KITAB KASIH-SAYANG, RINDU, JINAK HATI DAN RIDHA
Yaitu: Kitab ke-6 dari “Rubu Yang
Melepaskan” dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah yang
membersihkan hati para waliNya dari berpaling kepada keelokan dunia dan
kekayaannya. Kemudian Ia mengikhlaskan hati mereka untuk berhenti di atas permadani
KemuliaanNya. Kemudian, ALLAH menjadi terang bagi mereka, dengan asmaNya dan
sifatNya, sehingga menjadi cemerlang dengan nur ilmu mengenal Allah Ta’alaNya.
Kemudian Ia menyingkapkan bagi mereka, dari keagungan WajahNya, sehingga
terbakar dengan api kasih sayangNya. Kemudian, ALLAH terhijab (terdinding)
daripadanya dengan hakikat/makna keagunganNya, sehingga hati para wali itu
heran dalam lapangan luas keagungan dan kebesaranNya. Maka setiap kali hati
para wali itu tergerak untuk memperhatikan hakikat/makna keagungan, niscaya
diliputi dari kedahsyatan, oleh yang berlumuran debu pada wajah akal dan mata
hatinya. Dan setiap kali hati para wali itu bercita-cita dengan berpaling dalam
keadaan putus asa, niscaya datang panggilan dari kemah keelokan: “Sabar, hai
yang berputus asa dari pada mencapai Al-Haqq (Maha Benar), disebabkan kebodohan dan kesegeraannya!”.
Maka teruslah hati para wali itu diantara menolak dan menerima, menahan dan
sampai, tenggelam dalam lautan ilmu mengenal Allah Ta’alaNya dan terbakar
dengan api kasih-sayangNya. Shalawat kepada Muhammad, kesudahan nabi-nabi
dengan sempurna kenabiannya. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya, penghulu
manusia dan imam-imamnya, panglima kebenaran dan yang menggenggamkannya.
Anugerahilah kesejahteraan yang banyak !
Adapun kemudian, maka
sesungguhnya kasih-sayang (mencintai) akan Allah, adalah tujuan yang paling
jauh dari maqam-maqam yang ingin dicapai dan ketinggian yang tertinggi dari
derajat-derajat. Tidak ada sesudah memperoleh kasih-sayang, suatu maqampun
lagi, selain dari buah dari buah-buahannya dan ikutan dari
pengikut-pengikutnya. Seperti: rindu, jinak hati, ridha dan sifat-sifat lain
yang searah dengan itu. Dan tidak ada suatu maqampun sebelum kasih-sayang itu,
selain adalah menjadi pendahuluan dari pendahuluan-pendahuluannya. Seperti:
taubat, sabar, zuhud dll. Maqam-maqam yang lain, jikalau sukar adanya, maka
tidaklah kosong hati dari iman dengan kemungkinannya.
Adapun mencintai Allah
Ta’ala, maka sulitlah keimanan dengan mencintai itu. Sehingga sebahagian ulama
memungkiri kemungkinannya. Dan mengatakan: tak ada makna baginya, selain rajin
mengerjakan taat kepada Allah Ta’ala. Adapun hakikat/makna kasih-sayang
(mencintai) maka itu mustahil, selain bersama sejenis dan secontoh. Manakala
mereka menentang (memungkiri) akan kasih-sayang, niscaya mereka memungkiri akan
kejinakan hati dan kerinduan, kelezatan munajah(membisikkan segala isi hati)
dan hal-hal lain yang harus bagi kasih-sayang dan yang mengikutinya. Dan tak
boleh tidak, daripada menyingkapkan tutup dari persoalan ini. Kami akan
menyebutkan dalam kitab ini, penjelasan dalil-dalil Syara’ (agama) mengenai
kasih-sayang.
Penjelasan dalil-dalil syara’ (agama)
tentang kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian. penjelasan: hakikat/makna kasih-sayang dan
sebab-sebabnya dan pemastian makna kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan bahwa tiada yang
berhak untuk dicintai, selain Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan bahwa kelezatan
yang terbesar, ialah: kelezatan memandang Wajah Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan sebab kelebihan
kelezatan memandang di akhirat, atas ilmu mengenal Allah Ta’ala di dunia.
Kemudian, penjelasan sebab-sebab yang
menguatkan kecintaan kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan sebab pada
berlebih-kurangnya manusia tentang kecintaan.
Kemudian, penjelasan sebab tentang
singkatnya pemahaman dari hal ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan makna rindu.
Kemudian, penjelasan kecintaan Allah
Ta’ala kepada hamba.
Kemudian, pembicaraan mengenai
tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan makna kejinakan
hati dengan Allah Ta’ala.
Kemudian penjelasan makna menghampar
tentang kejinakan hati.
Kemudian, pembicaraan tentang makna
ridha dan penjelasan keutamaannya.
Kemudian, penjelasan hakikat/makna
ridha.
Kemudian, penjelasan, bahwa doa &
kebencian kepada perbuatan-perbuatan maksiat itu tiada berlawanan. Demikian
juga, lari dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Kemudian, penjelasan cerita-cerita dan
ucapan-ucapan yang bercerai-berai bagi orang-orang yang mencintaiNya. Inilah
semua penjelasan bagi kitab ini.
PENJELASAN: dalil-dalil syara’ (agama) tentang kecintaan hamba
kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah, bahwa umat itu sepakat,
bahwa mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya saw itu wajib. Dan bagaimana
diwajibkan apa yang tidak ada wujudnya ?
bagaimana ditafsirkan kecintaan dengan taat dan taat itu mengikuti kecintaan
dan buahnya ? maka tidak boleh tidak, didahulukan penjelasan tentang kecintaan
itu. Kemudian, sesudah itu manusia akan mentaati siapa yang dicintainya.
Ditunjukkan kepada adanya kecintaan kepada Allah Ta’ala, oleh firmanNya ‘Azza
Wa Jalla: “ALLAH mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah
ayat 54. Dan firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang beriman itu sangat cinta
kepada Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 165. Itu menunjukkan (dalil) atas adanya
kecintaan dan adanya berlebih-kurang pada kecintaan itu. Rasulullah saw
menjadikan kecintaan kepada Allah termasuk sebahagian dari syarat iman, pada banyak hadits.
Karena Abu Razin
Al-‘Uqaili bertanya: “Ya Rasulullah ! apakah iman itu ?”. Rasulullah saw
menjawab: “Bahwa adalah Allah dan RasulNya lebih kamu cintai dari yang lain”.
Tersebut pada hadits yang lain: “Tiada beriman seorang kamu, sebelum adanya
Allah dan RasulNya itu lebih dicintainya dari yang lain”. Tersebut pada hadits
yang lain: “Tiada beriman seorang hamba, sebelum adalah aku lebih dicintainya
dari isterinya, hartanya dan manusia semuanya”. Pada suatu riwayat: “Dan dari
dirinya sendiri”. Bagaimana ? dan Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: kalau
bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum
keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung
rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai; kalau semua itu kamu cintai lebih dari
Allah dan RasulNya dan dari berjuang di jalan Allah, tunggulah sampai Allah
mendatangkan perintahNya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang
fasik”. S 9 At Taubah ayat 24. Sesungguhnya Allah memperlakukan yang demikian,
dalam pembentangan memberi takut dan penantangan. Dan Rasulullah saw menyuruh dengan
mencintai, dengan sabdanya: “Cintailah Allah, karena ALLAH memberi makan kamu
dari ni’mat ! dan cintailah aku, karena Allah mencintai aku !”.
Diriwayatkan, bahwa
seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah ! bahwa aku mencintaimu”. Beliau lalu
menjawab: “Bersedialah untuk miskin !”. Orang itu lalu mengatakan lagi: “Bahwa
aku mencintai Allah Ta’ala”. Maka Nabi saw menjawab: “Bersedialah untuk
menghadapi percobaan !”. Diriwayatkan dari Umar ra yang mengatakan: “Nabi saw
memandang kepada Mash’ab bin Umair, dengan menghadap kepadanya. Dan pada
Mash’ab ada kulit kibasy, yang telah dibuatnya seperti ikat pinggang. Nabi saw
lalu bersabda: “Lihatlah kepada laki-laki ini, yang telah dicurahkan cahaya
oleh Allah ke dalam hatinya. Aku telah melihatnya diantara ibu-bapaknya, yang
memberikannya makanan dengan makanan dan minuman yang lebih baik. Maka ia
dipanggil oleh kecintaan kepada Allah dan RasulNya, kepada apa yang kamu
melihatnya”.
Pada hadits masyhur,
tersebut, bahwa nabi Ibrahim as mengatakan kepada Malakul-maut, ketika datang
kepadanya untuk mengambil nyawanya: “Adakah engkau melihat Yang Dicintai
(Allah) mematikan yang dicintaiNya (Ibrahim) ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada nabi Ibrahim as: “Adakah engkau melihat Yang Mencintai itu tidak
suka akan bertemu dengan yang dicintaiNya ?”. Maka nabi Ibrahim as berkata:
“Hai Malakul-maut ! sekarang maka ambillah nyawa itu !”. Ini tidak akan
diperoleh, selain oleh hamba yang mencintai Allah dengan seluruh hatinya. Maka
apabila ia mengetahui bahwa mati itu adalah sebab bertemu (dengan Allah),
niscaya tergeraklah hatinya kepadaNya. Dan tak ada baginya yang dicintai,
selain daripada ALLAH. Sehingga ia berpaling kepada yang lain itu.
Nabi kita saw membaca
dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku mencintai Engkau,
mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai apa yang mendekatkan aku
kepada mencintai Engkau ! jadikanlah kecintaan kepada Engkau itu yang lebih aku
cintai dari air dingin !”.
Seorang Arab desa datang
kepada Nabi saw, seraya bertanya: “Ya Rasulullah ! kapan kiamat ?”. Nabi saw
menjawab: “Apa yang telah engkau sediakan bagi kiamat itu ?”. Arab desa itu
menjawab: “Tiada aku sediakan untuk kiamat itu, banyaknya shalat dan puasa.
Hanya, aku mencintai Allah dan RasulNya”. Lalu Rasulullah saw bersabda:
“Manusia itu bersama orang yang dicintainya”. Anas berkata: “Tidaklah aku
melihat kaum muslimin yang bergembira dengan sesuatu sesudah Islam, sebagaimana
gembiranya mereka dengan hadits di atas ini”.
Abubakar Siddik ra
berkata: “Barangsiapa merasa dari murninya kecintaan kepada Allah Ta’ala,
niscaya yang demikian itu menyibukkannya daripada mencari dunia dan mengliarkan
hatinya dari semua manusia”. Al-Hasan Al-Bashari berkata: ‘Barangsiapa mengenal Tuhannya,
niscaya ia mencintaiNya dan barangsiapa mengenal dunia, niscaya ia zuhud pada
dunia. Orang mu’min itu tidak bermain-main, sehingga ia lalai. Maka apabila ia
bertafakkur, niscaya ia gundah hati”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata:
“Sesungguhnya dari makhluk Allah itu ada makhluk, yang tidak disibukkan mereka
oleh sorga dan apa yang ada di dalam sorga dari bermacam nikmat. Maka bagaimana
mereka menjadi sibuk dengan dunia ?”.
Diriwayatkan, bahwa Isa as
lalu pada 3 orang, yang telah kurus badannya dan berobah warna mukanya. Ia lalu
bertanya kepada orang 3 itu: “Apakah yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku
lihat ?”. Mereka itu menjawab: “Takut dari neraka”. Nabi Isa as lalu berkata:
“Menjadi hak atas Allah bahwa mengamankan orang yang takut”. Kemudian, Nabi Isa
as melewati mereka yang 3 tadi, kepada 3 yang lain. Tiba-tiba dijumpainya
mereka lebih sangat kurus dan berobah warna mukanya. Lalu ia bertanya: “Apakah
yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku lihat ?”. Mereka itu menjawab: “Rindu kepada sorga”. Isa as lalu menjawab:
“Menjadi hak atas Allah, bahwa memberikan kepada kamu, apa yang kamu harapkan”.
Kemudian, nabi Isa as melewati mereka yang 3 ini, kepada 3 yang lain. Tiba-tiba
dijumpainya mereka itu, lebih lagi kurus dan berobah warna mukanya. Seakan-akan
pada muka mereka, menampak nur (cahaya). Lalu Nabi Isa as bertanya: “Apakah
yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku lihat ?”. Mereka menjawab: “Kami
mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla”. Nabi Isa as lalu berkata: “Kamu orang
muqarrabin ! kamu orang muqarrabin ! kamu orang muqarrabin (orang yang dekat
dengan Allah) !”.
Abdul-wahid bin Zaid
berkata: “Aku lalu dekat orang yang
berdiri pada salju (es di musim dingin). Lalu aku bertanya: “Apakah
engkau tidak merasa dingin ?”. Orang itu menjawab: “Siapa yang disibukkan oleh
kecintaan kepada Allah, niscaya ia tidak merasa dingin”. Dari Sirri As-Saqathi,
yang mengatakan: “Segala umat pada hari kiamat dipanggil dengan nabi-nabinya.
Maka dikatakan: “Hai umat Musa ! hai umat Isa ! hai umat Muhammad ! yang tidak
mencintai Allah Ta’ala. Mereka dipanggil: “Hai wali-wali Allah ! marilah kepada
Allah Yang Maha Suci ! hampirlah hati mereka itu tercabut karena gembira”.
Haram bin Hayyan berkata:
“Orang mu’min, apabila mengenal Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, niscaya mencintaiNya.
Apabila mencintaiNya, niscaya menghadap kepadaNya. Apabila mendapat kemanisan
menghadap kepadaNya, niscaya ia tidak memandang kepada dunia, dengan mata nafsu
syahwat. Dan tidak ia memandang kepada akhirat dengan mata lesu. Kemanisan
menghadap itu menyusahkannya di dunia dan menyenangkannya di akhirat”. Yahya
bin Ma’adz berkata: “Kemaafannya menghabiskan dosa, maka bagaimana
keridhaannya? keridhaannya menghabiskan angan-angan, maka bagaimana
kecintaannya? Kecintaannya mendahsyatkan akal, maka bagaimana kasih-sayangnya ?
kasih-sayangnya melupakan yang kurang dari itu, maka bagaimana
kelemah-lembutannya ?”. Terdapat pada sebahagian kitab-kitab yang diturunkan
kepada rasul-rasul: “Hai hambaKu ! hak engkau bagi engkau itu mencintai. Maka
dengan hakKu kepada engkau, adalah engkau mencintai Aku !”. Yahya bin Ma’adz
berkata: “Seberat biji sawi dari kecintaan itu lebih aku sukai dari ibadah 70
tahun, tanpa kecintaan”. Yahya bin Ma’adz berkata lagi: “Hai Tuhanku ! bahwa
aku menetap di halaman Engkau, sibuk dengan pujian yang kecil kepada Engkau.
Engkau ambil aku kepada Engkau. Engkau pakaikan aku pakaian dengan ilmu
mengenal Allah Ta’ala kepada Engkau. Engkau mungkinkan aku dari
kelemah-lembutan Engkau. Engkau pindahkan aku dalam segala hal. Engkau
balik-balikkan aku dalam segala amal perbuatan dengan tertutup, taubat, zuhud,
rindu, ridha dan kecintaan. Engkau berikan aku minum dari kolam Engkau, Engkau
biarkan aku dalam kebun Engkau, yang mengikuti perintah Engkau, yang tergantung
oleh kasih-sayang dengan firman Engkau dan bagi apa yang telah keluarlah
kumisku dan telah tampaklah keberuntunganku. Maka bagaimana aku berpaling pada
hari ini dari Engkau dalam keadaan besar dan telah Engkau sediakan ini dari
Engkau dalam keadaan kecil ? Maka bagiku, tiada tinggal lagi di keliling
Engkau, gerakan yang tersembunyi. Dan dengan tunduk kepada Engkau, tiada
tinggal lagi suara yang tiada terang. Karena aku itu mencintai. Setiap yang
mencintai itu tergantung dengan kasih-sayang kepada kecintaannya. Dan terpaling
dari bukan kecintaannya.
Telah datang hadits-hadits
dan atsar-atsar mengenai kecintaan kepada Allah Ta’ala, yang tidak masuk dalam
hinggaan orang yang menghinggakan. Dan yang demikian itu hal yang jelas. Yang kabur ialah pada memastikan maknanya. Maka
hendaklah kita menggunakan tenaga dengan yang demikian !
PENJELASAN: hakikat/makna kasih-sayang dan sebab-sebabnya dan
pemastian makna kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang dicari
dari pasal ini, tidak akan tersingkap, selain dengan mengetahui hakikat/makna
kecintaan, tentang dirinya kecintaan itu. Kemudian, mengetahui syarat-syaratnya
dan sebab-sebabnya. Kemudian, sesudah itu memperhatikan pada pemastian maknanya
terhadap Allah Ta’ala. Maka yang pertama, yang seyogyanya bahwa dipastikan,
ialah tidak akan tergambar kecintaan, selain sesudah ilmu mengenal Allah Ta’ala
(dikenali) dan indra (diketahui). Karena manusia itu tidak mencintai, selain
apa yang dikenalnya. Dan karena demikianlah, tiada akan tergambar, bahwa barang
beku bersifat dengan kecintaan. Akan tetapi, kecintaan itu termasuk khasiat
(sifat khas) bagi yang hidup, yang mengetahui. Kemudian hal-hal yang diketahui
itu dalam pembahagian nya, terbagi kepada: yang bersesuaian dengan tabiat yang
mengetahui, yang cocok dan yang enak baginya. Kepada yang berketiadaan, yang
berjauhan dan yang menyakitinya. Dan kepada yang tidak membekaskan padanya
dengan menyakitkan dan melezatkan. Maka setiap apa yang ada pada yang
diketahuinya itu kelezatan dan kesenangan, niscaya itu dicintai oleh yang
mengetahui. Dan apa yang ada pada yang diketahuinya itu kepedihan, maka itu
dibenci oleh yang mengetahui. Dan yang terlepas dari akibat kepedihan dan
kelezatan, maka tidak disifatkan dengan keadaannya itu dicintai dan tidak
disukai. Jadi, setiap yang enak itu dicintai, pada orang yang menerima
keenakannya. Makna keadaannya itu dicintai, bahwa pada tabiat itu cenderung
kepadanya. Dan makna keadaannya itu dibenci, bahwa pada tabiat itu lari daripadanya.
Maka cinta itu ibarat dari kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang melezatkan.
Jikalau kecenderungan itu kokoh dan kuat, niscaya dinamakan: asyik (bergantung
hati kepadanya). Dan benci itu ibarat dari larinya tabiat dari yang memedihkan,
yang memayahkan. Apabila benci telah kuat, niscaya dinamakan: sangat benci
(maqtan). Inilah asal-usul tentang hakikat/makna cinta, yang tidak boleh tidak daripada
mengenalinya. Asal-usul kedua, ialah: bahwa cinta tatkala adanya itu pengikut
bagi pancaindra dan ilmu mengenal Allah Ta’ala, niscaya tidak mustahil akan terbagi
menurut pembagian yang diindrakan. Setiap panca-indra mempunyai indra (yg
diketahui), bagi semacam dari yang di-indrak-kan(diketahui dengan pancaindra).
Bagi setiap suatu daripadanya, mempunyai kelezatan pada sebahagian yang di-indra-kan
(diketahui dengan pancaindra). Dan bagi tabiat dengan sebab kelezatan yang
demikian, mempunyai kecenderungan kepadanya. Maka adalah semua yang diketahui
dengan pancaindra.itu menjadi dicintai kepada tabiat yang sehat. Maka kelezatan
mata itu pada melihat, mengetahui segala yang dilihat, yang cantik dan semua
bentuk yang manis, yang bagus, yang melezatkan.
Kelezatan telinga itu pada
bunyi-bunyian yang merdu, yang tertimbang tinggi rendahnya.
Kelezatan ciuman itu pada bau-bauan
yang harum.
Kelezatan rasa itu pada
makanan-makanan.
Dan kelezatan sentuhan itu pada yang
lembut dan licin. Tatkala adalah yang diketahui dengan pancaindra dengan
panca-indra itu melezatkan, niscaya adalah dia itu dicintai. Artinya: adalah
kecenderungan bagi tabiat yang sehat kepadanya. Sehingga Rasulullah saw
bersabda: “Menjadi kecintaan bagiku dari duniamu 3 perkara, yaitu: bau-bauan, wanita dan dijadikan cahaya mataku pada shalat”.
Dinamakan bau-bauan itu: dicintai. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa tak ada
bahagian bagi mata dan pendengaran pada bau-bauan itu. Akan tetapi, bagi ciuman
saja. Dan dinamakan wanita itu: dicintai dan tak ada bahagian pada wanita itu,
selain bagi penglihatan dan sentuhan. Tidak ciuman, rasa dan dengar. Dinamakan
shalat itu cahaya mata dan dijadikannya yang paling dicintai. Dan sebagaimana
dimaklumi, bahwa tidaklah panca-indra itu mendapat keberuntungan dengan shalat,
akan tetapi panca-indra yang ke-6, yang tempat sangkaannya itu hati, yang tidak
diketahui, selain oleh orang yang mempunyai hati. Kelezatan panca-indra yang 5
itu berkongsi padanya binatang dengan manusia. Maka jikalau adalah cinta itu
terbatas kepada yang diketahui dengan pancaindra dengan panca-indra yang 5,
sehingga dikatakan, bahwa Allah Ta’ala itu tidak berindra dengan panca-indra
dan tidak bercontoh pada khayalan, maka Allah tidak mencintai. Jadi, batallah
khasiat (sifat khusus) manusia dan apa yang berbedanya manusia, dari
panca-indra yang ke-6, yang diibaratkan daripadanya, adakalanya: dengan akal
atau nur atau hati atau dengan apa yang engkau kehendaki dari ibarat-ibarat
yang lain, maka tidaklah bersempit-sempit padanya. Dan amat jauhlah dari yang
demikian ! Penglihatan mata hati yang batiniyah itu lebih kuat dari penglihatan
zahiriyah. Hati itu lebih kuat indranya dari mata. Keelokan
pengertian-pengertian yang di-indra-kan dengan akal itu lebih besar dari
keelokan bentuk-bentuk zahir bagi penglihatan. Maka tidak mustahil adalah
kelezatan hati dengan apa yang di-indra-kannya dari hal-hal yang mulia, yang
bersifat ketuhanan, yang sukar di-indra-kannya dari hal-hal yang mulia, yang
bersifat ketuhanan, yang sukar di-indra-kan oleh panca-indra itu lebih sempurna
dan lebih bersangatan. Maka adalah kecenderungan tabiat yang sejahtera dan akal
yang sehat kepadanya itu lebih kuat. Tak ada arti bagi cinta, selain
kecenderungan kepada apa, yang pada indra nya itu kelezatan. Sebagaimana akan
datang uraiannya. Jadi, tidaklah dimungkiri akan kecintaan Allah Ta’ala, selain
orang yang telah duduk bersimpuh padanya, keteledoran dalam derajat binatang.
Maka ia tidak dapat melampaui sekali-kali indra panca-indra.
Asal-usul ketiga, bahwa
manusia itu tidak tersembunyi lagi bahwa mencintai diri sendiri. Dan tidak
tersembunyi pula, bahwa manusia itu kadang-kadang mencintai orang lain, karena
dirinya sendiri. Adakah tergambar, bahwa manusia mencintai orang lain, karena
diri orang lain itu, tidak karena dirinya sendiri ? Ini termasuk hal yang
kadang-kadang sukar atas orang-orang yang lemah. Sehingga mereka itu menyangka,
bahwa tidak tergambar, yang manusia itu mencintai orang lain, karena diri orang
lain itu, selama tidak kembali dari orang lain itu keuntungan kepada yang
mencintai, selain mengetahui dirinya. Yang benar, bahwa yang demikian itu
tergambar dan ada. Maka marilah kami terangkan sebab-sebab cinta dan
bahagian-bahagiannya:
Penjelasannya, bahwa
kecintaan yang pertama pada setiap yang hidup itu dirinya dan zatnya sendiri.
Makna cintanya kepada dirinya, ialah: bahwa pada tabiatnya itu cenderung kepada
kekekalan terus adanya, lari dari tiadanya dan binasanya. Karena yang dicintai
dengan tabiat itu, ialah yang bersesuaian bagi yang mencintai. Manakah sesuatu
yang lebih sempurna kesesuaian, dari dirinya dan kekekalan terus adanya ?
manakah sesuatu yang lebih besar berlawanan dan kelarian baginya, dari tidak
adanya dan kebinasaannya ? Maka karena itulah, manusia mencintai kekekalan
terus ada dan tidak menyukai mati dan terbunuh. Tidak karena semata-mata apa
yang ditakutinya sesudah mati dan tidak karena semata-mata takut dari
sakaratul-maut. Akan tetapi, jikalau ia disambar, tanpa ada kesakitan dan
dimatikan tanpa pahala dan siksa, niscaya ia tidak ridha dengan yang demikian.
Dan adalah ia tidak menyukai bagi yang demikian. Ia tidak menyukai mati dan
ketiadaan semata-mata, selain karena penderitaan kepedihan dalam hidup.
Manakala ia kena percobaan dengan suatu percobaan, maka yang dicintainya, ialah
hilangnya percobaan itu. Maka jikalau ia mencintai tidak ada, niscaya ia tidak
mencintainya, karena itu tidak ada. Akan tetapi, karena padanya hilang
percobaan. Maka binasa dan tidak ada itu dibencikan. Dan kekekalan terus ada
itu dicintakan. Sebagaimana kekekalan terus ada itu dicintakan, maka
kesempurnaan ada itu juga dicintakan. Karena yang kurang itu meniadakan
kesempurnaan. Dan kekurangan itu tidak ada, dikaitkan kepada kadar yang hilang
(yang tiada diperoleh). Dan itu kebinasaan, dengan dibandingkan kepadanya.
Binasa dan tidak ada itu dibencikan pada sifat-sifat dan kesempurnaan ada
(wujud). Sebagaimana dia itu dibencikan pada pokok zatnya sendiri. Adanya
sifat-sifat kesempurnaan itu dicintakan, sebagaimana kekekalan pokok adanya itu
dicintakan. Ini adalah tabiat akalpada tabiat-tabiat, dengan hukum sunnah Allah
Ta’ala: “Dan tiada akan engkau dapati sunnah Allah itu digantikan”. S 33 Al
Ahzab ayat 62. Jadi, yang dicintakan yang pertama oleh manusia, ialah zat
dirinya. Kemudian, keselamatan anggota-anggota badannya. Kemudian hartanya,
anaknya, kaum keluarganya dan teman-temannya. Anggota-anggota badan itu
dicintai dan keselamatannya dicari. Karena kesempurnaan wujud dan kekekalan
wujud itu terletak padanya. Harta itu dicintai. Karena dia juga alat pada
kekekalan wujud dan kesempurnaannya. Demikian juga sebab-sebab yang lain.
Manusia mencintai segala hal ini, tidak karena bendanya. Akan tetapi, karena
keterikatan keberuntungannya pada kekekalan terus ada dan kesempurnaannya
dengan hal-hal tersebut. Sehingga manusia itu mencintai anaknya, walaupun ia
tiada memperoleh keberuntungan daripadanya. Bahkan ia menanggung kesukaran
lantaran anak itu. Karena anak itu akan menggantikannya pada adanya, sesudah
tidak adanya. Maka ada pada kekekalan keturunannya itu, semacam kekekalan
baginya. Maka karena kesangatan cintanya untuk kekekalan dirinya, ia mencintai
kekekalan orang yang berdiri pada tempat kediriannya (yang mengganti kannya).
Dan seakan-akan orang yang menggantikannya itu sebahagian daripadanya. Karena
ia lemah daripada mengharap pada kekekalan dirinya untuk selama-lamanya. Ya,
jikalau disuruh pilih antara ia dibunuh atau anaknya dan tabiatnya masih dalam
keadaan yang betul, niscaya ia memilih kekekalan dirinya di atas kekekalan
anaknya. Karena kekekalan anaknya itu menyerupai kekekalannya dari suatu segi.
Dan tidaklah kekekalan anaknya itu kekekalannya yang sebenarnya. Seperti yang
demikian juga, kecintaannya kepada kaum kerabatnya dan familinya itu kembali
kepada kecintaannya, bagi kesempurnaan dirinya sendiri. Ia melihat dirinya akan
banyak dengan mereka, menjadi kuat dengan sebab mereka, bertambah elok dengan
kesempurnaan mereka. Bahwa famili, harta dan sebab-sebab yang di luar dirinya,
adalah seperti sayap yang menyempurnakan bagi manusia. Kesempurnaan wujud dan
kekekalannya itu sudah pasti dicintai dengan tabiat. Jadi, kecintaan yang
pertama pada setiap yang hidup, ialah dirinya, kesempurnaan dirinya dan
kekekalan itu semuanya. Yang tidak disukainya, ialah lawan yang demikian.
Inilah permulaan dari sebab-sebab itu !
Sebab kedua: berbuat baik
kepada orang (al-ihsan). Bahwa manusia itu adalah budak perbuatan baik. Telah
menjadi tabiat manusia mencintai orang yang berbuat perbuatan baik kepadanya dan benci kepada orang yang berbuat
jahat kepadanya. Rasulullah saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku! jangan Engkau
jadikan bagi orang jahat mempunyai tangan (berpengaruh) atasku, maka ia
dicintai oleh hatiku”, sebagai isyarat, bahwa kecintaan hati bagi orang yang
berbuat baik itu suatu keharusan, yang tidak sanggup menolaknya. Yaitu suatu
tabiat dan fitrah (kejadian) manusia, yang tiada jalan kepada mengobah kannya.
Dengan sebab ini, kadang-kadang manusia mencintai orang asing, yang tiada tali
kefamilian dan hubungan diantaranya dan orang asing tersebut. Dan ini, apabila
telah pasti, maka kembali kepada sebab yang pertama itu. Bahwa orang yang
berbuat perbuatan baik itu, ialah orang yang menolong dengan harta, bantuan dan
sebab-sebab yang lain, yang menyampaikan kepada kekekalan terus adanya,
kesempurnaan adanya dan keberhasilan keuntungan-keuntungan, yang dengan
keberuntungan-keberuntungan itu, tersedialah wujudnya. Hanya, bahwa perbedaan,
ialah: anggota-anggota tubuh manusia itu dicintakan, karena dengan dia terdapat
kesempurnaan wujudnya. Dan itu adalah kesempurnaan itu sendiri yang dicari.
Adapun orang yang berbuat perbuatan baik (al-muhsin), maka tidaklah dia itu
diri kesempurnaan yang dicari. Akan tetapi, kadang-kadang adalah sebab bagi
kesempurnaan. Seperti tabib (dokter) yang menjadi sebab pada kekekalan sehatnya
anggota-anggota badan. Maka diperbedakan diantara cinta kepada kesehatan dan
cinta kepada tabib, yang menjadi sebab kesehatan. Karena kesehatan itu dicari
bagi diri kesehatan itu. Dan tabib dicintai, tidak karena dirinya, akan tetapi,
karena dia menjadi sebab bagi kesehatan. Seperti demikian juga, ilmu itu
dicintai. Guru itu dicintai. Akan tetapi, ilmu itu dicintai bagi diri ilmu itu
sendiri. Dan guru dicintai, karena adanya guru itu menjadi sebab bagi ilmu yang
dicintai. Begitupula makanan dan minuman itu dicintai dan uang dinar (emas) itu
dicintai. Akan tetapi, makanan itu dicintai bagi diri makanan itu. Dan uang
dinar (emas) itu dicintai, karena dia menjadi perantara (wasilah) kepada
makanan. Jadi, kembalilah perbedaannya, kepada berlebih-kurangnya tingkat.
Jikalau tidak, maka setiap satu itu kembali kepada kecintaan manusia akan
dirinya. Maka setiap orang yang mencintai orang yang berbuat baik (al-muhsin)
karena perbuatan baiknya, niscaya tidaklah ia mencintai diri orang itu pada
hakikat/maknanya. Akan tetapi, ia mencintai akan perbuatan baiknya. Yaitu:
suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya. Jikalau hilang (tidak ada lagi),
niscaya hilanglah kecintaan itu, serta diri orang itu masih ada pada yang
sebenarnya. Jikalau berkurang perbuatan baik itu, niscaya berkuranglah
kecintaan. Dan jikalau bertambah, niscaya bertambahlah kecintaan. Berjalan
kepadanya bertambah dan berkurang, menurut bertambah dan berkurangnya perbuatan
baik.
Sebab ketiga: bahwa
mencintai sesuatu itu, karena diri sesuatu itu sendiri. Tidak karena keuntungan
yang diperoleh daripadanya, di sebalik diri sesuatu itu sendiri. Akan tetapi,
adalah dirinya itu menjadi keuntungan itu. Dan itulah kecintaan yang hakiki,
yang sampai kepada yang dimaksud, yang dipercayakan dengan kekekalannya. Yang
demikian itu, sepeti cinta kepada kecantikan dan kebagusan. Bahwa setiap
kecantikan itu dicintai pada orang yang mengetahui akan kecantikan. Dan itu
adalah karena kecintaan itu sendiri. Karena mengetahui akan kecantikan, maka
padanya itu kelezatan sendiri, yang dicintai karena dirinya benda itu. Bukan
karena lainnya. Anda jangan menyangka, bahwa mencintai rupa yang cantik itu
tidak tergambar, selain karena mengambil nafsu syahwat. Bahwa memenuhi nafsu
syahwat itu suatu kelezatan yang lain, yang kadang-kadang rupa yang cantik itu
dicintai, karena rupa yang cantik itu sendiri. Mengetahui kecantikan itu juga
suatu kelezatan. Maka bolehlah bahwa kecantikan itu dicintai karena kecantikan
itu sendiri. Bagaimana memungkiri yang demikian, sedang sayuran dan air
mengalir itu disukai ? tidak, karena air itu diminum dan sayur yang hijau itu
dimakan. Atau diperoleh daripadanya keuntungan, selain melihat itu sendiri.
Adalah Rasulullah saw itu menakjubkannya oleh sayuran dan air yang mengalir.
Tabiat yang sehat itu terpenuhi, dengan kelezatan memandang kepada cahaya,
bunga-bungaan, burung-burung yang manis warnanya, ukiran yang bagus, yang
bersesuaian bentuknya. Sehingga manusia itu menjadi lega dari kegundahan dan
kesusahan dengan memandang kepadanya. Tidak karena mencari keuntungan, dibalik
memandangnya itu. Maka inilah sebab-sebab yang melezatkan. Dan setiap yang
melezatkan itu disukai. Setiap kebagusan dan kecantikan, maka tidaklah terlepas
mengetahuinya dari kelezatan. Dan tidak seorangpun memungkiri akan keadaan
kecantikan itu disukai menurut tabiat manusia. Kalau sudah tetap, bahwa Allah
Ta’ala elok, niscaya sudah pasti Dia itu dicintai oleh orang yang tersingkap
baginya keelokan dan keagunganNya, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Bahwa
Allah itu elok, yang mencintai keelokan”.
Pokok keempat tentang
penjelasan makna bagus dan elok. Ketahuilah, bahwa yang terpenjara dalam
khayalan dan perasaan yang sempit, kadang-kadang disangka, bahwa yang demikian
itu tiada arti bagi kebagusan dan keelokan, selain oleh kesesuaian kejadian dan
bentuk, kebagusan warna, keadaan putih yang bercampur dengan kemerahan, tegak
semampai dan yang lain-lain, daripada yang disifatkan dari kecantikan seseorang
insan. Bahwa kebagusan yang mengerasi atas makhluk itu, ialah kebagusan
penglihatan dan kebanyakan penolehan mereka kepada bentuk orang-orang. Lalu
disangka, bahwa apa yang tidak dilihat, tidak dikhayalkan, tidak berbentuk dan
tidak berwarna itu suatu yang ditakdirkan (diumpamakan). Maka tidak
tergambarlah kebagusannya. Dan apabila tiada tergambar kebagusannya, niscaya
tidaklah pada indranya itu kelezatan. Lalu tidaklah ia dicintai. Ini suatu
kesalahan yang terang. Bahwa kebagusan itu tidaklah terbatas kepada yang diindrakan
oleh penglihatan dan oleh kesesuaian kejadian dan kecampuran putih dengan
kemerahan. Bahwa kita mengatakan: ini tulisan bagus, ini suara bagus dan ini
kuda bagus. Bahkan kita mengatakan: ini kain bagus, ini bejana (tempat air)
bagus. Maka manakah makna bagi kebagusan suara, tulisan dan yang lain-lain,
jikalau tidaklah kebagusan itu, selain pada rupa ? dan sebagai dimaklumi, bahwa
mata itu merasa lezat dengan memandang kepada tulisan bagus. Dan telinga merasa
merasa enak, mendengar bunyi-bunyian yang bagus, lagi merdu. Tiada suatupun
dari hal-hal yang diindrakan, selain dia itu terbagi kepada: bagus dan buruk.
Maka apakah arti bagus yang berkongsi padanya hal-hal tersebut ? maka tidak
boleh tidak daripada dibahas. Dan pembahasan itu akan panjang dan tidak layak dengan
ilmu mu’amalah (jual beli) itu berpanjang-panjangan padanya. Maka kami tegaskan
dengan sebenarnya dan kami mengatakan: bahwa setiap sesuatu, keeolokan dan
kebagusannya itu pada adanya kesempurnaan yang layak, yang mungkin baginya.
Apabila adalah semua kesempurnaannya yang mungkin itu terwujud, maka dia itu
pada penghabisan keelokan. Dan kalau yang terwujud itu sebahagian, maka baginya
dari kebagusan dan keelokan itu menurut kadar yang terwujud saja. Kuda yang
bagus, ialah yang mengumpulkan setiap yang layak dengan kuda, dari keadaan dan
bentuk, warna, kebagusan berlari, mudah menyerbu dan berlarian padanya. Tulisan
yang bagus, ialah setiap apa yang mengumpulkan apa yang layak dengan tulisan,
dari kesesuaian bentuk huruf, seimbang dan lurus susunannya dan bagus
keteraturannya. Dan bagi setiap sesuatu mempunyai kesempurnaan yang layak
dengan dia. Dan kadang-kadang layak dengan yang lain, yang menjadi lawannya.
Maka bagusnya setiap sesuatu itu pada kesempurnaannya, yang layak dengan dia.
Maka tidak baguslah insan, dengan apa yang bagus dengan dia itu kuda. Tidak
baguslah tulisan dengan apa, yang bagus dengan dia itu suara. Tidak baguslah
bejana-bejana, dengan apa, yang bagus dengan dia itu kain-kain. Begitu juga
barang-barang yang lain. Jikalau anda mengatakan: bahwa barang-barang tersebut,
walaupun tidak diindrakan semuanya dengan kebagusan melihat, seperti: suara dan
rasa makanan, maka sesungguhnya ia tidak terlepas dari indranya pancaindra
kepadanya. Dia itu dirasakan dengan pancaindra. Dan tidaklah dimungkiri
kebagusan dan keelokan bagi yang dirasakan dengan pancaindra. Dan tidak
dimungkiri hasilnya kelezatan dengan indra kebagusannya. Hanya dimungkiri yang
demikian pada yang tidak diindrakan dengan pancaindra. Ketahuilah, bahwa
kebagusan dan keelokan itu terdapat pada yang tidak dirasakan dengan
pancaindra. Karena dikatakan: ini tingkah laku yang bagus. Ini ilmu yang bagus.
Ini perjalanan hidup yang bagus. Ini akhlak yang elok. Bahwa akhlak yang elok
itu, yang dikehendaki oleh ilmu, akal, penjagaan diri (al-‘iffah), berani,
taqwa, kemurahan hati, kepribadian dan sifat-sifat kebajikan yang lain. Sesuatu
dari sifat-sifat ini tidak dapat diindrakan dengan pancaindra yang 5. Akan
tetapi, diindrakan dengan nur penglihatan mata hati yang batiniyah. Semua
sifat-sifat yang elok ini disukai. Orang yang bersifat dengan sifat-sifat
tersebut dicintai secara tabiat, pada orang yang mengenal sifat-sifatnya. Tanda
yang demikian dan bahwa keadaan memang seperti yang demikian, bahwa
tabiat-tabiat itu dijadikan kepada mencintai nabi-nabi as dan kepada mencintai
para sahabat ra, sedang mereka itu tidak pernah disaksikan. Bahkan juga
mencintai orang-orang yang mempunyai (pendiri-pendiri) madzhab, seperti:
Asy-Syafi’i, Abi Hanifah, Malik dll. Sehingga seseorang, kadang-kadang kecintaannya
kepada pendiri madzhabnya, melampaui batas cinta. Lalu yang demikian,
membawanya kepada membelanjakan semua hartanya pada menolong madzhabnya dan
mempertahankannya. Dan ia menghadang bahaya dengan nyawanya pada memerangi
orang yang mencaci imamnya dan orang yang ditakutinya. Berapa banyak darah yang
ditumpahkan pada menolong orang-orang pendiri madzhab-madzhab. Moga-moga
kiranya aku ketahui, akan orang yang mencintai Asy-Syafi’i umpamanya maka
mengapa dicintainya, padahal tidak pernah sekali-kali ia menyaksikan bentuknya.
Dan jikalau disaksikannya, mungkin ia tidak akan memandang bagus rupanya. Maka
pandangannya yang bagus itu, yang membawanya kepada bersangatan cinta, adalah
karena bentuknya yang batiniyah. Tidak karena bentuknya yang zahiriyah. Bahwa
bentuknya yang zahiriyah telah bertukar menjadi tanah bersama tanah.
Sesungguhnya ia mencintainya, karena sifat-sifatnya yang batiniyah, dari agama,
taqwa, banyak ilmu, meliputi pengetahuan agama, bangunnya untuk memfaedahkan
ilmu syara’ (agama) dan bagi menyiarkan kebajikan-kebajikan ini dalam alam
dunia. Inilah hal-hal yang elok, yang tidak diketahui keelokannya, selain
dengan nur penglihatan mata hati. Adapun pancaindra maka singkatlah
pandangannya daripadanya. Seperti demikian juga, orang yang mencintai Abubakar
Siddik ra dan melebihkannya atas orang lain. Atau mencintai Ali ra,
melebihkannya dan berta’assub (fanatik) kepadanya. Maka ia tidak mencintai
mereka semua, selain karena memandang bagus bentuk batiniyah mereka, dari:
ilmu, agama, taqwa, berani, kemurahan hati dll. Maka sebagaimana dimaklumi,
bahwa orang yang mencintai Abubakar Siddik ra itu umpamanya tidaklah ia
mencintai tulangnya, dagingnya, kulitnya, sendi-sendinya dan bentuknya. Karena
semua itu telah hilang, berganti dan menjadi tiada. Akan tetapi, tinggallah apa
yang ada Abubakar Siddik itu menjadi siddik karenanya. Yaitu: sifat-sifat yang
terpuji, yang menjadi sumber perjalanan hidup yang elok. Maka kecintaan itu
kekal, dengan kekalnya sifat-sifat itu, serta hilangnya semua bentuk. Sifat-sifat
itu kembali keseluruhannya kepada: ilmu dan kesanggupan, apabila ia telah
mengetahui hakikat/makna segala urusan dan sanggup membawa dirinya kepadanya,
dengan memaksakan nafsu syahwatnya. Maka semua sifat-sifat kebajikan itu
bercabang di atas dua sifat tadi. Keduanya tidak diindrakan dengan pancaindra.
Dan tempat keduanya dari jumlah badan itu suatu bahagian yang tidak terbagikan.
Dia itu dicintai dengan sebenarnya. Dan tidaklah bagi bahagian yang tidak
terbagikan itu rupa, bentuk dan warna, yang tampal bagi penglihatan. Sehingga
ia dicintai karenanya. Jadi, keelokan itu terdapat pada perjalanan hidup,
walaupun perjalanan hidup itu muncul, tanpa ilmu dan penglihatan mata hati,
yang tidak mengharuskan yang demikian akan cinta. Maka yang dicintai itu sumber
perjalanan hidup yang elok. Yaitu: budi pekerti yang terpuji dan sifat-sifat
keutamaan yang mulia. Keseluruhannya kembali kepada kesempurnaan ilmu dan
kemampuan. Dan itu dicintai dengan tabiat manusia dan tidak diindrakan dengan
pancaindra. Sehingga anak kecil yang disembunyikan serta tabiatnya, apabila
kita menghendaki mencintainya, dalam keadaan ia tidak hadir atau dia hadir
dalam keadaan hidup atau mati, niscaya tiada jalan bagi kita, selain dengan
berpanjang lebar menyifatkannya, dengan: keberanian, kemurahan hati, keilmuan
dan perkara-perkara yang terpuji lainnya. Manakala orang beriktikad yang
demikian, niscaya ia tidak dapat menahan dirinya dan tidak sanggup, bahwa ia
tidak mencintainya. Maka adakah kerasnya kecintaan kepada para sahabat ra, kemarahan
kepada Abu Jahal dan kemarahan kepada Iblis yang telah kena kutukan Allah,
selain disebabkan dengan berpanjang-panjangnya pada menyifatkan kebaikan dan
kekejian yang tidak diindrakan dengan pancaindra ? bahkan, tatkala manusia
menyifatkan Hatim dengan kemurahan hati dan mereka menyifatkan Khalid dengan
keberanian, niscaya mereka itu dicintai oleh semua hati dengan kecintaan yang
demikian mudah. Tidaklah yang demikian itu, dengan melihat kepada bentuk yang
dirasakan dengan pancaindra dan tidak dari keuntungan yang akan diperoleh oleh
yang mencintai dari mereka. Bahkan, apabila diceritakan tentang perjalanan
hidup sebahagian raja-raja, di sebahagian benua di atas bumi, akan keadilan,
keihsanan dan melimpahnya kebajikan, niscaya mengeraslah kecintaan pada hati,
serta putus asa daripada berhamburan keihsanannya kepada orang-orang yang
mencintai itu, karena jaraknya tempat yang dikunjungi dan jauhnya rumah-rumah
yang ditempati. Jadi, tidaklah cintanya manusia itu terbatas kepada orang yang
berbuat perbuatan baik kepadanya saja, akan tetapi orang yang berbuat perbuatan
baik itu dicintai pada dirinya, walaupun tiada berkesudahan sekali-kali perbuatan
baiknya kepada yang mencintai. Karena setiap keelokan dan kebagusan itu, adalah
dicintai orang. Bentuk itu zahiriyah dan batiniyah. Bagus dan elok itu
melengkapi kepada keduanya. Bentuk zahiriyah diperoleh dengan penglihatan zahir
dan bentuk batiniyah diperoleh dengan penglihatan mata hati yang batiniyah.
Siapa yang tiada mempunyai penglihatan mata hati batiniyah, niscaya ia tidak
memperoleh bentuk batiniyah. Ia tidak merasa lezat, tiada mencintai dan tiada
cenderung kepada bentuk batiniyah tersebut. Siapa yang ada penglihatan mata
hati batiniyahnya lebih keras dari pancaindra zahiriyah, niscaya adalah
cintanya kepada makna-makna batiniyah itu lebih banyak dari cintanya kepada
makna-makna zahiriyah. Maka jauhlah perbedaannya, antara orang yang menyukai
ukiran yang tergambar pada dinding tembok, karena keelokan bentuknya yang
zahiriyah dan orang yang mencintai salah seorang nabi, karena keelokan
bentuknya yang batiniyah.
Sebab kelima: kesesuaian
yang tersembunyi antara pancaindra dan yang dicinta. Karena banyaklah terjadi
diantara dua orang, yang teguh kasih-sayang diantara keduanya, tidak disebabkan
keelokan atau keuntungan, akan tetapi, disebabkan semata-mata kesesuaian jiwa,
sebagaimana sabda Nabi saw: “Maka yang berkenal-kenalan dari jiwa itu, niscaya
berjinakan hati dan yang bertentangan daripadanya, niscaya timbul
perselisihan”. Telah kami teguhkan yang demikian pada Kitab Adab Persahabatan,
ketika menyebutkan kecintaan kepada Allah. Maka carilah pada kitab tersebut !
karena dia itu juga termasuk dari keajaiban sebab-sebab cinta. Jadi, bahagian
cinta itu kembali kepada 5 sebab. Yaitu: cintai insan akan wujud dirinya
sendiri, kesempurnaan dan kekekalannya. Cinta insan akan orang yang berbuat
baik kepadanya, mengenai yang kembali kepada kekekalan wujudnya, yang menolong
kepada kekekalannya dan menolak kebinasaan daripadanya. Cinta insan kepada
orang yang berbuat baik pada dirinya kepada manusia, walaupun orang itu tidak
berbuat baik kepadanya. Cinta insan kepada setiap apa, yang cantik pada benda
itu, sama saja dari bentuk zahiriyah atau bentuk batiniyah. Dan cinta insan
kepada orang, yang diantaranya dan orang itu kesesuaian yang tersembunyi pada
batiniyah. Jikalau berkumpullah sebab-sebab ini pada orang seorang, niscaya
sudah pasti berganda-gandalah cinta. Sebagaimana jikalau ada bagi insan seorang
anak yang cantik rupa, bagus budi pekerti, sempurna ilmu, bagus pengaturan
(teratur), berbuat baik kepada makhluk dan berbuat baik kepada ibu bapak,
niscaya sudah pasti anak itu dicintai sungguh-sungguh. Dan adalah kuatnya
cinta, sesudah berhimpun hal-hal tersebut, menurut kuatnya sifat-sifat itu pada
dirinya. Kalau adalah sifat-sifat itu pada derajat kesempurnaan yang paling
penghabisan, niscaya sudah pasti cinta itu pada derajat yang paling tinggi.
Maka marilah kami terangkan sekarang, bahwa sebab-sebab itu semua, tiada akan
tergambar kesempurnaan dan berkumpulnya, selain pada Allah Ta’ala. Maka tiada
yang layak dimiliki dengan kecintaan pada hakikat/maknanya, selain Allah swt.
PENJELASAN: bahwa yang layak
dimiliki bagi kecintaan, ialah Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa orang yang mencintai selain
Allah, tidak dari segi hubungannya kepada Allah, maka yang demikian itu karena
kebodohan dan keteledorannya pada berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)
kepada Allah Ta’ala. Cinta kepada Rasulullah saw itu terpuji. Karena itu adalah
kecintaan kepada Allah Ta’ala. Seperti demikian juga, kecintaan kepada para
ulama dan orang-orang yang taqwa. Karena dicintai orang yang dicintai itu
dicintai. Rasul bagi Yang Dicintai itu dicintai. Dan yang mencintai yang
dicintai itu dicintai. Semua yang demikian itu kembali kepada kecintaan pokok.
Maka ia tidak melewatinya kepada yang lain. Tiadalah yang dicintai pada
hakikat/maknanya pada orang-orang yang bermata hati, selain Allah Ta’ala. Dan
tidak ada yang layak dimiliki untuk dicintai, selain DIA.
Penjelasannya, ialah:
dengan kita kembali kepada sebab yang 5, yang telah kami sebutkan dahulu. Dan
kami jelaskan, bahwa sebab-sebab yang 5 itu terkumpul pada Allah Ta’ala dengan
keseluruhannya. Dan tidak didapati pada yang lain daripadaNya, selain satu-satu
dari sebab-sebab itu. Sebab-sebab itu hakikat/maknanya adalah pada Allah
Ta’ala. Adanya pada yang lain dari Allah Ta’ala itu adalah sangkaan dan
khayalan. Dan itu majaz ( sebenarnya) semata-mata, yang tidak hakikat/makna
baginya. Manakala telah tetap yang demikian, niscaya tersingkaplah, bagi setiap
orang yang mempunyai mata hati, lawan apa yang dikhayalkan oleh orang-orang
yang lemah akal dan hati, daripada kemustahilan kecintaan Allah Ta’ala pada
hakikat/maknanya. Dan jelaslah, bahwa pada hakikat/maknanya itu menghendaki,
bahwa anda tidak mencintai seseorang, selain Allah Ta’ala.
Adapun sebab pertama, yaitu: cintanya insan akan dirinya, kekekalan dan
kesempurnaannya, kekekalan terus adanya dan bencinya bagi kebinasaan nya,
tiadanya, kekurangannya dan terputus-putus kesempurnaannya. Maka ini adalah sifat
bagi setiap yang hidup. Tiada tergambar akan terlepas daripadanya. Dan ini
menghendaki akan penghabisan kecintaan adalah bagi Allah Ta’ala. Orang yang
mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya, niscaya sudah pasti ia mengenal, bahwa
ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya. Bahwa wujud dirinya, kekekalan wujudnya
dan kesempurnaan wujudnya itu, dari Allah, kepada Allah dan dengan Allah.
Dialah Pencipta, yang mengadakannya. Dialah yang mengekalkannya. Dialah yang
menyempurnakan bagi adanya, dengan menciptakan sifat-sifat kesempurnaan,
menciptakan sebab-sebab yang menyampaikan kepadanya dan menciptakan petunjuk
kepada pemakaian sebab-sebab itu. Jikalau tidak, maka hamba itu dari segi
dirinya, tidaklah ia mempunyai wujud dari dirinya. Bahkan itu hapusan semata-mata
dan tidak ada semata-mata, jikalau tidaklah kurnia Allah Ta’ala kepadanya
dengan penciptaan. Dia akan binasa di belakang adanya, jikalau tidaklah kurnia
Allah kepadanya dengan mengekalkan terus hidupnya. Dan itu kekurangan sesudah
wujud, jikalau tidaklah kurnia Allah kepadanya, dengan penyempurnaan bagi
kejadiannya.
Kesimpulannya, bahwa tidak
adalah pada wujud ini sesuatu yang berdiri sendiri, selain Yang Berdiri
Sendiri, Yang Hidup, Yang Berdiri dengan ZatNya. Setiap yang lain daripadaNya
itu berdiri dengan sebabNya. Maka jikalau orang yang berma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala) mencintai dirinya dan adanya dirinya itu memperoleh faedah dari
Yang Lain, maka dengan secara mudah, orang yang memperoleh faedah itu mencintai
bagi wujud dirinya dan mencintai Yang Mengekalkannya, jikalau dikenalnya akan
Pencipta, Yang Mewujudkan, Yang Menjadikan, Yang Mengekalkan, Yang Berdiri
Sendiri dan Yang Mendirikan bagi lainNya. Jikalau ia tidak mencintaiNya, maka
itu karena kebodohannya, dengan dirinya dan dengan Tuhannya. Cinta itu buah ilmu
mengenal Allah Ta’ala. Maka cinta itu menjadi tiada, dengan tiadanya ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala). Menjadi lemah dengan lemahnya ilmu mengenal Allah
Ta’aladan menjadi kuat dengan kuatnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala).
Karena itulah Al-Hasan
Al-Bashari ra berkata: “Siapa yang
mengenal Tuhannya, niscaya dicintaiNya. Siapa yang mengenal dunia, niscaya ia
zuhud di dunia”. Bagaimana dapat digambarkan, bahwa insan itu mencintai dirinya
dan tidak mencintai Tuhannya, yang dengan Dia itu, dirinya itu dapat berdiri ?
dan sebagai dimaklumi, bahwa orang yang mendapat percobaan dengan panasnya
matahari, manakala ia menyukai naungan, maka dengan mudah dipahami, ia menyukai
pohon-pohonan, yang dengan pohon-pohonan itu tegaknya naungan. Dan semua dalam
wujud ini, dengan dikaitkan kepada qudrah (kuasa) Allah Ta’ala, maka adalah
seperti naungan dengan dikaitkan kepada pohon kayu dan cahaya dengan dikaitkan
kepada matahari. Bahwa semua itu dari bekas qudrah (kuasa)Nya dan wujudnya setiap
sesuatu itu mengikuti kepada wujudNya. Sebagaimana adanya cahaya mengikuti bagi
matahari. Adanya naungan (bayang-bayang) mengikuti bagi pohon kayu. Bahkan
contoh ini benar, dengan dikaitkan kepada dugaan orang-orang awam. Karena
mereka mengkhayalkan, bahwa cahaya itu bekas matahari, terpancar daripadanya
dan adanya disebabkan matahari. Ini adalah salah semata-mata. Karena telah
tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai matahati, dengan penyingkapan yang
lebih terang daripada penyaksian penglihatan mata, bahwa cahaya itu hasil dari qudrah
(kuasa) Allah Ta’ala, sebagai ciptaan ketika terjadinya berhadapan antara
matahari dan tubuh-tubuh yang tebal. Sebagaimana cahaya matahari, dirinya,
bentuknya dan rupanya, juga hasil dari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala. Akan
tetapi, maksud dari contoh-contoh itu untuk memberi pengertian saja. Maka
tidaklah dicari padanya akan hakikat-hakikat/makna.
Jadi, jikalau adalah
cintanya insan itu akan dirinya merupakan hal yang dlaruri (mudah dipahami),
maka cintanya insan kepada Tuhan, yang mula pertama berdirinya dengan Dia dan
yang kedua, kekekalannya, pada asal-usulnya, sifat-sifatnya, zahirnya,
batinnya, benda dan ‘aradl (sifat)nya, juga dlaruri(mudah dipahami), bahwa ia
mengenal yang demikian, seperti yang demikian. Siapa yang terlepas dari cinta
ini, maka adalah karena ia menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri dan nafsu
syahwatnya, lupa kepada Tuhannya dan Khaliq (yang maha pencipta)nya. Maka tidak
dikenalNya dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang sebenarnya. Ia bataskan pandangannya
kepada nafsu syahwatnya dan yang dirasakan oleh pancaindranya saja. Yaitu: alam
syahadah (yang dapat disaksikan dengan mata kepala), yang berkongsi insan
dengan hewan pada menikmatinya dan berlapang-lapang padanya. Tidak alam
malakut, yang tidak dipijakkan buminya, selain oleh makhluk yang mendekati
kepada keserupaan dengan malaikat. Maka ia memandang padanya dengan kadar
dekatnya pada sifat-sifat dari malaikat. Dan berkurang daripadanya, dengan
kadar turunnya kepada lembah alam hewan.
Adapun sebab yang kedua: yaitu cinta kepada orang yang berbuat baik kepadanya.
Orang itu menolongnya dengan harta, berlemah-lembut dengan dia pada perkataan,
dibantunya dengan pertolongan, mengirim pesan untuk menolongnya dan mencegah
musuh-musuhnya, bangun dengan menolak kejahatan dari orang-orang jahat
daripadanya, bangkit memberi perantaraan kepada semua keuntungan dan maksudnya,
pada dirinya, anak-anaknya dan kaum kerabatnya. Maka orang tersebut sudah pasti
menjadi tercinta padanya. Dan ini dengan sendirinya, menghendaki bahwa ia tidak
mencintai, selain Allah Ta’ala. Bahwa, jikalau ia mengenal dengan ilmu mengenal
Allah Ta’ala yang sebenarnya, niscaya ia tahu, bahwa yang berbuat baik
kepadanya, ialah: Allah Ta’ala. Adapun berbagai macam ihsan (perbuatan baik) Nya
kepada setiap hambaNya, maka tidaklah dapat kita menghitungkannya. Karena
tidaklah dia itu diliputi oleh hinggaan orang yang dapat menghinggakan,
sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya
tidak dapat kamu menghitungnya”. S 16 An Nahl ayat 18. Telah kami isyaratkan
kepada suatu tepi daripadanya pada Kitab Syukur. Akan tetapi sekarang kami
singkatkan, kepada penjelasan, bahwa perbuatan baikdari manusia itu tiada akan
tergambar, selain dengan majaz (makna yang sebenarnya). Bahwa yang membuat al-ihsan
(perbuatan baik), ialah: Allah Ta’ala. Marilah kami umpamakan yang demikian,
mengenai orang yang menganugerahkan semua isi gudangnya kepada anda. Ia
memungkinkan anda dari isi gudang itu, untuk anda pergunakan, menurut kehendak
anda. Bahwa anda menyangka perbuatan baik ini dari orang itu, adalah keliru.
Sesungguhnya bahwa sempurnalah perbuatan baiknya, dengan dirinya sendiri,
dengan hartanya, dengan kemampuannya kepada harta dan dengan pengajaknya, yang
menggerakkannya kepada menyerahkan harta kepada anda. Maka siapakah yang
menganugerahkan kenikmatan dengan menjadikannya, menjadikan kemampuannya dan
menjadikan kehendak dan pengajaknya ? siapakah yang mencurahkan kasih-sayang
orang itu kepada anda, yang memalingkan mukanya kepada anda dan yang
menghantarkan pada hatinya, bahwa kebaikan agamanya atau dunianya adalah pada
berbuat baik kepada anda ? jikalau tidaklah semua yang demikian, niscaya orang
itu tiada akan memberikan sebijipun dari hartanya, kepada anda. Manakala Allah
telah menguasakan pengajak-pengajak atas orang itu dan ia menetapkan dalam
hatinya, bahwa kebaikan agamanya atau dunianya, pada menyerahkan hartanya
kepada anda niscaya adalah ia dipaksakan dan diperlukan pada menyerahkan harta
itu, yang ia tidak sanggup menyalahinya. Maka Yang Berbuat perbuatan baik,
ialah Yang Memaksakan orang itu, untuk engkau dan yang menyuruhkannya. Yang
Menguasakan atas orang itu, pengajak-pengajak, yang membangkitkan, yang
memaksakan kepada berbuat. Adapun tangannya, maka menjadi perantaraan, yang
sampailah ihsan (perbuatan baik) Allah
kepada engkau dengan perantaraan tangan itu. Dan yang empunya tangan itu
memerlukan pada yang demikian, sebagaimana diperlukan tempat mengalirnya air,
pada mengalirkan air padanya. Kalau engkau berkeyakinan bahwa orang itu yang
berbuat perbuatan baik atau engkau berterima kasih kepadanya, dari segi orang
itu berbuat perbuatan baik, dengan dirinya sendiri, tidak dari segi dia itu
perantaraan, niscaya adalah engkau itu orang bodoh, dengan hakikat/maknanya persoalan.
Maka sesungguhnya tidaklah tergambar perbuatan baik dari manusia, selain kepada
dirinya sendiri.
Adapun perbuatan baik
kepada orang lain, maka itu hal yang mustahil dari makhluk manusia. Karena ia
tidak akan memberikan hartanya, selain karena ada maksudnya pada memberikan
itu. Adakalanya, pada masa yang jauh, yaitu: pahala. Dan adakalanya pada masa
yang segera, yaitu: menyebut-nyebut dan mencari kebajikan. Atau pujian dan
suara orang, kemasyhuran dengan suka memberi dan kemurahan hati. Atau menarik
hati orang banyak kepada perbuatan taat dan kasih sayang. Dan sebagaimana
manusia tiada akan mencampakkan hartanya dalam laut, karena tak ada maksud
baginya padanya, maka tidak juga ia akan mencampakkan hartanya dalam tangan
seorang manusia, selain karena ada maksud padanya. Maksud itu, ialah: yang
dicarinya dan yang menjadi tujuannya. Adapun anda, maka tidaklah anda itu yang
dimaksudkan. Akan tetapi, tangan anda itu alat baginya pada memegang. Sehingga
berhasillah maksudnya: dari sebutan, pujian atau terima kasih atau pahala,
disebabkan genggaman anda akan harta itu. Ia telah menggunakan tenaga anda pada
menggenggam, untuk sampai kepada maksud dirinya. Jadi, orang itu berbuat baik
kepada dirinya sendiri dan menerima gantian dari harta yang diberikannya, dengan
gantian yang lebih kuat padanya dari hartanya. Jikalau tidaklah kuatnya
keuntungan itu padanya, niscaya ia tidak turun dari hartanya sekali-kali,
lantaran karena engkau. Jadi, dia itu tidak layak dimiliki untuk disyukuri dan
dicintai, dari dua segi:
Salah satu dari dua segi
itu, bahwa ia terpaksa dengan dikuasakan oleh Allah akan pengajak-pengajak ke
atas dirinya. Maka tiada mampu ia menyalahinya. Dia itu berlaku, sebagai
berlakunya pemegang gudang seorang amir (raja). Maka pemegang gudang itu tidak
akan dilihat sebagai orang yang berbuat baik, dengan menyerahkan hadiah amir
kepada orang yang dihadiahkannya. Karena orang itu dari pihak amir memerlukan
kepada kepatuhan dan mengikuti akan apa yang digariskan oleh amir. Dan ia tidak
sanggup menyalahinya. Jikalau amir menyerahkan hal itu atas pertimbangan orang
itu sendiri, niscaya tidak akan diserahkannya yang demikian. Maka seperti
demikian juga, setiap orang yang berbuat perbuatan baik, jikalau diserahkan
oleh Allah atas kemauan orang itu sendiri, niscaya tidak akan diberikannya
sebijipun dari hartanya. Sehingga Allah mengeraskan pengajak-pengajak atas
orang itu dan menghantarkan pada hatinya, bahwa keuntungannya baik mengenai
agama atau dunia, adalah pada diberikannya. Maka diberikannyalah harta itu, karena
yang demikian.
Kedua: bahwa ia mendapat
ganti dari apa yang telah diberikannya, sebagai keuntungan, yang lebih sempurna
dan lebih disukainya, dari apa yang telah diberikannya. Maka sebagaimana
penjual barang, tidak dihitung sebagai orang yang berbuat perbuatan baik,
karena ia memberikan dengan ada ganti, yang lebih disukainya dari apa, yang
telah diberikannya, niscaya seperti demikian juga, orang yang memberikan
sesuatu, yang memperoleh gantinya, dengan pahala atau pujian dan sanjungan atau
ganti yang lain. Dan tidaklah dari syarat gantian itu bahwa dia itu benda yang
berharga. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan semuanya itu adalah gantian, yang
memandang menjadi enteng akan harta-harta dan benda-benda, dengan dikaitkan
kepada gantian itu. Maka perbuatan baik itu pada kemurahan. Kemurahan itu,
ialah memberikan harta, tanpa ganti dan untung yang kembali kepada si pemberi.
Dan yang demikian itu mustahil dari selain Allah
swt. Dialah yang mencurahkan nikmat kepada alam semesta, sebagai perbuatan
baik kepada mereka dan karena mereka. Tidak karena keuntungan dan maksud yang
kembali kepadaNya. Dia Maha Suci dari segala maksud. Maka lafal kemurahan dan perbuatan
baik pada yang lain dari Allah itu dusta atau secara majaz
(makna yang sebenarnya). Artinya pada yang selain dari padaNya itu
mustahil dan tercegah, sebagai tercegahnya berkumpul antara hitam dan putih.
Maka Dialah yang sendirian dengan kemurahan dan keihsanan, pemberian dan
curahan nikmat. Kalau ada pada tabiat manusia mencintai orang yang berbuat perbuatan
baik, maka seyogyalah bahwa tidak dicintai oleh orang yang mempunyai ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala), akan selain Allah ta’ala. Karena perbuatan baik
dari selain Allah Ta’ala itu mustahil. Dialah yang layak dimiliki bagi
kecintaan ini sendirian. Adapun yang lain dari Dia, maka bermustahak/layak
dimiliki akan kecintaan atas perbuatan perbuatan baik, dengan syarat tiada
mengetahui akan arti perbuatan baik dan hakikat/maknanya.
Adapun sebab ketiga: yaitu, cintanya engkau kepada orang yang berbuat baik, pada
diri orang itu sendiri, walaupun tidak sampai perbuatan baiknya kepada engkau.
Ini juga terdapat pada tabiat manusia. Bahwa apabila sampai kepada engkau,
berita seorang raja, yang banyak ibadahnya, yang adil, yang alim, yang sayang
kepada manusia, yang berlemah-lembut dengan mereka, yang merendahkan diri
kepada manusia dan raja itu di suatu benua di bumi ini, yang jauh dari engkau.
Dan sampai pula kepada engkau berita seorang raja yang lain, zalim, sombong,
fasik, berbuat kerusakan, jahat dan raja ini juga jauh dari engkau. Maka engkau
dapati dalam hati engkau perbedaan diantara keduanya. Karena engkau dapati
dalam hati, akan kecenderungan kepada yang pertama, yaitu: cinta. Dan kelarian
hati dari kedua, yaitu: benci. Sedang engkau berputus asa dari kebajikan raja
yang pertama dan perasaan aman dari kejahatan raja yang kedua. Karena putusnya
harapan engkau untuk masuk ke negeri mereka. Maka ini adalah kecintaan kepada
orang yang berbuat baik, dari segi, bahwa orang itu berbuat baik saja. Tidak
dari segi bahwa orang itu berbuat baik kepada engkau. Ini juga menghendaki akan
kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahkan menghendaki, bahwa tiada sekali-kali ia
mencintai yang lain, selain dari segi bahwa ada sangkutan dari orang itu dengan
sesuatu sebab. Maka sesungguhnya Allah, yang berbuat perbuatan baik kepada
seluruhnya dan yang mengurniakan kepada semua jenis makhluk. Pertama-tama
dengan dijadikanNya akan mereka. Kedua dengan penyempurnaan mereka, dengan
anggota-anggota badan dan sebab-sebab, yang termasuk hal yang penting bagi
mereka. Ketiga dengan penganugerahan kemewahan dan kenikmatan bagi mereka,
dengan menciptakan sebab-sebab, yang dalam tempat sangkaan hajat keperluan
mereka, walaupun tidak dalam tempat sangkaan yang darurat. Dan keempat dengan
penganugerahan keelokan mereka, dengan kelebihan-kelebihan dan
tambahan-tambahan, yang ada dalam tempat sangkaan perhiasan mereka. Dan itu di
luar dari darurat dan hajat keperluan mereka. Contoh yang tak dapat tiada
(dlaruri) dari anggota badan, ialah: kepala, hati dan jantung. Dan contoh yang
diperlukan, ialah: mata, tangan dan kaki. Contoh: perhiasan, ialah: melengkung
dua alis mata, merah dua bibir, bulat cantik dua mata dll, daripada keadaan,
yang jikalau tidak ada, niscaya tidaklah rusak keperluan dan tidaklah darurat.
Contoh hal yang tak dapat tiada, dari bermacam nikmat yang diluar dari tubuh
insan, ialah: air dan makanan. Contoh
hajat keperluan, ialah: obat, daging dan buah-buahan. Contoh
kelebihan-kelebihan dan tambahan-tambahan, ialah: kehijauan pohon-pohonan,
bagusnya bentuk cahaya dan bunga-bungaan, lezatnya buah-buahan dan
makanan-makanan, yang tidak rusak hajat keperluan, dengan tidak adanya dan
tidak darurat. Bahagian-bahagian yang tiga tersebut itu terdapat bagi setiap
hewan, bahkan bagi setiap tumbuh-tumbuhan. Bahkan bagi setiap jenis dari
jenis-jenis makhluk, dari puncak ‘Arasy sampai kepada penghabisan tikar-bantal.
Jadi, Dialah yang berbuat perbuatan baik.
Bagaimana maka yang lain daripadaNya itu berbuat perbuatan baik ? orang yang
berbuat perbuatan baik itu adalah salah satu dari kebaikan qudrah (kuasa)Nya.
Dialah yang menjadikan perbuatan baik, yang menjadikan orang yang berbuat perbuatan
baik, yang menjadikan perbuatan baik dan yang menjadikan sebab-sebab perbuatan
baik. Maka cinta dengan alasan ini bagi yang lain daripadaNya juga kebodohan
semata-mata. Siapa yang mengenal yang demikian, niscaya ia tidak mencintai
dengan sebab alasan ini, selain Allah Ta’ala.
Adapun sebab
keempat, yaitu cinta
setiap yang cantik, karena kecantikannya. Tidak karena keuntungan yang
diperoleh daripadanya, di balik mengetahui kecantikannya. Telah kami terangkan,
bahwa yang demikian itu telah dijadikan pada tabiat manusia. Dan kecantikan itu
terbagi kepada: kecantikan bentuk zahiriyah, yang diketahui dengan mata kepala.
Dan kecantikan bentuk batiniyah, yang diketahui dengan mata hati dan nur
penglihatan jiwa. Yang pertama itu diketahui oleh anak-anak dan hewan. Dan yang
kedua, khusus orang-orang yang mempunyai hati mengetahuinya. Tidak berkongsi
dengan mereka padanya, orang yang tidak mengetahui, selain yang zahiriyah dari
kehidupan duniawi. Setiap kecantikan, maka itu dicintai oleh yang mengetahui
kecantikan. Kalau ia mengetahui dengan hati, maka itu dicintai dengan hati.
Contoh ini dalam penyaksian, ialah: kecintaan nabi-nabi, para ulama dan
orang-orang yang bersifat mulia, yang menjadi kebiasaannya dan mempunyai budi
pekerti yang menyenangkan. Bahwa yang demikian itu dapat tergambar di ruang
mata, serta kacaunya bentuk muka dan anggota-anggota badan lainnya. Itulah yang
dimaksudkan dengan bagus bentuknya batiniyah. Dan pancaindra tidak
mengetahuinya. Ya, diketahui dengan bagusnya bekas-bekasnya yang timbul
daripadanya, yang menunjukkan kepada yang demikian. Sehingga, apabila hati
menunjukkan kepadanya, niscaya cenderunglah hati kepadanya. Lalu dicintainya.
Maka siapa yang mencintai Rasulullah saw atau Abubakar Siddik ra atau
Asy-Syafi’i ra, maka ia tidak mencintai mereka, selain karena kebagusan apa
yang lahir dari mereka. Tidaklah yang demikian itu, karena bagusnya bentuk
mereka dan tidak karena bagusnya perbuatan mereka. Akan tetapi, ditunjukkan
oleh kebagusan perbuatan mereka, kepada kebagusan sifat-sifat, yang menjadi
sumber segala perbuatan. Karena segala perbuatan itu bekas-bekas yang datang
daripadanya dan yang menunjukkan kepadanya. Siapa yang melihat bagusnya
karangan seorang pengarang dan bagusnya syair seorang penyair, bahkan bagusnya
ukiran seorang pengukir dan bangunan seorang pembangun, niscaya tersingkaplah
baginya dari perbuatan-perbuatan ini, akan sifat-sifatnya yang baik, yang
batiniyah, yang kembali hasilnya ketika dibahas, kepada ilmu dan kemampuan.
Kemudian, setiap kali ada
yang diketahui itu lebih mulia dan lebih sempurna kecantikan dan kebesarannya,
niscaya adalah itu lebih mulia dan lebih cantik. Demikian juga, yang
disanggupi, setiap kali ada ia lebih besar martabatnya dan lebih mulia
kedudukannya, niscaya adalah kesanggupan kepadanya itu lebih agung tingkatnya
dan lebih mulia kadarnya. Yang Termulia dari segala yang diketahui, ialah:
Allah Ta’ala. Maka tidak dapat dielakkan lagi, bahwa ilmu yang terbagus dan
yang termulia, ialah: mengenal ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Seperti
demikian juga, apa yang mendekatinya dan yang khusus dengan dia. Maka
kemuliaannya adalah di atas kadar kesangkutannya dengan ilmu itu. Jadi,
keelokan sifat orang-orang siddik yang dicintai mereka oleh hati manusia secara
tabi’i itu kembali kepada 3 perkara:
Salah satu daripadanya, ialah: tahu nya
mereka akan Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan agama-agama
para nabiNya.
Kedua: mampunya mereka memperbaiki diri,
memperbaiki hamba-hamba Allah, dengan petunjuk dan politik.
Ketiga: bersihnya mereka dari sifat-sifat
kehinaan, kekejian dan nafsu syahwat, yang mengerasi, yang memalingkan dari
jalan-jalan kebajikan, yang menarik kepada jalan kejahatan. Dengan contoh ini,
ia mencintai nabi-nabi, para ulama, para khalifah dan raja-raja, yang mereka
itu orang-orang yang menjalankan keadilan dan kemurahan. Maka kaitkanlah
sifat-sifat ini kepada sifat-sifat Allah Ta’ala ! Adapun ilmu, maka dimanakah
perbandingannya ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, dengan ilmu
Allah Ta’ala, yang meliputi dengan setiap sesuatu, yang keluar dari
berkesudahan. Sehingga tidak tersembunyi daripadaNya seberat atompun, di langit
dan di bumi. Ia menunjukkan kepada semua makhluk, maka Ia ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Dan tidaklah kamu diberi ilmu, melainkan sedikit”. S 17 Al Israa’
ayat 85. Bahkan jikalau berkumpul isi bumi dan langit untuk melingkungi ilmu
Allah dan hikmahNya, pada menguraikan seekor semut atau nyamuk, niscaya mereka
tidak akan melihat kepada 1/100 yang demikian. Mereka tiada akan melingkungi
sesuatu dari ilmuNya, selain dengan apa yang dikehendakiNya dan kadar yang
sedikit yang diajarkanNya kepada seluruh makhluk. Maka dengan pengajaranNya,
mereka mengetahui ilmu itu. Sebagaimana Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”. S 55 Ar Rahmaan ayat 3-4.
Kalau adalah keelokan ilmu dan kemuliaannya itu hal yang dicintai dan ilmu itu
sendiri merupakan perhiasan dan kesempurnaan bagi orang yang bersifat dengan
ilmu, maka tiada seyogyalah bahwa dicintai dengan sebab ini, selain Allah
Ta’ala. Bermacam ilmu para ulama itu adalah kebodohan, dengan dikaitkan kepada
ilmuNya. Bahkan siapa yang mengenal akan orang yang lebih berilmu dari penduduk
zamannya dan yang lebih bodoh dari penduduk zamannya, niscaya mustahillah bahwa
ia mencintai dengan sebab ilmu, akan orang yang lebih bodoh dan meninggalkan
orang yang lebih berilmu, walaupun yang lebih bodoh itu tidak kosong dari suatu
pengetahuan, yang dikehendaki oleh penghidupannya. Berlebih-kurangnya diantara
ilmu Allah dan ilmu para makhluk itu, lebih banyak daripada berlebih-kurangnya
ilmu makhluk yang terpandai dengan yang terbodoh dari mereka. Karena yang
terpandai itu tidak melebihi dari yang terbodoh, selain dengan ilmu-ilmu yang
terhitung bilangannya dan yang berkesudahan, yang tergambar pada kemungkinan,
bahwa dapat dicapai oleh yang terbodoh, dengan usaha dan kesungguhan. Dan kelebihan
ilmu Allah Ta’ala atas ilmu makhluk semuanya itu di luar dari kesudahan. Karena
yang diketahuiNya tiada berkesudahan dan yang diketahui makhluk berkesudahan.
Adapun sifat kemampuan, maka juga sifat kesempurnaan. Dan lemah itu sifat
kekurangan. Setiap kesempurnaan, keelokan, kebesaran, kemuliaan dan kekuasaan,
maka itu disukai. Dan mengetahuinya itu enak. Sehingga, bahwa insan, karena
didengarnya dalam cerita, akan keberanian Ali ra, Khalid ra dll dari
orang-orang berani, kemampuan dan perintah keduanya kepada teman-teman, maka
terus berbetulan dalam hatinya akan kegerakan, kegembiraan dan kesenangan yang
mudah, dengan semata-mata enaknya mendengar, lebih-lebih lagi dari penyaksian.
Dan mewariskan yang demikian, akan kecintaan dalam hati, yang mudah, kepada
orang yang bersifat dengan yang demikian. Bahwa itu semacam kesempurnaan. Maka
bandingkanlah sekarang akan kemampuan makhluk seluruhnya dengan qudrah (kuasa)
Allah Ta’ala ! maka sebesar-besarnya kekuatan orang-orang, seluas-luasnya
kerajaan mereka, sekuat-kuatnya keperkasaan mereka, segagah-gagahnya mereka
menentang nafsu syahwat, sebisa-bisanya mereka mencegah segala kekejian diri
dan kemampuan yang paling terkumpul dari mereka untuk mensiasati dirinya dan
orang lain, tiadalah berkesudahan qudrah (kuasa)Nya Allah Ta’ala. Kesudahannya,
hanya manusia itu sanggup atas sebahagian sifat-sifat dirinya dan atas
sebahagian manusia-manusia lain, pada sebahagian urusan. Dalam pada itu,
manusia itu tidak memiliki bagi dirinya, akan kematian, kehidupan, berkembang,
melarat dan manfaat. Bahkan, ia tidak mampu menjaga matanya dari buta, lidahnya
dari bisu, telinganya dari pekak dan badannya dari sakit. Ia tidak berhajat
kepada menghitung apa, yang ia lemah daripadanya, mengenai dirinya dan lainnya,
dari hal, yang secara keseluruhan menyangkut kemampuannya. Lebih-lebih dari hal
yang tiada menyangkut kemampuannya, dari kerajaan langit, cakrawalanya,
bintang-bintangnya dan bumi, gunung-gunungnya, laut-lautnya, angin-anginnya,
halilintar-halilintarnya, tambang-tambangnya, tumbuh-tumbuhannya,
hewan-hewannya dan semua bahagian-bahagiannya. Maka ia tiada berkemampuan atas
seatompun daripadanya. Apa yang ia sanggupi dari dirinya dan lainnya, maka
tidaklah kemampuannya itu dari dirinya dan dengan dirinya. Akan tetapi, Allah
penciptanya, pencita kemampuannya, pencipta sebab-sebabnya dan yang
memungkinkan baginya dari yang demikian. Jikalau Allah memberi kuasa kepada
seekor nyamuk atas raja yang paling besar dan binatang yang paling kuat,
niscaya nyamuk itu dapat membinasakannya. Maka tiadalah bagi hamba itu
kemampuan, selain dengan dimungkinkan oleh Tuhannya.
Sebagaimana Ia berfirman
tentang Zulkarnain, raja yang terbesar di bumi. Karena Ia berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi”. S 18 Al
Kahfi ayat 84. Maka tidak adalah semua kerajaannya dan kekuasaannya itu, selain
dengan diberi kekuasaan oleh Allah kepadanya pada sebahagian dari bumi. Dan
bumi seluruhnya itu sepotong tanah lumpur, dengan dikaitkan kepada tubuh alam
ini. Semua daerah, yang manusia memperoleh keuntungan dari bumi, adalah debu
dari sepotong tanah lumpur itu. Kemudian, debu itu pula dari kurnia Allah
Ta’ala dan pemberian kekuasaan daripadaNya. Maka mustahillah bahwa ia mencintai
seseorang daripada hamba Allah Ta’ala, karena qudrah (kuasa)Nya, siasatNya,
pemberian kekuasaan, pemerintahan dan kesempurnaan kuatNya. Dan ia tidak
mencintai Allah Ta’ala bagi yang demikian itu. Tiada daya dan upaya, selain
dengan Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Agung. Dialah yang Maha gagah, Maha
perkasa, Maha tahu dan Maha kuasa. Langit yang terlipat dengan KananNya. Bumi,
kerajaannya dan apa yang di atasnya dalam genggamanNya. Dahi semua makhluk
dalam genggaan qudrah (kuasa)Nya. Kalau dibinasakanNya mereka, sampai kepada
yang penghabisan, niscaya tidak berkuranglah dari kekuasaan dan kerajaanNya
seatompun. Kalau dijadikanNya seumpama mereka 1000 kali, niscaya tidaklah Ia
payah dengan menjadikannya. Tidaklah Ia disentuh oleh keletihan dan kelumpuhan
pada menciptakannya. Tiada kemampuan dan orang yang mampu, melainkan itu adalah
salah satu dari bekas qudrah (kuasa)Nya. BagiNya keelokan dan kebagusan,
kebesaran dan keagungan, keperkasaan dan kekuasaan. Kalau digambarkan, bahwa
yang mampu itu dicintai karena sempurna kemampuannya, maka tiada yang layak
dimiliki kecintaan sekali-kali, disebabkan sempurnanya kemampuan itu, selain
Dia.
Adapun sifat bersih dari
kecelaan dan kekurangan, suci dari kehinaan dan kekejian, maka itu salah satu
yang mengharuskan cinta dan yang menghendaki kebagusan dan kecantikan pada bentuk
batiniyah. Para nabi dan orang-orang siddik, walaupun mereka itu bersih dari
kecelaan dan kekejian, maka tidaklah tergambar akan kesempurnaan kesucian dan
kebersihan, selain bagi Yang Esa, Yang Benar, Raja Yang Qudus, Mempunyai
Keagungan dan Kemurahan. Adapun setiap makhluk, maka tidaklah terlepas dari
suatu kekurangan dan dari banyak kekurangan. Bahkan setiap makhluk itu lemah,
diciptakan, diperintah, yang dipaksakan. Makhluk itu sendiri kecelaan dan
kekurangan. Maka kesempurnaan hanyalah bagi Allah Yang Maha Esa. Tiada bagi
yang lain daripadaNya kesempurnaan, melainkan sekadar apa yang diberikan oleh
Allah. Tiadalah pada yang diberi kemampuan itu, bersenang-senang dengan
penghabisan kesempurnaan di atas yang lain. Bahwa penghabisan kesempurnaan,
yang sekurang-kurangnya derajatnya, ialah: bahwa tidaklah dia itu hamba yang
disuruh bekerja untuk orang lain, yang berdiri dengan sebab orang lain. Yang
demikian itu mustahil pada yang lain daripadaNya. Maka Dialah yang sendirian
dengan kesempurnaan, yang bersih dari kekurangan, yang kudus dari kecelaan.
Uraian segi-segi kekudusan dan kebersihan pada hakNya dari
kekurangan-kekurangan itu akan panjang. Dan itu termasuk dari rahasia ilmu-ilmu
diminta untuk mengetahuinya saja. Maka tidak akan kami perpanjangkan menyebutkannya.
Maka sifat ini juga, jikalau ada ia kesempurnaan dan keelokan yang dicintai,
maka tiada sempurna hakikat/maknanya, selain bagiNya. Kesempurnaan yang lain
daripadaNya dan kebersihannya tidaklah mutlak. Akan tetapi, dengan dikaitkan
kepada yang lebih sangat berkurangan daripadanya. Sebagaimana kuda mempunyai
kesempurnaan, dengan dikaitkan kepada keledai. Manusia mempunyai kesempurnaan
dengan dikaitkan kepada kuda. Asal kekurangan itu melengkapi bagi semua. Hanya
mereka itu berlerbih-kurang pada derajat kekurangan. Jadi, yang elok itu
dicintai. Yang elok itu mutlak ialah Yang Maha Esa, yang tidak boleh tidak
bagiNya, Yang Tunggal, yang tiada lawan bagiNya, yang setiap sesuatu bergantung
kepadaNya, yang tiada membantahiNya, Yang Kaya, yang tiada mempunyai hajat
keperluan, Yang Kuasa, yang berbuat sekehendakNya, yang menghukumkan akan apa
yang dikehendakiNya. Tiada yang menolak bagi hukumNya. Tiada yang mendatangkan
akibat bagi hukumNya. Yang Mengetahui, yang tiada tersembunyi dari ilmuNya
seberat atompun di langit dan di bumi. Yang Perkasa, yang tiada keluar dari
genggaman qudrah (kuasa)Nya leher orang-orang yang sombong. Tiada terlepas dari
kekuasaan dan keperkasaanNya belakang leher raja-raja yang perkasa. Yang Azali
(kekal), yang tiada permulaan bagi wujudNya, Yang Abadi, yang tiada penghabisan
bagi baqa/kekalNya. Yang mudah dipahami wujudNya, yang tidak beredar
kemungkinan tidak ada, di keliling Hadlarat/keajaibanNya. Yang berdiri sendiri,
yang berdiri dengan sendiriNya dan berdiri setiap yang ada, dengan sebabNya.
Yang mengagahi langit dan bumi. Yang menciptakan benda keras, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Yang sendirian dengan kemuliaan dan keperkasaan. Yang tunggal
dengan kerajaan dan pemerintahan. Yang mempunyai kurnia dan kebesaran,
kebagusan dan kecantikan, qudrah (kuasa) dan kesempurnaan. Yang heran semua
akal pada mengenal kemuliaanNya, yang bisu semua lidah pada menyifatkanNya.
Yang kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’ala orang-orang yang berma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala), ialah: mengaku dengan kelemahan daripada ma’rifahNya
(mengenalNya). Dan kesudahan kenabian nabi-nabi ialah: mengaku dengan
kependekan kesanggupan daripada menyifatkanNya. Sebagaimana disabdakan oleh
penghulu nabi-nabi, rahmat Allah kepadanya dan kepada nabi-nabi sekalian: “Aku
tidak dapat menghinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau memujikan
diri Engkau sendiri”.
Berkata Abubakar penghulu
orang-orang siddik ra: “Kelemahan daripada memperoleh indra
itu indra. Maha Suci Tuhan, yang tidak menjadikan bagi makhluk itu jalan kepada
mengenalNya, selain dengan kelemahan daripada mengenalNya”. Kiranya aku dapat
mengetahui, siapa yang memungkiri kemungkinan kecintaan Allah Ta’ala secara hakikat/makna
dan menjadikannya secara majaz/sebenarnya ?
adakah ia memungkiri, bahwa sifat-sifat ini dari sifat-sifat keelokan dan
terpuji, sifat-sifat kesempurnaan dan kebagusan ? atau ia memungkiri adanya
Allah Ta’ala bersifat dengan sifat-sifat tersebut ? atau ia memungkiri adanya
kesempurnaan dan keelokan, kebagusan dan kebesaran yang dicintai dengan tabiat,
pada orang yang mengetahui ? maka Maha Suci Tuhan, yang terhijab dari
penglihatan mata hati orang-orang yang buta, karena cemburu atas keelokan dan
keagunganNya, bahwa ia dapat melihatNya, selain orang yang telah mendahului
sifat-sifat yang baik baginya daripadaNya, dimana mereka itu dijauhkan dari
neraka hijab. Dan ditinggalkan orang-orang yang merugi, yang berjalan
menyombongkan diri dalam gelap kebutaan, yang pulang pergi pada tempat
gembalaan yang telah diserang salju dan nafsu keinginan binatang. Mereka tahu
secara zahiriyah dari kehidupan duniawi dan mereka lalai dari akhirat. Segala
pujian bagi Allah. Akan tetapi, kebanyakan mereka tiada tahu. Maka kecintaan
dengan sebab ini adalah lebih kuat dari kecintaan dengan sebab al-ihsan
(perbuatan baik). Karena perbuatan baik itu bertambah dan berkurang.
Dan karena itulah, Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Bahwa
yang paling banyak cintaKu, ialah kepada siapa yang menyembah Aku, dengan tanpa
pemberian. Akan tetapi, untuk ia memberikan kepada ketuhanan akan haknya”.
Tersebut dalam Zabur: “Siapakah yang lebih zalim, dari orang yang beribadah(berbakti)
kepadaku, karena sorga atau neraka ? jikalau tidaklah Aku ciptakan sorga dan
neraka, apakah Aku tidak berhak untuk ditaati ?”.
Nabi Isa as lalu pada
tempat suatu golongan yang banyak beribadah, yang kurus badannya. Mereka itu
mengatakan: “Kami takut kepada neraka dan kami mengharap akan sorga”. Nabi Isa
as menjawab kepada mereka: “Makhluk yang kamu takuti dan makhluk yang kamu
harap”. Ia lalu pula pada tempat kaum yang lain seperti yang demikian. Mereka
itu mengatakan: “Kami menyembahNya, karena cinta kepadaNya dan membesarkanNya,
karena keagunganNya”. Lalu nabi Isa as menjawab: “Kamu adalah aulia (wali-wali)
Allah yang sebenarnya. Bersama kamu aku disuruh, bahwa aku bertempat tinggal”.
Abu Hazim berkata: “Aku
malu bahwa aku beribadah kepadaNya, karena pahala dan siksa. Maka dengan
demikian, adalah aku seperti budak yang jahat. Jikalau tidak takut, niscaya ia
tidak bekerja. Dan seperti orang yang diupahi, yang jahat, jikalau tidak diberi
upah, niscaya ia tidak bekerja”. Tersebut pada hadits: “Tidak adalah seseorang
dari kamu itu seperti orang yang diupahi, yang jahat. Kalau tidak diberikan
upah, niscaya ia tidak bekerja. Dan tidak seperti budak yang jahat. Jikalau ia
tidak takut, niscaya ia tidak bekerja”.
Adapun sebab yang kelima
bagi cinta itu, ialah: kesesuaian dan kesebentukan. Karena keserupaan sesuatu
itu menjadi tertarik kepadanya. Bentuk kepada bentuk itu lebih cenderung. Dan
karena itulah, anda melihat anak kecil berjinak hati sesama anak kecil. Orang
besar berjinak hati sesama besar. Burung menjadi jinak dengan yang semacam
dengan dia dan lari daripada yang tidak semacam. Orang yang berilmu menjadi
berjinak hati dengan yang berilmu itu lebih banyak dibandingkan dengan orang
yang berperusahaan. Tukang kayu berjinak hati dengan tukang kayu itu lebih
banyak daripada berjinak-hatinya dengan petani. Ini adalah keadaan yang
disaksikan oleh percobaan. Disaksikan oleh hadits dan atsar, sebagaimana telah
kami selidiki lebih jauh pada Bab Persaudaraan pada jalan Allah dari Kitab
Persaudaraan. Maka hendaklah dicari daripadanya !. Apabila adalah kesesuaian
itu sebab kecintaan, maka kesesuaian kadang-kadang ada dalam arti zahiriyah.
Seperti kesesuaian anak kecil dengan sesama anak kecil dalam arti keanak
kecilan. Kadang-kadang arti itu tersembunyi, sehingga tidak terlihat.
Sebagaimana anda melihat pada persatuan yang terjadi dengan kesepakatan
diantara dua orang, tanpa memperhatikan keelokan atau mengharap pada harta atau
lainnya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi saw, karena beliau bersabda: “Jiwa
itu adalah seperti tentara yang dikumpulkan. Maka yang berkenal-kenalan
daripadanya, niscaya berjinakan hati. Dan yang bertentangan daripadanya,
niscaya timbul perselisihan”. Berkenal-kenalan itu ialah kesesuaian. Dan
bertentangan itu ialah perbedaan. Sebab ini juga menghendaki akan kecintaan
kepada Allah Ta’ala, karena kesesuaian batiniyah, yang tidak kembali kepada
keserupaan pada rupa dan bentuk. Akan tetapi, kepada makna-makna batiniyah,
yang boleh disebutkan sebahagian daripadanya pada kitab-kitab dan sebahagian
daripadanya, tidak boleh dituliskan. Akan tetapi, ditinggalkan di bawah tutup
kecemburuan, sampai dapat diketahui oleh orang-orang yang menempuh jalan kepada
Tuhan, apabila mereka telah menyempurnakan syarat suluk (berjalan ke jalan
Tuhan). Maka yang disebut itu, ialah dekatnya hamba kepada Tuhannya ‘Azza Wa
Jalla, pada sifat-sifat yang disuruh ikuti dan berbudi pekerti dengan akhlaq
ar-rububiyah (budi pekerti ketuhanan). Sehingga dikatakan: “Berakhlaqlah dengan
akhlaq Allah !”. Yang demikian itu, pada mengusahakan sifat-sifat yang terpuji,
yang dia itu termasuk sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu, kebajikan, al-ihsan
(perbuatan baik), lemah-lembut, melimpahnya kebajikan, rahmat kepada makhluk,
nasehat kepada mereka, menunjukkan mereka kepada kebenaran, mencegah mereka
dari yang salah dan yang lain-lain dari sifat-sifat agama yang mulia. Semua itu
mendekatkan kepada Allah swt. Tidak dengan makna mencari kedekatan dengan
tempat. Akan tetapi: sifat-sifat.
Adapun apa yang tidak
boleh dituliskan di kitab-kitab, dari kesesuaian khusus, yang khusus anak Adam
dengan dia, maka ialah yang diisyaratkan kepadanya oleh firman Allah Ta’ala:
“Mereka bertanya kepada engkau tentang ruh (nyawa). Jawablah: Ruh itu termasuk
urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Karena Ia menerangkan, bahwa itu
urusan ketuhanan, yang keluar dari batas akal pikiran makhluk. Dan dijelaskan
dari yang demikian oleh firman Allah Ta’ala: “Dan setelah dia sempurna Aku buat
dan Aku tiupkan kepadanya ruhKu”. S 15 Al Hijr ayat 29. Karena itulah, Aku
suruh sujud malaikat-malaikatKu kepadanya. Diisyaratkan kepadanya oleh firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di muka bumi”. S 38
Shaad ayat 26. Karena tiada mustahak(yang layak dimiliki) Adam menjadi khalifah
Allah, selain dengan kesesuaian itu. Dan kepadanya dirumuskan oleh sabda Nabi
saw: “Bahwa Allah menjadikan Adam atas bentukNya”. Sehingga orang-orang yang
pendek pikiran menyangka, bahwa tiadalah bentuk itu, selain bentuk zahiriyah,
yang diketahui dengan pancaindra. Lalu mereka menyerupakan, mentubuhkan dan
membentukkan. Maha suci Allah Tuhan semesta alam, dari apa yang dikatakan oleh
orang-orang bodoh, dengan kesucian yang sebenar-benarnya.
Kepadanyalah diisyaratkan
dengan firman Allah Ta’ala kepada Musa as: “Engkau sakit, maka engkau tidak
berkunjung kepadaKu”. Musa as lalu bertanya: “Wahai Tuhanku ! bagaimana yang
demikian !”. Tuhan berfirman: “Telah sakit hambaKu si Anu, maka engkau tidak
berkunjung kepadanya. Jikalau engkau berkunjung kepadanya, niscaya engkau
dapati Aku di sisinya”. Kesesuaian ini tidak lahir, selain
dengan rajin mengerjakan ibadah sunat, sesudah teguhnya ibadah wajib.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Senantiasalah hamba itu berdekatan
kepadaKu dengan ibadah sunat, sehingga Aku mengasihinya. Maka apabila Aku
mengasihinya, niscaya adalah Aku pendengarannya, yang ia mendengar dengan dia.
Penglihatannya, yang ia melihat dengan dia. Dan lidahnya, yang ia bertutur kata dengan dia”. Inilah tempat
yang wajib digenggam mata pena padanya. Manusia telah tergolong padanya kepada
orang-orang yang pendek akal pikiran, yang cenderung kepada penyerupaan dengan
makhluk (at-tasybih) yang jelas. Dan kepada orang-orang yang bersangatan
berlebih-lebihan, yang melampaui batas kesesuaian, kepada bersatu dengan Tuhan
(al-ittihad). Dan mereka mengatakan: al-hulul (Tuhan bertempat padanya).
Sehingga sebahagian mereka mengatakan: “Anal-Haqq (Aku Al-Haqq)”. Orang Nasrani
itu menjadi sesat tentang Isa as, dimana mereka mengatakan: dia itu Tuhan. Berkata sebahagian yang lain dari
mereka: manusia itu berbaju dengan ketuhanan. Golongan yang lain mengatakan: ia
bersatu dengan Tuhan (al-ittihad). Adapun mereka yang tersingkap baginya
kemustahilan keserupaan dan keseumpamaan, kemustahilan al-ittihad (ia bersatu dengan Tuhan) dan al-hulul(Tuhan
bertempat padanya) dan terang bagi mereka serta yang demikian, akan
hakikat/makna rahasia, maka mereka ini adalah sangat
sedikit. Semoga Abul-Hasan An-Nuri dari maqam ini. Adalah ia
memperhatikan, ketika kerasnya perasaan, pada ucapan orang yang mengatakan:
Senantiasalah aku menempati,
suatu tempat dari kecintaan engkau.
Heranlah segala hati,
ketika menempatinya.
Senantiasalah ia berlari-larian dalam
perasaannya (emosinya) di atas kayu-kayuan rimba, yang telah dipotong batangnya
dan tinggallah pokok-pokoknya. Sehingga pecahlah kedua tapak kakinya dan
bengkak. Ia wafat dari yang demikian itu. Dan inilah sebab kecintaan yang
terbesar dan yang terkuat. Itulah yang termulia, yang paling jauh dan yang
paling sedikit adanya. Inilah yang dimaklumi dari sebab-sebab cinta. Jumlah
yang demikian itu menampak pada Allah Ta’ala secara hakiki, tidak secara majazi/sebenarnya,
pada derajat yang tertinggi, tidak pada yang terendah. Maka adalah dapat
diterima oleh akal, lagi diterima oleh orang-orang yang mempunyai mata hati
akan kecintaan kepada Allah Ta’ala saja. Sebagaimana bahwa diterima oleh akal,
lagi mungkin pada orang buta, akan kecintaan kepada selain Allah Ta’ala saja.
Kemudian, setiap orang yang mencintai makhluk dengan salah satu dari
sebab-sebab tersebut, niscaya tergambar bahwa ia mencintai yang lain, karena
kesekutuannya dengan yang lain itu pada sebabnya. Kesekutuan itu suatu
kekurangan pada kecintaan dan kerendahan dari kesempurnaannya. Tiada
bersendirian seorangpun dengan sifat yang disukai, melainkan kadang-kadang
terdapat baginya sekutu padanya. Kalau tidak terdapat, maka mungkin akan
terdapat, selain Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya Dia bersifat dengan
sifat-sifat itu, yang menjadi penghabisan keagungan dan kesempurnaan. Tiada
sekutu bagiNya pada yang demikian, pada kewujudan. Dan tidak tergambar bahwa
ada yang demikian itu suatu kemungkinan. Maka tidak dapat dibantah, bahwa tidak
ada pada kecintaan kepada Allah itu perkongsian. Tidak berjalan kekurangan
kepada kecintaan kepadaNya. Sebagaimana tiada berjalan perkongsian kepada
sifat-sifatNya. Dialah yang mustahak/yang layak dimiliki. Karena pokoknya
ialah: cinta. Untuk kesempurnaan cinta itu, tiada sekali-kali berbagai bagian
padanya.
PENJELASAN: bahwa kelezatan
yang paling agung dan paling tinggi, ialah: mengenal Allah Ta’ala dan memandang
kepada WajahNya yang mulia. Dan tidak tergambar bahwa diutamakan kelezatan yang
lain daripadanya, kecuali orang yang telah diharamkan dari kelezatan ini.
Ketahuilah, bahwa kelezatan-kelezatan
itu mengikuti perasaan. Dan manusia itu mengumpulkan sejumlah dari
kekuatan-kekuatan dan gharizah-gharizah (tabiat akal/instinc). Bagi setiap kekuatan
dan tabiat akalitu mempunyai kelezatan. Kelezatan pada mencapainya itu menurut
kehendak tabiatnya, yang diciptakan untuknya. Bahwa gharizah-tabiat akalitu
tidaklah disusun pada manusia, dengan sia-sia. Akan tetapi, setiap kekuatan dan
tabiat akalitu disusun, karena sesuatu dari hal-hal yang dikehendaki menurut
tabiat. Tabiat akalmarah itu diciptakan untuk kesembuhan hati dan menuntut
balas. Maka tidak dapat dibantah, bahwa kelezatannya pada kemenangan dan
menuntut balas itulah, yang dikehendaki tabiatnya. Tabiat akalkeinginan makanan
umpamanya, dijadikan untuk menghasilkan makanan, yang dengan makanan itu dapat
berdiri. Maka tidak dapat dibantah, bahwa kelezatannya pada memperoleh makanan
ini, itulah yang dikehendaki oleh tabiatnya. Seperti demikian juga, kelezatan
mendengar, melihat dan mencium, pada penglihatan, pendengaran dan penciuman.
Tidak terlepas salah satu dari gharizah-tabiat akalitu, dari kepedihan dan
kelezatan, dengan dikaitkan kepada yang diindrakannya. Maka seperti demikian
pula, pada hati itu gharizah (tabiat akal/instinc), yang dinamakan: nur
ketuhanan (an-nur al-ilahiy), karena firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang
dibukakan oleh Allah dadanya menerima Islam, maka dia itu mendapat nur (cahaya)
dari Tuhannya”. S 39 Az Zumar ayat 22.
Kadang-kadang nur itu
dinamakan: akal. Kadang-kadang dinamakan: mata hati batiniyah. Dan
kadang-kadang dinamakan: nur iman dan yakin. Tak adalah arti menyibukkan diri
dengan: nama-nama. Bahwa istilah itu bermacam-macam. Orang yang lemah
menyangka, bahwa perselisihan itu terjadi pada: arti. Karena orang yang lemah
itu mencari arti dari lafal. Dan itu kebalikan yang wajib. Hati itu berbeda
dengan bahagian-bahagian badan yang lain, dengan sifat yang memberitahukan arti,
yang tidak menjadi khayalan dan dirasakan dengan pancaindra. Seperti:
diketahuinya kejadian alam. Atau berhajatnya alam kepada Khaliq (yang maha
pencipta) yang tiada berpemulaan, Yang mengatur, Yang Maha Bijaksana, yang
bersifat dengan sifat-sifat ketuhanan. Marilah kita namakan tabiat akalitu:
akal, dengan syarat, bahwa tidak dipahami dari lafal akal, akan apa yang dengan
itu, dapat diketahui jalan-jalan bertengkar dan bertukar pikiran. Telah
terkenallah nama akal dengan ini. Dan karena itulah, dicela oleh sebahagian
kaum shufi. Jikalau tidak, maka itu adalah sifat yang membedakan manusia dari
hewan. Dengan sifat itu diketahui, bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada
Allah Ta’ala itu sifat yang termulia. Maka tiada seyogyalah bahwa sifat itu
dicela. Dan tabiat akalini diciptakan, untuk diketahui hakikat/makna semua
urusan. Maka yang dikehendaki oleh tabiatnya, ialah: ilmu mengenal Allah Ta’ala
dan ilmu. Dan itulah kelezatannya. Sebagaimana yang dikehendaki oleh gharizah-tabiat
akalyang lain, ialah: kelezatannya. Tidaklah tersembunyi, bahwa pada ilmu dan ilmu
mengenal Allah Ta’ala itu kelezatan. Sehingga, orang yang dihubungkan kepada
ilmu dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), walaupun pada sesuatu yang
rendah, niscaya ia bergembira. Dan orang yang dihubungkan kepada kebodohan,
walaupun pada barang yang tidak berharga, niscaya ia bersusah hati. Sehingga
manusia hampir tidak dapat bersabar, daripada berlomba-lombaan dan
berpuji-pujian dengan ilmu, pada barang-barang yang tidak berharga. Orang yang
pandai dengan permainan catur, dengan rendahnya permainan itu, tidak sanggup
berdiam diri padanya, daripada mengajarkan. Lidahnya terlepas dengan
menyebutkan apa yang diketahuinya. Semua itu adalah karena bersangatan lezatnya
ilmu dan apa yang dirasakan daripada kesempurnaan diri ilmu itu. Bahwa ilmu itu
termasuk hal yang terkhusus dari sifat-sifat ketuhanan. Dan dialah kesudahan
kesempurnaan. Karena itulah, tabiat manusia merasa
senang, apabila ia dipujikan dengan cerdik dan banyak ilmu. Karena ia
merasa ketika mendengar pujian itu, akan kesempurnaan dirinya dan kesempurnaan
ilmunya. Lalu ia mengherani diri dan merasa enak dengan yang demikian.
Kemudian, tidaklah kelezatan ilmu itu dengan membajak tanah dan menjahit,
seperti lezatnya ilmu dengan mengendalikan pemerintahan dan mengatur urusan
makhluk. Dan tidaklah kelezatan ilmu dengan tata-bahasa dan syair, seperti
lezatnya ilmu mengenai Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan malaikat-malaikatNya,
kerajaan langit dan bumi. Akan tetapi, kelezatan ilmu itu menurut kadar kemuliaan
ilmu. Dan kemuliaan ilmu itu, menurut kadar kemuliaan yang diketahui. Sehingga
orang yang mengetahui hal-ihwal batin manusia dan menceritakan dengan yang
demikian, memperoleh kelezatan baginya. Dan kalau tidak diketahuinya, niscaya
tabiatnya menghendaki untuk menyeledikinya. Kalau ia mengetahui hal-ihwal batin
kepala negeri dan rahasia pengaturannya pada pimpinannya, niscaya adalah yang
demikian itu lebih enak baginya dan lebih baik, daripada ilmunya dengan
hal-ihwal batin petani atau penenun kain. Kalau dapat ia mengetahui rahasia
menteri dan pengaturannya dan apa yang menjadi azamnya pada urusan kementrian,
maka itu lebih merindukan baginya dan lebih enak dari ilmunya dengan rahasia
kepada pemerintahan (raja atau presiden). Kalau ia tahu dengan batin hal-ihwal
raja dan sultan, yang berkuasa atas menteri, niscaya adalah yang demikian itu
lebih terasa baik baginya dan terasa enak, daripada diketahuinya batin
rahasia-rahasia menteri. Pemujian dengan yang demikian dan keinginannya kepada
yang demikian dan kepada pembahasannya itu lebih kuat. Dan keinginannya bagi
yang demikian itu lebih banyak. Karena kelezatannya pada yang demikian itu
lebih besar.
Dengan ini, jelaslah bahwa
ilmu mengenal Allah Ta’ala yang paling lezat, ialah yang paling mulia daripadanya.
Kemuliaannya itu menurut kemuliaan ilmu yang diketahui. Kalau dalam ilmu yang
diketahui itu, ada yang lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih
besar, maka mengetahuinya itu sudah pasti menjadi ilmu yang paling lezat,
paling mulia dan paling baik. Kiranya aku dapat mengetahui, adakah pada alam
wujud ini yang lebih agung, lebih tinggi, lebih mulia, lebih sempurna dan lebih
besar, daripada Pencipta segala sesuatu seluruhnya, Penyempurnanya,
Penghiasnya, Pengadakannya, Pengulanginya, Pengaturnya dan Penyusunnya ? adakah
tergambar bahwa ada pada kepunyaan kesempurnaan, keelokan, kebagusan dan
keagungan itu yang lebih agung dari hadlarat/keajaiban ketuhanan, yang tidak
diliputi dengan pokok-pokok keagungan dan keajaiban hal-ihwalnya, oleh penyifatan
orang-orang yang menyifatkan? Kalau anda tidak ragu lagi pada yang demikian,
maka tiada seyogyalah bahwa anda ragu, tentang mengetahui rahasia-rahasia
ketuhanan dan ilmu dengan teraturnya urusan-urusan ketuhanan, yang meliputi
dengan setiap yang maujud (yang ada), adalah yang tertinggi dari segala macam ilmu
mengenal Allah Ta’ala dan yang diketahui, yang terlezat, terbaik, paling
dirindui dan yang paling patut bagi apa yang dirasakan oleh diri, ketika
menyifatkan akan kesempurnaan dan keelokannya dan yang lebih patut bagi apa
yang besarlah kegembiraan, kesenangan dan kegembiraan. Dengan ini, jelaslah
bahwa ilmu itu lezat, ilmu yang paling lezat, ialah ilmu yang menyangkut dengan
Allah Ta’ala, dengan sifat-sifatNya, Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya dan pengaturanNya
dalam kerajaanNya, dari penghabisan ‘ArasyNya, sampai kepada sempadan bumi.
Maka seyogyalah bahwa diketahui, bahwa kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu
lebih kuat dari kelezatan-kelezatan yang lain. Yakni: kelezatan nafsu syahwat,
marah dan kelezatan pancaindra yang 5 lainnya. Bahwa kelezatan itu yang
pertama, berlainan macamnya, seperti: berlainannya kelezatan bersetubuh dengan
kelezatan mendengar, kelezatan ma’rifah(ilmu mengenal Allah Ta’ala) dengan
kelezatan menjadi kepala. Dan itu berbeda pula dengan lemah dan kuat, seperti
berlainannya kelezatan orang yang berkobar-kobar nafsunya dari bersetubuh, dari
kelezatan orang yang lemah syahwat. Dan seperti berlainannya kelezatan
memandang kepada wajah yang cantik, yang mengatasi kecantikannya, dari kelezatan
memandang kepada wajah yang kurang cantiknya. Sesungguhnya dikenal kelezatan
yang terkuat, ialah: dengan adanya kelezatan itu membekas kepada yang lain.
Bahwa orang yang disuruh memilih, antara memandang kepada rupa yang cantik dan
bersenang-senang dengan menyaksikannya, dengan menghirup bau-bauan yang harum,
maka apabila orang itu memilih memandang kepada rupa yang cantik, niscaya dapat
diketahui, bahwa rupa yang cantik itu yang paling lezat padanya dari bau-bauan
yang harum. Seperti yang demikian juga, apabila dihidangkan makanan waktu makan
dan orang yang bermain catur, itu terus bermain dan meninggalkan makan, maka
dapatlah diketahui dengan yang demikian, bahwa kelezatan mengeras pada catur
itu lebih kuat padanya, daripada kelezatan makan. Maka inilah ukuran yang benar
pada penyingkapan, dari penguatan kelezatan-kelezatan itu.
Maka kami kembali dan
mengatakan: Kelezatan itu terbagi kepada zahiriyah, seperti: kelezatan
pancaindra yang 5. Dan kepada batiniyah, seperti: kelezatan menjadi kepala, menang,
mulia, ilmu dll. Karena tidaklah kelezatan ini bagi mata, hidung, telinga,
sentuh dan rasa. Makna batiniyah itu lebih banyak bagi orang-orang yang
mempunyai kesempurnaan, dari kelezatan zahiriyah. Kalau orang disuruh pilih,
antara kelezatan ayam gemuk dan kue yang terbuat dari gula dan kelapa, antara
kelezatan menjadi kepala dan menundukkan musuh dan memperoleh derajat
pemerintahan, maka jikalau orang yang disuruh memilih itu rendah cita-cita,
mati hati dan kuat selera makannya, niscaya ia memilih daging dan kue. Kalau ia
tinggi cita-cita dan sempurna akal pikirannya, niscaya ia memilih menjadi
kepala. Dan ringanlah kepadanya lapar dan sabar dari perlunya makanan bagi
hari-hari yang banyak. Maka pilihannya bagi menjadi kepala itu menunjukkan
bahwa itu lebih enak baginya dari makanan-makanan yang baik. Benar, kekurangan
yang tidak sempurna makna-maknanya yang batiniyah kemudian, seperti: anak kecil
atau seperti orang yang telah mati kekuatan-kekuatan batiniyah, seperti: orang
yang kurang akal, niscaya tidaklah jauh, bahwa ia mengutamakan kelezatan
makanan dari kelezatan menjadi kepala. Dan sebagaimana kelezatan menjadi kepala
dan mulia itu kelezatan yang lebih mengerasi, bagi orang yang telah melampaui
kekurangan keanak-kecilan dan kekurangan akal pikiran, maka kelezatan mengenal
Allah Ta’ala dan menengok keindahan Hadlarat/keajaiban Ketuhanan dan memandang
kepada rahasia urusan-urusan ketuhanan itu lebih lezat dari menjadi kepala,
yang menjadi kelezatan yang tertinggi, yang mengerasi kepada makhluk manusia.
Ibarat yang penghabisan daripadanya, bahwa dikatakan: diri itu tidak mengetahui
apa yang tersembunyi bagi mereka, dari cahaya mata. Dan sesungguhnya disediakan
bagi mereka, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar
oleh telinga dan tidak pernah terguris pada hati manusia. Inilah sekarang yang
tidak diketahui, selain oleh orang yang merasakan kedua kelezatan itu
sama-sama. Bahwa sudah pasti ia mengutamakan mengasingkan diri, sendirian,
berfikir dan berdzikir. Ia menyelam dalam lautan ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala), meninggalkan menjadi kepala dan ia memandang hina orang-orang yang
dikepalainya. Karena diketahuinya, dengan akan lenyap kekepalaannya, akan
lenyap orang yang menjadi kepala, keadaannya yang bercampur dengan
kekeruhan-kekeruhan, yang tidak tergambar akan terlepas daripadanya. Keadaannya
yang terputus dengan mati, yang tak dapat tidak dari kedatangannya, betapapun
bumi itu mengambil isinya dan dihiaskan. Dan penduduk bumi itu menyangka, bahwa
mereka berkuasa atas bumi. Lalu ia merasa besar dengan dikaitkan kepadanya,
akan kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, memperhatikan
sifat-sifatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan susunan kerajaanNya dari
yang paling tinggi, sampai kepada yang paling rendah. Bahwa yang demikian itu
terlepas dari desak-mendesak dan kekeruhan yang meluas bagi orang-orang yang
datang kepadanya. Tidaklah sempit bagi mereka, disebabkan kebesarannya.
Lebarnya, menurut takaran itu langit dan bumi. Dan apabila pandangan itu telah
keluar dari takaran, maka tiada penghabisan bagi lebarnya.
Senantiasalah orang yang
berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu memperhatikan dalam sorga, yang
lebarnya langit dan bumi. Yang bermain-main dalam kebunnya, memetik
buah-buahannya, menghirup dari air kolam-kolamnya dan ia merasa aman daripada
terputusnya. Karena buah-buahan sorga ini tidak pernah terputus dan terlarang.
Kemudian, dia itu abadi yang berkekalan, yang tidak diputuskan oleh mati.
Karena mati itu tidak meruntuhkan tempat ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada
Allah Ta’ala. Dan tempatnya itu roh yang menjadi urusan ketuhanan yang maha
tinggi. Bahwa mati itu merobahkan hal-ihwalnya, memutuskan segala kesibukan dan
penghalang-penghalangnya. Dan melepaskannya dari tahanannya.
Adapun bahwa
ditiadakannya, maka tidaklah yang demikian. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah
kamu menyangka mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu ! tidak !
Mereka itu hidup, mereka mendapat rezeki dari sisi Tuhan. Mereka gembira karena
kurnia yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dan mereka merasa girang
terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka, bahwa mereka tiada
merasa takut dan tidak pula berduka-cita”. S 3 Ali ‘Imran ayat 169-170. Jangan
anda menyangka, bahwa ini khusus dengan yang terbunuh dalam peperangan. Bahwa
bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu, dengan setiap
jiwa derajat 1000 orang syahid. Tersebut pada hadits, bahwa orang syahid itu
berangan-angan di akhirat, bahwa ia dikembalikan ke dunia. Lalu ia terbunuh
sekali lagi. Karena besarnya apa yang dilihatnya dari pahala syahid. Dan bahwa
orang-orang syahid itu berangan-angan, jikalau adalah mereka itu ulama, karena
apa yang dilihatnya dari ketinggian derajat ulama.
Jadi, semua tepi kerajaan
langit dan bumi itu menjadi lapangan bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala), yang ia bertempat daripadanya, di mana saja ia kehendaki, tanpa
memerlukan kepada bergerak ke semua tepi itu, dengan tubuhnya dan dirinya. Maka
itu termasuk memperhatikan keindahan alam malakut dalam sorga, yang lebarnya
langit dan bumi. Dan bagi setiap orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala) adalah seperti yang demikian, tanpa sekali-kali bahwa sebahagian mereka
menyempitkan kepada sebahagian yang lain. Hanya, mereka itu berlebih-kurang
tentang luasnya tempat mereka berjalan-jalan, dengan kadar berlebih-kurangnya
mereka pada keluasan pandangan dan luasnya ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka.
Dan mereka itu bertingkat-tingkat pada sisi Allah. Dan tidak masuk dalam
hinggaan, berlebih-kurangnya derajat mereka. Maka sesungguhnya telah jelas,
bahwa kelezatan menjadi kepala dan itu hal batiniyah, adalah lebih kuat pada
orang-orang yang mempunyai kesempurnaan, dari kelezatan pancaindra semuanya.
Bahwa kelezatan ini, tidak ada bagi binatang, anak kecil dan orang yang lemah
akal. Bahwa kelezatan yang dirasakan dengan pancaindra dan nafsu syahwat itu
adalah bagi orang-orang yang mempunyai kesempurnaan, serta kelezatan menjadi
kepala. Akan tetapi, mereka mengutamakan menjadi kepala.
Adapun makna keadaan ilmu
mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, sifat-sifatNya, Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya, kerajaan langitNya dan rahasia kerajaanNya itu adalah
kelezatan yang lebih besar, dibandingkan dari menjadi kepala. Maka ini khusus
dengan ma’rifahNya (ilmu mengenal Allah Ta’alaNya), orang yang memperoleh
martabat ilmu mengenal Allah Ta’ala dan merasakannya. Dan tidak mungkin adanya
yang demikian itu, pada orang yang tidak mempunyai hati. Karena hati itu
tambang kekuatan ini. Sebagaimana tidak mungkin menetapkan kekuatan lezatnya
bersetubuh atas lezatnya bermain dengan tongkat yang bengkok hulunya, bagi
anak-anak kecil. Dan tidak mungkin menetapkan kuatnya atas kelezatan mencium
banafsaj (sebangsa tumbuh-tumbuhan yang bunganya wangi) bagi orang yang lemah
syahwat (impoten). Karena ia ketiadaan sifat, yang dengan sifat itu diketahuinya
kelezatan ini. Akan tetapi, siapa yang selamat dari bahaya kelemahan syahwat
dan selamat pancaindra ciumannya, niscaya ia dapat mengetahui akan
kelebih-kurangannya diantara dua kelezatan itu. Dan pada orang ini, tiada lagi,
selain bahwa dikatakan: “Siapa yang merasakan, niscaya tahu”.
Demi umurku, bahwa
penuntut-penuntut ilmu, walaupun tidak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu
mengenal Allah Ta’ala urusan ketuhanan, maka mereka sesungguhnya telah
menghirup bau kelezatan ini, ketika tersingkapnya kesulitan-kesulitan dan
terbukanya hal-hal yang meragukan, yang kuatlah kelobaan mereka kepada
menuntutnya. Bahwa itu juga ma’rifah-ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan
ilmu-ilmu, walaupun yang menjadi ilmu padanya tidak mulia, sebagaimana mulianya
yang menjadi ilmu dari hal ketuhanan (al-ma’lumat al-ilahiyah).
Adapun orang yang panjang
pikirannya tentang ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah swt dan telah
tersingkap baginya dari rahasia-rahasia kerajaan Allah, walaupun sesuatu yang
sedikit, maka sesungguhnya ia menemui dalam hatinya ketika berhasilnya kesingkapan
al-kasyaf (terbuka hijab) itu, akan kegembiraan, yang tidak hampir akan terbang
daripadanya. Dan ia merasa heran dari dirinya pada ketetapan dan kemungkinannya
bagi kekuatan kegembiraan dan kesenangannya. Dan ini termasuk hal yang tidak
dapat diketahui, selain dengan perasaan. Menceritakan tentang hal tersebut itu
sedikit faedahnya. Maka sekedar ini memberitahukan kepada anda, bahwa ilmu
mengenal Allah Ta’ala akan Allah swt itu yang paling lezat dari segala sesuatu.
Dan tidak ada yang lezat di atasnya lagi. Karena
inilah, maka berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Bahwa Allah mempunyai
hamba-hamba, yang tidak menyibukkan mereka dari Allah oleh ketakutan kepada
neraka dan keharapan kepada sorga. Maka bagaimanakah mereka disibukkan oleh
dunia, daripada mengingati Allah?”. Karena yang demikianlah, sebahagian teman
dari Ma’ruf Al-Karkhi berkata kepadanya: “Terangkanlah kepadaku hai Abu
Mahfudh, hal apakah yang menggerak kan anda kepada ibadah dan memutuskan diri
dari makhluk ?”. Ma’ruf Al-Karkhi diam, lalu teman itu menjawab: “Mengingati
mati”. Ma’ruf lalu bertanya: “Yang manakah itu mati ?”. Teman itu menjawab:
“Mengingatkan kubur dan alam barzakh”. Ma’ruf maka bertanya: “Yang manakah itu
kubur ?”. Teman itu lalu menjawab: “Takut neraka dan harap sorga”. Ma’ruf
bertanya lagi: “Yang manakah ini ? bahwa Raja, yang ini semuanya di TanganNya,
jikalau engkau mencintaiNya, niscaya melupakan engkau akan semua yang demikian.
Dan jikalau ada diantara engkau dan Dia itu ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala), niscaya mencukupi bagi engkau akan semua ini”.
Dalam berita-berita Isa as
ada tersebut: “Apabila engkau melihat pemuda itu tergantung hatinya dengan
mencari Tuhan Yang Maha Tinggi, maka sesungguhnya ia dilupakan oleh yang
demikian, dari yang selainNya”. Sebahagian para syaikh memimpikan Bisyr bin
Al-Harts, lalu yang bermimpi itu bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh Abu
Nasar At-Tammar dan Abdul wahhab Al-Warraq ?”. Bisyr bin Al-Harts menjawab:
“Aku tinggalkan keduanya sesaat di hadapan Allah Ta’ala, makan dan minum”. Aku
lalu bertanya: “Lalu engkau ?”. Bisyr bin Al-Harts menjawab: “Allah Ta’ala tahu
akan sedikitnya kegemaranku pada makan dan minum. Maka dibiarkanNya aku
memandang kepadaNya”.
Dari Ali bin Al-Muwaffaq,
yang mengatakan: “Aku bermimpi, seakan-akan aku masuk sorga. Lalu aku melihat
seorang laki-laki duduk pada suatu hidangan. Dua malaikat di kanan dan di
kirinya menyuapkannya dari semua makanan yang enak-enak. Dan orang itu terus
makan. Aku melihat seorang laki-laki yang berdiri di pintu sorga, yang
memperhatikan wajah semua manusia. Lalu dibolehkannya masuk sebahagian dan
ditolaknya sebahagian”. Ali bin Al-Muwaffaq meneruskan ceritanya: “Kemudian,
aku lewati kedua orang laki-laki itu ke Hadlaratul-Quds (suatu tempat di kanan
Al-‘arasy). Lalu aku melihat di kemah Al-‘arasy seorang laki-laki memandang ke
atas, melihat kepada Allah Ta’ala, yang tiada berkedip matanya. Lalu aku
bertanya kepada malaikat Ridhwan: “Siapakah ini ?”. Malaikat Ridhwan menjawab: “Ma’ruf
Al-Karkhi. Ia beribadah kepada Allah, tidak karena takut kepada nerakaNya dan
tidak karena rindu kepada sorgaNya. Akan tetapi, karena cinta kepadaNya. Maka
ia dibolehkan memandang kepadaNya sampai hari kiamat”. Ali bin Al-Muwaffaq
menyebutkan, bahwa dua orang laki-laki yang penghabisan itu, ialah: Bisyr bin
Al-Harts dan Ahmad bin Hanbal. Karena itulah, Abu Sulaiman berkata: “Siapa yang
pada hari ini sibuk dengan urusan dirinya sendiri, maka dia itu esok sibuk
dengan dirinya sendiri. Siapa yang pada hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka
dia itu esok sibuk dengan Tuhannya”. Sufyan Ats-Tsuri bertanya kepada Rabi’ah
binti Ismail Al-‘Adawiyah: “Apakah hakikat/makna iman engkau ?”. Rabi’ah
menjawab: “Aku tidak beribadah kepadaNya, karena takut dari nerakaNya dan tidak
karena cinta kepada sorgaNya. Sehingga adalah aku seperti orang yang diberi
upah, yang jahat. Akan tetapi, aku beribadah kepadaNya, karena cinta dan rindu
kepadaNya. Rabi’ah membacakan beberapa kuntum syair tentang makna cinta:
Aku mencintai engkau dua cinta:
cinta keinginan dan cinta karena
engkau berhak yang demikian.
Adapun yang itu cinta keinginan,
maka kesibukanku menyebutkan engkau,
dari orang yang selain engkau.
Adapun cinta yang engkau berhak
baginya,
yaitu: engkau bukakan dinding bagiku,
sehingga aku melihat engkau.
Maka tak adalah pujian bagiku pada ini
dan itu,
akan tetapi, bagi engkaulah pujian
pada ini dan itu.
Semoga Rabi’ah menghendaki dengan
cinta keinginan itu cinta kepada Allah. Karena ihsan (perbuatan baik) Nya
kepada Rabi’ah dan kenikmatan yang dianugerahkanNya kepada Rabi’ah, dengan
keuntungan-keuntungan yang segera. Ia mencintai Allah, karena Dia itu berhak
mempunyai kecintaan, karena keelokanNya dan keagunganNya, yang tersingkap bagi
Rabi’ah. Dan itulah yang paling tinggi bagi dua kecintaan itu dan yang paling
kuat. Kelezatan menengok keelokan ketuhanan, yang diibaratkan oleh rasulloh
saw, dimana beliau menceritakan dari Tuhannya Yang Maha tinggi: “Aku siapkan
bagi hamba-hambaKu yang shalih, apa yang tidak pernah mata melihat, telinga
mendengar dan tidak terguris atas hati manusia”. Telah bersegeralah sebahagian
kelezatan-kelezatan ini di dunia, bagi siapa yang telah berkesudahan bersih
hatinya, kepada penghabisan. Karena itulah, sebahagian mereka mengatakan:
“Bahwa aku mengucapkan: Ya Tuhanku, Ya Allah !”. Maka aku dapati yang demikian
atas hatiku, lebih berat dari bukit. Karena panggilan itu adalah dari belakang
hijab (dinding). Adakah engkau melihat orang yang sama duduk memanggil orang
sama duduk dengan dia ? Berkata sebahagian mereka: “Apabila orang sampai kepada
ilmu ini akan penghabisannya, niscaya ia dilemparkan oleh orang banyak dengan
batu”. Artinya: keluarlah perkataannya dari batas akal-pikiran mereka. Lalu
mereka melihat apa yang dikatakannya itu gila atau kufur. Maka tujuan maksud
orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu semua, ialah
sampai dan bertemu dengan Dia saja. Maka yaitu: cahaya mata, yang tidak
diketahui oleh diri, apa yang tersembunyi bagi mereka daripadanya. Apabila
berhasil, niscaya terhapuslah segala kesusahan dan nafsu syahwat seluruhnya.
Dan jadilah hati itu tenggelam dengan nikmatnya. Jikalau ia dicampakkan dalam
neraka, niscaya tidak dirasakannya pedih, karena ketenggelaman nya. Jikalau
didatangkan kepadanya nikmat sorga, niscaya ia tidak berpaling kepadanya,
karena kesempurnaan nikmatnya dan sampainya kepada penghabisan, yang tidak ada
lagi di atasnya penghabisan. Semoga aku tahu, akan orang yang tidak memahami,
selain mencintai segala yang dapat dirasakan dengan pancaindra, bagaimana ia
beriman dengan kelezatan memandang kepada wajah Allah Ta’ala. Dan tidak adalah
bagiNya rupa dan bentuk. Dan manakah arti bagi janji allah Ta’ala dengan yang
demikian kepada hamba-hambaNya. Dan menyebutkannya bahwa itu yang terbesar dari
segala nikmat. Bahkan, orang yang mengenal Allah, niscaya ia mengenal, bahwa
kelezatan-kelezatan yang dipisahkan dengan nafsu syahwat yang bermacam-macam
seluruhnya meliputi di bawah kelezatan ini, sebagaimana dimadahkan oleh
sebahagian mereka:
Adalah bagi hatiku hawa nafsu yang
bermacam-macam,
lalu berkumpul sejak dilihat Engkau
oleh mata hawa nafsuku.
Jadilah aku didengki oleh orang yang
aku mendengkinya.
Jadilah Engkau Tuhan manusia, sejak
Engkau menjadi Tuhanku.
Aku tinggalkan bagi manusia,
dunia mereka dan agama mereka.
Karena sibuk mengingati Engkau.
Hai agamaku dan duniaku !
Karena demikian juga, berkata
sebahagian mereka:
MeninggalkanNya lebih besar dari:
neraka
menyambungkanNya lebih baik dari:
sorga.
Tiada mereka kehendaki dengan ini, selain
memilih kelezatan hati pada mengenal ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
dari kelezatan makan, minum dan kawin. Bahwa sorga itu tambang
bersenang-senangnya pancaindra. Adapun hati, maka kelezatannya pada bertemu
dengan Allah saja. Contoh bermacam-macamnya makhluk pada kelezatannya, ialah:
apa yang akan kami sebutkan. Yaitu: bahwa anak kecil pada permulaan geraknya
dan tamyiznya (dapat membedakan antara manfaat dan melarat dsb) itu, lahirlah
pada gharizah (tabiat akal/instinc), yang dengan tabiat akalitu ia merasa enak
bermain dan bersenda gurau. Sehingga adalah yang demikian itu padanya lebih
enak dari segala sesuatu yang lain. Kemudian, sesudah itu, lahirlah kelezatan
perhiasan, memakai pakaian dan mengendarai hewan-hewan kendaraan. Lalu ia
memandang rendah bersama kelezatan-kelezatan tadi, akan kelezatan bermain-main.
Kemudian, sesudah itu, lahir kelezatan bersetubuh dan nafsu syahwat kepada
wanita. Lalu dengan yang demikian, ditinggalkannya semua yang sebelumnya, untuk
sampai kepadanya. Kemudian, lahir kelezatan menjadi kepala, ketinggian dan
berbanyak-banyakan. Yaitu: yang penghabisan kelezatan dunia, yang paling tinggi
dan yang paling kuat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Ketahuilah olehmu,
bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan
bermegah-megahan antara sesama kamu, berlomba banyak kekayaan dan anak-anak;
perumpamaannya bagai hujan, yang menakjubkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian dia menjadi hancur. Dan
di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridlaanNya; dan kehidupan dunia ini tidak lain, hanyalah kesenangan tipuan
semata”. S 57 Al Hadiid ayat 20.
Kemudian, sesudah ini,
lahirlah tabiat akalyang lain, yang diindrakan dengan tabiat akalini akan ilmu
mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala dan ilmu mengenal Allah Ta’ala
perbuatan-perbuatanNya. Lalu ia memandang rendah serta tabiat akal ini, akan
semua yang sebelumnya. Maka setiap yang terakhir itu adalah lebih kuat. Dan ini
adalah yang akhir. Karena lahirlah cinta bermain pada tahun tamyiz. Cinta
wanita dan perhiasan itu pada tahun dewasa (baligh). Cinta menjadi kepala
sesudah umur 20 dan cinta kepada ilmu mendekati umur 40. Dan itulah penghabisan
yang tertinggi. Sebagaimana anak kecil tertawa kepada orang yang meninggalkan
bermain dan sibuk dengan bermain-main dengan wanita dan mencari menjadi kepala,
maka seperti demikian juga para kepala tertawa kepada orang yang meninggalkan
menjadi kepala dan sibuk dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala.
Dan orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) mengatakan:
“Jikalau kamu memperolokkan kami, maka kami memperolok-olokkan, sebagaimana
kamu memperolok-olokkan. Maka kamu akan mengetahui”.
PENJELASAN: sebab pada
tambahnya memandang pada kelezatan akhirat atas ilmu mengenal Allah Ta’ala pada
dunia.
Ketahuilah, bahwa yang diindrakan itu
terbagi kepada: yang masuk dalam khayalan. Seperti: rupa yang dikhayalkan,
tubuh yang berwarna dan yang berbentuk dari diri hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan
kepada yang tidak masuk dalam khayalan, seperti: Zat Allah Ta’ala dan setiap
apa yang tidak bertubuh, seperti: ilmu, qudrah (kuasa), Kemauan dll. Siapa yang
melihat seorang insan, kemudian memincingkan matanya, niscaya ia dapati rupa
insan tadi, hadir dalam khayalannya. Seolah-olah ia memandang kepadanya. Akan
tetapi, apabila ia membuka mata dan melihat dan ia mendapati akan perbedaan
diantara keduanya. Dan perbedaan itu tidak kembali kepada perselisihan diantara
dua rupa. Karena rupa yang dilihat itu adalah bersesuaian dengan rupa yang
dikhayalkan. Hanya saja perbedaan itu dengan lebihnya terang dan tersingkap.
Bahwa rupa orang yang dilihat itu menjadi lebih sempurna tersingkap dan
terangnya dengan dilihat. Yaitu seperti orang yang dilihat pada waktu cahaya
pagi, sebelum berkembang cahaya siang. Kemudian, dilihat ketika sempurna
terang. Maka tidaklah berbeda diantara suatu keadaan dengan lainnya, selain
pada bertambahnya terang. Jadi khayal itu adalah permulaan al-indra. Melihat
adalah kesempurnaan bagi indra khayal. Yaitu: penghabisan terbuka. Dinamakan
yang demikian itu melihat, karena dia itu penghabisan terbuka. Tidak, karena
dia itu pada mata. Akan tetapi, jikalau diciptakan oleh Allah akan al-indra(diketahui
dengan pancaindra) yang sempurna, yang terbuka, pada dahi atau dada umpamanya,
niscaya ini berhak membawa dinamakan: melihat. Apabila anda telah memahami ini
pada yang dikhayalkan, maka ketahuilah, bahwa hal-hal yang diketahui
(al-ma’lumat) yang tidak berbentuk pula dalam khayalan bagi ilmu mengenal Allah
Ta’ala dan mengindrakannya itu mempunyai dua tingkat.
Yang satu itu lebih utama. Dan yang
kedua itu kesempurnaan baginya.
Diantara yang pertama dan
yang kedua ada berlebih-kurang pada bertambahnya tersingkap dan terang,
diantara apa yang dikhayalkan dan yang dilihat. Maka yang kedua juga, dengan
dikaitkan kepada yang pertama, dinamakan: penyaksian, bertemu dan melihat. Dan
penamaan ini benar. Karena melihat itu, dinamakan: melihat, karena ia
penghabisan tersingkap. Sebagaimana sunnah Allah Ta’ala berlaku dengan
berkatupnya pelupuk mata itu mencegah dari sempurnanya tersingkap dengan melihat
dan ada ia menjadi hijab (terdinding) antara penglihatan dan yang dilihat dan
tak boleh tidak daripada terangkatnya hijab untuk berhasilnya melihat dan
selama tidak terangkat, niscaya adalah al-indra yang diperoleh itu semata-mata
khayalan, maka seperti demikian juga kehendak sunnah Allah Ta’ala, bahwa jiwa
selama terus terhijab dengan hal-hal yang mendatang bagi badan dan kehendak
nafsu syahwat dan apa yang mengerasi atasnya, dari sifat-sifat manusiawi,
niscaya tidaklah dia itu berkesudahan kepada: penyaksian dan bertemu pada
hal-hal yang diketahui di luar dari khayal. Bahkan hidup ini adalah hijab
daripadanya secara darurat, seperti hijabnya pelupuk mata dari penglihatan
mata. Pembicaraan tentang sebab adanya itu hijab akan panjang dan tidak layak
dengan ilmu ini.
Dan karena itulah, Allah
Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Engkau tidak akan dapat melihat Aku”. S 7 Al
A’raaf ayat 143. Allah Ta’ala berfirman: “Penglihatan tidak sampai (mencapai)
kepadaNya”. S 6 Al An’aam ayat 103. Artinya: di dunia. Dan yang shalih, bahwa
Rasulullah saw tidak melihat Allah Ta’ala pada malam mi’raj. Apabila terangkat
hijab dengan mati, niscaya tinggallah nyawa berlumuran dengan kotoran dunia,
tidak terlepas daripadanya secara keseluruhan, walaupun dia itu berlebih
kurang. Sebahagian daripadanya apa yang bertindis-lapis di atasnya kebusukan
dan kekaratan. Maka jadilah seperti cermin yang telah rusak bendanya,
disebabkan lamanya bertindis-lapis kebusukan. Lalu tidak dapat lagi diperbaiki
dan dikilatkan. Mereka itu orang-orang yang terhijab dari Tuhannya untuk
selama-lamanya. Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian.
Diantaranya apa yang tidak berkesudahan kepada batas kotor dan termeteri. Dan
tidak keluar dari dapat dibersihkan dan dikilatkan. Maka diletakkan di atas api,
yang dapat mencegah daripadanya akan keburukan, yang menjadi kekotorannya. Dan
adalah diletakkan di atas api sekadar perlu kepada pembersihan.
Sekurang-kurangnya sekejap mata yang enteng saja. Dan sejauh-jauhnya terhadap
orang-orang yang beriman, sebagaimana diterangkan oleh hadits-hadits adalah
7000 tahun. Tiadalah berangkat suatu nyawa dari alam ini, melainkan ia disertai
oleh debu dan kekeruhan dari apa saja, walaupun sedikit. Karena itulah Allah
Ta’ala berfirman: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke
dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan. Akhirnya, Kami
lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan) dan Kami biarkan
orang-orang yang bersalah berlutut di dalamnya”. S 19 Maryam ayat 71-72.
Maka setiap diri yakin
untuk datang ke neraka dan tidak yakin untuk keluar daripadanya. Maka apabila
Allah menyempurnakan penyucian dan pembersihannya dan sampailah suratan amal
akan waktunya, terjadilah penyelesaian dari sejumlah apa yang dijanjikan oleh
syara’(agama), dari hisab, didatangkan di hari kiamat dll, disempurnakan akan
berhak dengan sorga dan yang demikian itu waktu yang belum jelas, yang tidak
diperlihatkan oleh Allah kepada seseorang dari makhlukNya, maka itu terjadi
pada hari kiamat. Dan waktu kiamat itu tidak diketahui (majhul). Maka ketika
itu, ia berbuat dengan kebersihan dan kesuciannya dari segala kotoran, dimana
tidak dikejikan mukanya oleh debu dan asap. Karena padanya menampak (tajalli)
Tuhan Yang Maha Benar, Maha Suci dan Maha Tinggi. Maka menampaklah baginya
dengan penampakan, yang tersingkap penampakanNya, dengan dikaitkan kepada apa
yang diketahuinya, seperti: tersingkap menampaknya cermin dengan dikaitkan
kepada apa yang dikhayalkannya.
Penyaksian (musyahadah)
ini dan tajalli, ialah: yang dinamakan: mimpi (ru’yah). Jadi, ru’yah itu benar,
dengan syarat bahwa tidak dipahami dari ru’yah itu, akan kesempurnaan khayal
pada yang dikhayalkan, yang berbentuk, yang khusus dengan arah dan tempat. Maka
yang demikian itu, termasuk hal yang Maha Suci Tuhan semesta alam dengan
sebenar-benarnya, dari yang demikian. Bahkan, sebagaimana yang anda ketahui di
dunia, akan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang hakiki, yang sempurna, tanpa
khayal, tanpa berbentuk, mengumpama kan bentuk dan rupa, maka akan anda melihat
di akhirat seperti yang demikian itu. Bahkan aku mengatakan, bahwa ilmu
mengenal Allah Ta’ala yang diperoleh di dunia itu sendiri, adalah yang
memperoleh kesempurnaan. Ia sampai kepada kesempurnaan tersingkap dan terang.
Dan terbalik menjadi musyahadah (penyaksian). Dan tidak adalah perselisihan
diantara musyahadah (penyaksian)
di akhirat dan yang diketahui di dunia, selain dari segi bertambahnya
tersingkap dan terang. Sebagaimana kami buatkan contoh pada menyempurna kan
khayal dengan: ru’yah. Maka apabila tidak ada pada ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada
Allah Ta’ala itu, pengakuan adanya bentuk dan arah, niscaya tidak adalah muka
pada kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sendiri dan meningginya pada
terang, sampai kepada penghabisan tersingkapnya itu, arah dan bentuk. Karena
dia itu sendiri, tidak berbeda daripadanya, selain pada bertambahnya
penyingkapan. Sebagaimana rupa yang terlihat itulah yang menjadi khayalan itu
sendiri, kecuali berbeda pada bertambahnya tersingkap. Kepada yang demikianlah,
isyarat dengan firman Allah Ta’ala: “Cahaya mereka berlari di hadapan mereka
dan di kanan mereka, sedang mereka berkata: “Wahai Tuhan kami ! cukupkanlah
untuk kami cahaya kami !”. S 66 At Tahrim ayat 8. Karena kesempurna an nur
(cahaya) itu tidak membekas, selain pada bertambahnya tersingkap. Karena
inilah, tiada memperoleh kemenangan dengan tingkat memandang dan melihat (wajah
Allah Ta’ala), selain oleh orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala) (al-‘arifun) di dunia. Karena ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
ialah bibit yang terbalik di akhirat menjadi musyahadah (penyaksian),
sebagaimana terbaliknya biji menjadi pohon dan biji-bijian menjadi tanaman.
Siapa yang tiada mempunyai biji dalam buminya, maka bagaimana ia memperoleh
batangnya ? siapa yang tiada menanam biji-bijian, maka bagaimana ia mengetam
akan tanamannya ? seperti demikian juga, orang yang tidak mengenal tidak berma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) akan Allah Ta’ala di dunia, maka bagaimana ia akan
melihatNya di akhirat ? Tatkala adalah ilmu mengenal Allah Ta’alaitu di atas
derajat yang berlebih-kurang, niscaya tajalli (menampak) juga di atas derajat
yang berlebih kurang. Maka berbedanya tajalli dengan dikaitkan kepada
berbedanya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu seperti berbedanya tumbuh-tumbuhan,
dengan dikaitkan kepada berbedanya bibit. Karena dia itu berbeda sudah pasti
dengan sebab banyaknya, sedikitnya, bagusnya, kuatnya dan lemahnya.
Karena demikianlah, maka
Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah itu bertajalli bagi manusia umumnya dan bagi
Abubakar khususnya”. Maka tiada seyogyalah disangka, bahwa selain Abubakar,
dari orang-orang yang di bawah derajatnya, akan memperoleh dari kelezatan
memandang dan musyahadah (penyaksian),
apa yang diperoleh Abubakar. Akan tetapi, orang itu tiada akan memperoleh,
selain 1/100 nya, jikalau ada ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya di dunia
1/100 Abubakar. Tatkala Abubakar melebihi manusia lain dengan rahasia dan
ketetapan dalam dadanya, maka tidak dapat dibantah lagi ia dilebihkan dengan
tajalli, yang ia berkesendirian dengan yang demikian. Sebagaimana engkau
melihat di dunia, ada orang yang mengutamakan kelezatan menjadi kepala, dari
makanan yang dimakan dan orang yang dikawini dan engkau melihat ada orang yang
mengutamakan kelezatan ilmu dan tersingkapnya kemusykilan-kemusykilan/kesulitan
kerajaan langit dan bumi dll urusan ketuhanan, dari menjadi kepala, dari orang
yang dikawini, semua makanan yang dimakan dan minuman yang diminum, maka
seperti demikian pula, ada di akhirat golongan yang mengutamakan memandang
kepada Wajah Allah Ta’ala, dari kenikmatan sorga. Karena nikmatnya itu kembali
kepada makanan yang dimakan dan orang yang dikawini. Dan mereka itu sendiri
adalah orang-orang, yang keadaannya di dunia, apa yang telah kami sifatkan dari
mengutamakan kelezatan ilmu, ilmu mengenal Allah Ta’ala dan menengok kepada
rahasia-rahasia ketuhanan, dari kelezatan orang yang dinikahi, makanan yang
dimakan, minuman yang diminum, sedang manusia lainnya sibuk dengan yang
demikian. Karena itulah tatkala ditanyakan kepada Rabi’ah: “Apakah yang engkau
katakan mengenai sorga ?”, maka Rabi’ah menjawab: “Tetangga, kemudian kampung”,
maka ia menerangkan, bahwa tidak ada dalam hatinya menoleh kepada sorga, akan
tetapi kepada: Yang Empunya sorga (Rabbil-jannah).
Setiap orang yang tidak
mengenal Allah di dunia, maka ia tidak akan melihatNya di akhirat. Setiap orang
yang tidak memperoleh kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’aladi dunia, maka ia
tidak memperoleh kelezatan memandang di akhirat. Karena tidak akan berulang
kembali bagi seorang di akhirat, apa yang tidak menyertainya dari dunia. Tiada
akan diketam oleh seseorang, selain apa yang ditanaminya. Tiada akan
dibangkitkan manusia, selain di atas apa yang ia mati di atasnya. Ia tiada akan
mati, selain di atas apa yang ia hidup di atasnya. Maka apa yang menyertainya
dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya itu saja yang ia
bernikmat-nikmat dengan dia. Hanya itu akan bertukar kepada musyahadah, dengan
terbukanya tutup. Maka berlipat-gandalah kelezatan dengan yang demikian,
sebagaimana berlipat-gandanya kelezatan orang yang asyik, apabila berganti
khayalan rupa orang yang dirindui, dengan melihat rupanya. Maka yang demikian
itu kesudahan kelezatannya.
Baiknya sorga itu, ialah
bahwa bagi setiap seorang itu dalam sorga ada apa yang diingininya. Maka orang
yang tiada mengingini, selain menemui Allah Ta’ala, niscaya tiada kelezatan
baginya yang lain dari Allah Ta’ala. Bahkan, kadang-kadang ia merasa sakit dengan
yang demikian. Jadi, kenikmatan sorga itu menurut kadar kecintaan, kepada Allah
Ta’ala. Dan kecintaan kepada Allah Ta’ala menurut kadar ma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala)nya kepada Allah. Maka pokok kebahagiaan ialah: ilmu mengenal
Allah Ta’ala, yang diibaratkan oleh agama, dengan: iman.
Kalau anda mengatakan,
bahwa kelezatan melihat, kalau ada baginya bandingan kepada kelezatan ilmu
mengenal Allah Ta’ala, maka itu sedikit, walaupun dia itu berlipat ganda.
Karena kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala di dunia itu lemah. Maka
berlipat-gandanya itu kepada batas yang dekat, yang tidak berkesudahan pada
kekuatan, yang sampai memandang enteng kelezatan sorga yang lain padanya. Maka
ketahuilah, bahwa memandang enteng kepada kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala
ini, timbul daripada kekosongan dari ilmu mengenal Allah Ta’ala. Orang yang
kosong dari ilmu mengenal Allah Ta’ala, maka bagaimana ia memperoleh
kelezatannya ? jikalau ia terlipat di atas ilmu mengenal Allah Ta’ala yang
lemah dan hatinya terisi dengan segala hubungan duniawi, maka bagaimana ia
memperoleh kelezatannya ? orang-orang ‘arifin yang berilmu mengenal Allah
Ta’ala pada ilmu mengenal Allah Ta’alanya, pikirannya dan munajahnya dengan
Allah Ta’ala, mempunyai kelezatan-kelezatan, jikalau didatangkan sorga kepada
mereka di dunia, sebagai ganti daripadanya, niscaya mereka tidak mau
menggantikan itu dengan kelezatan sorga. Kemudian, kelezatan ini serta
kesempurnaannya, tidaklah sekali-kali mempunyai perbandingan, dengan kelezatan
bertemu dan menyaksikan. Sebagaimana tiada bandingan bagi kelezatan khayalan
orang yang dirindui, dengan melihatnya. Kelezatan menghirup bau makanan yang
diingini, dengan merasakannya. Dan kelezatan menyentuh dengan tangan, dengan
kelezatan bersetubuh. Melahirkan kebesaran berlebih-kurangnya diantara keduanya
itu tidak mungkin, selain dengan membuat contoh. Maka kami mengatakan:
Kelezatan memandang kepada wajah yang dirindui di dunia itu berlebih-kurang,
dengan beberapa sebab:
pertama, ialah: kesempurnaan cantiknya yang
dirindui, dan kekurangannya. Bahwa kelezatan pada memandang kepada yang lebih
cantik itu sudah pasti lebih sempurna.
Kedua: sempurnanya kekuatan kecintaan,
keinginan dan kerinduan. Maka tidaklah kelezatan orang yang bersangatan
kerinduannya, seperti kelezatan orang yang lemah keinginan dan kecintaannya.
Ketiga: sempurnanya al-indra. Maka tidaklah
kelezatannya dengan melihat orang yang dirindui dalam kegelapan atau di
belakang tirai yang tipis atau dari jauh, seperti kelezatannya dengan indranya
di atas kedekatan, tanpa tirai dan ketika sempurnanya terang. Dan tidaklah indra
kelezatan tidur sesama dengan kain yang membatasi, seperti indranya kelezatan
dengan tiada kain sama sekali.
Keempat: tertolaknya semua penghalang yang
mengacaukan dan kepedihan-kepedihan yang mengganggu hati. Maka tidaklah
kelezatan orang yang sehat, yang kosong dari kesibukan, yang semata-mata hanya
memandang kepada yang dirindui, seperti kelezatannya orang yang takut, yang
terkejut atau orang sakit, yang merasa kepedihan atau orang yang sibuk hatinya
dengan sesuatu dari segala macam kepentingan. Lalu ia ditakdirkan menjadi orang
yang rindu, yang lemah kerinduannya, yang memandang kepada wajah yang
dirinduinya, di balik tirai yang tipis, dari jauh, di mana tercegah
tersingkapnya hakikat/makna rupanya, dalam keadaan, yang berkumpul padanya
kala-kala jengking dan tawon-tawon, yang menyakitkannya, menyengatkannya dan
mengganggukan hatinya. Maka ia dalam hal ini, tiada akan terlepas dari
kelezatan apa saja dari musyahadah (penyaksian) yang dirinduinya.
Maka jikalau secara
tiba-tiba, datanglah keadaan yang mengoyakkan tirai, cemerlang dengan keadaan
itu cahaya dan tertolak daripadanya segala yang menyakitkan. Dan tinggallah dia
dalam keadaan selamat, yang kosong dari gangguan. Dan ia diserang oleh
keinginan yang kuat dan kerinduan bersangatan. Sehingga ia sampai kepada tujuan
yang penghabisan. Maka perhatikanlah bagaimana berlipat-gandanya kelezatan.
Sehingga tidak tinggal lagi bagi yang pertama, yang kepadanya perbandingan yang
diperhitungkan. Maka seperti demikian juga, pahamilah akan bandingan kelezatan
memandang kepada kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala ! maka tirai yang tipis
itu seumpama badan dan kesibukan dengan badan itu. Kala-kala jengking dan
tawon-tawon itu seumpama nafsu keinginan yang mengerasi atas insan, dari
kelaparan, kehausan, kemarahan, kerusuhan, kesedihan dan kelemahan nafsu
keinginan. Dan kecintaan itu seumpama kelalaian diri pada dunia, kekurangannya dari
kerinduan kepada malaikat yang di langit dan berpalingnya kepada yang terendah
dari segala yang rendah. Yaitu: seumpama kelalaian anak kecil daripada
memperhatikan kelezatan menjadi kepala dan berpalingnya kepada bermain-main
dengan burung pipit. Orang yang ilmu mengenal Allah Ta’ala, walaupun ilmu
mengenal Allah Ta’alanya kuat di dunia, maka ia tidak terlepas dari
pengganggu-pengganggu ini. Dan tidak akan tergambar sekali-kali bahwa ia
terlepas daripadanya. Ya, kadang-kadang berganda penghalang-penghalang ini pada
sebahagian hal-keadaan. Dan tidak terus-menerus berkekalan. Maka tidak pelak
lagi, terisyarat dari keelokan ilmu mengenal Allah Ta’ala, apa yang
mengherankan akal. Dan membesar kelezatannya, dimana hati hampir pecah, karena
keagungannya. Akan tetapi, adalah yang demikian itu
seperti kilat yang menyambar. Dan sedikitlah ia terus-menerus
berkekalan. Akan tetapi, datanglah dari gangguan-gangguan, pikiran-pikiran dan
gurisan-gurisan, apa yang mengacaukan dan yang menyusahkan. Dan ini suatu hal
darurat, yang berketerusan dalam hidup yang fana ini. Maka senantiasalah
kelezatan ini menyusahkan sampai mati. Bahwa hidup yang baik ialah sesudah
mati. Bahwa hidup ialah hidup akhirat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bahwa
kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui”. S
29 Al ‘Ankabuut ayat 64.
Setiap orang yang
berkesudahan kepada tingkat ini, maka ia mencintai bertemu dengan Allah Ta’ala.
Ia menyukai mati dan tidak membencikannya, selain dari segi ia menunggu
bertambahnya kesempurnaan pada ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka ilmu mengenal
Allah Ta’ala itu seperti bibit. Dan lautan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu tiada
bertepi. Maka mengetahui dengan hakikat/makna keagungan Allah itu mustahil.
Setiap kali membanyak ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, dengan
sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, dengan rahasia kerajaanNya
dan menguat, niscaya membanyaklah kenikmatan di akhirat dan membesar.
Sebagaimana, manakala membanyaklah bibit dan membagus, niscaya membanyaklah
tanam-tanaman dan membagus. Dan tidak mungkin menghasilkan bibit ini, selain di
dunia. Dan tidak ditanam, selain pada tanah hati. Tidak diketam, selain di
akhirat.
Karena inilah Rasulullah
saw bersabda: “Kebahagiaan yang paling utama, ialah panjang umur pada mentaati
Allah”. Karena ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sesungguhnya sempurna, membanyak
dan meluas pada umur yang panjang, dengan berkekalan fikir, rajin pada
mujahadah (bersungguh‑sungguh), memutuskan segala hubungan dengan dunia dan
menjuruskan diri untuk mencari akhirat. Dan tidak jalan lain, bahwa yang
demikian itu meminta waktu. Siapa yang mencintai mati, niscaya mati itu
mencintainya. Karena ia melihat dirinya berdiri pada ma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala), yang menyampaikan kepada berkesudahan apa yang
menggembirakannya. Siapa yang benci kepada mati, niscaya mati benci kepadanya.
Karena, ia berangan-angan bertambahnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
yang berhasil baginya dengan panjang umur. Ia melihat dirinya lalai dari apa
yang ditanggung oleh kekuatannya, jikalau ia berumur panjang. Maka inilah sebab
kebencian kepada mati dan kecintaannya pada orang yang berma’rifah (ahlul-ma’rifah)
(orang yg memiliki ilmu mengenal Allah Ta’ala). Adapun orang-orang yang lain,
maka pandangan mereka menyingkat kepada nafsu keinginan duniawi. Jikalau
meluas, niscaya mereka mencintai kekekalan hidup. Dan jikalau menyempit,
niscaya mereka berangan-angan kepada mati. Setiap yang demikian itu haram dan
merugi, yang sumbernya ialah bodoh dan lalai. Bodoh dan lalai itu tempat
tertanam segala kesengsaraan. Ilmu dan Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sendi
setiap kebahagiaan. Maka anda telah mengetahui, dengan apa yang telah kami
sebutkan, akan makna cinta dan makna rindu. Bahwa rindu itu cinta, yang
bersangatan dan kuat. Dan anda telah mengetahui, akan makna kelezatan ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala), makna ru’yah (melihat Allah ta’ala), makna
kelezatan ru’yah/mimpi melihat Allah Ta’ala dan
makna keadaannya ru’yah itu lebih lezat dari kelezatan-kelezatan yang lain,
pada orang-orang yang berakal dan mempunyai kesempurnaan. Walaupun tidak ada
seperti yang demikian pada orang-orang yang mempunyai kekurangan, sebagaimana
tidak ada menjadi kepala itu, lebih melezatkan dari makanan-makanan pada
anak-anak kecil. Jikalau anda bertanya: maka ru’yah ini tempatnya hati atau
mata di akhirat ?
Ketahuilah kiranya, bahwa
manusia berselisih pendapat pada yang demikian. Orang-orang yang bermata hati
tiada berpaling kepada perselisihan ini dan tidak memandang padanya. Bahkan
orang yang berakal itu memakan sayur-sayuran dan tidak menanyakan dari hal
tempat sayur-sayuran itu. Orang yang ingin melihat yang dirinduinya, niscaya
disibukkannya oleh kerinduannya itu, daripada memperhatikan, bahwa ru’yahnya
itu diciptakan pada matanya atau pada dahinya. Akan tetapi, yang ia maksudkan,
ialah: ru’yah dan kelezatannya. Sama saja ada yang demikian itu pada mata atau
pada lainnya. Maka mata itu tempat dan sarung, yang tidak ada pandangan dan
hukum baginya. Yang benar padanya, ialah: bahwa qudrah (kuasa) yang azali
(kekal) itu luas. Maka tidak boleh kita hukumkan padanya dengan kesingkatan
dari salah satu dua hal. Ini adalah dalam hukum boleh (hukum-jawaz). Adapun
yang terjadi di akhirat, dari hal-hal yang boleh, maka tidak diindrakan, selain
dengan mendengar. Dan yang benar, ialah apa yang tampak bagi Ahlus-sunnah
wal-jama’ah, dari dalil-dalil agama, bahwa yang demikian itu diciptakan pada
mata, supaya adalah lafal ru’yah, memandang dan lafal-lafal yang lain yang
datang pada agama itu berlaku atas zahiriyahnya. Karena tidak boleh
menghilangkan segala yang zahiriyah, selain karena darurat. Wallaahu Ta’aalaa
a’lam. Allah Ta’ala Yang Maha Tahu.
PENJELASAN: sebab-sebab yang
menguatkan kecintaan kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa makhluk yang
keadaannya lebih berbahagia di akhirat, ialah: yang lebih kuat kecintaannya
kepada Allah Ta’ala. Bahwa akhirat itu, maknanya, ialah: datang kepada Allah
Ta’ala dan mendapati kebahagiaan menjumpaiNya. Alangkah besarnya nikmat bagi
yang mencintai, apabila ia datang kepada yang dicintainya, setelah lama
rindunya. Dan memungkinkan berkekalan musyahadahnya(penyaksiannya) sepanjang
abad, tanpa kesusahan dan kekeruhan, tanpa ada yang mengintip dan yang
mendesak-desak dan tanpa takut akan putusnya pertemuan itu. Hanya, kenikmatan
ini adalah di atas kadar kekuatan cinta. Maka setiap kali bertambahnya cinta,
niscaya bertambahlah kelezatan. Bahwa yang diusahakan oleh hamba itu, ialah
kecintaan kepada Allah Ta’ala di dunia. Pokok kecintaan itu tidaklah terlepas
orang mu’min daripadanya. Karena ia tidak terlepas dari pokok ilmu mengenal
Allah Ta’ala. Adapun kuatnya cinta dan berkuasanya cinta itu, sehingga
berkesudahan kepada membabi buta, yang dinamakan: rindu. Maka yang demikian
itu, terlepaslah kebanyakan orang daripadanya. Dan yang demikian itu berhasil
dengan dua sebab:
Salah satu dari dua sebab itu, ialah: memutuskan
segala hubungan duniawi dan mengeluarkan kecintaan selain Allah dari hati. Bahwa
hati itu seperti: bejana, yang tiada memuatkan bagi cuka umpamanya sebelum
keluar air daripadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tiada menjadikan seorang
mempunyai dua hati dalam dadanya”. S 29 Al Ahzab ayat 4. Sempurnanya cinta ialah
pada mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla dengan segenap hatinya. Selama ia berpaling
kepada selain Allah Ta’ala, maka suatu sudut dari hatinya itu sibuk dengan yang
lain dari Allah. Dengan kadar apa yang ia sibuk dengan selain Allah, maka
berkuranglah daripadanya kecintaan kepada Allah. Dengan kadar apa yang tinggal
dari air dalam bejana, maka berkuranglah dari cuka yang dituangkan ke dalamnya.
Dan kepada penyendirian dan pengosongan ini diisyaratkan dengan firman Allah
Ta’ala: “Katakan: Yang menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka
main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Dan dengan
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami itu
Allah, kemudian, mereka berdiri teguh (dalam pendiriannya) itu”. S 46 Al Ahqaaf
ayat 13. Bahkan, itu makna ucapan engkau: “Laa Ilaaha Illallaah”. Artinya:
“Tiada yang disembah dan tiada yang dicintai, selain ALLAH. Maka setiap yang
dicintai itu, niscaya dia itu disembah. Bahwa hamba itu yang mengikat. Dan yang
disembah itu yang terikat dengan dia. Setiap yang mengintai, maka dia itu
terikat dengan yang dicintainya. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman:
“Tiadakah engkau perhatikan orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi tuhannya
?”. S 25 Al Furqaan ayat 43. Nabi saw bersabda: “Tuhan yang paling dimarahi
yang disembah di bumi, ialah: hawa nafsu”.
Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan “Laa ilaaha
illallaahu”, dengan ikhlas, niscaya ia masuk sorga”. Makna ikhlas, ialah: ia
mengikhlaskan hatinya bagi Allah. Maka tidak tinggal lagi dalam hati itu
kesekutuan (syirik) bagi selain Allah. Adalah Allah saja yang dicintai hatinya,
yang disembah hatinya dan yang dimaksudkan oleh hatinya. Dan orang, yang ini
keadaannya, maka dunia itu penjaranya. Karena dunia itu pencegah baginya daripada
musyahadah(penyaksian) akan Yang
Dicintainya. Dan matinya itu kelepasan dari penjara dan kedatangan kepada Yang
Dicintai. Maka apakah kiranya hal keadaan orang yang tiada baginya, selalu Yang
Dicintainya Satu dan telah lama rindunya kepadanya dan berkepanjangan ia
terpenjara daripadaNya ? lalu ia dilepaskan dari penjara dan dimungkinkan
bertemu dengan Yang Dicintai dan diberi kesenangan dengan aman bagi sepanjang
abad.
Salah satu sebab lemahnya
kecintaan kepada Allah dalam hati, ialah: kuatnya cinta kepada dunia. Termasuk
dalam cinta itu: cinta kepada isteri, harta, anak, keluarga, sawah ladang,
binatang ternak, kebun-kebun dan tempat-tempat istirahat. Sehingga, orang yang
bergembira dengan merdunya suara burung dan senangnya angin pagi itu adalah berpaling
kepada kenikmatan duniawi dan mendatangkan kekurangan cinta kepada Allah Ta’ala
dengan sebabnya. Maka menurut kadar ia berjinak hati dengan dunia, maka
berkuranglah kejinakan hatinya dengan Allah. Tiadalah diberikan kepada
seseorang akan sesuatu dari dunia, melainkan akan berkurang menurut kadar itu
dari akhirat dengan sendirinya. Sebagaimana manusia itu tiada dekat ke masyrik(tempat
matahari terbit), melainkan dengan sendirinya ia jauh dari maghrib (tempat
matahari terbenam), menurut kadar itu. Tiada akan baik hati isterinya,
melainkan akan sempit dengan yang demikian, hati madunya. Dunia dan akhirat itu dua wanita yang memadu.
Keduanya seperti masyrik (tempat matahari terbit) dan magrib (tempat matahari
terbenam). Dan telah tersingkap yang demikian bagi orang-orang yang mempunyai
hati, dengan penyingkapan yang lebih terang daripada penglihatan dengan mata.
Jalan mencabut kecintaan kepada dunia dari hati, ialah: menempuh jalan zuhud
dan selalu sabar. Dan terikat kepada keduanya ini dengan kekang takut dan
harap. Maka apa yang telah kami sebutkan dahulu, dari tingkat-tingkat, seperti:
taubat, sabar, zuhud, takut dan harap, adalah pendahuluan-pendahuluan, yang
dengan dia itu diusahakan akan salah satu dari dua sendi (rukun) kecintaan.
Yaitu: mengosongkan hati dari selain Allah. Permulaannya, ialah: iman kepada
Allah, hari akhirat, sorga dan neraka. Kemudian, bercabang daripadanya: takut
dan harap. Dan bercabang dari takut dan harap itu: taubat dan sabar atas
keduanya. Kemudian, menghela yang demikian, kepada zuhud di dunia, zuhud kepada
harta dan kemegahan dan setiap keuntungan duniawi. Sehingga berhasil dari
semuanya itu kesucian hati dari selain Allah saja. Sehingga meluas sesudahnya
itu, bagi tempat ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah dan kecintaan kepadaNya.
Semua itu adalah pendahuluan penyucian hati. Dan itulah salah satu dari dua
sendi cinta. Kepadanyalah diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Suci itu
setengah iman”. Sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada permulaan “Kitab
Bersuci”.
Sebab kedua: bagi kuatnya cinta itu kuat ilmu
mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala, meluasnya dan menguasainya atas
hati. Dan yang demikian itu, sesudah penyucian hati dari semua kesibukan dunia
dan hubungannya, yang berlaku sebagaimana berlakunya meletakkan bibit dalam
tanah, sesudah dibersihkan tanah itu dari rumput. Dan itu bahagian kedua.
Kemudian, terjadi dari bibit ini pohon cinta dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala). Yaitu: kalimah yang baik, yang dibuat contoh oleh Allah dengan kalimah
tersebut, di mana Allah berfirman: “Allah membuat perumpamaan, bahwa perkataan
yang baik adalah sebagai pohon yang baik, uratnya teguh dan cabangnya menjulang
tinggi”. S 14 Ibrahim ayat 24. Kepadanya diisyaratkan dengan firman Allah
Ta’ala: “KepadaNya (kepada Allah) naik perkataan-perkataan yang baik dan amal
yang baik itu dimuliakan oleh Allah”. S 35 Faathir ayat 10. Perkataan yang baik
itu, ialah: ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka amal yang baik adalah
seperti unta bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala ini dan seperti pelayan. Bahwa
amal yang baik itu seluruhnya pada penyucian hati.
Pertama-tama dari dunia,
kemudian pengekalan kesuciannya. Maka tidak dimaksudkan amal itu, selain untuk ilmu
mengenal Allah Ta’alaini. Adapun ilmu dengan caranya amal, maka dimaksudkan
bagi amal. Maka ilmu itulah yang pertama dan itulah yang akhir. Bahwa yang
pertama itu: ilmu mu’amalah (jual beli) dan maksudnya amal. Dan maksud
mu’amalah (jual beli) itu bersihnya hati dan sucinya. Supaya jelas padanya
kenyataan kebenaran dan ia terhias dengan ilmu ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala). Yaitu: ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Manakala berhasil ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini, niscaya ia diikuti oleh cinta dengan mudah.
Sebagaimana orang yang normal sifat tubuhnya, apabila melihat yang cantik dan diketahui
dengan pancaindra nya dengan mata zahiriyah, niscaya disukainya yang cantik
itu. Dan ia cenderung kepadanya. Manakala disukainya, niscaya berhasillah
kelezatan. Maka kelezatan itu mengikuti suka (cinta) dengan mudah. Dan suka itu
mengikuti ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan mudah. Dan tiada sampai kepada ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini, sesudah terputusnya segala gangguan duniawi pada
hati, selain dengan pikiran yang bersih, ingatan
(dzikir) yang berketerusan, kesungguhan yang bersangatan pada
mencari dan memandang yang terus-menerus pada Allah Ta’ala, pada
sifat-sifatNya, pada kerajaan langitNya dan pada makhluk-makhlukNya yang lain.
Orang yang sampai kepada martabat ini, terbagi kepada: orang-orang kuat. Dan
adalah permulaan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka, bagi Allah Ta’ala. Kemudian
dengan itu, mereka mengenal lain dari Allah. Dan kepada: orang-orang lemah.
Adalah permulaan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka itu, dengan: perbuatan
(Af’al). Kemudian, mereka mendaki daripadanya, kepada: Pembuat. Kepada yang
pertama itu, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Belumkah cukup, bahwa
Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan
dengan firman Allah Ta’ala: “Allah mengaku, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Dia”. S 3 Ali ‘Imran ayat 18. Daripada yang tersebut ini, diperhatikan
oleh sebahagian mereka, dimana ditanyakan kepadanya: “Dengan apa engkau
mengenal Tuhan engkau ?”. Ia lalu menjawab: “Aku
mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Jikalau tidaklah Tuhanku, niscaya aku tidak
mengenal akan Tuhanku”. Kepada yang kedua ini, diisyaratkan dengan
firman Allah Ta’ala: “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak,
bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka
sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa Alquran ini suatu kebenaran.
Belumkah cukup, bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41
Fussilat ayat 53. Dan dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tidakkah mereka
perhatikan kerajaan langit dan bumi ?”. S 7 Al A’raaf ayat 185. Dan dengan
firman Allah Ta’ala: “Katakan: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi
!”. S 10 Yunus ayat 101. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Yang menciptakan 7
langit, sepadan satu sama lain. Tiada engkau lihat ciptaan Tuhan Yang Pemurah
itu berlebih-kurang. Sebab itu, engkau ulanglah melihatnya sekali lagi, adakah
engkau menampak kerusakan ? kemudian itu, engkau ulanglah melihatnya sekali dan
sekali lagi, pemandangan (engkau) akan berbalik kembali menjadi samar dan
lesu”. S 67 Al Mulk ayat 3-4. Jalan ini adalah yang termudah kepada orang
kebanyakan. Yaitu yang lebih luas kepada orang-orang yang berjalan kepada Allah
(as-salikin).
Kepada itulah kebanyakan
dakwah Alquran ketika disuruh tadabbur (memikirkan akhir suatu pekerjaan),
tafakkur (berfikir),
mengambil ibarat (i’tibar) dan memperhatikan pada ayat-ayat yang di luar
hinggaan banyaknya. Kalau anda mengatakan: bahwa masing-masing dua jalan itu
sulit. Maka terangkanlah kepada kami dari dua jalan itu, apa yang dapat
tertolong kepada memperoleh ilmu mengenal Allah Ta’ala dan sampai dengan dia
itu kepada cinta. Maka ketahuilah, bahwa jalan yang tertinggi, ialah:
penyaksian dengan kebenaran Allah swt di atas semua makhluk. Dan itu sukar. Dan
membicarakannya adalah di luar batas pemahaman kebanyakan manusia. Maka tiada
faedah mengemukakannya dalam kitab-kitab. Adapun jalan yang termudah dan yang
terdekat, adalah kebanyakannya di luar batas pemahaman. Bahwa singkatnya
pemahaman daripadanya itu, karena berpalingnya pemahaman-pemahaman itu daripada
tadabbur (memikirkan akhir suatu pekerjaan) dan sibuknya dengan nafsu keinginan
duniawi dan keuntungan-keuntungan diri. Dan yang mencegah daripada menyebutkan
ini, ialah: keluasannya dan banyaknya. Dan bercabang-cabang babnya yang keluar
dari hinggaan dan kesudahan. Karena tidak dari satu atompun dari langit yang
tertinggi, sampai kepada sempadan/seluruh bumi, melainkan ada padanya tanda-tanda
keajaiban, yang menunjukkan kepada kesempurnaan kuasa Allah Ta’ala,
kesempurnaan hikmahNya, kesudahan keagungan dan kebesaranNya. Dan yang demikian
itu, termasuk yang tidak berkesudahan. Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau
kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya
lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan-perkataan Tuhanku”. S 18 Al
Kahfi ayat 109.
Terjun ke dalamnya, ialah
terbenam dalam lautan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Tidak mungkin
bahwa berbudi pekerti seperti anak kecil, di atas ilmu mu’amalah (jual beli).
Akan tetapi mungkin dirumuskan kepada suatu contoh, secara ringkas, supaya
terjadilah perhatian bagi yang sejenisnya. Maka kami mengatakan: Yang termudah
dari dua jalan itu, ialah: memperhatikan kepada Af’al ( perbuatan-perbuatan).
Maka marilah kita memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan itu. Dan marilah
kita tinggalkan yang tertinggi. Kemudian, perbuatan-perbuatan ketuhanan itu
banyak. Maka marilah kita mencari yang tersedikit, yang paling tidak terbilang
dan yang paling kecil ! Dan marilah kita perhatikan pada yang ajaib-ajaib
daripadanya !. Yang tersedikit dari segala makhluk, ialah: bumi dan apa yang di
atas bumi. Yakni: dibandingkan kepada para malaikat dan kerajaan langit. Maka anda,
jikalau anda memandang padanya, dari segi tubuh dan besar pada diri, maka
matahari, menurut yang anda lihat, dari kecil bentuknya, adalah seperti bumi
160 kali lebih. Maka perhatikanlah kepada kecilnya bumi, dengan dibandingkan
kepadanya ! kemudian, perhatikanlah kepada kecilnya matahari, dengan
dibandingkan kepada falaknya (jalan peredaran nya) yang dipusatkan padanya.
Maka tiadalah perbandingan baginya kepada falak itu. Dan matahari itu pada
langit ke-4. Dan langit ke-4 itu kecil, dibandingkan kepada langit 7 yang di
atasnya. Kemudian, langit 7 itu pada Al-Kursi adalah seperti anting-anting yang
dicampakkan pada padang belantara. Dan Al-Kursi pada Al-‘Arasy seperti demikian
juga. Ini adalah pemandangan kepada zahiriyah diri dari yang tersebut itu, dari
segi taksiran.
Alangkah tidak
terhitungnya bumi seluruhnya, dibandingkan kepada itu. Bahkan, alangkah
kecilnya bumi, dibandingkan kepada lautan. Rasulullah saw bersabda: “Bumi pada
laut itu adalah seperti kandang pada bumi”. Kebenaran ini dapat diketahui
dengan penyaksian dan percobaan. Dan diketahui, bahwa yang tampak dari bumi, di
permukaan air, adalah seperti pulau kecil, dibandingkan kepada seluruh bumi.
Kemudian, perhatikanlah kepada anak Adam (manusia) yang dijadikan dari tanah,
yang dia itu sebahagian dari bumi dan kepada hewan-hewan lainnya. Dan kepada
kecilnya, dibandingkan kepada bumi. Dan tinggalkan lah dari engkau akan
semuanya itu ! maka yang terkecil dari apa yang kita ketahui, dari hewan-hewan
itu, ialah: nyamuk, tawon dan yang seperti itu. Maka perhatikanlah pada nyamuk,
atas kadar kecil kadarnya dan telitikanlah dengan akal yang ada dan pikiran yang
bersih ! maka perhatikanlah, bagaimana ia diciptakan oleh Allah Ta’ala di atas
bentuk gajah, yang mana gajah itu hewan yang terbesar. Karena Allah Ta’ala
menciptakan baginya belalai, seperti belalainya gajah. DiciptakanNya bagi
nyamuk itu di atas bentuknya yang kecil akan anggota tubuhnya yang lain,
sebagaimana diciptakanNya bagi gajah, dengan tambahan dua sayap !
Perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala membagi-bagikan anggota badannya yang
zahiriyah. Maka ditumbuhkanNya sayapnya, dikeluarkanNya tangannya (kakinya yang
depan) dan kakinya. DibelahkanNya pendengaran dan penglihatannya. DiaturkanNya
pada batiniyahnya, dari anggota-anggota badan untuk makan dan alat-alatnya,
akan apa yang diaturkanNya pada hewan-hewan yang lain. DisusunkanNya padanya
dari kekuatan-kekuatan yang memberikan makanan, yang menarikkan, yang
menolakkan, yang menahankan dan yang menghancurkan makanan, akan apa yang
disusunkanNya pada hewan-hewan yang lain. Ini mengenai bentuknya dan
sifat-sifatnya. Kemudian, perhatikanlah kepada petunjukNya ! bagaimana Allah
Ta’ala memberi petunjuk kepada nyamuk itu kepada makanannya. DiperkenalkanNya
kepada nyamuk itu, bahwa makanannya ialah darah manusia. Kemudian,
perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menumbuhkan bagi nyamuk itu, alat terbang
kepada manusia ! bagaimana Ia menciptakan bagi nyamuk itu belalai panjang. Dan
belalai itu yang membatasi kepala. Bagaimana Ia memberi petunjuk kepadanya,
kepada lobang-lobang pori dari kulit manusia. Sehingga nyamuk itu meletakkan
belalainya pada salah satu dari lobang-lobang pori itu. Kemudian, bagaimana Ia
menguatkan nyamuk itu, sehingga dapat mencucukkan belalainya pada manusia. Dan
bagaimana diajarkanNya nyamuk itu menghisap dan meminum darah. Bagaimana Ia
menciptakan belalai nyamuk itu serta halusnya, berlobang. Sehingga mengalir
padanya darah yang halus dan berkesudahan ke dalam batiniyahnya (badannya). Dan
berhamburan pada bahagian-bahagian tubuhnya yang lain dan menjadi makanan
baginya. Kemudian, bagaimana Allah memberitahukan kepada nyamuk itu, bahwa manusia
bermaksud kepada nyamuk itu dengan tangannya. Lalu Allah mengajarkannya daya
lari dan kesediaan perkakasnya. Allah menciptakan bagi nyamuk itu pendengaran,
yang dengan pendengaran itu, ia mendengar ringannya gerakan tangan. Dan tangan
itu, kemudian jauh daripadanya. Lalu nyamuk itu tidak lagi mengisap darah dan
ia lari. Kemudian, apabila tangan manusia itu sudah tenang, maka nyamuk itu
kembali lagi. Kemudian, perhatikanlah, bagaimana Allah menciptakan bagi nyamuk
itu dua biji mata. Sehingga ia melihat tempat makanannya. Lalu ia bermaksud
kepadanya, serta kecil kadar ukuran mukanya. Perhatikanlah kepada biji mata
setiap binatang yang kecil, manakala biji matanya tidak membawa pelupuk mata
karena kecilnya. Dan adalah pelupuk mata itu yang mengkilapkan kaca dari biji
mata, dari taik mata dan debu. Ia menciptakan bagi nyamuk dan lalat dua tangan
(kaki depan). Maka anda perhatikan kepada lalat, lalu anda melihatnya selalu
menyapu dua biji matanya dengan dua tangannya itu. Adapun manusia dan binatang
yang besar, maka diciptakan oleh Allah bagi kedua biji matanya itu pelupuk
mata. Sehingga terkatup yang satu di atas yang lain. Dan tepi dua biji mata itu
tajam. Lalu terkumpullah debu yang mengenai biji mata dan dilemparkannya ke
tepi bulu mata. DiciptakanNya bulu mata itu hitam, supaya ia mengumpulkan
cahaya bagi mata dan menolong kepada melihat. Dan baguslah bentuk mata dan
berjerejaknya ketika berterbangan debu. Lalu ia melihat dari belakang
jerejaknya bulu mata. Berjerejaknya bulu mata itu mencegah masuknya debu dan
tidak mencegah penglihatan.
Adapun nyamuk, maka
diciptakan baginya dua biji mata yang mengkilap, tanpa pelupuk mata. Dan
diajarkannya cara mengkilapkan dengan dua tangan (dua kakinya yang depan). Dan
karena lemah penglihatannya, anda melihatnya ia terbang kepada lampu. Karena
penglihatannya lemah. Maka ia mencari cahaya siang. Apabila nyamuk yang hina
itu melihat cahaya lampu di malam hari, maka ia menyangka bahwa dia dalam rumah
yang gelap. Dan lampu itu adalah lobang dinding dari rumah yang gelap ke tempat
yang terang. Maka senantiasalah ia mencari terang dan melemparkan dirinya
kepada terang. Apabila ia telah melewati terang dan melihat gelap, niscaya ia
menyangka bahwa ia tidak mengena lobang dinding dan tidak bermaksud kepadanya
di atas yang sebenarnya. Maka ia kembali kepada cahaya itu sekali lagi, sampai
ia terbakar. Semoga anda menyangka, bahwa ini karena kekurangan dan kebodohan
nyamuk itu. Maka ketahuilah, bahwa kebodohan manusia itu lebih besar dari
kebodohan nyamuk. Bahkan, bentuk anak Adam (manusia) pada menelungkupnya di
atas nafsu, keinginan duniawi itu bentuk kupu-kupu pada beterbangannya kepada
api. Karena bersinarlah bagi manusia itu cahaya nafsu keinginan, dari segi
lahir bentuknya. Ia tidak tahu, bahwa di bawahnya itu racun yang merendamkan,
lagi membunuh. Maka senantiasalah ia melemparkan dirinya kepadanya, sehingga ia
terbenam di dalamnya. Ia terikat dan binasa untuk selama-lamanya. Maka semoga
adalah kebodohan manusia itu seperti kebodohan kupu-kupu. Bahwa kupu-kupu
dengan tertipunya, dengan zahiriyah cahaya, jikalau ia terbakar, niscaya ia
terlepas dengan seketika. Dan manusia itu akan kekal dalam neraka sepanjang
abad atau dalam masa yang panjang. Karena itulah, Rasulullah saw berseru dan
bersabda: “Bahwa aku itu yang menahan dengan tempat mengikat tali celanamu,
dari api neraka. Dan kamu itu terbang ke neraka, seperti terbangnya kupu-kupu”.
Inilah adalah suatu gemerlapan yang ajaib, dari keajaiban-keajaiban ciptaan
Allah Ta’ala pada hewan yang paling kecil. Padanya dari keajaiban-keajaiban,
dimana jikalau berkumpullah orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian,
untuk mengetahui akan hakikat/maknanya, niscaya lemahlah mereka dari
hakikat/maknanya itu. Dan mereka tiada akan menengok kepada hal-hal yang terang
dari bentuknya yang zahiriyah.
Adapun makna-makna yang
demikian itu, yang tersembunyi, maka tidaklah yang melihat padanya, selain
Allah Ta’ala. Kemudian, pada setiap hewan dan tumbuh-tumbuhan itu ada keajaiban
dan keajaiban-keajaiban yang khusus, yang tidak berkongsi padanya yang lain.
Perhatikanlah kepada tawon dan keajaiban-keajaibannya ! bagaimana Allah Ta’ala
mewahyukan kepadanya, sehingga ia membuat rumah di bukit-bukit, pada pohon kayu
dan dari apa yang dibuatnya rumah itu. Bagaimana ia mengeluarkan dari air
liurnya, akan lilin dan air madu. Dijadikan salah satu dari keduanya itu terang
dan dijadikan yang lain itu obat. Kemudian, jikalau anda memperhatikan akan
keajaiban-keajaiban urusannya, pada memperoleh bunga-bungaan dan bunga-bunga
yang putih dan terpeliharanya dari najis dan kotoran, patuhnya tawon itu kepada
salah satu dari kumpulannya, yang lebih besar tubuhnya dan itu adalah rajanya,
kemudian apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada rajanya itu, dari
keadilan dan keinsafan diantara sesamanya, sehingga sesungguhnya akan dibunuh
di atas pintu pelaksanaan, setiap yang terjatuh daripadanya di atas najis,
niscaya anda telah menunaikan daripadanya itu, akan suatu keajaiban lagi, yang
penghabisan dari keajaiban, jikalau anda itu melihat pada diri anda sendiri, kosong
dari kesusahan perut anda dan kemaluan anda, nafsu syahwat diri anda dalam
permusuhan dengan teman-teman anda dan menguasai kawan-kawan anda. Kemudian,
tinggalkanlah semua itu dari anda ! dan perhatikanlah kepada tawon itu
membangun rumahnya dari lilin dan usahanya dari sejumlah bentuk-bentuk akan
bentuk yang bersegi enam ! ia tidak membangun rumah yang bundar, yang 4 segi
dan 5 segi. Akan tetapi, yang 6 segi, karena suatu khasiat pada bentuk 6 segi
itu, yang pendeklah pemahaman para insinyur daripada mengetahuinya. Yaitu,
bahwa bentuk yang terluas dan yang paling meliputi, ialah yang bundar dan yang
mendekat kepada yang bundar. Bahwa bentuk yang 4 segi itu keluar daripadanya
sudut-sudut yang sia-sia. Dan bentuk tawon itu bundar, yang memanjang. Maka ditinggalkannya
bentuk yang 4 segi, sehingga tidak sia-sialah sudut-sudut itu. Lalu tinggal
menjadi kosong. Kemudian, jikalau dibangunkannya rumah itu bundar, niscaya
tinggallah di luar rumah itu, lobang-lobang yang sia-sia. Bahwa bentuk yang
bundar itu, apabila dikumpulkan, niscaya ia tidak terkumpul dengan teratur. Dan
tiadalah bentuk dalam bentuk-bentuk itu yang mempunyai sudut-sudut, yang
mendekati pada meliputi, selain dari yang bundar. Kemudian, teraturlah sejumlah
daripadanya, dimana tidak tinggal lagi, sesudah berkumpulnya itu suatu
lobangpun, selain yang 6 segi. Inilah khasiatnya bentuk ini ! maka
perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala mengilhamkan kepada binatang tawon, di
atas kecil bentuk tubuhnya dan lembut pendiriannya, lantaran kasih-sayang kepadanya,
perhatikan dengan wujudnya dan apa yang diperlukan kepadanya. Supaya ia merasa
enak dengan hidupnya. Maka Maha Sucilah Dia ! alangkah agung keadaanNya, amat
luas kasih sayangNya dan nikmatNya ! Maka ambillah i’tibar (ibarat) dengan
gemerlapan yang sedikit ini, dari hewan yang terpandang hina ! tinggalkanlah
dari anda akan keajaiban-keajaiban kerajaan bumi dan langit ! bahwa kadar yang
sampai pemahaman kita yang singkat kepadanya itu menghabiskan semua umur, tanpa
memperoleh kejelasannya. Dan tiada bandingan bagi apa yang diliputi oleh ilmu
kita, kepada apa yang diliputi oleh para ulama dan nabi-nabi. Dan tiada
bandingan bagi apa yang diliputi oleh ilmu khalayak ramai semuanya, kepada apa
yang dipilih oleh Allah Ta’ala dengan IlmuNya. Bahkan, setiap apa yang
diketahui oleh makhluk, tidaklah yang layak dimiliki untuk dinamakan ilmu di
sebelah ilmu Allah Ta’ala. Maka dengan memperhatikan pada ini dan yang semisal
dengan dia, niscaya bertambahlah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang diperoleh
dengan yang termudah dari dua jalan. Dengan bertambahnya ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala), maka bertambahlah cinta. Maka jikalau adalah anda itu
mencari kebahagiaan bertemu dengan Allah Ta’ala, maka
campakkanlah dunia di belakang punggung anda
! habiskanlah umur anda pada dzikir yang berkekalan, dan pikir yang
berkeharusan ! semoga anda memperoleh keuntungan daripadanya dengan
kadar yang sedikit ! akan tetapi, anda akan mencapai dengan yang sedikit itu,
kerajaan yang besar, yang tiada penghabisan baginya.
PENJELASAN: sebab pada
berlebih-kurangnya manusia pada cinta.
Ketahuilah, bahwa orang-orang mu’min
itu berkongsi pada pokoknya cinta. Karena berkongsinya mereka itu pada pokok
kasih sayang. Akan tetapi, mereka itu berlebih-kurang, karena
berlebih-kurangnya mereka pada ilmu mengenal Allah Ta’ala dan pada kecintaan
kepada dunia. Karena segala sesuatu itu berlebih-kurang, dengan berlebih-kurang
sebab-sebabnya. Kebanyakan manusia, tak ada bagi mereka daripada Allah Ta’ala,
selain sifat-sifat dan nama-nama yang mengetok pendengaran mereka. Lalu mereka
mempelajarinya dan menghafalkannya. Kadang-kadang mereka mengkhayalkan bagi
yang tersebut itu, akan makna-makna yang Maha Sucilah Tuhan semesta alam
daripadanya. Kadang-kadang mereka tiada menengok kepada hakikat/maknanya dan tiada
mengkhayal kan baginya, akan makna yang merusakkan. Akan tetapi, mereka beriman
dengan yang tersebut itu, dengan iman yang menyelamatkan dan membenarkan. Dan
mereka sibuk dengan amal dan meninggalkan pembahasan. Merekalah orang-orang
yang memperoleh keselamatan, dari orang-orang yang golongan kanan. Orang-orang
yang berkhayal itu adalah orang-orang yang sesat. Dan orang-orang yang
mempunyai ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan hakikat/makna-hakikat/makna, adalah
mereka itu orang-orang yang dekat dengan Tuhan (al-muqarrabin). Allah
menyebutkan keadaan jenis yang 3 itu pada firmanNya yang Maha Tinggi: “Adapun
jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka
dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta sorga kenikmatan. Dan adapun jika
dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu, karena kamu dari golongan
kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka
dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar di dalam neraka”. S 56 Al
Waaqi’ah ayat 88 sampai 95.
Jikalau anda tidak dapat
memahami segala persoalan, selain dengan contoh-contoh, maka marilah kami
membuat contoh bagi berlebih-kurangnya cinta itu. Maka kami mengatakan: Para
sahabat Asy-Syafi’i umpamanya berkongsi pada mencintai Asy-Syafi’i ra, baik
yang ahli fikih dari mereka atau yang awwam. Karena mereka itu berkongsi pada
mengenal kelebihannya, agamanya, bagus perjalanan hidupnya dan terpuji segala
perkaranya. Akan tetapi orang yang awam itu mengenal ilmunya, secara ringkas
(global). Dan orang yang ahli fikih mengenalnya secara terperinci. Maka adalah
kekenalan ahli fikih dengan Asy-Syafi’i itu lebih sempurna. Ketakjuban dan
kecintaannya kepada Asy-Syafi’i ra itu lebih keras.
Bahwa orang yang melihat
karangan seorang pengarang, lalu ia memandang bagus dan ia mengenal akan
kelebihan orang itu dengan karangan tersebut, niscaya sudah pasti ia akan
mencintainya. Dan cenderung hatinya kepadanya. Kalau ia melihat karangan orang
lain, yang lebih bagus dan lebih menakjubkan daripadanya, niscaya sudah pasti
berlipat gandalah kecintaannya. Karena berlipat-ganda kekenalannya dengan ilmu
pengarang itu. Begitu juga, seseorang yang berkeyakinan terhadap seorang
penyair, bahwa orang itu dapat membuat syair dengan baik, maka ia akan
mencintai penyair itu. Maka apabila ia mendengar dari keganjilan-keganjilan
syairnya, apa yang agung padanya kemahirannya dan susunannya, niscaya
bertambahlah kekenalannya dan kecintaan nya kepada penyair itu. Begitu juga
perbuatan-perbuatan dan kelebihan-kelebihan yang lain.
Orang awam kadang-kadang
mendengar bahwa si Anu itu pengarang, bahwa orang itu bagus mengarang, akan
tetapi, ia tidak tahu, apa dalam karangannya, maka orang itu mempunyai
kekenalan secara ringkas terhadap orang tersebut. Dan adalah baginya
kecenderungan secara ringkas bagi orang itu. Orang yang bermata hati apabila
memeriksa dari karangan-karangan dan menampak dalam karangan-karangan itu dari
keajaiban-keajaiban, niscaya sudah pasti berlipat-gandalah cintanya. Karena
keajaiban-keajaiban perusahaan, syair dan karangan itu menunjukkan kepada
kesempurnaan sifat-sifat si pembuat dan si pengarang itu. Dan orang yang
berilmu itu secara ringkasnya adalah ciptaan Allah Ta’ala dan karanganNya.
Orang awam mengetahui yang demikian dan meyakininya. Adapun orang yang bermata
hati, maka ia menengok akan penguraian ciptaan Allah Ta’ala padanya. Sehingga
ia melihat pada nyamuk akan suatu contoh dari keajaiban-keajaiban ciptaanNya,
yang mengalahkan akalnya dan yang mengherankan hatinya. Dan sudah pasti dengan
sebab yang demikian itu, bertambah kebesaran, keagungan dan kesempurnaan
sifat-sifat Allah dalam hatinya. Lalu bertambahlah kecintaannya kepada Allah.
Setiap kali bertambah penglihatannya kepada keajaiban-keajaiban ciptaan Allah,
niscaya ia mengambil dalil dengan yang demikian, kepada kebesaran dan keagungan
Allah, Yang menciptakannya. Dan bertambahlah ilmu mengenal Allah Ta’ala dan
cintanya kepada Allah, dengan yang demikian. Lautan ilmu mengenal Allah Ta’ala ini,
yakni: ilmu mengenal Allah Ta’ala keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala
adalah lautan yang tiada bertepi. Maka tidak pelak lagi, berlebih-kuranglah
ahli ilmu mengenal Allah Ta’ala itu pada cinta, yang tiada hinggaan baginya.
Diantara yang menjadi sebab berlebih-kurangnya cinta, ialah: perselisihan
sebab-sebab yang 5, yang telah kami sebutkan itu bagi cinta. Bahwa orang yang
mencintai Allah umpamanya karena Allah itu berbuat ihsan (perbuatan baik) kepadanya, yang menganugerahkan nikmat
kepadanya dan tidaklah ia mencintaiNya bagi ZatNya, niscaya lemahlah
kecintaannya itu. Karena cinta itu akan berobah dengan berobahnya ihsan
(perbuatan baik) . Maka tidaklah cintanya ketika dalam keadaan percobaan,
seperti cintanya dalam keadaan senang dan nikmat.
Adapun orang yang
mencintai Allah Ta’ala bagi ZatNya dan karena Allah itu yang layak dimiliki
untuk dicintai, disebabkan kesempurnaan, keelokan, kemuliaan dan keagunganNya,
maka tiada berlebih-kuranglah cintanya itu, dengan berlebih-kurangnya perbuatan
baik Allah Ta’ala kepadanya. Maka ini dan contoh-contohnya adalah yang menjadi
sebab berlebih-kurangnya manusia pada mencintai. Berlebih-kurangnya pada
mencintai itu, adalah sebab pada berlebih-kurangnya pada kebahagiaan akhirat.
Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan pasti kehidupan akhirat lebih
tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaan nya”. S 17 Al Israa’ ayat 21.
PENJELASAN: sebab pada
pendeknya pemahaman makhluk (manusia) daripada mengenal ma’rifah (ilmu mengenal
kepada Allah swt).
Ketahuilah, bahwa Yang Maujud yang
paling terang dan nyata, ialah: Allah Ta’ala. Dan ini menghendaki, bahwa ilmu
mengenal Allah Ta’ala ke pada Allah itu adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang
pertama dan yang paling dahulu kepada pemahaman. Dan yang paling mudah kepada
akal pikiran. Dan yang anda lihat dalam hal ini, adalah yang berlawanan dengan
yang demikian. Maka tidak boleh tidak daripada menjelaskan sebabnya.
Sesungguhnya kami katakan
tadi, bahwa Allah Ta’ala itu Yang Maujud / yang paling terang dan nyata, untuk
suatu makna yang tidak anda pahami, selain dengan contoh. Dan contoh itu,
ialah: bahwa kita apabila melihat seorang insan menulis atau menjahit umpamanya
niscaya adalah insan itu orang yang hidup pada kita, dari yang maujud (yang
ada) itu yang paling terang. Maka hidupnya, ilmunya, kemampuannya dan
kehendaknya bagi menjahit itu lebih nyata pada kita, dari sifat-sifat yang
lain, yang zahiriyah dan yang batiniyah. Karena sifat-sifatnya yang batiniyah,
seperti nafsu keinginannya, marahnya, perangainya, sehatnya dan sakitnya,
adalah semua itu kita tidak mengetahuinya. Dan sifat-sifatnya yang zahiriyah,
kita tidak mengetahui sebahagian daripadanya. Dan sebahagian daripadanya, kita
ragukan, seperti: kadar tingginya, perbedaan warna kulitnya dan yang lain dari
itu, dari sifat-sifatnya. Adapun hidupnya, kemampuannya, kehendaknya, ilmunya
dan dia itu adalah hewan, maka itu terang pada kita, tanpa tergantung
pancaindra penglihatan, dengan hidupnya, kemampuannya dan kehendaknya. Bahwa
sifat-sifat ini tidak dirasakan dengan sesuatu dari pancaindra yang 5. Kemudian,
tidak mungkin bahwa kita mengenal akan hidupnya, kemampuannya dan kehendaknya,
selain dengan jahitan dan gerakannya. Kalau kita perhatikan kepada setiap apa
yang dalam alam, selain daripadanya, niscaya kita tidak akan mengenal sifatnya.
Maka tidaklah atas yang demikian itu, selain satu dalil. Dan yang bersama yang
demikian itu terang dan jelas. Wujudnya Allah Ta’ala, qudrah (kuasa)Nya,
ilmuNya dan sifat-sifatNya yang lain, disaksikan bagiNya dengan mudah, oleh
setiap apa yang kita saksikan. Dan kita mengetahuinya dengan pancaindra
zahiriyah dan batiniyah, dari batu, lumpur, tumbuh-tumbuhan, pohon kayu, hewan,
langit, bumi, binatang, daratan, lautan, api, udara, benda dan sifat barang
yang berdiri dengan lainnya (‘aradl/sifat). Bahkan, yang pertama-tama yang kita
saksikan, ialah: diri kita, tubuh kita, sifat kita, berbalik-baliknya hal-ihwal
kita, berobahnya hati kita dan semua perkembangan kita dalam gerak dan diam
kita. Hal yang paling jelas dalam ilmu kita, ialah: diri kita. Kemudian yang
kita rasakan dengan pancaindra yang 5. Kemudian, yang kita ketahui dengan akal
dan mata hati. Setiap sesuatu dari yang diketahui itu, mempunyai suatu yang
diketahui, suatu saksi dan suatu dalil. Dan semua yang dalam alam ini adalah saksi-saksi
yang berbicara, dalil-dalil yang menyaksikan, dengan wujud Penciptanya,
Pengaturnya, Pengarahnya dan Penggeraknya. Dan yang menunjukkan kepada IlmuNya,
Qudrah (kuasa)Nya, Kasih-sayangNya dan HikmahNya. Dan yang ada, yang diketahui
itu, tiada terhingga banyaknya. Kalau adalah hidup si penulis itu telah terang
pada kita dan tidak disaksikan, selain oleh satu saksi, yaitu: apa yang telah
kita lihat dari gerak tangannya maka bagaimana tidak terang pada kita, apa yang
tidak tergambar pada wujud, akan suatu yang di dalam diri kita dan di luarnya,
selain dia itu menjadi saksi atasNya, atas kebesaran dan keagunganNya ? Karena
setiap atom itu, ia menyerukan dengan lisan perihalnya, bahwa tiadalah wujudnya
dengan dirinya sendiri dan tiadalah geraknya dengan zatnya sendiri. Bahwa dia
itu memerlukan kepada Yang Mengadakan dan Yang Menggerakkannya. Disaksikan
dengan yang demikian, pertama-tama oleh susunan anggota badan kita, persatuan
tulang-belulang kita, daging kita, urat saraf kita, tempat tumbuh rambut kita,
bentuk sendi-sendi badan kita dan bahagian-bahagian badan kita lainnya, yang
zahiriyah dan yang batiniyah. Maka kita mengetahui, bahwa semua itu tidak
tersusun dengan dirinya sendiri, sebagaimana kita ketahui, bahwa tangan si
penulis itu tidak bergerak dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, tatkala tidak
tinggal lagi pada yang ada (wujud) ini, suatu yang diketahui, yang dirasakan,
yang diterima akal, yang hadir dan yang ghaib, melainkan dia itu saksi dan
mengakui, niscaya sangatlah nyatanya. Maka kalahlah akal dan heranlah ia
daripada mengetahuinya. Bahwa apa, yang singkatlah akal kita daripada
memahaminya, maka itu ada dua sebab:
Salah satu daripadanya, tersembunyinya pada
dirinya dan tidak terang. Dan yang demikian itu, tidak tersembunyi contohnya.
Dan yang satu lagi, ialah: apa yang berkesudahan
terangnya. Dan ini sebagaimana kelelawar dapat melihat di malam hari dan tidak
dapat melihat di siang hari. Bukan karena tersembunyinya siang dan tertutupnya,
akan tetapi, karena terangnya. Bahwa penglihatan kelelawar itu lemah, yang
cahayanya dikalahkan oleh matahari, apabila telah terbit. Maka adalah kuat
terangnya siang, serta lemah penglihatannya itu menjadi sebab, bagi tercegah
penglihatannya. Ia tidak dapat melihat sesuatu, kecuali apabila bercampur
cahaya dengan gelap dan lemah terangnya. Maka seperti demikianlah akal kita itu
lemah. Dan keelokan hadlarat ketuhanan pada penghabisan cemerlang dan bersinar
dan pada penghabisan menghabisi semuanya dan melengkapi. Sehingga tidak ganjil
dari terangnya, suatu atompun dari kerajaan langit dan bumi. Lalu jadilah
terangnya itu sebab tersembunyinya. Maka Maha Sucilah Yang Terhijab dengan
cemerlang NurNya. Dan tersembunyi dari mata hati dan mata kepala dengan sebab
terangNya. Tidak mengherankan dari tersembunyinya yang demikian, dengan sebab
terangya. Bahwa segala sesuatu itu menjadi nyata dengan lawannya. Dan apa yang
umum adanya, sehingga tiada lawan baginya, maka sukarlah mengetahuinya. Jikalau
berlainanlah segala sesuatu, lalu sebahagiannya menunjukkan dan sebahagian yang
lain tidak, niscaya diketahuilah akan perbedaan dalam tempo dekat. Dan tatkala
berkongsilah segala sesuatu itu pada menunjukkan atas suatu rangkaian, niscaya
sulitlah urusan. Contohnya: cahaya matahari yang terbit di atas bumi. Bahwa
kita mengetahui, cahaya itu adalah ‘aradl (sifat) (suatu sifat yang berdiri
dengan lainnya) dari ‘aradl-’aradl (sifat) yang datang pada bumi. Dan ia hilang
ketika terbenam matahari. Maka jikalau adalah matahari itu terbit terus dan
tidak terbenam lagi, niscaya adalah kita akan menyangka, bahwa ‘aradl (sifat)
itu tiada berkeadaan pada tubuh, selain warnanya. Yaitu: hitam, putih dll. Maka
kita tiada akan menyaksikan pada yang hitam, selain hitam dan yang putih,
selain putih. Adapun terang, maka tidaklah kita mengetahuinya sendirian. Akan
tetapi, tatkala terbenamlah matahari dan gelaplah tempat-tempat, niscaya kita
ketahui akan perbedaan diantara dua hal. Maka kita ketahui, bahwa tubuh-tubuh
(al-ajsam) itu, adalah telah memperoleh terang dengan terang dan ia bersifat
dengan suatu sifat yang membedakannya ketika terbenam.
Maka kita ketahui, akan
ada nur (cahaya) dengan tidak adanya. Dan kita tidak menengok kepadanya,
jikalau tidak adanya, selain dengan sangat sukar. Yang demikian itu, karena
kita menyaksikan akan tubuh-tubuh (al-ajsam), yang serupa, yang tiada berlainan
dalam gelap dan cahaya. Ini, serta cahaya itu yang paling terang dari semua
yang dirasakan dengan pancaindra. Karena dengan dia itu, dapat diketahui semua
yang dirasakan dengan pancaindra, yang lainnya. Maka apa yang terang pada
dirinya dan itu akan terang pada lainnya. Perhatikanlah, bagaimana tergambar
tidak terang urusannya, dengan sebab terangnya, jikalau tidak datang lawannya.
Maka Allah Ta’ala itu yang paling terang dari segala urusan. Dengan Dialah
terang segala sesuatu seluruhnya. Jikalau ada bagi Allah Ta’ala itu tiada
(‘adam) atau hilang (ghaibah) atau perobahan (taghayyur), niscaya runtuhlah
langit dan bumi dan batil/salahlah (binasalah) alam al-mulki/alam dunia dan
al-malakut/alam langit. Dan diketahuilah dengan yang demikian, akan perbedaan
diantara dua hal. Jikalau adalah sebahagian segala sesuatu itu adanya dengan
Allah Ta’ala dan sebahagian lagi adanya bukan dengan Allah Ta’ala, niscaya
dapatlah diketahui akan perbedaan diantara dua perkara itu pada dalilnya. Akan
tetapi, dalilNya itu umum pada segala sesuatu itu di atas satu rangkaian. Dan
wujudNya itu berkekalan dalam segala hal, yang mustahil berselisihnya. Maka
tidak pelak lagi, kesangatan terang itu mewariskan kesembunyian.
Maka ini adalah sebab pada
singkatnya pemahaman. Adapun orang yang kuat penglihatan mata hatinya dan tidak
lemah kekuatannya, maka dia dalam keadaan sederhana urusannya, tiada melihat,
selain Allah Ta’ala. Dan tiada mengenal selainNya. Ia mengetahui, bahwa tiada
pada wujud, selain Allah. Dan segala perbuatannya adalah salah satu dari bekas qudrah
(kuasa)Nya. Maka segala perbuatan itu mengikuti Allah. Pada hakikat/maknanya
tiada wujud bagi perbuatan-perbuatan itu, dengan tidaknya Allah. Bahwa wujud
adalah bagi Yang Maha Esa Yang Besar, yang dengan Dia adanya seluruh perbuatan
itu. Orang yang ini keadaannya, maka ia tidak melihat pada suatupun dari
perbuatan-perbuatan itu, melainkan ia melihat padanya akan Pembuat. Ia lupa
dari perbuatan, dari segi bahwa perbuatan itu langit, bumi, hewan dan pohon
kayu. Akan tetapi, ia memandang padanya, dari segi bahwa itu ciptaan Yang Maha
Esa, Yang Benar. Maka tidak adalah pemandangannya itu melewati kepada yang lain
daripadaNya. Seperti orang yang memandang kepada syair atau tulisan atau karangan
seorang insan. Ia melihat pada yang tersebut itu akan penyair dan pengarang. Ia
melihat akan bekas-bekasnya, dari segi bahwa bekas itu tidak dari segi dia itu
tinta, manja-kani dan terusi (adalah bahan tinta pada waktu itu) yang
dirangkumkan di atas kertas putih. Maka tidaklah ia sesungguhnya memandang
kepada selain pengarang.
Setiap alam itu susunan
(karangan) Allah Ta’ala. Maka siapa yang memandang kepadanya, dari segi bahwa
itu perbuatan Allah dan mengenalnya dari segi bahwa itu perbuatan Allah dan dicintainya
dari segi bahwa itu perbuatan Allah, niscaya ia tidak memandang, selain pada
Allah. Ia tidak mengenal, selain Allah. Dan ia tidak mencintai, selain kepada
Allah. Adalah orang itu orang yang berkeesaan yang
benar, yang ia tidak melihat, selain Allah. Bahkan ia tidak
memandang kepada dirinya sendiri, dari segi dirinya itu. Akan tetapi, dari segi
bahwa dia itu hamba Allah. Maka inilah dia itu, yang dikatakan, bahwa dia telah
fana (lenyap) dalam keesaan. Ia telah fana dari dirinya. Dan kepadanyalah diisyaratkan
dengan ucapan orang yang mengucapkan: “Adalah kami dengan kami. Maka kami fana
dari kami. Maka kami tinggal, dengan tidak kami”. Maka inilah hal-hal yang
dimaklumi, pada orang-orang yang bermata-hati, yang sukar bagi yang lemah
pemahaman daripada mengetahuinya, singkatnya kesanggupan para ulama pada
menjelaskan dan menerangkannya dengan kata-kata yang dipahami, yang
menyampaikan bagi maksud kepada pemahaman. Atau dengan sebab kesibukan mereka
dengan dirinya dan keyakinan mereka, bahwa penjelasan yang demikian bagi selain
mereka, termasuk hal yang tidak penting bagi mereka. Maka inilah sebabnya pada
singkatnya pemahaman daripada mengenal Allah Ta’ala. Dan tergabung kepadanya,
bahwa semua yang diindrakan, yang menjadi saksi kepada Allah, sesungguhnya
diketahui oleh insan pada masa kecil, ketika ketiadaan akal. Kemudian lahir
padanya tabiat akal. Akal sedikit demi sedikit. Dia itu tenggelam cita-citanya
dengan nafsu syahwatnya. Hatinya telah jinak dengan yang diindrakannya dan yang
dirasakannya dengan pancaindra dan yang disukainya. Maka gugurlah hasilnya dari
hatinya, disebabkan lamanya kejinakan hati. Karena itulah, apabila ia melihat
dengan jalan tiba-tiba, akan hewan yang ganjil atau tumbuh-tumbuhan yang ganjil
atau sesuatu dari perbuatan Allah Ta’ala, yang di luar kebiasaan, yang
mengherankan, niscaya lancarlah lidahnya dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala tentunya.
Lalu ia mengatakan: “Subhanallah (Maha suci Allah) !”. Ia melihat sepanjang
hari akan dirinya, anggota tubuhnya dan hewan-hewan jinak lainnya. Semua itu
saksi-saksi yang memutuskan, yang tidak dirasakan kesaksiannya. Karena lamanya
kejinakan hati dengan saksi-saksi tersebut. Jikalau diumpamakan anak yang lahir
buta, yang telah dewasa dengan berakal, kemudian terkupas yang menutupi
matanya, lalu memanjang penglihatannya ke langit, ke bumi, pohon kayu,
tumbuh-tumbuhan dan hewan, sekaligus secara tiba-tiba, niscaya ditakuti kepada
akalnya akan kalah. Karena sangat ketakjubannya, daripada menyaksikan
keajaiban-keajaiban ini bagi Khaliq (yang maha pencipta)nya. Maka ini dan yang
seperti ini, dari sebab-sebab, serta terjerumus dalam nafsu syahwat, adalah
yang menyumbat kepada makhluk akan jalan kecemerlangan dengan cahaya-cahaya ilmu
mengenal Allah Ta’ala dan berenang dalam lautannya yang luas.
Manusia pada mencari ilmu
mengenal Allah Ta’alaakan Allah itu seperti orang yang keheranan, yang dibuat
perumpamaan, apabila ia sedang mengendarai keledainya dan dia mencari
keledainya itu. Semua yang terang, apabila menjadi yang dicari, niscaya jadilah
sukar. Maka inilah rahasianya urusan ini. Hendaklah ditahkikan ! karena itulah
orang bermadah:
Engkau telah nyata,
maka tidak tersembunyi kepada seorang
jua.
Selain kepada orang yang buta,
yang tidak mengenal bulan purnama
raya.
Akan tetapi Engkau bersembunyi,
mendindingkan diri dengan yang Engkau
nyatakan.
Maka bagaimana dikenali,
orang yang biasanya menutupkan ?
PENJELASAN: makna rindu
kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang
memungkiri akan hakikat/makna kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka tidak boleh
tidak bahwa ia memungkiri akan hakikat/makna rindu. Karena tidaklah tergambar
rindu itu, selain kepada yang dicintai. Kita mengakui adanya kerinduan kepada
Allah Ta’ala dan keadaan orang yang ilmu mengenal Allah Ta’ala itu memerlukan
kepadanya dengan jalan i’tibar (ibarat) dan memperhatikan dengan nur
penglihatan mata hati. Dan dengan jalan hadits-hadits dan atsar-atsar.
Adapun ibarat, maka
memadailah pada mengakui adanya, apa yang telah terdahulu pada mengakui adanya
cinta. Setiap yang dicintai sudah pasti dirindukan, pada waktu tidak adanya di
depan kita. Adapun yang sudah ada, hadir di depan itu, maka tidak dirindukan.
Bahwa kerinduan itu dicari dan mengkilap kepada urusannya. Dan yang ada itu
tidak dicari. Akan tetapi, penjelasannya, bahwa kerinduan itu tidak akan
tergambar, selain kepada sesuatu yang diketahui dari satu segi dan tidak
diketahui dari segi yang lain. Adapun yang tidak diketahui sekali-kali, maka
tidak dirindukan kepadanya. Bahwa orang yang tidak melihat akan seseorang dan
tidak mendengar sifatnya, niscaya tidaklah tergambar bahwa ia rindu kepadanya.
Dan apa yang diketahui dengan sesempurnanya, niscaya tidak dirindukan
kepadanya. Kesempurnaan diketahui itu, ialah dengan: dilihat. Maka orang yang
dalam menyaksikan kecintaannya, terus-menerus memandang kepadanya, niscaya
tidaklah akan tergambar bahwa ada baginya kerinduan. Akan tetapi, kerinduan itu
tergantung dengan apa yang diketahui dari satu segi dan tidak diketahui dari
segi yang lain. Dan itu dari dua segi, tidak akan tersingkap, selain dengan
contoh dari penyaksian (al-musyahadat).
Maka kami mengatakan
umpamanya, bahwa orang yang menghilang daripadanya, orang yang dirinduinya dan
tinggal dalam hatinya khayalan kepada orang itu, maka rindulah ia kepada
kesempurnaan khayalannya dengan: melihat. Jikalau terhapuslah dari hatinya akan
ingatan, khayalan dan kenalan kepada orang itu, sehingga dilupakannya, niscaya
tidaklah akan tergambar, bahwa ia rindu kepada orang itu. Dan jikalau
dilihatnya, niscaya tidaklah tergambar bahwa ia rindu pada waktu melihat. Maka
makna rindunya itu, ialah kerinduan dirinya kepada kesempurnaan khayalannya.
Maka seperti demikian, kadang-kadang ia melihatnya dalam gelap, dimana tidak
tersingkap baginya hakikat/makna bentuknya. Lalu ia rindu kepada kesempurnaan
melihatnya. Dan sempurnanya tersingkap pada bentuknya, ialah dengan cemerlang
cahaya ke atasnya.
Kedua: bahwa ia melihat wajah kekasihnya.
Dan ia tidak melihat rambutnya umpamanya dan tidak kebagusan-kebagusan lainnya.
Maka ia rindu kepada melihatnya, walaupun ia tidak melihatnya sekali-kali. Dan
tidak ada pada dirinya khayalan yang terbit daripada melihat. Akan tetapi, ia
tahu, bahwa baginya suatu anggota dan beberapa anggota badan yang indah. Ia
tidak memperoleh uraian jalannya dengan melihat. Lalu ia rindu bahwa tersingkap
baginya apa yang tidak dilihatnya sekali-kali. Kedua wajah itu semua tergambar
pada pihak Allah Ta’ala. Bahkan keduanya itu harus dengan mudah bagi setiap
orang al-‘arifin yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Bahwa setiap
apa yang terang bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), dari
urusan-urusan ketuhanan, walaupun ada pada penghabisan terang, maka itu
seakan-akan dari balik tirai yang tipis. Maka tidaklah ia terang dengan
penghabisan terang. Akan tetapi, adalah bercampur dengan campuran-campuran
kekhayalan. Bahwa kekhayalan-kekhayalan itu tidak lesu di alam ini, daripada
tamsilan/gambaran, percontohan bagi semua yang diketahui. Dan itu mengeruhkan
bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala dan menyempitkan. Seperti demikian pula,
bertambah kepadanya pengganggu-pengganggu duniawi. Bahwa kesempurnaan terang
itu dengan penyaksian (al-musyahadah) dan sempurnanya kecemerlangan al-tajalli
(nyata dan terangnya sesuatu). Dan tidak ada yang demikian itu, selain di
akhirat. Yang demikian itu dengan mudah mengharuskan rindu. Maka itu adalah
penghabisan kecintaan orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka
ini salah satu dari dua macam rindu. Dan itu kesempurnaan terang pada apa yang
telah terang dengan bagaimanapun adanya.
Kedua: bahwa urusan ketuhanan tiadalah
berpenghabisan. Hanya tersingkap sebahagian
daripadanya bagi setiap hamba dari hamba-hambaNya. Dan tinggal
urusan-urusan yang tiada berpenghabisan, yang tiada terang. Orang yang berma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu tahu akan wujudnya dan keadaannya yang
dimaklumi bagi Allah Ta’ala. Ia tahu, bahwa apa yang ghaib dari pengetahuannya
dari yang dimaklumi itu lebih banyak dari apa yang hadir. Maka senantiasa lah
ia rindu, bahwa berhasillah baginya pokok ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
pada apa yang belum berhasil, dari apa yang tinggal, dari yang dimaklumi, yang
belum dikenalnya sekali-kali. Tidak pengenalan yang terang dan tidak pengenalan
yang tidak terang. Kerinduan yang pertama itu berkesudahan di negeri akhirat,
dengan makna yang dinamakan: melihat, bertemu dan menyaksikan. Dan tidak
tergambar bahwa kerinduan ini bertempat di dunia. Adalah Ibrahim bin Adham dari
orang-orang yang merindukan. Ia berkata: “Pada suatu hari aku berdoa: “Wahai
Tuhan ! jikalau Engkau berikan kepada seseorang dari orang-orang yang mencintai
Engkau, apa yang menentramkan hatinya, sebelum menemui Engkau, maka berilah
kepadaku yang demikian ! sesungguhnya telah mendatangkan melarat bagiku oleh
kegundahan”. Ibrahim bin Adham meneruskan ceritanya: “Maka aku bermimpi, bahwa
Ia memberhentikan aku di hadapan Nya dan berfirman: “Hai Ibrahim ! apakah tidak
engkau sukai daripadaKu, bahwa engkau meminta padaKu, bahwa Aku memberikan
kepada engkau, akan apa yang menentramkan hati engkau sebelum menemui Aku !
adakah ketentraman bagi orang yang rindu, sebelum menemui kekasihnya ?”. Aku
lalu menjawab: “Wahai Tuhan ! aku bimbang pada mencintai Engkau. Aku tidak
tahu, apa yang akan aku katakan. Maka ampunilah aku dan ajarilah apa yang akan
aku katakan!”. Allah berfirman: “Ucapkanlah: “Wahai
Allah Tuhanku ! ridhailah aku dengan qodo/takdirMu ! sabarkanlah aku atas
percobaanMu ! bagikanlah kepadaku akan bersyukur kepada nikmatMu !”. Maka
sesungguhnya rindu ini akan menentramkan di akhirat”.
Adapun kerinduan yang
kedua: maka serupalah bahwa tidak ada baginya penghabisan. Tidak di dunia dan
tidak di akhirat. Karena penghabisannya, ialah bahwa tersingkap bagi hamba di
akhirat, dari keagungan Allah Ta’ala, sifat-sifatNya, hikmahNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya,
apa yang diketahui bagi Allah Ta’ala. Dan itu mustahil. Karena yang demikian
itu, tiada berkesudahan bagiNya. Dan senantiasalah hamba itu tahu, bahwa yang
tinggal dari keelokan dan keagungan itu ada yang tidak terang baginya. Maka tiada
bertempatlah sekali-kali kerinduannya. Lebih-lebih orang yang melihat di atas
derajatnya, banyak derajat. Kecuali, bahwa ia rindu kepada kesempurnaan sampai
serta berhasil pokok kesampaian. Maka ia memperoleh bagi yang demikian itu,
akan kerinduan yang lezat, yang tidak lahir padanya kepedihan. Dan tidak jauh
bahwa adalah kehalusan ketersingkapan dan pemandangan itu beriring-iringan,
kepada tidak berkesudahan. Senantiasalah nikmat dan lezat itu tambah-bertambah
sepanjang abad.
Adalah kelezatan dari apa
yang baru-membaru itu dari nikmat yang halus-halus, menyibukkan daripada
merasakan rindu, kepada apa yang tidak berhasil. Ini dengan syarat bahwa
mungkin berhasilnya ketersingkapan (al-kasyaf), pada apa yang tidak berhasil
padanya ketersingkapan di dunia sekali-kali. Jikalau adalah yang demikian itu
tidak diberikan, maka adalah nikmat itu terhenti di atas batas yang tidak
berlipat-ganda. Akan tetapi, adalah dia itu terus-menerus berkekalan. Firman
Allah swt: “Cahaya mereka berlari dihadapan mereka dan dikanan mereka, sedang
mereka berkata: “Wahai Tuhan kami ! cukupkanlah untuk kami cahaya kami !”. S 66
At Tahrim ayat 8. Itu mungkin bagi pengertian ini. Yaitu, bahwa diberikan
nikmat kepadanya, dengan mencukupkan cahaya, manakala ia berbekal dari dunia,
dengan pokok cahaya. Dan mungkin bahwa adalah yang dimaksudkan itu pencukupan
cahaya, pada bukan apa yang memperoleh cahaya di dunia, sebagai penyinaran yang
diperlukan kepada penambahan kesempurnaan dan kecemerlangan. Maka adalah itu
yang dimaksudkan dengan kecukupannya. Dan firman Allah Ta’ala: “Lihatlah kami !
biarkanlah kami mengambil sebahagian dari cahaya kamu. Dikatakan (kepada
mereka): Mundurlah ke belakang dan carilah (sendiri) cahaya !”. S 57 Al Hadiid
ayat 13. Itu, menunjukkan, bahwa cahaya-cahaya itu tidak boleh tidak dan bahwa
berbekallah pokoknya di dunia. Kemudian, bertambah kecemerlangannya di akhirat.
Adapun bahwa membarulah cahaya itu, maka tidak. Hukum pada ini dengan
merajamkan (melemparkan dengan batu) segala sangkaan itu berbahaya. Dan tidaklah
tersingkap bagi kita padanya, sesudah apa yang dipercayakan dengan dia. Maka
kita bermohon pada Allah Ta’ala bahwa Ia menambahkan kepada kita, akan ilmu dan
petunjuk. Dan Ia memperlihatkan kepada kita akan kebenaran itu kebenaran. Maka
kadar ini dari cahaya penglihatan mata hati itu menyingkapkan segala
hakikat/makna rindu dan makna-maknanya.
Adapun kesaksian-kesaksian
hadits dan atsar, maka lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Maka dari yang
termasyhur dari doa Rasulullah saw, ialah bahwa ia mengucapkan: “Wahai Allah
Tuhanku ! bahwa aku bermohon padaMu akan ridla sesudah qodo/takdir, kedinginan
hidup sesudah mati, kelezatan memandang kepada WajahMu Yang Mulia dan kerinduan
kepada menemuiMu”.
Abud-Darda berkata kepada
Ka’ab: “Terangkanlah kepadaku dari ayat yang paling khusus. Yakni: dalam Taurat
!”. Ka’ab menjawab: “Allah Ta’ala berfirman: “Lamalah sudah rindunya
orang-orang baik kepada menemuiKu. Dan sesungguhnya Aku lebih lagi sangat rindu
kepada menemui mereka”. Ka’ab meneruskan: “Dan tertulis pada pinggir Taurat:
“Siapa yang mencari Aku, niscaya ia mendapati Aku. Dan siapa yang mencari
selain Aku, niscaya ia tiada akan mendapati Aku”. Abud-Darda lalu berkata: “Aku
naik saksi, bahwa aku sesungguh nya telah mendengar bahwa Rasulullah saw
mengatakan yang demikian”. Dalam berita-berita Daud as, bahwa Allah Ta’ala
berfirman: “Hai Daud ! sampaikanlah kepada penduduk bumiKu, bahwa Aku mencintai
siapa yang mencintaiKu. Duduk dengan siapa yang duduk-duduk dengan Aku.
Berjinakan dengan siapa yang berjinakan dengan mengingatiKu. Teman dengan siapa
yang berteman dengan Aku. Memilih dengan siapa yang memilih Aku. Mematuhi
kepada siapa yang mematuhi akan Aku. Tiada mencintai Aku oleh seorang hamba,
yang Aku tahu bahwa yang demikian itu adalah keyakinan dari hatinya, melainkan
Aku terima dia bagi DiriKu. Aku mencintainya, dengan kecintaan, yang tidak
didahului oleh seseorang dari makhlukKu. Siapa yang
mencari Aku dengan kebenaran, niscaya ia mendapati akan Aku. Dan
siapa yang mencari selain Aku, niscaya ia tidak akan mendapati Aku.
Lemparkanlah hai penduduk bumi, akan apa yang berada kamu di atasnya, dari
tipuannya ! marilah kepada kemuliaanKu, berteman dengan Aku dan duduk-duduk
dengan Aku ! berjinak-jinakkanlah dengan Aku, niscaya Aku berjinak-jinakkan
dengan kamu. Dan aku bersegera kepada mencintai kamu. Sesungguhnya Aku
menciptakan tanah lumpur kekasih-kekasihKu dari tanah lumpur Ibrahim KhalilKu
(TemanKu), Musa yang Kulepaskan dari bahaya dan Muhammad pilihanKu. Aku
ciptakan hati orang-orang yang rindu dari nurKu. Aku anugerahkan nikmat
kepadanya dengan keagunganKu”.
Diriwayatkan dari
sebahagian salaf, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada sebahagian
orang-orang ash-shiddiqin: “Bahwa Aku mempunyai hamba-hamba dari hamba-hambaKu,
yang mencintai Aku dan Aku mencintai mereka. Mereka rindu kepadaKu dan Aku
rindu kepada mereka. Mereka mengingati (berdzikir) akan Aku dan Aku ingat
kepada mereka. Mereka memandang kepadaKu dan Aku memandang kepada mereka. Maka
jikalau engkau ikuti jalan mereka, niscaya Aku cinta kepada engkau. Dan jikalau
engkau berpaling dari mereka, niscaya Aku kutuk akan engkau”.
Orang ash-shiddiqin
bertanya: “Wahai Tuhanku ! apakah tandanya mereka ?”. Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka memelihara akan naungan di siang hari, sebagaimana penggembala yang
kasih-sayang memelihara kambingnya. Mereka rindu kepada terbenamnya matahari,
sebagaimana rindunya burung kepada sarangnya ketika matahari terbenam. Apabila
mereka ditutupi oleh malam, bercampur-aduk kegelapan, dibentangkan tikar,
ditegakkan tempat tidur dan setiap kekasih bersunyi-sepi dengan kekasihnya,
niscaya mereka payah berdiri kepada tapak kaki mereka, berbaring kepada muka
mereka. Mereka bermunajah (berbicara) dengan Aku dengan firmanKu,
bercumbu-cumbuan kepadaKu dengan kenikmatanKu. Maka diantara yang berteriak dan
yang menangis, diantara yang mengaduh dan yang mengadu, diantara yang berdiri
dan yang duduk, diantara yang ruku’ dan yang sujud, dengan penglihatanKu, akan
apa yang mereka tanggung dari karenaKu, dengan pendengaranKu akan apa yang mereka
mengadu dari kecintaanKu. Yang pertama dari apa yang Aku berikan kepada mereka,
ialah: 3: satu: Aku lontarkan dari nurKu
dalam hati mereka. Maka mereka menceritakan dari halKu, sebagaimana Aku
menceritakan dari hal mereka. Kedua,
jikalau adalah langit dan bumi dan apa yang di dalamnya dalam timbangan mereka,
niscaya Aku pandang sedikit yang demikian itu bagi mereka. Dan ketiga, Aku menghadap dengan WajahKu kepada
mereka. Maka engkau melihat akan siapa, yang Aku hadapkan dengan WajahKu
kepadanya, yang diketahui oleh seseorang akan apa yang Aku kehendaki akan
memberikannya”.
Pada berita-berita Daud
as, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud ! sampai berapa
kali engkau menyebutkan sorga dan tidak engkau meminta kepadaKu akan kerinduan kepadaKu
?”. Nabi Daud menjawab: “Hai Tuhanku ! siapakah orang-orang yang rindu kepada
Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa orang-orang yang rindu kepadaKu,
ialah: orang-orang yang Aku bersihkan mereka dari setiap kekeruhan. Aku
peringatkan mereka dengan penjagaan diri dan Aku koyakkan dari hati mereka
kepadaKu, akan kekoyakan, yang mereka pandang kepadaKu. Bahwa Aku membawa akan
hati mereka dengan tanganKu. Maka Aku meletakkannya di atas langitKu. Kemudian,
Aku panggil para malaikatKu yang cerdik. Apabila mereka telah berkumpul,
niscaya mereka bersujud kepadaKu. Lalu Aku berfirman: “Bahwa Aku tidak
memanggil kamu untuk bersujud kepadaKu. Akan tetapi Aku memanggil kamu
sekalian, untuk Aku kemukakan kepada kamu akan hati orang-orang yang rindu
kepadaKu. Dan Aku membanggakan dengan kamu akan orang-orang yang mempunyai
kerinduan kepadaKu. Bahwa hati mereka itu bercahaya di langitKu bagi para
malaikatKu, sebagaimana bercahayanya matahari bagi penduduk bumi. Hai Daud !
bahwa Aku menjadikan hati orang-orang yang rindu itu dari kerelaanKu. Dan Aku
curahkan nikmat kepadanya dengan nur WajahKu. Maka Aku mengambil mereka
kepadaKu, yang didatangkan kepadaKu. Aku jadikan badan mereka menjadi tempat
penglihatanKu ke bumi. Aku tempuh dari hati mereka akan jalan, yang mereka
memandang dengan yang demikian kepadaKu, yang bertambah pada setiap hari akan
kerinduan mereka”. Daud berkata: “Hai Tuhanku! perlihatkan kepadaku,
orang-orang yang mencintai Engkau !”. Allah lalu berfirman: “Hai Daud !
datanglah ke bukit Libanon ! bahwa pada bukit itu ada 14 orang manusia. Pada
mereka pemuda-pemuda, ketua-ketua dan orang-orang tua. Apabila engkau datang
kepada mereka, maka sampaikanlah salamKu kepada mereka! katakanlah kepada
mereka: “Bahwa Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman kepadamu:
“Apakah tidak kamu meminta suatu hajat keperluan ? bahwa kamu itu kekasihKu,
pilihanKu dan wali-waliKu. Aku gembira karena kegembiraanmu dan Aku bersegera
kepada mencintaimu”. Maka Daud as datang kepada mereka itu. Lalu didapatinya
mereka pada salah satu mata air, dimana mereka bertaffakur pada kebesaran Allah
‘Azza Wa Jalla. Tatkala mereka melihat kepada Daud as lalu mereka bangun
bergerak, untuk bercerai-berai dari Daud. Daud lalu berkata: “Bahwa aku utusan
Allah kepada kamu. Aku datang kepadamu untuk aku sampaikan risalah (kerasulan)
Tuhanmu”. Lalu mereka menghadap ke arah Daud. Mereka menaruh pendengaran mereka
ke arah perkataan Daud. Dan mereka menaruh penglihatannya ke bumi. Daud lalu
berkata: “Bahwa aku utusan (rasul) Allah kepadamu, yang menyampaikan salamNya
kepadamu. Ia berfirman kepadamu: “Apakah tidak mau meminta suatu hajat
keperluan ? apakah tidak kamu berseru kepadaKu, yang Aku dengar akan suara kamu
dan perkataan kamu ? bahwa kamu itu kekasihKu, pilihanKu dan wali-waliKu. Aku bergembira
karena kegembiraanmu. Aku bersegera kepada mencintaimu. Dan Aku memandang
kepada kamu pada setiap saat, sebagai pandangnya ibu yang kasih-sayang, yang
lemah-lembut”. Daud berkata: “Maka mengalirlah air mata di pipi mereka.
Maka berkata ketua mereka:
“Subhanaka-subhanaka ! (Maha Suci Engkau-Maha Suci Engkau !). Kami ini budak
Engkau dan anak budak Engkau. Maka ampunilah kami dari apa, yang telah putuslah
hati kami dari berdzikir kepada Engkau pada masa yang telah lalu dari umur kami
!”.
Yang lain berkata:
“Subhanaka-subhanaka ! kami ini budak Engkau dan anak budak-budak Engkau. Maka
anugerahilah nikmat kepada kami, dengan baiknya memandang, pada sesuatu di
antara kami dan Engkau !”.
Dan yang lain berkata
pula: “Subhanaka-subhanaka! kami ini budak Engkau dan anak budak-budak Engkau.
Adakah kami berani kepada berdoa dan Engkau tahu, bahwa tak ada keperluan bagi
kami pada sesuatu dari urusan kami ? maka kekalkanlah bagi kami akan keharusan
jalan kepada Engkau ! dan sempurnakanlah dengan demikian, akan nikmat kepada
kami !”.
Yang lain berkata: “Kami
teledor pada mencari keridlaan Engkau, maka tolonglah kami terhadap diri kami
dengan kemurahan Engkau !”.
Yang lain berkata pula:
“Dari air mani (nutfah) Engkau jadikan kami. Dan Engkau menganugerahkan nikmat
kepada kami dengan bertafakkur pada kebesaran Engkau. Maka adakah berani kepada
berkata-kata, orang yang sibuk dengan kebesaran Engkau, yang bertafakkur pada
keagungan Engkau dan Engkau menuntut kami akan kehampiran dengan cahaya Engkau
?”.
Yang lain berkata lagi:
“Tumpullah lidah kami dari berdoa kepada Engkau, karena besarnya keadaan
Engkau, dekatnya Engkau kepada wali-wali Engkau dan banyaknya nikmat Engkau
kepada orang-orang yang mencintai Engkau”.
Yang lain berkata: “Engkau
memberi petunjuk akan hati kami kepada berdzikir kepada Engkau dan Engkau
kosongkan waktu kami untuk menyibukkan diri dengan Engkau. Maka ampunilah bagi
kami akan keteledoran kami pada bersyukur kepada Engkau !”.
Yang lain berkata: “Engkau
tahu akan hajat kami. Yaitu: memandang kepada Wajah Engkau”.
Yang lain berkata:
“Bagaimanakah berani hamba itu kepada Tuannya ? karena Engkau menyuruh kami
dengan berdoa, dengan kemurahan Engkau ? maka berilah bagi kami akan cahaya,
yang kami memperoleh petunjuk dengan dia, dalam kegelapan dari segala lapisan
langit ?”.
Yang lain berkata: “Kami
berdoa pada Engkau bahwa Engkau menerima kepada kami dan mengekalkannya pada
kami”.
Yang lain berkata: “Kami
bermohon akan Engkau, kesempurnaan nikmat Engkau, pada apa yang Engkau berikan
kepada kami dan Engkau berkemurahan kepada kami”.
Yang lain berkata: “Tak
ada hajat bagi kami pada sesuatu dari makhluk Engkau. Maka curahkanlah kepada
kami akan nikmat, dengan memandang kepada keelokan Wajah Engkau !”.
Yang lain berkata: “Aku
bermohon kepada Engkau dari antara mereka, bahwa Engkau membutakan mataku,
daripada memandang kepada dunia dan penduduknya dan hatiku dari kebimbangan
dengan akhirat”.
Yang lain berkata: “Engkau
tahu, Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi, bahwa Engkau mencintai wali-wali
Engkau. Maka curahkanlah nikmat kepada kami dengan kesibukan hati dengan
Engkau, dari setiap sesuatu, yang bukan Engkau !”.
Maka Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Daud as: “Katakan kepada mereka: “Aku sudah mendengar
perkataan kamu dan Aku perkenankan kamu, kepada apa yang kamu cintai. Maka
hendaklah setiap seseorang dari kamu berpisah dengan temannya ! hendaklah ia
mengambil bagi dirinya jalan ! bahwa Aku yang membuka hijab (dinding), pada apa
yang diantara Aku dan kamu. Sehingga kamu memandang kepada nurKu dan
keagunganKu”. Daud lalu bertanya: “Hai Tuhanku ! dengan apakah mereka
memperoleh ini dari Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Dengan baik sangka dan
mencegah diri dari dunia dan penduduknya. Berkhilwah (bersunyi-sunyian) dengan
Aku dan mereka munajah (membisikkan segala isi hati) bagiKu. Bahwa ini suatu
tempat, yang tiada akan dicapai, selain oleh orang yang
menolak dunia dan penduduknya. Dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu
daripada mengingatinya. Dan mengosongkan hatinya bagiKu dan memilih aku di atas
semua makhlukKu. Maka ketika itu, Aku cenderung kepadanya, Aku kosongkan
dirinya, Aku singkapkan hijab, pada apa yang diantara Aku dan dia. Sehingga ia
memandang kepadaKu, sebagai pandangan orang yang memandang dengan matanya
kepada sesuatu. Aku perlihatkan kepadanya akan kemuliaanKu pada setiap saat.
Aku dekatkan dia kepada Nur WajahKu. Jikalau ia sakit, niscaya Aku urus
sakitnya, sebagaimana ibu yang kasih-sayang mengurus sakit anaknya. Jikalau ia
haus, niscaya Aku hilangkan hausnya. Dan Aku rasakan kepadanya akan rasa
kedzikiran kepadaKu. Apabila engkau perbuat yang demikian dengan orang itu, hai
Daud, niscaya butalah dirinya dari dunia dan penduduknya. Tidaklah Aku cintakan
dunia kepadanya. Ia tidak lesu dari kesibukan dengan Aku, yang menyegerakan Aku
akan datang. Aku tidak suka mematikannya. Karena dia tempat pandanganKu, dari
antara mahlukKu. Ia tidak melihat selain Aku dan Aku tidak melihat, selain dia.
Jikalau engkau melihatnya, hai Daud dan telah hancur nafsunya, telah kurus
tubuhnya, telah hancur-luluh anggota-anggota badannya dan telah tercabut
hatinya, apabila ia mendengar dzikir kepadaKu, Aku berbangga dengan orang itu
akan para malaikatKu dan penduduk semua langitKu. Ia bertambah takut dan
ibadahnya. Demi kemuliaanKu dan keagunganKu, hai Daud, Aku akan mendudukkannya
dalam sorga Firdaus. Aku sembuhkan dadanya dengan memandang kepadaKu. Sehingga
ia ridha dan di atas ridha”.
Pada berita-berita Daud
juga: “Katakan kepada hamba-hambaKu yang menghadapkan dirinya kepada mencintai
Aku: “Apakah yang memelaratkan engkau, apabila engkau terhijab dari makhlukKu
dan Aku angkatkan hijab pada apa, yang diantaraKu dan engkau, sehingga engkau
memandang kepadaKu dengan mata hati engkau ? apakah yang memelaratkan kamu, oleh
apa yang Aku palingkan kamu dari dunia, apabila Aku hamparkan agamaKu bagimu ?
apakah yang memelaratkan kamu oleh kemarahan makhluk, apabila kamu menuntut
keridhaanKu ?”. Pada berita-berita Daud juga, bahwa Allah Ta’ala mewahyukan
kepadanya: “Engkau mendakwakan bahwa engkau mencintai Aku. Maka jikalau engkau
mencintai Aku, keluarkanlah kecintaan kepada dunia dari hati engkau! bahwa
kecintaan kepadaKu dan kecintaan kepada dunia, tidaklah
keduanya itu berkumpul dalam hati. Hai Daud ! bersihkanlah akan
kecintaan kepadaKu dengan sebersih-bersihnya dan bercampur-aduklah dengan
penduduk dunia dengan campur-aduk yang sebenarnya ! dan akan agama engkau, maka
ikutlah akan Aku padanya ! jangan engkau ikut pada agama engkau itu dengan
orang-orang ! adapun apa yang nyata bagi engkau, dari apa yang bersesuaian
dengan kecintaan kepadaKu, maka peganglah dengan dia. Adapun yang menyukarkan
kepada engkau, maka ikutlah Aku padanya. Benarlah kepadaKu, bahwa Aku
menyegerakan kepada kebijaksanaan engkau dan pembetulan engkau. Dan adalah Aku
pemimpin engkau dan petunjuk kepada engkau. Aku memberi kepada engkau, tanpa
engkau meminta padaKu. Aku menolong engkau di atas segala kesulitan. Bahwa Aku
telah bersumpah atas diriKu, bahwa Aku tidak memberi pahala, selain kepada
hamba yang Aku kenal, akan siapa yang Aku mencarinya. Kehendaknya, ialah
melemparkan sayapnya di hadapanKu. Ia tidak terkaya, jauh dari Aku. Apabila ada
engkau seperti yang demikian, niscaya Aku cabut kehinaan dan keliaran dari
engkau. Aku tempatkan akan kekayaan pada hati engkau. Bahwa Aku bersumpah atas
diriKu, bahwa tidak tentramlah hambaKu kepada dirinya, yang memandang kepada
perbuatan diri itu, selain Aku mewakilkan yang demikian kepadanya. Tambahkanlah
segala sesuatu kepadaKu, yang tiada berlawanan dengan amal engkau ! maka adalah
engkau itu yang bersungguh-sungguh. Tiada mengambil manfaat dengan engkau,
orang yang berteman dengan engkau. Engkau tidak memperoleh bagi ilmu mengenal
Allah Ta’ala kepadaKu akan batas. Maka tiadalah baginya kesudahan. Manakala
engkau mencari daripadaKu akan tambahan, niscaya Aku berikan kepada engkau. Dan
engkau tidak memperoleh bagi tambahan daripadaKu akan batas.
Kemudian, beritahukanlah
kepada orang Bani Israil, bahwa tidak ada diantara Aku dan seseorang dari
makhlukKu itu keturunan. Maka hendaklah besar kegemaran mereka dan kehendak
mereka padaKu. Bolehkanlah kepada mereka, akan apa yang tidak pernah dilihat
oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak terguris pada hati
manusia ! letakkanlah Aku diantara dua mata engkau ! pandanglah kepadaKu dengan
penglihatan hati engkau. Dan janganlah engkau memandang dengan mata engkau yang
pada kepala engkau, kepada mereka yang telah terdinding (terhijab) akalnya
daripadaKu ! maka mereka membiarkan akal itu menjadi kotor, dengan terputusnya
pahalaKu daripadanya. Bahwa Aku bersumpah dengan
kemuliaanKu dan keagunganKu, tiada Aku buta pahalaKu bagi hamba yang masuk
dalam ketaatan kepadaKu untuk percobaan dan merencanakan untuk masa depan. Ia
merendahkan diri kepada orang yang ia belajar padanya. Dan ia tidak membuat
angkara kepada para murid. Jikalau orang-orang yang mencintai Aku tahu akan
kedudukan para murid pada sisiKu, niscaya adalah para murid itu tanah bagi
mereka, yang mereka berjalan di atasnya.
Hai Daud ! untuk engkau
keluarkan seorang murid dari kesengsaraan, yang engkau usahakan kelepasannya,
maka Aku tuliskan engkau di sisiKu sebagai orang yang berjihad. Siapa yang Aku
tuliskan pada sisiKu sebagai orang yang berjihad, niscaya tidak ada atasnya
keliaran hati dan keperluan kepada makhluk.
Hai Daud ! engkau
berpegang dengan firmanKu. Ambillah dari dirimu untuk dirimu ! tidak engkau
datangkan dari diri itu, maka Aku hijabkan dari engkau akan kecintaanKu. Tidak
engkau putus-asakan hamba-hambaKu dari rahmatKu, niscaya Aku putuskan nafsu
syahwat engkau bagiKu. Bahwa Aku perbolehkan nafsu syahwat itu, bagi makhlukKu
yang lemah-lemah. Apakah halnya orang-orang yang kuat, bahwa mereka akan
memperoleh nafsu syahwat. Bahwa nafsu syahwat itu mengurangkan kemanisan membisikkan segala isi hati dengan Aku. Bahwa
siksaan bagi orang-orang yang kuat pada sisiKu pada tempat memperoleh itu,
lebih dekat apa yang sampai kepada mereka, bahwa Aku dindingkan akal mereka
daripadaKu. Bahwa Aku tidak ridhakan dunia bagi kekasihKu dan kesenangannya daripadanya.
Hai Daud! janganlah engkau
jadikan diantara Aku dan engkau akan seorang yang berilmu, yang mendindingkan
engkau dengan kemabukannya dari mencintai Aku ! mereka orang-orang perampok
terhadap hamba-hambaKu yang murid-murid. Minta tolonglah kepada meninggalkan
nafsu syahwat dengan berketerusan puasa ! awaslah daripada mencoba dengan
berbuka (tidak berpuasa) ! bahwa kecintaanKu bagi puasa itu keterusannya.
Hai Daud ! cintailah Aku
dengan memusuhi nafsumu ! cegahlah dia dari segala keinginan, niscaya Aku
memandang kepadamu ! dan engkau akan melihat hijab diantara Aku dan engkau itu
terangkat. Bahwa Aku mengejek-ejekkan engkau dengan ejekan, supaya engkau kuat
atas pahalaKu, apabila Aku mencurahkan nikmat kepada engkau dengan dia. Bahwa
Aku menahannya dari engkau dan engkau berpegang teguh dengan mentaati Aku”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud: “Hai Daud ! jikalau diketahui oleh
orang-orang yang membelakangi Aku, bagaimana penungguanKu kepada mereka,
kasih-sayangKu dengan mereka dan rinduKu kepada ditinggalkan oleh mereka akan
segala perbuatan maksiat, sesungguhnya mereka itu mati karena rindu kepadaku.
Dan terputuslah segala sambungan mereka dengan dunia dari kecintaanKu. Hai Daud
! ini kehendakKu pada orang-orang yang membelakangi Aku. Maka bagaimana
kehendakKu pada orang-orang yang menghadap kepadaKu ? hai Daud ! yang paling
memerlukan hamba kepadaKu, ialah apabila ia merasa kaya daripadaKu. Yang paling
kasih-sayang adanya Aku dengan hambaKu, ialah apabila ia membelakangi Aku. Yang
paling mulia apa yang ada pada sisiKu, ialah apabila ia kembali kepadaKu”. Maka
inilah berita-berita dan yang sebanding dengan dia, yang tidak terhingga
banyaknya, yang menunjukkan, kepada adanya kecintaan, kerinduan dan kejinakan
hati. Bahwa pentahkikan (pelaksanaan yang sebenar-benarnya) maknanya itu
tersingkap dengan apa yang telah diterangkan dahulu.
PENJELASAN: kecintaan Allah
bagi hamba dan maknanya.
Ketahuilah, bahwa saksi-saksi Alquran
itu menampakkan, bahwa Allah Ta’ala mencintai hambaNya. Maka tak dapat tidak
daripada mengetahui makna yang demikian. Marilah kami kemukakan saksi-saksi
atas kecintaanNya itu. Allah Ta’ala berfirman: “Ia mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah,
dalam barisan perang yang teratur”. S 61 Ash Shaff ayat 4. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya Allah itu menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang bersuci”. S 2 Al Baqarah ayat 222. Karena itulah,
Allah swt menolak orang yang mendakwakan, bahwa ia kecintaan Allah, dengan
firmanNya: “Katakanlah: Mengapa Allah masih menyiksamu karena dosamu ?”. S 5 Al
Maaidah ayat 18.
Diriwayatkan oleh Anas
dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Apabila Allah Ta’ala mencintai seorang
hamba, niscaya tidaklah dosa mendatangkan melarat baginya. Dan orang yang
bertaubat dari dosa itu seperti orang yang tiada mempunyai dosa”. Kemudian Nabi
saw membaca: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu menyukai orang-orang yang
bertaubat”. S 2 Al Baqarah ayat 222. Maknanya, bahwa apabila Allah Ta’ala
mencintai hambaNya, niscaya diterimaNya taubatnya sebelum mati. Maka tidak
mendatangkan melarat kepada hamba itu, oleh dosa-dosa yang lalu, walaupun
banyak, sebagaimana tidak mendatangkan melarat oleh kekufuran yang lalu,
sebelum Islam. Disyaratkan oleh Allah Ta’ala bagi kecintaan itu pengampunan
dosa. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Kalau kamu betul mencintai Allah,
turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah dan diampuniNya dosamu”. S
3 Ali ‘Imran ayat 31. Rasulullah saw: “Bahwa Allah Ta’ala memberikan dunia
kepada orang yang disukaiNya dan orang yang tiada disukaiNya. Dan tidak diberiNya iman, selain kepada orang yang disukaiNya”.
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang merendahkan diri karena Allah, niscaya ia
diangkat oleh Allah. Siapa yang sombong, niscaya direndahkan oleh Allah. Dan
siapa yang membanyakkan dzikir kepada Allah, niscaya ia dicintai oleh Allah”.
Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Senantiasalah hamba itu mendekatkan
diri kepadaKu dengan ibadah sunat, sehingga Aku menyukainya. Maka apabila Aku
menyukainya, niscaya adalah Aku pendengarannya, yang ia mendengar dengan dia.
Dan penglihatannya yang ia melihat dengan dia .....sampai akhir hadits”.
Zaid bin Aslam berkata: “Bahwa Allah
sesungguhnya mencintai hamba, sehingga sampai dari kecintaanNya bagi hamba itu,
bahwa Ia berfirman: “Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, maka Aku telah mengampunkan
bagi engkau”. Apa yang datang dari hadits tentang lafal-lafal kecintaan itu di
luar dari hinggaan. Dan telah kami sebutkan, bahwa kecintaan hamba kepada Allah
Ta’ala itu hakikat/makna sebenarnya. Bukan majaz/tidak asli. Karena kecintaan
pada hantaran lidah, ialah ibarat dari kecenderungan jiwa kepada sesuatu yang
bersesuaian. Dan rindu itu ibarat dari kecenderungan yang mengerasi, yang
bersangatan. Dan telah kami terangkan, bahwa perbuatan baik itu bersesuaian
bagi jiwa. Dan keelokan (al-jamal) itu bersesuaian juga. Bahwa keelokan dan perbuatan
baik sekali diperoleh dengan penglihatan dan sekali diperoleh dengan mata hati.
Dan cinta itu mengikuti akan setiap sesuatu daripadanya keduanya. Maka tidak
tertentu dengan penglihatan mata saja.
Adapun kecintaan Allah
kepada hamba, maka tidak mungkin sekali-kali dengan makna ini. Akan tetapi,
nama-nama itu semua, apabila disebutkan secara mutlak kepada Allah Ta’ala dan
kepada selain Allah, niscaya tidak berjalan kepada keduanya sekali-kali dengan
satu makna. Sehingga, bahwa nama wujud (ada) yang meratai semua nama secara
berkongsi itu tidak melengkapi kepada Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluq
di atas suatu segi. Akan tetapi, setiap yang selain Allah Ta’ala, maka wujudnya
itu diperoleh faedahnya dari wujud Allah Ta’ala. Maka wujud yang menjadi
pengikut tidaklah sama dengan wujud yang diikuti. Bahwa persamaannya pada
menyebutkan namanya secara mutlak itu, bandingannya ialah, berkongsinya kuda
dan pohon kayu pada nama jasmaniah. Karena makna jasmaniah dan hakikat/maknanya
itu serupa pada keduanya, tanpa pelaksanaan yang sebenar-benarnya salah satu
dari keduanya, untuk ada dia itu asal padanya. Maka tidaklah jasmaniah bagi
salah satu dari keduanya itu diambil faedahnya dari yang lain. Dan tidaklah
seperti yang demikian nama wujud bagi Allah dan tidak bagi makhlukNya.
Berjauhan ini pada nama-nama yang lain itu lebih jelas, seperti: ilmu, Kemauan,
qudrah (kuasa) dll. Maka setiap yang demikian itu tidaklah serupa padanya
antara Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluq. Yang membuat bahasa itu
sesungguhnya membuat nama-nama ini, pertama-tama untuk makhluk. Bahwa makhluk
itu lebih dahulu kepada akal dan paham, daripada kepada Khaliq (yang maha
pencipta). Maka adalah pemakaiannya kepada Khaliq (yang maha pencipta) dengan
jalan pinjaman (isti’arah), majaz(makna yg
sebenarnya) dan naqal(pokok2 agama). Kecintaan pada hantaran lidah itu ibarat
dari kecenderungannya jiwa kepada yang disetujui dan bersesuaian. Dan ini
sesungguhnya tergambar pada jiwa yang kurang, yang hilang baginya, apa yang
disetujuinya. Maka ia mengambil faedah dengan diperolehnya kesempurnaan. Lalu
ia merasa lezat dengan dicapainya itu. Dan ini mustahil kepada Allah Ta’ala.
Bahwa setiap kesempurnaan, keindahan, keelokan dan keagungan itu mungkin pada
hak ketuhanan. Maka itu yang ada dan yang kedapatan. Dan wajib kedapatannya
abadi dan azali (kekal). Tiada tergambar membaruiNya dan hilangNya. Maka tidak
ada bagiNya kepada yang lain itu pandangan, dari segi bahwa dia itu yang lain.
Akan tetapi pandanganNya kepada DzatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya
saja. Dan tidak ada pada wujud, selain DzatNya dan perbuatan-perbuatanNya.
Karena demikianlah,
berkata Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani ra, tatkala dibacakan kepadanya: “Ia
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54, lalu
Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani menjawab: “Dengan sebenarnya, Ia mencintai mereka.
Maka sesungguhnya Ia tidak mencintai, melainkan diriNya sendiri, di atas
pengertian, bahwa itu semua. Dan bahwa tidak ada pada wujud, selain Dia. Maka
siapa yang tiada mencintai, selain dirinya sendiri, perbuatan dirinya sendiri
dan karangan-karangan dirinya sendiri, niscaya tiada melampaui cintanya itu
akan dzatnya dan pengikut-pengikut dzatnya, dari segi dia itu bergantung dengan
dzatnya. Jadi, maka dia itu tidak mencintai, selain dirinya sendiri. Apa yang
datang pada hadits dari lafal-lafal tentang cintaNya kepada hamba-hambaNya,
maka itu adalah dita’wilkan. Dan kembali maknanya kepada tersingkapnya hijab
dari hatinya. Sehingga ia melihatNya dengan hatinya dan kepada pengokohannya
akan kedekatan kepadaNya dan kepada kehendakNya yang demikian pada azali (kekal).
Maka cintaNya kepada orang yang mencintaiNya itu adalah azali(kekal), manakala
dikaitkan kepada Kemauan yang azali (kekal), yang menghendaki pengokohan hamba
ini daripada menempuh jalan kedekatan ini. Dan apabila dikaitkan kepada
perbuatanNya, yang menyingkapkan hijab dari hati hambaNya, maka itu baru, yang
terjadi dengan datangnya sebab yang menghendakinya, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Senantiasalah hambaKu mendekati kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunat,
sehingga Aku mencintainya. Maka adalah kedekatannya dengan ibadah-ibadah sunat
itu sebab bagi bersih batiniyahnya, terangkat hijab dari hatinya dan
keberhasilannya pada derajat kedekatan dengan Tuhannya. Semua yang demikian itu
perbuatan Allah Ta’ala dan kasih-sayangNya kepada hambaNya. Maka itulah makna
cintaNya. Tiada dipahami ini, selain dengan contoh. Yaitu: bahwa raja terkadang
dekat budaknya kepada dirinya. Dan diizinkannya pada setiap waktu hadir di
tikar permadaninya. Karena kecenderungan raja kepadanya. Adakalanya, untuk
diberinya pertolongan kepada raja itu dengan kekuatannya. Atau untuk raja itu
bersenang-senang dengan kehadirannya. Atau untuk raja itu bermusyawarah
mendengar pendapatnya. Atau untuk disiapkan oleh budak itu akan sebab-sebab
makanan dan minuman raja itu. Lalu dikatakanlah, bahwa raja itu menyukai budak
tersebut. Dan adalah maknanya, ialah kecenderungan raja kepada budak itu.
Karena padanya ada pengertian yang disetujui, yang bersesuaian bagi raja.
Kadang-kadang raja itu
mendekatkan budaknya dan tidak dilarangnya masuk kepadanya. Tidak untuk
mengambil manfaat dengan budak itu dan tidak untuk meminta pertolongannya. Akan
tetapi, karena keadaan budak itu pada diri raja, bersifat dengan budi pekerti
yang menyenangkan dan perkara-perkara yang terpuji, dengan apa yang layak,
bahwa ada ia dekat dengan hadapan raja. Cukup keberuntungan dengan dekatnya,
serta raja itu tiada mempunyai maksud apa-apa padanya. Maka apabila raja telah
mengangkatkan hijab diantaranya dan budak itu, niscaya dikatakan: raja itu
menyukai budak itu. Apabila budak itu mengusahakan hal-hal yang terpuji, akan
apa yang menghendaki terangkatnya hijab, niscaya dikatakan: ia telah sampai dan
menyukakan dirinya kepada raja. Maka kecintaan Allah kepada hamba, ialah:
dengan pengertian yang kedua. Bukan dengan pengertian yang pertama. Bahwa betul
percontohannya dengan pengertian yang kedua, dengan syarat, bahwa tidak
mendahului kepada pemahamannya, oleh masuknya perobahan kepadanya ketika
pembaruan kedekatan. Bahwa orang yang dicintai itu, dialah yang dekat kepada
Allah Ta’ala. Dan kedekatan kepada Allah itu pada kejauhan dari sifat-sifat
binatang ternak, binatang-binatang buas dan setan-setan.
Berbudi pekerti dengan
budi pekerti yang mulia, yang dia itu: budi pekerti ketuhanan. Maka itu
kedekatan dengan: sifat, tidak dengan: tempat. Siapa yang tidak dia itu dekat,
lalu jadilah dia itu dekat, niscaya dia itu telah berobah. Kadang-kadang
disangkakan dengan ini, bahwa kedekatan itu manakala telah membaru, maka
berobahlah sifat hamba dan Tuhan semuanya. Karena telah menjadi dekat, sesudah
dia itu tidak ada. Dan itu mustahil terhadap Allah Ta’ala. Karena perobahan
atas Allah itu mustahil. Akan tetapi, senantiasalah Ia pada sifat kesempurnaan
dan keagungan, di atas apa adanya pada azali-azali ( tida kesudahan / permulaan
). Tidak tersingkaplah ini, selain dengan contoh pada kedekatan diantara
orang-orang. Bahwa dua orang kadang-kadang dekat mendekati dengan gerakan
keduanya sekalian. Kadang-kadang ada seorang dari keduanya itu tetap, lalu
bergerak yang lain. Lalu berhasillah kedekatan dengan perobahan pada seorang
dari keduanya, tanpa ada perobahan pada yang lain. Akan tetapi, kedekatan pada
sifat-sifat juga seperti yang demikian. Bahwa murid itu mencari kedekatan
dengan derajat gurunya pada kesempurnaan dan keelokan ilmu. Guru itu berdiri
pada kesempurnaan ilmunya, dengan tidak bergerak pada turun ke derajat
muridnya. Dan murid itu bergerak, mendaki dari lembah kebodohan ke ketinggian
ilmu. Maka senantiasalah ia merangkak pada perobahan dan pendakian, kepada ia
mendekati dengan gurunya. Dan guru itu tetap, tidak berobah. Maka seperti
demikianlah, seyogyanya bahwa dipahami kependakian hamba pada derajat-derajat
kedekatan. Maka setiap kali ia menjadi lebih sempurna sifatnya, lebih lengkap
ilmu dan keliputan dengan hakikat-hakikat/makna persoalan, lebih tetap kekuatan
pada memaksakan setan dan mencegah nafsu syahwat dan lebih melahirkan
kebersihan dari kekejian-kekejian, niscaya jadilah ia lebih mendekati kepada
derajat kesempurnaan dan kesudahan kesempurnaan kepada Allah. Kedekatan setiap
seseorang kepada Allah Ta’ala adalah menurut kesempurnaannya. Ya, kadang-kadang
murid itu mampu kepada kedekatan dengan guru, kepada persamaan dan kepada
melampauinya. Dan yang demikian terhadap Allah Ta’ala itu mustahil. Bahwa tiada
kesudahan bagi kesempurnaanNya. Dan perjalanan hamba pada derajat-derajat
kesempurnaan itu berkesudahan. Ia tiada berkesudahan, selain kepada batas yang
terbatas. Maka tiadalah kelobaan baginya pada persamaan.
Kemudian, derajat-derajat
kedekatan itu berlebih-kurang, dengan kelebih-kurangan yang tiada berkesudahan
baginya juga. Karena ketiadaan berkesudahan dari kesempurnaan yang demikian
itu. Jadi, kecintaan Allah kepada hamba itu pendekatanNya kepada diriNya,
dengan menolak segala gangguan dan perbuatan maksiat daripadanya. Mensucikan
batiniyahnya dari kekeruhan-kekeruhan duniawi dan mengangkatkan hijab dari
hatinya. Sehingga ia menyaksikan Dia, seakan-akan dilihatNya dengan hatinya.
Adapun kecintaan hamba kepada Allah, maka yaitu kecenderungannya kepada
memperoleh kesempurnaan ini, yang ia kejatuhan daripadanya, yang ketiadaan
baginya. Maka tidak pelak lagi, hamba itu rindu kepada apa yang telah luput
daripadanya. Apabila ia memperoleh sesuatu daripadanya, niscaya ia merasa lezat
dengan dia. Rindu dan cinta dengan pengertian ini mustahil atas Allah Ta’ala.
Kalau anda mengatakan: kecintaan Allah kepada hamba itu hal yang tidak jelas.
Maka dengan apa hamba itu mengetahui, bahwa ia kekasih Allah ? Aku menjawab:
bahwa diberi dalil kepada yang demikian itu dengan tanda-tandanya. Nabi saw
bersabda: “Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya dicobakanNya. Maka
apabila dicintaiNya dengan kecintaan yang sangat, niscaya di-iqtina’kanNya”.
Lalu ditanyakan: “Apakah iqtina’ itu ?”. Nabi saw menjawab: “Allah tidak meninggalkan baginya keluarga dan harta”.
Maka tanda kecintaan Allah kepada hamba, ialah bahwa diliarkan hati hamba itu
kepada orang lain. Dan didindingkanNya diantara
hamba itu dengan orang lain.
Ditanyakan kepada nabi Isa
as: “Mengapa engkau tidak membeli keledai, untuk engkau kendarai ?”. Isa as
menjawab: “Aku lebih mulia pada Allah Ta’ala, daripada disibukkan aku dengan
keledai daripada mengingatiNya”. Tersebut pada hadits: “Apabila Allah mencintai
seorang hamba, niscaya dicobakan Nya. Kalau hamba itu sabar, niscaya
dipilihkanNya. Kalau hamba itu ridha, niscaya disucikanNya”. Kata setengah
ulama: “Apabila aku melihat engkau mencintai Nya dan aku melihatNya mencoba
engkau, maka ketahuilah, bahwa Ia berkehendak mensucikan engkau”.
Sebahagian murid berkata
kepada gurunya: “Telah diperlihatkan aku dengan sesuatu dari kecintaan”. Guru
itu menjawab: “Hai anakku ! adakah Ia mencoba engkau dengan kecintaan selain
Dia ? lalu engkau mengutamakan Dia dari yang lain itu ?”. Murid itu menjawab:
“Tidak !”. Guru itu lalu menyambung: “Maka janganlah engkau harapkan pada
kecintaan itu ! sesungguhnya Allah tidak memberikan
kecintaan kepada seorang hamba, sebelum dicobaiNya”.
Rasulullah saw bersabda:
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya dijadikanNya bagi hamba itu
pemberi pengajaran dari dirinya sendiri dan pencegah dari hatinya, yang
menyuruh dan yang melarangnya”. Nabi saw bersabda: “Apabila Allah menghendaki
dengan seorang hamba itu akan kebajikan, niscaya diperlihatkanNya kepada hamba
itu akan kekurangan dirinya”. Maka yang lebih khusus dari tanda-tandanya itu,
cintanya kepada Allah. Bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada kecintaan
Allah kepadanya. Adapun perbuatan yang menunjukkan atas keadaannya itu
dicintai, maka yaitu bahwa Allah Ta’ala yang memerintahkan urusannya, zahiriyah
dan batiniyahnya, rahasianya dan yang terbukanya. Maka adalah Ia yang
mengisyaratkan kepadanya, yang mengatur urusannya, yang menghiaskan budi
pekertinya, yang memakai anggota-anggota badannya, yang membetulkan zahiriyah
dan batiniyahnya, yang menjadikan kesusahan-kesusahannya suatu kesusahan, yang
memarahkan kepada dunia dalam hatinya, yang meliarkan hatinya dari yang lain,
yang menjinakkan hatinya kepadaNya dengan kelezatan munajah dalam kesunyiannya
(dalam khilwahnya) dan yang menyingkapkan baginya dari hijab, antaranya dan ma’rifahnya
(ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka ini dan yang seperti ini, adalah tanda
kecintaan Allah kepada hamba. Maka marilah kami sebutkan sekarang tanda
kecintaan hamba kepada Allah. Bahwa itu juga tanda-tanda kecintaan Allah kepada
hamba.
Pembicaraan: tentang
tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah, bahwa kecintaan itu
didakwakan oleh setiap orang. Alangkah mudahnya mendakwakan cinta dan alangkah
mulianya makna cinta ! maka tiada seyogyalah bahwa tertipu insan dengan godaan
setan dan tipuan diri, manakala diri itu mendakwakan akan kecintaan Allah
Ta’ala, selama tidak dicobakannya dengan tanda-tanda. Dan tidak dituntutnya
dengan bukti-bukti dan dalil-dalil. Cinta itu sebatang kayu yang baik, akarnya
tetap di bumi dan cabangnya di langit dan buahnya lahir di hati, di lidah dan
di anggota-anggota badan. Ditunjukkan oleh bekas-bekas yang melimpah
daripadanya itu kepada hati dan anggota-anggota badan atas cinta, seperti
ditunjukkan oleh asap kepada api dan ditunjukkan oleh buah kepada pohon kayu.
Dan itu banyak: Diantaranya cinta bertemu dengan Yang Dicintai, dengan jalan
tersingkap (al-kasyaf) dan penyaksian di Negeri Sejahtera (Darus-salam). Maka
tidaklah tergambar bahwa dicintai oleh hati akan kecintaannya, selain bahwa ia
mencintai menyaksikan dan menemuinya. Apabila ia tahu, bahwa tiada sampai
kepada Yang Dicintai, selain dengan berangkat dari dunia dan menceraikannya
dengan mati, maka seyogyalah bahwa dia itu mencintai mati, tidak lari
daripadanya. Bahwa orang yang cinta itu tidak berat kepadanya bermusafir dari
tanah airnya, ke tempat ketetapan kecintaannya, untuk bersenang-senang dengan
menyaksikannya. Dan mati itu kunci pertemuan dan pintu masuk kepada penyaksian.
Nabi saw bersabda: “Siapa
yang mencintai bertemu dengan Allah, niscaya Allah mencintai bertemu dengan
dia”. Berkata Hudzaifah ketika akan meninggal dunia: “Yang dicintai datang
diatas keperluan, niscaya ia tidak merasa beruntung dengan penyesalan”.
Sebahagian salaf berkata: “Tiada suatu perkarapun yang lebih dicintai oleh
Allah pada hamba, sesudah cinta bertemu dengan Allah, selain dari banyak sujud.
Maka dahulukanlah kecintaan bertemu dengan Allah, dari sujud !”. Disyaratkan
oleh Allah Ta’ala bagi hakikat/makna kebenaran pada cinta itu berperang pada
jalan Allah (sabilullah), dimana mereka itu berkata: “Bahwa kami mencintai Allah”.
Maka dijadikan berperang pada jalan Allah dan mencari syahid itu tandanya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah,
dalam barisan perang yang teratur”. S 61 Ash Shaff ayat 4. Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh dan
terbunuh”. S 9 At Taubah ayat 111. Dalam wasiat Abubakar kepada Umar ra:
“Kebenaran itu berat dan serta dengan beratnya itu mengandung keriaan. Yang
batil itu ringan dan serta dengan ringannya itu banyak penyakit padanya. Kalau
engkau pelihara akan wasiatku, niscaya tidaklah yang ghaib itu lebih engkau
cintai, daripada mati. Dan mati itu akan menjumpai engkau. Jikalau engkau
sia-siakan wasiatku, niscaya tidaklah yang ghaib itu lebih engkau marahi, dari
mati. Dan engkau tidak dapat melemahkan mati itu”.
Diriwayatkan dari Ishak
bin Sa’ad bin Abi Waqqash, yang mengatakan: “Diceritakan kepadaku oleh bapakku,
bahwa Abdullah bin Jahsyin, mengatakan kepadanya pada hari perang Uhud:
“Mengapa tidak kita berdoa kepada Allah ?”. Mereka lalu bersunyi-sunyian di
suatu sudut. Abdullah bin Jahsyin lalu berdoa. Beliau mengatakan: “Hai Tuhanku
! bahwa aku bersumpah kepadaMu, apabila aku bertemu dengan musuh besok, maka
temukanlah aku dengan laki-laki yang sangat perkasanya, yang sangat amarahnya.
Aku akan berperang dengan dia pada jalan Engkau dan ia akan berperang dengan
aku. Kemudian ia mengambil aku. Lalu dipotongnya hidungku dan telingaku dan
dikoreknya perutku. Apabila aku menjumpai Engkau besok, niscaya Engkau
berfirman: “Hai Abdullah ! siapakah yang memotong hidung engkau dan telinga
engkau ?”. Maka aku menjawab: “Pada jalan Engkau hai Tuhanku dan pada jalan
rasul Engkau”. Engkau lalu berfirman: “Benar engkau !”. Sa’ad berkata: “Lalu
aku memimpikan Abdullah bin Jahsyin pada akhir siang dan hidungnya dan
telinganya tergantung pada sehelai benang”. Sa’id bin Al-Musayyab berkata: “Aku
mengharap bahwa Allah memberikan kebajikan akan akhir sumpahnya, sebagaimana Ia
memberikan kebajikan pada awalnya”.
Adalah Ats-Tsauri dan
Bisyr Al-Hafi mengatakan: “Tiada benci kepada mati, selain orang yang ragu.
Karena orang yang cinta bagaimanapun tiada akan benci bertemu dengan
Kekasihnya”. Al-Buwaithi bertanya kepada sebahagian orang-orang zuhud: “Adakah
engkau mencintai mati?”. Seakan-akan Al-Buwaithi berhenti sejenak, lalu
menyambung: “Jikalau engkau benar, niscaya engkau mencintainya”. Dan beliau
membaca firman Allah Ta’ala: “Mintalah kematian, kalau kamu memang benar”. S 2
Al Baqarah ayat 94. Orang zuhud itu lalu menjawab: “Sesungguhnya Nabi saw
bersabda: “Tidaklah bercita-cita seseorang kamu kepada mati”. Lalu Al-Buwaithi
berkata, bahwa ia mengatakan yang demikian, karena kemelaratan yang menimpa
padanya. Bahwa ridha dengan qodo’/takdir Allah Ta’ala itu lebih utama daripada
lari daripadanya. Kalau engkau bertanya: “Maka orang yang tiada mencintai mati,
adakah tergambar bahwa ia mencintai Allah ?”. Aku menjawab, bahwa benci kepada
mati itu kadang-kadang karena cinta kepada dunia, merasa sedih berpisah dengan
isteri, harta dan anak. Dan ini meniadakan kesempurnaan cinta kepada Allah
Ta’ala. Karena cinta yang sempurna, ialah: yang menghabiskan seluruh hati. Akan
tetapi, tiada jauh bahwa adalah baginya serta cinta kepada isteri dan anak itu,
campuran yang lemah dari kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahwa manusia itu
berlebih-kurang pada kecintaan. Dan menunjukkan kepada berlebih-kurangnya itu,
apa yang dirawikan, bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abdusyamsin,
tatkala mengawinkan saudaranya yang perempuan, bernama Fatimah, dengan Salim
bekas budaknya, maka ia dicaci oleh kaum Quraisy pada yang demikian. Mereka
mengatakan: “Engkau kawinkan seorang wanita baik-baik dari wanita-wanita
Quraisy dengan seorang bekas budak”. Abu Hudzaifah menjawab: “Demi Allah ! aku telah
nikahkan Salim dengan Fatimah. Aku tahu bahwa Salim itu lebih baik dari
Fatimah”. Adalah perkataan Abu Hudzaifah yang demikian itu lebih berat kepada
mereka dari perbuatannya. Lalu mereka menjawab: “Bagaimana Fatimah itu saudara
perempuan engkau dan laki-laki itu bekas budak engkau ?”. Abu Hudzaifah lalu
menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berkehendak
memandang kepada orang yang mencintai Allah dengan seluruh hatinya, maka
hendaklah ia memandang kepada Salim !”. Ini menunjukkan, bahwa diantara manusia
ada orang, yang tidak mencintai Allah dengan seluruh hatinya. Ia mencintai
Allah dan mencintai juga yang lain dari Allah. Maka tidak pelak lagi, adalah
kenikmatannya menemui Allah ketika datang kepadaNya, menurut kadar kecintaannya.
Dan azabnya dengan berpisah dari dunia ketika mati adalah menurut kadar
kecintaannya kepada dunia.
Adapun sebab
kedua bagi benci, maka yaitu: bahwa adalah
hamba itu pada permulaan kedudukan cinta. Dan ia tidak benci kepada mati. Hanya
ia benci cepatnya mati, sebelum ia bersedia untuk menermui Allah. Maka yang
demikian itu tidak menunjukkan kepada lemahnya cinta. Dia itu seperti orang
yang cinta, yang sampai berita kepadanya dengan kedatangan cintanya kepadanya.
Lalu ia suka, bahwa terlambat kedatangannya sesaat, supaya dapat ia menyiapkan
rumahnya bagi orang yang dicintainya itu. Dan disediakannya bagi cintanya itu
sebab-sebab yang menyenangkannya. Lalu ia dapat menemui cintanya tersebut,
sebagaimana yang diingininya, yang selesai hati dari segala gangguan, yang
ringan punggung dari segala halangan. Maka benci dengan sebab ini, tidaklah
sekali-kali meniadakan kesempurnaan cinta. Tandanya, ialah: kesungguhan bekerja
dan menghabiskan kesusahan pada persiapan.
Diantara tanda itu, bahwa
ia mengutamakan apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala, di atas apa yang
dicintainya sendiri, pada lahirnya dan batinnya. Ia membiasakan kesukaran
kerja, menjauhkan mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari kelembutan malas. Ia
senantiasa rajin mentaati Allah, mendekatkan diri kepadaNya dengan
ibadah-ibadah sunat dan mencari padaNya kelebihan derajat. Sebagaimana orang
yang mencintai itu mencari kelebihan dekat dalam hati orang yang dicintainya.
Allah menyifatkan orang-orang yang mencintai itu dengan mengutamakan yang
dicintainya. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka menunjuk kan kasih-sayang kepada
orang berpindah ke kampung mereka dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (yang berpindah itu), bahkan
mereka mengutamakan (kawannya) lebih dari diri mereka sendiri, meskipun mereka
dalam kesusahan”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Siapa yang berkekalan terus-menerus
mengikuti hawa nafsu, maka yang dicintainya ialah apa yang menjadi hawa
nafsunya. Bahkan, yang mencintai itu akan meninggalkan hawa nafsunya sendiri,
untuk hawa nafsu yang dicintainya, sebagaimana dikatakan orang dalam pantun:
Aku berkehendak menyambungnya,
dan ia berkehendak meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan untuk kehendaknya,
apa yang menjadi kehendakku.
Bahkan cinta apabila sudah keras,
niscaya ia meninggalkan hawa nafsu sendiri. Lalu tiada yang tinggal baginya,
bernikmat-nikmat, selain dari yang dicintai itu. Sebagaimana diriwayatkan,
bahwa Zalikha tatkala ia telah beriman dan dikawini oleh Yusuf as, niscaya ia
menyendiri dari Yusuf dan berkhilwah (bersendirian) bagi ibadah. Ia
menghabiskan segala waktu kepada beribadah kepada Allah Ta’ala. Yusuf
mengajaknya ke tempat tidur pada siang hari, lalu ditolaknya kepada malam hari.
Apabila dipanggilnya pada malam hari, lalu ditangguhkannya kepada siang hari.
Ia mengatakan: “Hai Yusuf ! bahwa aku mencintaimu sebelum aku mengenal Dia.
Maka apabila aku telah mengenal Dia, niscaya tidak ditinggalkan lagi oleh
kecintaan kepadaNya, akan kecintaan bagi lainNya. Dan aku tidak menghendaki
akan gantiNya”. Sehingga Yusuf as berkata kepada Zalikha: “Bahwa Allah yang
maha agung sebutanNya menyuruh aku dengan yang demikian. Ia memberitakan
kepadaku, bahwa Ia mengeluarkan dari engkau dua orang anak. Dan dijadikanNya
kedua orang anak itu menjadi nabi”. Zalikha menjawab: “Adapun apabila ada Allah
Ta’ala menyuruh engkau dengan yang demikian dan dijadikanNya aku jalan
kepadanya, maka aku taat kepada perintah Allah Ta’ala. Pada taatlah aku
bertenang hati kepadaNya”. Jadi, siapa yang mencintai Allah, niscaya ia tidak
berbuat maksiat kepadaNya. Dan karena itulah Ibnul-Mubarak mengatakan tentang
yang demikian:
Engkau berbuat maksiat kepada Tuhan,
dan engkau melahirkan kecintaan
kepadaNya.
Ini -demi umurku- nian,
mengada-adakan pada perbuatan
kepadaNya.
Jikalau cintamu itu benar adanya,
niscaya engkau mentaatiNya.
Bahwa orang yang mencintai kepada yang
dicintainya,
niscaya ia mentaatinya.
Dalam pengertian yang ini juga,
dimadahkan orang:
Aku tinggalkan apa yang aku ingini,
untuk apa yang engkau inginkan.
Aku rela dengan apa yang engkau relai,
walaupun diriku marah kepada yang
demikian.
Sahal ra berkata: “Tanda cinta itu
mengutamakan yang lain, dari diri engkau. Dan tidaklah setiap orang yang
beramal dengan mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla itu menjadi orang yang dikasihi.
Bahwa orang yang dikasihi itu, ialah orang yang menjauhkan segala yang
dilarang”. Benarlah seperti yang dikatakan Sahal itu. Karena cintanya akan
Allah Ta’ala itu menjadi sebab cintanya Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Ia mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat
54. Apabila dia dicintai oleh Allah, niscaya Allah
melindunginya dan menolongnya atas musuh-musuhnya. Bahwa musuhnya
itu ialah dirinya dan nafsu syahwatnya. Karena yang demikianlah, maka Allah
Ta’ala berfirman: “Dan Allah lebih mengetahui musuh-musuh kamu dan cukuplah
Allah menjadi Pelindung dan cukuplah Allah menjadi Penolong”. S 4 An Nisaa’
ayat 45.
Kalau anda bertanya:
“Kemaksiatan itu adakah berlawanan dengan pokok kecintaan ?”. Aku menjawab:
bahwa berlawanan dengan kesempurnaan kecintaan, tidak dengan pokoknya. Berapa
banyak manusia mencintai dirinya dan dia itu sakit, mencintai kesehatan dan ia
memakan yang mendatangkan melarat kepadanya. Serta ia tahu, bahwa itu mendatangkan
melarat kepadanya. Dan yang demikian itu, tidak menunjukkan kepada tidak ada
cintanya kepada dirinya. Akan tetapi, ilmu mengenal Allah Ta’ala itu
kadang-kadang lemah dan nafsu syahwat kadang-kadang mengeras. Lalu ia lemah
daripada menegakkan hak kecintaan. Menunjukkan kepada yang demikian, apa yang
diriwayatkan, bahwa Na’iman bin ‘Amr bin Rifa’ah Al-Anshari dibawa kepada
Rasulullah saw pada setiap sedikit yang diminumnya dari yang memabukkan. Maka
Rasulullah saw menjatuhkan hadd (hukuman badan) pada perbuatan maksiat yang
dikerjakannya itu. Sehingga pada suatu hari, Rasulullah saw datang kepadanya,
lalu beliau menjatuhkan hukuman badan karena meminum itu. Lalu seorang
laki-laki (namanya ‘Umair) mengutuk Na’iman dan mengatakan: “Alangkah banyaknya
kali ia dibawa kepada Rasulullah saw”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Janganlah
engkau mengutukinya ! bahwa dia itu mencintai Allah dan RasulNya”. Maka
tidaklah mengeluarkannya dengan sebab maksiat, dari kecintaan. Ya, ia
dikeluarkan oleh maksiat itu dari kesempurnaan cinta. Sebahagian orang-orang
al-‘arifin yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) mengatakan: “Apabila
ada iman itu pada zahiriyah hati, niscaya ia mencintai Allah Ta’ala dengan
kecintaan yang sedang. Apabila iman itu masuk ke dalam jantung hati, niscaya ia
mencintaiNya dengan kecintaan yang bersangatan. Dan ia meninggalkan segala
perbuatan maksiat”.
Kesimpulannya, pada
mendakwakan cinta itu ada bahaya. Karena itulah, Al-Fudlail berkata: “Apabila
ditanyakan kepada engkau: “Adakah engkau cinta kepada Allah Ta’ala ?”, maka
diamlah ! sesungguhnya jikalau engkau menjawab: tidak, niscaya engkau menjadi
kufur. Dan jikalau engkau menjawab: ya, maka tidaklah sifat engkau itu sifat
orang-orang yang mencintaiNya. Maka jagalah akan kutukan !”.
Berkata sebahagian ulama:
“Tiada dalam sorga nikmat yang lebih tinggi dari nikmat orang yang ilmu
mengenal Allah Ta’ala dan cinta. Dan tiada dalam neraka jahannam, azab yang
lebih berat dari azab orang yang mendakwakan ilmu mengenal Allah Ta’ala dan
cinta. Dan ia tidak membuktikan dengan suatupun dari yang demikian”. Diantara
tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala, ialah: bahwa ia suka sekali
berdzikir kepada Allah Ta’ala. Tidak lesu lidahnya daripadanya dan tidak kosong
hatinya daripadanya. Siapa yang mencintai sesuatu, niscaya dengan sendirinya ia
membanyakkan menyebutnya dan menyebutkan apa yang bersangatan dengan dia. Maka
tanda kecintaan kepada Allah, ialah cinta berdzikir kepadaNya dan cinta kepada
Alquran, yaitu: Kalam Nya. Cinta kepada Rasulullah saw dan cinta kepada setiap
orang yang dibangsakan kepadanya (yang dikatakan keturunannya). Bahwa orang
yang mencintai seorang insan, niscaya ia mencintai anjing tempat tinggalnya.
Maka cinta itu apabila telah kuat, niscaya ia melampaui dari orang yang dicintai,
kepada setiap yang melingkungi dengan yang dicintai, yang meliputi kepada yang
dicintai dan yang menyangkut dengan sebab-sebabnya. Dan yang demikian itu,
tidaklah perkongsian pada cinta. Siapa yang mencintai utusan orang yang
dicintai, adalah karena orang itu utusan dari orang yang dicintai. Dan
perkataannya, adalah karena perkataan dari orang yang dicintai. Maka tidaklah
melampaui kecintaannya kepada orang lain. Akan tetapi, adalah itu dalil atas
kesempurnaan cintanya. Siapa yang keras kecintaan
kepada Allah pada hatinya, niscaya ia mencintai semua makhluk Allah.
Karena mereka itu makhlukNya. Maka bagaimana ia tidak mencintai Alquran, rasul
dan hamba-hamba Allah yang shalih ? telah kami sebutkan pentahkikan
(pelaksanaan yang sebenar-benarnya) ini pada “Kitab Persaudaraan Dan
Persahabatan”. Karena demikianlah, Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau kamu
betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah”. S
3 Ali ‘Imran ayat 31. Rasulullah saw bersabda: “Cintailah Allah, karena Ia
memberikan makanan kepada kamu daripada nikmat-nikmat Nya. Dan cintailah aku
karena Allah Ta’ala”.
Sufyan berkata: “Siapa
yang mencintai orang yang mencintai Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia
mencintai Allah. Dan siapa yang memuliakan orang yang memuliakan Allah Ta’ala,
maka sesungguhnya ia memuliakan Allah Ta’ala”. Diceritakan dari sebahagian
murid, yang mengatakan: “Adalah aku telah memperoleh kemanisan membisikkan segala isi hati pada permulaan
kehendak berjalan kepada Allah. Maka aku berkekalan membaca Alquran siang dan
malam. Kemudian, datang kepadaku kelesuan, lalu terputus aku daripada membaca
Alquran”. Murid itu meneruskan ceritanya: “Maka aku mendengar Yang Mengatakan
dalam tidurku: “Jikalau engkau mendakwakan, bahwa engkau mencintai Aku, maka
mengapakah engkau tidak bermesra-mesraan dengan kitabKu? apakah tidak engkau
memahami apa yang di dalamnya dari kehalusan cercaanKu ?”. Murid itu meneruskan
ceritanya: “Maka aku jaga dari tidur dan telah terminum dalam hatiku akan
kecintaan kepada Alquran. Lalu aku membiasakan kembali kepada keadaanku yang
sudah-sudah”.
Ibnu Mas’ud berkata:
“Tiada seyogyalah seseorang kamu menanyakan dari dirinya, selain Alquran. Kalau
ia mencintai Alquran maka dia itu mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau ia
tidak mencintai Alquran, maka tidaklah ia mencintai Allah”. Sahal ra berkata:
“Tanda mencintai Allah, ialah mencintai Alquran. Tanda mencintai Allah dan
mencintai Alquran, ialah mencintai Nabi saw. Tanda mencintai Nabi saw, ialah
mencintai sunnah. Tanda mencintai sunnah, ialah mencintai akhirat. Tanda
mencintai akhirat, ialah memarahi dunia. Dan tanda memarahi dunia, ialah bahwa
ia tiada mengambil daripadanya, selain perbekalan dan barang yang memadai ke
akhirat. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ada
kejinakan hatinya dengan (bersunyi-sunyian), munajahnya dengan Allah Ta’ala dan
membaca KitabNya. Maka ia rajin mengerjakan shalat tahajjud, mempergunakan
ketenangan malam dan kebersihan waktu dengan memotong halangan-halangan.
Sekurang-kurangnya derajat cinta, ialah memperoleh kelezatan dengan (bersunyi-sunyian)
dengan yang dicintai dan bernikmat-nikmatan dengan munajahNya. Maka siapa yang
adalah tidur dan kesibukan dengan bercakap-cakap itu lebih mengenakkan baginya
dan lebih membaikkan daripada munajah dengan Allah, niscaya bagaimanakah shah
kecintaannya ?”.
Ditanyakan kepada Ibrahim
bin Adham dan ia baru turun dari bukit: “Dari manakah anda datang ?”. Beliau
menjawab: “Dari kejinakan hati dengan Allah”. Tersebut dalam berita-berita Daud
as: “Janganlah engkau berjinakkan hati dengan seorangpun dari makhlukKu ! bahwa
Aku memutuskan hubungan dengan dua orang laki-laki daripadaKu: seorang
laki-laki yang memintakan lambat akan pahalaKu, maka dia terputus. Dan seorang
laki-laki yang melupakan Aku. Lalu ia rela dengan keadaannya itu. Tanda yang
demikian itu, ialah bahwa makan nya kepada dirinya dan bahwa Aku tinggalkan dia
dalam dunia keheranan”. Manakala menjinakkan hati dengan selain Allah, niscaya
adalah dia dengan kadar kejinakan hatinya dengan selain Allah itu, keliaran
hatinya daripada Allah Ta’ala, yang jatuh dari derajat kecintaannya kepada
Allah.
Pada kisah Burakh, yaitu:
seorang budak hitam, yang nabi Musa as meminta minum padanya, bahwa Allah
Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Bahwa Burakh budak yang baik dan dia untukKu.
Hanya ada padanya suatu kekurangan”. Nabi Musa as bertanya: “Hai Tuhanku ! apakah
kekurangannya ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Menakjubkannya oleh angin pagi. Maka
ia tenang kepada angin pagi itu. Dan siapa yang mencintai Aku, niscaya ia tidak
tenang kepada sesuatu”.
Diriwayatkan, bahwa
seorang ‘abid (yang kuat beribadah) beribadah kepada Allah Ta’ala pada suatu
tempat yang rindang kayu-kayuannya (ghaidlah) pada masa yang panjang. Lalu ia
memandang kepada seekor burung dan telah membuat sarang pada sepohon kayu, yang
tinggal padanya dan berbunyi padanya. ‘Abid itu berkata: “Jikalau aku pindahkan
masjidku ke pohon kayu itu, maka tenanglah aku berjinakkan hati, dengan bunyi
burung itu”. Orang yang empunya cerita itu meneruskan ceritanya: “Orang ‘abid
itu lalu berbuat demikian. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi zaman
itu: “Katakan kepada ‘abid anu, bahwa engkau telah berjinakan hati dengan
makhluk. Sesungguhnya akan Aku turunkan engkau kepada tingkat, yang tiada akan
engkau capai untuk selama-lamanya, dengan sesuatu dari amalan engkau”. Jadi,
tanda cinta itu sempurnanya kejinakan hati dengan munajah, dengan Yang
Dicintai, sempurnanya bernikmat-nikmatan dengan (bersunyi-sunyian), dengan Dia
dan sempurnanya keliaran hati dari setiap yang mengeruhkan (bersunyi-sunyian) dan
mencegah dari kelezatan munajah(membisikkan segala isi hati).
Dan tanda kejinakan hati, ialah kembalinya akal dan paham seluruhnya, yang
tenggelam dengan kelezatan munajah (membisikkan segala isi hati), seperti orang
yang menghadapkan pembicaraannya dan
membisikkan segala isi hati dengan orang yang dirinduinya. Dan
berpenghabisan kelezatan ini pada sebahagian mereka, sehingga ada ia dalam
shalatnya dan terjadilah kebakaran di rumahnya, lalu ia tidak merasakan yang
demikian. Dan dipotong kaki sebahagian mereka, disebabkan penyakit yang menimpa
dirinya dan dia itu dalam shalat, maka tidak dirasakannya. Manakala telah
mengeras kepadanya kecintaan dan kejinakan hati, niscaya jadilah bersunyi-sunyian
dan munajah(membisikkan segala isi hati) itu cahaya matanya, dimana ia menolak
dengan itu akan semua keduka-citaan. Bahkan, kejinakan hati dan kecintaan itu
menghabiskan hatinya, sehingga ia tidak memahami akan urusan duniawi, selama
tidak berulang-ulang berkali-kali kepada pendengarannya. Seperti orang yang
asyik, yang bimbang. Maka dia berbicara dengan manusia dengan lidahnya dan
kejinakan hatinya pada batiniyahnya dengan mengingati kekasihnya. Orang yang
cinta itu, ialah orang yang tidak tenang hatinya, selain dengan yang
dicintainya.
Qatadah berkata mengenai
firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang beriman itu, hati mereka menjadi
tentram, karena mengingati Allah. Ketahuilah, bahwa dengan mengingati Allah
itu, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Kata Qatadah: “Aku banyak
berkata-kata tentang Dia dan jinaklah hatiku dengan Dia”. Abubakar Ash-Shiddiq
ra berkata: “Siapa yang merasakan keikhlasan kecintaan kepada Allah, niscaya
yang demikian itu menyibukkannya dari mencari dunia dan meliarkan hatinya dari
semua manusia”.
Mathraf bin Abubakar
berkata: “Orang yang cinta itu tidak bosan-bosan dari pembicaraan kekasihnya”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Dustalah orang yang mendakwakan
akan kecintaannya kepadaKu, apabila datang malam, maka ia tidur jauh
daripadaKu. Tidakkah setiap orang yang mencintai itu mencintai bertemu dengan
kekasihnya ? maka adalah Aku ini maujud (berada) bagi orang yang mencari Aku”.
Musa as berkata: “Hai
Tuhanku ! di mana Engkau, aku bermaksud kepada Engkau ?”. Allah Ta’ala
berfirman: “Apabila engkau bermaksud, maka engkau telah sampai”. Yahya bin
Ma’adz berkata: “Siapa yang mencintai Allah, niscaya ia memarahkan dirinya”.
Berkata Yahya pula: “Siapa yang tidak ada padanya 3 perkara, maka tidaklah ia
orang yang mencintai: mengutamakan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala di atas
perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah Ta’ala daripada bertemu
dengan makhluk dan mengutamakan ibadah daripada melayani makhluk”.
Diantara tanda-tanda
kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ia tidak bersedih hati atas apa yang
luput daripadanya, dari apa yang selain Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan bersangatanlah
kesedihan hatinya di atas keluputan setiap saat yang kosong dari dzikir dan
taat kepada Allah Ta’ala. Maka banyaklah kembalinya ketika lalai, kepada Allah
Ta’ala dengan minta dikasihani, mencela diri dan bertaubat.
Sebahagian orang-orang
yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) (al’arifin) berkata: “Bahwa Allah
mempunyai hamba-hamba yang mencintaiNya dan merasa tentram kepadaNya. Maka
hilanglah dari mereka itu kesedihan atas yang hilang. Mereka tidak menyibukkan
diri dengan keberuntungan dirinya sendiri, ketika adalah Raja Diraja mereka itu
sempurna dan apa yang dikehendakiNya itu ada. Apa yang telah ada bagi mereka
itu maka sampai kepada mereka dan apa yang luput bagi mereka maka dengan
baiknya pengaturanNya bagi mereka”. Berhaklah orang yang mencintai itu apabila
kembali dari kelalaiannya, bahwa pada ketika itu juga ia menghadap kepada yang
dicintainya dan menyibukkan dirinya dengan mencela
diri. Menanyakan dan mengatakan: “Hai
Tuhanku ! dengan dosa apakah Engkau putuskan kebajikan Engkau daripadaku dan
Engkau jauhkan aku dari hadlarat(keajaiban) Engkau dan Engkau sibukkan aku
dengan diriku dan dengan mengikuti setan ?”. Maka dari yang demikian itu
mengeluarkan kebersihan dzikir dan kehalusan hati, yang menutupkan daripadanya,
apa yang telah lalu dari kelalaian. Dan adalah kesilapannya itu menjadi sebab
untuk kebaruan dzikirnya dan kebersihan hatinya. Manakala yang mencintai itu
tiada melihat, selain yang dicintai dan ia tiada melihat akan sesuatu, selain
daripadanya, niscaya ia tidak merasa menyesal dan tidak mengadu. Dan ia terima
semua itu dengan keridhaan. Ia tahu, bahwa Yang Dicintai tidak mentakdirkan
baginya, selain apa yang padanya kebajikan baginya. Dan ia ingat akan
firmanNya: “Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang dia berguna
kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 216.
Diantara tanda-tanda
kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ia bernikmat-nikmatan dengan taat
dan ia tidak merasa berat dengan taat itu. Dan hilanglah daripadanya kepayahan
mengerjakan taat. Sebagaimana berkata setengah mereka: “Aku menderita pada
malam hari selama 20 tahun. Kemudian, aku bernikmat-nikmatan dengannya selama
20 tahun”.
Al-Junaid berkata: “Tanda
cinta itu terus-menerus rajin dan bersungguh-sungguh dengan kerinduan, lesu
badannya dan tidak lesu hatinya”. Setengah mereka berkata: “Berbuat di atas
kecintaan itu tidak dimasuki oleh kelesuan”. Setengah ulama berkata: “Orang
yang mencintai Allah itu tidak meminta disembuhkan dari mentaatiNya, walaupun
ia bertempat dengan perantaraan yang besar”. Maka semua ini dan yang seperti
ini terdapat pada segala yang disaksikan (al-musyahadah). Bahwa orang yang
rindu itu tidak merasa berat berjalan pada memenuhi keinginan orang yang
dirindukan nya. Ia merasa enak melayaninya dengan hatinya, walaupun sukar atas
tubuhnya. Manakala tubuhnya lemah niscaya adalah sesuatu yang paling
disukainya, ialah bahwa kembali kepadanya kemampuan dan bercerai daripadanya
kelemahan. Sehingga ia dapat menyibukkan diri dengan yang dirinduinya. Maka
begitulah adanya kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahwa setiap kecintaan yang
menjadi menang, niscaya sudah pasti ia memaksakan apa yang kurang daripadanya.
Maka orang yang kecintaannya lebih disukainya daripada kemalasan, niscaya
ditinggalkannya kemalasan itu pada melayani kecintaannya. Kalau yang
dicintainya itu lebih dicintainya daripada harta, niscaya ditinggalkannya harta
pada mencintai yang dicintainya itu.
Ditanyakan kepada
sebahagian orang-orang yang cinta dan ia telah memberikan diri dan hartanya,
sehingga tidak tinggal lagi baginya sesuatu: “Apakah sebabnya keadaan engkau
ini pada kecintaan ?”. Orang itu menjawab: “Aku mendengar pada suatu hari akan
orang yang cinta dan ia bersunyi-sunyian dengan yang dicintainya. Ia berkata:
“Demi Allah, aku cinta kepadamu dengan seluruh hatiku. Dan engkau berpaling
daripadaku dengan seluruh wajahmu”. Yang dicintakan itu menjawab kepada yang
cinta: “Jikalau benar engkau mencintai aku, maka apakah yang engkau belanjakan
kepadaku ?”. Yang cinta itu menjawab: “Aku milikkan kepada engkau, akan apa
yang aku miliki. Kemudian aku belanjakan kepada engkau nyawaku, sehingga ia
binasa”. Maka aku mengatakan, bahwa ini makhluk bagi makhluk dan hamba bagi
hamba. Maka bagaimanakah dengan hamba bagi Yang Disembahnya ? Maka semua ini
dengan sebabnya. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah,
bahwa: ada ia kasih-sayang kepada semua hamba Allah, penyayang kepada mereka,
bersikap keras kepada semua musuh Allah dan kepada setiap orang yang
mengerjakan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Bersikap keras terhadap orang-orang yang tiada beriman, bersifat
kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Ia tidak dipengaruhi
oleh celaan orang yang suka mencela. Dan ia tidak dipalingkan oleh yang
memalingkan dari kemarahan karena Allah. Dengan yang demikianlah disifatkan
oleh Allah akan para waliNya. Karena Ia berfirman: “Mereka memberatkan dirinya
dengan mencintaiKu, sebagaimana anak kecil memberatkan dirinya dengan sesuatu.
Mereka duduk kepada mengingati Aku (berdzikir kepadaKu), sebagaimana burung
elang duduk dalam sarangnya. Mereka marah bagi segala yang Aku haramkan,
sebagaimana harimau marah apabila ia marah. Bahwa ia tidak perduli, sedikitnya
manusia atau banyak”. Perhatikanlah kepada contoh ini ! bahwa anak kecil apabila
diberatkan kepadanya dengan sesuatu, niscaya tidaklah sekali-kali ia berpisah
dengan sesuatu itu. Dan kalau diambil sesuatu itu daripadanya, niscaya tidaklah
baginya kesibukan, selain menangis dan berteriak, sehingga sesuatu itu
dikembalikan kepadanya. Kalau ia tidur, niscaya diambilnya barang itu bersama
dia dalam kainnya. Apabila ia bangun, niscaya ia kembali dan memegangnya.
Manakala barang itu berpisah daripadanya, niscaya ia menangis. Dan manakala
diperolehnya kembali, niscaya ia tertawa. Siapa yang bertengkar dengan dia
mengenai barang itu, niscaya ia marah dan siapa yang memberikannya niscaya
dicintainya. Adapun harimau, maka dia tidak menguasai dirinya ketika marah.
Sehingga dari kesangatan marahnya itu, ia sampai kepada membinasakan dirinya sendiri.
Inilah tanda cinta ! siapa yang sempurna padanya tanda-tanda ini, maka
sempurnalah kecintaannya dan ikhlaslah cintanya. Maka bersihlah di akhirat
minumannya dan sedaplah minumannya. Siapa yang bercampur dengan kecintaannya
itu akan kecintaan kepada selain Allah, niscaya ia bernikmat-nikmatan di
akhirat dengan kadar kecintaannya itu. Karena bercampur minumannya dengan kadar
dari minuman orang-orang al-muqarrabin(orang-orang mendekatkan diri kepada
Allah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang yang baik:
“Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan”. S 82 Al Infithaar
ayat 13. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Mereka diberi minum dengan minuman
yang dicap (ditutup). Capnya (tutupnya) ialah kasturi. Dan untuk ini hendaklah
berlomba orang yang mau berlomba ! dan campurannya dari Tasnim (nama sebuah
mata air di dalam sorga). Sebuah mata air, minuman dari orang-orang yang dekat
(kepada Tuhan)”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 25-28. Bahwa baiknya minuman
orang-orang yang baik itu, karena bercampurnya minuman yang semata-mata untuk
orang-orang yang dekat kepada Tuhan. Minuman itu ibarat dari sejumlah nikmat
sorga, sebagaimana kita diibaratkan dari semua amal perbuatan. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya kitab (buku) orang-orang yang baik itu (tersimpan)
dalam ‘Illiyin (tempat yang tinggi atau mulia)”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 18.
Kemudian Ia berfirman: “Disaksikan oleh mereka yang dekat (kepada Tuhan)”. S 83
Al Muthaffifiin ayat 21. Maka adalah tanda tingginya kitab mereka itu bahwa
meninggi kira-kira dapat disaksikan oleh orang-orang yang dekat kepada Tuhan
(al-muqarrabun). Sebagaimana orang-orang yang baik itu memperoleh kelebihan
dalam keadaan dan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka, dengan dekatnya mereka
kepada orang-orang yang dekat kepada Tuhan dan penyaksian mereka akan
orang-orang itu, maka seperti demikianlah adanya keadaan mereka di akhirat.
Firman Allah Ta’ala: “Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur
hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja”. S 31 Lukman ayat 28. Firman
Allah Ta’ala: “Sebagaimana Kami memulai penciptaan yang pertama dan akan Kami
ulangi lagi seperti itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 104. Dan sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman: “Hukuman yang sepadan (dengan dosanya)”. S 78 An Nabaa’’ ayat
26. Artinya: sesuai hukuman (balasan) dengan amal perbuatan mereka. Maka
dibandingkan yang bersih dengan yang bening dari minuman. Dibandingkan yang
bercampur dengan yang bercampur. Dan campuran setiap minuman atas kadar yang
telah lalu dari campuran itu pada kecintaan dan amal perbuatannya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az
Zalzalah ayat 7-8. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tiada
merobah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka
sendiri”. S 13 Ar Ra’d ayat 11. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa Allah tidak
hendak merugikan seseorang barang sebesar atom. Meskipun perbuatan baik itu
sebesar atom, akan dilipat-gandakan oleh Allah juga”. S 4 An Nisaa’ ayat 40.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau ada (usaha) sebesar biji sawi, Kami kemukakan
juga dan cukuplah Kami membuat perhitungan”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 47. Siapa
yang ada kecintaannya di dunia sekarang dan harapannya bagi kenikmatan sorga,
bidadari dan istana besok di akhirat, niscaya memungkinkannya di sorga, untuk
ia bertempat padanya, di mana yang dikehendakinya. Maka ia bermain-main bersama
anak-anak muda dan ia bersenang-senang dengan wanita. Maka di sana
berkesudahanlah kelezatannya di akhirat. Karena sesungguhnya diberikan kepada
setiap insan pada kecintaan, akan apa yang dirindukan oleh nafsunya dan
dirasakan enak oleh matanya. Siapa yang tujuan maksudnya yang empunya rumah dan
yang memiliki kerajaan dan tiada mengeras kepadanya, selain kecintaannya dengan
ikhlas dan benar, niscaya ia ditempatkan pada tempat duduk kebenaran pada Yang
Empunya, Yang Berkuasa. Maka orang-orang yang baik itu bersuka-suka di
taman-taman. Dan bernikmat-nikmat dalam sorga bersama bidadari dan anak-anak
muda. Orang-orang yang dekat kepada Allah (al-muqarrabun) selalu di ajaibkan Nya,
menetap mata mereka kepadaNya. Mereka memandang kecil akan nikmat sorga, dengan
dibandingkan kepada seatom daripadanya. Maka suatu kaum dengan menunaikan nafsu
keinginan perut dan kemaluan itu menjadi sibuk. Dan untuk duduk-duduk itu
mempunyai kaum-kaum yang lain.
Karena itulah Rasulullah
saw bersabda: “Kebanyakan penduduk sorga itu orang-orang yang bodoh dan
berkedudukan tinggi (‘Illiyyun) bagi orang-orang yang berakal”. Tatkala
singkatlah paham daripada mengetahui makna ‘illiyyun, niscaya besarlah
urusannya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Apakah engkau tahu: apakah ‘illiyyun
itu ?”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 19. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Peristiwa besar ! apakah itu peristiwa besar ? Dan apakah yang menyebabkan
engkau mengerti, apa peristiwa besar itu ?”. S 101 Al Qaari’ah ayat 1-2-3.
Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah, bahwa: adalah ia pada
kecintaannya itu orang yang takut yang melemah, di bawah kehebatan dan
pengagungan. Kadang-kadang disangkakan bahwa takut itu berlawanan dengan cinta.
Dan tidaklah seperti yang demikian. Akan tetapi, mengetahui keagungan itu
mengharuskan kehebatan. Sebagaimana mengetahui kecantikan mengharuskan
kecintaan. Bagi pecinta-pecinta khusus mempunyai ketakutan-ketakutan pada
tempat kecintaan, yang tidak ada bagi selain mereka. Sebahagian ketakutan
mereka lebih keras dari sebahagian yang lain. Yang pertama, ialah ketakutan
dari berpaling. Yang lebih keras daripadanya, ialah ketakutan dari terdinding.
Dan yang lebih keras dari itu lagi, ialah ketakutan dijauhkan. Dan makna ini
ialah pada surat Hud, yang menjadikan tua penghulu dari semua yang mencintai
Tuhan. Karena ia mendengar firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, jauhlah Tsamud itu
!”. S 11 Huud ayat 68. Dan: “Ingatlah, binasalah Madyan, sebagaimana Tsamud
telah binasa”. S 11 Huud ayat 95. Sesungguhnya sangatlah takutnya jauh dan
takutnya pada hati orang yang menyukai dekat, merasakan dan senang dengan
kedekatan itu. Pembicaraan tentang jauh pada pihak orang-orang yang menjauhkan
itu, oleh karena mendengarnya menjadikan tua orang-orang yang suka pada
kedekatan. Tidak ingin kepada kedekatan, orang yang menyukai kejauhan. Dan
tidak menangis karena takutnya jauh, orang yang tidak mungkin kepada permadani
kedekatan. Kemudian, takutnya berhenti dan tercabutnya kelebihan, maka sesungguhnya
telah kami terangkan dahulu bahwa derajat-derajat kedekatan itu, tiada
kesudahan. Dan hak hamba itu bahwa ia bersungguh-sungguh pada setiap nafasnya,
sehingga ia bertambah kedekatan padanya. Karena itulah, Rasulullah saw
bersabda: “Barangsiapa bersamaan dua harinya, maka dia itu tertipu. Dan
barangsiapa yang ada harinya itu lebih buruk dari kemarinnya, maka dia itu
terkutuk”. Seperti demikian juga sabda Nabi saw: “Bahwa sesungguhnya tertutup
dengan nafsu atas hatiku pada siang dan malam, sehingga aku meminta ampun
(mengucapkan istighfar) kepada Allah 70 kali”. Bahwa adalah istighfarnya Nabi
saw itu dari langkah pertama. Adalah itu jauh dibandingkan kepada langkah
kedua. Dan adalah yang demikian itu siksaan bagi mereka di atas kelesuan pada
jalan dan berpaling kepada yang tidak dicintai. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa
Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa sekurang-kurangnya apa yang Aku perbuat dengan
orang yang berilmu, apabila ia mengutamakan keinginan duniawi dari ketaatan
kepadaKu, bahwa Aku cabut daripadanya akan kelezatan membisikkan segala isi hati dengan Aku”.
Mencabut kelebihan dengan sebab nafsu keinginan itu siksaan bagi umumnya
manusia.
Adapun orang-orang
tertentu, maka mereka dihijabkan dan kelebihan oleh semata-mata dakwaan,
keheranan kepada diri sendiri dan kecenderungan kepada apa yang lahir dari
pokok-pokok kelemah-lembutan. Dan yang demikian itu adalah rencana yang
tersembunyi yang tidak mampu menjaga daripadanya, selain orang-orang yang
mempunyai tapak kaki yang teguh. Kemudian, yang lebih keras dari itu lagi,
ialah takut hilangnya apa yang tidak akan diperoleh sesudah hilangnya. Ibrahim
bin Adham mendengar orang bermadah dan dia dalam pengembaraannya dan berada di
atas sebuah bukit:
Setiap suatu itu,
diampunkan daripada kamu.
Selain berpalingnya kamu,
daripada kami........
Telah kami berikan kepada kamu,
apa yang telah hilang.
Maka berilah kamu,
apa yang dari kami telah hilang.
Maka Ibrahim bin Adham menggeletar dan
pingsan. Ia tidak sembuh dari pingsannya sehari semalam. Dan datang kepadanya
beberapa keadaan. Kemudian, ia berkata: “Aku mendengar panggilan dari bukit:
“Hai Ibrahim ! jadilah engkau ini hamba ! maka adalah engkau itu hamba dan
beristirahatlah”. Kemudian, yang lebih berat dari itu lagi, ialah takut
menyimpang daripadanya. Bahwa orang yang bercinta itu selalu diliputi oleh
kerinduan dan kecarian yang segera. Ia tidak lesu dari mencari ketambahan. Dan
ia tidak terhibur, selain dengan kelemah-lembutan yang baru. Kalau ia
menyimpang dari yang demikian, niscaya adalah yang demikian itu sebab
terhentinya atau sebab kekembaliannya. Dan keterhiburan itu masuk kepadanya,
dari pihak yang tidak dirasakannya. Sebagaimana, kadang-kadang masuk kepadanya
cinta, dari pihak yang tidak dirasakannya. Bahwa perobahan-perobahan ini
mempunyai sebab-sebab yang tersembunyi, yang samawi (yang datang dari Atas),
yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan manusia kepadanya. Apabila Allah
Ta’ala menghendaki suatu rencana dan terangsur ke arah kebinasaan (istidraj)
padanya, niscaya disembunyikan daripadanya apa yang datang kepadanya dari
keterhiburan. Lalu ia berhenti serta harapan dan ia tertipu dengan baik
pandangan. Atau dengan kerasnya kelalaian atau hawa nafsu atau kelupaan. Maka
semua yang demikian itu dari tentara setan, yang memenangi atas tentara malaikat,
dari: ilmu, akal, dzikir dan penjelasan. Dan sebagaimana dari sifat-sifaft
Allah Ta’ala itu apa yang tampak, lalu menghendaki bergolaknya cinta, yaitu:
sifat-sifat kelemah-lembutan, rahmat dan hikmat, maka diantara sifat-sifatNya
itu apa yang terisyarahkan. Lalu mewariskan keterhiburan, seperti sifat-sifat:
jabariyah (keperkasaan), kemuliaan dan tidak memerlukan kepada sesuatu
(istighna’). Dan yang demikian itu termasuk sebahagian daripada pendahuluan
(mukaddimah) rencana, kesengsaraan hidup dan tidak memperoleh apa-apa
(al-hirman).
Kemudian, yang lebih berat
dari itu lagi, ialah takut pergantian, dengan perpindahan hati dari cinta
kepadaNya, kepada cinta lainNya. Yang demikian itu adalah kutukan. Dan
menyimpang daripadanya itu pendahuluan tingkat ini. Berpaling dan hijab itu
pendahuluan penyimpangan. Sempitnya dada dengan kebajikan, tergulungnya dada
dari berterusan dzikir dan malasnya bagi tugas-tugas wirid ibadah itu adalah
sebab-sebab makna ini dan pendahuluan-pendahuluan nya. Lahirnya sebab-sebab ini
adalah petunjuk kepada berpindahnya dari derajat cinta kepada derajat terkutuk.
Kita berlindung dengan Allah daripadanya. Berkeadaan selalu takut bagi hal
keadaan ini dan bersangatan menjaga daripadanya dengan kebersihan muraqabah
(takut kepada Allah) itu adalah dalil kepada benarnya cinta. Bahwa siapa yang
mencintai sesuatu, niscaya sudah pasti ia takut kepada hilangnya. Maka tidak
terlepaslah orang yang bercinta itu dari ketakutan, apabila adalah yang
dicintainya itu termasuk dari yang mungkin hilangnya. Sebahagian orang yang berma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu berkata: “Siapa
yang menyembah Allah Ta’ala dengan semata-mata cinta, tanpa takut, niscaya ia
binasa dengan sukacita dan tiada sopan. Siapa yang menyembah Allah dari jalan
takut, tanpa cinta, niscaya ia terputus daripadaNya dengan kejauhan dan
keliaran hati. Dan siapa yang
menyembahNya dari jalan cinta dan takut, niscaya ia dicintai oleh Allah Ta’ala.
Maka di dekatkannya, ditetapkannya dan dianugerahinya ilmu”.
Orang yang bercinta itu
tiada terlepas dari ketakutan. Dan orang yang takut itu tiada terlepas dari
kecintaan. Akan tetapi, orang yang keras kepadanya kecintaan, sehingga ia
meluas padanya dan tak ada baginya ketakutan, selain sedikit, maka dikatakan:
orang itu pada tingkat kecintaan. Ia terhitung dari orang-orang yang bercinta.
Dan adalah campuran ketakutan itu menentramkan sedikit dari kemabukan cinta.
Kalau keraslah cinta dan berkuasalah ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
niscaya tidak ada bagi yang demikian itu kesanggupan manusia. Bahwa takut itu
mengimbanginya dan meringankan kesannya kepada hati.
Diriwayatkan pada
sebahagian berita, bahwa sebahagian orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin) itu
diminta oleh sebahagian para wali, supaya meminta pada Allah Ta’ala bahwa Allah
Ta’ala memberi rezeki kepadanya seatom dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala)Nya. Lalu orang shiddiq itu berbuat yang demikian. Ia berjalan tanpa
tujuan di bukit-bukit. Akalnya heran, hatinya bimbang dan ia tinggal berbentuk
rupa orang, 7 hari. Ia tidak mengambil manfaat dengan sesuatu dan sesuatupun
tiada mengambil manfaat dengan dia. Orang shiddiq itu meminta pada Tuhannya
Yang Maha Tinggi untuk wali itu. Ia berdoa: “Hai Tuhanku ! kurangilah padanya
dari atom itu sebahagiannya !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya:
“Sesungguhnya Aku berikan kepadanya sebahagian dari 100 ribu bahagian dari
atom, dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Yang demikian itu, bahwa 100
ribu hamba meminta padaKu akan sesuatu dari kecintaan, pada waktu yang
dimintakan padaKu oleh si ini. Maka Aku kemudiankan mengabulkan doa mereka,
sampai engkau berbuat syafaat kepada si ini. Maka tatkala Aku mengabulkan doa
engkau, pada apa yang engkau minta, niscaya Aku berikan kepada mereka,
sebagaimana Aku berikan kepadanya. Maka Aku bagikan atom dari ilmu mengenal
Allah Ta’alaitu diantara 100 ribu hamba. Maka inilah yang diperolehnya dari
yang demikian itu”. Orang shiddiq itu menjawab: “Maha Suci Engkau, hai Yang
Maha menghukum dari orang-orang yang menjadi hakim ! Engkau kurangkan padanya,
dari apa yang Engkau berikan kepadanya”. Maka dihilangkan oleh Allah
daripadanya sejumlah bahagian. Dan tinggal padanya 1/10 dari persepuluhnya.
Yaitu sebahagian dari 10 ribu bahagian dari 100 ribu bahagian dari atom. Maka
seimbanglah ketakutannya, kecintaannya dan harapannya. Ia tenang dan jadi
seperti orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) lainnya.
Orang bermadah pada menyifatkan hal orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala) itu:
Dekat perasaan, mempunyai tujuan yang
jauh,
dari orang-orang yang merdeka dan
budak dari mereka.
Ganjil sifat, mempunyai ilmu yang luar
biasa,
seakan-akan hatinya itu sekerat besi.
Sungguh mulia
pengertian-pengertiannya,
dan terangkat dari penglihatan, selain
bagi orang syahid.
Ia melihat hari-hari raya dalam segala
waktu,
yang berlaku baginya pada setiap hari,
1000 hari raya.
Bagi orang-orang yang dicintakan,
kegembiraan dengan hari raya.
Dan tiada memperoleh kegembiraan,
orang yang jauh baginya.
Adalah Al-Junaid ra berpantun dengan
beberapa bait, yang diisyarahkannya kepada rahasia-rahasia keadaan orang yang
berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Walaupun yang demikian itu tidak
boleh dilahirkan. Inilah bait-bait itu:
Gembiralah hati mereka, dengan
manusia,
pada keadaan yang tidak kelihatan.
Lalu mereka bertempat dengan dekatnya,
kepada Yang Mulia, Yang Mempunyai
banyak kelebihan.
Halaman rumah dengan dekatnya Allah,
dalam naungan ke-QudusanNya.
Arwah mereka berkeliling padanya,
dan berpindah-pindah.
Kedatangan mereka padanya,
di atas kemuliaan dan akal pikiran.
Sumber mereka daripadanya,
untuk yang lebih mempunyai
kesempurnaan.
Ia berjalan dengan kemuliaan,
yang tunggal dari sifat-sifatnya.
Dan dalam pakaian kekeesaanan,
ia berjalan dan merasa bangga.
Dan dari sesudah ini,
tidaklah menghalus sifat-sifatnya.
Dan apa yang ia sembunyi,
adalah lebih utama dan seimbang
padanya.
Akan aku sembunyikan dari ilmuku,
apa yang memeliharakan.
Aku berikan daripadanya itu,
apa yang aku lihat berhak untuk
diberikan.
Aku berikan kepada hamba-hamba Allah,
akan hak mereka daripadanya.
Dan daripadanya itu aku cegah,
apa yang aku lihat pencegahan itu
lebih utama.
Bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah,
mempunyai rahasia yang
dipeliharakanNya,
kepada yang empunyanya itu dalam
rahasia.
Dan memeliharakannya itu lebih indahnya.
Contoh-contoh seperti ma’rifah-ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) ini, yang kepadanya diisyaratkan itu, tidak boleh
bersekutu manusia padanya. Dan tidak boleh dilahirkan oleh orang, yang
tersingkap baginya sesuatu dari yang demikian, kepada orang yang tidak
disingkapkan baginya. Akan tetapi, jikalau bersekutulah manusia padanya,
niscaya robohlah dunia. Maka hikmah itu menghendaki kelengkapan kelalaian bagi
pembangunan dunia. Akan tetapi, jikalau semua
manusia itu memakan yang halal selama 40 hari, niscaya robohlah dunia,
karena zuhudnya mereka padanya. Dan terhentilah pasar-pasar dan penghidupan.
Akan tetapi, jikalau ulama itu memakan yang halal, niscaya sibuklah mereka
dengan diri mereka itu sendiri. Dan terhentilah lidah dan pena dari kebanyakan
apa yang berkembang dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi, bagi Allah Ta’ala pada
yang buruk pada zahiriyahnya itu, mempunyai rahasia dan hikmah. Sebagaimana
bagiNya pada kebajikan itu mempunyai rahasia dan hikmah. Dan tiada berkesudahan
bagi hikmahNya, sebagaimana tiada berpenghabisan bagi qudrah (kuasa)Nya.
Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah itu, ialah menyembunyikan
cinta, menjauhkan dakwaan, menjaga diri daripada melahirkan perasaan dan
kecintaan, karena membesarkan dan memuliakan Yang Dicintai, takut kepadaNya dan
cemburu kepada rahasiaNya. Bahwa cinta itu salah satu dari rahasia yang
dicintai. Karena, kadang-kadang masuk dalam dakwaan itu, apa yang melampaui
batas arti dan melebihi daripadanya. Maka adalah yang demikian itu, termasuk
daripada pengada-adaan dan membesarkan siksaan kepadanya pada hari kemudian.
Dan menyegerakan bencana kepadanya di dunia. Benar, kadang-kadang ada bagi yang
bercinta itu kemabukan pada kecintaannya. Sehingga ia menjadi dahsyat padanya
dan kacau hal keadaannya. Maka lahirlah kepadanya kecintaannya. Jikalau terjadi
yang demikian, tanpa memberatkan atau usaha, maka itu dimaafkan. Karena dia itu
terpaksa. Kadang-kadang menyala dari kecintaannya itu apinya. Maka tiada
disanggupkan menguasainya. Kadang-kadang membanjir hati kepadanya, lalu tidak
tertolak kebanjirannya. Maka orang yang sanggup kepada menyembunyikan itu
mengatakan:
Mereka mengatakan: dekat,
maka tidaklah aku itu yang membuat,
mendekatkan cahaya matahari,
jikalau ada dia dalam pangkuanku.
Maka tidaklah bagiku daripadanya,
selain ingatan dengan gurisan hati,
yang menggerakkan api kecintaan,
dan kerinduan dalam dadaku.
Orang yang lemah pada menyembunyikan
itu mengatakan:
Ia menyembunyikan,
maka air mata melahirkan
rahasia-rahasianya,
Dan lahirlah perasaan,
di atasnya nafsu dirinya.
Ia mengatakan pula:
Orang yang hatinya serta orang lain,
maka bagaimana keadaannya ?
Dan orang yang rahasianya dalam
pelupuk matanya,
maka bagaimana ia menyembunyikannya ?
Sebahagian orang-orang yang berma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) berkata: “Manusia yang terjauh daripada Allah itu,
ialah mereka yang terbanyak isyaratnya kepada Allah”. Seakan-akan yang berkata
itu menghendaki, bahwa orang yang banyak menyinggung dengan Allah pada setiap
sesuatu dan melahirkan berbuat-buat dengan menyebutkanNya pada setiap orang,
maka dia itu terkutuk pada orang-orang yang mencintaiNya dan orang-orang yang
mengetahui dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Dzun Nun Al-Mishri masuk
ke tempat sebahagian temannya, dari orang yang menyebutkan kecintaan. Lalu
beliau melihat temannya itu mendapat suatu percobaan (bencana). Maka beliau
berkata: “Tiada cinta kepadaNya, orang yang mendapati kepedihan
kemelaratannya”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Akan tetapi, aku mengatakan:
“Tiada cinta kepadaNya, orang yang tiada bernikmat-nikmatan dengan
kemelaratannya”. Dzun Nun lalu berkata: “Akan tetapi, aku mengatakan: tiada
cinta kepadaNya, orang yang memasyhurkan dirinya dengan mencintaiNya”.
Laki-laki itu maka menjawab: “Aku meminta ampun kepada Allah dan aku bertaubat
kepadaNya”. Jikalau anda mengatakan, bahwa cinta itu tingkat yang penghabisan
dan melahirkannya itu melahirkan kebajikan, maka mengapakah dilarang
melahirkannya ? Ketahuilah, bahwa cinta itu terpuji. Dan melahirkannya juga
terpuji. Bahwa yang tercela, ialah berbuat-buat melahirkannya. Karena masuk
padanya, dari dakwaan dan kesombongan. Bahwa hak orang yang mencintai itu
sempurna atas kecintaannya yang tersembunyi segala perbuatan dan hal
keadaannya. Tidak perkataan dan perbuatannya. Dan seyogyalah bahwa lahir
kecintaannya itu, tanpa maksud daripadanya kepada melahirkan cinta. Dan tidak
kepada melahirkan perbuatan yang menunjukkan kepada cinta. Akan tetapi,
seyogyalah bahwa maksud yang mencintai itu menengok yang dicintainya saja.
Adapun kehendaknya akan
menengok orang yang lain, maka itu kesekutuan pada cinta dan tercela,
sebagaimana tersebut dalam Injil: “Apabila engkau bersedekah, maka
bersedekahlah, di mana tidak diketahui oleh tangan kirimu, akan apa yang
diperbuat oleh tangan kananmu. Maka yang melihat segala yang tersembunyi itu
memadai bagi engkau akan yang terang saja. Apabila engkau berpuasa, maka
basuhlah muka engkau dan minyakkanlah akan kepala engkau. Supaya tidak diketahui
dengan yang demikian itu, selain oleh Tuhan engkau”.
Maka melahirkan perkataan
dan perbuatan, semuanya itu tercela. Kecuali apabila mengeraslah kemabukan
cinta. Lalu terlepaslah lidah dan bergoncanglah anggota-anggota badan. Maka
tidaklah tercela orang yang berkeadaan yang demikian.
Diceritakan, bahwa seorang
laki-laki melihat dari sebahagian orang gila, apa yang tidak diketahuinya. Lalu
ia menceritakan yang demikian itu kepada Ma’ruf Al-Karkhi ra. Maka beliau
tersenyum, kemudian berkata: “Hai saudaraku ! dia mempunyai orang-orang yang
mencintainya, yang kecil dan yang besar, yang berakal dan yang gila. Maka ini
yang engkau lihat, adalah dari orang-orang gila mereka”. Diantara yang
memakruhkan melahirkan kecintaan, disebabkan bahwa yang bercinta itu, jikalau
dia orang yang arif dan mengetahui akan hal-ihwal malaikat, tentang kecintaan
mereka yang berkekalan dan kerinduan mereka yang terus-menerus, yang dengan
demikian itu, mereka mengucapkan tasbih malam dan siang, yang tidak
lesu-lesunya dan tidak mendurhakai akan Allah, tentang apa yang disuruhNya kepada
mereka dan mereka mengerjakan apa yang disuruh, niscaya ia mencegah kesombongan
dirinya dan dari melahirkan kecintaannya. Dan ia tahu dengan pasti, bahwa
melahirkan itu termasuk orang yang bercinta yang terkeji dalam kerajaannya. Dan
bahwa kecintaannya itu yang terkurang dari kecintaan setiap orang yang
mencintai Allah.
Sebahagian orang yang
memperoleh kasyaf (tersingkap hijab) dari orang-orang yang bercinta itu
berkata: “Aku beribadah kepada Allah Ta’ala selama 30 tahun dengan amal
perbuatan hati dan anggota badan, dengan memberikan tenaga dan mengosongkan
tenaga. Sehingga aku menyangka, bahwa aku mempunyai sesuatu pada Allah”. Lalu
disebutkannya beberapa perkara dari diminta untuk mengetahuinya saja
tanda-tanda langit dalam suatu kisah yang panjang. Ia mengatakan pada akhir
kisah itu: “Maka aku sampai kepada suatu baris (shaf) dari para malaikat,
dengan bilangan semua apa yang diciptakan oleh Allah, dari sesuatu. Lalu aku
bertanya: “Siapa kamu ?”. Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang mencintai
Allah ‘Azza Wa Jalla. Kami beribadah kepadaNya di sini semenjak 300 ribu tahun.
Tiada terguris di hati kami sekali-kali, selain dari Dia. Dan tiada kami
sebutkan (berdzikir) selain Dia”. Yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) itu berkata: “Maka aku malu dari amal
perbuatanku. Lalu aku berikan dia kepada orang yang berhak kepadanya janji
azab, untuk meringankan daripadanya dalam neraka Jahannam”. Jadi, siapa yang
mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya dan ia malu dari yang demikian, dengan
malu yang sebenar-benarnya, niscaya kelulah lisannya daripada melahirkan dengan
dakwaan yang bukan-bukan. Ya, disaksikan atas kecintaannya itu oleh
gerak-geriknya, ketenangannya, majunya, mundurnya dan pulang perginya.
Sebagaimana diceritakan
dari Al-Juniad, bahwa ia berkata: “Telah sakit guruku As-Sirri ra. Maka kami
tiada mengetahui bagi penyakitnya itu obat. Dan tiada kami mengetahui akan
sebabnya. Lalu disifatkan kepada kami akan keadaan seorang tabib yang pandai.
Maka kami bawa kepada tabib itu botol airnya. Lalu tabib memandang kepada botol
itu. Dan ia memandang kepadanya dengan lama-lama. Kemudian, tabib itu berkata
kepadaku: “Aku melihatnya kencing orang yang asyik”. Al-Junaid berkata: “Maka
aku gemetar dan pingsan. Botol itu jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali
kepada As-Sirri. Lalu menceritakan kepadanya. Ia tersenyum, kemudian berkata:
“Ia diperang oleh Allah akan apa yang dilihatnya”. Aku bertanya: “Hai guruku !
dan engkau terangkan kecintaan itu dalam kencing ?”. Beliau menjawab: “Ya !”.
Suatu kali As-Sirri berkata: “Jikalau aku kehendaki, aku akan berkata: tiada
aku keringkan kulitku atas tulangku. Tiada tercabut tubuhku, selain untuk
mencintaiNya”. Kemudian, ia pingsan. Kepingsanan itu menunjukkan, bahwa itu
lebih menerangkan pada kerasnya perasaan dan pendahuluan bagi kepingsanan. Maka
inilah kumpulan tanda-tanda cinta dan buahnya. Diantaranya kejinakan hati dan
ridha, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Kesimpulannya, semua
kebagusan agama dan kemuliaan budi pekerti itu buah cinta. Apa yang tidak dibuahkan
oleh kecintaan itu, maka itu mengikuti hawa nafsu. Dan itu termasuk budi
pekerti yang rendah. Kadang-kadang, ya, ia mencintai Allah, karena ihsan
(perbuatan baik) Nya kepadanya. Dan kadang-kadang ia mencintaiNya karena
keagungan dan keelokanNya, walaupun Ia tidak berbuat ihsan (perbuatan baik) kepadanya. Dan orang-orang yang bercinta itu
tidak akan keluar dari dua bahagian ini. Karena itulah, Al-Junaid berkata:
“Manusia pada mencintai Allah Ta’ala itu bersifat awam dan khusus. Maka orang
yang awam, mereka memperoleh yang demikian, dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka
pada berkekalan ihsan (perbuatan baik) Nya dan banyak nikmat-nikmatNya. Maka
mereka tiada menahan diri bahwa meridhainya, selain bahwa menyedikitlah
kecintaan mereka dan membanyak di atas kadar nikmat dan ihsan (perbuatan baik) .
Adapun orang-orang khusus,
maka mereka mencapai kecintaan dengan besarnya kadar, kudrah, ilmu, hikmah dan
manunggal dengan kemilikan. Manakala mereka telah mengetahui akan
sifat-sifatNya yang sempurna dan nama-namaNya yang bagus (al-asmaul-husna),
niscaya mereka tiada mencegah bahwa mencintaiNya. Karena berhaklah pada mereka
akan kecintaan dengan yang demikian. Karena Ia berhak bagi kecintaan dan
walaupun dihilangkanNya dari mereka itu semua nikmat. Ya, diantara manusia itu
ada orang yang mencintai hawa nafsunya dan musuh Allah, yaitu: Iblis. Dan serta
yang demikian itu, dia meragukan atas dirinya dengan hukum tertipu dan bodoh.
Lalu ia menyangka, bahwa ia mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dialah orang yang
telah hilang padanya tanda-tanda itu. Atau diragukannya secara munafik, ria dan
dingin didengar orang. Dan maksudnya itu segera memperoleh keuntungan duniawi.
Dan ia melahirkan dari dirinya akan kebalikan yang demikian. Seperti
ulama-ulama jahat dan qari-qari jahat. Mereka itu orang-orang yang dimarahi oleh
Allah di bumiNya. Adalah Sahal apabila bercakap-cakap dengan seorang manusia,
mengatakan: “Ya daust (Hai yang dikasihi) !”. Lalu dikatakan kepadanya:
“Kadang-kadang orang itu tidak dikasihi. Maka bagaimanakah engkau mengatakan
itu ?”. Ia lalu menjawab: “Pada telinga yang mengatakan itu sebagai rahasia. Ia
tidak terlepas, adakalanya bahwa dia itu orang mu’min atau orang munafik. Kalau
dia itu mu’min, maka dia itu kekasih Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau ia
munafik, maka dia itu kekasih Iblis”. Abu Turab An-Nakh-shabi mengucapkan
beberapa bait syair tentang tanda-tanda cinta:
Janganlah engkau tertipu,
bagi yang dikasihi itu mempunyai
tanda-tanda.
Padanya dari hadiah kekasih itu,
ada perantara-perantara.
Diantaranya kenikmatannya itu,
dengan berlalunya percobaannya.
Dan kegembiraannya itu,
pada setiap apa yang ia memperbuatnya.
Pencegahan daripadanya itu,
adalah pemberian yang diterima.
Dan kemiskinan itu,
adalah kemurahan dan kebajikan yang
segera.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihat dari azamnya,
akan kepatuhan kekasih itu,
walaupun bersungguh-sungguh
pencelanya.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat dengan tersenyum.
Dan hatinya padanya itu,
burung layang-layang dari kekasih.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat memahamkan,
perkataan orang itu,
yang padanya penanya diuntungkan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat hidup dalam
kesusahan,
yang memelihara dari setiap itu,
apa yang dia itu mengatakan.
Yahya bin Ma’adz bermadah:
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya berlalu cepat,
dalam dua potong pakaian itu,
pada pantai-pantai bagian darat.
Diantara dalil-dalilnya itu,
kesedihan dan ratapannya,
pada tengah kegelapan itu.
Maka tak ada baginya yang mencelanya.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya berjalan jauh,
ke arah perjuangan itu,
dan setiap perbuatan yang tangguh.
Diantara dalil-dalilnya itu,
zuhudnya pada yang kelihatan,
dari rumah yang hina itu,
dan kenikmatan yang hilang.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya dalam ketangisan.
Bahwa melihatnya itu,
dalam buruk keadaan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya menyerahkan,
setiap urusan itu,
kepada Raja yang penuh dengan
keadilan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya dalam keadaan
yang senang,
dengan Rajanya itu,
pada setiap hukum yang diturunkan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
tertawanya diantara manusia.
Hatinya dalam kesedihan,
seperti hati orang yang kematian.
PENJELASAN: makna kejinakan hati dengan Allah Ta’ala.
Telah kami sebutkan dahulu, bahwa
kejinakan hati, takut dan rindu itu adalah sebahagian dari bekas-bekas cinta.
Hanya, bahwa ini adalah bekas-bekas yang bermaca-macam, yang berbeda atas yang
bercinta itu menurut pandanganya dan apa yang mengerasinya pada waktunya itu.
Apabila telah mengeras kepadanya penengokan dari belakang hijab keghaiban
kepada kesudahan keelokan dan merasa kesingkatannya daripada penengokan kepada
hakikat/makna keagungan, niscaya membangkitlah hati kepada mencari, terkejut
dan berkobar kepadanya.
Hal keadaan ini pada
keterkejutan, dinamakan: rindu. Dan itu dengan dikaitkan kepada urusan ghaib.
Apabila telah mengeras kepadanya kegembiraan dengan kedekatan dan penyaksian
kehadiran dengan apa yang diperoleh dari al-kasyaf (penyingkapan hijab) dan
adalah pandangannya terbatas kepada penyaksian keelokan yang hadir, yang
tersingkap, tiada menoleh kepada apa yang tiada diketahuinya kemudian, niscaya
bergembiralah hati dengan apa yang diperhatikannya. Maka dinamakanlah
kegembiraan hati ini dengan: kejinakan hati. Kalau ada pandangannya itu kepada
sifat-sifat kemuliaan, sifat istighna’ (sifat tidak memerlukan kepada sesuatu),
tiada memperdulikan dan sifat gurisan dihati akan kemungkinan hilang dan jauh,
niscaya merasa sakitlah hati dengan perasaan ini. Maka perasaan menyakitkan
hati itu, dinamakan: takut. Hal-ihwal ini mengikuti akan perhatian-perhatian
tersebut. Dan perhatian-perhatian itu mengikuti sebab-sebab yang
dikehendakinya, yang tidak mungkin dihinggakan banyaknya. Maka kejinakan hati
itu artinya, ialah: kegembiraan dan kesukaan hati dengan menyaksikan keelokan.
Sehingga apabila telah mengeras dan terlepas daripada memperhatikan apa yang
ghaib daripadanya dan apa yang berjalan kepadanya, daripada bahaya kehilangan,
niscaya besarlah nikmatnya dan lezatnya. Dan dari sini, dipandang oleh
sebahagian mereka, di mana dikatakan kepadanya: “Engkau itu dirindukan ?’. Maka
ia menjawab: “Tidak !”. Bahwa kerinduan itu kepada yang ghaib. Maka apabila
yang ghaib itu telah hadir, maka kepada siapa dirindukan ? Inilah pembicaraan
yang dihabisi dengan kegembiraan dengan apa yang diperolehnya. Tiada menoleh
kepada apa yang masih ada, pada kemungkinan dari kelebihan kelemah-lembutan.
Siapa yang mengeras atasnya, hal kejinakan hati, niscaya tidaklah keinginannya
itu, selain pada sendirian dan kesepian.
Sebagaimana diceritakan,
bahwa Ibrahim bin Adham turun dari gunung, lalu ditanyakan kepadanya: “Dari
mana engkau datang ?”. Beliau lalu menjawab: “Dari kejinakan hati dengan
Allah”. Yang demikian itu, karena kejinakan hati dengan Allah itu, mengharuskan
dia selalu berliar hati dengan selain Allah. Bahkan, setiap apa yang
menghalangi dari al-khilwah (menyendiri). Maka
adalah yang demikian itu yang terberat dari segala sesuatu atas hati.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Musa as tatkala Tuhan berkalam (berkata-kata)
dengan dia, maka ia berhenti pada suatu masa, dimana ia tidak mendengar
perkataan seorangpun dari manusia, melainkan ia jatuh pingsan. Karena cinta itu
mengharuskan kemanisan perkataan yang dicintai dan kemanisan menyebutkannya.
Maka keluarlah dari hati, kemanisan yang lain dari yang dicintai. Karena
itulah, diucapkan oleh sebahagian ahli hikmah (al-hukama’) dalam doanya: “Hai
Yang Menjinakkan hatiku dengan menyebutkanNya. Dan meliarkan hatiku daripada
makhlukNya”. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada nabi Daud as: “Adalah engkau
bagiKu itu dirindukan. Dengan Aku dijinakkan hati dan dengan selain Aku
diliarkan hati”.
Ditanyakan kepada Rabi’ah
Al-‘Adawiyah: “Dengan apa engkau capai kedudukan ini ?”. Rabi’ah menjawab:
“Dengan aku tinggalkan, apa yang tidak penting bagiku. Dan kejinakan hatiku
dengan Tuhan Yang Maha-senantiasa”.
Abdul-wahid bin Zaid
berkata: “Aku berjalan dengan seorang pendeta, lalu aku bertanya kepadanya:
“Hai pendeta ! sungguh menakjubkan engkau oleh seorang diri ?”. Pendeta itu
menjawab: “Hai saudara ! jikalau engkau merasakan kemanisan seorang diri,
niscaya engkau merasa keliaran hati untuk sindiran itu dari diri engkau
sendiri. Seorang diri itu kepala ibadah”. Aku lalu bertanya: “Hai pendeta !
apakah yang sekurang-kurangnya yang engkau dapati pada seorang diri itu ?”.
Pendeta itu menjawab: “Kesenangan dari berkelilingnya manusia dan keselamatan
dari kejahatan mereka”. Aku bertanya lagi: “Hai pendeta ! kapankah hamba itu
merasakan kemanisan kejinakan hati dengan Allah Ta’ala ?”. Ia menjawab:
“Apabila bersihlah kasih-sayang dan ikhlaslah pergaulan”. Aku lalu bertanya:
“Kapankah bersihnya kasih-sayang ?”. Ia menjawab: “Apabila telah berkumpul
cita-cita. Lalu menjadi satu cita-cita pada ketaatan”.
Sebahagian hukama’ berkata:
“Suatu keajaiban bagi makhluk, bagaimana mereka menghendaki ganti dan Engkau ?
suatu keajaiban bagi hati, bagaimana hati itu jinak dengan selain Engkau,
daripada Engkau ?”. Kalau anda bertanya: “Apakah tanda kejinakan hati itu ?
maka ketahuilah, bahwa tandanya yang khas, ialah: sempitnya dada daripada
bergaul dengan makhluk, merasa gelisah dengan mereka dan membuta-tuli dengan
kemanisan sebutan. Kalau ia bercampur-baur, maka dia itu seperti seorang diri
dalam jama’ah ramai, berkumpul dalam kesepian, asing di kampung sendiri, merasa
di kampung sendiri dalam bermusafir, merasa hadir dalam ketiadaan hadir, merasa
ketiadaan hadir dalam kehadiran, bercampur-baur dengan badan, merasa sendirian
dengan hati, yang menghabiskan dengan kemanisan sebutan.
Sebagaimana Ali ra
mengatakannya pada menyifatkan mereka: “Mereka itu suatu kaum, yang diserang
mereka oleh ilmu atas hakikat/makna pekerjaan. Lalu mereka mengurusnya dengan
jiwa keyakinan. Mereka merasakan lembut, akan apa yang dirasakan lekak-lekuk
oleh orang-orang yang berbuat kerusakan. Mereka berjinakan hati dengan apa yang
dirasakan liar hati oleh orang-orang bodoh. Mereka menyertai dunia dengan tubuh
dan nyawanya tergantung dengan tempat yang tertinggi. Mereka itulah khalifah
Allah di bumiNya dan yang berdakwah kepada agamaNya. Inilah makna kejinakan
hati dengan Allah. Inilah tandanya. Dan inilah penyaksi-penyaksinya !
Sebahagian ulama ilmu kalam (al-Mutakallim/Yang Berkata-kata) beraliran kepada:
mengingkari kejinakan hati, rindu dan cintai. Karena disangkakannya, bahwa yang
demikian itu menunjukkan kepada at-tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).
Dan karena bodohnya, bahwa keelokan yang diperolehnya dengan matahati itu lebih
sempurna daripada keelokan diperoleh mata-kepala. Dan kelezatan ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala)nya lebih keras kepada orang-orang yang mempunyai hati.
Diantara mereka itu, ialah: Ahmad bin Ghalib, yang dikenal dengan pelayan
Al-Khalil bin Ahmad seorang ulama nahwu. Ahmad bin Ghalib itu menantang
Al-Junaid, Abil-Hasan An-Nuri dan sejama’ah orang banyak, tentang hadits cinta,
rindu dan asyik. Sehingga sebahagian mereka itu mengingkari akan tingkar ridha.
Ia mengatakan: tidak ada, selain sabar. Adapun ridha itu maka tidaklah dapat
digambarkan. Semua itu adalah perkataan yang kurang, lagi singkat, yang tidak
menampak dari derajat-derajat agama, selain di atas kulitnya saja. Lalu
disangka, bahwa tidak ada, selain untuk kulit. Bahwa segala yang dirasakan
dengan pancaindra dan setiap apa yang masuk dalam khayalan dari jalan agama itu
kulit semata. Dan di belakangnya itu isi yang dicari. Maka orang yang tiada
sampai dari kelapa, selain kepada kulitnya itu menyangka, bahwa kelapa itu kayu
seluruhnya. Dan mustahil padanya dan sudah pasti akan keluar minyaknya
daripadanya. Orang itu berhalangan. Akan tetapi halangannya tidak diterima. Ada
orang yang bermadah:
Kejinakan hati dengan Allah,
tidak dijaga oleh orang yang tak ada
kerja.
Dan tidak diketahui dengan helah,
oleh orang yang berdaya-upaya.
Yang jinak hati dengan Allah,
semuanya itu orang-orang pintar.
Semuanya mereka adalah,
para pekerja yang bersih karena Allah.
PENJELASAN: makna berkembang
dan bersangatan cinta, yang dihasilkan oleh kerasnya kejinakan hati.
Ketahuilah kiranya, bahwa kejinakan
hati itu, apabila berkekalan, mengeras dan teguh, tidak dikacaukan oleh
kebimbangan rindu dan tidak dikeruhkan oleh ketakutan berobah dan hijab, maka
akan membuahkan semacam dari berkembang pada perkataan, perbuatan dan munajah(membisikkan
segala isi hati) dengan Allah Ta’ala. Kadang-kadang ada dia itu ditantangkan
bentuk. Karena padanya dari keberanian dan kurangnya kehebatan. Akan tetapi itu
mungkin dari orang, yang ditegakkan pada derajat kejinakan hati. Dan orang yang
tidak ditegakkan pada derajat yang demikian dan menyerupai dengan mereka pada
perbuatan dan pembicaraan, niscaya ia binasa dengan yang demikian dan hampir
kepada kekufuran. Contohnya itu ialah: munajah(membisikkan segala isi hati)
Barakh Al-Aswad, yang disuruh oleh Allah Ta’ala kepada Musa Kalimullah as,
supaya meminta pada Barakh untuk melakukan shalat minta hujan (shalat istisqa’)
bagi kaum Bani Israil, sesudah mereka itu mengalami musim kemarau selama 7
tahun. Nabi Musa as keluar untuk mengerjakan shalat istisqa’ bagi mereka itu
dalam jama’ah 70 ribu orang. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menurunkan wahyu kepada
Musa as: “Bagaimana Aku terima doa bagi mereka dan telah digelapkan kepada
mereka oleh dosanya ? hati mereka itu keji. Mereka berdoa kepadaKu dengan tidak
yakin. Mereka merasa aman dari rencanaKu. Pergilah kepada salah seorang dari
hambaKu, yang namanya: Barakh. Katakanlah kepadanya, supaya ia keluar kepada
shalat istisqa’. Sehingga Aku mengabulkan doanya”. Maka Musa as menanyakan
tentang Barakh itu. Tiada yang kenal. Maka pada suatu hari. Musa as berjalan
kaki pada suatu jalan besar. Tiba-tiba seorang hamba hitam telah berada di
hadapannya. Diantara dua mata hamba itu debu dari bekas sujud dan pada kain
selimut, yang diikatkannya di atas lehernya. Lalu ia dikenal oleh Musa as
dengan nur Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka Musa as memberi salam kepadanya dan
bertanya: “Siapa namamu ?”. Hamba hitam itu menjawab: “Namaku Barakh”. Musa as
menyambung: “Jadi engkau ini yang kami cari semenjak beberapa waktu. Keluarlah,
maka bershalat istisqa’lah untuk kami”. Hamba hitam itu lalu keluar. Dan ia
mengucapkan dalam doanya: “Tiadakah ini dari perbuatan Engkau ? tidakkah ini
dari kesantunan Engkau. Apakah yang nyata bagi engkau ? adakah kurang kepada
Engkau mata air Engkau ? ataukah angin itu melawan daripada mentaati Engkau ?
ataukah telah habis apa yang pada Engkau ? ataukah bersangatan kemarahan Engkau
atas orang-orang yang berdosa ? tidakkah Engkau itu Maha Pengampun ? sebelum
diciptakan orang-orang yang berbuat kesalahan, telah Engkau ciptakan rahmat dan
Engkau suruh dengan kasih-sayang. Ataukah Engkau perlihatkan kepada kami, bahwa
Engkau enggan ? ataukah Engkau takut akan luput waktu, lalu Engkau segerakan
dengan siksaan ?”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka senantiasalah Barakh itu
pada tempatnya. Sehingga basahlah kaum Bani Israil itu dengan titik-titik
hujan. Dan Allah Ta’ala menumbuhkan rumput dalam setengah hari. Sehingga
datanglah kendaraan”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka kembalilah Barakh. Lalu
ia diterima oleh Musa as. Barakh bertanya: “Bagaimana engkau melihat, ketika
aku bertengkar dengan Tuhanku ? bagaimana Ia menginshafkan aku ?”. Lalu Musa as
bermaksud mengajarinya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Bahwa
Barakh menertawakan Aku setiap hari 3 kali”.
Dari Al-Hasan, yang
mengatakan: “Telah terbakar rumah-rumah dari bambu di Basrah. Maka tinggallah
di tengah-tengah rumah-rumah yang terbakar itu, sebuah rumah yang tidak
terbakar. Abu Musa pada ketika itu yang menjadi amir Basrah. Maka diberitahukan
kepada Abu Musa dengan yang demikian. Beliau mengirim seorang utusan menemui
yang punya rumah bambu yang tidak terbakar itu”. Al-Hasan meneruskan
riwayatnya: “Utusan itu membawa seorang tua (syaikh) kepada amir. Lalu amir
bertanya: “Ya syaikh ! apa kabar, rumahmu itu tidak terbakar ?”. Orang tua itu
menjawab: “Bahwa aku bersumpah kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla, bahwa Ia tidak
membakarnya”.
Abu Musa ra lalu
mengatakan: “Bahwa aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ada pada umatku
suatu kaum, yang kusut-musut rambut mereka, yang kotor kain mereka. Jikalau
mereka bersumpah kepada Allah, niscaya Allah memberi kebajikan kepada mereka”.
Al-Hasan meneruskan riwayatnya: “Telah terjadi kebakaran di Basrah. Lalu datang
Abu ‘Ubaidah Al-Khawwash. Beliau melangkahi api itu. Maka amir Basrah berkata
kepadanya: “Aku lihat, bahwa engkau tidak terbakar dengan api”. Abu ‘Ubaidah
Al-Khawwash menjawab: “Bahwa aku bersumpah kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla, bahwa
Ia tidak membakarkan aku dengan api”. Amir itu menjawab: “Berazamlah kepada
api, bahwa ia padam”. Al-Hasan meneruskan riwayatnya: “Lalu Abu ‘Ubaidah
Al-Khawwash berazam kepada api itu. Maka api itupun padam”.
Adalah Abu Hafash
An-Naisaburi (guru dari Al-Junaid) pada suatu hari berjalan kaki. Lalu seorang
hitam yang lemah akal menghadapinya. Maka Abu Hafash bertanya kepadanya:
“Apakah yang menimpa engkau ?”. Orang hitam itu menjawab: “Telah hilang
keledaiku. Dan aku tidak mempunyai keledai yang lain”. Kata yang empunya
riwayat: “Aku Hafash lalu berhenti dan berdoa: “Demi kemuliaan Engkau ! aku
tiada akan melangkah dengan suatu langkahpun, sebelum Engkau kembalikan
kepadanya keledainya”. Kata yang empunya riwayat: “Maka tampaklah keledainya
pada waktu itu. Dan Abu Hafash ra meneruskan perjalanannya”. Maka ini dan
contoh-contoh yang seperti ini, berlaku bagi orang-orang yang mempunyai
kejinakan hati. Dan tidaklah bagi orang lain, bahwa menyerupai dengan mereka.
Al-Junaid ra berkata:
“Orang-orang yang berjinakan hati itu mengatakan dalam pembicaraan mereka dan munajah(membisikkan
segala isi hati) mereka dalam khilwahnya (kesepiannya), akan hal-hal yang dapat
mengkufurkan pada orang awam”. Pada suatu kali Al-Junaid berkata: “Jikalau
didengar oleh orang awam, niscaya mereka mengkufurkannya. Mereka memperoleh
kelebihan pada hal-ihwal mereka dengan yang demikian. Dan itu mungkin dari
mereka dan layak dengan mereka”. Kepada yang demikianlah, seorang penyair
mengisyaratkan:
Suatu kaum, yang tertarik mereka,
kepada bersenda-gurau dengan tuannya.
Hamba itu bersenda-gurau,
menurut kadar penghulunya.
Mereka menyombong dengan melihatnya,
dari orang lain kepadanya.
Hai Hasan, mereka melihatnya,
dalam kemuliaan apa yang disombonginya
!
Tidaklah anda memandang jauh dari
kebenaran, bahwa senangnya kepada hamba, dengan apa yang ia marah kepada orang
lain, manakala berbeda kedudukan keduanya. Dalam Alquran peringatan-peringatan
kepada pengertian-pengertian ini, jikalau diperhatikan dan dipahami. Semua
kisah dalam Alquran itu peringatan-peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
mata hati dan mata kepala. Sehingga mereka melihat kepadanya dengan penuh
i’tibar/ibarat. Bahwa itu pada orang-orang yang tertipu dengan dirinya, adalah
merupakan cerita-cerita pada malam hari.
Permulaan kisah, ialah
kisah Adam as dan Iblis. Apakah tidak anda melihat keduanya itu bersekutu pada
nama maksiat dan perselisihan. Kemudian, keduanya berlainan pada pilihan dan
keterpeliharaan. Adapun Iblis maka ia putus asa dari rahmatNya. Dan dikatakan,
bahwa Iblis itu termasuk yang dijauhkan dari Tuhan. Adapun Adam as maka dikatakan
mengenainya: “Dan Adam tidak mematuhi perintah Tuhannya, karena itu sesat
jalannya. Kemudian itu, dia dipilih lagi oleh Tuhannya dan diterimaNya kembali
serta diberiNya petunjuk”. S 20 Thaahaa ayat 121-122.
Allah Ta’ala mencela
NabiNya saw pada memalingkan muka dari seorang hamba dan menghadapkan muka pada
hamba yang lain. Padahal keduanya itu sama pada beribadah. Akan tetapi, pada
waktu itu juga keduanya berbeda. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang yang datang
bersegera kepada engkau. Dan dia itu takut (kepada Allah). Adakah engkau
melengah kepadanya ?”. S 80 ‘Abasa ayat 8-9-10. Allah Ta’ala berfirman pada aya
yang lain: “Adapun yang merasa dirinya serba cukup. Maka engkau berhadap
kepadanya”. S 80 ‘Abasa ayat 5-6. Seperti demikian juga, disuruhNya Nabi saw
dengan duduk bersama suatu golongan. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apabila
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada engkau, maka
ucapkanlah: Salam (bahagia) untuk kamu”. S 6 Al An’aam ayat 54. Dan disuruhNya
Nabi saw memalingkan muka dari selain mereka.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila engkau
melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka hendaklah
engkau menghindar dari mereka”. S 6 Al An’aam ayat 68. Sehingga Allah Ta’ala
berfirman: “Maka janganlah engkau terus duduk sesudah teringat itu,
bersama-sama kaum yang zhalim”. S 6 Al An’aam ayat 68. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tahanlah hati engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu
pagi dan senja”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Maka demikianlah berkembang dan
bersangatan cinta itu mungkin dari sebahagian hamba, tidak dari sebahagian yang
lain. Maka diantara berkembangnya kejinakan hati itu ucapan Musa as: “Hal itu
adalah ujian Engkau, akan menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dan memberi
petunjuk akan siapa yang Engkau kehendaki”. S 7 Al A’raaf ayat 155. Dan ucapan
Musa pada memberi alasan dan halangan, tatkala dikatakan kepadanya: “Pergilah
kepada Fir’aun”. Lalu ia berkata: “Dan aku berdosa kepada mereka”. S 26 Asy
Syu’araa’ ayat 14. Dan ucapannya: “Sesungguhnya aku takut, bahwa mereka nanti
akan mendustakan daku. Dadaku sempit dan lidahku tidak lancar berkata-kata
(kelu)”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 12-13. Dan ucapannya: “Bahwa kami takut, dia
terlebih dahulu bersedia menantang kami atau dia melakukan kekejaman di luar
biasa”. S 20 Thaahaa ayat 45. Ini dari bukan Musa as dari jahatnya adab sopan
santun. Karena orang yang ditempatkan pada derajat kejinakan hati itu
berlemah-lembut dan menanggung akibatnya. Dan tidak dipertanggungkan akibatnya
kepada Yunus as akan apa yang kurang dari ini. Karena ia ditempatkan pada
derajat ditangkap dan takut. Lalu ia disiksakan dengan penahanan dalam perut
ikan besar, dalam kegelapan 3 (gelap dalam perut ikan, gelap laut dan malam). Dan
dia dipanggil kepada hari kiamat: “Kalau tiadalah kurnia Tuhan sampai
kepadanya, sudah tentu dia dilemparkan ke tanah yang tandus, sedang dia
tercela”. S 68 Al Qalam ayat 49.
Kata Al-Hasan, bahwa
perkataan Al-‘araa-i (pada ayat ini), yaitu: hari kiamat. Nabi kita saw
dilarang mengikutinya. Dan dikatakan kepadanya: “Maka bersabarlah atas hukum
Tuhan engkau dan janganlah engkau seperti orang yang menjadi teman ikan, ketika
dia menyerbu dan dia itu dalam duka-nestapa”. S 68 Al Qalam ayat 48.
Perbedaan-perbedaan ini, sebahagian daripadanya karena perbedaan keadaan dan
tingkat. Dan sebahagiannya, karena apa yang telah dahulu pada azali(kekal),
dari kelebihan satu sama lain dan kelebih-kurangan pada pembahagian diantara
hamba-hamba. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebahagian
nabi-nabi dari sebahagian (yang lain)”. S 17 Al Israa’ ayat 55. Allah Ta’ala
berfirman: “Diantaranya ada yang berkata-kata dengan Allah dan setengahnya Kami
tinggikan beberapa derajat (tingkat)”. S 2 Al Baqarah ayat 253. Adalah Isa as
termasuk sebahagian dari nabi-nabi yang utama. Dan karena kesangatan cintanya,
ia mengucapkan salam kepada dirinya. Ia mengucapkan: “Dan kebahagiaan untuk
aku, di hari aku dilahirkan dan di hari aku wafat dan di hari aku dibangunkan
hidup kembali”. S 19 Maryam ayat 33. Ini adalah berkembang daripadanya, tatkala
ia menyaksikan dari kelemah-lembutan pada derajat kejinakan hati.
Adapun Yahya bin Zakaria
as maka dia ditempatkan pada kedudukan takut dan malu. Maka ia tidak berbicara,
sampai ia dipujikan oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan kesejahteraan untuk dia”. S 19 Maryam ayat 15. Perhatikanlah,
bagaimana dipertanggungkan bagi saudara-saudara Yusuf, akan apa yang diperbuat
mereka dengan Yusuf. Sebahagian ulama berkata: “Telah aku hitung dari permulaan
firman Allah Ta’ala: “Ketika mereka mengatakan: Sesungguhnya Yusuf dan
saudaranya lebih dicintai bapak kita dari kita”. S 12 Yusuf ayat 8, sampai ke
kepada 20 ayat daripada pemberitaan Allah Ta’ala, dari zuhudnya mereka padanya,
maka terdapat lebih 40 kesalahan. Sebahagian daripadanya lebih besar dari
sebahagian yang lain. Kadang-kadang berkumpul pada satu kalimat, 3 dan 4
kesalahan. Maka diampunkan dan dimaafkan mereka daripadanya.
Dan tidak ditanggung oleh
‘Uzair bin Syarukha pada suatu masalah, yang ia tanyakan daripadanya tentang
qadar (taqdir). Sehingga dikatakan, bahwa dia dihapsukan dari buku kenabian.
Seperti demikian juga adalah Bal’am bin Ba’ura sebahagian dari ulama besar.
Maka ia makan dunia dengan agama. Lalu tidak dipertanggungkan yang demikian
kepadanya. Adalah Ashif bin Barkhaya termasuk orang yang berlebih-lebihan.
Kemaksiatannya adalah pada anggota badannya. Maka dimaafkan daripadanya.
Diriwayatkan bahwa Allah
Ta’ala mewahyukan kepada nabi Sulaiman as: “Hai kepala orang-orang yang ‘abid !
hai putera hujjah orang-orang yang zuhud! sampai berapa putera bibikmu Ashif
berbuat maksiat kepadaKu ? Aku berbuat santunan kepadanya sekali demi sekali.
Maka demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! sesungguhnya kalau Aku ambil dia
sebagai suatu kecenderungan dari kecenderungan-kecenderunganKu kepadanya,
niscaya Aku tinggalkan dia menjadi siksaan bagi orang yang bersama dia dan
contoh bagi orang yang kemudiannya”. Tatkala Ashif masuk ke tempat nabi
Sulaiman as lalu beliau menerangkan kepada Ashif, apa yang diwahyukan oleh
Allah Ta’ala kepadanya. Maka Ashif itu lalu keluar, sehingga ia naik ke atas
pasir tebal. Kemudian, ia mengangkatkan kepalanya dan dua tangannya ke langit.
Dan berdoa: “Tuhanku, Penghuluku ! Engkau, Engkau ! aku, aku. Maka bagaimana
aku bertaubat. Jikalau Engkau tidak menerima taubatku. Bagaimana aku menjaga
diri dari kesalahan, jikalau Engkau tidak memeliharakan aku, untuk aku
kembali”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Benar engkau, hai
Ashif ! engkau, engkau ! Aku, Aku. Aku menerima taubat. Engkau telah bertaubat
kepada diri engkau. Aku Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih”. Ini
pembicaraan yang menunjukkan kesangatan cinta kepadaNya, lari daripadaNya
kepadaNya dan memandang dengan Dia kepada Dia.
Pada suatu berita, bahwa
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada seorang hamba, yang didapatiNya kembali,
sesudah hamba itu hampir binasa: “Berapakah dosa yang engkau hadapkan kepadaKu,
yang telah Aku ampunkan bagi engkau, yang telah binasa salah satu dari umat-umat
dahulu dengan dosa itu?”. Maka inilah sunnah Allah Ta’ala pada hamba-hambaNya
dengan mengurniakan kelebihan, mendahulukan dan mengemudiankan, atas apa, yang
telah dahulu dengan dia kehendak azali ( kekal ). Dan kisah-kisah ini telah
datang dalam Alquran, supaya dengan yang demikian, diketahui sunnah Allah pada
hamba-hambaNya yang telah berlalu sebelumnya. Maka tidak ada dalam Alquran
suatupun, melainkan adalah petunjuk dan cahaya dan perkenalan daripada Allah
Ta’ala kepada makhlukNya. Sekali diperkenalkan kepada mereka dengan
pengqudusan. Ia berfirman: “Katakan: Allah itu Maha Esa. Allah itu tempat
meminta. Ia tiada beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada seorangpun yang
serupa dengan Dia”. S 112 Al Ikhlash. Sekali diperkenalkan kepada mereka dengan
sifat-sifat keagunganNya. Ia berfirman: “Dia Raja, Maha Suci, Pembawa
Keselamatan, Pemelihara Keamanan, Penjaga segala sesuatu. Maha Kuasa, Maha
Perkasa, Maha Besar”. S 59 Al Hasyr ayat 23. Dan sekali diperkenalkan kepada
mereka pada perbuatan-perbuatanNya yang ditakuti dan yang diharapkan. Maka ia
membaca kepada mereka sunnahNya mengenai musuh-musuhNya dan mengenai
nabi-nabiNya. Ia berfirman: “Tiadakah engkau perhatikan, bagaimana Tuhan engkau
bertindak terhadap ‘Aad. (Penduduk) Iram, yang mempunyai gedung-gedung yang tingga”.
S 89 Al Fajr ayat 6-7. Dan firman Allah Ta’ala: “Tidakkah engkau perhatikan,
bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang yang bergajah “. S 105. Al
Fiil ayat 1. Alquran itu tidak mepampaui akan tiga bahagian ini. Yaitu:
petunjuk kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala akan dzat Allah dan mengquduskanNya
atau ilmu mengenal Allah Ta’ala akan sifat-sifat dan nama-namanNya atau ilmu
mengenal Allah Ta’ala akan perbuatan-perbuatanNya dan sunnahNya serta
hamba-hambaNya. Telah melengkapilah surat Al Ikhlas kepada salah satu dari 3
perkara tersebut, yaitu: pengqudusan. Maka Rasulullah saw mengadakan
perbandingan surat Al Ikhlash dengan 1/3
Alquran. Beliau saw bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-ikhlash, maka sesungguhnya
ia telah membaca 1/3 Alquran”. Karena kesudahan al-taqdis (pengqudusan), ialah
bahwa ada dia itu satu dalam 3 perkara:
1.Tidaklah yang hasil dari mereka itu,
orang yang sebanding dan serupa dengan dia. Dan ditunjukkan kepada yang
demikian oleh firmannya: Ia tiada beranak.
2.Tidaklah dia itu hasil dari orang
yang sebanding dan serupa dengan dia. Dan ditunjukkan kepada yang demikian oleh
firmanNya: Dan tiada diperanakkan.
3.Tidaklah dia itu pada tingkatnya dan
tidaklah orang yang seperti dia itu pokok (asal) dan cabang baginya. Dan
ditunjukkan kepada yang demikian oleh firmanNya: Dan tiada seorangpun yang
serupa dengan Dia. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh firmanNya: Katakan: Allah
itu Maha Esa. Dan keseluruhannya itu adalah penguraian akan ucapan: Tiada Tuhan
yang disembah, selain Allah.
Maka inilah
rahasia-rahasia Alquran. Dan tiada berkesudahan contoh-contoh rahasia ini dalam
Alquran. Tiada yang basah dan yang kering, melainkan ada dalam Kitab yang
terang. Karena yang demikianlah, Ibnu Mas’ud ra berkata: “Mereka menyinarkan
Alquran dan mencari yang ganjil-ganjil di dalamnya. Maka padanya itu ilmu
orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian”. Benarlah seperti yang dikatakannya
itu. Dan tidak akan diketahui, selain oleh orang yang lama memperhatikan pada
masing-masing kalimatNya. Lalu diulanginya dan bersih pahamnya. Sehingga
disaksikan bagi yang demikian itu oleh setiap kalimat daripadanya, bahwa dia
itu kalam (firman) Yang Maha Gagah, Yang Maha Perkasa, Yang Mempunyai, Yang
Maha Kuasa. Dan keluar dari batas kesanggupan manusia. Kebanyakan surat-surat
Alquran itu diarahkan dalam lipatan kisah-kisah dan cerita-cerita. Maka
hendaklah engkau itu bersungguh-sungguh memahaminya ! supaya tersingkaplah bagi
engkau yang ajaib-ajaib di dalamnya, yang tiada dilecehkan oleh
pengetahuan-pengetahuan yang dihiasi, yang keluar daripadanya. Maka inilah yang
kami kehendaki menyebutkannya dari makna kejinakan hati dan perkembangan yang menjadi
buahnya dan penjelasan berlebih-kurangnya hamba-hamba Allah padanya. Allah swt
yang Maha Tahu.
URAIAN: tentang makna ridha
(senang) dengan qadha/takdir Allah Ta’ala dan hakikat/maknanya. Dan apa yang
tersebut dalam agama tentang kelebihannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa ridha itu
salah satu dari buah (hasil) kecintaan. Dan itu termasuk dari yang tertinggi
derajat orang-orang al-muqarrabin. Dan hakikat/maknanya itu kabur pada
kebanyakan orang. Dan apa yang masuk kepadanya, dari penyerupaan dan ketidak-jelasan
itu tiada tersingkap, selain bagi orang yang telah dianugerahkan oleh Allah
Ta’ala ilmu penta’wilan (penafsiran). Dan dianugerahkanNya pemahaman dan
pengertian dalam agama. Telah ditantang oleh orang-orang yang menantang, akan
penggambaran ridha, dengan apa yang menyalahi dengan hawa nafsu.
Kemudian mereka itu
berkata: “Jikalau ridha itu mungkin dengan setiap sesuatu, karena dia itu
perbuatan Allah, maka seyogyalah bahwa diridhai dengan kufur dan
perbuatan-perbuatan maksiat. Tertipulah dengan yang demikian itu suatu kaum.
Lalu mereka melihat keridhaan dengan perbuatan zalim dan fasik. Dan
meninggalkan tantangan dan perlawanan itu termasuk sebahagian dari pintu
penyerahan bagi qodo Allah Ta’ala. Jikalau tersingkaplah segala rahasia ini,
bagi orang yang menyingkatkan kepada mendengar zahiriyah syara’ (agama) saja,
niscaya Rasulullah saw tiada mendoakan bagi Ibnu Abbas, dimana beliau berdoa:
“Ya Allah Tuhanku ! anugerahilah kepadanya pengertian dalam agama dan ajarilah
dia penta’wilan (penafsiran)”. Maka marilah kami mulai dengan penjelasan
keutamaan ridha. Kemudian, dengan cerita-cerita keadaan orang-orang yang ridha.
Kemudian, kami sebutkan hakikat/makna ridha dan cara penggambarannya, pada apa
yang menyalahi dengan hawa nafsu. Kemudian, kami sebutkan, apa yang disangkakan
bahwa dia itu dari kesempurnaan ridha, padahal tidaklah dia dari kesempurnaan
ridha. Seperti: meninggalkan berdoa dan berdiam diri atas perbuatan-perbuatan
maksiat.
PENJELASAN: keutamaan ridha.
Adapun dari ayat-ayat, maka yaitu
firman Allah Ta’ala: “Allah merasa senang (ridha) kepada mereka dan mereka
merasa senang kepada Allah”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Allah Ta’ala berfirman:
“Balasan perbuatan baik, tiada lain dari kebaikan juga”. S 55 Ar Rahmaan ayat
60. Kesudahan perbuatan baik (al-ihsan), ialah ridha Allah akan hambaNya.
Yaitu: pahala ridha hamba kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Tempat diam
yang bagus dalam sorga ‘Adnin dan keridhaan Allah lebih besar (dari semua)”. S
9 At Taubah ayat 72.
Sesungguhnya Allah
meninggikan ridha di atas sorga ‘Adnin, sebagaimana Ia meninggikan berdzikir
kepadaNya di atas shalat, dimana Ia berfirman: “Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (mengerjakan) perbuatan keji dan perbuatan munkar. Sesungguhnya
mengingati (dzikir) akan Allah itu amat besar manfaatnya”. S 29 Al ‘Ankabuut
ayat 45. Sebagaimana bermusyahadah (penyaksian) akan yang diingat (didzikirkan)
dalam shalat itu lebih besar manfaatnya dari shalat, maka keridhaan Tuhan yang
empunya sorga itu lebih tinggi dari sorga. Bahkan itulah yang menjadi kesudahan
yang dicari oleh penduduk-penduduk sorga. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah
Ta’ala itu tajalli (menampak) bagi orang-orang yang beriman. Maka Ia berfirman:
“Mintalah kepadaKu !”. Lalu mereka itu berdoa: “RidhaMu !”. Maka permintaan mereka
itu ridha sesudah memandang akan penghabisan pengutamaan. Adapun ridha hamba,
maka akan kami sebutkan hakikat/maknanya. Ridha Allah Ta’ala akan hamba, maka
dengan makna yang lain itu mendekati dari yang kami sebutkan tentang kecintaan
Allah akan hamba. Dan tidak boleh disingkapkan dari hakikat/maknanya. Karena
pendeklah pemahaman makhluk daripada mengetahuinya. Siapa yang kuat padanya,
maka ia berdiri sendiri (merdeka) dengan mengetahuinya dari dirinya sendiri.
Pendeknya, tiadalah derajat lagi, di atas memandang kepadaNya. Sesungguhnya
mereka meminta padaNya ridha. Karena ridha itu sebab terus-menerusnya memandang
(memperhatikan). Seakan-akan mereka melihatNya penghabisan dari
penghabisan-penghabisan dan yang terjauh dari segala cita-cita, bagi apa, yang
mereka peroleh dengan kenikmatan memandang. Tatkala mereka disuruh meminta,
maka mereka tiada meminta, selain dari keterus-menerusannya. Dan mereka tahu,
bahwa ridha itu adalah sebab bagi terus-menerusnya terangkat hijab (dinding).
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di sisi Kami masih ada tambahannya”. S 50 Qaaf ayat 35. Kata sebahagian
ahli tafsir: “Akan datang penduduk sorga pada waktu yang masih ada tambahannya,
dengan 3 macam hadiah dari Tuhan Semesta Alam;
Pertama: hadiah daripada Allah Ta’ala, yang
tidak ada contohnya pada sisi mereka dalam sorga. Maka yang demikian itu
firmanNya Yang Maha Tinggi: “Seorangpun tiada mengetahui cahaya mata yang
disembunyikan untuk mereka”. S 32 As Sajadah ayat 17.
Kedua: sejahtera (salam) kepada mereka dari
Tuhan mereka. Maka yang demikian itu menambahkan kelebihan kepada petunjuk
(hidayah). Yaitu firman Allah Ta’ala: “Damai ! (Sejahtera !) perkataan
(penghormatan) diterimanya dari Tuhan Yang Maha Pemurah”. S 36 Yaa Siin ayat
58.
Ketiga: berfirman Allah Ta’ala: “Bahwa Aku itu
ridha kepada kamu. Maka adalah yang demikian itu lebih utama dari hadiah dan
penyerahan sesuatu”.
Maka yang demikian itu
firmannya Allah Ta’ala: “Dan keridhaan Allah lebih besar (dari semua)”. S 9 At
Taubah ayat 72. Artinya: dari kenikmatan yang berada mereka di dalamnya. Maka
inilah kelebihan keridhaan Allah Ta’ala. Dan itu adalah buah keridhaan hamba.
Adapun dari hadits-hadits, maka dirawikan bahwa Nabi saw bertanya kepada
segolongan dari sahabat-sahabatnya: “Siapakah kamu ?”. Mereka lalu menjawab: “Orang
yang beriman (orang mu’min)”. Nabi saw bertanya lagi: “Apakah tanda keimananmu
?”. Mereka lalu menjawab: “Kami sabar atas percobaan, kami syukur ketika
keluasan hidup dan kami ridha atas kejadian-kejadian dengan qodo (hukum) Allah
Ta’ala”. Nabi saw lalu menjawab: “Demi Yang Empunyai Ka’bah ! benar orang yang
beriman”. Tersebut pada hadits lain, bahwa Nabi saw bersabda: “Orang yang ahli
hikmat, yang berilmu itu mendekatilah daripada kepahaman mereka, bahwa adalah
mereka itu nabi”. Tersebut pada hadits: “Berbahagialah orang yang memperoleh
petunjuk kepada Islam, adalah rezekinya mencukupi daripada meminta pada orang
dan ia ridha dengan yang demikian”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang ridha kepada
Allah Ta’ala dengan sedikit dari rezeki, niscaya Allah Ta’ala ridha kepadanya
dengan sedikit dari amal”. Nabi saw bersabda pula: “Apabila Allah Ta’ala
mencintai seorang hamba, niscaya dicobaiNya. Kalau orang itu sabar, niscaya
dipilihNya. Dan kalau ia ridha, niscaya menjadi orang pilihanNya”. Nabi saw
bersabda pula: “Apabila hari kiamat nanti, maka Allah Ta’ala menumbuhkan sayap
bagi segolongan dari umatku. Lalu mereka itu terbang dari kurburnya ke sorga.
Mereka bersenang-senang dan bernikmat-nikmatan di dalamnya, bagaimana yang
mereka kehendaki. Lalu para malaikat berkata kepada mereka: “Adakah kamu
melihat al-hisab (perhitungan amal) ?”. Mereka itu menjawab: “Kami tidak
melihat al-hisab”. Lalu para malaikat bertanya kepada mereka: “Adakah kamu
melewati titian ash-shirathal-mustaqim ?”. Mereka menjawab: “Kami tidak melihat
titian itu”. Para malaikat bertanya pula: “Adakah kamu melihat neraka jahannam
?”. Mereka menjawab: “Kami tidak melihat sesuatu”. Lalu para malaikat bertanya
lagi: “Dari umat siapa kamu ini ?”. Mereka menjawab: “Dari umat Muhammad saw”.
Para malaikat itu maka menjawab: “Kami meminta kepada kamu”. Terangkanlah
kepada kami, apa perbuatanmu di dunia !”. Mereka itu lalu menjawab: “Dua
perkara ada pada kami. Maka kami sampai kepada tingkat ini dengan kurnia rahmat
Allah”. Para malaikat itu bertanya: “Apakah yang dua perkara itu ?”. Mereka itu
menjawab: “Adalah kami, apabila di tempat yang sunyi, niscaya kami malu berbuat
perbuatan maksiat kepadaNya. Dan kami ridha dengan yang sedikit, dari apa yang
dibagikan oleh Allah kepada kami”. Para malaikat itu lalu berkata: “Berhaklah
itu bagi kamu”.
Nabi saw bersabda: “Hai
para orang fakir ! serahkanlah kepada Allah akan keridhaan dari hatimu, niscaya
kamu peroleh akan pahala kefakiranmu ! dan jikalau tidak, maka kamu tidak
memperolehnya”. Dalam berita-berita Musa as, bahwa kaum Bani Israil (kaum Yahudi)
itu berkata kepada Musa: “Mintalah bagi kami, pada Tuhanmu, sesuatu perbuatan,
apabila kami mengerjakannya, niscaya Ia meridhai kepada kami !”. Musa as lalu
berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau telah mendengar apa yang dikatakan mereka”.
Maka Allah berfirman: “Hai Musa ! katakan kepada mereka, bahwa mereka ridha
daripadaKu, sehingga Akupun ridha dari mereka”. Dibuktikan untuk ini, apa yang
dirawikan dari Nabi kita saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengingini
untuk mengetahui, apa yang baginya pada Allah ‘Azza Wa Jalla, maka hendaklah ia
melihat, apa yang bagi Allah ‘Azza Wa Jalla padanya. Bahwa Allah Tabaraka wa
Ta’ala itu menempatkan hamba daripadaNya, dimana hamba itu menempatkanNya
daripada dirinya”.
Dalam berita-berita Daud
as: “Apakah bagi para waliKu dan kesusahan di dunia ? bahwa kesusahan itu
menghilangkan kemanisan membisikkan
segala isi hati dengan Aku dari hati mereka. Hai Daud ! bahwa kecintaan
kepadaKu dari para waliKu, ialah mereka itu menjadi para ruhaniawan, yang tidak
berduka-cita”.
Diriwayatkan, bahwa Musa
as berdoa: “Wahai Tuhanku ! tunjukilah aku kepada pekerjaan, yang padanya
keridhaanMu, sehingga aku mengerjakan nya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya: “Bahwa keridhaanKu itu pada kebencianmu. Dan engkau tidak sabar atas
apa yang engkau bencikan”. Musa as berdoa: “Hai Tuhanku ! tunjukilah aku
kepadanya !”. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa keridhaanKu itu pada keridhaanmu
dengan qodo/takdirKu”. Tersebut dalam munajat Musa as: “Wahai Tuhanku ! manakah
makhlukMu yang lebih Engkau cintai ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang, yang
apabila Aku ambil kecintaannya daripadanya, niscaya ia berbaik-baikkan dengan
Aku”. Musa as bertanya: “Manakah makhlukMu, yang Engkau marah kepadanya ?”.
Allah Ta’ala berfirman: “Orang, yang meminta kebajikan padaKu pada sesuatu
pekerjaan. Apabila Aku melakukan qodo/takdirKu kepadanya, niscaya ia marah
kepada qodo/takdirKu”. Diriwayatkan apa yang lebih keras dari yang demikian,
yaitu bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Aku itu Allah, tiada yang disembah, selain
Aku. Siapa yang tiada sabar atas percobaanKu, tiada bersyukur akan nikmatKu dan
tiada ridha dengan qodoKu, maka hendaklah Ia mencari Tuhan, selain Aku !”. Yang
seperti tadi tentang kerasnya, ialah firman Allah Ta’ala, menurut apa yang
diterangkan oleh Nabi kita saw, bahwa ia bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:
“Aku mentaqdirkan taqdir-taqdir, Aku mengatur pengaturan dan Aku kokohkan
ciptaan. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan daripadaKu, sehingga ia
menemui Aku. Dan siapa yang marah, maka baginya kemarahan daripadaKu, sehingga
Ia menemui Aku”.
Tersebut pada hadits
masyhur: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku jadikan kebajikan dan kejahatan. Maka
bahagialah bagi siapa, yang Aku ciptakan bagi kebajikan. Dan Aku perlakukan
kebajikan itu di atas dua tangannya. Dan celakalah bagi siapa, yang Aku
ciptakan bagi kejahatan. Dan Aku perlakukan kejahatan di atas dua tangannya.
Celaka, kemudian celakalah bagi siapa yang bertanya: mengapa dan bagaimana”.
Dalam berita-berita zaman
dahulu, bahwa salah seorang dari para nabi-nabi itu mengadu kepada Allah ‘Azza
Wa Jalla, akan kelaparan, kemiskinan dan kekudisan selama 10 tahun. Maka tidak
dimakbulkan akan apa yang dikehendakinya. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepadanya: “Berapa kali kamu mengadu ? begitulah adanya permulaanmu
padaKu dalam Induk Al-Kitab, sebelum Aku menciptakan langit dan bumi. Begitulah
sudah mendahului bagi engkau daripadaKu. Dan begitulah takdirKu kepada engkau,
sebelum Aku menciptakan dunia. Adakah engkau kehendaki, bahwa Aku mengulangi
menciptakan dunia dari karena engkau ? adakah engkau kehendaki bahwa Aku
gantikan akan apa yang Aku telah taqdirkan kepada engkau ? maka adalah apa yang
engkau cintai itu di atas apa yang Aku cintai. Dan adalah apa yang engkau
kehendaki itu di atas apa yang Aku kehendaki. Demi kemuliaanKu dan keagunganKu
! jikalau ini meragukan dalam dada engkau lain kali, niscaya Aku hapuskan
engkau dari buku kenabian”.
Diriwayatkan, bahwa Adam
as adalah sebahagian anak-anaknya yang masih kecil naik ke atas badannya dan
turun. Salah seorang mereka meletakkan kakinya atas tulang rusuk Adam as
seperti bentuk jalan. Maka ia naik ke kepalanya. Kemudian, ia turun atas tulang
rusuknya seperti yang demikian juga. Dan Adam as itu berdiam diri melihat ke
tanah, tidak berkata-kata dan tidak mengangkatkan kepalanya. Sebahagian anaknya
bertanya: “Hai ayahku ! tidaklah engkau melihat apa yang diperbuat oleh si ini
kepada engkau ? jikalau engkau melarangnya, dari perbuatan ini ?”. Adam as lalu
menjawab: “Hai anakku ! bahwa aku melihat apa yang tidak kamu lihat. Dan aku
tahu apa yang tidak kamu tahu. Bahwa aku bergerak dengan suatu gerakan, maka
aku turun dari kampung kemuliaan ke kampung kehinaan, dan dari kampung
kenikmatan ke kampung kecelakaan. Maka aku takut bahwa aku bergerak dengan
gerakan yang lain. Lalu menimpakan aku, akan apa yang tiada aku ketahui”.
Anas bin Malik ra berkata:
“Aku melayani Rasulullah saw selama 10 tahun. Maka beliau tiada mengatakan
bagiku tentang sesuatu yang aku perbuat, mengapa aku memperbuatnya. Dan tidak
tentang sesuatu, yang tiada aku memperbuatnya, mengapa tiada aku memperbuatnya.
Beliau tidak mengatakan tentang sesuatu yang telah ada: mudah-mudahan dia itu
tidak ada. Dan tidak tentang sesuatu yang tidak ada: mudah-mudahan dia itu ada.
Dan apabila bertengkar dengan aku salah seorang dari keluarganya, maka beliau
menjawab: “Biarkanlah dia ! jikalau sesuatu itu ditaqdirkan, niscaya ada dia”.
Diriwayatkan, bahwa Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud ! sesungguhnya engkau itu
berkehendak dan Akupun berkehendak. Bahwasanya yang ada itu, ialah apa yang Aku
kehendaki. Jikalau engkau menyerah kepada apa yang Aku kehendaki, niscaya Aku
cukupkan bagi engkau, akan apa yang engkau kehendaki. Dan jikalau tidak engkau
menyerah bagi apa yang Aku kehendaki, niscaya Aku payahkan engkau, pada apa
yang engkau kehendaki. Kemudian, tidak akan ada, selain apa yang Aku
kehendaki”.
Adapun atsar, maka Ibnu
Abbas ra mengatakan: “Orang yang pertama yang dipanggil ke sorga pada hari
kiamat, ialah mereka yang memuji (bertahmid) akan Allah Ta’ala dalam segala
keadaan”.
‘Umar bin Abdul-aziz ra
berkata: “Tiada tinggal lagi bagiku kegembiraan, selain pada kejadian-kejadian
qadar (taqdir)”. Ditanyakan kepadanya: “Apakah yang tuan inginkan”. Maka ia
menjawab: “Apa yang ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala”. Maimun bin Mahran berkata:
“Siapa yang tidak ridha dengan takdir/qodo, maka tidak adalah obat bagi
kebodohannya itu”.
Al-Fudlail berkata:
“Jikalau engkau tidak bersabar atas taqdir Allah, niscaya engkau tidak bersabar
atas takdir (penentuan) diri engkau sendiri”. Abdul-aziz bin Abi Rawwad
berkata: “Tidak adalah persoalan pada memakan roti tepung syair dan cuka dan
tidak pula pada memakai kain wol dan bulu. Akan tetapi persoalan itu mengenai
ridha kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Bahwa aku
menjilat bara api, yang telah membakar apa yang telah dibakarnya itu lebih aku
sukai, daripada aku mengatakan kepada sesuatu yang telah ada, yang
mudah-mudahan ia tidak ada. Atau kepada sesuatu yang tidak ada, yang
mudah-mudahan ia telah ada”.
Seorang laki-laki melihat
kepada luka di kaki Muhammad bin Wasi’. Laki-laki itu lalu berkata:
“Sesungguhnya aku belas-kasihan kepada engkau dari karena luka ini”. Maka
menjawab Muhammad bin Wasi’: “Bahwa aku bersyukur akan luka ini, semenjak ia
keluar. Karena ia tidak keluar pada mataku”.
Diriwayatkan dalam
cerita-cerita kaum Bani Israil, bahwa seorang ‘abid (orang yang banyak
beribadah) beribadah kepada Allah pada masa yang panjang. Lalu ia bermimpi
dalam tidurnya, orang berkata kepadanya: “Wanita anu yang penggembala itu teman
engkau nanti dalam sorga”. Lalu ia menanyakan tentang wanita tersebut, sampai
dijumpainya. Maka ia meminta wanita itu menjadi tamunya selama 3 hari, untuk
dilihatnya apa yang dikerjakan wanita itu. Adalah ‘abid itu sepanjang malam
berdiri mengerjakan shalat dan wanita itu tidur sepanjang malam. ‘Abid itu
senantiasa berpuasa dan wanita itu senantiasa tidak berpuasa. Lalu ‘abid itu
bertanya: “Apakah tidak ada bagi engkau amal yang lain, selain apa yang aku
lihat ?”. Wanita itu menjawab: “Tidak ada demi Allah, selain apa yang engkau
lihat. Aku tidak mengenal yang lain”. Maka senantiasalah ‘abid itu mengatakan:
“Ingatlah, mungkin ada yang lain !”. Sampai wanita itu mengatakan: “Ada suatu hal padaku, ialah: jikalau aku dalam kesulitan,
niscaya aku tidak bercita-cita bahwa aku berada dalam kelapangan. Jikalau aku
berada dalam sakit, niscaya aku tidak bercita-cita bahwa aku berada dalam
sehat. Dan jikalau aku berada pada matahari, niscaya aku tidak bercita-cita
berada dalam naungan”. Lalu ‘abid itu meletakkan tangannya atas
kepalanya dan berkata: “Adakah ini, hal ini ? demi Allah, hal besar, yang lemah
para ‘abid daripadanya”.
Diriwayatkan dari
sebahagian salaf, yang mengatakan: “Bahwa Allah Ta’ala apabila mentaqdirkan
suatu taqdir di langit, niscaya Ia menyukai dari penduduk bumi, bahwa mereka
ridha dengan taqdirNya itu”. Abud-Darda’ berkata: “Tempat yang tinggi bagi iman
itu sabar bagi hukum Allah dan ridha dengan taqdir Allah”. Umar ra berkata:
“Aku tiada perduli di atas keadaan apa, aku di pagi hari dan di sore hari, dari
kesulitan atau kelapangan”.
Berdoa Sufyan Ats-Tsuri
pada suatu hari di sisi Rabi’ah Al-‘Adawiyah: “Ya Allah, ya Tuhanku !
ridhakanlah daripada kami !”. Rabi’ah lalu berkata: “Apakah engkau tidak malu
kepada Allah, bahwa engkau minta padaNya akan keridhaan, sedang engkau tidak
ridha kepadaNya ?”. Sufyan Ats-Tsuri menjawab: “Astaghfirullah. Aku meminta ampun
pada Allah”. Ja’fat bin Sulaiman Adl-Dlaba’i lalu bertanya: “Kapankah hamba itu
ridha kepada Allah Ta’ala ?”. Rabi’ah menjawab: “Apabila adalah kegembiraannya
dengan musibah seperti kegembiraannya dengan nikmat”.
Al-Fudlail berkata:
“Apabila bersamaan padanya antara tidak diberi dengan diberi, maka ia telah
ridha kepada Allah Ta’ala”. Ahmad bin Abil-Hawari berkata: “Abu Sulaiman
Ad-Darani mengatakan: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla dari kemurahanNya, Ia ridha
dari hamba-hambaNya, akan apa yang diridhai oleh hamba-hamba itu dari tuannya”.
Aku lalu bertanya: “Bagaimana yang demikian ?”. Abu Sulaiman Ad-Darani
menjawab: “Bukankah kehendak hamba itu dari makhluk, bahwa ia diridhai oleh
tuannya ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Bahwa kesukaan
Allah dari hamba-hambaNya, ialah bahwa mereka itu ridha daripadaNya”. Sahal
berkata: “Keberuntungan hamba-hamba itu dari keyakinan, ialah di atas kadar
keberuntungan mereka dari keridhaan. Dan keberuntungan mereka dari keridhaan,
ialah di atas kadar kehidupan mereka serta Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Nabi saw bersabda: “Bahwa
Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan hikmah dan keagunganNya, menjadikan kesenangan dan
kegembiraan pada ridha dan yakin. Dan menjadikan dukacita dan gundah hati pada
keraguan dan kemarahan”.
PENJELASAN: hakikat/makna
ridha dan gambarannya pada yang menyalahi hawa nafsu.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang
mengatakan tidaklah pada apa yang menyalahi hawa nafsu dan berbagai macam
percobaan itu, selain bersabar dan adapun ridha maka tidaklah tergambar,
sesungguhnya itu datang dari segi mengingkari kecintaan. Adapun, apabila telah
tetap tergambarnya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan tenggelamnya keduka-citaan
dengan kecintaan itu, maka tidaklah tersembunyi, bahwa kecintaan itu mewariskan
ridha dengan segala perbuatan orang yang dicintai. Dan adalah yang demikian itu
dari dua segi:
Salah satu
dari dua segi itu, ialah: bahwa hilanglah rasa dengan kepedihan, sehingga berlalulah di atas
orang itu yang dipedihkan dan ia tidak merasakan. Dan ia mendapat musibah
dengan luka dan tidak memperoleh kepedihannya. Contohnya ialah laki-laki yang
berperang. Maka ketika ia dalam kemarahan atau dalam keadaan ketakutan,
kadang-kadang ia kena luka dan ia tidak merasakan dengan luka itu. Sehingga,
apabila ia melihat darah, lalu ia mendapat bukti atas kelukaannya itu. Bahkan
orang yang berpagi-pagi hari dalam kesibukan yang dekat, kadang-kadang kena
duri pada tapak kakinya. Dan ia tidak merasa dengan kepedihan yang demikian,
karena kesibukan hatinya. Akan tetapi, orang yang dibekam atau rambut kepalanya
dicukur dengan pisau yang majal/tumpul, niscaya ia merasa pedih dengan yang
demikian. Kalau hatinya disibukkan dengan sesuatu dari
kepentingan-kepentingannya, niscaya selesailah orang yang menghiaskan dan yang
membekam itu dan dia tidak merasa dengan yang demikian. Semua yang demikian
itu, karena hati, apabila telah tenggelam dengan salah satu urusan, yang
disiapkannya dengan sempurna, niscaya ia tidak merasakan yang lain daripadanya.
Maka seperti demikian juga, orang yang rindu, yang tenggelam kesusahannya
dengan menyaksikan yang dirinduinya atau dengan mencintainya, kadang-kadang
tertimpa kepadanya, apa yang dirasakannya pedih. Atau menyusahkan kepadanya,
jikalau tidaklah ada kerinduannya. Kemudian, ia tidak memperoleh kesusahan dan
kepedihan, karena bersangatan dikuasai oleh kecintaan atas hatinya. Ini apabila
tertimpa kepadanya, tanpa atas diri kekasihnya. Maka bagaimana apabila
menimpakannya dengan kena kekasihnya ? dan kesibukan hati dengan cinta dan
rindu itu termasuk kesibukan yang terbesar. Dan apabila ini telah tergambar
pada kepedihan yang sedikit, dengan sebab kecintaan yang ringan, niscaya
tergambarlah pada kepedihan yang sangat dengan kecintaan yang sangat.
Sesungguhnya kecintaan
juga tergambar berlipat-gandanya pada kekuatannya, sebagaimana tergambar
berlipat-gandanya kepedihan. Dan sebagaimana kuatnya menyukai rupa yang cantik,
yang diperoleh dengan pancaindra penglihatan, maka demikian juga kuatnya
kecintaan kepada rupa yang cantik, yang batiniyah, yang diperoleh dengan cahaya
mata hati. Dan keelokan Hadlarat / keajaiban Ketuhanan dan KeagunganNya,
tidaklah dibandingkan dengan Allah akan keelokan dan keagungan yang lain. Maka
siapa yang tersingkap baginya akan sesuatu dari yang demikian, maka
kadang-kadang dapat mengalahkannya, dimana ia merasa dahsyat dan pingsan. Lalu
ia tidak merasakan, dengan apa yang berlaku atas dirinya.
Diriwayatkan bahwa isteri
Fatah Al-Maushuli jatuh. Lalu tercabut kukunya. Maka ia tertawa. Lalu ia
ditanyakan: “Apakah anda tidak merasa sakit?”. Ia menjawab: “Bahwa kelezatan
pahalanya itu menghilangkan dari hatiku, akan kepahitan sakitnya”. Adalah pada
Sahal ra itu penyakit, yang dia obati orang lain dari penyakitnya. Dan ia tidak
mengobati dirinya sendiri. Lalu ditanyakan kepadanya dari hal yang demikian. Ia
lalu menjawab: “Hai orang yang mencintai! pukulan dari yang dicintai itu tidak
menyakitkan”.
Adapun segi
yang kedua, maka ia
merasakan dengan yang demikian dan memperoleh kepedihannya. Akan tetapi ia
ridha dengan yang demikian, bahkan ingin dan menghendakinya. Ya’ni: dengan
akalnya, walaupun ia benci dengan tabiatnya. Seperti orang yang meminta dari
tukang betik, akan pembetikan dan pembekaman. Ia memperolah kepedihan yang
demikian, akan tetapi ia ridha dan ingin kepadanya. Dan mengikuti dari tukang
betik itu dengan demikian, akan kenikmatan dengan perbuatannya. Maka inilah
keadaan orang yang ridha, dengan apa yang berlaku atas dirinya dari kepedihan.
Seperti demikian juga, setiap orang yang bermusafir pada mencari keuntungan,
memperoleh kesukaran perjalanan. Akan tetapi, kesukarannya kepada hasil
perjalanannya itu, membaikkan padanya kesukaran perjalanan. Dan menjadikannya
ridha dengan kesukaran itu.
Manakala tertimpa atas
dirinya percobaan dari Allah Ta’ala dan ia mempunyai keyakinan, bahwa pahalanya
yang tersimpan baginya di atas apa yang telah hilang, niscaya ia ridha dengan
yang demikian. Ia ingin, menyukai dan bersyukur kepada Allah atas yang
demikian. Ini, jikalau ia meneliti akan pahala dan perbuatan baik, yang diberi
pembalasan kepadanya dengan yang demikian. Dan boleh kecintaan itu mengeras,
dimana keberuntungan si pecinta pada kehendak yang dicintainya dan ridhanya.
Tidak karena maksud yang lain di belakangnya. Maka adalah kehendak dan
keridhaan orang yang dicintai itu menjadi kecintaan dan yang dicarikan baginya.
Semua itu terdapat pada yang disaksikan pada kecintaan makhluk. Orang-orang
yang menyifatkan itu telah menyifatkannya pada proza dan puisi mereka. Tak
adalah makna baginya, selain pada memperhatikan keelokan rupa zahiriyah dengan
penglihatan mata kepala. Maka kalau dipandang kepada keelokan, niscaya tidaklah
itu, selain kulit, daging dan darah, yang penuh dengan kotoran dan kejijikan.
Permulaannya dari air mani yang berhamburan dan kesudahannya bangkai yang
menjijikkan. Dan dia diantara yang demikian itu membawa taik. Dan kalau ia
memandang kepada yang mengetahui keelokan itu, maka itu adalah mata yang hina,
yang banyak bersalah pada apa yang dilihatnya. Lalu ia melihat yang kecil itu
besar dan yang besar itu kecil. Yang jauh itu dekat dan yang buruk itu bagus.
Apabila telah tergambar kekuasaannya kecintaan ini, maka dari manakah
kemustahilan yang demikian pada mencintai kecantikan Yang Azali ( tida
kesudahan / permulaan ). Yang Abadi, yang tiada berkesudahan bagi
kesempurnaanNya, yang diketahui dengan diri mata hati, yang tidak ditutupkan
oleh kesalahan dan tidak dikelilingi oleh mati. Akan tetapi, diri mata hati itu
berkekalan sesudah mati, yang hidup di sisi Allah, gembira dengan rezeki yang
diberikan oleh Allah Ta’ala, yang menerima faedah dengan kematian akan
penambahan peringatan dan ketersingkapan. Maka inilah hal yang terang, dari
segi memandang dengan pandangan i’tibar/ibarat.
Untuk yang demikian itu,
disaksikan oleh wujud dan cerita-cerita hal-ihwal orang-orang yang mencintai
dan ucapan-ucapan mereka. Syaqiq Al-Bakhili berkata: “Barangsiapa melihat akan
pahala kesukaran, niscaya ia tidak ingin keluar daripadanya”. Al-Junaid
berkata: “Aku bertanya kepada Sarya as-Suqthi: “Adakah orang yang mencintai itu
mendapat kepedihan percobaan ?”. Ia menjawab: “Tidak !”. Aku bertanya lagi:
“Jikalau dipukul dengan pedang ?”. Ia menjawab: “Ya ! walaupun dipukul dengan
pedang 70 kali, pukulan di atas pukulan”. Sebahagian mereka berkata: “Aku
mencintai setiap sesuatu dengan kecintaannya. Sehingga jikalau ia mencintai
neraka, niscaya aku suka masuk neraka”.
Basyar bin Al-Harts
berkata: “Aku melewati seorang laki-laki dan ia telah dipukul 1000 cambuk di
bagian Timur Bagdad. Dan ia tidak berkata-kata. Kemudian, ia dibawa ke penjara.
Lalu aku mengikutinya. Maka aku bertanya kepadanya: “Mengapa engkau dipukul ?”.
Ia lalu menjawab: “Karena aku rindu”. Maka aku bertanya lagi kepadanya:
“Mengapa engkau diam ?”. Ia menjawab: “Karena yang aku rindukan itu ada di
depanku. Ia memandang kepadaku”. Lalu aku bertanya pula: “Jikalau engkau
memandang kepada Yang Dirindukan Yang Maha Besar ?”. Basyar meneruskan
ceritanya: “Maka ia menjerit dengan jeritan, yang ia jatuh tersungkur, dalam
keadaan sudah meninggal”. Yahya bin Ma’adz Ar-Razi ra berkata: “Apabila
penduduk sorga memandang kepada Allah Ta’ala, niscaya hilanglah mata mereka
dalam hatinya, dari kelezatan memandang kepada Allah Ta’ala, selama 800 tahun,
yang tidak kembali kepada mereka. Maka apakah persangkaan engkau dengan hati
yang telah jatuh diantara keelokan dan keagunganNya ? apabila ia memperhatikan
keagunganNya, niscaya hati itu takut. Dan apabila hati itu memperhatikan keelokanNya,
niscaya ia tercengang. Basyar berkata: “Aku bermaksud ke Abadan pada permulaan
perjalananku. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang buta, berpenyakit kusta,
yang gila. Ia dalam keadaan pingsan. Dan semut memakan dagingnya. Lalu aku
angkatkan kepalanya dan aku letakkan di pangkuanku. Aku mengulang-ulangi
berkata. Maka tatkala ia telah sembuh dari pingsannya, lalu bertanya: “Siapakah
orang yang utama ini, yang masuk diantaraku dan Tuhanku ? jikalau Ia memotong
aku berpotong-potong, niscaya semakin aku bertambah cinta kepadaNya”. Basyar
berkata: “Maka tiadalah aku melihat sesudah itu akan kegusaran diantara hamba
dan Tuhannya, maka aku menantangnya”.
Abu ‘Amr Muhammad bin
Al-Asy’ats berkata: “Bahwa penduduk Mesir berdiam selama 4 bulan, tak ada bagi
mereka makanan, selain memandang kepada wajah Yusuf Ash-Shiddiq as. Adalah
mereka apabila lapar lalu memandang kepada wajahnya. Maka disibukkan mereka
oleh kecantikannya, daripada merasakan dengan kepedihan lapar. Bahkan dalam
Alquran ada yang lebih bersangatan dari yang demikian. Yaitu: kaum wanita
memotong tangannya, karena membabi-butanya mereka dengan memperhatikan
kecantikan Yusuf as. Sehingga mereka tidak merasakan dengan yang demikian.
Sa’id bin Yahya berkata: “Aku melihat di Basrah dalam hotel ‘Atha’ bin Muslim,
seorang pemuda. Di tangannya sebilah pisau. Ia menyerukan dengan suaranya yang
sangat keras dan orang banyak di kelilingnya. Ia bermadah:
Hari perpisahan,
dari kiamat itu lebih lama.
Dan kematian itu lebih elok,
dari kepedihan perpecahan.
Mereka mengatakan: bepergian,
Aku menjawab: tidaklah aku bepergian !
Akan tetapi, hatiku,
yang bepergian......!
Kemudian, ia korek dengan pisau itu
perutnya dan ia jatuh tersungkur, dalam keadaan meninggal dunia. Lalu aku
tanyakan tentang dia dan urusannya. Lalu dikatakan kepadaku: “Bahwa ia merindui
seorang pemuda kepunyaan sebahagian raja-raja, yang telah terdinding
daripadanya satu hari”.
Diriwayatkan, bahwa Yunus
as berkata kepada Jibril: “Tunjukkanlah kepadaku, penduduk bumi yang paling
banyak ibadahnya !”. Jibril lalu menunjukkan kepada Yunus as, seorang
laki-laki, yang kedua tangannya dan kedua kakinya telah putus oleh penyakit
kusta. Penglihatannya sudah hilang. Yunus mendengar orang laki-laki itu
mengatakan: “Wahai Tuhanku ! Engkau berikan aku bersenang-senang dengan
keduanya, menurut apa yang Engkau kehendaki. Engkau cabut dari aku, apa yang
Engkau kehendaki. Engkau tinggalkan bagiku, akan angan-angan pada Engkau, hai
Yang Memberikan kebajikan ! hai Yang Menyampaikan !”.
Diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar ra, bahwa ia mengadu, baginya anak laki-laki. Bersangatanlah
kesusahannya atas anaknya itu. Sehingga sebahagian kaumnya mengatakan: “Kami
takut terhadap orang tua ini, jikalau terjadilah dengan anak tersebut akan
suatu kejadian”. Anak itu meninggal. Lalu keluarlah Ibnu Umar dalam rombongan
pengantar jenazahnya. Tiada seorang lelakipun sekali-kali yang lebih gembira
daripadanya. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka Ibnu Umar
menjawab: “Bahwa adalah gundahku itu rahmat baginya. Maka tatkala telah jatuh
perintah Allah, niscaya kami ridha dengan yang demikian”.
Masruq berkata: “Adalah
seorang laki-laki di suatu desa mempunyai seekor anjing, seekor keledai dan
seekor ayam jantan. Maka ayam jantan itu membangunkan mereka untuk shalat.
Keledai untuk mereka membawakan air dan yang membawa bagi mereka, tempat
tinggal mereka dari bulu. Dan anjing yang mengawal mereka”. Masruq meneruskan
ceritanya: “Maka datanglah tsa’lab (seperti anjing), lalu mengambil ayam
jantan. Maka mereka itu bergundah hati karenanya. Adalah disitu seorang
laki-laki shalih. Lalu mengatakan: “Mudah-mudahan adalah yang demikian itu
lebih baik”. Kemudian datang seekor srigala, yang dikoreknya perut keledai dan
dibunuhnya. Mereka bergundah hati karenanya. Laki-laki yang shalih itu berkata:
“Mudah-mudahan adalah yang demikian itu lebih baik”. Kemudian, tertimpa pula
musibah atas anjing sesudah itu. Orang laki-laki shalih itu berkata:
“Mudah-mudahan adalah yang demikian itu lebih baik”. Kemudian pagi-pagi pada
suatu hari, mereka melihat, bahwa telah ditawan orang-orang Arab dari sekitar
mereka. Dan yang tinggal hanya mereka saja, yang tidak ditawan. Masruq
meneruskan ceritanya: “Bahwa mereka itu diambil, karena ada pada mereka itu
suara anjing, keledai dan ayam jantan. Maka adalah pilihan bagi mereka itu
tentang kebinasaan binatang-binatang ini, sebagaimana ditakdirkan oleh Allah
Ta’ala”. Jadi, siapa yang mengetahui akan yang tersembunyi dari
kelemah-lembutan Allah Ta’ala, niscaya ia ridha dengan perbuatanNya dalam
segala hal.
Diriwayatkan, bahwa Isa as
lalu di hadapan seorang laki-laki buta, berpenyakit supak/lepra, tua-bangka,
kedua lembungnya lumpuh dan dagingnya sudah berguguran dari penyakit kusta. Dan
ia mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang mendatangkan sehat wal-afiat bagiku,
dari apa yang dicobakanNya akan kebanyakan makhlukNya”. Isa as lalu berkata
kepada orang itu: “Hai orang ini ! manakah sesuatu dari percobaan, yang aku
lihat tersingkir dari engkau ?”. Laki-laki itu menjawab: “Wahai Ruh Allah ! aku
lebih baik dari orang, yang tidak dijadikan oleh Allah dalam hatinya, apa yang
dijadikanNya dalam hatiku dari ilmu mengenal Allah Ta’ala kepadaNya”. Isa as
lalu menjawab: “Benar engkau. Marilah tangan engkau !”. Maka Isa as memegang
tangannya. Tiba-tiba laki-laki itu menjadi manusia yang tercantik mukanya dan
keadaannya yang lebih utama. Dihilangkan oleh Allah daripadanya, apa yang ada
itu. Maka ia menemani Isa as dan mengerjakan ibadah bersama Isa as.
Urwah bin Az-Zubair
memotong kakinya dari lututnya, dari karena penyakit yang keluar daripadanya.
Kemudian, ia mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang mengambil dari aku
satu. Demi kiranya ! jikalau adalah Engkau itu mengambil, niscaya sungguh
Engkau kekalkan terus adanya. Dan jikalau Engkau cobakan, niscaya Engkau sembuhkan”.
Kemudian, ia tidak meninggalkan wiridnya (ibadah yang dibiasakannya) pada malam
itu. Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Kemiskinan dan kekayaan itu dua kendaraan. Aku
tidak perduli, yang mana aku kendarai. Jikalau kemiskinan, maka padanya
kesabaran. Dan jikalau kekayaan, maka padanya pemberian”.
Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata: “Aku telah memperoleh dari setiap tingkat itu akan keadaan, selain
ridha. Maka tidak ada bagiku daripadanya, selain keciuman bau. Dan diatas yang
demikian, jikalau makhluk semuanya dimasukkan ke sorga dan aku dimasukkan ke
neraka, niscaya aku ridha dengan yang demikian”. Ditanyakan kepada orang arif /
ahli ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang lain: “Adakah engkau mencapai
penghabisan keridoan dari yang demikian?”. Orang arif itu menjawab: “Adapun
penghabisannya, tidak ! akan tetapi maqam ridha telah aku memperolehnya.
Jikalau dijadikanNya aku jembatan di atas neraka jahannam, yang dilalui oleh
makhluk atasku ke sorga, kemudian dipenuhiNya dengan aku neraka jahannam, untuk
menutupkan bagi pembahagianNya dan sebagai ganti dari makhlukNya yang lain,
niscaya aku sukai akan yang demikian dari hukumNya. Dan aku ridha dengan yang
demikian dari pembahagianNya”. Ini adalah perkataan orang yang mengetahui,
bahwa cinta itu menghabiskan kesusahannya, sehingga ia dicegah oleh perasaan
itu dari kepedihan neraka. Jikalau perasaan itu masih terus, lalu ia
dilimpahkan oleh apa yang diperolehnya dari kelezatannya, pada dirasakannya
keberhasilan keridhaan Yang dicintainya, dengan dicampakkanNya dia dalam neraka
dan berkuasanya keadaan ini yang tidak mustahil pada dirinya, walaupun ada dia
itu jauh dari hal-ihwal kita yang lemah. Akan tetapi, tiada seyogyalah
diingkari oleh orang yang lemah yang tidak memperoleh hal-ihwal orang-orang
yang kuat. Dan ia menyangka, bahwa apa yang ia lemah daripadanya itu, adalah
para wali lemah pula daripadanya.
Ar-Raudzabari berkata:
“Aku bertanya kepada Abi Abdillah bin Al-Jalla’ Ad-Dimasyqi bahwa perkataan si
Anu: “Aku menyukai bahwa tubuhku digunting dengan gunting-gunting dan bahwa
makhluk ini mentaatinya, apakah artinya ?”. Beliau menjawab: “Hai saudara ini !
jikalau adalah ini dari jalan pembesaran dan pengagungan, maka aku tidak
mengetahui. Dan jikalau adalah ini dari jalan kasih-sayang dan nasehat kepada
makhluk, maka aku mengetahui nya”. Ar-Raudzabari meneruskan riwayatnya:
“Kemudian, Abi Abdillah itu pingsan”. Adalah Imran bin Al-Hushain meminta air
untuk perutnya. Maka ia tetap terlentang atas punggungnya selama 30 tahun,
tidak berdiri dan tidak duduk. Telah dikorek baginya pada tempat tidur dari
pelepah kurma, yang ada di atasnya suatu tempat, untuk ia membuang air besarnya
(qodo-hajatnya). Maka masuklah ke tempatnya Mathraf dan saudaranya Al-‘Ala’. Ia
lalu menangis, karena apa yang dilihatnya dari keadaan Imran bin Al-Hushain
itu. Imran lalu bertanya: “Mengapa anda menangis ?”. Mathraf menjawab: “Karena
aku melihat engkau di atas keadaan ini yang besar”. Imran menjawab: “Jangan
engkau menangis ! bahwa kecintaannya kepada Allah Ta’ala itu kecintaannya kepadaku”.
Kemudian, Imran menyambung: “Aku akan menceritakan kepada engkau akan sesuatu.
Semoga Allah memberi manfaat kepada engkau dengan dia. Dan sembunyikan, sampai
aku mati. Bahwa para malaikat berkunjung kepadaku. Maka aku berjinak-jinakan
hati dengan mereka. Memberi salam kepadaku, maka aku mendengar salamnya. Lalu
dengan demikian itu, aku mengetahui, bahwa percobaan ini bukanlah siksaan.
Karena dia itu adalah sebab bagi kenikmatan yang besar ini. Maka siapa yang
menyaksikan ini pada percobaannya, bagaimana ia tidak ridha dengan dia ?”.
Mathraf meneruskan ceritanya: “Kami masuk ke tempat Suwaid bin Mats’abah. Kami
berkunjung kepadanya. Lalu kami melihat sepotong kain terletak di atas lantai.
Kami tidak menyangka, bahwa di bawahnya ada sesuatu, sehingga dibukakan. Lalu
isterinya berkata kepadanya: “Isterimu tebusanmu. Kami tidak memberi makanan
kepadamu. Tidak memberi minuman kepadamu”. Suwaid bin Mats’abah menjawab:
“Telah lamalah tidur. Telah teraturlah tulang-belulang kedua lembung. Dan
jadilah dia kurus seperti kain buruk. Aku tidak memakan makanan. Dan tidak
memuaskan aku minuman, sejak yang demikian”. Lalu ia menyebutkan beberapa hari.
Dan ia menyambung: “Aku tidak suka bahwa aku berkurang dari ini, sekerat
kukupun”. Tatkala tiba Sa’ad bin Abi Waqqash di Makkah dan ia sudah tidak dapat
melihat lagi, maka datanglah orang banyak kepadanya berbondong-bondong. Setiap
orang itu meminta supaya Sa’ad bin Abi Waqqash berdoa baginya. Maka ia berdoa
bagi si ini dan si ini. Dan adalah dia makbul doanya. Berkata Abdullah bin
As-Saib: “Maka aku datang kepada Sa’ad bin Abi Waqqash dan aku waktu itu masih
kecil. Aku perkenalkan diriku kepadanya, maka dikenalnya. Dan beliau bertanya:
“Engkau qari’ (ahli membaca Alquran) penduduk Makkah ?”. Aku menjawab: “Ya !”.
Maka diterangkan nya suatu cerita, yang ia mengatakan pada akhir ceritanya itu.
Aku lalu mengatakan kepadanya: “Hai pamanku ! engkau berdoa bagi manusia. Maka
jikalau engkau berdoa bagi diri engkau sendiri, niscaya dikembalikan oleh Allah
kepada engkau penglihatan engkau”. Maka beliau tersenyum dan menjawab: “Hai
anakku ! qodo/takdir Allah Yang Maha Suci padaku itu lebih bagus dari
penglihatanku”.
Sebahagian orang shufi
telah hilang anaknya yang kecil selama 3 hari, yang tidak diketahuinya berita.
Lalu orang mengatakan kepadanya: “Jikalau engkau meminta pada Allah Ta’ala,
bahwa dikembalikanNya anak itu kepada engkau”. Orang shufi itu lalu menjawab:
“Teguranku kepadaNya pada apa yang diqodokanNya itu lebih berat atasku, dari
hilangnya anakku”.
Dari sebahagian orang-orang
abid, bahwa ia mengatakan: “Bahwa aku telah berbuat dosa besar. Maka aku
menangis di atas terjadinya dosa itu semenjak 60 tahun yang lalu”. Adalah ia
telah bersungguh-sungguh dalam beribadah karena taubat dari dosa itu. Maka
orang bertanya kepadanya: “Apakah dosa itu ?”. Ia menjawab: “Aku mengatakan
pada suatu kali, mengenai sesuatu yang telah ada: “Semoga dia itu tidak ada”.
Sebahagian salaf mengatakan: “Jikalau tubuhku digunting dengan gunting-gunting,
niscaya lebih aku sukai, daripada aku mengatakan bagi sesuatu, yang telah
menjadi takdir Allah Yang Maha Suci: “Semoga tidaklah menjadi takdirNya”.
Dikatakan kepada
Abdul-wahid bin Zaid: “Disini ada seorang laki-laki yang telah mengerjakan
ibadah selama 50 tahun. Lalu Abdul-wahid menuju kepada orang itu. Maka ia
berkata kepadanya: “Hai kekasihku ! ceritakanlah kepadaku, dari hal engkau.
Adakah engkau merasa puas dengan yang demikian ?”. Laki-laki itu menjawab:
“Tidak !”. Abdul-wahid bertanya pula: “Jinakkah hati engkau dengan yang
demikian ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Abdul-wahid bertanya lagi:
“Ridhakah engkau dari yang demikian ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”.
Abdul-wahid kembali bertanya: “Sesungguhnya tambahan engkau daripadanya itu
puasa dan shalat ?”. Orang itu menjawab: “Ya !”. Abdul-wahid lalu mengatakan:
“Jikalau tidaklah aku ini malu kepada engkau, niscaya aku terangkan kepada
engkau, bahwa mu’amalah (perniagaan) engkau selama 50 tahun itu ke sasaran.
Artinya: tidak terbuka bagi engkau pintu hati. Maka engkau meningkat kepada derajat-derajat
kedekatan, dengan amalan hati. Bahwa engkau terhitung pada lapisan
ash-habul-yamin (kaum kanan). Karena tambahan engkau daripadanya itu pada amal
perbuatan anggota badan, yang dia itu tambahan bagi orang-orang awam”.
Suatu jama’ah manusia masuk
di tempat Asy-Syibli ra di Maristan, dimana ia ditahan di situ. Dan beliau
kumpulkan di hadapannya batu. Beliau lalu bertanya: “Siapakah kamu ?”. Mereka
menjawab: “Pecinta-pecinta engkau”. Asy-Syibli lalu menghadapkan mukanya kepada
mereka. Dilemparkannya mereka dengan batu. Lalu mereka itu berlarian. Maka ia
bertanya: “Apa kabar kamu ini ? kamu mendakwakan mencintai aku ? kalau kamu
benar, maka bersabarlah kamu atas percobaanku”. Asy-Syibli ra bermadah:
Bahwa cintaku kepada Ar-Rahman,
menjadikan aku kemabukan.
Adakah anda melihat orang yang
bercintaan,
yang tidak kemabukan ?
Sebahagian ‘abid penduduk negeri Syam
(Syria) mengatakan: “Setiap kamu itu bertemu dengan Allah Ta’ala, dengan
membenarkan. Dan mungkin ia mendustakannya. Yang demikian itu, bahwa seseorang
kamu, jikalau ada baginya anak jari dari emas, niscaya senantiasalah ia
menunjuk dengan anak jari itu. Dan jikalau ada pada anak jarinya itu
kekurangan, niscaya senantiasalah disembunyikannya”. Yang dimaksudkan dengan
demikian, ialah: bahwa emas itu tercela pada sisi Allah. Dan manusia
berbangga-banggaan dengan dia. Percobaan itu perhiasan penduduk sorga. Dan
mereka memandang mudah daripadanya.
Diceritakan,
bahwa telah terjadi kebakaran pada suatu pasar. Lalu dikatakan kepada As-Sirri:
“Telah terbakar pasar itu dan tidak terbakar warung engkau”. As-Sirri menjawab:
“Alhamdulillah”. Kemudian ia menyambung: “Bagaimana aku mengucapkan
“Alhamdulillah” atas keselamatanku, tidak kaum muslimin ?”. Maka ia bertaubat
dari berniaga. Ia meninggalkan warung pada sisa umurnya itu, karena bertaubat
dan meminta ampun dari ucapannya: Alhamdulillah itu. Apabila anda memperhatikan
cerita-cerita ini, niscaya sudah pasti, anda mengetahui, bahwa ridha dengan
yang menyalahi hawa nafsu itu tidaklah mustahil. Bahkan, itu adalah maqam yang
tinggi dari maqam-maqam ahli keagamaan. Manakala adalah yang demikian itu
mungkin pada kecintaan makhluk dan keberuntungan mereka, niscaya adalah itu
mungkin terhadap kecintaan kepada Allah Ta’ala dan keberuntungan akhirat,
dengan pasti. Dan kemungkinannya itu dari dua segi:
Salah satu dari keduanya itu, ialah: ridha dengan
kepedihan, karena apa yang diharapkan dari pahala yang didapati, seperti: ridha
dengan betik, bekam dan minum obat, karena menunggu bagi kesembuhan.
Kedua: ridha dengan kepedihan itu, tidak
karena keberuntungan di belakangnya. Akan tetapi, karena adanya itu kehendak
dari yang dicintai dan keridhaannya. Kadang-kadang mengeras cinta itu, dimana
kehendak yang mencintai tenggelam dalam kehendak yang dicintai. Maka adalah sesuatu
yang paling lezat padanya, ialah: kegembiraan hati orang yang dicintainya,
keridhaannya dan lulus kehendaknya. Walaupun dalam kebinasaan nyawanya.
Sebagaimana dikatakan dalam pantun:
Maka tidak adalah kepedihan luka,
apabila itu menyenangkan kamu.
Ini suatu kemungkinan belaka,
serta merasakan dengan kepedihan itu.
Kadang-kadang cinta itu berkuasa,
dimana mendahsyatkan, tanpa diketahui kepedihan. Perbandingan, percobaan dan
penyaksian itu menunjukkan kepada adanya cinta. Maka tiada seyogyalah dibantah,
ketiadaannya cinta itu dari dirinya. Bahwa ketiadaannya itu karena tidak ada
sebabnya. Yaitu: berlampauan batas cintanya. Dan siapa yang tidak measakan rasa
cinta, niscaya ia tidak mengenal akan keajaiban-keajaibannya. Bagi orang-orang
yang bercinta itu mempunyai keajaiban-keajaiban, yang lebih besar, dari apa
yang kami telah sifatkan. Diriwayatkan dari ‘Amr bin Al-Harits Ar-Rafi’i, yang
mengatakan: “Adalah aku pada suatu majelis di Riqqah di sisi temanku. Dan ada
bersama kami seorang pemuda, yang merindui seorang budak wanita yang pandai
menyanyi. Budak wanita itu ada bersama kami di majelis. Maka ia memukul alat
musik dan menyanyikan:
Tanda kehinaan hawa nafsu,
menangis kepada orang yang dirindukan.
Lebih-lebih lagi orang yang merindui,
apabila tidak memperoleh tempat
mengadukan.
Pemuda itu lalu mengatakan kepada
wanita penyanyi tersebut: “Bagus sekali anda -demi Allah, wahai nyonya ! apakah
anda mengizinkan kepadaku, bahwa aku mati ?”. Wanita itu menjawab: “Matilah
dengan berakal !”. ‘Amr bin Al-Harits meneruskan ceritanya: “Pemuda itu lalu
meletakkan kepalanya di atas bantal. Menutupkan mulutnya dan memejamkan
matanya. Lalu kami menggerak-gerakannya. Rupanya, ia sudah meninggal”.
Al-Junaid berkata: “Aku
melihat seorang laki-laki bergantung dengan lengan baju seorang anak kecil. Ia
merendahkan diri kepada anak kecil itu dan melahirkan kasih-sayang kepadanya.
Lalu anak kecil itu berpaling kepadanya dan mengatakan: “Sampai kapan
kemunafikan ini, yang engkau lahirkan bagiku?”. Laki-laki itu lalu menjawab:
“Allah tahu, bahwa aku ini benar pada apa yang aku kemukakan. Sehingga jikalau
engkau katakan kepadaku: matilah engkau, niscaya aku mati”. Anak kecil itu lalu
menjawab: “Jikalau engkau benar, maka matilah !”. Al-Junaid meneruskan
ceritanya: “Laki-laki itu lalu undur dari tempat itu dan memejam kedua matanya.
Maka ia didapati sudah meninggal”.
Samnun pencinta berkata:
“Adalah pada tetangga kami seorang laki-laki. Ia mempunyai seorang budak
wanita, yang dicintainya betul-betul. Maka sakitlah budak wanita itu. Lalu
laki-laki tersebut duduk, membuat bubur kurma bagi budak wanita tadi. Sewaktu
ia sedang menggerakkan belanga, tiba-tiba budak wanita itu mengatakan: “Aduh
!”. Samun meneruskan ceritanya: “Laki-laki itu lalu terkejut dan jatuhlah sendok
dari tangannya. Dan ia menggerak-gerakkan apa yang dalam belanga itu, dengan
tangannya. Sehingga jatuhlah anak-anak jarinya”. Budak wanita itu maka
bertanya: “Apakah ini ?”. Laki-laki itu menjawab: “Inilah tempat ucapan engkau:
“Aduh !”.
Diceritakan dari Muhammad
bin Abdullah Al-Baghdadi, yang mengatakan: “Aku melihat di Basrah, seorang
pemuda, di atas atap yang tinggi. Ia mendekati kepada manusia ramai dan
bermadah:
Siapa yang meninggal karena kerinduan,
maka hendaklah ia mati dengan begitu.
Tiada kebajikan pada kerinduan,
dengan tidak mati demikian itu.
Kemudian, ia melemparkan dirinya ke
tanah. Lalu mereka membawanya dalam keadaan sudah meninggal. Maka ini dan
contoh-contoh yang seperti ini, kadang-kadang dibenarkan pada kecintaan kepada
makhluk. Dan pembenaran dengan yang demikian itu lebih utama pada kecintaan
kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta). Karena mata hati yang batiniyah itu
lebih benar dari mata kepala yang zahiriyah. Keelokan hadlarat/keajaiban
ketuhanan itu lebih sempurna dari setiap keelokan. Bahkan setiap keelokan di
alam ini, adalah salah satu dari kebagusan-kebagusan keelokan itu. Ya, orang
yang ketiadaan penglihatan itu memungkiri akan kecantikan bentuk. Dan orang
yang ketiadaan pendengaran itu memungkiri akan keenakan nyanyian dan lagu-lagu
yang bertimbang. Maka orang yang ketiadaan hati, niscaya tidak boleh tidak akan
memungkiri pula kelezatan-kelezatan ini, yang tiada tempat sangkaan baginya,
selain hati.
PENJELASAN: bahwa doa itu
tiada bertentangan dengan ridha.
Tiada keluarlah orang yang berdoa itu dari
maqam ridha. Seperti demikian pula, kebencian kepada perbuatan-perbuatan
maksiat, kutukan kepada orang-orangnya, kutukan kepada sebab-sebabnya dan usaha
pada menghilangkannya dengan amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak juga
bertentangan dengan ridha. Telah salah pada yang demikian, sebahagian
orang-orang yang berbuat batil/salah, yang tertipu. Dan mendakwakan, bahwa
perbuatan-perbuatan maksiat, kezaliman dan kekufuran itu dari qodo/hukum takdir
Allah dan qadar/takdirNya, Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Maka haruslah ridha
dengan qodo dan qadar itu. Ini adalah kebodohan dengan penafsiran dan kelalaian
dari rahasia-rahasia agama.
Adapun doa, maka kita
beribadah dengan doa itu. Kebanyakan doa Rasulullah saw dan nabi-nabi yang
lain, di atas apa yang kami nukilkan pada Kitab Doa dahulu, menunjukkan kepada
yang demikian. Adalah Rasulullah saw pada maqam tertinggi dari ridha. Dan Allah
Ta’ala memujikan kepada sebahagian hamba-hambaNya dengan firmanNya: “Dan mereka
mendoa pada Kami dengan pengharapan dan perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat
90. Adapun memungkiri perbuatan-perbuatan maksiat, tidak menyukainya dan tidak
ridha dengan dia, maka Allah telah menerima ibadah hamba-hambaNya dengan
demikian dan mencela mereka atas meridhainya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
mereka ridha dengan kehidupan yang dekat dan sudah merasa tentram dengan dia”.
S 10 Yunus ayat 7. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka ridha bahwa ada mereka
bersama orang-orang yang tinggal (di rumah). Dan Allah telah mencap hati
mereka”. S 9 At Taubah ayat 93. Tersebut pada hadits yang masyhur: “Barangsiapa
menyaksikan perbuatan munkar, lalu ia ridha dengan perbuatan tersebut, maka
seakan-akan ia sudah mengerjakannya”. Tersebut pada hadits: “Orang yang
menunjukkan kepada kejahatan, adalah seperti orang yang memperbuatnya”.
Diriwayatkan dari Ibni Mas’ud: “Bahwa hamba itu hendaklah menghilang
(menyingkir) dari perbuatan munkar. Dan adalah atasnya seperti dosa orang yang
punya perbuatan munkar tersebut”. Ditanyakan: “Bagaimana maka demikian ?”. Ibnu
Mas’ud menjawab: “Disampaikan kepadanya, lalu ia ridha dengan perbuatan munkar
itu”.
Tersebut pada hadits:
“Jikalau seorang hamba dibunuh di masyriq (tempat matahari terbit) dan diridhai
(disetujui) dengan pembunuhannya oleh orang lain di maghrib (tempat matahari terbenam),
niscaya adalah orang itu kongsi pada pembunuhannya”. Allah Ta’ala menyuruh
dengan dengki (dalam arti yang baik) dan berlomba-lomba pada kebajikan dan
menjaga dari kejahatan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan pada yang demikian itu,
hendaklah berlomba orang yang mau berlomba !”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 26.
Nabi saw bersabda: “Tiada dengki (hasad), selain pada dua: laki-laki yang
diberikan oleh Allah kepadanya hikmah, maka dikembangkannya pada manusia dan
diajarkannya. Dan laki-laki yang diberikan oleh Allah kepadanya harta, lalu
dikuasainya pada menghabiskannya pada kebenaran”. Pada lafadh yang lain,
berbunyi: “Dan seorang laki-laki, yang didatangkan oleh Allah kepadanya
Alquran, lalu ia bangun dengan Alquran itu tengah malam dan siang, lalu seorang
laki-laki berkata: “Jikalau didatangkan oleh Allah kepadaku, seperti apa yang
didatangkanNya kepada orang itu, niscaya aku berbuat, seperti apa yang
diperbuatnya”.
Adapun kemarahan
orang-orang kafir dan orang-orang zalim, menantang dan mengutuk mereka, maka
apa yang datang tentang itu, dari dalil-dalil Alquran dan hadits, adalah tidak
terhingga seperti firmannya Allah Ta’ala: “Janganlah orang-orang yang beriman
mengambil orang-orang yang kafir menjadi pemimpin, bukan orang-orang yang
beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 28. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman ! janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin”. S 5 Al Maaidah ayat 51. Allah Ta’ala berfirman: “Dan begitulah
sebahagian orang-orang yang zalim itu Kami jadikan pemimpin bagi sebahagian
yang lain”. S 6 Al An’aam ayat 129. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala
membuat ikatan perjanjian atas setiap orang yang beriman, bahwa memarahi setiap
orang munafik. Dan atas setiap orang munafik, bahwa memarahi setiap orang yang
beriman”.
Nabi saw bersabda:
“Manusia itu bersama orang yang dikasihinya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
menyukai suatu kaum dan mengambil mereka menjadi pemimpinnya, niscaya ia
dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat”. Nabi saw bersabda: “Yang lebih
terpercaya tali iman, ialah cinta pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah”.
Bukti-bukti ini telah kami sebutkan dahulu pada Penjelasan Cinta dan Marah pada
jalan Allah Ta’ala, dari Kitab Adab Persahabatan dan pada Kitab Amar Ma’ruf dan
Nahi Munkar. Maka kami tidak mengulanginya lagi. Kalau anda mengatakan, bahwa
telah datang ayat-ayat dan hadits-hadits, tentang ridha dengan qodo Allah
Ta’ala, maka jikalau adalah perbuatan-perbuatan maksiat itu merobah qodo Allah
Ta’ala, maka itu mustahil. Dan itu merusakkan keesaan. Dan kalau adalah
perbuatan-perbuatan maksiat itu dengan qodo Allah Ta’ala, maka tidak menyukai
dan mengutuknya itu adalah benci kepada qodo Allah Ta’ala. Dan bagaimana jalan
kepada mengumpulkan ? dan dia itu bertentangan di atas segi ini ? Maka ketahuilah,
bahwa ini termasuk apa yang meragukan kepada orang-orang lemah, yang teledor,
daripada mengetahui rahasia-rahasia ilmu. Dan meragukan pula pada suatu kaum,
sehingga mereka berpendapat bahwa diam dari perbuatan-perbuatan munkar itu
suatu maqam dari maqam-maqam ridha. Dan mereka menamakannya: kebagusan budi.
Itu adalah kebodohan semata. Bahkan kami mengatakan, bahwa ridha dan benci itu
dua hal yang berlawanan, apabila keduanya datang pada suatu perkara, dari suatu
arah, di atas suatu segi. Maka tidaklah daripada perlawanan pada suatu perkara
itu, bahwa tidak disukai dari satu segi dan disukai dari satu segi. Karena,
kadang-kadang mati musuh engkau, yang dia itu musuh sebahagian musuh-musuh
engkau dan berusaha pada membinasakannya. Maka engkau tidak menyukai
kematiannya, dari segi, bahwa telah mati musuh dari musuh engkau. Dan engkau
ridha, dari segi, bahwa telah mati musuh engkau. Seperti demikian pula,
kemaksiatan itu mempunyai dua segi: Segi kepada Allah Ta’ala, dari segi bahwa
itu perbuatanNya, ikhtiarNya dan KemauanNya. Maka ia ridha dengan yang demikian
dari segi ini. Karena penyerahan dari yang dimiliki kepada Yang Memiliki dari
yang dimilki itu. Ridha dengan apa yang diperbuatNya padanya.
Segi kepada hamba, dari
segi bahwa itu usahanya, sifatnya dan tanda adanya terkutuk pada sisi Allah dan
dimarahi pada sisiNya, dimana Ia menguasakan kepadanya sebab-sebab kejauhan dan
kekutukan. Maka dia itu dari segi ini ditantang dan dicela. Dan tidaklah
tersingkap ini bagi engkau, selain dengan contoh. Maka marilah kami umpamakan
akan seorang yang dikasihi dari makhluk, yang mengatakan di hadapan
pencinta-pencintanya: “Bahwa aku menghendaki untuk dapat membedakan, diantara
orang yang mencintai aku dan yang memarahi aku. Aku tegakkan padanya suatu
ukuran yang benar, timbangan yang menuturkan. Yaitu: bahwa aku bermaksud kepada
si Anu. Lalu aku menyakitinya dan memukulnya dengan pukulan, yang memerlukan
yang demikian kepada memakiku. Sehingga, apabila ia memakiku, niscaya aku
memarahinya dan mengambilkannya menjadi musuhku. Maka setiap orang yang aku
kasihi, niscaya aku tahu pula, bahwa dia itu musuhku. Dan setiap orang yang aku
marahi, niscaya aku tahu, bahwa dia itu temanku dan yang mencintaiku. Kemudian,
ia perbuat yang demikian. Dan berhasillah maksudnya, dari makian, yang menjadi
sebab kemarahan. Dan berhasil kemarahan yang menjadi sebab permusuhan. Maka
berhaklah atas setiap orang yang benar pada kecintaannya dan tahu akan
syarat-syarat cinta, bahwa ia mengatakan: “Adapun pengaturan engkau pada
menyakitkan orang ini, memukul dan menjauhkannya dan engkau datangkan dia untuk
marah dan bermusuhan, maka aku mencintainya dan meridhainya. Bahwa itu pendapat
engkau dan pengaturan engkau. Perbuatan engkau dan kehendak engkau. Adapun
makiannya akan engkau, maka itu adalah permusuhan dari pihaknya. Karena menjadi
haknya, bahwa ia bersabar dan tidak memaki. Akan tetapi, adalah maksud engkau
daripadanya, bahwa engkau bermaksud dengan memukulnya, untuk ia menuturkan
dengan makian yang mengharuskan bagi kutukan. Maka dia itu dari segi, bahwa itu
berhasil atas kesesuaian kehendak engkau dan pengaturan engkau yang engkau
mengaturkannya, maka aku meridhainya. Dan jikalau tidak berhasil, niscaya
adalah yang demikian itu kekurangan pada pengaturan engkau dan penyimpangan
pada maksud engkau. Dan aku tidak suka, karena lenyapnya kehendak engkau. Akan
tetapi, dari segi bahwa itu penyifatan bagi orang tersebut dan usahanya,
permusuhan dan serangan daripadanya atas engkau, kebalikan dari apa, yang
dikehendaki oleh keelokan engkau, karena adalah yang demikian itu menghendaki,
bahwa tertanggung dari engkau pemukulan dan tidak dibalas dengan makian, maka
aku tidak menyukainya, dari segi penyandarannya kepadanya dan dari segi bahwa
itu menjadi sifatnya. Tidak dari segi, bahwa itu kehendak engkau dan yang
dikehendaki oleh pengaturan engkau.
Adapun kemarahannya kepada
engkau, disebabkan makian engkau, maka aku meridhainya dan menyukainya. Karena
itu kehendak engkau. Dan aku atas kesepakatan engkau juga memarahinya. Karena
syarat orang yang mencintai itu, bahwa adalah dia kecintaan bagi kecintaan
orang yang dicintai dan musuh bagi musuhnya. Adapun kemarahannya kepada engkau,
maka aku meridhainya, dari segi bahwa engkau menghendaki, bahwa ia memarahi
engkau. Karena engkau menjauhkannya dari diri engkau. Dan engkau kuasakan ke
atasnya pengajak-pengajak kemarahan. Akan tetapi, aku memarahinya dari segi,
bahwa itu sifat orang yang dimarahi itu, usahanya dan perbuatannya. Dan aku
mengutukinya karena demikian juga. Maka dia itu terkutuk padaku, karena kutukannya
akan engkau dan marahnya. Dan kutukanya kepada engkau juga pada pihakku tidak
disukai, dari segi, bahwa itu sifatnya. Dan semua yang demikian, dari segi
bahwa itu kehendakmu, maka adalah disenangi. Adapun yang berlawanan, ialah
bahwa ia mengatakan: yaitu, dari segi bahwa itu kehendak engkau, maka diridhai.
Dan dari segi, bahwa itu kehendak engkau, maka tidak disukai. Adapun apabila
dia itu tidak disukai, tidak dari segi bahwa itu perbuatannya dan kehendaknya,
akan tetapi, dari segi bahwa itu sifat orang lain dan usaha orang lain, maka
ini tiada pertentangan padanya.
Disaksikan bagi yang
demikian, oleh setiap apa yang tidak disukai dari satu segi dan yang diridhai
dari satu segi. Bandingan-bandingan yang demikian itu tidak terhingga. Jadi,
penguasaan Allah akan pengajak-pengajak nafsu keinginan dan kemaksiatan
atasnya, sehingga yang demikian itu menariknya kepada kesukaan akan perbuatan
maksiat dan kecintaan menariknya kepada perbuatan maksiat itu, menyerupai akan
pukulan orang yang dicintai bagi orang yang telah kami buat contohnya tadi.
Supaya ia dihela oleh pukulan itu kepada kemarahan. Dan kemarahan kepada
makian. Dan kutukan Allah Ta’ala bagi orang yang berbuat maksiat kepadanya,
walaupun kemaksiatannya itu dengan pengaturanNya itu menyerupai akan kemarahan
orang yang dimaki, kepada yang memakinya. Walaupun makiannya itu berhasil
dengan pengaturan dan pilihannya bagi sebab-sebabnya. Dan perbuatan Allah
Ta’ala yang demikian dengan setiap hamba dari hamba-hambaNya, yakni: penguasaan
pengajak-pengajak kemaksiatan kepadanya itu, menunjukkan bahwa telah dahululah
kehendakNya dengan menjauhkan dan mengutukinya. Maka wajiblah atas setiap hamba
yang mencintai Allah, bahwa ia memarahi akan orang yang dimarahi oleh Allah.
Dan mengutuki akan orang yang dikutuk oleh Allah. Dan memusuhi akan orang yang
dijauhkan oleh Allah dari HadlaratNya.
Walaupun diperlakukannya
dengan kekerasan dan kemampuannya kepada memusuhi dan meyalahinya dan bahwa
orang itu jauh yang terusir dan terkutuk dari HadlaratNya. Walaupun dia itu
jauh, dengan menjauhkannya dengan kekerasan dan terusir dengan mengusirkannya
dan memaksakannya. Orang yang dijauhkan dari derajat kedekatan, seyogyalah
bahwa dia itu yang dikutuki, yang dimarahi oleh semua pencintanya, karena
bersesuaian bagi yang dicintai, dengan melahirkan kemarahan atas orang yang
melahirkan kepada orang yang dicintai, akan kemarahan kepadanya dengan
menjauhkannya. Dengan ini, tetaplah semua apa, yang telah datanglah
hadits-hadits mengenainya, dari hal kemarahan pada jalan Allah, kecintaan pada
jalan Allah, pengerasan dan pengkasaran atas orang-orang kafir dan bersangatan
pada mengutuk mereka, serta ridha dengan qodo Allah Ta’ala, dari segi bahwa itu
qodo Allah ‘Azza Wa Jalla. Ini semua dipahami dari rahasia qadar yang tidak
diperbolehkan menyiarkannya. Yaitu: bahwa kejahatan dan kebajikan, keduanya itu
masuk dalam kehendak dan Kemauan. Akan tetapi, kejahatan itu kehendak yang
tidak disukai. Dan kebajikan itu kehendak yang disenangi. Maka siapa yang
mengatakan, bahwa tidaklah kejahatan itu dari Allah, maka dia itu bodoh.
Demikian juga, orang yang mengatakan, bahwa keduanya itu semua, daripadaNya,
tanpa diperbedakan tentang ridha dan benci maka itu juga orang yang teledor.
Menyingkapkan tutup daripadanya itu tidak diizinkan. Yang lebih utama, ialah
diam dan beradab dengan adab agama.
Nabi saw bersabda: “Qadar
(taqdir) itu rahasia Allah. Maka janganlah kamu menyiarkannya !”. Yang demikian
itu menyangkut dengan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan maksud kami
sekarang, ialah penjelasan kemungkinan, mengenai apa, yang makhluk mengerjakan
ibadah dengan dia, daripada mengumpulkan antara ridha dengan qodo Allah Ta’ala
dan kutukan terhadap perbuatan-perbuatan maksiat, sedang dia itu dari qodo
Allah Ta’ala. Dan telah jelaslah maksud, tanpa memerlukan kepada penyingkapan
rahasia padanya.
Dengan ini, diketahui pula
bahwa doa dengan keampunan, keterpeliharaan dari perbuatan-perbuatan maksiat
dan sebab-sebab lain yang menolong kepada agama itu tidak berlawanan dengan
ridha kepada qodo Allah Ta’ala. Bahwa Allah menerima ibadah hamba-hambaNya
dengan doa. Supaya doa itu mengeluarkan kepada mereka akan kebersihan dzikir,
kekhusyu’an hati dan dan kehalusan merendahkan diri. Dan adalah yang demikian
itu kecemerlangan bagi hati, kunci bagi terbuka hijab dan sebab bagi
berturut-turutnya kelebihan kelemah-lembutan. Sebagaimana membawa kendi dan
meminum air itu tidaklah berlawanan bagi ridha dengan qodo Allah Ta’ala tentang
kehausan. Meminum air karena mencari hilangnya kehausan secara langsung itu
suatu sebab yang disusun oleh Penyebab sebab-sebab. Maka seperti demikian pula
doa, adalah sebab yang disusun oleh Allah Ta’ala dan yang disuruhNya. Dan telah
kami sebutkan, bahwa berpegang dengan sebab-sebab, karena berlaku kepada sunnah
Allah Ta’ala, tidaklah berlawanan dengan tawakkal. Dan telah kita bahas dengan
mendalam dahulu pada Kitab Tawakkal. Maka itu juga tidak berlawanan dengan
ridha. Karena ridha itu suatu maqam yang menempel bagi tawakkal. Dan yang
bersambung dengan dia.
Benar, bahwa melahirkan
percobaan dari Allah (bala-bencana) dalam bentuk mengadu dan menantangnya
dengan hati kepada Allah Ta’ala itu berlawanan dengan ridha. Dan melahirkan
percobaan dari Allah atas jalan syukur dan penyingkapan dari qudrah (kuasa)
Allah Ta’ala itu tiada berlawanan. Sebahagian ulama salaf mengatakan: “Dari
kebagusan ridha dengan qodo Allah Ta’ala, ialah bahwa tidak mengatakan: “Ini
hari panas”. Artinya: dalam bentuk mengadu. Dan yang demikian itu pada musim
panas. Adapun pada musim dingin maka itu syukur. Mengadu itu berlawanan dengan
ridha dalam segala hal. Mencela makanan dan memburukkannya itu berlawanan
dengan ridha kepada qodo Allah Ta’ala. Karena mencela ciptaan itu adalah
mencela penciptanya. Dan semuanya itu dari ciptaan Allah Ta’ala. Ucapan dari
orang yang mengatakan, bahwa: kemiskinan itu percobaan dan ujian, keluarga itu
kesusahan dan kepayahan dan berusaha itu kesulitan dan kesukaran, adalah semua
ucapan itu mencederakan ridha. Akan tetapi, seyogyalah bahwa diserahkan
pengaturan kepada Pengaturnya dan pemilikan kepada Pemiliknya. Dan ia
mengatakan akan apa yang dikatakan oleh Umar ra: “Aku tidak memperdulikan, aku
ini menjadi kaya atau miskin. Aku tidak tahu, manakah dari yang dua itu yang
baik bagiku”.
PENJELASAN: bahwa lari dari
negeri, yang menjadi tempat sangkaan perbuatan-perbuatan maksiat &
mencelanya, tidaklah mencederakan ridha.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang
lemah, kadang-kadang menyangka, bahwa larangan Rasulullah saw keluar dari
negeri, yang telah timbul padanya penyakit kolera itu menunjukkan kepada
larangan keluar dari suatu negeri, yang telah timbul padanya
perbuatan-perbuatan maksiat. Karena setiap satu dari keduanya itu lari dari
qodo Allah Ta’ala yang demikian ini mustahil. Akan tetapi, alasan pada larangan
dari meninggalkan negeri, sesudah timbul penyakit kolera padanya, ialah:
jikalau dibukakan pintu ini, niscaya berangkatlah semua orang sehat
daripadanya. Dan tinggallah di negeri itu orang-orang sakit yang disia-siakan,
yang tiada bagi mereka yang mengurusnya lagi. Maka binasalah mereka dalam
kekurusan dan melarat. Dan karena itulah, diserupakan yang demikian itu, oleh
Rasulullah saw pada sebahagian hadits, dengan lari dari barisan perang. Dan
jikalau adalah yang demikian itu lari dari qodo, niscaya tidak diizinkannya
bagi orang yang berdekatan negeri, pada menyingkir. Dan telah kami sebutkan
dahulu hukum yang demikian pada Kitab Tawakkal.
Apabila telah diketahui
maknanya, niscaya jelaslah, bahwa lari dari negeri yang menjadi tempat sangkaan
perbuatan-perbuatan maksiat itu tidaklah lari dari qodo. Akan tetapi, termasuk
sebahagian dari qodo, ialah lari dari apa, yang tidak boleh tidak lari daripadanya.
Seperti demikian juga, mencela tempat-tempat yang mengajak kepada
perbuatan-perbuatan maksiat dan sebab-sebab yang mengajak kepadanya. Karena,
untuk menjauhkan dari perbuatan maksiat, yang tidak tercela. Senantiasalah
ulama salaf yang shalih, membiasakan yang demikian. Sehingga sepakatlah suatu
jama’ah mencela kota Baghdad. Dan mereka melahirkan yang demikian dan mencari
jalan untuk melarikan diri daripadanya.
Ibnul-Mubarak berkata:
“Aku telah mengelilingi Timur dan Barat. Maka tiadalah aku melihat suatu negeri
yang lebih buruk dari Baghdad”. Ditanyakan: “Bagaimana yang demikian ?”.
Ibnul-Mubarak menjawab: “Itulah negeri, yang terhina padanya nikmat Allah dan
dipandang kecil padanya perbuatan maksiat kepada Allah”. Tatkala Ibnul-Mubarak
datang di Khurasan, lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau melihat
Baghdad ?”. Ia menjawab: “Tiada aku melihat di Baghdad, selain polisi yang
pemarah atau saudagar yang sebal atau qari’ yang mengherani diri”. Tiada
seyogyalah bahwa anda menyangka, yang demikian itu termasuk mengumpat. Karena
ia tidak menujukan kepada seseorang yang tertentu, sehingga mendatangkan
melarat bagi orang tersebut. Hanya dimaksudkan dengan yang demikian, untuk
menasehati orang banyak. Adalah Ibnul-Mubarak pergi ke Makkah. Dan adalah tempat
tinggalnya di Baghdad, dimana ia mengintip persiapan kafilah selama 16 hari.
Maka ia bersedekah dengan 16 dinar. Setiap hari 1 dinar, untuk menjadi kafarat
karena tinggalnya di Baghdad itu.
Suatu jama’ah mencaci
Irak, seperti Umar bin Abdul-aziz dan Ka’ab Al-Ahbar. Ibnu Umar ra bertanya
kepada bekas budaknya: “Dimana kamu tinggal ?”. Bekas budak itu menjawab: “Di
Irak”. Ibnu Umar ra bertanya lagi: “Apa yang kamu perbuat di situ ? sampai
kepadaku berita, bahwa tiada seorangpun yang tinggal di Irak, melainkan
digenggamkan oleh Allah baginya teman dari bala-bencana”. Pada suatu hari,
Ka’ab Al-Ahbar menyebutkan Irak dan mengatakan: “Di Irak 9/10 kejahatan. Di
Irak terdapat penyakit yang memayahkan”. Dikatakan, bahwa bahagian kebajikan
itu 10 bahagian. Maka 9/10nya di negeri Syam (Suriya) dan 1/10nya di Irak.
Bahagian kejahatan itu 10 bahagian, di atas kebalikan dari yang demikian.
Sebahagian para perawi
hadits berkata: “Adalah kami pada suatu hari pada Al-Fudlail bin ‘Iyadl. Maka
datanglah kepadanya seorang shufi, yang berpakaian dengan baju panjang. Lalu
didudukkannya di sampingnya. Dan ia menghadap kepadanya. Kemudian ia berkata:
“Di mana anda tinggal ?”. Orang shufi itu menjawab: “Di Baghdad”. Al-Fudlail
lalu berpaling dari orang shufi tadi, seraya berkata: “Datang kepada kami
seseorang mereka, dengan berpakaian pendeta. Tiba-tiba kami tanyakan: “Di mana
anda tinggal ?”, lalu ia menjawab: “Dalam sarang burung orang-orang zalim”.
Adalah Basyar Al-Harits
berkata: “Orang yang beribadah di Baghdad seperti orang yang beribadah dalam
sarang burung”. Basyar ada mengatakan: “Jangan kamu ikuti aku pada sesuatu
tingkat ibadah di Baghdad ! barangsiapa bermaksud keluar, maka hendaklah ia
keluar !”.
Ahmad bin Hanbal ada
mengatakan: “Jikalau tidaklah ketergantungan anak-anak itu dengan kami, niscaya
adalah keluar dari negeri ini aku utamakan bagi diriku”. Lalu ditanyakan: “Di
mana engkau memilih untuk tempat tinggal ?”. Beliau menjawab: “Di
benteng-benteng”. Sebahagian mereka mengatakan dan ia ditanyakan tentang penduduk
Baghdad: “Yang zuhud mereka itu zuhud dan yang jahat mereka itu jahat”. Ini
menunjukkan, bahwa orang yang memperoleh bala-bencana di suatu negeri, yang
banyak padanya perbuatan-perbuatan maksiat dan sedikit padanya kebajikan, maka
tiada dimaafkan baginya untuk tinggal menetap di negeri itu. Akan tetapi,
seyogyalah bahwa ia berhijrah ke negeri lain.
Allah Ta’ala berfirman:
“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu boleh pindah (berhijrah) ke
mana-mana ?”. S 4 An Nisaa’ ayat 97. Kalau ia dilarang dari yang demikian oleh
keluarga atau ada hubungan lain, maka tiada seyogyalah ia menyenangi dengan
keadaannya itu, lagi menentramkan jiwanya kepada yang demikian. Akan tetapi,
seyogyalah bahwa ia bersusah hati daripadanya, dengan selalu berdoa: “Wahai
Tuhan kami ! keluarkanlah kami dari negeri ini, yang penduduknya melakukan
kezaliman !”. S 4 An Nisaa’ ayat 75. Yang demikian itu, karena kezaliman
apabila merata, niscaya turunlah bala-bencana dan hancurlah semua. Dan meratai
orang-orang yang mengerjakan perbuatan taat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan takutilah fitnah (bala-bencana) yang bukan khusus menimpa orang-orang yang
bersalah saja diantara kamu”. S 8 Al Anfaal ayat 25. Jadi, tidaklah sekali-kali
pada sesuatu dari sebab-sebab kekurangan agama itu keridhaan mutlak, kecuali
dari segi kaitannya kepada perbuatan Allah Ta’ala. Adapun sebab-sebab itu
sendiri, maka tiada cara untuk meridhainya dengan bagaimanapun juga. Berbeda
pendapat para ulama tentang yang lebih utama dari orang-orang yang mempunyai 3
maqam: orang yang mencintai mati, karena rindu bertemu dengan Allah Ta’ala,
orang yang menyukai terus hidup, untuk berkhidmat kepada Tuhan dan orang, yang
mengatakan: aku tidak memilih suatupun, akan tetapi aku ridha (senang) dengan
apa yang dipilih oleh Allah Ta’ala. Dan disampaikan persoalan ini kepada
sebahagian ahli ilmu mengenal Allah Ta’ala(al-‘arifin). Lalu menjawab: “Yang
ridha itulah yang lebih utama dari mereka. Karena dialah yang lebih kurang hal
yang tidak perlu dari mereka”.
Pada suatu hari berkumpul
Wahib bin Al-Ward, Sufyan Ats-Tsuri dan Yusuf bin Asbath. Lalu berkata
Ats-Tsuri: “Aku tidak suka mati secara tiba-tiba sebelum hari ini. Dan hari
ini, aku ingin bahwa aku mati”. Maka Yusuf bertanya kepadanya: “Mengapa ?”.
Ats-Tsuri menjawab: “Karena apa, yang aku takuti dari fitnah”. Maka Yusuf
berkata: “Akan tetapi, aku tidak benci lamanya terusnya hidup”. Sufyan lalu
bertanya: “Mengapa ?”. Yusuf menjawab: “Semoga aku menjumpai akan suatu hari,
yang aku bertaubat padanya dan aku beramal shalih”. Lalu ditanyakan kepada
Wahib: “Apakah yang akan anda katakan ?”. Wahib bin Al-Ward maka menjawab: “Aku
tiada memilih akan sesuatu. Yang lebih aku sukai, ialah yang lebih disukai oleh
Allah swt”. Lalu Sufyan Ats-Tsuri memeluknya diantara kedua matanya dan
berkata: “Kerohanian demi Tuhan Yang Empunya Ka’bah !”.
PENJELASAN: sejumlah dari
cerita-cerita orang-orang yang mencintai, ucapan-ucapan dan diminta untuk
mengetahuinya saja (mukasyafah) mereka.
Dikatakan kepada sebahagian orang yang
berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala): “Bahwa anda itu pencinta”. Orang yang
berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu menjawab: “Tidaklah aku itu
pencinta. Sesungguhnya aku itu dicintai. Dan pencinta itu kepayahan”. Dikatakan
pula kepadanya: “Manusia mengatakan, bahwa anda itu seorang dari 7”. Lalu ia
menjawab: “Aku itu semua yang 7”. Ia mengatakan: “Apabila kamu melihat aku,
maka sesungguhnya kamu telah melihat 40 wali”. Maka ditanyakan: “Bagaimana dan
anda itu satu orang ?”. Ia menjawab: “Karena aku telah melihat 40 orang wali. Dan
aku mengambil dari setiap wali itu suatu budi-pekerti dari budi-budi
pekertinya”. Ditanyakan kepadanya: “Sampai kepada kami berita, bahwa anda
melihat nabi Khidlir as”. Ia lalu tersenyum dan menjawab: “Tidaklah ajaib orang
yang melihat nabi Khidlir as. Akan tetapi yang ajaib, ialah orang yang
berkehendak melihat Khidlir. Lalu ia terhijab (terdinding) daripadanya”.
Diceritakan dari nabi Khidlir as, bahwa ia berkata: “Tiada sekali-kali pada
suatu hari aku berbicara dengan diriku, bahwa tiada tinggal seorangpun
waliullah, melainkan aku mengenalnya. Kecuali pada hari itu, aku melihat
seorang wali, yang tidak aku mengenalnya”.
Pada suatu kali, orang
mengatakan kepada Abu Yazid Al-Busthami: “Ceritakanlah kepada kami, dari hal
musyahadah engkau akan Allah Ta’ala !”. Maka berteriaklah Abu Yazid, kemudian
berkata: “Celaka kamu ! tiada patut bagi kamu untuk mengetahui yang demikian”.
Dikatakan lagi: “Maka ceritakanlah kepada kami dengan kesangatan mujahadah
engkau bagi diri engkau pada jalan Allah Ta’ala !”. Abu Yazid lalu menjawab:
“Ini juga tidak boleh aku perlihatkan kepada kamu”. Kemudian dikatakan: “Maka
ceritakanlah kepada kami dari hal latihan diri engkau pada permulaan engkau !”.
Abu Yazid menjawab: “Ya, aku ajak diriku kepada Allah, lalu ia melawan kepadaku.
Maka aku berazam atasnya, bahwa aku tiada akan minum air setahun. Dan tiada
akan merasa tidur setahun. Lalu diriku itu mematuhi kepadaku dengan yang
demikian”.
Diceritakan dari Yahya bin
Ma’adz, bahwa ia melihat Abu Yazid pada sebahagian musyahadahnya, dari sesudah
shalat Isya sampai kepada terbit fajar, duduk dalam keadaan tidak tenang di
atas pangkal dua tapak kakinya, mengangkat kedua lekuk tapak kakinya, serta
kedua tumitnya dari lantai, menjadikan dagunya ke atas dadanya, memandang
dengan kedua matanya, yang tiada berkedip. Yahya bin Ma’adz meneruskan
ceritanya: “Kemudian, Abu Yazid sujud pada waktu sahur. Lalu melamakannya sujud
itu. Kemudian, ia duduk, lalu berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! bahwa suatu kaum
meminta pada Engkau, maka Engkau berikan mereka berjalan di atas air dan
berjalan di udara. Maka mereka ridha dengan demikian. Dan aku berlindung dengan
Engkau dari yang demikian. Bahwa suatu kaum meminta pada Engkau. Maka Engkau
berikan mereka bumi berlipat (menjadi pendek dalam perjalanan). Maka mereka
ridha dengan yang demikian. Bahwa aku berlindung dengan Engkau dari yang
demikian. Bahwa suatu kaum meminta pada Engkau. Maka Engkau berikan mereka
simpanan bumi. Maka mereka ridha dengan yang demikian. Dan aku berlindung
dengan Engkau dari yang demikian”. Sehingga ia menghitung lebih 20 maqam dari
karamah para wali-wali”. Kemudian, Abu Yazid berpaling, lalu ia melihat aku,
seraya memanggil: “Yahya !”. Aku menyahut: “Ya, wahai penghuluku !”. Maka
beliau bertanya: “Sejak kapan engkau di sini ?”. Aku menjawab: “Sejak seketika
ini”. Lalu beliau diam. Maka aku mengatakan: “Wahai penghuluku ! ceritakanlah
kepadaku akan sesuatu !”. Beliau lalu menjawab: “Aku akan menceritakan kepada
engkau, akan apa yang pantas bagi engkau. Bahwa Allah Ta’ala memasukkan aku
dalam falak yang paling bawah. Lalu diputar-putarkanNya aku dalam alam malakut
yang paling bawah. DiperlihatkanNya kepadaku segala lapisan bumi dan apa yang
di bawahnya, sampai yang di bawah betul. Kemudian, dimasukkanNya aku dalam
falak yang atas. Maka dithawafkanNya aku pada semua langit. DiperlihatkanNya
kepadaku, apa yang ada padanya, dari sorga-sorga, sampai ke ‘Arasy. Kemudian
disuruhNya aku berdiri di hadapanNya. Maka Ia berfirman: “Mintalah kepadaKu
apapun yang engkau lihat. Sehingga Aku akan memberikannya kepada Engkau”. Maka
aku menjawab: “Hai Tuhanku ! aku tiada melihat suatupun yang aku pandang baik,
lalu aku memintakannya pada Engkau”. Allah maka berfirman: “Engkau hambaKu yang
sebenarnya. Engkau beribadah kepadaKu, karenaKu dengan sebenar-benarnya.
Sungguh akan Aku berbuat kepada engkau ! sungguh akan Aku perbuat !”. Maka
disebutkannya beberapa perkara. Yahya meneruskan ceritanya: “Maka yang demikian
itu mendahsyatkan kepadaku. Penuh pikiranku dengan yang demikian dan merasa
heran sekali. Lalu aku bertanya: “Wahai penghuluku ! mengapa tidak engkau
mintakan padaNya akan ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan Dia ? dan telah
berfirman kepada engkau Raja Diraja: mintakan padaKu apa yang engkau kehendaki
?”. Yahya meneruskan ceritanya: “Lalu Abu Yazid berteriak dengan teriakan yang
keras, seraya berkata: “Diamlah, celaka engkau ! engkau cemburu akan hal itu
kepadaku. Sehingga aku tiada suka bahwa diketahui oleh orang lain”.
Diceritakan, bahwa Abu
Turab An-Nakh-syabi merasa bangga dengan sebahagian dari murid-muridnya. Maka
didekatinya murid tersebut dan diurusnya semua kepentingannya. Dan murid itu
sibuk dengan ibadahnya dan apa yang diperolehnya dalam muraqabahnya (memperhatikannya).
Pada suatu hari Abu Turab berkata kepada murid itu: “Kalau kiranya engkau
melihat Abu Yazid ?”. Murid itu menjawab: “Aku sibuk daripada menemuinya”.
Tatkala Abu Turab telah banyak kali mengatakan: kalau kiranya engkau melihat
Abu Yazid, maka tergeraklah perasaan murid itu, lalu bertanya: “Apakah kiranya
yang akan aku perbuat dengan Abu Yazid ? aku telah melihat Allah Ta’ala, maka
Ia mengkayakan aku, tanpa Abu Yazid”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka
tergeraklah tabiatku dan aku tiada menguasai lagi diriku, lalu aku berkata:
“Celaka engkau, engkau tertipu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla ! jikalau engkau
melihat Abu Yazid sekali saja, niscaya adalah lebih bermanfaat bagi engkau
daripada engkau melihat Allah 70 kali”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka
heranlah anak muda itu dari perkataannya dan ditantangnya. Lalu murid itu bertanya:
“Bagaimana maka demikian ?”. Abu Turab berkata kepadanya: “Celaka engkau !
apakah tidak engkau melihat Allah Ta’ala di sisi engkau. Maka Ia melahirkan
bagi engkau di atas kadar engkau ? dan engkau melihat Abu Yazid di sisi Allah,
yang telah dilahirkanNya baginya di atas kadarnya ?”. Murid itu lalu mengetahui
apa yang aku katakan. Maka ia menjawab: “Bawalah aku kepadanya !”. Abu Turab
itu menyebutkan suatu cerita, yang ia katakan pada akhirnya: “Maka kami berdiri
di atas suatu tempat yang tinggi. Kami menunggu Abu Yazid, untuk dia keluar
kepada kami dari hutan. Dan adalah Abu Yazid itu bertempat di suatu hutan, yang
padanya binatang buas”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka Abu Yazid itu
lalu di depan kami dan telah dibaliknya kulit kepala punggungnya. Lalu aku
katakan kepada pemuda itu: “Inilah Abu Yazid ! maka lihatlah kepadanya !”.
Pemuda itu lalu melihat kepada Abu Yazid, maka ia pingsan. Maka kami
gerak-gerakkan dia. Rupanya ia sudah meninggal. Maka bertolong-tolonganlah kami
menguburkannya. Lalu aku mengatakan kepada Abu Yazid: “Wahai penghuluku !
pandangannya kepada engkau membunuhnya”. Abu Yazid menjawab: “Bukan ! akan
tetapi temanmu itu yang benar. Dan telah tenang dalam hatinya suatu rahasia
yang tiada tersingkap baginya, dengan sifatnya. Maka tatkala ia melihat kami,
niscaya tersingkaplah baginya, rahasia hatinya. Lalu sempitlah ia dari
membawanya. Karena dia pada maqam murid-murid yang lemah. Maka yang demikian
itu membunuhnya”.
Tatkala orang hitam Habsyi
masuk ke kota Basrah. Lalu mereka membunuh banyak orang yang merampok harta
kekayaan. Maka berkumpullah teman-teman Sahal pada Sahal. Mereka lalu berkata:
“Jikalau engkau meminta pada Allah Ta’ala menolak mereka”. Sahal diam, kemudian
menjawab: “Bahwa bagi Allah di negeri ini banyak hamba-hambaNya, jikalau mereka
berdoa atas orang-orang zalim itu, niscaya tidak ada di muka bumi seorang
zalimpun, melainkan mati dalam satu malam. Akan tetapi, mereka tiada berbuat”.
Lalu ditanyakan: “Mengapa ?”. Sahal menjawab: “Karena mereka tiada menyukai apa
yang tiada disukai Allah”.
Kemudian, Sahal
menyebutkan dari yang diperkenankan oleh Allah, akan beberapa perkara, yang
tiada disanggupi menyebutkannya semuanya. Sehingga Sahal berkata: “Dan kalau
mereka meminta padaNya, bahwa tidak ditegakkanNya akan hari kiamat, niscaya
tidak akan ditegakkanNya”. Inilah urusan-urusan yang mungkin pada diri urusan
itu sendiri. Maka siapa yang tiada beruntung dengan suatupun daripadanya,
niscaya tiada seyogyalah ia kosong dari tashdiq (pembenaran) dan iman dengan
kemungkinannya. Bahwa qudrah (kuasa) itu luas dan kurnia itu meratai. Keajaiban
alam al-mulki/dunia dan al-malakut/langit itu banyak. Yang diqudrati oleh Allah
ta’ala itu tiada berkesudahan. Dan kurniaNya kepada hamba-hambaNya yang
dipilihNya itu tiada berpenghabisan. Karena itulah, Abu Yazid mengatakan:
“Jikalau Ia memberikan kepada engkau, akan munajah(membisikkan segala isi hati)
Musa, akan ruhaniyah Isa dan kekhalilan Ibrahim, maka engkau tuntutlah yang
dibalik itu ! sesungguhnya pada sisiNya, di atas yang demikian, berlipat ganda.
Jikalau engkau merasa tenang kepada yang demikian, niscaya Ia menghijabkan
engkau daripadanya. Dan ini bala-bencana seperti mereka dan orang-orang yang
dalam hal-keadaan seperti keadaan mereka. Karena mereka itu yang lebih mulia, lalu
yang lebih mulia”.
Sebahagian orang
al-‘arifin berkata: “Disingkapkan bagiku 40 haura’ (wanita yang demikian putih
matanya dan putih dan demikian hitam matanya yang hitam). Aku melihat mereka
itu berjalan di udara terbuka. Mereka memakai pakaian dari emas, perak dan
mutiara. Bunyinya gemerincing dan berlenggang jalannya mereka. Maka aku
memandang kepada mereka dengan sekali pandang. Maka aku disiksa 40 hari.
Kemudian, sesudah itu disingkapkan bagiku 80 haura’, di atas yang mereka tadi,
pada kebagusan dan kecantikan. Dikatakan orang kepadaku: “Tengoklah kepada
mereka !”. Orang al-‘arifin itu meneruskan ceritanya: “Maka aku sujud dan aku
pejamkan mataku dalam sujudku. Supaya aku tidak menengok kepada mereka. Dan aku
mengucapkan doa: “Aku berlindung dengan Engkau, dari yang selain Engkau. Tiada
keperluan bagiku dengan ini”. Maka selalulah aku berdoa, sehingga disingkirkan
mereka oleh Allah daripadaku”. Maka contoh-contoh diminta untuk mengetahuinya
saja ini, tiada seyogyalah diingkari oleh orang mu’min, karena tidak
diperolehnya yang seperti itu. Jikalau ia tidak beriman akan setiap sesuatu,
selain dengan apa yang disaksikannya, dari dirinya yang zalim dan hatinya yang
kasar, niscaya sempitlah jalan iman kepadanya. Bahkan ini adalah hal-ihwal,
yang lahir sesudah melampaui rintangan-rintangan dan mencapai maqam-maqam yang
banyak. Yang sekurang-kurangnya, ialah: ikhlas. Mengeluarkan
keberuntungan-keberuntungan diri dan memperhatikan makhluk dari semua amal
perbuatan, zahir dan batin. Kemudian, menyembunyikan yang demikian, dari
makhluk, dengan menutupkan hal-ihwalnya, sehingga ia tetap berbenteng dengan
benteng yang tidak terkenal. Maka inilah tingkat permulaan perjalanan mereka
dan yang tersedikit maqam mereka. Dan itulah yang paling sukar didapati pada
manusia-manusia yang taqwa. Dan sesudah pembersihan
hati dari kotoran berpaling kepada makhluk itu, melimpahlah kepadanya nur
keyakinan dan tersingkaplah baginya pokok-pokok kebenaran. Memungkiri
demikian, tanpa percobaan dan menjalani jalan itu berlaku sebagai berlakunya
kemungkiran orang yang memungkiri kemungkinan tersingkapnya bentuk pada besi,
apabila ia dibentuk, dibersihkan, dikilatkan dan dibentukkan dengan bentuk
cermin. Maka dipandang oleh orang yang memungkiri, kepada apa yang dalam
tangannya, dari sepotong besi yang gelap, yang telah dikuasai oleh karatan dan
kekejian. Dan dia itu tidak menceritakan salah satu dari bentuk-bentuk. Maka ia
memungkiri kemungkinan tersingkapnya yang dilihat padanya, ketika terang
zatnya. Dan memungkiri yang demikian itu adalah sangat bodoh dan sesat. Inilah
hukum setiap orang yang memungkiri karamah para wali (aulia). Karena tiada
tempat persandarannya, selain keteledorannya dari yang demikian. Dan
keteledoran orang yang dilihatnya. Dan seburuk-buruk persandaran yang demikian,
ialah pada mengingkari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala. Akan tetapi, sesungguhnya
akan diciumi bau diminta untuk mengetahuinya saja, oleh orang yang menjalani
sesuatu, walaupun dari pokok-pokok jalan.
Sebagaimana ditanyakan
kepada Basyar: “Dengan apa anda sampai ke tingkat ini ?”. Beliau menjawab:
“Adalah aku meminta pada Allah Ta’ala, bahwa Ia menyembunyikan hal-ihwalku”.
Artinya: aku meminta pada Allah Ta’ala, bahwa Ia menyembunyikan atasku dan
menyembunyikan urusanku. Diriwayatkan, bahwa Basyar melihat nabi Khidir as lalu
berkata kepadanya: “Berdoalah kepada Allah Ta’ala bagiku !”. Nabi Khidir as
menjawab: “Dimudahkan oleh Allah kiranya kepada engkau akan mentaatiNya !”.
Lalu aku berkata: “Tambahkan bagiku !”. Nabi Khidir as menjawab: “Dan
ditutupkanNya kepada engkau”. Maka dikatakan: artinya ditutupkanNya dari
makhluk. Ada yang mengatakan: artinya: ditutupkannya dari engkau, sehingga
engkau tiada berpaling kepadanya. Dari sebahagian mereka, ada yang berkata:
“Diganggu aku oleh kerinduan kepada Khidir as. Lalu pada suatu kali aku
bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia memperlihatkan Khidir kepadaku, untuk
diajarkannya aku akan sesuatu yang menjadi terpenting kepadaku”. Yang meriwayatkan
itu berkata: “Maka aku melihatnya. Maka tiada mengeraslah atasku kesusahanku
dan cita-citaku, selain bahwa aku mengatakan kepada Khidir: “Hai Abul-Abbas !
ajarilah aku akan sesuatu, apabila aku mengucapkannya, niscaya terhijablah aku
dari hati makhluk. Maka tiadalah bagiku padanya kedudukan. Dan aku tidak
dikenal oleh seseorang dengan kebaikan dan keagamaan”. Nabi Khidir as menjawab:
“Ucapkanlah: “Wahai Allah Tuhanku ! turunkanlah atasku tabirMu yang tebal !
turunkanlah atasku kemah hijabMu ! jadikanlah aku pada yang tertutup
keghaibanMu ! dan hijabkanlah aku dari hati makhlukMu !”. Yang meriwayatkan itu
berkata: “Kemudian Khidir as itu menghilang. Maka aku tidak melihatnya lagi.
Dan aku tidak rindu kepadanya lagi sesudah itu. Maka senantiasalah aku
mengucapkan kalimat-kalimat tadi setiap hari”. Maka diceritakan, bahwa jadilah
dia, dimana dia dipandang rendah dan hina. Sehingga kafir zimmi menghinakannya.
Dan mereka memandangnya hina di jalan-jalan. Ia membawa segala sesuatu bagi
mereka karena jatuh derajatnya pada mereka. Adalah anak-anak kecil
mempermain-mainkannya. Adalah kesenangannya itu ketenangan hatinya dan
istiqamah keadaannya dalam kehinaannya dan tidak terkenalnya. Maka begitulah
keadaan para wali Allah Ta’ala. Pada contoh-contoh seperti mereka itu,
seyogyalah bahwa dicari. Dan orang-orang yang tertipu sesungguhnya mencari para
wali itu di bawah potongan kertas yang tertulis dan pakaian-pakaian para ulama
yang hijau warnanya. Dan pada orang-orang yang termasyhur diantara makhluk,
dengan ilmu, wara’ dan menjadi kepala. Dan kecemburuan Allah Ta’ala kepada para
waliNya itu enggan, selain menyembunyikan mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman: “Wali-waliKu itu di bawah bajuKu. Tiada yang mengenal mereka, selain
Aku”.
Nabi saw bersabda: “Banyaklah
orang kusut-musut pakaiannya, yang berdebu, yang mempunyai dua helai kain yang
buruk, yang tiada mempunyai arti, jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya
Allah memberi kebajikan kepadanya”.
Kesimpulannya, maka hati
yang terjatuh dari menciumi makna-makna ini, ialah hati yang sombong, yang
mengherani diri, yang merasa gembira dengan amal dan ilmunya. Dan yang terdekat
hati kepadanya, ialah hati yang hancur, yang merasakan kehinaan diri, dengan
perasaan, apabila hina dan terkunyah, niscaya tidak merasa lagi dengan
kehinaan. Sebagaimana hamba tidak merasakan dengan kehinaan, manakala merasa
tinggi tuannya di atasnya, apabila ia tidak merasa dengan kehinaan dan tidak
merasa pula dengan tiada berpalingnya kepada kehinaan. Akan tetapi ada pada
dirinya yang lebih hina kedudukan, daripada bahwa dilihat oleh semua macam
kehinaan akan kehinaan pada pihaknya. Bahkan, ia melihat dirinya tidaklah
demikian. Sehingga, jadilah merendahkan diri dengan tabiat itu sifat diri. Maka
contoh seperti hati ini, diharapkan bahwa ia menghirup pokok-pokok bau ini.
Maka jikalau kita ketiadaan seperti hati ini dan tidak memperoleh seperti jiwa
ini, maka tiada seyogyalah bahwa dicampakkan iman dengan kemungkinan yang
demikian bagi yang empunyanya. Maka siapa yang tiada sanggup bahwa ada ia dari
para wali Allah, maka hendaklah dia mencintai wali-wali Allah, dan percaya
dengan mereka. Maka mudah-mudahan bahwa ia dikumpulkan serta orang yang
dicintainya.
Dibuktikan bagi ini, apa yang diriwayatkan
bahwa Isa as bertanya kepada kaum Bani Israil: “Dimanakah tumbuh tanam-tanaman
?”. Mereka menjawab: “Di tanah”. Isa as lalu mengatakan: “Dengan sebenarnya aku
mengatakan kepadamu: bahwa tidak tumbuh hikmah, selain pada hati yang seperti
tanah”. Sesungguhnya telah berkesudahan para murid untuk menjadi waliul-laahi
Ta’ala pada mencari syarat-syaratnya, dengan mendorongkan diri kepada kesudahan
hina dan keji.
Sehingga diriwayatkan,
bahwa Ibnul-Karanbi, yaitu gurunya Al-Junaid diundang makan oleh seorang
laki-laki 3 kali. Kemudian ia menolaknya. Kemudian ia memintanya, lalu ia
kembali sesudah itu, sehingga masuk pada kali yang ke-4. Maka orang itu
bertanya kepada Ibnul-Karanbi dari yang demikian. Ibnul-Karanbi menjawab:
“Diriku telah ridha dengan kehinaan 20 tahun. Sehingga dia seperti anjing, yang
diusir. Lalu terusir. Kemudian dia dipanggil. Maka dilemparkan baginya tulang.
Lalu ia kembali. Jikalau engkau ulang-ulangi aku 50 kali, kemudian engkau
undang aku sesudah itu, niscaya aku perkenankan”.
Dari Ibnul-Karanbi pula,
bahwa ia berkata: “Aku bertempat di Mahallah. Maka aku terkenal di situ sebagai
orang shalih. Maka bermacam-macamlah pikiran hatiku. Lalu aku masuk ke tempat
mandi. Aku menolah ke kain-kain yang dapat dibanggakan. Lalu aku curi dan aku
pakaikan. Kemudian, aku pakai kainku yang koyak di atasnya. Dan aku keluar. Dan
aku berjalan pelan-pelan. Maka mereka mengikuti aku dari belakang. Lalu mereka
tarik kainku yang koyak-koyak itu. Dan mereka ambil kain-kain yang bagus itu.
Mereka menempeleng aku dan menyakiti aku dengan pukulan. Maka jadilah aku
sesudah itu, terkenal dengan pencuri tempat mandi. Lalu tenanglah jiwaku”. Maka
begitulah adanya mereka menyenangkan dirinya. Sehingga mereka dilepaskan oleh
Allah dari memandang kepada makhluk. Kemudian, dari memandang kepada diri
sendiri. Bahwa orang yang berpaling kepada dirinya sendiri itu terhijab dari
Allah Taala. Dan kesibukannya dengan dirinya sendiri itu hijab baginya. Maka
tiadalah diantara hati dan Allah itu hijab yang jauh dan selang yang
menghalangi. Sesungguhnya jauhnya hati itu, ialah sibuknya dengan selain Allah
atau dengan dirinya sendiri. Dan hijab yang terbesar, ialah kesibukan diri.
Karena itulah, diceritakan, bahwa seorang yang hadir, yang tinggi kedudukannya,
dari orang-orang yang terpandang dari penduduk negeri Bustam itu, tidak pernah
berpisah dari majelis Abu Yazid Al-Bustami. Pada suatu hari, ia mengatakan
kepada Abu Yazid: “Bahwa aku semenjak 30 tahun, aku selalu berpuasa, tiada aku
berbuka (tidak berpuasa). Aku menegakkan malam dengan shalat, tiada aku tidur.
Tiada aku dapati pada hatiku akan sesuatu dari ilmu ini yang engkau sebutkan.
Dan aku membenarkannya dan menyukainya”. Abu Yazid lalu menjawab: “Jikalau
engkau berpuasa 300 tahun dan engkau menegakkan malamnya, niscaya tidak engkau
dapati dari ini akan seberat atompun”. Orang itu bertanya: “Mengapa ?”. Abu
Yazid menjawab: “Karena engkau terhijab dengan diri engkau sendiri”. Orang itu
bertanya: “Adakah bagi ini obatnya ?”. Abu Yazid menjawab: “Ada !”. Orang itu
lalu berkata: “Katakanlah kepadaku, sehingga aku mengerjakannya”. Abu Yazid
berkata: “Engkau tidak mau menerimanya”. Orang itu menjawab: “Sebutkanlah
kepadaku, supaya aku mengerjakannya”. Abu Yazid lalu menjawab: “Pergilah sesaat
ke tukang hias. Cukurlah rambutmu dan janggutmu ! bukalah pakaian ini dan
berkain sarunglah dengan baju selimut ! gantungkanlah pada lehermu kantong yang
penuh dengan buah jauz (bulat seperti kelapa) ! dan kumpullah anak-anak kecil
di sekelilingmu ! dan katakanlah: “Setiap orang yang menempeleng aku sekali
tempeleng, akan aku berikan kepadanya sebuah buah lauz”. Masuklah ke pasar.
Kelilingilah semua pasar itu pada orang-orang yang menyaksikan dan pada setiap
orang yang mengenal engkau. Dan engkau di atas keadaan yang demikian”.
Laki-laki itu menjawab: “Subhanallah ! engkau mengatakan kepadaku seperti ini
?”. Abu Yazid lalu berkata: “Ucapanmu “Subhanallah” itu syirik”. Laki-laki itu
lalu bertanya: “Bagaimana ?”. Abu Yazid menjawab: “Karena engkau membesarkan
diri engkau, lalu engkau mensucikannya. Dan bukan engkau bertasbih (mengucapkan
subhanallah) itu akan Tuhan engkau”. Lalu laki-laki itu menjawab: “Ini tiada
akan aku kerjakan. Akan tetapi, tunjukkanlah kepadaku akan yang lain”.
Abu Yazid menjawab: “Mulailah dengan ini,
sebelum setiap sesuatu yang lain !”. Laki-laki itu berkata: “Aku tidak
menyanggupinya”. Abu Yazid menjawab: “Sudah aku katakan kepadamu, bahwa kamu
tidak akan menerima”. Maka ini yang disebutkan oleh Abu Yazid adalah obat orang
yang berpenyakit dengan memandang kepada dirinya dan penyakit dengan memandang
manusia kepadanya. Dan tidak sembuh dari penyakit ini oleh obat, selain ini dan
yang seperti ini. Maka orang yang tidak menyanggupi obat, niscaya tiada
seyogyalah bahwa menantang kemungkinan sembuh pada pihak orang yang mengobatkan
dirinya sesudah sakit. Atau ia tidak sakit sekali-kali dengan seperti penyakit
ini. Maka sekurang-kurangnya derajat sehat, ialah percaya dengan
kemungkinannya. Maka celakalah bagi orang yang tidak memperoleh pula kadar yang
sedikit ini ! Inilah hal-hal yang jelas, lagi terang pada syara’ (agama). Yaitu
bersamaan dengan demikian, terpandang jauh pada pihak orang yang menghitungkan
dirinya termasuk ulama syara’ (agama).
Nabi saw bersabda: “Tiada
sempurna iman seorang hamba, sehingga adalah sedikit sesuatu lebih disukainya
dari banyaknya. Dan sehingga bahwa ia tidak tahu, lebih disukainya dari ia
tahu”. Nabi saw bersabda: “3 perkara yang ada pada
seseorang, niscaya sempurna imannya. Ia tidak takut pada jalan Allah, akan
cacian orang yang mencaci. Dan ia tidak berbuat ria dengan sesuatu dari
amal-perbuatannya. Dan apabila dikemukakan baginya dua pekerjaan, yang satu
untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, niscaya ia mengutamakan urusan akhirat
atas urusan dunia”.
Nabi saw bersabda: “Tiada
sempurna iman seorang hamba, sebelum ada padanya 3 perkara: apabila ia marah,
niscaya marahnya itu tidak mengeluarkannya dari kebenaran. Apabila ia ridha,
niscaya ridhanya itu tidak memasukkannya pada yang batil/salah. Dan apabila ia
mampu, niscaya ia tidak mengambil apa yang tidak menjadi miliknya”.
Tersebut pada hadits yang
lain: “3 perkara yang didatangkan kepada seseorang, maka sesungguhnya telah
didatangkan baginya, seperti apa yang didatangkan bagi keluarga Daud: adil pada
waktu ridha (senang dan setuju) dan waktu marah, sederhana pada waktu kaya dan
miskin dan takut kepada Allah pada waktu tersembunyi dan terang”.
Maka inilah syarat-syarat
yang disebutkan oleh Rasulullah saw bagi keutamaan iman. Maka mengherankan dari
orang yang mendakwakan tahu agama dan tidak dijumpai pada dirinya seatompun
dari syarat-syarat ini. Kemudian, adalah bahagiannya dari ilmu dan akalnya itu,
bahwa ia mengingkari apa yang tidak ada, selain sesudah melewati maqam-maqam
yang besar, lagi tinggi di belakang iman. Pada berita-berita, bahwa Allah
ta’ala menurunkan wahyu kepada sebahagian nabi-nabiNya: “Bahwa Aku mengambil
bagi kekhalilanKu, orang yang tidak lesu dari mengingatiKu (berdzikir
kepadaKu). Tidak ada baginya keinginan, selain Aku. Dan ia tidak mengutamakan
akan sesuatu dari makhlukKu atasKu. Jikalau ia dibakar dengan api, niscaya ia
tidak merasakan sakit bagi kebakaran dengan api itu. Dan jikalau ia dipotong
dengan gergaji, niscaya ia tidak merasakan pedih bagi sentuhan besi itu”. Maka
siapa yang tidak sampai, bahwa ia dikerasi oleh cinta kepada batas ini, niscaya
dari manakah ia tahu akan karamah dan diminta untuk mengetahuinya saja di
belakang cinta ? semua itu adalah di belakang cinta. Cinta itu di belakang
kesempurnaan iman. Maqam-maqam iman dan berlebih-kurangnya tentang bertambah
dan berkurang itu tidak mempunyai hinggaan.
Karena itulah Nabi saw
bersabda kepada Abubakar Siddik ra: “Bahwa Allah Ta’aa memberikan kepadamu
seperti iman setiap orang yang beriman dari umatku. Dan diberikanNya kepadaku
seperti iman setiap orang yang beriman kepadaNya dari anak Adam”. Tersebut pada
hadits yang lain: “Bahwa Allah Ta’ala mempunyai 300 budi pekerti (akhlaq).
Siapa yang bertemu dengan Dia, dengan suatu budi-pekerti daripadanya serta
keesaan, niscaya ia masuk sorga”. Abubakar ra lalu bertanya: “Wahai Rasulullah
! adakah padaku suatu budi-pekerti daripadanya ?”. Nabi saw lalu menjawab:
“Semuanya ada padamu, hai Abubakar. Akhlak yang paling disenangi oleh Allah,
ialah: pemurah”. Nabi saw bersabda: “Aku melihat mizan (timbangan amal)
diturunkan dari langit. Maka diletakkan aku dalam satu daun timbangan dan
diletakkan umatku dalam daun timbangan yang lain. Maka aku lebih berat dari
mereka. Dan diletakkan Abubakar dalam satu daun timbangan dan dibawa umatku
lalu diletakkan pada daun timbangan yang satu lagi. Maka Abubakar lebih berat
dari mereka”. Bersama ini semua, adalah dihabisi semuanya oleh Rasulullah saw
kepada Allah Ta’ala, dimana tidak muat lagi hatinya untuk ke khalilan serta
lain dari Allah Ta’ala, maka ia bersabda: “Jikalau aku mengambil manusia
menjadi khalilku, niscaya aku mengambil Abubakar menjadi khalil. Akan tetapi,
temanmu ini khalil Allah Ta’ala”. Beliau maksudkan: dirinya sendiri.
PENYUDAHAN KITAB: dengan
kalimat-kalimat yang bercerai-berai, yang menyangkut dengan kecintaan yang
dimanfaatkan.
Sufyan berkata: “Cinta itu mengikuti
Rasulullah saw”. Yang lain berkata: “Terus-menerus berdzikir”. Yang lain lagi
berkata: “Mengutamakan yang dicintai”. Sebahagian mereka berkata: “Benci terus
tinggal di dunia”. Semua ini adalah isyarat kepada hasil dari cinta. Adapun
diri cinta itu sendiri, maka mereka tidak membentangkannya. Sebahagian mereka
mengatakan, bahwa cinta itu yang diartikan dari yang dicintai, yang memaksakan
hati untuk mengetahuinya. Dan lidah enggan memperkatakannya.
Al-Junaid berkata:
“Diharamkan oleh Allah Ta’ala akan cinta kepada orang yang mempunyai hubungan”.
Ia mengatakan: “Setiap cinta itu adalah dengan imbalan. Apabila imbalannya
hilang, niscaya hilanglah cinta”. Dzun-Nun berkata: “Katakanlah kepada orang,
yang melahirkan kecintaan kepada Allah: “Jagalah bahwa engkau hina karena
selain dari Allah !”. Ditanyakan kepada Asy-Syibli ra: “Sifatkanlah kepada
kami, akan orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) (al-‘arif) dan
orang yang cinta (al-muhibb) !”. As-Syibli menjawab: “Al-‘arif, jikalau ia
berbicara, niscaya ia binasa. Dan al-muhibb, jikalau ia diam, niscaya ia
binasa”. Asy-Syibli ra bermadah:
Wahai Penghulu Yang Mulia !
Cinta kepadaMu menetap diantara
penjagaanMu.
Wahai Yang Mengangkatkan tidur dari
pelupuk mata !
Engkau tahu apa yang berlaku padaku.
Dan madah dari orang lain:
Aku heran kepada orang yang berkata:
aku ingat kepada Tuhanku.
Adakah aku lupa,
Lalu aku ingat yang aku lupakan itu ?
Aku mati, apabila aku ingat kepadamu,
kemudian, aku hidup.
Jikalau tidaklah baik sangkaanku,
niscaya aku tidak hidup.
Maka aku hidup dengan cita-cita
dan aku mati karena rindu.
Maka banyaklah aku mati kepada anda
dan banyaklah aku mati itu.
Aku minum cinta,
gelas demi gelas.
Maka tidak habislah minuman
dan aku tidak puas.
Mudah-mudahan khayalannya itu,
terletak di pelupuk mataku.
Jikalau pendek pada pandanganku,
niscaya buta mataku.
Pada suatu hari Rabi’ah Al-‘Adawiyah
bertanya: “Siapakah yang menunjukkan kami kepada kecintaan kami ?”. Lalu
pelayan wanitanya menjawab: “Kecintaan kita bersama kita. Akan tetapi dunia
yang memutuskan kita daripadaNya”.
Ibnul-Jala ra berkata:
“Allah menurunkan wahyu kepada Isa as: “Bahwa Aku apabila melihat kepada
rahasia seorang hamba, niscaya tiada Aku dapati padanya kecintaan kepada dunia
dan akhirat. Aku penuhkan rahasianya dengan kecintaan kepadaKu dan Aku
memimpinnya dengan pemeliharaanKu”. Dikatakan, bahwa pada suatu hari Samnun
memperkatakan tentang cinta. Tiba-tiba seekor burung turun di hadapannya. Maka
senantiasalah burung itu mengorek tanah dari paruhnya, sehingga mengalir darah
daripadanya. Lalu ia mati.
Ibrahim bin Adham berdoa:
“Hai Tuhanku ! bahwa Engkau mengetahui, bahwa sorga itu tiada tertimbang padaku
seberat sayap nyamuk, pada pihak apa yang Engkau muliakan aku pada mencintai
Engkau. Engkau jinakkan hatiku dengan mengingati Engkau dan Engkau kosongkan
hatiku untuk bertafakkur pada kebesaran Engkau”.
As-Sirri ra berkata:
“Siapa yang mencintai Allah, niscaya ia hidup dan siapa yang cenderung kepada
dunia, niscaya kurang ingat akalnya. Orang dungu itu berpagi dan bersore hari,
pada tak apa-apa. Dan orang yang berakal itu memeriksa dari
kekurangan-kekurangannya”.
Ditanyakan kepada Rabi’ah:
“Bagaimana cinta engkau kepada Rasulullah saw ?”. Rabi’ah lalu menjawab: “Demi
Allah ! sesungguhnya aku mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Akan
tetapi, kecintaan kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta) itu menyibukkan aku dari
kecintaan kepada makhluk”.
Ditanyakan Isa as dari
amal yang lebih afdhal, maka Isa as menjawab: “Ridha dan cinta kepada Allah
Ta’ala”. Abu Yazid berkata: “Orang yang cinta itu tidak mencintai dunia dan
akhirat. Sesungguhnya ia mencinta dari Tuhannya akan zat Tuhannya”.
Asy-Syibli berkata: “Cinta
itu kedahsyatan pada kelezatan dan keheranan pada pengagungan”. Dikatakan,
bahwa cinta itu menghapuskan bekas engkau dari engkau. Sehingga tidak tinggal
pada engkau sesuatu, yang kembali dari engkau kepada engkau. Dikatakan, bahwa
cinta itu kedekatan hati kepada yang dicintai, dengan kesukaan dan kegembiraan.
Ibrahim Al-Khawwash
berkata: “Cinta itu menghapuskan segala kehendak dan membakar segala sifat dan
hajat”. Ditanyakan Sahal tentang cinta, maka ia menjawab: “Dikasihani oleh
Allah akan hati hambaNya untuk musyahadahNya, sesudah memahami bagi yang
dimaksud daripadaNya”.
Dikatakan, bahwa mu’amalah
(perniagaan) orang yang mencintai itu atas 4 tempat: atas kecintaan, atas
kehebatan, atas malu dan atas penghormatan. Yang paling afdhal bagi cinta,
ialah: penghormatan dan cinta. Karena yang dua ini akan kekal bersama penduduk
sorga dalam sorga. Dan terangkat dari mereka, yang lain dari yang dua itu.
Haram bin Hayyan berkata:
“Orang mu’min apabila mengenal Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia
mencintaiNya. Apabila ia mencintaiNya, niscaya ia menghadap kepadaNya. Apabila
ia memperoleh kemanisan menghadap kepadanya, niscaya ia tidak memandang kepada
dunia dengan mata nafsu syahwat. Dan ia tidak memandang kepada akhirat dengan
mata kelesuan. Dan kemanisan iman itu menyusahkannya di dunia dan
menyenangkannya di akhirat”.
Abdullah bin Muhammad
berkata: “Aku mendengar seorang wanita yang termasuk banyak beribadah, berkata,
dan ia sedang menangis, air matanya mengalir di atas pipinya: “Demi Allah !
sungguh aku telah bosan dari hidup. Sehingga, jikalau aku dapati mati itu
dijual orang, niscaya aku beli, karena rindu kepada Allah Ta’ala dan ingin
menemuiNya”.
Abdullah bin Muhammad
meneruskan ceritanya: “Lalu aku bertanya kepadanya: “Maka atas kepercayaankah
anda di atas amal anda itu ?”. Wanita itu menjawab: “Tidak ! akan tetapi,
karena cintaku kepadaNya dan baik sangkaanku dengan Allah. Adakah engkau
melihatNya akan mengazabkan aku, sedang aku mencintaiNya ?”.
Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada Daud as: “Jikalau tahulah orang-orang yang berpaham (bertadabbur)
dari hal Aku, bagaimana tungguanKu akan mereka, kasih-sayangKu kepada mereka
dan rinduKu supaya mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat, niscaya mereka
mati, karena rindu kepadaKu dan putus-putuslah anggota tubuh mereka dari
kecintaan kepadaKu. Hai Daud ! inilah kehendakKu pada mereka yang bertadabbur
dari hal Aku. Maka bagaimana kehendakKu pada orang-orang yang menghadap
kepadaKu ? hai Daud ! yang paling diperlukan hamba kepadaKu, ialah apabila ia
merasa kaya dari Aku. Yang paling Aku kasihi akan apa, yang Aku dengan hambaKu,
ialah apabila ia membelakangi Aku. Dan yang paling mulia akan apa yang adalah
hambaKu, ialah apabila ia kembali kepadaKu”.
Abu Khalid Ash-Shaffar
berkata: “Salah seorang dari nabi-nabi menjumpai seorang ‘abid. Lalu beliau
berkata kepadanya: “Hai para hamba ! bahwa kamu berbuat atas sesuatu, yang kami
para nabi-nabi, tidak memperbuatnya. Kamu berbuat di atas takut dan harap. Dan
kami berbuat di atas cinta dan rindu !”. Asy-Syibli ra berkata: “Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud ! mengingati Aku (berdzikir
kepadaKu) itu bagi orang-orang yang berdzikir. SorgaKu itu bagi orang-orang
yang taat. Dan berkunjung kepadaKu itu bagi orang-orang yang rindu. Dan Aku
khususnya bagi orang-orang yang mencintai”.
Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada Adam as: “Hai Adam ! siapa yang mencintai orang yang dicintainya,
niscaya benarlah perkataannya. Siapa yang jinak hatinya dengan yang
dicintainya, niscaya disenangilah perbuatannya. Dan siapa yang rindu kepada
yang dicintainya, niscaya ia bersungguh-sungguh pada berjalan kepadanya”.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash
ra memukul dadanya dan berkata: “Alangkah rindunya aku kepada Yang Melihat aku
dan aku tidak melihatNya !”. Al-Junaid ra berkata: “Nabi Yunus as menangis,
sampai buta. Ia tegak berdiri sampai membungkuk. Dan ia mengerjakan shalat,
sehingga terduduk. Dan ia mengucapkan: “Demi kemuliaan Engkau dan keagungan
Engkau ! jikalau adalah diantara aku dan Engkau lautan dari api, niscaya aku
menyeberanginya kepada Engkau. Karena rinduku kepada Engkau”.
Dari Ali bin Abi Thalib ra
yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw dari hal sunnahnya. Maka
beliau menjawab: “Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu modalku. Akal itu pokok
agamaku. Cinta itu azasku. Rindu itu kendaraanku. Dzikrullah itu kejinakan
hatiku. Kepercayaan itu gudangku. Gundah itu temanku. Ilmu itu senjataku. Sabar
itu selendangku. Ridha itu rampasanku. Lemah itu kebanggaanku. Zuhud itu
perusahaanku. Yakin itu makananku. Benar itu yang mensyafa’atiku. Taat itu
kecintaanku. Jihad itu perangaiku dan ketetapan mataku pada shalat”.
Dzun-Nun berkata: “Maha
Suci Allah yang menjadikan jiwa itu sebagai tentara yang berbaris. Maka jiwa
orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu agung dan kudus.
Maka karena itulah mereka itu rindu kepada Allah Ta’ala. Jiwa orang-orang
mu’min itu kerohanian. Maka karena itulah, mereka ingin kepada sorga. Dan jiwa
orang-orang yang lalai itu penuh kenafsuan. Maka karena itulah, mereka
cenderung kepada dunia”. Sebahagian guru-guru berkata: “Aku melihat pada bukit
Al-Lukam, seorang laki-laki yang kuning warnanya, yang lemah badannya. Ia
melompat dari batu ke batu dan mengatakan dengan madah:
Rindu dan hawa nafsu,
menjadikan aku,
sebagaimana yang anda lihat itu.
Dikatakan: bahwa rindu itu api Allah,
yang dinyalakanNya dalam hati para waliNya. Sehingga dengan itu, membakar apa
yang dalam hati mereka, dari segala gurisan hati, kehendak, rintangan dan hajat
keperluan. Maka inilah sekadar yang memadai mengenai uraian cinta, jinak hati,
rindu dan ridha. Marilah kita singkatkan sekedar ini. Kiranya Allah memberikan
taufiq bagi kebenaran. Tamatlah “Kitab Cinta, Rindu, Ridha dan Jinak Hati”.
Akan diiringi oleh “Kitab Niat, Ikhlas dan Benar”.