Dan kebanyakan manusia itu suka
duduk‑duduk, untuk bersenang‑senang dengan percakapan. Dan perkataannya tidak
melampaui untuk bersedap‑sedap memperkatakan kehormatan orang lain atau
bercakap kosong pada yang batil/salah. Macamnya yang batil/salah itu, tidak
mungkin dihinggakan, karena banyaknya dan bermacarn‑macam. Maka karena itulah,
tiada yang melepaskan dari bermacam‑macam batil/salah itu, selain dengan
menyingkatkan perkataan kepada yang penting dari kepentingan‑kepentingan Agama
dan dunia. Dalam jenis ini, terjadilah kata‑kata yang membinasakan yang punya
kata-kata itu, pada hal ia memandang enteng akan kata‑kata tersebut.
Bilal bin AI‑Harts berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya orang berkata‑kata dengan
perkataan dari kerelaan Allah, akan apa yang disangkanya, bahwa perkataan itu
akan sampai apa yang sampai, maka Allah menulis dengan perkataan itu akan
kerelaan Allah sampai kepada hari kiamat. Dan sesungguhnya orang yang berkata‑kata
dengan perkataan dari kemarahan Allah, akan apa yang disangkanya, bahwa
perkataan itu, akan sampai apa yang sampai, maka Allah menuliskan kemarahan Allah kepada orang
itu sampai hari kiamiat".
'Al qamah berkata: "Berapa
banyak perkataan yang melarang aku mengatakannya, oleh hadits Bilal bin AI‑Harts
diatas ini". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata
dengan perkataan yang menertawakan teman‑teman duduknya, maka ia akan jatuh
dengan perkataan itu, lebih jauh dari bintang Surayya”.
Abu Hurairah berkata:
"Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan perkataan, yang tiada
dijumpainya bagi perkataan itu hal yang penting, maka ia akan jatuh dalam neraka
jahannam. Dan sesungguhnya, orang yang berkata‑kata dengan perkataan, apa yang
dijumpainya bagi perkataan itu, hal yang penting, maka ia diangkat oleh Allah
kedalam sorga tertinggi”. Nabi saw bersabda: "Manusia yang terbesar
dosanya pada hari kiamat, ialah orang yang paling banyak turut campur, dalam
hal yang batil/salah". Kepada
hadits inilah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan kami bercakap kosong bersama‑sama dengan orang‑orang yang
bercakap kosong". S. 74 AI Muddatstsir ayat 45. Dan dengan firman
Allah Ta’ala: "Maka janganlah kamu
duduk dekat mereka, kecuali kalau mereka masuk untuk pembicaraan yang lain.
Kalau kamu berbuat begitu, tentulah kamu serupa dengan mereka". S.4 An
Nisaa’ ayat 140.
Salman AI‑Farisi berkata:
"Manusia yang terbanyak dosanya pada hari kiamat, ialah yang terbanyak
perkataannya pada perbuatan ma'siat terhadap Allah". Ibnu Sirin berkata:
"Adalah seorang laki‑laki dari golongan
anshar (penduduk Madinah yang membantu Nabi saw) melalui suatu majlis
orang‑orang anshar itu. Lalu orang itu berkata kepada mereka: "Berwudlu
lah! Karena sebahagian yang kamu katakan itu, lebih jahat dari hadats".
Inilah yang dikatakan bercakap kosong pada yang batil/salah ! Yaitu: dibalik
apa yang akan diterangkan nanti, tentang: umpatan, lalat merah/suka
menceritakan kekurangan orang, perkataan keji dan lainnya. Bahkan itu, bercakap
kosong, pada menyebutkan hal‑hal yang terlarang, yang telah dahulu adanya. Atau
berpikir untuk sampai kepadanya, tanpa ada keperluan keagamaan kepada menyebutkannya.
Dan masuk pula pada yang demikian, bercakap bohong pada ceritera‑ceritera
bid’ah (yang diada-adakan) dan aliran‑aliran yang merusak dan ceritera yang
terjadi pada peperangan antara para sahabat Nabi saw dengan cara yang
meragukan cacian terhadap sebahagian mereka. Semua itu salah. Dan bercakap
kosong padanya, adalah bercakap kosong pada yang batil/salah. Kami bermohon
pada Allah akan baiknya pertolongan dengan kasih sayang dan kemurahan Allah!.
BAHAYA KEEMPAT: perbantahan dan pertengkaran
Yang demikian itu terlarang Nabi
saw bersabda: "Jangan kamu berbantah‑bantahan dengan saudaramu, jangan kamu
bersenda‑gurau dan menjanjikan dengan dia sesuatu janji, lalu engkau menyalahi
janji itu!”. Nabi saw bersabda: “Tinggalkanlah perbantahan. Karena dengan
perbantahan, tiada akan dipahami hikmah dan tidak akan aman dari fitnah".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu benar,
niscaya dibangun suatu rumah baginya dalam sorga tertinggi. Dan barangsiapa
meninggalkan perbantahan dan dia itu dalam hal yang batil/salah, niscaya
dibangun baginya suatu rumah ditengah‑tengah sorga".
Dari Ummi Salmah ra yang
mengatakan: "Nabi saw bersabda: "Bahwa yang pertama‑tama diberi
tahukan kepadaku oleh Tuhanku dan dilarang aku daripadanya, sesudah penyembahan
berhala dan minum khamar, ialah: “mencaci
orang”. Nabi saw bersabda pula: “Tiada sesatlah suatu golongan, sesudah
mereka mendapat petunjuk Allah, selain oleh karena mereka suka
bertengkar". Nabi saw bersabda
pula: “Tiada akan sempurna hakikat/makna iman bagi seseorang hamba, sebelum ia
meninggalkan perbantahan, walaupun ia dipihak yang benar". Nabi saw
bersabda pula: "Barangsiapa ada padanya enam perkara, niscaya ia sampai
pada hakikat/makna iman, yaitu: berpuasa pada musim panas, memukul musuh Allah
dengan pedang, menyegerakan shalat pada hari hujan lebat, bersabar diatas semua
musibah, meratakan wudlu' diatas semua tempat yang tidak disenangi dan
meninggalkan perbantahan,
walaupun ia benar".
Az‑Zubair berkata kepada
puteranya: "Jangan kamu bertengkar dengan orang, dengan menggunakan AI‑Qur‑an!
Karena kamu tiada akan sanggup menghadapi mereka. Akan tetapi haruslah kamu
menggunakan Sunnah Nabi saw”. ‘Umar bin Abdul‑aziz ra berkata:
"Barangsiapa menjadikan agamanya alat permusuhan, niscaya membanyakkan ia
berpindah tempat”. Muslim bin Yassar berkata: "Jagalah kamu dari
perbantahan! karena perbantahan itu sa'at bodohnya orang berilmu. Dan pada
sa'at itulah, setan berusaha supaya ia tergelincir". Ada yang mengatakan,
bahwa suatu kaum itu tiada akan sesat, karena mereka sudah mendapat petunjuk
Allah, selain disebabkan pertengkaran.
Malik bin Anas ra berkata:
"Pertengkaran itu tiada mempunyai arti apapun dari agama". la berkata
pula: "Perbantahan itu mengesatkan hati dan mempusakai kedengkian".
Lukman berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau bertengkar
dengan ulama, nanti mereka sangat marah kepada engkau!”. Bilal bin Sa’ad
berkata: "Apabila engkau melihat seseorang bersikap keras kepala, suka
bertengkar dan membanggakan dengan pendapatnya, maka sudah sempurnalah
kerugiannya". Sufyan berkata: "Jikalau aku berselisih dengan temanku
tentang buah delima, ia mengatakan manis, tetapi aku mengatakan masam, niscaya
ia akan membawa aku kepada sultan". Sufyan berkata pula: "lkhlaskanlah
dengan cinta‑kasih kepada siapa saja yang engkau kehendaki. Kemudian, engkau
membuat kemarahannya dengan pertengkaran, Maka ia akan melemparkan engkau
dengan kecerdikannya, yang menyusahkan engkau dalam kehidupan".
Ibnu Abi Laila berkata:
"Aku tiada akan berbantah dengan temanku. Karena akibatnya, adakalanya
aku akan mendustainya dan adakalanya aku akan memarahinya". Abud‑Darda'
berkata. "Cukuplah dosa bagimu, bahwa kamu senantiasa berbantah‑bantahan".
Nabi saw bersabda: "Untuk kafarat (menutupkan dosa) pertengkaran, ialah 2
raka'at shalat". Umar ra berkata: "Jangan engkau mempelajari ilmu
karena 3 perkara dan jangan pula engkau meninggalkan belajar karena 3 perkara.
Yaitu: jangan engkau belajar karena untuk berbantah‑bantahan, karena untuk menyombong
dan karena untuk memperlihatkan kepada orang (untuk ria). Dan jangan engkau
meninggalkan belajar, karena malu menuntut ilmu, karena zuhud dan karena rela
menjadi orang bodoh!”.
Nabi Isa as berkata:
“Barangsiapa banyak dustanya, niscaya hilang kecantikannya. Barangsiapa suka
bertengkar dengan orang, niscaya gugur (hilang) kehormatannya. Barangsiapa
banyak dukanya, niscaya sakit tubuhnya. Dan barangsiapa jahat akhlaknya,
niscaya ia menyiksakan dirinya sendiri". Orang bertanya kepada Maimun bin
Mahran (penulis khalifah Umar bin Abdul‑aziz): "Mengapa engkau tiada
meninggalkan teman dari kemarahan?". Maimun bin Mahran menjawab:
"Karena aku tiada bermusuhan dan tiada berbantahan dengan dia". Apa
yang tersebut tentang celaan terhadap perbantahan dan pertengkaran, adalah
banyak dari dapat dihinggakan. Dan batas
perbantahan itu, ialah: tiap‑tiap penentangan terhadap perkataan orang
lain, dengan melahirkan kekurangan padanya. Adakalanya pada kata‑kata atau pada
arti atau pada maksud dari yang mengatakan itu sendiri. Meninggalkan
perbantahan itu, ialah dengan jalan meninggalkan perlawanan dan pertentangan.
Maka setiap perkataan yang anda dengar, kalau benar, maka benarkanlah. Dan
kalau batil/salah atau bohong dan tiada menyangkut dengan urusan Agama, maka
diam sajalah! Mengecam perkataan orang lain, sekali adalah pada kata‑katanya,
dengan melahirkan cacat padanya, dari segi tata‑bahasa atau dari segi bahasa
atau dari segi bahasa Arabnya atau dari segi susunan dan tertib kata, dengan buruknya
mendahulukan kata‑kata atau mengemudiankannya. Pada lain kali, karena
kurangnya pengetahuan. Dan pada lain kali lagi, disebabkan karena selipnya
lidah. Maka bagaimanapun adanya, tiada cara untuk melahirkan kecacatannya.
Adapun mengenai arti kata, ialah, bahwa dikatakan:
“Tidaklah seperti yang engkau katakan. Engkau salah pada arti kata itu, dari
segianu...segianu....” Adapun pada maksud perkataan, maka umpamanya, bahwa
dikatakan: Perkataan ini benar, akan tetapi, tidaklah maksud engkau dari
padanya itu benar. Dan engkau padanya mempunyai maksud tertentu". Dan hal‑hal
lain yang berlaku seperti demikian. Hal yang seperti ini, kalau berlaku pada
masalah ilmiah, kadang‑kadang dikhususkan dengan nama: perdebatan. Ini juga tercela. Bahkan harus diam atau bertanya,
dalam arti: ingin memperoleh faedah. Tidak atas cara kedengkian dan
penentangan. Atau berlemah‑lembut pada memperkenalkan, tidak dalam cara
mengemukakan kecaman.
Perdebatan
(mujadalah) (bertengkar), adalah
ibarat dari maksud mendiamkan orang lain dengan alasan (hujjah), melemahkannya
dan mengurangkan nya dengan celaan pada perkataannya, menghubunginya kepada
keteledoran dan kebodohan. Tandanya yang demikian, ialah: bahwa peringatannya
kepada kebenaran dari segi yang lain itu tidak disukai oleh pihak yang bertengkar.
la suka, bahwa ia yang melahirkan kesalahan orang yang bertengkar itu, supaya
terang dengan demikian, kelebihan dirinya dan kekurangan temannya. Dan tiada
jalan kelepasan dari ini, selain dengan diam, dari
tiap‑tiap yang tidak akan berdosa, kalau didiamkan. Adapun penggerak kepada
pertengkaran itu, ialah ingin tinggi dengan melahirkan ilmu‑pengetahuan dan
kelebihan. Dan menyerang orang lain, dengan melahirkan kekurangannya. Itulah
dua nafsu‑keinginan batiniah yang kuat bagi diri seseorang.
Adapun melahirkan kelebihan
diri, maka itu termasuk segi membersihkan diri. Dan itu, sebahagian dari
kehendak apa yang terkandung pada seseorang, dari durhakanya pendakwaan tinggi
dan sombong. Dan itu adalah termasuk sifat ketuhanan. Adapun mengurangkan orang
lain, maka itu termasuk diantara kehendak sifat binatang buas. la menghendaki
mengoyak‑ngoyakkan lainnya, mematahkannya, memukulkannya dan menyakitinya.
Inilah 2 sifat tercela, yang membinasakan. Kekuatan 2 sifat ini, ialah: perbantahan dan pertengkaran. Orang yang
biasa berbantah dan bertengkar itu menguatkan sifat‑sifat ini yang membinasa
kan. Dan ini melampaui batas kemakruhan (perbuatan
yang tidak disukai Agama), Tetapi itu, suatu perbuatan ma'siat, manakala
terjadi padanya menyakitkan orang lain. Dan berbantah‑bantahan itu, tiada
terlepas dari menyakitkan, mengobarkan kemarahan dan membawa orang yang sudah
melakukannya untuk mengulangi kembali. Lalu ia menolong perkataannya, dengan
apa saja yang mungkin, baik yang hak atau yang batil/salah. la mencela pada
yang mengatakannya, dengan apa saja yang tergambar baginya. Lalu berkobarlah
pertengkaran diantara dua orang yang bertengkar itu, sebagaimana berkobarnya
perkelahian diantara 2 ekor anjing. Masing‑masing bermaksud menggigit temannya,
dengan cara yang lebih menewaskan, lebih kuat mendiamkan dan mencambukkan.
Adapun pengobatannya, ialah: dengan menghancurkan kesombongan yang
menggerakkannya kepada melahirkan kelebihannya. Dan menghancurkan sifat
binatang buas yang menggerakkannya kepada melahirkan kekurangan orang lain.
Sebagaimana akan datang yang
demikian nanti penjelasannya pada "Kitab
Celaan Kesombongan Dan Mengherani
Diri” dan "Kitab Celaan Marah”. Sesungguhnya pengobatan setiap penyakit,
ialah: dengan menghilangkan sebabnya. Dan sebab perbantahan dan pertengkaran,
ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu. Kemudian membiasakan diri pada
perbantahan itu menjadikannya kebiasaan dan sifat diri (tabiat). Sehingga
menetap pada diri dan sukar bersabar daripadanya.
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu
Hanifah ra bertanya kepada Daud AthTha‑i: "Mengapa engkau memilih
disudut?" Daud Ath‑Tha‑i menjawab: "Untuk berjuang dengan diriku,
meninggalkan pertengkaran". Lalu Imam Abu Hanifah menjawab:
"Hadirilah semua majlis dan dengarlah apa yang dikatakan orang dan jangan
engkau berkata‑kata!”. Daud Ath‑Tha‑i menerangkan seterusnya: “Lalu aku perbuat
demikian. Maka tiada aku melihat perjuangan yang lebih berat atas diriku dari
itu”. Dan itu benar, sebagaimana dikatakannya. karena orang yang mendengar
kesalahan dari orang lain dan ia sanggup membukakannya, niscaya sukar sekali
baginya bersabar ketika itu. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
meninggalkan perbantahan, sedang ia dipihak yang benar, niscaya dibangun oleh
Allah baginya suatu rumah dalam sorga tertinggi". Karena
sangat berat yang demikian kepada jiwa. Kebanyakan yang terjadi demikian, pada
aliran‑aliran dan aqidah‑aqidah. Karena perbantahan itu adalah suatu tabiat.
Apabila ia menyangka akan memperoleh pahala, niscaya bersangatanlah
keinginannya dan bertolong-tolonglah antara tabiat dan agama padanya. Dan itu
adalah salah semata‑mata. Tetapi sayogialah bagi manusia, mencegah lidahnya
dari ahli‑qiblah (orang yang ta’at menghadap kiblat dengan shalat).
Apabila melihat orang berbuat
bid’ah, maka dengan lemah‑lembut menasehatinya pada tempat sepi, tidak dengan
jalan pertengkaran. Karena pertengkaran itu menggambarkan kepadanya, bahwa itu
adalah suatu usaha untuk mengacaukan. Dan itu adalah suatu bikinan, dimana
orang‑orang yang suka bertengkar dari ahli alirannya, sanggup berbuat seperti
itu, jikalau mereka mau. Lalu terus‑meneruslah bid’ah itu dalam hatinya dan
bertambah kuat, disebabkan pertengkaran itu. Apabila diketahui bahwa nasehat
tidak bermanfa'at, maka berbuatlah untuk diri sendiri dan tinggalkanlah
orang itu.
Nabi saw bersabda: "Allah
mengasihi orang yang mencegah lidahnya dari ahli qiblah, kecuali dengan sebaik‑baiknya
apa yang disanggupinya". Hisyam bin 'Urwah berkata: “Adalah Nabi saw
mengulang‑ulangi sabdanya tadi 7X ". Setiap orang yang membiasakan
bertengkar pada suatu waktu dan ia memujikan manusia kepadanya, dan ia
memperoleh bagi dirinya dengan sebab demikian, kemuliaan dan penerimaan,
niscaya menguatlah segala yang membinasa kan ini padanya. Dan ia tidak akan
sanggup lagi menyebut dirinya daripada yang membinasakan itu, apabila berkumpul
padanya, kekuasaan marah, sombong, ria, suka kemegahan dan membanggakan diri
dengan kelebihan. Dan masing‑masing sifat ini sukar melawannya. Maka bagaimana
pula dengan berkumpulnya sifat‑sifat itu?
BAHAYA KELIMA:
permusuhan
Sifat ini juga tercela. Dan dia itu, dibalik
pertengkaran dan perbantahan. Perbantahan itu, tusukan pada perkataan orang
lain, dengan melahirkan kekurangan padanya, tanpa terikat dengan suatu maksud,
selain untuk menghina orang lain dan melahirkan kelebihan kecerdikan diri
sendiri. Pertengkaran itu, ibarat
sesuatu hal, yang menyangkut dengan melahirkan aliran‑aliran dan menetapkannya.
Dan permusuhan itu, gelombang pada
perkataan, untuk memperoleh kesempurnaan harta atau sesuatu hak yang dimaksud.
Yang demikian itu, sekali adalah permulaan dan pada kali yang lain, adalah
teguran. Dan perbantahan itu tidak ada, selain dengan teguran terhadap
perkataan yang sudah terdahulu.
Aisyah berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Orang yang sangat dimarahi oleh Allah,
ialah orang yang sangat bermusuhan". Abu Hurairah berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: “Barang siapa bertengkar dalam suatu
permusuhan, tanpa ilmu, niscaya senantiasalah ia dalam amarah Allah, sehingga
ia mencabut dirinya daripadanya". Sebahagian mereka berkata: “Jagalah
dirimu dari permusuhan!. Karena permusuhan itu menghapuskan agama". Dan
dikatakan, bahwa orang wara' tidak sekali‑kali bermusuhan mengenai agama.
Ibnu Qutaibah berkata: “Datang
padaku, Bisyr bin Abdullah bin Abi Bakrah. Lalu ia bertanya: "Apakah yang
menyebabkan engkau duduk disini?". Aku jawab, lantaran permusuhan antaraku
dan anak pamanku". Lalu Bisyr berkata: "Bahwa ayahmu mempunyai
perbuatan baik padaku. Dan aku bermaksud membalasnya kepadamu. Dan demi Allah,
aku tiada melihat suatu pun yang menghilangkan agama, yang mengurangkan
kepribadian, yang menyia‑nyiakan kesenangan dan yang mengganggu hati, selain
dari permusuhan". Ibnu Qutaibah meneruskan ceriteranya: “Lalu aku bangun
berdiri, hendak pergi. Maka musuhku berkata kepadaku: "Apa kabar engkau
sekarang?". Lalu aku jawab: "Tidak ada akan aku bermusuh lagi dengan
engkau". Musuh itu berkata: "Sesungguhnya engkau tahu, bahwa
kebenaran adalah pada pihakku". Lalu aku jawab: "Tidak, aku tidak
tahu. Tetapi aku muliakan diriku dari hal itu". Maka musuh itu menjawab:
"Aku tiada meminta sesuatu dari padamu, yang menjadi milikmu!”.
Jikalau anda bertanya, bahwa
apabila manusia mempunyai sesuatu hak, maka tak boleh tidak ia bermusuhan pada
menuntutnya atau pada menjaganya, manakala ia dianiaya oleh orang zalim. Maka
bagaimana hukumnya dan bagaimana mencela permusuhannya? Ketahuilah kiranya,
bahwa celaan ini termasuk yang bermusuhan dengan yang batil/salah dan yang
bermusuhan, tanpa ilmu, seperti wakil hakim (qadli). Maka wakil hakim itu
sebelum mengetahui bahwa hak itu pada pihak yang mana, maka ia menyerah pada
permusuhan itu, dari pihak mana adanya. Lalu ia bermusuhan, tanpa ilmu. Dan
termasuk orang yang menuntut haknya. Tetapi ia tidak membatasi sekadar perlu
saja. Bahkan ia melahirkan kesangatan permusuhan itu, dengan maksud menguasai
atau dengan maksud menyakiti. Dan termasuk orang yang mencampur‑baurkan dengan
permusuhan itu, kata‑kata yang menyakitkan, yang tidak diperlukan untuk menolong
alasan dan melahirkan kebenaran. Dan termasuk pula orang yang dibawa kepada
permusuhan itu oleh kedengkian semata‑mata, untuk memaksakan musuh dan
menghancurkannya, sedang ia kadang‑kadang memandang leceh harta yang sekadar
itu. Dan dalam manusia, ada orang yang menegaskan demikian, seraya berkata:
"Sesungguhnya maksudku itu, dengki kepadanya dan menghancurkan kehormatannya.
Sesungguhnya, jikalau aku mengambil harta ini daripadanya, mungkin aku
lemparkan kedalam sumur. Dan aku tidak perduli". Inilah maksudnya yang
sangat bersangatan, permusuhan dan perbantahan. Dan itu tercela sekali.
Adapun orang yang teraniaya,
yang menolong alasannya (hujjahnya) dengan jalan Agama, tanpa bersangatan,
berlebih‑lebihan dan tambahan perbantahan sekadar perlu, tanpa maksud
kedengkian dan menyakitkan, maka perbuatan yang demikian tidak haram. Tetapi
yang lebih utama ditinggalkan, bila diperoleh jalan lain. Karena mengekang
lidah pada permusuhan dalam batas sederhana, adalah sukar. Dan permusuhan itu
memenuhi dada dan mengobarkan kemarahan. Apabila kemarahan itu telah berkobar,
niscaya lupalah apa yang dipertengkarkan. Dan kekallah kedengkian diantara dua
orang yang bermusuhan itu. Sehingga masing‑masing bergembira dengan nasib buruk
temannya. Dan merasa susah dengan gembiranya teman itu. Dan lidah dilepaskan
terhadap kehormatan teman tersebut.
Siapa yang memulai permusuhan,
maka sesungguhnya ia telah mendatangi bagi segala yang harus diawasi itu.
Sekurang‑kurangnya apa yang padanya mengacaukan batinnya. Sehingga ia dalam
shalatnya, berbuah untuk menghadapi musuhnya. Maka hal itu tidak tinggal atas
batas yang wajib saja. Permusuhan itu permulaan tiap‑tiap kejahatan. Begitu
pula perbantahan dan pertengkaran. Maka sayogialah tidak dibuka pintunya,
selain karena darurat. Dan ketika darurat itu, sayogialah lidah dan hati
dijaga dari akibat-akibat permusuhan. Dan yang demikian itu memang sukar
sekali.
Barangsiapa membatasi dalam
permusuhannya kepada yang perlu saja, niscaya ia selamat dari dosa. Dan tidak
tercela permusuhannya, kecuali kalau ia tidak memerlukan kepada permusuhan,
mengenai apa yang dipermusuhkan itu. Karena padanya, ada yang mencukupkannya.
Maka adalah ia meninggalkan untuk yang lebih utama. Dan tidaklah ia orang
berdosa. Benar, sekurang‑kurangnya dalam permusuhan, perbantahan dan
pertengkaran itu, hilangnya perkataan yang baik dan pahala yang dapat
diperoleh padanya. Karena sekurang‑kurangnya tingkat perkataan yang baik itu,
melahirkan persetujuan. Dan tak ada perkataan yang kasar, yang lebih besar
daripada tusukan dan teguran, yang hasilnya, adakalanya membodohkan dan
adakalanya mendustakan.
Sesungguhnya orang yang
bertengkar dengan orang lain atau berbantah‑bantahan atau bermusuh‑musuhan,
maka ia telah membodohkan atau mendustakan orang tersebut. Lalu lenyaplah
dengan dia perkataan yang baik. Nabi saw bersabda: “Menjadikan kamu dari isi
sorga, oleh perkataan yang baik dan memberi makanan (kepada orang yang
memerlukan)". Allah Ta’ala berfirman: “Dan
katakanlah perkataan yang baik kepada manusia!”. S 2 Al Baqarah ayat 83.
Ibnu Abbas ra berkata: "Siapa saja dari makhluk Allah memberi salam kepadamu,
maka jawablah salam itu, walaupun ia orang majusi (penyembah api)”. Karena
Allah Ta'ala berfirman: "Apabila ada
orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) dengan
cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa dengan
penghormatannya)!”. S 4 An‑Nisaa' ayat 86.
Ibnu Abbas berkata pula:
"Kalau sekiranya Firaun berkata baik kepadaku, niscaya aku balas kepadanya
(dengan baik)". Anas berkata: "Rasulu'llah saw bersabda:
"Sesungguhnya dalam sorga ada beberapa kamar, yang dilihat lahirnya
(luarnya) dari batinnya (dalamnya) dan batinnya dari lahirnya. Kamar‑kamar itu
disediakan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang memberi makanan dan melembutkan
perkataan".
Diriwayatkan, bahwa Nabi Isa as
dilewati seekor babi, Ialu ia berkata: "Lalulah dengan selamat!”. Lalu
orang bertanya kepadanya: "Wahai Ruhu'llah ! Engkau katakan yang demikian
itu kepada babi?". Maka Nabi Isa as menjawab: "Aku tidak suka
membiasakan lidahku dengan yang buruk".
Nabi kita saw bersabda:
"Kata yang baik itu sedekah". Nabi saw bersabda: "Jagalah
dirimu dari api neraka, walaupun dengan sekeping tamar ! Kalau kamu tidak
memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik!". Umar ra berkata:
"Kebajikan itu barang yang mudah: muka yang jernih dan perkataan yang
lemah lembut". Setengah hukama' berkata: "Perkataan yang lemah lembut
itu membasuh kedengkian yang tersembunyi dalam anggota badan". Setengah
hukama' berkata: "Tiap‑tiap perkataan yang tidak memarahkan Tuhanmu,
melainkan juga kamu menyenangkan orang yang duduk bersamamu. Maka janganlah
kamu kikir terhadap perkataan itu ! Mudah‑mudahan akan menggantikan kepadamu,
pahala orang yang berbuat baik daripadanya”. Ini semua mengenai kelebihan
perkataan yang baik. Dan lawannya, ialah: permusuhan, perbantahan, pertengkaran
dan pergaduhan. Itu adalah perkataan yang tidak disukai, yang meliarkan, yang
menyakitkan hati, yang mengeruhkan kehidupan, menggerakkan kemarahan dan yang
menyesakkan dada. Kita bermohon kepada Allah akan kebagusan taufiq dengan
nikmat dan kurnia Allah !
BAHAYA KEENAM:
Berbuat dalamnya keluar kata‑kata dalam rahang,
berbuat sajak & kelancaran berbicara dengan dipaksakan, berbuat‑buat
dengan kata‑kata kemuda-mudaan dan kata‑kata pendahuluan dan apa yang biasa
dilakukan oleh kebiasaan orang‑orang yang membuat‑buat kelancaran berbicara,
yang menyerukan kepada berpidato. Semua yang tersebut itu, termasuk bikin‑bikinan
yang tercela dan termasuk yang dipaksa‑paksakan yang tercela, dimana
Rasulu'llah saw bersabda: "Aku dan ummatku yang taqwa itu terlepas
daripada yang dipaksa‑paksakan (at‑takalluf)" Nabi saw bersabda:
"Sesungguh nya yang lebih aku marahi dan yang lebih jauh tempat duduknya
daripadaku, ialah: orang‑orang yang berbicara melantur kesana kemari, yang
berbuat seolah-olah memahami dan yang berbicara, yang keluarnya dari
rahang", Fatimah ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Ummatku
yang paling jahat, ialah: mereka yang makan dengan kenikmatan, memakan
bermacam-macam warna makanan, memakai bermacam‑macam warna kain dan berbicara
dengan mengeluarkan perkataan dari rahang" Nabi saw bersabda:
"Ketahuilah, orang‑orang tanath‑thu' (mendalam-dalamkan dan
menghabis-habiskan keluarnya perkataan) itu binasa". Tiga kali beliau saw
menyabdakannya. Umar ra berkata: "Perkataan yang gemuruh itu adalah dari
gemuruhnya suara setan".
Amr bin Sa’ad bin Abi Waqqash
datang kepada ayahnya Sa’ad, meminta sesuatu keperluan. Lalu ia berkata dengan
perkataan yang membentangkan hajat keperluannya. Lalu menjawab Sa'ad:
"Adalah aku lebih jauh dari hajatmu pada hari ini. Aku mendengar
Rasulu'llah saw bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana
mereka rnenyelang‑nyelangi perkataan dengan lidahnya, seperti sapi betina
menyelang‑nyelangi rumput dengan lidahnya". Seakan‑akan Sa’ad membantah
apa yang dikemukakan oleh anaknya, atas perkataan dari kemuda‑mudaan dan kata
pendahuluan yang dibuat‑buat, secara dipaksakan. Ini juga termasuk bahaya
lidah. Dan masuk juga dalam bahagian ini, setiap sajak yang disusun secara
berat. Begitu pula kata‑kata yang faseh (kepandaian bercakap), yang keluar
dari batas kebiasaan. Begitu pula sajak yang dibuat dengan berat pada
percakapan-percakapan. Karena Rasulu'llah saw menghukum kuatnya air pada janin
(anak dalam kandungan). Lalu berkata setengah kaum yang menganiaya: “Bagaimana
basah orang yang tidak minum, orang yang
tidak makan, tidak menjerit dan tidak berkata dengan suara nyaring. Hal
yang seperti itu batil/salah". Lalu Rasulullah saw menjawab: "Adakah sajak itu seperti sajaknya Arab
badui?" Nabi saw menentang yang demikian. Karena kesan memberat‑berati dan
berbuat-buat itu nyata sekali pada perkataan tersebut. Tetapi sayogialah
disingkatkan pada tiap‑tiap sesuatu itu diatas
maksudnya. Dan maksud perkataan itu, ialah memberi pemahaman kepada
maksud. Dan dibalik yang demikian, adalah
dibuat‑buat, yang tercela. Tidak masuk pada katagori ini, membaguskan
kata-kata pidato dan peringatan tanpa
berlebih‑lebihan dan keganjilan. Karena yang dimaksud dari pidato itu
menggerakkan hati, menyukakannya, menggenggam dan membentangkannya. Maka karena manisnya kata‑kata itu mempunyai bekas
padanya. Dan itu adalah layak.
Adapun pembicaraan-pembicaraan
yang berlaku untuk menunaikan keperluan, maka tidak layak bersajak,
mengeluarkan perkataan yang keluar dari rahang dan melaksanakan-nya dengan dipaksakan,
yang tercela. Dan tak ada penggerak kepada yang demikian, selain oleh ria,
melahirkan kefasehan (kelancaran berkata‑kata) dan perbedaan diri dengan
kecerdikan. Semua itu tercela, tidak
disukai oleh Agama dan dilarang dari padanya.
BAHAYA KETUJUH:
kekejian, makian dan kekotoran lidah.
Itu adalah tercela dan
terlarang. Sumbernya, ialah: sifat keji dan jahat. Nabi saw bersabda:
"Jagalah dirimu dari kekejian! Karena Allah Ta’ala tiada menyukai kekejian
dan membuat kekejian". Rasulu'llah saw melarang memaki orang‑orang musyrik
yang terbunuh pada perang Badar. Beliau bersabda: "Janganlah kamu memaki
mereka! Sesungguhnya tiada sampai sesuatu kepada mereka, dari apa yang kamu katakan.
Dan kamu menyakiti orang‑orang yang hidup. Ketahuilah, bahwa kekotoran lidah
itu tercela". Nabi saw bersabda: "Tidaklah orang mu'min itu pencela,
pengutuk, pembuat perbuatan keji dan berlidah kotor". Nabi saw bersabda:
"Sorga itu haram kepada tiap‑tiap orang yang berbuat kekejian,
memasukinya". Nabi saw bersabda: "Empat orang yang menyakiti ahli
neraka (penduduk neraka) dalam neraka, terhadap kesakitan yang dideritai
mereka. Mereka berjalan diantara api yang panas dan neraka jahim. Mereka
menyerukan azab dan kebinasaan. Yaitu: orang yang mengalir pada mulutnya nanah
dan darah. Lalu ditanyakan kepadanya: "Apa kabar orang yang jauh, yang
telah menyakiti kami, terhadap kesakitan yang kami alami?" Lalu orang itu
menjawab, "Bahwa orang yang jauh itu memandang kepada tiap‑tiap kata keji
dan kotor. Lalu ia merasa enak dengan perkataan itu, seperti ia merasa enak
dengan perkataan buruk”.
Nabi saw bersabda kepada Aisyah:
"Hai Aisyah! Jikalau yang keji itu seorang laki‑laki, maka itu adalah
laki‑laki jahat". Nabi saw
bersabda: “Kekejian dan penjelasan itu dua cabang dari cabang‑cabang
nifaq (sifat orang munafiq)". Mungkin yang dimaksudkan dengan penjelasan (al‑bayaan)
diatas tadi, menyingkapkan apa yang tidak boleh disingkapkan. Dan mungkin
pula, bersangatan pada penjelasan. Sehingga sampai kepada batas memberat‑beratkan.
Dan mungkin pula, penjelasan pada urusan Agama dan pada sifat Allah Ta’ala.
Sesungguhnya menyampaikan yang demikian secara keseluruhan (secara global)
kepada pendengaran orang awam, itu lebih utama, daripada bersangatan pada
menerangkannya. Karena kadang‑kadang dari terlalunya penjelasan, Ialu berkobar
keragu‑raguan dan waswas. Maka apabila disampaikan secara global, niscaya
bersegeralah hati menerimanya. Dan tidak kacau. Tetapi menyebutkannya dengan
disertai perkataan kotor, itu menyerupai, bahwa maksudnya berterus‑terang
menjelaskan apa yang memalukan orang untuk diterangkan. Maka yang lebih utama
pada contoh yang seperti ini, ialah: menutup mata dan melupakan. Tidak
disingkapkan dan diterangkan. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah
Ta’ala tidak menyukai orang keji, yang membuat‑buat keji, yang menjerit‑jerit
dipasar".
Jabir bin Samrah berkata: Aku
duduk disamping Nabi saw dan ayahku dihadapanku. Lalu Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya kekejian dan berbuat‑buat kekejian, tidaklah sedikitpun
dari Islam. Sesungguhnya manusia yang terbaik Islamnya, ialah mereka yang baik
akhlaknya". Ibrahim bin Maisarah berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa
orang keji, yang berbuat keji, akan dibawa pada hari kiamat dalam bentuk anjing
atau dalam perut anjing".
AI‑Ahnaf bin Qais berkata:
"Apakah belum aku beritakan kepadamu, penyakit yang paling berbahaya ?,
Yaitu: “lidah kotor dan akhlak rendah". Maka inilah celaan kekejian.
Adapun batas dan hakikat/maknanya, maka itu menerangkan hal‑hal yang keji,
dengan kata‑kata yang tegas. Dan kebanyakannya berlaku pada kata‑kata perzinaan
dan yang berhubungan dengan perzinaan. Karena orang‑orang yang berbuat
kerusakan itu, mempunyai kata‑kata tegas, yang keji, yang dipakainya pada
maksud tersebut. Dan orang‑orang yang baik, menjauhkan diri daripadanya. Bahkan
mereka mengucapkan dengan sindiran (kinayah) dan menunjukkannya dengan isyarat‑isyarat(rumuz).
Mereka menyebutkannya dengan kata‑kata yang mendekati atau yang berhubungan
dengan hal itu.
Ibnu Abbas berkata:
"Sesungguhnya Allah Hidup, Yang Pemurah, Yang Mema'afkan dan Yang Menyebut
dengan sindiran (kinayah)". Allah Ta’ala menyebutkan dengan kinayah: menyintuh, buat: bersetubuh. Maka kata‑kata: menyintuh,
memegang, dukhul (memasukkan) dan berteman
(shuhbah), adalah kata‑kata kinayah buat: bersetubuh. Dan tidaklah kata‑kata tadi, kata‑kata yang keji.
Disamping itu, ada kata‑kata keji, yang dipandang keji menyebutkannya
kebanyakannya dipakai pada makian dan memalukan orang. Dan kata‑kata itu
berlebih‑kurang kekejiannya. Sebahagian sangat kejinya dibandingkan dengan
sebahagian lainnya. Kadang‑kadang berselisih yang demikian, disebabkan oleh
berbedanya adat‑kebiasaan dari negeri‑negeri yang bersangkutan. Permulaannya makruh dan penghabisannya haram. Dan diantara ke duanya, terdapat
tingkat‑tingkat yang bulak‑balik padanya. Dan tidaklah ini khusus dengan: bersetubuh. Tetapi dengan kinayah, dengan
nemakai perkataan qadha' hajat
(menunaikan hajat) untuk kencing dan berak itu, lebih utama dari kata‑kata:
membuang berak, kencing dan lainnya.
Karena ini juga termasuk hal yang disembunyikan. Tiap‑tiap yang disembunyikan,
adalah malu disebut terang‑terangan.
Maka tiada sayogialah disebut
kata‑katanya yang tegas. Karena itu adalah keji. Begitu pula, dipandang baik
pada adat kebiasaan, menyebutkan secara kinayah, tentang: wanita. Maka tidak
dikatakan: “Isteri anda berkata demikian". Tetapi dikatakan:
"Dikatakan dalam kamar atau dibalik tabir"'. Atau. "Kata ibu
anak‑anak". Maka menggunakan kata‑kata tersebut secara halus itu terpuji.
Dan berterus‑terang padanya, membawa kepada kekejian. Begitu pula orang yang
mempunyai kekurangan, yang malu disebutkan. Maka tidak sayogialah dikatakan
dengan kata‑kata terus‑terang, seperti: supak, botak dan penyakit wasir. Akan
tetapi, dikatakan bahwa hal yang menimpa, yang dideritanya dan hal‑hal yang
seperti itu. Maka menyebutkannya dengan terus‑terang itu, termasuk dalam
kekejian. Dan semuanya itu dari bahaya‑bahaya lidah.
AL-‘Ala' bin Harun berkata:
"Adalah Umar bin Abdul‑aziz itu Menjaga dalam pembicaraannya. Maka
keluarlah bisul dibawah ketiaknya. Lalu kami datang kepadanya, menanyakannya,
untuk mengetahui apa yang akan dijawabnya. Kami bertanya: "Dari mana
bisul itu keluar?". Lalu ia menjawab: "Dari dalam tangan".
Penggerak kepada kekejian itu, adakalanya dengan maksud menyakitkan orang. Dan
adakalanya karena kebiasaan yang diperoleh dari pergaulan dengan orang‑orang
fasik, ahli kekejian dan kecelaan. Dan diantara kebiasaan mereka itu: memaki.
Seorang Arab Badui berkata
kepada Rasulu'llah saw: "Berilah aku wasiat!”. Lalu Rasulu'llah saw
menjawab: "Engkau harus bertakwa kepada Allah. Jikalau seseorang memberi
malu kepada engkau, dengan sesuatu yang diketahuinya pada engkau, rnaka
janganlah engkau memberi malu dia dengan sesuatu, yang engkau ketahui padanya,
niscaya adalah celakanya kepadanya dan pahalanya kepada engkau! Dan janganlah
engkau memaki sesuatu!” Orang Arab Badui itu meneruskan ceriteranya: "Maka
tidaklah sesudah itu, aku memaki sesuatu".
Ayyadl bin Himar berkata:
"Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya seorang laki‑laki
dari kaumku, memaki aku. Dan dia itu, darajatnya kurang dari aku. Bolehkah aku
memperoleh kemenangan daripadanya?". Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Dua orang yang bermaki‑makian itu, keduannya adalah setan, yang nyalak‑menyalak
dan kacau‑mengacau". Nabi saw bersabda: "Makian orang mu'min itu
fasik dan pembunuhannya itu kufur”. Nabi saw bersabda: "Dua orang yang
bermaki‑makian itu adalah apa yang dikatakan oleh keduanya. Maka yang berdosa
ialah yang memulai diantara keduanya, sehingga yang teraniaya itu
menyerang". Nabi saw bersabda: "Terkutuklah orang yang memaki ibu‑bapaknya".
Pada suatu riwayat, tersebut: "Temasuk dosa terbesar itu, bahwa orang memaki
ibu‑bapaknya". Lalu mereka bertanya: "Wahai Rasulullah! Bagaimana
orang memaki ibu bapanya?". Nabi saw menjawab: "Ia memaki bapak
orang, lalu orang memaki bapaknya".
BAHAYA KEDELAPAN:
mengutuk.
Adakalanya untuk hewan atau
benda keras atau manusia. Semua itu tercela. Rasulu'llah saw bersabda:
"Orang mu'min itu bukanlah pengutuk". Nabi saw bersabda:
"Janganlah kamu kutuk‑mengutuk dengan kutukan Allah, dengan kemarahan
Allah dan dengan neraka jahannam". Hudzaifah berkata: “Tidaklah sekali‑kali
suatu kaum itu kutuk‑mengutuk, melainkan akan benarlah perkataan kutukan itu
keatas mereka".
Imran bin Hushain berkata:
"Ketika Rasulu'llah saw dalam sebahagian perjalanannya, maka terlihat
seorang wanita Anshar berada diatas untanya. Lalu ia bosan kepada unta itu,
maka dikutuknya. Mendengar yang demikian, Ialu Nabi saw bersabda: kepada para
shahabatnya: "Ambillah apa yang ada diatas unta itu dan pinjamkanlah!
Sesungguhnya dia itu terkutuk". 'Imran berkata: "Seakan‑akan aku
melihat kepada unta itu berjalan diantara orang banyak, yang tiada seorang pun
menggangguinya".
Abu'd‑Darda' berkata:
"Apabila seseorang mengutuk bumi, maka bumi itu berkata: "Allah
mengutuk orang yang paling durhaka kepada Allah diantara kita". 'Aisyah berkata:
"Rasulu'llah saw mendengar Abubakar, mengutuk sebahagian budaknya. Lalu
Rasulu'llah saw menoleh kepada Abubakar, seraya bersabda "Hai Abubakar!
Adakah orang siddiq dan pengutuk? Tidaklah sekali‑kali yang demikian, demi
Tuhan yang Empunya Ka'bah!”. Nabi saw mengatakan itu 2 kali atau 3 kali".
Pada hari itu juga Abubakar memerdekakan
budaknya itu. Dan ia datang kepada Nabi saw, Ialu berkata: “Tiada akan aku
ulang lagi yang demikian". Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya
pengutuk‑pengutuk itu, tiada akan memperoleh syafa'at dan syahid pada hari
kiamat".
Anas berkata: "Seorang laki‑laki
berjalan bersama Rasulu'llah saw mengendarai keledai. Lalu laki‑laki itu
mengutuk keledainya. Maka Rasulu'llah saw bersabda: "Hai hamba Allah! Jangan
engkau berjalan bersama kami, diatas keledai yang terkutuk!”. Nabi saw bersabda
demikian, karena menantang atas perbuatan tersebut. Kutuk, adalah ibarat dari menghalau
dan menjauhkan dari Allah Ta'ala. Dan yang demikian, tidak dibolehkan.
Kecuali terhadap orang yang bersifat dengan sifat yang menjauhkannya daripada
Allah 'Azza wa Jalla. Yaitu kufur dan
zalim. Lalu ia mengatakan:
"Kutukan Allah atas orang‑orang zalim dan orang‑orang kafir". Dan
sayogialah diikutkan padanya kata‑kata Agama. Karena pada kutukan itu bahaya.
Karena ia menetap kan atas Allah 'Azza wa Jalla, bahwa Allah telah menjauhkan
orang yang terkutuk itu. Dan yang demikian itu adalah hal ghaib, yang tidak dilihat, selain oleh Allah Ta’ala. Dan
Rasulu'llah saw melihatnya, apabila diperlihatkan oleh Allah Ta’ala. Sifat‑sifat
yang membawa kepada kutukan itu tiga:
kufur, bid’ah (yang diada-adakan) dan fasik.
Untuk kutukan pada masing‑masing yang tiga tadi, ada tiga tingkat:
Tingkat Pertama: kutukan dengan sifat yang lebih umum. Seperti
engkau katakan: "Kutukan Allah atas orang‑orang kafir, orang‑orang pembuat
bid’ah dan orang‑orang fasik
Tingkat Kedua: kutukan
dengan sifat‑sifat yang lebih khusus. Seperti engkau katakan: "Kutukan
Allah atas
1.
orang Yahudi,
2.
Nasrani,
3.
Majusi (orang beragama zoroaster atau penyembah
pohon/api sekarang masih ada sisanya di Iran dan India),
4.
orang Qadariyah (berkeyakinan bahwa bukan Allah
yang menjadikan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia itu sendiri yang
berkuasa penuh terhadap perbuatannya
qudrah ( kuasa ) ada pada manusia itu sendiri ),
5.
orang Khawarij (suatu golongan yang tidak mau
mengikuti dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah hal itu terjadi pada masa
pemerintahan Ali bin abi Thalib)
6.
orang Rafidh (segolongan syiah yang ektrim, menolak
pimpinan dalam peperangan atau diluar peperangan).
7.
orang‑orang penzina,
8.
orang-orang zalim
9.
pemakan riba.
Dan setiap yang demikian itu boleh. Akan tetapi
pada mengutuk sifat‑sifat orang yang berbuat bid’ah itu, bahaya. Karena
mengenal bid’ah itu sulit. Dan tak terdapat suatu kata‑kata yang diperoleh dari
Nabi saw dan para shahabat yang mengenai demikian. Maka sayogialah orang awam
dilarang daripadanya. Karena yang demikian itu membawa kepada pertentangan yang
menyamai dengan kutukan itu. Dan mengobarkan percecokan diantara sesama manusia
dan kerusakan.
Tingkat Ketiga: kutukan
bagi orang tertentu. Dan ini berbahaya, seperti engkau katakan: "Si Zaid
yang dikutuk oleh Allah. Dia itu kafir atau fasik atau pembuat bid’ah".
Penguraian mengenai hal tersebut, ialah bahwa tiap‑tiap orang yang telah tegas
terkutuknya pada Agama, maka bolehlah mengutukinya. Seperti anda katakan:
"Fir'aun yang dikutuk oleh Allah. Dan Abu Jahal yang dikutuk oleh Allah.
Karena telah tegas, bahwa mereka itu mati diatas kekufuran. Dan yang dimikian
itu telah diketahui pada Agama. Adapun orang seorang yang tertentu pada masa
kita sekarang, seperti kata anda: "Si Zaid yang dikutuk oleh Allah Ta’ala”
dan dia itu orang Yahudi, umpamanya, maka ini berbahaya. Karena mungkin ia
muslim. Lalu meninggal, dengan mendekatkan diri pada sisi Allah. Maka bagaimana
dihukum dia itu terkutuk? Kalau anda katakan, dia itu terkutuk karena dia itu
kafir sekarang, sebagaimana dikatakan kepada orang muslim: "Kiranya ia
dicurahkan rahmat oleh Allah", karena dia itu muslim sekarang, walaupun
dapat digambarkan bahwa orang itu akan murtad. Maka ketahuilah, bahwa arti
perkataan kita: “Kiranya ia dicurahkan
rahmat oleh Allah”, artinya: kiranya ditetapkan dia oleh Allah pada Agama Islam, yang menjadi sebab memperoleh
rahmat dan diatas keta'atan. Dan
tidak mungkin dikatakan: “Kiranya
ditetapkan oleh Allah akan orang kafir diatas keadaan yang menjadi sebab
kutukan. Karena ini adalah persoalan kufur. Dan orang itu adalah kufur pada
dirinya sendiri. Tetapi boleh dikatakan: "Kiranya ia dikutuk oleh Allah,
jikalau ia mati diatas kekufuran. Dan kiranya tiada dikutuk oleh Allah, jikalau
ia mati diatas keIslaman". Dan itu adalah hal ghaib, yang tidak diketahui. Dan hal yang mutlak itu diragukan
diantara dua arah. Maka pada hal yang demikian itu bahaya. Dan tidak ada
bahayanya pada meninggalkan kutukan. Apabila anda telah mengerti akan ini
mengenai orang kafir, maka mengenai: si Zaid fasik atau si Zaid pembuat bid’ah
itu lebih utama lagi. Mengutuki pribadi‑pribadi yang demikian itu bahaya.
Karena pribadi‑pribadi itu perihal keadaannya, berobah‑robah. Kecuali orang
yang telah diberitahukan oleh Rasulu'llah saw. Maka bolehlah diketahui, siapa
yang akan mati diatas kekufuran. Dan karena itulah, Rasulu'llah saw menentukan
sesuatu kaum dengan kutukan. Ia mengatakan dalam do'anya atas orang Qurasy:
"Wahai Allah Tuhanku! Diatas Engkaulah Abu Jahal bin Hisyam dan 'Utbah bin
Rabi'ah". Dan Rasulu'llah saw menyebut suatu golongan yang terbunuh pada
perang Badar diatas kekufuran. Sehingga orang yang tidak diketahui
kesudahannya, Ialu dikutukinya. Maka Rasulu'llah saw dilarang oleh Allah SWT
dari yang demikian. Karena diriwayatkan: "Bahwa Nabi saw mengutuk orang‑orang
yang membunuh penduduk Bi’ru Ma'unah dalam
qunutnya (pada shalat Subuh) selama sebulan. Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
“Tiadalah engkau mempunyai kepentingan
dalam perkara itu sedikitpun. Tuhan menerima tobat mereka atau menyiksa
mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang‑orang yang zalim". S
3 Ali ‘Imran ayat 128. Ya'kni: sesungguhnya mereka itu boleh jadi muslim. Maka
dari manakah engkau tahu, bahwa mereka itu terkutuk? Begitu pula, orang yang
telah nyata bagi kita kematiannya diatas kekufuran, niscaya boleh mengutukinya
dan boleh mencelanya, jikalau tak ada padanya menyakiti orang Islam. Kalau ada,
niscaya tidak dibolehkan.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa:
Rasulu'llah saw bertanya kepada Abubakar ra tentang kuburan yang dilaluinya,
sedang ia bermaksud ke Thaif. Lalu Abubakar ra menjawab: "Ini kuburan
seorang laki‑laki yang mendurhakai Allah dan RasuI Allah. Yaitu: Said bin Al-‘Ash. Maka marahlah anak
Sa'id, yaitu: 'Amr bin Said. 'Amr
berkata: "Wahai Rasulu'llah! Ini kuburan laki-laki, yang memberi makanan
karena makanan dan yang menghilangkan yang berat dari Abi Quhafah (ayah
Abubakar ra). Lalu Abubakar ra menjawab: “Dikatakan kepadaku oleh sianu, wahai
Rasulu'llah, dengan perkataan seperti ini". Maka Rasul'llah saw berkata
kepada 'Amr bin Sa'id: "Cegahlah dirimu dari Abubakar!” Lalu 'Amr bin Said
itu pergi. Kemudian Rasulu'llah saw menghadapkan wajahnya kepada Abubakar,
seraya bersabda: "Hai Abubakar! Apabila kamu menyebut orang‑orang kafir,
maka sebutlah secara umum! Sesungguhnya apabila kamu khususkan, niscaya
marahlah anak‑anak mereka karena bapak‑bapaknya". Lalu Abubakar melarang manusia dari yang
demikian.
Adalah Nu’aiman An‑Najjari
meminum khamar. Lalu dihukum dengan
pukulan (hadd), berkali‑kali pada majelis Rasulu'llah saw. Maka sebahagian
shahabat berkata: "Kiranya dia itu dikutuk oleh Allah Ta’ala! Alangkah
banyaknya yang dilakukan kepadanya". Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Janganlah engkau itu penolong setan terhadap saudara engkau". Dan
pada suatu riwayat: "Jangan engkau katakan perkataan tersebut! Karena dia mencintai Allah dan
RasuI Allah". Lalu Nabi saw melarang shahabat itu dari yang demikian. Dan
ini menunjuk kan, bahwa mengutuk diri orang fasik itu tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya, bahwa pada
mengutuki orang‑orang itu bahaya. Maka hendaklah dijauhkan! Dan tiada bahaya
pada berdiam diri daripada mengutuki Iblis‑umpamanya. Apalagi mengutuki
lainnya. Kalau orang bertanya, bolehkan mengutuk Yazid (Yazid bin Mu’awiyah)?
Karena ia pernbunuh Saidina Husain (putera Saidina Ali ra dan cucu Rasulu'llah
saw) atau yang menyuruh membunuhnya. Kami jawab, bahwa itu tidak terbukti sama
sekali. Maka tidak boleh dikatakan, bahwa Yazid membunuh Husain atau menyuruh
membunuhnya, sebelum terbukti. Lebih‑lebih mengutuknya. Karena tidak boleh
disangkutkan seorang muslim kepada dosa besar, tanpa dalil yang menguatkan
(tahqiq). Benar, boleh dikatakan, bahwa Ibnu Muljam membunuh Ali. Dan Abu
Lu'luah membunuh Umar ra. Karena yang demikian itu telah terbukti dengan berita
yang mutawatir (berita dari orang banyak yang meyakinkan). Maka tidak boleh
dituduh seorang muslim dengan fasik atau kufur, tanpa pembuktian yang
meyakinkan.
Nabi saw bersabda: “Tidaklah
seorang menuduh seseorang dengan kufur dan tidak menuduhnya dengan fasik,
kecuali ia kembali kepadanya, jikalau temannya (orang itu) tidak
demikian". Nabi saw bersabda: "Tidaklah seseorang naik saksi terhadap
orang lain dengan kekufuran, melainkan salah seorang dari keduanya
mengembalikannya dengan kekufuran, jikalau dia itu kafir". Maka itu,
seperti yang disabdakan Nabi saw (pada hadits lain): “Dan jikalau ia bukan kafir, maka ia telah menjadi kafir, dengan
mengkafirkan orang itu”. Ini artinya, bahwa ia mengkafirkan orang, sedang
ia tahu, bahwa orang itu Muslim. Jikalau ia menyangka, bahwa orang itu kafir,
disebabkan perbuatan bid’ah atau lainnya, niscaya dia itu bersalah. Tidak
menjadi kafir.
Mu’adz bin Jabal ra berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: "Aku larang engkau memaki orang
Muslim atau engkau mendurhakai imam yang adil (penguasa yang adil)". Dan
mendatangkan tuduhan kepada orang‑orang yang sudah mati itu lebih berat lagi.
Masruq bin Al-Ajda’ berkata: "Aku masuk ketempat 'Aisyah lalu ia bertanya: "Apakah yang diperbuat
si Anu? Kiranya ia dikutuk oleh Allah". Aku menjawab: "Ia sudah
mati". Maka Aisyah menyambung: "Kiranya ia dicurahkan rahmat oleh
Allah". Lalu. aku bertanya: “Bagaimana maka begitu?". Aisyah
menjawab: "Rasulu'llah saw bersabda: "Jangan engkau memaki orang‑orang
yang sudah mati! Karena mereka telah membawa, menurut apa yang dikerjakan
mereka". Nabi saw bersabda: “Jangan engkau memaki orang‑orang yang sudah
mati! Maka dengan itu, engkau menyakiti orang‑orang yang masih hidup".
Nabi saw bersabda: "Hai manusia! Jagalah aku, tentang shahabat‑shahabatku,
saudara-saudaraku dan ipar‑iparku! Janganlah engkau memaki mereka! Hai manusia!
Apabila orang sudah mati, maka sebutlah yang baik daripadanya!”. Kalau orang
bertanya, bolehkah dikatakan, bahwa pembunuh Husain itu kiranya dikutuk oleh
Allah? Atau yang menyuruh membunuhnya, kiranya dikutuk oleh Allah? Kami
menjawab, bahwa yang benar untuk dikatakan, ialah: pembunuh Husain itu jika
mati ia sebelum bertobat, kiranya ia dikutuk oleh Allah. Karena mungkin
pembunuh itu mati sesudah bertobat.
Bahwa Wahsyi bin Harb pembunuh
Hamzah paman Rasulu'llah saw (pada perang Uhud), dimana ia membunuhnya dan
waktu itu ia masih kafir. Kemudian, ia bertobat dari sekalian, dari kekufuran
dan pembunuhan. Dan tidak boleh ia dikutuk. Membunuh itu dosa besar. Dan tidak
sampai kepada tingkat kufur. Maka apabila tidak disangkutkan dengan tobat dan
disebut secara mutlak (umum) saja, niscaya padanya bahaya. Dan tidaklah pada
didiamkan itu bahaya. Maka diam itu adalah lebih utama. Sesungguhnya kami
kemukakan ini, adalah dikarenakan manusia memandang enteng mengutuk itu. Dan
lidah dilepaskan begitu saja untuk mengutuk. Dan orang mu'min itu tidaklah
pengutuk. Maka tidak sayogialah lidah itu dilepaskan dengan mengutuk. Kecuali
atas orang yang mati diatas kekufuran atau atas golongan‑golongan yang
terkenal dengan sifat‑sifatnya. Tidak atas orang‑orang tertentu. Maka menyibukkan
diri dengan berzikir kepada Allah Ta’ala itu lebih utama. Kalau tidak maka
berdiam diri itu lebih selamat.
Makki bin Ibrahim berkata: “Pada
suatu hari kami berada pada Ibnu 'Aun. Lalu mereka menyebutkan Bilal bin Abi
Burdah (amir negeri Basarah). Mereka mengutukinya dan mereka terjerumus dengan
memaki dan mencacinya. Dan Ibnu 'Aun itu diam. Lalu mereka berkata: "Hai
Ibnu 'Aun! Sesungguhnya kami menyebutkan Bilal bin Abi Burdah itu, karena ia
berbuat dosa terhadap engkau". Maka Ibnu 'Aun menjawab: "Sesungguhnya
itu dua perkataan yang akan keluar dari suratan amalanku pada hari kiamat.
Yaitu: Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan
yang disembah selain Allah) dan La'anal
Iaahu fulaanan (Dikutuk oleh Allah kiranya si Anu). Aku lebih suka supaya
keluar dari suratan amalanku: Laa ilaaha
illaallah, daripada akan keluar: “La'anal‑laahu
fulaanan”.
Seorang laki‑laki berkata kepada
Rasulu'llah saw: "Berilah aku wasiat (nasehat)!”. Lalu Rasulu'llah saw
menjawab: "Aku wasiatkan kepadamu, bahwa kamu tidak mengutuk orang".
Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya orang yang sangat dimarahi Allah, ialah:
tiap‑tiap orang yang mencela, lagi mengutuk orang". Setengah mereka
berkata: "Mengutuk orang mu'min itu menyamai dengan membunuhnya".
Hammad bin Zaid berkata sesudah meriwayatkan ucapan ini: "Jikalau engkau
katakan, bahwa ucapan tadi itu hadits marfu', niscaya aku tiada akan
memperdulikannya". Dari Abi Qatadah, yang berkata: "Ada dikatakan:
“Barangsiapa mengutuk orang mu'min maka dia adalah seperti membunuhnya".
Ucapan ini dinukilkan sebagai hadits
marfu' kepada Rasulu'llah saw (hadits marfu’ ialah hadits yang ditingkatkan
sampai kepada Nabi saw walaupun diantara perawinya, ada yang terputus, yang
tiada diketahui). Dan mendekati dengan mengutuk, ialah: berdoa terhadap manusia
dengan tidak baik (jahat), sehingga berdoa terhadap orang zalim sekalipun.
Seperti orang mengatakan umpamanya: "Kiranya Allah tidak menyehatkan
tubuhnya dan kiranya Allah tidak menyelamatkannya”. Dan kata‑kata lain yang
seperti itu. Maka yang demikian itu tercela. Dan pada hadits, tersebut:
"Sesungguhnya orang yang teraniaya berdoa terhadap orang yang
menganiayainya, sehingga menyamai pada penganiayaan. Kemudian, tinggallah bagi
orang yang menganiaya, pada orang yang teraniaya, kelebihan pada
hari kiamat.
BAHAYA KESEMBILAN:
nyanyian dan syair.
Telah kami sebutkan pada "Kitab
Mendengar", apa yang diharamkan dari nyanyian dan apa yang dihalalkan.
Maka tiada kami mengulanginya lagi. Adapun syair, maka adalah perkataan, yang
baiknya itu baik dan yang buruknya itu buruk. Hanya bersungguh‑sungguh untuk
bersyair itu tercela. Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa penuhnya rongga
seseorang kamu dengan nanah, sehingga membusukkannya, adalah lebih baik
daripada penuhnya rongga itu dengan syair". Dari Masruq bin Al-Ajda',
bahwa ia ditanyakan tentang sekuntum syair, Ialu tiada disukainya. Maka
dikatakan kepadanya tentang yang demikian itu. Lalu ia menjawab: "Aku
tiada suka dijumpai syair dalam lembaran amalku (pada hari kiamat)".
Sebahagian mereka ditanyakan tentang sesuatu mengenai syair, lalu menjawab:
"Jadikanlah tempat syair itu untuk zikir. Sesungguhnya zikir kepada Allah
lebih baik daripada syair".
Kesimpulannya, menyanyikan syair
dan menyusunnya itu tidak haram, apabila tak ada padanya perkataan yang
dimakruhkan (pada Agama). Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya dari syair itu
ada hikmah". Benar, yang dimaksudkan dari syair itu pujian, celaan dan
kemuda‑mudian. Dan kadang‑kadang dimasuki bohong. Dan Rasulu'llah saw menyuruh
Hassan bin Tsabit AI‑Anshari menyerang orang‑orang kafir. Dan berluas‑luasan
pada pujian, walaupun dia itu bohong. Maka sesungguhnya tiada berhubungan pada
pengharaman itu dengan bohong. Seperti kata seorang penyair:
Dan kalau dalam tapak tangannya,
tak ada selain nyawanya,
sungguh ia bermurah hati menyerahkannya.
Maka bertaqwalah kepada Allah yang memintakannya!
Ini adalah ibarat menyifatkan
kesangatan sifat pemurah. Jikalau orangnya itu tidak pemurah, maka penyair itu
bohong. Dan jikalau ia pemurah, maka berlebih‑lebihan membuat syair tersebut. Maka
tidaklah dimaksudkan untuk diyakini bentuknya. Telah dinyanyikan beberapa
kuntum syair dihadapan Rasulu'llah saw. Dan kalau diikuti, niscaya akan
didapati padanya seperti yang demikian. Tetapi Rasulu'llah tidak melarangnya.
Aisyah berkata: "Adalah Rasulu'llah saw
memperbaiki kulit sandaInya dan aku duduk memintal bulu. Lalu memandang
kepadanya. Maka membuat tepi dahinya berkeringat. Dan membuat keringatnya
menjadi nur (bersinar)”. 'Aisyah
meneruskan riwayatnya: "Maka aku tercengang. Lalu ia memandang kepadaku,
seraya bersabda: "Mengapa engkau tercengang?". Lalu aku menjawab:
"Wahai Rasulu'llah! Aku memandang kepadamu, lalu membuat tepi dahimu
berkeringat dan membuat keringatmu menjadi nur. Dan jikalau engkau dilihat oleh
Abu Kabir AI‑Huzali, niscaya ia tahu, bahwa engkau lebih berhak dengan
syairnya". Lalu Nabi saw bertanya: "Apakah yang dikatakan, wahai
Aisyah, oleh Abu Kabir AI‑Huzali?". Aku menjawab: "Ia akan mengatakan
dua bait ini:
Terlepas dari semua
sisa darah kotor wanita
dan kerusakan wanita penyusu
dan penyakit wanita yang menyusukan sedang hamil.
Apabila engkau memandang
kepada garis‑garis yang kelihatan pada dahinya,
niscaya ia berkilat,
seperti kilatnya awan hujan gerimis.
'Aisyah
meneruskan riwayatnya: "Lalu Rasulu'llah saw meletakkan apa yang
ada pada tangannya. Dan beliau bangun datang kepadaku dan beliau peluk
diantara dua mataku, seraya bersabda: "Kiranya Allah memberi balasan
kepada engkau dengan kebajikan, wahai 'Aisyah! Tiadalah engkau memperoleh
kegembiraan daripadaku, seperti gembiranya aku daripada engkau”. Sewaktu
Rasulu'llah saw membagi harta rampasan perang pada hari perang Hunain, lalu
beliau suruh untuk diberikan kepada Abbas
bin Mardas 4 ekor unta betina. Abbas bin Mardas menolak, lalu mengadu dalam
syairnya. Dan pada akhir syair itu, sebagai berikut:
Tidaklah si Badar dan si Habis,
lebih tinggi dari Mardas dalam
masyarakat.
Tidaklah aku manusia yang kurang
dari keduanya.
Apa yang engkau rendahkan pada
hari ini,
Tidak akan terangkat lagi
...............
Lalu Nabi saw bersabda: "Potonglah dari
perintahku, akan lidahnya!”. Maka pergilah Abubakar Ash‑Shiddiq ra dengan Abbas
bin Mardas dan diberikannya kepada Abbas 100 ekor unta. Kemudian, Abbas itu
kembali dan dia termasuk manusia, yang paling disukai. Lalu Rasulu'llah saw
bertanya: "Adakah engkau menyusun lagi syair terhadap aku?". Lalu
Abbas bin Mardas meminta ma'af pada Rasulu'llah saw, seraya berkata: "Demi
ayah dan ibuku, sesungguhnya aku memperoleh syair itu berjalan pada lidahku,
seperti berjalannya semut. Kemudian, ia menggigit aku seperti menggigitnya
semut. Maka aku tiada mendapat jalan untuk tidak bersyair". Lalu Nabi saw
tersenyum, seraya bersabda: "Orang Arab itu tiada akan meninggalkan syair,
sehingga unta meninggalkan suaranya yang berdenting.
BAHAYA KESEPULUH:
senda‑gurau.
Asalnya senda‑gurau itu tercela
dan terlarang, kecuali sekedar sedikit yang dapat dikecualikan. Nabi saw
bersabda: "Jangan engkau
berbantahan dan bergurau dengan saudaramu!”. Jikalau anda berkata, bahwa
berbantah‑bantahan itu menyakitkan. Karena padanya pembohongan kepada saudara
dan teman atau pembodohan kepadanya. Sedang senda‑gurau, adalah berbaik‑baikan.
Dan padanya kelapangan dada dan kebaikan hati. Maka mengapa dilarang?
Ketahuilah kiranya, bahwa yang dilarang itu berlebih‑lebihan
atau berkekalan bergurau. Adapun
berkekalan, karena ia menghabiskan waktu dengan bermain dan bergurau. Dan
bermain itu dibolehkan. Akan tetapi rajin bermain itu tercela.
Adapun berlebih‑lebihan pada
bergurau, maka akan mempusakai banyak tertawa. Dan banyak tertawa itu mematikan
hati dan mewarisi kedengkian pada setengah keadaan. Dan menjatuhkan kehebatan
diri dan kemuliaan. Dan apa yang terlepas dari hal‑hal tersebut, maka tidak
tercela, sebagaimana dirawikan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
"Sesungguhnya aku bersenda‑gurau dan aku tiada mengatakan, selain yang
benar". Hanya orang yang seperti Nabi saw yang sanggup bergurau dan tidak
berkata selain yang benar. Adapun yang lainnya, apabila ia membuka pintu bergurau,
niscaya adalah maksudnya mentertawakan orang, bagaimana pun adanya.
Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan
suatu perkataan untuk mentertawakan teman‑teman duduknya, akan jatuh dalam api neraka, lebih
jauh dari bintang suray'ya.
Umar ra berkata: "Barangsiapa
banyak tertawanya, niscaya kurang haibahnya
(kurang disegani). Barangsiapa bergurau, niscaya ia dianggap ringan.
Barangsiapa memperbanyakkan sesuatu, niscaya menjadi terkenal dengan sesuatu
itu. Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak jatuhnya (jatuh dalam
kebohongan). Barangsiapa banyak jatuhnya, niscaya kurang malunya. Barangsiapa
kurang malunya, niscaya kurang wara'nya. Dan barangsiapa kurang waranya,
niscaya mati hatinya". Dan karena tertawa itu menunjukkan kepada kelalaian
dari akhirat.
Nabi saw bersabda: "Jikalau
kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu menangis banyak dan kamu tertawa
sedikit". Seorang laki‑laki bertanya kepada saudaranya (dimana ia melihat
sedang tertawa): "Hai saudaraku! Adakah datang berita kepadamu, bahwa
engkau akan datang keneraka?". Saudaranya itu menjawab: "Ya, ada!”.
Laki‑laki itu menyambung pertanyaannya: "Adakah datang kepadamu berita,
bahwa engkau akan keluar dari neraka?". Saudaranya itu menjawab:
"Tidak!”. Lalu laki‑laki itu menyambung pertanyaannya: "Maka pada
apakah tertawa itu?" Ada orang mengatakan, bahwa orang itu tidak terlihat
lagi tertawa, sampai ia mati.
Yusuf bin Asbath berkata:
"AI‑Hasan AI‑Bashri menetap selama 30 tahun tidak tertawa". Dan orang
mengatakan, bahwa', Atha' As‑Salmi menetap selama 40 tahun tidak tertawa.
Wahib bin AI‑Ward melihat suatu kaum tertawa pada hari raya idul‑fitri. Lalu
beliau berkata: "Jikalau mereka telah diampuni dosanya, maka tidaklah ini
perbuatan orang‑orang yang bersyukur. Jikalau mereka tidak diampuni, maka tidaklah
ini perbuatan orang‑orang yang takut".
Adalah Abdullah bin Abi Yu’la
berkata: "Adakah engkau tertawa? Mudah-mudahan kain kafan engkau keluar
dari pihak yang pendek". Ibnu Abbas berkata: "Barangsiapa berdosa
dengan suatu dosa dan ia tertawa, niscaya ia masuk neraka dan ia
menangis". Muhammad bin Wasi' berkata: "Apabila engkau melihat
seseorang dalam sorga menangis, adakah engkau tidak heran dari tangisannya
itu?". Lalu ada yang menjawab: "Ya!”. Maka Muhammad bin Wasi’ menyambung:
"Orang yang tertawa didunia dan ia tidak tahu, kepada apa ia akan terjadi,
adalah orang yang paling diherankan dari yang tadi". Maka inilah bahaya
tertawa! Orang yang tercela pada tertawa, ialah orang yang menghabiskan
waktunya buat tertawa. Dan yang terpuji pada tertawa, ialah tersenyum, yang terbuka giginya pada tertawa dan tiada
terdengar suaranya. Begitulah adanya tertawa
Rasulu'llah saw!.
Al-Qasim bekas budak (maula) Mu'awiyah bin Abi Sufyan berkata: "Seorang
Arab badui datang, menghadap Nabi saw dengan mengendarai kudanya yang panjang
kakinya dan sukar dikendalikan. Lalu ia memberi salam. Kemudian, setiap kali ia
ingin mendekati Nabi saw untuk bertanya, tetapi kuda itu lari (tidak mau
mendekatinya). Maka para shahabat Nabi saw tertawa melihat yang demikian. Orang
badui tadi berbuat demikian berkali‑kali. Kemudian, ia menjatuhkan kepalanya
kebawah, lalu ia terbunuh (mati) dengan sebab yang demikian. Maka ada yang
berkata kepada Nabi saw: "Wahai Rasulullah! Bahwa, orang Arab badui itu
telah dijatuhkan oleh untanya dan sudah binasa (meninggal)". Lalu Nabi saw
menjawab: "Ya! Mulutmu penuh dari darahnya".
Adapun bergurau itu membawa
kepada hilang kehormatan diri, maka Umar ra telah berkata: “Barangsiapa
bergurau, niscaya ia menjadi ringan (kurang dihargai orang) disebabkan
bergurau itu" Muhammad bin AI‑Munkadir berkata: "Ibuku berkata
kepadaku: "Hai anakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan anak‑anak,
maka hinalah engkau pada mereka". Said bin Al‑'Ash berkata kepada
puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan orang yang mulia, maka ia sakit hati kepada engkau (tersinggung)!
Dan janganlah dengan orang yang rendah (orang
hina), maka ia berani kepada
engkau!”.
'Umar bin Abdul‑aziz ra berkata:
"Bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah dari bergurau! Karena mewarisi
sakit hati dan menghela kepada kekejian. Berbicaralah mengenai AI‑Qur’an dan
duduk‑duduklah memperkatakan Al Qur’an! Kalau itu berat padamu, maka perkataan
yang baik dari perkataan orang ‑ orang yang terkemuka. Umar ra berkata:
"Tahukah kamu, mengapa dinamakan senda‑gurau
(almuzaah) dengan kata‑kata: al‑muzaah?"
(al‑muzaah itu asal artinya: alih). Mereka
itu menjawab: "Tidak!”. Maka Umar ra menjawab: "Karena senda‑gurau
(almuzaah) itu, mengalihkan orang yang bergurau dari kebenaran". Ada yang
mengatakan, bahwa tiap sesuatu itu mempunyai bibit. Dan bibit permusuhan,
ialah: senda‑gurau. Ada
pula yang mengatakan, bahwa bergurau itu menghilangkan pikiran dan memutuskan
hubungan dengan teman‑teman. Jikalau anda berkata, bahwa bergurau itu
dinukilkan dari Rasulu'llah saw dan para sahabatnya. Maka bagaimanakah dilarang
daripadanya? Aku menjawab: "Jikalau anda sanggup menurut yang disanggupi
Rasulu'llah saw dan para shahabatnya, yaitu: bahwa anda bergurau dan anda tidak
mengatakan, selain yang benar. Anda tidak menyakiti hati orang dan tidak
berlebih‑lebihan pada bergurau. Dan anda ringkaskan bergurau itu kadang-kadang
dengan sedikit sekali.
Maka dengan demikian, anda tidak
berdosa”. Tetapi termasuk kesalahan besar, bahwa manusia mengambil bergurau itu
menjadi pekerjaan yang selalu dikerjakannya/pelawak. Dan ia berlebih‑lebihan padanya.
Kemudian (ia berkata), bahwa ia berpegang dengan perbuatan Rasul saw. Orang itu
samalah haInya dengan orang yang berkeliling pada siang harinya bersama orang‑orang
Zanji (orang berkulit hitam), yang melihat kepada mereka dan kepada tari‑tarian
mereka. Lalu (ia berkata), bahwa ia berpegang, bahwa Rasulu'llah saw memberi izin kepada Aisyah melihat tarian
orang Zanji pada hari raya. Pendapat yang demikian itu salah. Karena dari dosa
kecil itu, ada yang akan menjadi dosa besar, dengan berkekalan memperbuatnya.
Dan dari perbuatan‑perbuatan yang diperbolehkan (mubah) itu, ada yang akan
menjadi dosa kecil dengan berkekalan dikerjakan. Maka tiada sayogialah
dilupakan dari yang demikian!
Benar, Abu Hurairah
meriwayatkan, bahwa mereka (para sahabat) berkata: "Wahai Rasulu'llah!
Sesungguhnya engkau bermain‑main (bergurau) dengan kami". Lalu
Rasulu'llah saw menjawab: "Sesungguhnya aku, walaupun aku bersenda‑gurau
dengan kamu, tetapi aku tiada berkata, selain yang benar". 'Atha' berkata,
bahwa seorang laki‑laki bertanya kepada Ibnu Abbas: "Adakah Rasulu'llah
saw bergurau?" Ibnu Abbas menjawab: "Ada!”. Orang tadi bertanya lagi:
"Apakah guraunya itu?". Ibnu Abbas menjawab: "Guraunya ialah,
bahwa pada suatu hari, Nabi saw memberi pakaian kepada salah seorang istrinya,
kain yang lapang. Lalu beliau bersabda kepada istrinya itu: “Pakailah, pujilah
Allah dan tariklah daripadanya kaki kain, seperti kaki kainnya
penganten?". Anas berkata, bahwa Nabi saw adalah paling banyak bergurau
dengan istrinya. Dan diriwayatkan, bahwa Nabi saw banyak tersenyum. Dari Al‑Hasan
AI‑Bashari, yang mengatakan: "Seorang wanita tua datang kepada Nabi saw.
Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: ”Tidak masuk sorga wanita tua". Lalu
wanita itu menangis. Maka Nabi saw bersabda: "Engkau pada hari itu tidak
wanita tua lagi". Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya (gadis‑gadis itu) Kami jadikan dengan kejadian (yang
istimewa). Dan mereka kami jadikan perawan suci". S 56 Al waaqi'ah ayat
35‑36.
Zaid bin Aslam berkata:
"Bahwa seorang wanita, yang dikatakan namanya: Ummu Aiman, datang kepada
Nabi saw. Maka ia berkata: "Bahwa suamiku mengundang engkau". Lalu
Nabi saw bertanya: "Siapakah dia? Adakah dia yang pada matanya putih?".
Wanita itu menjawab: "Demi Allah, tiada putih pada matanya". Maka
Nabi saw menjawab: "Ada! Sesungguhnya ada putih pada matanya",.
Wanita itu berkata: "Tidak demi Allah!”. Lalu Nabi saw bersabda: “Tiada
seorang pun yang tidak ada putih pada matanya". Nabi saw bermaksud: putih
yang mengelilingi mata hitam. Seorang wanita lain datang kepada Nabi saw seraya
berkata: "Wahai Rasulu'llah! Bawalah aku diatas unta!”. Lalu Nabi saw
menjawab: "Tetapi kami akan membawa engkau diatas anak unta". Wanita
itu lalu menyahut: "Apa yang akan aku perbuat dengan anak unta itu?. la
tiada sanggup membawa aku". Lalu Nabi saw bersabda: "Tiadalah unta
itu melainkan adalah anak unta". Nabi saw adalah bergurau dengan yang
demikian. Anas berkata: "Bahwa Abi Thalhah mempunyai seorang anak
laki-laki, namanya: Abu Umair. Rasululah saw datang kepada mereka, seraya bersabda:
"Hai Abu Umair! Apa kabar nughair?".
Karena nughair itu adalah burung
yang dimain ‑ mainkannya. Nughair, ialah:
anak burung pipit.
'Aisyah berkata: "Aku pergi
bersama Rasulu'llah saw pada perang Badar. Maka beliau bersabda: "Marilah,
sehingga aku mendahului engkau!”. Lalu aku ikatkan baju besiku pada perutku.
Kemudian, kami gariskan suatu garis. Lalu kami berdiri diatas garis itu. Dan
kami dahulu mendahului. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini
tempat, Dzil‑Majaz namanya".
Yang demikian itu, ialah bahwa pada suatu hari Rasulu'llah saw datang dan kami
berada di Dzil‑Majaz. Dan aku waktu
itu Masih anak kecil. Diutus oleh ayahku membawa sesuatu. Lalu Rasulu'llah saw
bersabda: "Berilah itu kepadaku!”. Aku tidak mau memberinya dan aku terus
berjalan. Dan Rasulu'llah saw berjalan dibelakangku. Tetapi ia tidak dapat
menjumpai aku". 'Aisyah berkata pula: "Rasulu'llah saw dahulu ‑ mendahului
dengan aku. Lalu aku mendahuluinya. Tatkala aku membawa daging, ia dahulu
mendahului dengan aku. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini dengan
yang itu". 'Aisyah berkata pula: "Adalah padaku, Rasulu'llah saw dan
Saudah binti Zam’ah. Lalu aku membuat harirah
(tepung yang dibuat dengan susu). Aku bawa makanan tersebut, seraya aku
berkata kepada Saudah: "Makanlah!”. Lalu Saudah menjawab: "Aku tidak
suka". Maka aku jawab: "Demi Allah, engkau makan atau aku lumurkan
muka engkau dengan makanan ini". Saudah menjawab: "Aku tidak akan
mencicipinya". Lalu aku ambil dengan tanganku sedikit dari makanan itu
dari piring. Maka aku lumurkan mukanya. Dan Rasulu'llah duduk diantara aku dan
dia. Lalu Rasulu'llah saw merendahkan kedua lututnya, supaya Saudah tercegah
daripadaku. Lalu aku ambil sedikit dari isi piring itu. Dan aku sapu mukaku
dengan dia. Dan membuat Rasulu'llah saw tertawa".
Diriwayatkan, bahwa Adl‑Dlahhak
bin Sufyan Al-Kallabi adalah seorang yang pendek dan buruk bentuknya. Ketika ia
diangkat dengan sumpah (dibai'ah) oleh Nabi saw menjadi kepala dari kaumnya yang sudah
memeluk Agama Islam, Ialu ia berkata: "Sesungguhnya padaku ada dua orang wanita yang lebih cantik
dari Al-Humaira (panggilan kepada
'Aisyah) ini". Peristiwa ini terjadi sebelum turunnya ayat‑hijab. "Apakah aku bawakan
salah seorang dari keduanya untuk engkau, Ialu engkau kawini dia?".
'Aisyah duduk saja dengan tenang dan mendengar. Lalu bertanya: "Adakah
wanita itu yang lebih cantik atau engkau?”. Maka orang itu menjawab: "Aku
yang lebih cantik dan yang lebih mulia dari wanita itu". Maka tertawalah
Rasulu'llah saw dari pertanyaan Aisyah tadi kepada laki‑laki itu. Karena laki‑laki
tersebut adalah seorang yang pendek dan buruk bentuknya".
Diriwayatkan oleh 'Alqamah dari
Abi Salmah, bahwa Nabi saw mengeluarkan lidahnya dari mulutnya untuk Hasan bin
Ali ra (cucu Nabi saw). lalu anak kecil itu melihat lidah Nabi saw dan ia amat
bergembira. Lalu 'Uyainah bin Badar AI‑Fazzari berkata kepada Nabi saw:
"Demi Allah, kiranya aku mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah
kawin dan ia mengeluarkan mukanya dan aku sekali‑kali tiada akan memeluknya".
Lalu Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya siapa yang tiada mencintai, niscaya
tiada akan dicintai".
Kebanyakan hal berbaik‑baikan
ini dinukilkan bersama kaum wanita dan anak-anak. Yang demikian itu merupakan
obat dari Nabi saw karena kelemahan hati mereka, tanpa kecenderungan kepada
bersenda‑gurau. Pada suatu kali Nabi saw bersabda kepada Shuhaib dan ia sakit
mata. Dan ia memakan tamar: "Adakah engkau memakan tamar, sedang engkau
sakit mata?". Lalu Shuhaib menjawab, "Sesungguhnya aku memakannya
dengan yang sebelah lagi, wahai Rasulu’llah!”. Maka tersenyumlah Nabi saw.
Setengah perawi hadits ini berkata: "Sehingga aku melihat gigi gerahamnya".
Diriwayatkan, bahwa
"Khawwat bin Jubair AI‑Anshari duduk bersama wanita suku Bani Ka’ab di
jalan Makkah. Lalu dilihat oleh Rasulu'llah saw, seraya menegur: “Hai Aba
Abdillah! Ada apa engkau bersama wanita?". Khawwat, yang dipanggil tadi
dengan Aba Abdillah, Ialu menjawab: “Mereka memintal tali untaku, yang suka
lari". Khawwat berkata: "Maka Rasulu'llah saw terus pergi untuk
keperluannya. Kemudian, beliau kembali lagi, seraya bersabda: "Hai Aba
Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?". Khawwat
berkata: "Lalu aku diam dan merasa malu dan aku sesudah itu, selalu
melarikan diri daripada Nabi saw manakala melihatnya, karena malu kepadanya.
Sehingga aku datang di Madinah. Dan sesudah aku datang di Madinah, Khawwat
meneruskan ceriteranya maka pada suatu hari, Nabi saw melihat aku mengerjakan
shalat di masjid. Lalu beliau duduk dekat aku. Maka aku panjangkan shalat.
Lalu beliau bersabda: “Jangan engkau panjangkan! Sesungguhnya aku menunggu
engkau!”. Sesudah aku memberi salam dari sholat, lalu beliau bersabda:
"Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya
kemudian?". Khawwat menerangkan lebih lanjut: "Lalu aku diam dan aku
merasa malu. Dan Rasulu'llah pun bangun, berdiri. Dan adalah aku sesudah itu
melarikan diri daripadanya. Sehingga pada suatu hari, ia mengikuti aku dan ia
mengendarai keledai. Dan kedua kakinya diletakkannya disatu pihak. Maka beliau
bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya
kemudian?”. Lalu aku menjawab:
"Demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran! Unta itu tidak lari
lagi semenjak aku memeluk Agama Islam". Lalu Nabi saw mengucapkan:
"Allahu Akbar! Allahu Akbar! Wahai
Allah, Tuhanku! Tunjukilah Aba Abdillah!”. Yang meriwayatkan peristiwa ini,
meneruskan riwayatnya: "Maka baguslah Islamnya Khawwat itu. Dan ia
ditunjuki oleh Allah dengan hidayah Allah".
Adalah Nuaiman AI‑Anshari
seorang laki‑laki yang suka bergurau. Ia minum khamar di Madinah. Lalu ia
dibawa kepada Nabi saw. Maka dipukul oleh Nabi saw dengan sandalnya. Dan beliau
menyuruh para shahabatnya. Lalu mereka memukulnya dengan sandaInya. Sewaktu
telah banyak demikian, maka seorang diantara para shahabat itu berkata kepada
Nuaiman: "Kiranya engkau dikutuk oleh Allah!”. Lalu Nabi saw bersabda
kepada shahabat tersebut: "Jangan engkau berbuat demikian! Karena ia
mencintai Allah dan RasuI Allah". Adalah Nuaiman tersebut, apabila ia
masuk ke kota Madinah dengan mudah perjalanan dan sekejap mata, ia membeli apa‑apa
daripadanya. Kemudian dibawanya kepada Nabi saw seraya berkata: "Wahai
Rasulu'llah! Ini aku belikan untukmu dan aku hadiahkan kepadamu". Apabila
yang punya barang itu datang, meminta pada Nu’aiman harganya, lalu Nu’aiman
datang kepada Nabi saw, seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Berilah
kepada orang itu harga barangnya!”. Lalu Nabi saw menjawab: "Apakah
engkau tidak menghadiahkan barang itu kepada kami?". Nu’aiman tersebut
menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya aku tidak mempunyai uang untuk
membayar harganya. Dan aku ingin engkau makan barang tersebut. Lalu Nabi saw
tertawa dan menyuruh shahabatnya membayar harga barang itu. Inilah kata‑kata
berbaik‑baikan, yang diperbolehkan seperti itu secara sedikit. Tidak secara
terus‑terusan. Membiasakan kata‑kata yang demikian, adalah senda‑gurau yang
tercela dan sebab bagi tertawa yang mematikan hati.
BAHAYA KESEBELAS:
ejekan dan memperolok‑olok
Perbuatan
tersebut adalah diharamkan, manakaIa menyakitkan, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: "Hai orang‑orang yang
beriman! Janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan (menertawakan)
kumpulan yang lain; boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka
(yang menertawakan). Dan jangan pula sekumpulan perempuan (merendahkan)
kumpulan perempuan yang lain; boleh jadi (yang direndahkan itu) lebih baik dari
mereka". S 49 Al‑Hujuraat ayat 11. Arti mengejek, ialah: menghina,
melecehkan dan memberitahukan sifat‑sifat yang memalukan dan kekurangan‑kekurangan
dengan cara yang mentertawakan. Yang demikian itu, kadang‑kadang dengan meniru
pada perbuatan dan perkataan. Dan kadang‑kadang dengan isyarat dan tunjukan.
Apabila ada yang demikian itu dihadapan orang yang diejek, niscaya tidak
dinamakan: umpatan. Tetapi mengandung
arti umpatan.
Aisyah
berkata: "Aku menceriterakan tentang seseorang, lalu Nabi saw bersabda
kepadaku: "Demi Allah! Aku tidak suka menceriterakan tentang seseorang,
sedang aku mempunyai keadaan demikian‑demikian". Ibnu Abbas berkata
tentang firman Allah Ta’ala: "Aduhai!
Malangnya kami! Kitab apakah ini? Tidak ditinggalkannya perkara yang kecil dan
yang besar, melainkan dihitungnya semuanya". S 18 Al Kahfi ayat 49.
"Bahwa yang kecil itu, ialah:
tersenyum dengan memperolok‑olokkan orang mu'min. Dan yang besar itu, ialah: tertawa terbahak‑bahak dengan yang
demikian". Itu menunjukkan, bahwa tertawa kepada orang, termasuk dalam
jumlah dosa kecil dan dosa besar.
Dari
Abdullah bin Zam’ah, dimana ia berkata: "Aku mendengar RasuIu’llah saw dan
beliau berkhutbah. Maka beliau menasehati mereka tentang tertawanya karena
kentut. Lalu beliau bertanya: "Berdasarkan apakah tertawanya salah seorang
kamu dari apa yang diperbuatnya?" Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya
orang‑orang yang memperolok‑olokkan manusia itu, dibukakan pintu sorga bagi
salah seorang mereka. Lalu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!”. Lalu
orang yang memperolok‑olokkan itu datang dengan kesusahan dan kegundahannya.
Tatkala ia datang kepintu sorga itu, Ialu pintu tersebut dikuncikan terhadap
orang itu. Kemudian dibukakan lagi pintu lain untuknya. Lalu dikatakan
kepadanya: "Mari, marilah!”. Lalu ia datang dengan kesusahan dan
kegundahannya. Tatkala ia datang kepintu itu Ialu pintu tersebut dikuncikan
terhadap dia. Maka senantiasalah seperti yang demikian, sehingga pintu itu
dibukakan bagi orang tersebut, Ialu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!”.
Maka ia tidak datang ”lagi ke pintu itu".
Mu’adz
bin Jabal berkata: "Nabi saw bersabda: "Barangsiapa memalukan
saudaranya dengan dosa yang telah ditobatinya, niscaya ia ( orang yang
memalukan saudaranya ) tiada akan mati sebelum ia mengerjakan dosa itu".
Semua ini kembali kepada menghina orang lain dan tertawa kepadanya, untuk
menghinakan dan memandangnya kecil. Dan kepada itulah, firman Allah Ta’ala
memperingatkan: "Boleh jadi (yang
ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawa kan)". S 49
Al Hujuraat ayat 11. Artinya: jangan engkau menghinakannya, karena memandangnya
kecil. Boleh jadi, ia lebih baik daripada engkau.
Sesungguh nya perbuatan tersebut diharamkan, mengenai orang yang merasa sakit
dengan perbuatan itu.
Adapun
orang yang membuat dirinya terhina dan kadang‑kadang ia bergembira dihinakan,
niscaya adalah pengejekan mengenai dirinya itu, termasuk dalam jumlah senda‑gurau.
Dan telah diterangkan dahulu, apa yang tercela dan yang terpuji daripadanya.
Sesungguhnya yang diharamkan itu, pandangan kecil, yang menyakitkan orang yang
dihinakan. Karena padanya penghinaan dan pelecehan. Dan yang demikian itu,
kadang‑kadang dengan ditertawakan pada perkataannya, apabila hilang tujuan pada
perkataan itu dan tidak tersusun baik. Atau di tertawakan pada perbuatannya,
apabila perbuatan itu kacau. Seperti tertawa pada tulisannya dan pada
perusahaannya. Atau ditertawakan pada rupanya dan bentuknya, apabila ia pendek
atau kurang karena sesuatu kekurangan yang memalukan. Maka tertawa pada semua
itu, termasuk pada pengejekan yang dilarang.
BAHAYA KEDUA
BELAS: membuka rahasia.
Membuka rahasia itu dilarang. Karena padanya
menyakitkan dan penghinaan akan hak orang yang dikenal dan teman‑teman. Nabi
saw bersabda: "Apabila seseorang
berbicara sesuatu pembicaraan, kemudian ia pergi, maka itu adalah amanah".
Dan Nabi saw bersabda: "Secara mutlak pembicaraan diantara sesama kamu itu
amanah". Al-Hasan AI‑Bishri ra berkata: "Sesungguhnya termasuk pengkhianatan, bahwa
engkau membicarakan rahasia saudara engkau”. Diriwayatkan, bahwa Mu'awiah ra
merahasiakan suatu pembicaraan kepada Al-Walid bin 'Utbah. Lalu Al-Walid
berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, bahwa Amirul‑mu'minin merahasiakan
suatu pembicaraan kepadaku. Aku tidak melihat, bahwa ia menutup kepada ayah,
apa yang dibentangkannya kepada orang lain". Maka menjawab ayah Al-Walid:
"Jangan engkau katakan kepadaku! Sesungguhnya orang yang menyembunyikan
rahasianya, adalah pilihan kepada nya. Dan orang yang membuka rahasianya,
adalah pilihan atas dirinya". Al-Walid meneruskan ceriteranya: "Lalu
aku berkata: "Wahai ayahku! Sesungguh nya ini termasuk urusan diantara
orang dengan anaknya". Ayah Al-Walid ('Utbah) menjawab: "Demi Allah,
tidak, wahai anakku! Akan tetapi, aku menyukai, bahwa engkau tidak menghinakan
lidah engkau dengan pembicaraan‑pembicaraan rahasia". Al-Walid meneruskan
ceriteranya: “Lalu aku datang kepada Mu'awiah, maka aku ceriterakan kepadanya.
Lalu ia menjawab: "Hai Walid! Bapakmu telah memerdekakan kamu dari
perbudakan kesalahan". Maka membuka rahasia itu suatu pengkhianatan. Dan
itu haram, apabila ada padanya mendatangkan kerugian. Dan tercela, jikalau tak
ada padanya kerugian. Dan telah kami sebutkan apa yang menyangkut dengan menyembunyikan
rahasia, pada "Kitab Adab Berteman". Maka tidak perlu lagi diulangi.
BAHAYA KETIGA
BELAS: janji dusta.
Sesungguhnya lidah itu
mendahului kepada janji. Kemudian, kadang‑kadang jiwa tidak membolehkan agar
janji itu ditepati. Lalu jadilah menyalahi janji. Dan yang demikian itu
setengah dari tanda‑tanda nifaq (tanda-tanda orang munafiq). Allah Ta’ala
berfirman: "Hai orang‑orang yang
beriman! Tepatilah segala janji!”. S
5 Al Maa-idah ayat 1. Nabi saw bersabda: "Janji itu suatu
pemberian". Nabi saw bersabda: "AI‑wa’yu
(janji) itu seperti hutang atau
lebih utama daripada hutang". Allah Ta’ala memuji nabi Allah Ismail as
dalam Kitab Allah yang mulia. Ia berfirman: "Sesungguhnya dia (Nabi Ismail
as) adalah seorang yang membenari (memenuhi) janji". S 19 Maryam ayat 54.
Dikatakan, bahwa nabi Ismail as berjanji dengan seorang insan pada suatu
tempat. Lalu orang tersebut tiada kembali ketempat tadi, karena lupa. Maka
tinggallah nabi Ismail as ditempat itu selama 22 hari menunggu kedatangannya.
Tatkala Abdullah bin Umar hampir
wafat, lalu ia berkata: "Sesungguhnya seorang laki‑laki dari suku Quraisy
telah meminang anak‑perempuanku. Dan sesungguhnya sudah menyerupai janji
daripadaku kepadanya. Maka, demi Allah kiranya aku tidak menemui Allah dengan
sepertiga nifaq. Aku saksikan kamu, bahwa aku telah mengawinkan anak‑perempuanku
dengan laki‑laki itu".
Dari Abdullah bin Abil‑Khansa',
yang mengatakan: "Aku telah berjual‑beli dengan Nabi saw sebelum beliau
diutus menjadi rasul Tuhan. Dan masih ada sisa kepunyannya padaku. Aku
berjanji dengan dia, bahwa aku akan datang membawa sisa itu ke tempatnya. Lalu
aku lupa pada hari tersebut dan besoknya. Baru aku datang kepadanya pada hari
ke 3 dan beliau berada pada tempatnya itu. Lalu beliau bersabda: "Hai anak
muda! Engkau sudah menyusahkan aku. Aku disini semenjak 3 hari yang Ialu
menunggu engkau".
Ditanyakan kepada Ibrahim An‑Nakha’i,
tentang seseorang yang berjanji dengan seseorang. Lalu orang itu tidak datang.
Ibrahim An‑Nakha'i menjawab: "Supaya ia menunggu, sampai masuk waktu
shalat yang akan datang". Rasulu'llah saw apabila berjanji dengan suatu
janji, mengatakan: "Asaa" artinya mudah-mudahan. Ibnu Mas'ud apabila
berjanji dengan suatu janji, mengatakan: "Insya Allah" artinya jika
dikehendaki Allah. Dan itu adalah lebih utama.
Kemudian, apabila dipahami dari
perkataan itu, akan keteguhan pada janji, maka tak boleh tidak harus ditepati,
kecuali berhalangan. Jikalau waktu berjanji, sudah ada keteguhan tidak akan ditepati,
maka ini nifaq namanya. Abu Hurairah berkata: Nabi saw bersabda: "Tiga
perkara, barang siapa ada pada tiga perkara itu, maka dia itu orang munafiq,
walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendakwakan bahwa ia muslim.
Yaitu: apabila berbicara, ia berdusta, apabila berjanji, ia menyalahi janji
dan apabila dipercayai, ia berkhianat".
Abdullah bin 'Amr ra berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Empat perkara, barangsiapa ada padanya,
niscaya dia itu orang munafiq. Dan barangsiapa ada padanya suatu sifat dari
yang empat itu, niscaya ada padanya suatu sifat dari nifaq, sehingga
ditinggalkannya sifat tersebut. Yaitu: Apabila berbicara, ia berdusta. Apabila
berjanji, ia menyalahi janji. Apabila membuat suatu perjanjian, ia membelok.
Dan apabila bermusuh‑musuhan, ia menganiaya (zalim)". Hadits ini
ditempatkan terhadap orang yang berjanji dan ia bercita‑cita menyalahi janji
tersebut. Atau meninggalkan menepatinya tanpa ada halangan. Adapun orang yang
bercita‑cita akan menepatinya, lalu datanglah halangan yang mencegahnya
daripada menepatinya, niscaya ia tidak termasuk orang munafiq. Walaupun berlaku
padanya bentuk nifaq. Akan tetapi sayogialah dijaga juga dari bentuk nifaq itu,
sebagaimana dijaga dari hakikat/maknanya. Dan tiada sayogianya menjadikan
dirinya berhalangan, tanpa ada darurat (keadaan terpaksa) yang menghalanginya.
Diriwayatkan: "bahwa
Rasulu'llah saw menjanjikan seorang
pembantu (khadim) kepada Abulhaitam bin At‑Tayyihan. Lalu beliau mendatangkan
tiga orang tawanan perang. Maka diberinya dua orang dan tinggallah satu orang.
Kemudian datanglah Fathimah ra meminta seorang pembantu dari Rasulu'llah saw.
Dan ia berkata: "Tidakkah ayah anda melihat bekas menggiling bumbu makanan
pada tanganku?". Rasulu'llah saw Ialu menyebut janjinya kepada
Abulhaitsam, seraya bersabda: “Bagaimana dengan janjiku kepada
Abulhaitsam?". Rasulu'llah saw mendahulukan Abulhaitsam daripada Fathimah
ra mengenai pembantu itu. Karena ia telah lebih dahulu berjanji kepada
Abulhaitsam, sedang Fathimah ra menggiling bumbu makanan dengan tangannya yang
lemah.
Adalah Nabi saw duduk membagi
harta rampasan perang Hawazin di Hunain. Lalu berdirilah seorang laki‑laki dari
orang banyak dihadapan Nabi saw. Orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah!
Sesungguhnya ada janjimu untukku!”. Nabi saw menjawab: "Benar engkau!
Engkau boleh memutuskan menurut kehendak engkau". Orang itu lalu
menjawab: "Aku memutuskan 80 domba‑betina dan penggembalanya". Nabi
saw menjawab: "Boleh itu untuk engkau”. Dan Nabi saw menambahkan:
"Engkau telah menetapkan hukum dengan mudah”.
Seorang wanita tua yang menemani
Musa as, yang menunjukkan kepadanya tulang belulang Yusuf as, adalah lebih
kokoh dan lebih banyak hukumnya daripada engkau, ketika ia diberi hak hukum
(untuk memutuskan sesuatu) oleh Nabi Musa as. Wanita itu Ialu berkata:
"Hukumku, ialah: bahwa engkau kembalikan aku muda dan masuk sorga bersama
engkau". ( Menurut riwayat, lalu Nabi Musa as berdo'a kepada Allah, supaya
wanita itu muda kembali. Maka diterima oleh Allah do'anya. Dan wanita itu
menjadi cantik kembali dan diterima pula do'anya supaya wanita itu masuk sorga
bersama Nabi Musa as. Maka wanita itu menunjukkan tempat tulang belulang nabi
Yusuf as pada dasar sungai Nil. Lalu Nabi Musa as meletakkkan tongkatnya, maka
terbelahlah air dan kelihatanlah petinya. Nabi Musa as membawa peti itu ke
Baitul maqdis dan dikuburkan disana ). Dikatakan, lalu orang banyak tadi
memandang lemah apa yang diputuskan oleh orang laki‑laki itu. Sehingga laki‑laki
tersebut dibuat menjadi pepatah, dimana dikatakan: Lebih kikir dari orang yang punya 80 domba betina dan penggembalanya. Nabi
saw bersabda: “Tidaklah menyalahi janji, bahwa seseorang berjanji dengan
seseorang dan pada niatnya akan menepatinya”. Pada bunyi hadist yang lain
ialah: "Apabila seseorang berjanji dengan saudaranya dan pada niatnya akan
menepatinya, lalu tidak diperolehnya jalan, maka tidaklah dosa atas
dirinya".
BAHAYA KEEMPAT
BELAS: dusta pada perkataan dan sumpah.
Itu termasuk dosa yang paling
buruk dan kekurangan yang paling keji. Ismail bin Wasith berkata: "Aku
mendengar Abubakar Ash‑Shiddiq ra berkhutbah sesudah wafat Rasulu'llah saw.
Beliau berkata: "Berdiri ditengah‑tengah kami Rasulu'llah saw pada tempat
aku berdiri ini, ditahun pertama. Kemudian beliau menangis, dan seraya
bersabda: "Awaslah berdusta! Sesungguhnya orang yang berdusta itu bersama
orang yang zalim. Keduanya dalam neraka". Abu Amamah berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa dusta itu suatu pintu dari pintu‑pintu
nifaq". Al-Hasan AI‑Bashari
berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa termasuk nifaq, berbeda rahasia dan
yang terang, berbeda perkataan dan perbuatan dan berbeda masuk dan keluar.
Sesungguhnya pokok yang terbangun nifaq padanya, ialah: “dusta". Nabi saw
bersabda: “Amat besarlah khianatnya, bahwa engkau berbicara sesuatu pembicaraan
dengan saudara engkau, dimana ia membenarkan engkau dan engkau dusta dengan
pembicaraan tersebut".
Ibnu Mas'ud berkata: "Nabi
saw bersabda: "Selalulah seorang hamba itu berdusta dan merasa patut
berdusta. Sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: amat pendusta”. Rasulu'llah saw lalu ditempat dua orang laki‑laki, yang
berjual beli seekor kambing dan keduanya sumpah‑menyumpah. Salah seorang dari
keduanya berkata: "Demi Allah! Tidak akan aku kurangkan bagimu dari sekian
dan sekian". Lalu yang lain berkata: “Demi Allah! Tidak akan aku tambahkan
bagimu diatas sekian dan sekian". Lalu Rasulu'llah saw datang pada
kambing itu dan sudah dibeli oleh salah seorang dari keduanya. Lalu Nabi
bersabda: "Diwajibkan salah seorang dari keduanya: dosa dan kafarat
sumpah". Nabi saw bersabda: "Dusta itu mengurangkan rezeki".
Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya saudagar‑saudagar itu orang‑orang
yang zalim". Lalu ditanyakan: "Wahai Rasulu'llah! Bukankah Allah
telah menghalalkan berjual‑beli?". Nabi saw menjawab: "Ya, benar!
Tetapi mereka itu bersumpah, maka mereka berdosa. Dan mereka berkata‑kata,
lalu mereka berdusta". Nabi saw bersabda: "Tiga golongan manusia,
yang Allah Ta’ala tidak berkata‑kata dengan mereka pada hari kiamat dan tidak
memandang kepada mereka. Yaitu: orang yang menyebut‑nyebut dengan
pemberiannya, orang yang melakukan barang dagangannya dengan sumpah palsu dan
orang yang merendahkan kain sarungnya" (melambangkan tanda kesombongan
dari itu maka dipandang tidak baik). Nabi saw bersabda: "Apabila seorang
bersumpah dengan membawa nama Allah,
lalu dimasukkannya dalam sumpah itu seperti sayap lalat, maka adalah suatu
titik pada hatinya sampai hari kiamat".
Abu Dzart berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Tiga orang,
dicintai mereka oleh Allah Ta’ala. Yaitu: laki‑laki yang ada dalam jama'ah teman-temannya. Lalu menegakkan
lehernya menghadapi musuh, sehingga ia terbunuh atau ia dimenangkan oleh Allah
dan teman‑temannya. Dan laki‑laki yang
mempunyai tetangga jahat yang menyakitinya. Maka ia bersabar diatas kesakitan
itu. Sehingga dipisahkan diantara keduanya oleh mati atau pindah. Dan laki‑laki, dimana bersama dia ada suatu
kaum dalam perjalanan jauh atau perjalanan malam. Lalu mereka itu meneruskan
perjalanan malam itu, sehingga mengherankan mereka, oleh menyintuhkan tanah
(maksudnya sangat tertidur). Maka mereka itu turun dari kenderaan. Lalu laki‑laki
tersebut berpindah tempat untuk mengerjakan shalat, sampai ia membangunkan
teman‑temannya itu untuk meneruskan perjalanan. Dan tiga macam
manusia yang dimarahi Allah. Yaitu: “Pedagang atau penjual
yang suka bersumpah, orang miskin yang sombong dan orang kikir yang suka
menyebut‑ nyebut pemberiannya". Nabi saw bersabda: “Neraka bagi orang yang
berbicara, lalu berdusta, untuk menertawakan orang banyak dengan
pembicaraannya itu. Neraka baginya ‑ neraka baginya".
Nabi saw bersabda: "Aku
bermimpi seolah‑olah seorang laki‑laki datang padaku. Lalu ia berkata kepadaku:
"Bangunlah!”. Lalu aku bangun bersama dia. Tiba‑tiba aku bersama dua
orang laki‑laki. Yang seorang berdiri dan yang lain duduk. Ditangan yang
berdiri itu, besi yang bengkok kepalanya, yang dimasukkannya kedalam mulut
yang duduk. Lalu ditariknya, sehingga sampai keatas bahunya. Kemudian
ditariknya lagi, lalu dimasukkannya kepinggir yang lain, maka dipanjangkan
nya. Apabila telah dipanjangkannya, niscaya yang lain itu kembali, sebagaimana
yang telah ada tadi. Lalu aku bertanya kepada orang, yang meminta aku berdiri
tadi: "Apakah ini?” Orang itu lalu, menjawab: "Inilah laki‑laki
pendusta, yang diazabkan dalam kuburnya sampai hari kiamat".
Dari Abdullah bin Jarrad, dimana
ia berkata: "Aku bertanya kepada Rasulu'llah saw, seraya aku berkata:
"Wahai Rasulu'llah! Adakah orang mu'min itu berzina?". Rasulu’llah
saw menjawab: "Kadang‑kadang ada yang demikian". Abdullah bin Jarrad
bertanya lagi; "Wahai Nabi Allah! Adakah orang mu'min itu
berdusta?". Rasulu'llah saw menjawab: "Tidak!”. Kemudian, Rasulu'llah
saw menyambungkannya dengan firman Allah Ta’ala: "Hanyalah orang‑orang yang tidak percaya kepada keterangan‑keterangan
Allah itulah yang mengada‑adakan kedustaan". S16 An Nahl ayat 105.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata:
"Aku mendengar Rasulu'llah saw berdo'a, seraya mengucapkan dalam
do'anya: "Wahai Allah Tuhanku!
Sucikanlah hatiku dari nifaq, kemaluanku dari zina dan lidahku dari
dusta". Nabi saw bersabda: "Tiga golongan manusia, dimana Allah
Ta’ala tiada berkata‑kata dengan mereka, tiada memandang kepada mereka dan
tiada mensucikan mereka. Dan bagi mereka siksaan yang pedih. Yaitu: guru
(syaikh) yang berzina, raja yang berdusta dan orang miskin yang
sombong".
Abdullah bin 'Amir berkata:
"Rasulu'llah saw datang kerumah kami dan aku (waktu itu) kanak‑kanak masih
kecil. Lalu aku pergi untuk bermain-main. Maka ibuku berkata: "Hai
Abdullah! Mari, supaya aku berikan kepadamu sesuatu!”. Lalu Rasulu'llah saw
bersabda: "Apakah yang mau engkau berikan kepadanya?". Ibu itu
menjawab: "Tamar!”. Lalu Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya
jikalau tidak engkau perbuat, niscaya dituliskan pada engkau suatu
kedustaan". Nabi saw bersabda: "Jikalau Allah Ta’ala menganugerahkan
kepadaku nikmat menurut bilangan batu ini, niscaya aku bagi‑bagikan diantara
kamu. Kemudian, kamu tiada akan mendapati aku orang yang kikir, yang berdusta
dan yang penakut". Nabi saw bersabda dan beliau waktu itu bersandar:
"Tidakkah aku beri tahukan kepadamu, dosa besar yang terbesar?. Yaitu:
“mempersekutukan Allah dan mendurhakai ibu‑bapa". Kemudian beliau duduk,
seraya bersabda: “Ketahuilah: dan berkata
dusta".
Ibnu Umar berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba Allah yang
berbuat dusta dengan suatu kedustaan, maka jauhlah malaikat daripadanya, sejauh
perjalanan satu mil, dari karena busuknya apa yang didatangkannya". Anas
bin Malik ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Tanggunglah untukku dengan
6 perkara, niscaya aku tanggung untukmu dengan sorga". Mereka (para
shahabat) lalu bertanya: "Apakah yang 6 perkara itu?". Rasulu'llah
saw menjawab:
1. Apabila seorang kamu berbicara, maka jangan ia
berdusta.
2. Apabila ia berjanji, maka jangan ia
menyalahinya.
3. Apabila ia diberi kepercayaan (amanah), maka Jangan
ia berkhianat.
4. Dan tutuplah matamu!
5. Jagalah kemaluanmu!
6. Dan cegahlah tanganmu.
Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya setan itu mempunyai celak (kahalan), barang yang disendok
dalam mulut (Ia’uuq) dan barang yang dihirup dalam hidung (nasyuuq). Adapun
barang yang disendok dalam mulut itu, maka itulah: dusta. Dan barang yang dihirup dalam hidung itu, maka itulah:
marah. Adapun celaknya (benda seperti tepung yang dipakai pada mata), ialah: “tidur”.
Pada suatu hari 'Umar ra
berpidato. Beliau berkata: "Rasulu'llah saw berdiri ditengah‑tengah kami,
seperti berdirinya aku ini ditengah‑tengah kamu. Lalu beliau bersabda:
"Berbuat‑baiklah kepada shahabat‑shahabatku, kemudian kepada mereka yang
kemudiannya (para pengikutnya atau tabi'in). Kemudian berkembanglah dusta.
Sehingga bersumpahlah seorang laki‑laki diatas sumpah dan tidak diminta
sumpahnya. Ia naik saksi dan tidak diminta kesaksiannya".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
membicarakan daripadaku sesuatu hadits, padahal ia tahu, bahwa itu dusta, maka
adalah ia salah seorang pendusta". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
bersumpah diatas sesuatu sumpah dengan dosa, untuk mengambil harta manusia
muslim dengan tidak sebenarnya, niscaya ia menemui Allah 'Azza wa Jalla dan
Allah sangat marah kepadanya". Diriwayatkan, dari Nabi saw, bahwa:
"Nabi saw menolak kesaksian seseorang laki‑laki dalam kedustaan yang
didustainya", Nabi saw bersabda: "Diatas setiap perkara itu mungkin
menjadi tabiat atau dilalui padanya orang Islam, selain khianat dan
dusta".
Aisyah berkata: "Tiadalah
suatu tingkah‑laku yang sangat berat diatas para shahabat Rasulu'llah saw,
selain daripada: dusta. Dan adalah Rasulullah
saw melihat pada salah seorang shahabatnya diatas kedustaan. Maka tiada hilang
ia dari dada Rasulu'llah saw, sebelum beliau tahu, bahwa shahabatnya itu telah
bertobat kepada Allah 'Azza wa Jalla dari kedustaan tersebut". Nabi Musa
as berdo'a: "Wahai Tuhanku! Yang manakah dari hambaMu yang terbaik
amalannya kepadaMu?". Allah Ta’ala berfirman: "Siapa yang tidak
berdusta lidahnya, tidak zalim hatinya dan tidak berzina kemaluannya".
Lukman berkata kepada anaknya.
"Hai anakku! Takutilah berdusta! Karena dusta itu disukai, seperti daging
burung pipit. Amat sedikit yang tidak disukai oleh yang berdusta itu sendiri".
Nabi saw bersabda, memujikan kebenaran (berkata benar): "Empat perkara
apabila ada pada kamu, niscaya tidak mendatangkan melarat kepadamu, apa yang
tidak kamu peroleh dari dunia, yaitu: “benar
pembicaraan, memelihara amanah, bagus tingkah‑laku dan menjaga makanan (dari yang haram atau yang diragukan
halalnya)".
Abubakar ra mengucapkan dalam
pidatonya sesudah wafat Rasulu'llah saw: "Rasulu'llah saw berdiri ditengah‑tengah
kami pada tahun pertama seperti berdirinya aku ini. Kemudian beliau menangis
& bersabda: "Haruslah kamu benar! Sesungguhnya kebenaran itu bersama
kebajikan & keduanya itu dalam sorga"
Mu'az berkata: "Rasulu'llah
saw bersabda kepadaku: "Aku nasehatkan engkau, bertaqwa kepada Allah,
benar pembicaraan, menunaikan amanah, menepati janji, memberi salam dan
merendahkan diri". Adapun atsar (Kata‑kata
shahabat dan orang-orang terkemuka), diantara lain Ali ra berkata:
"Kesalahan yang terbesar pada sisi Allah, ialah: lidah yang banyak dustanya. Dan penyesalan yang terburuk, ialah: “penyesalan pada hari kiamat”.
Umar bin Abdul Aziz ra berkata:
"Tiada pernah aku berdusta dengan suatu kedustaanpun, semenjak aku dapat
mengikat kain sarungku". 'Umar bin Al-Khath‑thab ra berkata: “Yang paling
kami sukai dari kamu, ialah: selama kami tiada melihat namamu yang terbaik.
Apabila kami melihat kamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: kamu yang terbaik tingkah‑lakunya. Apabila
kami mencobai kamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: yang paling benar pembicaraannya dan yang paling besar amanahnya”.
Dari Maimun bin Abi Syubaib,
yang mengatakan: "Aku duduk menulis suatu‑kitab, Ialu aku sampai pada
suatu huruf. Jikalau aku tuliskan huruf tersebut, niscaya aku sudah menghiasi
kitab itu. Dan aku sudah berdusta. Maka aku berazam meninggalkannya, Ialu aku
terpanggil dari pinggir rumah, dengan suara:
"Allah meneguhkan kedudukan orang‑orang yang beriman dengan perkataan
yang teguh dalam kehidupan dunia ini dan hari akhirat” S 14 Ibrahim ayat 27.
Asy‑Sya'bi berkata: "Saya tidak tahu, yang manakah yang lebih jauh
dalamnya dalam neraka: “pendusta atau
orang kikir”. Ibnus‑Sammak berkata:
"Aku tidak melihat, diriku diberi pahala, dengan meninggalkan dusta.
Karena aku meninggalkannya karena sombong". Ditanyakan Khalid bin Shubaih:
"Adakah dinamakan seseorang itu pendusta dengan sekali dusta?".
Khalid menjawab: "Ya, benar!”. Malik bin Dinar berkata: "Aku membaca
pada setengah kitab‑kitab yang maksudnya: “Masing‑ masing orang berkhutbah
(khatib) itu, didatangkan khutbahnya menurut amal ‑ pekerjaannya. Jikalau ia
benar, niscaya benarlah dia. Dan jikalau ia dusta, maka kedua bibirnya
digunting dengan gunting api neraka. Setiap kali kedua bibir itu digunting,
Ialu tumbuh kembali". Malik' bin Dinar berkata: "Benar dan dusta itu
keduanya berperang dalam hati, sehingga dikeluarkan oleh salah satu daripada
keduanya akan temannya”. 'Umar bin Abdul aziz berbicara dengan Al-Walid bin
Abdulmalik tentang sesuatu. Lalu Al-Walid berkata kepada 'Umar: "Engkau
dusta!”. Lalu 'Umar menjawab: "Tidak pernah aku berdusta, semenjak aku
tahu, bahwa dusta itu memburukkan orang yang berdusta".
PENJELASAN: tentang hal‑hal yang dibolehkan berdusta.
Ketahuilah, bahwa dusta itu tidaklah haram karena
diri dusta itu sendiri. Tetapi, karena ada padanya melarat kepada orang yang
ditujukan atau kepada lainnya. Sekurang‑kurang tingkat melarat itu, ialah:
bahwa yang berceritera itu berkeyakinan akan sesuatu, kebalikan dari yang
sebenarnya. Maka orang tersebut adalah orang bodoh. Dan kadang‑kadang
menyangkut melarat itu kepada orang lain dengan kedustaan tersebut. Dan banyak
pada kebodohan itu terdapat kemanfaatan dan kemuslihatan. Maka dusta itu
menghasilkan kebodohan tersebut, Lalu kedustaan itu diizinkan. Dan kadang‑kadang
dusta itu wajib.
Maimun bin Mahran berkata:
"Kedustaan pada setengah tempat itu lebih baik daripada benar. Jikalau
engkau melihat, bahwa seorang laki‑laki berjalan dibelakang seorang manusia,
dengan rnembawa pedang untuk membunuhnya. Lalu orang itu masuk kesebuah
kampung. Maka sampailah laki-laki itu kepada engkau, seraya ia bertanya:
"Adakah engkau melihat si Anu?". Apakah yang akan engkau katakan?
Tidakkah engkau akan menjawab: "Aku tidak melihatnya". Dan orang itu
tidak bersikap benar dengan penjawabannya?. Dan kedustaan ini wajib. Maka kami
menerangkan, bahwa perkataan itu jalan kepada maksud. Tiap tiap maksud yang
terpuji, yang mungkin sampai kepadanya dengan benar dan dusta, maka kedustaan
padanya haram. Dan jikalau mungkin sampai kepadanya dengan kedustaan, tidak
dengan kebenaran, maka kedustaan padanya diperbolehkan (mubah), jikalau adalah
menghasilkan maksud tersebut mubah. Dan wajib, jikalau maksud itu wajib.
Seperti memelihara darah orang Islam dari penumpahan itu wajib. Maka manakala
pada kebenaran itu menumpahkan darah manusia muslim, yang bersembunyi dari orang
zalim, maka kedustaan dalam hal ini wajib hukumnya. Dan manakala tidak sempurna
maksud peperangan atau memperbaiki selang‑sengketa atau menarik hati orang
yang teraniaya, selain dengan dusta, maka dalam hal ini, kedustaan itu
mubah(diperbolehkan). Hanya sayogialah dijaga daripadanya sedapat mungkin.
Karena apabila ia membuka pintu kedustaan pada dirinya, maka ditakuti bahwa
kedustaan itu akan membawa kepada yang tiada perlu dan kepada yang tidak
terbatas kepada batas yang darurat saja. Maka pada pokoknya, kedustaan itu
haram, selain karena darurat. Dan yang menunjukkan kepada pengecualian itu,
ialah yang dirawikan dari Ummi Kalsum, yang mengatakan: "Aku tidak
mendengar Rasulu'llah saw memberi keringanan berdusta pada sesuatu, kecuali
pada tiga tempat. Yaitu: orang yang mengatakan sesuatu perkataan, yang
dimaksudkannya untuk perbaikan, orang
yang mengatakan sesuatu perkataan dalam peperangan
dan orang yang berbicara dengan isterinya
dan isteri yang berbicara dengan suaminya".
Ummi Kalsum berkata pula: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tidaklah
dinamakan pendusta, orang yang memperbaiki diantara dua orang yang berselisih.
Lalu ia mengatakan yang baik atau ia menambahkan yang baik”.
Asma' binti Yasid berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Tiap‑tiap kedustaan itu dituliskan
terhadap anak Adam (manusia), selain orang yang berdusta diantara dua orang
muslim untuk memperbaiki diantara keduanya". Diriwayatkan dari Abu Kahil
yang mengatakan: "Telah terjadi diantara dua orang shahabat Nabi saw
perkataan (percekcokan), hingga keduanya berputus‑putusan silaturrahim. Lalu
aku jumpai salah seorang daripada keduanya. Aku bertanya: "Ada apa
diantara anda dengan si Anu? Aku sesungguhnya mendengar ia selalu memuji
anda". Kemudian, aku jumpai yang lain, seraya aku mengatakan kepadanya
seperti itu pula. Sehingga keduanya berdamai. Kemudian, aku berkata, bahwa aku
telah membinasakan diriku dan aku memperbaiki diantara dua orang tersebut. Lalu
aku ceriterakan kepada Nabi saw maka beliau bersabda: "Hai Abu Kahil,
perbaikilah diantara manusia!”. walau
dengan dusta sekalipun.
'Atha' bin Yassar berkata:
"Seorang laki‑laki bertanya kepada Nabi saw: "Bolehkah aku berdusta
kepada istriku". Maka Nabi saw menjawab: “Tak ada baiknya pada
kedustaan". Laki‑laki tersebut berkata seterusnya: "Aku berjanji
kepada istriku dengan sesuatu janji dan aku katakan kepadanya". Lalu Nabi
saw menjawab: “Tiada dosa atas kamu!”.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Abi
'Udzarah Ad‑Duali melakukan khulu' dengan wanita‑wanita yang dikawininya. Dan
hal ini terjadi pada masa pemerintahan (khilafah) 'Umar ra. Maka
berterbanganlah berita pada orang banyak dari yang demikian, dimana ia tiada
menyukainya. Sewaktu ia tahu yang demikian, lalu dipegangnya tangan Abdullah
bin AI‑Arqam, dibawanya sampai datang dirumahnya. Kemudian, Ibnu Abi 'Udzrah
bertanya kepada istrinya: "Aku minta kepada engkau dengan sumpah dengan
nama Allah. Adakah engkau marah kepadaku?". Lalu istrinya menjawab:
"Jangan engkau minta kepadaku dengan sumpah!”. Ibnu Abi 'Udzrah menjawab:
“Sesungguhnya aku meminta kepada engkau dengan sumpah dengan nama Allah".
Lalu isterinya menjawab: "Benar, aku marah kepada engkau". Ibnu Abi
'Udzrah lalu bertanya kepada Abdullah bin AI‑Arqam: "Adakah engkau
mendengar apa yang dikatakannya?". Kemudian, keduanya (Ibnu Abi 'Udzrah
dan Abdullah bin AI‑Arqam) pergi, sehingga keduanya datang kepada Umar ra.
Maka berkata Ibnu Abi ‘Udzrah: “Sesungguhnya kamu membicarakan, bahwa aku orang
yang paling menganiaya wanita dan melaksanakan khuluk/perceraian terhadap
mereka. Maka tanyalah kepada Abdullah bin AI‑Arqam!”. Lalu Umar ra bertanya
kepada Abdullah, maka Abdullah menceriterakannya. Umar ra lalu mengutus orang
kepada isteri Ibnu Abi 'Udzrah. Maka datanglah wanita itu bersama pamannya. Lalu Umar ra bertanya kepada wanita
itu: "Engkau yang menceriterakan terhadap suami engkau, bahwa engkau marah
kepadanya?". Maka wanita itu menjawab: "Sesungguhnya aku orang
pertama yang bertobat dan kembali menyerahkan kepada urusan Allah Ta’ala.
Sesungguhnya suamiku itu, meminta aku bersumpah. Maka aku takut akan berdosa,
jikalau aku berdusta. Apakah, aku berdusta, wahai Amirul‑mu'minin?". Umar
ra menjawab: "Ya, berdustalah! Jikalau salah seorang dari kamu tiada
menyukai akan salah seorang dari kami, maka janganlah engkau membicarakannya
dengan yang demikian! Karena sedikit‑dikitnya rumah itu dibangun diatas
kecintaan. Tetapi manusia itu bergaul dengan kesejahteraan dan
perhitungan".
Dari An‑Nawwas bin Sam'an AI‑Kallabi,
yang berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apa kiranya yang
menyebabkan aku melihat kamu berjatuhan dalam kedustaan, sebagaimana berjatuhan
kupu‑kupu dalam api? Tiap‑tiap kedustaan itu akan ditulis sudah pasti diatas
anak Adam (manusia), kecuali orang yang berdusta dalam peperangan. Karena
perang itu tipuan. Atau ada permusuhan diantara dua orang, lalu ia memperbaiki
diantara dua orang tersebut. Atau ia berbicara dengan istrinya yang akan
menyenangkannya”.
Tsauban berkata: "Dusta itu
semuanya dosa, kecuali yang bermanfa'at kepada orang muslim atau yang menolak
melarat dari orang muslim". Ali ra berkata: "Apabila aku berbicara
dengan kamu dari hal Nabi saw, maka aku lebih suka bahwa aku jatuh dari langit
kebumi, daripada aku berbuat kedustaan kepadanya. Dan apabila aku berbicara
dengan kamu tentang hal yang menyangkut, diantara aku dan kamu, maka perang
itu tipuan". Maka tiga perkara tersebut telah tegas dikecualikan. Dan
yang seperti tiga perkara itu, ialah lain‑lainnya, apabila ada menyangkut
maksud yang benar untuk orang itu sendiri atau untuk orang lain. Adapun
mengenai hartanya, maka umpamanya: bahwa harta itu akan diambil oleh orang
zalim. Dan orang zalim tersebut menanyakannya tempat harta itu. Maka boleh ia
membantahnya. Maka boleh ia memungkirinya. Atau mau diambil oleh penguasa. Lalu
penguasa itu menanyakan tentang perbuatan keji yang dikerjakan nya, diantara dia dan Allah Ta’ala
(maksudnya, hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya). Maka boleh ia membantahnya
yang demikian, seraya ia mengatakan: "Aku tidak berzinah dan aku tidak
mencuri".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
berbuat sesuatu dari kekotoran‑kekotoran ini, maka hendaklah ia menutupinya
dengan tutupan Allah (tidak diceriterakan nya kepada seseorang)". Yang
demikian itu, ialah bahwa melahirkan kekejian (menyatakan kepada orang lain)
itu, merupakan suatu kekejian lagi. Maka bagi seseorang berhak menjaga darahnya
dan hartanya yang akan diambil daripadanya, secara zalim. Dan menjaga
kehormatannya dengan lidahnya, walaupun ia berdusta. Adapun kehormatan orang
lain, maka dengan ia ditanyakan tentang rahasia temannya. Maka baginya
membantahnya. Dan ia memperbaiki diantara dua orang yang berselisih. Dan ia
memperbaiki diantara madu‑madu isterinya, dengan melahirkan kepada masing‑masing
istrinya, bahwa ia amat mencintainya. Dan kalau isterinya tidak mau
menta'atinya, kecuali dengan suatu janji yang tidak disanggupinya, maka ia
menjanjikannya waktu itu juga, untuk membaikkan hati isterinya. Atau ia
meminta ma'af kepada seseorang dan hatinya tidak akan baik, kecuali dengan
memungkiri dosa dan menambah kan kasih‑sayang. Maka tiada mengapa dengan
demikian. Tetapi batas padanya itu, bahwa kedustaan itu ditakuti. Jikalau ia
bersikap benar pada tempat‑tempat tersebut, niscaya terjadilah padanya yang
ditakuti. Maka sayogialah ia membandingkan, diantara yang satu dengan lainnya.
Dan ia menimbang dengan timbangan yang adil. Apabila diketahuinya, bahwa yang
ditakuti, yang terjadi dengan sikap benar itu, akan lebih mendalam pengaruhnya
pada Agama, dibandingkan dengan dusta, maka bolehlah ia berdusta. Dan jikalau
maksud tersebut lebih ringan dari maksud benar, maka wajiblah bersikap benar.
Dan kadang‑kadang berhadapan dua hal, dimana ia bimbang padanya. Dan ketika
itu, kecenderungan kepada kebenaran itu lebih utama. Karena kedustaan itu diperbolehkan
karena darurat atau keperluan yang penting. Jikalau ia ragu tentang adanya
keperluan itu penting, maka pada pokoknya diharamkan. Lalu kembalilah kepada
pokok itu. Karena sulitnya mengetahui tingkat‑tingkat maksud itu, sayogialah
manusia menjaga diri dari dusta, selama memungkin kepadanya. Begitu pula, manakala
ada keperluan bagi dirinya, maka disunatkan ia meninggalkan maksud‑maksudnya
dan menjauhkan kedustaan. Apabila menyangkut dengan maksud orang lain, maka
tidak boleh bertoleransi (musamahah), karena hak orang lain. Dan mendatangkan
kemelaratan dengan yang demikian. Kebanyakan kedustaan manusia, sesungguhnya
itu, karena untung tuah diri mereka itu sendiri. Kemudian, itu karena
bertambahnya harta dan kemegahan. Dan karena hal‑hal, yang tidak hilangnya itu
ditakuti. Sehingga seorang wanita sesungguhnya, menceritera kan tentang
suaminya, apa yang dibanggakannya. Dan ia berdusta karena menyakitkan hati madu‑madunya.
Dan yang demikian itu haram hukumnya.
Asma' binti Abubakar Siddik
(istri Az‑Zubair ra) berkata: "Aku mendengar seorang wanita bertanya
kepada Rasulu'llah saw yang mengatakan: "Aku sesungguhnya mempunyai
seorang madu. Aku membanyakkan ceritera, tentang suamiku, yang tidak
diperbuatnya, untuk menyusahkan hati maduku dengan yang demikian. Adakah
sesuatu atas diriku pada yang demikian?". Lalu Nabi saw menjawab:
"Orang yang membuat‑buat kekenyangan, dengan sesuatu yang tidak
diberikan, adalah seperti orang yang memakai dua pakaian bohong". Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa yang membuat‑buat memakan, dengan apa, yang tidak ia
diberi makan atau ia mengatakan, bahwa: barang ini kepunyaanku, pada hal bukan
kepunyaannya atau aku diberikan, pada hal tidak diberikan kepadanya, maka ia
adalah seperti orang yang memakai dua kain bohong pada hari kiamat". Dan
masuk dalam bagian ini, fatwa seorang yang berilmu (orang alim), apa yang tidak
diyakininya dengan dalil. Dan diriwayatkannya hadits yang tidak diyakini
adanya. Karena maksudnya, adalah untuk melahirkan kelebihan dirinya. Maka
karena itu, ia menyombongkan dirinya, daripada ia mengatakan: "Saya tidak
tahu". Sikap yang begini adalah haram hukumnya. Dan termasuk yang dapat
dihubungkan dengan kaum wanita, ialah: kanak-kanak.
Sesungguhnya anak‑anak, apabila ia tidak suka kesekolah, kecuali dengan
janji yang muluk‑muluk atau dengan ancaman atau dengan gertak yang bohong,
niscaya adalah yang demikian itu diperbolehkan. Ya, benar, kami merawikan pada
beberapa hadits, bahwa yang demikian itu, dituliskan selaku perbuatan dusta.
Akan tetapi, kedustaan yang diperbolehkan, juga kadang-kadang ditulis. Dan
dilakukan hitungan amal atas orang yang berdusta itu. Dan dituntut dengan
membenarkan maksudnya pada yang demikian. Kemudian, ia dima'afkan. Karena
sesungguhnya diperbolehkan dengan maksud perbaikan (ishlah). Dan berjalan
kepadanya tipuan besar. Karena, kadang‑kadang yang menggerakkan kepada yang
demikian itu, untung tuahnya dan maksudnya yang tidak diperlukan. la hanya
mencari dalih pada zahiriahnya, dengan dalih perbaikan. Maka karena itulah, ia
ditulis (dalam daftar amalannya diakhirat). Tiap‑tiap orang yang berbuat suatu
kedustaan, maka sesungguhnya ia telah jatuh dalam bahaya berfikir sungguh‑sungguh (ijtihad). Supaya ia tahu, bahwa maksud
yang membawa ia berdusta lantaran maksud itu, adakah berdusta itu lebih penting
pada Agama, daripada berkata benar, atau tidak? Dan itu adalah sulit sekali.
Dan yang lebih hati‑hati ialah meninggalkannya, kecuali menjadi wajib, dimana
tidak boleh ditinggalkan. Seperti: kalau membawa kepada pertumpahan darah atau
berbuat perbuatan maksiat, betapa pun adanya. Disangka oleh orang‑orang yang
menyangka (dari golongan ahli tasawwuf/ahli suffi yang bodoh), bahwa boleh buat
membuat hadits‑hadits paIsu (hadits maudlu) pada menggerakkan amalan‑amalan utama dan pada mengeraskan larangan pada
perbuatan‑perbuatan maksiat. Mereka mendakwakan, bahwa maksudnya benar. Padahal
itu salah semata-mata. Karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berbuat kedustaan
dengan sengaja, terhadap aku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya
dari api‑neraka". Dan ini tidak dikerjakan, selain karena darurat. Dan tak
ada padanya darurat. Karena pada kebenaran itu terbuka lebar, tanpa berdusta.
Dan pada apa yang telah dibentangkan dari ayat‑ayat dan hadits‑hadits tadi,
sudah mencukupi dari yang lain‑lain. Perkataan ini dari orang yang mengatakan,
bahwa yang demikian itu telah berulang‑ulang pada pendengaran dan sudah hilang
kesannya. Dan apa yang baru, kesannya itu lebih besar. Maka ini perkataan yang
tidak diterima oleh akal yang sehat. Karena, tidaklah ini termasuk maksud‑maksud
yang melawan ketakutan dusta kepada Rasulu'llah saw dan kepada Allah Ta’ala.
Dan terbuka pintunya, akan membawa kepada hal‑hal yang mengacau‑balaukan hukum
agama. Maka tidaklah sekali‑kali kebajikannya yang tersebut, akan melawan
kejahatannya. Dan kedustaan kepada Rasulu'llah saw itu termasuk dosa besar yang
tidak akan dilawani oleh suatupun. Kita bermohon kepada Allah akan ma'af pada
diri kita dan sekalian kaum muslimin.
PENJELASAN:
menjaga dari dusta, dengan kata‑kata sindiran.
Dinukilkan dari ulama
salaf (ulama terdahulu), bahwa pada kata‑kata sindiran itu, kebebasan dari
pada kedustaan. Umar ra berkata: "Adapun pada kata‑kata sindiran itu, apa
yang mencukupkan bagi seseorang, daripada kedustaan. Dan diriwayatkan ucapan
yang demikian, dari Ibnu Abbas dan lainnya. Sesungguhnya, mereka bermaksud
dengan yang demikian, apabila manusia memerlukan kepada kedustaan. Maka apabila
tidak ada hajat dan darurat, maka tidak boleh menyindir dan berterus‑terang.
Akan tetapi menyindir itu lebih mudah. Contoh menyindir, ialah: dirawikan,
bahwa Mathrap masuk ketempat Ziyad (wali negeri Basrah dan Kufah). Lalu Ziyad mencelanya karena terlambat datang.
Maka Matraf membuat alasan karena sakit. Dan berkata: "Tidak dapat aku
mengangkat lembungku, semenjak aku berpisah dengan Amir, kecuali apa yang
diangkatkan aku oleh Allah".
Ibrahim An‑Nakha'i berkata:
"Apabila sampai sesuatu daripada engkau kepada seseorang, lalu engkau
tidak suka berdusta, maka katakanlah: "Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang aku katakan (maa ‑ quItu) tentang sesuatu, daripada yang demikian".
Maka katanya maa itu, pada pendengar,
(adalah huruf nafi). Dan padanya
sendiri untuk meragukan. Adalah Mu'az bin Jabal ra pekerja pada Umar ra Sewaktu
Mu'az kembali dari pekerjaannya, lalu istrinya berkata kepadanya:
"Tidakkah engkau membawa, apa yang dibawa oleh para pekerja kepada
keluarganya?". Mu’az tidak membawa pulang sesuatu kepada istrinya. Lalu
Mu'az menjawab: "Ada disisiku pengintip
(dlaghith). Maka menjawab istrinya: "Engkau adalah kepercayaan pada
RasuluIlah saw dan pada Abubakar ra Lalu Umar mengutus bersama engkau seorang
pengintip!”. Isteri Mu'az itu bangun dengan sebab yang demikian, diantara
wanita‑wanita yang lain. Dan ia mengadu kepada Umar. Tatkala berita itu sampai
kepada Umar ra, lalu Umar ra memanggil Mu'az ra. Dan bertanya: "Adakah aku
utus pengintip bersama kamu?". Mu'az ra menjawab: "Aku tidak mendapat
alasan lain untuk meminta ma'af kepadanya, selain yang demikian". Maka
tertawalah Umar ra dan memberikan sesuatu kepada Mu'az ra, seraya berkata:
"Senangkanlah dia dengan barang ini!”. Maksud perkataan Mu'az: dlaghith, ialah: raqib, artinya: pengintip. Dan
yang dimaksudkannya dengan Pengintip itu,
ialah: Allah Ta'ala.
Adalah An‑Nakha'i tidak
mengatakan kepada anak perempuannya: "Aku akan membeli gula untuk
engkau". Tetapi ia mengatakan: "Apa pendapat engkau, jikalau aku
belikan gula untuk engkau?". Karena kadang‑kadang, kebetulan ia tidak
membeli yang demikian” Adalah Ibrahim An‑Nakha'i tadi, apabila dicari oleh
orang yang tidak disukainya bertemu dengan orang tersebut, pada hal ia berada
dirumah, maka dikatakannya kepada pembantunya: "Katakanlah kepada orang
itu: "Carilah dia di masjid!”. Dan jangan engkau katakan: "Dia tidak
ada disini!”, supaya tidak dusta".
Adalah Asy‑Sya’bi, apabila
dicari dirumahnya dan ia tidak suka bertemu dengan orang itu, maka ia membuat
garis suatu lingkaran dan mengatakan kepada pembantunya: "Letakkanlah anak
jarimu dalam lingkaran ini, seraya engkau mengatakan: "Ia tidak ada
disini!”. Ini semuanya adalah pada tempat keperluan. Adapun pada tempat yang tidak
diperlukan, maka tidak diperbuat yang demikian. Karena ini memberi pengertian
kepada dusta. Dan jikalau perkataan itu tidak dusta, maka pada umumnya, adalah
makruh (tidak disukai). Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Utbah, yang
berkata: "Aku datang bersama ayahku kepada Umar bin Abdul‑'aziz ra Lalu
aku keluar dari tempat pertemuan itu dengan memakai pakaian baru. Maka orang
banyak bertanya: “Pakaian ini yang dianugerahkan kepadamu oleh Amirul‑mu'minin?".
Lalu aku menjawab: "Kiranya Allah memberi balasan kebajikan kepada Amirul‑mu'minin!”.
Maka ayahku berkata kepadaku: "Hai anakku! Takutlah kepada berdusta dan
yang serupa dengan dusta!”. Maka dilarangnya dari yang demikian. Karena
padanya menetapkan cita‑cita kepada sangkaan bohong, dengan maksud membanggakan
diri. Dan ini adalah maksud yang batil/salah, tak ada faedah padanya.
Benar, kata‑kata sindiran itu
diperbolehkan untuk maksud yang ringan, seperti menyenangkan hati orang lain
dengan senda‑gurau, seperti sabda Nabi saw: “Tidak akan masuk sorga wanita tua”. Dan sabdanya kepada wanita
yang lain: “Yang pada mata suamimu putih”
dan kepada wanita yang lain lagi, beliau bersabda: "Kami bawa engkau atas anak unta” dan yang serupa dengan yang
demikian.
Adapun dusta yang terang‑terangan,
seperti yang diperbuat oleh Nu’aiman AI‑Anshari serta Usman bin Affan ra pada
ceritra orang buta, karena dikatakan kepadanya: bahwa itu Nu’aiman. Dan sebagaimana dibiasakan oleh orang banyak mempermain‑mainkan
orang yang kurang pikiran, dengan menggodanya, bahwa ada wanita yang suka kawin
dengan engkau. Jikalau pada yang demikian ada melaratnya/kerugiannya, yang
membawa kepada menyakitkan hati, maka itu haram. Dan jikalau tidak ada, kecuali
untuk membaik‑baikkan saja, maka orang yang berbuat demikian, tidak dinamakan
fasik. Tetapi yang demikian itu mengurangkan tingkat keimanannya.
Nabi saw bersabda: "Tiada
sempurna iman seseorang manusia, sehingga dicintainya saudaranya, sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri. Dan sehingga ia menjauhkan dusta pada senda‑guraunya".
Adapun sabda Nabi saw: "Sesungguhnya orang yang berkata‑kata dengan
perkataan, untuk mentertawakan manusia, maka ia akan jatuh dalam api neraka,
lebih jauh dari bintang Surayya". Maka yang dimaksudkan, ialah ada padanya
umpatan terhadap muslim atau menyakitkan hati, tanpa semata‑mata bersenda‑gurau.
Setengah dari kedustaan, yang mendatangkan fasik, ialah apa yang berlaku
menurut kebiasaan, pada perkataan yang bersangatan (mubalaghah). Seperti
katanya: "Aku minta padamu, sekian dan sekian kali. Aku mengatakan
kepadamu itu ratusan kali". Maka dengan perkataan tersebut, tidak
dimaksudkan, memberi pengertian kali dengan bilangannya. Tetapi memberi
pengertian bersangatan. Jikalau
permintaannya hanya sekali, maka ia berdusta. Dan jikalau permintaannya berkali‑kali
yang tiada dibiasakan seperti itu tentang banyaknya, maka ia tidak berdosa,
walaupun tidak sampai seratus kali. Dan diantara keduanya tadi, tingkat‑tingkat
yang membawa terlanjurnya lidah dengan bersangatan, lantaran bahayanya terjadi
kedustaan. Diantara yang dibiasakan kedustaan dan dianggap mudah, ialah
dikatakan: "Makanlah makanan ini!”. Lalu
orang yang diminta makan itu, menjawab: "Aku
tidak ingin makan ini", Dan yang demikian itu dilarang dan haram
hukumnya, walaupun tak ada padanya maksud yang sebenarnya.
Mujahid bin Jabar AI‑Makki
berkata: "Asma' binti 'Umais berkata: "Adalah aku teman 'Aisyah,
pada malam yang aku siapkan dan membawanya masuk ketempat Rasulu'llah. Dan
bersama aku, wanita‑wanita lainnya”. Asma' binti 'Umais meneruskan
ceriteranya: "Demi Allah! Aku tidak dapati pada Rasulu'llah saw jamuan,
selain semangkuk besar susu. Lalu Rasulu'llah saw meminumnya. Kemudian beliau
memberikannya kepada 'Aisyah". Asma' berkata seterusnya: "Budak itu
malu. Lalu aku berkata: "Jangan engkau menolak tangan Rasulu'llah saw!
Ambillah pemberiannya!” Asma' menyambung perkataannya: "Lalu Aisyah
mengambil dari Rasulu'llah saw dengan malu. Lalu ia minum. Kemudian,
Rasulu'llah saw bersabda: "Berilah lagi kepada teman‑teman engkau!” Lalu
wanita ‑ wanita itu menjawab: "Kami tidak suka kepada susu". Maka
Rasulu'llah saw menjawab: "Janganlah engkau kumpulkan lapar dan dusta!”.
Lalu Asma' menyambung ceriteranya: "Maka aku bertanya: "Wahai
Rasulu'llah! Jikalau salah seorang kami mengatakan pada sesuatu yang disukainya:
"Aku tidak menyukainya” adakah yang demikian itu dihitung dusta?".
Rasulu'llah saw menjawab: "Sesungguhnya dusta itu akan ditulis dusta,
sehingga suatu dusta kecil akan ditulis sebagai dusta kecil".
Adalah ahli wara' (orang‑orang yang menjaga diri benar‑benar dari perbuatan
yang kurang baik) menjaga benar daripada bertoleransi (ber‑tasa'muh) dengan
kedustaan yang seperti ini. Al‑Laits bin
Sa'd berkata: "Adalah kedua
mata Sa’id bin AI‑Musayyab bertai, sampai tai mata itu keluar dari kedua
matanya. Lalu orang berkata kepadanya: "Jikalau engkau sapu kedua mata
engkau....”. Lalu Sa’id bin AI‑Musayyab menjawab: “Bagaimana dengan perkataan
tabib: "Jangan engkau sapu kedua mata mu!”. Lalu aku menjawab:
"Tidak akan aku berbuat menyapunya". Inilah ketelitian ahli wara'!
Siapa yang meninggalkannya, niscaya terlanjurlah lidahnya kepada kedustaan
dari batas pilihannya. Lalu ia berdusta dan tanpa merasa.
Dari Khawwat At‑Taimy yang
menceriterakan: “Datang saudara perempuan Ar‑Rabi’ bin Khusaim, berkunjung
melihat anak Ar‑Rabi' sakit. Lalu saudara perempuan itu menelungkup diatas anak
Ar‑Rabi’ yang sakit tadi, seraya bertanya: “Bagaimana keadaan engkau wahai
anakku?". Lalu Ar Rabi’ duduk, seraya berkata: "Adakah engkau
menyusukannya?". Saudara perempuannya itu menjawab: "Tidak!”. Lalu Ar‑Rabi’
menyambung: "Apa salahnya, jikalau engkau mengatakan: "Wahai anak
saudaraku". Lalu engkau benar pada perkataan itu?". Menurut
kebiasaan, seseorang itu berkata, bahwa Allah mengetahui tentang apa yang
tiada diketahuinya.
Nabi Isa as berkata:
"Sesungguhnya diantara dosa yang terbesar pada sisi Allah, ialah seorang
hamba Allah itu berkata, bahwa: “Allah mengetahui, apa yang tidak
diketahuinya”. (Karena Nabi Isa as
adalah salah seorang Rosul Allah yang paling dekat kepada Allah swt. Lihat S 3
ujung ayat 45: “Ia seorang yang terkemuka
didunia dan diakhirat dan salah seorang yang dekat kepada ALLAh”.)
Kadang-kadang orang berdusta
tentang ceritra tidur. Dan dosa padanya itu besar. Karena Rasulu'llah saw
bersabda: "Diantara dusta yang amat keji, ialah: dipanggil seseorang
sebagai anak bukan bapaknya. Atau ia mengatakan matanya melihat sesuatu dalam
tidur, (bermimpi) apa yang tidak dilihatnya. Atau ia mengatakan terhadap aku
sesuatu, apa yang tidak aku katakan". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
berdusta tentang tidurnya, niscaya ia diberatkan pada hari kiamat untuk
mengikat antara dua helai rambut. Dan ia tiada akan menjadi pengikat diantara
dua helai rambut itu untuk selama lamanya".
BAHAYA KELIMA
BELAS: umpatan.
Pembahasan mengenai umpatan itu panjang. Maka
marilah pertama‑tama kami menyebutkan, tentang tercelanya umpatan itu dan dalil‑dalil
Agama yang membahas tentang umpatan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegaskan
tentang tercelanya umpatan dalam Kitab Allah (AI‑Qur’an). Dan Ia serupakan
orang yang mengumpat itu dengan orang yang memakan daging bangkai. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan janganlah mengumpat satu
sama lain. Adakah agaknya seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka kamu tiada menyukainya". S 49 Al
Hujuraat ayat 12. Nabi saw bersabda: "Semua orang Islam terhadap orang
Islam itu haram: darahnya, hartanya dan kehormatannya". Mengumpat itu
menyinggung kehormatan orang. Dan Allah Ta’ala mengumpulkan diantara
kehormatan, harta dan darah. Abu Hurairah berkata: "Nabi saw bersabda:
"Janganlah kamu dengki‑mendengki, janganlah marah‑memarahi, janganlah
tambah‑menambah pada berjual‑beli dllnya, janganlah belakang‑membelakangi dan
janganlah mengumpat satu sama lain! Adalah kamu semua hamba Allah bersaudara!”.
Dari Jabir dan Abi Sa'id, yang
mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: "Awaslah daripada mengumpat!
Karena mengumpat itu lebih keras dari zina". Sesungguhnya seseorang
terkadang ia berzina dan bertobat. Maka diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala
akan tobatnya. Dan sesungguhnya seorang yang mengumpat, tiada akan diampunkan
dosanya sebelum diampuni oleh temannya yang diumpatnya itu”.
Anas berkata: "Rasulu'llah
saw bersabda: "Aku lalu pada malam aku di‑isra'kan, pada beberapa kaum (golongan),
yang mencakar mukanya dengan kukunya. Lalu aku bertanya: "Hai Jibrail! Siapakah
mereka itu?". Jibril menjawab: "Mereka itu ialah orang‑orang yang
mengumpat manusia dan terperosok memperkatakan kehormatan orang". Salim
bin Jabir berkata: "Aku mendatangi Nabi saw, lalu aku berkata:
"Ajarilah aku kebajikan yang akan aku mengambil manfaat daripadanya!”.
Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Janganlah engkau memandang hina sedikitpun
akan perbuatan yang baik dan walaupun engkau menuangkan air dari timba engkau
dalam bejana (tempat air) orang yang meminta minum! Dan bahwa engkau berjumpa
dengan teman engkau dengan gembira dan baik. Dan jikalau ia membelakangi, maka
janganlah engkau mengumpatnya!”.
Al‑Barra bin 'Azib berkata:
"Rasulu'llah saw berpidato (berkhutbah) pada kami, sehingga aku mendengar
suara wanita‑wanita pingitan dalam rumahnya. Diantara lain beliau bersabda:
"Hai golongan orang yang beriman dengan lidahnya dan tidak beriman dengan
hatinya! Janganlah kamu mengumpati kaum muslimin dan janganlah kamu mengintip
hal‑hal yang memalukan mereka (aurat mereka)! Sesungguhnya, barangsiapa
mengintip hal‑hal yang memalukan saudaranya, niscaya Allah mengintip hal‑hal
yang memalukannya. Dan barangsiapa diintip oleh Allah auratnya, niscaya disiarkan
Allah dan orang itu ditengah‑tengah rumahnya".
Ada yang mengatakan, bahwa Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as yang maksudnya: “Barangsiapa
meninggal dengan tobat dari mengumpat orang, maka dia adalah orang yang
penghabisan masuk sorga. Dan barangsiapa meninggal dengan berkekalan mengumpat
orang, maka dia adalah orang pertama masuk neraka".
Anas berkata: "Rasulu'llah
saw menyuruh manusia berpuasa satu hari. Lalu beliau bersabda: "Jangan
seorangpun membuka puasanya sebelum aku izinkan". Maka berpuasalah
manusia. Sehingga ketika hari sudah petang, lalu seorang laki‑laki datang kepada
Rasulu'llah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Aku terus puasa,
izinkanlah aku berbuka!”. Lalu beliau mengizinkannya berbuka. Kemudian datang
lagi seorang, demi seorang. Sehingga datanglah seorang laki‑laki, seraya
berkata: "Wahai Rasulu'llah! Dua orang anak gadis dari keluargamu (dari
suku Qurasy) terus‑menerus berpuasa. Mereka malu datang kepada engkau. Maka
izinkanlah keduanya membuka puasanya!”. Lalu Rasulu'llah saw berpaling muka
dari orang itu. Kemudian, dan mengulangi lagi meminta izin. Maka Rasulu'llah
saw berpaling muka lagi. Kemudian, laki‑laki itu mengulangi pula meminta izin.
Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Kedua anak gadis itu tidak berpuasa.
Bagaimana berpuasa orang yang sejak dari siang harinya, memakan daging
manusia. Pergilah kamu, lalu suruhlah keduanya, kalau benar ia berpuasa,
supaya ia muntah!”. Lalu laki‑laki tersebut kembali menjumpai kedua anak gadis
itu. Maka ia menceriterakan kepada keduanya apa yang disuruh oleh Nabi. Lalu
keduanya muntah. Maka masing‑masing memuntahkan sepotong darah beku. Kemudian,
laki‑laki itu kembali kepada Nabi saw, lalu menceriterakan apa yang terjadi.
Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Demi Allah yang nyawaku dalam Tangan
Allah. Jikalau darah beku itu terus berada dalam perutnya, niscaya keduanya
akan dimakan api neraka". Pada suatu riwayat, bahwa tatkala Rasulu'llah
saw berpaling muka dari orang tersebut, maka kemudian ia datang lagi, seraya
berkata, "Wahai Rasulu'llah! Demi Allah “Sesungguhnya kedua anak gadis itu
sudah meninggal atau hampir meninggal”. Maka Nabi saw menjawab: “Bawalah
keduanya kemari!”. Lalu kedua anak gadis itu datang. Maka Rasulu'llah saw
meminta gelas, seraya bersabda kepada salah seorang dari keduanya:
"Muntahlah!” Lalu ia muntahkan nanah, darah dan nanah bercampur darah, sehingga
penuh gelas tersebut. Dan Rasulu'llah saw bersabda kepada yang seorang lagi:
"Muntahlah!”. Lalu ia muntah seperti itu juga. Maka bersabdalah Rasulu'llah
saw: "Bahwa kedua anak gadis ini berpuasa daripada yang dihaIalkan oleh
Allah kepadanya dan berbuka dengan yang diharamkan oleh Allah kepadanya. Salah
seorang dari keduanya duduk berdekatan dengan yang lain, lalu keduanya memakan
daging manusia".
Anas bin Malik berkata:
"Rasulu'llah saw berpidato dihadapan kami. Lalu beliau menyebut riba dan membesarkan
keadaan bahayanya. Beliau bersabda, bahwa satu dirham yang diperoleh oleh
seseorang dari riba, adalah lebih besar kesalahan nya pada Allah, dari pada 36
kali zina yang dizinai oleh seseorang. Dan riba yang paling besar ribanya.,
ialah: ”kehormatan seorang muslim”.
Jabir bin Abdullah ra berkata:
"Adalah kami bersama Rasulu'llah saw dalam suatu perjalanan. Lalu
Rasulu'llah saw datang pada dua pekuburan yang diazabkan kedua orang yang
punya kuburan itu. Maka beliau bersabda: "Keduanya diazabkan. Dan tidak
diazabkan karena dosa besar. Adapun yang seorang, ia mengumpat manusia. Dan
yang seorang lagi, ia tidak membersihkan dari kencingnya". Lalu
Rasulu'llah saw meminta satu pelapah kurma yang belum kering atau dua pelapah
kurma. Maka dibelahkannya. Kemudian, disuruhnya tiap belahan itu supaya ditanam
diatas kuburan, seraya beliau bersabda: "Akan enteng dari azab yang
diderita oleh kedua orang ini selama kedua belahan pelapah kurma itu masih
basah atau selama belum kering".
Sewaktu Rasulu'llah saw merajam (menghukum mati) Ma’iz bin Malik AI‑As‑lami lantaran berzina,
lalu seorang laki‑laki berkata kepada temannya: "Orang ini mati ditempat,
seperti anjing mati ditempat. Maka Ialulah Rasulu'llah saw bersama kedua orang
tadi dekat suatu bangkai. Lalu Rasulullah saw bersabda: "Makanlah dari
bangkai ini!”. Kedua orang tersebut bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Kami
makan bangkai?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Apa yang kamu peroleh dari
saudaramu itu adalah lebih busuk dari bangkai ini!”.
Adalah para shahabat Nabi saw
jumpa - menjumpai dengan orang banyak dan mereka tidak umpat ‑ mengumpat
dibelakang. Mereka melihat yang demikian itu, perbuatan yang paling utama Dan
mereka melihat yang sebaliknya, akan adat kebiasaan orang‑orang munafik. Abu
Hurairah ra berkata: “Barangsiapa memakan daging saudaranya di dunia, niscaya
didekatkan kepadanya daging saudaranya itu diakhirat. Dan dikatakan kepadanya:
"Makanlah dia yang sudah mati, sebagaimana engkau makan dahulu sewaktu ia
masih hidup!”. Lalu dimakannya, maka ia memekik dan berkerut mukanya".
Yang dikatakan Abu Hurairah ini, dirawikan seperti yang demikian, sebagai hadits marfu'/dipercaya. Diriwayatkan,
bahwa dua orang laki‑laki duduk pada salah satu pintu Masjidil haram. Lalu
lewatlah seorang laki‑laki yang menyerupai perempuan. Lalu laki‑laki itu
ditinggalkan, maka keduanya berkata: "Masih ada pada laki‑laki itu
sesuatu". Lalu kedengaran iqamah untuk shalat, maka keduanyapun masuk
kedalam masjid dan bershalat bersama orang banyak. Lalu tergurislah pada hati
keduanya, apa yang dikatakannnya tadi. Maka sesudah shalat, keduanya
mendatangi 'Atha' bin Abi Rabah (mufti Makkah), menanyakannya. Lalu Atha'
menyuruh keduanya mengulangi Wudlu' dan shalat. Dan beliau menyuruh pula
keduanya mengqodo puasa, jikalau keduanya berpuasa.
Dari Mujahid bin Jabar AI‑Makki
AI‑Tabi’i, yang mengatakan tentang firman Allah Ta’ala, S 104 AI Humazah ayat
l: “Celaka untuk setiap humazah lumazah”,
bahwa: humazah itu ialah: mencela orang dan lumazah itu, ialah: yang
memakan daging orang. Qatadah bin Di’amah As‑Sudusi berkata: Disebutkan
kepada kami, bahwa azab kubur itu tiga pertiga. Sepertiga dari mengumpat, sepertiga dari lalat merah/suka menceritakan kekurangan
orang dan sepertiga lagi dari kencing".
Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata:
"Demi Allah! Mengumpat itu mempunyai pengaruh yang lebih cepat pada agama
orang mu'min, daripada pengaruh sekali makan pada tubuh". Setengah mereka
berkata: "Kami mendapati ulama terdahulu (ulama salaf). Mereka tiada
melihat ibadah itu pada puasa dan pada shalat, akan tetapi pada
mencegah diri dari memperkatakan kehormatan orang".
Ibnu Abbas ra berkata:
"Apabila engkau bermaksud hendak menyebut kekurangan teman engkau, maka
sebutlah kekurangan engkau sendiri”. Abu Hurairah ra berkata: "Salah
seorang kamu melihat benda kecil pada mata temannya. Dan ia tiada melihat unta
pada matanya sendiri". Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Hai anak
Adam! Engkau tidak akan memperoleh hakekat iman, sebelum engkau mengukur
kekurangan orang dengan kekurangan yang ada pada dirimu sendiri. Dan sebelum
engkau mulai memperbaiki kekurangan itu. Maka engkau memperbaikinya dari dirimu
sendiri. Apabila engkau sudah berbuat yang demikian, niscaya adalah kesibukanmu
tertentu pada dirimu. Dan hamba Allah yang lebih dikasihi oleh Allah, ialah
orang yang seperti demikian".
Malik bin Dinar berkata:
"Nabi Isa as bersama para shahabatnya (Al-hawariyyun) lalu dekat bangkai
anjing. Lalu shahabatnya itu berkata: "Alangkah busuknya bau anjing ini!”.
Maka Nabi Isa as menjawab: "Alangkah sangat putih giginya!”. Seolah‑olah
beliau as melarang mereka mengumpat anjing dan memberitahukan kepada mereka,
bahwa tidaklah disebut sesuatu dari makhluk Allah, melainkan yang baiknya
saja".
Ali bin AI‑Husain ra mendengar
seorang laki‑laki mengumpat orang lain. Lalu beliau berkata kepadanya: “Jagalah
dari mengumpat! Karena mengumpat itu hidangan anjing‑anjing manusia". Umar
ra berkata: "Selalulah engkau berzikir (menyebut/mengingat) akan Allah”.
Karena berzikir itu obat. Dan jagalah daripada menyebut manusia! Karena itu
adalah penyakit". Kita bermohon pada Allah akan kebaikan taufiq untuk
menta'ati Allah.
PENJELASAN arti umpatan dan batas‑batasnya.
Ketahuilah, bahwa batas umpatan
itu ialah, bahwa engkau menyebut saudara engkau, dengan yang tidak
disenanginya, jikalau sampai kepadanya. Sama saja yang engkau sebutkan itu,
berkenaan dengan kekurangan pada tubuhnya atau keturunannya atau pada
kelakuannya atau pada perbuatannya atau pada perkataan nya atau pada agamanya
atau pada dunianya. Sehingga pada kainnya, rumahnya dan kenderaannya.
-
Adapun tubuhnya,
yaitu: seperti engkau sebutkan: buruk matanya, juling, botak, pendek,
panjang, hitam, kuning dan semua yang dapat digambarkan untuk menyifatkannya
dari hal‑hal yang tidak disenangi, betapa pun adanya.
-
Adapun keturunan,
yaitu: bahwa engkau mengatakan: ayahnya
peluku tanah atau orang Hindu atau
orang fasiq atau orang jahat atau tukang buat sandal atau tukang sapu atau
sesuatu dari hal‑hal yang tiada disenanginya, betapa pun adanya.
-
Adapun kelakuan,
yaitu: bahwa engkau mengatakan: dia itu buruk kelakuannya, orang kikir,
orang sombong, orang ria, sangat pemarah, pemalas, lemah, dla'if/lemah hatinya,
terlalu berani dan sifat‑sifat lainnya yang mengarahi dengan hal‑hal yang
tersebut.
-
Adapun perbuatannya,
yang menyangkut dengan Agama, seperti: engkau mengatakan, bahwa: dia itu
pencuri atau pendusta atau peminum khamar atau pengkhianat atau orang zalim
atau orang yang mempermudah‑mudahkan shalat atau zakat atau orang yang tidak
pandai ruku' atau sujud atau orang yang tidak menjaga diri dari najis atau
orang yang tidak berbuat baik kepada ibu‑bapa atau tidak meletakkan zakat pada
tempatnya atau tidak pandai membagi zakat atau tidak menjaga puasanya dari
perkataan keji, dari mengumpat dan dari memperkatakan kehormatan orang lain.
-
Adapun tentang perbuatannya
yang menyangkut dengan duniawi, seperti engkau katakan: bahwa ia kurang
sopan, menganggap enteng orang lain atau ia tidak melihat adanya hak seseorang
atas dirinya. Atau ia melihat, dirinya mempunyai hak atas orang lain. Atau ia
banyak bicara, banyak makan, banyak tidur, tidur tidak pada waktu, tidur dan
duduk tidak pada tempatnya.
-
Adapun tentang pakaiannya, maka seperti engkau
katakan: dia itu lengan bajunya luas, panjang ekornya (pakaiannya kepanjangan),
kotor pakaiannya. Segolongan ulama mengatakan: tiada umpatan mengenai Agama.
Karena ia mencela apa yang dicela oleh Allah Ta'ala. Maka disebutkannya dengan
perbuatan‑perbuatan maksiat. Dan mencelanya dengan yang demikian itu diperbolehkan,
berdasarkan dalil yang diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah saw, diterangkan
kepadanya tentang seorang wanita, banyak shalatnya dan puasanya. Akan tetapi ia
menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Wanita itu dalam neraka”. Disebutkan
pula pada Nabi saw tentang seorang wanita lain, bahwa wanita itu kikir. Lalu
beliau menjawab: "Jadi, apa kebajikannya?". Maka ini merusak. Karena
mereka menyebutkan yang demikian, untuk keperluan mengetahui hukumnya dengan
pertanyaan. Dan tidak adalah maksud mereka untuk menerangkan kekurangan wanita
tadi. Dan tidak diperlukan kepada pertanyaan tersebut pada bukan majlis Rasul
saw.
Dan dalilnya itu kesepakatan umat, bahwa
barangsiapa menyebut orang lain, dengan yang tidak disukainya, maka dia itu
pengumpat. Karena termasuk dalam apa yang disebut oleh Rasulu'llah saw dalam: batas umpatan. Dan semua ini walaupun ia
benar, maka dia itu pengumpat, durhaka kepada Tuhannya dan memakan daging
saudaranya, dengan dalil yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda:
"Tahukah kamu apakah umpatan itu?". Para shahabat menjawab:
"Allah dan rasul Allah yang lebih tahu!”. Lalu Nabi saw menjawab:
"Engkau menyebut saudara engkau dengan yang tidak disukainya". Maka
Nabi saw ditanyakan: "Adakah yang demikian, walaupun pada saudaraku itu
benar apa yang kukatakan?". Nabi saw menjawab: "Jikalau benar apa
yang kamu katakan itu, maka engkau telah mengumpatnya. Dan jikalau tidak benar,
maka engkau telah berbuat dusta kepadanya" .
Mu'az bin Jabal ra mengatakan, bahwa disebutkan
tentang seorang laki-laki pada Rasulu'llah saw Mereka mengatakan
"Alangkah lemahnya laki-laki itu!” Lalu Nabi saw menjawab: "Kamu
telah mengumpat saudaramu". Mereka menjawah. "Wahai Rasulu'llah!
Kami mengatakan apa adanya". Nabi saw menjawab: "Jikalau kamu
mengatakan apa yang tidak ada, maka kamu telah berbuat dusta kepadanya".
Dari Huzhaifah, dimana ia menerima dari
Aisyah bahwa Aisyah menyebut tentang
seorang wanita pada Rasulu'llah saw, dengan katanya, bahwa wanita itu pendek.
Lalu Nabi saw menjawab: "Engkau mengumpatnya".
Al Hasan AI‑Bishri ra berkata:
"Menyebutkan orang lain itu 3 macam: mengumpat
(al‑qhaibah), membohong (al‑buhtan) dan
dusta (al-ifku). Semuanya tersebut
dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla. AI‑ghaibah,
yaitu: engkau katakan apa adanya. AI‑buhtan,
yaitu engkau katakan apa yang tidak
ada. Dan Al-ifku, yaitu: engkau katakan apa yang disampaikan kepada
engkau”.
Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki‑laki,
Ialu mengatakan: itu laki‑laki hitam. Kemudian
beliau mengucapkan: “Astaghfiru'llaah
(aku meminta ampun pada Allah). Sesungguhnya aku melihat diriku ini telah
mengumpatnya". Ibnu Sirin menyebutkan Ibrahim An‑Nakha'i, Ialu meletakkan
tangannya atas matanya. Dan beliau tidak mengatakan: juling. Aisyah berkata, "Janganlah seseorang dari kamu
mengumpat seseorang! sesungguhnya aku pada suatu kali berkata kepada seorang
wanita dan aku disamping Nabi saw: "Bahwa wanita ini panjang ekornya
(bajunya panjang sampai ketanah)". Lalu Nabi saw bersabda kepadaku: “Ludahlah!
Ludahlah!”. Lalu aku meludahkan sepotong daging".
PENJELASAN: bahwa umpatan itu tidak terbatas pada lidah.
Ketahuilah,
bahwa menyebut dengan lisan itu diharamkan. Karena padanya memberi pengertian
kepada orang lain, akan kekurangan saudaramu dan memperkenalkannya dengan apa
yang tiada disukainya. Maka menyindir dengan yang demikian itu seperti
menegaskannya. Dan perbuatan padanya itu seperti perkataan, isyarat,
penunjukan dengan tangan, isyarat dengan mata (al‑ghamzi), tunjukan (ar‑ramzi),
tulisan, gerak dan tiap yang memberi pengertian akan yang dimaksud. Maka itu
termasuk dalam umpatan. Dan itu haram. Maka termasuk yang demikian itu kata
Aisyah: "Masuk ketempat kami seorang wanita. Sewaktu ia berpaling, Ialu
aku isyaratkan dengan tanganku, bahwa wanita itu pendek. Lalu Nabi saw
bersabda: "Engkau telah mengumpatnya". Dan termasuk yang demikian,
peniruan. Seperti berjalan dengan membuat-buat pincang atau sebagaimana orang
itu berjalan. Maka itu umpatan. Bahkan lebih berat dari umpatan. Karena yang
demikian lebih besar kesannya pada menggambarkan dan memberi pengertian.
Sewaktu Rasulu'llah saw melihat Aisyah, meniru seorang wanita, Ialu beliau
bersabda: "Aku tidak senang bahwa aku meniru seseorang manusia, sedang aku
mempunyai hal yang demikian dan yang demikian". Dan seperti yang demikian,
umpatan dengan tulisan.
Sesungguhnya
pena itu salah satu dari dua lisan. Seorang pengarang yang menyebutkan orang
tertentu dan menyalahkan perkataannya dalam bukunya, itu umpatan. Kecuali
disertai oleh sesuatu kepentingan yang memerlukan kepada menyebutkannya,
sebagaimana akan datang penjelasannya. Adapun katanya dalam bukunya itu: “Kata suatu kaum demikian”, maka tidaklah
itu umpatan. Karena umpatan itu menyinggung kepada orang tertentu, baik masih
hidup atau sudah mati. Dan termasuk umpatan, bila anda mengatakan: “Sebahagian orang yang datang pada kami hari
ini” atau “Sebahagian orang yang kami
lihat”, apabila orang yang diajak berbicara itu, memahami akan orang
tertentu dari pembicaraan tersebut. Karena yang ditakuti, ialah memberi
pemahamannya. Bukan apa yang menjadi pemahaman. Apabila tidak dipahaminya akan
diri orang itu, niscaya boleh.
Adalah
Rasulu'llah saw apabila tidak menyukai
sesuatu dari seseorang manusia., niscaya beliau bersabda: "Apalah
kiranya hal keadaan kaum‑kaum (golongan‑golongan) yang berbuat demikian dan
demikian". Maka adalah Rasulu'llah saw tidak menentukan orang tertentu.
Dan kata engkau: ”sebahagian orang yang
datang dari perjalanan" atau “sebahagian
orang yang menda'wakan berilmu”, jikalau ada pada perkataan itu suatu
petunjuk yang memberi pengertian akan diri seseorang, maka itu umpatan. Yang
paling keji diantara bermacam‑macam umpatan itu, ialah umpatannya ulama‑ulama
yang ria. Karena mereka memberi pengertian akan maksudnya, dengan kata‑kata
ahli perbaikan, untuk melahirkan dari dirinya, terpelihara dari mengumpat. Dan
mereka itu memberi pengertian akan maksudnya. Dan mereka tidak tahu, disebabkan
kebodohannya, bahwa mereka telah mengumpulkan dua perbuatan keji, yaitu. umpatan dan ria. Yang demikian itu, umpamanya: disebutkan padanya seseorang Manusia. Lalu ia mengatakan: ”Segala pujian bagi Allah yang tidak
mendatangkan bencana bagi kita, dengan masuk kerumah Sultan dan meminta
pemberian dalam mencari harta benda dunia”. Atau ia mengatakan: “Kita berlindung dengan Allah dari kurangnya
malu. Kita bermohon kepada Allah, kiranya dipelihara Allah kita dari kurangnya
malu”.
Sesungguhnya
maksudnya itu, ialah memberi pengertian akan kekurangan orang lain. Lalu
disebutkannya dengan kata‑kata do'a. Begitu
juga kadang‑kadang, ia mengemukakan pujian kepada orang yang mau diumpatinya.
Lalu ia mengatakan: "Alangkah
baiknya keadaan si Anu. Ia tidak
pernah menyia‑nyiakan ibadah. Tetapi sekarang telah diganggu oleh lemahnya
kemauan dan telah dicoba dengan apa yang dicoba semua kita, yaitu: kurang sabar". Maka ia menyebut
dirinya. Dan maksudnya mencaci orang lain dalam kandungan kata‑kata yang
demikian. la memuji dirinya dengan menyerupakannya dengan orang‑orang shalih
(orang‑orang baik), dengan mencaci dirinya sendiri. Maka adalah orang yang
demikian itu pengumpat, ria dan membersihkan dirinya. Ia mengumpulkan diantara
3 kekejian. Yaitu: dengan kebodohannya, ia
menyangka, bahwa ia termasuk orang‑orang shalih yang menjaga diri dari umpatan.
Dan karena itulah, setan bermain‑main dengan orang bodoh, apabila mereka
mengerjakan ibadah, tanpa pengetahuan. Maka setan itu mengikuti mereka dan
mengelilingi amal mereka dengan tipu dayanya. Setan itu tertawa kepada mereka
dan memperolok‑olokkannya.
Termasuk
yang demikian juga, menyebut kekurangan orang. Lalu sebahagian yang hadir
tidak menyadarinya. Lalu ia mengucapkan: ”Subhaana’Ilah!
Alangkah mena'jubkan ini!”. Sehingga perkataannya diperhatikan orang dan
diketahui apa yang dikatakannya. Maka ia menyebutkan nama Allah Ta’ala dan
memakai nama Allah, menjadi alat baginya pada melaksanakan kekejiannya. la
membangkit‑bangkit atas Allah Azza wa Jalla dengan menyebutkan Allah, karena
kebodohannya dan tertipu.
Begitu
pula dengan mengatakan: "Sesungguhnya menyakitkan aku dengan apa yang
terjadi atas teman kita dari penghinaan terhadap dirinya. Kita bermohon kepada
Allah untuk disenangkan hatinya". Adalah orang itu dusta dalam dakwaannya
berduka-cita dan pada melahirkan do'a kepada temannya itu. Tetapi kalau benar‑benar
ia bermaksud berdoa, niscaya ia akan rnenyembunyikan do'anya, dalam kesunyiannya
sesudah shalat. Dan jikalau benar ia berduka-cita, niscaya ia
berduka-cita pula dengan melahirkan apa yang tidak disenanginya. Begitu pula
dikatakannya: "Orang miskin itu (orang yang patut dikasihani itu) telah
mendapat percobaan dengan bahaya besar. Kiranya Allah memberi tobat kepada
kita dan kepadanya". Maka pada semua yang demikian, ia melahirkan do'a.
Dan Allah melihat kekejian hatinya dan maksudnya yang tersembunyi. Dan dia
karena kebodohannya itu, tidak mengetahui, bahwa ia telah berbuat cacian, yang
lebih besar daripada yang diperbuat oleh orang‑orang bodoh, apabila mereka itu
berbuat terus‑terang. Termasuk yang demikian juga mendengar dengan penuh
perhatian kepada umpatan yang dilakukan seseorang dengan jalan ta'jub. Karena
sesungguhnya ia melahirkan keta'juban itu, untuk menambahkan kegemaran orang
yang mengumpat, pada umpatan. Lalu orang tersebut semakin terdorong pada
mengumpat. Dan seolah‑olah ia mengeluarkan umpatan dari orang tersebut dengan
jalan itu. Maka ia mengatakan: “Heran,
sesungguhnya aku tidak tahu ia seperti yang demikian. Aku tidak mengenal dia
sampai sekarang, kecuali baik. Dan aku menyangka padanya bukan itu. Kiranya kita
diselamatkan (diafiatkan) oleh Allah daripada bencananya”.
Sesungguhnya
semua yang demikian itu, membenarkan orang yang mengumpat. Dan membenarkan
umpatan adalah umpatan. Bahkan orang yang diam itu menjadi sekutu orang yang
mengumpat. Nabi saw bersabda: "Yang mendengar itu adalah salah seorang
dari orang‑orang yang mengumpat". Diriwayatkan dari Abubakar ra dan Umar
ra bahwa salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya: "Bahwa si
Anu banyak sekali tidurnya". Kemudian keduanya meminta lauk‑pauk dari
Rasulu'llah saw untuk memakan roti. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Kamu
berdua telah makan!”. Lalu keduanya menjawab: "Kami tidak tahu".
Rasulu'llah saw menjawab: "Ya! Sesungguhnya kamu berdua telah memakan
daging saudaramu". Maka perhatikanlah, bagaimana Rasulu'llah saw
mengumpul kan keduanya. Adalah yang berkata salah seorang dari keduanya. Dan
yang lain mendengar. Rasulu'llah saw bersabda kepada dua orang laki‑laki yang
berkata salah seorang dari keduanya, bahwa orang
itu dibunuh ditempatnya, sebagaimana anjing dibunuh ditempat, dengan
sabdanya: "Makanlah dari bangkai ini!”. Rasulu'llah saw mengumpulkan
(menyamakan) diantara kedua orang yang tersebut. Maka yang mendengar tidak
terlepas dari dosa mengumpat, kecuali ia menantang dengan lisannya atau dengan
hatinya, jikalau ia takut. Dan jikalau ia sanggup bangun berdiri (meninggalkan
tempat tersebut) atau memutuskan percakapan dengan pembicaraan yang lain, Ialu
tidak dilakukannya, niscaya harus ia berdosa. Dan jikalau ia mengatakan dengan
lidahnya: “Diamlah!”, pada hal ia
ingin pembicaraan itu dengan hatinya, maka itu adalah nifaq. Dan ia tidak terlepas dari dosa, selama ia tidak benci
dengan hatinya. Dan tidak memadai pada yang demikian, bahwa la mengisyaratkan
dengan tangan, yang artinya: "Diamlah!”. Atau ia mengisyaratkan dengan keningnya
dan tepi dahinya. Karena yang demikian itu penghinaan bagi orang yang
disebutkan. Akan tetapi, sayogialah ia menghormati orang itu. Maka
dipertahankannya dengan terus‑terang.
Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa dihinakan disisinya seorang mu'min, Ialu tidak ditolongnya,
pada hal ia sanggup menolongnya, niscaya ia dihinakan oleh Allah pada hari
kiamat dihadapan orang banyak". Abud Darda' berkata: "Rasulu'llah saw
bersabda: “Barangsiapa menolak dari penghinaan kehormatan saudaranya yang
dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah hak atas Allah menolak dari penghinaan
kehormatannya pada hari kiamat". Nabi saw bersabda pula: “Barangsiapa
menjaga kehormatan saudaranya, yang dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah
hak atas Allah memerdekakannya dari api neraka". Telah datang banyak hadits tentang menolong orang
Islam dalam hal umpatan dan tentang keutamaan nya, yang telah kami kemukakan
pada "kitab Adab Berteman Dan Hak‑hak Kaum Muslimin", maka kami
tidak memanjangkannya lagi dengan mengulanginya.
PENJELASAN: sebab‑sebab yang menggerakkan kepada umpatan.
Ketahuilah, bahwa penggerak-penggerak kepada
mengumpat itu banyak. Tetapi dikumpulkan oleh 11 macam sebab. 8 daripadanya banyak
terjadi pada orang awam. Dan 3 daripadanya tertentu dengan ahli agama dan orang‑orang
khusus. Adapun yang 8 perkara itu maka:
Yang pertama: untuk menyembuhkan kemarahan. Dan yang
demikian, apabila terjadi sesuatu sebab, yang membawa kemarahanya kepada orang
tersebut. Maka apabila berkobar kemarahannya, niscaya ia merasa sembuh dengan
menyebutkan kejahatan‑kejahatan orang itu. Maka dengan naluri telanjurlah
lidahnya kepada yang demikian, jikalau tak ada disitu agama yang mencegahnya.
Kadang‑kadang penyembuhan kemarahan itu tercegah ketika datangnya kemarahan.
Lalu tertahan kemarahan itu didalam. Maka jadilah suatu kedengkian yang tetap.
Lalu menjadi sebab yang terus‑menerus untuk menyebutkan kejahatan‑ kejahatan
orang itu. Maka kedengkian dan kemarahan itu termasuk diantara penggerak‑penggerak
yang besar kepada mengumpat.
Yang kedua: kesesuaian dengan teman‑teman, berbaik‑baikan
(mujamalah) dengan sahabat‑sahabat dan menolong mereka dalam percakapan. Maka
apabila teman‑teman itu bersenang‑senang dengan menyebutkan kehormatan orang,
Ialu ia berpendapat, kalau dilawannya atau diputuskannya majlis tersebut,
niscaya teman‑teman itu memandang berat dan hati mereka lari daripadanya. Maka
ditolongnya mereka. Dan ia berpendapat, bahwa yang demikian itu termasuk
diantara pergaulan yang baik. Dan ia menyangka, bahwa yang demikian itu
berbaik‑baikan dalam persahabatan. Kadang‑kadang teman‑temannya marah, Ialu ia
memerlukan untuk ia marah, lantaran kemarahan teman‑teman tadi, untuk
melahirkan turut mengambil bahagian dalam senang dan susah. Maka terjerumuslah
ia bersama teman‑teman itu dalam menyebutkan kekurangan dan keburukan orang
lain.
Yang Ketiga: bahwa ia merasa dari seseorang, bahwa orang itu
bermaksud kepadanya. Dan akan memanjangkan lidahnya kepadanya. Atau akan
memburukkan hal‑ihwaInya pada orang yang dimalui. Atau akan naik saksi terhadap
dirinya dengan suatu kesaksian. Maka ia bersegera sebelum orang tersebut
memburukkan hal‑ihwaInya dan menusuk dirinya. Supaya hilang bekas kesaksian
orang tersebut. Atau ia memulai menyebutkan apa yang padanya itu benar, untuk
didustakannya kemudian. Lalu lakulah kedustaannya itu, disebabkan kebenarannya
yang pertama. Dan ia mengemukakan kesaksian dan berkata: “Tiadalah dari ke
biasaanku itu berdusta". Maka sesungguhnya aku telah menceriterakan
kepadamu tentang hal‑ihwaInya, demikian & demikian. Maka adalah seperti
yang kukatakan”
Yang Keempat: bahwa ia dikatakan orang berbuat sesuatu. Lalu ia
bermaksud melepaskan diri daripadanya. Maka ia menyebutkan orang yang memperbuatnya.
Dan adalah menjadi haknya untuk melepaskan dirinya dari perbuatan tersebut. Dan
ia tidak menyebutkan orang yang memperbuatnya. Sehingga ia tidak mengatakan
orang lain yang berbuat. Atau ia menyebutkan orang lain dengan mengatakan bahwa
orang tersebut sekongkol dengan dia pada perbuatan itu. Supaya ia dengan
demikian, menyiapkan dirinya untuk dima'afkan pada perbuatannya.
Yang Kelima: hendak
berbuat‑buat dan membanggakan diri. Yaitu: bahwa ia mengangkat dirinya dengan
mengurangkan orang lain. Lalu ia mengatakan: si Anu itu bodoh, pahamnya tidak
teratur dan perkataannya lemah. Maksudnya
untuk menetapkan dalam kandungan perkataan tersebut, akan kelebihan dirinya.
Dan ia rnemperlihatkan kepada mereka bahwa ia lebih tahu dari orang itu atau ia
takut bahwa orang itu akan dibesarkan seperti pembesaran kepadanya. Karena itu
Ialu ia mencela orang tersebut.
Yang Keenam: dengki. Yaitu: ia kadang‑kadang dengan akan orang
yang dipuji oleh manusia banyak, yang disukai dan yang dimuliakan oleh orang
banyak. Lalu ia bermaksud menghilangkan nikmat itu dari orang tersebut. Maka
ia tiada memperoleh jalan kepada yang dimaksud, selain dengan mencaci orang
itu. Lalu ia bermaksud menjatuhkan air muka orang tadi dimuka orang banyak.
Sehingga orang banyak mencegah memuliakan dan memuji orang tersebut. Karena ia
merasa berat mendengar perkataan, pujian dan pemuliaan orang banyak kepada
orang itu. Inilah dengki yang sebenarnya! Yaitu lain dari
marah dan sakit hati. Karena yang demikian itu membawa kepada penganiayan kepada
orang yang dimarahi. Dan dengki itu kadang‑kadang ada serta teman yang berbuat
baik dan kawan yang sesuai.
Yang
Ketujuh: bermain,
bersenda‑gurau, berbaik‑baikan dan menggunakan waktu dengan tertawa. Lalu ia
menyebutkan kekurangan orang lain, dengan cara yang menertawakan orang banyak,
dengan jalan meniru. Dan sumbernya,
ialah: sombong dan mengherani diri.
Yang Kedelapan: penghinaan dan mempermain‑mainkan untuk menghina
orang tersebut. Sesungguhnya yang demikian, kadang‑kadang berlaku dimuka orang
tersebut. Dan kadang‑kadang juga dibelakangnya. Dan sumbernya, ialah sombong dan memandang kecil akan orang
yang dipermain-mainkan itu.
Adapun sebab yang 3 yang terdapat
pada orang‑orang khusus, maka itu yang paling kabur dan paling halus. Karena
itu adalah kejahatan‑kejahatan, yang disembunyikan oleh setan dalam pelaksanaan
kebajikan. Dan padanya ada kebajikan. Akan tetapi dicampurkan oleh setan akan
kejahatan dengan kebajikan‑kebajikan itu.
1.
Bahwa digerakkan dari agama oleh panggilan
keta'juban, pada menentang yang munkar dan kesalahan pada agama. Lalu ia
mengatakan: "Alangkah herannya apa yang aku lihat dari si Anu!
Sesungguhnya kadang‑kadang dia itu benar dengan yang demikian". Dan adalah
keta'jubannya itu termasuk munkar. Akan
tetapi, adalah haknya untuk merasa ta’jub. Dan ia tidak menyebutkan nama orang
itu. Maka dipermudahkan oleh setan kepadanya, menyebutkan nama orang tersebut,
pada melahirkan keta'jubannya. Lalu jadilah ia dengan demikian, orang yang
mengumpat dan berdosa, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Termasuk juga
yang demikian, kata seseorang: "Aku heran dari keadaan si Anu, bagaimana
ia mencintai budak wanitanya, pada hal budak wanitanya itu buruk. Dan bagaimana
ia duduk dihadapan si Anu, pada hal ia orang bodoh.
2.
Kasih
sayang. Yaitu: bahwa ia berdukacita disebabkan bencana yang menimpa
seseorang. Lalu ia berkata: "Kasihan si Anu, yang menduka citakan aku oleh
keadaannya dan apa yang menimpa dirinya". Maka dia itu benar tentang
dakwaan kedukacitaannya itu. Dan ia dilalaikan oleh kedukacitaan tersebut,
daripada ketakutan menyebutkan nama orang tadi. Lalu disebutnya. Maka jadilah
ia mengumpat. Lalu dukacitanya dan kasih‑sayangnya itu suatu kebajikan. Begitu
pula keheranannya. Akan tetapi ia telah dihalau oleh setan kepada kejahatan, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Dan
kekasih sayangan dan keduka‑citaan itu mungkin tanpa menyebutkan nama orang
itu. Lalu ia digerakkan oleh setan untuk menyebutkan namanya, supaya dengan
demikian batallah pahala kedukacitaan dan kekasih‑sayangannya.
3.
Marah
karena Allah Ta'ala. Sesungguhnya kadang-kadang ia marah atas perbuatan
munkar, yang dikerjakan manusia, apabila dilihatnya atau didengarnya. Lalu
lahirlah kemarahannya dan menyebutkan nama 0rang itu. Dan adalah wajib bahwa
ia melahirkan kemarahannya kepada orang tersebut, dengan amar‑ma'ruf dan Nahi‑munkar. Dan tidak dilahirkannya
kepada orang lain atau ditutupnya nama orang tersebut dan tidak disebutnya
dengan jahat.
Maka 3 perkara tadi termasuk yang tersembunyi
memperolehnya pada alim‑ulama, lebih‑lebih pada orang awam. Sesungguhnya
mereka itu menyangka, bahwa ketakjuban, kekasih‑sayangan dan kemarahan,
apabila karena Allah Ta’ala, niscaya dima'afkan pada menyebutkan nama. Itu
adalah salah. Akan tetapi yang diperbolehkan pada mengumpat, ialah beberapa
keperluan tertentu, yang tiada jalan lain. selain daripada menyebutkan nama,
sebagaimana akan datang uraian nya.
Dirawikan dari 'Amir bin Watsilah:
"Bahwa seorang laki‑laki Ialu pada suatu golongan pada masa hidup
Rasulu'llah saw. Maka ia memberi salam kepada mereka itu. Lalu mereka itu
menjawab salamnya. Tatkala orang tadi telah lewat dari mereka, lalu salah
seorang daripada mereka berkata: “Sesungguhnya aku sangat marah pada orang
tadi karena Allah Ta'ala". Maka yang duduk dalam majlis itu berkata:
"Sesungguhnya buruklah apa yang kamu katakan itu! Demi Allah, hendaknya
engkau jelaskan yang engkau katakan itu!”. Kemudian, mereka mengatakan kepada
salah seorang dari mereka: "Hai Anu! Bangunlah! Jumpailah orang tadi dan
terangkanlah kepadanya, apa yang dikatakan oleh orang itu!”. Lalu orang
tersebut dijumpai oleh utusan mereka. Maka utusan tadi menceriterakan apa yang
dikatakan orang itu. Lalu laki‑laki tersebut datang kepada Rasulu'llah saw dan
menceriterakan kepada Rasulu'llah saw apa yang dikatakan oleh orang itu. Dan
dimintanya, supaya rasulu'llah saw memanggiI orang itu. Lalu beliau
memanggilnya dan menanyakannya. 0rang itu lalu menjawab: “Sesungguhnya aku
sudah mengatakan demikian". Rasulu'llah saw Ialu bertanya: “Mengapa engkau
marah kepadanya?". Maka orang itu menjawab: "Aku tetangganya dan aku
mengetahui hal‑ihwalnya. Demi Allah! Aku tidak pernah melihatnya, ia
mengerjakan suatu shalat pun, selain daripada shalat fardlu ini". Laki‑laki
itu menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Tanyakanlah kepadanya, adakah ia
melihat aku memperlambat shalat dari waktunya? Atau aku tidak baik mengambil
wudhu Atau ruku' atau sujud pada shalat itu?". Lalu Rasulu'llah saw
menanyakan yang demikian pada orang tersebut. Maka orang itu menjawab:
"Tidak!”. Lalu ia berkata pula: "Demi Allah Aku tiada melihatnya
berpuasa sebulan pun, selain bulan ini (bulan Ramadlan) yang berpuasa padanya
orang baik dan orang zalim". Orang itu berkata lagi: "Wahai
Rasulu'llah! Tanyakanlah kepadanya, adakah ia melihat aku sekali‑sekali
berbuka puasa (tidak berpuasa) padanya? Atau aku kurangkan walaupun sedikit
daripada hak puasa itu?". Maka Rasulu'llah saw bertanya kepada laki‑laki
tersebut. Lalu laki‑laki itu menjawab: "Demi Allah! Aku tiada pernah
sekali‑kali melihatnya ia memberi kepada orang meminta‑minta dan orang miskin.
Dan aku tiada pernah melihatnya, ia membelanjakan sesuatu dari hartanya pada
jalan Allah (fi sabili'llah), selain dari zakat ini yang diberikan oleh orang
baik dan orang zalim". Orang itu berkata pula: "Tanyakanlah dia,
wahai Rasulu'llah, adakah ia melihat aku mengurangkan zakat itu? Atau aku tawar‑menawar
dengan orang yang mencari zakat, yang memintakannya. Lalu Rasulu'llah saw
bertanya kepada orang itu, maka dijawabnya: “Tidak!”. Maka Rasulu'llah saw
bersabda kepada laki‑laki tersebut: "Berdirilah! Moga‑moga dia itu lebih
baik dari engkau!”.
PENJELASAN: obat yang mencegah lidah daripada mengumpat.
Ketahuilah, bahwa setiap akhlak yang buruk,
sesungguhnya diobati dengan majun (obat) ilmu dan amal. Dan sesungguhnya obat
tiap‑tiap penyakit, ialah dengan sebabnya melawani. Maka hendaklah kita
memeriksa dari hal sebabnya ! Obat mencegah lidah dari mengumpat, terdiri atas 2 cara.
Salah satu daripadanya: secara global (tidak terperinci) dan yang satu lagi: secara terurai.
Adapun yang secara global, maka
yaitu: bahwa diketahuinya mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala dengan
pengumpatannya, dengan hadits‑hadits tadi, yang telah kami rawikan. Dan bahwa
diketahuinya, bahwa pengumpatan itu membuat kebaikannya menjadi sia‑sia pada
hari kiamat. Karena pengumpatan itu memindahkan kebaikannya pada hari kiamat
kepada orang yang diumpatinya, untuk ganti dari apa yang telah diperbolehkannya
melanggar kehormatan orang lain. Jikalau ia tiada mempunyai kebaikan, niscaya
dipindah kan kepadanya keburukan lawannya. Dan bersaman dengan yang demikian,
ia mendatangi kepada kutukan Allah 'Azza wa Jalla dan ia menyerupai dengan
orang memakan bangkai. Bahkan hamba itu masuk neraka, dengan beratnya daun
neraca kejahatannya daripada daun neraca kebaikannya. Kadang‑kadang
dipindahkan kepadanya, satu kejahatan dari orang yang diumpatinya. Lalu dengan
demikian, terjadilah beratnya daun neraca kejahatan dan ia masuk neraka. Dan
paling kurang tingkatnya, ialah berkurangnya pahala amalnya. Dan yang demikian
itu, sesudah bermusuhan, tuntut‑menuntut, bersoal-jawab dan perhitungan amal
(hisab).
Nabi saw bersabda:
"Tidaklah api itu lebih cepat memakan kayu kering, dibandingkan dengan
cepatnya umpatan memakan kebaikan‑kebaikan seorang hamba". Dirawikan bahwa
seorang laki‑laki berkata kepada Al-Hasan AI‑Bashari: "Telah sampai
kepadaku bahwa anda mengumpati aku". Lalu Al-Hasan menjawab: "Tidaklah
sampai dari kadarmu padaku, bahwa aku menghukum kamu pada kebajikan‑kebajikanku.
Maka manakala seorang hamba, beriman (mempercayai) dengan hadits‑hadits yang
datang, tentang umpatan, niscaya ia tidak akan melepaskan lidahnya dengan
pengumpatan itu. Karena takut daripada yang demikian. Dan juga bermanfa'at
baginya, untuk memahami pada dirinya sendiri. Kalau ia memperoleh pada
dirinya, suatu kekurangan, niscaya ia berusaha dengan kekurangan dirinya itu
untuk menghilangkannya".
Dan Al-Hasan membaca sabda Nabi
saw: "Berbahagialah orang yang disibukkan oleh kekurangan dirinya,
daripada memperkatakan kekurangan orang lain". Manakala memperoleh suatu
kekurangan, maka‑sayogialah malu meninggalkan mencaci diri sendiri dan mencaci
orang lain. Akan tetapi sayogialah meyakini, bahwa kelemahan orang lain tentang
dirinya, pada menjauhkan dari kekurangan itu, adalah seperti kelemahannya
sendiri. Dan ini, jikalau itu adalah suatu kekurangan yang menyangkut dengan
perbuatannya dan pilihannya. Dan jikalau itu suatu hal yang dijadikan oleh Allah (amran khalqiyyan), maka mencelanya itu
adalah mencela Al-Khaliq (yang maha pencipta). Sesungguhnya barangsiapa
mencela suatu hasil perbuatan, maka dia itu mencela tukangnya. Seorang laki‑laki
mengatakan kepada seorang filosuf (ahli, hikmah): "Hai yang buruk muka!!”.
Lalu filosuf itu menjawab: "Tidaklah kejadian mukaku terserah kepadaku,
lalu aku dapat mencantikkannya". Apabila seorang hamba tiada memperoleh
kekurangan pada dirinya, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan
tidaklah ia mencemarkan dirinya dengan kekurangan yang terbesar. Sesungguhnya
mencela manusia dan memakan daging bangkai itu, termasuk kekurangan yang
terbesar. Bahkan, jikalau ia insyaf, niscaya ia tahu, bahwa persangkaannya
kepada dirinya terlepas dari semua kekurangan itu, suatu kebodohan terhadap
dirinya. Dan itu termasuk kekurangan yang terbesar. Dan bermanfa'atlah untuk
diketahuinya, bahwa orang lain merasa sakit dengan umpatannya, adalah seperti
terasa sakitnya dengan pengumpatan orang lain terhadap dirinya. Apabila ia
tidak merasa senang dirinya diumpati orang, maka sayogialah ia tidak senang
untuk orang lain, apa yang ia tidak senang untuk dirinya sendiri. Inilah
pengobatan‑pengobatan yang baik.
Adapun yang terurai, ialah: bahwa ia melihat pada sebab yang menggerakkan
kepada pengumpatan. Maka obatnya penyakit itu, ialah dengan memotong sebabnya.
Dan sudah kami kemukakan sebab‑sebab itu dahulu.
Adapun
kemarahan, maka akan diobati dengan apa yang akan datang penjelasannya
pada “Kitab Bahaya Marah”. Yaitu,
bahwa dikatakan: "Sesungguhnya, apabila aku meneruskan kemarahanku
kepadanya, maka semoga Allah Ta’ala meneruskan kemarahan Allah kepadaku
disebabkan pengumpatan. Karena la melarangku daripada pengumpatan. Lalu aku
berani atas larangan Allah dan memandang ringan dengan hardikan Allah".
Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya neraka jahannam mempunyai sebuah pintu, yang tidak dimasuki,
selain orang yang menyembuhkan kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada
Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya,
niscaya tumpullah lidahnya dan ia tidak menyembuhkan amarahnya". Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa menahan amarahnya, sedang ia sanggup meneruskannya,
niscaya ia dipanggil oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat dihadapan manusia
ramai, sehingga Allah Ta’ala meminta padanya untuk memilih bidadari/bidadara
yang mana ia kehendaki".
Pada sebahagian kitab‑kitab yang
diturunkan kepada sebahagian nabi‑nabi tersebut: "Hai anak Adam! Ingatlah‑kepadaKU
ketika engkau marah, niscaya AKU ingat kepadamu ketika AKU marah! Maka tidak
AKU hapuskan engkau dalam orang‑orang yang AKU hapuskan". Adapun sepakat dengan teman‑teman, yaitu:
engkau tahu, bahwa Allah Ta’ala memarahi engkau, apabila engkau mencari
kemarahan Allah untuk mencari keridlaan (kesenangan) makhluk. Maka bagaimanakah
engkau menyenangkan dirimu, bahwa engkau memuliakan orang lain dan menghina
kan Tuhanmu ? Maka engkau tinggalkan keridlaan Allah, untuk memperoleh
keridlaan mereka. Kecuali, bahwa kemarahanmu itu karena Allah Ta’ala. Dan yang
demikian, tidak mengharuskan untuk engkau sebutkan orang yang dimarahi itu
dengan sebutan jahat. Akan tetapi sayogialah, bahwa engkau marah pula akan
teman‑temanmu karena Allah Ta’ala, apabila mereka menyebutnya dengan sebutan jahat.
Karena mereka telah mendurhakai Tuhan engkau dengan dosa yang terkeji. Yaitu: umpatan.
Adapun membersihkan diri sendiri (tanzihun‑nafsi), dengan menyandarkan
orang lain kepada pengkhianatan, dimana sebetulnya ia tidak memerlukan
menyebutkan orang lain itu, maka engkau mengobatinya, ialah: dengan mengetahui
bahwa tampil untuk membenci AL‑KHALIQ (YANG MAHA PENCIPTA) itu lebih berat
dibandingkan dari tampilnya untuk membenci makhIuq. Dan engkau dengan mengumpat
itu, tampil untuk kemarahan Allah dengan yakin. Dan engkau tidak tahu, bahwa
engkau melepaskan diri dari kemarahan manusia atau tidak. Lalu engkau
melepaskan dirimu di dunia, dengan sangka‑waham. Dan engkau akan binasa di
akhirat dan merugilah kebaikan engkau dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Dan
hasilnya bagi engkau, ialah celaan Allah Ta’ala sekarang juga. Dan engkau
menantikan akan penolakan celaan makhluk pada masa depan. Inilah kebodohan dan
kehinaan yang penghabisan.
Adapun alasan engkau, seperti engkau katakan: jikalau aku memakan haram,
maka si Anu pun memakannya. Dan jikalau aku menerima harta sultan, maka si Anu
pun menerimanya. Maka ini suatu kebodohan. Karena engkau membuat alasan, dengan
mengikuti orang yang tidak boleh diikuti. Karena orang yang menyalahi perintah
Allah Ta’ala, maka tidak diikuti, siapa pun orangnya. Dan jikalau orang lain
masuk neraka dan engkau sanggup untuk tidak memasukinya, niscaya janganlah
engkau sepakat dengan dia. Jikalau engkau sepakat, niscaya bodohlah pikiranmu.
Maka pada apa yang engkau sebutkannya umpatan dan tambahan perbuatan maksiat
itu, telah engkau tambahkan kepada apa yang engkau meminta maaf daripadanya.
Dan engkau daftarkan serta berkumpulnya diantara dua perbuatan maksiat, diatas
kebodohan dan kedunguan engkau. Dan adalah engkau seperti kambing betina yang
memandang kepada kambing jantan, yang menjatuhkan dirinya dari puncak bukit.
Lalu dia juga menjatuhkan dirinya. Dan jikalau kambing betina itu mempunyai
lidah yang menuturkan dengan meminta ma'af dan dia menegaskan dengan permintaan
ma'af itu dan berkata: "Kambing
jantan itu lebih pandai daripadaku” dan ia telah membinasakan dirinya, maka
begitulah pula aku berbuat, niscaya engkau akan tertawa dari kebodohan kambing
betina itu. Dan keadaan engkau samalah dengan keadaannya. Kemudian, engkau
tidak merasa heran dan tidak tertawa dari diri engkau sendiri. Adapun maksud engkau berbangga dan membersihkan
diri dengan kelebihan keutamaan, dengan engkau mencela orang lain, maka
sayogialah engkau ketahui, bahwa engkau dengan apa yang engkau sebutkan itu,
telah engkau batalkan kelebihan engkau pada sisi Allah. Dan engkau dari keyakinan
manusia itu, kelebihan engkau dalam bahaya. Kadang‑kadang berkurang
kepercayaan mereka pada engkau, apabila mereka mengetahui akan engkau mencela
manusia. Maka adalah engkau, sesungguhnya telah menjualkan apa yang pada AL‑KHALIO
dengan yakin dengan apa yang pada makhluk dengan sangka‑waham. Jikalau berhasil
bagi engkau dari makhluk, keyakinan kelebihan, niscaya sesungguhnya mereka
tidak terlepas sesuatu pun daripada Allah dengan engkau.
Adapun pengumpatan dikarenakan oleh dengki, maka itu adalah pengumpulan
diantara 2 azab. Karena engkau dengki kepadanya diatas kenikmatan duniawi dan
adalah engkau di dunia ini diazabkan dengan kedengkian. Maka tidaklah engkau
merasa cukup dengan demikian, sehingga engkau tambahkan kepadanya azab
akhirat. Maka engkau rugikan diri engkau sendiri di dunia. Lalu menjadi pula
engkau merugi di akhirat. Karena engkau kumpulkan diantara dua larangan.
Engkau maksudkan orang yang engkau dengkikan, lalu engkau kenakan akan diri
engkau sendiri. Dan engkau hadiahkan kepadanya kebaikan engkau. Jadi engkau
adalah temannya dan musuh diri engkau sendiri. Karena tidak mendatangkan
melarat kepadanya, oleh pengumpatan engkau. Dan engkau mendatangkan melarat
akan engkau sendiri. Dan memberi manfat kepadanya. Karena engkau pindahkan
kepadanya kebaikan‑kebaikan engkau. Atau engkau pindahkan kepada engkau sendiri
keburukan‑keburukannya. Dan tidak bermanfa'at bagi engkau. Engkau telah kumpulkan
kepada kekejian dengki, akan bodohnya kedunguan. Kadang‑kadang kedengkian
engkau dan kecelaan engkau, menjadi sebab tersiarnya kelebihan orang yang
engkau dengki, sebagai dikatakan pada sekuntum syair:
“Apabila dikehendaki oleh Allah,
tersiarnya keutamaan yang tersembunyi,
maka disediakan untuknya oleh Allah,
suatu lidah yang pendengki ...........
Adapun penghinaan, maka maksud engkau dari penghinaan itu, ialah
menghinakan orang lain dihadapan manusia, dengan menghinakan dirimu sendiri
pada sisi Allah Ta’ala, pada sisi malaikat‑malaikat dan nabi‑nabi. Kepada
mereka rahmat dan sejahtera. Jikalau engkau berpikir pada kerugian engkau,
penganiayaan engkau, malunya engkau dan hinanya engkau pada hari kiamat, hari
yang engkau bawa kejahatan‑kejahatan orang yang engkau permainkannya dan engkau
dihalau keapi neraka, niscaya mendahsyatkan akan engkau, oleh yang demikian,
dari menghinakan akan sahabat engkau. Jikalau engkau tahu akan keadaan engkau,
niscaya adalah engkau lebih utama untuk tertawa dari hal engkau sendiri. Karena
engkau memperolok‑olokkannya dihadapan orang yang sedikit jumlahnya (teman‑teman
engkau) dan engkau bawa diri engkau sendiri, untuk diambilnya tangan engkau
pada hari kiamat, dibawanya kehadapan manusia ramai. Dan dihalaunya engkau dibawah
kejahatan‑kejahatannya, sebagaimana dihalau keledai ke dalam api, dimana ia
mempermain‑mainkan engkau, gembira dengan kehinaan engkau dan merasa senang
dengan pertolongan Allah Ta'ala kepadanya, diatas kerugian engkau dan
kekuasaannya membalas dendam atas engkau.
Adapun kasih sayang kepada orang diatas dosanya, maka itu baik. Akan
tetapi, engkau didengkikan oleh Iblis, lalu disesatkannya engkau. Dan diajaknya
berbicara dengan engkau dengan apa yang dipindahkan daripada kebaikan‑kebaikan
engkau kepada orang itu, akan apa yang lebih banyak dari kekasih‑sayangan
engkau. Maka itu adalah tambalan untuk dosa orang yang dikasih‑sayangi. Lalu
keluarlah orang itu dari keadaannya dikasih‑sayangi dan terbaliklah engkau
yang berhak untuk dikasih sayangi. Karena telah batal pahala engkau dan engkau
telah berkurang dari kebaikan‑kebaikan engkau. Begitu pula kemarahan karena Allah Ta’ala, tidak
mengharuskan mengumpat. Dan sesungguhnya setan yang menyukakan engkau untuk
mengumpat, supaya batal pahala kemarahan engkau. Dan jadilah engkau yang tampil
dengan pengumpatan untuk dibenci oleh Allah 'Azza wa Jalla.
Adapun keheranan kepada diri (ta'jub), apabila membawa engkau kepada
pengumpatan, lalu engkau merasa heran dari diri engkau sendiri, bagaimana
engkau telah membinasakan diri engkau dan agama engkau, dengan agama atau
dunia orang lain. Dan dalam pada itu, engkau tidak aman dari siksaan dunia.
Yaitu dikoyakkan oleh Allah tabir yang menutupi kekurangan engkau, sebagaimana
engkau dengan keta'juban itu, mengoyakkan tabir yang menutupi kekurangan
saudara engkau. Jadi, obat semua yang demikian itu, ialab: ma'rifah saja dan meyakini hal-hal itu yang menjadi pintu
keimanan. Maka barangsiapa yang kuat imannya dengan semua itu, niscaya sudah
pasti tercegahlah lidahnya daripada mengumpat.
PENJELASAN:
pengharaman mengumpat dengan hati.
Ketahuilah, bahwa jahat sangka itu haram, seperti
jahatnya perkataan. Maka sebagaimana diharamkan kepada engkau memperkatakan
orang lain dengan lidah engkau, dengan menyebutkan keburukan‑keburukan orang
lain, maka tiadalah bagi engkau untuk memperkatakan diri engkau sendiri dan
berjahat sangka akan saudara engkau. Dan tidaklah maksudku yang demikian,
selain dari kebusukan hati dan menghukum buruk orang lain.
Adapun gurisan‑gurisan dalam hati dan kata hati, maka itu dima'afkan. Bahkan syak‑wasangka pun dima'afkan.
Akan tetapi yang dilarang, ialah bahwa: menyangka
dan sangkaan itu, ibarat daripada kecenderungan diri dan hati kepadanya.
Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang‑orang
yang beriman! Jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purbasangka itu dosa!”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Sebab
pengharamannya, ialah, bahwa rahasia hati itu, tiada yang mengetahuinya,
selain Allah yang Maha Tahu yang ghaib‑ghaib. Maka tiadalah berhak engkau,
meyakini akan kejahatan pada orang lain, kecuali apabila telah terbuka bagi
engkau dengan jelas, yang tidak menerima untuk dita'wilkan. Maka ketika itu,
tidak mungkin bagi engkau, selain mempercayai apa yang engkau ketahui dan
engkau saksikan. Yang tidak engkau saksikan dengan mata engkau dan tidak engkau
dengar dengan telinga engkau, kemudian jatuh dalam hati engkau, maka adalah
setan yang mencampakkannya kepada engkau. Seyogialah engkau mendustakan setan
itu. Karena itu adalah yang lebih fasik dari semua orang fasik. Allah Ta’ala
berfirman: ”Hai orang‑orang yang beriman!
Kalau datang kepada, kamu orang jahat membawa berita, periksalah dengan
seksama, supaya kamu jangan sampai mencelakakan suatu kaum dengan tiada
diketahui, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. S 49 Al Hujuraat
ayat 6. Maka tidak boleh membenarkan Iblis. Dan jikalau ada disitu suatu bayangan,
yang menunjukkan kepada kerusakan dan mungkin sebaliknya, niscaya tidak boleh
engkau membenarkannya. Karena orang fasik itu menggambarkan, bahwa ia akan
dibenarkan perkhabarannya.
Akan tetapi, tidak boleh bagi
engkau membenarkannya. Sehingga seorang yang berbau mulutnya, lalu didapati
padanya bau khamar/alkohol, tidak boleh ia disiksa. Karena dapat dikatakan, bahwa
mungkin ia telah berkumur‑kumur dengan khamar dan diludahinya. Dan ia tidak
meminum nya. Atau dibawa orang kepadanya dengan paksaan.
Maka semua itu tidak mustahil
dalil yang mungkin. Maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berjahat
sangka kepada orang muslim dengan yang demikian. Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan dari orang muslim, darahnya dan
hartanya dan bahwa menyangkakannya dengan sangkaan jahat". Maka tidak
diperbolehkan sangkaan jahat, kecuali dengan apa yang diperbolehkan harta.
Yaitu: penyaksian itu sendiri atau saksi yang adil. Maka apabila tidak ada
seperti yang demikian dan terguris bagi engkau was-was jahat sangkaan, maka
seyogialah engkau menolakkannya dari hati engkau. Dan engkau menetapkan, bahwa
keadaan orang itu pada engkau tertutup, sebagaimana adanya. Dan bahwa yang
engkau lihat dari orang tersebut, mungkin baik dan mungkin buruk. Maka jikalau
engkau bertanya: "Dengan apa dapat dikenal ikatan sangka dan keraguan hati
yang tergerak didalam dada dan hati yang berbicara”. Kami jawab, bahwa ikatan
jahatnya sangka itu ialah berobahnya hati daripada yang sudah‑sudah. Lalu hati
itu lari (tidak dekat) lagi dari hal itu, merasa berat dan lemah daripada
memeliharanya, merasa kehilangan, memuliakan dan merasa sedih, disebabkan
jahat sangka itu. Maka inilah tanda‑tanda ikatan‑sangkaan dan mencari bukti‑buktinya.
Nabi saw bersabda: “Tiga perkara
pada orang mu'min, dimana ia mempunyai jalan keluar dari masing‑masing yang 3
perkara itu. Maka jalan keluar dari jahat sangka, ialah: bahwa ia tidak mencari
bukti‑buktinya". Artinya: ia tidak mencari bukti‑buktinya pada dirinya
dengan ikatan (ikatan pada jahat sangka tersebut) dan dengan perbuatan. Dan
tidak pula membenarkannya pada hati dan pada anggota badannya.
Adapun pada
hati, ialah: dengan berobahnya hati itu kepada menjauhi (liar hati) dan
benci.
Adapun pada
anggota badan, ialah: dengan tindakan (perbuatan) yang mengharuskan
(menghendaki adanya) jahat sangka. Dan setan kadang‑kadang menetapkan didalam
hati itu, dengan bayangan yang sesedikit‑dikitnya, akan jahatnya orang itu.
Dan dijatuhkan oleh setan bisikan kedalam hati, bahwa: yang demikian, adalah
termasuk kecerdikan engkau, kecepatan pemahaman engkau dan kepintaran engkau.
Dan sesungguhnya orang mukmin itu melihat dengan nur (cahaya) Allah Ta’ala.
Dan orang mu'min itu diatas sebenarnya, memperhatikan diatas penipuan dan
kezaliman setan.
Apabila diterangkan kepada
engkau oleh seorang adil (jujur) akan sesuatu, lalu cenderung sangkaan engkau
kepada membenarkannya, niscaya dalam hal ini engkau dima'afkan. Karena jikalau
engkau mendustakannya, niscaya engkau penganiaya diatas keadilan (kejujuran)
tersebut. Karena engkau telah menyangka akan kedustaannya. Dan yang demikian,
termasuk pula dalam jahat sangka. Maka tiada seyogialah engkau berbaik sangka
dengan seseorang dan berjahat sangka dengan orang lain. Benar sayogianya engkau
memeriksa, adakah diantara kedua orang tersebut permusuhan, perdengkian dan
pertengkaran? Lalu timbul tuduhan, dengan sebab itu? Agama menolak kesaksian
bapak yang adil untuk kepentingan anaknya, karena kecurigan. Dan agama menolak
kesaksian musuh. Maka engkau ketika itu dapat menghentikan pikiran (tawaqquf).
Jikalau ia adil, maka jangan engkau benarkan dan jangan engkau dustakan. Akan tetapi
engkau katakan pada diri sendiri: "Orang yang tersebut keadaannya adalah
padaku dalam penutupan Allah Ta'ala dan urusannya adalah terdinding (terhijab)
daripadaku. Dan tinggal seperti yang telah ada, tiada terbuka sedikitpun dari
urusannya bagiku".
Kadang‑kadang orang itu,
zahiriahnya adil dan tak ada dengki‑mendengki diantaranya dan orang tersebut.
Tetapi kadang‑kadang termasuk kebiasaannya, memperkatakan orang lain dan
menyebutkan keburukan‑keburukan mereka. Dan ini, kadang‑kadang disangka orang
itu adil, pada hal ia tidak adil. Karena orang pengumpat itu adalah orang
fasik. Dan jikalau demikian kebiasaannya, niscaya kesaksiannya ditolak. Hanya
karena banyaknya kebiasaan yang demikian, lalu manusia menganggap mudah urusan
pengumpatan. Dan tidak memperdulikan tentang perkatakan kehormatan orang
banyak. Manakala terguris dalam hati engkau suatu gurisan jahat kepada
seseorang muslim, maka sayogialah engkau menambahkan pada penjagaannya dan
engkau do'a kan kebajikan kepadanya. Sesungguhnya yang demikian memarahkan
setan dan menolaknya daripada engkau. Lalu ia tidak melemparkan kepada engkau
gurisan jahat, karena ketakutan dari usaha engkau dengan do'a dan penjagaan.
Manakala engkau mengetahui akan kesalahan seorang muslim dengan ada alasan, maka
nasehatilah dia secara rahasia. Dan jangan engkau ditipu oleh setan, lalu setan
itu mengajak engkau kepada mengumpatinya. Dan apabila engkau menasehatinya,
maka janganlah engkau menasehatinya, sedang engkau gembira melihatnya diatas
kekurangan itu. Supaya ia memandang kepada engkau dengan pandangan
penghormatan. Dan engkau memandang kepadanya dengan pandangan penghinaan. Dan
engkau meninggi diri dari padanya, dengan melahirkan nasehat. Dan hendaklah ada
maksud engkau, untuk melepaskannya dari dosa.
Dan engkau merasa sedih, sebagaimana sedihnya engkau atau diri engkau
sendiri, apabila timbul kekurangan atas engkau pada agama engkau. Dan sayogialah
lantaran itu, ditinggalkannya perbuatan dosa itu tanpa nasehat engkau, lebih
engkau sukai, daripada ditinggalkannya dengan nasehat engkau. Apabila engkau
berbuat demikian, niscaya sesungguhnya engkau telah mengumpulkan diantara
pahala nasehat dan pahala sedih dengan musibah yang menimpa orang itu dan
pahala memberi pertolongan kepadanya pada Agamanya.
Termasuk diantara buah jahat
sangka itu mengintip‑intip(at‑tajassus). Hati
sesungguhnya tidak merasa puas dengan sangkaan saja dan mencaci hakikat / makna
yang sebenarnya. Lalu hati itu berusaha dengan mengintip‑intip. Dan mengintip‑intip itu juga dilarang. Allah
Ta’ala berfirman:“Janganlah kamu
mengintip‑intip (mencari‑cari keburukan orang) & janganlah mengumpat satu
sama lain”. S 49 Al Hujuraat, ayat 12. Mengumpat, jahat sangka &
mengintip‑intip itu dilarang pada satu ayat tersebut. Arti mengintip-intip (at‑tajassus),
ialah: tidak dibiarkan hamba Allah itu dibawah tabir Allah (ditutup
kesalahannya oleh Allah). Lalu dicari
jalan supaya sampai kepada mengetahuinya & merusakkan tabir
tersebut. Sehingga terbukalah baginya hal‑hal, jikalau tertutup, niscaya lebih menyelamatkan
hati & agamanya. Dan telah kami sebutkan hukum mengintip‑intip & hakikat/maknanya pada “Kitab Amar Ma’ruf”.
s/d baca
dan rekaman
PENJELASAN:
halangan‑halangan yang membolehkan mengumpat.
Ketahuilah, bahwa yang membolehkan menyebut keburukan
orang lain, yaitu: suatu maksud yang dibenarkan Agama, yang tidak mungkin
sampai kepada maksud tersebut, selain dengan menyebut keburukan itu. Maka yang
demikian, menolak dosa umpatan. Yaitu: 6
perkara.
Pertama:
penderitaan kezaliman. Sesungguhnya siapa yang menyebutkan seorang hakim
dengan kezaliman, pengkhianatan dan mengambil uang suap, maka orang tersebut
itu pengumpat yang maksiat, jikalau ia tidak
dizalimi. Adapun orang yang dizalimi oleh
pihak hakim, maka ia berhak mengadu kezaliman itu kepada pemerintah. Dan
dikatakannya hakim itu zalim, karena tidak mungkin ia memperoleh haknya,
kecuali dengan demikian. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya yang punya hak
itu mempunyai perkataan (berhak berbicara)". Nabi saw bersabda:
“Pertangguhannya orang kaya itu, membayar hutang suatu kezaliman". Nabi
saw bersabda: "Pertangguhan orang yang memperoleh uang (untuk membayar
hutangnya), itu menghalalkan penyiksaannya dan kehormatannya".
Kedua: permintaan
bantuan untuk mengobah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat
maksiat, kepada jalan yang baik, sebagaimana dirawikan, bahwa 'Umar ra singgah
pada 'Usman ra Dan ada yang mengatakan, 'Umar ra itu singgah pada Thalhah ra.
Lalu 'Umar ra memberi salam kepadanya, maka tidak dibalasnya salam itu. Lalu 'Umar
ra pergi kepada Abubakar ra. Maka diceriterakannya yang demikian kepada
Abubakar ra. Lalu pergilah Abubakar ra kepada 'Usman ra (atau kepada Thalhah ra
menurut riwayat yang lain), untuk memperbaiki yang demikian. Dan tidaklah itu
pengumpatan pada para shababat. Begitu pula ketika sampai berita kepada 'Umar
ra, bahwa Abu Jundul membuat khamar di negeri Syam (Syria), lalu 'Umar ra
menulis surat kepadanya, sebagai berikut:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang. Haa Mim. Diturunkan
Kitab ini dari Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tahu, Pengampun dosa, Penerima
tobat, Keras hukuman dan Banyak memberi. Tiada Tuhan selain daripada DIA.
Kepada Allah kesudahan tujuan”. S 40 Al Mukmin ayat 1‑2‑3. Maka bertobatlah
Abu Jundul. Dan 'Umar ra tidak berpendapat, bahwa apa yang disampaikannya itu
pengumpatan. Karena maksudnya, adalah untuk menentang Abu Jundul pada
kemungkaran tersebut. Maka bermanfa'at baginya nasehat 'Umar ra apa yang tidak
bermanfa'at baginya nasehat orang lain. Dan sesungguhnya diperbolehkan ini,
dengan maksud yang benar. Maka kalau tidaklah yang demikian dimaksudkan,
niscaya adalah haram.
Ketiga: meminta
fatwa, seperti dikatakannya kepada mufti (yang mengeluarkan fatwa): "Aku
telah dianiaya oleh bapakku atau oleh istriku atau oleh saudaraku. Maka
bagaimana jalanku pada melepaskan diri?". Dan yang lebih menyelamatkan
itu, dengan kata‑kata sindiran (kata‑kata yang tidak langsung), dengan
dikatakannya: "Apa katamu tentang, orang yang dianiaya oleh ayahnya atau
oleh saudaranya atau oleh isterinya?". Tetapi penentuan, diperbolehkan
sekedar ini. Karena diriwayatkan dari Hindun binti 'Utbah, bahwa Hindun berkata
kepada Nabi saw: "Bahwa Abu Sufyan itu laki‑laki yang kikir. la tidak
memberikan kepadaku, apa yang mencukupkan bagiku dan anakku. Apakah aku ambil,
tanpa setahunya?". Maka Nabi saw menjawab: "Ambillah apa yang
mencukupkan bagi engkau dan anak engkau dengan yang baik. Hindun menyebutkan
kekikiran dan kezaliman terhadap dia dan anaknya. Dan Nabi saw tidak
mencegahnya, karena maksud Hindun, ialah: meminta
fatwa/nasehat.
Keempat menakutkan orang muslim daripada
kejahatan. Apabila engkau melihat seorang ahli fikh (faqih) sering kali datang
kepada orang yang berbuat bid’ah (mubtadi') atau orang fasik dan engkau takut
menularnya bid’ah dan fasik itu kepada faqih tadi, maka engkau berhak membuka
kebid’ahan dan kefasikan orang tersebut, manakala yang menggerakkan engkau
bertindak demikian, lantaran takut menjalarnya bid’ah dan fasik. Bukan
lantaran sebab yang lain. Dan itu adalah tempat tipu‑daya. Karena, kadang‑kadang
kedengkianlah yang menjadi penggerak. Dan dikacau‑balaukan oleh setan yang
demikian, dengan melahirkan kasih‑sayang kepada orang banyak.
Begitu pula orang yang membeli
seorang budak. Dan engkau mengetahui bahwa budak itu suka mencuri atau berbuat
fasik atau berbuat kekurangan yang lain. Maka engkau berhak menyebutkan yang
demikian. Karena diamnya engkau itu mendatangkan kerugian bagi si pembeli. Dan
dalam engkau menyebutkan itu, mendatangkan melarat bagi budak tersebut. Dan
pihak pembeli itu lebih utama dijaga.
Begitu pula al‑muzakki (orang yang mengetahui bersih tidaknya seseorang), apabila
ia ditanyakan tentang keadaan seorang saksi, maka si al‑muzakki itu boleh
mencaci si saksi, kalau diketahuinya bahwa saksi itu tercela.
Begitu pula orang yang diminta
pikirannya (al‑mustasyar) tentang perkawinan dan penyimpanan amanah, maka ia
boleh menerangkan apa yang diketahuinya, dengan maksud nasehat kepada orang
yang memintanya nasehat (al‑mustasyir) itu. Tidak dengan maksud mencaci. Kalau
diketahuinya, bahwa orang tersebut akan meninggalkan perkawinan dengan semata‑mata
perkataannya: "Wanita itu tidak pantas untuk engkau", maka itu yang
sewajibnya dan mencukupi. Dan kalau diketahuinya, bahwa orang tersebut tidak
akan meninggalkan perkawinan, kecuali dengan kata terus‑terang dengan
kekurangannya, maka bolehlah berkata terus‑terang. Karena Rasulu'llah saw
bersabda: "Adakah kamu mencegah, daripada menyebutkan orang fasik? Bukalah
hal‑ihwalnya sehingga diketahui oleh manusia! Sebutkanlah apa yang ada padanya,
sehingga ia ditakuti oleh manusia!”. Mereka mengatakan, bahwa 3 macam manusia,
tidak ada pengumpatan untuk mereka. Yaitu: penguasa yang zalim, orang yang
berbuat bid’ah dan orang yang menampakkan kefasikannya.
Kelima: bahwa
adalah orang itu terkenal dengan gelaran yang melahirkan kekurangannya.
Seperti: si Pincang dan si Kabur mata. Maka tidak berdosa orang yang
mengatakan: "Dirawikan oleh Abuz‑Zanad, dari Si Pincang (Al-A'raj) dan
dirawikan oleh Salman dari Si Kabur Mata (Al-A’masy)". Dan yang lain‑lain
yang serupa dengan itu. Para ulama sudah berbuat demikian, karena pentingnya
pengenalan. Dan karena yang demikian telah terjadi, yang tidak dibenci oleh
yang bersangkutan sendiri, kalau diketahuinya, sesudah menjadi termasyur
dengan yang demikian. Ya, jikalau diperoleh yang sederhana dan mungkin untuk
pengenalan dengan kata‑kata yang lain, maka itu lebih utama. Karena itu
dikatakan bagi orang buta (al‑a'ma): yang
melihat (al‑bashir). Karena tukaran dari nama kekurangan.
Keenam: bahwa
orang tersebut menampakkan kefasikannya, seperti: orang yang menampakkan
dirinya seperti wanita, orang yang mempunyai tempat minuman keras, orang yang
menampakkan dirinya meminum khamar dan meminta harta orang dengan setengah
paksa. Dan orang tersebut termasuk orang yang menzahirkan perbuatannya, dimana
ia tidak mencegah untuk disebutkan dan tidak benci untuk disebutkan dengan
demikian. Maka apabila engkau sebutkan pada orang tersebut, apa yang
dizahirkannya, maka engkau tidak berdosa. Rasulu'llah saw bersabda:
“Barangsiapa mencampakkan baju malunya dari mukanya, maka tiada menjadi
pengumpatan baginya". 'Umar ra berkata: "Tiada kehormatan bagi orang
yang berbuat maksiat". Yang dimaksud, ialah: orang yang menampakkan kefasikannya,
tidak orang yang menutupkannya. Karena orang yang menutupkannya, harus dipelihara
kehormatannya. Ash‑Shultu bin Thuraif berkata: "Aku bertanya pada Al-Hasan
AI‑Bashari: “Laki‑laki yang fasik, yang menampakkan kemaksiatannya, apakah sebutanku
kepadanya, dengan apa adanya itu, pengumpatan kepadanya?". AI Hasan
menjawab: "Tidak dan tidak ada kemuliaan bagi orang itu". Al-Hasan
berkata: "Tiga macam manusia, tiada menjadi pengumpatan bagi mereka,
yaitu: orang yang mengikuti hawa‑nafsu, orang fasik yang menampakkan
kefasikannya dan imam (penguasa) yang zalim". Maka orang 3 macam tersebut,
dikumpulkan mereka oleh menzahirkan perbuatan itu. Dan kadang‑kadang mereka
berbangga diri dengan perbuatan tersebut. Maka bagaimanakah mereka tiada
menyukai yang demikian? Dan mereka bermaksud menzahirkannya. Benar, jikalau
disebut apa yang tidak dizahirkannya, maka itu berdosa. Berkata 'Auf bin Abi
Jamilah Al-A'rabi: "Aku masuk ke tempat lbnu Sirin. Maka aku perkatakan
padanya tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats‑Tsaqafi. Lalu Ibnu Sirin menjawab:
"Sesungguhnya Allah menghukum dengan adil. IA akan menuntut balas untuk
Al-Hajjaj dari orang yang mengumpatinya, sebagaimana ia menuntut balas dari
Al-Haijaj untuk orang dianiayainya. Dan engkau sesungguhnya apabila menjumpai
Allah Ta'ala besok, niscaya dosa yang paling kecil yang engkau peroleh adalah
lebih berat atas engkau dari dosa yang paling besar yang diperoleh oleh
Al-Hajjaj".
PENJELASAN. kafarat umpatan.
Ketahuilah, bahwa wajib atas
orang yang mengumpat itu menyesal, bertobat dan merasa sedih diatas perbuatan
yang telah diperbuatnya. Supaya dengan demikian, ia keluar dari hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian ia minta pada orang yang diumpatinya itu supaya
dihalalkannya. Lalu keluarlah ia daripada menganiayainya. Dan sayogialah untuk
meminta dihalalkan itu, dimana ia dengan keadaan sedih, sangat terharu dan menyesal
diatas perbuatannya. Karena orang yang ria kadang‑kadang meminta dihalalkan,
untuk melahirkan dirinya orang wara', sedang pada batinnya, ia tidak menyesal.
Maka ia telah mengerjakan suatu maksiat lain. Al-Hasan AI‑Bashari berkata:
"Mencukupilah dia ber‑istighfar (meminta ampun Tuhan), tanpa meminta
dihalalkan (dima'afkan)". Mungkin beliau mengambil dalil pada yang
demikian, dengan apa yang dirawikan Anas bin Malik, dimana Anas berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda:
“Kaffarah (pembayar hutang dosa) kepada orang yang engkau umpati ialah
bahwa engkau meminta diampuni dosanya (engkau membaca istighfar bagi
dosanya)". Mujahid berkata: "Kaffarah engkau makan daging saudara
engkau ialah bahwa engkau pujikan dia dan engkau do'akan kebajikan
baginya". Ditanyakan 'Atha' bin Abi Ribah, tentang tobat daripada
mengumpat. Lalu ia menjawab: "Bahwa engkau pergi kepada teman engkau itu,
lalu engkau katakan kepadanya: "Aku berdusta tentang apa yang aku katakan.
Dan aku telah berbuat aniaya dan berbuat jahat kepada engkau. Maka kalau engkau mau, engkau ambillah hak engkau.
Dan jikalau engkau mau, engkau ma'afkanlah". Inilah yang lebih benar. Kata
orang yang mengatakan, bahwa kehormatan tiada gantinya, Maka tiada wajib
meminta dihalalkan, kecuali harta, adalah perkataan lemah. Karena wajib pada
kehormatan, hukum qadzaf (hukum
karena menuduh 0rang berzina dan tidak dapat dikemukakan 4 orang saksi). Dan
adanya hak menuntut hukum tersebut. Bahkan pada hadits shahih, diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
"Barangsiapa ada padanya perbuatan kezaliman bagi saudaranya, mengenai
kehormatan atau harta maka hendaklah ia meminta dihalalkan dari saudaranya itu,
sebelum datangnya hari, dimana disitu tidak ada dinar dan dirham. Sesungguhnya
diambilkan dari kebaikan‑kebaikannya. Jikalau ia tiada mempunyai perbuatan
kebaikan, niscaya diambilkan dari perbuatan kejahatan saudaranya, lalu
ditambahkan pada kejahatannya".
'Aisyah berkata kepada seorang wanita, yang
mengatakan kepada wanita lain, bahwa wanita itu panjang ekor:
"Sesungguhnya engkau telah mengumpatinya, maka mintalah ia
menghalalkannya!” Jadi, haruslah meminta dihalalkan, jikalau sanggup atas yang
demikian. Kalau orang yang diumpati itu berada jauh atau sudah mati, maka
sayogialah membanyakkan istighfar dan
do'a kepadanya. Dan meminta banyak kebaikannya. Kalau anda bertanya: Adakah
wajib meminta dihalalkan itu. Maka aku menjawab: tidak! Karena itu adalah
perbuatan berbuat kebaikan (tabarru'). Dan tabarru' itu suatu keutamaan dan
tidak wajib. Akan tetapi perbuatan yang dipandang baik. Dan jalannya orang yang
meminta ma'af itu, bahwa ia membanyakkan pujian kepada orang yang bersangkutan
dan kasih‑sayang kepadanya. Dan selalu ia berbuat demikian, sehingga orang
tersebut baik hatinya. Jikalau tidak juga baik hatinya, maka permintaan
kema'afannya dan kekasih‑sayangannya itu suatu perbuatan baik yang
diperhitungkan baginya, yang mengimbangi kejahatan, pada hari kiamat.
Sebagian
ulama terdahulu (ulama salaf), tidak mau menghafalkan. Sa'id bin AI‑Musayyab
berkata: "Aku tidak akan menghalalkan orang yang Menganiayai aku".
Ibnu Sirin berkata: "Aku tidaklah yang mengharamkan pengumpatan
kepadanya, Ialu aku yang menghalalkannya. Sesungguhnya Allah yang mengharam kan
pengumpatan kepadanya. Dan tidaklah aku yang berhak menghalalkan apa yang
diharamkan oleh Allah untuk selama‑lamanya.
Kalau
anda bertanya: "Apakah artinya sabda Nabi saw: "Sayogianya bahwa
meminta dihalalkan pengumpatan itu", sedang menghalalkan apa yang
diharamkan oleh Allah Ta’ala itu tidak mungkin?. Maka kami menjawab:
"Bahwa yang dimaksudkan, ialah meminta ma'af dari perbuatan penganiayaan,
Bukan untuk membalikkan yang haram menjadi‑halal. Dan apa yang dikatakan Ibnu
Sirin itu baik, pada penghalalan sebelum pengumpatan. Karena sesungguhnya tidak
boleh ia menghalalkan pengumpatan bagi orang lain". Kalau anda bertanya:
"Apa artinya sabda Nabi saw: "Adakah seseorang kamu lemah untuk
menjadi seperti Abu Dlamdlam? Ia apabila keluar dari rumahnya, berdo'a:
"Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku telah bersedekah dengan
kehormatanku kepada manusia". Maka bagaimanakah ia bersedekah dengan
kehormatan? Orang yang bersedekah dengan kehormatan, bolehkah diambil? Jikalau
sedekah itu tidak dilaksanakan, maka apakah artinya menggerakkan perbuatan
tersebut? Maka kami jawab, bahwa: "Sesungguhnya aku tidak mencari kezaliman
pada hari kiamat daripadanya dan aku tidak bermusuh‑musuhan dengan dia".
Kalau tidak demikian, maka pengumpatan itu tidak menjadi halal dan kezaliman
itu tidak gugur daripadanya. Karena itu adalah kema'afan sebelum wajib.
Kecuali itu, adalah janji dan ia berhak bercita‑cita menepati janji, dengan
tidak akan bermusuh ‑ musuhan. Kalau ia kembali dan bermusuh‑musuhan, maka
perbandingannya adalah seperti hak‑hak yang lain, bahwa ia berhak yang
demikian. Bahkan para ulama fiqh menegaskan, bahwa barangsiapa memperbolehkan
qazaf (tuduhan berzina), niscaya tidaklah gugur (hilang) haknya, dari hukuman
si penuduh zina itu. Dan kezaliman akhirat itu seperti kezaliman dunia.
Pada
umumnya, kema'afan itu lebih utama. Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata:
"Apabila dikumpulkan segala ummat dihadapan Allah 'Azza wa Jalla pada hari
kiamat, niscaya mereka itu dipanggil: "Hendaklah bangun berdiri siapa yang
mempunyai pahala pada Allah. Maka tiada yang bangun berdiri, selain orang‑orang
yang mema'afkan manusia di dunia. Allah Ta’ala berfirman: ”Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang baik dan
tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu”. S 7 Al A’raaf
ayat 199. Nabi saw bersabda: "Hai Jibril! Apakah ma'af itu?”. Lalu Jibril
menjawab: "Bahwa Allah Ta'ala menyuruh engkau untuk memberi ma'af orang
yang menganiaya engkau, menyambung (shilaturrahim) dengan orang yang memutuskan
shilaturrahim dengan engkau dan memberikan kepada orang yang tidak mau
(mengharamkan) memberi kepada engkau". Diriwayatkan dari Al-Hasan AI‑Bashari
ra, bahwa seorang laki‑laki berkata kepadanya: "Bahwa si Anu telah
mengumpat engkau". Lalu Al-Hasan mengirimkan satu baki kurma belum kering
(ruthab) kepadanya. Dan ia berkata kepada orang itu: "Telah sampai
kepadaku, bahwa engkau telah menghadiahkan kepadaku, dari kebaikan‑kebaikan
engkau. Maka aku bermaksud membalas hadiah engkau kepada engkau. Maka ma'afkan
aku, bahwa aku tidak sanggup membalas kepada engkau dengan sempurna”.
BAHAYA KE ENAM BELAS: FITNAH (NAMIMAH).
Allah Ta’ala berfirman: “Suka mencela, berjalan membuat hasut dan
fitnah”. S 68 Al Qalam ayat 11. Sesudah ayat tadi, Allah Ta’ala berfirman: “Berbudi rendah, selain dari itu tak tentu
pula siapa bapanya”. S 68 Al Qalam ayat 13. Abdullah bin AI‑Mubarak
berkata: “Az‑zaniim pada ayat diatas
(yang artinya: tak tentu pula siapa bapanya), ialah anak zina yang tidak menyembunyikan
perkataan". Abdulllah bin AI‑Mubarak mengisyaratkan dengan yang demikian,
bahwa tiap‑tiap orang yang tidak menyembunyikan perkataan dan berjalan kesana‑kemari
dengan membawa fitnah itu menunjukkan bahwa orang itu anak zina, karena
difahami dari firman Allah Azza wa Jalla ayat 13 . Az‑zaniim itu bapa angkat (ad‑da'iyyu).
Allah Ta’ala berfirman: "Celaka untuk setiap pengumpat, penista".
S 104 Al Humazah ayat 1. Ada yang mengatakan, bahwa al‑humazah (yang diartikan diatas: pengumpat), ialah: pembawa fitnah (an‑nammam). Allah Ta’ala
berfirman: "Pemikul kayu api". S 111 AI Lahab ayat 4. Ada yang
mengatakan, bahwa pemikul kayu api
(hammaalatal‑hathab) itu, ialah: pembawa
fitnah (nammamah), pembawa perkataan (dari seorang keseorang).
Allah
Ta’ala berfirman: “maka kedua isteri itu
(isteri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth) berkhianat kepada kedua (suaminya).
Karena itu kedua suaminya tiada dapat memberikan pertolongan sedikit juapun
kepadanya terhadap hukuman Allah”. S 66 At Tahrim ayat 10. Ada yang mengatakan, bahwa
istri Luth menerangkan dengan kedatangan tamu dan istri Nuh, menerangkan bahwa
Nabi Nuh itu orang gila. Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk sorga pembawa
fitnah". Pada hadits lain, yaitu: "Tidak akan masuk sorga qattaat (tukang fitnah)". Qattaat, yaitu: nammaam (pembawa fitnah).
Abu
Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Yang paling dikasihi
oleh Allah diantara kamu, ialah: mereka yang baik akhlak (tingkah‑laku), yang
merendahkan sayapnya (merendahkan diri), yang suka dengan orang dan yang
disukai orang. Dan yang paling dimarahi oleh Allah, ialah: mereka yang pergi
membawa fitnah, yang mencerai‑beraikan diantara sesama saudara dan mencaci
orang yang tidak bersalah akan kesalahannya".
Nabi saw
bersabda: "Apakah tidak aku terangkan kepadamu akan orang yang paling
jahat daripada kamu?". Para shahabat menjawab: "Belum”. Lalu Nabi saw
bersabda: "Mereka yang berjalan kesana‑kemari membawa fitnah, mereka yang
membuat kerusakan diantara sesama teman dan mereka yang mencari kekurangan pada
orang yang tidak bersalah".
Abu Dzar
AI‑Ghaffari ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa menyiarkan
terhadap orang muslim suatu perkataan, untuk memalukannya dengan tidak
sebenarnya, niscaya ia akan diberi malu oleh Allah dalam neraka pada hari
kiamat". Abud‑Darda' berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Laki‑laki
manapun, yang menyiarkan terhadap seseorang, suatu perkataan, dimana orang itu
terlepas (tiada tersangkut dengan perkataan tersebut), untuk memalukannya di
dunia, niscaya berhak Allah menghancurkan laki‑laki itu pada hari kiamat dalam
api neraka".
Abu
Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa menjadi saksi
terhadap seorang muslim, dengan kesaksian, dimana ia tidak mempunyai keahlian
mengenai kesaksian tersebut, maka ia telah menyediakan tempat duduknya dari
api neraka". Ada yang mengatakan: bahwa 1/3 siksaan kubur itu dari
perbuatan fitnah.
Dari
Ibnu 'Umar, yang mendengar dari Nabi saw, yang bersabda: "Sesungguhnya
tatkala Allah telah menjadikan sorga, lalu berfirman kepada sorga itu:
"Berbicaralah”. Maka sorga itu berkata: "Berbahagialah siapa yang
masuk kepadaku". Lalu berfirman Allah Yang Maha Perkasa, Yang Maha Mulia
Kebesaran Allah: "Demi kemulianKu dan keagunganKu! Tiada akan menempati
pada engkau, 8 golongan manusia: “Tiada akan menempati engkau, orang yang
selalu minum khamar, yang selalu berzina, yang qattaat, yaitu: pembawa fitnah (nammaam), yang mengepalai
peperangan (dayyuts), pengawal penguasa, orang yang berbuat seperti
wanita/banci, yang memutuskan shilaturrahim dan orang yang berkata: “Atas diriku janji Allah, kalau aku tidak berbuat
demikian dan demikian. Kemudian ia tidak menepati perkataannya itu".
Dirawikan
Ka'bul‑Ahbar, bahwa kemarau telah menimpa atas kaum Bani Israil. Lalu Nabi Musa
as meminta hujan berkali‑kali. Tetapi tidak juga diturunkan hujan kepada
mereka. Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa: "Sesungguhnya AKU
tiada menerima do'a engkau dan do'a orang‑orang bersama engkau, dimana pada
engkau itu ada nammaam (pembawa
fitnah), yang berkekalan berbuat fitnah". Maka Musa berdo'a: "Wahai
Tuhanku! Siapakah orang itu? Tunjukkanlah kepadaku, pembuat fitnah itu!
Sehingga aku dapat mengeluarkannya dari kalangan kami". Tuhan berfirman.
"Hai Musa! AKU melarang kamu dari namimah/fitnah dan Aku adalah
nammaam/pembawa fitnah!”. Maka bertobatlah mereka semua. Lalu diturunkan hujan
kepada mereka.
Diceriterakan,
bahwa seorang laki‑laki mengikuti seorang ahli ilmu hikmah (filosuf) dalam
perjalanan 700 farsakh (satu farsakh adalah 3 mil), mendengar 7 kalimat.
Tatkala ia datang dihadapan filosuf tersebut, maka ia berkata:
"Sesungguhnya aku datang kepada engkau, karena ilmu yang diberikan oleh
Allah Ta’ala kepada engkau. Terangkanlah kepadaku dari hal langit dan apa yang
lebih berat dari langit. Tentang bumi dan apa yang lebih luas dari bumi.
Tentang batu dan apa yang lebih kesat dari batu. Tentang api dan apa yang lebih
panas dari api. Tentang bulan dan apa yang lebih sejuk dari bulan. Tentang laut
dan apa yang lebih kaya dari laut. Dan tentang anak yatim dan apa yang lebih
hina dari anak yatim". Filosuf tadi menjawab: “Berkata bohong terhadap orang yang tak bersalah itu, lebit berat
dari langit. Kebenaran itu lebih luas
dari bumi. Hati yang qani (merasa
cukup apa yang ada) itu, lebih kaya dari laut. Loba dan dengki itu lebih
panas dari api. Keperluan kepada kerabat,
apabila keperluan tersebut belum berhasil itu, lebih dingin dari bulan. Hati orang kafir itu lebih kesat dari
batu. Dan pembuat fitnah, apabila
jelas keadaannya itu, lebih hina dari anak yatim".
PENJELASAN: batas
fitnah dan apa yang harus diperbuat pada penolakannya.
Ketahuilah, bahwa nama namimah (fitnah) itu, sesungguhnya ditujukan pada umumnya, kepada
orang yang menyampaikan kata orang lain kepada orang yang diperkatakannya.
Seperti engkau mengatakan: "Si Anu mengatakan tentang engkau demikian dan
demikian". Dan namimah itu tidak khusus dengan begitu saja. Akan tetapi
batasnya, ialah: menyingkapkan apa yang tidak disukai menyingkapkannya. Sama
saja ketidak‑sukaan itu oleh orang yang diambil berita dari padanya atau oleh
orang yang disampaikan berita kepadanya. Ataupun oleh orang ketiga. Dan sama
saja penyingkapan itu dengan perkataan atau
dengan isyarat. Dan sama saja yang
dipindahkan (yang disampaikan) itu, terdiri dari perbuatan atau perkataan. Dan
sama saja yang demikian itu, suatu hal yang memalukan dan yang mengurangkan
pada diri orang yang diambil berita daripadanya atau tidak. Tetapi,
hakikat/makna namimah itu, ialah: menyiarkan
rahasia dan merusak tirai, dari apa yang tidak disukai
menyingkapkannya.
Bahkan tiap‑tiap yang dilihat
oleh orang banyak tentang keadaan orang lain, yang termasuk tidak disukai, maka
sayogialah didiamkan (tidak
diperkatakan). Kecuali tentang cerita yang berfaedah bagi orang muslim atau
menolak maksiat. Seperti: apabila ia melihat orang mengambil harta orang lain,
maka haruslah ia naik saksi, untuk menjaga hak orang yang dinaik saksikan
baginya. Adapun, apabila ia melihat seseorang menyembunyikan harta kepunyaannya,
Ialu ia sebutkan yang demikian kepada orang lain, maka itu namimah/fitnah namanya dan menyiarkan rahasia orang. Jikalau yang
difitnahkannya itu suatu kekurangan dan memalukan bagi orang yang
diceriterakan, maka ia telah mengumpulkan antara umpatan dan fitnah. Maka yang
menggerakkan orang berbuat fitnah, adakalanya dengan maksud jahat terhadap
orang yang diceriterakannya. Atau untuk melahirkan kasih sayang kepada orang
yang diceriterakan kepadanya. Atau untuk kesenangan dengan pembicaraan itu dan
memasuki perbuatan yang sia‑sia dan batil/salah. Setiap orang yang disampaikan
kepadanya fitnah dan dikatakan kepadanya: bahwa si Anu mengatakan tentang
engkau demikian atau ia berbuat pada hak engkau demikian atau ia menyusun
rencana untuk merusakkan urusan engkau/pada mencari kesesuaian dengan musuh
engkau/menjelekkan keadaan engkau atau hal‑hal yang seperti demikian, maka diatas
orang tersebut, 6 keadaan:
Pertama:
bahwa ia
tidak membenarkan penyampai berita
itu. Karena pembuat fitnah/nammaam itu orang fasik. Dan orang fasik ditolak
kesaksiannya. Allah Ta'ala berfirman: ”Hai
orang‑orang yang beriman! Kalau datang kepada kamu orang jahat membawa berita,
periksalah dengan seksama, supaya kamu jangan sampai mencelakakan suatu kaum
dengan tiada diketahui, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu” S 49 Al Hujaraat ayat 6.
Kedua: bahwa ia
melarang penyampai berita itu dari
yang demikian. Dan menasehatinya dan menjelekkan perbuatannya. Allah Ta'ala
berfirman: “Suruhlah mengerjakan yang
baik, cegahlah dari perbuatan yang buruk”. S 31 Lukman ayat 17.
Ketiga: bahwa ia
memarahi penyampai berita itu pada
jalan Allah Ta’ala. Karena penyampai berita tersebut kena marah pada sisi Allah
Ta’ala. Dan haruslah memarahi orang yang dimarahi oleh Allah Ta’ala.
Keempat:
bahwa
engkau tidak menyangka jahat kepada saudara engkau yang jauh, karena
firman Allah Ta'ala: "Hai orang‑orang
yang beriman! Jauhilah kebanyakan purbasangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. S 49 Al Hujuraat
ayat 12.
Kelima: bahwa tidak akan membawa engkau, oleh apa yang
diceriterakan kepada engkau, kepada memata‑matai
dan menyelidiki, supaya engkau
memperoleh hakikat/makna yang sebenarnya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mencari‑cari keburukan
orang (memata‑matai dan menyelidiki keburukan orang)”. S 49 Al Hujuraat ayat
12.
Keenam: bahwa
engkau tidak menyenangi bagi diri engkau sendiri apa yang engkau
larang tukang fitnah daripadanya. Dan engkau tidak akan menceriterakan
fitnahnya, dengan mengatakan: si Anu telah menceriterakan kepadaku, demikian,
demikian. Lalu engkau dengan itu, menjadi tukang fitnah dan pengumpat. Kadang‑kadang
engkau telah berbuat, akan apa yang engkau larang.
Diriwayatkan dari 'Umar bin
Abdul‑'aziz ra, bahwa seorang laki‑laki datang kepadanya. Lalu orang itu
menerangkan sesuatu tentang orang lain. Maka 'Umar berkata kepadanya:
"Kalau engkau mau, maka kami akan memperhatikan tentang keadaanmu. Kalau
engkau dusta, maka engkau termasuk orang yang disebut pada ayat ini: Kalau
datang kepada kamu orang jahat membawa berita, periksalah dengan seksama!”. S
49 Al Hujuraat ayat 6. Dan kalau engkau benar, maka engkau termasuk orang yang
disebut pada ayat ini: “Suka mencela, berjalan membuat hasut dan fitnah".
S 68 Al Qalam ayat 11. Kalau engkau kehendaki niscaya kami ma'afkan
engkau". Lalu laki‑laki itu menjawab maafkan amirul mikminin. “Dan aku
tidak akan mengulangi lagi untuk selama‑lamanya".
Diceriterakan, bahwa salah
seorang filosuf dikunjungi oleh sebahagian teman‑temannya. Lalu teman tersebut
mengabarkan kepadanya, tentang sebahagian teman‑temannya. Maka filosuf
tersebut berkata kepada temannya yang berkunjung: "Engkau telah terlambat
berkunjung. Dan engkau membawa 3
penganiayaan: engkau marahkan saudaraku
kepadaku, engkau pekerjakan hati ku
yang kosong dan engkau tuduhkan diri
engkau yang dapat dipercayai".
Diriwayatkan, bahwa Sulaiman bin
Abdulmalik sedang duduk dan disampingnya Az‑Zuhri. Maka datang kepadanya
seorang laki‑laki. Maka Sulaiman berkata kepada laki‑laki itu: "Telah
sampai berita kepadaku, bahwa engkau memperkatakan tentang aku dan engkau
katakan demikian, demikian'. Orang tadi lalu menjawab: "Aku tidak berbuat
dan tidak mengatakan yang demikian". Maka menjawab Sulaiman: "Bahwa
yang menceriterakan kepadaku itu orang benar". Lalu berkata Az‑Zuhri
kepada Sulaiman: "Pembawa fitnah (nammaam) itu tidaklah orang benar".
Maka Sulaiman menjawab: "Benar engkau Kemudian, Sulaiman berkata kepada
laki‑laki itu: "Pergilah dengan selamat!”.
Al-Hasan AI‑Bashari berkata:
"Barangsiapa membawa fitnah kepada engkau, niscaya ia akan membawa fitnah
terhadap engkau". Ini mengisyaratkan, bahwa pembawa fitnah itu sayogialah
dimarahi. Dan tidak dipercayai perkataannya. Dan tidak dengan sedekahnya.
Bagaimana ia tidak dimarahi, sedang ia tidak terlepas dari kedustaan,
pengumpatan, penyalahan janji, khianat, iri hati, dengki, nifaq, perusakan
diantara manusia dan penipuan. Dan orang itu termasuk orang yang berusaha memotong,
apa yang disuruh oleh Allah disambungkan. Dan mereka membuat kerusakan di bumi.
Allah Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya berdosalah orang-orang yang
melakukan kezaliman kepada manusia dan melampaui batas dimuka bumi yang tidak
menurut semestinya. Mereka ditimpa azab yang berat” S 42 Asy Syuura ayat
42. Dan pembawa fitnah (nammaam) itu termasuk diantara mereka. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya termasuk manusia
yang terjahat, ialah orang yang ditakuti manusia karena jahatnya". Dan
pembawa fitnah (nammaam) itu termasuk diantara mereka. Nabi saw bersabda:
“Tiada akan masuk sorga, pemotong”. Lalu ditanyakan: "Apakah yang
dimaksud dengan pemotong itu?".
Lalu Nabi saw menjawab: "Pemotong diantara sesama manusia". Yaitu: nammaam (pembawa fitnah). Dan ada yang
mengatakan: pemotong silaturrahim.
Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa
seorang laki‑laki datang kepadanya bersama‑sama dengan seorang laki‑laki lain.
Lalu Ali ra berkata kepadanya: “Hai saudara ini! Kami akan bertanya tentang apa
yang engkau katakan. Kalau engkau benar, niscaya kami memarahi engkau. Dan
kalau engkau dusta, niscaya kami siksa engkau, Dan kalau engkau kehendaki
supaya kami mema'afkan engkau, maka kami akan mema'afkan engkau". Lalu
laki‑laki tersebut menjawab: "Ma'afkan aku, wahai Amirul‑mu'kminin.
Ditanyakan kepada Muhammad bin
Ka'ab AI‑Ourdhi (golongan Tabi’iin yang terpercaya) ra: "Perkara manakah
bagi orang mu'min yang lebih merendahkan darajatnya?". Muhammad bin Ka'ab
ra lalu menjawab: ”Banyak perkataan,
membuka rahasia dan menerima
perkataan setiap orang”.
Seorang laki‑laki berkata kepada
Abdullah bin 'Amir bin Rabiah dan ia adalah amir negeri Basrah: "Sampai kepadaku, bahwa si Anu
memberitahukan kepada amir, bahwa aku menyebutnya jahat". Lalu Abdullah
bin 'Amir menjawab: "Sesungguhnya benarlah yang demikian". Laki‑laki
tersebut menyambung: "Terangkanlah kepadaku apa katanya kepada engkau,
sehingga aku lahirkan kedustaannya pada engkau!” Abdullah bin 'Amir menjawab:
"Aku tidak suka mencaci diriku dengan lidahku. Dan cukuplah, bahwa aku
tidak membenarkannya apa yang dikatakannya. Dan aku tidak memutuskan hubungan
(silaturrahim) dengan engkau".
Dan disebutkan as‑si'ayah (fitnah) pada sebagian orang‑orang
shalih. Lalu orang shaleh itu menjawab: "Apa sangkaanmu terhadap suatu
kaum (golongan), dimana kebenaran itu dipuji pada tiap‑tiap golongan manusia,
selain dari mereka?”. Mas'ab bin Az‑Zubair berkata: "Kami melihat, bahwa
menerima as‑si'ayah itu lebih jahat
dari as‑si'ayah. Karena as‑si'ayah
itu suatu petunjuk. Dan menerimanya
itu suatu balasan (ijazah). Dan
tidaklah orang yang menunjukkan atas sesuatu, lalu menceriterakannya, seperti
orang yang menerimanya dan membalasnya. Maka jagalah dirimu dari orang yang
membawa as‑si'ayah! Kalau ia benar pada perkataannya, niscaya
ia tercela pada kebenarannya, dimana ia tidak menjaga kehormatan dan tidak
menutup hal yang memalukan ('aurat)". As‑si'ayah,
ialah: namimah (fitnah). Hanya
bila namimah itu ditujukan kepada pihak orang yang ditakuti (seperti kepada
pembesar negeri), maka dinamakan: as‑si'ayah.
Nabi saw bersabda: "Orang yang membawa as‑si'ayah (fitnah) dari orang
ke orang, sesungguhnya tidaklah orang itu diatas jalan yang benar". Yaitu:
tidaklah orang itu anak halal.
Seorang laki‑laki masuk ketempat
Sulaiman bin Abdulmalik bin Marwan. Lalu meminta izin berbicara. la berkata:
"Aku akan berbicara dengan engkau, wahai Amirul‑mukminin, suatu
pembicaraan. Maka tanggungkanlah, walaupun engkau tidak menyukainya. Karena
dibalik perkataan itu, ada yang engkau sukai, kalau engkau menerimanya. Lalu
Sulaiman menjawab: "Katakanlah!”. Maka laki‑laki itu berkata: "Wahai
Amirul‑mukminin! Sesungguhnya telah dikelilingi engkau oleh orang‑orang yang
membeli dunia engkau dengan agama mereka dan kerelaan engkau dengan kemarahan
Tuhan mereka. Mereka takut akan engkau mengenai Allah. Dan mereka tiada takut
akan Allah mengenai engkau. Maka janganlah engkau merasa aman pada mereka,
terhadap apa yang diamanahkan oleh Allah pada engkau! Dan janganlah engkau
serahkan kepada mereka apa yang disuruh pelihara oleh Allah pada engkau!
Sesungguhnya mereka tidak berhenti menghina ummat, menyia‑nyiakan amanah,
memotong dan membinasakan perangai‑perangai mulia.
Pendekatan mereka yang
tertinggi, ialah: kezaliman dan fitnah. Jalan mereka yang termulia, ialah:
pengumpatan dan pencacian. Engkau bertanggung jawab dari perbuatan mereka yang
berdosa, sedang mereka tidak bertanggung jawab dari perbuatan engkau yang
berdosa. Maka tidaklah baik dunia mereka dengan kerusakan akhirat engkau.
Sesungguhnya penipuan manusia yang terbesar pada berjual‑beli, ialah: orang
yang menjual akhirat nya dengan dunia orang lain. Seorang laki‑laki berjalan
dengan Ziad Al-A'jam ke tempat Sulaiman bin Abdulmalik. Lalu Sulaiman
mengumpulkan diantara kedua orang tadi untuk memperoleh kesepakatan. Maka Ziad
berhadapan dengan laki‑laki tadi, seraya bermadah:
Engkau adalah manusia,
kalau
aku mempercayai engkau,
lalu dengan
sembunyi engkau berkhianat,
dan
adakalanya engkau berkata suatu perkataan, tanpa ilmu......
Maka
engkau termasuk diantara urusan,
yang ada
diantara kita,
Seakan‑akan
diantara pengkhianatan
dan dosa
....................
Seorang laki‑laki berkata kepada 'Amr bin 'Ubaid At‑Tamimi:
"Bahwa suku Uswari senantiasa menyebutkan engkau jahat dalam ceritera-ceriteranya".
Lalu 'Amr menjawab kepada laki‑laki tersebut: "Hai saudara ini! Engkau
tidak menjaga hak duduk‑duduk orang laki‑laki, dimana engkau bawa kepada kami
pembicaraan nya. Engkau tidak menunaikan hakku, ketika engkau memberitahukan
kepadaku. Tentang saudaraku, perihal yang tiada aku sukai. Akan tetapi beritahukanlah
kepadanya, bahwa maut itu meratai kita, kubur mencampurkan kita dan kiamat
mengumpulkan kita. Dan Allah Ta’ala menghukum diantara kita. Dan DIAlah hakim
yang Maha‑baik".
Sebagian pembawa as‑si'ayah (fttnah) menyampaikan kepada
Ash‑Shahib bin 'Ubbad secarik kertas, dimana diberitahukan padanya, tentang
harta anak yatim, yang membawanya kepada mengambil harta itu, karena banyaknya.
Lalu Ash‑Shahib menulis diatas belakang kertas tadi: "As‑si'ayah itu keji,
walau pun benar. Kalau engkau lakukan sebagai nasehat, maka kerugian engkau
lebih utama padanya daripada keuntungan. Kita berlindung pada Allah, bahwa
kita menerima barang yang koyak dalam keadaan tertutup. Kalau tidaklah engkau
dalam kawalan ketuaan engkau, niscaya kami akan berhadapan dengan engkau,
menurut apa yang dikehendaki olen perbuatan engkau, dalam keadaan seperti
engkau. Maka jagalah, hai yang terkutuk dengan kekurangan! Sesungguhnya Allah
maha‑tahu akan yang ghaib.
Orang yang sudah mati, kiranya
diberi rahmat oleh Allah. Anak yatim, kiranya ditutup kekurangannya oleh Allah.
Harta kiranya diberi hasilnya oleh Allah. Dan orang yang berbuat as‑si'ayah
(fitnah), kiranya dikutuk oleh Allah".
Lukman berkata kepada anaknya: “Hai anakku! Aku wasiatkan engkau dengan
sifat‑sifat, jikalau engkau berpegang teguh dengan sifat‑sifat tersebut,
niscaya engkau senantiasa menjadi kepala diantara teman‑teman engkau. Lapangkanlah
budi‑pekerti engkau kepada orang dekat dan orang jauh! Pegangkanlah kebodohan
engkau dari orang mulia dan orang tercela! Jagalah teman‑teman engkau,
sambunglah silaturrahim dengan kerabat‑kerabat engkau! Amankanlah mereka
daripada menerima perkataan pembawa fitnah atau mendengar orang zalim, yang
menghendaki kerusakan engkau dan bermaksud menipu engkau! Dan hendaklah teman‑teman
engkau itu, orang-orang apabila engkau berpisah dengan mereka dan mereka
berpisah dengan engkau, niscaya engkau tidak memalukan mereka dan mereka tidak
memalukan engkau”.
Setengah mereka berkata:
"Fitnah itu ditegakkan diatas kedustaan, kedengkian dan kemunafikan. Dan
ketiga hal ini adalah tungku dapur kehinaan". Dan setengah mereka berkata:
"Jikalau benarlah apa yang disampaikan oleh tukang fitnah kepada engkau,
niscaya adalah ia orang yang berani memaki engkau. Dan orang yang diambil
berita fitnah daripadanya, adalah lebih utama dengan kasih‑sayang engkau.
Karena dia tidak berhadapan dengan engkau, dengan memaki engkau".
Kesimpulannya, kejahatan pembawa fitnah itu besar. Sayogialah dijaga daripadanya.
Hammad bin Salmah berkata:
"Seorang laki‑laki menjual budaknya dan ia mengatakan kepada pembeli:
“Tiada kekurangan apa‑apa pada budak ini, selain berbuat fitnah (namimah).
Pembeli itu menjawab: "Aku sudah setuju membelinya". Lalu dibelinya.
Sesudah budak itu tinggal beberapa hari pada pembeli itu, Kemudian ia berkata
kepada isteri tuannya: "Bahwa tuanku tidak mencintai engkau. Ia bermaksud
berbuat‑buat kemurahan hati kepada engkau. Maka ambillah pisau cukur dan
cukurlah bulu kuduknya beberapa helai ketika ia tidur. Sehingga membawanya
pagi diatas keadaan yang demikian. Maka ia akan mencintai engkau".
Kemudian, ia berkata kepada suami (tuannya): "Bahwa Isteri tuan hamba
sudah mengambil teman lain. la bermaksud membunuh tuan hamba. Maka pura‑puralah
tidur, sehingga tuan hamba akan mengetahui yang demikian". Lalu suami itu
pura‑pura tidur. Maka datanglah isterinya dengan pisau cukur. Lalu suami itu
menyangka bahwa isterinya mau membunuhnya. Maka ia bangun lalu dibunuhnya
isterinya. Maka datanglah famili perempuan itu. Lalu mereka membunuh suami
tersebut & terjadilah peperangan diantara kedua kabilah itu (kabilah
isteri & kabilah suami). Kita bermohon pada Allah Ta’ala akan taufiq yang
baik!
BAHAYA KETUJUH
BELAS.
Perkatan
orang yang berlidah dua, yang bulak‑balik di antara dua orang yang bermusuhan.
Dan masing‑masing dari dua orang tersebut, berkata dengan perkatan yang
bersesuaian dengan perkatan orang tadi. Dan sedikitlah terlepas orang
yang menyaksikan dua orang yang bermusuhan, dari yang demikian. Dan itulah
kemunafikan yang sebenarnya.
Ammar bin Yasir berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua muka di dunia, niscaya
mempunyai dua lidah dari api neraka, pada hari kiamat". Abu Hurairah
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Akan kamu dapati diantara hamba‑hamba
Allah yang jahat pada hari kiamat, orang yang bermuka dua, yang mendatangi
mereka ini dengan suatu pembicaraan dan mereka itu dengan suatu
pembicaraan". Dan menurut bunyi yang lain: "Yang mendatangi mereka
ini dengan suatu muka dan mereka itu dengan suatu muka".
Abu Hurairah berkata:
"Tiada sayogialah orang yang bermuka dua itu, bahwa ia orang yang dipercayai
pada sisi Allah". Malik bin Dinar berkata: "Aku membaca dalam Taurat:
"Rusaklah amanah, dimana seorang laki‑laki serta temannya, dengan dua
bibir yang berlainan. Dibinasakan oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat, tiap‑tiap
yang berbibir dua yang berlainan".
Nabi saw bersabda: "Makhluk
Allah yang amat dimarahi oleh Allah pada hari kiamat ialah: orang‑orang pendusta, orang‑orang sombong dan
mereka yang membanyakkan kemarahan dalam
dadanya kepada temannya. Apabila mereka bertemu dengan temannya, niscaya mereka
berminyak‑minyak air (pura-pura baik tapi hatinya benci kepada temennya itu).
Dan mereka apabila dipanggil kepada jalan Allah dan Rasul‑Nya, niscaya mereka
itu lambat. Dan apabila dipanggil kepada (jalan) setan dan urusannya niscaya
mereka itu cepat".
Ibnu Mas'ud berkata:
"Jangan adalah seseorang kamu itu imma'ah. Mereka Ialu bertanya: "Apakah imma'ah itu?”. Ibnu Mas'ud menjawab:
"Orang yang bersikap menurut angin". Mereka (para orang‑orang sufi)
sepakat, bahwa pertemuan dua orang dengan dua muka, itu nifaq (suatu kemunafikan). Dan nifaq
itu mempunyai banyak tanda. Dan yang tadi itu, termasuk dalam jumlahnya.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki‑laki
dari sahabat Rasulu'llah saw meninggal. Lalu Hudzaifah tidak bershalat jenazah
kepadanya. Maka 'Umar ra bertanya kepada Hudzaifah: "Seorang laki‑laki
dari sahabat RasuIullah saw meninggal dan engkau tidak bershalat
kepadanya" Maka Hudzaifah menjawab: "Wahai Amirul‑mu'minin! Karena
dia termasuk orang munafik". Lalu Umar menjawab: "Demi Allah! Aku
minta tolong padamu, apakah aku ini termasuk diantara mereka atau tidak?”.
Hudzaifah menjawab: "Allahumma (ya Allah, ya Tuhanku)! Tidak! Dan aku
tidak merasa aman daripadanya seseorang, sesudah engkau.
Kalau anda bertanya: "Dengan apakah orang
menjadi berdua lidah dan apa batasnya yang demikian?”. Aku menjawab, bahwa
apabila orang itu masuk ke tempat dua orang yang bermusuhan dan ia bersikap mujamalah (berbuat‑buat baik) terhadap
masing‑masing dari dua orang tadi dan benar dalam hal itu, niscaya ia bukan
orang munafik dan bukan orang berlidah dua. Karena seseorang kadang-kadang
berbuat‑buat persaudaraan terhadap dua orang yang bermusuhan. Tetapi
persandaran yang lemah itu tidak sampai kepada batas al‑ukhuwwah (persaudaraan yang sebenarnya). Karena kalau sebenarnyalah
tercipta persaudaraan, niscaya akan membawa kepada permusuhan dengan musuhnya,
sebagaimana telah kami sebutkan pada "Kitab Adab Bersahabat Dan
Bersaudara". Benar, kalau dibawa perkataan masing‑masing dari dua orang
itu kepada yang lain, maka itu berdua
lidah namanya. Dan itu lebih jahat dari namimah (fitnah). Karena ia telah
menjadi tukang fitnah (nammam), dengan membawa saja perkataan dari salah satu
kedua pihak. Maka apabila dibawa dari kedua pihak, maka itu lebih jahat dari nammam (pembawa filnah). Kalau ia tidak
membawa perkataan, akan tetapi ia membaguskan permusuhan bagi masing‑masing dua
orang tersebut serta temannya, maka ini berdua lidah‑namanya. Begitu pula,
apabila ia berjanji kepada masing‑masing dari keduanya, bahwa ia akan
menolongnya. Begitu pula, apabila ia memuji kepada masing‑masing dari keduanya,
pada permusuhannya. Dan begitu pula, apabila ia memuji salah seorang dari
keduanya dan apabila ia keluar dari yang seorang itu lalu dicacinya. Maka itu
berdua lidah namanya. Akan tetapi seyogialah ia berdiam diri atau memujikan
yang benar dari kedua orang yang bermusuhan itu. Dan ia memujikannya
dibelakangnya, dihadapannya dan dihadapan musuhnya.
Ditanyakan kepada Ibnu 'Umar ra:
"Sesungguhnya kami masuk ketempat amir‑amir kami. Lalu kami mengatakan
sesuatu perkataan. Maka apabila kami keluar, lalu kami katakan perkataan yang
lain". Maka Ibnu 'Umar ra menjawab: "Kami hitung perbuatan tersebut nifaq pada masa Rasulu'llah saw".
Dan ini adalah nifaq, walaupun ia
tidak memerlukan masuk ke tempat amir dan memujikannya. Kalau ia tidak
memerlukan masuk, akan tetapi apabila ia masuk, niscaya ia takut kalau ia tidak
memujikannya, maka itu adalah nifaq. Karena
ia membuat dirinya memerlukan kepada demikian. Kalau ia tidak memerlukan
masuk, jikalau ia cukupkan dengan yang sedikit dan ia meninggalkan harta dan
kemegahan, lalu ia masuk karena pentingnya kemegahan dan kekayaan dan ia
memuji‑muji disitu, maka orang itu adalah munafiq.
Dan inilah artinya sabda Nabi saw: "Cinta harta dan kemegahan itu menumbuhkan
nifaq dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur‑sayuran". (
contohnya jika anda menerima sedekah dari orang itu, maka anda memujinya.
Dilain waktu jika orang tersebut tidak memberikan apa-apa dan beliau salah
berkata sedikit saja maka anda menjelekkannya.
Itulah sifat dari kebanyakkan manusia.
Tidak pernah ingat atas kebaikkan orang tersebut yang anda ingat hanyalah
kejelekkannya saja dan kebaikkannya hilang sudah...pent).
Karena ia memerlukan kepada amir‑amir
itu dan kepada menjaga mereka dan memperlihatkan yang baik (berbuat ria) kepada
mereka. Apabila ia mendapat percobaan karena sesuatu kepentingan dan ia takut,
kalau ia tidak memuji, maka itu dima'afkan. Karena menjaga diri dari kejahatan
itu diperbolehkan. Abud‑Darda' ra berkata: "Kami sesungguhnya melahirkan
kesukaan dihadapan kaum‑kaum itu dan sesungguhnya hati kami mengutuki
mereka".
'Aisyah berkata: "Seorang laki‑laki
meminta izin masuk ketempat Rasulullah saw. Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Izinkanlah ia masuk! Orang yang paling jahat dari kaum itu, ialah: dia”. Kemudian, tatkala orang itu sudah
masuk, maka Rasulu'llah saw berlemah‑lembut perkataan dengan dia. Setelah orang
itu keluar, lalu aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Engkau telah mengatakan
kepada orang tadi, apa yang telah engkau katakan. Kemudian, engkau berlemah ‑ lembut
perkataan dengan dia. Rasulu'llah saw menjawab: "Hai Aisyah! Sesungguhnya
manusia yang paling jahat, ialah orang yang dimuliakan, karena menjaga
kejahatannya". Akan tetapi, yang tersebut itu berkenaan pada penerimaan
tamu, pada melahirkan kesukaan dimuka dan pada tersenyum.
Adapun pujian, maka itu adalah
kedustaan yang tegas. Dan tidak dibolehkan, kecuali karena darurat atau karena
paksaan yang membolehkan dusta dari paksaan yang seperti itu, sebagaimana telah
kami sebutkan pada "Bahaya Dusta". Akan tetapi, tidak dibolehkan
pujian, pembenaran dan penggerakan kepala pada penunjukan penetapan atas tiap‑tiap
perkataan salah. Kalau diperbuatnya demikian, maka orang itu munafiq. Akan
tetapi, sayogialah ditantang. Kalau ia tidak sanggup, maka ia diam dengan
lidahnya dan ia menantang dengan hatinya.
BAHAYA KEDELAPAN
BELAS: pujian.
Pujian itu dilarang pada sebahagian tempat. Adapun
cacian, maka itu pengumpatan dan makian. Dan telah kami sebutkan hukumnya. Masuk
pada pujian 6 bahaya. 4 pada si pemuji dan 2 pada si terpuji.
Adapun si pemuji, maka bahaya yang pertama, ialah: kadang-kadang ia berlebih‑lebihan
memuji. Lalu berkesudahan kepada dusta. Khalid bin Mi’dan berkata: “Barangsiapa
memuji penguasa (pemerintah) atau seseorang, dengan hal yang tiada sebenarnya,
dimuka orang banyak, niscaya ia dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat,
jatuh tersungkur, disebabkan lidahnya".
Bahaya
yang kedua: ialah, kadang‑kadang ia kemasukan ria. Karena dengan
pujian itu melahirkan kecintaan. Kadang‑ kadang kecintaan itu, tidaklah isi hatinya. Dan tidak menjadi
keyakinannya, semua yang dikatakannya. Maka dengan demikian, ia menjadi orang
ria yang munafik.
Bahaya
yang ketiga: ialah, kadang‑kadang dikatakannya apa yang tidak diperiksakannya
(di tahqiqkannya). Dan ia tidak mempunyai jalan kepada penyelidikan itu.
Diriwayatkan, bahwa: seorang laki‑laki memuji laki‑laki lain dihadapan Nabi
saw. Lalu beliau saw menjawab:
"Kasihan engkau! Telah engkau potong leher teman engkau. Kalau
didengarnya, niscaya ia tidak memperoleh kemenangan". Kemudian,
Rasulu'llah saw menyambung: "Kalau ada seseorang kamu, tak dapat tidak,
harus memuji temannya, maka hendaklah ia mengatakan: "Aku menyangka si
Anu dan aku tidak mensucikan seseorang terhadap Allah. Mencukupilah Allah
baginya, jikalau Allah melihat bahwa dia itu seperti yang demikian".
Bahaya ini berjalan kepada pujian dengan sifat‑sifat mutlak, yang dikenal
dengan dalil‑dalil (keterangan‑keterangan). Seperti katanya: bahwa dia itu
orang taqwa, wara', zuhud, baik dsb nya.
Adapun, apabila ia mengatakan:
aku melihatnya mengerjakan shalat di malam hari, bersedekah dan mengerjakan
hajji, maka ini adalah hal‑hal yang diyakini. Diantara yang demikian, katanya: bahwa orang itu adil dan menyenangkan. Bahwa
yang demikian ini, adalah hal yang tersembunyi. Maka tidak sayogialah
menetapkan perkataan itu padanya, kecuali sesudah percobaan yang mendalam.
'Umar ra mendengar seorang laki‑laki memuji laki‑laki lain. Lalu beliau
menjawab "Adakah engkau bermusafir bersama orang itu. Laki‑laki pemuji
tadi menjawab: "Tidak”. Bertanya lagi: "Adakah engkau bergaul dengan
dia dalam berjual‑beli dan pergaulan lainnya?”. Laki‑laki itu menjawab:
"Tidak”. 'Umar menyambung lagi:
"Apakah engkau tetangganya pada pagi hari dan sorenya?”. Orang itu
menjawab: "Tidak”. Lalu 'Umar ra berkata: "Wa’Ilahi, demi Allah, yang
tiada disembah, selain DIA! Aku tidak berpendapat, bahwa engkau
mengenalinya".
Bahaya
yang keempat bahwa ia
kadang‑kadang membuat kegembiraan orang yang dipuji, pada hal orang itu zalim
atau fasik (jahat). Dan yang demikian itu tidak dibolehkan. Rasulu'llah saw
bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala marah, apabila orang fasik itu dipuji”.
Al-Hasan AI‑Bashri ra berkata: “Barangsiapa berdo'a untuk orang zalim, dengan
panjang umurnya, maka sesungguhnya ia menyukai orang zalim itu berbuat maksiat
kepada Allah Ta’ala dimuka bumi Allah" . Orang zalim yang fasik,
sayogialah dicaci, supaya ia berduka‑cita. Dan tidaklah dipuji supaya ia
bergembira. Adapun si terpuji, maka
membawa melarat kepadanya dari dua segi:
Salah
satu daripadanya, ialah: bahwa pujian itu mendatangkan kesombongan
dan kebanggaan pada si terpuji. Dan dua sifat ini adalah sifat yang
membinasakan. Al-Hasan AI‑Bashar i berkata: "Adalah 'Umar ra duduk dan
padanya cemeti kulit, sedang orang banyak di kelilingnya, tatkala Al-Jarud bin
AI‑Munzir datang menghadap. Lalu seorang laki‑laki dari yang hadlir berkata:
"Ini kepala suku Rabiah!”. Perkataan tersebut didengar oleh 'Umar dan
orang‑orang dikelilingnya. Dan didengar pula oleh AI‑Jarud sendiri. Maka ketika
AI‑Jarud dekat dengan 'Umar, Ialu 'Umar memukulnya dengan cemeti kulit tadi.
AI‑Jarud menjawab: "Apakah kiranya antara aku dan engkau, wahai Amirul‑mu'minin?”.
'Umar ra menjawab: "Ada apa antara aku dan engkau? Apakah engkau tidak
mendengar kata orang itu tadi?”. AI‑Jarud menjawab: "Aku dengar perkataan
itu dari mulutnya". Lalu 'Umar ra menyambung: "Aku takut bahwa
sesuatu dari perkataan itu akan bercampur dengan hatimu. Maka aku menyukai,
bahwa menundukkan kepalamu".
Yang
kedua: apabila
dipuji dengan kebaikan, niscaya ia bergembira dan menjadi lemah (dari
kesungguhan untuk berbakti). Dan merasa senang dengan diri sendiri. Orang yang
menyombongkan dirinya, niscaya sedikitlah kesungguhannya beribadah.
Sesungguhnya yang rajin beramal, ialah orang yang melihat dirinya teledor.
Adapun apabila telah lancarlah lidah memujinya, niscaya ia menyangka, bahwa ia
telah memperoleh kedudukan tinggi. Dan karena inilah, Nabi saw bersabda:
"Telah engkau potong leher teman engkau. Jikalau didengarnya, niscaya ia
tidak memperoleh kemenangan". Nabi saw bersabda: “Apabila engkau memuji
teman engkau dimukanya, maka seolah-olah engkau telah melalukan pisau cukur
yang tajam atas urat leher‑nya". Nabi saw bersabda pula terhadap orang
yang memuji seseorang: "Engkau sembelih orang itu, niscaya engkau
disembelih oleh Allah".
Mathraf bin Abdullah AI‑Bashari
(seorang 'abid yang kepercayaan) berkata: “Tidak sekali‑kali aku mendengar
pujian dan sanjungan, kecuali aku merasa hina kepada diriku sendiri". Ziad
bin Abi Muslim berkata: "Tiada seseorang yang mendengar sanjungan atau
pujian kepadanya, melainkan setan membuatnya menjadi ria. Tetapi orang mu'min
surut kembali". Lalu Ibnul‑ Mubarak berkata: "Sesungguhnya benarlah
kedua perkataan tadi. Adapun yang disebutkan oleh Ziad, maka itu adalah hati
orang awam. Dan yang disebabkan oleh Mathraf, maka itu adalah hati orang
khawwash (orang‑orang tertentu).
Nabi saw bersabda: "Jikalau
berjalanlah seorang laki‑laki kepada laki‑laki yang lain, dengan membawa pisau
tipis tajam, niscaya adalah lebih baik baginya daripada memujinya
dimukanya". 'Umar ra berkata: ”Pujian
itu ialah: penyembelihan”. Yang
demikian, disebabkan karena yang dipuji itu, ialah: orang yang lesu (malas) daripada
bekerja. Dan pujian itu mengharuskan kelesuan. Atau, karena pujian itu
mempusakai keangkuhan dan kesombongan. Dan dua sifat ini membinasakan,
seperti: penyembelihan. Maka karena
itulah, diserupakan pujian dengan penyembelihan.
Kalau selamatlah pujian itu dari bahaya‑bahaya ini, pada pihak si pemuji
dan si terpuji, niscaya tiada mengapalah pujian itu. Bahkan, kadang‑kadang
pujian itu disunatkan.
Dan karena itulah, Rasulu'llah
saw memuji sahahabatnya, seraya beliau bersabda: "Jikalau ditimbang iman Abubakar
dengan iman alam ini, sesungguhnya lebih berat iman Abubakar". Nabi saw
bersabda terhadap 'Umar ra: "Jikalau aku tidak diutus menjadi rasul,
niscaya engkau diutus, hai 'Umar". Manakah pujian lagi yang melebihi ini?
Tetapi Nabi saw berkata diatas kebenaran & penglihatan mata hati. Dan
adalah para shahabat ra itu berkedudukan mulia, tidak akan membawakan mereka
oleh yang demikian, kepada kesombongan, kebanggaan & kelesuan bekerja.
Akan tetapi, pujian orang akan dirinya itu perbuatan keji. Karena padanya kesombongan
& kebanggaan. Bahwa Nabi saw bersabda: "Aku penghulu anak Adam &
tidak menyombong" Tidaklah aku
mengatakan ini karena menyombong, sebagai mana yang dimaksudkan oleh
manusia dengan pujian kepada dirinya sendiri. Yang demikian, ialah: karena
menyombongnya Nabi saw, adalah dengan Allah & dengan mendekatkan diri
kepada Allah. Tidak dengan anak Adam & terkemukanya diatas anak Adam.
Sebagaimana orang yang diterima disisi raja dengan penerimaan kebesaran,
sesungguhnya ia merasa bangga dengan diterimanya oleh raja. Dan dengan
penerimaan itu ia merasa gembira. Tidak dengan terkemukanya atas sebahagian
rakyatnya. Dengan penguraian bahaya‑bahaya ini, dapat dinilai atas berkumpulnya
antara celaan pujian & gerakan kepada pujian. Nabi saw bersabda: wajabat/wajib, tatkala para sahabat
memujikan sebahagian orang yang sudah meninggal. Mujahid berkata: "Bahwa
anak Adam itu mempunyai teman duduk dari malaikat‑malaikat. Apabila seorang
laki‑laki muslim menyebut saudaranya muslim dengan kebajikan, niscaya para
malaikat berkata: "Bagimu seperti itu". Dan apabila disebutnya
dengan kejahatan, niscaya para malaikat berkata: "Hai anak Adam yang
tertutup auratmu! Berhentilah atas dirimu! Dan pujilah Allah yang menutup
auratmu Inilah bahaya ‑ bahaya pujian.
PENJELASAN: apa yang
harus atas si terpuji.
Ketahuilah, bahwa harus atas si terpuji, menjaga
diri dengan keras dari bahaya kesombongan, keangkuhan dan bahaya kelesuan. Ia
tidak terlepas daripadanya, selain dengan mengenali diri dan memperhatikan apa
yang terdapat pada bahaya kesudahan, yang halus‑halus dari ria dan bahaya amal
perbuatan. Sesungguhnya ia mengenal dari dirinya, apa yang dikenal oleh si
pemuji. Dan jikalau tersingkaplah semua rahasianya dan apa yang berlalu dalam
gurisan hatinya, niscaya tercegahlah si pemuji daripada memujinya. Dan
haruslah atas si terpuji, melahirkan ke tidak senangan dipuji, dengan
menghinakan si pemuji. Nabi saw bersabda: "Lemparlah debu tanah pada muka
si pemuji". Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Tidak mendatangkan melarat
pujian kepada orang yang mengenal dirinya". Salah seorang dari orang‑orang
salih dipuji. Lalu ia berdo'a: “Wahai Allah, Tuhanku! Sesungguhnya mereka tiada
mengenali aku dan ENGKAU mengenali aku". Seorang salih yang lain berdo'a
tatkala ia dipuiji: "Wahai Allah, Tuhanku Sesungguhnya hambaMu ini
mendekatiku dengan kebencianMU. Dan aku bersaksi kepadaMU atas
kebenciannya". Ali ra berdo'a tatkala ia dipuji: "Wahai Allah,
Tuhanku! Ampunilah aku akan apa yang tiada diketahui mereka! Dan janganlah ENGKAU
menyiksakan aku, dengan apa yang dikatakan mereka! Jadikanlah aku kebajikan,
daripada apa yang disangkakan mereka!' Seorang laki‑laki memuji 'Umar ra. Lalu
ia menjawab: "Apakah engkau akan membinasakan aku dan engkau akan
membinasakan diri engkau sendiri?". Seorang laki‑laki memuji Ali ra
dihadapannya. Dan sudah sampai kabar kepada Ali ra bahwa orang tersebut
memakinya. Lalu Ali ra menjawab: "Aku adalah kurang dari apa yang engkau
katakan dan diatas apa yang pada diri engkau".
BAHAYA KESEMBILAN
BELAS
Lalai dari kesalahan yang halus‑halus, dalam
kandungan perkataan. Lebih‑lebih mengenai yang menyangkut dengan Allah dan
sifat‑sifat Allah dan yang terikat dengan urusan agama. Maka tiada yang sanggup
meluruskan kata‑kata dalam urusan‑urusan agama, selain para ulama yang cakap
kata‑kata (fashiih). Maka orang yang singkat ilmunya atau kefasehannya, niscaya
tidak terlepas perkataannya dari tergelincir. Tetapi Allah Ta'ala
mema'afkannya karena kebodohannya. Contohnya, ialah: apa yang dikatakan
Hudzaifah: "Nabi saw bersabda: “Jangan dikatakan oleh seseorang kamu: apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang
engkau kehendaki. Akan tetapi, hendaklah dikatakannya: "Apa yang
dikehendaki oleh Allah, kemudian yang
engkau kehendaki ". Yang demikian itu, karena pada 'athaf mutlak (kata penyambung dengan: kata‑kata dan) itu perkongsian dan penyamaan. Dan
itu adalah tidak hormat.
Ibnu Abbas ra berkata:
"Datang seorang laki‑laki kepada Rasulu'llah saw, yang memperkatakan
dengan Rasulu'llah saw pada sebahagian persoalan. Lalu orang tersebut
mengatakan: Masyaa Allaahu wa syi'ta (apa
yang dikehendaki oleh Allah dan yang engkau kehendaki). Lalu Nabi saw
menjawab: "Adakah engkau jadikan aku sebanding dengan Allah? Tetapi: Apa
yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Esa".
Seorang laki‑laki berpidato
disisi RasuluIllah saw. Lalu ia mengatakan: "Barangsiapa menta'ati Allah
dan RasuI Allah, maka sesungguhnya ia mendapat petunjuk. Dan barangsiapa
mendurhakai keduanya, maka sesungguhnya ia sesat". Lalu Nabi saw menjawab:
“Katakanlah barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul Allah maka
sesungguhnya ia sesat”. Rasulu'llah saw tidak menyukai perkataannya:
“Barangsiapa mendurhakai keduanya”, karena
yang demikian itu penyamaan dan pengumpulan.
Adalah Ibrahim An‑Nakha'i tidak
menyukai, dikatakan oleh seseorang: A'uudzubi'llaahiwa
bika (aku berlindung dengan Allah dan dengan engkau). Dan ia membolehkan
dikatakan: A’uudw bi'llaahi tsumma bika
(Aku berlindung dengan Allah, kemudian dengan engkau). Dan ia membolehkan
pula dikatakan: Kalau tidaklah Allah,
kemudian si Anu. Dan ia tidak membolehkan dikatakan: Kalau tidaklah Allah dan si Anu.
Sebahagian mereka tidak menyukai
dikatakan, "Wahai Allah, Tuhanku Merdekakanlah
kami dari api neraka“. Dan adalah dikatakan, bahwa Kemerdekaan itu, sesudah
datang di dalamnya. Dan adalah mereka meminta Pertolongan, supaya tidak
masuk neraka dan meminta perlindungan,
agar tidak masuk neraka. Seorang
laki‑laki berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Jadikanlah aku diantara orang
yang memperoleh syafa'at Muhammad saw. Lalu Hudzaifah menjawab:
"Sesungguhnya Allah tidak memerlukan bagi 0rang mu'min akan syafa'at
Muhammad saw. Dan adalah syafa'atnya itu, bagi orang‑orang muslim yang
berdosa".
Ibrahim An‑Nakha'i berkata:
"Apabila seseorang berkata kepada orang lain: "Hai keledai! Hai
babi!”, niscaya dikatakan kepadanya pada hari kiamat: "Keledaikah yang
engkau lihat AKU jadikan? Babikah yang engkau lihat AKU jadikan?”.
Dari Ibnu Abbas ra, yang
mengatakan: "Sesungguhnya seseorang kamu itu akan mempersekutukan Allah,
sehingga ia mempersekutukan Allah dengan anjingnya, dimana ia mengatakan:
"Jikalau tidak adalah anjing itu, niscaya kami akan kecurian tadi
malam".
'Umar ra berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang kamu
bersumpah atas nama bapakmu. Barangsiapa akan bersumpah, maka bersumpahlah: atas nama Allah atau diamlah. 'Umar ra
berkata: "Maka demi Allah, aku tidak pernah lagi bersumpah atas nama
bapak, semenjak aku mendengarnya".
Nabi saw bersabda:
"Janganlah kamu namakan buah inab (buah
anggur) itu buah karm. Sesungguhnya karm (Mulia) itu, ialah: orang Muslim, Abu Hurairah ra berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Tidaklah dikatakan oleh seseorang kamu:
'abdii (budakku) bagi yang laki‑laki). Dan amati
(budakku) bagi yang perempuan). Semua kamu itu budak Allah (abii'du'llaahi ‑jama' dari ' abdun: budak laki‑laki). Dan semua wanita kamu imaa‑u'llaahi (imaa‑un ‑jama': amatun, artinya: budak perempuan).
Dan hendaklah dikatakan: ghulaamii (hamba‑sahayaku)
(bagi yang laki‑laki), jaariatii
(hamba‑sahayaku ‑bagi yang perempuan), fataya
(anak mudaku‑ bagi yang laki‑laki dan fataatii
(anak mudiku‑ bagi yang perempuan). Dan tidaklah dikatakan oleh budak yang dimiliki (mamluuk): rabbii (perkataan:
rabbii, dapat diartikan: yang
memimpinku, yang mendidikku dan dapat diartikan pula: tuhanku‑perkataan rabbii
itu, bagi: laki‑laki) dan rabbatii (artinya:
sama dengan rabbii, tetapi ditujukan
bagi: perempuan). Dan hendaklah dikatakan: sayyidii
(tuanku bagi laki‑laki) dan sayyidatii
(tuanku‑ bagi perempuan). Semua kamu itu 'abiidu'llaahi (budak Allah). Dan arrabbu (artinya: seperti yang tercantum diatas pada:rabbi) itu, ialah ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA.
Nabi saw bersabda: "Jangan
kamu katakan kepada orang fasik: sayyidinaa
(tuan kami). Sesungguhnya kalaupun tuanmu,
maka kamu sudah membuat kemarahan Tuhanmu”.
Nabi saw bersabda: "Barangsiapa mengatakan: “Aku terlepas dari Islam”, kalau ia benar, maka ia seperti yang
dikatakannya. Dan kalau ia dusta, maka ia tidak kembali kepada Islam, dalam
keadaan selamat sejahtera)".
Maka ini yang tersebut tadi
contoh-contoh yang seperti ini, adalah diantara kata‑kata yang masuk dalam
perkataan. Dan tidak mungkin menghinggainya. Dan barangsiapa memperhatikan
semua yang kami bentangkan: dari bahaya‑bahaya
lidah, niscaya ia ketahui, bahwa apabila ia melepaskan lidahnya, niscaya
ia tidak akan selamat. Dan ketika itu, ia akan mengetahui rahasia sabda Nabi
saw: “Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya lidah)". Karena
bahaya‑bahaya ini semuanya, adalah tempat‑tempat binasa dan merusakkan. Yaitu:
atas jalan orang yang berkata‑kata. Maka jikalau ia diam, niscaya ia selamat
sejahtera dari semua. Dan jikalau ia bertutur dan berkata‑kata, niscaya ia
berbuat binasa bagi dirinya. Kecuali, bahwa bersesuaian dengan lidah yang
fasih, ilmu yang banyak, wara' dan muraqabah. Dan ia menyedikitkan perkataan.
Maka semoga ia akan selamat sejahtera dari yang demikian. Dan bersamaan dengan
semua itu, ia tidak terlepas dari bahaya. Maka jikalau anda tidak sanggup
untuk bahwa anda termasuk orang yang berbicara, lalu memperoleh faedah, maka
hendaklah anda termasuk orang yang diam, maka selamat. Maka keselamatan itu adalah
satu dari dua harta rampasan perang.
BAHAYA KEDUA PULUH
Pertanyaan
orang awam tentang sifat‑sifat Allah Ta'ala, tentang kalam (berkata-kata)
Allah (firmanAllah), tentang huruf firman itu, tiada berpemulaan/dahulu huruf‑huruf
itu atau baru/baru. Dan termasuk hak orang awam itu berbuat, menurut
yang tersebut dalam AI‑Ouran. Hanya yang demikian itu berat bagi jiwa. Dan
perbuatan yang sia‑sia itu ringan pada hati. Dan orang awam itu bergembira
dengan terjun dalam pengetahuan. Karena setan membayangkan kepadanya: bahwa engkau termasuk ulama dan mempunyai
kelebihan. Dan senantiasalah disukakan kepadanya yang demikian. Sehingga
orang awam itu berbicara tentang pengetahuan, dengan hal yang mengkufurkan. Dan
ia tidak tahu. Dan tiap‑tiap dosa besar yang dikerjakan oleh orang awam, maka
dosa besar itu lebih menyelamatkan si awam dari pada ia memperkatakan tentang
pengetahuan. Lebih‑lebih yang menyangkut dengan Allah dan sifat‑sifat Allah.
Sesungguhnya,
pekerjaan orang awam, ialah berbuat ibadah, beriman dengan apa yang dibawa
oleh AI‑Ouran dan menyerah kepada apa yang dibawa oleh Rasul, tanpa pembahasan.
Pertanyaan mereka tentang hal yang tiada menyangkut dengan ibadah itu kurang
adab. Mereka berhak kebencian Allah 'Azza wa Jalla. Mereka mendatangi kepada
bahaya kufur. Dan itu adalah seperti pertanyaan penjaga‑penjaga hewan tentang
rahasia‑rahasia raja. Dan itu mengharuskan siksaan. Dan tiap‑tiap orang yang
bertanya tentang pengetahuan yang sulit dan tidak sampai pemahamannya kepada
tingkat yang demikian, maka orang tersebut tercela. Karena dia dibandingkan
kepada pengetahuan itu, adalah orang awam. Karena itulah. Nabi saw bersabda:
"Tinggalkanlah aku dari pertanyaan, akan apa yang aku tinggalkan kamu!
Sesungguhnya telah binasa orang‑orang sebelum kamu, disebabkan banyaknya
pertanyaan mereka dan perselisihan mereka dengan nabi‑nabi mereka. Apa yang aku
larangkan kamu daripadanya, maka jauhilah! Dan apa yang aku suruhkan kamu
kepadanya, maka kerjakanlah, menurut kesanggupanmu!”.
Anas ra
berkata: “Pada suatu hari orang banyak bertanya kepada Rasulu'llah saw. Lalu
mereka membanyakkan pertanyaan itu dan memarahkan Rasulu'llah saw. Maka beliau
naik di atas mimbar, seraya bersabda: “Tanyalah kepadaku! Dan apabila kamu
bertanya kepadaku tentang sesuatu, niscaya aku beritahukan kepadamu akan
jawabannya". Lalu seorang laki‑laki bangun berdiri, seraya bertanya:
"Wahai Rasulu'llah Siapakah ayahku?”. Rasulu'llah saw menjawab:
"Ayahmu Hudzafah". Lalu bangun 2 pemuda bersaudara, seraya bertanya:
"Wahai Rasullullah! Siapakah ayah kami?”. Rasulu'llah saw menjawab:
"Ayahmu ialah, orang yang dipanggil kamu kepadanya". Kemudian, bangun
seorang laki‑laki lain, seraya bertanya: "Wahai RasuIullah! Adakah aku ini
dalam sorga atau dalam neraka?”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Tidak!
Tetapi engkau dalam neraka". Tatkala orang banyak melihat kemarahan Rasulu'llah
saw, lalu mereka menahan diri dari bertanya.
Maka
bangunlah 'Umar ra seraya berkata: "Kami rela Allah Tuhan kami, Islam
Agama kami dan Muhammad saw Nabi kami". Lalu Nabi saw menjawab:
"Duduklah hai Umar! Kiranya Allah mencurahkan rahmat Allah kepadamu! Sesungguhnya engkau, apa yang
engkau ketahui itu, mendapat taufiq". Dalam hadits, tersebut:
"Rasulu'llah saw melarang dari hal qil
dan qal, membuang‑buang harta dan
banyak soal".
Nabi saw
bersabda: "Hampirlah manusia itu banyak tanya‑bertanya, sehingga mereka
itu mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk, maka siapakah yang menjadikan
Allah?. Maka apabila mereka berkata demikian, maka jawablah: "Katakan:
Allah itu Esa. Allah itu tempat meminta sehingga engkau sudahi surah (AI‑Ikhlash)
ini. Kemudian, hendaklah salah seorang dari kamu meludah kekiri 3 X dan
memohonkan perlindungan pada Allah, dari setan yang terkutuk".
Jabir ra
berkata: "Tidaklah turun ayat mengenai orang‑orang yang menerima laknat
Allah, selain karena banyak bertanya". Pada kisah Musa dan Khidir as itu
pemberitahuan tentang terlarang bertanya, sebelum waktunya berhak untuk
pertanyaan. Karena Nabi Khidir as bersabda: "Kalau
engkau mengikuti aku, janganlah ditanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkan itu kepada engkau" S 18 Al Kahfi ayat
70. Maka tatkala Nabi Musa as bertanya tentang perahu, Ialu Nabi Khidir as
menantang pertanyaan tersebut. Lalu Musa as meminta ma'af, seraya berkata: “Janganlah aku engkau hukum karena
kelupaanku itu, dan janganlah engkau perintahkan kepadaku perkara‑perkara yang
sangat sulit bagiku”. S 18 Al Kahfi ayat 73. Tatkala Nabi Musa as tak bisa
bersabar, sehingga ia telah tiga kali bertanya, Ialu Nabi Khidir as berkata: “Inilah perpisahan antara aku dan
engkau” S 18 Al Khafi ayat 78. Dan
Nabi Khidir as pun berpisah dengan Nabi Musa as.
Pertanyaan
orang awam tentang persoalan agama yang sulit‑sulit, termasuk bahaya yang
terbesar. Dan termasuk diantara yang dapat mengobar-ngobarkan fitnah. Maka
wajiblah ditolak dan dilarang mereka dari yang demikian. Dan masuknya mereka
memperkatakan huruf‑huruf AI‑Quran itu, menyerupai halnya orang, yang ditulis
oleh raja kepadanya sepucuk surat, dimana raja itu menggambarkan dalam surat
tersebut, beberapa hal untuknya. Lalu ia tidak memperhatikan suatu pun dari
isi surat itu. Dan ia menghabiskan waktunya, mengenai kertas surat tadi,
adalah kertas itu sudah tua atau masih baru. Maka dengan demikian, orang
tersebut sudah pasti berhak mendapat hukuman. Maka demikian pula, orang awam
yang menyia‑nyiakan batas‑batas Al-Quran dan menghabiskan waktunya mengenai
huruf‑huruf AI‑Ouran, apakah huruf‑huruf itu tiada berpemulaan atau baru. Dan
seperti itu pulalah sifat-sifat Allah S.W.T. lainnya. Wa'llahu Ta’ala A’1am ‑
Dan Allah Ta’ala Yang Maha Tahu.