Kamis, 13 Februari 2014

36. KITAB KASIH-SAYANG, RINDU, JINAK HATI DAN RIDHA.

KITAB KASIH-SAYANG, RINDU, JINAK HATI DAN RIDHA
Yaitu: Kitab ke-6 dari “Rubu Yang Melepaskan” dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah yang membersihkan hati para waliNya dari berpaling kepada keelokan dunia dan kekayaannya. Kemudian Ia mengikhlaskan hati mereka untuk berhenti di atas permadani KemuliaanNya. Kemudian, ALLAH menjadi terang bagi mereka, dengan asmaNya dan sifatNya, sehingga menjadi cemerlang dengan nur ilmu mengenal Allah Ta’alaNya. Kemudian Ia menyingkapkan bagi mereka, dari keagungan WajahNya, sehingga terbakar dengan api kasih sayangNya. Kemudian, ALLAH terhijab (terdinding) daripadanya dengan hakikat/makna keagunganNya, sehingga hati para wali itu heran dalam lapangan luas keagungan dan kebesaranNya. Maka setiap kali hati para wali itu tergerak untuk memperhatikan hakikat/makna keagungan, niscaya diliputi dari kedahsyatan, oleh yang berlumuran debu pada wajah akal dan mata hatinya. Dan setiap kali hati para wali itu bercita-cita dengan berpaling dalam keadaan putus asa, niscaya datang panggilan dari kemah keelokan: “Sabar, hai yang berputus asa dari pada mencapai Al-Haqq (Maha Benar), disebabkan kebodohan dan kesegeraannya!”. Maka teruslah hati para wali itu diantara menolak dan menerima, menahan dan sampai, tenggelam dalam lautan ilmu mengenal Allah Ta’alaNya dan terbakar dengan api kasih-sayangNya. Shalawat kepada Muhammad, kesudahan nabi-nabi dengan sempurna kenabiannya. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya, penghulu manusia dan imam-imamnya, panglima kebenaran dan yang menggenggamkannya. Anugerahilah kesejahteraan yang banyak !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya kasih-sayang (mencintai) akan Allah, adalah tujuan yang paling jauh dari maqam-maqam yang ingin dicapai dan ketinggian yang tertinggi dari derajat-derajat. Tidak ada sesudah memperoleh kasih-sayang, suatu maqampun lagi, selain dari buah dari buah-buahannya dan ikutan dari pengikut-pengikutnya. Seperti: rindu, jinak hati, ridha dan sifat-sifat lain yang searah dengan itu. Dan tidak ada suatu maqampun sebelum kasih-sayang itu, selain adalah menjadi pendahuluan dari pendahuluan-pendahuluannya. Seperti: taubat, sabar, zuhud dll. Maqam-maqam yang lain, jikalau sukar adanya, maka tidaklah kosong hati dari iman dengan kemungkinannya.
Adapun mencintai Allah Ta’ala, maka sulitlah keimanan dengan mencintai itu. Sehingga sebahagian ulama memungkiri kemungkinannya. Dan mengatakan: tak ada makna baginya, selain rajin mengerjakan taat kepada Allah Ta’ala. Adapun hakikat/makna kasih-sayang (mencintai) maka itu mustahil, selain bersama sejenis dan secontoh. Manakala mereka menentang (memungkiri) akan kasih-sayang, niscaya mereka memungkiri akan kejinakan hati dan kerinduan, kelezatan munajah(membisikkan segala isi hati) dan hal-hal lain yang harus bagi kasih-sayang dan yang mengikutinya. Dan tak boleh tidak, daripada menyingkapkan tutup dari persoalan ini. Kami akan menyebutkan dalam kitab ini, penjelasan dalil-dalil Syara’ (agama) mengenai kasih-sayang.
Penjelasan dalil-dalil syara’ (agama) tentang kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian. penjelasan: hakikat/makna kasih-sayang dan sebab-sebabnya dan pemastian makna kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan bahwa tiada yang berhak untuk dicintai, selain Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan bahwa kelezatan yang terbesar, ialah: kelezatan memandang Wajah Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan sebab kelebihan kelezatan memandang di akhirat, atas ilmu mengenal Allah Ta’ala di dunia.
Kemudian, penjelasan sebab-sebab yang menguatkan kecintaan kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan sebab pada berlebih-kurangnya manusia tentang kecintaan.
Kemudian, penjelasan sebab tentang singkatnya pemahaman dari hal ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan makna rindu.
Kemudian, penjelasan kecintaan Allah Ta’ala kepada hamba.
Kemudian, pembicaraan mengenai tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penjelasan makna kejinakan hati dengan Allah Ta’ala.
Kemudian penjelasan makna menghampar tentang kejinakan hati.
Kemudian, pembicaraan tentang makna ridha dan penjelasan keutamaannya.
Kemudian, penjelasan hakikat/makna ridha.
Kemudian, penjelasan, bahwa doa & kebencian kepada perbuatan-perbuatan maksiat itu tiada berlawanan. Demikian juga, lari dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Kemudian, penjelasan cerita-cerita dan ucapan-ucapan yang bercerai-berai bagi orang-orang yang mencintaiNya. Inilah semua penjelasan bagi kitab ini.
PENJELASAN: dalil-dalil syara’ (agama) tentang kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah, bahwa umat itu sepakat, bahwa mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya saw itu wajib. Dan bagaimana diwajibkan apa yang tidak ada wujudnya ? bagaimana ditafsirkan kecintaan dengan taat dan taat itu mengikuti kecintaan dan buahnya ? maka tidak boleh tidak, didahulukan penjelasan tentang kecintaan itu. Kemudian, sesudah itu manusia akan mentaati siapa yang dicintainya. Ditunjukkan kepada adanya kecintaan kepada Allah Ta’ala, oleh firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “ALLAH mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54. Dan firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 165. Itu menunjukkan (dalil) atas adanya kecintaan dan adanya berlebih-kurang pada kecintaan itu. Rasulullah saw menjadikan kecintaan kepada Allah termasuk sebahagian dari syarat iman, pada banyak hadits.
Karena Abu Razin Al-‘Uqaili bertanya: “Ya Rasulullah ! apakah iman itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bahwa adalah Allah dan RasulNya lebih kamu cintai dari yang lain”. Tersebut pada hadits yang lain: “Tiada beriman seorang kamu, sebelum adanya Allah dan RasulNya itu lebih dicintainya dari yang lain”. Tersebut pada hadits yang lain: “Tiada beriman seorang hamba, sebelum adalah aku lebih dicintainya dari isterinya, hartanya dan manusia semuanya”. Pada suatu riwayat: “Dan dari dirinya sendiri”. Bagaimana ? dan Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: kalau bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai; kalau semua itu kamu cintai lebih dari Allah dan RasulNya dan dari berjuang di jalan Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintahNya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik”. S 9 At Taubah ayat 24. Sesungguhnya Allah memperlakukan yang demikian, dalam pembentangan memberi takut dan penantangan. Dan Rasulullah saw menyuruh dengan mencintai, dengan sabdanya: “Cintailah Allah, karena ALLAH memberi makan kamu dari ni’mat ! dan cintailah aku, karena Allah mencintai aku !”.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah ! bahwa aku mencintaimu”. Beliau lalu menjawab: “Bersedialah untuk miskin !”. Orang itu lalu mengatakan lagi: “Bahwa aku mencintai Allah Ta’ala”. Maka Nabi saw menjawab: “Bersedialah untuk menghadapi percobaan !”. Diriwayatkan dari Umar ra yang mengatakan: “Nabi saw memandang kepada Mash’ab bin Umair, dengan menghadap kepadanya. Dan pada Mash’ab ada kulit kibasy, yang telah dibuatnya seperti ikat pinggang. Nabi saw lalu bersabda: “Lihatlah kepada laki-laki ini, yang telah dicurahkan cahaya oleh Allah ke dalam hatinya. Aku telah melihatnya diantara ibu-bapaknya, yang memberikannya makanan dengan makanan dan minuman yang lebih baik. Maka ia dipanggil oleh kecintaan kepada Allah dan RasulNya, kepada apa yang kamu melihatnya”.
Pada hadits masyhur, tersebut, bahwa nabi Ibrahim as mengatakan kepada Malakul-maut, ketika datang kepadanya untuk mengambil nyawanya: “Adakah engkau melihat Yang Dicintai (Allah) mematikan yang dicintaiNya (Ibrahim) ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ibrahim as: “Adakah engkau melihat Yang Mencintai itu tidak suka akan bertemu dengan yang dicintaiNya ?”. Maka nabi Ibrahim as berkata: “Hai Malakul-maut ! sekarang maka ambillah nyawa itu !”. Ini tidak akan diperoleh, selain oleh hamba yang mencintai Allah dengan seluruh hatinya. Maka apabila ia mengetahui bahwa mati itu adalah sebab bertemu (dengan Allah), niscaya tergeraklah hatinya kepadaNya. Dan tak ada baginya yang dicintai, selain daripada ALLAH. Sehingga ia berpaling kepada yang lain itu.
Nabi kita saw membaca dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku mencintai Engkau, mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai apa yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau ! jadikanlah kecintaan kepada Engkau itu yang lebih aku cintai dari air dingin !”.
Seorang Arab desa datang kepada Nabi saw, seraya bertanya: “Ya Rasulullah ! kapan kiamat ?”. Nabi saw menjawab: “Apa yang telah engkau sediakan bagi kiamat itu ?”. Arab desa itu menjawab: “Tiada aku sediakan untuk kiamat itu, banyaknya shalat dan puasa. Hanya, aku mencintai Allah dan RasulNya”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Manusia itu bersama orang yang dicintainya”. Anas berkata: “Tidaklah aku melihat kaum muslimin yang bergembira dengan sesuatu sesudah Islam, sebagaimana gembiranya mereka dengan hadits di atas ini”.
Abubakar Siddik ra berkata: “Barangsiapa merasa dari murninya kecintaan kepada Allah Ta’ala, niscaya yang demikian itu menyibukkannya daripada mencari dunia dan mengliarkan hatinya dari semua manusia”. Al-Hasan Al-Bashari  berkata: ‘Barangsiapa mengenal Tuhannya, niscaya ia mencintaiNya dan barangsiapa mengenal dunia, niscaya ia zuhud pada dunia. Orang mu’min itu tidak bermain-main, sehingga ia lalai. Maka apabila ia bertafakkur, niscaya ia gundah hati”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Sesungguhnya dari makhluk Allah itu ada makhluk, yang tidak disibukkan mereka oleh sorga dan apa yang ada di dalam sorga dari bermacam nikmat. Maka bagaimana mereka menjadi sibuk dengan dunia ?”.
Diriwayatkan, bahwa Isa as lalu pada 3 orang, yang telah kurus badannya dan berobah warna mukanya. Ia lalu bertanya kepada orang 3 itu: “Apakah yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku lihat ?”. Mereka itu menjawab: “Takut dari neraka”. Nabi Isa as lalu berkata: “Menjadi hak atas Allah bahwa mengamankan orang yang takut”. Kemudian, Nabi Isa as melewati mereka yang 3 tadi, kepada 3 yang lain. Tiba-tiba dijumpainya mereka lebih sangat kurus dan berobah warna mukanya. Lalu ia bertanya: “Apakah yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku lihat ?”. Mereka itu menjawab:   “Rindu kepada sorga”. Isa as lalu menjawab: “Menjadi hak atas Allah, bahwa memberikan kepada kamu, apa yang kamu harapkan”. Kemudian, nabi Isa as melewati mereka yang 3 ini, kepada 3 yang lain. Tiba-tiba dijumpainya mereka itu, lebih lagi kurus dan berobah warna mukanya. Seakan-akan pada muka mereka, menampak nur (cahaya). Lalu Nabi Isa as bertanya: “Apakah yang menyampaikan kamu kepada apa yang aku lihat ?”. Mereka menjawab: “Kami mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla”. Nabi Isa as lalu berkata: “Kamu orang muqarrabin ! kamu orang muqarrabin ! kamu orang muqarrabin (orang yang dekat dengan Allah) !”.
Abdul-wahid bin Zaid berkata: “Aku lalu dekat orang yang  berdiri pada salju (es di musim dingin). Lalu aku bertanya: “Apakah engkau tidak merasa dingin ?”. Orang itu menjawab: “Siapa yang disibukkan oleh kecintaan kepada Allah, niscaya ia tidak merasa dingin”. Dari Sirri As-Saqathi, yang mengatakan: “Segala umat pada hari kiamat dipanggil dengan nabi-nabinya. Maka dikatakan: “Hai umat Musa ! hai umat Isa ! hai umat Muhammad ! yang tidak mencintai Allah Ta’ala. Mereka dipanggil: “Hai wali-wali Allah ! marilah kepada Allah Yang Maha Suci ! hampirlah hati mereka itu tercabut karena gembira”.
Haram bin Hayyan berkata: “Orang mu’min, apabila mengenal Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, niscaya mencintaiNya. Apabila mencintaiNya, niscaya menghadap kepadaNya. Apabila mendapat kemanisan menghadap kepadaNya, niscaya ia tidak memandang kepada dunia, dengan mata nafsu syahwat. Dan tidak ia memandang kepada akhirat dengan mata lesu. Kemanisan menghadap itu menyusahkannya di dunia dan menyenangkannya di akhirat”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Kemaafannya menghabiskan dosa, maka bagaimana keridhaannya? keridhaannya menghabiskan angan-angan, maka bagaimana kecintaannya? Kecintaannya mendahsyatkan akal, maka bagaimana kasih-sayangnya ? kasih-sayangnya melupakan yang kurang dari itu, maka bagaimana kelemah-lembutannya ?”. Terdapat pada sebahagian kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul: “Hai hambaKu ! hak engkau bagi engkau itu mencintai. Maka dengan hakKu kepada engkau, adalah engkau mencintai Aku !”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Seberat biji sawi dari kecintaan itu lebih aku sukai dari ibadah 70 tahun, tanpa kecintaan”. Yahya bin Ma’adz berkata lagi: “Hai Tuhanku ! bahwa aku menetap di halaman Engkau, sibuk dengan pujian yang kecil kepada Engkau. Engkau ambil aku kepada Engkau. Engkau pakaikan aku pakaian dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Engkau. Engkau mungkinkan aku dari kelemah-lembutan Engkau. Engkau pindahkan aku dalam segala hal. Engkau balik-balikkan aku dalam segala amal perbuatan dengan tertutup, taubat, zuhud, rindu, ridha dan kecintaan. Engkau berikan aku minum dari kolam Engkau, Engkau biarkan aku dalam kebun Engkau, yang mengikuti perintah Engkau, yang tergantung oleh kasih-sayang dengan firman Engkau dan bagi apa yang telah keluarlah kumisku dan telah tampaklah keberuntunganku. Maka bagaimana aku berpaling pada hari ini dari Engkau dalam keadaan besar dan telah Engkau sediakan ini dari Engkau dalam keadaan kecil ? Maka bagiku, tiada tinggal lagi di keliling Engkau, gerakan yang tersembunyi. Dan dengan tunduk kepada Engkau, tiada tinggal lagi suara yang tiada terang. Karena aku itu mencintai. Setiap yang mencintai itu tergantung dengan kasih-sayang kepada kecintaannya. Dan terpaling dari bukan kecintaannya.
Telah datang hadits-hadits dan atsar-atsar mengenai kecintaan kepada Allah Ta’ala, yang tidak masuk dalam hinggaan orang yang menghinggakan. Dan yang demikian itu hal yang jelas. Yang kabur ialah pada memastikan maknanya. Maka hendaklah kita menggunakan tenaga dengan yang demikian !
PENJELASAN: hakikat/makna kasih-sayang dan sebab-sebabnya dan pemastian makna kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang dicari dari pasal ini, tidak akan tersingkap, selain dengan mengetahui hakikat/makna kecintaan, tentang dirinya kecintaan itu. Kemudian, mengetahui syarat-syaratnya dan sebab-sebabnya. Kemudian, sesudah itu memperhatikan pada pemastian maknanya terhadap Allah Ta’ala. Maka yang pertama, yang seyogyanya bahwa dipastikan, ialah tidak akan tergambar kecintaan, selain sesudah ilmu mengenal Allah Ta’ala (dikenali) dan indra (diketahui). Karena manusia itu tidak mencintai, selain apa yang dikenalnya. Dan karena demikianlah, tiada akan tergambar, bahwa barang beku bersifat dengan kecintaan. Akan tetapi, kecintaan itu termasuk khasiat (sifat khas) bagi yang hidup, yang mengetahui. Kemudian hal-hal yang diketahui itu dalam pembahagian nya, terbagi kepada: yang bersesuaian dengan tabiat yang mengetahui, yang cocok dan yang enak baginya. Kepada yang berketiadaan, yang berjauhan dan yang menyakitinya. Dan kepada yang tidak membekaskan padanya dengan menyakitkan dan melezatkan. Maka setiap apa yang ada pada yang diketahuinya itu kelezatan dan kesenangan, niscaya itu dicintai oleh yang mengetahui. Dan apa yang ada pada yang diketahuinya itu kepedihan, maka itu dibenci oleh yang mengetahui. Dan yang terlepas dari akibat kepedihan dan kelezatan, maka tidak disifatkan dengan keadaannya itu dicintai dan tidak disukai. Jadi, setiap yang enak itu dicintai, pada orang yang menerima keenakannya. Makna keadaannya itu dicintai, bahwa pada tabiat itu cenderung kepadanya. Dan makna keadaannya itu dibenci, bahwa pada tabiat itu lari daripadanya. Maka cinta itu ibarat dari kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang melezatkan. Jikalau kecenderungan itu kokoh dan kuat, niscaya dinamakan: asyik (bergantung hati kepadanya). Dan benci itu ibarat dari larinya tabiat dari yang memedihkan, yang memayahkan. Apabila benci telah kuat, niscaya dinamakan: sangat benci (maqtan). Inilah asal-usul tentang hakikat/makna  cinta, yang tidak boleh tidak daripada mengenalinya. Asal-usul kedua, ialah: bahwa cinta tatkala adanya itu pengikut bagi pancaindra dan ilmu mengenal Allah Ta’ala, niscaya tidak mustahil akan terbagi menurut pembagian yang diindrakan. Setiap panca-indra mempunyai indra (yg diketahui), bagi semacam dari yang di-indrak-kan(diketahui dengan pancaindra). Bagi setiap suatu daripadanya, mempunyai kelezatan pada sebahagian yang di-indra-kan (diketahui dengan pancaindra). Dan bagi tabiat dengan sebab kelezatan yang demikian, mempunyai kecenderungan kepadanya. Maka adalah semua yang diketahui dengan pancaindra.itu menjadi dicintai kepada tabiat yang sehat. Maka kelezatan mata itu pada melihat, mengetahui segala yang dilihat, yang cantik dan semua bentuk yang manis, yang bagus, yang melezatkan.
Kelezatan telinga itu pada bunyi-bunyian yang merdu, yang tertimbang tinggi rendahnya.
Kelezatan ciuman itu pada bau-bauan yang harum.
Kelezatan rasa itu pada makanan-makanan.
Dan kelezatan sentuhan itu pada yang lembut dan licin. Tatkala adalah yang diketahui dengan pancaindra dengan panca-indra itu melezatkan, niscaya adalah dia itu dicintai. Artinya: adalah kecenderungan bagi tabiat yang sehat kepadanya. Sehingga Rasulullah saw bersabda: “Menjadi kecintaan bagiku dari duniamu 3 perkara, yaitu: bau-bauan, wanita dan dijadikan cahaya mataku pada shalat”. Dinamakan bau-bauan itu: dicintai. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa tak ada bahagian bagi mata dan pendengaran pada bau-bauan itu. Akan tetapi, bagi ciuman saja. Dan dinamakan wanita itu: dicintai dan tak ada bahagian pada wanita itu, selain bagi penglihatan dan sentuhan. Tidak ciuman, rasa dan dengar. Dinamakan shalat itu cahaya mata dan dijadikannya yang paling dicintai. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa tidaklah panca-indra itu mendapat keberuntungan dengan shalat, akan tetapi panca-indra yang ke-6, yang tempat sangkaannya itu hati, yang tidak diketahui, selain oleh orang yang mempunyai hati. Kelezatan panca-indra yang 5 itu berkongsi padanya binatang dengan manusia. Maka jikalau adalah cinta itu terbatas kepada yang diketahui dengan pancaindra dengan panca-indra yang 5, sehingga dikatakan, bahwa Allah Ta’ala itu tidak berindra dengan panca-indra dan tidak bercontoh pada khayalan, maka Allah tidak mencintai. Jadi, batallah khasiat (sifat khusus) manusia dan apa yang berbedanya manusia, dari panca-indra yang ke-6, yang diibaratkan daripadanya, adakalanya: dengan akal atau nur atau hati atau dengan apa yang engkau kehendaki dari ibarat-ibarat yang lain, maka tidaklah bersempit-sempit padanya. Dan amat jauhlah dari yang demikian ! Penglihatan mata hati yang batiniyah itu lebih kuat dari penglihatan zahiriyah. Hati itu lebih kuat indranya dari mata. Keelokan pengertian-pengertian yang di-indra-kan dengan akal itu lebih besar dari keelokan bentuk-bentuk zahir bagi penglihatan. Maka tidak mustahil adalah kelezatan hati dengan apa yang di-indra-kannya dari hal-hal yang mulia, yang bersifat ketuhanan, yang sukar di-indra-kannya dari hal-hal yang mulia, yang bersifat ketuhanan, yang sukar di-indra-kan oleh panca-indra itu lebih sempurna dan lebih bersangatan. Maka adalah kecenderungan tabiat yang sejahtera dan akal yang sehat kepadanya itu lebih kuat. Tak ada arti bagi cinta, selain kecenderungan kepada apa, yang pada indra nya itu kelezatan. Sebagaimana akan datang uraiannya. Jadi, tidaklah dimungkiri akan kecintaan Allah Ta’ala, selain orang yang telah duduk bersimpuh padanya, keteledoran dalam derajat binatang. Maka ia tidak dapat melampaui sekali-kali indra panca-indra.
Asal-usul ketiga, bahwa manusia itu tidak tersembunyi lagi bahwa mencintai diri sendiri. Dan tidak tersembunyi pula, bahwa manusia itu kadang-kadang mencintai orang lain, karena dirinya sendiri. Adakah tergambar, bahwa manusia mencintai orang lain, karena diri orang lain itu, tidak karena dirinya sendiri ? Ini termasuk hal yang kadang-kadang sukar atas orang-orang yang lemah. Sehingga mereka itu menyangka, bahwa tidak tergambar, yang manusia itu mencintai orang lain, karena diri orang lain itu, selama tidak kembali dari orang lain itu keuntungan kepada yang mencintai, selain mengetahui dirinya. Yang benar, bahwa yang demikian itu tergambar dan ada. Maka marilah kami terangkan sebab-sebab cinta dan bahagian-bahagiannya:
Penjelasannya, bahwa kecintaan yang pertama pada setiap yang hidup itu dirinya dan zatnya sendiri. Makna cintanya kepada dirinya, ialah: bahwa pada tabiatnya itu cenderung kepada kekekalan terus adanya, lari dari tiadanya dan binasanya. Karena yang dicintai dengan tabiat itu, ialah yang bersesuaian bagi yang mencintai. Manakah sesuatu yang lebih sempurna kesesuaian, dari dirinya dan kekekalan terus adanya ? manakah sesuatu yang lebih besar berlawanan dan kelarian baginya, dari tidak adanya dan kebinasaannya ? Maka karena itulah, manusia mencintai kekekalan terus ada dan tidak menyukai mati dan terbunuh. Tidak karena semata-mata apa yang ditakutinya sesudah mati dan tidak karena semata-mata takut dari sakaratul-maut. Akan tetapi, jikalau ia disambar, tanpa ada kesakitan dan dimatikan tanpa pahala dan siksa, niscaya ia tidak ridha dengan yang demikian. Dan adalah ia tidak menyukai bagi yang demikian. Ia tidak menyukai mati dan ketiadaan semata-mata, selain karena penderitaan kepedihan dalam hidup. Manakala ia kena percobaan dengan suatu percobaan, maka yang dicintainya, ialah hilangnya percobaan itu. Maka jikalau ia mencintai tidak ada, niscaya ia tidak mencintainya, karena itu tidak ada. Akan tetapi, karena padanya hilang percobaan. Maka binasa dan tidak ada itu dibencikan. Dan kekekalan terus ada itu dicintakan. Sebagaimana kekekalan terus ada itu dicintakan, maka kesempurnaan ada itu juga dicintakan. Karena yang kurang itu meniadakan kesempurnaan. Dan kekurangan itu tidak ada, dikaitkan kepada kadar yang hilang (yang tiada diperoleh). Dan itu kebinasaan, dengan dibandingkan kepadanya. Binasa dan tidak ada itu dibencikan pada sifat-sifat dan kesempurnaan ada (wujud). Sebagaimana dia itu dibencikan pada pokok zatnya sendiri. Adanya sifat-sifat kesempurnaan itu dicintakan, sebagaimana kekekalan pokok adanya itu dicintakan. Ini adalah tabiat akalpada tabiat-tabiat, dengan hukum sunnah Allah Ta’ala: “Dan tiada akan engkau dapati sunnah Allah itu digantikan”. S 33 Al Ahzab ayat 62. Jadi, yang dicintakan yang pertama oleh manusia, ialah zat dirinya. Kemudian, keselamatan anggota-anggota badannya. Kemudian hartanya, anaknya, kaum keluarganya dan teman-temannya. Anggota-anggota badan itu dicintai dan keselamatannya dicari. Karena kesempurnaan wujud dan kekekalan wujud itu terletak padanya. Harta itu dicintai. Karena dia juga alat pada kekekalan wujud dan kesempurnaannya. Demikian juga sebab-sebab yang lain. Manusia mencintai segala hal ini, tidak karena bendanya. Akan tetapi, karena keterikatan keberuntungannya pada kekekalan terus ada dan kesempurnaannya dengan hal-hal tersebut. Sehingga manusia itu mencintai anaknya, walaupun ia tiada memperoleh keberuntungan daripadanya. Bahkan ia menanggung kesukaran lantaran anak itu. Karena anak itu akan menggantikannya pada adanya, sesudah tidak adanya. Maka ada pada kekekalan keturunannya itu, semacam kekekalan baginya. Maka karena kesangatan cintanya untuk kekekalan dirinya, ia mencintai kekekalan orang yang berdiri pada tempat kediriannya (yang mengganti kannya). Dan seakan-akan orang yang menggantikannya itu sebahagian daripadanya. Karena ia lemah daripada mengharap pada kekekalan dirinya untuk selama-lamanya. Ya, jikalau disuruh pilih antara ia dibunuh atau anaknya dan tabiatnya masih dalam keadaan yang betul, niscaya ia memilih kekekalan dirinya di atas kekekalan anaknya. Karena kekekalan anaknya itu menyerupai kekekalannya dari suatu segi. Dan tidaklah kekekalan anaknya itu kekekalannya yang sebenarnya. Seperti yang demikian juga, kecintaannya kepada kaum kerabatnya dan familinya itu kembali kepada kecintaannya, bagi kesempurnaan dirinya sendiri. Ia melihat dirinya akan banyak dengan mereka, menjadi kuat dengan sebab mereka, bertambah elok dengan kesempurnaan mereka. Bahwa famili, harta dan sebab-sebab yang di luar dirinya, adalah seperti sayap yang menyempurnakan bagi manusia. Kesempurnaan wujud dan kekekalannya itu sudah pasti dicintai dengan tabiat. Jadi, kecintaan yang pertama pada setiap yang hidup, ialah dirinya, kesempurnaan dirinya dan kekekalan itu semuanya. Yang tidak disukainya, ialah lawan yang demikian. Inilah permulaan dari sebab-sebab itu !
Sebab kedua: berbuat baik kepada orang (al-ihsan). Bahwa manusia itu adalah budak perbuatan baik. Telah menjadi tabiat manusia mencintai orang yang berbuat perbuatan baik  kepadanya dan benci kepada orang yang berbuat jahat kepadanya. Rasulullah saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku! jangan Engkau jadikan bagi orang jahat mempunyai tangan (berpengaruh) atasku, maka ia dicintai oleh hatiku”, sebagai isyarat, bahwa kecintaan hati bagi orang yang berbuat baik itu suatu keharusan, yang tidak sanggup menolaknya. Yaitu suatu tabiat dan fitrah (kejadian) manusia, yang tiada jalan kepada mengobah kannya. Dengan sebab ini, kadang-kadang manusia mencintai orang asing, yang tiada tali kefamilian dan hubungan diantaranya dan orang asing tersebut. Dan ini, apabila telah pasti, maka kembali kepada sebab yang pertama itu. Bahwa orang yang berbuat perbuatan baik itu, ialah orang yang menolong dengan harta, bantuan dan sebab-sebab yang lain, yang menyampaikan kepada kekekalan terus adanya, kesempurnaan adanya dan keberhasilan keuntungan-keuntungan, yang dengan keberuntungan-keberuntungan itu, tersedialah wujudnya. Hanya, bahwa perbedaan, ialah: anggota-anggota tubuh manusia itu dicintakan, karena dengan dia terdapat kesempurnaan wujudnya. Dan itu adalah kesempurnaan itu sendiri yang dicari. Adapun orang yang berbuat perbuatan baik (al-muhsin), maka tidaklah dia itu diri kesempurnaan yang dicari. Akan tetapi, kadang-kadang adalah sebab bagi kesempurnaan. Seperti tabib (dokter) yang menjadi sebab pada kekekalan sehatnya anggota-anggota badan. Maka diperbedakan diantara cinta kepada kesehatan dan cinta kepada tabib, yang menjadi sebab kesehatan. Karena kesehatan itu dicari bagi diri kesehatan itu. Dan tabib dicintai, tidak karena dirinya, akan tetapi, karena dia menjadi sebab bagi kesehatan. Seperti demikian juga, ilmu itu dicintai. Guru itu dicintai. Akan tetapi, ilmu itu dicintai bagi diri ilmu itu sendiri. Dan guru dicintai, karena adanya guru itu menjadi sebab bagi ilmu yang dicintai. Begitupula makanan dan minuman itu dicintai dan uang dinar (emas) itu dicintai. Akan tetapi, makanan itu dicintai bagi diri makanan itu. Dan uang dinar (emas) itu dicintai, karena dia menjadi perantara (wasilah) kepada makanan. Jadi, kembalilah perbedaannya, kepada berlebih-kurangnya tingkat. Jikalau tidak, maka setiap satu itu kembali kepada kecintaan manusia akan dirinya. Maka setiap orang yang mencintai orang yang berbuat baik (al-muhsin) karena perbuatan baiknya, niscaya tidaklah ia mencintai diri orang itu pada hakikat/maknanya. Akan tetapi, ia mencintai akan perbuatan baiknya. Yaitu: suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya. Jikalau hilang (tidak ada lagi), niscaya hilanglah kecintaan itu, serta diri orang itu masih ada pada yang sebenarnya. Jikalau berkurang perbuatan baik itu, niscaya berkuranglah kecintaan. Dan jikalau bertambah, niscaya bertambahlah kecintaan. Berjalan kepadanya bertambah dan berkurang, menurut bertambah dan berkurangnya perbuatan baik.
Sebab ketiga: bahwa mencintai sesuatu itu, karena diri sesuatu itu sendiri. Tidak karena keuntungan yang diperoleh daripadanya, di sebalik diri sesuatu itu sendiri. Akan tetapi, adalah dirinya itu menjadi keuntungan itu. Dan itulah kecintaan yang hakiki, yang sampai kepada yang dimaksud, yang dipercayakan dengan kekekalannya. Yang demikian itu, sepeti cinta kepada kecantikan dan kebagusan. Bahwa setiap kecantikan itu dicintai pada orang yang mengetahui akan kecantikan. Dan itu adalah karena kecintaan itu sendiri. Karena mengetahui akan kecantikan, maka padanya itu kelezatan sendiri, yang dicintai karena dirinya benda itu. Bukan karena lainnya. Anda jangan menyangka, bahwa mencintai rupa yang cantik itu tidak tergambar, selain karena mengambil nafsu syahwat. Bahwa memenuhi nafsu syahwat itu suatu kelezatan yang lain, yang kadang-kadang rupa yang cantik itu dicintai, karena rupa yang cantik itu sendiri. Mengetahui kecantikan itu juga suatu kelezatan. Maka bolehlah bahwa kecantikan itu dicintai karena kecantikan itu sendiri. Bagaimana memungkiri yang demikian, sedang sayuran dan air mengalir itu disukai ? tidak, karena air itu diminum dan sayur yang hijau itu dimakan. Atau diperoleh daripadanya keuntungan, selain melihat itu sendiri. Adalah Rasulullah saw itu menakjubkannya oleh sayuran dan air yang mengalir. Tabiat yang sehat itu terpenuhi, dengan kelezatan memandang kepada cahaya, bunga-bungaan, burung-burung yang manis warnanya, ukiran yang bagus, yang bersesuaian bentuknya. Sehingga manusia itu menjadi lega dari kegundahan dan kesusahan dengan memandang kepadanya. Tidak karena mencari keuntungan, dibalik memandangnya itu. Maka inilah sebab-sebab yang melezatkan. Dan setiap yang melezatkan itu disukai. Setiap kebagusan dan kecantikan, maka tidaklah terlepas mengetahuinya dari kelezatan. Dan tidak seorangpun memungkiri akan keadaan kecantikan itu disukai menurut tabiat manusia. Kalau sudah tetap, bahwa Allah Ta’ala elok, niscaya sudah pasti Dia itu dicintai oleh orang yang tersingkap baginya keelokan dan keagunganNya, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah itu elok, yang mencintai keelokan”.
Pokok keempat tentang penjelasan makna bagus dan elok. Ketahuilah, bahwa yang terpenjara dalam khayalan dan perasaan yang sempit, kadang-kadang disangka, bahwa yang demikian itu tiada arti bagi kebagusan dan keelokan, selain oleh kesesuaian kejadian dan bentuk, kebagusan warna, keadaan putih yang bercampur dengan kemerahan, tegak semampai dan yang lain-lain, daripada yang disifatkan dari kecantikan seseorang insan. Bahwa kebagusan yang mengerasi atas makhluk itu, ialah kebagusan penglihatan dan kebanyakan penolehan mereka kepada bentuk orang-orang. Lalu disangka, bahwa apa yang tidak dilihat, tidak dikhayalkan, tidak berbentuk dan tidak berwarna itu suatu yang ditakdirkan (diumpamakan). Maka tidak tergambarlah kebagusannya. Dan apabila tiada tergambar kebagusannya, niscaya tidaklah pada indranya itu kelezatan. Lalu tidaklah ia dicintai. Ini suatu kesalahan yang terang. Bahwa kebagusan itu tidaklah terbatas kepada yang diindrakan oleh penglihatan dan oleh kesesuaian kejadian dan kecampuran putih dengan kemerahan. Bahwa kita mengatakan: ini tulisan bagus, ini suara bagus dan ini kuda bagus. Bahkan kita mengatakan: ini kain bagus, ini bejana (tempat air) bagus. Maka manakah makna bagi kebagusan suara, tulisan dan yang lain-lain, jikalau tidaklah kebagusan itu, selain pada rupa ? dan sebagai dimaklumi, bahwa mata itu merasa lezat dengan memandang kepada tulisan bagus. Dan telinga merasa merasa enak, mendengar bunyi-bunyian yang bagus, lagi merdu. Tiada suatupun dari hal-hal yang diindrakan, selain dia itu terbagi kepada: bagus dan buruk. Maka apakah arti bagus yang berkongsi padanya hal-hal tersebut ? maka tidak boleh tidak daripada dibahas. Dan pembahasan itu akan panjang dan tidak layak dengan ilmu mu’amalah (jual beli) itu berpanjang-panjangan padanya. Maka kami tegaskan dengan sebenarnya dan kami mengatakan: bahwa setiap sesuatu, keeolokan dan kebagusannya itu pada adanya kesempurnaan yang layak, yang mungkin baginya. Apabila adalah semua kesempurnaannya yang mungkin itu terwujud, maka dia itu pada penghabisan keelokan. Dan kalau yang terwujud itu sebahagian, maka baginya dari kebagusan dan keelokan itu menurut kadar yang terwujud saja. Kuda yang bagus, ialah yang mengumpulkan setiap yang layak dengan kuda, dari keadaan dan bentuk, warna, kebagusan berlari, mudah menyerbu dan berlarian padanya. Tulisan yang bagus, ialah setiap apa yang mengumpulkan apa yang layak dengan tulisan, dari kesesuaian bentuk huruf, seimbang dan lurus susunannya dan bagus keteraturannya. Dan bagi setiap sesuatu mempunyai kesempurnaan yang layak dengan dia. Dan kadang-kadang layak dengan yang lain, yang menjadi lawannya. Maka bagusnya setiap sesuatu itu pada kesempurnaannya, yang layak dengan dia. Maka tidak baguslah insan, dengan apa yang bagus dengan dia itu kuda. Tidak baguslah tulisan dengan apa, yang bagus dengan dia itu suara. Tidak baguslah bejana-bejana, dengan apa, yang bagus dengan dia itu kain-kain. Begitu juga barang-barang yang lain. Jikalau anda mengatakan: bahwa barang-barang tersebut, walaupun tidak diindrakan semuanya dengan kebagusan melihat, seperti: suara dan rasa makanan, maka sesungguhnya ia tidak terlepas dari indranya pancaindra kepadanya. Dia itu dirasakan dengan pancaindra. Dan tidaklah dimungkiri kebagusan dan keelokan bagi yang dirasakan dengan pancaindra. Dan tidak dimungkiri hasilnya kelezatan dengan indra kebagusannya. Hanya dimungkiri yang demikian pada yang tidak diindrakan dengan pancaindra. Ketahuilah, bahwa kebagusan dan keelokan itu terdapat pada yang tidak dirasakan dengan pancaindra. Karena dikatakan: ini tingkah laku yang bagus. Ini ilmu yang bagus. Ini perjalanan hidup yang bagus. Ini akhlak yang elok. Bahwa akhlak yang elok itu, yang dikehendaki oleh ilmu, akal, penjagaan diri (al-‘iffah), berani, taqwa, kemurahan hati, kepribadian dan sifat-sifat kebajikan yang lain. Sesuatu dari sifat-sifat ini tidak dapat diindrakan dengan pancaindra yang 5. Akan tetapi, diindrakan dengan nur penglihatan mata hati yang batiniyah. Semua sifat-sifat yang elok ini disukai. Orang yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut dicintai secara tabiat, pada orang yang mengenal sifat-sifatnya. Tanda yang demikian dan bahwa keadaan memang seperti yang demikian, bahwa tabiat-tabiat itu dijadikan kepada mencintai nabi-nabi as dan kepada mencintai para sahabat ra, sedang mereka itu tidak pernah disaksikan. Bahkan juga mencintai orang-orang yang mempunyai (pendiri-pendiri) madzhab, seperti: Asy-Syafi’i, Abi Hanifah, Malik dll. Sehingga seseorang, kadang-kadang kecintaannya kepada pendiri madzhabnya, melampaui batas cinta. Lalu yang demikian, membawanya kepada membelanjakan semua hartanya pada menolong madzhabnya dan mempertahankannya. Dan ia menghadang bahaya dengan nyawanya pada memerangi orang yang mencaci imamnya dan orang yang ditakutinya. Berapa banyak darah yang ditumpahkan pada menolong orang-orang pendiri madzhab-madzhab. Moga-moga kiranya aku ketahui, akan orang yang mencintai Asy-Syafi’i umpamanya maka mengapa dicintainya, padahal tidak pernah sekali-kali ia menyaksikan bentuknya. Dan jikalau disaksikannya, mungkin ia tidak akan memandang bagus rupanya. Maka pandangannya yang bagus itu, yang membawanya kepada bersangatan cinta, adalah karena bentuknya yang batiniyah. Tidak karena bentuknya yang zahiriyah. Bahwa bentuknya yang zahiriyah telah bertukar menjadi tanah bersama tanah. Sesungguhnya ia mencintainya, karena sifat-sifatnya yang batiniyah, dari agama, taqwa, banyak ilmu, meliputi pengetahuan agama, bangunnya untuk memfaedahkan ilmu syara’ (agama) dan bagi menyiarkan kebajikan-kebajikan ini dalam alam dunia. Inilah hal-hal yang elok, yang tidak diketahui keelokannya, selain dengan nur penglihatan mata hati. Adapun pancaindra maka singkatlah pandangannya daripadanya. Seperti demikian juga, orang yang mencintai Abubakar Siddik ra dan melebihkannya atas orang lain. Atau mencintai Ali ra, melebihkannya dan berta’assub (fanatik) kepadanya. Maka ia tidak mencintai mereka semua, selain karena memandang bagus bentuk batiniyah mereka, dari: ilmu, agama, taqwa, berani, kemurahan hati dll. Maka sebagaimana dimaklumi, bahwa orang yang mencintai Abubakar Siddik ra itu umpamanya tidaklah ia mencintai tulangnya, dagingnya, kulitnya, sendi-sendinya dan bentuknya. Karena semua itu telah hilang, berganti dan menjadi tiada. Akan tetapi, tinggallah apa yang ada Abubakar Siddik itu menjadi siddik karenanya. Yaitu: sifat-sifat yang terpuji, yang menjadi sumber perjalanan hidup yang elok. Maka kecintaan itu kekal, dengan kekalnya sifat-sifat itu, serta hilangnya semua bentuk. Sifat-sifat itu kembali keseluruhannya kepada: ilmu dan kesanggupan, apabila ia telah mengetahui hakikat/makna segala urusan dan sanggup membawa dirinya kepadanya, dengan memaksakan nafsu syahwatnya. Maka semua sifat-sifat kebajikan itu bercabang di atas dua sifat tadi. Keduanya tidak diindrakan dengan pancaindra. Dan tempat keduanya dari jumlah badan itu suatu bahagian yang tidak terbagikan. Dia itu dicintai dengan sebenarnya. Dan tidaklah bagi bahagian yang tidak terbagikan itu rupa, bentuk dan warna, yang tampal bagi penglihatan. Sehingga ia dicintai karenanya. Jadi, keelokan itu terdapat pada perjalanan hidup, walaupun perjalanan hidup itu muncul, tanpa ilmu dan penglihatan mata hati, yang tidak mengharuskan yang demikian akan cinta. Maka yang dicintai itu sumber perjalanan hidup yang elok. Yaitu: budi pekerti yang terpuji dan sifat-sifat keutamaan yang mulia. Keseluruhannya kembali kepada kesempurnaan ilmu dan kemampuan. Dan itu dicintai dengan tabiat manusia dan tidak diindrakan dengan pancaindra. Sehingga anak kecil yang disembunyikan serta tabiatnya, apabila kita menghendaki mencintainya, dalam keadaan ia tidak hadir atau dia hadir dalam keadaan hidup atau mati, niscaya tiada jalan bagi kita, selain dengan berpanjang lebar menyifatkannya, dengan: keberanian, kemurahan hati, keilmuan dan perkara-perkara yang terpuji lainnya. Manakala orang beriktikad yang demikian, niscaya ia tidak dapat menahan dirinya dan tidak sanggup, bahwa ia tidak mencintainya. Maka adakah kerasnya kecintaan kepada para sahabat ra, kemarahan kepada Abu Jahal dan kemarahan kepada Iblis yang telah kena kutukan Allah, selain disebabkan dengan berpanjang-panjangnya pada menyifatkan kebaikan dan kekejian yang tidak diindrakan dengan pancaindra ? bahkan, tatkala manusia menyifatkan Hatim dengan kemurahan hati dan mereka menyifatkan Khalid dengan keberanian, niscaya mereka itu dicintai oleh semua hati dengan kecintaan yang demikian mudah. Tidaklah yang demikian itu, dengan melihat kepada bentuk yang dirasakan dengan pancaindra dan tidak dari keuntungan yang akan diperoleh oleh yang mencintai dari mereka. Bahkan, apabila diceritakan tentang perjalanan hidup sebahagian raja-raja, di sebahagian benua di atas bumi, akan keadilan, keihsanan dan melimpahnya kebajikan, niscaya mengeraslah kecintaan pada hati, serta putus asa daripada berhamburan keihsanannya kepada orang-orang yang mencintai itu, karena jaraknya tempat yang dikunjungi dan jauhnya rumah-rumah yang ditempati. Jadi, tidaklah cintanya manusia itu terbatas kepada orang yang berbuat perbuatan baik kepadanya saja, akan tetapi orang yang berbuat perbuatan baik itu dicintai pada dirinya, walaupun tiada berkesudahan sekali-kali perbuatan baiknya kepada yang mencintai. Karena setiap keelokan dan kebagusan itu, adalah dicintai orang. Bentuk itu zahiriyah dan batiniyah. Bagus dan elok itu melengkapi kepada keduanya. Bentuk zahiriyah diperoleh dengan penglihatan zahir dan bentuk batiniyah diperoleh dengan penglihatan mata hati yang batiniyah. Siapa yang tiada mempunyai penglihatan mata hati batiniyah, niscaya ia tidak memperoleh bentuk batiniyah. Ia tidak merasa lezat, tiada mencintai dan tiada cenderung kepada bentuk batiniyah tersebut. Siapa yang ada penglihatan mata hati batiniyahnya lebih keras dari pancaindra zahiriyah, niscaya adalah cintanya kepada makna-makna batiniyah itu lebih banyak dari cintanya kepada makna-makna zahiriyah. Maka jauhlah perbedaannya, antara orang yang menyukai ukiran yang tergambar pada dinding tembok, karena keelokan bentuknya yang zahiriyah dan orang yang mencintai salah seorang nabi, karena keelokan bentuknya yang batiniyah.
Sebab kelima: kesesuaian yang tersembunyi antara pancaindra dan yang dicinta. Karena banyaklah terjadi diantara dua orang, yang teguh kasih-sayang diantara keduanya, tidak disebabkan keelokan atau keuntungan, akan tetapi, disebabkan semata-mata kesesuaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi saw: “Maka yang berkenal-kenalan dari jiwa itu, niscaya berjinakan hati dan yang bertentangan daripadanya, niscaya timbul perselisihan”. Telah kami teguhkan yang demikian pada Kitab Adab Persahabatan, ketika menyebutkan kecintaan kepada Allah. Maka carilah pada kitab tersebut ! karena dia itu juga termasuk dari keajaiban sebab-sebab cinta. Jadi, bahagian cinta itu kembali kepada 5 sebab. Yaitu: cintai insan akan wujud dirinya sendiri, kesempurnaan dan kekekalannya. Cinta insan akan orang yang berbuat baik kepadanya, mengenai yang kembali kepada kekekalan wujudnya, yang menolong kepada kekekalannya dan menolak kebinasaan daripadanya. Cinta insan kepada orang yang berbuat baik pada dirinya kepada manusia, walaupun orang itu tidak berbuat baik kepadanya. Cinta insan kepada setiap apa, yang cantik pada benda itu, sama saja dari bentuk zahiriyah atau bentuk batiniyah. Dan cinta insan kepada orang, yang diantaranya dan orang itu kesesuaian yang tersembunyi pada batiniyah. Jikalau berkumpullah sebab-sebab ini pada orang seorang, niscaya sudah pasti berganda-gandalah cinta. Sebagaimana jikalau ada bagi insan seorang anak yang cantik rupa, bagus budi pekerti, sempurna ilmu, bagus pengaturan (teratur), berbuat baik kepada makhluk dan berbuat baik kepada ibu bapak, niscaya sudah pasti anak itu dicintai sungguh-sungguh. Dan adalah kuatnya cinta, sesudah berhimpun hal-hal tersebut, menurut kuatnya sifat-sifat itu pada dirinya. Kalau adalah sifat-sifat itu pada derajat kesempurnaan yang paling penghabisan, niscaya sudah pasti cinta itu pada derajat yang paling tinggi. Maka marilah kami terangkan sekarang, bahwa sebab-sebab itu semua, tiada akan tergambar kesempurnaan dan berkumpulnya, selain pada Allah Ta’ala. Maka tiada yang layak dimiliki dengan kecintaan pada hakikat/maknanya, selain Allah swt.
PENJELASAN: bahwa yang layak dimiliki bagi kecintaan, ialah Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa orang yang mencintai selain Allah, tidak dari segi hubungannya kepada Allah, maka yang demikian itu karena kebodohan dan keteledorannya pada berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) kepada Allah Ta’ala. Cinta kepada Rasulullah saw itu terpuji. Karena itu adalah kecintaan kepada Allah Ta’ala. Seperti demikian juga, kecintaan kepada para ulama dan orang-orang yang taqwa. Karena dicintai orang yang dicintai itu dicintai. Rasul bagi Yang Dicintai itu dicintai. Dan yang mencintai yang dicintai itu dicintai. Semua yang demikian itu kembali kepada kecintaan pokok. Maka ia tidak melewatinya kepada yang lain. Tiadalah yang dicintai pada hakikat/maknanya pada orang-orang yang bermata hati, selain Allah Ta’ala. Dan tidak ada yang layak dimiliki untuk dicintai, selain DIA.
Penjelasannya, ialah: dengan kita kembali kepada sebab yang 5, yang telah kami sebutkan dahulu. Dan kami jelaskan, bahwa sebab-sebab yang 5 itu terkumpul pada Allah Ta’ala dengan keseluruhannya. Dan tidak didapati pada yang lain daripadaNya, selain satu-satu dari sebab-sebab itu. Sebab-sebab itu hakikat/maknanya adalah pada Allah Ta’ala. Adanya pada yang lain dari Allah Ta’ala itu adalah sangkaan dan khayalan. Dan itu majaz ( sebenarnya) semata-mata, yang tidak hakikat/makna baginya. Manakala telah tetap yang demikian, niscaya tersingkaplah, bagi setiap orang yang mempunyai mata hati, lawan apa yang dikhayalkan oleh orang-orang yang lemah akal dan hati, daripada kemustahilan kecintaan Allah Ta’ala pada hakikat/maknanya. Dan jelaslah, bahwa pada hakikat/maknanya itu menghendaki, bahwa anda tidak mencintai seseorang, selain Allah Ta’ala.
Adapun sebab pertama, yaitu: cintanya insan akan dirinya, kekekalan dan kesempurnaannya, kekekalan terus adanya dan bencinya bagi kebinasaan nya, tiadanya, kekurangannya dan terputus-putus kesempurnaannya. Maka ini adalah sifat bagi setiap yang hidup. Tiada tergambar akan terlepas daripadanya. Dan ini menghendaki akan penghabisan kecintaan adalah bagi Allah Ta’ala. Orang yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya, niscaya sudah pasti ia mengenal, bahwa ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya. Bahwa wujud dirinya, kekekalan wujudnya dan kesempurnaan wujudnya itu, dari Allah, kepada Allah dan dengan Allah. Dialah Pencipta, yang mengadakannya. Dialah yang mengekalkannya. Dialah yang menyempurnakan bagi adanya, dengan menciptakan sifat-sifat kesempurnaan, menciptakan sebab-sebab yang menyampaikan kepadanya dan menciptakan petunjuk kepada pemakaian sebab-sebab itu. Jikalau tidak, maka hamba itu dari segi dirinya, tidaklah ia mempunyai wujud dari dirinya. Bahkan itu hapusan semata-mata dan tidak ada semata-mata, jikalau tidaklah kurnia Allah Ta’ala kepadanya dengan penciptaan. Dia akan binasa di belakang adanya, jikalau tidaklah kurnia Allah kepadanya dengan mengekalkan terus hidupnya. Dan itu kekurangan sesudah wujud, jikalau tidaklah kurnia Allah kepadanya, dengan penyempurnaan bagi kejadiannya.
Kesimpulannya, bahwa tidak adalah pada wujud ini sesuatu yang berdiri sendiri, selain Yang Berdiri Sendiri, Yang Hidup, Yang Berdiri dengan ZatNya. Setiap yang lain daripadaNya itu berdiri dengan sebabNya. Maka jikalau orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) mencintai dirinya dan adanya dirinya itu memperoleh faedah dari Yang Lain, maka dengan secara mudah, orang yang memperoleh faedah itu mencintai bagi wujud dirinya dan mencintai Yang Mengekalkannya, jikalau dikenalnya akan Pencipta, Yang Mewujudkan, Yang Menjadikan, Yang Mengekalkan, Yang Berdiri Sendiri dan Yang Mendirikan bagi lainNya. Jikalau ia tidak mencintaiNya, maka itu karena kebodohannya, dengan dirinya dan dengan Tuhannya. Cinta itu buah ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka cinta itu menjadi tiada, dengan tiadanya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Menjadi lemah dengan lemahnya ilmu mengenal Allah Ta’aladan menjadi kuat dengan kuatnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala).
Karena itulah Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Siapa yang mengenal Tuhannya, niscaya dicintaiNya. Siapa yang mengenal dunia, niscaya ia zuhud di dunia”. Bagaimana dapat digambarkan, bahwa insan itu mencintai dirinya dan tidak mencintai Tuhannya, yang dengan Dia itu, dirinya itu dapat berdiri ? dan sebagai dimaklumi, bahwa orang yang mendapat percobaan dengan panasnya matahari, manakala ia menyukai naungan, maka dengan mudah dipahami, ia menyukai pohon-pohonan, yang dengan pohon-pohonan itu tegaknya naungan. Dan semua dalam wujud ini, dengan dikaitkan kepada qudrah (kuasa) Allah Ta’ala, maka adalah seperti naungan dengan dikaitkan kepada pohon kayu dan cahaya dengan dikaitkan kepada matahari. Bahwa semua itu dari bekas qudrah (kuasa)Nya dan wujudnya setiap sesuatu itu mengikuti kepada wujudNya. Sebagaimana adanya cahaya mengikuti bagi matahari. Adanya naungan (bayang-bayang) mengikuti bagi pohon kayu. Bahkan contoh ini benar, dengan dikaitkan kepada dugaan orang-orang awam. Karena mereka mengkhayalkan, bahwa cahaya itu bekas matahari, terpancar daripadanya dan adanya disebabkan matahari. Ini adalah salah semata-mata. Karena telah tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai matahati, dengan penyingkapan yang lebih terang daripada penyaksian penglihatan mata, bahwa cahaya itu hasil dari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala, sebagai ciptaan ketika terjadinya berhadapan antara matahari dan tubuh-tubuh yang tebal. Sebagaimana cahaya matahari, dirinya, bentuknya dan rupanya, juga hasil dari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala. Akan tetapi, maksud dari contoh-contoh itu untuk memberi pengertian saja. Maka tidaklah dicari padanya akan hakikat-hakikat/makna.
Jadi, jikalau adalah cintanya insan itu akan dirinya merupakan hal yang dlaruri (mudah dipahami), maka cintanya insan kepada Tuhan, yang mula pertama berdirinya dengan Dia dan yang kedua, kekekalannya, pada asal-usulnya, sifat-sifatnya, zahirnya, batinnya, benda dan ‘aradl (sifat)nya, juga dlaruri(mudah dipahami), bahwa ia mengenal yang demikian, seperti yang demikian. Siapa yang terlepas dari cinta ini, maka adalah karena ia menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri dan nafsu syahwatnya, lupa kepada Tuhannya dan Khaliq (yang maha pencipta)nya. Maka tidak dikenalNya dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang sebenarnya. Ia bataskan pandangannya kepada nafsu syahwatnya dan yang dirasakan oleh pancaindranya saja. Yaitu: alam syahadah (yang dapat disaksikan dengan mata kepala), yang berkongsi insan dengan hewan pada menikmatinya dan berlapang-lapang padanya. Tidak alam malakut, yang tidak dipijakkan buminya, selain oleh makhluk yang mendekati kepada keserupaan dengan malaikat. Maka ia memandang padanya dengan kadar dekatnya pada sifat-sifat dari malaikat. Dan berkurang daripadanya, dengan kadar turunnya kepada lembah alam hewan.
Adapun sebab yang kedua: yaitu cinta kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Orang itu menolongnya dengan harta, berlemah-lembut dengan dia pada perkataan, dibantunya dengan pertolongan, mengirim pesan untuk menolongnya dan mencegah musuh-musuhnya, bangun dengan menolak kejahatan dari orang-orang jahat daripadanya, bangkit memberi perantaraan kepada semua keuntungan dan maksudnya, pada dirinya, anak-anaknya dan kaum kerabatnya. Maka orang tersebut sudah pasti menjadi tercinta padanya. Dan ini dengan sendirinya, menghendaki bahwa ia tidak mencintai, selain Allah Ta’ala. Bahwa, jikalau ia mengenal dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang sebenarnya, niscaya ia tahu, bahwa yang berbuat baik kepadanya, ialah: Allah Ta’ala. Adapun berbagai macam ihsan (perbuatan baik) Nya kepada setiap hambaNya, maka tidaklah dapat kita menghitungkannya. Karena tidaklah dia itu diliputi oleh hinggaan orang yang dapat menghinggakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S 16 An Nahl ayat 18. Telah kami isyaratkan kepada suatu tepi daripadanya pada Kitab Syukur. Akan tetapi sekarang kami singkatkan, kepada penjelasan, bahwa perbuatan baikdari manusia itu tiada akan tergambar, selain dengan majaz (makna yang sebenarnya). Bahwa yang membuat al-ihsan (perbuatan baik), ialah: Allah Ta’ala. Marilah kami umpamakan yang demikian, mengenai orang yang menganugerahkan semua isi gudangnya kepada anda. Ia memungkinkan anda dari isi gudang itu, untuk anda pergunakan, menurut kehendak anda. Bahwa anda menyangka perbuatan baik ini dari orang itu, adalah keliru. Sesungguhnya bahwa sempurnalah perbuatan baiknya, dengan dirinya sendiri, dengan hartanya, dengan kemampuannya kepada harta dan dengan pengajaknya, yang menggerakkannya kepada menyerahkan harta kepada anda. Maka siapakah yang menganugerahkan kenikmatan dengan menjadikannya, menjadikan kemampuannya dan menjadikan kehendak dan pengajaknya ? siapakah yang mencurahkan kasih-sayang orang itu kepada anda, yang memalingkan mukanya kepada anda dan yang menghantarkan pada hatinya, bahwa kebaikan agamanya atau dunianya adalah pada berbuat baik kepada anda ? jikalau tidaklah semua yang demikian, niscaya orang itu tiada akan memberikan sebijipun dari hartanya, kepada anda. Manakala Allah telah menguasakan pengajak-pengajak atas orang itu dan ia menetapkan dalam hatinya, bahwa kebaikan agamanya atau dunianya, pada menyerahkan hartanya kepada anda niscaya adalah ia dipaksakan dan diperlukan pada menyerahkan harta itu, yang ia tidak sanggup menyalahinya. Maka Yang Berbuat perbuatan baik, ialah Yang Memaksakan orang itu, untuk engkau dan yang menyuruhkannya. Yang Menguasakan atas orang itu, pengajak-pengajak, yang membangkitkan, yang memaksakan kepada berbuat. Adapun tangannya, maka menjadi perantaraan, yang sampailah ihsan (perbuatan baik)  Allah kepada engkau dengan perantaraan tangan itu. Dan yang empunya tangan itu memerlukan pada yang demikian, sebagaimana diperlukan tempat mengalirnya air, pada mengalirkan air padanya. Kalau engkau berkeyakinan bahwa orang itu yang berbuat perbuatan baik atau engkau berterima kasih kepadanya, dari segi orang itu berbuat perbuatan baik, dengan dirinya sendiri, tidak dari segi dia itu perantaraan, niscaya adalah engkau itu orang bodoh, dengan hakikat/maknanya persoalan. Maka sesungguhnya tidaklah tergambar perbuatan baik dari manusia, selain kepada dirinya sendiri.
Adapun perbuatan baik kepada orang lain, maka itu hal yang mustahil dari makhluk manusia. Karena ia tidak akan memberikan hartanya, selain karena ada maksudnya pada memberikan itu. Adakalanya, pada masa yang jauh, yaitu: pahala. Dan adakalanya pada masa yang segera, yaitu: menyebut-nyebut dan mencari kebajikan. Atau pujian dan suara orang, kemasyhuran dengan suka memberi dan kemurahan hati. Atau menarik hati orang banyak kepada perbuatan taat dan kasih sayang. Dan sebagaimana manusia tiada akan mencampakkan hartanya dalam laut, karena tak ada maksud baginya padanya, maka tidak juga ia akan mencampakkan hartanya dalam tangan seorang manusia, selain karena ada maksud padanya. Maksud itu, ialah: yang dicarinya dan yang menjadi tujuannya. Adapun anda, maka tidaklah anda itu yang dimaksudkan. Akan tetapi, tangan anda itu alat baginya pada memegang. Sehingga berhasillah maksudnya: dari sebutan, pujian atau terima kasih atau pahala, disebabkan genggaman anda akan harta itu. Ia telah menggunakan tenaga anda pada menggenggam, untuk sampai kepada maksud dirinya. Jadi, orang itu berbuat baik kepada dirinya sendiri dan menerima gantian dari harta yang diberikannya, dengan gantian yang lebih kuat padanya dari hartanya. Jikalau tidaklah kuatnya keuntungan itu padanya, niscaya ia tidak turun dari hartanya sekali-kali, lantaran karena engkau. Jadi, dia itu tidak layak dimiliki untuk disyukuri dan dicintai, dari dua segi:
Salah satu dari dua segi itu, bahwa ia terpaksa dengan dikuasakan oleh Allah akan pengajak-pengajak ke atas dirinya. Maka tiada mampu ia menyalahinya. Dia itu berlaku, sebagai berlakunya pemegang gudang seorang amir (raja). Maka pemegang gudang itu tidak akan dilihat sebagai orang yang berbuat baik, dengan menyerahkan hadiah amir kepada orang yang dihadiahkannya. Karena orang itu dari pihak amir memerlukan kepada kepatuhan dan mengikuti akan apa yang digariskan oleh amir. Dan ia tidak sanggup menyalahinya. Jikalau amir menyerahkan hal itu atas pertimbangan orang itu sendiri, niscaya tidak akan diserahkannya yang demikian. Maka seperti demikian juga, setiap orang yang berbuat perbuatan baik, jikalau diserahkan oleh Allah atas kemauan orang itu sendiri, niscaya tidak akan diberikannya sebijipun dari hartanya. Sehingga Allah mengeraskan pengajak-pengajak atas orang itu dan menghantarkan pada hatinya, bahwa keuntungannya baik mengenai agama atau dunia, adalah pada diberikannya. Maka diberikannyalah harta itu, karena yang demikian.
Kedua: bahwa ia mendapat ganti dari apa yang telah diberikannya, sebagai keuntungan, yang lebih sempurna dan lebih disukainya, dari apa yang telah diberikannya. Maka sebagaimana penjual barang, tidak dihitung sebagai orang yang berbuat perbuatan baik, karena ia memberikan dengan ada ganti, yang lebih disukainya dari apa, yang telah diberikannya, niscaya seperti demikian juga, orang yang memberikan sesuatu, yang memperoleh gantinya, dengan pahala atau pujian dan sanjungan atau ganti yang lain. Dan tidaklah dari syarat gantian itu bahwa dia itu benda yang berharga. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan semuanya itu adalah gantian, yang memandang menjadi enteng akan harta-harta dan benda-benda, dengan dikaitkan kepada gantian itu. Maka perbuatan baik itu pada kemurahan. Kemurahan itu, ialah memberikan harta, tanpa ganti dan untung yang kembali kepada si pemberi. Dan yang demikian itu mustahil dari selain Allah swt. Dialah yang mencurahkan nikmat kepada alam semesta, sebagai perbuatan baik kepada mereka dan karena mereka. Tidak karena keuntungan dan maksud yang kembali kepadaNya. Dia Maha Suci dari segala maksud. Maka lafal kemurahan dan perbuatan baik pada yang lain dari Allah itu dusta atau secara majaz (makna yang sebenarnya). Artinya pada yang selain dari padaNya itu mustahil dan tercegah, sebagai tercegahnya berkumpul antara hitam dan putih. Maka Dialah yang sendirian dengan kemurahan dan keihsanan, pemberian dan curahan nikmat. Kalau ada pada tabiat manusia mencintai orang yang berbuat perbuatan baik, maka seyogyalah bahwa tidak dicintai oleh orang yang mempunyai ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), akan selain Allah ta’ala. Karena perbuatan baik dari selain Allah Ta’ala itu mustahil. Dialah yang layak dimiliki bagi kecintaan ini sendirian. Adapun yang lain dari Dia, maka bermustahak/layak dimiliki akan kecintaan atas perbuatan perbuatan baik, dengan syarat tiada mengetahui akan arti perbuatan baik dan hakikat/maknanya.
Adapun sebab ketiga: yaitu, cintanya engkau kepada orang yang berbuat baik, pada diri orang itu sendiri, walaupun tidak sampai perbuatan baiknya kepada engkau. Ini juga terdapat pada tabiat manusia. Bahwa apabila sampai kepada engkau, berita seorang raja, yang banyak ibadahnya, yang adil, yang alim, yang sayang kepada manusia, yang berlemah-lembut dengan mereka, yang merendahkan diri kepada manusia dan raja itu di suatu benua di bumi ini, yang jauh dari engkau. Dan sampai pula kepada engkau berita seorang raja yang lain, zalim, sombong, fasik, berbuat kerusakan, jahat dan raja ini juga jauh dari engkau. Maka engkau dapati dalam hati engkau perbedaan diantara keduanya. Karena engkau dapati dalam hati, akan kecenderungan kepada yang pertama, yaitu: cinta. Dan kelarian hati dari kedua, yaitu: benci. Sedang engkau berputus asa dari kebajikan raja yang pertama dan perasaan aman dari kejahatan raja yang kedua. Karena putusnya harapan engkau untuk masuk ke negeri mereka. Maka ini adalah kecintaan kepada orang yang berbuat baik, dari segi, bahwa orang itu berbuat baik saja. Tidak dari segi bahwa orang itu berbuat baik kepada engkau. Ini juga menghendaki akan kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahkan menghendaki, bahwa tiada sekali-kali ia mencintai yang lain, selain dari segi bahwa ada sangkutan dari orang itu dengan sesuatu sebab. Maka sesungguhnya Allah, yang berbuat perbuatan baik kepada seluruhnya dan yang mengurniakan kepada semua jenis makhluk. Pertama-tama dengan dijadikanNya akan mereka. Kedua dengan penyempurnaan mereka, dengan anggota-anggota badan dan sebab-sebab, yang termasuk hal yang penting bagi mereka. Ketiga dengan penganugerahan kemewahan dan kenikmatan bagi mereka, dengan menciptakan sebab-sebab, yang dalam tempat sangkaan hajat keperluan mereka, walaupun tidak dalam tempat sangkaan yang darurat. Dan keempat dengan penganugerahan keelokan mereka, dengan kelebihan-kelebihan dan tambahan-tambahan, yang ada dalam tempat sangkaan perhiasan mereka. Dan itu di luar dari darurat dan hajat keperluan mereka. Contoh yang tak dapat tiada (dlaruri) dari anggota badan, ialah: kepala, hati dan jantung. Dan contoh yang diperlukan, ialah: mata, tangan dan kaki. Contoh: perhiasan, ialah: melengkung dua alis mata, merah dua bibir, bulat cantik dua mata dll, daripada keadaan, yang jikalau tidak ada, niscaya tidaklah rusak keperluan dan tidaklah darurat. Contoh hal yang tak dapat tiada, dari bermacam nikmat yang diluar dari tubuh insan, ialah: air dan makanan. Contoh  hajat keperluan, ialah: obat, daging dan buah-buahan. Contoh kelebihan-kelebihan dan tambahan-tambahan, ialah: kehijauan pohon-pohonan, bagusnya bentuk cahaya dan bunga-bungaan, lezatnya buah-buahan dan makanan-makanan, yang tidak rusak hajat keperluan, dengan tidak adanya dan tidak darurat. Bahagian-bahagian yang tiga tersebut itu terdapat bagi setiap hewan, bahkan bagi setiap tumbuh-tumbuhan. Bahkan bagi setiap jenis dari jenis-jenis makhluk, dari puncak ‘Arasy sampai kepada penghabisan tikar-bantal. Jadi, Dialah yang berbuat perbuatan baik. Bagaimana maka yang lain daripadaNya itu berbuat perbuatan baik ? orang yang berbuat perbuatan baik itu adalah salah satu dari kebaikan qudrah (kuasa)Nya. Dialah yang menjadikan perbuatan baik, yang menjadikan orang yang berbuat perbuatan baik, yang menjadikan perbuatan baik dan yang menjadikan sebab-sebab perbuatan baik. Maka cinta dengan alasan ini bagi yang lain daripadaNya juga kebodohan semata-mata. Siapa yang mengenal yang demikian, niscaya ia tidak mencintai dengan sebab alasan ini, selain Allah Ta’ala.
Adapun sebab keempat, yaitu cinta setiap yang cantik, karena kecantikannya. Tidak karena keuntungan yang diperoleh daripadanya, di balik mengetahui kecantikannya. Telah kami terangkan, bahwa yang demikian itu telah dijadikan pada tabiat manusia. Dan kecantikan itu terbagi kepada: kecantikan bentuk zahiriyah, yang diketahui dengan mata kepala. Dan kecantikan bentuk batiniyah, yang diketahui dengan mata hati dan nur penglihatan jiwa. Yang pertama itu diketahui oleh anak-anak dan hewan. Dan yang kedua, khusus orang-orang yang mempunyai hati mengetahuinya. Tidak berkongsi dengan mereka padanya, orang yang tidak mengetahui, selain yang zahiriyah dari kehidupan duniawi. Setiap kecantikan, maka itu dicintai oleh yang mengetahui kecantikan. Kalau ia mengetahui dengan hati, maka itu dicintai dengan hati. Contoh ini dalam penyaksian, ialah: kecintaan nabi-nabi, para ulama dan orang-orang yang bersifat mulia, yang menjadi kebiasaannya dan mempunyai budi pekerti yang menyenangkan. Bahwa yang demikian itu dapat tergambar di ruang mata, serta kacaunya bentuk muka dan anggota-anggota badan lainnya. Itulah yang dimaksudkan dengan bagus bentuknya batiniyah. Dan pancaindra tidak mengetahuinya. Ya, diketahui dengan bagusnya bekas-bekasnya yang timbul daripadanya, yang menunjukkan kepada yang demikian. Sehingga, apabila hati menunjukkan kepadanya, niscaya cenderunglah hati kepadanya. Lalu dicintainya. Maka siapa yang mencintai Rasulullah saw atau Abubakar Siddik ra atau Asy-Syafi’i ra, maka ia tidak mencintai mereka, selain karena kebagusan apa yang lahir dari mereka. Tidaklah yang demikian itu, karena bagusnya bentuk mereka dan tidak karena bagusnya perbuatan mereka. Akan tetapi, ditunjukkan oleh kebagusan perbuatan mereka, kepada kebagusan sifat-sifat, yang menjadi sumber segala perbuatan. Karena segala perbuatan itu bekas-bekas yang datang daripadanya dan yang menunjukkan kepadanya. Siapa yang melihat bagusnya karangan seorang pengarang dan bagusnya syair seorang penyair, bahkan bagusnya ukiran seorang pengukir dan bangunan seorang pembangun, niscaya tersingkaplah baginya dari perbuatan-perbuatan ini, akan sifat-sifatnya yang baik, yang batiniyah, yang kembali hasilnya ketika dibahas, kepada ilmu dan kemampuan.
Kemudian, setiap kali ada yang diketahui itu lebih mulia dan lebih sempurna kecantikan dan kebesarannya, niscaya adalah itu lebih mulia dan lebih cantik. Demikian juga, yang disanggupi, setiap kali ada ia lebih besar martabatnya dan lebih mulia kedudukannya, niscaya adalah kesanggupan kepadanya itu lebih agung tingkatnya dan lebih mulia kadarnya. Yang Termulia dari segala yang diketahui, ialah: Allah Ta’ala. Maka tidak dapat dielakkan lagi, bahwa ilmu yang terbagus dan yang termulia, ialah: mengenal ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Seperti demikian juga, apa yang mendekatinya dan yang khusus dengan dia. Maka kemuliaannya adalah di atas kadar kesangkutannya dengan ilmu itu. Jadi, keelokan sifat orang-orang siddik yang dicintai mereka oleh hati manusia secara tabi’i itu kembali kepada 3 perkara:
Salah satu daripadanya, ialah: tahu nya mereka akan Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan agama-agama para nabiNya.
Kedua: mampunya mereka memperbaiki diri, memperbaiki hamba-hamba Allah, dengan petunjuk dan politik.
Ketiga: bersihnya mereka dari sifat-sifat kehinaan, kekejian dan nafsu syahwat, yang mengerasi, yang memalingkan dari jalan-jalan kebajikan, yang menarik kepada jalan kejahatan. Dengan contoh ini, ia mencintai nabi-nabi, para ulama, para khalifah dan raja-raja, yang mereka itu orang-orang yang menjalankan keadilan dan kemurahan. Maka kaitkanlah sifat-sifat ini kepada sifat-sifat Allah Ta’ala ! Adapun ilmu, maka dimanakah perbandingannya ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, dengan ilmu Allah Ta’ala, yang meliputi dengan setiap sesuatu, yang keluar dari berkesudahan. Sehingga tidak tersembunyi daripadaNya seberat atompun, di langit dan di bumi. Ia menunjukkan kepada semua makhluk, maka Ia ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah kamu diberi ilmu, melainkan sedikit”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Bahkan jikalau berkumpul isi bumi dan langit untuk melingkungi ilmu Allah dan hikmahNya, pada menguraikan seekor semut atau nyamuk, niscaya mereka tidak akan melihat kepada 1/100 yang demikian. Mereka tiada akan melingkungi sesuatu dari ilmuNya, selain dengan apa yang dikehendakiNya dan kadar yang sedikit yang diajarkanNya kepada seluruh makhluk. Maka dengan pengajaranNya, mereka mengetahui ilmu itu. Sebagaimana Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”. S 55 Ar Rahmaan ayat 3-4. Kalau adalah keelokan ilmu dan kemuliaannya itu hal yang dicintai dan ilmu itu sendiri merupakan perhiasan dan kesempurnaan bagi orang yang bersifat dengan ilmu, maka tiada seyogyalah bahwa dicintai dengan sebab ini, selain Allah Ta’ala. Bermacam ilmu para ulama itu adalah kebodohan, dengan dikaitkan kepada ilmuNya. Bahkan siapa yang mengenal akan orang yang lebih berilmu dari penduduk zamannya dan yang lebih bodoh dari penduduk zamannya, niscaya mustahillah bahwa ia mencintai dengan sebab ilmu, akan orang yang lebih bodoh dan meninggalkan orang yang lebih berilmu, walaupun yang lebih bodoh itu tidak kosong dari suatu pengetahuan, yang dikehendaki oleh penghidupannya. Berlebih-kurangnya diantara ilmu Allah dan ilmu para makhluk itu, lebih banyak daripada berlebih-kurangnya ilmu makhluk yang terpandai dengan yang terbodoh dari mereka. Karena yang terpandai itu tidak melebihi dari yang terbodoh, selain dengan ilmu-ilmu yang terhitung bilangannya dan yang berkesudahan, yang tergambar pada kemungkinan, bahwa dapat dicapai oleh yang terbodoh, dengan usaha dan kesungguhan. Dan kelebihan ilmu Allah Ta’ala atas ilmu makhluk semuanya itu di luar dari kesudahan. Karena yang diketahuiNya tiada berkesudahan dan yang diketahui makhluk berkesudahan. Adapun sifat kemampuan, maka juga sifat kesempurnaan. Dan lemah itu sifat kekurangan. Setiap kesempurnaan, keelokan, kebesaran, kemuliaan dan kekuasaan, maka itu disukai. Dan mengetahuinya itu enak. Sehingga, bahwa insan, karena didengarnya dalam cerita, akan keberanian Ali ra, Khalid ra dll dari orang-orang berani, kemampuan dan perintah keduanya kepada teman-teman, maka terus berbetulan dalam hatinya akan kegerakan, kegembiraan dan kesenangan yang mudah, dengan semata-mata enaknya mendengar, lebih-lebih lagi dari penyaksian. Dan mewariskan yang demikian, akan kecintaan dalam hati, yang mudah, kepada orang yang bersifat dengan yang demikian. Bahwa itu semacam kesempurnaan. Maka bandingkanlah sekarang akan kemampuan makhluk seluruhnya dengan qudrah (kuasa) Allah Ta’ala ! maka sebesar-besarnya kekuatan orang-orang, seluas-luasnya kerajaan mereka, sekuat-kuatnya keperkasaan mereka, segagah-gagahnya mereka menentang nafsu syahwat, sebisa-bisanya mereka mencegah segala kekejian diri dan kemampuan yang paling terkumpul dari mereka untuk mensiasati dirinya dan orang lain, tiadalah berkesudahan qudrah (kuasa)Nya Allah Ta’ala. Kesudahannya, hanya manusia itu sanggup atas sebahagian sifat-sifat dirinya dan atas sebahagian manusia-manusia lain, pada sebahagian urusan. Dalam pada itu, manusia itu tidak memiliki bagi dirinya, akan kematian, kehidupan, berkembang, melarat dan manfaat. Bahkan, ia tidak mampu menjaga matanya dari buta, lidahnya dari bisu, telinganya dari pekak dan badannya dari sakit. Ia tidak berhajat kepada menghitung apa, yang ia lemah daripadanya, mengenai dirinya dan lainnya, dari hal, yang secara keseluruhan menyangkut kemampuannya. Lebih-lebih dari hal yang tiada menyangkut kemampuannya, dari kerajaan langit, cakrawalanya, bintang-bintangnya dan bumi, gunung-gunungnya, laut-lautnya, angin-anginnya, halilintar-halilintarnya, tambang-tambangnya, tumbuh-tumbuhannya, hewan-hewannya dan semua bahagian-bahagiannya. Maka ia tiada berkemampuan atas seatompun daripadanya. Apa yang ia sanggupi dari dirinya dan lainnya, maka tidaklah kemampuannya itu dari dirinya dan dengan dirinya. Akan tetapi, Allah penciptanya, pencita kemampuannya, pencipta sebab-sebabnya dan yang memungkinkan baginya dari yang demikian. Jikalau Allah memberi kuasa kepada seekor nyamuk atas raja yang paling besar dan binatang yang paling kuat, niscaya nyamuk itu dapat membinasakannya. Maka tiadalah bagi hamba itu kemampuan, selain dengan dimungkinkan oleh Tuhannya.
Sebagaimana Ia berfirman tentang Zulkarnain, raja yang terbesar di bumi. Karena Ia berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi”. S 18 Al Kahfi ayat 84. Maka tidak adalah semua kerajaannya dan kekuasaannya itu, selain dengan diberi kekuasaan oleh Allah kepadanya pada sebahagian dari bumi. Dan bumi seluruhnya itu sepotong tanah lumpur, dengan dikaitkan kepada tubuh alam ini. Semua daerah, yang manusia memperoleh keuntungan dari bumi, adalah debu dari sepotong tanah lumpur itu. Kemudian, debu itu pula dari kurnia Allah Ta’ala dan pemberian kekuasaan daripadaNya. Maka mustahillah bahwa ia mencintai seseorang daripada hamba Allah Ta’ala, karena qudrah (kuasa)Nya, siasatNya, pemberian kekuasaan, pemerintahan dan kesempurnaan kuatNya. Dan ia tidak mencintai Allah Ta’ala bagi yang demikian itu. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Agung. Dialah yang Maha gagah, Maha perkasa, Maha tahu dan Maha kuasa. Langit yang terlipat dengan KananNya. Bumi, kerajaannya dan apa yang di atasnya dalam genggamanNya. Dahi semua makhluk dalam genggaan qudrah (kuasa)Nya. Kalau dibinasakanNya mereka, sampai kepada yang penghabisan, niscaya tidak berkuranglah dari kekuasaan dan kerajaanNya seatompun. Kalau dijadikanNya seumpama mereka 1000 kali, niscaya tidaklah Ia payah dengan menjadikannya. Tidaklah Ia disentuh oleh keletihan dan kelumpuhan pada menciptakannya. Tiada kemampuan dan orang yang mampu, melainkan itu adalah salah satu dari bekas qudrah (kuasa)Nya. BagiNya keelokan dan kebagusan, kebesaran dan keagungan, keperkasaan dan kekuasaan. Kalau digambarkan, bahwa yang mampu itu dicintai karena sempurna kemampuannya, maka tiada yang layak dimiliki kecintaan sekali-kali, disebabkan sempurnanya kemampuan itu, selain Dia.
Adapun sifat bersih dari kecelaan dan kekurangan, suci dari kehinaan dan kekejian, maka itu salah satu yang mengharuskan cinta dan yang menghendaki kebagusan dan kecantikan pada bentuk batiniyah. Para nabi dan orang-orang siddik, walaupun mereka itu bersih dari kecelaan dan kekejian, maka tidaklah tergambar akan kesempurnaan kesucian dan kebersihan, selain bagi Yang Esa, Yang Benar, Raja Yang Qudus, Mempunyai Keagungan dan Kemurahan. Adapun setiap makhluk, maka tidaklah terlepas dari suatu kekurangan dan dari banyak kekurangan. Bahkan setiap makhluk itu lemah, diciptakan, diperintah, yang dipaksakan. Makhluk itu sendiri kecelaan dan kekurangan. Maka kesempurnaan hanyalah bagi Allah Yang Maha Esa. Tiada bagi yang lain daripadaNya kesempurnaan, melainkan sekadar apa yang diberikan oleh Allah. Tiadalah pada yang diberi kemampuan itu, bersenang-senang dengan penghabisan kesempurnaan di atas yang lain. Bahwa penghabisan kesempurnaan, yang sekurang-kurangnya derajatnya, ialah: bahwa tidaklah dia itu hamba yang disuruh bekerja untuk orang lain, yang berdiri dengan sebab orang lain. Yang demikian itu mustahil pada yang lain daripadaNya. Maka Dialah yang sendirian dengan kesempurnaan, yang bersih dari kekurangan, yang kudus dari kecelaan. Uraian segi-segi kekudusan dan kebersihan pada hakNya dari kekurangan-kekurangan itu akan panjang. Dan itu termasuk dari rahasia ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Maka tidak akan kami perpanjangkan menyebutkannya. Maka sifat ini juga, jikalau ada ia kesempurnaan dan keelokan yang dicintai, maka tiada sempurna hakikat/maknanya, selain bagiNya. Kesempurnaan yang lain daripadaNya dan kebersihannya tidaklah mutlak. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada yang lebih sangat berkurangan daripadanya. Sebagaimana kuda mempunyai kesempurnaan, dengan dikaitkan kepada keledai. Manusia mempunyai kesempurnaan dengan dikaitkan kepada kuda. Asal kekurangan itu melengkapi bagi semua. Hanya mereka itu berlerbih-kurang pada derajat kekurangan. Jadi, yang elok itu dicintai. Yang elok itu mutlak ialah Yang Maha Esa, yang tidak boleh tidak bagiNya, Yang Tunggal, yang tiada lawan bagiNya, yang setiap sesuatu bergantung kepadaNya, yang tiada membantahiNya, Yang Kaya, yang tiada mempunyai hajat keperluan, Yang Kuasa, yang berbuat sekehendakNya, yang menghukumkan akan apa yang dikehendakiNya. Tiada yang menolak bagi hukumNya. Tiada yang mendatangkan akibat bagi hukumNya. Yang Mengetahui, yang tiada tersembunyi dari ilmuNya seberat atompun di langit dan di bumi. Yang Perkasa, yang tiada keluar dari genggaman qudrah (kuasa)Nya leher orang-orang yang sombong. Tiada terlepas dari kekuasaan dan keperkasaanNya belakang leher raja-raja yang perkasa. Yang Azali (kekal), yang tiada permulaan bagi wujudNya, Yang Abadi, yang tiada penghabisan bagi baqa/kekalNya. Yang mudah dipahami wujudNya, yang tidak beredar kemungkinan tidak ada, di keliling Hadlarat/keajaibanNya. Yang berdiri sendiri, yang berdiri dengan sendiriNya dan berdiri setiap yang ada, dengan sebabNya. Yang mengagahi langit dan bumi. Yang menciptakan benda keras, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Yang sendirian dengan kemuliaan dan keperkasaan. Yang tunggal dengan kerajaan dan pemerintahan. Yang mempunyai kurnia dan kebesaran, kebagusan dan kecantikan, qudrah (kuasa) dan kesempurnaan. Yang heran semua akal pada mengenal kemuliaanNya, yang bisu semua lidah pada menyifatkanNya. Yang kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’ala orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), ialah: mengaku dengan kelemahan daripada ma’rifahNya (mengenalNya). Dan kesudahan kenabian nabi-nabi ialah: mengaku dengan kependekan kesanggupan daripada menyifatkanNya. Sebagaimana disabdakan oleh penghulu nabi-nabi, rahmat Allah kepadanya dan kepada nabi-nabi sekalian: “Aku tidak dapat menghinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau memujikan diri Engkau sendiri”.
Berkata Abubakar penghulu orang-orang siddik ra: “Kelemahan daripada memperoleh indra itu indra. Maha Suci Tuhan, yang tidak menjadikan bagi makhluk itu jalan kepada mengenalNya, selain dengan kelemahan daripada mengenalNya”. Kiranya aku dapat mengetahui, siapa yang memungkiri kemungkinan kecintaan Allah Ta’ala secara hakikat/makna dan menjadikannya secara majaz/sebenarnya ? adakah ia memungkiri, bahwa sifat-sifat ini dari sifat-sifat keelokan dan terpuji, sifat-sifat kesempurnaan dan kebagusan ? atau ia memungkiri adanya Allah Ta’ala bersifat dengan sifat-sifat tersebut ? atau ia memungkiri adanya kesempurnaan dan keelokan, kebagusan dan kebesaran yang dicintai dengan tabiat, pada orang yang mengetahui ? maka Maha Suci Tuhan, yang terhijab dari penglihatan mata hati orang-orang yang buta, karena cemburu atas keelokan dan keagunganNya, bahwa ia dapat melihatNya, selain orang yang telah mendahului sifat-sifat yang baik baginya daripadaNya, dimana mereka itu dijauhkan dari neraka hijab. Dan ditinggalkan orang-orang yang merugi, yang berjalan menyombongkan diri dalam gelap kebutaan, yang pulang pergi pada tempat gembalaan yang telah diserang salju dan nafsu keinginan binatang. Mereka tahu secara zahiriyah dari kehidupan duniawi dan mereka lalai dari akhirat. Segala pujian bagi Allah. Akan tetapi, kebanyakan mereka tiada tahu. Maka kecintaan dengan sebab ini adalah lebih kuat dari kecintaan dengan sebab al-ihsan (perbuatan baik). Karena perbuatan baik itu bertambah dan berkurang.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Bahwa yang paling banyak cintaKu, ialah kepada siapa yang menyembah Aku, dengan tanpa pemberian. Akan tetapi, untuk ia memberikan kepada ketuhanan akan haknya”. Tersebut dalam Zabur: “Siapakah yang lebih zalim, dari orang yang beribadah(berbakti) kepadaku, karena sorga atau neraka ? jikalau tidaklah Aku ciptakan sorga dan neraka, apakah Aku tidak berhak untuk ditaati ?”.
Nabi Isa as lalu pada tempat suatu golongan yang banyak beribadah, yang kurus badannya. Mereka itu mengatakan: “Kami takut kepada neraka dan kami mengharap akan sorga”. Nabi Isa as menjawab kepada mereka: “Makhluk yang kamu takuti dan makhluk yang kamu harap”. Ia lalu pula pada tempat kaum yang lain seperti yang demikian. Mereka itu mengatakan: “Kami menyembahNya, karena cinta kepadaNya dan membesarkanNya, karena keagunganNya”. Lalu nabi Isa as menjawab: “Kamu adalah aulia (wali-wali) Allah yang sebenarnya. Bersama kamu aku disuruh, bahwa aku bertempat tinggal”.
Abu Hazim berkata: “Aku malu bahwa aku beribadah kepadaNya, karena pahala dan siksa. Maka dengan demikian, adalah aku seperti budak yang jahat. Jikalau tidak takut, niscaya ia tidak bekerja. Dan seperti orang yang diupahi, yang jahat, jikalau tidak diberi upah, niscaya ia tidak bekerja”. Tersebut pada hadits: “Tidak adalah seseorang dari kamu itu seperti orang yang diupahi, yang jahat. Kalau tidak diberikan upah, niscaya ia tidak bekerja. Dan tidak seperti budak yang jahat. Jikalau ia tidak takut, niscaya ia tidak bekerja”.
Adapun sebab yang kelima bagi cinta itu, ialah: kesesuaian dan kesebentukan. Karena keserupaan sesuatu itu menjadi tertarik kepadanya. Bentuk kepada bentuk itu lebih cenderung. Dan karena itulah, anda melihat anak kecil berjinak hati sesama anak kecil. Orang besar berjinak hati sesama besar. Burung menjadi jinak dengan yang semacam dengan dia dan lari daripada yang tidak semacam. Orang yang berilmu menjadi berjinak hati dengan yang berilmu itu lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berperusahaan. Tukang kayu berjinak hati dengan tukang kayu itu lebih banyak daripada berjinak-hatinya dengan petani. Ini adalah keadaan yang disaksikan oleh percobaan. Disaksikan oleh hadits dan atsar, sebagaimana telah kami selidiki lebih jauh pada Bab Persaudaraan pada jalan Allah dari Kitab Persaudaraan. Maka hendaklah dicari daripadanya !. Apabila adalah kesesuaian itu sebab kecintaan, maka kesesuaian kadang-kadang ada dalam arti zahiriyah. Seperti kesesuaian anak kecil dengan sesama anak kecil dalam arti keanak kecilan. Kadang-kadang arti itu tersembunyi, sehingga tidak terlihat. Sebagaimana anda melihat pada persatuan yang terjadi dengan kesepakatan diantara dua orang, tanpa memperhatikan keelokan atau mengharap pada harta atau lainnya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi saw, karena beliau bersabda: “Jiwa itu adalah seperti tentara yang dikumpulkan. Maka yang berkenal-kenalan daripadanya, niscaya berjinakan hati. Dan yang bertentangan daripadanya, niscaya timbul perselisihan”. Berkenal-kenalan itu ialah kesesuaian. Dan bertentangan itu ialah perbedaan. Sebab ini juga menghendaki akan kecintaan kepada Allah Ta’ala, karena kesesuaian batiniyah, yang tidak kembali kepada keserupaan pada rupa dan bentuk. Akan tetapi, kepada makna-makna batiniyah, yang boleh disebutkan sebahagian daripadanya pada kitab-kitab dan sebahagian daripadanya, tidak boleh dituliskan. Akan tetapi, ditinggalkan di bawah tutup kecemburuan, sampai dapat diketahui oleh orang-orang yang menempuh jalan kepada Tuhan, apabila mereka telah menyempurnakan syarat suluk (berjalan ke jalan Tuhan). Maka yang disebut itu, ialah dekatnya hamba kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, pada sifat-sifat yang disuruh ikuti dan berbudi pekerti dengan akhlaq ar-rububiyah (budi pekerti ketuhanan). Sehingga dikatakan: “Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah !”. Yang demikian itu, pada mengusahakan sifat-sifat yang terpuji, yang dia itu termasuk sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu, kebajikan, al-ihsan (perbuatan baik), lemah-lembut, melimpahnya kebajikan, rahmat kepada makhluk, nasehat kepada mereka, menunjukkan mereka kepada kebenaran, mencegah mereka dari yang salah dan yang lain-lain dari sifat-sifat agama yang mulia. Semua itu mendekatkan kepada Allah swt. Tidak dengan makna mencari kedekatan dengan tempat. Akan tetapi: sifat-sifat.
Adapun apa yang tidak boleh dituliskan di kitab-kitab, dari kesesuaian khusus, yang khusus anak Adam dengan dia, maka ialah yang diisyaratkan kepadanya oleh firman Allah Ta’ala: “Mereka bertanya kepada engkau tentang ruh (nyawa). Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Karena Ia menerangkan, bahwa itu urusan ketuhanan, yang keluar dari batas akal pikiran makhluk. Dan dijelaskan dari yang demikian oleh firman Allah Ta’ala: “Dan setelah dia sempurna Aku buat dan Aku tiupkan kepadanya ruhKu”. S 15 Al Hijr ayat 29. Karena itulah, Aku suruh sujud malaikat-malaikatKu kepadanya. Diisyaratkan kepadanya oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di muka bumi”. S 38 Shaad ayat 26. Karena tiada mustahak(yang layak dimiliki) Adam menjadi khalifah Allah, selain dengan kesesuaian itu. Dan kepadanya dirumuskan oleh sabda Nabi saw: “Bahwa Allah menjadikan Adam atas bentukNya”. Sehingga orang-orang yang pendek pikiran menyangka, bahwa tiadalah bentuk itu, selain bentuk zahiriyah, yang diketahui dengan pancaindra. Lalu mereka menyerupakan, mentubuhkan dan membentukkan. Maha suci Allah Tuhan semesta alam, dari apa yang dikatakan oleh orang-orang bodoh, dengan kesucian yang sebenar-benarnya.
Kepadanyalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala kepada Musa as: “Engkau sakit, maka engkau tidak berkunjung kepadaKu”. Musa as lalu bertanya: “Wahai Tuhanku ! bagaimana yang demikian !”. Tuhan berfirman: “Telah sakit hambaKu si Anu, maka engkau tidak berkunjung kepadanya. Jikalau engkau berkunjung kepadanya, niscaya engkau dapati Aku di sisinya”. Kesesuaian ini tidak lahir, selain dengan rajin mengerjakan ibadah sunat, sesudah teguhnya ibadah wajib. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Senantiasalah hamba itu berdekatan kepadaKu dengan ibadah sunat, sehingga Aku mengasihinya. Maka apabila Aku mengasihinya, niscaya adalah Aku pendengarannya, yang ia mendengar dengan dia. Penglihatannya, yang ia melihat dengan dia. Dan lidahnya, yang  ia bertutur kata dengan dia”. Inilah tempat yang wajib digenggam mata pena padanya. Manusia telah tergolong padanya kepada orang-orang yang pendek akal pikiran, yang cenderung kepada penyerupaan dengan makhluk (at-tasybih) yang jelas. Dan kepada orang-orang yang bersangatan berlebih-lebihan, yang melampaui batas kesesuaian, kepada bersatu dengan Tuhan (al-ittihad). Dan mereka mengatakan: al-hulul (Tuhan bertempat padanya). Sehingga sebahagian mereka mengatakan: “Anal-Haqq (Aku Al-Haqq)”. Orang Nasrani itu menjadi sesat tentang Isa as, dimana mereka mengatakan: dia itu Tuhan. Berkata sebahagian yang lain dari mereka: manusia itu berbaju dengan ketuhanan. Golongan yang lain mengatakan: ia bersatu dengan Tuhan (al-ittihad). Adapun mereka yang tersingkap baginya kemustahilan keserupaan dan keseumpamaan, kemustahilan al-ittihad  (ia bersatu dengan Tuhan) dan al-hulul(Tuhan bertempat padanya) dan terang bagi mereka serta yang demikian, akan hakikat/makna rahasia, maka mereka ini adalah sangat sedikit. Semoga Abul-Hasan An-Nuri dari maqam ini. Adalah ia memperhatikan, ketika kerasnya perasaan, pada ucapan orang yang mengatakan:
Senantiasalah aku menempati,
suatu tempat dari kecintaan engkau.
Heranlah segala hati,
ketika menempatinya.
Senantiasalah ia berlari-larian dalam perasaannya (emosinya) di atas kayu-kayuan rimba, yang telah dipotong batangnya dan tinggallah pokok-pokoknya. Sehingga pecahlah kedua tapak kakinya dan bengkak. Ia wafat dari yang demikian itu. Dan inilah sebab kecintaan yang terbesar dan yang terkuat. Itulah yang termulia, yang paling jauh dan yang paling sedikit adanya. Inilah yang dimaklumi dari sebab-sebab cinta. Jumlah yang demikian itu menampak pada Allah Ta’ala secara hakiki, tidak secara majazi/sebenarnya, pada derajat yang tertinggi, tidak pada yang terendah. Maka adalah dapat diterima oleh akal, lagi diterima oleh orang-orang yang mempunyai mata hati akan kecintaan kepada Allah Ta’ala saja. Sebagaimana bahwa diterima oleh akal, lagi mungkin pada orang buta, akan kecintaan kepada selain Allah Ta’ala saja. Kemudian, setiap orang yang mencintai makhluk dengan salah satu dari sebab-sebab tersebut, niscaya tergambar bahwa ia mencintai yang lain, karena kesekutuannya dengan yang lain itu pada sebabnya. Kesekutuan itu suatu kekurangan pada kecintaan dan kerendahan dari kesempurnaannya. Tiada bersendirian seorangpun dengan sifat yang disukai, melainkan kadang-kadang terdapat baginya sekutu padanya. Kalau tidak terdapat, maka mungkin akan terdapat, selain Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya Dia bersifat dengan sifat-sifat itu, yang menjadi penghabisan keagungan dan kesempurnaan. Tiada sekutu bagiNya pada yang demikian, pada kewujudan. Dan tidak tergambar bahwa ada yang demikian itu suatu kemungkinan. Maka tidak dapat dibantah, bahwa tidak ada pada kecintaan kepada Allah itu perkongsian. Tidak berjalan kekurangan kepada kecintaan kepadaNya. Sebagaimana tiada berjalan perkongsian kepada sifat-sifatNya. Dialah yang mustahak/yang layak dimiliki. Karena pokoknya ialah: cinta. Untuk kesempurnaan cinta itu, tiada sekali-kali berbagai bagian padanya.
PENJELASAN: bahwa kelezatan yang paling agung dan paling tinggi, ialah: mengenal Allah Ta’ala dan memandang kepada WajahNya yang mulia. Dan tidak tergambar bahwa diutamakan kelezatan yang lain daripadanya, kecuali orang yang telah diharamkan dari kelezatan ini.
Ketahuilah, bahwa kelezatan-kelezatan itu mengikuti perasaan. Dan manusia itu mengumpulkan sejumlah dari kekuatan-kekuatan dan gharizah-gharizah (tabiat akal/instinc). Bagi setiap kekuatan dan tabiat akalitu mempunyai kelezatan. Kelezatan pada mencapainya itu menurut kehendak tabiatnya, yang diciptakan untuknya. Bahwa gharizah-tabiat akalitu tidaklah disusun pada manusia, dengan sia-sia. Akan tetapi, setiap kekuatan dan tabiat akalitu disusun, karena sesuatu dari hal-hal yang dikehendaki menurut tabiat. Tabiat akalmarah itu diciptakan untuk kesembuhan hati dan menuntut balas. Maka tidak dapat dibantah, bahwa kelezatannya pada kemenangan dan menuntut balas itulah, yang dikehendaki tabiatnya. Tabiat akalkeinginan makanan umpamanya, dijadikan untuk menghasilkan makanan, yang dengan makanan itu dapat berdiri. Maka tidak dapat dibantah, bahwa kelezatannya pada memperoleh makanan ini, itulah yang dikehendaki oleh tabiatnya. Seperti demikian juga, kelezatan mendengar, melihat dan mencium, pada penglihatan, pendengaran dan penciuman. Tidak terlepas salah satu dari gharizah-tabiat akalitu, dari kepedihan dan kelezatan, dengan dikaitkan kepada yang diindrakannya. Maka seperti demikian pula, pada hati itu gharizah (tabiat akal/instinc), yang dinamakan: nur ketuhanan (an-nur al-ilahiy), karena firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah dadanya menerima Islam, maka dia itu mendapat nur (cahaya) dari Tuhannya”. S 39 Az Zumar ayat 22.
Kadang-kadang nur itu dinamakan: akal. Kadang-kadang dinamakan: mata hati batiniyah. Dan kadang-kadang dinamakan: nur iman dan yakin. Tak adalah arti menyibukkan diri dengan: nama-nama. Bahwa istilah itu bermacam-macam. Orang yang lemah menyangka, bahwa perselisihan itu terjadi pada: arti. Karena orang yang lemah itu mencari arti dari lafal. Dan itu kebalikan yang wajib. Hati itu berbeda dengan bahagian-bahagian badan yang lain, dengan sifat yang memberitahukan arti, yang tidak menjadi khayalan dan dirasakan dengan pancaindra. Seperti: diketahuinya kejadian alam. Atau berhajatnya alam kepada Khaliq (yang maha pencipta) yang tiada berpemulaan, Yang mengatur, Yang Maha Bijaksana, yang bersifat dengan sifat-sifat ketuhanan. Marilah kita namakan tabiat akalitu: akal, dengan syarat, bahwa tidak dipahami dari lafal akal, akan apa yang dengan itu, dapat diketahui jalan-jalan bertengkar dan bertukar pikiran. Telah terkenallah nama akal dengan ini. Dan karena itulah, dicela oleh sebahagian kaum shufi. Jikalau tidak, maka itu adalah sifat yang membedakan manusia dari hewan. Dengan sifat itu diketahui, bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala itu sifat yang termulia. Maka tiada seyogyalah bahwa sifat itu dicela. Dan tabiat akalini diciptakan, untuk diketahui hakikat/makna semua urusan. Maka yang dikehendaki oleh tabiatnya, ialah: ilmu mengenal Allah Ta’ala dan ilmu. Dan itulah kelezatannya. Sebagaimana yang dikehendaki oleh gharizah-tabiat akalyang lain, ialah: kelezatannya. Tidaklah tersembunyi, bahwa pada ilmu dan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu kelezatan. Sehingga, orang yang dihubungkan kepada ilmu dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), walaupun pada sesuatu yang rendah, niscaya ia bergembira. Dan orang yang dihubungkan kepada kebodohan, walaupun pada barang yang tidak berharga, niscaya ia bersusah hati. Sehingga manusia hampir tidak dapat bersabar, daripada berlomba-lombaan dan berpuji-pujian dengan ilmu, pada barang-barang yang tidak berharga. Orang yang pandai dengan permainan catur, dengan rendahnya permainan itu, tidak sanggup berdiam diri padanya, daripada mengajarkan. Lidahnya terlepas dengan menyebutkan apa yang diketahuinya. Semua itu adalah karena bersangatan lezatnya ilmu dan apa yang dirasakan daripada kesempurnaan diri ilmu itu. Bahwa ilmu itu termasuk hal yang terkhusus dari sifat-sifat ketuhanan. Dan dialah kesudahan kesempurnaan. Karena itulah, tabiat manusia merasa senang, apabila ia dipujikan dengan cerdik dan banyak ilmu. Karena ia merasa ketika mendengar pujian itu, akan kesempurnaan dirinya dan kesempurnaan ilmunya. Lalu ia mengherani diri dan merasa enak dengan yang demikian. Kemudian, tidaklah kelezatan ilmu itu dengan membajak tanah dan menjahit, seperti lezatnya ilmu dengan mengendalikan pemerintahan dan mengatur urusan makhluk. Dan tidaklah kelezatan ilmu dengan tata-bahasa dan syair, seperti lezatnya ilmu mengenai Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan malaikat-malaikatNya, kerajaan langit dan bumi. Akan tetapi, kelezatan ilmu itu menurut kadar kemuliaan ilmu. Dan kemuliaan ilmu itu, menurut kadar kemuliaan yang diketahui. Sehingga orang yang mengetahui hal-ihwal batin manusia dan menceritakan dengan yang demikian, memperoleh kelezatan baginya. Dan kalau tidak diketahuinya, niscaya tabiatnya menghendaki untuk menyeledikinya. Kalau ia mengetahui hal-ihwal batin kepala negeri dan rahasia pengaturannya pada pimpinannya, niscaya adalah yang demikian itu lebih enak baginya dan lebih baik, daripada ilmunya dengan hal-ihwal batin petani atau penenun kain. Kalau dapat ia mengetahui rahasia menteri dan pengaturannya dan apa yang menjadi azamnya pada urusan kementrian, maka itu lebih merindukan baginya dan lebih enak dari ilmunya dengan rahasia kepada pemerintahan (raja atau presiden). Kalau ia tahu dengan batin hal-ihwal raja dan sultan, yang berkuasa atas menteri, niscaya adalah yang demikian itu lebih terasa baik baginya dan terasa enak, daripada diketahuinya batin rahasia-rahasia menteri. Pemujian dengan yang demikian dan keinginannya kepada yang demikian dan kepada pembahasannya itu lebih kuat. Dan keinginannya bagi yang demikian itu lebih banyak. Karena kelezatannya pada yang demikian itu lebih besar.
Dengan ini, jelaslah bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala yang paling lezat, ialah yang paling mulia daripadanya. Kemuliaannya itu menurut kemuliaan ilmu yang diketahui. Kalau dalam ilmu yang diketahui itu, ada yang lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya itu sudah pasti menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan paling baik. Kiranya aku dapat mengetahui, adakah pada alam wujud ini yang lebih agung, lebih tinggi, lebih mulia, lebih sempurna dan lebih besar, daripada Pencipta segala sesuatu seluruhnya, Penyempurnanya, Penghiasnya, Pengadakannya, Pengulanginya, Pengaturnya dan Penyusunnya ? adakah tergambar bahwa ada pada kepunyaan kesempurnaan, keelokan, kebagusan dan keagungan itu yang lebih agung dari hadlarat/keajaiban ketuhanan, yang tidak diliputi dengan pokok-pokok keagungan dan keajaiban hal-ihwalnya, oleh penyifatan orang-orang yang menyifatkan? Kalau anda tidak ragu lagi pada yang demikian, maka tiada seyogyalah bahwa anda ragu, tentang mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan ilmu dengan teraturnya urusan-urusan ketuhanan, yang meliputi dengan setiap yang maujud (yang ada), adalah yang tertinggi dari segala macam ilmu mengenal Allah Ta’ala dan yang diketahui, yang terlezat, terbaik, paling dirindui dan yang paling patut bagi apa yang dirasakan oleh diri, ketika menyifatkan akan kesempurnaan dan keelokannya dan yang lebih patut bagi apa yang besarlah kegembiraan, kesenangan dan kegembiraan. Dengan ini, jelaslah bahwa ilmu itu lezat, ilmu yang paling lezat, ialah ilmu yang menyangkut dengan Allah Ta’ala, dengan sifat-sifatNya, Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya dan pengaturanNya dalam kerajaanNya, dari penghabisan ‘ArasyNya, sampai kepada sempadan bumi. Maka seyogyalah bahwa diketahui, bahwa kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu lebih kuat dari kelezatan-kelezatan yang lain. Yakni: kelezatan nafsu syahwat, marah dan kelezatan pancaindra yang 5 lainnya. Bahwa kelezatan itu yang pertama, berlainan macamnya, seperti: berlainannya kelezatan bersetubuh dengan kelezatan mendengar, kelezatan ma’rifah(ilmu mengenal Allah Ta’ala) dengan kelezatan menjadi kepala. Dan itu berbeda pula dengan lemah dan kuat, seperti berlainannya kelezatan orang yang berkobar-kobar nafsunya dari bersetubuh, dari kelezatan orang yang lemah syahwat. Dan seperti berlainannya kelezatan memandang kepada wajah yang cantik, yang mengatasi kecantikannya, dari kelezatan memandang kepada wajah yang kurang cantiknya. Sesungguhnya dikenal kelezatan yang terkuat, ialah: dengan adanya kelezatan itu membekas kepada yang lain. Bahwa orang yang disuruh memilih, antara memandang kepada rupa yang cantik dan bersenang-senang dengan menyaksikannya, dengan menghirup bau-bauan yang harum, maka apabila orang itu memilih memandang kepada rupa yang cantik, niscaya dapat diketahui, bahwa rupa yang cantik itu yang paling lezat padanya dari bau-bauan yang harum. Seperti yang demikian juga, apabila dihidangkan makanan waktu makan dan orang yang bermain catur, itu terus bermain dan meninggalkan makan, maka dapatlah diketahui dengan yang demikian, bahwa kelezatan mengeras pada catur itu lebih kuat padanya, daripada kelezatan makan. Maka inilah ukuran yang benar pada penyingkapan, dari penguatan kelezatan-kelezatan itu.
Maka kami kembali dan mengatakan: Kelezatan itu terbagi kepada zahiriyah, seperti: kelezatan pancaindra yang 5. Dan kepada batiniyah, seperti: kelezatan menjadi kepala, menang, mulia, ilmu dll. Karena tidaklah kelezatan ini bagi mata, hidung, telinga, sentuh dan rasa. Makna batiniyah itu lebih banyak bagi orang-orang yang mempunyai kesempurnaan, dari kelezatan zahiriyah. Kalau orang disuruh pilih, antara kelezatan ayam gemuk dan kue yang terbuat dari gula dan kelapa, antara kelezatan menjadi kepala dan menundukkan musuh dan memperoleh derajat pemerintahan, maka jikalau orang yang disuruh memilih itu rendah cita-cita, mati hati dan kuat selera makannya, niscaya ia memilih daging dan kue. Kalau ia tinggi cita-cita dan sempurna akal pikirannya, niscaya ia memilih menjadi kepala. Dan ringanlah kepadanya lapar dan sabar dari perlunya makanan bagi hari-hari yang banyak. Maka pilihannya bagi menjadi kepala itu menunjukkan bahwa itu lebih enak baginya dari makanan-makanan yang baik. Benar, kekurangan yang tidak sempurna makna-maknanya yang batiniyah kemudian, seperti: anak kecil atau seperti orang yang telah mati kekuatan-kekuatan batiniyah, seperti: orang yang kurang akal, niscaya tidaklah jauh, bahwa ia mengutamakan kelezatan makanan dari kelezatan menjadi kepala. Dan sebagaimana kelezatan menjadi kepala dan mulia itu kelezatan yang lebih mengerasi, bagi orang yang telah melampaui kekurangan keanak-kecilan dan kekurangan akal pikiran, maka kelezatan mengenal Allah Ta’ala dan menengok keindahan Hadlarat/keajaiban Ketuhanan dan memandang kepada rahasia urusan-urusan ketuhanan itu lebih lezat dari menjadi kepala, yang menjadi kelezatan yang tertinggi, yang mengerasi kepada makhluk manusia. Ibarat yang penghabisan daripadanya, bahwa dikatakan: diri itu tidak mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka, dari cahaya mata. Dan sesungguhnya disediakan bagi mereka, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terguris pada hati manusia. Inilah sekarang yang tidak diketahui, selain oleh orang yang merasakan kedua kelezatan itu sama-sama. Bahwa sudah pasti ia mengutamakan mengasingkan diri, sendirian, berfikir dan berdzikir. Ia menyelam dalam lautan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), meninggalkan menjadi kepala dan ia memandang hina orang-orang yang dikepalainya. Karena diketahuinya, dengan akan lenyap kekepalaannya, akan lenyap orang yang menjadi kepala, keadaannya yang bercampur dengan kekeruhan-kekeruhan, yang tidak tergambar akan terlepas daripadanya. Keadaannya yang terputus dengan mati, yang tak dapat tidak dari kedatangannya, betapapun bumi itu mengambil isinya dan dihiaskan. Dan penduduk bumi itu menyangka, bahwa mereka berkuasa atas bumi. Lalu ia merasa besar dengan dikaitkan kepadanya, akan kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, memperhatikan sifat-sifatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan susunan kerajaanNya dari yang paling tinggi, sampai kepada yang paling rendah. Bahwa yang demikian itu terlepas dari desak-mendesak dan kekeruhan yang meluas bagi orang-orang yang datang kepadanya. Tidaklah sempit bagi mereka, disebabkan kebesarannya. Lebarnya, menurut takaran itu langit dan bumi. Dan apabila pandangan itu telah keluar dari takaran, maka tiada penghabisan bagi lebarnya.
Senantiasalah orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu memperhatikan dalam sorga, yang lebarnya langit dan bumi. Yang bermain-main dalam kebunnya, memetik buah-buahannya, menghirup dari air kolam-kolamnya dan ia merasa aman daripada terputusnya. Karena buah-buahan sorga ini tidak pernah terputus dan terlarang. Kemudian, dia itu abadi yang berkekalan, yang tidak diputuskan oleh mati. Karena mati itu tidak meruntuhkan tempat ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala. Dan tempatnya itu roh yang menjadi urusan ketuhanan yang maha tinggi. Bahwa mati itu merobahkan hal-ihwalnya, memutuskan segala kesibukan dan penghalang-penghalangnya. Dan melepaskannya dari tahanannya.
Adapun bahwa ditiadakannya, maka tidaklah yang demikian. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu menyangka mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu ! tidak ! Mereka itu hidup, mereka mendapat rezeki dari sisi Tuhan. Mereka gembira karena kurnia yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dan mereka merasa girang terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka, bahwa mereka tiada merasa takut dan tidak pula berduka-cita”. S 3 Ali ‘Imran ayat 169-170. Jangan anda menyangka, bahwa ini khusus dengan yang terbunuh dalam peperangan. Bahwa bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu, dengan setiap jiwa derajat 1000 orang syahid. Tersebut pada hadits, bahwa orang syahid itu berangan-angan di akhirat, bahwa ia dikembalikan ke dunia. Lalu ia terbunuh sekali lagi. Karena besarnya apa yang dilihatnya dari pahala syahid. Dan bahwa orang-orang syahid itu berangan-angan, jikalau adalah mereka itu ulama, karena apa yang dilihatnya dari ketinggian derajat ulama.
Jadi, semua tepi kerajaan langit dan bumi itu menjadi lapangan bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), yang ia bertempat daripadanya, di mana saja ia kehendaki, tanpa memerlukan kepada bergerak ke semua tepi itu, dengan tubuhnya dan dirinya. Maka itu termasuk memperhatikan keindahan alam malakut dalam sorga, yang lebarnya langit dan bumi. Dan bagi setiap orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) adalah seperti yang demikian, tanpa sekali-kali bahwa sebahagian mereka menyempitkan kepada sebahagian yang lain. Hanya, mereka itu berlebih-kurang tentang luasnya tempat mereka berjalan-jalan, dengan kadar berlebih-kurangnya mereka pada keluasan pandangan dan luasnya ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka. Dan mereka itu bertingkat-tingkat pada sisi Allah. Dan tidak masuk dalam hinggaan, berlebih-kurangnya derajat mereka. Maka sesungguhnya telah jelas, bahwa kelezatan menjadi kepala dan itu hal batiniyah, adalah lebih kuat pada orang-orang yang mempunyai kesempurnaan, dari kelezatan pancaindra semuanya. Bahwa kelezatan ini, tidak ada bagi binatang, anak kecil dan orang yang lemah akal. Bahwa kelezatan yang dirasakan dengan pancaindra dan nafsu syahwat itu adalah bagi orang-orang yang mempunyai kesempurnaan, serta kelezatan menjadi kepala. Akan tetapi, mereka mengutamakan menjadi kepala.
Adapun makna keadaan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, sifat-sifatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, kerajaan langitNya dan rahasia kerajaanNya itu adalah kelezatan yang lebih besar, dibandingkan dari menjadi kepala. Maka ini khusus dengan ma’rifahNya (ilmu mengenal Allah Ta’alaNya), orang yang memperoleh martabat ilmu mengenal Allah Ta’ala dan merasakannya. Dan tidak mungkin adanya yang demikian itu, pada orang yang tidak mempunyai hati. Karena hati itu tambang kekuatan ini. Sebagaimana tidak mungkin menetapkan kekuatan lezatnya bersetubuh atas lezatnya bermain dengan tongkat yang bengkok hulunya, bagi anak-anak kecil. Dan tidak mungkin menetapkan kuatnya atas kelezatan mencium banafsaj (sebangsa tumbuh-tumbuhan yang bunganya wangi) bagi orang yang lemah syahwat (impoten). Karena ia ketiadaan sifat, yang dengan sifat itu diketahuinya kelezatan ini. Akan tetapi, siapa yang selamat dari bahaya kelemahan syahwat dan selamat pancaindra ciumannya, niscaya ia dapat mengetahui akan kelebih-kurangannya diantara dua kelezatan itu. Dan pada orang ini, tiada lagi, selain bahwa dikatakan: “Siapa yang merasakan, niscaya tahu”.
Demi umurku, bahwa penuntut-penuntut ilmu, walaupun tidak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu mengenal Allah Ta’ala urusan ketuhanan, maka mereka sesungguhnya telah menghirup bau kelezatan ini, ketika tersingkapnya kesulitan-kesulitan dan terbukanya hal-hal yang meragukan, yang kuatlah kelobaan mereka kepada menuntutnya. Bahwa itu juga ma’rifah-ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan ilmu-ilmu, walaupun yang menjadi ilmu padanya tidak mulia, sebagaimana mulianya yang menjadi ilmu dari hal ketuhanan (al-ma’lumat al-ilahiyah).
Adapun orang yang panjang pikirannya tentang ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah swt dan telah tersingkap baginya dari rahasia-rahasia kerajaan Allah, walaupun sesuatu yang sedikit, maka sesungguhnya ia menemui dalam hatinya ketika berhasilnya kesingkapan al-kasyaf (terbuka hijab) itu, akan kegembiraan, yang tidak hampir akan terbang daripadanya. Dan ia merasa heran dari dirinya pada ketetapan dan kemungkinannya bagi kekuatan kegembiraan dan kesenangannya. Dan ini termasuk hal yang tidak dapat diketahui, selain dengan perasaan. Menceritakan tentang hal tersebut itu sedikit faedahnya. Maka sekedar ini memberitahukan kepada anda, bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala akan Allah swt itu yang paling lezat dari segala sesuatu. Dan tidak ada yang lezat di atasnya lagi. Karena inilah, maka berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Bahwa Allah mempunyai hamba-hamba, yang tidak menyibukkan mereka dari Allah oleh ketakutan kepada neraka dan keharapan kepada sorga. Maka bagaimanakah mereka disibukkan oleh dunia, daripada mengingati Allah?”. Karena yang demikianlah, sebahagian teman dari Ma’ruf Al-Karkhi berkata kepadanya: “Terangkanlah kepadaku hai Abu Mahfudh, hal apakah yang menggerak kan anda kepada ibadah dan memutuskan diri dari makhluk ?”. Ma’ruf Al-Karkhi diam, lalu teman itu menjawab: “Mengingati mati”. Ma’ruf lalu bertanya: “Yang manakah itu mati ?”. Teman itu menjawab: “Mengingatkan kubur dan alam barzakh”. Ma’ruf maka bertanya: “Yang manakah itu kubur ?”. Teman itu lalu menjawab: “Takut neraka dan harap sorga”. Ma’ruf bertanya lagi: “Yang manakah ini ? bahwa Raja, yang ini semuanya di TanganNya, jikalau engkau mencintaiNya, niscaya melupakan engkau akan semua yang demikian. Dan jikalau ada diantara engkau dan Dia itu ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya mencukupi bagi engkau akan semua ini”.
Dalam berita-berita Isa as ada tersebut: “Apabila engkau melihat pemuda itu tergantung hatinya dengan mencari Tuhan Yang Maha Tinggi, maka sesungguhnya ia dilupakan oleh yang demikian, dari yang selainNya”. Sebahagian para syaikh memimpikan Bisyr bin Al-Harts, lalu yang bermimpi itu bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh Abu Nasar At-Tammar dan Abdul wahhab Al-Warraq ?”. Bisyr bin Al-Harts menjawab: “Aku tinggalkan keduanya sesaat di hadapan Allah Ta’ala, makan dan minum”. Aku lalu bertanya: “Lalu engkau ?”. Bisyr bin Al-Harts menjawab: “Allah Ta’ala tahu akan sedikitnya kegemaranku pada makan dan minum. Maka dibiarkanNya aku memandang kepadaNya”.
Dari Ali bin Al-Muwaffaq, yang mengatakan: “Aku bermimpi, seakan-akan aku masuk sorga. Lalu aku melihat seorang laki-laki duduk pada suatu hidangan. Dua malaikat di kanan dan di kirinya menyuapkannya dari semua makanan yang enak-enak. Dan orang itu terus makan. Aku melihat seorang laki-laki yang berdiri di pintu sorga, yang memperhatikan wajah semua manusia. Lalu dibolehkannya masuk sebahagian dan ditolaknya sebahagian”. Ali bin Al-Muwaffaq meneruskan ceritanya: “Kemudian, aku lewati kedua orang laki-laki itu ke Hadlaratul-Quds (suatu tempat di kanan Al-‘arasy). Lalu aku melihat di kemah Al-‘arasy seorang laki-laki memandang ke atas, melihat kepada Allah Ta’ala, yang tiada berkedip matanya. Lalu aku bertanya kepada malaikat Ridhwan: “Siapakah ini ?”. Malaikat Ridhwan menjawab: “Ma’ruf Al-Karkhi. Ia beribadah kepada Allah, tidak karena takut kepada nerakaNya dan tidak karena rindu kepada sorgaNya. Akan tetapi, karena cinta kepadaNya. Maka ia dibolehkan memandang kepadaNya sampai hari kiamat”. Ali bin Al-Muwaffaq menyebutkan, bahwa dua orang laki-laki yang penghabisan itu, ialah: Bisyr bin Al-Harts dan Ahmad bin Hanbal. Karena itulah, Abu Sulaiman berkata: “Siapa yang pada hari ini sibuk dengan urusan dirinya sendiri, maka dia itu esok sibuk dengan dirinya sendiri. Siapa yang pada hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka dia itu esok sibuk dengan Tuhannya”. Sufyan Ats-Tsuri bertanya kepada Rabi’ah binti Ismail Al-‘Adawiyah: “Apakah hakikat/makna iman engkau ?”. Rabi’ah menjawab: “Aku tidak beribadah kepadaNya, karena takut dari nerakaNya dan tidak karena cinta kepada sorgaNya. Sehingga adalah aku seperti orang yang diberi upah, yang jahat. Akan tetapi, aku beribadah kepadaNya, karena cinta dan rindu kepadaNya. Rabi’ah membacakan beberapa kuntum syair tentang makna cinta:
Aku mencintai engkau dua cinta:
cinta keinginan dan cinta karena engkau berhak yang demikian.
Adapun yang itu cinta keinginan,
maka kesibukanku menyebutkan engkau, dari orang yang selain engkau.
Adapun cinta yang engkau berhak baginya,
yaitu: engkau bukakan dinding bagiku, sehingga aku melihat engkau.
Maka tak adalah pujian bagiku pada ini dan itu,
akan tetapi, bagi engkaulah pujian pada ini dan itu.
Semoga Rabi’ah menghendaki dengan cinta keinginan itu cinta kepada Allah. Karena ihsan (perbuatan baik) Nya kepada Rabi’ah dan kenikmatan yang dianugerahkanNya kepada Rabi’ah, dengan keuntungan-keuntungan yang segera. Ia mencintai Allah, karena Dia itu berhak mempunyai kecintaan, karena keelokanNya dan keagunganNya, yang tersingkap bagi Rabi’ah. Dan itulah yang paling tinggi bagi dua kecintaan itu dan yang paling kuat. Kelezatan menengok keelokan ketuhanan, yang diibaratkan oleh rasulloh saw, dimana beliau menceritakan dari Tuhannya Yang Maha tinggi: “Aku siapkan bagi hamba-hambaKu yang shalih, apa yang tidak pernah mata melihat, telinga mendengar dan tidak terguris atas hati manusia”. Telah bersegeralah sebahagian kelezatan-kelezatan ini di dunia, bagi siapa yang telah berkesudahan bersih hatinya, kepada penghabisan. Karena itulah, sebahagian mereka mengatakan: “Bahwa aku mengucapkan: Ya Tuhanku, Ya Allah !”. Maka aku dapati yang demikian atas hatiku, lebih berat dari bukit. Karena panggilan itu adalah dari belakang hijab (dinding). Adakah engkau melihat orang yang sama duduk memanggil orang sama duduk dengan dia ? Berkata sebahagian mereka: “Apabila orang sampai kepada ilmu ini akan penghabisannya, niscaya ia dilemparkan oleh orang banyak dengan batu”. Artinya: keluarlah perkataannya dari batas akal-pikiran mereka. Lalu mereka melihat apa yang dikatakannya itu gila atau kufur. Maka tujuan maksud orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu semua, ialah sampai dan bertemu dengan Dia saja. Maka yaitu: cahaya mata, yang tidak diketahui oleh diri, apa yang tersembunyi bagi mereka daripadanya. Apabila berhasil, niscaya terhapuslah segala kesusahan dan nafsu syahwat seluruhnya. Dan jadilah hati itu tenggelam dengan nikmatnya. Jikalau ia dicampakkan dalam neraka, niscaya tidak dirasakannya pedih, karena ketenggelaman nya. Jikalau didatangkan kepadanya nikmat sorga, niscaya ia tidak berpaling kepadanya, karena kesempurnaan nikmatnya dan sampainya kepada penghabisan, yang tidak ada lagi di atasnya penghabisan. Semoga aku tahu, akan orang yang tidak memahami, selain mencintai segala yang dapat dirasakan dengan pancaindra, bagaimana ia beriman dengan kelezatan memandang kepada wajah Allah Ta’ala. Dan tidak adalah bagiNya rupa dan bentuk. Dan manakah arti bagi janji allah Ta’ala dengan yang demikian kepada hamba-hambaNya. Dan menyebutkannya bahwa itu yang terbesar dari segala nikmat. Bahkan, orang yang mengenal Allah, niscaya ia mengenal, bahwa kelezatan-kelezatan yang dipisahkan dengan nafsu syahwat yang bermacam-macam seluruhnya meliputi di bawah kelezatan ini, sebagaimana dimadahkan oleh sebahagian mereka:
Adalah bagi hatiku hawa nafsu yang bermacam-macam,
lalu berkumpul sejak dilihat Engkau oleh mata hawa nafsuku.
Jadilah aku didengki oleh orang yang aku mendengkinya.
Jadilah Engkau Tuhan manusia, sejak Engkau menjadi Tuhanku.
Aku tinggalkan bagi manusia,
dunia mereka dan agama mereka.
Karena sibuk mengingati Engkau.
Hai agamaku dan duniaku !
Karena demikian juga, berkata sebahagian mereka:
MeninggalkanNya lebih besar dari:
neraka
menyambungkanNya lebih baik dari:
sorga.
Tiada mereka kehendaki dengan ini, selain memilih kelezatan hati pada mengenal ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), dari kelezatan makan, minum dan kawin. Bahwa sorga itu tambang bersenang-senangnya pancaindra. Adapun hati, maka kelezatannya pada bertemu dengan Allah saja. Contoh bermacam-macamnya makhluk pada kelezatannya, ialah: apa yang akan kami sebutkan. Yaitu: bahwa anak kecil pada permulaan geraknya dan tamyiznya (dapat membedakan antara manfaat dan melarat dsb) itu, lahirlah pada gharizah (tabiat akal/instinc), yang dengan tabiat akalitu ia merasa enak bermain dan bersenda gurau. Sehingga adalah yang demikian itu padanya lebih enak dari segala sesuatu yang lain. Kemudian, sesudah itu, lahirlah kelezatan perhiasan, memakai pakaian dan mengendarai hewan-hewan kendaraan. Lalu ia memandang rendah bersama kelezatan-kelezatan tadi, akan kelezatan bermain-main. Kemudian, sesudah itu, lahir kelezatan bersetubuh dan nafsu syahwat kepada wanita. Lalu dengan yang demikian, ditinggalkannya semua yang sebelumnya, untuk sampai kepadanya. Kemudian, lahir kelezatan menjadi kepala, ketinggian dan berbanyak-banyakan. Yaitu: yang penghabisan kelezatan dunia, yang paling tinggi dan yang paling kuat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Ketahuilah olehmu, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megahan antara sesama kamu, berlomba banyak kekayaan dan anak-anak; perumpamaannya bagai hujan, yang menakjubkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian dia menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaanNya; dan kehidupan dunia ini tidak lain, hanyalah kesenangan tipuan semata”. S 57 Al Hadiid ayat 20.
Kemudian, sesudah ini, lahirlah tabiat akalyang lain, yang diindrakan dengan tabiat akalini akan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala dan ilmu mengenal Allah Ta’ala perbuatan-perbuatanNya. Lalu ia memandang rendah serta tabiat akal ini, akan semua yang sebelumnya. Maka setiap yang terakhir itu adalah lebih kuat. Dan ini adalah yang akhir. Karena lahirlah cinta bermain pada tahun tamyiz. Cinta wanita dan perhiasan itu pada tahun dewasa (baligh). Cinta menjadi kepala sesudah umur 20 dan cinta kepada ilmu mendekati umur 40. Dan itulah penghabisan yang tertinggi. Sebagaimana anak kecil tertawa kepada orang yang meninggalkan bermain dan sibuk dengan bermain-main dengan wanita dan mencari menjadi kepala, maka seperti demikian juga para kepala tertawa kepada orang yang meninggalkan menjadi kepala dan sibuk dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala. Dan orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) mengatakan: “Jikalau kamu memperolokkan kami, maka kami memperolok-olokkan, sebagaimana kamu memperolok-olokkan. Maka kamu akan mengetahui”.
PENJELASAN: sebab pada tambahnya memandang pada kelezatan akhirat atas ilmu mengenal Allah Ta’ala pada dunia.
Ketahuilah, bahwa yang diindrakan itu terbagi kepada: yang masuk dalam khayalan. Seperti: rupa yang dikhayalkan, tubuh yang berwarna dan yang berbentuk dari diri hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan kepada yang tidak masuk dalam khayalan, seperti: Zat Allah Ta’ala dan setiap apa yang tidak bertubuh, seperti: ilmu, qudrah (kuasa), Kemauan dll. Siapa yang melihat seorang insan, kemudian memincingkan matanya, niscaya ia dapati rupa insan tadi, hadir dalam khayalannya. Seolah-olah ia memandang kepadanya. Akan tetapi, apabila ia membuka mata dan melihat dan ia mendapati akan perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu tidak kembali kepada perselisihan diantara dua rupa. Karena rupa yang dilihat itu adalah bersesuaian dengan rupa yang dikhayalkan. Hanya saja perbedaan itu dengan lebihnya terang dan tersingkap. Bahwa rupa orang yang dilihat itu menjadi lebih sempurna tersingkap dan terangnya dengan dilihat. Yaitu seperti orang yang dilihat pada waktu cahaya pagi, sebelum berkembang cahaya siang. Kemudian, dilihat ketika sempurna terang. Maka tidaklah berbeda diantara suatu keadaan dengan lainnya, selain pada bertambahnya terang. Jadi khayal itu adalah permulaan al-indra. Melihat adalah kesempurnaan bagi indra khayal. Yaitu: penghabisan terbuka. Dinamakan yang demikian itu melihat, karena dia itu penghabisan terbuka. Tidak, karena dia itu pada mata. Akan tetapi, jikalau diciptakan oleh Allah akan al-indra(diketahui dengan pancaindra) yang sempurna, yang terbuka, pada dahi atau dada umpamanya, niscaya ini berhak membawa dinamakan: melihat. Apabila anda telah memahami ini pada yang dikhayalkan, maka ketahuilah, bahwa hal-hal yang diketahui (al-ma’lumat) yang tidak berbentuk pula dalam khayalan bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala dan mengindrakannya itu mempunyai dua tingkat.
Yang satu itu lebih utama. Dan yang kedua itu kesempurnaan baginya.
Diantara yang pertama dan yang kedua ada berlebih-kurang pada bertambahnya tersingkap dan terang, diantara apa yang dikhayalkan dan yang dilihat. Maka yang kedua juga, dengan dikaitkan kepada yang pertama, dinamakan: penyaksian, bertemu dan melihat. Dan penamaan ini benar. Karena melihat itu, dinamakan: melihat, karena ia penghabisan tersingkap. Sebagaimana sunnah Allah Ta’ala berlaku dengan berkatupnya pelupuk mata itu mencegah dari sempurnanya tersingkap dengan melihat dan ada ia menjadi hijab (terdinding) antara penglihatan dan yang dilihat dan tak boleh tidak daripada terangkatnya hijab untuk berhasilnya melihat dan selama tidak terangkat, niscaya adalah al-indra yang diperoleh itu semata-mata khayalan, maka seperti demikian juga kehendak sunnah Allah Ta’ala, bahwa jiwa selama terus terhijab dengan hal-hal yang mendatang bagi badan dan kehendak nafsu syahwat dan apa yang mengerasi atasnya, dari sifat-sifat manusiawi, niscaya tidaklah dia itu berkesudahan kepada: penyaksian dan bertemu pada hal-hal yang diketahui di luar dari khayal. Bahkan hidup ini adalah hijab daripadanya secara darurat, seperti hijabnya pelupuk mata dari penglihatan mata. Pembicaraan tentang sebab adanya itu hijab akan panjang dan tidak layak dengan ilmu ini.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Engkau tidak akan dapat melihat Aku”. S 7 Al A’raaf ayat 143. Allah Ta’ala berfirman: “Penglihatan tidak sampai (mencapai) kepadaNya”. S 6 Al An’aam ayat 103. Artinya: di dunia. Dan yang shalih, bahwa Rasulullah saw tidak melihat Allah Ta’ala pada malam mi’raj. Apabila terangkat hijab dengan mati, niscaya tinggallah nyawa berlumuran dengan kotoran dunia, tidak terlepas daripadanya secara keseluruhan, walaupun dia itu berlebih kurang. Sebahagian daripadanya apa yang bertindis-lapis di atasnya kebusukan dan kekaratan. Maka jadilah seperti cermin yang telah rusak bendanya, disebabkan lamanya bertindis-lapis kebusukan. Lalu tidak dapat lagi diperbaiki dan dikilatkan. Mereka itu orang-orang yang terhijab dari Tuhannya untuk selama-lamanya. Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Diantaranya apa yang tidak berkesudahan kepada batas kotor dan termeteri. Dan tidak keluar dari dapat dibersihkan dan dikilatkan. Maka diletakkan di atas api, yang dapat mencegah daripadanya akan keburukan, yang menjadi kekotorannya. Dan adalah diletakkan di atas api sekadar perlu kepada pembersihan. Sekurang-kurangnya sekejap mata yang enteng saja. Dan sejauh-jauhnya terhadap orang-orang yang beriman, sebagaimana diterangkan oleh hadits-hadits adalah 7000 tahun. Tiadalah berangkat suatu nyawa dari alam ini, melainkan ia disertai oleh debu dan kekeruhan dari apa saja, walaupun sedikit. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan. Akhirnya, Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan) dan Kami biarkan orang-orang yang bersalah berlutut di dalamnya”. S 19 Maryam ayat 71-72.
Maka setiap diri yakin untuk datang ke neraka dan tidak yakin untuk keluar daripadanya. Maka apabila Allah menyempurnakan penyucian dan pembersihannya dan sampailah suratan amal akan waktunya, terjadilah penyelesaian dari sejumlah apa yang dijanjikan oleh syara’(agama), dari hisab, didatangkan di hari kiamat dll, disempurnakan akan berhak dengan sorga dan yang demikian itu waktu yang belum jelas, yang tidak diperlihatkan oleh Allah kepada seseorang dari makhlukNya, maka itu terjadi pada hari kiamat. Dan waktu kiamat itu tidak diketahui (majhul). Maka ketika itu, ia berbuat dengan kebersihan dan kesuciannya dari segala kotoran, dimana tidak dikejikan mukanya oleh debu dan asap. Karena padanya menampak (tajalli) Tuhan Yang Maha Benar, Maha Suci dan Maha Tinggi. Maka menampaklah baginya dengan penampakan, yang tersingkap penampakanNya, dengan dikaitkan kepada apa yang diketahuinya, seperti: tersingkap menampaknya cermin dengan dikaitkan kepada apa yang dikhayalkannya.
Penyaksian (musyahadah) ini dan tajalli, ialah: yang dinamakan: mimpi (ru’yah). Jadi, ru’yah itu benar, dengan syarat bahwa tidak dipahami dari ru’yah itu, akan kesempurnaan khayal pada yang dikhayalkan, yang berbentuk, yang khusus dengan arah dan tempat. Maka yang demikian itu, termasuk hal yang Maha Suci Tuhan semesta alam dengan sebenar-benarnya, dari yang demikian. Bahkan, sebagaimana yang anda ketahui di dunia, akan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang hakiki, yang sempurna, tanpa khayal, tanpa berbentuk, mengumpama kan bentuk dan rupa, maka akan anda melihat di akhirat seperti yang demikian itu. Bahkan aku mengatakan, bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala yang diperoleh di dunia itu sendiri, adalah yang memperoleh kesempurnaan. Ia sampai kepada kesempurnaan tersingkap dan terang. Dan terbalik menjadi musyahadah (penyaksian). Dan tidak adalah perselisihan diantara musyahadah (penyaksian) di akhirat dan yang diketahui di dunia, selain dari segi bertambahnya tersingkap dan terang. Sebagaimana kami buatkan contoh pada menyempurna kan khayal dengan: ru’yah. Maka apabila tidak ada pada ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala itu, pengakuan adanya bentuk dan arah, niscaya tidak adalah muka pada kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sendiri dan meningginya pada terang, sampai kepada penghabisan tersingkapnya itu, arah dan bentuk. Karena dia itu sendiri, tidak berbeda daripadanya, selain pada bertambahnya penyingkapan. Sebagaimana rupa yang terlihat itulah yang menjadi khayalan itu sendiri, kecuali berbeda pada bertambahnya tersingkap. Kepada yang demikianlah, isyarat dengan firman Allah Ta’ala: “Cahaya mereka berlari di hadapan mereka dan di kanan mereka, sedang mereka berkata: “Wahai Tuhan kami ! cukupkanlah untuk kami cahaya kami !”. S 66 At Tahrim ayat 8. Karena kesempurna an nur (cahaya) itu tidak membekas, selain pada bertambahnya tersingkap. Karena inilah, tiada memperoleh kemenangan dengan tingkat memandang dan melihat (wajah Allah Ta’ala), selain oleh orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) (al-‘arifun) di dunia. Karena ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), ialah bibit yang terbalik di akhirat menjadi musyahadah (penyaksian), sebagaimana terbaliknya biji menjadi pohon dan biji-bijian menjadi tanaman. Siapa yang tiada mempunyai biji dalam buminya, maka bagaimana ia memperoleh batangnya ? siapa yang tiada menanam biji-bijian, maka bagaimana ia mengetam akan tanamannya ? seperti demikian juga, orang yang tidak mengenal tidak berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) akan Allah Ta’ala di dunia, maka bagaimana ia akan melihatNya di akhirat ? Tatkala adalah ilmu mengenal Allah Ta’alaitu di atas derajat yang berlebih-kurang, niscaya tajalli (menampak) juga di atas derajat yang berlebih kurang. Maka berbedanya tajalli dengan dikaitkan kepada berbedanya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu seperti berbedanya tumbuh-tumbuhan, dengan dikaitkan kepada berbedanya bibit. Karena dia itu berbeda sudah pasti dengan sebab banyaknya, sedikitnya, bagusnya, kuatnya dan lemahnya.
Karena demikianlah, maka Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah itu bertajalli bagi manusia umumnya dan bagi Abubakar khususnya”. Maka tiada seyogyalah disangka, bahwa selain Abubakar, dari orang-orang yang di bawah derajatnya, akan memperoleh dari kelezatan memandang dan musyahadah (penyaksian), apa yang diperoleh Abubakar. Akan tetapi, orang itu tiada akan memperoleh, selain 1/100 nya, jikalau ada ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya di dunia 1/100 Abubakar. Tatkala Abubakar melebihi manusia lain dengan rahasia dan ketetapan dalam dadanya, maka tidak dapat dibantah lagi ia dilebihkan dengan tajalli, yang ia berkesendirian dengan yang demikian. Sebagaimana engkau melihat di dunia, ada orang yang mengutamakan kelezatan menjadi kepala, dari makanan yang dimakan dan orang yang dikawini dan engkau melihat ada orang yang mengutamakan kelezatan ilmu dan tersingkapnya kemusykilan-kemusykilan/kesulitan kerajaan langit dan bumi dll urusan ketuhanan, dari menjadi kepala, dari orang yang dikawini, semua makanan yang dimakan dan minuman yang diminum, maka seperti demikian pula, ada di akhirat golongan yang mengutamakan memandang kepada Wajah Allah Ta’ala, dari kenikmatan sorga. Karena nikmatnya itu kembali kepada makanan yang dimakan dan orang yang dikawini. Dan mereka itu sendiri adalah orang-orang, yang keadaannya di dunia, apa yang telah kami sifatkan dari mengutamakan kelezatan ilmu, ilmu mengenal Allah Ta’ala dan menengok kepada rahasia-rahasia ketuhanan, dari kelezatan orang yang dinikahi, makanan yang dimakan, minuman yang diminum, sedang manusia lainnya sibuk dengan yang demikian. Karena itulah tatkala ditanyakan kepada Rabi’ah: “Apakah yang engkau katakan mengenai sorga ?”, maka Rabi’ah menjawab: “Tetangga, kemudian kampung”, maka ia menerangkan, bahwa tidak ada dalam hatinya menoleh kepada sorga, akan tetapi kepada: Yang Empunya sorga (Rabbil-jannah).
Setiap orang yang tidak mengenal Allah di dunia, maka ia tidak akan melihatNya di akhirat. Setiap orang yang tidak memperoleh kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’aladi dunia, maka ia tidak memperoleh kelezatan memandang di akhirat. Karena tidak akan berulang kembali bagi seorang di akhirat, apa yang tidak menyertainya dari dunia. Tiada akan diketam oleh seseorang, selain apa yang ditanaminya. Tiada akan dibangkitkan manusia, selain di atas apa yang ia mati di atasnya. Ia tiada akan mati, selain di atas apa yang ia hidup di atasnya. Maka apa yang menyertainya dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya itu saja yang ia bernikmat-nikmat dengan dia. Hanya itu akan bertukar kepada musyahadah, dengan terbukanya tutup. Maka berlipat-gandalah kelezatan dengan yang demikian, sebagaimana berlipat-gandanya kelezatan orang yang asyik, apabila berganti khayalan rupa orang yang dirindui, dengan melihat rupanya. Maka yang demikian itu kesudahan kelezatannya.
Baiknya sorga itu, ialah bahwa bagi setiap seorang itu dalam sorga ada apa yang diingininya. Maka orang yang tiada mengingini, selain menemui Allah Ta’ala, niscaya tiada kelezatan baginya yang lain dari Allah Ta’ala. Bahkan, kadang-kadang ia merasa sakit dengan yang demikian. Jadi, kenikmatan sorga itu menurut kadar kecintaan, kepada Allah Ta’ala. Dan kecintaan kepada Allah Ta’ala menurut kadar ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya kepada Allah. Maka pokok kebahagiaan ialah: ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang diibaratkan oleh agama, dengan: iman.
Kalau anda mengatakan, bahwa kelezatan melihat, kalau ada baginya bandingan kepada kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala, maka itu sedikit, walaupun dia itu berlipat ganda. Karena kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala di dunia itu lemah. Maka berlipat-gandanya itu kepada batas yang dekat, yang tidak berkesudahan pada kekuatan, yang sampai memandang enteng kelezatan sorga yang lain padanya. Maka ketahuilah, bahwa memandang enteng kepada kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, timbul daripada kekosongan dari ilmu mengenal Allah Ta’ala. Orang yang kosong dari ilmu mengenal Allah Ta’ala, maka bagaimana ia memperoleh kelezatannya ? jikalau ia terlipat di atas ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lemah dan hatinya terisi dengan segala hubungan duniawi, maka bagaimana ia memperoleh kelezatannya ? orang-orang ‘arifin yang berilmu mengenal Allah Ta’ala pada ilmu mengenal Allah Ta’alanya, pikirannya dan munajahnya dengan Allah Ta’ala, mempunyai kelezatan-kelezatan, jikalau didatangkan sorga kepada mereka di dunia, sebagai ganti daripadanya, niscaya mereka tidak mau menggantikan itu dengan kelezatan sorga. Kemudian, kelezatan ini serta kesempurnaannya, tidaklah sekali-kali mempunyai perbandingan, dengan kelezatan bertemu dan menyaksikan. Sebagaimana tiada bandingan bagi kelezatan khayalan orang yang dirindui, dengan melihatnya. Kelezatan menghirup bau makanan yang diingini, dengan merasakannya. Dan kelezatan menyentuh dengan tangan, dengan kelezatan bersetubuh. Melahirkan kebesaran berlebih-kurangnya diantara keduanya itu tidak mungkin, selain dengan membuat contoh. Maka kami mengatakan: Kelezatan memandang kepada wajah yang dirindui di dunia itu berlebih-kurang, dengan beberapa sebab:
pertama, ialah: kesempurnaan cantiknya yang dirindui, dan kekurangannya. Bahwa kelezatan pada memandang kepada yang lebih cantik itu sudah pasti lebih sempurna.
Kedua: sempurnanya kekuatan kecintaan, keinginan dan kerinduan. Maka tidaklah kelezatan orang yang bersangatan kerinduannya, seperti kelezatan orang yang lemah keinginan dan kecintaannya.
Ketiga: sempurnanya al-indra. Maka tidaklah kelezatannya dengan melihat orang yang dirindui dalam kegelapan atau di belakang tirai yang tipis atau dari jauh, seperti kelezatannya dengan indranya di atas kedekatan, tanpa tirai dan ketika sempurnanya terang. Dan tidaklah indra kelezatan tidur sesama dengan kain yang membatasi, seperti indranya kelezatan dengan tiada kain sama sekali.
Keempat: tertolaknya semua penghalang yang mengacaukan dan kepedihan-kepedihan yang mengganggu hati. Maka tidaklah kelezatan orang yang sehat, yang kosong dari kesibukan, yang semata-mata hanya memandang kepada yang dirindui, seperti kelezatannya orang yang takut, yang terkejut atau orang sakit, yang merasa kepedihan atau orang yang sibuk hatinya dengan sesuatu dari segala macam kepentingan. Lalu ia ditakdirkan menjadi orang yang rindu, yang lemah kerinduannya, yang memandang kepada wajah yang dirinduinya, di balik tirai yang tipis, dari jauh, di mana tercegah tersingkapnya hakikat/makna rupanya, dalam keadaan, yang berkumpul padanya kala-kala jengking dan tawon-tawon, yang menyakitkannya, menyengatkannya dan mengganggukan hatinya. Maka ia dalam hal ini, tiada akan terlepas dari kelezatan apa saja dari musyahadah (penyaksian) yang dirinduinya.
Maka jikalau secara tiba-tiba, datanglah keadaan yang mengoyakkan tirai, cemerlang dengan keadaan itu cahaya dan tertolak daripadanya segala yang menyakitkan. Dan tinggallah dia dalam keadaan selamat, yang kosong dari gangguan. Dan ia diserang oleh keinginan yang kuat dan kerinduan bersangatan. Sehingga ia sampai kepada tujuan yang penghabisan. Maka perhatikanlah bagaimana berlipat-gandanya kelezatan. Sehingga tidak tinggal lagi bagi yang pertama, yang kepadanya perbandingan yang diperhitungkan. Maka seperti demikian juga, pahamilah akan bandingan kelezatan memandang kepada kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala ! maka tirai yang tipis itu seumpama badan dan kesibukan dengan badan itu. Kala-kala jengking dan tawon-tawon itu seumpama nafsu keinginan yang mengerasi atas insan, dari kelaparan, kehausan, kemarahan, kerusuhan, kesedihan dan kelemahan nafsu keinginan. Dan kecintaan itu seumpama kelalaian diri pada dunia, kekurangannya dari kerinduan kepada malaikat yang di langit dan berpalingnya kepada yang terendah dari segala yang rendah. Yaitu: seumpama kelalaian anak kecil daripada memperhatikan kelezatan menjadi kepala dan berpalingnya kepada bermain-main dengan burung pipit. Orang yang ilmu mengenal Allah Ta’ala, walaupun ilmu mengenal Allah Ta’alanya kuat di dunia, maka ia tidak terlepas dari pengganggu-pengganggu ini. Dan tidak akan tergambar sekali-kali bahwa ia terlepas daripadanya. Ya, kadang-kadang berganda penghalang-penghalang ini pada sebahagian hal-keadaan. Dan tidak terus-menerus berkekalan. Maka tidak pelak lagi, terisyarat dari keelokan ilmu mengenal Allah Ta’ala, apa yang mengherankan akal. Dan membesar kelezatannya, dimana hati hampir pecah, karena keagungannya. Akan tetapi, adalah yang demikian itu seperti kilat yang menyambar. Dan sedikitlah ia terus-menerus berkekalan. Akan tetapi, datanglah dari gangguan-gangguan, pikiran-pikiran dan gurisan-gurisan, apa yang mengacaukan dan yang menyusahkan. Dan ini suatu hal darurat, yang berketerusan dalam hidup yang fana ini. Maka senantiasalah kelezatan ini menyusahkan sampai mati. Bahwa hidup yang baik ialah sesudah mati. Bahwa hidup ialah hidup akhirat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 64.
Setiap orang yang berkesudahan kepada tingkat ini, maka ia mencintai bertemu dengan Allah Ta’ala. Ia menyukai mati dan tidak membencikannya, selain dari segi ia menunggu bertambahnya kesempurnaan pada ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka ilmu mengenal Allah Ta’ala itu seperti bibit. Dan lautan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu tiada bertepi. Maka mengetahui dengan hakikat/makna keagungan Allah itu mustahil. Setiap kali membanyak ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah, dengan sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, dengan rahasia kerajaanNya dan menguat, niscaya membanyaklah kenikmatan di akhirat dan membesar. Sebagaimana, manakala membanyaklah bibit dan membagus, niscaya membanyaklah tanam-tanaman dan membagus. Dan tidak mungkin menghasilkan bibit ini, selain di dunia. Dan tidak ditanam, selain pada tanah hati. Tidak diketam, selain di akhirat.
Karena inilah Rasulullah saw bersabda: “Kebahagiaan yang paling utama, ialah panjang umur pada mentaati Allah”. Karena ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sesungguhnya sempurna, membanyak dan meluas pada umur yang panjang, dengan berkekalan fikir, rajin pada mujahadah (bersungguh‑sungguh), memutuskan segala hubungan dengan dunia dan menjuruskan diri untuk mencari akhirat. Dan tidak jalan lain, bahwa yang demikian itu meminta waktu. Siapa yang mencintai mati, niscaya mati itu mencintainya. Karena ia melihat dirinya berdiri pada ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), yang menyampaikan kepada berkesudahan apa yang menggembirakannya. Siapa yang benci kepada mati, niscaya mati benci kepadanya. Karena, ia berangan-angan bertambahnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), yang berhasil baginya dengan panjang umur. Ia melihat dirinya lalai dari apa yang ditanggung oleh kekuatannya, jikalau ia berumur panjang. Maka inilah sebab kebencian kepada mati dan kecintaannya pada orang yang berma’rifah (ahlul-ma’rifah) (orang yg memiliki ilmu mengenal Allah Ta’ala). Adapun orang-orang yang lain, maka pandangan mereka menyingkat kepada nafsu keinginan duniawi. Jikalau meluas, niscaya mereka mencintai kekekalan hidup. Dan jikalau menyempit, niscaya mereka berangan-angan kepada mati. Setiap yang demikian itu haram dan merugi, yang sumbernya ialah bodoh dan lalai. Bodoh dan lalai itu tempat tertanam segala kesengsaraan. Ilmu dan Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu sendi setiap kebahagiaan. Maka anda telah mengetahui, dengan apa yang telah kami sebutkan, akan makna cinta dan makna rindu. Bahwa rindu itu cinta, yang bersangatan dan kuat. Dan anda telah mengetahui, akan makna kelezatan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), makna ru’yah (melihat Allah ta’ala), makna kelezatan ru’yah/mimpi melihat Allah Ta’ala dan makna keadaannya ru’yah itu lebih lezat dari kelezatan-kelezatan yang lain, pada orang-orang yang berakal dan mempunyai kesempurnaan. Walaupun tidak ada seperti yang demikian pada orang-orang yang mempunyai kekurangan, sebagaimana tidak ada menjadi kepala itu, lebih melezatkan dari makanan-makanan pada anak-anak kecil. Jikalau anda bertanya: maka ru’yah ini tempatnya hati atau mata di akhirat ?
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia berselisih pendapat pada yang demikian. Orang-orang yang bermata hati tiada berpaling kepada perselisihan ini dan tidak memandang padanya. Bahkan orang yang berakal itu memakan sayur-sayuran dan tidak menanyakan dari hal tempat sayur-sayuran itu. Orang yang ingin melihat yang dirinduinya, niscaya disibukkannya oleh kerinduannya itu, daripada memperhatikan, bahwa ru’yahnya itu diciptakan pada matanya atau pada dahinya. Akan tetapi, yang ia maksudkan, ialah: ru’yah dan kelezatannya. Sama saja ada yang demikian itu pada mata atau pada lainnya. Maka mata itu tempat dan sarung, yang tidak ada pandangan dan hukum baginya. Yang benar padanya, ialah: bahwa qudrah (kuasa) yang azali (kekal) itu luas. Maka tidak boleh kita hukumkan padanya dengan kesingkatan dari salah satu dua hal. Ini adalah dalam hukum boleh (hukum-jawaz). Adapun yang terjadi di akhirat, dari hal-hal yang boleh, maka tidak diindrakan, selain dengan mendengar. Dan yang benar, ialah apa yang tampak bagi Ahlus-sunnah wal-jama’ah, dari dalil-dalil agama, bahwa yang demikian itu diciptakan pada mata, supaya adalah lafal ru’yah, memandang dan lafal-lafal yang lain yang datang pada agama itu berlaku atas zahiriyahnya. Karena tidak boleh menghilangkan segala yang zahiriyah, selain karena darurat. Wallaahu Ta’aalaa a’lam. Allah Ta’ala Yang Maha Tahu.
PENJELASAN: sebab-sebab yang menguatkan kecintaan kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa makhluk yang keadaannya lebih berbahagia di akhirat, ialah: yang lebih kuat kecintaannya kepada Allah Ta’ala. Bahwa akhirat itu, maknanya, ialah: datang kepada Allah Ta’ala dan mendapati kebahagiaan menjumpaiNya. Alangkah besarnya nikmat bagi yang mencintai, apabila ia datang kepada yang dicintainya, setelah lama rindunya. Dan memungkinkan berkekalan musyahadahnya(penyaksiannya) sepanjang abad, tanpa kesusahan dan kekeruhan, tanpa ada yang mengintip dan yang mendesak-desak dan tanpa takut akan putusnya pertemuan itu. Hanya, kenikmatan ini adalah di atas kadar kekuatan cinta. Maka setiap kali bertambahnya cinta, niscaya bertambahlah kelezatan. Bahwa yang diusahakan oleh hamba itu, ialah kecintaan kepada Allah Ta’ala di dunia. Pokok kecintaan itu tidaklah terlepas orang mu’min daripadanya. Karena ia tidak terlepas dari pokok ilmu mengenal Allah Ta’ala. Adapun kuatnya cinta dan berkuasanya cinta itu, sehingga berkesudahan kepada membabi buta, yang dinamakan: rindu. Maka yang demikian itu, terlepaslah kebanyakan orang daripadanya. Dan yang demikian itu berhasil dengan dua sebab:
Salah satu dari dua sebab itu, ialah: memutuskan segala hubungan duniawi dan mengeluarkan kecintaan selain Allah dari hati. Bahwa hati itu seperti: bejana, yang tiada memuatkan bagi cuka umpamanya sebelum keluar air daripadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tiada menjadikan seorang mempunyai dua hati dalam dadanya”. S 29 Al Ahzab ayat 4. Sempurnanya cinta ialah pada mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla dengan segenap hatinya. Selama ia berpaling kepada selain Allah Ta’ala, maka suatu sudut dari hatinya itu sibuk dengan yang lain dari Allah. Dengan kadar apa yang ia sibuk dengan selain Allah, maka berkuranglah daripadanya kecintaan kepada Allah. Dengan kadar apa yang tinggal dari air dalam bejana, maka berkuranglah dari cuka yang dituangkan ke dalamnya. Dan kepada penyendirian dan pengosongan ini diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Katakan: Yang menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami itu Allah, kemudian, mereka berdiri teguh (dalam pendiriannya) itu”. S 46 Al Ahqaaf ayat 13. Bahkan, itu makna ucapan engkau: “Laa Ilaaha Illallaah”. Artinya: “Tiada yang disembah dan tiada yang dicintai, selain ALLAH. Maka setiap yang dicintai itu, niscaya dia itu disembah. Bahwa hamba itu yang mengikat. Dan yang disembah itu yang terikat dengan dia. Setiap yang mengintai, maka dia itu terikat dengan yang dicintainya. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Tiadakah engkau perhatikan orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi tuhannya ?”. S 25 Al Furqaan ayat 43. Nabi saw bersabda: “Tuhan yang paling dimarahi yang disembah di bumi, ialah: hawa nafsu”. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan “Laa ilaaha illallaahu”, dengan ikhlas, niscaya ia masuk sorga”. Makna ikhlas, ialah: ia mengikhlaskan hatinya bagi Allah. Maka tidak tinggal lagi dalam hati itu kesekutuan (syirik) bagi selain Allah. Adalah Allah saja yang dicintai hatinya, yang disembah hatinya dan yang dimaksudkan oleh hatinya. Dan orang, yang ini keadaannya, maka dunia itu penjaranya. Karena dunia itu pencegah baginya daripada musyahadah(penyaksian)  akan Yang Dicintainya. Dan matinya itu kelepasan dari penjara dan kedatangan kepada Yang Dicintai. Maka apakah kiranya hal keadaan orang yang tiada baginya, selalu Yang Dicintainya Satu dan telah lama rindunya kepadanya dan berkepanjangan ia terpenjara daripadaNya ? lalu ia dilepaskan dari penjara dan dimungkinkan bertemu dengan Yang Dicintai dan diberi kesenangan dengan aman bagi sepanjang abad.
Salah satu sebab lemahnya kecintaan kepada Allah dalam hati, ialah: kuatnya cinta kepada dunia. Termasuk dalam cinta itu: cinta kepada isteri, harta, anak, keluarga, sawah ladang, binatang ternak, kebun-kebun dan tempat-tempat istirahat. Sehingga, orang yang bergembira dengan merdunya suara burung dan senangnya angin pagi itu adalah berpaling kepada kenikmatan duniawi dan mendatangkan kekurangan cinta kepada Allah Ta’ala dengan sebabnya. Maka menurut kadar ia berjinak hati dengan dunia, maka berkuranglah kejinakan hatinya dengan Allah. Tiadalah diberikan kepada seseorang akan sesuatu dari dunia, melainkan akan berkurang menurut kadar itu dari akhirat dengan sendirinya. Sebagaimana manusia itu tiada dekat ke masyrik(tempat matahari terbit), melainkan dengan sendirinya ia jauh dari maghrib (tempat matahari terbenam), menurut kadar itu. Tiada akan baik hati isterinya, melainkan akan sempit dengan yang demikian, hati madunya. Dunia dan akhirat itu dua wanita yang memadu. Keduanya seperti masyrik (tempat matahari terbit) dan magrib (tempat matahari terbenam). Dan telah tersingkap yang demikian bagi orang-orang yang mempunyai hati, dengan penyingkapan yang lebih terang daripada penglihatan dengan mata. Jalan mencabut kecintaan kepada dunia dari hati, ialah: menempuh jalan zuhud dan selalu sabar. Dan terikat kepada keduanya ini dengan kekang takut dan harap. Maka apa yang telah kami sebutkan dahulu, dari tingkat-tingkat, seperti: taubat, sabar, zuhud, takut dan harap, adalah pendahuluan-pendahuluan, yang dengan dia itu diusahakan akan salah satu dari dua sendi (rukun) kecintaan. Yaitu: mengosongkan hati dari selain Allah. Permulaannya, ialah: iman kepada Allah, hari akhirat, sorga dan neraka. Kemudian, bercabang daripadanya: takut dan harap. Dan bercabang dari takut dan harap itu: taubat dan sabar atas keduanya. Kemudian, menghela yang demikian, kepada zuhud di dunia, zuhud kepada harta dan kemegahan dan setiap keuntungan duniawi. Sehingga berhasil dari semuanya itu kesucian hati dari selain Allah saja. Sehingga meluas sesudahnya itu, bagi tempat ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah dan kecintaan kepadaNya. Semua itu adalah pendahuluan penyucian hati. Dan itulah salah satu dari dua sendi cinta. Kepadanyalah diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Suci itu setengah iman”. Sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada permulaan “Kitab Bersuci”.
Sebab kedua: bagi kuatnya cinta itu kuat ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala, meluasnya dan menguasainya atas hati. Dan yang demikian itu, sesudah penyucian hati dari semua kesibukan dunia dan hubungannya, yang berlaku sebagaimana berlakunya meletakkan bibit dalam tanah, sesudah dibersihkan tanah itu dari rumput. Dan itu bahagian kedua. Kemudian, terjadi dari bibit ini pohon cinta dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Yaitu: kalimah yang baik, yang dibuat contoh oleh Allah dengan kalimah tersebut, di mana Allah berfirman: “Allah membuat perumpamaan, bahwa perkataan yang baik adalah sebagai pohon yang baik, uratnya teguh dan cabangnya menjulang tinggi”. S 14 Ibrahim ayat 24. Kepadanya diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “KepadaNya (kepada Allah) naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang baik itu dimuliakan oleh Allah”. S 35 Faathir ayat 10. Perkataan yang baik itu, ialah: ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka amal yang baik adalah seperti unta bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala ini dan seperti pelayan. Bahwa amal yang baik itu seluruhnya pada penyucian hati.
Pertama-tama dari dunia, kemudian pengekalan kesuciannya. Maka tidak dimaksudkan amal itu, selain untuk ilmu mengenal Allah Ta’alaini. Adapun ilmu dengan caranya amal, maka dimaksudkan bagi amal. Maka ilmu itulah yang pertama dan itulah yang akhir. Bahwa yang pertama itu: ilmu mu’amalah (jual beli) dan maksudnya amal. Dan maksud mu’amalah (jual beli) itu bersihnya hati dan sucinya. Supaya jelas padanya kenyataan kebenaran dan ia terhias dengan ilmu ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Yaitu: ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Manakala berhasil ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, niscaya ia diikuti oleh cinta dengan mudah. Sebagaimana orang yang normal sifat tubuhnya, apabila melihat yang cantik dan diketahui dengan pancaindra nya dengan mata zahiriyah, niscaya disukainya yang cantik itu. Dan ia cenderung kepadanya. Manakala disukainya, niscaya berhasillah kelezatan. Maka kelezatan itu mengikuti suka (cinta) dengan mudah. Dan suka itu mengikuti ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan mudah. Dan tiada sampai kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, sesudah terputusnya segala gangguan duniawi pada hati, selain dengan pikiran yang bersih, ingatan (dzikir) yang berketerusan, kesungguhan yang bersangatan pada mencari dan memandang yang terus-menerus pada Allah Ta’ala, pada sifat-sifatNya, pada kerajaan langitNya dan pada makhluk-makhlukNya yang lain. Orang yang sampai kepada martabat ini, terbagi kepada: orang-orang kuat. Dan adalah permulaan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka, bagi Allah Ta’ala. Kemudian dengan itu, mereka mengenal lain dari Allah. Dan kepada: orang-orang lemah. Adalah permulaan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka itu, dengan: perbuatan (Af’al). Kemudian, mereka mendaki daripadanya, kepada: Pembuat. Kepada yang pertama itu, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Belumkah cukup, bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Allah mengaku, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia”. S 3 Ali ‘Imran ayat 18. Daripada yang tersebut ini, diperhatikan oleh sebahagian mereka, dimana ditanyakan kepadanya: “Dengan apa engkau mengenal Tuhan engkau ?”. Ia lalu menjawab: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Jikalau tidaklah Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal akan Tuhanku”. Kepada yang kedua ini, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa Alquran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup, bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tidakkah mereka perhatikan kerajaan langit dan bumi ?”. S 7 Al A’raaf ayat 185. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Katakan: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi !”. S 10 Yunus ayat 101. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Yang menciptakan 7 langit, sepadan satu sama lain. Tiada engkau lihat ciptaan Tuhan Yang Pemurah itu berlebih-kurang. Sebab itu, engkau ulanglah melihatnya sekali lagi, adakah engkau menampak kerusakan ? kemudian itu, engkau ulanglah melihatnya sekali dan sekali lagi, pemandangan (engkau) akan berbalik kembali menjadi samar dan lesu”. S 67 Al Mulk ayat 3-4. Jalan ini adalah yang termudah kepada orang kebanyakan. Yaitu yang lebih luas kepada orang-orang yang berjalan kepada Allah (as-salikin).
Kepada itulah kebanyakan dakwah Alquran ketika disuruh tadabbur (memikirkan akhir suatu pekerjaan), tafakkur (berfikir), mengambil ibarat (i’tibar) dan memperhatikan pada ayat-ayat yang di luar hinggaan banyaknya. Kalau anda mengatakan: bahwa masing-masing dua jalan itu sulit. Maka terangkanlah kepada kami dari dua jalan itu, apa yang dapat tertolong kepada memperoleh ilmu mengenal Allah Ta’ala dan sampai dengan dia itu kepada cinta. Maka ketahuilah, bahwa jalan yang tertinggi, ialah: penyaksian dengan kebenaran Allah swt di atas semua makhluk. Dan itu sukar. Dan membicarakannya adalah di luar batas pemahaman kebanyakan manusia. Maka tiada faedah mengemukakannya dalam kitab-kitab. Adapun jalan yang termudah dan yang terdekat, adalah kebanyakannya di luar batas pemahaman. Bahwa singkatnya pemahaman daripadanya itu, karena berpalingnya pemahaman-pemahaman itu daripada tadabbur (memikirkan akhir suatu pekerjaan) dan sibuknya dengan nafsu keinginan duniawi dan keuntungan-keuntungan diri. Dan yang mencegah daripada menyebutkan ini, ialah: keluasannya dan banyaknya. Dan bercabang-cabang babnya yang keluar dari hinggaan dan kesudahan. Karena tidak dari satu atompun dari langit yang tertinggi, sampai kepada sempadan/seluruh bumi, melainkan ada padanya tanda-tanda keajaiban, yang menunjukkan kepada kesempurnaan kuasa Allah Ta’ala, kesempurnaan hikmahNya, kesudahan keagungan dan kebesaranNya. Dan yang demikian itu, termasuk yang tidak berkesudahan. Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan-perkataan Tuhanku”. S 18 Al Kahfi ayat 109.
Terjun ke dalamnya, ialah terbenam dalam lautan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Tidak mungkin bahwa berbudi pekerti seperti anak kecil, di atas ilmu mu’amalah (jual beli). Akan tetapi mungkin dirumuskan kepada suatu contoh, secara ringkas, supaya terjadilah perhatian bagi yang sejenisnya. Maka kami mengatakan: Yang termudah dari dua jalan itu, ialah: memperhatikan kepada Af’al ( perbuatan-perbuatan). Maka marilah kita memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan itu. Dan marilah kita tinggalkan yang tertinggi. Kemudian, perbuatan-perbuatan ketuhanan itu banyak. Maka marilah kita mencari yang tersedikit, yang paling tidak terbilang dan yang paling kecil ! Dan marilah kita perhatikan pada yang ajaib-ajaib daripadanya !. Yang tersedikit dari segala makhluk, ialah: bumi dan apa yang di atas bumi. Yakni: dibandingkan kepada para malaikat dan kerajaan langit. Maka anda, jikalau anda memandang padanya, dari segi tubuh dan besar pada diri, maka matahari, menurut yang anda lihat, dari kecil bentuknya, adalah seperti bumi 160 kali lebih. Maka perhatikanlah kepada kecilnya bumi, dengan dibandingkan kepadanya ! kemudian, perhatikanlah kepada kecilnya matahari, dengan dibandingkan kepada falaknya (jalan peredaran nya) yang dipusatkan padanya. Maka tiadalah perbandingan baginya kepada falak itu. Dan matahari itu pada langit ke-4. Dan langit ke-4 itu kecil, dibandingkan kepada langit 7 yang di atasnya. Kemudian, langit 7 itu pada Al-Kursi adalah seperti anting-anting yang dicampakkan pada padang belantara. Dan Al-Kursi pada Al-‘Arasy seperti demikian juga. Ini adalah pemandangan kepada zahiriyah diri dari yang tersebut itu, dari segi taksiran.
Alangkah tidak terhitungnya bumi seluruhnya, dibandingkan kepada itu. Bahkan, alangkah kecilnya bumi, dibandingkan kepada lautan. Rasulullah saw bersabda: “Bumi pada laut itu adalah seperti kandang pada bumi”. Kebenaran ini dapat diketahui dengan penyaksian dan percobaan. Dan diketahui, bahwa yang tampak dari bumi, di permukaan air, adalah seperti pulau kecil, dibandingkan kepada seluruh bumi. Kemudian, perhatikanlah kepada anak Adam (manusia) yang dijadikan dari tanah, yang dia itu sebahagian dari bumi dan kepada hewan-hewan lainnya. Dan kepada kecilnya, dibandingkan kepada bumi. Dan tinggalkan lah dari engkau akan semuanya itu ! maka yang terkecil dari apa yang kita ketahui, dari hewan-hewan itu, ialah: nyamuk, tawon dan yang seperti itu. Maka perhatikanlah pada nyamuk, atas kadar kecil kadarnya dan telitikanlah dengan akal yang ada dan pikiran yang bersih ! maka perhatikanlah, bagaimana ia diciptakan oleh Allah Ta’ala di atas bentuk gajah, yang mana gajah itu hewan yang terbesar. Karena Allah Ta’ala menciptakan baginya belalai, seperti belalainya gajah. DiciptakanNya bagi nyamuk itu di atas bentuknya yang kecil akan anggota tubuhnya yang lain, sebagaimana diciptakanNya bagi gajah, dengan tambahan dua sayap ! Perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala membagi-bagikan anggota badannya yang zahiriyah. Maka ditumbuhkanNya sayapnya, dikeluarkanNya tangannya (kakinya yang depan) dan kakinya. DibelahkanNya pendengaran dan penglihatannya. DiaturkanNya pada batiniyahnya, dari anggota-anggota badan untuk makan dan alat-alatnya, akan apa yang diaturkanNya pada hewan-hewan yang lain. DisusunkanNya padanya dari kekuatan-kekuatan yang memberikan makanan, yang menarikkan, yang menolakkan, yang menahankan dan yang menghancurkan makanan, akan apa yang disusunkanNya pada hewan-hewan yang lain. Ini mengenai bentuknya dan sifat-sifatnya. Kemudian, perhatikanlah kepada petunjukNya ! bagaimana Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada nyamuk itu kepada makanannya. DiperkenalkanNya kepada nyamuk itu, bahwa makanannya ialah darah manusia. Kemudian, perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menumbuhkan bagi nyamuk itu, alat terbang kepada manusia ! bagaimana Ia menciptakan bagi nyamuk itu belalai panjang. Dan belalai itu yang membatasi kepala. Bagaimana Ia memberi petunjuk kepadanya, kepada lobang-lobang pori dari kulit manusia. Sehingga nyamuk itu meletakkan belalainya pada salah satu dari lobang-lobang pori itu. Kemudian, bagaimana Ia menguatkan nyamuk itu, sehingga dapat mencucukkan belalainya pada manusia. Dan bagaimana diajarkanNya nyamuk itu menghisap dan meminum darah. Bagaimana Ia menciptakan belalai nyamuk itu serta halusnya, berlobang. Sehingga mengalir padanya darah yang halus dan berkesudahan ke dalam batiniyahnya (badannya). Dan berhamburan pada bahagian-bahagian tubuhnya yang lain dan menjadi makanan baginya. Kemudian, bagaimana Allah memberitahukan kepada nyamuk itu, bahwa manusia bermaksud kepada nyamuk itu dengan tangannya. Lalu Allah mengajarkannya daya lari dan kesediaan perkakasnya. Allah menciptakan bagi nyamuk itu pendengaran, yang dengan pendengaran itu, ia mendengar ringannya gerakan tangan. Dan tangan itu, kemudian jauh daripadanya. Lalu nyamuk itu tidak lagi mengisap darah dan ia lari. Kemudian, apabila tangan manusia itu sudah tenang, maka nyamuk itu kembali lagi. Kemudian, perhatikanlah, bagaimana Allah menciptakan bagi nyamuk itu dua biji mata. Sehingga ia melihat tempat makanannya. Lalu ia bermaksud kepadanya, serta kecil kadar ukuran mukanya. Perhatikanlah kepada biji mata setiap binatang yang kecil, manakala biji matanya tidak membawa pelupuk mata karena kecilnya. Dan adalah pelupuk mata itu yang mengkilapkan kaca dari biji mata, dari taik mata dan debu. Ia menciptakan bagi nyamuk dan lalat dua tangan (kaki depan). Maka anda perhatikan kepada lalat, lalu anda melihatnya selalu menyapu dua biji matanya dengan dua tangannya itu. Adapun manusia dan binatang yang besar, maka diciptakan oleh Allah bagi kedua biji matanya itu pelupuk mata. Sehingga terkatup yang satu di atas yang lain. Dan tepi dua biji mata itu tajam. Lalu terkumpullah debu yang mengenai biji mata dan dilemparkannya ke tepi bulu mata. DiciptakanNya bulu mata itu hitam, supaya ia mengumpulkan cahaya bagi mata dan menolong kepada melihat. Dan baguslah bentuk mata dan berjerejaknya ketika berterbangan debu. Lalu ia melihat dari belakang jerejaknya bulu mata. Berjerejaknya bulu mata itu mencegah masuknya debu dan tidak mencegah penglihatan.
Adapun nyamuk, maka diciptakan baginya dua biji mata yang mengkilap, tanpa pelupuk mata. Dan diajarkannya cara mengkilapkan dengan dua tangan (dua kakinya yang depan). Dan karena lemah penglihatannya, anda melihatnya ia terbang kepada lampu. Karena penglihatannya lemah. Maka ia mencari cahaya siang. Apabila nyamuk yang hina itu melihat cahaya lampu di malam hari, maka ia menyangka bahwa dia dalam rumah yang gelap. Dan lampu itu adalah lobang dinding dari rumah yang gelap ke tempat yang terang. Maka senantiasalah ia mencari terang dan melemparkan dirinya kepada terang. Apabila ia telah melewati terang dan melihat gelap, niscaya ia menyangka bahwa ia tidak mengena lobang dinding dan tidak bermaksud kepadanya di atas yang sebenarnya. Maka ia kembali kepada cahaya itu sekali lagi, sampai ia terbakar. Semoga anda menyangka, bahwa ini karena kekurangan dan kebodohan nyamuk itu. Maka ketahuilah, bahwa kebodohan manusia itu lebih besar dari kebodohan nyamuk. Bahkan, bentuk anak Adam (manusia) pada menelungkupnya di atas nafsu, keinginan duniawi itu bentuk kupu-kupu pada beterbangannya kepada api. Karena bersinarlah bagi manusia itu cahaya nafsu keinginan, dari segi lahir bentuknya. Ia tidak tahu, bahwa di bawahnya itu racun yang merendamkan, lagi membunuh. Maka senantiasalah ia melemparkan dirinya kepadanya, sehingga ia terbenam di dalamnya. Ia terikat dan binasa untuk selama-lamanya. Maka semoga adalah kebodohan manusia itu seperti kebodohan kupu-kupu. Bahwa kupu-kupu dengan tertipunya, dengan zahiriyah cahaya, jikalau ia terbakar, niscaya ia terlepas dengan seketika. Dan manusia itu akan kekal dalam neraka sepanjang abad atau dalam masa yang panjang. Karena itulah, Rasulullah saw berseru dan bersabda: “Bahwa aku itu yang menahan dengan tempat mengikat tali celanamu, dari api neraka. Dan kamu itu terbang ke neraka, seperti terbangnya kupu-kupu”. Inilah adalah suatu gemerlapan yang ajaib, dari keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala pada hewan yang paling kecil. Padanya dari keajaiban-keajaiban, dimana jikalau berkumpullah orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian, untuk mengetahui akan hakikat/maknanya, niscaya lemahlah mereka dari hakikat/maknanya itu. Dan mereka tiada akan menengok kepada hal-hal yang terang dari bentuknya yang zahiriyah.
Adapun makna-makna yang demikian itu, yang tersembunyi, maka tidaklah yang melihat padanya, selain Allah Ta’ala. Kemudian, pada setiap hewan dan tumbuh-tumbuhan itu ada keajaiban dan keajaiban-keajaiban yang khusus, yang tidak berkongsi padanya yang lain. Perhatikanlah kepada tawon dan keajaiban-keajaibannya ! bagaimana Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya, sehingga ia membuat rumah di bukit-bukit, pada pohon kayu dan dari apa yang dibuatnya rumah itu. Bagaimana ia mengeluarkan dari air liurnya, akan lilin dan air madu. Dijadikan salah satu dari keduanya itu terang dan dijadikan yang lain itu obat. Kemudian, jikalau anda memperhatikan akan keajaiban-keajaiban urusannya, pada memperoleh bunga-bungaan dan bunga-bunga yang putih dan terpeliharanya dari najis dan kotoran, patuhnya tawon itu kepada salah satu dari kumpulannya, yang lebih besar tubuhnya dan itu adalah rajanya, kemudian apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada rajanya itu, dari keadilan dan keinsafan diantara sesamanya, sehingga sesungguhnya akan dibunuh di atas pintu pelaksanaan, setiap yang terjatuh daripadanya di atas najis, niscaya anda telah menunaikan daripadanya itu, akan suatu keajaiban lagi, yang penghabisan dari keajaiban, jikalau anda itu melihat pada diri anda sendiri, kosong dari kesusahan perut anda dan kemaluan anda, nafsu syahwat diri anda dalam permusuhan dengan teman-teman anda dan menguasai kawan-kawan anda. Kemudian, tinggalkanlah semua itu dari anda ! dan perhatikanlah kepada tawon itu membangun rumahnya dari lilin dan usahanya dari sejumlah bentuk-bentuk akan bentuk yang bersegi enam ! ia tidak membangun rumah yang bundar, yang 4 segi dan 5 segi. Akan tetapi, yang 6 segi, karena suatu khasiat pada bentuk 6 segi itu, yang pendeklah pemahaman para insinyur daripada mengetahuinya. Yaitu, bahwa bentuk yang terluas dan yang paling meliputi, ialah yang bundar dan yang mendekat kepada yang bundar. Bahwa bentuk yang 4 segi itu keluar daripadanya sudut-sudut yang sia-sia. Dan bentuk tawon itu bundar, yang memanjang. Maka ditinggalkannya bentuk yang 4 segi, sehingga tidak sia-sialah sudut-sudut itu. Lalu tinggal menjadi kosong. Kemudian, jikalau dibangunkannya rumah itu bundar, niscaya tinggallah di luar rumah itu, lobang-lobang yang sia-sia. Bahwa bentuk yang bundar itu, apabila dikumpulkan, niscaya ia tidak terkumpul dengan teratur. Dan tiadalah bentuk dalam bentuk-bentuk itu yang mempunyai sudut-sudut, yang mendekati pada meliputi, selain dari yang bundar. Kemudian, teraturlah sejumlah daripadanya, dimana tidak tinggal lagi, sesudah berkumpulnya itu suatu lobangpun, selain yang 6 segi. Inilah khasiatnya bentuk ini ! maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala mengilhamkan kepada binatang tawon, di atas kecil bentuk tubuhnya dan lembut pendiriannya, lantaran kasih-sayang kepadanya, perhatikan dengan wujudnya dan apa yang diperlukan kepadanya. Supaya ia merasa enak dengan hidupnya. Maka Maha Sucilah Dia ! alangkah agung keadaanNya, amat luas kasih sayangNya dan nikmatNya ! Maka ambillah i’tibar (ibarat) dengan gemerlapan yang sedikit ini, dari hewan yang terpandang hina ! tinggalkanlah dari anda akan keajaiban-keajaiban kerajaan bumi dan langit ! bahwa kadar yang sampai pemahaman kita yang singkat kepadanya itu menghabiskan semua umur, tanpa memperoleh kejelasannya. Dan tiada bandingan bagi apa yang diliputi oleh ilmu kita, kepada apa yang diliputi oleh para ulama dan nabi-nabi. Dan tiada bandingan bagi apa yang diliputi oleh ilmu khalayak ramai semuanya, kepada apa yang dipilih oleh Allah Ta’ala dengan IlmuNya. Bahkan, setiap apa yang diketahui oleh makhluk, tidaklah yang layak dimiliki untuk dinamakan ilmu di sebelah ilmu Allah Ta’ala. Maka dengan memperhatikan pada ini dan yang semisal dengan dia, niscaya bertambahlah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang diperoleh dengan yang termudah dari dua jalan. Dengan bertambahnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), maka bertambahlah cinta. Maka jikalau adalah anda itu mencari kebahagiaan bertemu dengan Allah Ta’ala, maka campakkanlah dunia di belakang punggung anda ! habiskanlah umur anda pada dzikir yang berkekalan, dan pikir yang berkeharusan ! semoga anda memperoleh keuntungan daripadanya dengan kadar yang sedikit ! akan tetapi, anda akan mencapai dengan yang sedikit itu, kerajaan yang besar, yang tiada penghabisan baginya.
PENJELASAN: sebab pada berlebih-kurangnya manusia pada cinta.
Ketahuilah, bahwa orang-orang mu’min itu berkongsi pada pokoknya cinta. Karena berkongsinya mereka itu pada pokok kasih sayang. Akan tetapi, mereka itu berlebih-kurang, karena berlebih-kurangnya mereka pada ilmu mengenal Allah Ta’ala dan pada kecintaan kepada dunia. Karena segala sesuatu itu berlebih-kurang, dengan berlebih-kurang sebab-sebabnya. Kebanyakan manusia, tak ada bagi mereka daripada Allah Ta’ala, selain sifat-sifat dan nama-nama yang mengetok pendengaran mereka. Lalu mereka mempelajarinya dan menghafalkannya. Kadang-kadang mereka mengkhayalkan bagi yang tersebut itu, akan makna-makna yang Maha Sucilah Tuhan semesta alam daripadanya. Kadang-kadang mereka tiada menengok kepada hakikat/maknanya dan tiada mengkhayal kan baginya, akan makna yang merusakkan. Akan tetapi, mereka beriman dengan yang tersebut itu, dengan iman yang menyelamatkan dan membenarkan. Dan mereka sibuk dengan amal dan meninggalkan pembahasan. Merekalah orang-orang yang memperoleh keselamatan, dari orang-orang yang golongan kanan. Orang-orang yang berkhayal itu adalah orang-orang yang sesat. Dan orang-orang yang mempunyai ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan hakikat/makna-hakikat/makna, adalah mereka itu orang-orang yang dekat dengan Tuhan (al-muqarrabin). Allah menyebutkan keadaan jenis yang 3 itu pada firmanNya yang Maha Tinggi: “Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta sorga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu, karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar di dalam neraka”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 88 sampai 95.
Jikalau anda tidak dapat memahami segala persoalan, selain dengan contoh-contoh, maka marilah kami membuat contoh bagi berlebih-kurangnya cinta itu. Maka kami mengatakan: Para sahabat Asy-Syafi’i umpamanya berkongsi pada mencintai Asy-Syafi’i ra, baik yang ahli fikih dari mereka atau yang awwam. Karena mereka itu berkongsi pada mengenal kelebihannya, agamanya, bagus perjalanan hidupnya dan terpuji segala perkaranya. Akan tetapi orang yang awam itu mengenal ilmunya, secara ringkas (global). Dan orang yang ahli fikih mengenalnya secara terperinci. Maka adalah kekenalan ahli fikih dengan Asy-Syafi’i itu lebih sempurna. Ketakjuban dan kecintaannya kepada Asy-Syafi’i ra itu lebih keras.
Bahwa orang yang melihat karangan seorang pengarang, lalu ia memandang bagus dan ia mengenal akan kelebihan orang itu dengan karangan tersebut, niscaya sudah pasti ia akan mencintainya. Dan cenderung hatinya kepadanya. Kalau ia melihat karangan orang lain, yang lebih bagus dan lebih menakjubkan daripadanya, niscaya sudah pasti berlipat gandalah kecintaannya. Karena berlipat-ganda kekenalannya dengan ilmu pengarang itu. Begitu juga, seseorang yang berkeyakinan terhadap seorang penyair, bahwa orang itu dapat membuat syair dengan baik, maka ia akan mencintai penyair itu. Maka apabila ia mendengar dari keganjilan-keganjilan syairnya, apa yang agung padanya kemahirannya dan susunannya, niscaya bertambahlah kekenalannya dan kecintaan nya kepada penyair itu. Begitu juga perbuatan-perbuatan dan kelebihan-kelebihan yang lain.
Orang awam kadang-kadang mendengar bahwa si Anu itu pengarang, bahwa orang itu bagus mengarang, akan tetapi, ia tidak tahu, apa dalam karangannya, maka orang itu mempunyai kekenalan secara ringkas terhadap orang tersebut. Dan adalah baginya kecenderungan secara ringkas bagi orang itu. Orang yang bermata hati apabila memeriksa dari karangan-karangan dan menampak dalam karangan-karangan itu dari keajaiban-keajaiban, niscaya sudah pasti berlipat-gandalah cintanya. Karena keajaiban-keajaiban perusahaan, syair dan karangan itu menunjukkan kepada kesempurnaan sifat-sifat si pembuat dan si pengarang itu. Dan orang yang berilmu itu secara ringkasnya adalah ciptaan Allah Ta’ala dan karanganNya. Orang awam mengetahui yang demikian dan meyakininya. Adapun orang yang bermata hati, maka ia menengok akan penguraian ciptaan Allah Ta’ala padanya. Sehingga ia melihat pada nyamuk akan suatu contoh dari keajaiban-keajaiban ciptaanNya, yang mengalahkan akalnya dan yang mengherankan hatinya. Dan sudah pasti dengan sebab yang demikian itu, bertambah kebesaran, keagungan dan kesempurnaan sifat-sifat Allah dalam hatinya. Lalu bertambahlah kecintaannya kepada Allah. Setiap kali bertambah penglihatannya kepada keajaiban-keajaiban ciptaan Allah, niscaya ia mengambil dalil dengan yang demikian, kepada kebesaran dan keagungan Allah, Yang menciptakannya. Dan bertambahlah ilmu mengenal Allah Ta’ala dan cintanya kepada Allah, dengan yang demikian. Lautan ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, yakni: ilmu mengenal Allah Ta’ala keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala adalah lautan yang tiada bertepi. Maka tidak pelak lagi, berlebih-kuranglah ahli ilmu mengenal Allah Ta’ala itu pada cinta, yang tiada hinggaan baginya. Diantara yang menjadi sebab berlebih-kurangnya cinta, ialah: perselisihan sebab-sebab yang 5, yang telah kami sebutkan itu bagi cinta. Bahwa orang yang mencintai Allah umpamanya karena Allah itu berbuat ihsan (perbuatan baik)  kepadanya, yang menganugerahkan nikmat kepadanya dan tidaklah ia mencintaiNya bagi ZatNya, niscaya lemahlah kecintaannya itu. Karena cinta itu akan berobah dengan berobahnya ihsan (perbuatan baik) . Maka tidaklah cintanya ketika dalam keadaan percobaan, seperti cintanya dalam keadaan senang dan nikmat.
Adapun orang yang mencintai Allah Ta’ala bagi ZatNya dan karena Allah itu yang layak dimiliki untuk dicintai, disebabkan kesempurnaan, keelokan, kemuliaan dan keagunganNya, maka tiada berlebih-kuranglah cintanya itu, dengan berlebih-kurangnya perbuatan baik Allah Ta’ala kepadanya. Maka ini dan contoh-contohnya adalah yang menjadi sebab berlebih-kurangnya manusia pada mencintai. Berlebih-kurangnya pada mencintai itu, adalah sebab pada berlebih-kurangnya pada kebahagiaan akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaan nya”. S 17 Al Israa’ ayat 21.
PENJELASAN: sebab pada pendeknya pemahaman makhluk (manusia) daripada mengenal ma’rifah (ilmu mengenal kepada Allah swt).
Ketahuilah, bahwa Yang Maujud yang paling terang dan nyata, ialah: Allah Ta’ala. Dan ini menghendaki, bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala ke pada Allah itu adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang pertama dan yang paling dahulu kepada pemahaman. Dan yang paling mudah kepada akal pikiran. Dan yang anda lihat dalam hal ini, adalah yang berlawanan dengan yang demikian. Maka tidak boleh tidak daripada menjelaskan sebabnya.
Sesungguhnya kami katakan tadi, bahwa Allah Ta’ala itu Yang Maujud / yang paling terang dan nyata, untuk suatu makna yang tidak anda pahami, selain dengan contoh. Dan contoh itu, ialah: bahwa kita apabila melihat seorang insan menulis atau menjahit umpamanya niscaya adalah insan itu orang yang hidup pada kita, dari yang maujud (yang ada) itu yang paling terang. Maka hidupnya, ilmunya, kemampuannya dan kehendaknya bagi menjahit itu lebih nyata pada kita, dari sifat-sifat yang lain, yang zahiriyah dan yang batiniyah. Karena sifat-sifatnya yang batiniyah, seperti nafsu keinginannya, marahnya, perangainya, sehatnya dan sakitnya, adalah semua itu kita tidak mengetahuinya. Dan sifat-sifatnya yang zahiriyah, kita tidak mengetahui sebahagian daripadanya. Dan sebahagian daripadanya, kita ragukan, seperti: kadar tingginya, perbedaan warna kulitnya dan yang lain dari itu, dari sifat-sifatnya. Adapun hidupnya, kemampuannya, kehendaknya, ilmunya dan dia itu adalah hewan, maka itu terang pada kita, tanpa tergantung pancaindra penglihatan, dengan hidupnya, kemampuannya dan kehendaknya. Bahwa sifat-sifat ini tidak dirasakan dengan sesuatu dari pancaindra yang 5. Kemudian, tidak mungkin bahwa kita mengenal akan hidupnya, kemampuannya dan kehendaknya, selain dengan jahitan dan gerakannya. Kalau kita perhatikan kepada setiap apa yang dalam alam, selain daripadanya, niscaya kita tidak akan mengenal sifatnya. Maka tidaklah atas yang demikian itu, selain satu dalil. Dan yang bersama yang demikian itu terang dan jelas. Wujudnya Allah Ta’ala, qudrah (kuasa)Nya, ilmuNya dan sifat-sifatNya yang lain, disaksikan bagiNya dengan mudah, oleh setiap apa yang kita saksikan. Dan kita mengetahuinya dengan pancaindra zahiriyah dan batiniyah, dari batu, lumpur, tumbuh-tumbuhan, pohon kayu, hewan, langit, bumi, binatang, daratan, lautan, api, udara, benda dan sifat barang yang berdiri dengan lainnya (‘aradl/sifat). Bahkan, yang pertama-tama yang kita saksikan, ialah: diri kita, tubuh kita, sifat kita, berbalik-baliknya hal-ihwal kita, berobahnya hati kita dan semua perkembangan kita dalam gerak dan diam kita. Hal yang paling jelas dalam ilmu kita, ialah: diri kita. Kemudian yang kita rasakan dengan pancaindra yang 5. Kemudian, yang kita ketahui dengan akal dan mata hati. Setiap sesuatu dari yang diketahui itu, mempunyai suatu yang diketahui, suatu saksi dan suatu dalil. Dan semua yang dalam alam ini adalah saksi-saksi yang berbicara, dalil-dalil yang menyaksikan, dengan wujud Penciptanya, Pengaturnya, Pengarahnya dan Penggeraknya. Dan yang menunjukkan kepada IlmuNya, Qudrah (kuasa)Nya, Kasih-sayangNya dan HikmahNya. Dan yang ada, yang diketahui itu, tiada terhingga banyaknya. Kalau adalah hidup si penulis itu telah terang pada kita dan tidak disaksikan, selain oleh satu saksi, yaitu: apa yang telah kita lihat dari gerak tangannya maka bagaimana tidak terang pada kita, apa yang tidak tergambar pada wujud, akan suatu yang di dalam diri kita dan di luarnya, selain dia itu menjadi saksi atasNya, atas kebesaran dan keagunganNya ? Karena setiap atom itu, ia menyerukan dengan lisan perihalnya, bahwa tiadalah wujudnya dengan dirinya sendiri dan tiadalah geraknya dengan zatnya sendiri. Bahwa dia itu memerlukan kepada Yang Mengadakan dan Yang Menggerakkannya. Disaksikan dengan yang demikian, pertama-tama oleh susunan anggota badan kita, persatuan tulang-belulang kita, daging kita, urat saraf kita, tempat tumbuh rambut kita, bentuk sendi-sendi badan kita dan bahagian-bahagian badan kita lainnya, yang zahiriyah dan yang batiniyah. Maka kita mengetahui, bahwa semua itu tidak tersusun dengan dirinya sendiri, sebagaimana kita ketahui, bahwa tangan si penulis itu tidak bergerak dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, tatkala tidak tinggal lagi pada yang ada (wujud) ini, suatu yang diketahui, yang dirasakan, yang diterima akal, yang hadir dan yang ghaib, melainkan dia itu saksi dan mengakui, niscaya sangatlah nyatanya. Maka kalahlah akal dan heranlah ia daripada mengetahuinya. Bahwa apa, yang singkatlah akal kita daripada memahaminya, maka itu ada dua sebab:
Salah satu daripadanya, tersembunyinya pada dirinya dan tidak terang. Dan yang demikian itu, tidak tersembunyi contohnya.
Dan yang satu lagi, ialah: apa yang berkesudahan terangnya. Dan ini sebagaimana kelelawar dapat melihat di malam hari dan tidak dapat melihat di siang hari. Bukan karena tersembunyinya siang dan tertutupnya, akan tetapi, karena terangnya. Bahwa penglihatan kelelawar itu lemah, yang cahayanya dikalahkan oleh matahari, apabila telah terbit. Maka adalah kuat terangnya siang, serta lemah penglihatannya itu menjadi sebab, bagi tercegah penglihatannya. Ia tidak dapat melihat sesuatu, kecuali apabila bercampur cahaya dengan gelap dan lemah terangnya. Maka seperti demikianlah akal kita itu lemah. Dan keelokan hadlarat ketuhanan pada penghabisan cemerlang dan bersinar dan pada penghabisan menghabisi semuanya dan melengkapi. Sehingga tidak ganjil dari terangnya, suatu atompun dari kerajaan langit dan bumi. Lalu jadilah terangnya itu sebab tersembunyinya. Maka Maha Sucilah Yang Terhijab dengan cemerlang NurNya. Dan tersembunyi dari mata hati dan mata kepala dengan sebab terangNya. Tidak mengherankan dari tersembunyinya yang demikian, dengan sebab terangya. Bahwa segala sesuatu itu menjadi nyata dengan lawannya. Dan apa yang umum adanya, sehingga tiada lawan baginya, maka sukarlah mengetahuinya. Jikalau berlainanlah segala sesuatu, lalu sebahagiannya menunjukkan dan sebahagian yang lain tidak, niscaya diketahuilah akan perbedaan dalam tempo dekat. Dan tatkala berkongsilah segala sesuatu itu pada menunjukkan atas suatu rangkaian, niscaya sulitlah urusan. Contohnya: cahaya matahari yang terbit di atas bumi. Bahwa kita mengetahui, cahaya itu adalah ‘aradl (sifat) (suatu sifat yang berdiri dengan lainnya) dari ‘aradl-’aradl (sifat) yang datang pada bumi. Dan ia hilang ketika terbenam matahari. Maka jikalau adalah matahari itu terbit terus dan tidak terbenam lagi, niscaya adalah kita akan menyangka, bahwa ‘aradl (sifat) itu tiada berkeadaan pada tubuh, selain warnanya. Yaitu: hitam, putih dll. Maka kita tiada akan menyaksikan pada yang hitam, selain hitam dan yang putih, selain putih. Adapun terang, maka tidaklah kita mengetahuinya sendirian. Akan tetapi, tatkala terbenamlah matahari dan gelaplah tempat-tempat, niscaya kita ketahui akan perbedaan diantara dua hal. Maka kita ketahui, bahwa tubuh-tubuh (al-ajsam) itu, adalah telah memperoleh terang dengan terang dan ia bersifat dengan suatu sifat yang membedakannya ketika terbenam.
Maka kita ketahui, akan ada nur (cahaya) dengan tidak adanya. Dan kita tidak menengok kepadanya, jikalau tidak adanya, selain dengan sangat sukar. Yang demikian itu, karena kita menyaksikan akan tubuh-tubuh (al-ajsam), yang serupa, yang tiada berlainan dalam gelap dan cahaya. Ini, serta cahaya itu yang paling terang dari semua yang dirasakan dengan pancaindra. Karena dengan dia itu, dapat diketahui semua yang dirasakan dengan pancaindra, yang lainnya. Maka apa yang terang pada dirinya dan itu akan terang pada lainnya. Perhatikanlah, bagaimana tergambar tidak terang urusannya, dengan sebab terangnya, jikalau tidak datang lawannya. Maka Allah Ta’ala itu yang paling terang dari segala urusan. Dengan Dialah terang segala sesuatu seluruhnya. Jikalau ada bagi Allah Ta’ala itu tiada (‘adam) atau hilang (ghaibah) atau perobahan (taghayyur), niscaya runtuhlah langit dan bumi dan batil/salahlah (binasalah) alam al-mulki/alam dunia dan al-malakut/alam langit. Dan diketahuilah dengan yang demikian, akan perbedaan diantara dua hal. Jikalau adalah sebahagian segala sesuatu itu adanya dengan Allah Ta’ala dan sebahagian lagi adanya bukan dengan Allah Ta’ala, niscaya dapatlah diketahui akan perbedaan diantara dua perkara itu pada dalilnya. Akan tetapi, dalilNya itu umum pada segala sesuatu itu di atas satu rangkaian. Dan wujudNya itu berkekalan dalam segala hal, yang mustahil berselisihnya. Maka tidak pelak lagi, kesangatan terang itu mewariskan kesembunyian.
Maka ini adalah sebab pada singkatnya pemahaman. Adapun orang yang kuat penglihatan mata hatinya dan tidak lemah kekuatannya, maka dia dalam keadaan sederhana urusannya, tiada melihat, selain Allah Ta’ala. Dan tiada mengenal selainNya. Ia mengetahui, bahwa tiada pada wujud, selain Allah. Dan segala perbuatannya adalah salah satu dari bekas qudrah (kuasa)Nya. Maka segala perbuatan itu mengikuti Allah. Pada hakikat/maknanya tiada wujud bagi perbuatan-perbuatan itu, dengan tidaknya Allah. Bahwa wujud adalah bagi Yang Maha Esa Yang Besar, yang dengan Dia adanya seluruh perbuatan itu. Orang yang ini keadaannya, maka ia tidak melihat pada suatupun dari perbuatan-perbuatan itu, melainkan ia melihat padanya akan Pembuat. Ia lupa dari perbuatan, dari segi bahwa perbuatan itu langit, bumi, hewan dan pohon kayu. Akan tetapi, ia memandang padanya, dari segi bahwa itu ciptaan Yang Maha Esa, Yang Benar. Maka tidak adalah pemandangannya itu melewati kepada yang lain daripadaNya. Seperti orang yang memandang kepada syair atau tulisan atau karangan seorang insan. Ia melihat pada yang tersebut itu akan penyair dan pengarang. Ia melihat akan bekas-bekasnya, dari segi bahwa bekas itu tidak dari segi dia itu tinta, manja-kani dan terusi (adalah bahan tinta pada waktu itu) yang dirangkumkan di atas kertas putih. Maka tidaklah ia sesungguhnya memandang kepada selain pengarang.
Setiap alam itu susunan (karangan) Allah Ta’ala. Maka siapa yang memandang kepadanya, dari segi bahwa itu perbuatan Allah dan mengenalnya dari segi bahwa itu perbuatan Allah dan dicintainya dari segi bahwa itu perbuatan Allah, niscaya ia tidak memandang, selain pada Allah. Ia tidak mengenal, selain Allah. Dan ia tidak mencintai, selain kepada Allah. Adalah orang itu orang yang berkeesaan yang benar, yang ia tidak melihat, selain Allah. Bahkan ia tidak memandang kepada dirinya sendiri, dari segi dirinya itu. Akan tetapi, dari segi bahwa dia itu hamba Allah. Maka inilah dia itu, yang dikatakan, bahwa dia telah fana (lenyap) dalam keesaan. Ia telah fana dari dirinya. Dan kepadanyalah diisyaratkan dengan ucapan orang yang mengucapkan: “Adalah kami dengan kami. Maka kami fana dari kami. Maka kami tinggal, dengan tidak kami”. Maka inilah hal-hal yang dimaklumi, pada orang-orang yang bermata-hati, yang sukar bagi yang lemah pemahaman daripada mengetahuinya, singkatnya kesanggupan para ulama pada menjelaskan dan menerangkannya dengan kata-kata yang dipahami, yang menyampaikan bagi maksud kepada pemahaman. Atau dengan sebab kesibukan mereka dengan dirinya dan keyakinan mereka, bahwa penjelasan yang demikian bagi selain mereka, termasuk hal yang tidak penting bagi mereka. Maka inilah sebabnya pada singkatnya pemahaman daripada mengenal Allah Ta’ala. Dan tergabung kepadanya, bahwa semua yang diindrakan, yang menjadi saksi kepada Allah, sesungguhnya diketahui oleh insan pada masa kecil, ketika ketiadaan akal. Kemudian lahir padanya tabiat akal. Akal sedikit demi sedikit. Dia itu tenggelam cita-citanya dengan nafsu syahwatnya. Hatinya telah jinak dengan yang diindrakannya dan yang dirasakannya dengan pancaindra dan yang disukainya. Maka gugurlah hasilnya dari hatinya, disebabkan lamanya kejinakan hati. Karena itulah, apabila ia melihat dengan jalan tiba-tiba, akan hewan yang ganjil atau tumbuh-tumbuhan yang ganjil atau sesuatu dari perbuatan Allah Ta’ala, yang di luar kebiasaan, yang mengherankan, niscaya lancarlah lidahnya dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala tentunya. Lalu ia mengatakan: “Subhanallah (Maha suci Allah) !”. Ia melihat sepanjang hari akan dirinya, anggota tubuhnya dan hewan-hewan jinak lainnya. Semua itu saksi-saksi yang memutuskan, yang tidak dirasakan kesaksiannya. Karena lamanya kejinakan hati dengan saksi-saksi tersebut. Jikalau diumpamakan anak yang lahir buta, yang telah dewasa dengan berakal, kemudian terkupas yang menutupi matanya, lalu memanjang penglihatannya ke langit, ke bumi, pohon kayu, tumbuh-tumbuhan dan hewan, sekaligus secara tiba-tiba, niscaya ditakuti kepada akalnya akan kalah. Karena sangat ketakjubannya, daripada menyaksikan keajaiban-keajaiban ini bagi Khaliq (yang maha pencipta)nya. Maka ini dan yang seperti ini, dari sebab-sebab, serta terjerumus dalam nafsu syahwat, adalah yang menyumbat kepada makhluk akan jalan kecemerlangan dengan cahaya-cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala dan berenang dalam lautannya yang luas.
Manusia pada mencari ilmu mengenal Allah Ta’alaakan Allah itu seperti orang yang keheranan, yang dibuat perumpamaan, apabila ia sedang mengendarai keledainya dan dia mencari keledainya itu. Semua yang terang, apabila menjadi yang dicari, niscaya jadilah sukar. Maka inilah rahasianya urusan ini. Hendaklah ditahkikan ! karena itulah orang bermadah:
Engkau telah nyata,
maka tidak tersembunyi kepada seorang jua.
Selain kepada orang yang buta,
yang tidak mengenal bulan purnama raya.
Akan tetapi Engkau bersembunyi,
mendindingkan diri dengan yang Engkau nyatakan.
Maka bagaimana dikenali,
orang yang biasanya menutupkan ?
PENJELASAN: makna rindu kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang memungkiri akan hakikat/makna kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka tidak boleh tidak bahwa ia memungkiri akan hakikat/makna rindu. Karena tidaklah tergambar rindu itu, selain kepada yang dicintai. Kita mengakui adanya kerinduan kepada Allah Ta’ala dan keadaan orang yang ilmu mengenal Allah Ta’ala itu memerlukan kepadanya dengan jalan i’tibar (ibarat) dan memperhatikan dengan nur penglihatan mata hati. Dan dengan jalan hadits-hadits dan atsar-atsar.
Adapun ibarat, maka memadailah pada mengakui adanya, apa yang telah terdahulu pada mengakui adanya cinta. Setiap yang dicintai sudah pasti dirindukan, pada waktu tidak adanya di depan kita. Adapun yang sudah ada, hadir di depan itu, maka tidak dirindukan. Bahwa kerinduan itu dicari dan mengkilap kepada urusannya. Dan yang ada itu tidak dicari. Akan tetapi, penjelasannya, bahwa kerinduan itu tidak akan tergambar, selain kepada sesuatu yang diketahui dari satu segi dan tidak diketahui dari segi yang lain. Adapun yang tidak diketahui sekali-kali, maka tidak dirindukan kepadanya. Bahwa orang yang tidak melihat akan seseorang dan tidak mendengar sifatnya, niscaya tidaklah tergambar bahwa ia rindu kepadanya. Dan apa yang diketahui dengan sesempurnanya, niscaya tidak dirindukan kepadanya. Kesempurnaan diketahui itu, ialah dengan: dilihat. Maka orang yang dalam menyaksikan kecintaannya, terus-menerus memandang kepadanya, niscaya tidaklah akan tergambar bahwa ada baginya kerinduan. Akan tetapi, kerinduan itu tergantung dengan apa yang diketahui dari satu segi dan tidak diketahui dari segi yang lain. Dan itu dari dua segi, tidak akan tersingkap, selain dengan contoh dari penyaksian (al-musyahadat).
Maka kami mengatakan umpamanya, bahwa orang yang menghilang daripadanya, orang yang dirinduinya dan tinggal dalam hatinya khayalan kepada orang itu, maka rindulah ia kepada kesempurnaan khayalannya dengan: melihat. Jikalau terhapuslah dari hatinya akan ingatan, khayalan dan kenalan kepada orang itu, sehingga dilupakannya, niscaya tidaklah akan tergambar, bahwa ia rindu kepada orang itu. Dan jikalau dilihatnya, niscaya tidaklah tergambar bahwa ia rindu pada waktu melihat. Maka makna rindunya itu, ialah kerinduan dirinya kepada kesempurnaan khayalannya. Maka seperti demikian, kadang-kadang ia melihatnya dalam gelap, dimana tidak tersingkap baginya hakikat/makna bentuknya. Lalu ia rindu kepada kesempurnaan melihatnya. Dan sempurnanya tersingkap pada bentuknya, ialah dengan cemerlang cahaya ke atasnya.
Kedua: bahwa ia melihat wajah kekasihnya. Dan ia tidak melihat rambutnya umpamanya dan tidak kebagusan-kebagusan lainnya. Maka ia rindu kepada melihatnya, walaupun ia tidak melihatnya sekali-kali. Dan tidak ada pada dirinya khayalan yang terbit daripada melihat. Akan tetapi, ia tahu, bahwa baginya suatu anggota dan beberapa anggota badan yang indah. Ia tidak memperoleh uraian jalannya dengan melihat. Lalu ia rindu bahwa tersingkap baginya apa yang tidak dilihatnya sekali-kali. Kedua wajah itu semua tergambar pada pihak Allah Ta’ala. Bahkan keduanya itu harus dengan mudah bagi setiap orang al-‘arifin yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Bahwa setiap apa yang terang bagi orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), dari urusan-urusan ketuhanan, walaupun ada pada penghabisan terang, maka itu seakan-akan dari balik tirai yang tipis. Maka tidaklah ia terang dengan penghabisan terang. Akan tetapi, adalah bercampur dengan campuran-campuran kekhayalan. Bahwa kekhayalan-kekhayalan itu tidak lesu di alam ini, daripada tamsilan/gambaran, percontohan bagi semua yang diketahui. Dan itu mengeruhkan bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala dan menyempitkan. Seperti demikian pula, bertambah kepadanya pengganggu-pengganggu duniawi. Bahwa kesempurnaan terang itu dengan penyaksian (al-musyahadah) dan sempurnanya kecemerlangan al-tajalli (nyata dan terangnya sesuatu). Dan tidak ada yang demikian itu, selain di akhirat. Yang demikian itu dengan mudah mengharuskan rindu. Maka itu adalah penghabisan kecintaan orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka ini salah satu dari dua macam rindu. Dan itu kesempurnaan terang pada apa yang telah terang dengan bagaimanapun adanya.
Kedua: bahwa urusan ketuhanan tiadalah berpenghabisan. Hanya tersingkap sebahagian daripadanya bagi setiap hamba dari hamba-hambaNya. Dan tinggal urusan-urusan yang tiada berpenghabisan, yang tiada terang. Orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu tahu akan wujudnya dan keadaannya yang dimaklumi bagi Allah Ta’ala. Ia tahu, bahwa apa yang ghaib dari pengetahuannya dari yang dimaklumi itu lebih banyak dari apa yang hadir. Maka senantiasa lah ia rindu, bahwa berhasillah baginya pokok ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), pada apa yang belum berhasil, dari apa yang tinggal, dari yang dimaklumi, yang belum dikenalnya sekali-kali. Tidak pengenalan yang terang dan tidak pengenalan yang tidak terang. Kerinduan yang pertama itu berkesudahan di negeri akhirat, dengan makna yang dinamakan: melihat, bertemu dan menyaksikan. Dan tidak tergambar bahwa kerinduan ini bertempat di dunia. Adalah Ibrahim bin Adham dari orang-orang yang merindukan. Ia berkata: “Pada suatu hari aku berdoa: “Wahai Tuhan ! jikalau Engkau berikan kepada seseorang dari orang-orang yang mencintai Engkau, apa yang menentramkan hatinya, sebelum menemui Engkau, maka berilah kepadaku yang demikian ! sesungguhnya telah mendatangkan melarat bagiku oleh kegundahan”. Ibrahim bin Adham meneruskan ceritanya: “Maka aku bermimpi, bahwa Ia memberhentikan aku di hadapan Nya dan berfirman: “Hai Ibrahim ! apakah tidak engkau sukai daripadaKu, bahwa engkau meminta padaKu, bahwa Aku memberikan kepada engkau, akan apa yang menentramkan hati engkau sebelum menemui Aku ! adakah ketentraman bagi orang yang rindu, sebelum menemui kekasihnya ?”. Aku lalu menjawab: “Wahai Tuhan ! aku bimbang pada mencintai Engkau. Aku tidak tahu, apa yang akan aku katakan. Maka ampunilah aku dan ajarilah apa yang akan aku katakan!”. Allah berfirman: “Ucapkanlah: “Wahai Allah Tuhanku ! ridhailah aku dengan qodo/takdirMu ! sabarkanlah aku atas percobaanMu ! bagikanlah kepadaku akan bersyukur kepada nikmatMu !”. Maka sesungguhnya rindu ini akan menentramkan di akhirat”.
Adapun kerinduan yang kedua: maka serupalah bahwa tidak ada baginya penghabisan. Tidak di dunia dan tidak di akhirat. Karena penghabisannya, ialah bahwa tersingkap bagi hamba di akhirat, dari keagungan Allah Ta’ala, sifat-sifatNya, hikmahNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, apa yang diketahui bagi Allah Ta’ala. Dan itu mustahil. Karena yang demikian itu, tiada berkesudahan bagiNya. Dan senantiasalah hamba itu tahu, bahwa yang tinggal dari keelokan dan keagungan itu ada yang tidak terang baginya. Maka tiada bertempatlah sekali-kali kerinduannya. Lebih-lebih orang yang melihat di atas derajatnya, banyak derajat. Kecuali, bahwa ia rindu kepada kesempurnaan sampai serta berhasil pokok kesampaian. Maka ia memperoleh bagi yang demikian itu, akan kerinduan yang lezat, yang tidak lahir padanya kepedihan. Dan tidak jauh bahwa adalah kehalusan ketersingkapan dan pemandangan itu beriring-iringan, kepada tidak berkesudahan. Senantiasalah nikmat dan lezat itu tambah-bertambah sepanjang abad.
Adalah kelezatan dari apa yang baru-membaru itu dari nikmat yang halus-halus, menyibukkan daripada merasakan rindu, kepada apa yang tidak berhasil. Ini dengan syarat bahwa mungkin berhasilnya ketersingkapan (al-kasyaf), pada apa yang tidak berhasil padanya ketersingkapan di dunia sekali-kali. Jikalau adalah yang demikian itu tidak diberikan, maka adalah nikmat itu terhenti di atas batas yang tidak berlipat-ganda. Akan tetapi, adalah dia itu terus-menerus berkekalan. Firman Allah swt: “Cahaya mereka berlari dihadapan mereka dan dikanan mereka, sedang mereka berkata: “Wahai Tuhan kami ! cukupkanlah untuk kami cahaya kami !”. S 66 At Tahrim ayat 8. Itu mungkin bagi pengertian ini. Yaitu, bahwa diberikan nikmat kepadanya, dengan mencukupkan cahaya, manakala ia berbekal dari dunia, dengan pokok cahaya. Dan mungkin bahwa adalah yang dimaksudkan itu pencukupan cahaya, pada bukan apa yang memperoleh cahaya di dunia, sebagai penyinaran yang diperlukan kepada penambahan kesempurnaan dan kecemerlangan. Maka adalah itu yang dimaksudkan dengan kecukupannya. Dan firman Allah Ta’ala: “Lihatlah kami ! biarkanlah kami mengambil sebahagian dari cahaya kamu. Dikatakan (kepada mereka): Mundurlah ke belakang dan carilah (sendiri) cahaya !”. S 57 Al Hadiid ayat 13. Itu, menunjukkan, bahwa cahaya-cahaya itu tidak boleh tidak dan bahwa berbekallah pokoknya di dunia. Kemudian, bertambah kecemerlangannya di akhirat. Adapun bahwa membarulah cahaya itu, maka tidak. Hukum pada ini dengan merajamkan (melemparkan dengan batu) segala sangkaan itu berbahaya. Dan tidaklah tersingkap bagi kita padanya, sesudah apa yang dipercayakan dengan dia. Maka kita bermohon pada Allah Ta’ala bahwa Ia menambahkan kepada kita, akan ilmu dan petunjuk. Dan Ia memperlihatkan kepada kita akan kebenaran itu kebenaran. Maka kadar ini dari cahaya penglihatan mata hati itu menyingkapkan segala hakikat/makna rindu dan makna-maknanya.
Adapun kesaksian-kesaksian hadits dan atsar, maka lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Maka dari yang termasyhur dari doa Rasulullah saw, ialah bahwa ia mengucapkan: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwa aku bermohon padaMu akan ridla sesudah qodo/takdir, kedinginan hidup sesudah mati, kelezatan memandang kepada WajahMu Yang Mulia dan kerinduan kepada menemuiMu”.
Abud-Darda berkata kepada Ka’ab: “Terangkanlah kepadaku dari ayat yang paling khusus. Yakni: dalam Taurat !”. Ka’ab menjawab: “Allah Ta’ala berfirman: “Lamalah sudah rindunya orang-orang baik kepada menemuiKu. Dan sesungguhnya Aku lebih lagi sangat rindu kepada menemui mereka”. Ka’ab meneruskan: “Dan tertulis pada pinggir Taurat: “Siapa yang mencari Aku, niscaya ia mendapati Aku. Dan siapa yang mencari selain Aku, niscaya ia tiada akan mendapati Aku”. Abud-Darda lalu berkata: “Aku naik saksi, bahwa aku sesungguh nya telah mendengar bahwa Rasulullah saw mengatakan yang demikian”. Dalam berita-berita Daud as, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Hai Daud ! sampaikanlah kepada penduduk bumiKu, bahwa Aku mencintai siapa yang mencintaiKu. Duduk dengan siapa yang duduk-duduk dengan Aku. Berjinakan dengan siapa yang berjinakan dengan mengingatiKu. Teman dengan siapa yang berteman dengan Aku. Memilih dengan siapa yang memilih Aku. Mematuhi kepada siapa yang mematuhi akan Aku. Tiada mencintai Aku oleh seorang hamba, yang Aku tahu bahwa yang demikian itu adalah keyakinan dari hatinya, melainkan Aku terima dia bagi DiriKu. Aku mencintainya, dengan kecintaan, yang tidak didahului oleh seseorang dari makhlukKu. Siapa yang mencari Aku dengan kebenaran, niscaya ia mendapati akan Aku. Dan siapa yang mencari selain Aku, niscaya ia tidak akan mendapati Aku. Lemparkanlah hai penduduk bumi, akan apa yang berada kamu di atasnya, dari tipuannya ! marilah kepada kemuliaanKu, berteman dengan Aku dan duduk-duduk dengan Aku ! berjinak-jinakkanlah dengan Aku, niscaya Aku berjinak-jinakkan dengan kamu. Dan aku bersegera kepada mencintai kamu. Sesungguhnya Aku menciptakan tanah lumpur kekasih-kekasihKu dari tanah lumpur Ibrahim KhalilKu (TemanKu), Musa yang Kulepaskan dari bahaya dan Muhammad pilihanKu. Aku ciptakan hati orang-orang yang rindu dari nurKu. Aku anugerahkan nikmat kepadanya dengan keagunganKu”.
Diriwayatkan dari sebahagian salaf, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada sebahagian orang-orang ash-shiddiqin: “Bahwa Aku mempunyai hamba-hamba dari hamba-hambaKu, yang mencintai Aku dan Aku mencintai mereka. Mereka rindu kepadaKu dan Aku rindu kepada mereka. Mereka mengingati (berdzikir) akan Aku dan Aku ingat kepada mereka. Mereka memandang kepadaKu dan Aku memandang kepada mereka. Maka jikalau engkau ikuti jalan mereka, niscaya Aku cinta kepada engkau. Dan jikalau engkau berpaling dari mereka, niscaya Aku kutuk akan engkau”.
Orang ash-shiddiqin bertanya: “Wahai Tuhanku ! apakah tandanya mereka ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka memelihara akan naungan di siang hari, sebagaimana penggembala yang kasih-sayang memelihara kambingnya. Mereka rindu kepada terbenamnya matahari, sebagaimana rindunya burung kepada sarangnya ketika matahari terbenam. Apabila mereka ditutupi oleh malam, bercampur-aduk kegelapan, dibentangkan tikar, ditegakkan tempat tidur dan setiap kekasih bersunyi-sepi dengan kekasihnya, niscaya mereka payah berdiri kepada tapak kaki mereka, berbaring kepada muka mereka. Mereka bermunajah (berbicara) dengan Aku dengan firmanKu, bercumbu-cumbuan kepadaKu dengan kenikmatanKu. Maka diantara yang berteriak dan yang menangis, diantara yang mengaduh dan yang mengadu, diantara yang berdiri dan yang duduk, diantara yang ruku’ dan yang sujud, dengan penglihatanKu, akan apa yang mereka tanggung dari karenaKu, dengan pendengaranKu akan apa yang mereka mengadu dari kecintaanKu. Yang pertama dari apa yang Aku berikan kepada mereka, ialah: 3: satu: Aku lontarkan dari nurKu dalam hati mereka. Maka mereka menceritakan dari halKu, sebagaimana Aku menceritakan dari hal mereka. Kedua, jikalau adalah langit dan bumi dan apa yang di dalamnya dalam timbangan mereka, niscaya Aku pandang sedikit yang demikian itu bagi mereka. Dan ketiga, Aku menghadap dengan WajahKu kepada mereka. Maka engkau melihat akan siapa, yang Aku hadapkan dengan WajahKu kepadanya, yang diketahui oleh seseorang akan apa yang Aku kehendaki akan memberikannya”.
Pada berita-berita Daud as, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud ! sampai berapa kali engkau menyebutkan sorga dan tidak engkau meminta kepadaKu akan kerinduan kepadaKu ?”. Nabi Daud menjawab: “Hai Tuhanku ! siapakah orang-orang yang rindu kepada Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa orang-orang yang rindu kepadaKu, ialah: orang-orang yang Aku bersihkan mereka dari setiap kekeruhan. Aku peringatkan mereka dengan penjagaan diri dan Aku koyakkan dari hati mereka kepadaKu, akan kekoyakan, yang mereka pandang kepadaKu. Bahwa Aku membawa akan hati mereka dengan tanganKu. Maka Aku meletakkannya di atas langitKu. Kemudian, Aku panggil para malaikatKu yang cerdik. Apabila mereka telah berkumpul, niscaya mereka bersujud kepadaKu. Lalu Aku berfirman: “Bahwa Aku tidak memanggil kamu untuk bersujud kepadaKu. Akan tetapi Aku memanggil kamu sekalian, untuk Aku kemukakan kepada kamu akan hati orang-orang yang rindu kepadaKu. Dan Aku membanggakan dengan kamu akan orang-orang yang mempunyai kerinduan kepadaKu. Bahwa hati mereka itu bercahaya di langitKu bagi para malaikatKu, sebagaimana bercahayanya matahari bagi penduduk bumi. Hai Daud ! bahwa Aku menjadikan hati orang-orang yang rindu itu dari kerelaanKu. Dan Aku curahkan nikmat kepadanya dengan nur WajahKu. Maka Aku mengambil mereka kepadaKu, yang didatangkan kepadaKu. Aku jadikan badan mereka menjadi tempat penglihatanKu ke bumi. Aku tempuh dari hati mereka akan jalan, yang mereka memandang dengan yang demikian kepadaKu, yang bertambah pada setiap hari akan kerinduan mereka”. Daud berkata: “Hai Tuhanku! perlihatkan kepadaku, orang-orang yang mencintai Engkau !”. Allah lalu berfirman: “Hai Daud ! datanglah ke bukit Libanon ! bahwa pada bukit itu ada 14 orang manusia. Pada mereka pemuda-pemuda, ketua-ketua dan orang-orang tua. Apabila engkau datang kepada mereka, maka sampaikanlah salamKu kepada mereka! katakanlah kepada mereka: “Bahwa Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman kepadamu: “Apakah tidak kamu meminta suatu hajat keperluan ? bahwa kamu itu kekasihKu, pilihanKu dan wali-waliKu. Aku gembira karena kegembiraanmu dan Aku bersegera kepada mencintaimu”. Maka Daud as datang kepada mereka itu. Lalu didapatinya mereka pada salah satu mata air, dimana mereka bertaffakur pada kebesaran Allah ‘Azza Wa Jalla. Tatkala mereka melihat kepada Daud as lalu mereka bangun bergerak, untuk bercerai-berai dari Daud. Daud lalu berkata: “Bahwa aku utusan Allah kepada kamu. Aku datang kepadamu untuk aku sampaikan risalah (kerasulan) Tuhanmu”. Lalu mereka menghadap ke arah Daud. Mereka menaruh pendengaran mereka ke arah perkataan Daud. Dan mereka menaruh penglihatannya ke bumi. Daud lalu berkata: “Bahwa aku utusan (rasul) Allah kepadamu, yang menyampaikan salamNya kepadamu. Ia berfirman kepadamu: “Apakah tidak mau meminta suatu hajat keperluan ? apakah tidak kamu berseru kepadaKu, yang Aku dengar akan suara kamu dan perkataan kamu ? bahwa kamu itu kekasihKu, pilihanKu dan wali-waliKu. Aku bergembira karena kegembiraanmu. Aku bersegera kepada mencintaimu. Dan Aku memandang kepada kamu pada setiap saat, sebagai pandangnya ibu yang kasih-sayang, yang lemah-lembut”. Daud berkata: “Maka mengalirlah air mata di pipi mereka.
Maka berkata ketua mereka: “Subhanaka-subhanaka ! (Maha Suci Engkau-Maha Suci Engkau !). Kami ini budak Engkau dan anak budak Engkau. Maka ampunilah kami dari apa, yang telah putuslah hati kami dari berdzikir kepada Engkau pada masa yang telah lalu dari umur kami !”.
Yang lain berkata: “Subhanaka-subhanaka ! kami ini budak Engkau dan anak budak-budak Engkau. Maka anugerahilah nikmat kepada kami, dengan baiknya memandang, pada sesuatu di antara kami dan Engkau !”.
Dan yang lain berkata pula: “Subhanaka-subhanaka! kami ini budak Engkau dan anak budak-budak Engkau. Adakah kami berani kepada berdoa dan Engkau tahu, bahwa tak ada keperluan bagi kami pada sesuatu dari urusan kami ? maka kekalkanlah bagi kami akan keharusan jalan kepada Engkau ! dan sempurnakanlah dengan demikian, akan nikmat kepada kami !”.
Yang lain berkata: “Kami teledor pada mencari keridlaan Engkau, maka tolonglah kami terhadap diri kami dengan kemurahan Engkau !”.
Yang lain berkata pula: “Dari air mani (nutfah) Engkau jadikan kami. Dan Engkau menganugerahkan nikmat kepada kami dengan bertafakkur pada kebesaran Engkau. Maka adakah berani kepada berkata-kata, orang yang sibuk dengan kebesaran Engkau, yang bertafakkur pada keagungan Engkau dan Engkau menuntut kami akan kehampiran dengan cahaya Engkau ?”.
Yang lain berkata lagi: “Tumpullah lidah kami dari berdoa kepada Engkau, karena besarnya keadaan Engkau, dekatnya Engkau kepada wali-wali Engkau dan banyaknya nikmat Engkau kepada orang-orang yang mencintai Engkau”.
Yang lain berkata: “Engkau memberi petunjuk akan hati kami kepada berdzikir kepada Engkau dan Engkau kosongkan waktu kami untuk menyibukkan diri dengan Engkau. Maka ampunilah bagi kami akan keteledoran kami pada bersyukur kepada Engkau !”.
Yang lain berkata: “Engkau tahu akan hajat kami. Yaitu: memandang kepada Wajah Engkau”.
Yang lain berkata: “Bagaimanakah berani hamba itu kepada Tuannya ? karena Engkau menyuruh kami dengan berdoa, dengan kemurahan Engkau ? maka berilah bagi kami akan cahaya, yang kami memperoleh petunjuk dengan dia, dalam kegelapan dari segala lapisan langit ?”.
Yang lain berkata: “Kami berdoa pada Engkau bahwa Engkau menerima kepada kami dan mengekalkannya pada kami”.
Yang lain berkata: “Kami bermohon akan Engkau, kesempurnaan nikmat Engkau, pada apa yang Engkau berikan kepada kami dan Engkau berkemurahan kepada kami”.
Yang lain berkata: “Tak ada hajat bagi kami pada sesuatu dari makhluk Engkau. Maka curahkanlah kepada kami akan nikmat, dengan memandang kepada keelokan Wajah Engkau !”.
Yang lain berkata: “Aku bermohon kepada Engkau dari antara mereka, bahwa Engkau membutakan mataku, daripada memandang kepada dunia dan penduduknya dan hatiku dari kebimbangan dengan akhirat”.
Yang lain berkata: “Engkau tahu, Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi, bahwa Engkau mencintai wali-wali Engkau. Maka curahkanlah nikmat kepada kami dengan kesibukan hati dengan Engkau, dari setiap sesuatu, yang bukan Engkau !”.
Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Katakan kepada mereka: “Aku sudah mendengar perkataan kamu dan Aku perkenankan kamu, kepada apa yang kamu cintai. Maka hendaklah setiap seseorang dari kamu berpisah dengan temannya ! hendaklah ia mengambil bagi dirinya jalan ! bahwa Aku yang membuka hijab (dinding), pada apa yang diantara Aku dan kamu. Sehingga kamu memandang kepada nurKu dan keagunganKu”. Daud lalu bertanya: “Hai Tuhanku ! dengan apakah mereka memperoleh ini dari Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Dengan baik sangka dan mencegah diri dari dunia dan penduduknya. Berkhilwah (bersunyi-sunyian) dengan Aku dan mereka munajah (membisikkan segala isi hati) bagiKu. Bahwa ini suatu tempat, yang tiada akan dicapai, selain oleh orang yang menolak dunia dan penduduknya. Dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu daripada mengingatinya. Dan mengosongkan hatinya bagiKu dan memilih aku di atas semua makhlukKu. Maka ketika itu, Aku cenderung kepadanya, Aku kosongkan dirinya, Aku singkapkan hijab, pada apa yang diantara Aku dan dia. Sehingga ia memandang kepadaKu, sebagai pandangan orang yang memandang dengan matanya kepada sesuatu. Aku perlihatkan kepadanya akan kemuliaanKu pada setiap saat. Aku dekatkan dia kepada Nur WajahKu. Jikalau ia sakit, niscaya Aku urus sakitnya, sebagaimana ibu yang kasih-sayang mengurus sakit anaknya. Jikalau ia haus, niscaya Aku hilangkan hausnya. Dan Aku rasakan kepadanya akan rasa kedzikiran kepadaKu. Apabila engkau perbuat yang demikian dengan orang itu, hai Daud, niscaya butalah dirinya dari dunia dan penduduknya. Tidaklah Aku cintakan dunia kepadanya. Ia tidak lesu dari kesibukan dengan Aku, yang menyegerakan Aku akan datang. Aku tidak suka mematikannya. Karena dia tempat pandanganKu, dari antara mahlukKu. Ia tidak melihat selain Aku dan Aku tidak melihat, selain dia. Jikalau engkau melihatnya, hai Daud dan telah hancur nafsunya, telah kurus tubuhnya, telah hancur-luluh anggota-anggota badannya dan telah tercabut hatinya, apabila ia mendengar dzikir kepadaKu, Aku berbangga dengan orang itu akan para malaikatKu dan penduduk semua langitKu. Ia bertambah takut dan ibadahnya. Demi kemuliaanKu dan keagunganKu, hai Daud, Aku akan mendudukkannya dalam sorga Firdaus. Aku sembuhkan dadanya dengan memandang kepadaKu. Sehingga ia ridha dan di atas ridha”.
Pada berita-berita Daud juga: “Katakan kepada hamba-hambaKu yang menghadapkan dirinya kepada mencintai Aku: “Apakah yang memelaratkan engkau, apabila engkau terhijab dari makhlukKu dan Aku angkatkan hijab pada apa, yang diantaraKu dan engkau, sehingga engkau memandang kepadaKu dengan mata hati engkau ? apakah yang memelaratkan kamu, oleh apa yang Aku palingkan kamu dari dunia, apabila Aku hamparkan agamaKu bagimu ? apakah yang memelaratkan kamu oleh kemarahan makhluk, apabila kamu menuntut keridhaanKu ?”. Pada berita-berita Daud juga, bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya: “Engkau mendakwakan bahwa engkau mencintai Aku. Maka jikalau engkau mencintai Aku, keluarkanlah kecintaan kepada dunia dari hati engkau! bahwa kecintaan kepadaKu dan kecintaan kepada dunia, tidaklah keduanya itu berkumpul dalam hati. Hai Daud ! bersihkanlah akan kecintaan kepadaKu dengan sebersih-bersihnya dan bercampur-aduklah dengan penduduk dunia dengan campur-aduk yang sebenarnya ! dan akan agama engkau, maka ikutlah akan Aku padanya ! jangan engkau ikut pada agama engkau itu dengan orang-orang ! adapun apa yang nyata bagi engkau, dari apa yang bersesuaian dengan kecintaan kepadaKu, maka peganglah dengan dia. Adapun yang menyukarkan kepada engkau, maka ikutlah Aku padanya. Benarlah kepadaKu, bahwa Aku menyegerakan kepada kebijaksanaan engkau dan pembetulan engkau. Dan adalah Aku pemimpin engkau dan petunjuk kepada engkau. Aku memberi kepada engkau, tanpa engkau meminta padaKu. Aku menolong engkau di atas segala kesulitan. Bahwa Aku telah bersumpah atas diriKu, bahwa Aku tidak memberi pahala, selain kepada hamba yang Aku kenal, akan siapa yang Aku mencarinya. Kehendaknya, ialah melemparkan sayapnya di hadapanKu. Ia tidak terkaya, jauh dari Aku. Apabila ada engkau seperti yang demikian, niscaya Aku cabut kehinaan dan keliaran dari engkau. Aku tempatkan akan kekayaan pada hati engkau. Bahwa Aku bersumpah atas diriKu, bahwa tidak tentramlah hambaKu kepada dirinya, yang memandang kepada perbuatan diri itu, selain Aku mewakilkan yang demikian kepadanya. Tambahkanlah segala sesuatu kepadaKu, yang tiada berlawanan dengan amal engkau ! maka adalah engkau itu yang bersungguh-sungguh. Tiada mengambil manfaat dengan engkau, orang yang berteman dengan engkau. Engkau tidak memperoleh bagi ilmu mengenal Allah Ta’ala kepadaKu akan batas. Maka tiadalah baginya kesudahan. Manakala engkau mencari daripadaKu akan tambahan, niscaya Aku berikan kepada engkau. Dan engkau tidak memperoleh bagi tambahan daripadaKu akan batas.
Kemudian, beritahukanlah kepada orang Bani Israil, bahwa tidak ada diantara Aku dan seseorang dari makhlukKu itu keturunan. Maka hendaklah besar kegemaran mereka dan kehendak mereka padaKu. Bolehkanlah kepada mereka, akan apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak terguris pada hati manusia ! letakkanlah Aku diantara dua mata engkau ! pandanglah kepadaKu dengan penglihatan hati engkau. Dan janganlah engkau memandang dengan mata engkau yang pada kepala engkau, kepada mereka yang telah terdinding (terhijab) akalnya daripadaKu ! maka mereka membiarkan akal itu menjadi kotor, dengan terputusnya pahalaKu daripadanya. Bahwa Aku bersumpah dengan kemuliaanKu dan keagunganKu, tiada Aku buta pahalaKu bagi hamba yang masuk dalam ketaatan kepadaKu untuk percobaan dan merencanakan untuk masa depan. Ia merendahkan diri kepada orang yang ia belajar padanya. Dan ia tidak membuat angkara kepada para murid. Jikalau orang-orang yang mencintai Aku tahu akan kedudukan para murid pada sisiKu, niscaya adalah para murid itu tanah bagi mereka, yang mereka berjalan di atasnya.
Hai Daud ! untuk engkau keluarkan seorang murid dari kesengsaraan, yang engkau usahakan kelepasannya, maka Aku tuliskan engkau di sisiKu sebagai orang yang berjihad. Siapa yang Aku tuliskan pada sisiKu sebagai orang yang berjihad, niscaya tidak ada atasnya keliaran hati dan keperluan kepada makhluk.    
Hai Daud ! engkau berpegang dengan firmanKu. Ambillah dari dirimu untuk dirimu ! tidak engkau datangkan dari diri itu, maka Aku hijabkan dari engkau akan kecintaanKu. Tidak engkau putus-asakan hamba-hambaKu dari rahmatKu, niscaya Aku putuskan nafsu syahwat engkau bagiKu. Bahwa Aku perbolehkan nafsu syahwat itu, bagi makhlukKu yang lemah-lemah. Apakah halnya orang-orang yang kuat, bahwa mereka akan memperoleh nafsu syahwat. Bahwa nafsu syahwat itu mengurangkan kemanisan  membisikkan segala isi hati dengan Aku. Bahwa siksaan bagi orang-orang yang kuat pada sisiKu pada tempat memperoleh itu, lebih dekat apa yang sampai kepada mereka, bahwa Aku dindingkan akal mereka daripadaKu. Bahwa Aku tidak ridhakan dunia bagi kekasihKu dan kesenangannya daripadanya.
Hai Daud! janganlah engkau jadikan diantara Aku dan engkau akan seorang yang berilmu, yang mendindingkan engkau dengan kemabukannya dari mencintai Aku ! mereka orang-orang perampok terhadap hamba-hambaKu yang murid-murid. Minta tolonglah kepada meninggalkan nafsu syahwat dengan berketerusan puasa ! awaslah daripada mencoba dengan berbuka (tidak berpuasa) ! bahwa kecintaanKu bagi puasa itu keterusannya.
Hai Daud ! cintailah Aku dengan memusuhi nafsumu ! cegahlah dia dari segala keinginan, niscaya Aku memandang kepadamu ! dan engkau akan melihat hijab diantara Aku dan engkau itu terangkat. Bahwa Aku mengejek-ejekkan engkau dengan ejekan, supaya engkau kuat atas pahalaKu, apabila Aku mencurahkan nikmat kepada engkau dengan dia. Bahwa Aku menahannya dari engkau dan engkau berpegang teguh dengan mentaati Aku”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud: “Hai Daud ! jikalau diketahui oleh orang-orang yang membelakangi Aku, bagaimana penungguanKu kepada mereka, kasih-sayangKu dengan mereka dan rinduKu kepada ditinggalkan oleh mereka akan segala perbuatan maksiat, sesungguhnya mereka itu mati karena rindu kepadaku. Dan terputuslah segala sambungan mereka dengan dunia dari kecintaanKu. Hai Daud ! ini kehendakKu pada orang-orang yang membelakangi Aku. Maka bagaimana kehendakKu pada orang-orang yang menghadap kepadaKu ? hai Daud ! yang paling memerlukan hamba kepadaKu, ialah apabila ia merasa kaya daripadaKu. Yang paling kasih-sayang adanya Aku dengan hambaKu, ialah apabila ia membelakangi Aku. Yang paling mulia apa yang ada pada sisiKu, ialah apabila ia kembali kepadaKu”. Maka inilah berita-berita dan yang sebanding dengan dia, yang tidak terhingga banyaknya, yang menunjukkan, kepada adanya kecintaan, kerinduan dan kejinakan hati. Bahwa pentahkikan (pelaksanaan yang sebenar-benarnya) maknanya itu tersingkap dengan apa yang telah diterangkan dahulu.
PENJELASAN: kecintaan Allah bagi hamba dan maknanya.
Ketahuilah, bahwa saksi-saksi Alquran itu menampakkan, bahwa Allah Ta’ala mencintai hambaNya. Maka tak dapat tidak daripada mengetahui makna yang demikian. Marilah kami kemukakan saksi-saksi atas kecintaanNya itu. Allah Ta’ala berfirman: “Ia mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah, dalam barisan perang yang teratur”. S 61 Ash Shaff ayat 4. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah itu menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci”. S 2 Al Baqarah ayat 222. Karena itulah, Allah swt menolak orang yang mendakwakan, bahwa ia kecintaan Allah, dengan firmanNya: “Katakanlah: Mengapa Allah masih menyiksamu karena dosamu ?”. S 5 Al Maaidah ayat 18.
Diriwayatkan oleh Anas dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Apabila Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, niscaya tidaklah dosa mendatangkan melarat baginya. Dan orang yang bertaubat dari dosa itu seperti orang yang tiada mempunyai dosa”. Kemudian Nabi saw membaca: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu menyukai orang-orang yang bertaubat”. S 2 Al Baqarah ayat 222. Maknanya, bahwa apabila Allah Ta’ala mencintai hambaNya, niscaya diterimaNya taubatnya sebelum mati. Maka tidak mendatangkan melarat kepada hamba itu, oleh dosa-dosa yang lalu, walaupun banyak, sebagaimana tidak mendatangkan melarat oleh kekufuran yang lalu, sebelum Islam. Disyaratkan oleh Allah Ta’ala bagi kecintaan itu pengampunan dosa. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Kalau kamu betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah dan diampuniNya dosamu”. S 3 Ali ‘Imran ayat 31. Rasulullah saw: “Bahwa Allah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang disukaiNya dan orang yang tiada disukaiNya. Dan tidak diberiNya iman, selain kepada orang yang disukaiNya”. Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang merendahkan diri karena Allah, niscaya ia diangkat oleh Allah. Siapa yang sombong, niscaya direndahkan oleh Allah. Dan siapa yang membanyakkan dzikir kepada Allah, niscaya ia dicintai oleh Allah”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Senantiasalah hamba itu mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunat, sehingga Aku menyukainya. Maka apabila Aku menyukainya, niscaya adalah Aku pendengarannya, yang ia mendengar dengan dia. Dan penglihatannya yang ia melihat dengan dia .....sampai akhir hadits”.
 Zaid bin Aslam berkata: “Bahwa Allah sesungguhnya mencintai hamba, sehingga sampai dari kecintaanNya bagi hamba itu, bahwa Ia berfirman: “Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, maka Aku telah mengampunkan bagi engkau”. Apa yang datang dari hadits tentang lafal-lafal kecintaan itu di luar dari hinggaan. Dan telah kami sebutkan, bahwa kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala itu hakikat/makna sebenarnya. Bukan majaz/tidak asli. Karena kecintaan pada hantaran lidah, ialah ibarat dari kecenderungan jiwa kepada sesuatu yang bersesuaian. Dan rindu itu ibarat dari kecenderungan yang mengerasi, yang bersangatan. Dan telah kami terangkan, bahwa perbuatan baik itu bersesuaian bagi jiwa. Dan keelokan (al-jamal) itu bersesuaian juga. Bahwa keelokan dan perbuatan baik sekali diperoleh dengan penglihatan dan sekali diperoleh dengan mata hati. Dan cinta itu mengikuti akan setiap sesuatu daripadanya keduanya. Maka tidak tertentu dengan penglihatan mata saja.
Adapun kecintaan Allah kepada hamba, maka tidak mungkin sekali-kali dengan makna ini. Akan tetapi, nama-nama itu semua, apabila disebutkan secara mutlak kepada Allah Ta’ala dan kepada selain Allah, niscaya tidak berjalan kepada keduanya sekali-kali dengan satu makna. Sehingga, bahwa nama wujud (ada) yang meratai semua nama secara berkongsi itu tidak melengkapi kepada Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluq di atas suatu segi. Akan tetapi, setiap yang selain Allah Ta’ala, maka wujudnya itu diperoleh faedahnya dari wujud Allah Ta’ala. Maka wujud yang menjadi pengikut tidaklah sama dengan wujud yang diikuti. Bahwa persamaannya pada menyebutkan namanya secara mutlak itu, bandingannya ialah, berkongsinya kuda dan pohon kayu pada nama jasmaniah. Karena makna jasmaniah dan hakikat/maknanya itu serupa pada keduanya, tanpa pelaksanaan yang sebenar-benarnya salah satu dari keduanya, untuk ada dia itu asal padanya. Maka tidaklah jasmaniah bagi salah satu dari keduanya itu diambil faedahnya dari yang lain. Dan tidaklah seperti yang demikian nama wujud bagi Allah dan tidak bagi makhlukNya. Berjauhan ini pada nama-nama yang lain itu lebih jelas, seperti: ilmu, Kemauan, qudrah (kuasa) dll. Maka setiap yang demikian itu tidaklah serupa padanya antara Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluq. Yang membuat bahasa itu sesungguhnya membuat nama-nama ini, pertama-tama untuk makhluk. Bahwa makhluk itu lebih dahulu kepada akal dan paham, daripada kepada Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah pemakaiannya kepada Khaliq (yang maha pencipta) dengan jalan pinjaman (isti’arah), majaz(makna yg sebenarnya) dan naqal(pokok2 agama). Kecintaan pada hantaran lidah itu ibarat dari kecenderungannya jiwa kepada yang disetujui dan bersesuaian. Dan ini sesungguhnya tergambar pada jiwa yang kurang, yang hilang baginya, apa yang disetujuinya. Maka ia mengambil faedah dengan diperolehnya kesempurnaan. Lalu ia merasa lezat dengan dicapainya itu. Dan ini mustahil kepada Allah Ta’ala. Bahwa setiap kesempurnaan, keindahan, keelokan dan keagungan itu mungkin pada hak ketuhanan. Maka itu yang ada dan yang kedapatan. Dan wajib kedapatannya abadi dan azali (kekal). Tiada tergambar membaruiNya dan hilangNya. Maka tidak ada bagiNya kepada yang lain itu pandangan, dari segi bahwa dia itu yang lain. Akan tetapi pandanganNya kepada DzatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya saja. Dan tidak ada pada wujud, selain DzatNya dan perbuatan-perbuatanNya.
Karena demikianlah, berkata Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani ra, tatkala dibacakan kepadanya: “Ia mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54, lalu Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani menjawab: “Dengan sebenarnya, Ia mencintai mereka. Maka sesungguhnya Ia tidak mencintai, melainkan diriNya sendiri, di atas pengertian, bahwa itu semua. Dan bahwa tidak ada pada wujud, selain Dia. Maka siapa yang tiada mencintai, selain dirinya sendiri, perbuatan dirinya sendiri dan karangan-karangan dirinya sendiri, niscaya tiada melampaui cintanya itu akan dzatnya dan pengikut-pengikut dzatnya, dari segi dia itu bergantung dengan dzatnya. Jadi, maka dia itu tidak mencintai, selain dirinya sendiri. Apa yang datang pada hadits dari lafal-lafal tentang cintaNya kepada hamba-hambaNya, maka itu adalah dita’wilkan. Dan kembali maknanya kepada tersingkapnya hijab dari hatinya. Sehingga ia melihatNya dengan hatinya dan kepada pengokohannya akan kedekatan kepadaNya dan kepada kehendakNya yang demikian pada azali (kekal). Maka cintaNya kepada orang yang mencintaiNya itu adalah azali(kekal), manakala dikaitkan kepada Kemauan yang azali (kekal), yang menghendaki pengokohan hamba ini daripada menempuh jalan kedekatan ini. Dan apabila dikaitkan kepada perbuatanNya, yang menyingkapkan hijab dari hati hambaNya, maka itu baru, yang terjadi dengan datangnya sebab yang menghendakinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Senantiasalah hambaKu mendekati kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka adalah kedekatannya dengan ibadah-ibadah sunat itu sebab bagi bersih batiniyahnya, terangkat hijab dari hatinya dan keberhasilannya pada derajat kedekatan dengan Tuhannya. Semua yang demikian itu perbuatan Allah Ta’ala dan kasih-sayangNya kepada hambaNya. Maka itulah makna cintaNya. Tiada dipahami ini, selain dengan contoh. Yaitu: bahwa raja terkadang dekat budaknya kepada dirinya. Dan diizinkannya pada setiap waktu hadir di tikar permadaninya. Karena kecenderungan raja kepadanya. Adakalanya, untuk diberinya pertolongan kepada raja itu dengan kekuatannya. Atau untuk raja itu bersenang-senang dengan kehadirannya. Atau untuk raja itu bermusyawarah mendengar pendapatnya. Atau untuk disiapkan oleh budak itu akan sebab-sebab makanan dan minuman raja itu. Lalu dikatakanlah, bahwa raja itu menyukai budak tersebut. Dan adalah maknanya, ialah kecenderungan raja kepada budak itu. Karena padanya ada pengertian yang disetujui, yang bersesuaian bagi raja.
Kadang-kadang raja itu mendekatkan budaknya dan tidak dilarangnya masuk kepadanya. Tidak untuk mengambil manfaat dengan budak itu dan tidak untuk meminta pertolongannya. Akan tetapi, karena keadaan budak itu pada diri raja, bersifat dengan budi pekerti yang menyenangkan dan perkara-perkara yang terpuji, dengan apa yang layak, bahwa ada ia dekat dengan hadapan raja. Cukup keberuntungan dengan dekatnya, serta raja itu tiada mempunyai maksud apa-apa padanya. Maka apabila raja telah mengangkatkan hijab diantaranya dan budak itu, niscaya dikatakan: raja itu menyukai budak itu. Apabila budak itu mengusahakan hal-hal yang terpuji, akan apa yang menghendaki terangkatnya hijab, niscaya dikatakan: ia telah sampai dan menyukakan dirinya kepada raja. Maka kecintaan Allah kepada hamba, ialah: dengan pengertian yang kedua. Bukan dengan pengertian yang pertama. Bahwa betul percontohannya dengan pengertian yang kedua, dengan syarat, bahwa tidak mendahului kepada pemahamannya, oleh masuknya perobahan kepadanya ketika pembaruan kedekatan. Bahwa orang yang dicintai itu, dialah yang dekat kepada Allah Ta’ala. Dan kedekatan kepada Allah itu pada kejauhan dari sifat-sifat binatang ternak, binatang-binatang buas dan setan-setan.
Berbudi pekerti dengan budi pekerti yang mulia, yang dia itu: budi pekerti ketuhanan. Maka itu kedekatan dengan: sifat, tidak dengan: tempat. Siapa yang tidak dia itu dekat, lalu jadilah dia itu dekat, niscaya dia itu telah berobah. Kadang-kadang disangkakan dengan ini, bahwa kedekatan itu manakala telah membaru, maka berobahlah sifat hamba dan Tuhan semuanya. Karena telah menjadi dekat, sesudah dia itu tidak ada. Dan itu mustahil terhadap Allah Ta’ala. Karena perobahan atas Allah itu mustahil. Akan tetapi, senantiasalah Ia pada sifat kesempurnaan dan keagungan, di atas apa adanya pada azali-azali ( tida kesudahan / permulaan ). Tidak tersingkaplah ini, selain dengan contoh pada kedekatan diantara orang-orang. Bahwa dua orang kadang-kadang dekat mendekati dengan gerakan keduanya sekalian. Kadang-kadang ada seorang dari keduanya itu tetap, lalu bergerak yang lain. Lalu berhasillah kedekatan dengan perobahan pada seorang dari keduanya, tanpa ada perobahan pada yang lain. Akan tetapi, kedekatan pada sifat-sifat juga seperti yang demikian. Bahwa murid itu mencari kedekatan dengan derajat gurunya pada kesempurnaan dan keelokan ilmu. Guru itu berdiri pada kesempurnaan ilmunya, dengan tidak bergerak pada turun ke derajat muridnya. Dan murid itu bergerak, mendaki dari lembah kebodohan ke ketinggian ilmu. Maka senantiasalah ia merangkak pada perobahan dan pendakian, kepada ia mendekati dengan gurunya. Dan guru itu tetap, tidak berobah. Maka seperti demikianlah, seyogyanya bahwa dipahami kependakian hamba pada derajat-derajat kedekatan. Maka setiap kali ia menjadi lebih sempurna sifatnya, lebih lengkap ilmu dan keliputan dengan hakikat-hakikat/makna persoalan, lebih tetap kekuatan pada memaksakan setan dan mencegah nafsu syahwat dan lebih melahirkan kebersihan dari kekejian-kekejian, niscaya jadilah ia lebih mendekati kepada derajat kesempurnaan dan kesudahan kesempurnaan kepada Allah. Kedekatan setiap seseorang kepada Allah Ta’ala adalah menurut kesempurnaannya. Ya, kadang-kadang murid itu mampu kepada kedekatan dengan guru, kepada persamaan dan kepada melampauinya. Dan yang demikian terhadap Allah Ta’ala itu mustahil. Bahwa tiada kesudahan bagi kesempurnaanNya. Dan perjalanan hamba pada derajat-derajat kesempurnaan itu berkesudahan. Ia tiada berkesudahan, selain kepada batas yang terbatas. Maka tiadalah kelobaan baginya pada persamaan.
Kemudian, derajat-derajat kedekatan itu berlebih-kurang, dengan kelebih-kurangan yang tiada berkesudahan baginya juga. Karena ketiadaan berkesudahan dari kesempurnaan yang demikian itu. Jadi, kecintaan Allah kepada hamba itu pendekatanNya kepada diriNya, dengan menolak segala gangguan dan perbuatan maksiat daripadanya. Mensucikan batiniyahnya dari kekeruhan-kekeruhan duniawi dan mengangkatkan hijab dari hatinya. Sehingga ia menyaksikan Dia, seakan-akan dilihatNya dengan hatinya. Adapun kecintaan hamba kepada Allah, maka yaitu kecenderungannya kepada memperoleh kesempurnaan ini, yang ia kejatuhan daripadanya, yang ketiadaan baginya. Maka tidak pelak lagi, hamba itu rindu kepada apa yang telah luput daripadanya. Apabila ia memperoleh sesuatu daripadanya, niscaya ia merasa lezat dengan dia. Rindu dan cinta dengan pengertian ini mustahil atas Allah Ta’ala. Kalau anda mengatakan: kecintaan Allah kepada hamba itu hal yang tidak jelas. Maka dengan apa hamba itu mengetahui, bahwa ia kekasih Allah ? Aku menjawab: bahwa diberi dalil kepada yang demikian itu dengan tanda-tandanya. Nabi saw bersabda: “Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya dicobakanNya. Maka apabila dicintaiNya dengan kecintaan yang sangat, niscaya di-iqtina’kanNya”. Lalu ditanyakan: “Apakah iqtina’ itu ?”. Nabi saw menjawab: “Allah tidak meninggalkan baginya keluarga dan harta”. Maka tanda kecintaan Allah kepada hamba, ialah bahwa diliarkan hati hamba itu kepada orang lain. Dan didindingkanNya diantara hamba itu dengan orang lain.
Ditanyakan kepada nabi Isa as: “Mengapa engkau tidak membeli keledai, untuk engkau kendarai ?”. Isa as menjawab: “Aku lebih mulia pada Allah Ta’ala, daripada disibukkan aku dengan keledai daripada mengingatiNya”. Tersebut pada hadits: “Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya dicobakan Nya. Kalau hamba itu sabar, niscaya dipilihkanNya. Kalau hamba itu ridha, niscaya disucikanNya”. Kata setengah ulama: “Apabila aku melihat engkau mencintai Nya dan aku melihatNya mencoba engkau, maka ketahuilah, bahwa Ia berkehendak mensucikan engkau”.
Sebahagian murid berkata kepada gurunya: “Telah diperlihatkan aku dengan sesuatu dari kecintaan”. Guru itu menjawab: “Hai anakku ! adakah Ia mencoba engkau dengan kecintaan selain Dia ? lalu engkau mengutamakan Dia dari yang lain itu ?”. Murid itu menjawab: “Tidak !”. Guru itu lalu menyambung: “Maka janganlah engkau harapkan pada kecintaan itu ! sesungguhnya Allah tidak memberikan kecintaan kepada seorang hamba, sebelum dicobaiNya”.
Rasulullah saw bersabda: “Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya dijadikanNya bagi hamba itu pemberi pengajaran dari dirinya sendiri dan pencegah dari hatinya, yang menyuruh dan yang melarangnya”. Nabi saw bersabda: “Apabila Allah menghendaki dengan seorang hamba itu akan kebajikan, niscaya diperlihatkanNya kepada hamba itu akan kekurangan dirinya”. Maka yang lebih khusus dari tanda-tandanya itu, cintanya kepada Allah. Bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada kecintaan Allah kepadanya. Adapun perbuatan yang menunjukkan atas keadaannya itu dicintai, maka yaitu bahwa Allah Ta’ala yang memerintahkan urusannya, zahiriyah dan batiniyahnya, rahasianya dan yang terbukanya. Maka adalah Ia yang mengisyaratkan kepadanya, yang mengatur urusannya, yang menghiaskan budi pekertinya, yang memakai anggota-anggota badannya, yang membetulkan zahiriyah dan batiniyahnya, yang menjadikan kesusahan-kesusahannya suatu kesusahan, yang memarahkan kepada dunia dalam hatinya, yang meliarkan hatinya dari yang lain, yang menjinakkan hatinya kepadaNya dengan kelezatan munajah dalam kesunyiannya (dalam khilwahnya) dan yang menyingkapkan baginya dari hijab, antaranya dan ma’rifahnya (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Maka ini dan yang seperti ini, adalah tanda kecintaan Allah kepada hamba. Maka marilah kami sebutkan sekarang tanda kecintaan hamba kepada Allah. Bahwa itu juga tanda-tanda kecintaan Allah kepada hamba.
Pembicaraan: tentang tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah, bahwa kecintaan itu didakwakan oleh setiap orang. Alangkah mudahnya mendakwakan cinta dan alangkah mulianya makna cinta ! maka tiada seyogyalah bahwa tertipu insan dengan godaan setan dan tipuan diri, manakala diri itu mendakwakan akan kecintaan Allah Ta’ala, selama tidak dicobakannya dengan tanda-tanda. Dan tidak dituntutnya dengan bukti-bukti dan dalil-dalil. Cinta itu sebatang kayu yang baik, akarnya tetap di bumi dan cabangnya di langit dan buahnya lahir di hati, di lidah dan di anggota-anggota badan. Ditunjukkan oleh bekas-bekas yang melimpah daripadanya itu kepada hati dan anggota-anggota badan atas cinta, seperti ditunjukkan oleh asap kepada api dan ditunjukkan oleh buah kepada pohon kayu. Dan itu banyak: Diantaranya cinta bertemu dengan Yang Dicintai, dengan jalan tersingkap (al-kasyaf) dan penyaksian di Negeri Sejahtera (Darus-salam). Maka tidaklah tergambar bahwa dicintai oleh hati akan kecintaannya, selain bahwa ia mencintai menyaksikan dan menemuinya. Apabila ia tahu, bahwa tiada sampai kepada Yang Dicintai, selain dengan berangkat dari dunia dan menceraikannya dengan mati, maka seyogyalah bahwa dia itu mencintai mati, tidak lari daripadanya. Bahwa orang yang cinta itu tidak berat kepadanya bermusafir dari tanah airnya, ke tempat ketetapan kecintaannya, untuk bersenang-senang dengan menyaksikannya. Dan mati itu kunci pertemuan dan pintu masuk kepada penyaksian.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang mencintai bertemu dengan Allah, niscaya Allah mencintai bertemu dengan dia”. Berkata Hudzaifah ketika akan meninggal dunia: “Yang dicintai datang diatas keperluan, niscaya ia tidak merasa beruntung dengan penyesalan”. Sebahagian salaf berkata: “Tiada suatu perkarapun yang lebih dicintai oleh Allah pada hamba, sesudah cinta bertemu dengan Allah, selain dari banyak sujud. Maka dahulukanlah kecintaan bertemu dengan Allah, dari sujud !”. Disyaratkan oleh Allah Ta’ala bagi hakikat/makna kebenaran pada cinta itu berperang pada jalan Allah (sabilullah), dimana mereka itu berkata: “Bahwa kami mencintai Allah”. Maka dijadikan berperang pada jalan Allah dan mencari syahid itu tandanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah, dalam barisan perang yang teratur”. S 61 Ash Shaff ayat 4. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh”. S 9 At Taubah ayat 111. Dalam wasiat Abubakar kepada Umar ra: “Kebenaran itu berat dan serta dengan beratnya itu mengandung keriaan. Yang batil itu ringan dan serta dengan ringannya itu banyak penyakit padanya. Kalau engkau pelihara akan wasiatku, niscaya tidaklah yang ghaib itu lebih engkau cintai, daripada mati. Dan mati itu akan menjumpai engkau. Jikalau engkau sia-siakan wasiatku, niscaya tidaklah yang ghaib itu lebih engkau marahi, dari mati. Dan engkau tidak dapat melemahkan mati itu”.
Diriwayatkan dari Ishak bin Sa’ad bin Abi Waqqash, yang mengatakan: “Diceritakan kepadaku oleh bapakku, bahwa Abdullah bin Jahsyin, mengatakan kepadanya pada hari perang Uhud: “Mengapa tidak kita berdoa kepada Allah ?”. Mereka lalu bersunyi-sunyian di suatu sudut. Abdullah bin Jahsyin lalu berdoa. Beliau mengatakan: “Hai Tuhanku ! bahwa aku bersumpah kepadaMu, apabila aku bertemu dengan musuh besok, maka temukanlah aku dengan laki-laki yang sangat perkasanya, yang sangat amarahnya. Aku akan berperang dengan dia pada jalan Engkau dan ia akan berperang dengan aku. Kemudian ia mengambil aku. Lalu dipotongnya hidungku dan telingaku dan dikoreknya perutku. Apabila aku menjumpai Engkau besok, niscaya Engkau berfirman: “Hai Abdullah ! siapakah yang memotong hidung engkau dan telinga engkau ?”. Maka aku menjawab: “Pada jalan Engkau hai Tuhanku dan pada jalan rasul Engkau”. Engkau lalu berfirman: “Benar engkau !”. Sa’ad berkata: “Lalu aku memimpikan Abdullah bin Jahsyin pada akhir siang dan hidungnya dan telinganya tergantung pada sehelai benang”. Sa’id bin Al-Musayyab berkata: “Aku mengharap bahwa Allah memberikan kebajikan akan akhir sumpahnya, sebagaimana Ia memberikan kebajikan pada awalnya”.
Adalah Ats-Tsauri dan Bisyr Al-Hafi mengatakan: “Tiada benci kepada mati, selain orang yang ragu. Karena orang yang cinta bagaimanapun tiada akan benci bertemu dengan Kekasihnya”. Al-Buwaithi bertanya kepada sebahagian orang-orang zuhud: “Adakah engkau mencintai mati?”. Seakan-akan Al-Buwaithi berhenti sejenak, lalu menyambung: “Jikalau engkau benar, niscaya engkau mencintainya”. Dan beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Mintalah kematian, kalau kamu memang benar”. S 2 Al Baqarah ayat 94. Orang zuhud itu lalu menjawab: “Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Tidaklah bercita-cita seseorang kamu kepada mati”. Lalu Al-Buwaithi berkata, bahwa ia mengatakan yang demikian, karena kemelaratan yang menimpa padanya. Bahwa ridha dengan qodo’/takdir Allah Ta’ala itu lebih utama daripada lari daripadanya. Kalau engkau bertanya: “Maka orang yang tiada mencintai mati, adakah tergambar bahwa ia mencintai Allah ?”. Aku menjawab, bahwa benci kepada mati itu kadang-kadang karena cinta kepada dunia, merasa sedih berpisah dengan isteri, harta dan anak. Dan ini meniadakan kesempurnaan cinta kepada Allah Ta’ala. Karena cinta yang sempurna, ialah: yang menghabiskan seluruh hati. Akan tetapi, tiada jauh bahwa adalah baginya serta cinta kepada isteri dan anak itu, campuran yang lemah dari kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahwa manusia itu berlebih-kurang pada kecintaan. Dan menunjukkan kepada berlebih-kurangnya itu, apa yang dirawikan, bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abdusyamsin, tatkala mengawinkan saudaranya yang perempuan, bernama Fatimah, dengan Salim bekas budaknya, maka ia dicaci oleh kaum Quraisy pada yang demikian. Mereka mengatakan: “Engkau kawinkan seorang wanita baik-baik dari wanita-wanita Quraisy dengan seorang bekas budak”. Abu Hudzaifah menjawab: “Demi Allah ! aku telah nikahkan Salim dengan Fatimah. Aku tahu bahwa Salim itu lebih baik dari Fatimah”. Adalah perkataan Abu Hudzaifah yang demikian itu lebih berat kepada mereka dari perbuatannya. Lalu mereka menjawab: “Bagaimana Fatimah itu saudara perempuan engkau dan laki-laki itu bekas budak engkau ?”. Abu Hudzaifah lalu menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berkehendak memandang kepada orang yang mencintai Allah dengan seluruh hatinya, maka hendaklah ia memandang kepada Salim !”. Ini menunjukkan, bahwa diantara manusia ada orang, yang tidak mencintai Allah dengan seluruh hatinya. Ia mencintai Allah dan mencintai juga yang lain dari Allah. Maka tidak pelak lagi, adalah kenikmatannya menemui Allah ketika datang kepadaNya, menurut kadar kecintaannya. Dan azabnya dengan berpisah dari dunia ketika mati adalah menurut kadar kecintaannya kepada dunia.
Adapun sebab kedua bagi benci, maka yaitu: bahwa adalah hamba itu pada permulaan kedudukan cinta. Dan ia tidak benci kepada mati. Hanya ia benci cepatnya mati, sebelum ia bersedia untuk menermui Allah. Maka yang demikian itu tidak menunjukkan kepada lemahnya cinta. Dia itu seperti orang yang cinta, yang sampai berita kepadanya dengan kedatangan cintanya kepadanya. Lalu ia suka, bahwa terlambat kedatangannya sesaat, supaya dapat ia menyiapkan rumahnya bagi orang yang dicintainya itu. Dan disediakannya bagi cintanya itu sebab-sebab yang menyenangkannya. Lalu ia dapat menemui cintanya tersebut, sebagaimana yang diingininya, yang selesai hati dari segala gangguan, yang ringan punggung dari segala halangan. Maka benci dengan sebab ini, tidaklah sekali-kali meniadakan kesempurnaan cinta. Tandanya, ialah: kesungguhan bekerja dan menghabiskan kesusahan pada persiapan.
Diantara tanda itu, bahwa ia mengutamakan apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala, di atas apa yang dicintainya sendiri, pada lahirnya dan batinnya. Ia membiasakan kesukaran kerja, menjauhkan mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari kelembutan malas. Ia senantiasa rajin mentaati Allah, mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah-ibadah sunat dan mencari padaNya kelebihan derajat. Sebagaimana orang yang mencintai itu mencari kelebihan dekat dalam hati orang yang dicintainya. Allah menyifatkan orang-orang yang mencintai itu dengan mengutamakan yang dicintainya. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka menunjuk kan kasih-sayang kepada orang berpindah ke kampung mereka dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (yang berpindah itu), bahkan mereka mengutamakan (kawannya) lebih dari diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Siapa yang berkekalan terus-menerus mengikuti hawa nafsu, maka yang dicintainya ialah apa yang menjadi hawa nafsunya. Bahkan, yang mencintai itu akan meninggalkan hawa nafsunya sendiri, untuk hawa nafsu yang dicintainya, sebagaimana dikatakan orang dalam pantun:
Aku berkehendak menyambungnya,
dan ia berkehendak meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan untuk kehendaknya,
apa yang menjadi kehendakku.
Bahkan cinta apabila sudah keras, niscaya ia meninggalkan hawa nafsu sendiri. Lalu tiada yang tinggal baginya, bernikmat-nikmat, selain dari yang dicintai itu. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Zalikha tatkala ia telah beriman dan dikawini oleh Yusuf as, niscaya ia menyendiri dari Yusuf dan berkhilwah (bersendirian) bagi ibadah. Ia menghabiskan segala waktu kepada beribadah kepada Allah Ta’ala. Yusuf mengajaknya ke tempat tidur pada siang hari, lalu ditolaknya kepada malam hari. Apabila dipanggilnya pada malam hari, lalu ditangguhkannya kepada siang hari. Ia mengatakan: “Hai Yusuf ! bahwa aku mencintaimu sebelum aku mengenal Dia. Maka apabila aku telah mengenal Dia, niscaya tidak ditinggalkan lagi oleh kecintaan kepadaNya, akan kecintaan bagi lainNya. Dan aku tidak menghendaki akan gantiNya”. Sehingga Yusuf as berkata kepada Zalikha: “Bahwa Allah yang maha agung sebutanNya menyuruh aku dengan yang demikian. Ia memberitakan kepadaku, bahwa Ia mengeluarkan dari engkau dua orang anak. Dan dijadikanNya kedua orang anak itu menjadi nabi”. Zalikha menjawab: “Adapun apabila ada Allah Ta’ala menyuruh engkau dengan yang demikian dan dijadikanNya aku jalan kepadanya, maka aku taat kepada perintah Allah Ta’ala. Pada taatlah aku bertenang hati kepadaNya”. Jadi, siapa yang mencintai Allah, niscaya ia tidak berbuat maksiat kepadaNya. Dan karena itulah Ibnul-Mubarak mengatakan tentang yang demikian:
Engkau berbuat maksiat kepada Tuhan,
dan engkau melahirkan kecintaan kepadaNya.
Ini -demi umurku- nian,
mengada-adakan pada perbuatan kepadaNya.
Jikalau cintamu itu benar adanya,
niscaya engkau mentaatiNya.
Bahwa orang yang mencintai kepada yang dicintainya,
niscaya ia mentaatinya.
Dalam pengertian yang ini juga, dimadahkan orang:
Aku tinggalkan apa yang aku ingini,
untuk apa yang engkau inginkan.
Aku rela dengan apa yang engkau relai,
walaupun diriku marah kepada yang demikian.
Sahal ra berkata: “Tanda cinta itu mengutamakan yang lain, dari diri engkau. Dan tidaklah setiap orang yang beramal dengan mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla itu menjadi orang yang dikasihi. Bahwa orang yang dikasihi itu, ialah orang yang menjauhkan segala yang dilarang”. Benarlah seperti yang dikatakan Sahal itu. Karena cintanya akan Allah Ta’ala itu menjadi sebab cintanya Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Ia mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maaidah ayat 54. Apabila dia dicintai oleh Allah, niscaya Allah melindunginya dan menolongnya atas musuh-musuhnya. Bahwa musuhnya itu ialah dirinya dan nafsu syahwatnya. Karena yang demikianlah, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah lebih mengetahui musuh-musuh kamu dan cukuplah Allah menjadi Pelindung dan cukuplah Allah menjadi Penolong”. S 4 An Nisaa’ ayat 45.
Kalau anda bertanya: “Kemaksiatan itu adakah berlawanan dengan pokok kecintaan ?”. Aku menjawab: bahwa berlawanan dengan kesempurnaan kecintaan, tidak dengan pokoknya. Berapa banyak manusia mencintai dirinya dan dia itu sakit, mencintai kesehatan dan ia memakan yang mendatangkan melarat kepadanya. Serta ia tahu, bahwa itu mendatangkan melarat kepadanya. Dan yang demikian itu, tidak menunjukkan kepada tidak ada cintanya kepada dirinya. Akan tetapi, ilmu mengenal Allah Ta’ala itu kadang-kadang lemah dan nafsu syahwat kadang-kadang mengeras. Lalu ia lemah daripada menegakkan hak kecintaan. Menunjukkan kepada yang demikian, apa yang diriwayatkan, bahwa Na’iman bin ‘Amr bin Rifa’ah Al-Anshari dibawa kepada Rasulullah saw pada setiap sedikit yang diminumnya dari yang memabukkan. Maka Rasulullah saw menjatuhkan hadd (hukuman badan) pada perbuatan maksiat yang dikerjakannya itu. Sehingga pada suatu hari, Rasulullah saw datang kepadanya, lalu beliau menjatuhkan hukuman badan karena meminum itu. Lalu seorang laki-laki (namanya ‘Umair) mengutuk Na’iman dan mengatakan: “Alangkah banyaknya kali ia dibawa kepada Rasulullah saw”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Janganlah engkau mengutukinya ! bahwa dia itu mencintai Allah dan RasulNya”. Maka tidaklah mengeluarkannya dengan sebab maksiat, dari kecintaan. Ya, ia dikeluarkan oleh maksiat itu dari kesempurnaan cinta. Sebahagian orang-orang al-‘arifin yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) mengatakan: “Apabila ada iman itu pada zahiriyah hati, niscaya ia mencintai Allah Ta’ala dengan kecintaan yang sedang. Apabila iman itu masuk ke dalam jantung hati, niscaya ia mencintaiNya dengan kecintaan yang bersangatan. Dan ia meninggalkan segala perbuatan maksiat”.
Kesimpulannya, pada mendakwakan cinta itu ada bahaya. Karena itulah, Al-Fudlail berkata: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Adakah engkau cinta kepada Allah Ta’ala ?”, maka diamlah ! sesungguhnya jikalau engkau menjawab: tidak, niscaya engkau menjadi kufur. Dan jikalau engkau menjawab: ya, maka tidaklah sifat engkau itu sifat orang-orang yang mencintaiNya. Maka jagalah akan kutukan !”.
Berkata sebahagian ulama: “Tiada dalam sorga nikmat yang lebih tinggi dari nikmat orang yang ilmu mengenal Allah Ta’ala dan cinta. Dan tiada dalam neraka jahannam, azab yang lebih berat dari azab orang yang mendakwakan ilmu mengenal Allah Ta’ala dan cinta. Dan ia tidak membuktikan dengan suatupun dari yang demikian”. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah Ta’ala, ialah: bahwa ia suka sekali berdzikir kepada Allah Ta’ala. Tidak lesu lidahnya daripadanya dan tidak kosong hatinya daripadanya. Siapa yang mencintai sesuatu, niscaya dengan sendirinya ia membanyakkan menyebutnya dan menyebutkan apa yang bersangatan dengan dia. Maka tanda kecintaan kepada Allah, ialah cinta berdzikir kepadaNya dan cinta kepada Alquran, yaitu: Kalam Nya. Cinta kepada Rasulullah saw dan cinta kepada setiap orang yang dibangsakan kepadanya (yang dikatakan keturunannya). Bahwa orang yang mencintai seorang insan, niscaya ia mencintai anjing tempat tinggalnya. Maka cinta itu apabila telah kuat, niscaya ia melampaui dari orang yang dicintai, kepada setiap yang melingkungi dengan yang dicintai, yang meliputi kepada yang dicintai dan yang menyangkut dengan sebab-sebabnya. Dan yang demikian itu, tidaklah perkongsian pada cinta. Siapa yang mencintai utusan orang yang dicintai, adalah karena orang itu utusan dari orang yang dicintai. Dan perkataannya, adalah karena perkataan dari orang yang dicintai. Maka tidaklah melampaui kecintaannya kepada orang lain. Akan tetapi, adalah itu dalil atas kesempurnaan cintanya. Siapa yang keras kecintaan kepada Allah pada hatinya, niscaya ia mencintai semua makhluk Allah. Karena mereka itu makhlukNya. Maka bagaimana ia tidak mencintai Alquran, rasul dan hamba-hamba Allah yang shalih ? telah kami sebutkan pentahkikan (pelaksanaan yang sebenar-benarnya) ini pada “Kitab Persaudaraan Dan Persahabatan”. Karena demikianlah, Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau kamu betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah”. S 3 Ali ‘Imran ayat 31. Rasulullah saw bersabda: “Cintailah Allah, karena Ia memberikan makanan kepada kamu daripada nikmat-nikmat Nya. Dan cintailah aku karena Allah Ta’ala”.
Sufyan berkata: “Siapa yang mencintai orang yang mencintai Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan siapa yang memuliakan orang yang memuliakan Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia memuliakan Allah Ta’ala”. Diceritakan dari sebahagian murid, yang mengatakan: “Adalah aku telah memperoleh kemanisan  membisikkan segala isi hati pada permulaan kehendak berjalan kepada Allah. Maka aku berkekalan membaca Alquran siang dan malam. Kemudian, datang kepadaku kelesuan, lalu terputus aku daripada membaca Alquran”. Murid itu meneruskan ceritanya: “Maka aku mendengar Yang Mengatakan dalam tidurku: “Jikalau engkau mendakwakan, bahwa engkau mencintai Aku, maka mengapakah engkau tidak bermesra-mesraan dengan kitabKu? apakah tidak engkau memahami apa yang di dalamnya dari kehalusan cercaanKu ?”. Murid itu meneruskan ceritanya: “Maka aku jaga dari tidur dan telah terminum dalam hatiku akan kecintaan kepada Alquran. Lalu aku membiasakan kembali kepada keadaanku yang sudah-sudah”.
Ibnu Mas’ud berkata: “Tiada seyogyalah seseorang kamu menanyakan dari dirinya, selain Alquran. Kalau ia mencintai Alquran maka dia itu mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau ia tidak mencintai Alquran, maka tidaklah ia mencintai Allah”. Sahal ra berkata: “Tanda mencintai Allah, ialah mencintai Alquran. Tanda mencintai Allah dan mencintai Alquran, ialah mencintai Nabi saw. Tanda mencintai Nabi saw, ialah mencintai sunnah. Tanda mencintai sunnah, ialah mencintai akhirat. Tanda mencintai akhirat, ialah memarahi dunia. Dan tanda memarahi dunia, ialah bahwa ia tiada mengambil daripadanya, selain perbekalan dan barang yang memadai ke akhirat. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ada kejinakan hatinya dengan (bersunyi-sunyian), munajahnya dengan Allah Ta’ala dan membaca KitabNya. Maka ia rajin mengerjakan shalat tahajjud, mempergunakan ketenangan malam dan kebersihan waktu dengan memotong halangan-halangan. Sekurang-kurangnya derajat cinta, ialah memperoleh kelezatan dengan (bersunyi-sunyian) dengan yang dicintai dan bernikmat-nikmatan dengan munajahNya. Maka siapa yang adalah tidur dan kesibukan dengan bercakap-cakap itu lebih mengenakkan baginya dan lebih membaikkan daripada munajah dengan Allah, niscaya bagaimanakah shah kecintaannya ?”.
Ditanyakan kepada Ibrahim bin Adham dan ia baru turun dari bukit: “Dari manakah anda datang ?”. Beliau menjawab: “Dari kejinakan hati dengan Allah”. Tersebut dalam berita-berita Daud as: “Janganlah engkau berjinakkan hati dengan seorangpun dari makhlukKu ! bahwa Aku memutuskan hubungan dengan dua orang laki-laki daripadaKu: seorang laki-laki yang memintakan lambat akan pahalaKu, maka dia terputus. Dan seorang laki-laki yang melupakan Aku. Lalu ia rela dengan keadaannya itu. Tanda yang demikian itu, ialah bahwa makan nya kepada dirinya dan bahwa Aku tinggalkan dia dalam dunia keheranan”. Manakala menjinakkan hati dengan selain Allah, niscaya adalah dia dengan kadar kejinakan hatinya dengan selain Allah itu, keliaran hatinya daripada Allah Ta’ala, yang jatuh dari derajat kecintaannya kepada Allah.
Pada kisah Burakh, yaitu: seorang budak hitam, yang nabi Musa as meminta minum padanya, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Bahwa Burakh budak yang baik dan dia untukKu. Hanya ada padanya suatu kekurangan”. Nabi Musa as bertanya: “Hai Tuhanku ! apakah kekurangannya ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Menakjubkannya oleh angin pagi. Maka ia tenang kepada angin pagi itu. Dan siapa yang mencintai Aku, niscaya ia tidak tenang kepada sesuatu”.
Diriwayatkan, bahwa seorang ‘abid (yang kuat beribadah) beribadah kepada Allah Ta’ala pada suatu tempat yang rindang kayu-kayuannya (ghaidlah) pada masa yang panjang. Lalu ia memandang kepada seekor burung dan telah membuat sarang pada sepohon kayu, yang tinggal padanya dan berbunyi padanya. ‘Abid itu berkata: “Jikalau aku pindahkan masjidku ke pohon kayu itu, maka tenanglah aku berjinakkan hati, dengan bunyi burung itu”. Orang yang empunya cerita itu meneruskan ceritanya: “Orang ‘abid itu lalu berbuat demikian. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi zaman itu: “Katakan kepada ‘abid anu, bahwa engkau telah berjinakan hati dengan makhluk. Sesungguhnya akan Aku turunkan engkau kepada tingkat, yang tiada akan engkau capai untuk selama-lamanya, dengan sesuatu dari amalan engkau”. Jadi, tanda cinta itu sempurnanya kejinakan hati dengan munajah, dengan Yang Dicintai, sempurnanya bernikmat-nikmatan dengan (bersunyi-sunyian), dengan Dia dan sempurnanya keliaran hati dari setiap yang mengeruhkan (bersunyi-sunyian) dan mencegah dari kelezatan munajah(membisikkan segala isi hati). Dan tanda kejinakan hati, ialah kembalinya akal dan paham seluruhnya, yang tenggelam dengan kelezatan munajah (membisikkan segala isi hati), seperti orang yang menghadapkan pembicaraannya dan  membisikkan segala isi hati dengan orang yang dirinduinya. Dan berpenghabisan kelezatan ini pada sebahagian mereka, sehingga ada ia dalam shalatnya dan terjadilah kebakaran di rumahnya, lalu ia tidak merasakan yang demikian. Dan dipotong kaki sebahagian mereka, disebabkan penyakit yang menimpa dirinya dan dia itu dalam shalat, maka tidak dirasakannya. Manakala telah mengeras kepadanya kecintaan dan kejinakan hati, niscaya jadilah bersunyi-sunyian dan munajah(membisikkan segala isi hati) itu cahaya matanya, dimana ia menolak dengan itu akan semua keduka-citaan. Bahkan, kejinakan hati dan kecintaan itu menghabiskan hatinya, sehingga ia tidak memahami akan urusan duniawi, selama tidak berulang-ulang berkali-kali kepada pendengarannya. Seperti orang yang asyik, yang bimbang. Maka dia berbicara dengan manusia dengan lidahnya dan kejinakan hatinya pada batiniyahnya dengan mengingati kekasihnya. Orang yang cinta itu, ialah orang yang tidak tenang hatinya, selain dengan yang dicintainya.
Qatadah berkata mengenai firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang beriman itu, hati mereka menjadi tentram, karena mengingati Allah. Ketahuilah, bahwa dengan mengingati Allah itu, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Kata Qatadah: “Aku banyak berkata-kata tentang Dia dan jinaklah hatiku dengan Dia”. Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Siapa yang merasakan keikhlasan kecintaan kepada Allah, niscaya yang demikian itu menyibukkannya dari mencari dunia dan meliarkan hatinya dari semua manusia”.
Mathraf bin Abubakar berkata: “Orang yang cinta itu tidak bosan-bosan dari pembicaraan kekasihnya”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Dustalah orang yang mendakwakan akan kecintaannya kepadaKu, apabila datang malam, maka ia tidur jauh daripadaKu. Tidakkah setiap orang yang mencintai itu mencintai bertemu dengan kekasihnya ? maka adalah Aku ini maujud (berada) bagi orang yang mencari Aku”.
Musa as berkata: “Hai Tuhanku ! di mana Engkau, aku bermaksud kepada Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Apabila engkau bermaksud, maka engkau telah sampai”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Siapa yang mencintai Allah, niscaya ia memarahkan dirinya”. Berkata Yahya pula: “Siapa yang tidak ada padanya 3 perkara, maka tidaklah ia orang yang mencintai: mengutamakan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala di atas perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah Ta’ala daripada bertemu dengan makhluk dan mengutamakan ibadah daripada melayani makhluk”.
Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ia tidak bersedih hati atas apa yang luput daripadanya, dari apa yang selain Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan bersangatanlah kesedihan hatinya di atas keluputan setiap saat yang kosong dari dzikir dan taat kepada Allah Ta’ala. Maka banyaklah kembalinya ketika lalai, kepada Allah Ta’ala dengan minta dikasihani, mencela diri dan bertaubat.
Sebahagian orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) (al’arifin) berkata: “Bahwa Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintaiNya dan merasa tentram kepadaNya. Maka hilanglah dari mereka itu kesedihan atas yang hilang. Mereka tidak menyibukkan diri dengan keberuntungan dirinya sendiri, ketika adalah Raja Diraja mereka itu sempurna dan apa yang dikehendakiNya itu ada. Apa yang telah ada bagi mereka itu maka sampai kepada mereka dan apa yang luput bagi mereka maka dengan baiknya pengaturanNya bagi mereka”. Berhaklah orang yang mencintai itu apabila kembali dari kelalaiannya, bahwa pada ketika itu juga ia menghadap kepada yang dicintainya dan menyibukkan dirinya dengan mencela diri. Menanyakan dan mengatakan: “Hai Tuhanku ! dengan dosa apakah Engkau putuskan kebajikan Engkau daripadaku dan Engkau jauhkan aku dari hadlarat(keajaiban) Engkau dan Engkau sibukkan aku dengan diriku dan dengan mengikuti setan ?”. Maka dari yang demikian itu mengeluarkan kebersihan dzikir dan kehalusan hati, yang menutupkan daripadanya, apa yang telah lalu dari kelalaian. Dan adalah kesilapannya itu menjadi sebab untuk kebaruan dzikirnya dan kebersihan hatinya. Manakala yang mencintai itu tiada melihat, selain yang dicintai dan ia tiada melihat akan sesuatu, selain daripadanya, niscaya ia tidak merasa menyesal dan tidak mengadu. Dan ia terima semua itu dengan keridhaan. Ia tahu, bahwa Yang Dicintai tidak mentakdirkan baginya, selain apa yang padanya kebajikan baginya. Dan ia ingat akan firmanNya: “Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang dia berguna kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 216.
Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah: bahwa ia bernikmat-nikmatan dengan taat dan ia tidak merasa berat dengan taat itu. Dan hilanglah daripadanya kepayahan mengerjakan taat. Sebagaimana berkata setengah mereka: “Aku menderita pada malam hari selama 20 tahun. Kemudian, aku bernikmat-nikmatan dengannya selama 20 tahun”.
Al-Junaid berkata: “Tanda cinta itu terus-menerus rajin dan bersungguh-sungguh dengan kerinduan, lesu badannya dan tidak lesu hatinya”. Setengah mereka berkata: “Berbuat di atas kecintaan itu tidak dimasuki oleh kelesuan”. Setengah ulama berkata: “Orang yang mencintai Allah itu tidak meminta disembuhkan dari mentaatiNya, walaupun ia bertempat dengan perantaraan yang besar”. Maka semua ini dan yang seperti ini terdapat pada segala yang disaksikan (al-musyahadah). Bahwa orang yang rindu itu tidak merasa berat berjalan pada memenuhi keinginan orang yang dirindukan nya. Ia merasa enak melayaninya dengan hatinya, walaupun sukar atas tubuhnya. Manakala tubuhnya lemah niscaya adalah sesuatu yang paling disukainya, ialah bahwa kembali kepadanya kemampuan dan bercerai daripadanya kelemahan. Sehingga ia dapat menyibukkan diri dengan yang dirinduinya. Maka begitulah adanya kecintaan kepada Allah Ta’ala. Bahwa setiap kecintaan yang menjadi menang, niscaya sudah pasti ia memaksakan apa yang kurang daripadanya. Maka orang yang kecintaannya lebih disukainya daripada kemalasan, niscaya ditinggalkannya kemalasan itu pada melayani kecintaannya. Kalau yang dicintainya itu lebih dicintainya daripada harta, niscaya ditinggalkannya harta pada mencintai yang dicintainya itu.
Ditanyakan kepada sebahagian orang-orang yang cinta dan ia telah memberikan diri dan hartanya, sehingga tidak tinggal lagi baginya sesuatu: “Apakah sebabnya keadaan engkau ini pada kecintaan ?”. Orang itu menjawab: “Aku mendengar pada suatu hari akan orang yang cinta dan ia bersunyi-sunyian dengan yang dicintainya. Ia berkata: “Demi Allah, aku cinta kepadamu dengan seluruh hatiku. Dan engkau berpaling daripadaku dengan seluruh wajahmu”. Yang dicintakan itu menjawab kepada yang cinta: “Jikalau benar engkau mencintai aku, maka apakah yang engkau belanjakan kepadaku ?”. Yang cinta itu menjawab: “Aku milikkan kepada engkau, akan apa yang aku miliki. Kemudian aku belanjakan kepada engkau nyawaku, sehingga ia binasa”. Maka aku mengatakan, bahwa ini makhluk bagi makhluk dan hamba bagi hamba. Maka bagaimanakah dengan hamba bagi Yang Disembahnya ? Maka semua ini dengan sebabnya. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah, bahwa: ada ia kasih-sayang kepada semua hamba Allah, penyayang kepada mereka, bersikap keras kepada semua musuh Allah dan kepada setiap orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Bersikap keras terhadap orang-orang yang tiada beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Ia tidak dipengaruhi oleh celaan orang yang suka mencela. Dan ia tidak dipalingkan oleh yang memalingkan dari kemarahan karena Allah. Dengan yang demikianlah disifatkan oleh Allah akan para waliNya. Karena Ia berfirman: “Mereka memberatkan dirinya dengan mencintaiKu, sebagaimana anak kecil memberatkan dirinya dengan sesuatu. Mereka duduk kepada mengingati Aku (berdzikir kepadaKu), sebagaimana burung elang duduk dalam sarangnya. Mereka marah bagi segala yang Aku haramkan, sebagaimana harimau marah apabila ia marah. Bahwa ia tidak perduli, sedikitnya manusia atau banyak”. Perhatikanlah kepada contoh ini ! bahwa anak kecil apabila diberatkan kepadanya dengan sesuatu, niscaya tidaklah sekali-kali ia berpisah dengan sesuatu itu. Dan kalau diambil sesuatu itu daripadanya, niscaya tidaklah baginya kesibukan, selain menangis dan berteriak, sehingga sesuatu itu dikembalikan kepadanya. Kalau ia tidur, niscaya diambilnya barang itu bersama dia dalam kainnya. Apabila ia bangun, niscaya ia kembali dan memegangnya. Manakala barang itu berpisah daripadanya, niscaya ia menangis. Dan manakala diperolehnya kembali, niscaya ia tertawa. Siapa yang bertengkar dengan dia mengenai barang itu, niscaya ia marah dan siapa yang memberikannya niscaya dicintainya. Adapun harimau, maka dia tidak menguasai dirinya ketika marah. Sehingga dari kesangatan marahnya itu, ia sampai kepada membinasakan dirinya sendiri. Inilah tanda cinta ! siapa yang sempurna padanya tanda-tanda ini, maka sempurnalah kecintaannya dan ikhlaslah cintanya. Maka bersihlah di akhirat minumannya dan sedaplah minumannya. Siapa yang bercampur dengan kecintaannya itu akan kecintaan kepada selain Allah, niscaya ia bernikmat-nikmatan di akhirat dengan kadar kecintaannya itu. Karena bercampur minumannya dengan kadar dari minuman orang-orang al-muqarrabin(orang-orang mendekatkan diri kepada Allah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang yang baik: “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan”. S 82 Al Infithaar ayat 13. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Mereka diberi minum dengan minuman yang dicap (ditutup). Capnya (tutupnya) ialah kasturi. Dan untuk ini hendaklah berlomba orang yang mau berlomba ! dan campurannya dari Tasnim (nama sebuah mata air di dalam sorga). Sebuah mata air, minuman dari orang-orang yang dekat (kepada Tuhan)”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 25-28. Bahwa baiknya minuman orang-orang yang baik itu, karena bercampurnya minuman yang semata-mata untuk orang-orang yang dekat kepada Tuhan. Minuman itu ibarat dari sejumlah nikmat sorga, sebagaimana kita diibaratkan dari semua amal perbuatan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kitab (buku) orang-orang yang baik itu (tersimpan) dalam ‘Illiyin (tempat yang tinggi atau mulia)”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 18. Kemudian Ia berfirman: “Disaksikan oleh mereka yang dekat (kepada Tuhan)”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 21. Maka adalah tanda tingginya kitab mereka itu bahwa meninggi kira-kira dapat disaksikan oleh orang-orang yang dekat kepada Tuhan (al-muqarrabun). Sebagaimana orang-orang yang baik itu memperoleh kelebihan dalam keadaan dan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka, dengan dekatnya mereka kepada orang-orang yang dekat kepada Tuhan dan penyaksian mereka akan orang-orang itu, maka seperti demikianlah adanya keadaan mereka di akhirat. Firman Allah Ta’ala: “Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja”. S 31 Lukman ayat 28. Firman Allah Ta’ala: “Sebagaimana Kami memulai penciptaan yang pertama dan akan Kami ulangi lagi seperti itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 104. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Hukuman yang sepadan (dengan dosanya)”. S 78 An Nabaa’’ ayat 26. Artinya: sesuai hukuman (balasan) dengan amal perbuatan mereka. Maka dibandingkan yang bersih dengan yang bening dari minuman. Dibandingkan yang bercampur dengan yang bercampur. Dan campuran setiap minuman atas kadar yang telah lalu dari campuran itu pada kecintaan dan amal perbuatannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7-8. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tiada merobah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”. S 13 Ar Ra’d ayat 11. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa Allah tidak hendak merugikan seseorang barang sebesar atom. Meskipun perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat-gandakan oleh Allah juga”. S 4 An Nisaa’ ayat 40. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau ada (usaha) sebesar biji sawi, Kami kemukakan juga dan cukuplah Kami membuat perhitungan”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 47. Siapa yang ada kecintaannya di dunia sekarang dan harapannya bagi kenikmatan sorga, bidadari dan istana besok di akhirat, niscaya memungkinkannya di sorga, untuk ia bertempat padanya, di mana yang dikehendakinya. Maka ia bermain-main bersama anak-anak muda dan ia bersenang-senang dengan wanita. Maka di sana berkesudahanlah kelezatannya di akhirat. Karena sesungguhnya diberikan kepada setiap insan pada kecintaan, akan apa yang dirindukan oleh nafsunya dan dirasakan enak oleh matanya. Siapa yang tujuan maksudnya yang empunya rumah dan yang memiliki kerajaan dan tiada mengeras kepadanya, selain kecintaannya dengan ikhlas dan benar, niscaya ia ditempatkan pada tempat duduk kebenaran pada Yang Empunya, Yang Berkuasa. Maka orang-orang yang baik itu bersuka-suka di taman-taman. Dan bernikmat-nikmat dalam sorga bersama bidadari dan anak-anak muda. Orang-orang yang dekat kepada Allah (al-muqarrabun) selalu di ajaibkan Nya, menetap mata mereka kepadaNya. Mereka memandang kecil akan nikmat sorga, dengan dibandingkan kepada seatom daripadanya. Maka suatu kaum dengan menunaikan nafsu keinginan perut dan kemaluan itu menjadi sibuk. Dan untuk duduk-duduk itu mempunyai kaum-kaum yang lain.
Karena itulah Rasulullah saw bersabda: “Kebanyakan penduduk sorga itu orang-orang yang bodoh dan berkedudukan tinggi (‘Illiyyun) bagi orang-orang yang berakal”. Tatkala singkatlah paham daripada mengetahui makna ‘illiyyun, niscaya besarlah urusannya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Apakah engkau tahu: apakah ‘illiyyun itu ?”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 19. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Peristiwa besar ! apakah itu peristiwa besar ? Dan apakah yang menyebabkan engkau mengerti, apa peristiwa besar itu ?”. S 101 Al Qaari’ah ayat 1-2-3. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah, ialah, bahwa: adalah ia pada kecintaannya itu orang yang takut yang melemah, di bawah kehebatan dan pengagungan. Kadang-kadang disangkakan bahwa takut itu berlawanan dengan cinta. Dan tidaklah seperti yang demikian. Akan tetapi, mengetahui keagungan itu mengharuskan kehebatan. Sebagaimana mengetahui kecantikan mengharuskan kecintaan. Bagi pecinta-pecinta khusus mempunyai ketakutan-ketakutan pada tempat kecintaan, yang tidak ada bagi selain mereka. Sebahagian ketakutan mereka lebih keras dari sebahagian yang lain. Yang pertama, ialah ketakutan dari berpaling. Yang lebih keras daripadanya, ialah ketakutan dari terdinding. Dan yang lebih keras dari itu lagi, ialah ketakutan dijauhkan. Dan makna ini ialah pada surat Hud, yang menjadikan tua penghulu dari semua yang mencintai Tuhan. Karena ia mendengar firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, jauhlah Tsamud itu !”. S 11 Huud ayat 68. Dan: “Ingatlah, binasalah Madyan, sebagaimana Tsamud telah binasa”. S 11 Huud ayat 95. Sesungguhnya sangatlah takutnya jauh dan takutnya pada hati orang yang menyukai dekat, merasakan dan senang dengan kedekatan itu. Pembicaraan tentang jauh pada pihak orang-orang yang menjauhkan itu, oleh karena mendengarnya menjadikan tua orang-orang yang suka pada kedekatan. Tidak ingin kepada kedekatan, orang yang menyukai kejauhan. Dan tidak menangis karena takutnya jauh, orang yang tidak mungkin kepada permadani kedekatan. Kemudian, takutnya berhenti dan tercabutnya kelebihan, maka sesungguhnya telah kami terangkan dahulu bahwa derajat-derajat kedekatan itu, tiada kesudahan. Dan hak hamba itu bahwa ia bersungguh-sungguh pada setiap nafasnya, sehingga ia bertambah kedekatan padanya. Karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa bersamaan dua harinya, maka dia itu tertipu. Dan barangsiapa yang ada harinya itu lebih buruk dari kemarinnya, maka dia itu terkutuk”. Seperti demikian juga sabda Nabi saw: “Bahwa sesungguhnya tertutup dengan nafsu atas hatiku pada siang dan malam, sehingga aku meminta ampun (mengucapkan istighfar) kepada Allah 70 kali”. Bahwa adalah istighfarnya Nabi saw itu dari langkah pertama. Adalah itu jauh dibandingkan kepada langkah kedua. Dan adalah yang demikian itu siksaan bagi mereka di atas kelesuan pada jalan dan berpaling kepada yang tidak dicintai. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa sekurang-kurangnya apa yang Aku perbuat dengan orang yang berilmu, apabila ia mengutamakan keinginan duniawi dari ketaatan kepadaKu, bahwa Aku cabut daripadanya akan kelezatan  membisikkan segala isi hati dengan Aku”. Mencabut kelebihan dengan sebab nafsu keinginan itu siksaan bagi umumnya manusia.
Adapun orang-orang tertentu, maka mereka dihijabkan dan kelebihan oleh semata-mata dakwaan, keheranan kepada diri sendiri dan kecenderungan kepada apa yang lahir dari pokok-pokok kelemah-lembutan. Dan yang demikian itu adalah rencana yang tersembunyi yang tidak mampu menjaga daripadanya, selain orang-orang yang mempunyai tapak kaki yang teguh. Kemudian, yang lebih keras dari itu lagi, ialah takut hilangnya apa yang tidak akan diperoleh sesudah hilangnya. Ibrahim bin Adham mendengar orang bermadah dan dia dalam pengembaraannya dan berada di atas sebuah bukit:
Setiap suatu itu,
diampunkan daripada kamu.
Selain berpalingnya kamu,
daripada kami........
Telah kami berikan kepada kamu,
apa yang telah hilang.
Maka berilah kamu,
apa yang dari kami telah hilang.
Maka Ibrahim bin Adham menggeletar dan pingsan. Ia tidak sembuh dari pingsannya sehari semalam. Dan datang kepadanya beberapa keadaan. Kemudian, ia berkata: “Aku mendengar panggilan dari bukit: “Hai Ibrahim ! jadilah engkau ini hamba ! maka adalah engkau itu hamba dan beristirahatlah”. Kemudian, yang lebih berat dari itu lagi, ialah takut menyimpang daripadanya. Bahwa orang yang bercinta itu selalu diliputi oleh kerinduan dan kecarian yang segera. Ia tidak lesu dari mencari ketambahan. Dan ia tidak terhibur, selain dengan kelemah-lembutan yang baru. Kalau ia menyimpang dari yang demikian, niscaya adalah yang demikian itu sebab terhentinya atau sebab kekembaliannya. Dan keterhiburan itu masuk kepadanya, dari pihak yang tidak dirasakannya. Sebagaimana, kadang-kadang masuk kepadanya cinta, dari pihak yang tidak dirasakannya. Bahwa perobahan-perobahan ini mempunyai sebab-sebab yang tersembunyi, yang samawi (yang datang dari Atas), yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan manusia kepadanya. Apabila Allah Ta’ala menghendaki suatu rencana dan terangsur ke arah kebinasaan (istidraj) padanya, niscaya disembunyikan daripadanya apa yang datang kepadanya dari keterhiburan. Lalu ia berhenti serta harapan dan ia tertipu dengan baik pandangan. Atau dengan kerasnya kelalaian atau hawa nafsu atau kelupaan. Maka semua yang demikian itu dari tentara setan, yang memenangi atas tentara malaikat, dari: ilmu, akal, dzikir dan penjelasan. Dan sebagaimana dari sifat-sifaft Allah Ta’ala itu apa yang tampak, lalu menghendaki bergolaknya cinta, yaitu: sifat-sifat kelemah-lembutan, rahmat dan hikmat, maka diantara sifat-sifatNya itu apa yang terisyarahkan. Lalu mewariskan keterhiburan, seperti sifat-sifat: jabariyah (keperkasaan), kemuliaan dan tidak memerlukan kepada sesuatu (istighna’). Dan yang demikian itu termasuk sebahagian daripada pendahuluan (mukaddimah) rencana, kesengsaraan hidup dan tidak memperoleh apa-apa (al-hirman).
Kemudian, yang lebih berat dari itu lagi, ialah takut pergantian, dengan perpindahan hati dari cinta kepadaNya, kepada cinta lainNya. Yang demikian itu adalah kutukan. Dan menyimpang daripadanya itu pendahuluan tingkat ini. Berpaling dan hijab itu pendahuluan penyimpangan. Sempitnya dada dengan kebajikan, tergulungnya dada dari berterusan dzikir dan malasnya bagi tugas-tugas wirid ibadah itu adalah sebab-sebab makna ini dan pendahuluan-pendahuluan nya. Lahirnya sebab-sebab ini adalah petunjuk kepada berpindahnya dari derajat cinta kepada derajat terkutuk. Kita berlindung dengan Allah daripadanya. Berkeadaan selalu takut bagi hal keadaan ini dan bersangatan menjaga daripadanya dengan kebersihan muraqabah (takut kepada Allah) itu adalah dalil kepada benarnya cinta. Bahwa siapa yang mencintai sesuatu, niscaya sudah pasti ia takut kepada hilangnya. Maka tidak terlepaslah orang yang bercinta itu dari ketakutan, apabila adalah yang dicintainya itu termasuk dari yang mungkin hilangnya. Sebahagian orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu berkata: “Siapa yang menyembah Allah Ta’ala dengan semata-mata cinta, tanpa takut, niscaya ia binasa dengan sukacita dan tiada sopan. Siapa yang menyembah Allah dari jalan takut, tanpa cinta, niscaya ia terputus daripadaNya dengan kejauhan dan keliaran hati. Dan siapa yang menyembahNya dari jalan cinta dan takut, niscaya ia dicintai oleh Allah Ta’ala. Maka di dekatkannya, ditetapkannya dan dianugerahinya ilmu”.
Orang yang bercinta itu tiada terlepas dari ketakutan. Dan orang yang takut itu tiada terlepas dari kecintaan. Akan tetapi, orang yang keras kepadanya kecintaan, sehingga ia meluas padanya dan tak ada baginya ketakutan, selain sedikit, maka dikatakan: orang itu pada tingkat kecintaan. Ia terhitung dari orang-orang yang bercinta. Dan adalah campuran ketakutan itu menentramkan sedikit dari kemabukan cinta. Kalau keraslah cinta dan berkuasalah ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya tidak ada bagi yang demikian itu kesanggupan manusia. Bahwa takut itu mengimbanginya dan meringankan kesannya kepada hati.
Diriwayatkan pada sebahagian berita, bahwa sebahagian orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin) itu diminta oleh sebahagian para wali, supaya meminta pada Allah Ta’ala bahwa Allah Ta’ala memberi rezeki kepadanya seatom dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)Nya. Lalu orang shiddiq itu berbuat yang demikian. Ia berjalan tanpa tujuan di bukit-bukit. Akalnya heran, hatinya bimbang dan ia tinggal berbentuk rupa orang, 7 hari. Ia tidak mengambil manfaat dengan sesuatu dan sesuatupun tiada mengambil manfaat dengan dia. Orang shiddiq itu meminta pada Tuhannya Yang Maha Tinggi untuk wali itu. Ia berdoa: “Hai Tuhanku ! kurangilah padanya dari atom itu sebahagiannya !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Sesungguhnya Aku berikan kepadanya sebahagian dari 100 ribu bahagian dari atom, dari ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Yang demikian itu, bahwa 100 ribu hamba meminta padaKu akan sesuatu dari kecintaan, pada waktu yang dimintakan padaKu oleh si ini. Maka Aku kemudiankan mengabulkan doa mereka, sampai engkau berbuat syafaat kepada si ini. Maka tatkala Aku mengabulkan doa engkau, pada apa yang engkau minta, niscaya Aku berikan kepada mereka, sebagaimana Aku berikan kepadanya. Maka Aku bagikan atom dari ilmu mengenal Allah Ta’alaitu diantara 100 ribu hamba. Maka inilah yang diperolehnya dari yang demikian itu”. Orang shiddiq itu menjawab: “Maha Suci Engkau, hai Yang Maha menghukum dari orang-orang yang menjadi hakim ! Engkau kurangkan padanya, dari apa yang Engkau berikan kepadanya”. Maka dihilangkan oleh Allah daripadanya sejumlah bahagian. Dan tinggal padanya 1/10 dari persepuluhnya. Yaitu sebahagian dari 10 ribu bahagian dari 100 ribu bahagian dari atom. Maka seimbanglah ketakutannya, kecintaannya dan harapannya. Ia tenang dan jadi seperti orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) lainnya. Orang bermadah pada menyifatkan hal orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu:
Dekat perasaan, mempunyai tujuan yang jauh,
dari orang-orang yang merdeka dan budak dari mereka.
Ganjil sifat, mempunyai ilmu yang luar biasa,
seakan-akan hatinya itu sekerat besi.
Sungguh mulia pengertian-pengertiannya,
dan terangkat dari penglihatan, selain bagi orang syahid.
Ia melihat hari-hari raya dalam segala waktu,
yang berlaku baginya pada setiap hari, 1000 hari raya.
Bagi orang-orang yang dicintakan,
kegembiraan dengan hari raya.
Dan tiada memperoleh kegembiraan,
orang yang jauh baginya.
Adalah Al-Junaid ra berpantun dengan beberapa bait, yang diisyarahkannya kepada rahasia-rahasia keadaan orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Walaupun yang demikian itu tidak boleh dilahirkan. Inilah bait-bait itu:
Gembiralah hati mereka, dengan manusia,
pada keadaan yang tidak kelihatan.
Lalu mereka bertempat dengan dekatnya,
kepada Yang Mulia, Yang Mempunyai banyak kelebihan.
Halaman rumah dengan dekatnya Allah,
dalam naungan ke-QudusanNya.
Arwah mereka berkeliling padanya,
dan berpindah-pindah.
Kedatangan mereka padanya,
di atas kemuliaan dan akal pikiran.
Sumber mereka daripadanya,
untuk yang lebih mempunyai kesempurnaan.
Ia berjalan dengan kemuliaan,
yang tunggal dari sifat-sifatnya.
Dan dalam pakaian kekeesaanan,
ia berjalan dan merasa bangga.
Dan dari sesudah ini,
tidaklah menghalus sifat-sifatnya.
Dan apa yang ia sembunyi,
adalah lebih utama dan seimbang padanya.
Akan aku sembunyikan dari ilmuku,
apa yang memeliharakan.
Aku berikan daripadanya itu,
apa yang aku lihat berhak untuk diberikan.
Aku berikan kepada hamba-hamba Allah,
akan hak mereka daripadanya.
Dan daripadanya itu aku cegah,
apa yang aku lihat pencegahan itu lebih utama.
Bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah,
mempunyai rahasia yang dipeliharakanNya,
kepada yang empunyanya itu dalam rahasia.
Dan memeliharakannya itu lebih indahnya.
Contoh-contoh seperti ma’rifah-ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) ini, yang kepadanya diisyaratkan itu, tidak boleh bersekutu manusia padanya. Dan tidak boleh dilahirkan oleh orang, yang tersingkap baginya sesuatu dari yang demikian, kepada orang yang tidak disingkapkan baginya. Akan tetapi, jikalau bersekutulah manusia padanya, niscaya robohlah dunia. Maka hikmah itu menghendaki kelengkapan kelalaian bagi pembangunan dunia. Akan tetapi, jikalau semua manusia itu memakan yang halal selama 40 hari, niscaya robohlah dunia, karena zuhudnya mereka padanya. Dan terhentilah pasar-pasar dan penghidupan. Akan tetapi, jikalau ulama itu memakan yang halal, niscaya sibuklah mereka dengan diri mereka itu sendiri. Dan terhentilah lidah dan pena dari kebanyakan apa yang berkembang dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi, bagi Allah Ta’ala pada yang buruk pada zahiriyahnya itu, mempunyai rahasia dan hikmah. Sebagaimana bagiNya pada kebajikan itu mempunyai rahasia dan hikmah. Dan tiada berkesudahan bagi hikmahNya, sebagaimana tiada berpenghabisan bagi qudrah (kuasa)Nya. Diantara tanda-tanda kecintaan hamba kepada Allah itu, ialah menyembunyikan cinta, menjauhkan dakwaan, menjaga diri daripada melahirkan perasaan dan kecintaan, karena membesarkan dan memuliakan Yang Dicintai, takut kepadaNya dan cemburu kepada rahasiaNya. Bahwa cinta itu salah satu dari rahasia yang dicintai. Karena, kadang-kadang masuk dalam dakwaan itu, apa yang melampaui batas arti dan melebihi daripadanya. Maka adalah yang demikian itu, termasuk daripada pengada-adaan dan membesarkan siksaan kepadanya pada hari kemudian. Dan menyegerakan bencana kepadanya di dunia. Benar, kadang-kadang ada bagi yang bercinta itu kemabukan pada kecintaannya. Sehingga ia menjadi dahsyat padanya dan kacau hal keadaannya. Maka lahirlah kepadanya kecintaannya. Jikalau terjadi yang demikian, tanpa memberatkan atau usaha, maka itu dimaafkan. Karena dia itu terpaksa. Kadang-kadang menyala dari kecintaannya itu apinya. Maka tiada disanggupkan menguasainya. Kadang-kadang membanjir hati kepadanya, lalu tidak tertolak kebanjirannya. Maka orang yang sanggup kepada menyembunyikan itu mengatakan:
Mereka mengatakan: dekat,
maka tidaklah aku itu yang membuat,
mendekatkan cahaya matahari,
jikalau ada dia dalam pangkuanku.
Maka tidaklah bagiku daripadanya,
selain ingatan dengan gurisan hati,
yang menggerakkan api kecintaan,
dan kerinduan dalam dadaku.
Orang yang lemah pada menyembunyikan itu mengatakan:
Ia menyembunyikan,
maka air mata melahirkan rahasia-rahasianya,
Dan lahirlah perasaan,
di atasnya nafsu dirinya.
Ia mengatakan pula:
Orang yang hatinya serta orang lain,
maka bagaimana keadaannya ?
Dan orang yang rahasianya dalam pelupuk matanya,
maka bagaimana ia menyembunyikannya ?
Sebahagian orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) berkata: “Manusia yang terjauh daripada Allah itu, ialah mereka yang terbanyak isyaratnya kepada Allah”. Seakan-akan yang berkata itu menghendaki, bahwa orang yang banyak menyinggung dengan Allah pada setiap sesuatu dan melahirkan berbuat-buat dengan menyebutkanNya pada setiap orang, maka dia itu terkutuk pada orang-orang yang mencintaiNya dan orang-orang yang mengetahui dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Dzun Nun Al-Mishri masuk ke tempat sebahagian temannya, dari orang yang menyebutkan kecintaan. Lalu beliau melihat temannya itu mendapat suatu percobaan (bencana). Maka beliau berkata: “Tiada cinta kepadaNya, orang yang mendapati kepedihan kemelaratannya”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Akan tetapi, aku mengatakan: “Tiada cinta kepadaNya, orang yang tiada bernikmat-nikmatan dengan kemelaratannya”. Dzun Nun lalu berkata: “Akan tetapi, aku mengatakan: tiada cinta kepadaNya, orang yang memasyhurkan dirinya dengan mencintaiNya”. Laki-laki itu maka menjawab: “Aku meminta ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepadaNya”. Jikalau anda mengatakan, bahwa cinta itu tingkat yang penghabisan dan melahirkannya itu melahirkan kebajikan, maka mengapakah dilarang melahirkannya ? Ketahuilah, bahwa cinta itu terpuji. Dan melahirkannya juga terpuji. Bahwa yang tercela, ialah berbuat-buat melahirkannya. Karena masuk padanya, dari dakwaan dan kesombongan. Bahwa hak orang yang mencintai itu sempurna atas kecintaannya yang tersembunyi segala perbuatan dan hal keadaannya. Tidak perkataan dan perbuatannya. Dan seyogyalah bahwa lahir kecintaannya itu, tanpa maksud daripadanya kepada melahirkan cinta. Dan tidak kepada melahirkan perbuatan yang menunjukkan kepada cinta. Akan tetapi, seyogyalah bahwa maksud yang mencintai itu menengok yang dicintainya saja.
Adapun kehendaknya akan menengok orang yang lain, maka itu kesekutuan pada cinta dan tercela, sebagaimana tersebut dalam Injil: “Apabila engkau bersedekah, maka bersedekahlah, di mana tidak diketahui oleh tangan kirimu, akan apa yang diperbuat oleh tangan kananmu. Maka yang melihat segala yang tersembunyi itu memadai bagi engkau akan yang terang saja. Apabila engkau berpuasa, maka basuhlah muka engkau dan minyakkanlah akan kepala engkau. Supaya tidak diketahui dengan yang demikian itu, selain oleh Tuhan engkau”.
Maka melahirkan perkataan dan perbuatan, semuanya itu tercela. Kecuali apabila mengeraslah kemabukan cinta. Lalu terlepaslah lidah dan bergoncanglah anggota-anggota badan. Maka tidaklah tercela orang yang berkeadaan yang demikian.
Diceritakan, bahwa seorang laki-laki melihat dari sebahagian orang gila, apa yang tidak diketahuinya. Lalu ia menceritakan yang demikian itu kepada Ma’ruf Al-Karkhi ra. Maka beliau tersenyum, kemudian berkata: “Hai saudaraku ! dia mempunyai orang-orang yang mencintainya, yang kecil dan yang besar, yang berakal dan yang gila. Maka ini yang engkau lihat, adalah dari orang-orang gila mereka”. Diantara yang memakruhkan melahirkan kecintaan, disebabkan bahwa yang bercinta itu, jikalau dia orang yang arif dan mengetahui akan hal-ihwal malaikat, tentang kecintaan mereka yang berkekalan dan kerinduan mereka yang terus-menerus, yang dengan demikian itu, mereka mengucapkan tasbih malam dan siang, yang tidak lesu-lesunya dan tidak mendurhakai akan Allah, tentang apa yang disuruhNya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang disuruh, niscaya ia mencegah kesombongan dirinya dan dari melahirkan kecintaannya. Dan ia tahu dengan pasti, bahwa melahirkan itu termasuk orang yang bercinta yang terkeji dalam kerajaannya. Dan bahwa kecintaannya itu yang terkurang dari kecintaan setiap orang yang mencintai Allah.
Sebahagian orang yang memperoleh kasyaf (tersingkap hijab) dari orang-orang yang bercinta itu berkata: “Aku beribadah kepada Allah Ta’ala selama 30 tahun dengan amal perbuatan hati dan anggota badan, dengan memberikan tenaga dan mengosongkan tenaga. Sehingga aku menyangka, bahwa aku mempunyai sesuatu pada Allah”. Lalu disebutkannya beberapa perkara dari diminta untuk mengetahuinya saja tanda-tanda langit dalam suatu kisah yang panjang. Ia mengatakan pada akhir kisah itu: “Maka aku sampai kepada suatu baris (shaf) dari para malaikat, dengan bilangan semua apa yang diciptakan oleh Allah, dari sesuatu. Lalu aku bertanya: “Siapa kamu ?”. Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Kami beribadah kepadaNya di sini semenjak 300 ribu tahun. Tiada terguris di hati kami sekali-kali, selain dari Dia. Dan tiada kami sebutkan (berdzikir) selain Dia”. Yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab)  itu berkata: “Maka aku malu dari amal perbuatanku. Lalu aku berikan dia kepada orang yang berhak kepadanya janji azab, untuk meringankan daripadanya dalam neraka Jahannam”. Jadi, siapa yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya dan ia malu dari yang demikian, dengan malu yang sebenar-benarnya, niscaya kelulah lisannya daripada melahirkan dengan dakwaan yang bukan-bukan. Ya, disaksikan atas kecintaannya itu oleh gerak-geriknya, ketenangannya, majunya, mundurnya dan pulang perginya.
Sebagaimana diceritakan dari Al-Juniad, bahwa ia berkata: “Telah sakit guruku As-Sirri ra. Maka kami tiada mengetahui bagi penyakitnya itu obat. Dan tiada kami mengetahui akan sebabnya. Lalu disifatkan kepada kami akan keadaan seorang tabib yang pandai. Maka kami bawa kepada tabib itu botol airnya. Lalu tabib memandang kepada botol itu. Dan ia memandang kepadanya dengan lama-lama. Kemudian, tabib itu berkata kepadaku: “Aku melihatnya kencing orang yang asyik”. Al-Junaid berkata: “Maka aku gemetar dan pingsan. Botol itu jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali kepada As-Sirri. Lalu menceritakan kepadanya. Ia tersenyum, kemudian berkata: “Ia diperang oleh Allah akan apa yang dilihatnya”. Aku bertanya: “Hai guruku ! dan engkau terangkan kecintaan itu dalam kencing ?”. Beliau menjawab: “Ya !”. Suatu kali As-Sirri berkata: “Jikalau aku kehendaki, aku akan berkata: tiada aku keringkan kulitku atas tulangku. Tiada tercabut tubuhku, selain untuk mencintaiNya”. Kemudian, ia pingsan. Kepingsanan itu menunjukkan, bahwa itu lebih menerangkan pada kerasnya perasaan dan pendahuluan bagi kepingsanan. Maka inilah kumpulan tanda-tanda cinta dan buahnya. Diantaranya kejinakan hati dan ridha, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Kesimpulannya, semua kebagusan agama dan kemuliaan budi pekerti itu buah cinta. Apa yang tidak dibuahkan oleh kecintaan itu, maka itu mengikuti hawa nafsu. Dan itu termasuk budi pekerti yang rendah. Kadang-kadang, ya, ia mencintai Allah, karena ihsan (perbuatan baik) Nya kepadanya. Dan kadang-kadang ia mencintaiNya karena keagungan dan keelokanNya, walaupun Ia tidak berbuat ihsan (perbuatan baik)  kepadanya. Dan orang-orang yang bercinta itu tidak akan keluar dari dua bahagian ini. Karena itulah, Al-Junaid berkata: “Manusia pada mencintai Allah Ta’ala itu bersifat awam dan khusus. Maka orang yang awam, mereka memperoleh yang demikian, dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala mereka pada berkekalan ihsan (perbuatan baik) Nya dan banyak nikmat-nikmatNya. Maka mereka tiada menahan diri bahwa meridhainya, selain bahwa menyedikitlah kecintaan mereka dan membanyak di atas kadar nikmat dan ihsan (perbuatan baik) .
Adapun orang-orang khusus, maka mereka mencapai kecintaan dengan besarnya kadar, kudrah, ilmu, hikmah dan manunggal dengan kemilikan. Manakala mereka telah mengetahui akan sifat-sifatNya yang sempurna dan nama-namaNya yang bagus (al-asmaul-husna), niscaya mereka tiada mencegah bahwa mencintaiNya. Karena berhaklah pada mereka akan kecintaan dengan yang demikian. Karena Ia berhak bagi kecintaan dan walaupun dihilangkanNya dari mereka itu semua nikmat. Ya, diantara manusia itu ada orang yang mencintai hawa nafsunya dan musuh Allah, yaitu: Iblis. Dan serta yang demikian itu, dia meragukan atas dirinya dengan hukum tertipu dan bodoh. Lalu ia menyangka, bahwa ia mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Dialah orang yang telah hilang padanya tanda-tanda itu. Atau diragukannya secara munafik, ria dan dingin didengar orang. Dan maksudnya itu segera memperoleh keuntungan duniawi. Dan ia melahirkan dari dirinya akan kebalikan yang demikian. Seperti ulama-ulama jahat dan qari-qari jahat. Mereka itu orang-orang yang dimarahi oleh Allah di bumiNya. Adalah Sahal apabila bercakap-cakap dengan seorang manusia, mengatakan: “Ya daust (Hai yang dikasihi) !”. Lalu dikatakan kepadanya: “Kadang-kadang orang itu tidak dikasihi. Maka bagaimanakah engkau mengatakan itu ?”. Ia lalu menjawab: “Pada telinga yang mengatakan itu sebagai rahasia. Ia tidak terlepas, adakalanya bahwa dia itu orang mu’min atau orang munafik. Kalau dia itu mu’min, maka dia itu kekasih Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau ia munafik, maka dia itu kekasih Iblis”. Abu Turab An-Nakh-shabi mengucapkan beberapa bait syair tentang tanda-tanda cinta:
Janganlah engkau tertipu,
bagi yang dikasihi itu mempunyai tanda-tanda.
Padanya dari hadiah kekasih itu,
ada perantara-perantara.
Diantaranya kenikmatannya itu,
dengan berlalunya percobaannya.
Dan kegembiraannya itu,
pada setiap apa yang ia memperbuatnya.
Pencegahan daripadanya itu,
adalah pemberian yang diterima.
Dan kemiskinan itu,
adalah kemurahan dan kebajikan yang segera.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihat dari azamnya,
akan kepatuhan kekasih itu,
walaupun bersungguh-sungguh pencelanya.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat dengan tersenyum.
Dan hatinya padanya itu,
burung layang-layang dari kekasih.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat memahamkan,
perkataan orang itu,
yang padanya penanya diuntungkan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa ia terlihat hidup dalam kesusahan,
yang memelihara dari setiap itu,
apa yang dia itu mengatakan.
Yahya bin Ma’adz bermadah:
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya berlalu cepat,
dalam dua potong pakaian itu,
pada pantai-pantai bagian darat.
Diantara dalil-dalilnya itu,
kesedihan dan ratapannya,
pada tengah kegelapan itu.
Maka tak ada baginya yang mencelanya.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya berjalan jauh,
ke arah perjuangan itu,
dan setiap perbuatan yang tangguh.
Diantara dalil-dalilnya itu,
zuhudnya pada yang kelihatan,
dari rumah yang hina itu,
dan kenikmatan yang hilang.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya dalam ketangisan.
Bahwa melihatnya itu,
dalam buruk keadaan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya menyerahkan,
setiap urusan itu,
kepada Raja yang penuh dengan keadilan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
bahwa engkau melihatnya dalam keadaan yang senang,
dengan Rajanya itu,
pada setiap hukum yang diturunkan.
Diantara dalil-dalilnya itu,
tertawanya diantara manusia.
Hatinya dalam kesedihan,
seperti hati orang yang kematian.
PENJELASAN: makna kejinakan hati dengan Allah Ta’ala.
Telah kami sebutkan dahulu, bahwa kejinakan hati, takut dan rindu itu adalah sebahagian dari bekas-bekas cinta. Hanya, bahwa ini adalah bekas-bekas yang bermaca-macam, yang berbeda atas yang bercinta itu menurut pandanganya dan apa yang mengerasinya pada waktunya itu. Apabila telah mengeras kepadanya penengokan dari belakang hijab keghaiban kepada kesudahan keelokan dan merasa kesingkatannya daripada penengokan kepada hakikat/makna keagungan, niscaya membangkitlah hati kepada mencari, terkejut dan berkobar kepadanya.
Hal keadaan ini pada keterkejutan, dinamakan: rindu. Dan itu dengan dikaitkan kepada urusan ghaib. Apabila telah mengeras kepadanya kegembiraan dengan kedekatan dan penyaksian kehadiran dengan apa yang diperoleh dari al-kasyaf (penyingkapan hijab) dan adalah pandangannya terbatas kepada penyaksian keelokan yang hadir, yang tersingkap, tiada menoleh kepada apa yang tiada diketahuinya kemudian, niscaya bergembiralah hati dengan apa yang diperhatikannya. Maka dinamakanlah kegembiraan hati ini dengan: kejinakan hati. Kalau ada pandangannya itu kepada sifat-sifat kemuliaan, sifat istighna’ (sifat tidak memerlukan kepada sesuatu), tiada memperdulikan dan sifat gurisan dihati akan kemungkinan hilang dan jauh, niscaya merasa sakitlah hati dengan perasaan ini. Maka perasaan menyakitkan hati itu, dinamakan: takut. Hal-ihwal ini mengikuti akan perhatian-perhatian tersebut. Dan perhatian-perhatian itu mengikuti sebab-sebab yang dikehendakinya, yang tidak mungkin dihinggakan banyaknya. Maka kejinakan hati itu artinya, ialah: kegembiraan dan kesukaan hati dengan menyaksikan keelokan. Sehingga apabila telah mengeras dan terlepas daripada memperhatikan apa yang ghaib daripadanya dan apa yang berjalan kepadanya, daripada bahaya kehilangan, niscaya besarlah nikmatnya dan lezatnya. Dan dari sini, dipandang oleh sebahagian mereka, di mana dikatakan kepadanya: “Engkau itu dirindukan ?’. Maka ia menjawab: “Tidak !”. Bahwa kerinduan itu kepada yang ghaib. Maka apabila yang ghaib itu telah hadir, maka kepada siapa dirindukan ? Inilah pembicaraan yang dihabisi dengan kegembiraan dengan apa yang diperolehnya. Tiada menoleh kepada apa yang masih ada, pada kemungkinan dari kelebihan kelemah-lembutan. Siapa yang mengeras atasnya, hal kejinakan hati, niscaya tidaklah keinginannya itu, selain pada sendirian dan kesepian.
Sebagaimana diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham turun dari gunung, lalu ditanyakan kepadanya: “Dari mana engkau datang ?”. Beliau lalu menjawab: “Dari kejinakan hati dengan Allah”. Yang demikian itu, karena kejinakan hati dengan Allah itu, mengharuskan dia selalu berliar hati dengan selain Allah. Bahkan, setiap apa yang menghalangi dari al-khilwah (menyendiri). Maka adalah yang demikian itu yang terberat dari segala sesuatu atas hati. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Musa as tatkala Tuhan berkalam (berkata-kata) dengan dia, maka ia berhenti pada suatu masa, dimana ia tidak mendengar perkataan seorangpun dari manusia, melainkan ia jatuh pingsan. Karena cinta itu mengharuskan kemanisan perkataan yang dicintai dan kemanisan menyebutkannya. Maka keluarlah dari hati, kemanisan yang lain dari yang dicintai. Karena itulah, diucapkan oleh sebahagian ahli hikmah (al-hukama’) dalam doanya: “Hai Yang Menjinakkan hatiku dengan menyebutkanNya. Dan meliarkan hatiku daripada makhlukNya”. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada nabi Daud as: “Adalah engkau bagiKu itu dirindukan. Dengan Aku dijinakkan hati dan dengan selain Aku diliarkan hati”.
Ditanyakan kepada Rabi’ah Al-‘Adawiyah: “Dengan apa engkau capai kedudukan ini ?”. Rabi’ah menjawab: “Dengan aku tinggalkan, apa yang tidak penting bagiku. Dan kejinakan hatiku dengan Tuhan Yang Maha-senantiasa”.
Abdul-wahid bin Zaid berkata: “Aku berjalan dengan seorang pendeta, lalu aku bertanya kepadanya: “Hai pendeta ! sungguh menakjubkan engkau oleh seorang diri ?”. Pendeta itu menjawab: “Hai saudara ! jikalau engkau merasakan kemanisan seorang diri, niscaya engkau merasa keliaran hati untuk sindiran itu dari diri engkau sendiri. Seorang diri itu kepala ibadah”. Aku lalu bertanya: “Hai pendeta ! apakah yang sekurang-kurangnya yang engkau dapati pada seorang diri itu ?”. Pendeta itu menjawab: “Kesenangan dari berkelilingnya manusia dan keselamatan dari kejahatan mereka”. Aku bertanya lagi: “Hai pendeta ! kapankah hamba itu merasakan kemanisan kejinakan hati dengan Allah Ta’ala ?”. Ia menjawab: “Apabila bersihlah kasih-sayang dan ikhlaslah pergaulan”. Aku lalu bertanya: “Kapankah bersihnya kasih-sayang ?”. Ia menjawab: “Apabila telah berkumpul cita-cita. Lalu menjadi satu cita-cita pada ketaatan”.
Sebahagian hukama’ berkata: “Suatu keajaiban bagi makhluk, bagaimana mereka menghendaki ganti dan Engkau ? suatu keajaiban bagi hati, bagaimana hati itu jinak dengan selain Engkau, daripada Engkau ?”. Kalau anda bertanya: “Apakah tanda kejinakan hati itu ? maka ketahuilah, bahwa tandanya yang khas, ialah: sempitnya dada daripada bergaul dengan makhluk, merasa gelisah dengan mereka dan membuta-tuli dengan kemanisan sebutan. Kalau ia bercampur-baur, maka dia itu seperti seorang diri dalam jama’ah ramai, berkumpul dalam kesepian, asing di kampung sendiri, merasa di kampung sendiri dalam bermusafir, merasa hadir dalam ketiadaan hadir, merasa ketiadaan hadir dalam kehadiran, bercampur-baur dengan badan, merasa sendirian dengan hati, yang menghabiskan dengan kemanisan sebutan.
Sebagaimana Ali ra mengatakannya pada menyifatkan mereka: “Mereka itu suatu kaum, yang diserang mereka oleh ilmu atas hakikat/makna pekerjaan. Lalu mereka mengurusnya dengan jiwa keyakinan. Mereka merasakan lembut, akan apa yang dirasakan lekak-lekuk oleh orang-orang yang berbuat kerusakan. Mereka berjinakan hati dengan apa yang dirasakan liar hati oleh orang-orang bodoh. Mereka menyertai dunia dengan tubuh dan nyawanya tergantung dengan tempat yang tertinggi. Mereka itulah khalifah Allah di bumiNya dan yang berdakwah kepada agamaNya. Inilah makna kejinakan hati dengan Allah. Inilah tandanya. Dan inilah penyaksi-penyaksinya ! Sebahagian ulama ilmu kalam (al-Mutakallim/Yang Berkata-kata) beraliran kepada: mengingkari kejinakan hati, rindu dan cintai. Karena disangkakannya, bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada at-tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Dan karena bodohnya, bahwa keelokan yang diperolehnya dengan matahati itu lebih sempurna daripada keelokan diperoleh mata-kepala. Dan kelezatan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya lebih keras kepada orang-orang yang mempunyai hati. Diantara mereka itu, ialah: Ahmad bin Ghalib, yang dikenal dengan pelayan Al-Khalil bin Ahmad seorang ulama nahwu. Ahmad bin Ghalib itu menantang Al-Junaid, Abil-Hasan An-Nuri dan sejama’ah orang banyak, tentang hadits cinta, rindu dan asyik. Sehingga sebahagian mereka itu mengingkari akan tingkar ridha. Ia mengatakan: tidak ada, selain sabar. Adapun ridha itu maka tidaklah dapat digambarkan. Semua itu adalah perkataan yang kurang, lagi singkat, yang tidak menampak dari derajat-derajat agama, selain di atas kulitnya saja. Lalu disangka, bahwa tidak ada, selain untuk kulit. Bahwa segala yang dirasakan dengan pancaindra dan setiap apa yang masuk dalam khayalan dari jalan agama itu kulit semata. Dan di belakangnya itu isi yang dicari. Maka orang yang tiada sampai dari kelapa, selain kepada kulitnya itu menyangka, bahwa kelapa itu kayu seluruhnya. Dan mustahil padanya dan sudah pasti akan keluar minyaknya daripadanya. Orang itu berhalangan. Akan tetapi halangannya tidak diterima. Ada orang yang bermadah:
Kejinakan hati dengan Allah,
tidak dijaga oleh orang yang tak ada kerja.
Dan tidak diketahui dengan helah,
oleh orang yang berdaya-upaya.
Yang jinak hati dengan Allah,
semuanya itu orang-orang pintar.
Semuanya mereka adalah,
para pekerja yang bersih karena Allah.
PENJELASAN: makna berkembang dan bersangatan cinta, yang dihasilkan oleh kerasnya kejinakan hati.
Ketahuilah kiranya, bahwa kejinakan hati itu, apabila berkekalan, mengeras dan teguh, tidak dikacaukan oleh kebimbangan rindu dan tidak dikeruhkan oleh ketakutan berobah dan hijab, maka akan membuahkan semacam dari berkembang pada perkataan, perbuatan dan munajah(membisikkan segala isi hati) dengan Allah Ta’ala. Kadang-kadang ada dia itu ditantangkan bentuk. Karena padanya dari keberanian dan kurangnya kehebatan. Akan tetapi itu mungkin dari orang, yang ditegakkan pada derajat kejinakan hati. Dan orang yang tidak ditegakkan pada derajat yang demikian dan menyerupai dengan mereka pada perbuatan dan pembicaraan, niscaya ia binasa dengan yang demikian dan hampir kepada kekufuran. Contohnya itu ialah: munajah(membisikkan segala isi hati) Barakh Al-Aswad, yang disuruh oleh Allah Ta’ala kepada Musa Kalimullah as, supaya meminta pada Barakh untuk melakukan shalat minta hujan (shalat istisqa’) bagi kaum Bani Israil, sesudah mereka itu mengalami musim kemarau selama 7 tahun. Nabi Musa as keluar untuk mengerjakan shalat istisqa’ bagi mereka itu dalam jama’ah 70 ribu orang. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menurunkan wahyu kepada Musa as: “Bagaimana Aku terima doa bagi mereka dan telah digelapkan kepada mereka oleh dosanya ? hati mereka itu keji. Mereka berdoa kepadaKu dengan tidak yakin. Mereka merasa aman dari rencanaKu. Pergilah kepada salah seorang dari hambaKu, yang namanya: Barakh. Katakanlah kepadanya, supaya ia keluar kepada shalat istisqa’. Sehingga Aku mengabulkan doanya”. Maka Musa as menanyakan tentang Barakh itu. Tiada yang kenal. Maka pada suatu hari. Musa as berjalan kaki pada suatu jalan besar. Tiba-tiba seorang hamba hitam telah berada di hadapannya. Diantara dua mata hamba itu debu dari bekas sujud dan pada kain selimut, yang diikatkannya di atas lehernya. Lalu ia dikenal oleh Musa as dengan nur Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka Musa as memberi salam kepadanya dan bertanya: “Siapa namamu ?”. Hamba hitam itu menjawab: “Namaku Barakh”. Musa as menyambung: “Jadi engkau ini yang kami cari semenjak beberapa waktu. Keluarlah, maka bershalat istisqa’lah untuk kami”. Hamba hitam itu lalu keluar. Dan ia mengucapkan dalam doanya: “Tiadakah ini dari perbuatan Engkau ? tidakkah ini dari kesantunan Engkau. Apakah yang nyata bagi engkau ? adakah kurang kepada Engkau mata air Engkau ? ataukah angin itu melawan daripada mentaati Engkau ? ataukah telah habis apa yang pada Engkau ? ataukah bersangatan kemarahan Engkau atas orang-orang yang berdosa ? tidakkah Engkau itu Maha Pengampun ? sebelum diciptakan orang-orang yang berbuat kesalahan, telah Engkau ciptakan rahmat dan Engkau suruh dengan kasih-sayang. Ataukah Engkau perlihatkan kepada kami, bahwa Engkau enggan ? ataukah Engkau takut akan luput waktu, lalu Engkau segerakan dengan siksaan ?”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka senantiasalah Barakh itu pada tempatnya. Sehingga basahlah kaum Bani Israil itu dengan titik-titik hujan. Dan Allah Ta’ala menumbuhkan rumput dalam setengah hari. Sehingga datanglah kendaraan”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka kembalilah Barakh. Lalu ia diterima oleh Musa as. Barakh bertanya: “Bagaimana engkau melihat, ketika aku bertengkar dengan Tuhanku ? bagaimana Ia menginshafkan aku ?”. Lalu Musa as bermaksud mengajarinya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Bahwa Barakh menertawakan Aku setiap hari 3 kali”.
Dari Al-Hasan, yang mengatakan: “Telah terbakar rumah-rumah dari bambu di Basrah. Maka tinggallah di tengah-tengah rumah-rumah yang terbakar itu, sebuah rumah yang tidak terbakar. Abu Musa pada ketika itu yang menjadi amir Basrah. Maka diberitahukan kepada Abu Musa dengan yang demikian. Beliau mengirim seorang utusan menemui yang punya rumah bambu yang tidak terbakar itu”. Al-Hasan meneruskan riwayatnya: “Utusan itu membawa seorang tua (syaikh) kepada amir. Lalu amir bertanya: “Ya syaikh ! apa kabar, rumahmu itu tidak terbakar ?”. Orang tua itu menjawab: “Bahwa aku bersumpah kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla, bahwa Ia tidak membakarnya”.
Abu Musa ra lalu mengatakan: “Bahwa aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ada pada umatku suatu kaum, yang kusut-musut rambut mereka, yang kotor kain mereka. Jikalau mereka bersumpah kepada Allah, niscaya Allah memberi kebajikan kepada mereka”. Al-Hasan meneruskan riwayatnya: “Telah terjadi kebakaran di Basrah. Lalu datang Abu ‘Ubaidah Al-Khawwash. Beliau melangkahi api itu. Maka amir Basrah berkata kepadanya: “Aku lihat, bahwa engkau tidak terbakar dengan api”. Abu ‘Ubaidah Al-Khawwash menjawab: “Bahwa aku bersumpah kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla, bahwa Ia tidak membakarkan aku dengan api”. Amir itu menjawab: “Berazamlah kepada api, bahwa ia padam”. Al-Hasan meneruskan riwayatnya: “Lalu Abu ‘Ubaidah Al-Khawwash berazam kepada api itu. Maka api itupun padam”.
Adalah Abu Hafash An-Naisaburi (guru dari Al-Junaid) pada suatu hari berjalan kaki. Lalu seorang hitam yang lemah akal menghadapinya. Maka Abu Hafash bertanya kepadanya: “Apakah yang menimpa engkau ?”. Orang hitam itu menjawab: “Telah hilang keledaiku. Dan aku tidak mempunyai keledai yang lain”. Kata yang empunya riwayat: “Aku Hafash lalu berhenti dan berdoa: “Demi kemuliaan Engkau ! aku tiada akan melangkah dengan suatu langkahpun, sebelum Engkau kembalikan kepadanya keledainya”. Kata yang empunya riwayat: “Maka tampaklah keledainya pada waktu itu. Dan Abu Hafash ra meneruskan perjalanannya”. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini, berlaku bagi orang-orang yang mempunyai kejinakan hati. Dan tidaklah bagi orang lain, bahwa menyerupai dengan mereka.
Al-Junaid ra berkata: “Orang-orang yang berjinakan hati itu mengatakan dalam pembicaraan mereka dan munajah(membisikkan segala isi hati) mereka dalam khilwahnya (kesepiannya), akan hal-hal yang dapat mengkufurkan pada orang awam”. Pada suatu kali Al-Junaid berkata: “Jikalau didengar oleh orang awam, niscaya mereka mengkufurkannya. Mereka memperoleh kelebihan pada hal-ihwal mereka dengan yang demikian. Dan itu mungkin dari mereka dan layak dengan mereka”. Kepada yang demikianlah, seorang penyair mengisyaratkan:
Suatu kaum, yang tertarik mereka,
kepada bersenda-gurau dengan tuannya.
Hamba itu bersenda-gurau,
menurut kadar penghulunya.
Mereka menyombong dengan melihatnya,
dari orang lain kepadanya.
Hai Hasan, mereka melihatnya,
dalam kemuliaan apa yang disombonginya !
Tidaklah anda memandang jauh dari kebenaran, bahwa senangnya kepada hamba, dengan apa yang ia marah kepada orang lain, manakala berbeda kedudukan keduanya. Dalam Alquran peringatan-peringatan kepada pengertian-pengertian ini, jikalau diperhatikan dan dipahami. Semua kisah dalam Alquran itu peringatan-peringatan bagi orang-orang yang mempunyai mata hati dan mata kepala. Sehingga mereka melihat kepadanya dengan penuh i’tibar/ibarat. Bahwa itu pada orang-orang yang tertipu dengan dirinya, adalah merupakan cerita-cerita pada malam hari.
Permulaan kisah, ialah kisah Adam as dan Iblis. Apakah tidak anda melihat keduanya itu bersekutu pada nama maksiat dan perselisihan. Kemudian, keduanya berlainan pada pilihan dan keterpeliharaan. Adapun Iblis maka ia putus asa dari rahmatNya. Dan dikatakan, bahwa Iblis itu termasuk yang dijauhkan dari Tuhan. Adapun Adam as maka dikatakan mengenainya: “Dan Adam tidak mematuhi perintah Tuhannya, karena itu sesat jalannya. Kemudian itu, dia dipilih lagi oleh Tuhannya dan diterimaNya kembali serta diberiNya petunjuk”. S 20 Thaahaa ayat 121-122.
Allah Ta’ala mencela NabiNya saw pada memalingkan muka dari seorang hamba dan menghadapkan muka pada hamba yang lain. Padahal keduanya itu sama pada beribadah. Akan tetapi, pada waktu itu juga keduanya berbeda. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang yang datang bersegera kepada engkau. Dan dia itu takut (kepada Allah). Adakah engkau melengah kepadanya ?”. S 80 ‘Abasa ayat 8-9-10. Allah Ta’ala berfirman pada aya yang lain: “Adapun yang merasa dirinya serba cukup. Maka engkau berhadap kepadanya”. S 80 ‘Abasa ayat 5-6. Seperti demikian juga, disuruhNya Nabi saw dengan duduk bersama suatu golongan. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada engkau, maka ucapkanlah: Salam (bahagia) untuk kamu”. S 6 Al An’aam ayat 54. Dan disuruhNya Nabi saw memalingkan muka dari selain mereka.
 Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila engkau melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka hendaklah engkau menghindar dari mereka”. S 6 Al An’aam ayat 68. Sehingga Allah Ta’ala berfirman: “Maka janganlah engkau terus duduk sesudah teringat itu, bersama-sama kaum yang zhalim”. S 6 Al An’aam ayat 68. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tahanlah hati engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan senja”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Maka demikianlah berkembang dan bersangatan cinta itu mungkin dari sebahagian hamba, tidak dari sebahagian yang lain. Maka diantara berkembangnya kejinakan hati itu ucapan Musa as: “Hal itu adalah ujian Engkau, akan menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dan memberi petunjuk akan siapa yang Engkau kehendaki”. S 7 Al A’raaf ayat 155. Dan ucapan Musa pada memberi alasan dan halangan, tatkala dikatakan kepadanya: “Pergilah kepada Fir’aun”. Lalu ia berkata: “Dan aku berdosa kepada mereka”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 14. Dan ucapannya: “Sesungguhnya aku takut, bahwa mereka nanti akan mendustakan daku. Dadaku sempit dan lidahku tidak lancar berkata-kata (kelu)”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 12-13. Dan ucapannya: “Bahwa kami takut, dia terlebih dahulu bersedia menantang kami atau dia melakukan kekejaman di luar biasa”. S 20 Thaahaa ayat 45. Ini dari bukan Musa as dari jahatnya adab sopan santun. Karena orang yang ditempatkan pada derajat kejinakan hati itu berlemah-lembut dan menanggung akibatnya. Dan tidak dipertanggungkan akibatnya kepada Yunus as akan apa yang kurang dari ini. Karena ia ditempatkan pada derajat ditangkap dan takut. Lalu ia disiksakan dengan penahanan dalam perut ikan besar, dalam kegelapan 3 (gelap dalam perut ikan, gelap laut dan malam). Dan dia dipanggil kepada hari kiamat: “Kalau tiadalah kurnia Tuhan sampai kepadanya, sudah tentu dia dilemparkan ke tanah yang tandus, sedang dia tercela”. S 68 Al Qalam ayat 49.
Kata Al-Hasan, bahwa perkataan Al-‘araa-i (pada ayat ini), yaitu: hari kiamat. Nabi kita saw dilarang mengikutinya. Dan dikatakan kepadanya: “Maka bersabarlah atas hukum Tuhan engkau dan janganlah engkau seperti orang yang menjadi teman ikan, ketika dia menyerbu dan dia itu dalam duka-nestapa”. S 68 Al Qalam ayat 48. Perbedaan-perbedaan ini, sebahagian daripadanya karena perbedaan keadaan dan tingkat. Dan sebahagiannya, karena apa yang telah dahulu pada azali(kekal), dari kelebihan satu sama lain dan kelebih-kurangan pada pembahagian diantara hamba-hamba. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebahagian nabi-nabi dari sebahagian (yang lain)”. S 17 Al Israa’ ayat 55. Allah Ta’ala berfirman: “Diantaranya ada yang berkata-kata dengan Allah dan setengahnya Kami tinggikan beberapa derajat (tingkat)”. S 2 Al Baqarah ayat 253. Adalah Isa as termasuk sebahagian dari nabi-nabi yang utama. Dan karena kesangatan cintanya, ia mengucapkan salam kepada dirinya. Ia mengucapkan: “Dan kebahagiaan untuk aku, di hari aku dilahirkan dan di hari aku wafat dan di hari aku dibangunkan hidup kembali”. S 19 Maryam ayat 33. Ini adalah berkembang daripadanya, tatkala ia menyaksikan dari kelemah-lembutan pada derajat kejinakan hati.
Adapun Yahya bin Zakaria as maka dia ditempatkan pada kedudukan takut dan malu. Maka ia tidak berbicara, sampai ia dipujikan oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kesejahteraan untuk dia”. S 19 Maryam ayat 15. Perhatikanlah, bagaimana dipertanggungkan bagi saudara-saudara Yusuf, akan apa yang diperbuat mereka dengan Yusuf. Sebahagian ulama berkata: “Telah aku hitung dari permulaan firman Allah Ta’ala: “Ketika mereka mengatakan: Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai bapak kita dari kita”. S 12 Yusuf ayat 8, sampai ke kepada 20 ayat daripada pemberitaan Allah Ta’ala, dari zuhudnya mereka padanya, maka terdapat lebih 40 kesalahan. Sebahagian daripadanya lebih besar dari sebahagian yang lain. Kadang-kadang berkumpul pada satu kalimat, 3 dan 4 kesalahan. Maka diampunkan dan dimaafkan mereka daripadanya.
Dan tidak ditanggung oleh ‘Uzair bin Syarukha pada suatu masalah, yang ia tanyakan daripadanya tentang qadar (taqdir). Sehingga dikatakan, bahwa dia dihapsukan dari buku kenabian. Seperti demikian juga adalah Bal’am bin Ba’ura sebahagian dari ulama besar. Maka ia makan dunia dengan agama. Lalu tidak dipertanggungkan yang demikian kepadanya. Adalah Ashif bin Barkhaya termasuk orang yang berlebih-lebihan. Kemaksiatannya adalah pada anggota badannya. Maka dimaafkan daripadanya.
Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada nabi Sulaiman as: “Hai kepala orang-orang yang ‘abid ! hai putera hujjah orang-orang yang zuhud! sampai berapa putera bibikmu Ashif berbuat maksiat kepadaKu ? Aku berbuat santunan kepadanya sekali demi sekali. Maka demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! sesungguhnya kalau Aku ambil dia sebagai suatu kecenderungan dari kecenderungan-kecenderunganKu kepadanya, niscaya Aku tinggalkan dia menjadi siksaan bagi orang yang bersama dia dan contoh bagi orang yang kemudiannya”. Tatkala Ashif masuk ke tempat nabi Sulaiman as lalu beliau menerangkan kepada Ashif, apa yang diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Maka Ashif itu lalu keluar, sehingga ia naik ke atas pasir tebal. Kemudian, ia mengangkatkan kepalanya dan dua tangannya ke langit. Dan berdoa: “Tuhanku, Penghuluku ! Engkau, Engkau ! aku, aku. Maka bagaimana aku bertaubat. Jikalau Engkau tidak menerima taubatku. Bagaimana aku menjaga diri dari kesalahan, jikalau Engkau tidak memeliharakan aku, untuk aku kembali”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Benar engkau, hai Ashif ! engkau, engkau ! Aku, Aku. Aku menerima taubat. Engkau telah bertaubat kepada diri engkau. Aku Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih”. Ini pembicaraan yang menunjukkan kesangatan cinta kepadaNya, lari daripadaNya kepadaNya dan memandang dengan Dia kepada Dia.
Pada suatu berita, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada seorang hamba, yang didapatiNya kembali, sesudah hamba itu hampir binasa: “Berapakah dosa yang engkau hadapkan kepadaKu, yang telah Aku ampunkan bagi engkau, yang telah binasa salah satu dari umat-umat dahulu dengan dosa itu?”. Maka inilah sunnah Allah Ta’ala pada hamba-hambaNya dengan mengurniakan kelebihan, mendahulukan dan mengemudiankan, atas apa, yang telah dahulu dengan dia kehendak azali ( kekal ). Dan kisah-kisah ini telah datang dalam Alquran, supaya dengan yang demikian, diketahui sunnah Allah pada hamba-hambaNya yang telah berlalu sebelumnya. Maka tidak ada dalam Alquran suatupun, melainkan adalah petunjuk dan cahaya dan perkenalan daripada Allah Ta’ala kepada makhlukNya. Sekali diperkenalkan kepada mereka dengan pengqudusan. Ia berfirman: “Katakan: Allah itu Maha Esa. Allah itu tempat meminta. Ia tiada beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada seorangpun yang serupa dengan Dia”. S 112 Al Ikhlash. Sekali diperkenalkan kepada mereka dengan sifat-sifat keagunganNya. Ia berfirman: “Dia Raja, Maha Suci, Pembawa Keselamatan, Pemelihara Keamanan, Penjaga segala sesuatu. Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Besar”. S 59 Al Hasyr ayat 23. Dan sekali diperkenalkan kepada mereka pada perbuatan-perbuatanNya yang ditakuti dan yang diharapkan. Maka ia membaca kepada mereka sunnahNya mengenai musuh-musuhNya dan mengenai nabi-nabiNya. Ia berfirman: “Tiadakah engkau perhatikan, bagaimana Tuhan engkau bertindak terhadap ‘Aad. (Penduduk) Iram, yang mempunyai gedung-gedung yang tingga”. S 89 Al Fajr ayat 6-7. Dan firman Allah Ta’ala: “Tidakkah engkau perhatikan, bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang yang bergajah “. S 105. Al Fiil ayat 1. Alquran itu tidak mepampaui akan tiga bahagian ini. Yaitu: petunjuk kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala akan dzat Allah dan mengquduskanNya atau ilmu mengenal Allah Ta’ala akan sifat-sifat dan nama-namanNya atau ilmu mengenal Allah Ta’ala akan perbuatan-perbuatanNya dan sunnahNya serta hamba-hambaNya. Telah melengkapilah surat Al Ikhlas kepada salah satu dari 3 perkara tersebut, yaitu: pengqudusan. Maka Rasulullah saw mengadakan perbandingan surat Al Ikhlash  dengan 1/3 Alquran. Beliau saw bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-ikhlash, maka sesungguhnya ia telah membaca 1/3 Alquran”. Karena kesudahan al-taqdis (pengqudusan), ialah bahwa ada dia itu satu dalam 3 perkara:
1.Tidaklah yang hasil dari mereka itu, orang yang sebanding dan serupa dengan dia. Dan ditunjukkan kepada yang demikian oleh firmannya: Ia tiada beranak.
2.Tidaklah dia itu hasil dari orang yang sebanding dan serupa dengan dia. Dan ditunjukkan kepada yang demikian oleh firmanNya: Dan tiada diperanakkan.
3.Tidaklah dia itu pada tingkatnya dan tidaklah orang yang seperti dia itu pokok (asal) dan cabang baginya. Dan ditunjukkan kepada yang demikian oleh firmanNya: Dan tiada seorangpun yang serupa dengan Dia. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh firmanNya: Katakan: Allah itu Maha Esa. Dan keseluruhannya itu adalah penguraian akan ucapan: Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah.
Maka inilah rahasia-rahasia Alquran. Dan tiada berkesudahan contoh-contoh rahasia ini dalam Alquran. Tiada yang basah dan yang kering, melainkan ada dalam Kitab yang terang. Karena yang demikianlah, Ibnu Mas’ud ra berkata: “Mereka menyinarkan Alquran dan mencari yang ganjil-ganjil di dalamnya. Maka padanya itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian”. Benarlah seperti yang dikatakannya itu. Dan tidak akan diketahui, selain oleh orang yang lama memperhatikan pada masing-masing kalimatNya. Lalu diulanginya dan bersih pahamnya. Sehingga disaksikan bagi yang demikian itu oleh setiap kalimat daripadanya, bahwa dia itu kalam (firman) Yang Maha Gagah, Yang Maha Perkasa, Yang Mempunyai, Yang Maha Kuasa. Dan keluar dari batas kesanggupan manusia. Kebanyakan surat-surat Alquran itu diarahkan dalam lipatan kisah-kisah dan cerita-cerita. Maka hendaklah engkau itu bersungguh-sungguh memahaminya ! supaya tersingkaplah bagi engkau yang ajaib-ajaib di dalamnya, yang tiada dilecehkan oleh pengetahuan-pengetahuan yang dihiasi, yang keluar daripadanya. Maka inilah yang kami kehendaki menyebutkannya dari makna kejinakan hati dan perkembangan yang menjadi buahnya dan penjelasan berlebih-kurangnya hamba-hamba Allah padanya. Allah swt yang Maha Tahu.
URAIAN: tentang makna ridha (senang) dengan qadha/takdir Allah Ta’ala dan hakikat/maknanya. Dan apa yang tersebut dalam agama tentang kelebihannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa ridha itu salah satu dari buah (hasil) kecintaan. Dan itu termasuk dari yang tertinggi derajat orang-orang al-muqarrabin. Dan hakikat/maknanya itu kabur pada kebanyakan orang. Dan apa yang masuk kepadanya, dari penyerupaan dan ketidak-jelasan itu tiada tersingkap, selain bagi orang yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta’ala ilmu penta’wilan (penafsiran). Dan dianugerahkanNya pemahaman dan pengertian dalam agama. Telah ditantang oleh orang-orang yang menantang, akan penggambaran ridha, dengan apa yang menyalahi dengan hawa nafsu.
Kemudian mereka itu berkata: “Jikalau ridha itu mungkin dengan setiap sesuatu, karena dia itu perbuatan Allah, maka seyogyalah bahwa diridhai dengan kufur dan perbuatan-perbuatan maksiat. Tertipulah dengan yang demikian itu suatu kaum. Lalu mereka melihat keridhaan dengan perbuatan zalim dan fasik. Dan meninggalkan tantangan dan perlawanan itu termasuk sebahagian dari pintu penyerahan bagi qodo Allah Ta’ala. Jikalau tersingkaplah segala rahasia ini, bagi orang yang menyingkatkan kepada mendengar zahiriyah syara’ (agama) saja, niscaya Rasulullah saw tiada mendoakan bagi Ibnu Abbas, dimana beliau berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! anugerahilah kepadanya pengertian dalam agama dan ajarilah dia penta’wilan (penafsiran)”. Maka marilah kami mulai dengan penjelasan keutamaan ridha. Kemudian, dengan cerita-cerita keadaan orang-orang yang ridha. Kemudian, kami sebutkan hakikat/makna ridha dan cara penggambarannya, pada apa yang menyalahi dengan hawa nafsu. Kemudian, kami sebutkan, apa yang disangkakan bahwa dia itu dari kesempurnaan ridha, padahal tidaklah dia dari kesempurnaan ridha. Seperti: meninggalkan berdoa dan berdiam diri atas perbuatan-perbuatan maksiat.
PENJELASAN: keutamaan ridha.
Adapun dari ayat-ayat, maka yaitu firman Allah Ta’ala: “Allah merasa senang (ridha) kepada mereka dan mereka merasa senang kepada Allah”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Allah Ta’ala berfirman: “Balasan perbuatan baik, tiada lain dari kebaikan juga”. S 55 Ar Rahmaan ayat 60. Kesudahan perbuatan baik (al-ihsan), ialah ridha Allah akan hambaNya. Yaitu: pahala ridha hamba kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Tempat diam yang bagus dalam sorga ‘Adnin dan keridhaan Allah lebih besar (dari semua)”. S 9 At Taubah ayat 72.
Sesungguhnya Allah meninggikan ridha di atas sorga ‘Adnin, sebagaimana Ia meninggikan berdzikir kepadaNya di atas shalat, dimana Ia berfirman: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (mengerjakan) perbuatan keji dan perbuatan munkar. Sesungguhnya mengingati (dzikir) akan Allah itu amat besar manfaatnya”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 45. Sebagaimana bermusyahadah (penyaksian) akan yang diingat (didzikirkan) dalam shalat itu lebih besar manfaatnya dari shalat, maka keridhaan Tuhan yang empunya sorga itu lebih tinggi dari sorga. Bahkan itulah yang menjadi kesudahan yang dicari oleh penduduk-penduduk sorga. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala itu tajalli (menampak) bagi orang-orang yang beriman. Maka Ia berfirman: “Mintalah kepadaKu !”. Lalu mereka itu berdoa: “RidhaMu !”. Maka permintaan mereka itu ridha sesudah memandang akan penghabisan pengutamaan. Adapun ridha hamba, maka akan kami sebutkan hakikat/maknanya. Ridha Allah Ta’ala akan hamba, maka dengan makna yang lain itu mendekati dari yang kami sebutkan tentang kecintaan Allah akan hamba. Dan tidak boleh disingkapkan dari hakikat/maknanya. Karena pendeklah pemahaman makhluk daripada mengetahuinya. Siapa yang kuat padanya, maka ia berdiri sendiri (merdeka) dengan mengetahuinya dari dirinya sendiri. Pendeknya, tiadalah derajat lagi, di atas memandang kepadaNya. Sesungguhnya mereka meminta padaNya ridha. Karena ridha itu sebab terus-menerusnya memandang (memperhatikan). Seakan-akan mereka melihatNya penghabisan dari penghabisan-penghabisan dan yang terjauh dari segala cita-cita, bagi apa, yang mereka peroleh dengan kenikmatan memandang. Tatkala mereka disuruh meminta, maka mereka tiada meminta, selain dari keterus-menerusannya. Dan mereka tahu, bahwa ridha itu adalah sebab bagi terus-menerusnya terangkat hijab (dinding).
Allah Ta’ala berfirman: “Dan di sisi Kami masih ada tambahannya”. S 50 Qaaf ayat 35. Kata sebahagian ahli tafsir: “Akan datang penduduk sorga pada waktu yang masih ada tambahannya, dengan 3 macam hadiah dari Tuhan Semesta Alam;
Pertama: hadiah daripada Allah Ta’ala, yang tidak ada contohnya pada sisi mereka dalam sorga. Maka yang demikian itu firmanNya Yang Maha Tinggi: “Seorangpun tiada mengetahui cahaya mata yang disembunyikan untuk mereka”. S 32 As Sajadah ayat 17.
Kedua: sejahtera (salam) kepada mereka dari Tuhan mereka. Maka yang demikian itu menambahkan kelebihan kepada petunjuk (hidayah). Yaitu firman Allah Ta’ala: “Damai ! (Sejahtera !) perkataan (penghormatan) diterimanya dari Tuhan Yang Maha Pemurah”. S 36 Yaa Siin ayat 58.
Ketiga: berfirman Allah Ta’ala: “Bahwa Aku itu ridha kepada kamu. Maka adalah yang demikian itu lebih utama dari hadiah dan penyerahan sesuatu”.
Maka yang demikian itu firmannya Allah Ta’ala: “Dan keridhaan Allah lebih besar (dari semua)”. S 9 At Taubah ayat 72. Artinya: dari kenikmatan yang berada mereka di dalamnya. Maka inilah kelebihan keridhaan Allah Ta’ala. Dan itu adalah buah keridhaan hamba. Adapun dari hadits-hadits, maka dirawikan bahwa Nabi saw bertanya kepada segolongan dari sahabat-sahabatnya: “Siapakah kamu ?”. Mereka lalu menjawab: “Orang yang beriman (orang mu’min)”. Nabi saw bertanya lagi: “Apakah tanda keimananmu ?”. Mereka lalu menjawab: “Kami sabar atas percobaan, kami syukur ketika keluasan hidup dan kami ridha atas kejadian-kejadian dengan qodo (hukum) Allah Ta’ala”. Nabi saw lalu menjawab: “Demi Yang Empunyai Ka’bah ! benar orang yang beriman”. Tersebut pada hadits lain, bahwa Nabi saw bersabda: “Orang yang ahli hikmat, yang berilmu itu mendekatilah daripada kepahaman mereka, bahwa adalah mereka itu nabi”. Tersebut pada hadits: “Berbahagialah orang yang memperoleh petunjuk kepada Islam, adalah rezekinya mencukupi daripada meminta pada orang dan ia ridha dengan yang demikian”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang ridha kepada Allah Ta’ala dengan sedikit dari rezeki, niscaya Allah Ta’ala ridha kepadanya dengan sedikit dari amal”. Nabi saw bersabda pula: “Apabila Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, niscaya dicobaiNya. Kalau orang itu sabar, niscaya dipilihNya. Dan kalau ia ridha, niscaya menjadi orang pilihanNya”. Nabi saw bersabda pula: “Apabila hari kiamat nanti, maka Allah Ta’ala menumbuhkan sayap bagi segolongan dari umatku. Lalu mereka itu terbang dari kurburnya ke sorga. Mereka bersenang-senang dan bernikmat-nikmatan di dalamnya, bagaimana yang mereka kehendaki. Lalu para malaikat berkata kepada mereka: “Adakah kamu melihat al-hisab (perhitungan amal) ?”. Mereka itu menjawab: “Kami tidak melihat al-hisab”. Lalu para malaikat bertanya kepada mereka: “Adakah kamu melewati titian ash-shirathal-mustaqim ?”. Mereka menjawab: “Kami tidak melihat titian itu”. Para malaikat bertanya pula: “Adakah kamu melihat neraka jahannam ?”. Mereka menjawab: “Kami tidak melihat sesuatu”. Lalu para malaikat bertanya lagi: “Dari umat siapa kamu ini ?”. Mereka menjawab: “Dari umat Muhammad saw”. Para malaikat itu maka menjawab: “Kami meminta kepada kamu”. Terangkanlah kepada kami, apa perbuatanmu di dunia !”. Mereka itu lalu menjawab: “Dua perkara ada pada kami. Maka kami sampai kepada tingkat ini dengan kurnia rahmat Allah”. Para malaikat itu bertanya: “Apakah yang dua perkara itu ?”. Mereka itu menjawab: “Adalah kami, apabila di tempat yang sunyi, niscaya kami malu berbuat perbuatan maksiat kepadaNya. Dan kami ridha dengan yang sedikit, dari apa yang dibagikan oleh Allah kepada kami”. Para malaikat itu lalu berkata: “Berhaklah itu bagi kamu”.
Nabi saw bersabda: “Hai para orang fakir ! serahkanlah kepada Allah akan keridhaan dari hatimu, niscaya kamu peroleh akan pahala kefakiranmu ! dan jikalau tidak, maka kamu tidak memperolehnya”. Dalam berita-berita Musa as, bahwa kaum Bani Israil (kaum Yahudi) itu berkata kepada Musa: “Mintalah bagi kami, pada Tuhanmu, sesuatu perbuatan, apabila kami mengerjakannya, niscaya Ia meridhai kepada kami !”. Musa as lalu berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau telah mendengar apa yang dikatakan mereka”. Maka Allah berfirman: “Hai Musa ! katakan kepada mereka, bahwa mereka ridha daripadaKu, sehingga Akupun ridha dari mereka”. Dibuktikan untuk ini, apa yang dirawikan dari Nabi kita saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengingini untuk mengetahui, apa yang baginya pada Allah ‘Azza Wa Jalla, maka hendaklah ia melihat, apa yang bagi Allah ‘Azza Wa Jalla padanya. Bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala itu menempatkan hamba daripadaNya, dimana hamba itu menempatkanNya daripada dirinya”.
Dalam berita-berita Daud as: “Apakah bagi para waliKu dan kesusahan di dunia ? bahwa kesusahan itu menghilangkan kemanisan  membisikkan segala isi hati dengan Aku dari hati mereka. Hai Daud ! bahwa kecintaan kepadaKu dari para waliKu, ialah mereka itu menjadi para ruhaniawan, yang tidak berduka-cita”.
Diriwayatkan, bahwa Musa as berdoa: “Wahai Tuhanku ! tunjukilah aku kepada pekerjaan, yang padanya keridhaanMu, sehingga aku mengerjakan nya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Bahwa keridhaanKu itu pada kebencianmu. Dan engkau tidak sabar atas apa yang engkau bencikan”. Musa as berdoa: “Hai Tuhanku ! tunjukilah aku kepadanya !”. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa keridhaanKu itu pada keridhaanmu dengan qodo/takdirKu”. Tersebut dalam munajat Musa as: “Wahai Tuhanku ! manakah makhlukMu yang lebih Engkau cintai ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang, yang apabila Aku ambil kecintaannya daripadanya, niscaya ia berbaik-baikkan dengan Aku”. Musa as bertanya: “Manakah makhlukMu, yang Engkau marah kepadanya ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang, yang meminta kebajikan padaKu pada sesuatu pekerjaan. Apabila Aku melakukan qodo/takdirKu kepadanya, niscaya ia marah kepada qodo/takdirKu”. Diriwayatkan apa yang lebih keras dari yang demikian, yaitu bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Aku itu Allah, tiada yang disembah, selain Aku. Siapa yang tiada sabar atas percobaanKu, tiada bersyukur akan nikmatKu dan tiada ridha dengan qodoKu, maka hendaklah Ia mencari Tuhan, selain Aku !”. Yang seperti tadi tentang kerasnya, ialah firman Allah Ta’ala, menurut apa yang diterangkan oleh Nabi kita saw, bahwa ia bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku mentaqdirkan taqdir-taqdir, Aku mengatur pengaturan dan Aku kokohkan ciptaan. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan daripadaKu, sehingga ia menemui Aku. Dan siapa yang marah, maka baginya kemarahan daripadaKu, sehingga Ia menemui Aku”.
Tersebut pada hadits masyhur: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku jadikan kebajikan dan kejahatan. Maka bahagialah bagi siapa, yang Aku ciptakan bagi kebajikan. Dan Aku perlakukan kebajikan itu di atas dua tangannya. Dan celakalah bagi siapa, yang Aku ciptakan bagi kejahatan. Dan Aku perlakukan kejahatan di atas dua tangannya. Celaka, kemudian celakalah bagi siapa yang bertanya: mengapa dan bagaimana”.
Dalam berita-berita zaman dahulu, bahwa salah seorang dari para nabi-nabi itu mengadu kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, akan kelaparan, kemiskinan dan kekudisan selama 10 tahun. Maka tidak dimakbulkan akan apa yang dikehendakinya. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Berapa kali kamu mengadu ? begitulah adanya permulaanmu padaKu dalam Induk Al-Kitab, sebelum Aku menciptakan langit dan bumi. Begitulah sudah mendahului bagi engkau daripadaKu. Dan begitulah takdirKu kepada engkau, sebelum Aku menciptakan dunia. Adakah engkau kehendaki, bahwa Aku mengulangi menciptakan dunia dari karena engkau ? adakah engkau kehendaki bahwa Aku gantikan akan apa yang Aku telah taqdirkan kepada engkau ? maka adalah apa yang engkau cintai itu di atas apa yang Aku cintai. Dan adalah apa yang engkau kehendaki itu di atas apa yang Aku kehendaki. Demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! jikalau ini meragukan dalam dada engkau lain kali, niscaya Aku hapuskan engkau dari buku kenabian”.
Diriwayatkan, bahwa Adam as adalah sebahagian anak-anaknya yang masih kecil naik ke atas badannya dan turun. Salah seorang mereka meletakkan kakinya atas tulang rusuk Adam as seperti bentuk jalan. Maka ia naik ke kepalanya. Kemudian, ia turun atas tulang rusuknya seperti yang demikian juga. Dan Adam as itu berdiam diri melihat ke tanah, tidak berkata-kata dan tidak mengangkatkan kepalanya. Sebahagian anaknya bertanya: “Hai ayahku ! tidaklah engkau melihat apa yang diperbuat oleh si ini kepada engkau ? jikalau engkau melarangnya, dari perbuatan ini ?”. Adam as lalu menjawab: “Hai anakku ! bahwa aku melihat apa yang tidak kamu lihat. Dan aku tahu apa yang tidak kamu tahu. Bahwa aku bergerak dengan suatu gerakan, maka aku turun dari kampung kemuliaan ke kampung kehinaan, dan dari kampung kenikmatan ke kampung kecelakaan. Maka aku takut bahwa aku bergerak dengan gerakan yang lain. Lalu menimpakan aku, akan apa yang tiada aku ketahui”.
Anas bin Malik ra berkata: “Aku melayani Rasulullah saw selama 10 tahun. Maka beliau tiada mengatakan bagiku tentang sesuatu yang aku perbuat, mengapa aku memperbuatnya. Dan tidak tentang sesuatu, yang tiada aku memperbuatnya, mengapa tiada aku memperbuatnya. Beliau tidak mengatakan tentang sesuatu yang telah ada: mudah-mudahan dia itu tidak ada. Dan tidak tentang sesuatu yang tidak ada: mudah-mudahan dia itu ada. Dan apabila bertengkar dengan aku salah seorang dari keluarganya, maka beliau menjawab: “Biarkanlah dia ! jikalau sesuatu itu ditaqdirkan, niscaya ada dia”.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud ! sesungguhnya engkau itu berkehendak dan Akupun berkehendak. Bahwasanya yang ada itu, ialah apa yang Aku kehendaki. Jikalau engkau menyerah kepada apa yang Aku kehendaki, niscaya Aku cukupkan bagi engkau, akan apa yang engkau kehendaki. Dan jikalau tidak engkau menyerah bagi apa yang Aku kehendaki, niscaya Aku payahkan engkau, pada apa yang engkau kehendaki. Kemudian, tidak akan ada, selain apa yang Aku kehendaki”.
Adapun atsar, maka Ibnu Abbas ra mengatakan: “Orang yang pertama yang dipanggil ke sorga pada hari kiamat, ialah mereka yang memuji (bertahmid) akan Allah Ta’ala dalam segala keadaan”.
‘Umar bin Abdul-aziz ra berkata: “Tiada tinggal lagi bagiku kegembiraan, selain pada kejadian-kejadian qadar (taqdir)”. Ditanyakan kepadanya: “Apakah yang tuan inginkan”. Maka ia menjawab: “Apa yang ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala”. Maimun bin Mahran berkata: “Siapa yang tidak ridha dengan takdir/qodo, maka tidak adalah obat bagi kebodohannya itu”.
Al-Fudlail berkata: “Jikalau engkau tidak bersabar atas taqdir Allah, niscaya engkau tidak bersabar atas takdir (penentuan) diri engkau sendiri”. Abdul-aziz bin Abi Rawwad berkata: “Tidak adalah persoalan pada memakan roti tepung syair dan cuka dan tidak pula pada memakai kain wol dan bulu. Akan tetapi persoalan itu mengenai ridha kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Bahwa aku menjilat bara api, yang telah membakar apa yang telah dibakarnya itu lebih aku sukai, daripada aku mengatakan kepada sesuatu yang telah ada, yang mudah-mudahan ia tidak ada. Atau kepada sesuatu yang tidak ada, yang mudah-mudahan ia telah ada”.
Seorang laki-laki melihat kepada luka di kaki Muhammad bin Wasi’. Laki-laki itu lalu berkata: “Sesungguhnya aku belas-kasihan kepada engkau dari karena luka ini”. Maka menjawab Muhammad bin Wasi’: “Bahwa aku bersyukur akan luka ini, semenjak ia keluar. Karena ia tidak keluar pada mataku”.
Diriwayatkan dalam cerita-cerita kaum Bani Israil, bahwa seorang ‘abid (orang yang banyak beribadah) beribadah kepada Allah pada masa yang panjang. Lalu ia bermimpi dalam tidurnya, orang berkata kepadanya: “Wanita anu yang penggembala itu teman engkau nanti dalam sorga”. Lalu ia menanyakan tentang wanita tersebut, sampai dijumpainya. Maka ia meminta wanita itu menjadi tamunya selama 3 hari, untuk dilihatnya apa yang dikerjakan wanita itu. Adalah ‘abid itu sepanjang malam berdiri mengerjakan shalat dan wanita itu tidur sepanjang malam. ‘Abid itu senantiasa berpuasa dan wanita itu senantiasa tidak berpuasa. Lalu ‘abid itu bertanya: “Apakah tidak ada bagi engkau amal yang lain, selain apa yang aku lihat ?”. Wanita itu menjawab: “Tidak ada demi Allah, selain apa yang engkau lihat. Aku tidak mengenal yang lain”. Maka senantiasalah ‘abid itu mengatakan: “Ingatlah, mungkin ada yang lain !”. Sampai wanita itu mengatakan: “Ada suatu hal padaku, ialah: jikalau aku dalam kesulitan, niscaya aku tidak bercita-cita bahwa aku berada dalam kelapangan. Jikalau aku berada dalam sakit, niscaya aku tidak bercita-cita bahwa aku berada dalam sehat. Dan jikalau aku berada pada matahari, niscaya aku tidak bercita-cita berada dalam naungan”. Lalu ‘abid itu meletakkan tangannya atas kepalanya dan berkata: “Adakah ini, hal ini ? demi Allah, hal besar, yang lemah para ‘abid daripadanya”.
Diriwayatkan dari sebahagian salaf, yang mengatakan: “Bahwa Allah Ta’ala apabila mentaqdirkan suatu taqdir di langit, niscaya Ia menyukai dari penduduk bumi, bahwa mereka ridha dengan taqdirNya itu”. Abud-Darda’ berkata: “Tempat yang tinggi bagi iman itu sabar bagi hukum Allah dan ridha dengan taqdir Allah”. Umar ra berkata: “Aku tiada perduli di atas keadaan apa, aku di pagi hari dan di sore hari, dari kesulitan atau kelapangan”.
Berdoa Sufyan Ats-Tsuri pada suatu hari di sisi Rabi’ah Al-‘Adawiyah: “Ya Allah, ya Tuhanku ! ridhakanlah daripada kami !”. Rabi’ah lalu berkata: “Apakah engkau tidak malu kepada Allah, bahwa engkau minta padaNya akan keridhaan, sedang engkau tidak ridha kepadaNya ?”. Sufyan Ats-Tsuri menjawab: “Astaghfirullah. Aku meminta ampun pada Allah”. Ja’fat bin Sulaiman Adl-Dlaba’i lalu bertanya: “Kapankah hamba itu ridha kepada Allah Ta’ala ?”. Rabi’ah menjawab: “Apabila adalah kegembiraannya dengan musibah seperti kegembiraannya dengan nikmat”.
Al-Fudlail berkata: “Apabila bersamaan padanya antara tidak diberi dengan diberi, maka ia telah ridha kepada Allah Ta’ala”. Ahmad bin Abil-Hawari berkata: “Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla dari kemurahanNya, Ia ridha dari hamba-hambaNya, akan apa yang diridhai oleh hamba-hamba itu dari tuannya”. Aku lalu bertanya: “Bagaimana yang demikian ?”. Abu Sulaiman Ad-Darani menjawab: “Bukankah kehendak hamba itu dari makhluk, bahwa ia diridhai oleh tuannya ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Bahwa kesukaan Allah dari hamba-hambaNya, ialah bahwa mereka itu ridha daripadaNya”. Sahal berkata: “Keberuntungan hamba-hamba itu dari keyakinan, ialah di atas kadar keberuntungan mereka dari keridhaan. Dan keberuntungan mereka dari keridhaan, ialah di atas kadar kehidupan mereka serta Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan hikmah dan keagunganNya, menjadikan kesenangan dan kegembiraan pada ridha dan yakin. Dan menjadikan dukacita dan gundah hati pada keraguan dan kemarahan”.
PENJELASAN: hakikat/makna ridha dan gambarannya pada yang menyalahi hawa nafsu.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang mengatakan tidaklah pada apa yang menyalahi hawa nafsu dan berbagai macam percobaan itu, selain bersabar dan adapun ridha maka tidaklah tergambar, sesungguhnya itu datang dari segi mengingkari kecintaan. Adapun, apabila telah tetap tergambarnya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan tenggelamnya keduka-citaan dengan kecintaan itu, maka tidaklah tersembunyi, bahwa kecintaan itu mewariskan ridha dengan segala perbuatan orang yang dicintai. Dan adalah yang demikian itu dari dua segi:
Salah satu dari dua segi itu, ialah: bahwa hilanglah rasa dengan kepedihan, sehingga berlalulah di atas orang itu yang dipedihkan dan ia tidak merasakan. Dan ia mendapat musibah dengan luka dan tidak memperoleh kepedihannya. Contohnya ialah laki-laki yang berperang. Maka ketika ia dalam kemarahan atau dalam keadaan ketakutan, kadang-kadang ia kena luka dan ia tidak merasakan dengan luka itu. Sehingga, apabila ia melihat darah, lalu ia mendapat bukti atas kelukaannya itu. Bahkan orang yang berpagi-pagi hari dalam kesibukan yang dekat, kadang-kadang kena duri pada tapak kakinya. Dan ia tidak merasa dengan kepedihan yang demikian, karena kesibukan hatinya. Akan tetapi, orang yang dibekam atau rambut kepalanya dicukur dengan pisau yang majal/tumpul, niscaya ia merasa pedih dengan yang demikian. Kalau hatinya disibukkan dengan sesuatu dari kepentingan-kepentingannya, niscaya selesailah orang yang menghiaskan dan yang membekam itu dan dia tidak merasa dengan yang demikian. Semua yang demikian itu, karena hati, apabila telah tenggelam dengan salah satu urusan, yang disiapkannya dengan sempurna, niscaya ia tidak merasakan yang lain daripadanya. Maka seperti demikian juga, orang yang rindu, yang tenggelam kesusahannya dengan menyaksikan yang dirinduinya atau dengan mencintainya, kadang-kadang tertimpa kepadanya, apa yang dirasakannya pedih. Atau menyusahkan kepadanya, jikalau tidaklah ada kerinduannya. Kemudian, ia tidak memperoleh kesusahan dan kepedihan, karena bersangatan dikuasai oleh kecintaan atas hatinya. Ini apabila tertimpa kepadanya, tanpa atas diri kekasihnya. Maka bagaimana apabila menimpakannya dengan kena kekasihnya ? dan kesibukan hati dengan cinta dan rindu itu termasuk kesibukan yang terbesar. Dan apabila ini telah tergambar pada kepedihan yang sedikit, dengan sebab kecintaan yang ringan, niscaya tergambarlah pada kepedihan yang sangat dengan kecintaan yang sangat.
Sesungguhnya kecintaan juga tergambar berlipat-gandanya pada kekuatannya, sebagaimana tergambar berlipat-gandanya kepedihan. Dan sebagaimana kuatnya menyukai rupa yang cantik, yang diperoleh dengan pancaindra penglihatan, maka demikian juga kuatnya kecintaan kepada rupa yang cantik, yang batiniyah, yang diperoleh dengan cahaya mata hati. Dan keelokan Hadlarat / keajaiban Ketuhanan dan KeagunganNya, tidaklah dibandingkan dengan Allah akan keelokan dan keagungan yang lain. Maka siapa yang tersingkap baginya akan sesuatu dari yang demikian, maka kadang-kadang dapat mengalahkannya, dimana ia merasa dahsyat dan pingsan. Lalu ia tidak merasakan, dengan apa yang berlaku atas dirinya.
Diriwayatkan bahwa isteri Fatah Al-Maushuli jatuh. Lalu tercabut kukunya. Maka ia tertawa. Lalu ia ditanyakan: “Apakah anda tidak merasa sakit?”. Ia menjawab: “Bahwa kelezatan pahalanya itu menghilangkan dari hatiku, akan kepahitan sakitnya”. Adalah pada Sahal ra itu penyakit, yang dia obati orang lain dari penyakitnya. Dan ia tidak mengobati dirinya sendiri. Lalu ditanyakan kepadanya dari hal yang demikian. Ia lalu menjawab: “Hai orang yang mencintai! pukulan dari yang dicintai itu tidak menyakitkan”.
Adapun segi yang kedua, maka ia merasakan dengan yang demikian dan memperoleh kepedihannya. Akan tetapi ia ridha dengan yang demikian, bahkan ingin dan menghendakinya. Ya’ni: dengan akalnya, walaupun ia benci dengan tabiatnya. Seperti orang yang meminta dari tukang betik, akan pembetikan dan pembekaman. Ia memperolah kepedihan yang demikian, akan tetapi ia ridha dan ingin kepadanya. Dan mengikuti dari tukang betik itu dengan demikian, akan kenikmatan dengan perbuatannya. Maka inilah keadaan orang yang ridha, dengan apa yang berlaku atas dirinya dari kepedihan. Seperti demikian juga, setiap orang yang bermusafir pada mencari keuntungan, memperoleh kesukaran perjalanan. Akan tetapi, kesukarannya kepada hasil perjalanannya itu, membaikkan padanya kesukaran perjalanan. Dan menjadikannya ridha dengan kesukaran itu.
Manakala tertimpa atas dirinya percobaan dari Allah Ta’ala dan ia mempunyai keyakinan, bahwa pahalanya yang tersimpan baginya di atas apa yang telah hilang, niscaya ia ridha dengan yang demikian. Ia ingin, menyukai dan bersyukur kepada Allah atas yang demikian. Ini, jikalau ia meneliti akan pahala dan perbuatan baik, yang diberi pembalasan kepadanya dengan yang demikian. Dan boleh kecintaan itu mengeras, dimana keberuntungan si pecinta pada kehendak yang dicintainya dan ridhanya. Tidak karena maksud yang lain di belakangnya. Maka adalah kehendak dan keridhaan orang yang dicintai itu menjadi kecintaan dan yang dicarikan baginya. Semua itu terdapat pada yang disaksikan pada kecintaan makhluk. Orang-orang yang menyifatkan itu telah menyifatkannya pada proza dan puisi mereka. Tak adalah makna baginya, selain pada memperhatikan keelokan rupa zahiriyah dengan penglihatan mata kepala. Maka kalau dipandang kepada keelokan, niscaya tidaklah itu, selain kulit, daging dan darah, yang penuh dengan kotoran dan kejijikan. Permulaannya dari air mani yang berhamburan dan kesudahannya bangkai yang menjijikkan. Dan dia diantara yang demikian itu membawa taik. Dan kalau ia memandang kepada yang mengetahui keelokan itu, maka itu adalah mata yang hina, yang banyak bersalah pada apa yang dilihatnya. Lalu ia melihat yang kecil itu besar dan yang besar itu kecil. Yang jauh itu dekat dan yang buruk itu bagus. Apabila telah tergambar kekuasaannya kecintaan ini, maka dari manakah kemustahilan yang demikian pada mencintai kecantikan Yang Azali ( tida kesudahan / permulaan ). Yang Abadi, yang tiada berkesudahan bagi kesempurnaanNya, yang diketahui dengan diri mata hati, yang tidak ditutupkan oleh kesalahan dan tidak dikelilingi oleh mati. Akan tetapi, diri mata hati itu berkekalan sesudah mati, yang hidup di sisi Allah, gembira dengan rezeki yang diberikan oleh Allah Ta’ala, yang menerima faedah dengan kematian akan penambahan peringatan dan ketersingkapan. Maka inilah hal yang terang, dari segi memandang dengan pandangan i’tibar/ibarat.
Untuk yang demikian itu, disaksikan oleh wujud dan cerita-cerita hal-ihwal orang-orang yang mencintai dan ucapan-ucapan mereka. Syaqiq Al-Bakhili berkata: “Barangsiapa melihat akan pahala kesukaran, niscaya ia tidak ingin keluar daripadanya”. Al-Junaid berkata: “Aku bertanya kepada Sarya as-Suqthi: “Adakah orang yang mencintai itu mendapat kepedihan percobaan ?”. Ia menjawab: “Tidak !”. Aku bertanya lagi: “Jikalau dipukul dengan pedang ?”. Ia menjawab: “Ya ! walaupun dipukul dengan pedang 70 kali, pukulan di atas pukulan”. Sebahagian mereka berkata: “Aku mencintai setiap sesuatu dengan kecintaannya. Sehingga jikalau ia mencintai neraka, niscaya aku suka masuk neraka”.
Basyar bin Al-Harts berkata: “Aku melewati seorang laki-laki dan ia telah dipukul 1000 cambuk di bagian Timur Bagdad. Dan ia tidak berkata-kata. Kemudian, ia dibawa ke penjara. Lalu aku mengikutinya. Maka aku bertanya kepadanya: “Mengapa engkau dipukul ?”. Ia lalu menjawab: “Karena aku rindu”. Maka aku bertanya lagi kepadanya: “Mengapa engkau diam ?”. Ia menjawab: “Karena yang aku rindukan itu ada di depanku. Ia memandang kepadaku”. Lalu aku bertanya pula: “Jikalau engkau memandang kepada Yang Dirindukan Yang Maha Besar ?”. Basyar meneruskan ceritanya: “Maka ia menjerit dengan jeritan, yang ia jatuh tersungkur, dalam keadaan sudah meninggal”. Yahya bin Ma’adz Ar-Razi ra berkata: “Apabila penduduk sorga memandang kepada Allah Ta’ala, niscaya hilanglah mata mereka dalam hatinya, dari kelezatan memandang kepada Allah Ta’ala, selama 800 tahun, yang tidak kembali kepada mereka. Maka apakah persangkaan engkau dengan hati yang telah jatuh diantara keelokan dan keagunganNya ? apabila ia memperhatikan keagunganNya, niscaya hati itu takut. Dan apabila hati itu memperhatikan keelokanNya, niscaya ia tercengang. Basyar berkata: “Aku bermaksud ke Abadan pada permulaan perjalananku. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang buta, berpenyakit kusta, yang gila. Ia dalam keadaan pingsan. Dan semut memakan dagingnya. Lalu aku angkatkan kepalanya dan aku letakkan di pangkuanku. Aku mengulang-ulangi berkata. Maka tatkala ia telah sembuh dari pingsannya, lalu bertanya: “Siapakah orang yang utama ini, yang masuk diantaraku dan Tuhanku ? jikalau Ia memotong aku berpotong-potong, niscaya semakin aku bertambah cinta kepadaNya”. Basyar berkata: “Maka tiadalah aku melihat sesudah itu akan kegusaran diantara hamba dan Tuhannya, maka aku menantangnya”.
Abu ‘Amr Muhammad bin Al-Asy’ats berkata: “Bahwa penduduk Mesir berdiam selama 4 bulan, tak ada bagi mereka makanan, selain memandang kepada wajah Yusuf Ash-Shiddiq as. Adalah mereka apabila lapar lalu memandang kepada wajahnya. Maka disibukkan mereka oleh kecantikannya, daripada merasakan dengan kepedihan lapar. Bahkan dalam Alquran ada yang lebih bersangatan dari yang demikian. Yaitu: kaum wanita memotong tangannya, karena membabi-butanya mereka dengan memperhatikan kecantikan Yusuf as. Sehingga mereka tidak merasakan dengan yang demikian. Sa’id bin Yahya berkata: “Aku melihat di Basrah dalam hotel ‘Atha’ bin Muslim, seorang pemuda. Di tangannya sebilah pisau. Ia menyerukan dengan suaranya yang sangat keras dan orang banyak di kelilingnya. Ia bermadah:
Hari perpisahan,
dari kiamat itu lebih lama.
Dan kematian itu lebih elok,
dari kepedihan perpecahan.
Mereka mengatakan: bepergian,
Aku menjawab: tidaklah aku bepergian !
Akan tetapi, hatiku,
yang bepergian......!
Kemudian, ia korek dengan pisau itu perutnya dan ia jatuh tersungkur, dalam keadaan meninggal dunia. Lalu aku tanyakan tentang dia dan urusannya. Lalu dikatakan kepadaku: “Bahwa ia merindui seorang pemuda kepunyaan sebahagian raja-raja, yang telah terdinding daripadanya satu hari”.
Diriwayatkan, bahwa Yunus as berkata kepada Jibril: “Tunjukkanlah kepadaku, penduduk bumi yang paling banyak ibadahnya !”. Jibril lalu menunjukkan kepada Yunus as, seorang laki-laki, yang kedua tangannya dan kedua kakinya telah putus oleh penyakit kusta. Penglihatannya sudah hilang. Yunus mendengar orang laki-laki itu mengatakan: “Wahai Tuhanku ! Engkau berikan aku bersenang-senang dengan keduanya, menurut apa yang Engkau kehendaki. Engkau cabut dari aku, apa yang Engkau kehendaki. Engkau tinggalkan bagiku, akan angan-angan pada Engkau, hai Yang Memberikan kebajikan ! hai Yang Menyampaikan !”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia mengadu, baginya anak laki-laki. Bersangatanlah kesusahannya atas anaknya itu. Sehingga sebahagian kaumnya mengatakan: “Kami takut terhadap orang tua ini, jikalau terjadilah dengan anak tersebut akan suatu kejadian”. Anak itu meninggal. Lalu keluarlah Ibnu Umar dalam rombongan pengantar jenazahnya. Tiada seorang lelakipun sekali-kali yang lebih gembira daripadanya. Lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka Ibnu Umar menjawab: “Bahwa adalah gundahku itu rahmat baginya. Maka tatkala telah jatuh perintah Allah, niscaya kami ridha dengan yang demikian”.
Masruq berkata: “Adalah seorang laki-laki di suatu desa mempunyai seekor anjing, seekor keledai dan seekor ayam jantan. Maka ayam jantan itu membangunkan mereka untuk shalat. Keledai untuk mereka membawakan air dan yang membawa bagi mereka, tempat tinggal mereka dari bulu. Dan anjing yang mengawal mereka”. Masruq meneruskan ceritanya: “Maka datanglah tsa’lab (seperti anjing), lalu mengambil ayam jantan. Maka mereka itu bergundah hati karenanya. Adalah disitu seorang laki-laki shalih. Lalu mengatakan: “Mudah-mudahan adalah yang demikian itu lebih baik”. Kemudian datang seekor srigala, yang dikoreknya perut keledai dan dibunuhnya. Mereka bergundah hati karenanya. Laki-laki yang shalih itu berkata: “Mudah-mudahan adalah yang demikian itu lebih baik”. Kemudian, tertimpa pula musibah atas anjing sesudah itu. Orang laki-laki shalih itu berkata: “Mudah-mudahan adalah yang demikian itu lebih baik”. Kemudian pagi-pagi pada suatu hari, mereka melihat, bahwa telah ditawan orang-orang Arab dari sekitar mereka. Dan yang tinggal hanya mereka saja, yang tidak ditawan. Masruq meneruskan ceritanya: “Bahwa mereka itu diambil, karena ada pada mereka itu suara anjing, keledai dan ayam jantan. Maka adalah pilihan bagi mereka itu tentang kebinasaan binatang-binatang ini, sebagaimana ditakdirkan oleh Allah Ta’ala”. Jadi, siapa yang mengetahui akan yang tersembunyi dari kelemah-lembutan Allah Ta’ala, niscaya ia ridha dengan perbuatanNya dalam segala hal.
Diriwayatkan, bahwa Isa as lalu di hadapan seorang laki-laki buta, berpenyakit supak/lepra, tua-bangka, kedua lembungnya lumpuh dan dagingnya sudah berguguran dari penyakit kusta. Dan ia mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang mendatangkan sehat wal-afiat bagiku, dari apa yang dicobakanNya akan kebanyakan makhlukNya”. Isa as lalu berkata kepada orang itu: “Hai orang ini ! manakah sesuatu dari percobaan, yang aku lihat tersingkir dari engkau ?”. Laki-laki itu menjawab: “Wahai Ruh Allah ! aku lebih baik dari orang, yang tidak dijadikan oleh Allah dalam hatinya, apa yang dijadikanNya dalam hatiku dari ilmu mengenal Allah Ta’ala kepadaNya”. Isa as lalu menjawab: “Benar engkau. Marilah tangan engkau !”. Maka Isa as memegang tangannya. Tiba-tiba laki-laki itu menjadi manusia yang tercantik mukanya dan keadaannya yang lebih utama. Dihilangkan oleh Allah daripadanya, apa yang ada itu. Maka ia menemani Isa as dan mengerjakan ibadah bersama Isa as.
Urwah bin Az-Zubair memotong kakinya dari lututnya, dari karena penyakit yang keluar daripadanya. Kemudian, ia mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang mengambil dari aku satu. Demi kiranya ! jikalau adalah Engkau itu mengambil, niscaya sungguh Engkau kekalkan terus adanya. Dan jikalau Engkau cobakan, niscaya Engkau sembuhkan”. Kemudian, ia tidak meninggalkan wiridnya (ibadah yang dibiasakannya) pada malam itu. Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Kemiskinan dan kekayaan itu dua kendaraan. Aku tidak perduli, yang mana aku kendarai. Jikalau kemiskinan, maka padanya kesabaran. Dan jikalau kekayaan, maka padanya pemberian”.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Aku telah memperoleh dari setiap tingkat itu akan keadaan, selain ridha. Maka tidak ada bagiku daripadanya, selain keciuman bau. Dan diatas yang demikian, jikalau makhluk semuanya dimasukkan ke sorga dan aku dimasukkan ke neraka, niscaya aku ridha dengan yang demikian”. Ditanyakan kepada orang arif / ahli ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang lain: “Adakah engkau mencapai penghabisan keridoan dari yang demikian?”. Orang arif itu menjawab: “Adapun penghabisannya, tidak ! akan tetapi maqam ridha telah aku memperolehnya. Jikalau dijadikanNya aku jembatan di atas neraka jahannam, yang dilalui oleh makhluk atasku ke sorga, kemudian dipenuhiNya dengan aku neraka jahannam, untuk menutupkan bagi pembahagianNya dan sebagai ganti dari makhlukNya yang lain, niscaya aku sukai akan yang demikian dari hukumNya. Dan aku ridha dengan yang demikian dari pembahagianNya”. Ini adalah perkataan orang yang mengetahui, bahwa cinta itu menghabiskan kesusahannya, sehingga ia dicegah oleh perasaan itu dari kepedihan neraka. Jikalau perasaan itu masih terus, lalu ia dilimpahkan oleh apa yang diperolehnya dari kelezatannya, pada dirasakannya keberhasilan keridhaan Yang dicintainya, dengan dicampakkanNya dia dalam neraka dan berkuasanya keadaan ini yang tidak mustahil pada dirinya, walaupun ada dia itu jauh dari hal-ihwal kita yang lemah. Akan tetapi, tiada seyogyalah diingkari oleh orang yang lemah yang tidak memperoleh hal-ihwal orang-orang yang kuat. Dan ia menyangka, bahwa apa yang ia lemah daripadanya itu, adalah para wali lemah pula daripadanya.
Ar-Raudzabari berkata: “Aku bertanya kepada Abi Abdillah bin Al-Jalla’ Ad-Dimasyqi bahwa perkataan si Anu: “Aku menyukai bahwa tubuhku digunting dengan gunting-gunting dan bahwa makhluk ini mentaatinya, apakah artinya ?”. Beliau menjawab: “Hai saudara ini ! jikalau adalah ini dari jalan pembesaran dan pengagungan, maka aku tidak mengetahui. Dan jikalau adalah ini dari jalan kasih-sayang dan nasehat kepada makhluk, maka aku mengetahui nya”. Ar-Raudzabari meneruskan riwayatnya: “Kemudian, Abi Abdillah itu pingsan”. Adalah Imran bin Al-Hushain meminta air untuk perutnya. Maka ia tetap terlentang atas punggungnya selama 30 tahun, tidak berdiri dan tidak duduk. Telah dikorek baginya pada tempat tidur dari pelepah kurma, yang ada di atasnya suatu tempat, untuk ia membuang air besarnya (qodo-hajatnya). Maka masuklah ke tempatnya Mathraf dan saudaranya Al-‘Ala’. Ia lalu menangis, karena apa yang dilihatnya dari keadaan Imran bin Al-Hushain itu. Imran lalu bertanya: “Mengapa anda menangis ?”. Mathraf menjawab: “Karena aku melihat engkau di atas keadaan ini yang besar”. Imran menjawab: “Jangan engkau menangis ! bahwa kecintaannya kepada Allah Ta’ala itu kecintaannya kepadaku”. Kemudian, Imran menyambung: “Aku akan menceritakan kepada engkau akan sesuatu. Semoga Allah memberi manfaat kepada engkau dengan dia. Dan sembunyikan, sampai aku mati. Bahwa para malaikat berkunjung kepadaku. Maka aku berjinak-jinakan hati dengan mereka. Memberi salam kepadaku, maka aku mendengar salamnya. Lalu dengan demikian itu, aku mengetahui, bahwa percobaan ini bukanlah siksaan. Karena dia itu adalah sebab bagi kenikmatan yang besar ini. Maka siapa yang menyaksikan ini pada percobaannya, bagaimana ia tidak ridha dengan dia ?”. Mathraf meneruskan ceritanya: “Kami masuk ke tempat Suwaid bin Mats’abah. Kami berkunjung kepadanya. Lalu kami melihat sepotong kain terletak di atas lantai. Kami tidak menyangka, bahwa di bawahnya ada sesuatu, sehingga dibukakan. Lalu isterinya berkata kepadanya: “Isterimu tebusanmu. Kami tidak memberi makanan kepadamu. Tidak memberi minuman kepadamu”. Suwaid bin Mats’abah menjawab: “Telah lamalah tidur. Telah teraturlah tulang-belulang kedua lembung. Dan jadilah dia kurus seperti kain buruk. Aku tidak memakan makanan. Dan tidak memuaskan aku minuman, sejak yang demikian”. Lalu ia menyebutkan beberapa hari. Dan ia menyambung: “Aku tidak suka bahwa aku berkurang dari ini, sekerat kukupun”. Tatkala tiba Sa’ad bin Abi Waqqash di Makkah dan ia sudah tidak dapat melihat lagi, maka datanglah orang banyak kepadanya berbondong-bondong. Setiap orang itu meminta supaya Sa’ad bin Abi Waqqash berdoa baginya. Maka ia berdoa bagi si ini dan si ini. Dan adalah dia makbul doanya. Berkata Abdullah bin As-Saib: “Maka aku datang kepada Sa’ad bin Abi Waqqash dan aku waktu itu masih kecil. Aku perkenalkan diriku kepadanya, maka dikenalnya. Dan beliau bertanya: “Engkau qari’ (ahli membaca Alquran) penduduk Makkah ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Maka diterangkan nya suatu cerita, yang ia mengatakan pada akhir ceritanya itu. Aku lalu mengatakan kepadanya: “Hai pamanku ! engkau berdoa bagi manusia. Maka jikalau engkau berdoa bagi diri engkau sendiri, niscaya dikembalikan oleh Allah kepada engkau penglihatan engkau”. Maka beliau tersenyum dan menjawab: “Hai anakku ! qodo/takdir Allah Yang Maha Suci padaku itu lebih bagus dari penglihatanku”.
Sebahagian orang shufi telah hilang anaknya yang kecil selama 3 hari, yang tidak diketahuinya berita. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Jikalau engkau meminta pada Allah Ta’ala, bahwa dikembalikanNya anak itu kepada engkau”. Orang shufi itu lalu menjawab: “Teguranku kepadaNya pada apa yang diqodokanNya itu lebih berat atasku, dari hilangnya anakku”.
Dari sebahagian orang-orang abid, bahwa ia mengatakan: “Bahwa aku telah berbuat dosa besar. Maka aku menangis di atas terjadinya dosa itu semenjak 60 tahun yang lalu”. Adalah ia telah bersungguh-sungguh dalam beribadah karena taubat dari dosa itu. Maka orang bertanya kepadanya: “Apakah dosa itu ?”. Ia menjawab: “Aku mengatakan pada suatu kali, mengenai sesuatu yang telah ada: “Semoga dia itu tidak ada”. Sebahagian salaf mengatakan: “Jikalau tubuhku digunting dengan gunting-gunting, niscaya lebih aku sukai, daripada aku mengatakan bagi sesuatu, yang telah menjadi takdir Allah Yang Maha Suci: “Semoga tidaklah menjadi takdirNya”.
Dikatakan kepada Abdul-wahid bin Zaid: “Disini ada seorang laki-laki yang telah mengerjakan ibadah selama 50 tahun. Lalu Abdul-wahid menuju kepada orang itu. Maka ia berkata kepadanya: “Hai kekasihku ! ceritakanlah kepadaku, dari hal engkau. Adakah engkau merasa puas dengan yang demikian ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Abdul-wahid bertanya pula: “Jinakkah hati engkau dengan yang demikian ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Abdul-wahid bertanya lagi: “Ridhakah engkau dari yang demikian ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Abdul-wahid kembali bertanya: “Sesungguhnya tambahan engkau daripadanya itu puasa dan shalat ?”. Orang itu menjawab: “Ya !”. Abdul-wahid lalu mengatakan: “Jikalau tidaklah aku ini malu kepada engkau, niscaya aku terangkan kepada engkau, bahwa mu’amalah (perniagaan) engkau selama 50 tahun itu ke sasaran. Artinya: tidak terbuka bagi engkau pintu hati. Maka engkau meningkat kepada derajat-derajat kedekatan, dengan amalan hati. Bahwa engkau terhitung pada lapisan ash-habul-yamin (kaum kanan). Karena tambahan engkau daripadanya itu pada amal perbuatan anggota badan, yang dia itu tambahan bagi orang-orang awam”.
Suatu jama’ah manusia masuk di tempat Asy-Syibli ra di Maristan, dimana ia ditahan di situ. Dan beliau kumpulkan di hadapannya batu. Beliau lalu bertanya: “Siapakah kamu ?”. Mereka menjawab: “Pecinta-pecinta engkau”. Asy-Syibli lalu menghadapkan mukanya kepada mereka. Dilemparkannya mereka dengan batu. Lalu mereka itu berlarian. Maka ia bertanya: “Apa kabar kamu ini ? kamu mendakwakan mencintai aku ? kalau kamu benar, maka bersabarlah kamu atas percobaanku”. Asy-Syibli ra bermadah:
Bahwa cintaku kepada Ar-Rahman,
menjadikan aku kemabukan.
Adakah anda melihat orang yang bercintaan,
yang tidak kemabukan ?
Sebahagian ‘abid penduduk negeri Syam (Syria) mengatakan: “Setiap kamu itu bertemu dengan Allah Ta’ala, dengan membenarkan. Dan mungkin ia mendustakannya. Yang demikian itu, bahwa seseorang kamu, jikalau ada baginya anak jari dari emas, niscaya senantiasalah ia menunjuk dengan anak jari itu. Dan jikalau ada pada anak jarinya itu kekurangan, niscaya senantiasalah disembunyikannya”. Yang dimaksudkan dengan demikian, ialah: bahwa emas itu tercela pada sisi Allah. Dan manusia berbangga-banggaan dengan dia. Percobaan itu perhiasan penduduk sorga. Dan mereka memandang mudah daripadanya.
                  Diceritakan, bahwa telah terjadi kebakaran pada suatu pasar. Lalu dikatakan kepada As-Sirri: “Telah terbakar pasar itu dan tidak terbakar warung engkau”. As-Sirri menjawab: “Alhamdulillah”. Kemudian ia menyambung: “Bagaimana aku mengucapkan “Alhamdulillah” atas keselamatanku, tidak kaum muslimin ?”. Maka ia bertaubat dari berniaga. Ia meninggalkan warung pada sisa umurnya itu, karena bertaubat dan meminta ampun dari ucapannya: Alhamdulillah itu. Apabila anda memperhatikan cerita-cerita ini, niscaya sudah pasti, anda mengetahui, bahwa ridha dengan yang menyalahi hawa nafsu itu tidaklah mustahil. Bahkan, itu adalah maqam yang tinggi dari maqam-maqam ahli keagamaan. Manakala adalah yang demikian itu mungkin pada kecintaan makhluk dan keberuntungan mereka, niscaya adalah itu mungkin terhadap kecintaan kepada Allah Ta’ala dan keberuntungan akhirat, dengan pasti. Dan kemungkinannya itu dari dua segi:
Salah satu dari keduanya itu, ialah: ridha dengan kepedihan, karena apa yang diharapkan dari pahala yang didapati, seperti: ridha dengan betik, bekam dan minum obat, karena menunggu bagi kesembuhan.
Kedua: ridha dengan kepedihan itu, tidak karena keberuntungan di belakangnya. Akan tetapi, karena adanya itu kehendak dari yang dicintai dan keridhaannya. Kadang-kadang mengeras cinta itu, dimana kehendak yang mencintai tenggelam dalam kehendak yang dicintai. Maka adalah sesuatu yang paling lezat padanya, ialah: kegembiraan hati orang yang dicintainya, keridhaannya dan lulus kehendaknya. Walaupun dalam kebinasaan nyawanya. Sebagaimana dikatakan dalam pantun:
Maka tidak adalah kepedihan luka,
apabila itu menyenangkan kamu.
Ini suatu kemungkinan belaka,
serta merasakan dengan kepedihan itu.
Kadang-kadang cinta itu berkuasa, dimana mendahsyatkan, tanpa diketahui kepedihan. Perbandingan, percobaan dan penyaksian itu menunjukkan kepada adanya cinta. Maka tiada seyogyalah dibantah, ketiadaannya cinta itu dari dirinya. Bahwa ketiadaannya itu karena tidak ada sebabnya. Yaitu: berlampauan batas cintanya. Dan siapa yang tidak measakan rasa cinta, niscaya ia tidak mengenal akan keajaiban-keajaibannya. Bagi orang-orang yang bercinta itu mempunyai keajaiban-keajaiban, yang lebih besar, dari apa yang kami telah sifatkan. Diriwayatkan dari ‘Amr bin Al-Harits Ar-Rafi’i, yang mengatakan: “Adalah aku pada suatu majelis di Riqqah di sisi temanku. Dan ada bersama kami seorang pemuda, yang merindui seorang budak wanita yang pandai menyanyi. Budak wanita itu ada bersama kami di majelis. Maka ia memukul alat musik dan menyanyikan:
Tanda kehinaan hawa nafsu,
menangis kepada orang yang dirindukan.
Lebih-lebih lagi orang yang merindui,
apabila tidak memperoleh tempat mengadukan.
Pemuda itu lalu mengatakan kepada wanita penyanyi tersebut: “Bagus sekali anda -demi Allah, wahai nyonya ! apakah anda mengizinkan kepadaku, bahwa aku mati ?”. Wanita itu menjawab: “Matilah dengan berakal !”. ‘Amr bin Al-Harits meneruskan ceritanya: “Pemuda itu lalu meletakkan kepalanya di atas bantal. Menutupkan mulutnya dan memejamkan matanya. Lalu kami menggerak-gerakannya. Rupanya, ia sudah meninggal”.
Al-Junaid berkata: “Aku melihat seorang laki-laki bergantung dengan lengan baju seorang anak kecil. Ia merendahkan diri kepada anak kecil itu dan melahirkan kasih-sayang kepadanya. Lalu anak kecil itu berpaling kepadanya dan mengatakan: “Sampai kapan kemunafikan ini, yang engkau lahirkan bagiku?”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Allah tahu, bahwa aku ini benar pada apa yang aku kemukakan. Sehingga jikalau engkau katakan kepadaku: matilah engkau, niscaya aku mati”. Anak kecil itu lalu menjawab: “Jikalau engkau benar, maka matilah !”. Al-Junaid meneruskan ceritanya: “Laki-laki itu lalu undur dari tempat itu dan memejam kedua matanya. Maka ia didapati sudah meninggal”.
Samnun pencinta berkata: “Adalah pada tetangga kami seorang laki-laki. Ia mempunyai seorang budak wanita, yang dicintainya betul-betul. Maka sakitlah budak wanita itu. Lalu laki-laki tersebut duduk, membuat bubur kurma bagi budak wanita tadi. Sewaktu ia sedang menggerakkan belanga, tiba-tiba budak wanita itu mengatakan: “Aduh !”. Samun meneruskan ceritanya: “Laki-laki itu lalu terkejut dan jatuhlah sendok dari tangannya. Dan ia menggerak-gerakkan apa yang dalam belanga itu, dengan tangannya. Sehingga jatuhlah anak-anak jarinya”. Budak wanita itu maka bertanya: “Apakah ini ?”. Laki-laki itu menjawab: “Inilah tempat ucapan engkau: “Aduh !”.
Diceritakan dari Muhammad bin Abdullah Al-Baghdadi, yang mengatakan: “Aku melihat di Basrah, seorang pemuda, di atas atap yang tinggi. Ia mendekati kepada manusia ramai dan bermadah:
Siapa yang meninggal karena kerinduan,
maka hendaklah ia mati dengan begitu.
Tiada kebajikan pada kerinduan,
dengan tidak mati demikian itu.
Kemudian, ia melemparkan dirinya ke tanah. Lalu mereka membawanya dalam keadaan sudah meninggal. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini, kadang-kadang dibenarkan pada kecintaan kepada makhluk. Dan pembenaran dengan yang demikian itu lebih utama pada kecintaan kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta). Karena mata hati yang batiniyah itu lebih benar dari mata kepala yang zahiriyah. Keelokan hadlarat/keajaiban ketuhanan itu lebih sempurna dari setiap keelokan. Bahkan setiap keelokan di alam ini, adalah salah satu dari kebagusan-kebagusan keelokan itu. Ya, orang yang ketiadaan penglihatan itu memungkiri akan kecantikan bentuk. Dan orang yang ketiadaan pendengaran itu memungkiri akan keenakan nyanyian dan lagu-lagu yang bertimbang. Maka orang yang ketiadaan hati, niscaya tidak boleh tidak akan memungkiri pula kelezatan-kelezatan ini, yang tiada tempat sangkaan baginya, selain hati.
PENJELASAN: bahwa doa itu tiada bertentangan dengan ridha.
Tiada keluarlah orang yang berdoa itu dari maqam ridha. Seperti demikian pula, kebencian kepada perbuatan-perbuatan maksiat, kutukan kepada orang-orangnya, kutukan kepada sebab-sebabnya dan usaha pada menghilangkannya dengan amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak juga bertentangan dengan ridha. Telah salah pada yang demikian, sebahagian orang-orang yang berbuat batil/salah, yang tertipu. Dan mendakwakan, bahwa perbuatan-perbuatan maksiat, kezaliman dan kekufuran itu dari qodo/hukum takdir Allah dan qadar/takdirNya, Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Maka haruslah ridha dengan qodo dan qadar itu. Ini adalah kebodohan dengan penafsiran dan kelalaian dari rahasia-rahasia agama.
Adapun doa, maka kita beribadah dengan doa itu. Kebanyakan doa Rasulullah saw dan nabi-nabi yang lain, di atas apa yang kami nukilkan pada Kitab Doa dahulu, menunjukkan kepada yang demikian. Adalah Rasulullah saw pada maqam tertinggi dari ridha. Dan Allah Ta’ala memujikan kepada sebahagian hamba-hambaNya dengan firmanNya: “Dan mereka mendoa pada Kami dengan pengharapan dan perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 90. Adapun memungkiri perbuatan-perbuatan maksiat, tidak menyukainya dan tidak ridha dengan dia, maka Allah telah menerima ibadah hamba-hambaNya dengan demikian dan mencela mereka atas meridhainya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka ridha dengan kehidupan yang dekat dan sudah merasa tentram dengan dia”. S 10 Yunus ayat 7. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka ridha bahwa ada mereka bersama orang-orang yang tinggal (di rumah). Dan Allah telah mencap hati mereka”. S 9 At Taubah ayat 93. Tersebut pada hadits yang masyhur: “Barangsiapa menyaksikan perbuatan munkar, lalu ia ridha dengan perbuatan tersebut, maka seakan-akan ia sudah mengerjakannya”. Tersebut pada hadits: “Orang yang menunjukkan kepada kejahatan, adalah seperti orang yang memperbuatnya”. Diriwayatkan dari Ibni Mas’ud: “Bahwa hamba itu hendaklah menghilang (menyingkir) dari perbuatan munkar. Dan adalah atasnya seperti dosa orang yang punya perbuatan munkar tersebut”. Ditanyakan: “Bagaimana maka demikian ?”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Disampaikan kepadanya, lalu ia ridha dengan perbuatan munkar itu”.
Tersebut pada hadits: “Jikalau seorang hamba dibunuh di masyriq (tempat matahari terbit) dan diridhai (disetujui) dengan pembunuhannya oleh orang lain di maghrib (tempat matahari terbenam), niscaya adalah orang itu kongsi pada pembunuhannya”. Allah Ta’ala menyuruh dengan dengki (dalam arti yang baik) dan berlomba-lomba pada kebajikan dan menjaga dari kejahatan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan pada yang demikian itu, hendaklah berlomba orang yang mau berlomba !”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 26. Nabi saw bersabda: “Tiada dengki (hasad), selain pada dua: laki-laki yang diberikan oleh Allah kepadanya hikmah, maka dikembangkannya pada manusia dan diajarkannya. Dan laki-laki yang diberikan oleh Allah kepadanya harta, lalu dikuasainya pada menghabiskannya pada kebenaran”. Pada lafadh yang lain, berbunyi: “Dan seorang laki-laki, yang didatangkan oleh Allah kepadanya Alquran, lalu ia bangun dengan Alquran itu tengah malam dan siang, lalu seorang laki-laki berkata: “Jikalau didatangkan oleh Allah kepadaku, seperti apa yang didatangkanNya kepada orang itu, niscaya aku berbuat, seperti apa yang diperbuatnya”.
Adapun kemarahan orang-orang kafir dan orang-orang zalim, menantang dan mengutuk mereka, maka apa yang datang tentang itu, dari dalil-dalil Alquran dan hadits, adalah tidak terhingga seperti firmannya Allah Ta’ala: “Janganlah orang-orang yang beriman mengambil orang-orang yang kafir menjadi pemimpin, bukan orang-orang yang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 28. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin”. S 5 Al Maaidah ayat 51. Allah Ta’ala berfirman: “Dan begitulah sebahagian orang-orang yang zalim itu Kami jadikan pemimpin bagi sebahagian yang lain”. S 6 Al An’aam ayat 129. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala membuat ikatan perjanjian atas setiap orang yang beriman, bahwa memarahi setiap orang munafik. Dan atas setiap orang munafik, bahwa memarahi setiap orang yang beriman”.
Nabi saw bersabda: “Manusia itu bersama orang yang dikasihinya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyukai suatu kaum dan mengambil mereka menjadi pemimpinnya, niscaya ia dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat”. Nabi saw bersabda: “Yang lebih terpercaya tali iman, ialah cinta pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah”. Bukti-bukti ini telah kami sebutkan dahulu pada Penjelasan Cinta dan Marah pada jalan Allah Ta’ala, dari Kitab Adab Persahabatan dan pada Kitab Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Maka kami tidak mengulanginya lagi. Kalau anda mengatakan, bahwa telah datang ayat-ayat dan hadits-hadits, tentang ridha dengan qodo Allah Ta’ala, maka jikalau adalah perbuatan-perbuatan maksiat itu merobah qodo Allah Ta’ala, maka itu mustahil. Dan itu merusakkan keesaan. Dan kalau adalah perbuatan-perbuatan maksiat itu dengan qodo Allah Ta’ala, maka tidak menyukai dan mengutuknya itu adalah benci kepada qodo Allah Ta’ala. Dan bagaimana jalan kepada mengumpulkan ? dan dia itu bertentangan di atas segi ini ? Maka ketahuilah, bahwa ini termasuk apa yang meragukan kepada orang-orang lemah, yang teledor, daripada mengetahui rahasia-rahasia ilmu. Dan meragukan pula pada suatu kaum, sehingga mereka berpendapat bahwa diam dari perbuatan-perbuatan munkar itu suatu maqam dari maqam-maqam ridha. Dan mereka menamakannya: kebagusan budi. Itu adalah kebodohan semata. Bahkan kami mengatakan, bahwa ridha dan benci itu dua hal yang berlawanan, apabila keduanya datang pada suatu perkara, dari suatu arah, di atas suatu segi. Maka tidaklah daripada perlawanan pada suatu perkara itu, bahwa tidak disukai dari satu segi dan disukai dari satu segi. Karena, kadang-kadang mati musuh engkau, yang dia itu musuh sebahagian musuh-musuh engkau dan berusaha pada membinasakannya. Maka engkau tidak menyukai kematiannya, dari segi, bahwa telah mati musuh dari musuh engkau. Dan engkau ridha, dari segi, bahwa telah mati musuh engkau. Seperti demikian pula, kemaksiatan itu mempunyai dua segi: Segi kepada Allah Ta’ala, dari segi bahwa itu perbuatanNya, ikhtiarNya dan KemauanNya. Maka ia ridha dengan yang demikian dari segi ini. Karena penyerahan dari yang dimiliki kepada Yang Memiliki dari yang dimilki itu. Ridha dengan apa yang diperbuatNya padanya.
Segi kepada hamba, dari segi bahwa itu usahanya, sifatnya dan tanda adanya terkutuk pada sisi Allah dan dimarahi pada sisiNya, dimana Ia menguasakan kepadanya sebab-sebab kejauhan dan kekutukan. Maka dia itu dari segi ini ditantang dan dicela. Dan tidaklah tersingkap ini bagi engkau, selain dengan contoh. Maka marilah kami umpamakan akan seorang yang dikasihi dari makhluk, yang mengatakan di hadapan pencinta-pencintanya: “Bahwa aku menghendaki untuk dapat membedakan, diantara orang yang mencintai aku dan yang memarahi aku. Aku tegakkan padanya suatu ukuran yang benar, timbangan yang menuturkan. Yaitu: bahwa aku bermaksud kepada si Anu. Lalu aku menyakitinya dan memukulnya dengan pukulan, yang memerlukan yang demikian kepada memakiku. Sehingga, apabila ia memakiku, niscaya aku memarahinya dan mengambilkannya menjadi musuhku. Maka setiap orang yang aku kasihi, niscaya aku tahu pula, bahwa dia itu musuhku. Dan setiap orang yang aku marahi, niscaya aku tahu, bahwa dia itu temanku dan yang mencintaiku. Kemudian, ia perbuat yang demikian. Dan berhasillah maksudnya, dari makian, yang menjadi sebab kemarahan. Dan berhasil kemarahan yang menjadi sebab permusuhan. Maka berhaklah atas setiap orang yang benar pada kecintaannya dan tahu akan syarat-syarat cinta, bahwa ia mengatakan: “Adapun pengaturan engkau pada menyakitkan orang ini, memukul dan menjauhkannya dan engkau datangkan dia untuk marah dan bermusuhan, maka aku mencintainya dan meridhainya. Bahwa itu pendapat engkau dan pengaturan engkau. Perbuatan engkau dan kehendak engkau. Adapun makiannya akan engkau, maka itu adalah permusuhan dari pihaknya. Karena menjadi haknya, bahwa ia bersabar dan tidak memaki. Akan tetapi, adalah maksud engkau daripadanya, bahwa engkau bermaksud dengan memukulnya, untuk ia menuturkan dengan makian yang mengharuskan bagi kutukan. Maka dia itu dari segi, bahwa itu berhasil atas kesesuaian kehendak engkau dan pengaturan engkau yang engkau mengaturkannya, maka aku meridhainya. Dan jikalau tidak berhasil, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada pengaturan engkau dan penyimpangan pada maksud engkau. Dan aku tidak suka, karena lenyapnya kehendak engkau. Akan tetapi, dari segi bahwa itu penyifatan bagi orang tersebut dan usahanya, permusuhan dan serangan daripadanya atas engkau, kebalikan dari apa, yang dikehendaki oleh keelokan engkau, karena adalah yang demikian itu menghendaki, bahwa tertanggung dari engkau pemukulan dan tidak dibalas dengan makian, maka aku tidak menyukainya, dari segi penyandarannya kepadanya dan dari segi bahwa itu menjadi sifatnya. Tidak dari segi, bahwa itu kehendak engkau dan yang dikehendaki oleh pengaturan engkau.
Adapun kemarahannya kepada engkau, disebabkan makian engkau, maka aku meridhainya dan menyukainya. Karena itu kehendak engkau. Dan aku atas kesepakatan engkau juga memarahinya. Karena syarat orang yang mencintai itu, bahwa adalah dia kecintaan bagi kecintaan orang yang dicintai dan musuh bagi musuhnya. Adapun kemarahannya kepada engkau, maka aku meridhainya, dari segi bahwa engkau menghendaki, bahwa ia memarahi engkau. Karena engkau menjauhkannya dari diri engkau. Dan engkau kuasakan ke atasnya pengajak-pengajak kemarahan. Akan tetapi, aku memarahinya dari segi, bahwa itu sifat orang yang dimarahi itu, usahanya dan perbuatannya. Dan aku mengutukinya karena demikian juga. Maka dia itu terkutuk padaku, karena kutukannya akan engkau dan marahnya. Dan kutukanya kepada engkau juga pada pihakku tidak disukai, dari segi, bahwa itu sifatnya. Dan semua yang demikian, dari segi bahwa itu kehendakmu, maka adalah disenangi. Adapun yang berlawanan, ialah bahwa ia mengatakan: yaitu, dari segi bahwa itu kehendak engkau, maka diridhai. Dan dari segi, bahwa itu kehendak engkau, maka tidak disukai. Adapun apabila dia itu tidak disukai, tidak dari segi bahwa itu perbuatannya dan kehendaknya, akan tetapi, dari segi bahwa itu sifat orang lain dan usaha orang lain, maka ini tiada pertentangan padanya.
Disaksikan bagi yang demikian, oleh setiap apa yang tidak disukai dari satu segi dan yang diridhai dari satu segi. Bandingan-bandingan yang demikian itu tidak terhingga. Jadi, penguasaan Allah akan pengajak-pengajak nafsu keinginan dan kemaksiatan atasnya, sehingga yang demikian itu menariknya kepada kesukaan akan perbuatan maksiat dan kecintaan menariknya kepada perbuatan maksiat itu, menyerupai akan pukulan orang yang dicintai bagi orang yang telah kami buat contohnya tadi. Supaya ia dihela oleh pukulan itu kepada kemarahan. Dan kemarahan kepada makian. Dan kutukan Allah Ta’ala bagi orang yang berbuat maksiat kepadanya, walaupun kemaksiatannya itu dengan pengaturanNya itu menyerupai akan kemarahan orang yang dimaki, kepada yang memakinya. Walaupun makiannya itu berhasil dengan pengaturan dan pilihannya bagi sebab-sebabnya. Dan perbuatan Allah Ta’ala yang demikian dengan setiap hamba dari hamba-hambaNya, yakni: penguasaan pengajak-pengajak kemaksiatan kepadanya itu, menunjukkan bahwa telah dahululah kehendakNya dengan menjauhkan dan mengutukinya. Maka wajiblah atas setiap hamba yang mencintai Allah, bahwa ia memarahi akan orang yang dimarahi oleh Allah. Dan mengutuki akan orang yang dikutuk oleh Allah. Dan memusuhi akan orang yang dijauhkan oleh Allah dari HadlaratNya.
Walaupun diperlakukannya dengan kekerasan dan kemampuannya kepada memusuhi dan meyalahinya dan bahwa orang itu jauh yang terusir dan terkutuk dari HadlaratNya. Walaupun dia itu jauh, dengan menjauhkannya dengan kekerasan dan terusir dengan mengusirkannya dan memaksakannya. Orang yang dijauhkan dari derajat kedekatan, seyogyalah bahwa dia itu yang dikutuki, yang dimarahi oleh semua pencintanya, karena bersesuaian bagi yang dicintai, dengan melahirkan kemarahan atas orang yang melahirkan kepada orang yang dicintai, akan kemarahan kepadanya dengan menjauhkannya. Dengan ini, tetaplah semua apa, yang telah datanglah hadits-hadits mengenainya, dari hal kemarahan pada jalan Allah, kecintaan pada jalan Allah, pengerasan dan pengkasaran atas orang-orang kafir dan bersangatan pada mengutuk mereka, serta ridha dengan qodo Allah Ta’ala, dari segi bahwa itu qodo Allah ‘Azza Wa Jalla. Ini semua dipahami dari rahasia qadar yang tidak diperbolehkan menyiarkannya. Yaitu: bahwa kejahatan dan kebajikan, keduanya itu masuk dalam kehendak dan Kemauan. Akan tetapi, kejahatan itu kehendak yang tidak disukai. Dan kebajikan itu kehendak yang disenangi. Maka siapa yang mengatakan, bahwa tidaklah kejahatan itu dari Allah, maka dia itu bodoh. Demikian juga, orang yang mengatakan, bahwa keduanya itu semua, daripadaNya, tanpa diperbedakan tentang ridha dan benci maka itu juga orang yang teledor. Menyingkapkan tutup daripadanya itu tidak diizinkan. Yang lebih utama, ialah diam dan beradab dengan adab agama.
Nabi saw bersabda: “Qadar (taqdir) itu rahasia Allah. Maka janganlah kamu menyiarkannya !”. Yang demikian itu menyangkut dengan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan maksud kami sekarang, ialah penjelasan kemungkinan, mengenai apa, yang makhluk mengerjakan ibadah dengan dia, daripada mengumpulkan antara ridha dengan qodo Allah Ta’ala dan kutukan terhadap perbuatan-perbuatan maksiat, sedang dia itu dari qodo Allah Ta’ala. Dan telah jelaslah maksud, tanpa memerlukan kepada penyingkapan rahasia padanya.
Dengan ini, diketahui pula bahwa doa dengan keampunan, keterpeliharaan dari perbuatan-perbuatan maksiat dan sebab-sebab lain yang menolong kepada agama itu tidak berlawanan dengan ridha kepada qodo Allah Ta’ala. Bahwa Allah menerima ibadah hamba-hambaNya dengan doa. Supaya doa itu mengeluarkan kepada mereka akan kebersihan dzikir, kekhusyu’an hati dan dan kehalusan merendahkan diri. Dan adalah yang demikian itu kecemerlangan bagi hati, kunci bagi terbuka hijab dan sebab bagi berturut-turutnya kelebihan kelemah-lembutan. Sebagaimana membawa kendi dan meminum air itu tidaklah berlawanan bagi ridha dengan qodo Allah Ta’ala tentang kehausan. Meminum air karena mencari hilangnya kehausan secara langsung itu suatu sebab yang disusun oleh Penyebab sebab-sebab. Maka seperti demikian pula doa, adalah sebab yang disusun oleh Allah Ta’ala dan yang disuruhNya. Dan telah kami sebutkan, bahwa berpegang dengan sebab-sebab, karena berlaku kepada sunnah Allah Ta’ala, tidaklah berlawanan dengan tawakkal. Dan telah kita bahas dengan mendalam dahulu pada Kitab Tawakkal. Maka itu juga tidak berlawanan dengan ridha. Karena ridha itu suatu maqam yang menempel bagi tawakkal. Dan yang bersambung dengan dia.
Benar, bahwa melahirkan percobaan dari Allah (bala-bencana) dalam bentuk mengadu dan menantangnya dengan hati kepada Allah Ta’ala itu berlawanan dengan ridha. Dan melahirkan percobaan dari Allah atas jalan syukur dan penyingkapan dari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala itu tiada berlawanan. Sebahagian ulama salaf mengatakan: “Dari kebagusan ridha dengan qodo Allah Ta’ala, ialah bahwa tidak mengatakan: “Ini hari panas”. Artinya: dalam bentuk mengadu. Dan yang demikian itu pada musim panas. Adapun pada musim dingin maka itu syukur. Mengadu itu berlawanan dengan ridha dalam segala hal. Mencela makanan dan memburukkannya itu berlawanan dengan ridha kepada qodo Allah Ta’ala. Karena mencela ciptaan itu adalah mencela penciptanya. Dan semuanya itu dari ciptaan Allah Ta’ala. Ucapan dari orang yang mengatakan, bahwa: kemiskinan itu percobaan dan ujian, keluarga itu kesusahan dan kepayahan dan berusaha itu kesulitan dan kesukaran, adalah semua ucapan itu mencederakan ridha. Akan tetapi, seyogyalah bahwa diserahkan pengaturan kepada Pengaturnya dan pemilikan kepada Pemiliknya. Dan ia mengatakan akan apa yang dikatakan oleh Umar ra: “Aku tidak memperdulikan, aku ini menjadi kaya atau miskin. Aku tidak tahu, manakah dari yang dua itu yang baik bagiku”.
PENJELASAN: bahwa lari dari negeri, yang menjadi tempat sangkaan perbuatan-perbuatan maksiat & mencelanya, tidaklah mencederakan ridha.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang lemah, kadang-kadang menyangka, bahwa larangan Rasulullah saw keluar dari negeri, yang telah timbul padanya penyakit kolera itu menunjukkan kepada larangan keluar dari suatu negeri, yang telah timbul padanya perbuatan-perbuatan maksiat. Karena setiap satu dari keduanya itu lari dari qodo Allah Ta’ala yang demikian ini mustahil. Akan tetapi, alasan pada larangan dari meninggalkan negeri, sesudah timbul penyakit kolera padanya, ialah: jikalau dibukakan pintu ini, niscaya berangkatlah semua orang sehat daripadanya. Dan tinggallah di negeri itu orang-orang sakit yang disia-siakan, yang tiada bagi mereka yang mengurusnya lagi. Maka binasalah mereka dalam kekurusan dan melarat. Dan karena itulah, diserupakan yang demikian itu, oleh Rasulullah saw pada sebahagian hadits, dengan lari dari barisan perang. Dan jikalau adalah yang demikian itu lari dari qodo, niscaya tidak diizinkannya bagi orang yang berdekatan negeri, pada menyingkir. Dan telah kami sebutkan dahulu hukum yang demikian pada Kitab Tawakkal.
Apabila telah diketahui maknanya, niscaya jelaslah, bahwa lari dari negeri yang menjadi tempat sangkaan perbuatan-perbuatan maksiat itu tidaklah lari dari qodo. Akan tetapi, termasuk sebahagian dari qodo, ialah lari dari apa, yang tidak boleh tidak lari daripadanya. Seperti demikian juga, mencela tempat-tempat yang mengajak kepada perbuatan-perbuatan maksiat dan sebab-sebab yang mengajak kepadanya. Karena, untuk menjauhkan dari perbuatan maksiat, yang tidak tercela. Senantiasalah ulama salaf yang shalih, membiasakan yang demikian. Sehingga sepakatlah suatu jama’ah mencela kota Baghdad. Dan mereka melahirkan yang demikian dan mencari jalan untuk melarikan diri daripadanya.
Ibnul-Mubarak berkata: “Aku telah mengelilingi Timur dan Barat. Maka tiadalah aku melihat suatu negeri yang lebih buruk dari Baghdad”. Ditanyakan: “Bagaimana yang demikian ?”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Itulah negeri, yang terhina padanya nikmat Allah dan dipandang kecil padanya perbuatan maksiat kepada Allah”. Tatkala Ibnul-Mubarak datang di Khurasan, lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau melihat Baghdad ?”. Ia menjawab: “Tiada aku melihat di Baghdad, selain polisi yang pemarah atau saudagar yang sebal atau qari’ yang mengherani diri”. Tiada seyogyalah bahwa anda menyangka, yang demikian itu termasuk mengumpat. Karena ia tidak menujukan kepada seseorang yang tertentu, sehingga mendatangkan melarat bagi orang tersebut. Hanya dimaksudkan dengan yang demikian, untuk menasehati orang banyak. Adalah Ibnul-Mubarak pergi ke Makkah. Dan adalah tempat tinggalnya di Baghdad, dimana ia mengintip persiapan kafilah selama 16 hari. Maka ia bersedekah dengan 16 dinar. Setiap hari 1 dinar, untuk menjadi kafarat karena tinggalnya di Baghdad itu.
Suatu jama’ah mencaci Irak, seperti Umar bin Abdul-aziz dan Ka’ab Al-Ahbar. Ibnu Umar ra bertanya kepada bekas budaknya: “Dimana kamu tinggal ?”. Bekas budak itu menjawab: “Di Irak”. Ibnu Umar ra bertanya lagi: “Apa yang kamu perbuat di situ ? sampai kepadaku berita, bahwa tiada seorangpun yang tinggal di Irak, melainkan digenggamkan oleh Allah baginya teman dari bala-bencana”. Pada suatu hari, Ka’ab Al-Ahbar menyebutkan Irak dan mengatakan: “Di Irak 9/10 kejahatan. Di Irak terdapat penyakit yang memayahkan”. Dikatakan, bahwa bahagian kebajikan itu 10 bahagian. Maka 9/10nya di negeri Syam (Suriya) dan 1/10nya di Irak. Bahagian kejahatan itu 10 bahagian, di atas kebalikan dari yang demikian.
Sebahagian para perawi hadits berkata: “Adalah kami pada suatu hari pada Al-Fudlail bin ‘Iyadl. Maka datanglah kepadanya seorang shufi, yang berpakaian dengan baju panjang. Lalu didudukkannya di sampingnya. Dan ia menghadap kepadanya. Kemudian ia berkata: “Di mana anda tinggal ?”. Orang shufi itu menjawab: “Di Baghdad”. Al-Fudlail lalu berpaling dari orang shufi tadi, seraya berkata: “Datang kepada kami seseorang mereka, dengan berpakaian pendeta. Tiba-tiba kami tanyakan: “Di mana anda tinggal ?”, lalu ia menjawab: “Dalam sarang burung orang-orang zalim”.
Adalah Basyar Al-Harits berkata: “Orang yang beribadah di Baghdad seperti orang yang beribadah dalam sarang burung”. Basyar ada mengatakan: “Jangan kamu ikuti aku pada sesuatu tingkat ibadah di Baghdad ! barangsiapa bermaksud keluar, maka hendaklah ia keluar !”.
Ahmad bin Hanbal ada mengatakan: “Jikalau tidaklah ketergantungan anak-anak itu dengan kami, niscaya adalah keluar dari negeri ini aku utamakan bagi diriku”. Lalu ditanyakan: “Di mana engkau memilih untuk tempat tinggal ?”. Beliau menjawab: “Di benteng-benteng”. Sebahagian mereka mengatakan dan ia ditanyakan tentang penduduk Baghdad: “Yang zuhud mereka itu zuhud dan yang jahat mereka itu jahat”. Ini menunjukkan, bahwa orang yang memperoleh bala-bencana di suatu negeri, yang banyak padanya perbuatan-perbuatan maksiat dan sedikit padanya kebajikan, maka tiada dimaafkan baginya untuk tinggal menetap di negeri itu. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ia berhijrah ke negeri lain.
Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu boleh pindah (berhijrah) ke mana-mana ?”. S 4 An Nisaa’ ayat 97. Kalau ia dilarang dari yang demikian oleh keluarga atau ada hubungan lain, maka tiada seyogyalah ia menyenangi dengan keadaannya itu, lagi menentramkan jiwanya kepada yang demikian. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ia bersusah hati daripadanya, dengan selalu berdoa: “Wahai Tuhan kami ! keluarkanlah kami dari negeri ini, yang penduduknya melakukan kezaliman !”. S 4 An Nisaa’ ayat 75. Yang demikian itu, karena kezaliman apabila merata, niscaya turunlah bala-bencana dan hancurlah semua. Dan meratai orang-orang yang mengerjakan perbuatan taat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan takutilah fitnah (bala-bencana) yang bukan khusus menimpa orang-orang yang bersalah saja diantara kamu”. S 8 Al Anfaal ayat 25. Jadi, tidaklah sekali-kali pada sesuatu dari sebab-sebab kekurangan agama itu keridhaan mutlak, kecuali dari segi kaitannya kepada perbuatan Allah Ta’ala. Adapun sebab-sebab itu sendiri, maka tiada cara untuk meridhainya dengan bagaimanapun juga. Berbeda pendapat para ulama tentang yang lebih utama dari orang-orang yang mempunyai 3 maqam: orang yang mencintai mati, karena rindu bertemu dengan Allah Ta’ala, orang yang menyukai terus hidup, untuk berkhidmat kepada Tuhan dan orang, yang mengatakan: aku tidak memilih suatupun, akan tetapi aku ridha (senang) dengan apa yang dipilih oleh Allah Ta’ala. Dan disampaikan persoalan ini kepada sebahagian ahli ilmu mengenal Allah Ta’ala(al-‘arifin). Lalu menjawab: “Yang ridha itulah yang lebih utama dari mereka. Karena dialah yang lebih kurang hal yang tidak perlu dari mereka”.
Pada suatu hari berkumpul Wahib bin Al-Ward, Sufyan Ats-Tsuri dan Yusuf bin Asbath. Lalu berkata Ats-Tsuri: “Aku tidak suka mati secara tiba-tiba sebelum hari ini. Dan hari ini, aku ingin bahwa aku mati”. Maka Yusuf bertanya kepadanya: “Mengapa ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Karena apa, yang aku takuti dari fitnah”. Maka Yusuf berkata: “Akan tetapi, aku tidak benci lamanya terusnya hidup”. Sufyan lalu bertanya: “Mengapa ?”. Yusuf menjawab: “Semoga aku menjumpai akan suatu hari, yang aku bertaubat padanya dan aku beramal shalih”. Lalu ditanyakan kepada Wahib: “Apakah yang akan anda katakan ?”. Wahib bin Al-Ward maka menjawab: “Aku tiada memilih akan sesuatu. Yang lebih aku sukai, ialah yang lebih disukai oleh Allah swt”. Lalu Sufyan Ats-Tsuri memeluknya diantara kedua matanya dan berkata: “Kerohanian demi Tuhan Yang Empunya Ka’bah !”.
PENJELASAN: sejumlah dari cerita-cerita orang-orang yang mencintai, ucapan-ucapan dan diminta untuk mengetahuinya saja (mukasyafah) mereka.
Dikatakan kepada sebahagian orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala): “Bahwa anda itu pencinta”. Orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu menjawab: “Tidaklah aku itu pencinta. Sesungguhnya aku itu dicintai. Dan pencinta itu kepayahan”. Dikatakan pula kepadanya: “Manusia mengatakan, bahwa anda itu seorang dari 7”. Lalu ia menjawab: “Aku itu semua yang 7”. Ia mengatakan: “Apabila kamu melihat aku, maka sesungguhnya kamu telah melihat 40 wali”. Maka ditanyakan: “Bagaimana dan anda itu satu orang ?”. Ia menjawab: “Karena aku telah melihat 40 orang wali. Dan aku mengambil dari setiap wali itu suatu budi-pekerti dari budi-budi pekertinya”. Ditanyakan kepadanya: “Sampai kepada kami berita, bahwa anda melihat nabi Khidlir as”. Ia lalu tersenyum dan menjawab: “Tidaklah ajaib orang yang melihat nabi Khidlir as. Akan tetapi yang ajaib, ialah orang yang berkehendak melihat Khidlir. Lalu ia terhijab (terdinding) daripadanya”. Diceritakan dari nabi Khidlir as, bahwa ia berkata: “Tiada sekali-kali pada suatu hari aku berbicara dengan diriku, bahwa tiada tinggal seorangpun waliullah, melainkan aku mengenalnya. Kecuali pada hari itu, aku melihat seorang wali, yang tidak aku mengenalnya”.
Pada suatu kali, orang mengatakan kepada Abu Yazid Al-Busthami: “Ceritakanlah kepada kami, dari hal musyahadah engkau akan Allah Ta’ala !”. Maka berteriaklah Abu Yazid, kemudian berkata: “Celaka kamu ! tiada patut bagi kamu untuk mengetahui yang demikian”. Dikatakan lagi: “Maka ceritakanlah kepada kami dengan kesangatan mujahadah engkau bagi diri engkau pada jalan Allah Ta’ala !”. Abu Yazid lalu menjawab: “Ini juga tidak boleh aku perlihatkan kepada kamu”. Kemudian dikatakan: “Maka ceritakanlah kepada kami dari hal latihan diri engkau pada permulaan engkau !”. Abu Yazid menjawab: “Ya, aku ajak diriku kepada Allah, lalu ia melawan kepadaku. Maka aku berazam atasnya, bahwa aku tiada akan minum air setahun. Dan tiada akan merasa tidur setahun. Lalu diriku itu mematuhi kepadaku dengan yang demikian”.
Diceritakan dari Yahya bin Ma’adz, bahwa ia melihat Abu Yazid pada sebahagian musyahadahnya, dari sesudah shalat Isya sampai kepada terbit fajar, duduk dalam keadaan tidak tenang di atas pangkal dua tapak kakinya, mengangkat kedua lekuk tapak kakinya, serta kedua tumitnya dari lantai, menjadikan dagunya ke atas dadanya, memandang dengan kedua matanya, yang tiada berkedip. Yahya bin Ma’adz meneruskan ceritanya: “Kemudian, Abu Yazid sujud pada waktu sahur. Lalu melamakannya sujud itu. Kemudian, ia duduk, lalu berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! bahwa suatu kaum meminta pada Engkau, maka Engkau berikan mereka berjalan di atas air dan berjalan di udara. Maka mereka ridha dengan demikian. Dan aku berlindung dengan Engkau dari yang demikian. Bahwa suatu kaum meminta pada Engkau. Maka Engkau berikan mereka bumi berlipat (menjadi pendek dalam perjalanan). Maka mereka ridha dengan yang demikian. Bahwa aku berlindung dengan Engkau dari yang demikian. Bahwa suatu kaum meminta pada Engkau. Maka Engkau berikan mereka simpanan bumi. Maka mereka ridha dengan yang demikian. Dan aku berlindung dengan Engkau dari yang demikian”. Sehingga ia menghitung lebih 20 maqam dari karamah para wali-wali”. Kemudian, Abu Yazid berpaling, lalu ia melihat aku, seraya memanggil: “Yahya !”. Aku menyahut: “Ya, wahai penghuluku !”. Maka beliau bertanya: “Sejak kapan engkau di sini ?”. Aku menjawab: “Sejak seketika ini”. Lalu beliau diam. Maka aku mengatakan: “Wahai penghuluku ! ceritakanlah kepadaku akan sesuatu !”. Beliau lalu menjawab: “Aku akan menceritakan kepada engkau, akan apa yang pantas bagi engkau. Bahwa Allah Ta’ala memasukkan aku dalam falak yang paling bawah. Lalu diputar-putarkanNya aku dalam alam malakut yang paling bawah. DiperlihatkanNya kepadaku segala lapisan bumi dan apa yang di bawahnya, sampai yang di bawah betul. Kemudian, dimasukkanNya aku dalam falak yang atas. Maka dithawafkanNya aku pada semua langit. DiperlihatkanNya kepadaku, apa yang ada padanya, dari sorga-sorga, sampai ke ‘Arasy. Kemudian disuruhNya aku berdiri di hadapanNya. Maka Ia berfirman: “Mintalah kepadaKu apapun yang engkau lihat. Sehingga Aku akan memberikannya kepada Engkau”. Maka aku menjawab: “Hai Tuhanku ! aku tiada melihat suatupun yang aku pandang baik, lalu aku memintakannya pada Engkau”. Allah maka berfirman: “Engkau hambaKu yang sebenarnya. Engkau beribadah kepadaKu, karenaKu dengan sebenar-benarnya. Sungguh akan Aku berbuat kepada engkau ! sungguh akan Aku perbuat !”. Maka disebutkannya beberapa perkara. Yahya meneruskan ceritanya: “Maka yang demikian itu mendahsyatkan kepadaku. Penuh pikiranku dengan yang demikian dan merasa heran sekali. Lalu aku bertanya: “Wahai penghuluku ! mengapa tidak engkau mintakan padaNya akan ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan Dia ? dan telah berfirman kepada engkau Raja Diraja: mintakan padaKu apa yang engkau kehendaki ?”. Yahya meneruskan ceritanya: “Lalu Abu Yazid berteriak dengan teriakan yang keras, seraya berkata: “Diamlah, celaka engkau ! engkau cemburu akan hal itu kepadaku. Sehingga aku tiada suka bahwa diketahui oleh orang lain”.
Diceritakan, bahwa Abu Turab An-Nakh-syabi merasa bangga dengan sebahagian dari murid-muridnya. Maka didekatinya murid tersebut dan diurusnya semua kepentingannya. Dan murid itu sibuk dengan ibadahnya dan apa yang diperolehnya dalam muraqabahnya (memperhatikannya). Pada suatu hari Abu Turab berkata kepada murid itu: “Kalau kiranya engkau melihat Abu Yazid ?”. Murid itu menjawab: “Aku sibuk daripada menemuinya”. Tatkala Abu Turab telah banyak kali mengatakan: kalau kiranya engkau melihat Abu Yazid, maka tergeraklah perasaan murid itu, lalu bertanya: “Apakah kiranya yang akan aku perbuat dengan Abu Yazid ? aku telah melihat Allah Ta’ala, maka Ia mengkayakan aku, tanpa Abu Yazid”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka tergeraklah tabiatku dan aku tiada menguasai lagi diriku, lalu aku berkata: “Celaka engkau, engkau tertipu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla ! jikalau engkau melihat Abu Yazid sekali saja, niscaya adalah lebih bermanfaat bagi engkau daripada engkau melihat Allah 70 kali”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka heranlah anak muda itu dari perkataannya dan ditantangnya. Lalu murid itu bertanya: “Bagaimana maka demikian ?”. Abu Turab berkata kepadanya: “Celaka engkau ! apakah tidak engkau melihat Allah Ta’ala di sisi engkau. Maka Ia melahirkan bagi engkau di atas kadar engkau ? dan engkau melihat Abu Yazid di sisi Allah, yang telah dilahirkanNya baginya di atas kadarnya ?”. Murid itu lalu mengetahui apa yang aku katakan. Maka ia menjawab: “Bawalah aku kepadanya !”. Abu Turab itu menyebutkan suatu cerita, yang ia katakan pada akhirnya: “Maka kami berdiri di atas suatu tempat yang tinggi. Kami menunggu Abu Yazid, untuk dia keluar kepada kami dari hutan. Dan adalah Abu Yazid itu bertempat di suatu hutan, yang padanya binatang buas”. Abu Turab meneruskan ceritanya: “Maka Abu Yazid itu lalu di depan kami dan telah dibaliknya kulit kepala punggungnya. Lalu aku katakan kepada pemuda itu: “Inilah Abu Yazid ! maka lihatlah kepadanya !”. Pemuda itu lalu melihat kepada Abu Yazid, maka ia pingsan. Maka kami gerak-gerakkan dia. Rupanya ia sudah meninggal. Maka bertolong-tolonganlah kami menguburkannya. Lalu aku mengatakan kepada Abu Yazid: “Wahai penghuluku ! pandangannya kepada engkau membunuhnya”. Abu Yazid menjawab: “Bukan ! akan tetapi temanmu itu yang benar. Dan telah tenang dalam hatinya suatu rahasia yang tiada tersingkap baginya, dengan sifatnya. Maka tatkala ia melihat kami, niscaya tersingkaplah baginya, rahasia hatinya. Lalu sempitlah ia dari membawanya. Karena dia pada maqam murid-murid yang lemah. Maka yang demikian itu membunuhnya”.
Tatkala orang hitam Habsyi masuk ke kota Basrah. Lalu mereka membunuh banyak orang yang merampok harta kekayaan. Maka berkumpullah teman-teman Sahal pada Sahal. Mereka lalu berkata: “Jikalau engkau meminta pada Allah Ta’ala menolak mereka”. Sahal diam, kemudian menjawab: “Bahwa bagi Allah di negeri ini banyak hamba-hambaNya, jikalau mereka berdoa atas orang-orang zalim itu, niscaya tidak ada di muka bumi seorang zalimpun, melainkan mati dalam satu malam. Akan tetapi, mereka tiada berbuat”. Lalu ditanyakan: “Mengapa ?”. Sahal menjawab: “Karena mereka tiada menyukai apa yang tiada disukai Allah”.
Kemudian, Sahal menyebutkan dari yang diperkenankan oleh Allah, akan beberapa perkara, yang tiada disanggupi menyebutkannya semuanya. Sehingga Sahal berkata: “Dan kalau mereka meminta padaNya, bahwa tidak ditegakkanNya akan hari kiamat, niscaya tidak akan ditegakkanNya”. Inilah urusan-urusan yang mungkin pada diri urusan itu sendiri. Maka siapa yang tiada beruntung dengan suatupun daripadanya, niscaya tiada seyogyalah ia kosong dari tashdiq (pembenaran) dan iman dengan kemungkinannya. Bahwa qudrah (kuasa) itu luas dan kurnia itu meratai. Keajaiban alam al-mulki/dunia dan al-malakut/langit itu banyak. Yang diqudrati oleh Allah ta’ala itu tiada berkesudahan. Dan kurniaNya kepada hamba-hambaNya yang dipilihNya itu tiada berpenghabisan. Karena itulah, Abu Yazid mengatakan: “Jikalau Ia memberikan kepada engkau, akan munajah(membisikkan segala isi hati) Musa, akan ruhaniyah Isa dan kekhalilan Ibrahim, maka engkau tuntutlah yang dibalik itu ! sesungguhnya pada sisiNya, di atas yang demikian, berlipat ganda. Jikalau engkau merasa tenang kepada yang demikian, niscaya Ia menghijabkan engkau daripadanya. Dan ini bala-bencana seperti mereka dan orang-orang yang dalam hal-keadaan seperti keadaan mereka. Karena mereka itu yang lebih mulia, lalu yang lebih mulia”.
Sebahagian orang al-‘arifin berkata: “Disingkapkan bagiku 40 haura’ (wanita yang demikian putih matanya dan putih dan demikian hitam matanya yang hitam). Aku melihat mereka itu berjalan di udara terbuka. Mereka memakai pakaian dari emas, perak dan mutiara. Bunyinya gemerincing dan berlenggang jalannya mereka. Maka aku memandang kepada mereka dengan sekali pandang. Maka aku disiksa 40 hari. Kemudian, sesudah itu disingkapkan bagiku 80 haura’, di atas yang mereka tadi, pada kebagusan dan kecantikan. Dikatakan orang kepadaku: “Tengoklah kepada mereka !”. Orang al-‘arifin itu meneruskan ceritanya: “Maka aku sujud dan aku pejamkan mataku dalam sujudku. Supaya aku tidak menengok kepada mereka. Dan aku mengucapkan doa: “Aku berlindung dengan Engkau, dari yang selain Engkau. Tiada keperluan bagiku dengan ini”. Maka selalulah aku berdoa, sehingga disingkirkan mereka oleh Allah daripadaku”. Maka contoh-contoh diminta untuk mengetahuinya saja ini, tiada seyogyalah diingkari oleh orang mu’min, karena tidak diperolehnya yang seperti itu. Jikalau ia tidak beriman akan setiap sesuatu, selain dengan apa yang disaksikannya, dari dirinya yang zalim dan hatinya yang kasar, niscaya sempitlah jalan iman kepadanya. Bahkan ini adalah hal-ihwal, yang lahir sesudah melampaui rintangan-rintangan dan mencapai maqam-maqam yang banyak. Yang sekurang-kurangnya, ialah: ikhlas. Mengeluarkan keberuntungan-keberuntungan diri dan memperhatikan makhluk dari semua amal perbuatan, zahir dan batin. Kemudian, menyembunyikan yang demikian, dari makhluk, dengan menutupkan hal-ihwalnya, sehingga ia tetap berbenteng dengan benteng yang tidak terkenal. Maka inilah tingkat permulaan perjalanan mereka dan yang tersedikit maqam mereka. Dan itulah yang paling sukar didapati pada manusia-manusia yang taqwa. Dan sesudah pembersihan hati dari kotoran berpaling kepada makhluk itu, melimpahlah kepadanya nur keyakinan dan tersingkaplah baginya pokok-pokok kebenaran. Memungkiri demikian, tanpa percobaan dan menjalani jalan itu berlaku sebagai berlakunya kemungkiran orang yang memungkiri kemungkinan tersingkapnya bentuk pada besi, apabila ia dibentuk, dibersihkan, dikilatkan dan dibentukkan dengan bentuk cermin. Maka dipandang oleh orang yang memungkiri, kepada apa yang dalam tangannya, dari sepotong besi yang gelap, yang telah dikuasai oleh karatan dan kekejian. Dan dia itu tidak menceritakan salah satu dari bentuk-bentuk. Maka ia memungkiri kemungkinan tersingkapnya yang dilihat padanya, ketika terang zatnya. Dan memungkiri yang demikian itu adalah sangat bodoh dan sesat. Inilah hukum setiap orang yang memungkiri karamah para wali (aulia). Karena tiada tempat persandarannya, selain keteledorannya dari yang demikian. Dan keteledoran orang yang dilihatnya. Dan seburuk-buruk persandaran yang demikian, ialah pada mengingkari qudrah (kuasa) Allah Ta’ala. Akan tetapi, sesungguhnya akan diciumi bau diminta untuk mengetahuinya saja, oleh orang yang menjalani sesuatu, walaupun dari pokok-pokok jalan.
Sebagaimana ditanyakan kepada Basyar: “Dengan apa anda sampai ke tingkat ini ?”. Beliau menjawab: “Adalah aku meminta pada Allah Ta’ala, bahwa Ia menyembunyikan hal-ihwalku”. Artinya: aku meminta pada Allah Ta’ala, bahwa Ia menyembunyikan atasku dan menyembunyikan urusanku. Diriwayatkan, bahwa Basyar melihat nabi Khidir as lalu berkata kepadanya: “Berdoalah kepada Allah Ta’ala bagiku !”. Nabi Khidir as menjawab: “Dimudahkan oleh Allah kiranya kepada engkau akan mentaatiNya !”. Lalu aku berkata: “Tambahkan bagiku !”. Nabi Khidir as menjawab: “Dan ditutupkanNya kepada engkau”. Maka dikatakan: artinya ditutupkanNya dari makhluk. Ada yang mengatakan: artinya: ditutupkannya dari engkau, sehingga engkau tiada berpaling kepadanya. Dari sebahagian mereka, ada yang berkata: “Diganggu aku oleh kerinduan kepada Khidir as. Lalu pada suatu kali aku bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia memperlihatkan Khidir kepadaku, untuk diajarkannya aku akan sesuatu yang menjadi terpenting kepadaku”. Yang meriwayatkan itu berkata: “Maka aku melihatnya. Maka tiada mengeraslah atasku kesusahanku dan cita-citaku, selain bahwa aku mengatakan kepada Khidir: “Hai Abul-Abbas ! ajarilah aku akan sesuatu, apabila aku mengucapkannya, niscaya terhijablah aku dari hati makhluk. Maka tiadalah bagiku padanya kedudukan. Dan aku tidak dikenal oleh seseorang dengan kebaikan dan keagamaan”. Nabi Khidir as menjawab: “Ucapkanlah: “Wahai Allah Tuhanku ! turunkanlah atasku tabirMu yang tebal ! turunkanlah atasku kemah hijabMu ! jadikanlah aku pada yang tertutup keghaibanMu ! dan hijabkanlah aku dari hati makhlukMu !”. Yang meriwayatkan itu berkata: “Kemudian Khidir as itu menghilang. Maka aku tidak melihatnya lagi. Dan aku tidak rindu kepadanya lagi sesudah itu. Maka senantiasalah aku mengucapkan kalimat-kalimat tadi setiap hari”. Maka diceritakan, bahwa jadilah dia, dimana dia dipandang rendah dan hina. Sehingga kafir zimmi menghinakannya. Dan mereka memandangnya hina di jalan-jalan. Ia membawa segala sesuatu bagi mereka karena jatuh derajatnya pada mereka. Adalah anak-anak kecil mempermain-mainkannya. Adalah kesenangannya itu ketenangan hatinya dan istiqamah keadaannya dalam kehinaannya dan tidak terkenalnya. Maka begitulah keadaan para wali Allah Ta’ala. Pada contoh-contoh seperti mereka itu, seyogyalah bahwa dicari. Dan orang-orang yang tertipu sesungguhnya mencari para wali itu di bawah potongan kertas yang tertulis dan pakaian-pakaian para ulama yang hijau warnanya. Dan pada orang-orang yang termasyhur diantara makhluk, dengan ilmu, wara’ dan menjadi kepala. Dan kecemburuan Allah Ta’ala kepada para waliNya itu enggan, selain menyembunyikan mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Wali-waliKu itu di bawah bajuKu. Tiada yang mengenal mereka, selain Aku”.
Nabi saw bersabda: “Banyaklah orang kusut-musut pakaiannya, yang berdebu, yang mempunyai dua helai kain yang buruk, yang tiada mempunyai arti, jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah memberi kebajikan kepadanya”.
Kesimpulannya, maka hati yang terjatuh dari menciumi makna-makna ini, ialah hati yang sombong, yang mengherani diri, yang merasa gembira dengan amal dan ilmunya. Dan yang terdekat hati kepadanya, ialah hati yang hancur, yang merasakan kehinaan diri, dengan perasaan, apabila hina dan terkunyah, niscaya tidak merasa lagi dengan kehinaan. Sebagaimana hamba tidak merasakan dengan kehinaan, manakala merasa tinggi tuannya di atasnya, apabila ia tidak merasa dengan kehinaan dan tidak merasa pula dengan tiada berpalingnya kepada kehinaan. Akan tetapi ada pada dirinya yang lebih hina kedudukan, daripada bahwa dilihat oleh semua macam kehinaan akan kehinaan pada pihaknya. Bahkan, ia melihat dirinya tidaklah demikian. Sehingga, jadilah merendahkan diri dengan tabiat itu sifat diri. Maka contoh seperti hati ini, diharapkan bahwa ia menghirup pokok-pokok bau ini. Maka jikalau kita ketiadaan seperti hati ini dan tidak memperoleh seperti jiwa ini, maka tiada seyogyalah bahwa dicampakkan iman dengan kemungkinan yang demikian bagi yang empunyanya. Maka siapa yang tiada sanggup bahwa ada ia dari para wali Allah, maka hendaklah dia mencintai wali-wali Allah, dan percaya dengan mereka. Maka mudah-mudahan bahwa ia dikumpulkan serta orang yang dicintainya.
 Dibuktikan bagi ini, apa yang diriwayatkan bahwa Isa as bertanya kepada kaum Bani Israil: “Dimanakah tumbuh tanam-tanaman ?”. Mereka menjawab: “Di tanah”. Isa as lalu mengatakan: “Dengan sebenarnya aku mengatakan kepadamu: bahwa tidak tumbuh hikmah, selain pada hati yang seperti tanah”. Sesungguhnya telah berkesudahan para murid untuk menjadi waliul-laahi Ta’ala pada mencari syarat-syaratnya, dengan mendorongkan diri kepada kesudahan hina dan keji.
Sehingga diriwayatkan, bahwa Ibnul-Karanbi, yaitu gurunya Al-Junaid diundang makan oleh seorang laki-laki 3 kali. Kemudian ia menolaknya. Kemudian ia memintanya, lalu ia kembali sesudah itu, sehingga masuk pada kali yang ke-4. Maka orang itu bertanya kepada Ibnul-Karanbi dari yang demikian. Ibnul-Karanbi menjawab: “Diriku telah ridha dengan kehinaan 20 tahun. Sehingga dia seperti anjing, yang diusir. Lalu terusir. Kemudian dia dipanggil. Maka dilemparkan baginya tulang. Lalu ia kembali. Jikalau engkau ulang-ulangi aku 50 kali, kemudian engkau undang aku sesudah itu, niscaya aku perkenankan”.
Dari Ibnul-Karanbi pula, bahwa ia berkata: “Aku bertempat di Mahallah. Maka aku terkenal di situ sebagai orang shalih. Maka bermacam-macamlah pikiran hatiku. Lalu aku masuk ke tempat mandi. Aku menolah ke kain-kain yang dapat dibanggakan. Lalu aku curi dan aku pakaikan. Kemudian, aku pakai kainku yang koyak di atasnya. Dan aku keluar. Dan aku berjalan pelan-pelan. Maka mereka mengikuti aku dari belakang. Lalu mereka tarik kainku yang koyak-koyak itu. Dan mereka ambil kain-kain yang bagus itu. Mereka menempeleng aku dan menyakiti aku dengan pukulan. Maka jadilah aku sesudah itu, terkenal dengan pencuri tempat mandi. Lalu tenanglah jiwaku”. Maka begitulah adanya mereka menyenangkan dirinya. Sehingga mereka dilepaskan oleh Allah dari memandang kepada makhluk. Kemudian, dari memandang kepada diri sendiri. Bahwa orang yang berpaling kepada dirinya sendiri itu terhijab dari Allah Taala. Dan kesibukannya dengan dirinya sendiri itu hijab baginya. Maka tiadalah diantara hati dan Allah itu hijab yang jauh dan selang yang menghalangi. Sesungguhnya jauhnya hati itu, ialah sibuknya dengan selain Allah atau dengan dirinya sendiri. Dan hijab yang terbesar, ialah kesibukan diri. Karena itulah, diceritakan, bahwa seorang yang hadir, yang tinggi kedudukannya, dari orang-orang yang terpandang dari penduduk negeri Bustam itu, tidak pernah berpisah dari majelis Abu Yazid Al-Bustami. Pada suatu hari, ia mengatakan kepada Abu Yazid: “Bahwa aku semenjak 30 tahun, aku selalu berpuasa, tiada aku berbuka (tidak berpuasa). Aku menegakkan malam dengan shalat, tiada aku tidur. Tiada aku dapati pada hatiku akan sesuatu dari ilmu ini yang engkau sebutkan. Dan aku membenarkannya dan menyukainya”. Abu Yazid lalu menjawab: “Jikalau engkau berpuasa 300 tahun dan engkau menegakkan malamnya, niscaya tidak engkau dapati dari ini akan seberat atompun”. Orang itu bertanya: “Mengapa ?”. Abu Yazid menjawab: “Karena engkau terhijab dengan diri engkau sendiri”. Orang itu bertanya: “Adakah bagi ini obatnya ?”. Abu Yazid menjawab: “Ada !”. Orang itu lalu berkata: “Katakanlah kepadaku, sehingga aku mengerjakannya”. Abu Yazid berkata: “Engkau tidak mau menerimanya”. Orang itu menjawab: “Sebutkanlah kepadaku, supaya aku mengerjakannya”. Abu Yazid lalu menjawab: “Pergilah sesaat ke tukang hias. Cukurlah rambutmu dan janggutmu ! bukalah pakaian ini dan berkain sarunglah dengan baju selimut ! gantungkanlah pada lehermu kantong yang penuh dengan buah jauz (bulat seperti kelapa) ! dan kumpullah anak-anak kecil di sekelilingmu ! dan katakanlah: “Setiap orang yang menempeleng aku sekali tempeleng, akan aku berikan kepadanya sebuah buah lauz”. Masuklah ke pasar. Kelilingilah semua pasar itu pada orang-orang yang menyaksikan dan pada setiap orang yang mengenal engkau. Dan engkau di atas keadaan yang demikian”. Laki-laki itu menjawab: “Subhanallah ! engkau mengatakan kepadaku seperti ini ?”. Abu Yazid lalu berkata: “Ucapanmu “Subhanallah” itu syirik”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Bagaimana ?”. Abu Yazid menjawab: “Karena engkau membesarkan diri engkau, lalu engkau mensucikannya. Dan bukan engkau bertasbih (mengucapkan subhanallah) itu akan Tuhan engkau”. Lalu laki-laki itu menjawab: “Ini tiada akan aku kerjakan. Akan tetapi, tunjukkanlah kepadaku akan yang lain”.
 Abu Yazid menjawab: “Mulailah dengan ini, sebelum setiap sesuatu yang lain !”. Laki-laki itu berkata: “Aku tidak menyanggupinya”. Abu Yazid menjawab: “Sudah aku katakan kepadamu, bahwa kamu tidak akan menerima”. Maka ini yang disebutkan oleh Abu Yazid adalah obat orang yang berpenyakit dengan memandang kepada dirinya dan penyakit dengan memandang manusia kepadanya. Dan tidak sembuh dari penyakit ini oleh obat, selain ini dan yang seperti ini. Maka orang yang tidak menyanggupi obat, niscaya tiada seyogyalah bahwa menantang kemungkinan sembuh pada pihak orang yang mengobatkan dirinya sesudah sakit. Atau ia tidak sakit sekali-kali dengan seperti penyakit ini. Maka sekurang-kurangnya derajat sehat, ialah percaya dengan kemungkinannya. Maka celakalah bagi orang yang tidak memperoleh pula kadar yang sedikit ini ! Inilah hal-hal yang jelas, lagi terang pada syara’ (agama). Yaitu bersamaan dengan demikian, terpandang jauh pada pihak orang yang menghitungkan dirinya termasuk ulama syara’ (agama).
Nabi saw bersabda: “Tiada sempurna iman seorang hamba, sehingga adalah sedikit sesuatu lebih disukainya dari banyaknya. Dan sehingga bahwa ia tidak tahu, lebih disukainya dari ia tahu”. Nabi saw bersabda: “3 perkara yang ada pada seseorang, niscaya sempurna imannya. Ia tidak takut pada jalan Allah, akan cacian orang yang mencaci. Dan ia tidak berbuat ria dengan sesuatu dari amal-perbuatannya. Dan apabila dikemukakan baginya dua pekerjaan, yang satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, niscaya ia mengutamakan urusan akhirat atas urusan dunia”.
Nabi saw bersabda: “Tiada sempurna iman seorang hamba, sebelum ada padanya 3 perkara: apabila ia marah, niscaya marahnya itu tidak mengeluarkannya dari kebenaran. Apabila ia ridha, niscaya ridhanya itu tidak memasukkannya pada yang batil/salah. Dan apabila ia mampu, niscaya ia tidak mengambil apa yang tidak menjadi miliknya”.
Tersebut pada hadits yang lain: “3 perkara yang didatangkan kepada seseorang, maka sesungguhnya telah didatangkan baginya, seperti apa yang didatangkan bagi keluarga Daud: adil pada waktu ridha (senang dan setuju) dan waktu marah, sederhana pada waktu kaya dan miskin dan takut kepada Allah pada waktu tersembunyi dan terang”.
Maka inilah syarat-syarat yang disebutkan oleh Rasulullah saw bagi keutamaan iman. Maka mengherankan dari orang yang mendakwakan tahu agama dan tidak dijumpai pada dirinya seatompun dari syarat-syarat ini. Kemudian, adalah bahagiannya dari ilmu dan akalnya itu, bahwa ia mengingkari apa yang tidak ada, selain sesudah melewati maqam-maqam yang besar, lagi tinggi di belakang iman. Pada berita-berita, bahwa Allah ta’ala menurunkan wahyu kepada sebahagian nabi-nabiNya: “Bahwa Aku mengambil bagi kekhalilanKu, orang yang tidak lesu dari mengingatiKu (berdzikir kepadaKu). Tidak ada baginya keinginan, selain Aku. Dan ia tidak mengutamakan akan sesuatu dari makhlukKu atasKu. Jikalau ia dibakar dengan api, niscaya ia tidak merasakan sakit bagi kebakaran dengan api itu. Dan jikalau ia dipotong dengan gergaji, niscaya ia tidak merasakan pedih bagi sentuhan besi itu”. Maka siapa yang tidak sampai, bahwa ia dikerasi oleh cinta kepada batas ini, niscaya dari manakah ia tahu akan karamah dan diminta untuk mengetahuinya saja di belakang cinta ? semua itu adalah di belakang cinta. Cinta itu di belakang kesempurnaan iman. Maqam-maqam iman dan berlebih-kurangnya tentang bertambah dan berkurang itu tidak mempunyai hinggaan.
Karena itulah Nabi saw bersabda kepada Abubakar Siddik ra: “Bahwa Allah Ta’aa memberikan kepadamu seperti iman setiap orang yang beriman dari umatku. Dan diberikanNya kepadaku seperti iman setiap orang yang beriman kepadaNya dari anak Adam”. Tersebut pada hadits yang lain: “Bahwa Allah Ta’ala mempunyai 300 budi pekerti (akhlaq). Siapa yang bertemu dengan Dia, dengan suatu budi-pekerti daripadanya serta keesaan, niscaya ia masuk sorga”. Abubakar ra lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! adakah padaku suatu budi-pekerti daripadanya ?”. Nabi saw lalu menjawab: “Semuanya ada padamu, hai Abubakar. Akhlak yang paling disenangi oleh Allah, ialah: pemurah”. Nabi saw bersabda: “Aku melihat mizan (timbangan amal) diturunkan dari langit. Maka diletakkan aku dalam satu daun timbangan dan diletakkan umatku dalam daun timbangan yang lain. Maka aku lebih berat dari mereka. Dan diletakkan Abubakar dalam satu daun timbangan dan dibawa umatku lalu diletakkan pada daun timbangan yang satu lagi. Maka Abubakar lebih berat dari mereka”. Bersama ini semua, adalah dihabisi semuanya oleh Rasulullah saw kepada Allah Ta’ala, dimana tidak muat lagi hatinya untuk ke khalilan serta lain dari Allah Ta’ala, maka ia bersabda: “Jikalau aku mengambil manusia menjadi khalilku, niscaya aku mengambil Abubakar menjadi khalil. Akan tetapi, temanmu ini khalil Allah Ta’ala”. Beliau maksudkan: dirinya sendiri.
PENYUDAHAN KITAB: dengan kalimat-kalimat yang bercerai-berai, yang menyangkut dengan kecintaan yang dimanfaatkan.
Sufyan berkata: “Cinta itu mengikuti Rasulullah saw”. Yang lain berkata: “Terus-menerus berdzikir”. Yang lain lagi berkata: “Mengutamakan yang dicintai”. Sebahagian mereka berkata: “Benci terus tinggal di dunia”. Semua ini adalah isyarat kepada hasil dari cinta. Adapun diri cinta itu sendiri, maka mereka tidak membentangkannya. Sebahagian mereka mengatakan, bahwa cinta itu yang diartikan dari yang dicintai, yang memaksakan hati untuk mengetahuinya. Dan lidah enggan memperkatakannya.
Al-Junaid berkata: “Diharamkan oleh Allah Ta’ala akan cinta kepada orang yang mempunyai hubungan”. Ia mengatakan: “Setiap cinta itu adalah dengan imbalan. Apabila imbalannya hilang, niscaya hilanglah cinta”. Dzun-Nun berkata: “Katakanlah kepada orang, yang melahirkan kecintaan kepada Allah: “Jagalah bahwa engkau hina karena selain dari Allah !”. Ditanyakan kepada Asy-Syibli ra: “Sifatkanlah kepada kami, akan orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) (al-‘arif) dan orang yang cinta (al-muhibb) !”. As-Syibli menjawab: “Al-‘arif, jikalau ia berbicara, niscaya ia binasa. Dan al-muhibb, jikalau ia diam, niscaya ia binasa”. Asy-Syibli ra bermadah:
Wahai Penghulu Yang Mulia !
Cinta kepadaMu menetap diantara penjagaanMu.
Wahai Yang Mengangkatkan tidur dari pelupuk mata !
Engkau tahu apa yang berlaku padaku.
Dan madah dari orang lain:
Aku heran kepada orang yang berkata:
aku ingat kepada Tuhanku.
Adakah aku lupa,
Lalu aku ingat yang aku lupakan itu ?
Aku mati, apabila aku ingat kepadamu,
kemudian, aku hidup.
Jikalau tidaklah baik sangkaanku,
niscaya aku tidak hidup.
Maka aku hidup dengan cita-cita
dan aku mati karena rindu.
Maka banyaklah aku mati kepada anda
dan banyaklah aku mati itu.
Aku minum cinta,
gelas demi gelas.
Maka tidak habislah minuman
dan aku tidak puas.
Mudah-mudahan khayalannya itu,
terletak di pelupuk mataku.
Jikalau pendek pada pandanganku,
niscaya buta mataku.
Pada suatu hari Rabi’ah Al-‘Adawiyah bertanya: “Siapakah yang menunjukkan kami kepada kecintaan kami ?”. Lalu pelayan wanitanya menjawab: “Kecintaan kita bersama kita. Akan tetapi dunia yang memutuskan kita daripadaNya”.
Ibnul-Jala ra berkata: “Allah menurunkan wahyu kepada Isa as: “Bahwa Aku apabila melihat kepada rahasia seorang hamba, niscaya tiada Aku dapati padanya kecintaan kepada dunia dan akhirat. Aku penuhkan rahasianya dengan kecintaan kepadaKu dan Aku memimpinnya dengan pemeliharaanKu”. Dikatakan, bahwa pada suatu hari Samnun memperkatakan tentang cinta. Tiba-tiba seekor burung turun di hadapannya. Maka senantiasalah burung itu mengorek tanah dari paruhnya, sehingga mengalir darah daripadanya. Lalu ia mati.
Ibrahim bin Adham berdoa: “Hai Tuhanku ! bahwa Engkau mengetahui, bahwa sorga itu tiada tertimbang padaku seberat sayap nyamuk, pada pihak apa yang Engkau muliakan aku pada mencintai Engkau. Engkau jinakkan hatiku dengan mengingati Engkau dan Engkau kosongkan hatiku untuk bertafakkur pada kebesaran Engkau”.
As-Sirri ra berkata: “Siapa yang mencintai Allah, niscaya ia hidup dan siapa yang cenderung kepada dunia, niscaya kurang ingat akalnya. Orang dungu itu berpagi dan bersore hari, pada tak apa-apa. Dan orang yang berakal itu memeriksa dari kekurangan-kekurangannya”.
Ditanyakan kepada Rabi’ah: “Bagaimana cinta engkau kepada Rasulullah saw ?”. Rabi’ah lalu menjawab: “Demi Allah ! sesungguhnya aku mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Akan tetapi, kecintaan kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta) itu menyibukkan aku dari kecintaan kepada makhluk”.
Ditanyakan Isa as dari amal yang lebih afdhal, maka Isa as menjawab: “Ridha dan cinta kepada Allah Ta’ala”. Abu Yazid berkata: “Orang yang cinta itu tidak mencintai dunia dan akhirat. Sesungguhnya ia mencinta dari Tuhannya akan zat Tuhannya”.
Asy-Syibli berkata: “Cinta itu kedahsyatan pada kelezatan dan keheranan pada pengagungan”. Dikatakan, bahwa cinta itu menghapuskan bekas engkau dari engkau. Sehingga tidak tinggal pada engkau sesuatu, yang kembali dari engkau kepada engkau. Dikatakan, bahwa cinta itu kedekatan hati kepada yang dicintai, dengan kesukaan dan kegembiraan.
Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Cinta itu menghapuskan segala kehendak dan membakar segala sifat dan hajat”. Ditanyakan Sahal tentang cinta, maka ia menjawab: “Dikasihani oleh Allah akan hati hambaNya untuk musyahadahNya, sesudah memahami bagi yang dimaksud daripadaNya”.
Dikatakan, bahwa mu’amalah (perniagaan) orang yang mencintai itu atas 4 tempat: atas kecintaan, atas kehebatan, atas malu dan atas penghormatan. Yang paling afdhal bagi cinta, ialah: penghormatan dan cinta. Karena yang dua ini akan kekal bersama penduduk sorga dalam sorga. Dan terangkat dari mereka, yang lain dari yang dua itu.
Haram bin Hayyan berkata: “Orang mu’min apabila mengenal Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia mencintaiNya. Apabila ia mencintaiNya, niscaya ia menghadap kepadaNya. Apabila ia memperoleh kemanisan menghadap kepadanya, niscaya ia tidak memandang kepada dunia dengan mata nafsu syahwat. Dan ia tidak memandang kepada akhirat dengan mata kelesuan. Dan kemanisan iman itu menyusahkannya di dunia dan menyenangkannya di akhirat”.
Abdullah bin Muhammad berkata: “Aku mendengar seorang wanita yang termasuk banyak beribadah, berkata, dan ia sedang menangis, air matanya mengalir di atas pipinya: “Demi Allah ! sungguh aku telah bosan dari hidup. Sehingga, jikalau aku dapati mati itu dijual orang, niscaya aku beli, karena rindu kepada Allah Ta’ala dan ingin menemuiNya”.
Abdullah bin Muhammad meneruskan ceritanya: “Lalu aku bertanya kepadanya: “Maka atas kepercayaankah anda di atas amal anda itu ?”. Wanita itu menjawab: “Tidak ! akan tetapi, karena cintaku kepadaNya dan baik sangkaanku dengan Allah. Adakah engkau melihatNya akan mengazabkan aku, sedang aku mencintaiNya ?”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Jikalau tahulah orang-orang yang berpaham (bertadabbur) dari hal Aku, bagaimana tungguanKu akan mereka, kasih-sayangKu kepada mereka dan rinduKu supaya mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat, niscaya mereka mati, karena rindu kepadaKu dan putus-putuslah anggota tubuh mereka dari kecintaan kepadaKu. Hai Daud ! inilah kehendakKu pada mereka yang bertadabbur dari hal Aku. Maka bagaimana kehendakKu pada orang-orang yang menghadap kepadaKu ? hai Daud ! yang paling diperlukan hamba kepadaKu, ialah apabila ia merasa kaya dari Aku. Yang paling Aku kasihi akan apa, yang Aku dengan hambaKu, ialah apabila ia membelakangi Aku. Dan yang paling mulia akan apa yang adalah hambaKu, ialah apabila ia kembali kepadaKu”.
Abu Khalid Ash-Shaffar berkata: “Salah seorang dari nabi-nabi menjumpai seorang ‘abid. Lalu beliau berkata kepadanya: “Hai para hamba ! bahwa kamu berbuat atas sesuatu, yang kami para nabi-nabi, tidak memperbuatnya. Kamu berbuat di atas takut dan harap. Dan kami berbuat di atas cinta dan rindu !”. Asy-Syibli ra berkata: “Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud ! mengingati Aku (berdzikir kepadaKu) itu bagi orang-orang yang berdzikir. SorgaKu itu bagi orang-orang yang taat. Dan berkunjung kepadaKu itu bagi orang-orang yang rindu. Dan Aku khususnya bagi orang-orang yang mencintai”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Adam as: “Hai Adam ! siapa yang mencintai orang yang dicintainya, niscaya benarlah perkataannya. Siapa yang jinak hatinya dengan yang dicintainya, niscaya disenangilah perbuatannya. Dan siapa yang rindu kepada yang dicintainya, niscaya ia bersungguh-sungguh pada berjalan kepadanya”.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash ra memukul dadanya dan berkata: “Alangkah rindunya aku kepada Yang Melihat aku dan aku tidak melihatNya !”. Al-Junaid ra berkata: “Nabi Yunus as menangis, sampai buta. Ia tegak berdiri sampai membungkuk. Dan ia mengerjakan shalat, sehingga terduduk. Dan ia mengucapkan: “Demi kemuliaan Engkau dan keagungan Engkau ! jikalau adalah diantara aku dan Engkau lautan dari api, niscaya aku menyeberanginya kepada Engkau. Karena rinduku kepada Engkau”.
Dari Ali bin Abi Thalib ra yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw dari hal sunnahnya. Maka beliau menjawab: “Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu modalku. Akal itu pokok agamaku. Cinta itu azasku. Rindu itu kendaraanku. Dzikrullah itu kejinakan hatiku. Kepercayaan itu gudangku. Gundah itu temanku. Ilmu itu senjataku. Sabar itu selendangku. Ridha itu rampasanku. Lemah itu kebanggaanku. Zuhud itu perusahaanku. Yakin itu makananku. Benar itu yang mensyafa’atiku. Taat itu kecintaanku. Jihad itu perangaiku dan ketetapan mataku pada shalat”.
Dzun-Nun berkata: “Maha Suci Allah yang menjadikan jiwa itu sebagai tentara yang berbaris. Maka jiwa orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu agung dan kudus. Maka karena itulah mereka itu rindu kepada Allah Ta’ala. Jiwa orang-orang mu’min itu kerohanian. Maka karena itulah, mereka ingin kepada sorga. Dan jiwa orang-orang yang lalai itu penuh kenafsuan. Maka karena itulah, mereka cenderung kepada dunia”. Sebahagian guru-guru berkata: “Aku melihat pada bukit Al-Lukam, seorang laki-laki yang kuning warnanya, yang lemah badannya. Ia melompat dari batu ke batu dan mengatakan dengan madah:
Rindu dan hawa nafsu,
menjadikan aku,
sebagaimana yang anda lihat itu.
Dikatakan: bahwa rindu itu api Allah, yang dinyalakanNya dalam hati para waliNya. Sehingga dengan itu, membakar apa yang dalam hati mereka, dari segala gurisan hati, kehendak, rintangan dan hajat keperluan. Maka inilah sekadar yang memadai mengenai uraian cinta, jinak hati, rindu dan ridha. Marilah kita singkatkan sekedar ini. Kiranya Allah memberikan taufiq bagi kebenaran. Tamatlah “Kitab Cinta, Rindu, Ridha dan Jinak Hati”. Akan diiringi oleh “Kitab Niat, Ikhlas dan Benar”.