SEJARAH RINGKAS
IMAM AL‑GHAZALI
Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al‑Ghazali Hujjatul‑Islam.
Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 H.(1058 M).
Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia.
Sebelum meninggal ayah Al‑Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli
tasawwuf/ahli suffi temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan
adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al‑Ghazali dibawah
asuhan ahli tasawwuf/ahli suffi itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah
sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri
bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama,
memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka.
Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al‑Ghazali menangis tersedu‑sedu
seraya bermohon kepada Allah swt kiranya dia dianugerahi seorang putera yang
pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya Al‑Ghazali mempelajari ilmu fiqih di
negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar‑Razikani.
Kemudian pergi ke negri Jurjan dan belajar
pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negri
tersebut, berangkatlah Al-Ghazali ke negri Nisapur dan belajar pada Imam Al
Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda‑tanda ketajaman otaknya yang luar
biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti
ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i.
Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan
selalu mengatakan: “Al Ghazali itu lautan tak bertepi.......”. Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al‑Ghazali
berangkat ke Al‑Askar mengunjungi Menteri Nizamul‑muluk dari pemerintahan
dinasti Saljuk. la disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar.
Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka‑pemuka ilmu
pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al‑Ghazali.
Menteri Nizamul‑muluk melantik Al‑Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar
pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. 4 tahun
lamanya Al‑Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat
perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu
masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka pada tahun 488 H. Al‑Ghazali pergi ke
Makkah menunaikan rukun Islam ke 5. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia
terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul‑makdis. Kemudian keDamaskus
& terus menetap beribadah dimasjid Al-Umawi dikota tersebut pada suatu sudut yg terkenal sampai sekarang dengan
nama "Al‑Ghazaliyah", diambil
dari nama yg mulia itu. Pada masa itulah
dia mengarang kitab "IHYA” yg kami alih‑bahasakan ini.
Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat
itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan
dan minum, mengunjungi masjid‑masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah
dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan
isi dan maksud dari kitabnya “Ihya”. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke
Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan
Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia kekampung asalnya Thusia. Maka
didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama‑ulama fiqih dan
sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara
membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran
kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya,
mendirikan sholat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya
sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul‑khatimah, Al‑Ghazali meninggal
dunia pada hari Senin tanggal 14 jumadil‑akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia.
Hanya 55 tahun beliau hidup di dunia ini. Jenazahnya dikebumikan di makam Ath‑Thabiran,
berdekatan dengan makam Al‑Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasyhur.
Sebelum meninggal Al‑Ghazali pernah mengucapkan kata‑kata yang diucapkan pula
kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu: "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah
jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi
sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".
Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat
dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan‑karangan
yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab "Ihya"
yang kami alih‑bahasakan ini, terdiri dari 4 jilid besar, yang kiranya
disampaikan Allah swt Akan kami jadikan dalam bahasa Indonesia. Dalam kalangan
agama di negeri kita ini tak ada yang tak mengenal kitab Ihya' ‑ Ulumiddin,
suatu buku standard, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian
besar sekali dan telah dialih‑bahasakan ke dalam beberapa bahasa modern.
Dalam dunia Kristen telah lahir pula
kemudian Thomas a Kempis (1379 ‑ 1471 M) yang mendekati dengan pribadi Al‑Ghazali
dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya "De Imitation Christi”
yang sifatnya mendekati "IHYA”, tetapi dipandang dari pendidikan Kristen.
Diantara karangannya yang banyak itu, ada 2 buah yang kurang dikenal di negeri
kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah
perang pena antara ahli‑ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul‑falasifah"
(Maksudnya ahli‑ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul‑falasifah"
(Kesesatan ahli‑ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari
bermacam‑macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika.
Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus
Gundisalvus ke bahasa Latin diakhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua memberi
kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu
dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al‑Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab
yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah
mengumpulkan lebih dahulu bahan‑bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan
dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudian,
maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordova
(1126‑1198). Dia membantah akan pendirian Al‑Ghazali dalam hal falsafah itu
dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu‑tahafutil
falasifah" Kesesatan buku ahli‑ahli falsafah Al‑Ghazali. Dalam buku ini,
Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah pahaman Al‑Ghazali tentang mengartikan apa
yang dinamakan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok‑pokok pelajaran
falsafah.
Demikianlah telah beredar 2 buah buku dalam
dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi
mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia
fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing‑masing, siapa yang akan
menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang
dipunyai Al‑Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul‑falasifah (Kesesatan
ahli‑ahli falsafah) ke tengah‑tengah ummat manusia dengan gaya bahasa yang
hidup bergelora Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur
bahasanya Al‑Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikiran ini,
Al‑Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.
Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti
aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat” yakni yang kira‑kira
sama artinya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filosuf Inggeris
David Hume (1711‑1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah,
diwaktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul
di abad ke 18, yang semata‑mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.
Al‑Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun
terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan.
Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna ‑ sempurnanya dengan
sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau‑maunya
saja. Lalu akhirnya Al‑Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya ilmu yg
mudah tak memerlukan pemikiran mendalam ("dlaruriat” atau aksioma ) sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada petunjuk/hidayah yang datang dari Allah swt.
Al‑Ghazali tak kurang mengupas falsafah
Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit‑sulit dengan
cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun
ilmu kalam (ilmu berkata-kata) yang tahan uji dibandingkan dengan karangan‑karangan
filosuf yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu
tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu' akan kata‑kata
"Wallahu a'lam artinya "Allah yang Maha Tahu"
Dalam zaman Al‑Ghazali, masih berkobar
pertentangan antara ahli tasawwuf/ahli suffi dan ahli fiqih. Maka salah satu
dari usaha Al‑Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik
semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al‑Ghazali mendapat teman sepaham,
disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, di
antaranya ialah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain‑lain dari ahli
fiqih. Didunia Barat Al‑Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan
dari para filosuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dll.
Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al‑Ghazali
menjadi salah seorang dari 4orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman
Rasullulah saw sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu:
1. Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
2. Imam Al‑Bukhari,
ulama hadist yang terbesar.
3. Imam Al‑Asy'ari,
ulama keesaan yang termasyhur.
4. Imam Al‑Ghazali,
pengarang lhya' yang terkenal.
Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini,
dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi dimana Al‑Ghazali mempunyai saham
yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, da'wah, fiqih dll. Semoga pusaka
ilmiyah yang ditinggalkan Al‑Ghazali dapatlah kiranya diambil faedahnya oleh
umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya!
Aamiin!
PEMBUKAAN DARI PENGARANG ( AL
GHAZALI )
“Sesungguhnya hal
yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai
hati/pengertian”. S 50 Qaaf ayat 37. "Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang".
Ke 1. saya memuji Allah dengan pujian yang banyak,
berturut-turut Walaupun amat kecil pujian pemuji-pemuji itu, kurang dari hak
keAgungan ALLAH.
Ke 2. saya bershalawat dan mengucapkan salam kepada
Rasul-rasul ALLAH, salawat yang meratai Rasul-rasul yang lain, bersama penghulu
umat manusia.
Ke 3. saya memohonkan kebajikan kepada Allah Ta’ala, tentang
membangkitnya cita-citaku, mengarang sebuah kitab, tentang “Menghidupkan kembali Ilmu-
ilmu Agama”
(Ihya 'Ulumuddin).
Ke 4. saya menantang, untuk memotong kesombonganmu, hai
pencela, yang melampaui batas pada mencela, diantara golongan orang-orang yang
ingkar, yang berlebih - lebihan mencaci dan melawan, diantara lapisan
orang-orang yang melawan, yang lalai. Maka sesungguhnya telah terlepas ikatan
diam dari lidahku. Telah dikalungkan pada leherku, tanggungan kata-kata dan
kalung mutiara bertutur kata, selama engkau berkekalan buta dari kebenaran yang
nyata, serta berkepanjangan menolong yang batil/salah, membaguskan kebodohan
dan mengobarkan fitnah kepada orang, yang memilih mencabut diri sedikit dari
adat kebiasaan orang banyak. Dan ia cenderung sedikit dari membiasakan diri
mengikuti kebiasaan itu, kepada beramal dengan yang dikehendaki oleh ilmu,
karena mengharap mencapai apa yang diajak oleh Allah Ta’ala beribadah kepada
ALLAH. Yaitu: membersihkan diri dan membaikkan hati.
Dan untuk memperoleh kembali sebahagian apa yang telah dibuang-buangkannya,
dari menyia-nyiakan umur, karena putus asa dari kesempurnaan memperoleh kembali
dan menampal kannya. Dan tersisih dari kumpulan orang, yang dikatakan terhadap
mereka oleh yang empunya syari’at/agama, rahmat Allah dan sejahtera ALLAH
kepadanya.
"Manusia yang sangat menderita azab
pada hari kiamat ialah orang yang berilmu (orang alim), yang tidak diberi
manfaat oleh Allah swt dengan ilmunya”. Demi umurku, sesungguhnya tiada sebab
untuk berkekalan kamu pada kesombongan, selain oleh penyakit yang meratai orang
banyak. Bahkan telah meratai golongan orang-orang yang teledor, dari pada memperhatikan
pentingnya persoalan ini. Dan bodoh, bahwa persoalan ini besar. Dan keadaannya
itu sungguh-sungguh. Akhirat itu di depan & dunia itu di belakang. Ajal itu
dekat. Perjalanan itu jauh. Perbekalan itu sedikit. Bahaya itu besar. Dan jalan
itu tertutup. Selain keikhlasan karena wajah Allah,
dari ilmu & amal, adalah tertolak pada pihak pengecam, yang dapat melihat.
Berjalan ke jalan akhirat serta banyaknya
tipu daya tanpa penunjuk & teman, adalah payah & sukar. Maka
penunjuk-penunjuk jalan itu ialah kaum ulama. Mereka adalah pewaris nabi-nabi.
Telah kosonglah zaman dari mereka. Tidak ada yang tinggal, kecuali orang-orang
yang berbuat resmi-resmian. Kebanyakan telah digoda syetan & terjerumus ke
dalam kesesatan. Masing-masing mereka telah tertarik kepada keuntungan yang
dekat. Lalu memandang yang baik menjadi buruk & yang buruk menjadi baik.
Sehingga ilmu agama senantiasa terinjak-injak & cahaya hidayah hilang
lenyap disegala pelosok bumi. Orang-orang itu berkhayal kepada orang banyak,
bahwa ilmu pengetahuan itu tak lain, dari fatwa pemerintah yang dipakai oleh
para hakim untuk menyelesaikan persengketaan ketika berkecamuk kezaliman. Atau
ilmu pengetahuan itu ialah perdebatan, yang diperalat oleh orang yang mencari
kemegahan untuk memperoleh kemenangan & keuntungan. Atau ilmu pengetahuan
itu ialah sajak yang dihiasi, yang dipergunakan oleh juru-juru nasehat supaya
dapat mempengaruhi orang awwam. Karena mereka itu, tidak melihat, selain dari
yang 3 tadi, tempat memburu yang
haram & meneguk harta kekayaan duniawi.
Adapun ilmu jalan akhirat yang di tempuh
ulama-ulama terdahulu yang shaleh, yang dinamakan oleh Allah swt. Dalam kitab
Allah dengan Fiqih, Hikmah/ilmu,
Nur/cahaya, Hidayah/petunjuk. Maka telah dilipat dari orang banyak & menjadi
hal yang dilupakan. Manakala yang demikian itu menghancurkan agama &
mendatangkan bahaya yang mengerikan, maka aku berpendapat bahwa berusaha
menyusun kitab ini, adalah penting untuk Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama,
(Ihya’ Ulumiddin), membuka jalan-jalan yang dilalui imam-imam yang terdahulu
& memberi penjelasan maksud dari ilmu pengetahuan yang berguna, dari
nabi-nabi & ulama-ulama terdahulu yang saleh.
Aku buat dasar kitab ini 4 bahagian besar
(4 rubu’) dan tiap rubu dilengkapi dengan 10 kitab yaitu:
1. Bahagian peribadatan (rubu’ ibadah).
2. Bahagian pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan).
3. Bahagian perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat).
4. Bahagian perbuatan yang meyelamatkan (rubu’ al-munjiyat).
Aku mulai sejumlah dengan “kitab ilmu”,
karena ilmu itu amat penting, untuk pertama-tama aku bentangkan, tentang ilmu,
di mana segala orang berbakti kepada Allah dengan menuntutnya, diatas sabda
Rasul saw yang bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim".
Akan aku bedakan padanya, ilmu yang bermanfaat, dari ilmu yang mendatangkan
melarat. Karena Nabi bersabda: “Kita berlindung dengan Allah, dari ilmu yang
tidak bermanfa’at”. Aku akan buktikan kecenderungan manusia sekarang, jauh dari
bentuk kebenaran. Tertipunya mereka dengan kilatan patamorgana. Dan kepuasan
mereka dengan kulit ilmu, tanpa isi.
Bahagian (rubu’) ibadah, melengkapi 10 kitab:
1. Kitab ilmu.
2. Kitab kaidah - kaidah i’tikad (keyakinan).
3. Kitab rahasia (hikmah) bersuci.
4. Kitab hikmah/ilmu Shalat.
5. Kitab hikmah/ilmu zakat
6. Kitab hikmah/ilmu shiam (puasa).
7. Kitab hikmah/ilmu hajji.
8. Kitab adab (kesopanan) membaca Al-Qur'an.
9. Kitab dzikir dan do'a.
10. Kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.
Bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari melengkapi 10
kitab:
1. Kitab adab makan.
2. Kitab adab perkawinan.
3. Kitab hukum berusaha.
4. Kitab halal dan haram.
5. Kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan
manusia.
6. Kitab 'uzlah (mengasingkan diri).
7. Kitab adab bermusafir (berjalan jauh).
8. Kitab mendengar dan merasa.
9. Kitab amar ma'ruf
dan nahi munkar.
10. Kitab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq) kenabian.
Bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan,
melengkapi 10 kitab:
1. Kitab menguraikan keajaiban hati.
2. Kitab latihan diri (jiwa).
3. Kitab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan.
4. Kitab bahaya lidah.
5. Kitab bahaya marah, dendam dan dengki.
6. Kitab tercelanya dunia.
7. Kitab tercelanya harta dan kikir.
8. Kitab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka
(ria’).
9. Kitab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri
(‘ujub).
10. Kitab tercelanya tertipu dengan kesenangan duniawi.
Bahagian (rubu’) perbuatan yang melepaskan,
melengkapi 10 kitab:
1. Kitab taubat.
2. Kitab sabar dan syukur.
3. Kitab takut dan harap.
4. Kitab fakir dan zuhud.
5. Kitab keesaan dan tawakkal.
6. Kitab cinta kasih, rindu, jinak hati dan rela.
7. Kitab niat, benar dan ikhlas,
8. Kitab muraqabah dan menghitung amalan.
9. Kitab memikirkan hal diri (tafakkur).
10. Kitab ingat mati.
Adapun bahagian ibadah, maka akan saya
terangkan nanti peri adabnya yang mendalam, sunat-sunatnya yang halus-halus dan
maksudnya yang penuh hikmah/ilmu, yang diperlukan oleh orang yang berilmu, yang
mengamalkan. Bahkan tidaklah dari ulama akhirat, orang yang tidak memperhatikan
kepadanya. Dan yang terbanyak daripadanya, adalah termasuk yang disia-siakan
dalam ilmu fiqih.
Adapun bahagian pekerjaan sehari-hari, maka
akan saya terangkan hikmah/ilmu pergaulan yang berlaku antara sesama manusia,
liku-likunya, sunatnya yang halus-halus dan sifat memelihara diri yang
tersembunyi pada tempat-tempat lalunya. Yaitu, yang harus dipunyai oleh orang
yang beragama.
Adapun bahagian perbuatan yang
membinasakan, maka akan saya terangkan nanti semua budi pekerti yang tercela
yang tersebut dalam Al-Qur’an, dengan menghilangkannya, membersihkan jiwa dan
mensucikan hati daripadanya. Saya akan terangkan masing-masing dari budi
pekerti itu, batas dan hakikat/maknanya. Kemudian akan saya sebutkan sebab
terjadinya, kemudian bahaya yang timbul daripadanya, kemudian tanda-tanda
mengenalinya, kemudian cara megobatinya supaya terlepas kita daripadanya.
Semuanya itu, disertai dengan dalil-dalil ayat, hadits dan kata-kata sahabat
Nabi.
Adapun bahagian perbuatan yang melepaskan, maka akan saya
terangkan semua budi pekerti yang terpuji dan keadaan yang disukai, yang
menjadi budi pekerti orang - orang yang mendekatkan diri kepada Allah
(shiddiqin/benar), yang mendekatkan hamba kepada Tuhan semesta alam. Saya akan
terangkan pada tiap-tiap budi pekerti itu, batasnya, hakikat/maknanya, sebab
yang membawa tertarik kepadanya, faedah yang dapat diperoleh daripadanya,
tanda-tanda untuk mengenalinya & keutamaan yang membawa kegemaran
kepadanya, serta apa yang ada padanya, dari dalil-dalil syari’at/agama dan akal
pikiran. Penulis-penulis lain sudah mengarang beberapa buku mengenai sebahagian
dari maksud-maksud tadi. Akan tetapi kitab ini, berbeda dari buku-buku itu
dalam 5 hal:
1.
Menguraikan dan menjelaskan apa yang ditulis penulis-penulis
lain secara singkat dan umum.
2.
Menyusun dan mengatur apa yang dibuat mereka itu
berpisah-pisah dan bercerai-berai.
3.
Menyingkatkan apa yang dibuat mereka itu berpanjang-panjang
dan menentukan apa yang ditetapkan mereka.
4.
Membuang apa yang dibuat mereka itu berulang-ulang dan
menetapkan dengan kepastian antara yang diuraikan itu.
5.
Memberi kepastian hal-hal yang meragukan yang membawa kepada
salah paham, yang tidak disinggung sedikitpun dalam buku-buku yang lain.
Karena semuanya, Walaupun mereka itu menempuh pada suatu
jalan, tetapi tak dapat dibantah, bahwa masing-masing orang yang berjalan pada
jalan Allah itu mempunyai perhatian tersendiri, kepada sesuatu hal yang
tertentu baginya dan dilupakan teman-temannya. Atau ia tidak lalai dari
perhatian itu, akan tetapi lupa dimasukkannya ke dalam buku-bukunya. Atau ia
tidak lupa, akan tetapi ia dipalingkan oleh sesuatu yang memalingkannya
daripada menyingkapkan yang tertutup daripadanya. Maka inilah keadaan-keadaan khusus bagi kitab
ini serta mengandung pula semua ilmu pengetahuan itu.
Sesungguhnya yang membawa aku mendasarkan kitab ini
pada 4 bahagian, adalah 2 hal:
Pertama: Yaitu Pendorong
asli bahwa susunan ini pada menjelaskan hakikat/makna dan pengertian, adalah
seperti ilmu-ilmu yang mudah, tak memerlukan kepada pemikiran mendalam. Sebab
pengetahuan yang menuju ke akhirat itu, terbagi kepada Mu’amalah dan Mukasyafah
- ilmu yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan (mu’amalah)
dan
- ilmu yang
diminta untuk mengetahuinya saja (mukasyafah)
Dan yang dimaksud dari kitab ini, ialah ilmu (mu’amalah) yang diminta mengetahuinya
hendaklah diamalkan saja, tidak ilmu (mukasyafah) ilmu yang diminta mengetahuinya saja, yang tidak mudah menyimpannya di buku-buku, meskipun
menjadi tujuan maksud para pelajar dan keinginan menjadi orang-orang yang
benar/lurus. Dan ilmu ialah yg diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan itu
adalah jalan kepada ilmu(mukasyafah) ilmu
yang diminta mengetahuinya saja.
Tetapi, para nabi rahmat Allah kepada mereka tidak memperkatakan
pada orang banyak, selain mengenai ilmu untuk jalan dan petunjuk kepada ilmu ilmu yang
diminta mengetahuinya saja itu.
Adapun ilmu ilmu yang diminta mengetahuinya saja, mereka tidak
memperkatakannya selain dengan jalan rumus dan isyarat, yang merupakan contoh
dan kesimpulan. Karena para nabi itu tahu akan singkatnya paham orang banyak
untuk dapat memikulnya. Alim ulama itu adalah pewaris nabi-nabi. Maka tiada
jalan bagi mereka untuk berpaling daripada mengikuti dan mematuhinya. Kemudian,
ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan itu terbagi kepada:
1. Ilmu luarnya, yaitu ilmu mengenal amal perbuatan anggota
badan.
2. Ilmu dalam hati, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan hati
dan yang melalui pada anggota badan. Adakalanya adat kebiasaan dan adakalanya
ibadah. Dan yang datang pada hati, yang dengan sebab terdinding dari
pancaindera, termasuk bagian alam malakut, adakalanya terpiji dan adakalanya
tercela. Maka seharusnyalah, ilmu ini terbagi dua, yaitu: luar dan dalam.
Bagian luar yang menyangkut dengan anggota badan, terbagi kepada adat kebiasaan
dan ibadah. Bagian dalam yang menyangkut dengan hal ikhwal hati dan budi
pekerti jiwa, terbagi kepada: yang tercela dan yang terpuji. Jadi, semuanya
berjumlah 4 bahagian. Dan tidaklah kurang perhatian pada ilmu yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan, dari bahagian-bahagian ini.
Kedua: Yang menggerakkan
untuk menyusun kitab ini menjadi 4 bahagian, ialah aku melihat keinginan para
pelajar, besar sekali kepada ilmu fiqih, ilmu yang layak bagi orang yang tidak
takut kepada Allah swt. Yang memperalat ilmu itu untuk mencari kemegahan dan
penonjolan dengan kemegahan serta kedudukan dalam perlombaan. Dan ilmu fiqih
itu terdiri dari 4 bahagian. Dan orang yang menghiasi dirinya dengan hiasan
yang disukai orang banyak, tentu dia akan disukai. Maka aku tidak jauh dalam
membentuk kitab ini dengan bentuk fiqih untuk menarik hati golongan
pelajar-pelajar. Dan karena inilah, sebahagian orang yang ingin menarik hati
pembesar-pembesar kepada ilmu kesehatan, bertindak lemah lembut, lalu
membentuknya dalam bentuk ilmu bintang
dengan memakai ranji dan angka. Dan menamakannya ilmu kesehatan, supaya kejinakan hati mereka dengan cara itu
menjadi tertarik kepada membacanya. Berlemah lembut
menarik hati orang kepada ilmu pengetahuan yang berguna dalam kehidupan abadi,
adalah lebih penting daripada kelemah-lembutan menariknya kepada
ilmu kesehatan, yang faedahnya hanya untuk kesehatan jasmaniyah belaka. Faedah
pengetahuan ini ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yang bersambung
terus kepada kehidupan abadi. Apalah artinya ilmu kesehatan itu yang hanya
dapat mengobati tubuh kasar saja, yang akan hancur binasa dalam waktu yang
tidak lama lagi. Kita bermohon kepada Allah swt Akan petunjuk dan kebenaran.
Bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
KITAB
ILMU DAN PADANYA 7 BAB:
Bab I tentang
kelebihan ilmu, kelebihan mengajar dan belajar
Bab 2 tentang
ilmu-ilmu fardhu'ain dan fardhu kifayah, menerangkan batas ilmu fiqh,
memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu akhirat & ilmu dunia.
Bab 3 tentang apa, yg
dihitung oleh orang awam, termasuk sebahagian dari ilmu agama, padahal tidak.
Juga menerangkan jenis ilmu yg tercela & kadarnya
Bab 4 tentang bahaya
perdebatan & menyebabkan kesibukan manusia dengan berselisih &
bertengkar.
Bab 5 tentang adab
pengajar & pelajar.
Bab 6 tentang bahaya
ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama
akhirat.
Bab 7 tentang akal,
kelebihan akal, bahagian-bahagian akal dan hadist-hadist yang membicarakan tentang
akal.
BAB
1: Tentang Kelebihan ilmu, Kelebihan
Mengajar, Kelebihan Belajar, Dalil-Dalil Dari Naql (diterima/disalin),
Al Quran, Hadist, Akal
Kelebihan
Ilmu:
Dalil-dalilnya dari Al Qur'an, adalah
Firman Allah ‘Azza wa Jalla” (Allah Maha Mulia & Maha Besar): “Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. S 3 ayat 18. Maka lihatlah, betapa Allah SWT memulai
dengan diri Allah sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli
ilmu. Cukuplah kiranya dengan ini, buat kita pertanda kemuliaan, kelebihan,
kejelasan, dan ketinggian orang-orang yang berilmu.
Pada ayat lain Allah Ta'ala berfirman:
"Diangkat oleh Allah orang-orang
yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa
tingkat”. S 58 ayat 11. Ibnu Abbas ra mengatakan: "Untuk ulama beberapa
tingkat diatas orang mu’min, dengan 700 tingkat tingginya. Antara 2 tingkat
itu, jaraknya sampai 500 tahun perjalanan”.
Pada ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: "Katakanlah ! Adakah sama antara orang-orang yg berilmu
dan orang-orang yang tidak berilmu?”. S 39 ayat 9. Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya
yang takut akan Allah daripada hamba Allah ialah orang-orang yang berilmu” S 35
ayat 28. Berfirman Allah swt: “Katakanlah! Cukuplah Allah menjadi saksi antara
aku & kamu & orang-orang yg padanya ada pengetahuan tentang al quran (Kitab)”.
S 13 ayat43.
Pada ayat yang lain tersebut:
"Berkatalah orang yg mempunyai pengetahuan tentang kitab: “Aku sanggup
membawanya kepada engkau”. S 27 ayat 40. Ayat ini memberitahukan bahwa orang
itu merasa sanggup karena tenaga pengetahuan yg ada padanya. Allah Maha Mulia
& Maha Besar berfirman: "Berkatalah orang-orang yang berpengetahuan:
Malang nasibmu! Pahala dari Allah lebih baik untuk orang yg beriman &
mengerjakan perbuatan baik”. S 28 Al Qashash ayat 80. Ayat ini menjelaskan
bahwa tingginya kedudukan akhirat, diketahui dengan ilmu pengetahuan. Pada ayat
lain tersebut: “Contoh-contoh itu Kami buat untuk manusia dan tidak ada yang
mengerti kecuali orang-orang yang berilmu”. S 29 Al ankabut ayat 43.
Dan firman Allah swt: “Kalau mereka
mengembalikan kepada rasul dan orang yg berkuasa diantara mereka niscaya
orang-orang yg memperhatikan itu akan dapat mengetahui yang sebenarnya”. S 4 An-Nisa
ayat 83. Ayat ini menerangkan bahwa untuk menentukan hukum dari segala
kejadian, adalah terserah kepada pemahaman mereka. Dan dihubungkan
tingkat mereka dengan tingkat nabi-nabi, dalam hal menyingkap hukum Allah. Dan
ada yang menafsirkan tentang firman Allah: “Wahai anak Adam ! Sesungguhnya Kami
telah turunkan kepadamu pakaian/ilmu yang menutupkan anggota kelaminmu dan
perhiasan/bulu yang indah dan pakaian taqwa itulah yang lebih baik”. S 7 Al A’raf ayat
26. Dengan tafsiran, bahwa pakaian itu maksudnya ilmu, bulu itu maksudnya yakin
dan pakaian ketaqwaan itu maksudnya malu.
Pada ayat lain tersebut: “Sesungguhnya Kami telah datangkan
kitab kepada mereka, Kami jelaskan dengan pengetahuan”. S 7 ayat 52.
Pada ayat lain: “Sesungguhnya akan kami ceritakan kepada
mereka menurut pengetahuan”. S 7 ayat 7.
Pada ayat lain: “Bahkan (Al-Qur’an) itu adalah bukti-bukti
yang jelas di dalam dada mereka yang diberi pengetahuan”. S 29 ayat 49.
Pada ayat lain: “Tuhan menjadikan manusia dan mengajarkannya
berbicara terang”. S 55 ayat 3-4.
Tuhan menerangkan yang demikian pada ayat
tadi untuk menyatakan nikmat Allah dengan pengajaran itu. Adapun hadits, maka
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan,
niscaya dianugerahi Allah pemahaman dalam
agama dan diilhami Allah petunjuk”. Nabi saw Bersabda: “Orang berilmu (ulama)
itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi”.
Dan sudah dimaklumi, bahwa tak ada pangkat
diatas pangkat kerasulan dan tak ada kemuliaan diatas kemuliaan yang mewarisi
pangkat tersebut. Nabi saw Bersabda: “Isi langit dan isi bumi meminta ampun
untuk orang yang berilmu”. Manakah kedudukan yang melebihi kedudukan orang,
dimana para malaikat di langit dan di bumi selalu meminta ampun baginya ? Orang
itu sibuk dengan urusannya dan para malaikat sibuk pula meminta ampun baginya.
Nabi saw Bersabda: “Bahwa ilmu pengetahuan itu menambahkan mulia orang yang mulia
dan meninggikan seorang budak sampai ke tingkat raja-raja”.
Dijelaskan
oleh hadits ini akan faedahnya di dunia dan sebagai dimaklumi bahwa akhirat itu
lebih baik dan kekal. Nabi saw Bersabda: “Dua
perkara tidak dijumpai pada orang munafiq; baik kelakuan dan berpaham agama”.
Dan janganlah anda ragu akan hadits ini, karena munafiqnya sebahagian ulama
fiqih zaman sekarang. Karena tidaklah dimaksudkan oleh hadits itu akan fiqih
yang anda sangkakan. Dan akan diterangkan nanti arti fiqih itu.
Sekurang-kurangnya tingkat seorang ahli fiqih tahu ia bahwa akhirat itu lebih
baik dari dunia. Dan pengetahuan ini, apabila benar dan banyak padanya, niscaya
terlepaslah dia dari sifat nifaq/bermuka 2 dan ria/membanggakan diri. Nabi saw
bersabda: “Manusia yang terbaik ialah mu’min yang berilmu, jika diperlukan dia
berguna. Dan jika tidak diperlukan, maka dia dapat mengurus dirinya sendiri”.
Nabi saw Bersabda: “Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa,
perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu”. Nabi saw Bersabda: “Manusia
yang terdekat kepada derajat kenabian ialah orang yang berilmu dan berjihad.
Adapun orang yang berilmu, maka memberi
petunjuk kepada manusia akan apa yang dibawa Rasul-rasul. Dan orang yang
berjihad, maka berjuang dengan pedang membela apa yang dibawa para Rasul itu”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya mati satu suku bangsa, adalah lebih mudah
daripada mati seorang yang berilmu”. Nabi bersabda: “Manusia itu ibarat barang
logam seperti logam emas dan perak. Orang yang baik pada jahiliyah menjadi baik
pula pada masa Islam apabila mereka itu berpaham (berilmu)”.
Nabi saw
Bersabda: “Ditimbang pada hari qiamat tinta ulama dengan darah syuhada
(orang-orang mati syahid mempertahankan agama Allah)”. Nabi bersabda: “Barang
siapa menghafal kepada umatku 40 hadits, sehingga ia menghafalkannya kepada
mereka, maka aku memberi syafaat dan menjadi saksi baginya pada hari kiamat”.
Nabi saw Bersabda: “Barangsiapa dari umatku menghafal dan memahami dan
menjalankan nya 40 hadits, maka dia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat
sebagai seorang ahli fiqih yang alim”.
Nabi saw Bersabda: “Barangsiapa memahami agama Allah niscaya dicukupkan Allah
akan kepentingannya dan diberikan Allah rezeqi di luar dugaannya”.
Bersabda nabi saw: “Diwahyukan Allah kepada nabi Ibrahim as: “Hai Ibrahim !
Bahwasanya AKU Maha Tahu, menyukai tiap-tiap orang yang tahu (berilmu)”.
Bersabda nabi saw: “Orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah swt
dibumi”. Bersabda nabi saw: “Dua golongan dari umatku apabila baik niscaya
baiklah manusia semuanya dan apabila rusak niscaya rusaklah manusia seluruhnya
yaitu amir-amir dan ahli-ahli fiqih”.
Bersabda nabi
saw: “Apabila datanglah kepadaku hari, yg tidak bertambah ilmuku padanya, yang
mendekatkan aku kepada Allah, maka tidak diberikan barakah bagiku pada terbit
matahari hari itu”. Nabi saw bersabda: mengenai kelebihan ilmu dari ibadah dan
mati syahid: “Kelebihan orang berilmu dari orang ‘abid (orang yang banyak
ibadahnya) seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari sahabatku”.
Lihatlah betapa nabi saw membuat perbandingan antara ilmu pengetahuan dan
derajat kenabian. Dan bagaimana nabi mengurangkan tingkat amal ibadah yang
tidak dengan ilmu pengetahuan, meskipun orang yang beribadah itu, tidak
terlepas dari pengetahuan tentang peribadatan yang selalu dikerjakan. Dan kalau
tak adalah ilmu, maka itu bukanlah ibadah namanya.
Nabi saw
bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang ‘abid, adalah seperti kelebihan
bulan purnama dari bintang-bintang yang lain”. Nabi saw bersabda: “Yang memberi
syafaat pada hari kiamat adalah 3 golongan yaitu: para nabi, kemudian alim
ulama dan kemudian para syuhada”. Ditinggikan kedudukan ahli ilmu sesudah nabi
dan diatas orang syahid, serta apa yang tersebut dalam hadits tentang kelebihan
orang syahid. Nabi saw bersabda: “Tiadalah peribadatan sesuatu kepada Allah
yang lebih utama dari pada memahami agama.
Seorang ahli fiqih adalah lebih sukar bagi
setan menipunya daripada seribu orang ‘abid. Tiap-tiap sesuatu, ada tiangnya.
Dan tiang agama itu adalah memahaminya (ilmu fiqih)”. Nabi saw bersabda: “Yang
terbaik dari agamamu ialah yang termudah dan ibadah yang terbaik ialah memahami
agama”. Nabi saw bersabda: ”Kelebihan orang mu’min yang berilmu dari orang
mu’min yang ‘abid (orang yg banyak ibadahnya) ialah 70 derajat”.
Nabi saw
bersabda: “Bahwa kamu berada pada suatu masa yang banyak ahli fiqihnya, sedikit
ahli qira’at dan ahli pidato, sedikit orang meminta dan banyak orang memberi. Dan amal pada masa tersebut lebih baik daripada ilmu.
Dan akan datang kepada umat manusia suatu masa, yang sedikit ahli fiqihnya,
banyak ahli pidato, sedikit yang memberi dan banyak yang meminta. Ilmu pada
masa itu lebih baik dari amal”. (ini yg terjadi
sekarang. Pent)
Bersabda nabi
saw: “Antara orang ‘alim dan orang ‘abid 100 derajat jaraknya. Jarak antara dua
derajat itu dapat dicapai dalam masa 70 tahun oleh seekor kuda pacuan”. Orang
bertanya kepada nabi saw: “Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang lebih baik?”.
Maka nabi saw menjawab: “Ilmu mengenai Allah Maha Mulia dan Maha Besar !”.
Bertanya pula orang itu: “Ilmu apa yang engkau kehendaki?”. Nabi menjawab:
“Ilmu mengenai Allah swt”. Berkata orang itu lagi: “Kami menanyakan tentang
amal, lantas engkau menjawab tentang ilmu”. Maka nabi saw menjawab: “Bahwasanya
sedikit amal adalah bermanfaat dengan disertai ilmu mengenai Allah dan
bahwasanya banyak amal tidak bermanfaat bila disertai kebodohan mengenai Allah
swt”.
Nabi saw bersabda: “Allah membangkitkan
hamba-hamba Allah pada hari kiamat. Kemudian membangkitkan orang-orang ‘alim
seraya berfirman: “Hai orang alim ! Bahwasanya Aku tidak meletakkan ilmuKU
padamu selain karena AKU mengetahui tentang kamu. Dan tidak AKU meletakkan
ilmuKU padamu untuk memberi azab kepadamu. Pergilah ! AKU telah mengampunkan
segala dosamu”. Kita bermohon kepada Allah akan husnul khatimah !.
Adapun atsar (kata-kata sahabat nabi saw
dan pemuka-pemuka Islam lainnya) yaitu: Ali bin Abi Thalib ra berkata kepada
Kumail: “Hai Kumail ! Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau
dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum.
Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu bertambah dengan
dibelanjakan”. Berkata pula Ali ra: “Orang berilmu lebih utama daripada orang
yang selalu berpuasa, bershalat dan berjihad. Apabila mati orang yang berilmu,
maka terdapatlah suatu kekosongan dalam Islam yang tidak dapat ditutup selain
orang penggantinya”. Berkata pula Ali ra Dengan sajak:
* Tidaklah kebanggaan selain bagi ahli ilmu,
Mereka memberi petunjuk kepada orang yang meminta
ditunjukkan.
* Nilai manusia adalah dengan kebaikan yang dikerjakannya,
Dan orang-orang bodoh itu adalah musuh ahli ilmu.
* Menanglah engkau dengan ilmu, hiduplah lama !.
Orang lain mati, ahli ilmu itu terus hidup.
Berkata Abul Aswad: “Tidak adalah yang
lebih mulia dari ilmu. Raja-raja itu menghukum manusia dan ‘alim ulama itu
menghukum raja-raja”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Disuruh pilih pada Sulaiman bin
Daud as antara ilmu, harta & kerajaan. Maka dipilihnya ilmu, lalu
dianugerahkanlah kepadanya harta dan kerajaan bersama ilmu itu”.
“Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak: “Siapakah manusia itu?”.
Maka ia menjawab: “Orang-orang yang berilmu”.
Lalu ditanyakan pula: “Siapakah raja itu?”.
Maka ia menjawab: “Orang yang zuhud (tidak terpengaruh dengan
kemewahan dunia)”.
Ditanyakan pula: “Siapakah orang hina itu?”.
Maka ia menjawab: “Mereka yang
memakan (memperoleh) dunia dengan agama”.
Ibnul Mubarak tidak memasukkan orang tak
berilmu dalam golongan manusia. Karena ciri yang membedakan antara manusia dan
hewan, ialah ilmu. Maka manusia itu adalah manusia, dimana ia menjadi mulia
karena ilmu. Dan tidaklah yang demikian itu disebabkan kekuatan dirinya. Unta
adalah lebih kuat daripada manusia. Bukanlah karena besarnya, gajah lebih besar
daripada manusia. Bukanlah karena
beraninya, binatang buas lebih berani daripada manusia. Bukanlah karena banyak
makannya, perut lembu lebih besar daripada perut manusia. Bukanlah karena
kesetubuhannya dengan wanita, burung pipit yang paling rendah lebih kuat
bersetubuh, dibandingkan dengan manusia. Bahkan, manusia itu tidak dijadikan,
selain karena ilmu.
Berkatalah setengah ulama: “Wahai kiranya,
barang apakah yang dapat diperoleh oleh orang yang ketiadaan ilmu dan barang
apakah yang hilang dari orang yang memperoleh ilmu”. Bersabda nabi saw:
“Barangsiapa dihadiahkan kepadanya Al-Qur’an lalu ia memandang ada lain yang
lebih baik daripada nya, maka orang itu telah menghinakan apa yang dibesarkan
oleh Allah Ta’ala”.
Bertanya Fathul Mausuli ra:“Bukankah orang
sakit itu apabila tak mau makan atau minum, lalu mati?”. Menjawab orang yang
dikelilingnya: “Benar!” Lalu menyambung Fathul Mausuli: “Begitu pula hati, apabila
tak mau kepada hikmah/ilmu dan ilmu dalam 3hari, maka
matilah hati itu”. Benarlah perkataan itu, karena sesungguhnya
makanan hati itu ialah ilmu dan ilmu.
Dengan dua itulah, hidup hati, sebagaimana tubuh itu hidup dengan makanan.
Orang yang tak berilmu, hatinya menjadi sakit dan kematian hatinya itu suatu
keharusan. Tetapi, dia tidak menyadari demikian, karena kecintaan dan
kesibukannya dengan dunia, menghilangkan perasaan itu, sebagaimana kesangatan
takut, kadang-kadang menghilangkan kepedihan luka seketika, meskipun luka itu
masih ada. Apabila mati itu telah menghilang kan kesibukan duniawi, lalu ia
merasa dengan kebinasaan dan merugi besar. Kemudian, itu tidak bermanfaat
baginya. Yang demikian itu, seperti: dirasakan oleh orang yang telah aman dari
ketakutan dan telah sembuh mabuk, dengan luka-luka yang diperolehnya dahulu
sewaktu sedang mabuk dan takut.
Kita berlindung dengan Allah dari hari
pembukaan apa yang tertutup. Sesungguhnya manusia itu tertidur. Apabila mati,
maka dia terbangun.
Berkata Al-Hassan ra: ”Ditimbang tinta para ulama dengan
darah para syuhada. Maka beratlah timbangan tinta para ulama itu, dari darah
para syuhada”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Haruslah engkau berilmu sebelum ilmu
itu diangkat. Diangkat ilmu adalah dengan kematian perawi-perawinya.
Demi Tuhan yang jiwaku didalam kekuasaan
Allah !. Sesungguhnya orang-orang yg syahid dalam perang sabil, lebih suka
dibangkitkan oleh Allah nanti sebagai ulama. Karena melihat kemuliaan ulama
itu. Sesungguhnya tak ada seorangpun yg dilahirkan berilmu. Karena ilmu itu
adalah dengan belajar”.
Berkata Ibnu Abbas ra: “Bertukar pikiran
tentang ilmu sebahagian dari malam, lebih aku sukai daripada berbuat ibadah di
malam itu”. Begitu juga menurut Abu Hurairah ra dan Ahmad bin Hanbal ra,
Berkata Al-Hassan tentang firman Allah Ta’ala: “Wahai Tuhan kami ! Berilah kami
kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di hari akhirat” S 2 ayat 201. Bahwa
kebaikan di dunia itu ialah ilmu dan ibadah, sedang kebaikan di akhirat itu,
ialah sorga. Ditanyakan kepada setengah para ahli ilmu: “Barang apakah yang
dapat disimpan lama?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu barang-barang, apabila kapalmu
karam, maka dia berenang bersama kamu, yakni: “ilmu”. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karam kapal ialah
binasa badan, dengan mati. Berkata setengah hukama’: “Barangsiapa membuat ilmu
sebagai kekang di mulut kuda, niscaya dia diambil manusia menjadi imam. Dan
barangsiapa dikenal dengan ilmunya, niscaya dia diperhatikan oleh semua mata
dengan mulia”.
Berkata Imam Asy-Syafi’i ra: “Diantara
kemuliaan ilmu, ialah bahwa tiap-tiap orang dikatakan berilmu, meskipun dalam
soal yang remeh, maka ia gembira. Sebaliknya, apabila dikatakan tidak, maka ia
merasa sedih”. Berkata Umar ra: “Hai manusia ! Haruslah engkau berilmu !
Bahwasanya Allah swt mempunyai selendang yang dikasihi Allah. Barangsiapa
mencari sebuah pintu dari ilmu, maka ia diselendangi Allah dengan selendang
Allah. Jika ia berbuat dosa, maka dimintanya kerelaan Allah 3 X, supaya
selendang itu tidak dibuka daripadanya dan jikapun berkepanjangan dosanya
sampai ia mati”.
Berkata Al-Ahnaf ra: “Hampirlah orang
berilmu itu dianggap sebagai Tuhan. Dan tiap-tiap kemuliaan yang tidak
dikuatkan dengan ilmu, maka kehinaanlah kesudahannya”. Berkata Salim bin Abil
Ja’ad: “Aku dibeli oleh tuanku dengan harga 300 dirham lalu dimerdekakannya
aku. Lalu aku bertanya: “Pekerjaan apakah yang akan aku kerjakan?”. Maka
bekerjalah aku dalam lapangan ilmu. Tak sampai setahun kemudian, datanglah
berkunjung kepadaku amir kota Madinah. Maka tidak aku izinkan, ia masuk”.
Berkata Zubair bin Abi Bakar: “Ayahku di
Irak menulis surat kepadaku. Isinya diantara lain, yaitu: “Haruslah engkau
berilmu ! Karena jika engkau memerlukan kepadanya, maka ia menjadi harta
bagimu. Dan jika engkau tidak memerlukan kepadanya, maka ilmu itu menambahkan
keelokanmu”. Diceriterakan juga yang demikian dalam nasehat Lukman kepada
anaknya. Berkata Lukman: “Hai anakku ! Duduklah bersama ulama ! Rapatlah mereka
dengan kedua lututmu! Sesungguhnya Allah swt menghidupkan hati dengan sinar
ilmu seperti menghidupkan bumi dengan hujan dari langit”. “Berkata setengah
hukama’: “Apabila meninggal seorang ahli ilmu, maka ia ditangisi oleh ikan di
dalam air dan burung di udara. Wajahnya hilang tetapi sebutannya tidak dilupakan”.
Berkata Az-Zuhri: “Ilmu itu jantan dan tidak mencintainya selain oleh laki-laki
yang jantan”.
Keutamaan Belajar.
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan
belajar yaitu firman Allah Ta’ala: “Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan
dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama”. S 9 ayat 122. Dan
firman Allah Maha Mulia & Maha Besar: “Maka bertanyalah kamu kepada ahli
ilmu jika kamu tidak tahu”. S 16 ayat 43. Adapun hadits nabi saw diantara lain
sabdanya: “Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka
dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga”. Bersabda nabi saw: “Sesungguhnya
malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan
usahanya itu”. Dan sabda nabi saw: “Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi
mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan
shalat 100 rakaat”. Bersabda nabi saw: “Suatu bab dari ilmu yang dipelajari
seseorang, adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya”. Bersabda nabi saw:
“Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun”. Bersabda nabi saw: “Menuntut
ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”. Dan bersabda nabi saw: “Ilmu itu adalah
gudang-gudang. Anak kuncinya pertanyaan. Dari itu bertanyalah ! Sesungguhnya
diberi pahala pada bertanya itu 4 orang, yaitu: orang yg bertanya, yang
berilmu, pendengar dan yang suka kepada mereka yang tiga tadi”.
Bersabda nabi saw: “Tak wajarlah bagi orang
yang bodoh, berdiam diri atas kebodohannya. Dan tak wajarlah bagi orang yang
berilmu, berdiam diri atas ilmunya”. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dzar ra
berbunyi: “Menghadiri majelis orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan
shalat 1000 rakaat, mengunjungi 1000 orang sakit dan berta’ziah 1000 jenazah”.
Lalu orang bertanya: “Wahai Rasulullah ! Dari membaca Al-Qur’an?”. Maka nabi
menjawab: “adakah manfaat Al-Qur’an itu selain dengan ilmu?”. Bersabda nabi
saw: “Barangsiapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan
Islam, maka antara dia dan nabi-nabi dalam sorga sejauh satu tingkat”. Menurut
kata-kata sahabat nabi dan pemuka-pemuka Islam, maka berkata Ibnu Abbas ra:
“Aku telah menghinakan seorang penuntut ilmu, lalu aku memuliakan yang
dituntutnya”. Demikian pula berkata Ibnu Abi Mulaikah ra: “Belum pernah aku
melihat orang seperti Ibnu Abbas. Apabila aku melihatnya maka tampaklah,
mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka lidahnya amat lancar. Dan
apabila ia memberi fatwa maka dialah orang yang amat banyak ilmunya”.
Berkata Ibnul Mubarak ra: “Aku heran orang
yang tidak menuntut ilmu ! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan”.
Berkata setengah hukama’: “Sesungguhnya aku tidak belas kasihan kepada
orang-orang, seperti belas kasihanku kepada salah seorang dari dua: “orang yang menuntut ilmu dan tidak memahaminya dan orang
yang memahami ilmu dan tidak menuntutnya”. Berkata Abud Darda’ ra:
“Lebih aku sukai mempelajari satu masalah, daripada mengerjakan shalat satu
malam”. Dan ditambahkannya pula: “Orang yang berilmu dan orang yang menuntut
ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan
padanya”. Dan katanya lagi: “Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau
mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak termasuk salah seorang
dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau”. Berkata Atha’: “Suatu majelis ilmu
itu, akan menutupkan dosa 70 majelis yang sia-sia”.
Berkata Umar ra: “Meninggalnya 1000 ‘abid,
yang malamnya mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah,
daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalalkan dan yang
diharamkan Allah”. Berkata Imam Asy-Syafi’i ra: “Menuntut ilmu adalah lebih
utama daripada berbuat ibadah sunnah”. Berkata Ibnul Abdil Hakam ra: “Adalah
aku belajar ilmu pada Imam Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpulkan
semua kitab untuk mengerjakan shalat”. Maka berkata Imam Malik: “Hai, tidaklah
yang engkau bangun hendak mengerjakannya itu, lebih utama daripada apa yang ada
engkau didalamnya, apabila niat itu benar”. Berkata Abud Darda ra: “Barangsiapa
berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang
kurang pikiran dan akal”.
Keutamaan mengajar.
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan
mengajar, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla (Allah Maha Mulia & Maha
Besar): “Supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah
kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga dirinya)”. S
9 ayat 122. Yang dimaksud ialah mengajar dan memberi petunjuk.
Dan firman Allah Ta’ala: “Tatkala diambil
oleh Allah akan janji dari mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya
kepada manusia dan tidak disembunyikannya”. S 3 ayat 187. Ini membuktikan akan
kewajiban mengajar. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya satu golongan dari
mereka menyembunyikan kebenaran sedang mereka itu mengetahuinya”. S 2 ayat 146.
Ini menunjukkan haram menyembunyikan ilmu, seperti firman Allah tentang saksi:
“Dan barangsiapa menyembunyikan kesaksian
(tak mau menjadi saksi) maka berdosalah hatinya (ia menjadi orang yang
berdosa)”. S 2 ayat 283.
Bersabda nabi saw: “Tidak diberikan oleh
Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambil Allah
janji seperti yang diambil Allah kepada nabi-nabi, bahwa mereka akan
menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya”. Dan
firman Allah swt: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
memanggil kepada Allah dan dia berbuat amalan yang shaleh?”. Berfirman Allah
Ta’ala: “Serukanlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang
baik”. S 16 ayat 125. Berfirman Allah Ta’ala: “Diajari Allah mereka akan kitab
dan kebijaksanaan”. S 2 ayat 129. Adapun hadits yang menerangkan keutamaan
mengajar, yaitu sabda nabi saw kepada Mu’az ketika diutusnya ke Yaman:
“Bahwasanya dengan sebabmu diberi petunjuk oleh Allah akan seseorang, lebih
baik bagimu daripada dunia dan isinya”.
Bersabda nabi saw: “Barangsiapa mempelajari
satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia, maka ia diberikan pahala
70 orang shiddiq (orang yang selalu benar, membenarkan nabi, seumpama Abu Bakar
Shiddiq)”.
Bersabda nabi Isa as: “Barangsiapa berilmu
dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar” disegala
petala langit”.
Bersabda nabi saw: “Apabila datang hari
kiamat nanti, maka berfirman Allah swt Kepada orang ‘abid dan orang berjihad:
“Masuklah ke dalam sorga”. Maka berkata para ulama: “Dengan kelebihan
pengetahuan kami, mereka beribadah dan berjihad”. Maka berfirman Allah yang
Maha Mulia & Maha Besar: “Kamu disisiKU seperti sebahagian malaikatKU.
Berbuatlah syafaat, niscaya kamu mendapat syafaat. lalu mereka berbuat syafaat.
Kemudian merekapun masuk sorga”.
Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu
yang berkembang dengan memberi pengajaran. Tidak ilmu yang beku, yang tidak
berkembang. Bersabda nabi saw: “Bahwa Allah Maha Mulia & Maha Besar tidak
mencabut ilmu dari manusia yang telah dianugerahi Allah, tetapi ilmu itu pergi,
dengan perginya (mati) para ahli ilmu. Tiap kali pergi seorang ahli ilmu, maka
pergilah bersamanya ilmunya. Sehingga tak ada yang tinggal lagi, selain dari
kepala-kepala yang bodoh. Jika ditanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu.
Maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkan pula orang lain”.
Bersabda nabi saw: “Barangsiapa mengetahui
sesuatu ilmu, lalu menyembunyikannya, maka ia dikenakan oleh Allah kekang,
dengan kekang api neraka, pada hari kiamat”. Bersabda nabi saw: “Sebaik-baik
pemberian dan hadiah ialah kata-kata berilmu. Engkau dengar lalu engkau simpan
baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim. Engkau ajari dia.
Perbuatan yang demikian, menyamai ibadah setahun”. Bersabda nabi saw: “Dunia
itu terkutuk bersama isinya, selain berzikir kepada Allah swt dan apa yang
disukai Allah atau menjadi pengajar atau pelajar”. Bersabda nabi saw:
“Bahwasanya Allah swt, malaikat-malaikat Allah, isi langit dan bumi Allah,
sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa
kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia”. Bersabda nabi saw: “Tiadalah
seorang muslim memberi faedah kepada saudaranya, yang lebih utama dari
pembicaraan yang baik, yang sampai kepadanya, lalu disampaikannya kepada
saudaranya itu”. Bersabda nabi saw: “Sepatah kata kebajikan yang didengar oleh
orang mu’min, lalu diajarinya dan diamalkannya, adalah
lebih baik baginya dari ibadah setahun”.
Pada suatu hari Rasulullah keluar
berjalan-jalan, lalu melihat dua majelis. Yang satu, mereka itu berdoa kepada
Allah dan ingin kepada Allah hati. Yang keduanya mengajarkan manusia. Maka
bersabda nabi saw: “Adapun mereka itu bermohon kepada Allah Ta’ala. Jika
dikehendaki Allah, maka dikabulkan ALLAH. Jika tidak dikehendaki ALLAH, maka
ditolak ALLAH. Sedang mereka yang satu majelis lagi, mengajarkan manusia dan
aku diutuskan untuk mengajar”. Kemudian nabi menoleh ke majelis orang mengajar,
lalu duduk bersama mereka. Bersabda nabi saw: “Contohnya aku diutuskan oleh
Allah dengan petunjuk dan ilmu, adalah seumpama hujan lebat yang menyirami
bumi. Diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu, lalu
menumbuhkan banyak rumput dan hilalang. Diantaranya ada yang dapat membendung
air itu, lalu dimanfaatkan oleh Allah Maha Mulia & Maha Besar kepada
manusia. Maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan ada sebahagian
tempat yang rata, yang tidak membendung air dan tidak menumbuhkan rumput”.
Contoh pertama disebutnya, adalah sebagai tamsil teladan bagi orang yang dapat
mengambil faedah dengan ilmunya. Contoh kedua disebutnya, ialah bagi orang yang
dapat memanfaatkannya. Dan contoh ketiga adalah bagi orang yang tak memperoleh
apa-apa dari yang dua itu.
Bersabda nabi saw: “Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amal perbuatannya
selain dari 3 perkara, yaitu ilmu yang dimanfaatkan”. Bersabda nabi saw: “Menunjuk kepada kebajikan,
adalah seperti mengerjakannya”. Bersabda nabi saw: “Tak boleh iri hati selain
pada dua: “pertama pada orang yang dianugerahi Allah
Ta’ala ilmu, maka ditegakkannya keadilan dengan ilmunya dan diajarkannya
manusia. Dan kedua pada orang yang diberikan oleh Allah Ta’ala harta, maka
dipergunakannya pada jalan kebajikan”.
Bersabda nabi saw: “Rahmat Allah kepada
khalifah-khalifahku !”. Siapa khalifahmu?”, tanya orang. Nabi saw menjawab:
“Mereka yang menghidup kan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba Allah”.
menurut para sahabat nabi, yaitu berkata Umar ra: “Barangsiapa menceritakan
suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala seperti pahala yang
diperoleh oleh orang yang mengamalkannya”.
Berkata Ibnu Abbas ra: “Orang yang mengajarkan
kebajikan kepada orang banyak, niscaya diminta ampun dosanya oleh segala
sesuatu, sampai ikan didalam laut”. Berkata setengah ulama:“Orang berilmu itu
masuk antara Allah & makhlukNYA.Maka hendaklah ia memperhatikan, bagaimana
ia masuk”
Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsuri ra
datang ke ‘Askalan. Lalu ia berhenti pada suatu tempat dan tiada orang yang
menanyakan halnya. Maka ia berkata: “Koreklah
tanah bagiku supaya aku keluar dari negri
ini. Ini adalah negri, yang mati padanya ilmu”. Dia mengatakan demikian,
karena ingin menerangkan keutamaan mengajar dan kekekalan ilmu dengan adanya
pengajaran.
Berkata Atha’ ra: “Aku masuk ke tempat Said
bin Al musayyab dan ia sedang menangis. Lalu aku bertanya: “Apakah yang
menyebabkan engkau menangis?”. Ia menjawab: “Karena tak ada orang yang
menanyakan sesuatu kepadaku”. Berkata setengah mereka: “Ulama itu lampu segala
masa. Masing-masing ulama itu menjadi lampu zamannya.
Orang-orang yang semasa dengan dia dapat memperoleh cahaya daripadanya”.
Berkata Al Hasan ra: “Kalau tak adalah orang yang berilmu, niscaya jadilah
manusia itu seperti hewan. Artinya: “dengan mengajar, para ahli ilmu itu,
mengeluarkan manusia dari batas kehewanan, kepada batas kemanusiaan”.
Berkata ‘Akramah: “Bahwa ilmu ini, mempunyai harga”. Lalu orang menanyakan: “Apakah harganya itu?”. ‘Akramah
menjawab: “Bahwa engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak
menyia-nyiakannya”. Berkata Yahya bin Mu’az: “Ulama itu lebih mencintai umat
Nabi Muhammad saw, daripada bapak dan ibu mereka sendiri”. Lalu orang
menanyakan: “Bagaimanakah demikian?”. Yahya menjawab: “Sebabnya, karena bapak
dan ibu mereka menjaganya daripada neraka dunia,
sedang para ulama menjaganya daripada neraka akhirat”.
Orang mengatakan: “Permulaan ilmu itu berdiam diri, kemudian mendengar,
kemudian menghafal, kemudian mengajarkan dan kemudian menyiarkannya”. Ada orang
mengatakan: “Ajarilah ilmumu akan orang yang bodoh ! Dan belajarlah dari orang
yang berilmu akan apa yang engkau tak tahu ! Apabila engkau berbuat demikian,
maka engkau tahu apa yang engkau tidak ketahui dan engkau hafal apa yang sudah
engkau ketahui”.
Berkata Mu’az bin Jabal mengenai mengajar
dan belajar dan aku berpendapat bahwa perkataan ini juga adalah hadits marfu’:
“Pelajarilah ilmu ! Maka mempelajarinya karena Allah itu taqwa. Menuntutnya itu
ibadah. Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membahaskannya itu jihad. Mengajarkan
orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan
diri kepada Tuhan. Ilmu itu teman waktu sendirian dan kawan waktu kesepian,
penunjuk jalan kepada agama, pemberi nasehat bersabar waktu suka dan duka,
seorang menteri ditengah-tengah teman sejawat, seorang keluarga ditengah-tengah
orang asing dan sinar jalan ke sorga. Dengan ilmu, diangkat oleh Allah beberapa
kaum, lalu dijadikan Allah mereka pemimpin, penghulu dan penunjuk jalan pada
kebajikan. Diambil orang menjadi ikutan dan penunjuk jalan pada kebajikan.
Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat suka kepada
tingkah laku mereka. Disapunya mereka dengan sayapnya. Seluruh yang basah dan
yang kering meminta ampun akan dosa mereka, bahkan ikan dan binatang laut,
binatang buas dan binatang jinak di darat, langit dan bintang-bintangnya”. Karena
ilmu itu, kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kezaliman dan
tenaga badan dari kelemahan. Dengan ilmu, hamba Allah itu, sampai ke tempat
orang baik-baik dan derajat tinggi. Memikirkan ilmu seimbang dengan berpuasa.
Mengulang-ulanginya seimbang dengan mengerjakan shalat. Dengan ilmu, orang taat
kepada Allah Maha Mulia & Maha Besar, beribadah, berjanji, berkeesaan,
menjadi mulia, menjadi wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan),
menyambung silaturrahim & mengetahui halal dan haram. Ilmu itu imam &
amal itu pengikutnya. Diilhamkan ilmu kepada orang-orang berbahagia dan
diharamkan kepada orang-orang celaka. Kita bemohon kepada Allah petunjuk yang
baik.
Tentang dalil-dalil akal
Ketahuilah, bahwa yang dicari dari bab ini,
ialah mengenal kelebihan dan kenilaian ilmu. Dan selama belum dipahami
kelebihan itu sendiri dan tidak diselidiki maksud daripadanya, maka tak
mungkinlah diketahui adanya kelebihan menjadi sifat bagi ilmu atau bagi yang
lain dari segala persoalan. Maka sesungguh nya, telah sesat jalan orang yang
ingin mengetahui bahwa si Zaid itu seorang filosuf atau bukan, sedang dia belum
lagi mengetahui arti dan hakikat/makna ilmu filsafat itu.
Kelebihan, berasal dari perkataan yaitu
lebih. Apabila bersekutulah dua benda dalam sesuatu hal dan salah satu daripada
keduanya, tertentu dengan suatu kelebihan, maka dikatakanlah: itu kelebihannya.
Dan ia mempunyai kelebihan dari yang daripadanya, manakala kelebihannya itu
mengenai yang menjadi kesempurnaan sesuatu itu sendiri. Umpamanya dikatakan:
kuda itu lebih utama dari keledai, dengan arti: bahwa kuda bersekutu dengan
keledai tentang sama-sama mempunyai kekuatan mengangkut. Tetapi kuda melebihi
dari keledai, dengan kekuatan tampil ke depan, berlari dan ketangkasan melompat
serta kebagusan bentuk. Kalau diumpamakan: keledai itu mempunyai suatu
kelebihan daging tumbuh, maka itu tidaklah dikatakan suatu kelebihan. Karena
itu adalah suatu tambahan pada tubuh dan
suatu kekurangan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, tidaklah termasuk kesempurnaan
sedikitpun. Dan hewan itu dicari untuk maksud dan sifatnya, tidak untuk
tubuhnya. Apabila ini telah anda pahami, maka tidaklah tersembunyi lagi bagi anda, bahwa ilmu itu suatu kelebihan, bila
dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain, sebagaimana kuda itu mempunyai suatu
kelebihan, bila dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Bahkan kecepatan
melompat, adalah suatu kelebihan pada kuda dan tidaklah itu suatu kelebihan
mutlak.
Ilmu itu adalah suatu kelebihan pada
dirinya dan secara mutlak tanpa diperhubungkan kepada yang lain. Karena ilmu
itu adalah sifat kesempurnaan bagi Allah swt. Dengan ilmulah, mulia para
malaikat dan nabi-nabi. Bahkan kuda yang cerdik adalah lebih baik dari kuda
yang bodoh. Dari itu, ilmu itu suatu kelebihan mutlak, tanpa diperhubungkan
dengan yang lain. Ketahuilah, bahwa sesuatu yang bernilai lagi digemari itu,
terbagi kepada:
a.
dicari untuk lainnya.
b.
Dicari karena benda itu sendiri.
c.
Dicari untuk tujuan lainnya dan bersama untuk benda itu
sendiri.
- Maka yang dicari karena benda itu
sendiri, adalah lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk lainnya.
Yang dicari untuk lainnya, ialah dinar dan dirham. Keduanya adalah batu, tak
ada gunanya. Kalau tidaklah Allah Ta’ala menjadikan keduanya untuk memudahkan
memperoleh keperluan hidup, maka dirham dan dinar itu sama saja dengan batu
yang terletak di tepi jalan.
- Yang dicari untuk benda itu sendiri yaitu
kebahagiaan di akhirat dan kesenangan memandang wajah Allah swt.
- Dan yang dicari untuk benda itu sendiri
dan untuk lainnya, seperti: keselamatan tubuh. Keselamatan seseorang itu
-umpamanya- dicari, dari segi, bahwa keselamatan itu, adalah keselamatan bagi
tubuh, dari kepedihan. Dan dengan keselamatan itu, dicari untuk berjalan dan
mencapai maksud-maksud dan hajat keperluan. Dengan pandangan tersebut, apabila
anda perhatikan kepada ilmu, niscaya anda memperoleh pada ilmu itu sendiri
suatu kesenangan. Jadi, ilmu itu termasuk dicari untuk ilmu itu sendiri. Dan
anda peroleh bahwa ilmu itu jalan ke negri akhirat, kebahagiaan akhirat dan
jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan tidak akan sampai kepada Allah,
selain dengan ilmu.
Kedudukan yang tertinggi bagi seorang
manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan kepadanya.
Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan amal. Dan tidak akan
sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara
beramal.
Maka asal kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, adalah -ilmu-. Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan.
Betapa tidak ! Kadang-kadang mengetahui keutamaan suatu juga dengan kemuliaan
hasilnya. Dan anda mengetahui bahwa hasil ilmu itu, ialah mendekatkan diri
kepada Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan
berhampiran dengan malaikat tinggi. Itu semuanya adalah di akhirat.
Adapun di dunia, maka adalah kemuliaan,
kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara
naluri. Sehingga orang Turki yang bodoh dan orang Arab yang kasar, secara
naluri, mereka menghormati kepala-kepalanya. Karena kekhususan mereka dengan
ketambahan ilmu, yang diperoleh dari pengalaman. Bahkan dengan tabiatnya, hewan
menghormati manusia, karena perasaannya perbedaan manusia dengan kesempurnaan
yang melebihi derajat hewan itu. Inilah keutamaan ilmu secara mutlak !
Kemudian, ilmu itu berbeda-beda seperti
akan diterangkan dan sudah pada tempatnya pula berlebih kurang keutamaan nya,
disebabkan kelebih-kurangnya itu, dan keutamaan mengajar dan belajar, sudah
jelas dari apa yang kami sebutkan dahulu.
Apabila ilmu itu, lebih utama dalam segala
hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu. Maka
mengajarkannya, adalah memberi faedah bagi keutamaan. Jelasnya, segala maksud
manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak teratur, selain
dengan teraturnya dunia. Dunia adalah tempat
bercocok tanam bagi akhirat. Dunia
adalah alat yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala, bagi orang yang mau
mengambilnya menjadi alat dan tempat tinggal. Tidak bagi orang yang
mengambilnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi. Urusan duniawi tidak
akan teratur, selain dengan amal perbuatan manusia. Amal perbuatan, pekerjaan
dan perusahaan manusia itu, terbatas pada tiga
bahagian:
·
pokok pertama: Alam ini tidak dapat tegak bila pokok ini tidak
ada, yaitu 4: pertanian untuk pangan, pertenunan untuk sandang, perumahan untuk
tempat tinggal dan politik politik, yaitu untuk kerukunan, persatuan dan gotong
royong mencapai sebab-sebab yang membawa kepada kehidupan yang lebih baik dan
mengendalikannya.
·
Kedua: ialah, yang mempersiapkan bagi tiap-tiap usaha
tersebut dan yang melayaninya. Seperti pertukangan besi, adalah melayani
pertanian dan sejumlah usaha dengan persiapan alat-alatnya. Seperti
membersihkan kapas dari bijinya dan membuat benang. Semuanya itu demi untuk
bertenun kain dengan persiapan amal usahanya.
·
Ketiga: ialah, penyempurna bagi pokok dan penghias, seperti
menumbuk tepung dan membuat roti bagi pertanian, menggunting kain dan menjahit
bagi pertenunan.
Yang tersebut tadi, bila dihubungkan kepada tegak berdirinya
alam kebumian, adalah seumpama bahagian-bahagian dari seseorang, bila
dihubungkan kepada keseluruhannya. Yaitu ada 3 macam pula. Adakalanya pokok,
seperti hati, jantung dan otak. Adakalanya pelayan bagi pokok itu seperti perut,
urat, urat syaraf dan pembuluh darah. Dan adakalanya penyempurna dan penghias
bagi pokok, seperti kuku, anak jari dan bulu kening. Yang termulia dari segala
pekerjaan itu ialah pokoknya. Yang termulia dari pokoknya ialah politik, dengan
kerukunan dan perbaikannya. Dari itu, usaha tersebut meminta kesempurnaan dari
orang yang bertanggung jawab, melebihi dari usaha-usaha yang lain. Dari itu,
tidak mustahil, yang punya pekerjaan tersebut, menggunakan pengusaha-pengusaha
yang lain. Dan politik pada perbaikan orang banyak & menunjukkannya kejalan
lurus, yang membawa kelepasan didunia dan diakhirat, adalah atas 4 tingkat:
1.
Tingkat tertinggi, yaitu politik dan hukum nabi-nabi as
terhadap golongan tertentu dan orang banyak, baik luar atau dalam.
2.
Tingkat khalifah, raja-raja dan sultan-sultan. Dan hukum yang
dijalankan mereka adalah terhadap golongan tertentu dan umum seluruhnya. Tetapi
mengenai yang luar saja, tidak yang dalam.
3.
Tingkat ‘alim ulama, yang mengenal Allah dan agama Allah,
yang menjadi pewaris dari nabi-nabi. Hukum mereka adalah terhadap dalam
golongan tertentu saja. Golongan orang awwam, tak dapat memahami untuk
memperoleh faedah dari mereka. Kekuatan para ulama itu, tidak sampai kepada
pengurusan amal perbuatan luar golongan tadi, baik dengan menyuruh, melarang
dan memerintah.
4. Tingkat para juru nasehat. Hukum mereka
adalah mengenai dalam orang awwam saja.
Yang termulia dari usaha empat tadi, sesudah tingkat
kenabian, ialah memfaedahkan ilmu dan mendidik jiwa manusia supaya terhindar
dari pekerti yang tercela yang membinasakan dan menunjuk jalan, kepada budi
pekerti terpuji yang mendatangkan kebahagiaan. Itulah yang dimaksudkan dengan
pengajaran. Kami sesungguhnya mengatakan, bahwa mengajar ini adalah yang lebih
utama, dibandingkan dengan pekerjaan dan usaha lain. Karena keutamaan usaha
itu, dapat dikenal dengan tiga perkara: adakalanya dengan menoleh pada naluri,
yang menyampaikan kepada mengenalinya, seperti keutamaan ilmu pasti dari ilmu
bahasa, karena ilmu pasti itu diketahui dengan akal, sedang ilmu bahasa dengan
mendengar. Akal adalah lebih mulia dari pendengaran. Adakalanya dengan melihat
kepada kepentingannya yang lebih lengkap, seumpama kelebihan pertanian dari
pertukangan emas. Dan adakalanya dengan memperhatikan tempat pekerjaan itu,
seumpama kelebihan pertukangan emas daripada penyamakan kulit. Sebab yang
pertama tempatnya emas dan yang kedua tempatnya kulit bangkai. Dan tidaklah
tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui
dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan.
Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat
insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima
amanah Allah dan dengan akal akan sampai ke sisi Allah swt. Adapun tentang umum
kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan kehasilannya ialah
kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru
itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia diatas bumi, ialah
jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu
bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu
mendekati Allah Maha Mulia & Maha Besar. Mengajarkan ilmu itu dari satu
segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi
khalifah Allah Ta’ala.
Dan itu adalah yang termulia menjadi
khalifah Allah. bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan
pengetahuan yang menjadi sifat Allah yang teristimewa, maka adalah dia seperti
penjaga gudang terhadap barang gudang nya yang termulia. Kemudian diizinkan
berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya. Maka manakah
pangkat yang lebih mulia dari menjadi perantara, antara Tuhan dan makhluk Allah
untuk mendekatkan kepada Allah dan membawa mereka ke sorga tempat kediaman?
Kiranya Allah dengan kemurahan Allah menjadikan kita diantara ahli sorga ! Dan
rahmat Allah kepada semua hamba Allah yang pilihan.
BAB KEDUA:
Mengenai Ilmu Yg Terpuji & Tercela, Bagian-bagian dan
Hukum-Hukumnnya. Padanya Penjelasan, Apakah Yang Fardhu ‘ain/wajib & Apakah
Yang Fardhu Kifayah, Penjelasan, Bahwa Kedudukkan Ilmu Kalam (berkata-kata)
& Ilmu Fiqih Dalam Ilmu Agama, Sampai Mana Batasnya & Keutamaan Ilmu
Akhirat.
Pejelasan yang menjadi faardhu ‘Ain / WAJIB
Bersabda Nabi saw: "Menuntut ilmu itu wajib atas
tiap-tiap muslim". Dan bersabda pula nabi saw: "Tuntutlah ilmu walau
ke negri cina sekalipun". Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang
menjadi wajib atas tiap-tiap muslim, sampai berpecah belah lebih dari 20
golongan. Kami disini tidak akan menguraikannya secara terperinci. Akan tetapi
hasilnya, ialah masing-masing golongan itu menempatkan wajib, pada ilmu yang
dipilihnya.
Berkata ulama ilmu kalam (kata-kata), ialah
ilmu kalam (kata-kata) yang wajib karena dengan ilmu kalam (berkata-kata)
diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifat Allah. Berkata ulama fiqih ialah ilmu
fiqih yang fardhu ‘ain/wajib, karena dengan ilmu fiqih diketahui ibadah, halal
dan haram, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan dari hukum yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan. Ulama fiqih berusaha dengan sungguh-sungguh
membentangkan apa yang diperlukan masing-masing orang, tidak pada soal-soal
yang jarang terjadi. Ulama tafsir dan ulama hadits, berkata: yaitu ilmu kitab
dan sunnah yang fardhu ‘ain/wajib. Karena dengan perantaraan keduanya, akan
sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya. Berkata ulama tasawwuf/ahli
suffi, bahwa yang dimaksudkan, ialah ilmu tasawwuf/ahli suffi. Setengah mereka
mengatakan bahwa ilmu tasawwuf/ahli suffi itu ialah pengetahuan hamba Allah
dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah Maha Mulia & Maha Besar.
Sebahagian mereka mengatakan, bahwa ilmu
tasawwuf/ahli suffi itu ialah, ilmu tentang keikhlasan
dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara
langkah malaikat dari langkah setan. Diantara mereka mengatakan, bahwa ilmu
tasawwuf/ahli suffi itu ilmu bathin. Dari itu diwajibkan mempelajarinya bagi
golongan tertentu, dimana mereka ahli untuk itu. Dan dapat memalingkan kata-kata
dari umumnya.
Berkata Abu Thalib Al-Makki bahwa ilmu yang
diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadits yang menerangkan
sendi-sendi Islam, yaitu sabda Nabi saw: “Didirikan Islam atas lima sendi:
mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah...........sampai akhir hadits”.
Karena yang wajib adalah yang 5 itulah, maka wajiblah mengetahui cara
mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang seyogyanya diyakini oleh yang
memperolehnya dan tidak diragukan lagi, ialah apa yang akan kami terangkan.
Yaitu bahwa ilmu seperti telah kami singgung pada kata pembukaan kitab ini
terbagi kepada: ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan dan ilmu yang
diminta untuk mengetahuinya saja. Dan ilmu yang dimaksudkan disini, tidak lain
dari ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan. Ilmu yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan yang ditugaskan kepada hamba Allah, yang
berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga: keyakinan, berbuat dan
tidak berbuat.
Orang yang berakal sehat, apabila telah
sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi atau dengan kiraan tahun, pada pagi
hari umpamanya, maka yang pertama kali wajib atas dirinya, ialah mempelajari
dua kalimah syahadah serta memahami artinya. Yaitu: “Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah”. Dan tidak
diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan
pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar ia
membenarkan dan meyakini benar-benar, dengan tak bercampur keraguan dan
kebimbangan hati. Hal itu mungkin berhasil dengan semata-mata bertaklid
(ikut-ikutan) dan mendengar, tanpa pembahasan dan dalil. “Karena Rasulullah saw
sendiri mencukupkan dari orang-orang Arab itu dengan membenarkan dan mengakui
tanpa mempelajari dalil”.
Apabila telah terlaksana demikian, maka
telah tertunailah kewajiban waktu itu. Dan adalah ilmu yang menjadi fardhu
‘ain/wajib baginya di waktu itu, ialah mempelajari dua kalimah syahadah dan
memahami artinya. Dan tidak ada kewajibannya dibalik itu, pada waktu tersebut,
berdalilkan, jika sekiranya mati dia sesudah itu, maka adalah kematiannya dalam
taat kepada Allah Maha Mulia & Maha Besar. Tidak dalam maksiat.
Kewajiban selain itu, akan dengan
sebab-sebab yang mendatang. Dan tidaklah yang demikian perlu, pada tiap-tiap
orang, bahkan mungkin terlepas daripadanya. Sebab-sebab mendatang itu,
adakalanya dalam berbuat, atau tidak berbuat atau pada keyakinan. Dalam berbuat
umpamanya, dia hidup terus dari pagi hari itu sampai waktu Dhuhur. Maka dengan
masuknya waktu Dhuhur, datanglah kewajiban baru baginya, yaitu mempelajari cara
bersuci dan bershalat. Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu
tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan
mengerjakan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan habis jika dia terus
belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pada luarnya dia terus hidup. Dari
itu, wajiblah ia mendahulu kan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh pula
dikatakan bahwa wajib adanya ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wajib
amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum gelincir matahari.
Demikian pula pada sembahyang-sembahyang
selain dari Dhuhur tadi. Bila dia terus hidup sampai bulan Ramadlan, maka
bertambah pula kewajibannya mempelajari puasa. Yaitu mengetahui bahwa waktunya
dari waktu Shubuh sampai terbenam matahari. Bahwa diwajibkan pada puasa, ialah
niat, menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Keadaan demikian berjalan
terus sampai tampak bulan, oleh dia sendiri atau oleh dua orang saksi. Kalau
hartanya bertambah atau memang dia orang berharta ketika dewasa, maka wajib
pula mempelajari kewajiban zakat. Tetapi tidaklah diwajibkan itu ketika itu
juga. Hanya baru wajib waktunya telah sampai setahun (haul) dari masa Islamnya.
Jika dia hanya mempunyai unta maka yang harus dipelajarinya ialah zakat unta.
Begitupula dengan jenis-jenis yang lain.
Apabila datang bulan hajji, tidaklah wajib
ia bersegera mempelajari pengetahuan hajji, karena mengerjakannya adalah dalam
waktu yang lama. Dari itu tidak diwajibkan mempelajarinya cepat-cepat. Tetapi
seyogyalah bagi ulama Islam memperingatkannya bahwa haji itu suatu kewajiban
yang lama, atas tiap-tiap orang yang mempunyai perbekalan dan kendaraan.
Apabila ia memiliki barang-barang tersebut, maka mungkin timbul hasrat dalam
hatinya hendak menyegerakan menunaikan ibadah haji itu. Maka ketika itu, bila
hasrat telah timbul, maka haruslah ia mempelajari cara mengerjakan haji. Dan
tidak harus, selain mempelajari rukun dan wajibnya, tidak sunnatnya. Sebab bila
mengerjakannya sunnat, maka mempelajarinya sunnat pula. Dari itu tidaklah
menjadi kewajiban mempelajarinya.
Tentang haramnya berdiam diri, daripada
memberitahukan atas kewajiban pokok haji itu, pada waktu sekarang, adalah
menjadi suatu perhatian yang layak pada ilmu fiqih. Demikianlah secara
berangsur-angsur, tentang ilmu amal perbuatan yang lain, yang menjadi
kewajiban. Adapun yang tidak berbuat (ditinggalkan mengerjakannya) maka
wajiblah mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian
itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidaklah wajib atas orang bisu,
mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidaklah atas orang buta mempelajari
apa-apa yang haram dari pemandangan. Dan tidaklah atas orang desa (badui)
mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan.
Maka yang demikian itu juga wajib menurut
yang dikehendaki oleh keadaan. Apa yang diketahuinya bahwa dia terlepas
daripadanya, maka tidaklah diwajibkan mempelajarinya. Dan apa yang tidak
terlepas daripadanya, maka wajiblah diberitahukan kepadanya. Seumpama, ketika
ia masuk Islam, adalah ia memakai kain sutera atau duduk pada perampokan atau
suka melihat yang bukan mahramnya maka wajiblah diberitahukan kepadanya yang
demikian itu. Dan apa yang tidak melekat padanya, tetapi akan dihadapi, pada
masa dekat seperti makan dan minum, maka wajiblah mengajarkannya. Sehingga
apabila timbul dalam negri, minuman khamar & makanan daging babi, maka
wajiblah diajarkan yang demikian & diberitahukan. Dan tiap-tiap wajib
diajarkan maka wajiblah dipelajari.
Adapun mengenai keyakinan dan amal
perbuatan hati, wajiblah mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul
keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam 2 kalimah syahadah, maka
wajiblah ia mempelajari apa yg menyampaikannya kepada hilangnya keraguan itu.
Jikalau tiada terguris yg demikian itu & ia mati sebelum
beri’tikad/berkeyakinan bahwa kalam (kata-kata) Allah itu qadim/tiada
berpemulaan, Ia (NYA) akan dilihat dan tiada pada Allah segala sifat makhluk
serta lain-lain sebagainya, yang tersebut dalam bahagian kei’tiqad (keyakinan),
maka sepakatlah ulama bahwa ia mati dalam Islam.
Tetapi bisikan-bisikan hati ini yang
menyangkut dengan kepercayaan, sebahagian timbul disebabkan dengan kepribadian
seseorang dan sebahagian lagi disebabkan pendengaran dari sesama penduduk.
Jikalau dalam negri, berkembang pembicaraan mengenai yang demikian dan manusia
memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) maka
seyogyalah dijaga dari permulaan masa dewasa, dengan mengajarkan yang benar.
Kalau ke dalam hatinya telah dimasukkan yang batil/salah, niscaya wajiblah
dihilangkan dari hatinya itu. Mungkin yang demikian itu sukar. Seumpama,
jikalau muslim itu saudagar dan telah berkembang di tempatnya perbuatan riba,
maka wajiblah dipelajarinya, cara menjaga diri dari riba itu.
Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan
yang fardhu ‘ain/wajib. Artinya, ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib.
Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia
sudah mengetahui ilmu yang fardhu ‘ain/wajib. Apa yang diterangkan kaum sufi,
tentang memahami bisikan-bisikan musuh dan langkah malaikat, adalah benar juga,
tetapi terhadap orang yang ada hubungannya dengan itu. Apabila menurut
biasanya, bahwa manusia itu tidak terlepas dari panggilan kejahatan, ria dan
dengki, maka haruslah ia mempelajari ilmu bahagian sifat-sifat
yang membinasakan diri, apa yang dipandangnya perlu untuk dirinya.
Bagaimana tidak wajib ?
Rasulullah saw pernah bersabda: “Tiga
perkara, membinasakan manusia: “kikir yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti
dan keta’juban manusia kepada dirinya”. Tidak terlepaslah manusia dari
sifat-sifat tersebut dan lain-lain sifat yang akan kami terangkan, dari
sifat-sifat hal ikhwal hati yang tercela. Seperti takabbur, ‘ujub dan
sebagainya yang mengikuti tiga sifat yang membinasakan itu.
Menghilangkan sifat-sifat tadi adalah
wajib. Dan tidak mungkin menghilangkannya, kecuali dengan mengetahui batas-batasnya,
sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan cara mengobatinya. Orang yang tidak
mengetahui sesuatu kejahatan, akan terperosok ke dalamnya. Obatnya ialah,
menghadapi sebab itu, dengan lawannya. Maka bagaimana mungkin melawannya itu
tanpa mengetahui sebab dan yang disebabkannya. Kebanyakan dari yang kami
terangkan dalam bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, termasuk dalam
fardhu ‘ain/wajib. Dan sudah ditinggalkan manusia karena sibuk dengan yang tak
perlu. Diantara yang seyogyanya disegerakan mengajarkannya, apabila tidaklah
orang itu telah berpindah dari satu agama ke agama yang lain, ialah keimanan
dengan sorga, neraka, kebangkitan dari kubur dan pengumpulan di Padang Mahsyar.
Sehingga dia beriman dan mempercayainya. Dan itu adalah sebagian dari kesempurnaan
dan dua kalimah syahadah. Karena setelah membenarkan dengan kerasulan Nabi saw
itu, seyogyalah memahami akan risalah (kerasulan) yang dibawanya. Yaitu, bahwa
orang yang mentaati Allah dan Rasul Allah, maka baginya sorga. Dan orang yang
mendurhakai keduanya, maka baginya neraka.
Maka apabila anda telah memperoleh
perhatian akan pelajaran tersebut secara berangsur-angsur, maka tahulah anda
bahwa inilah mazhab yang sebenarnya. Dan yakinlah anda bahwa tiap-tiap hamba
Allah dalam perkembangan hal ikhwalnya, siangnya dan malamnya, adalah tidak
terlepas dari kejadian-kejadian yang mengenai ibadahnya dan yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan nya secara terus-menerus, akan
akibat-akibatnya. Maka haruslah bertanya tentang kejadian-kejadian yang jarang
terjadi dan haruslah bersegera mempelajari apa yang diharapkan biasanya terjadi
dalam waktu dekat. Apabila telah jelas bahwa Nabi saw termaksud dengan
perkataan “Al-ilmu” pakai alif dan lam pada sabdanya: “Menuntut al-ilmu itu
wajib atas tiap-tiap muslim”, ialah ilmu yang disertai dengan amal perbuatan,
yang terkenal wajibnya atas pundak kaum muslimin, tidak lain, maka jelaslah
cara berangsur-angsurnya dan waktu yang diwajibkan mempelajarinya. Wallaahu
a’lam (Allah Maha Tahu).
Penjelasan tentang ilmu yang fardhu kipayah:
Ketahuilah bahwa wajib tidak berbeda dengan yang tidak wajib kecuali dengan menyebutkan
bagian-bagian ilmu. Dan ilmu-ilmu dengan disangkut kan kepada wajib sedang kita
bicarakan ini, terbagi kepada ilmu syariah dan bukan ilmu syariah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syariah ialah:
yang diperoleh dari nabi-nabi as dan tidak ditunjukan oleh akal manusia
kepadanya, dan ilmu yg bukan syariah ialah: seumpama ilmu berhitung atau
percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syariah, terbagi
kepada: ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu
yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi,
seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardu
kipayah dan kepada ilmu utama yang tidak wajib. Yang fardhu kipayah ialah
tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi,
seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharan tubuh manusia.
Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli,
pembahagiaan harta wasiat, pusaka dll. Ini lah ilmu-ilmu jikalau kosonglah
negeri dari pada orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk
negri itu. Tetapi apa bila ada seorang saja
yang bangun meneggakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain
dari kewajiban tersebut. Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami,
bahwa ilmu kedokteran dan ilmu hitung itu termasuk fardhu
kipayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardhu
kipayah, seumpama pertanian, pertenunan, dan siasat. Bahkan juga pembekaman dan
penjahitan, karena jikalau kosonglah negri dari tukang bekam maka segeralah
datang kebinasaan kepada mereka dan berdosalah mereka itu membawa dirinya
kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya yang menurunkan penyakit, DIA pulalah yang
menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan
sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada
kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu. Adapun ilmu yg dihitung: utama,
tidak lah wajib. Maka mendalami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu
kedokteran dll, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi
berfaedah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu: ilmu sihir,
mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata. Adapun ilmu yang dibolehkan
ilmu tentang pantun-pantun yang tidak cabul, berita-berita sejarah dsb. Adapun
ilmu syariah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya.
Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syariah. Padahal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi
kepada: terpuji dan tercela. Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukadimah
(ilmu pengantar) dan pelengkap, sehingga berjumlah 4.
Yang pertama: pokok (ushul). Yaitu 4: 1.
Kitabullah Azza wa Jalla (kitab Allah yang Maha Mulia & Maha Besar), 2.
Sunah Rasul saw, 3. Ijma’/sepakat umat dan 4. peninggalan-peninggalan
sahabat(atsar). Dan Ijma’(sepakat) itu pokok dari segi bahwa dia menunjukkan
kepada sunah. Maka adalah dia pokok pada derajat ke3. Begitu juga peninggalan
sahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada sunah. Karena pada sahabat ra
menyasikkan wahyu & penurunan Al Quran. Dan mengetahui dengan
petunjuk-petunjuk keadaan, apa yg tidak diketahui oleh orang lain.
Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yg diketahui dengan petunjuk
keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti
& berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan sahabat. Dan yg demikian
itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu & tidak wajar
menerangkannya dalam kupasan ini
Yang kedua: cabang (furu’), yaitu apa yang
dipahamkan dari pokok-pokok diatas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh
kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran.
Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, sehingga dari kata-kata yang
diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda
Nabi saw: “Hakim(kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah”.
Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit.
Ilmu furu’/cabang itu terbagi dua: pertama menyangkut dengan kepentingan
duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab
terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia. Kedua
menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi
pekerti terpuji dan tercela, hal ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah.
Pengetahuan ini termuat pada bahagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam
jumlah kitab “Ihya ‘Ulumiddin”. Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang
memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan adat kebiasaannya.
Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Yang ketiga: mukaddimah (ilmu
pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata
bahasa. Keduanya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi kitabullah dan
sunnah rasul saw. Bahasa dan tata bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu
syari’ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari’ah (agama
Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain
dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat. Dan
setengah dari alat, ialah: ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting.
“Karena Rasulullah saw sendiripun tidak tahu tulis baca”. Kalaulah tergambar
dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi
pada ghalibnya/biasanya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
Yang keempat: penyempurna, yaitu:
mengenai ilmu Al-Qur’an. Dan terbagi kepada: yang berhubungan dengan
kata-katanya seperti mempelajari qira-ah (cara membaca), dan bunyi hurufnya.
Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian
itu berpegang pula kepada naqal (keadaan disekitar ayat itu, baik sebab
turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat
berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang
nasikh/pembatalan dan mansukh/penghapusan, yang umum dan yang khusus, yang nash
( ketetapan dengan dalil) dan yang luar dan cara menggunakan antara sebahagian
ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama “Ushulul-fiqh”.
Dan ilmu ini melengkapi juga sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits nabi
dan peninggalan-peninggalan sahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi
hadits, namanya, keturunannya, nama-nama sahabat, kepribadiannya dan ilmu
mengenai kejujuran perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits.
Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui
umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal (perawi perawinya tdk
jelas) dan hadits musnad (perawi pewarinya jelas). Dan juga mengetahui yang
berhubungan dengan musnad itu. Inilah ilmu-ilmu syari’ah dan semuanya itu
terpuji, bahkan semuanya termasuk fardhu kifayah. Jikalau anda tanyakan:
mengapakah aku hubungkan ilmu fiqh dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqh
dengan ulama-ulama dunia ?
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala
menjadikan Adam as dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari
tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam
rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang
mahsyar, kemudian ke sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah
kesudahan mereka ! Dan inilah tempat kediaman mereka ! Dijadikan di dunia
tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu,
apa yang patut untuk perbekalan itu. Kalau manusia
itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan
kosonglah para alim ulama dari kesibukan.
Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan
nafsu syahwat, lalu timbulah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada
penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada
undang-undang (qanun) untuk memimpin umat manusia itu. Ahli fiqh, ialah orang
yang tahu dengan undang-undang politik, jalan mengetengahi diantara orang
banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqh itu
adalah guru sultan dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk
supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka. Demi sebenarnya, hal
tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu
sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat
bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia.
Penguasa (raja) dan Agama adalah 2 anak
kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok
(bersendi), akan roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), akan
hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan penguasa. Jalan
kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan pemerintahan, ialah dengan fiqih.
Sebagaimana politik manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari
ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu,
dimana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan
jalan politik. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah haji, tidak akan sempurna,
kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan.
Sedang ibadah haji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah haji itu adalah hal
kedua. Dan mengadakan pengawalan, dimana haji itu tidak akan sempurna, selain
dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya
dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.
Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah
mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang
demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad: “Tidak memberi fatwa
(perintah) kepada manusia selain oleh tiga: amir atau ma’mur atau yang memikul
beban itu (mutakallif)”. Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang
mengeluarkan fatwa. Ma’mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah
yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.
Para sahabat nabi ra menjaga diri dari
mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada
temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu
Al-Qur’an & jalan ke akhirat. Pada setengah riwayat, ganti dari yang
memikul beban itu, ialah: “Orang yang bekerja dengan ria”. Maka orang yg mau
memikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan
untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan &
harta. Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqh itu,
kalaulah betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang piutang
& penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah,
dari hal puasa & shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat
dari hukum yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan, dari penjelasan
halal dan haram.
Ketahuilah ! Bahwa yang terdekat dari apa
yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, dimana amal perbuatan
itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah 3: Islam, shalat dan zakat, halal dan
haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal diatas,
niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia
kepada akhirat. Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada
lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan
tentang yang syah daripadanya, tentang yang batal dan tentang syarat-syaratnya.
Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang
ahli fiqih.
Karena Rasululllah saw meletakkan pemegang
pedang dan kekuasaan, diluar hati, dengan sabdanya: “Mengapa tidak engkau
pisahkan dari hatinya?”. Sabda ini ditujukan oleh nabi saw kepada seorang
pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan
alasan bahwa pengucapan nya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih
itu menetapkan syah Islam di bawah naungan pedang, padahal ia tahu pedang itu
tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati,
kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang
itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kepada hartanya.
Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher
dan hartanya belum lagi terpisah daripadanya. Begitulah di dunia. Dari itu,
nabi saw bersabda: “Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”. Apabila telah
diucapkannya, maka terpeliharalah darah & hartanya daripadaku”. Nabi saw
menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta”.
Adapun akhirat, maka harta itu tidak
berguna padanya. Tetapi nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna.
Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih
mencemplungkan diri dalam ilmu fiqh, adalah seperti kalau ia mencemplungkan
diri dalam ilmu kalam (berkata-kata) dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di
luar bidangnya.
Mengenai shalat, maka ahli fiqih itu
berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan
shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh
shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di
pasar, kecuali ketika bertakbir. Shalat semacam itu
tidaklah bermanfaat di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan
mengenai Islam tak adalah manfaatnya. Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan
syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menurut bunyi
perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu’ dan menghadirkan hati yang
menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfaatlah amal luar, maka
tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar
bidangnya. Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat
diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan membayar zakat, lalu
penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu
telah terlepas dari hak miliknya. Menurut ceritera, bahwa kadli Abu Yusuf
memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia
sendiri menerima pemberian dari istrinya untuk menghindarkan zakat. Maka
diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra. Imam Abu Hanifah ra
menjawab: “Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih
dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan”.
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan
haram, maka menjaga diri (wara’) dari yang haram, adalah sebahagian dari agama.
Tetapi menjaga diri itu mempunyai 4 tingkat:
Tingkat pertama: ialah penjagaan diri (wara’/memelihara
diri dari dosa dan harta diragukan), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian.
Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh
menjadi saksi, hakim & wali. Penjagaan diri yg dimaksud, ialah penjagaan
diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua: ialah wara’ menjaga diri orang-orang
shalih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat (diragukan), yang
ada padanya kemungkinan-kemungkinan yang diragukan. Bersabda Nabi saw:
“Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan”. Dan Nabi saw
bersabda: “Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)”.
Tingkat ketiga: ialah wara’ menjaga diri orang-orang yang
taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi
dikhawatirkan terbawa kepada yang haram. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah orang itu
bernama orang taqwa, sebelum ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apanya,
karena takut kepada yang ada apa-apanya”. Contohnya seumpama: menjaga diri atau
wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) dari mempercakapkan hal
orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari
memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga
yang membawa kepada perbuatan terlarang.
Tingkat keempat: ialah wara’ menjaga diri orang-orang
shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta’ala. Karena
takut terpakai meskipun sesaat dari
umur, kepada yang tidak mendatangkan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah
Maha Mulia & Maha Besar, Walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan
tersebut tidak membawa kepada yang haram. Maka semua tingkat tadi adalah di
luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu: mengenai pemeliharaan
diri (wara’/memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) saksi, hakim dan
yang merusakkan ‘adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara’) dengan
yang demikian, tidaklah meniadakan dosa di akhirat.
Bersabda Nabi saw kepada Wabishah: “Mintalah fatwa kepada hatimu, Walaupun orang telah memberi
fatwa kepadamu, Walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, Walaupun orang
telah memberi fatwa kepadamu !".
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang
penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang
merusakkan ‘adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah
menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat.
Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum
akhirat, adalah termasuk kedalam percakapannya itu secara sambil lalu.
Sebagaimana kadang-kadang termasuk kedalam percakapannya, persoalan kedokteran,
berhitung, ilmu bintang dan ilmu kalam (berkata-kata). Dan sebagaimana termasuknya
ilmu falsafah kedalam tata bahasa dan pantun. Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka
ilmu luar berkata: “Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah
termasuk perbekalan akhirat”. Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa
kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia
mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan
punggung ibu) hukum al-li’an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifatnya saja oleh si penjual),
sewa menyewa dan tukar menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal
tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala itu, adalah gila.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan
hati dan anggota tubuh pada segala amal taat. Dan kemuliaan, ialah
amalan-amalan itu. Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu
fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan
dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan
penyamaan ini menyalahi dengan Ijma’(sepakat) umat Islam? Ketahuilah ! Bahwa
penyamaan ini tidaklah suatu keharusan, bahwa terdapat perbedaan antara
keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi:
Pertama: fiqih
itu ilmu syari’ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu
kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari’ah (agama).
Kedua: ilmu
fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yg menuju
kejalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran
tidak diperlukan Selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu
sedikit.
Ketiga: ilmu fiqih
itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal
perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota
tubuh itu, adalah perilaku hati (jiwa). Yang terpuji daripada amal perbuatan
itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepas kan diri
dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang
tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan
hati (jiwa) itu. Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih
pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak
dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu
kedokteran, niscaya tampaklah kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan
ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu
jalan ke akhirat. Jika anda menyatakan: “Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu
jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak
sampai terperinci benar !”. Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu
adalah 2 macam, ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja dan ilmu yang di
minta mengetahuinya hendaklah diamalkan
Yang pertama: Mukasyafah ialah
ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja itu ialah ilmu bathin. Dan itulah,
kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah ‘arifin (ahli ilmu ma’rifah yaitu
ilmu mengenal Allah Ta’ala): “Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu
yang diminta untuk mengetahuinya saja ini, aku takut akan buruk kesudahannya
(tidak memperoleh husnul khatimah). Sekurang-kurang bahagian daripadanya, ialah
membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya”.
Berkata yang lain: “Orang yang ada padanya
dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu,
berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau takabbur”. Ada lagi yang mengatakan:
“Barangsiapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia
tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang
lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang mengingkarinya, ialah
tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini”. Ahli yang berkata tadi
lalu bermadah:
“Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya”.
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu
yang diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu: ibarat cahaya yang lahir dalam
hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari
cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah
didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas.
Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma’rifat (pengenalan) yang
hakiki dengan Dzat Allah Ta’ala dan sifat Allah yang kekal sempurna, perbuatan
Allah dan hukum Allah pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunannya
melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan nabi, arti wahyu,
arti setan, arti kata-kata malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan
dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada nabi-nabi, bagaimana
sampai wahyu itu kepada nabi-nabi, mengenal alam malakut langit dan bumi,
mengenal hati dan betapa bentrokan antara bala tentara malaikat dan setan di
dalam hati, mengenal perbedaan antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenal
akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan
maksud dari firman Allah Ta’ala: “Bacalah kitabmu ! Cukuplah pada hari ini,
engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri”. S 17 ayat 14. Dan maksud
firman Allah Ta’ala: “Dan bahwa kampung akhirat
itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui”. S 29 ayat
64. Dan arti berjumpa dengan Allah Ta’ala dan memandang kepada wajah Allah Yang
Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disamping Allah, arti
memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, malaikat dan nabi-nabi, arti
berlebih kurangnya pangkat ahli sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain,
seumpama nampak bintang bersinar di lembaran langit dan lain-lainnya yang
panjang kalau dibentangkan.
Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal
yang tersebut diatas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai
bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanya itu adalah
contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hamba Allah yang shalih, ialah: Sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia.
Dan tak adalah serta makhluk itu sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.
Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi
bersesuaian dengan hakikat/makna yang sebenarnya yang dipahami dari
kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan
mengenal Allah Ta’ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenal Allah.
Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenal Allah
Ta’ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenal Allah Ta’ala itu, ialah
apa yang sampai kepada keyakinan orang kebanyakan. Yaitu beriman: bahwa Allah
Ta’ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar, melihat dan
berkata-kata. Kami maksudkan dengan ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja
itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan
kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata
memandang, yang tak diragukan lagi. Hal yang demikian itu mungkin pada diri
jauhar (benda/barang) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan
karat dan kotor dengan kotoran dunia. Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu
jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari
kotoran-kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) daripada Allah Ta’ala,
daripada mengenal sifat-sifat dan Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah.
Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan
mencegah diri dari menuruti hawa hafsu dan berpegang teguh dalam segala hal,
kepada ajaran nabi-nabi as. Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan
berbetulan ke arah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikat/maknanya. Dan
jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada
tempatnya dan dengan ilmu dan mengajarinya. Inilah ilmu yang tidak dituliskan
dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah
dianugerahi oleh Allah Ta’ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama
ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar pikiran dan dengan cara rahasia.
Inilah ilmu tersembunyi yang dimaksudkan oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti
keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal
(ma’rifat) akan Allah Ta’ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada
yang tak mengerti SELAIN dari
orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta’ala. Dari itu janganlah kamu
hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala ilmu tsb.
Karena Allah Ta’ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahi nya
ilmu tadi”.
Yang kedua: ilmu mua’amalah (perniagaan dengan agama), ialah
ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur,
takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenal nikmat Allah
Ta’ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan,
benar dan ikhlas. Maka mengetahui hakikat/makna hal keadaan ini, batas-batasnya
dan sebab-sebabnya yang diusahakan, hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah
dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah
termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu: takut miskin,
marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka
dipuji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabbur, ria,
marah, keras kepala, suka bermusuhan, amarah, loba, kikir, gembira tidak pada
tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan di tangannya, menghormati
orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba
secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran; suka campur soal yang
tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti,
berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan
diri sendiri, hilang perasaan gundah dan takut dari hati, sangat menekan
perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil
teman luar dari musuh dalam, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta’ala, pada
menarik apa saja dari pemberian Allah, bersandar kepada taat, murka, khianat,
tokoh menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia
dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi
bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang
belas kasihan. Inilah dan seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa),
menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarang. Lawannya
adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar taat dan pendekatan diri
kepada Allah Ta’ala. Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat/makna, sebab,
hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan frdhu ‘ain/wajib menurut fatwa
ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa
dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka
dari segala pekerjaan luar, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja
dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardhu
‘ain/wajib itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia. Sedang ini
bersandarkan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli
fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang
tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria’, maka ia akan terdiam,
sedangkan karena fardhu ‘ain/wajibnya, bila diabaikan akan mendatangkan
kebinasannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li’an, dhihar, berlomba
kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya di hadapanmu berjilid-jilid buku
dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, padahal sedikitpun
tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri,
dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu
senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan
mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu
menjawab: “Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama
dan fardhu kifayah”. Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada
fardhu kifayah, tentu didahulukannya fardhu ‘ain/wajib. Bahkan juga akan
didahulukannya banyak dari fardhu-fardhu kifayah yang lain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir
yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak
dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.
Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan
kedokteran. Maka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah
khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja
mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya
mengerjakan fardhu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan
mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai
sebab tertentu?
Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak
mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim,
menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa
menghantam lawan. Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan
tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta’ala tempat bermohon pertolongan.
Kepada Allah tempat berlindung, kiranya dilindungi Allah kita dari penipuan
ini, yang membawa kepada amarah Allah dan menertawakan setan.
Ahli wara’ dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama batin
dan yang mempunyai mata hati.
Imam Asy-Syafi’i ra pernah duduk dihadapan
Syaiban pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab, seraya
bertanya: “Bagaimana membuat itu dan itu?”. Maka dikatakan kepada Imam
Asy-Syafi’i: “Seperti engkau bertanya kepada badui ini?”. Maka menjawab Imam
Syafi’i: ”Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan”.
Imam Ahmad bin Hanbal ra dan Yahya bin
Mu’in selalu pergi menjumpai Ma’ruf Al-Kharkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak
adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya
menanyakan: “Bagaimana?”. Sedang Rasulullah saw pernah bersabda, ketika
ditanyakan: “Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan,
yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?”. Maka nabi saw menjawab:
“Tanyakanlah kepada orang-orang shalih dan selesaikanlah dengan jalan
bermusyawarah dengan mereka”. Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu
adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama batin adalah hiasan langit dan alam
malakut.
Berkata Al-Junaid ra: “Bertanya As-Sirr
guruku kepadaku pada suatu hari: “Apabila engkau berpindah daripadaku, maka
dengan siapa engkau bercakap-cakap?”. Lalu aku jawab: “Dengan Al-Muhasibi”.
Maka ia berkata: “Ya, betul ! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya !
Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam (berkata-kata) dan serahkan
itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama Mutakallim/ulama Yang Berkata)
!”. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan: “Kiranya Allah
menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan Allah engkau,
seorang sufi yang ahli hadits”.
Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang
yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf (mendekatkan diri hanya
ke pada allah), maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf
sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya. Kalau anda bertanya:
“Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam (berkata-kata) dan falsafah dalam
bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau
terpuji?”. Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam
(berkata-kata), ialah dalil-dalil yang bermanfaat. Maka Al-Qur’an dan hadits
itu melengkapi padanya. Yang diluar dari Al-Qur’an dan sunnah, maka adakalanya
pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid’ah (yang
diada-adakan), yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang
menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan
mengambil dengan kata-kata, yang kebanyakannya salah dan keliru, dipandang
buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan
sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan
tak dikenal pada masa pertama dari agama. Dan adalah turut campur padanya
dengan keseluruhan termasuk bid’ah (yang diada-adakan). Tetapi sekarang,
hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid’ah (yang diada-adakan) yang
menyeleweng dari kehendak Al-Qur’an dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan
yang mencampur-adukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata
yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa.
Bahkan telah menjadi sebagian dari fardhu kifayah. Yaitu kadar yang dihadapi
oleh pembuat bid’ah (yang diada-adakan), apabila bermaksud menyerukan orang
kepada bid’ah (yang diada-adakan). Dan yang demikian kepada batas yang
tertentu, akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, Insya Allah
Ta’ala.
Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang
berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari 4 bahagian:
Pertama ilmu ukur dan ilmu
berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan.
Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui
kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu
yang dua tadi, lalu keluar kepada bid’ah (yang diada-adakan). Dari itu orang
yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena ‘ain (diri)
keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke
dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam, daripada
bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti membahayakan
kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan
mereka.
Kedua ilmu mantiq/ilmu
logika yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas
dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam (berkata-kata).
ketiga ilmu ketuhanan.
Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta’ala dan sifat Allah. Ini termasuk juga
dalam ilmu kalam (berkata-kata). Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu
ketuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan
bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur
dan sebahagian lagi adalah bid’ah (yang diada-adakan). Sebagaimana aliran
Mu’tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi
penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama Mutakallim (ulama ilmu
kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan
madzhab-madzhab yang batil (aliran yg salah). Maka seperti itu pulalah
filosuf-filosuf.
Keempat ilmu alam.
Sebahagian daripadanya menyalahi syara’(agama) dan agama benar. Itu adalah
kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian
ilmu. Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang
bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya. Dan itu
menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada
tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu
alam itu memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari
segi ia berubah dan bergerak. Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari
ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para
ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya. Jadi, ilmu kalam (berkata-kata)
itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati
orang awwam, dari penghayalan ahli bid’ah (yang diada-adakan). Yang demikian
itu terjadi, dengan terjadinya bid’ah (yang diada-adakan), sebagaimana
datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan
adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau
orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal
itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji. Maka karena itulah, kalau tukang
bid’ah (yang diada-adakan) itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka
tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam (berkata-kata)
hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam
(berkata-kata) dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji.
Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk
dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam (berkata-kata) apabila tidak
melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak
menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka
tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada
ahli ilmu kalam (berkata-kata) itu agama, selain keyakinan yang bersekutu
padanya, orang kebanyakan yang lain.
Keyakinan itu termasuk dalam golongan amal
perbuatan luar dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam (berkata-kata)
dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan. Adapun
mengenal Allah Ta’ala, sifat dan Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah serta
sekalian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu yang diminta untuk mengetahuinya
saja, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam (berkata-kata). Malah hampir adalah
ilmu kalam (berkata-kata) itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya,
sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang
dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah (ilmu pengantar) bagi petunjuk, dengan
firman Allah: “Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki
mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik”.
S 29 ayat 69.
Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang
kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam (berkata-kata), kepada menjaga
‘keyakinan orang awwam dari gangguan pembuat bid’ah (yang diada-adakan)
sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama’ah hajji dari
gangguan orang Arab dan berulang kali aku mengatakan akan batas tugas ahli
fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah
penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain. Ini dua tingkat
yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama umat yang
terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam
(berkata-kata). Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta’ala. Maka
bagaimanakah menurunnya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan
menyandarkan kepada ilmu agama? Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran
dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu
kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenal ahli kebenaran itu, kalau
engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau adakan dengan taqlid
(turut/menurut) dan melihat kepada yang termahsyur dari tingkat-tingkat
keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat nabi
saw dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku
bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam
(berkata-kata), atas terkemuka nya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak
terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak
mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam (berkata-kata) dan
fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya.
Tidaklah Abu Bakar ra melebihi manusia lain
lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata.
Tetapi kelebihannya adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana
diakui oleh nabi saw sendiri. Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari
rahasia itu ! Itulah jauhar (benda/barang) yang bernilai dan mutiara yang
tersimpan rapi. Tinggalkanlah akan apa yang bersesuaian engkau dengan
kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya.
Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.
Rasulullah saw telah berpulang dengan
meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra semuanya ulama billah. Mereka dipuji
oleh Rasulullah saw. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik
tentang ilmu kalam (berkata-kata). Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru
fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah: Ibnu Umar ra.
Apabila Ibnu Umar ra dimintakan fatwanya,
lalu ia menjawab kepada peminta itu: “Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung
jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya”. Kata-kata itu
menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan
hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan. Ketika Umar
ra wafat, maka berkata Ibnu Mas’ud: “Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10)
ilmu”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapakah anda berkata demikian,
padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?”. Ibnu Mas’ud menjawab:
“Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu
tentang Allah Ta’ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas’ud itu ilmu
kalam (berkata-kata) dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak
berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh dari
padanya, dengan wafatnya Umar ra? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu kalam
(berkata-kata) dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin ‘Isl dengan cemeti,
tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat
dalam Kitabullah (Al-Qur’an) dan membekotinya serta menyuruh orang banyak
membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).
Adapun kata anda bahwa yang termahsyur dari
ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam (berkata-kata), maka
ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah
satu hal. Dan kemahsyuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang
lain. Sesungguhnya kemahsyuran Abu Bakar ra adalah karena dia khalifah. Sedang
kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr/rahasia yang mulia dalam
hatinya. Kemahsyuran Umar ra adalah disebabkan politik. Dan kelebihannya adalah
disebabkan ilmu mengenal Allah, yang mati sembilan persepuluh daripadanya,
dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala dalam pemerintahan, keadilan dan kasih sayangnya kepada makhluk Allah.
Dan itu adalah keadaan dalam dalam rahasia dalam dirinya.
Adapun segala perbuatan lahiriahnya yang
lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan
gemar pada kemahsyuran itu. Maka adalah kemahsyuran itu, pada yang
membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dapat dilihat
oleh seorang manusiapun. Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam
(berkata-kata), adalah seperti khalifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu
terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan ilmunya,
fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah nabi. Dan ia tidak mencari yang demikian
itu, keriaan dan kemahsyuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah.
Dan kelebihan mereka pada sisi Allah, karena telah berbuat sepanjang ilmu
mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan
pandangannya. Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang
diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu.
Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan
dirinya kepada Allah Ta’ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas
ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena
Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk
Allah. maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari
segi pertanggung jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia
mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
dengan ilmunya.
Bahagian-bahagian
yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala itu, tiga:
- ilmu semata-mata, yaitu ilmu yang diminta untuk
mengetahuinya saja.
- Amal semata-mata, yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja
dan perhatiannya akan kepentingan rakyat.
- Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu: ilmu jalan
akhirat. Yang punya ilmu tersebut, adalah sebagian dari ulama dan orang-orang
beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri ! Adakah engkau pada hari
qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah
atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan
itu ! Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk
semata-mata kemahsyuran, seperti kata orang:
“Ambillah apa yang engkau lihat,
tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit,
engkau memerlukan bintang Zuhal”.
Akan kami nukilkan dari riwayat hidup
ulama-ulama fiqih terdahulu, dimana anda akan mengetahui nanti, bahwa
orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka.
Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-ulama itu pada hari qiamat. Para ulama
yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta’ala.
Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama
akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat.
Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan
memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. bahkan mereka telah
dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para
shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah
ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa. Yang memalingkan dan yang
mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan disini. Sekarang akan
kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa
yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada
orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut mazhab mereka.
Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih
itu. Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan umat,
yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah 5, yaitu:
-Asy-Syafi’i,
-Malik,
-Ahmad bin Hanbal,
-Abu Hanifah dan
-Sufyan Ats-Tsuri.
Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian.
Masing-masing mereka adalah ’abid (kuat beribadah), zahid (tidak
terpengaruh oleh dunia), ‘alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan
kepentingan umat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah
Ta’ala. Ini 5 perkara, dimana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari
keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu: memberi tenaga dan bersangatan
membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang 4 perkara itu, tidaklah layak
melainkan untuk akhirat. Dan satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat.
Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikitlah kepentingannya untuk
dunia. Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa
dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi!
Marilah sekarang
kami bentangkan hal ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada 4 perkara tadi.
Karena pengetahuan mereka tentang fiqih itu, terang. Adapun Imam Asy Syafi’i ra
maka yang menunjukkan ia seorang abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia
membagi malam, 3 bahagian: 1/3 untuk ilmu, 1/3 untuk ibadah dan 1/3 lagi untuk tidur.
Berkata Ar Rabi’: “Adalah Imam Asy Syafi’i ra mengkhatamkan (menamatkan bacaan)
Al Quran dalam bulan Ramadhan, 60 X. Semuanya itu dalam sholat.
Sedangkan Al
Buaithi, salah seorang temannya itu mengkhatam kan Al Qur'an dalam bulan
Ramadhan dalam setiap hari". Berkata Al Hasan Al Karabisi: “Aku bermalam
bersama Imam Asy Syafi’i bukan satu malam. Dia melakukan sholat hampir 1/3
malam. Tidak aku lihat dia melebihkan
dari 50 ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai 100 ayat. Apabila ia membaca
ayat rahmat lalu berdo’a kepada Allah Ta’ala untuk dirinya sendiri dan untuk
sekalian kaum muslimin dan mukminin. Dan apabila ia membaca ayat azab, lalu
memohonkan perlindungan dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang
mukmin. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut. Lihatlah
betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan
mendalam pemahaman nya akan rahasia yang terkandung didalam Al quran.
Imam Asy
Syafi’i ra pernah berkata: “Aku tidak
pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh,
mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang
yang kenyang itu dari beribadah”. Maka lihatlah kepada ilmunya pada menyebutkan
bahaya-bahaya kekenyangan ! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena
ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu ialah
menyedikitkan makan.
Berkata imam Asy
Syafi’i ra lagi: “Tidak pernah aku bersumpah dengan
nama Allah baik dalam hal yang benar apalagi bohong”. Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah
Ta’ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah
swt !. Ditanyakan Imam Asy Syafi’i ra tentang suatu masalah, maka ia diam.
Ketika ditanyakan lagi”. Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati
tuan”. Maka beliau menjawab: “Aku berfikir, sehingga aku mengetahui, mana yang
lebih baik, pada diamku atau jawabku”. Lihatlah betapa diawasinya lidahnya,
sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulam fiqih dan
paling payah mengekang dan menundukkan nya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak
berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmat bin
Yahya bin Al Wazir: “Pada suatu hari keluarlah Imam Asy Syafi’i ra pergi
kepasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang
membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy Syafi’i menoleh kepada kami seraya
berkata: “Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu
membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah
sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang
sangat buruk didalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya kedalam wadahmu.
Kalau ditolak perkataaan orang yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah
yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya”.
Berkata Imam Asy
Syafi’i ra: “Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isi
nya yaitu: ”Engkau telah mendapatkan ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmu
mu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada
hari dimana ahli ilmu berkerja dengan nur ilmunya”. Adapun zuhudnya maka
berkata Imam Asy Syafi’i ra: “Barang siapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan
antara cinta kepada dunia dan cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya, maka dia itu
bohong".
Berkata AL Humaidi:
"Imam Asy Syafi’i ra pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar
negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa uang 10.000 dirham. Di luar
kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia
berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis
dibagi‑bagikannya".
Pada suatu kali,
Imam Asy Syafi’i ra keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya uang yang
banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari
tangannya, lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima
kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy‑Syafi’i ra memberikan uang 50 dinar.
Kemurahan hati Imam Asy Syafi’i ra adalah lebih terkenal dari apa yang
diceritera kan.
Pangkal zuhud
ialah, kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan
memegangnya erat‑erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau
berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya.
Dan itulah arti zuhud. Betapa kuat
zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya
dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya
Sufyan bin Uyainah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus-halus,
lalu pingsanlah Asy Syafi’i ra. Maka orang mengatakan kepadanya: Imam Asy‑Syafi'i
telah wafat. Lalu Sufyan menjawab: "Jika benarlah ia telah wafat maka
telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya".
Dan apa yang
diriwayatkan Abdullah bin Muhammad AI‑Balawi dengan katanya: "Adalah aku
& Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang jahid.
Maka berkata Umar kepadaku: "Belum pernah aku melihat orang yang lebih
wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) dan lancar berbicara dari
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i ra.
Aku, Imam Asy
Syafi’i dan AL Harits bin Lubaid pergi ke bukit Shafa. AL Harits adalah murid
Ash‑Shalih AI‑Marri Ia memulai membaca AI‑Qur‑an. Adalah dia mempunyai suara
merdu, Ialu membaca ayat ini:”Inilah hari
yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.
Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan
keberatan (pembelaan)” S 77 ayat 35‑36. Maka aku lihat Imam Asy Syafi’i ra
berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya, badannya gemetar lalu jatuh
tersungkur. Ketika ia sadar kembali, maka ia berkata: "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari
tempat berdirinya orang‑orang dusta dan penyelewengan orang‑orang lengah. Ya
Allah, kepadaMU jua tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenal,
Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang‑orang yang rindu kepada
Engkau ! Tuhanku ! Anugerahilah kepadaku
limpah karuniaMu ! Muliakanlah aku dengan lindunganMu ! Maafkanlah keteledoranku
dengan kemurahanMu !.
Abdullah bin
Muhammad AI‑Balawi menerangkan: "Kemudian ia pergi & kamipun pergi.
Tatkala aku masuk Bagdad & Asy Syafi’i ra masih di Irak. Maka aku duduk
ditepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat. Tiba‑tiba lewat disampingku
seorang laki‑laki, seraya berkata kepadaku: "Ya, saudara! Berwudlulah dengan
baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu didunia dan diakhirat. Lalu
aku menoleh, maka tiba‑tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai.
Maka bergegas‑gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia
memandang kepadaku seraya bertanya: "Adakah bagimu keperluan”. "Ada
!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi
Allah kepadamu !.
- Maka ia menjawab: "Ketahuilah ! Orang yang membenarkan Allah, niscaya
terlepas dari bahaya. Orang yg sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari
kehinaan. Orang yg zuhud pada dunia, niscaya tetaplah 2 matanya memandang
pahala dari pada Allah Ta’ala pada hari esok.
- Apakah aku tambahkan lagi”. "Ya !
", jawabku. Lalu ia menyambung: "Orang yg ada padanya 3perkara, maka
sempurnalah imannya: orang yg menegakkan amar ma'ruf
terhadap, orang lain & terhadap dirinya, orang yg menjalankan nahi mungkar
terhadap orang lain & terhadap dirinya & orang yg menjaga batas‑ batas
yg ditentukan Allah Ta’ala.
- Apakah aku tambahkan lagi?" "Ya
!", jawabku. Maka ia menyambung: "Hendaklah
kamu zuhud di dunia & gemar ke akhirat. Dan benarkanlah akan Allah Ta’ala
dalam segala pekerjaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang‑orang, yang
terlepas dari segala mara bahaya".
Kemudian ia pergi lalu aku
tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak "Itulah Imam Asy‑Syafi’i”. Lihatlah Imam Asy‑Syafi'i ra jatuh
tersungkur, kemudian perhatikanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan
yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah
Ta’ala. Ketakutan dan kezuhudan, ini tidak datang selain karena mengenal Allah
Maha Mulia & Maha Besar. Allah berfirman:"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah
ulama/orang berilmu " (S 35 ayat 28).
Maka Imam Asy Syafi’i ra tidaklah memperoleh
ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual‑beli dan sewa‑menyewa dan
lain‑lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber
dari AI‑Qur‑an dan Hadits. Karena hukum dari orang-orang terdahulu dan yang
kemudian, tersimpan pada keduanya. Adapun tentang ke alimannya, mengetahui
segala rahasia hati dan ilmu‑ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari
kata‑kata ilmu yang berasal daripadanya. Menurut riwayat, pernah orang bertanya
kepada Imam Asy Syafi'i ra tentang ria, maka
ia menjawab dengan tegas: "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh
hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama‑ulama. Lalu mereka
melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala
amalannya". Berkata Imam Asy‑syafi’i ra: "Apabila
engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan
yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang
engkau takuti, pada sehat yang engkau
syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu
dari perkara‑perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".
Lihatlah bagaimana Imam Asy‑Syafi'i
ra menerangkan hakikat/makna ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah
bahaya besar bagi hati. Berkata Imam Asy‑Syafi'i ra: "Barangsiapa tiada
menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya". Katanya lagi: “Barangsiapa
ta’at kepada Allah Ta’ala, dengan ilmu, maka bermanfaatlah
bathinnya/hatinya". Katanya lagi: “Tiada seorangpun melainkan mempunyai
yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah
engkau bersama golongan orang yang taat kepada Allah Ta'ala".
Diceritakan bahwa
Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara’(memelihara diri dari
dosa dan harta diragukan). Dan ia bertanya kepada Imam Asy‑Syafi'i ra tentang
masalah wara' itu. Dan Imam Asy‑Syafi'i amat suka menerima kedatangannya
karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia kepada Imam Asy‑Syafii ra
"Manakah yang lebih utama: “Sabar atau diuji atau diberi keteguhan
hati?". Maka menjawab Imam Asy‑Syafi’i ra: "Diberi keteguhan hati
adalah derajat Nabi‑Nabi”. Dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah
diuji. Apabila, diuji maka bersabar. Apabila sudah bersabar maka teguhlah
hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta’ala menguji Nabi Ibrahim as,
kemudian Ia memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as, kemudian Ia
memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as, kemudian Ia memberikan
nya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman as, kemudian la memberikannya
ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan. Maka ketetapan hati itu adalah
derajat yang paling utama.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusuf di muka bumi” (S 12 ayat
21). Nabi Ayub as sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan
hati. Berfirman Allah Ta’ala: "Kami
berikan kepadanya keluarganya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula" S
21 ayat 84. Kata‑kata tersebut dari Imam Asy Syafi’i ra menunjukkan betapa
melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam AI‑Qur‑an dan penglihatannya
tentang kedudukan orang‑orang yang menuju kepada Allah Ta’ala, baik Nabi‑Nabi
atau Wali‑Wali. Semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam
Asy‑Syafi'i ra: "Bilakah seorang itu dipandang 'alim? la menjawab:
"Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. kemudian ia
menempuh ilmu‑ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum diperolehnya.
Ketika itu, barulah dia seorang alim”.
Pernah ditanyakan
orang kepada Jalinus: “Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam‑macam obat
untuk satu penyakit". Menjawab Jalinus: "Yang dimaksudkan dari obat‑obat
itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap
ketajamannya, karena kalau masing‑masing sendirian nya itu membunuh. Contoh
tadi dan lain‑lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan ketinggian
derajat Imam Asy Syafi’i tentang mengenal Allah Ta’ala dan ilmu akhirat.
Adapun maksudnya
dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata‑mata wajah Allah
Ta’ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy Syafi’i
ra pernah berkata: "Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan
ilmu-llmu lain yang ada padaku, meskipun sedikit". Maka Lihatlah betapa
Imam Asy Syafi’i ra memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya.
Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata‑mata
niatnya adalah karena wajah Allah Ta’ala.
Asy Syafi’i ra
berkata: "Tidaklah sekali‑kali aku bertukar pikiran dengan seseorang,
dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah". Katanya lagi: "Tidaklah
sekali‑kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai supaya dia
mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta’ala
serta pemeliharaan. Dan tidaklah sekali‑kali aku berbicara dengan seseorang,
selain perhatianku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau
lidahnya"
Berkata lagi Imam
Asy Syafi’i ra: "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada
seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku
percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan
aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari
pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia". Inilah tanda‑tanda,
yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta’ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan
(munadlarah) itu. Maka Lihatlah betapa Imam Asy Syafi’i ra dituruti orang dari
jumlah perkara yang 5 itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula
orang‑orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi dan karena inilah berkata
Abu Tsau ra: "Tak pernah aku dan orang-orang lain melihat seperti Imam
Asy Syafi’i ra".
Berkata Imam Ahmad
bin Hanbal ra: “Tak pernah aku melakukan shalat selain 40 tahun, yang tidak aku
berdo'a kepada Imam Asy Syafi’i ra". Lihatlah betapa adanya keinsyafan
dari orang yang mendo'a & betapa pula derajat orang yg dido'akan. Cobalah
bandingkan dengan Imam Asy Syafi’i ra akan teman‑ teman & tokoh‑tokoh ulama
pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yg merupakan pendendaman
& permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti
ulama‑ulama besar itu.
Karena banyaknya
do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy Syafi’i ra lalu bertanyalah anaknya:
"Orang mana Asy Syafi’i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".
Maka menjawab Ahmad bin Hanbal: "Hai anakku ! Imam Asy Syafi’i itu adalah
seumpama matahari bagi dunia & kesehatan bagi manusia". Lihatlah,
adakah bagi 2 perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?
Imam Ahmad pernah
berkata: “Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan
ada jasa Imam Asy Syafi’i padanya". Berkata Yahya bin Said AL Qattan:
"Tidak pernah aku bershalat selama 40 tahun, yang tidak aku berdo'a di
dalamnya kepada Imam Asy‑Syafi’i. Karena Allah Maha Mulia & Maha Besar
telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".
Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal‑ikhwal Imam Asy Syafi’i itu, karena
banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy
Syafi’i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin
Ibrahim AI‑Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy Syafi’i dan seluruh
kaum muslim !.
Adapun Imam Malik ra maka beliaupun berpakaian
dengan yang 5 perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut
ilmu: "Apakah yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu
menjawab Imam Malik ra: "Bagus, baik ! Tetapi perhatikanlah apa yang harus
engkau kerjakan dari pagi sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu !
". Imam Malik ra sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia
bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk
dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau‑bauan serta,
duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu".
Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab:
"Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw"
Berkata Imam Malik
ra: “Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah
ilmu itu dengan banyak cerita”. Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam
Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian ilmu pengetahuannya tentang kebesaran
Allah Ta’ala. Tentang tujuan Imam Malik ra dengan ilmunya itu akan wajah Allah
Ta’ala, dibuktikan oleh ucapannya: "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya
sama sekali". Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy Syafi’i ra:
"Saya melihat Imam Malik ra ketika dimajukan kepadanya 48 masalah, maka ia
menjawab mengenai 32 dari masalah‑masalah itu. Saya tidak tahu". Orang
yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta’ala, tentu tidak bersedia
mengaku tidak tahu.
Dari itu, berkata
Imam Asy‑Syafi’i ra: "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah
bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya
kepadaku, dari Imam Malik". Menurut riwayat, Khalifah Abu Jafar AI‑Mansur
melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang
dipaksakan. Kemudian Abu Jafar mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam
Malik. Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum
hadits Nabi saw yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang dipaksakan.
Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus
meriwayatkan hadits itu. Imam Malik ra berkata: "Tiadalah seseorang yang
benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya
mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pikiran‑pikiran khurafat
(tahayul) pada hari tuanya".
Tentang zuhudnya
Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah AI‑Mahdi
bertanya kepada Imam Malik: "Adakah tuan mempunyai rumah ?”. "Tidak
ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah
mendengar Rabiah bin Abi Abdir Rahman berkata: “Bangsa seseorang ditunjukkan
oleh rumahnya". Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik:
"Adakah tuan mempunyai rumah?". "Tidak ada", jawabnya.
"Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang 3000 dinar kepada Imam Malik,
seraya mengatakan: "Belilah rumah dengan uang ini ! ". Imam Malik
mengambil uang itu, tetapi tidak dibelinya rumah. Ketika Harunur Rasyid ingin
bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra: "Seyogialah
tuan pergi bersama kami. Aku bercita‑cita membawa perhatian manusia kepada
kitab "AI‑Muaththa" (nama kitab yang dikarang Imam Malik),
sebagaimana khalifah Utsman ra membawa perhatian manusia kepada AI‑Qur‑an.
Menjawab Imam Malik: "Adapun membawa manusia kepada Kitab AI‑Muaththa',
maka tiada jalan kepadanya. Karena para shahabat Rasulullah saw sudah bersebar
kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada
tiap‑tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi saw pernah mengatakan "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah
suatu rahmat".
Adapun keluar
bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya. Nabi saw pernah bersabda: “Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau
mereka mengetahuinya”. Dan lagi Nabi saw bersabda:"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan
kotoran besi". Inilah dinarmu, seperti adanya ! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah
! Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah ! Yakni sekiranya engkau
memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau
berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah
Rasulullah saw". Begitulah zuhudnya Imam Malik ra pada dunia ! Sewaktu
dibawa kepada nya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk
perkembangan ilmunya dan teman‑ temannya, maka dibagi-bagikannya uang itu pada
jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit
cintanya kepada dunia. Zuhud sebetulnya bukan
ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu.
Nabi Sulaiman pun salah
seorang yang, zuhud dalam pemerintahannya. Dibuktikan betapa hina pandangan
Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy‑Syafi'i, bahwa Imam
Asy Syafi'i menerangkan: "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam
Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat
kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepadanya: "Alangkah cantiknya
kuda ini !". Maka beliau menjawab: "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai
ayah Abdullah !". Maka aku menjawab: "Biarlah kuda ini untuk tuan
hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri". Menyambung Imam
Malik: "Aku malu, kepada Allah Ta’ala, memijakkan tanah dengan kuku kuda,
di mana, di dalamnya dikuburkan Nabi Allah saw". Lihatlah betapa kemurahan
hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa
penghormatannya kepada tanah Madinah !.
Dibuktikan kepada
kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta’ala dan tentang hina
pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik
pernah berkata: "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah
Harunur Rasyid kepadaku: "Wahai Ayah Abdullah ! Sayogialah tuan selalu
datang kepada kami, sehingga anak‑anak kita mendengar kitab AI‑Muaththa'
langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata: "Lalu jawabku:
"Kiranya Allah menambahkan kemuliaan Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu
itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka
mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi".
Maka menyambung Harunur Rasyid: "Benar tuan ! Keluarlah ke masjid supaya
tuan mendengar bersama manusia ramai".
Adapun Imam Abu Hanifah
ra juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah, amat takut kepada Allah
dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya. Adapun dia itu 'abid, maka dapat
diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan: "Imam Abu
Hanifah ra adalah seorang yang berperikemanusia -an dan banyak mengerjakan
shalat". Menurut ceritera Hammad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah
menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah. Menurut riwayat yang lain, ia
menghidupkan setengah malam dengan ibadah. Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah
lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan
kaki, dengan mengatakan kepada orang lain: “Itulah dia, orang yang
menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah". Maka senantiasalah sesudah
itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah dan mengatakan: "Aku
malu kepada Allah swt disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya,
diriwayatkan dari Ar‑Rabi bin 'Ashin, yang mengatakan: "Aku diutus oleh
Yazid bin Umar bin Hubairah. Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau
mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baital‑mal". Ia menolak lalu
dipukul 20 kali". Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia
menanggung 'azab sengsara.
Berkata AI‑Hakam
bin Hisyam At‑Tsaqafi: "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam,
suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia
pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci
gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih
siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala'.
Diriwayatkan bahwa
Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab:
"Adakah kamu sebutkan seorang laki‑laki, yang diberikan kepadanya dunia
dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syuja', berasal dari setengah shahabat Abu
Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah: "Amirul‑mu'minin
Abu Jafar Al‑Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uang
sebanyak 10.000 dirham". Muhammad bin Syujja mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia
menerima pemberian tersebut. Muhammad bin
Syujja mengatakan: "Ketika sampai
pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia
mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkata-kata
sepatah katapun". Maka datanglah utusan AL Hasan bin Quhthubah membawa
uang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan
dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadir: "Beliau itu tidak berbicara
dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah. Artinya, itulah kebiasaan
beliau".
Kemudian, maka
berkatalah Imam Abu Hanifah: "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan
bawalah ke sudut rumah ! ". Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah
meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada
anaknya: "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka
ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada AL Hasan bin
Quhthubah dan katakanlah kepadanya: "Ambillah barang simpanan engkau yang
engkau simpan pada Abu Hanifah !". Berkata anak Abu Hanifah: "Maka
aku laksanakan wasiat itu". Lalu berkata AL Hasan: "Rahmat Allah
kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun
mengulur tentang agamanya”.
Diriwayatkan, bahwa
Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia
menjawab: "Aku tidak layak untuk jabatan itu ! ". Lalu orang bertanya
kepadanya: "Mengapa ?”. Abu Hanifah menjawab: "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku
bohong, maka pembohong tak layak menjadi
hakim/kadli ! ".
Adapun
ilmunya`dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya
tentang Allah Maha Mulia & Maha Besar
maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta’ala dan zuhudnya
terhadap dunia. Berkata lbnu Juraij: "Telah sampai kepadaku tentang orang
negeri Kufahmu yakni Numan bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang
sangat takut kepada Allah Ta'ala". Berkata Syuraik An‑Nakha'i:
"Adalah Abu Hanifah seorang pendiam, selalu berpikir dan sedikit
berbicara dengan manusia". Inilah diantara tanda‑tanda yang tegas, dari
ilmu batin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa
bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.
Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal
ra & Sufyan Ats‑Tsuri ra maka pengikut keduanya adalah kurang, bila
dibandingkan dengan pengikut imam yg 3 itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang
bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran 2 imam ini,
dengan wara' & zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh
dengan ceritera‑ceritera mengenai perbuatan & perkataan keduanya. Dari itu
tidak perlu lagi diperinci sekarang. Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan
hidup imam 3 itu. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan
& perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia & menumpahkan
seluruh perhatian kepada Allah Ta’ala, adakah dihasilkan oleh semata‑mata pengetahuan
dengan cabang‑cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli, menyewa, dhihar (mencela istri), ila' (mengantung masa idah) dan Lian
(menuduh berselingkuh) atau
dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari
ilmu fiqih itu? Dan, lihatlah kepada
mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam‑imam itu, apakah mereka benar
pada pendakwaannya atau tidak?
BAB KETIGA:
Ilmu yang dianggap
oleh orang awam, terpuji & sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang
menyebabkan sebahagian ilmu itu menjadi tercela & Penjelasan Penggantian
nama‑nama ilmu, yaitu: Fiqih, Ilmu, Keesaan, Tadzkir & Hikmah &
penjelasan batas terpuji & batas tercela dari ilmu‑ilmu agama
PENJELASAN SEBAB TERCELANYA ILMU YANG TERCELA
Mudah‑mudahan anda mengatakan bahwa ilmu
ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah
satu daripada sifat Allah Ta’ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu
dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang
tercela? Ketahuilah kiranya, bahwa
ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah
pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab.
Sebab Pertama: Adalah ilmu itu
membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri
atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera‑mantera Itu
memang sebenarnya, karena ; diakui oleh AI‑Qur‑an yang demikian. Dan ilmu itu
menjadi sebab yang membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah
saw telah pernah disihir orang dan sampai sakit karenanya. Maka malaikat Jibril
as datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw dan mengambil benda sihir
itu dari bawah batu pada dasar sumur. Sihir itu adalah semacam keadaan, yang
diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda ‑ benda, disertai dengan hitungan
tentang terbit bintang‑bintang. Dari benda‑benda itu diperbuat suatu boneka
menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu waktu tertentu dari
terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari
kufur dan keji yang menyalahi agama dan dengan kalimat‑kalimat itu, sampai
kepada meminta tolong kepada setan‑setan. Dari keseluruhan itu, dengan hukum
kehendak Allah Ta’ala di luar kebiasaan, terjadilah hal‑hal yang luar biasa
pada diri orang yang disihirkan. Dan mengetahui sebab‑sebab tersebut dari segi
dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa kebaikan,
selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk Tuhan. Jalan kepada
kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebabnya, ilmu sihir itu menjadi ilmu
yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya,
di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang
terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh
memberitahukannya tetapi wajib berdusta. Menerangkan tempat persembunyian aulia
itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang
sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa, kepada kemelaratan.
Sebab Kedua: Bahwa ilmu itu
menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri,
seperti ilmu nujum. Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi
2:
1.Bahagian hisab. AI‑Qur‑an sudah
menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab. Berfirman
Allah Ta’ala: “Matahari dan bulan itu
beredar menurut hisab (perhitungan)”. S 55 ayat 5. Dan firman Allah Ta’ala: "Kami tentukan bulan itu beberapa
tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah tua". S
36 ayat 39.
2. Hukum‑hukum dan hasilnya
kembali kepada membuat dalil atas segala kejadian dengan sebab‑musababnya.
Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung
kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya
sunnah Allah dan adat kebiasaan Allah pada makhluk Allah. Tetapi ilmu tadi
dicela agama.
Bersabda Nabi saw: “Apabila disebut taqdir, maka peganglah ! Apabila disebut bintang maka
peganglah ! Dan apabila disebut sahahabatku, maka peganglah ! ". Dan
bersabda Nabi saw: "Aku takut atas
ummatku sesudahku tiga perkara: kedhaliman imam‑imam, percaya kepada bintang‑bintang
dan pendustaan kepada taqdir". Berkata Umar bin Al‑Khaththab
ra: "Pelajarilah dari bintang‑bintang
itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan di laut, kemudian
berpeganglah kepada pengetahuan itu ! ".
Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga:
1: Bahwa ilmu itu
memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada
mereka bahwa hal‑hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang‑bintang, lalu
tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang‑bintang itu dapat memberi
bekas. Dan bahwa bintang‑bintang itu tuhan‑tuhan pengatur, karena dia itu dzat
mulia di langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, Ialu kekallah hati menoleh
kepadanya. Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau
diharap dari pihak bintang‑bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan
kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah Iman nya
menunjukkan pandangannya kepada perantara‑perantara. Seorang
berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti
perintah Allah Ta’ala. Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya
matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan
dia berada di atas secarik kertas, Ialu memandang kepada kehitaman tulisan yang
terus membaru, maka dia beritikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat
pandangannya kepada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada
tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari
tangan kepada penulis itu sendiri yg bertenaga & berkemauan. Kemudian dari
penulis itu kepada Yg Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan. Kebanyakan
pandangan manusia terbatas pada sebab‑sebab, yang dekat, yang di bawah,
terputus dari peningkatan kepada yang menyebabkan sebab‑sebab itu. Inilah
salah satu sebab pelarangan ilmu nujum.
2. Bahwa keputusan‑keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan
semata‑mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin
atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan
kebodohan. Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nujum
itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan. Adalah yang demikian itu suatu
' mujizat bagi Nabi Idris as menurut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah
lenyap, tersapu dan terhapus. Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum
itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang‑kadang
muncul di atas sebagian sebab‑sebab. Dan tidak terjadi akibat di belakang
sebab‑sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak syarat‑syarat, yang tidak
sanggup tenaga manusia mengetahui hakikat/maknanya. Jika sesuai bahwa Allah
Ta’ala mentakdirkan sebab‑sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar.
Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, maka salahlah dia. Yang demikian itu,
adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala
dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung‑gunung. Lalu keraslah dugaannya,
bahwa hujan akan turun. Dan kadang‑kadang siang akan panas dengan matahari dan
mendung itu hilang. Kadang‑kadang terjadi sebaliknya. Semata‑mata mendung belum
'cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak
diketahui. Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang
kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu
mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia
betul pada terkaannya & lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah,
dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.
3. Bahwa tak ada ' faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang‑kurang
keadaan nya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia‑sia, yang tak perlu
dan membuang‑buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak
berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan. Rasulullah saw lalu
dekat seorang laki‑laki & orang banyak berkumpul padanya. Maka bertanya
Nabi saw: "Siapa orang ini?". Menjawab orang banyak: "Orang yang
amat 'alim". 'Tentang apa?", tanya Nabi saw: “Tentang syair &
keturunan orang‑orang Arab”, sahut mereka. Maka sahut Nabi saw: “Ilmu yang tak
bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat". Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang
tegak atau fardlu yang adil ". Jadi,
turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah
menghadang bahaya & terperosok ke dalam ke bodohan, yang tak ada gunanya.
Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah
tidak mungkin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan
dalil‑dalil nya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu
mentabirkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi
adalah sebahagian dari 46 bahagian dari kenabian & tak ada bahaya padanya
Sebab Ketiga: Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi
faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela
terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus‑halus sebelum yang
kasar‑kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum Ilmu yang terang dan
seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTuhanan
(al‑asroril‑ilahiyah). Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam
(berkata-kata) telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri
sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan rahasia
ketuhanan dan mengetahui jalan‑jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi‑Nabi
dan aulia-aulia. Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang rahasia
ketuhanan dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh agama. Yang
demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq. Berapa banyak orang
yang terjun kedalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau
tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah haInya lebih
baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya. Dan tak dapat
dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia,
seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kue yang enak rasanya,
kepada bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya
kebodohan dalam beberapa hal.
Menurut ceritera, bahwa sebahagian orang
mengadukan haInya kepada seorang tabib akan kemandulan isterinya. Wanita itu
tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut urat nadi. Lalu berkata: “Tak
ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai 40
hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian". Maka gemetarlah
wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya.
Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia
tidak makan dan tidak minum, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak
mati. Maka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya
tidak mati. Maka menjawab tabib: "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang
bersetubuhlah !. Ia akan beranak". “Mengapa begitu?", tanya si suami.
Menjawab tabib: "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut
rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada
mati. Maka aku takutkan dia dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah
halangan dari beranak".
Maka ini memberitahukan engkau kepada
merasakan bahaya sebahagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau
pengertian, sabda Nabi saw: “Kita
berlindung dengan Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat”. Maka
ambillah ibarat dengan ceritera ini Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik
dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang daripadanya ! Dan haruslah mengikuti
para shahabat Nabi saw dan berpeganglah kepada Sunnah ! Keselamatan adalah
dengan mengikuti jejak Nabi. Dan ’’bahaya adalah dalam membahas beberapa
perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu. Janganlah diperbanyak membanggakan
diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan
keterangan sendiri dengan mendakwakan: "Bahwa aku mengadakan pembahasan
tentang hal‑hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".
Manapun kemelaratan yang timbul dalam
pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu
adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menimbulkan
kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau
tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya. Ketahuilah ! Sebagaimana seorang
tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, dimana menjauhkan diri
daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib
hati dan para ulama, yang tahu sebab‑sebab hidup keakhiratan. Dari itu,
janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunah mereka, dengan akal pikiranmu,
maka kamu akan binasa ! Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada
anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memijit anak jari
itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan
itu dipijit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya,
karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara
perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang
halus‑halus dari sunnah agama dan adab‑adabnya.
Dan mengenai keyakinannya yang menjadi
ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus‑halus, yang tak sanggup
keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat
batu‑batu ada hal‑hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana.
Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik
besi biasa. Maka keheranan dan keganjilan pada keyakinan dan amal, dan menggunakannya
untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati
(jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta’ala dan membawanya bagi
anugerah kemurahan Allah, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang
pada obat-obat dan jamu‑jamu.
Sebagaimana tak sampai akal manusia,
mengetahui kegunaan obat‑obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka
akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang bermanfaat pada hidup
akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan
berjalan keakhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa orang yang telah
mati. Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang
bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala di sisiNya dan dari amal yang
menjauhkan daripadaNya.
Begitu pula, mengenai keyakinan. Dan yang
demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya
bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda, kepada membenarkan
Nabi saw dan memahamkan anda segala sumber isyaratnya. Kemudian, singkirkanlah
akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan
selamat dengan jalan itu. Dari itu Nabi saw bersabda:"Bahwa sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari
perkataan itu tidak menjelaskan". Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu
tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada
mendatangkan kemelaratan. Maka Nabi saw bersabda pula: "Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak
ilmu"
Nabi Isa as pernah berkata:”Alangkah banyaknya pohon kayu dan tidaklah
semuanya berbuah. Alangkah banyaknya buah‑buahan dan tidaklah semua nya baik
dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya berguna".
Penjelasan: Apa yang digantikan dari kata-kata ilmu
Ketahuilah ! Bahwa sumber yg menimbulkan keserupaan ilmu yg
tercela dengan ilmu agama ialah penyelewengan nama‑nama yang terpuji,
penggantian nya dan pemindahannya, dengan maksud-maksud yang merusakkan kepada
pengertian‑pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang‑orang shaleh terdahulu
dan abad pertama.Yaitu lima perkataan:
fiqih, ilmu, keesaan, tadzkir dan hikmah. Inilah nama‑nama yang terpuji.
Orang‑orang yang bersifat dengan nama‑nama tadi, adalah orang‑orang yang
berkedudukan tinggi dalam agama. Tetapi sekarang nama‑nama itu sudah dialihkan
kepada pengertian‑pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan
orang‑orang yang bersifat dengan pengertian‑pengertian itu, karena terkenalnya
pemakaian nama‑nama itu kepada mereka.
Perkataan
Pertama: F1Q1H.
Telah diselewengkan pemakaiannya secara
tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah
menentukannya, pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan cabang agama yang ganjil
mengenai fatwa, mengetahui sebab‑sebab yang mendalam dari fatwa itu,
memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata‑kata yang berhubungan dengan
fatwa itu. Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepadanya,
disebut "al‑afqah” (yang terahli
dalam ilmu fiqih).
Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan kepada pengetahuan
jalan akhirat, kepada mengenal penyakit jiwa yang halus‑halus dan yang
merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat
menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.
Dibuktikan kepada yang demikian itu oleh
firman Allah Maha Mulia & Maha Besar: “Untuk
mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya
apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka”. Ilmu yang menghasilkan peringatan dan,
penakutan, itulah F1QIH namanya.
Bukanlah fiqih itu mencabang‑cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan,
lian, pesanan barang dan sewa‑menyewa. Yang demikian itu, tidaklah membuahkan
peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu,
membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita
saksikan sekarang pada orang‑orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta’ala:"Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu” S
7 ayat 179. Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian‑pengertian keimanan,
bukan mengeluarkan fatwa. Demi umurku, bahwa kata‑kata "al‑fiqh" dan
"al‑fahm" menurut bahasa adalah dua
nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan
pemakaian, baik dahulu atau sekarang. Berfirman Allah Ta’ala "Kamu sangat ditakuti dalam hati
mereka, lebih dari Tuhan” S 59 ayat 13.
Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya
akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih). Lihatlah,
adalah itu hasil tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah/hasil
keyakinan ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu.
Bersabda Nabi saw: "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih) kepada mereka yang
diutuskan kepadanya”. Ditanyakan Saad bin Ibrahim Az‑Zuhri ra:
"Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?".
Beliau menjawab: "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah Ta'ala".
Seakan‑akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa
adalah hasil dari ilmu batin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.
Bersabda Nabi saw: "Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya ! ", jawab mereka. Maka bersabda Nabi saw: "Orang yang tidak memutus asakan manusia dari
rakhmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada
memutuskan‑asa mereka dari kasih‑sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al‑Qur‑an
lantaran gemar kepada yang lain".
Sewaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda
Nabi saw: "Sesungguhnya aku lebih
suka duduk bersama kaum yang mengingati (berdzikir) Allah Ta’ala dari pagi sampai terbit matahari besok daripada
membebaskan empat orang budak ".
Berkata pengarang kitab AI‑Quut: "Maka
berpalinglah Anas kepada Zaid Ar‑Raqqasyi dan Ziyad An‑Numairi, seraya berkata:"Tidaklah majelis mengingati Tuhan
(berdzikir) itu seperti majelis ini, di
mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya kepada teman‑temannya
dan membawa hadits‑hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu mengingati iman,
memahami AI‑Qur‑an dan berpaham dalam agama serta menghitung ni'mat Allah
Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman”. Di sini dinamakan pemahaman AI‑Qur‑an
dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi saw:"Tidaklah seorang itu berfiqih sebenar‑benarnya sebelum mengecam
manusia untuk kesucian Dzat Allah Ta'ala dan memandang Al‑Quran dari segala
segi ". Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra dengan katanya: “Kemudian ia menghadap kan kepada dirinya sendiri Ialu
mengecam nya pula secara lebih hebat lagi". Bertanya Farqad As‑Sabakhi
kepada Al Hasan mengenai suatu hal. Maka menjawab AI‑Hasan, Ialu berkata
Farqad: "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan
kamu". Kemudian Al Hasan ra berkata: "Wahai Farqad yang dikasihi !
Adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa
seorang ahli flqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati
kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari
mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta
mereka dan yang menasehati jama'ah mereka". Dalam keseluruhan nya tadi, Al
Hasan tidak menyebut penghafal furu'‑furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan
bahwa nama “Fiqih” itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai
hukum‑hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikut‑sertakan.
Maka adalah pemakaian mereka kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat
itu, lebih banyak. Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan
manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata‑mata kepada yang tadi
dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk
yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang
dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakiman,
kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu batin. Maka setan memperoleh jalan
untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan nama
"fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada agama.
Perkataan
Kedua: ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai dzat, ayat-ayat dan perbuatan Allah Ta’ala,
terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra wafat, maka berkata Ibnu
Mas'ud ra: "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".
Perkataan"Ilmu” itu dijadikan isim ma’rifah
dengan Alif dan Lam, menjadi
"al‑ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Kemudian
diputarkan pula oleh mereka perkataan "al‑ilmu" itu dengan
pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat
melawan musuh dalam masalah‑masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itu
alim yang sebenarnya. Dia seorang
tokoh ilmu pengetahuan. Orang‑orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan
waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu. Ini juga, suatu tindakan
dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan
ulama, adalah kebanyakannya ditujukan kepada ulama yang tahu akan Allah, hukum
ALLAH, perbuatan dan sifaf‑sifat ALLAH. Dan sekarang, secara mutlak dipakai,
kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan‑pertemuan
perdebatan dalam masalah‑masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung
termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dll
nya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari
penuntut‑penuntut ilmu.
Perkataan
Ketiga: KEESAAN.
Perkataan ini sekarang dipakai untuk menyusun kata‑kata, mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan
menjatuhkan lawan, sanggap mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan‑pertanyaan,
dapat membangkitkan keragu‑raguan dan dapat menyusun dalil‑dalil yang pasti,
sehingga oleh golongan‑golongannya sendiri, memberinya gelar, ahli adil dan ahli keesaan. Para ahli ilmu
kalam (berkata-kata), disebut ulama
keesaan, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal
sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah
sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran dan
perdebatan. Adapun isi AI‑Qur‑an, dari dalil‑dalil yang terang, mudah ditangkap
oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang mengetahuinya.
Pengetahuan dengan AI‑Qur‑an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya. Keesaan
pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan
ahli ilmu kalam (berkata-kata). Kalaupun dipahaminya, tetapi mereka tidak
bersifat dengan dia. Yaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah
Ta’ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan
perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya,
melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia. Maka inilah tingkat yang mulia.
Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal/berserah
diri kepada ALLAH, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Kitab Tawakkal.
Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk,
meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada hukum Allah
Ta’ala. Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash‑Shiddiq
ra, ketika ditanyakan waktu sakitnya: “Apakah kami carikan tabib untuk
tuan?". Lalu Abu Bakar menjawab: “Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan:
"Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?". Abu Bakar ra menjawab:
"Katanya: bahwa saya berbuat sekehendak saya". Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Keesaan dalil ‑ dalil untuk itu.
Keesaan adalah suatu
mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih jauh dari
isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama keesaan itu kepada
kulit & membuat penjagaan kepada
kulit itu, serta menyia‑nyiakan ISI secara keseluruhan.
KULIT PERTAMA:
yaitu anda mengucapkan dengan lisan LAAILAAHA ILLALLAAH (Tidak ada tuhan kecuali
Allah). Ini dinamakan keesaan melawan tatslits (kepercayaan 3 tuhan oknum), yang ditegaskan oleh orang
Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang‑kadang datang dari orang munafiq, yang
berlawanan batinnya dengan lahirnya.
KULIT KEDUA:
yaitu tak ada, di
dalam hati, yang menyalahi & berlawanan dengan pengertian ucapan tadi.
Bahkan yang luar dari hati, melengkapi kepada keyakinannya. Dan demikian juga
membenarkannya. Yaitu keesaan orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam
(berkata-kata) sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari
gangguan golongan bid’ah (yang diada-adakan)
YANG KETIGA:
yaitu ISI. Bahwa ia melihat
keadaan seluruhnya daripada Allah Ta’ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan.
Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepadaNya. Tidak Ia
beribadah (menyembah) yang lain. Dan keluarlah dari keesaan ini, orang‑orang
yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap‑tiap
orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nafsunya, menjadi
Tuhannya.
Berfirman Allah Ta’ala ."Adakah engkau melihat, orang yang
mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?" S 45 ayat 23. Bersabda Nabi saw: “Tuhan yang, disembah dibumi, yang
sangat dimarahi Allah Ta’ala ialah hawa
nafsu”. Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu
mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala.
Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama
nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu
kepada kebiasaan‑kebiasaan, adalah salah satu pengertian yang diibaratkan
dengan hawa nafsu itu. Dan keluarlah dari keesaan ini, menaruh kemarahan kepada
makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal
dari Allah Ta’ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari, itu, keesaan
adalah ibarat dari tingkat ini. Yaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan). Dari
itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti keesaan dan kulit mana yang dirasa
puas. Maka bagaimana mereka, membuat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan
pembanggaan, dengan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian
yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi‑pagi
benar sudah menghadap qiblat dan membaca: “Aku hadapkan wajahku kepada Allah
yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar. Dan itu
adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap‑tiap hari, sekiranya wajah
hatinya tidak menghadap Allah Ta’ala, secara khusus. Sesungguhnya, jika
maksudnya dengan "wajah', itu wajah
secara luar, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain
jurusan. Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan
bumi, sehingga orang yang menghadap ke Kabah berarti menghadap kepada Allah
Ta’ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan berdaerah ! Sekiranya, maksudnya
dengan wajah itu "wajah hati?' dan memang
itulah yang dimaksud oleh tiap‑tiap orang yang beribadah, maka
bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedangkan hatinya bulak‑balik pada
kepentingan dan keperluan dunianya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta,
kemegahan dan memperbanyak sebab‑sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang
demikian. Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan
langit dan bumi?. Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat/makna keesaan.
Seorang yang berkeesaan, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan
wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu. Yaitu mengikuti firman Allah Ta’ala: "Katakanlah! Allah. Kemudian biarkanlah
mereka main‑main dengan percakapan kosongnya". S 6 ayat 91. Tidaklah
dimaksudkan dengan "katakanlah" itu "perkataan" dengan
lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari
dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah
yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati.,
Hatinya tambang keesaan dan sumbernya.
Perkataan
keempat: ZIKIR DAN TADZKIR
Berfirman Allah Ta’ala: “Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna
untuk orang-orang yang beriman". S 51 ayat 55. Banyaklah hadits Nabi
saw yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya: "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka bersenang-senanglah di
dalamnya ! . "Manakah kebun
Sorga itu?". tanya yang hadir.
"Majlis-majlis berdzikir ", sahut Nabi saw. Dalam satu hadits tersebut: "Allah Ta’ala mempunyai banyak malaikat
yang mengembara didalam dunia selain dari para malaikat yang ada hubungannya
dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, Ialu mereka panggil‑
memanggil satu sama lain, dengan mengatakan: "Pergilah kepada kesayanganmu
masing‑masing !". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari
itu, berdzikirlah kepada Allah dan peringatilah dirimu sendiri ! ".
Oleh kebanyakan
juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, Ialu
membiasakan dengan: ceritera-ceritera,
syair‑syair, doa‑doa dan kata‑kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan‑perkataan agama (thammat).
Adapun ceritera‑ceritera (al‑kisah), maka itu bid’ah (yang diada-adakan). Telah
datang dari ulama‑ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi tukang‑tukang
ceritera itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada masa
Rasulullah saw. Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra & Umar ra Sehingga
lahirlah fitnah &timbullah tukang‑tukang ceritera.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra keluar dari masjid, seraya mengatakan:
"Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku
tidak keluar". Berkata Dlamrah: "Aku bertanya kepada Sufyan Ats‑Tsuri:
"Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?". Menjawab
Sufyan: "Balikkanlah tukang bid’ah (yang diada-adakan) itu ke belakangmu
!'.
Berkata Ibnu'Aun: "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya:
"Hari ini tidak ada kabar?". Lalu aku jawab: "Amir sudah
melarang tukang‑tukang ceritera itu berceritera". Maka menyambung Ibnu
Sirin: "Dia sudah mendapat taufiq ke jalan yang benar". AI Amasy
masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang
berceritera dan mengatakan: "Diterangkan hadits kepada kami oleh AL
A'masy". Maka AI Amasy pun masuk ke tengah‑tengah rombongan itu, sambil
mencabut bulu ketiaknya. Maka berkata tukang ceritera itu: "Tuan ! Apakah
tidak malu?". Sahut AL A'masy: “Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan
saudara berbuat bohong? Saya ini AL A'masy dan tidak pernah menceriterakan
hadits kepada saudara".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra: "Yang paling banyak berdusta, diantara
manusia, ialah tukang ceritera dan peminta‑minta". Ali ra mengusir tukang
ceritera dari masjid jami Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al‑Hasan
AI‑Bashri maka tak diusirnya. Karena AL Hasan memperkatakan tentang ilmu
akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya
amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia mengingatkan kepada
segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada keteledoran hamba pada
mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan
kepaIsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru‑haranya.
Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang
meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti
berikut: “Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan
shalat 1000 raka'at. Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada
mengunjungi 1000 orang sakit. Mengunjungi majelis‑ilmu adalah lebih utama
daripada berta'ziah 1000 jenazah". Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah !
Dan dari membaca ALQuran?". Maka Nabi saw menjawab: "Adakah
bermanfa'at membaca AI‑Qur‑an selain dengan ilmu?".
Berkata 'Atha' ra: "Majelis dzikir itu menutupkan 70 majelis yang
sia‑sia (tempat tontonan)". Hadits‑hadits di atas telah dipergunakan oleh
orang‑orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalihkan
nama “tadzkir" kepada khurafat (tahayul) yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir
yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera‑ceritera yang membawa kepada
perselisihan, kepada menambah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera
yang ada di dalam AI‑Qur‑an dan menambahkan kepadanya. Di antara ceritera‑ceritera
itu, ada yang bermanfa'at mendengar nya dan ada yang melarat meskipun benar.
Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan
bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripadanya.
Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra: "Alangkah
berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar”. Jika ceritera itu
termasuk ceritera Nabi‑Nabi as yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang
ceriteranya itu benar dan ceriteranya tidak salah, maka menurut saya,
diperbolehkan. Dari itu jagalah dari kedustaan, dari ceritera‑ceritera keadaan,
yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat
pemahaman orang awam dari mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari
mengetahui adanya kesalahan yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang
menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan‑kebaikan yang ditutupkan itu. Orang
awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala keteledoran dan
kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima'afkan. Dia beralasan, bahwa
hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan
ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi,
jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang‑orang yang lebih
besar dari kita telah berbuat ma'syiat.
Hal yang tersebut
tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar. Maka
sesudah menjaga diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan
demikian. Dan ketika itu, kembali kepada ceritera-ceritera yang terpuji dan
kepada yang terdapat dalam AI‑Qur‑an dan kitab‑kitab hadits yang shahih.
Sebahagian orang
membolehkan membuat ceritera‑ceritera yang menyukakan kepada perbuatan taat.
Dan mendakwa kan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran. Itu
sebetuInya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan
mengenai dzikir kepada Allah Ta’ala dan RasuINya, tidak menciptakan nasehat
yang tidak mempunyai dasar kebenaran. Betapa tidak ! Membuat sajakpun tidak
disukai dan dipandang yang demikian membuat‑buat.
Berkata Said bin
Abi Waqqas ra kepada anaknya Umar, ketika mendengar ia bersajak: "Inilah
yang membawa aku marah kepadamu. Tidak akan aku penuhi keperluan mu selama‑lamanya,
sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia
datang kepada ayahnya itu. Nabi saw telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah,
mengenai sajak yang terdiri dari tiga kata "Awaslah
bersajak, hai anak Rawahah !". Dengan hadits ini, seolah‑olah sajak
yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang
lelaki mengatakan mengenai diat bayi dalam kandungan: "Bagaimana‑kah
membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak
memekik? Samakah itu dengan halal darahnya. Lalu Nabi bersabda: "Adakah sajak seperti sajak orang-orang
Badui Arab!". Adapun syair, maka dicela membanyakkan nya dalam
pengajaran. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan
penyair‑penyair itu diikuti oleh orang‑orang jahat. Tidakkah engkau lihat bahwa
mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan?" S 26 ayat
224‑225. Dan berfirman lagi: “Dan kami
tiada mengajarkan syair kepadanya
(Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut baginya” S 36 ayat 69. Kebanyakan
syair yang dibiasakan oleh juru‑juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan
penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan
pedihnya berpisah. Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh‑bodoh.
Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh
kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya,
kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu
mereka berteriak dan menari‑nari. Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya,
membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seyogianya dipakai sya'ir
kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan
hati.
Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya
sebahagian dari syair itu mengadung
hikmah !. Jika majlis itu dihadliri
orang‑orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan
cinta kepada Allah Ta’ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka
bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang zahir nya menunjukkan kepada
hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatkan apa yang
didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada
"Kitab Pendengaran". Dan karena itulah AI‑Junaid ra berbicara kepada lebih
kurang 10 orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah
pernah sekali‑kali yang menghadiri majlisnya sampai 20 orang.
Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu
dikatakan kepadanya: "Berbicaralah ! Telah datang teman‑teman tuan".
Ibnu Salim menjawab: "Tidak ! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman‑teman
majlis. Sesungguhnya teman‑temanku, ialah orang‑orang tertentu (al‑khawwash).
Adapun asy‑syathah (do'a‑do'a dan kata‑kata yang tidak dipahami), maka yang
kami maksudkan, ialah 2 jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum
shufi.
Yang pertama, ialah do'a‑do'a
yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah
Ta’ala, dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga
golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al‑ittihad (bersatu dengan Allah), terangkat hijab, penyaksian
dengan melihat Tuhan dan bercakap‑cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka
mengatakan: “Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian.
Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al Hallaj
yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata‑kata yang sejenis dengan
itu. Dan mereka membuktikan yang demikian dengan ucapan Al Hallaj: “Anal‑haqq"
(akulah yang maha benar) salah satu dari nama Allah Ta’ala. Dan dengan apa
yang diceriterakan dari Abi Yazid Al Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan:
"Subhani‑subhani ( maha suci aku maha suci aku )". Ini adalah semacam
perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari
kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang
tersebut. Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena
padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa)
dengan memperoleh maqam‑maqam (derajat‑derajat) tinggi dan hal ikhwaI yang
baik. Maka orang‑orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian
bagi diri mereka dan dari pada menerima kata‑kata yang tak berketentuan, yang
penuh dengan hiasan kata‑kata. Manakala mereka ditantang dari yang demikian,
maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan: "Ini adalah tantangan,
yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu
perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari dalam
dengan terbukanya nur kebenaran". Maka hal yang tersebut dan yang seperti
dengan yang tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam
negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan
dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama
Allah, dari pada menghidupkan 10 dari padanya.
Mengenai Abi Yazid AI‑Bustami ra yang tersebut di atas, maka tak benar
mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya. Sekiranya benar ucapan
tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari
Allah Maha Mulia & Maha Besar tentang perkataan yang diulang‑ulangiNya pada
diriNya. Seumpama bila terdengar ia mengatakan: "Innanii anallaahu, laa
ilaaha illaa ana fa’budnii" (
Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain dari aku, maka
sembahlah aku) S 20 ayat 14, maka perkataan tersebut hendaklah dipahamkan,
tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta’ala.
Yang kedua: dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata‑kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik,
dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama
sekali. Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri,
karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau‑balauan khayalan,
disebabkan kurang mendalami maksud kata‑kata yang menarik perhatiannya itu. Dan
inilah yang terbanyak !. Dan adakalanya dapat dipahami, tetapi tidak sanggup
memahaminya dan mendatangkannya dengan kata‑kata yang menunjukkan isi hatinya.
Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu
maksud dengan susunan kata yang menarik. Perkataan yang semacam inipun tak ada
faedahnya, selain daripada mengacau‑balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan
membawa keraguan hati. Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya,
tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
Bersabda Nabi saw:"Tidaklah seseorang daripada kamu,
menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang
tiada memahaminya, selain daripada mendatangkan fitnah kepada mereka itu”. Dan
bersabda Nabi saw: “Berbicaralah dengan
orang banyak dengan kata‑kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah
persoalan yg ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah
&RasuINya?". Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang
mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mendengarnya.
Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri?.
Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya,
maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as: “Janganlah kamu letakkan
ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ilmu hikmah
itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada
ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang
meletakkan obat pada tempatnya penyakit !”.
Menurut susunan yang lain, sabda Nabi Isa itu berbunyi: “Barang siapa
meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang
siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu
mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu berilah kepada semua yang berhak akan
haknya"
Adapun thammat (pemutaran perkataan‑perkataan agama), maka termasuk di
dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah
(kata-kata yang
mengandung dakwaan yang tidak disenangi). Dan suatu hal lain
yang khusus dengan pemutaraan perkataan‑perkataan agama dari zahir nya yang
mudah dipahami, kepada urusan bathin/dalam yang tidak ada padanya menonjol
faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar balikkan maksud. Ini
juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan‑perkataan itu apabila diputar
dari tujuan luarnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan
dari Nabi saw dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk
akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perkataan
itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala dan kalam
(kata-kata) RasuINya. Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman, tidaklah
dapat dipercayai lagi dan yang dalam itu tak ada ketentuan baginya. Tetapi
timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke
dalam beberapa corak. Ini juga termasuk ke dalam yang diada-adakan yang telah
berkembang dan besar kerugiannya. Sesungguhnya tujuan dari orang‑orang pembuat
pemutaran perkataan‑perkataan agama itu
ialah menciptakan yang ganjil. Karena
jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang
ganjil. Dengan cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan
semua syari’at/agama, dengan penafsiran luarnya dan menempatkannya menurut
pendapat mereka itu sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai
madzhab‑madzhab kaum kebathinan itu dalam kitab "AI‑Mustadhhari" yang
dikarang untuk menolak golongan tersebut.
Contoh pemutar‑balikan penafsiran golongan pemutaran perkataan‑perkataan
agama itu, di antara lain, kata setengah
mereka, tentang penafsiran firman Allah Ta’ala: "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka”. S 20 ayat 24. Bahwa itu adalah
isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan
Fir'aun itu. Dan hatilah yang durhaka
pada tiap‑tiap manusia. Dan pada firman Allah Ta’ala: "Dan campaklah tongkatmu". S 28 ayat 31. Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap‑tiap
sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta’ala. Itulah yang
harus dicampakkan dan dibuang jauh. Dan pada sabda Nabi saw:"Bersahurlah kamu ! Karena pada sahur
itu ada berkatnya". Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan
pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri. Dan contoh‑contoh
yang lain, di mana mereka memutar‑balikkan AL Qur‑an dari awalnya sampai
akhirnya, dari artinya yang luar dan dari penafsirannya, yang diterima dari
Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya. Setengah dari pemutar balikan itu,
dapat diketahui salahnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati. Karena Fir'aun itu
adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawatir sejarah menyatakan
adanya, di mana Nabi Musa as menyerukannya kepada agama seperti Nabi Muhammad
saw menyerukan Abu Jahal dan Abu Lahab serta kafir‑kafir lain kepada agama
Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa
dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata‑katanya. Dan
demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi
saw sendiri makan sahur. Dan bersabda:"Bersahurlah
!" Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengandung‑berkat ini ! ".
Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat
dipersaksikan salahannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu
yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra. Semua yang diterangkan tadi
adalah haram hukum nya, menyesatkan
dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun dari padanya diterima dari shahabat,
dari tabiin dan dari AL Hasan Al Bashri yang bertekun melaksanakan da'wah dan
pengajaran kepada rakyat banyak. Maka bagi sabda Nabi saw: "Barangsiapa menafsirkan Al Qur‑an menurut pendapatnya sendiri
maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka ". Tiada jelas
pengertiannya selain dari cara inilah ! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah
menetapkan dan membuktikan sesuatu, Ialu menarik penyaksian AI‑Qur‑an kepadanya
serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata‑kata, baik menurut bahasanya
atau menurut yang dinukilkan (naqliah).
Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa AI‑Qur‑an
tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan
pemikiran. Karena diantara ayat‑ayat suci yang diterima dari para shahabat dan
ulama tafsir itu, ada yang mempunyai 5, 6 dan sampai 7 pengertian. Dan semuanya
itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang‑kadang ada yang berlawanan, yang
tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan maksud). Maka, dipakailah
pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu
berdo'alah Nabi saw kepada Ibnu Abbas ra: "Ya Allah Tuhanku ! Berilah
kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penafsiran!"
Barang siapa membolehkan dari golongan pemutaran perkataan‑perkataan
agama/thammat, menggunakan pemutar‑balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa
yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan‑perkataan itu dan
mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap
yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang membolehkan membuat‑buat
dan mengada‑adakan sesuatu terhadap Nabi saw karena berdasarkan kebenaran
tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengada‑adakan hadits
Nabi saw dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar. Tindakan yang seperti
itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan
Nabi saw, yang dipahami dari sabdanya: ”Barang
siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya
dari api neraka”. Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutar‑balikkan
kata‑kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan
kepada kata‑kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan
pemahaman dari AI‑Qur‑an keseluruhannya. Maka tahulah kita betapa setan itu
memutar‑balikkan alat‑alat dakwah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela.
Semuanya itu adalah perbuatan ulama‑ulama jahat dengan menggantikan maksud kata‑kata
itu. Jika anda mengikuti mereka karena berpegang kepada nama yang termasyhur
itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari
Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan
ilmu hikmah, Ialu mengikuti siapa saja yang bernama ahli hikmah. Sedang nama
ahli hikmah dipakai untuk Tabib, penyair
dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari
penukaran kata‑kata itu.
Perkataan kelima:
HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al‑hakim) ditujukan
kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar‑mutarkan
undian pada tangan di tepi jalan besar. HIKMAH ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta’ala dengan firmannya: “Dianugrahi NYA Hikmah kepada siapa yang
dikehendakiNya dan barang siapa dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi
banyak kebajikan". S 2 ayat 269. Dan sabda Nabi saw: "Satu kalimat dari hikmah yang
dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada dunia serta
isinya". Perhatikanlah, apakah
yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan ! Kemudian
bandingkanlah dengan kata‑kata yang lain ! Dan jagalah diri dari tertipu dengan
keragu‑raguan yang dibuat oleh ulama‑ulama jahat ! Karena kejahatan mereka
kepada agama adalah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan perantaraan
ulama‑ulama jahat itu, setan beransur‑ansur mencabut agama dari hati orang
banyak. Karena itulah, tatkala ditanyakan kepada Nabi saw tentang orang yang
paling jahat, beliau enggan menjawab seraya berdo'a: “Ya Tuhan
! Ampunilah !. Sehingga setelah berkali‑kali ditanyakan, Ialu beliau menjawab:
“Mereka itu ialah ulama jahat (ulama us
su)”. Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela
serta yang meragukan diantara keduanya. Dan
terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri
anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan
penipuan Ialu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf). Segala ilmu
yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi
perpegangan manusia, sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah
bid’ah/yang diada‑adakan. Benar lah kiranya sabda Nabi saw: "Mulanya
Islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang‑orang asing itu ! ".
Maka ditanyakan kepada Nabi saw: "Siapakah orang‑orang asing itu?".
Nabi menjawab: "Mereka yang memperbaiki apa, yang telah dirusakkan
manusia dari sunahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan
manusia dari sunahku". Pada hadits yang lain tersebut: "Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang
kamu pegang sekarang”. Pada hadits lain lagi tersebut: "Orang‑orang asing itu adalah manusia yang sedikit
jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih
banyak daripada yang mencintainya". Ilmu‑ilmu itu telah menjadi
asing. Orang yang mengingatinya dimaki. Karena itu, berkatalah Ats‑Tsuri ra:
"Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa
dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya maka dia akan
dimarahi".
PENJELASAN:
Kadar terpuji dari ilmu yang terpuji.
Ketahuilah bahwa dengan memandang yang di atas tadi maka ilmu
itu 3 bahagian: satu bahagian yaitu yang tercela sedikitnya &
banyaknya: satu bahagian yaitu
terpuji sedikitnya dan banyaknya. Semakin banyak semakin bertambah baik dan
utama; satu bahagian yang terpuji
dari padanya sekedar kifayah (mencukupi) saja. Tidak terpuji yang berlebih dan
yang mendalam dari padanya. Yaitu seumpama keadaan tubuh manusia. Diantaranya
ada yang terpuji sedikitnya dan banyaknya seperti kesehatan dan kecantikan.
Diantaranya ada yang tercela sedikitnya dan banyaknya seperti keburukan dan
kejahatan budi. Dan diantarannya ada yang terpuji kesederhanaan padanya seperti
memberi harta. Kalau boros tidak terpuji walaupun ia memberi juga. Dan seperti
berani. Kalau berani membabi buta tidak terpuji. Walaupun ia termasuk sebangsa
berani juga. Maka seperti itu pulalah ilmu. Maka bahagian yang tercela
sedikitnya dan banyaknya, yaitu yang tak adalah faedah padanya, pada agama dan
dunia. Karena kemelaratannya mengalahkan kemanfa'atannya seperti ilmu sihir,
mantera dan nujum. Sebahagiannyapun tak ada faedah padanya sekali-kali.
Menyerahkan umur yang amat berharga yang dimiliki manusia kepada ilmu itu,
adalah menyia‑nyiakan. Dan menyia‑nyiakan yang amat berharga itu, adalah
tercela. Diantara ilmu itu ada yang memberi melarat melebihi dari dugaan, akan
memberi hasil untuk keperluan duniawi. llnu yang semacam itu
tidak juga masuk hitungan, dibandingkan kepada kemelaratan yang timbul dari
padanya.
Adapun ilmu yang terpuji setinggi‑tingginya
ialah ilmu mengenai Allah Ta’ala, sifatNya, Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya,
sunnahNya dalam menjadikan makhlukNya dan hikmahNya pada tertibnya akhirat di
atas dunia. Inilah ilmu yang dicari karena ilmu itu sendiri dan karena dengannya
tercapai kebahagiaan akhirat. Menyerahkan tenaga dengan setinggi‑tingginya
kesungguhan hati untuk ilmu tadi, adalah di luar batas kewajiban. Ilmu itu
adalah laut yang tak diketahui dalamnya. Para perenang hanya dapat merenangi pantai
dan tepinya saja sekedar yang mungkin ditempuhnya. Tak dapat menempuh
segala tepinya, selain para nabi dan
wali serta para ahli ilmu menurut tingkat masing‑masing yang berbeda
kesanggupan dan berlebih kurang taqdir yang dianugerahi Allah Ta’ala. Itulah ILMU MAKNUN (ilmu
yang tersembunyi) yang tidak ditulis dihalaman kitab. Yang menolong
untuk mengetahuinya ialah dengan jalan belajar dan menyaksikan perihal keadaan
ulama akhirat, sebagaimana akan datang tanda‑tanda mereka. Ini adalah pada
taraf permulaan ! Dan yang menolong kepadanya mengenai akhirat, ialah
kesungguhan (mujahadah), latihan (riadlah), kebersihan hati, kebebasan hati
dari segala ikatan duniawi dan mencontoh
kepada nabi‑nabi dan Wali-wali, supaya jelas bagi tiap‑tiap orang yang pergi
mencarinya, sekedar rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Tidak sekedar kesungguhan
walaupun kesungguhan itu harus ada. Kesungguhan itu (mujahadah), adalah kunci
petunjuk. Tak ada baginya kunci, selain dari kesungguhan itu.
Adapun ilmu, yang tidak terpuji melainkan
sekedar yang tertentu saja daripadanya, ialah ilmu yang telah kami bentangkan
dalam golongan ilmu fardlu kifayah(mencukupi). Sesungguhnya pada tiap‑tiap ilmu
pengetahuan itu ada yang singkat, yaitu yang sekurang‑kurangnya. Ada yang
sedang yaitu di tengah tengah dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang
itu. Itu tidak terselesai sampai akhir hayat. Maka hendaklah anda, menjadi
salah seorang dari dua, adakalanya berusaha untuk diri sendiri dan adakalanya
berusaha untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu.
Janganlah berusaha untuk orang lain sebelum siap, yang untuk diri sendiri.
Kalau berusaha untuk diri sendiri maka janganlah berusaha selain dengan ilmu
yang diwajibkan kepada kita menurut keadaan kita dan yang berhubungan dengan
amal zahiriyah kita seperti mempelajari shalat, bersuci dan berpuasa. Ilmu
yang terpenting yang disia‑siakan oleh semua orang, ialah ilmu sifat hati, yang
terpuji dan yang tercela daripadanya. Karena tidak
ada manusia yang terlepas dari sifat yang tercela seperti loba, dengki, ria,
takabur, sombong dsb nya. Semuanya itu membinasakan. Menyia‑nyiakan
kewajiban tadi serta mementingkan amal zahiriyah, samalah haInya dengan
melakukan perbuatan menggosok badan zahir ketika menderita penyakit kudis dan
bisul dan melupakan mengeluarkan benda penyakit dari tubuh dengan bekam dan
cuci perut. Ulama kosong, menunjukkan jalan kepada amal zhiriyah, seperti tabib‑tabib
di jalanan (penjual koyok), menunjukkan jalan dengan menggosok badan luar.
Ulama akhirat, tidak menunjukkan jalan
selain dengan mensucikan bathin/dalam,
mencabut benda‑benda jahat yang merusakkan tanaman dan akar‑akarnya dari hati.
Orang kebanyakan menempuh amal zahiriyah, tidak amalan bathin, dengan
mensucikan hati nurani, adalah disebabkan amal zahiriyah itu mudah. Sedang
amalan hati itu sukar seperti orang yang merasa payah meminum obat yang pahit
lalu menempuh kepada menggosok badan l zahiriyah. Maka terus‑meneruslah ia
payah menggosok dan bertambah pada benda‑benda yang digosokkan, sedang
panyakitnya terus bertambah juga. Jika anda menghendaki akhirat, mencari
kelepasan dan melarikan diri dari kebinasaan abadi maka berusahalah mempelajari
ilmu penyakit batin dan cara mengobatinya, menurut cara yang kami uraikan pada
Bahagian Yang Membinasakan. Kemudian,
sudah pasti, hal yang demikian itu membawa anda kepada tempat yang terpuji,
yang tersebut nanti pada Bahagian Yang
Melepaskan. Sesungguhnya, hati apabila kosong dari sifat yang tercela, maka
penuhlah dia dengan sifat yang terpuji. Dan bumi apabila telah bersih daripada
rumput, maka tumbuhlah padanya bermacam‑macam tumbuh‑tumbuhan dan bunga‑bungaan.
Jika tidak kosong dari rumput, maka tidaklah tumbuh yang tersebut tadi. Maka
janganlah anda menghabiskan waktu dengan fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg
mengerjakannya maka selesai urusan itu), apalagi bila telah berdiri segolongan
anggota masyarakat yang mengerjakannya. Orang yang mengorbankan dirinya sendiri
untuk kebaikan orang lain, itu bodoh. Alangkah dungunya orang yang telah
masuk ular dan kala ke bawah kain bajunya dan akan membunuhnya, lalu ia mencari
alat pembunuh lalat untuk membunuh lalat itu pada orang lain, yang tidak akan
menolong dan melepaskannya dari ular dan kala itu. Bila anda telah selesai
dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup
meninggalkan dosa zahir/luar dan dosa batin/dalam dan yang demikian itu telah
menjadi darah daging dan kebiasaan yang mudah dikerjakan dan tidak akan
ditinggalkan lagi, maka barulah anda bekerja dalam lapangan
-fardlu‑kifayah dan peliharalah secara
berangsur‑angsur.
-Mulailah dengan Kitab Allah Ta’ala,
-kemudian dengan Sunnah Nabi saw,
-kemudian dengan ilmu tafsir dan lain‑lain
ilmu AI‑Qur‑an. Yaitu ilmu nasikh dan mansukhnya, mafshul, maushul, muhkam dan
mutasyabihnya.
-Demikian juga dengan sunnah !.
-Kemudian berusahalah dengan ilmu furu, yaitu ilmu mengenai madzhab dari
ilmu fiqih, tanpa membicarakan masalah khilafiah/perbedaan.
-Kemudian berpindah kepada ilmu Ushul fiqih.
-Demikianlah terus sampai kepada ilmu‑ilmu
yang lain, selama nyawa masih dikandung badan dan selama waktu mengizinkan.
Janganlah anda menghabiskan umur pada satu
pengetahuan saja dari pengetahuan‑pengetahuan itu, karena hendak mendalaminya
benar‑benar. Sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek. Dan ilmu pengetahuan
itu adalah alat dan pengantar. Dia tidaklah menjadi tujuan yang sebenarnya,
tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain. Dan tiap‑tiap yang dicari
untuk tujuan yang lain, maka tidaklah layak tujuan yang sebenarnya itu
dilupakan, lalu diperbanyakkan yang dicari itu. Mengenai Ilmu Bahasa umpamanya,
singkatkanlah sekedar dapat memahami dan bercakap‑cakap dengan bahasa Arab itu.
Dan dipelajari yang luar biasa dari
ilmu bahasa itu untuk dapat dipahami yang luar
biasa pula dari susunan AI‑Qur‑an dan AL Hadits. Tinggalkanlah berdalam‑dalam
padanya dan singkatkanlah dari ilmu tata bahasa (ilmu nahwu) itu sekedar yang
berhubungan dengan Kitab Suci dan sunnah Nabi
!. Tidak ada satu ilmupun, melainkan mempunyai yang ringkas, yang sedang dan yang mendalam. Kami tunjukkan tadi
mengenai ilmu hadits, tafsir, fiqih dan ilmu kalam (berkata-kata), untuk dapat
diambil perbandingan kepada ilmu‑ilmu yang lain. Yang singkat tentang ilmu
tafsir adalah, yang banyaknya 2 X dari Kitab Suci AI‑Qur‑an sendiri, seumpama
Tafsir yang disusun oleh 'Ali Al‑Wahidi An‑Naisaburi, yaitu “Al‑Wajiz”. Yang sedang adalah sampai 3 X dari AI‑Qur‑an
sendiri seperti yang disusun oleh 'Ali AL Wahidi yaitu "AI‑Wasith ".
Dan di balik itu adalah secara mendalam yang tidak diperlukan benar dan tidak
akan habis‑habisnya selama umur.
Adapun hadits, yang singkat padanya, adalah
memperoleh apa yang ada dalam kitab "Shahih AI‑Bukhari” dan "Shahih
Muslim” dengan meminta pengesahan dari hadits yang dipelajari itu kepada
seorang yang berilmu dengan matan (kata‑kata)
hadits itu. Mengenai perawi‑perawi dari hadits itu, maka anda cukupkan sajalah
dengan perawi‑perawi sebelum anda sendiri, dengan berpegang kepada kitab‑kitab
yang ditulis mereka. Tak perlulah kiranya anda menghafal seluruh hadits yang
ada dalam kedua "Shahih" itu. Tetapi berusahalah, sehingga apabila
memerlukan kepadanya, maka sanggup mencarinya dalam Kitab Hadits yang tersebut
tadi. Mengenai yang sedang pada
Hadits ialah dengan menambah kepada kitab shahih yang dua di atas, hadits‑hadits
yang terdapat dalam kitab‑kitab musnad yang shahih.
Adapun yang meluas dan mendalam ialah di
balik yang tadi, sehingga melengkapi kepada seluruh hadits yang diterima, baik
yang dla'if, yang kuat, yang syah dan yang bercacat serta mengetahui pula cara‑cara
penerimaan hadits itu, keadaan orang‑orang yang menjadi perawi hadits, namanya
dan sifatnya.
Adapun fiqih, yang singkat padanya ialah
apa yang terkandung dalam kitab "Mukhtashar" karangan AI‑Mazani ra,
kitab mana telah kami susun dalam "Khulashah AI‑Mukhtashar". Yang sedang
pada fiqih ialah yang sampai 3 X banyaknya dari Mukhtashar AI‑Mazani,
yaitu kira‑kira sama dengan isi kitab “Al‑Wasith minal madzhab" karangan
kami. Dan yang mendalam ialah
melebihi dari apa yang kami muatkan dalam "AI‑Wasith" tadi dan
seterusnya sampai kepada kitab yang besar‑besar.
Adapun ilmu
kalam (berkata-kata), maka maksudnya ialah menjaga keyakinan yang
dinukilkan Ahlus sunah dari ulama salaf yang shalih. Tak lain dari itu. Dan
dibalik itu, ialah mempelajari untuk menyingkap hakikat/makna dari segala
sesuatu, tanpa cara tertentu. Yang dimaksud dengan memelihara 'keyakinan yang
dinukilkan ahlus sunnah itu, ialah mencapai tingkat yang ringkas dari padanya
dengan 'keyakinan yang ringkas. Yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab
"Kaidah‑kaidah I'tikat, yang termasuk dalam jumlah Kitab besar ini. Yang sedang pada ilmu kalam
(berkata-kata) ialah yang sampai kira‑kira 100 lembar buku, yaitu sekedar yang
kami muatkan dalam kitab "Al Iqtishad fil Itiqad". Pengetahuan
sebanyak tadi diperlukan untuk melawan tukang bid’ah/yg diada-adakan dan
menentang yang diada‑adakan. Sebab merusakkan dan menghilangkan 'keyakinan yang
benar dari hati orang awwam. Usaha tadi tidak ada gunanya, kecuali terhadap
orang awwam yang belum fanatik benar. Terhadap pembuat yg diada-adakan itu
sendiri apabila ia sudah mengerti berdebat meskipun sedikit, maka tak ada
gunanya lagi berbicara dengan dia. Sebab, walaupun anda telah mematahkan semua
keterangannya, dia tidak akan meninggalkan madzhab yang dianutnya. Tetapi
dialihnya kepada alasan bahwa dia sendiri yang kekurangan keterangan, sedang
pada orang lain dari golongannya, masih ada jawaban dan dalil yang cukup. Jadi, hanya anda saja yang berhadapan dengan
dia, dengan kekuatan perdebatan yang cukup.
Adapun orang awwam, apabila telah berpaling
dari kebenaran dengan menggunakan perdebatan, maka masih mungkin diajak kembali
kepada kebenaran itu, sebelum bersangatan benar fanatiknya kepada hawa
nafsunya. Kalau sudah, maka putuslah harapan mengembalikannya. Sebab fanatik
adalah suatu unsur yang membawa kepercayaan itu melekat ke dalam jiwa. Dan
fanatik itu adalah setengah dari penyakit ulama jahat.
Karena ulama jahat itu, bersangatan benar fanatiknya kepada apa yang
dianggapnya benar. Dan memandang kepada golongan yang berbeda paham dengan
mereka, dengan pandangan menghina dan mengejek. Maka menonjollah sifat‑sifat
ingin menentang dan berhadapan. Dan bangkitlah gerakan membela yang batil/salah
itu. Dan kokoh kuatlah maksud mereka untuk berpegang teguh kepada apa yang
tersebut tadi. Jikalau sekiranya mereka datang dari segi lemah‑lembut dan kasih
sayang serta nasehat‑menasehati secara berbisik, tidak dalam tontonan fanatik
dan hina menghina, niscaya mereka mendapat kemenangan. Tetapi tatkala kemegahan
itu tidak tegak selain dengan mempunyai pengikut dan pengikut itu tidak mudah
diperoleh seperti mudahnya memperoleh fanatik, kutukan dan cacian terhadap
lawan, lalu diambilnyalah fanatik menjadi adat kebiasaan dan alat perkakas bagi
mereka. Dan disebutnyalah, "untuk mempertahankan agama dan kehormatan kaum
muslimin". Pada hal sebenarnya adalah membawa kebinasaan kepada ummat
manusia dan menetapkan bid’ah (yang diada-adakan) didalam jiwa.
Adapun masalah khilafiah yang timbul pada
masa akhir‑akhir ini dan diadakan dengan merupakan karangan, susunan dan
perdebatan, yang tak pernah dikenal contohnya pada ulama‑ulama terdahulu, maka
janganlah anda dekati. Tetapi jauhilah seumpama menjauhi diri dari racun yang
membunuh. Sebab, itu adalah penyakit yang amat membahayakan. Penyakit itulah
yang membawa seluruh ulama fiqhi (fuqaha') suka berlomba‑lomba dan bermegah‑megah,
yang akan kami terangkan nanti, celaka dan bahayanya. Mungkin terdengar orang
mengatakan. "Manusia itu musuh dari kebodohannya". Maka janganlah
anda terpesona kepada kata‑kata itu, nanti terperosok! Dari itu, terimalah
nasehat ini dari orang (maksudnya Al Gazzali sendiri)
yang sudah menghabiskan umurnya sekian lama dan menambahkan dari orang‑orang
terdahulu dengan karangan, pembuktian, perdebatan dan penjelasan. Kemudian
diilhami Allah dengan petunjuk dan diperlihatkan Nya kepada kekurangan diri,
lalu berhijrah dan bekerja dengan jiwa‑raga.
Janganlah anda tertipu dengan perkataan orang
yang mengatakan bahwa fatwa/pernyataan itu
tiang agama dan tidak diketahui sebab‑sebabnya melainkan dengan ilmu khilafiah(perdebatan). Sebab‑sebab
dari madzhab/aliran adalah tersebut dalam madzhab itu sendiri. Dan penambahan
dari padanya adalah merupakan perdebatan yang tidak dikenal oleh orang‑orang
terdahulu dan oleh para shahabat. Merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui
dengan sebab-sebab fatwa, dari orang‑orang lain. Bahkan perdebatan itu, di
samping tak ada faedahnya, dalam ilmu madzhab adalah mendatangkan kemelaratan,
yang merusakkan rasa indah ilmu fiqih.
Orang yang menyaksikan terkaan seorang 'ahli fatwa (mufti) dalam memberikan
fatwanya, apabila benar rasa indah perasaan nya kepada fiqih, maka tak
mungkinlah jalan pikirannya dalam banyak hal menyetujui syarat‑syarat
perdebatan itu. Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan, maka hati
nuraninya meyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak
berani lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih. Orang yang berbuat
serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan, dengan mempertopengkan
ingin mempelajari sebab-sebab dari madzhab. Kadang‑kadang umurnya habis di
situ saja dan tak beralih cita‑citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab itu. Maka peliharalah dirimu dari setan jin. Dan waspadalah dari
setan manusia. Karena setan manusia itu memberi kesempatan beristirahat
bagi setan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan. Pendek kata, yang baik
bagi orang yang berakal budi, ialah mengumpamakan dirinya di alam ini
sendirian beserta Allah. Dihadapannya mati, bangkit, hisab amalan, sorga dan
neraka. Maka perhatikanlah apa yang engkau perlukan dihadapanmu kelak dan
tinggalkanlah yang lainnya. Wassalam !
Ada sebahagian syekh tasawwuf/ahli suffi memimpikan
sebagian ulama dalam tidurnya, seraya menanyakan: "Apa kabar ilmu yang
tuan perdebatkan dahulu dan pertengkarkan ?". Ulama itu membuka tangannya
dan menghembuskannya seraya berkata: "Semuanya menjadi abu yang
beterbangan. Tak ada yang berguna selain dari dua raka'at shalat yang aku
kerjakan dengan ikhlas di tengah malam sepi" Pada hadits tersebut: "Tak sesatlah sesuatu golongan sesudah
ada petunjuk padanya selain orang‑orang yang suka bertengkar”. Kemudian
Nabi saw membaca: ”Mereka menimbulkan soal
itu hanyalah untuk membantah saja. Sebenarnya, mereka adalah kaum yang suka
bertengkar" S 43 ayat 58.
Mengenai firman Allah Ta'ala: "Adapun
orang‑orang yang hatinya cenderung kepada kesalahan". S 3 ayat 7. Maka
tersebutlah dalam suatu hadits bahwa: "orang‑orang itu ialah mereka yang
suka bertengkar yang diperingati Allah dengan FirmanNya: "Maka berhati‑hatilah terhadap mereka itu". S 63 ayat 4.
Berkata sebahagian salaf: "Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang
menguncikan pintu amal dan membukakan pintu pertengkaran”. Pada sebahagian
hadits tersebut: "Sesungguhnya kamu
berada pada suatu zaman yang diilhami dengan amal dan akan datang suatu kaum
yang diilhami dengan pertengkaran".
Pada suatu hadits yang terkenal tersebut: "Manusia yang amat dimarahi Allah Ta’ala ialah yang suka bertengkar".
Dan pada hadits lain: "Tidak
diberikan kepada suatu kaum akan bijak berkata‑kata, kecuali mereka itu
meninggalkan bekerja ". Wallahu A’lam. (Allah Yang Maha Tahu)
BAB
KEEMPAT: Mengenai Sebabnya manusia suka kepada ilmu kilafiah/ilmu perdebatan.
Penguraian bahaya perdebatan & pertengkaran.
Syarat‑syarat
pembolehannya.
Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi saw dipegang
oleh khulafa’ rasyidin dengan petunjuk Allah (yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman
& Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas
mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah
meminta bantuan ahli‑ahli hukum Islam (fuqaha' artinya ulamah fikih). Kalau pun
ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai peristiwa‑peristiwa yang harus
dimusyawarahkan. Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian
dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak mengeluarkan fatwa dan
apa yang ada hubungannya dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan
kesungguhan yang maksimal kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dapat dibaca dalam
riwayat hidup para alim ulama itu sendiri. Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke
tangan golongan‑golongan sesudah khulafa’ rasyidin itu, yang mengendalikan
pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan
fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha' dan
mengikut‑sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan
hukum. Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap
dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak
melepaskan ciri‑ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta,
Ialu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu
melakukan paksaan dalam pengangkatan anggota kehakiman dan pemerintahan. Maka
kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan perhatian, para pembesar
dan wali negara kepada mereka. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri,
menolak dan menjauhkan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan,
ingin memperoleh kemuliaan dan kemegahan dari para pembesar negeri. Mereka
bertekun mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian
datang memperkenal kan diri kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan
jabatan. Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak
luput dari kehinaan meminta‑minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para
fuqaha' itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah‑nyembah
kepada pembesar sesudah tadinya mulia dengan berpaling dari penguasa‑penguasa
itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang‑orang dari para ulama
agama Allah yang memperoleh taufiq dari padaNya. Amat besar perhatian pada masa
itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah‑daerah
atau di pusat pemerintahan.
Sesudah itu lahirlah dari orang‑orang
terkemuka dan pembesar-pembesar golongan yang suka memperhatikan percakapan
manusia tentang kaidah‑kaidah/keyakinan kepercayaan dan tertarik hatinya
mendengar dalil‑dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar pikiran
dan berdebat dalam ilmu kalam (berkata-kata). Perhatian orang banyak‑pun
tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat.
Dan dikeluarkan lah ulasan tentang mana kata‑kata yang bertentangan. Mereka
mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi
saw, serta membasmi bid’ah/yg diada-adakan sebagaimana orang‑orang sebelum
mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan
mengurus peri hal hukum. Karena belas‑kasihan kepada makhluk Tuhan dan untuk
pengajaran kepada mereka. Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka
orang‑orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam (berkata-kata)
dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatikan
yang keji dan permusuhan yang meluap‑luap, yang membawa kepada pertumpahan
darah dan penghancuran negeri. Tetapi golongan ini tertarik kepada bertukar‑pikiran
tentang fiqih dan khusus
memperbanding kan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab
Abu Hanifah ra.
Maka manusia‑pun meninggalkan ilmu kalam
(berkata-kata) dan bahagian‑bahagiannya, terjun ke dalam masalah‑masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah
khususnya. Dan tidak begitu mementingkan tentang khilafiah yang terjadi antara
Malik, Sufyan Ats‑Tsuri dan Ahmad ra serta ulama‑ulama lainnya. Mereka
mendakwakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam,
menetapkan alasan‑alasan madzhab dan memberikan kata pengantar bagi pokok‑pokok
fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam‑macam
cara berdebat dan, mengarang. Keadaan itu diteruskan mereka sampai sekarang.
Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada
masa‑masa yang akan datang. Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai
bertekun dalam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain ! Kalaulah condong
hati penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam‑imam tadi
atau kepada ilmu yang lain dari bermacam‑macam ilmu pengetahuan, maka golongan
yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan
bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu
agama dan tujuannya tak lain dari pada mendekatkan
diri kepada Tuhan seru sekalian
alam.
PENJELASAN: Penipuan tentang samanya perdebatan itu
dengan musyawarah para shahabat &
pertukar‑pikiran ulama salaf.
Ketahuilah bahwa golongan tersebut, kadang‑kadang menjerumuskan
manusia ke dalam pahamnya dengan mengatakan: "Bahwa maksud kami dari
perdebatan itu mencari kebenaran supaya kebenaran itu nyata, karena
kebenaranlah yang dicari. Bertolong‑tolongan membahas ilmu dan melahirkan isi
hati itu, ada faedah dan gunanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat
ra dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah mengenai
masalah nenek laki‑laki, saudara laki‑laki (dalam soal warisan), hukuman minum
khamar, kewajiban membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila ia bersalah.
Seperti kejadian seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umar
ra dan seperti masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan‑persoalan yang
diterima dari Asy‑Syafi’i, Ahmad, Muhammad bin AL Hasan, Malik, Abu Yusuf dan
lainnya dari para ulama. Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian ! ".
Akan tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini.
Yaitu, benar bahwa bertolong‑tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari
agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam:
PERTAMA: bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam
fardlu‑kifayah itu, orang‑orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu ain. Dan orang yang masih
berkewajiban dengan sesuatu fardlu 'ain, lalu mengerjakan fardlu‑kifayah dengan
dakwaan bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpama
orang yang meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyediakan kain &
menjahitkannya dengan mengatakan: "Bahwa maksudku hendak menutup aurat orang
yang bershalat telanjang & tidak memperoleh kain". Penjawaban itu
mungkin cocok & bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli
fiqih, bahwa kejadian hal‑hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas
& perselisihan itu, bukan tidak mungkin. Yang jelas, orang‑orang yang
'asyik bertengkar itu, menyia‑nyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu
'ainnya. Orang yang dihadapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan
sekarang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu ibadah
yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya adalah berdosa. Jadi tidak cukup untuk
menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuatannya termasuk perbuatan taat,
sebelum dijaga padanya waktu, syarat & tata‑tertib pada mengerjakan nya.
KEDUA: bahwa tidak
melihat fardlu‑kifayah itu lebih penting dari perdebatan.
Jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka
berdosalah ia dengan sikapnya itu. Contohnya seumpama orang yang melihat
serombongan orang kehausan yang hampir binasa & tak ada yang menolongnya.
Orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi
mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk
fardlu‑kifayah & kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan
binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli
bekam & lebih dari cukup, lalu dijawabnya bahwa ia tidak dapat merobah
pekerjaan berbekam menjadi tidak fardlu kifayah (artinya jika ada 1 orang yg
mengerjakannya maka selesai urusan itu) lagi. Maka peristiwa orang yang pergi
mempelajari berbekam & menyia‑nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya
kehausan itu, dari orang muslimin, samalah haInya dengan peristiwa orang yang
'asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardlu kifayah
yang disia‑siakan, tak ada yang mengerjakannya.
Mengenai fatwa/pernyataan maka telah bangun
segolongan manusia melaksanakannya. Tak ada satu negeripun yang didalamnya
fardlu kifayah, yang tidak disia‑siakan. Dan para ulama fiqih tidak menaruh
perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran. Hampir
seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh diperpegangi
kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis/saran dokter.
Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam lapangan
kedokteran. Begitu pula amar maruf &
nahi munkar, termasuk dalam fardlu
kifayah. Kadang‑kadang seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera
dipakai & dipasang pada tempat duduk. Dia tinggal berdiam diri & terus
berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi
maka bangunlah serombongan fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa
maksudnya dengan fardlu kifayah tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Diriwayatkan Anas ra bahwa orang bertanya
kepada Nabi saw: “Pabilakah amar maruf
& nahi munkar itu ditinggalkan orang?" Maka menjawab Nabi saw: "Apabila telah lahir sifat berminyak
air/munafik dalam kalangan orang pilihan dari kamu & perbuatan keji dalam
kalangan orang jahat dari kamu & berpindah pemerintahan dalam kalangan
orang‑orang kecil dari kamu & fiqih (hukum) dalam kalangan orang‑orang yang
hina dari kamu ".
KETIGA: bahwa adalah
seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri, tidak
dengan madzhab Asy‑Syafi’i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga, apabila lahirlah
kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai dengan
pendapat Asy‑Syafi’i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti yang
diperbuat para shahabat ra dan para imam. Adapun orang, yang tidak dalam
tingkat ijtihad dan memang begitulah keadaan orang sekarang maka berfatwa’alah
dia dalam persoalan yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya.
Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya. Dari itu,
apakah faedahnya ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan
dia tak boleh berfatwa dengan yang lain ? Kalau ada yang sulit, dia harus
mengatakan: "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya madzhabku.
Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad/ berkesungguhan pada pokok‑pokok
agama". Kalau ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai 2
pendapat atau 2kata dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini
dapat meragukan baginya mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua
pendapat itu, karena sepanjang penyelidikannya, ia condong kepada yang satu
itu. Maka tak adalah sekali‑kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.
Tetapi mungkin pula ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat/kata
itu dan dicarinya persoalan yang ada perselisihan pendapat padanya sudah
pasti.
KEEMPAT: bahwa tidak
diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi
dalam masa dekat. Karena para shahabat ra tidak mengadakan musyawarah selain,
dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan
warisan (faraidl). Tetapi, kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan
pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang sering terjadi.
Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran
pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi.
Kadang‑kadang ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan
mengatakan: "Itu soal kabar angin atau soal yang diketepikan yang tak
layak diperdengar kan". Yang mengherankan, ialah tujuan mereka mencari
kebenaran. Tetapi persoalan yang semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar
angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu
tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai hal ini, tak usah kami
perpanjang kalam (berkata-kata). Menuju kepada kebenaran biarlah dengan kata
yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, tidak berpanjang‑panjang.
KELIMA: bahwa perdebatan
itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan orang ramai
dan di muka para pembesar dan penguasa‑penguasa. Pada tempat yang sepi,
pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan
hati, pikiran dan kebenaran. Kalau di muka umum, dapat menggerakkan ria,
mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar dia atau salah.
Anda tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah
karena Allah Ta’ala. Kalau di tempat yang sepi, masing‑masing mau memberikan
kesempatan waktu kepada kawannya untuk berpikir dan berdiam diri. Kadang‑kadang
dimajukan saran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat. Tetapi bila di muka
umum/dihadapan pertemuan besar, masing-masing pihak tidak mau meninggalkan
kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.
KEENAM: bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti
orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang
lain yang menolongnya. Dia memandang temannya berdebat itu penolong, bukan
musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan
dilahirkannya kebenaran. Seumpama kalau dia mengambil jalan mencari barangnya
yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang yang hilang itu berada
pada jalan yang lain. Tentu akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya.
Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira. Demikianlah adanya
musyawarah para shahabat Nabi saw itu.
Seorang wanita pernah membantah keterangan
Umar ra dan, menerangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato
dihadapan rakyat banyak. Maka menjawab Umar: "Benar wanita itu dan salah
laki‑laki ini ! Bertanya seorang laki‑laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi
penjawaban atas pertanyaan itu. Lalu menyahut laki‑laki tadi: "Bukan
begitu wahai Amirul mu'minin. Tetapi begini
begini !. Maka menjawab Ali:
"Anda benar dan aku salah. Di atas tiap‑tiap yang berilmu, ada lagi yang
lebih berilmu". Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu Musa AI‑Asy'ari ra dalam suatu
persoalan. Maka berkata Abu Musa: "Janganlah kamu bertanya kepadaku
tentang sesuatu, selama tokoh ini masih dihadapan kita". Persoalan itu
yaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang berperang sabilullah lalu tewas,
maka menjawab Abu Musa: "Masuk sorga". Abu Musa ketika itu menjadi
amir di Kufah. Tatkala mendengar penjawaban Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu
Mas'ud seraya berkata: "Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu,
barangkali dia belum mengerti !". Yang hadlir mengulangi lagi pertanyaan
di atas dan Abu Musa menjawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud:
"Saya mengatakan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh kebenaran,
maka dia dalam Sorga". Maka menjawab Abu Musa: "Yang benar ialah yang
dikatakan Ibnu Mas'ud !'. Demikianlah kiranya keinsyafan bagi orang yang
mencari kebenaran. Kalau umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada
seorang ahli fiqih kaliber kecil saja, tentu dibantahnya dan
dikesampingkannya dengan mengatakan: “Tak perlu dikatakan, ‑diperolehnya
kebenaran‑, sebab hal itu semua orang sudah tahu". Lihatlah tukang‑tukang
berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut
lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu dan berusaha sekuat tenaganya,
menentang kebenaran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus‑menerus selama hidupnya,
orang yang telah mematahkan keterangannya itu. Kemudian tidak pula malu
menyamakan dirinya dengan para shahabat ra tentang bekerja sama & tolong‑menolong
mencari kebenaran.
KETUJUH: Jangan dilarang
teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari satu
persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf pada
masa yang lampau. Tetapi sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur
seluruh bentuk pertengkaran yang tidak‑tidak, baik terhadap dirinya sendiri
atau terhadap orang lain. Seumpama katanya: "Ini tidak perlu saya
sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu
tidak diterima". Sebenarnya, kembali kepada kebenaran adalah merombak yang
batil/salah dan wajib diterima. Anda melihat sekarang seluruh majelis
perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai memberi keterangan
dengan alasan‑alasan sangkaan. Untuk menolak alasan tadi, lalu yang sepihak
lagi bertanya: "Apa keterangannya, maka untuk menetapkan hukum masalah
itu, didasarkan kepada alasan tadi?". Pihak pertama menolak dengan
mengatakan: “Itulah yang ada padaku. Kalau ada pada saudara yang lebih terang dan
kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan ! ".
Maka terus‑meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain
lagi yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama: "Saya tahu, tetapi tidak
mau saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya !". Yang sepihak
lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak yang
kedua ini tetap menolak. Bertele‑tele majelis perdebatan itu dengan bersoal dan
berjawab. Pihak yang mengatakan bahwa dia tahu, tetapi tidak bersedia menerangkannya,
beralasan tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya
ia tidak tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu
adalah seorang fasiq/ pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi
Allah dengan mengatakan tahu, padahal tidak. Kalau benar ia tahu, maka dia
menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu
agama, sedang saudaranya seagama telah bertanya untuk mengerti dan
mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat
kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah
kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu
yang terang‑benderang. Dan tak khilaf lagi bahwa melahirkan apa yang diketahui
dari ilmu agama setelah ditanyakan, adalah wajib dan perlu. Dari itu, katanya:
"Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu
dalam perdebatan yang diadakan untuk memenuhi hawa nafsu dan ingin mencari
jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang
diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerangkan,
jadilah dia pendusta atau fasiq. Perhatikanlah musyawarah para shahabat ra dan
bersoal jawab para ulama salaf ! Adakah anda mendengar semacam itu? Adakah
dilarang orang berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari qias ke
perkataan shahabat dan dari hadits ke ‑ayat? Tidak, bahkan seluruh perdebatan
mereka termasuk ke dalam golongan tadi. Karena mereka menyebutkan apa yang
terguris di hati, dengan tidak sembunyi‑sembunyi. Dan masing‑masing
mendengarnya dengan penuh perhatian.
KEDELAPAN: bahwa perdebatan
itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedahnya bagi orang itu, seperti
orang yang sedang menuntut ilmu. Biasanya sekarang, orang menjaga jangan
sampai berdebat dengan tokoh‑tokoh yang terkemuka dalam lapangan ilmu
pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran dari mulut mereka. Dari itu
dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang salah itu
bisa laris. Di balik syarat‑syarat yang tersebut, ada lagi beberapa syarat yang
penting juga. Tetapi dengan syarat yang 8 itu, cukuplah kiranya memberi
petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang
berdebat karena sesuatu maksud. Ketahuilah secara keseluruhan, bahwa orang yang
tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai hatinya dan musuhnya
yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada kebinasaan, lalu tampil
mendebati orang lain mengenai masalah‑masalah, di mana seorang mujtahid/orang
yang bersungguh-sungguh memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang
yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi
ibarat bagi orang‑orang yang ikhlas. Karena itu, waspadalah terhadap tipuan
setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan bahaya yg
akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya. Kepada Allah Ta’ala kita
meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.
PENJELASAN:
Bahaya berdebat (bermunadharah) dan hal‑hal yang terjadi dari padanya, tentang
kerusakan budi.
Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan
tujuan mencari kemenangan, menundukkan lawan, melahirkan kelebihan dan
kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan
kebebasan serta ingin menarik perhatian orang, adalah sumber segala budi yang
tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat‑sifat
kekejian batin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri
bersih, suka kemegahan dan lainnya, adalah seumpama hubungan minum khamar
kepada sifat‑sifat kekejian zahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina
(qazaf), membunuh dan mencuri. Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara
minuman yang memabukkan dan perbuatan‑perbuatan keji yang lain, Ialu dianggapnya
minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya
ketika sedang mabuk, kepada perbuatan‑perbuatan keji yang lain, maka demikian
pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh
kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya kepada
bermacam‑macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya. Dan menggelagaklah
padanya segala budi pekerti yang tercela. Segala budi pekerti itu akan
diterangkan nanti dalil‑dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan
tercelanya pada: “Bahagian Sifat‑sifat Yang Membinasakan". Sekarang kami
tunjukkan keseluruhan sifat‑sifat jahat yang ditimbulkan oleh
munadharah/berdebat itu. Diantaranya
"dengki".
Bersabda Nabi saw:”Dengki itu memakan yang baik seperti api memakan kayu kering".
Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang,
sekali kalah. Sekali kata‑katanya dipuji orang dan sekali kata‑kata lawannya dipuji
orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan
pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka
selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu
hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu. Dengki adalah api yang
membakar.
Orang yang menderita penyakit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan
kemelaratan dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra: "Ambillah
ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan janganlah kamu terima perkataan
fuqaha', karena diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya,
seperti berselisihnya kambing‑kambing jantan dalam kandang". Diantara
sifat‑sifat jahat itu: takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.
Bersabda Nabi saw:”Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa
merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan" Bersabda Nabi saw menceriterakan firman
Allah Ta’ala: “Kebesaran itu kain
sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang
yang dua itu, niscaya AKU binasakan dia”. Selalulah orang yang berdebat itu
menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar.
Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba‑lomba meninggi
dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu
mendahulukan masuk pada jalan yang sempit. Kadang‑kadang si bodoh dan si keras
kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu
memelihara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mumin itu dilarang menghinakan
diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan
diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat
takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan
agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak,
sebagaimana yang telah diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.
Diantara sifat‑sifat jahat itu: dendam. Hampir
seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw pernah bersabda: "Orang mumin
tidaklah pendendam”. Banyaklah dalil yang mencela sifat pendendam itu,
yang tak tersembunyi lagi. Seorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan,
tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang
menyambut dengan baik keterangan lawannya, sedang terhadap keterangannya
sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik. Apabila dilihatnya
demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama makin
mendalam. Akhirnya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada
zahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi. Bagaimanakah melepaskan diri
dari ini? Dan tidak tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan
keterangannya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi
alasan. Bahkan jika timbul dari lawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang
perhatian kepada perkataan nya maka tertanamlah dalam dadanya sifat pendendam,
itu yang payah hilang sampai bercerai badan dengan nyawa.
Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: mengupat. Sifat mengupat itu diserupakan
oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu
memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan
lawannya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam
ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti keadaan‑keadaan
yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihanya. Dan
itu lah mengumpat namanya sedang berdusta yaitu mengada-adakan yang tidak
tidak. Begitu pula tidak sanggup dia menjaga Iidahnya dari membentangkan hal
keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan lawannya dan
menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan
bebal. Diantara sifat-sifat yang jahat itu membersihkan diri. Berfirman Allah
Ta’ala: “Janganlah
kamu membersihkan dirimu. Dialah (Allah) Yang Maha Mengetahui siapa yang
bertaqwa ". S 53 ayat 32.
Ditanyakan kepada seorang ahli "hikmah
(hukama'): "Manakah kebenaran yang buruk?". Menjawab hukama' itu:
"Memuji manusia akan dirinya". Tidaklah terlepas, si pendebat itu
memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman‑temannya.
Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat: "Saya bukan orang yang tidak mengerti
dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam‑macam ilmu, berpaham sendiri
tentang pokok‑pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain‑lain
perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji diri. Sekali untuk
memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya kata‑katanya laris.
Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang
disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: mengintip
dan mengikuti hal ikhwal orang. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu mengintip‑ngintip memata‑matai. S 49 ayat 12. Si
pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan lawannya.
Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya Ialu dicarinya orang
yang dapat menerangkan rahasia hidup pendebat yang datang itu. Ditanyainya
keburukan‑ keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan
nanti apabila keadaan memerlukan. Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup
si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan‑kekurangan yang ada
pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh
seumpama bekas borok atau lainnya. Kemudian, apabila dirasanya perlu, Ialu
dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya
baik untuk memperoleh sebab‑sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan,
menerangkan hal tersebut dengan diselang‑selangi penghinaan dan pengejekan,
sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat‑pendebat terkemuka yang terhitung
tokoh‑tokoh penting. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan. Orang yang tidak menyukai
pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah
dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap‑tiap orang yang mencari kemegahan
dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenang kan baginya dengan
timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan
dalam diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan dalam diantara wanita‑wanita
yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang dimadukan, apabila melihat
dari jauh saingannya, Ialu gemetarlah sendi‑sendinya dan pucatlah mukanya.
Maka demikian pula haInya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat
lawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah‑olah dia
melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa. Maka dimanakah
sayang‑menyayangi dan cinta‑mencintai itu, yang berlaku diantara para alim
ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong‑tolongan dan
senasib‑sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima
dari ulama‑ulama yang terdahulu?
Imam Asy‑Syafi’i ra pernah berkata:
"llmu pengetahuan diantara orang‑orang yang terkemuka dan berpikiran
tinggi itu, adalah dalam bersilatur‑rahmi yang sambung-menyambung". Dari
itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab Imam Asy‑Syafi'i
oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah
menjadi alat permusuhan yang memutuskan silatur‑rahmi? Mungkinkah tergambar
sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan?
Amat jauh panggangan dari api !.
Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti
munafiq dan terlepas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin (artinya ia
meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu
yang ada apa-apanya)
Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: nifaq (sifat orang munafiq, lain di
luar, lain di dalam). Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil‑dalil yang
mencela sifat nifaq itu. Orang‑orang berdebat itu memerlukan kepada sifat
nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta‑pencinta lawan dan golongan
lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata persahabatan
dengan lisan, kata kasih‑sayang dan memuji‑muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu
kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq
dan zalim. Karena berkasih‑sayang dengan lisan, berdendam‑khesumat dengan hati.
Berlindunglah kita dengan, Allah dari sifat nifaq itu.
Bersabda Nabi saw:"Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berkasih‑kasihan
dengan lisan dan bermarah‑marahan dengan hati, serta berputus‑putusan silatur‑rahmi,
maka kenalah kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan
matanya”. Hadits ini diriwayatkan AL Hasan. Dan benarlah demikian dengan
dipersaksikan keadaan itu. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: menyombong, menolak kebenaran dan bersungguh‑sungguh menantangnya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah lawannya. Maka
bagaimanapun kebenaran itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga
ditantang dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik
dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehingga jadilah menantang
kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengarnya
perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat
pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil
dari AI‑Qur‑an dan kata‑kata lain dari agama. Maka jadilah dalil‑dalil itu
berantakan satu sama lain. Berdebat menghadapi yang salah itu harus dengan hati‑hati.
Nabi saw berseru supaya meninggalkan
perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang salah. Nabi saw bersabda:“Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang
dia di pihak yang salah, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan
perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah
rumah dalam sorga tinggi". Allah
Ta’ala menyamakan antara orang yang mengada‑adakan terhadapNya dengan
kedustaan dan orang yang mendustakan kebenaran. FirmanNya:“Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari
orang‑orang yang mengada‑ adakan
kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya !
S 29 ayat 68. Dan firmanNya: "Siapakah
yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah
dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya !". S 39 ayat
32. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: ria,
ingin memperlihat kan amalannya kepada orang banyak, berusaha menarik hati
dan pandangan mereka kepadanya. Ria adalah penyakit batin yang amat berbahaya,
dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti
pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud,
kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya.
Inilah 10 perkara dari induk kekejian batin, selain dari yang timbul secara
kebetulan dari orang‑orang di luar pendebat itu sendiri, yang merupakan
permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain,
penarikan janggut, pemakian ibu‑bapa, pengupatan guru dan tuduhan‑tuduhan yang
tegas menyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang
yang masuk bilangan. Sesungguhnya orang‑orang yang terkemuka dan yang terkenal
pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang 10 itu. Benar,
sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, disamping ada pula
yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat‑sifat itu. Atau karena
jauh dari kampungnya dan unsur‑unsur kehidupannya, maka sifat‑sifat itu berbeda
antara satu sama lainnya. Pendek kata, payahlah terlepas dari sifat‑sifat
tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam‑macam, melihat kepada
tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang 10 tadi, masing‑masing
daripadanya bercabang pula kepada 10 yang lain yang tak kurang kejinya. Kami
tidak berpanjang kata-kata menyebut dan mengurai kannya satu persatu, seumpama
keras hidung, marah, dendam, loba, ingin memperoleh harta dan kemegahan untuk
tetap dalam kemenangan, bangga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan
penguasa serta pulang‑pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba-lomba
dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka
menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang
tak perlu, banyak bicara, hilang rasa‑takut, hilang gemetar dan belas‑kasihan
di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga
diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya,
bacaannya dan dengan siapa dia sedang bermunajat. Dia tidak merasa khusyu'
dalam hatinya, padahal umurnya telah
dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menolongkannya dalam
perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan
membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata‑kata yang ganjil
dan lain‑lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya. Orang‑orang yang suka
berdebat itu, berlebih‑kurang tingkat dari sifat‑sifat tersebut. Bermacam‑macam
tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara
mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur‑unsur budi‑pekerti. Hanya
usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari
padanya. Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada
orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pelajaran apabila
tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemegahan, memperoleh kekayaan dan
kemuliaan. Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan
madzhab dan fatwa‑fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli/hakim, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap‑tiap orang yang menuntut
ilmu bukan karena mengharap pahala daripada Allah Ta’ala di akhirat. Maka ilmu
itu tidak saja menyia‑nyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakan
nya atau menghidupkannya sepanjang zaman. Karena itu, bersabda Nabi saw: "Manusia yang sangat menderita adzab
pada hari qiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfalat dengan
ilmunya”.
Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada
yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah‑mudahan, kiranya
kita terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu
itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya.
Sesungguhnya, bahaya ilmu itu besar. Orang
yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan
kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan
atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan
tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan ‑tidak
mustahil‑ lebih buruk dari itu lagi. Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya
diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut
ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta. menjadi kepala, maka ilmu itu telah
terbenam. Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada.
Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola,
bermain anggar dan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian tidaklah
menunjukkan bahwa kesukaan yang seperti itu, kesukaan yang terpuji. Dan
kalaulah tidak karena suka menjadi kepala, Ialu ilmu pengetahuan itu terbenam.
Itupun tidak menunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan
diri dari kebinasaan. Tetapi termasuklah diantara orang yang diterangkan Nabi
saw dengan sabdanya:"Sesungguhnya Allah akan Menguatkan agama ini dengan kaum (orang‑orang)
yang tak berbudi”. Dan sabdanya pada
hadits, yang lain: “Sesungguhnya Allah
akan menguatkan agama ini dengan orang yang dhalim”. Orang yang mencari kedudukan kepala
bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang‑kadang Ia dapat memperbuat perbaikan
bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu yang zahir nya
sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi batin nya, ia menyembunyikan
tujuannya mencari kemegahan. Orang yang seperti itu, adalah seumpama lilin
yang membakar dirinya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang
diperoleh orang lain adalah terletak dalam kebinasaannya. Maka apabila orang
yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api
pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya. Dari itu, maka ulama ada
tiga,
1. Adakalanya membinasakan diri sendiri dan orang lain,
yaitu mereka yang berterus‑terang mencari dunia dan memusatkan seluruh
perhatiannya kepada dunia.
2. Adakalanya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain,
yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, zahir dan batin.
3. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan
orang lain, yaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri
menolak dunia pada zahirya, sedang pada batin nya bertujuan mempengaruhi orang
banyak dan menegakkan kemegahan diri. Maka lihatlah ! Dalam bahagian manakah
anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu? Janganlah
anda menyangka bahwa Allah Ta’ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak
ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu‑raguan
hilang dari hati nuranimu, Insya Allah.
BAB
KELIMA: Tentang Adab Kesopanan Pelajar
dan Pengajar.
Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang zahir itu adalah banyak. Tetapi perinciannya adalah
tersusun dalam 10 rumpun kata‑kata.
Tugas pertama: mendahulukan kesucian batin dari kerendahan
budi dan sifat‑sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati,
shalat batin dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana tidak syah
shalat yang menjadi tugas anggota zahir, kecuali dengan mensucikan anggota zahir
itu dari segala hadats dan najis, maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian
(ibadah) batin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah
sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat. Bersabda Nabi saw: "Ditegakkan agama atas kebersihan"
Yaitu zahir & batin. Berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya orang musyrik itu
najis". Firman Tuhan
itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa kesucian dan
kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota zahir yang dapat dikenal dengan
pancaindera. Orang musyrik itu kadang‑kadang kainnya bersih, badannya dibasuh,
tetapi dirinya najis. Artinya: batinnya berlumuran dengan kotoran.
Najis: adalah diartikan
dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta menjauhkan diri dari
padanya. Kenajisan sifat batin adalah lebih penting dijauhkan. Karena dengan
kekotorannya sekarang, membawa kepada kebinasaan pada masa yang akan datang.
Dari itu, Nabi saw bersabda:"Tidak
masuk malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing". Hati itu adalah
rumah, yaitu tempat malaikat, tempat turun pembawaan dan tempat
ketetapan dari malaikat. Sifat‑sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa
nafsu, dengki, busuk hati, takabur, 'ujub dan sebagainya adalah anjing‑anjing
yang galak. Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke batin hati yang sudah penuh
dengan anjing‑anjing?
Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan
oleh Allah Ta’ala ke batin hati, selain dengan perantaraan malaikat: “Tidak ada bagi manusia berkata‑kata dengan
Allah, selain dengan wahyu atau di belahang hijab atau dengan mengirimkan
rasul, Ialu diwahyukannya apa yang dikehendakiNya dengan keizinanNya".
S asy syura ayat 51. Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rakhmat dari
ilmu pengetahuan itu kepada hati. Hanya malaikatlah Yang mengurus, mewakili
membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, bersih dari segala sifat
yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain kepada yang baik. Tak ada urusan
mereka dengan segala perbendaharaan rakhmat Allah padanya, selain dengan yang
baik suci. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "rumah” dalam hadits
yang diatas tadi, yaitu hati dan dengan "anjing"
yaitu marah dan sifat‑sifat tercela yang lain. Tetapi
aku mengatakan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu perbedaan
antara kata‑kata zahir yang menunjukkan kepada batin dan peringatan kepada batin
dengan menyebutkan kata‑kata zahir serta tetap pada kezahiran nya. Golongan
ahli kebatinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi. Maka
inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim ulama dan orang
baik‑baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat (Itibar) yaitu mengambil ibarat
dengan apa yang diterangkan kepada orang lain, tidaklah untuk orang lain itu
saja. Seumpama seorang yang berpikiran waras, melihat bahaya yang menimpa orang
lain, maka menjadi tamsil/umpama ibaratlah baginya, sebagai suatu peringatan
bahwa dia pun mungkin pula ditimpakan bahaya tersebut.
Dunia ini adalah selalu berputar laksana
roda pedati. Maka mengambil ibarat dari orang lain untuk diri sendiri dan dari
diri sendiri kepada asalnya, dunia ini, adalah suatu ibarat yang terpuji. Maka
anda ambil jugalah menjadi ibarat dari rumah yaitu pembangunan dari manusia
kepada hati, yaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang
dicela kerena sifatnya bukan kerena bentuknya yaitu padanya terdapat sifat
kebuasan dan kenajisan kepada jiwa
keanjingan, yaitu sifat kebuasan.
Ketahuilah bahwa hati yang dipenuhi dengan
kemarahan, loba kepada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus,
dengan mengoyak‑ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan hati dalam
bentuk. Orang yang bermata hati
memperhatikan arti, tidak bentuk. Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan
arti, tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengikuti arti dan
artilah yang menang. Dari itu, masing‑masing orang dibangkitkan batin bentuknya
yang manawi (menurut pengertian dari
bentuk itu). Menurut hadits: "Orang yang mengoyak‑ngoyakkan kehormatan
orang lain, dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada
harta‑benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang yang
menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau. Dan orang
yang mencari jadi kepala, dibangkitkan dalam
bentuk singa". Banyaklah hadits berkenan dengan hal di atas dan
menjadi tamsil ibarat kepada orang‑orang yang mempunyai mata hati dan mata
kepala. Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang rendah budi,
memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya, bahwa alangkah jauhnya
ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna di akhirat, yang membawa
kebahagiaan.
Yang pertama sekali dari ilmu itu, nyata
kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang membinasakan. Adakah
anda melihat orang mengambil racun dengan mengetahui bahwa itu racun yang
membunuhkan? Yang anda dengar dari orang itu ialah perkataan yang diucapkannya
dengan lidahnya dalam satu bentuk dan diulang‑ulanginya dengan hatinya dalam
bentuk yang lain. Yang demikian, bukanlah ilmu namanya. Berkata Ibnu Mas'ud ra:
"Tidaklah, ilmu dengan banyak
ceritera, tetapi ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan di dalam dada”. Berkata
setengah mereka: “Sesungguhnya ilmu itu
takut (khasyyah) kepada Allah" karena
firmanNya: "Sesungguhnya yang takut
kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu)” S 35 ayat
28. Dengan firman itu, seakan‑akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu yang
lebih khas. Dari itu berkata sebahagian ulama muhaqqiqin (orang-orang yang berilmu
hakikat/makna), bahwa arti perkataan mereka: "Kami pelajari ilmu bukan
karena Allah, maka seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu
segan dan tak mau kepada kami. Maka tak terbukalah hakikat/maknanya kepada
kami. Hanya yang ada bagi kami, ialah ceritranya dan kata‑katanya saja. Kalau
anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fuqaha' muhaqqiqin, yang
terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari golongan tokoh‑tokoh
besar, adalah budi pekertinya tercela dan tidak berusaha membersihkan diri dari
padanya, maka jawabnya: bila anda mengetahui tingkat‑tingkat ilmu pengetahuan
dan mengetahui pula ilmu akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang
dikerjakan mereka itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya
baru ada dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan
diri kepadaNya. Untuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan dijelaskan
lagi, dengan lebih tegas dan terang Insya
Allah.
Tugas
kedua: seorang pelajar itu hendaklah mengurangkan hubungannya
dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halaman.
Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain. "Allah tidak menjadikan bagi seorang
manusia dua hati dalam rongga tubuhnya". S 33 ayat 4. Apabila pikiran
itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupan nya mengetahui hakikat‑hakikat/makna
yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu dikatakan: ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagian dari padanya
sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau sudah menyerahkan seluruh jiwa raga
engkau, maka penyerahan ilmu yang sebahagian itu masih juga dalam bahaya.
Pikiran yang terbagi‑bagi kepada hal ikhwal yang bermacam‑macam itu, adalah
seumpama sebuah selokan yang mengalir airnya kebeberapa jurusan. Maka
sebahagian airnya ditelan bumi dan sebahagian lagi diisap udara, sehingga yang
tinggal tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam‑tanaman.
Tugas
ketiga: seorang pelajar itu
jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah
seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagaimana
seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman.
Seharusnyalah seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan
kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya.
Berkata Asy‑Syabi: “Pada suatu hari Zaid
bin Tsabit bershalat janazah. Sesudah shalat itu selesai, Ialu aku dekatkan
baghalnya (nama hewan, lebih kecil dari kuda) untuk dikendarainya. Maka datang
Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid untuk dikendarainya. Maka berkata
Zaid: "Tak usah wahai anak paman
Rasulullah saw". Berkata Ibnu Abbas: "Beginilah kami disuruh
berbuat terhadap para 'alim ulama dan orang‑orang besar". Lalu Zaid bin
Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Muhammad
saw. Bersabda Nabi saw: "Tidaklah
sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min merendahkan diri, selain pada
menuntut ilmu". Dari itu tidaklah layak bagi seorang pelajar
menyombong terhadap gurunya. Termasuk sebahagian dari pada menyombong terhadap
guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali pada guru yang terkenal benar
keahliannya. Ini adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan.
Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang buas,
tentu tidak akan membeda‑bedakan. Apakah jalan itu ditunjuki oleh seorang yang
termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan api neraka, kepada
orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman seluruh binatang buas. Ilmu
pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang mu'min, yang
harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus diucapkannya terima
kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya. Dari itu, berkata pantun:
"Pengetahuan
itu adalah perjuangan,
bagi pemuda yang
bercita‑cita tinggi.
Seumpama banjir itu adalah perjuangan,
Bagi suatu tempat yang tinggi
Ilmu pengetahuan
tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian. Berfirman
Allah Ta’ala: "Sesungguhnya hal yang
demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian)
atau mempergunakan pendengarannya dengan berhati‑hati" S 50 ayat 37.
Pengertian "mempunyai hati" yaitu hati itu dapat menerima pemahaman
bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong kepada pemahaman, selain
dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati‑hati dan sepenuh jiwa. Supaya
dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh perhatian, merendahkan
diri, syukur, gembira dan menerima nikmat. Hendaklah pelajar itu bersikap
kepada gurunya seumpama tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah
ke seluruh bahagiannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu. Manakala
guru itu menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendaklah dita'ati dan
ditinggalkan pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih
berguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari yang
halus‑halus, yang ganjil didengar tetapi besar faedahnya. Berapa banyak orang
sakit yang dipanasi diobati dokter dengan menambah panas pada suatu waktu.
Supaya kekuatannya bertambah sampai batas yang sanggup menahan pukulan obat.
Maka heranlah orang yang tak berpengalaman tentang itu ! telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala
dengan kisah nabi Khidir as dan nabi Musa as. Berkata nabi Khaidir as: “Engkau
Musa tak sanggup bersabar beserta ku bagaimana engkau bersabar dalam persoalan
yang belum berpengalaman didalamnya” S 18 ayat 67-68. Lalu nabi Khaidir as
membuat syarat yaitu nabi Musa as harus diam dan menerima saja. Berkata nabi
Khaidir as: “Jika engkau mengikuti aku, maka janganlah bertanya tentang sesuatu
sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti”. S 18 ayat 70.
Rupanya Nabi Musa as tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan
berpisah diantara keduanya. Pendek kata, tiap‑tiap pelajar yang masih berpegang
teguh kepada pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, di luar pilihan
gurunya, maka hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian. Jika anda
mengatakan bukankah Allah Ta’ala telah berfirman: “Bertanyalah kepada ahli ilmu
jika kamu tidak tau” S 16 ayat 43. Jadi bertanya itu disuruh. Maka ketahuilah,
bahwa memang demikian, tetapi mengenai persoalan yang diizinkan guru, bertanya
kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatan mu memahaminya,
adalah dicela, karena itulah, maka Khaidir melarang Musa bertanya. Dari itu,
tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya ! Guru lebih tahu tentang keahlianmu
dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam
tingkat manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.
Berkata Ali ra: "Hak dari seorang
yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya kepadanya ! Jangan engkau
paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau
pegang kainnya, bila dia bangun, jangan engkau siarkan rahasianya ! Jangan
engkau caci orang lain dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya ! Jika
dia silap terimalah kema'afannya ! Haruslah engkau memuliakan dan
membesarkannya karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau
duduk dihadapannya ! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak
menyelenggarakannya.
Tugas
keempat: seorang pelajar pada tingkat permulaan,
hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan.
Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena,
yang demikian itu meragukan pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan
pendapatnya dan membawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan
mendalaminya. Tetapi yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja
yang terpuji dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh mendengar madzhab‑madzhab
dan keserupaan yang ada diantaranya. Bila guru itu tidak bertindak bebas,
dengan memilih suatu pendapat tertentu, tetapi kebiasaannya hanya mengambil
madzhab-madzhab dan apa yang tersebut dalam madzhab‑madzhab itu, maka dalam
hal ini hendaklah waspada ! Sebab orang yang semacam
itu, lebih banyak menyesatkan dari pada memberikan petunjuk. Maka
tidaklah layak orang buta memimpin dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang
yang begini keadaannya, dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh. Mencegah
orang yang baru belajar dari pada mencampuri persoalan‑persoalan yang
meragukan, samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam,
dari pada bergaul dengan orang‑orang kafir. Menarik orang yang "kuat”
kepada membanding dalam masalah‑masalah khilafiah/perdebatan, samalah halnya
dengan mengajak orang yang "kuat” untuk bergaul dengan orang kafir. Dari
itu, dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang
berani, disunatkan maju terus. Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting
ini, ialah sangkaan sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh
mengikuti orang‑orang yang "kuat” mengenai persoalan‑persoalan yang mudah,
yang diambil dari pada mereka. la tidak tahu bahwa tugas orang yang
"kuat”, berbeda dengan tugas orang yang "lemah".
Mengenai itu, berkata sebahagian ulama: “Barang siapa memperhatikan aku
pada tingkat permulaan, maka jadilah
dia orang benar. Dan barang siapa
memperhatikan Aku pada tingkat penghabisan,
maka jadilah dia orang zindiq (Islam pada dhahir dan kafir pada bathin)”. Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua
amalan kepada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain
dari amalan yg wajib yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat
bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan salah, malas dan lengah. Amat
jauhlah dari itu ! Maka yang demikian itu adalah pengikatan hati dalam
pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta’ala dan membiasakan
berdzikir yang terus‑menerus, yang menjadi amalan utama. Dan penyerupaan orang
lemah dengan orang kuat tentang sesuatu yang kelihatan dari zahirnya itu suatu
kesalahan, adalah menyamai halnya dengan alasan orang yang menjatuhkan sedikit
najis ke dalam kendi air. Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih
banyak dari najis ini kadang‑kadang dilemparkan ke dalam laut. Dan laut itu
lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi
tidak boleh. Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut
dengan tenaganya dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar
kepada sifat air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan
merobahkan kendi kepada sifat najis. Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan
bagi Nabi saw apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi Nabi saw
dibolehkan mengawini 9 wanita. Karena baginya kekuatan keadilan untuk para
isterinya, melebihi dari orang lain, meskipun isterinya itu banyak. Adapun
orang lain tidak sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang
terjadi, ialah kemelaratan diantara isteri-isterinya, yang mengakibatkan
kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam mencari
kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang membandingkan para malaikat dengan tukang besi.
Tugas
kelima: seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun
dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macam pun dari berbagai
macamnya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud dan tujuan
dari masing‑masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajarinya
secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta
disempurnakan dan dikesampingkannya yang lain. Ilmu pengetahuan itu bantu‑membantu.
Sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang
mempelajari ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, yaitu terlepas dari musuh ilmu itu yaitu kebodohan. Karena
manusia itu adalah musuh dari kebodohannya. Berfirman Allah Ta’ala: "Ketika mereka tidak mendapat petunjuk
dengannya, maka nanti akan berkata: Ini adalah kepalsuan yang lama". S
46 ayat 11. Berkata seorang penyair:
"Orang yang memperoleh penyakit,
rasa pahit pada mulutnya,
maka akan merasa pahit, air pancuran yang lezat cita rasanya.
Ilmu pengetahuan
dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan, yang membawa seorang
manusia kepada Allah Ta’ala atau menolong membawa ke jalan tersebut.
Pengetahuan itu mempunyai tingkat‑tingkat yang teratur, dekat dan jauhnya
dengan maksud. Orang yang menegakkan ilmu pengetahuan Itu adalah penjaga‑penjaga
seperti penjaga rumah penyantun dan benteng. Masing‑masing mempunyai tingkatan.
Dan menurut tingkatan itulah, dia memperoleh pahala di akhirat, apabila
tujuannya karena Allah Ta’ala.
Tugas
keenam: seorang pelajar itu
tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi
memelihara tertib dan memulainya dengan yang lehih penting. Apabila umur itu
biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan, maka yang
lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala pengetahuan itu dan
dicukupkan dengan sekedarnya. Lalu dikumpulkan seluruh kekuatan dari
pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang termulia dari segala
macam ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu
akhirat. Yang saya maksudkan dengan ilmu
akhirat, yaitu kedua macamnya: ilmu mu’amalah(artinya
ilmu yang diminta untuk mengetahuinya
lalu di amalkan) dan ilmu mukasyafah(artinya ilmu yang untuk mengetahuinya saja). Tujuan dari ilmu muamalah ialah ke ilmu mukasyafah. Dan
tujuan dari ilmu mukasyafah ialah
mengenal Allah Ta'ala. Tidaklah saya
maksudkan dengan itu akan 'keyakinan yang dianut orang awwam dengan jalan
pusaka atau pelajaran. Atau cara penyusunan kata‑kata dan perdebatan untuk
mengokohkan ilmu kalam (ilmu berkata-kata) dari serangan lawan seperti tujuan
ahli ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan. ialah suatu macam keyakinan yaitu hasil dari nur
yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang sudah
mensucikan kedalamannya dari segala kotoran dengan mujahadah (berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga
sampailah dia ke tingkat keimanan Saidina Abu Bakar ra, yang kalau ditimbang dengan
keimanan penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah keimanan Abu Bakar itu
sebagaimana telah diakui oleh Nabi saw sendiri. Maka tak adalah artinya padaku,
apa yang diyakinkan oleh orang awwam dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam,
yang tidak melebihi dari orang awwam itu, selain dari tehnik kata‑kata. Dan
karenanya, lalu dinamakan ilmu kata‑kata
(ilmu kalam), suatu pengetahuan yang tidak disanggupi Umar, Usman, Ali dan
lain‑lain shahabat di mana Saidina Abu Bakar ra memperoleh kelebihan dari
mereka ini dengan suatu rahasia (sirr)
yang terpendam di dalam dadanya. Dan heran benar, orang‑orang yang mendengar
perkataan tersebut dari Nabi kita saw lalu memandang leceh, dengan mendakwakan
bahwa itu barang batil, bikinan kaum tasawwuf/ahli suffi dan tidak dapat
dipahami. Maka haruslah anda berhati‑hati menghadapinya. Kalau tidak, nanti
anda kehilangan modal. Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar
dari simpanan kaum fuqaha' dan ulama kalam ! Anda tidak akan mendapat petunjuk
untuk itu, selain dengan bersungguh‑sungguh mempelajarinya. Pendek kata, ilmu
yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah: “Mengenal Allah Ta'ala”. Itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga.
Tingkat yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian
para wali, kemudian orang‑orang yang mengikuti mereka.
Menurut riwayat, pernah orang bermimpi
melihat dua orang ahli hikmah dalam sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari
keduanya adalah sehelai kertas yang bertulisan.: "Jika anda telah berbuat
baik segala sesuatu maka janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang
sesuatu, sehingga anda telah mengenal Allah Ta’ala dan mengetahui bahwa DIA‑lah
yang menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu". Dan dalam
tangan yang seorang lagi bertulisan: "Sebelum saya mengenal Allah saya
minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka hilanglah kehausan
saya tanpa minum".
Tugas
ketujuh: bahwa tidak
mencemplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum
menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun
dengan tertib. Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian yang lain. Mendapat
petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara tata‑tertib dan susunan itu !
Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik‑baiknya
". S 2 ayat 121. Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum
dikuasainya benar‑benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan
tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki kepada yang lebih
tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan salah terhadap sesuatu
ilmu, karena timbul perselisihan paham diantara pemuka‑pemukanya. Atau
menghukum dengan kesalahan seorang atau beberapa orang diantara mereka. Atau
menghukum dengan harus menantang nya, karena berbeda antara perbuatannya dan
perkataannya. Anda akan melihat suatu golongan, yang tidak mempunyai perhatian
terhadap masalah‑masalah yang berhubungan dengan akal‑pikiran dan pemahaman,
disebabkan kata mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui
oleh pemuka‑pemuka persoalan‑persoalan itu sendiri. Untuk menyingkap segala
keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab
Miyaril‑ilmi.
Anda akan melihat segolongan manusia yang
berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu salah, karena dilihatnya suatu kesalahan
dari seorang dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul
karena kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang dinujumkan. Segolongan lagi,
berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian itu
tidak sesuai dengan yang dinujumkan. Sebenarnya, semuanya itu salah. Tetapi
sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya. Sebab tidaklah tiap‑tiap
orang itu mengetahui betul seluruh ilmu pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra:
"Engkau tidaklah mengetahui kebenaran dengan orang‑orang. Tetapi
ketahuilah kebenaran itu, barulah engkau akan mengetahui ahlinya".
Tugas
kedelapan: seorang pelajar itu
hendaklah mengenal sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia. Yang
demikian itu dikehendaki dua perkara:
1. Kemuliaan hasilnya.
2. Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.
Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari
yang satu itu kehidupan abadi dan
dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup
fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia. Seumpama ilmu berhitung dan ilmu
nujum. Maka ilmu berhitunglah yang lebih mulia karena kepercayaan dan kekuatan
dalil‑dalilnya. Dan jika dibandingkan ilmu berhitung dengan ilmu kedokteran,
maka ilmu kedokteranlah yang lebih mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu
berhitunglah yang lebih mulia, dipandang kepada dalil‑dalilnya. Memperhatikan
kepada faedahnya adalah lebih utama.
Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia, meskipun bagian terbesar dari
padanya didasarkan kepada kira-kiraan. Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia
ialah ilmu mengenai Allah aza wa jala (Allah yg Maha
Mulia & Maha Besar), mengenai
malaikat‑malaikatNya, kitab‑kitabNya, rasul‑rasuINya & ilmu mengenai jalan
yg menyampaikan kepada yg demikian. Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah
ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu‑ilmu tadi & bersungguh‑sungguhlah
mempelajari ilmu mengenai Allah.
Tugas kesembilan: bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi kebatinan nya
dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mendaki untuk
mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang‑orang muqarrabin (orang‑orang yang mendekatkan
dirinya kepada Allah). Dan TIDAKLAH
dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk
memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang‑orang bodoh dan untuk
membanggakan diri dengan teman‑teman. Apabila yang tersebut di atas maksudnya,
maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, yaitu ilmu akhirat.
Dalam pada itu, tak layaklah memandang
dengan pandangan kehinaan kepada ilmu pengetahuan yang lain, seperti Ilmu
fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah
Nabi dan sebagainya yang telah kami uraikan pada pembukaan dan pelengkap dari
bermacam‑macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu kifayah
(artinya jika ada 1orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Janganlah anda berpikir tentang
kesangatan pujian kami akan ilmu akhirat, bahwa kami melecehkan ilmu‑ilmu yang
lain. Tidak ! Orang‑orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu pengetahuan,
samalah halnya dengan orang‑orang yang bertanggung jawab di benteng‑benteng
pertahanan dan orang‑orang yang ditugaskan di situ dan orang‑orang yang
berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara mereka itu ada yang bertempur, ada yang
bertahan, ada yg menyediakan minuman, ada yang menjaga kendaraan dan ada yang
mengurus orang‑orang yang memerlukan rawatan. Tidak ada seorangpun diantara
mereka yang tidak mendapat pahala, kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah
Allah, bukan untuk mengambil harta rampasan. Maka demikian pula para 'alim ulama.
Berfirman Allah Ta’ala:"Ditinggikan
Allah mereka yang beriman diantara kamu dan mereka yang diberikan ilmu, dengan
beberapa tingkat". S 58 ayat11. Dan berfirman Allah Ta’ala.:"Mereka memperoleh beberapa tingkat
pada Allah". S 3 ayat 163. Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada penukar-penukar uang,
bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja-raja, tidaklah menunjukkan
kepada hinanya penukar‑penukar uang itu bila dibandingkan dengan tukang‑tukang
sapu. Maka janganlah disangka bahwa apa yang diturunkan dari kedudukannya yang
tinggi, berarti sudah kehilangan pangkat. Tidak ! Sebab pangkat yang tertinggi
ialah bagi para Nabi, kemudian bagi para Wali, kemudian bagi para ulama yang
mendalam ilmunya, kemudian bagi orang‑orang shalih, dengan berlebih‑berkurangnya
derajat mereka itu. Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat biji sawi
dari kebajikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat amal seberat
biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang siapa bertujuan kepada
Allah dengan ilmu pengetahuannya, ilmu pengetahuan apapun juga, niscaya
bergunalah baginya dan sudah pasti akan meninggikan derajatnya.
Tugas
kesepuluh: bahwa harus
diketahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya. Supaya pengetahuan
yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh kepada tujuannya
yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting artinya mengandung
kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari urusan
mengenai dunia dan akhirat. Apabila tidak mungkin engkau mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan
kenikmatan ukhrawi, sebagaimana yang diterangkan AI‑Qur‑an dan disaksikan dari
nur hati‑nurani, oleh apa yang berlaku dihadapan mata kepala, maka yang lebih
penting adalah yang kekal abadi. Ketika
itu, dunia menjadi tempat tinggal, badan menjadi kendaraan dan amal perbuatan
menjadi jalan kepada tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah
Ta’ala. Maka padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak
diketahui kadarnya selain oleh beberapa orang saja. Ilmu pengetahuan itu bila
dibanding kepada, kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang kepada
wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami oleh para Nabi
dan tidak yang terlintas dalam pemahaman orang awwam dan ahli ilmu kalam, adalah
tiga tingkat, yang dapat anda pahami
dengan perbandingan dengan contoh. Yaitu adalah seorang budak yang
menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan
mengerjakan ibadah hajji. Dikatakan
kepadanya: "Sekiranya engkau telah mengerjakan ibadah hajji dan telah
engkau sempurnakan, maka jadilah engkau merdeka dan mempunyai hak milik. Jika
engkau telah bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji,
lalu mendapat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan
terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak milik?. Maka
bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan:
1. Menyediakan persiapan dengan membeli unta kendaraan, kendi
air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan.
2. Berjalan dan meninggalkan kampung halaman menuju Ka'bah
tempat demi tempat.
3. Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.
Maka sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan
bertawaf wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik dan kekuasaan penuh
bagi dirinya. Dan baginya pada tiap‑tiap kedudukan itu mempunyai tingkat,
sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan menjalani desa‑desa
sampai akhirnya. Dan sejak dari permulaan rukun hajji sampai akhirnya. Maka
tidak samalah kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai
mengerjakan rukun hajji, dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru
menyelesaikan segala persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula
dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju
Tanah Suci atau‑pun yang telah mendekatinya.
Dari itu, maka ilmu pun tiga bahagian.
Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan perbekalan, kendaraan dan
membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran,
ilmu fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini. Sebahagian berlaku semacam
menjalani desa‑desa dan menghindarkan segala rintangan. Ini adalah mensucikan kedalaman
dari segala kekotoran sifat dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang
tak sanggup orang‑orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain
orang-orang yang telah memperoleh taufiq Tuhan. Maka inilah jalan yang dituju.
Mempersiapkan pengetahuan untuk itu,
samalah halnya dengan mempersiapkan pengetahuan tentang jalan‑jalan mana dan
rumah‑rumah mana di jalan itu yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana
letak rumah dan jalan‑jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak
dikunjungi, maka seperti itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan
budi pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu
pengetahuan, tidak mungkin. Bahagian yang ke tiga, berlaku dalam melakukan
ibadah hajji dan rukun‑rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang Allah dan
sifatNya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami
terangkan waktu membicarakan ilmu "al mukasyafah (artinya ilmu yang untuk mengetahuinya saja) " dahulu. Di
sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan kebahagiaan. Kelepasan adalah
hasil bagi tiap‑tiap orang yang menuju ke jalan
Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, yaitu keselamatan. Kemenangan dengan
kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang-orang yang mengenal Allah
Ta’ala. Yaitu: orang‑orang muqarrabin yang memperoleh nikmat di sisi Allah
Ta’ala dengan kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan.
Adapun orang‑orang yang tidak memperoleh
tingkat kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti
firman Allah Ta’ala: "jika dia
termasuk orang‑orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia memperoleh) kegembiraan,
kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia termasuk kaum kanan, (kepadanya
diberikan penghormatan): Selamat (damai) untuk engkau, dari kaum kanan”. S
56 ayat 88‑89‑90‑91. Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud dan tidak
bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan dengan maksud
mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya untuk suatu maksud yang
cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan sesat. Penyambutan terhadap dia,
ialah dengan air yang sangat panas dan pembakaran dalam neraka.
Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang
sebenarnya (haqqul‑yaqin) pada para ulama yang mendalam pengetahuannya. Saya
maksudkan: mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari kebatinan.
Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang dari penyaksian
dengan mata kepala. Mereka itu telah meninggi, dari batas taqlid(menurut),
karena Pendengaran semata‑mata. Keadaan mereka samalah dengan keadaan orang
yang mendengar ceritera, maka dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka
diyakininya. Dan keadaan orang lain, samalah, dengan keadaan orang yang
sebelumnya, dengan keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib
penyaksian (musyahadah) dan pandangan yang tembus. Maka kebahagiaan adalah di
belakang ilmu mukasyafah/yang diminta untuk mengetahuinya saja. Dan ilmu yang
diminta untuk mengetahuinya saja adalah di belakang ilmu mu`amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat. Penyingkiran
halangan‑halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju penghapusan sifat yang
tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan tentang sifat‑sifat itu. Ilmu
pengetahuan tentang cara mengobati dan cara pergi menuju ke sana, adalah di
belakang ilmu keselamatan badan. Tolong‑menolong memelihara sebab‑sebab
kesehatan dan keselamatan badan adalah dengan persatuan, bergotong‑royong dan
tolong‑menolong, yang dapat menyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan
dan tempat. Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan undang‑undangnya
dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik dalam kawasan ahli hukum
fiqih.
Adapun sebab‑sebab kesehatan, maka adalah
dalam tanggung jawab dokter. Siapa yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu
dua: ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai agama dan diisyaratkannya
dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih, adalah maksudnya dengan perkataan
tersebut ilmu pengetahuan zahir yang
tersiar. Bukan ilmu batin yang tinggi kedudukannya. Jika anda bertanya,
mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan
dan kendaraan? Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk mencapai
dekatNya adalah hati, bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu
daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari rahasia Allah
Maha Mulia & Maha Besar, yang tidak diketahui oleh pancaindra. Suatu yang
halus dari segala yang halus kepunyaan Allah. Sekali disebut dengan kata‑kata "ruh", sekali dengan kata‑kata"an‑nafsul muthmainnah”. (Jiwa yang
tenteram). Agama menyebutkannya dengan hati
(al‑qalb), karena hatilah kendaraan pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah maka seluruh badan
menjadi kendaraan dan alat kendaraan untuk tubuh
halus itu. Dan menyingkap tutup dari sirr/rahasia tersebut, adalah
sebahagian dari ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerangkannya.
Paling tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, bahwa hati (al‑qalb)
itu suatu dzat (Jauhar / benda/barang) yang amat bernilai, suatu mutiara yang
amat mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia
itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi),
seperti firmanNya: "Dan ditanyahan
mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh, maka jawablah: “Ruh itu urusan
Tuhanku (min amri rabbi)" S 17 ayat 85. Seluruh makhluk dihubungkan
(mansubah) kepada Tuhan. Tetapi hubungan ruh (al‑qalb = hati) kepadaNya, adalah
lebih mulia dari hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah seluruh
makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain. Dzat yang amat
bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu
tugas yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung/bukit, tetapi
enggan menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu. Dan janganlah
dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan‑akan dibayangkan dengan qadim/tiada
berpemulaannya dzat itu. Orang yang mengatakan dengan qadim/tiada berpemulaan ruh adalah tertipu dan bodoh, tak mengerti
apa yang harus dikatakannya. Kami hendak
menyingkatkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang
sebenarnya. Maksudnya, bahwa tubuh halus itu
ialah yang berusaha mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan. Dari Tuhan
sumbernya dan kepada Tuhan kembalinya. Adapun badan, maka adalah kendaraan dari
tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan
perantaraan nya. Jadi, maka badan bagi
tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah Ta’ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan
haiji. Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan. Maka
seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan, maka ilmu itu
termasuk dalam jumlah kepentingan kendaraan. Dan tidak tersembunyi lagi bahwa
ilmu kedokteran pun seperti itu juga. Karena kadang‑kadang diperlukan
kepadanya untuk pemeliharaan kesehatan badan. Meskipun manusia, itu sendirian,
memerlukan juga kepada ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena
kalau manusia itu sendirian, kadang‑kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu
fiqih. Tetapi manusia itu dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin
hidup sendirian. Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan
hidupnya, baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh
roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat untuk
itu seluruhnya.
Maka manusia itu memerlukan kepada
pergaulan dan tolong‑menolong. Manakala manusia itu bercampur‑baur dan
berkobarnya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik‑menariklah sebab‑sebab untuk
memperoleh keinginan. Dan mereka bantah‑membantah dan perang‑berperang. Dari
peperangan itu timbullah kebinasaan, disebabkan perlombaan dari luar,
sebagaimana timbulnya kebinasaan disebabkan pertentangan campuran dari dalam.
Dengan ilmu kedokteran terpeliharalah
keseimbangan dalam segala campuran yang saling bertentangan dari dalam. Dan
dengan politik serta keadilan, terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan
dari luar. Pengetahuan jalan keseimbangan
campuran itu adalah ilmu kedokteran. Dan pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan perbuatan‑perbuatannya
itu adalah ilmu fiqih namanya. Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh
manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh
halus itu. Orang yang semata‑mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu
kedokteran, apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha
memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta
umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan ibadah
haji. Orang yang menghabiskan umurnya dalam susunan kata‑kata yang terjadi
dalam perdebatan Ilmu fiqih, samalah haInya dengan orang yang menghabiskan
umurnya meneliti sebab‑sebab supaya kokoh kuat jahitan kendi air yang akan
dibawa waktu mengerjakan hajji. Perbandingan mereka yang berjalan menuju ke
jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan kepada ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, samalah dengan mereka
yang berjalan menuju ke jalan hajji atau dengan mereka yang sedang mengerjakan
rukun hajji. Maka perhatikanlah pertama kali akan ini dan terimalah nasehat
dengan cuma‑cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak
akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang sungguh-sungguh,
dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang beraneka ragam pembawaannya
diantara orang awam dan orang khawas (orang tertentu), di mana mereka menurut
hawa nafsunya semata-mata. Cukuplah sekian mengenai tugas‑tugas dari pelajar.
PENJELASAN:
Tuqas‑tugas penunjuk jalan kebenaran (mursyid), yang mengajar (muallim).
Ketahuilah bahwa manusia mengenai ilmu pengetahuannya,
mempunyai 4 macam keadaan, seperti haInya dalam pengumpulan harta kekayaan.
Karena bagi orang yang berharta, mempunyai keadaan menggunakan hartanya. Maka
dia itu adalah orang yang berusaha dan keadaan menyimpannya dari hasil usahanya
itu. Sehingga jadilah dia seorang yang kaya, tak usah meminta lagi pada orang
lain. Dan keadaan dapat membelanjai dirinya sendiri. Maka dapatlah ia mengambil
manfa'at dari harta kekayaan itu. Dan keadaan dapat memberikan kepada orang
lain, sehingga ia menjadi seorang pemurah hati, yang dermawan. Dan inilah
keadaan yang sebaik‑baiknya.
Maka seperti itu pulalah dengan ilmu
pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda. Bagi ilmu
pengetahuan ada keadaan mencari,
berusaha, dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada
bertanya. Keadaan meneliti (istibshar),
yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah daripadanya. Dan keadaan
memberi sinar cemerlang kepada orang
lain. Dan inilah keadaan yang semulia‑mulianya ! Maka
barangsiapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi.
Dia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan
pula kepada dirinya sendiri. Dia laksana kesturi yang membawa keharuman kepada
lainnya dan dia sendiripun harum. Orang yang berilmu
dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang
memberi faedah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan
seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memotong.
Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan
dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya
dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun:
'Dia adalah laksana
sumbu lampu yang dipasang,
memberi cahaya
kepada orang Dia sendiri terbakar menyala".
Manakala sudah mengajar Maka berarti telah melaksanakan
pekerjaan besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Maka peliharalah
segala adab dan tugas‑tugasnya, yaitu:
Tugas
Pertama: mempunyai rasa
belas‑kasihan kepada murid‑murid dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri.
Bersabda Nabi saw:"Sesungguhnya aku
ini bagimu adalah seumpama Seorang, ayah bagi anaknya " Dengan
maksudnya, melepaskan murid‑muridnya dari api neraka akhirat. Dan itu adalah
lebih penting dari usaha kedua ibu‑bapa, melepaskan anaknya dari neraka dunia.
Karena itu, hak seorang guru adalah lebih besar dari hak ibu‑bapa. Ibu‑bapa
menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedang
guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal Kalau tidak adalah guru,
maka apa yang diperoleh si anak itu dari orang tuanya, dapat membawa kepada
kebinasaan yang terus‑menerus. Guru adalah yang memberikan kegunaan hidup
akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu
pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka
itu binasa dan membinasakan. Berlindunglah kita dengan Allah daripadanya.
Sebagaimana hak dari anak‑anak seorang ayah, berkasih‑kasihan dan bertolong‑
tolongan mencapai, segala maksud, maka seperti demikianlah kewajiban dari murid‑murid
seorang guru, berkasih‑kasihan dan sayang‑menyayangi. Hal itu baru ada, bila
tujuan mereka akhirat. Dan kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari
berdengki‑dengkian dan bermusuh‑musuhan. Sesungguhnya para ulama dan putera‑putri
akhirat itu adalah orang‑orang musafir kepada Allah Ta’ala dan berjalan
kepadaNya, dari dunia. Tahun‑tahunnya dan bulan‑bulannya adalah tempat-tempat
singgahan dalam perjalanan. Sayang‑menyayangi diperjalanan antara orang‑orang
yang sama‑sama berangkat ke kota, adalah menyebabkan lebih beratnya hubungan
dan kasih sayang. Maka bagaimanakah berjalan ke firdaus tinggi dan sayang‑menyayangi
didalam perjalanannya dan tak ada sempit pada kebahagiaan akhirat? Maka karena
itu, tak adalah pertentangan diantara putera‑putri akhirat. Sebaliknya dalam
mengejar kebahagiaan duniawi, jalannya tidak lapang. Dari itu senantiasa dalam
keadaan sempit berdesak‑desakan. Orang yang menyeleweng dengan ilmu
pengetahuannya untuk menjadi kepala, sesungguhnya telah keluar dari
kandungan firman Allah Ta’ala:"Sesungguhnya orang mumin itu
bersaudara” S 49 ayat10. Dan masuk ke dalam maksud firman Allah Ta’ala: "Shahabat‑shahabat pada hari itu, satu
dengan yang lain jadi bermusuhan, kecuali dari orang‑orang yang memelihara
dirinya dari kejahatan". S 43 ayat
67.
Tugas
Kedua: bahwa mengikuti jejak Rasul saw. Maka ia tidak mencari upah,
balasan dan terima kasih dengan mengajar itu. Tetapi mengajar karena Allah dan
mencari kedekatan diri kepadaNya. Tidak ia melihat bagi dirinya telah menanam
budi kepada murid‑murid itu, meskipun murid‑murid itu harus mengingati budi
baik orang kepadanya. Tetapi guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat
suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik jiwa anak‑anak itu. Supaya
hatinya dekat kepada Allah Ta’ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan padanya.
Seumpama orang yang meminjamkan kepada
anda sebidang tanah untuk anda tanami didalamnya tanam‑tanaman untuk anda
sendiri. Maka faedah yang anda dapati adalah melebihi dari faedah yang
diperoleh pemilik tanah itu. Maka bagaimanakah anda menyebut‑nyebut jasa anda
itu? Pada hal pahala yang anda peroleh dari mengajar itu, pada Allah Ta’ala
lebih banyak dari pahala yang diperoleh oleh murid. Dan kalaulah tak ada murid
yang belajar, maka anda tidak akan memperoleh pahala itu. Dari itu, janganlah
diharap pahala selain dari Allah Ta’ala, seperti firmanNya:"Hai kaumku ! Aku tiada meminta harta kepada kamu sebagai upahnya,
upahku hanyalah dari Tuhan”. S 11 ayat 29. Harta dan isi dunia adalah
menjadi pesuruh badan kita. Badan menjadi kendaraan dan tunggangan jiwa. Yang
dikhidmati ialah ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu
mulia. Orang yang mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu
bawah, sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dijadikannya yang dilayani
menjadi pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani. Inilah penjungkir‑balikan
namanya. Dan adalah seumpama orang yang berdiri di hari mahsyar bersama orang‑orang
yang berdosa. Terbalik kepalanya dihadapan Tuhan. Pendek kata, kelebihan dan
kenikmatan adalah untuk guru. Maka perhatikanlah, bagaimana sampai urusan agama
kepada suatu kaum, yang mendakwakan bahwa maksudnya dengan ilmu yang ada padanya,
baik ilmu fiqih atau ilmu kalam, baik memberi pelajaran dalam ilmu yang 2 tadi
atau lainnya, adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka
menyerahkan harta dan kemegahan serta menerima bermacam‑macam penghinaan, untuk
berkhidmat kepada sultan‑sultan (penguasa‑penguasa), supaya permintaannya berlaku.
Jikalau mereka tinggalkan yang demikian itu, niscaya mereka ditinggalkan. Dan
tidak akan ada orang yang datang kepada mereka, lagi. Kemudian, diharap oleh
guru dari muridnya, bantuan pada tiap‑tiap malapetaka, memberi pertolongan
kepadanya, memusuhi musuhnya, bangun memenuhi keperluan hidupnya dan duduk
bersimpuh dihadapannya. Apabila tidak, maka‑ dia memberontak dan muridnya itu
menjadi musuhnya yang terbesar. Alangkah kotornya orang berilmu, yang rela
untuk dirinya kedudukan yang demikian. Kemudian, ia bergembira dengan itu.
Kemudian, tidak malu mengatakan:"Maksudku
dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan menolong agama ALLAH". Maka perhatikanlah segala
tanda, sehingga engkau melihat penipuan‑penipuan yang beraneka ragam itu !
Tugas
ketiga: bahwa tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang
demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum
berhak pada tingkat itu. Dan belajar ilmu yang tersembunyi, sebelum selesai
ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut
ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena keinginan
menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemukakan keburukan sifat‑sifat
itu sejauh mungkin ! Seorang berilmu yang jahat tidaklah berbuat kebaikan lebih
banyak dari berbuat kejahatan dan kerusakan. Bila diketahui orang yang batinnya
dengan menuntut ilmu adalah untuk dunia, maka haruslah diperhatikan kepada
ilmu yang dipelajarinya itu. Kalau ilmu itu ilmu khilafiah/ perdebatan mengenai
fiqih, berdebat dalam ilmu kalam, berfatwa dalam soal persengketaan dan hukum,
maka hendaklah dicegah. Karena ilmu pengetahuan tersebut tidak termasuk dalam
ilmu akhirat dan tidak termasuk sebagian dari ilmu yang dikatakan. "Kami
mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu enggan kalau bukan karena
Allah".
Yang termasuk dalam ilmu akhirat,
ialah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu‑ilmu yang menjadi perpegangan orang‑orang
terdahulu, dari ilmu akhirat, ilmu mengenai budi pekerti jiwa dan cara mengasuhnya. Apabila ilmu tadi
dipelajari oleh seorang pelajar dengan tujuan duniawi, maka tak mengapa
dibiarkan. Karena membuahkan pengharapan, bagi pelajar itu nanti, pada
pengajaran dan pengikutan kepada orang ramai. Bahkan kadang‑kadang ia sadar di
tengah jalan atau diakhir jalan. Karena padanya ada pengetahuan yang membawa
takut kepada Allah Ta’ala, penghinaan kepada dunia dan penghargaan kepada
akhirat. Dan ada harapan besar pelajar itu akan memperoleh jalan yang benar ke
akhirat, sehingga dia memperoleh pengajaran dengan apa yang diajarinya orang
lain. Dan berlakulah kesukaan diterima orang kata‑katanya dan kemegahan,
sebagai berlakunya biji‑bijian yang ditaburkan di keliling perangkap, untuk
menangkap burung dengan yang demikian. Memang demikianlah, diperbuat oleh Allah
pada hambaNya. Karena dijadikanNya nafsu syahwat, supaya makhluk itu dapat
meneruskan keturunannya. DijadikanNya pula suka mencari kemegahan, supaya
menjadi sebab, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan.
Demikianlah yang kita harapkan pada ilmu‑ilmu
tersebut. Mengenai masalah khilafiah semata‑mata, perdebatan dalam ilmu kalam
(berkata-kata), pengetahuan ilmu furu' yang ganjil‑ganjil, bila ilmu itu saja
yang diperhatikan, sedang yang lainnya dikesampingkan, maka hanyalah
menambahkan kesesatan hati dan kelalaian dari pada Allah Ta’ala. Serta
berkepanjangan dalam kesesatan dan mencari kemegahan. Kecuali orang‑orang yang
dinaungi Allah dengan rahmat‑kasihNya. Atau dicampurkan ilmu tadi, dengan ilmu‑ilmu
yang lain dari ilmu pengetahuan keagamaan. Untuk itu tidak dapat kita buktikan,
seperti percobaan dan penyaksian. Dari itu perhatikanlah, renungkanlah dan
selidikilah supaya diperoleh kebenarannya dalam kalangan manusia dan negeri‑negeri
! Semoga Allah memberi pertolongan ! Pernah orang melihat Sufyan Ats‑Tsuri
gundah‑gulana, maka ditanyakan: "Mengapakah tuan hamba demikian Ia
menjawab: "Kami ini menjadi toko, bagi anak‑anak dunia. Seorang dari
mereka selalu bersama kami, tetapi apabila telah belajar, Ialu diangkat menjadi
hakim (kadli), pegawai atau penguasa.
Tugas
keempat: yaitu termasuk yang
halus‑halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai
jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan
dengan cara kasih‑sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara
terus terang, merusakkan takut murid kepada guru. Dan mengakibatkan dia berani
menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu. Nabi saw selaku mursyid
segala guru, pernah bersabda:"jikalau
manusia itu dilarang dari menghancurkan taik unta, maka akan dihancurkannya
dengan mengatakan: "Kita tidak dilarang dari terbuatan itu kalau tak ada
apa‑apanya”. Keadaan yang tersebut tadi, mengingatkan anda akan kisah Adam
dan Hawa as serta larangan yang ditujukan kepada keduanya. Dan tidaklah kisah
itu diterangkan kepadamu untuk menjadi buah pembicaraan di malam hari. Tetapi,
untuk engkau sadari atas jalan ibarat. Juga dengan sindiran itu, membawa kepada
jiwa utama dan hati suci, untuk memahami tujuan dari sindiran itu. Maka dengan
keinginan memperhatikan maksud dari sindiran itu, karena ingin mengetahuinya,
tahulah dia bahwa hal itu tidak boleh lenyap dari perhatiannya.
Tugas kelima: seorang guru yang
bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata
pelajaran lain dihadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan
ilmu fiqih. Guru fiqih melecehkan ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa
ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata‑mata menyalin dan mendengar. Cara
yang demikian, adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya.
Guru ilmu kalam (berkata-kata) memandang sepi kepada ilmu fiqih dengan
mengatakan, bahwa fiqih itu membicarakan soal furu'/cabang. Diantara lain memperkatakan
tentang kain kotor wanita. Maka
apakah artinya itu, dibandingkan dengan memperkatakan tentang sifat Tuhan Yang
Maha Pengasih ? Inilah budi pekerti yang tercela pada para guru yang harus
dijauhkan ! Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yg bertanggung jawab
sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas‑luasnya kepada muridnya untuk
mempelajari mata pelajaran yang lain. Kalau dia bertanggung jawab dalam
beberapa ilmu pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari
setingkat ke setingkat !
Tugas
keenam: guru harus menyingkatkan
pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan diajarkan pelajaran yang
belum sampai otaknya ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul. Perhatikanlah
akan sabda Nabi saw: "Kami para Nabi
disuruh menempatkan masing-masing orang pada tempatnya dan berbicara dengan
mereka menurut tingkat pemikirannya". Kembangkanlah kepada murid itu
sesuatu pengetahuan yang mendalam, apabila diketahui bahwa dia telah dapat
memahami nya sendiri. Bersabda Nabi saw: "Apabila
seseorang, berbicara kepada sesuatu golongan tentang persoalan yang belum
sampai otaknya ke sana, maka ia menjadi fitnah kepada sebahagian dari mereka”. Berkata
Ali ra sambil menunjuk ke dadanya: “Di
sini terkumpul banyak ilmu pengetahuan, sekiranya dapatlah saya peroleh orang-orang
yang menerimanya”. Benarlah ucapan beliau, itu. Dada orang‑orang baik (al‑abrar)
adalah kuburan ilmu pengetahuan yang tinggi‑tinggi (al‑asrar). Dari itu, tidak
wajarlah bagi seorang yang berilmu, menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya
kepada orang. Hal ini, apabila dapat dipahami oleh yang belajar dan ia belum
dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Maka betapa pula terhadap orang yang
tidak dapat memahaminya?
Berkata Nabi Isa as: "Janganlah engkau
gantungkan mutiara pada leher babi". Ilmu hikmah adalah lebih mulia
dari mutiara. Orang yang tidak suka kepada ilmu hikmah, adalah lebih jahat dari
babi. Dari itu dikatakan: timbanglah bagi masing‑masing orang, menurut ukuran
akalnya. Dan timbanglah bagi masing‑masing orang itu dengan timbangan
pahamnya, sehingga selamat dan bermanfa'at. Kalau tidak ada pemahaman, maka
terjadilah pertentangan karena timbangan akal berIebih‑kurang (salah
pengertian). Ditanyakan setengah ulama tentang suatu hal. Beliau tidak menjawab,
lalu penanya itu bertanya lagi: tidakkah tuan mendengar sabda Nabi saw:”Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang
bermanfaat, niscaya datang dia pada hari qiamat, pada mulutnya ada kekang dari
api neraka". Maka menjawablah
ulama tersebut: "Tinggalkanlah kekang itu dan pergilah ! Kalau datang
kemari orang yang berpaham dan aku sembunyikan juga, maka letakkanlah kekang
itu pada mulutku !". Berfirman Allah. Ta'ala: “Janganlah kamu berikan kepada orang‑orang yang belum mengerti (masih
bodoh) harta‑harta mereka yang kamu dijadikan Tuhan pemeliharaan nya” S 4
ayat 5. Firman tersebut sebagai peringatan bahwa menjaga ilmu pengetahuan dari
orang yang merusakkan dan mendatangkan kemelaratan, adalah lebih utama lagi.
Dan tidaklah kurang dzalimnya antara memberikan kepada yang tidak berhak dan
tidak memberikan kepada yang berhak. Berkata seorang penyair:
"Apakah saya
hamburkan mutiara,
dihadapan
pengembala domba?
Lalu jadilah dia tersimpan
Dalam gudang
penternak hewan?
Mereka itu tidak
tahu,
akan harga mutiara.
Dari itu saya tak mau,
menggantungkannya
pada 'leher mereka .............
Kalau kiranya
Tuhan,
mencurahkan belas
kasihan.
Lalu kedapatan,
ahli ilmu
pengetahuan.
Saya akan siarkan
ilmu berfaedah,
saya akan
memperoleh cinta mahabbah.
Kalau tidak begitu
.................
biarlah tersimpan
dan tersembunyi dalam dadaku !
Memberikan ilmu
kepada orang bodoh,
adalah menyia‑nyiakan.
Tak mau
memberikannya kepada yang berhak,
adalah
menganiayakan.
Tugas
ketujuh: kepada seorang
pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang
layak baginya. Janganlah disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan
ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang di simpan, tidak dijelaskan.
Karena, yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginannya pada pelajaran
yang jelas itu dan mengacau‑balaukan pikirannya. Sebab menimbulkan dugaan
kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu
itu kepadanya. Sekalian orang menyangka bahwa dirinya ahli dalam segala ilmu,
meskipun yang pelik. Dan tak ada seorangpun yang tak ingin memperoleh pikiran
yang cerdas dari pada Allah Ta’ala. Orang yang paling dungu dan paling bodoh
pun merasa gembira dengan kesempurnaan akal pikirannya. Dan dengan ini,
dapatlah diketahui, bahwa orang awwam yang terikat dengan ikatan kepercayaan
Agama dan meresap dalam jiwanya 'keyakinan yang berasal dari ulama‑ulama
terdahulu, tanpa membanding dan mena'wilkan dan dalam pada itu, batinnya cukup
baik dan akaInya tidak berpikir lebih banyak dari itu, maka tidak sewajarnyalah
keyakinan orang awwam itu dikacau‑balaukan. Tetapi sewajarnyalah dia itu
dibiarkan dengan urusannya. Sebab kalau diterangkan kepada si awwam itu
pena'wilan‑pena'wilan(penafsiran) dari kedzahiran kata‑kata maka terlepaslah
apa yang terikat dalam hatinya. Dan tidak mudah lagi mengikatnya kembali dengan
apa yang diikatkan oleh orang yang tertentu (orang al‑khawwash). Lalu
terangkatlah dinding antara si awwam tadi dan perbuatan ma'siat. Dan
bertukarlah dia menjadi setan penggoda, membinasakan dirinya sendiri dan orang
lain. Bahkan, tidak layak orang awwam itu dibawa berkecimpung ke dalam ilmu
hakikat/makna yang pelik‑pelik. Tetapi, cukupkan saja dengan mengajari
peribadatan, mengajari amanah dalam pekerjaannya sehari‑hari. Isikanlah jiwanya
dengan keinginan kepada sorga dan ketakutan kepada neraka, seperti yang
tersebut dalam AI‑Quran Suci. Jangan dibangunkan pikiran mereka kearah keragu‑raguan.
Karena mungkin nanti keragu‑raguan itu melekat dalam hatinya & sukar
dilepaskannya. Maka binasalah dan celakalah dia kesudahannya. Pendek kata, tidak wajar pintu pembahasan di
buka kepada orang awam. Sebab dengan itu membawa kepada kekosongan pekerjaan
mereka, yang menjadi sendi dari budi pekerti & kekekalan hidup dari orang‑orang
tertentu.
Tugas
kedelapan: guru itu harus
mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya.
Karena ilmu dilihat dengan mata‑hati dan amal dilihat dengan mata‑kepala. Yang
mempunyai mata‑kepala adalah lebih banyak. Apabila amal bersalahan dengan ilmu,
maka tercegahlah keadilan. Orang yang mengambil sesuatu, lalu mengatakan kepada
orang lain "Jangan kamu ambil barang itu, sebab barang itu adalah racun
yang membinasakan ! adalah telah memperkosa hak orang lain. Dia akan kena
tuduhan. Orang semakin bernafsu kepada benda yang dilarang mengambil nya itu,
dengan mengatakan: "Kalau bukanlah benda itu baik dan berharga, masa
diambilnya !”. Dibandingkan guru yang mursyid (penunjuk jalan kebenaran dengan
para muridnya), adalah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayang‑bayang dari
kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan
kapankah bayang‑bayang itu lurus sedang kayunya bengkok ? Karena itu,
berkatalah pantun yang seirama dengan itu:
"Janganlah
engkau melarang suatu pekerti,
sedang engkau
sendiri melakukannya.
Malulah kepada diri
sendiri,
dilihat orang
engkau mengerjakannya !”
Berfirman Allah
Ta’ala: "Adakah kamu menyuruh orang lain dengan berbuat baik dan kamu
lupakan dirimu sendiri ! ". S 2 ayat 44. Karena itulah dosa orang yang
berilmu mengerjakan perbuatan ma'siat, adalah lebih besar dari dosa orang yang
bodoh. Karena dengan terperosoknya orang yang berilmu, maka terperosoklah orang
banyak yang menjadi pengikutnya. Barang siapa membuat tradisi yang buruk, maka
berdosalah dia dan berdosalah orang yang menuruti tradisi itu. Dari itu berkata
Ali ra: "Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana
kepada kita, yaitu orang yang berilmu yang tak menjaga kehormatan dan orang
yang bodoh yang kuat beribadah. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya
dan orang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya”.
Wallahu A’lam (Allah
Yang Maha Tahu !).
BAB KEENAM:
Tentang bahaya ilmu pengetahuan, penjelasan tanda‑tanda ulama akhirat
dan ulama su' (ulama jahat).
Telah kami terangkan dahulu ayat dan hadits tentang kelebihan
ilmu dan ulama (ahli ilmu). Dan mengenai ulama su' telah datang penegasan‑penegasan
yang tegas, yang menunjukkan bahwa mereka memperoleh 'azab yang sangat keras
pada hari qiamat, dibandingkan dengan orang‑orang lain. Yang teramat penting,
ialah mengetahui tanda‑tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama
akhirat. Yang kami maksudkan dengan ulama dunia ialah ulama su' yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ialah untuk
memperoleh kesenangan duniawi, kemegahan dan kedudukan.
Bersabda Nabi saw: ”Manusia yang sangat memperoleh 'azab pada hari qiamat ialah orang yang
berilmu yang tiada bermanfaat dengan ilmunya". Dan bersabda Nabi saw:"Tidaklah seorang itu bernama 'alim
sebelum berbuat menuruti ilmunya". Dan bersabda Nabi saw: "Ilmu pengetahuan itu ada 2: ilmu pada lisan,
yaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhlukNya dan ilmu pada hati,
yaitu ilmu yang bermanfaat".
Bersabda Nabi saw: lagi: "Adalah pada akhir zaman, orang‑orang yang beribadah yang bodoh dan orang‑orang
yang berilmu yang tidak beribadah (fasiq)” Bersabda Nabi saw: “Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk
bersombong‑sombong dengan sesama berilmu, untuk bertengkar dengan orang‑orang
yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang
siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka”.
Bersabda Nabi saw: “Barang siapa menyembunyikan ilmu pengetahuan yang
ada padanya, maka diberikan oleh Allah kekang pada mulutnya dengan kekang api
neraka". Dan bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan
dajal dari dajal”. Lalu orang
menanyakan: "Siapakah itu?" Maka menjawah Nabi saw: "Imam‑imam (pemuka‑pemuka) yang menyesatkan". Bersabda
Nabi saw: "Barang siapa bertambah
ilmunya dan tidak bertambah petunjuk, niscaya dia tidak bertambah dekat
melainkan bertambah jauh dari Allah”.
Bersabda Nabi Isa as: "Kapankah kamu akan
menerangkan jalan kepada orang‑orang yang berjalan malam, sedang kamu bertempat
tinggal bersama‑sama orang‑orang yang dalam keheranan ?" Dengan hadits
ini dan lainnya, menunjukkan betapa besarnya bahaya ilmu. Orang yang berilmu,
adakalanya menderita kebinasaan abadi atau kebahagiaan abadi. Dengan
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, orang yang berilmu itu tidak memperoleh
keselamatan, jika tidak mendapat kebahagiaan.
Adapun atsar (kata‑kata shahabat dan ulama‑ulama
terdahulu), diantara lain berkata Umar ra: "Yang
paling saya takutkan kepada ummat ini,
ialah orang munafiq yang berilmu". Bertanya hadirin: “Bagaimana ada
orang yang munafiq berilmu?". Menjawab Umar ra: “Berilmu di lidah, bodoh di hati dan diperbuatan". Berkata AL
Hasan ra: “Janganlah ada engkau
sebahagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, kata pilihan hukuma' dan
berlaku dalam perbuatan seperti sufaha' (orang‑orang bodoh).
Berkata seorang laki‑laki kepada Abu
Hurairah ra: "Saya mau mempelajari ilmu, tetapi saya takut nanti ilmu itu
tersia‑sia". Menjawab Abu Hurairah ra: “Dengan
meninggalkan saja, sudah mencukupi untuk
dipandang menyia‑nyiakan ilmu". Ditanyakan Ibrahim bin Uyainah:
"Manakah manusia yang lama benar penyesalan nya?" Menjawab Ibrahim: "Adapun pada masa dekat di dunia ini, ialah orang
yang berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih.
Dan ketika mati nanti, ialah orang yang berilmu yang menyia‑nyiakan
ilmunya". Berkata Al‑Khalil bin Ahmad: "Orang itu empat
macam. Semacam ialah orang yang mengetahui dan tahu ia mengetahui.
Maka dia itu ialah orang yang berilmu. Ikutlah dia ! Semacam ialah orang yang mengetahui dan tidak tahu ia, mengetahui.
Maka dia itu, ialah orang yang tidur. Bangunkanlah dia ! Semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tahu dia tidak
mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang meminta petunjuk. Maka tunjukilah
dia ! Dan semacam lagi ialah orang
yang tidak mengetahui dan tidak tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah
orang yang jahil. Maka tolaklah dia !"
Berkata Sufyan Ats ‑Tsuri ra: “Disambut ilmu dengan amal perbuatan. Kalau ada demikian, maka ilmu itu menetap.
Kalau tidak, maka dia berangkat". Berkata Ibnul Mubarak:
"Senantiasa manusia itu berilmu selama ia menuntut ilmu. Apabila ia
menyangka sudah berilmu, maka dia itu, telah bodoh. Berkata AI‑Fudhail bin
Iyadh ra: "Saya menaruh belas
kasihan kepada tiga orang yaitu orang mulia dalam kaumnya yang menghinakan
diri, orang kaya dalam kaumnya yang memiskinkan diri dan orang yang berilmu
yang dipermainkan dunia" Berkata AL Hasan: "Siksaan bagi ulama
ialah mati hatinya. Kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan
akhirat". Dan bermadahlah mereka:
Aku heran orang
membeli kesesatan dengan petunjuk.
Lebih heran lagi,
orang membeli dunia dengan agamanya.
Yang lebih heran dari yang dua itu ..................
Orang menjual agamanya dengan dunia.
Inilah yang paling ajaib dari yang dua itu ...........
Bersabda Nabi saw: "Bahwa
orang yang berilmu itu di 'azabkan dengan suatu 'azab yang dikelilingi penduduk
neraka dengan perasaan dahsyat, karena bersangatan azabnya". Dimaksudkan
dengan orang yang berilmu tadi, ialah orang berilmu yang dzalim. Berkata Usamah
bin Zaid: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Pada hari qiamat, dibawa orang yang berilmu lalu dilemparkan kedalam,
neraka. Maka keluarlah perutnya. Dia mengelilingi perutnya itu seperti keledai
mengelilingi gilingan gandum. Penduduk neraka mengelilinginya, seraya bertanya:
'”Mengapa engkau begini ?". Menjawab orang yang berilmu itu:
"Adalah aku menyuruh dengan kebaikan dan aku sendiri tidak mengerjakannya.
Aku melarang dari kejahatan dan aku sendiri mengerjakannya". Dilipat‑gandakan
'azab kepada orang yang berilmu, karena masiatnya. Karena ia mengerjakan
ma'siat itu dengan ilmu. Dari itu berfirman Allah Talala: "Bahwa orang munafiq itu dalam tingkat yang paling bawah dari api
neraka". S 4 ayat 145. Karena
mereka ingkar sesudah berilmu. Dijadikan orang Yahudi lebih jahat dari orang
Nasrani, pada hal orang Yahudi tidak mengaku Allah mempunyai anak dan tidak
mengatakan bahwa Allah itu yang ke tiga dari tiga, adalah disebabkan orang
Yahudi itu ingkar sesudah tahu.
Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka mengetahuinya (Kitab Suci) seperti mengetahui anaknya sendiri". S
2 ayat 146. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Setelah
datang kepada mereka apa yang mereka
ketahui, mereka tidak percaya kepadanya. Sebab itu Allah Ta'ala mengutuki orang‑orang
yang kafir". S 2 ayat89. Berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Bal’am
bin Ba‑ura':“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
keterangan‑keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya. Sebab itu, dia didatangi
setan dan termasuk orang‑orang yang sesat jalan” S 7 ayat 175. Sampai Allah Ta’ala, berfirman:
“Orang itu adalah seumpama anjing, kalau
engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan, diulurkannya juga
lidahnya". S 7 ayat 176. Maka begitu jugalah orang berilmu yang
dzalim. Kepada Bal'am diberikan Kitab Allah, tetapi dia terus bergelimang dalam
hawa nafsu. Maka dia diserupakan dengan anjing. Artinya, sama saja antara
diberikan ilmu hikmah atau tidak diberikan, dia terus menjilat dengan lidahnya
pada hawa nafsu.
Bersabda Isa as: "Orang berilmu yang jahat adalah seumpama batu besar yang jatuh ke
mulut sungai. Dia tidak mengisap air dan tidak menghalangi air mengalir ke
tanam-tanaman. Dan seumpama parit rumput, dzahirnya yang kelihatan seperti di
cat dan dalamnya yang tidak kelihatan adalah berbau busuk. Dan seumpama
kuburan, dzahirnya yang kelihatan adalah bangun‑bangunan dan batinnya di dalam
adalah tulang‑belulang orang mati".
Itulah hadits‑hadits dan kata‑kata
berhikmah yang menerangkan, bahwa orang berilmu yang menjadi anak dunia adalah
lebih buruk keadaannya dan lebih sangat 'azab yang dideritainya dari orang
bodoh. Yang memperoleh kemenangan dan dekat dengan Tuhan ialah Ulama akhirat. Tanda‑tandanya banyak.
Diantaranya, ulama akhirat ltu tidak mencari dunia dengan ilmunya. Sekurang‑kurang
tingkat seorang yang berilmu itu, mengetahui kehinaan dunia, keburukan,
kekotoran dan keseramannya. Kebesaran akhirat, keabadian, kebersihan nikmat
dan keluhuran kerajaannya. Dan mengetahui bahwa antara dunia dan akhirat itu
berlawanan. Keduanya seumpama dua wanita yang bermadu, manakala dicari
kerelaan yang seorang, maka yang lain marah. Dan seumpama dua daun neraca,
manakala berat yang satu, maka yang lain ringan. Dunia dan akhirat itu laksana
masyriq/tempat matahari terbit dan magrib/tempat matahari terbenam. Manakala
didekati yang satu, maka pasti bertambah jauh dari yang lain. Atau seumpama dua
wadah, yang satu penuh dan yang lain kosong. Sebanyak yang diambil dari yang
berisi untuk dituangkan ke dalam yang kosong sampai penuh, maka demikianlah
kosong yang berisi itu. Maka orang yang tidak mengenal kehinaan dunia,
kekotoran dan kecampur‑bauran kelezatan dengan kesakitannya, kemudian keseraman
apa yang kelihatan bersih dari dunia itu, maka orang itu adalah manusia yang
telah rusak akal. Sesungguhnya penyaksian dan pengalaman menunjukkan kepada
demikian. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak
berakal ? Orang yang tak mengetahui kebesaran keadaan akhirat dan keabadiannya,
maka orang itu telah tertutup hatinya dan tercabut keimanan nya. Maka
bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak beriman ?
Dan orang yang tak mengetahui berlawanannya
dunia dengan akhirat dan mengumpulkan keduanya adalah satu harapan yang tak usah diharapkan, maka orang
itu bodoh dengan seluruh agama nabi‑nabi. Bahkan hatinya telah tertutup dari
seluruh isi AI‑Qur‑an, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya. Maka
bagaimanakah dia dihitung termasuk dalam golongan ulama ? Orang yang mengetahui
ini seluruhnya tetapi tidak memilih akhirat dari dunia, maka adalah tawanan
setan. Telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dipaksakan oleh kecelakaannya.
Maka bagaimanakah dihitung termasuk dalam barisan ulama, orang yang
tingkatannya demikian?
Dalam warta berita nabi Daud as yang
merupakan firman dari Allah Ta’ala, tersebut: "Sekurang‑kurang perbuatanku
dengan orang yang berilmu apabila memilihkan hawa nafsunya dari mencintai Aku,
ialah Kuharamkannya kelezatan bermunajah dengan Aku. Hai Daud ! jangan engkau tanyakan kepadaKu orang yang
berilmu yang telah dimabukkan oleh dunia, maka dicegahnya engkau dari jalan
kecintaanKu. Mereka itulah penyamun‑penyamun terhadap hambaKu. Hai Daud !
Apabila engkau melihat seorang pelajar untukKu, maka hendaklah engkau menjadi
pesuruhnya ! Hai Daud ! Barang siapa mengembalikan kepadaKu orang
yang lari, maka Kutuliskan dia orang yang tahu
kebenaran. Barang siapa Kutuliskan sebagai orang yang tahu
kebenaran, maka tidak Ku azabkan dia selama‑lamanya". Dari itu berkata
AL Hasan ra: "Siksaan bagi orang yang berilmu ialah mati hatinya.
Mati hati ialah mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat" Karena
itu berkata Yahya bin Ma’az: "Sesungguhnya hilanglah keelokan ilmu dan
hikmah, apabila dicari dunia dengan keduanya". Berkata Said bin AI‑Musayyab
ra: "Apabila engkau melihat, orang
yang berilmu mendatangi amir‑amir, maka itu adalah pencuri".
Berkata Umar ra: "Apabila engkau melihat
orang yang berilmu mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agamanya ! Karena tiap‑tiap orang yang mencintai
sesuatu, ia akan berkecimpung pada yang dlcintainya itu". Berkata
Malik bin Dinar ra: "Aku telah
membaca dalam beberapa kitab lama bahwa Allah Ta’ala berfirman: "Bahwa yang paling mudah Aku perbuat dengan orang yang berilmu
apabila ia mencintai dunia, ialah Aku keluarkan dari hatinya kelezatan
bermunajah dengan Aku". Seorang
laki‑laki menulis surat kepada saudaranya, yang berbunyi "Engkau telah
diberikan ilmu, maka janganlah engkau padamkan nur ilmu itu dengan kegelapan
dosa. Nanti engkau kekal dalam kegelapan, pada hari berjalan segala ahli ilmu
dalam sinar ilmunya". Berkata Yahya bin Ma'az Ar‑Razi ra: kepada para ahli
ilmu duniawi: "Hai segala ahli
ilmu ! Istanamu seperti istana kaisar
Romawi, rumahmu seperti rumah raja (kisra) Persi, pakaianmu seperti pakaian
golongan Dzahiriah, sepatumu seperti sepatu jalut, kendaraanmu seperti
kendaraan Qarun, tempat makanmu seperti tempat makan Fir`aun, perbuatanmu
seperti perbuatan orang jahiliah dan madzhabmu seperti madzhab setan. Maka
dimanakah agama Muhammad itu ?".
Berkata seorang penyair.
Pengembala domba menjaga dari srigala.
Maka bagaimana pula ...................
apabila ..................................
pengembala itu sendiri serigala .....?
Berkata penyair
lain:
“Wahai para pembaca .................
wahai garam negeri ....................
Tidaklah garam dapat membuat perbaikan,
apabila garam itu sendiri busuk .
Ditanyakan kepada setengah 'arifin (orang
yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta’ala): "Adakah tuan berpendapat
bahwa orang yang meletakkan pekerjaan ma'siat menjadi kecintaannya, tidak
mengenal Allah ?”. Menjawab 'arifin itu: "Tak ragu aku bahwa orang yang
memilih dunia dari akhirat adalah tidak mengenal Allah Ta'ala". Selain
dari itu, amat banyak lagi kata‑kata hikmah tentang itu. Janganlah anda
menyangka bahwa meninggalkan harta kekayaan saja sudah mencukupi untuk
menghubungkan diri dengan ulama akhirat.
Sebab mencari kemegahan itu, lebih lagi membawa kemelaratan dari harta.
Dari itu berkata Bisyr: "Berbicara dengan
kami salah satu dari pintu dunia. Maka apabila, aku mendengar orang mengatakan
"Berbicaralah dengan kami”, maka sebenarnya ia mengatakan "Berilah
kelapangan kepadaku". Bisyr bin Harts menanamkan lebih 10 buah buku antara
peti buku dan peti tempat simpanan tamar (kurma kering). Dia mengatakan:
"Saya ingin berbicara Jikalau hilanglah keinginanku berbicara, maka aku
berbicara". Berkata Bisyr dan lainnya: "Apabila ingin engkau
berbicara, maka diamlah ! Apabila tidak ingin, maka berbicaralah !"
Pahamilah ini ! Karena merasa kelezatan dengan kemegahan membuat sesuatu jasa
dan memperoleh kedudukan memberi petunjuk kepada orang, adalah kelezatan yang
terbesar dari seluruh kenikmatan duniawi. Barang siapa memperkenan kan hawa
nafsunya membicarakan itu, maka adalah dia diantara anak‑anak dunia. Dari itu
berkata Ats‑Tsuri: "Fitnah pembicaraan, adalah lebih hebat dari
pada fitnah keluarga, harta dan anak. Bagaimanakah tidak ditakuti fitnahnya?
Dan telah dikatakan kepada Penghulu segala rasul saw: Jikalau tidaklah Kami
tetapkan pendirian engkau, maka hampirlah engkau condong sedikit kepada
mereka". Berkata Sahl ra: 'llmu itu seluruhnya dunia. Yang akhirat dari ilmu itu, ialah berbuat amal.
Amal seluruhnya itu hampa, kecuali dengan keikhlasan”. Berkata Sahl
saterusnya: "Manusia seluruhnya
mati, selain para ahli ilmu. Para ahli ilmu itu mabuk, selain yang beramal.
Orang yang beramal seluruhnya tertipu, selain yang ikhlas. Orang yang ikhlas itu
dalam ketakutan, sebelum diketahuinya
apa kesudahan dari amalnya itu".
Berkata Abu Sulaiman Ad‑Darani ra: "Apabila
seseorang mempelajari hadits atau kawin
atau merantau mencari penghidupan, maka orang itu telah condong kepada dunia”.
Maksud Abu Sulaiman dengan ucapannya itu ialah mencari isnad-isnad hadits yang
tinggi atau mencari hadits yang tidak diperlukan pada mencari akhirat.
Berkata Nabi Isa as: "Bagaimana menjadi ahli
ilmu orang yang perjalanan nya keakhirat, sedang dia menghadap ke jalan dunia ?
Bagaimana menjadi ahli ilmu orang mencari ilmu kalam (berkata-kata) untuk
diceriterakan, tidak untuk diamalkan ?"
Berkata Shaleh bin
Kaisan AI‑Bashari: "Aku berjumpa dengan beberapa orang syekh. Mereka itu
berlindung dengan Allah dari orang dzalim yang alim dengan sunnah Nabi
saw". Berkata Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: "Barang
siapa menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan yang menuju kerelaan Allah untuk
memperoleh harta benda duniawi maka orang itu tidak akan mencium bau surga pada
hari qiamat”. Sudah dijelaskan
oleh Allah akan ulama su' dengan mencari dunia dengan ilmunya dan ulama akhirat
dengan khusu' dan zuhud. Berfirman Allah Maha Mulia & Maha Besar tentang
ulama dunia: “Dan ketika Allah mengambil janji orang-orang
yang diberikan kitab bahwa mereka akan menerangkan kitab itu kepada manusia dan
tidak akan menyembunyikan kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka
mengambil sedikit keuntungan untuk gantinya”. S 3 ayat 187. Berfirman Allah
Ta’ala, tentang ulama akhirat, "Bahwa
diantara orang‑orang yang diturunkan Kitab itu ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada wahyu yang diturunkan
kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, mereka tunduk kepada
Allah, dengan tidak menukar keterangan‑keterangan Allah itu dengan harga yang
murah. Mereka memperoleh pahala dari sisi Tuhan". S 3 ayat 199. Berkata setengah ulama salaf:
“Para ulama itu dibangkitkan dalam rombongan nabi‑nabi. Dan para kadli (hakim)
dibangkitkan dalam rombongan raja‑raja
!” Dimaksudkan dalam pengertian kadli, juga seluruh ahli fiqih, yang
tujuannya mencari dunia dengan ilmu pengetahuannya.
Diriwayatkan Abud‑Darda' dari
Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: "Diwahyukan
Allah kepada sebahagian nabi‑nabi, yaitu: "Katakanlah kepada mereka yang
menuntut ilmu, bukan untuk agama, belajar bukan untuk amal dan mencari dunia
dengan amal perbuatan akhirat: "Bahwa mereka memberi pakaian kulit kibas
kepada manusia. Hati mereka seperti hati serigala. Lidah mereka lebih manis
daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada buah pere. Aku dikicaukannya,
namaKu dipermain‑mainkannya. Sesungguhnya akan Aku buka bagi mereka fitnah
yang meninggalkan keheranan bagi orang yang penyantun". Diriwayatkan
AdI‑DIahhak dari Ibnu Abbas ra bahwa Ibnu Abbas mendengar Rasulullah saw
bersabda: ”Ulama ummat ini terbagi dua.
Yang satu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan lalu diberikannya kepada orang
lain dengan tidak mengharap apa‑apa dan tidak diperjual‑belikan. Ulama yang
seperti ini didoakan kepadanya oleh burung di udara, ikan dalam air, hewan di
atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa kehadapan
Allah Ta’ala pada hari qiamat, sebagai seorang tuan yang mulia, sehingga
menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu
pengetahuan dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah,
mengharap apa‑apa dan memperjual belikan. Ulama yang seperti ini datang pada
hari qiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Dihadapan manusia
ramai, tampil seorang penyeru, menyerukan: "Inilah si anu anak si anu
dianugerahi Allah ilmu pengetahuan di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada
hamba Allah, dia mengharap apa‑apa dan memperjual‑belikannya. Ulama tadi
diazabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalan‑nya (dihisab)".
Yang lebih dahsyat dari itu lagi, ialah riwayat yang menerangkan bahwa ada
seorang laki‑laki menjadi pesuruh Nabi Musa as Laki-laki itu selalu
mengatakan: "Diceriterakan kepadaku oleh Musa Pilihan Allah. Diceriterakan
kepadaku oleh Musa yang Dilepaskan Allah (Najiullah). Diceriterakan kepadaku
oleh Musa yang berkalam (berkata-kata) dengan Allah (Kalimullah)".
Sehingga orang itu menjadi kaya raya banyak hartanya. Kemudian orang itu hilang,
tidak diketahui oleh Musa as kemana perginya. Maka Musa as bertanya kesana
kemari tetapi tidak mendapat berita apa‑apa. Pada suatu hari datanglah seorang
laki‑laki kepada Musa as membawa seekor babi dan pada leher babi itu tali
hitam. Bertanya Musa as pada Iaki‑laki itu: "Kenalkah engkau si anu?"
Menjawab laki‑laki itu: "Kenal !
dialah babi ini". Maka berdoa Musa as: "Wabai Tuhanku ! aku bermohon
kehadliratMu. Kembalikanlah orang ini kepada keadaannya semula, supaya aku
dapat menanyakan, apakah yang telah menimpa dirinya !. “Maka Allah Maha Mulia
& Maha Besar mewahyukan kepada Musa as: "Sekiranya
engkau meminta kepadaKu dengan apa yang telah dimintakan Adam atau lebih
kurang lagi, tidak juga Aku perkenankan. Tetapi Aku kabarkan kepadamu, mengapa
Aku berbuat begitu, adalah disebabkan orang itu
mencari dunia dengan agama".
Yang lebih berat lagi dari ini, ialah yang
diriwayatkan Ma'az bin Jabal ra suatu hadits mauquf dan marfu’ bahwa Nabi saw
bersabda: “Diantara fitnah dari seorang yang berilmu ialah lebih suka ia
berkata‑kata dari pada mendengar. Sebab dalam perkataan itu banyak bunga dan
tambahan dan belum ada jaminan terpelihara dari kesalahan. Dalam berdiam diri
timbul keselamatan dan tanda berilmu pengetahuan. Diantara orang yang berilmu
(ulama), ada yang menyimpan saja ilmunya, tidak suka ada pada orang lain. Orang
yang semacam ini, dalam lapisan pertama dari api neraka. Diantara orang yang
berilmu, ada yang bersikap sebagai raja dengan ilmunya. Jika ada pengetahuannya
yang ditolak orang atau dipandang orang lemah dan kurang benar, maka marahlah
dia. Orang yang semacam ini dalam lapisan kedua dari api neraka. Diantara orang
yang berilmu, ada yang menyediakan ilmunya dan pembahasan ilmiahnya yang
mendalam untuk orang yang terkemuka dan yang kaya saja dan tidak mau melihat
kepada orang yang memerlukan kepada ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini
dalam lapisan ketiga dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang
mengangkat dirinya, untuk memberi fatwa, Ialu ia berfatwa salah. Allah Ta'ala
memarahi orang‑orang yang memberatkan dirinya dengan beban yang tidak
disanggupinya. Orang yang semacam ini dalam lapisan keempat dari api neraka.
Diantara orang yang berilmu, ada yang berbicara cara Yahudi dan Nasrani untuk
memperlihatkan ketinggian ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam
lapisan kelima dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang membuat
ilmunya untuk kehormatan diri, kemuliaan dan keharuman nama ditengah‑tengah
masyarakat. Orang yang semacam ini dalam lapisan keenam dalam api neraka.
Diantara orang yang berilmu, ada yang menarik kebanggaan dan kesombongan
dengan ilmunya. Bila ia memberi nasehat, menghardik. Dan bila dinasehati,
berkeras kepala. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketujuh dari api neraka.
Wahai saudaraku hendaklah engkau berdiam diri ! Dengan berdiam diri, engkau
dapat mengalahkan setan. Waspadalah dari tertawa tanpa ada yang menajubkan dan
dari berjalan tanpa ada maksud ! Pada hadits, yang lain, tersebut: "Ada
orang yang berkumandang pujian terhadap dirinya memenuhi antara masyriq dan
magrib, tetapi pada sisi Allah tidak ada timbangannya seberat sayap
Ialat". Diceriterakan bahwa seorang laki‑laki dari Khurasan membawa kepada
AL Hasan suatu bungkusan sesudah AL Hasan meninggalkan majlisnya. Bungkusan
tersebut berisi 5000 dirham dan sepuluh potong kain dari benang halus. Berkata
laki‑laki itu: "Hai Abu Said ! (Panggilan kepada AL Hasan) Inilah belanja
dan inilah pakaian !" Menjawab Al Hasan: "Kiranya Allah melimpahkan
kesehatan kepadamu ! Kumpulkanlah ini untuk belanjamu dan pakaianmu ! Kami
tidak berhajat kepadanya. Sesungguhnya orang yang duduk seumpama majlisku itu
dan menerima dari orang seperti ini, maka dia akan menjumpai Allah Ta’ala pada
hari qiamat dan dia tidak berbudi".
Diriwayatkan dari Jabir hadits
mauquf dan marfu' bahwa Nabi saw
bersabda: "Janganlah engkau duduk
pada setiap orang yang berilmu, kecuali pada orang yang berilmu yang mengajak
kamu dari lima kepada lima: dari keragu‑raguan kepada keyakinan, dari ria
kepada keikhlasan, dari kegemaran kepada dunia kepada zuhud, dari takabur
kepada kerendahan diri dan dari permusuhan kepada nasehat‑menasehati". Berfirman
Allah Ta’ala: "Lalu dia keluar
kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah‑indah). Orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia ini berkata: Wahai
! Kiranya kami mempunyai seperti apa yang diberikan kepada Qarun ! Sesungguhnya dia beruntung bernasib baik !
Tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata: “Malang nasibmu ! Pahala dari Tuhan lebih baik untuk orang
yang beriman” S 28 ayat 79-80.
Maka ahli ilmu itu tahu memiliki
akhirat atas dunia. Diantara tanda‑tanda
ulama akhirat itu, tidak bertentangan perbuatannya dengan perkataannya.
Bahkan ia tidak menyuruh sesuatu sebelum dia
sendiri menjadi orang pertama yang mengerjakannya. Berfirman Allah Ta’ala:
"Adakah kamu menyuruh manusia dengan
kebaikan dan kamu lupakan akan dirimu sendiri ?" S 2 ayat 44. Berfirman Allah Ta’ala: “Amat besar kutuk dari Allah Ta'ala bahwa
kamu katakan apa yang tidak kamu kerjakan". S 61 ayat
3. Berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Syu'aib as: "Aku tidak kehendaki bertentangan dengan kamu kepada apa yang aku
larangkan kamu dari padanya". S 11
ayat 88. Berfirman Allah Ta'ala: "Berbaktilah
kepada Allah dan Allah mengajarkan
kamu" S 2 ayat 282. Berfirman Allah Ta’ala: “Berbaktilah kepada Allah dan
tahulah! Dan berbaktilah kepada Allah dan dengarlah!" Berfirman Allah Ta’ala kepada Isa as: "Hai Putera Maryam ! Ajarilah dirimu sendiri ! jika engkau telah memperoleh
pelajaran, maka ajarilah orang lain. Kalau tidak, maka malulah kepada‑KU!”.
Bersabda Nabi saw: "Aku Ialui pada malam isra'ku pada beberapa kaum yang di sayat
bibirnya dengan gunting-gunting dari api neraka. Maka aku tanyakan:
"Siapakah kamu ini ?. 'Mereka menjawab: "Kami adalah orang yang
menyuruh dengan kebaikan dan tidak kami kerjakan. Kami melarang dari kejahatan
dan kami kerjakan". Bersabda Nabi saw: "Yang
binasa dari ummatku ialah orang berilmu yang dhalim dan orang yang beribadah
yang bodoh. Kejahatan yang paling jahat ialah kejahatan orang berilmu dan kebaikan
yang paling baik ialah kebaikan orang yang berilmu". Berkata AI‑Auza’i
ra: "Diduga oleh pembuat peti‑peti
mayat bahwa tak ada yang lebih busuk selain dari mayat orang‑orang yang tak
beriman. Maka diwahyukan Tuhan kepadanya bahwa perut ulama su' lebih busuk dari
itu".
Berkata AI‑Fudlail bin 'IyadI ra: "Sampai kepadaku bahwa orang berilmu yang fasiq didahulukan Penyiksaannya pada
hari qiamat, daripada penyembah‑penyembah berhala". Berkata Abud‑Darda'
ra: "Siksaan neraka bagi orang yang tidak berilmu, satu
kali dan bagi orang yang berilmu yang tidak mengamalkan 7kali". Berkata
Asy‑Sya'bi: "Muncul pada hari qiamat suatu golongan dari
penduduk sorga, berhadapan dengan suatu golongan dari penduduk neraka. Maka
bertanya penduduk sorga: "Apakah sebabnya maka tuan‑tuan dimasukkan ke
dalam neraka? Adapun kami ini, maka dimasukkan Allah ke dalam sorga ialah
karena kelebihan pengajaran dan pelajaran tuan‑tuan". Maka menjawab
penduduk neraka: "Karena kami menyuruh dengan kebajikan dan tidak kami
kerjakan, melarang dari kejahatan dan kami kerjakan". Berkata Hatim AI‑Ashamm
ra: "Tidak adalah kerugian yang paling hebat pada hari qiamat, selain dari orang
yang mengajari manusia ilmu pengetahuan lalu diamalkan mereka, sedang dia
sendiri tidak mengamalkannya. Maka mereka
memperoleh kemenangan dengan sebabnya dan dia sendiri binasa". Berkata Malik bin Dinar: "Bahwa
orang yang berilmu apabila tidak berbuat sepanjang ilmunya, maka lenyaplah
pengajarannya dari hati manusia seperti lenyapnya embun pagi dari bukit
Shofa". Maka berpantunlah mereka:
"Wahai pengajar manusia
!
Engkau tertuduh ........................
Engkau larang mereka beberapa perkara
Engkau sendiri mengerjakannya ...............
Engkau rajin menasehati mereka
...............................
tetapi, segala yang terlarang, engkau yang mengerjakannya
itu.
Engkau hinakan dunia dan orang yang suka kepadanya,
sedang engkau sendiri paling suka kepada dunia itu
Berkata penyair lain:
“Janganlah engkau
melarang sesuatu tingkah laku
dan engkau sendiri
mengerjakannya.
Amatlah sangat
memalukan kamu,
Apabila engkau
sendiri memperbuatkannya".
Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Aku melewati batu besar di Makkah yang tertulis diatasnya
"Balikkanlah aku, engkau akan dapat mengambil ibarat (suatu
pemandangan)" Maka aku balikkan Ialu
aku lihat tertulis padanya: “Dengan yang engkau ketahui tidak engkau kerjakan,
maka bagaimana engkau mencari ilmu tentang sesuatu yang belum engkau ketahui
! "Berkata Ibnus‑Sammak ra: "Berapa
banyak orang yang memperingatkan orang lain kepada Allah, yang lupa kepada
Allah ! Berapa banyak orang yang memberi
peringatan supaya takut kepada Allah, yang berani menentang Allah ! Berapa banyak orang yang mengajak orang
lain mendekatkan diri kepada Allah, yang jauh dari Allah
! Berapa banyak orang, yang menyerukan orang lain kepada Allah yang lari
dari Allah ! Dan berapa banyak orang
yang membaca Kitab Allah, yang terhapus hatinya dari ayat‑ayat Allah !".
Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Kami perbaiki bahasa perkataan kami, Maka kami tidak salah. Dan kami telah
salah pada perbuatan kami tetapi tidah kami perbaiki". Berkata Al
Auzai: "Apabila diperhatikan benar perbaikan bahasa, maka hilanglah
khusu'. Diriwayatkan Makhul dari Abdur Rahman bin Ghanam bahwa Abdur Rahman
mengatakan: "Berceritera kepadaku sepuluh orang shahabat Nabi saw dengan
katanya: "Kami sedang belajar ilmu di masjid Quba', tiba‑tiba masuk
Rasulullah saw lalu bersabda:"Pelajarilah
apa yang engkau kehendaki mempelajarinya. Tetapi engkau tidak diberi pahala
oleh Allah Ta’ala, sebelum engkau amalkan”.
Bersabda Nabi Isa as: "Orang yang mempelajari ilmu dan tidak
mengamalkannya adalah seumpama wanita yang berbuat serong dengan sembunyi, maka
ia hamil. Setelah bersalin, Maka pecahlah kabar tentang perbuatan jahat wanita
tersebut. Maka begitu pulalah orang yang tidak berbuat menurut ilmunya, akan
disiarkan Allah pada hari qiamat dihadapan orang banyak".
Berkata Mu’adz ra: “Jagalah tergelincimya orang berilmu, karena kedudukannya tinggi di
mata orang banyak ! Maka dia diikuti mereka,
meskipun dia telah tergelincir". Berkata Umar ra: "Apabila tengelincir
orang yang berilmu, maka tergelincirlah alam makhluk". Berkata Umar
ra: "Dengan tiga sebab hancurlah zaman. Salah satu dari padanya, tergelincirnya
orang berilmu". Berkata Ibnu Mas'ud: "Akan datang kepada manusia
suatu masa, yang terbalik kemanisan hati menjadi asin. Sehingga pada hari itu,
orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu tak dapat mengambil manfaat dari
ilmunya. Maka hati orang‑orang yang berilmu, dari mereka seumpama tanah kosong
yang bergaram, yang turun kepadanya hujan dari langit, maka tidak juga
diperoleh rasa tawar padanya. Yaitu, apabila condong hati orang berilmu kepada
mencintai dunia dan melebihkannya dari akhirat. Maka pada ketika itu, dicabutkan
Allah sumber‑sumber hikmah dan dipadamkanNya lampu petunjuk dari hati mereka.
Maka akan diceriterakan kepadamu oleh orang yang berilmu dari mereka itu ketika
engkau menjumpainya, bahwa dia takut akan Allah dengan lisannya. Dan kedzaliman
jelas kelihatan pada amal‑ perbuatannya. Alangkah suburnya lidah mereka ketika
itu dan tandusnya hati mereka ! Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia !
Tidaklah terjadi yang demikian itu selain karena para guru mengajar bukan
karena Allah dan para pelajar belajar bukan kerena Allah.
Dalam Taurat dan Injil tertulis: "Janganlah engkau mencari ilmu yang belum engkau ketahui, sebelum engkau amalkan
apa yang telah engkau ketahui". Berkata Hudzaifah ra:
"Sesungguhnya engkau sekarang berada
pada zaman, di mana orang yang meninggalkan sepersepuluh dari yang
diketahuinya, menjadi binasa. Dan akan datang suatu zaman, di mana orang yang
mengerjakan padanya sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, niscaya ia
selamat. Sebabnya, adalah karena banyaknya orang yang berbuat salah".
Ketahuilah bahwa orang berilmu itu adalah
serupa dengan kadli (hakim). Nabi saw bersabda: "Kadli itu 3 macam: semacam menghukum dengan yang benar dan dia
itu tahu, maka dia itu dalam surga. Semacam menghukum dengan kedzaliman dan dia
itu tahu atau tidak tahu yang demikian maka dia itu dalam neraka. Dan semacam lagi
menghukum di luar dari pada perintah
Allah, maka dia itu dalam neraka". Berkata Ka'ab ra: "Adalah pada akhir zaman, orang‑orang yang berilmu, menyuruh manusia zuhud dari
dunia dan mereka sendiri tidak zuhud. Menyuruh manusia takut kepada Tuhan dan
mereka sendiri tidak takut. Melarang manusia mendatangi wali‑wali negeri dan
mereka sendiri datang kepada wali‑wali negeri itu. Mereka memilih dunia dari
akhirat, mereka makan hasil usaha lidah mereka. Mereka mendekati orang‑orang
kaya, tidak orang‑orang miskin. Mereka cemburu kepada ilmu pengetahuan seperti
kaum wanita cemburu kepada kaum laki‑laki. Ia marah kepada teman duduknya
apabila ia duduk dengan orang lain. Orang‑orang yang berilmu semacam itulah,
orang‑orang yang keras hati, musuh Tuhan Yang Maha Pengasih “.
Bersabda Nabi saw: "Kadang‑kadang setan itu
menangguhkan kamu dengan ilmu “. Lalu bertanya yang hadlir: "Ya Rasulullah ! Bagaimana yang demikian itu ?." Menjawab Nabi saw: "Yaitu, setan itu mengatakan: "Tuntutlah ilmu dan jangan
beramal dulu sebelum tahu benar. Maka senantiasalah setan itu berkata demikian
bagi ilmu dan menangguhkan terhadap amal perbuatan, sehingga mati yang belajar
itu dan tidak beramal". Berkata Sirr As‑Suqthi: "Adalah seorang
laki‑laki mengasingkan diri pergi beribadah, di mana tadinya amat rajin
mempelajari ilmu zahir/luar. Maka aku bertanya kepadanya, Ialu ia menjawab:
"Saya bermimpi berjumpa dengan orang yang mengatakan kepadaku: “Berapa
banyak engkau menyia‑nyiakan ilmu, maka sebanyak itu pulalah engkau disia‑siakan
Allah". Aku menjawab bahwa aku memelihara ilmu itu, maka berkata orang
yang dalam mimpi tadi: "Memeliharakan ilmu ialah mengamalkan ilmu
itu". Maka aku tinggalkan belajar dan pergi beramal". Berkata Ibnu
Masud ra: "Tidaklah ilmu itu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu itu takut kepada Tuhan”. Berkata AL Hasan: "Pelajarilah apa yang
kamu mau mempelajarinya ! Demi Allah ! Kamu tidak akan diberi pahala oleh
Allah sebelum beramal. Sebab orang‑orang bodoh itu, cita‑citanya meriwayatkan
ilmu dan orang‑orang yang berilmu itu cita‑citanya memelihara ilmu itu dengan
amal". Berkata Malik ra: "Menuntut
ilmu itu baik dan mengembangkannya
baik apabila niat itu betul. Tetapi perhatikanlah, apa yang harus bagimu dari
pagi sampai petang ! Maka janganlah engkau lebihkan sesuatu itu dari
ilmu". Berkata Ibnu Ma'ud ra: "Di
turunkan Al‑Qur‑an untuk diamalkan. Maka
ambillah mempelajarinya menjadi amalan. Dan akan datang suatu kaum yang
membersihkan AI‑Qur‑an seperti membersihkan selokan. Mereka itu tidaklah
termasuk orang baik. Orang berilmu yang tidak mengamalkan, adalah seumpama
orang sakit yang menerangkan tentang obat dan seumpama orang lapar yang
menerangkan tentang kelezatan makanan dan makanan itu tidak diperolehnya".
Searah dengan yang diatas tadi, firman Allah Ta’ala: "Bagi kamu neraka wailun dari apa yang kamu terangkan”. S al
anbiya ayat 18. Dalam hadits tersebut:”Diantara
yang aku takuti atas ummatku ialah tergelincimya orang berilmu dan pertengkaran
orang munafiq tentang AI‑Qur‑an”. Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat
itu, lalah kesungguhannya mencari ilmu yang berguna tentang akhirat, yang
menggembira kan pada ta’at, menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan yang sedikit
manfa'atnya dan banyak padanya pertengkaran, kata ini dan kata itu (qil dan
qal). Orang yang mengenyampingkan pengetahuan untuk beramal dan sibuk dengan
pertengkaran adalah seumpama orang sakit, yang pada tubuhnya bermacam‑macam
penyakit dan ia berjumpa dengan seorang dokter yang ahli, pada waktu yang
sempit yang hampir habis. Maka si sakit tadi menggunakan waktu yang sedikit itu
untuk menanyakan kegunaan resep, obat dan keganjilan‑keganjilan dalam ilmu
kedokteran dan meninggalkan kepentingannya yang mendesak untuk memperoleh
pengobatan. Orang yang semacam itu adalah bodoh sekali.
Diriwayatkan bahwa seorang laki‑laki datang
kepada Rasulullah saw seraya berkata: "Ajarilah hamba ilmu yang ganjil‑ganjil ! Maka menjawab Nabi saw: "Apakah yang, engkau perbuat mengenai pokok pengetahuan ?". Bertanya
orang itu: "Yang manakah pokok
pengetahuan itu ?". Menjawab Nabi saw: “Kenalkah engkau akan Tuhan ?” Kenal ! menjawab orang itu". Apakah yang engkau perbuat tentang hak Allah
Ta'ala ?" "Masya Allah banyak ! " jawab orang itu.
"Kenalkah engkau akan mati ?” tanya
Nabi saw "Kenal, ya Rasulullah ! " “jawabnya” Apakah yang engkau
sediakan untuk mati ?" tanya Nabi saw lagi: "Masya Allah banyak !
jawabnya. Kemudian, maka bersabda Nabi saw: "Pergilah,
kemudian kuatkanlah apa yang ada di
sana ! Sudah itu datanglah ke mari, akan
kami ajarkan engkau ilmu yang ganjil‑ganjil !".
Tetapi sewajar nyalah hendaknya, pelajar
itu sejenis dengan apa yang diriwayatkah dari Hatim AI‑Ashamm ‑ murid dari
Syaqiq Al Balakhi ra Bahwa Syaqiq bertanya kepada Hathim: "Sejak kapan
engkau bersama aku ? Menjawab Hatim: "Sejak 33 tahun!". Bertanya lagi
Syaqiq: "Apakah yang engkau pelajari padaku selama itu ?". Menjawab
Hatim: "Delapan masalah !". Berkata Syadiq dengan terperanjat:
"Innaalillaahi wa innaa
ilaihiraaji'uun ! Terbuanglah saja
umurku bersamamu. Dan engkau tidak pelajari kecuali 8 masalah saja".
Menyela Hatim: "Wahai guruku ! Aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak
ingin berdusta". Maka menyambung Syaqiq: "Terangkanlah masalah yang
delapan itu supaya aku dengar !".
Berkata Hatim satu: "Aku memandang
kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mempunyai kekasih dan ingin
bersama dengan kekasihnya sampai ke kubur. Maka apabila, telah sampai ke
kubur, niscaya ia berpisah dengan kekasih itu. Maka aku mengambil perbuatan baik
menjadi kekasihku. Maka apabila aku masuk kubur, masuk pulalah kekasihku
bersama aku". Maka berkata Syaqiq: "Benar sekali, ya Hatim !”
Dan yang
kedua ?" Menyambung Hathim: "Aku perhatikan firman Allah Ta’ala: “Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran
Tuhannya & menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka
sesungguhnya taman (sorga) tempat kediamannya" S 79 ayat 40-41. Maka yakinlah aku bahwa
firman Allah Ta’ala itu benar. Lalu aku perjuangkan
diriku menolak hawa nafsu itu, sehingga tetaplah aku ta`at kepada Allah Ta’ala.
Yang ketiga, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat, bahwa
tiap‑tiap orang yang ada padanya sesuatu benda, menghargai, menilai dan
memeliharai benda itu. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: "Apa yang di sisi kamu itu akan hilang
tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal" S 16 ayat 96. Maka
tiap kali jatuh ke dalam tanganku sesuatu
yang berharga dan bernilai, lalu kuhadapkan dia kepada Allah, semoga kekal dia terpelihara pada sisiNya.
Yang
keempat, aku memandang
kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka kembali kepada harta,
kebangsawanan, kemuliaan dan keturunan. Lalu aku memandang pada semuanya itu,
tiba‑tiba tampaknya tak ada apa‑apa. Kemudian aku perhatikan firman Allah
Ta’ala:”Yang termulia dari kamu pada sisi
Allah ialah yang kuat taqwanya(baktinya)".
S 49 ayat 13. Maka berbuat
taqwalah aku, sehingga adalah aku menjadi orang mulia di sisi Allah.
Yang kelima, aku memandang kepada makhluk ini, di mana mereka itu tusuk‑menusuk
satu sama lain, kutuk‑mengutuk satu sama lain. Dan asal ini semuanya, ialah dengki
Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: "Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam
kehidupan di dunia ini". S 43
ayat 32. Maka aku tinggalkan dengki itu.
Dan aku jauhkan diri dari orang banyak. Dan aku tahu bahwa pembahagian
rezeki itu, adalah dari sisi Allah
Ta’ala. Maka aku tinggalkan permusuhan orang banyak kepadaku.
Yang
keenam, aku memandang
kepada makhluk ini, berbuat kedurhakaan satu sama lain dan berperang satu sama
lain. Maka kembalilah aku kepada firman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu perlakukanlah dia
sebagai musuh!". S35 ayat 6.
Maka aku pandang setan itu musuhku satu‑satunya
dan dengan sungguh‑sungguh aku berhati‑hati dari padanya, karena Allah
Ta’ala mengaku bahwa setan itu musuhku. Dan aku tinggalkan permusuhan makhluk
dengan lainnya.
Yang
ketujuh, aku memandang
kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka mencari sepotong dari
dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan ia masuk pada yang tidak halal
dari padanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: “Dan tidak adalah dari yang merangkak di bumi ini melainkan rezekinya
pada Allah ". S11 ayat 6. Maka
tahulah aku bahwa aku ini salah satu dari
yang merangkak-rangkak yang rezekinya pada Allah Ta’ala. Dari itu aku kerjakan apa yang menjadi hak Allah atasku dan aku
tinggalkan yang menjadi hakku pada sisi‑Nya".
Yang
kedelapan, aku memandang
kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka bersandar kepada
makhluk. Yang ini kepada bendanya, yang itu kepada perniagaan nya, yang itu kepada
perusahaannya dan yang itu lagi kepada kesehatan badannya. Dan masing‑masing
makhluk itu bersandar kepada makhluk, yang seperti dia. Lalu aku kembali kepada
firman Allah Ta’ala: "Dan
barangsiapa menyandarkan dirinya kepada Allah, maka Allah mencukupkan
keperluannya". S 65 ayat 3. Maka, akupun menyandarkan diriku (bertawakkal) kepada Allah Ta’ala. Dan
Allah Ta’ala, “mencukupkan keperluanku".
Berkata Syaqiq: "Ya Hatim ! Kiranya
Allah Ta’ala memberikan taufiq kepadamu ! Aku telah memperhatikan segala ilmu
pengetahuan Taurat, Injil, Zabur dan Al‑Qur‑an yang mulia, maka aku peroleh,
bahwa segala macam kebajikan dan keagamaan, berkisar diatas delapan masalah
tersebut. Barang siapa memakainya, maka berarti dia telah, memakai kitab empat
itu".
Maka bahagian ini dari ilmu pengetahuan,
tidaklah dipentingkan memperolehnya dan memperhatikannya selain oleh ulama
akhirat. Adapun ulama dunia, maka dikerjakannya yang memudahkan mencari harta
dan kemegahan. Dan disia‑siakannya ilmu yang seperti ini, yang diutuskan oleh
Allah para Nabi as membawanya. Berkata Adl‑Dlahhak bin Muzahim: "Aku
dapati para ulama dan tidak dipelajari oleh sebahagian mereka dari yang lain,
melainkan tentang wara'(memelihara diri dari dosa dan harta yg diragukan).
Tetapi ulama sekarang tidak dipelajarinya selain dari ilmu kalam
(berkata-kata)". Dan diantara tanda‑tanda
ulama akhirat itu, tidak ingin
kepada kemewahan, pada makanan, minuman dan pakaian. Tidak ingin kepada
kecantikan, pada perabot rumah tangga dan tempat tinggal. Tetapi memilih
kesederhanaan pada semuanya itu. Serupa keadaannya dengan ulama salaf, diberi
Allah kiranya rakhmat kepada mereka sekalian. Dan ingin mencukupkan dengan
sedikit‑dikitnya dalam segala hal. Semakin bertambah keinginannya ke arah
sedikit, semakin bertambah dekatnya dengan Allah
Ta’ala dan tinggi kedudukannya dalam barisan ulama akhirat.
Dibuktikan kepada yang demikian oleh suatu ceritera
dari Abu Abdillah AI‑Khawwash. Dia termasuk diantara teman sejawat Hatim AI‑Ashamm.
Berceritera Abu Abdillah: "Aku pergi bersama Hatim ke Arrai dan bersama
kami 320 orang laki‑laki. Kami bermaksud mengerjakan ibadah hajji. Pada mereka
itu kantong bulu. Tidak ada bersama mereka koper pakaian dan makanan. Maka
kami masuk ke tempat seorang saudagar yang sederhana, yang mempunyai belas
kasihan kepada fakir miskin. Pada malam itu kami menjadi tamunya. Pada keesokan
harinya, bertanya tuan rumah kepada Hatim: "Apakah saudara ada mempunyai
keperluan apa‑apa ? Sebab saya bermaksud hendak mengunjungi seorang ahli fiqih
kami, yang sedang sakit sekarang". Menjawab Hatim: "Mengunjungi
orang sakit ada kelebihannya dan memandang wajah ahli fiqih itu suatu ibadah.
Saya pun pergi bersama tuan !". Adalah yang sakit itu Muhammad bin
Muqatil kadli negeri Arrai, Ketika sampai kami di pintu, rupanya suatu istana
yang mulia dan cantik. Hatim termenung, seraya berkata: "Beginikah pintu
rumah seorang yang berilmu (seorang alim) ?”. Kemudian diizinkan, lalu mereka
masuk. Rupanya sebuah rumah yang sangat cantik, cukup luas, bersih,
berpemandangan indah dan bertirai. Maka Hatim termenung. Kemudian mereka masuk
ke tempat di mana orang sakit itu berada. Di situ orang sakit berbaring diatas
kasur yang empuk. Dikepalanya seorang bujang dengan memegang alat pemukul
Ialat. Maka duduklah yang berkunjung tadi (saudagar itu) di samping kepala si
sakit, menanyakan keadaan sakitnya, sedang Hatim berdiri saja. Lalu Ibnu
Muqatil (orang sakit itu) mempersilakan Hatim duduk. Hatim menjawab: "Tak
usah, tuan ! Ibnu Muqatil bertanya:
"Barangkali ada perlu ?"
"Ada !” jawab Hatim.
"Apa?” tanya Ibnu Muqatil. "Ada suatu masalah yang ingin saya
tanyakan kepada tuan !' sambung Hatim."Tanyalah !". "Bangunlah
tuan ! kata Hatim. "Duduklah, supaya aku tanyakan ! Maka bangunlah Ibnu
Muqatil dan duduk. Lalu Hatim bertanya "Ilmu tuan ini, dari mana tuan
ambil ?". "Dari orang‑orang yang dapat dipercayai, yang menerangkan
ilmu itu kepada saya". "Orang‑orang itu, dari siapa ?".
"Dari para shahabat Rasulullah saw “Para shahabat itu, mengambil dari
siapa ?". "Dari Rasulullah saw". "Rasulullah saw mengambil
dari siapa ?". "Dari Jibril as dan Jibril mengambil dari pada Allah
Ta'ala". Maka berkata Hatim: "Menurut apa yang dibawa Jibril as
daripada Allah Ta’ala kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw membawanya
kepada para shahabatnya dan para shahabat kepada orang-orang yang dipercayai
dan orang‑orang yang dipercayai membawanya kepada tuan, maka adakah tuan mendengar
dalam pelajaran itu bahwa orang yang terdapat dalam rumahnya kemewahan dan
luas, rumahnya cukup lebar, akan memperoleh derajat tinggi pada sisi Allah Maha
Mulia & Maha Besar ?". Menjawab, Ibnu Muqatil: "Tidak!” Berkata
Hatim: “Bagaimana yang tuan dengar ?". Menjawab, Ibnu Muqatil: "Yang
saya dengar bahwa orang yang zuhud di dunia, gemar ke akhirat, mencintai orang
miskin dan mendahulukan untuk akhiratnya, maka memperoleh kedudukan yang tinggi
pada sisi Allah Ta'ala". Berkata Hatim: "Tuan sekarang, siapa yang
tuan ikut, Nabikah serta para shahabat ra dan orang‑orang shalih ra. Fir'aun dan Namruz, orang pertama yang
mendirikan gedung dengan batu marmer dan batu merah ? Wahai ulama, su'(ulama
jahat)! Orang yang seperti tuan, bila dilihat oleh orang bodoh, yang memburu
dan gemar kepada dunia, akan berkata: "Orang yang berilmu sudah begitu,
apakah tidak patut aku lebih jahat lagi dari padanya ?". Maka keluarlah
Hatim dari situ dan bertambahlah penyakit Ibnu Muqatil. Peristiwa yang terjadi
antara Hatim dan Ibnu Muqatil, sampai kepada penduduk Arrai, lalu berkatalah
mereka kepada Hatim: "Bahwa Ath-Thanafisi di Qazwin lebih mewah lagi dari
Ibnu Muqatil. Maka sengajalah Hatim
pergi ke sana, lalu masuk ke rumah Ath-Thanafisi seraya berkata: "Kiranya
tuan diberi rakhmat oleh Allah. Saya ini orang bodoh, ingin benar tuan ajarkan
saya permulaan pelajaran agama dan anak kunci shalat, bagaimana saya berwudlu
untuk shalat ! Menjawab, Ath‑Thanafisi: "Boleh, dengan segala, senang hati
Hai! Ambillah kendi yang berair". Lalu dibawakan kepadanya. Maka duduklah
Ath‑Thanafisi mengambil wudlu tiga‑tiga kali, kemudian berkata:
"Beginilah cara berwudlu! Cobalah berwudlu!". Maka berkata Hatim:
"Biarlah di tempat tuan, supaya saya berwudlu dihadapan tuan! Sehingga
benar‑benar tercapai apa yang saya maksudkan". Maka bangunlah Ath‑Thanafisi,
dan duduklah Hatim berwudlu. Dibasuhnya ke dua lengannya empat‑empat kali. Lalu
menegur Ath‑Thanafisi: "Hai, mengapa engkau memboros ?" Menjawab
Hatim: "Apa yang saya boroskan ?".
"Kau basuhkan lengan mu 4 Kali". Subhanallah! Maha Suci Tuhan
Yang Maha, Besar !". Menjawab Hatim: “Hanya setapak tangan air, sudah
memboros. Tuan dengan ini seluruhnya, apakah tidak memboros?". Maka
tahulah Ath‑Thanafisi, bahma maksud Hatim bukanlah belajar. Lalu masuklah ia
ke dalam rumahnya dan tidak muncul‑muncul dimuka umum selama 40hari.
Ketika Hatim datang di Bagdad, maka
berkerumunlah penduduk mengelilinginya seraya berkata: "Hai Bapak
Abdurrahman ! Tuan seorang yang sukar mengeluarkan kata‑kata, lagi bodoh. Siapa
saja yang berbicara dengan tuan, tuan potong". Menjawab Hatim: "Padaku ada tiga perkara, yang ingin aku lahirkan kepada lawanku: Aku gembira
apabila lawanku betul, aku bersedih hati apabila lawanku salah dan aku jaga
diriku jangan sampai tidak mengetahui tentang lawan itu". Berita ini
sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, maka berkatalah Imam Ahmad:
"Subhanallah ! Maha Suci Allah ! Alangkah cerdasnya Hatim ! Nah, mari kita
pergi menjumpai Hatim ! Sewaktu telah sampai ke tempat Hatim, maka bertanya
Imam Ahmad 'Hai Bapak Abdurrahman ! Manakah keselamatan itu di dunia?"
Menjawab Hatim: "Hai Bapak Abdullah ! Tak ada keselamatan di dunia sebelum
ada padamu 4 perkara:“Engkau maafkan orang karena kebodohannya, engkau cegah
kebodohan engkau terhadap orang lain, engkau berikan sesuatu kepada orang dan
engkau tidak mengharap sesuatu dari orang. Apabila ada demikian, maka
selamatlah engkau". Kemudian Hatim berangkat ke Madinah.
Tiba di situ dia dikerumuni penduduk Madinah. Maka Hatim bertanya: "Kota
manakah ini?". Menjawab orang banyak: "Kota Rasulullah saw".
"Dimanakah istana Rasulullah saw ? Saya hendak mengerjakan shalat di
dalamnya!”. Rasulullah saw tak mempunyai istana ! ", menjawab orang
banyak. "Hanya mempunyai sebuah rumah yang rendah diatas tanah". Mana
istana shahabat‑shahabatnya?",
tanya Hatim pula. Tak ada juga ! Mereka hanya mempunyai rumah‑rumah yang
rendah di atas tanah". "Kalau begitu" kata Hatim. "Hai kaumku ! Ini adalah
kota Firaun !". Lalu Hatim diambil
penduduk dan dibawanya ke tempat Sultan (penguasa), seraya mengatakan
"Orang 'Ajam (bukan Arab) ini mengatakan: "Ini kota Fir'aun !
Bertanya Sultan: “Mengapa begitu ?". Menjawab Hatim: "Janganlah lekas
marah kepadaku ! aku ini orang bodoh yang asing di sini. Saya masuk negeri ini
seraya bertanya: "Kota siapakah ini?”
Mereka menjawab: kota Rasulullah saw Lalu saya bertanya: "Manakah
istananya ?" dan Hatim meneruskan ceriteranya. Kemudian berkata Hatim:
"Telah berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya
Rasul Allah itu menjadi ikutan (teladan) yang baik untuk kamu". S 33
ayat 21. Maka tuan‑tuan, siapakah yang tuan‑tuan ikut, Rasulullah saw atau
Fir'aun orang yang pertama‑tama membangun dengan batu marmer dan batu
merah?". Lalu mereka biarkan dan tinggalkan Hatim. Inilah ceritera Hatim
Al‑Ashamm. Kiranya Allah memberikan rakhmat kepadanya.
Dan akan diterangkan tentang kesederhanaan
perjalanan hidup ulama salaf dan ketidak sukaan mereka kepada kecantikan dengan
bukti‑bukti yang menunjukkan kepada yang demikian, pada tempat‑tempatnya nanti.
Sebenarnya, menghiasi diri dengan yang mubah (yang dibolehkan) tidak haram.
Tetapi berkecimpung dengan yang mubah itu, mengharuskan suka kepadanya,
sehingga sukar meninggalkannya. Terus‑terusan menghiasi diri itu, menurut
biasanya tidak mungkin bila tidak secara langsung memperoleh sebab‑sebabnya.
Untuk menjaga keutuhan sebab‑sebabnya itu, terpaksa berbuat perbuatan ma'siat,
seumpama bermanis muka, menjaga hati orang banyak dan kehormatan mereka serta
hal‑hal lain yang terlarang. Untuk penjagaan diri hendaklah menjauhkan yang
demikian. Karena orang yang berkecimpung dalam dunia, tidaklah sekali‑kali
selamat terpelihara dari padanya. Jikalau keselamatan diri itu dapat diperoleh
serta berkecimpung di dalam dunia, maka tidaklah Rasulullah saw dengan tegas
membelakangi dunia dengan membuka baju kemejanya yang bersulamkan bendera.
Dan menanggalkan cincin emas ketika sedang pidato. Dan lain‑lain contoh lagi
yang akan diterangkan.
Menurut ceritera, Yahya bin Yazid An‑Naufali
menulis surat kepada Malik bin Anas ra seperti Berikut: "Bismillaahir
rahmaanir rahiim. Wa shallaahu 'alaa Rasuulihi Muhammadin fil awwaalin
wal aakhiriin”. Dari Yahya bin Yazid
bin Abdil Malik kepada Malik bin Anas. Ammaa badu, kemudian dari itu,
sesungguhnya telah sampai kepadaku, bahwa tuan memakai pakaian halus, memakan
roti tipis, duduk atas tempat yang empuk dan meletakkan pada pintu seorang
penjaga. Sesungguhnya tuan duduk dalam majelis Ilmu pengetahuan, kendaraan
berkerumun kerumah tuan, manusia datang kepada tuan. Diambilnya tuan menjadi
imam dan disukai mereka perkataan tuan. Maka bertaqwalah kepada Allah Ta'ala
wahai Malik ! Hendaklah tuan merendahkan diri aku tuliskan kepada tuan
nasehatku ini, dalam suatu surat yang tidak dillihat selain Allah Subhanahu wa
Ta'ala". W a s s a 1 a m,
Lalu Malik ra membalas surat
Yahya sebagai berikut "Bismillaahir
rahmaanir rahiim. Wa shallallaahu alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalaihii wa
shahbihii wa sallam. Dari Malik bin Anas kepada Yahya bin Yazid.
Kesejahteraan dari Allah kiranya kepada tuan !. Ammaa ba'du, kemudian dari itu,
telah sampai surat tuan kepadaku, maka aku pandang surat itu menjadi nasehat,
tanda kasih mesra dan ketinggian budi. Kiranya Allah mengurniai tuan dengan ke
taqwaan dan memberi baIasan kepada tuan dengan kebajikan, disebabkan nasehat
itu. Aku bermohon, kiranya Allah menganugerahkan taufiq wa laahaula wa laa
quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim.
Apa yang tuan sebutkan mengenai saya, bahwa saya memakan roti tipis,
memakai pakaian halus, memakai penjaga pintu dan duduk di atas tempat yang
empuk, maka benarlah kami berbuat demikian. Dan bermohonlah kami akan keampunan
dari pada Allah Ta’ala. Berfirman Allah Ta’ala: "Katakanlah! Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan
(memakan) rezeki yang baik yang diadakanNya untuk hambaNya ?". S 7
ayat 32. Sesungguhnya saya mengetahui, bahwa meninggalkan yang demikian itu
adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Janganlah tuan meninggalkan kami
dengan tidak mengirim‑ngirimkan surat, sebagaimana kamipun tidak akan
meninggalkan tuan dengan tidak mengirim-ngirimkan surat". Wassalam
Lihatlah kepada keinsyafan Malik, karena ia
mengakui bahwa meninggalkan yang demikian itu adalah lebih baik dari pada masuk
ke dalamnya. Dan ia berfatwa bahwa perbuatan tersebut itu diperbolehkan.
Sesungguhnya benarlah Imam Malik pada keduanya itu ! Dan seumpama Imam Malik
dalam kedudukan nya, apabila dirinya telah membolehkan dengan keinsyafan dan
pengakuan mengenai nasehat yang seperti itu, maka kuat pulalah dirinya untuk
berdiri diatas batas‑batas yang diperbolehkan. Sehingga keadaan yang demikian
tidaklah membawa dia kepada ria, ber‑minyak‑minyak air dan melampaui kepada
perbuatan yang makruh.
Adapun orang lain, maka tidaklah
menyanggupi yang demikian. Meningkatkan diri kepada bersenang‑senang dengan
yang diperbolehkan adalah besar bahayanya. Dan itu adalah jauh dari takut dan
kuatir. Dan kekhususan ulama Allah itu, ialah takut. Dan Kekhususan dari takut
itu, ialah menjauhkan diri dari tempat‑tempat yang disangka berbahaya. Dan
diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah menjauhkan diri dari sultan‑sultan
(penguasa‑penguasa). Maka tidaklah dia sekali-kali masuk kepada sultan‑sultan
itu, selama masih ia memperoleh jalan untuk lari dari pada mereka. Tetapi
seyogialah ia menjaga diri dari pada bercampur‑baur dengan sultan‑sultan itu,
meskipun mereka itu datang kepadanya. Sesungguhnya dunia itu manis menghijau,
tali‑temalinya di tangan sultan‑sultan. Orang yang bercampur‑baur dengan
mereka, tidaklah terlepas dari bersusah‑payah mencari kerelaan dan menarik hati
mereka, sedang mereka itu. adalah orang dzalim. Maka haruslah di atas tiap‑tiap
orang yang beragama, menantang mereka dan menyempitkan dada mereka, dengan
melahirkan kedzaliman dan menjelekkan perbuatan mereka. Orang yang masuk ke
dalam kalangan sultan‑sultan itu, adakalanya menolehkan kepada berbaik‑baik
dengan mereka, lalu ia menodai nikmat Allah kepadanya. Atau berdiam diri dari
menantang sultan‑sultan itu, lalu ia berminyak‑minyak air dengan mereka, Atau
bersusah‑payah dalam perkataannya mencari kata‑kata untuk kesenangan dan
membaguskan hal ikhwal sultan‑sultan itu. Yang demikian itu adalah kebohongan
yang nyata. Atau mengharap akan memperoleh apa‑apa dari dunia mereka. Dan itu
adalah palsu. Dan akan datang nanti pada "Kitab Halal dan Haram", apa
yang boleh diambil dari pada harta sultan‑sultan dan apa yang tidak boleh dari
barang‑barang yang berharga, hadiah dan lainnya.
Kesimpulannya, bercampur‑baur dengan sultan‑sultan
itu adalah kunci kejahatan. Dan ulama akhirat, jalan yang ditempuh mereka,
ialah menjaga diri. Nabi saw bersabda: “Barang
siapa berdiam di kampung, niscaya kosonglah dia' Dan barang siapa mengikuti
binatang buruan, niscaya lalailah dia. Dan barang siapa mendatangi sultan
niscaya terpesonalah dia ". Nabi saw bersabda "Akan ada padamu
amir‑amir yang kamu kenal dan kamu tantang. Maka barang siapa menantangnya,
sesungguhnya terlepaslah dia. Dan barang siapa benci kepadanya, maka
sesungguhnya selamatlah dia. Tetapi barang siapa menyetujui dan mengikutinya,
niscaya ia dijauhkan Allah Ta'ala". Lalu ada yang bertanya: "Apakah
kami perangi mereka?". Nabi saw menjawab: "Jangan, selama mereka itu
mengerjakan shalat !".
Sufyan berkata: "Dalam neraka jahannam,
ada sebuah lembah, yang tidak ditempati selain oleh qurra' (ahli pembaca AI‑Qur‑an),
yang mengunjungi raja‑raja. Berkata Hudzaifah: "Berhati‑hatilah kamu dari
tempat fitnah ! Lalu ada yang bertanya: "Manakah tempat fitnah itu?".
Hudzaifah menjawab: "Pintu rumah amir‑amir, di mana seseorang dari kamu
masuk ke tempat amir itu, Ialu membenarkannya dalam perkara bohong dan
mengatakan tentang sesuatu tidak menurut sebenarnya". Rasullullah saw
berkata: "Ulama itu adalah pemegang amanah Rasul di atas hamba Allah
Ta’ala, selama mereka tidak bercampur baur dengan sultan‑sultan. Apabila
mereka berbuat yang demikian, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati rasul‑rasul.
Maka awaslah kamu dan menjauhkan dirilah kamu dari pada mereka !".
Hadits ini dirawikan Anas. Orang menanyakan
A'masy: "Tuan telah menghidupkan ilmu pengetahuan, karena banyaklah orang
yang mengambil ilmu pengetahuan itu dari pada tuan". Maka A'masy
menjawab: "Janganlah lekas benar mengatakan yang demikian ! Sepertiga dari
mereka yang mengambil ilmu padaku itu, meninggal sebelum mengerti, sepertiga
selalu ke rumah sultan-sultan, maka mereka ini adalah orang jahat dan yang
sepertiga sisanya, tiada memperoleh kemenangan, kecuali sedikit saja". Dan
karena itulah berkata Said bin AI‑Musayyab ra: "Apabila kamu melihat orang
alim, datang menipu amir-amir, maka waspadalah dari padanya karena dia itu pencuri ! AI‑Auza'i berkata:
'Tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah Ta’ala, dari orang alim yang
mengunjungi pekerja (yang bekerja pada amir)". Rasulullah saw bersabda: "Ulama yang jahat, ialah yang datang
kepada amir‑amir. Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama‑ulama ?”
Berkata Makhul Ad‑Dimasyqi ra: “Barang
siapa mempelajari AI‑Qur‑an dan memahami Agama, kemudian menyertai sultan, karena
bermanis muka kepadanya dan mengharap sesuatu padanya, niscaya masuklah ia ke
dalam laut dari neraka jahannam menurut bilangan langkahnya". Samnun
berkata: "Alangkah kejinya orang alim, yang didatangi ke tempatnya, Ialu
tidak dijumpai. Maka ditanyakan tentang orang alim tadi, lalu mendapat
penjawaban: "Dia itu pada amir". Menyambung Samnun: "Aku pernah
mendengar orang mengatakan: "Apabila kamu melihat orang alim mencintai
dunia, maka curigailah dia terhadap Agamamu! Sehingga aku sendiri mencoba yang
demikian. Karena tidaklah sekali‑kali aku masuk ke tempat sultan itu, melainkan
aku mengoreksi diriku sesudah keluar dari padanya. Maka aku dapati di atas
diriku bekas dan kamu dapat melihat apa yang aku peroleh itu. Yaitu: kekerasan,
kekasaran dan banyaknya pertentangan untuk hawa nafsu. Sesungguhnya aku ingin
dapat melepaskan diri dari pada masuk ke tempat sultan itu untuk penjagan diri.
Sedang aku tidak pernah mengambil sesuatu dari padanya atau meminum, seteguk
air kepunyaan nya". Kemudian Samnun
menyambung: "Ulama zaman kita ini, adalah lebih jahat dari ulama Bani
Israil, yang berbicara dengan sultan dengan murah saja dan dengan yang
bersesuaian dengan hawa nafsu sultan. Dan kalau mereka berbicara dengan, sultan
dalam hal yang menjadi tanggungan sultan dan dalam hal itu dapat melepaskan
sultan, niscaya sultan itu merasa berkeberatan. Dan tidak suka lagi ulama itu
masuk ke tempatnya. Dan adalah yang demikian itu melepaskan bagi ulama pada
sisi “Tuhannya".
Al‑Hasan berkata: "Adalalah diantara
orang yang sebelum kamu, seorang laki‑laki yang terdahulu dalam Islam dan
menjadi shahabat bagi Rasulullah saw. Berkata Abdullah bin AI‑Mubarak: yang
dimaksudkan dengan orang tadi, ialah Saad bin Abi Waqqash ra: Al‑Hasan berkata seterusnya: "Orang itu
tak pernah mendatangi sultan‑sultan dan melarikan diri dari mereka". Lalu
anak‑anaknya berkata kepadanya: "Datangnya kepada sultan-sultan itu,
orang yang tidak seperti ayah tentang pershahabatan dengan Nabi saw dan lamanya
dalam Islam. Kalau ayah datang kepada sultan‑sultan itu, bagaimana?".
Orang itu menjawab: "Hai anakku ! Apakah aku datang kepada bangkai yang
telah dilingkungi orang banyak ? Demi Allah. sesungguhnya, jikalau aku sanggup,
niscaya tidaklah aku bersekutu dengan mereka pada bangkai itu. Menjawab anak‑anaknya: "Wahai ayah kami
! Jadi binasalah kami ini kekurusan !". Menjawab orang itu: "Hai anak‑anakku
! Aku lebih suka mati sebagai mu'min
yang kurus, dari pada aku mati sebagai munafiq yang gemuk".
Berkata AL Hasan: "Orang itu memusuhi
sultan‑sultan itu, karena demi Allah ia mengetahui, bahwa tanah memakan daging
dan minyak, tidak memakan iman". Dan ini suatu petunjuk, bahwa orang yang
memasuki tempat sultan tidak akan selamat sekali‑kali dari nifaq (bermuka dua).
Dan nifaq itu adalah berlawanan dengan iman. Abu Dizar berkata kepada Salmah:
"Wahai Salmah, janganlah engkau mendatangi pintu sultan‑sultan !
Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh sesuatu dari pada dunia mereka,
melainkan mereka memperoleh dari agama engkau yang lebih utama dari
padanya". Inilah suatu, fitnah besar bagi ulama dan jalan yang sulit bagi
setan untuk memperdayakan ulama. Lebih‑lebih bagi ulama yang mempunyai cara
berbicara yang mudah diterima orang dan mempunyai perkataan yang manis. Karena
senantiasalah setan membisikkan kepada ulama itu bahwa: "Nasehatmu kepada
sultan‑sultan dan kedatanganmu kepadanya, adalah hal yang menakutkan mereka
dari berbuat dhalim dan menegakkan syiar‑syiar Agama". Sampai menjadi
khayalan kepada ulama itu, bahwa masuknya ke rumah sultan‑sultan itu adalah setengah
dari agama. Kemudian, apabila telah masuk, Ialu senantiasalah ia bersikap lemah‑lembut
dalam pembicaraan, berminyak‑minyak air dan berkecimpung dengan memuji dan
menyanjung. Dan pada inilah terletaknya kebinasaan Agama. Dan ada dikatakan:
"Ulama itu apabila telah berilmu, niscaya berbuat (beramal). Apabila
berbuat, niscaya sibuk. Apabila telah sibuk, Ialu hilang. Apabila, telah
hilang, lalu dicari. Dan apabila dicari lalu lari".
Umar bin Abdul 'aziz ra menulis surat
kepada AL Hasan: "Ammaaba'du, kemudian dari itu, maka tunjukkanlah
kepadaku golongan‑golongan yang dapat aku meminta tolong padanya, untuk
menegakkan perintah Allah Ta'ala !". Maka AL Hasan membalas surat Khalifah
Umar bin Abdul 'aziz tadi: "Adapun kaum agama, maka mereka tidak berkehendak
kepadamu. Dan adapun kaum dunia, maka engkau tidak berkehendak kepada mereka.
Akan tetapi, haruslah engkau dengan orang-orang mulia, karena mereka menjaga
kehormatan dirinya dari pada menodainya dengan pengkhianatan". Ini adalah
mengenai Umar bin Abdul 'aziz ra dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya.
Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah
memperoleh perbandingan untuk mencari orang lain dan bercampur‑baur dengan dia
? Dan selalu ulama‑ulama terdahulu, seperti: AL Hasan, Ats‑Tsuri, Ibnul‑Mubarak,
AI‑Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai
ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dll. Adakalanya karena mereka
itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur‑baur dengan sultan‑sultan.
Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa‑gesa memberi fatwa.
Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan
untuk melepaskan diri. Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar‑benar
dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau Ijma’ (sepakat) atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah
dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia
menjawab: "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu
persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya (kesungguhannya)
dan terkaan nya, maka dalam hal ini ia berhati‑hati, mempertahankan diri dan
menyerahkan penjawabannya kepada orang lain jikalau ada pada orang lain itu
kemampuan.
Inilah hati‑hati (al‑hazmu) namanya, kerena
ikut‑ikutan berijtihad/mengeluarkan pendapat adalah besar sekali bahayanya.
Dalam hadits tersebut: "Ilmu itu 3:
Kitab, yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak dan Laa adrii (Saya tidak
tahu)”. Asy‑Sya'bi berkata: "Laa
adrii adalah setengah ilmu. Barang siapa berdiam diri dimana yang tidak
diketahuinya karena Allah Ta’ala, maka tidaklah kurang pahalanya dari pada
orang yang berkata‑kata. Karena mengaku bodoh adalah amat berat bagi
jiwa". Begitulah adanya kebiasaan para shahabat dan ulama salaf ra.
Adalah Ibnu Umar apabila ditanyakan
kepadanya tentang fatwa maka menjawab: "Pergilah kepada amir itu yang
menerima pikulan tanggung jawab segala urusan manusia. Maka letakkanlah urusan
itu ke atas pundaknya !". Berkata Ibnu Mas'ud ra: "Orang yang memberi
fatwa kepada manusia mengenai tiap‑tiap persoalan yang diminta mereka fatwanya,
adalah gila". Dan seterusnya beliau berkata: "Benteng orang alim itu,
ialah "Laa adrii” (saya tidak tahu). Jikalau ia menyalahkan benteng itu,
maka sesungguhnya telah mendapat bencanalah tempat‑tempat ia berperang".
Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Tidak adalah yang lebih menyulitkan bagi
setan, selain dari orang alim yang berkata dengan ilmunya dan berdiam diri
dengan ilmunya. Setan itu berkata "Lihatlah kepada orang alim ini Diamnya
lebih sulit bagiku dari pada perkataannya". Setengah mereka menyifatkan al‑abdal (orang sholeh yang selalu ada didunia ini yang
digantikan oleh Allah bila ada yang meninggal) dengan mengatakan: "Orang
shaleh itu makannya seberapa perlu, tidurnya kalau terpaksa dan kata‑katanya
kalau sudah penting. Artinya: mereka tidak berbicara sehingga ditanya. Dan
apabila ditanya, lalu mendapat orang‑orang yang memadai, niscaya mereka berdiam
diri. Dan kalau diperlukan, baru mereka menjawab". Orang‑orang shaleh itu
memandang bahwa memulai berbicara sebelum ditanya, adalah termasuk hawa nafsu
yang tersembunyi untuk berbicara.
Saidina Ali ra dan Saidina Abdullah ra
melewati seorang Iaki‑laki yang sedang berbicara dihadapan orang banyak, lalu
berkata Ali ra: "Orang itu akan mengatakan nanti: "Kamu kenallah aku
!". Berkata setengah mereka bahwa orang berilmu itu apabila ditanyakan
sesuatu masalah, maka seakan‑akan dicabut gusinya. Ibnu Umar berkata:
"Kamu bermaksud menjadikan kami jembatan, yang akan kamu Ialui di atas
kami ke neraka jahannam". Abu Hafash An‑Naisaburi berkata: "Orang
alim itu, ialah yang takut pada pertanyaan, dimana ditanyakan kepadanya pada
hari kiamat nanti: “Dari manakah penjawaban itu kamu peroleh?". Adalah Ibrahim
At‑Taimi apabila ia ditanyakan sesuatu masalah, lalu menangis, seraya berkata:
"Apakah tuan‑tuan tidak mendapat orang lain, maka tuan‑tuan mendesak
saya?". Adalah Abul 'Aliyyah Ar‑Rayyahi, Ibrahim bin Adham dan Ats Tsuri
berbicara dihadapan dua orang, tiga orang dan dihadapan jumlah yang kecil.
Apabila orang sudah banyak Ialu mereka itu pergi.
Nabi saw bersabda: "Saya tidak tahu, Uzair itu nabi atau bukan, Saya tidak tahu, Tubba'
(orang suku himyar orang pertama yg menutupi ka’bah dengan kain )itu terkutuk
atau tidak. Dan saya tidak tahu, Dzulkarnain itu nabi atau bukan". Tatkala Rasulullah saw ditanyakan tentang
tempat yang terbaik dan yang terburuk di bumi, maka Nabi saw menjawab:
"Laa adrii ‑ Saya tidak tahu". Sehingga datanglah Jibril sa. kepadanya,
maka ditanyakannya. Lalu Jibril as menjawab: "Laa adrii ‑ Saya tidak
tahu... Sehingga ia diberitahukan oleh Allah 'Azza wa. Jalla, bahwa tempat yang
terbaik, ialah “masjid” dan tempat yang terburuk ialah “Pasar".
Adalah Ibnu Umar ra ditanyakan 10 masalah,
maka dijawabnya satu dan berdiam diri dari sembilan. Dan Ibnu Abbas ra menjawab
9 dan berdiam diri dari satu. Dalam kalangan ulama fiqh (Fuqaha') ada yang
menjawab "Laa adrii', lebih banyak dari pada menjawab. “Adrii ‑ saya
tahu". Diantaranya: Sufyan Ats‑Tsuri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal,
AI‑Fudlail bin 'IyadI dan Bisyr bin Al Harits.
Abdur‑Rahman bin Ali Laila berkata:
"Aku mendapati dalam masjid ini 120 orang shahabat Rasulullah saw. Tidak
seorangpun dari mereka yang ditanyakan tentang hadits atau fatwa, melainkan
lebih menyukai bahwa temannya saja cukup menjawabnya". Pada kata‑kata
yang lain dari Abdur‑Rahman bin Ali Laila itu berbunyi: "Adalah suatu
masalah dikemukakan kepada salah seorang dari mereka, lalu ia mengembalikannya
kepada yang lain. Dan yang lain itu mengembalikannya kepada yang lain pula,
sehingga masalah itu kembali kepada orang yang pertama".
Diriwayatkan bahwa teman‑teman Shuffah,
dihadiahkan orang kepala kibasy goreng kepada salah seorang dari mereka, dimana
ia sedang melarat benar. Maka dihadiahkannya hadiah tadi kepada teman yang lain
dan teman yang lain itu menghadiahkannya kepada yang lain pula. Dan begitulah
beredar diantara mereka, sehingga kembalilah kepada yang pertama. Lalu lihatlah
sekarang, bagaimana terbaliknya pekerti ulama. Maka
jadilah yang harus ditinggalkan, dicarinya dan yang harus dicarikan,
ditinggalkannya. Dibuktikan tentang baiknya berhati‑hati dari pada
turut‑turutan memberi fatwa, ialah apa yang diriwayatkan dari setengah mereka
sebagai hadits musnad, bahwa Nabi
saw, bersabda: "Tidaklah berfatwa kepada manusia, selain oleh 3: amir atau
ma'mur (orang yang disuruh amir) atau orang
yang menanggung sendiri untuk berfatwa".
Berkata setengah mereka: "Adalah para shahabat Nabi saw
tolak-menolak pada 4 perkara: menjadi imam, memegang wasiat, menyimpan simpanan
dan memberi fatwa". Berkata setengah mereka: "Adalah yang paling
lekas memberi fatwa, ialah orang yang ilmunya paling sedikit. Dan yang paling
menolak memberi fatwa, ialah orang yang paling wara' (menjaga diri dari
kesalahan)".
Adalah para shahabat ra dan tabi'in ra itu
sibuk pada lima perkara, yaitu: membaca AI‑Qur‑an, meramaikan (memakmurkan)
masjid, berdzikir kepada Allah Ta’ala, beramar-ma’ruf (menyuruh berbuat
kebajikan) dan bernahi munkar(melarang berbuat yang munkar)".
Yang demikian itu adalah karena mereka mendengar dari sabda Nabi saw: "Tiap‑tiap perkataan anak Adam
(manusia), adalah memberatkan atas dirinya, tidak menguntungkan kepadanya,
selain 3 amar ma'ruf atau nahi munkar,
atau berdzikir kepada Allah Ta`ala”. Berfirman Allah Ta’ala: "Tiada kebaikan pada banyaknya bisikan‑bisikan
mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, ialah orang-orang yang menyuruh
berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia" S 4 ayat 114.
Setengah ulama bermimpi berjumpa dengan
beberapa ahli fikir dari penduduk Kufah, lalu bertanya: "Apakah yang tuan
jumpai tentang pekerjaan tuan mengeluarkan fatwa dan pendapat?". Maka
berobahlah wama muka orang yang dimimpikan itu dan berpaling dari padanya,
seraya mengatakan: "Tak adalah kami memperoleh sesuatu dari padanya, dan
tidaklah kami memujikan akan akibatnya". Berkata Ibnu Hushain:
"Bahwasanya salah seorang dari mereka berfatwa mengenai suatu masalah,
masalah mana, jikalau dibawa kepada Umar bin Al Khath‑thab ra, niscaya akan
dikumpulkannya seluruh shahabat yang turut dalam perang Badar untuk membahasnya.
Maka senantiasalah diam itu menjadi sifat ahli ilmu, kecuali ketika diperlukan.
Pada Hadits tersebut: “Apabila kamu
melihat orang bersifat pendiam dan zuhud, maka dekatilah kepadanya !
Sesungguhnya orang itu akan mengajarkan ilmu khikmah". Ada yang
mengatakan, bahwa orang alim itu, adakalanya: seorang alim umum, yaitu mufti
dan mereka ini adalah teman sultan. Atau seorang alim khusus. Dan itulah orang alim dengan ilmu keesaan dan
amal perbuatan hati. Dan mereka itu adalah teman‑teman di pondok pesantren yang
terpisah sendirian. Ada yang mengatakan, bahwa seperti Imam Ahmad bin Hanbal
itu, adalah seperti sungai Tigris (DajIah), dimana tiap‑tiap orang menyauk air
dari padanya. Dan seperti Bisyr bin Al Harits, adalah seperti sumur berair
tawar yang tertutup, tak ada yang menuju kepadanya, selain seorang demi
seorang. Dan orang banyak itu mengatakan, bahwa si Anu itu berilmu, si Anu itu
ahli ilmu kalam (berkata-kata), si Anu itu banyak bicara, dan si Anu itu banyak
kerja. Berkata Abu Sulaiman: "Marifah kepada diam, adalah lebih dekat dari
pada marifah kepada berkata‑kata". Dan ada yang mengatakan, bahwa apabila
banyak ilmu, maka sedikitlah bicara dan apabila banyak bicara, maka sedikitlah
ilmu. Salman AI‑Farisi ra menulis surat kepada Abi'd Darda' ra, dimana keduanya
telah dipersaudarakan oleh Rasullullah saw. Surat itu diantara lain berbunyi:
"Wahai saudaraku ! Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau duduk menjadi
tabib mengobati orang‑orang sakit. Maka perhatikanlah bahwa jikalau benarlah
engkau tabib, maka berbicaralah, karena pembicaraanmu itu adalah obat ! Dan
jikalau engkau berbuat‑buat sebagai tabib, Allah – Allah -, janganlah engkau
membunuh orang muslim !". Sesudah itu, maka Abi'd Darda' terhenti‑henti
berbicara apabila ia ditanyakan.
Adalah Anas ra apabila ia ditanyakan, maka
menjawab: "Tanyakanlah kepada penghulu kita AL Hasan !". Dan Ibnu
Abbas ra apabila ditanyakan, menjawab: “Tanyakanlah kepada Haritsah bin Zaid !
'Dan Ibnu Umar ra menjawab !
'Tanyakanlah kepada Sa'id bin AI‑Musayyab !". Diriwayatkan, bahwa seorang
shahabat Nabi saw meriwayatkan 20 hadits dimuka AL Hasan; Lalu ditanyakan
kepadanya mengenai penafsiran hadits‑hadits itu, maka shahabat itu menjawab:
"Tak ada padaku selain meriwayatkan saja". Lalu AL Hasan menafsirkan
hadits itu satu persatu. Maka heranlah segala yang hadlir, tentang kebagusan
penafsiran dan hafalannya. Maka shahabat tadi mengambil segenggam batu kerikil
dan melemparkan orang‑orang itu, sambil berkata: "Kamu menanyakan
kepadaku tentang ilmu, sedang yang ahli ini adalah dekat punggungmu" Dan
diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah banyak perhatiannya dengan ilmu
batin, dengan muraqabah (memperhatikan gerak-gerak hati jangan sampai
terpengaruh dengan dunia & hawa nafsu)
hati, dengan mengenal jalan akhirat, cara menempuhnya, mengharapkan benar-benar
untuk menyingkapkan yang demikian itu dengan mujahadah (berjihat menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat
kepada Allah) dan muraqabah. Sesungguhnya mujahadah-mujahadah (berjihat menumpas
hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada Allah) membawa kepada musyahadah (menyaksikan
dengan jiwa akan kebesaran Allah & alam ghaib yang penuh dengan keajaiban
kebesaran Allah Ta’ala) dan ilmu hati
yang halus‑halus, dimana dengan ilmu‑ilmu itu terpancarlah segala sumber hikmah
dari hati.
Adapun kitab‑kitab dan pengajaran, maka
tidaklah mencukupi dengan itu saja. Tetapi hikmah yang diluar hinggaan dan tak
terhitung itu, sesungguhnya terbuka dengan mujahadah, muraqabah, langsung
mengerjakan amalan zahir dan amalan batin dan duduk beserta Allah Maha Mulia
& Maha Besar dalam khilwah (persembunyian), serta menghadirkan hati (jiwa)
dengan pikiran yang putih bersih, terputus dari yang lain, langsung kepada
Allah Ta'ala. Itulah kunci ilham dan
sumber kasyaf (terbuka
hijab) !. Berapa banyak pelajar yang sudah lama belajar, tetapi
tidak sanggup dengan sepatah katapun melewati dari pada yang didengarnya. Dan
berapa banyak pelajar, memilih yang penting saja dalam pelajarannya,
menyempurnakan amal dan muraqabah hati, yang dibukakan Allah kepadanya ilmu
hikmah yang halus‑halus yang mengherankan akal orang‑orang yang bermata hati.
Dan karena itulah Nabi saw bersabda: "Barang
siapa mengerjakan dengan apa yang diketahuinya, niscaya
dipusakakan Allah kepadanya ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya".
Pada setengah kitab‑kitab lama tersebut:
"Hai Bani Israil. Janganlah kamu mengatakan: ilmu itu di langit, siapakah
yang menurunkannya ke bumi ? Jangan lah kamu mengatakan ilmu itu dalam perut
bumi, siapakah yang mengeluarkannya ke atas bumi? Dan jangan kamu mengatakan di
seberang lautan, siapakah yang membawanya ? Ilmu itu dijadikan dalam hatimu.
Beradablah dihadapanKU dengan adab ruhaniawan
(ruhaniyyin) ! Berbudi‑pekertilah kepadaKU dengan budi‑pekerti shiddiqin. Niscaya AKU lahirkan ilmu itu
dalam hatimu, sehingga menutupkan kamu dengan kebaikan dan kelebihan
ilmu".
Berkata Sahl bin Abdullah At‑Tustari ra:
"Keluarlah orang‑orang berilmu (ulama), orang‑orang beribadah (ubbad) dan
orang‑orang zuhud (zuhhad) dari dunia ini. Hati mereka terkunci dan tidak
terbuka, selain hati orang‑orang shiddiqin dan syuhada (orang‑orang
syahid)". Kemudian Sahl membaca firman Allah Ta’ala: ”Dan di
sisi Allah kunci‑kunci perkara yang ghaib, tidak ada yang tahu, selain
Allah" S 6 ayat 59. Jikalau tidaklah pengetahuan hati dari orang yang berhati
dengan nur dalam, yang menjadi hakim atas ilmu luar, tentu tidaklah Nabi saw
bersabda: "Mintalah fatwa kepada
hatimu, wa’alaupun orang lain telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu,
telah berfatwa kepadamu !". Nabi saw bersabda akan wahyu yang
diriwayatkannya dari Tuhannya Yang Maha Tinggi: "Senantiasalah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan amal
ibadah sunnah, sehingga Aku sayang kepadanya. Apabila Aku telah sayang
kepadanya, maka adalah Aku pendengarannya, dimana ia mendengar dengan
pendengaran itu”. Berapa banyak pengertian‑pengertian yang halus dari
rahasia‑rahasia AI‑Qur‑an yang terguris dalam hati orang‑orang
yang berdzikir dan berfikir kepada Tuhan semata‑mata, yang tidak disebutkan
dalam kitab‑kitab tafsir dan tidak sampai kepadanya pandangan ahli‑ahli tafsir
yang utama. Apabila terbukalah yang demikian itu bagi murid yang bermuraqabah (memperhatikan
gerak-gerak hati jangan sampai terpengaruh dengan dunia & hawa nafsu) dan
dikemukakannya kepada ulama‑ulama tafsir, niscaya mereka itu akan menerimanya
dengan baik. Dan mereka itu mengetahui bahwa yang demikian adalah diantara
pemberitahuan hati yang suci dan rakhmat Allah Ta’ala dengan cita‑cita yang
tinggi, yang dicurahkan kepada murid tersebut. Dan begitu pula tentang ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja dan
segala rahasia ilmu yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan serta
bisikan‑bisikan hati yang halus‑halus. Maka tiap-tiap ilmu dari ilmu‑ilmu ini
adalah ibarat lautan yang tak terduga dalamnya. Masing‑masing pelajar hanya
berkecimpung sekedar yang dianugerahkan dan diberikan taufiq kepadanya dari
amalan baik. Tentang penyifatan ulama akhirat itu, berkatalah Ali ra pada suatu
pembicaraan yang panjang: "Hati itu adalah wadah. Hati yang paling baik
ialah hati yang paling menjaga kebajikan. Manusia itu 3: 'alim rabbani (yang
berilmu Ketuhanan); Yang belajar ke jalan kelepasan dan; Yang bertualang rendah
budi, mengikuti semua orang yang pandai berteriak, condong kemana dibawa angin,
tak memperoleh sinar ilmu dan tidak bersandar kepada tiang yang teguh. Ilmu
adalah lebih baik dari harta. Ilmu itu menjaga engkau dan engkau menjaga harta.
Ilmu adalah bertambah dengan dibelanjakan dan harta berkurang dengan
dibelanjakan. Ilmu itu agama yang diperpegangi. Dengan ilmu diusahakan ta'at
dalam hidup dan elok sebutan sesudah mati. lImu itu hakim dan harta itu yang
dihukum. Kegunaan harta itu hilang dengan hilangnya. Matilah penjaga‑penjaga
gudang harta, walaupun mereka itu masih hidup. Dan ulama itu terus hidup, kekal
sepanjang zaman".
Kemudian Ali ra menarik nafas panjang,
seraya berkata: "Ah, sesungguhnya di sini banyak ilmu, jikalau kiranya aku
memperoleh orang‑orang yang membawanya! Tetapi aku memperoleh pelajar yang
tidak amanah. Ia menggunakan agama untuk menjadi alat mencari dunia.
Dipandangnya lama‑lama akan ni'mat Allah kepada aulia‑auliaNya dan
dilahirkannya menjadi alasan kepada orang banyak. Atau aku memperoleh orang
yang patuh kepada ahli kebenaran. Tetapi tertanamlah keragu‑raguan dalam
hatinya dengan kedatangan syubhat (diragukan) yang pertama saja. Ia tidak
bermata‑hati. Tidak yang ini (orang yang patuh tadi) dan tidak yang itu (pelajar
yang tidak amanah yang tersebut di atas) !. Atau aku memperoleh orang yang
terpesona dengan kesenangan, mudah terlibat dalam pelukan hawa nafsu. Ataupun
aku memperoleh orang yang terpedaya dengan mengumpulkan harta dan simpanan,
mengikuti hawa nafsunya, sehingga mereka menyerupai hewan yang mencari rumput
di padang luas. Wahai Tuhan ! Begitulah kiranya, ilmu itu mati, apabila mati
pendukung‑pendukungnya.
Kemudian, bumi ini tidak akan sunyi dari
orang yang menegakkan kebenaran Allah. Adakalanya yang luar terbuka dan
adakalanya yang takut terpaksa. Supaya tidaklah batal segala hujjah dan
keterangan‑keterangan Allah Ta’ala. Berapa orangkah dan dimanakah mereka itu?
Mereka adalah sedikit bilangannya, tinggi kedudukannya. Diri mereka itu tidak
ada. Orang‑orang yang seperti mereka itu, berada di dalam hati. Allah Ta’ala
menjaga hujah (keteranganNya) dengan mereka. Sehingga mereka menyimpan hujah
itu di belakangnya dan menanamkannya dalam hati orang‑orang yang serupa dengan
mereka. Ilmu itu menyerbu orang‑orang tadi dalam keadaan yang sebenarnya. Maka
mereka memperoleh secara langsung ruh‑keyakinan
(ruhul‑yaqin). Lalu mereka memperoleh
lunak apa yang diperoleh keras oleh orang‑orang yang merusakkan dan memperoleh
jinak apa yang di pandang liar oleh orang‑orang yang lalai. Mereka menyertai
dunia dengan badan, sedang ruhnya tergantung di tempat tertinggi. Mereka itu
adalah aulia Allah Maha Mulia & Maha Besar dari makhlukNya, pemegang
amanahNya, pekerja‑pekerjaNya, di bumiNya dan penyeru‑penyeru kepada
AgamaNya".
Kemudian, Ali ra menangis, seraya berkata:
"Alangkah rindu hatiku hendak melihat mereka ... !” Apa yang disebutkan
Ali ra yang terakhir itu, ialah sifat ulama akhirat. Yaitu: ilmu yang
kebanyakannya diperoleh faedahnya dari amalan dan rajin bermujahadah (berjihat menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat
kepada Allah). Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah sangat bersungguh‑sungguh
menguatkan keyakinan. Karena keyakinan itu adalah modal Agama. Rasulullah saw
bersabda: “Keyakinan (al‑yaqin) itu adalah iman seluruhnya”. Maka tak boleh tidak mempelajari ilmu‑yaqin (ilmu keyakinan), yakni:
bahagian yang permulaannya. Kemudian, terbukalah bagi hati jalannya. Dan karena
itulah Nabi saw bersabda: "Pelajarilah
keyakinan !". Maksudnya: duduklah bersama orang‑orang yang
berkeyakinan (al‑muqinin) dan dengarlah dari mereka ilmul‑yaqin. Biasakanlah
mengikuti mereka, supaya kuatlah keyakinanmu, sebagaimana kuatnya keyakinan
mereka. Sedikit dengan yakin, adalah lebih baik dari banyak amal. Nabi saw bersabda,
tatkala dikatakan kepadanya tentang: orang yang baik yakinnya, banyak dosanya
dan orang yang rajin beribadah, sedikit yakinnya, dimana beliau lalu bersabda: “Tak adalah anak Adam melainkan mempunyai
dosa". Tetapi orang yang
tabiatnya berakal dan sifatnya yakin, maka dosanya tidaklah mendatangkan
kemelaratan kepadanya. Karena tiap kali ia berdosa lalu bertobat, meminta ampun
dan menyesal. Maka tertutuplah (terhapuslah) semua dosanya dan tinggallah
baginya keutamaan, dimana ia akan masuk ke sorga dengan keutamaan itu. Karena
itulah, Nabi saw bersabda: "Sesunngguhnya
dari yang paling sedikit diberikan kepada kamu, ialah: yakin dan teguh
kesabaran. Barang siapa diberi bahagian dari yang dua itu, niscaya tak
perdulilah ia apa yang tertinggal, dari sembahyang malam dan puasa siang".
Dalam wasiat Lukman kepada puteranya,
tersebut: “Hai anakku ! Tak sangguplah
amal perbuatan itu dikerjakan, selain dengan yakin. Tidaklah manusia itu
bekerja, melainkan sekedar keyakinannya. Dan tidaklah yang beramal itu
memendekkan amalannya, kecuali telah kurang yakinnya". Yahya bin Ma'az
berkata: "Sesungguhnya keesaan itu mempunyai cahaya dan syirik itu
mempunyai api dan cahaya keesaan itu
lebih membakar segala kejahatan orang‑orang yang berkeesaan, dari api syirik
yang membakar segala kebajikan orang-orang musyrik". Yahya bermaksud
dengan yang demikian, ialah "yakin". Allah Ta’ala telah menunjukkan
dalam AI‑Qur‑an kepada menyebutkan orang‑orang
yang yakin (al‑muqinin) pada
beberapa tempat, yang menunjukkan, bahwa "yakin" itu adalah ikatan
bagi kebajikan dan kebahagiaan. Jikalau anda bertanya: “Apakah artinya yakin
itu ? Apakah artinya kuat dan lemahnya yakin ?", maka hendaklah mula-mula
memahami "yakin" itu, kemudian berusaha mencari dan mempelajarinya.
Sesuatu yang tidak dipahami bentuknya, niscaya tidak mungkin mencarinya.
Ketahuilah, bahwa yakin itu suatu perkataan yang berserikat, yang dipakai oleh dua
golongan untuk dua pengertian yang berlainan. Adapun golongan pemerhati dan ulama ilmu kalam (berkata-kata), memakai
kata‑kata "Yakin" itu dari ke‑tidak‑raguan
(tidak syak), karena condongnya hati kepada membenarkan sesuatu, mempunyai
4 tingkat:
Pertama: bahwa seimbanglah antara membenarkan dan mendustakan. Dan
untuk itu, dikatakan: syak (ragu).
seumpama: apabila anda ditanyakan tentang seorang yang tertentu, apakah ia
disiksakan oleh Allah Ta'ala atau tidak, sedang keadaan orang itu, anda tidak
mengetahuinya. Maka hati anda tidak condong kepada menetapkan, dengan: ya atau
tidak, tetapi bersamaanlah pada anda
kemungkinan dua hal tadi. Maka ini dinamakan syak/ragu.
Kedua: bahwa condonglah
jiwa anda kepada salah satu dari dua hal itu, serta merasa dengan kemungkinan
sebaliknya. Tetapi kemungkinan tadi, tidak mencegah untuk menguatkan yang
pertama. Seumpama apabila anda ditanyakan tentang orang yang anda kenal dengan
shalih dan taqwa, bahwa orang itu jikalau meninggal dunia dalam keadaan yang
demikian, adakah ia disiksa ? Maka jiwa anda condong kepada pendapat: bahwa
orang itu tidak akan disiksa, lebih banyak dari condongnya jiwa anda kepada ia
disiksa. Yang demikian itu, adalah karena jelasnya tanda-tanda keshalehannya.
Dalam pada itu, anda boleh saja memandang ada sesuatu hal yang tersembunyi pada
dalam bathin dan rahasia orang itu, yang mengharuskan ia disiksa. Ke‑boleh‑sajaan itu adalah menyamai
dengan kecondongan tadi, tetapi tidaklah menolak kuatnya kecondongan itu. Maka
keadaan ini disebut: dhan.
Ketiga: bahwa condonglah
hati kepada membenarkan sesuatu, dimana keraslah membenarkan itu pada hati dan
tidak terguris yang lain pada hati. Dan kalaupun terguris yang lain pada hati
itu, tetapi hati enggan menerimanya. Tetapi tidaklah yang demikian itu disertai
pengetahuan yang diyakini. Karena jikalau orang yang berada pada tingkat ini
mempergunakan dengan sebaik‑baiknya penelitian dan perhatian kepada yang
meragu‑ragukan dan keboleh‑sajaan, maka meluaslah hatinya kepada keboleh‑sajaan.
Dan ini disebut: keyakinan yang mendekati
kepada yaqin. Dan itu adalah: keyakinan orang awwam tentang agama
seluruhnya, apabila itiqad/yakin itu telah terhunjam dalam jiwanya dengan
mendengar semata‑mata, Sehingga tiap‑tiap golongan percaya bahwa alirannya yang
shah, Imam nya dan pengikut golongannya saja yang betul. Jikalau diterangkan
kepada salah seorang mereka kemungkinan imamnya salah, niscaya larilah ia dari
pada menerimanya.
Keempat: marifat adalah yang sebenarnya yang diperoleh dengan jalan
dari yang tidak diragukan dan tidak tergambar keraguan lagi padanya. Apabila
tak ada lagi keraguan dan kemungkinan adanya keraguan itu, maka disebutlah: yaqin pada mereka (golongan pemerhati dan
ulama ilmu kalam/berkata-kata). Contohnya:
apabila ditanyakan kepada orang yang berakal: "'Adakah pada yang ada itu, SESUATU yang tiada
berpemulaan? Maka tidaklah mungkin bagi orang itu membenarkannya dengan tanpa berpikir, karena Yang tiada
berpemulaan itu tidak dapat diketahui dengan pancaindera. Tidak seperti
matahari dan bulan. Maka orang itu dapat membenarkan adanya matahari dan bulan
itu dengan pancaindera. Dan tidaklah mengetahui adanya Suatu Yang tiada
berpemulaan dan tidak kesudahan/permulaan itu dengan mudah, seperti mengetahui
bahwa dua lebih banyak dari satu. Bahkan seperti mengetahui terjadinya yang
baru, dengan tanpa sebab itu mustahil. Maka ini juga mudah. Maka berhaklah bagi
akal tidak terus membenarkan adanya Yang tiada berpemulaan itu dengan jalan
spontan dan tanpa berpikir. Kemudian, setengah manusia mendengar yang demikian
dan membenarkan dengan mendengar itu secara yaqin dan terus‑menerus kepada yang
demikian. Dan itulah yang disebut: keyakinan. Dan yang demikian itu adalah
keadaan sekalian orang awwam. Setengah manusia membenarkannya dengan
dalil. Dan dalil itu, ialah dikatakan
kepadanya: jikalau tidak ada pada yang
ada ini TIADA BERPEMULAAN, maka
yang ada itu seluruhnya baru. Jikalau seluruhnya itu baru, maka adalah dia itu baru
dengan tanpa sebab. Atau ada padanya baru
yang dengan tanpa sebab. Dan yang
demikian itu adalah mustahil. Maka
yang membawa kepada mustahil itu adalah mustahil.
Dari itu, maka haruslah menurut akal, membenarkan adanya Suatu Yang tiada
berpemulaan dengan sangat penting. Karena bahagian‑bahagian itu 3:
Yaitu
pertama, seluruh yang ada itu tiada berpemulaan atau seluruhnya baru atau
setengahnya tiada berpemulaan dan setengahnya baru. Jikalau seluruhnya tiada
berpemulaan, maka berhasillah yang dicari. Karena secara keseluruhan sudah ada
yang tiada berpemulaan. Dan jikalau seluruhnya baru, maka itu mustahil. Karena
membawa kepada adanya kejadian, tanpa
sebab. Maka tetaplah bahagian ketiga atau
pertama. Dan tiap‑tiap ilmu yang
diperoleh dengan cara ini, disebut: yaqin pada golongan pemerhati dan ahli ilmu
kalam. Sama saja berhasilnya dengan memperhatikan contoh yang telah kami
sebutkan atau berhasilnya dengan pancaindera atau tabiat akal, seperti
mengetahui mustahilnya yang baru dengan tanpa sebab. Atau dengan berita yang
berturut‑turut dari orang banyak, yang tak mungkin sepakat membohong, seperti
mengetahui adanya kota Makkah. Atau dengan percobaan, seperti mengetahui, bahwa
sakmunia yang dimasak menjadi menceret. Atau dengan dalil, seperti yang telah
kami sebutkan di atas tadi. Maka syarat pemakaian nama ini pada mereka itu
ialah: tidak ragu. tiap‑tiap ilmu yang
tak ragu lagi, pada mereka disebut yaqin. Berdasarkan kepada ini, maka
"yaqin" itu tidak disifatkan dengan "lemah", karena tak ada
berlebih‑kurang tentang "tidak‑ragu" itu.
Istilah
kedua, ialah istilah ulama‑ulama
fiqih, ahli tasawuf dan kebanyakan ulama lainnya. Yaitu: tidak menoleh pada
kata‑kata “yaqin" itu kepada segi
"pembolehan dan keraguan". Tetapi kepada penguasaan dan kerasnya
atas akal. Sehingga dikatakan: si Anu lemah keyakinannya kepada mati, sedang ia
tidak ragu kepada mati itu. Dan dikatakan: si Anu itu kuat keyakinannya tentang
kedatangan rezeki, pada hal boleh jadi rezeki itu tidak datang kepadanya.
Manakala hati telah condong kepada membenarkan sesuatu dan yang demikian itu
telah keras atas hati dan menguasainya. Sehingga sesuatu itu menjadi yang
menetapkan dan yang menentukan pada hati dengan pembolehan dan pelarangan. Maka
dinamakanlah yang demikian itu "yaqin". Dan tak ragu lagi, bahwa
manusia bersama-sama meyakini mati dan tak ada ragu lagi padanya. Tetapi dalam
kalangan manusia itu, ada orang yang tidak mempunyai perhatian dan persiapan
untuk menghadapi mati. Seolah‑olah ia tidak yaqin dengan kedatangan mati. Ada
pula diantara manusia, yang demikian itu menguasai benar pada hatinya,
sehingga seluruh perhatiannya ditumpahkannya kepada persiapan menghadapi mati,
Tidak ditinggalkannya peluang untuk yang lain. Maka keadaan yang seperti
ini, dikatakan: kuat keyakinan. Dari itu berkata setengah ulama: "Tidaklah
aku melihat suatu keyakinan yang tak ada keraguan lagi padanya, yang menyerupai
dengan keraguan yang tak ada keyakinan padanya, selain dari m a t i. Berdasarkan istilah inilah, maka keyakinan
itu disebut: lemah dan kuat. Dan kami maksudkan dengan
perkataan kami, bahwa setengah dari keadaan ulama akhirat, ialah menyerahkan
seluruh kesungguhannya kepada menguatkan keyakinan,
adalah dengan kedua pengertian yang di atas tadi. Yaitu: tidak tidak ragu,
kemudian menguatnya keyakinan itu di dalam hati. Sehingga keyakinanlah yang
memenangi, yang menetapkan dan yang berbuat pada hati. Apabila ini telah
dipahami, niscaya anda mengetahui bahwa yang dimaksud dari perkataan kami,
ialah yaqin itu terbagi 3: kuat dan lemah, banyak dan sedikit,
tersembunyi dan terang.
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat dan lemah, maka adalah berdasarkan kepada istilah yang kedua. Yang demikian itu, adalah menurut keras dan
berkuasanya atas hati. Derajat pengertian yaqin tentang kuat dan lemahnya,
tidaklah berkesudahan. Berlebih‑kurang persediaan manusia bagi mati, adalah
menurut berlebih kurangnya keyakinan sepanjang pengertian‑pengertian itu.
Adapun berlebih‑kurang tentang tersembunyi dan terangnya keyakinan pada
istilah yang pertama, maka tidak pula dapat dibantah. Adapun pada yang
menyelusup kepadanya ke‑boleh‑sajaan (at‑tajwiz),
maka tidaklah dapat dibantah. Yakni:
istilah yang kedua. Dan juga pada yang tak ada keraguan padanya, tak ada
jalan untuk membantahnya. Sesungguhnya anda dapat membedakan antara anda
membenarkan adanya Makkah dan adanya Fadak umpamanya dan antara anda
membenarkan adanya Musa as dan adanya Yusuf as, sedang anda sebenarnya tidak
ragu tentang kedua hal itu. Yang menjadi sandaran keduanya itu, ialah berita mutawatir. Tetapi anda melihat yang satu
lebih terang dan lebih jelas pada hati anda dari pada yang kedua. Karena sebab
pada salah satu dari pada keduanya adalah lebih kuat. Yaitu: banyaknya orang
yang memberitakan. Dan begitu pula orang yang memperhatikan ini akan
memperoleh pada teori‑teori yang diketahui dengan dalil‑dalil. Maka tidaklah
jelas apa yang ditunjukkan dengan satu dalil, seperti jelasnya apa yang
ditunjukkan dengan banyak dalil, walaupun keduanya sama, tidak diragukan. Dan
ini kadang‑kadang dibantah oleh ahli ilmu kalam (berkata-kata), yang mengambil
ilmu dari kitab‑kitab dan pendengaran dan tidak mendasarkan pendapatnya kepada
keadaan yang berlebih‑kurang. Tentang sedikit dan banyaknya keyakinan, maka
yang demikian itu adalah disebabkan banyaknya tempat‑tempat tersangkutnya keyakinan.
Seumpama dikatakan: Si Anu adalah lebih banyak ilmunya dari si Anu. Artinya:
yang diketahuinya lebih banyak. Karena itulah, kadang‑kadang seorang alim itu
kuat keyakinannya mengenai semua yang dibawa Agama dan kadang‑kadang kuat
keyakinannya pada sebahagiannya saja. Jika anda berkata: "Aku telah memahami akan
"yakin", kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, terang dan
tersembunyinya, dengan pengertian: tidak
ragu atau dengan pengertian: telah
menguasai hati, maka apakah artinya: tempat‑tempat tersangkutnya keyakinan
dan tempat‑tempat yang dilaluinya ? Dan pada apa yang dituntut adanya keyakinan
karena saya, selama tidak mengetahui apa yang dituntut adanya keyakinan
padanya, maka belumlah sanggup saya mencarinya".
Maka katahuilah bahwa sekalian yang dibawa
nabi‑nabi as dari permulaannya sampai kepada kesudahannya, adalah menjadi tempat lalunya keyakinan itu. Maka
sesungguhnya yakin itu, adalah ibarat dari marifah tertentu. Dan tempat
hubungannya ialah segala ilmu pengetahuan yang dibawa agama. Dan janganlah
kiranya diharapkan menghinggainya. Tetapi aku akan menunjukkan kepada
sebahagian nya saja. Yaitu induk‑induknya.
Diantaranya ialah KEESAAN. Yaitu melihat segala sesuatu dari yang
menyebabkan sebab‑sebab. Dan tidak menoleh kepada perantara‑perantara Tetapi, melihat perantara -
perantara itu dijadikan untuk kepentingannya. Tak ada hukum
apa‑apa pada perantara-perantara itu. Orang yang membenarkan ini adalah orang
yang berkeyakinan penuh. Maka kalau tak ada kemungkinan ragu dalam hatinya
serta keimanan, niscaya orang itu mempunyai keyakinan dengan salah satu dari
dua pengertian itu. Jikalau mengalahkan atas hatinya serta keimanan, oleh
sesuatu kemenangan yang menghilangkan kemarahannya kepada perantara dan rela
serta berterima kasih kepada perantara-perantara itu dan menempatkan perantara‑perantara
tadi dalam hatinya sebagai pena dan tangan terhadap orang yang memperoleh
kenikmatan dengan menurunkan tanda tangannya, maka sesungguhnya orang tadi
tidak berterima kasih kepada pena dan tangannya dan tidak marah kepada
keduanya (kalau tanda tangan itu membahayakan kepadanya), tetapi melihat kedua
benda tadi dua macam alat yang digunakan dan menjadi perantara belaka. Maka
jadilah dia, orang yang yakin dengan pengertian yang kedua. Dan itu yang lebih
mulia (pada tingkat‑tingkat keyakinan). Yaitu buah, jiwa dan faedahnya
keyakinan pertama. Manakala telah diyakini benar‑benar, bahwa matahari, bulan,
bintang, benda keras (jamad), tumbuh‑tumbuhan, hewan dan makhluk seluruhnya
dijadikan untuk kemanfa'atan bagi manusia dengan kehendakNya, seperti dijadikan
pena untuk kemanfa'atan dalam tangan seorang penulis dan bahwa kuasa yang tida kesudahan / berpermulaan,
adalah sumber bagi seluruhnya, maka berkuasalah dalam hatinya kemenangan
tawakkal, rela dan menyerah diri. Dan jadilah dia seorang yang yakin, bebas
jiwanya dari marah, dengki, busuk hati, dan kelakuan buruk. Inilah salah satu dari pintu‑pintu
yakin! Dan sebahagian dari padanya
ialah percaya kepada jaminan Allah Ta’ala, dengan rezeki, yang tersebut dalam
firmannya:"Tidak adalah yang
merangkak‑rangkak di bumi ini, melainkan rezekinya ada pada Allah Ta`ala” S
11 ayat 6. Yakin bahwa rezeki itu akan datang kepadanya dan apa yang ditaqdir
kan, akan sampai kepadanya. Dan manakala yang demikian itu telah memenangkan
dalam qalbunya/hatinya, niscaya adalah ia dengan jalan tidak terurai pada
mencari rezeqi. Dan akan tidak bersangatan lobanya, rakusnya dan sedihnya atas
sesuatu yang tidak diperolehnya. Keyakinan tersebut membuahkan juga sejumlah
taat kepada Allah Ta’ala dan budi pekerti yang terpuji. Sebahagian dari buah yakin itu, ialah bahwa mengerasi atas qalbunya,
bahwa orang yang berbuat amalan baik walaupun seberat kuman yang halus, niscaya
akan dilihatNya. Dan siapa berbuat amalan buruk Walaupun seberat kuman yang
halus niscaya akan dilihatNya. Yaitu keyakinan dengan pahala dan siksa,
sehingga ia melihat hubungan Taat kepada pahala sebagai hubungan roti kepada
kenyang. Dan hubungan ma'siat kepada siksa, sebagai hubungan racun dan ular
berbisa kepada kebinasaan. Maka sebagaimana ia berusaha benar‑benar
menghasilkan roti untuk memperoleh kekenyangan, lalu dijaganya sedikit dan
banyaknya roti itu, maka demikian pulalah ia berusaha berbuat Taat sedikit dan
banyaknya. Sebagaimana ia menjauhkan sedikit racun dan banyaknya, maka demikian
pula ia menjauhkan perbuatan ma'siat sedikitnya dan banyaknya, kecilnya dan
besarnya. Maka keyakinan dengan pengertian yang pertama itu, kadang‑kadang
terdapat pada kaum mu'min umumnya. Tetapi dengan pengertian yang kedua, adalah
tertentu bagi orang‑orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dan
buah dari keyakinan ini, ialah benarnya memperhatikan/mengintip/menjaga dalam
segala gerak dan diam, dalam segala yang terlintas di dalam hati, dalam
bersangatan bertaqwa kepada Tuhan dan dalam memelihara diri dari segala
kejahatan. Semakin keyakinan bertambah keras, maka menjaganya dan menetapkannya
pun semakin bertambah berat dan sukar.
Sebahagian dari
pintu yakin itu, ialah yakin bahwa Allah Ta’ala, melihat kita dalam segala
hal, menyaksikan segala, yang terbisik dalam lubuk hati kita dan yang
tersembunyi dalam gurisan hati dan pikiran kita. Inilah keyakinan bagi tiap‑tiap
mu'min dengan pengertian yang pertama itu, yaitu: tidak ragu. Adapun dengan
pengertian yang kedua dan itulah yang dimaksud, maka adalah sukar, tertentu
bagi orang‑orang shiddiq (orang‑orang yang membenarkan segala yang datang dari
agama). Buahnya, ialah bahwa manusia yang demikian dalam kesunyiannya, beradab
bersopan santun dalam segala hal ‑ ikhwalnya, sebagai seorang yang duduk
menghadap seorang maharaja yang melihat kepadanya. Maka senantiasalah dia
menundukkan kepala beradab dalam segala amal perbuatannya, menahan, memelihara
dari segala gerak yang menyalahi adab kesopanan. Dia dalam pemikiran
kedalamannya, adalah seperti dengan segala perbuatan zahir/luarnya. Sebab ia
yakin benar‑benar bahwa Allah Ta’ala melihat kepada isi hatinya, sebagaimana
orang banyak melihat kepada zahir/luarnya. Maka bersangatannya pada membangunkan
batin/dalamnya, membersihkan dan menghiaskannya pada pandangan Allah Ta’ala,
adalah lebih bersangatan dari pada menghiaskan tubuh luarnya pada pandangan
manusia. Keyakinan yang seperti ini mewarisi malu, takut, rendah hati, hina
diri, tenang, tunduk dan sejumlah lagi dari budi pekerti yang terpuji. Budi
pekerti yang terpuji ini, mewarisi berbagai macam, Taat yang tinggi kepada
Tuhan. Maka yakin dalam masing‑masing pintu dari pintu‑pintu yang tersebut di
atas, adalah seumpama pohon kayu. Dan budi pekerti yang terpuji tadi dalam hati
adalah seumpama ranting‑rantingnya yang bercabang merindang. Amal perbuatan ini
dan Taat yang menonjol dari budi pekerti itu, adalah laksana buah dan bunga
yang bertaburan pada ranting‑ranting. Maka yakin adalah pokok dan sendi,
mempunyai tempat berlalu dan pintu, lebih banyak dari yang dapat kita
hitungkan. Dan akan diterangkan nanti, pada Bahagian
Yang Melepaskan Dari Bahaya insya Allah Ta’ala.
Dan sekedar ini, mencukupilah sekarang
untuk memberi pengertian perkataan “yakin”
juga diantara sifat‑sifat ulama akhirat itu, adalah ia selalu merasa sedih,
hancur hati, menunduk kepala dan berdiam diri. Bekas takutnya kepada Allah
Ta’ala tampak atas keadaan, pakaian, perjalanan, gerak dan diam, berbicara dan
tidak berbicara, siapa saja yang memandang kepadanya, maka pandangan itu
mengingatkan dia kepada Allah Ta’ala. Rupanya menunjukkan kepada amal perbuatannya.
Kuda tunggang, matanya ialah kaca matanya. Ulama akhirat dikenal dengan tanda‑tanda
yang ada padanya, tentang ketenangan diri, kehinaan, dan kerendahan. Ada ulama
yang mengatakan bahwa tak ada pakaian yang dianugerahkan Tuhan kepada
hambaNya, yang lebih baik dari khusyu' dalam ketenangan dalam. Itulah pakaian
para nabi, tanda orang-orang shalih, shiddiq dan para alim ulama.
Adapun perkataan salah, bersenda‑gurau yang
tidak dijaga, tertawa terbahak‑bahak, bergerak semberono dan berbicara tajam,
semuanya itu. adalah bekas‑bekas dari kesombongan, merasa aman dan lengah dari
siksaan Tuhan Yang Maha Besar dan kesangatan amarah‑Nya. Sifat yang tersebut
ini adalah kebiasaan anak‑anak dunia yang lupa kepada Allah. Bukan kebiasaan
ulama‑ulama. Pahamilah ini ! Karena ulama seperti kata Sahl At‑Tusturi ada tiga Ulama yang mengetahui dengan
suruhan Allah, tidak mengetahui dengan hari‑hari Allah. Yaitu mereka yang
berfatwa tentang halal dan haram. Ilmu ini tidak mewariskan takut kepada Allah.
Ulama yang mengetahui akan Allah dan
tidak mengetahui akan suruhan Allah dan hari‑hari Allah. Yaitu orang mu'min
umumnya. Dan ulama yang mengetahui akan Allah Ta’ala, suruhan/perintahNya dan
hari‑hari Nya. Yaitu orang‑orang shiddiq. Takut dan khusyu', telah menang atas
mereka. Dimaksudkan dengan hari‑hari Allah
ialah segala macam siksaan Nya yang tidak diketahui batasnya dan segala macam
nikmatNya yang tersembunyi yang dilimpahkanNya pada abad‑abad yang lampau dan
abad‑abad yang akan datang. Orang yang luas pengetahuannya tentang itu, maka
sangatlah takutnya dan lahirlah khusyu'nya.
Berkata Umar ra: Pelajarilah ilmu Pelajari
untuk ilmu itu ketentraman, ketetapan hati dan kelembutan jiwa ! Tunduklah
dengan merendahkan diri kepada orang tempat kamu belajar! Begitu pula,
hendaklah tunduk kepadamu orang yang belajar padamu ! Janganlah kiranya kamu
menjadi ulama yang bertabi'at kasar ! Maka tidaklah ilmumu itu tegak dengan
sebab kejahilan mu itu".
Ada dikatakan, bahwa Allah Ta’ala tidak
menganugerahkan kepada hambaNya bersama ilmu itu kelembutan hati, kerendahan
diri, kebaikan budi dan kekasih sayangan kepada makhluk Ilahi. Itulah ilmu yang
bermanfa'at. Dan pada atsar (ucapan orang‑orang terdahulu), ada yang mengatakan
bahwa orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah Ta’ala, zuhud/meninggalkan duniawi
& melakukan segala amal akhirat, tawadlu'/merendahkdn diri, dan kebaikan budi, maka adalah dia Imam dari
orang‑orang yang bertaqwa kepadaNya.
Dalam hadits Nabi saw tersebut:"Diantara ummatku' yang terbaik, ialah
suatu kaum yang tertawa terang‑terangan dari keluasan rakhmat Allah dan
menangis secara sembunyi‑sembunyi karena takut akan 'azab Allah. Badannya dibumi
jiwanya di langit. Rohnya di dunia dan akalnya di akhirat. Berjalan mereka
dengan tenang dan mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala dengan wasilah (jalan
yang menyampaikan kepadaNya)".
Berkata AL Hasan: "Lembut hati itu
mentri ilmu. Kasih, sayang itu bapak ilmu. Merendahkan diri itu pakaian
ilmu". Berkata Bisyr bin AI‑Harts: “Barang siapa mencari menjadi kepala dengan ilmu, maka dia telah
mendekatkan dirinya kepada Tuhan dengan kemarahan Tuhan. Orang itu tercela di
langit dan di bumi". Diriwayatkan dalam ceritera‑ceritera Bani Israil
bahwa seorang ahli hikmah telah mengarang 360 karangan tentang ilmu hikmah,
sehingga dia digelarkan al‑hakim (ahli ilmu hikmah). Maka diwahyukan Tuhan
kepada Nabi mereka, yang isinya:"Katakanlah kepada si Anu ! Telah engkau
penuhkan bumi ini dengan kemunafikkan. Dan sedikitpun tidak engkau kehendaki
akan AKU dengan perbuatan itu. Sesungguhnya AKU tidak menerima suatu pun dari
kemunafikkanmu itu". Maka orang itu menyesal dan meninggalkan
perbuatannya. Lalu pergi bergaul dengan orang awwam, berjalan di pasar‑pasar,
bertolong‑tolongan dengan kaum Bani Israil dan merendahkan diri. Maka
diwahyukan Allah kepada Nabi mereka, yang berbunyi: “Katakanlah kepadanya !
Sekarang telah AKU berikan taufiq kerelaanKu".
Berceritera AI‑Auza'i ra dari Bilal bin
Saad, bahwa Bilal berkata: "Seseorang kamu bila memandang kepada polisi,
Ialu berlindung dengan Allah dari padanya. Dan bila ia memandang kepada ulama
duniawi yang membuat‑buat budi baik, yang memburu menjadi kepala, maka ia tidak
mengutuk mereka, pada hal merekalah yang lebih berhak dikutuk dari pada pollsi
itu".
Diriwayatkan bahwa ada orang bertanya
kepada Nabi saw: "Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang lebih
utama?". Menjawab Nabi saw: "Menjauhkan yang haram dan mulutmu
senantiasa basah dari berdzikir kepada Allah Ta'ala". Bertanya lagi orang
kepadanya, "Shahabat manakah yang lebih baik ?”. Menjawab Nabi saw: yaitu
seorang shahabat jika engkau berdzikir kepada Allah niscaya dia menolong
engkau. Dan jika engkau lupa berdzikir, niscaya diperingatinya engkau".
Lalu bertanya lagi orang itu kepada Nabi saw: "Shahabat manakah yang
jahat?". Menjawab Nabi saw: "Yaitu shahabat jikalau engkau lupa,
tidak diperingatinya akan engkau. Dan jika engkau teringat mengingati akan
Allah, maka dia tidak menolong akan engkau". Bertanya orang itu lagi:
"Manusia manakah yang lebih berilmu? Menjawab Nabi saw: "Yang paling
takut kepada Allah Ta'ala". Kemudian bertanya lagi orang itu kepada Nabi
saw: "Terangkanlah kepada kami, orang‑orang kami yang baik, yang akan kami
ambil untuk teman duduk berceritera". Nabi saw menjawab: “yaitu mereka
yang selalu kelihatan berdzikir kepada, Allah Ta'ala". Orang itu bertanya
lagi: "Manusia manakah yang paling jahat?" Nabi saw menjawab:
"Wahai Tuhan ! Ampunilah!". Mereka meminta: "Terangkanlah kepada
kami wahai Rasullullah !". Maka menjawablah Nabi saw: “Yaitu ulama apabila
membuat kerusakan". Bersabda Nabi saw: "Yang
lebih banyak memperoleh keamanan pada hari qiamat, ialah orang yang lebih
banyak berpikir semasa di dunia. Yang lebih banyak tertawa di akhirat, ialah
orang yang lebih banyak menangis semasa di dunia.
Dan yang lebih banyak bergembira di akhirat, ialah orang yang lebih lama gundah
semasa di dunia".
Berkata Ali ra dalam salah satu pidatonya:
"Diriku ini tergadai. Aku adalah pemimpin. Sesungguhnya tidak menaruh hati
kepada taqwa oleh tanaman suatu kaum dan tidak haus kepada petunjuk oleh
pokok-pokoknya. Manusia yang paling bodoh ialah orang yang tidak tahu diuntung.
Manusia yang paling dimarahi Tuhan, ialah orang yang mengumpulkan ilmu untuk
membuat kekacauan, menghembus‑hembuskan fitnah. Sampai dia dinamakan manusia
bayangan dan orang yang berilmu yang paling hina. Dia tidak hidup dalam ilmu
seharipun yang selamat. Ia berpagi‑pagi menghasilkan ilmu dan memperbanyakkannya.
Maka sedikit dari ilmu pengetahuan dan mencukupi adalah lebih baik dari pada
banyak tetapi disia‑siakan. Sehingga bila kehausan, terpaksalah meminum dari
air yang telah berobah dan disimpan banyak yang tidak berfaedah. Dia duduk
dihadapan orang banyak sebagai guru untuk menyelesaikan apa yang keliru bagi
orang lain. Apabila terjadi sesuatu peristiwa penting, Ialu ingin ia
menyelesaikannya menurut pendapatnya sendiri, sedang dia sebenarnya berotak
kosong. Dia menghadapi persoalan ‑persoalan yang mengelirukan itu, yang
menyamai benang lawa‑lawa, tak tahu dia salah atau benar. Dia adalah pengendara
yang bodoh, berpenyakit gila, membawa unta yang tak dapat memandang ke muka. Ia
tidak minta dimaafkan dari pada apa yang tidak diketahuinya supaya selamat. Dia
tidak menggigit ilmu itu dengan gusinya yang tajam supaya memperoleh hasil.
Menangislah pembuluh‑pembuluh darah di badannya. Dan menjadi halal dengan
hukumnya kemaluan wanita (faraj) yang haram. Demi Allah tidaklah penuh, dengan
mengeluarkan apa yang telah ada padanya. Orang itu tidaklah ahli untuk apa yang
diserahkan kepadanya. Merekalah orang‑orang yang diambil menjadi perumpamaan
tentang azab pada abad‑abad yang lampau. Maka layaklah mereka memekik dan
menangis pada hari‑hari kehidupan di dunia ini".
Berkata Ali ra: "Apabila engkau
mendengar ilmu, maka bicarakanlah ilmu itu! Dan jangan engkau campurkan dengan
senda‑gurau, nanti dimuntahkan oleh hati". Berkata sebahagian ulama salaf:
"Orang berilmu itu apabila tertawa terbahak‑bahak, maka dia telah
melemparkan ilmunya sekali lempar". Dikatakan bahwa apabila seorang
pengajar mengumpulkan 3 perkara, maka sempurnalah nikmat kepada pelajarnya,
yaitu: sabar, merendahkan diri dan baik budi. Dan apabila seorang pelajar
mengumpulkan 3 perkara, maka sempurnalah nikmat kepada pengajarnya yaitu: berakal, beradab dan berpaham baik".
Pendek kata, segala budi pekerti yang
dibawa Al Quran tidaklah terlepas pada diri ulama akhirat. Karena mereka
mempelajari Al Qur‑an untuk diamalkan, tidak untuk menjadi kepala. Berkata Ibnu
Umar ra: "Kita telah hidup sekejap masa. Ada diantara kita, memperoleh
iman sebelum AI Quran, Ialu turunlah surat Al Quran itu. Maka dipelajarinyalah
yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang dan apa yang harus
dia berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang
diantara mereka didatangkan AI‑Quran sebelum iman, maka dibacanyalah semuanya
dari permulaan sampai kepada penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya
apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogianya, dia berhenti padanya.
Maka dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk".
Dalam hadits lain, yang sama pengertiannya dengan itu, yaitu: "Adalah kami
para shahabat Nabi saw diberikan kepada kami IMAN sebelum AI‑Qur‑an. Dan akan
datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan AI‑Quran sebelum Iman. Mereka
menegakkan huruf‑huruf AI‑Qur‑an dan menyia‑nyiakan batas‑batas dan hak‑hak
dari AI‑Quran dengan mengatakan: "Kami sudah baca. Siapakah yang lebih
banyak membaca dari kami? Kami telah tahu. Siapakah yang lebih tahu dari kami?
Maka itulah nasib mereka". Pada perkataan lain tersebut: “Merekalah yang
sejahat‑jahatnya dari ummat ini".
Dikatakan bahwa 5 macam dari budi pekerti adalah diantara tanda‑tanda ulama akhirat,
yang dipahami dari 5 ayat Kitab Allah Ta’ala AI‑Qur‑an. Yaitu: takut, Khusyu, tawadlu'(merendahkdn
diri), baik budi, dan memilih akhirat
dari dunia. Yaitu: zuhud.
Takut, diambil dari firman
Allah Ta’ala: "Hanya sesungguhnya
yang takut kepada Allah dari hambaNya, ialah para ahli ilmu(ulama)". S
35 ayat 28.
Khusyu ', diambil dari firman
Allah Ta’ala: “Mereka itu khusyu' kepada
Allah, tidak menukar keterangan2 Allah itu dengan harga yang murah" S
3 ayat 199. Tawadlu' (merendahkdn
diri), diambil dari firman Allah Ta’ala: “Dan
bersikap rendah hati lah kepada orang-orang mukmin" S 15 ayat
88.
Baik budi, diambil dari firman
Allah Ta’ala: "Oleh karena rahmat
Allah, engkau bersikap lemah lembut kepada mereka". S 3 ayat 159.
Zuhud, diambil dari firman
Allah Ta’ala: "Berkata orang-orang
yang berilmu pengetahuan itu 'Malang nasibmu ! Pahala dari pada Allah lebih
baik untuk orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik". S 28 ayat 80.
Tatkala Rasulullah saw membaca firman Allah
Ta’ala: “Barang siapa dikehendaki Allah
memberi petunjuk kepadanya niscaya dibukaNya dada orang itu kepada Islam" S 6
ayat 125. Lalu orang bertanya kepada Nabi saw: "Apakah pembukaan,
itu ?". Nabi saw menjawab: Sesungguhnya cahaya itu apabila diletakkan
dalam hati, maka terbukalah dada menerima cahaya tersebut dengan seluas‑luasnya".
Berkata orang itu lagi "Adakah
tandanya untuk itu?". Menjawab Nabi saw: "Ya, ada ! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya,
kembali kenegeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya". juga
diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah kebanyakan pembahasannya
mengenai ilmu yang dikerjakan, apa‑apa yang merusakkan amal perbuatan itu, yang
mengacau‑balaukan hati, yang membangunkan waswas dan yang mengobarkan
kejahatan. Sesungguhnya pokok agama ialah, menjaga dari kejahatan itu. Dari itu
bermadahlah seorang penya'ir
"Aku kenal
kejahatan, bukan untuk kejahatan,
tetapi untuk menjaga diri dari padanya.
Orang yang tak mengenal kejahatan,
akan jatuhlah ke dalamnya ..........
Dan karena amal perbuatan yang dikerjakan
itu dekat pengambilannya. Dan yang paling penghabisan, bahkan yang paling
tinggi dari amal perbuatan itu, ialah membiasakan diri mengingati Allah Ta’ala
(berdzikir) dengan hati dan lidah. Sesungguhnya urusannya, ialah pada
mengetahui yang merusakkan dan yang mengacaukan amal perbuatan itu. Dan ini,
banyak benar cabangnya dan panjang pembahagiannya. Semuanya termasuk yang
diperlukan. Dan banyaklah bahaya yang dihadapi dalam perjalanan menuju
akhirat.
Adapun ulama dunia, mereka
mengikuti saja cabang‑cabang yang ganjil dalam pemerintahan dan kehakiman.
Mereka bersusah‑payah menciptakan bentuk‑bentuk yang menghabiskan waktu dan tak
pernah terjadi. Kalau pun terjadi, maka terjadi untuk orang lain, tidak untuk
mereka sendiri. Dan apabila terjadi, maka banyaklah orang yang bangun mau
menyelesaikannya dan meninggalkan tugas yang semestinya harus dikerjakan.
Begitulah ber'ulang‑ulang terjadi malam dan siang, baik dalam gurisan hati,
sangka waham dan amal perbuatan dari ulama dunia itu.
Alangkah jauhnya dari kebahagiaan
orang yang menjual kepentingan dirinya sendiri yang perlu, dengan kepentingan
orang lain yang jarang terjadi, karena mengharap dekat diri dan diterima orang
banyak, dari pada mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan karena rakus,
supaya dinamakan oleh tukang‑tukang batil/salah dari anak‑anak dunia, dengan
nama al‑fadlil/keutamaan, yang
melahirkan kebenaran, yang mengetahui masalah yang pelik‑pelik. Dan balasannya
dari Allah, bahwa ulama itu tidak bermanfa'at di dunia ini dengan diterima oleh
orang banyak. Tetapi namanya kotor sepanjang zaman.
Kemudian dia datang pada hari qiamat, merugi, menyesal demi melihat laba yang
diperoleh oleh orang yang beramal dan kemenangan yang diperoleh oleh orang yang
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Inilah kerugian yang nyata !
AI‑Hasan AI‑Bashari ra adalah
seorang manusia yang menyerupai perkataannya dengan perkataan nabi‑nabi as dan
petunjuk yang diberikannya kepada manusia mendekati dengan petunjuk dari
shahabat‑shahabat Nabi saw. Dan telah sepakatlah kata atas yang demikian
terhadap Al Hasan itu. Sebahagian besar perkataan Al Hasan adalah mengenai
gurisan hati kerusakan amal, kebimbangan jiwa dan sifat‑sifat yang tersembunyi
yang tak jelas dari keinginan hawa nafsu. Pernah orang mengatakan kepadanya:
“Hai Abu Sa'id ! Tuan berkata‑kata dengan perkataan yang tak pernah terdengar
dari orang lain. Dari manakah tuan ambil?". Al Hasan menjawab: "Dari
Huzaifah bin Al Yamman ! Kemudian ditanyakan kepada Huzaifah: "Kami
melihat tuan mengeluarkan perkataan yang tak pernah terdengar dari sahabat-sahabat
Nabi saw yang lain. Dari manakah tuan ambil?". Huzaifah menjawab:
"Ditentukan oleh Nabi saw perkataan‑perkataan itu kepadaku. Orang lain
bertanya kepada Nabi saw tentang kebajikan. Aku menanyakannya tentang kejahatan
karena takut aku jatuh ke dalamnya. Dan aku tahu bahwa kebajikan itu tak perlu
buru‑buru aku mengetahuinya". Pada suatu kali pernah Huzaifah mengatakan:
"Maka aku tahu bahwa orang yang tidak mengenal kejahatan, niscaya tidak
akan mengenal kebajikan". Pada kata‑kata lain, pernah para shahabat Nabi
saw bertanya: "Wahai Rasulullah ! Apakah untuk orang yang mengerjakan demikian
dan demikian ?". Maksud mereka menanyakan tentang amal perbuatan yang
utama. "Tetapi aku ‑ kata Huzaifah menanyakan: "Wahai Rasulullah !
Apakah yang merusakkan demikian dan demikian ?". Tatkala Rasulullah
melihat aku menanyakan tentang bahaya yang merusakkan amal, laIu beliau
menentukan ilmu ini untukku". Huzaifah juga ditentukan oleh Nabi saw
dengan pengetahuan tentang orang munafiq. Dia sendiri yang mengetahui tentang
ilmu mengenai nifaq, sebab‑sebabnya dan bahaya fitnah yang halus-halus.
Umar, Usman dan pembesar‑pembesar shahabat ra
menanyakan Huzaifah tentang fitnah umum dan khusus. Huzaifah ditanyakan tentang
orang‑orang munafiq. Lalu ia menerangkan bilangan yang masih tinggal dari
mereka, tetapi tidak diterangkannya nama mereka masing‑masing. Adalah Umar
menanyakan kepada Huzaifah tentang dirinya" Adakah Huzaifah tahu sesuatu
dari kemunafikan pada Umar ?". Lalu Huzaifah menyatakan, bahwa Umar
terlepas dari yang demikian. Saidina Umar ra apabila dipanggil untuk melakukan
shalat janazah, ia melihat lebih dahulu. Kalau ada datang Huzaifah, maka Umar
mau bershalat janazah pada mayat itu. Kalau tidak datang, maka Umar
meninggalkan tempat itu. Huzaifah digelarkan pemegang rahasia. Bersungguh‑sungguh
mempelajari tingkat‑tingkat hati dan hal ikhwaInya, adalah kebiasaan ulama
akhirat. Karena hatilah yang berjalan mendekati Allah Ta’ala. Maka jadilah
pengetahuan ini ganjil dan terhapus. Apabila dikemukakan sedikit saja
daripadanya kepada seorang yang berilmu, Ialu merasa ganjil dan menjauhkan
diri, dengan mengatakan bahwa itu diperindah oleh juru‑juru nasehat. Dan dimana
pentahkikannya(pelaksanaan yang sebenar-benarnya).?. Orang itu memandang bahwa
pelaksanaan yang sebenar-benarnya. itu
adalah pada pertengkaran yang berliku‑liku. Benarlah kiranya kata penya'ir
"Jalan itu sangat banyak,
tetapi jalan kebenaran hanya satu.
Dan yang pergi berangkat,
ke jalan kebenaran itu satu‑satu .....................
Mereka tiada tahu,
maksudnyapun tiada
diketahui.
Mereka terus
menuju,
berjalan pelan‑pelan
kepada yang ditujui.
Manusia itu lalai,
apa dimaksudkan dengan mereka.
Sebahagian besar tidur terkulai,
jalan kebenaran sampai terlupa ....................
Kesimpulannya, bahagian terbanyak dari
manusia itu, tidak condong hatinya, selain kepada yang mudah dan sesuai dengan
tabiatnya. Karena kebenaran itu pahit. Dan payah untuk tegak terus dikebenaran itu. Mengetahuinya sukar.
Jalan kepadanya berliku-liku. Lebih‑lebih mengenal sifat hati dan mensucikan
nya dari pekerti yang tercela. Itu adalah suatu cabutan dari jiwa yang terus‑menerus.
Orangnya adalah seumpama orang yang meminum obat, harus sabar atas pahitnya
obat, karena mengharapkan sembuh. Atau seumpama orang yang menjadikan masa
hidupnya untuk berpuasa. Maka ia harus menahan segala penderitaan, untuk
mencapai hari pembukaan puasanya ketika mati nanti. Kapankah banyak orang
menyukai jalan itu ? Karena itulah kata orang, bahwa di kota Basrah terdapat
120 orang yang selalu berbicara tentang nasehat dan peringatan. Dan tak ada yang berbicara
mengenai ilmu yakin, hal ikhwal hati dan sifat‑sifat bathin/hati,
selain tiga orang, yaitu Sahl At‑Tusturi,
Ash‑Shubaihi dan Abdur Rahim. Yang
duduk mengelilingi juru‑juru nasehat itu tak terhitung banyaknya, sedang yang
mengelilingi orang yang tiga tadi adalah sedikit, hampir tidak melampaui 10
orang. Sebabnya tak lain, ialah barang yang bernilai itu, tidak layak selain kepada orang‑orang tertentu. Dan apa yang
dihidangkan kepada orang banyak itu, adalah persoalan yang dekat saja. juga diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, perpegangannya tentang ilmunya
berdasarkan kepada penglihatan hati dan diketahuinya
dengan hati yang putih bersih. Tidak kepada lembaran buku dan kitab‑kitab
dan tidak pula beratas pendengaran dari orang lain. Yang ditaqlid
(turut/menurut)kannya, sesungguhnya pembawa syari’at/agama suci Nabi Besar
Muhammad saw pada yang disuruhnya dan yang diucapkannya. Shahabat‑shahabat ra
pun ditaqlid kannya, dari segi bahwa perbuatan mereka menunjukkan kepada
pendengarannya dari Rasulullah saw. Kemudian, apabila sudah bertaqlid (turut/menurut)
kepada pembawa agama suci itu dengan menerima segala perkataan dan
perbuatannya, maka hendaklah berusaha benar‑benar memahami rahasia ajarannya.
Seorang yang menurut berbuat suatu perbuatan karena Nabi saw berbuatnya.
Perbuatannya itu memang harus dan hendaklah karena suatu rahasia padanya. Maka
seyogialah bahwa dia membahas benar‑benar tentang rahasia segala perbuatan dan
perkataan Nabi saw. Karena kalau dicukupkan saja dengan menghafal apa yang
dikatakan, maka jadilah dia karung ilmu dan bukanlah seorang yang berilmu.
Karena itulah ada orang mengatakan: si Anu itu karung ilmu. Maka tidaklah
dinamakan orang itu berilmu, apabila keadaannya hanya menghafal saja, tanpa
memperhatikan hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Orang yang
tersingkap dari hatinya tutup dan memperoleh nur hidayah, maka jadilah dia
seorang yang diikuti dan ditaqlid (turut)kan. Maka tidak seyogialah dia
bertaqlid (menurut) kepada orang lain.
Karena
itulah berkata Ibnu Abbas ra: “Tiada seorangpun, melainkan diambil dari ilmunya
dan ditinggalkan selain Rasulullah saw". Ibnu Abbas itu mempelajari fiqih
pada Zaid bin Stabit dan membaca AI‑Quran pada Ubai bin Kaab. Kemudian dia
berselisih, dengan Zaid dan Ubai tentang fiqih dan tentang pembacaan Al Quran.
Berkata setengah ulama salaf: "Apa yang datang kepada kami dari Rasulullah
saw kami terima di atas kepala dan penuh perhatian dari kami. Dan apa yang
datang kepada kami dari para shahabat ra ada yang kami ambil dan ada yang kami
tinggalkan. Dan apa yang datang dari para tabi'in, maka mereka itu laki‑laki
dan kamipun laki-laki. Dianggap lebih para shahabat itu, karena mereka melihat
dengan mata sendiri hal‑ikhwal Rasullullah saw.
Dan hati mereka terikat kepada hal‑ikhwal itu yang diketahui dengan
qarinah (tanda‑tanda). Lalu membawa mereka kepada yang benar dari segi tidak
masuk dalam riwayat dan ibarat. Karena telah melimpahlah cahaya kenabian kepada
mereka, yang menjaga dari kesalahan dalam banyak hal. Apabila berpegang kepada
yang didengar dari orang lain itu menurut yang tidak disukai, maka berpegang
kepada kitab‑kitab dan karangan‑karangan adalah lebih jauh lagi. Bahkan kitab‑kitab
dan karangan‑karangan itu adalah barang baru yang dibuat. Sedikitpun tak ada
dari padanya pada masa shahabat dan tabi'in yang terkemuka. Tetapi datangnya
adalah sesudah 120 tahun dari Hijrah Nabi saw dan sesudah wafat seluruh
shahabat dan sebahagian besar dari tabi'in dan sesudah wafat Said bin AI‑Musayyab,
Al Hasan dan para tabi'in yang pilihan. Bahkan ulama‑ulama yang mula-mula
dahulu, tidak menyukai kitab‑kitab hadits dan penyusunan kitab-kitab. Supaya
tidaklah manusia itu sibuk dengan buku‑buku itu, dari hafalan, dari AI‑Quran,
dari pemahaman dan dari peringatan. Mereka itu mengatakan: “Hafallah
sebagaimana kami menghafal !".
Karena
itulah, Abu Bakar dan segolongan shahabat Nabi saw tidak menyetujui penulisan'
AI‑Quran (mengkodifikasikan), dalam suatu mashaf. Mereka berkata:
"Bagaimana kita membuat sesuatu yang tidak diperbuat Nabi saw ?”. Mereka
itu takut nanti manusia itu berpegang saja pada mashaf-mashaf dengan mengatakan;
"Kita biarkan AI‑Quran, yang diterima oleh mereka dari tangan ke tangan,
dengan dipelajari dan dibacakan, supaya menjadi pekerjaan dan cita‑cita
mereka". Sehingga Umar ra dan lain‑lain
shahabat menunjukkan supaya AI‑Qur‑an itu ditulis, karena takut disia‑siakan
orang nanti dan malasnya mereka. Dan menjaga agar tidak menimbulkan pertikaian
di belakang hari. Karena tidak diperoleh yang asli yang menjadi tempat
pemeriksaan dari kekeliruan, baik kalimatnya atau bacaannya. Mendengar alasan‑alasan
tadi, maka terbukalah hati Khalifah Abu Bakar.
Maka
dikumpulkanlah AI‑Qur‑an itu dalam suatu mashaf. Imam Ahmad bin Hanbal
menentang Imam Malik karena dikarangnya kitab Al‑Muath‑tha'. Ahmad berkata:
"Tuan ada‑adakan yang tidak dikerjakan para shahabat ra". Kata orang,
kitab yang pertama dikarang dalam Islam ialah Kitab Ibnu juraij tentang
atsar dan huruf‑huruf tafsir dari
Mujahid, Atha' dan teman‑teman Ibnu Abbas ra di Makkah. Kemudian muncul kitab MaMar bin Rasyid Ash‑Shan’ani di Yaman. Dikumpulkan di
dalamnya sunah yang dipusakai dari Nabi saw. Kemudian lahir Kitab Al‑Muath‑tha' di Madinah karangan
Imam Malik bin Anas. Kemudian Kitab jami'
karangan Sufyan AtsTsuri. Kemudian pada abad keempat hijriyah,
muncullah karangan-karangan tentang ilmu kalam (berkata-kata). Lalu ramailah
orang berkecimpung dalam pertengkaran dan tenggelam di dalam membatalkan kata-kata.
Kemudian tertariklah hati manusia kepada ilmu kalam (berkata-kata), kepada
kisah‑kisah dan memberi pengajaran dengan mengambil bahan dari kisah‑kisah
tadi. Maka sejak masa itulah merosot ilmu yakin
(ilmul‑yaqin). Sesudah itu, lalu
dipandang ganjil ilmu hati, pemeriksaan sifat‑sifat jiwa dan tipu daya setan.
Orang tidak memperhatikan lagi kepada ilmu‑ilmu tadi selain sedikit‑sekali.
Lalu orang‑orang yang suka bertengkar dalam ilmu kalam (berkata-kata), dinamai 'alim.
Tukang ceritera yang menghiasi kata‑katanya dengan susunan yang
berirama, dinamai 'alim. Ini
disebabkan karena orang awwamlah yang mendengar syarahan dan ceritera orang‑orang
tadi. Lalu tidak dapat membedakan antara ilmu yang sebenarnya dan ilmu yang
tidak sebenarnya.
Perjalanan
shahabat dan ilmu pengetahuan shahabat‑shahabat ra itu tidak terang pada orang
awwam. Sehingga mereka dapat mengenal perbedaan antara para shahabat itu dan
orang‑orang yang disebut 'alim. Maka
terus‑meneruslah nama ulama melekat pada orang‑orang itu dan dipusakai dari
salaf/ulama terdahulu. kepada khalaf (ulama‑ulama pada masa terakhir). Dan
jadilah ilmu akhirat itu terpendam dan lenyaplah perbedaan antara ilmu dan bicara, selain pada orang‑orang
tertentu. Orang‑orang yang tertentu (al‑khawwash) itu apabila ditanyakan
"Si Anukah yang lebih berilmu ataukah si Anu ?", lalu menjawab
"Si Anu lebih banyak ilmunya dan si Anu lebih banyak bicaranya".
Jadi, orang‑orang al‑khawwash mengetahui perbedaan antara
ilmu dan kemampuan berbicara. Begitulah, maka agama itu menjadi lemah pada abad‑abad
yang lampau. Maka bagaimana pula persangkaan anda dengan zaman anda sekarang ?.
Sudah sampailah sekarang, bahwa orang yang suka mengecam perbuatan munkar,
dituduh gila. Jadi yang baik sekarang, ialah orang bekerja untuk dirinya
sendiri dan diam. Juga diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, sangat menjaga
dari perbuatan‑perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), meskipun telah mendapat
persetujuan dari kebanyakan ulama.
Janganlah
kiranya tertipu atas kesepakatan orang ramai terhadap sesuatu yang diada‑adakan
sesudah para shahabat Nabi saw. Hendaklah suka memeriksa tentang keadaan para
shahabat, perjalanan dan perbuatannya. Dan apa yang menjadi kesukaan mereka,
mengajarkah, mengarangkah, suka bertengkarkah, menjadi hakimkah, wali
negerikah, memegang harta wakafkah, harta wasiatkah, memakan harta anak
yatimkah, bergaul dengan sultan‑sultankah, berbaik pergaulan dengan merekakah ?
Atau adakah ia dalam keadaan takut kepada Tuhan, gundah, tafakkur/mengenangkan
artinya, mujahadah/bersungguh-sungguh, muraqabah memperhatikan/mengintip/menjaga, zahir dan
batin, menjauhkan diri dari dosa yang sekecil‑kecilnya sampai kepada yang
sebesar‑
besarnya, berusaha memperoleh pengetahuan
yang tersembunyi dari hawa nafsu dan tipu daya setan ? Begitulah seterusnya
dari segala ilmu dalam itu !.
Ketahuilah
dengan sebenar‑benarnya bahwa orang yang terpandang 'alim, pada masanya dan
yang Iebih dekat kepada kebenaran, ialah orang‑orang yang menyerupai shahabat
dan yang lebih mengenal jalan ulama‑ulama salaf. Maka dari merekalah hendaknya
agama itu diambil ! Karena itulah berkata Ali ra: “Yang terbaik dari kita
ialah yang lebih mengikuti agama
ini". Perkataan Ali ini untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan
kepadanya: "Tuan sudah menyalahi dengan si Anu ?". Maka tidaklah
layak untuk berkeberatan menentang orang masa sekarang, buat menyetujui orang
masa Rasulullah saw. Manusia sebenarnya berpendapat dengan pendapat pada
masanya, karena tabiatnya condong kepadanya. Dan dirinya tidak mau mengakui
bahwa cara yang demikian, menyebabkan tidak memperoleh sorga. Dari itu,
serukanlah bahwa jalan ke sorga, tak lain dari itu. Sebab itu, Al‑Hasan
berkata: "Dua orang yang mengada‑adakan dalam Islam: Seorang
yang mempunyai pendapat jahat, lalu mendakwa kan bahwa sorga itu adalah
untuk orang yang berpendapat seperti pendapatnya. Dan seorang lagi yang boros penyembah dunia, marah dia. karena dunia,
senang dia karena dunia. Dunialah yang dicarinya. Maka lemparkanlah kedua orang
itu ke dalam neraka !". Dibalik itu, ada orang di dunia ini, antara
pemboros yang mengajaknya kepada dunia dan yang berhawa nafsu yang mengajaknya
kepada hawa nafsu. Maka Allah Ta’ala memeliharakannya dari kedua orang tadi,
dimana ia merindui ulamah-ulamah terdahulu yang salih. Dia menanyakan perbuatan
mereka dan mengikuti jejak mereka. Orang ini memperoleh pahala besar. Begitulah
hendaknya kamu sekalian !".
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas'ud, hadits mauquf dan
musnad, bahwa Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya
dua itulah: kalam (kata-kata) dan petunjuk. Yang sebaik‑baik perkataan yaitu;
perkataan Allah Ta`ala. Dan yang sebaik‑baik petunjuk yaitu: petunjuk
Rasulullah saw. Ketahuilah ! Bahwa kamu harus awas dari hal‑hal yang diadakan.
Sejahat‑jahat hal, ialah yang diada‑adakan. Dan tiap‑tiap yang diada‑adakan itu
bid’ah (yang diada-adakan). Tiap‑tiap yang diada-adakan itu sesat. Ketahuilah!
janganlah berlama‑lama kamu didalam bid’ah, maka kesatlah hatimu. Ketahuilah!
Tiap‑tiap yang akan datang itu dekat. Ketahuilah! Bahwa yang jauh itu, ialah
sesuatu yang tidak akan datang".
Dalam suatu pidato Rasulullah saw ialah:
"Amat baiklah orang yang memperhatikan akan kekurangan dirinya, tidak
memperhatikan kekurangan orang lain. Berbelanja dari harta yang diusahakah nya
tidak pada jalan maksiat. Bergaul dengan ahli fiqih dan ahli hukum dan
menjauhkan dirinya dari ahli sesat dan ma'siat. Amat baiklah orang yang
merendahkan diri, baik budi pekerti, bagus batin dan terpelihara manusia lain
dari kejahatannya. Amat baiklah orang yang berbuat menurut ilmunya, berbelanja
pada kebajikan yang lebih dari hartanya, menahan yang tidak perlu dari
perkataannya. Sunnah Nabi berkembang dalam dadanya dan tidak dibawanya kepada
bid’ah (yang diada-adakan) ".
Ibnu
Mas'ud ra pernah berkata: "Petunjuk yang baik pada akhir zaman adalah,
lebih baik dari banyak amal perbuatan". Dan berkata Ibnu Mas'ud pada
tempat yang lain: "Kamu sekarang pada masa dimana orang‑orang baik dari
kamu bersegera dalam segala pekerjaan. Dan akan datang sesudahmu nanti suatu
masa, dimana orang-orang baik dari mereka, teguh lagi berhati‑hati mengerjakan
sesuatu, karena banyaknya perbuatan diragukan yang diragukan halal‑haramnya".
Memang benarlah ucapan Ibnu Mas'ud itu ! Siapa yang tidak berhati‑hati pada
masa sekarang, lalu mengikuti saja orang banyak dan berkecimpung dalam
perbuatan yang dikerjakan mereka, niscaya binasa sebagaimana mereka itu binasa.
Berkata
Huzaifah ra: "Yang lebih mengherankan dari ini, ialah perbuatan yang baik
dari kamu pada hari ini adalah munkar/keburukkan pada zaman yang lampau. Dan
yang munkar dari kamu pada hari ini adalah baik pada zaman yg lalu.
Sesungguhnya kamu senantiasa dalam kebajikan, selama kamu mengenal akan yang
benar. Dan orang yang berilmu dari kamu, tidak meringan‑ringankan yang benar
itu". Sungguh benarlah Huzaifah ! Memang kebanyakan perbuatan yang
dipandang baik sekarang, adalah munkar/keburukkan pada masa para shahabat Nabi saw. Karena kebanyakan
yang dipandang baik pada masa kita ini, ialah menghiasi masjid‑masjid,
membaguskannya, mengeluarkan harta banyak dalam pembangunan bahagiannya yang
kecil‑kecil dan membentangkan permadani yang empuk di dalamnya. Dan
sesungguhnya terhitung dalam perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), membentangkan
permadani di dalam masjid. Dikatakan, itu adalah temasuk perbuatan yang diada‑adakan
oleh orang‑orang yang mengerjakan hajji. Adalah orang‑orang dahulu itu, sedikit
sekali yang membulat batas antara mereka dan tanah. Begitu pula, kesibukan
dengan perdebatan dan pertengkaran dalam soal yang kecil-kecil, temasuk
diantara ilmu yang paling mulia bagi orang zaman sekarang. Dan mendakwakannya
termasuk diantara perbuatan yang terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta'ala. Pada hal itu, termasuk dalam perbuatan yang keburukkan. Diantara yang
keburukkan juga mengobah-ngobah bacaan AI‑Quran dan Adzan. Diantara yang
keburukkan juga, membanyakkan pemakaian air pada pembersihan diri, was was
(selalu ragu saja) waktu bersuci, menyangka sebab yang bukan‑bukan mengenai
najis kain, sedangkan dalam pada itu tidak mementingkan antara halaInya dan haramnya makanan yang dimakan. Dan begitulah
seterusnya.
Benarlah
kiranya Ibnu Mas’ud ra yang mengatakan: “Kamu pada hari ini dalam zaman, dimana
hawa nafsu mengikuti ilmu dan akan datang kepadamu nanti suatu zaman, dimana
ilmu mengikuti hawa nafsu”. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Mereka
meninggalkan ilmu dan menuju kepada yang ganjil ganjil, dimana ilmu itu tidak
kurang pada mereka. Kiranya Allah menolong mereka dari keadaan itu !” Berkata Imam Malik bin Anas ra "Orang‑orang
pada masa dahulu, tidak menanyakan tentang hal‑hal ini, seperti yang ditanyakan
orang-orang pada masa sekarang. Dan ulamanya tidak mengatakan yang haram dan
yang halal tetapi saya jumpai mereka itu menyatakan yang sunah dan yang makruh.
Artinya, mereka itu memandang kepada yang sehalus‑halusnya dari perbuatan
makruh dan sunnah. Sedang perbuatan yang haram keburukannya sudah nyata.
Hisyam
bin Ur'wah pernah berkata: "Jangan engkau tanyakan mereka hari ini tentang
sesuatu yang diada-adakannya oleh diri mereka itu sendiri. Karena untuk itu
mereka telah menyediakan jawabannya. Tetapi tanyakanlah mereka mengenai sunnah
sebab mereka tidak mengetahuinya”. Abu Sulaiman Ad‑Darani pernah berkata:
"Tidak sewajarnyalah bagi orang yang memperoleh ilham sesuatu kebajikan,
lalu terus mengerjakannya, sebelum lagi mendengar hal itu pada para
sahabat/atsar. Maka ia memuji akan Allah Ta'ala, karena ilham itu sesuai dengan
apa yang ada pada dirinya.
Abu
Sulaiman ra mengatakan demikian karena pendapat‑pendapat yang diada adakan itu
memang menarik perhatian dan melekat didalam hati. Oleh karenanya,
kadang-kadang mengotorkan kebersihan hati, lalu menyangka yang salah itu benar.
Dari itu harus dijaga dengan hati-hati, dengan membuktikannya dengan para
sahabat-sahabat nabi. Karena inilah, tak kala kholifah Marwan mengadakan mimbar
pada sholat hari raya disisi tempat bersholat, lalu bangun Abu Said Al Khudri ra seraya berkata: “Hai Marwan ! bukankah ini yg diada-adakan ?” “Tidak !” Menjawab kholifah Marwan. “Ini tidak yg
diada-adakan, tetapi lebih baik dari pada yang tuan ketahui. Sesungguhnya orang
sudah banyak sekali. Maka maksudku supaya suara itu sampai kepada mereka”.
Menyambung Abu Said: “Demi Allah ! tidak
lah sekali kali kamu mendatangkan yang baik, dari apa yang aku ketahui selama
ini. demi Allah ! tidaklah akan aku bersholat dibelakangmu hari ini”. Sesungguhnya Abu Said menantang kholifah
Marwan dalam peristiwa tadi, disebabkan “Rasulullah saw dalam kutbah hari raya
dan kutbah sembahyang meminta hujan, memegang busur atau tongkat, tidak atas
mimbar”. Pada suatu hadits yang terkenal. Tersebut: “Barang siapa mengada
adakan dalam agama kita sesuatu yang tidak didalamnya, maka tertolak”. Pada
hadits yang lain, tersebut: “Barang siapa membohongi umatku, maka atasnya
laknat Tuhan, Malaikat dan seluruh manusia”. Lalu orang bertanya: “Ya
Rasulullah ! Bagaimanakah orang membohongi
ummatmu ?". Nabi saw menjawab: “Yaitu diada‑adakannya sesuatu yang
diada-adakan, Ialu dibawanya manusia kepadanya" Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta'ala mempunyai, seorang malaikat yang menyerukan setiap hari:
"Barang siapa menyalahi sunnah Rasulullah saw maka dia tidak akan memperolah
syafaatnya". Orang yang menganiaya agama dengan mengada‑adakan sesuatu
yang bertentangan dengan sunnah, dibandingkan dengan orang yang berbuat dosa,
adalah seumpama orang yang mendurhakai raja dengan menjatuhkan pemerintahan
nya, dibandingkan dengan orang yang melawan perintahnya dalam suatu perintah
yang tertentu. Perlawanan itu kadang‑kadang diampuninya. Tetapi menjatuhkan
pemerintahannya tidaklah diampuni.
Berkata
setengah ulama: "Apa yang dikatakan salaf/ulamah terdahulu, maka berdiam
diri daripadanya adalah suatu kekasaran. Dan apa yang didiamkan salaf, maka
membicarakannya adalah memberat‑beratkan diri". Berkata ulama yang lain:
"Kebenaran itu berat. Orang yang melewati garisnya, telah menganiaya
diri. Orang yang memendekkannya, adalah lemah. Dan orang yang berdiri teguh
pada kebenaran itu, adalah mencukupi".
Bersabda
Nabi saw: "Haruslah kamu di garis
yang di tengah yang kembali kepadanya yang diatas dan yang naik kepadanya yang
berikutnya". Berkata Ibnu Abbas ra: "Kesesatan itu manis dalam
hati orang‑orangnya”. Berfirman Allah Ta’ala: “Tinggalkanlah mereka yang membuat agamanya permainan dan senda‑gurau” S 6 ayat 70. Allah Ta’ala berfirman: "Adakah orang yang dihiasi perbuatannya
yang buruk, lalu perbuatannya yang buruk itu dianggapnya baik!". S 35
ayat 8. Segala apa yang diada‑adakan sesudah para shahabat ra yang melewati
batas dharurat dan keperluan, maka itu termasuk diantara permainan dan senda‑gurau.
Diceriterakan tentang Iblis yang kena kutukan Tuhan, bahwa Iblis itu mengirimkan
tentaranya pada masa shahabat ra. Maka kembalilah tentara itu kepada Iblis
dengan perasaan menyesal. Bertanya Iblis: "Apa kabar kamu sekalian?".
Tentara Iblis itu menjawab: "Belum pernah kami melihat seperti mereka itu.
Kami tidak memperoleh sesuatu dari mereka. Mereka telah meletihkan kami” Maka menyambung Iblis itu: "Rupanya kamu
tidak sanggup menghadapi mereka, dimana mereka telah menyertai nabinya dan
menyaksikan, turun wahyu dari Tuhannya. Tetapi sesudah mereka itu nanti, akan
datang suatu kaum yang akan kamu peroleh hajatmu dari mereka". Tatkala
datang masa tabi'in (angkatan sesudah sahabat atau pengikut sahabat Nabi saw),
Iblis itu mengirimkan lagi bala tentaranya. Itupun tentara Iblis itu kembali
dengan tangan kosong. Mereka itu berkata: "Belum pernah kami melihat yang
lebih menajubkan dari mereka. Kami peroleh satu demi satu dari dosa mereka.
Tetapi apabila sore hari, Ialu mereka bermohon ampun (bertaubat kepada Tuhan).
Maka digantikan oleh Allah kejahatan mereka dengan kebajikan". Menyambung
Iblis itu lagi: "Kamu tidak akan memperoleh sesuatu daripada mereka,
karena ketauhidan mereka itu benar dan karena teguhnya mereka mengikuti
nabinya. Tetapi akan datang sesudah mereka nanti, suatu kaum yang senang hatimu
melihat mereka. Kamu dapat mempermain‑mainkan mereka dan mengajak mereka
menuruti hawa nafsunya, menurut kemauan mu. Kalau mereka meminta ampun, maka
tidak akan diampunkan. Dan mereka tidak akan bertaubat. Maka kejahatannya
digantikan oleh Tuhan dengan kebajikan".
Berkata
Iblis itu seterusnya: "Sesudah qurun pertama, maka datanglah suatu kaum,
Ialu bergeraklah hawa nafsu pada mereka dan berhiaslah mereka dengan perbuatan‑perbuatan
yang diada-adakan. Maka mereka itu memandang yang yang diada-adakan itu halal
dan membuatnya menjadi agama. Tidak pernah mereka memohon ampun dan bertaubat
daripadanya. Maka mereka dikuasai oleh musuh‑musuhnya dan dihalaukannya kemana
saja dikehendaki oleh musuh‑musuhnya". Kalau anda bertanya: "Dari
manakah orang yang menerangkan tadi, mengetahui apa yang dikatakan Iblis, pada
hal ia tidak melihat Iblis dan tidak berbicara dengan Iblis tentang yang
demikian itu ? ". Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang‑orang yang
mempunyai hati, terbuka bagi mereka segala, rahasia alam ghaib (alam malakut),
sekali dengan jalan ilham, dengan melintas datang kepada mereka dari arah yang
tidak diketahuinya. Sekali dengan jalan mimpi yang benar. Dan sekali sedang
jaga (tidak‑tidur), dengan jalan terbuka segala pengertian dengan menyaksikan
contoh‑contoh, seperti yang dalam tidur tadi. Dan inilah tingkat yang
tertinggi, yaitu: sebahagian dari tingkat-tingkat kenabian yang tinggi,
sebagaimana mimpi yang benar, adalah suatu bahagian dari 46 bahagian dari kenabian. Maka hati‑hatilah, bahwa ada
bahagianmu dari ilmu ini, mengingkari apa yang melewati batas kesingkatan
pahammu !. Dalam hal ini, telah banyak binasa 'alim ulama yang mengaku dirinya
pandai, menda'wakan telah menguasai seluruh ilmu akal. Maka bodoh adalah lebih
baik dari akal, yang mengajak kepada menantang seperti hal‑hal tersebut, yang
dipunyai wali‑wali Allah. Orang yang mengingkari hal itu bagi wali‑wali,
mengakibatkan dia telah mengingkari nabi‑nabi. Dan adalah ia keluar dari Agama
seluruhnya.
Berkata
setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta’ala): "Sesungguhnya
telah habis orang‑orang al‑abdal (wali Allah yang datang ganti berganti)
disegala penjuru bumi. Mereka bersembunyi dari mata orang banyak, kerena tidak
sanggup melihat ulama zaman sekarang. Karena mereka itu betul‑betul sudah jahil
terhadap Allah Ta’ala. Sedang mereka menurut pengakuannya sendiri dan pengakuan
orang‑orang bodoh, adalah ulama".
Berkata
Sahl At‑Tusturi ra: "Diantara ma'siat yang terbesar, ialah tak tahu dia
bodoh diri, memandang kepada orang awwam dan mendengar perkataan orang lalai.
Tiap‑tiap orang 'alim yang telah berkecimpung dalam urusan duniawi, maka tidak
wajar lagi perkataannya didengar. Tetapi hendaklah dicurigai dari tiap‑tiap
perkataan yang diucapkannya. Karena tiap‑tiap manusia itu berkecimpung pada
apa yang disukainya dan menolak apa yang tidak bersesuaian dengan yang
disukainya". Karena itu, berfirman Allah Ta’ala: ”Dan janganlah engkau turut orang yang Kami Ialaikan hatinya dari
mengingati Kami dan diturutinya keinginan nafsunya dan pekerjaannya biasanya di
luar batas". S 18 ayat 28. Orang awwam
yang ma'siat, keadaannya lebih berbahagia dari orang yang bodoh dengan
jalan agama, yang mengakui dirinya ulama. Karena orang awwam yang ma'siat itu
mengakui keteledorannya. Lalu meminta ampun dan bertaubat. Dan orang bodoh
ini, yang menyangka dirinya berilmu, maka ilmu yang dipelajarinya, ialah
pengetahuan yang menjadi jalan baginya kepada dunia, tersisih dari jalan agama.
Lalu ia tidak bertaubat dan meminta ampun. Tetapi senantiasa berpegang
kepadanya, sampai mati. Dan apabila ini telah memenangi pada kebanyakan
manusia, kecuali orang‑orang yang dipelihara oleh Allah Ta'ala, dan putuslah
harapan untuk memperbaiki orang‑orang tersebut, maka yang lebih menyelamatkan
bagi orang yang beragama, yang menjaga diri, ialah: mengasingkan diri dan
sendirian, sebagaimana akan datang penjelasannya pada "Kitab 'Uzlah " nanti insya Allah.
Karena
itulah Yusuf bin Asbath menulis surat kepada Huzaifah AI‑Mar'asyi, yang isinya
antara lain: "Apakah persangkaan tuan dengan orang yang tidak memperoleh
seorangpun, yang tidak mengingati Allah Ta’ala bersama dia melainkan adalah
orang itu berdosa atau pembicaraannya adalah ma'siat saja? Dan yang demikian,
sesungguhnya dia tidak memperoleh temannya". Benarlah apa yang dikatakan
Yusuf itu. Karena dalam bergaul dengan manusia, tidaklah terlepas dari upatan
atau mendengar upatan atau berdiam diri atas perbuatan munkar/jahat. Keadaan
yang sebaik‑baiknya, ialah orang itu membuat ilmunya berfaedah kepada orang
lain atau mengambil faedah dari ilmu yang ada pada orang lain. Orang yang patut
dikasihani ini, kalau memperhatikan dan mengetahui bahwa memanfaatkan ilmunya
itu kepada orang, tidaklah terlepas dari bercampur dengan
ria, ingin harta dan jadi kepala, niscaya tahulah dia bahwa orang
yang mengambil faedah dari ilmu nya bermaksud menjadikan ilmu itu sebagai alat
untuk mencari dunia dan jalan kepada kejahatan. Berdasarkan itu, maka adalah
dia menolong kearah itu, membantu dan menyiapkan sebab‑sebab, seperti, orang
yang menjualkan pedang kepada perampok. Maka ilmu itu adalah seperti pedang.
Kepatutannya bagi kebajikan, adalah seperti kepatutan pedang bagi perang. Dari
itu tidak diperbolehkan menjual pedang itu kepada orang yang diketahui menurut
keadaannya, mau mempergunakan pedang itu untuk merampok. Maka inilah dua belas tanda ulama akhirat ! Masing‑masing
dari padanya mengumpulkan sejumlah budi pekerti, ulama terdahulu (ulama salaf).
Dari itu, hendaklah kamu menjadi salah seorang dari dua: adakalanya bersifat dengan sifat‑sifat itu atau mengaku dengan keteledoran secara sadar. Awaslah,
jangan engkau menjadi orang ketiga, maka
engkau ragu kepada diri sendiri dengan engkau gantikan alat dunia dengan agama.
Engkau serupakan perjalanan hidup orang‑orang yg salah dengan perjalanan hidup
ulama‑ulama yang mendalam pengetahuannya. Maka termasuklah engkau disebabkan
kebodohan dan keingkaran engkau, ke dalam golongan orang yang binasa dan putus
asa. Berlindunglah kita dengan Allah swt. dari tipuan setan yang menyebabkan
orang banyak binasa. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala semoga dijadikanNya kita
diantara orang‑orang yang tidak ditipu oleh kehidupan duniawi. Dan tidak ditipu
oleh penipu pada jalan Allah.
BAB
KETUJUH: Tentang Akal. Kemuliaan Akal.
Hakikat/makna Akal. Bahagian‑bahagian Akal.
PENJELASAN: Tentang Kemuliaan Akal
Ketahuilah, bahwa persoalan ini sebetulnya, tidak berhajat
untuk bersusah‑payah menjelaskannya. Lebih‑lebih lagi sudah jelas, kemuliam
ilmu sebelum dijelaskan kemuliaan akal
ini. Akal adalah sumber ilmu, tempat timbul dan sendi ilmu. Ilmu itu,
berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah‑buahan dari pohon kayu, sinar
dari matahari dan penglihatan dari mata. Bagaimanakah akal itu tidak mulia,
sedang dia adalah jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat? Atau bagaimanakah
diragukan tentang kemuliaan akal itu, sedangkan hewan dalam kepicikan tamyiznya
(sifat hewan dapat membedakan sesuatu), merasa kecut terhadap akal. Sehingga
seekor hewan yang bertubuh besar, berkeberanian luar biasa dan bertenaga kuat,
apabila melihat rupa manusia lalu merasa kecut dan takut. Karena dirasakannya
manusia itu akan menggagahinya, karena keistimewaannya memperoleh helah dan
daya‑upaya. Dari itulah bersabda Nabi saw: "Seorang
Syeh (kepala) pada kaumnya adalah seperti nabi pada ummatnya". Tidaklah
yang demikian, karena syeh itu banyak hartanya, besar tubuhnya dan lebih
kekuatannya. Tetapi adalah karena lebih pengalamannya sebagai hasil dari
akalnya.
Karena itulah anda melihat, orang Turki,
orang Kurdi, orang Arab dan orang‑orang lain, meskipun tingkatannya mendekati
dengan hewan, adalah dengan tabiatnya memuliakan kepala-kepalanya. Dari itu,
ketika kebanyakan orang‑orang yang ingkar mau membunuh Rasulullah saw, maka
tatkala pandangan mereka jatuh pada Nabi saw dan gemetar mereka dengan sinar
wajahnya yang mulia, Ialu timbullah ketakutan di hati mereka. Kelihatan kepada
mereka suatu yang bersinar gilang‑gemilang atas keelokan wajahnya dari nur
kenabian. Meskipun itu adalah suatu kebatinan dalam diri Nabi saw sebagaimana
kebatinan nya akal. Kemuliaan akal itu dapat diketahui dengan mudah. Hanya
maksud kami di sini hendak membentangkan hadits‑hadits dan ayat‑ayat yang
menyebutkan kemuliaan akal itu.
Allah Ta’ala menamakan akal itu dengan "nur/cahaya" pada firmannya: "Allah pemberi "nur" bagi langit dan bumi. Bandingan
"nur"Nya adalah seperti satu kurungan pelita “ S 24 ayat 35. Dan
Allah ‑Ta'ala menamakan ilmu yang diperoleh dari akal itu ruh, wahyu dan hidup. Berfirman Allah Ta'ala: "Begitulah Kami wahyukan kepada engkau ruh itu dengan perintah
Kami” S 42 ayat 52. Dan berfirman Allah swt: "Apakah orang‑orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, dengan itu dia dapat berjalan di
tengah‑tengah manusia " S 6 ayat 122. Di mana AI‑Qur‑an menyebutkan an‑nur (cahaya) dan adh‑dhulmah (gelap), maka maksudnya adalah ilmu pengetahuan dan kebodohan,
seperti firmanNya: “Dikeluarkan
mereka oleh Tuhan dari kegelapan kepada
nur‑cahaya". S 2 ayat 257. Dan bersabda Nabi saw:"Wahai manusia ! Pakailah akal untuk mengenal Tuhanmu ! Nasehat
menasehatilah dengan menggunakan akal, niscaya kamu ketahui apa yang
diperintahkan kepadamu dan apa yang
dilarang ! Ketahuilah bahwa akal itu
menolong kamu di sisi Tuhanmu ! Ketahuilah bahwa orang yang berakal ialah orang
yang menta'ati Allah, meskipun mukanya tidak cantik, dirinya hina, kedudukannya
rendah dan bentuknya buruk. Dan orang yang bodoh ialah orang mendurhakai Allah
Ta'ala, meskipun mukanya cantik, dia orang besar, kedudukannya mulia, bentuknya
bagus, lancar dan pandai berbicara. Beruk dan khinzir lebih berakal pada sisi
Allah Ta'ala daripada orang yang mendurhakaiNya. Engkau jangan tertipu dengan
penghormatan penduduk dunia kepadamu, sebab mereka itu termasuk orang yang
merugi".
Bersabda Nabi saw: "Yang mula pertama dijadikan oleh Allah, ialah akal. Maka berfirman Allah kepadanya:
“Menghadaplah !" Lalu menghadaplah
dia. Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Membelakanglah”. Lalu membelakanglah dia. Kemudian
berfirman Allah Ta’ala: ”Demi kemuliaanKU
dan demi kebesaranKU ! Tidak AKU, jadikan suatu makhlukpun yang lebih mulia
pada sisiKU selain engkau. Dengan engkau AKU mengambil, dengan engkau AKU
memberi, dengan engkau AKU memberi pahala dan dengan engkau AKU memberi
siksaan".
Kalau anda bertanya, akal itu kalau dia
sifat ('aradh), maka bagaimanakah dijadikan sebelum tubuh ? Dan kalau dia zat
jauhar (benda/barang), maka bagaimanakah jauhar (benda/barang) berdiri sendiri
dan tidak berpihak ? Ketahuilah kiranya, bahwa Ini sebahagian dari ilmu yang
diminta untuk mengetahuinya saja. Maka tidak layak diterangkan dengan ilmu yang
diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan. Dan maksud kami sekarang
menerangkan ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan.
Dari Anas ra bahwa dia menerangkan:
"Suatu rombongan memujikan seorang laki‑laki di sisi Nabi saw dengan
bersangatan sekali. Lalu Nabi menegur: "Bagaimanakah akal orang
itu?". Menjawab rombongan tadi: "Kami menerangkan kepada engkau,
tentang kesungguhannya pada beribadah dan bermacam‑macam kebajikan lain. Dan
engkau menanyakan kami tentang akal. Maka menjawab Nabi saw: "Sesungguhnya
orang bebal itu memperoleh lebih banyak dengan kebodohannya dari pada
kedhaliman orang yang dhalim. Sesunguhnya pada hari esok, terangkatlah hamba Allah
itu ke tingkat tinggi pada sisi Tuhannya menurut tingkat akal pikirannya".
Dari Umar ra bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak adalah usaha seseorang seperti
keutamaan akal, yang memberi petunjuk kepada yang empunya akal itu kepada
petunjuk dan menarikkannya dari jalan yang hina. Tidak sempumalah iman seseorang
dan tidak berdiri tegak agamanya sebelum akalnya itu sempurna". Bersabda
Nabi saw: "Seseorang akan mengetahui
dengan kebagusan budinya derajat orang yang berpuasa dan menegakkan shalat. Dan
tidaklah sempurna kebagusan budi seseorang, sebelum sempurna akalnya. Ketika
itu barulah sempurna imannya. Ia mentaati Tuhannya dan mendurhakai musuhnya
Iblis".
Dari Abu SaId Al Khudri ra bahwa Nabi saw
bersabda: "Tiap‑tiap sesuatu itu
mempunyai tiang. Tiang orang mumin ialah akalnya. Menurut tingkat akalnya,
beradalah ibadahnya. Apakah kamu tidak mendengar perkataan orang‑orang dhalim
dalam neraka: jikalau adalah dahulu kami mendengar atau kami berakal, maka
tidaklah kami ingin menjadi isi neraka".
Dari Umar ra bahwa Umar bertanya kepada
Tamim Ad‑Dari: "Apakah yang mulia padamu?" menjawab Tamim: "Akal
! ". Maka menyambung Umar: "Benar engkau ! Aku telah, bertanya kepada
Rasulullah saw seperti yang aku tanyakan kepadamu tadi. Maka menjawab Nabi saw
seperti yang kamu jawab. Kemudian bersabda Nabi saw: "Bahwa aku telah
bertanya kepada jibril as "Apakah yang mulia ". Jibril as
menjawab: "Akal ! ".
Dan' AI‑Barra' bin 'Azib ra, di mana AI‑Barra'
berkata: “Pada suatu hari banyaklah persoalan yang diajukan kepada Rasulullah
saw. Maka Rasulullah saw menjawab: "Hai Manusia ! Tiap‑tiap sesuatu itu
ada kenderaannya. Dan kenderaan manusia itu akaInya. Yang terbaik dalil dan
pengetahuan dengan keterangan, ialah yang terlebih dari kamu akaInya".
Dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Hurairah
menerangkan: "Tatkala Nabi saw kembali dari perang Uhud, lalu mendengar
orang banyak berkata satu sama lainnya: "Si Anu lebih berani dari si Anu.
Si Anu menderita yang tidak pernah dideritai orang lain dan begitulah
seterusnya. Maka menjawab Nabi saw: "Adapun si Ini, maka tak adalah
pengetahuanmu padanya". Bertanya orang banyak: "Mengapa begitu ya
Rasulullah?". Menjawab Nabi saw: “Mereka itu berperang menurut akal yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Kemenangan dan niatnya adalah sekedar akalnya.
Diberikan akal orang‑orang yang diberikan dari mereka, pada tingkat yang
bermacam‑macam. Maka pada hari kiamat nanti mereka membagi‑bagikan tingkat itu
menurut tingkatan niatnya dan akalnya".
Dari AI‑Barra' bin 'Azib, bahwa Nabi saw
bersabda: "Bersungguh‑sungguh para malaikat dan rajin menta`ati
Allah Ta’ala dengan akal. Dan bersungguh‑sungguh orang mumin dari anak Adam,
menurut kadar akalnya. Yang paling banyak berbuat amal dengan mentaati Allah,
ialah mereka yang paling sempurna akaInya". Dari Aisyah bahwa 'Aisyah mengatakan:
"Aku bertanya "Wahai: Rasulullah ! Dengan apakah manusia memperoleh
kelebihan didunia?". Menjawab Nabi saw: "Dengan akal !". Lalu
aku bertanya lagi: "Di akhirat?"
Menjawab Nabi saw: "Dengan akal ! " Bertanya aku lagi:
"Bukankah mereka dibalas dengan sebab amal nya?". Menjawab Nabi saw:
"Hai 'Aisyah ! Adakah mereka itu beramal, selain sekedar akal yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya ? Maka menurut kadar akal yang diperoleh mereka,
begitulah adanya amal mereka. Dan menurut kadar amal itu, mereka diberi
balasan”.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Ibnu Abbas
berkata: "Telah bersabda Rasulullah saw: "Tiap‑tiap sesuatu itu
mempunyai alat dan perkakas Dan alat bagi orang mumin ialah akal. Tiap‑tiap
sesuatu itu mempunyai kenderaan. Dan kenderaan manusia itu, ialah akal. Tiap‑tiap
sesuatu itu mempunyai tiang. Dan tiang agama itu ialah akal. Tiap‑tiap kaum
itu, mempunyai tujuan. Dan tujuan bagi hamba Allah ialah akal. Tiap‑tiap kaum
itu, mempunyai penyeru. Dan yang menyerukan orang‑orang yang beribadah itu
'ialah akal. Tiap‑tiap saudagar itu mempunyai harta kekayaan. Dan harta
kekayaan orang yang rajin itu ialah akal. Tiap‑tiap keluarga dari suatu rumah
tangga itu ada yang membelanjainya. Dan yang membelanjai rumah tangga orang
shiddiqin (orang‑orang yang benar‑benar membenarkan agama) itu, ialah akal.
Tiap‑tiap yang runtuh itu ada bangunannya. 'Dan bangunan akhirat itu ialah
akal. Tiap‑tiap manusia itu mempunyai kesudahan yang disandarkan dan
diingatkan. Dan kesudahan bagi shiddiqin, yang disandarkan dan diingatkan,
ialah akal. Tiap‑tiap perjalanan itu mempunyai rumah kecil tempat perhentian.
Dan rumah kecil tempat perhentian bagi orang mumin itu ialah akal".
Bersabda Nabi saw: "Orang mumin yang paling
dikasihi Allah, ialah orang yang tegak berdiri dalam menta’atiNya, memberi
nasehat kepada hambaNya, sempurna akalnya dun menasehati dirinya, Ialu ia
dapat melihat yang benar. Dan mengerjakan amal selama hidupnya, maka ia memperoleh keuntungan dan mendapat
kemenangan.". Bersabda Nabi saw: "Yang
paling sempurna akal diantara kamu ialah orang yang paling takut kepada Allah
Ta`ala dan yang paling baik
perhatiannya tentang apa yang disuruh dan dilarang Allah, meskipun sedikit
berbuat amalan sunat".
PENJELASAN: Hakikat/makna Akal Dan bahagian‑bahagian
Akal.
Ketahuilah, bahwa berbeda pendapat orang tentang batas akal
dan hakikat/maknanya. Kebanyakan mereka melupakan bahwa nama tersebut dipakai kepada bermacam‑macam arti. Itulah yang
menjadi sebab perbedaan pendapat tadi. Kebenaran yang menyingkap tutup mengenai
akal itu ialah bahwa akal adalah suatu nama yang dipakai berserikat kepada 4 arti, sebagaimana umpamanya nama mata dipakai kepada bermacam‑macam
arti. Dan apa yang berlaku tentang ini, maka tidaklah wajar dicari untuk semua
bahagiannya, suatu batas saja. Tetapi hendaklah masing‑masing bahagian
disendirikan menjelaskannya.
Yang
pertama: akal itu adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari hewan. Dengan
akal manusia bersedia untuk menerima berbagai macam ilmu nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran) dan untuk mengatur
usaha‑usaha yang pelik yang menghajati kepada pemikiran. Akal itulah yang
dimaksud oleh AI‑Harts bin Asad AI‑Muhasibi, di mana ia mengatakan tentang
batas akal itu, yaitu: "Suatu gha‑rizah (tabiat) yang disediakan untuk
mengetahui macam‑macam ilmu yang memerlukan pemikiran . Akal itu seolah‑olah
suatu nur (cahaya) yang dimasukkan ke dalam hati yang disediakan untuk
mengetahui macam‑macam hal. Orang yang mengingkari apa yang tersebut di atas,
tidak menginsafi, Ialu mengembalikan akal itu kepada ilmu pengetahuan yang
dharuri (yang tidak memerlukan pemikiran) semata‑mata. Orang yang melengahkan
ilmu pengetahuan dan orang yang tidur, keduanya dinamakan berakal, melihat
kepada adanya gharizah/tabiat tersebut, serta tak adanya ilmu pengetahuan.
Sebagaimana hidup adalah suatu tabiat
untuk menyediakan tubuh bagi gerakan biasa dan pengetahuan ke pancainderaan
maka demikian pulalah akal adalah suatu gharizah/tabiat untuk menyediakan
sebahagian hewan (manusia) buat memperoleh ilmu pengetahuan ilmu yang
memerlukan pemikiran. Sekiranya bolehlah disamakan insan dengan keledai tentang
tabiat dan pengetahuan kepanca inderaan, maka dapatlah dikatakan, bahwa tak
adalah perbedaan antara keduanya, selain bahwa Allah Ta’ala ‑ menurut adat yang
berlaku ‑ menjadikan pada insan itu ilmu pengetahuan dan tidak dijadikanNya
pada keledai dan hewan-hewan lain, niscaya sesungguhnya bolehIah disamakan
antara keledai dan barang keras (jamad) itu pada kehidupan. Dan dikatakan
bahwa tak ada perbedaan antara keledai dan barang jamad selain daripada Allah
Ta’ala menjadikan pada keledai itu gerakan‑gerakan tertentu sepanjang kebiasaan
yang berlaku. Kalau diumpamakan keledai‑ itu benda keras yang mati, niscaya
haruslah dikatakan bahwa tiap‑tiap gerakan yang terlihat padanya, maka Allah
Ta’ala kuasa menjadikannya pada yang keras itu, menurut tertib (pengaturan)
yang kelihatan. Dan sebagaimana harus dikatakan bahwa tak adalah perbedaan bagi
benda keras (jamad) mengenai gerakan, selain dengan tabiat yang tertentu, maka
dikatakanlah bahwa gharizah/tabiat itulah hidup. Demikian jugalah perbedaan insan dengan hewan tentang
mengetahui ilmu pengetahuan ilmu yang memerlukan pemikiran dengan suatu tabiat
yang disebut akal. Maka akal itu adalah seperti cermin yang
berbeda dengan benda‑benda lain dalam segi memperlihatkan rupa dan warna,
dengan suatu sifat yang khusus bagi cermin itu, yaitu sifat mengkilat. Begitu
juga mata, yang berbeda dengan dahi
tentang sifat‑sifat dan keadaan‑keadaan yang ada pada mata, yang disediakan untuk
melihat. Maka hubungan gharizah/tabiat ini kepada ilmu pengetahuan adalah
seperti hubungan mata kepada melihat.
Hubungan AI‑Qur‑an dan syari’at/agama kepada gharizah/tabiat akal ini
dalam segi mengantarkannya untuk membuka bermacam‑macam ilmu pengetahuan,
adalah seperti hubungan cahaya matahari kepada melihat. Begitulah hendaknya
dipahami tabiat akal ini.
Yang
kedua: hakikat/makna akal
itu ialah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud pada diri anak kecil yang
dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan
barang yang mustahil. Seperti mengetahui dua lebih banyak dari satu dan orang
tidak ada pada dua tempat pada satu waktu. Inilah yang mendapat perhatian
sungguh‑sungguh dari sebahagian ulama ilmu kalam (berkata-kata), yang
menerangkan tentang batas akal itu, bahwa akal adalah sebahagian ilmu dlaruri
(ilmu yang mudah yang tak memerlukan pemikiran). Seumpama mengetahui tentang
kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Dan hal
itu betul pula, karena pengetahuan tersebut itu ada dan menamakannya akal memang
jelas yang tidak betul, ialah mengingkari tabiat itu dan mengatakan tidak ada.
Yang ada, hanya pengetahuan itulah.
Yang
ketiga: akal itu, ialah ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam‑macam keadaan. Maka orang
yang telah diperkokoh pemahamannya oleh pengalaman-pengalaman dan dicerdaskan
oleh beberapa aliran, maka dikatakan orang itu biasanya berakal. Yang tidak bersifat dengan sifat tadi, maka dikatakan:
orang bodoh, tak berketentuan, jahil. inilah macam yang lain dari ilmu
pengetahuan yang dinamakan akal.
Yang
keempat: bahwa kekuatan
dari gharizah/tabiat itu berpenghabisan sampai kepada mengetahui akibat dari
segala hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan yang dekat
dan menundukkannya. Apabila telah berhasil kekuatan ini, maka orang yang
mempunyai kekuatan tersebut dinamakan berakal,
di mana majunya dan mundurnya adalah menurut yang dikehendaki pertimbangan
mengenai akibat‑akibatnya, tidak menurut hukum hawa nafsu yang dekat itu. Ini
juga adalah dari sifat‑sifat khas manusia yang membedakan dia dari hewan yang
lain. Maka yang pertama di atas tadi,
adalah asas, pokok dan sumber. Yang kedua
adalah cabang yang lebih dekat kepada yang pertama.Yang ketiga adalah cabang bagi yang pertama dan kedua. Karena
dengan kekuatan gharizah/tabiat dan ilmu dlaruri/perlu itu, dapatiah diambil
faedah segala ilmu pengalaman. Dan yang
keempat, yaitu hasil yang penghabisan yaitu tujuan yang terjauh. Maka dua yang pertama (yang pertama dan
kedua) adalah dengan karakter (tabi'at). Dan dua yang penghabisan (yang ketiga dan keempat) adalah dengan
diusahakan. Dari itu bermadahlah Ali ra
Aku melihat akal
itu dua,
menurut karakter
dan yang didengar.
Tidak bergunalah yang didengar,
apabila yang
karakter tidak ada.
Seperti tidaklah berguna matahari,
bila cahaya mata itu terlindungi ....
Yang pertama itu, itulah yang dimaksudkan
dengan sabda Nabi saw: "Tidak
dijadikan oleh Allah Ta`ala suatu
makhluk yang terlebih mulia padaNya, dari pada akal". Dan yang
penghabisan, yaitu yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: "Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu‑pintu kebajikan
dan amal shaleh maka engkau dekatilah Tuhan dengan akal mu”. Hadits inilah
yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw:
“Kepada Abid‑ Darda' ra: ”Bertambahlah
akalmu supaya engkau bertambah dekat dengan Tuhanmu". Berkata Abid‑Darda':
"Demi ibu‑bapaku ya Rasulullah ! Bagaimanakah bagi ku dengan yang
demikian itu?". Menjawab Nabi saw: "Jauhilah semua yang diharamkan
Allah, tunaikanlah segala yang diwajibkan Allah, maka adalah engkau orang yang
berakal ! Kerjakanlah segala amal salih, niscaya engkau bertambah tinggi dan
mulia di dunia yang tidak lama ini. Dan engkau memperoleh pada hari akhirat yang
akan datang, dari Tuhanmu 'Azza wa Jalla, akan kedekatan dan kemuliaan".
Dari Said bin AI‑Musayyab bahwa
Umar, Ubai bin Ka’ab dan Abu Hurairah ra datang kepada Rasulullah saw seraya
bertanya: "Ya Rasulullah ! Siapakah yang terbanyak ilmu diantara manusia
?". Menjawab Nabi saw: "Orang yang berakal ! ". Bertanya mereka
itu lagi: "Siapakah yang terbanyak berbuat ibadah ?". Menjawab Nabi
saw: "Orang yang berakal ! " Bertanya mereka itu lagi: “Siapakah yang
lebih utama diantara manusia?". Menjawab Nabi saw:"Orang yang
berakal! Bertanya mereka itu lagi: "Bukankah orang yang berakal itu, orang
yang sempurna kepribadiannya, yang terang kelancaran lidahnya, yang murah
tangannya dan tinggi kedudukannya ?". Menjawab Nabi saw: "Kalaulah
benar itu semuanya, tentu tidaklah kesenangan hidup dunia dan akhirat pada
sisi Tuhanmu teruntuk bagi orang yang bertaqwa". Orang yang berakallah
yang taqwa, meskipun di dunia dia hina dan rendah. Bersabda Nabi saw pada
hadits lain: "Sesungguhnya yang
berakal ialah orang yang beriman kepada Allah, membenarkan rasul‑rasul Allah
dan berbuat amalan ta`at kepada Allah". Serupalah menurut asal
bahasanya, nama "Akal” itu diuntukkan kepada gharizah/tabiat itu. Begitu
juga menurut pemakaiannya. Dan sesungguhnya ditujukan kepada ilmu pengetahuan,
adalah dari segi bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hasil gharizah/tabiat
sebagaimana sesuatu itu dikenal dengan hasilnya.
Maka dikatakanlah, ilmu itu ialah takut kepada Tuhan. Orang yang berilmu
(alim ulama), "ialah orang yang takut kepada Allah Ta’ala. Maka takut
adalah buah dari ilmu. Lalu "akal" adalah sebagai perkatan yang
dipinjam, dipergunakan bagi lain dari gharizah/tabiat itu. Tetapi maksud di
sini tidaklah membahas bahasa. Yang dimaksudkan ialah bahwa bahagian yang 4
itu ada. Dan nama "akal", itu ditujukan kepada semuanya. Dan tak
adalah perbedaan pendapat tentang adanya semuanya, kecuali mengenai bahagian
yang pertama (gharizah/tabiat). Yang benar, ialah adanya gharizah/tabiat itu.
Bahkan dialah yang pokok. Semua ilmu pengetahuan itu seolah‑olah terkandung
dalam gharizah/tabiat itu menurut fitrah (kejadian manusia). Tetapi baru lahir
kealam kenyataan, apabila telah berlaku sebab yang melahirkannya kealam wujud.
Sehingga seakan‑akan semua ilmu pengetahuan itu tidaklah merupakan sesuatu yang
datang kepadanya dari luar. Dan seakan‑akan ilmu‑ilmu itu adalah yang
tersembunyi pada fitrah, maka lahir kemudian kealam nyata. Contohnya, adalah
seperti air dalam bumi, lahir dengan dikorek sumur, berkumpul dan dapat diperbedakan
dengan pancaindera. Tidaklah dengan didatangkan benda baru ke dalam bumi tadi.
Begitu juga minyak pada kelapa dan air mawar pada bunga mawar. Karena itu
berfirman Allah Ta’ala: ”Dan ketika Tuhan
kamu menjadikan turunan anak‑anak Adam dari punggungnya dan Tuhan mengambil
kesaksian dari mereka sendiri, kataNya; Bukankah AKU ini Tuhan kamu Mereka menjawab: "Ya!“
S 7 ayat 172. Yang dimaksudkan dengan
itu ialah pengakuan jiwa mereka tidak pengakuan lidah. Dalam pengakuan lidah,
manusia itu terbagi, menurut lidah dan orangnya kepada yang mengaku dan yang
mungkir. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: “Dan
kalau engkau tanyakan kepada mereka. Siapakah yang menciptakan mereka? Sudah
tentu mereka akan menjawab: "ALLAH". S 43 ayat
87. Jika diperhatikan keadaan mereka, maka akan naik saksilah jiwa dan dalam
mereka dengan yang demikian, sebagai fitrah kejadian, yang dijadikan Allah akan
manusia dengan demikian". Artinya: seluruh anak Adam itu dijadikan menurut
fitrahnya, beriman kepada Allah 'Azza wa Jalla. Bahkan segala sesuatu itu
diketahuinya menurut fitrahnya. Yakni fitrah itu sebagai yang menjamin karena
dekat persediaannya untuk mengetahui itu. Kemudian, tatkala adalah iman itu
dipusatkan pada jiwa menurut fitrah, maka manusia itu terbagi kepada dua: orang yang berpaling dari Tuhan lalu lupa, yaitu orang‑orang
kafir: dan orang yang lambat terlintas di
hatinya, tetapi teringat kemudian. Maka orang yang kedua ini, adalah
seperti orang yang mempunyai ijazah, maka lupa di mana diletakkannya, kemudian
dia teringat. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: ”Moga‑moga mereka itu teringat". S 2 ayat 221. ”Dan supaya teringatlah orang‑orang yang
berakal". S 38. ayat 29. “Dan
kenangkanlah kurnia Tuhan, kepada kamu dan ingatilah janji yang telah kamu ikat
dengan Dia” S 5 ayat 7. "Dan sesungguhnya AI‑Qur‑an itu Kami
mudahkan untuk diingati, tetapi adakah orang yang mengambil pelajaran”. S
54 ayat 17.
Menamakan yang
semacam ini dengan peringatan, tidaklah begitu jauh untuk dipahami. Maka seakan‑akan
peringatan itu dua macam semacam mengingati gambaran yang sudah ada di dalam hati,
tetapi hilang sesudah ada. Dan semacam lagi
mengingati gambaran yang sudah ada, terkandung dalam hati dengan fitrah. Inilah
hakikat/makna kebenaran yang nyata, bagi orang yang memperhatikan dengan nur
mata hatinya (bashirahnya). Tetapi berat bagi orang yang mempergunakan saja
pendengaran dan taqlid (turut/menurut) tanpa melihat dengan mata hati dan mata
kepala. Dari itu anda melihat orang tersebut, terpukul dengan ayat‑ayat seperti
itu dan memutar‑balikkan tentang ta'wil peringatan dan pengakuan jiwa dengan
bermacam‑macam pemutar‑balikan. Dan terbayang kepadanya berbagai macam
pertentangan maksud tentang hadits dan ayat itu. Kadang‑kadang hal, itu keras
sekali sehingga dipandangnya dengan pandangan penghinaan dan timbul keyakinan
kepadanya bahwa itu kekacau‑balauan. Orang yang seperti itu adalah seumpama
orang buta yang masuk ke sebuah rumah. Maka tersandunglah kakinya, dengan
tempat air yang tersusun rapi dalam rumah itu, Ialu ia mengatakan: 'Mengapakah
tempat‑tempat air ini tidak diangkat dari jalan tempat lalu dan dikembalikan
kepada tempatnya semula?". Menjawab orang yang mendengar: "Bahwa
tempat‑tempat air itu adalah di tempatnya. Hanya mata saudara sendiri yang
salah dan rusak ! ". Maka begitu pulalah orang yang rusak mata hatinya
berlaku seperti itu yang lebih hebat dan lebih besar akibatnya. Karena jiwa
adalah laksana orang yang mengendarai kuda dan badan adalah laksana kuda. Buta
yang mengendarai kuda adalah lebih membahayakan daripada buta kudanya. Karena
serupanya mata bathin dengan mata dhahir/luar, maka berfirman Allah Ta’ala: "Hati tidak mendustakan apa yang
dilihatnya”. S 53 ayat 11. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan
bumi". S 6 ayat 75. Lawan
nya melihat dinamakan buta. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tidaklah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang di dalam dada". S 22 ayat 46. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Barangsiapa yang buta didunia ini maka
diakhirat dia buta juga dan lebih sesat jalannya". S 17 ayat 72.
Segala hal inilah yang di buka kepada para Nabi. Sebahagiannya adalah dengan mata kepala dan sebahagian lagi adalah
dengan mata hati. Dan semuanya itu
dinamakan melihat. Kesimpulannya,
orang yang tidak tembus penglihatan mata hatinya, maka tidaklah tersangkut
agama padanya, selain kulitnya dan yang seperti kulit itu. Tidak isinya dan
hakikat/maknanya. Inilah bahagian‑bahagian itu, yang dipakai nama
"akal" padanya.
PENJELASAN:
Berlebih Kurangnya Manusia Tentang Akalnya.
Sesungguhnya berbedalah manusia tentang berlebih kurang akalnya.
Dan tak ada artinya bekerja menyalin perkataan orang‑orang yang hasilnya
sedikit sekali. Akan tetapi, yang lebih utama dan yang penting, ialah bersegera
menegaskan kebenaran. Kebenaran yang tegas padanya ialah dikatakan, bahwa
berlebih kurangnya akal itu menempuh pada 4 bahagian, selain bahagian yang kedua. Yaitu Ilmu yang
tidak memerlukan pemikiran tentang jaiznya barang yang jaiz (sesuatu yang boleh
jadi ada dan boleh jadi tidak ada) dan mustahilnya (sesuatu yang tidak diterima
akal terjadinya dan adanya) barang yang mustahil. Orang yang mengetahui bahwa
dua adalah lebih banyak dari satu maka dia mengetahui juga mustahil adanya satu
tubuh itu pada dua tempat dan adanya satu benda itu tiada berpemulaan dan baru.
Begitu juga bandingan‑bandingan yang lain dan seluruh apa yang dapat, diketahui
sebagai pengetahuan yang diyakini tanpa ragu‑ragu.
Adapun yang tiga bahagian lagi, maka berlakulah berlebih kurangnya akal
padanya. Dan bahagian yang keempat yaitu: kerasnya kekuatan mencegah hawa
nafsu. Maka tidaklah tersembunyi, berlebih kurangnya manusia padanya. Bahkan
tidaklah tersembunyi berlebih‑kurangnya keadaan seseorang menghadapi hawa
nafsunya. Sekali, berlebih kurangnya ini ada karena berlebih‑kurangnya hawa
nafsu. Sebab orang yang berakal itu kadang‑kadang sanggup meninggalkan sebahagian
hawa nafsunya dan tidak sanggup terhadap sebahagian yang lain. Tetapi bukan
sehingga itu saja. Seorang pemuda kadang‑kadang lemah dia meninggalkan zina.
Dan ketika bertambah umurnya dan sempurna akalnya, maka sanggup dia
meninggalkan zina itu. Ingin ria (sifat ingin memperlihatkan amal perbuatan
kepada orang) dan ingin menjadi kepala, bertambah kuat dengan bertambah umur.
Tidak bertambah lemah. Sebabnya, mungkin karena berlebih kurangnya ilmu yang
memperkenalkan faedah hawa nafsu ingin ria dan menjadi kepala itu. Karena
itulah, seorang dokter sanggup mencegah diri dari sebahagian makanan yang
mendatangkan melarat. Dan orang lain yang sama kedudukan akalnya, dengan dokter
itu, tidak sanggup menahannya, apabila ia bukan dokter. Meskipun ia
berkeyakinan secara umum, bahwa
makanan itu mendatang kan melarat. Akan tetapi, apabila pengetahuan dokter itu
lebih sempurna, maka takutnyapun lebih keras. Maka adalah takut itu tentara
bagi akal dan alatnya untuk mencegah dan menghancurkan hawa nafsu. Demikian
jugalah seorang alim itu lebih sanggup meninggalkan perbuatan ma'siat dari
seorang bodoh. Karena kekuatan ilmu pengetahuannya dengan melaratnya perbuatan
maksiat itu. Yang saya maksudkan ialah orang berilmu yang sebenar‑benarnya,
bukan orang‑orang yang bersyurban besar yang pandai bermain sandiwara. Kalau
berlebih‑kurang itu dari segi hawa nafsu, niscaya tidak kembali kepada
berlebih-kurangnya akal. Dan kalau dari segi ilmu, maka yang semacam ini, dari
Ilmu itu kita namakan juga akal. Karena
ilmu pengetahuan itu menguatkan gharizah/tabiat akal. Maka adalah berlebih
kurang itu menurut nama yang diberikan. Dan kadang‑kadang berlebih‑kurang itu
semata‑mata pada gharizah/tabiat akal, maka apabila gharizah/tabiat akal itu
kuat, maka sudah pasti pencegahannya terhadap hawa nafsu adalah lebih keras.
Adapun bahagian
yang ketiga yaitu ilmu pengalaman, maka berlebih-kurang manusia padanya
itu tidak dapat dibantah. Karena manusia itu berlebih kurang dengan banyaknya
yang betul yang dikerjakannya dan tentang cepatnya mengetahui sesuatu, adakalanya
karena berlebih‑kurang tentang gharizah/tabiat dan adakalanya mengenai pengalaman kerja. Adapun yang pertama tadi
yakni gharizah/tabiat, maka berlebih‑kurangnya, tak ada jalan untuk
membantahnya. Karena akal itu adalah seumpama nur yang terbit pada jiwa dan
terangnya akan muncul. Titik pertama dari terbitnya nur tadi, ialah ketika umur
tanyiz (ketika anak itu sudah dapat membedakan antara untung dan rugi).
Kemudian nur itu senantiasalah bertumbuh
dan bertambah dengan pelan‑pelan yang tidak kentara. Sehingga sempurnalah dia
ketika umur sudah mendekati 40 tahun. Nur tadi adalah seumpama cahaya subuh.
Mula‑mula sangat tersembunyi, sukar diketahui. Kemudian dari sedikit ke
sedikit bertambah, sehingga sempurnalah dengan terbit bundaran matahari.
Berlebih‑kurangnya nur mata hati adalah seperti berlebih‑kurangnya sinar mata
kepala. Perbedaan itu dapat diketahui antara orang kero/juling dan orang yang
berpandangan tajam. Bahkan sunnatullah ("kata orang kebanyakan‑kemauan
alam) berlaku pada sekalian makhlukNya, dengan beransur‑ansur (tidak sekaligus)
pada pengadaan. Sampai tabiat syahwat pun tidak timbul pada anak‑anak ketika
baligh sekaligus dan dengan tiba‑tiba. Tetapi tumbuh sedikit demi sedikit,
secara beransur‑ansur. Begitu pulalah segala kekuatan dan sifat. Orang yang
membantah berlebih‑kurang nya manusia pada gharizah/tabiat ini, adalah seolah‑olah
dia sendiri telah terlepas dari ikatan akal. Barangsiapa menyangka bahwa akal
Nabi saw adalah seperti akal seseorang dari orang hitam dan orang Arab bodoh,
maka orang itu lebih jahat dirinya dari siapa‑pun dari orang‑orang hitam itu.
Bagaimanakah dapat memungkiri berlebih‑ kurangnya gharizah/tabiat akal itu?
Kalau tidaklah berlebih‑kurang, maka tidaklah manusia itu berbeda‑beda pada
pemahaman ilmu pengetahuan. Dan tidaklah manusia itu terbagi‑bagi kepada orang bodoh yang tidak dapat memahami
sesuatu selain sesudah payah guru mengajarinya. Dan kepada orang pintar yang dapat memahami dengan sedikit tunjuk dan isyarat
saja. Dan kepada orang sempuma (kamil)
yang timbul dari dirinya hakikat/makna segala sesuatu tanpa diajarkan, seperti
firman Allah Ta’ala: "Hampir
minyaknya memancarkan cahaya (sendirinya), biarpun tidak disinggung api. Cahaya
berlapis cahaya“ S 24 ayat 35. Yang
demikian itu adalah seperti nabi‑nabi as. Karena jelas bagi mereka dalam,
dalamnya hal‑hal yang sulit tanpa belajar dan mendengar yang dinamakan.
“ILHAM”. Hal yang seperti demikian, dijelaskan oleh Nabi saw dengan sabdanya: "Bahwa ruh suci itu mengilhami dalam
hatiku: Sayangilah siapa yang engkau sayangi, sesungguhnya engkau akan berpisah
dengan dia! Hiduplah bagaimana yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan
mati! Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalasi
dengan amal perbuatan itu" Cara ini dari ajaran malaikat kepada nabi‑nabi
as itu, berlainan dengan wahyu yang jelas Yaitu mendengar suara dengan pancaindera
dari telinga dan melihat malaikat dengan pancaindera dari mata.
Karena itulah diterangkan dari hal ini,
dengan pengilhaman ke dalam hati. Dan tingkatan wahyu itu banyak.
Membicarakannya tidak layak dalam ilmu
muamalah(diminta untuk mengetahuinya hendaklah diamalkan). Karena dia itu
sebahagian dari mukasyafah(ilmu yang
diminta untuk mengetahuinya saja). Janganlah disangka bahwa dengan mengenal
tingkatan tingkatan wahyu itu, membawa kita kepada derajat wahyu. Karena tidak
jauh perbedaannya dengan seorang dokter yang mengajari orang sakit, tingkatan‑tingkatan
kesehatan dan seorang 'alim yang mengajari orang fasiq, tingkatan‑tingkatan
keadilan, meskipun dia sendiri kosong dari padanya. Maka‑ilmu itu satu hal dan
adanya yang diketahui itu satu hal pula. Maka tidaklah tiap orang yang
mengetahui tentang kenabian dan kewalian, Ialu dia itu nabi dan wali. Dan tidak
pula setiap orang yang mengenal taqwa, dan wara' sampai kepada yang sekecil‑kecilnya,
lalu dia itu seorang yang taqwa. Dan terbaginya manusia itu kepada orang yang
menyadari dari dirinya sendiri dan mengerti, orang yang tidak mengerti
melainkan dengan disadarkan dan diajarkan dan orang yang tak ada gunanya
diajarkan dan juga disadarkan, adalah seperti terbaginya tanah: ada yang terkumpul padanya air, Ialu kuat. Maka dapat
memancarkan beberapa mata air. Ada yang memerlukan kepada penggalian supaya
keluar air ke parit‑parit. Dan ada pula yang tidak berguna sama sekali digali,
yaitu tanah kering, yang tidak mengandung air. Dan yang demikian itu, karena
berbeda zat tanah mengenai sifat-sifatnya. Maka seperti itu pulalah perbedaan
jiwa dalam gharizah/tabiat akal. Berlebih‑kurangnya akal menurut yang
dinukilkan dari agama, dibuktikan oleh riwayat bahwa Abdulah bin Salam ra
bertanya kepada Nabi saw dalam suatu pembicaraan yang panjang. Di mana pada
akhirnya Nabi saw menyifatkan kebesaran, 'Arasy dan para malaikat bertanya
kepada Tuhan: "Hai Tuhan kami ! Adakah Engkau menjadikan sesuatu yang
lebih besar dari 'Arasy ?". Maka menjawab Tuhan: "Ada, yaitu akal
!". Bertanya malaikat lagi:
"Sampai di mana batas kebesarannya ?". Menjawab Tuhan. "Tidak
dapat dihinggakan dengan suatu ilmu pengetahuan. Adakah bagimu pengetahuan
tentang bilangan pasir. Menjawab malaikat itu: "Tidak! Maka berfirman
Allah Ta’ala: "Sesungguhnya AKU
menjadikan akal itu bermacam‑macam, seperti bilangan pasir. Sebahagian manusia
ada yang diberikan sebiji. Sebahagian ada yang diberikan dua biji, ada yang,
tiga biji dan empat biji. Diantara mereka ada yang diberikan secupak, ada yang
segantang dan ada pula diantara mereka yang diberikan lebih banyak dari
itu". Jikalau anda bertanya,
mengapa beberapa golongan dari kaum shufi mencela akal dan apa yang dipahami
oleh akal ?. Mengenai dengan celaan itu, ketahuilah bahwa sebabnya, ialah
karena manusia membawa nama akal dan apa yang dipahami oleh akal itu, kepada
pertengkaran dan perdebatan tentang soal‑soal yang bertentangan dan main mutlak‑mutlakan.
Yaitu membuat ilmu kalam (berkata-kata). Maka
kaum shufi itu tidak sanggup menetapkan dengan dalil‑dalil dari mereka sendiri
bahwa anda telah bersalah memberi nama itu. Karena cara yang demikian itu tidak
terhapus begitu saja dari hati kaum shufi sesudah demikian berkembang pada
mulut orang banyak dan melekat pada hati. Lalu kaum shufi itu mencela akal dan
apa yang dipahami oleh akal. Yaitu akal yang dinamakan dengan demikian pada
mereka. Adapun nur mata hati yang tersembunyi yang dengan nur itu dikenal Allah
Ta’ala dan kebenaran rasul‑rasuINya, maka bagaimanakah tergambar mencelanya ?
Sedangkan Allah Ta’ala memberi pujian kepadanya ? Kalau dicela, maka apalagi
sesudah itu yang dapat dipuji ?. Kalau yang dipuji itu agama, maka dengan apa diketahui kebenaran agama itu ? Kalau
diketahui dengan akal yang dicela, yang tak dapat dipercayai itu, maka adalah
agama itu tercela, pula.
Dan
janganlah terpengaruh dengan orang yang mengatakan bahwa agama, itu diketahui
dengan Ainul‑yaqin dan nurul‑iman, tidak dengan akal. Sesungguhnya kami maksudkan dengan akal itu, ialah apa yang
dimaksudkan dengan 'ainul‑yaqin dan nurul‑iman
tadi. Yaitu sifat bathiniah yang membedakan manusia dari hewan.
Sehingga manusia itu dapat mengetahui hakikat/makna segala sesuatu dengan sifat
bathiniah tersebut. Kebanyakan kesalahan itu berkembang dari kebodohan orang‑orang
yang mencari kebenaran dari kata‑kata saja. Maka tersalahlah mereka dalam kata‑kata
itu, karena kesalahan istilah manusia pada kata‑kata itu. Sekedar ini
mencukupilah mengenai penjelasan akal itu ! Wallaahu a'lam. Allah Yang Maha Tahu.
Telah sempurnalah KITAB ILMU dengan pujian
dan nikmat Allah Ta’ala. Rakhmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada
tiap‑tiap hambaNya yang pilihan dari penduduk bumi dan langit, di mana akan
disambung dengan KITAB QAWA'IDIL - 'AQAID
insya Allah Ta’ala. Segala pujian untuk Allah Yang Maha Esa pada Awalnya
dan pada Akhirnya.