KITAB FAKIR DAN ZUHUD
Yaitu: Kitab Ke-4 dari “Rubu’ yang
melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah, yang
mengucapkan tasbih kepadaNya, pasir-pasir dan bersujud kepadaNya,
bayang-bayang. Dan runtuh dari kehebatanNya, bukit-bukit. Ia menciptakan insan
dari tanah yang melekat dan tanah gembur bercampur pasir. Ia menghiaskan bentuk
insan dengan sebaik-baik bentuk dan sesempurna kesedangan. Ia memelihara
hatinya dengan nur hidayah dari kebinasaan kesesatan. Ia mengizinkan bagi insan
pada mengetuk pintu pengkhidmatan di pagi hari dan sore. Kemudian, Ia
mencelakkan mata hati orang yang ikhlas, dengan nur ibarat, sehingga ia
memperhatikan dengan cahayanya akan Hadlarat/keajaiban Keagungan. Maka nyatalah
baginya daripada kecemerlangan, keagungan dan kesempurnaan, apa yang dipandang
buruk, tanpa pokok-pokok kecemerlangannya, oleh setiap kebagusan dan keelokan.
Dan dipandang berat oleh setiap apa yang memalingkannya daripada menyaksikan
dan mengikutinya, dengan sangat beratnya. Dan diumpamakan baginya zahiriyah
dunia, dalam bentuk seorang wanita yang cantik, yang membanggakan diri dan
menyombong. Dan terbukalah baginya, batiniyah dunia, dari bentuk wanita tua yang
buruk bentuknya, yang diramas dari tanah kehinaan. Dan
dituangkan dalam acuan keingkaran. Dia membalutkan dirinya dengan baju kurung.
Supaya tersembunyi kekejian rahasianya, dengan kehalusan sihir dan
daya-upayanya. Dan telah ditegakkan jaring-jaringnya pada tempat yang dijalani
laki-laki. Maka ia menangkap mereka dengan segala macam daya dan tipuan.
Kemudian, ia tidak merasa
memadai serta laki-laki itu, dengan menyalahi janji-janji penyambungan
hubungan, akan tetapi diikatnya mereka serta putusnya sambungan, dengan tali
dan rantai. Dan dicobainya mereka dengan berbagai macam percobaan dan belenggu.
Maka tatkala terbuka bagi orang-orang arifin akan kekejian rahasia dan
perbuatan daripadanya, maka mereka berzuhud diri (meninggalkannya), sebagaimana
zuhudnya orang yang marah. Lalu mereka meninggalkannya dan meninggalkan
kebanggaan dan berbanyak-banyakkan harta. Dan mereka menghadapkan diri dengan
sebenar-benarnya cita-cita mereka ke Hadlarat/keajaiban Yang Maha Agung,
mempercayakan daripadanya dengan sambungan, yang tidak lagi perceraian. Dan
penyaksian yang abadi, yang tidak kena lagi, oleh kehancuran dan kehilangan.
Rahmat kepada penghulu
kita Muhammad penghulu nabi-nabi dan kepada kaum keluarganya, yang sebaik-baik
kaum keluarga.
Selanjutnya, bahwa dunia
itu musuh Allah ‘Azza Wa Jalla. Dengan tipuannya, sesatlah siapa yang sesat.
Dan dengan tipu-dayanya tergelincir lah siapa yang tergelincir. Maka mencintai
dunia itu pokok segala kesalahan dan kejahatan.
Dan memarahinya induk segala taat dan azas segala hal yang mendekatkan diri
kepada Allah. Dan telah kami selidiki dengan mendalam, apa yang menyangkut
dengan sifat dunia. Dan pencelaan cinta kepada dunia pada “Kitab Tercelanya
Dunia” itu termasuk Rubu’ Yang Membinasakan. Dan kita sekarang akan menyebutkan
keutamaan marah kepada dunia dan zuhud pada dunia. Bahwa zuhud itu pokok segala
sifat-sifat yang melepaskan dari bahaya. Maka tiada harapan mendapat kelepasan,
selain dengan memutuskan diri dari dunia dan menjauhkan diri daripadanya.
Akan tetapi, pemutusan
hubungan dengan dunia, adakalanya dengan memalingkan dunia dari hamba. Dan yang
demikian itu, dinamakan: fakir (miskin). Dan adakalanya memalingkan hamba dari
dunia. Dan yang demikian itu, dinamakan: zuhud. Masing-masing dari yang 2 ini,
mempunyai tingkat (derajat) pada mencapai kebahagiaan dan keberuntungan pada
menolong kepada kemenangan dan kelepasan. Dan kami sekarang akan menyebutkan
hakikat/makna fakir dan zuhud, tingkat-tingkatnya, bahagian-bahagiannya,
syarat-syaratnya dan hukum-hukumnya. Dan kami sebutkan fakir pada suatu
bahagian dari Kitab ini. Dan zuhud pada bahagian yang lain dari Kitab ini. Dan
kami mulai menyebutkan fakir. Maka kami berkata:
BAHAGIAN PERTAMA: dari kitab
ini, tentang: fakir.
Padanya: penjelasan hakikat/makna
fakir, penjelasan keutamaan fakir secara mutlak, penjelasan khusus keutamaan
orang-orang fakir, penjelasan keutamaan orang fakir atas orang kaya, penjelasan
adab (sopan-santun) orang fakir pada kefakirannya, penjelasan sopan-santun
orang fakir pada menerima pemberian orang, penjelasan pengharaman meminta,
tanpa ada darurat, penjelasan kadar orang kaya yang diharamkan meminta dan
penjelasan hal-ihwal orang-orang yang meminta. Kiranya Allah mencurahkan taufiq
kepada kebenaran, dengan kasih-sayang dan kemurahanNya.
PENJELASAN: hakikat/makna
fakir dan perbedaan hal-ihwal orang fakir dan nama-namanya.
Ketahuilah, bahwa kefakiran
(kemiskinan) itu ibarat daripada ketiadaan apa yang dibutuhkan. Adapun
ketiadaan apa yang tidak dibutuhkan, maka tidak dinamakan: fakir. Jikalau yang
dbutuhkan itu ada dan disanggupi, niscaya tidaklah orang yang membutuhkan itu:
orang fakir. Apabila anda telah memahami ini, niscaya anda tidak ragu lagi,
bahwa setiap yang maujud/yang ada, selain dari Allah Ta’ala, maka itu: fakir.
Karena ia memerlukan kepada kekekalan wujud pada yang kedua keadaan. Dan kekal
wujudnya itu diperolehnya dari kurnia dan kemurahan Allah Ta’ala. Maka kalau
pada wujud itu ada yang Maujud/yg ada, yang tidak wujudnya diperolehnya dari
yang lain, maka Dia itu kaya mutlak. Dan tidak tergambar dalam
pikiran, bahwa ada YANG ADA yang seperti ini, selain: Satu. Maka
tidak adalah pada wujud, selain Satu Yang Kaya. Dan setiap yang lainnya, maka
mereka memerlukan kepadaNya, supaya tertolong wujud mereka kepada kekekalan.
Dan kepada hinggaan ini, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Allah itu
serba cukup (Kaya) dan kamu mempunyai keperluan (fakir) kepada ALLAH”. S 47
Muhammad ayat 38. Ini makna fakir secara mutlak.
Akan tetapi, tidaklah kami
maksudkan penjelasan fakir secara mutlak. Tetapi: fakir dari harta khususnya. Kalau
tidak demikian, maka kefakiran hamba dengan disandarkan kepada bermacam-macam
keperluannya, tidaklah terhingga. Karena hajat keperluannya itu tidak ada
hinggaannya. Dan dari jumlah hajat keperluannya itu, apa yang tercapai dengan
harta. Yaitu: yang kami maksudkan sekarang menerangkannya saja. Maka kami
berkata: Setiap orang yang ketiadaan harta, maka kita namakan: orang fakir,
disandarkan kepada harta yang tiada dipunyainya, apabila yang ketiadaan itu
diperlukannya. Kemudian, tergambarlah bahwa ia mempunyai 5 hal ketika fakir.
Dan kami membedakannya dan mengkhususkannya setiap hal itu, dengan: suatu nama.
Supaya kita sampai dengan pembedaan itu, kepada menyebutkan hukum-hukumnya.
1. Yaitu: yang tertinggi, bahwa
jikalau ia diberikan harta, niscaya tidak disukainya dan ia menderita dengan
harta itu. Ia lari daripada mengambilnya, dengan kemarahan. Dan ia menjaga
dirinya dari kejahatan dan gangguan harta itu. Itulah zuhud namanya. Dan orang
yang bersifat demikian dinamakan: orang zahid.
2. Bahwa ia
tidak gemar padanya, dengan kegemaran yang menggembirakannya karena
diperolehnya. Dan tidak membencikannya, dengan kebencian yang menyakitkannya.
Dan ia zuhud, kalau ia memperolehnya. Orang yang berkeadaan seperti ini,
dinamakan: orang yang rela (yang senang dengan yang demikian).
3. Bahwa adanya harta itu disukainya,
dibandingkan daripada tidak adanya. Karena kesukaannya pada harta itu. Akan
tetapi, tidak sampai kegemarannya itu menggerakkannya untuk mencarinya. Tetapi,
jikalau datang kepadanya, dengan bersih, tanpa diminta, niscaya diambilnya. Dan
ia gembira dengan yang demikian. Dan kalau memerlukan kepada kepayahan pada
mencarinya, niscaya ia tidak berbuat untuk yang demikian. Orang yang mempunyai
sifat yang demikian, kami namakan: orang yang mencukupkan apa adanya (qani’).
Karena ia mencukupkan dirinya dengan yang ada. Sehingga ia meninggalkan
mencari, serta ada padanya keinginan yang lemah.
4. Bahwa ia
tidak mencari, lantaran ia lemah. Kalau tidak, maka ia gemar padanya, dengan
kegemaran, jikalau ia memperoleh jalan kepada mencarinya, walaupun dengan
kepayahan, niscaya dicarinya. Atau ia sibuk dengan mencarinya. Dan orang yang
mempunyai keadaan seperti ini, maka kami namakan: orang rakus.
5. Bahwa apa yang tidak dipunyainya
sangat diperlukannya, seperti: orang yang lapar, yang ketiadaan roti dan orang
yang telanjang, yang ketiadaan kain. Orang yang mempunyai keadaan seperti ini,
dinamakan: orang yang sangat memerlukan (mudh-thar), bagaimanapun kegemaran
pada mencari itu.
Adakalanya kegemaran itu
lemah dan adakalanya kuat. Dan sedikitlah terlepas keadaan ini dari kegemaran
(keinginan). Maka inilah 5 hal. Yang paling tinggi daripadanya, ialah: zuhud.
Sangat memerlukan kepada sesuatu, jikalau bercampur kepadanya sifat zuhud dan
tergambar yang demikian itu, maka adalah derajat zuhud yang teratas,
sebagaimana akan datang penjelasannya. Di balik 5 hal ini, ada suatu hal yang
lebih tinggi dari zuhud. Yaitu yang sama padanya, ada harta dan tidak adanya.
Kalau diperolehnya, ia tidak bergembira dan tidak menderita. Dan kalau tidak
diperolehnya maka demikian juga. Akan tetapi, halnya adalah seperti halnya
‘Aisyah ketika diberikan kepadanya 100 ribu dirham. Maka diambilnya dan
dibagi-bagikannya di hari itu juga. Lalu pelayannya mengatakan: “Apakah engkau
tidak sanggup pada apa yang engkau bagi-bagikan pada hari ini, untuk membelikan
bagi kami dengan sedirham, akan daging yang akan kami berbuka dengan daging itu
?”. ‘Aisyah lalu menjawab: “Kalau engkau mengingatkan aku niscaya aku perbuat”.
Orang yang ini halnya, jikalau adalah dunia dengan segala isinya dalam
tangannya dan gudang-gudangnya, niscaya tidak mendatangkan melarat baginya.
Karena ia melihat harta-harta itu dalam simpanan Allah Ta’ala. Tidak dalam tangannya sendiri. Maka ia tidak
membedakan, diantara adanya harta-harta itu dalam tangannya atau dalam tangan
orang lain. Dan seyogyalah orang yang mempunyai keadaan seperti ini, dinamakan:
orang yang merasa kaya. Karena ia
sama-sama merasa kaya, dengan tdak adanya harta dan dengan adanya. Dan
hendaklah dipahami dari nama ini, akan suatu makna, yang membedakan akan nama
kaya mutlak kepada Allah Ta’ala dan kepada orang yang banyak hartanya dari
hamba-hambaNya.
Maka orang yang banyak
hartanya dari para hamba dan ia bergembira dengan yang demikian, maka orang itu
berhajat kepada kekalnya harta dalam tangannya. Dan dia itu kaya, dengan tak
usah masuknya harta dalam tangannya. Tidak dari kekalnya harta itu. Jadi, dia
itu fakir (memerlukan) dari satu segi. Dan orang ini, kaya dengan tidak
memerlukan masuknya harta dalam tangannya, dari kekalnya harta itu dalam
tangannya dan juga dari keluarnya harta itu dari tangannya. Ia tidak menderita
untuk diperlukannya kepada pengeluarannya. Dan ia tidak bergembira untuk
diperlukannya kepada kekalnya harta itu. Dan ia tidak merasa ketiadaan harta,
untuk diperlukannya supaya masuk dalam tangannya. Maka kayanya itu lebih
cenderung kepada secara umum. Yaitu: lebih mendekati kepada kekayaan yang
menjadi sifat Allah Ta’ala.
Sesungguhnya hamba itu
dekat kepada Allah Ta’ala, ialah: dengan dekat sifat-sifatnya. Tidak dengan
dekat tempat. Akan tetapi, kami tidak menamakan orang yang mempunyai keadaan
seperti ini: orang kaya. Akan tetapi: orang yang
merasa kaya. Supaya kekallah kaya itu nama bagi Yang Kaya Mutlak,
dari setiap sesuatu. Adapun hamba ini, maka jikalau ia merasa kaya dari harta,
adanya atau tidaknya harta itu, niscaya ia tidak merasa kaya dari segala
sesuatu yang lain dari harta. Ia tidak merasa kaya dari pertolongan taufiq
Allah kepadanya, supaya kekal perasaan kekayaannya yang telah dihiaskan oleh
Allah akan hatinya. Sesungguhnya hati yang dikaitkan dengan kecintaan harta itu
budak. Dan yang merasa kaya dari harta itu merdeka. Dan Allah Ta’ala yang
memerdekakannya dari perbudakan ini. Maka ia memerlukan kepada kekalnya
kemerdekaan tersebut. Dan hati itu bulak-balik diantara kebudakan dan
kemerdekaan, pada waktu-waktu yang berdekatan. Karena hati itu diantara dua
anak jari dari jari-jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka karena itulah, nama
kaya tidak dimutlakan kepada hamba serta kesempurnaan ini, selain secara majaz
(tidak hakiki).
Ketahuilah kiranya, bahwa
zuhud itu suatu derajat, yang menjadi kesempurnaan orang baik-baik. Dan orang
yang mempunyai hal-keadaan ini, termasuk orang-orang yang dekat dengan Tuhan
(al-muqarrabin). Maka tidak salah lagi, jadilah zuhud itu suatu kekurangan pada
pihaknya. Karena kebaikan-kebaikan orang baik-baik itu merupakan keburukan bagi
orang-orang al-muqarrabin. Dan ini, karena orang yang benci kepada dunia itu
disibukkan dengan dunia. Sebagaimana orang yang gemar kepada dunia itu
disibukkan dengan dunia. Dan kesibukan dengan selain Allah Ta’ala itu hijab
(dinding) daripada Allah Ta’ala.
Karena tiada jauh diantara
engkau dan Allah Ta’ala, sehingga adalah jauh itu suatu hijab/penghalang.
Sesungguhnya ALLAH lebih dekat kepada engkau dari urat leher. Dan tidaklah Dia
pada suatu tempat, sehingga langit dan bumi itu hijab/penghalang diantara
engkau dan Dia. Maka tiada hijab/penghalang diantara engkau dan Dia, selain
oleh kesibukan engkau dengan yang lain. Dan kesibukan engkau, dengan diri
engkau sendiri dan nafsu syahwat engkau itu adalah kesibukan dengan yang lain.
Dan engkau senantiasa sibuk dengan diri engkau sendiri dan dengan nafsu syahwat
engkau. Maka seperti demikianlah engkau senantiasa terhijab/terhalang
daripadaNya. Maka orang yang sibuk dengan mencintai dirinya sendiri itu adalah
kesibukan yang menjauhkannya dari Allah Ta’ala. Dan orang yang sibuk dengan
kemarahan dirinya juga kesibukan yang menjauhkannya dari Allah Ta’ala.
Bahkan, setiap sesuatu
selain Allah, contohnya adalah seperti orang yang mengintip, yang hadir pada
suatu majelis, yang berkumpul padanya orang yang rindu (al-‘asyiq) dan yang dirindukan
(al-ma’syuq). Maka jikalau hati si orang yang rindu berpaling kepada ar-raqib
(pengintip), kepada kemarahannya, keberatannya dan kebencian hadirnya maka si orang
yang rindu pada ketika kesibukan hatinya dengan kemarahan itu, terpaling dari
kelezatan menyaksikan yang dirindukannya. Dan kalau kerinduan itu
menenggelamkannya, niscaya ia lupa dari selain yang dirindukan. Dan ia tidak
akan menoleh kepada yang lain. Sebagaimana memandang kepada yang bukan yang
dirindukan, karena cintanya ketika hadirnya yang dirindukan, niscaya ia
berkongsi pada kerinduan (keasyikan) itu. Dan menjadi kurang pada yang
dirindukan. Maka begitu pula memandang kepada yang tidak dicintai, karena
kemarahannya, niscaya ia berkongsi padanya dan menjadi berkurang. Akan tetapi,
salah satu daripada keduanya itu lebih ringan dari yang lain. Bahkan yang
sempurna, ialah: tidak berpaling hati kepada yang tidak dicintai, dalam hal
marah dan sayang.
Sesungguhnya sebagaimana
tiada berkumpul dalam hati dua kecintaan, dalam suatu keadaan, maka tiada
berkumpul juga marah dan sayang pada suatu keadaan. Orang yang sibuk dengan
kemarahan kepada dunia itu lalai dari Allah, seperti orang yang sibuk dengan
kecintaan kepada dunia. Hanya, orang yang sibuk dengan kecintaan kepada dunia
itu lalai. Dan dia dalam kelalaiannya itu berjalan pada jalannya hamba. Dan
orang yang sibuk dengan kemarahan kepada dunia itu lalai. Dan dia dalam
kelalaiannya itu berjalan pada jalan kedekatan kepada Allah. Karena diharapkan
bahwa berkesudahan keadaannya kepada hilangnya kelalaian itu. Dan berganti
dengan penyaksian (asy-syuhud). Maka kesempurnaan baginya itu dapat dinantikan
datangnya. Karena kemarahan kepada dunia itu alat yang menyampaikan kepada
Allah. Maka orang yang cinta dan yang marah itu seperti dua orang laki-laki
pada dua jalan ke hajji, yang disibukkan dengan mengendarai unta, umpan nya dan
menjalankannya. Akan tetapi, yang seorang menghadap Ka’bah dan yang lain
membelakangi Ka’bah. Keduanya sama, dengan dikaitkan kepada keadaannya, tentang
masing-masingnya terhijab/terhalang dari Ka’bah dan sibuk dari Ka’bah. Akan
tetapi, keadaan yang menghadap Ka’bah itu terpuji, dengan dibandingkan kepada
yang membelakangi nya. Karena diharapkan yang menghadap itu akan sampai kepada
Ka’bah. Dan tidak dipujikan, dengan dibandingkan kepada orang yang beri’tikaf
dalam Ka’bah (yang selalu di Ka’bah), yang tiada keluar dari Ka’bah, sampai ia
memerlukan kepada mengurus kendaraannya untuk sampai ke Ka’bah. Maka tiada
seyogyalah anda menyangka, bahwa kemarahan kepada dunia itu dimaksudkan pada
kemarahan itu sendiri. Akan tetapi, dunia itu yang menghalangi dari Allah
Ta’ala. Dan tiada akan sampai kepadaNya, selain dengan menolak penghalang itu.
Dan karena itulah, Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Siapa yang zuhud di
dunia dan menyingkatkan diri kepada zuhud itu, niscaya ia menyegerakan kepada
kesenangan (istirahat). Bahkan, seyogyalah ia menyibukkan diri dengan akhirat.
Maka diantara perjalanan jalan akhirat dibelakang zuhud itu seperti perjalanan
jalan hajji dibelakang membayar kepada orang yang memperhutangkan, yang
menghalangi dari hajji.
Jadi, jelaslah bahwa zuhud di dunia, jikalau
dimaksudkan tidak keinginan pada wujudnya dunia dan tidak adanya, maka itu
penghabisan kesempurnaan. Dan kalau dimaksudkan keinginan pada tidak adanya dunia,
maka itu kesempurnaan, dengan dikaitkan kepada derajat orang yang rela
(ar-radli), orang yang merasa puas seadanya (al-qani’) dan orang yang rakus
(al-harish). Dan kekurangan dengan dikaitkan kepada derajat orang yang merasa
kaya.
Bahkan kesempurnaan pada
segi harta itu, ialah, bahwa bersamaan pada anda antara harta dan air. Dan
banyaknya air pada tetangga anda, tidak menyakitkan anda, dengan adanya banyak
air, itu di pantai laut. Dan tidak sedikitnya harta itu menyakitkan anda,
selain sekadar darurat, serta harta itu diperlukan, sebagaimana air itu
diperlukan. Maka tidaklah hati anda itu disibukkan dengan lari dari tetangga
yang berair banyak. Dan tidak dengan kemarahan kepada air banyak. Akan tetapi,
anda mengatakan: “Aku minum dari air itu sekadar perlu. Dan aku beri minum akan
hamba Allah dari air itu sekadar perlu. Aku tiada kikir dengan air itu kepada
seseorang”. Maka begitulah seyogyanya bahwa adanya harta itu. Karena roti dan
air itu satu dalam keperluan.
Perbedaan diantara
keduanya, ialah pada sedikitnya yang satu dan banyaknya yang lain. Apabila anda
mengenal Allah Ta’ala dan anda percaya dengan pengaturanNya yang diaturNya alam
dengan yang demikian, niscaya anda tahu, bahwa kadar keperluan anda kepada roti
sudah pasti akan datang kepada anda, selama anda masih hidup. Sebagaimana
datang kepada anda kadar keperluan anda kepada air, menurut apa yang akan
datang penjelasannya pada Kitab Tawakkal insya Allah Ta’ala.
Ahmad bin Abil-Hawari
berkata: “Aku mengatakan kepada Abi Sulaiman Ad-Darani: “Malik bin Dinar
mengatakan kepada Al-Mughirah: “Pergilah ke rumahku ! ambillah tabung, yang engkau hadiahkan kepadaku !
bahwa musuh membisikkan kepadaku, bahwa pencuri telah mengambilnya”. Abi
Sulaiman menjawab: “Inilah dari kelemahan hati kaum shufi. Dia ditambahkan
dalam dunia, oleh apa yang mengerasinya, dari mengambil tabung itu”. Abi
Sulaiman menerangkan, bahwa kebencian adanya tabung dalam rumahnya itu, oleh
kepalingan hati kepadanya, yang sebabnya oleh kelemahan hati dan kekurangannya.
Kalau anda bertanya: “Apa
halnya para nabi dan wali yang lari dari harta dan benci kepadanya dengan
seluruhnya”. Aku menjawab: “Sebagaimana mereka lari dari air, dengan arti,
bahwa mereka tiada meminum, lebih dari hajat mereka. Lalu mereka meninggalkannya
di balik itu. Dan mereka tiada mengumpulkannya dalam tempat-tempat simpanan air
dan hewan-hewan pengangkut air, yang dibawa mereka bersama. Akan tetapi mereka
membiarkannya dalam sungai-sungai, sumur-sumur dan padang-padang pasir, bagi
orang-orang yang memerlukannya. Tidak atas pengertian, bahwa hati mereka sibuk
dengan mencintainya atau memarahinya. Sesungguhnya telah dibawa gudang-gudang
bumi kepada Rasulullah saw, kepada Abubakar ra dan kepada Umar ra. Mereka lalu
mengambilnya dan meletakkannya pada tempatnya.
Mereka tiada lari dari
harta-harta itu. Karena sama pada mereka, diantara harta, air, emas dan batu.
Dan tidak dinuqilkan dari mereka, tidak mau menerimanya. Apa yang dinuqilkan
dari hal orang yang takut, bahwa jikalau ia mengambilnya, maka harta itu akan
memperdayakannya dan hatinya terikat. Lalu harta itu membawanya kepada nafsu
syahwat. Dan ini adalah hal-keadaan orang-orang yang lemah. Maka tak ragu lagi,
bahwa marah kepada harta dan lari daripada harta itu, pada pihak mereka suatu
kesempurnaan. Dan ini hukum semua makhluk. Karena semua mereka itu lemah,
selain nabi-nabi dan wali-wali.
Adakalanya dinuqilkan yang
demikian dari orang yang kuat, yang sampai kepada kesempurnaan. Akan tetapi, ia
melahirkan kelarian dan keliaran hati dari harta, karena turun kepada tingkat
orang-orang yang lemah. Supaya orang-orang lemah itu mengikuti jejaknya pada
meninggalkan harta. Karena kalau mereka mengikuti jejaknya pada mengambilkan
harta itu, niscaya mereka binasa.
Sebagaimana larinya
laki-laki yang tahu akan akibat sesuatu, dari ular yang ada di hadapan
anak-anaknya. Tidak karena lemahnya daripada mengambil ular itu. Akan tetapi,
karena ia tahu, bahwa jikalau diambilnya, niscaya anak-anaknya akan mengambil
ular tersebut, apabila mereka melihatnya. Maka binasalah mereka. Dan berjalan
dengan perjalanan orang-orang yang lemah itu penting bagi nabi-nabi, wali-wali
dan ulama-ulama.
Jadi, anda telah
mengetahui, bahwa tingkat-tingkat itu 6. Yang tertinggi, ialah tingkat orang
yang merasa kaya. Kemudian, orang zuhud. Kemudian, orang yang rela dengan yang
ada. Kemudian, orang yang merasa cukup dengan yang ada. Kemudian, orang yang
rakus. Dan adapun orang yang sangat memerlukan (al-mudl-thar), maka
tergambarlah pada diri orang itu juga: zuhud, rela dan merasa cukup dengan yang
ada (al-qana’ah). Tingkatnya berlainan, menurut berlainannya hal-ihwal itu. Dan
nama fakir ditujukan kepada yang lima ini.
Adapun menamakan orang yang merasa kaya,
dengan nama fakir, maka tiada alasan baginya dengan makna ini. Akan tetapi,
kalau ia dinamakan fakir, maka dengan makna yang lain. Yaitu: ma’rifahnya/mengenalilmu
Allah bahwa ia memerlukan kepada Allah Ta’ala pada semua urusannya pada umumnya
dan pada keterusan tidak diperlukannya kepada harta pada khususnya. Maka adalah
nama fakir baginya, seperti nama hamba bagi orang yang mengenal dirinya dengan
kehambaan dan mengakuinya. Maka itu adalah lebih pantas dengan nama hamba dari
orang-orang yang lalai. Walaupun nama hamba itu adalah bersifat umum pada
makhluk. Maka demikian juga, nama fakir itu umum. Dan siapa yang mengenal
dirinya dengan kefakiran kepada Allah Ta’ala, maka dia lebih berhak dengan nama
fakir. Maka nama fakir itu bersekutu diantara dua makna ini. Apabila anda
mengenal akan kesekutuan ini, niscaya anda memahami, bahwa sabda Rasulullah
saw: “Aku berlindung dengan Engkau dari kefakiran”. Dan sabda Nabi saw:
“Mendekatilah kefakiran itu menjadi kufur (kekafiran)”. Bahwa sabda-sabda itu
tidak bertentangan dengan sabdanya: “Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan
matikanlah aku dalam keadaan miskin”. Karena kefakiran orang fakir itu, yang
dimintakan Nabi saw perlindungan daripadaNya dan kefakiran yang mengakui dengan
kemiskinan dan kehinaan. Dan kefakiran (kehajatan) kepada Allah Ta’ala itulah,
yang dimohonkannya pada doanya saw. Kiranya Allah mencurahkan rahmat dan
sejahtera kepada Nabi dan kepada setiap hamba pilihan dari penduduk bumi dan
langit.
PENJELASAN: keutamaan fakir
secara mutlak.
Adapun dari ayat-ayat, maka
ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: “(Itu adalah) untuk fakir miskin yang
berpindah (meninggalkan negerinya), diusir dari kampung dan harta bendanya,
sedang mereka mencari kurnia Allah dan kerelaan(Nya) dan mereka membantu
(Agama) Allah dan RasulNya. Itulah orang-orang yang benar”. S 59 Al Hasyr ayat
8. Dan Allah Ta’ala berfirman: “(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang
fakir miskin yang terkepung di jalan Allah, mereka tidak bisa berjalan keliling negeri’. S
2 Al Baqarah ayat 273. Firman itu membawa pada penunjukan pujian. Kemudian,
dikemukakan sifat mereka dengan kefakiran di atas sifat mereka dengan berpindah
negeri dan terkepung. Pada yang demikian dalil yang jelas kepada pujian
kefakiran. Adapun hadits-hadits tentang pujian kefakiran, maka sangat banyak
daripada dapat dihinggakan.
Abdullah bin Umar ra
meriwayatkan, yang mengatakan: “Rasulullah saw bertanya kepada para sahabatnya:
“Manakah manusia yang lebih baik ?”. Para sahabat itu menjawab: “Orang yang
kaya, yang menyerahkan hak Allah pada dirinya dan hartanya”. Maka Nabi saw
menjawab: “Sebaik-baik orang itu, ialah ini dan tidaklah dia yang aku
maksudkan”. Para sahabat itu bertanya: “Maka siapakah manusia yang terbaik,
wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Orang fakir yang memberikan
tenaganya”. Nabi saw bersabda kepada Bilal: “Berjumpalah dengan Allah dalam
keadaan fakir. Dan jangan menjumpaiNya dalam keadaan kaya”. Nabi saw bersabda:
“Bahwa Allah itu mencintai orang fakir, yang menjaga kehormatan diri, yang
menjadi bapak keluarga”. Tersebut pada hadits yang terkenal: “Akan masuk sorga
umatku yang fakir, sebelum yang kaya dengan 500 tahun”. Pada hadits yang lain:
“Dengan 40 tahun”. Yang dimaksudkan, ialah: kira-kira terdahulunya orang fakir
yang rakus terhadap orang kaya yang rakus. Dan kira-kiraan dengan 500 tahun,
ialah: kira-kiraan terdahulunya orang fakir yang zuhud, terhadap orang kaya
yang gemar kepada harta.
Apa yang kami sebutkan,
tentang perbedaan derajat kefakiran itu, memberitahukan kepada anda dengan
mudah, akan berlebih-kurangnya orang-orang fakir itu tentang derajat mereka.
Dan orang fakir yang rakus itu pada dua derajat, daripada 25 derajat bagi orang
fakir yang zuhud. Karena ini adalah perbandingan 40 pada 500. Anda jangan
menyangka, bahwa kira-kiraan Rasulullah saw itu berjalan pada lidahnya, dengan
agak-agakan dan dengan kesepakatan. Akan tetapi, beliau saw tidak menuturkan,
selain dengan kebenaran yang hakiki. Beliau tidak menuturkan dari hawa nafsu.
Tidaklah itu, selain wahyu, yang diwahyukan kepadanya. Dan ini adalah seperti
sabdanya saw: “Mimpi yang baik itu suatu bahagian dari 46 bahagian dari
kenabian (an-nubuwwah)”. Itu adalah kira-kiraan yang benar dan pasti. Akan
tetapi, tidaklah pada kesanggupan orang lain dapat mengetahui sebab
pertandingan itu, selain dengan terkaan. Adapun dengan yang benar dan
meyakinkan, maka tidak. Karena diketahui, bahwa kenabian itu ibarat dari apa
yang khusus kepada Nabi saw. Dan berbeda dengan orang yang lain dari nabi. Dan
nabi itu mempunyai kekhususan dengan berbagai kekhususan.
Pertama: Bahwa nabi itu mengetahui
hakikat-hakikat/makna persoalan yang menyangkut dengan Allah dan
sifat-sifatNya, malaikat dan hari akhirat. Dan tidaklah seperti yang diketahui
oleh orang lain. Bahkan menyalahinya, dengan banyaknya yang diketahui oleh Nabi
dan dengan bertambahnya keyakinan, penjelasan dan kasyaf (terbuka hijab/penghalang).
Kedua: Bahwa nabi itu mempunyai suatu sifat
pada dirinya, yang dengan sifat itu, sempurnalah baginya perbuatan-perbuatan
(kejadian-kejadian) yang luar biasa. Sebagaimana kita mempunyai suatu sifat,
yang dengan sifat itu, sempurnalah gerakan-gerakan yang menyertai kehendak dan
pilihan kita. Yaitu: kemampuan. Walaupun kemampuan dan yang dimampukan itu
semua dari perbuatan Allah Ta’ala.
Ketiga: Bahwa nabi itu mempunyai sifat, yang
dengan sifat itu, ia dapat melihat malaikat dan menyaksikan mereka. Sebagaimana
orang yang dapat melihat, mempunyai sifat, yang dengan sifat itu, ia berbeda
dengan orang buta. Sehingga ia dapat melihat segala yang dapat dilihat.
Keempat: Bahwa nabi itu mempunyai sifat, yang
dengan sifat itu, ia dapat mengetahui, apa yang akan ada dari yang ghaib.
Adakala, ia dalam jaga atau dalam tidur. Karena dengan sifat itu, ia dapat
membaca pada Luh-mahfudh. Lalu ia melihat, apa yang dalam Luh-mahfudh itu, dari
yang ghaib-ghaib. Inilah kesempurnaan sifat-sifat, yang diketahui adanya bagi
nabi-nabi.
Dan diketahui terbagi
masing-masing daripadanya, kepada bahagian-bahagian. Dan kadang-kadang
memungkinkan kita untuk membagikannya kepada 40, kepada 50 dan kepada 60. Dan
memungkinkan kita juga bahwa kita memberatkan pembahagian nya kepada 46, dimana
terjadinya mimpi yang benar itu suatu bahagian dari jumlahnya. Akan tetapi,
penentuan satu jalan dari jalan-jalan pembahagian yang memungkinkan itu, tidak
mungkin, selain sangkaan dan terkaan. Maka kita tidak tahu, secara yang
meyakinkan, bahwa yang demikian itu, yang dikehendaki oleh Rasulullah saw atau
bukan. Dan yang diketahui, ialah kumpulan sifat-sifat, yang dengan kumpulan
itu, sempurnalah kenabian dan pokok pembahagiannya. Dan seperti demikian juga,
tidak menunjukkan kita kepada mengetahui alasan kira-kiraan itu.
Maka seperti demikian
juga, kita mengetahui bahwa orang-orang fakir-miskin itu mempunyai
tingkat-tingkat, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Adapun mengapa orang
fakir yang rakus itu –umpamanya- pada 1/12 dari derajat orang fakir yang zuhud,
sehingga tidak ada baginya kedahuluan dengan lebih banyak dari 40 tahun ke
sorga dan kedahuluan itu menghendaki kepada 500 tahun ? maka tidaklah pada
kekuatan manusia, selain para nabi, untuk mengetahui yang demikian, selain
dengan semacam terkaan. Dan tidak dapat dipercayai dengan terkaan itu. Dan yang
dimaksud, ialah memberitahukan kepada cara kira-kiraan, pada contoh-contoh dari
persoalah-persoalan tersebut. Maka orang yang lemah imannya, kadang-kadang
menyangka bahwa yang demikian itu berlaku pada Rasulullah saw diatas jalan
kesepakatan. Dan amat jauhlah kedudukan kenabian dari yang demikian ! marilah
kita kembali kepada menukilkan hadits-hadits ! maka Nabi saw telah bersabda
pula: “Yang terbaik dari umat ini, ialah orang-orang fakir-miskinnya. Dan yang
tercepat berbaring dalam sorga, ialah: yang lemah-lemah daripadanya”. Nabi saw
bersabda: “Bahwa aku mempunyai dua pekerjaan. Maka siapa yang menyukainya,
adalah dia menyukai aku. Dan siapa yang tiada menyukainya, adalah dia tiada
menyukai aku, yaitu: fakir dan jihad”.
Diriwayatkan, bahwa Jibril
as datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Hai Muhammad ! bahwa Allah
‘Azza Wa Jalla menyampaikan salam kepada engkau dan berfirman: “Adakah kamu
sukai, bahwa Aku jadikan gunung-gunung ini menjadi emas dan berada bersama
engkau dimana saja engkau berada ?”. Maka Rasulullah saw menundukkan kepalanya
sesaat, kemudian bersabda: “Hai Jibril ! bahwa dunia itu kampung orang yang
tiada mempunyai kampung dan harta orang yang tiada mempunyai harta. Dan bagi
dunialah dikumpulkan oleh orang yang tiada berakal”. Lalu Jibril as menjawab:
“Hai Muhamad! kiranya engkau ditetapkan oleh Allah dengan kata yang tetap”.
Diriwayatkan, bahwa Isa
Al-Masih as melintasi dalam pengembaraannya seorang laki-laki yang tidur,
berselimut dalam baju kurung panjang. Lalu beliau bangunkan dan berkata: “Hai
orang tidur ! bangunlah ! berdzikirlah kepada Allah Ta’ala !”. Orang tidur itu
menjawab: “Apa yang engkau maksudkan dari aku? sesungguhnya aku telah
meninggalkan dunia kepada yang empunyanya”. Lalu nabi Isa as menjawab: “Maka
tidurlah saja, hai kekasihku!”.
Nabi Musa as melintasi
seorang laki-laki yang tidur di atas tanah. Dan di bawah kepalanya sepotong
batu bata. Mukanya dan janggutnya dalam tanah. Dan orang itu bersarung dengan
baju kurung panjang. Lalu nabi Musa as berkata: “Hai Tuhanku ! hambaMu ini
dalam dunia, orang yang hilang”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa
as dengan firmanNya: “Hai Musa ! apakah engkau tidak tahu, bahwa Aku melihat
kepada hambaKu dengan WajahKu seluruhnya ? dipalingkan dunia seluruhnya
daripadanya”.
Dari Abi Rafi’, yang
mengatakan: “Datang seorang tamu kepada Rasulullah saw. Maka ia tidak
memperoleh pada Nabi saw, akan apa yang membaikkannya. Lalu Nabi saw
mengutuskan aku kepada seorang Yahudi Khaibar. Dan beliau menyabdakan: “Katakan
kepada orang Yahudi itu: “Muhammad mengatakan kepadamu: “Pinjamkanlah kepadaku
atau jualkanlah kepadaku tepung gandum, dengan dibayarkan harganya pada bulan
Rajab nanti”. Abu Rafi’ meneruskan riwayatnya: “Maka aku datang kepada Yahudi
itu. Lalu Yahudi itu menjawab: “Tidak –demi Allah, selain dengan jaminan”. Maka
aku terangkan yang demikian kepada Rasulullah saw, lalu beliau menjawab:
“Apakah tidak –demi Allah- aku ini orang kepercayaan pada penduduk langit dan
orang kepercayaan pada penduduk bumi ? jikalau ia menjualkan kepadaku atau
meminjamkan kepadaku, niscaya aku bayar kepadanya. Pergilah dengan baju besiku
ini kepadanya ! dan gadaikanlah (menjadi jaminannya) !”. Maka tatkala aku telah
keluar dari tempat Nabi saw lalu turunlah ayat ini: “Dan janganlah engkau
tujukan pemandangan engkau kepada kesenangan sebagai bunga kehidupan dunia yang
telah Kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka, karena Kami hendak
menguji mereka dengan itu, sedang rezeki (pemberian) dari Tuhan engkau lebih
baik dan lebih kekal”. S 20 Thaahaa ayat 131. Ayat ini merupakan bela-sungkawa
(ta’ziyah) kepada Rasulullah saw dari dunia. Nabi saw bersabda: “Kefakiran itu
lebih menghiasi orang mu’min, dibandingkan dengan tali kekang yang bagus di
pipi kuda”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang berada dari kamu, dengan sehat
wal-afiat pada jasmaniahnya, aman pada dirinya dan padanya ada makanan untuk
harinya, maka seakan-akan telah diserahkan baginya dunia dengan isinya”.
Ka’bul Ahbar berkata:
“Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Hai Musa ! apabila engkau melihat
kefakiran itu menghadap kepada engkau, maka katakanlah: “Selamat datang kepada
syiar (lambang) orang-orang yang shalih !”. Atha’ Al-Khurasani berkata:
“Seorang dari nabi-nabi melintasi pada suatu pantai. Maka tiba-tiba ia bertemu
dengan seorang laki-laki yang menangkap ikan paus. Laki-laki itu mengucapkan
“Bismillah” dan melemparkan jaringnya. Maka tiada masuk dalam jaring itu
sesuatu. Kemudian, nabi tersebut melintasi pada orang lain. Lalu orang itu
mengatakan: dengan nama setan. Dan melemparkan jaringnya. Lalu masuk dalam
jaring itu ikan-ikan laut, yang tidak dengan lekas dapat ditariknya, lantara
banyaknya. Maka nabi as itu berkata: “Hai Tuhan ! apakah ini ? sesungguhnya aku
tahu, bahwa setiap yang demikian itu di tangan Engkau”. Maka Allah Ta’ala
berfirman kepada para malaikat: “Singkapkanlah kepada hambaKu dari keadaan dua tingkat
itu !”. Tatkala nabi itu melihat apa yang disediakan oleh Allah Ta’ala bagi ini
dari kemuliaan dan bagi itu dari kehinaan, maka ia berkata: “Aku rela, wahai
Tuhan !”.
Nabi kita saw bersabda:
“Aku menjenguk dalam sorga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya orang-orang
fakir. Dan aku menjenguk dalam neraka, maka aku melihat kebanyakan isinya
orang-orang kaya dan kaum wanita”. Pada lafal yang lain: “Maka aku bertanya:
“Mana orang-orang kaya ?”. Lalu dikatakan: “Mereka ditahan oleh kekayaan”.
Tersebut pada hadits yang lain: “Lalu aku melihat kebanyakan penghuni neraka
itu kaum wanita. Lalu aku bertanya: “Apakah keadaan kaum wanita itu ?”. Maka
dijawab: “Mereka disibukkan oleh dua yang merah: emas dan pohon kumkuma (minyak
wangi)”.
Nabi saw bersabda: “Hadiah
orang mu’min dalam dunia itu kefakiran”. Dan pada hadits, tersebut: “Nabi yang
terkemudian masuk sorga, ialah: Sulaiman bin Daud as karena kedudukan
kerajaannya. Dan sahabatku yang terkemudian masuk sorga, ialah: Abdurrahman bin
‘Auf, karena kekayaannya”. Pada hadits lain, tersebut: “Aku lihat Abdurrahman
bin ‘Auf itu masuk sorga dengan merangkak”.
Isa Al-Masih as berkata: “Dengan sukar, orang
kaya itu masuk sorga”. Pada hadits yang lain, dari keluarga Nabi saw, bahwa
beliau bersabda: “Apabila Allah menyayangi seorang hamba, niscaya dicobaiNya.
Maka apabila disayangiNya dengan kesayangan yang bersangatan, niscaya
di-iqtina’kanNya”. Lalu ditanyakan: “Apakah di-iqtina’kanNya ?”. Nabi saw
menjawab: “Allah tidak meninggalkan baginya isteri/suami
dan harta”. Pada hadits, tersebut:
“apabila engkau melihat kefakiran datang menghadap kepada engkau, maka
katakanlah: “Selamat datang kepada lambang orang-orang shalih. Dan apabila
engkau melihat kekayaan datang menghadap kepada engkau, maka katakanlah: “Dosa
yang disegerakan siksaannya”.
Nabi Musa as bertanya
kepada Tuhan: “Hai Tuhanku ! siapakah kekasihMu dari makhlukMu, sehingga aku
cintai mereka karenaMu ?”. Maka Allah berfirman: “Setiap orang fakir-orang
fakir”. Maka mungkin kata yang kedua itu untuk penguatan yang pertama. Dan
mungkin, bahwa dimaksudkan dengan yang kedua itu (perkataan: orang fakir yang
kedua) itu, akan orang yang sangat melarat.
Isa Al-Masih as berkata: “Bahwa aku lebih
mencintai dan memarahi kenikmatan”. Dan nama yang paling disukai nabi Isa as,
ialah bahwa ia dipanggil: “Hai orang miskin !”. Tatkala kepala-kepala orang
Arab dan orang-orang kaya mereka mengatakan kepada nabi saw: “Jadikanlah untuk
kami suatu hari dan untuk mereka suatu hari. Mereka datang kepada engkau dan
kami tidak datang. Dan kami datang kepada engkau dan mereka tidak datang”.
Mereka maksudkan dengan demikian itu, ialah: orang-orang miskin. Seperti:
Bilal, Salman, Shuhaib, Abi Dzarr, Khabab bin Al-Arat, Ammar bin Yasir, Abi
Hurairah dan orang-orang miskin penghuni Ash-Shaffah. Kiranya mereka sekalian
memperoleh kerelaan Allah Ta’ala. Nabi saw memperkenankan permohonan mereka.
Dan yang demikian, karena mereka mengadu kepada Nabi saw, akan terganggu
kesenangan mereka. Dan pakaian orang-orang itu kain bulu pada waktu sangat
panas. Maka mereka tahu, betapa berkembangnya bau yang tidak enak dari kain
mereka. Lalu sangatlah berat yang demikian, kepada orang-orang kaya. Diantara
mereka itu: Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi, Uyainah bin Hashan Al-Fazari, Abbas
bin Mardas As-Silmi dll. Maka Nabi saw memperkenankan permohonan mereka, bahwa
mereka tidak berkumpul dengan orang-orang itu pada satu majelis. Maka turunlah
firman Allah Ta’ala kepada Nabi saw: “Dan tahanlah hati engkau (bersabar)
bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan senja, mereka
menginginkan kerelaan Tuhan dan janganlah engkau hindarkan pemandangan engkau
dari mereka (orang-orang fakir dan miskin), engkau (orang-orang kaya)
menghendaki perhiasan kehidupan dunia dan janganlah engkau turut orang yang
Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami (orang-orang kaya). Dan diturutinya
keinginan nafsunya dan pekerjaannya biasanya diluar batas. Katakanlah:
Kebenaran itu datang dari Tuhan. Sebab itu, siapa yang mau, berimanlah dan
siapa yang (tidak) mau, maka janganlah beriman, sesungguhnya Kami telah
menyediakan neraka untuk orang-orang yang bersalah itu, mereka dilingkungi oleh
pagarannya dan kalau mereka meminta minum, diberi minum dengan air seperti
tembaga yang dihancur, menghanguskan muka; itulah minuman yang terburuk dan
itulah tempat yang paling jahat”. S 18 Al Kahfi ayat 28-29.
Ibnu Ummi Maktum (seorang buta) meminta izin
berbicara dengan Nabi saw dan di sisi Nabi saw seorang laki-laki bangsawan
Quraisy. Lalu sukarlah yang demikian itu atas Nabi saw. Maka Allah Ta’ala
menurunkan ayat: “Dia bermasam muka dan membelakang. Disebabkan orang buta
datang kepadanya. Dan apakah yang dapat memberitahukan kepada engkau, boleh
jadi dia seorang yang bersih (hati dan pikirannya) ? Atau dia dapat menerima
peringatan dan peringatan itu berguna kepadanya ? (yakni: Ibnu Ummi Maktum).
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka engkau berhadapan dengannya
(yakni: orang bangsawan itu)”. S 80 ‘Abasa ayat 1 sampai 6. Dari Nabi saw bahwa
beliau bersabda: “Hamba itu dibawa pada hari kiamat. Lalu Allah Ta’ala meminta
maaf kepadanya, sebagaimana seorang meminta maaf kepada seorang di dunia. Maka
Allah Ta’ala berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! tiada Aku palingkan
dunia dari engkau, karena penghinaan engkau kepadaKu. Akan tetapi, tatkala Aku
sediakan bagi engkau kemuliaan dan kelebihan, maka keluarlah, hai hambaKu ke
barisan-barisan ini ! maka siapa yang memberi makanan kepada engkau karenaKu
atau memberi pakaian kepada engkau karenaKu dan ia menghendaki dengan yang
demikian, akan WajahKu, maka ambillah pada tangannya ! itu adalah untuk engkau
!”. Manusia pada hari itu telah dikekangi oleh keringat. Maka ia memasuki dalam
barisan-barisan itu dan melihat: siapa yang berbuat yang demikian dengan dia.
Lalu diambilnya dengan tangannya. Dan memasukkannya ke sorga”.
Nabi saw bersabda:
“Banyakkanlah mengenal orang-orang fakir miskin ! buatlah tangan (kekuatan)
pada mereka ! sesungguhnya mereka itu mempunyai kedaulatan (kekuasaan)”. Para
sahabat bertanya: “Apakah kedaulatan mereka ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila
hari kiamat, maka dikatakan kepada mereka: “Lihatlah siapa yang memberi makan
kepada kamu roti hancur atau memberi minum kamu seteguk minuman atau memberi
kamu sehelai pakaian. Maka ambillah tangannya dan bawakan dia ke sorga !”. Nabi
saw bersabda: “Aku masuk sorga. Lalu aku mendengar bunyi suatu gerakan di
hadapanku. Maka aku lihat. Kiranya Bilal. Dan aku lihat di tempat tertinggi
dari sorga itu. Rupanya orang-orang fakir miskin dari umatku dan anak-anak
mereka. Dan aku di tempat yang terbawah dari sorga itu. Tiba-tiba di dalamnya
orang-orang kaya dan kaum wanita yang sedikit jumlahnya. Maka aku bertanya:
“Hai Tuhanku ! apakah keadaan kaum wanita itu ?”. Tuhan berfirman: “Adapun kaum
wanita, maka didatangkan kemelaratan kepada mereka oleh dua yang merah: emas
dan sutera. Adapun orang-orang kaya, maka mereka sibuk dengan lamanya
perhitungan harta. Dan aku mencari para sahabatku, maka aku tiada melihat
Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian, sesudah itu datang kepadaku dan ia menangis. Maka
aku tanyakan, apakah yang meninggalkan engkau di belakang aku ? ia menjawab:
“Wahai Rasulullah, demi Allah ! aku tiada sampai kepada engkau sebelum aku
menemui hal-hal yang membawa rambut beruban. Dan aku menyangka, bahwa aku tiada
akan melihat engkau lagi”. Lalu aku bertanya: “Mengapa ?”. Abdurrahman bin ‘Auf
menjawab: “Aku diadakan perhitungan dengan hartaku”. Maka lihatlah kepada ini !
dan Abdurrahman bin ‘Auf itu sahabat besar yang terdahulu, yang menyertai
Rasulullah saw. Dan dia termasuk orang 10 yang khusus, bahwa mereka menjadi isi
sorga. Dan dia termasuk orang-orang kaya, yang dikatakan Rasulullah saw tentang
mereka: “Selain orang yang mengatakan: dengan harta begini dan begini !”.
Meskipun demikian, ia memperoleh kesukaran dengan kekayaan sampai kepada batas
tersebut.
Rasulullah saw masuk ke
tempat seorang laki-laki fakir. Maka beliau tiada melihat sesuatu kepunyaannya.
Lalu beliau bersabda: “Jikalau dibagikan cahaya ini kepada penduduk bumi,
niscaya telah melapangkan mereka”. Nabi saw bersabda: “Apakah tidak aku
terangkan kepada kamu, raja-raja penghuni sorga ?”. Para sahabat menjawab:
“Belum, wahai Rasulullah !”. Nabi saw menjawab: “Setiap orang lemah, yang
terpadang lemah, yang berdebu mukanya, kusut rambutnya, mempunyai dua helai
kain buruk, yang tidak diindahkan, jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya
Allah memberi kebajikan kepadanya”.
‘Imran bin Hushain berkata: “Aku memperoleh
kedudukan dan kemegahan dari Rasulullah saw. Nabi saw bersabda: “Hai ‘Imran !
engkau mempunyai padaku kedudukan dan kemegahan. Maukah engkau berkunjung pada
Fatimah puteri Rasulullah saw ?”. Aku menjawab: “Ya, demi engkau, bapakku dan
ibuku, wahai Rasulullah”. Lalu beliau bangun berdiri dan aku bangun berdiri
bersama beliau. Sehingga beliau berdiri di pintu rumah Fatimah. Lalu beliau
mengetuk pintu dan mengucapkan: “Assalamu’alaikum, apakah aku masuk ?”. Fatimah
menjawab: “Masuklah, wahai Rasulullah !”. “Aku dan orang yang bersama aku ?”.
Fathimah menjawab: “Siapa bersama engkau, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab:
“Imran !”. Fathimah lalu berkata: “Demi Allah yang mengutus engkau dengan
kebenaran menjadi nabi! tak ada padaku, selain baju kurung”. Nabi saw menjawab:
“Buatlah dengan baju kurung itu begini dan begini!” . Beliau mengisyaratkan
dengan tangannya. Fathimah mengatakan: “Ini tubuhku, sudah aku tutup. Maka
bagaimana dengan kepalaku ?”. Lalu Rasulullah saw melemparkan kepada Fathimah
kain tutup kepala, yang biasanya ada pada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda:
“Ikatlah dengan kain itu kepala engkau !”. Kemudian, Fathimah mengizinkan
masuk. Lalu Rasulullah masuk, seraya mengucapkan: “Assalamu’alaikum, hai
anakku, bagaimana engkau pagi-pagi hari ini?”. Fathimah menjawab: “Demi Allah,
aku pagi-pagi hari ini lapar. Dan menambahkan aku lapar, lantaran aku tidak
mampu membeli makanan yang akan aku makan. Sungguh kelaparan itu telah
mendatangkan melarat kepadaku”. Rasulullah saw lalu menangis dan bersabda:
“Jangan engkau gundah hati, hai puteriku ! demi Allah, aku tiada merasa makanan
sejak 3 hari ini. Dan aku adalah lebih mulia dari engkau pada Allah. Jikalau
aku minta pada Tuhanku, niscaya Ia memberikan aku makanan. Akan tetapi, aku
memilih akhirat dari dunia”. Kemudian, beliau menepuk dengan tangannya atas
bahu Fathimah, seraya berkata kepadanya: “Bergembiralah ! demi Allah, engkau
penghulu wanita penghuni sorga”. Fathimah lalu bertanya: “Dimana Asiah isteri
Fir’aun dan Maryam puteri ‘Imran ?”. Nabi saw menjawab: “Asiah penghulu wanita
dunia masanya. Maryam penghulu wanita dunia masanya. Dan engkau penghulu wanita
dunia masa engkau. Kamu semua dalam rumah dari bambu, tak ada kesakitan
padanya, tak ada hiruk-pikuk dan tak ada kepayahan”. Kemudian beliau mengatakan
lagi kepada Fathimah: “Cukupkanlah dengan anak paman engkau ! demi Allah, telah
aku kawinkan engkau dengan penghulu di dunia dan penghulu di akhirat”.
Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Apabila manusia memarahkan orang-orang fakir, melahirkan bangunan
dunia dan mereka sangat loba mengumpulkan dirham (harta), niscaya mereka
dilemparkan oleh Allah dengan 4 perkara: dengan musim kemarau panjang,
kezaliman dari penguasa, kekhianatan dari pemegang-pemegang hukum dan
keperkasaan dari musuh”. Adapun atsar, maka berkata Abud-Darda ra: “Orang yang
mempunyai dua dirham lebih kuat menahankannya”. Atau beliau mengatakan: “Lebih
kuat menghitung dari orang yang mempunyai sedirham”.
Umar ra mengirim uang kepada Sa’id bin ‘Amir
sebanyak 1000 dinar. Lalu Sa’id bin ‘Amir datang dengan kesedihan dan
kegundahan. Lalu isterinya bertanya: “Adakah terjadi sesuatu ?”. Sa’id bin Amir
menjawab: “Lebih berat dari itu”. Kemudian Sa’id berkata kepada isterinya:
“Perlihatkanlah kepadaku baju besimu yang buruk !”. Lalu dipecahkannya,
dijadikannya berus-ruas dan dicerai-beraikannya. Kemudian, ia bangun
mengerjakan shalat dan menangis sampai pagi. Kemudian ia mengatakan: “Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang fakir dari umatku akan masuk
sorga sebelum orang-orang kaya dengan 500 tahun. Sehingga seorang laki-laki
dari orang-orang kaya itu, masuk dalam rombongan orang-orang fakir. Lalu
dipegang tangannya dan dikeluarkan”.
Abi Hurairah berkata: “3
golongan masuk surga, tanpa hitungan amal (hisab), yaitu: orang yang bermaksud
mencuci kainnya, lalu tidak mempunyai kain buruk yang akan dipakainya, orang
yang tidak mendirikan di atas tungku akan dua periuk dan dua orang yang meminta
minuman, maka tidak ada yang mengatakan kepadanya: “Mana yang engkau kehendaki
?”.
Dikatakan bahwa seorang fakir datang ke
majelis AtsTsuri ra. Lalu Ats-Tsuri mengatakan kepada orang fakir itu: “Engkau
gariskan. Jikalau engkau kaya, niscaya aku tidak mendekatimu”. 0rang-orang kaya
dari sahabat-sahabat Ats-Tsuri, menyukai bahwa mereka menjadi orang fakir,
karena banyak mendekatnya Ats-Tsuri kepada orang-orang fakir dan berpalingnya
Ats-Tsuri dari orang-orang kaya.
Al-Muammal berkata: “Tiada
aku melihat orang kaya yang lebih hina, pada majelis Ats-Tsuri. Dan tiada aku
melihat orang fakir yang lebih mulia, pada majlis Ats-Tsuri. Kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepadanya”. Setengah ahli hikmah berkata: “Kasihan anak Adam
! jikalau ia takut dari api neraka sebagaimana ia takut dari kemiskinan,
niscaya ia terlepas daripada keduanya. Jikalau ia ingin kepada sorga,
sebagaimana ia ingin kepada kekayaan, niscaya ia memperoleh kemenangan daripada keduanya. Jikalau ia takut
kepada Allah pada batinnya, sebagaimana ia takut kepada makhlukNya pada
zahirnya, niscaya ia berbahagia pada dua negeri”.
Ibnu Abbas berkata:
“Terkutuk orang yang memuliakan orang kaya dan menghinakan orang miskin”.
Lukmanul-hakim as berkata kepada puteranya: “Jangan engkau hinakan seseorang
karena buruk kainnya. Sesungguhnya Tuhan engkau dan Tuhan dia itu Satu”. Yahya
bin Ma’adz berkata: “Kecintaanmu kepada orang-orang fakir itu sebahagian dari
akhlak para rasul. Engkau pilih duduk-duduk bersama mereka itu termasuk tanda orang-orang
shalih. Dan larinya engkau daripada menemani mereka itu, termasuk tanda
orang-orang munafik”.
Dalam berita kitab-kitab
terdahulu, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada sebahagian nabi-nabiNya
as: “Jagalah bahwa Aku memarahi engkau, lalu engkau jatuh dari pandanganKu !
lalu aku tuangkan dunia kepada engkau dengan tuangan benar-benar”.
Adalah ‘Aisyah
membagi-bagikan uang 100 ribu dirham sehari, yang diberikan kepadanya oleh
Mu’awiyah, Ibnu Amir dll. Dan baju besinya sudah koyak. Pelayannya mengatakan
kepadanya: “Jikalau aku belikan untukmu sedirham daging yang akan engkau
berbuka ?”. Dan ‘Aisyah itu berpuasa. Maka ‘Aisyah menjawab: “Jikalau engkau
ingatkan aku tadi, niscaya aku laksanakan”. Adalah Rasulullah saw meninggalkan
wasiat kepada ‘Aisyah. Nabi saw bersabda: “Kalau engkau mau mengikuti aku, maka
haruslah engkau dengan hidup orang-orang fakir. Dan jagalah diri engkau
duduk-duduk dengan orang-orang kaya ! dan janganlah engkau membuka baju besi
engkau, sebalum baju itu koyak berkeping-keping”.
Seorang laki-laki membawa
uang kepada Ibrahim bin Adham sebanyak 10 ribu dirham. Ibrahim bin Adham enggan
menerimanya. Lalu laki-laki tersebut meminta dengan sangat supaya beliau
menerimanya. Maka Ibrahim menjawab: “Apakah engkau mau menghapuskan namaku dari
daftar orang-orang fakir, dengan 10 ribu dirham ? aku tidak akan berbuat
demikian untuk selama-lamanya”. Kiranya Allah meridhai Ibrahim bin Adham.
PENJELASAN: keutamaan
kekhususan orang-orang fakir, dari orang-orang yang ridha, orang-orang yang
bersifat merasa cukup dan orang-orang yang benar.
Rasulullah saw bersabda: “Kebaikan
bagi orang yang memperoleh petunjuk kepada Islam ! dan kehidupannya tidak
memerlukan kepada bantuan orang dan merasa cukup dengan yang demikian”. Nabi
saw bersabda: “Wahai jama’ah orang-orang fakir ! serahkanlah kepada Allah akan
kerelaan dari hatimu, niscaya kamu memperoleh dengan pahala kefakiranmu !
jikalau tidak, maka engkau tidak memperolehnya”. Yang pertama tadi, ialah orang yang
merasa cukup dengan apa yang ada (al-qani)’. Dan ini dinamakan: orang yang ridha (ar-radhi). Dan hampirlah dapat dirasakan ini dengan yang
dipahamkan, bahwa orang yang rakus itu tiada mendapat pahala dengan kefakirannya.
Akan tetapi, secara umum yang menerangkan tentang keutamaan kefakiran,
menunjukkan bahwa orang itu mempunyai pahala, sebagaimana akan datang
pentahkikannya/penjelasannya.
Semoga dimaksudkan dengan
tidak ridha itu, ialah: benci kepada perbuatan Allah, tentang menahan dunia
daripadanya. Dan banyaklah orang yang ingin pada harta, yang tidak terguris di
hatinya, untuk menentang Allah Ta’ala dan tidak benci pada perbuatanNya. Maka
kebencian itu ialah: yang membatalkan pahala
kefakiran. Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab ra, dari Nabi saw
yang bersabda: “Setiap sesuatu itu mempunyai kunci. Dan kunci sorga itu
mencintai orang miskin dan orang fakir, karena kesabaran mereka. Mereka itu
adalah orang-orang yang duduk bersama Allah pada hari kiamat”. Dirawikan dari
Ali ra, dari Nabi saw yang bersabda: “Hamba yang paling dikasihi Allah Ta’ala,
ialah: orang fakir yang merasa cukup dengan rezeki yang diperolehnya, yang
ridha dengan apa yang dianugerahkan Allah Ta’ala”. Nabi saw berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! jadikanlah makanan biasa keluarga Muhammad itu tidak memerlukan
bantuan orang”. Nabi saw bersabda: “Tiada seorangpun, baik kaya atau fakir,
melainkan ia ingin pada hari kiamat bahwa ia diberikan makanan dunia”.
Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada nabi Ismail as: “Carilah Aku pada mereka yang pecah hatinya !”.
Nabi Ismail as bertanya: “Siapakah mereka itu?”. Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang fakir yang benar”. Nabi saw bersabda: “Tiada seorangpun yang lebih
utama dari orang fakir, apabila dia itu ridha dengan kefakirannya”. Nabi saw
bersabda: “Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat: “Manakah orang-orang
pilihanKu dari makhlukKu ?. Para malaikat bertanya: “Siapakah mereka, wahai
Tuhan kami ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang muslim yang fakir, yang
merasa cukup dengan pemberianKu, yang ridha dengan takaranKu. Masukkanlah
mereka ke sorga !”. Lalu mereka masuk sorga, makan dan minum di dalamnya. Dan
manusia lain pulang pergi pada perhitungan amal (hisab)”. Ini tentang orang merasa
cukup dengan apa yang ada dan orang yang ridha !. Adapun orang zuhud
(orang yang meninggalkan kegermelapan dunia disebut az-zahid), maka akan kami
sebutkan keutamaannya pada bahagian kedua dari Kitab ini, insya Allahu Ta’ala.
Adapun atsar yang
menerangkan tentang ar-ridha dan merasa cukup dengan yang ada, maka banyak. Dan
tidak tersembunyi lagi, bahwa merasa cukup dengan yang ada itu, lawannya
ath-thama’ (loba). Umar ra berkata: “Sesungguhnya loba itu kemiskinan. Dan
putus harapan dari manusia itu suatu kekayaan. Sesungguhnya siapa yang tiada
mengharap dari apa yang dalam tangan manusia dan merasa cukup dengan apa
adanya, niscaya ia tidak memerlukan kepada manusia”.
Abu Mas’ud ra berkata:
“Pada setiap hari ada seorang malaikat yang menyerukan dari bawah ‘Arasy: “Hai
anak Adam ! sedikit yang mencukupi bagi engkau adalah lebih baik dari banyak
yang membawa engkau durhaka”.
Abud-Darda ra berkata: “Setiap orang, ada pada
akalnya kekurangan. Yang demikian itu, apabila ia didatangkan oleh dunia dengan
kelebihan, niscaya selalulah ia suka dan gembira. Malam dan siang itu terus
berjalan menghancurkan umurnya. Kemudian, yang demikian itu, tidak
menggundahkannya. Kasihan anak Adam ! apakah bermanfaat harta yang bertambah
dan umur yang berkurang ?”.
Ditanyakan kepada
sebahagian ahli hikmah: “Apakah kekayaan itu ?”. Ahli hikmah itu menjawab:
“Sedikit angan-angan engkau dan ridha engkau dengan apa yang memadai bagi
engkau”. Dikatakan, adalah Ibrahim bin Adham termasuk orang yang menikmati
kesenangan hidup di Khurasan. Pada suatu hari, ketika ia menjenguk dari
istananya, tiba-tiba ia memandang kepada seorang laki-laki di halaman istana.
Dan di tangan orang itu roti yang sedang dimakannya. Tatkala orang itu siap
makan, lalu tidur. Maka Ibrahim bin Adham berkata kepada sebahagian budaknya:
“Apabila orang itu bangun, maka bawalah ia kepadaku !”. Tatkala orang itu sudah
bangun, lalu ia dibawa kepada Ibrahim bin Adham. Ibrahim itu lalu bertanya:
“Hai laki-laki ! engkau makan roti, apakah engkau lapar?”. Orang itu menjawab:
“Ya !”. Ibrahim itu bertanya lagi: “Apa sekarang sudah kenyang ?”. Orang itu
menjawab: “Ya !”. Ibrahim bertanya pula: “Kemudian, engkau tidur dengan baik
?”. Orang itu menjawab: “Ya !”. Lalu Ibrahim mengatakan pada dirinya: “Maka
apakah aku perbuat dengan dunia dan diri manusia itu merasa cukup dengan kadar
itu ?”.
Seorang laki-laki
melintasi ‘Amir bin Abdul-qis, yang sedang makan daging dan sayuran. Lalu orang
itu bertanya kepada ‘Amir bin Abdul-qis: “Hai hamba Allah ! adakah engkau ridha
dari dunia dengan ini ?”. ‘Amir bin Abdul-qis menjawab: “Apakah tidak aku
tunjukkan engkau, kepada orang yang ridha dengan lebih buruk dari ini ?”. Orang
itu menjawab: “Ya, ada !”. ‘Amir bin Abdul-qis menyambung kata-katanya: “Siapa
yang ridha dengan dunia, sebagai ganti dari akhirat ?”.
Muhammad bin Wasi ra
mengeluarkan roti kering. Lalu dibasuhkannya dengan air dan dimakannya dengan
garam, seraya mengatakan: “Siapa yang ridha dari dunia dengan ini, niscaya ia
tidak memerlukan kepada seseorang”.
Al-Hasan Al-Bashari ra berkata: “Allah mengutuk beberapa kaum
(golongan), yang telah dibagikan oleh Allah Ta’ala kepada mereka. Kemudian
tidak disedekahkannya”. Kemudian beliau bacakan: “Dan dilangit ada rezekimu dan
(juga) apa yang dijanjikan kepada kamu. Demi Tuhan langit dan bumi,
sesungguhnya ini suatu kebenaran, sebagai apa yang kamu katakan”. S 51 Adz
Dzaariyaat ayat 22-23.
Pada suatu hari, Abu Dzarr
ra duduk dalam orang banyak. Lalu datang isterinya kepadanya, seraya bertanya:
“Apakah engkau duduk diantara mereka ini? demi Allah ! tidak ada di rumah itu
yang diminum dan yang dimakan”. Abu Dzarr menjawab: “Hai wanita ini !
sesungguhnya di hadapan kita itu jalan gunung yang sukar ditempuh. Tidak
terlepas daripadanya, selain setiap orang yang memandang enteng”. Lalu isteri
Abu Dzarr itu kembali ke rumahnya dan ia ridha yang demikian”.
Dzunnun ra berkata:
“Manusia yang terdekat kepada kekufuran itu orang yang sempit hidupnya, yang
tidak sabar”. Ditanyakan kepada sebahagian ahli hikmah: “Apakah harta engkau
?”. Ahli hikmah itu lalu menjawab: “Berkeelokan pada zahir, berkesederhaan pada
batin dan tidak mengharap dari apa yang dalam tangan manusia”. Diriwayatkan,
bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman dalam sebahagian kitab-kitab yang
terdahulu, yang diturunkan kepada nabi-nabi: “Hai anak Adam ! jikalau dunia itu
seluruhnya untuk engkau, niscaya tidak adalah bagi engkau daripadanya, selain
makanan yang engkau makan. Apabila Aku berikan kepada engkau daripadanya, akan
makanan dan Aku jadikan perhitungannya atas orang lain, maka Aku berbuat baik
kepada engkau”. Dikatakan dalam rangkuman syair, tentang merasa cukup dengan
yang ada (al-qana’ah):
Berendah dirilah kepada Allah,
tidak berendah diri kepada manusia.
Dengan tiada mengharap, merasa
cukuplah,
bahwa pada tidak mengharap itu, mulia.
Merasa kayalah tanpa kaum keluarga,
dan tanpa sanak saudara.
Bahwa orang yang kaya,
ialah orang yang tidak memerlukan
kepada manusia.
Dikatakan pula sesuai dengan makna
ini:
Hai orang yang mengumpulkan, yang
tidak membelanjakan.
Dan masa itu memperhatikannya.
Yang menerka dengan menanyakan,
pintu mana yang dikuncikannya.
Yang memikirkan,
bagaimana kematian datang kepadanya.
Apa kepagian,
atau malam datang kepadanya ?
Engkau kumpulkan harta, maka katakan
kepadaku:
Adakah engkau kumpulkan karena harta
itu ?
Hai yang mengumpulkan harta !
Beberapa hari lagi engkau akan menceraikannya.
Harta padamu itu,
tersimpan untuk pewarisnya.
Tidaklah itu hartamu,
selain, hari engkau membelanjakannya.
Senangkanlah hati pemuda,
yang berpagi hari, dia percaya.
Bahwa orang yang membagi-bagikan
harta,
dia akan memperoleh rezeki daripadanya.
Harta itu terpelihara,
tiada yang mengotorkannya.
Dan yang baru itu muka,
tiada yang memburukkannya.
Sifat qana’ah itu bagi orang,
yang menghalalkan lapangannya.
Tak ada kesusahan,
pada naungannya yang menyusahkannya.
PENJELASAN: keutamaan fakir
atas kaya.
Ketahuilah kiranya, bahwa berbeda
pendapat orang tentang ini. Al-Junaid, Ibrahim Al-Khawwash dan kebanyakan para
ulama tasawwuf/ahli suffi, beraliran kepada: melebihkan fakir. Ibnu ‘Atha
berkata: “Orang
kaya yang bersyukur, yang berdiri dengan kebenarannya itu lebih utama dari
orang fakir yang sabar”. Dikatakan,
bahwa Al-Junaid mendoakan atas Ibnu ‘Atha, karena ia berlainan paham dengan
Ibnu ‘Atha dalam hal ini, maka kenalah Ibnu ‘Atha dengan bencana. Dan telah
kami terangkan yang demikian pada Kitab Sabar dan cara berlebih-kurang diantara
sabar dan syukur. Dan kami siapkan jalan mencari keutamaan pada amal dan
hal-ihwal. Dan yang demikian itu tidak mungkin, selain dengan penguraian.
Adapun fakir dan kaya,
apabila dipahami secara mutlak, niscaya tidak mendatangkan keraguan kepada
orang yang membaca hadits dan atsar tentang pengutamaan fakir. Dan tak boleh
tidak padanya daripada penguraian. Maka kami katakan: Sesungguhnya,
tergambarlah keraguan pada dua tingkat:
Pertama: fakir yang sabar, yang tidak rakus
mencari. Akan tetapi, dia bersifat merasa cukup dengan yang ada (al-qana’ah)
atau ridha, dengan dibandingkan kepada orang kaya, yang membelanja kan hartanya
pada jalan kebajikan, yang tidak rakus menahan harta.
Kedua: fakir yang rakus, bersama orang kaya
yang rakus. Karena tidaklah tersembunyi, bahwa orang fakir yang bersifat merasa
cukup dengan yang ada (al-qana’ah) itu lebih utama dari orang kaya, yang loba,
yang menahan hartanya. Dan orang kaya yang membelanjakan hartanya pada jalan
kebajikan itu lebih utama dari orang fakir yang rakus.
Adapun yang
pertama, maka
kadang-kadang disangkakan bahwa orang kaya itu lebih utama dari orang fakir.
Karena keduanya bersamaan tentang kelemahan kerakusan atas harta. Dan orang
kaya itu mendekatkan diri kepada Allah, dengan sedekah dan amal kebajikan. Dan
orang fakir itu lemah daripadanya. Dan inilah yang disangkakan oleh Ibnu ‘Atha,
menurut yang kami perkirakan. Adapun orang kaya yang bersenang-senang dengan
hartanya, walaupun pada jalan yang diperbolehkan (mubah), maka tidaklah
tergambar, bahwa ia diutamakan atas orang fakir yang bersifat merasa cukup
dengan yang ada (al-qana’ah) orang yang merasa puas seadanya (al-qani’).
Kadang-kadang disaksikan bagi yang demikian, oleh apa yang dirawikan pada
hadits, bahwa: orang-orang fakir mengadu kepada Rasulullah saw akan dahulunya orang-orang
kaya dengan amal kebajikan, sedekah, hajji dan jihad. Maka Nabi saw mengajarkan
orang-orang fakir tersebut akan kalimat-kalimat tasbih. Dan beliau menyebutkan
kepada mereka, bahwa mereka memperoleh dengan kalimat-kalimat itu, diatas apa
yang diperoleh orang-orang kaya. Lalu dipelajari oleh orang-orang kaya yang
demikian, maka mereka mengucapkannya. Lalu orang-orang fakir itu kembali kepada
Rasulullah saw dan menerangkan yang demikian kepada beliau. Maka Nabi saw
menjawab: “Yang demikian itu kurnia Allah, yang diberikanNya kepada siapa yang
dikehendakiNya”. Dan telah dibuktikan pula oleh Ibnu ‘Atha, tatkala ia
ditanyakan dari yang demikian. Lalu ia menjawab: “Kaya itu lebih utama, karena
itu sifat kebenaran”.
Adapun dalilnya yang
pertama, maka padanya ada penilikan. Karena hadits telah datang yang
menguraikan, dengan uraian yang menunjukkan kepada sebaliknya dari yang
demikian. Yaitu, bahwa pahala orang fakir pada membacakan tasbih itu melebihi
di atas pahala orang kaya. Dan kemenangan mereka dengan pahala itu kurnia
Allah, yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya.
Diriwayatkan oleh Zaid bin
Aslam dari Anas bin Malik ra yang mengatakan: “Orang-orang fakir mengutus
seorang utusan kepada Rasulullah saw. Utusan itu berkata: “Bahwa aku utusan
orang-orang fakir kepada engkau”. Nabi saw menjawab: “Selamat datang engkau dan
orang yang engkau datang dari pihak mereka, suatu golongan yang aku cintai”.
Utusan itu berkata: “Para orang fakir mengatakan: “Wahai Rasulullah ! bahwa
orang-orang kaya itu menjalani kebajikan. Mereka mengerjakan hajji dan kami
tidak sanggup mengerjakannya. Mereka mengerjakan umrah dan kami tidak sanggup
mengerjakannya. Dan apabila mereka itu sakit, mereka mengutuskan dengan
kelebihan harta mereka, akan simpanan amal bagi mereka”. Lalu Nabi saw
menjawab: “Sampaikanlah kepada orang-orang fakir itu daripadaku, bahwa bagi
orang yang sabar daripada kamu dan berbuat karena Allah, mempunyai 3 perkara,
yang tidak ada bagi orang-orang kaya. Adapun perkara yang satu, maka sesungguhnya dalam sorga itu kamar-kamar yang
dipandang kepadanya oleh penghuni sorga, sebagaimana penghuni bumi memandang
kepada bintang-bintang di langit, yang tiada masuk ke dalam sorga itu, selain
nabi yang fakir atau orang syahid yang fakir atau orang mu’min yang fakir. Dan yang kedua: orang-orang fakir itu masuk sorga
sebelum orang-orang kaya dengan ½ hari. Yaitu: 500 tahun. Dan yang ketiga: apabila
orang kaya membaca: “Maha Suci Allah, segala pujian bagi Allah, tiada yang
disembah, selain Allah dan Allah Maha Besar”. Dan orang fakir membacakan
seperti yang demikian, niscaya orang kaya itu tidak disamakan dengan orang
fakir. Dan walaupun ia membelanjakan padanya 10 ribu dirham. Dan seperti itu
juga amal-amal kebajikan seluruhnya”. Maka utusan itu kembali kepada orang-orang
fakir yang mengutusnya. Dan menerangkan kepada mereka, apa yang dikatakan oleh
Rasulullah saw. Lalu orang-orang fakir itu menjawab: “Kami rela, kami rela”.
Maka ini menunjukkan, bahwa sabda Nabi saw: “Yang demikian itu kurnia Allah,
yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Artinya: bertambahnya
pahala orang-orang fakir atas dzikir mereka.
Adapun kata Ibnu ‘Atha:
bahwa kayu itu sifat Al-Haqq (Tuhan Yang Maha benar), maka telah dijawab oleh
sebahagian syaikh, yang mengatakan: “Adakah engkau berpendapat bahwa Allah
Ta’ala itu kaya dengan sebab-sebab dan sifat-sifat ? maka terputuslah Ibnu
‘Atha perkataannya dan tidak sanggup menjawab”. Ulama yang lain menjawab dengan
mengatakan: “Bahwa takabbur (membesarkan diri) itu termasuk sifat-sifat
Al-Haqq, maka seyogyalah menjadi lebih utama dari tawadlu’ (merendahkan diri)”.
Kemudian mereka tu menyambung lagi: “Akan tetapi, ini menunjukkan bahwa fakir
itu lebih utama. Karena sifat-sifat kehambaan itu lebih utama bagi hamba.
Seperti: takut dan harap. Dan tiada seyogyalah sifat-sifat ketuhanan itu
dipertengkarkan. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman, menurut apa yang
diriwayatkan oleh Nabi kita saw daripadaNya: “Kebesaran itu selendangKu dan
keagungan itu kain sarungKu. Maka siapa yang bertengkar dengan Aku pada salah
satu daripadanya, niscaya Aku patahkan dia”.
Sahal berkata: “Cinta kepada kemuliaan dan
kekekalan itu syirik (kesekutuan) pada ketuhanan dan pertengkaran padanya.
Karena keduanya itu termasuk sifat Tuhan Yang Maha Tinggi”. Dari jenis ini,
mereka memperkatakan pada melebihkan kaya dan fakir. Dan hasilnya yang demikian
itu menyangkut dengan keumuman yang menerima penta’wilan (penafsiran). Dan
dengan kalimat-kalimat yang pendek, yang tidak jauh pertentangannya. Karena,
sebagaimana bertentangan perkataan orang, yang melebihkan kaya, disebabkan
sifat Al-Haqq dengan takabbur, maka seperti demikian juga, bertentangan
perkataan orang yang mencela kaya. Karena sifat hamba, dengan ilmu dan ma’rifah
itu, sesungguhnya sifat Tuhan Yang Maha Tinggi. Bodoh dan lengah itu sifat
hamba. Dan tidaklah bagi seseorang, bahwa melebihkan lengah atas ilmu. Maka
menyingkapkan tutup dari ini, ialah apa yang telah kami sebutkan pada Kitab
Sabar. Yaitu: bahwa apa yang tidak dimaksudkan bagi benda itu sendiri, akan
tetapi dimaksudkan untuk yang lain, maka seyogyalah bahwa disandarkan kepada
maksudnya. Karena dengan demikian, lahirlah keutamaannya. Dan dunia itu
tidaklah ditakutkan bagi diri dunia itu sendiri. Akan tetapi, karena dunia itu
menghalangi sampai kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah fakir itu dicari karena
sifat fakir itu sendiri. Akan tetapi, karena pada fakir itu tidak ada yang
menghalangi kepada Allah Ta’ala dan tidak ada yang membimbangkan kepadaNya. Dan
banyak orang kaya, yang tidak dibimbangkan oleh kekayaan dari mengingati Allah
‘Azza Wa Jalla. Seperti nabi Sulaiman as. Usman bin Affan dan Abdurrahman bin
‘Auf ra. Dan berapa banyak orang fakir, yang dibimbangkan oleh kefakiran dan
memaling kannya dari maksud. Dan tujuan maksud dalam dunia, ialah mencintai
Allah Ta’ala dan menjinakkan hati kepadaNya. Dan tidak ada yang demikian itu,
selain sesudah mengenaliNya. Dan menempuh jalan mengenaliNya itu serta dengan
kebimbangan-kebimbangan tidak mungkin. Dan kefakiran itu kadang-kadang termasuk
sebahagian yang membimbangkan, sebagaimana kaya kadang-kadang termasuk
sebahagian dari yang membimbangkan. Dan yang membimbangkan itu sesungguhnya
adalah kecintaan kepada dunia. Karena, tidak berkumpul serta kecintaan kepada
dunia akan kecintaan kepada Allah dalam hati. Dan orang yang mencintai sesuatu
itu disibukkan oleh yang dicintainya. Baik waktu ia berpisah dengan yang
dicintai itu atau pada waktu ada hubungannya. Kadang-kadang kesibukan dengan
yang dicintai pada waktu berpisah itu lebih banyak. Dan kadang-kadang kesibukan
pada waktu ada hubungannya itu lebih banyak. Dan dunia itu mengasyikkan bagi
orang-orang yang lalai, yang tidak memperolehnya dan sibuk mencarinya. Dan
orang yang sanggup memperoleh dunia itu sibuk memeliharanya dan
bersenang-senang dengan dia.
Jadi, kalau anda umpamakan, orang kaya dan
orang miskin itu kosong hatinya daripada mencintai harta, dimana harta itu pada
keduanya sama seperti air, niscaya samalah antara orang yang tidak mendapat
dengan orang yang mendapat. Karena masing-masing tidak bersenang-senang
melainkan sekadar hajat/keperluan. Dan adanya sekadar hajat itu lebih utama
daripada tidak adanya. Karena orang yang lapar itu menjalani jalan mati. Tidak
jalan ma’rifah. Dan kalau anda mengambil urusan dengan memandang yang lebih
besar, maka orang fakir itu lebih jauh dari bahaya. Karena fitnah kesenangan
lebih berat dari fitnah kemelaratan. Dan dari terpeliharanya diri itu adalah
tidak dapat disanggupi seluruhnya. Dan karena itulah para sahabat berkata:
“Kami dicoba dengan fitnah kemelaratan, maka kami sabar. Dan kami dicoba dengan
fitnah kesenangan, maka kami tidak sabar”. Ini adalah kejadian anak Adam
seluruhnya, kecuali sedikit yang jarang terjadi, yang tidak diperoleh pada
banyak waktu, selain sangat sedikit. Dan tatkala ucapan agama adalah untuk
semua, tidak kepada yang jarang terjadi dan kemelaratan itu lebih pantas untuk
semua, tidak yang jarang terjadi itu, maka agama mencegah dari kekayaan dan
mencelanya. Mengutamakan kemiskinan dan memujikannya. Sehingga Isa Al-Masih as
berkata: “Janganlah kamu memandang kepada harta penduduk dunia ! sesungguhnya
kilat harta mereka akan hilang dengan cahaya imanmu”.
Sebahagian ulama berkata: “Berbalik-baliknya
harta itu menghisap kemanisan iman”. Tersebut pada hadits: “Setiap umat itu
mempunyai anak lembu. Dan anak lembu umat ini dinar dan dirham”. Asalnya anak
lembu kaum Musa itu dari pakaian emas dan perak juga. Dan samanya harta dan
air, emas dan batu itu tergambar bagi nabi-nabi as dan wali-wali. Kemudian
sempurnalah bagi mereka yang demikian, sesudah kurnia Allah Ta’ala dengan
lamanya mujahadah/ bersungguh‑sungguh. Karena nabi saw mengatakan kepada dunia:
“Kepada engkau, yang jauh dari aku”. Karena dunia itu meng-rupakan dirinya bagi
Nabi saw dengan perhiasannya.
Adalah Ali ra berkata:
“Hai yang kuning ! tipulah selain aku ! hai yang putih ! tipulah selain aku !”.
Yang demikian itu, karena Nabi saw merasakan pada dirinya, tampak
permulaan-permulaan ketertipuan dengan dunia itu. Kalau tidak ia melihat bukti
dari Tuhannya. Dan yang demikian itu, ialah kaya mutlak. Karena Nabi saw
bersabda: “Tidaklah kaya dari banyaknya harta benda. Sesungguhnya kaya itu kaya
jiwa”. Apabila yang demikian itu jauh dari kejadian, maka yang penting bagi
umumnya makhluk, ialah: tidak adanya harta, walaupun mereka bersedekah dan
menyerahkan kepada jalan kebajikan dari harta itu. Karena mereka tidak terlepas
pada kemampuan atas harta, dari kejinakan hati dengan dunia, bersenang-senang
dengan kemampuan atas dunia dan merasakan kesenangan dengan pemberian dunia.
Semua itu mengwarisi kejinakan hati dengan alam ini. Dan dengan kadar apa yang
menjadi kejinakan hati hamba dengan dunia itu, meliarkan hatinya dari akhirat.
Dan dengan kadar apa yang menjinakkan hati hamba, dengan salah satu dari
sifat-sifatnya, selain sifat ma’rifah(mengenal ilmu Allah) kepada Allah itu,
meliarkan hatinya dari Allah dan dari mencintaiNya. Dan manakala terputuslah
sebab-sebab kejinakan hati dengan dunia, niscaya longgarlah hati dari dunia dan
kembangnya. Dan hati, apabila longgar pada selain dari Allah Ta’ala dan ia
beriman dengan Allah, niscaya pasti hati itu berpaling kepada Allah. Karena
tidak tergambar bahwa hati itu kosong. Dan tidak ada pada wujud ini, selain
Allah dan yang lain dari Allah. Maka siapa yang
menghadap kan dirinya, kepada selain
Allah, niscaya kosong hatinya dari Allah. Dan adalah menghadapnya
hati kepada salah satu dari keduanya itu, menurut kadar kosongnya dari yang
satu lagi. Dan mendekatnya hati kepada salah satu dari keduanya, adalah menurut
jauhnya dari yang satu lagi. Contohnya ialah seperti: masyrik (tempat terbit
matahari) dan maghrib (tempat terbenam matahari). Keduanya itu dua arah. Maka
orang yang bulak-balik diantara keduanya, dengan kadar yang dekat dari salah
satu dari keduanya itu menjauh dari yang lain. Bahkan diri kedekatan dari salah
satu itulah diri kejauhan dari yang satu lagi. Maka diri kecintaan kepada dunia
itulah diri kemarahan kepada Allah Ta’ala.
Maka seyogyalah bahwa
penghalauan pandangan orang yang mengenal hatinya itu pada membujangnya (tidak
mengawinkan) hati dengan dunia dan menjinakkannya. Jadi, kelebihan orang fakir
dan orang kaya itu menurut menyangkut hati keduanya dengan harta saja. Kalau
keduanya sama tentang harta, niscaya derajat keduanya sama. Selain ini
tergelincirnya tapak kaki dan tempat ketipuan. Sesungguhnya orang kaya
kadang-kadang disangka, bahwa hatinya terputus dari harta. Dan cintanya kepada
harta itu terkubur dalam batiniyahnya. Dan ia tidak merasakannya. Hanya ia
rasakan yang demikian, apabila harta itu tidak dimilikinya lagi. Maka hendaklah
ia mencoba dirinya dengan membagi-bagikan harta itu atau apabila hartanya
dicuri orang. Maka kalau didapatinya hatinya berpaling kepada harta itu, maka
tahulah dia bahwa dia itu tertipu. Berapa banyak orang yang menjual gundiknya.
Karena disangkanya bahwa hatinya terputus dari gundik itu. Maka sesudah berlaku
penjualan dan penyerahan budak wanitanya itu, lalu menyalalah dari hatinya api,
yang tadinya tenang dalam hatinya. Maka yakinlah dia bahwa dia itu adalah
tertipu. Dan kerinduan itu tersembunyi dalam hati, seperti tersembunyinya api
di bawah abu. Dan ini adalah keadaan setiap orang kaya, selain nabi-nabi dan
wali-wali.
Apabila yang demikian itu
mustahil atau jauh dari kejadian, maka marilah kita katakan secara mutlak,
bahwa fakir itu lebih patut bagi umumnya makhluk dan lebih utama. Karena
hubungan orang fakir dan jinak hatinya kepada dunia itu lebih lemah. Dan dengan
kadar kelemahan hubungannya itu bergandalah pahala ucapan tasbihnya dan
ibadah-ibadahnya. Bahwa gerakan lidah itu tidaklah dimaksudkan, untuk gerakan
itu sendiri. Akan tetapi supaya kokoh dengan gerakan itu kejinakan hati dengan
yang disebutnya. Dan tidak ada pembekasannya pada mengobarkan kejinakan dalam
hati yang kosong, tanpa penyebutan, seperti pembekasannya pada hati yang sibuk.
Dan karena itulah, sebahagian salaf berkata: “Seperti orang yang beribadah dan
dia itu pada mencari dunia adalah seperti orang yang memadamkan api dengan
pelepah kurma. Dan seperti orang yang membasuh tangannya dari lemak dengan
ikan”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra
berkata: “Bernafsunya orang fakir tanpa keinginan yang tidak disanggupinya
adalah lebih utama dari ibadah orang kaya 1000 tahun”. Dari Adh-Dhahhak yang
mengatakan: “Siapa yang masuk ke pasar, lalu melihat sesuatu yang diingininya,
maka ia sabar dan berniat karena Allah, niscaya lebih baik baginya dari 1000
dinar yang dibelanjakannya seluruhnya pada jalan Allah Ta’ala”.
Seorang laki-laki berkata
kepada Basyar bin Al-Harits ra: “Berdoalah kepada Allah bagiku ! dan aku telah
dimelaratkan oleh keluargaku”. Basyar bin Al-Harits menjawab: “Apabila
keluargamu mengatakan kepadamu: “Tidak ada pada kami tepung dan roti, maka
berdoalah kepada Allah bagiku pada waktu itu. Sesungguhnya doamu lebih utama
dari doaku”. Basyar mengatakan: “Orang kaya yang beribadah itu seperti kebun di
atas sampah. Dan orang fakir yang beribadah itu seperti ikatan mutiara pada
leher wanita cantik”. Mereka itu tidak suka mendengar ilmu ma’rifah dari
orang-orang kaya.
Dan Abubakar Ash-Shiddiq
ra berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! aku bermohon pada Engkau akan kehinaan pada
keinsafan dari diriku dan akan zuhud pada apa yang melampaui kecegahan diri
dari meminta bantuan orang”. Apabila ada seperti Abubakar Ash-Shiddiq ra dalam
kesempurnaan hal-keadaannya, menjaga diri dari dunia dan dari wujudnya dunia,
maka bagaimana diragukan tentang tidak adanya harta itu lebih patut dari adanya
? ini serta yang terbaik hal-ihwal orang kaya itu, bahwa ia mengambil yang
halal dan membelanjakan yang baik. Dan dalam pada itu, hitungan amalnya panjang
di lapangan kiamat dan lama penungguannya. Dan orang yang diperdebatkan
hitungan amalnya, sesungguhnya dia itu sudah diazabkan. Dan karena inilah,
terkemudian Abdurrahman bin ‘Auf ke sorga. Karena ia disibukkan dengan hitungan
amal, sebagaimana yang dilihat oleh Rasulullah saw. Dan karena inilah,
Abud-Darda ra berkata: “Aku tidak menyukai mempunyai toko di pintu masjid. Dan
tidak disalahkan aku padanya, oleh shalat dan dzikir. Dan aku beruntung setiap
hari 50 dinar. Dan aku bersedekah dengan uang itu pada jalan Allah Ta’ala”.
Beliau ditanyakan: “Apakah yang engkau tidak sukai ?. Abud-Darda ra menjawab:
“Tidak baik hitungan amal (hisab)”. Karena itulah, Sufyan ra berkata:
“Orang-orang fakir itu memilih 3 perkara dan orang-orang kaya memilih 3
perkara. Orang fakir memilih kesenangan jiwa, kekosongan hati dan keringanan
hisab amalan. Dan orang-orang kaya memilih: kepayahan jiwa, kesibukan hati dan
kesulitan hisab amalan”. Apa yang disebutkan Ibnu ‘Atha, bahwa kaya itu sifat
Al-Haqq, lalu dengan sebab demikian menjadi lebih utama, adalah benar. Akan
tetapi, apabila hamba itu kaya dari adanya dan tidak adanya harta, dengan sama
padanya yang dua itu. Adapun apabila ia kaya dengan adanya harta dan berhajat
kepada kekalnya harta itu, maka tiadalah menyerupai kayanya itu dengan kayanya
Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala kaya dengan zatNya. Tidak dengan apa yang
tergambar hilangnya. Dan harta itu tergambar hilangnya dengan dicuri orang. Dan
apa yang disebutkan tentang penolakan atas Ibnu ‘Atha, bahwa Allah tidaklah
kaya dengan sifat-sifat dan sebab-sebab itu, benar tentang tercelanya orang
kaya yang menghendaki kekalnya harta. Dan apa yang disebutkan, bahwa
sifat-sifat Al-Haqq itu tidak layak dengan hamba itu tidak benar. Bahkan ilmu
itu sebahagian dari sifat-sifatNya. Dan ilmu itu sesuatu yang lebih utama bagi
hamba. Bahkan kesudahan hamba itu, bahwa ia berakhlak dengan akhlak Allah
Ta’ala. Aku mendengar sebahagian syaikh berkata: “Bahwa orang yang menempuh
jalan kepada Allah Ta’ala, sebelum ia menjalani seluruh jalan itu, jadilah nama-nama
99 itu sifat baginya. Artinya: ada baginya keuntungan dari setiap satu
sifat-sifat itu. Adapun takabur, maka tidak layak dengan hamba.
Sesungguhnya takabur atas orang yang ia tidak
berhak takabur atasnya, maka tidaklah itu dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Adapun
takabur atas orang, yang ia berhak takabur atas orang itu, seperti takaburnya
orang mu’min atas orang kafir, takaburnya orang berilmu atas orang bodoh dan
takaburnya orang taat atas orang maksiat, maka layaklah dengan hamba. Benar,
kadang-kadang dimaksudkan dengan takabur itu kemegahan, keheranan diri dan
menyakitkan orang. Dan tidaklah itu dari sifat Allah Ta’ala. Dan sifat Allah
itu, bahwa ALLAH maha besar dari setiap sesuatu. Dan ALLAH tahu, bahwa ALLAH seperti
yang demikian. Dan hamba itu disuruh, bahwa ia mencari tingkat tertinggi, kalau
ia sanggup. Akan tetapi, dengan yang benar, sebagaimana benarnya. Tidak dengan
batil/salah dan penipuan. Hamba itu harus tahu, bahwa orang mu’min lebih besar
dari orang kafir. Orang taat lebih besar dari orang maksiat. Dan orang berilmu
lebih besar dari orang bodoh. Dan manusia lebih besar dari hewan, benda beku
dan tumbuh-tumbuhan. Dan lebih dekat kepada Allah Ta’ala, dibandingkan dengan
benda-benda itu. Kalau manusia itu melihat dirinya dengan sifat tersebut,
dengan penglihatan yang benar, yang tak ada keraguan, niscaya adalah sifat
takabur itu yang berhasil, yang layak dan keutamaan baginya. Hanya, ia tidak
mempunyai jalan kepada mengetahuinya. Yang demikian itu terhenti diatas
kesudahan (al-khatimah). Dan insan itu tidak mengetahui akan al-khatimah/kesudahan,
bagaimanapun adanya. Dan bagaimanapun kesesuaiannya. Maka karena bodohnya
dengan yang demikian, niscaya wajiblah ia tidak beri’tikad/berkeyakinan bagi
dirinya, tingkat di atas tingkat kafir. Karena, kadang-kadang disudahkan bagi
orang kafir itu dengan iman. Dan kadang-kadang disudahkan baginya dengan kufur.
Maka tidaklah yang demikian itu layak baginya. Karena singkat ilmunya untuk
mengetahui akan akibat sesuatu. Tatkala dapat tergambar, bahwa diketahui
sesuatu itu menurut apa adanya, niscaya adalah ilmu itu sempurna padanya.
Karena ilmu itu pada sifat-sifat Allah Ta’ala.
Dan manakala mengetahui sebahagian dari sesuatu itu kadang-kadang mendatangkan
melarat, niscaya jadilah ilmu itu suatu kekurangan padanya. Karena, tidaklah
dari sifat-sifat Allah Ta’ala ilmu yang mendatangkan melarat bagiNya. Maka
mengetahui segala hal yang tidak melarat, itulah yang tergambar pada hamba dari
sifat-sifat Allah Ta’ala. Maka tidak ragu lagi, itulah kesudahan keutamaan. Dan
dengan yang demikian, kelebihan nabi-nabi, wali-wali dan alim ulama. Jadi,
kalau sama padanya, adanya harta dan tidak adanya harta, maka ini semacam kaya
yang menyerupai dengan salah satu segi, dengan kaya yang disifatkan oleh Allah
swt. Maka itu suatu keutamaan. Adapun kaya dengan adanya harta, maka tak ada
sekali-kali keutamaan padanya. Itulah penjelasan bandingan keadaan orang fakir
yang bersifat merasa cukup dengan yang ada (al-qana’ah), dengan orang kaya yang
bersyukur.
Tingkat kedua: penjelasan bandingan keadaan orang
fakir yang loba dengan keadaan orang kaya yang loba. Marilah kita umpamakan ini
pada satu orang. Dia mencari harta, berusaha dan hilang harta itu. Kemudian,
diperolehnya kembali. Maka orang ini mempunyai keadaan ketiadaan harta dan keadaan
adanya harta. Maka keadaan manakah diantara dua keadaannya itu yang lebih utama
? Kami jawab: bahwa harus kita pertanyakan. Yaitu: kalau yang dicarikan itu
barang yang tak boleh tidak dalam penghidupan dan maksudnya akan menempuh jalan
agama dan memperoleh pertolongan kepada agama, maka keadaan adanya itu lebih
utama. Karena fakir itu menyibukkannya disebabkan mencari. Dan orang yang
mencari makanan sehari-hari itu tidak mampu berpikir dan berdzikir, selain
kemampuan yang dimasukkan dengan kesibukan. Dan orang yang memadakan
(menganggap cukup) berapa yang dapat, itulah yang mampu. Karena itulah Nabi saw
bersabda: “Ya Allah Tuhanku ! jadikanlah makanan hari-hari keluarga Muhammad
itu tidak menyandarkan kepada orang”. Dan sabda Nabi saw: “Hampirlah fakir itu
menyebabkan kufur”. Artinya: fakir yang sangat memerlukan pada apa yang tak
boleh tidak. Kalau yang dicari itu di atas hajat keperluan atau yang dicari itu
sekedar keperluan, akan tetapi tiada maksudnya untuk memperoleh pertolongan
kepada menempuh jalan agama, maka keadaan fakir itu lebih utama dan lebih
layak. Karena dua hal tadi sama tentang loba dan cinta harta. Dan sama tentang
masing-masing daripadanya, tidak dimaksudkan memperoleh pertolongan kepada
jalan agama. Dan keduanya sama, bahwa masing-masing daripadanya tidak
mendatangkan maksiat disebabkan fakir dan kaya. Akan tetapi keduanya berbeda,
tentang yang memperoleh harta itu, hatinya jinak dengan apa yang diperolehnya.
Lalu kokohlah kecintaan kepada harta dalam hatinya. Dan ia merasa tentram kepada
dunia. Dan orang yang tidak memperolehnya, yang sangat memerlukan itu, jauhlah
hatinya dari dunia. Dan adalah dunia padanya, seperti penjara yang dicarinya
kelepasan daripadanya. Manakala segala keadaan seluruhnya itu sama dan keluar
dari dunia dua orang laki-laki, yang seorang sangat condong kepada dunia, maka
keadaannya pasti lebih berat. Karena hatinya berpaling kepada dunia dan merasa
liar dari akhirat, menurut kadar kekokohan kejinakannya dengan dunia. Nabi saw
bersabda: “Bahwa Ruhul-kudus (Jibril as) meludahkan dalam hatiku: cintailah
siapa yang engkau cintai. Sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia”. Ini
pemberitahuan, bahwa berpisah dengan yang dicintai itu berat. Maka seyogyalah
bahwa engkau cintai yang tidak akan berpisah dengan engkau. Yaitu: Allah
Ta’ala. Dan tidak engkau mencintai yang akan berpisah dengan engkau. Yaitu: dunia.
Apabila engkau mencintai
dunia, niscaya engkau tidak suka menemui Allah Ta’ala. Maka adalah kedatangan
engkau dengan mati itu, kepada apa yang tiada engkau sukai. Dan perpisahan
engkau dengan apa yang engkau cintai. Dan setiap orang yang berpisah dengan yang dicintai, maka adalah
sakitnya pada perpisahannya itu menurut kadar kecintaannya dan kadar kejinakan
hatinya kepada yang dicintai. Kejinakan hati orang yang memperoleh dunia, yang
menguasainya itu lebih banyak dari kejinakan hati orang yang tiada
memperolehnya, walaupun ia mengharapkan betul kepadanya. Jadi, telah tersingkap
dengan pentahkikan ini, bahwa fakir itu lebih mulia, lebih utama dan lebih patut
bagi seluruh makhluk, selain pada dua tempat:
Pertama: kaya, seperti kayanya ‘Aisyah, yang
sama padanya ada dan tidak adanya harta. Maka adanya harta itu menambahkan bagi
harta. Karena diperoleh faedah terkabulnya doa orang-orang fakir dan miskin dan
terkumpullah cita-cita mereka.
Kedua: fakir dari kadar yang perlu. Yang
demikian ini hampir membawa kepada kufur. Dan tak ada kebajikan padanya, dengan
segi manapun. Selain apabila adanya itu meneruskan hidupnya. Kemudian, mendapat
pertolongan dengan makanan dan hidupnya itu kepada menjauhkan kufur dan
maksiat. Dan kalau ia mati dalam keadaan lapar, niscaya adalah maksiatnya itu
berkurang. Maka yang lebih baik baginya, bahwa ia mati dalam keadaan lapar. Dan
ia tidak memperoleh apa yang sangat diperlukannya juga. Maka inilah penguraian
pembicaraan tentang: kaya dan fakir. Dan masih dipertanyakan, mengenai orang
fakir yang loba, yang bersungguh-sungguh mencari harta. Tiada cita-citanya
selain itu. Dan mengenai orang kaya, yang kurang dari itu, tentang kelobaannya pada
menjaga harta. Dan tak ada kesakitannya dengan ketiadaan harta, kalau tidak
dipunyainya, seperti kesakitannya orang fakir dengan kefakirannya. Maka ini
pada tempat yang dipertanyakan. Yang lebih jelas, bahwa kejauhan keduanya dari
Allah Ta’ala itu, menurut kadar kesakitannya karena ketiadaan harta. Dan
kedekatannya itu menurut kadar lemah kesakitannya dengan ketiadaan harta.
PENJELASAN: adab sopan orang
fakir pada kefakirannya.
Ketahuilah, bahwa orang fakir itu
mempunyai adab-sopan pada batinnya dan zahirnya, perbauran nya dan
perbuatannya, yang seyogyalah dipeliharakannya. Adapun adab sopan batinnya,
bahwa tidak ada padanya kebencian kepada kefakiran yang dicobakan oleh Allah
Ta’ala kepadanya. Yakni: bahwa ia tidak benci akan perbuatan Allah Ta’ala, dari
segi itu perbuatanNya. Walaupun ia benci kepada kefakiran. Seperti orang yang
dibekam, yang benci kepada pembekaman, karena merasa sakit. Dan tidak benci
akan perbuatan si pembekam dan kepada si pembekam sendiri. Bahkan kadang-kadang
memperoleh nikmat daripadanya. Ini derajat yang paling kurang. Dan itu wajib.
Dan lawannya itu haram dan membatalkan pahala kefakiran.
Dan itulah makna sabda
Nabi saw: “Hai kumpulan orang-orang fakir ! berikanlah keridhaan kepada Allah
dari hatimu ! niscaya kamu peroleh pahala kefakiranmu. Jikalau tidak, maka
engkau tidak memperolehnya”. Yang paling tinggi dari ini, bahwa ia tidak benci
kepada kefakiran. Bahkan, ia meridhainya. Yang lebih dari itu lagi, bahwa ia
mencarinya dan bergembira dengan memperolehinya. Karena ia tahu dengan
tipuan-tipuan kaya. Dan ia bertawakkal pada batinnya kepada Allah Ta’ala. Dan
ia percaya bahwa sekadar perlu, pasti Allah akan memberikannya. Dan ia tidak
suka kepada kelebihan dengan bersandar kepada pemberian orang. Ali ra berkata:
“Bahwa Allah Ta’ala mempunyai siksaan-siksaan dengan kefakiran dan
pahala-pahala dengan kefakiran”.
Diantara tanda-tanda
kefakiran apabila memperoleh pahala, ialah: baik akhlaknya, mentaati Tuhannya,
tiada mengadukan halnya dan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kefakirannya.
Diantara tanda-tandanya apabila mendapat siksaan, ialah: buruk akhlaknya,
mendurhakai Tuhannya dengan meninggalkan taat, membanyakkan pengaduan dan marah
dengan qodo’ (ketetapan taqdir)Nya. Ini menunjukkan, bahwa setiap orang fakir itu tidak dipujikan.
Tetapi yang dipuji, yang tidak marah dan ridha. Atau gembira dengan kefakiran
dan ridha, karena diketahuinya dengan hasil kefakiran. Karena dikatakan: “Tidak
diberikan kepada hamba akan sesuatu dari dunia, melainkan dikatakan kepadanya:
ambillah di atas 3/3: sibuk, sudah hati dan lama perhitungan amal.
Adapun adab sopan
zahiriyahnya, bahwa ia melahirlan penjagaan diri dan memperelokkannya. Tidak
melahirkan pengaduan dan kefakiran. Akan tetapi, ia menutupkan kefakirannya dan
menutupkan, bahwa ia menutupinya. Maka tersebut pada hadits: “Sesungguhnya
Allah Ta’ala menyukai orang fakir yang menjaga diri, bapak keluarga”. Allah
Ta’ala berfirman: “Orang yang tidak tahu, mengira bawha mereka masih mampu,
karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta)”. S 2 Al-Baqarah ayat 273.
Sufyan Ats-Tsuri ra
berkata: “Amal yang paling utama ialah menampakkan baik ketika cobaan”.
Sebahagian mereka mengatakan: “Menutup kefakiran itu sebahagian dari gudang
kebajikan”. Adapun tentang amal perbuatan orang fakir, maka adab sopannya,
ialah: ia tidak merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya. Bahkan
ia menyombong atas orang kaya itu.
Ali ra berkata: “Alangkah
baiknya merendahkan diri orang kaya kepada orang fakir, karena ingin pahala
dari Allah Ta’ala. Dan yang terbaik dari itu, ialah: menyombongkan diri orang
fakir kepada orang kaya, karena percaya kepada Allah Ta’ala”. Inilah suatu
pangkat. Dan yang lebih kurang dari itu, ialah: tidak bercampur baur dengan
orang-orang kaya. Dan tidak ingin duduk-duduk dengan mereka. Karena yang demikian
itu termasuk dasar kelobaan.
Sufyan Ats-Tsuri ra
berkata: “Apabila orang fakir bercampur baur dengan orang-orang kaya, maka
ketahuilah, bahwa orang fakir itu orang yang ria (memperlihatkan diri
seolah-olah orang kaya). Dan apabila bercampur baur dengan penguasa (sultan),
maka ketahuilah, bahwa dia itu maling”. Sebahagian orang-orang arifin berkata:
“Apabila orang fakir itu bercampur baur dengan orang-orang kaya, niscaya
terlepaslah tali kemiskinannya. Apabila ia loba pada orang-orang kaya, niscaya
terputuslah keterpeliharaan dirinya. Dan apabila ia berketetapan hati kepada
orang-orang kaya, niscaya sesatlah dia”.
Seyogyalah tidak didiamkan
dari menyebutkan kebenaran, karena berminyak-minyak air kepada orang-orang kaya
dan mengharap pemberian mereka. Adapun adab sopan orang fakir pada
perbuatannya, maka ia tidak lumpuh dengan sebab kefakiran dari ibadah. Dan
tidak mencegah memberikan yang sedikit dari apa yang berlebihan. Maka yang
demikian itu usaha orang yang sedikit berpunya. Dan keutamaannya itu lebih banyak
dari harta banyak, yang diberikan orang kaya yang tampak kekayaannya.
Diriwayatkan Zaid bin
Aslam, yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Sedirham sedekah itu lebih
utama pada sisi Allah, dari 100 ribu dirham”. Lalu ditanyakan: “Bagaimana demikian,
wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Seorang laki-laki mengeluarkan dari
harta bendanya 100 ribu dirham. Lalu disedekahkannya dengan uang itu. Dan
seorang laki-laki mengeluarkan sedirham dari uangnya dua dirham, yang tidak
dimilikinya selain dari itu, yang baik jiwanya dengan yang demikian. Maka yang
punya sedirham itu lebih utama dari yang punya 100 ribu”. Seyogyalah tidak
disimpankan harta. Akan tetapi diambil sekadar hajat keperluan dan sisanya
dikeluarkan. Pada menyimpan itu 3 tingkat:
Pertama: bahwa tidak disimpan, selain untuk
sehari dan malamnya. Yaitu: tingkat orang-orang shiddiqin.
Kedua: bahwa disimpan untuk 40 hari. Maka yang lebih
dari itu termasuk dalam panjang angan-angan. Para ulama memahamkan yang
demikian dari janji Allah Ta’ala kepada Musa as. Maka dipahami daripadanya,
akan keringanan pada angan-angan hidup untuk 40 hari. Dan ini tingkat
orang-orang muttaqin (artinya ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa
padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya)
Ketiga: bahwa
disimpan untuk setahun. Dan ini tingkat yang terjauh. Yaitu: tingkat
orang-orang shalih.
Siapa yang menyimpan dari ini, maka
itu jatuh dalam gelombang umum, di luar dari tempat khusus secara keseluruhan.
Maka kayanya orang shalih, yang lemah itu pada menentramkan hatinya pada
makanan setahunnya. Kayanya orang khusus pada 40 hari dan kayanya orang khusus
yang lebih khusus pada sehari-semalam. Dan Nabi saw telah membagi
isteri-isterinya seperti bahagian-bahagian ini. Sebahagian para isteri itu
diberikan Nabi saw kepadanya makanan setahun ketika diperoleh apa yang
dihasilkan. Sebahagian mereka makanan 40 hari. Dan sebahagian mereka untuk
sehari semalam. Dan itu bahagian ‘Aisyah dan Hafshah.
PENJELASAN: adab sopan orang
fakir pada menerima pemberian orang, apabila datang kepadanya, tanpa diminta.
Seyogyalah bahwa orang fakir itu
memperhatikan mengenai apa yang datang kepadanya, akan 3 perkara: diri harta,
maksud pemberi dan maksud pada mengambil. Adapun diri harta itu, maka
seyogyalah bahwa harta itu halal, terlepas dari segala hal-hal yang diragukan
halalnya. Kalau ada padanya syubhat (diragukan), maka hendaklah dijaga daripada
mengambilnya. Dan telah kami sebutkan pada Kitab Halal dan Haram,
tingkat-tingkat syubhat (diragukan), apa yang wajib dijauhkan dan apa yang
disunatkan. Adapun maksud si pemberi, maka tidak terlepas, adakala maksudnya
itu membaikkan hatinya dan mencari kasih sayang kepadanya. Yaitu: hadiah. Atau
maksudnya mencari pahala. Yaitu: sedekah dan zakat. Atau maksudnya untuk
disebut orang, ria dan kedengaran baik kepada orang (menjadi terkenal).
Adakalanya semata-mata maksud tadi dan adakalanya bercampur dengan
maksud-maksud yang lain.
Adapun yang pertama, yaitu: hadiah, maka tiada mengapa
menerimanya. Menerima hadiah itu sunnah Rasulullah saw. Akan tetapi, seyogyalah
bahwa tak ada padanya dibangkit-bangkit. Kalau ada padanya dibangkit-bangkit,
maka yang lebih utama, meninggalkan menerima hadiah itu. Kalau diketahui, bahwa
sebahagian hadiah itu besar bangkit-bangkitan, maka hendaklah ditolak yang
sebahagian itu, tidak yang sebahagian lagi. Telah dihadiahkan kepada Rasulullah
saw: minyak samin, keju dan kibasy/anak kambing. Maka beliau menerima minyak
samin dan keju. Dan menolak kibasy. Adalah Rasulullah saw menerima dari
sebahagian manusia dan menolak dari sebahagian yang lain. Dan bersabda: “Aku
bercita-cita bahwa aku tidak menerima hadiah, selain dari orang Quraisy atau suku
Bani Tsaqif atau orang anshar atau orang Dus”. Dan diperbuat seperti itu, oleh
segolongan orang-orang tabi’in (angkatan sesudah sahabat). Dibawa orang sebuah
pundi uang kepada Fathul-Maushuli, yang isinya 50 dirham. Maka Fathul-Maushuli
berkata: “Diceritakan ‘Atha kepada kami, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa datang kepadanya rezeki, tanpa diminta, lalu ditolaknya, maka
sesungguhnya ia menolak atas Allah”. Kemudian, Fathul-Maushuli membuka pundi
uang itu, lalu diambilnya sedirham. Dan dikembalikannya yang lain”.
Al-Hasan Al-Bashari merawikan hadits ini juga. Akan tetapi
bunyinya, bahwa seorang laki-laki membawa kepada Fathul-Maushuli sebuah kantung
uang dan sebungkus kain Khurasan yang halus. Fathul-Maushuli menolaknya dan
mengatakan: “Siapa yang duduk pada majelisku ini dan menerima dari manusia
seperti ini, niscaya ia menemui Allah ‘Azza Wa Jalla pada hari kiamat dan ia
tidak mempunyai bahagian”. Ini menunjukkan bahwa urusan orang alim dan juru
pengajaran itu lebih berat pada menerima pemberian.
Dan adalah Al-Hasan
Al-Bashari menerima pemberian
kawan-kawannya. Adalah Ibrahim At-Taimi meminta dari teman-temannya sedirham,
dua dirham dan sebagainya. Dan temannya yang lain membawa kepadanya ratusan
dirham. Tetapi tidak diambilnya. Sebahagian mereka apabila diberikan oleh
temannya sesuatu, lalu berkata: “Biarlah padamu ! dan perhatikanlah, jikalau
aku dalam hatimu sesudah menerimanya, lebih utama daripada sebelum menerima.
Maka beritahukan kepadaku, supaya aku mengambilnya. Kalau tidak, maka aku tidak
mengambilnya”. Tanda ini, ialah, bahwa sukar kepadanya menolak, jikalau
ditolaknya. Dan ia gembira dengan menerimanya. Dan melihat bangkit-bangkitan
atas dirinya pada penerimaan temannya akan hadiahnya.
Kalau diketahuinya, bahwa
bercampur padanya bangkit-bangkitan, maka mengambil pemberian itu dibolehkan
(mubah). Akan tetapi makruh pada orang-orang fakir yang benar. Basyar berkata:
“Tiada aku minta sekali-kali akan sesuatu pada seseorang, selain pada Sirri
As-Saqathi. Karena benar zuhudnya dalam dunia padaku. Ia bergembira dengan
keluarnya sesuatu dari tangannya. Dan ia gelisah dengan masih adanya dalam
tangannya. Maka aku menjadi penolongnya atas apa yang disukainya”. Datang
seorang Khurasan kepada Al-Junaid ra dengan membawa harta hadiah. Dan
dimintainya supaya Al-Junaid memakan apa yang dibawanya. Lalu Al-Junaid
menjawab: “Bagi-bagikanlah kepada fakir miskin !”. Orang itu menjawab: “Aku
tidak maksudkan yang demikian !”. Al-Junaid menjawab: “Ini harta banyak. Dan
kapan aku hidup, sehingga dapat aku makan semuanya ?”. Laki-laki itu menjawab:
“Aku tidak maksudkan bahwa engkau belanjakan harta ini pada cuka dan
sayur-sayuran. Akan tetapi, kepada manis-manisan dan makanan yang baik-baik”.
Lalu Al-Junaid menerimanya dari orang itu. Maka orang Khurasan itu berkata:
“Tiada aku dapati di Bagdad orang yang lebih mengamankan aku dari
bangkit-bangkitan, selain engkau”. Lalu Al-Junaid menjawab: “Tiada seyogyalah
diterima pemberian, selain dari engkau”.
Kedua: bahwa pemberian itu untuk pahala
semata-mata. Dan yang demikian itu sedekah atau zakat. Maka hendaklah ia
melihat sifat dirinya sendiri, adakah ia berhak menerima zakat ? kalau ia
ragu-ragu, maka itu tempat syubhat (diragukan). Dan telah kami sebutkan
penguraian yang demikian pada Kitab Rahasia Zakat. Kalau itu sedekah dan
diberikannya untuk agamanya, maka hendaklah ia memperhatikan kepada
batiniyahnya. Kalau ia mengerjakan perbuatan maksiat dalam rahasia, yang
diketahuinya, bahwa si pemberi kalau diketahuinya yang demikian, niscaya
larilah hatinya dari orang itu. Dan manakala si pemberi itu untuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan pemberian sedekah itu kepadanya. Maka ini haram
mengambilnya. Sebagaimana jikalau si pemberi itu memberikan, karena disangkanya
bahwa orang itu orang berilmu (alim) atau keturunan Saidina Ali (golongan
‘Alawi). Dan sebenarnya tidak demikian. Maka mengambilnya itu haram
semata-mata. Tak ada syubhat (diragukan) padanya.
Ketiga: bahwa adalah maksudnya untuk didengar
orang, ria dan termasyhur. Maka seyogyalah ditolak maksud si pemberi yang buruk
itu dan tidak diterima. Karena jadi si penerima itu penolong kepada si pemberi
atas maksudnya yang buruk itu.
Adalah Sufyan Ats-Tsuri
menolak apa yang diberi orang dan mengatakan: “Jikalau aku tahu, bahwa mereka
tidak menyebutkan yang demikian, karena kesombongan, niscaya aku ambil
pemberiannya”. Sebahagian mereka dicaci, karena menolak hubungan yang dibawakan
kepadanya. Lalu ia menjawab: “Sesungguhnya aku tolak hubungan mereka, karena
kasih-sayang dan nasehat kepada mereka. Karena mereka menyebutkan yang
demikian. Dan menyukai bahwa diketahui orang. Maka hilanglah harta mereka dan
batallah pahala mereka”.
Adapun maksudnya pada
mengambil pemberian, maka seyogyalah diperhatikan, adakah ia memerlukan kepada
pemberian itu, pada apa yang tidak boleh tidak. Atau ia tidak memerlukan kepada
barang itu. Kalau ia memerlukan kepada barang itu dan sejahtera dari harta
syubhat (diragukan) dan bahaya-bahaya yang telah kami sebutkan tentang si
pemberi, maka yang lebih utama mengambilnya. Nabi saw bersabda: “Tidaklah si
pemberi dari karena keluasan hartanya itu lebih besar pahalanya dari si
pengambil, apabila si pengambil itu memerlukan”.
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa datang kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa diminta dan diharap
kehormatan, maka itu adalah rezeki yang dihalaukan oleh Allah kepadanya. Dan
pada lafal yang lain: “Maka tidak ditolaknya”. Sebahagian ulama berkata:
“Barangsiapa diberikan dan tidak mengambil niscaya ia meminta dan tidak
diberikan”.
Adalah SirrriAs-Saqathi
menyampaikan sesuatu kepada Ahmad bin Hanbal ra. Lalu Ahmad bin Hanbal
menolaknya sekali. Lalu Sirrri mengatakan kepadanya: “Hai Ahmad ! jagalah dari
bahaya menolak ! sesungguhnya bahaya menolak itu lebih berat dari bahaya
mengambil”. Menjawab Ahmad kepada Sirri: “Ulangilah apa yang telah aku katakan
!”. Lalu Sirrri mengulanginya. Lalu Ahmad berkata: “Tidak aku tolak pemberian
engkau, melainkan karena padaku masih ada makanan untuk sebulan. Simpanlah itu
untukku padamu ! apabila telah berlalu sebulan, maka laksanakanlah pemberian
itu kepadaku !”.
Sebahagian ulama
mengatakan: “Ditakuti pada menolak serta ada keperluan, akan siksaan dari
cobaan dengan kelobaan atau masuk dalam syubhat (diragukan) atau lainnya”.
Apabila apa yang diberikan itu berlebihan dari hajat keperluannya, maka tidak
terlepas, adakalanya bahwa keadaannya sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan
mengurus urusan orang fakir miskin dan membelanjai mereka, karena ada pada
tabiatnya kasih sayang dan murah hati. Kalau ia sibuk dengan urusan dirinya
sendiri, maka tidak ada persoalan bagi mengambil dan menahannya, kalau ia orang
yang mencari jalan akhirat. Maka yang demikian itu semata-mata mengikuti hawa
nafsu. Dan setiap amal yang tidak karena Allah, maka itu pada jalan setan atau
mengajak kepada jalan setan. Siapa yang berkeliling di keliling larangan,
niscaya ada harapan akan jatuh ke dalamnya. Kemudian, yang demikian itu
mempunyai dua tingkat:
Pertama: bahwa ia mengambil secara
terang-terangan dan dikembalikannya secara rahasia. Atau diambilnya secara
terang-terangan dan dibagi-bagikannya secara rahasia. Dan ini tingkat
orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin). Dia itu rindu kepada diri, yang tidak
disanggupi, selain orang yang tenang hatinya dengan latihan. Kedua: bahwa ia tinggalkan dan tidak mengambil. Supaya
pemilik barang itu menyerahkannya kepada orang yang lebih memerlukan. Atau ia
ambil dan diteruskannya kepada orang yang lebih memerlukan dari dia. Lantas
keduanya itu diperbuatnya secara rahasia. Atau keduanya dilakukannya secara
terang-terangan. Dan telah kami sebutkan, adakah yang lebih utama melahirkan
ambil atau menyembunyikannya, pada Kitab Rahasia Zakat, serta sejumlah hukum
kefakiran. Maka hendaklah dicari pada tempatnya itu !
Adapun tidak maunya Ahmad
bin Hanbal daripada menerima pemberian Sirrri As-Saqathi ra maka sesungguhnya
karena Ahmad bin Hanbal tidak memerlukannya. Karena masih ada padanya makanan
sebulan. Dan Ahmad bin Hanbal tidak setuju bagi dirinya untuk menyibukkan
dengan mengambilnya dan menyerahkannya kepada orang lain. Bahwa pada yang
demikian itu banyak bahaya dan celaka.
Dan yang menjaga diri’ ialah menjaga dari tempat-tempat
sangkaan bahaya. Karena ia tidak merasa aman dari godaan setan atas dirinya.
Sebahagian orang-orang yang bertetangga dengan Makkah mengatakan: “Ada padaku
beberapa dirham yang aku sediakan untuk membelanjakannya pada jalan Allah. Maka
aku mendengar seorang miskin yang baru selesai dari thawaf Ka’bah, mengatakan
dengan suara yang hampir-hampir tidak kedengaran: “Aku lapar, sebagaimana
engkau lihat, tidak berpakaian, sebagaimana engkau lihat. Maka apakah yang
engkau lihat pada yang engkau lihat ? Wahai Yang Melihat dan tidak dilihat
orang!”. Lalu aku lihat. Tiba-tiba pada badan orang itu dua helai kain buruk,
yang hampir tidak menutupkan tubuhnya. Lalu aku mengatakan pada diriku: “Tiada
aku dapati untuk dirhamku, akan tempat yang lebih baik dari ini. Lalu aku
bawakan kepadanya. Maka orang itu memandang kepada dirham itu. Kemudian,
diambilnya 5 dirham, seraya mengatakan: “4 dirham untuk harga sarung dan
selendang. Dan 1 dirham untuk saya belanjakan buat 3 hari. Tiada perlu bagi
saya selebihnya”. Lalu dikembalikannya. Maka pada malam yang kedua, aku
bermimpi bertemu dengan orang itu. Dan ia memakai kain sarung dan selendang
yang baru. Lalu terlintas di hatiku sesuatu daripadanya. Maka orang itu
berpaling kepadaku. Lalu ia memegang tanganku. Maka dithawafkannya aku bersama
dia seminggu. Setiap kali dari thawaf itu di atas mutiara dari tambangan bumi,
yang bergemirincing bunyinya di bawah tapak kaki kami sampai kepada dua tumit.
Diantaranya: emas, perak yakut, intan dan permata. Dan tidak tampak yang
demikian itu kepada manusia. Lalu orang itu mengatakan: “Ini semua yang
diberikan kepadaku. Maka aku bersifat zuhud padanya. Dan aku ambil dari tangan
makhluk. Karena ini adalah beban yang berat dan fitnah. Dan yang demikian itu
bagi hamba, padanya rahmat dan nikmat”. Yang dimaksudkan dari ini, ialah: bahwa
tambahan di atas kadar keperluan itu mendatangkan kepada engkau, percobaan dan
fitnah. Supaya Allah melihat kepada engkau: apa yang engkau perbuat padanya.
Dan kadar keperluan yang datang kepada engkau itu, karena kasih sayang kepada
engkau. Maka janganlah engkau lupakan akan perbedaan, antara kasih sayang dan
percobaan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menjadikan apa yang di bumi, ialah untuk menjadi perhiasan
baginya, karena Kami hendak menguji siapakah diantara mereka yang paling baik
pekerjaannya”. S 18 Al Kahfi ayat 7. Nabi saw bersabda: “Tiada hak bagi anak
Adam, selain pada 3: makanan yang menegakkan tulang punggungnya, kain yang
menutupkan auratnya dan rumah yang menutupkannya”. Jadi, anda pada mengambilkan
kadar keperluan dari tiga ini diberi pahala. Dan mengenai yang lebih
daripadanya, jikalau anda tidak berbuat maksiat kepada Allah, maka anda dibawa
kepada perhitungan amal (hisab). Dan kalau anda berbuat maksiat kepada Allah,
maka anda dibawa kepada siksaan.
Diantara percobaan juga,
bahwa anda bercita-cita meninggalkan sesuatu dari kelezatan, karena mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala dan menghancur kan sifat nafsu. Maka dia datang kepada
anda dengan tiba-tiba dan bersih, untuk mencoba kekuatan akal anda. Maka yang
lebih utama, ialah: mencegah diri daripadanya. Sesungguhnya nafsu, apabila
diberi kesempatan pada merombakkan azam (cita-cita), niscaya ia menyukai
meruntuhkan janji. Dan kembali kepada kebiasaannya. Dan tidak mungkin
memaksakannya. Maka penolakan yang demikian itu penting. Yaitu: zuhud. Kalau
anda ambilkan dan serahkan kepada yang diperlukan, maka itu penghabisan zuhud.
Dan tidak ada yang menyanggupinya, selain orang-orang shiddiq.
Apabila keadaan anda itu
pemurah, suka memberi, menanggung hak-hak fakir miskin dan menjanjikan kepada
suatu golongan dari orang baik-baik, maka ambillah apa yang berlebih diatas
keperluan anda ! sesungguhnya itu tiada berlebihan di atas hajat keperluan
orang-orang fakir. Dan bersegeralah menyerahkan nya kepada mereka ! dan tidak
anda simpankan ! sesungguhnya menahannya, walaupun satu malam, padanya itu
fitnah dan percobaan. Maka kadang-kadang manis ada hati anda lalu anda
tahankan. Maka adalah itu fitnah atas diri anda. Satu golongan berhadapan bagi
pelayanan orang-orang fakir miskin, yang diambilnya untuk jalan kepada
meluaskan harta dan bersenang-senang pada makanan dan minuman. Dan yang
demikian itu kebinasaan. Dan siapa yang maksudnya kasih sayang dan mencari
pahala, maka baginya dapat berhutang atas baiknya sangka kepada Allah. Tidak
atas pegangan kepada penguasa-penguasa yang zalim. Kalau diberikan rezeki oleh
Allah dari yang halal, niscaya dilunasinya. Dan kalau ia mati sebelum
dilunaskan, niscaya dilunaskan oleh Allah Ta’ala. Dan merelakan
penghutang-penghutangnya. Dan yang demikian itu, dengan syarat bahwa dia itu
terbuka keadaannya, pada orang yang memperhutangkan nya. Maka ia tidak menipu
yang memperhutangkan dan memperdayakannya dengan janji-janji. Akan tetapi, ia
menyingkapkan keadaannya pada yang memperhutangkan. Supaya yang memperhutangkan
itu, tampil memperhutangkannya dengan penglihatan yang nyata. Hutang orang yang
seperti ini wajib dibayarkan dari harta baitul-mal dan dari zakat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang amat terbatas rezekinya, hendaklah memberikan belanja sesuai
dengan pemberian Allah kepadanya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 7. Dikatakan: artinya,
supaya ia menjualkan salah satu dari dua helai kainnya. Dan ada yang
mengatakan, bahwa artinya: maka hendaklah ia berhutang dengan kemegahannya.
Yang demikian itu, dari apa yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Sebahagian
mereka mengatakan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba, yang membelanjakan
atas kadar harta benda mereka. Dan Allah mempunyai hamba-hamba yang
membelanjakan di atas kadar baik sangka kepada Allah Ta’ala. Dan sebahagian
mereka mati dan meninggalkan wasiat dengan hartanya untuk 3 golongan:
orang-orang kuat, orang-orang pemurah dan orang-orang kaya. Maka ditanyakan:
siapakah mereka ? Lalu orang itu menjawab: Adapun orang-orang kuat, maka yaitu:
orang-orang yang bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Adapun orang-orang pemurah,
maka yaitu: orang-orang yang baik sangka kepada Allah Ta’ala. Adapun
orang-orang kaya, maka yaitu: orang-orang yang memutuskan hubungan kepada yang
lain, selain kepada Allah Ta’ala.
Jadi, manakala dijumpai
syarat-syarat ini pada seseorang, pada harta dan pada si pemberi, maka
hendaklah diambilnya. Dan seyogyalah, bahwa dilihatnya, akan apa yang
diambilnya itu, dari Allah. Tidak dari si pemberi. Karena si pemberi itu
perantaraan, yang diciptakan untuk memberi. Dan ia sangat memerlukan kepada
memberi itu, disebabkan pendorong-pendorong yang menguasai atas dirinya. Dan
kehendak-kehendak dan itikad-itikad/keyakinan. Diceritakan, bahwa sebahagian
orang mengundang Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi dalam rombongan 50 dari
sahabat-sahabatnya. Lalu laki-laki pengundang itu meletakkan 100 hidangan yang
baik. Tatkala Syaqiq sudah duduk, lalu mengatakan kepada para sahabatnya:
“Bahwa laki-laki pengundang ini mengatakan: “Siapa yang tiada melihat aku, aku
buat makanan ini dan aku hidangkan, maka makananku haram kepadanya”. Lalu
mereka itu bangun semuanya dan keluar, selain seorang pemuda dari mereka. Dan
pemuda itu kurang tingkatnya dari mereka. Maka bertanya yang punya rumah kepada
Syaqiq: “Apa maksudmu dengan perkataan itu ?”. Syaqiq menjawab: “Aku bermaksud
mencoba persatuan sahabat-sahabatku semua”.
Musa as berdoa: “Hai
Tuhanku ! Engkau jadikan rezekiku begini, di tangan kaum Bani Israil. Si Ini
memberikan makanan pagiku pada siang hari. Dan si Ini memberikan makanan
malamku pada malam hari”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya:
“Begitulah Aku perbuat dengan wali-waliKu. Aku lakukan rezeki mereka pada
tangan orang-orang yang berbuat batil/salah dari hamba-hambaKu. Supaya mereka
diberi pahala dengan wali-waliKu itu”. Maka tiada seyogyalah si pemberi itu
melihat, selain dari segi, bahwa ia diciptakan, yang memperoleh pahala dari
Allah Ta’ala. Kita bermohon kepada Allah, akan kebagusan taufiq untuk yang
diridhaiNya.
PENJELASAN: pengharaman
meminta tanpa darurat dan adab sopan orang fakir yang sangat memerlukan pada
meminta.
Ketahuilah kiranya, bahwa telah datang
banyak larangan dan pengerasan-pengerasan tentang meminta. Datang pula tentang
meminta itu, apa yang menunjukkan kepada keringanan. Karena Nabi saw bersabda:
“Bagi si peminta itu hak, walaupun ia datang dengan mengendarai kuda”. Tersebut
pada hadits: “Tolaklah kepada orang yang meminta, walaupun dengan kuku hewan
yang dibakar”. Jikalau meminta itu haram mutlak, niscaya tidak boleh menolong
orang yang berbuat aniaya atas penganiayaannya. Dan memberikan itu pertolongan.
Maka yang menyingkapkan tutup padanya, ialah, bahwa meminta itu pada asalnya
haram. Dan diperbolehkan disebabkan darurat atau hajat keperluan yang penting,
yang mendekati dengan darurat. Kalau tidak perlu maka haram. Sesungguhnya kami
mengatakan, bahwa asalnya itu pengharaman. Karena meminta itu tidak terlepas
dari 3 perkara yang diharamkan.
Pertama: melahirkan pengaduan kepada Allah
Ta’ala. Karena meminta itu melahirkan kefakiran dan menyebut keteledoran nikmat
Allah Ta’ala kepadanya. Dan itulah, yang dikatakan: pengaduan. Sebagaimana
budak yang dimiliki, jikalau meminta, maka memintanya itu adalah memburukkan
kepada tuannya. Maka seperti demikian pula, memintanya hamba-hamba itu
memburukkan kepada Allah Ta’ala. Dan ini seyogyalah diharamkan. Dan tidak
dihalalkan, selain karena darurat, sebagaimana dihalalkan bangkai.
Kedua: bahwa pada meminta itu peghinaan si
peminta akan dirinya, bagi selain Allah Ta’ala. Dan tidaklah bagi orang mu’min
menghinakan dirinya bagi selain Allah Ta’ala. Bahkan ia harus menghinakan
dirinya kepada Tuhannya. Karena padanya itu keagunganNya. Adapun makhluk yang
lain, maka mereka itu hambaNya seperti si peminta itu. Maka tiada seyogyalah ia
menghinakan mereka, selain karena darurat. Dan pada meminta itu, kehinaan bagi
si peminta, dengan dikaitkan kepada orang yang diminta.
Ketiga: bahwa biasanya tiada terlepas dari
menyakitkan bagi yang diminta padanya. Karena kadang-kadang diri yang diminta
padanya itu tidak mau memberi, dari kebaikan hatinya. Maka kalau diberinya
karena malu kepada si peminta atau karena ria, maka itu haram atas si pengambil.
Dan kalau tidak diberikannya, terkadang ia malu dan merasa sakit pada jiwanya,
disebabkan tidak diberinya. Karena ia melihat dirinya dalam bentuk orang yang
kikir. Dan pada memberikan itu kekurangan hartanya. Dan pada tidak memberikan
itu mengurangkan kemegahannya. Keduanya itu menyakitkan. Dan si peminta yang
menjadi sebab pada menyakitkan. Dan menyakitkan itu haram, selain disebabkan
darurat. Manakala anda telah memahami akan tiga yang ditakutkan ini, maka anda
telah memahami sabda Nabi saw: “Meminta kepada
manusia itu termasuk perbuatan keji. Dan tidak dihalalkan dari
perbuatan-perbuatan keji itu, lain daripada meminta itu”. Maka perhatikanlah,
bagaimana Nabi saw menamakan meminta itu suatu kekejian. Dan tidak tersembunyi
lagi, bahwa kekejian itu diperbolehkan karena darurat. Sebagaimana minum khamar
diperbolehkan bagi orang yang tercekik dengan suapan. Dan ia tidak mendapati
jalan lain.
Nabi saw bersabda: “Siapa
yang meminta kekayaan sedang dia dalam hal keadaan kaya, maka sesungguhnya ia
memperbanyak bara api neraka jahannam”. Sabda Nabi saw: “Siapa yang meminta dan
ia memiliki apa yang mengayakannya, niscaya ia datang pada hari kiamat dan
mukanya tulang yang berbunyi berdering. Dan tiada pada mukanya itu daging”. Dan
pada lafal lain: “Adalah memintanya itu menjadi garis-garis dan cakar-cakar
pada mukanya”. Lafal-lafal ini tegas pada pengharaman dan pengerasan.
Rasulullah saw mengadakan
bai’ah (sumpah setia) dengan suatu kaum kepada agama Islam. Maka beliau
syaratkan atas mereka mendengar dan patuh. Kemudian, beliau katakan kepada
mereka dengan kalimat yang ringan: “Jangan kamu minta pada manusia akan
sesuatu”. Adalah Nabi saw menyuruh banyak menjaga diri dari meminta. Dan
bersabda: “Siapa yang meminta pada kita, niscaya kita berikan. Dan siapa yang
merasa kaya, niscaya ia dikayakan oleh Allah. Dan siapa yang tiada meminta pada
kita, maka orang itu lebih kita cintai”. Nabi saw bersabda: “Merasa kayalah
dari pertolongan manusia ! dan apa yang sedikit dari meminta itu maka itu lebih
baik”. Para sahabat bertanya: “Dan dari engkau, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw
menjawab: “Juga dari aku”.
Umar ra mendengar seorang
peminta, meminta pada orang sesudah Maghrib. Lalu Umar mengatakan kepada salah
seorang dari kaum orang itu: “Berilah makanan malam orang itu !”. Lalu
diberikan. Kemudian, Umar mendengar kali kedua, orang itu meminta lagi. Maka
Umar mengatakan: “Apakah tidak aku katakan kepadamu: “Berilah makanan malam
orang itu ?”. Orang yang dimintakan oleh Umar untuk memberikan makanan malam
kepada orang yang meminta itu menjawab: “Telah aku berikan makanan malam
kepadanya”. Umar lalu melihat kepada si peminta itu. Rupanya di bawah
tangannya, karung makanan kuda yang penuh dengan roti. Lalu Umar mengatakan:
“Engkau ini bukan peminta. Akan tetapi, engkau ini saudagar”. Kemudian, Umar
mengambil karung makanan kuda itu dan dilemparkannya di hadapan kuda zakat. Dan
dipukulnya orang peminta itu dengan cemeti, seraya berkata: “Jangan kamu
mengulangi lagi !”. Jikalau tidaklah meminta-minta itu haram, niscaya tidak dipukul
oleh Umar akan orang itu. Dan tidak diambil karung makanan untanya. Mungkin
ahli fikih yang lemah kesanggupannya, yang sempit perutnya, menganggap jauh ini
dari perbuatan Umar dan mengatakan: “Adapun pukulan Umar itu, untuk pengajaran.
Dan agama telah menyuruh dengan hukuman pukul (at-ta’zir). Adapun Umar
mengambil harta si peminta-minta itu, maka itu lantaran si peminta-minta itu
memintanya dengan setengah paksaan. Agama tidak menyuruh dengan siksaan
mengambil harta. Maka bagaimana Umar memperbolehkannya ?”. Itu anggapan jauh
dari kebenaran, sumbernya karena kesingkatan pengertian tentang fikih. Maka
dimanakah kelihatan letaknya fikih para ahli fikih semuanya itu dalam perut
Umar bin Al-Khattab ra dan penglihatan Umar kepada rahasia-rahasia agama Allah
dan kepentingan hamba-hambaNya? Adakah anda berpendapat, bahwa Umar tidak tahu
bahwa meminta harta dengan setengah paksaan itu tidak diperbolehkan ? atau Umar
tahu yang demikian, akan tetapi, ia tonjolkan atas sikap yang demikian, karena
marah terhadap kemaksiatan kepada Allah ? Amat jauh dari itu ! Atau Umar
bermaksud menghardik, dengan kemuslihatan, diluar jalan yang digariskan oleh
Nabi Allah ? Amat jauh dari yang demikian ! karena yang demikian itu juga
maksiat. Akan tetapi, fikih yang diisyaratkan oleh Umar pada peristiwa itu,
bahwa beliau melihat orang itu tidak memerlukan kepada meminta-minta. Dan
beliau tahu, bahwa orang yang memberikan sesuatu itu, sesungguhnya diberikannya
dengan keyakinan, bahwa orang itu memerlukan. Sedang orang itu berdusta. Maka
tidak masuk dalam harta miliknya, dengan diambilnya harta pemberian itu dengan
penipuan. Dan sukar membedakan yang demikian dan mengembalikan harta pemberian
itu kepada pemiliknya. Karena ia tidak tahu pemilik-pemiliknya dengan pasti.
Maka tinggallah harta pemberian itu sebagai harta yang tidak ada pemiliknya.
Maka haruslah diserahkan kepada kepentingan umum. Dan unta zakat dan umpannya
termasuk kepentingan umum. Disejajarkan diambilnya oleh si peminta itu, dengan
melahirkan keperluannya secara bohong, seperti diambilnya oleh orang keturunan
Ali (Alawi), dengan katanya: “Aku ini orang Alawi, padahal dia itu bohong. Maka
orang itu tidak sah memiliki apa yang diambilnya itu. Dan seperti orang shufi
yang shalih, yang diberikan kepadanya karena keshalihannya. Padahal, pada
batiniyahnya, ia mengerjakan perbuatan maksiat. Jikalau diketahui oleh si
pemberi, niscaya tidak diberikannya. Dan telah kami sebutkan pada beberapa
tempat, bahwa apa yang diambilkan mereka, dengan cara ini, tidak sah
dimilikinya. Dan itu haram atas mereka. Dan wajib atas mereka mengembalikan
kepada pemiliknya. Maka diambil dalil dengan perbuatan Umar ra atas sahnya
makna ini, yang dilupakan oleh kebanyakan ulama fikih.
Dan telah kami
menetapkannya pada beberapa tempat. Dan jangan anda mengambil dalil dengan
kelupaan anda, dari fikih ini, kepada batalnya perbuatan Umar ra. Apabila anda
mengetahui, bahwa meminta itu diperbolehkan karena darurat, maka ketahuilah,
bahwa sesuatu itu, adakalanya sangat diperlukan kepadanya atau diperlukan sebagai
suatu hajat keperluan yang penting atau hajat yang ringan atau yang tidak
diperlukan. Maka inilah 4 hal ! Adapun yang sangat diperlukan kepadanya, maka
yaitu meminta-mintanya orang lapar, ketika ketakutannya atas dirinya mati atau
sakit. Dan meminta-mintanya orang yang telanjang dan badannya terbuka. Tidak
ada padanya yang menutupkannya. Dan meminta itu diperbolehkan, manakala
diperoleh syarat-syarat yang lain pada barang yang dimintakan, dengan adanya
barang itu mubah (diperbolehkan). Dan orang yang dimintakan itu ridha pada
batiniyahnya. Dan tentang si peminta, dengan keadaannya lemah daripada
berusaha. Maka orang yang sanggup berusaha dan dia itu tak ada kerja, niscaya
tidak boleh baginya meminta-minta, kecuali apabila habis waktunya untuk
menuntut ilmu.
Dan setiap orang yang mempunyai tulisan, maka
dia itu sanggup berusaha dengan membuat tulisan. Adapun orang yang merasa
dirinya kaya, maka dia itu mencari sesuatu. Dan padanya ada yang seperti itu,
satu dan banyak. Maka memintanya itu haram dengan pasti. Dan inilah dua tepi
yang jelas. Adapun orang yang memerlukan dengan hajat keperluan yang penting,
maka yaitu, seperti: orang sakit yang memerlukan kepada obat, yang tidak lahir
ketakutannya, jikalau tidak dipakainya obat itu. Akan tetapi, ia tidak lepas
dari ketakutan. Dan seperti orang yang mempunyai baju jubah, yang tak ada baju
kemeja di bawahnya pada musim dingin. Dia menderita dengan kedinginan, dengan
penderitaan yang tiada berkesudahan kepada batas darurat. Dan seperti yang
demikian juga, orang yang meminta-minta karena sewa kendaraan dan dia itu
sanggup berjalan kaki, dengan kesulitan. Maka ini juga seyogyalah diperbolehkan
kepadanya. Karena kesulitan itu juga hajat keperluan yang diyakini. Akan
tetapi, bersabar daripadanya itu lebih utama. Dan dia dengan meminta-minta itu
meninggalkan yang lebih utama. Dan tidak dinamakan memintanya itu makruh,
manakala ia benar pada meminta itu. Ia mengatakan: “Tidaklah dibawah baju
jubahku itu baju kemeja. Dan kedinginan menyakitkan aku dengan kesakitan yang sanggup
aku tahan. Akan tetapi, menyukarkan atasku”. Apabila ia benar, maka
kebenarannya itu adalah kafarat bagi meminta-minta, insya Allah Ta’ala.
Adapun hajat keperluan
yang ringan, maka yaitu: contoh dimintanya baju kemeja, untuk dipakainya di
atas kainnya ketika keluarnya dari rumah. Supaya tertutup yang koyak dari
kainnya, dari mata manusia. Dan seperti orang, yang meminta karena untuk
lauk-pauk. Dan dia itu sudah memperoleh roti. Dan seperti orang yang meminta
uang sewaan untuk kuda dalam perjalanan dan ia sudah memperoleh uang sewaan
keledai. Atau ia meminta uang sewaan usungan (tandu). Dan ia sanggup menyewa
kendaraan unta. Maka ini dan yang seumpama dengan ini, kalau ada padanya
penipuan keadaan, dengan melahirkan hajat keperluan bukan yang ini, maka itu
haram. Dan kalau tidak ada dan ada padanya sesuatu dari tiga yang dilarang itu,
yaitu: pengaduan, hinaan dan menyakitkan kepada orang yang diminta, maka itu
haram. Karena hajat keperluan yang seperti ini, tidak patut untuk diperbolehkan
larangan-larangan yang tersebut. Dan kalau tak ada padanya sesuatu dari yang
demikian, maka itu diperbolehkan (mubah) serta ada makruhnya.
Kalau anda bertanya: bagaimana mungkin
melepaskan minta-minta dari larangan-larangan itu ? Ketahuilah kiranya, bahwa
pengaduan itu menjadi tertolak (terkesampingkan), dengan melahirkan kesyukuran
kepada Allah dan tidak memerlukan kepada makhluk. Dan ia tidak meminta seperti
memintanya orang yang memerlukan. Akan tetapi, ia mengatakan: “Aku merasa kaya
dengan apa yang aku miliki. Akan tetapi, diminta oleh kebodohan diriku kepada
pakaian, yang melebihi pakaian-pakaianku”. Itu adalah kelebihan dari keperluan dan
yang berlebihan dari nafsu. Maka keluarlah dengan yang demikian itu dari batas
pengaduan.
Adapun hinaan, maka dengan
dimintanya pada ayahnya atau familinya atau temannya, yang mengetahui bahwa
tiada mengurangkan yang demikian padanya. Dan tiada menghinakannya dengan sebab
permintaannya itu. Atau orang yang pemurah yang telah menyediakan hartanya bagi
kemurahan-kemurahan yang seperti ini. Lalu ia bergembira dengan adanya yang
seperti itu. Dan diikutkannya dari yang demikian akan bangkit-bangkitan dengan
penerimaannya itu. Maka gugurlah daripadanya hinaan dengan yang demikian. Bahwa
hinaan itu pasti tetap ada karena bangkit-bangkitan.
Adapun yang menyakitkan,
maka jalan terlepas daripadanya, ialah bahwa orang yang diminta itu tidak
menolong seseorang dengan meminta itu saja. Akan tetapi, dikeluarkan kata-kata
secara langsung, dimana tidak tampil untuk memberi, selain orang yang berbuat
baik dengan benar-benar keinginannya sendiri. Dan kalau ada dalam golongan itu
seorang yang terpandang, jikalau tidak diberikan, niscaya dicacikan, maka ini
adalah menyakitkan. Bahwa kadang-kadang diberikan dengan tidak senang, karena
takut dari cacian.
Dan adalah yang lebih
menyukakan pada batiniyahnya itu kelepasan, jikalau disanggupi, tanpa ada
cacian. Adapun apabila ia meminta pada orang yang tertentu, maka seyogyalah
bahwa ia tidak berterus-terang. Akan tetapi dengan sindiran, yang masih ada
baginya jalan, kepada melupakan, jikalau ia menghendaki yang demikian. Maka
apabila ia tidak melupakan, serta sanggup kepada yang demikian, maka yang
demikian itu karena keinginannya. Dan ia tidak merasa disakiti dengan demikian
itu. Dan seyogyalah ia tidak meminta pada orang yang tidak merasa malu, jikalau
menolaknya. Atau dapat berbuat melupakannya. Sesungguhnya malu dari yang meminta
itu menyakitkan, sebagaimana ria itu menyakitkan bersama selain dari yang
meminta. Kalau anda mengatakan: apabila diambil, serta diketahui, bahwa yang
menggerakkan pemberi, ialah karena malu dari si peminta atau dari orang-orang
yang hadir. Dan kalau tidak demikian, niscaya si pemberi itu tidak memulai
memberikannya. Maka adakah itu halal atau syubhat (diragukan) ? Aku menjawab,
bahwa yang demikian itu haram semata-mata, yang tidak terdapat padanya
perselisihan diantara umat. Hukumnya adalah hukumnya mengambil harta orang lain
dengan pukulan dan setengah paksaan. Karena tidak ada bedanya, antara dipukul
lahirlah kulitnya dengan cambuk kayu. Atau dipukul batiniyah hatinya dengan
cambuk malu dan takut dicacikan. Dan pukulan batiniyah itu lebih berat penganiayaannya
dalam hati orang-orang berakal. Dan tidak boleh dikatakan, bahwa dia pada
lahiriyahnya telah rela dengan yang demikian.
Nabi saw bersabda: “Aku
menghukum dengan yang zahir dan Allah yang memerintah segala yang rahasia”. Ini
adalah kepentingan para hakim (qadli) pada menyelesaikan segala perselisihan.
Karena tidak mungkin mengembalikan mereka kepada yang batin dan
petunjuk-petunjuk keadaan. Maka mereka terpaksa menetapkan hukum menurut yang
zahir dengan lidah. Sedang lidah itu menterjemahkan banyak kedustaan. Akan
tetapi, kepentingan membawa kepada yang demikian. Dan ini adalah persoalan
diantara hamba dan Allah Ta’ala. Dan yang menjadi hakim padanya, ialah: Dia
Yang Maha hakim dari hakim-hakim. Hati manusia padaNya itu seperti lidah
terhadap hakim-hakim lainNya. Maka anda tidak melihat pada contoh yang seperti
ini, selain kepada hati anda sendiri, walaupun manusia itu berfatwa kepada
anda-walaupun manusia itu berfatwa kepada anda. Mufti (yang memberi fatwa) itu
mengajarkan kepada hakim dan penguasa (sultan). Supaya mereka menetapkan hukum
menurut alam kesaksian (‘alamusy-syahadah). Dan yang berfatwan bagi hati, ialah
ulama akhirat. Dengan fatwa mereka terdapat kelepasan dari kekerasan penguasa
akhirat. Sebagaimana dengan fatwa ulama fikih itu, terdapat kelepasan dari
kekerasan penguasa dunia.
Jadi, apa yang diambil
oleh si peminta itu dengan tidak senangnya si pemberi, maka tidak dimilikinya
diantara dia dan Allah Ta’ala. Wajib dikembalikannya kepada yang punya. Kalau
yang punya itu malu menerima kembali dan tidak mau menerima kembali, maka
haruslah si penerima itu memberi balasan di atas yang demikian, dengan sesuatu
yang sama nilainya, dalam bentuk hadian dan berbalasan. Supaya ia terlepas dari
tanggungan. Kalau yang punya itu tidak mau menerima hadiahnya, maka haruslah ia
kembalikan yang demikian kepada ahli warisnya. Kalau barang itu hilang dalam
tangan si penerima, maka ia bertanggung jawab diantara dia dan Allah Ta’ala.
Dan ia maksiat dengan mempergunakan barang tersebut dan dengan memintanya, yang
terjadi kesakitan dengan demikian. Kalau anda mengatakan: bahwa ini persoalan
batiniyah, yang sukar diketahui. Maka bagaimana jalan kelepasan daripadanya ?
kadang-kadang yang meminta itu menyangka, bahwa si pemberi itu ridha. Dan pada
batinnya tidak ridha. Aku menjawab: untuk ini, orang-orang yang taqwa itu terus
meninggalkan meminta-minta. Mereka tiada akan mengambil sekali-kali akan
sesuatu dari seseorang.
Basyar tidak mengambil
sekali-kali dari seseorang, selain dari Siri As-Saqathi ra. Basyar mengatakan:
“Karena aku tahu bahwa Sirrri bergembira dengan keluarnya harta dari tangannya.
Maka aku menolongnya atas apa yang disukainya”. Sesungguhnya besarlah
pertentangan pada meminta itu dan kuatlah perintah untuk menjaga diri untuk
yang demikian. Karena kesakitan itu dihalalkan dengan darurat. Yaitu: bahwa si
peminta itu mendekati kepada kebinasaan. Dan tak ada lagi baginya jalan keluar.
Tidak diperolehnya orang yang mau memberikannya, tanpa kebencian dan kesakitan,
maka dibolehkan baginya yang demikian itu. Sebagaimana dibolehkan memakan
daging babi dan daging bangkai. Maka pelarangan itu jalannya orang-orang menjaga diri.
Diantara orang-orang yang
punya hati itu orang yang percaya dengan mata hatinya, pada melihat kepada
petunjuk-petunjuk keadaan. Lalu mereka mengambil dari sebahagian manusia. Tidak
dari sebahagian yang lain. Diantara mereka, ada orang yang tidak mau mengambil,
selain dari teman-temannya. Diantara mereka, ada orang yang mengambil
sebahagian, dari apa yang diberikan orang. Dan menolak sebahagian yang lain.
Sebagaimana diperbuat oleh Nabi saw pada kibasy, minyak samin dan keju. Dan ini
pada apa, yang diberikan kepada mereka, tanpa meminta. Maka yang demikian itu,
tidak ada selain dari kesukaan sendiri. Akan tetapi, kadang-kadang kesukaan sendiri
itu karena ingin pada kemegahan diri atau mencari keriaan dan kedengaran
namanya pada orang banyak. Lalu mereka menjaga diri dari yang demikian. Adapun
meminta-minta, mereka mencegah diri daripadanya dengan tegas, selain pada 2
tempat:
Pertama: darurat. Tiga orang nabi meminta pada
tempat darurat. Yaitu: Sulaiman, Musa dan Khidir as. Tak ragu, bahwa mereka
tidak meminta, selain pada orang yang mereka tahu, bahwa orang itu suka
memberikan kepada mereka.
Kedua: meminta dari teman-teman dan
saudara-saudara. Mereka mengambil harta mereka tadi, tanpa meminta-minta dan
izin. Karena orang-orang yang punya hati mengetahui, bahwa yang dicari ialah
kerelaan hati. Bukan tuturan lisan. Mereka percaya dengan saudara-saudaranya,
bahwa mereka bergembira dengan kelapangan dada mereka. Jadi, mereka itu meminta
pada saudara-saudaranya, ketika mereka itu ragu, tentang kemampuan
saudara-saudaranya kepada apa yang dikehendaki mereka. Kalau tidak, maka mereka
tidak memerlukan kepada meminta. Batas pembolehan meminta, ialah: bahwa anda
tahu pada orang yang diminta itu, mempunyai sifat, jikalau ia tahu engkau
mempunyai keperluan, niscaya terus diberikannya kepada engkau, tanpa meminta.
Maka tidaklah permintaan itu berpengaruh, selain pada memberitahukan akan
keperluan engkau.
Adapun pada
menggerakkannya kepada malu dan mengobarkannya dengan daya-upaya, maka tidak
memberi pengaruh apa-apa. Dan dihadapkan kepada peminta, suatu keadaan, yang
tidak diragukan padanya, tentang ridha pada batin dan keadaan yang tidak
diragukan tentang ketidak-sukaan. Dan yang demikian itu diketahui, dengan dalil
keadaan. Maka mengambil pada keadaan pertama tadi itu halal mutlak. Dan pada
keadaan kedua itu haram semata-mata. Dan bulak-balik diantara dua keadaan itu,
hal-hal yang diragukan. Maka hendaklah diminta fatwa pada hati. Dan hendaklah
ditinggalkan kesakitan hati, karena itu dosa. Hendaklah ditinggalkan apa yang
meragukan, kepada yang tidak meragukan. Dan mengetahui yang demikian dengan
penunjuk-penunjuk keadaan itu mudah, kepada orang yang kuat kecerdikannya,
lemah kelobaan dan nafsu syahwatnya. Kalau kuat kelobaannya dan lemah
kecerdasannya, niscaya ia melihat pada yang demikian, akan apa yang bersesuain
dengan maksudnya. Ia tidak memperhatikan kepada tanda-tanda yang menunjukkan
kepada ketidak-senangan. Dan dengan hal-hal yang halus ini, dapatlah dipahami
akan rahasia sabda Nabi saw: “Bahwa yang terbaik apa yang dimakan oleh
seseorang, ialah: dari usahanya”. Telah dikemukakan kata-kata yang mengumpulkan
kesimpulan. Karena orang yang tidak mempunyai usaha, tidak ada harta yang
diwarisinya dari usaha ayahnya atau salah seorang keluarganya, lalu ia memakan
dari pemberian orang lain, walaupun diberikan tanpa meminta maka sesungguhnya
itu diberikan, disebabkan agamanya. Manakala batin orang itu, jikalau
disingkapkan, niscaya tidak akan diberikan, disebabkan karena agamanya, maka
apa yang diambilnya itu haram. Dan kalau diberikan disebabkan diminta, maka
dimanakah orang yang baik hatinya dengan memberi, apabila diminta? dan
dimanakah orang yang menyingkatkan pada meminta itu kepada batas darurat saja ?
Apabila anda menyelidiki keadaan orang yang memakan dari pemberian orang,
niscaya anda ketahui, bahwa semua apa yang dimakannya atau yang terbanyak
daripadanya itu haram. Dan yang baik, ialah: usaha yang anda usahakan dengan
kehalalan anda atau orang yang mempusakakan kepada anda. Jadi, jauhlah kiranya
daripada dapat dikumpulkan oleh orang yang menjaga diri’, serta ia memakan dari pemberian
manusia. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala, bahwa Ia memutuskan harapan
kita kepada yang lain. Dan Ia mengayakan kita dengan yang halal dari yang
haram, dengan kurniaNya dari bantuan lainNya, dengan kenikmatan dan keluasan
kemurahanNya. Sesungguhnya Ia Maha Kuasa atas apa yang dikehendakiNya.
PENJELASAN: kadar orang kaya
yang diharamkan meminta.
Ketahuilah, bahwa sabda Nabi saw:
“Barangsiapa meminta, sedang di belakangnya ada yang mencukupkannya, maka dia
itu meminta bara api. Maka hendaklah ia bersedikit atau berbanyak daripadanya”,
itu tegas pada mengharamkan. Akan tetapi, batas kaya itu sulit ditentukan. Dan
penakarannya itu sukar. Dan tidaklah kepada kita ini meletakkan penakaran. Akan
tetapi, yang demikian itu diketahui, dengan ajaran agama. Tersebut pada hadits:
“Merasa kayalah dengan kayanya Allah Ta’ala, dari orang lain”. Para sahabat
bertanya: “Apakah kekayaan itu ?”. Nabi saw menjawab: “Makanan siang sehari dan makanan malam semalam”. Pada hadits yang lain: “Siapa yang meminta, sedang ia
mempunyai 50 dirham atau sama dengan itu dari emas, maka dia itu meminta dengan
setengah paksaan”. Tersebut pada lafal yang lain: 60 dirham. Manakala timbul
perselisihan penakaran dan hadits-hadits itu benar, maka seyogyalah diyakini
dengan datangnya hadits-hadits itu dalam bermacam-macam hal. Dan kebenaran itu
tidak ada, selain: satu. Dan penakaran itu terlarang.
Kemungkinan yang
penghabisan itu pendekatan. Yang demikian tidak sempurna, selain dengan pembahagian
yang meliputi hal-ihwal orang-orang yang memerlukan. Maka kami jawab:
Rasulullah saw menjawab: “Tiada berhak anak Adam selain pada tiga perkara
yaitu: makanan yang menegakkan tulang punggungnya, kain yang menutupkan
auratnya dan rumah yang menutupkannya. Yang lebih dari itu, maka kena hisab
(hitungan amal)”. Maka marilah kita jadikan yang tiga ini pokok mengenai hajat
keperluan dan penelitian tentang jenis-jenis, penakaran-penakaran dan
waktu-waktu.
Adapun jenis, maka yaitu
yang 3 ini. Dan dihubungkan dengan yang 3 ini, apa yang dalam pengertiannya.
Sehingga dihubungkan dengan dia menyewa kendaraan bagi orang musafir, apabila
tidak sanggup berjalan kaki. Dan seperti demikian juga, segala kepentingan yang
berlaku seperti yang demikian. Dan dihubungkan dengan dirinya, akan keluarganya
dan anaknya. Dan juga setiap apa yang di bawah tanggungannya, seperti: binatang
kendaraan.
Adapun penakaran-penakaran,
maka mengenai kain, dijaga, yang layak bagi orang yang beragama. Yaitu: sehelai
kain, sehelai kemeja, sehelai sapu tangan, sehelai celana dan sepasang sepatu.
Adapun helai kedua dari setiap jenis tersebut, maka itu tidak diperlukan. Dan
hendaklah dikiaskan kepada ini, semua macam perabot rumah. Tiada seyogyalah
dicarikan kain yang halus dan bejana-bejana dari tembaga dan yang kuning, pada
apa yang memadai padanya tembikar. Bahwa yang demikian itu tidak diperlukan.
Maka disingkatkan dari bilangan kepada: satu. Dan dari macam, kepada jenisnya
yang terburuk, selama tidak yang demikian itu pada tingkat yang sangat jauh
dari kebiasaan. Mengenai makanan, maka kadarnya dalam sehari itu satu mud (1cupak).
Yaitu: yang dikadarkan oleh Syara’(agama). Dan macamnya itu apa yang menjadi
makanan sehari-hari, walaupun dari syair (semacam beras). Lauk-pauk
terus-menerus itu suatu hal yang berlebihan (tidak penting). Memutuskannya
secara keseluruhan itu mendatangkan melarat. Mencarikannya pada sebahagian
hal-keadaan itu diizinkan (diperbolehkan). Mengenai tempat tinggal, maka
sekurang-kurangnya memadai, dari segi kadarnya. Dan yang demikian, tanpa
perhiasan. Adapun meminta untuk perhiasan dan perluasan, maka itu meminta,
dibalik ada kekayaan. Mengenai dikaitkan kepada waktu, maka apa yang diperlukan
sekarang, dari makanan sehari semalam, kain yang dipakai dan tempat tinggal
yang menutupinya, maka tidak diragukan lagi. Adapun memintanya bagi masa
mendatang, maka ini mempunyai 3 derajat:
1. yang diperlukan besok.
2. yang diperlukan dalam 40 hari atau 50
hari.
3. yang diperlukan dalam setahun.
Dan marilah kita putuskan, bahwa siapa
yang ada padanya, yang mencukupi baginya dan bagi keluarganya -kalau ia
berkeluarga- untuk setahun, maka meminta-minta baginya itu haram. Bahwa yang
demikian itu penghabisan kaya. Dan kepadanyalah ditempatkan penakaran dengan 50
dirham pada hadits. Bahwa 5 dinar mencukupi untuk seorang dalam setahun,
apabila ia bertindak sederhana. Adapun orang yang berkeluarga, maka
kadang-kadang tidak mencukupi baginya yang demikian. Kalau ia memerlukan
kepadanya sebelum setahun, maka jikalau ia mampu tanpa meminta dan belum hilang
kesempatan baginya, niscaya tidak halal baginya meminta. Karena ia dalam
keadaan kaya sekarang. Kadang-kadang ia tidak akan hidup sampai besok. Maka ia
telah meminta apa yang tidak diperlukan nya. Lalu mencukupilah baginya makanan
siang sehari dan makanan malam semalam. Dan kepada yang demikianlah,
ditempatkan hadits yang menerangkan tentang penakaran dengan kadar ini. Kalau
telah hilang baginya kesempatan meminta dan ia tidak memperoleh orang yang akan
memberikan kepadanya, jikalau ia mengemudiankan meminta, maka dibolehkan
baginya meminta. Karena cita-cita terus hidup untuk setahun mendatang itu tidak
jauh dari kejadian. Maka ia dengan mengemudiankan meminta itu, takut bahwa ia
tinggal dalam keadaan yang sangat berhajat dan lemah, dari apa yang diperlukannya.
Kalau ketakutan kepada lemahnya meminta pada masa mendatang itu lemah dan apa
yang membawanya kepada meminta itu di luar dari keadaan darurat, niscaya tidak
terlepaslah memintanya itu dari kemakruhan. Dan kemakruhan itu menurut derajat
kelemahan sangat pentingnya, ketakutan kepada hilangnya kesempatan dan
terlambatnya masa, yang padanya ia memerlukan kepada meminta. Semua itu tidak
dapat ditentukan. Dan itu bergantung dengan ijtihad/keyakinan dan pandangan
orang itu sendiri bagi dirinya, diantara dia dan Allah Ta’ala. Maka ia meminta
fatwa pada hatinya. Dan beramal dengan yang demikian, kalau ia menempuh jalan
akhirat.
Setiap
orang yang lebih kuat keyakinannya, kepercayaannya dengan datangnya rezeki pada
masa mendatang itu lebih sempurna dan merasa berkecukupan/qana’ahnya dengan
makanan waktunya lebih menampak, maka derajatnya pada sisi Allah Ta’ala itu
lebih tinggi. Tidak adalah ketakutan masa mendatang dan Allah telah memberikan
kepada anda makanan hari anda, untuk anda dan keluarga anda, selain dari
lemahnya keyakinan dan mendengar kepada penakutan setan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu, kalau kamu
betul orang-orang yang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 175. Allah Ta’ala
berfirman: “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruh mengerjakan
perbuatan keji. Dan Allah menjanjikan ampunan dan kurniaNya kepadamu”. S 2 Al
Baqarah ayat 268. Meminta itu termasuk perbuatan keji yang diperbolehkan karena
darurat. Dan keadaan orang yang meminta karena keperluan yang masih jauh dari
harinya yang sekarang, walaupun meminta itu termasuk apa yang diperlukan dalam
setahun, adalah lebih berat dari keadaan orang yang memiliki harta yang
diwarisinya dan disimpankannya bagi keperluan dibalik tahun itu. Keduanya
diperbolehkan menurut fatwa secara zahiriah. Akan
tetapi, timbul dari cinta dunia, panjang angan-angan dan tidak percaya dengan
kurnia Allah. Dan bahagian itu termasuk induk yang membinasa kan. Kita
bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan kasih-sayang dan
kemurahanNya.
PENJELASAN: hal-ihwal
orang-orang yang meminta.
Adalah Bisyr ra berkata: “Orang miskin
itu 3 macam.
1.Orang miskin yang tidak meminta. Dan
kalau diberikan, dia tidak mau mengambil. Maka orang miskin ini, bersama
orang-orang ruhaniyah, dalam sorga tinggi.
2. Orang miskin yang tidak meminta.
Dan kalau diberikan, diambilnya. Maka orang miskin ini bersama orang-orang
muqarrabin dalam sorga Firdaus. Dan
3. Orang miskin yang meminta ketika
memerlukan (berhajat). Maka orang miskin ini bersama orang-orang yang benar
(ash-shiddiqin) dari orang-orang golongan kanan (ash-habul-yamin).
Jadi, semua mereka telah
sepakat mencela meminta-minta. Dan bersama dengan memerlukan kepada sesuatu,
maka martabat dan derajat itu menurun dengan meminta-minta. Syaqiq Al-Balakhi
mengatakan kepada Ibrahim bin Adham, ketika datang kepadanya dari Khurasan:
“Bagaimana engkau tinggalkan orang - orang miskin dari teman-teman engkau ?
Ibrahim bin Adham menjawab: “Aku tinggalkan mereka. Kalau mereka diberikan,
niscaya mereka bersyukur. Dan kalau tidak diberikan, niscaya mereka bersabar”.
Ibrahim bin Adham menyangka, bahwa tatkala ia menyifatkan mereka, dengan
meninggalkan meminta-minta, sesungguhnya ia telah memujikan mereka dengan
sehabis pujian. Lalu Syaqiq berkata: “Begitulah ditinggalkan anjing-anjing
negeri Balakh pada kami”. Maka Ibrahim bertanya kepada Syaqiq: “Bagaimana
orang-orang miskin pada engkau, hai Abu Ishak ?”. Syaqiq Al-Balakhi menjawab:
“Orang-orang miskin itu pada kami, kalau tidak diberikan, niscaya mereka
bersyukur. Dan kalau diberikan, niscaya mereka mengutamakan untuk mengambil”.
Ibrahim bin Adham lalu merangkul Syaqiq, seraya berkata: “Benar engkau, wahai
Ustadz !”.
Jadi, derajat orang-orang
yang mempunyai berbagai keadaan tentang rela, sabar, syukur dan meminta itu
banyak. Maka tidak dapat tidak bagi orang yang menempuh jalan akhirat, daripada
mengetahuinya, mengetahui pembahagiannya dan bermacam-macam derajatnya. Apabila
ia tidak tahu, niscaya ia tidak mampu, untuk mendaki dari lembahnya ke puncaknya.
Dan dari tingkat yang paling bawah ke tingkat yang paling tinggi. Manusia itu
diciptakan dalam bentuk yang paling baik. Kemudian, ditolak ke tingkat yang
paling bawah. Kemudian disuruh untuk mendaki ke tingkat yang paling tinggi.
Siapa yang tidak dapat membedakan antara bawah dan atas, niscaya ia tidak mampu
sekali-kali untuk naik. Sesungguhnya keraguan, ialah pada orang yang tahu
demikian. Karena ia kadang-kadang tidak mampu kepada yang demikian. Orang-orang
yang mempunyai keadaan yang demikian, kadang-kadang mereka dipaksakan oleh
keadaan yang menghendaki, bahwa meminta-minta itu menambahkan kepada mereka
pada derajatnya.
Akan tetapi, dengan
dikaitkan kepada keadaan mereka. Maka amal perbuatan yang seperti ini, adalah
dengan niat. Dan yang demikian, sebagaimana yang diriwayatkan, bahwa sebahagian
mereka melihat Abu Ishak An-Nuri ra mengulurkan tangannya dan meminta kepada
manusia pada sebahagian tempat. Sebahagian mereka tadi berkata: “Aku menganggap
besar yang demikian dan aku pandang keji yang demikian bagi Abu Ishak An-Nuri.
Lalu aku mendatangi Al-Junaid ra. Aku terangkan yang demikian kepadanya. Maka
Al-Junaid menjawab: “Tidak itu hal besar kepada engkau. Sesungguhnya An-Nuri
tidak meminta kepada manusia, selain untuk ia memberikan kepada mereka. Dan ia
meminta kepada mereka, supaya ia mempahalakan kepada mereka di akhirat. Lalu
mereka diberi pahala, dari segi ia tidak mendatangkan melarat kepada mereka.
Dan seakan-akan ia mengisyaratkan dengan yang demikian, kepada sabda Nabi saw:
“Tangan pemberi itu yang lebih tinggi”. Sebahagian mereka berkata: “Tangan
pemberi, ialah tangga pengambil bagi harta. Karena dia yang memberikan pahala
dan kadar pahala. Tidak bagi apa yang diambilnya”. Kemudian, Al-Junaid ra
berkata: “Ambillah timbangan !”. Lalu ia menimbang 100 dirham. Kemudian, ia
menggenggam segenggam dirham. Maka dicampakkannya keatas yang 100 tadi.
Kemudian, ia mengatakan: “Bawalah kepada An-Nuri !”. Lalu aku berkata kepada
diriku: “Sesungguhnya ditimbang sesuatu, supaya diketahui kadarnya. Maka bagaimana
ia mencampurkan dengan kadar itu akan apa yang tiada diketahuinya, padahal dia
seorang yang berilmu hikmah ? dan aku malu menanyakannya. Maka aku pergi ke
Basrah, kepada An-Nuri. Lalu An-Nuri berkata: “Ambillah timbangan !”. Lalu ia
menimbang 100 dirham. Dan ia mengatakan: “Kembalikanlah kepada Al-Junaid ! dan
katakanlah kepadanya: “Aku tidak menerima sesuatu daripada engkau”. Dan
diambilnya yang lebih dari 100. Yang meriwayatkan ini berkata: “Maka
bertambahlah keherananku. Lalu aku bertanya kepadanya. An-Nuri menjawab:
“Al-Junaid seorang yang berilmu hikmah. Ia menghendaki mengambil tali dengan
dua ujungnya. Ia menimbang 100 untuk dirinya, karena mencari pahala akhirat.
Dan dicampak kannya ke atas yang 100 itu segenggam dirham, tanpa timbangan, karena
Allah ‘Azza Wa Jalla. Lalu aku ambil apa yang karena Allah Yang Maha Memberi
barakah dan Maha Tinggi. Dan aku kembalikan apa yang diperbuatkannya bagi
dirinya”. Kata yang meriwayatkan: “Maka aku kembalikan bungkusan uang itu
kepada Al-Junaid. Ia menangis dan mengatakan: “An-Nuri mengambil hartanya dan
ia mengembalikan harta kita. Allah tempat meminta pertolongan”. Perhatikanlah
sekarang, bagaimana bersihnya hati dan hal-ihwal mereka. Bagaimana ikhlasnya
karena Allah, amal perbuatan mereka. Sehingga setiap seseorang dari mereka
menyaksikan hati temannya, tanpa menuturkan dengan lisan. Akan tetapi, ia
saksi-menyaksikan hati dan bicara-membicarakan rahasia. Yang demikian itu
natijah/hasil keyakinan memakan yang halal, kosongnya hati dari kecintaan
kepada dunia dan menghadap kepada Allah Ta’ala dengan cita-cita yang
setinggi-tingginya. Siapa yang memungkiri demikian, sebelum mencoba jalannya,
maka itu orang bodoh. Seperti orang yang memungkiri -umpamanya- akan ada obat
yang memudahkan keluar berak, sebelum meminumnya. Orang yang memungkirinya
sesudah lama usaha kesungguhannya, sehingga ia telah memberikan sehabis
tenaganya dan ia tidak sampai kepada keyakinan, lalu ia memungkiri yang
demikian bagi orang lain, niscaya adalah dia seperti orang yang meminum obat yang
memudahkan keluar berak, lalu tidak membekas pada dirinya khususnya, lantaran
penyakit dalam, maka ia memungkiri akan adanya obat yang memudahkan keluar
berak. Orang ini, walaupun tentang bodoh kurang dari orang yang pertama di
atas, akan tetapi, ia tidak terlepas dari bahagian yang cukup dari kebodohan.
Bahkan orang yang bermata hati itu salah seorang dari dua. Adakalanya orang
yang menjalani jalan. Lalu nampak baginya apa yang nampak bagi mereka. Maka dia
itu orang yang mempunyai rasa (az-zauq) dan ma’rifah. Ia sudah sampai kepada
keyakinan yang sebenarnya (‘ainul-yaqin). Dan adakalanya orang yang tidak
menjalani jalan atau menjalaninya dan tidak sampai kepada keyakinan yang
sebenarnya, akan tetapi ia mengimani dan membenarkannya, maka dia itu orang yang
mempunyai ilmul-yaqin. Walaupun ia tidak sampai kepada ‘ainul-yaqin. Bagi
ilmul-yaqin juga ada tingkatnya, walaupun kurang dari ‘ainul-yaqin. Siapa yang kosong dari ilmul-yaqin
(orang yang menyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu ) dan ‘ainul-yaqin ( keyakinan
yang timbul karena kita telah melihatnya dengan mata kepala sendiri), maka
orang itu keluar dari rombongan orang-orang yang beriman.
Dan dikumpulkan pada hari
kiamat dalam rombongan orang-orang yang ingkar, yang sombong, dimana mereka itu
pembunuh hati yang lemah dan pengikut setan. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala
bahwa Ia menjadikan kita dari orang-orang yang mantap dalam pengetahuan, yang
mengatakan: “Kami beriman. Semua dari sisi Tuhan kita. Tiada yang teringat,
selain orang-orang yang mempunyai akal”.
BAHAGIAN KEDUA: dari kitab
ini, tentang: zuhud.
Pada bahagian ini: penjelasan
hakikat/makna zuhud, penjelasan keutamaan zuhud, penjelasan derajat zuhud dan
bahagian-bahagiannya, penjelasan penguraian zuhud tentang makanan, pakaian,
tempat tinggal, perabot rumah dan berbagai macam penghidupan dan penjelasan
tanda zuhud.
PENJELASAN: hakikat/makna
zuhud.
Ketahuilah, bahwa zuhud dalam dunia
itu suatu kedudukan (maqam) yang mulia, dari maqam-maqam orang salik (orang
yang menjalani jalan Allah). Dan maqam ini teratur: dari ilmu, hal-ihwal dan
amal, seperti maqam-maqam yang lain. Karena pintu iman seluruhnya -sebagaimana
dikatakan oleh ulama salaf- kembali kepada ikatan, perkataan dan amal
perbuatan. Dan seakan-akan perkataan karena jelasnya, ditegakkan pada maqam
(kedudukan) hal-ihwal. Karena dengan perkataan itu lahirlah hal-ihwal yang
batiniyah. Jikalau tidak, maka tidaklah perkataan itu dimaksudkan bagi
perkataan itu sendiri. Jikalau ia tidak terbit dari suatu hal, yang dinamai:
Islam dan tidak dinamai: Iman. Ilmu itu sebab pada hal-ihwal, yang berlaku
sebagai tempat berlakunya yang mendatangkan buah. Dan amal yang berlaku dari
hal-ihwal itu pada tempat berlakunya buah. Maka marilah kami sebutkan akan
hal-ihwal bersama kedua tepinya: dari ilmu dan amal.
Adapun
hal-ihwal, maka yang kami kehendaki, ialah apa yang dinamakan, zuhud. Yaitu: ibarat berpalingnya dari kebencian kepada
sesuatu, kepada menyukai apa yang lebih baik daripadanya. Maka
setiap orang yang berpaling dari sesuatu, kepada yang lain, dengan
ganti-menggantikan, dengan jual dan lainnya, niscaya ia berpaling itu, karena
bencinya (tidak sukanya) kepada barang tersebut. Maka hal-ihwalnya dengan
dikaitkan kepada yang dipalingkan daripadanya, dinamakan: zuhud. Dan dengan
dikaitkan kepada yang dipalingkan kepadanya, dinamakan: kegemaran dan
kesayangan.
Jadi, hal-ihwal zuhud
mengundang yang tidak disukai dan yang disukai, yang lebih baik dari yang tidak
disukai. Syarat yang tidak disukai itu disukai juga dari salah satu segi. Orang
yang tidak suka kepada apa yang tidak dicarinya, maka dia itu dinamakan: orang
zuhud. Karena orang yang meninggalkan (tidak mencari) batu, tanah dan
sebagainya, tidaklah dinamakan: orang zuhud. Yang dinamakan orang zuhud, ialah:
orang yang meninggalkan (tidak mencari) dirham dan dinar. Karena tanah dan batu
tidaklah dalam sangkaan barang yang digemari.
Syarat barang yang
disukai, ialah ada padanya yang lebih baik dari yang tidak disukai. Sehingga
keraslah kegemaran ini. Orang yang menjual, tidak tampil kepada penjualan,
selain karena, yang dibeli adalah lebih baik padanya dari yang dijual. Maka
hal-ihwalnya dengan dikaitkan kepada yang dijual adalah zuhud. Dan dengan
dikaitkan kepada harga dari yang dijual, adalah kegemaran padanya dan
kesayangan. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka menjualnya
(Yusuf) dengan harga yang murah, beberapa dirham saja, sebab mereka kurang suka
kepadanya”. S 12 Yusuf ayat 20. Artinya: mereka para saudara nya menjual Yusuf.
Kadang-kadang beli itu disebutkan juga dengan arti jual. Dikatakan
saudara-saudara Yusuf itu zuhud (pada ayat diatas), karena mereka sangat ingin
supaya wajah ayah mereka tertuju kepada mereka saja. Dan adalah ayahnya menurut
pendapat mereka ketika itu akan lebih suka kepada mereka dari Yusuf. Lalu
mereka jual Yusuf, karena mengharap pada harganya. Jadi, setiap orang yang
menjual dunia dengan akhirat, maka orang itu zuhud di dunia. Setiap orang yang
menjual akhirat dengan dunia, maka dia juga orang zuhud. Akan tetapi di
akhirat. Tetapi adat kebiasaan itu berlaku, dengan mengkhususkan nama zuhud,
kepada orang yang zuhud di dunia. Sebagaimana dikhususkan nama mengingkari
(ilhad) kepada orang yang cenderung kepada yang batil/salah khususnya. Walaupun
adanya dia itu bagi kecenderungan pada meletakkan lisan pada pemakaiannya.
Tatkala adalah zuhud itu
secara keseluruhan benci kepada yang disukai, niscaya tidaklah tergambar,
selain dengan berpaling kepada sesuatu yang lebih disukai. Kalau tidak, maka
meninggalkan yang disukai dengan tidak yang lebih disukai, adalah mustahil. Orang
yang tidak ingin kepada setiap sesuatu selain Allah Ta’ala, sehingga sorga
Firdaus sekalipun dan ia tidak mencintai, selain Allah Ta’ala, maka orang itu mutlak zuhud. Orang yang tidak mengingini setiap
keberuntungan di dunia dan ia tidak zuhud pada yang seperti
keberuntungan-keberuntungan yang demikian di akhirat, akan tetapi ia ingin
kepada bidadari, istana, sungai dan buah-buahan, maka dia juga orang zuhud.
Akan tetapi kurang dari yang pertama tadi. Orang yang meninggalkan
keberuntungan dunia sebahagian dan tidak sebahagian, seperti orang yang
meninggalkan (tidak mau menerima) harta, tetapi tidak menolak kemegahan atau
meninggalkan berluas-luasan pada makan dan tidak meninggalkan
bercantik-cantikan pada perhiasan, maka tidaklah dinamakan: orang zuhud mutlak.
Derajatnya dalam kalangan orang-orang zuhud adalah derajat orang yang bertaubat
dari sebahagian perbuatan maksiat dalam kalangan orang-orang yang bertaubat.
Dan itu zuhud yang benar. Sebagaimana taubat dari sebahagian perbuatan maksiat
itu sah. Maka taubat itu ibarat dari meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
dilarang. Dan zuhud itu ibarat dari meninggalkan hal-hal yang mubah (yang
diperbolehkan), yang menjadi keberuntungan diri. Dan tidak jauh dari kebenaran,
bahwa ditaksir kepada meninggalkan sebahagian yang mubah (yang diperbolehkan),
tidak sebahagian yang lain. Sebagaimana tidak jauh yang demikian pada hal-hal
yang dilarang. Orang yang menyingkatkan kepada meninggalkan yang dilarang saja,
tidaklah dinamakan: orang zuhud. Walaupun ia telah berzuhud pada yang dilarang
dan berpaling diri daripadanya.
Akan tetapi adat kebiasaan
mengkhususkan nama zuhud ini, kepada: meninggalkan perbuatan yang mubah. Jadi,
zuhud itu ibarat dari kebencian kepada dunia, dengan berpaling kepada akhirat.
Atau dari selain Allah Ta’ala, dengan berpaling kepada Allah Ta’ala. Dan itu
derajat tertinggi. Sebagaimana disyaratkan pada yang disukai, bahwa itu lebih
baik padanya, maka disyaratkan pada yang disukai itu, bahwa dapat disanggupi.
Meninggalkan apa yang tidak disanggupi itu mustahil. Dan dengan meninggalkan
itu, nyatalah hilang kesukaan.
Karena itulah, dikatakan
kepada Ibnu-Mubarak: “Hai orang zuhud !”. Ibnu-Mubarak lalu menjawab: “Yang zuhud
itu Umar bin Abdul-aziz. Karena dunia datang kepadanya, dengan memaksa, maka
ditinggalkannya. Adapun aku, pada apa aku berzuhud ?”. Ilmu yang membuahkan hal
keadaan ini, yaitu ilmu (tahu), dengan adanya yang ditinggalkan itu hina,
dengan dikaitkan kepada yang diambil, seperti tahunya saudagar bahwa harga
(ganti dari barang yang dijual) itu lebih baik dari barang yang dijual. Maka ia
suka pada harga itu. Sebelum ilmu (tahu) ini diyakini (ditahkikan), niscaya
tidaklah tergambar, bahwa hilang kesukaan kepada barang yang dijual. Maka
seperti demikianlah, orang yang berma’rifah, bahwa apa yang pada Allah Ta’ala
itu kekal. Bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Artinya: kelezatannya
lebih baik dan lebih kekal pada dirinya. Sebagaimana mutiara itu lebih baik dan
lebih kekal dari salju –umpamanya. Tidak sukar atas pemilik salju menjualnya
dengan mutiara dan intan permata. Demikianlah contoh dunia dan akhirat. Dunia
itu seperti salju yang terletak pada matahari, yang senantiasa hancur, sampai
habis. Dan akhirat itu seperti mutiara yang tidak hancur binasa.
Dengan kadar kuatnya
keyakinan dan ma’rifah, dengan berlebih kurangnya, diantara dunia dan akhirat,
kuatlah keinginan pada menjual dan muamalah(jual beli). Sehingga, orang yang
kuat keyakinannya, akan menjual dirinya dan hartanya, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang mu’min,
dengan memberikan sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Kemudian, Allah
Ta’ala menerangkan, bahwa usaha mereka itu beruntung. Allah Ta’ala berfirman:
“Sebab itu, bersuka-citalah dengan perjanjian yang telah kamu perbuat”. S 9 At
Taubah ayat 111. Tidak diperlukan dari ilmu pada zuhud, selain sekadar ini.
Yaitu: bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal.
Kadang-kadang diketahui yang demikian, oleh
orang yang tidak mampu meninggalkan dunia. Adakalanya, karena kelemahan ilmunya
dan keyakinan nya. Adakalanya, karena dikuasai hawa nafsu ketika itu atas
dirinya dan dia dipaksakan dalam tangan setan. Dan adakalanya, karena tertipunya
dengan janji-janji setan, tentang masa mendatang, hari demi hari, sehingga ia
sambar oleh kematian. Dan tidak ada lagi padanya, selain penyesalan sesudah
luput waktunya. Untuk memperkenalkan kekejian dunia, diisyaratkan dengan firman
Allah ‘Azza Wa Jalla: “Katakanlah: “Kesenangan dunia itu hanya sebentar”. S 4
An Nisaa’ ayat 77. Kepada memperkenalkan kebagusan akhirat diisyaratkan dengan
firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata:
malang nasibumu ! pahala dari Allah itu lebih baik”. S 28 Al Qashash ayat 80.
Maka diberitahukan, bahwa ilmu (tahu) dengan kebagusan mutiara, itulah yang
tidak menggalakkan kepada harganya (ganti dari mutiara). Tatkala zuhud itu
tidak tergambar, selain dengan ganti-bergantian dan benci kepada yang disukai,
kepada menyukai yang lebih disukai, maka seorang laki-laki mengucapkan dalam
doanya: “Wahai Tuhan, perlihatkanlah kepadaku dunia, sebagaimana Engkau
melihatnya !”. Lalu Nabi saw bersabda kepada orang itu: “Jangan kamu ucapkan
demikian ! akan tetapi ucapkanlah: “Perlihatkanlah dunia kepadaku, sebagaimana
Engkau perlihatkan kepada orang-orang shalih dari hamba-hambaMu”. Ini, karena
Allah Ta’ala melihat dunia itu hina, sebagaimana adanya dunia itu. Dan setiap
makhluk, maka dikaitkan kepada keagunganNya, adalah hina. Hamba melihat dunia
itu hina terhadap dirinya, dengan dikaitkan kepada apa yang lebih baik. Dan
tidak tergambar, bahwa penjual kuda, walaupun ia tidak suka kepada kudanya,
sebagaimana ia melihat binatang-binatang kecil di atas tanah umpamanya. Karena
ia tidak memerlukan sekali-kali kepada binatang-binatang kecil itu. Dan ia
memerlukan kepada kuda.
Allah Ta’ala maha kaya
dengan ZatNya, dari setiap sesuatu selain daripadaNya. Maka Ia melihat setiap
sesuatu, dalam satu derajat, dengan dikaitkan kepada keagunganNya. Ia melihat
setiap sesuatu itu berlebih-kurang, dengan dikaitkan kepada yang lain. Dan
orang zuhud, ialah orang yang melihat berlebih-kurangnya, dengan dikaitkan
kepada dirinya. Tidak kepada orang lain.
Adapun amal perbuatan yang
timbul dari hal-ihwal zuhud, maka yaitu: meninggalkan yang satu. Karena yang
satu itu jual-beli/muamalah. Dan menggantikan dengan yang lebih baik, dari yang
lebih buruk. Sebagaimana amal perbuatan yang timbul dari akad jual-beli, yaitu:
meninggalkan yang dijual dan mengeluarkannya dari tangan dan mengambil
harganya. Maka seperti demikianlah zuhud, yang mengharuskan meninggalkan yang
dizuhudkan secara keseluruhan. Yaitu: dunia dengan isinya, serta
sebab-sebabnya, pendahuluan-pendahuluannya dan hubungan-hubungannya. Lalu
keluarlah dari hati akan kecinta an kepadanya. Masuklah kecintaan kepada taat.
Dan keluar dari mata dan tangan, apa yang dikeluarkannya dari hati. Ia
mempekerjakan kepada tangan, mata dan anggota-anggota badan lainnya, akan
pekerjaan-pekerjaan taat. Kalau tidak demikian, niscaya adalah dia seperti
orang yang menyerahkan barang yang dijual dan tidak mengambil harganya. Apabila
telah disempurnakan dengan syarat bagi kedua-belah pihak, tentang mengambil dan
meninggalkan, maka hendaklah ia bergembira dengan perjanjian yang diperbuatnya.
Bahwa yang diperbuatnya dengan perjanjian ini, telah disempurnakan dengan
janji. Siapa yang menyerahkan akan yang hadir pada yang gaib dan ia menyerahkan
yang hadir itu, lalu ia berusaha mencari yang ghaib, niscaya diserahkan kepada
yang ghaib, ketika selesainya dari usahanya, jikalau yang berbuat akad itu
orang yang dipercayakan kebenarannya, kemampuannya dan penepatannya akan janji.
Selama ia memegang dunia, niscaya sekali-sekali tidak sah zuhudnya. Karena
itulah, Allah Ta’ala tidak menyifatkan saudara-saudara Yusuf dengan zuhud
mengenai Bunyamin, walaupun mereka berkata: “Sungguh Yusuf dan saudaranya lebih
dicintai oleh bapak kita daripada kita”. Mereka telah berazam (mengambil
keputusan) menjauhkan Binyamin, sebagaimana mereka berazam terhadap Yusuf. Lalu
salah seorang mereka memberi pertolongan kepada Bunyamin, lalu tidak dijauhkan.
Allah Ta’ala tidak juga
menyifatkan mereka dengan zuhud, mengenai Yusuf, ketika diambil keputusan
mengeluarkannya. Akan tetapi, ketika penyerahan dan penjualan. Maka tanda suka
itu ditahan dan tanda zuhud itu dikeluarkan. Kalau anda mengeluarkan dari
tangan akan sebahagian dari dunia, tidak sebahagian yang lain, maka anda itu
orang zuhud, mengenai apa yang anda keluarkan saja. Dan tidaklah anda orang
yang zuhud secara mutlak. Kalau tidak ada bagi anda harta dan anda tidak
ditolong oleh dunia, niscaya tidak tergambarlah zuhud dari anda. Karena apa
yang tidak disanggupi itu, tidaklah disanggupi kepada meninggalkannya.
Kadang-kadang anda ditarik oleh setan dengan tipuannya dan dikhayalkannya
kepada anda, bahwa dunia walaupun tidak datang kepada anda, maka anda itu orang
yang zuhud dalam dunia.
Maka tiada seyogyalah anda
jatuh terkulai dengan tali tipuan setan, tanpa anda menaruh kepercayaan dan
menampakkan dengan kepercayaan yang tebal kepada Allah. Sesungguhnya apabila
anda tidak mencobakan akan keadaan kemampuan, maka anda tidak percaya dengan
kemampuan kepada meninggal kan padanya. Berapa banyak orang yang menyangka pada
dirinya, kebencian akan perbuatan maksiat, ketika berhalangan memperbuatnya,
maka tatkala mudah baginya sebab-sebab kemaksiatan, tanpa kekeruhan dan
ketakutan kepada makhluk, lalu jatuhlah ia ke dalamnya. Kalau adalah ini tipuan
diri pada yang terlarang, maka awaslah bahwa anda percaya dengan janjinya pada
perbuatan-perbuatan yang mubah. Dan janji yang tebal yang anda ambil padanya,
ialah, bahwa anda coba berkali-kali pada masa mampu. Apabila anda tepati dengan
apa yang selalu anda janjikan, serta tidak ada penghalang dan kesukaran
zahiriyah dan batiniyah, maka tiada mengapa anda percaya dengan kepercayaan
sekadarnya. Akan tetapi, anda menjaga juga dari perobahannya. Karena dunia itu
cepat melanggar janji dan dekat kembali kepada yang dikehendaki oleh tabiat
manusia.
Kesimpulannya, tidaklah
aman dari dunia, selain ketika ditinggalkan, dengan dikaitkan kepada yang
ditinggalkan saja. Dan yang demikian ketika sanggup mengerjakannya. Ibnu Abi
Laila mengatakan kepada Ibnu Syibrimah: “Adakah tidak engkau melihat kepada
anak perajut kain ini ? Kami tidak berfatwa pada sesuatu masalah, selain yang
ditolakkan kepada kami”. Ya’ni: oleh Abu Hanifah. Ibnu Syibrimah lalu menjawab:
“Aku tidak tahu, diakah anak perajut kain atau bukan dia ? akan tetapi, aku tahu bahwa dunia datang kepadanya, maka ia lari
daripadanya. Dan dunia itu lari dari kita, lalu kita mencarinya”.
Demikian juga, semua kaum muslimin mengatakan pada masa Rasulullah saw:
“Sesungguhnya kami mencintai Tuhan kami. Jikalau tahu tentang sesuatu yang
disukaiNya, niscaya kami kerjakan. Sehingga turunlah firman Allah Ta’ala: “Dan
kalau Kami perintahkan kepada mereka: Korbankanlah dirimu atau keluarlah dari
negerimu, niscaya mereka tidak akan menjalankan, selain dari sebahagian kecil
diantara mereka”. S 4 An Nisaa’ ayat 66.
Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Engkau dari mereka”. Ya’ni: dari yang
sedikit. Ibnu Mas’ud menjawab: “Aku tidak kenal, bahwa ada pada kami orang yang
mencintai dunia. Sehingga turunlah firman Allah Ta’ala: “Diantara kamu ada
orang yang suka dunia dan diantara kamu ada yang suka akhirat”. S 3 Ali ‘Imran
ayat 152. Ketahuilah, bahwa tidaklah termasuk zuhud meninggalkan harta dan
memberikannya atas jalan kemurahan hati dan kebelas-kasihan, atas jalan
menarikkan hati manusia dan atas jalan kelobaan. Yang demikian itu semua
termasuk adat kebiasaan yang baik. Akan tetapi, tiada masuk satupun daripadanya
dalam ibadah.
Zuhud itu, bahwa anda
meninggalkan dunia, karena anda tahu dengan kehinaan dunia, dikaitkan kepada
kebagusan akhirat. Adapun setiap macam dari yang ditinggalkan, maka itu
tergambar dari orang yang tiada beriman kepada akhirat. Itu kadang-kadang
adalah kepribadian, belas-kasihan, kemurahan hati dan kebagusan akhlak. Akan
tetapi, tidaklah itu zuhud. Karena baiknya sebutan dan kecenderungan hati
manusia itu termasuk sebahagian dari keberuntungan yang segera dicapai (di
dunia). Dan itu paling enak dan nyaman dibandingkan dengan harta. Sebagaimana
meninggalkan harta atas jalan menyerahkan kepada orang, karena mengharap
gantinya, tidaklah termasuk zuhud, maka seperti demikian juga meninggalkannya,
karena mengharap disebutkan orang, pujian, kemasyhuran dengan kebelas-kasihanan
dan kemurahan hati dan perasaan berat karena harta itu. Karena pada menjagakan
harta, terdapat kesulitan dan kepayahan. Berhajat kepada kehinaan diri bagi
sultan-sultan (penguasa-penguasa) dan orang-orang kaya, tidaklah sekali-kali
termasuk zuhud. Akan tetapi, itu adalah penyegeraan keberuntungan lain bagi
diri. Akan tetapi orang yang zuhud, ialah siapa yang didatangi oleh dunia
dengan memaksa, hatinya bersih dan meminta maaf dan orang itu sanggup menikmati
dunia itu, tanpa berkekurangan kemegahan dan buruk nama dan tidak kehilangan
keberuntungan bagi diri, lalu ditinggalkannya dunia tadi, karena takut hatinya
berjinakan dengan dunia, lalu ia berjinakan hati dengan selain Allah dan
mencintai bagi yang selain Allah dan ia mempersekutukan kecintaan kepada Allah
Ta’ala dengan lain atau ia meninggalkan dunia, karena mengharap pahala yang
diberikan oleh Allah di akhirat, maka ia meninggalkan bersenang-senang dengan
minuman dunia, karena mengharap pada minuman sorga, ia meninggalkan
bersenang-senang dengan budak-budak wanita dan kaum wanita, karena mengharap
pada bidadari, ia meninggalkan bersenang-senang di kebun-kebun, karena
mengharap di kebun sorga dan pohon-pohonnya, ia meninggalkan perhiasan dan
bercantik-cantikkan dengan perhiasan dunia, karena mengharap pada perhiasan
sorga dan ia meninggalkan makanan yang lezat-lezat, karena mengharap pada
buah-buahan sorga dan karena takut dikatakan kepadanya: “Kesenanganmu telah
kamu habiskan dalam kehidupanmu di dunia”. S 46 Al Ahqaaf ayat 20. Lalu ia
mengutamakan pada semuanya itu, akan apa yang dijanjikan dalam sorga, dari apa
yang mudah baginya di dunia, dengan meminta maaf dan dengan kebersihan hati.
Karena ia tahu, bahwa apa yang di akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Yang
selain dari itu, maka adalah muamalah duniawi, yang tiada sekali-kali berfaedah
di akhirat.
PENJELASAN: keutamaan zuhud.
Allah Ta’ala berfirman: “Lalu dia keluar
kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah-indah). Orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia ini berkata: “Wahai ! kiranya kami mempunyai
seperti apa yang diberikan kepada Qarun ! sesungguhnya dia beruntung yang besar
(bernasib baik) ! tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata: “Malang
nasibmu ! pahala dari Allah lebih baik untuk orang yang beriman dan mengerjakan
perbuatan baik, tetapi hanyalah orang-orang yang sabar dapat menerimanya”. S 28
Al Qashash ayat 79-80. Allah Ta’ala menyangkutkan zuhud kepada ulama dan
menyifarkan ahli zuhud itu dengan sifat ilmu. Dan itu penghabisan pujian. Allah
Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan upah dua kali lipat,
disebabkan kesabaran mereka”. S 28 Al Qashash ayat 54. Tersebut dalam tafsir
tentang zuhud di dunia. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami menjadikan
apa yang di bumi ialah untuk menjadi perhiasan baginya, karena Kami hendak
menguji siapakah diantara mereka yang paling baik pekerjaannya”. S 18 Al Kahfi
ayat 7. Dikatakan, maknanya: yang manakah mereka yang lebih zuhud di dunia ?
maka Allah menyifatkan zuhud itu, termasuk amal perbuatan yang terbaik. Allah
Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang ingin kepada keuntungan hari akhirat, akan
Kami berikan tambahan kepada keuntungannya itu. Dan barangsiapa yang ingin
kepada keuntungan di dunia ini, akan Kami berikan keuntungan itu kepadanya,
tetapi dia tiada mempunyai bagian lagi pada hari akhirat”. S 42 Asy Syuura ayat
20. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau tujukan pemandangan engkau
kepada kesenangan sebagai bunga kehidupan dunia yang telah Kami berikan kepada
beberapa golongan diantara mereka karena Kami hendak menguji mereka dengan itu;
sedang rezeki(pemberian) dari Tuhan engkau, lebih baik dan lebih kekal” S20
Thaahaa ayat131 Allah Ta’ala berfirman: “(yaitu) orang-orang yg lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat”. S 14 Ibrahim ayat 3. Allah Ta’ala
menyifatkan orang-orang kafir dengan yang demikian. Pengertiannya, ialah bahwa
orang mu’min, yaitu yang bersifat dengan lawannya. Yaitu: mencintai kehidupan
akhirat dari kehidupan dunia. Hadits-hadits, mengenai pencelaan dunia itu
banyak. Sebahagian daripadanya sudah kami kemukakan dahulu pada Kitab
Tercelanya Dunia dari bahagian Rubu’ Yang Membinasakan. Karena kecintaan kepada
dunia itu ternasuk yang membinasakan. Sekarang kami akan menyingkatkan kepada
keutamaan memarahi dunia. Karena memarahi dunia itu termasuk yang melepaskan
dari bahaya. Dan itulah, yang dimaksudkan dengan zuhud.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menjadi cita-citanya dunia, niscaya
dihancurkan oleh Allah urusannya. Dicerai-beraikan harta bendanya. Dijadikan
kemiskinan di hadapannya. Dan tidak didatangkan kepadanya dari dunia, selain
apa yang telah tertulis baginya. Dan siapa yang menjadi cita-citanya.
Dipeliharakan harta bendanya. Dijadikan kekayaannya dalam hatinya. Dan dunia
datang kepadanya dengan memaksakan”.
Nabi saw bersabda:
“Apabila kamu melihat seorang hamba dan telah dianugerahkan kepadanya diam dan
zuhud di dunia, maka dekatilah kepadanya. Sesungguhnya ia akan mengajarkan ilmu
hikmah”. Allah Ta’ala berfirman: “Allah memberikan kebijaksanaan (hikmah)
kepada siapa yang dikehendakiNya dan orang yang diberiNya kebijaksanaan itu,
sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak”. S 2 Al Baqarah ayat 269.
Karena itulah dikatakan: barangsiapa zuhud di dunia 40 hari, niscaya
dimengalirkan oleh Allah mata air-mata air hikmah dalam hatinya. Dan menuturkan
dengan hikmah itu akan lidahnya. Dari sebahagian sahabat mengatakan: “Kami bertanya:
“Wahai Rasulullah ! manusia yang mana yang lebih baik ?”. Rasulullah saw
menjawab: “Setiap orang mu’min, yang terpelihara hati (mahmuu-mil-qalbi), yang
benar lisan”. Kami bertanya: “Apakah mahmuu-mil-qalbi itu ?”. Rasulullah saw
menjawab: “Yang taqwa, yang bersih, yang tak ada belenggu padanya, tak ada
penipuan, tak ada kedurhakaan dan tak ada kedengkian”. Kami bertanya: “Wahai
Rasulullah ! siapakah yang membekas yang demikian ?”. Nabi saw menjawab: “Yang
marah kepada dunia dan mencintai akhirat”. Pengertian ini, ialah: bahwa manusia
yang jahat, ialah yang mencintai dunia. Nabi saw bersabda: “Kalau kamu ingin
dikasihi oleh Allah, maka zuhudlah di dunia”. Dijadikan zuhud sebab bagi
kecintaan. Maka siapa yang dicintai oleh Allah Ta’ala, niscaya ia pada derajat
yang tertinggi. Maka seyogyalah zuhud di dunia termasuk maqam yang paling
utama. Dan pengertiannya juga, bahwa mencintai dunia mendatangkan kemarahan
Allah Ta’ala.
Pada hadits dari jalan
ahlil-bait (keluarga Nabi saw), tersebut: “Zuhud dan wara’/menjaga diri beredar
dalam hati setiap malam. Kalau keduanya menemui hati, yang padanya iman dan
malu, niscaya keduanya menetap di dalamnya. Jikalau tidak, niscaya keduanya
berangkat”. Tatkala Haritsah mengatakan kepada Rasulullah saw: “Aku orang yang
beriman sebenar-benarnya”, maka beliau bersabda: “Apakah hakikat/makna imanmu
?”. Haritsah menjawab: “Aku palingkan diriku dari dunia. Maka samalah padaku
batunya dan emasnya. Seakan-akan aku di sorga dan di neraka. Dan seakan-akan
aku menampak di ‘Arasy Tuhanku”. Nabi saw lalu menjawab: “Engkau telah tahu,
maka selalulah demikian ! hamba yang disinarkan oleh Allah akan hatinya dengan
iman”. Perhatikanlah, bagaimana Nabi saw memulai pada melahirkan hakikat/makna
iman, dengan memalingkan diri dari dunia dan membaringinya dengan yakin.
Bagaimana Rasulullah saw mensucikannya, karena beliau bersabda: “Hamba yang
disinarkan oleh Allah akan hatinya dengan iman”. Tatkala Rasulullah saw
ditanyakan tentang arti asy-syarah (melapangkan) pada firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang dikehendaki oleh Allah akan diberiNya
petunjuk, niscaya disyarahkan (dilapangkan) dadanya bagi agama Islam”.
S 6 Al An’aam ayat 125.
Ditanyakan kepada Nabi
saw: “Apakah asy-syarah itu ?”. Nabi saw menjawab: “Bahwa sinar (nur) apabila
masuk dalam hati, niscaya lapanglah dadanya dan meluas”. Ditanyakan lagi:
“Wahai Rasulullah ! adakah yang demikian mempunyai alamat (tanda) ?”. Nabi saw
menjawab: “ya, ada ! Yaitu: merenggangkan diri dari negeri tipuan (dunia)
kembali ke negeri kekal dan bersedia bagi mati, sebelum datangnya”.
Perhatikanlah, bagaimana zuhud itu dijadikan syarat bagi Islam. Yaitu
merenggangkan diri (menjauhkan diri) dari negeri tipuan. Nabi saw bersabda:
“Malulah kepada Allah, dengan malu yang sebenar-benarnya !”. Para sahabat
menjawab: “Sesungguhnya kami malu kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw lalu menjawab:
“Bukan demikian. Kamu membangun apa yang tidak kamu tempati. Kamu mengumpulkan
apa yang tidak kamu makan”. Nabi saw menerangkan bahwa yang demikian itu mengurangkan malu kepada
Allah Ta’ala.
Tatkala datang sebahagian
utusan kepada Nabi saw, lalu mereka mengatakan: “Kami sesungguhnya orang
beriman”. Nabi saw menjawab: “Apa tandanya imanmu ?”. Lalu mereka menyebutkan
sabar ketika datang percobaan, syukur ketika senang, ridha dengan datangnya
qodo-qadar dan meninggalkan makian dengan musibah apabila datang kepada musuh.
Maka Nabi saw menjawab: “Kalau kamu seperti yang demikian, maka janganlah kamu
kumpulkan apa yang tidak kamu makan. Janganlah kamu bangun apa yang tidak kamu
tempati. Dan jangan kamu berlomba-lomba pada apa yang akan kamu tinggalkan”.
Nabi saw menjadikan zuhud
sebagai penyempurnaan iman mereka. Jabir ra berkata: “Rasulullah saw berpidato
kepada kami. Beliau bersabda: “Barangsiapa membaca “laa ilaaha illallaah”, yang
tidak dicampurkannya dengan yang lain, niscaya haruslah baginya sorga”. Lalu
bangun Ali ra, seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah. Apakah
yang tidak dicampurkan dengan yang lain ? terangkanlah kepada kami !
tafsirkanlah kepada kami !”. Nabi saw lalu bersabda: “Mencintai dunia, dengan
mencari dan mengikutinya. Suatu kaum yang mengatakan perkataan nabi-nabi dan
berbuat perbuatan orang-orang zalim. Maka siapa yang membaca “laa ilaaha
illallaah” , yang tidak ada padanya sesuatu dari ini, niscaya haruslah baginya
sorga”. Tersebut pada hadits: “Kemurahan hati itu dari keyakinan dan tidak
masuk neraka orang yang berkeyakinan. Kikir itu dari keraguan. Dan tidak masuk
sorga, orang yang ragu”.
Nabi saw bersabda pula:
“Orang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan
sorga. Orang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, dekat dengan
neraka”. Kikir itu buah kegemaran pada dunia. Kemurahan hati itu buah zuhud.
Dan pujian atas buah itu pujian -sudah pasti- kepada yang membuahkan.
Diriwayatkan dari
Ibnul-Musayyab, dari Abi Dzarr, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa zuhud di dunia, niscaya dimasukkan oleh Allah ilmu hikmah dalam
hatinya. Maka Ia menuturkan dengan ilmu hikmah itu lidahnya. Ia memperkenalkan
kepadanya penyakit dunia dan obatnya. Dan Ia mengeluarkannya dari dunia dengan
selamat sejahtera ke sorga darussalam (negeri yang sejahtera)”.
Diriwayatkan, bahwa Nabi
saw melalui tempat sahabat-sahabatnya, yang mempunyai unta-unta betina, yang
tidak diperahkan susunya lagi. Unta-unta betina itu sedang bunting. Adalah
unta-unta itu termasuk harta mereka yang lebih disukai dan lebih berharga pada
mereka. Karena terkumpul padanya punggungnya (untuk kendaraan), dagingnya,
susunya, bulunya (untuk pakaian) dan karena besar kedudukan unta-unta itu pada
hati mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Dan ketika unta-unta betina telah
ditinggalkan”. S 81 At Takwiir ayat 4. Kata yang merawikan: “Maka Rasulullah
saw memalingkan mukanya dari unta-unta itu dan memicingkan matanya. Lalu
ditanyakan kepadanya: “Wahai Rasulullah ! inilah harta kami yang paling
berharga. Mengapa engkau tidak melihat kepadanya ?”. Rasulullah saw lalu
menjawab: “Allah telah melarangku dari yang demikian”. Kemudian, beliau membaca
firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau tujukan pemandangan engkau kepada
kesenangan sebagai bunga kehidupan dunia yang telah Kami berikan kepada
beberapa golongan diantara mereka, karena Kami hendak menguji mereka dengan
itu; sedang rezeki (pemberian) dari Tuhan engkau, lebih baik dan lebih kekal”.
S 20 Thaahaa ayat 131.
Masruq merawikan dari
‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah tidak
engkau meminta makanan pada Allah, maka Allah memberi makanan kepada engkau ?”.
‘Aisyah meneruskan riwayatnya: “Aku menangis tatkala aku melihatnya lapar.
Beliau lalu menjawab: “Hai ‘Aisyah ! demi Tuhan yang nyawaku di TanganNya !
jikalau aku meminta pada Tuhanku, supaya Ia mengalirkan kepadaku bukit-bukit
dunia menjadi emas, niscaya Ia akan mengalirkannya, dimana aku kehendaki dari
bumi. Akan tetapi, aku memilih kelaparan di dunia dari kekenyangannya,
kemiskinan di dunia dari kekayaannya dan kesedihan di dunia dari
kegembiraannya. Hai ‘Aisyah ! bahwa Allah tidak rela bagi nabi-nabi ulil-‘azmi,
yang termasuk sebahagian dari rasul, selain bersabar atas yang tidak disukai di
dunia dan bersabar atas yang disukai. Kemudian, Allah tidak rela bagiku, selain
bahwa Ia memberatkan aku, akan apa yang telah diberatkanNya mereka. Ia
berfirman: “Maka hendaklah engkau bersabar, sebagaimana sabarnya rasul-rasul
yang berkemauan kuat (ulul-‘azmi)”. S 46 Al Ahqaaf ayat 35. Demi Allah ! tak
boleh tidak bagiku mentaatiNya. Demi Allah ! aku akan bersabar, sebagaimana
mereka bersabar, dengan segala tenagaku. Dan tiada kekuatan, selain dengan
bantuan Allah”.
Diriwayatkan dari Umar ra,
bahwa tatkala terbuka baginya beberapa kemenangan dalam peperangan, maka
puterinya Hafshah ra berkata kepadanya: “Pakailah kain yang lembut-lembut,
apabila datang kepada ayah utusan-utusan dari segala penjuru ! suruhlah dibuat
makanan yang akan ayah makan dan ayah beri makan orang yang datang !”. Umar ra
menjawab: “Hai Hafshah ! apakah engkau tidak tahu, bahwa orang yang paling
mengetahui keadaan seseorang, yaitu: keluarganya ?”. Hafshah menjawab: “Benar
!”. Umar berkata: “Kiranya Allah menolong engkau ! tahukah engkau, bahwa
Rasulullah saw senantiasa dalam kenabiannya demikian dan demikian sepanjang
tahun ? beliau dan keluarganya tidak kenyang pada waktu pagi, selain terus
lapar sampai sore. Mereka tidak kenyang pada waktu sore, selain terus lapar
sampai pagi. Kiranya Allah menolong engkau ! tahukah engkau, bahwa Nabi saw
senantiasa dalam kenabian demikian, demikian sepanjang tahun. Beliau dan
keluarganya tidak kenyang dari tamar, sehingga Allah memenangkannya pada perang
Khaibar. Kiranya Allah menolong engkau ! tahukah engkau, bahwa Rasulullah saw
pada suatu hari, kami dekatkan makanan kepadanya di atas hidangan yang tinggi.
Maka sulitlah yang demikian kepadanya. Sehingga berobah warna mukanya.
Kemudian, beliau suruh hidangan itu dipindahkan. Maka diangkat ke tempat lain.
Dan diletakkan makanan yang kurang dari yang demikian atau diletakkan di atas
lantai. Kiranya Allah menolong engkau ! tahukah engkau, bahwa Rasulullah saw
tidur di atas baju panjang yang berlipat. Lalu dilipatkan baginya pada suatu
malam 4 lapis gulungan. Lalu beliau tidur diatasnya. Tatkala beliau bangun,
beliau bersabda: “Kamu larang aku bangun malam (untuk mengerjakan shalat)
dengan sebab baju panjang ini. Lipatlah sekarang dengan dua lipatan,
sebagaimana yang sudah kamu lipatkan ! kiranya Allah menolong engkau ! tahukah
engkau, bahwa Rasulullah saw meletakkan kain bajunya, untuk dicuci. Maka datang
Bilal, lalu melakukan adzan untuk shalat. Nabi saw tidak memperoleh kain untuk
keluar ke tempat shalat. Sebelum kain bajunya itu kering, untuk keluar
mengerjakan shalat. Kiranya engkau ditolong oleh Allah ! tahukah engkau bahwa
Rasulullah saw diperbuat pakaian baginya dua helai: kain sarung dan selendang,
oleh seorang wanita dari suku Bani Dhafar. Wanita itu mengirim sehelai pakaian
tadi, sebelum selesai yang satu lagi. Nabi saw keluar untuk shalat dan memakai
yang sehelai itu, dengan tidak ada yang lain. Beliau ikatkan kedua pinggir kain
itu ke lehernya. Lalu beliau mengerjakan shalat dengan yang demikian”.
Selalulah Umar ra mengatakan yang demikian,
sehingga membawa Hafshah menangis. Dan Umar ra menangis dan meratap. Sehingga
kami menyangka, nyawanya akan keluar. Pada setengah riwayat, ada tambahan dari
perkataan Umar ra. Yaitu dia mengatakan: “Aku mempunyai dua orang teman, yang
menempuh suatu jalan. Kalau aku menempuh bukan jalan keduanya, niscaya aku
ditempuh oleh jalan yang bukan jalan keduanya. Demi Allah, aku akan bersabar
atas kehidupan yang berat bagi keduanya. Semoga aku mendapati bersama keduanya
kehidupan yang menyenangkan”.
Dari Abi Sa’id Al-Khudri,
dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya nabi-nabi sebelumku, dicoba
salah seorang mereka dengan kemiskinan. Dia tidak memakai selain baju kurung
panjang. Kalau ada salah seorang mereka dicoba dengan penyakit berkutu di
kepala, sehingga kutu itu membunuhnya dan adalah yang demikian lebih mereka
sukai, daripada sesuatu yang diberikan kepada kamu”.
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi
saw yang bersabda: “Tatkala Musa as datang ke air Madyan, adalah kehijauan
sayur-sayuran terlihat dalam perutnya, dari karena kurusnya”. Inilah yang
dipilih oleh nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Mereka adalah makhluk Allah yang
lebih mengenal Allah dan dengan jalan kelepasan di akhirat. Pada hadits yang
dirawikan Umar ra, bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak dinafkahkannya di jalan Allah”. S 9 At
Taubah ayat 34. Maka Nabi saw bersabda: “Celakalah bagi dunia, celakalah bagi
dinar dan dirham !”. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah ! Allah melarang kita
menyimpan emas dan perak. Maka apakah yang kita simpan ?”. Nabi saw menjawab:
“Hendaklah seseorang kamu membuat lidahnya yang berdzikir, hati yang bersyukur
dan isteri yang shalih yang menolongnya kepada urusan akhiratnya”. Pada hadits
yang dirawikan Hudzaifah ra dari Rasulullah saw, yang bersabda: “Siapa yang
mengutamakan dunia atas akhirat, niscaya ia diuji oleh Allah, dengan 3 perkara:
kesusahan yang tidak berpisah dengan hatinya selama-lamanya, kemiskinan, yang
tidak dirasakannya kekayaan selama-lamanya dan kerakusan yang tidak dirasanya
kenyang selama-lamanya”. Nabi saw bersabda: “Seorang hamba tidak sempurna
imannya, sebelum ia tidak mengenal akan yang lebih dikasihinya, daripada yang
ia kenal (ya’ni Allah). Dan sebelum sesuatu yang sedikit, lebih disukainya dari
banyaknya”.
Isa Al-Masih as berkata: “Dunia itu suatu
jembatan. Maka lintasilah dan jangan engkau bangun jembatan itu”. Ditanyakan
kepada Nabi Isa as: “Wahai Nabi Allah ! kalau kiranya engkau menyuruh kami
membangun suatu rumah, yang akan kami beribadah di dalamnya”. Nabi Isa as
menjawab: “Pergilah! bangunlah suatu rumah di atas air !”. Mereka menjawab:
“Bagaimana bisa betul membangun dalam air ?”. Nabi Isa as menjawab: “Bagaimana
bisa betul ibadah serta cinta kepada dunia ?”. Nabi kita saw bersabda: “Bahwa
Tuhanku ‘Azza Wa Jalla mengemukakan kepadaku, bahwa Ia akan menciptakan bagiku
sungai dalam batu-batu kecil (bath-ha’) Makkah, untuk menjadi emas. Maka aku
mengatakan: “Tidak wahai Tuhanku ! akan tetapi, aku lapar sehari dan aku
kenyang sehari. Adapun hari, yang aku lapar padanya, maka aku merendahkan diri
(tadlar-ru’) kepada Engkau dan berdoa kepada Engkau. Adapun hari yang aku
kenyang padanya, maka aku memuji Engkau dan menyanjung Engkau”.
Dari Ibnu Abbas ra yang
mengatakan: “Pada suatu hari Rasulullah saw keluar berjalan kaki, bersama
Jibril. Lalu beliau naik ke bukit Shafa. Maka Nabi saw bersabda kepada Jibril:
“Hai Jibril ! demi Allah yang mengutus engkau dengan sebenarnya ! tidaklah
keluarga Muhammad mempunyai setapak tangan tepung syair dan segenggam tepung
gandum”. Tidaklah perkataan Nabi saw itu yang lebih cepat, dari terus ia
mendengar bunyi yang kuat di langit, yang mengejutkannya. Lalu Rasulullah saw
bertanya: “Apakah Allah menyuruh kiamat bangun ?”. Jibril menjawab: “Tidak !
akan tetapi, ini Israfil as turun kepada engkau, ketika ia mendengar perkataan
engkau”. Maka datanglah Israfil kepada Nabi saw seraya berkata: “Bahwa Allah
‘Azza Wa Jalla telah mendengar apa yang engkau sebutkan. Maka Ia mengutuskan
aku membawa anak kunci-anak kunci bumi. Dan Ia menyuruh aku supaya aku bawa
kepada engkau. Kalau engkau sukai bahwa aku menyuruh jalan kepada engkau bukit
Tihamah, yang menjadi zamrud, yakut, emas dan perak, niscaya aku kerjakan. Dan
kalau engkau kehendaki, nabi menjadi malaikat. Dan kalau engkau kehendaki, nabi
menjadi hamba”. Jibril lalu mengisyaratkan kepada Nabi saw supaya bertawadlu’
(merendahkan diri) kepada Allah Ta’ala. Nabi saw lalu mengatakan: “Nabi menjadi
hamba” 3 kali. Nabi saw bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebajikan pada
seorang hamba, niscaya dizuhudkannya di dunia, digemarkannya akan akhirat dan
diperlihatkan kepadanya akan kekurangan dirinya”. Nabi saw bersabda, kepada
seorang laki-laki: “Zuhudlah di dunia, niscaya engkau disayangi oleh Allah. Dan
zuhudlah pada apa yang dalam tangan manusia, niscaya engkau disayangi manusia”.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang berkehendak
didatangkan oleh Allah ilmu kepadanya, tanpa belajar dan petunjuk, tanpa
hidayah, maka hendaklah ia zuhud di dunia”. Nabi saw bersabda:
“Siapa yang rindu kepada sorga, niscaya bersegeralah kepada kebajikan. Siapa
yang takut kepada neraka, niscaya ia meninggalkan nafsu syahwat. Siapa yang
menantikan mati, niscaya ia meninggalkan kelezatan hidup. Dan siapa yang zuhud
di dunia, niscaya mudahlah kepadanya segala musibah”.
Diriwayatkan dari Nabi
kita saw dan dari Isa Al-Masih as: “4 perkara tiada akan diperoleh, selain
dengan payah: diam, yaitu: permulaan ibadah, merendahkan diri, banyak dzikir
dan sedikit segala sesuatu”. Mengemukakan semua hadits yang menerangkan tentang
terpujinya memarahi dunia dan tercelanya mencintai dunia itu tidak mungkin.
Bahwa nabi-nabi tidak diutus, selain untuk memalingkan manusia dari dunia ke
akhirat. Dan kepadanyalah kembali kebanyakan perkataan nabi-nabi itu bersama
makhluk. Apa yang telah kami kemukakan itu sudah cukup. Allah tempat meminta
pertolongan.
Adapun atsar, maka
tersebut pada atsar, bahwa: senantiasa membaca Laa ilaaha illallaah itu menolak
dari hamba, akan kemarahan Allah ‘Azza Wa Jalla, selama mereka tidak meminta
apa yang kurang dari dunia mereka. Pada lafal yang lain, tersebut: Selama
mereka tidak mengutamakan semata-mata dunia mereka di atas agamanya. Apabila
mereka berbuat yang demikian dan mereka mengatakan: laa ilaaha illallaah,
niscaya Allah Ta’ala berfirman: “Kamu dusta. Tidaklah kamu itu benar dengan
yang demikian”. Dari sebahagian sahabat ra yang mengatakan: “Kami ikuti amalan
seluruhnya. Maka tidak kami melihat mengenai urusan akhirat, yang lebih
bersangatan, selain dari zuhud di dunia”. Sebahagian sahabat mengatakan kepada
yang terkemuka dari orang-orang tabi’in (generasi sesudah sahabat): “Kamu yang
terbanyak amal dan kesungguhan dibandingkan dengan para sahabat Rasulullah saw.
Mereka itu lebih baik dari kamu”. Lalu ditanyakan: “Mengapa demikian ?”.
Sahabat itu menjawab: “Adalah mereka lebih zuhud di dunia, daripada kamu”. Umar
ra berkata: “Zuhud di dunia itu kesenangan hati dan tubuh”. Bilal bin Sa’ad
berkata: “Mencukupilah dosa, bahwa Allah Ta’ala menyuruh kita zuhud di dunia
dan kita gemar pada dunia”. Seorang laki-laki berkata kepada Sufyan: “Aku rindu
melihat orang alim yang zuhud”. Sufyan menjawab: “Celaka engkau ! itu barang
yang hilang, tiada akan diperoleh lagi”. Wahab bin Munabbih berkata: “Sorga itu
mempunyai 8 pintu. Apabila penduduk sorga berada di pintu, lalu penjaga-penjaga
pintu itu berkata: “Demi keagungan Tuhan kita ! tiada akan masuk seorangpun
dalam sorga, sebelum orang-orang yang zuhud di dunia, yang rindu kepada
akhirat”. Yusuf bin Asbath ra berkata: “Bahwa aku merindui dari Allah 3
perkara: bahwa aku mati ketika aku mati dan tak ada kepunyaanku sedirham pun,
bahwa aku tidak mempunyai hutang dan tidak ada daging atas tulangku”. Maka
diberikan yang demikian itu semua kepadanya.
Diriwayatkan, bahwa sebahagian
khalifah mengirimkan beberapa pemberian kepada ulama-ulama fikih. Ulama-ulama
itu menerimanya. Dan dikirimkan kepada Al-Fudlail 10 ribu. Lalu tidak
diterimanya. Anak-anaknya mengatakan kepadanya: “Ulama-ulama fikih sudah
menerima. Dan ayah menolak dalam keadaan ayah yang begini”. Al-Fudlail lalu
menangis dan berkata: “Tahukah kamu apa yang sepertiku ini dan yang seperti
kamu ? adalah seperti suatu kaum, yang mempunyai seekor lembu betina, yang
dipakai mereka untuk membajak sawah. Tatkala lembu itu sudah tua, lalu
disembelihkan mereka, untuk mereka mengambil manfaat dengan kulitnya. Seperti
demikianlah kamu, mau menyembelihkan aku pada kelanjutan usiaku. Matilah kamu,
hai keluargaku dengan kelaparan, lebih baik bagi kamu, daripada menyembelih
Al-Fudlail !”.
Ubaid bin Umair berkata:
“Adalah Isa Al-Masih as putera Maryam memakai bulu dan memakan kayu. Ia tidak
mempunyai anak yang akan mati, tidak mempunyai rumah yang akan roboh. Dan ia
tidak menyimpan untuk besok. Dimana sore mendapatinya, niscaya ia tidur”.
Isteri Abi Hazim berkata
kepada Abi Hazim: “Musim dingin ini telah menyerang kita. Tak boleh tidak kita
harus mempunyai makanan, pakaian dan kayu api”. Abu Hazim lalu menjawab: “Semua
ini tak boleh tidak ! akan tetapi, tak boleh tidak bagi kita itu mati, kemudian
bangkit, kemudian berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian, sorga atau
neraka”.
Ditanyakan kepada
Al-Hasan: “Mengapa kamu tidak mencuci pakaianmu ?”. Al-Hasan menjawab: “Ada
urusan yang lebih terburu dari itu”. Ibrahim bin Adham berkata: “Hatiku telah terhijab/terhalang
(terdinding) dengan 3 tutup. Tidak terbuka bagi hamba akan keyakinan, sebelum
hijab-hijab/penghalang ini terangkat. Yaitu: gembira dengan yang ada, gundah
atas yang tidak ada dan gembira dengan pujian. Apabila engkau gembira dengan
yang ada, maka engkau itu orang rakus. Apabila engkau susah atas yang tidak
ada, maka engkau itu orang yang marah. Dan orang marah itu diazabkan. Apabila
engkau gembira dengan pujian, maka engkau itu orang yang ‘ujub (mengherani
diri). Dan ‘ujub itu membinasakan amal”.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “2
rakaat dari orang yang zuhud hatinya itu lebih baik baginya dan lebih dikasihi
Allah dari ibadah orang-orang yang beribadah, yang bersungguh-sungguh sampai
akhirat masa selama-lamanya”. Sebahagian salaf berkata: “Nikmat Allah kepada
kita pada apa yang dipalingkan dari kita itu lebih banyak dari nikmatNya pada
apa yang dipalingkan kepada kita. Seolah-olah salaf tadi menoleh kepada makna
sabda Nabi saw: “Bahwa Allah menjaga hambaNya yang beriman dari dunia dan Ia mengasihi
hambaNya itu, sebagaimana kamu menjaga yang sakit dari kamu dari makanan dan
minuman yang kamu takuti atas orang sakit itu”. Apabila ini dipahami, niscaya
diketahui, bahwa nikmat pada pencegahan yang membawa kepada sehat itu, lebih
besar pada pemberian yang membawa kepada sakit.
Ats-Tsuri berkata: “Dunia
itu negeri bengkok, tidak negeri lurus, negeri dukacita, tidak negeri gembira.
Siapa mengenalnya, niscaya ia tidak gembira dengan kemewahan dan tidak gundah
dengan kesempitan”. Sahal berkata: “Tiada ikhlas amal seorang yang beribadah,
sehingga ia tidak takut dari 4 perkara: lapar, telanjang (tak ada pakaian),
miskin dan hina”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Aku menjumpai beberapa kaum. Aku
menemani beberapa golongan, dimana mereka tiada bergembira dengan sesuatu dari
dunia, yang menghadapinya. Dan mereka tidak gundah atas suatu dari dunia yang
membelakanginya. Dunia itu pada mata mereka lebih hina dari tanah. Adalah
seorang dari mereka yang hidup 50 atau 60 tahun, yang tidak memanjangkan
kainnya, yang tidak menegakkan kadarnya, tidak membuat sesuatu diantaranya dan
bumi dan tidak menyuruh sekali-kali orang di rumahnya membuat makanan. Apabila
malam, mereka berdiri di atas tapak kaki mereka, bertikar dengan muka mereka,
air mata mereka mengalir atas pipi mereka, mereka bermunajah (berbicara dengan
berbisik) dengan Tuhan mereka dalam belahan leher mereka. Apabila mereka
berbuat amal yang baik, niscaya mereka membiasakan diri pada mensyukurinya.
Mereka bermohon pada Allah bahwa menerimanya. Apabila mereka berbuat amal yang
buruk, niscaya menggundahkan hati mereka. Mereka bermohon pada Allah, untuk
mengampuninya. Senantiasalah mereka di atas yang demikian. Demi Allah, mereka
tidak selamat dari dosa dan tidak terlepas, selain dengan ampunan Allah. Rahmat
Allah dan ridhaNya kepada mereka”.
PENJELASAN: derajat zuhud
dan bahagian-bahagiannya, dengan dikaitkan kepada zuhud itu sendiri, kepada
yang tidak disukai dan kepada yang disukai.
Ketahuilah, bahwa zuhud itu sendiri
berlebih kurang, menurut lebih-kurang kekuatannya, atas 3 tingkat:
Tingkat
pertama, yaitu: yang
lebih rendah daripadanya, bahwa ia zuhud di dunia dan ia rindu kepadanya.
Hatinya cenderung kepada dunia. Nafsunya berpaling kepada dunia. Akan tetapi,
ia berusaha sungguh-sungguh mencegahkannya. Ini dinamakan: orang berbuat diri
zuhud (al-mutazahhid). Itu permulaan zuhud pada orang yang sampai kepada
derajat zuhud dengan usaha dan sungguh-sungguh. Orang mutazahhid tadi,
pertama-tama menghancurkan nafsunya, kemudian saku bajunya. Dan orang zuhud (az-zahid)
pertama-tama menghancurkan saku bajunya. Kemudian menghancurkan nafsunya pada
mengerjakan taat. Tidak pada bersabar atas apa yang bercerai dengan dia. Orang
mutazahhid itu di atas bahaya. Kadang-kadang ia dikalahkan oleh nafsunya dan
dihela oleh keinginannya. Lalu ia kembali ke dunia dan beristirahat dengan
dunia, sedikit atau banyak.
Tingkat kedua: yang meninggalkan dunia dengan
mudah, karena dipandangnya hina dunia itu, dengan dikaitkan kepada apa yang
diharapkannya. Seperti orang yang meninggalkan (tidak mau mengambil) sedirham,
karena mengharap dua dirham. Tidak sukar kepadanya yang demikian, walaupun ia
memerlukan kepada sedikit menunggu. Akan tetapi, orang zuhud ini sudah pasti
melihat zuhudnya dan menoleh kepadanya, sebagaimana penjual melihat kepada yang
dijualnya dan menoleh kepadanya. Adalah ia kadang-kadang merasa ujub dengan
dirinya dan merasa zuhud. Ia menyangka pada dirinya, bahwa ia meninggalkan
sesuatu kepunyaannya yang ditaksir, bagi apa yang lebih besar kadarnya. Ini
juga suatu kekurangan.
Tingkat
ketiga: yaitu yang
tertinggi, bahwa ia zuhud dengan mudah. Ia zuhud dalam kezuhudannya. Maka ia
tidak melihat zuhudnya, karena ia tidak melihat, bahwa ia telah meninggalkan
sesuatu. Karena ia tahu, bahwa dunia itu tidak ada sesuatu. Ia ada seperti
orang yang meninggalkan tembikar dan mengambil mutiara. Ia tidak melihat yang
demikian itu bertentangan. Dan ia tidak melihat dirinya meninggalkan sesuatu.
Dunia dengan dikaitkan kepada Allah Ta’ala dan nikmat akhirat itu buruk dari
tembikar dengan dikaitkan kepada mutiara. Inilah kesempurnaan pada zuhud.
Sebabnya, ialah kesempurnaan ma’rifah. Orang zahid yang seperti ini aman dari
bahaya keberpalingan kepada dunia. Sebagaimana orang yang meninggalkan tembikar
dengan mengambil mutiara itu aman daripada menuntut pembatalan jual-beli.
Abu Yazid ra berkata
kepada Abi Musa Abdurrahim: “Tentang apa yang engkau perkatakan ?”. Abi Musa
menjawab: “Tentang zuhud !”. Abu Yazid bertanya: “Tentang apa ?”. Abi Musa
menjawab: “Tentang dunia”. Abu Yazid lalu melepaskan tangannya dan berkata:
“Aku menyangka, bahwa ia memperkata kan tentang sesuatu. Dunia itu tidaklah
sesuatu. Apa sih, ia zuhud padanya !. Orang yang meninggalkan dunia karena
akhirat, pada ahli mengenal ilmu Allah dan orang-orang yang mempunyai hati yang
banyak penyaksian yang ghaib-ghaib dan terbukanya ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja, penghalang adalah seperti orang yang dilarang dari pintu
raja, oleh seekor anjing pada pintunya. Lalu ia lemparkan sesuap roti kepada
anjing itu. Maka ia lalai sendiri. Dan orang itu memasuki pintu dan memperoleh
kedekatan di sisi raja. Sehingga terlaksanalah urusannya pada seluruh kerajaan
raja itu.
Adakah anda melihat, bahwa
orang itu melihat bagi dirinya kekuasaan di sisi raja, dengan sesuap roti yang
dicampakkannya kepada anjing, sebagai imbalan dari apa yang diperolehnya ?
Setan itu anjing pada pintu Allah Ta’ala, yang mencegah manusia dari masuk.
Sedang pintu itu terbuka dan hijab (dinding) itu terangkat. Dan dunia itu
seperti sesuap roti. Kalau engkau makan, maka keenakannya pada waktu mengunyah.
Dan habis dalam waktu dekat dengan ditelan. Kemudian, tinggal ampasnya dalam
perut. Kemudian, habis dengan busuk dan kotoran. Kemudian, memerlukan sesudah
itu, kepada mengeluarkan ampas itu. Maka siapa yang meninggalkannya supaya
memperoleh kemuliaan raja, maka bagaimana ia menoleh kepadanya ? Bandingkan
dunia seluruhnya, yakni: apa yang diserahkan bagi setiap orang, walaupun ia
berumur 100 tahun, dengan dikaitkan kepada nikmat akhirat adalah lebih kecil
dari sesuap makanan, dengan dikaitkan kepada raja dunia. Karena tak ada
bandingan bagi yang berkesudahan, kepada apa yang tiada berkesudahan. Dunia itu
berkesudahan dalam masa dekat. Kalau dunia bermasa beribu-ribu tahun, yang
bersih dari setiap kotoran, niscaya tak dapat dibandingkan kepada nikmat yang
abadi. Maka bagaimana dan masa umur itu pendek. Kelezatan dunia itu kotor,
tidak bersih. Maka apakah bandingannya dengan nikmat yang abadi ? Jadi, orang
zahid tidak menoleh kepada zuhudnya, selain apabila ia menoleh kepada apa yang
dizuhudkannya. Dan ia tidak menoleh kepada yang dizuhudkannya, selain karena
dilihatnya sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Dan ia tidak melihat sebagai
yang diperhitungkan, selain karena singkat ma’rifahnya/ilmu mengenal Allah.
Maka sebab kekurangan zuhud itu kekurangan ma’rifah. Inilah berlebih-kurangnya
tingkat zuhud. Setiap tingkat dari ini juga mempunyai tingkat-tingkat. Karena
kesabaran orang yang berbuat diri zuhud
(al-mutazahhid). itu berbeda. Dan berlebih-kurang
juga dengan berbeda kadar kesukaran pada sabar.
Demikian juga tingkat
orang yang ujub dengan zuhudnya, menurut kadar perolehannya kepada zuhudnya.
Adapun terbaginya zuhud, dengan dikaitkan kepada yang disukai, maka itu juga
atas 3 tingkat:
Tingkat yang terbawah: bahwa yang disukai itu terlepas dari
neraka dan kepedihan-kepedihan yang lain. Seperti azab kubur, perdebatan pada
hisab amal, bahaya berjalan di titian ash-shirathul-mustaqim dan huru-hara
lainnya di hadapan hamba, sebagaimana yang tersebut pada hadits-hadits. Karena
pada hadits itu disebutkan, bahwa orang akan berhenti pada hitungan amal.
Sehingga kalau datanglah 100 ekor unta yang haus, maka ia akan keluar dengan
tidak haus lagi, dari meminum keringat orang itu. Ini adalah zuhud orang-orang
yang takut. Seakan-akan mereka rela dengan tidak ada, jikalau mereka
ditiadakan. Bahwa terlepas dari kesakitan itu berhasil dengan semata-mata tidak
ada.
Tingkat kedua: bahwa ia zuhud, karena ingin kepada
pahala dan nikmat Allah. Dan kelezatan-kelezatan yang dijanjikan dalam
sorgaNya, dari bidadari, istana dan lainnya. Ini zuhud orang-orang yang
mengharap. Mereka tidak meninggalkan dunia, karena merasa cukup dengan tidak
ada dan terlepas dari kesakitan. Akan tetapi, mereka mengharap pada Wujud yang
kekal dan nikmat abadi, yang tiada berakhir.
Tingkat ketiga: yaitu yang tertinggi, bahwa tak ada
keinginannya, selain kepada Allah dan kepada menemui Allah. Hatinya tidak
berpaling kepada kesakitan-kesakitan, dengan maksud hendak melepaskan diri
daripadanya. Dan tidak berpaling kepada kelezatan-kelezatan, dengan maksud
untuk memperolehnya dan mencapainya. Akan tetapi, ia menghabiskan semua
cita-citanya kepada Allah Ta’ala. Sehingga dia dan cita-citanya menjadi satu.
Yaitu: ia mengesakan (berkeesaan) yang hakiki, yang tidak dicarinya, selain
Allah Ta’ala. Karena siapa yang mencari selain Allah, maka ia telah
memperhambakan diri kepadanya. Setiap yang dicari itu disembah. Setiap yang
mencari itu hamba, dengan dikaitkan kepada cariannya. Mencari selain Allah itu
termasuk syirik yang tersembunyi. Inilah zuhud orang-orang mencintai Allah
Ta’ala. Mereka orang-orang yang arifin (yang berilmu ma’rifah). Karena tidak
mencintai Allah Ta’ala khususnya, selain orang yang mengenalNya (yang
berma’rifah kepadaNya). Sebagaimana orang yang mengenal dinar dan dirham dan
mengetahui, bahwa itu tidak mampu mengumpulkan diantara keduanya, niscaya ia
tidak mencintai, selain dinar (terbuat dari emas). Maka seperti demikian juga,
orang yang mengenal Allah, mengenal kelezatan memandang kepada WajahNya Yang
Mulia, mengenal bahwa mengumpulkan antara kelezatan itu dan kelezatan
bersenang-senang dengan bidadari dan memandang kepada ukiran istana dan
kehijauan kayu-kayuan itu tidak mungkin. Maka ia tidak mencintai, selain
kelezatan memandang. Dan ia tidak memilih yang lain. Anda jangan menyangka,
bahwa penduduk sorga ketika memandang kepada Wajah Allah Ta’ala, masih ada
kelapangan di hatinya untuk kelezatan memandang kepada bidadari dan
istana-istana. Akan tetapi, kelezatan itu dengan dikaitkan kepada kelezatan
nikmat penduduk sorga, adalah seperti kelezatan raja dunia dan menguasai atas
segala sudut bumi dan leher makhluk, dengan dikaitkan kepada kelezatan
menguasai atas seekor burung pipit dan bermain-main dengan dia. Orang-orang
yang mencari nikmat sorga menurut ahli ma’rifah dan orang-orang yang mempunyai
hati nurani, adalah seperti anak kecil yang mencari untuk bermain-main dengan
burung pipit, yang meninggalkan kelezatan menjadi raja. Yang demikian, karena
singkat ilmunya daripada mengetahui kelezatan menjadi raja. Tidak karena
bermain-main dengan burung pipit itu sendiri lebih tinggi dan lebih enak
daripada menguasai dengan jalan menjadi raja atas seluruh makhluk.
Adapun terbaginya zuhud
dengan dikaitkan kepada yang disukai, maka banyaklah padanya berbagai pendapat.
Mudah-mudahan yang disebutkan padanya melebihi diatas 100 perkataan (pendapat).
Maka kita tidak menyibukkan diri dengan menyalin pendapat-pendapat itu, akan
tetapi kami akan mengisyaratkan kepada perkataan yang meliputi dengan
penguraian-penguraian. Sehingga jelas, bahwa kebanyakan yang tersebut padanya
itu singkat,daripada meliputi dengan semua. Maka kami mengatakan: Yang tidak
disukai dengan zuhud itu ada yang secara berjumlah (tidak terperinci) dan ada
yang terurai (terperinci). Untuk penguraiannya mempunyai tingkat-tingkat.
Sebahagiannya lebih menguraikan bagi masing-masing bahagian. Dan sebahagiannya
lebih berjumlah bagi beberapa jumlah.
Adapun yang tidak
terperinci (Secara ijmal) pada tingkat pertama,
ialah: setiap yang lain dari Allah, maka seyogyalah dizuhudkan. Sehingga ia
zuhud juga pada dirinya sendiri. Dan ijmal pada tingkat
kedua, ialah: bahwa zuhud pada setiap sifat bagi diri, yang ada
padanya kesenangan. Ini melingkupi semua kehendak tabiat dari nafsu syahwat, marah,
takabur, ingin jadi kepala (ar-riasah), harta, kemegahan dll. Pada tingkat ketiga, bahwa ia zuhud pada harta,
kemegahan dan sebab-sebabnya. Karena kepada keduanyalah kembali semua
keberuntungan diri. Pada tingkat keempat,
bahwa ia zuhud pada ilmu, kemampuan, dinar, dirham dan kemegahan. Karena harta,
walaupun banyak macamnya, semuanya dikumpulkan oleh dinar, dirham dan
kemegahan. Walaupun banyak sebab-sebabnya, maka kembali kepada ilmu dan
kemampuan. Yakni: setiap ilmu dan kemampuan, maksudnya, ialah: memiliki
(menguasai) hati orang banyak. Karena makna kemegahan, ialah: memiliki hati
orang banyak dan menguasai. Sebagaimana makna harta, ialah: memiliki
benda-benda dan menguasainya. Kalau anda melampaui penguraian ini, kepada pensyarahan/pembicaraan dan penguraian yang lebih luas
dari ini, maka hampirlah keluar daripada penghinggaan, akan apa yang ada
padanya zuhud.
Allah Ta’ala menyebutkan
pada satu ayat 7 daripadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu diberi
perasaan berhasrat atau bernafsu, misalnya kepada perempuan, anak-anak,
kekayaan yang melimpah-limpah dari emas dan perak, kuda yang bagus, binatang
ternak dan sawah ladang; itulah kesenangan hidup dunia”. S 3 Ali ‘Imran ayat
14. Kemudian, Allah mengembalikannya pada ayat yang lain kepada 5 perkara.
Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah olehmu, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megah antara sesama kamu,
berlomba banyak kekayaan dan anak-anak”. S 57 Al Hadiid ayat 20. Kemudian,
Allah Ta’ala mengembalikan pada tempat yang lain, kepada dua macam. Allah
Ta’ala berfirman: “Kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan kesukaan belaka”.
S 47 Muhammad ayat 36. Kemudian, Allah Ta’ala mengembalikan semua kepada
semacam saya pada tempat yang lain. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menahan
nafsunya dari keinginan rendah (hawa nafsu). Maka sorga itu tempat diamnya”. S
79 An Naazi’aat ayat 40-41. Hawa nafsu ialah lafal/bunyi,
yang menghimpunkan semua keberuntungan diri di dunia. Maka seyogyalah bahwa ada
zuhud padanya.
Apabila anda telah
memahami jalan secara ijmal dan penguraian, niscaya anda memahami, bahwa
sebagian dari ini, tiada berbeda dengan sebagian yang lain. Hanya berbeda,
sekali dalam penguraian dan sekali dalam pengijmalan. Hasilnya, ialah: zuhud
itu ibarat dari kebencian kepada seluruh keberuntungan diri. Manakala benci
kepada keberuntungan diri, niscaya benci untuk kekal didunia. Maka sudah pasti,
pendek angan-angannya. Karena menghendaki kekal, ialah untuk bersenang-senang.
Dan menghendaki kesenangan yang berketerusan, ialah dengan menghendaki kekal.
Bahwa orang yang menghendaki sesuatu, niscaya menghendaki kekalnya. Tiada
mempunyai arti bagi kecintaan kepada hidup, selain dengan kecintaan kekalnya
apa yang ada atau yang mungkin dalam hidup ini. Apabila ia tidak suka, niscaya
tidak dikehendakinya. Karena demikianlah, tatkala diwajibkan perang, lalu
mereka bertanya: “Wahai Tuhan kami ! mengapa Engkau wajibkan kepada kami
berperang ? mengapa tidak Engkau beri tempo untuk masa yang singkat ?”. S 4 An
Nisaa’ ayat 77. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah ! kesenangan dunia ini
hanya sebentar”. S 4 An Nisaa’ ayat 77 . Artinya: tidaklah kamu menghendaki
kekal, selain karena kesenangan dunia. Maka lahirlah ketika itu orang-orang
zuhud dan terbukalah hal keadaan orang-orang munafik.
Adapun orang-orang zuhud
yang mencintai Allah Ta’ala, maka mereka berperang pada jalan Allah
(sabilillah), seolah-olah mereka bangunan yang tersusun rapi. Mereka menunggu
salah satu dari dua kebaikan. Apabila mereka diserukan ke medan perang, mereka
menghirup bau sorga. Dan bersegera kepada perang itu, sebagai bersegeranya
orang haus kepada air yang dingin. Karena ingin menolong agama Allah atau
memperoleh tingkat kesyahidan (mati syahid). Siapa diantara mereka yang mati di
tempat tidur, merasa rugi atas tidak diperolehnya kesyahidan.
Sehingga Khalid bin
Al-Walid ra tatkala mendekati kepada kematiannya di atas tempat tidur,
mengatakan: “Banyak kali aku tertipu dengan nyawaku. Aku menyerang ke garis
perang, karena mengharap akan kesyahidan. Sekarang aku akan mati sebagai
kematian perempuan-perempuan tua yang lemah”. Tatkala Khalid bin Al-Walid telah
meninggal, lalu dihitung pada tubuhnya 800 lobang bekas luka dalam peperangan.
Begitulah adanya keadaan orang-orang yang benar dalam iman. Allah Ta’ala
meridhai mereka sekalian !
Adapun orang-orang
munafik, mereka itu lari dari medan perang, karena takut mati. Maka dikatakan
kepada mereka: “Bahwa kematian yang kamu melarikan diri daripadanya,
sesungguhnya akan menemui kamu”. S 62 Al Jumu’ah ayat 8. Pilihan mereka untuk
kekal atas kesyahidan itu pergantian yang lebih buruk, dengan yang lebih baik.
Mereka yang membeli kesesatan dengan petunjuk, tiada akan beruntung perniagaan
mereka. Dan mereka tiada memperoleh petunjuk. Adapun orang-orang yang ikhlas,
maka Allah Ta’ala membeli dari mereka, diri mereka dan harta mereka, dengan
sorga bagi mereka. Tatkala mereka melihat, bahwa mereka meninggalkan kesenangan
20 tahun umpamanya atau 30 tahun, dengan kesenangan abadi, niscaya mereka
merasa gembira dengan jual beli yang telah mereka lakukan. Inilah penjelasan
sesuatu yang padanya dizuhudkan ! Apabila anda memahami ini, niscaya anda tahu,
bahwa apa yang disebutkan oleh ulama al-Mutakallim(ulama ilmu keesaan) tentang
batas zuhud, yang tiada mereka isyaratkan, kecuali kepada sebahagian dari
bahagian-bahagiannya. Masing-masing mereka menyebutkan apa yang biasa
dilihatnya pada dirinya sendiri atau pada orang yang dihadapinya.
Bisyr ra berkata: “Zuhud
didunia, ialah zuhud pada manusia”. Ini adalah isyarat kepada zuhud mengenai
kemegahan khususnya. Qasim Al-Ju’i berkata: “Zuhud di dunia, ialah zuhud
mengenai ketakutan. Dengan kadar apa yang engkau miliki dari perut engkau, maka
seperti demikianlah yang engkau miliki dari zuhud”. Ini isyarat kepada zuhud
mengenai nafsu syahwat yang satu itu. Demi umurku ! itu adalah nafsu syahwat
yang terkeras pada kebanyakan orang. Yaitu yang menggerakkan bagi kebanyakan
nafsu syahwat. Al-Fudlail berkata: “Zuhud di dunia ialah qana’ah (merasa cukup
apa yang ada). Ini adalah isyarat kepada harta khususnya.
Ats-Tsuri berkata: “Zuhud,
ialah pendek angan-angan. Dan itu mengumpulkan bagi semua nafsu syahwat. Bahwa
orang yang cenderung kepada nafsu syahwat itu mendatangkan dirinya kepada
kekekalan. Lalu panjang angan-angannya. Orang yang pendek angan-angannya, maka
ia seakan-akan tidak suka kepada semua nafsu syahwat. Uwais berkata: “Apabila
orang zuhud keluar, pergi mencari, niscaya hilanglah zuhud daripadanya”. Uwais
tidak bermaksud dengan yang demikian, akan batas zuhud. Akan tetapi, ia
menjadikan tawakkal itu syarat pada zuhud. Uwais berkata pula: “Zuhud ialah
meninggalkan mencari bagi yang sudah terjamin”. Itu adalah isyarat kepada
rezeki.
Seorang ahli hadits
berkata: “Dunia ialah amal perbuatan dengan pendapat dan yang masuk akal. Dan
zuhud ialah mengikuti ilmu dan selalu memakai sunnah Nabi saw”. Ini, kalau
dimaksudkan pendapat yang salah dan yang masuk akal, ialah yang dicari
kemegahan di dunia, maka itu benar. Akan tetapi, itu adalah isyarat kepada
sebahagian sebab-sebab kemegahan khususnya. Atau kepada sebahagian apa yang
termasuk dalam nafsu syahwat yang berlebihan. Bahwa sebahagian dari ilmu itu,
ialah apa yang tak ada faedah padanya di akhirat. Mereka telah memanjangkan
pembicaraan tentang ilmu-ilmu itu, sehingga habislah umur manusia pada
mempelajari salah satu daripadanya. Maka syarat orang zuhud ialah bahwa hal
yang berlebihan itu yang pertama-tama yang tidak disukainya.
Al-Hasan berkata: “Orang
zuhud, ialah orang apabila melihat seseorang, lalu berkata: “Orang ini lebih
utama daripadaku”. Al-Hasan berpendirian, bahwa zuhud, ialah: tawadlu’
(merendahkan diri). Ini isyarat kepada tidak adanya kemegahan dan ujub. Dan itu
sebahagian dari bahagian-bahagian zuhud. Sebahagian mereka berkata: “Zuhud,
ialah mencari yang halal”. Dimanakah ucapan ini, dibandingkan dengan orang yang
mengatakan: “Zuhud, ialah meninggal kan mencari, sebagaimana kata Uwais. Dan
tak ragu lagi, bahwa ia maksudkan dengan yang demikian itu, ialah: meninggalkan
mencari yang halal.
Yusuf bin Asbath berkata: “Siapa
yang sabar atas kesakitan, meninggalkan nafsu syahwat dan memakan roti dari
yang halal, maka ia telah mengambil pokok zuhud”. Mengenai zuhud itu banyak
pembicaraan, dibalik apa yang telah kami nukilkan. Kami tidak melihat akan
faedah pada penukilannya. Bahwa siapa yang mencari penyingkapan hakikat-hakikat/makna
persoalan dari pembicaraan-pembicaraan manusia, niscaya akan dilihatnya
bermacam-macam. Maka tidak mendatangkan faedah, selain keheranan. Orang yang
tersingkap baginya kebenaran pada dirinya dan diperolehnya dengan musyahadah
(penyaksian) dari hatinya, tidak dengan diperolehnya dari pendengarannya, maka
ia telah mempercayai dengan kebenaran. Dan ia melihat kepada singkatnya
penglihatan orang yang singkat, lantaran pendek penglihatan mata hatinya. Dan
atas singkatnya penglihatan orang yang singkat, serta sempurnanya ma’rifah,
karena kesingkatan hajat keperluannya. Mereka semua telah singkat
penglihatannya, tidak lantara singkatnya pada penglihatan mata hati. Akan
tetapi, mereka menyebutkan apa yang mereka sebutkan tatkala perlu. Maka tidak
pelak lagi, bahwa mereka menyebutkannya sekedar perlu (hajat ) saja. Dan hajat
keperluan itu berbeda-beda. Maka tidak pelak lagi, kalimat-kalimat menjadi
berbeda-beda. Kadang-kadang sebab kesingkatan itu, ialah menceritakan hal yang
telah berlalu, yang menjadi kedudukan hamba pada dirinya. Dan hal-ihwal itu
berbeda-beda. Maka tidak pelak lagi, perkataan-perkataan yang menerangkannya
berbeda-beda. Adapun kebenaran itu sendiri, maka tidak ada, kecuali satu. Dan tidak
tergambar, bahwa dia itu berbeda-beda. Adapun yang mengumpulkan (mempersatukan)
dari perkataan-perkataan tersebut, yang sempurna pada dirinya, walaupun tak ada
padanya penguraian, ialah: apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Ad-Darani.
Karena beliau berkata: “Kami mendengar tentang zuhud banyak pembicaraan. Dan
zuhud itu pada kami, ialah meninggalkan setiap sesuatu yang menyibukkan engkau
daripada mengingati Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Sekali telah diuraikannya
dan ia berkata: “Siapa yang kawin atau bermusafir pada mencari penghidupan atau
menulis hadits, maka dia itu telah cenderung kepada dunia”. Ia jadikan semua
itu, berlawanan bagi zuhud. Abu Sulaiman membawa firman Allah Ta’ala: “Orang
yang beruntung, ialah orang yang datang kepada Allah, dengan hati yang bersih”.
S 26 Asy Syu’araa’ ayat 89. Lalu Abu Sulaiman berkata: “Yaitu: hati yang tak
ada padanya, selain Allah Ta’ala”. Ia berkata pula: “Sesungguhnya mereka zuhud
di dunia, supaya kosong hatinya dari segala angan-angan, demi untuk akhirat”.
Itu adalah penjelasan pembahagian zuhud, dengan dikaitkan kepada segala macam,
yang padanya dizuhudkan.
Adapun dengan dikaitkan
kepada hukum-hukumnya, maka terbagi kepada: fardhu, sunat dan selamat,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim bin Adham. Fardhu, ialah zuhud pada
yang haram. Sunat, ialah zuhud pada yang halal. Dan selamat, ialah zuhud pada
yang syubhat (yang diragukan tentang halal dan haramnya). Telah kami sebutkan
penguraian tingkat-tingkat wara’(menjaga diri) pada Kitab Halal dan Haram. Yang demikian itu termasuk
zuhud. Karena ditanyakan kepada Malik bin Anas: “Apa itu zuhud ?”. Beliau
menjawab: “Taqwa !”. Adapun dengan dikaitkan kepada yang tersembunyi dari apa
yang ditinggalkannya, maka padanya tiada berpenghabisan bagi zuhud. Karena
tiada berpenghabisan bagi apa yang menjadi kesenangan diri, dalam segala
gurisan hati, penilikan-penilikan dan hal-hal yang lain. Lebih-lebih yang
tersembunyi dari ria. Bahwa yang demikian, tidak dilihat, selain oleh
ulama-ulama yang terkemuka. Bahkan harta-harta yang terang juga
bertingkat-tingkat kezuhudan padanya, yang tiada berkesudahan. Orang yang
paling berpenghabisan derajat zuhudnya, ialah nabi Isa as. Karena ia berbantal
dengan batu pada tidurnya. Lalu berkata setan kepadanya: “Mengapa engkau
meninggalkan dunia, apakah yang nampak bagi engkau ?”. Nabi Isa as menjawab:
“Apakah yang baru pada pandanganmu ?”. Setan itu menjawab: “Kamu berbantal
dengan batu”. Artinya: engkau memperoleh kesenangan dengan terangkatnya kepala
engkau dari bumi dalam tidur”. Nabi Isa as lalu melempar batu itu dan berkata:
“Ambillah bersama apa yang aku tinggalkan bagimu !”.
Diriwayatkan dari Yahya
bin Zakaria as bahwa ia memakai kain kasar, sehingga membekas pada kulitnya.
Karena meninggalkan kenikmatan dengan memakai kain yang lembut dan kesenangan
rasa memegangnya. Lalu ibunya meminta, supaya ia memakai pada tempat kain kasar
tadi, baju jubah dari bulu (wol). Lalu nabi Yahya as pun memperbuatnya. Maka
Allah menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Yahya ! engkau utamakan dunia
daripadaKu”. Nabi Yahya as lalu menangis dan membuka baju wol itu. Dan ia
kembali memakai kepada yang semula.
Ahmad bin Hanbal ra
berkata: “Zuhud itu ialah zuhud Uwais Al-Qarani. Ia sampai dari tidak adanya
pakaian, kepada memakai sarung dari pelepah kurma”. Nabi Isa as duduk pada
naungan dinding tembok seseorang. Lalu yang empunya dinding tembok itu
menegakkannya berdiri. Nabi Isa as berkata: “Mengapa kamu menegakkan aku
berdiri. Bahwa yang menegakkan aku berdiri, ialah orang yang tidak senang aku
memperoleh kenikmatan dengan naungan dinding tembok”. Jadi, tingkat-tingkat
zuhud, zahiriah dan batiniahnya tidak terhingga banyaknya. Tingkat yang paling
bawah, ialah: zuhud pada setiap harta yang syubhat (diragukan) dan terlarang.
Suatu kaum berkata: “Zuhud, ialah: zuhud pada yang halal, tidak pada yang
syubhat (diragukan) dan terlarang. Tidaklah demikian sedikitpun termasuk dalam
tingkat-tingkat zuhud”.
Kemudian, mereka itu
berpendapat, bahwa tidak ada lagi yang halal dari
harta dunia. Maka tidaklah tergambar zuhud sekarang. Kalau anda
bertanya: manakala yang benar, bahwa zuhud meninggalkan yang selain dari Allah,
maka bagaimanakah tergambar yang demikian, serta makan, minum, memakai pakaian,
bercampur-baur dengan manusia dan bercakap-cakap dengan mereka ? semua itu
menyibukkan diri, dengan yang selain dari Allah Ta’ala. Ketahuilah kiranya,
bahwa makna memalingkan diri dari dunia kepada Allah Ta’ala, ialah:
menghadapkan dengan seluruh hati kepadaNya, dengan dzikir dan fikir. Tiada
tergambar yang demikian, selain dengan kekekalan. Dan tiada kekekalan, selain
dengan yang penting bagi diri. Manakala terbatas pada dunia, kepada menolak
yang membinasakan badan dan maksud engkau adalah memperoleh pertolongan dengan
badan kepada ibadah, niscaya tidaklah engkau itu sibuk dengan selain Allah. Bahwa
apa yang tidak sampai kepada sesuatu, selain dengan dia, maka dia itu termasuk
sebahagian dari sesuatu itu. Orang yang sibuk memberi umpan unta dan memberi
minumnya dalam perjalanan hajji, tidaklah orang itu berpaling dari hajji. Akan
tetapi, seyogyalah bahwa ada badan engkau pada jalan Allah, seperti unta engkau
pada jalan hajji. Tidaklah maksud engkau pada kenikmatan unta engkau dengan
bermacam-macam kenikmatan, akan tetapi maksud engkau tertuju kepada penolakan
yang membinasakan daripadanya. Sehingga unta itu berjalan kepada maksud engkau.
Maka seperti demikianlah seyogyanya, bahwa ada engkau pada menjaga badan engkau
dari lapar dan haus yang membinasakan, dengan makan dan minum. Dari panas dan
dingin yang membinasakan, dengan pakaian dan tempat tinggal. Engkau batasi
kepada sekadar darurat. Tidak engkau maksudkan berlezat-lezatan. Akan tetapi,
taqwa kepada mentaati Allah Ta’ala. Maka yang demikian itu tiada berlawanan
dengan zuhud. Bahkan itulah syarat zuhud. Kalau anda mengatakan: bahwa tak
boleh tidak aku berenak-enakan dengan makan ketika lapar. Maka ketahuilah,
bahwa yang demikian itu tidak mendatangkan melarat kepada engkau, apabila tidak
ada maksud engkau berenak-enakan. Bahwa orang yang meminum air dingin,
kadang-kadang merasa enak dengan minuman itu. Hasilnya kembali kepada hilangnya
kepedihan haus. Orang yang berqodo hajat (membuang air besar) kadang-kadang
merasa istirahat dengan yang demikian. Akan tetapi tidaklah itu maksudnya dan
yang dicarinya dengan maksud itu. Maka tidaklah hati berpaling kepadanya.
Manusia kadang-kadang
beristirahat pada bangun malam (untuk shalat) dengan menghirup udara menjelang
pagi (waktu sahur) dan mendengar suara burung. Akan tetapi, apabila ia tidak
bermaksud mencari tempat untuk beristirahat ini, maka apa yang diperolehnya
dari yang demikian, adalah tanpa maksud yang tidak mendatangkan melarat
kepadanya. Sesungguhnya ada dalam kalangan orang-orang yang takut, orang yang
mencari tempat, yang tidak diperolehnya pada tempat itu udara waktu sahur,
karena takut dari beristirahat dengan udara itu dan hati menjadi jinak dengan
dia. Lalu ada padanya kejinakan hati dengan dia. Kurangnya kejinakan hati
dengan Allah itu menurut kadar terjadinya kejinakan hati dengan selain Allah.
Karena itulah Daud Ath-Tha-i mempunyai tempat simpanan air, yang terbuka
airnya. Ia tidak mengangkat tempat simpanan air itu dari matahari. Ia minum air
panas dan mengatakan: “Siapa yang memperoleh kelezatan air dingin, niscaya
sukarlah kepadanya berpisah dengan dunia”. Inilah tempat-tempat ketakutan bagi
orang-orang yang menjaga diri. Berhati-hati pada semua itu, ialah: menjaga diri
(al-ihtiyath). Kalau ia merasa sukar, maka masanya tidak lama. Menjaga diri
pada masa yang sedikit, untuk bersenang-senang pada masa yang lama, tidaklah
berat atas ahli ma’rifah, yang memaksakan dirinya dengan kebijaksanaan agama,
yang memelihara dirinya dengan tali keyakinan pada ma’rifah yang berlawanan,
diantara dunia dan agama. Kiranya Allah meridhai mereka sekalian !
PENJELASAN: penguraian
zuhud, mengenai yang penting dari kehidupan.
Ketahuilah, bahwa manusia yang terjun
dalam zuhud itu terbagi kepada: yang berlebihan (tidak penting) dan kepada yang
penting. Yang berlebihan, ialah: seperti kuda yang cantik umpamanya. Karena
kebanyakan manusia menyimpannya untuk bersenang-senang mengendarainya dan ia
sanggup berjalan kaki. Yang penting, seperti: makan dan minum. Kita tidak
sanggup menguraikan bermacam-macam hal yang berlebihan. Yang demikian itu tidak
terhingga banyaknya. Yang terhingga, ialah yang penting-penting. Yang penting
juga masuk ke dalamnya yang berlebihan (yang tidak penting), mengenai kadar,
jenis dan waktunya. Maka tak boleh tidak dari penjelasan segi zuhud padanya.
Yang penting itu 6
perkara: makan, pakaian, tempat tinggal dan perabotnya, kawin, harta dan kemegahan
yang dicari untuk maksud-maksud tertentu. Yang 6 ini termasuk dalam jumlah
maksud-maksud itu. Dan telah kami sebutkan makna kemegahan, sebab sukanya
manusia kepada kemegahan dan bagaimana menjaganya, pada Kitab Ria dari Rubu’
Yang Membinasakan. Sekarang kami singkatkan kepada penjelasan kepentingan yang
6 itu.
Pertama makanan: tak boleh tidak bagi manusia dari
makanan yang halal yang menegakkan tulang pinggangnya. Akan tetapi tulang
pinggang itu mempunyai panjang dan lebar. Maka tidak boleh tidak menahan
panjangnya dan lebarnya, sehingga sempurnalah zuhud dengan yang demikian. Adapun
panjangnya, maka dengan dikaitkan kepada jumlah umur. Orang yang memiliki
makanan sehari, niscaya tidak merasa puas. Adapun lebarnya, maka mengenai kadar
makanan, jenisnya dan waktu memakannya. Adapun panjangnya, maka tidak pendek
selain dengan pendek angan-angan. Sesedikitnya tingkat zuhud, ialah: yang ada
padanya kesingkatan kepada sekadar menolak lapar, ketika sangat lapar dan takut
sakit. Orang yang begini keadaannya, apabila merasa bebas dengan apa yang
diperolehnya, niscaya ia tidak menyimpan dari makanannya untuk malamnya. Inilah
derajat yang tertinggi !
Derajat kedua, ialah bahwa ia menyimpan untuk
sebulan atau 40 hari.
Derajat ketiga, ialah bahwa ia menyimpan untuk
setahun saja. Ini tingkat orang-orang zuhud yang lemah. Siapa yang menyimpan untuk
yang lebih banyak dari yang demikian, maka menamainya orang zuhud itu mustahil.
Karena orang yang berangan-angan untuk kekal lebih lama dari setahun, maka itu
orang yang panjang sekali angan-angannya. Maka tidak sempurna zuhud
daripadanya, kecuali apabila ia tidak mempunyai usaha. Dan tidak rela bagi
dirinya mengambil dari tangan manusia, seperti: Daud Ath-Tha-i. Ia menerima
pusaka 20 dinar. Maka dipegangnya dan dibelanjakannya dalam masa 20 tahun. Ini
tidak berlawanan dengan pokok zuhud, selain pada orang yang menjadikan tawakkal
itu syarat zuhud. Adapun lebarnya, maka dengan dikaitkan kepada kadar. Paling
sedikit derajatnya sehari-semalam setengah kati. Yang sedang, ialah: sekati/sekilo.
Dan yang paling tinggi, ialah secupak/segenggam. Itu yang dikadarkan oleh Allah
Ta’ala pada memberi makanan orang miskin, mengenai kafarat. Dan dibalik itu,
termasuk meluaskan perut dan menyibukkannya. Siapa yang tidak sanggup
menyingkatkan kepada secupak, niscaya ia tidak mempunyai bahagian dari zuhud
pada perut. Adapun dengan dikaitkan kepada jenis, maka sekurang-kurangnya,
ialah: setiap apa yang dimakan, walaupun roti dari antah yang diayak
(an-nukhalah). Yang sedang, ialah: roti syair dan jagung. Yang tertinggi,
ialah: roti gandum, yang tidak diayak. Apabila ia memperbedakan dari yang
diayak dan menjadi tepung putih, maka ia telah masuk dalam bersenang-senang.
Dan ia keluar dari pintu zuhud yang penghabisan, lebih-lebih lagi dari yang
permulaannya.
Adapun lauk-pauk, maka
sesedikitnya, ialah: garam atau sayuran dan cuka. Dan yang sedang, ialah:
minyak zaitun atau sedikit dari minyak apapun adanya. Dan yang tertinggi,
ialah: daging apapun adanya. Yang demikian itu sekali dalam seminggu atau dua
kali. Kalau ia selalu maka daging atau lebih dari dua kali dalam seminggu,
niscaya ia keluar dari penghabisan pintu zuhud. Maka orang itu tidaklah
sekali-kali orang zuhud pada perut.
Adapun dengan dikaitkan
kepada waktu, maka sesedikitnya sekali dalam sehari semalam. Yaitu, bahwa dia
itu berpuasa. Yang sedang, ialah: bahwa ia berpuasa dan meminum pada malam dan
tidak makan. Memakan pada malam dan tidak minum. Yang tertinggi, bahwa ia
berkesudahan kepada lapar 3 hari atau seminggu dan lebih lagi. Dan telah kami
sebutkan jalan menyedikitkan makanan dan menghancurkan kerakusan kepada makanan
pada Rubu’ Yang Membinasakan.
Marilah diperhatikan
kepada hal-ihwal Rasulullah saw dan para sahabat ra tentang cara zuhudnya
mereka pada makanan dan meninggalkan lauk-pauk. ‘Aisyah berkata: “Adalah pada
kami 40 malam dan tidak dinyalakan lampu dan api di rumah Rasulullah saw”. Lalu
ditanyakan kepada ‘Aisyah: “Dengan apa kamu hidup ?”. ‘Aisyah menjawab: “Dengan
dua benda, yaitu: kurma dan air”. Ini meninggalkan daging, kuah dan lauk-pauk.
Al-Hasan berkata: “Adalah
Rasulullah saw mengendarai keledai, memakai kain bulu (wol), bersandal dengan
kulit, bersendok makan dengan jari-jari tangannya dan memakan diatas lantai.
Dan bersabda: “Bahwa aku ini hamba. Aku makan sebagaimana hamba-hamba makan.
Dan aku duduk sebagaimana hamba-hamba duduk”.
Isa Al-Masih ra berkata:
“Aku berkata kepadamu dengan sebenarnya, bahwa siapa yang mencari sorga
al-firdaus, maka roti tepung syair baginya dan banyak tidur diatas sampah
bersama anjing”. Al-Fudlail berkata: “Rasulullah saw tiada kenyang sejak datang
di Madinah, selama 3 hari dari roti gandum”.
Al-Masih as berkata: “Hai
Bani Israil ! haruslah kamu meminum air yang bersih, sayuran yang dibumi dan
roti syair. Jagalah dirimu dari roti gandum ! bahwa kamu tidak dapat menegakkan
kesyukurannya”. Telah kami sebutkan perjalanan hidup nabi-nabi dan ulama
terdahulu, mengenai makanan dan minuman pada Rubu’ Yang Membinasakan. Kami
tiada mengulanginya lagi. Tatkala penduduk Quba’ datang kepada Nabi saw, mereka
membawa minuman dari susu yang bercampur dengan air madu. Beliau lalu
meletakkan gelas dari tangannya, seraya bersabda: “Sesungguhnya aku tidak
mengharamkannya. Akan tetapi, aku meninggalkan nya, karena tawadlu’
(merendahkan diri) kepada Allah Ta’ala”.
Dibawa orang minuman
kepada Umar ra, dari air dingin dan air madu pada hari panas. Beliau lalu
berkata: “Pindahkan daripadaku akan perhitunan amal (hisab) dari minuman ini
!”. Yahya bin Ma’adz Ar-Razi berkata: “Orang zuhud yang benar, makanannya apa
yang diperolehnya, pakaiannya apa yang menutupi nya dan tempat tinggalnya dimana
didapatinya. Dunia itu penjaranya, kubur itu tempat tidurnya, tempat yang sunyi
itu tempat duduknya, mengambil ibarat itu pikirannya, Alquran itu
pembicaraannya, Tuhan itu kejinakan hatinya, dzikir itu temannya, kegundahan
itu keadaannya, malu itu semboyannya, lapar itu lauk-pauknya, ilmu hikmah itu
perkataannya, tanah itu tikarnya, taqwa itu perbekalannya, diam itu harta
rampasannya, sabar itu pegangannya, tawakkal itu yang mencukupinya, akal itu
dalilnya, ibadah itu pekerjaannya dan sorga itu tempat kesampaiannya, insya
Allahu Ta’ala.
Kepentingan yang kedua: pakaian. Paling sedikit tingkatnya, ialah yang
dapat menolak panas dan dingin. Dan dapat menutupi aurat. Yaitu: pakaian yang
menutupi dirinya. Yang sedang, ialah: baju kemeja panjang (qamish), peci dan
dua sandal. Dan yang paling tinggi, ialah: bahwa ada sapu tangan dan celana.
Yang melewati ini tentang kadarnya, maka itu melewati batas zuhud. Syarat orang
zuhud, bahwa tak ada baginya kain yang dipakainya, apabila ia mencuci kainnya.
Akan tetapi, ia harus duduk di rumah. Apabila ia mempunyai dua kemeja panjang,
dua celana dan dua sapu tangan, maka ia telah keluar dari semua pintu zuhud,
dari segi kadarnya. Adapun jenisnya, maka sesedikitnya, ialah kain yang dipakai
untuk menyapu, yang kasar. Yang sedang, ialah kain bulu yang kasar. Dan yang
tertinggi, ialah: kain kapas yang tebal. Adapun dari segi waktu, maka
sejauh-jauhnya ialah yang menutupi setahun. Yang paling kurang, ialah yang
tahan sehari. Sehingga sebahagian mereka menampalkan kainnya dengan daun kayu
dan walaupun segera keringnya. Yang sedang, ialah: yang tahan sebulan dan yang
mendekati sebulan. Maka mencari yang tahan lebih lama dari setahun, niscaya itu
keluar kepada panjang angan-angan. Itu berlawanan dengan zuhud. Kecuali apa
yang dicari itu kekasarannya. Kemudian, kadang-kadang diikuti yang demikian oleh
kekuatan dan tahan lama. Siapa yang memperoleh lebih dari yang demikian, maka
seyogyalah ia menyedekahkannya. Kalau ia tahan, niscaya ia bukan orang zuhud.
Akan tetapi, orang yang mencintai dunia.
Marilah diperhatikan
kepada hal-ihwal nabi-nabi dan para sahabat, bagaimana mereka meninggalkan
pakaian. Abu Bardah berkata: “Dikeluarkan untuk kami oleh ‘Aisyah pakaian bulu
yang beranyam dan kain sarung yang tebal. Ia lalu berkata: “Rasulullah saw
wafat pada dua pakaian ini”. Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala menyukai
orang yang memakai kain buruk, yang tidak memperdulikan apa yang dipakainya”.
‘Amir bin Al-Aswad
Al-‘Ansi berkata: “Aku tidak memakai selama-lamanya kain yang terkenal. Aku
tidak tidur selama-lamanya pada malam hari dengan memakai kain selimut. Aku
tidak mengendarai selama-lamanya atas kendaraan yang empuk. Dan aku tidak
pernah selama-lamanya memenuhkan rongga tubuhku dengan makanan”. Umar berkata:
“Siapa yang gembira melihat kepada petunjuk Rasulullah saw maka hendaklah ia
melihat kepada ‘Amr bin Al-Aswad”. Tersebut pada hadits: “Tiada dari seorang
hambapun yang memakai kain yang terkenal, melainkan Allah berpaling
daripadanya, walaupun Allah itu kecintaannya”.
Rasulullah saw membeli
kain dengan harga 4 dirham. Adalah harga dua helai kain Rasulullah saw 10
dirham. Kain sarung Rasulullah saw panjangnya 4 ½ hasta. Rasulullah saw membeli
celana dengan harga 3 dirham. Rasulullah saw memakai dua helai kain selimut putih
dari bulu. Kain selimut ini dinamai: pakaian, karena dia dua helai kain dari
satu jenis. Kadang-kadang Rasulullah saw memakai dua helai kain bikinan Yaman
menjadi selimut atau dua helai kain bikinan kampung Sahul di Yaman yang tidak
dipintalkan benangnya, dari kain yang tebal-tebal. Tersebut pada hadits, bahwa
baju kemeja panjang Rasulullah saw, seakan-akan baju kemeja yang berminyak.
Rasulullah saw memakai pada satu hari, kain selimut dari sutera. Harganya 200
dirham. Para sahabatnya memegang kain itu dan mengatakan karena heran: “Wahai
Rasulullah ! diturunkan kain ini kepada engkau dari sorga ?”. Kain itu
dihadiahkan oleh Makaukis raja Iskandariyah kepadanya. Rasulullah bermaksud
memuliakan raja itu dengan memakainya. Kemudian dibukanya dan dikirimkannya
kepada seorang musyrik, yang sampai kepadanya. Kemudian
diharamkan memakai sutera dan kain sutera. Seakan-akan ia memakainya
pertama-tama untuk menguatkan pengharaman. Sebagaimana ia memakai cincin emas
pada suatu hari. Kemudian dibukanya. Maka diharamkan memakainya kepada
laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi saw
kepada ‘Aisyah tentang persoalan Burairah: “Terimalah syarat, bahwa yang
menjadi wali Burairah, ialah keluarganya !”. Sesudah ‘Aisyah menerima syarat
itu, lalu Nabi saw naik ke atas mimbar, maka beliau mengharamkannya.
Sebagaimana beliau membolehkan perkawinan mut’ah untuk 3 hari. Kemudian, beliau
mengharamkannya, untuk menguatkan urusan perkawinan. Rasulullah saw mengerjakan
shalat dengan memakai khamishah (pakaian hitam 4 persegi) yang bergambar bendera.
Sesudah beliau mengucapkan salam dari shalatnya, bersabda: “Aku telah
dibimbangkan oleh memandang kepada baju ini. Bawalah dia kepada Abi Jaham. Dan
bawalah kepadaku anbijaniyahnya”. Yakni: pakaiannya. Maka beliau memilih
pakaian kasar, daripada kain yang halus.
Adalah tali sandal
Rasulullah saw telah tua. Lalu digantikan dengan tali yang baru. Beliau
mengerjakan shalat dengan memakai tali sandal yang baru. Sesudah memberi salam,
beliau bersabda: “Kembalikanlah tali yang tua ! bukalah yang baru ini ! bahwa
aku memandang kepadanya dalam shalat”. Nabi saw memakai cincin emas dan beliau
pandang kepadanya di atas mimbar sekali pandang. Lalu beliau lempar dan
bersabda: “Diganggu aku oleh ini daripada perhatian kepada kamu, oleh pandangan
kepadanya dan pandangan kepada kamu”. Pada suatu kali Nabi saw memakai dua
sandal baru. Lalu menakjubkan Nabi saw oleh kebagusannya. Beliau lalu turun bersujud
dan bersabda: “Menakjubkan aku oleh kebagusan keduanya. Lalu aku bertawadlu’
(merendahkan diri) kepada Tuhanku. Karena takut, bahwa Allah memarahi aku”.
Kemudian, beliau keluar membawa ke 2 sandal itu. Lalu diserahkannya kepada
orang miskin pertama yang dijumpainya. Dari Sannan bin Sa’ad yang mengatakan:
“Dijahit untuk Rasulullah saw sebuah jubbah dari wol anmar. Tepinya dibuat
hitam. Tatkala Nabi saw memakainya, beliau bersabda: “Lihatlah, alangkah
bagusnya, alangkah lembutnya !”. Sannan bin Sa’ad meneruskan riwayatnya: “Lalu
bangun berdiri seorang Arab desa dan berkata: “Wahai Rasulullah ! berikanlah
kepadaku !”. Adalah Rasulullah saw apabila diminta sesuatu, beliau tidak kikir
(terus memberikan). Sannan bin Sa’ad meneruskan riwayatnya: “Rasulullah saw
menyerahkan jubbah itu kepada Arab desa tadi. Beliau menyuruh supaya dijahit
baginya jubbah yang lain. Rasulullah saw wafat dan baju itu sedang dijahit”.
Dari Jabir, yang
mengatakan: “Rasulullah saw masuk ke tempat Fatimah ra dan ia sedang menggiling
tepung dengan gilingan. Ia memakai pakaian dari bulu unta. Tatkala Rasulullah
saw memandang kepadanya, beliau lalu menangis dan bersabda: “Hai Fatimah!
teguklah kepahitan dunia, untuk nikmat abadi”. Maka diturunkan kepada Nabi saw:
“Dan nanti Tuhan engkau akan memberikan kepada engkau, karena itu engkau akan
bersenang hati”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 5. Nabi saw bersabda: “Bahwa diantara
umatku yang pilihan, menurut apa yang diberitahukan kepadaku oleh malaikat yang
di langit, ialah suatu kaum. Mereka ketawa dengan keras dari keluasan rahmat
Allah Ta’ala. Mereka menangis dengan cara rahasia (tidak secara keras) dari
ketakutan kepada azabNya. Perbelanjaan mereka atas manusia itu ringan. Dan atas
diri mereka itu sendiri berat. Mereka memakai pakaian-pakaian tua. Mereka
mengikuti padri-padri (ar-ruhban). Jasmani mereka di bumi dan hati mereka di
sisi ‘Arasy. Inilah perjalanan hidup Rasulullah saw tentang pakaian. Ia
meninggalkan wasiat kepada umatnya umumnya untuk mengikutinya. Ia bersabda:
“Siapa yang mencintai aku, maka hendaklah ia berjalan menurut perjalananku
(sunnahku)”. Beliau saw bersabda: “Hendaklah kamu menurut sunnahku dan sunnah
khalifah-khalifahku yang lurus sesudahku ! gigitlah (peganglah teguh-teguh)
sunnah itu dengan gigimu !”. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah ! kalau kamu
betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah”. S
3 Ali ‘Imran ayat 31. Rasulullah saw mewasiatkan ‘Aisyah khususnya, dengan
bersabda: “Kalau engkau ingin berhubungan dengan aku, maka awaslah daripada
duduk-duduk dengan orang-orang kaya ! dan janganlah engkau membuka kain,
sebelum waktu untuk engkau menampalkannya”.
Dihitung pada baju kemeja
(qamish) Umar ra terdapat 12 tampalan. Sebahagian daripadanya dari kulit. Ali
bin Abi Thalib ra membeli kain dengan harga 3 dirham. Dipakainya pada waktu ia
menjadi khalifah. Dipotongnya dua lengannya dari dua pergelangan tangan. Dan berkata:
“Segala jenis pujian bagi Allah yang memberi aku pakaian ini dari pakaian
kemegahanNya”.
Ats-Tsuri dan lagi yang
lain berkata: “Pakailah dari kain-kain, yang tidak memahsyurkan engkau pada
ulama-ulama. Dan tidak menghinakan engkau pada orang-orang bodoh”. Ats-Tsuri
berkata: “Seorang miskin melewati aku dan aku sedang shalat. Maka aku biarkan,
ia lewat. Seorang anak dunia melewati aku dan padanya kain ini. Maka dia aku
benci. Dan tidak aku biarkan ia lewat”. Sebahagian mereka berkata: “Aku nilai dua
helai kain Sufyan dan dua sandalnya, dengan sedirham dan empat daniq”.
Ibnu Syibrimah berkata:
“Yang terbaik kainku, ialah yang melayani aku. Dan yang terburuk kainku, ialah
yang aku melayaninya”. Sebahagian salaf berkata: “Pakailah dari pakaian, apa yang
mencampur-adukkan engkau dengan orang-orang pasar. Dan jangan engkau pakai apa
yang memahsyurkan engkau. Lalu orang melihat kepada engkau”. Abu Sulaiman
Ad-Darani berkata: “Pakaian itu 3 macam: semacam bagi Allah”. Yaitu: yang
menutupi aurat. Semacam bagi hawa nafsu. Yaitu apa yang dicari oleh
kelembutannya. Dan semacam lagi bagi manusia, yaitu: yang dicari zatnya dan
kebagusannya. Sebahagian mereka berkata: “Siapa yang tipis kainnya, niscaya
tipis agamanya”.
Kebanyakan ulama tabi’in,
harga kainnya diantara 20 sampai 30 dirham. Adalah Sulaiman Al-Khawash tidak
memakai pakaian lebih dari dua potong, yaitu: kemeja panjang dan kain sarung di
bawahnya. Kadang-kadang ia lipatkan ujung kemeja panjangnya ke atas kepalanya.
Sebahagian salaf berkata: “Permulaan ibadah, ialah pakaian. Tersebut pada
hadits: “Tidak memperdulikan hal pakaian itu termasuk sebahagian dari iman”.
Tersebut pada hadits: “Siapa yang meninggalkan kain cantik, karena merendahkan
diri kepada Allah Ta’ala dan menghendaki akan wajahNya, niscaya ia berhak atas
Allah bahwa disimpankan baginya dari barang keajaiban sorga, dalam khazanah
permata yakut”.
Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada sebahagian nabi-nabiNya: “Katakanlah kepada auliaKu, bahwa mereka
jangan memakai pakaian musuh-musuhKu ! jangan mereka masuk tempat masuknya
musuh-musuhKu ! lalu mereka menjadi musuhKu, sebagaimana musuhKu itu adalah
musuhKu”.
Rafi’ bin Khudaij
memandang kepada Bisyr bin Marwan diatas mimbar Kufah, memberi pengajaran. Lalu
Rafi’ berkata: “Lihatlah kepada amirmu, bahwa ia memberi pengajaran kepada
manusia. Dan pada dirinya pakaian orang-orang fasik. Ia memakai kain tipis”.
Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah datang kepada Abu Dzarr dalam pakaiannya dari
kain kapas. Abdullah bin ‘Amir membicarakan tentang zuhud. Lalu Abu Dzarr
meletakkan tapak tangannya pada mulutnya. Dan ia kentut. Abdullah bin ‘Amir
lalu marah. Ia mengadukan kepada Umar ra. Umar ra menjawab: “Engkau berbuat
salah sendiri. Engkau memperkatakan zuhud di hadapannya dengan pakaian ini”.
Ali ra berkata: “Allah
Ta’ala mengambil imam-imam petunjuk, bahwa mereka berada dalam hal-ihwal
manusia yang paling kurang. Supaya mereka diikuti oleh orang kaya dan tidak
merasa hina orang miskin dengan kemiskinannya”. Tatkala Ali ra dicaci orang
tentang kasar kain pakaiannya, maka ia menjawab: “Itu lebih mendekati kepada
tawadlu’ dan lebih layak untuk diikuti oleh orang muslim”.
Nabi saw melarang dari
bersenang-senang. Ia bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba yang
mereka itu tidaklah orang-orang yang bersenang-senang”. Terlihat Fudlalah bin
‘Ubaid, rambutnya kusut-kusut, kakinya tiada beralas. Dan dia itu wali negeri
Mesir. Lalu orang bertanya kepadanya: “Engkau amir, mengapa engkau berbuat
begini ?”. Fudlalah bin ‘Ubaid menjawab: “Kita dilarang oleh Rasulullah saw
dari bermewah-mewah. Ia menyuruh kita bahwa sewaktu-waktu tidak beralas kaki”.
Ali ra berkata kepada Umar
ra: “Kalau engkau menghendaki mengikuti dua teman engkau, maka tampallah baju
kemejamu, putar balikkan kain sarungmu, cucukkan kulit menjadi sandalmu dan
makanlah dengan tidak kenyang !”. ‘Umar ra berkata: “Pakailah pakaian kain
kasar ! jagalah dirimu dari pakaian orang ‘Ajam, kisra dan kaisar”. Ali ra
berkata: “Siapa yang berpakaian dengan pakaian sesuatu kaum, maka dia termasuk
kaum itu”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari umatku yang
jahat, ialah: mereka yang diberi makanan dengan yang enak-enak, mereka mencari
berbagai macam warna makanan, berbagai macam warna kain dan banyak berbicara
dengan tidak dijaga”. Nabi saw bersabda: “Kain sarung orang mu’min, ialah
kepada pertengahan dua betisnya. Tidak mengapa diantara betis dan dua tumit.
Dan dibawah dari itu, maka dalam neraka. Allah tidak memandang pada hari kiamat
kepada orang yang menarikkan kain sarungnya dengan sombong”.
Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Tiada yang memakai bulu dari umatku, selain
orang yang ria atau orang yang dungu”. Al-Auza’i berkata: “Pakaian bulu dalam
perjalanan jauh (bermusafir) itu sunat. Dan kalau di tempat sendiri itu bid’ah
(yang diada-adakan)”. Muhammad bin Wasi’ masuk ke tempat Qutaibah bin Muslim.
Dan Muhammad itu memakai baju bulu (wol). Qutaibah lalu bertanya: “Apakah yang
membawa engkau kepada baju besi dari bulu ?”. Muhammad bin Wasi’ diam. Lalu
Qutaibah berkata: “Aku berbicara dengan engkau dan engkau tidak menjawab
pertanyaanku”. Muhammad lalu menjawab: “Aku tidak senang, bahwa aku mengatakan
zuhud, lalu aku membersihkan diriku sendiri. Atau miskin, lalu aku bersyukur
kepada Tuhanku”. Abu Sulaiman berkata: “Tatkala Allah mengambil Ibrahim menjadi
khalil, Ia menurunkan wahyu kepadanya: “Bahwa tutuplah aurat engkau dari bumi
!”. Nabi Ibrahim as tiada membuat dari setiap sesuatu, selain satu. Kecuali
celana, maka dibuatnya dua helai. Apabila ia cuci yang satu, niscaya dipakainya
yang lain. Sehingga tidak datang kepadanya sesuatu hal, melainkan selalu
auratnya tertutup”.
Ditanyakan kepada Salman
Al-Farisi ra: “Mengapa engkau tidak memakai kain yang bagus ?”. Salman
Al-Farisi menjawab: “Apakah kiranya bagi seorang hamba dan kain yang bagus !
apabila ia telah merdeka dari neraka, maka demi Allah, ia telah mempunyai
kain-kain yang tiada akan buruk untuk selama-lamanya”. Diriwayatkan dari Umar
bin Abdul-aziz ra, bahwa ia mempunyai baju jubbah bulu dan pakaian bulu, yang
dipakainya pada malam hari, apabila ia bangun mengerjakan shalat. Al-Hasan
Al-Bashari berkata kepada Farqad
As-Sabakhi: “Engkau menyangka bahwa engkau mempunyai kelebihan atas manusia
dengan pakaian engkau ? sampai kepadaku, bahwa kebanyakan isi neraka, ialah orang-orang
yang memakai pakaian secara munafik”.
Yahya bin Mu’in berkata:
“Aku melihat Abu Mu’awiyah Al-Aswad mengambil kain buruk dari dalam sampah.
Dicucikannya, ditampalkannya dan dipakainya. Aku lalu berkata: “Engkau dapat
memakai pakaian yang lebih baik dari ini”. Abu Mu’awiyah Al-Aswad menjawab:
“Tidak mendatangkan melarat kepada mereka, apa yang menjadi musibah bagi mereka
di dunia. Allah menampalkan bagi mereka dengan sorga dari setiap musibah”.
Yahya bin Mu’in berbicara tentang musibah dan menangis.
Kepentingan ketiga: tempat tinggal. Zuhud mengenai tempat tinggal
mempunyai juga 3 tingkat:
Yang tertinggi, ialah: bahwa ia tidak
mencari tempat khusus bagi dirinya. Ia merasa puas dengan sudut-sudut masjid,
seperti orang-orang ash-shaffah.
Yang menengah, ialah: bahwa ia mencari
tempat khusus bagi dirinya. Seperti pondok yang dibangun dari pelapah tamar
atau buluh atau yang serupa.
Yang terendah, bahwa ia mencari sebuah
kamar yang sudah dibangun. Adakalanya dengan membeli atau menyewa. Kalau kadar
luasnya tempat tinggal sekadar hajat keperluan, tanpa lebih dan tak ada padanya
perhiasan, niscaya kadar ini tidak mengeluarkannya dari penghabisan tingkat
zuhud. Kalau ia mencari yang kokoh bangunanya, yang dikapurkan yang lapang dan
ketinggian atapnya lebih banyak dari 6 hasta, maka ia secara keseluruhan telah
melewati batas zuhud mengenai tempat tinggal.
Perbedaan jenis bangunan
ialah: dengan adanya dari kapur putih atau buluh atau dengan tanah atau dengan
batu bata. Perbedaan kadarnya, ialah: dengan luas dan sempit. Dan perbedaan
lamanya, ialah dengan dikaitkan kepada waktu, bahwa tempat tinggal itu kepunyaan
sendiri atau disewa atau dipinjam. Zuhud mempunyai tempat masuk pada semuanya.
Kesimpulannya, bahwa setiap apa yang dikehendaki karena darurat, maka tiada
seyogyalah dilampaui batas darurat itu. Kadar darurat dari dunia itu alat agama
dan jalannya (menjadi perantaraan bagi agama). Apa yang melewati yang demikian,
maka itu berlawanan bagi agama. Maksud dari tempat tinggal itu menolak hujan
dan dingin, menolak mata orang dan kesakitan. Sekurang-kurang tingkatnya itu
dimaklumi. Yang lebih daripadanya, maka itu kelebihan (tidak diperlukan).
Kelebihan itu seluruhnya dari dunia. Orang yang mencari kelebihan dan berusaha
baginya itu, jauh sekali dari zuhud.
Dikatakan, bahwa keadaan
pertama yang lahir dari panjang angan-angan sesudah Rasulullah saw, ialah: ad-tadriiz
dan at-tasy-yiid. Yang dimaksud dengan ad-tadriiz, ialah: mencegah ulangan
jahitan kain, yang sudah dijahit dengan jahitan tipis. At-tasy-yiid, ialah:
bangunan dengan kapur putih dan batu bata. Mereka itu membangun dengan pelepah
kurma yang tidak dibuang daunnya atau dengan pelepah kurma yang dibuang
daunnya. Tersebut pada hadits, bahwa akan datang kepada manusia suatu zaman,
dimana mereka menghiasi kainnya dengan ukiran-ukiran, sebagaimana dihiasi kain
sutera Yaman dengan berbagai macam warna. Rasulullah saw menyuruh Al-Abbas
(pamannya) untuk membongkar kamar yang telah dibangunnya dengan tinggi. Nabi
saw melalui suatu kubah yang tinggi, lalu bertanya: “Siapakah yang empunya ini
?”. Mereka menjawab: “Kepunyaan si anu !”. Tatkala orang itu datang kepada Nabi
saw, maka beliau berpaling dari orang itu. Beliau tidak menerimanya seperti
yang sudah-sudah. Orang itu lalu bertanya kepada teman-temannya tentang
perobahan wajah Nabi saw. Maka diberitahukan kepadanya. Lalu ia pergi
membongkar kubah itu. Rasulullah saw melalui tempat itu lagi. Tiada dilihatnya
kubah itu. Maka diberitahukan, bahwa orang itu telah membongkarnya. Nabi saw
lalu berdoa kepadanya dengan kebajikan.
Al-Hasan Al-Bashari ra berkata: “Rasulullah saw wafat dan beliau
tidak pernah meletakkan batu bata di atas bata dan bambu di atas bambu”. Nabi
saw bersabda: “Apabila Allah Ta’ala menghendaki akan kejahatan pada seorang
hamba, niscaya dibinasakanNya harta orang itu dalam air dan tanah”.
Abdullah bin Umar berkata:
“Rasulullah saw melintasi tempat kami. Dan kami sedang membuat rumah bambu.
Beliau lalu bertanya: “Apa ini ?”. Kami menjawab: “Rumah bambu kami sudah
rusak”. Beliau lalu menjawab: “Aku melihat urusan akan lebih cepat dari yang demikian”.
Nabi Nuh as membuat rumah
dari buluh. Lalu ditanyakan kepadanya: “Jikalau kiranya, engkau bangun dengan
tanah liat”. Nabi Nuh as menjawab: “Ini banyak bagi orang yang akan mati”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Kami masuk
ke tempat Shafwan bin Muhairiz dan dia dalam rumah buluh yang miring. Lalu
ditanyakan kepadanya: “Bagaimana jikalau engkau memperbaikinya ?”. Ia menjawab:
“Berapa banyak orang sudah mati dan rumah ini terus berdiri dalam keadaannya
ini”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang membangun di atas apa yang mencukupi
baginya, niscaya ia diberatkan bahwa membawa bangunan itu pada hari kiamat”.
Tersebut pada hadits: “Setiap nafkah bagi hamba akan diberi pahala padanya,
selain apa yang dinafkahkannya (dibelanjakannya) pada air dan tanah”. Mengenai
firman Allah Ta’ala: “Kampung akhirat itu Kami berikan kepada mereka yang tidak
hendak berbuat sewenang-wenangdan bencana di muka bumi”. S 28 Al Qashash ayat
83. Bahwa yang demikian itu, ialah ingin jadi kepala dan menyombong pada
bangunan.
Nabi saw bersabda: “Setiap
bangunan itu bencana atas yang punya pada hari kiamat, selain apa yang
menutupkannya dari panas dan dingin”. Nabi saw bersabda kepada orang yang
mengadu kepadanya tentang sempit tempat tinggalnya: “Berlapanglah di langit !”.
Artinya: di sorga. Umar ra melihat pada jalan Syam (Siria) ke sebuah mahligai,
yang dibangun dengan kapur putih dan batu bata. Beliau lalu bertakbir dan
berkata: “Tidaklah aku menyangka bahwa ada pada umat ini, orang yang membangun
bangunan Haman bagi Faraun”. Yakni kata Faraun: “Hai Haman ! nyalakanlah api
(buat membakar) tanah liat untuk aku”. S 28 Al Qashash ayat 38. Yang
dimaksudkan, ialah: batu bata. Dikatakan, bahwa Faraun, ialah: orang pertama
yang membangun dengan kapur putih dan batu bata. Orang pertama yang mengerjakannya,
ialah Haman. Kemudian, keduanya ini diikuti oleh orang-orang sombong yang lain.
Dan inilah yang dikatakan: keelokan. Sebahagian ulama salaf melihat sebuah
masjid jami’ di sebahagian kota-kota besar. Lalu mengatakan: “Aku ketahui
masjid ini dibangun dari pelepah kurma dan bambu. Kemudian, aku melihatnya
dibangun dengan tanah liat. Kemudian, aku melihatnya sekarang dibangun dengan
batu bata. Maka adalah yang empunya pelepah kurma itu lebih baik daripada yang
punya tanah liat. Dan yang punya tanah liat itu lebih baik daripada yang punya
batu bata”. Pada kalangan ulama salaf ada orang yang membangun rumahnya
beberapa kali selama umurnya, karena tidak kuat bangunannya, pendek
angan-angannya dan zuhudnya pada menguatkan bangunan. Diantara mereka ada orang,
apabila ia mengerjakan hajji atau berperang, niscaya ia cabut rumahnya atau
diberikannya kepada tetangganya. Apabila ia kembali, lalu dimintanya kembali.
Adalah rumah mereka dari rumput hilalang dan kulit. Yaitu: adat kebiasaan orang
Arab sekarang di negeri Yaman. Tinggi bangunan atapnya setinggi berdirinya dan
lapang.
Al-Hasan berkata: “Adalah
aku apabila aku masuk ke rumah Rasulullah saw aku pukul dengan tanganku
lotengnya”. ‘Amr bin Dinar berkata: “Apabila hamba itu meninggikan bangunan di
atas 6 hasta, niscaya ia dipanggil oleh malaikat: “Mau kemana, hai orang yang
lebih fasik dari orang-orang fasik?”. Sufyan melarang dilihat bangunan yang
kokoh kuat. Ia mengatakan: “Jikalau tidaklah manusia melihat kepada apa yang
dibangun mereka dengan kokoh kuat. Maka melihat kepadanya itu menolong kepada
pembangunannya”.
Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra
berkata: “Aku sesungguhnya tidak heran kepada orang yang membangun dan
meninggalkannya. Akan tetapi, aku heran kepada orang yang memandang kepadanya
dan ia tidak mengambil ibarat apa-apa”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Akan datang
suatu kaum yang meninggikan tanah liat dan merendahkan agama. Mereka memakai
kuda Rumawi. Mereka mengerjakan sembahyang kepada qiblatmu. Dan mereka mati
tidak atas agamamu”.
Kepentingan keempat: perabot rumah. Zuhud mengenai perabot juga
bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi, ialah keadaan nabi Isa Al-Masih as.
Rahmat Allah dan kesejahteraan kepadanya dan kepada setiap hamba yang pilihan.
Karena tidak ada bersama nabi Isa as, selain sisir rambut dan kendi air. Ia
melihat orang menyisirkan janggutnya dengan anak jari, lalu diberikannya sisir.
Dan ia melihat orang lain meminum dari sungai dengan dua tapak-tangannya, lalu
diberikannya kendi air. Inilah hukumnya setiap perabot rumah. Bahwa yang
dikehendaki, ialah untuk maksudnya. Apabila tidak diperlukan, maka itu bencana
pada dunia dan akhirat. Apa yang tidak diperlukan, maka dipendekkan kepada
sesedikit tingkat. Yaitu: tembikar pada setiap apa yang memadai tembikar
padanya. Tidak diperdulikan bahwa tepinya sudah pecah, apabila berhasil
maksudnya.
Tingkat yang
ditengah-tengah, ialah: bahwa ia mempunyai perabot rumah sekedar hajat, yang
shah padanya. Akan tetapi, ia mempergunakan satu alat pada beberapa maksud,
seperti: orang yang ada padanya piring, dimana ia makan pada piring tu. Ia
minum pada piring itu. Dan ia menjaga benda lain dalam piring itu. Adalah ulama
salaf menyukai satu perkakas pada beberapa hal, untuk meringankan.
Tingkat yang terendah,
bahwa ia mempunyai perkakas menurut bilangan setiap keperluan, dari jenis yang
menurun dan buruk. Kalau lebih mengenai bilangannya atau pada bagus jenisnya,
niscaya ia keluar dari semua pintu zuhud. Dan cenderung kepada mencari
kelebihan. Hendaklah dilihat kepada perjalanan hidup Rasulullah saw dan
perjalanan hidup para sahabat. Ridha Allah kiranya kepada mereka sekalian.
‘Aisyah berkata: “Adalah tempat tidur Rasulullah saw, dimana beliau tidur
padanya itu kulit, yang isinya sabut kurma”. Al-Fudlail berkata: “Tidak ada
tikar Rasulullah saw, selain baju panjang yang dilipatkan. Bantalnya dari
kulit, yang isinya sabut kurma”.
Diriwayatkan, bahwa Umar
bin Al-Khattab ra masuk ke tempat Rasulullah saw. Dan beliau sedang tidur atas
tempat tidur, yang dialaskan dengan pelepah kurma. Umar lalu duduk, maka
dilihatnya bekas pelepah kurma pada lembungnya saw. Lalu bercucuranlah air mata
Umar. Maka Nabi saw bertanya kepadanya: “Apakah yang membawa engkau menangis,
wahai putera Al-Khattab ?”. Umar ra menjawab: “Aku teringat kepada kisra dan
kaiser dan apa yang bagi keduanya dari kerajaan. Dan aku teringat kepada
engkau. Dan engkau itu kekasih Allah, pilihanNya dan utusanNya, tidur di atas
tempat tidur yang dialaskan dengan pelepah kurma”. Nabi saw menjawab: “Apakah
engkau tidak senang, wahai Umar, bahwa bagi keduanya itu dunia dan bagi kita
akhirat ?”. Umar ra menjawab: “Ya, senang wahai Rasululah !”. Nabi saw lalu
menyambung: “Maka demikianlah seperti yang demikian”.
Seorang laki-laki masuk ke
tempat Abi Dzarr. Orang itu melihat kesana kemari dalam rumah Abi Dzarr. Lalu
ia bertanya: “Hai Abi Dzarr ! aku tidak melihat dalam rumah engkau harta-benda
dan lain-lain dari perabot rumah”. Abi Dzarr menjawab: “Kami mempunyai rumah
yang kami arahkan kepadanya harta benda kami, yang baik-baik”. Laki-laki itu
menyahut: “Bahwa tak boleh tidak dari harta benda, selama engkau masih di
sini”. Abu Dzarr lalu menjawab: “Bahwa Yang Punya tempat, tidak meninggalkan
kita pada tempatNya”. Tatkala Umar bin Sa’id amir negeri Homs datang kepada
Umar ra, lalu Umar ra bertanya kepadanya: “Apa yang ada pada kamu dari dunia
?”. Umair bin Sa’id menjawab: “Padaku tongkat yang aku bertekan padanya. Aku
bunuh dengan tongkat itu ular kalau aku jumpai. Padaku karung kulit, yang aku
bawa padanya makananku. Padaku piring, yang aku makan padanya. Aku basuh dengan
piring itu kepalaku dan kainku. Padaku tempat mencuci, yang aku bawa di
dalamnya minumanku dan air bersuciku bagi shalat. Maka tidak adalah sesudah ini
dari dunia. Itu adalah mengikuti bagi apa yang ada padaku”. Umar ra lalu
menjawab: “Benar engkau ! kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau”.
Rasulullah saw datang dari perjalanan jauh. Lalu beliau masuk ke tempat Fatimah
ra. Beliau melihat pada pintu rumahnya tirai. Dan pada dua tangannya gelang
perak. Beliau lalu pulang. Maka masuk Abu Rafi’ ke tempat Fatimah dan Fatimah
itu menangis. Ia lalu menceritakan kepada Abu RAfi’ tentang kembalinya
Rasulullah saw. Abu Rafi’ lalu bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw
menjawab: “Dari karena tirai dan dua gelang”. Fatimah ra mengutus Bilal
mengenai kedua barang itu kepada Rasulullah saw. Fatimah ra berkata: “Aku
sedekahkan kedua benda itu. Maka letakkanlah dimana yang baik !”. Rasulullah
saw bersabda: “Pergilah, jualkanlah ! dan serahkan harganya kepada
ahlish-shuffah”. Bilal lalu menjual dua gelang perak itu dengan harganya dua
dirham setengah. Ia sedekahkan harganya itu kepada ahlish-shuffah. Maka
masuklah Rasulullah saw ke tempat Fatimah. Beliau bersabda: “Demi ayahku,
engkau sudah berbuat baik (berbuat ihsan)”. Rasulullah saw melihat tirai pada
pintu ‘Aisyah. Lalu beliau rusakkan. Dan bersabda: “Tiap kali aku melihatnya,
aku ingat kepada dunia. Kirimkanlah tirai itu kepada keluarga si anu !”. Pada
suatu malam ‘Aisyah membentangkan bagi Nabi saw tikar baru. Dan yang
sudah-sudah adalah Nabi saw tidur di atas baju panjang yang dilipatkan. Maka
selalulah Nabi saw berbalik-balik pada malam itu. Pada waktu pagi hari, beliau
bersabda kepada ‘Aisyah: “Kembalikanlah baju panjang yang buruk itu dan
pindahkanlah tikar ini daripadaku. Semalam-malaman aku tidak bisa tidur”.
Demikian juga, pada suatu malam, dibawa kepada Rasulullah saw 5 atau 6 dinar.
Maka pada malam itu uang tersebut bersama Rasulullah saw. Semalam-malaman
beliau tidak dapat tidur. Sehingga dikeluarkannya pada akhir malam.
‘Aisyah berkata: “Ketika
itu baru Rasulullah saw dapat tidur. Sehingga aku mendengar dengkurnya.
Kemudian, beliau bersabda: “Apakah persangkaan Muhammad kepada Tuhannya,
jikalau ia menemui Allah dan ini ada padanya”. Al-Hasan berkata: “Aku mendapati
70 orang-orang pilihan, yang tidak ada bagi seseorang mereka, selain kainnya.
Dan tidak diletakkan kain oleh seseorang mereka sekali-kali diantaranya dan
bumi. Apabila ia mau tidur, niscaya dengan langsung bumi tersentuh dengan
tubuhnya. Dan diletakkannya kainnya di atas dirinya”.
Kepentingan yang kelima: perkawinan. Orang-orang yang mengatakan berkata:
“Tiada mempunyai arti bagi zuhud tentang pokok perkawinan dan tentang banyaknya
perkawinan. Kepada yang demikian itu, berpendapat Sahal bin Abdullah. Ia
mengatakan: “Penghulu orang-orang zuhud menyukai kepada kaum wanita. Maka
bagaimana kita berzuhud pada wanita-wanita itu ?”. Dan menyetujui atas ucapan
yang demikian, Ibnu Uyainah, yang mengatakan: “Adalah sahabat yang paling
zuhud, ialah Ali bin Thalib ra. Ia mempunyai 4 isteri dan hampir 10 budak
wanita”. Yang benar, ialah apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Ad-Darani ra.
Karena ia berkata: “Setiap apa yang mengganggu engkau daripada Allah, baik
isteri, harta atau anak, maka adalah itu tercela bagi engkau. Dan wanita itu
kadang-kadang mengganggu daripada mengingati Allah”. Menyingkapkan kebenaran
tentang perkawinan, ialah: kadang-kadang membujang itu lebih utama pada
sebahagian hal-ihwal, sebagai telah diterangkan dahulu pada Kitab Perkawinan. Maka meninggalkan perkawinan itu termasuk zuhud.
Dan dimana perkawinan itu lebih utama untuk menolak nafsu syahwat yang
mengerasi, maka perkawinan itu wajib. Maka bagaimana meninggalkan perkawinan
itu termasuk zuhud ? kalau tidak ada pada orang itu bahaya, baik pada
meninggalkan perkawinan atau pada mengerjakannya, akan tetapi meninggalkan
perkawinan itu, karena menjaga dari kecenderungan hati dan jinaknya kepada
wanita, dimana ia terganggu dari mengingati Allah, maka meninggalkan perkawinan
itu termasuk zuhud. Kalau ia tahu, bahwa wanita tidak mengganggunya dari
mengingati Allah, akan tetapi, ia meninggalkan yang demikian, karena menjaga
dari kelezatan memandang, ketiduran bersama dan persetubuhan, maka tidaklah
sekali-kali ini termasuk zuhud. Bahwa anak itu dimaksudkan bagi kekalnya
keturunan dan membanyakkan umat Muhammad saw, yang termasuk sebahagian dari
pendekatan diri kepada Allah.
Kelezatan yang diperoleh
manusia mengenai yang termasuk sebahagian dari darurat bagi wujudnya itu
tidaklah mendatangkan melarat baginya, apabila bukan kelezatan itu yang
dimaksud dan yang dicari. Dan ini seperti orang yang meninggalkan makan roti
dan minum air, karena menjaga dari kelezatan makan dan minum. Dan tidaklah yang
demikian itu termasuk zuhud sedikitpun. Karena pada meninggalkan yang demikian
itu kerusakan bagi badannya. Maka seperti demikian juga tentang meninggalkan
perkawinan itu putusnya keturunan. Maka tidak boleh meninggalkan perkawinan
karena perkawinan itu sendiri, tanpa takut akan bahaya yang lain. Dan ini sudah
pasti yang dimaksudkan oleh Sahal At-Tusturi ra. Dan karena itulah, Rasulullah
saw kawin. Apabila ini sudah tetap, maka siapakah yang keadaannya itu sama
dengan keadaan Rasulullah saw, tentang tidak mengganggunya oleh banyak isteri ?
tidak terganggu hati dengan kepentiangan isteri dan perbelanjaan kepada mereka.
Maka tidak ada makna bagi zuhudnya pada wanita-wanita itu, karena takut dari
semata-mata kelezatan bersetubuh dan memandang. Akan tetapi bagaimana tergambar
yang demikian, bagi selain nabi-nabi dan wali-wali ? kebanyakan manusia
terganggu oleh banyaknya isteri. Maka seyogyalah ia meninggalkan pokok, jikalau
mengganggukan kepadanya. Jikalau tidak mengganggukannya dan ia takut dari
terganggu oleh banyaknya isteri atau kecantikan wanita, maka hendaklah ia kawin
seorang wanita yang tidak cantik. Dan hendaklah ia menjaga hatinya pada yang
demikian.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra
berkata: “Zuhud tentang wanita, ialah: bahwa ia memilih wanita yang hina atau
yatim, dari wanita yang cantik dan berbangsa”. Al-Junaid ra berkata: “Aku suka
bagi murid yang permulaan bahwa hatinya tidak diganggu oleh 3 perkara. Kalau
tidak, niscaya berobah keadaannya. Yaitu: berusaha, mencari hadits dan kawin.
Al-Junadi ra berkata: “Aku sukai bagi orang sufi, bahwa ia tidak menulis dan
tidak membaca, karena yang demikian itu menghimpunkan angan-angannya”. Apabila
telah nyata bahwa kelezatan kawin itu seperti kelezatan makan, maka apa yang
mengganggunya daripada mengingati Allah, niscaya itu semua dijaga pada yang dua
itu
Kepentingan yang keenam, ialah apa yang menjadi wasilah (jalan)
kepada yang lima itu. Yaitu: harta dan kemegahan. Adapun kemegahan, maka
artinya, ialah: memiliki hati manusia dengan mencari tempat dalam hati manusia
itu. Supaya ia sampai dengan yang demikian, kepada memperoleh pertolongan pada
maksud-maksudnya dan perbuatan-perbuatannya. Setiap orang yang tidak mampu
berdiri sendiri pada semua keperluannya dan ia memerlukan kepada orang yang
melayaninya, niscaya ia memerlukan -sudah pasti- kepada kemegahan (kehormatan)
dalam hati yang melayaninya. Karena kalau ia tidak mempunyai tempat dan
penghargaan dalam hati pelayannya, niscaya pelayan itu tidak mau melayaninya.
Dan adanya penghargaan dan tempat dalam hati itulah, yang dinamakan: kemegahan.
Dan ini baginya permulaan yang dekat. Akan tetapi, ia berkelanjutan kepada
jurang tidak dalam. Siapa yang bermain-main di sekeliling yang dilarang,
niscaya akan jatuh ke dalamnya. Bahwa diperlukan kepada tempat dalam hati
manusia, adakalanya karena tarikan manfaat atau karena tolakan melarat atau
karena kelepasan dari kezaliman. Adapun manfaat, maka tidak memerlukan kepada
harta. Bahwa orang yang melayani dengan upah, akan melayani, walaupun orang
yang mengupahkan itu tak ada nilai (kadar) pada yang melayaninya. Hanya
diperlukan kepada kemegahan (penghargaan) dalam hati orang yang melayani tanpa
upah. Adapun tolakan melarat, maka karenanya diperlukan kepada kemegahan dalam
suatu negeri, yang tidak sempurna keadilan padanya. Atau ia berada diantara
tetangga yang menganiayainya. Dan ia tidak mampu menolak kejahatan mereka, selain
dengan memperoleh tempat dalam hati mereka. Atau memperoleh tempat di sisi
sultan (penguasa). Kadar keperluan pada kemegahan itu, tidak dapat ditentukan.
Lebih-lebih apabila bercampur ketakutan padanya dan buruk sangka dengan
akibat-akibatnya.
Orang yang terjerumus
dalam mencari kemegahan (penghargaan orang) itu berjalan pada jalan kebinasaan.
Akan tetapi, hak orang zuhud, ialah: tidak berusaha sekali-kali untuk mencari
tempat dalam hati manusia. Kesibukannya ialah dengan agama dan ibadah, yang
menyediakan baginya tempat dalam hati manusia, yang akan menolakkan kesakitan
daripadanya, walaupun ia berada diantara orang-orang kafir. Maka bagaimana
pula, bila ia diantara orang-orang Islam?
Adapun sangka waham dan
taksiran-taksiran yang memerlukan kepada pertambahan pada kemegahan, diatas
yang sudah berhasil, tanpa usaha, maka itu sangka-sangka waham yang bohong.
Karena, siapa yang mencari kemegahan juga tidak terlepas dari sembarang
kesakitan pada sebahagian hal keadaan. Maka pengobatannya dengan menanggung dan
sabar itu lebih utama dari pengobatannya dengan mencari kemegahan. Jadi,
mencari tempat dalam hati manusia, tidaklah sekali-kali mudah. Yang sedikit
daripadanya mengajak kepada yang banyak. Keganasannya lebih berat dari
keganasan khamar. Maka hendaklah dijaga dari sedikitnya dan banyaknya !
Adapun harta, maka itu
penting (daruri) dalam penghidupan. Yakni: yang sedikit daripadanya. Kalau ia
pengusaha, maka apabila ia berusaha untuk hajat keperluan harinya itu, niscaya
seyogyalah ia meninggalkan usaha. Sebahagian mereka, apabila telah mengusahakan
dua biji, lalu mengangkat karung barangnya dan berdiri, tidak bekerja lagi.
Inilah syarat zuhud. Kalau melewati yang demikian, kepada yang memadai baginya
lebih banyak dari setahun, maka ia telah keluar dari batas orang-orang zuhud
yang lemah dan yang kuat. Kalau ia mempunyai harta benda dan tidak mempunyai
keyakinan yang kuat pada tawakkal lalu dipegangnya sekadar yang mencukupi
faedahnya untuk satu tahun, maka ia tidak keluar dengan kadar itu dari zuhud,
dengan syarat bahwa ia bersedekah dengan setiap yang berlebihan dari yang
mencukupi setahun. Akan tetapi, ia termasuk orang zuhud yang lemah. Bahwa
syarat tawakkal pada zuhud itu seperti yang disyaratkan oleh Uwais Al-Qarni ra.
Maka tidaklah ini termasuk sebahagian dari orang-orang zuhud.
Kata kami, bahwa ia keluar
dari batas orang-orang zuhud, yang kami maksudkan, ialah, bahwa: apa yang
dijanjikan bagi orang-orang zuhud di negeri akhirat, dari kedudukan-kedudukan
yang terpuji, tiada akan diperolehnya. Kalau bukan demikian, maka nama zuhud kadang-kadang
tidak berpisah dengan dia, dengan dikaitkan kepada yang dizuhudkannya dari
kelebihan dan kebanyakan. Urusan orang yang menyendiri pada semua itu lebih
ringan dari urusan orang yang bersandar kepada orang lain.
Abu Sulaiman berkata:
“Tiada seyogyalah seorang laki-laki memaksakan keluarganya kepada zuhud. Akan
tetapi mengajak mereka kepadanya. Kalau mereka memperkenankannya. Dan kalau
tidak, ia tinggalkan mereka dan ia berbuat sendiri apa yang dikehendakinya.
Maksudnya, bahwa penyempitan yang diisyaratkan atas orang yang zuhud itu khusus
kepadanya. Dan tidak harus yang demikian atas keluarganya. Ya, tiada seyogyalah
bahwa ia mewajibkan mereka juga pada apa yang keluar dari batas yang sedang.
Dan hendaklah ia mempelajari dari Rasulullah saw, ketika beliau meninggalkan
rumah Fatimah ra disebabkan tirai dan dua gelang perak. Karena yang demikian
itu termasuk perhiasan. Tidak termasuk hajat keperluan. Jadi, apa yang
diperlukan oleh manusia dari kemegahan dan harta, tidaklah termasuk yang perlu
diingati. Akan tetapi, yang lebih dari hajat keperluan itu racun yang membunuh.
Dan menyingkatkan di atas yang darurat itu obat yang bermanfaat. Dan diantara
keduanya itu tingkat-tingkat yang menyerupai satu dengan lainnya. Apa yang
mendekati kepada kelebihan, walaupun bukan racun yang membunuh, maka itu
mendatangkan melarat. Dan apa yang mendekati kepada darurat, walaupun bukan
obat yang bermanfaat, akan tetapi sedikit melaratnya. Racun itu dilarang
meminumnya. Dan obat itu perlu dipakai. Diantara keduanya itu urusan yang
menyerupai satu dengan lainnya. Siapa yang hati-hati, maka sesungguhnya ia
hati-hati bagi dirinya sendiri. Dan siapa yang menganggap mudah, maka
sesungguhnya ia menganggap muda atas dirinya sendiri. Siapa yang melepaskan
diri, demi kepentingan agamanya, meninggalkan apa yang meragukannya kepada yang
tidak meragukannya dan mengembalikan dirinya kepada darurat yang sempit itu,
maka dia adalah orang yang berhati-hati. Dan sudah pasti, dia termasuk golongan
yang terlepas dari kebinasaan. Orang yang menyingkatkan atas kadar darurat dan
yang penting, tidaklah boleh dikatakan ia condong kepada dunia. Akan tetapi,
kadar yang demikian dari dunia adalah itu agama. Karena dia itu syarat agama.
Dan syarat itu termasuk dalam jumlah yang disyaratkan. Menunjukkan kepada yang
demikian, apa yang dirawikan bahwa Nabi Ibrahim Al-Khalil as mempunyai hajat
keperluan. Lalu ia pergi kepada temannya meminta berhutang akan sesuatu. Teman
itu tidak mau memperhutangkannya. Ia lalu kembali dengan hati yang duka. Maka
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Jikalau engkau meminta kepada Kekasih
engkau, niscaya Ia memberikan kepada engkau”. Nabi Ibrahim as berkata: “Wahai
Tuhanku ! aku mengerti akan cercaan Engkau kepada dunia. Maka aku takut meminta
sesuatu dari dunia kepada Engkau”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Ibrahim
as: “Tidaklah ada keperluan kepada dunia”. Jadi, sekadar hajat keperluan itu
termasuk agama. Dan dibalik itu bahaya bagi akhirat. Dan itu pada dunia juga
seperti yang demikian.
Diketahui oleh orang yang
mencoba hal-ihwal orang-orang kaya dan apa yang dialami mereka dari percobaan
pada mengusahakan harta, pada mengumpulkannya, memeliharakannya dan menanggung
kehinaan padanya. Penghabisan kebahagiaannya, ialah: bahwa diserahkannya kepada
ahli warisnya. Maka mereka memakannya. Kadang-kadang adalah mereka musuhnya.
Kadang-kadang dengan harta itu mereka berbuat perbuatan maksiat. Maka adalah
dia yang menolong mereka kepada maksiat. Karena itulah, diserupakan orang yang
mengumpulkan dunia dan menuruti hawa nafsu dengan ulat sutera. Senantiasa ia
menenun atas dirinya, dalam keadaan hidup. Kemudian, ia bermaksud keluar. Maka
tidak diperolehnya jalan yang melepaskannya. Ia mati dan binasa dengan sebab
perbuatannya, yang dikerjakannya sendiri. Maka seperti yang demikian, setiap
orang yang menuruti hawa nafsu dunia. Ia menghukum atas hatinya dengan
rantai-rantai, yang mengikatkannya dengan apa yang diingininya. Sehingga
menampak padanya rantai-rantai itu. Lalu ia dikungkung oleh harta, kemegahan,
isteri, anak, cacian musuh, berbuat ria teman-teman dll keberuntungan dunia.
Kalau terguris kepadanya, bahwa ia telah bersalah pada yang demikian, lalu ia
bermaksud keluar dari dunia, niscaya ia tidak mampu. Ia melihat hatinya terikat
dengan rantai-rantai dan belenggu-belenggu, yang tidak mampu ia memutuskan nya.
Kalau ia tinggalkan seorang kekasih dari kekasihnya, dengan pilihannya sendiri,
niscaya hampirlah dia membunuh dirinya dan berusaha pada kebinasaannya. Sampai
diceraikan oleh Malakul-maut diantara dia dan semua kekasihnya dalam sekejap.
Maka tinggallah rantai pada hatinya, yang tergantung dengan dunia, yang telah
hilang baginya dan di belakangnya. Rantai-rantai itu menarikkannya kepada
dunia. Kuku-kuku Malakul-maut sudah tergantung dengan urat hatinya, yang menarikkannya
ke akhirat. Maka adalah hal-ihwalnya yang termudah ketika mati, bahwa ada ia
seperti seorang yang menggergaji kayu dengan gergaji. Diceraikannya salah satu
tepinya dari yang lain dengan menarik-narikkan dari kedua pihak. Orang yang
menggergaji dengan gergaji, menempatkan kepedihan pada badannya. Dan hatinya
merasa sakit dengan yang demikian, dengan jalan berseraya (berjalan) dari mana
ada bekasnya. Maka apa sangkaan engkau dengan kesakitan, yang mungkin
pertama-tama dari jantung hati, yang khusus dengan dia. Tidak dengan jalan
berseraya kepadanya dari yang lain. Inilah azab pertama yang didapatinya,
sebelum apa yang dilihatnya, dari penyesalan ketiadaan tempat dalam sorga yang
tertinggi dan disamping Tuhan Rabbul-‘alamin. Dengan membawa diri kepada dunia
itu menghijabkan (menjadikan dinding) daripada bertemu dengan Allah Ta’ala.
Pada hijab (dinding) itu mengerasilah ke atasnya neraka jahannam. Karena neraka
itu tidak mengerasi, selain atas orang yang terdinding (mahjub). Allah Ta’ala
berfirman: “Jangan ! sesungguhnya mereka di hari itu terdinding dari Tuhannya.
Seterusnya mereka sesungguhnya masuk ke dalam neraka”. S 83 Al Muthaffifiin
ayat 15-16. Diaturkan azab dengan neraka, atas pedihnya terdinding. Pedihnya
terdinding itu memadai, tanpa diatasnya neraka. Maka bagaimana apabila
dikaitkan atasnya neraka kepadanya ? kita bermohon kepada Allah Ta’ala. Bahwa
Ia menetapkan pada pendengaran kita, akan apa yang dilahirkan dalam perasaan
takut Rasulullah saw, dimana dikatakan kepada Nabi saw: “Kasihilah apa yang
engkau kasihi, maka sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia”. Dalam makna
apa yang telah kami sebutkan dari contoh, ialah kata seorang penyair:
Kepayahan seperti ulat sutera,
yang bertenun selalu masa.
Dalam kesedihan ia binasa,
ditengah-tengah apa yang ia
penenunnya.
Tatkala telah tersingkap bagi para
aulia Allah Ta’ala, bahwa hamba itu membinasakan dirinya dengan
perbuatan-perbuatannya dan karena menuruti hawa nafsunya, sebagaimana ulat
sutera membinasakan dirinya, lalu mereka meninggalkan dunia dengan cara
keseluruhan. Sehingga Al-Hasan berkata: “Aku melihat 70 orang syahid dalam
perang Badar, pada apa yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka itu lebih zuhud
daripada kamu, pada apa yang diharamkan oleh Allah kepada kamu”. Pada lafal
yang lain berbunyi: “Adalah mereka dengan mendapat cobaan lebih gembira
daripada kamu, yang memperoleh kesuburan dan kemewahan. Kalau kamu melihat
mereka, niscaya kamu katakan: orang gila. Kalau mereka melihat orang-orang baik
kamu, niscaya mereka mengatakan: “Mereka ini tiada berakhlak”. Kalau mereka
melihat orang-orang jahat kamu, niscaya mereka mengatakan: “Mereka ini tiada
beriman dengan hari perhitungan amal (yaumul-hisab)”. Adalah seorang dari
mereka diberikan harta halal, maka tidak mau mengambilnya. Dan mengatakan: “Aku
takut bahwa merusakkan hatiku”. Orang yang berhati bersih, maka sudah pasti,
akan takut dari kerusakannya. Orang-orang yang dimatikan hatinya oleh kecintaan
kepada dunia, telah diterangkan oleh Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami,
mereka rela dengan kehidupan yang dekat dan sudah merasa tentram dengan itu.
Dan mereka itu tidak pula memperhatikan keterangan-keterangan Kami”. S 10 Yunus
ayat 7. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan janganlah engkau turut orang yang
Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami dan diturutinya keinginan nafsunya
dan pekerjaannya biasanya di luar batas”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Allah Ta’ala
berfirman: “Berpalinglah engkau dari orang yang
tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia
semata ! pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30. Semua yang demikian itu
membawa kepada kelalaian dan tidak ada pengetahuan. Karena itulah, seorang
laki-laki berkata kepada nabi Isa as: “Bawalah aku bersama engkau dalam
pengembaraan engkau !”. Nabi Isa as menjawab: “Keluarkanlah hartamu ! dan
ikutilah aku !”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak sanggup”. Nabi Isa as lalu
menjawab: “Dengan sangat heran, orang kaya masuk sorga”. Atau ia mengatakan:
“Dengan sangat sukar”. Sebahagian mereka berkata: “Tiada satu haripun yang
terbit mataharinya, melainkan ada tempat malaikat, yang menyerukan di tepi
langit (ufuq) dengan 4 suara. Dua malaikat di masyiq (tempat matahari terbit)
dan dua malaikat di maghrib tempat matahari terbenam. Salah seorang mereka
berkata di masyiq: “Hai yang mencari kebajikan ! marilah ! Dan hai yang mencari
kejahatan ! singkatkanlah !”. Dan berkata yang lain: “Wahai Tuhanku ! berilah
kepada yang membelanjakan itu gantinya ! dan berilah kepada yang menahan itu
kebinasaan !”. Berkata dua malaikat yang di maghrib. Salah satu dari keduanya
berkata: “Berbuat bingunglah bagi mati dan bangunlah untuk keruntuhan !”.
Berkata yang lain: “Makanlah dan bersenang-senanglah untuk lamanya hisab
(hitungan amal !”).
PENJELASAN: tanda-tanda
zuhud.
Ketahuilah, kadang-kadang disangkakan,
bahwa orang yang meninggalkan harta itu orang zuhud. Tidaklah demikian. Bahwa
meninggalkan harta dan melahirkan kekasaran itu mudah bagi orang yang menyukai
pujian dengan zuhud. Berapa banyak padri-padri (pendeta), orang yang
mengembalikan dirinya setiap hari, kepada kadar yang sedikit dari makanan.
Mereka selalu dalam biara yang tidak berpintu. Kesukaan seseorang dari mereka,
ialah: manusia tahu akan keadaannya. Manusia melihat dan memujinya. Yang
demikian tidaklah menunjukkan dengan dalil yang meyakinkan, kepada zuhud. Akan
tetapi, tak boleh tidak dari zuhud pada harta dan kemegahan. Sehingga
sempurnalah zuhud pada semua keberuntungan diri dari dunia. Bahkan,
kadang-kadang suatu golongan mendakwakan zuhud, serta memakai pakaian wol yang
membanggakan dan kain-kain yang tinggi nilainya, sebagaimana dikatakan oleh
Ibrahim al-Khawwash, tentang sifat orang-orang yang mendakwakan itu. Ia
berkata: “Suatu kaum mendakwakan zuhud. Mereka memakai pakaian yang
membanggakan. Mereka isyaratkan dengan demikian kepada manusia ramai, supaya
dihadiahkan kepada mereka seperti pakaiannya. Agar mereka tidak dipandang
dengan mata yang dipandang orang-orang miskin. Lalu mereka merasa hina. Maka
diberikan kepada mereka, sebagaimana diberikan kepada orang-orang miskin.
Mereka mengambil dalil bagi diri mereka, dengan mengikuti ilmu. Dan mereka
diatas sunnah Nabi saw. Semua barang masuk kepada mereka, sedang mereka itu
keluar daripadanya. Mereka mengambil dengan alasan orang lain. Ini kalau mereka
dituntut dengan hakikat/makna yang sebenarnya dan mereka didesak ke tempat yang
sempit. Semua mereka itu pemakan dunia dengan agama. Mereka tidak
bersungguh-sungguh dengan membersihkan batiniyah mereka dan mendidik budi
pekerti diri mereka. Maka tampaklah pada mereka sifatnya. Lalu mengeraskan atas
mereka. Mereka mendakwakan sifat itu keadaan bagi mereka. Mereka itu cenderung
kepada dunia, mengikuti hawa nafsu”. Semua yang tersebut ini adalah ucapan
Ibrahim Al-Khawwash ra. Jadi, mengenal zuhud itu hal yang sulit. Bahkan, hal
zuhud atas orang yang zuhud itu sulit. Seyogyalah, bahwa yang menjadi
perpegangan pada batiniyahnya adalah di atas 3 tanda (alamat):
Tanda pertama: bahwa ia tidak bergembira dengan
adanya sesuatu dan tidak berduka cita dengan tidak adanya sesuatu, sebagaimana
firman Allah Ta’ala: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang lepas
dari tanganmu dan tiada bangga terhadap apa yang diberikan Allah kepada kamu”.
S 57 Al Hadiid ayat 23. Akan tetapi, seyogyalah ada dengan yang berlawanan dari
yang demikian. Yaitu: bahwa ia berduka cita dengan adanya harta dan bergembira
dengan tidak adanya harta.
Tanda kedua: bahwa sama padanya antara orang yang
mencelanya dan yang memujinya. Yang pertama diatas tanda zuhud pada harta dan
yang kedua ini tanda zuhud pada kemegahan.
Tanda ketiga: bahwa adalah kejinakan hatinya
kepada Allah Ta’ala. Dan yang mengerasi pada hatinya, ialah: kemanisan taat.
Karena hati itu tidak terlepas dari kemanisan kecintaan. Adakalanya kecintaan
kepada dunia. Dan adakalanya kecintaan kepada Allah. Keduanya itu dalam hati,
seperti air dan udara dalam gelas. Apabila masuk air, niscaya keluar udara.
Keduanya tidak berkumpul. Setiap orang yang jinak hatinya dengan Allah, niscaya
ia sibuk dengan yang demikian. Ia tidak sibuk dengan yang lain daripadaNya.
Karena itulah, ditanyakan
kepada sebahagian mereka: “Kepada apa mereka dibawa oleh zuhud ?”. Ia lalu
menjawa: “Kepada kejinakan hati dengan Allah. Kejinakan hati dengan dunia dan
Allah, keduanya tidak dapat berkumpul”. Ahli ma’rifah berkata: “Apabila iman
menyangkut dengan zahiriyah hati, niscaya ia mencintai dunia bersama akhirat.
Dan ia berbuat untuk keduanya. Apabila iman itu membatin dalam jantung hati dan
langsung menyentuhinya, niscaya ia memarahi dunia. Ia tidak memandang kepada
dunia dan tidak berbuat untuk dunia”.
Karena itulah, tersebut
dalam doa Adam as: “Wahai Allah Tuhanku ! Aku bermohon padaMu akan iman yang
langsung menyentuhi hatiku”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Siapa yang
sibuk dengan dirinya sendiri, niscaya ia sibuk, tidak dengan manusia lain. Ini
maqam (tingkat) orang-orang yang beramal (al-‘amilin). Siapa yang sibuk dengan
Tuhannya, niscaya ia sibuk, tidak dengan dirinya sendiri. Ini maqam orang-orang
ahli ma’rifah (al-‘arifin). Orang zuhud tak boleh tidak, bahwa dia berada pada
salah satu dari dua maqam ini. Maqamnya yang pertama, bahwa ia menyibukkan
dirinya dengan dirinya sendiri. Ketika itu samalah padanya pujian dan cacian,
ada dan tidak. Dan tidaklah sekali-kali menunjukkan dengan dipegangnya sedikit
harta, kepada ketiadaan zuhudnya.
Ibnu Abil-Hawari berkata:
“Aku bertanya kepada Abu Sulaiman Ad-Darani: “Adakah Daud Ath-Tha-i itu orang
zuhud ?”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra menjawab: “Ya, benar !”. Aku menjawab:
“Telah sampai kepadaku berita, bahwa Daud Ath-Tha-i mewarisi dari ayahnya 20
dinar. Uang itu dibelanjakannya dalam masa 20 tahun. Bagaimana ia orang zuhud,
sedang ia memegang banyak dinar ?’. Abu Sulaiman Ad-Darani menjawab: “Engkau
menghendaki daripadanya bahwa ia sampai kepada hakikat/makna zuhud ? dan
dikehendaki dengan hakikat/makna itu penghabisan. Bahwa zuhud itu tidak
berpenghabisan, karena banyaknya sifat-sifat diri. Dan zuhud itu tidak
sempurna, selain dengan zuhud pada semuanya. Maka setiap orang yang
meninggalkan sesuatu dari dunia, sedang ia mampu kepadanya, karena takut atas
hatinya dan agamanya, maka baginya tempat masuk dalam zuhud, sekedar apa yang
ditinggalkannya. Dan penghabisan nya, bahwa ia meninggalkan setiap apa, selain
dari Allah. Sehingga ia tidak berbantalkan batu, sebagaimana diperbuat oleh Isa
Al-Masih as”.
Kita bermohon kepada Allah
Ta’ala, kiranya Ia menganugerahkan kepada kita rezeki, yang merupakan bagian
dari pokok-pokok permulaan zuhud, walaupun sedikit. Bahwa orang-orang yang
seperti kita, tidak akan berani mengharap pada penghabisannya. Walaupun putus
harapan dari kunia Allah itu tidak diizinkan. Apabila kita perhatikan keajaiban
nikmat-nikmat Allah kepada kita, niscaya kita ketahui, bahwa Allah Ta’ala tiada
suatupun yang besar padaNya. Maka tiada jauh dari kebenaran, bahwa kita
memandang besar persoalan, karena berpegang kepada kemurahan yang melewati bagi
setiap kesempurnaan.
Jadi, tanda zuhud itu
bersamaan miskin dan kaya, mulia dan hina dan pujian dan cacian. Yang demikian,
karena kerasnya kejinakan hati kepada Allah. Dari tanda-tanda ini sudah pasti
bercabang tanda-tanda yang lain. Seperti meninggalkan dunia dan tiada
menghiraukan kepada orang yang mengambil dunia. Dikatakan: tandanya zuhud, ialah:
bahwa ia meninggalkan dunia, sebagaimana adanya. Maka ia tidak mengatakan: aku
membangun langgar atau aku meramaikan masjid.
Yahya bin Ma’adz berkata:
“Tanda zuhud, ialah: kemurahan hati dengan yang ada”. Ibnu Khafif berkata:
“Tanda zuhud, adanya kesenangan mengenai keluarnya sesuatu dari miliknya”. Ia
mengatakan pula: “Zuhud ialah, berpalingnya diri
dari dunia, dengan tidak merasa berat”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra
berkata: “Bulu (pakaian dari bulu) itu salah satu dari tanda zuhud. Maka tiada
seyogyalah ia memakai bulu dengan harta 3 dirham dan dalam hatinya ada
keinginan 5 dirham”.
Ahmad bin Hanbal dan
Sufyan ra berkata: “Tanda zuhud, ialah pendek angan-angan”.
SirrriAs-Saqathi berkata:
“Tiada baiklah kehidupan orang zuhud apabila ia sibuk, tiada memikirkan
dirinya. Dan tiada baiklah kehidupan orang yang berilmu ma’rifah, apabila ia
sibuk dengan dirinya”.
An-Nashrabadzi berkata:
“Orang zuhud itu orang asing di dunia. Dan orang yang berilmu ma’rifah itu bukan
orang asing di akhirat”.
Yahya bin Ma’adz berkata:
“Tanda zuhud 3: amal dengan tiada hubungan kepada selain Allah, perkataan
dengan tiada loba dan kemuliaan dengan tiada menjadi kepala”.
Yahya bin Ma’adz berkata
pula: “Orang yang zuhud karena Allah itu menghirupkan ke dalam hidung engkau,
cuka dan biji sawi. Dan orang yang berilmu ma’rifah itu menciumkan kepada
engkau kesturi dan minyak wangi”. Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin
Ma’adz: “Pabilakah aku masuk ke gudang tawakkal, aku memakai selendang zuhud
dan aku duduk bersama orang-orang zuhud ?”. Yahya bin Ma’adz menjawab: “Apabila
engkau telah sampai dari latihan engkau bagi diri engkau dalam rahasia, kepada
batas, jikalau diputuskan oleh Allah rezeki dari engkau 3 hari, niscaya engkau
tidak lemah pada diri engkau. Manakala tidak sampai
kepada derajat ini/tdk kuat, maka
duduknya engkau di atas permadani orang-orang zuhud itu bodoh. Kemudian, engkau
tiada merasa aman atas diri engkau, akan terbuka rahasia engkau”. Yahya bin
Ma’adz berkata pula: “Dunia itu seperti pengantin puteri. Siapa yang
mencarinya, niscaya ia mengatur dirinya untuk menggoda. Orang yang zuhud
padanya itu, hitam mukanya, tercabut rambutnya dan koyak kainnya. Orang yang
berilmu ma’rifah itu sibuk dengan Allah
Ta’ala dan tidak berpaling kepadanya”.
SirrriAs-Saqathi berkata:
“Aku membiasakan setiap sesuatu dari urusan zuhud, maka aku capai daripadanya
akan apa yang aku kehendaki, selain zuhud pada manusia. Maka aku tiada sampai
kepadanya dan tiada aku sanggupi”.
Al-Fudlail ra berkata:
“Allah Ta’ala menjadikan kejahatan seluruhnya dalam rumah. Ia menjadikan anak
kuncinya mencintai dunia. Ia menjadikan kebaikan seluruhnya dalam rumah. Dan Ia
menjadikan anak kuncinya zuhud dalam dunia”. Maka inilah yang kami kehendaki
menyebutkannya dari hakikat/ makna zuhud dan hukum-hukumnya. Apabila zuhud itu
tidak sempurna, selain dengan tawakkal, maka marilah kami masuki menjelaskannya
insya Allah Ta’ala.