Rabu, 12 Februari 2014

1. KITAB ILMU DAN PADANYA 7 BAB:


SEJARAH  RINGKAS  IMAM  AL‑GHAZALI
Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muham­mad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al‑Ghazali Hujjatul‑Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 H.(1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sebelum meninggal ayah Al‑Ghazali meninggalkan kata pada seo­rang ahli tasawwuf/ahli suffi temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al‑Ghazali dibawah asuhan ahli tasawwuf/ahli suffi itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayah­nya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al‑Ghazali menangis tersedu‑sedu seraya bermohon kepada Allah swt kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya Al‑Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar‑Razikani.
Kemudian pergi ke negri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negri tersebut, berangkatlah Al-Ghazali ke negri Nisapur dan belajar pada Imam Al Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda‑tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i.
Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan: “Al Ghazali itu lautan tak bertepi.......”.  Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al‑Ghazali berangkat ke Al‑Askar mengunjungi Menteri Nizamul‑muluk dari pemerintah­an dinasti Saljuk. la disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka‑pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ke­tinggian dan keahlian Al‑Ghazali. Menteri Nizamul‑muluk melantik Al‑Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. 4 tahun lamanya Al‑Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka pada tahun 488 H. Al‑Ghazali pergi ke Makkah menunai­kan rukun Islam ke 5. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul‑makdis. Kemudian keDamaskus & terus menetap beribadah dimasjid Al-Umawi dikota tersebut pada suatu sudut yg terkenal sampai sekarang dengan nama "Al‑Ghazaliyah", diambil dari nama yg mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab "IHYA” yg kami alih‑bahasakan ini.
Keadaan hidup dan kehidupannya pada sa­at itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, me­nyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid‑masjid dan de­sa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang mem­bawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya “Ihya”. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia kekampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama‑ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan sholat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul‑khatimah, Al‑Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 jumadil‑akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia. Hanya 55 tahun beliau hidup di dunia ini. Jenazahnya dikebumikan di makam Ath‑Thabiran, berdekatan dengan makam Al‑Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasy­hur. Sebelum meninggal Al‑Ghazali pernah mengucapkan kata‑kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu: "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanam­kanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".
Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan‑karangan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab "Ihya" yang kami alih‑bahasakan ini, terdiri dari 4 jilid besar, yang kiranya disampaikan Allah swt Akan kami jadikan dalam bahasa Indonesia. Dalam ka­langan agama di negeri kita ini tak ada yang tak mengenal kitab Ihya' ‑ Ulumiddin, suatu buku standard, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih‑bahasa­kan ke dalam beberapa bahasa modern.
Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379 ‑ 1471 M) yang men­dekati dengan pribadi Al‑Ghazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya "De Imitation Christi” yang sifatnya mende­kati "IHYA”, tetapi dipandang dari pendidikan Kristen. Diantara karangannya yang banyak itu, ada 2 buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli‑ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul‑falasifah" (Maksudnya ahli‑ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul‑falasifah" (Kesesatan ahli‑ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam‑macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika.
Kitab ini sudah diterjemah­kan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin diakhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al‑Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan‑bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordova (1126‑1198). Dia membantah akan pendirian Al‑Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu‑taha­futil falasifah" Kesesatan buku ahli‑ahli falsafah Al‑Ghazali. Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah pahaman Al‑Ghazali tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok‑pokok pelajaran falsafah.
Demikianlah telah beredar 2 buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur seca­ra aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing‑masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al‑Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul‑falasifah (Kesesatan ahli‑ahli falsafah) ke tengah‑tengah um­mat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasa­nya Al‑Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikir­an ini, Al‑Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.
Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat” yakni yang kira‑kira sama artinya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filosuf Inggeris David Hume (1711‑1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, diwaktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang tim­bul di abad ke 18, yang semata‑mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal  manusia. Al‑Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, se­lama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna ‑ sempurnanya dengan sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan berge­rak dengan semau‑maunya saja. Lalu akhirnya Al‑Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya ilmu yg mudah tak memerlukan pemikiran mendalam ("dlaruriat” atau aksioma ) sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada petunjuk/hidayah yang datang dari Allah swt.
Al‑Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit‑sulit de­ngan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam (ilmu berkata-kata) yang tahan uji dibandingkan dengan karangan‑karangan filosuf yang lain. Semua ini menun­jukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu' akan kata‑kata "Wallahu a'lam artinya "Allah yang Maha Tahu" 
Dalam zaman Al‑Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawwuf/ahli suffi dan ahli fiqih. Maka salah satu dari usaha Al‑Ghazali ialah merapatkan  kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al‑Ghazali men­dapat teman sepaham, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, di antaranya ialah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain‑lain dari ahli fiqih. Didunia Barat Al‑Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dll. Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al‑Ghazali menjadi salah seorang dari 4orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasullulah saw sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu:
1. Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
2. Imam  Al‑Bukhari, ulama hadist yang terbesar.
3. Imam  Al‑Asy'ari, ulama keesaan yang termasyhur.
4. Imam  Al‑Ghazali, pengarang lhya' yang terkenal.
Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi dimana Al‑Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, da'wah, fiqih dll. Semoga pusaka ilmiyah yang ditinggalkan Al‑Ghazali dapatlah kiranya diambil faedahnya oleh umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya!                                                                                
Aamiin!
PEMBUKAAN   DARI   PENGARANG   ( AL GHAZALI )
“Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati/pengertian”. S 50 Qaaf ayat 37. "Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang".
Ke 1. saya memuji Allah dengan pujian yang banyak, berturut-turut Walaupun amat kecil pujian pemuji-pemuji itu, kurang dari hak keAgungan ALLAH.
Ke 2. saya bershalawat dan mengucapkan salam kepada Rasul-rasul ALLAH, salawat yang meratai Rasul-rasul yang lain, bersama penghulu umat manusia.
Ke 3. saya memohonkan kebajikan kepada Allah Ta’ala, tentang membangkitnya cita-citaku, mengarang sebuah kitab, tentang  “Menghidupkan kembali Ilmu-
           ilmu Agama” (Ihya 'Ulumuddin).
Ke 4. saya menantang, untuk memotong kesombonganmu, hai pencela, yang melampaui batas pada mencela, diantara golongan orang-orang yang ingkar, yang berlebih - lebihan mencaci dan melawan, diantara lapisan orang-orang yang melawan, yang lalai. Maka sesungguhnya telah terlepas ikatan diam dari lidahku. Telah dikalungkan pada leherku, tanggungan kata-kata dan kalung mutiara bertutur kata, selama engkau berkekalan buta dari kebenaran yang nyata, serta berkepanjangan menolong yang batil/salah, membaguskan kebodohan dan mengobarkan fitnah kepada orang, yang memilih mencabut diri sedikit dari adat kebiasaan orang banyak. Dan ia cenderung sedikit dari membiasakan diri mengikuti kebiasaan itu, kepada beramal dengan yang dikehendaki oleh ilmu, karena mengharap mencapai apa yang diajak oleh Allah Ta’ala beribadah kepada ALLAH. Yaitu: membersihkan diri dan membaikkan hati. Dan untuk memperoleh kembali sebahagian apa yang telah dibuang-buangkannya, dari menyia-nyiakan umur, karena putus asa dari kesempurnaan memperoleh kembali dan menampal kannya. Dan tersisih dari kumpulan orang, yang dikatakan terhadap mereka oleh yang empunya syari’at/agama, rahmat Allah dan sejahtera ALLAH kepadanya.
"Manusia yang sangat menderita azab pada hari kiamat ialah orang yang berilmu (orang alim), yang tidak diberi manfaat oleh Allah swt dengan ilmunya”. Demi umurku, sesungguhnya tiada sebab untuk berkekalan kamu pada kesombongan, selain oleh penyakit yang meratai orang banyak. Bahkan telah meratai golongan orang-orang yang teledor, dari pada memperhatikan pentingnya persoalan ini. Dan bodoh, bahwa persoalan ini besar. Dan keadaannya itu sungguh-sungguh. Akhirat itu di depan & dunia itu di belakang. Ajal itu dekat. Perjalanan itu jauh. Perbekalan itu sedikit. Bahaya itu besar. Dan jalan itu tertutup. Selain keikhlasan karena wajah Allah, dari ilmu & amal, adalah tertolak pada pihak pengecam, yang dapat melihat.
Berjalan ke jalan akhirat serta banyaknya tipu daya tanpa penunjuk & teman, adalah payah & sukar. Maka penunjuk-penunjuk jalan itu ialah kaum ulama. Mereka adalah pewaris nabi-nabi. Telah kosonglah zaman dari mereka. Tidak ada yang tinggal, kecuali orang-orang yang berbuat resmi-resmian. Kebanyakan telah digoda syetan & terjerumus ke dalam kesesatan. Masing-masing mereka telah tertarik kepada keuntungan yang dekat. Lalu memandang yang baik menjadi buruk & yang buruk menjadi baik. Sehingga ilmu agama senantiasa terinjak-injak & cahaya hidayah hilang lenyap disegala pelosok bumi. Orang-orang itu berkhayal kepada orang banyak, bahwa ilmu pengetahuan itu tak lain, dari fatwa pemerintah yang dipakai oleh para hakim untuk menyelesaikan persengketaan ketika berkecamuk kezaliman. Atau ilmu pengetahuan itu ialah perdebatan, yang diperalat oleh orang yang mencari kemegahan untuk memperoleh kemenangan & keuntungan. Atau ilmu pengetahuan itu ialah sajak yang dihiasi, yang dipergunakan oleh juru-juru nasehat supaya dapat mempengaruhi orang awwam. Karena mereka itu, tidak melihat, selain dari yang 3 tadi, tempat memburu yang haram & meneguk harta kekayaan duniawi.
Adapun ilmu jalan akhirat yang di tempuh ulama-ulama terdahulu yang shaleh, yang dinamakan oleh Allah swt. Dalam kitab Allah dengan Fiqih, Hikmah/ilmu, Nur/cahaya, Hidayah/petunjuk. Maka telah dilipat dari orang banyak & menjadi hal yang dilupakan. Manakala yang demikian itu menghancurkan agama & mendatangkan bahaya yang mengerikan, maka aku berpendapat bahwa berusaha menyusun kitab ini, adalah penting untuk Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, (Ihya’ Ulumiddin), membuka jalan-jalan yang dilalui imam-imam yang terdahulu & memberi penjelasan maksud dari ilmu pengetahuan yang berguna, dari nabi-nabi & ulama-ulama terdahulu yang saleh.
Aku buat dasar kitab ini 4 bahagian besar (4 rubu’) dan tiap rubu dilengkapi dengan 10 kitab yaitu:
1. Bahagian peribadatan (rubu’ ibadah).
2. Bahagian pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan).
3. Bahagian perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat).
4. Bahagian perbuatan yang meyelamatkan (rubu’ al-munjiyat).
Aku mulai sejumlah dengan “kitab ilmu”, karena ilmu itu amat penting, untuk pertama-tama aku bentangkan, tentang ilmu, di mana segala orang berbakti kepada Allah dengan menuntutnya, diatas sabda Rasul saw yang bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim". Akan aku bedakan padanya, ilmu yang bermanfaat, dari ilmu yang mendatangkan melarat. Karena Nabi bersabda: “Kita berlindung dengan Allah, dari ilmu yang tidak bermanfa’at”. Aku akan buktikan kecenderungan manusia sekarang, jauh dari bentuk kebenaran. Tertipunya mereka dengan kilatan patamorgana. Dan kepuasan mereka dengan kulit ilmu, tanpa isi.
Bahagian (rubu’) ibadah, melengkapi 10 kitab:
1. Kitab ilmu.
2. Kitab kaidah - kaidah i’tikad (keyakinan).
3. Kitab rahasia (hikmah) bersuci.
4. Kitab hikmah/ilmu Shalat.
5. Kitab hikmah/ilmu zakat
6. Kitab hikmah/ilmu shiam (puasa).
7. Kitab hikmah/ilmu hajji.
8. Kitab adab (kesopanan) membaca Al-Qur'an.
9. Kitab dzikir dan do'a.
10. Kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.
Bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari melengkapi 10 kitab:
1. Kitab adab makan.
2. Kitab adab perkawinan.
3. Kitab hukum berusaha.
4. Kitab halal dan haram.
5. Kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia.
6. Kitab 'uzlah (mengasingkan diri).
7. Kitab adab bermusafir (berjalan jauh).
8. Kitab mendengar dan merasa.
9. Kitab amar ma'ruf  dan nahi munkar.
10. Kitab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq) kenabian.
Bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan, melengkapi 10 kitab:
1. Kitab menguraikan keajaiban hati.
2. Kitab latihan diri (jiwa).
3. Kitab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan.
4. Kitab bahaya lidah.
5. Kitab bahaya marah, dendam dan dengki.
6. Kitab tercelanya dunia.
7. Kitab tercelanya harta dan kikir.
8. Kitab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka (ria’).
9. Kitab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri (‘ujub).
10. Kitab tercelanya tertipu dengan kesenangan duniawi.
Bahagian (rubu’) perbuatan yang melepaskan, melengkapi 10 kitab:
1. Kitab taubat.
2. Kitab sabar dan syukur.
3. Kitab takut dan harap.
4. Kitab fakir dan zuhud.
5. Kitab keesaan dan tawakkal.
6. Kitab cinta kasih, rindu, jinak hati dan rela.
7. Kitab niat, benar dan ikhlas,
8. Kitab muraqabah dan menghitung amalan.
9. Kitab memikirkan hal diri (tafakkur).
10. Kitab ingat mati.
Adapun bahagian ibadah, maka akan saya terangkan nanti peri adabnya yang mendalam, sunat-sunatnya yang halus-halus dan maksudnya yang penuh hikmah/ilmu, yang diperlukan oleh orang yang berilmu, yang mengamalkan. Bahkan tidaklah dari ulama akhirat, orang yang tidak memperhatikan kepadanya. Dan yang terbanyak daripadanya, adalah termasuk yang disia-siakan dalam ilmu fiqih.
Adapun bahagian pekerjaan sehari-hari, maka akan saya terangkan hikmah/ilmu pergaulan yang berlaku antara sesama manusia, liku-likunya, sunatnya yang halus-halus dan sifat memelihara diri yang tersembunyi pada tempat-tempat lalunya. Yaitu, yang harus dipunyai oleh orang yang beragama.
Adapun bahagian perbuatan yang membinasakan, maka akan saya terangkan nanti semua budi pekerti yang tercela yang tersebut dalam Al-Qur’an, dengan menghilangkannya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati daripadanya. Saya akan terangkan masing-masing dari budi pekerti itu, batas dan hakikat/maknanya. Kemudian akan saya sebutkan sebab terjadinya, kemudian bahaya yang timbul daripadanya, kemudian tanda-tanda mengenalinya, kemudian cara megobatinya supaya terlepas kita daripadanya. Semuanya itu, disertai dengan dalil-dalil ayat, hadits dan kata-kata sahabat Nabi.
                  Adapun bahagian  perbuatan yang melepaskan, maka akan saya terangkan semua budi pekerti yang terpuji dan keadaan yang disukai, yang menjadi budi pekerti orang - orang yang mendekatkan diri kepada Allah (shiddiqin/benar), yang mendekatkan hamba kepada Tuhan semesta alam. Saya akan terangkan pada tiap-tiap budi pekerti itu, batasnya, hakikat/maknanya, sebab yang membawa tertarik kepadanya, faedah yang dapat diperoleh daripadanya, tanda-tanda untuk mengenalinya & keutamaan yang membawa kegemaran kepadanya, serta apa yang ada padanya, dari dalil-dalil syari’at/agama dan akal pikiran. Penulis-penulis lain sudah mengarang beberapa buku mengenai sebahagian dari maksud-maksud tadi. Akan tetapi kitab ini, berbeda dari buku-buku itu dalam 5 hal:
1.      Menguraikan dan menjelaskan apa yang ditulis penulis-penulis lain secara singkat dan umum.
2.      Menyusun dan mengatur apa yang dibuat mereka itu berpisah-pisah dan bercerai-berai.
3.      Menyingkatkan apa yang dibuat mereka itu berpanjang-panjang dan menentukan apa yang ditetapkan mereka.
4.      Membuang apa yang dibuat mereka itu berulang-ulang dan menetapkan dengan kepastian antara yang diuraikan itu.
5.      Memberi kepastian hal-hal yang meragukan yang membawa kepada salah paham, yang tidak disinggung sedikitpun dalam buku-buku yang lain.
Karena semuanya, Walaupun mereka itu menempuh pada suatu jalan, tetapi tak dapat dibantah, bahwa masing-masing orang yang berjalan pada jalan Allah itu mempunyai perhatian tersendiri, kepada sesuatu hal yang tertentu baginya dan dilupakan teman-temannya. Atau ia tidak lalai dari perhatian itu, akan tetapi lupa dimasukkannya ke dalam buku-bukunya. Atau ia tidak lupa, akan tetapi ia dipalingkan oleh sesuatu yang memalingkannya daripada menyingkapkan yang tertutup daripadanya.  Maka inilah keadaan-keadaan khusus bagi kitab ini serta mengandung pula semua ilmu pengetahuan itu.
Sesungguhnya yang membawa aku mendasarkan kitab ini pada 4 bahagian, adalah 2 hal:
Pertama: Yaitu Pendorong asli bahwa susunan ini pada menjelaskan hakikat/makna dan pengertian, adalah seperti ilmu-ilmu yang mudah, tak memerlukan kepada pemikiran mendalam. Sebab pengetahuan yang menuju ke akhirat itu, terbagi kepada Mu’amalah dan Mukasyafah
- ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan (mu’amalah) dan
- ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja (mukasyafah)
Dan yang dimaksud dari kitab ini, ialah ilmu (mu’amalah) yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan saja, tidak ilmu (mukasyafah) ilmu yang diminta mengetahuinya saja, yang tidak mudah menyimpannya di buku-buku, meskipun menjadi tujuan maksud para pelajar dan keinginan menjadi orang-orang yang benar/lurus. Dan ilmu ialah yg diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan itu adalah jalan kepada ilmu(mukasyafah) ilmu yang diminta mengetahuinya saja.
Tetapi, para nabi rahmat Allah kepada mereka  tidak memperkatakan pada orang banyak, selain mengenai ilmu untuk jalan dan petunjuk kepada ilmu ilmu yang diminta mengetahuinya saja itu. Adapun ilmu ilmu yang diminta mengetahuinya saja, mereka tidak memperkatakannya selain dengan jalan rumus dan isyarat, yang merupakan contoh dan kesimpulan. Karena para nabi itu tahu akan singkatnya paham orang banyak untuk dapat memikulnya. Alim ulama itu adalah pewaris nabi-nabi. Maka tiada jalan bagi mereka untuk berpaling daripada mengikuti dan mematuhinya. Kemudian, ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan itu terbagi kepada:
1. Ilmu luarnya, yaitu ilmu mengenal amal perbuatan anggota badan.
2. Ilmu dalam hati, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan hati dan yang melalui pada anggota badan. Adakalanya adat kebiasaan dan adakalanya ibadah. Dan yang datang pada hati, yang dengan sebab terdinding dari pancaindera, termasuk bagian alam malakut, adakalanya terpiji dan adakalanya tercela. Maka seharusnyalah, ilmu ini terbagi dua, yaitu: luar dan dalam. Bagian luar yang menyangkut dengan anggota badan, terbagi kepada adat kebiasaan dan ibadah. Bagian dalam yang menyangkut dengan hal ikhwal hati dan budi pekerti jiwa, terbagi kepada: yang tercela dan yang terpuji. Jadi, semuanya berjumlah 4 bahagian. Dan tidaklah kurang perhatian pada ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan, dari bahagian-bahagian ini.
Kedua: Yang menggerakkan untuk menyusun kitab ini menjadi 4 bahagian, ialah aku melihat keinginan para pelajar, besar sekali kepada ilmu fiqih, ilmu yang layak bagi orang yang tidak takut kepada Allah swt. Yang memperalat ilmu itu untuk mencari kemegahan dan penonjolan dengan kemegahan serta kedudukan dalam perlombaan. Dan ilmu fiqih itu terdiri dari 4 bahagian. Dan orang yang menghiasi dirinya dengan hiasan yang disukai orang banyak, tentu dia akan disukai. Maka aku tidak jauh dalam membentuk kitab ini dengan bentuk fiqih untuk menarik hati golongan pelajar-pelajar. Dan karena inilah, sebahagian orang yang ingin menarik hati pembesar-pembesar kepada ilmu kesehatan, bertindak lemah lembut, lalu membentuknya dalam bentuk ilmu bintang dengan memakai ranji dan angka. Dan menamakannya ilmu kesehatan, supaya kejinakan hati mereka dengan cara itu menjadi tertarik kepada membacanya. Berlemah lembut menarik hati orang kepada ilmu pengetahuan yang berguna dalam kehidupan abadi, adalah lebih penting daripada kelemah-lembutan menariknya kepada ilmu kesehatan, yang faedahnya hanya untuk kesehatan jasmaniyah belaka. Faedah pengetahuan ini ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yang bersambung terus kepada kehidupan abadi. Apalah artinya ilmu kesehatan itu yang hanya dapat mengobati tubuh kasar saja, yang akan hancur binasa dalam waktu yang tidak lama lagi. Kita bermohon kepada Allah swt Akan petunjuk dan kebenaran. Bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
KITAB ILMU DAN PADANYA 7 BAB:
Bab I   tentang kelebihan ilmu, kelebihan mengajar dan belajar
Bab 2  tentang ilmu-ilmu fardhu'ain dan fardhu kifayah, menerangkan batas ilmu fiqh, memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu akhirat & ilmu dunia.
Bab 3  tentang apa, yg dihitung oleh orang awam, termasuk sebahagian dari ilmu agama, padahal tidak. Juga menerangkan jenis ilmu yg tercela & kadarnya
Bab 4  tentang bahaya perdebatan & menyebabkan kesibukan manusia dengan berselisih & bertengkar.
Bab 5  tentang adab pengajar & pelajar.
Bab 6  tentang bahaya ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat.
Bab 7  tentang akal, kelebihan akal, bahagian-bahagian akal dan hadist-hadist yang membicarakan tentang akal.
BAB 1:  Tentang Kelebihan ilmu, Kelebihan Mengajar, Kelebihan Belajar, Dalil-Dalil Dari Naql (diterima/disalin), Al Quran, Hadist, Akal
Kelebihan Ilmu:
Dalil-dalilnya dari Al Qur'an, adalah Firman Allah ‘Azza wa Jalla” (Allah Maha Mulia & Maha Besar): “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. S 3 ayat 18.  Maka lihatlah, betapa Allah SWT memulai dengan diri Allah sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli ilmu. Cukuplah kiranya dengan ini, buat kita pertanda kemuliaan, kelebihan, kejelasan, dan ketinggian orang-orang yang berilmu.
Pada ayat lain Allah Ta'ala berfirman: "Diangkat oleh Allah  orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa tingkat”. S 58 ayat 11. Ibnu Abbas ra mengatakan: "Untuk ulama beberapa tingkat diatas orang mu’min, dengan 700 tingkat tingginya. Antara 2 tingkat itu, jaraknya sampai 500 tahun perjalanan”.
Pada ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman: "Katakanlah  ! Adakah sama antara orang-orang yg berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu?”. S 39 ayat 9.  Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut akan Allah daripada hamba Allah ialah orang-orang yang berilmu” S 35 ayat 28. Berfirman Allah swt: “Katakanlah! Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku & kamu & orang-orang yg padanya ada pengetahuan tentang al quran (Kitab)”. S 13 ayat43.
Pada ayat yang lain tersebut: "Berkatalah orang yg mempunyai pengetahuan tentang kitab: “Aku sanggup membawanya kepada engkau”. S 27 ayat 40. Ayat ini memberitahukan bahwa orang itu merasa sanggup karena tenaga pengetahuan yg ada padanya. Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: "Berkatalah orang-orang yang berpengetahuan: Malang nasibmu! Pahala dari Allah lebih baik untuk orang yg beriman & mengerjakan perbuatan baik”. S 28 Al Qashash ayat 80. Ayat ini menjelaskan bahwa tingginya kedudukan akhirat, diketahui dengan ilmu pengetahuan. Pada ayat lain tersebut: “Contoh-contoh itu Kami buat untuk manusia dan tidak ada yang mengerti kecuali orang-orang yang berilmu”. S 29 Al ankabut ayat 43.
Dan firman Allah swt: “Kalau mereka mengembalikan kepada rasul dan orang yg berkuasa diantara mereka niscaya orang-orang yg memperhatikan itu akan dapat mengetahui yang sebenarnya”. S 4 An-Nisa ayat 83. Ayat ini menerangkan bahwa untuk menentukan hukum dari segala kejadian, adalah terserah kepada pemahaman mereka. Dan dihubungkan tingkat mereka dengan tingkat nabi-nabi, dalam hal menyingkap hukum Allah. Dan ada yang menafsirkan tentang firman Allah: “Wahai anak Adam ! Sesungguhnya Kami telah turunkan kepadamu pakaian/ilmu yang menutupkan anggota kelaminmu dan perhiasan/bulu yang indah dan pakaian taqwa itulah yang lebih baik”. S 7 Al A’raf ayat 26. Dengan tafsiran, bahwa pakaian itu maksudnya ilmu, bulu itu maksudnya yakin dan pakaian ketaqwaan itu maksudnya malu.
Pada ayat lain tersebut: “Sesungguhnya Kami telah datangkan kitab kepada mereka, Kami jelaskan dengan pengetahuan”. S 7 ayat 52.
Pada ayat lain: “Sesungguhnya akan kami ceritakan kepada mereka menurut pengetahuan”. S 7 ayat 7.
Pada ayat lain: “Bahkan (Al-Qur’an) itu adalah bukti-bukti yang jelas di dalam dada mereka yang diberi pengetahuan”. S 29 ayat 49.
Pada ayat lain: “Tuhan menjadikan manusia dan mengajarkannya berbicara terang”. S 55 ayat 3-4.
Tuhan menerangkan yang demikian pada ayat tadi untuk menyatakan nikmat Allah dengan pengajaran itu. Adapun hadits, maka Rasulullah bersabda: “Barangsiapa dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan, niscaya dianugerahi Allah pemahaman dalam agama dan diilhami Allah petunjuk”. Nabi saw Bersabda: “Orang berilmu (ulama) itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi”.
Dan sudah dimaklumi, bahwa tak ada pangkat diatas pangkat kerasulan dan tak ada kemuliaan diatas kemuliaan yang mewarisi pangkat tersebut. Nabi saw Bersabda: “Isi langit dan isi bumi meminta ampun untuk orang yang berilmu”. Manakah kedudukan yang melebihi kedudukan orang, dimana para malaikat di langit dan di bumi selalu meminta ampun baginya ? Orang itu sibuk dengan urusannya dan para malaikat sibuk pula meminta ampun baginya. Nabi saw Bersabda: “Bahwa ilmu pengetahuan itu menambahkan mulia orang yang mulia dan meninggikan seorang budak sampai ke tingkat raja-raja”.
         Dijelaskan oleh hadits ini akan faedahnya di dunia dan sebagai dimaklumi bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal. Nabi saw Bersabda: “Dua perkara tidak dijumpai pada orang munafiq; baik kelakuan dan berpaham agama”. Dan janganlah anda ragu akan hadits ini, karena munafiqnya sebahagian ulama fiqih zaman sekarang. Karena tidaklah dimaksudkan oleh hadits itu akan fiqih yang anda sangkakan. Dan akan diterangkan nanti arti fiqih itu. Sekurang-kurangnya tingkat seorang ahli fiqih tahu ia bahwa akhirat itu lebih baik dari dunia. Dan pengetahuan ini, apabila benar dan banyak padanya, niscaya terlepaslah dia dari sifat nifaq/bermuka 2 dan ria/membanggakan diri. Nabi saw bersabda: “Manusia yang terbaik ialah mu’min yang berilmu, jika diperlukan dia berguna. Dan jika tidak diperlukan, maka dia dapat mengurus dirinya sendiri”. Nabi saw Bersabda: “Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu”. Nabi saw Bersabda: “Manusia yang terdekat kepada derajat kenabian ialah orang yang berilmu dan berjihad.
Adapun orang yang berilmu, maka memberi petunjuk kepada manusia akan apa yang dibawa Rasul-rasul. Dan orang yang berjihad, maka berjuang dengan pedang membela apa yang dibawa para Rasul itu”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya mati satu suku bangsa, adalah lebih mudah daripada mati seorang yang berilmu”. Nabi bersabda: “Manusia itu ibarat barang logam seperti logam emas dan perak. Orang yang baik pada jahiliyah menjadi baik pula pada masa Islam apabila mereka itu berpaham (berilmu)”.
          Nabi saw Bersabda: “Ditimbang pada hari qiamat tinta ulama dengan darah syuhada (orang-orang mati syahid mempertahankan agama Allah)”. Nabi bersabda: “Barang siapa menghafal kepada umatku 40 hadits, sehingga ia menghafalkannya kepada mereka, maka aku memberi syafaat dan menjadi saksi baginya pada hari kiamat”. Nabi saw Bersabda: “Barangsiapa dari umatku menghafal dan memahami dan menjalankan nya 40 hadits, maka dia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat sebagai seorang ahli fiqih yang alim”.
Nabi saw Bersabda: “Barangsiapa memahami agama Allah niscaya dicukupkan Allah akan kepentingannya dan diberikan Allah rezeqi di luar dugaannya”. Bersabda nabi saw: “Diwahyukan Allah kepada nabi Ibrahim as: “Hai Ibrahim ! Bahwasanya AKU Maha Tahu, menyukai tiap-tiap orang yang tahu (berilmu)”. Bersabda nabi saw: “Orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah swt dibumi”. Bersabda nabi saw: “Dua golongan dari umatku apabila baik niscaya baiklah manusia semuanya dan apabila rusak niscaya rusaklah manusia seluruhnya yaitu amir-amir dan ahli-ahli fiqih”.
         Bersabda nabi saw: “Apabila datanglah kepadaku hari, yg tidak bertambah ilmuku padanya, yang mendekatkan aku kepada Allah, maka tidak diberikan barakah bagiku pada terbit matahari hari itu”. Nabi saw bersabda: mengenai kelebihan ilmu dari ibadah dan mati syahid: “Kelebihan orang berilmu dari orang ‘abid (orang yang banyak ibadahnya) seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari sahabatku”. Lihatlah betapa nabi saw membuat perbandingan antara ilmu pengetahuan dan derajat kenabian. Dan bagaimana nabi mengurangkan tingkat amal ibadah yang tidak dengan ilmu pengetahuan, meskipun orang yang beribadah itu, tidak terlepas dari pengetahuan tentang peribadatan yang selalu dikerjakan. Dan kalau tak adalah ilmu, maka itu bukanlah ibadah namanya.
      Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang ‘abid, adalah seperti kelebihan bulan purnama dari bintang-bintang yang lain”. Nabi saw bersabda: “Yang memberi syafaat pada hari kiamat adalah 3 golongan yaitu: para nabi, kemudian alim ulama dan kemudian para syuhada”. Ditinggikan kedudukan ahli ilmu sesudah nabi dan diatas orang syahid, serta apa yang tersebut dalam hadits tentang kelebihan orang syahid. Nabi saw bersabda: “Tiadalah peribadatan sesuatu kepada Allah yang lebih utama dari pada memahami agama.
Seorang ahli fiqih adalah lebih sukar bagi setan menipunya daripada seribu orang ‘abid. Tiap-tiap sesuatu, ada tiangnya. Dan tiang agama itu adalah memahaminya (ilmu fiqih)”. Nabi saw bersabda: “Yang terbaik dari agamamu ialah yang termudah dan ibadah yang terbaik ialah memahami agama”. Nabi saw bersabda: ”Kelebihan orang mu’min yang berilmu dari orang mu’min yang ‘abid (orang yg banyak ibadahnya) ialah 70 derajat”.
         Nabi saw bersabda: “Bahwa kamu berada pada suatu masa yang banyak ahli fiqihnya, sedikit ahli qira’at dan ahli pidato, sedikit orang meminta dan banyak orang memberi. Dan amal pada masa tersebut lebih baik daripada ilmu. Dan akan datang kepada umat manusia suatu masa, yang sedikit ahli fiqihnya, banyak ahli pidato, sedikit yang memberi dan banyak yang meminta. Ilmu pada masa itu lebih baik dari amal”. (ini yg terjadi sekarang. Pent)
         Bersabda nabi saw: “Antara orang ‘alim dan orang ‘abid 100 derajat jaraknya. Jarak antara dua derajat itu dapat dicapai dalam masa 70 tahun oleh seekor kuda pacuan”. Orang bertanya kepada nabi saw: “Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang lebih baik?”. Maka nabi saw menjawab: “Ilmu mengenai Allah Maha Mulia dan Maha Besar !”. Bertanya pula orang itu: “Ilmu apa yang engkau kehendaki?”. Nabi menjawab: “Ilmu mengenai Allah swt”. Berkata orang itu lagi: “Kami menanyakan tentang amal, lantas engkau menjawab tentang ilmu”. Maka nabi saw menjawab: “Bahwasanya sedikit amal adalah bermanfaat dengan disertai ilmu mengenai Allah dan bahwasanya banyak amal tidak bermanfaat bila disertai kebodohan mengenai Allah swt”.
Nabi saw bersabda: “Allah membangkitkan hamba-hamba Allah pada hari kiamat. Kemudian membangkitkan orang-orang ‘alim seraya berfirman: “Hai orang alim ! Bahwasanya Aku tidak meletakkan ilmuKU padamu selain karena AKU mengetahui tentang kamu. Dan tidak AKU meletakkan ilmuKU padamu untuk memberi azab kepadamu. Pergilah ! AKU telah mengampunkan segala dosamu”. Kita bermohon kepada Allah akan husnul khatimah !.
Adapun atsar (kata-kata sahabat nabi saw dan pemuka-pemuka Islam lainnya) yaitu: Ali bin Abi Thalib ra berkata kepada Kumail: “Hai Kumail ! Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu bertambah dengan dibelanjakan”. Berkata pula Ali ra: “Orang berilmu lebih utama daripada orang yang selalu berpuasa, bershalat dan berjihad. Apabila mati orang yang berilmu, maka terdapatlah suatu kekosongan dalam Islam yang tidak dapat ditutup selain orang penggantinya”. Berkata pula Ali ra Dengan sajak:
* Tidaklah kebanggaan selain bagi ahli ilmu,
Mereka memberi petunjuk kepada orang yang meminta ditunjukkan.
* Nilai manusia adalah dengan kebaikan yang dikerjakannya,
Dan orang-orang bodoh itu adalah musuh ahli ilmu.
* Menanglah engkau dengan ilmu, hiduplah lama !.
Orang lain mati, ahli ilmu itu terus hidup.
Berkata Abul Aswad: “Tidak adalah yang lebih mulia dari ilmu. Raja-raja itu menghukum manusia dan ‘alim ulama itu menghukum raja-raja”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Disuruh pilih pada Sulaiman bin Daud as antara ilmu, harta & kerajaan. Maka dipilihnya ilmu, lalu dianugerahkanlah kepadanya harta dan kerajaan bersama ilmu itu”.
“Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak: “Siapakah manusia itu?”.
Maka ia menjawab: “Orang-orang yang berilmu”.
Lalu ditanyakan pula: “Siapakah raja itu?”.
Maka ia menjawab: “Orang yang zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia)”.
Ditanyakan pula: “Siapakah orang hina itu?”.
Maka ia menjawab: “Mereka yang memakan (memperoleh) dunia dengan agama”.
Ibnul Mubarak tidak memasukkan orang tak berilmu dalam golongan manusia. Karena ciri yang membedakan antara manusia dan hewan, ialah ilmu. Maka manusia itu adalah manusia, dimana ia menjadi mulia karena ilmu. Dan tidaklah yang demikian itu disebabkan kekuatan dirinya. Unta adalah lebih kuat daripada manusia. Bukanlah karena besarnya, gajah lebih besar daripada manusia.  Bukanlah karena beraninya, binatang buas lebih berani daripada manusia. Bukanlah karena banyak makannya, perut lembu lebih besar daripada perut manusia. Bukanlah karena kesetubuhannya dengan wanita, burung pipit yang paling rendah lebih kuat bersetubuh, dibandingkan dengan manusia. Bahkan, manusia itu tidak dijadikan, selain karena ilmu.
Berkatalah setengah ulama: “Wahai kiranya, barang apakah yang dapat diperoleh oleh orang yang ketiadaan ilmu dan barang apakah yang hilang dari orang yang memperoleh ilmu”. Bersabda nabi saw: “Barangsiapa dihadiahkan kepadanya Al-Qur’an lalu ia memandang ada lain yang lebih baik daripada nya, maka orang itu telah menghinakan apa yang dibesarkan oleh Allah Ta’ala”.
Bertanya Fathul Mausuli ra:“Bukankah orang sakit itu apabila tak mau makan atau minum, lalu mati?”. Menjawab orang yang dikelilingnya: “Benar!” Lalu menyambung Fathul Mausuli: “Begitu pula hati, apabila tak mau kepada hikmah/ilmu dan ilmu dalam 3hari, maka matilah hati itu”. Benarlah perkataan itu, karena sesungguhnya makanan hati itu ialah ilmu dan ilmu. Dengan dua itulah, hidup hati, sebagaimana tubuh itu hidup dengan makanan. Orang yang tak berilmu, hatinya menjadi sakit dan kematian hatinya itu suatu keharusan. Tetapi, dia tidak menyadari demikian, karena kecintaan dan kesibukannya dengan dunia, menghilangkan perasaan itu, sebagaimana kesangatan takut, kadang-kadang menghilangkan kepedihan luka seketika, meskipun luka itu masih ada. Apabila mati itu telah menghilang kan kesibukan duniawi, lalu ia merasa dengan kebinasaan dan merugi besar. Kemudian, itu tidak bermanfaat baginya. Yang demikian itu, seperti: dirasakan oleh orang yang telah aman dari ketakutan dan telah sembuh mabuk, dengan luka-luka yang diperolehnya dahulu sewaktu sedang mabuk dan takut.
Kita berlindung dengan Allah dari hari pembukaan apa yang tertutup. Sesungguhnya manusia itu tertidur. Apabila mati, maka dia terbangun.
Berkata Al-Hassan ra: ”Ditimbang tinta para ulama dengan darah para syuhada. Maka beratlah timbangan tinta para ulama itu, dari darah para syuhada”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Haruslah engkau berilmu sebelum ilmu itu diangkat. Diangkat ilmu adalah dengan kematian perawi-perawinya.
Demi Tuhan yang jiwaku didalam kekuasaan Allah !. Sesungguhnya orang-orang yg syahid dalam perang sabil, lebih suka dibangkitkan oleh Allah nanti sebagai ulama. Karena melihat kemuliaan ulama itu. Sesungguhnya tak ada seorangpun yg dilahirkan berilmu. Karena ilmu itu adalah dengan belajar”.
Berkata Ibnu Abbas ra: “Bertukar pikiran tentang ilmu sebahagian dari malam, lebih aku sukai daripada berbuat ibadah di malam itu”. Begitu juga menurut Abu Hurairah ra dan Ahmad bin Hanbal ra, Berkata Al-Hassan tentang firman Allah Ta’ala: “Wahai Tuhan kami ! Berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di hari akhirat” S 2 ayat 201. Bahwa kebaikan di dunia itu ialah ilmu dan ibadah, sedang kebaikan di akhirat itu, ialah sorga. Ditanyakan kepada setengah para ahli ilmu: “Barang apakah yang dapat disimpan lama?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu barang-barang, apabila kapalmu karam, maka dia berenang bersama kamu, yakni: “ilmu”. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karam kapal ialah binasa badan, dengan mati. Berkata setengah hukama’: “Barangsiapa membuat ilmu sebagai kekang di mulut kuda, niscaya dia diambil manusia menjadi imam. Dan barangsiapa dikenal dengan ilmunya, niscaya dia diperhatikan oleh semua mata dengan mulia”. 
Berkata Imam Asy-Syafi’i ra: “Diantara kemuliaan ilmu, ialah bahwa tiap-tiap orang dikatakan berilmu, meskipun dalam soal yang remeh, maka ia gembira. Sebaliknya, apabila dikatakan tidak, maka ia merasa sedih”. Berkata Umar ra: “Hai manusia ! Haruslah engkau berilmu ! Bahwasanya Allah swt mempunyai selendang yang dikasihi Allah. Barangsiapa mencari sebuah pintu dari ilmu, maka ia diselendangi Allah dengan selendang Allah. Jika ia berbuat dosa, maka dimintanya kerelaan Allah 3 X, supaya selendang itu tidak dibuka daripadanya dan jikapun berkepanjangan dosanya sampai ia mati”.
Berkata Al-Ahnaf ra: “Hampirlah orang berilmu itu dianggap sebagai Tuhan. Dan tiap-tiap kemuliaan yang tidak dikuatkan dengan ilmu, maka kehinaanlah kesudahannya”. Berkata Salim bin Abil Ja’ad: “Aku dibeli oleh tuanku dengan harga 300 dirham lalu dimerdekakannya aku. Lalu aku bertanya: “Pekerjaan apakah yang akan aku kerjakan?”. Maka bekerjalah aku dalam lapangan ilmu. Tak sampai setahun kemudian, datanglah berkunjung kepadaku amir kota Madinah. Maka tidak aku izinkan, ia masuk”.
Berkata Zubair bin Abi Bakar: “Ayahku di Irak menulis surat kepadaku. Isinya diantara lain, yaitu: “Haruslah engkau berilmu ! Karena jika engkau memerlukan kepadanya, maka ia menjadi harta bagimu. Dan jika engkau tidak memerlukan kepadanya, maka ilmu itu menambahkan keelokanmu”. Diceriterakan juga yang demikian dalam nasehat Lukman kepada anaknya. Berkata Lukman: “Hai anakku ! Duduklah bersama ulama ! Rapatlah mereka dengan kedua lututmu! Sesungguhnya Allah swt menghidupkan hati dengan sinar ilmu seperti menghidupkan bumi dengan hujan dari langit”. “Berkata setengah hukama’: “Apabila meninggal seorang ahli ilmu, maka ia ditangisi oleh ikan di dalam air dan burung di udara. Wajahnya hilang tetapi sebutannya tidak dilupakan”. Berkata Az-Zuhri: “Ilmu itu jantan dan tidak mencintainya selain oleh laki-laki yang jantan”.
Keutamaan Belajar.
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan belajar yaitu firman Allah Ta’ala: “Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama”. S 9 ayat 122. Dan firman Allah Maha Mulia & Maha Besar: “Maka bertanyalah kamu kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu”. S 16 ayat 43. Adapun hadits nabi saw diantara lain sabdanya: “Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga”. Bersabda nabi saw: “Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan usahanya itu”. Dan sabda nabi saw: “Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat 100 rakaat”. Bersabda nabi saw: “Suatu bab dari ilmu yang dipelajari seseorang, adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya”. Bersabda nabi saw: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun”. Bersabda nabi saw: “Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”. Dan bersabda nabi saw: “Ilmu itu adalah gudang-gudang. Anak kuncinya pertanyaan. Dari itu bertanyalah ! Sesungguhnya diberi pahala pada bertanya itu 4 orang, yaitu: orang yg bertanya, yang berilmu, pendengar dan yang suka kepada mereka yang tiga tadi”.
Bersabda nabi saw: “Tak wajarlah bagi orang yang bodoh, berdiam diri atas kebodohannya. Dan tak wajarlah bagi orang yang berilmu, berdiam diri atas ilmunya”. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dzar ra berbunyi: “Menghadiri majelis orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat 1000 rakaat, mengunjungi 1000 orang sakit dan berta’ziah 1000 jenazah”. Lalu orang bertanya: “Wahai Rasulullah ! Dari membaca Al-Qur’an?”. Maka nabi menjawab: “adakah manfaat Al-Qur’an itu selain dengan ilmu?”. Bersabda nabi saw: “Barangsiapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan nabi-nabi dalam sorga sejauh satu tingkat”. Menurut kata-kata sahabat nabi dan pemuka-pemuka Islam, maka berkata Ibnu Abbas ra: “Aku telah menghinakan seorang penuntut ilmu, lalu aku memuliakan yang dituntutnya”. Demikian pula berkata Ibnu Abi Mulaikah ra: “Belum pernah aku melihat orang seperti Ibnu Abbas. Apabila aku melihatnya maka tampaklah, mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka lidahnya amat lancar. Dan apabila ia memberi fatwa maka dialah orang yang amat banyak ilmunya”.
Berkata Ibnul Mubarak ra: “Aku heran orang yang tidak menuntut ilmu ! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan”. Berkata setengah hukama’: “Sesungguhnya aku tidak belas kasihan kepada orang-orang, seperti belas kasihanku kepada salah seorang dari dua: orang yang menuntut ilmu dan tidak memahaminya dan orang yang memahami ilmu dan tidak menuntutnya”. Berkata Abud Darda’ ra: “Lebih aku sukai mempelajari satu masalah, daripada mengerjakan shalat satu malam”. Dan ditambahkannya pula: “Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya”. Dan katanya lagi: “Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak termasuk salah seorang dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau”. Berkata Atha’: “Suatu majelis ilmu itu, akan menutupkan dosa 70 majelis yang sia-sia”.
Berkata Umar ra: “Meninggalnya 1000 ‘abid, yang malamnya mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalalkan dan yang diharamkan Allah”. Berkata Imam Asy-Syafi’i ra: “Menuntut ilmu adalah lebih utama daripada berbuat ibadah sunnah”. Berkata Ibnul Abdil Hakam ra: “Adalah aku belajar ilmu pada Imam Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpulkan semua kitab untuk mengerjakan shalat”. Maka berkata Imam Malik: “Hai, tidaklah yang engkau bangun hendak mengerjakannya itu, lebih utama daripada apa yang ada engkau didalamnya, apabila niat itu benar”. Berkata Abud Darda ra: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal”.
Keutamaan mengajar.
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla (Allah Maha Mulia & Maha Besar): “Supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga dirinya)”. S 9 ayat 122. Yang dimaksud ialah mengajar dan memberi petunjuk.
Dan firman Allah Ta’ala: “Tatkala diambil oleh Allah akan janji dari mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak disembunyikannya”. S 3 ayat 187. Ini membuktikan akan kewajiban mengajar. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya satu golongan dari mereka menyembunyikan kebenaran sedang mereka itu mengetahuinya”. S 2 ayat 146. Ini menunjukkan haram menyembunyikan ilmu, seperti firman Allah tentang saksi: “Dan barangsiapa menyembunyikan kesaksian  (tak mau menjadi saksi) maka berdosalah hatinya (ia menjadi orang yang berdosa)”. S 2 ayat 283.
Bersabda nabi saw: “Tidak diberikan oleh Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambil Allah janji seperti yang diambil Allah kepada nabi-nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya”. Dan firman Allah swt: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang memanggil kepada Allah dan dia berbuat amalan yang shaleh?”. Berfirman Allah Ta’ala: “Serukanlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang baik”. S 16 ayat 125. Berfirman Allah Ta’ala: “Diajari Allah mereka akan kitab dan kebijaksanaan”. S 2 ayat 129. Adapun hadits yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu sabda nabi saw kepada Mu’az ketika diutusnya ke Yaman: “Bahwasanya dengan sebabmu diberi petunjuk oleh Allah akan seseorang, lebih baik bagimu daripada dunia dan isinya”.
Bersabda nabi saw: “Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia, maka ia diberikan pahala 70 orang shiddiq (orang yang selalu benar, membenarkan nabi, seumpama Abu Bakar Shiddiq)”.
Bersabda nabi Isa as: “Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar” disegala petala langit”.
Bersabda nabi saw: “Apabila datang hari kiamat nanti, maka berfirman Allah swt Kepada orang ‘abid dan orang berjihad: “Masuklah ke dalam sorga”. Maka berkata para ulama: “Dengan kelebihan pengetahuan kami, mereka beribadah dan berjihad”. Maka berfirman Allah yang Maha Mulia & Maha Besar: “Kamu disisiKU seperti sebahagian malaikatKU. Berbuatlah syafaat, niscaya kamu mendapat syafaat. lalu mereka berbuat syafaat. Kemudian merekapun masuk sorga”.
Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang dengan memberi pengajaran. Tidak ilmu yang beku, yang tidak berkembang. Bersabda nabi saw: “Bahwa Allah Maha Mulia & Maha Besar tidak mencabut ilmu dari manusia yang telah dianugerahi Allah, tetapi ilmu itu pergi, dengan perginya (mati) para ahli ilmu. Tiap kali pergi seorang ahli ilmu, maka pergilah bersamanya ilmunya. Sehingga tak ada yang tinggal lagi, selain dari kepala-kepala yang bodoh. Jika ditanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu. Maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkan pula orang lain”.
Bersabda nabi saw: “Barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, lalu menyembunyikannya, maka ia dikenakan oleh Allah kekang, dengan kekang api neraka, pada hari kiamat”. Bersabda nabi saw: “Sebaik-baik pemberian dan hadiah ialah kata-kata berilmu. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim. Engkau ajari dia. Perbuatan yang demikian, menyamai ibadah setahun”. Bersabda nabi saw: “Dunia itu terkutuk bersama isinya, selain berzikir kepada Allah swt dan apa yang disukai Allah atau menjadi pengajar atau pelajar”. Bersabda nabi saw: “Bahwasanya Allah swt, malaikat-malaikat Allah, isi langit dan bumi Allah, sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia”. Bersabda nabi saw: “Tiadalah seorang muslim memberi faedah kepada saudaranya, yang lebih utama dari pembicaraan yang baik, yang sampai kepadanya, lalu disampaikannya kepada saudaranya itu”. Bersabda nabi saw: “Sepatah kata kebajikan yang didengar oleh orang mu’min, lalu diajarinya dan diamalkannya, adalah lebih baik baginya dari ibadah setahun”.
Pada suatu hari Rasulullah keluar berjalan-jalan, lalu melihat dua majelis. Yang satu, mereka itu berdoa kepada Allah dan ingin kepada Allah hati. Yang keduanya mengajarkan manusia. Maka bersabda nabi saw: “Adapun mereka itu bermohon kepada Allah Ta’ala. Jika dikehendaki Allah, maka dikabulkan ALLAH. Jika tidak dikehendaki ALLAH, maka ditolak ALLAH. Sedang mereka yang satu majelis lagi, mengajarkan manusia dan aku diutuskan untuk mengajar”. Kemudian nabi menoleh ke majelis orang mengajar, lalu duduk bersama mereka. Bersabda nabi saw: “Contohnya aku diutuskan oleh Allah dengan petunjuk dan ilmu, adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi. Diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu, lalu menumbuhkan banyak rumput dan hilalang. Diantaranya ada yang dapat membendung air itu, lalu dimanfaatkan oleh Allah Maha Mulia & Maha Besar kepada manusia. Maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan ada sebahagian tempat yang rata, yang tidak membendung air dan tidak menumbuhkan rumput”. Contoh pertama disebutnya, adalah sebagai tamsil teladan bagi orang yang dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Contoh kedua disebutnya, ialah bagi orang yang dapat memanfaatkannya. Dan contoh ketiga adalah bagi orang yang tak memperoleh apa-apa dari yang dua itu.
Bersabda nabi saw: “Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amal perbuatannya selain dari 3 perkara, yaitu ilmu yang dimanfaatkan”. Bersabda nabi saw: “Menunjuk kepada kebajikan, adalah seperti mengerjakannya”. Bersabda nabi saw: “Tak boleh iri hati selain pada dua: pertama pada orang yang dianugerahi Allah Ta’ala ilmu, maka ditegakkannya keadilan dengan ilmunya dan diajarkannya manusia. Dan kedua pada orang yang diberikan oleh Allah Ta’ala harta, maka dipergunakannya pada jalan kebajikan”.
Bersabda nabi saw: “Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahku !”. Siapa khalifahmu?”, tanya orang. Nabi saw menjawab: “Mereka yang menghidup kan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba Allah”. menurut para sahabat nabi, yaitu berkata Umar ra: “Barangsiapa menceritakan suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala seperti pahala yang diperoleh oleh orang yang mengamalkannya”.
Berkata Ibnu Abbas ra: “Orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang banyak, niscaya diminta ampun dosanya oleh segala sesuatu, sampai ikan didalam laut”. Berkata setengah ulama:“Orang berilmu itu masuk antara Allah & makhlukNYA.Maka hendaklah ia memperhatikan, bagaimana ia masuk”
Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsuri ra datang ke ‘Askalan. Lalu ia berhenti pada suatu tempat dan tiada orang yang menanyakan halnya. Maka ia berkata: “Koreklah tanah bagiku supaya aku keluar dari negri ini. Ini adalah negri, yang mati padanya ilmu”. Dia mengatakan demikian, karena ingin menerangkan keutamaan mengajar dan kekekalan ilmu dengan adanya pengajaran.
Berkata Atha’ ra: “Aku masuk ke tempat Said bin Al musayyab dan ia sedang menangis. Lalu aku bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau menangis?”. Ia menjawab: “Karena tak ada orang yang menanyakan sesuatu kepadaku”. Berkata setengah mereka: “Ulama itu lampu segala masa. Masing-masing ulama itu menjadi lampu zamannya. Orang-orang yang semasa dengan dia dapat memperoleh cahaya daripadanya”. Berkata Al Hasan ra: “Kalau tak adalah orang yang berilmu, niscaya jadilah manusia itu seperti hewan. Artinya: “dengan mengajar, para ahli ilmu itu, mengeluarkan manusia dari batas kehewanan, kepada batas kemanusiaan”.
Berkata ‘Akramah: “Bahwa ilmu ini, mempunyai harga”. Lalu orang menanyakan: “Apakah harganya itu?”. ‘Akramah menjawab: “Bahwa engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak menyia-nyiakannya”. Berkata Yahya bin Mu’az: “Ulama itu lebih mencintai umat Nabi Muhammad saw, daripada bapak dan ibu mereka sendiri”. Lalu orang menanyakan: “Bagaimanakah demikian?”. Yahya menjawab: “Sebabnya, karena bapak dan ibu mereka menjaganya daripada neraka dunia, sedang para ulama menjaganya daripada neraka akhirat”. Orang mengatakan: “Permulaan ilmu itu berdiam diri, kemudian mendengar, kemudian menghafal, kemudian mengajarkan dan kemudian menyiarkannya”. Ada orang mengatakan: “Ajarilah ilmumu akan orang yang bodoh ! Dan belajarlah dari orang yang berilmu akan apa yang engkau tak tahu ! Apabila engkau berbuat demikian, maka engkau tahu apa yang engkau tidak ketahui dan engkau hafal apa yang sudah engkau ketahui”.
Berkata Mu’az bin Jabal mengenai mengajar dan belajar dan aku berpendapat bahwa perkataan ini juga adalah hadits marfu’: “Pelajarilah ilmu ! Maka mempelajarinya karena Allah itu taqwa. Menuntutnya itu ibadah. Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membahaskannya itu jihad. Mengajarkan orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu itu teman waktu sendirian dan kawan waktu kesepian, penunjuk jalan kepada agama, pemberi nasehat bersabar waktu suka dan duka, seorang menteri ditengah-tengah teman sejawat, seorang keluarga ditengah-tengah orang asing dan sinar jalan ke sorga. Dengan ilmu, diangkat oleh Allah beberapa kaum, lalu dijadikan Allah mereka pemimpin, penghulu dan penunjuk jalan pada kebajikan. Diambil orang menjadi ikutan dan penunjuk jalan pada kebajikan. Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat suka kepada tingkah laku mereka. Disapunya mereka dengan sayapnya. Seluruh yang basah dan yang kering meminta ampun akan dosa mereka, bahkan ikan dan binatang laut, binatang buas dan binatang jinak di darat, langit dan bintang-bintangnya”. Karena ilmu itu, kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kezaliman dan tenaga badan dari kelemahan. Dengan ilmu, hamba Allah itu, sampai ke tempat orang baik-baik dan derajat tinggi. Memikirkan ilmu seimbang dengan berpuasa. Mengulang-ulanginya seimbang dengan mengerjakan shalat. Dengan ilmu, orang taat kepada Allah Maha Mulia & Maha Besar, beribadah, berjanji, berkeesaan, menjadi mulia, menjadi wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan), menyambung silaturrahim & mengetahui halal dan haram. Ilmu itu imam & amal itu pengikutnya. Diilhamkan ilmu kepada orang-orang berbahagia dan diharamkan kepada orang-orang celaka. Kita bemohon kepada Allah petunjuk yang baik.
Tentang dalil-dalil akal
Ketahuilah, bahwa yang dicari dari bab ini, ialah mengenal kelebihan dan kenilaian ilmu. Dan selama belum dipahami kelebihan itu sendiri dan tidak diselidiki maksud daripadanya, maka tak mungkinlah diketahui adanya kelebihan menjadi sifat bagi ilmu atau bagi yang lain dari segala persoalan. Maka sesungguh nya, telah sesat jalan orang yang ingin mengetahui bahwa si Zaid itu seorang filosuf atau bukan, sedang dia belum lagi mengetahui arti dan hakikat/makna ilmu filsafat itu.
Kelebihan, berasal dari perkataan yaitu lebih. Apabila bersekutulah dua benda dalam sesuatu hal dan salah satu daripada keduanya, tertentu dengan suatu kelebihan, maka dikatakanlah: itu kelebihannya. Dan ia mempunyai kelebihan dari yang daripadanya, manakala kelebihannya itu mengenai yang menjadi kesempurnaan sesuatu itu sendiri. Umpamanya dikatakan: kuda itu lebih utama dari keledai, dengan arti: bahwa kuda bersekutu dengan keledai tentang sama-sama mempunyai kekuatan mengangkut. Tetapi kuda melebihi dari keledai, dengan kekuatan tampil ke depan, berlari dan ketangkasan melompat serta kebagusan bentuk. Kalau diumpamakan: keledai itu mempunyai suatu kelebihan daging tumbuh, maka itu tidaklah dikatakan suatu kelebihan. Karena itu adalah suatu tambahan pada tubuh dan suatu kekurangan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, tidaklah termasuk kesempurnaan sedikitpun. Dan hewan itu dicari untuk maksud dan sifatnya, tidak untuk tubuhnya. Apabila ini telah anda pahami, maka tidaklah tersembunyi lagi bagi anda, bahwa ilmu itu suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain, sebagaimana kuda itu mempunyai suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Bahkan kecepatan melompat, adalah suatu kelebihan pada kuda dan tidaklah itu suatu kelebihan mutlak.
Ilmu itu adalah suatu kelebihan pada dirinya dan secara mutlak tanpa diperhubungkan kepada yang lain. Karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan bagi Allah swt. Dengan ilmulah, mulia para malaikat dan nabi-nabi. Bahkan kuda yang cerdik adalah lebih baik dari kuda yang bodoh. Dari itu, ilmu itu suatu kelebihan mutlak, tanpa diperhubungkan dengan yang lain. Ketahuilah, bahwa sesuatu yang bernilai lagi digemari itu, terbagi kepada:
a.       dicari untuk lainnya.
b.      Dicari karena benda itu sendiri.
c.       Dicari untuk tujuan lainnya dan bersama untuk benda itu sendiri.
- Maka yang dicari karena benda itu sendiri, adalah lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk lainnya. Yang dicari untuk lainnya, ialah dinar dan dirham. Keduanya adalah batu, tak ada gunanya. Kalau tidaklah Allah Ta’ala menjadikan keduanya untuk memudahkan memperoleh keperluan hidup, maka dirham dan dinar itu sama saja dengan batu yang terletak di tepi jalan.
- Yang dicari untuk benda itu sendiri yaitu kebahagiaan di akhirat dan kesenangan memandang wajah Allah swt.
- Dan yang dicari untuk benda itu sendiri dan untuk lainnya, seperti: keselamatan tubuh. Keselamatan seseorang itu -umpamanya- dicari, dari segi, bahwa keselamatan itu, adalah keselamatan bagi tubuh, dari kepedihan. Dan dengan keselamatan itu, dicari untuk berjalan dan mencapai maksud-maksud dan hajat keperluan. Dengan pandangan tersebut, apabila anda perhatikan kepada ilmu, niscaya anda memperoleh pada ilmu itu sendiri suatu kesenangan. Jadi, ilmu itu termasuk dicari untuk ilmu itu sendiri. Dan anda peroleh bahwa ilmu itu jalan ke negri akhirat, kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan tidak akan sampai kepada Allah, selain dengan ilmu.
Kedudukan yang tertinggi bagi seorang manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara beramal.
Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah -ilmu-. Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak ! Kadang-kadang mengetahui keutamaan suatu juga dengan kemuliaan hasilnya. Dan anda mengetahui bahwa hasil ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Itu semuanya adalah di akhirat.
Adapun di dunia, maka adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri. Sehingga orang Turki yang bodoh dan orang Arab yang kasar, secara naluri, mereka menghormati kepala-kepalanya. Karena kekhususan mereka dengan ketambahan ilmu, yang diperoleh dari pengalaman. Bahkan dengan tabiatnya, hewan menghormati manusia, karena perasaannya perbedaan manusia dengan kesempurnaan yang melebihi derajat hewan itu. Inilah keutamaan ilmu secara mutlak !
Kemudian, ilmu itu berbeda-beda seperti akan diterangkan dan sudah pada tempatnya pula berlebih kurang keutamaan nya, disebabkan kelebih-kurangnya itu, dan keutamaan mengajar dan belajar, sudah jelas dari apa yang kami sebutkan dahulu.
Apabila ilmu itu, lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu. Maka mengajarkannya, adalah memberi faedah bagi keutamaan. Jelasnya, segala maksud manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak teratur, selain dengan teraturnya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala, bagi orang yang mau mengambilnya menjadi alat dan tempat tinggal. Tidak bagi orang yang mengambilnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi. Urusan duniawi tidak akan teratur, selain dengan amal perbuatan manusia. Amal perbuatan, pekerjaan dan perusahaan manusia itu, terbatas pada tiga bahagian:
·        pokok pertama: Alam ini tidak dapat tegak bila pokok ini tidak ada, yaitu 4: pertanian untuk pangan, pertenunan untuk sandang, perumahan untuk tempat tinggal dan politik politik, yaitu untuk kerukunan, persatuan dan gotong royong mencapai sebab-sebab yang membawa kepada kehidupan yang lebih baik dan mengendalikannya.
·        Kedua: ialah, yang mempersiapkan bagi tiap-tiap usaha tersebut dan yang melayaninya. Seperti pertukangan besi, adalah melayani pertanian dan sejumlah usaha dengan persiapan alat-alatnya. Seperti membersihkan kapas dari bijinya dan membuat benang. Semuanya itu demi untuk bertenun kain dengan persiapan amal usahanya.
·        Ketiga: ialah, penyempurna bagi pokok dan penghias, seperti menumbuk tepung dan membuat roti bagi pertanian, menggunting kain dan menjahit bagi pertenunan.
Yang tersebut tadi, bila dihubungkan kepada tegak berdirinya alam kebumian, adalah seumpama bahagian-bahagian dari seseorang, bila dihubungkan kepada keseluruhannya. Yaitu ada 3 macam pula. Adakalanya pokok, seperti hati, jantung dan otak. Adakalanya pelayan bagi pokok itu seperti perut, urat, urat syaraf dan pembuluh darah. Dan adakalanya penyempurna dan penghias bagi pokok, seperti kuku, anak jari dan bulu kening. Yang termulia dari segala pekerjaan itu ialah pokoknya. Yang termulia dari pokoknya ialah politik, dengan kerukunan dan perbaikannya. Dari itu, usaha tersebut meminta kesempurnaan dari orang yang bertanggung jawab, melebihi dari usaha-usaha yang lain. Dari itu, tidak mustahil, yang punya pekerjaan tersebut, menggunakan pengusaha-pengusaha yang lain. Dan politik pada perbaikan orang banyak & menunjukkannya kejalan lurus, yang membawa kelepasan didunia dan diakhirat, adalah atas 4 tingkat:
1.      Tingkat tertinggi, yaitu politik dan hukum nabi-nabi as terhadap golongan tertentu dan orang banyak, baik luar atau dalam.
2.      Tingkat khalifah, raja-raja dan sultan-sultan. Dan hukum yang dijalankan mereka adalah terhadap golongan tertentu dan umum seluruhnya. Tetapi mengenai yang luar saja, tidak yang dalam.
3.      Tingkat ‘alim ulama, yang mengenal Allah dan agama Allah, yang menjadi pewaris dari nabi-nabi. Hukum mereka adalah terhadap dalam golongan tertentu saja. Golongan orang awwam, tak dapat memahami untuk memperoleh faedah dari mereka. Kekuatan para ulama itu, tidak sampai kepada pengurusan amal perbuatan luar golongan tadi, baik dengan menyuruh, melarang dan memerintah.
4.      Tingkat para juru nasehat. Hukum mereka adalah mengenai dalam orang awwam saja.

Yang termulia dari usaha empat tadi, sesudah tingkat kenabian, ialah memfaedahkan ilmu dan mendidik jiwa manusia supaya terhindar dari pekerti yang tercela yang membinasakan dan menunjuk jalan, kepada budi pekerti terpuji yang mendatangkan kebahagiaan. Itulah yang dimaksudkan dengan pengajaran. Kami sesungguhnya mengatakan, bahwa mengajar ini adalah yang lebih utama, dibandingkan dengan pekerjaan dan usaha lain. Karena keutamaan usaha itu, dapat dikenal dengan tiga perkara: adakalanya dengan menoleh pada naluri, yang menyampaikan kepada mengenalinya, seperti keutamaan ilmu pasti dari ilmu bahasa, karena ilmu pasti itu diketahui dengan akal, sedang ilmu bahasa dengan mendengar. Akal adalah lebih mulia dari pendengaran. Adakalanya dengan melihat kepada kepentingannya yang lebih lengkap, seumpama kelebihan pertanian dari pertukangan emas. Dan adakalanya dengan memperhatikan tempat pekerjaan itu, seumpama kelebihan pertukangan emas daripada penyamakan kulit. Sebab yang pertama tempatnya emas dan yang kedua tempatnya kulit bangkai. Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan.
Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah dan dengan akal akan sampai ke sisi Allah swt. Adapun tentang umum kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan kehasilannya ialah kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia diatas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Maha Mulia & Maha Besar. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifat Allah yang teristimewa, maka adalah dia seperti penjaga gudang terhadap barang gudang nya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya. Maka manakah pangkat yang lebih mulia dari menjadi perantara, antara Tuhan dan makhluk Allah untuk mendekatkan kepada Allah dan membawa mereka ke sorga tempat kediaman? Kiranya Allah dengan kemurahan Allah menjadikan kita diantara ahli sorga ! Dan rahmat Allah kepada semua hamba Allah yang pilihan.
BAB KEDUA
Mengenai Ilmu Yg Terpuji & Tercela, Bagian-bagian dan Hukum-Hukumnnya. Padanya Penjelasan, Apakah Yang Fardhu ‘ain/wajib & Apakah Yang Fardhu Kifayah, Penjelasan, Bahwa Kedudukkan Ilmu Kalam (berkata-kata) & Ilmu Fiqih Dalam Ilmu Agama, Sampai Mana Batasnya & Keutamaan Ilmu Akhirat.
Pejelasan yang menjadi faardhu ‘Ain / WAJIB
Bersabda Nabi saw: "Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim". Dan bersabda pula nabi saw: "Tuntutlah ilmu walau ke negri cina sekalipun". Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang menjadi wajib atas tiap-tiap muslim, sampai berpecah belah lebih dari 20 golongan. Kami disini tidak akan menguraikannya secara terperinci. Akan tetapi hasilnya, ialah masing-masing golongan itu menempatkan wajib, pada ilmu yang dipilihnya.
Berkata ulama ilmu kalam (kata-kata), ialah ilmu kalam (kata-kata) yang wajib karena dengan ilmu kalam (berkata-kata) diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifat Allah. Berkata ulama fiqih ialah ilmu fiqih yang fardhu ‘ain/wajib, karena dengan ilmu fiqih diketahui ibadah, halal dan haram, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan dari hukum yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan. Ulama fiqih berusaha dengan sungguh-sungguh membentangkan apa yang diperlukan masing-masing orang, tidak pada soal-soal yang jarang terjadi. Ulama tafsir dan ulama hadits, berkata: yaitu ilmu kitab dan sunnah yang fardhu ‘ain/wajib. Karena dengan perantaraan keduanya, akan sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya. Berkata ulama tasawwuf/ahli suffi, bahwa yang dimaksudkan, ialah ilmu tasawwuf/ahli suffi. Setengah mereka mengatakan bahwa ilmu tasawwuf/ahli suffi itu ialah pengetahuan hamba Allah dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah Maha Mulia & Maha Besar.
Sebahagian mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf/ahli suffi itu ialah, ilmu tentang keikhlasan dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara langkah malaikat dari langkah setan. Diantara mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf/ahli suffi itu ilmu bathin. Dari itu diwajibkan mempelajarinya bagi golongan tertentu, dimana mereka ahli untuk itu. Dan dapat memalingkan kata-kata dari umumnya.
Berkata Abu Thalib Al-Makki bahwa ilmu yang diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadits yang menerangkan sendi-sendi Islam, yaitu sabda Nabi saw: “Didirikan Islam atas lima sendi: mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah...........sampai akhir hadits”. Karena yang wajib adalah yang 5 itulah, maka wajiblah mengetahui cara mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang seyogyanya diyakini oleh yang memperolehnya dan tidak diragukan lagi, ialah apa yang akan kami terangkan. Yaitu bahwa ilmu seperti telah kami singgung pada kata pembukaan kitab ini terbagi kepada: ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan dan ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja. Dan ilmu yang dimaksudkan disini, tidak lain dari ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan. Ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan yang ditugaskan kepada hamba Allah, yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga: keyakinan, berbuat dan tidak berbuat.
Orang yang berakal sehat, apabila telah sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi atau dengan kiraan tahun, pada pagi hari umpamanya, maka yang pertama kali wajib atas dirinya, ialah mempelajari dua kalimah syahadah serta memahami artinya. Yaitu: “Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah”. Dan tidak diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar ia membenarkan dan meyakini benar-benar, dengan tak bercampur keraguan dan kebimbangan hati. Hal itu mungkin berhasil dengan semata-mata bertaklid (ikut-ikutan) dan mendengar, tanpa pembahasan dan dalil. “Karena Rasulullah saw sendiri mencukupkan dari orang-orang Arab itu dengan membenarkan dan mengakui tanpa mempelajari dalil”.
Apabila telah terlaksana demikian, maka telah tertunailah kewajiban waktu itu. Dan adalah ilmu yang menjadi fardhu ‘ain/wajib baginya di waktu itu, ialah mempelajari dua kalimah syahadah dan memahami artinya. Dan tidak ada kewajibannya dibalik itu, pada waktu tersebut, berdalilkan, jika sekiranya mati dia sesudah itu, maka adalah kematiannya dalam taat kepada Allah Maha Mulia & Maha Besar. Tidak dalam maksiat.
Kewajiban selain itu, akan dengan sebab-sebab yang mendatang. Dan tidaklah yang demikian perlu, pada tiap-tiap orang, bahkan mungkin terlepas daripadanya. Sebab-sebab mendatang itu, adakalanya dalam berbuat, atau tidak berbuat atau pada keyakinan. Dalam berbuat umpamanya, dia hidup terus dari pagi hari itu sampai waktu Dhuhur. Maka dengan masuknya waktu Dhuhur, datanglah kewajiban baru baginya, yaitu mempelajari cara bersuci dan bershalat. Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan mengerjakan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan habis jika dia terus belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pada luarnya dia terus hidup. Dari itu, wajiblah ia mendahulu kan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh pula dikatakan bahwa wajib adanya ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wajib amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum gelincir matahari.
Demikian pula pada sembahyang-sembahyang selain dari Dhuhur tadi. Bila dia terus hidup sampai bulan Ramadlan, maka bertambah pula kewajibannya mempelajari puasa. Yaitu mengetahui bahwa waktunya dari waktu Shubuh sampai terbenam matahari. Bahwa diwajibkan pada puasa, ialah niat, menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Keadaan demikian berjalan terus sampai tampak bulan, oleh dia sendiri atau oleh dua orang saksi. Kalau hartanya bertambah atau memang dia orang berharta ketika dewasa, maka wajib pula mempelajari kewajiban zakat. Tetapi tidaklah diwajibkan itu ketika itu juga. Hanya baru wajib waktunya telah sampai setahun (haul) dari masa Islamnya. Jika dia hanya mempunyai unta maka yang harus dipelajarinya ialah zakat unta. Begitupula dengan jenis-jenis yang lain.
Apabila datang bulan hajji, tidaklah wajib ia bersegera mempelajari pengetahuan hajji, karena mengerjakannya adalah dalam waktu yang lama. Dari itu tidak diwajibkan mempelajarinya cepat-cepat. Tetapi seyogyalah bagi ulama Islam memperingatkannya bahwa haji itu suatu kewajiban yang lama, atas tiap-tiap orang yang mempunyai perbekalan dan kendaraan. Apabila ia memiliki barang-barang tersebut, maka mungkin timbul hasrat dalam hatinya hendak menyegerakan menunaikan ibadah haji itu. Maka ketika itu, bila hasrat telah timbul, maka haruslah ia mempelajari cara mengerjakan haji. Dan tidak harus, selain mempelajari rukun dan wajibnya, tidak sunnatnya. Sebab bila mengerjakannya sunnat, maka mempelajarinya sunnat pula. Dari itu tidaklah menjadi kewajiban mempelajarinya.
Tentang haramnya berdiam diri, daripada memberitahukan atas kewajiban pokok haji itu, pada waktu sekarang, adalah menjadi suatu perhatian yang layak pada ilmu fiqih. Demikianlah secara berangsur-angsur, tentang ilmu amal perbuatan yang lain, yang menjadi kewajiban. Adapun yang tidak berbuat (ditinggalkan mengerjakannya) maka wajiblah mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidaklah wajib atas orang bisu, mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidaklah atas orang buta mempelajari apa-apa yang haram dari pemandangan. Dan tidaklah atas orang desa (badui) mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan.
Maka yang demikian itu juga wajib menurut yang dikehendaki oleh keadaan. Apa yang diketahuinya bahwa dia terlepas daripadanya, maka tidaklah diwajibkan mempelajarinya. Dan apa yang tidak terlepas daripadanya, maka wajiblah diberitahukan kepadanya. Seumpama, ketika ia masuk Islam, adalah ia memakai kain sutera atau duduk pada perampokan atau suka melihat yang bukan mahramnya maka wajiblah diberitahukan kepadanya yang demikian itu. Dan apa yang tidak melekat padanya, tetapi akan dihadapi, pada masa dekat seperti makan dan minum, maka wajiblah mengajarkannya. Sehingga apabila timbul dalam negri, minuman khamar & makanan daging babi, maka wajiblah diajarkan yang demikian & diberitahukan. Dan tiap-tiap wajib diajarkan maka wajiblah dipelajari.
Adapun mengenai keyakinan dan amal perbuatan hati, wajiblah mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam 2 kalimah syahadah, maka wajiblah ia mempelajari apa yg menyampaikannya kepada hilangnya keraguan itu. Jikalau tiada terguris yg demikian itu & ia mati sebelum beri’tikad/berkeyakinan bahwa kalam (kata-kata) Allah itu qadim/tiada berpemulaan, Ia (NYA) akan dilihat dan tiada pada Allah segala sifat makhluk serta lain-lain sebagainya, yang tersebut dalam bahagian kei’tiqad (keyakinan), maka sepakatlah ulama bahwa ia mati dalam Islam.
Tetapi bisikan-bisikan hati ini yang menyangkut dengan kepercayaan, sebahagian timbul disebabkan dengan kepribadian seseorang dan sebahagian lagi disebabkan pendengaran dari sesama penduduk. Jikalau dalam negri, berkembang pembicaraan mengenai yang demikian dan manusia memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) maka seyogyalah dijaga dari permulaan masa dewasa, dengan mengajarkan yang benar. Kalau ke dalam hatinya telah dimasukkan yang batil/salah, niscaya wajiblah dihilangkan dari hatinya itu. Mungkin yang demikian itu sukar. Seumpama, jikalau muslim itu saudagar dan telah berkembang di tempatnya perbuatan riba, maka wajiblah dipelajarinya, cara menjaga diri dari riba itu.
Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan yang fardhu ‘ain/wajib. Artinya, ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu yang fardhu ‘ain/wajib. Apa yang diterangkan kaum sufi, tentang memahami bisikan-bisikan musuh dan langkah malaikat, adalah benar juga, tetapi terhadap orang yang ada hubungannya dengan itu. Apabila menurut biasanya, bahwa manusia itu tidak terlepas dari panggilan kejahatan, ria dan dengki, maka haruslah ia mempelajari ilmu bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, apa yang dipandangnya perlu untuk dirinya. Bagaimana tidak wajib ?
Rasulullah saw pernah bersabda: “Tiga perkara, membinasakan manusia: “kikir yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti dan keta’juban manusia kepada dirinya”. Tidak terlepaslah manusia dari sifat-sifat tersebut dan lain-lain sifat yang akan kami terangkan, dari sifat-sifat hal ikhwal hati yang tercela. Seperti takabbur, ‘ujub dan sebagainya yang mengikuti tiga sifat yang membinasakan itu.
Menghilangkan sifat-sifat tadi adalah wajib. Dan tidak mungkin menghilangkannya, kecuali dengan mengetahui batas-batasnya, sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan cara mengobatinya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu kejahatan, akan terperosok ke dalamnya. Obatnya ialah, menghadapi sebab itu, dengan lawannya. Maka bagaimana mungkin melawannya itu tanpa mengetahui sebab dan yang disebabkannya. Kebanyakan dari yang kami terangkan dalam bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, termasuk dalam fardhu ‘ain/wajib. Dan sudah ditinggalkan manusia karena sibuk dengan yang tak perlu. Diantara yang seyogyanya disegerakan mengajarkannya, apabila tidaklah orang itu telah berpindah dari satu agama ke agama yang lain, ialah keimanan dengan sorga, neraka, kebangkitan dari kubur dan pengumpulan di Padang Mahsyar. Sehingga dia beriman dan mempercayainya. Dan itu adalah sebagian dari kesempurnaan dan dua kalimah syahadah. Karena setelah membenarkan dengan kerasulan Nabi saw itu, seyogyalah memahami akan risalah (kerasulan) yang dibawanya. Yaitu, bahwa orang yang mentaati Allah dan Rasul Allah, maka baginya sorga. Dan orang yang mendurhakai keduanya, maka baginya neraka.
Maka apabila anda telah memperoleh perhatian akan pelajaran tersebut secara berangsur-angsur, maka tahulah anda bahwa inilah mazhab yang sebenarnya. Dan yakinlah anda bahwa tiap-tiap hamba Allah dalam perkembangan hal ikhwalnya, siangnya dan malamnya, adalah tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang mengenai ibadahnya dan yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan nya secara terus-menerus, akan akibat-akibatnya. Maka haruslah bertanya tentang kejadian-kejadian yang jarang terjadi dan haruslah bersegera mempelajari apa yang diharapkan biasanya terjadi dalam waktu dekat. Apabila telah jelas bahwa Nabi saw termaksud dengan perkataan “Al-ilmu” pakai alif dan lam pada sabdanya: “Menuntut al-ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”, ialah ilmu yang disertai dengan amal perbuatan, yang terkenal wajibnya atas pundak kaum muslimin, tidak lain, maka jelaslah cara berangsur-angsurnya dan waktu yang diwajibkan mempelajarinya. Wallaahu a’lam (Allah Maha Tahu).
Penjelasan tentang ilmu yang fardhu kipayah:
Ketahuilah bahwa wajib tidak berbeda dengan yang tidak wajib kecuali dengan menyebutkan bagian-bagian ilmu. Dan ilmu-ilmu dengan disangkut kan kepada wajib sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada ilmu syariah dan bukan ilmu syariah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syariah ialah: yang diperoleh dari nabi-nabi as dan tidak ditunjukan oleh akal manusia kepadanya, dan ilmu yg bukan syariah ialah: seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syariah, terbagi kepada: ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardu kipayah dan kepada ilmu utama yang tidak wajib. Yang fardhu kipayah ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharan tubuh manusia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagiaan harta wasiat, pusaka dll. Ini lah ilmu-ilmu jikalau kosonglah negeri dari pada orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negri itu. Tetapi apa bila ada seorang saja yang bangun meneggakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut. Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu hitung itu termasuk fardhu kipayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardhu kipayah, seumpama pertanian, pertenunan, dan siasat. Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negri dari tukang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya yang menurunkan penyakit, DIA pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu. Adapun ilmu yg dihitung: utama, tidak lah wajib. Maka mendalami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dll, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu: ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata. Adapun ilmu yang dibolehkan ilmu tentang pantun-pantun yang tidak cabul, berita-berita sejarah dsb. Adapun ilmu syariah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syariah. Padahal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada: terpuji dan tercela. Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukadimah (ilmu pengantar) dan pelengkap, sehingga berjumlah 4.
Yang pertama:  pokok (ushul). Yaitu 4: 1. Kitabullah Azza wa Jalla (kitab Allah yang Maha Mulia & Maha Besar), 2. Sunah Rasul saw, 3. Ijma’/sepakat umat dan 4. peninggalan-peninggalan sahabat(atsar). Dan Ijma’(sepakat) itu pokok dari segi bahwa dia menunjukkan kepada sunah. Maka adalah dia pokok pada derajat ke3. Begitu juga peninggalan sahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada sunah. Karena pada sahabat ra menyasikkan wahyu & penurunan Al Quran. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yg tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yg diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti & berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan sahabat. Dan yg demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu & tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini
Yang kedua: cabang (furu’), yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok diatas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi saw: “Hakim(kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah”. Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit. Ilmu furu’/cabang itu terbagi dua: pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia. Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bahagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab “Ihya ‘Ulumiddin”. Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Yang ketiga: mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata bahasa. Keduanya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi kitabullah dan sunnah rasul saw. Bahasa dan tata bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari’ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari’ah (agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat. Dan setengah dari alat, ialah: ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. “Karena Rasulullah saw sendiripun tidak tahu tulis baca”. Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya/biasanya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
Yang keempat: penyempurna, yaitu: mengenai ilmu Al-Qur’an. Dan terbagi kepada: yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qira-ah (cara membaca), dan bunyi hurufnya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan disekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh/pembatalan dan mansukh/penghapusan, yang umum dan yang khusus, yang nash ( ketetapan dengan dalil) dan yang luar dan cara menggunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama “Ushulul-fiqh”. Dan ilmu ini melengkapi juga sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits nabi dan peninggalan-peninggalan sahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama sahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai kejujuran perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal (perawi perawinya tdk jelas) dan hadits musnad (perawi pewarinya jelas). Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu. Inilah ilmu-ilmu syari’ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semuanya termasuk fardhu kifayah. Jikalau anda tanyakan: mengapakah aku hubungkan ilmu fiqh dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqh dengan ulama-ulama dunia ?
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan Adam as dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang mahsyar, kemudian ke sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka ! Dan inilah tempat kediaman mereka ! Dijadikan di dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu. Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan.
Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu syahwat, lalu timbulah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin umat manusia itu. Ahli fiqh, ialah orang yang tahu dengan undang-undang politik, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqh itu adalah guru sultan dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka. Demi sebenarnya, hal tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia.
Penguasa (raja) dan Agama adalah 2 anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), akan roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), akan hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan pemerintahan, ialah dengan fiqih. Sebagaimana politik manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, dimana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan politik. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah haji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah haji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah haji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, dimana haji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.
Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad: “Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga: amir atau ma’mur atau yang memikul beban itu (mutakallif)”. Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma’mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.
Para sahabat nabi ra menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Qur’an & jalan ke akhirat. Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah: “Orang yang bekerja dengan ria”. Maka orang yg mau memikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan & harta. Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqh itu, kalaulah betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang piutang & penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa & shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan, dari penjelasan halal dan haram.
Ketahuilah ! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, dimana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah 3: Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal diatas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat. Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah daripadanya, tentang yang batal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih.
Karena Rasululllah saw meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan, diluar hati, dengan sabdanya: “Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?”. Sabda ini ditujukan oleh nabi saw kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapan nya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam di bawah naungan pedang, padahal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah daripadanya. Begitulah di dunia. Dari itu, nabi saw bersabda: “Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”. Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah & hartanya daripadaku”. Nabi saw menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta”.
Adapun akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencemplungkan diri dalam ilmu fiqh, adalah seperti kalau ia mencemplungkan diri dalam ilmu kalam (berkata-kata) dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.
Mengenai shalat, maka ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali ketika bertakbir. Shalat semacam itu tidaklah bermanfaat di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfaatnya. Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menurut bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu’ dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfaatlah amal luar, maka tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar bidangnya. Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan membayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya. Menurut ceritera, bahwa kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari istrinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra. Imam Abu Hanifah ra menjawab: “Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan”. Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara’) dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi menjaga diri itu mempunyai 4 tingkat:
Tingkat pertama: ialah penjagaan diri (wara’/memelihara diri dari dosa dan harta diragukan), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim & wali. Penjagaan diri yg dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua: ialah wara’ menjaga diri orang-orang shalih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat (diragukan), yang ada padanya kemungkinan-kemungkinan yang diragukan. Bersabda Nabi saw: “Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan”. Dan Nabi saw bersabda: “Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)”.
Tingkat ketiga: ialah wara’ menjaga diri orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi dikhawatirkan terbawa kepada yang haram. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya”. Contohnya seumpama: menjaga diri atau wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang  membawa kepada perbuatan terlarang.
Tingkat keempat: ialah wara’ menjaga diri orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta’ala. Karena takut  terpakai meskipun sesaat dari umur, kepada yang tidak mendatangkan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah Maha Mulia & Maha Besar, Walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram. Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu: mengenai pemeliharaan diri (wara’/memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) saksi, hakim dan yang merusakkan ‘adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara’) dengan yang demikian, tidaklah meniadakan dosa di akhirat.
Bersabda Nabi saw kepada Wabishah: “Mintalah fatwa kepada hatimu, Walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, Walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, Walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu !". 
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan ‘adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk kedalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk kedalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bintang dan ilmu kalam (berkata-kata). Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsafah kedalam tata bahasa dan pantun. Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu luar berkata: “Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat”. Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li’an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifatnya saja oleh si penjual), sewa menyewa dan tukar menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala itu, adalah gila.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal taat. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu. Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan Ijma’(sepakat) umat Islam? Ketahuilah ! Bahwa penyamaan ini tidaklah suatu keharusan, bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi:
Pertama:   fiqih itu ilmu syari’ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari’ah (agama).
Kedua:      ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yg menuju kejalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran   
                 tidak diperlukan Selain  oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.
Ketiga:     ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah perilaku hati (jiwa). Yang terpuji daripada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepas kan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu. Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat. Jika anda menyatakan: “Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar !”. Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah 2 macam, ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja dan ilmu yang di minta mengetahuinya hendaklah diamalkan
Yang pertama: Mukasyafah ialah ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah ‘arifin (ahli ilmu ma’rifah yaitu ilmu mengenal Allah Ta’ala): “Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul khatimah). Sekurang-kurang bahagian daripadanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya”.
Berkata yang lain: “Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau takabbur”. Ada lagi yang mengatakan: “Barangsiapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang mengingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini”. Ahli yang berkata tadi lalu bermadah:
“Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya”.
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu: ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma’rifat (pengenalan) yang hakiki dengan Dzat Allah Ta’ala dan sifat Allah yang kekal sempurna, perbuatan Allah dan hukum Allah pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunannya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan nabi, arti wahyu, arti setan, arti kata-kata malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada nabi-nabi, mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenal hati dan betapa bentrokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenal perbedaan antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenal akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta’ala: “Bacalah kitabmu ! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri”. S 17 ayat 14. Dan maksud firman Allah Ta’ala: “Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui”. S 29 ayat 64. Dan arti berjumpa dengan Allah Ta’ala dan memandang kepada wajah Allah Yang Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disamping Allah, arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, malaikat dan nabi-nabi, arti berlebih kurangnya pangkat ahli sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama nampak bintang bersinar di lembaran langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan.
Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut diatas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanya itu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hamba Allah  yang shalih, ialah: Sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama. Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat/makna yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenal Allah Ta’ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenal Allah. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenal Allah Ta’ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenal Allah Ta’ala itu, ialah apa yang sampai kepada keyakinan orang kebanyakan. Yaitu beriman: bahwa Allah Ta’ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar, melihat dan berkata-kata. Kami maksudkan dengan ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi. Hal yang demikian itu mungkin pada diri jauhar (benda/barang) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran dunia. Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) daripada Allah Ta’ala, daripada mengenal sifat-sifat dan Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah.
Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa hafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran nabi-nabi as. Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan ke arah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikat/maknanya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dan dengan ilmu dan mengajarinya. Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta’ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar pikiran dan dengan cara rahasia. Inilah ilmu tersembunyi yang dimaksudkan oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal (ma’rifat) akan Allah Ta’ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti SELAIN dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta’ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala ilmu tsb. Karena Allah Ta’ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahi nya ilmu tadi”.
Yang kedua: ilmu  mua’amalah (perniagaan dengan agama), ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenal nikmat Allah Ta’ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar dan ikhlas. Maka mengetahui hakikat/makna hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan, hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu: takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka dipuji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabbur, ria, marah, keras kepala, suka bermusuhan, amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan di tangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gundah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman luar dari musuh dalam, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta’ala, pada menarik apa saja dari pemberian Allah, bersandar kepada taat, murka, khianat, tokoh menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan. Inilah dan seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarang. Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar taat dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat/makna, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan frdhu ‘ain/wajib menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan luar, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardhu ‘ain/wajib itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia. Sedang ini bersandarkan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria’, maka ia akan terdiam, sedangkan karena fardhu ‘ain/wajibnya, bila diabaikan akan mendatangkan kebinasannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li’an, dhihar, berlomba kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya di hadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, padahal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab: “Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardhu kifayah”. Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya. Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardhu kifayah, tentu didahulukannya fardhu ‘ain/wajib. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardhu-fardhu kifayah yang lain dari ilmu fiqih itu. Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran. Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Maka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengerjakan fardhu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu?
Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan. Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta’ala tempat bermohon pertolongan. Kepada Allah tempat berlindung, kiranya dilindungi Allah kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarah Allah dan menertawakan setan.
Ahli wara’ dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama batin dan yang mempunyai mata hati.
Imam Asy-Syafi’i ra pernah duduk dihadapan Syaiban pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab, seraya bertanya: “Bagaimana membuat itu dan itu?”. Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi’i: “Seperti engkau bertanya kepada badui ini?”. Maka menjawab Imam Syafi’i: ”Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan”.
Imam Ahmad bin Hanbal ra dan Yahya bin Mu’in selalu pergi menjumpai Ma’ruf Al-Kharkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan: “Bagaimana?”. Sedang Rasulullah saw pernah bersabda, ketika ditanyakan: “Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?”. Maka nabi saw menjawab: “Tanyakanlah kepada orang-orang shalih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka”. Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama batin adalah hiasan langit dan alam malakut.
Berkata Al-Junaid ra: “Bertanya As-Sirr guruku kepadaku pada suatu hari: “Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?”. Lalu aku jawab: “Dengan Al-Muhasibi”. Maka ia berkata: “Ya, betul ! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya ! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam (berkata-kata) dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama Mutakallim/ulama Yang Berkata) !”. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan: “Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan Allah engkau, seorang sufi yang ahli hadits”.
Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf (mendekatkan diri hanya ke pada allah), maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya. Kalau anda bertanya: “Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam (berkata-kata) dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?”. Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam (berkata-kata), ialah dalil-dalil yang bermanfaat. Maka Al-Qur’an dan hadits itu melengkapi padanya. Yang diluar dari Al-Qur’an dan sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil dengan kata-kata, yang kebanyakannya salah dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama. Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid’ah (yang diada-adakan). Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid’ah (yang diada-adakan) yang menyeleweng dari kehendak Al-Qur’an dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang mencampur-adukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardhu kifayah. Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid’ah (yang diada-adakan), apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid’ah (yang diada-adakan). Dan yang demikian kepada batas yang tertentu, akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, Insya Allah Ta’ala.
Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari 4 bahagian:
Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid’ah (yang diada-adakan). Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena ‘ain (diri) keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam, daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti membahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.
Kedua ilmu mantiq/ilmu logika yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam (berkata-kata).
ketiga ilmu ketuhanan. Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta’ala dan sifat Allah. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam (berkata-kata). Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu ketuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid’ah (yang diada-adakan). Sebagaimana aliran Mu’tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama Mutakallim (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan madzhab-madzhab yang batil (aliran yg salah). Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf.
Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara’(agama) dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu. Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya. Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak. Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya. Jadi, ilmu kalam (berkata-kata) itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari penghayalan ahli bid’ah (yang diada-adakan). Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid’ah (yang diada-adakan), sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji. Maka karena itulah, kalau tukang bid’ah (yang diada-adakan) itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam (berkata-kata) hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam (berkata-kata) dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam (berkata-kata) apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam (berkata-kata) itu agama, selain keyakinan yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain.
Keyakinan itu termasuk dalam golongan amal perbuatan luar dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam (berkata-kata) dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan. Adapun mengenal Allah Ta’ala, sifat dan Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah serta sekalian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam (berkata-kata). Malah hampir adalah ilmu kalam (berkata-kata) itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah (ilmu pengantar) bagi petunjuk, dengan firman Allah: “Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik”. S 29 ayat 69.
Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam (berkata-kata), kepada menjaga ‘keyakinan orang awwam dari gangguan pembuat bid’ah (yang diada-adakan) sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama’ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain. Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama umat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam (berkata-kata). Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta’ala. Maka bagaimanakah menurunnya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama? Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenal ahli kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau adakan dengan taqlid (turut/menurut) dan melihat kepada yang termahsyur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat nabi saw dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam (berkata-kata), atas terkemuka nya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam (berkata-kata) dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya.
Tidaklah Abu Bakar ra melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh nabi saw sendiri. Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu ! Itulah jauhar (benda/barang) yang bernilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkanlah akan apa yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.
Rasulullah saw telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah saw. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam (berkata-kata). Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah: Ibnu Umar ra.
Apabila Ibnu Umar ra dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu: “Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya”. Kata-kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan. Ketika Umar ra wafat, maka berkata Ibnu Mas’ud: “Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapakah anda berkata demikian, padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta’ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas’ud itu ilmu kalam (berkata-kata) dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu kalam (berkata-kata) dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin ‘Isl dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur’an) dan membekotinya serta menyuruh orang banyak membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).
Adapun kata anda bahwa yang termahsyur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam (berkata-kata), maka ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemahsyuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain. Sesungguhnya kemahsyuran Abu Bakar ra adalah karena dia khalifah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr/rahasia yang mulia dalam hatinya. Kemahsyuran Umar ra adalah disebabkan politik. Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenal Allah, yang mati sembilan persepuluh daripadanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dalam pemerintahan, keadilan dan kasih sayangnya kepada makhluk Allah. Dan itu adalah keadaan dalam dalam rahasia dalam dirinya.
Adapun segala perbuatan lahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemahsyuran itu. Maka adalah kemahsyuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dapat dilihat oleh seorang manusiapun. Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam (berkata-kata), adalah seperti khalifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah nabi. Dan ia tidak mencari yang demikian itu, keriaan dan kemahsyuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisi Allah, karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan pandangannya. Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu.
Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena  Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi pertanggung jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan ilmunya.
Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala itu, tiga:
- ilmu semata-mata, yaitu ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja.
- Amal semata-mata, yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhatiannya akan kepentingan rakyat.
- Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu: ilmu jalan akhirat. Yang punya ilmu tersebut, adalah sebagian dari ulama dan orang-orang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri ! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan itu ! Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemahsyuran, seperti kata orang:
“Ambillah apa yang engkau lihat,
tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit,
engkau memerlukan bintang Zuhal”.
Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, dimana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-ulama itu pada hari qiamat. Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta’ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa. Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan disini. Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut mazhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih itu. Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan umat, yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah 5, yaitu:
-Asy-Syafi’i,
-Malik,
-Ahmad bin Hanbal,
-Abu Hanifah dan
-Sufyan Ats-Tsuri.
Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian. Masing-masing mereka adalah ’abid (kuat beribadah), zahid (tidak terpengaruh oleh dunia), ‘alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan kepentingan umat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah Ta’ala. Ini 5 perkara, dimana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu: memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang 4 perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikitlah kepentingannya untuk dunia. Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi! 
Marilah sekarang kami bentangkan hal ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada 4 perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiqih itu, terang. Adapun Imam Asy Syafi’i ra maka yang menunjukkan ia seorang abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, 3 bahagian: 1/3 untuk ilmu, 1/3 untuk ibadah dan 1/3 lagi untuk tidur. Berkata Ar Rabi’: “Adalah Imam Asy Syafi’i ra mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al Quran dalam bulan Ramadhan, 60 X. Semuanya itu dalam sholat.
Sedangkan Al Buaithi, salah seorang temannya itu mengkhatam kan Al Qur'an dalam bulan Ramadhan dalam setiap hari". Berkata Al Hasan Al Karabisi: “Aku bermalam bersama Imam Asy Syafi’i bukan satu malam. Dia melakukan sholat hampir 1/3 malam. Tidak aku lihat  dia melebihkan dari 50 ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai 100 ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo’a kepada Allah Ta’ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mukminin. Dan apabila ia membaca ayat azab, lalu memohonkan perlindungan dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mukmin. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut. Lihatlah betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahaman nya akan rahasia yang terkandung didalam Al quran.
Imam Asy Syafi’i  ra pernah berkata: “Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah”. Maka lihatlah kepada ilmunya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan ! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu ialah menyedikitkan makan.
Berkata imam Asy Syafi’i ra lagi: “Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah baik dalam hal yang benar apalagi bohong”. Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta’ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt !. Ditanyakan Imam Asy Syafi’i ra tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi”. Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan”. Maka beliau menjawab: “Aku berfikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku”. Lihatlah betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulam fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkan nya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmat bin Yahya bin Al Wazir: “Pada suatu hari keluarlah Imam Asy Syafi’i ra pergi kepasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy Syafi’i menoleh kepada kami seraya berkata: “Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk didalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya kedalam wadahmu. Kalau ditolak perkataaan orang yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya”.
Berkata Imam Asy Syafi’i ra: “Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isi nya yaitu: ”Engkau telah mendapatkan ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmu mu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari dimana ahli ilmu berkerja dengan nur ilmunya”. Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy Syafi’i ra: “Barang siapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada dunia dan cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya, maka dia itu bohong".
                  Berkata AL Humaidi: "Imam Asy Syafi’i ra pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa uang 10.000 dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagi‑bagikannya".
Pada suatu kali, Imam Asy Syafi’i ra keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya uang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya, lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berteri­ma kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy‑Syafi’i ra memberikan uang 50 dinar. Kemurahan hati Imam Asy Syafi’i ra adalah lebih terkenal dari apa yang diceritera kan.
Pangkal zuhud ialah, kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat‑erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya. Dan itulah arti zuhud. Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin Uyainah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus-­halus, lalu pingsanlah Asy Syafi’i ra. Maka orang mengatakan kepa­danya: Imam Asy‑Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab: "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang pa­ling utama bagi zamannya".
Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad AI‑Balawi dengan katanya: "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang jahid. Maka berkata Umar kepadaku: "Belum pernah aku melihat orang yang lebih wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan) dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris Asy Syafi’i ra. 
Aku, Imam Asy Syafi’i dan AL Harits bin Lu­baid pergi ke bukit Shafa. AL Harits adalah murid Ash‑Shalih AI‑Marri Ia memulai membaca AI‑Qur‑an. Adalah dia mempunyai suara merdu, Ialu membaca ayat ini:”Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.  Dan kepa­da mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat mema­jukan keberatan (pembelaan)” S 77 ayat 35‑36. Maka aku lihat Imam Asy Syafi’i ra berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya, badannya gemetar lalu jatuh tersungkur. Ketika ia sadar kembali, maka ia berkata: "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya orang‑orang dusta dan penyelewengan orang‑orang lengah. Ya Allah, kepadaMU jua tun­duk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenal, Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang‑orang yang rindu kepada Engkau  ! Tuhanku ! Anugerahilah kepadaku limpah karuniaMu ! Muliakanlah aku dengan lindunganMu ! Maafkanlah keteledoran­ku dengan kemurahanMu !.                                                                                                                      
                  Abdullah bin Muhammad AI‑Balawi menerangkan: "Kemudian ia pergi & kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad & Asy­ Syafi’i ra masih di Irak. Maka aku duduk ditepi sungai, mengam­bil wudlu untuk bershalat. Tiba‑tiba lewat disampingku seorang laki‑laki, seraya berkata kepadaku: "Ya, saudara! Berwudlulah de­ngan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu didunia dan diakhirat. Lalu aku menoleh, maka tiba‑tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas‑gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya: "Adakah bagimu keperluan”. "Ada !", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu !.
- Maka ia menjawab: "Ketahuilah ! Orang yang membenar­kan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yg sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yg zuhud pada dunia, niscaya tetaplah 2 matanya memandang pahala dari pada Allah Ta’ala pada hari esok.
- Apakah aku tambahkan lagi”. "Ya ! ", jawabku. Lalu ia menyambung: "Orang yg ada padanya 3perkara, maka sempurnalah imannya: orang yg menegakkan amar ma'ruf terhadap, orang lain & terhadap dirinya, orang yg menjalankan nahi mungkar terhadap orang lain & terhadap dirinya & orang yg menjaga batas‑ batas yg ditentukan Allah Ta’ala.
- Apakah aku tambahkan lagi?" "Ya !", jawabku. Maka ia menyambung: "Hendaklah kamu zuhud di dunia & gemar ke akhirat. Dan benarkanlah akan Allah Ta’ala dalam segala pekerjaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang‑orang, yang terlepas dari segala mara bahaya".
                Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak "Itulah Imam Asy‑Syafi’i”.  Lihatlah Imam Asy‑Syafi'i ra jatuh tersungkur, kemudian perhati­kanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta’ala. Ketakutan dan kezuhudan, ini tidak datang selain karena menge­nal Allah Maha Mulia & Maha Besar. Allah berfirman:"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama/orang berilmu " (S 35 ayat 28).
Maka Imam Asy Syafi’i ra tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual‑beli dan sewa‑menyewa dan lain‑lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari AI‑Qur‑an dan Hadits. Karena hukum dari orang-­orang terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya. Adapun tentang ke alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu‑ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata‑kata ilmu yang berasal daripadanya. Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy ­Syafi'i ra tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas: "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendin­dingi penglihatan mata hati ulama‑ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala amalannya". Berkata Imam Asy‑syafi’i ra: "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti,  pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara‑perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".
                   Lihatlah bagaimana Imam Asy‑Syafi'i ra menerangkan hakikat/makna ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati. Berkata Imam Asy‑Syafi'i ra: "Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya". Katanya lagi: “Barangsiapa ta’at kepada Allah Ta’ala, dengan ilmu, maka bermanfaatlah bathinnya/hatinya". Katanya lagi: “Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah engkau bersama golongan orang yang taat kepada Allah Ta'ala".
Diceritakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara’(memelihara diri dari dosa dan harta diragukan). Dan ia bertanya kepada Imam Asy‑Syafi'i ra tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy‑Syafi'i amat suka me­nerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari ber­tanyalah ia kepada Imam Asy‑Syafii ra "Manakah yang lebih utama: “Sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?". Maka menjawab Imam Asy‑Syafi’i ra: "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi‑Nabi”. Dan tak ada keteguhan hati itu sela­in sesudah diuji. Apabila, diuji maka bersabar. Apabila sudah bersa­bar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta’ala menguji Nabi Ibrahim as, kemudian Ia memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as, kemudian Ia memberikannya kete­tapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as, kemudian Ia memberikan nya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman as, kemudian la memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan. Maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama.
                  Berfirman Allah Ta’ala: “Dan begitulah Kami teguhkan  kedudukan Yusuf di muka bumi” (S 12 ayat 21). Nabi Ayub as sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati. Berfirman Allah Ta’ala: "Kami berikan kepadanya keluarganya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula" S 21 ayat 84. Kata‑kata tersebut dari Imam Asy Syafi’i ra menunjukkan betapa melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam AI‑Qur‑an dan penglihatannya tentang kedudukan orang‑orang yang menuju kepada Allah Ta’ala, baik Nabi‑Nabi atau Wali‑Wali. Semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam Asy‑Syafi'i ra: "Bilakah seorang itu dipan­dang 'alim? la menjawab: "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. kemudian ia menempuh ilmu‑ilmu yang lain, maka dilihat­nya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seo­rang alim”.
Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus: “Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam‑macam obat untuk satu penyakit". Menjawab Jalinus: "Yang dimaksudkan dari obat‑obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing‑masing sendirian nya itu membu­nuh. Contoh tadi dan lain‑lainnya yang tidak terkira banyaknya, menun­jukkan ketinggian derajat Imam Asy Syafi’i tentang mengenal Allah Ta’ala dan ilmu akhirat.
Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata‑mata wajah Allah Ta’ala. Dalil untuk itu adalah riwa­yat yang menerangkan bahwa Imam Asy Syafi’i ra pernah berkata: "Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-­llmu lain yang ada padaku, meskipun sedikit". Maka Lihatlah betapa Imam Asy Syafi’i ra memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang se­mata‑mata niatnya adalah karena wajah Allah Ta’ala.
Asy Syafi’i ra berkata: "Tidaklah sekali‑kali aku bertukar pikiran dengan seseo­rang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah". Katanya lagi: "Tidaklah sekali‑kali aku berkata dengan seseorang, selain aku me­nyukai supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta’ala serta pemeliharaan. Dan tidak­lah sekali‑kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatianku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"
Berkata lagi Imam Asy Syafi’i ra: "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia". Inilah tanda‑tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta’ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka Lihatlah betapa Imam Asy Syafi’i ra dituruti orang dari jumlah per­kara yang 5 itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang‑orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi dan karena inilah berkata Abu Tsau ra: "Tak pernah aku dan orang-­orang lain melihat seperti Imam Asy Syafi’i ra".
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra: “Tak pernah aku melakukan shalat selain 40 tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy Syafi’i ra". Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a & betapa pula derajat orang yg dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam Asy Syafi’i ra akan teman‑ teman & tokoh‑tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yg merupakan pendendaman & permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama‑ulama besar itu.
Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy Syafi’i ra lalu bertanyalah anaknya: "Orang mana Asy Syafi’i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?". Maka menjawab Ahmad bin Hanbal: "Hai anakku ! Imam Asy Syafi’i itu adalah seumpama matahari bagi dunia & kesehatan bagi manusia". Lihatlah, adakah bagi 2 perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?
Imam Ahmad pernah berkata: “Tiada seorangpun menyentuh bo­tol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy Syafi’i padanya". Berkata Yahya bin Said AL Qattan: "Tidak pernah aku bershalat selama 40 tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy‑Syafi’i. Karena Allah Maha Mulia & Maha Besar telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar". Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal‑ikhwal Imam Asy­ Syafi’i itu, karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy Syafi’i ini, kami salin dari kitab biogra­finya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim AI‑Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy Syafi’i dan seluruh kaum muslim !.
                    Adapun Imam Malik ra maka beliaupun berpakaian dengan yang 5 perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu: "Apakah yang hendak tuan katakan tentang me­nuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra: "Bagus, baik ! Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagi sam­pai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu ! ". Imam Malik ra sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau‑bauan serta, duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu". Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw"
Berkata Imam Malik ra: “Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita”. Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menun­jukkan kepada ketinggian ilmu pengetahuannya tentang kebesaran Allah Ta’ala. Tentang tujuan Imam Malik ra dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta’ala, dibuktikan oleh ucapannya: "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali". Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy Syafi’i ra: "Saya melihat Imam Malik ra ketika dimajukan kepadanya 48 masalah, maka ia menjawab mengenai 32 dari masalah‑masalah itu. Saya tidak tahu". Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta’ala, tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu.
Dari itu, berkata Imam Asy‑Syafi’i ra: "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik". Menurut riwayat, Khalifah Abu Jafar AI‑Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Jafar mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyam­but ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Na­bi saw yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang di­paksakan. Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu. Imam Malik ra berkata: "Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pi­kiran‑pikiran khurafat (tahayul) pada hari tuanya".
Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah AI‑Mahdi bertanya kepada Imam Malik: "Adakah tuan mempunyai rumah ?”. "Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bah­wa pernah mendengar Rabiah bin Abi Abdir Rahman berkata: “Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya". Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik: "Adakah tuan mempunyai rumah?". "Tidak ada", jawabnya. "Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang 3000 dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan: "Belilah rumah dengan uang ini ! ". Imam Malik mengambil uang itu, tetapi tidak dibelinya rumah. Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu menga­takan kepada Imam Malik ra: "Seyogialah tuan pergi bersa­ma kami. Aku bercita‑cita membawa perhatian manusia kepada kitab "AI‑Muaththa" (nama kitab yang dikarang Imam Malik), sebagaimana khalifah Utsman ra membawa perhatian manusia ke­pada AI‑Qur‑an. Menjawab Imam Malik: "Adapun membawa manusia kepa­da Kitab AI‑Muaththa', maka tiada jalan kepadanya. Karena para shahabat Rasulullah saw sudah bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap‑tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi saw pernah mengatakan "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". 
Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya. Nabi saw pernah bersabda: “Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya”. Dan lagi Nabi saw bersabda:"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan meng­hilangkan kotoran besi". Inilah dinarmu, seperti adanya ! Kalau kamu mau, maka ambilkan­lah ! Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah ! Yakni sekira­nya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madi­nah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw". Begitulah zuhudnya Imam Malik ra pada dunia ! Sewaktu dibawa kepada nya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman‑ temannya, maka dibagi-bagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia. Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah ko­songnya hati dari harta itu.
                   Nabi Sulaiman pun salah seorang yang, zuhud dalam pemerintahannya. Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy‑Syafi'i, bahwa Imam Asy­ Syafi'i menerangkan: "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepada­nya: "Alangkah cantiknya kuda ini !". Maka beliau menjawab: "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah Abdullah !". Maka aku menjawab: "Biarlah kuda ini untuk tuan hamba, menja­di kuda tunggangan tuan hamba sendiri". Menyambung Imam Malik: "Aku malu, kepada Allah Ta’ala, memi­jakkan tanah dengan kuku kuda, di mana, di dalamnya dikuburkan Nabi Allah saw". Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah !.
Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta’ala dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berka­ta: "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkata­lah Harunur Rasyid kepadaku: "Wahai Ayah Abdullah ! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak‑anak kita mende­ngar kitab AI‑Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata: "Lalu jawabku: "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi". Maka menyambung Harunur Rasyid: "Benar tuan ! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai".
                    Adapun Imam Abu Hanifah  ra juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah, amat takut kepada Allah dan menghendaki wajah Allah dengan ilmu­nya. Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan: "Imam Abu Hanifah ra adalah seorang yang berperikemanusia -an dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hammad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah. Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam de­ngan ibadah. Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan me­ngatakan kepada orang lain: “Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah". Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malam­nya dengan ibadah dan mengatakan: "Aku malu kepada Allah swt disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar‑Rabi bin 'Ashin, yang mengatakan: "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah. Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baital‑mal". Ia menolak lalu dipu­kul 20 kali". Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.
Berkata AI‑Hakam bin Hisyam At‑Tsaqafi: "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kun­ci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala'.
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab: "Adakah kamu sebutkan seorang laki‑laki, yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?". Diriwayatkan dari Muhammad bin Syuja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah: "Amirul‑mu'minin Abu Jafar Al‑Manshur memerintah­kan untuk dianugerahkan kepada tuan, uang sebanyak 10.000 dirham". Muhammad bin Syujja  mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut.  Muhammad bin Syujja  mengatakan: "Ketika sampai pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkata-­kata sepatah katapun". Maka datanglah utusan AL Hasan bin Quhthubah membawa uang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbi­cara dengan dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadir: "Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepa­tah. Artinya, itulah kebiasaan beliau".
Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah: "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah ! ". Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anak­nya: "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada AL Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya: "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah !". Berkata anak Abu Hanifah: "Maka aku laksanakan wasiat itu". Lalu berkata AL Hasan: "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguh­nya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya”.
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab: "Aku tidak layak untuk jabatan itu ! ". Lalu orang bertanya kepadanya: "Mengapa ?”. Abu Hanifah menjawab: "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi hakim/kadli ! ".
Adapun ilmunya`dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah Maha Mulia & Maha Besar  maka di­buktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta’ala dan zuhud­nya terhadap dunia. Berkata lbnu Juraij: "Telah sampai kepadaku tentang orang negeri Kufahmu yakni Numan bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala". Berkata Syuraik An‑Nakha'i: "Adalah Abu Hanifah seorang pendi­am, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia". Inilah diantara tanda‑tanda yang tegas, dari ilmu batin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan. Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.
                 Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra & Sufyan Ats‑Tsuri ra maka pengikut keduanya adalah kurang, bila dibandingkan de­ngan pengikut imam yg 3 itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasy­huran 2 imam ini, dengan wara' & zuhud, adalah lebih menon­jol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan ceritera‑ceritera mengenai perbuatan & perkataan keduanya. Dari itu tidak perlu lagi dipe­rinci sekarang. Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam 3 itu. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan & perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia & menumpah­kan seluruh perhatian kepada Allah Ta’ala, adakah dihasilkan oleh semata‑mata pengetahuan dengan cabang‑cabang fiqih, dari penge­tahuan berjual beli, menyewa, dhihar (mencela istri), ila' (mengantung masa idah) dan Lian (menuduh berselingkuh) atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan,  lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam‑imam itu, apakah mereka benar pada pen­dakwaannya atau tidak?
BAB KETIGA
Ilmu yang dianggap oleh orang awam, terpuji & sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang menyebab­kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela & Penjelasan Penggantian nama‑nama ilmu, yaitu: Fiqih, Ilmu, Keesaan, Tadz­kir & Hikmah & penjelasan batas terpuji & batas tercela dari ilmu‑ilmu agama
PENJELASAN SEBAB TERCELANYA ILMU YANG TERCELA
Mudah‑mudahan anda mengatakan bahwa ilmu ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah satu daripada sifat Allah Ta’ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?  Ketahuilah kiranya, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab.
Sebab Pertama: Adalah ilmu itu membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera‑mantera Itu memang sebenarnya, karena ; diakui oleh AI‑Qur‑an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang membawa kepada per­ceraian diantara suami isteri. Rasulullah saw telah pernah disihir orang dan sampai sakit karenanya. Maka malaikat Jibril as da­tang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw dan mengambil benda sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur. Sihir itu adalah semacam keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda ‑ benda, disertai dengan hitungan tentang terbit bintang‑bintang. Dari benda‑benda itu diperbuat suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu waktu tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari kufur dan keji yang menyalahi agama dan dengan kalimat‑kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan‑setan. Dari keseluruhan itu, dengan hukum kehendak Allah Ta’ala di luar kebiasaan, terjadilah hal‑hal yang luar biasa pada diri orang yang disihirkan. Dan mengetahui sebab‑sebab tersebut dari segi dia itu pe­ngetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa ke­baikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makh­luk Tuhan. Jalan kepada kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebab­nya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh memberitahukannya tetapi wajib berdusta. Menerangkan tempat persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa, kepada kemelaratan.
Sebab Kedua: Bahwa ilmu itu menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu nujum. Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi 2: 
1.Bahagian hisab. AI‑Qur‑an sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab. Berfirman Allah Ta’ala: “Matahari dan bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan)”. S 55 ayat 5. Dan firman Allah Ta’ala: "Kami tentukan bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali  dia seperti mayang yang sudah tua". S 36 ayat 39. 
2. Hukum‑hukum dan hasilnya kembali kepada membuat da­lil atas segala kejadian dengan sebab‑musababnya. Yaitu, menyeru­pai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya sunnah Allah dan adat kebiasaan Allah pada makhluk Allah. Tetapi ilmu tadi dicela agama.
Bersabda Nabi saw: “Apabila disebut taqdir, maka peganglah ! Apabila disebut bintang maka peganglah ! Dan apabila disebut sahahabatku, maka pegang­lah ! ". Dan bersabda Nabi saw: "Aku  takut atas ummatku sesudahku tiga perkara: kedhaliman imam‑imam, percaya kepada bintang‑bintang dan pendustaan kepa­da taqdir". Berkata Umar bin Al‑Khaththab ra: "Pelajarilah dari bintang‑bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan di laut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu ! ".  Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga:
1: Bahwa ilmu itu memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa hal‑hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang‑bintang, lalu tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang‑bintang itu dapat memberi bekas. Dan bahwa bintang‑bintang itu tuhan‑tuhan penga­tur, karena dia itu dzat mulia di langit. Dan besarlah kesannya da­lam hati, Ialu kekallah hati menoleh kepadanya. Dan hati itu meli­hat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari pihak bintang‑bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah Iman nya menunjukkan pandangan­nya kepada perantara‑perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti perin­tah Allah Ta’ala. Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, Ialu memandang kepada kehitaman tulisan yang terus membaru, maka dia beritikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya ke­pada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yg bertenaga & berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yg Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan. Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab‑sebab, yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang me­nyebabkan sebab‑sebab itu. Inilah salah satu sebab pelarangan ilmu nujum.
2. Bahwa keputusan‑keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan semata‑mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan kebodohan. Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nu­jum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan. Adalah yang demikian itu suatu ' mujizat bagi Nabi Idris as menu­rut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus. Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang‑kadang muncul di atas sebagian sebab‑sebab. Dan tidak terjadi akibat di bela­kang sebab‑sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak sya­rat‑syarat, yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikat/makna­nya. Jika sesuai bahwa Allah Ta’ala mentakdirkan sebab‑sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, maka salahlah dia. Yang demikian itu, adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung‑gunung. Lalu keraslah dugaannya, bahwa hujan akan turun. Dan kadang‑kadang siang akan panas dengan matahari dan mendung itu hilang. Kadang‑kadang terjadi sebaliknya. Semata‑mata mendung belum 'cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak diketahui. Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya & lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari  ilmu nujum.
3. Bahwa tak ada ' faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang‑ku­rang keadaan nya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia‑sia, yang tak perlu dan membuang‑buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan. Rasulullah saw lalu dekat seorang laki‑laki & orang banyak ber­kumpul padanya. Maka bertanya Nabi saw: "Siapa orang ini?". Menjawab orang banyak: "Orang yang amat 'alim". 'Tentang apa?", tanya Nabi saw: “Tentang syair & keturunan orang‑orang Arab”, sahut mereka. Maka sahut Nabi saw: “Ilmu yang tak bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat".  Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang adil ".  Jadi, turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa de­ngan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya & terperosok ke dalam ke bodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mung­kin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil‑dalil nya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu men­tabirkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari 46 bahagian dari kenabian & tak ada bahaya padanya
Sebab Ketiga:  Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus‑halus sebelum yang kasar‑kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum Ilmu yang terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTu­hanan (al‑asroril‑ilahiyah). Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam (berkata-kata) telah tampil pada ilmu-­ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan rahasia ketuhanan dan menge­tahui jalan‑jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi‑Nabi dan aulia-­aulia. Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang rahasia ketuhanan dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh agama. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq. Berapa banyak orang yang terjun kedalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah haInya lebih baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya. Dan tak dapat dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kue yang enak rasanya, kepada bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan dalam beberapa hal.
Menurut ceritera, bahwa sebahagian orang mengadukan haInya kepada seorang tabib akan kemandulan isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut urat nadi. Lalu berkata: “Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai 40 hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian". Maka gemetarlah wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi-­bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak minum, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Ma­ka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka menjawab tabib: "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah !. Ia akan beranak". “Mengapa begitu?", tanya si suami. Menjawab tabib: "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menu­tupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia dengan demiki­an, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari beranak".
Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya seba­hagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pe­ngertian, sabda Nabi saw: “Kita berlindung dengan Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat”. Maka ambillah ibarat dengan ceritera ini Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang dari­padanya ! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw dan ber­peganglah kepada Sunnah ! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi. Dan ’’bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu. Janganlah diperbanyak membanggakan diri dengan pendapat sendi­ri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan keterangan sendiri dengan mendakwakan: "Bahwa aku mengadakan pembahasan tentang hal‑hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".
Manapun kemelaratan yang timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menim­bulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya. Ketahuilah ! Sebagaimana seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, dimana menjauhkan diri daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib hati dan para ulama, yang tahu sebab‑sebab hidup keakhiratan. Dari itu, janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunah mereka, dengan akal pikiranmu, maka kamu akan binasa ! Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memijit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak ta­ngan itu dipijit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang halus‑halus dari sunnah agama dan adab‑adabnya.
Dan mengenai keyakinannya yang menjadi ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus‑halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahui­nya. Sebagaimana pada khasiat batu‑batu ada hal‑hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa. Maka keheranan dan keganjilan pada keyakinan dan amal, dan meng­gunakannya untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta’ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Allah, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat­-obat dan jamu‑jamu.
Sebagaimana tak sampai akal manusia, mengetahui keguna­an obat‑obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang bermanfaat pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan berjalan keakhirat, kalau pulanglah ke­pada kita beberapa orang yang telah mati. Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala di sisiNya dan dari amal yang menjauh­kan daripadaNya.
Begitu pula, mengenai keyakinan. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda, kepada mem­benarkan Nabi saw dan memahamkan anda segala sumber isyarat­nya. Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu. Dari itu Nabi saw bersabda:"Bahwa sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak menjelaskan". Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan. Maka Nabi saw bersabda pula: "Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu" 
Nabi Isa as pernah berkata:”Alangkah banyaknya pohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya buah‑buahan dan tidaklah semua nya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya ber­guna".
Penjelasan: Apa yang digantikan dari kata-kata ilmu
Ketahuilah ! Bahwa sumber yg menimbulkan keserupaan ilmu yg tercela dengan ilmu agama ialah penyelewengan nama‑nama yang terpuji, penggantian nya dan pemindahannya, dengan maksud­-maksud yang merusakkan kepada pengertian‑pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang‑orang shaleh terdahulu dan abad pertama.Yaitu lima perkataan: fiqih, ilmu, keesaan, tadzkir dan hik­mah. Inilah nama‑nama yang terpuji. Orang‑orang yang bersifat de­ngan nama‑nama tadi, adalah orang‑orang yang berkedudukan ting­gi dalam agama. Tetapi sekarang nama‑nama itu sudah dialihkan kepada pengertian‑pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan orang‑orang yang bersifat dengan pengertian‑pengertian itu, karena terkenalnya pemakaian nama‑nama itu kepada mereka.
Perkataan Pertama:  F1Q1H.
Telah diselewengkan pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah menentukannya, pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan cabang agama yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab‑sebab yang menda­lam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, mengha­fal kata‑kata yang berhubungan dengan fatwa itu. Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepada­nya, disebut "al‑afqah” (yang terahli dalam ilmu fiqih).
Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada mengenal penyakit jiwa yang halus‑halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian de­ngan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepa­da nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati. Dibuktikan kepada yang demikian  itu oleh firman Allah Maha Mulia & Maha Besar: “Untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringat­an kepada kaumnya apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka”.  Ilmu yang menghasilkan peringatan dan, penakutan, itulah F1QIH namanya. Bukanlah fiqih itu mencabang‑cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, lian, pesanan barang dan sewa‑me­nyewa. Yang demikian itu, tidaklah membuahkan peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang pada orang‑orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta’ala:"Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu” S 7 ayat 179. Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian‑pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa. Demi umurku, bahwa kata‑kata "al‑fiqh" dan "al‑fahm" menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang. Berfirman Allah Ta’ala "Kamu sangat ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan” S 59 ayat 13.  Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih). Lihatlah, adalah itu hasil tidak menghafal pencabangan fatwa-­fatwa atau natijah/hasil keyakinan ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu.
Bersabda Nabi saw: "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih) kepada mereka yang diutuskan kepadanya”. Ditanyakan Saad bin Ibrahim Az‑Zuhri ra: "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?". Beliau menjawab: "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah Ta'ala". Seakan‑akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu batin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.
Bersabda Nabi saw: "Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?". "Ya ! ", jawab mereka. Maka bersabda Nabi saw: "Orang yang tidak memutus asakan manusia dari rakhmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan‑asa mereka dari kasih‑sa­yang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al‑Qur‑an lantaran gemar kepada yang lain".
Sewaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi saw: "Sesungguhnya aku lebih suka duduk bersama kaum yang meng­ingati (berdzikir) Allah Taala dari pagi sampai terbit matahari besok daripada membebaskan empat orang budak ".
Berkata pengarang kitab AI‑Quut: "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar‑Raqqasyi dan Ziyad An‑Numairi, seraya berkata:"Tidaklah majelis mengingati Tuhan (berdzikir) itu seperti  majelis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya ke­pada teman‑temannya dan membawa hadits‑hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu mengingati iman, memahami AI‑Qur‑an dan ber­paham dalam agama serta menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman”. Di sini dinamakan pemahaman AI‑Qur‑an dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi saw:"Tidaklah seorang itu berfiqih sebenar‑benarnya sebelum mengecam manusia untuk kesucian Dzat Allah Ta'ala dan memandang Al‑Qur­an dari segala segi ". Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra dengan katanya: “Kemudian ia menghadap kan kepada dirinya sendiri Ialu mengecam nya pula secara lebih hebat lagi". Bertanya Farqad As‑Sabakhi kepada Al Hasan mengenai suatu hal. Maka menjawab AI‑Hasan, Ialu berkata Farqad: "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan kamu". Kemudian Al Ha­san ra berkata: "Wahai Farqad yang dikasihi ! Adakah kamu meli­hat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli flqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' men­cegah dirinya dari mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang menasehati jama'ah mereka". Dalam keseluruhan nya tadi, Al Hasan tidak menyebut penghafal furu'‑furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama “Fiqih” itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum‑hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikut‑sertakan. Maka adalah pemakaian mereka kata-­kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak. Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebang­kitan manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata‑mata kepada yang tadi dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakim­an, kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu batin. Maka setan memperoleh jalan untuk membaikkan yang tersebut, di da­lam hati dengan jalan mengkhususkan nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada agama.
Perkataan Kedua:   ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai dzat, ayat­-ayat dan perbuatan Allah Ta’ala, terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra: "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu". Perkataan"Ilmu” itu dijadikan isim ma’rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al‑ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al‑ilmu" itu dengan pengkhususan. Sehing­ga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah‑masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itu alim yang sebenarnya. Dia seorang tokoh ilmu pengetahuan. Orang‑orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu. Ini juga, suatu tindakan dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan ulama, adalah keba­nyakannya ditujukan kepada ulama yang tahu akan Allah, hukum ALLAH, perbuatan dan sifaf‑sifat ALLAH. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan‑pertemuan perdebatan dalam masalah‑masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dll nya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari penuntut‑penuntut ilmu.
Perkataan Ketiga:  KEESAAN.
Perkataan ini sekarang dipakai untuk menyusun kata‑kata, menge­tahui cara bertengkar, mengetahui jalan menjatuhkan lawan, sang­gap mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan‑pertanyaan, dapat membangkitkan keragu‑raguan dan dapat menyusun dalil‑da­lil yang pasti, sehingga oleh golongan‑golongannya sendiri, memberinya gelar, ahli adil dan ahli keesaan.  Para ahli ilmu kalam (berkata-kata), disebut ulama keesaan, padahal selu­ruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu perteng­karan dan perdebatan. Adapun isi AI‑Qur‑an, dari dalil‑dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang menge­tahuinya. Pengetahuan dengan AI‑Qur‑an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya. Keesaan pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam (berkata-kata). Kalaupun dipahami­nya, tetapi mereka tidak bersifat dengan dia. Yaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah Ta’ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia. Maka inilah tingkat yang mulia. Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal/berserah diri kepada ALLAH, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Kitab Tawakkal. Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menye­rah kepada hukum Allah Ta’ala. Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash‑Shiddiq ra, ketika ditanyakan waktu sakitnya: “Apakah kami carikan tabib untuk tuan?". Lalu Abu Bakar menjawab: “Tabib itu membawa saya sakit". Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra ketika sakitnya, waktu ia dita­nyakan: "Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?". Abu Bakar ra menjawab: "Katanya: bahwa saya berbuat sekehen­dak saya". Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Keesaan dalil ‑ dalil untuk itu.
Keesaan adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih jauh dari isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama keesaan itu kepada kulit &  membuat penjagaan kepada kulit itu, serta menyia‑nyiakan ISI secara keselu­ruhan.
KULIT PERTAMA:   yaitu anda mengucapkan dengan lisan LAAILAAHA  ILLALLAAH (Tidak ada tuhan kecuali Allah).  Ini dinamakan keesaan melawan tatslits (kepercayaan 3 tuhan oknum), yang ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan terse­but kadang‑kadang datang dari orang munafiq, yang berlawanan batinnya dengan lahirnya.
KULIT KEDUA:  yaitu tak ada, di dalam hati, yang menyalahi & berlawanan dengan pengertian ucapan tadi. Bahkan yang luar dari hati, melengkapi kepada keyakinannya. Dan demikian juga mem­benarkannya. Yaitu keesaan orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam (berkata-kata) sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari gang­guan golongan bid’ah (yang diada-adakan)
YANG KETIGA:  yaitu ISI.  Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta’ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepada­Nya. Tidak Ia beribadah (menyembah) yang lain. Dan keluarlah dari keesaan ini, orang‑orang yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap‑tiap orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya.
Berfirman Allah Ta’ala ."Adakah engkau melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?"  S 45 ayat 23. Bersabda Nabi saw: “Tuhan yang, disembah dibumi, yang sangat  dimarahi Allah Ta’ala ialah hawa nafsu”. Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada ke­biasaan‑kebiasaan, adalah salah satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu. Dan keluarlah dari keesaan ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta’ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari, itu, keesaan adalah ibarat dari tingkat ini. Yaitu tingkat orang­-orang Shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan). Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti keesaan dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, membuat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, de­ngan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi‑pagi benar sudah menghadap qiblat dan membaca: “Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar. Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap‑tiap hari, sekira­nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta’ala, secara khusus. Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah', itu wajah secara luar, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain jurusan. Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga orang yang menghadap ke Kabah berarti meng­hadap kepada Allah Ta’ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan ­berdaerah ! Sekiranya, maksudnya dengan wajah itu "wajah hati?' dan memang itulah yang dimaksud oleh tiap‑tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedangkan hati­nya bulak‑balik pada kepentingan dan keperluan dunianya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan dan memperbanyak sebab‑sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian. Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang men­jadikan langit dan bumi?. Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat/makna keesaan. Seorang yang berkeesaan, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak meng­hadapkan wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu. Yaitu mengikuti firman Allah Ta’ala: "Katakanlah! Allah. Kemudian biarkanlah mereka main‑main de­ngan percakapan kosongnya". S 6 ayat 91. Tidaklah dimaksudkan dengan "katakanlah" itu "perkataan" de­ngan lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati., Hatinya tambang keesaan dan sumbernya.
Perkataan keempat:    ZIKIR DAN TADZKIR
Berfirman Allah Ta’ala: “Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman". S 51 ayat 55. Banyaklah hadits Nabi saw yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya: "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka bersenang­-senanglah di dalamnya ! . "Manakah kebun Sorga itu?".  tanya yang hadir. "Majlis-majlis berdzikir ", sahut Nabi saw.  Dalam satu hadits tersebut: "Allah Ta’ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara didalam dunia selain dari para malaikat yang ada hubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, Ialu mereka panggil‑ memanggil satu sama lain, dengan mengatakan: "Pergilah kepada kesayanganmu masing‑masing !". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah kepada Allah dan peringatilah dirimu sendiri ! ".
Oleh kebanyakan juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, Ialu membiasakan dengan: ceritera-­ceritera, syair‑syair, doa‑doa dan kata‑kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan‑perkataan agama (thammat). Adapun ceritera‑ceritera (al‑kisah), maka itu bid’ah (yang diada-adakan). Telah da­tang dari ulama‑ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi tukang‑tukang ceritera itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada masa Rasulullah saw. Dan tidak ada pa­da masa Abu Bakar ra & Umar ra Sehingga lahirlah fitnah &timbullah tukang‑tukang ceritera.
          Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra keluar dari masjid, seraya mengatakan: "Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak keluar". Berkata Dlamrah: "Aku bertanya kepada Sufyan Ats‑Tsuri: "Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?". Menjawab Sufyan: "Balikkanlah tukang bid’ah (yang diada-adakan) itu ke belakangmu !'.
          Berkata Ibnu'Aun: "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya: "Hari ini tidak ada kabar?". Lalu aku jawab: "Amir sudah melarang tukang‑tukang ceritera itu berceritera". Maka menyambung Ibnu Sirin: "Dia sudah mendapat taufiq ke jalan yang benar". AI Amasy masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan mengatakan: "Diterangkan hadits kepada kami oleh AL A'masy". Maka AI Amasy pun masuk ke tengah‑tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya. Maka berkata tukang ceritera itu: "Tuan ! Apakah tidak malu?". Sahut AL A'masy: “Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya ini AL A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".
         Berkata Ahmad bin Hanbal ra: "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera dan peminta‑minta". Ali ra mengusir tukang ceritera dari masjid jami Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al‑Hasan AI‑Bashri maka tak diusirnya. Karena AL Hasan memperkatakan tentang ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng­ingatkan kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada kete­ledoran hamba pada mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepaIsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru‑haranya.
         Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawi­kan Abu Zar, seperti berikut: “Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat 1000 raka'at. Mengun­jungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi 1000 orang sakit. Mengunjungi majelis‑ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah 1000 jenazah". Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! Dan dari membaca ALQur­an?". Maka Nabi saw menjawab: "Adakah bermanfa'at membaca AI‑Qur‑an selain dengan ilmu?".
         Berkata 'Atha' ra: "Majelis dzikir itu menutupkan 70 majelis yang sia‑sia (tempat tontonan)". Hadits‑hadits di atas telah dipergunakan oleh orang‑orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalih­kan nama “tadzkir" kepada khurafat (tahayul)  yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera‑ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada me­nambah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam AI‑Qur‑an dan menambahkan kepadanya. Di antara ceritera‑ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengar nya dan ada yang melarat meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripa­danya. Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra: "Alangkah berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar”. Jika ceritera itu termasuk ceritera Nabi‑Nabi as yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang ceriteranya itu benar dan ceritera­nya tidak salah, maka menurut saya, diperbolehkan. Dari itu jagalah dari kedustaan, dari ceritera‑ceritera keada­an, yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari mengetahui mak­sudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan‑kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala keteledoran dan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima­'afkan. Dia beralasan, bahwa hal itu telah diceriterakan yang demi­kian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi, jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang‑orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'syiat.
Hal yang tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar. Maka sesudah menjaga diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika itu, kembali kepada ceritera-­ceritera yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam AI‑Qur‑an dan kitab‑kitab hadits yang shahih.
Sebahagian orang membolehkan membuat ceritera‑ceritera yang menyukakan kepada perbuatan taat. Dan mendakwa kan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran. Itu sebetuInya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan mengenai dzikir kepada Allah Ta’ala dan RasuINya, tidak menciptakan nasehat yang tidak mempunyai dasar kebenaran. Betapa tidak ! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipan­dang yang demikian membuat‑buat.
Berkata Said bin Abi Waqqas ra kepada anaknya Umar, ketika mendengar ia bersajak: "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak akan aku penuhi ke­perluan mu selama‑lamanya, sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi saw telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, me­ngenai sajak yang terdiri dari tiga kata "Awaslah bersajak, hai anak Rawahah !". Dengan hadits ini, seolah‑olah sajak yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat bayi dalam kandungan: "Bagaimana‑kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak memekik? Samakah itu dengan halal darahnya. Lalu Nabi bersabda: "Adakah sajak seperti sajak orang-orang Badui Arab!". Adapun syair, maka dicela membanyakkan nya dalam pengajaran. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan penyair‑penyair itu diikuti oleh orang‑orang jahat. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan?" S 26 ayat 224‑225. Dan berfirman lagi: “Dan kami tiada mengajarkan syair  kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut baginya” S 36 ayat 69. Kebanyakan syair yang dibiasakan oleh juru‑juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan pedihnya berpisah. Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh‑bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari‑nari. Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seyogianya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
          Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya sebahagian dari syair itu mengadung hikmah  !. Jika majlis itu dihadliri orang‑orang tertentu yang mempunyai per­hatian kepada ketenggelaman hati dengan cinta kepada Allah Ta’ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang zahir nya menunjukkan kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatkan apa yang didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Pendengaran". Dan karena itulah AI‑Junaid ra berbicara kepada lebih kurang 10 orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah pernah sekali‑kali yang menghadiri majlisnya sampai 20 orang.
          Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya: "Berbicaralah ! Telah datang teman‑teman tuan". Ibnu Salim menjawab: "Tidak ! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman‑teman majlis. Sesungguhnya teman‑temanku, ialah orang‑orang tertentu (al‑khawwash). Adapun asy‑syathah (do'a‑do'a dan kata‑kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah 2 jenis perkataan, yang diada­kan oleh sebahagian kaum shufi.
Yang pertama, ialah do'a‑do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah Ta’ala, dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al‑ittihad (bersatu dengan Allah), terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan bercakap‑cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan: “Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demiki­an. Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al Hallaj yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata‑kata yang sejenis dengan itu. Dan mereka mem­buktikan yang demikian dengan ucapan Al Hallaj: “Anal‑haqq" (akulah yang maha benar) salah satu dari nama Allah Ta’ala. ­Dan dengan apa yang diceriterakan dari Abi Yazid Al Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan: "Subhani‑subhani ( maha suci aku maha suci aku )". Ini adalah semacam perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang tersebut. Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh maqam‑maqam (derajat‑derajat) tinggi dan hal ikhwaI yang baik. Maka orang‑orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari pada menerima kata‑kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan kata‑kata. Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan: "Ini adalah tantangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan perteng­karan itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyarat­kan, selain dari dalam dengan terbukanya nur kebenaran". Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang terse­but itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan 10 dari padanya.
           Mengenai Abi Yazid AI‑Bustami ra yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya. Sekiranya benar ucapan tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah Maha Mulia & Maha Besar tentang perkataan yang diulang‑ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila terdengar ia mengatakan: "Innanii anallaahu, laa ilaaha illaa ana fa’budnii" ( Sesungguhnya aku  adalah  Allah, tidak ada Tuhan selain dari aku, maka sembahlah aku) S 20 ayat 14, maka perka­taan tersebut hendaklah dipahamkan, tidak lain daripada pembaca­an dari firman Allah Ta’ala.
Yang kedua: dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata‑kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama sekali. Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau‑balau­an khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata‑kata yang menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak !. Dan adakalanya dapat dipahami, tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya dengan kata‑kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang menarik. Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada mengacau‑balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa kera­guan hati. Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenar­nya, tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepenting­an diri sendiri.
Bersabda Nabi saw:"Tidaklah seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang tiada mema­haminya, selain daripada mendatangkan fitnah kepada mereka itu”. Dan bersabda Nabi saw: “Berbicaralah dengan orang banyak dengan kata‑kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah persoalan yg ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah &RasuINya?". Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mende­ngarnya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengu­capkannya sendiri?. Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
           Berkata Nabi Isa as: “Janganlah kamu letakkan ilmu hik­mah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tem­patnya penyakit !”. Menurut susunan yang lain, sabda Nabi Isa itu berbunyi: “Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahli­nya. Dari itu berilah kepada semua yang berhak akan haknya" 
           Adapun thammat (pemutaran perkataan‑perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah (kata-kata yang mengandung dakwaan yang tidak disenangi). Dan suatu hal lain yang khusus dengan pemu­taraan perkataan‑perkataan agama dari zahir nya yang mudah dipa­hami, kepada urusan bathin/dalam yang tidak ada padanya menonjol faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar ­balikkan maksud. Ini juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan‑perkataan itu apabila diputar dari tujuan luarnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan dari Nabi saw dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perka­taan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala dan kalam (kata-kata) RasuINya. Lalu apa yang segera terbawa kepada pema­haman, tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang dalam itu tak ada ketentuan baginya. Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke dalam beberapa corak. Ini juga termasuk ke dalam yang diada-adakan yang telah berkembang dan besar kerugiannya. Sesungguhnya tujuan dari orang‑orang pembuat pemutaran perkataan‑perkataan agama  itu ialah menciptakan yang ganjil. Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang ganjil. Dengan cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari’at/agama, dengan penafsiran luarnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri, sebagaima­na telah kami ceriterakan mengenai madzhab‑madzhab kaum kebathinan itu dalam kitab "AI‑Mustadhhari" yang dikarang untuk menolak golongan tersebut.
        Contoh pemutar‑balikan penafsiran golongan pemutaran perkataan‑perkataan agama  itu, di antara lain, kata setengah mereka, tentang penafsiran firman Allah Ta’ala: "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka”. S 20 ayat 24. Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah  yang dimaksud dengan Fir'aun itu. Dan hatilah yang durha­ka pada tiap‑tiap manusia. Dan pada firman Allah Ta’ala: "Dan campaklah tongkatmu". S 28 ayat 31. Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap‑tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta’ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh. Dan pada sabda Nabi saw:"Bersahurlah kamu ! Karena pada sahur itu ada berkatnya". Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri. Dan contoh‑contoh yang lain, di mana mereka memutar‑balikkan AL Qur‑an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang luar dan dari penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya. Setengah dari pemutar balikan itu, dapat diketahui salahnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati. Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawa­tir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as menyeru­kannya kepada agama seperti Nabi Muhammad saw menyerukan Abu Jahal dan Abu Lahab serta kafir‑kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata‑katanya. Dan demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw sendiri makan sahur. Dan bersabda:"Bersahurlah !" Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengan­dung‑berkat ini ! ". Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan salahannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra. Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukum nya, menyesat­kan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun dari padanya diterima dari shahabat, dari tabiin dan dari AL Hasan Al Bashri yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak. Maka bagi sabda Nabi saw: "Barangsiapa menafsirkan Al Qur‑an menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka ". Tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah ! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, Ialu menarik penyaksian AI‑Qur‑an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata‑kata, baik menurut bahasanya atau me­nurut yang dinukilkan (naqliah).
            Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa AI‑Qur‑an tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemaham­an yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat‑ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai 5, 6 dan sampai 7 pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang‑kadang ada yang berla­wanan, yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan mak­sud). Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu berdo'alah Nabi saw kepada Ibnu Abbas ra: "Ya Allah Tuhanku ! Berilah kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penafsiran!" Barang siapa membolehkan dari golongan pemutaran perkataan‑perkataan agama/thammat, menggunakan pemutar‑balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa yang demi­kian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan‑perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan o­rang yang membolehkan membuat‑buat dan mengada‑adakan sesu­atu terhadap Nabi saw karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengada‑adakan hadits Nabi saw dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar. Tindakan yang seperti itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi saw, yang dipahami dari sabdanya: ”Barang siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka”. Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutar‑balikkan kata‑kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan kepada kata‑kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan pemahaman dari AI‑Qur‑an keseluruhannya. Maka tahulah kita betapa setan itu memutar‑balikkan alat‑alat dakwah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama‑ulama jahat dengan menggantikan maksud kata‑kata itu. Jika anda mengikuti mereka karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, Ialu me­ngikuti siapa saja yang bernama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk Tabib, penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari penukaran kata‑kata itu.
Perkataan kelima:   HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al‑hakim) ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar‑mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar. HIKMAH ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta’ala dengan firmannya: “Dianugrahi NYA Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan". S 2 ayat 269. Dan sabda Nabi saw: "Satu kalimat dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada dunia serta isinya".  Perhatikanlah, apakah yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan ! Kemudian bandingkanlah dengan kata‑kata yang lain ! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu‑raguan yang dibuat oleh ulama‑ulama jahat ! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan pe­rantaraan ulama‑ulama jahat itu, setan beransur‑ansur mencabut agama dari hati orang banyak. Karena itulah, tatkala ditanyakan kepada Nabi saw tentang orang yang paling jahat, beliau enggan menjawab seraya berdo'a:  “Ya Tuhan ! Ampunilah !. Sehingga setelah berkali‑kali ditanyakan, Ialu beliau menjawab: “Mereka itu ialah ulama jahat (ulama us su)”. Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya. Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan Ialu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf). Segala ilmu yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertim­bun. Dan apa yang menjadi perpegangan manusia, sekarang, sebaha­gian besar dari padanya adalah bid’ah/yang diada‑adakan. Benar lah kiranya sabda Nabi saw: "Mulanya Islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang‑orang asing itu ! ". Maka ditanyakan kepada Nabi saw: "Siapakah orang‑orang asing itu?". Nabi menjawab: "Mereka yang memperbaiki apa, yang telah diru­sakkan manusia dari sunahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunahku". Pada hadits yang lain tersebut: "Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang”. Pada hadits lain lagi tersebut: "Orang‑orang asing itu adalah manu­sia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak daripada yang men­cintainya". Ilmu‑ilmu itu telah menjadi asing. Orang yang mengingatinya dima­ki. Karena itu, berkatalah Ats‑Tsuri ra: "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa dia itu ber­campur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya maka dia akan dimarahi".
PENJELASAN: Kadar terpuji dari ilmu yang terpuji.
Ketahuilah bahwa dengan memandang yang di atas tadi maka ilmu itu 3 bahagian: satu bahagian  yaitu yang tercela sedikitnya & banyaknya: satu bahagian yaitu terpuji sedikitnya dan banyaknya. Semakin banyak semakin bertambah baik dan utama; satu baha­gian yang terpuji dari padanya sekedar kifayah (mencukupi) saja. Tidak terpuji yang berlebih dan yang mendalam dari padanya. Yaitu seumpama keadaan tubuh manusia. Diantaranya ada yang terpuji sedikitnya dan banyaknya seperti kesehatan dan kecantik­an. Diantaranya ada yang tercela sedikitnya dan banyaknya seperti keburukan dan kejahatan budi. Dan diantarannya ada yang terpuji kesederhanaan padanya seperti memberi harta. Kalau boros tidak terpuji walaupun ia memberi juga. Dan seperti berani. Kalau berani membabi buta tidak terpuji. Walaupun ia termasuk sebangsa berani juga. Maka seperti itu pulalah ilmu. Maka bahagian yang tercela sedikitnya dan banyaknya, yaitu yang tak adalah faedah padanya, pada agama dan dunia. Karena kemela­ratannya mengalahkan kemanfa'atannya seperti ilmu sihir, man­tera dan nujum. Sebahagiannyapun tak ada faedah padanya sekali-­kali. Menyerahkan umur yang amat berharga yang dimiliki manusia kepada ilmu itu, adalah menyia‑nyiakan. Dan menyia‑nyiakan yang amat berharga itu, adalah tercela. Diantara ilmu itu ada yang memberi melarat melebihi dari dugaan, akan memberi hasil untuk keperluan duniawi. llnu yang semacam itu tidak juga masuk hitungan, dibandingkan kepada kemelaratan yang timbul dari padanya.
Adapun ilmu yang terpuji setinggi‑tingginya ialah ilmu mengenai Allah Ta’ala, sifatNya, Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya, sunnahNya dalam menjadikan makhlukNya dan hikmahNya pada tertibnya akhirat di atas dunia. Inilah ilmu yang dicari karena ilmu itu sendiri dan karena dengan­nya tercapai kebahagiaan akhirat. Menyerahkan tenaga dengan setinggi‑tingginya kesungguhan hati untuk ilmu tadi, adalah di luar batas kewajiban. Ilmu itu adalah laut yang tak diketahui dalamnya. Para perenang hanya dapat merenangi pantai dan tepinya saja sekedar yang mungkin ditempuhnya. Tak dapat menempuh segala  tepinya, selain para nabi dan wali serta para ahli ilmu menurut tingkat masing‑masing yang berbeda kesanggupan dan berlebih ­kurang taqdir yang dianugerahi Allah Ta’ala. Itulah ILMU MAKNUN (ilmu yang tersembunyi) yang tidak ditulis dihalaman kitab. Yang menolong untuk mengetahuinya ialah dengan jalan belajar dan menyaksikan perihal keadaan ulama akhirat, sebagaimana akan datang tanda‑tanda mereka. Ini adalah pada taraf permulaan ! Dan yang menolong kepadanya mengenai akhirat, ialah kesungguhan (mujahadah), latihan (riadlah), kebersihan hati, kebebasan hati dari  segala ikatan duniawi dan mencontoh kepada nabi‑nabi dan Wali-­wali, supaya jelas bagi tiap‑tiap orang yang pergi mencarinya, seke­dar rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Tidak sekedar kesungguhan walaupun kesungguhan itu harus ada. Kesungguhan itu (mujahadah), adalah kunci petunjuk. Tak ada baginya kunci, selain dari kesungguhan itu.
Adapun ilmu, yang tidak terpuji melainkan sekedar yang tertentu saja daripadanya, ialah ilmu yang telah kami bentangkan dalam golongan ilmu fardlu kifayah(mencukupi). Sesungguhnya pada tiap‑tiap ilmu pengetahuan itu ada yang singkat, yaitu yang sekurang‑kurangnya. Ada yang sedang yaitu di tengah tengah dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang itu. Itu tidak terselesai sampai akhir hayat. Maka hendaklah anda, menjadi salah seorang dari dua, adakalanya berusaha untuk diri sendiri dan adakalanya berusaha untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu. Janganlah berusaha untuk orang lain sebelum siap, yang untuk diri sendiri. Kalau berusaha untuk diri sendiri maka janganlah berusaha selain dengan ilmu yang diwajibkan kepada kita menurut keadaan kita dan yang berhubungan dengan amal zahiriyah kita seperti mempe­lajari shalat, bersuci dan berpuasa. Ilmu yang terpenting yang disia‑siakan oleh semua orang, ialah ilmu sifat hati, yang terpuji dan yang tercela daripadanya. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari sifat yang tercela seperti loba, dengki, ria, takabur, sombong dsb nya. Semuanya itu membinasakan. Menyia‑nyiakan kewajiban tadi serta mementingkan amal zahiriyah, samalah haInya dengan melakukan perbuatan menggosok badan zahir ketika menderita penyakit ku­dis dan bisul dan melupakan mengeluarkan benda penyakit dari tubuh dengan bekam dan cuci perut. Ulama kosong, menunjukkan jalan kepada amal zhiriyah, seperti tabib‑tabib di jalanan (penjual koyok), menunjukkan jalan dengan menggosok badan luar.
Ulama akhirat, tidak menunjukkan jalan selain dengan mensucikan bathin/dalam, mencabut benda‑benda jahat yang merusakkan tanaman dan akar‑akarnya dari hati. Orang kebanyakan menempuh amal zahiriyah, tidak amalan bathin, dengan mensucikan hati nurani, adalah disebabkan amal zahiriyah itu mudah. Sedang amalan hati itu sukar seperti orang yang merasa payah meminum obat yang pahit lalu menempuh kepada menggosok badan l zahiriyah. Maka terus‑meneruslah ia payah menggo­sok dan bertambah pada benda‑benda yang digosokkan, sedang panyakitnya terus bertambah juga. Jika anda menghendaki akhirat, mencari kelepasan dan melarikan diri dari kebinasaan abadi maka berusahalah mempelajari ilmu pe­nyakit batin dan cara mengobatinya, menurut cara yang kami uraikan pada Bahagian Yang Membinasakan. Kemudian, sudah pas­ti, hal yang demikian itu membawa anda kepada tempat yang ter­puji, yang tersebut nanti pada Bahagian Yang Melepaskan. Sesungguhnya, hati apabila kosong dari sifat yang tercela, maka penuhlah dia dengan sifat yang terpuji. Dan bumi apabila telah bersih daripada rumput, maka tumbuhlah padanya bermacam‑ma­cam tumbuh‑tumbuhan dan bunga‑bungaan. Jika tidak kosong dari rumput, maka tidaklah tumbuh yang tersebut tadi. Maka janganlah anda menghabiskan waktu dengan fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), apalagi bila telah berdiri segolongan anggota masyarakat yang mengerjakannya. Orang yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kebaikan orang lain, itu bodoh. Alangkah dungunya orang yang telah masuk ular dan kala ke bawah kain bajunya dan akan membunuhnya, lalu ia mencari alat pembunuh lalat untuk membunuh lalat itu pada orang lain, yang tidak akan menolong dan melepas­kannya dari ular dan kala itu. Bila anda telah selesai dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup meninggalkan dosa zahir/luar dan dosa batin/dalam dan yang demikian itu telah menjadi darah daging dan kebiasaan yang mudah dikerjakan dan tidak akan ditinggalkan lagi, maka barulah anda bekerja dalam lapangan
-fardlu‑kifayah dan peliharalah secara berangsur‑angsur.
-Mulailah dengan Kitab Allah Ta’ala,
-kemudian dengan Sunnah Nabi saw,
-kemudian dengan ilmu tafsir dan lain‑la­in ilmu AI‑Qur‑an. Yaitu ilmu nasikh dan mansukhnya, mafshul, maushul, muhkam dan mutasyabihnya.
-Demikian juga dengan sunnah !. 
-Kemudian berusahalah dengan ilmu furu, yaitu ilmu mengenai madzhab dari ilmu fiqih, tanpa membicarakan masalah khilafiah/perbedaan.
-Kemudian berpindah kepada ilmu Ushul fiqih.
-Demikianlah terus sampai kepada ilmu‑ilmu yang lain, selama nyawa masih dikandung badan dan selama waktu mengizinkan.
Janganlah anda menghabiskan umur pada satu pengetahuan saja dari pengetahuan‑pengetahuan itu, karena hendak mendalaminya benar‑benar. Sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek. Dan ilmu pengetahuan itu adalah alat dan pengantar. Dia tidaklah men­jadi tujuan yang sebenarnya, tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain. Dan tiap‑tiap yang dicari untuk tujuan yang lain, maka tidaklah layak tujuan yang sebenarnya itu dilupakan, lalu diperbanyakkan yang dicari itu. Mengenai Ilmu Bahasa umpamanya, singkatkanlah sekedar dapat memahami dan bercakap‑cakap dengan bahasa Arab itu. Dan dipe­lajari yang luar biasa dari ilmu bahasa itu untuk dapat dipahami yang luar biasa pula dari susunan AI‑Qur‑an dan AL Hadits. Tinggal­kanlah berdalam‑dalam padanya dan singkatkanlah dari ilmu tata ­bahasa (ilmu nahwu) itu sekedar yang berhubungan dengan Kitab Suci dan sunnah Nabi  !. Tidak ada satu ilmupun, melainkan mempunyai yang ringkas, yang sedang dan yang mendalam. Kami tunjukkan tadi mengenai ilmu hadits, tafsir, fiqih dan ilmu kalam (berkata-kata), untuk dapat diambil perbandingan kepada ilmu‑ilmu yang lain. Yang singkat tentang ilmu tafsir adalah, yang banyaknya 2 X dari Kitab Suci AI‑Qur‑an sendiri, seumpama Tafsir yang disusun oleh 'Ali Al‑Wahidi An‑Naisaburi, yaitu “Al‑Wajiz”.  Yang sedang adalah sampai 3 X dari AI‑Qur‑an sendiri seperti yang disusun oleh 'Ali AL Wahidi yaitu "AI‑Wasith ". Dan di balik itu adalah seca­ra mendalam yang tidak diperlukan benar dan tidak akan habis‑ha­bisnya selama umur.
Adapun hadits, yang singkat padanya, adalah memperoleh apa yang ada dalam kitab "Shahih AI‑Bukhari” dan "Shahih Muslim” de­ngan meminta pengesahan dari hadits yang dipelajari itu kepada seorang yang berilmu dengan matan (kata‑kata) hadits itu. Mengenai perawi‑perawi dari hadits itu, maka anda cukupkan saja­lah dengan perawi‑perawi sebelum anda sendiri, dengan berpegang kepada kitab‑kitab yang ditulis mereka. Tak perlulah kiranya anda menghafal seluruh hadits yang ada dalam kedua "Shahih" itu. Te­tapi berusahalah, sehingga apabila memerlukan kepadanya, maka sanggup mencarinya dalam Kitab Hadits yang tersebut tadi. Mengenai yang sedang pada Hadits ialah dengan menambah kepada kitab shahih yang dua di atas, hadits‑hadits yang terdapat dalam kitab‑kitab musnad yang shahih.
Adapun yang meluas dan mendalam ialah di balik yang tadi, se­hingga melengkapi kepada seluruh hadits yang diterima, baik yang dla'if, yang kuat, yang syah dan yang bercacat serta mengetahui pula cara‑cara penerimaan hadits itu, keadaan orang‑orang yang menjadi perawi hadits, namanya dan sifatnya.
Adapun fiqih, yang singkat padanya ialah apa yang terkandung dalam kitab "Mukhtashar" karangan AI‑Mazani ra, kitab mana te­lah kami susun dalam "Khulashah AI‑Mukhtashar". Yang sedang  pada fiqih ialah yang sampai 3 X banyaknya dari Mukhtashar AI‑Mazani, yaitu kira‑kira sama dengan isi kitab “Al‑Wasith minal madzhab" karangan kami. Dan yang mendalam ialah melebihi dari apa yang kami muatkan dalam "AI‑Wasith" tadi dan seterusnya sampai kepada kitab yang besar‑besar.
Adapun ilmu kalam (berkata-kata), maka maksudnya ialah menjaga keyakinan yang dinukilkan Ahlus sunah dari ulama salaf yang shalih. Tak lain dari itu. Dan dibalik itu, ialah mempelajari untuk menyingkap hakikat/makna dari segala sesuatu, tanpa cara tertentu. Yang dimaksud dengan memelihara 'keyakinan yang dinukilkan ahlus sunnah itu, ialah mencapai tingkat yang ringkas dari padanya dengan 'keyakinan yang ringkas. Yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Kaidah‑kaidah I'tikat, yang termasuk dalam jumlah Kitab besar ini. Yang sedang pada ilmu kalam (berkata-kata) ialah yang sampai kira‑kira 100 lembar buku, yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Al ­Iqtishad fil Itiqad". Pengetahuan sebanyak tadi diperlukan untuk melawan tukang bid’ah/yg diada-adakan dan menentang yang diada‑adakan. Sebab merusakkan dan menghilangkan 'keyakinan yang benar dari hati orang awwam. Usaha tadi tidak ada gunanya, kecuali terhadap orang awwam yang belum fanatik benar. Terhadap pembuat yg diada-adakan itu sendiri apabila ia sudah mengerti berdebat meskipun sedikit, maka tak ada gunanya lagi berbicara dengan dia. Sebab, walaupun anda telah mematahkan semua kete­rangannya, dia tidak akan meninggalkan madzhab yang dianutnya. Tetapi dialihnya kepada alasan bahwa dia sendiri yang kekurangan keterangan, sedang pada orang lain dari golongannya, masih ada jawaban dan dalil yang cukup.  Jadi, hanya anda saja yang berhadap­an dengan dia, dengan kekuatan perdebatan yang cukup.
Adapun orang awwam, apabila telah berpaling dari kebenaran de­ngan menggunakan perdebatan, maka masih mungkin diajak kem­bali kepada kebenaran itu, sebelum bersangatan benar fanatiknya kepada hawa nafsunya. Kalau sudah, maka putuslah harapan me­ngembalikannya. Sebab fanatik adalah suatu unsur yang membawa kepercayaan itu melekat ke dalam jiwa. Dan fanatik itu adalah se­tengah dari penyakit ulama jahat. Karena ulama jahat itu, ber­sangatan benar fanatiknya kepada apa yang dianggapnya benar. Dan memandang kepada golongan yang berbeda paham dengan mereka, dengan pandangan menghina dan mengejek. Maka menon­jollah sifat‑sifat ingin menentang dan berhadapan. Dan bangkitlah gerakan membela yang batil/salah itu. Dan kokoh kuatlah maksud mere­ka untuk berpegang teguh kepada apa yang tersebut tadi. Jikalau sekiranya mereka datang dari segi lemah‑lembut dan kasih sayang serta nasehat‑menasehati secara berbisik, tidak dalam tontonan fanatik dan hina menghina, niscaya mereka mendapat kemenangan. Tetapi tatkala kemegahan itu tidak tegak selain dengan mempunyai pengikut dan pengikut itu tidak mudah diperoleh seperti mudah­nya memperoleh fanatik, kutukan dan cacian terhadap lawan, lalu diambilnyalah fanatik menjadi adat kebiasaan dan alat perkakas bagi mereka. Dan disebutnyalah, "untuk mempertahankan agama dan kehormatan kaum muslimin". Pada hal sebenarnya adalah membawa kebinasaan kepada ummat manusia dan menetapkan bid’ah (yang diada-adakan) didalam jiwa.
Adapun masalah khilafiah yang timbul pada masa akhir‑akhir ini dan diadakan dengan merupakan karangan, susunan dan perdebatan, yang tak pernah dikenal contohnya pada ulama‑ulama terdahu­lu, maka janganlah anda dekati. Tetapi jauhilah seumpama menja­uhi diri dari racun yang membunuh. Sebab, itu adalah penyakit yang amat membahayakan. Penyakit itulah yang membawa seluruh ulama fiqhi (fuqaha') suka berlomba‑lomba dan bermegah‑megah, yang akan kami terangkan nanti, celaka dan bahayanya. Mungkin terdengar orang mengatakan. "Manusia itu musuh dari kebodohannya". Maka janganlah anda terpesona kepada kata‑kata itu, nanti terperosok! Dari itu, terimalah nasehat ini dari orang (maksudnya Al Gazzali sendiri) yang sudah menghabiskan umurnya seki­an lama dan menambahkan dari orang‑orang terdahulu dengan ka­rangan, pembuktian, perdebatan dan penjelasan. Kemudian diilhami Allah dengan petunjuk dan diperlihatkan Nya kepada kekurangan diri, lalu berhijrah dan bekerja dengan jiwa‑raga.
 Janganlah anda tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa fatwa/pernyataan itu tiang agama dan tidak diketahui sebab‑sebabnya melainkan dengan ilmu khilafiah(perdebatan). Sebab‑sebab dari madzhab/aliran adalah tersebut dalam madzhab itu sen­diri. Dan penambahan dari padanya adalah merupakan perdebatan yang tidak dikenal oleh orang‑orang terdahulu dan oleh para sha­habat. Merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui dengan sebab-­sebab fatwa, dari orang‑orang lain. Bahkan perdebatan itu, di samping tak ada faedahnya, dalam ilmu madzhab adalah mendatangkan kemelaratan, yang merusakkan rasa indah  ilmu fiqih. Orang yang menyaksikan terkaan seorang 'ahli fatwa (mufti) dalam memberikan fatwanya, apabila benar rasa indah perasaan nya kepa­da fiqih, maka tak mungkinlah jalan pikirannya dalam banyak hal menyetujui syarat‑syarat perdebatan itu. Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan, maka hati nuraninya meyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak berani lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih. Orang yang berbuat serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan, dengan mempertopengkan ingin mempelajari sebab-­sebab dari madzhab. Kadang‑kadang umurnya habis di situ saja dan tak beralih cita‑citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab itu. Maka peliharalah dirimu dari setan jin. Dan waspadalah dari setan manusia. Karena setan manusia itu memberi kesempatan beristira­hat bagi setan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan. Pendek kata, yang baik bagi orang yang berakal budi, ialah meng­umpamakan dirinya di alam ini sendirian beserta Allah. Dihadap­annya mati, bangkit, hisab amalan, sorga dan neraka. Maka perhatikanlah apa yang engkau perlukan dihadapanmu kelak dan tinggalkanlah yang lainnya. Wassalam  !
Ada sebahagian syekh tasawwuf/ahli suffi memimpikan sebagian ulama dalam tidurnya, seraya menanyakan: "Apa kabar ilmu yang tuan perde­batkan dahulu dan pertengkarkan ?". Ulama itu membuka tangannya dan menghembuskannya seraya berkata: "Semuanya menjadi abu yang beterbangan. Tak ada yang berguna selain dari dua raka'at shalat yang aku kerjakan dengan ikhlas di tengah malam sepi" Pada hadits tersebut: "Tak sesatlah sesuatu golongan sesudah ada petunjuk padanya se­lain orang‑orang yang suka bertengkar”. Kemudian Nabi saw membaca: ”Mereka menimbulkan soal itu hanyalah untuk membantah saja. Sebenarnya, mereka adalah kaum yang suka bertengkar"  S 43 ayat 58. Mengenai firman Allah Ta'ala: "Adapun orang‑orang yang hatinya cenderung kepada kesalahan". S 3 ayat 7. Maka tersebutlah dalam suatu hadits bahwa: "orang‑orang itu ialah mereka yang suka bertengkar yang diperingati Allah dengan FirmanNya: "Maka berhati‑hatilah terhadap mereka itu". S 63 ayat 4. Berkata sebahagian salaf: "Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang menguncikan pintu amal dan membukakan pintu pertengkaran”. Pada sebahagian hadits tersebut: "Sesungguhnya kamu berada pada suatu zaman yang diilhami de­ngan amal dan akan datang suatu kaum yang diilhami dengan per­tengkaran".  Pada suatu hadits yang terkenal tersebut: "Manusia yang amat dimarahi Allah Ta’ala ialah yang suka ber­tengkar". Dan pada hadits lain: "Tidak diberikan kepada suatu kaum akan bijak berkata‑kata, ke­cuali mereka itu meninggalkan bekerja ". Wallahu A’lam. (Allah Yang Maha Tahu)
BAB KEEMPAT: Mengenai Sebabnya manusia suka kepada ilmu kilafiah/ilmu perdebatan. Penguraian bahaya perde­batan & pertengkaran.
Syarat‑syarat pembolehannya.
Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi saw dipegang oleh khulafa’ rasyidin dengan petunjuk Allah (yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman & Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli‑ahli hukum Islam (fuqaha' artinya ulamah fikih). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai peristiwa‑peristiwa yang harus dimusyawa­rahkan. Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak menge­luarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum duni­awi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksi­mal kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup para alim ulama itu sendiri. Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan‑golongan sesu­dah khulafa’ rasyidin itu, yang mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha' dan mengikut‑sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan hukum. Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri‑ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, Ialu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengang­katan anggota kehakiman dan pemerintahan. Maka kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan per­hatian, para pembesar dan wali negara kepada mereka. Sedang da­ri pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan menjauhkan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin memperoleh kemuliaan dan kemegahan dari para pembesar negeri. Me­reka bertekun mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenal kan diri kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan jabatan. Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta‑minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha' itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah‑nyembah kepada pembesar sesudah tadi­nya mulia dengan berpaling dari penguasa‑penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang‑orang dari para ulama agama Allah yang memperoleh taufiq dari padaNya. Amat besar perhatian pada masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah‑daerah atau di pusat pe­merintahan.
Sesudah itu lahirlah dari orang‑orang terkemuka dan pembesar-­pembesar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah‑kaidah/keyakinan kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil‑dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar ­pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam (berkata-kata). Perhatian orang banyak‑pun tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat. Dan dikeluarkan lah ulasan tentang mana kata‑kata yang bertentangan. Mereka mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw, serta membasmi bid’ah/yg diada-adakan seba­gaimana orang‑orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena belas‑kasihan kepada makhluk Tuhan dan un­tuk pengajaran kepada mereka. Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka orang‑orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam (berkata-kata) dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatik­an yang keji dan permusuhan yang meluap‑luap, yang membawa kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi go­longan ini tertarik kepada bertukar‑pikiran tentang fiqih dan khu­sus memperbanding kan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.
Maka manusia‑pun meninggalkan ilmu kalam (berkata-kata) dan bahagian‑bahagi­annya, terjun ke dalam masalah‑masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementingkan tentang khilafiah yang terjadi antara Malik, Sufyan Ats‑Tsuri dan Ahmad ra serta ulama‑ulama lainnya. Mereka mendakwakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan‑alasan madzhab dan memberikan kata peng­antar bagi pokok‑pokok fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam‑macam cara berdebat dan, mengarang. Keadaan itu diteruskan mereka sampai sekarang. Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada masa‑masa yang akan datang. Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai bertekun da­lam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain ! Kalaulah condong hati penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam‑imam tadi atau kepada ilmu yang lain dari bermacam‑macam ilmu pengetahuan, maka golongan yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya tak lain dari pada mendekatkan diri  kepada Tuhan seru sekalian alam.
PENJELASAN:  Penipuan tentang samanya perdebatan itu dengan      musyawarah para shahabat & pertukar‑pikiran ulama salaf.
Ketahuilah bahwa golongan tersebut, kadang‑kadang menjerumus­kan manusia ke dalam pahamnya dengan mengatakan: "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari kebenaran supaya kebe­naran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari. Bertolong‑tolong­an membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan gu­nanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah menge­nai masalah nenek laki‑laki, saudara laki‑laki (dalam soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila ia bersalah. Seperti kejadian seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umar ra dan seperti masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan‑persoalan yang diterima dari Asy‑Syafi’i, Ahmad, Muhammad bin AL Hasan, Malik, Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama. Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian ! ". Akan tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini. Yaitu, benar bahwa bertolong‑tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam:
PERTAMA: bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang terma­suk dalam fardlu‑kifayah itu, orang‑orang yang belum lagi menye­lesaikan fardlu ain. Dan orang yang masih berkewajiban dengan sesuatu fardlu 'ain, lalu mengerjakan fardlu‑kifayah dengan dakwa­an bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpa­ma orang yang meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyedia­kan kain & menjahitkannya dengan mengatakan: "Bahwa mak­sudku hendak menutup aurat orang yang bershalat telanjang & tidak memperoleh kain". Penjawaban itu mungkin cocok & bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli fiqih, bahwa kejadian hal‑hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas & perselisihan itu, bu­kan tidak mungkin. Yang jelas, orang‑orang yang 'asyik bertengkar itu, menyia‑nyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu 'ainnya. Orang yang diha­dapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan seka­rang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu iba­dah yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya adalah berdosa. Jadi tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuat­annya termasuk perbuatan taat, sebelum dijaga padanya waktu, syarat & tata‑tertib pada mengerjakan nya.
KEDUA: bahwa tidak melihat fardlu‑kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia dengan sikapnya itu. Contohnya seumpama orang yang melihat serombongan orang ke­hausan yang hampir binasa & tak ada yang menolongnya. Orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk fardlu‑kifayah & kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli bekam & lebih dari cukup, lalu dijawabnya bahwa ia tidak dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardlu kifayah (artinya jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu) lagi. Maka peris­tiwa orang yang pergi mempelajari berbekam & menyia‑nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang muslimin, samalah haInya dengan peristiwa orang yang 'asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardlu kifayah yang disia‑siakan, tak ada yang mengerjakannya.
Mengenai fatwa/pernyataan maka telah bangun segolongan manusia melaksa­nakannya. Tak ada satu negeripun yang didalamnya fardlu kifayah, yang tidak disia‑siakan. Dan para ulama fiqih tidak menaruh perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran. Ham­pir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis/saran dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam lapangan kedokteran. Begitu pula amar maruf & nahi munkar, termasuk dalam fardlu kifayah. Kadang‑kadang seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai & dipasang pada tempat duduk. Dia ting­gal berdiam diri & terus berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa mak­sudnya dengan fardlu kifayah tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Diriwayatkan Anas ra bahwa orang bertanya kepada Nabi saw: “Pabilakah amar maruf & nahi munkar itu ditinggalkan orang?" Maka menjawab Nabi saw: "Apabila telah lahir sifat berminyak air/munafik dalam kalangan orang pilih­an dari kamu & perbuatan keji dalam kalangan orang jahat dari kamu & berpindah pemerintahan dalam kalangan orang‑orang kecil dari kamu & fiqih (hukum) dalam kalangan orang‑orang yang hina dari kamu ".
KETIGA: bahwa adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri, tidak dengan madzhab Asy‑Syafi’i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga, apabila lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai dengan pendapat Asy‑Syafi’i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti yang diperbuat para shahabat ra dan para imam. Adapun orang, yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begi­tulah keadaan orang sekarang maka berfatwa’alah dia dalam persoal­an yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya. Dari itu, apakah faedahnya ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain ? Kalau ada yang sulit, dia harus mengatakan: "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya madzhabku. Karena aku tidak ber­diri sendiri dengan berijtihad/ berkesungguhan pada pokok‑pokok agama". Kalau ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai 2 pendapat atau 2kata dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu, karena sepanjang penyelidikannya, ia condong kepada yang satu itu. Maka tak adalah sekali‑kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut. Tetapi mungkin pula ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat/kata itu dan dicarinya persoalan yang ada perse­lisihan pendapat padanya sudah pasti.
KEEMPAT:  bahwa tidak diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam masa dekat. Karena para shahabat ra tidak mengadakan musyawarah selain, dalam per­soalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraidl). Tetapi, kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang se­ring terjadi. Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi. Kadang‑kadang ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan: "Itu soal kabar angin atau soal yang dike­tepikan yang tak layak diperdengar kan". Yang mengherankan, ialah tujuan mereka mencari kebenaran. Tetapi persoalan yang semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai hal ini, tak usah kami perpanjang kalam (berkata-kata). Menuju kepada kebenar­an biarlah dengan kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, tidak berpanjang‑panjang.
KELIMA: bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan orang ramai dan di muka para pem­besar dan penguasa‑penguasa. Pada tempat yang sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran. Kalau di muka umum, dapat menggerakkan ria, mendorong masing­-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar dia atau salah. Anda tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah karena Allah Ta’ala. Kalau di tempat yang sepi, masing‑masing mau memberikan kesempatan waktu kepada kawan­nya untuk berpikir dan berdiam diri. Kadang‑kadang dimajukan sa­ran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat. Tetapi bila di muka umum/dihadapan pertemuan besar, ma­sing-masing pihak tidak mau meninggalkan kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.
KEENAM: bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya se­perti orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya. Dia memandang temannya berdebat itu penolong, bukan musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan dilahirkannya kebenaran. Seumpama kalau dia mengambil jalan mencari barangnya yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang yang hilang itu berada pada jalan yang lain. Tentu akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira. Demikianlah adanya musyawarah para shahabat Nabi saw itu.
Seo­rang wanita pernah membantah keterangan Umar ra dan, mene­rangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato dihadapan rakyat banyak. Maka menjawab Umar: "Benar wanita itu dan salah laki‑laki ini ! Bertanya seorang laki‑laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penja­waban atas pertanyaan itu. Lalu menyahut laki‑laki tadi: "Bukan begitu wahai Amirul mu'minin. Tetapi begini  begini  !. Maka menjawab Ali: "Anda benar dan aku salah. Di atas tiap‑tiap yang berilmu, ada lagi yang lebih berilmu". Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu Musa AI‑Asy'ari ra dalam suatu persoalan. Maka berkata Abu Musa: "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh ini masih dihadapan ki­ta". Persoalan itu yaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang ber­perang sabilullah lalu tewas, maka menjawab Abu Musa: "Masuk sorga". Abu Musa ketika itu menjadi amir di Kufah. Tatkala mendengar penjawaban Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu Mas'ud seraya berkata: "Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum mengerti !". Yang hadlir mengulangi lagi pertanyaan di atas dan Abu Musa men­jawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud: "Saya menga­takan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh kebenaran, maka dia dalam Sorga". Maka menjawab Abu Musa: "Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud !'. Demikianlah kiranya keinsyafan bagi orang yang mencari kebenar­an. Kalau umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada seorang ahli fiqih kaliber kecil saja, tentu dibantahnya dan dikesampingkan­nya dengan mengatakan: “Tak perlu dikatakan, ‑diperolehnya kebenaran‑, sebab hal itu semua orang sudah tahu". Lihatlah tukang‑tukang berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu dan berusaha sekuat tenaganya, menentang kebe­naran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus‑menerus selama hidup­nya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu. Kemudian tidak pula malu menyamakan dirinya dengan para shaha­bat ra tentang bekerja sama & tolong‑menolong mencari kebenar­an.
KETUJUH: Jangan dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf pada masa yang lampau. Tetapi sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur selu­ruh bentuk pertengkaran yang tidak‑tidak, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain. Seumpama katanya: "Ini tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu tidak diterima". Sebenarnya, kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil/salah dan wajib diterima. Anda melihat sekarang seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai mem­beri keterangan dengan alasan‑alasan sangkaan. Untuk menolak alasan tadi, lalu yang sepihak lagi bertanya: "Apa keterangannya, maka untuk menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?". Pihak pertama menolak dengan mengatakan: “Itulah yang ada pa­daku. Kalau ada pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan ! ". Maka terus‑meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-­kata yang lain lagi yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama: "Sa­ya tahu, tetapi tidak mau saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya !". Yang sepihak lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebut­nya itu. Tetapi pihak yang kedua ini tetap menolak. Bertele‑tele majelis perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab. Pihak yang mengatakan bahwa dia tahu, tetapi tidak bersedia me­nerangkannya, beralasan tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang fasiq/ pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan mengatakan tahu, padahal tidak. Kalau benar ia tahu, maka dia menjadi seorang fasiq karena menyem­bunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu agama, sedang saudara­nya seagama telah bertanya untuk mengerti dan mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu yang terang‑benderang. Dan tak khilaf lagi bahwa melahirkan apa yang diketahui dari ilmu agama setelah ditanyakan, adalah wajib dan perlu. Dari itu, katanya: "Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu dalam perdebatan yang diadakan untuk me­menuhi hawa nafsu dan ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerang­kan, jadilah dia pendusta atau fasiq. Perhatikanlah musyawarah para shahabat ra dan bersoal jawab para ulama salaf ! Adakah anda mendengar semacam itu? Adakah dilarang orang berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ‑ayat? Tidak, bahkan seluruh perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan tadi. Karena mereka menyebutkan apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi‑sembunyi. Dan masing‑masing mendengarnya dengan penuh perhatian.
KEDELAPAN: bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedahnya bagi orang itu, seperti orang yang se­dang menuntut ilmu. Biasanya sekarang, orang menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh‑tokoh yang terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran dari mulut mereka. Dari itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang salah itu bisa laris. Di balik syarat‑syarat yang tersebut, ada lagi beberapa syarat yang penting juga. Tetapi dengan syarat yang 8 itu, cukuplah kira­nya memberi petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat karena sesuatu maksud. Ketahuilah secara keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada kebinasaan, lalu tampil mendebati orang lain mengenai masalah‑masalah, di ma­na seorang mujtahid/orang yang bersungguh-sungguh memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi ibarat bagi orang‑orang yang ikhlas. Karena itu, waspadalah terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan bahaya yg akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.
PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah) dan hal‑hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.
Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan lawan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik per­hatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat‑sifat kekejian batin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya, adalah seum­pama hubungan minum khamar kepada sifat‑sifat kekejian zahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri. Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minuman yang memabukkan dan perbuatan‑perbuatan keji yang lain, Ialu dianggap­nya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan‑perbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya ke­pada bermacam‑macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya. Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela. Segala budi pekerti itu akan diterangkan nanti dalil‑dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya pada: “Bahagian Sifat‑sifat Yang Membinasakan". Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat‑sifat jahat yang ditim­bulkan oleh munadharah/berdebat itu. Diantaranya  "dengki".
Bersabda Nabi saw:”Dengki itu memakan yang baik seperti api memakan kayu kering". Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali kata‑katanya dipuji orang dan sekali kata‑kata lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu. Dengki adalah api yang membakar. Orang yang menderita penya­kit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan kemelaratan dan di akhirat lebih he­bat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra: "Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan jangan­lah kamu terima perkataan fuqaha', karena diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambing‑kam­bing jantan dalam kandang". Diantara sifat‑sifat jahat itu: takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.
Bersabda Nabi saw:”Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan"  Bersabda Nabi saw menceriterakan firman Allah Ta’ala: “Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya AKU binasakan dia”. Selalulah orang yang berdebat itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar. Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba‑lomba me­ninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit. Kadang‑kadang si bodoh dan si keras kepala dari mereka, menge­mukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu memeli­hara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mumin itu dilarang meng­hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah diperbuat ter­hadap nama hikmah, ilmu dan lainnya. Diantara sifat‑sifat jahat itu: dendam. Hampir seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw pernah bersabda: "Orang mumin tidaklah pendendam”. Banyaklah dalil yang mencela sifat pendendam itu, yang tak ter­sembunyi lagi. Seorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sang­gup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan lawannya, sedang terha­dap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik. Apabila dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya pe­nyakit dendam, makin lama makin mendalam. Akhirnya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada zahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi. Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan tidak tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan keterangan­nya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi alasan. Bahkan jika timbul dari lawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang perhatian kepada perkataan nya maka terta­namlah dalam dadanya sifat pendendam, itu yang payah hilang sampai bercerai badan dengan nyawa.
Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: mengupat. Sifat mengupat itu diserupakan oleh Allah dengan memakan bang­kai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan lawannya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti keadaan‑keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihanya. Dan itu lah mengumpat namanya sedang berdusta yaitu mengada-adakan yang tidak tidak. Begitu pula tidak sanggup dia menjaga Iidahnya dari membentangkan hal keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan lawannya dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal. Diantara sifat-sifat yang jahat itu membersihkan diri. Berfirman Allah Ta’ala: Janganlah kamu membersihkan dirimu. Dialah (Allah) Yang Maha Mengetahui siapa yang bertaqwa ". S 53 ayat 32.
Ditanyakan kepada seorang ahli "hikmah (hukama'): "Manakah kebenaran yang buruk?". Menjawab hukama' itu: "Memuji manusia akan dirinya". Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman‑temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat: "Saya bukan orang yang tidak me­ngerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam‑macam il­mu, berpaham sendiri tentang pokok‑pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain‑lain perkataan yang timbul dari orang­-orang yang memuji diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya kata‑katanya laris. Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: mengintip dan mengikuti hal  ikhwal orang.  Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu mengintip‑ngintip memata‑matai. S 49 ayat 12. Si pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan lawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya Ialu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pende­bat yang datang itu. Ditanyainya keburukan‑ keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan. Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan‑kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya. Kemudian, apabila dirasanya perlu, Ialu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh sebab‑sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan, menerangkan hal tersebut dengan diselang‑selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat‑pendebat terkemuka yang terhitung tokoh‑tokoh penting. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu perasaan gembira dengan kesu­sahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan. Orang yang tidak menyukai pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap‑tiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenang kan baginya dengan timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan dalam diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan dalam diantara wanita‑wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang dimadukan, apabila melihat dari jauh saingannya, Ialu gemetarlah sendi‑sendi­nya dan pucatlah mukanya. Maka demikian pula haInya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat lawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah‑olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa. Maka dimanakah sayang‑menyayangi dan cinta‑mencintai itu, yang berlaku diantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong‑tolongan dan senasib‑sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama‑ulama yang terdahulu?
Imam Asy‑Syafi’i ra pernah berkata: "llmu pengetahuan diantara orang‑orang yang terkemuka dan ber­pikiran tinggi itu, adalah dalam bersilatur‑rahmi yang sambung-menyambung". Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengi­kuti madzhab Imam Asy‑Syafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat permusuh­an yang memutuskan silatur‑rahmi? Mungkinkah tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat jauh panggangan dari api !.  Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terle­pas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin (artinya ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya)
Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil‑dalil yang mencela sifat nifaq itu. Orang‑orang berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta‑pencinta lawan dan golong­an lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata per­sahabatan dengan lisan, kata kasih‑sayang dan memuji‑muji kedu­dukan dan keadaan lawan. Hal itu disadari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicara­an itu kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih‑sayang dengan lisan, berdendam‑khesumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan, Allah dari sifat nifaq itu.
Bersabda Nabi saw:"Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berka­sih‑kasihan dengan lisan dan bermarah‑marahan dengan hati, serta berputus‑putusan silatur‑rahmi, maka kenalah kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya”. Hadits ini diriwayatkan AL Hasan. Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: menyombong, menolak kebenar­an dan bersungguh‑sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikata­kan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah lawannya. Maka bagaimanapun kebenaran itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga ditantang dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehing­ga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengarnya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari AI‑Qur‑an dan kata‑kata lain dari agama. Maka jadilah dalil‑dalil itu berantakan satu sama lain. Berdebat menghadapi yang salah itu harus dengan hati‑hati.
Nabi saw berseru supaya meninggalkan perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang salah. Nabi saw bersabda:“Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang salah, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkam­pungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi". Allah Ta’ala menyamakan antara orang yang mengada‑adakan ter­hadapNya dengan kedustaan dan orang yang mendustakan kebenar­an. FirmanNya:“Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang‑orang  yang mengada‑ adakan kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebe­naran tatkala datang kepadanya ! S 29 ayat 68. Dan firmanNya: "Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya !". S 39 ayat 32. Diantara sifat‑sifat yang jahat itu: ria, ingin memperlihat kan amal­annya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan pandangan mereka kepadanya. Ria adalah penyakit batin yang amat berbahaya, dapat menjeru­muskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud, kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya. Inilah 10 perkara dari induk kekejian batin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari orang‑orang di luar pendebat itu sen­diri, yang merupakan permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut, pemakian ibu‑bapa, pengupatan guru dan tuduhan‑tuduhan yang tegas me­nyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan. Sesungguhnya orang‑orang yang terkemuka dan yang terkenal pin­tar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang 10 itu. Benar, sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, disamping ada pula yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat‑sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur‑unsur kehidupannya, maka sifat‑sifat itu berbeda antara satu sama lain­nya. Pendek kata, payahlah terlepas dari sifat‑sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam‑macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang 10 tadi, masing‑masing daripadanya bercabang pula kepada 10 yang lain yang tak kurang kejinya. Kami tidak berpanjang kata-kata menyebut dan mengurai kannya satu­ persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin mem­peroleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bangga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang‑pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba-lomba dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara, hilang rasa‑takut, hilang gemetar dan belas‑kasihan di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang menger­jakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang bermunajat. Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya, padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menolong­kannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata‑kata yang ganjil dan lain‑lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya. Orang‑orang yang suka berdebat itu, berlebih‑kurang tingkat dari sifat‑sifat tersebut. Bermacam‑macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur‑unsur budi‑pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari padanya. Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pe­lajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan. Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa‑fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli/hakim, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman. Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap‑tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala daripada Allah Ta’ala di akhirat. Maka ilmu itu tidak saja menyia‑nyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakan nya atau meng­hidupkannya sepanjang zaman. Karena itu, bersabda Nabi saw: "Manusia yang sangat menderita adzab pada hari qiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfalat dengan ilmunya”.
 Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah‑mudahan, kiranya kita terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya.
 Sesungguhnya, bahaya ilmu itu besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan kese­nangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan ‑tidak mustahil‑ lebih buruk dari itu lagi. Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta. menjadi kepala, maka ilmu itu telah terbenam. Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggar dan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seper­ti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka men­jadi kepala, Ialu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak me­nunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan. Tetapi termasuklah diantara orang yang dite­rangkan Nabi saw dengan sabdanya:"Sesungguhnya Allah akan Menguatkan agama ini dengan kaum (orang‑orang) yang tak berbudi”.  Dan sabdanya pada hadits, yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan orang yang dhalim”.  Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang‑kadang Ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu yang zahir nya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi batin nya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegah­an. Orang yang seperti itu, adalah seumpama lilin yang membakar diri­nya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang lain adalah terletak dalam kebinasaannya. Maka apabila orang yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya. Dari itu, maka ulama ada tiga,
1. Adakalanya membinasakan diri sen­diri dan orang lain, yaitu mereka yang berterus‑terang mencari du­nia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia.
2. Adakala­nya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, zahir dan batin.
3. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri menolak dunia pada zahirya, sedang pada batin nya ber­tujuan mempengaruhi orang banyak dan menegakkan kemegahan diri. Maka lihatlah ! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu? Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta’ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu‑raguan hilang dari hati nura­nimu, Insya Allah.
BAB KELIMA:   Tentang Adab Kesopanan Pelajar dan Pengajar.
Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang zahir itu adalah banyak. Tetapi perinciannya adalah tersusun dalam 10 rumpun kata‑kata.
Tugas pertama:  mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat‑sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat batin dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota zahir, kecuali dengan mensucikan anggota zahir itu dari segala hadats dan najis, maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian (ibadah) batin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat. Bersabda Nabi saw: "Ditegakkan agama atas kebersihan" Yaitu zahir & batin. Berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya orang musyrik itu najis".  Firman Tuhan itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa kesucian dan kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota zahir yang dapat dikenal dengan pancaindera. Orang musyrik itu kadang‑kadang kainnya bersih, badannya dibasuh, te­tapi dirinya najis. Artinya: batinnya berlumuran dengan kotoran.
Najis: adalah diartikan dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta menjauhkan diri dari padanya. Kenajisan sifat batin adalah lebih penting dijauhkan. Karena dengan kekotorannya seka­rang, membawa kepada kebinasaan pada masa yang akan datang. Dari itu, Nabi saw bersabda:"Tidak masuk malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing". Hati itu adalah rumah, yaitu tempat malaikat, tempat turun pem­bawaan dan tempat ketetapan dari malaikat. Sifat‑sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, 'ujub dan sebagainya adalah anjing‑anjing yang galak. Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke batin hati yang sudah penuh dengan anjing‑anjing?
Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan oleh Allah Ta’ala ke batin hati, selain dengan perantaraan malaikat: “Tidak ada bagi manusia berkata‑kata dengan Allah, selain dengan wahyu atau di belahang hijab atau dengan mengirimkan rasul, Ialu diwahyukannya apa yang dikehendakiNya dengan keizinanNya". S asy syura ayat 51. Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rakhmat dari ilmu pengetahuan itu kepada hati. Hanya malaikatlah Yang mengurus, mewakili membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, ber­sih dari segala sifat yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain kepada yang baik. Tak ada urusan mereka dengan segala perbenda­haraan rakhmat Allah padanya, selain dengan yang baik suci. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "rumah”  dalam hadits yang diatas tadi, yaitu hati dan dengan "anjing" yaitu marah dan sifat‑sifat tercela yang lain. Tetapi aku mengata­kan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu perbedaan antara kata‑kata zahir yang menunjukkan kepada batin dan peri­ngatan kepada batin dengan menyebutkan kata‑kata zahir serta tetap pada kezahiran nya. Golongan ahli kebatinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi. Maka inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim ulama dan orang baik‑baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat (Itibar) yaitu mengambil ibarat dengan apa yang diterangkan kepa­da orang lain, tidaklah untuk orang lain itu saja. Seumpama seorang yang berpikiran waras, melihat bahaya yang menimpa orang lain, maka menjadi tamsil/umpama ibaratlah baginya, sebagai suatu peringatan bahwa dia pun mungkin pula ditimpakan bahaya tersebut.
Dunia ini adalah selalu berputar laksana roda pedati. Maka meng­ambil ibarat dari orang lain untuk diri sendiri dan dari diri sendiri kepada asalnya, dunia ini, adalah suatu ibarat yang terpuji. Maka anda ambil jugalah menjadi ibarat dari rumah yaitu pem­bangunan dari manusia kepada hati, yaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang dicela kerena sifatnya bukan kerena bentuknya yaitu padanya terdapat sifat kebuasan dan kenajisan kepada jiwa keanjingan, yaitu sifat kebuasan.
Ketahuilah bahwa hati  yang dipenuhi dengan kemarahan, loba ke­pada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus, dengan mengoyak‑ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan hati dalam bentuk. Orang yang bermata hati memperhatikan arti, tidak bentuk. Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan arti, tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengikuti arti dan artilah yang menang. Dari itu, masing‑masing orang dibangkitkan batin bentuknya yang manawi (menurut pengertian dari bentuk itu). Menurut hadits: "Orang yang mengoyak‑ngoyakkan kehormatan orang lain, dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada harta‑benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang yang menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau. Dan orang yang mencari jadi kepala, di­bangkitkan dalam  bentuk singa". Banyaklah hadits berkenan dengan hal di atas dan menjadi tamsil ibarat kepada orang‑orang yang mempunyai mata hati dan mata kepala. Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang rendah budi, memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya, bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna di akhirat, yang membawa kebahagiaan.
Yang pertama sekali dari ilmu itu, nyata kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang membinasakan. Adakah anda melihat orang mengambil racun dengan mengetahui bahwa itu racun yang membunuhkan? Yang anda dengar dari orang itu ialah perkataan yang diucapkan­nya dengan lidahnya dalam satu bentuk dan diulang‑ulanginya de­ngan hatinya dalam bentuk yang lain. Yang demikian, bukanlah ilmu namanya. Berkata Ibnu Mas'ud ra: "Tidaklah, ilmu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan di dalam dada”. Berkata setengah mereka: “Sesungguhnya ilmu itu takut (khasy­yah) kepada Allah"  karena firmanNya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu)” S 35 ayat 28. Dengan firman itu, seakan‑akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu yang lebih khas. Dari itu berkata sebahagian ulama muhaq­qiqin (orang-orang yang berilmu hakikat/makna), bahwa arti perkataan mereka: "Kami pelajari ilmu bukan karena Allah, maka seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu segan dan tak mau kepada kami. Maka tak terbukalah hakikat/maknanya kepada kami. Hanya yang ada bagi kami, ialah ceritra­nya dan kata‑katanya saja. Kalau anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fu­qaha' muhaqqiqin, yang terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari golongan tokoh‑tokoh besar, adalah budi pekertinya tercela dan tidak berusaha membersihkan diri dari padanya, maka jawabnya: bila anda mengetahui tingkat‑tingkat ilmu penge­tahuan dan mengetahui pula ilmu akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang dikerjakan mereka itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya baru ada dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan diri kepadaNya. Un­tuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan dijelaskan lagi, dengan lebih tegas dan terang Insya Allah.
Tugas kedua: seorang pelajar itu hendaklah mengurangkan hu­bungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum ke­luarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempe­ngaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain. "Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya". S 33 ayat 4. Apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupan nya mengetahui hakikat‑hakikat/makna yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu dikatakan: ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagian dari padanya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau sudah menyerahkan seluruh jiwa raga engkau, maka penyerahan ilmu yang sebahagian itu masih juga dalam bahaya. Pikiran yang terbagi‑bagi kepada hal ikhwal yang bermacam‑ma­cam itu, adalah seumpama sebuah selokan yang mengalir airnya kebeberapa jurusan. Maka sebahagian airnya ditelan bumi dan sebahagian lagi diisap udara, sehingga yang tinggal tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam‑tanaman.
Tugas ketiga: seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmu­nya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagai­mana seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman. Seharusnyalah seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, meng­harap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya.
Berka­ta Asy‑Syabi: “Pada suatu hari Zaid bin Tsabit bershalat janazah. Sesudah shalat itu selesai, Ialu aku dekatkan baghalnya (nama he­wan, lebih kecil dari kuda) untuk dikendarainya. Maka datang Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid untuk dikendarainya. Maka berkata Zaid: "Tak usah wahai anak paman Rasulullah saw". Berkata Ibnu Abbas: "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap para 'alim ulama dan orang‑orang besar". Lalu Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Mu­hammad saw. Bersabda Nabi saw: "Tidaklah sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min meren­dahkan diri, selain pada menuntut ilmu". Dari itu tidaklah layak bagi seorang pelajar menyombong terhadap gurunya. Termasuk sebahagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali pada guru yang terkenal benar keahliannya. Ini adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan. Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang buas, tentu tidak akan membeda‑bedakan. Apa­kah jalan itu ditunjuki oleh seorang yang termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan api neraka, kepada orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman seluruh binatang buas. Ilmu pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang mu'min, yang harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus diucapkannya terima kasih kepada siapa saja yang membawa­nya kepadanya. Dari itu, berkata pantun:
"Pengetahuan itu adalah perjuangan,
bagi pemuda yang bercita‑cita tinggi.
Seumpama banjir itu adalah perjuangan,
Bagi suatu tempat yang tinggi
Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian. Berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian) atau mempergunakan pende­ngarannya dengan berhati‑hati" S 50 ayat 37. Pengertian "mempunyai hati" yaitu hati itu dapat menerima pema­haman bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong ke­pada pemahaman, selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati‑hati dan sepenuh jiwa. Supaya dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh perhatian, merendahkan diri, syukur, gembira dan menerima nikmat. Hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah ke seluruh baha­giannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu. Manakala guru itu menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendak­lah dita'ati dan ditinggalkan pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih berguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari yang halus‑halus, yang ganjil didengar tetapi besar faedahnya. Berapa banyak orang sakit yang dipanasi diobati dokter dengan menambah panas pada suatu waktu. Supaya kekuatannya bertambah sampai batas yang sanggup menahan pukulan obat. Maka heranlah orang yang tak berpengalaman tentang itu  ! telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala dengan kisah nabi Khidir as dan nabi Musa as. Berkata nabi Khaidir as: “Engkau Musa tak sanggup bersabar beserta ku bagaimana engkau bersabar dalam persoalan yang belum berpengalaman didalamnya” S 18 ayat 67-68. Lalu nabi Khaidir as membuat syarat yaitu nabi Musa as harus diam dan menerima saja. Berkata nabi Khaidir as: “Jika engkau mengikuti aku, maka janganlah bertanya tentang sesuatu sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti”. S 18 ayat 70. Rupanya Nabi Musa as tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan berpisah diantara keduanya. Pendek kata, tiap‑tiap pelajar yang masih berpegang teguh kepada pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, di luar pilihan gurunya, maka hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian. Jika anda mengatakan bukankah Allah Ta’ala telah berfirman: “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tau” S 16 ayat 43. Jadi bertanya itu disuruh. Maka ketahuilah, bahwa memang demikian, tetapi mengenai per­soalan yang diizinkan guru, bertanya kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatan mu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka Khaidir melarang Musa bertanya. Dari itu, tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya ! Guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkat manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.
      Berkata Ali ra: "Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan eng­kau banyak bertanya kepadanya ! Jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau pegang kainnya, bila dia bangun, jangan engkau siarkan rahasianya ! Jangan engkau caci orang lain dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya ! Jika dia silap terimalah kema'afannya ! Haruslah engkau memuliakan dan membesarkannya karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau duduk dihadapannya ! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak menye­lenggarakannya.
Tugas keempatseorang pelajar pada tingkat permulaan, hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pe­ngetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena, yang demikian itu meragukan pikiran­nya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan mem­bawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tetapi yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja yang terpuji dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh men­dengar madzhab‑madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya. Bila guru itu tidak bertindak bebas, dengan memilih suatu penda­pat tertentu, tetapi kebiasaannya hanya mengambil madzhab-­madzhab dan apa yang tersebut dalam madzhab‑madzhab itu, maka dalam hal ini hendaklah waspada ! Sebab orang yang semacam itu, lebih banyak menyesatkan dari pada memberikan petunjuk. Maka tidaklah layak orang buta memimpin dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang yang begini keadaannya, dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh. Mencegah orang yang baru belajar dari pada mencampuri persoal­an‑persoalan yang meragukan, samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam, dari pada bergaul dengan orang‑orang kafir. Menarik orang yang "kuat” kepada membanding dalam masalah‑masalah khilafiah/perdebatan, samalah halnya dengan mengajak orang yang "kuat” untuk bergaul dengan orang kafir. Dari itu, dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang berani, disunatkan maju terus. Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting ini, ialah sangkaan sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh mengikuti orang‑orang yang "kuat” mengenai persoalan‑persoalan yang mu­dah, yang diambil dari pada mereka. la tidak tahu bahwa tugas orang yang "kuat”, berbeda dengan tugas orang yang "lemah".
            Mengenai itu, berkata sebahagian ulama: “Barang siapa memper­hatikan aku pada tingkat permulaan, maka jadilah dia orang benar. Dan barang siapa memperhatikan Aku pada tingkat penghabisan, maka jadilah dia orang zindiq (Islam pada dhahir dan kafir pada bathin)”. Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua amalan ke­pada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain dari amalan yg wajib yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan salah, malas dan lengah. Amat jauhlah dari itu ! Maka yang demikian itu adalah pengikatan hati dalam pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta’ala dan membiasa­kan berdzikir yang terus‑menerus, yang menjadi amalan utama. Dan penyerupaan orang lemah dengan orang kuat tentang sesuatu yang kelihatan dari zahirnya itu suatu kesalahan, adalah menyamai hal­nya dengan alasan orang yang menjatuhkan sedikit najis ke dalam kendi air. Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih banyak dari najis ini kadang‑kadang dilemparkan ke dalam laut. Dan laut itu lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi tidak boleh. Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut dengan tenaga­nya dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar kepada sifat air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan merobahkan kendi kepada sifat najis. Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan bagi Nabi saw apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi Nabi saw diboleh­kan mengawini 9 wanita. Karena baginya kekuatan keadilan untuk para isterinya, melebihi dari orang lain, meskipun isterinya itu banyak. Adapun orang lain tidak sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang terjadi, ialah kemelaratan diantara isteri-­isterinya, yang mengakibatkan kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam mencari kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang membandingkan para ma­laikat dengan tukang besi.
Tugas kelima: seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macam pun dari berbagai macamnya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing‑ma­sing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajari­nya secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta disempurnakan dan dikesampingkannya yang lain. Ilmu pengetahuan itu bantu‑membantu. Sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang mempelajari ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, yaitu terlepas dari musuh ilmu itu yaitu kebodohan. Karena manusia itu adalah musuh dari kebodohannya. Berfirman Allah Ta’ala: "Ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka nanti akan berkata: Ini adalah kepalsuan yang lama". S 46 ayat 11. Berkata seorang penyair:
"Orang yang memperoleh penyakit,
rasa pahit pada mulutnya,
maka akan merasa pahit, air pancuran yang lezat cita rasanya.
Ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan, yang membawa seorang manusia kepada Allah Ta’ala atau menolong membawa ke jalan tersebut. Pengetahuan itu mempu­nyai tingkat‑tingkat yang teratur, dekat dan jauhnya dengan mak­sud. Orang yang menegakkan ilmu pengetahuan Itu adalah penjaga‑pen­jaga seperti penjaga rumah penyantun dan benteng. Masing‑masing mempunyai tingkatan. Dan menurut tingkatan itulah, dia memper­oleh pahala di akhirat, apabila tujuannya karena Allah Ta’ala.
Tugas keenam: seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi memelihara ter­tib dan memulainya dengan yang lehih penting. Apabila umur itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan, maka yang lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedar­nya. Lalu dikumpulkan seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang termulia dari se­gala macam ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu akhirat. Yang saya maksudkan dengan ilmu akhirat, yaitu kedua macam­nya: ilmu mu’amalah(artinya ilmu yang diminta untuk mengetahuinya lalu di amalkan) dan ilmu mukasyafah(artinya ilmu yang untuk mengetahuinya saja). Tujuan dari ilmu muamalah ialah ke ilmu mukasyafah. Dan tujuan dari ilmu mukasyafah ialah mengenal Allah Ta'ala. Tidaklah saya maksudkan dengan itu akan 'keyakinan yang dianut orang awwam dengan jalan pusaka atau pelajaran. Atau ca­ra penyusunan kata‑kata dan perdebatan untuk mengokohkan ilmu kalam (ilmu berkata-kata) dari serangan lawan seperti tujuan ahli ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan. ialah suatu macam keyakinan yaitu hasil dari nur yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang sudah mensucikan kedalamannya dari segala kotoran dengan mujahadah (berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga sampailah dia ke tingkat keimanan Saidina Abu Bakar ra, yang kalau ditimbang de­ngan keimanan penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah keimanan Abu Bakar itu sebagaimana telah diakui oleh Nabi saw sendiri. Maka tak adalah artinya padaku, apa yang diyakinkan oleh orang awwam dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam, yang tidak melebihi dari orang awwam itu, selain dari tehnik kata‑kata. Dan kare­nanya, lalu dinamakan ilmu kata‑kata (ilmu kalam), suatu pengeta­huan yang tidak disanggupi Umar, Usman, Ali dan lain‑lain shahabat di mana Saidina Abu Bakar ra memperoleh kelebihan dari mereka ini dengan suatu rahasia (sirr) yang terpendam di dalam dadanya. Dan heran benar, orang‑orang yang mendengar perkataan tersebut dari Nabi kita saw lalu memandang leceh, dengan mendakwakan bahwa itu barang batil, bikinan kaum tasawwuf/ahli suffi dan tidak dapat dipahami. Maka haruslah anda berhati‑hati menghadapinya. Kalau tidak, nan­ti anda kehilangan modal. Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar dari simpanan kaum fuqaha' dan ulama kalam ! Anda tidak akan mendapat petunjuk untuk itu, selain dengan bersungguh‑sungguh mempelajarinya. Pendek kata, ilmu yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah: “Mengenal Allah Ta'ala”. Itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga. Tingkat yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian para wali, kemudian orang‑orang yang mengikuti mereka.
      Menurut riwayat, pernah orang bermimpi melihat dua orang ahli hikmah dalam sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari keduanya adalah sehelai kertas yang bertulisan.: "Jika anda telah berbuat ba­ik segala sesuatu maka janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang sesuatu, sehingga anda telah mengenal Allah Ta’ala dan mengetahui bahwa DIA‑lah yang menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu". Dan dalam tangan yang seorang lagi bertulisan: "Sebelum saya mengenal Allah saya minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka hilanglah kehausan saya tanpa minum".
Tugas ketujuh: bahwa tidak mencemplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib. Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian yang lain. Men­dapat petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara tata‑tertib dan susunan itu !
      Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik‑baiknya ". S 2 ayat 121. Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum dikuasainya benar‑benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki ke­pada yang lebih tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan salah terhadap sesuatu ilmu, karena timbul perselisihan paham diantara pemuka‑pemukanya. Atau menghukum dengan kesa­lahan seorang atau beberapa orang diantara mereka. Atau menghu­kum dengan harus menantang nya, karena berbeda antara perbuat­annya dan perkataannya. Anda akan melihat suatu golongan, yang tidak mempunyai perha­tian terhadap masalah‑masalah yang berhubungan dengan akal‑pi­kiran dan pemahaman, disebabkan kata mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui oleh pemuka‑pemuka persoalan‑persoalan itu sendiri. Untuk menyingkap segala keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab Miyaril‑ilmi.
      Anda akan melihat segolongan manusia yang berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu salah, karena dilihatnya suatu kesalahan dari seorang dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul karena kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang dinujumkan. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian itu tidak sesuai dengan yang di­nujumkan. Sebenarnya, semuanya itu salah. Tetapi sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya. Sebab tidaklah tiap‑tiap orang itu menge­tahui betul seluruh ilmu pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra: "Engkau tidaklah mengetahui kebenaran dengan orang‑orang. Te­tapi ketahuilah kebenaran itu, barulah engkau akan mengetahui ahlinya".
Tugas kedelapan: seorang pelajar itu hendaklah mengenal sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia. Yang demikian itu dikehendaki dua perkara:
1. Kemuliaan hasilnya.
2. Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.
Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari yang satu itu kehidupan abadi dan dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia. Seumpama ilmu berhitung dan ilmu nujum. Maka ilmu berhitung­lah yang lebih mulia karena kepercayaan dan kekuatan dalil‑dalilnya. Dan jika dibandingkan ilmu berhitung dengan ilmu kedokteran, maka ilmu kedokteranlah yang lebih mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu berhitunglah yang lebih mulia, dipandang kepada dalil‑dalilnya. Memperhatikan kepada faedahnya adalah lebih utama. Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia, meskipun bagian terbesar dari padanya didasarkan kepada kira-kiraan. Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia ialah ilmu mengenai Allah aza wa jala (Allah yg Maha Mulia & Maha Besar), mengenai malaikat‑malaikatNya, kitab‑kitab­Nya, rasul‑rasuINya & ilmu mengenai jalan yg menyampaikan kepada yg demikian. Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu‑ilmu tadi & bersungguh‑sungguhlah mempelajari­ ilmu mengenai Allah.
Tugas kesembilan: bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi kebatinan nya dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang‑orang muqarrabin (orang‑orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah).  Dan TIDAKLAH dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang‑orang bodoh dan untuk membanggakan diri dengan teman‑teman. Apabila yang tersebut di atas maksudnya, maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, yaitu ilmu akhirat.
Dalam pada itu, tak layaklah memandang dengan pandangan kehi­naan kepada ilmu pengetahuan yang lain, seperti Ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi dan sebagainya yang telah kami uraikan pada pembukaan  dan pelengkap dari bermacam‑macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu kifayah (artinya jika ada 1orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Janganlah anda berpikir tentang kesangatan pujian kami akan ilmu akhirat, bahwa kami melecehkan ilmu‑ilmu yang lain. Tidak ! Orang‑orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu penge­tahuan, samalah halnya dengan orang‑orang yang bertanggung ja­wab di benteng‑benteng pertahanan dan orang‑orang yang ditugaskan di situ dan orang‑orang yang berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara  mereka itu ada yang bertempur, ada yang bertahan, ada yg menyediakan minuman, ada yang menjaga kendaraan dan ada yang mengurus orang‑orang yang memerlukan rawatan. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang tidak mendapat paha­la, kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah Allah, bukan untuk mengambil harta rampasan. Maka demikian pula para 'alim ulama. Berfirman Allah Ta’ala:"Ditinggikan Allah mereka yang beriman diantara kamu dan mere­ka yang diberikan ilmu, dengan beberapa tingkat". S 58 ayat11. Dan berfirman Allah Ta’ala.:"Mereka memperoleh beberapa tingkat pada Allah". S 3 ayat 163. Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada penukar-­penukar uang, bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja-­raja, tidaklah menunjukkan kepada hinanya penukar‑penukar uang itu bila dibandingkan dengan tukang‑tukang sapu. Maka janganlah disangka bahwa apa yang diturunkan dari kedudukannya yang tinggi, berarti sudah kehilangan pangkat. Tidak ! Sebab pangkat yang tertinggi ialah bagi para Nabi, kemudian bagi para Wali, ke­mudian bagi para ulama yang mendalam ilmunya, kemudian bagi orang‑orang shalih, dengan berlebih‑berkurangnya derajat mereka itu. Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari keba­jikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang siapa bertu­juan kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, ilmu pengetahuan apapun juga, niscaya bergunalah baginya dan sudah pasti akan meninggikan derajatnya.
Tugas kesepuluh: bahwa harus diketahuinya hubungan pengetahu­an itu kepada tujuannya. Supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia dan akhirat. Apabila tidak mungkin engkau  mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi, sebagaimana yang diterangkan AI‑Qur‑an dan disaksikan dari nur hati‑nurani, oleh apa yang berla­ku dihadapan mata kepala, maka yang lebih penting adalah yang kekal abadi. Ketika itu, dunia menjadi tempat tinggal, badan men­jadi kendaraan dan amal perbuatan menjadi jalan kepada tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah Ta’ala. Maka padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak diketahui kadarnya selain oleh beberapa orang saja. Ilmu pengetahuan itu bila dibanding kepada, kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang kepada wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami oleh para Nabi dan tidak yang terlintas dalam pemahaman orang awwam dan ahli ilmu kalam, ada­lah tiga tingkat, yang dapat anda pahami dengan perbandingan dengan contoh. Yaitu adalah seorang budak yang menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan mengerjakan ibadah hajji. Dikatakan kepadanya: "Sekiranya engkau telah mengerjakan ibadah hajji dan telah engkau sempurnakan, maka jadilah engkau mer­deka dan mempunyai hak milik. Jika engkau telah bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji, lalu menda­pat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak milik?. Maka bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan:
1. Menyediakan persiapan dengan membeli unta kendaraan, kendi air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan.
2. Berjalan dan meninggalkan kampung halaman menuju Ka'bah tempat demi tempat.
3. Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.
Maka sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan bertawaf wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik dan kekuasaan penuh bagi dirinya. Dan baginya pada tiap‑tiap kedu­dukan itu mempunyai tingkat, sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan menjalani desa‑desa sampai akhir­nya. Dan sejak dari permulaan rukun hajji sampai akhirnya. Maka tidak samalah kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai mengerjakan rukun hajji, dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru menyelesaikan segala persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju Tanah Suci atau‑pun yang telah mendekatinya.
Dari itu, maka ilmu pun tiga bahagian. Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan perbekalan, kendaraan dan membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini. Sebahagian berlaku sema­cam menjalani desa‑desa dan menghindarkan segala rintangan. Ini adalah mensucikan kedalaman dari segala kekotoran sifat dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang tak sanggup orang‑orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain orang-orang yang telah memperoleh taufiq Tuhan. Maka inilah jalan yang dituju.
Mempersiapkan pengetahuan untuk itu, samalah halnya dengan mempersiapkan pengetahuan tentang jalan‑jalan mana dan rumah‑rumah mana di jalan itu yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana letak rumah dan jalan‑jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak dikunjungi, maka seperti itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan budi pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu pengetahuan, tidak mungkin. Bahagian yang ke tiga, berlaku dalam melakukan ibadah hajji dan rukun‑rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang Allah dan sifatNya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami terangkan waktu membicarakan ilmu "al mukasyafah (artinya ilmu yang untuk mengetahuinya saja) " dahu­lu. Di sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan kebahagiaan. Kelepasan adalah hasil bagi tiap‑tiap orang yang menuju ke jalan Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, yaitu keselamatan. Kemenangan dengan kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang-­orang yang mengenal Allah Ta’ala. Yaitu: orang‑orang muqarrabin yang memperoleh nikmat di sisi Allah Ta’ala dengan kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan.
Adapun orang‑orang yang tidak memperoleh tingkat kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti firman Allah Ta’ala: "jika dia termasuk orang‑orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia memperoleh) kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia termasuk kaum kanan, (kepadanya diberikan penghormat­an): Selamat (damai) untuk engkau, dari kaum kanan”. S 56 ayat 88‑89‑90‑91. Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud dan tidak bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan dengan maksud mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya untuk suatu maksud yang cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan sesat. Penyambutan terhadap dia, ialah dengan air yang sangat pa­nas dan pembakaran dalam neraka.
Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang sebenarnya (haqqul‑yaqin) pada para ulama yang mendalam pengetahuannya. Saya maksud­kan: mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari kebatinan. Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang dari penyaksian dengan mata kepala. Mereka itu telah me­ninggi, dari batas taqlid(menurut), karena Pendengaran semata‑mata. Keadaan mereka samalah dengan keadaan orang yang mendengar ceritera, maka dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka diyakininya. Dan keadaan orang lain, samalah, dengan keadaan orang yang sebelumnya, dengan keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib penyaksian (musyahadah) dan pan­dangan yang tembus. Maka kebahagiaan adalah di belakang ilmu mukasyafah/yang diminta untuk mengetahuinya saja. Dan ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja adalah di belakang ilmu mu`amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat. Penyingkiran halangan‑halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju penghapusan sifat yang tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan tentang sifat‑sifat itu. Ilmu pengeta­huan tentang cara mengobati dan cara pergi menuju ke sana, adalah di belakang ilmu keselamatan badan. Tolong‑menolong memelihara sebab‑sebab kesehatan dan keselamatan badan adalah dengan per­satuan, bergotong‑royong dan tolong‑menolong, yang dapat me­nyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan dan tempat. Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan undang‑undangnya dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik dalam kawasan ahli hukum fiqih.
Adapun sebab‑sebab kesehatan, maka adalah dalam tanggung jawab dokter. Siapa yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dua: ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai agama dan dii­syaratkannya dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih, adalah maksudnya dengan perkataan tersebut ilmu pengetahuan zahir yang tersiar. Bukan ilmu batin yang tinggi kedudukannya. Jika anda bertanya, mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan dan kendaraan? Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk menca­pai dekatNya adalah hati,  bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari rahasia Allah Maha Mulia & Maha Besar, yang tidak diketahui oleh panca­indra. Suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah. Sekali disebut dengan kata‑kata "ruh", sekali dengan kata‑kata"an‑nafsul muthmainnah”. (Jiwa yang tenteram). Agama menyebutkannya dengan hati (al‑qalb), karena hatilah ken­daraan pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah maka seluruh badan menjadi kendaraan dan alat kendaraan untuk tubuh halus itu. Dan menyingkap tutup dari sirr/rahasia tersebut, adalah sebahagian dari ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerang­kannya. Paling tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, bahwa hati (al‑qalb) itu suatu dzat (Jauhar / benda/barang) yang amat bernilai, suatu mutiara yang amat mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi), seperti firmanNya: "Dan ditanyahan mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh, maka jawablah: “Ruh itu urusan Tuhanku (min amri rabbi)" S 17 ayat 85. Seluruh makhluk dihubungkan (mansubah) kepada Tuhan. Tetapi hubungan ruh (al‑qalb = hati) kepadaNya, adalah lebih mulia dari hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah selu­ruh makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain. Dzat yang amat bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu tugas yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung/bukit, teta­pi enggan menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu. Dan janganlah dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan‑akan dibayangkan dengan qadim/tiada berpemulaannya dzat itu. Orang yang mengatakan de­ngan qadim/tiada berpemulaan ruh adalah tertipu dan bodoh, tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Kami hendak menyingkatkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang sebenarnya. Maksudnya, bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan. Dari Tuhan sumbernya dan kepada Tuhan kembalinya. Adapun badan, maka adalah kendaraan dari tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan perantaraan nya. Jadi, maka badan bagi tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah Ta’ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan haiji. Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan. Maka seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan, maka ilmu itu termasuk dalam jumlah kepentingan kendaraan. Dan tidak tersembunyi lagi bahwa ilmu kedokteran pun se­perti itu juga. Karena kadang‑kadang diperlukan kepadanya untuk pemeliharaan kesehatan badan. Meskipun manusia, itu sendirian, memerlukan juga kepada ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena kalau manusia itu sendirian, kadang‑kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu fiqih. Tetapi manusia itu dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin hidup sendirian. Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya, baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, mem­peroleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat untuk itu seluruhnya.
Maka manusia itu memerlukan kepada pergaulan dan tolong‑meno­long. Manakala manusia itu bercampur‑baur dan berkobarnya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik‑menariklah sebab‑sebab untuk memperoleh keinginan. Dan mereka bantah‑membantah dan pe­rang‑berperang. Dari peperangan itu timbullah kebinasaan, disebabkan perlombaan dari luar, sebagaimana timbulnya kebinasaan disebabkan perten­tangan campuran dari dalam.
Dengan ilmu kedokteran terpeliharalah keseimbangan dalam segala campuran yang saling bertentangan dari dalam. Dan dengan politik serta keadilan, terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan dari luar. Pengetahuan jalan keseimbangan campuran itu adalah ilmu kedok­teran. Dan pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan perbuatan‑perbuatannya itu adalah ilmu fiqih na­manya. Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh halus itu. Orang yang semata‑mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu kedokteran, apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan ibadah haji. Orang yang menghabis­kan umurnya dalam susunan kata‑kata yang terjadi dalam perdebat­an Ilmu fiqih, samalah haInya dengan orang yang menghabiskan umurnya meneliti sebab‑sebab supaya kokoh kuat jahitan kendi air yang akan dibawa waktu mengerjakan hajji. Perbandingan mereka yang berjalan menuju ke jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan kepada ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, samalah de­ngan mereka yang berjalan menuju ke jalan hajji atau dengan mere­ka yang sedang mengerjakan rukun hajji. Maka perhatikanlah perta­ma kali akan ini dan terimalah nasehat dengan cuma‑cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang sungguh-­sungguh, dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang berane­ka ragam pembawaannya diantara orang awam dan orang khawas (orang tertentu), di mana mereka menurut hawa nafsunya semata-­mata. Cukuplah sekian mengenai tugas‑tugas dari pelajar.
PENJELASAN: Tuqas‑tugas penunjuk jalan kebenaran (mursyid), yang mengajar (muallim).
Ketahuilah bahwa manusia mengenai ilmu pengetahuannya, mempunyai 4 macam keadaan, seperti haInya dalam pengumpulan harta kekayaan. Karena bagi orang yang berharta, mempunyai keadaan menggunakan hartanya. Maka dia itu adalah orang yang berusaha dan keadaan menyimpannya dari hasil usahanya itu. Sehingga jadilah dia seorang yang kaya, tak usah meminta lagi pada orang lain. Dan keadaan dapat membelanjai dirinya sendiri. Maka dapatlah ia mengambil manfa'at dari harta kekayaan itu. Dan keadaan dapat memberikan kepada orang lain, sehingga ia menjadi seorang pemurah hati, yang dermawan. Dan inilah keadaan yang sebaik‑baiknya.
Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda. Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha, dan keadaan menghasilkan  yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keada­an meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan meng­ambil faedah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia‑mulianya ! Ma­ka barangsiapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum. Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memo­tong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terba­kar, sebagaimana kata pantun:
'Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang,
memberi cahaya kepada orang Dia sendiri terbakar menyala".
Manakala sudah mengajar Maka berarti telah melaksanakan pekerja­an besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Maka peliharalah segala adab dan tugas‑tugasnya, yaitu:
Tugas Pertama: mempunyai rasa belas‑kasihan kepada murid‑murid dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Bersabda Nabi saw:"Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama Seorang, ayah bagi anaknya " Dengan maksudnya, melepaskan murid‑muridnya dari api neraka akhirat. Dan itu adalah lebih penting dari usaha kedua ibu‑bapa, melepaskan anaknya dari neraka dunia. Karena itu, hak seorang guru adalah lebih besar dari hak ibu‑bapa. Ibu‑bapa menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedang guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal Kalau tidak adalah guru, maka apa yang diperoleh si anak itu dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus‑menerus. Guru adalah yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka itu binasa dan mem­binasakan. Berlindunglah kita dengan Allah daripadanya. Sebagaimana hak dari anak‑anak seorang ayah, berkasih‑kasihan dan bertolong‑ tolongan mencapai, segala maksud, maka seperti demikianlah kewajiban dari murid‑murid seorang guru, berkasih‑kasihan dan sayang‑menyayangi. Hal itu baru ada, bila tujuan mereka akhirat. Dan kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari berdengki‑dengkian dan bermu­suh‑musuhan. Sesungguhnya para ulama dan putera‑putri akhirat itu adalah orang‑orang musafir kepada Allah Ta’ala dan berjalan kepadaNya, dari dunia. Tahun‑tahunnya dan bulan‑bulannya adalah tempat-­tempat singgahan dalam perjalanan. Sayang‑menyayangi diperjalanan antara orang‑orang yang sama‑sama berangkat ke kota, adalah menyebabkan lebih beratnya hubungan dan kasih sayang. Maka bagaimanakah berjalan ke firdaus tinggi dan sayang‑menyayangi didalam perjalanannya dan tak ada sempit pada kebahagiaan akhirat? Maka karena itu, tak adalah pertentangan diantara putera‑putri akhirat. Sebaliknya dalam mengejar kebahagiaan duniawi, jalannya tidak lapang. Dari itu senantiasa dalam keadaan sempit berdesak‑desakan. Orang yang menyeleweng dengan ilmu pengetahuannya untuk menjadi kepala, sesungguhnya telah keluar dari kandungan  firman Allah Ta’ala:"Sesungguhnya orang mumin itu bersaudara” S 49 ayat10. Dan masuk ke dalam maksud firman Allah Ta’ala: "Shahabat‑shahabat pada hari itu, satu dengan yang lain jadi ber­musuhan, kecuali dari orang‑orang yang memelihara dirinya dari kejahatan". S  43 ayat 67.
Tugas Kedua: bahwa mengikuti jejak Rasul saw. Maka ia tidak mencari upah, balasan dan terima kasih dengan mengajar itu. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada­Nya. Tidak ia melihat bagi dirinya telah menanam budi kepada murid‑murid itu, meskipun murid‑murid itu harus mengingati budi baik orang kepadanya. Tetapi guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik jiwa anak‑anak itu. Supaya hatinya dekat kepada Allah Ta’ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan padanya.
Seumpama orang yang meminjam­kan kepada anda sebidang tanah untuk anda tanami didalamnya tanam‑tanaman untuk anda sendiri. Maka faedah yang anda dapati adalah melebihi dari faedah yang diperoleh pemilik tanah itu. Maka bagaimanakah anda menyebut‑nyebut jasa anda itu? Pada hal paha­la yang anda peroleh dari mengajar itu, pada Allah Ta’ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh oleh murid. Dan kalaulah tak ada murid yang belajar, maka anda tidak akan memperoleh pahala itu. Dari itu, janganlah diharap pahala selain dari Allah Ta’ala, seperti firmanNya:"Hai kaumku ! Aku tiada meminta harta kepada kamu sebagai upah­nya, upahku hanyalah dari Tuhan”. S 11 ayat 29. Harta dan isi dunia adalah menjadi pesuruh badan kita. Badan men­jadi kendaraan dan tunggangan jiwa. Yang dikhidmati ialah ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu mulia. Orang yang mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu bawah, sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dija­dikannya yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani. Inilah penjungkir‑balikan namanya. Dan adalah seumpama orang yang berdiri di hari mahsyar bersama orang‑orang yang berdosa. Terbalik kepalanya dihadapan Tuhan. Pendek kata, kelebihan dan kenikmatan adalah untuk guru. Maka perhatikanlah, bagaimana sampai urusan agama kepada suatu kaum, yang mendakwakan bahwa maksudnya dengan ilmu yang ada pada­nya, baik ilmu fiqih atau ilmu kalam, baik memberi pelajaran dalam ilmu yang 2 tadi atau lainnya, adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka menyerahkan harta dan kemegahan serta menerima bermacam‑macam penghinaan, untuk berkhidmat kepada sultan‑sultan (penguasa‑penguasa), supaya permintaannya berlaku. Jikalau mereka tinggalkan yang demikian itu, niscaya mereka di­tinggalkan. Dan tidak akan ada orang yang datang kepada mereka, lagi. Kemudian, diharap oleh guru dari muridnya, bantuan pada tiap‑ti­ap malapetaka, memberi pertolongan kepadanya, memusuhi mu­suhnya, bangun memenuhi keperluan hidupnya dan duduk bersimpuh dihadapannya. Apabila tidak, maka‑ dia memberontak dan muridnya itu menjadi musuhnya yang terbesar. Alangkah kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedu­dukan yang demikian. Kemudian, ia bergembira dengan itu. Kemu­dian, tidak malu mengatakan:"Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama ALLAH". Maka perhatikanlah segala tanda, sehingga engkau melihat penipu­an‑penipuan yang beraneka ragam itu !
Tugas ketiga: bahwa tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Dan belajar ilmu yang tersembunyi, sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menje­laskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemuka­kan keburukan sifat‑sifat itu sejauh mungkin ! Seorang berilmu yang jahat tidaklah berbuat kebaikan lebih banyak dari berbuat kejahatan dan kerusakan. Bila diketahui orang yang batinnya dengan menuntut ilmu adalah untuk dunia, maka harus­lah diperhatikan kepada ilmu yang dipelajarinya itu. Kalau ilmu itu ilmu khilafiah/ perdebatan mengenai fiqih, berdebat dalam ilmu kalam, ber­fatwa dalam soal persengketaan dan hukum, maka hendaklah dice­gah. Karena ilmu pengetahuan tersebut tidak termasuk dalam ilmu akhirat dan tidak termasuk sebagian dari ilmu yang dikatakan. "Kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu eng­gan kalau bukan karena Allah".
Yang termasuk dalam ilmu akhirat, ialah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu‑ilmu yang menjadi perpegangan orang‑orang terdahulu, dari ilmu akhirat, ilmu mengenai budi pekerti jiwa dan cara menga­suhnya. Apabila ilmu tadi dipelajari oleh seorang pelajar dengan tujuan duniawi, maka tak mengapa dibiarkan. Karena membuahkan peng­harapan, bagi pelajar itu nanti, pada pengajaran dan pengikutan kepada orang ramai. Bahkan kadang‑kadang ia sadar di tengah jalan atau diakhir jalan. Karena padanya ada pengetahuan yang memba­wa takut kepada Allah Ta’ala, penghinaan kepada dunia dan peng­hargaan kepada akhirat. Dan ada harapan besar pelajar itu akan memperoleh jalan yang benar ke akhirat, sehingga dia memperoleh pengajaran dengan apa yang diajarinya orang lain. Dan berlakulah kesukaan diterima orang kata‑katanya dan kemegahan, sebagai berlakunya biji‑bijian yang ditaburkan di keliling perangkap, untuk menangkap burung dengan yang demikian. Memang demikianlah, diperbuat oleh Allah pada hambaNya. Kare­na dijadikanNya nafsu syahwat, supaya makhluk itu dapat mene­ruskan keturunannya. DijadikanNya pula suka mencari kemegahan, supaya menjadi sebab, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan.
Demikianlah yang kita harapkan pada ilmu‑ilmu tersebut. Mengenai masalah khilafiah semata‑mata, perdebatan dalam ilmu kalam (berkata-kata), pengetahuan ilmu furu' yang ganjil‑ganjil, bila ilmu itu saja yang diperhatikan, sedang yang lainnya dikesampingkan, maka ha­nyalah menambahkan kesesatan hati dan kelalaian dari pada Allah Ta’ala. Serta berkepanjangan dalam kesesatan dan mencari keme­gahan. Kecuali orang‑orang yang dinaungi Allah dengan rahmat‑kasihNya. Atau dicampurkan ilmu tadi, dengan ilmu‑ilmu yang lain dari ilmu pengetahuan keagamaan. Untuk itu tidak dapat kita buktikan, seperti percobaan dan penyak­sian. Dari itu perhatikanlah, renungkanlah dan selidikilah supaya diperoleh kebenarannya dalam kalangan manusia dan negeri‑negeri ! Semoga Allah memberi pertolongan ! Pernah orang melihat Sufyan Ats‑Tsuri gundah‑gulana, maka dita­nyakan: "Mengapakah tuan hamba demikian Ia menjawab: "Kami ini menjadi toko, bagi anak‑anak dunia. Seorang dari mereka selalu bersama kami, tetapi apabila telah belajar, Ialu diangkat menjadi hakim (kadli), pegawai atau pengua­sa.
Tugas keempat: yaitu termasuk yang halus‑halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih‑sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru. Dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka menerus­kan sifat yang jahat itu. Nabi saw selaku mursyid segala guru, pernah bersabda:"jikalau manusia itu dilarang dari menghancurkan taik unta, maka akan dihancurkannya dengan mengatakan: "Kita tidak dilarang dari terbuatan itu kalau tak ada apa‑apanya”. Keadaan yang tersebut tadi, mengingatkan anda akan kisah Adam dan Hawa as serta larangan yang ditujukan kepada keduanya. Dan tidaklah kisah itu diterangkan kepadamu untuk menjadi buah pembicaraan di malam hari. Tetapi, untuk engkau sadari atas jalan ibarat. Juga dengan sindiran itu, membawa kepada jiwa utama dan hati suci, untuk memahami tujuan dari sindiran itu. Maka dengan kei­nginan memperhatikan maksud dari sindiran itu, karena ingin me­ngetahuinya, tahulah dia bahwa hal itu tidak boleh lenyap dari ­perhatiannya.
Tugas kelima: seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya meleceh­kan ilmu fiqih. Guru fiqih melecehkan ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata‑mata me­nyalin dan mendengar. Cara yang demikian, adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya. Guru ilmu kalam (berkata-kata) memandang sepi kepada ilmu fiqih dengan mengatakan, bahwa fiqih itu membicarakan soal furu'/cabang. Diantara lain memperkatakan tentang kain kotor wanita. Maka apakah artinya itu, dibandingkan dengan memperkatakan tentang sifat Tuhan Yang Maha Pengasih ? Inilah budi pekerti yang tercela pada para guru yang harus dijauh­kan ! Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yg bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas‑luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Kalau dia bertanggung jawab dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hen­daklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke setingkat !
Tugas keenam: guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan diajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul. Perhatikanlah akan sabda Nabi saw: "Kami para Nabi disuruh menempatkan masing-masing orang pada tempatnya dan berbicara dengan mereka menurut tingkat pemikir­annya". Kembangkanlah kepada murid itu sesuatu pengetahuan yang men­dalam, apabila diketahui bahwa dia telah dapat memahami nya sendiri. Bersabda Nabi saw: "Apabila seseorang, berbicara kepada sesuatu golongan tentang persoalan yang belum sampai otaknya ke sana, maka ia menjadi fitnah kepada sebahagian dari mereka”. Berkata Ali ra sambil menunjuk ke dadanya: “Di sini terkumpul banyak ilmu pengetahuan, sekiranya dapatlah saya peroleh orang­-orang yang menerimanya”. Benarlah ucapan beliau, itu. Dada orang‑orang baik (al‑abrar) adalah kuburan ilmu pengetahuan yang tinggi‑tinggi (al‑asrar). Dari itu, tidak wajarlah bagi seorang yang berilmu, menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada orang. Hal ini, apabila dapat dipahami oleh yang belajar dan ia belum dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Maka betapa pula terhadap orang yang tidak dapat memahaminya?
Berkata Nabi Isa as: "Janganlah engkau gantungkan mutiara pada leher babi". Ilmu hikmah adalah lebih mulia dari mutiara. Orang yang tidak suka kepada ilmu hikmah, adalah lebih jahat dari babi. Dari itu dikatakan: timbanglah bagi masing‑masing orang, menurut ukuran akalnya. Dan timbanglah bagi masing‑masing orang itu dengan tim­bangan pahamnya, sehingga selamat dan bermanfa'at. Kalau tidak ada pemahaman, maka terjadilah pertentangan karena tim­bangan akal berIebih‑kurang (salah pengertian). Ditanyakan setengah ulama tentang suatu hal. Beliau tidak men­jawab, lalu penanya itu bertanya lagi: tidakkah tuan mendengar sabda Nabi saw:”Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, nis­caya datang dia pada hari qiamat, pada mulutnya ada kekang dari api neraka".  Maka menjawablah ulama tersebut: "Tinggalkanlah kekang itu dan pergilah ! Kalau datang kemari orang yang berpaham dan aku sem­bunyikan juga, maka letakkanlah kekang itu pada mulutku !". Berfirman Allah. Ta'ala: “Janganlah kamu berikan kepada orang‑orang yang belum mengerti (masih bodoh) harta‑harta mereka yang kamu dijadikan Tuhan pemeliharaan nya” S 4 ayat 5. Firman tersebut sebagai peringatan bahwa menjaga ilmu pengeta­huan dari orang yang merusakkan dan mendatangkan kemelaratan, adalah lebih utama lagi. Dan tidaklah kurang dzalimnya antara memberikan kepada yang tidak berhak dan tidak memberikan kepada yang berhak. Berkata seorang penyair:
"Apakah saya hamburkan mutiara,
dihadapan pengembala domba?
Lalu jadilah dia tersimpan
Dalam gudang penternak hewan?
Mereka itu tidak tahu,
akan harga mutiara.
Dari itu saya tak mau,
menggantungkannya pada 'leher mereka .............
Kalau kiranya Tuhan,
mencurahkan belas kasihan.
Lalu kedapatan,
ahli ilmu pengetahuan.
Saya akan siarkan ilmu berfaedah,
saya akan memperoleh cinta mahabbah.
Kalau tidak begitu .................
biarlah tersimpan dan tersembunyi dalam dadaku  !
Memberikan ilmu kepada orang bodoh,
adalah menyia‑nyiakan.
Tak mau memberikannya kepada yang berhak,
adalah menganiayakan.
Tugas ketujuh: kepada seorang pelajar yang singkat paham, hen­daklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Jangan­lah disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang di simpan, tidak dijelas­kan. Karena, yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginan­nya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacau‑balaukan pikiran­nya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah­-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya. Sekalian orang menyangka bahwa dirinya ahli dalam segala ilmu, meskipun yang pelik. Dan tak ada seorangpun yang tak ingin memperoleh pikiran yang cerdas dari pada Allah Ta’ala. Orang yang paling dungu dan paling bodoh pun merasa gembira dengan kesem­purnaan akal pikirannya. Dan dengan ini, dapatlah diketahui, bahwa orang awwam yang terikat dengan ikatan kepercayaan Agama dan meresap dalam jiwanya 'keyakinan yang berasal dari ulama‑ulama terdahulu, tanpa membanding dan mena'wilkan dan dalam pada itu, batinnya cu­kup baik dan akaInya tidak berpikir lebih banyak dari itu, maka tidak sewajarnyalah keyakinan orang awwam itu dikacau‑balaukan. Tetapi sewajarnyalah dia itu dibiarkan dengan urusannya. Sebab kalau diterangkan kepada si awwam itu pena'wilan‑pena'wilan(penafsiran) da­ri kedzahiran kata‑kata maka terlepaslah apa yang terikat dalam hatinya. Dan tidak mudah lagi mengikatnya kembali dengan apa yang diikatkan oleh orang yang tertentu (orang al‑khawwash). Lalu terangkatlah dinding antara si awwam tadi dan perbuatan ma'siat. Dan bertukarlah dia menjadi setan penggoda, membina­sakan dirinya sendiri dan orang lain. Bahkan, tidak layak orang awwam itu dibawa berkecimpung ke dalam ilmu hakikat/makna yang pelik‑pelik. Tetapi, cukupkan saja dengan mengajari peribadatan, mengajari amanah dalam pekerjaannya sehari‑hari. Isikanlah jiwanya dengan keinginan kepada sorga dan ketakutan kepada neraka, seperti yang tersebut dalam AI‑Quran Suci. Jangan dibangunkan pikiran mereka kearah keragu‑raguan. Karena mungkin nanti keragu‑raguan itu melekat dalam hatinya & sukar dilepaskannya. Maka binasalah dan celakalah dia kesudahannya.  Pendek kata, tidak wajar pintu pembahasan di buka kepada orang awam. Sebab dengan itu membawa kepada kekosongan pekerjaan mereka, yang menjadi sendi dari budi pekerti & kekekalan hidup dari orang‑orang tertentu.
Tugas kedelapan: guru  itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata‑hati dan amal dilihat dengan mata‑kepala. Yang mempunyai mata‑kepala adalah lebih banyak. Apabila amal bersalahan dengan ilmu, maka tercegahlah keadilan. Orang yang mengambil sesuatu, lalu mengatakan kepada orang lain "Jangan kamu ambil barang itu, sebab barang itu adalah racun yang membinasakan ! adalah telah memperkosa hak orang lain. Dia akan kena tuduhan. Orang semakin bernafsu kepada benda yang dilarang mengambil nya itu, dengan mengatakan: "Kalau bukan­lah benda itu baik dan berharga, masa diambilnya !”. Dibandingkan guru yang mursyid (penunjuk jalan kebenaran dengan para muridnya), adalah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayang‑bayang dari kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan kapankah bayang‑bayang itu lurus sedang kayunya bengkok ? Karena itu, berkatalah pantun yang seirama dengan itu:
"Janganlah engkau melarang suatu pekerti,
sedang engkau sendiri melakukannya.
Malulah kepada diri sendiri,
dilihat orang engkau mengerjakannya  !”
Berfirman Allah Ta’ala: "Adakah kamu menyuruh orang lain dengan berbuat baik dan ka­mu lupakan dirimu sendiri ! ". S 2 ayat 44. Karena itulah dosa orang yang berilmu mengerjakan perbuatan ma'siat, adalah lebih besar dari dosa orang yang bodoh. Karena dengan terperosoknya orang yang berilmu, maka terperosoklah orang banyak yang menjadi pengikutnya. Barang siapa membuat tradisi yang buruk, maka berdosalah dia dan berdosalah orang yang menuruti tradisi itu. Dari itu berkata Ali ra: "Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu yang tak menjaga kehormatan dan orang yang bodoh yang kuat beribadah. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya dan orang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya”.  
Wallahu A’lam (Allah Yang Maha Tahu !).
BAB KEENAM:  Tentang bahaya ilmu pengetahuan, penjelasan tanda‑tanda ulama akhirat dan ulama su' (ulama jahat).
Telah kami terangkan dahulu ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama (ahli ilmu). Dan mengenai ulama su' telah datang penegasan‑penegasan yang tegas, yang menunjukkan bahwa mereka memperoleh 'azab yang sangat keras pada hari qiamat, dibanding­kan dengan orang‑orang lain. Yang teramat penting, ialah mengetahui tanda‑tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang kami maksudkan dengan ulama dunia ialah ulama su' yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ialah untuk memperoleh kesenangan duniawi, kemegahan dan kedudukan.
Bersabda Nabi saw: ”Manusia yang sangat memperoleh 'azab pada hari qiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfaat dengan ilmunya". Dan bersabda Nabi saw:"Tidaklah seorang itu bernama 'alim sebelum berbuat menuruti il­munya". Dan bersabda Nabi saw: "Ilmu pengetahuan itu ada 2: ilmu pa­da lisan, yaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhluk­Nya dan ilmu pada hati, yaitu ilmu yang bermanfaat".
Bersabda Nabi saw: lagi: "Adalah pada akhir zaman, orang‑orang yang beribadah yang bodoh dan orang‑orang yang berilmu yang tidak beribadah (fasiq)” Bersabda Nabi saw: “Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk bersombong‑sombong dengan sesama berilmu, untuk bertengkar dengan orang‑orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka”.
 Bersabda Nabi saw: “Barang siapa menyembunyikan ilmu penge­tahuan yang ada padanya, maka diberikan oleh Allah kekang pada mulutnya dengan kekang api neraka". Dan bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan dajal dari dajal”.  Lalu orang menanyakan: "Siapakah itu?" Maka menjawah Nabi saw: "Imam‑imam (pemuka‑pemuka) yang menyesatkan". Bersabda Nabi saw: "Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk, niscaya dia tidak bertambah dekat melainkan bertambah jauh dari Allah”.
Bersabda Nabi Isa as: "Kapankah kamu akan menerangkan jalan kepada orang‑orang yang berjalan malam, sedang kamu bertempat tinggal bersama‑sama orang‑orang yang dalam keheranan ?" Dengan hadits ini dan lainnya, menunjukkan betapa besarnya ba­haya ilmu. Orang yang berilmu, adakalanya menderita kebinasaan abadi atau kebahagiaan abadi. Dengan berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, orang yang berilmu itu tidak memperoleh keselamatan, jika tidak mendapat kebahagiaan.
Adapun atsar (kata‑kata shahabat dan ulama‑ulama terdahulu), diantara lain berkata Umar ra: "Yang paling saya takutkan kepada ummat ini, ialah orang munafiq yang berilmu". Bertanya hadirin: “Bagaimana ada orang yang munafiq berilmu?". Menjawab Umar ra: “Berilmu di lidah, bodoh di hati dan diper­buatan". Berkata AL Hasan ra: “Janganlah ada engkau sebahagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, kata pilihan hukuma' dan berla­ku dalam perbuatan seperti sufaha' (orang‑orang bodoh). 
Berkata seorang laki‑laki kepada Abu Hurairah ra: "Saya mau mempelajari ilmu, tetapi saya takut nanti ilmu itu tersia‑sia". Menjawab Abu Hurairah ra: “Dengan meninggalkan saja, sudah mencukupi untuk dipandang menyia‑nyiakan ilmu". Ditanyakan Ibrahim bin Uyainah: "Manakah manusia yang lama benar penyesalan nya?" Menjawab Ibrahim: "Adapun pada masa dekat di dunia ini, ialah orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih. Dan ketika mati nanti, ialah orang yang berilmu yang me­nyia‑nyiakan ilmunya". Berkata Al‑Khalil bin Ahmad: "Orang itu empat  macam. Semacam ialah orang yang mengetahui dan tahu ia mengetahui. Maka dia itu ialah orang yang berilmu. Ikutlah dia ! Semacam ialah orang yang mengetahui dan tidak tahu ia, mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang tidur. Bangunkanlah dia ! Semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang meminta petunjuk. Maka tunjukilah dia ! Dan semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tidak tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang jahil. Maka tolaklah dia !"
Berkata Sufyan Ats ‑Tsuri ra: “Disambut ilmu dengan amal per­buatan. Kalau ada demikian, maka ilmu itu menetap. Kalau tidak, maka dia berangkat". Berkata Ibnul Mubarak: "Senantiasa manusia itu berilmu selama ia menuntut ilmu. Apabila ia menyangka sudah berilmu, maka dia itu, telah bodoh. Berkata AI‑Fudhail bin Iyadh ra: "Saya menaruh belas kasihan kepada tiga orang yaitu orang mulia dalam kaumnya yang menghinakan diri, orang kaya dalam kaumnya yang memiskinkan diri dan orang yang berilmu yang dipermainkan dunia" Berkata AL Hasan: "Siksaan bagi ulama ialah mati hatinya. Kema­tian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat". Dan bermadahlah mereka:
Aku heran orang membeli kesesatan dengan petunjuk.
Lebih heran lagi, orang membeli dunia dengan agamanya.
Yang lebih heran dari yang dua itu ..................
Orang menjual agamanya dengan dunia.
Inilah yang paling ajaib dari yang dua itu ...........
Bersabda Nabi saw: "Bahwa orang yang berilmu itu di 'azabkan dengan suatu 'azab yang dikelilingi penduduk neraka dengan perasaan dahsyat, karena ber­sangatan azabnya". Dimaksudkan dengan orang yang berilmu tadi, ialah orang berilmu yang dzalim. Berkata Usamah bin Zaid: "Aku mendengar Rasulullah saw ber­sabda: ”Pada hari qiamat, dibawa orang yang berilmu lalu dilemparkan kedalam, neraka. Maka keluarlah perutnya. Dia mengelilingi perut­nya itu seperti keledai mengelilingi gilingan gandum. Penduduk neraka mengelilinginya, seraya bertanya: '”Mengapa engkau be­gini ?". Menjawab orang yang berilmu itu: "Adalah aku menyuruh dengan kebaikan dan aku sendiri tidak mengerjakannya. Aku melarang dari kejahatan dan aku sendiri mengerjakannya". Dilipat‑gandakan 'azab kepada orang yang berilmu, karena masiat­nya. Karena ia mengerjakan ma'siat itu dengan ilmu. Dari itu ber­firman Allah Talala: "Bahwa orang munafiq itu dalam tingkat yang paling bawah dari api neraka". S 4 ayat 145. Karena mereka ingkar sesudah berilmu. Dijadikan orang Yahudi lebih jahat dari orang Nasrani, pada hal orang Yahudi tidak menga­ku Allah mempunyai anak dan tidak mengatakan bahwa Allah itu yang ke tiga dari tiga, adalah disebabkan orang Yahudi itu ingkar sesudah tahu.
Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka mengetahuinya (Kitab Suci) seperti mengetahui anaknya sendiri". S 2 ayat 146. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka tidak percaya kepadanya. Sebab itu Allah Ta'ala mengutuki orang‑orang yang kafir". S 2 ayat89. Berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Bal’am bin Ba‑ura':“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan keterangan‑keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya. Sebab itu, dia didatangi setan dan termasuk orang‑orang yang sesat jalan”  S 7 ayat 175. Sampai Allah Ta’ala, berfirman: “Orang itu adalah seumpama anjing, kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan, diulurkannya juga lidahnya". S 7 ayat 176. Maka begitu jugalah orang berilmu yang dzalim. Kepada Bal'am diberikan Kitab Allah, tetapi dia terus bergelimang dalam hawa nafsu. Maka dia diserupakan dengan anjing. Artinya, sama saja an­tara diberikan ilmu hikmah atau tidak diberikan, dia terus menjilat dengan lidahnya pada hawa nafsu.
Bersabda Isa as: "Orang berilmu yang jahat adalah seumpama batu besar yang jatuh ke mulut sungai. Dia tidak mengisap air dan tidak menghalangi air mengalir ke tanam­-tanaman. Dan seumpama parit rumput, dzahirnya yang kelihatan seperti di cat dan dalamnya yang tidak kelihatan adalah berbau busuk. Dan seumpama kuburan, dzahirnya yang kelihatan adalah bangun‑bangunan dan batinnya di dalam adalah tulang‑belulang orang mati".
 Itulah hadits‑hadits dan kata‑kata berhikmah yang menerangkan, bahwa orang berilmu yang menjadi anak dunia adalah lebih buruk keadaannya dan lebih sangat 'azab yang dideritainya dari orang bodoh. Yang memperoleh kemenangan dan dekat dengan Tuhan ialah Ulama akhirat. Tanda‑tandanya banyak. Diantaranya, ulama akhirat ltu tidak mencari dunia dengan ilmunya. Sekurang‑kurang tingkat seorang yang berilmu itu, mengetahui kehinaan dunia, keburukan, kekotoran dan keseramannya. Kebe­saran akhirat, keabadian, kebersihan nikmat dan keluhuran keraja­annya. Dan mengetahui bahwa antara dunia dan akhirat itu berla­wanan. Keduanya seumpama dua wanita yang bermadu, manakala dicari kerelaan yang seorang, maka yang lain marah. Dan seumpama dua daun neraca, manakala berat yang satu, maka yang lain ringan. Dunia dan akhirat itu laksana masyriq/tempat matahari terbit dan magrib/tempat matahari terbenam. Manakala didekati yang satu, maka pasti bertambah jauh dari yang lain. Atau seumpama dua wadah, yang satu penuh dan yang lain kosong. Sebanyak yang diambil dari yang berisi untuk dituangkan ke dalam yang kosong sampai penuh, maka demikianlah kosong yang berisi itu. Maka orang yang tidak mengenal kehinaan dunia, kekotoran dan kecampur‑bauran kelezatan dengan kesakitannya, kemudian keseraman apa yang kelihatan bersih dari dunia itu, maka orang itu adalah manusia yang telah rusak akal. Sesungguhnya penyaksian dan pengalaman menunjukkan kepada demikian. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak berakal ? Orang yang tak mengetahui kebesaran keadaan akhirat dan keabadiannya, maka orang itu telah tertutup hatinya dan tercabut keimanan nya. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak beriman ?
Dan orang yang tak mengetahui berlawanannya dunia dengan akhirat dan mengum­pulkan keduanya adalah satu harapan yang tak usah diharapkan, maka orang itu bodoh dengan seluruh agama nabi‑nabi. Bahkan hatinya telah tertutup dari seluruh isi AI‑Qur‑an, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya. Maka bagaimanakah dia dihitung termasuk dalam golongan ulama ? Orang yang mengetahui ini seluruhnya tetapi tidak memilih akhirat dari dunia, maka adalah tawanan setan. Telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dipaksakan oleh kecelakaannya. Maka bagai­manakah dihitung termasuk dalam barisan ulama, orang yang tingkatannya demikian?
Dalam warta berita nabi Daud as yang merupakan firman dari Allah Ta’ala, tersebut: "Sekurang‑kurang perbuatanku dengan orang yang berilmu apabila memilihkan hawa nafsunya dari men­cintai Aku, ialah Kuharamkannya kelezatan bermunajah dengan Aku.  Hai Daud  ! jangan engkau tanyakan kepadaKu orang yang berilmu yang telah dimabukkan oleh dunia, maka dicegahnya engkau dari jalan kecintaanKu. Mereka itulah penyamun‑penyamun terha­dap hambaKu. Hai Daud ! Apabila engkau melihat seorang pelajar untukKu, maka hendaklah engkau menjadi pesuruhnya  ! Hai Daud  ! Barang siapa mengembalikan kepadaKu orang yang lari, maka Kutuliskan dia orang yang tahu kebenaran. Barang siapa Kutuliskan sebagai orang yang tahu kebenaran, maka tidak Ku azabkan dia selama‑lamanya". Dari itu berkata AL Hasan ra: "Siksaan bagi orang yang berilmu ialah mati hatinya. Mati hati ialah mencari dunia dengan amal per­buatan akhirat" Karena itu berkata Yahya bin Ma’az: "Sesung­guhnya hilanglah keelokan ilmu dan hikmah, apabila dicari dunia dengan keduanya". Berkata Said bin AI‑Musayyab ra: "Apabila engkau melihat, orang yang berilmu mendatangi amir‑amir, maka itu adalah pencuri".
Berkata Umar ra: "Apabila engkau melihat orang yang berilmu mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agama­nya  ! Karena tiap‑tiap orang yang mencintai sesuatu, ia akan berke­cimpung pada yang dlcintainya itu". Berkata Malik bin Dinar ra: "Aku telah membaca dalam beberapa kitab lama bahwa Allah Ta­’ala berfirman: "Bahwa yang paling mudah Aku perbuat dengan orang yang berilmu apabila ia mencintai dunia, ialah Aku keluarkan dari hatinya kelezatan bermunajah dengan Aku". Seorang laki‑laki menulis surat kepada saudaranya, yang berbunyi "Engkau telah diberikan ilmu, maka janganlah engkau padamkan nur ilmu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau kekal dalam ke­gelapan, pada hari berjalan segala ahli ilmu dalam sinar ilmunya". Berkata Yahya bin Ma'az Ar‑Razi ra: kepada para ahli ilmu duni­awi: "Hai segala ahli ilmu  ! Istanamu seperti istana kaisar Romawi, rumahmu seperti rumah raja (kisra) Persi, pakaianmu seperti pakai­an golongan Dzahiriah, sepatumu seperti sepatu jalut, kendaraan­mu seperti kendaraan Qarun, tempat makanmu seperti tempat ma­kan Fir`aun, perbuatanmu seperti perbuatan orang jahiliah dan madzhabmu seperti madzhab setan. Maka dimanakah agama Muhammad itu ?".
                                                                                              Berkata seorang penyair.
Pengembala domba menjaga dari srigala.
Maka bagaimana pula ...................
apabila ..................................
pengembala itu sendiri serigala .....?
Berkata penyair lain:
“Wahai para pembaca .................
wahai garam negeri ....................
Tidaklah garam dapat membuat perbaikan,
apabila garam itu sendiri busuk .
Ditanyakan kepada setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'­rifah kepada Allah Ta’ala): "Adakah tuan berpendapat bahwa orang yang meletakkan pekerjaan ma'siat menjadi kecintaannya, tidak mengenal Allah ?”. Menjawab 'arifin itu: "Tak ragu aku bahwa orang yang memilih dunia dari akhirat adalah tidak mengenal Allah Ta'ala". Selain dari itu, amat banyak lagi kata‑kata hikmah tentang itu. Janganlah anda menyangka bahwa meninggalkan harta kekayaan saja sudah mencukupi untuk menghubungkan diri dengan ulama  akhirat. Sebab mencari kemegahan itu, lebih lagi membawa keme­laratan dari harta.
Dari itu berkata Bisyr: "Berbicara dengan kami salah satu dari pintu dunia. Maka apabila, aku mendengar orang mengatakan "Berbicaralah dengan kami”, maka sebenarnya ia mengatakan "Berilah kelapangan kepadaku". Bisyr bin Harts menanamkan lebih 10 buah buku antara peti buku dan peti tempat simpanan tamar (kurma kering). Dia menga­takan: "Saya ingin berbicara Jikalau hilanglah keinginanku ber­bicara, maka aku berbicara". Berkata Bisyr dan lainnya: "Apabila ingin engkau berbicara, maka diamlah ! Apabila tidak ingin, maka berbicaralah !" Pahamilah ini ! Karena merasa kelezatan dengan kemegahan mem­buat sesuatu jasa dan memperoleh kedudukan memberi petunjuk kepada orang, adalah kelezatan yang terbesar dari seluruh kenik­matan duniawi. Barang siapa memperkenan kan hawa nafsunya membicarakan itu, maka adalah dia diantara anak‑anak dunia. Dari itu berkata Ats‑Tsuri: "Fitnah pembicaraan, adalah lebih hebat dari pada fitnah keluarga, harta dan anak. Bagaimanakah tidak ditakuti fitnahnya? Dan telah dikatakan kepada Penghulu segala rasul saw: Jikalau tidaklah Kami tetapkan pendirian engkau, maka hampirlah engkau condong sedikit kepada mereka".  Berkata Sahl ra: 'llmu itu seluruhnya dunia. Yang akhirat dari ilmu itu, ialah berbuat amal. Amal seluruhnya itu hampa, kecuali dengan keikhlasan”. Berkata Sahl saterusnya: "Manusia seluruh­nya mati, selain para ahli ilmu. Para ahli ilmu itu mabuk, selain yang beramal. Orang yang beramal seluruhnya tertipu, selain yang ikhlas. Orang yang ikhlas itu dalam ketakutan, sebelum diketahui­nya apa kesudahan dari amalnya itu".
              Berkata Abu Sulaiman Ad‑Darani ra: "Apabila seseorang mempe­lajari hadits atau kawin atau merantau mencari penghidupan, maka orang itu telah condong kepada dunia”. Maksud Abu Sulaiman dengan ucapannya itu ialah mencari isnad-­isnad hadits yang tinggi atau mencari hadits yang tidak diperlukan pada mencari akhirat.
Berkata Nabi Isa as: "Bagaimana menjadi ahli ilmu orang yang perjalanan nya keakhirat, sedang dia menghadap ke jalan dunia ? Bagaimana menjadi ahli ilmu orang mencari ilmu kalam (berkata-kata) untuk diceriterakan, tidak untuk diamalkan ?"
Berkata Shaleh bin Kaisan AI‑Bashari: "Aku berjumpa dengan beberapa orang syekh. Mereka itu berlindung dengan Allah dari orang dzalim yang alim dengan sunnah Nabi saw". Berkata Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan yang menuju kerelaan Allah untuk memperoleh harta benda duniawi maka orang itu tidak akan mencium bau surga pada hari qiamat”. Sudah dijelaskan oleh Allah akan ulama su' dengan mencari dunia dengan ilmunya dan ulama akhirat dengan khusu' dan zuhud. Berfirman Allah Maha Mulia & Maha Besar tentang ulama dunia: “Dan ketika Allah mengambil janji orang-orang yang diberikan kitab bahwa mereka akan menerangkan kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikan kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka mengambil sedikit keuntungan untuk gantinya”. S 3 ayat 187. Berfirman Allah Ta’ala, tentang ulama akhirat, "Bahwa diantara orang‑orang yang diturunkan Kitab itu ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada wahyu yang diturunkan  kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, mereka tunduk kepada Allah, dengan tidak menukar keterangan‑keterangan Allah itu dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala dari sisi Tuhan". S 3 ayat 199. Berkata setengah ulama salaf: “Para ulama itu dibangkitkan dalam rombongan nabi‑nabi. Dan para kadli (hakim) dibangkitkan dalam rombongan raja‑raja  !” Dimaksudkan dalam pengertian kadli, juga seluruh ahli fiqih, yang tujuannya mencari dunia dengan ilmu pengetahuannya.
                Diriwayatkan Abud‑Darda' dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersab­da: "Diwahyukan Allah kepada sebahagian nabi‑nabi, yaitu: "Katakan­lah kepada mereka yang menuntut ilmu, bukan untuk agama, belajar bukan untuk amal dan mencari dunia dengan amal perbuat­an akhirat: "Bahwa mereka memberi pakaian kulit kibas kepada manusia. Hati mereka seperti hati serigala. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada buah pere. Aku dikicaukannya, namaKu dipermain‑mainkannya. Sesungguh­nya akan Aku buka bagi mereka fitnah yang meninggalkan keheran­an bagi orang yang penyantun". Diriwayatkan AdI‑DIahhak dari Ibnu Abbas ra bahwa Ibnu Abbas mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Ulama ummat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak meng­harap apa‑apa dan tidak diperjual‑belikan. Ulama yang seperti ini didoakan kepadanya oleh burung di udara, ikan dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa kehadapan Allah Ta’ala pada hari qiamat, sebagai seorang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu pengetahuan dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa‑apa dan memperjual belikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari qiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Dihadapan manusia ramai, tampil seorang penyeru, menyerukan: "Inilah si anu anak si anu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa‑apa dan memperjual‑belikannya. Ulama tadi diazabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalan‑nya (dihisab)". 
            Yang lebih dahsyat dari itu lagi, ialah riwayat yang menerangkan bahwa ada seorang laki‑laki menjadi pesuruh Nabi Musa as Laki­-laki itu selalu mengatakan: "Diceriterakan kepadaku oleh Musa Pilihan Allah. Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang Dilepaskan Allah (Najiullah). Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang berkalam (berkata-kata) dengan Allah (Kalimullah)". Sehingga orang itu menjadi kaya raya banyak hartanya. Kemudian orang itu hilang, tidak diketahui oleh Musa as kemana perginya. Maka Musa as bertanya kesana kemari tetapi tidak mendapat berita apa‑apa. Pada suatu hari datanglah seorang laki‑laki kepada Musa as mem­bawa seekor babi dan pada leher babi itu tali hitam. Bertanya Musa as pada Iaki‑laki itu: "Kenalkah engkau si anu?" Menjawab laki‑laki itu: "Kenal  ! dialah babi ini". Maka berdoa Musa as: "Wabai Tuhanku ! aku bermohon keha­dliratMu. Kembalikanlah orang ini kepada keadaannya semula, supaya aku dapat menanyakan, apakah yang telah menimpa dirinya !. “Maka Allah Maha Mulia & Maha Besar mewahyukan kepada Musa as: "Seki­ranya engkau meminta kepadaKu dengan apa yang telah diminta­kan Adam atau lebih kurang lagi, tidak juga Aku perkenankan. Tetapi Aku kabarkan kepadamu, mengapa Aku berbuat begitu, adalah disebabkan orang itu mencari dunia dengan agama".
             Yang lebih berat lagi dari ini, ialah yang diriwayatkan Ma'az bin Jabal ra suatu hadits mauquf dan marfu’ bahwa Nabi saw bersab­da: “Diantara fitnah dari seorang yang berilmu ialah lebih suka ia berkata‑kata dari pada mendengar. Sebab dalam perkataan itu ba­nyak bunga dan tambahan dan belum ada jaminan terpelihara dari kesalahan. Dalam berdiam diri timbul keselamatan dan tanda beril­mu pengetahuan. Diantara orang yang berilmu (ulama), ada yang menyimpan saja ilmunya, tidak suka ada pada orang lain. Orang yang semacam ini, dalam lapisan pertama dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang bersikap sebagai raja dengan ilmunya. Jika ada pengetahuannya yang ditolak orang atau dipandang orang lemah dan kurang benar, maka marahlah dia. Orang yang semacam ini dalam lapisan kedua dari api neraka. Diantara orang yang beril­mu, ada yang menyediakan ilmunya dan pembahasan ilmiahnya yang mendalam untuk orang yang terkemuka dan yang kaya saja dan tidak mau melihat kepada orang yang memerlukan kepada ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan keti­ga dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang meng­angkat dirinya, untuk memberi fatwa, Ialu ia berfatwa salah. Allah Ta'ala memarahi orang‑orang yang memberatkan dirinya dengan beban yang tidak disanggupinya. Orang yang semacam ini dalam lapisan keempat dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang berbicara cara Yahudi dan Nasrani untuk memperlihatkan ketinggian ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan kelima dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang membuat ilmunya untuk kehormatan diri, kemulia­an dan keharuman nama ditengah‑tengah masyarakat. Orang yang semacam ini dalam lapisan keenam dalam api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang menarik kebanggaan dan kesombong­an dengan ilmunya. Bila ia memberi nasehat, menghardik. Dan bila dinasehati, berkeras kepala. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketujuh dari api neraka. Wahai saudaraku hendaklah engkau berdiam diri ! Dengan berdiam diri, engkau dapat mengalahkan setan. Waspadalah dari tertawa tanpa ada yang menajubkan dan dari berjalan tanpa ada maksud ! Pada hadits, yang lain, tersebut: "Ada orang yang berkumandang pujian terhadap dirinya memenuhi antara masyriq dan magrib, te­tapi pada sisi Allah tidak ada timbangannya seberat sayap Ialat". Diceriterakan bahwa seorang laki‑laki dari Khurasan membawa kepada AL Hasan suatu bungkusan sesudah AL Hasan meninggalkan majlisnya. Bungkusan tersebut berisi 5000 dirham dan sepuluh potong kain dari benang halus. Berkata laki‑laki itu: "Hai Abu Said ! (Panggilan kepada AL Hasan) Inilah belanja dan inilah pakaian !" Menjawab Al Hasan: "Kiranya Allah melimpahkan kesehatan ke­padamu ! Kumpulkanlah ini untuk belanjamu dan pakaianmu ! Kami tidak berhajat kepadanya. Sesungguhnya orang yang duduk seum­pama majlisku itu dan menerima dari orang seperti ini, maka dia akan menjumpai Allah Ta’ala pada hari qiamat dan dia tidak berbudi".
            Diriwayatkan dari Jabir hadits mauquf  dan marfu' bahwa Nabi saw bersabda: "Janganlah engkau duduk pada setiap orang yang berilmu, kecuali pada orang yang berilmu yang mengajak kamu dari lima kepada lima: dari keragu‑raguan kepada keyakinan, dari ria kepada keikh­lasan, dari kegemaran kepada dunia kepada zuhud, dari takabur kepada kerendahan diri dan dari permusuhan kepada nasehat‑me­nasehati". Berfirman Allah Ta’ala: "Lalu dia keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang in­dah‑indah). Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia ini berkata: Wahai  ! Kiranya kami mempunyai seperti apa yang diberi­kan kepada Qarun  ! Sesungguhnya dia beruntung bernasib baik ! Tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata: “Malang nasibmu  ! Pahala dari Tuhan lebih baik untuk orang yang beriman” S 28 ayat 79-80.
            Maka ahli ilmu itu tahu memiliki akhirat atas dunia. Diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, tidak bertentangan perbu­atannya dengan perkataannya. Bahkan ia tidak menyuruh sesuatu sebelum dia sendiri menjadi orang pertama yang mengerjakannya. Berfirman Allah Ta’ala: "Adakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu lupakan akan dirimu sendiri ?"  S 2 ayat 44. Berfirman Allah Ta’ala: “Amat besar kutuk dari Allah Ta'ala bahwa kamu katakan apa yang tidak kamu kerjakan". S  61 ayat 3. Berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Syu'aib as: "Aku tidak kehendaki bertentangan dengan kamu kepada apa yang aku larangkan kamu dari padanya". S 11 ayat 88. Berfirman Allah Ta'ala: "Berbaktilah kepada Allah dan Allah me­ngajarkan kamu" S 2 ayat 282. Berfirman Allah Ta’ala: “Berbaktilah kepada Allah dan tahulah! Dan berbaktilah kepada Allah dan dengarlah!"  Berfirman Allah Ta’ala kepada Isa as: "Hai Putera Maryam ! Ajari­lah dirimu sendiri ! jika engkau telah memperoleh pelajaran, maka ajarilah orang lain. Kalau tidak, maka malulah kepada‑KU!”.
           Bersabda Nabi saw: "Aku Ialui pada malam isra'ku pada beberapa kaum yang di sayat bibirnya dengan gunting-gunting dari api neraka. Maka aku tanyakan: "Siapakah kamu ini ?. 'Mereka menjawab: "Kami adalah orang yang menyuruh dengan kebaikan dan tidak kami kerjakan. Kami melarang dari kejahatan dan kami kerjakan". Bersabda Nabi saw: "Yang binasa dari ummatku ialah orang berilmu yang dhalim dan orang yang beribadah yang bodoh. Kejahatan yang paling jahat ialah kejahatan orang berilmu dan kebaikan yang paling baik ialah kebaikan orang yang berilmu". Berkata AI‑Auza’i ra: "Diduga oleh pembuat peti‑peti mayat bahwa tak ada yang lebih busuk selain dari mayat orang‑orang yang tak beriman. Maka diwahyukan Tuhan kepadanya bahwa perut ulama su' lebih busuk dari itu".
 Berkata AI‑Fudlail bin 'IyadI ra: "Sampai kepadaku bahwa orang berilmu yang fasiq didahulukan Penyiksaannya pada hari qiamat, daripada penyembah‑penyembah berhala". Berkata Abud‑Darda' ra: "Siksaan neraka bagi orang yang tidak berilmu, satu kali dan bagi orang yang berilmu yang tidak menga­malkan 7kali". Berkata Asy‑Sya'bi: "Muncul pada hari qiamat suatu golongan dari penduduk sorga, berhadapan dengan suatu golongan dari pen­duduk neraka. Maka bertanya penduduk sorga: "Apakah sebabnya maka tuan‑tuan dimasukkan ke dalam neraka? Adapun kami ini, maka dimasukkan Allah ke dalam sorga ialah karena kelebihan pengajaran dan pelajaran tuan‑tuan". Maka menjawab penduduk neraka: "Karena kami menyuruh de­ngan kebajikan dan tidak kami kerjakan, melarang dari kejahatan dan kami kerjakan". Berkata Hatim AI‑Ashamm ra: "Tidak adalah kerugian yang pa­ling hebat pada hari qiamat, selain dari orang yang mengajari manusia ilmu pengetahuan lalu diamalkan mereka, sedang dia sendiri tidak mengamalkannya.  Maka mereka memperoleh kemenangan dengan sebabnya dan dia sendiri binasa".  Berkata Malik bin Dinar: "Bahwa orang yang berilmu apabila tidak berbuat sepanjang ilmunya, maka lenyaplah pengajarannya dari hati manusia seperti lenyapnya embun pagi dari bukit Shofa". Maka berpantunlah mereka:
"Wahai pengajar manusia  !
Engkau tertuduh ........................
Engkau larang mereka beberapa perkara
Engkau sendiri mengerjakannya ...............
Engkau rajin menasehati mereka ...............................
tetapi, segala yang terlarang, engkau yang mengerjakannya itu.
Engkau hinakan dunia dan orang yang suka kepadanya,
sedang engkau sendiri paling suka kepada dunia itu
Berkata penyair lain:
Janganlah engkau melarang sesuatu tingkah laku
dan engkau sendiri mengerjakannya.
Amatlah sangat memalukan kamu,
Apabila engkau sendiri memperbuatkannya".
Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Aku melewati batu besar di Makkah yang tertulis diatasnya "Balikkanlah aku, engkau akan dapat mengambil ibarat (suatu pemandangan)"  Maka aku balikkan Ialu aku lihat tertulis padanya: “Dengan yang engkau ketahui tidak engkau kerjakan, maka bagaimana engkau mencari ilmu ten­tang sesuatu yang belum engkau ketahui !  "Berkata Ibnus‑Sammak ra: "Berapa banyak orang yang memperi­ngatkan orang lain kepada Allah, yang lupa kepada Allah  ! Berapa banyak orang yang memberi peringatan supaya takut kepada Allah, yang berani menentang Allah  ! Berapa banyak orang yang mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah, yang jauh dari  Allah  ! Berapa banyak orang, yang menyerukan orang lain kepada Allah yang lari dari Allah  ! Dan berapa banyak orang yang membaca Kitab Allah, yang terhapus hatinya dari ayat‑ayat Allah !".
Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Kami perbaiki bahasa perkataan kami, Maka kami tidak salah. Dan kami telah salah pada perbuatan kami tetapi tidah kami perbaiki". Berkata Al Auzai: "Apabila diperhatikan benar perbaikan bahasa, maka hilanglah khusu'. Diriwayatkan Makhul dari Abdur Rahman bin Ghanam bahwa Abdur Rahman mengatakan: "Berceritera kepadaku sepuluh orang shahabat Nabi saw dengan katanya: "Kami sedang belajar ilmu di masjid Quba', tiba‑tiba masuk Rasulullah saw lalu bersabda:"Pelajarilah apa yang engkau kehendaki mempelajarinya. Tetapi engkau tidak diberi pahala oleh Allah Ta’ala, sebelum engkau amalkan”.
Bersabda Nabi Isa as: "Orang yang mempelajari ilmu dan tidak mengamalkannya adalah seumpama wanita yang berbuat serong dengan sembunyi, maka ia hamil. Setelah bersalin, Maka pecahlah kabar tentang perbuatan jahat wanita tersebut. Maka begitu pulalah orang yang tidak berbuat menurut ilmunya, akan disiarkan Allah pada hari qiamat dihadapan orang banyak".
Berkata Mu’adz ra: “Jagalah tergelincimya orang berilmu, karena kedudukannya tinggi di mata orang banyak  ! Maka dia diikuti me­reka, meskipun dia telah tergelincir". Berkata Umar ra: "Apabila tengelincir orang yang berilmu, maka tergelincirlah alam makhluk". Berkata Umar ra: "Dengan tiga sebab hancurlah zaman. Salah satu dari padanya, tergelincirnya orang berilmu". Berkata Ibnu Mas'ud: "Akan datang kepada manusia suatu masa, yang terbalik kemanisan hati menjadi asin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu tak dapat mengam­bil manfaat dari ilmunya. Maka hati orang‑orang yang berilmu, dari mereka seumpama tanah kosong yang bergaram, yang turun kepa­danya hujan dari langit, maka tidak juga diperoleh rasa tawar pada­nya. Yaitu, apabila condong hati orang berilmu kepada mencintai dunia dan melebihkannya dari akhirat. Maka pada ketika itu, dica­butkan Allah sumber‑sumber hikmah dan dipadamkanNya lampu petunjuk dari hati mereka. Maka akan diceriterakan kepadamu oleh orang yang berilmu dari mereka itu ketika engkau menjumpainya, bahwa dia takut akan Allah dengan lisannya. Dan kedzaliman jelas kelihatan pada amal‑ perbuatannya. Alangkah suburnya lidah mere­ka ketika itu dan tandusnya hati mereka ! Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia ! Tidaklah terjadi yang demikian itu selain karena para guru mengajar bukan karena Allah dan para pelajar belajar bukan kerena Allah.
Dalam Taurat dan Injil tertulis: "Janganlah engkau mencari ilmu yang belum engkau ketahui, sebelum engkau amalkan apa yang telah engkau ketahui". Berkata Hudzaifah ra: "Sesungguhnya engkau sekarang berada pada zaman, di mana orang yang meninggalkan sepersepuluh dari yang diketahuinya, menjadi binasa. Dan akan datang suatu zaman, di mana orang yang mengerjakan padanya sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, niscaya ia selamat. Sebabnya, adalah karena banyaknya orang yang berbuat salah".
Ketahuilah bahwa orang berilmu itu adalah serupa dengan kadli (hakim). Nabi saw bersabda: "Kadli itu 3 macam: semacam menghukum dengan yang benar dan dia itu tahu, maka dia itu dalam surga. Semacam menghukum dengan kedzaliman dan dia itu tahu atau tidak tahu yang demikian maka dia itu dalam neraka. Dan semacam lagi menghukum di luar dari pada perintah Allah, maka dia itu dalam neraka". Berkata Ka'ab ra: "Adalah pada akhir zaman, orang‑orang yang berilmu, menyuruh manusia zuhud dari dunia dan mereka sendiri tidak zuhud. Menyuruh manusia takut kepada Tuhan dan mereka sendiri tidak takut. Melarang manusia mendatangi wali‑wali negeri dan mereka sendiri datang kepada wali‑wali negeri itu. Mereka me­milih dunia dari akhirat, mereka makan hasil usaha lidah mereka. Mereka mendekati orang‑orang kaya, tidak orang‑orang miskin. Mereka cemburu kepada ilmu pengetahuan seperti kaum wanita cemburu kepada kaum laki‑laki. Ia marah kepada teman duduknya apabila ia duduk dengan orang lain. Orang‑orang yang berilmu semacam itulah, orang‑orang yang keras hati, musuh Tuhan Yang Maha Pengasih “.
Bersabda Nabi saw: "Kadang‑kadang setan itu menangguhkan kamu dengan ilmu “. Lalu bertanya yang hadlir: "Ya Rasulullah ! Bagaimana yang demi­kian itu ?."  Menjawab Nabi saw: "Yaitu, setan itu mengatakan: "Tuntutlah ilmu dan jangan beramal dulu sebelum tahu benar. Maka senantiasa­lah setan itu berkata demikian bagi ilmu dan menangguhkan terhadap amal perbuatan, sehingga mati yang belajar itu dan tidak beramal". Berkata Sirr As‑Suqthi: "Adalah seorang laki‑laki mengasingkan diri pergi beribadah, di mana tadinya amat rajin mempelajari ilmu zahir/luar. Maka aku bertanya kepadanya, Ialu ia menjawab: "Saya bermimpi berjumpa dengan orang yang mengatakan kepadaku: “Berapa banyak engkau menyia‑nyiakan ilmu, maka sebanyak itu pulalah engkau disia‑siakan Allah". Aku menjawab bahwa aku memelihara ilmu itu, maka berkata orang yang dalam mimpi tadi: "Memeliharakan ilmu ialah mengamalkan ilmu itu". Maka aku tinggalkan belajar dan pergi beramal". Berkata Ibnu Masud ra: "Tidaklah ilmu itu dengan banyak ceri­tera, tetapi ilmu itu takut kepada Tuhan”. Berkata AL Hasan: "Pelajarilah apa yang kamu mau mempelajari­nya ! Demi Allah ! Kamu tidak akan diberi pahala oleh Allah sebelum beramal. Sebab orang‑orang bodoh itu, cita‑citanya meri­wayatkan ilmu dan orang‑orang yang berilmu itu cita‑citanya me­melihara ilmu itu dengan amal". Berkata Malik ra: "Menuntut ilmu itu baik dan mengembangkannya baik apabila niat itu betul. Tetapi perhatikanlah, apa yang harus bagimu dari pagi sampai petang ! Maka janganlah engkau lebihkan sesuatu itu dari ilmu". Berkata Ibnu Ma'ud ra: "Di turunkan Al‑Qur‑an untuk diamalkan. Maka ambillah mempelajarinya menjadi amalan. Dan akan datang suatu kaum yang membersihkan AI‑Qur‑an seperti membersihkan selokan. Mereka itu tidaklah termasuk orang baik. Orang berilmu yang tidak mengamalkan, adalah seumpama orang sakit yang menerangkan tentang obat dan seumpama orang lapar yang menerangkan tentang kelezatan makanan dan makanan itu tidak diperolehnya". Searah dengan yang diatas tadi, firman Allah Ta’ala: "Bagi kamu neraka wailun dari apa yang kamu terangkan”. S al anbiya ayat 18. Dalam hadits tersebut:”Diantara yang aku takuti atas ummatku ialah tergelincimya orang berilmu dan pertengkaran orang munafiq tentang AI‑Qur‑an”. Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, lalah kesungguhannya mencari ilmu yang berguna tentang akhirat, yang menggembira kan pada ta’at, menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan yang sedikit manfa'atnya dan banyak padanya pertengkaran, kata ini dan kata itu (qil dan qal). Orang yang mengenyampingkan pengetahuan untuk beramal dan sibuk dengan pertengkaran adalah seumpama orang sakit, yang pada tubuhnya bermacam‑macam penyakit dan ia berjumpa dengan seorang dokter yang ahli, pada waktu yang sempit yang hampir habis. Maka si sakit tadi menggunakan waktu yang sedikit itu untuk menanyakan kegunaan resep, obat dan keganjilan‑keganjilan dalam ilmu kedokteran dan meninggalkan kepentingannya yang mende­sak untuk memperoleh pengobatan. Orang yang semacam itu adalah bodoh sekali.
Diriwayatkan bahwa seorang laki‑laki datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: "Ajarilah hamba ilmu yang ganjil‑ganjil  ! Maka menjawab Nabi saw: "Apakah yang, engkau perbuat menge­nai pokok pengetahuan ?". Bertanya orang itu: "Yang manakah pokok pengetahuan itu ?". Menjawab Nabi saw: “Kenalkah engkau akan Tuhan ?”  Kenal ! menjawab orang itu".  Apakah yang engkau perbuat tentang hak Allah Ta'ala ?" "Masya Allah banyak ! " jawab orang itu. "Kenalkah engkau akan mati ?”  tanya Nabi saw "Kenal, ya Rasulullah ! " “jawabnya” Apakah yang engkau sediakan untuk mati ?" tanya Nabi saw lagi: "Masya Allah banyak ! jawabnya. Kemudian, maka bersabda Nabi saw: "Pergilah, kemudian kuat­kanlah apa yang ada di sana  ! Sudah itu datanglah ke mari, akan kami ajarkan engkau ilmu yang ganjil‑ganjil !".
Tetapi sewajar nyalah hendaknya, pelajar itu sejenis dengan apa yang diriwayatkah dari Hatim AI‑Ashamm ‑ murid dari Syaqiq Al Balakhi ra Bahwa Syaqiq bertanya kepada Hathim: "Sejak kapan engkau bersama aku ? Menjawab Hatim: "Sejak 33 tahun!". Bertanya lagi Syaqiq: "Apakah yang engkau pelajari padaku sela­ma itu ?". Menjawab Hatim: "Delapan masalah !". Berkata Syadiq dengan terperanjat: "Innaalillaahi wa innaa ilaihiraaji'uun  ! Terbuanglah saja umurku bersamamu. Dan engkau tidak pelajari kecuali 8 masalah saja". Menyela Hatim: "Wahai guruku ! Aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta". Maka menyambung Syaqiq: "Terangkanlah masalah yang delapan itu supaya aku dengar !".
Berkata Hatim satu: "Aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mempunyai kekasih dan ingin bersama de­ngan kekasihnya sampai ke kubur. Maka apabila, telah sampai ke kubur, niscaya ia berpisah dengan kekasih itu. Maka aku mengambil perbuatan baik menjadi kekasihku. Maka apabila aku masuk kubur, masuk pulalah kekasihku bersama aku". Maka berkata Syaqiq: "Benar sekali, ya Hatim !”
Dan yang kedua ?" Menyambung Hathim: "Aku perhatikan firman Allah Ta’ala: “Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya & menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka sesungguhnya taman (sorga) tempat kediamannya"  S 79 ayat 40-41. Maka yakinlah aku bahwa firman Allah Ta’ala itu benar. Lalu aku perjuangkan diriku menolak hawa nafsu itu, sehingga tetaplah aku ta`at  kepada Allah Ta’ala.
Yang ketiga, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku meli­hat, bahwa tiap‑tiap orang yang ada padanya sesuatu benda, menghargai, menilai dan memeliharai benda itu. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: "Apa yang di sisi kamu itu akan hilang tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal" S 16 ayat 96. Maka tiap kali jatuh ke dalam tanganku sesuatu yang berharga dan bernilai, lalu kuhadapkan dia kepada Allah, semoga kekal dia ter­pelihara pada sisiNya.
Yang keempat, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka kembali kepada harta, kebangsawan­an, kemuliaan dan keturunan. Lalu aku memandang pada semuanya itu, tiba‑tiba tampaknya tak ada apa‑apa. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala:”Yang termulia dari kamu pada sisi Allah ialah yang kuat taqwanya(baktinya)".  S 49 ayat 13. Maka berbuat taqwalah aku, sehingga adalah aku menjadi orang mulia di sisi Allah.
Yang kelima, aku memandang kepada makhluk ini, di mana mereka itu tusuk‑menusuk satu sama lain, kutuk‑mengutuk satu sama lain. Dan asal ini semuanya, ialah dengki  Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: "Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam kehidupan di dunia ini". S  43 ayat 32. Maka aku tinggalkan dengki itu. Dan aku jauhkan diri dari orang banyak. Dan aku tahu bahwa pembahagian rezeki itu, adalah dari sisi Allah Ta’ala. Maka aku tinggalkan permusuhan orang banyak kepadaku.
Yang keenam, aku memandang kepada makhluk ini, berbuat kedur­hakaan satu sama lain dan berperang satu sama lain. Maka kembalilah aku kepada firman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu perlakukanlah dia sebagai musuh!".  S35 ayat 6. Maka aku pandang setan itu musuhku satu‑satunya dan dengan sungguh‑sungguh aku berhati‑hati dari padanya, karena Allah Ta’ala mengaku bahwa setan itu musuhku. Dan aku tinggalkan permu­suhan makhluk dengan lainnya.
Yang ketujuh, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka mencari sepotong dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan ia masuk pada yang tidak halal dari padanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta’ala: “Dan tidak adalah dari yang merangkak di bumi ini melainkan rezekinya pada Allah ".  S11 ayat 6. Maka tahulah aku bahwa aku ini salah satu dari yang merangkak-rangkak yang rezekinya pada Allah Ta’ala. Dari itu aku kerjakan apa yang menjadi hak Allah  atasku dan aku tinggalkan yang menja­di hakku pada sisi‑Nya".
Yang kedelapan, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing‑masing mereka bersandar kepada makhluk. Yang ini kepada bendanya, yang itu kepada perniagaan nya, yang itu ke­pada perusahaannya dan yang itu lagi kepada kesehatan badannya. Dan masing‑masing makhluk itu bersandar kepada makhluk, yang seperti dia. Lalu aku kembali kepada firman Allah Ta’ala: "Dan barangsiapa menyandarkan dirinya kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya". S 65  ayat 3. Maka, akupun menyandarkan diriku (bertawakkal) kepada Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala, “mencukupkan keperluanku".
Berkata Syaqiq: "Ya Hatim ! Kiranya Allah Ta’ala memberikan taufiq kepadamu ! Aku telah memperhatikan segala ilmu pengeta­huan Taurat, Injil, Zabur dan Al‑Qur‑an yang mulia, maka aku peroleh, bahwa segala macam kebajikan dan keagamaan, berkisar diatas delapan masalah tersebut. Barang siapa memakainya, maka berarti dia telah, memakai kitab empat itu".
Maka bahagian ini dari ilmu pengetahuan, tidaklah dipentingkan memperolehnya dan memperhatikannya selain oleh ulama akhirat. Adapun ulama dunia, maka dikerjakannya yang memudahkan men­cari harta dan kemegahan. Dan disia‑siakannya ilmu yang seperti ini, yang diutuskan oleh Allah para Nabi as membawanya. Berkata Adl‑Dlahhak bin Muzahim: "Aku dapati para ulama dan tidak dipelajari oleh sebahagian mereka dari yang lain, melainkan tentang wara'(memelihara diri dari dosa dan harta yg diragukan). Tetapi ulama sekarang tidak dipelajarinya selain dari ilmu kalam (berkata-kata)". Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat  itu, tidak ingin kepada kemewahan, pada makanan, minuman dan pakaian. Tidak ingin kepada kecantikan, pada perabot rumah tangga dan tempat tinggal. Tetapi memilih kesederhanaan pada semuanya itu. Serupa keadaan­nya dengan ulama salaf, diberi Allah kiranya rakhmat kepada me­reka sekalian. Dan ingin mencukupkan dengan sedikit‑dikitnya dalam segala hal. Semakin bertambah keinginannya ke arah sedikit, semakin bertam­bah dekatnya dengan Allah Ta’ala dan tinggi kedudukannya dalam barisan ulama akhirat.
Dibuktikan kepada yang demikian oleh suatu ceritera dari Abu Abdillah AI‑Khawwash. Dia termasuk diantara teman sejawat Hatim AI‑Ashamm. Berceritera Abu Abdillah: "Aku pergi bersama Hatim ke Arrai dan bersama kami 320 orang laki‑laki. Kami bermaksud mengerjakan ibadah hajji. Pada mereka itu kan­tong bulu. Tidak ada bersama mereka koper pakaian dan makanan. Maka kami masuk ke tempat seorang saudagar yang sederhana, yang mempunyai belas kasihan kepada fakir miskin. Pada malam itu kami menjadi tamunya. Pada keesokan harinya, bertanya tuan rumah kepada Hatim: "Apakah saudara ada mempunyai keperluan apa‑apa ? Sebab saya bermaksud hendak mengunjungi seorang ahli fiqih kami, yang se­dang sakit sekarang". Menjawab Hatim: "Mengunjungi orang sakit ada kelebihannya dan memandang wajah ahli fiqih itu suatu ibadah. Saya pun pergi ber­sama tuan !". Adalah yang sakit itu Muhammad bin Muqatil kadli negeri Arrai, Ketika sampai kami di pintu, rupanya suatu istana yang mulia dan cantik. Hatim termenung, seraya berkata: "Beginikah pintu rumah seorang yang berilmu (seorang alim) ?”. Kemudian diizinkan, lalu mereka masuk. Rupanya sebuah rumah yang sangat cantik, cukup luas, bersih, berpemandangan indah dan bertirai. Maka Hatim termenung. Kemudian mereka masuk ke tempat di mana orang sakit itu berada. Di situ orang sakit berbaring diatas kasur yang empuk. Dikepalanya seorang bujang dengan memegang alat pemukul Ialat. Maka duduklah yang berkunjung tadi (saudagar itu) di samping ke­pala si sakit, menanyakan keadaan sakitnya, sedang Hatim berdiri saja. Lalu Ibnu Muqatil (orang sakit itu) mempersilakan Hatim duduk. Hatim menjawab: "Tak usah, tuan  ! Ibnu Muqatil bertanya: "Barangkali ada perlu ?"  "Ada  !” jawab Hatim. "Apa?” tanya Ibnu Muqatil. "Ada suatu masalah yang ingin saya tanyakan kepada tuan !' sam­bung Hatim."Tanyalah !". "Bangunlah tuan ! kata Hatim. "Duduklah, supaya aku tanyakan ! Maka bangunlah Ibnu Muqatil dan duduk. Lalu Hatim bertanya "Ilmu tuan ini, dari mana tuan ambil ?". "Dari orang‑orang yang dapat dipercayai, yang menerangkan ilmu itu kepada saya". "Orang‑orang itu, dari siapa ?". "Dari para shahabat Rasulullah saw “Para shahabat itu, mengambil dari siapa ?". "Dari Rasulullah saw". "Rasulullah saw mengambil dari siapa ?". "Dari Jibril as dan Jibril mengambil dari pada Allah Ta'ala". Maka berkata Hatim: "Menurut apa yang dibawa Jibril as daripada Allah Ta’ala kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw memba­wanya kepada para shahabatnya dan para shahabat kepada orang­-orang yang dipercayai dan orang‑orang yang dipercayai membawa­nya kepada tuan, maka adakah tuan mendengar dalam pelajaran itu bahwa orang yang terdapat dalam rumahnya kemewahan dan luas, rumahnya cukup lebar, akan memperoleh derajat tinggi pada sisi Allah Maha Mulia & Maha Besar ?". Menjawab, Ibnu Muqatil: "Tidak!” Berkata Hatim: “Bagaimana yang tuan dengar ?". Menjawab, Ibnu Muqatil: "Yang saya dengar bahwa orang yang zuhud di dunia, gemar ke akhirat, mencintai orang miskin dan mendahulukan untuk akhiratnya, maka memperoleh kedudukan yang tinggi pada sisi Allah Ta'ala". Berkata Hatim: "Tuan sekarang, siapa yang tuan ikut, Nabikah serta para shahabat ra dan orang‑orang shalih ra.  Fir'aun dan Namruz, orang pertama yang mendirikan gedung dengan batu mar­mer dan batu merah ? Wahai ulama, su'(ulama jahat)! Orang yang seperti tuan, bila dilihat oleh orang bodoh, yang memburu dan gemar kepada dunia, akan berkata: "Orang yang berilmu sudah begitu, apakah tidak patut aku lebih jahat lagi dari padanya ?". Maka keluarlah Hatim dari situ dan bertambahlah penyakit Ibnu Muqatil. Peristiwa yang terjadi antara Hatim dan Ibnu Muqatil, sampai kepada penduduk Arrai, lalu berkatalah mereka kepada Hatim: "Bahwa Ath-Thanafisi di Qazwin lebih mewah lagi dari Ibnu Muqatil.  Maka sengajalah Hatim pergi ke sana, lalu masuk ke rumah Ath­-Thanafisi seraya berkata: "Kiranya tuan diberi rakhmat oleh Allah. Saya ini orang bodoh, ingin benar tuan ajarkan saya permulaan pelajaran agama dan anak kunci shalat, bagaimana saya berwudlu untuk shalat ! Menjawab, Ath‑Thanafisi: "Boleh, dengan segala, senang hati Hai! Ambillah kendi yang berair". Lalu dibawakan kepadanya. Maka duduklah Ath‑Thanafisi meng­ambil wudlu tiga‑tiga kali, kemudian berkata: "Beginilah cara ber­wudlu! Cobalah berwudlu!". Maka berkata Hatim: "Biarlah di tempat tuan, supaya saya berwu­dlu dihadapan tuan! Sehingga benar‑benar tercapai apa yang saya maksudkan". Maka bangunlah Ath‑Thanafisi, dan duduklah Hatim berwudlu. Dibasuhnya ke dua lengannya empat‑empat kali. Lalu menegur Ath‑Thanafisi: "Hai, mengapa engkau memboros ?" Menjawab Hatim: "Apa yang saya boroskan ?".  "Kau basuhkan lengan mu 4 Kali". Subhanallah! Maha Suci Tuhan Yang Maha, Besar !". Menjawab Hatim: “Hanya setapak tangan air, sudah memboros. Tuan dengan ini seluruhnya, apakah tidak memboros?". Maka tahulah Ath‑Thanafisi, bahma maksud Hatim bukanlah bela­jar. Lalu masuklah ia ke dalam rumahnya dan tidak muncul‑muncul dimuka umum selama 40hari.
Ketika Hatim datang di Bagdad, maka berkerumunlah penduduk mengelilinginya seraya berkata: "Hai Bapak Abdurrahman ! Tuan seorang yang sukar mengeluarkan kata‑kata, lagi bodoh. Siapa saja yang berbicara dengan tuan, tuan potong". Menjawab Hatim: "Padaku ada tiga perkara, yang ingin aku lahir­kan kepada lawanku: Aku gembira apabila lawanku betul, aku bersedih hati apabila lawanku salah dan aku jaga diriku jangan sampai tidak mengetahui tentang lawan itu". Berita ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, maka berkata­lah Imam Ahmad: "Subhanallah ! Maha Suci Allah ! Alangkah cerdasnya Hatim ! Nah, mari kita pergi menjumpai Hatim ! Sewaktu telah sampai ke tempat Hatim, maka bertanya Imam Ahmad 'Hai Bapak Abdurrahman ! Manakah keselamatan itu di dunia?" Menjawab Hatim: "Hai Bapak Abdullah ! Tak ada keselamatan di dunia sebelum ada padamu 4 perkara:“Engkau maafkan orang karena kebodohannya, engkau cegah kebodohan engkau terhadap orang lain, engkau berikan sesuatu kepada orang dan eng­kau tidak mengharap sesuatu dari orang. Apabila ada demikian, maka selamatlah engkau". Kemudian Hatim berangkat ke Madinah. Tiba di situ dia dikeru­muni penduduk Madinah. Maka Hatim bertanya: "Kota manakah ini?". Menjawab orang banyak: "Kota Rasulullah saw". "Dimanakah istana Rasulullah saw ? Saya hendak mengerjakan shalat di dalamnya!”. Rasulullah saw tak mempunyai istana ! ", menjawab orang banyak. "Hanya mempunyai sebuah rumah yang rendah diatas tanah". Mana istana shahabat‑shahabatnya?",  tanya Hatim pula. Tak ada juga ! Mereka hanya mempunyai rumah‑rumah yang ren­dah di atas tanah". "Kalau begitu"  kata Hatim. "Hai kaumku ! Ini adalah kota Firaun !".  Lalu Hatim diambil penduduk dan dibawanya ke tempat Sultan (penguasa), seraya mengatakan "Orang 'Ajam (bukan Arab) ini mengatakan: "Ini kota Fir'aun ! Bertanya Sultan: “Mengapa begitu ?". Menjawab Hatim: "Janganlah lekas marah kepadaku ! aku ini orang bodoh yang asing di sini. Saya masuk negeri ini seraya berta­nya: "Kota siapakah ini?”  Mereka menjawab: kota Rasulullah saw Lalu saya bertanya: "Manakah istananya ?" dan Hatim meneruskan ceriteranya. Kemudian berkata Hatim: "Telah berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya Rasul Allah itu menjadi ikutan (teladan) yang baik untuk kamu". S 33 ayat 21. Maka tuan‑tuan, siapakah yang tuan‑tuan ikut, Rasulullah saw atau Fir'aun orang yang pertama‑tama membangun dengan batu marmer dan batu merah?". Lalu mereka biarkan dan tinggalkan Hatim. Inilah ceritera Hatim Al‑Ashamm. Kiranya Allah memberikan rakhmat kepadanya.
Dan akan diterangkan tentang kesederhanaan perjalanan hidup ulama salaf dan ketidak sukaan mereka kepada kecantikan dengan bukti‑bukti yang menunjukkan kepada yang demikian, pada tempat‑tempatnya nanti. Sebenarnya, menghiasi diri dengan yang mubah (yang dibolehkan) tidak haram. Tetapi berkecimpung dengan yang mubah itu, meng­haruskan suka kepadanya, sehingga sukar meninggalkannya. Terus‑terusan menghiasi diri itu, menurut biasanya tidak mungkin bila tidak secara langsung memperoleh sebab‑sebabnya. Untuk menjaga keutuhan sebab‑sebabnya itu, terpaksa berbuat perbuatan ma'siat, seumpama bermanis muka, menjaga hati orang banyak dan kehormatan mereka serta hal‑hal lain yang terlarang. Untuk penjagaan diri hendaklah menjauhkan yang demikian. Karena orang yang berkecimpung dalam dunia, tidaklah sekali‑kali selamat terpelihara dari padanya. Jikalau keselamatan diri itu dapat diperoleh serta berkecimpung di dalam dunia, maka tidaklah Rasulullah saw dengan tegas mem­belakangi dunia dengan membuka baju kemejanya yang bersulam­kan bendera. Dan menanggalkan cincin emas ketika sedang pidato. Dan lain‑lain contoh lagi yang akan diterangkan.
Menurut ceritera, Yahya bin Yazid An‑Naufali menulis surat kepada Malik bin Anas ra seperti Berikut:  "Bismillaahir rahmaanir rahiim. Wa shallaahu 'alaa Rasuulihi Muhammadin  fil awwaalin wal aakhiriin”.  Dari Yahya bin Yazid bin Abdil Malik kepada Malik bin Anas. Ammaa badu, kemudian dari itu, sesungguhnya telah sampai kepa­daku, bahwa tuan memakai pakaian halus, memakan roti tipis, duduk atas tempat yang empuk dan meletakkan pada pintu seorang penjaga. Sesungguhnya tuan duduk dalam majelis Ilmu pengetahuan, kenda­raan berkerumun kerumah tuan, manusia datang kepada tuan. Diambilnya tuan menjadi imam dan disukai mereka perkataan tuan. Maka bertaqwalah kepada Allah Ta'ala wahai Malik ! Hendaklah tuan merendahkan diri aku tuliskan kepada tuan nasehatku ini, dalam suatu surat yang tidak dillihat selain Allah Subhanahu wa Ta'ala".    W a s s a 1 a m,
                  Lalu Malik ra membalas surat Yahya sebagai berikut "Bismillaahir rahmaanir rahiim. Wa shallallaahu alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalaihii wa shah­bihii wa sallam. Dari Malik bin Anas kepada Yahya bin Yazid. Kesejahteraan dari Allah kiranya kepada tuan !. Ammaa ba'du, kemudian dari itu, telah sampai surat tuan kepadaku, maka aku pandang surat itu menjadi nasehat, tanda kasih mesra dan ketinggian budi. Kiranya Allah mengurniai tuan dengan ke taq­waan dan memberi baIasan kepada tuan dengan kebajikan, disebab­kan nasehat itu. Aku bermohon, kiranya Allah menganugerahkan taufiq wa laahau­la wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim.  Apa yang tuan sebutkan mengenai saya, bahwa saya memakan roti tipis, memakai pakaian halus, memakai penjaga pintu dan duduk di atas tempat yang empuk, maka benarlah kami berbuat demikian. Dan bermohonlah kami akan keampunan dari pada Allah Ta’ala. Berfirman Allah Ta’ala: "Katakanlah! Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan (memakan) rezeki yang baik yang diadakanNya untuk ham­baNya ?". S 7 ayat 32. Sesungguhnya saya mengetahui, bahwa meninggalkan yang demiki­an itu adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Janganlah tuan meninggalkan kami dengan tidak mengirim‑ngirimkan surat, sebagaimana kamipun tidak akan meninggalkan tuan dengan tidak mengirim-ngirimkan surat". Wassalam
Lihatlah kepada keinsyafan Malik, karena ia mengakui bahwa me­ninggalkan yang demikian itu adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Dan ia berfatwa bahwa perbuatan tersebut itu diper­bolehkan. Sesungguhnya benarlah Imam Malik pada keduanya itu ! Dan seumpama Imam Malik dalam kedudukan nya, apabila dirinya telah membolehkan dengan keinsyafan dan pengakuan mengenai nasehat yang seperti itu, maka kuat pulalah dirinya untuk berdiri diatas batas‑batas yang diperbolehkan. Sehingga keadaan yang demikian tidaklah membawa dia kepada ria, ber‑minyak‑minyak air dan melampaui kepada perbuatan yang makruh.
Adapun orang lain, maka tidaklah menyanggupi yang demikian. Meningkatkan diri kepada bersenang‑senang dengan yang diperbo­lehkan adalah besar bahayanya. Dan itu adalah jauh dari takut dan kuatir. Dan kekhususan ulama Allah itu, ialah takut. Dan Kekhusus­an dari takut itu, ialah menjauhkan diri dari tempat‑tempat yang disangka berbahaya. Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah menjauhkan diri dari sultan‑sultan (penguasa‑penguasa). Maka tidaklah dia sekali-­kali masuk kepada sultan‑sultan itu, selama masih ia memperoleh jalan untuk lari dari pada mereka. Tetapi seyogialah ia menjaga diri dari pada bercampur‑baur dengan sultan‑sultan itu, meskipun mere­ka itu datang kepadanya. Sesungguhnya dunia itu manis menghijau, tali‑temalinya di tangan sultan‑sultan. Orang yang bercampur‑baur dengan mereka, tidaklah terlepas dari bersusah‑payah mencari kerelaan dan menarik hati mereka, sedang mereka itu. adalah orang dzalim. Maka haruslah di atas tiap‑tiap orang yang beragama, menantang mereka dan menyempitkan dada mereka, dengan melahirkan kedzaliman dan menjelekkan perbuatan mereka. Orang yang masuk ke dalam kalangan sultan‑sultan itu, adakalanya menolehkan kepada berbaik‑baik dengan mereka, lalu ia meno­dai nikmat Allah kepadanya. Atau berdiam diri dari menantang sultan‑sultan itu, lalu ia berminyak‑minyak air dengan mereka, Atau bersusah‑payah dalam perkataannya mencari kata‑kata untuk kesenangan dan membaguskan hal ikhwal sultan‑sultan itu. Yang demikian itu adalah kebohongan yang nyata. Atau mengharap akan memperoleh apa‑apa dari dunia mereka. Dan itu adalah palsu. Dan akan datang nanti pada "Kitab Halal dan Haram", apa yang boleh diambil dari pada harta sultan‑sultan dan apa yang tidak boleh dari barang‑barang yang berharga, hadiah dan lainnya.
Kesimpulannya, bercampur‑baur dengan sultan‑sultan itu adalah kunci kejahatan. Dan ulama akhirat, jalan yang ditempuh mereka, ialah menjaga diri. Nabi saw bersabda: “Barang siapa berdiam di kampung, niscaya kosonglah dia' Dan barang siapa mengikuti binatang buruan, niscaya lalailah dia. Dan barang siapa mendatangi sultan niscaya terpesonalah dia ". Nabi saw bersabda "Akan ada padamu amir‑amir yang kamu kenal dan kamu tantang. Maka barang siapa menantangnya, sesungguhnya terlepaslah dia. Dan barang siapa benci kepadanya, maka sesungguhnya selamatlah dia. Tetapi barang siapa menyetujui dan mengikutinya, niscaya ia dijauhkan Allah Ta'ala". Lalu ada yang bertanya: "Apakah kami perangi mereka?". Nabi saw menjawab: "Jangan, selama mereka itu mengerjakan shalat  !".
Sufyan berkata: "Dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang tidak ditempati selain oleh qurra' (ahli pembaca AI‑Qur‑an), yang mengunjungi raja‑raja. Berkata Hudzaifah: "Berhati‑hatilah kamu dari tempat fitnah ! Lalu ada yang bertanya: "Manakah tempat fitnah itu?". Hudzaifah menjawab: "Pintu rumah amir‑amir, di mana seseorang dari kamu masuk ke tempat amir itu, Ialu membenarkannya dalam perkara bohong dan mengatakan tentang sesuatu tidak menurut sebenarnya". Rasullullah saw berkata: "Ulama itu adalah pemegang amanah Rasul di atas hamba Allah Ta’ala, selama mereka tidak bercampur ­baur dengan sultan‑sultan. Apabila mereka berbuat yang demikian, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati rasul‑rasul. Maka awaslah kamu dan menjauhkan dirilah kamu dari pada mereka !".
Hadits ini dirawikan Anas. Orang menanyakan A'masy: "Tuan telah menghidupkan ilmu pengetahuan, karena banyaklah orang yang mengambil ilmu penge­tahuan itu dari pada tuan". Maka A'masy menjawab: "Janganlah lekas benar mengatakan yang demikian ! Sepertiga dari mereka yang mengambil ilmu padaku itu, meninggal sebelum mengerti, sepertiga selalu ke rumah sultan-­sultan, maka mereka ini adalah orang jahat dan yang sepertiga sisanya, tiada memperoleh kemenangan, kecuali sedikit saja". Dan karena itulah berkata Said bin AI‑Musayyab ra: "Apabila kamu melihat orang alim, datang menipu amir-amir, maka waspadalah dari padanya  karena dia itu pencuri ! AI‑Auza'i berkata: 'Tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah Ta’ala, dari orang alim yang mengunjungi pekerja (yang bekerja pada amir)". Rasulullah saw bersabda: "Ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir‑amir. Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama‑ulama ?” 
Berkata Makhul Ad‑Dimasyqi ra: “Barang siapa mempelajari AI‑Qur‑an dan memahami Agama, kemudian menyertai sultan, karena bermanis muka kepadanya dan mengharap sesuatu padanya, niscaya masuklah ia ke dalam laut dari neraka jahannam menurut bilangan langkahnya". Samnun berkata: "Alangkah kejinya orang alim, yang didatangi ke tempatnya, Ialu tidak dijumpai. Maka ditanyakan tentang orang alim tadi, lalu mendapat penjawaban: "Dia itu pada amir". Menyambung Samnun: "Aku pernah mendengar orang mengata­kan: "Apabila kamu melihat orang alim mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap Agamamu! Sehingga aku sendiri mencoba yang demikian. Karena tidaklah sekali‑kali aku masuk ke tempat sultan itu, melainkan aku mengoreksi diriku sesudah keluar dari padanya. Maka aku dapati di atas diriku bekas dan kamu dapat melihat apa yang aku peroleh itu. Yaitu: kekerasan, kekasaran dan banyaknya pertentangan untuk hawa nafsu. Sesungguhnya aku ingin dapat melepaskan diri dari pada masuk ke tempat sultan itu untuk penjagan diri. Sedang aku tidak pernah mengambil sesuatu dari padanya atau meminum, seteguk air kepunyaan nya".  Kemudian Samnun menyambung: "Ulama zaman kita ini, adalah lebih jahat dari ulama Bani Israil, yang berbicara dengan sultan dengan murah saja dan dengan yang bersesuaian dengan hawa nafsu sultan. Dan kalau mereka berbicara dengan, sultan dalam hal yang menjadi tanggungan sultan dan dalam hal itu dapat melepaskan sultan, niscaya sultan itu merasa berkeberatan. Dan tidak suka lagi ulama itu masuk ke tempatnya. Dan adalah yang demikian itu melepaskan bagi ulama pada sisi “Tuhannya".
Al‑Hasan berkata: "Adalalah diantara orang yang sebelum kamu, seorang laki‑laki yang terdahulu dalam Islam dan menjadi shahabat bagi Rasulullah saw. Berkata Abdullah bin AI‑Mubarak: yang dimaksudkan dengan orang tadi, ialah Saad bin Abi Waqqash ra:  Al‑Hasan berkata seterusnya: "Orang itu tak pernah mendatangi sultan‑sultan dan melarikan diri dari mereka". Lalu anak‑anaknya berkata kepadanya: "Datangnya kepada sultan-­sultan itu, orang yang tidak seperti ayah tentang pershahabatan dengan Nabi saw dan lamanya dalam Islam. Kalau ayah datang kepada sultan‑sultan itu, bagaimana?". Orang itu menjawab: "Hai anakku ! Apakah aku datang kepada bangkai yang telah dilingkungi orang banyak ? Demi Allah. sesungguhnya, jikalau aku sanggup, niscaya tidaklah aku bersekutu dengan mereka pada bangkai itu.  Menjawab anak‑anaknya: "Wahai ayah kami ! Jadi binasalah kami ini kekurusan !". Menjawab orang itu: "Hai anak‑anakku !  Aku lebih suka mati sebagai mu'min yang kurus, dari pada aku mati sebagai munafiq yang gemuk".
Berkata AL Hasan: "Orang itu memusuhi sultan‑sultan itu, karena demi Allah ia mengetahui, bahwa tanah memakan daging dan minyak, tidak memakan iman". Dan ini suatu petunjuk, bahwa orang yang memasuki tempat sultan tidak akan selamat sekali‑kali dari nifaq (bermuka dua). Dan nifaq itu adalah berlawanan dengan iman. Abu Dizar berkata kepada Salmah: "Wahai Salmah, janganlah eng­kau mendatangi pintu sultan‑sultan ! Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh sesuatu dari pada dunia mereka, melainkan mereka memperoleh dari agama engkau yang lebih utama dari padanya". Inilah suatu, fitnah besar bagi ulama dan jalan yang sulit bagi setan untuk memperdayakan ulama. Lebih‑lebih bagi ulama yang mem­punyai cara berbicara yang mudah diterima orang dan mempunyai perkataan yang manis. Karena senantiasalah setan membisikkan kepada ulama itu bahwa: "Nasehatmu kepada sultan‑sultan dan kedatanganmu kepadanya, adalah hal yang menakutkan mereka dari berbuat dhalim dan menegakkan syiar‑syiar Agama". Sampai menjadi khayalan kepada ulama itu, bahwa masuknya ke rumah sultan‑sultan itu adalah setengah dari agama. Kemudian, apabila telah masuk, Ialu senantiasalah ia bersikap lemah‑lembut dalam pembicaraan, berminyak‑minyak air dan berkecimpung dengan memuji dan menyanjung. Dan pada inilah terletaknya kebinasaan Agama. Dan ada dikatakan: "Ulama itu apabila telah berilmu, niscaya berbuat (beramal). Apabila berbuat, niscaya sibuk. Apabila telah sibuk, Ialu hilang. Apabila, telah hilang, lalu dicari. Dan apabila dicari lalu lari".
Umar bin Abdul 'aziz ra menulis surat kepada AL Hasan: "Am­maaba'du, kemudian dari itu, maka tunjukkanlah kepadaku golong­an‑golongan yang dapat aku meminta tolong padanya, untuk menegakkan perintah Allah Ta'ala !". Maka AL Hasan membalas surat Khalifah Umar bin Abdul 'aziz tadi: "Adapun kaum agama, maka mereka tidak berkehendak kepadamu. Dan adapun kaum dunia, maka engkau tidak berkehen­dak kepada mereka. Akan tetapi, haruslah engkau dengan orang-­orang mulia, karena mereka menjaga kehormatan dirinya dari pada menodainya dengan pengkhianatan". Ini adalah mengenai Umar bin Abdul 'aziz ra dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya. Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah memperoleh perbandingan untuk mencari orang lain dan bercampur‑baur dengan dia ? Dan selalu ulama‑ulama terdahulu, seperti: AL Hasan, Ats‑Tsuri, Ibnul‑Mubarak, AI‑Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dll. Adakala­nya karena mereka itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur‑baur dengan sultan‑sultan. Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa‑gesa memberi fatwa. Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan untuk melepaskan diri. Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar‑benar dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau Ijma’ (sepakat)  atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia menjawab: "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya (kesungguhannya) dan terkaan nya, maka dalam hal ini ia berhati‑hati, mempertahankan diri dan menyerah­kan penjawabannya kepada orang lain jikalau ada pada orang lain itu kemampuan.
Inilah hati‑hati (al‑hazmu) namanya, kerena ikut‑ikutan berijtihad/mengeluarkan pendapat adalah besar sekali bahayanya. Dalam hadits tersebut: "Ilmu itu 3: Kitab, yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak dan Laa adrii (Saya tidak tahu)”.  Asy‑Sya'bi berkata: "Laa adrii adalah setengah ilmu. Barang siapa berdiam diri dimana yang tidak diketahuinya karena Allah Ta’ala, maka tidaklah kurang pahalanya dari pada orang yang berkata‑kata. Karena mengaku bodoh adalah amat berat bagi jiwa". Begitulah adanya kebiasaan para shahabat dan ulama salaf ra.
Adalah Ibnu Umar apabila ditanyakan kepadanya tentang fatwa maka menjawab: "Pergilah kepada amir itu yang menerima pikul­an tanggung jawab segala urusan manusia. Maka letakkanlah urusan itu ke atas pundaknya !". Berkata Ibnu Mas'ud ra: "Orang yang memberi fatwa kepada manusia mengenai tiap‑tiap persoalan yang diminta mereka fatwa­nya, adalah gila". Dan seterusnya beliau berkata: "Benteng orang alim itu, ialah "Laa adrii” (saya tidak tahu). Jikalau ia menyalah­kan benteng itu, maka sesungguhnya telah mendapat bencanalah tempat‑tempat ia berperang". Berkata Ibrahim bin Adham ra: "Tidak adalah yang lebih menyu­litkan bagi setan, selain dari orang alim yang berkata dengan ilmunya dan berdiam diri dengan ilmunya. Setan itu berkata "Lihatlah kepada orang alim ini Diamnya lebih sulit bagiku dari pada perkataannya". Setengah mereka menyifatkan al‑abdal (orang sholeh yang selalu ada didunia ini yang digantikan oleh Allah bila ada yang meninggal) dengan mengatakan: "Orang shaleh itu makannya seberapa perlu, tidurnya kalau terpak­sa dan kata‑katanya kalau sudah penting. Artinya: mereka tidak berbicara sehingga ditanya. Dan apabila ditanya, lalu mendapat orang‑orang yang memadai, niscaya mereka berdiam diri. Dan kalau diperlukan, baru mereka menjawab". Orang‑orang shaleh itu memandang bahwa memulai berbicara sebe­lum ditanya, adalah termasuk hawa nafsu yang tersembunyi untuk berbicara.
Saidina Ali ra dan Saidina Abdullah ra melewati seorang Iaki‑laki yang sedang berbicara dihadapan orang banyak, lalu berkata Ali ra: "Orang itu akan mengatakan nanti: "Kamu kenallah aku !". Berkata setengah mereka bahwa orang berilmu itu apabila ditanya­kan sesuatu masalah, maka seakan‑akan dicabut gusinya. Ibnu Umar berkata: "Kamu bermaksud menjadikan kami jembatan, yang akan kamu Ialui di atas kami ke neraka jahannam". Abu Hafash An‑Naisaburi berkata: "Orang alim itu, ialah yang takut pada pertanyaan, dimana ditanyakan kepadanya pada hari kiamat nanti: “Dari manakah penjawaban itu kamu peroleh?". Adalah Ibrahim At‑Taimi apabila ia ditanyakan sesuatu masalah, lalu menangis, seraya berkata: "Apakah tuan‑tuan tidak mendapat orang lain, maka tuan‑tuan mendesak saya?". Adalah Abul 'Aliyyah Ar‑Rayyahi, Ibrahim bin Adham dan Ats ­Tsuri berbicara dihadapan dua orang, tiga orang dan dihadapan jumlah yang kecil. Apabila orang sudah banyak Ialu mereka itu pergi.
Nabi saw bersabda: "Saya tidak tahu, Uzair itu nabi atau bukan, Saya tidak tahu, Tub­ba' (orang suku himyar orang pertama yg menutupi ka’bah dengan kain )itu terkutuk atau tidak. Dan saya tidak tahu, Dzulkarnain itu nabi atau bukan".  Tatkala Rasulullah saw ditanyakan tentang tempat yang terbaik dan yang terburuk di bumi, maka Nabi saw menjawab: "Laa adrii ‑ Saya tidak tahu". Sehingga datanglah Jibril sa. kepadanya, maka ditanyakannya. Lalu Jibril as menjawab: "Laa adrii ‑ Saya tidak tahu... Sehingga ia diberitahukan oleh Allah 'Azza wa. Jalla, bahwa tempat yang terbaik, ialah “masjid” dan tempat yang terburuk ialah “Pasar".
Adalah Ibnu Umar ra ditanyakan 10 masalah, maka dijawab­nya satu dan berdiam diri dari sembilan. Dan Ibnu Abbas ra men­jawab 9 dan berdiam diri dari satu. Dalam kalangan ulama fiqh (Fuqaha') ada yang menjawab "Laa adrii', lebih banyak dari pada menjawab. “Adrii ‑ saya tahu". Diantaranya: Sufyan Ats‑Tsuri, Malik bin Anas, Ahmad bin Han­bal, AI‑Fudlail bin 'IyadI dan Bisyr bin Al Harits.
Abdur‑Rahman bin Ali Laila berkata: "Aku mendapati dalam masjid ini 120 orang shahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari mereka yang ditanyakan tentang hadits atau fatwa, melainkan lebih menyukai bahwa temannya saja cukup menjawab­nya". Pada kata‑kata yang lain dari Abdur‑Rahman bin Ali Laila itu berbunyi: "Adalah suatu masalah dikemukakan kepada salah seo­rang dari mereka, lalu ia mengembalikannya kepada yang lain. Dan yang lain itu mengembalikannya kepada yang lain pula, sehing­ga masalah itu kembali kepada orang yang pertama".
Diriwayatkan bahwa teman‑teman Shuffah, dihadiahkan orang kepala kibasy goreng kepada salah seorang dari mereka, dimana ia sedang melarat benar. Maka dihadiahkannya hadiah tadi kepada teman yang lain dan teman yang lain itu menghadiahkannya kepa­da yang lain pula. Dan begitulah beredar diantara mereka, sehingga kembalilah kepada yang pertama. Lalu lihatlah sekarang, bagaimana terbaliknya pekerti ulama. Maka jadilah yang harus ditinggalkan, dicarinya dan yang harus dicarikan, ditinggalkannya. Dibuktikan tentang baiknya berhati‑hati dari pada turut‑turutan memberi fatwa, ialah apa yang diriwayatkan dari setengah mereka sebagai hadits musnad, bahwa Nabi saw, bersabda: "Tidaklah berfatwa kepada manusia, selain oleh 3: amir atau ma'mur (orang yang disuruh amir) atau orang yang menanggung sendiri untuk berfatwa".  Berkata setengah mereka: "Adalah para shahabat Nabi saw tolak-menolak pada 4 perkara: menjadi imam, memegang wasiat, menyimpan simpanan dan memberi fatwa". Berkata setengah mereka: "Adalah yang paling lekas memberi fatwa, ialah orang yang ilmunya paling sedikit. Dan yang paling menolak memberi fatwa, ialah orang yang paling wara' (menjaga diri dari kesalahan)".
Adalah para shahabat ra dan tabi'in ra itu sibuk pada lima perkara, yaitu: membaca AI‑Qur‑an, meramaikan (memakmurkan) masjid, berdzikir kepada Allah Ta’ala, beramar-ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan)  dan bernahi munkar(melarang berbuat yang munkar)". Yang demikian itu adalah karena mereka mendengar dari sabda Nabi saw: "Tiap‑tiap perkataan anak Adam (manusia), adalah memberatkan atas dirinya, tidak menguntungkan kepadanya, selain 3 amar ma'ruf atau nahi munkar,  atau berdzikir kepada Allah Ta`ala”. Berfirman Allah Ta’ala: "Tiada kebaikan pada banyaknya bisikan‑bisikan mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, ialah orang-orang yang menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia" S 4 ayat 114.
Setengah ulama bermimpi berjumpa dengan beberapa ahli fikir dari penduduk Kufah, lalu bertanya: "Apakah yang tuan jumpai tentang pekerjaan tuan mengeluarkan fatwa dan pendapat?". Maka berobahlah wama muka orang yang dimimpikan itu dan berpaling dari padanya, seraya mengatakan: "Tak adalah kami memperoleh sesuatu dari padanya, dan tidaklah kami memujikan akan akibatnya". Berkata Ibnu Hushain: "Bahwasanya salah seorang dari mereka berfatwa mengenai suatu masalah, masalah mana, jikalau dibawa kepada Umar bin Al Khath‑thab ra, niscaya akan dikumpulkannya seluruh shahabat yang turut dalam perang Badar untuk membahas­nya. Maka senantiasalah diam itu menjadi sifat ahli ilmu, kecuali ketika diperlukan. Pada Hadits tersebut: “Apabila kamu melihat orang bersifat pendiam dan zuhud, maka dekatilah kepadanya ! Sesungguhnya orang itu akan mengajarkan ilmu khikmah". Ada yang mengatakan, bahwa orang alim itu, adakalanya: seorang alim umum, yaitu mufti dan mereka ini adalah teman sultan. Atau seorang alim khusus. Dan itulah orang alim dengan ilmu keesaan dan amal perbuatan hati. Dan mereka itu adalah teman‑teman di pondok pesantren yang terpisah sendirian. Ada yang mengatakan, bahwa seperti Imam Ahmad bin Hanbal itu, adalah seperti sungai Tigris (DajIah), dimana tiap‑tiap orang menya­uk air dari padanya. Dan seperti Bisyr bin Al Harits, adalah seperti sumur berair tawar yang tertutup, tak ada yang menuju kepadanya, selain seorang demi seorang. Dan orang banyak itu mengatakan, bahwa si Anu itu berilmu, si Anu itu ahli ilmu kalam (berkata-kata), si Anu itu banyak bicara, dan si Anu itu banyak kerja. Berkata Abu Sulaiman: "Marifah kepada diam, adalah lebih dekat dari pada marifah kepada berkata‑kata". Dan ada yang mengata­kan, bahwa apabila banyak ilmu, maka sedikitlah bicara dan apabila banyak bicara, maka sedikitlah ilmu. Salman AI‑Farisi ra menulis surat kepada Abi'd Darda' ra, dimana keduanya telah dipersaudarakan oleh Rasullullah saw. Surat itu diantara lain berbunyi: "Wahai saudaraku ! Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau duduk menjadi tabib mengobati orang‑orang sakit. Maka perhatikanlah bahwa jikalau benarlah engkau tabib, maka berbicaralah, karena pembicaraanmu itu adalah obat ! Dan jikalau engkau berbuat‑buat sebagai tabib, Allah – Allah -, jangan­lah engkau membunuh orang muslim !". Sesudah itu, maka Abi'd Darda' terhenti‑henti berbicara apabila ia ditanyakan.
Adalah Anas ra apabila ia ditanyakan, maka menjawab: "Tanya­kanlah kepada penghulu kita AL Hasan !". Dan Ibnu Abbas ra apabila ditanyakan, menjawab: “Tanyakanlah kepada Haritsah bin Zaid ! 'Dan Ibnu Umar ra menjawab  ! 'Tanyakanlah kepada Sa'id bin AI‑Musayyab !". Diriwayatkan, bahwa seorang shahabat Nabi saw meriwayatkan 20 hadits dimuka AL Hasan; Lalu ditanyakan kepadanya mengenai penafsiran hadits‑hadits itu, maka shahabat itu menja­wab: "Tak ada padaku selain meriwayatkan saja". Lalu AL Hasan menafsirkan hadits itu satu persatu. Maka heranlah segala yang hadlir, tentang kebagusan penafsiran dan hafalannya. Maka shahabat tadi mengambil segenggam batu kerikil dan melem­parkan orang‑orang itu, sambil berkata: "Kamu menanyakan kepadaku tentang ilmu, sedang yang ahli ini adalah dekat pung­gungmu" Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah banyak perha­tiannya dengan ilmu batin, dengan muraqabah (memperhatikan gerak-gerak hati jangan sampai terpengaruh dengan dunia & hawa nafsu) hati, dengan me­ngenal jalan akhirat, cara menempuhnya, mengharapkan benar-­benar untuk menyingkapkan yang demikian itu dengan mujahadah (berjihat menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada Allah) dan muraqabah. Sesungguhnya mujahadah-mujahadah (berjihat menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada Allah) membawa kepada musyahadah (menyaksikan dengan jiwa akan kebesaran Allah & alam ghaib yang penuh dengan keajaiban kebesaran Allah Ta’ala) dan ilmu hati yang halus‑halus, dimana dengan ilmu‑ilmu itu terpancarlah segala sumber hikmah dari hati.
Adapun kitab‑kitab dan pengajaran, maka tidaklah mencukupi dengan itu saja. Tetapi hikmah yang diluar hinggaan dan tak terhi­tung itu, sesungguhnya terbuka dengan mujahadah, muraqabah, langsung mengerjakan amalan zahir dan amalan batin dan duduk beserta Allah Maha Mulia & Maha Besar dalam khilwah (persembunyian), serta menghadirkan hati (jiwa) dengan pikiran yang putih bersih, terpu­tus dari yang lain, langsung kepada Allah Ta'ala. Itulah kunci ilham dan sumber kasyaf (terbuka hijab) !. Berapa banyak pelajar yang sudah lama belajar, tetapi tidak sang­gup dengan sepatah katapun melewati dari pada yang didengarnya. Dan berapa banyak pelajar, memilih yang penting saja dalam pelajarannya, menyempurnakan amal dan muraqabah hati, yang dibu­kakan Allah kepadanya ilmu hikmah yang halus‑halus yang mengherankan akal orang‑orang yang bermata hati. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: "Barang siapa mengerjakan dengan apa yang diketahuinya, niscaya dipusakakan Allah kepadanya ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya".
Pada setengah kitab‑kitab lama tersebut: "Hai Bani Israil. Janganlah kamu mengatakan: ilmu itu di langit, siapakah yang menurunkannya ke bumi ? Jangan lah kamu mengatakan ilmu itu dalam perut bumi, siapakah yang mengeluarkannya ke atas bumi? Dan jangan kamu mengatakan di seberang lautan, siapakah yang membawanya ? Ilmu itu dijadikan dalam hatimu. Beradablah diha­dapanKU dengan adab ruhaniawan (ruhaniyyin) ! Berbudi‑pekertilah kepadaKU dengan budi‑pekerti shiddiqin. Niscaya AKU lahirkan ilmu itu dalam hatimu, sehingga menutupkan kamu dengan kebaik­an dan kelebihan ilmu".
Berkata Sahl bin Abdullah At‑Tustari ra: "Keluarlah orang‑orang berilmu (ulama), orang‑orang beribadah (ubbad) dan orang‑orang zuhud (zuhhad) dari dunia ini. Hati mereka terkunci dan tidak terbuka, selain hati orang‑orang shiddiqin dan syuhada (orang‑orang syahid)". Kemudian Sahl membaca firman Allah Ta’ala:  ”Dan di sisi Allah kunci‑kunci perkara yang ghaib, tidak ada yang tahu, selain Allah"  S 6 ayat 59. Jikalau tidaklah pengetahuan hati dari orang yang berhati dengan nur dalam, yang menjadi hakim atas ilmu luar, tentu tidaklah Nabi saw bersabda: "Mintalah fatwa kepada hatimu, wa’alaupun orang lain telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu !". Nabi saw bersabda akan wahyu yang diriwayatkannya dari Tuhannya Yang Maha Tinggi: "Senantiasalah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan amal ibadah sunnah, sehingga Aku sayang kepadanya. Apabila Aku telah sayang kepadanya, maka adalah Aku pendengarannya, dimana ia mendengar dengan pendengaran itu”. Berapa banyak pengertian‑pengertian yang halus dari rahasia‑rahasia AI‑Qur‑an yang terguris dalam hati orang‑orang yang berdzikir dan berfikir kepada Tuhan semata‑mata, yang tidak disebutkan dalam kitab‑kitab tafsir dan tidak sampai kepadanya pandangan ahli‑ahli tafsir yang utama. Apabila terbukalah yang demikian itu bagi murid yang bermuraqa­bah (memperhatikan gerak-gerak hati jangan sampai terpengaruh dengan dunia & hawa nafsu) dan dikemukakannya kepada ulama‑ulama tafsir, niscaya mereka itu akan menerimanya dengan baik. Dan mereka itu menge­tahui bahwa yang demikian adalah diantara pemberitahuan hati yang suci dan rakhmat Allah Ta’ala dengan cita‑cita yang tinggi, yang dicurahkan kepada murid tersebut. Dan begitu pula tentang ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja dan segala rahasia ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan  serta bisikan‑bisikan hati yang halus‑halus. Maka tiap-­tiap ilmu dari ilmu‑ilmu ini adalah ibarat lautan yang tak terduga dalamnya. Masing‑masing pelajar hanya berkecimpung sekedar yang dianugerahkan dan diberikan taufiq kepadanya dari amalan baik. Tentang penyifatan ulama akhirat itu, berkatalah Ali ra pada suatu pembicaraan yang panjang: "Hati itu adalah wadah. Hati yang paling baik ialah hati yang paling menjaga kebajikan. Manusia itu 3: 'alim rabbani (yang berilmu Ketuhanan); Yang belajar ke jalan kelepasan dan; Yang bertualang rendah budi, mengikuti semua orang yang pandai berteriak, condong kemana dibawa angin, tak mem­peroleh sinar ilmu dan tidak bersandar kepada tiang yang teguh. Ilmu adalah lebih baik dari harta. Ilmu itu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu adalah bertambah dengan dibelanjakan dan harta berkurang dengan dibelanjakan. Ilmu itu agama yang diperpegangi. Dengan ilmu diusahakan ta'at dalam hidup dan elok sebutan sesudah mati. lImu itu hakim dan harta itu yang dihukum. Kegunaan harta itu hilang dengan hilangnya. Matilah penjaga‑pen­jaga gudang harta, walaupun mereka itu masih hidup. Dan ulama itu terus hidup, kekal sepanjang zaman".
Kemudian Ali ra menarik nafas panjang, seraya berkata: "Ah, sesungguhnya di sini banyak ilmu, jikalau kiranya aku memperoleh orang‑orang yang membawanya! Tetapi aku memperoleh pelajar yang tidak amanah. Ia menggunakan agama untuk menjadi alat mencari dunia. Dipandangnya lama‑lama akan ni'mat Allah kepada aulia‑auliaNya dan dilahirkannya menjadi alasan kepada orang banyak. Atau aku memperoleh orang yang patuh kepada ahli kebenaran. Tetapi tertanamlah keragu‑raguan dalam hatinya dengan kedatangan syubhat (diragukan) yang pertama saja. Ia tidak bermata‑hati. Tidak yang ini (orang yang patuh tadi) dan tidak yang itu (pelajar yang tidak amanah yang tersebut di atas) !. Atau aku memperoleh orang yang terpesona dengan kesenangan, mudah terlibat dalam pelukan hawa nafsu. Ataupun aku memperoleh orang yang terpe­daya dengan mengumpulkan harta dan simpanan, mengikuti hawa nafsunya, sehingga mereka menyerupai hewan yang mencari rumput di padang luas. Wahai Tuhan ! Begitulah kiranya, ilmu itu mati, apabila mati pendukung‑pendukungnya.
Kemudian, bumi ini tidak akan sunyi dari orang yang menegakkan kebenaran Allah. Adakalanya yang luar terbuka dan adakalanya yang takut terpaksa. Supaya tidaklah batal segala hujjah dan keterangan‑kete­rangan Allah Ta’ala. Berapa orangkah dan dimanakah mereka itu? Mereka adalah sedikit bilangannya, tinggi kedudukannya. Diri mereka itu tidak ada. Orang‑orang yang seperti mereka itu, berada di dalam hati. Allah Ta’ala menjaga hujah (keteranganNya) dengan mereka. Sehingga mereka menyimpan hujah itu di belakangnya dan menanamkannya dalam hati orang‑orang yang serupa dengan mereka. Ilmu itu me­nyerbu orang‑orang tadi dalam keadaan yang sebenarnya. Maka mereka memperoleh secara langsung ruh‑keyakinan (ruhul‑yaqin). Lalu mereka memperoleh lunak apa yang diperoleh keras oleh orang‑orang yang merusakkan dan memperoleh jinak apa yang di pandang liar oleh orang‑orang yang lalai. Mereka menyertai dunia dengan badan, sedang ruhnya tergantung di tempat tertinggi. Mereka itu adalah aulia Allah Maha Mulia & Maha Besar dari makhlukNya, pemegang amanahNya, pekerja‑pekerjaNya, di bumiNya dan penyeru‑penyeru kepada AgamaNya".
Kemudian, Ali ra menangis, seraya berkata: "Alangkah rindu hatiku hendak melihat mereka ... !”  Apa yang disebutkan Ali ra yang terakhir itu, ialah sifat ulama akhirat. Yaitu: ilmu yang kebanyakannya diperoleh faedahnya dari amalan dan rajin bermujahadah (berjihat menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada Allah). Dan diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah sangat bersung­guh‑sungguh menguatkan keyakinan. Karena keyakinan itu adalah modal Agama. Rasulullah saw bersabda: “Keyakinan (al‑yaqin) itu  adalah iman seluruhnya”.  Maka tak boleh tidak mempelajari ilmu‑yaqin (ilmu keyakinan), yakni: bahagian yang permulaannya. Kemudian, terbukalah bagi hati jalannya. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: "Pelajarilah keyakinan !". Maksudnya: duduklah bersama orang‑orang yang berkeyakinan (al‑muqinin) dan dengarlah dari mereka ilmul‑yaqin. Biasakanlah mengikuti mereka, supaya kuatlah keyakinanmu, sebagaimana kuatnya keyakinan mereka. Sedikit dengan yakin, adalah lebih baik dari banyak amal. Nabi saw bersabda, tatkala dikatakan kepadanya tentang: orang yang baik yakinnya, banyak dosanya dan orang yang rajin beribadah, sedikit yakinnya, dimana beliau lalu bersabda: “Tak adalah anak Adam melainkan mempunyai dosa".  Tetapi orang yang tabiatnya berakal dan sifatnya yakin, maka dosanya tidaklah mendatangkan kemelaratan kepadanya. Karena tiap kali ia berdosa lalu bertobat, meminta ampun dan menyesal. Maka tertutuplah (terhapuslah) semua dosanya dan tinggallah baginya keutamaan, dimana ia akan masuk ke sorga dengan keutamaan itu. Karena itulah, Nabi saw bersabda: "Sesunngguhnya dari yang paling sedikit diberikan kepada kamu, ialah: yakin dan teguh kesabaran. Barang siapa diberi bahagian dari yang dua itu, niscaya tak perdulilah ia apa yang tertinggal, dari sembahyang malam dan puasa siang".
Dalam wasiat Lukman kepada puteranya, tersebut: “Hai anakku  ! Tak sangguplah amal perbuatan itu dikerjakan, selain dengan yakin. Tidaklah manusia itu bekerja, melainkan sekedar keyakinannya. Dan tidaklah yang beramal itu memendekkan amalannya, kecuali telah kurang yakinnya". Yahya bin Ma'az berkata: "Sesungguhnya keesaan itu mempunyai cahaya dan syirik itu mempunyai api  dan cahaya keesaan itu lebih membakar segala kejahatan orang‑orang yang ber­keesaan, dari api syirik yang membakar segala kebajikan orang-­orang musyrik". Yahya bermaksud dengan yang demikian, ialah "yakin". Allah Ta’ala telah menunjukkan dalam AI‑Qur‑an kepada menye­butkan orang‑orang yang yakin (al‑muqinin)  pada beberapa tem­pat, yang menunjukkan, bahwa "yakin" itu adalah ikatan bagi kebajikan dan kebahagiaan. Jikalau anda bertanya: “Apakah artinya yakin itu ? Apakah artinya kuat dan lemahnya yakin ?", maka hendaklah mula­-mula memahami "yakin" itu, kemudian berusaha mencari dan mempelajarinya. Sesuatu yang tidak dipahami bentuknya, niscaya tidak mungkin mencarinya.
Ketahuilah, bahwa yakin itu suatu perkataan yang berserikat, yang dipakai oleh dua golongan untuk dua pengertian yang berlainan. Adapun golongan pemerhati dan ulama ilmu kalam (berkata-kata), memakai kata‑kata "Yakin" itu dari ke‑tidak‑raguan (tidak syak), karena condongnya hati kepada membenarkan sesuatu, mempunyai 4 tingkat:
Pertama: bahwa seimbanglah antara membenarkan dan mendusta­kan. Dan untuk itu, dikatakan: syak (ragu). seumpama: apabila anda ditanyakan tentang seorang yang tertentu, apakah ia disiksa­kan oleh Allah Ta'ala atau tidak, sedang keadaan orang itu, anda tidak mengetahuinya. Maka hati anda tidak condong kepada menetapkan, dengan: ya  atau tidak, tetapi bersamaanlah pada anda kemungkinan dua hal tadi. Maka ini dinamakan syak/ragu.
Kedua: bahwa condonglah jiwa anda kepada salah satu dari dua hal itu, serta merasa dengan kemungkinan sebaliknya. Tetapi ke­mungkinan tadi, tidak mencegah untuk menguatkan yang pertama. Seumpama apabila anda ditanyakan tentang orang yang anda kenal dengan shalih dan taqwa, bahwa orang itu jikalau meninggal dunia dalam keadaan yang demikian, adakah ia disiksa ? Maka jiwa anda condong kepada pendapat: bahwa orang itu tidak akan disiksa, lebih banyak dari condongnya jiwa anda kepada ia disiksa. Yang demikian itu, adalah karena jelasnya tanda-tanda keshaleh­annya. Dalam pada itu, anda boleh saja memandang ada sesuatu hal yang tersembunyi pada dalam bathin dan rahasia orang itu, yang mengharuskan ia disiksa. Ke‑boleh‑sajaan itu adalah menyamai dengan kecondongan tadi, tetapi tidaklah menolak kuatnya kecondongan itu. Maka keadaan ini disebut: dhan.
Ketiga: bahwa condonglah hati kepada membenarkan sesuatu, dimana keraslah membenarkan itu pada hati dan tidak terguris yang lain pada hati. Dan kalaupun terguris yang lain pada hati itu, tetapi hati enggan menerimanya. Tetapi tidaklah yang demikian itu disertai pengetahuan yang diyakini. Karena jikalau orang yang berada pada tingkat ini mempergu­nakan dengan sebaik‑baiknya penelitian dan perhatian kepada yang meragu‑ragukan dan keboleh‑sajaan, maka meluaslah hatinya kepa­da keboleh‑sajaan. Dan ini disebut: keyakinan yang men­dekati kepada yaqin. Dan itu adalah: keyakinan orang awwam tentang agama seluruhnya, apabila itiqad/yakin itu telah terhunjam dalam jiwa­nya dengan mendengar semata‑mata, Sehingga tiap‑tiap golongan percaya bahwa alirannya yang shah, Imam nya dan pengikut golongannya saja yang betul. Jikalau diterang­kan kepada salah seorang mereka kemungkinan imamnya salah, niscaya larilah ia dari pada menerimanya.
Keempat: marifat adalah yang sebenarnya yang diperoleh dengan jalan dari yang tidak diragukan dan tidak tergam­bar keraguan lagi padanya. Apabila tak ada lagi keraguan dan kemungkinan adanya keraguan itu, maka disebutlah: yaqin pada mereka (golongan pemerhati dan ulama ilmu kalam/berkata-kata). Contohnya:  apabila ditanyakan kepada orang yang berakal: "'Ada­kah pada yang ada itu, SESUATU yang tiada berpemulaan? Maka tidaklah mungkin bagi orang itu membenarkannya dengan tanpa berpikir, karena Yang tiada berpemulaan itu tidak dapat diketahui dengan pancaindera. Tidak seperti matahari dan bulan. Maka orang itu dapat membenarkan adanya matahari dan bulan itu dengan pancaindera. Dan tidaklah mengetahui adanya Suatu Yang tiada berpemulaan dan tidak kesudahan/permulaan itu dengan mudah, seperti mengetahui bahwa dua lebih banyak dari satu. Bahkan seperti mengetahui terjadinya yang baru, dengan tanpa sebab itu mustahil. Maka ini juga mudah. Maka berhaklah bagi akal tidak terus membenarkan adanya Yang tiada berpemulaan itu dengan jalan spontan dan tanpa berpikir. Kemudian, setengah manusia mendengar yang demikian dan membenarkan dengan mendengar itu secara yaqin dan terus‑menerus kepada yang demikian. Dan itulah yang disebut: keyakinan. Dan yang demikian itu adalah keadaan sekalian orang awwam. Setengah manusia membenarkannya dengan dalil.  Dan dalil itu, ialah dikatakan kepadanya: jikalau tidak ada pada yang ada ini TIADA BERPEMULAAN, maka yang ada itu seluruhnya baru. Jikalau seluruhnya itu baru, maka adalah dia itu baru dengan tanpa sebab. Atau ada padanya baru  yang dengan tanpa sebab. Dan yang demikian itu adalah mustahil. Maka yang membawa kepada mustahil itu adalah mustahil. Dari itu, maka haruslah menurut akal, membenarkan adanya Suatu Yang tiada berpemulaan dengan sangat penting. Karena bahagian‑bahagian itu 3:
Yaitu pertama, seluruh yang ada itu tiada berpemulaan atau seluruhnya ba­ru atau setengahnya tiada berpemulaan dan setengahnya baru. Jikalau seluruhnya tiada berpemulaan, maka berhasillah yang dicari. Karena secara keseluruhan sudah ada yang tiada berpemulaan. Dan jikalau seluruhnya baru, maka itu mustahil. Karena membawa kepada adanya kejadian, tanpa sebab. Maka tetaplah bahagian ketiga atau pertama. Dan tiap‑tiap ilmu yang diperoleh dengan cara ini, disebut: yaqin  pada golongan pemerhati dan ahli ilmu kalam. Sama saja berhasilnya dengan memperhatikan contoh yang telah kami sebutkan atau ber­hasilnya dengan pancaindera atau tabiat akal, seperti mengetahui mustahilnya yang baru dengan tanpa sebab. Atau dengan berita yang berturut‑turut dari orang banyak, yang tak mungkin sepakat membohong, seperti mengetahui adanya kota Makkah. Atau dengan percobaan, seperti mengetahui, bahwa sakmunia yang dimasak menjadi menceret. Atau dengan dalil, seperti yang telah kami sebutkan di atas tadi. Maka syarat pemakaian nama ini pada mereka itu ialah:  tidak ragu. tiap‑tiap ilmu yang tak ragu lagi, pada mereka disebut yaqin. Berdasarkan kepada ini, maka "yaqin" itu tidak disifatkan dengan "lemah", karena tak ada berlebih‑kurang tentang "tidak‑ragu" itu.
Istilah kedua, ialah istilah ulama‑ulama fiqih, ahli tasawuf dan kebanyakan ulama lainnya. Yaitu: tidak menoleh pada kata‑kata “yaqin" itu kepada segi  "pembolehan dan keraguan". Tetapi kepada penguasaan dan kerasnya atas akal. Sehingga dikatakan: si Anu lemah keyakinannya kepada mati, sedang ia tidak ragu kepada mati itu. Dan dikatakan: si Anu itu kuat keyakinannya tentang kedatangan rezeki, pada hal boleh jadi rezeki itu tidak datang kepadanya. Manakala hati telah condong kepada membenarkan sesuatu dan yang demikian itu telah keras atas hati dan menguasainya. Sehingga sesuatu itu menjadi yang menetapkan dan yang menentukan pada hati dengan pembolehan dan pelarangan. Maka dinamakanlah yang demikian itu "yaqin". Dan tak ragu lagi, bahwa manusia bersama-­sama meyakini mati dan tak ada ragu lagi padanya. Tetapi dalam kalangan manusia itu, ada orang yang tidak mempunyai perhatian dan persiapan untuk menghadapi mati. Seolah‑olah ia tidak yaqin dengan kedatangan mati. Ada pula diantara manusia, yang demiki­an itu menguasai benar pada hatinya, sehingga seluruh perhatiannya ditumpahkannya kepada persiapan menghadapi mati, Tidak diting­galkannya peluang untuk yang lain. Maka keadaan yang seperti ini,  dikatakan: kuat keyakinan. Dari itu berkata setengah ulama: "Tidaklah aku melihat suatu keyakinan yang tak ada keraguan lagi padanya, yang menyerupai dengan keraguan yang tak ada keyakinan padanya, selain dari m a t i.  Berdasarkan istilah inilah, maka keyakinan itu disebut: lemah dan kuat. Dan kami maksudkan dengan perkataan kami, bahwa setengah dari keadaan ulama akhirat, ialah menyerahkan seluruh kesungguh­annya kepada menguatkan keyakinan, adalah dengan kedua pengertian yang di atas tadi. Yaitu: tidak tidak ragu, kemudian menguatnya keyakinan itu di dalam hati. Sehingga keyakinan­lah yang memenangi, yang menetapkan dan yang berbuat pada hati. Apabila ini telah dipahami, niscaya anda mengetahui bahwa yang dimaksud dari perkataan kami, ialah yaqin itu terbagi 3: kuat dan lemah, banyak dan sedikit, tersembunyi dan terang.
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat dan lemah, maka adalah berdasarkan kepada istilah yang kedua. Yang demikian itu, adalah menurut keras dan berkuasanya atas hati. Derajat pengertian yaqin tentang kuat dan lemahnya, tidaklah berkesudahan. Berlebih‑kurang persediaan manusia bagi mati, adalah menurut berlebih ­kurangnya keyakinan sepanjang pengertian‑pengertian itu. Adapun berlebih‑kurang tentang tersembunyi dan terangnya keya­kinan pada istilah yang pertama, maka tidak pula dapat dibantah. Adapun pada yang menyelusup kepadanya ke‑boleh‑sajaan (at‑taj­wiz), maka tidaklah dapat dibantah. Yakni: istilah yang kedua. Dan juga pada yang tak ada keraguan padanya, tak ada jalan untuk membantahnya. Sesungguhnya anda dapat membedakan antara anda membenarkan adanya Makkah dan adanya Fadak umpamanya dan antara anda membenarkan adanya Musa as dan adanya Yusuf as, sedang anda sebenarnya tidak ragu tentang kedua hal itu. Yang menjadi sandaran keduanya itu, ialah berita mutawatir. Tetapi anda melihat yang satu lebih terang dan lebih jelas pada hati anda dari pada yang kedua. Karena sebab pada salah satu dari pada ke­duanya adalah lebih kuat. Yaitu: banyaknya orang yang memberita­kan. Dan begitu pula orang yang memperhatikan ini akan memperoleh pada teori‑teori yang diketahui dengan dalil‑dalil. Maka tidaklah jelas apa yang ditunjukkan dengan satu dalil, seperti jelasnya apa yang ditunjukkan dengan banyak dalil, walaupun keduanya sama, tidak diragukan. Dan ini kadang‑kadang dibantah oleh ahli ilmu kalam (berkata-kata), yang meng­ambil ilmu dari kitab‑kitab dan pendengaran dan tidak mendasarkan pendapatnya kepada keadaan yang berlebih‑kurang. Tentang sedikit dan banyaknya keyakinan, maka yang demikian itu adalah disebabkan banyaknya tempat‑tempat tersangkutnya keya­kinan. Seumpama dikatakan: Si Anu adalah lebih banyak ilmunya dari si Anu. Artinya: yang diketahuinya lebih banyak. Karena itulah, kadang‑kadang seorang alim itu kuat keyakinannya mengenai semua yang dibawa Agama dan kadang‑kadang kuat keyakinannya pada sebahagiannya saja. Jika anda berkata:  "Aku telah memahami akan "yakin", kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, terang dan tersembunyinya, dengan pengertian: tidak ragu atau dengan pengertian: telah menguasai hati, maka apakah artinya: tempat‑tempat tersangkut­nya keyakinan dan tempat‑tempat yang dilaluinya ? Dan pada apa yang dituntut adanya keyakinan karena saya, selama tidak mengetahui apa yang dituntut adanya keyakinan padanya, maka belumlah sanggup saya mencarinya".
Maka katahuilah bahwa sekalian yang dibawa nabi‑nabi as dari permulaannya sampai kepada kesudahannya, adalah menjadi tem­pat lalunya keyakinan itu. Maka sesungguhnya yakin itu, adalah ibarat dari marifah tertentu. Dan tempat hubungannya ialah segala ilmu pengetahuan yang dibawa agama. Dan janganlah kiranya diharapkan menghinggainya. Tetapi aku akan menunjukkan kepada sebahagian nya saja. Yaitu induk‑induknya. Diantaranya ialah KEESAAN. Yaitu melihat segala sesuatu dari yang menyebabkan sebab‑sebab. Dan tidak menoleh kepada perantara‑perantara Tetapi, melihat perantara -
perantara itu dijadi­kan untuk kepentingannya. Tak ada hukum apa‑apa pada perantara-­perantara itu. Orang yang membenarkan ini adalah orang yang berkeyakinan penuh. Maka kalau tak ada kemungkinan ragu dalam hatinya serta keiman­an, niscaya orang itu mempunyai keyakinan dengan salah satu dari dua pengertian itu. Jikalau mengalahkan atas hatinya serta keiman­an, oleh sesuatu kemenangan yang menghilangkan kemarahannya kepada perantara dan rela serta berterima kasih kepada perantara-­perantara itu dan menempatkan perantara‑perantara tadi dalam hatinya sebagai pena dan tangan terhadap orang yang memperoleh kenikmatan dengan menurunkan tanda tangannya, maka sesung­guhnya orang tadi tidak berterima kasih kepada pena dan tangan­nya dan tidak marah kepada keduanya (kalau tanda tangan itu membahayakan kepadanya), tetapi melihat kedua benda tadi dua macam alat yang digunakan dan menjadi perantara belaka. Maka jadilah dia, orang yang yakin dengan pengertian yang kedua. Dan itu yang lebih mulia (pada tingkat‑tingkat keyakinan). Yaitu buah, jiwa dan faedahnya keyakinan pertama. Manakala telah diyakini benar‑benar, bahwa matahari, bulan, bin­tang, benda keras (jamad), tumbuh‑tumbuhan, hewan dan makhluk seluruhnya dijadikan untuk kemanfa'atan bagi manusia dengan kehendakNya, seperti dijadikan pena untuk kemanfa'atan dalam tangan seorang penulis dan bahwa kuasa yang tida kesudahan / berpermulaan, adalah sum­ber bagi seluruhnya, maka berkuasalah dalam hatinya kemenangan tawakkal, rela dan menyerah diri. Dan jadilah dia seorang yang yakin, bebas jiwanya dari marah, dengki, busuk hati, dan kelakuan buruk. Inilah salah satu dari pintu‑pintu yakin!  Dan sebahagian dari padanya ialah percaya kepada jaminan Allah Ta’ala, dengan rezeki, yang tersebut dalam firmannya:"Tidak adalah yang merangkak‑rangkak di bumi ini, melainkan rezekinya ada pada Allah Ta`ala” S 11 ayat 6. Yakin bahwa rezeki itu akan datang kepadanya dan apa yang ditaqdir kan, akan sampai kepadanya. Dan manakala yang demikian itu telah memenangkan dalam qalbunya/hatinya, niscaya adalah ia dengan jalan tidak terurai pada mencari rezeqi. Dan akan tidak bersangatan lobanya, rakusnya dan sedihnya atas sesuatu yang tidak diperoleh­nya. Keyakinan tersebut membuahkan juga sejumlah taat kepada Allah Ta’ala dan budi pekerti yang terpuji. Sebahagian dari buah yakin itu, ialah bahwa mengerasi atas qalbu­nya, bahwa orang yang berbuat amalan baik walaupun seberat kuman yang halus, niscaya akan dilihatNya. Dan siapa berbuat amalan buruk Walaupun seberat kuman yang halus niscaya akan dilihatNya. Yaitu keyakinan dengan pahala dan siksa, sehingga ia melihat hubungan Taat kepada pahala sebagai hubungan roti kepada kenyang. Dan hubungan ma'siat kepada siksa, sebagai hubungan racun dan ular berbisa kepada kebinasaan. Maka sebagaimana ia berusaha benar‑benar menghasilkan roti untuk memperoleh kekenyangan, lalu dijaganya sedikit dan banyaknya roti itu, maka demikian pulalah ia berusaha berbuat Taat sedikit dan banyaknya. Sebagaimana ia menjauhkan sedikit racun dan banyaknya, maka demikian pula ia menjauhkan perbuatan ma'siat sedikitnya dan banyaknya, kecilnya dan besarnya. Maka keyakinan dengan pengertian yang pertama itu, kadang‑ka­dang terdapat pada kaum mu'min umumnya. Tetapi dengan pengertian yang kedua, adalah tertentu bagi orang‑orang yang mendekat­kan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dan buah dari keyakinan ini, ialah benarnya memperhatikan/mengintip/menjaga dalam segala gerak dan diam, dalam segala yang terlintas di dalam hati, dalam bersangatan bertaqwa kepada Tuhan dan dalam memelihara diri dari segala kejahatan. Semakin keyakinan bertambah keras, maka menjaganya dan menetapkannya pun semakin bertambah berat dan sukar.
Sebahagian dari pintu yakin itu, ialah yakin bahwa Allah Ta’ala, melihat kita dalam segala hal, menyaksikan segala, yang terbisik dalam lubuk hati kita dan yang tersembunyi dalam gurisan hati dan pikiran kita. Inilah keyakinan bagi tiap‑tiap mu'min dengan pengertian yang pertama itu, yaitu: tidak ragu. Adapun dengan pengertian yang kedua dan itulah yang dimaksud, maka adalah sukar, tertentu bagi orang‑orang shiddiq (orang‑orang yang membenarkan segala yang datang dari agama). Buahnya, ialah bahwa manusia yang demikian dalam kesunyiannya, beradab bersopan santun dalam segala hal ‑ ikhwalnya, sebagai seorang yang duduk menghadap seorang maharaja yang melihat kepadanya. Maka senantiasalah dia menundukkan kepala beradab dalam segala amal perbuatannya, menahan, memelihara dari segala gerak yang menyalahi adab kesopanan. Dia dalam pemikiran kedalamannya, adalah seperti dengan segala perbuatan zahir/luarnya. Sebab ia yakin benar‑benar bahwa Allah Ta’ala melihat kepada isi hatinya, sebagaimana orang banyak meli­hat kepada zahir/luarnya. Maka bersangatannya pada membangunkan batin/dalamnya, membersihkan dan menghiaskannya pada pandangan Allah Ta’ala, adalah lebih bersangatan dari pada menghiaskan tubuh luarnya pada pandangan manusia. Keyakinan yang seperti ini mewarisi malu, takut, rendah hati, hina diri, tenang, tunduk dan sejumlah lagi dari budi pekerti yang terpuji. Budi pekerti yang terpuji ini, mewarisi berbagai macam, Taat yang tinggi kepada Tuhan. Maka yakin dalam masing‑masing pintu dari pintu‑pintu yang terse­but di atas, adalah seumpama pohon kayu. Dan budi pekerti yang terpuji tadi dalam hati adalah seumpama ranting‑rantingnya yang bercabang merindang. Amal perbuatan ini dan Taat yang menonjol dari budi pekerti itu, adalah laksana buah dan bunga yang bertaburan pada ranting‑ranting. Maka yakin adalah pokok dan sendi, mempunyai tempat berlalu dan pintu, lebih banyak dari yang dapat kita hitungkan. Dan akan diterangkan nanti, pada Bahagian Yang Melepaskan Dari Bahaya insya Allah Ta’ala.
Dan sekedar ini, mencukupilah sekarang untuk memberi pengertian perkataan “yakin” juga diantara sifat‑sifat ulama akhirat itu, adalah ia selalu merasa sedih, hancur hati, menunduk kepala dan berdiam diri. Bekas takut­nya kepada Allah Ta’ala tampak atas keadaan, pakaian, perjalanan, gerak dan diam, berbicara dan tidak berbicara, siapa saja yang memandang kepadanya, maka pandangan itu mengingatkan dia kepada Allah Ta’ala. Rupanya menunjukkan kepada amal perbuat­annya. Kuda tunggang, matanya ialah kaca matanya. Ulama akhirat dikenal dengan tanda‑tanda yang ada padanya, tentang ketenangan diri, kehinaan, dan kerendahan. Ada ulama yang mengatakan bahwa tak ada pakaian yang dianuge­rahkan Tuhan kepada hambaNya, yang lebih baik dari khusyu' dalam ketenangan dalam. Itulah pakaian para nabi, tanda orang-­orang shalih, shiddiq dan para alim ulama.
Adapun perkataan salah, bersenda‑gurau yang tidak dijaga, tertawa terbahak‑bahak, bergerak semberono dan berbicara tajam, semua­nya itu. adalah bekas‑bekas dari kesombongan, merasa aman dan lengah dari siksaan Tuhan Yang Maha Besar dan kesangatan ama­rah‑Nya. Sifat yang tersebut ini adalah kebiasaan anak‑anak dunia yang lupa kepada Allah. Bukan kebiasaan ulama‑ulama. Pahamilah ini ! Karena ulama seperti kata Sahl At‑Tusturi ada tiga Ulama yang mengetahui dengan suruhan Allah, tidak mengetahui dengan hari‑hari Allah. Yaitu mereka yang berfatwa tentang halal dan haram. Ilmu ini tidak mewariskan takut kepada Allah. Ulama yang mengetahui akan Allah dan tidak mengetahui akan suruhan Allah dan hari‑hari Allah. Yaitu orang mu'min umumnya. Dan ulama yang mengetahui akan Allah Ta’ala, suruhan/perintahNya dan hari‑hari Nya. Yaitu orang‑orang shiddiq. Takut dan khusyu', telah menang atas mereka. Dimaksudkan dengan hari‑hari Allah ialah segala macam siksaan Nya yang tidak diketahui batasnya dan segala macam nikmatNya yang tersembunyi yang dilimpahkanNya pada abad‑abad yang lampau dan abad‑abad yang akan datang. Orang yang luas pengetahuannya tentang itu, maka sangatlah ta­kutnya dan lahirlah khusyu'nya.
Berkata Umar ra: Pelajarilah ilmu Pelajari untuk ilmu itu ketentraman, ketetapan hati dan kelembutan jiwa ! Tunduklah dengan merendahkan diri kepada orang tempat kamu belajar! Begitu pula, hendaklah tunduk kepadamu orang yang belajar pada­mu ! Janganlah kiranya kamu menjadi ulama yang bertabi'at kasar ! Maka tidaklah ilmumu itu tegak dengan sebab kejahilan mu itu".
Ada dikatakan, bahwa Allah Ta’ala tidak menganugerahkan kepada hambaNya bersama ilmu itu kelembutan hati, kerendahan diri, kebaikan budi dan kekasih sayangan kepada makhluk Ilahi. Itulah ilmu yang bermanfa'at. Dan pada atsar (ucapan orang‑orang terdahulu), ada yang mengatakan bahwa orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah Ta’ala, zuhud/meninggalkan duniawi & melakukan segala amal akhirat, tawadlu'/merendahkdn diri,  dan kebaikan budi, maka adalah dia Imam dari orang‑orang yang bertaqwa kepadaNya.
Dalam hadits Nabi saw tersebut:"Diantara ummatku' yang terbaik, ialah suatu kaum yang tertawa terang‑terangan dari keluasan rakhmat Allah dan menangis secara sembunyi‑sembunyi karena takut akan 'azab Allah. Badannya dibumi jiwanya di langit. Rohnya di dunia dan akalnya di a­khirat. Berjalan mereka dengan tenang dan mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala dengan wasilah (jalan yang menyampaikan kepadaNya)".
Berkata AL Hasan: "Lembut hati itu mentri ilmu. Kasih, sayang itu bapak ilmu. Merendahkan diri itu pakaian ilmu". Berkata Bisyr bin AI‑Harts: “Barang siapa mencari menjadi kepala dengan ilmu, maka dia telah mendekatkan dirinya kepada Tuhan dengan kemarahan Tuhan. Orang itu tercela di langit dan di bumi". Diriwayatkan dalam ceritera‑ceritera Bani Israil bahwa seorang ahli hikmah telah mengarang 360 karangan tentang ilmu hikmah, sehingga dia digelarkan al‑hakim (ahli ilmu hikmah). Maka diwahyukan Tuhan kepada Nabi mereka, yang isinya:"Katakanlah kepada si Anu ! Telah engkau penuhkan bumi ini dengan kemunafikkan. Dan sedikitpun tidak engkau kehen­daki akan AKU dengan perbuatan itu. Sesungguhnya AKU tidak menerima suatu pun dari kemunafikkanmu itu". Maka orang itu menyesal dan meninggalkan perbuatannya. Lalu pergi bergaul dengan orang awwam, berjalan di pasar‑pasar, berto­long‑tolongan dengan kaum Bani Israil dan merendahkan diri. Maka diwahyukan Allah kepada Nabi mereka, yang berbunyi: “Katakan­lah kepadanya ! Sekarang telah AKU berikan taufiq kerelaanKu".
Berceritera AI‑Auza'i ra dari Bilal bin Saad, bahwa Bilal berkata: "Seseorang kamu bila memandang kepada polisi, Ialu berlindung dengan Allah dari padanya. Dan bila ia memandang kepada ulama duniawi yang membuat‑buat budi baik, yang memburu menjadi kepala, maka ia tidak mengutuk mereka, pada hal merekalah yang lebih berhak dikutuk dari pada pollsi itu".
Diriwayatkan bahwa ada orang bertanya kepada Nabi saw: "Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang lebih utama?". Menjawab Nabi saw: "Menjauhkan yang haram dan mulutmu senantiasa basah dari berdzikir kepada Allah Ta'ala". Bertanya lagi orang kepadanya, "Shahabat manakah yang lebih baik ?”. Menjawab Nabi saw: yaitu seorang shahabat jika engkau berdzi­kir kepada Allah niscaya dia menolong engkau. Dan jika engkau lupa berdzikir, niscaya diperingatinya engkau". Lalu bertanya lagi orang itu kepada Nabi saw: "Shahabat manakah yang jahat?". Menjawab Nabi saw: "Yaitu shahabat jikalau engkau lupa, tidak diperingatinya akan engkau. Dan jika engkau teringat mengingati akan Allah, maka dia tidak menolong akan engkau". Bertanya orang itu lagi: "Manusia manakah yang lebih berilmu? Menjawab Nabi saw: "Yang paling takut kepada Allah Ta'ala". Kemudian bertanya lagi orang itu kepada Nabi saw: "Terangkanlah kepada kami, orang‑orang kami yang baik, yang akan kami am­bil untuk teman duduk berceritera". Nabi saw menjawab: “yaitu mereka yang selalu kelihatan berdzi­kir kepada, Allah Ta'ala". Orang itu bertanya lagi: "Manusia manakah yang paling jahat?" Nabi saw menjawab: "Wahai Tuhan ! Ampunilah!". Mereka meminta: "Terangkanlah kepada kami wahai Rasullullah !". Maka menjawablah Nabi saw: “Yaitu ulama apabila membuat kerusakan". Bersabda Nabi saw: "Yang lebih banyak memperoleh keamanan pada hari qiamat, ialah orang yang lebih banyak berpikir semasa di dunia. Yang lebih banyak tertawa di akhirat, ialah orang yang  lebih banyak menangis semasa di dunia. Dan yang lebih banyak bergembira di akhirat, ialah orang yang lebih lama gundah semasa di dunia".
Berkata Ali ra dalam salah satu pidatonya: "Diriku ini tergadai. Aku adalah pemimpin. Sesungguhnya tidak menaruh hati kepada taqwa oleh tanaman suatu kaum dan tidak haus kepada petunjuk oleh pokok-pokoknya. Manusia yang paling bodoh ialah orang yang tidak tahu diuntung. Manusia yang paling dimarahi Tuhan, ialah orang yang mengumpulkan ilmu untuk membuat kekacauan, menghembus‑hembuskan fitnah. Sampai dia dinamakan manusia bayangan dan orang yang berilmu yang paling hina. Dia tidak hidup dalam ilmu seharipun yang selamat. Ia berpagi‑pagi mengha­silkan ilmu dan memperbanyakkannya. Maka sedikit dari ilmu pengetahuan dan mencukupi adalah lebih baik dari pada banyak tetapi disia‑siakan. Sehingga bila kehausan, terpaksalah meminum dari air yang telah berobah dan disimpan banyak yang tidak ber­faedah. Dia duduk dihadapan orang banyak sebagai guru untuk menyelesai­kan apa yang keliru bagi orang lain. Apabila terjadi sesuatu peristi­wa penting, Ialu ingin ia menyelesaikannya menurut pendapatnya sendiri, sedang dia sebenarnya berotak kosong. Dia menghadapi persoalan ‑persoalan yang mengelirukan itu, yang menyamai benang lawa‑lawa, tak tahu dia salah atau benar. Dia adalah pengendara yang bodoh, berpenyakit gila, membawa unta yang tak dapat memandang ke muka. Ia tidak minta dimaafkan dari pada apa yang tidak diketahuinya supaya selamat. Dia tidak menggigit ilmu itu dengan gusinya yang tajam supaya memperoleh hasil. Menangislah pembuluh‑pembuluh darah di badannya. Dan menjadi halal dengan hukumnya kemaluan wanita (faraj) yang haram. Demi Allah tidaklah penuh, dengan mengeluarkan apa yang telah ada padanya. Orang itu tidaklah ahli untuk apa yang diserahkan kepadanya. Merekalah orang‑orang yang diambil menjadi perumpamaan tentang azab pada abad‑abad yang lampau. Maka layaklah mereka memekik dan menangis pada hari‑hari kehidupan di dunia ini".
Berkata Ali ra: "Apabila engkau mendengar ilmu, maka bicara­kanlah ilmu itu! Dan jangan engkau campurkan dengan senda‑gurau, nanti dimuntahkan oleh hati". Berkata sebahagian ulama salaf: "Orang berilmu itu apabila terta­wa terbahak‑bahak, maka dia telah melemparkan ilmunya sekali lempar". Dikatakan bahwa apabila seorang pengajar mengumpul­kan 3 perkara, maka sempurnalah nikmat kepada pelajarnya, yaitu: sabar, merendahkan diri dan baik budi. Dan apabila seorang pelajar mengumpulkan 3 perkara, maka sempurna­lah nikmat kepada pengajarnya yaitu: berakal, beradab dan berpa­ham baik".
Pendek kata, segala budi pekerti yang dibawa Al Quran tidaklah terlepas pada diri ulama akhirat. Karena mereka mempelajari Al Qur‑an untuk diamalkan, tidak untuk menjadi kepala. Berkata Ibnu Umar ra: "Kita telah hidup sekejap masa. Ada diantara kita, memperoleh iman sebelum AI Quran, Ialu turunlah surat Al Quran itu. Maka dipelajarinyalah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang dan apa yang harus dia berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang diantara mereka didatangkan AI‑Quran sebelum iman, maka dibacanyalah semuanya dari permulaan sampai kepada peng­habisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogianya, dia berhenti pada­nya. Maka dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk". Dalam hadits lain, yang sama pengertiannya dengan itu, yaitu: "Adalah kami para shahabat Nabi saw diberikan kepada kami IMAN sebelum AI‑Qur‑an. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan AI‑Quran sebelum Iman. Mereka menegak­kan huruf‑huruf AI‑Qur‑an dan menyia‑nyiakan batas‑batas dan hak‑hak dari AI‑Quran dengan mengatakan: "Kami sudah baca. Siapakah yang lebih banyak membaca dari kami? Kami telah tahu. Siapakah yang lebih tahu dari kami? Maka itulah nasib mereka". Pada perkataan lain tersebut: “Merekalah yang sejahat‑jahatnya dari ummat ini".
Dikatakan bahwa 5 macam dari budi pekerti adalah diantara tanda‑tanda ulama akhirat, yang dipahami dari 5 ayat Kitab Allah Ta’ala AI‑Qur‑an. Yaitu: takut, Khusyu, tawadlu'(merendahkdn diri), baik budi, dan memilih akhirat dari dunia. Yaitu: zuhud.
Takut, diambil dari firman Allah Ta’ala: "Hanya sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya, ialah para ahli ilmu(ulama)". S 35 ayat 28.
Khusyu ', diambil dari firman Allah Ta’ala: “Mereka itu khusyu' kepada Allah, tidak menukar keterangan2 Allah itu dengan harga yang murah" S 3 ayat 199. Tawadlu' (merendahkdn diri), diambil dari firman Allah Ta’ala: “Dan bersikap rendah hati lah kepada orang-orang mukmin"  S 15 ayat 88.
Baik budi, diambil dari firman Allah Ta’ala: "Oleh karena rahmat Allah, engkau bersikap lemah lembut kepa­da mereka". S 3 ayat 159.
Zuhud, diambil dari firman Allah Ta’ala: "Berkata orang-orang yang berilmu pengetahuan itu 'Malang nasibmu ! Pahala dari pada Allah lebih baik untuk orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik". S  28 ayat 80.
Tatkala Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Barang siapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya niscaya dibukaNya dada orang itu kepada Islam"  S 6  ayat 125. Lalu orang bertanya kepada Nabi saw: "Apakah pembukaan, itu ?". Nabi saw menjawab: Sesungguhnya cahaya itu apabila diletakkan dalam hati, maka terbukalah dada menerima cahaya tersebut dengan seluas‑luasnya". Berkata orang itu lagi  "Adakah tandanya untuk itu?". Menjawab Nabi saw: "Ya, ada !  Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali kenegeri kekal dan bersedia untuk mati sebe­lum datangnya".  juga diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, ialah kebanyakan pembahasannya mengenai ilmu yang dikerjakan, apa‑apa yang merusakkan amal perbuatan itu, yang mengacau‑balaukan hati, yang membangunkan waswas dan yang mengobarkan kejahatan. Sesungguhnya pokok agama ialah, menjaga dari kejahatan itu. Dari itu bermadahlah seorang penya'ir
"Aku kenal kejahatan, bukan untuk kejahatan,
tetapi untuk menjaga diri dari padanya.
Orang yang tak mengenal kejahatan,
akan jatuhlah ke dalamnya ..........
Dan karena amal perbuatan yang dikerjakan itu dekat pengambil­annya. Dan yang paling penghabisan, bahkan yang paling tinggi dari amal perbuatan itu, ialah membiasakan diri mengingati Allah Ta’ala (berdzikir) dengan hati dan lidah. Sesungguhnya urusannya, ialah pada mengetahui yang merusakkan dan yang mengacaukan amal perbuatan itu. Dan ini, banyak benar cabangnya dan panjang pembahagiannya. Semuanya termasuk yang diperlukan. Dan banyaklah bahaya yang dihadapi dalam perjalanan menuju akhirat.
               Adapun ulama dunia, mereka mengikuti saja cabang‑cabang yang ganjil dalam pemerintahan dan kehakiman. Mereka bersusah‑payah menciptakan bentuk‑bentuk yang menghabiskan waktu dan tak pernah terjadi. Kalau pun terjadi, maka terjadi untuk orang lain, tidak untuk mereka sendiri. Dan apabila terjadi, maka banyaklah orang yang bangun mau menyelesaikannya dan meninggalkan tugas yang semestinya harus dikerjakan. Begitulah ber'ulang‑ulang terjadi malam dan siang, baik dalam gurisan hati, sangka waham dan amal perbuatan dari ulama dunia itu.
              Alangkah jauhnya dari kebahagiaan orang yang menjual kepenting­an dirinya sendiri yang perlu, dengan kepentingan orang lain yang jarang terjadi, karena mengharap dekat diri dan diterima orang banyak, dari pada mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan karena rakus, supaya dinamakan oleh tukang‑tukang batil/salah dari anak‑anak dunia, dengan nama al‑fadlil/keutamaan, yang melahirkan kebenar­an, yang mengetahui masalah yang pelik‑pelik. Dan balasannya dari Allah, bahwa ulama itu tidak bermanfa'at di dunia ini dengan diterima oleh orang banyak. Tetapi namanya kotor sepanjang zaman. Kemudian dia datang pada hari qiamat, merugi, menyesal demi melihat laba yang diperoleh oleh orang yang beramal dan kemenangan yang diperoleh oleh orang yang mende­katkan diri kepada Allah Ta’ala. Inilah kerugian yang nyata !
             AI‑Hasan AI‑Bashari ra adalah seorang manusia yang menyerupai perkataannya dengan perkataan nabi‑nabi as dan petunjuk yang diberikannya kepada manusia mendekati dengan petunjuk dari shahabat‑shahabat Nabi saw. Dan telah sepakatlah kata atas yang demikian terhadap Al Hasan itu. Sebahagian besar perkataan Al Hasan adalah mengenai gurisan hati kerusakan amal, kebimbangan jiwa dan sifat‑sifat yang tersem­bunyi yang tak jelas dari keinginan hawa nafsu. Pernah orang mengatakan kepadanya: “Hai Abu Sa'id ! Tuan berkata‑kata dengan perkataan yang tak pernah terdengar dari orang lain. Dari manakah tuan ambil?". Al Hasan menjawab: "Dari Huzaifah bin Al Yamman ! Kemudian ditanyakan kepada Huzaifah: "Kami melihat tuan mengeluarkan perkataan yang tak pernah terdengar dari sahabat­-sahabat Nabi saw yang lain. Dari manakah tuan ambil?". Huzaifah menjawab: "Ditentukan oleh Nabi saw perkataan‑perka­taan itu kepadaku. Orang lain bertanya kepada Nabi saw tentang kebajikan. Aku menanyakannya tentang kejahatan karena takut aku jatuh ke dalamnya. Dan aku tahu bahwa kebajikan itu tak perlu buru‑buru aku mengetahuinya". Pada suatu kali pernah Huzaifah mengatakan: "Maka aku tahu bahwa orang yang tidak mengenal kejahatan, niscaya tidak akan mengenal kebajikan". Pada kata‑kata lain, pernah para shahabat Nabi saw bertanya: "Wahai Rasulullah ! Apakah untuk orang yang mengerjakan demi­kian dan demikian ?". Maksud mereka menanyakan tentang amal perbuatan yang utama. "Tetapi aku ‑ kata Huzaifah menanyakan: "Wahai Rasulullah ! Apakah yang merusakkan demikian dan demikian ?". Tatkala Rasulullah melihat aku menanyakan tentang bahaya yang merusakkan amal, laIu beliau menentukan ilmu ini untukku". Huzaifah juga ditentukan oleh Nabi saw dengan pengetahuan tentang orang munafiq. Dia sendiri yang mengetahui tentang ilmu mengenai nifaq, sebab‑sebabnya dan bahaya fitnah yang halus-­halus.
Umar, Usman dan pembesar‑pembesar shahabat ra menanyakan Huzaifah tentang fitnah umum dan khusus. Huzaifah ditanyakan tentang orang‑orang munafiq. Lalu ia menerangkan bilangan yang masih tinggal dari mereka, tetapi tidak diterangkannya nama mere­ka masing‑masing. Adalah Umar menanyakan kepada Huzaifah tentang dirinya" Adakah Huzaifah tahu sesuatu dari kemunafikan pada Umar ?". Lalu Huzaifah menyatakan, bahwa Umar terlepas dari yang demi­kian. Saidina Umar ra apabila dipanggil untuk melakukan shalat janazah, ia melihat lebih dahulu. Kalau ada datang Huzaifah, maka Umar mau bershalat janazah pada mayat itu. Kalau tidak datang, maka Umar meninggalkan tempat itu. Huzaifah digelarkan pemegang rahasia. Bersungguh‑sungguh mempelajari tingkat‑tingkat hati dan hal ikhwaInya, adalah kebiasaan ulama akhirat. Karena hatilah yang berjalan mendekati Allah Ta’ala. Maka jadilah pengetahuan ini ganjil dan terhapus. Apabila dikemu­kakan sedikit saja daripadanya kepada seorang yang berilmu, Ialu merasa ganjil dan menjauhkan diri, dengan mengatakan bahwa itu diperindah oleh juru‑juru nasehat. Dan dimana pentahkikannya(pelaksanaan yang sebenar-benarnya).?. Orang itu memandang bahwa pelaksanaan yang sebenar-benarnya.  itu adalah pada perteng­karan yang berliku‑liku. Benarlah kiranya kata penya'ir
"Jalan itu sangat banyak,
tetapi jalan kebenaran hanya satu.
Dan yang pergi berangkat,
ke jalan kebenaran itu satu‑satu .....................
Mereka tiada tahu,
maksudnyapun tiada diketahui.
Mereka terus menuju,
berjalan pelan‑pelan kepada yang ditujui.
Manusia itu lalai,
apa dimaksudkan dengan mereka.
Sebahagian besar tidur terkulai,
jalan kebenaran sampai terlupa ....................
Kesimpulannya, bahagian terbanyak dari manusia itu, tidak con­dong hatinya, selain kepada yang mudah dan sesuai dengan tabiat­nya. Karena kebenaran itu pahit. Dan payah untuk tegak terus dikebenaran itu. Mengetahuinya sukar. Jalan kepadanya berliku-­liku. Lebih‑lebih mengenal sifat hati dan mensucikan nya dari pekerti yang tercela. Itu adalah suatu cabutan dari jiwa yang terus‑menerus. Orangnya adalah seumpama orang yang meminum obat, harus sabar atas pahitnya obat, karena mengharapkan sembuh. Atau seumpama orang yang menjadikan masa hidupnya untuk berpuasa. Maka ia harus menahan segala penderitaan, untuk mencapai hari pembukaan puasanya ketika mati nanti. Kapankah banyak orang menyukai jalan itu ? Karena itulah kata orang, bahwa di kota Basrah terdapat 120 orang yang selalu berbicara tentang nasehat dan peringatan. Dan tak ada yang berbicara mengenai ilmu yakin, hal ikhwal hati dan sifat‑sifat bathin/hati, selain tiga orang, yaitu Sahl At‑Tusturi, Ash‑Shubaihi dan Abdur Rahim. Yang duduk mengelilingi juru‑juru nasehat itu tak terhitung banyaknya, sedang yang mengelilingi orang yang tiga tadi adalah sedikit, hampir tidak melampaui 10 orang. Sebabnya tak lain, ialah barang yang bernilai itu, tidak layak selain kepada orang‑orang tertentu. Dan apa yang dihidangkan kepada orang banyak itu, adalah persoalan yang dekat saja. juga diantara tanda‑tanda ulama akhirat  itu, perpegangannya tentang ilmunya berdasarkan kepada penglihatan hati dan diketahuinya dengan hati yang putih bersih. Tidak kepada lembaran buku dan kitab‑kitab dan tidak pula beratas pendengaran dari orang lain. Yang ditaqlid (turut/menurut)kannya, sesungguhnya pembawa syari’at/agama suci Nabi Besar Muhammad saw pada yang disuruhnya dan yang diucapkannya. Shahabat‑shahabat ra pun ditaqlid kannya, dari segi bahwa perbuatan mereka menunjukkan kepada pendengar­annya dari Rasulullah saw. Kemudian, apabila sudah bertaqlid (turut/menurut) kepada pembawa agama suci itu dengan menerima segala perkataan dan perbuatannya, maka hendaklah berusaha benar‑benar memahami rahasia ajarannya. Seorang yang menurut berbuat suatu perbuatan karena Nabi saw berbuatnya. Perbuatannya itu memang harus dan hen­daklah karena suatu rahasia padanya. Maka seyogialah bahwa dia membahas benar‑benar tentang rahasia segala perbuatan dan perkataan Nabi saw. Karena kalau dicukupkan saja dengan menghafal apa yang dikatakan, maka jadilah dia karung ilmu dan bukanlah seorang yang berilmu. Karena itulah ada orang mengatakan: si Anu itu karung ilmu. Maka tidaklah dinamakan orang itu berilmu, apabila keadaannya hanya menghafal saja, tanpa memperhatikan hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Orang yang tersingkap dari hatinya tutup dan memperoleh nur hidayah, maka jadilah dia seorang yang diikuti dan ditaqlid (turut)kan. Maka tidak seyogialah dia bertaqlid (menurut) kepada orang lain.
              Karena itulah berkata Ibnu Abbas ra: “Tiada seorangpun, melainkan diambil dari ilmunya dan ditinggalkan selain Rasulullah saw". Ibnu Abbas itu mempelajari fiqih pada Zaid bin Stabit dan memba­ca AI‑Quran pada Ubai bin Kaab. Kemudian dia berselisih, dengan Zaid dan Ubai tentang fiqih dan tentang pembacaan Al Quran. Berkata setengah ulama salaf: "Apa yang datang kepada kami dari Rasulullah saw kami terima di atas kepala dan penuh perhatian dari kami. Dan apa yang datang kepada kami dari para shahabat ra ada yang kami ambil dan ada yang kami tinggalkan. Dan apa yang datang dari para tabi'in, maka mereka itu laki‑laki dan kamipun laki-laki. Dianggap lebih para shahabat itu, karena mereka melihat dengan mata sendiri hal‑ikhwal Rasullullah saw.  Dan hati mereka terikat kepada hal‑ikhwal itu yang diketahui dengan qarinah (tanda‑tanda). Lalu membawa mereka kepada yang benar dari segi tidak masuk dalam riwayat dan ibarat. Karena telah melimpahlah cahaya kenabian kepada mereka, yang menjaga dari kesalahan dalam banyak hal. Apabila berpegang kepada yang didengar dari orang lain itu menurut yang tidak disukai, maka berpegang kepada kitab‑kitab dan karang­an‑karangan adalah lebih jauh lagi. Bahkan kitab‑kitab dan karangan‑karangan itu adalah barang baru yang dibuat. Sedikitpun tak ada dari padanya pada masa shahabat dan tabi'in yang terkemuka. Tetapi datangnya adalah sesudah 120 tahun dari Hijrah Nabi saw dan sesudah wafat seluruh shahabat dan sebahagian besar dari tabi'in dan sesudah wafat Said bin AI‑Musayyab, Al Ha­san dan para tabi'in yang pilihan. Bahkan ulama‑ulama yang mula-­mula dahulu, tidak menyukai kitab‑kitab hadits dan penyusunan kitab-kitab. Supaya tidaklah manusia itu sibuk dengan buku‑buku itu, dari hafalan, dari AI‑Quran, dari pemahaman dan dari peringat­an. Mereka itu mengatakan: “Hafallah sebagaimana kami meng­hafal  !".
              Karena itulah, Abu Bakar dan segolongan shahabat Nabi saw tidak menyetujui penulisan' AI‑Quran (mengkodifikasikan), dalam suatu mashaf. Mereka berkata: "Bagaimana kita membuat sesuatu yang tidak diperbuat Nabi saw ?”. Mereka itu takut nanti manusia itu berpegang saja pada mashaf-­mashaf dengan mengatakan; "Kita biarkan AI‑Quran, yang diterima oleh mereka dari tangan ke tangan, dengan dipelajari dan dibacakan, supaya menjadi pekerjaan dan cita‑cita mereka".  Sehingga Umar ra dan lain‑lain shahabat menunjukkan supaya AI‑Qur‑an itu ditulis, karena takut disia‑siakan orang nanti dan malasnya mereka. Dan menjaga agar tidak menimbulkan pertikaian di belakang hari. Karena tidak diperoleh yang asli yang menjadi tempat pemeriksaan dari kekeliruan, baik kalimatnya atau bacaan­nya. Mendengar alasan‑alasan tadi, maka terbukalah hati Khalifah Abu Bakar.
              Maka dikumpulkanlah AI‑Qur‑an itu dalam suatu mashaf. Imam Ahmad bin Hanbal menentang Imam Malik karena dikarang­nya kitab Al‑Muath‑tha'.  Ahmad berkata: "Tuan ada‑adakan yang tidak dikerjakan para shahabat ra". Kata orang, kitab yang pertama dikarang dalam Islam ialah Kitab Ibnu juraij  tentang atsar  dan huruf‑huruf tafsir dari Mujahid, Atha' dan teman‑teman Ibnu Abbas ra di Makkah.  Kemudian muncul kitab MaMar bin Rasyid Ash‑Shan’ani di Ya­man. Dikumpulkan di dalamnya sunah yang dipusakai dari Nabi saw. Kemudian lahir Kitab Al‑Muath‑tha' di Madinah karangan Imam Malik bin Anas.  Kemudian Kitab jami'  karangan Sufyan Ats­Tsuri. Kemudian pada abad keempat hijriyah, muncullah karangan-­karangan tentang ilmu kalam (berkata-kata). Lalu ramailah orang berkecimpung dalam pertengkaran dan tenggelam di dalam membatalkan kata-­kata. Kemudian tertariklah hati manusia kepada ilmu kalam (berkata-kata), kepada kisah‑kisah dan memberi pengajaran dengan mengambil bahan dari kisah‑kisah tadi. Maka sejak masa itulah merosot ilmu yakin (ilmul‑yaqin). Sesudah itu, lalu dipandang ganjil ilmu hati, pemerik­saan sifat‑sifat jiwa dan tipu daya setan. Orang tidak memperhatikan lagi kepada ilmu‑ilmu tadi selain sedi­kit‑sekali. Lalu orang‑orang yang suka bertengkar dalam ilmu kalam (berkata-kata), dinamai 'alim.  Tukang ceritera yang menghiasi kata‑katanya dengan susunan yang berirama, dinamai 'alim. Ini disebabkan karena orang awwamlah yang mendengar syarahan dan ceritera orang‑orang tadi. Lalu tidak dapat membedakan antara ilmu yang sebenarnya dan ilmu yang tidak sebenarnya.
              Perjalanan shahabat dan ilmu pengetahuan shahabat‑shahabat ra itu tidak terang pada orang awwam. Sehingga mereka dapat mengenal perbedaan antara para shahabat itu dan orang‑orang yang disebut  'alim. Maka terus‑meneruslah nama ulama melekat pada orang‑orang itu dan dipusakai dari salaf/ulama terdahulu. kepada khalaf (ulama‑ulama pada masa terakhir). Dan jadilah ilmu akhirat itu terpendam dan lenyaplah perbedaan antara ilmu dan bicara, selain pada orang‑orang tertentu. Orang‑orang yang tertentu (al‑khawwash) itu apabila ditanyakan "Si Anukah yang lebih berilmu ataukah si Anu ?", lalu menjawab "Si Anu lebih banyak ilmunya dan si Anu lebih banyak bicaranya". Jadi, orang‑orang  al‑khawwash mengetahui perbedaan antara ilmu dan kemampuan berbicara. Begitulah, maka agama itu menjadi lemah pada abad‑abad yang lampau. Maka bagaimana pula persangkaan anda dengan zaman anda sekarang ?. Sudah sampailah sekarang, bahwa orang yang suka mengecam per­buatan munkar, dituduh gila. Jadi yang baik sekarang, ialah orang bekerja untuk dirinya sendiri dan diam. Juga diantara tanda‑tanda ulama akhirat itu, sangat menjaga dari perbuatan‑perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), meskipun telah mendapat persetujuan dari kebanyakan ulama.
              Janganlah kiranya tertipu atas kesepakatan orang ramai terhadap sesuatu yang diada‑adakan sesudah para shahabat Nabi saw. Hendaklah suka memeriksa tentang keadaan para shahabat, perjalanan dan perbuatannya. Dan apa yang menjadi kesukaan mereka, menga­jarkah, mengarangkah, suka bertengkarkah, menjadi hakimkah, wali negerikah, memegang harta wakafkah, harta wasiatkah, memakan harta anak yatimkah, bergaul dengan sultan‑sultankah, berbaik pergaulan dengan merekakah ? Atau adakah ia dalam keadaan takut kepada Tuhan, gundah, tafakkur/mengenangkan artinya, mujahadah/bersungguh-sungguh, muraqabah memperhatikan/mengintip/menjaga, zahir dan batin, menjauhkan diri dari dosa yang sekecil‑kecilnya sampai kepada yang sebesar‑
besarnya, berusaha memperoleh pengetahuan yang tersembunyi dari hawa nafsu dan tipu daya setan ? Begitulah seterusnya dari segala ilmu dalam itu !.
              Ketahuilah dengan sebenar‑benarnya bahwa orang yang terpandang 'alim, pada masanya dan yang Iebih dekat kepada kebenaran, ialah orang‑orang yang menyerupai shahabat dan yang lebih mengenal jalan ulama‑ulama salaf. Maka dari merekalah hendaknya agama itu diambil ! Karena itulah berkata Ali ra: “Yang terbaik dari kita ialah  yang lebih mengikuti agama ini". Perkataan Ali ini untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya: "Tuan sudah menyalahi dengan si Anu ?". Maka tidaklah layak untuk berkeberatan menentang orang masa sekarang, buat menyetujui orang masa Rasulullah saw. Manusia sebenarnya berpendapat dengan pendapat pada masanya, karena tabiatnya condong kepadanya. Dan dirinya tidak mau mengakui bahwa cara yang demikian, menyebabkan tidak memperoleh sorga. Dari itu, serukanlah bahwa jalan ke sorga, tak lain dari itu. Sebab itu, Al‑Hasan berkata: "Dua orang yang mengada‑adakan dalam Islam:  Seorang yang mempunyai pendapat jahat, lalu mendakwa­ kan bahwa sorga itu adalah untuk orang yang berpendapat seperti pendapatnya. Dan seorang lagi yang boros penyembah dunia, ma­rah dia. karena dunia, senang dia karena dunia. Dunialah yang dicarinya. Maka lemparkanlah kedua orang itu ke dalam neraka !". Dibalik itu, ada orang di dunia ini, antara pemboros yang menga­jaknya kepada dunia dan yang berhawa nafsu yang mengajaknya kepada hawa nafsu. Maka Allah Ta’ala memeliharakannya dari kedua orang tadi, dimana ia merindui ulamah-ulamah terdahulu yang salih. Dia menanyakan perbuatan mereka dan mengikuti jejak mereka. Orang ini memperoleh pahala besar. Begitulah hendaknya kamu seka­lian !".
              Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, hadits mauquf  dan musnad, bahwa Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya dua itulah: kalam (kata-kata) dan petunjuk. Yang sebaik‑baik perkataan yaitu; perkataan Allah Ta`ala. Dan yang sebaik‑baik petunjuk yaitu: petunjuk Rasulullah saw. Ketahuilah ! Bahwa kamu harus awas dari hal‑hal yang diadakan. Sejahat‑jahat hal, ialah yang diada‑adakan. Dan tiap‑tiap yang diada‑adakan itu bid’ah (yang diada-adakan). Tiap‑tiap yang diada-adakan itu sesat. Ketahuilah! janganlah berlama‑lama ka­mu didalam bid’ah, maka kesatlah hatimu. Ketahuilah! Tiap‑tiap yang akan datang itu dekat. Ketahuilah! Bahwa yang jauh itu, ialah sesuatu yang tidak akan datang".
              Dalam suatu pidato Rasulullah saw ialah: "Amat baiklah orang yang memperhatikan akan kekurangan dirinya, tidak memperhati­kan kekurangan orang lain. Berbelanja dari harta yang diusahakah nya tidak pada jalan maksiat. Bergaul dengan ahli fiqih dan ahli hukum dan menjauhkan dirinya dari ahli sesat dan ma'siat. Amat baiklah orang yang merendahkan diri, baik budi pekerti, bagus batin dan terpelihara manusia lain dari kejahatannya. Amat baik­lah orang yang berbuat menurut ilmunya, berbelanja pada kebajikan yang lebih dari hartanya, menahan yang tidak perlu dari perkataan­nya. Sunnah Nabi berkembang dalam dadanya dan tidak dibawanya kepada bid’ah (yang diada-adakan) ".
              Ibnu Mas'ud ra pernah berkata: "Petunjuk yang baik pada akhir zaman adalah, lebih baik dari banyak amal perbuatan". Dan berka­ta Ibnu Mas'ud pada tempat yang lain: "Kamu sekarang pada masa dimana orang‑orang baik dari kamu bersegera dalam segala pekerja­an. Dan akan datang sesudahmu nanti suatu masa, dimana orang-­orang baik dari mereka, teguh lagi berhati‑hati mengerjakan sesuatu, karena banyaknya perbuatan diragukan yang diragukan halal‑ha­ramnya". Memang benarlah ucapan Ibnu Mas'ud itu ! Siapa yang tidak berha­ti‑hati pada masa sekarang, lalu mengikuti saja orang banyak dan berkecimpung dalam perbuatan yang dikerjakan mereka, niscaya binasa sebagaimana mereka itu binasa.
              Berkata Huzaifah ra: "Yang lebih mengherankan dari ini, ialah perbuatan yang baik dari kamu pada hari ini adalah munkar/keburukkan pada zaman yang lampau. Dan yang munkar dari kamu pada hari ini adalah baik pada zaman yg lalu. Sesungguhnya kamu senantiasa dalam kebajikan, selama kamu mengenal akan yang benar. Dan orang yang berilmu dari kamu, tidak meringan‑ringankan yang benar itu". Sungguh benarlah Huzaifah ! Memang kebanyakan perbuatan yang dipandang baik sekarang, adalah munkar/keburukkan pada masa para shahabat Nabi saw. Karena kebanyakan yang dipandang baik pada masa kita ini, ialah menghiasi masjid‑masjid, membaguskannya, mengeluarkan harta banyak dalam pembangunan bahagiannya yang kecil‑kecil dan membentangkan permadani yang empuk di dalamnya. Dan sesungguhnya terhitung dalam perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), memben­tangkan permadani di dalam masjid. Dikatakan, itu adalah temasuk perbuatan yang diada‑adakan oleh orang‑orang yang mengerjakan hajji. Adalah orang‑orang dahulu itu, sedikit sekali yang membulat batas antara mereka dan tanah. Begitu pula, kesibukan dengan perdebatan dan pertengkaran dalam soal yang kecil-kecil, temasuk diantara ilmu yang paling mulia bagi orang zaman sekarang. Dan mendakwakannya termasuk dian­tara perbuatan yang terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Pada hal itu, termasuk dalam perbuatan yang keburukkan. Diantara yang keburukkan juga mengobah-ngobah bacaan AI‑Quran dan Adzan. Diantara yang keburukkan juga, membanyakkan pemakaian air pada pembersihan diri, was was (selalu ragu saja) waktu bersuci, menyangka sebab yang bukan‑bukan mengenai najis kain, sedangkan dalam pada itu tidak mementingkan antara halaInya dan haramnya makanan yang dimakan. Dan begitulah seterusnya.
              Benarlah kiranya Ibnu Mas’ud ra yang mengatakan: “Kamu pada hari ini dalam zaman, dimana hawa nafsu mengikuti ilmu dan akan datang kepadamu nanti suatu zaman, dimana ilmu mengikuti hawa nafsu”. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Mereka meninggalkan ilmu dan menuju kepada yang ganjil ganjil, dimana ilmu itu tidak kurang pada mereka. Kiranya Allah menolong mereka dari keadaan itu  !” Berkata Imam Malik bin Anas ra "Orang‑orang pada masa dahulu, tidak menanyakan tentang hal‑hal ini, seperti yang ditanyakan orang-orang pada masa sekarang. Dan ulamanya tidak mengatakan yang haram dan yang halal tetapi saya jumpai mereka itu menyatakan yang sunah dan yang makruh. Artinya, mereka itu memandang kepada yang sehalus‑halusnya dari perbuatan makruh dan sunnah. Sedang perbuatan yang haram keburukannya sudah nyata.
              Hisyam bin Ur'wah pernah berkata: "Jangan engkau tanyakan mereka hari ini tentang sesuatu yang diada-adakannya oleh diri mereka itu sendiri. Karena untuk itu mereka telah menyediakan jawabannya. Tetapi tanyakanlah mereka mengenai sunnah sebab mereka tidak mengetahuinya”. Abu Sulaiman Ad‑Darani pernah berkata: "Tidak sewajarnyalah bagi orang yang memperoleh ilham sesuatu kebajikan, lalu terus mengerjakannya, sebelum lagi mendengar hal itu pada para sahabat/atsar. Maka ia memuji akan Allah Ta'ala, karena ilham itu sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. 
              Abu Sulaiman ra mengatakan demikian karena pendapat‑pendapat yang diada adakan itu memang menarik perhatian dan melekat didalam hati. Oleh karenanya, kadang-kadang mengotorkan kebersihan hati, lalu menyangka yang salah itu benar. Dari itu harus dijaga dengan hati-hati, dengan membuktikannya dengan para sahabat-sahabat nabi. Karena inilah, tak kala kholifah Marwan mengadakan mimbar pada sholat hari raya disisi tempat bersholat, lalu bangun Abu Said  Al Khudri ra seraya berkata: “Hai Marwan  ! bukankah ini yg diada-adakan ?” “Tidak  !” Menjawab kholifah Marwan. “Ini tidak yg diada-adakan, tetapi lebih baik dari pada yang tuan ketahui. Sesungguhnya orang sudah banyak sekali. Maka maksudku supaya suara itu sampai kepada mereka”. Menyambung Abu Said: “Demi Allah  ! tidak lah sekali kali kamu mendatangkan yang baik, dari apa yang aku ketahui selama ini. demi Allah ! tidaklah akan aku bersholat dibelakangmu hari ini”.  Sesungguhnya Abu Said menantang kholifah Marwan dalam peristiwa tadi, disebabkan “Rasulullah saw dalam kutbah hari raya dan kutbah sembahyang meminta hujan, memegang busur atau tongkat, tidak atas mimbar”. Pada suatu hadits yang terkenal. Tersebut: “Barang siapa mengada adakan dalam agama kita sesuatu yang tidak didalamnya, maka tertolak”. Pada hadits yang lain, tersebut: “Barang siapa membohongi umatku, maka atasnya laknat Tuhan, Malaikat dan seluruh manusia”. Lalu orang bertanya: “Ya Rasulullah  ! Bagaimanakah orang mem­bohongi ummatmu ?". Nabi saw menjawab: “Yaitu diada‑adakannya sesuatu yang diada-adakan, Ialu dibawanya manusia kepadanya" Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta'ala mempunyai,  seorang malaikat yang menyerukan setiap hari: "Barang siapa menyalahi sunnah Rasul­ullah saw maka dia tidak akan memperolah syafaatnya". Orang yang menganiaya agama dengan mengada‑adakan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, dibandingkan dengan orang yang berbuat dosa, adalah seumpama orang yang mendurhakai raja de­ngan menjatuhkan pemerintahan nya, dibandingkan dengan orang yang melawan perintahnya dalam suatu perintah yang tertentu. Perlawanan itu kadang‑kadang diampuninya. Tetapi menjatuhkan pemerintahannya tidaklah diampuni.
              Berkata setengah ulama: "Apa yang dikatakan salaf/ulamah terdahulu, maka berdiam diri daripadanya adalah suatu kekasaran. Dan apa yang didiamkan salaf, maka membicarakannya adalah memberat‑beratkan diri". Berkata ulama yang lain: "Kebenaran itu berat. Orang yang mele­wati garisnya, telah menganiaya diri. Orang yang memendekkan­nya, adalah lemah. Dan orang yang berdiri teguh pada kebenaran itu, adalah mencukupi".
              Bersabda Nabi saw: "Haruslah kamu di garis yang di tengah yang kembali kepadanya yang diatas dan yang naik kepadanya yang berikutnya". Berkata Ibnu Abbas ra: "Kesesatan itu manis dalam hati orang‑orangnya”. Berfirman Allah Ta’ala: “Tinggalkanlah mereka yang membuat agamanya permainan dan senda‑gurau”  S 6 ayat 70. Allah Ta’ala berfirman: "Adakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk, lalu perbu­atannya yang buruk itu dianggapnya baik!". S 35 ayat 8. Segala apa yang diada‑adakan sesudah para shahabat ra yang melewati batas dharurat dan keperluan, maka itu termasuk dianta­ra permainan dan senda‑gurau. Diceriterakan tentang Iblis yang kena kutukan Tuhan, bahwa Iblis itu mengirimkan tentaranya pada masa shahabat ra. Maka kembali­lah tentara itu kepada Iblis dengan perasaan menyesal. Bertanya Iblis: "Apa kabar kamu sekalian?". Tentara Iblis itu menjawab: "Belum pernah kami melihat seperti mereka itu. Kami tidak memperoleh sesuatu dari mereka. Mereka telah meletihkan kami”  Maka menyambung Iblis itu: "Rupanya kamu tidak sanggup menghadapi mereka, dimana mereka telah menyertai nabinya dan menyaksikan, turun wahyu dari Tuhannya. Tetapi sesudah mereka itu nanti, akan datang suatu kaum yang akan kamu peroleh hajatmu dari mereka". Tatkala datang masa tabi'in (angkatan sesudah sahabat atau pengikut sahabat Nabi saw), Iblis itu mengirimkan lagi bala tentara­nya. Itupun tentara Iblis itu kembali dengan tangan kosong. Mereka itu berkata: "Belum pernah kami melihat yang lebih menajubkan dari mereka. Kami peroleh satu demi satu dari dosa mereka. Tetapi apabila sore hari, Ialu mereka bermohon ampun (bertaubat kepada Tuhan). Maka digantikan oleh Allah kejahatan mereka dengan kebajikan". Menyambung Iblis itu lagi: "Kamu tidak akan memperoleh sesuatu daripada mereka, karena ketauhidan mereka itu benar dan karena teguhnya mereka mengikuti nabinya. Tetapi akan datang sesudah mereka nanti, suatu kaum yang senang hatimu melihat mereka. Kamu dapat mempermain‑mainkan mereka dan mengajak mereka menuruti hawa nafsunya, menurut kemauan mu. Kalau mereka meminta ampun, maka tidak akan diampunkan. Dan mereka tidak akan bertaubat. Maka kejahatannya digantikan oleh Tuhan dengan kebajikan".
              Berkata Iblis itu seterusnya: "Sesudah qurun pertama, maka da­tanglah suatu kaum, Ialu bergeraklah hawa nafsu pada mereka dan berhiaslah mereka dengan perbuatan‑perbuatan yang diada-adakan. Maka mere­ka itu memandang yang yang diada-adakan itu halal dan membuatnya menjadi agama. Tidak pernah mereka memohon ampun dan bertaubat daripadanya. Maka mereka dikuasai oleh musuh‑musuhnya dan dihalaukannya kemana saja dikehendaki oleh musuh‑musuhnya". Kalau anda bertanya: "Dari manakah orang yang menerangkan tadi, mengetahui apa yang dikatakan Iblis, pada hal ia tidak melihat Iblis dan tidak berbicara dengan Iblis tentang yang demikian itu ? ". Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang‑orang yang mempunyai hati, terbuka bagi mereka segala, rahasia alam ghaib (alam malakut), sekali dengan jalan ilham, dengan melintas datang kepada mereka dari arah yang tidak diketahuinya. Sekali dengan jalan mimpi yang benar. Dan sekali sedang jaga (tidak‑tidur), dengan jalan terbuka segala pengertian dengan menyaksikan contoh‑contoh, seperti yang dalam tidur tadi. Dan inilah tingkat yang tertinggi, yaitu: sebahagian dari tingkat-­tingkat kenabian yang tinggi, sebagaimana mimpi yang benar, adalah suatu bahagian dari 46 bahagian dari kenabian. Maka hati‑hatilah, bahwa ada bahagianmu dari ilmu ini, menging­kari apa yang melewati batas kesingkatan pahammu !. Dalam hal ini, telah banyak binasa 'alim ulama yang mengaku dirinya pandai, menda'wakan telah menguasai seluruh ilmu akal. Maka bodoh adalah lebih baik dari akal, yang mengajak kepada menantang seperti hal‑hal tersebut, yang dipunyai wali‑wali Allah. Orang yang mengingkari hal itu bagi wali‑wali, mengakibatkan dia telah mengingkari nabi‑nabi. Dan adalah ia keluar dari Agama seluruhnya.
              Berkata setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta’ala): "Sesungguhnya telah habis orang‑orang al‑abdal (wali Allah yang datang ganti berganti) disegala penjuru bumi. Mereka bersembunyi dari mata orang ba­nyak, kerena tidak sanggup melihat ulama zaman sekarang. Karena mereka itu betul‑betul sudah jahil terhadap Allah Ta’ala. Sedang mereka menurut pengakuannya sendiri dan pengakuan orang‑orang bodoh, adalah ulama".
              Berkata Sahl At‑Tusturi ra: "Diantara ma'siat yang terbesar, ialah tak tahu dia bodoh diri, memandang kepada orang awwam dan mendengar perkataan orang lalai. Tiap‑tiap orang 'alim yang te­lah berkecimpung dalam urusan duniawi, maka tidak wajar lagi perkataannya didengar. Tetapi hendaklah dicurigai dari tiap‑tiap perkataan yang diucapkannya. Karena tiap‑tiap manusia itu berke­cimpung pada apa yang disukainya dan menolak apa yang tidak bersesuaian dengan yang disukainya". Karena itu, berfirman Allah Ta’ala: ”Dan janganlah engkau turut orang yang Kami Ialaikan hatinya dari mengingati Kami dan diturutinya keinginan nafsunya dan pekerjaannya biasanya di luar batas". S 18 ayat 28. Orang awwam  yang ma'siat, keadaannya lebih berbahagia dari orang yang bodoh dengan jalan agama, yang mengakui dirinya ulama. Karena orang awwam yang ma'siat itu mengakui keteledor­annya. Lalu meminta ampun dan bertaubat. Dan orang bodoh ini, yang menyangka dirinya berilmu, maka ilmu yang dipelajarinya, ialah pengetahuan yang menjadi jalan baginya kepada dunia, tersisih dari jalan agama. Lalu ia tidak bertaubat dan meminta ampun. Tetapi senantiasa berpegang kepadanya, sampai mati. Dan apabila ini telah memenangi pada kebanyakan manusia, kecuali orang‑orang yang dipelihara oleh Allah Ta'ala, dan putuslah harapan untuk memperbaiki orang‑orang tersebut, maka yang lebih menye­lamatkan bagi orang yang beragama, yang menjaga diri, ialah: mengasingkan diri dan sendirian, sebagaimana akan datang penje­lasannya pada "Kitab 'Uzlah " nanti insya Allah.
              Karena itulah Yusuf bin Asbath menulis surat kepada Huzaifah AI‑Mar'asyi, yang isinya antara lain: "Apakah persangkaan tuan dengan orang yang tidak memperoleh seorangpun, yang tidak mengingati Allah Ta’ala bersama dia melainkan adalah orang itu berdosa atau pembicaraannya adalah ma'siat saja? Dan yang demi­kian, sesungguhnya dia tidak memperoleh temannya". Benarlah apa yang dikatakan Yusuf itu. Karena dalam bergaul dengan manusia, tidaklah terlepas dari upatan atau mendengar upatan atau berdiam diri atas perbuatan munkar/jahat. Keadaan yang sebaik‑baiknya, ialah orang itu membuat ilmunya berfaedah kepada orang lain atau mengambil faedah dari ilmu yang ada pada orang lain. Orang yang patut dikasihani ini, kalau memperhatikan dan menge­tahui bahwa memanfaatkan ilmunya itu kepada orang, tidaklah terlepas dari bercampur dengan ria, ingin harta dan jadi kepala, niscaya tahulah dia bahwa orang yang mengambil faedah dari ilmu­ nya bermaksud menjadikan ilmu itu sebagai alat untuk mencari dunia dan jalan kepada kejahatan. Berdasarkan itu, maka adalah dia menolong kearah itu, membantu dan menyiapkan sebab‑sebab, seperti, orang yang menjualkan pe­dang kepada perampok. Maka ilmu itu adalah seperti pedang. Kepatutannya bagi kebajikan, adalah seperti kepatutan pedang bagi perang. Dari itu tidak diperbolehkan menjual pedang itu kepada orang yang diketahui menurut keadaannya, mau mempergunakan pedang itu untuk merampok. Maka inilah dua belas tanda ulama akhirat ! Masing‑masing dari padanya mengumpulkan sejumlah budi pekerti, ulama terdahulu (ulama salaf). Dari itu, hendaklah kamu menjadi salah seorang dari dua: adakala­nya bersifat dengan sifat‑sifat itu atau mengaku dengan keteledoran secara sadar. Awaslah, jangan engkau menjadi orang ketiga, maka engkau ragu kepada diri sendiri dengan engkau gantikan alat dunia dengan agama. Engkau serupakan perjalanan hidup orang‑orang yg salah dengan perjalanan hidup ulama‑ulama yang mendalam penge­tahuannya. Maka termasuklah engkau disebabkan kebodohan dan keingkaran engkau, ke dalam golongan orang yang binasa dan putus asa. Berlindunglah kita dengan Allah swt. dari tipuan setan yang menyebabkan orang banyak binasa. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala semoga dijadikanNya kita diantara orang‑orang yang tidak ditipu oleh kehidupan duniawi. Dan tidak ditipu oleh penipu pada jalan Allah.
BAB KETUJUH:  Tentang Akal. Kemuliaan Akal. Hakikat/makna Akal. Bahagian‑bahagian Akal.
PENJELASAN: Tentang Kemuliaan Akal
Ketahuilah, bahwa persoalan ini sebetulnya, tidak berhajat untuk bersusah‑payah menjelaskannya. Lebih‑lebih lagi sudah jelas, kemu­liam ilmu sebelum dijelaskan kemuliaan akal ini. Akal adalah sumber ilmu, tempat timbul dan sendi ilmu. Ilmu itu, berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah‑buahan dari pohon kayu, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata. Bagaimanakah akal itu tidak mulia, sedang dia adalah jalan kebaha­giaan di dunia dan akhirat? Atau bagaimanakah diragukan tentang kemuliaan akal itu, sedangkan hewan dalam kepicikan tamyiznya (sifat hewan dapat membedakan sesuatu), merasa kecut terhadap akal. Sehingga seekor hewan yang bertubuh besar, berkeberanian luar biasa dan bertenaga kuat, apabila melihat rupa manusia lalu merasa kecut dan takut. Karena dirasakannya manusia itu akan menggagahinya, karena keistimewaannya memperoleh helah dan daya‑upaya. Dari itulah bersabda Nabi saw: "Seorang Syeh (kepala) pada kaumnya adalah seperti nabi pada ummatnya". Tidaklah yang demikian, karena syeh itu banyak hartanya, besar tubuhnya dan lebih kekuatannya. Tetapi adalah karena lebih pengalamannya sebagai hasil dari akalnya.
Karena itulah anda melihat, orang Turki, orang Kurdi, orang Arab dan orang‑orang lain, meskipun tingkatannya mende­kati dengan hewan, adalah dengan tabiatnya memuliakan kepala-kepalanya. Dari itu, ketika kebanyakan orang‑orang yang ingkar mau membu­nuh Rasulullah saw, maka tatkala pandangan mereka jatuh pada Nabi saw dan gemetar mereka dengan sinar wajahnya yang mulia, Ialu timbullah ketakutan di hati mereka. Kelihatan kepada mereka suatu yang bersinar gilang‑gemilang atas keelokan wajahnya dari nur kenabian. Meskipun itu adalah suatu kebatinan dalam diri Nabi saw sebagaimana kebatinan nya akal. Kemuliaan akal itu dapat diketahui dengan mudah. Hanya maksud kami di sini hendak membentangkan hadits‑hadits dan ayat‑ayat yang menyebutkan kemuliaan akal itu.
Allah Ta’ala menamakan akal itu dengan "nur/cahaya"  pada firmannya: "Allah pemberi "nur" bagi langit dan bumi. Bandingan "nur"Nya adalah seperti satu kurungan pelita “ S 24 ayat 35. Dan Allah ‑Ta'ala menamakan ilmu yang diperoleh dari akal itu ruh, wahyu dan hidup. Berfirman Allah Ta'ala: "Begitulah Kami wahyukan kepada engkau ruh itu dengan perintah Kami” S 42 ayat 52. Dan berfirman Allah swt: "Apakah orang‑orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, dengan itu dia dapat berjalan di tengah‑tengah manusia " S 6 ayat 122. Di mana AI‑Qur‑an menyebutkan an‑nur (cahaya) dan adh‑dhulmah (gelap), maka maksudnya adalah ilmu pengetahuan dan kebodohan, seperti firmanNya: “Dikeluarkan mereka oleh Tuhan dari kegelapan  kepada nur‑cahaya". S 2 ayat 257. Dan bersabda Nabi saw:"Wahai manusia ! Pakailah akal untuk mengenal Tuhanmu ! Nasehat­ menasehatilah dengan menggunakan akal, niscaya kamu ketahui apa yang diperintahkan  kepadamu dan apa yang dilarang  ! Ketahui­lah bahwa akal itu menolong kamu di sisi Tuhanmu ! Ketahuilah bahwa orang yang berakal ialah orang yang menta'ati Allah, meskipun mukanya tidak cantik, dirinya hina, kedudukannya rendah dan bentuknya buruk. Dan orang yang bodoh ialah orang mendurhakai Allah Ta'ala, meskipun mukanya cantik, dia orang besar, kedudukannya mulia, bentuknya bagus, lancar dan pandai berbicara. Beruk dan khinzir lebih berakal pada sisi Allah Ta'ala daripada orang yang mendurhakaiNya. Engkau jangan tertipu dengan penghormatan penduduk dunia kepadamu, sebab mereka itu termasuk orang yang merugi".
Bersabda Nabi saw: "Yang mula pertama dijadikan oleh Allah, ialah akal. Maka berfirman Allah kepadanya: “Menghadaplah !" Lalu mengha­daplah dia. Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Membelakang­lah”. Lalu membelakanglah dia. Kemudian berfirman Allah Ta’ala: ”Demi kemuliaanKU dan demi kebesaranKU ! Tidak AKU, jadikan suatu makhlukpun yang lebih mulia pada sisiKU selain engkau. Dengan engkau AKU mengambil, dengan engkau AKU memberi, dengan engkau AKU memberi pahala dan dengan engkau AKU mem­beri siksaan".
Kalau anda bertanya, akal itu kalau dia sifat ('aradh), maka bagai­manakah dijadikan sebelum tubuh ? Dan kalau dia zat jauhar (benda/barang), maka bagaimanakah jauhar (benda/barang) berdiri sendiri dan tidak berpihak ? Ketahuilah kiranya, bahwa Ini sebahagian dari ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja. Maka tidak layak diterangkan dengan ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan. Dan maksud kami sekarang menerangkan ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan.
Dari Anas ra bahwa dia menerangkan: "Suatu rombongan memu­jikan seorang laki‑laki di sisi Nabi saw dengan bersangatan sekali. Lalu Nabi menegur: "Bagaimanakah akal orang itu?". Menjawab rombongan tadi: "Kami menerangkan kepada engkau, tentang kesungguhannya pada beribadah dan bermacam‑macam kebajikan lain. Dan engkau menanyakan kami tentang akal. Maka menjawab Nabi saw: "Sesungguhnya orang bebal itu memperoleh lebih banyak dengan kebodohannya dari pada kedhaliman orang yang dhalim. Sesunguhnya pada hari esok, terangkatlah hamba Allah itu ke tingkat tinggi pada sisi Tuhannya menurut tingkat akal pikirannya".
Dari Umar ra bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak adalah usaha seseorang seperti keutamaan akal, yang mem­beri petunjuk kepada yang empunya akal itu kepada petunjuk dan menarikkannya dari jalan yang hina. Tidak sempumalah iman sese­orang dan tidak berdiri tegak agamanya sebelum akalnya itu sem­purna". Bersabda Nabi saw: "Seseorang akan mengetahui dengan kebagusan budinya derajat orang yang berpuasa dan menegakkan shalat. Dan tidaklah sempur­na kebagusan budi seseorang, sebelum sempurna akalnya. Ketika itu barulah sempurna imannya. Ia mentaati Tuhannya dan men­durhakai musuhnya Iblis".
Dari Abu SaId Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: "Tiap‑tiap sesuatu itu mempunyai tiang. Tiang orang mumin ialah akalnya. Menurut tingkat akalnya, beradalah ibadahnya. Apakah kamu tidak mendengar perkataan orang‑orang dhalim dalam neraka: jikalau adalah dahulu kami mendengar atau kami berakal, maka tidaklah kami ingin menjadi isi neraka". 
Dari Umar ra bahwa Umar bertanya kepada Tamim Ad‑Dari: "Apakah yang mulia padamu?" menjawab Tamim: "Akal ! ". Maka menyambung Umar: "Benar engkau ! Aku telah, bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang aku tanyakan kepadamu tadi. Maka menjawab Nabi saw seperti yang kamu jawab. Kemudian bersabda Nabi saw: "Bahwa aku telah bertanya kepada jibril as "Apakah yang mulia ". Jibril as menjawab: "Akal ! ".
Dan' AI‑Barra' bin 'Azib ra, di mana AI‑Barra' berkata: “Pada suatu hari banyaklah persoalan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw menjawab: "Hai Manusia ! Tiap‑tiap sesuatu itu ada kenderaannya. Dan kenderaan manusia itu akaInya. Yang terbaik dalil dan pengetahuan dengan keterangan, ialah yang terlebih dari kamu akaInya".
Dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Hurairah menerangkan: "Tatka­la Nabi saw kembali dari perang Uhud, lalu mendengar orang ba­nyak berkata satu sama lainnya: "Si Anu lebih berani dari si Anu. Si Anu menderita yang tidak pernah dideritai orang lain dan begitu­lah seterusnya. Maka menjawab Nabi saw: "Adapun si Ini, maka tak adalah pengetahuanmu padanya". Bertanya orang banyak: "Mengapa begitu ya Rasulullah?". Menjawab Nabi saw: “Mereka itu berperang menurut akal yang dianugerahkan Allah kepadanya. Kemenangan dan niatnya adalah sekedar akalnya. Diberikan akal orang‑orang yang diberikan dari mereka, pada tingkat yang bermacam‑macam. Maka pada hari kia­mat nanti mereka membagi‑bagikan tingkat itu menurut tingkatan niatnya dan akalnya".
Dari AI‑Barra' bin 'Azib, bahwa Nabi saw bersabda: "Bersungguhsungguh para malaikat dan rajin menta`ati Allah Ta’ala dengan akal. Dan bersungguh‑sungguh orang mumin dari anak Adam, menurut kadar akalnya. Yang paling banyak berbuat amal dengan mentaati Allah, ialah mereka yang paling sempurna akaInya". Dari Aisyah bahwa 'Aisyah mengatakan: "Aku bertanya "Wahai: Rasulullah ! Dengan apakah manusia memperoleh kelebih­an didunia?". Menjawab Nabi saw: "Dengan akal !". Lalu aku bertanya lagi: "Di akhirat?"  Menjawab Nabi saw: "Dengan akal ! " Bertanya aku lagi: "Bukankah mereka dibalas dengan sebab amal nya?". Menjawab Nabi saw: "Hai 'Aisyah ! Adakah mereka itu beramal, selain sekedar akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya ? Maka menurut kadar akal yang diperoleh mereka, begitulah adanya amal mereka. Dan menurut kadar amal itu, mereka diberi balasan”.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Ibnu Abbas berkata: "Telah bersabda Rasulullah saw: "Tiap‑tiap sesuatu itu mempunyai alat dan perka­kas Dan alat bagi orang mumin ialah akal. Tiap‑tiap sesuatu itu mempunyai kenderaan. Dan kenderaan manusia itu, ialah akal. Tiap‑tiap sesuatu itu mempunyai tiang. Dan tiang agama itu ialah akal. Tiap‑tiap kaum itu, mempunyai tujuan. Dan tujuan bagi ham­ba Allah ialah akal. Tiap‑tiap kaum itu, mempunyai penyeru. Dan yang menyerukan orang‑orang yang beribadah itu 'ialah akal. Tiap‑tiap saudagar itu mempunyai harta kekayaan. Dan harta kekayaan orang yang rajin itu ialah akal. Tiap‑tiap keluarga dari suatu rumah tangga itu ada yang membelanjainya. Dan yang mem­belanjai rumah tangga orang shiddiqin (orang‑orang yang benar‑be­nar membenarkan agama) itu, ialah akal. Tiap‑tiap yang runtuh itu ada bangunannya. 'Dan bangunan akhirat itu ialah akal. Tiap‑tiap manusia itu mempunyai kesudahan yang disandarkan dan diingatkan. Dan kesudahan bagi shiddiqin, yang disandarkan dan diingatkan, ialah akal. Tiap‑tiap perjalanan itu mempunyai rumah kecil tempat perhentian. Dan rumah kecil tempat perhentian bagi orang mumin itu ialah akal".
Bersabda Nabi saw: "Orang mumin yang paling dikasihi Allah, ialah orang yang tegak berdiri dalam menta’atiNya, memberi nasehat kepada hambaNya, sempurna akalnya dun menasehati diri­nya, Ialu ia dapat melihat yang benar. Dan mengerjakan amal selama hidupnya, maka ia memperoleh keuntungan dan mendapat kemenangan.". Bersabda Nabi saw: "Yang paling sempurna akal diantara kamu ialah orang yang paling takut kepada Allah Ta`ala dan yang paling baik perhatiannya tentang apa yang disuruh dan dilarang Allah, meskipun sedikit berbuat amalan sunat".
PENJELASAN: Hakikat/makna Akal Dan bahagian‑bahagian Akal.
Ketahuilah, bahwa berbeda pendapat orang tentang batas akal dan hakikat/maknanya. Kebanyakan mereka melupakan bahwa nama tersebut dipakai kepada bermacam‑macam arti. Itulah yang menjadi sebab perbedaan pendapat tadi. Kebenaran yang menyingkap tutup mengenai akal itu ialah bahwa akal adalah suatu nama yang dipakai berserikat kepada 4 arti, sebagaimana umpamanya nama mata dipakai kepada bermacam‑ma­cam arti. Dan apa yang berlaku tentang ini, maka tidaklah wajar dicari untuk semua bahagiannya, suatu batas saja. Tetapi hendaklah masing‑ma­sing bahagian disendirikan menjelaskannya.
Yang pertama: akal itu adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari hewan. Dengan akal manusia bersedia untuk menerima berbagai macam ilmu nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran) dan untuk mengatur usaha‑usaha yang pelik yang menghajati kepada pemikiran. Akal itulah yang dimaksud oleh AI‑Harts bin Asad AI‑Muhasibi, di mana ia mengatakan tentang batas akal itu, yaitu: "Suatu gha‑rizah (tabiat) yang disediakan untuk mengetahui macam‑macam ilmu yang memerlukan pemikiran . Akal itu seolah‑olah suatu nur (cahaya) yang dimasukkan ke da­lam hati yang disediakan untuk mengetahui macam‑macam hal. Orang yang mengingkari apa yang tersebut di atas, tidak menginsa­fi, Ialu mengembalikan akal itu kepada ilmu pengetahuan yang dharuri (yang tidak memerlukan pemikiran) semata‑mata. Orang yang melengahkan ilmu pengetahuan dan orang yang tidur, keduanya dinamakan berakal, melihat kepada adanya gharizah/tabiat tersebut, serta tak adanya ilmu pengetahuan. Sebagaimana hidup adalah suatu tabiat untuk menyediakan tubuh bagi gerakan biasa dan pengetahuan ke pancainderaan maka demikian pulalah akal adalah suatu gharizah/tabiat untuk menyediakan sebahagian hewan (manusia) buat memperoleh ilmu pengetahuan ilmu yang memerlukan pemikiran. Sekiranya bolehlah disamakan insan dengan keledai tentang tabiat dan pengetahuan kepanca inderaan, maka dapatlah dikatakan, bahwa tak adalah perbedaan antara keduanya, selain bahwa Allah Ta’ala ‑ menurut adat yang berlaku ‑ menjadikan pada insan itu ilmu pengetahuan dan tidak dijadikanNya pada keledai dan hewan­-hewan lain, niscaya sesungguhnya bolehIah disamakan antara kele­dai dan barang keras (jamad) itu pada kehidupan. Dan dikatakan bahwa tak ada perbedaan antara keledai dan barang jamad selain daripada Allah Ta’ala menjadikan pada keledai itu gerakan‑gerakan tertentu sepanjang kebiasaan yang berlaku. Kalau diumpamakan keledai‑ itu benda keras yang mati, niscaya haruslah dikatakan bah­wa tiap‑tiap gerakan yang terlihat padanya, maka Allah Ta’ala kuasa menjadikannya pada yang keras itu, menurut tertib (penga­turan) yang kelihatan. Dan sebagaimana harus dikatakan bahwa tak adalah perbedaan bagi benda keras (jamad) mengenai gerakan, selain dengan tabiat yang tertentu, maka dikatakanlah bahwa gharizah/tabiat  itulah hidup. Demikian jugalah perbedaan insan dengan hewan tentang mengeta­hui ilmu pengetahuan ilmu yang memerlukan pemikiran dengan suatu tabiat yang disebut akal.  Maka akal itu adalah seperti cermin yang berbeda dengan benda‑benda lain dalam segi memperlihatkan rupa dan warna, dengan suatu sifat yang khusus bagi cermin itu, yaitu sifat mengki­lat. Begitu juga mata, yang berbeda dengan dahi tentang sifat‑sifat dan keadaan‑keadaan yang ada pada mata, yang disediakan untuk meli­hat. Maka hubungan gharizah/tabiat ini kepada ilmu pengetahuan adalah seperti hubungan mata kepada melihat.  Hubungan AI‑Qur‑an dan syari’at/agama kepada gharizah/tabiat akal ini dalam segi mengantarkannya untuk membuka bermacam‑macam ilmu pengetahuan, adalah seperti hubungan cahaya matahari kepada melihat. Begitulah hendaknya dipahami tabiat akal ini.
Yang kedua: hakikat/makna akal itu ialah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud pada diri anak kecil yang dapat membedakan ten­tang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Seperti mengetahui dua lebih banyak dari satu dan orang tidak ada pada dua tempat pada satu waktu. Inilah yang mendapat perhatian sungguh‑sungguh dari sebahagian ulama ilmu kalam (berkata-kata), yang menerangkan tentang batas akal itu, bahwa akal adalah sebahagian ilmu dlaruri (ilmu yang mudah yang tak memerlukan pemikiran). Seumpama mengetahui tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Dan hal itu betul pula, karena pengetahuan tersebut itu ada dan menamakan­nya akal  memang jelas yang tidak betul, ialah mengingkari tabiat itu dan mengatakan tidak ada. Yang ada, hanya pengetahuan itulah.
Yang ketiga: akal itu, ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam‑macam keadaan. Maka orang yang telah diperkokoh pemahamannya oleh pengalaman-­pengalaman dan dicerdaskan oleh beberapa aliran, maka dikatakan orang itu biasanya berakal. Yang tidak bersifat dengan sifat tadi, maka dikatakan: orang bodoh, tak berketentuan, jahil. inilah macam yang lain dari ilmu pengetahuan yang dinamakan akal.
Yang keempat: bahwa kekuatan dari gharizah/tabiat itu berpenghabisan sampai kepada mengetahui akibat dari segala hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan yang dekat dan menundukkannya. Apabila telah berhasil kekuatan ini, maka orang yang mempunyai kekuatan tersebut dinamakan berakal, di mana majunya dan mun­durnya adalah menurut yang dikehendaki pertimbangan mengenai akibat‑akibatnya, tidak menurut hukum hawa nafsu yang dekat itu. Ini juga adalah dari sifat‑sifat khas manusia yang membedakan dia dari hewan yang lain. Maka yang pertama di atas tadi, adalah asas, pokok dan sumber. Yang kedua adalah cabang yang lebih dekat kepada yang pertama.Yang ketiga adalah cabang bagi yang pertama dan kedua. Karena dengan kekuatan gharizah/tabiat dan ilmu dlaruri/perlu itu, dapatiah diambil faedah segala ilmu pengalaman. Dan yang keempat, yaitu hasil yang penghabisan yaitu tujuan yang terjauh. Maka dua yang pertama (yang pertama dan kedua) adalah dengan karakter (tabi'at). Dan dua yang penghabisan (yang ketiga dan keempat) adalah dengan diusahakan. Dari itu bermadahlah Ali ra
Aku melihat akal itu dua,
menurut karakter dan yang didengar.
Tidak bergunalah yang didengar,
apabila yang karakter tidak ada.
Seperti tidaklah berguna matahari,
bila cahaya mata itu terlindungi ....
Yang pertama itu, itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: "Tidak dijadikan oleh  Allah Ta`ala suatu makhluk yang terlebih mulia padaNya, dari pada akal". Dan yang penghabisan, yaitu yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: "Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu‑pintu keba­jikan dan amal shaleh maka engkau dekatilah Tuhan dengan akal mu”. Hadits inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw:  “Kepada Abid‑ Darda' ra: ”Bertambahlah akalmu supaya engkau bertambah dekat dengan Tuhanmu". Berkata Abid‑Darda': "Demi ibu‑bapaku ya Rasulullah ! Bagaima­nakah bagi ku dengan yang demikian itu?". Menjawab Nabi saw: "Jauhilah semua yang diharamkan Allah, tunaikanlah segala yang diwajibkan Allah, maka adalah engkau orang yang berakal ! Kerjakanlah segala amal salih, niscaya engkau bertambah tinggi dan mulia di dunia yang tidak lama ini. Dan engkau memperoleh pada hari akhirat yang akan datang, dari Tuhan­mu 'Azza wa Jalla, akan kedekatan dan kemuliaan".
                Dari Said bin AI‑Musayyab bahwa Umar, Ubai bin Ka’ab dan Abu Hurairah ra datang kepada Rasulullah saw seraya bertanya: "Ya Rasulullah ! Siapakah yang terbanyak ilmu diantara manusia ?". Menjawab Nabi saw: "Orang yang berakal ! ". Bertanya mereka itu lagi: "Siapakah yang terbanyak berbuat ibadah ?". Menjawab Nabi saw: "Orang yang berakal ! " Bertanya mereka itu lagi: “Siapakah yang lebih utama diantara manusia?". Menjawab Nabi saw:"Orang yang berakal! Bertanya mereka itu lagi: "Bukankah orang yang berakal itu, orang yang sempurna kepribadiannya, yang terang kelancaran lidahnya, yang murah tangannya dan tinggi kedudukannya ?". Menjawab Nabi saw: "Kalaulah benar itu semuanya, tentu tidak­lah kesenangan hidup dunia dan akhirat pada sisi Tuhanmu teruntuk bagi orang yang bertaqwa". Orang yang berakallah yang taqwa, meskipun di dunia dia hina dan rendah. Bersabda Nabi saw pada hadits lain: "Sesungguhnya yang berakal ialah orang yang beriman kepada Allah, membenarkan rasul‑rasul Allah dan berbuat amalan ta`at kepada Allah". Serupalah menurut asal bahasanya, nama "Akal” itu diuntukkan kepada gharizah/tabiat itu. Begitu juga menurut pemakaiannya. Dan sesungguhnya ditujukan kepada ilmu pengetahuan, adalah dari segi bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hasil gharizah/tabiat sebagaimana sesuatu itu dikenal dengan hasilnya.
             Maka dikatakanlah, ilmu itu ialah takut kepada Tuhan. Orang yang berilmu (alim ulama), "ialah orang yang takut kepada Allah Ta’ala. Maka takut adalah buah dari ilmu. Lalu "akal" adalah sebagai perkatan yang dipinjam, dipergunakan bagi lain dari gharizah/tabiat itu. Tetapi maksud di sini tidaklah membahas bahasa. Yang dimaksud­kan ialah bahwa bahagian yang 4 itu ada. Dan nama "akal", itu ditujukan kepada semuanya. Dan tak adalah perbedaan penda­pat tentang adanya semuanya, kecuali mengenai bahagian yang pertama (gharizah/tabiat). Yang benar, ialah adanya gharizah/tabiat itu. Bahkan dialah yang pokok. Semua ilmu pengetahuan itu seolah‑olah terkandung dalam gharizah/tabiat itu menurut fitrah (kejadian manusia). Tetapi baru lahir kealam kenyataan, apabila telah berlaku sebab yang melahirkannya kealam wujud. Sehingga seakan‑akan semua ilmu pengetahuan itu tidaklah merupakan sesuatu yang datang kepadanya dari luar. Dan seakan‑akan ilmu‑ilmu itu adalah yang tersembunyi pada fitrah, maka lahir kemudian kealam nyata. Contohnya, adalah seperti air dalam bumi, lahir dengan dikorek sumur, berkumpul dan dapat diperbedakan dengan pancaindera. Tidaklah dengan didatangkan benda baru ke dalam bumi tadi. Begitu juga minyak pada kelapa dan air mawar pada bunga mawar. Karena itu berfirman Allah Ta’ala: ”Dan ketika Tuhan kamu menjadikan turunan anak‑anak Adam dari punggungnya dan Tuhan mengambil kesaksian dari mereka sendiri, kataNya; Bukankah AKU  ini Tuhan kamu Mereka menjawab: "Ya!“ S 7 ayat 172. Yang dimaksudkan dengan itu ialah pengakuan jiwa mereka tidak pengakuan lidah. Dalam pengakuan lidah, manusia itu terbagi, menurut lidah dan orangnya kepada yang mengaku dan yang mung­kir. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: “Dan kalau engkau tanyakan kepada mereka. Siapakah yang menciptakan mereka? Sudah tentu mereka akan menjawab: "ALLAH".  S 43 ayat 87. Jika diperhatikan keadaan mereka, maka akan naik saksi­lah jiwa dan dalam mereka dengan yang demikian, sebagai fitrah kejadian, yang dijadikan Allah akan manusia dengan demikian". Artinya: seluruh anak Adam itu dijadikan menurut fitrahnya, beriman kepada Allah 'Azza wa Jalla. Bahkan segala sesuatu itu diketahuinya menurut fitrahnya. Yakni fitrah itu sebagai yang menjamin karena dekat persediaannya untuk mengetahui itu. Kemudian, tatkala adalah iman itu dipusatkan pada jiwa menurut fitrah, maka manusia itu terbagi kepada dua: orang yang berpaling dari Tuhan lalu lupa, yaitu orang‑orang kafir: dan orang yang lambat terlintas di hatinya, tetapi teringat kemudian. Maka orang yang kedua ini, adalah seperti orang yang mempunyai ijazah, maka lupa di mana diletakkannya, kemudian dia teringat. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: ”Moga‑moga mereka itu teringat". S 2 ayat 221. ”Dan supaya teringatlah orang‑orang yang berakal". S 38. ayat 29. “Dan kenangkanlah kurnia Tuhan, kepada kamu dan ingatilah janji yang telah kamu ikat dengan Dia”  S 5 ayat 7. "Dan sesungguhnya AI‑Qur‑an itu Kami mudahkan untuk diingati, tetapi adakah orang yang mengambil pelajaran”. S 54 ayat 17.
Menamakan yang semacam ini dengan peringatan, tidaklah begitu jauh untuk dipahami. Maka seakan‑akan peringatan itu dua macam semacam mengingati gambaran yang sudah ada di dalam hati, tetapi hilang sesudah ada. Dan semacam lagi mengingati gambaran yang sudah ada, terkandung dalam hati dengan fitrah. Inilah hakikat/makna kebenaran yang nyata, bagi orang yang memperhati­kan dengan nur mata hatinya (bashirahnya). Tetapi berat bagi orang yang mempergunakan saja pendengaran dan taqlid (turut/menurut) tanpa melihat dengan mata hati dan mata kepala. Dari itu anda melihat orang tersebut, terpukul dengan ayat‑ayat seperti itu dan memutar‑balikkan tentang ta'wil peringatan dan pengakuan jiwa dengan bermacam‑macam pemutar‑balikan. Dan terbayang kepadanya berbagai macam pertentangan maksud ten­tang hadits dan ayat itu. Kadang‑kadang hal, itu keras sekali sehingga dipandangnya dengan pandangan penghinaan dan timbul keyakinan kepadanya bahwa itu kekacau‑balauan. Orang yang seperti itu adalah seumpama orang buta yang masuk ke sebuah rumah. Maka tersandunglah kakinya, dengan tempat air yang tersusun rapi dalam rumah itu, Ialu ia mengatakan: 'Menga­pakah tempat‑tempat air ini tidak diangkat dari jalan tempat lalu dan dikembalikan kepada tempatnya semula?". Menjawab orang yang mendengar: "Bahwa tempat‑tempat air itu adalah di tempatnya. Hanya mata saudara sendiri yang salah dan rusak ! ". Maka begitu pulalah orang yang rusak mata hatinya berlaku seperti itu yang lebih hebat dan lebih besar akibatnya. Karena jiwa adalah laksana orang yang mengendarai kuda dan badan adalah laksana kuda. Buta yang mengendarai kuda adalah lebih membahayakan daripada buta kudanya. Karena serupanya mata bathin dengan mata dhahir/luar, maka berfir­man Allah Ta’ala: "Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya”. S 53 ayat 11. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi". S 6 ayat 75. Lawan nya melihat dinamakan buta. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tidaklah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada". S 22 ayat 46. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Barangsiapa yang buta didunia ini maka diakhirat dia buta juga dan lebih sesat jalannya". S 17 ayat 72. Segala hal inilah yang di buka kepada para Nabi. Sebahagiannya adalah dengan mata kepala dan sebahagian lagi adalah dengan mata hati. Dan semuanya itu dinamakan melihat. Kesimpulannya, orang yang tidak tembus penglihatan mata hati­nya, maka tidaklah tersangkut agama padanya, selain kulitnya dan yang seperti kulit itu. Tidak isinya dan hakikat/maknanya. Inilah bahagian‑bahagian itu, yang dipakai nama "akal" padanya.
PENJELASAN: Berlebih Kurangnya Manusia Tentang Akalnya.
Sesungguhnya berbedalah manusia tentang berlebih kurang akal­nya. Dan tak ada artinya bekerja menyalin perkataan orang‑orang yang hasilnya sedikit sekali. Akan tetapi, yang lebih utama dan yang penting, ialah bersegera menegaskan kebenaran. Kebenaran yang tegas padanya ialah dikatakan, bahwa berlebih ­kurangnya akal itu menempuh pada 4 bahagian, selain bahagian yang kedua. Yaitu Ilmu yang tidak memerlukan pemikiran tentang jaiznya barang yang jaiz (sesuatu yang boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada) dan mustahilnya (sesuatu yang tidak diterima akal terjadinya dan adanya) barang yang mustahil. Orang yang mengetahui bahwa dua adalah lebih banyak dari satu maka dia mengetahui juga mustahil adanya satu tubuh itu pada dua tempat dan adanya satu benda itu tiada berpemulaan dan baru. Begitu juga bandingan‑bandingan yang lain dan seluruh apa yang dapat, diketahui sebagai pengetahuan yang diyakini tanpa ragu‑ragu.
Adapun yang tiga bahagian lagi, maka berlakulah berlebih kurang­nya akal padanya. Dan bahagian yang keempat  yaitu: kerasnya kekuatan mencegah hawa nafsu. Maka tidaklah tersembunyi, berlebih kurangnya manu­sia padanya. Bahkan tidaklah tersembunyi berlebih‑kurangnya keadaan seseorang menghadapi hawa nafsunya. Sekali, berlebih ­kurangnya ini ada karena berlebih‑kurangnya hawa nafsu. Sebab orang yang berakal itu kadang‑kadang sanggup meninggalkan seba­hagian hawa nafsunya dan tidak sanggup terhadap sebahagian yang lain. Tetapi bukan sehingga itu saja. Seorang pemuda kadang‑ka­dang lemah dia meninggalkan zina. Dan ketika bertambah umurnya dan sempurna akalnya, maka sanggup dia meninggalkan zina itu. Ingin ria (sifat ingin memperlihatkan amal perbuatan kepada orang) dan ingin menjadi kepala, bertambah kuat dengan bertambah umur. Tidak bertambah lemah. Sebabnya, mungkin karena berle­bih kurangnya ilmu yang memperkenalkan faedah hawa nafsu ingin ria dan menjadi kepala itu. Karena itulah, seorang dokter sanggup mencegah diri dari sebahagi­an makanan yang mendatangkan melarat. Dan orang lain yang sama kedudukan akalnya, dengan dokter itu, tidak sanggup mena­hannya, apabila ia bukan dokter. Meskipun ia berkeyakinan secara umum, bahwa makanan itu mendatang kan melarat. Akan tetapi, apabila pengetahuan dokter itu lebih sempurna, maka takutnyapun lebih keras. Maka adalah takut itu tentara bagi akal dan alatnya untuk mencegah dan menghancurkan hawa nafsu. Demikian jugalah seorang alim itu lebih sanggup meninggalkan perbuatan ma'siat dari seorang bodoh. Karena kekuatan ilmu pengetahuannya dengan melaratnya perbuatan maksiat itu. Yang saya maksudkan ialah orang berilmu yang sebenar‑benarnya, bukan orang‑orang yang bersyurban besar yang pandai bermain sandiwa­ra. Kalau berlebih‑kurang itu dari segi hawa nafsu, niscaya tidak kem­bali kepada berlebih-kurangnya akal. Dan kalau dari segi ilmu, maka yang semacam ini, dari Ilmu itu kita namakan juga akal. Karena ilmu pengetahuan itu menguatkan gharizah/tabiat akal. Maka adalah berlebih kurang itu menurut nama yang diberikan. Dan kadang‑kadang berlebih‑kurang itu semata‑mata pada gharizah/tabiat akal, maka apabila gharizah/tabiat akal itu kuat, maka sudah pasti pence­gahannya terhadap hawa nafsu adalah lebih keras.
Adapun bahagian yang ketiga yaitu ilmu pengalaman, maka berle­bih-kurang manusia padanya itu tidak dapat dibantah. Karena manusia itu berlebih kurang dengan banyaknya yang betul yang dikerjakannya dan tentang cepatnya mengetahui sesuatu, adakala­nya karena berlebih‑kurang tentang gharizah/tabiat dan adakalanya menge­nai pengalaman kerja. Adapun yang pertama tadi yakni gharizah/tabiat, maka berlebih‑kurang­nya, tak ada jalan untuk membantahnya. Karena akal itu adalah seumpama nur yang terbit pada jiwa dan terangnya akan muncul. Titik pertama dari terbitnya nur tadi, ialah ketika umur tanyiz (ketika anak itu sudah dapat membedakan antara untung dan rugi).
Kemudian nur itu senantiasalah bertumbuh dan bertambah dengan pelan‑pelan yang tidak kentara. Sehingga sempurnalah dia ketika umur sudah mendekati 40 tahun. Nur tadi adalah seumpama cahaya subuh. Mula‑mula sangat ter­sembunyi, sukar diketahui. Kemudian dari sedikit ke sedikit ber­tambah, sehingga sempurnalah dengan terbit bundaran matahari. Berlebih‑kurangnya nur mata hati adalah seperti berlebih‑kurang­nya sinar mata kepala. Perbedaan itu dapat diketahui antara orang kero/juling dan orang yang berpandangan tajam. Bahkan sunnatullah ("kata orang kebanyakan‑kemauan alam) berlaku pada sekalian makhlukNya, dengan beransur‑ansur (tidak sekaligus) pada penga­daan. Sampai tabiat syahwat pun tidak timbul pada anak‑anak ketika baligh sekaligus dan dengan tiba‑tiba. Tetapi tumbuh sedikit demi sedikit, secara beransur‑ansur. Begitu pulalah segala kekuatan dan sifat. Orang yang membantah berlebih‑kurang nya manusia pada gharizah/tabiat ini, adalah seolah‑olah dia sendiri telah terlepas dari ikatan akal. Barangsiapa menyangka bahwa akal Nabi saw adalah seperti akal seseorang dari orang hitam dan orang Arab bodoh, maka orang itu lebih jahat dirinya dari siapa‑pun dari orang‑orang hitam itu. Bagaimanakah dapat memungkiri berlebih‑ kurangnya gharizah/tabiat akal itu? Kalau tidaklah berlebih‑kurang, maka tidaklah manusia itu berbeda‑beda pada pemahaman ilmu pengetahuan. Dan tidak­lah manusia itu terbagi‑bagi kepada orang bodoh yang tidak dapat memahami sesuatu selain sesudah payah guru mengajarinya. Dan kepada orang pintar yang dapat memahami dengan sedikit tunjuk dan isyarat saja. Dan kepada orang sempuma (kamil) yang timbul dari dirinya hakikat/makna segala sesuatu tanpa diajarkan, seperti firman Allah Ta’ala: "Hampir minyaknya memancarkan cahaya (sendirinya), biarpun tidak disinggung api. Cahaya berlapis cahaya“  S 24 ayat 35. Yang demikian itu adalah seperti nabi‑nabi as. Karena jelas bagi mereka dalam, dalamnya hal‑hal yang sulit tanpa belajar dan mende­ngar yang dinamakan. “ILHAM”. Hal yang seperti demikian, dijelaskan oleh Nabi saw dengan sabdanya: "Bahwa ruh suci itu mengilhami dalam hatiku: Sayangilah siapa yang engkau sayangi, sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia! Hiduplah bagaimana yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan mati! Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalasi dengan amal perbuatan itu" Cara ini dari ajaran malaikat kepada nabi‑nabi as itu, berlainan dengan wahyu yang jelas Yaitu mendengar suara dengan pancain­dera dari telinga dan melihat malaikat dengan pancaindera dari mata.
Karena itulah diterangkan dari hal ini, dengan pengilhaman ke dalam hati. Dan tingkatan wahyu itu banyak. Membicarakannya tidak layak dalam ilmu muamalah(diminta untuk mengetahuinya hendaklah diamalkan). Karena dia itu sebahagian dari mukasyafah(ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja). Janganlah disangka bahwa dengan mengenal tingkatan tingkatan wahyu itu, membawa kita kepada derajat wahyu. Karena tidak jauh perbedaannya dengan seorang dokter yang mengajari orang sakit, tingkatan‑tingkatan kesehatan dan seorang 'alim yang mengajari orang fasiq, tingkatan‑tingkatan keadilan, meskipun dia sendiri kosong dari padanya. Maka‑ilmu itu satu hal dan adanya yang diketahui itu satu hal pula. Maka tidaklah tiap orang yang mengetahui tentang kenabian dan kewalian, Ialu dia itu nabi dan wali. Dan tidak pula setiap orang yang mengenal taqwa, dan wara' sampai kepada yang sekecil‑kecil­nya, lalu dia itu seorang yang taqwa. Dan terbaginya manusia itu kepada orang yang menyadari dari dirinya sendiri dan mengerti, orang yang tidak mengerti melainkan dengan disadarkan dan diajarkan dan orang yang tak ada gunanya diajarkan dan juga disadarkan, adalah seperti terbaginya tanah: ada yang terkumpul padanya air, Ialu kuat. Maka dapat memancar­kan beberapa mata air. Ada yang memerlukan kepada penggalian supaya keluar air ke parit‑parit. Dan ada pula yang tidak berguna sama sekali digali, yaitu tanah kering, yang tidak mengandung air. Dan yang demikian itu, karena berbeda zat tanah mengenai sifat-­sifatnya. Maka seperti itu pulalah perbedaan jiwa dalam gharizah/tabiat akal. Berlebih‑kurangnya akal menurut yang dinukilkan dari agama, dibuktikan oleh riwayat bahwa Abdulah bin Salam ra bertanya kepada Nabi saw dalam suatu pembicaraan yang panjang. Di mana pada akhirnya Nabi saw menyifatkan kebesaran, 'Arasy dan para malaikat bertanya kepada Tuhan: "Hai Tuhan kami ! Adakah Engkau menjadikan sesuatu yang lebih besar dari 'Arasy ?". Maka menjawab Tuhan: "Ada, yaitu akal !".  Bertanya malaikat lagi: "Sampai di mana batas kebesarannya ?". Menjawab Tuhan. "Tidak dapat dihinggakan dengan suatu ilmu pengetahuan. Adakah bagimu pengetahuan tentang bilangan pasir. Menjawab malaikat itu: "Tidak! Maka berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya AKU menjadikan akal itu bermacam‑macam, seperti bilangan pasir. Sebahagian manusia ada yang diberikan sebiji. Sebahagian ada yang diberikan dua biji, ada yang, tiga biji dan empat biji. Diantara mereka ada yang diberikan secupak, ada yang segantang dan ada pula diantara mereka yang diberikan lebih banyak dari itu".  Jikalau anda bertanya, mengapa beberapa golongan dari kaum shufi mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal ?. Mengenai dengan celaan itu, ketahuilah bahwa sebabnya, ialah karena manusia membawa nama akal dan apa yang dipahami oleh akal itu, kepada pertengkaran dan perdebatan tentang soal‑soal yang bertentangan dan main mutlak‑mutlakan. Yaitu membuat ilmu kalam (berkata-kata). Maka kaum shufi itu tidak sanggup menetapkan dengan dalil‑dalil dari mereka sendiri bahwa anda telah bersalah memberi nama itu. Karena cara yang demikian itu tidak terhapus begitu saja dari hati kaum shufi sesudah demikian berkembang pada mulut orang banyak dan melekat pada hati. Lalu kaum shufi itu mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal. Yaitu akal yang dinamakan dengan demikian pada mereka. Adapun nur mata hati yang tersembunyi yang dengan nur itu dikenal Allah Ta’ala dan kebenaran rasul‑rasuINya, maka bagaima­nakah tergambar mencelanya ? Sedangkan Allah Ta’ala memberi pujian kepadanya ? Kalau dicela, maka apalagi sesudah itu yang dapat dipuji ?. Kalau yang dipuji itu agama, maka dengan apa diketahui kebenar­an agama itu ? Kalau diketahui dengan akal yang dicela, yang tak dapat dipercayai itu, maka adalah agama itu tercela, pula.
 Dan janganlah terpengaruh dengan orang yang mengatakan bahwa agama, itu diketahui dengan Ainul‑yaqin dan nurul‑iman, tidak dengan akal. Sesungguhnya kami maksudkan dengan akal itu, ialah apa yang dimaksudkan dengan 'ainul‑yaqin  dan nurul‑iman tadi. Yaitu sifat bathiniah yang membedakan manusia dari hewan. Sehingga manusia itu dapat mengetahui hakikat/makna segala sesuatu dengan sifat bathiniah tersebut. Kebanyakan kesalahan itu berkembang dari kebodohan orang‑orang yang mencari kebenaran dari kata‑kata saja. Maka tersalahlah mereka dalam kata‑kata itu, karena kesalahan istilah manusia pada kata‑kata itu. Sekedar ini mencukupilah mengenai penjelasan akal itu ! Wallaahu a'lam. Allah Yang Maha Tahu. 

Telah sempurnalah KITAB ILMU dengan pujian dan nikmat Allah Ta’ala. Rakhmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada tiap‑tiap hambaNya yang pilihan dari penduduk bumi dan langit, di mana akan disambung dengan KITAB QAWA'IDIL - 'AQAID  insya Allah Ta’ala. Segala pujian untuk Allah Yang Maha Esa pada Awalnya dan pada Akhirnya.