KITAB LATIHAN JIWA,
TAHDZIBUL-AKHLAQ DAN PENGOBATAN PENYAKIT HATI.
Yaitu: Kitab Ke-2 dari Rubu’
Yang Membinasakan.
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah
yang menjalankan segala urusan dengan pimpinanNya. Yang mengatur susunan
makhluk, maka Ia yang membaguskan pada pembentukannya. Ia yang menghiasi bentuk
manusia dengan bentuk dan takaran yang sebaik-baiknya. Ia yang menjaganya dari
kelebihan dan kekurangan pada bentuk dan takaran-takarannya. Ia yang
menyerahkan pembaikan akhlaq kepada kesungguhan dan kesediaan hambaNya. Ia yang
menggerakkannya kepada perbaikan akhlaq, dengan mempertakutkan dan
memperingatinya dari akhlaq tercela. Ia yang memudahkan kepada hamba-hambaNya
tertentu, untuk perbaikan akhlaq, dengan taufiq dan pemudahan jalan
daripadaNya. Dan Ia yang mencurahkan nikmat kepada mereka, dengan memudahkan
yang payah dan yang sukar. Rahmat dan sejahtera kepada Muhammad Abdillah,
NabiNya, kecintaanNya, pilihanNya, penyampai kabar gembira dan kabar tidak
gembira, daripadaNya, yang menampakkan nur kenabian dari garis-garis dahinya, yang
melahirkan hakekat kebenaran dari segala tempat sangkaan dan yang terang. Dan
kepada keluarga dan para sahabatnya yang mensucikan wajah Islam dari kegelapan
kufur dan kesangatan hitamnya. Dan mereka yang menghancurkan benda batil, maka
mereka tiada mengalami kekotoran, sedikit dan banyaknya. Amma ba’du: maka budi
pekerti yang baik adalah sifat penghulu segala rasul dan amalan yang utama dari
para shiddiqin (yang membenarkan segala ajaran Nabi saw dengan sebaik-baiknya).
Sebenarnyalah budi pekerti yang baik itu setengah iman, hasil mujahadah para
muttaqin dan latihan para penegak ibadah. Dan budi pekerti yang jahat adalah
racun yang membunuhkan, yang membinasakan, yang memecahkan kepala,
perbuatan-perbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan kotor yang nyata,
kekejian-kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan semesta alam dan yang
memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan setan. Itulah
pintu-pintu yang terbuka ke neraka Allah yang menyala-nyala, yang naik ke hati.
Sebagaimana akhlak yang elok, adalah pintu yang terbuka dari hati kepada
kenikmatan sorga dan di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan budi pekerti yang
keji itu penyakit hati dan penyakit jiwa, penyakit yang menghilangkan hidup
abadi. Dan dimanakah letaknya, kalau dibandingkan dengan penyakit, yang hanya
menghilangkan hidup jasmaniah ? Manakala bersangatanlah kesungguhan para
dokter, dengan memastikan undang-undang (cara) pengobatan tubuh, dan penyakit
tubuh itu, hanyalah hilangnya hidup yang fana, maka kesungguhan dengan
pemastian undang-undang (cara) pengobatan penyakit hati, dimana padanya
kelenyapan hidup yang kekal, adalah lebih utama sekali. Pengobatan yang semacam
ini wajib dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berakal. Karena tidak terlepas
semua hati itu daripada penyakit. Jikalau disia-siakan, niscaya penyakit itu
bertindis-lapis dan sama menyamakan penyakit-penyakit itu dan bermunculan. Maka
hamba itu memerlukan kepada kerapian pada mengetahui penyakit-penyakit dan
sebab-sebabnya. Kemudian, kepada kesediaan pada mengobati dan memperbaikinya.
Pengobatan penyakit hati itulah yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa)nya”. S 91 Asy Syams
ayat 9. Dan penyia-nyiaan pengobatan hati itulah yang dimaksud dengan firman
Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorkannya”. S 91 Asy
Syams ayat 10. Pada kitab ini kami akan tunjukkan kepada sejumlah penyakit hati
dan bagaimana pembicaraan tentang pengobatannya secara keseluruhan. Tanpa
perincian untuk pengobatan penyakit khusus. Sesungguhnya yang demikian itu akan
datang nanti pada akhir kitab dari bahagian (rubu’) ini. Maksud kami sekarang,
ialah peninjauan secara keseluruhan tentang tahdzibul-akhlaq (pelajaran
perbaikan akhlaq) dan penyusunan caranya. Kami sebutkan yang demikian dan kami
jadikan pengobatan badan menjadi contoh, untuk mendekatkan tercapainya
pengertian. Dan yang demikian, akan jelas dengan penjelasan keutamaan budi
pekerti yang baik. Kemudian penjelasan hakekat budi pekerti yang baik.
Kemudian, penjelasan penerimaan akhlak akan perobahan dengan latihan. Kemudian,
penjelasan sebab untuk tercapainya akhlak yang baik. Kemudian, penjelasan
jalan-jalan untuk mengetahui penguraian jalan-jalan menuju ke perbaikan akhlak
dan latihan jiwa. Kemudian, penjelasan tanda-tanda untuk mengetahui penyakit
hati. Kemudian penjelasan jalan, yang memberitahukan kepada manusia kekurangan
dirinya. Kemudian penjelasan dalil-dalil agama (yang diambil dari firman Allah
Ta’ala dan hadits Nabi saw), tentang jalan pengobatan hati, dengan meninggalkan
segala nafsu syahwat. Tiada yang lain..... Kemudian, penjelasan tanda-tanda
kebagusan akhlak. Kemudian, penjelasan jalan tentang latihan anak-anak pada
permulaan pertumbuhannya. Kemudian, penjelasan syarat-syarat kemauan (iradah)
dan mukaddimah mujahadah (pendahuluan perjuangan menentang hawa nafsu). Semua
ini 11 pasal, dimana semua maksudnya terkumpul pada kitab ini Insya Allah
Ta’ala.
PENJELASAN: keutamaan
kebagusan akhlak dan tercelanya keburukan akhlak.
Allah Ta’ala berfirman
kepada NabiNya dan KekasihNya, memuji dan melahirkan nikmatNya kepadanya: “Dan
engkau sesungguhnya mempunyai budi pekerti yang tinggi”. S 68 Al Qalam ayat 4.
Aisyah ra berkata: “Adalah akhlak Rasulullah saw itu (menurut) Alquran”.
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebagusan akhlak. Lalu
Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Hendaklah engkau pemaaf dan
menyuruh mengerjakan yang baik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak
berpengetahuan itu”. S 7 Al A’raaf ayat 199. Kemudian, Nabi saw bersabda:
“Yaitu: engkau sambung silaturrahim orang yang memutuskannya dengan engkau.
Engkau memberi kepada orang yang tiada mau memberi kepada engkau. Dan engkau
memaafkan kepada orang yang berbuat zalim terhadap engkau”. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Nabi saw
bersabda: “Yang paling berat dari apa yang diletakkan dalam timbangan di hari
kiamat, ialah: taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Seorang laki-laki
datang dihadapan Rasulullah saw lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama
itu ?”. Nabi saw menjawab: “Baik budi pekerti”. Lalu ia berpindah ke kanan Nabi
saw, seraya bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Nabi saw
menjawab: “Baik budi pekerti”. Kemudian, ia berpindah ke kiri Nabi saw, lalu
bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Nabi saw menjawab: “Baik
budi pekerti”. Kemudian, ia berpindah ke belakang Nabi saw, seraya bertanya:
“Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Lalu Nabi saw menoleh kepadanya,
seraya bersabda: “Tidakkah engkau mengerti, bahwa agama itu, ialah: engkau
tidak marah ?”. Ada orang yang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah !
apakah tidak memperoleh barakah (asy-syu’mu) itu ?”. Nabi saw menjawab: “Buruk
akhlak”. Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: “Berilah aku wasiat !”.
Lalu Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah, dimana saja engkau berada
!”. Lalu orang itu berkata: “Tambah lagi !”. Nabi saw menjawab: “Ikutkanlah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya yang baik itu akan menghapuskan
yang buruk”. Orang itu berkata: “Tambah lagi !”. Lalu Nabi saw menyambung:
“Berakhlaklah dengan manusia, dengan akhlak yang baik !”. Orang bertanya kepada
Nabi saw: “Amalan apakah yang paling utama ?”. Nabi saw menjawab: “Akhlak yang
baik”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala tidak akan membaguskan kejadian dan
akhlak hambaNya, lalu dijadikannya makanan api neraka”. Al-Fudlail berkata:
“Orang berkata kepada Nabi saw: “Si Anu wanita itu, puasa pada siang hari dan
berdiri mengerjakan shalat pada malam hari. Dan dia buruk akhlaknya, menyakiti
tetangganya dengan lidahnya”. Nabi saw menjawab: “Tak ada kebajikan pada wanita
itu. Ia termasuk isi neraka”. Abud-Darda berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Yang mula-mula diletakkan dalam neraca (tempat timbangan amal),
ialah: akhlak yang baik dan kemurahan hati. Tatkala Allah Ta’ala telah
menjadikan iman, lalu iman itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! kuatkanlah aku
!”. Lalu Allah menguatkannya dengan kebagusan akhlak dan kemurahan hati.
Tatkala Allah Ta’ala menjadikan kufur, lalu kufur itu berdoa: “Wahai Allah
Tuhanku ! kuatkanlah aku !”. Lalu dikuatkannya dengan kekikiran dan keburukan
akhlak”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menerima dengan ikhlas
agama ini (agama Islam) bagi diriNya. Dan tidak patut bagi agamamu, selain
kemurahan hati dan kebagusan budi. Dari itu, ketahuilah ! maka hiasilah agamamu
itu dengan keduanya (kemurahan hati dan kebagusan akhlak)”. Nabi saw bersabda:
“Akhlak yang baik, itu makhluk Allah yang paling besar”. Orang bertanya kepada
Nabi saw, yang bunyinya: “Wahai Rasulullah ! mu’min yang manakah yang paling
utama imannya ?”. Rasulullah saw menjawab: “Yang terbagus akhlaknya”. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak sanggup memberi kelapangan kepada manusia
dengan hartamu. Maka berilah kelapangan kepada mereka dengan kemanisan muka dan
kebagusan akhlak !”. Nabi saw bersabda pula: “Keburukan akhlak itu merusakkan
amalan, sebagaimana cuka merusakkan madu”. Dari Jarir bin Abdullah, dimana ia
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya engkau itu manusia yang telah
dianugerahkan oleh Allah kebagusan kejadianmu. Maka baguskanlah budi pekertimu
!”. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, dimana ia berkata: “Adalah Rasulullah saw
mempunyai muka yang tercantik dan akhlak yang terbaik”. Dari Abi Mas’ud
Al-Badri, dimana ia berkata: “Adalah Rasulullah saw membaca dalam doanya:
“Wahai Allah Tuhanku ! Engkau telah membaguskan kejadianku, maka baguskanlah
budi pekertiku !”. Dari Abdullah bin ‘Amr ra, dimana ia berkata: “Adalah
Rasulullah saw membanyakkan doa, lalu membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! aku
bermohon padaMu kesehatan, ke’afiatan dan kebagusan akhlak”. Dari Abi Hurairah
ra, yang meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Kemuliaan
mu’min, ialah agamanya. Kebangsawanannya, ialah kebagusan akhlaknya dan
kepribadiannya, ialah akalnya”. Dari Usamah bin Syuraik, dimana ia menerangkan:
“Aku menyaksikan orang-orang Arab desa bertanya kepada Nabi saw dengan
pertanyaan: “Apakah yang terbaik diberikan kepada seseorang ?”. Nabi saw menjawab:
“Budi pekerti yang baik”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling tercinta
kamu kepadaku dan yang paling terdekat tempat duduk kamu daripadaku pada hari
kiamat, ialah yang terbagus akhlak daripada kamu”. Dari Ibnu Abbas ra yang
berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada 3 perkara dan barangsiapa tidak
ada padanya 3 perkara tersebut atau salah satu daripadanya, maka janganlah
engkau hitung sesuatupun daripada amalannya. Yaitu: taqwa, yang
mendindingkannya daripada perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Atau pikiran
waras, yang dapat mencegah orang bodoh (apabila bermaksud tidak baik
kepadanya). Atau budi pekerti, yang dapat ia hidup diantara orang banyak”.
Diantara doa Nabi saw pada permulaan shalat, ialah: “Wahai Allah Tuhanku !
berilah aku petunjuk kepada akhlak yang sebaik-baiknya ! tiada yang memberi
petunjuk kepada akhlak yang sebaik-baiknya itu, selain Engkau. Jauhkanlah
daripadaku akhlak yang jahat ! tiada yang menjauhkan akhlak yang jahat itu
daripadaku, selain Engkau”. Anas berkata: “Pada suatu hari ketika kami bersama
Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya akhlak yang baik,
menghancurkan kesalahan, sebagaimana matahari menghancurkan air beku”. Nabi saw
bersabda: “Diantara kebahagiaan manusia, ialah bagus akhlaknya”. Nabi saw
bersabda: “Kebajikan adalah pada bagusnya akhlak”. Nabi saw bersabda kepada Abi
Dzar: “Hai Abi Dzar ! tak ada akal seperti tadlbir (memikirkan akibat sesuatu
pekerjaan) dan tiada yang mencukupkan seperti kebagusan akhlak”. Dari Anas,
dimana ia berkata: “Ummu Habibah bertanya kepada Rasulullah saw: “Adakah engkau
melihat seorang wanita yang mempunyai dua suami di dunia, lalu wanita itu mati
dan kedua suaminyapun mati dan semuanya masuk sorga, lalu untuk siapa wanita
itu ?”. Nabi saw menjawab: “Untuk yang terbaik akhlaknya dari kedua suaminya
itu, yang hidup bersama dengan wanita itu di dunia. Wahai Ummu Habibah !
kebagusan akhlak itu berjalan dengan kebajikan dunia dan akhirat”. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya muslim yang memperoleh taufiq itu mengetahui tingkat
orang yang berpuasa dan yang bangun malam mengerjakan shalat, dengan kebagusan
akhlaknya dan kemuliaan kedudukannya”. Dan pada suatu riwayat: “Sesungguhnya
mengetahui tingkat orang yang haus di tengah hari pada musim panas”.
Abdurrahman bin Samrah berkata: “Kami berada di sisi Nabi saw, lalu beliau
bersabda: “Aku melihat semalam suatu keajaiban. Aku melihat seorang laki-laki
dari umatku bertekan diatas kedua lututnya. Dan ada suatu dinding diantaranya
dan Allah. Maka datanglah kebagusan akhlaknya, lalu memasukkannya kepada Allah
Ta’ala”. Anas berkata, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba
Allah itu akan sampai yang tinggi dari derajat-derajat akhirat dan kemuliaan
tingkat, disebabkan kebagusan akhlaknya. Dan dia itu sesungguhnya lemah dalam
peribadatan”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra meminta izin masuk pada tempat Nabi
saw. Dan padanya saw itu banyak wanita Quraisy yang bercakap-cakap dengan
beliau saw dan percakapan itu banyak. Suara mereka itu lebih tinggi daripada
suara Nabi saw. Tatkala Umar ra memperoleh keizinan masuk, lalu
bergegas-gegaslah wanita itu memakai hijab. Maka Umar ra pun masuk dan
Rasulullah saw tersenyum: “Lalu Umar ra bertanya: “Mengapa tertawa, wahai
Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Aku heran kepada wanita-wanita ini, yang
berada di sisiku. Sewaktu mereka mendengar suara engkau, terus mereka
bergegas-gegas memakai hijab”. Umar ra menjawab: “Engkau lebih berhak ditakuti
mereka wahai Rasulullah !”. Kemudian, Umar ra melihat kepada wanita itu, seraya
berkata: “Hai wanita-wanita yang menganiaya dirinya sendiri ! pantaskah engkau
takut kepadaku dan tidak engkau takut kepada Rasulullah saw ?”. Wanita itu
menjawab: “Benar ! engkau lebih kasar dan lebih keras daripada Rasulullah saw”.
Lalu Nabi saw bersabda: “Biarlah, wahai putera Al-Khattab ! demi Allah ! tiada
akan dijumpai engkau sekali-kali oleh setan yang berjalan di jalan yang luas,
selain setan itu akan berjalan pada jalan yang tiada engkau tempuh”. Nabi saw
bersabda: “Buruknya akhlak itu dosa yang tidak diampunkan. Dan buruknya sangka
itu kesalahan yang mendatangkan kejahatan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
hamba itu akan sampai pada tingkat yang paling bawah dari neraka jahannam, dari
buruk akhlaknya”. Kata-kata sahabat dan pemuka-pemuka agama (al-atsar): Putera
Lukmanul-hakim bertanya kepada ayahnya (Lukmanul-hakim): “Wahai ayahku !
perkara manakah daripada manusia itu yang baik ?”. Ayahnya menjawab: “Agama !”.
Putera itu bertanya lagi: “Apabila ada dua ?”. Lukmanul-hakim menjawab: “Agama
dan harta”. Apabila ada 3 ?”, tanya puteranya lagi. “Agama, harta dan malu”,
jawab Lukmanul-hakim. “Apabila ada 4 ?”, tanyanya pula. Lalu ayahnya menjawab:
“Agama, harta, malu dan bagus akhlak”. “Apabila ada 5 ?”, tanya putera itu
pula. Lukman menjawab: “Agama, harta, malu, bagus akhlak dan pemurah”. Apabila
ada 6 ?”, tanya putera itu lagi. Lukmanul-hakim menjawab: “Hai anakku ! apabila
yang 5 perkara tadi berkumpul pada seseorang, maka orang itu adalah orang yang
bersih dan taqwa. Allah melindunginya dan ia terlepas dari setan”. Al-Hasan
Al-Bashari berkata: “Siapa yang jahat akhlaknya, niscaya ia menyiksakan
dirinya”. Anas bin Malik berkata: “Bahwa seseorang akan sampai ke tingkat yang
tertinggi dalam sorga, disebabkan kebagusan akhlaknya, walaupun ia orang yang
tidak banyak ibadahnya. Dan akan sampai ke tingkat yang paling rendah dalam
neraka jahannam, disebabkan keburukan akhlaknya, walaupun ia seorang yang
banyak ibadahnya”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Dalam kelapangan akhlak itu
terdapat gudang rezeki”. Wahab bin Munabbih berkata: “Akhlak yang buruk itu
adalah seperti tembikar yang pecah. Tidak dapat dilekatkan lagi dan tidak dapat
dikembalikan lagi menjadi tanah”. Al-Fudlail berkata: “Aku lebih suka ditemani
oleh seorang yang kurang beribadah, tetapi berakhlak baik, daripada ditemani
oleh seorang yang banyak ibadahnya, tetapi berakhlak buruk”. Ibnul-Mubarak
menemani seorang laki-laki yang buruk akhlaknya, dalam perjalanan. Maka beliau
menderita dari buruk akhlaknya orang itu dan mempergaulinya dengan
lemah-lembut. Sewaktu beliau berpisah dengan orang tersebut, lalu beliau
menangis. Maka orang bertanya kepadanya tentang yang demikian, lalu beliau
menjawab: “Aku menangisinya, karena kasihan kepadanya. Aku berpisah dengan dia
dan akhlaknya tidak berpisah dengan dia”. Al-Junaid berkata: “4 perkara
mengangkatkan seorang hamba ke derajat yang paling tinggi , walaupun amalannya
dan pengetahuannya sedikit. Yaitu: lemah-lembut, rendah-hati, murah-hati dan
bagus akhlak. Dan itulah kesempurnaan iman”. Abubakar Al-Kattani berkata:
“Tasawwuf itu suatu akhlak. Siapa yang berlebih dari engkau tentang akhlak,
niscaya ia berlebih dari engkau tentang tasawwuf”. Umar ra berkata: “Bergaullah
dengan manusia dengan akhlak yang baik dan berpisahlah dengan mereka dengan
perbuatan !”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Keburukan akhlak itu suatu kejahatan,
yang tidak bermanfaat dengan banyaknya perbuatan baik. Kebagusan akhlak itu
suatu kebaikan, yang tidak mendatangkan melarat dengan banyaknya perbuatan
buruk”. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: “Apakah kemuliaan itu ?”. Beliau
menjawab: “Yaitu, yang diterangkan oleh Allah Ta’ala dalam KitabNya yang mulia:
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah, ialah yang paling
bertaqwa (memelihara diri dari kejahatan)”. S 49 Al Hujuraat ayat 13. Dan
ditanyakan pula: “Apakah kebangsawanan itu ?”. Ibnu Abbas menjawab: “Yang
terbagus akhlak daripada kamu, itulah yang terlebih utama kebangsawanannya”.
Seraya Ibnu Abbas berkata: “Tiap-tiap bangunan itu mempunyai sendi. Dan sendi
Islam itu kebagusan akhlak”. ‘Atha’ berkata: “Tiada terangkat orang yang
terangkat, selain dengan akhlak yang baik. Tiada seorangpun yang mencapai
kesempurnaan akhlak, selain Nabi Mustafa (Nabi pilihan) Muhammad saw. Manusia
yang terdekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah yang berjalan menurut jejaknya,
dengan kebagusan akhlak”.
PENJELASAN: hakekat
kebagusan dan keburukan akhlak.
Ketahuilah kiranya, bahwa
manusia memperkatakan tentang hakekat kebagusan akhlak dan apa akhlak yang
bagus itu. Sebenarnya mereka tidak membentangkan hakekat akhlak itu. Hanya
mereka membentangkan buahnya. Kemudian, mereka tidak melengkapkan semua buah
itu. Tetapi menyebutkan masing-masing dari buahnya, apa yang terguris baginya
dan apa yang timbul pada hatinya. Mereka tiada menyerahkan kesungguhan, untuk
menyebutkan batas dan hakekatnya, yang meliputi semua buah akhlak itu, dengan
penguraian dan lengkap. Umpamanya, seperti kata Al-Hasan Al-Bashari: “Kebagusan
akhlak itu manis muka memberi kelebihan dan mencegah kesakitan”. Dan Al-Wasithi
berkata: “Akhlak yang bagus, ialah: tidak bertengkar dengan orang dan orang
tiada bertengkar dengan dia, dari karena bersangatan ma’rifahya kepada Allah
Ta’ala”. Syah Al-Kirmani berkata: “Akhlak yang baik, ialah: mencegah yang
menyakitkan dan menanggung kesulitan”. Setengah mereka berkata: “Orang yang
berakhlak ialah: yang dekat dengan manusia (karena bagus pergaulannya) dan
asing tentang sesuatu diantara manusia itu (tiada rapat penghubungan)”.
Al-Wasithi sekali berkata: “Akhlak yang baik, ialah: menyenangkan manusia pada
waktu suka dan duka”. Abu Usman berkata: “Akhlak yang baik, ialah mencari
keridlaan Allah Ta’ala”. Orang bertanya kepada Sahal As-Tusturi tentang
kebagusan akhlak, lalu ia menjawab: “Sekurang-kurangnya, menanggung penderitaan
(dari orang yang bergaul dengan dia), tidak memberikan balasan dan kasih-sayang
kepada orang yang zalim dan meminta ampunan Allah bagi orang yang zalim itu dan
belas-kasihan kepadanya”. Pada kali yang lain, Sahal berkata: “Bahwa ia tidak
menuduh Tuhan Yang Maha Benar tentang rezeki. Ia percaya kepadaNya, tetap
hatinya, bahwa Tuhan Yang Maha Benar itu menyempurnakan yang ditanggungNya. Ia
mentaatiNya dan tidak mendurhakaiNya pada semua urusan diantaranya dengan Tuhan
dan diantaranya dengan manusia”. Ali ra berkata: “Kebagusan akhlak itu pada 3
perkara: menjauhkan segala yang haram, mencari yang halal dan berbuat keluasan
kepada keluarga”. Al-Husain bin Mansur berkata: “Kebagusan akhlak itu, ialah:
tidak berpengaruh pada engkau oleh putusnya hubungan dengan orang banyak,
sesudah engkau melihat kebenaran”. Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Kebagusan
akhlak itu, ialah: tidak ada cita-citamu, selain Allah Ta’ala”. Ucapan tadi dan
yang sama dengan itu adalah banyak. Yaitu: mengemukakan buah (hasil) dari
kebagusan akhlak. Tidak diri kebagusan akhlak itu sendiri. Kemudian, tidak pula
meliputi dengan semua buah itu. Dan menyingkapkan yang tertutup dari hakekat
itu adalah lebih utama daripada menyalinkan kata-kata yang bermacam-macam itu.
Maka kami katakan, bahwa perkataan: al-khalqu (kejadian) dan al-khuluqa (akhlak
atau tingkah laku) adalah dua perkataan, yang dipakai bersama-sama. Dikatakan:
si Anu bagus al-khalqu dan al-khuluqa (bagus kejadiannya dan akhlaknya).
Artinya: bagus zahir dan batin. Yang dimaksud dengan al-khalqu; bentuk zahir
dan yang dimaksud dengan al-khuluqa: bentuk batin. Sebabnya, karena manusia itu
tersusun dari jasad (tubuh) yang terlihat dengan mata. Dan dari roh dan jiwa,
yang terlihat dengan mata hati. Masing-masing mempunyai keadaan dan bentuk.
Adakalanya buruk dan adakalanya cantik. Maka jiwa yang terlihat dengan
mata-hati itu lebih besar nilainya, dibandingkan dengan tubuh yang terlihat
dengan mata-kepala. Karena itulah, diagungkan oleh Allah Ta’ala urusan jiwa,
dengan disandarkannya kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku
menciptakan manusia dari tanah. Dan ketika dia telah Kubentuk dengan sempurna
dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruhKu, hendaklah kamu tunduk merendahkan diri
kepadanya !”. S 38 Shaad ayat 71-72. Dengan ayat ini, Allah Ta’ala
memberitahukan, bahwa jasad (tubuh) itu dihubungkan kepada tanah, sedang ruh
(jiwa) kepada Tuhan Serwa sekalian alam. Yang dimaksud dengan ruh dan jiwa pada
tempat ini, adalah satu. Maka akhlak (budi pekerti) adalah menerangkan tentang
keadaan dalam jiwa yang menetap di dalamnya. Dan daripadanyalah terbit semua
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan kepada pemikiran dan
penelitian. Kalau keadaan ini, dimana terbit daripadanya perbuatan-perbuatan
yang baik dan terpuji menurut akal dan agama (syari’at), niscaya keadaan itu
dinamai: akhlak yang baik. Dan kalau yang terbit itu perbuatan-perbuatan yang
jelek, niscaya keadaan yang menerbitkannya, dinamai: akhlak yang buruk.
Sesungguhnya kami mengatakan: bahwa itu keadaan yang menetap di dalam ruh
(jiwa), karena orang yang memberikan uangnya jarang sekali, karena keperluan
yang datang (dari luar). Tidak dinamakan akhlaknya: pemurah, sebelum yang
demikian itu menetap dalam jiwanya dengan teguh. Sesungguhnya kami mensyaratkan
diatas tadi, bahwa perbuatan-perbuatan itu terbit daripadanya dengan mudah,
tanpa penelitian, karena orang yang merasa berat memberikan harta atau diam
ketika marah, dengan sungguh-sungguh dan penelitian, tidaklah akhlaknya,
dikatakan: pemurah dan lemah-lembut. Maka dalam hal ini ada 4 perkara:
Pertama : perbuatan
baik dan keji.
Kedua : mampu menghadapi keduanya.
Ketiga : mengetahui tentang kedua hal itu.
Keempat : keadaan
jiwa, dimana dengan keadaan itu, ia cenderung kepada salah satu dari dua pihak.
Dan salah satu dari kedua hal itu mudah kepadanya. Adakalanya: yang baik dan
adakalanya: yang buruk. Bukanlah akhlak itu dapat dikatakan: perbuatan. Berapa
banyak orang yang akhlaknya: pemurah, tetapi tidak memberi. Adakalanya, karena
ketiadaan harta atau karena ada sesuatu halangan. Kadang-kadang akhlaknya:
kikir, tetapi ia memberi. Karena suatu penggerak atau karena ria (ingin
memperlihatkan kepada orang). Dan tidaklah akhlak itu dapat dikatakan:
kekuatan. Karena dibandingkan kekuatan menahan dan memberi, bahkan kepada dua
hal yang berlawanan itu satu. Semua manusia dijadikan menurut fitrahnya,
sanggup memberi dan menahan (tidak memberi). Yang demikian itu tidak
mengharuskan akhlak kikir dan akhlak pemurah. Tidak pula akhlak itu dapat
dikatakan: ma’rifah (mengetahui dengan mendalam). Karena ma’rifah itu sama-sama
berhubungan dengan yang baik dan yang buruk atas satu cara. Tetapi akhlak itu
dapat diartikan dengan arti yang keempat. Yaitu, keadaan, dimana jiwa bersiap
untuk terbit daripadanya: menahan atau memberi. Jadi, akhlak itu ibarat dari
keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah. Sebagaimana kebagusan bentuk
zahiriah secara mutlak, tidak sempurna dengan bagusnya dua mata saja, tidak
hidung, mulut dan pipi. Tetapi, tak boleh tidak, daripada bagus semua. Supaya
sempurnalah kebagusan zahiriah itu. Maka seperti demikian pula, pada batiniah
itu 4 sendi. Tak boleh tidak, harus bagus semuanya sehingga sempurnalah
kebagusan akhlak. Apabila sendi yang 4 itu lurus, betul dan sesuai, niscaya
berhasillah kebagusan akhlak. Yaitu: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan
nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang 3 tersebut.
Adapun kekuatan ilmu, maka bagusnya dan patutnya tentang jadinya kekuatan ilmu
itu, dimana dengan mudah dapat diketahui perbedaan antara benar dan dustanya
perkataan, antara benar dan batilnya i’tikad kepercayaan, antara baik dan
buruknya perbuatan. Apabila kekuatan ini baik, niscaya berhasillah buah hikmah.
Dan hikmah itu kepada akhlak yang baik. Yaitu yang difirmankan oleh Allah
Ta’ala: “Dan orang yang diberiNya kebijaksanaan itu, maka sesungguhnya telah
diberi kebaikan yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 269. Adapun kekuatan marah,
maka baiknya ialah, pada dapat mengekangnya dan melepaskannya, menurut batas
yang dikehendaki oleh kebijaksanaan. Begitupula nafsu syahwat, maka baiknya dan
patutnya, ialah pada beradanya di bawah penunjukkan hikmah (kebijaksanaan).
Ya’ni: penunjukkan akal dan agama. Adapun kekuatan keadilan, maka yaitu:
pengekangan nafsu syahwat dan kemarahan di bawah penunjukkan akal dan agama.
Akal itu seumpama penasehat, yang menunjukkan jalan. Dan kekuatan keadilan
ialah kekuasaan. Contohnya, seperti pelaksana, penerus penunjukkan akal.d an
kemarahan, ialah: yang dilaksanakan penunjukkan padanya. Contohnya, seperti:
anjing buruan. Anjing itu memerlukan pendidikan, sehingga pelepasannya dan
perhentiannya itu menurut isyarat. Tidak menurut berkobarnya keinginan diri.
Dan nafsu itu, seumpama kuda yang dikendarai untuk mencari buruan. Sekali, kuda
itu adalah terlatih dan terdidik. Dan pada lain kali adalah pelawan. Maka siapa
yang benar semua perkara tersebut dan lurus, maka itulah: kebagusan akhlak
namanya, secara mutlak. Dan siapa yang lurus sebahagian dan tidak yang
sebahagian lagi, maka itupun kebagusan akhlak, disandarkan kepada pengertian
itu khususnya. Seperti orang yang bagus sebahagian mukanya, dan tidak bagus
bahagian yang lain. Baiknya kekuatan marah dan kelurusannya, dinamakan: berani
(syaja’ah). Baiknya kekuatan nafsu syahwat dan kelurusannya, dinamakan: ‘iffah
(penjagaan diri). Kalau kekuatan amarah itu cenderung dari kelurusan kepada
segi berlebihan, maka dinamakan: tahawwur (berani sembrono). Kalau kekuatan
amarah itu cenderung kepada kelemahan dan kekurangan, maka dinamakan: jubun
(penakut) dan khauran (lemah, tidak bertenaga). Kalau kekuatan nafsu syahwat itu
cenderung kepada segi berlebihan, maka dinamakan: syarhan (rakus). Dan kalau
cenderung kepada kekurangan, maka dinamakan: jumud (beku). Dan yang terpuji,
ialah: yang ditengah-tengah. Itulah: keutamaan (fadlilah). Yang dua tepi itu
adalah: buruk yang tercela. Keadilan, apabila lenyap, maka ia tidak mempunyai
pinggiran lebih dan kurang. Tetapi mempunyai suatu lawan dan yang bertentangan.
Yaitu: kezaliman. Adapun hikmah, kalau bersangatan pemakaiannya pada
maksud-maksud buruk, maka dinamai: khubtsan wa jarbazah (keji dan
pintar-busuk). Dan kalau berkekurangan pemakaiannya (tidak mempunyai
hikmah-kebijaksanaan atau sedikit sekali) maka dinamai: balhan (bodoh,goblok).
yang ditengah-tengah itulah, yang khusus tertentu dengan nama: hikmah
(kebijaksanaan). Jadi, induk akhlak dan pokok akhlak, itu 4: hikmah, syaja’ah,
‘iffah dan ‘adil. Kami maksudkan dengan hikmah, ialah keadaan jiwa, yang dengan
itu dapat diketahui kebenaran dari kesalahan pada semua perbuatan ikhtiariah
(perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Kami
maksudkan dengan ‘adil, ialah keadaan dan kekuatan jiwa, yang dengan itu,
dituntun amarah dan syahwat dan dibawa menurut kehendak hikmah. Dan
mengendalikannya pada pelepasan dan pengekangan, menurut kehendak hikmah itu.
Kami maksudkan dengan syaja’ah, ialah: keadaan kekuatan amarah itu tunduk
kepada akal, tentang majunya dan mundurnya. Dan kami maksudkan dengan ‘iffah,
ialah: terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan agama. Maka dari
kelurusan pokok yang 4 tersebut, terbitlah semua akhlak yang baik. Karena dari
kelurusan kekuatan akal, berhasillah baiknya pentadlbiran, baiknya hati,
cerdasnya pikiran, betulnya sangkaan dan kecerdikan meneliti perbuatan yang
halus-halus dan bahaya-bahaya bagi jiwa yang tersembunyi. Dari bersangatan
kekuatan akal, timbullah sifat: pintar-busuk, suka mengicuh, menipu dan
putar-belit. Dan dari merosotnya kekuatan akal, timbullah kebodohan, ghamarah,
dungu dan gila. Dimaksudkan dengan ghamarah, ialah: kurang pengalaman dalam
segala urusan, serta khayalan sejahtera. Kadang-kadang manusia itu tidak
berpengalaman dalam satu hal, tetapi berpengalaman pada lain hal. Dan perbedaan
antara dungu (al-hamq) dan gila, ialah: bahwa orang dungu itu maksudnya benar.
Akan tetapi perjalanan menuju sesuatu jalan itu tidak betul. Maka tidak ada
baginya pengalaman yang benar, dalam menempuh jalan yang menyampaikan kepada
maksud. Adapun orang gila, maka ia memilih apa yang tidak layak untuk dipilih.
Lalu pokok pilihan dan pengutamaannya itu merusak. Adapun akhlak syaja’ah, maka
timbul daripadanya sifat-sifat: kemurahan, pertolongan, keberanian,
menghancurkan nafsu, menanggung penderitaan, lemah-lembut, tetap pendirian,
meneka kekasaran, hati mulia, kasih-sayang dsb. Yaitu: budi pekerti yang
terpuji. Bersangatan syaja’ah, ialah: tahawwur (keberanian membabi-buta). Maka
timbullah daripadanya sifat-sifat: angkuh, sombong, lekas marah, takabur dan
‘ujub (membanggakan diri). Adapun merosotnya syaja’ah, maka timbullah
daripadanya, rendah diri, hina diri, gundah, kecil jiwa, dan menyempitnya
daripada mengambil hak yang wajib diperolehnya. Adapun akhlak ‘iffah, maka
timbul daripadanya sifat-sifat: pemurah, malu, sabar, maaf-memaafkan, merasa
puas apa yang ada (qana’ah), wara’, halus perkataan, tolong-menolong, peramah
dan kurang mengharapkan dari orang. Cenderungnya sifat ‘iffah kepada
bersangatan atau kemerosotan, maka menghasilkan sifat-sifat: loba, rakus,
kurang malu, keji, boros, lengah, ria, merusak diri, gila, suka bergurau,
mengambil muka, dengki, suka memaki, suka menghina diri pada orang-orang kaya,
suka menghinakan orang-orang miskin dsb. Maka induk akhlak yang baik, inilah
sifat-sifat keutamaan yang 4. Yaitu: hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan ‘adil. Yang
lain adalah cabangnya. Dan tiada yang sampai kepada kesempurnaan kelurusan pada
sifat-sifat yang 4 ini, selain Rasulullah saw. Dan manusia-manusia yang lain
sesudahnya, berlebih-kurang, tentang dekat dan jauh daripadanya. Maka tiap-tiap
orang yang mendekati Nabi saw pada akhlak tersebut, maka ia dekat dengan Allah
Ta’ala, menurut kadar dekatnya dengan Rasulullah saw. Dan tiap-tiap orang yang
mengumpulkan kesempurnaan akhlak-akhlak tersebut itu, berhak bahwa ia menjadi
malaikat yang ditaati diantara makhluk, dimana semua makhluk itu kembali
kepadanya. Dan mengikutinya dalam semua perbuatan. Dan siapa yang terlepas dari
semua akhlak tersebut dan bersifat dengan lawannya, niscaya ia berhak untuk
keluar dari semua negeri dan semua hamba (hamba Allah). Ia telah dekat dengan
setan yang terkutuk, yang jauh dari hadlarat Tuhan. Maka seyogyalah ia
dijauhkan. Sebagaimana yang pertama diatas dekat dengan malaikat yang dekat
dengan hadlarat Tuhan, maka seyogyalah orang pertama tadi diikuti dan didekati.
Rasulullah saw tiada diutus, selain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,
sebagaimana disabdakan oleh beliau sendiri. Alquran mengisyaratkan kepada
akhlak-akhlak tersebut, mengenai sifat orang-orang mu’min. Allah Ta’ala
berfirman: “Orang-orang yang sebenarnya beriman itu, hanyalah mereka yang
percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka itu tiada pernah ragu-ragu
dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya. Itulah orang-orang
yang benar”. S 49 Al Hujuraat ayat 15. Beriman kepada Allah dan RasulNya, tanpa
ragu, ialah kuatnya keyakinan. Dan itulah buah akal dan kesudahan hikmah.
Berjuang dengan harta, ialah: kemurahan hati, yang kembali kepada pengekangan
kekuatan nafsu-syahwat. Berjuang dengan jiwa (diri), ialah: syaja’ah
(keberanian), yang kembali kepada pemakaian kekuatan amarah, menurut ketentuan
akal dan batas kelurusan. Allah Ta’ala telah menyifatkan para sahabat dengan
firmanNya: “Mereka bersikap keras terhadap orang-orang yang tiada beriman,
bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29, sebagai
isyarat, bahwa sikap keras itu mempunyai tempat dan sikap kasih-sayangpun
mempunyai tempat. Maka tiadalah kesempurnaan pada kekerasan itu, dalam segala
hal. Begitupula tiada kesempurnaan pada kasih-sayang itu, dalam segala hal.
Inilah penjelasan arti akhlak, baik dan buruknya dan penjelasan sendi-sendi,
buah dan cabang-cabangnya.
PENJELASAN: tentang akhlak
dapat berobah dengan jalan latihan (riyadlah).
Ketahuilah kiranya, bahwa
sebahagian orang yang dikerasi oleh sifat tiada suka bekerja, maka beratlah ia
berjuang, berlatih dan bekerja untuk mensucikan diri dan membersihkan akhlak.
Dirinya tiada membolehkan, bahwa ia ada yang demikian. Karena kelengahannya,
kekurangannya dan kekejian batinnya. Lalu ia mendakwakan, bahwa akhlak itu
tiada tergambar dapat berobah. Karena sesungguhnya, tabiat (karakter) itu,
tiada dapat berobah. Ia mengambil dalil dua perkara:
Pertama: bahwa
al-khuluqa (budi pekerti) itu adalah bentuk batin, sebagaimana al-khalqu
(kejadian diri manusia) itu bentuk zahir. Bentuk zahir tidak sanggup untuk
dirobah. Maka orang pendek, tidak sanggup menjadikan dirinya menjadi orang
panjang. Dan orang panjang tidak sanggup menjadikan dirinya menjadi orang
pendek. Orang yang jelek mukanya tidak sanggup membuat mukanya menjadi cantik.
Maka begitupula keburukan batin itu, berlaku seperti itu.
Kedua: mereka
berkata, bahwa kebagusan akhlak itu, dengan mencegah nafsu syahwat dan marah.
Dan kami telah mencoba yang demikian, dengan perjuangan (mujahadah) pada masa
yang panjang. Dan kami mengetahui, bahwa yang demikian itu termasuk yang
dikehendaki oleh instink (naluri) dan tabiat manusia. Hal itu tiada sekali-kali
terputus (hilang) daripada manusia. Dari itu, mengusahakannya adalah
membuang-buang waktu tanpa ada faedah. Maka yang dicari itu, ialah, membuang
palingan hati kepada keuntungan duniawi yang secara datangnya. Dan itu mustahil
dapat terwujud. Maka kami menjawab, bahwa kalau benar akhlak itu tidak dapat
berobah, maka sia-sialah nasehat, pelajaran dan pendidikan. Dan sesungguhnya
tidaklah Nabi saw bersabda: “Baguskanlah akhlakmu !”. Bagaimana ini dibantah
terhadap diri manusia, sedang merobah budi pekerti binatangpun mungkin. Karena
binatang buas dapat dipindahkan dari liar kepada jinak. Anjing dari sifat
kerakusan kepada makan, dapat dipindahkan kepada terdidik, dapat menahan diri
dan bersunyi-sunyi sendirian. Dan kuda dari sifat suka melawan, kepada sifat
lembut dan tunduk. Semua itu adalah perobahan akhlak namanya. Kata-kata yang
menyingkapkan tutupnya yang demikian, ialah dengan keterangan kami ini. Yaitu:
segala yang ada di alam semesta ini terbagi kepada: yang tidak masuk dalam
urusan dan usaha manusia, pada pokoknya dan perinciannya, seperti: langit dan
bintang-bintang. Bahkan juga anggota tubuh manusia itu sendiri, dalam dan luar
dan bahagian binatang-binatang yang lain. Pendek kata, semua yang sudah
berhasil sempurna, yang telah selesai wujud dan kesempurnaannya. Dan terbagi
pula kepada: yang didapati wujudnya dengan kekurangan dan dijadikan padanya
kekuatan untuk menerima kesempurnaan, sesudah diperoleh syaratnya. Dan
syaratnya itu kadang-kadang terikat dengan usaha hamba. Umpamanya: biji
tumbuh-tumbuhan, bukanlah dia itu buah jambu dan bukan batang kurma. Kecuali ia
telah dijadikan sebagai suatu makhluk, yang mungkin menjadi sebatang kurma,
apabila ditambahkan pemeliharaan kepadanya. Dan tiada sekali-kali akan menjadi
buah jambu. Dan tidak akan menjadi demikian, dengan pemeliharaan sekalipun.
Apabila biji tumbuh-tumbuhan itu membekas dengan usaha manusia, sehingga
menerima sebahagian keadaan (yang baru) dan tidak menerima sebahagian keadaan
yang lain, maka seperti demikian pula sifat marah dan nafsu syahwat, kalau kita
mau mencegah dan memaksakannya secara keseluruhan. Sehingga tiada tinggal
sekali-kali bekasnya, yang tidak kita kuasai. Kalau kita mau melembutkan dan
menuntun sifat marah dan nafsu syahwat dengan latihan dan mujahadah, niscaya
kita sanggup yang demikian. Dan memang kita disuruh dengan yang demikian. Dan
menjadi sebab kelepasan kita dan sampainya kita kepada Allah Ta’ala. Benar,
sifat manusia itu bermacam-macam. Sebahagian segera menerima perobahan dan
sebahagian lagi lambat menerima perobahan. Perbedaan itu mempunyai dua sebab:
Pertama: kuatnya
gharizah (naluri) tentang asalnya tabiat itu. Dan memanjangnya masa adanya.
Sesungguhnya kekuatan nafsu syahwat, marah dan takabur itu ada pada manusia.
Tetapi yang paling sukar dan yang paling menentang perobahan, ialah: kekuatan
nafsu syahwat. Sesungguhnya nafsu syahwat itu paling dahulu adanya. Karena anak
kecil pada permulaan fitrah kejadiannya, sudah dijadikan baginya nafsu
keinginan. Kemudian, sesudah 7 tahun, kadang-kadang sudah dijadikan sifat:
amarah. Dan sesudah itu, dijadikan kekuatan: membedakan (tamyiz).
Sebab kedua:
akhlak itu kadang-kadang menjadi kuat, disebabkan banyak berbuat menurut yang
dikehendaki oleh akhlak itu, mematuhinya dan yakin dengan baiknya dan disukai
orang. Maka manusia dalam hal tersebut, terdiri atas 4 tingkat:
Tingkat pertama: yaitu manusia yang lalai, yang tidak dapat
membedakan diantara yang hak dan yang batil, diantara yang bagus dan yang
buruk. Bahkan, ia tetap seperti kejadian pada fitrahnya, kosong dari semua
keyakinan (aqidah). Nafsu keinginannya pun tiada sempurna, dengan mengikuti
kelezatan hidup. Manusia yang seperti ini lekas sekali menerima pengobatan. Ia
tidak memerlukan, selain kepada guru dan penunjuk (mursyid). Dan kepada
penggerak dari dirinya yang membawanya kepada mujahadah. Maka akan bagus
akhlaknya dalam waktu singkat.
Tingkat kedua: bahwa ia mengetahui buruknya yang buruk.
Tetapi ia tiada membiasakan mengerjakan amal saleh. Bahkan selalu ia dihiasi
dengan perbuatan jahat. Lalu ia bergelimang mengikuti nafsu syahwatnya dan
berpaling dari pikiran yang betul. Karena telah dikuasai oleh nafsu keinginan.
Tetapi ia tahu akan keteledorannya dalam perbuatannya. Maka keadaan orang ini
lebih sukar dari yang pertama tadi. Karena telah berlipat-ganda tugas terhadap
dirinya. Sebab ia harus mencabut mula-mula apa yang telah melekat pada dirinya,
dari banyaknya membiasakan perbuatan merusak. Dan yang penghabisan: bahwa ia
menanam pada dirinya sifat membiasakan perbuatan baik. Tetapi, secara
keseluruhan, ia adalah tempat yang menerima latihan (riyadlah), kalau ia bangun
untuk riyadlah itu dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan berketetapan hati.
Tingkat ketiga, bahwa ia meyakini tentang akhlak yang keji itu,
bahwa akhlak yang keji itulah yang wajib dipakai, lagi baik. Bahwa itulah yang
benar dan yang bagus. Ia terdidik diatas sifat yang keji itu. Orang yang
seperti ini, hampir-hampir tidak dapat mengobatinya. Dan tidak dapat diharap
akan baiknya, kecuali jarang sekali. Yang demikian itu, karena
berlipat-gandanya sebab-sebab kesesatannya.
Tingkat keempat: bahwa ia serta pertumbuhannya pada pikiran
yang batil dan terdidiknya diatas perbuatan yang demikian, ia melihat keutamaan
itu pada banyaknya kejahatan dan merusakkan diri. Ia membanggakan diri dengan
perbuatan yang demikian. Ia menyangka, bahwa dengan demikian pangkatnya
terangkat tinggi. Inilah tingkat yang paling sukar. Orang yang seperti ini
dikatakan: “Sukarlah melatih orang tua dan termasuk penyiksaan mendidik orang
dungu”. Yang pertama dari mereka tadi adalah orang bodoh saja. Yang kedua,
orang bodoh dan sesat. Yang ketiga, bodoh, sesat dan fasik. Dan yang keempat,
bodoh, sesat, fasik dan jahat. Adapun khayalan yang lain, yang mereka ambil
menjadi dalil, ialah kata mereka, bahwa: manusia selama ia hidup, tidaklah
terputus daripadanya nafsu keinginan, amarah, cinta dunia dan akhlak-akhlak
lainnya. Maka ini adalah salah, yang menjadi pegangan bagi suatu golongan.
Mereka menyangka, bahwa yang dimaksud dengan mujahadah, ialah mencegah dan
menyapu sifat-sifat tersebut secara keseluruhan. Amat jauh yang demikian !
Sesungguhnya nafsu syahwat itu dijadikan karena ada faedahnya. Yaitu penting
dalam tabiat manusia. Kalau putuslah nafsu keinginan makan, tentu manusia itu
binasa. Kalau putuslah syahwat bersetubuh, niscaya putuslah keturunan. Kalau
hilanglah sifat kemarahan secara keseluruhan, niscaya manusia tidak akan
mempertahankan dirinya daripada yang membinasakannya. Dan binasalah dia.
Manakala pokok nafsu syahwat masih ada, maka tidak mustahil kecintaan kepada
hartapun tetap ada, yang menyampaikannya kepada nafsu syahwat. Sehingga yang
demikian, membawanya untuk menahan harta. Dan yang dicari bukanlah menjauhkan
yang demikian secara keseluruhan. Tetapi yang dicari, ialah mengembalikannya
kepada kelurusan (yang sedang), yaitu: yang ditengah-tengah, antara bersangatan
dan berkekurangan. Dan yang dicari pada sifat amarah, ialah bagusnya menahan
diri. Yang demikian, ialah, bahwa ia terlepas dari tahawwur (berani membabi-buta)
dan jubun (pengecut). Pendek kata, bahwa ia kuat pada dirinya. Dan beserta
kekuatan itu, ia patuh kepada akalnya. Karena demikianlah Allah Ta’ala
berfirman: “Mereka bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang tiada beriman,
bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Allah Ta’ala
menyifatkan mereka dengan teguh dan kuat (keras atau syiddah). Sesungguhnya
kekerasan itu timbul dari amarah. Kalau lenyaplah amarah, niscaya lenyaplah
jihad (perjuangan). Bagaimana maka timbul maksud mencabut nafsu syahwat dan
amarah secara keseluruhan ? sedang nabi-nabi as tiada terlepas dari sifat-sifat
itu. Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia. Aku marah,
sebagaimana manusia lain marah”. “Adalah Nabi saw apabila berkata-kata, dmana
di hadapannya ada sesuatu yang tiada disukainya, niscaya beliau marah. Sehingga
merahlah kedua pipinya. Tetapi beliau tiada mengatakan, selain yang benar.
Adalah Nabi saw kemarahannya tiada mengeluarkannya dari kebenaran”. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya serta orang-orang yang
memaafkan (kesalahan) orang lain”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Tuhan tiada
berfirman: “Orang-orang yang tiada marah”. (tetapi: yang sanggup menahan
marahnya). Kemarahan dan nafsu keinginan itu dikembalikan kepada batas
kelurusan, dimana masing-masing yang dua tadi, tidak memaksakan akal dan tidak
mengalahkan akal. Tetapi akallah yang mengekang keduanya. Dan yang menang
terhadap sifat marah nafsu keinginan itu, merupakan suatu kemungkinan. Itulah
yang dimaksudkan dengan: pengobatan akhlak. Kadang-kadang nafsu keinginan itu
menguasai manusia, dimana akalnya tidak kuat menolaknya daripada terhamparnya
kepada perbuatan-perbuatan keji. Dan dengan latihan (riadlah), nafsu keinginan
itu dapat kembali kepada kelurusan. Maka menunjukkan, bahwa demikian itu
mungkin. Percobaan dan penyaksian itu menunjukkan kepada yang demikian, sebagai
suatu bukti yang tidak diragukan lagi. Yang menunjukkan, bahwa yang dicari,
ialah: akhlak yang ditengah-tengah, bukan dua tepinya, ialah: bahwa kemurahan
itu akhlak yang terpuji pada agama. Kemurahan itu ditengah-tengah diantara dua
pinggirnya: boros dan kikir. Allah Ta’ala memuji kemurahan, dengan firmanNya:
“Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada
(pula) bersifat kikir, tetapi pertengahan antara keduanya”. S 25 Al Furqaan
ayat 67. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau jadikan tangan engkau
terbelenggu ke kuduk dan jangan (pula) engkau kembangkan seluas-luasnya !”. S
17 Al Israa’ ayat 29. Begitupula, yang dicari mengenai keinginan makan, ialah:
kelurusan, tiada rakus dan membeku (tidak ingin apa-apa). Allah Ta’ala
berfirman: “Dan makanlah dan minumlah dan jangan melampaui batas ! sesungguhnya
Allah tiada menyukai orang-orang yang melampaui batas”. S 7 Al A’raaf ayat 31.
Mengenai marah, Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bersikap teguh dan kuat
terhadap orang-orang yang tiada beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama
mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Nabi saw bersabda: “Pekerjaan yang terbaik,
ialah yang ditengah-tengah (sedang)”. Ini mempunyai rahasia dan pentahkikan.
Yaitu, bahwa: kebahagiaan itu bergantung dengan keselamatan hati, dari
penghalang-penghalang alam ini. Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang beruntung,
ialah orang yang datang kepada Allah, dengan hati yang bersih”. S 26 Asy
Syu’araa’ ayat 89. Kikir itu sebagian dari penghalang-penghalang dunia. Dan
boros juga termasuk sebagian dari penghalang dunia. Syarat hati itu, bahwa ia
bersih dari kikir dan boros. Artinya: ia tidak berpaling kepada harta. Dan
tidak loba membelanjai dan menahaninya. Orang yang loba membelanjainya,
terjurus hatinya kepada membelanjainya, sebagaimana orang loba menahaninya,
terjurus hatinya kepada menahaninya. Maka kesempurnaan hati, adalah bersih dari
kedua sifat tersebut semuanya. Apabila tidak ada yang demikian itu di dunia
ini, niscaya kita cari yang lebih menyerupai dengan tidak adanya kedua sifat
tersebut dan jauh daripada kedua tepinya. Yaitu: ditengah-tengah. Air biasa
(al-fatir) itu, tiada panas dan tiada dingin. Tetapi ditengah-tengah, antara
panas dan dingin. Seakan-akan air biasa itu terlepas dari dua sifat tersebut.
Maka begitupula: as-sakha’ (bersifat pemurah) itu, diantara sifat boros dan
sifat kikir. Sifat syaja’ah, diantara jubun dan tahawwur. Dan sifat ‘iffah,
diantara rakus dan beku (tidak bernafsu apa-apa). Begitupula sifat akhlak yang
lain. Masing-masing dari kedua tepi pekerjaan itu tercela. Inilah yang dicari !
dan itu mungkin !. Benar, bagi guru yang menunjukkan jalan kepada muridnya,
harus mencela sifat marah dengan tegas dan mencela sifat menahan harta (kikir)
dengan tegas. Dan tidak memberi kesempatan sedikitpun daripadanya kepada murid
itu. Karena kalau diberinya kesempatan walaupun sedikit saja, niscaya murid itu
mengambil yang demikian, menjadi alasan untuk meneruskan kekikirannya dan
kemarahannya. Dan ia menyangka, bahwa yang demikian itu kadar yang
diperbolehkan. Apabila dimaksudkan memotong pokoknya dan dengan bersangatan
yang demikian dan tidak mudah baginya, kecuali dengan memecahkan tempatnya,
dimana akan kembali kepada kelurusan, maka yang benar, ialah dimaksudkan
mencabut pokok itu. Sehingga mudahlah baginya batas yang dimaksud. Rahasia ini
tiada terbuka bagi murid dan menjadi tempat tertipunya orang-orang dungu.
Karena ia menyangka sendiri, bahwa marahnya itu benar dan menahan harta itu
benar.
PENJELASAN: sebab yang dapat
tercapai kebagusan akhlak.
Secara keseluruhan anda
telah mengetahui, bahwa bagusnya akhlak itu kembali kepada kelurusan kuatnya
akal dan sempurnanya hikmah dan kepada kelurusan kuatnya amarah dan nafsu
keinginan. Dan adanya sifat-sifat itu patuh kepada akal dan juga kepada agama.
Kelurusan ini berhasil dengan dua jalan:
Pertama: dengan
kurnia Ilahi dan sempurnanya fithrah (kejadian), dimana manusia itu dijadikan dan
dilahirkan dengan akal yang sempurna, akhlak yang baik, yang mencukupkan
kekuasaan nafsu-syahwat dan amarah. Bahkan nafsu syahwat dan amarah itu
dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah manusia tersebut
berilmu (alim), tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, seperti Isa anak
Maryam dan Yahya anak Zakaria as. Dan begitupula nabi-nabi yang lain. Kiranya
rahmat Allah kepada mereka itu semuanya. Dan tidak jauh dari kebenaran, bahwa
ia berada pada tabiat dan fitrah (kejadian) itu, kadang-kadang ia capai dengan
usaha. Banyak anak kecil yang lahir dengan cara bicaranya yang benar, pemurah
dan berani. Kadang-kadang dijadikan sebaliknya. Lalu sifat yang demikian,
berhasil dengan dibiasakan dan bergaul dengan orang-orang yang berakhlak dengan
akhlak-akhlak tersebut. Dan kadang-kadang yang demikian itu berhasil dengan
belajar.
Jalan kedua:
akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riadlah. Kami maksudkan:
membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak yang
dimaksud. Siapa –umpamanya-yang bermaksud supaya dirinya memperoleh akhlak
kemurahan, maka jalannya, ialah: memberatkan diri melakukan perbuatan orang
yang pemurah. Yaitu: memberikan harta. Lalu ia senantiasa menuntutkan dirinya
dan membiasakannya, memperjuangkan dirinya pada yang demikian. Sehingga sifat
tersebut menjadi tabiatnya. Mudah ia melakukannya, lalu ia menjadi seorang
pemurah. Begitupula, siapa yang ingin berhasil untuk dirinya akhlak tawadlu
(rendah hati, tidak menyombong). Dan selama ini sifat takabur sudah berkuasa
(banyak) pada dirinya. Maka jalannya, ialah: membiasakan diri dalam waktu yang
cukup lama, kepada perbuatan orang-orang yang rendah hati. Memperjuangkan
dirinya dan memaksakannya, sehingga akhlak tersebut menjadi akhlaknya dan
tabiatnya. Lalu mudahlah dilaksanakannya. Semua akhlak yang terpuji pada agama
itu dapat berhasil dengan jalan tersebut. Tujuannya, ialah: bahwa perbuatan
yang timbul daripadanya itu menjadi enak. Orang yang pemurah, ialah orang yang
merasa enak memberikan harta yang diberikannya, tanpa ada perasaan paksaan.
Orang yang rendah hati, ialah: orang yang merasa enak dengan sifat rendah hati
(tawadlu’). Akhlak keagamaan pada diri seseorang, tidak akan melekat, selama
tidak dibiasakan oleh diri semua adat kebiasaan yang baik. Dan selama tidak
ditinggalkan semua perbuatan yang jelek. Dan selama tidak dibiasakan, sebagai
yang dibiasakan oleh orang yang rindu kepada perbuatan-perbuatan yang baik. Ia
merasa nikmat dengan perbuatan-perbuatan yang baik, benci kepada
perbuatan-perbuatan yang keji dan merasa tidak enak dengan perbuatan-perbuatan
tersebut, sebagaimana Nabi saw bersabda: “Dijadikan ketetapan mataku
(kesenanganku) pada sembahyangnya”. Manakala adalah ibadah dan meninggalkan
yang terlarang itu dengan perasaan tidak senang dan merasa berat, maka itu
adalah kekurangan. Dan kesempurnaan kebahagiaan tidak akan tercapai dengan
demikian. Benar, rajin beribadah dan meninggalkan yang terlarang dengan
perjuangan (mujahadah) itu baik. Akan tetapi baiknya itu dibandingkan kepada
meninggalkannya, tidak dengan dibandingkan kepada mengerjakannya dengan
ketaatan (penuh kepatuhan). Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu berat, selain bagi orang-orang yang tunduk hatinya
(khusyu’) kepada Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 45. Nabi saw bersabda: “Sembahlah
Allah (beribadahlah) dengan segala kerelaan hati ! jikalau engkau tidak
sanggup, maka dengan bersabar diatas apa yang tiada engkau sukai itu, banyak
kebajikannya”. Kemudian, tiada mencukupi memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan
diatas bagusnya akhlak, oleh keenakan taat dan kebencian kepada perbuatan
maksiat, pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain. Tetapi seyogyalah ada
yang demikian itu berkekalan dan dalam jumlah umur. Manakala umur itu lebih
panjang, maka perbuatan utama itu lebih meresap dan lebih sempurna. Karena
itulah, ketika Nabi saw ditanyakan tentang kebahagiaan, lalu beliau menjawab:
“Panjang umur dalam mentaati Allah Ta’ala”. Karena itulah, nabi-nabi dan
wali-wali tidak suka mati. Karena dunia itu tempat bercocok tanam (mazra’ah)
bagi akhirat. Dan manakala adalah ibadah itu bertambah banyak dengan panjang
umur, niscaya pahalanya adalah lebih banyak, jiwa lebih bersih dan suci. Dan
akhlak lebih kuat dan lebih meresap. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari ibadah itu,
ialah membekasnya pada hati. Dan membekasnya itu menjadi lebih kuat, dengan
banyaknya membiasakan (muwadhabah) pada ibadah. Dan tujuan akhlak ini, ialah
terputusnya kecintaan dunia dari diri. Dan meresaplah padanya kecintaan kepada
Allah Ta’ala. Maka tiada suatupun yang paling dicintainya, selain ingin bertemu
dengan Allah Azza Wa Jalla. Ia tiada menggunakan semua hartanya, selain pada
jalan yang menyampaikanNya kepada Allah. Amarah dan nafsu syahwatnya itu
termasuk yang diberikan kepadanya. Maka tidak dipergunakannya, selain pada
jalan yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, ialah dengan
ditimbang menurut timbangan agama dan akal. Kemudian, ia bergembira sesudah itu
dan merasa enak. Dan tiada seyogyalah bahwa kesudahan shalat itu jauh dari
batas, yang menjadi ia ketetapan matanya (kesenangannya). Dan kesudahan semua
ibadah itu enak (penuh kelezatan). Sesungguhnya adat kebiasaan itu menghendaki
pada diri seseorang akan keajaiban-keajaiban, yang lebih ganjil dari itu. Kita
melihat raja-raja dan orang-orang yang hidup dalam kesenangan, selalu dalam
kegundahan hati. Dan kita melihat penjudi yang sudah failit, kadang-kadang
lebih banyak kegembiraan dan kelezatan dengan judinya dan apa yang padanya,
akan hal yang rasanya beratlah kegembiraan manusia dengan tanpa judi. Sedang
judi itu kadang-kadang menghabiskan hartanya, menghancurkan rumah-tangganya dan
membuatnya failit tiada mempunyai harta lagi. Dalam pada itu, ia menyukai judi
dan merasa enak dengan judi itu. Sebabnya yang demikian, karena lamanya ia
bermain judi dan menggunakan dirinya kepada judi pada masa yang panjang.
Begitupula, orang yang suka bermain-main di hammam (tempat permandian umum).
Kadang-kadang ia berdiri sepanjang hari pada panas matahari, berdiri dengan
kedua kakinya dan ia tiada merasa sakit. Karena gembiranya melihat burung,
gerak-gerik burung, terbangnya dan meninggi terbangnya di udara tinggi. Bahkan
kita melihat orang fasik yang suka mengambil harta orang, yang merasa bangga
dengan pukulan dan potong tangan yang diperolehnya. Dan sabar dengan cambuk dan
dibawa ke tiang gantungan. Dalam pada itu, ia membanggakan diri dan dengan kuat
sabarnya diatas yang demikian. Sehingga ia melihat yang demikian itu, merupakan
suatu kebanggaan bagi dirinya. Dan salah seorang dari mereka dipotong
berpotong-potong, supaya ia mengaku dengan apa yang dilakukannya atau dilakukan
oleh orang lain. Maka ia terus-menerus tiada mau mengaku dan tiada menghiraukan
dengan siksaan-siksaan. Karena kegembiraan, lantaran dipandangnya yang demikian
itu suatu kesempurnaan, keberanian dan kejantanan. Lalu segala hal-ikhwalnya
serta larangan yang ada padanya, menjadi kesenangannya dan sebab kebanggaannya.
Bahkan tiada hal yang lebih keji dan buruk, dari halnya laki-laki yang membuat
dirinya serupa dengan wanita, tentang mencabut bulu, mencat muka dan bergaul
dengan wanita-wanita. Lalu anda melihat laki-laki yang menyerupakan diri dengan
wanita itu, bergembira dengan keadaannya yang demikian dan merasa bangga dengan
kesempurnaannya, dapat membuat dirinya seperti wanita (takhannuts). Ia merasa
bangga bersama laki-laki lain yang seperti itu. Sehingga berlakulah kesombongan
dan kebanggaan itu, diantara tukang-tukang bekam dan tukang-tukang sapu,
sebagaimana berlakunya diantara raja-raja dan ulama-ulama. Semua itu natijah
(hasil) dari kebiasaan dan kerajinan diatas suatu jalan, yang terus-menerus,
pada masa yang panjang. Dan yang demikian dapat dipersaksikan pada orang-orang
yang sama-sama bercampur-gaul dan dalam bidang pengetahuan. Apabila diri,
disebabkan adat-kebiasaan, merasa enak dengan yang batil, cenderung kepada yang
batil dan kepada perbuatan keji, maka bagaimana pula ia tidak merasa enak
kepada kebenaran, jikalau ia dikembalikan kepada kebenaran, pada sewaktu-waktu
dan diharuskan rajin mengerjakannya ? bahkan kecenderungan diri kepada hal-hal
yang keji itu, adalah diluar dari tabiat manusia, yang menyerupai kecenderungan
kepada memakan tanah. Kadang-kadang yang demikian telah banyak terjadi pada
sebahagian manusia, disebabkan oleh adat kebiasaan. Adapun kecenderungannya
kepada hikmah, kepada kecintaan kepada Allah Ta’ala, kepada ma’rifah dan
beribadah kepadaNya, maka adalah seperti kecenderungan kepada makanan dan
minuman. Itu adalah dikehendaki oleh tabiat hati manusia. Itu adalah urusan
ketuhanan (amrun rabbaniyyun). Kecenderungan kepada yang dikehendaki oleh nafsu
syahwat, adalah asing dari diri manusia dan hal yang datang kepada tabiat
manusia. Sesungguhnya makanan hati itu hikmah, ma’rifah dan kecintaan kepada
Allah ‘Azza Wa Jalla. Tetapi hati itu berpaling dari kehendak tabiatnya, karena
penyakit yang hinggap padanya, sebagaimana kadang-kadang penyakit itu hinggap
pada maiddah (perut besar). Lalu tiada ingin makan dan minum. Sedang makan dan
minum itu sebab untuk hidupnya. Maka tiap-tiap hati yang cenderung kepada
mencintai sesuatu, selain Allah Ta’ala, niscaya ia tidak terlepas dari
penyakit, menurut kadar kecenderungannya. Kecuali apabila yang paling
dicintainya itu, karena menolongnya kepada mencintai Allah Ta’ala dan agamaNya.
Maka ketika itu, tidaklah yang demikian, menunjukkan kepada sakit. Jadi, dengan
ini anda dapat mengetahui dengan pasti, bahwa budi pekerti yang baik ini,
mungkin diusahakan dengan latihan (riadlah). Yaitu: pada permulaannya, segala
perbuatan yang timbul daripadanya, dilaksanakan dengan perasaan berat. Supaya
pada kesudahannya menjadi tabiat (dapat dilaksanakan dengan mudah, sudah
menjadi kebiasaan). Ini adalah diantara hal-hal yang mengherankan dalam
hubungan diantara hati dan anggota badan. Ya’ni: jiwa dan badan manusia. Semua
sifat yang timbul pada hati itu, melimpah bekasnya pada anggota badan. Sehingga
–sudah pasti mustahil lagi –anggota badan itu bergerak, selain bersesuaian
dengan jiwa. Semua perbuatan yang berlaku pada anggota badan, maka bekasnya
naik kepada hati. Dan urusan itu berputar pada hati. Hal itu dapat diketahui
dengan contoh. Yaitu: “bahwa siapa yang ingin supaya kepintaran menulis menjadi
sifat kejiwaannya, sehingga ia menjadi penulis dengan tabiat dirinya, maka
tiada jalan lain, kecuali bahwa ia melaksanakan dengan anggota tangan, apa yang
dilaksanakan oleh seorang penulis yang pintar. Ia harus membiasakan yang
demikian pada masa yang panjang, meniru tulisan yang cantik. Pekerjaan si
penulis ialah tulisan yang cantik. Lalu ia menyerupai dengan si penulis itu, dengan
perasaan berat. Kemudian, selalu ia membiasakan demikian, sehingga menjadi
suatu sifat yang meresap pada dirinya. Maka timbullah padanya, pada akhirnya,
tulisan yang cantik, secara tabiat kebiasaannya dengan mudah, sebagaimana
timbulnya pada permulaan dahulu dengan perasaan berat. Maka adalah tulisan
cantik itu, yang menjadikan tulisannya cantik. Akan tetapi yang pertama dahulu
dengan perasaan berat. Kecuali bekasnya naik, kepada hati. Kemudian, menurun
dari hati kepada anggota badan. Lalu ia menulis tulisan cantik dengan tabiat
dirinya yang mudah. Begitupula orang yang ingin menjadi ahli fiqh dengan
jiwanya. Maka tiada jalan, selain berbuat seperti perbuatan para ahli fiqh.
Yaitu: mengulang-ulangi fiqh, sehingga terlipat sifat fiqh pada hatinya. Lalu ia
menjadi ahli fiqh dengan jiwanya (tidak sekedar ahli begitu saja). Begitupula
siapa yang ingin menjadi seorang pemurah, terpelihara jiwa, penyantun dan
rendah hati. Ia harus berbuat perbuatan orang-orang tersebut tadi, dengan
perasaan berat pada mulanya. Sehingga yang demikian menjadi tabiatnya (sifatnya
sehari-hari). Maka tiada obat bagi yang demikian, selain yang tersebut diatas.
Sebagaimana penuntut ilmu fiqh, sehingga berjiwa fiqh (fiqhun-nafsi), tiada
berputus asa untuk mencapai kedudukan tersebut dengan mengosongkan satu malam
dan tiada akan mencapainya dengan mengulang-ulangi satu malam saja. Maka
begitupula penuntut kebersihan jiwa, kesempurnaan dan penghiasan jiwa dengan
perbuatan yang baik, tidak akan diperolehnya dengan ibadah satu hari. Dan ia tiada
akan haram dari perbuatan yang baik itu, dengan perbuatan kemaksiatan satu
hari. Itulah maksudnya perkataan kami: bahwa suatu dosa besar tiada akan
mewajibkan kedurhakaan untuk selama-lamanya. Tetapi tiada berbuat satu hari,
membawa akibat sebanyak tiada berbuat itu. Kemudian, dari sedikit ke sedikit
membawa pula, sehingga jiwa itu suka malas dan dengan sendirinya tiada
memperhatikan hasil lagi. Lalu hilanglah fadlilat fiqh. Begitupula,
perbuatan-perbuatan maksiat yang kecil-kecil. Sebahagian daripadanya menghela
kepada sebahagian lainnya. Sehingga pokok kebahagiaan itu lenyap, disebabkan
runtuhnya pokok iman pada kesudahannya (al-khatimah). Sebagaimana
mengulang-ulangi satu malam, tiada membekasnya pada jiwa fiqhnya, tetapi jiwa
fiqh itu lahir sedikit demi sedikit, secara berangsur-angsur, seperti tumbuhnya
badan dan tingginya tubuh, maka seperti itu pula, taat yang sekali tiada terasa
membekasnya pada pembersihan jiwa dan pensuciannya pada waktu itu juga. Tetapi
tiada seyogyalah dipandang hina ketaatan yang sedikit. Sesungguhnya, jumlah
yang banyak daripada ketaatan itu, yang membekas. Dan jumlah yang banyak itu
terkumpul dari satu-satu. Masing-masing dari satu itu mempunyai bekas. Lalu
dari satu-satu ketaatan itu mempunyai bekas, walaupun tersembunyi. Maka sudah
pasti masing-masingnya mempunyai pahala. Pahala itu adalah timbalan dari bekas
tersebut. Begitupula perbuatan maksiat. Berapa banyak ahli fiqh (faqih),
menganggap mudah, dengan mengosongkan sehari semalam (tiada membaca fiqhnya).
Dan begitulah dengan berturut-turut, menangguhkan dirinya bekerja dari hari ke
hari. Sehingga tabiatnya keluar, tiada menerima fiqh lagi. Begitulah, orang
yang menganggap enteng terhadap perbuatan-perbuatan maksiat yang kecil-kecil.
Dan membuat dirinya menangguhkan akan bertaubat nanti dari hari ke hari
berturut-turut. Sehingga tiba-tiba ia disambar oleh kematian. Atau kegelapan
dosa bertindis-lapis pada hatinya. Dan sudah sukar ia bertaubat. Karena yang
sedikit itu membawa kepada banyak. Lalu hatinya menjadi terikat dengan
rantai-rantai nafsu syahwat, yang tidak memungkinan terlepasnya dari
cengkeraman kukunya. Itulah yang dimaksud dengan tertutupnya pintu taubat. Dan
itulah yang dimaksudkan oleh firman Allah Ta’ala: “Dan Kami adakan tutup
dihadapan dan dibelakang mereka, lalu mereka Kami tutup, sebab itu, mereka
tiada menampak”. S 36 Yaa Siin ayat 9. Dan karena itulah, Ali ra berkata:
“Sesungguhnya iman itu menampak pada hati sebagai titik putih. Semakin iman itu
bertambah, maka putih itupun bertambah. Apabila iman seseorang hamba Allah itu
telah sempurna, niscaya putihlah hatinya seluruhnya. Dan nifaq itu,
sesungguhnya menampakkan pada hati sebagai titik hitam. Semakin nifaq itu
bertambah, maka semakin bertambah pula hitam itu. Apabila nifaq itu telah
sempurna, niscaya hitamlah hati itu seluruhnya. Apabila anda telah mengetahui,
bahwa akhlak yang baik itu, sekali adanya disebabkan tabiat (karakter) dan
fitrah kejadiannya, sekali adanya disebabkan oleh kebiasaan perbuatan-perbuatan
yang baik. Sekali disebabkan melihat orang-orang yang berbuat baik dan menemani
mereka, sedang mereka itu teman-teman kebaikan dan saudara-saudara yang
menegakkan perbaikan (ishlah). Karena tabiat itu mencuri dari tabiat orang lain
yang buruk dan baiknya. Maka siapa yang menonjol pada dirinya tiga arah,
sehingga ia menjadi orang yang mempunyai keutamaan, pada tabiat, kebiasaan dan
belajar, maka ia berada pada keutamaan yang penghabisan. Barangsiapa hina
disebabkan tabiatnya dan kebetulan mempunyai teman orang-orang jahat, lalu ia
belajar dari mereka itu. Dan mudahlah sebab-sebab kejahatan mengalir kepadanya,
sehingga dibiasakannya. Maka orang itu pada kejauhan yang penghabisan dari
Allah ‘Azza Wa Jalla. Diantara dua tingkat tersebut tadi, terdapatlah
orang-orang yang bermacam-macam tentang arah-arah ini. Masing-masing mempunyai
tingkat, tentang dekat dan jauhnya, menurut yang dikehendaki oleh sifat dan
keadaannya. Barangsiapa berbuat seberat biji sawi kebajikan, niscaya
dilihatnya. ”Maka barangsiapa berbuat seberat biji sawi kebajikan, niscaya dilihatnya.
Dan barangsiapa berbuat biji sawi kejahatan, niscaya dilihatnya”. Allah tiada
menganiaya mereka, tetapi mereka sendiri menganiaya dirinya”.
PENJELASAN: penguraian jalan
kepada pendidikan akhlak.
Dari dahulu anda sudah
mengetahui, bahwa kelurusan pada akhlak, ialah sehatnya jiwa. Dan cenderung
(miring) dari kelurusan itu bencana dan penyakit pada jiwa, sebagaimana
kelurusan pada sifat tubuh, adalah sehatnya tubuh. Dan miring dari kelurusan
sakit pada tubuh. Maka hendaklah badan manusia kita ambil menjadi contoh ! maka
kami katakan, bahwa seperti: jiwa pada pengobatannya ialah dengan menghapuskan
semua perbuatan keji dan akhlak rendah dari jiwa. Dan menarik segala sifat
keutamaan dan akhlak yang baik kepada jiwa. Seperti badan pada pengobatannya
ialah, menghapuskan segala penyakit daripadanya. Dan mengusahakan serta menarik
kesehatan kepadanya. Sebagaimana menurut biasanya sifat badan itu asalnya
kelurusan. Sesungguhnya perut itu menderita kemelaratan, disebabkan hal-hal
yang mendatang dari makanan udara dan hal-ihwal keadaan. Maka begitupula
tiap-tiap anak itu dilahirkan, dalam keadaan kelurusan, sehat kejadian
(fitrah)nya. Ibu bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau
Majusi. Artinya: dengan kebiasaan dan pengajaran, maka perbuatan-perbuatan keji
itu diperolehnya. Sebagaimana tubuh manusia itu, pada mulanya tidaklah
dijadikan sempurna. Sesungguhnya ia sempurna dan kuat, dengan pertumbuhan dan
pendidikan dengan makanan. Maka begitupula jiwa, dijadikan dalam keadaan
kurang, yang menerima kesempurnaan. Jiwa itu sempurna dengan pendidikan,
pembersihan akhlak dan pemberian makanan ilmu pengetahuan. Sebagaimana badan,
kalau ia sehat, maka kedudukan dokter itu, menyiapkan undang-undang yang
menjaga kesehatan. Dan kalau ia sakit, maka kedudukan dokter itu membawa
kesehatan kepadanya. Maka begitupula jiwa anda, jikalah dia itu suci, bersih
dan terdidik, maka seyogyalah diusahakan memeliharanya. Dan membawa tambahan
kekuatan kepadanya dan mengusahakan tambahan kebersihannya. Jikalau dia itu tidak
sempurna dan tidak bersih, maka seyogyalah diusahakan membawa yang tersebut
tadi kepadanya. Sebagaimana penyakit yang merobah kelurusan badan, yang
mewajibkan sakit itu, tidak diobati, selain dengan lawannya. Maka jikalau
penyakit itu dari panas, maka diobati dengan dingin. Dan jikalau dari dingin,
maka diobati dengan panas. Maka begitu pulalah perbuatan hina yang menjadi
penyakit hati itu, obatnya, ialah: dengan lawannya. Maka penyakit kebodohan
diobati dengan belajar. Penyakit kikir, diobati dengan kemurahan. Penyakit
sombong dengan merendahkan hati. Dan penyakit rakus dengan menahan diri dengan
rasa berat, dari sesuatu yang diingini. Sebagaimana harus menanggung kepahitan
obat dan sukarnya bersabar dari yang dirindukan, untuk pengobatan badan yang
sakit, maka begitupula harus menanggung kepahitan mujahadah dan sabar untuk
pengobatan penyakit hati. Bahkan lebih utama lagi. Sesungguhnya penyakit badan
itu dapat terlepas dengan mati. Sedang penyakit hati –kita berlindung dengan
Allah Ta’ala –adalah penyakit yang berkekalan sesudah mati, untuk
selama-lamanya. Sebagaimana tiap-tiap yang dingin itu, tidak baik untuk
penyakit, yang sebab-sebabnya panas, kecuali apabila ada dalam batas yang
tertentu. Dan yang demikian itu berbeda, dengan keras dan lemahnya, terus-menerus
dan tidaknya, banyak dan sedikitnya. Dan harus pula mempunyai timbangan, untuk
mengetahui kadar yang bermanfaat daripadanya. Dan kalau timbangannya tidak
dijaga, niscaya bertambahlah kerusakan. Maka begitupula hal-hal yang
bertentangan (annaqaa-idl) yang menjadi pengobatan akhlak, haruslah mempunyai
timbangan (ukuran). Sebagaimana ukuran obat diambil dari ukuran penyakit,
sehingga dokter tiada mengobati, sebelum ia mengetahui, bahwa penyakit itu dari
panas atau dari dingin. Kalau penyakit dari panas, maka diketahuinya dari
derajatnya, lemah atau kuat. Apabila ia telah mengetahui yang demikian, niscaya
ia menoleh kepada keadaan badan, keadaan masa, perusahaan si sakit, umurnya dan
hal-ihwalnya yang lain. Kemudian barulah diobatinya menurut hal-hal tadi.
Begitupula guru (syaikh) yang ajarannya, yang menjadi dokter jiwa murid-murid
dan yang mengobati hati orang-orang yang meminta petunjuk padanya, seyogyalah
tidak memaksa murid-muridnya dengan latihan dan hal-hal yang memberatkan pada
mata pelajaran tertentu dan pada jalan tertentu, sebelum ia mengetahui akhlak
dan penyakit mereka. Sebagaimana dokter, jikalau mengobati semua orang sakit
dengan semacam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit. Maka
begitupula guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid-muridnya, dengan
semacam saja dari latihan, niscaya membinasakan dan mematikan hati mereka. Akan
tetapi, seyogyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaannya,
umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupi oleh tubuhnya. Dan
berdasarkan kepada yang demikian, dibina latihannya. Kalau murid itu masih
permulaan, tidak mengetahui batas-batas agama, maka pertama-tama, diajarkan
bersuci, shalat dan ibadah-ibadah zahiriah. Kalau ia berkecimpung dengan harta
haram atau mengerjakan perbuatan maksiat, maka pertama-tama, disuruh
meninggalkan perbuatan tersebut. Apabila zahiriahnya terhias dengan ibadah dan
anggota tubuhnya suci daripada perbuatan maksiat zahiriah, niscaya diperhatikan
dengan tanda-tanda keadaannya, kepada batiniahnya, untuk diteliti akhlaknya dan
penyakit hatinya. Kalau kelihatan padanya harta berlebihan dari kadar yang
dibutuhinya, maka diambil yang berlebihan itu dan diserahkan kepada amal sosial
(al-khairat). Dan hatinya kosong dari harta itu. Sehingga ia tidak menoleh
kepada harta itu lagi. Kalau ia kelihatan keras kepala, sombong dan mulia diri,
yang mengerasi padanya, maka ia disuruh keluar ke pasar, untuk meminta bantuan
pada orang dan meminta-minta. Maka sesungguhnya sifat mulia diri dan merasa
diri kepala itu, tidak dihancur, selain dengan sifat hina diri. Dan tiada
kehinaan yang lebih besar, dari kehinaan meminta-minta. Maka dipaksakan ia
melakukan demikian beberapa lamanya. Sehingga hancurlah sifat kesombongan dan
kemuliaan dirinya. Sesungguhnya sombong itu termasuk penyakit yang
membinasakan. Begitupula sifat keras kepala (suka melawan). Kalau kelihatan
yang menonjol pada murid itu kebersihan pada badan dan pakaiannya dan kelihatan
hatinya cenderung kepada yang demikian, karena gembira dan menaruh perhatian kepadanya,
niscaya murid tersebut dipergunakan untuk mengurus kamar mandi dan
membersihkannya, menyapu tempat-tempat yang kotor, dibiasakan di dapur dan
tempa-tempat yang berasap. Sehingga bercampur-aduklah sifat keras kepalanya
pada kebersihan itu. Karena orang-orang yang membersihkan pakaiannya,
menghiasinya dan mencari potongan-potongan kain yang bersih dan kain-kain
sajadah yang berwarna itu, tiada berbeda diantara mereka, dengan pengantin
wanita yang menghiasi dirinya sepanjang hari. Tiada berbeda diantara manusia
yang menyembah dirinya atau menyembah patung berhala. Maka manakala ia
menyembah selain Allah Ta’ala, niscaya ia terhijab (terdinding) dari Allah
Ta’ala. Dan orang yang memelihara (membiarkan) pada kainnya sesuatu, selain
dari kainnya itu halal dan suci, dimana hatinya menoleh kepadanya, maka orang
tersebut sibuk dengan dirinya. Diantara latihan yang halus-halus, apabila murid
itu tidak begitu mudah dengan serta-merta meninggalkan sifat keras kepala (suka
melawan) atau sifat yang lain dan tidak mudah dengan sekaligus, lawan dari
sifat itu, maka seyogyalah ia memindahkannya dari akhlak yang tercela itu,
kepada akhlak lain yang tercela yang lebih ringan daripadanya. Seperti orang
yang membasuh darah dengan kencing, kemudian ia membasuh kencing dengan air,
apabila air itu tidak menghilangkan darah. Sebagaimana anak-anak di sekolah
suka bermain bola, mainan tongkat dll yang serupa dengan itu, kemudian ia
berpindah dari permainan, kepada perhiasan dan pakaian-pakaian yang indah.
Kemudian, ia berpindah dari itu, dengan penggemaran menjadi kepala dan mencari
kemegahan. Kemudian, ia berpindah dari kemegahan itu, dengan penggemaran pada
akhirat. Maka begitupula, orang yang tidak membolehkan dirinya meninggalkan
dengan sekaligus, maka hendaklah ia berpindah kepada sifat kemegahan diri yang
lebih ringan daripadanya. Dan begitupula sifat-sifat yang lain. Demikian juga,
apabila ia melihat sifat rakus kepada makanan yang mengerasi pada dirinya,
niscaya mengharuskan ia berpuasa dan menyedikitkan makanan. Kemudian, ia
memaksakan dirinya menyediakan makanan-makanan yang lezat dan dihidangkannya
kepada orang lain. Dan dia sendiri tidak makan dari makanan-makanan itu.
Sehingga dengan demikian, dapat ia menguatkan dirinya. Lalu ia membiasakan
sabar dan hancurlah sifat rakusnya. Begitupula, apabila ia melihat seorang
pemuda yang ingin kawin, sedang pemuda itu tidak mampu perbelanjaan. Maka
disuruhnya berpuasa. Kadang-kadang nafsunya tidak tenang dengan demikian. Maka
disuruhnya berbuka puasa, semalam dengan air, tanpa roti dan semalam dengan
roti, tanpa air. Dan dilarangnya terus makan daging dan lauk-pauk. Sehingga
dirinya hina dan nafsu syahwatnya hancur. Maka tiada obat pada permulaan
keinginan yang demikian, yang lebih bermanfaat, selain dari lapar. Kalau
dilihatnya sifat marah mengerasi padanya, niscaya haruslah ia bersifat
sopan-santun dan berdiam diri. Dan ia dikerasi oleh orang-orang yang
menemaninya, terdiri dari orang-orang yang padanya berakhlak buruk. Dan ia
harus melayani orang yang buruk akhlaknya itu. Sehingga ia melatih dirinya
menanggung perasaan bersama orang itu. Sebagaimana diceritakan dari sebahagian
mereka, bahwa ia membiasakan dirinya bersifat sopan-santun dan menghilangkan
sifat kesangatan amarah dari dirinya. Lalu ia menyewa orang yang akan memaki-makinya
di muka orang banyak. Dan ia memaksakan dirinya sabar dan menutup rapat
amarahnya. Sehingga sifat sopan-santun itu menjadi sifat kebiasaan bagi
dirinya, dimana kemudian dijadikan menjadi pepatah. Sebahagian mereka merasa
dirinya pengecut dan lemah hati. Lalu ia bermaksud memperoleh akhlak keberanian
bagi dirinya. Maka ia berangkat dengan jalan laut pada musim dingin, ketika
ombak sedang pukul-memukul. Orang-orang Hindu yang suka beribadah, mengobati
kemalasannya dari beribadah, dengan berdiri sepanjang malam sebelak kaki.
Sebahagian guru (syaikh) pada permulaan keinginannya beribadah, adalah malas
berdiri. Lalu mengharuskan dirinya berdiri diatas kepalanya sepanjang malam.
Supaya mudah ia berdiri diatas kaki dengan penuh kepatuhan. Sebahagian mereka mengobati
dirinya dari kecintaan kepada harta, dengan menjual semua hartanya dan
melemparkannya dalam laut. Karena ia takut dengan membagi-bagikannya kepada
manusia, akan timbul sifat kebanggaan diri dengan sifat kemurahan itu dan sifat
ria dengan pemberian tersebut. Contoh-contoh ini memperkenalkan kepada anda,
jalan pengobatan hati. Dan tidaklah maksud kami menyebutkan obat tiap-tiap
penyakit. Sesungguhnya yang demikian, akan datang nanti pada kitab-kitab yang
masih tinggal (yang akan dibicarakan). Sesungguhnya maksud kami sekarang itu,
memberitahukan bahwa jalan keseluruhan pada pengobatan itu, ialah: menempuh
jalan yang berlawanan dari yang diingini oleh hawa nafsu dan yang
dicenderunginya. Allah Ta’ala telah mengumpulkan yang demikian semuanya dalam
KitabNya yang mulia dalam suatu kalimat saja, dengan firmanNya: “Dan adapun
orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan melarang dirinya dari
keinginan yang rendah (hawa nafsu). Sesungguhnya sorga tempat kediamannya”. S
79 An Naazi’aat ayat 40-41. Pokok yang penting dalam mujahadah (perjuangan)
itu, penyempurnaan azam (cita-cita). Apabila ia berazam meninggalkan nafsu
syahwat, maka sesungguhnya mudahlah sebab-sebabnya. Yang demikian itu, adalah
percobaan dan ujian daripada Allah Ta’ala. Maka seyogyalah ia bersabar dan
meneruskan. Sesungguhnya, kalau ia membiasakan dirinya, meninggalkan azam,
niscaya nafsunya itu berjinakkan yang demikian, lalu rusaklah. Dan apabila
berbetulan ia merusakkan azam, maka seyogyalah ia mengharuskan dirinya akan
siksaan terhadap perusakan itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada penyiksaan
diri (jiwa) pada “Kitab Al-Muhasabah dan Al-Muraqabah” dahulu. Dan apabila ia
tidak menakutkan dirinya dengan siksaan yang mengerasinya dan baik padanya
memperoleh nafsu syahwat, maka rusaklah latihan (riadlah) dengan demikian
keseluruhannya.
PENJELASAN: tanda-tanda
penyakit hati dan tanda-tanda kembalinya menjadi sehat.
Ketahuilah kiranya, bahwa
tiap-tiap anggota badan itu dijadikan untuk suatu perbuatan khusus. Dan
sakitnya anggota badan itu, sesungguhnya menyukarkan kepadanya perbuatan yang
dijadikan baginya. Sehingga perbuatan itu tidak muncul daripadanya sekali-kali.
Atau muncul dalam keadaan semacam kekacauan (idl-thirab). Maka sakit tangan
itu, menyukarkan kepadanya menggenggam. Dan sakit mata itu, menyukarkan
kepadanya melihat. Dan begitupula sakit hati, menyukarkan kepadanya perbuatan
khusus, dimana hati itu dijadikan karenanya. Yaitu: ilmu, hikmah, ma’rifah,
mencintai Allah Ta’ala, beribadah kepadaNya, merasa lezat dengan menyebutNya, mengutamakan
yang demiakian diatas semua keinginan yang lain, meminta tolong dengan semua
keinginan dan anggota badan kepada yang tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada Aku jadikan jin dan manusia, selain untuk beribadah (menyembah)
kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Pada tiap-tiap anggota badan ada
faedahnya. Faedah hati itu: hikmah dan ma’rifah. Dan khasiat jiwa bagi manusia,
ialah: yang membedakan manusia itu daripada hewan. Manusia tidak berbeda dari
hewan, dengan kuatnya makan, bersetubuh, melihat atau lainnya. Akan tetapi,
dengan mengetahui segala sesuatu, menurut yang sebenarnya. Asalnya segala
sesuatu, Yang Menjadikan dan Yang mencitakannya, ialah: Allah ‘Azza Wa Jalla,
yang menjadikannya segala sesuatu. Kalau ia mengenal tiap-tiap sesuatu dan ia
tidak mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla, maka seakan-akan ia tidak mengenal
sesuatu. Dan tanda kenal itu: cinta (mahabbah). Maka siapa yang mengenal Allah
Ta’ala, niscaya ia mencintaiNya. Tanda cinta, ialah tidak mengutamakan dunia
dan kecintaan-kecintaan lainnya, daripada Allah Ta’ala, sebagaimana firman
Allah Ta’ala: “Katakan: kalau bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu,
perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan
yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai: kalau
semua itu kamu cintai lebih dari Allah dan RasulNya dan dari berjuang di jalan
Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintahNya”. S 9 At Taubah ayat 24.
Maka siapa yang ada padanya sesuatu, yang lebih dicintainya daripada Allah,
maka hati orang itu sakit. Sebagaimana tiap-tiap perut, yang lebih menyukai
tanah dari roti dan air atau hilang keinginannya kepada roti dan air. Maka
perut itu sakit. Maka inilah tanda-tanda sakit !. Dengan ini dapat diketahui,
bahwa hati itu semuanya sakit. Kecuali yang dikehendaki oleh Allah (untuk tidak
sakit). Hanya diantara penyakit-penyakit itu, ada yang tidak diketahui oleh
yang punya penyakit itu. Dan penyakit hati, termasuk yang tidak diketahui oleh
yang punyanya. Karena itulah, maka dilengahkan. Dan kalau diketahuinya, niscaya
sukarlah ia bersabar atas kepahitan obatnya. Karena obat itu berlawanan dengan
keinginan hawa nafsu. Yaitu: tercabutnya nyawa dari tubuh. Kalau didapatinya
pada dirinya, kekuatan sabar atas hal tersebut, niscaya ia tidak memperoleh
dokter yang ahli mengobatinya. Sesungguhnya dokter-dokter itu, ialah para
ulama. Dan penyakit sudah menguasai para ulama itu. Maka dokter yang sakit,
sedikit sekali memperhatikan kepada pengobatannya. Maka karena inilah, penyakit
itu menjadi sukar diobati. Dan penyakitnya menjadi melumpuhkan. Dan ilmu ini
menjadi terhapus. Dan secara keseluruhan, kedokteran hati dimungkiri dan
dimungkiri penyakitnya. Lalu manusia menuju kepada mencintai dunia dan kepada
amal perbuatan, yang zahiriahnya ibadah dan pada batiniahnya adat-kebiasaan dan
memperlihatkan kepada orang (ria). Inilah tanda asal-usul penyakit !. Adapun
tanda kembalinya menjadi sehat sesudah pengobatan, maka dilihat pada penyakit
yang diobati. Kalau yang diobati itu penyakit kikir, maka itu penyakit yang
membinasakan dan yang menjauhkan daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka obatnya
dengan memberikan harta dan membelanjakannya. Akan tetapi, kadang-kadang harta
itu diberikan, sampai kepada batas yang menjadikan ia mubazzir (membuang-buang
harta). Maka mubazzir itupun menjadi penyakit pula. Lalu menjadi seperti orang
yang mengobatkan dingin dengan panas, sehingga keraslah panas. Maka itupun
penyakit pula. Akan tetapi, yang dicari, ialah kelurusan, diantara panas dan
dingin. Begitupula yang dicari, kelurusan diantara pemborosan dan kekikiran.
Sehingga berada di pertengahan. Dan dalam penghabisan jauh dari dua tepi. Kalau
anda ingin mengetahui pertengahan, maka perhatikanlah kepada perbuatan yang
diharuskan oleh akhlak yang ditakuti itu. Kalau perbuatan tersebut lebih mudah
bagi engkau melaksanakannya dan lebih enak dari perbuatan yang menjadi
lawannya, maka yang kuat pada engkau, ialah akhlak yang mewajibkan perbuatan
tersebut. Misalnya: bahwa menahan harta daripada memberikan dan mengumpulkannya
itu, lebih enak dan lebih mudah bagi engkau, daripada memberikannya kepada yang
berhak. Maka ketahuilah, bahwa yang kuat pada engkau, ialah: akhlak kikir. Dari
itu, maka tambahlah membiasakan memberi. Kalau memberi kepada yang tidak
berhak, lebih enak bagi engkau dan lebih ringan kepada engkau daripada
menahankannya dengan benar, maka telah kuatlah sifat boros pada engkau. Maka
kembalilah kepada membiasakan: menahan (tidak memberikan). Senantiasalah
hendaknya, engkau mengintip diri engkau dan mencari bukti tentang akhlak
engkau, dengan memudahkan perbuatan dan menyulitkannya ! sehingga hubungan hati
engkau terputus daripada menoleh kepada harta. Lalu engkau tidak cenderung
kepada memberikannya dan menahankannya. Tetapi harta itu pada engkau menjadi
seperti: air. Maka engkau tidak meminta pada air itu, selain menahannya karena
keperluan orang yang memerlukan. Atau memberikannya karena keperluan orang yang
memerlukan. Tiada yang kuat pada engkau, diantara: memberi dan menahan. Maka
tiap-tiap hati menjadi seperti demikian. Maka Allah mendatangkan akan hati yang
selamat dari kedudukan ini khususnya. Dan harus hati itu selamat dari
akhlak-akhlak yang lain. Sehingga ia tiada mempunyai hubungan dengan suatu yang
menyangkut dengan dunia. Sehingga dirinya (jiwanya) berangkat dari dunia, putus
segala hubungan dengan dunia. Tiada menoleh lagi kepada dunia dan tiada
merindukan kepada sebab-sebab dunia. Maka ketika itu, ia kembali kepada
Tuhannya, sebagai kembalinya jiwa yang tenang (an-nafsul-muthmainnah), yang
rela, direlakan, yang masuk dalam rombongan hamba Allah yang muqarrabin, dari
nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Dan
baiklah mereka itu menjadi teman. Tatkala pertengahan yang hakiki diantara dua
tepi itu sangat sukar, bahkan lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari
pedang, maka tak dapat dibantah lagi, bahwa siapa yang bertahta diatas jalan
lurus (ash-shiraathal-mustaqiim) ini, di dunia, niscaya ia akan memperoleh
seperti jalan ini di akhirat nanti. Sedikitlah hamba itu terlepas dari
kemiringan pada jalan lurus. Ya’ni: jalan pertengahan. Sehingga ia tidak miring
kepada salah satu dari dua pinggir. Lalu hatinya tersangkut pada pinggir yang
miring ia kepadanya. Maka karena itulah, manusia tiada terlepas daripada azab
apa saja dan singgah di neraka, walaupun itu seperti kilat. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya;
itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan. Akhirnya Kami lepaskan
orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan)”. S 19 Maryam ayat 71-72.
Artinya: orang-orang yang lebih banyak dekatnya kepada jalan lurus, daripada
jauhnya. Dan karena sukarnya kelurusan (al-istiqamah) itu, maka haruslah bagi
masing-masing hamba Allah, berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari 17 kali,
dalam bacaannya –“Ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Karena wajiblah membaca
“Al-Fatihah” pada tiap-tiap rakaat shalat 5 waktu. Diriwayatkan, bahwa
sebahagian mereka bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, lalu bertanya: “Wahai
Rasulullah ! engkau telah bersabda: “Beruban kepalaku oleh Surat Hud
(Syayyabatnii Huudu)’. Mengapakah engkau bersabda demikian ?”. Nabi saw
menjawab: “Karena firman Allah Ta’ala: “Beristiqamahlah (berpegang pada jalan
lurus atau bertetap pendirian), sebagaimana yang diperintahkan kepada engkau
!”. S 11 Huud ayat 112. Istiqamah diatas jalan yang lurus, adalah sangat sulit.
Tetapi seyogyalah manusia berusaha mendekati jalan lurus, jikalau ia tidak
mampu pada hakekat jalan lurus itu. Maka tiap-tiap orang yang ingin terlepas
(dari keburukan), maka kelepasan itu tidak ada, selain dengan amal-shalih
(perbuatan yang baik). Dan perbuatan baik itu tidak timbul, selain dari akhlak
yang baik. Maka hendaklah masing-masing manusia mencari sifat dan akhlaknya !
hendaklah dihitungkannya dan diusahakannya dengan pengobatan, satu demi satu
menurut tertibnya ! Kita bermohon pada Allah Yang Maha Pemurah, menjadikan kita
termasuk orang-orang muttaqin !
PENJELASAN: jalan yang
memperkenalkan manusia akan kekurangan dirinya.
Ketahuilah kiranya, bahwa
Allah ‘Azza Wa Jalla apabila berkehendak kebajikan pada hambaNya, niscaya
diperlihatkanNya kekurangan-kekurangan diri hamba itu. Siapa yang penglihatan
mata hatinya tembus, niscaya tidak tersembunyilah kepadanya
kekurangan-kekurangannya. Maka apabila ia sudah mengetahui
kekurangan-kekurangannya, niscaya memungkinkan ia mengobatinya. Akan tetapi,
kebanyakan makhluk itu tidak mengetahui kekurangan dirinya. Seseorang mereka
itu melihat abu pada mata saudaranya dan tidak melihat pelapah kurma pada
matanya sendiri. Maka barangsiapa bermaksud mengetahui kekurangan dirinya, maka
baginya 4 jalan:
Pertama: bahwa ia duduk
dihadapan guru (syaikh) yang melihat kekurangan diri, yang memperhatikan
bahaya-bahaya yang tersembunyi. Dan ia menetapkannya yang demikian pada
dirinya. Dan ia turut petunjuknya pada mujahadahnya. Dan inilah keadaan murid
bersama syaikhnya dan anak didik bersama ustadznya. Maka ia diperkenalkan oleh
ustadz dan syaikhnya akan kekurangan dirinya. Dan ia diperkenalkan jalan
pengobatannya. Dan ini sukar sekali diperoleh pada masa sekarang !
Kedua: bahwa ia mencari
teman yang benar, yang melihat (bermata-hati) dan yang beragama. Lalu
dijadikannya temannya itu pengintip terhadap dirinya, untuk memperhatikan
hal-ikhwal dan perbuatannya. Maka apa yang tiada disukai, daripada akhlak,
perbuatan dan kekurangan-kekurangannya, baik batin ataupun zahir,
diberitahukannya kepadanya. Begitulah diperbuat oleh orang-orang cerdik dan
orang-orang besar dari pemuka-pemuka agama. Umar ra berkata: “Kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepada orang yang menunjukkan kepadaku kekuranganku”. Ia
bertanya kepada Salman Al-Farisi tentang kekurangannya. Tatkala Salman datang
kepada Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah yang sampai kepadamu tentang diriku,
yang tiada kamu sukai ?”. Salman meminta, supaya Umar tiada memperkatakan
tentang itu. Tetapi Umar mendesak menanyakannya. Lalu Salman menjawab: “Sampai
kepadaku, bahwa engkau mengumpulkan dua makanan diatas suatu meja makan. Dan
engkau mempunyai dua tempat, suatu tempat siang dan suatu tempat malam”.
Kemudian, Umar bertanya pula: “Adakah sampai kepada engkau yang lain dari itu
?”. Salman menjawab: “Tidak !”. Lalu Umar berkata: “Dua tadi sudah cukup
bagiku”. Adalah Umar ra bertanya kepada Huzaifah, seraya berkata kepada
Huzaifah: “Engkau teman rahasia Rasulullah saw mengenai orang-orang munafik.
Adakah engkau melihat pada diriku sesuatu bekas nifaq (munafiq) itu ?”. Sedang
Umar ra begitu mulia pangkatnya dan demikian tinggi kedudukannya. Begitulah
Umar ra menuduh dirinya ! tiap-tiap orang yang sempurna akalnya dan tinggi
kedudukannya, adalah sangat sedikit membanggakan diri dan sangat besar menuduh
(memperhatikan keburukan) dirinya sendiri. Tetapi hal yang seperti ini, sangat
sukar pula dijumpai. Sangat sedikit pada teman-teman, orang yang meninggalkan
berminyak air (bersifat palsu). Lalu ia menerangkan kekurangan atau
meninggalkan kedengkian. Lalu tiada menambahkan dari kadar yang perlu. Maka
tiada terlepas pada teman-temanmu, orang yang dengki atau mempunyai maksud
tertentu, yang memandang yang bukan kekurangan itu kekurangan. Atau teman yang
berminyak air (palsu), yang menyembunyikan tentang dirimu, sebahagian
kekuranganmu. Karena itulah, maka Daud Ath-Thai mengasingkan diri dari manusia.
Orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tiada bercampur-baur dengan manusia
?”. Daud Ath-Thai menjawab: “Apakah yang akan aku perbuat dengan
golongan-golongan itu, yang menyembunyikan daripadaku kekuranganku ?”. Adalah
keinginan kaum agama itu, dapat menyadari kekurangan dirinya, dengan
diberitahukan oleh orang lain. Dan telah menjadi kenyataan pada orang-orang
seperti kita sekarang, bahwa yang sangat tidak disenangi, ialah orang yang
menasehati kita dan memberitahukan kepada kita akan kekurangan kita. Ini hampir
menjadi pertanda yang terang, dari kelemahan iman. Sesungguhnya akhlak jahat
itu ular dan kalajengking yang menyengat. Kalau ada orang yang memberitahukan
kepada kita, bahwa dibawah kain kita ada kalajengking, tentu kita terima
perkataan itu sebagai suatu nikmat. Dan kita merasa senang sekali. Dan kita berusaha
menghilangkan kalajengking tadi, menjauhkannya dan membunuhnya. Penganiayaannya
itu atas badan dan kesakitannya berketerusan, sehari atau kurang dari sehari.
Dan penganiayaan akhlak buruk atas lubuk hati itu, lebih ditakuti, bahwa
berketerusan sesudah mati untuk selama-lamanya atau ribuan tahun lamanya.
Kemudian, kita tidak merasa gembira kepada orang yang memberitahukan kepada
kita akan akhlak buruk itu. Dan kita tidak berusaha menghilangkannya. Akan
tetapi berusaha menghadapi penasehat tadi, seperti perkataannya kepada kita.
Lalu kita berkata kepadanya: “Saudara juga berbuat begitu....begitu....!”. Dan
kita sibuk bermusuhan dengan orang tersebut, tanpa mengambil manfaat dengan
nasehatnya. Yang demikian, menyerupai dengan kekesatan hati yang dihasilkan oleh
kebanyakan dosa. Dan pokok semua itu, ialah: kelemahan iman. Maka kita bermohon
pada Allah ‘Azza Wa Jalla kiranya, kita diilhamiNya petunjuk, diperlihatkanNya
kepada kita akan segala kekurangan dan dianugerahiNya kita kesibukan untuk
mengobatinya. Dan diberiNya kita taufik, untuk bangun mengucapkan terima kasih
(syukur) kepada orang yang memperlihatkan kepada kita akan segala keburukan
kita, dengan nikmat dan kurniaNya.
Jalan ketiga: bahwa ia
memperoleh faedah mengetahui kekurangan dirinya, dari perkataan (lidah)
musuhnya. Sesungguhnya mata yang penuh kemarahan akan melahirkan segala
keburukan. Semoga manusia lebih banyak mengambil manfaat dari musuh yang
meluap-luap kemarahannya, yang menyebutkan segala kekurangannya, daripada teman
yang berminyak air (palsu) yang menyanjung dan memujinya. Dan menyembunyikan
segala kekurangannya. Hanya tabiat manusia sudah menjadi sifatnya, mendustakan
musuhnya. Dan apa yang dikatakan musuh itu, dianggapnya dengki. Akan tetapi
orang yang berpemandangan jauh (bermata hati), selalu mengambil manfaat dengan
perkataan musuh-musuhnya. Karena semua kejahatannya –tak boleh tidak –akan
berhamburan dari lidah musuh itu.
Jalan keempat: bahwa ia
bercampur-baur dengan manusia. Semua yang dilihatnya tercela diantara orang
banyak itu, maka hendaklah dicarinya pada dirinya sendiri dan disandarkannya
kepadanya. Sesungguhnya orang mu’min itu, cermin orang mu’min. Lalu melihat
dari kekurangan orang lain, akan kekurangan dirinya. Dan ia tahu, bahwa tabiat
(karakter) itu, berdekat-dekatan tentang mengikuti hawa nafsu. Sifat yang
dipunyai oleh seorang teman, senantiasa asalnya dari teman yang lain atau dari
yang lebih besar daripadanya atau sedikit daripadanya. Maka hendaklah ia
mencari pada dirinya dan membersihkannya dari semua yang mencelanya dari orang
lain. Mencukupilah bagimu dengan yang tersebut, untuk pendidikan diri ! Kalau
manusia semua meninggalkan apa yang tiada disukainya dari orang lain, niscaya
mereka tiada memerlukan kepada pendidik. Orang bertanya kepada nabi Isa as:
“Siapakah yang mendidik engkau ?”. Nabi Isa as menjawab: “Tiada seorangpun
mendidikku. Aku melihat kebodohan orang bodoh itu suatu kekurangan, maka aku
jauhkan kebodohan itu”. Ini semua adalah daya upaya orang yang tiada mempunyai
guru yang arif bijaksana, yang cerdik, yang melihat kekurangan diri, yang penuh
kasih sayang, yang menasehati bidang agama, yang selesai daripada mendidik
dirinya, yang bekerja mendidik hamba Allah Ta’ala dan menasehati mereka. Siapa
yang memperoleh orang seperti itu, maka sesungguhnya ia telah memperoleh
dokter. Maka hendaklah ia tidak berpisah dengan orang itu. Orang itulah yang
menyembuhkannya dari sakitnya. Dan melepaskannya daripada kebinasaan yang
dihadapinya.
PENJELASAN: dalil-dalil yang
diambil dari orang-orang bermata hati dan dalil-dalil agama, bahwa jalan pada
pengobatan penyakit hati itu ialah: meninggalkan nafsu syahwat. Dan unsur
penyakitnya, ialah menuruti nafsu syahwat.
Ketahuilah kiranya, bahwa
apa yang telah kami sebutkan, jika anda perhatikan dengan mata yang penuh
perhatian, niscaya terbukalah mata hati anda dan tersingkaplah bagi anda segala
penyakit hati, sakitnya dan obatnya, dengan nur ilmu dan yakin. Jikalau anda
lemah dari yang demikian, maka tidak seyogyalah anda, kehilangan pembenaran
(tashdiq) dan iman, dengan jalan menemui dan mengikuti, bagi orang yang berhak
mengikuti. Sesungguhnya iman itu mempunyai tingkat, sebagaimana ilmu itu
mempunyai tingkat. Ilmu itu berhasil sesudah iman. Dan ilmu itu di belakang
iman. Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu kepada derajat yang tinggi”. S
58 Al Mujaadalah ayat 11. Siapa yang membenarkan, bahwa menentang nafsu syahwat
itu, adalah jalan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan ia tidak memperhatikan kepada
sebab dan rahasianya, maka ia termasuk diantara orang-orang yang beriman. Dan
apabila ia memperhatikan kepada apa yang telah kami sebutkan, tentang
penolong-penolong nafsu syahwat, maka ia termasuk diantara orang-orang yang
memperoleh ilmu. Masing-masing dijanjikan oleh Allah akan kebaikan (sorga). Dan
yang dikehendaki iman dengan hal ini, dalam Alquran dan As-Sunnah dan ucapan
para ulama itu, sangat banyak dari dapat dihinggakan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan menahan dirinya dari hawa nafsu. Sesungguhnya sorga tempat diamnya”. S 79
An Naazi’aat ayat 40-41. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu orang-orang yang
telah diuji oleh Allah hatinya untuk taqwa”. S 49 Al Hujuraat ayat 3. Ada yang
mengatakan: dicabut oleh Allah dari hatinya kesukaan kepada nafsu syahwat. Nabi
saw bersabda: “Orang mu’min itu diantara 5 kesulitan: orang mu’min sendiri yang
dengki kepadanya, orang munafik yang marah kepadanya, orang kafir yang
memeranginya, setan yang menyesatkannya dan hawa nafsu yang bertengkar dengan
dia”. Nabi saw menerangkan, bahwa hawa nafsu itu musuh yang bertengkar, yang
harus dilawannya dengan mujahadah (perjuangan yang sengit). Diriwayatkan, bahwa
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud ! berilah nasehat
dan peringatan kepada teman-temanmu akan memakan nafsu syahwat ! sesungguhnya
hati yang tergantung akalnya dengan nafsu syahwat dunia itu, terdinding
(terhijab) daripadaKu”. Nabi Isa as bersabda: “Amat baiklah orang yang
meninggalkan nafsu syahwat yang sekarang, untuk memperoleh yang dijanjikan,
yang ghaib, yang tidak dilihatnya”. Nabi kita saw bersabda kepada suatu kaum
(orang banyak) yang datang dari perjuangan (jihad): “Selamat datang bagi kamu
sekalian, yang datang dari perjuangan kecil (al-jihadul-ash-ghar) ke perjuangan
besar (al-jihadul-akbar) !”. Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah
perjuangan besar itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Berjuang dengan hawa nafsu”.
Nabi saw bersabda: “Pejuang (al-mujahid), ialah orang yang memperjuangkan hawa
nafsunya untuk mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla”. Nabi saw bersabda: “Cegahlah
yang menyakiti kamu dari hawa nafsumu ! dan janganlah kamu turuti hawa nafsu
itu pada perbuatan maksiat terhadap Allah ! jadi, hawa nafsu itu akan memusuhi
kamu pada hari kiamat. Lalu sebahagian kamu akan mengutuki sebahagian yang
lain. Kecuali diampuni oleh Allah dan ditutupNya”. Sufyan Ats-Tsuri ra berkata:
“Tiada aku obati sesuatu, yang lebih sukar kepadaku, daripada hawa nafsuku.
Sekali untukku (bermanfaat bagiku) dan sekali atas diriku (mendatangkan melarat
atas diriku)”. Abdul Abbas Al-Maushali ra berkata kepada nafsunya: “Hai nafsu !
tidak di dalam dunia, bersama anak raja-raja engkau bersenang-senang. Dan tidak
pada mencari akhirat, bersama hamba-hamba Allah, engkau bersungguh-sungguh.
Seolah-olah aku dengan engkau, diantara sorga dan neraka engkau kurung. Hai
nafsu ! apakah engkau tiada malu ?”. Al-Hasan Al-Basri ra berkata: “Tiadalah
binatang yang sukar dikendarai, yang lebih memerlukan kepada kekang yang kuat,
dari nafsu engkau sendiri”. Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata: “Berjuanglah
menentang hawa nafsumu dengan pedang latihan ! dan latihan itu diatas 4 cara:
yang menguatkan dari makanan, memicingkan mata dari tidur, yang perlu dari
perkataan dan menahan kesakitan dari semua manusia. Dari sedikit makan itu terjadilah
mati nafsu syahwat. Dari sedikit tidur, bersihlah semua kehendak. Dari sedikit
berkata-kata, selamatlah dari segala bahaya. Dan dari menahan kesakitan
sampailah kepada segal tujuan. Tiada suatupun yang lebih sukar atas seorang
hamba, selain sopan-santun ketika kekasaran dan sabar atas kesakitan. Apabila
bergerak kehendak dari nafsu syahwat dan dosa dan bergelora daripadanya
keenakan perkataan yang sia-sia, niscaya dicabut pedang sedikit makan dari
sarungnya tahajjud dan sedikit tidur. Dan dipukulnya dengan tangan kelesuan dan
sedikit berbicara. Sehingga ia terputus dari kezaliman dan balas dendam. Lalu
ia aman daripada malapetakanya, diantara manusia-manusia yang lain. Dan
dibersihkannya dari kegelapan segala keinginannya. Maka terlepaslah ia dari segala
tipuan bahayanya. Maka ketika itu, jadilah nafsu tadi bersih dan bercahaya,
yang ringan kerohanian. Lalu ia berkeliling di lapangan kebajikan. Dan berjalan
pada jalanan ketaatan. Seperti kuda, yang tangkas di lapangan. Dan seperti raja
yang berjalan-jalan di taman”. Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata pula: “Musuh
manusia itu 3: “dunianya, setannya dan nafsunya. Maka jagalah diri dari dunia
dengan zuhud, dari setan dengan menentangnya dan dari nafsu dengan meninggalkan
segala keinginan !”. Sebahagian hukama’ (ahli hikmah atau failosuf) berkata:
“Siapa yang dikuasai oleh nafsu, maka ia menjadi tawanan dalam sumur
keinginannya, terkurung dalam penjara kecenderungannya, dipaksakan dan
diikatkan kekangnya dalam tangan hawa nafsu itu. Lalu nafsu itu menariknya
menurut sekehendaknya. Maka ia mencegah hatinya dari segala yang faedah”.
Ja’far bin Hamid berkata: “Telah sepakat para ulama dan hukama, bahwa nikmat
(akhirat) tidak akan diperoleh, kecuali dengan meninggalkan nikmat (dunia). Abu
Yahya Al-Warraq berkata: “Siapa yang merelai anggota-anggota badannya dengan
nafsu syahwat, maka ia telah menanamkan dalam hatinya, pohon penyesalan”. Wahib
bin Al-Ward berkata: “Apa yang berlebih dari roti, maka itu nafsu syahwat”. Dan
ia berkata pula: “Siapa yang mencintai nafsu syahwat dunia, maka hendaklah ia
bersiap untuk kehinaan”. Diriwayatkan, bahwa perempuan pembesar itu (tempat
nabi Yusuf as pada mulanya di Mesir) berkata kepada nabi Yusuf as, sesudah nabi
Yusuf as memiliki gudang kekayaan bumi dan perempuan pembesar itu duduk di tepi
jalan, pada hari berjalannya rombongan Yusuf as dan adalah Yusuf as
berkendaraan dalam rombongan, yang jumlahnya kira-kira 12 ribu para pembesar
kerajaannya: “Maha Suci Tuhan yang menjadikan raja-raja, menjadi budak,
disebabkan perbuatan maksiat. Dan menjadikan budak menjadi raja, disebabkan
ketaatannya kepada Tuhan. Sesungguhnya sifat rakus dan nafsu syahwat,
menjadikan raja-raja itu menjadi budak. Dan demikianlah balasan terhadap
orang-orang yang berbuat kerusakan. Sabar dan taqwa itu menjadikan budak
menjadi raja”. Lalu Yusuf as menjawab, sebagaimana diterangkan oleh Allah
Ta’ala (dalam Kitab Suci Alquran, Surat Yusuf ayat 90): “Sesungguhnya,
barangsiapa yang menjaga dirinya –dari kejahatan –dan berhati teguh (sabar),
maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahal orang-orang yang
berbuat kebaikan”. Al-Junaid ra berkata: “Pada suatu malam aku tidak tidur.
Lalu aku bangun mengerjakan shalat wiridku. Maka aku tiada memperoleh halawah
(kemanisan iman) yang sudah aku peroleh sebelumnya. Lalu aku ingin tidur.
Tetapi aku tidak mau tertidur. Lalu aku duduk, maka aku tidak sanggup duduk.
Lalu aku keluar. Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki terbungkus dalam baju
bulu, tercampak diatas jalan. Tatkala ia merasa dengan kedatanganku, lalu ia berkata:
“Hai Abal-qasim ! telah tiba saatnya kepadaku”. Lalu aku menjawab: “Wahai
Tuanku ! dengan tidak ada perjanjian lebih dahulu !”. Lalu orang itu menjawab:
“Ada ! aku telah bermohon pada Allah ‘Azza Wa Jalla, bahwa Ia menggerakkan
hatimu untukku”. Lalu aku menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berbuat
demikian. Apa hajat tuan hamba ?”. Orang itu menjawab: “Kapankah penyakit nafsu
itu menjadi obatnya ?”. Lalu aku menjawab: “Apabila nafsu itu menentang
keinginannya”. Orang itu lalu menghadapkan kata-katanya kepada nafsunya, seraya
berkata: “Dengarlah ! dengan ini, telah aku jawab kepada engkau 7 kali. Tetapi
engkau enggan mendengarnya, kecuali dari Al-Junaid. Nah, sekarang engkau telah
mendengar daripadanya”. Kemudian orang itu pergi dan aku tidak mengenalnya”.
Jazid Ar-Raqasyi berkata: “Untukmu air dingin di dunia, tidak untukku.
Mudah-mudahan aku memperolehnya di akhirat nanti”. Seorang laki-laki bertanya
kepada Umar bin Abdul-aziz ra: “Kapankah aku berbicara ?”. Umar bin Abdul-aziz
ra menjawab: “Apabila engkau ingin diam”. Orang itu bertnaya lagi: “Kapankah
aku diam ?”. Umar menjawab: “Apabila engkau ingin berbicara”. Ali ra berkata:
“Siapa yang ingin kepada sorga, niscaya ia melupakan nafsu syahwatnya di
dunia”. Adalah Malik bin Dinar berjalan-jalan di pasar. Apabila ia melihat
sesuatu yang diingininya, lalu ia berkata kepada nafsunya: “Sabarlah ! demi
Allah, aku tiada melarang engkau, melainkan karena kemuliaan engkau atas
diriku”. Jadi, telah sepakat para ulama dan hukama’, bahwa tiada jalan kepada
kebahagiaan akhirat, selain dengan mencegah nafsu dari keinginan dan menentang
segala nafsu syahwat. Maka percaya dengan ini, wajib. Adapun ilmu penguraian
tentang nafsu syahwat yang ditinggalkan dan yang tidak ditinggalkan itu, tidak
dapat diketahui, selain dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Hasil
latihan dan rahasianya ialah, bahwa nafsu itu tidak mencari kesenangan dengan
sesuatu yang tidak akan diperoleh nanti di dalam kubur, kecuali sekadar perlu.
Maka itu, terbatas kepada: makan, kawin, pakaian, tempat tinggal dan semua yang
diperlukan, sekedar hajat dan penting. Maka sesungguhnya, kalau ia sudah
memperoleh kesenangan dengan sesuatu, niscaya melekat dan hatinya jinak
kepadanya. Apabila ia telah mati, maka ia bercita-cita kembali ke dunia, disebabkan
sesuatu tadi. Tiada bercita-cita kembali ke dunia, selain orang yang tiada
memperoleh keuntungan di akhirat dalam suatu hal pun. Dan tiada terlepas dari
yang demikian, selain bahwa hati itu sibuk dengan: ma’rifah, cinta, bertafakkur
dan sepenuh hati kepada Allah. Tiada tenaga untuk yang demikian, selain dengan
bantuan Allah. Dan ia singkatkan dari dunia, kepada apa yang menolak segala
penghalang dzikir dan pikiran saja. Siapa yang tidak sanggup diatas hakekat
yang demikian, maka hendaklah didekatinya ! manusia padanya 4 macam:
Pertama: orang yang terbenam
hatinya dengan mengingati (dzikir) kepada Allah. Ia tiada menoleh kepada dunia,
selain pada yang penting untuk penghidupan. Orang ini termasuk orang-orang
shiddiqin. Dan tiada sampai kepada tingkat ini, selain dengan latihan panjang
dan sabar atas segala keinginan pada waktu yang lama.
Kedua: orang yang telah
terbenam dunia dalam hatinya. Dan tiada lagi tinggal dzikir kepada Allah Ta’ala
dalam hatinya, selain dari sekadar pembicaraan diri (hadidsin-nafsi), dimana ia
menyebutkanNya dengan lidah, tidak dengan hati. Orang ini, termasuk orang-orang
yang binasa.
Ketiga: orang yang berbuat
untuk dunia dan agama. Akan tetapi yang banyak pada hatinya, ialah: agama. Maka
orang ini, tak boleh tidak, datang di neraka. Tetapi ia bebas dari neraka
dengan segera, menurut banyak dzikirnya kepada Allah Ta’ala dalam hatinya.
Keempat: orang yang berbuat
dengan dunia dan agama bersama-sama. Tetapi lebih banyak dunia dalam hatinya.
Orang ini lama tinggalnya di neraka. Tetapi –tiada mustahil –ia akan keluar
dari neraka, karena kuat dzikirnya kepada Allah Ta’ala dalam hatinya dan
mantapnya dzikir itu dalam lubuk hatinya. Walaupun ingatan kepada dunia itu,
lebih banyak pada hatinya. Wahai Allah Tuhanku ! kami berlindung dengan Engkau
dari azab Engkau !”. Sesungguhnya Engkaulah tempat berlindung ! mungkin ada
orang yang berkata, bahwa bersenang-senang dengan hal mubah (yang dibolehkan
oleh agama) itu dibolehkan. Maka bagaimana bersenang-senang itu, menjadi sebab
jauhnya daripada Allah ‘Azza Wa Jalla ? Itu adalah khayalan lemah. Bahkan
mencintai dunia itu kepala semua kesalahan dan sebab batalnya semua kebaikan.
Hal mubah yang keluar dari sekedar diperlukan, juga termasuk sebahagian dari
dunia. Dan menjadi sebab jauhnya daripada Allah Ta’ala. Dan akan datang uraian
itu pada Kitab Celaan Dunia nanti. Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Pada suatu
kali aku berada pada pergunungan Al-Lukam (di Syria). Lalu aku melihat buah
delima. Maka timbul keinginanku kepada buah delima itu. Lalu aku ambil sebuah,
aku belah dan aku dapati rasanya masam. Lalu aku pergi dan aku tinggalkan buah
delima itu. Maka aku lihat seorang laki-laki tercampak diatas tanah dan telah
berkumpul lalat-lalat atas badannya. Maka aku memberi salam, dengan ucapan:
“Assalamu ‘alaika”. Lalu ia menjawab: “Wa ‘alaikas-salamu ya Ibrahim !”. Maka
aku bertanya: “Bagaimana engkau mengenal aku ?”. Lalu ia menjawab: “Siapa yang
mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya tiada suatupun tersembunyi kepadanya”.
Maka aku menjawab: “Aku melihat bagimu suatu hal serta Allah ‘Azza Wa Jalla.
Jikalau kamu bermohon kepadaNya, untuk dipeliharaNya engkau dari lalat-lalat
ini”. Lalu ia menjawab: “Akupun melihat bagimu suatu hal serta Allah ta’ala.
Jikalau engkau bermohon kepadaNya, untuk dipeliharaNya engkau dari keinginan
kepada buah delima. Sesungguhnya sengatan delima akan didapati oleh manusia
sakitnya pada hari akhirat. Sedang sengatalan lalat, akan didapati sakitnya di
dunia. Lalu aku tinggalkan orang tersebut dan aku pergi”. As-Sirri berkata: “Aku
semenjak 40 tahun yang lampau, diminta oleh nafsuku, supaya aku membenamkan
roti dalam air manisan. Maka aku tidak makan roti yang demikian itu”. Jadi,
tidak mungkin memperbaiki hati untuk menempuh jalan akhirat, sebelum nafsu
dilarang bersenang-senang dengan hal mubah. Sesungguhnya nafsu, apabila tidak
dilarang dari sebahagian hal-hal mubah, niscaya nafsu itu loba pada hal-hal
yang terlarang. Siapa yang bermaksud memelihara lidahnya daripada mengumpat dan
kata-kata yang tidak perlu, maka menjadi haknya, bahwa ia harus diam, selain
dari dzikir kepada Allah Ta’ala dan hal-hal yang penting pada agama. Sehingga
matilah keinginannya berkata-kata. Ia tidak berkata-kata, selain yang benar.
Lalu diamnya itu adalah ibadah dan perkataannya pun adalah ibadah. Manakala
mata membinasakan melemparkan pandangannya kepada tiap-tiap sesuatu yang baik,
niscaya mata itu tidak menjaga pandangannya kepada apa yang tidak halal.
Begitupula keinginan-keinginan yang lain. Karena yang dia ingini akan yang
halal, barang itu pulalah yang dia ingini akan yang haram. Keinginan (syahwah)
itu satu. Dan haruslah kepada hamba Allah, mencegahnya dari yang haram. Kalau
syahwah itu tidak dibiasakan terbatas kepada syahwah sekedar yang penting, maka
syahwah itu akan mengalahkannya. Inilah salah satu bahaya hal-hal yang mubah.
Dan disebaliknya terdapat bahaya-bahaya besar, yang lebih besar dari yang
tersebut tadi. Yaitu: nafsu itu gembira dengan bersenang-senang di dunia. Ia
cenderung kepada dunia dan merasa tentram kepada dunia, dengan kegembiraan dan
kebatilan. Sehingga nafsu itu menjadi mabuk, seperti orang mabuk yang tidak
sembuh dari kemabukannya. Kesenangan duniawi itu racun yang membunuh, yang
mengalir dalam urat. Lalu keluarlah dari hati, ketakutan, kegundahan, ingatan
kepada mati dan huru-hara hari kiamat. Inilah, yang dinamakan: mati hati. Allah
Ta’ala berfirman: “Mereka rela dengan kehidupan yang dekat (dunia) dan sudah
merasa tentram dengan itu”. S 10 Yunus ayat 7. Allah Ta’ala berfirman:
“Sedangkan kesukaan kehidupan dunia ini dibandingkan dengan akhirat, hanyalah
sementara waktu”. S 13 Ar Ra’d ayat 26. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah
olehmu, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan
dan bermegah-megah antara sesama kamu, berlomba banyak kekayaan dan anak-anak;
perumpamaannya bagai hujan, yang menakjubkan orang-orang kafir, melihat tumbuh
tanamannya, kemudian itu menjadi kering dan engkau lihat kuning warnanya, lalu
menjadi hancur. Dan dihari akhirat siksa yang sangat keras (untuk orang yang
bersalah) dan ampunan dari Tuhan dan keridhaan (untuk orang yang mengerjakan
kebaikan). Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan tipuan semata”. S 57 Al
Hadiid ayat 20. Semua yang tersebut itu adalah celaan kepada dunia. Kita
bermohon kepada Allah akan keselamatan. Maka orang-orang yang berhati teguh
kuat, mencoba hatinya mendatangi dunia pada waktu senang. Lalu mereka
memperoleh hatinya kesat dan liar, jauh daripada memperoleh bekas pada
mengingati Allah dan hari akhirat. Dan mereka mencoba hatinya pada waktu sedih.
Lalu mereka memperolehnya lembut, halus, bersih, menerima bekas dzikir kepada
Allah. Lalu mereka mengetahui, bahwa kelepasan itu adalah pada kesedihan yang
terus-menerus, jauh dari sebab-sebab kesenangan dan tenggelam dalam kenikmatan.
Lalu mereka putuskan hatinya dari kelezatan dunia. Dan membiasakannya bersabar
dari segala nafsu syahwat, halalnya dan haramnya. Mereka mengetahui, bahwa yang
halal itu ada perhitungan. Yang haram itu ada siksaan. Dan yang meragukan
diantara keduanya itu, ada celaan. Yaitu, semacam azab juga. Siapa yang
diperdebatkan hitungan amalannya di lapangan kiamat nanti, maka sesungguhnya ia
telah memperoleh azab. Maka mereka melepaskan dirinya dari azab itu. Dan mereka
sampai kepada kemerdekaan dan milik yang kekal di dunia dan di akhirat, dengan
terlepasnya dari tawanan nafsu syahwat dan perbudakannya. Dan hati jinak dengan
dzikir kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan sibuk dengan mentaatiNya. Mereka berbuat
dengan nafsu syahwat, apa yang diperbuat dengan burung liar, apabila
dimaksudkan mendidiknya dan mengobahkannya dari melompat-lompat dan liar,
kepada menuruti dan terdidik. Maka pertama-tama, burung itu dikurung dalam
sangkar gelap dan ditutup kedua matanya. Sehingga berhasil ia terputus dari
dapat terbang lagi di udara lepas. Dan ia lupa dari naluri lepas bebas yang
disukainya selama ini. Kemudian, disayangi dengan daging, sehingga ia jinak
kepada tuannya dan disukainya benar-benar. Apabila dipanggil, ia menyahut. Dan
manakala ia mendengar suara tuannya, niscaya ia kembali kepadanya. Begitupulalah
jiwa, tiada jinak kepada Tuhannya dan tiada selalu berdzikir kepadaNya, selain
apabila jiwa itu terlepas dari kebiasaannya. Pertama-tama dengan khilwah dan
‘uzlah (mengasingkan diri), supaya terpelihara pendengaran dan penglihatan dari
segala yang disukai. Kemudian, yang kedua, jiwa itu dibiasakan dengan memuji
Allah, berdzikir dan berdoa di dalam khilwah tadi. Sehingga sangatlah jinaknya
dengan dzikir kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, sebagai ganti dari jinaknya dengan
dunia dan keinginan-keinginan yang lain. Yang demikian itu terasa berat bagi
seorang murid pada permulaannya. Kemudian, terasa nikmat pada kesudahannya.
Seperti anak kecil yang dihentikan dari menyusu pada susuan ibunya, adalah
sangat berat bagi anak kecil itu. Karena sesaatpun ia tidak sabar. Maka
karenanya, bersangatan tangisnya dan gundahnya ketika dihentikan susuan itu.
Dan anak itu sangatlah menolak makanan yang disugukan kepadanya, sebagai ganti
dari susu. Akan tetapi, apabila terus tidak diberikan susu dari sehari ke
sehari dan sangatlah payahnya bersabar dan ia sangat lapar, niscaya diambilnya
makanan itu karena terpaksa. Kemudian, jadilah yang demikian itu menjadi tabiat
baginya. Jikalau, sesudah itu ia dikembalikan kepada susuan lagi, niscaya ia
tidak mau kembali kepadanya. Ia tidak menyukai lagi susuan, memandang jijik
kepada susu dan menyukai makanan. Begitupula binatang kendaraan. Pada mulanya,
tiada menyukai pelana, kekang dan dikendarai. Lalu, binatang itu dibawa kepada
yang demikian, dengan paksaan. Ia tidak mau terlepas yang telah dijinakinya
dengan rantai dan ikatan pada mulanya. Kemudian, disukainya dengan pelana itu,
dimana ia ditinggalkan pada tempatnya, berhenti tanpa diikat. Maka begitupula,
nafsu itu dididik, sebagaimana mendidik burung dan binatang kendaraan. Mendidiknya,
ialah mencegahnya daripada memandang, menyukai dan merasa senang dengan nikmat
dunia. Bahkan dengan semua yang akan diceraikannya dengan mati. Karena akan
dikatakan kepadanya: “Cintailah apa yang engkau cintai. Sesungguhnya engkau
akan berpisah dengan dia”. Apabila ia tahu, bahwa siapa yang mencintai sesuatu,
yang harus akan berpisah dengan dia dan sudah pasti merasa tiada berbahagian
dengan perpisahan itu, niscaya hatinya akan sibuk dengan mencintai sesuatu yang
tiada akan berpisah. Yaitu: dzikir (menyebut dan mengingati) Allah Ta’ala.
Sesungguhnya dzikir itu akan menemaninya dalam kubur dan tiada akan berpisah
dengan dia. Semua itu, akan sempurna mula pertama dengan kesabaran dalam
beberapa hari yang sedikit jumlahnya. Dan umur itu adalah sedikit sekali,
apabila dibandingkan kepada masa hidup akhirat. Orang yang berakal rela
menanggung kesulitan dalam perjalanan, dalam mempelajari pekerjaan tangan dan
lainnya dalam waktu sebulan, untuk memperoleh kesenangan setahun atau dalam
suatu masa. Semua umur dengan dibandingkan kepada suatu yang lama, adalah
kurang dari sebulan, dibandingkan kepada umur dunia. Maka tak boleh tidak
bersabar dan berjuang (bermujahadah). “Ketika pagi, maka kaum itu memujikan
perjalanan malam. Dan hilanglah kebutaan ngantuk dari mereka”. Sebagaimana
dikatakan Ali ra. Jalan mujahadah dan riadlah berbeda bagi masing-masing
manusia, menurut perbedaan hal-ikhwalnya. Yang pokok, masing-masing orang
meninggalkan apa yang menjadi kesenangannya dari sebab-sebab duniawi. Orang
yang merasa gembira dengan harta atau kemegahan atau disebabkan diterima pada
pengajarannya atau merasa mulia menjadi hakim atau menjadi penguasa atau
disebabkan banyak pengikut pada mengajar dan memfaedahkan ilmu kepada orang,
maka seyogyalah pertama-tama ditinggalkan apa yang menjadi kesenangannya.
Karena jikalau ia dilarang dari sesuatu yang demikian dan dikatakan kepadanya:
“Pahalamu di akhirat, yang tiada berkurang dengan larangan itu”, maka ia tiada
merasa senang yang demikian dan merasa pedih hatinya. Maka orang itu termasuk
diantara orang yang menyenangi dengan kehidupan duniawi dan merasa tentram
dengan itu. Hal yang demikian membinasakan dirinya. Kemudian, apabila ia
meninggalkan sebab-sebab kesenangan, maka hendaklah ia mengasingkan diri dari
manusia. Dan hidup sendirian dengan dirinya sendiri. Dan hendaklah ia mengintip
hatinya ! sehingga ia tiada sibuk, selain dengan mengingati (dzikir) Allah dan
berpikir padaNya. Dan hendaklah ia mengintip tentang nafsu syahwat dan bisikan
(waswas) yang tampak pada dirinya ! sehingga dicegahnya materi tersebut
manakala muncul. Karena tiap-tiap bisikan itu mempunyai sebab. Dan bisikan itu
tidak akan hilang, selain dengan memotong sebab itu dan hubungannya. Hendaklah
selalu berbuat demikian selama umur masih ada ! dan perjuangan (jihad) itu
tiada akhirnya, selain dengan datangnya mati.
PENJELASAN: tanda-tanda
kebagusan akhlak.
Ketahuilah kiranya, bahwa
tiap-tiap manusia itu, tiada mengetahui dengan kekurangan dirinya. Apabila ia
berjuang menentang nafsunya, dengan perjuangan sedikit saja, sehingga ia
meninggalkan kekejian-kekejian perbuatan maksiat, kadang-kadang lalu ia
menyangka sendiri, bahwa ia telah membersihkan dirinya dan membaguskan
akhlaknya. Dan merasa tidak perlu lagi mujahadah. Dari itu, maka tak boleh
tidak, dijelaskan tanda kebagusan akhlak. Sesungguhnya kebagusan akhlak itu,
ialah iman. Dan keburukan akhlak itu, ialah nifaq (sifat orang munafiq). Allah
Ta’ala menyebutkan sifat-sifat orang mu’min dan orang munafiq dalam KitabNya.
Dan sifat-sifat itu pada jumlahnya, adalah buah (hasil) kebagusan akhlak dan
keburukan akhlak. Maka marilah kami kemukakan sebahagian dari yang demikian,
untuk diketahui tanda kebagusan akhlak. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam
sembahyangnya. Dan yang menjauhkan diri dari perkataan yang kotor. Dan yang
mengerjakan perbuatan suci (membayarkan zakat). Dan yang menjaga kehormatannya
(tidak melepaskan syahwatnya). Melainkan kepada isterinya atau kepunyaan tangan
kanannya (sahaya perempuan). Maka sesungguhnya mereka itu tiada tercela.
Tetapi, orang-orang yang mencari selain dari itu, maka merekalah orang-orang
yang melanggar batas. Dan orang beriman dan beruntung juga, orang-orang yang
memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya serta janji yang dibuatnya. Dan
yang menjaga sembahyangnya. Itulah orang-orang yang mempusakai”. S 23 Al Mukminuun
ayat 1 s/d 10. Allah berfirman: “Orang-orang yang taubat (kepada Allah),
orang-orang yang menyembah (Allah), orang-orang yang memuji (Allah),
orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang ruku’, orang-orang yang sujud,
orang-orang yang menyuruh mengerjakan perbuatan baik, orang-orang yang melarang
mengerjakan kejahatan dan orang-orang yang menjaga batas-batas (aturan) Allah;
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman !”. S 9 At Taubah
ayat 112. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman
itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan
apabila dibacakan kepadanya keterangan-keteranganNya, bertambah keimanannya
karena itu dan mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhannya. Mereka tetap
mengerjakan shalat dan membelanjakan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman”. S 8 Al Anfaal ayat
2-3-4. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Pemurah, ialah mereka yang berjalan di bumi dengan sopannya dan apabila
orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan kepadanya, dijawabnya: selamat !
dan mereka yang pada malam hari menyembah Tuhan, sujud dan berdiri. Dan mereka
yang berkata: “Wahai Tuhan kami ! jauhkanlah kiranya dari kami siksaan neraka.
Sesungguhnya siksaan neraka itu memilukan hati. Sesungguhnya itulah kediaman
dan tempat tinggal yang amat buruk. Dan mereka itu, apabila membelanjakan
hartanya, tiada melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir, tetapi
pertengahan antara keduanya. Dan mereka itu tiada menyeru tuhan yang lain di
samping Allah dan tidak membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah (membunuhnya),
melainkan untuk keadilan dan mereka tiada melakukan perzinaan. Dan siapa yang
mengerjakan semua itu, niscaya akan menemui hukuman. Kepadanya akan
diperlipat-gandakan siksaan pada hari kiamat dan mereka tetap disana dalam
keadaan terhina. Kecuali orang yang telah kembali (taubat) dan mengerjakan
perbuatan baik, maka kejahatan orang-orang itu diganti oleh Allah dengan
kebaikan. Dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan orang yang
kembali (taubat) dan mengerjakan perbuatan baik itu, maka sesungguhnya dia
kembali kepada Allah dengan diterima baik. Dan mereka yang tidak mau menjadi
saksi palsu dan apabila melampaui perkara yang omong kosong, mereka berlalu
dengan hormatnya. Dan mereka itu, apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat
Tuhan, mereka tiada bersikap menulikan telinga dan membutakan mata. Dan mereka
itu berkata: “Wahai Tuhan kami ! kurniakanlah kepada isteri kami dan turunan
menjadi cahaya mata dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang
memelihara dirinya dari kejahatan ! mereka mendapat tempat yang tinggi, sebagai
pembalasan dari kesabaran mereka dan di sana mereka akan mendapat penghormatan
selamat datang dan kebahagiaan. Mereka kekal di sana. Alangkah baik kediaman
dan tempat tinggalnya ! katakan: “Tuhanku tidak akan memperhatikan kamu, kalau
tiada doa (ibadah) kamu. Sesungguhnya kamu telah mendustakan (Tuhan), karena
itu, (hukuman) pasti datang”. S 25 Al Furqan ayat 63 s/d 77. Siapa yang menjadi
pertanyaan tentang keadaannya, maka hendaklah ia mengemukakan dirinya pada ayat-ayat
yang tersebut diatas. Adanya semua sifat-sifat itu menjadi tanda baik
akhlaknya. Tidak adanya sifat-sifat itu, menjadi tanda buruk akhlaknya. Adanya
sebahagian dan tidak adanya sebahagian menunjukkan adanya sebahagian kebaikan
akhlak dan tidak baiknya sebahagian. Maka hendaklah ia berusaha memperoleh yang tidak ada dan
menjaga yang sudah ada. Rasulullah saw menyifatkan orang mu’min dengan banyak
sifat. Dan dengan semua itu ditunjukkannya kepada akhlak yang baik. Beliau
bersabda: “Orang mu’min itu mencintai saudaranya, apa yang dicintainya untuk
dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan
tetangganya”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. Nabi saw menyebutkan,
bahwa sifat-sifat orang mu’min itu, ialah: kebaikan akhlak. Beliau bersabda:
“Orang mu’min yang paling sempurna akhlaknya, ialah mereka yang terbaik
akhlaknya”. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau melihat orang mu’min itu pendiam
dan lemah lembut, maka dekatilah dia, karena dia itu akan diajarkan hikmah”.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang menyenangkannya oleh kebaikannya dan
memburukkannya oleh kejahatannya, maka dia adalah orang mu’min (yang
sempurna)”. Nabi saw bersabda: “Tidak halal (tidak dibolehkan) bagi orang
mu’min, menunjuk kepada saudaranya (sesama mu’min) dengan pandangan yang
menyakitinya”. Nabi saw bersabda: “Tidak halal (tidak dibolehkan) bagi orang
muslim, menakut-nakuti sesama muslim”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
duduk-duduklah dua orang yang duduk-duduk dengan amanah Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka tidak halal (tidak dibolehkan) bagi salah seseorang menyiarkan terhadap
temannya, apa yang tidak disukainya”. Sebahagian mereka mengumpulkan
tanda-tanda kebagusan akhlak, lalu mengatakan: “Orang yang bagus akhlak itu:
banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak perbaikan, lidah banyak yang
benar, sedikit bicara, banyak kerja, sedikit terperosok, sedikit hal-hal yang
tidak perlu, berbuat baik, penyambung silaturrahim, lemah-lembut, penyabar,
banyak berterima kasih (bersyukur), rela kepada apa yang ada, dapat
mengendalikan diri ketika marah, kasih-sayang, dapat menjaga diri dan murah
hati kepada fakir miskin. Tidak mengutuk orang, tidak suka memaki, tidak
menjadi lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, tidak mencaci orang,
tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak pendengki, tidak kikir, tidak
penghasut, manis muka, bagus lidah, mencinta pada jalan Allah, benci karena
Allah, rela karena Allah dan marah karena Allah”. Itulah orang yang bagus
akhlak ! Ditanyakan kepada Rasulullah saw tentang tanda orang mu’min dan orang
munafik, maka beliau menjawab: “Orang mu’min itu, cita-citanya pada shalat,
puasa dan ibadah. Dan orang munafik, cita-citanya pada makan dan minum, seperti
binatang ternak”. Hatim Al-Asham berkata: “Orang mu’min itu sibuk dengan
pemikiran dan pemerhatian. Dan orang munafik itu sibuk dengan loba dan
angan-angan. Orang mu’min itu tidak mengharap pada seseorang, selain pada
Allah. Dan orang munafik itu mengharap pada tiap-tiap orang, selain Allah.
Orang mu’min itu, tidak merasa takut pada semua orang, selain pada Allah. Dan orang
munafik itu takut pada semua orang, selain pada Allah. Orang mu’min itu,
memandang ringan hartanya, tidak agamanya. Dan orang munafik itu memandang
ringan agamanya, tidak hartanya. Orang mu’min itu berbuat baik (berbuat ihsan)
dan menangis. Dan orang munafik itu berbuat jahat dan ketawa. Orang mu’min itu
menyukai khilwah dan sendirian. Dan orang munafik itu menyukai bercampur-baur
dan orang banyak. Orang mu’min itu menanam dan takut kepada kerusakan. Dan
orang munafik itu, mencabut dan mengharap akan panen. Orang mu’min itu,
menyuruh dan melarang untuk siasah, lalu ia memperbaiki. Dan orang munafik itu,
menyuruh dan melarang untuk riasah (menjadi kepala), lalu merusak”. Yang paling
utama ujian baiknya akhlak, ialah: sabar atas kesakitan dan tahan atas kekasaran
orang. Siapa yang mengadu dari buruknya akhlak orang lain, niscaya yang
demikian itu, menunjukkan kepada buruk akhlaknya. Karena baiknya akhlak itu,
tahan kesakitan. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu hari berjalan
kaki bersama Anas bin Malik ra. Lalu bertemu dengan seorang Arab dusun. Maka
ditariknya selimut Nabi saw dengan keras dan pada diri Nabi saw baju Najran
(berasal dari negeri Najran Yaman), yang tebal pinggirnya. Anas menerangkan:
“Lalu aku melihat leher Rasulullah saw, telah membekas pinggir baju itu,
lantaran keras tarikannya”. Orang Arab dusun itu berkata: “Hai Muhammad !
berilah kepadaku harta Allah yang ada padamu !”. Lalu Rasulullah saw menoleh
kepadanya seraya tersenyum. Kemudian, beliau menyuruh memberikannya”. Sewaktu orang
Quraisy banyak menyakiti Nabi saw dan memukulinya, beliau berdoa: Ada yang
mengatakan, bahwa Nabi saw mengucapkan ini pada hari perang Uhud. Karena
itulah, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini kepada Nabi saw: “Dan engkau
sesungguhnya mempunyai budi pekerti (akhlak) yang tinggi”. S 68 Al Qalam ayat
4. Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pada suatu hari, keluar ke padang pasir
(padang sahara). Lalu seorang tentara menjumpainya, seraya bertanya: “Apakah
kamu budak ?”. “Ya !”, jawab Ibrahim bin Adham. “Dimana bangunan (yang kamu
kerjakan) ?”, tanya tentara itu. Lalu Ibrahim bin Adham menunjukkan ke kuburan.
Tentara itu menjawab: “Yang aku maksudkan pembangunan”. Lalu Ibrahim bin Adham
menjawab: “Itulah kuburan !”. Maka tentara itu marah yang demikian. Lalu dipukulnya
kepala Ibrahim bin Adham dengan cambuk, sehingga berdarah. Dan dibawanya pulang
ke kampung. Lalu teman-teman Ibrahim menemuinya, seraya mereka itu bertanya:
“Apa kabar ?”. Lalu tentara itu menerangkan kepada mereka, apa yang dijawab
oleh Ibrahim bin Adham. Lalu teman-teman itu menerangkan: “Ini Ibrahim bin
Adham !”. Maka tentara itu turun dari kudanya, seraya mencium kedua tangan dan
kedua kaki Ibrahim bin Adham, meminta maaf kepadanya. Lalu orang bertanya
sesudah itu kepada Ibrahim bin Adham: “Mengapa tuan katakan: “Aku ini budak”.
Ibrahim bin Adham menjawab: “Tentara itu tidak bertanya kepadaku: “Budak siapa
engkau. Tetapi ia bertanya: “Engkau budak ?”. Lalu aku menjawab: “Ya, karena
aku budak (hamba) Allah. Tatkala ia memukul kepalaku, aku bermohon kepada
Allah, agar untuknya sorga”. Lalu orang bertanya: “Bagaimana begitu, sedang ia
telah menganiaya tuan ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Aku tahu, bahwa aku
mendapat pahala, terhadap apa yang diperbuatnya pada diriku. Aku tidak
menghendaki bahwa nasibku yang kuperoleh daripadanya itu baik, sedang nasibnya
yang diperolehnya daripadaku itu buruk”. Abu Usman Al-Hiyari diundang pada
suatu undangan. Dan yang mengundang itu ingin mencobanya. Setelah Abu Usman
tiba di tempatnya, lalu pengundang itu berkata: “Saya tidak mempunyai maksud
apa-apa”. Lalu Abu Usman pulang kembali. Setelah ia pergi dan belum begitu
jauh, maka diundangnya kali kedua. Lalu pengundang itu berkata: “Ya tuan guru !
pulanglah !”. Lalu Abu Usman pulang. Kemudian diundangnya lagi kali ketiga,
seraya ia berkata: “Pulanglah menurut yang diharuskan oleh waktu”. Abu Usman
lalu kembali. Sewaktu sampai di pintu, lalu pengundang itu mengatakan seperti
perkataannya pertama. Maka Abu Usmanpun kembali. Kemudian datang lagi kali
keempat, lalu kembali lagi. Sampai pengundang itu memperlakukan demikian
beberapa kali. Dan Abu Usman tidak berobah sikapnya dari yang demikian. Lalu
pengundang itu bertekuk lutut pada dua kaki Abu Usman, seraya berkata: “Ya tuan
guru ! sesungguhnya aku bermaksud, mencoba tuan. Alangkah bagusnya akhlak tuan
!”. Abu Usman menjawab: “Apa yang engkau lihat daripadaku itu, adalah perangai
anjing. Anjing itu sesungguhnya apabila dipanggil, ia datang. Dan apabila
digertak, ia pergi”. Diriwayatkan pula tentang Abu Usman itu, bahwa pada suatu
hari ia melintasi suatu jalan, lalu dicampakkan orang suatu panci abu
keatasnya. Lalu Abu Usman turun dari kendaraannya dan beliau bersujud syukur.
Kemudian, beliau membuang abu itu dari kainnya. Dan tiada mengatakan
sesuatupun. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa tidak tuang bentak mereka
itu ?”. Abu Usman menjawab: “Orang yang mustahak api, lalu didamaikan dengan
abu, maka tidak boleh ia marah”. Diriwayatkan, bahwa Ali bin Musa Ar-Ridla ra,
warnanya condong kepada hitam, karena ibunya hitam. Dan di Naisabur ada sebuah
sumur mandi (hammam) dekat pintu rumahnya. Apabila ia bermaksud masuk hammam
itu, lalu penjaga hammam mengosongkan dari orang lain. Pada suatu hari Ali bin
Musa Ar-Ridla masuk ke hammam tersebut. Lalu oleh penjaga hammam itu, menutup
pintunya dari luar. Dan penjaga itu pergi karena sesuatu keperluan. Lalu
datanglah seorang Rustak ke pintu hammam, lalu dibukanya dan ia masuk dan
membuka pakaiannya. Lalu ia masuk ke hammam. Maka dilihatnya Ali bin Musa
Ar-Ridla. Dan disangkanya salah seorang pelayan hammam. Orang Rustak itu
berkata kepada Ali bin Musa Ar-Ridla: “Bangun dan bawalah air kepadaku !”. Ali
bin Musa lalu berdiri dan mematuhi semua yang disuruh oleh orang tersebut.
Kemudian penjaga hammam itu kembali dan melihat pakaian orang Rustak itu dan
mendengar kata-katanya kepada Ali bin Musa Ar-Ridla. Maka iapun takut dan
melarikan diri, meninggalkan kedua orang itu di situ. Sewaktu Ali bin Musa
keluar dari hammam, lalu menanyakan tentang penjaga hammam. Maka orang
mengatakan kepadanya, bahwa penjaga itu takut tentang apa yang telah terjadi,
lalu ia melarikan diri. Ali bin Musa menjawab: “Tiada seyogyanya ia melarikan
diri. Sesungguhnya dosa adalah bagi orang yang meletakkan airnya pada budak
wanita hitam”. Diriwayatkan bahwa Abu Abdillah Al-Khayyath (penjahit) duduk
pada tokonya. Ia mempunyai seorang pekerja majusi (beragama Zaroaster), yang
dipekerjakannya pada menjahit. Apabila orang majusi itu telah menjahit sesuatu
lalu dibawanya kepada Abu Abdillah beberapa uang dirham buruk. Abu Abdillah
mengambil uang itu dari orang majusi tersebut. Dan tidak diberitahukannya yang
demikian dan tidak dikembalikannya kepadanya. Pada suatu hari kebetulan
terjadi, bahwa Abu Abdillah pergi untuk suatu keperlua. Maka datanglah orang
majusi itu. Ketika tidak didapatinya Abu Abdillah di situ, lalu diserahkannya
ongkos menjahit itu kepada murid Abu Abdillah. Dan ia minta kembali pakaian
yang telah dijahitnya. Dan itu adalah dirham buruk. Tatkala murid tadi melihat
uang tersebut, lalu diketahuinya, bahwa itu uang buruk. Maka dikembalikannya
kepada orang majusi itu. Setelah kembali Abu Abdillah, lalu murid itu
menceritakannya yang demikian. Maka Abu Abdillah menjawab: “Tidak baik yang
engkau perbuat itu. Orang majusi ini memperlakukan aku dengan perlakuan demikian,
sejak setahun yang lalu. Aku sabar dan aku ambil dirham itu daripadanya. Aku
lemparkan dalam sumur, supaya tidak tertipu dengan dirham itu, orang Islam”.
Abu Yusuf bin Asbath berkata: “Tanda kebagusan akhlak itu 10 perkara: sedikit
perselisihan, baik keinsyafan, meninggalkan mencari kesalahan, memandang baik
apa yang nyata dari kejahatan, meminta maaf, menanggung kesakitan, kembali
mencaci diri sendiri, sendirian dengan mengetahui kekurangan diri sendiri,
tidak kekurangan orang lain, jernih muka untuk orang kecil dan orang besar dan
lemah-lembut perkataan, terhadap orang yang dibawahnya dan orang yang
diatasnya. Ditanyakan Sahl tentang kebagusan akhlak, lalu ia menjawab:
“Sekurang-kurangnya menanggung kesakitan, meninggalkan meminta pembalasan, meminta
rahmat kepada orang zalim, meminta ampun dosa orang zalim itu, dan kasih sayang
kepadanya”. Ditanyakan kepada Ahnaf bin Qais: “Dari siapakah anda belajar sifat
lemah lembut ?”. Ahnaf bin Qais menjawab: “Dari Qais bin ‘Ashim”. Lalu
ditanyakan lagi: “Sampai dimana kelemah-lembutannya itu ?”. Ahnaf bin Qais
menjawab: “Pada waktu ia sedang duduk di rumahnya, lalu datanglah budak
wanitanya membawa besi tempat pembakar daging, yang berisi daging bakar. Lalu
jatuhlah besi itu dari tangannya. Dan terjatuh atas puteranya yang masih kecil.
Lalu meninggal. Lalu budak wanita itu gugup. Maka ia berkata kepada budaknya:
“Engkau tak usah gugup. Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Ada yang
mengatakan, bahwa Uais Al-Qarany, apabila dilihat oleh anak-anak, lalu
dilemparinya dengan batu. Ia berkata kepada anak-anak itu: “Hai saudaraku !
jikalau tak boleh tidak demikian, maka lemparilah aku dengan batu-batu kecil,
sehingga kamu tidak membuat betisku berdarah. Lalu kamu mencegah aku daripada
shalat !”. Seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qais. Dan Al-Ahnaf tidak
menjawabnya. Ia mengikuti laki-laki itu. Dan sewaktu telah dekat dengan
kampung, lalu Ahnaf berhenti, seraya berkata: “Kalau masih ada pada dirimu
sesuatu, maka katakanlah ! supaya tidak didengar nanti oleh sebagian orang-orang
bodoh kampung ini. Nanti disakitinya engkau”. Diriwayatkan, bahwa Ali ra
memanggil seorang budak pria. Budak itu tidak menyahut, lalu dipanggilnya kali
kedua dan ketiga. Tidak juga menyahut. Lalu Ali pergi kepadanya, maka
dilihatnya budak itu sedang berbaring. Lalu ia bertanya: “Apakah tidak engkau
dengar, wahai budak ?”. Budak itu menjawab: “Ada !”. Lalu Ali bertanya: “Apakah
yang mendorong engkau, untuk tidak menyahut panggilanku ?”. Budak itu menjawab:
“Aku merasa aman daripada siksaanmu, lalu aku bermalas-malas”. Maka Ali
menyambung: “Kalau begitu, pergilah ! engkau merdeka karena Allah Ta’ala”.
Seorang wanita berkata kepada Malik bin Dinar ra: “Hai orang yang ria !”. Malik
bin Dinar menjawab: “Hai wanita ini ! engkau dapati namaku yang dipandang sesat
oleh penduduk kota Basrah”. Yahya bin Ziyad Al-Harisi mempunyai seorang budak
jahat. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau pegang (tidak engkau
lepaskan) budak itu ?”. Yahya menjawab: “Untuk aku pelajari lemah-lembut
padanya”. Maka inilah jiwa-jiwa yang telah dihinakan dengan latihan, lalu lulus
akhlaknya dan bersih bathinnya daripada tipuan, kungkungan dan dengki. Maka
membuahkan ridla dengan semua yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Itulah
kebagusan akhlak tingkat kesudahan ! orang yang tidak menyukai dan tidak rela
dengan perbuatan Allah Ta’ala, adalah orang yang paling buruk akhlaknya. Mereka
itu telah menampak tanda-tanda pada zahiriahnya, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu. Orang-orang yang tidak menjumpai tanda-tanda pada dirinya, maka
tiada seyogyanya tertipu dengan dirinya. Lalu menyangka bagus akhlaknya. Tetapi
seyogyalah menggunakan waktu dengan latihan (riyadlah) dan bersungguh-sungguh
(mujahadah), sehingga ia sampai kepada derajat kebagusan akhlak. Itulah derajat
tinggi, yang tidak dicapai, selain oleh orang-orang yang mendekatkan diri
kepada Allah (orang-orang muqarrabun) dan orang-orang siddik (yang membenarkan
Allah).
PENJELASAN: jalan melatih
anak-anak pada permulaan lahirnya, cara menyopankan dan membaguskan akhlaknya.
Ketahuilah, bahwa jalan pada
melatih anak-anak itu, termasuk urusan yang sangat penting dan sangat kuat
perlunya. Anak kecil adalah amanah pada ibu bapaknya. Hatinya yang suci adalah
mutiara yang amat berharga, halus, kosong dari semua ukiran dan gambaran. Ia
menerima untuk semua yang diukirkan. Dan condong kepada semua yang dicondongkan
kepadanya. Kalau anak itu membiasakan kebaikan dan mengetahui kebaikan, niscaya
ia tumbuh diatas kebaikan. Ia berbahagia di dunia dan di akhirat. Ibu bapaknya,
semua guru dan pendidiknya, sama-sama berkongsi pada pahala anak itu. Kalau ia
membiasakan kejahatan dan ia disia-siakan seperti disia-siakan binatang ternak,
niscaya anak itu celaka dan binasa. Dan dosa itu adalah pada leher orang yang
mengurus dan walinya. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman ! peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At
Tahrim ayat 6. Bagaimanapun bapak itu memelihara anaknya dari neraka dunia maka
lebih utama lagi memeliharanya dari neraka akhirat. Pemeliharaannya, ialah
mendidik, mencerdaskan dan mengajarinya budi pekerti yang baik. Menjaganya dari
teman-teman jahat. Tidak dibiasakan dengan kesenangan, tidak disukakannya
dengan perhiasan dan sebab-sebab kemewahan. Lalu ia menyia-nyiakan umurnya
mencari kemewahan, apabila ia sudah besar. Maka binasalah ia untuk
selama-lamanya. Tetapi seyogyalah ia diawasi dari sejak permulaan. Tidak
dipakai untuk menjaga dan menyusuinya, selain wanita shalih, beragama, makan
yang halal. Karena susu yang berhasilnya dari yang haram, tak ada barakah
padanya. Apabila pertumbuhan anak itu terjadi dari susu yang demikian, niscaya
melekatlah kejadiannya dari yang keji. Lalu tabiatnya condong kepada yang
bersesuaian dengan yang keji-keji itu. Manakala telah kelihatan fantasinya dapat
membeda-bedakan sesuatu, maka seyogyalah diperbagus pengawasannya. Permulaan
yang demikian, ialah timbulnya permulaan sifat malu. Apabila ia marah, malu dan
meninggalkan sebagian pekerjaan, maka yang demikian itu adalah karena
bersinarnya cahaya akal. Sehingga ia melihat sebagian keadaan itu keji dan
menyalahi dengan sebagian yang lain. Lalu ia malu dari sesuatu dan tidak malu
dari yang lain. Ini adalah pemberian Allah Ta’ala kepada anak itu ! dan suatu
kegembiraan yang menunjukkan kepada kelurusan akhlak dan kebersihan hati. Ia
digembirakan dengan kesempurnaan akal ketika dewasa. Maka anak kecil yang
pemalu, tidaklah seyogyanya disia-siakan. Akan tetapi ditolong kepada
mendidiknya dengan malu dan tamyiznya. Sifat pertama yang menonjol pada
anak-anak itu, ialah: rakus kepada makanan. Maka seyogyalah ia dididik tentang
makanan ini, umpamanya: bahwa anak itu tidak mengambil makanan, selain dengan
tangan kanannya. Bahwa ia membaca “Bismillah” ketika mengambilnya. Bahwa ia
makan makanan yang dekat dengan dia. Bahwa ia tidak tergesa-gesa kepada suatu
makanan sebelum orang lain. Bahwa ia tidak menitikkan perhatian kepada sesuatu
makanan dan kepada orang yang memakannya. Bahwa ia tidak makan cepat-cepat.
Bahwa ia mengunyah makanan dengan baik dan tidak berturut-turut suapan. Tidak
mengotorkan tangan dan pakaiannya dengan makanan. Bahwa ia membiasakan roti
kering pada sebagian waktu. Sehingga ia tidak menjadi orang yang memandang
harus adanya lauk-pauk. Bahwa ia memandang jelek banyaknya makan dengan
diserupakannya tiap-tiap orang, yang banyak makan itu, dengan binatang ternak.
Dan dengan dicelanya anak-anak dihadapannya yang banyak makan dan dipujinya
anak-anak yang sopan, yang sedikit makan. Bahwa disukakan kepadanya
mengutamakan makanan itu untuk orang lain dan kurang memperhatikan kepada
makanan itu. Dan merasa cukup dengan makanan kasar, makanan apa saja yang ada.
Dan disukakan kepadanya pakaian putih, tidak berwarna dan sutera. Ditetapkan
padanya, bahwa yang demikian itu adalah keadaan wanita dan orang-orang yang
menyerupakan dirinya dengan wanita. Bahwa orang laki-laki itu, mencegah dirinya
daripada yang demikian. Dan diulang-ulanginya yang demikian kepada anak itu.
Manakala terlihat pada seorang anak kecil, pakaian dari sutera atau berwarna,
maka seyogyalah ditantang dan dicela. Anak kecil itu dijaga daripada bergaul
dengan anak-anak kecil yang membiasakan dirinya bersenang-senang,
bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan. Dan dijaga daripada
bergaul dengan tiap-tiap orang, yang memperdengarkan apa yang digemarinya.
Karena anak-anak itu apabila disia-siakan pada permulaan pertumbuhannya,
niscaya menurut yang kebanyakan, anak itu keluar dengan buruk akhlak, pendusta,
pendengki, pencuri, lalat-merah, suka meminta-minta, banyak perkataan sia-sia,
suka tertawa, menipu dan banyak senda gurau. Sesungguhnya yang demikian itu,
dapat dijaga dengan baiknya pendidikan. Kemudian disibukkan dia di madrasah.
Maka ia mempelajari Alquran, hadits-hadits yang mengandung cerita-cerita
riwayat dan hal-ihwal orang baik-baik. Supaya tertanam dalam jiwanya kecintaan
kepada orang-orang shalih. Anak-anak itu dijaga daripada membaca syair-syair
(pantun-pantun), yang di dalamnya disebutkan asyik-wal ma’syuk (urusan sex) dan
orang-orangnya. Dan dijaga daripada bergaul dengan orang-orang sastrawan, yang
mendakwakan bahwa yang demikian itu, termasuk perbuatan senda-gurau dan
kehalusan tabiat. Sesungguhnya yang demikian itu, akan menanamkan bibit
kerusakan dalam hati anak-anak. Kemudian, manakala telah lahir kelakuan baik
dan perbuatan terpuji pada seorang anak, maka seyogyalah dimuliakan dan diberi
ganjaran, dengan yang menggembirakannya. Dan dipuji dimuka orang banyak. Kalau
pada sebagian keadaan, pada suatu kali anak itu menyalahi yang demikian, maka
seyogyalah tidak diperhatikan (seolah-olah tidak diketahui). Tidak dirusakkan
tutupnya dan tidak dibuka-bukakan. Dan tidak tampak bagi anak itu, bahwa
tergambar baginya, ada seseorang yang berani melakukan seperti itu. Lebih-lebih
apabila anak itu sendiri menutupinya dan bersungguh-sungguh menyembunyikan.
Karena melahirkan yang demikian itu kepadanya, kadang-kadang membawa anak itu
kepada keras kepala. Sehingga tidak perduli lagi dengan terbukanya keadaan itu.
Maka ketika demikian, kalau diulanginya kali kedua, niscaya seyogyalah dicela secara
berbisik dan dibesar-besarkan hal itu. Dan dikatakan kepadanya: “Awas, bahwa
engkau ulangi lagi sesudah itu yang seperti ini ! dan bahwa dilihat orang
kepada engkau, tentang hal yang seperti ini. Lalu tersiarlah keburukanmu
diantara orang banyak”. Janganlah engkau membanyakkan perkataan terhadap anak
itu dengan celaan, pada setiap waktu. Karena yang demikian itu, memudahkan
baginya mendengar cacian dan perbuatan yang keji-keji. Dan hilanglah pengaruh
perkataan itu pada hatinya. Hendaklah orang tua itu, menjaga pengaruh
perkataannya dengan anak. Tidak mengejek anaknya, kecuali sewaktu-waktu. Ibu
mempertakutkan anaknya kepada bapak dan menggertaknya daripada perbuatan keji.
Seyogyalah anak itu dilarang tidur siang hari, karena membawa kepada kemalasan.
Dan tidak dilarang tidur pada malam hari. Akan tetapi dilarang pada tempat
tidur yang empuk. Sehingga keraslah anggota tubuhnya dan tidak gemuk badannya.
Maka ia tidak sabar kalau tidak ada kesenangan. Akan tetapi ia membiasakan
dengan tempat tidur, pakaian dan makanan kasar. Seyogyalah dilarang, dari
setiap perbuatan yang diperbuatnya dengan sembunyi-sembunyi. Sesungguhnya tidak
disembunyikannya suatu perbuatan, kecuali diyakininya bahwa perbuatan itu keji.
Maka apabila telah dibiasakannya demikian, niscaya ia akan meninggalkan
perbuatan keji. Anak itu dibiasakan pada sebagian waktu di siang hari, dengan
jalan-jalan, gerak badan dan olah raga. Sehingga ia tidak menjadi malas. Dan
dibiasakan, bahwa tidak terbuka anggota badannya di muka orang dan tidak berjalan
cepat, tidak menjatuhkan kedua tangannya ke bawah, tetapi diletakkannya kedua
tangan itu pada dada. Dilarang menyombongkan diri dengan teman-temannya,
disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh ibu bapaknya atau disebabkan sesuatu dari
makanannya dan pakaiannya atau batu tulis dan tintanya. Akan tetapi dibiasakan
merendah-diri dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia. Dan berkata
lemah-lembut dengan mereka. Dilarang anak-anak itu mengambil dari anak-anak
lain, sesuatu yang kelihatannya berharga, kalau ia termasuk anak orang-orang
besar. Akan tetapi diberitahukan, bahwa ketinggian derajat seorang adalah pada
memberi, tidak pada mengambil. Mengambil itu tercela, keji dan hina. Kalau ia
termasuk anak orang-orang miskin, maka diberitahukan, bahwa loba dan mengambil
hak orang adalah hina dan rendah. Dan itu termasuk tabiat anjing. Anjing itu
menggerak-gerakkan ekornya, menunggu dan mengharap sesuap makanan.
Kesimpulannya, dinyatakan keji kepada anak-anak, akan cinta kepada emas dan
perak dan kepada kelobaan memperoleh keduanya. Dan lebih banyak diperingati
dari emas dan perak itu, dibandingkan daripada diperingati dari hal ular dan
kalajengking. Karena bahaya mencintai emas dan perak dan loba untuk
memperolehnya itu, lebih besar daripada bahaya racun kepada anak-anak, bahkan
juga terhadap orang-orang besar. Seyogyalah anak itu dibiasakan, bahwa ia tidak
meludah pada tempat duduknya. Tidak membuang hingus dan menguap dihadapan orang
lain. Dan tidak membelakangi orang lain. Tidak meletakkan kakinya yang sebelah
diatas kakinya yang sebelah lagi. Tidak meletakkan tapak tangannya dibawah
dagunya. Dan tidak menegakkan kepalanya dengan lengannya. Karena yang demikian
itu menunjukkan kemalasan. Dan diajarkan cara duduk dan dilarang banyak
berbicara. Diterangkan kepadanya bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada
kurang malu. Dan itu adalah anak-anak tercela. Dan anak itu dilarang bersumpah
mutlak, baik ia benar atau bohong. Sehingga ia tiada terbiasa yang demikian,
pada waktu kecil. Dilarang ia memulai berbicara. Dan dibiasakan bahwa ia tidak
berbicara, selain menjawab pertanyaan orang lain dan sekedar pertanyaan. Dan
bahwa ia mendengar perkataan orang lain baik-baik, manakala orang itu
berbicara, orang yang lebih tua daripadanya. Dan bahwa ia berdiri untuk orang yang
diatasnya. Dan bahwa ia meluaskan tempat duduk untuknya. Dan duduk
dihadapannya. Dilarang anak-anak itu dari perkataan sia-sia, yang keji, dari
mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat
demikian. Karena tidak dapat dibantah, bahwa yang demikian itu akan menjalar
dari teman-teman jahat. Dan pokok pendidikan anak-anak, ialah menjaga dari
teman-teman jahat. Seyogyalah, apabila anak itu dipukul oleh guru, bahwa tidak
membanyakkan memekik-mekik dan berteriak-teriak. Dan tidak meminta tolong pada
seseorang. Akan tetapi bersabar dan menyebutkan kepada anak itu, bahwa yang
demikian adalah kebiasaan orang-orang berani dan laki-laki. Dan membanyakkan
memekik-mekik itu kebiasan budak dan wanita. Seyogyalah, sesudah keluar dari
sekolah, anak-anak itu diizinkan bermain-main yang baik. Ia beristirahat dari
kepayahan sekolah, dimana ia tidak merasa payah dalam permainan. Sesungguhnya
melarang anak-anak daripada bermain dan selalu memaksakannya belajar, akan
mematikan hatinya, merusakkan kecerdikannya dan mengeruhkan hidupnya. Sehingga
ia akan mencari daya upaya untuk melepaskan diri daripadanya. Seyogyalah, anak
itu diajar mentaati ibu bapaknya, gurunya, pendidiknya dan setiap orang yang
lebih tua daripadanya, ahli kerabatnya dan orang asing. Bahwa ia memandang
orang-orang itu dengan pandangan kemuliaan dan penghormatan. Dan ia tidak
bermain-main dihadapan mereka. Manakala anak itu telah sampai usia tamyiz, maka
seyogyalah tidak diperbolehkan meninggalkan bersuci dan shalat. Disuruh ia
berpuasa pada beberapa hari bulan Ramadlan. Dijauhkan ia memakai kain yang
berisikan sutera (ad-dii-baj), sutera dan emas. Diajarkan ia setiap yang
diperlukan dari batas-batas agama. Ditakutkannya daripada mencuri, makan haram,
berkhianat, berdusta, berbuat keji dan setiap perbuatan yang biasa dilakukan
oleh anak-anak. Apabila telah terjadi pertumbuhan anak-anak itu demikian pada
masa kanak-kanak, maka sewaktu telah mendekati dewasa, niscaya mungkin ia
diperkenalkan rahasia segala hal tersebut. Lalu disebutkan kepadanya, bahwa
makanan itu obat. Sesungguhnya yang dimaksud dari obat itu, ialah untuk
menguatkan manusia taat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan dunia seluruhnya tidak
mempunyai pokok, sebab tidak kekal. Kematian akan memutuskan kenikmatan dunia.
Dan dunia itu negeri lintasan, bukan negeri ketetapan. Dan akhirat itu negeri
ketetapan, bukan negeri lintasan. Kematian itu menunggu pada setiap saat. Orang
pandai berakal, ialah orang yang mencari bekal dari dunia untuk akhirat.
Sehingga tinggilah derajatnya pada sisi Allah Ta’ala dan luaslah kenikmatannya
dalam sorga. Apabila pertumbuhan anak itu baik, maka kata-kata diatas tadi,
ketika ia dewasa, adalah berpengaruh, membekas dan menyembuhkan, yang tetap
dalam hatinya, sebagaimana tetapnya ukiran pada batu. Jikalau pertumbuhan anak
itu sebaliknya, sehingga anak itu menyukai main-main, perbuatan keji, kurang
malu, rakus kepada makanan dan pakaian, suka berhias dan menyombong, niscaya
hatinya jauh daripada menerima kebenaran, sebagaimana jauhnya dinding tembok
dari tanah kering. Maka pekerjaan yang pertama-tama, ialah yang seharusnya
dijaga. Sesungguhnya anak itu dengan zat kejadiannya, dijadikan, yang dapat
menerima yang baik dan yang jahat. Ibu bapaknyalah yang membawa anak itu,
condong kepada salah satu dua segi. Nabi saw bersabda: “Semua anak itu
dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah). Ibu bapaknyalah yang meyahudikannya
atau menasranikannya atau memajusikannya”. Sahl bin Abdullah At-Tusturi
berkata: “Adalah aku sewaktu berumur 3 tahun, aku itu bangun malam. Lalu aku
melihat shalat pamanku Muhammad bin Suwar. Pada suatu hari, ia berkata
kepadaku: “Tidakkah engkau mengingati Allah yang menjadikan engkau ?”. Lalu aku
bertanya: “Bagaimana aku mengingatiNya ?”. Pamanku menjawab: “Katakanlah dengan
hatimu, ketika kamu berbalik-balik dalam pakaianmu, 3 kali, tanpa kamu
menggerakkan lidahmu: “Allah bersamaku, Allah memandang kepadaku, Allah
menyaksikan aku”. Lalu aku bacakan yang demikian beberapa malam. Kemudian aku
beritahukan kepada pamanku. Lalu ia menjawab: “Bacalah pada tiap-tiap malam 7
kali”. Lalu aku lakukan yang demikian. Kemudian aku beritahukan kepada pamanku.
Maka ia menjawab: “Bacalah yang demikian setiap malam 11 kali”. Lalu aku
lakukan yang demikian. Maka terjadilah dalam hatiku kemanisannya. Sesudah
setahun kemudian, pamanku berkata kepadaku: “Jagalah apa yang aku ajarkan
kepadamu ! dan terus-meneruslah yang demikian, sampai engkau masuk kubur !
karena bermanfaat kepadamu di dunia dan di akhirat”. Maka selalulah aku lakukan
yang demikian bertahun-tahun. Karena itu, aku memperolah manisnya pada batinku.
Kemudian, pada suatu hari pamanku berkata kepadaku: “Hai Sahl ! barangsiapa ada
Allah bersamanya, Allah memandang kepadanya dan menyaksikannya, adakah ia
berbuat maksiat kepadaNya ? awaslah daripada perbuatan maksiat !”. Lalu aku
menyendiri (berkhilwah). Maka mereka kirim aku ke sekolah. Lalu aku jawab: “Aku
takut bercerai dengan cita-citaku (dengan dzikir)”. Tetapi rupanya, mereka
membuat syarat dengan guru, bahwa aku pergi pada guru hanya satu jam, lalu
belajar. Kemudian aku pulang. Maka pergilah aku ke sekolah, lalu mempelajari
Alquran dan menghafalnya. Umurku ketika itu 6 atau 7 tahun. Aku berpuasa
sepanjang masa. Makananku dari roti tepung syair sampai aku berusia 12 tahun.
Lalu timbullah suatu persoalan bagiku dan umurku sudah 13 tahun. Lalu au
meminta kepada keluargaku, supaya aku dikirim ke Basrah, untuk bertanya di
Basrah. Aku datang di Basrah, lalu aku bertanya pada ulama-ulamanya. Maka tiada
seorangpun yang dapat memuaskan sesuatu daripada dahagaku. Lalu aku pergi ke
Abadan, kepada seorang laki-laki yang bernama: Abi Habib Hamzah bin Abi
Abdillah Al-Abbadany. Aku bertanya kepadanya tentang persoalan itu. Lalu ia
memberi jawaban kepadaku. Maka aku tinggal padanya beberapa waktu. Aku
mengambil manfaat dengan kata-katanya. Dan aku mendapat pendidikan dengan
adab-kesopanannya. Kemudian, aku kembali ke Tustur. Lalu aku buat makananku
secara sederhana. Yaitu: dibelikan untukku sesukat biji syair dengan harganya
satu dirham. Ditumbuk dan dibuat roti bagiku. Pada waktu sahur tiap-tiap malam
aku makan satu ugiyah (1/12 hati) saja, tanpa garam dan lauk-pauk. Maka tepung
syair harga sedirham itu mencukupi bagiku untuk setahun. Kemudian, aku berazam
menahan lapar 3 malam. Kemudian aku berbuka pada suatu malam. Kemudian, aku
tahan 5 malam, kemudian 7, kemudian 25 malam. Aku berada demikian selama 20
tahun. Kemudian, aku pergi mengembara di bumi bertahun-tahun. Kemudian, aku
kembali ke Tustur. Aku bangun malam seluruhnya. Masya Allah Ta’ala. Ahmad
berkata: “Aku tiada melihat dia makan garam, sampai ia meninggal, menjumpai
Allah Ta’ala”.
PENJELASAN: syarat-syarat
kemauan, mukaddimah mujahadah dan berangsur-angsurnya seorang murid menjalani
jalan latihan.
Ketahuilah, bahwa
barangsiapa menyaksikan akhirat dengan hatinya dengan penyaksian keyakinan,
niscaya dengan mudah ia berkemauan usaha akhirat, rindu kepada akhirat,
menempuh jalan-jalan akhirat, memandang hina kepada kenikmatan dan kelezatan
dunia. Karena orang yang ada padanya manik-manik, lalu melihat mutiara yang
berharga, niscaya tidak lagi ia mempunyai keinginan pada manik-manik itu. Dan
kuatlah kemauannya menjual manik-manik tersebut untuk membeli mutiara. Orang
yang tidak berkehendak kepada usaha akhirat dan tidak mencari untuk bertemu
dengan Allah Ta’ala, adalah karena ketiadaan imannya kepada Allah dan hari
akhirat. Aku tidak bermaksud dengan: iman itu, bisikan jiwa dan gerakan lidah
dengan dua kalimah syahadah, tanpa dibenarkan dengan hati dan keikhlasan.
Sesungguhnya yang demikian itu, menyerupai dengan perkataan orang yang
membenarkan, bahwa mutiara itu lebih baik dari manik-manik. Karena ia tidak
tahu mutiara itu, selain kata-katanya saja. Adapun hakikat mutiara yang
sebenarnya, ia tidak tahu. Orang yang membenarkan sesuatu seperti ini, apabila
ia menyukai manik-manik, kadang-kadang tidak akan ditinggalkannya lagi. Dan
tidak besar keinginannya kepada mutiara. Jadi, yang mencegah daripada sampai
ialah: tiada dijalani. Yang mencegah daripada dijalani, ialah tiada kemauan.
Yang mencegah daripada kemauan, ialah: tiada iman. Dan sebab tiada iman, ialah
tiada orang-orang yang memberi petunjuk, tiada orang-orang yang memperingati
dan tiada ulama-ulama Allah yang menunjukkan kepada jalanNya, yang memperingati
atas kehinaan dan kehancuran dunia. Dan besarnya serta kekalnya urusan akhirat.
Manusia itu lalai, terjerumus dalam nafsu syahwat. Dan terbenam dalam laut
ketidurannya. Dan tak ada pada ulama agama, orang yang memperingati mereka.
Kalau ada daripada mereka yang terbangun, niscaya ia lemah daripada menjalani
jalan itu, karena kebodohannya. Kalau ia mencari jalan pada ulama-ulama,
niscaya didapatinya mereka condong kepada hawa nafsu, berpaling daripada jalan
yang lurus. Lalu, jadilah lemahnya kemauan, bodohnya tentang jalan dan
pembicaraannya ulama-ulama dengan hawa nafsu itu, menjadi sebab sepinya jalan
Allah Ta’ala dari orang-orang yang berjalan padanya. Manakala yang dicari itu
tertutup, dalil penunjuk tidak ada, hawa nafsu yang menang dan yang mencari itu
lalai, niscaya sudah pasti terhalanglah sampai kepada Allah Ta’ala dan
tertutuplah semua jalan. Kalau orang itu terbangun dari dirinya sendiri atau
terbangun oleh orang lain dan tergerak kemauannya pada usaha dan perniagaan
akhirat, maka seyogyalah diketahuinya bahwa ada syarat-syarat yang harus
dikemukakannya pada permulaan kemauan itu. Baginya pegangan yang harus
dipegangnya dan baginya benteng yang harus dibentenginya. Supaya ia aman dari
musuh-musuh yang memotong jalannya. Ada beberapa tugas yang harus
diperhatikannya pada waktu menjalani jalan itu. Syarat-syarat yang harus
didahulukannya pada kemauan, ialah membuang tutup dan hijab, yang ada diantara
dia dan kebenaran. Sesungguhnya tidak tercapainya kebenaran bagi makhluk,
sebabnya ialah bertindis-lapisnya hijab dan adanya tutup pada jalan. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan kami adakan tutup dihadapan dan dibelakang mereka, lalu
mereka kami tutup, sebab itu, mereka tiada menampak”. S 36 Yaa Siin ayat 9.
Tutup diantara murid dan kebenaran, ada 4, yaitu: harta, kemegahan, taklid dan
maksiat.
Hijab harta baru terbuang, dengan keluarnya dari harta miliknya, sehingga
tiada tinggal baginya selain sekedar yang perlu. Selama masih ada satu dirham
yang terpaling hatinya kepada dirham itu, maka dia terikat dan terhijab
daripada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Hijab kemegahan baru terbuang, dengan menjaukan diri dari tempat
kemegahan, dengan merendahkan diri, mengutamakan menyembunyikan diri dari orang
banyak, melarikan diri daripada sebab-sebab disebut orang dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang melarikan hati manusia daripadanya.
Hijab taklid baru terbuang, dengan meninggalkan fanatik (ta’assub) kepada
mazhab-mazhab. Membenarkan pengertian ucapannya: Laa ilaaha illallaah,
Muhammadur-rasuulullaah dengan pembenaran keimanan. Dan diusahakan pengokohan
pembenarannya dengan menghilangkan setiap yang disembah, selain Allah Ta’ala.
Yang paling besar disembah oleh manusia, ialah: hawa nafsu. Sehingga apabila
diperbuatnya demikian, niscaya terbukalah baginya hakekat keadaan, tentang
pengertian kepercayaannya yang diperolehnya secara taklid. Maka seyogyalah
dicarinya pembukaan yang demikian itu dari mujahadah (bersungguh-sungguh dengan
amalan). Tidak dari pertengkaran lidah (mujadalah dengan lisan). Kalau
dimenangi oleh kefanatikan bagi aqidahnya dan tidak tinggal lagi pada jiwanya
tempat yang lapang untuk yang lain, maka yang demikian itu, menjadi ikatan dan
hijab baginya. Karena tidaklah sekali-kali menjadi syarat bagi seorang murid,
menyandarkan diri kepada mazhab (aliran) tertentu.
Adapun maksiat adalah hijab dan tak ada yang membuangnya, selain
taubat, keluar dari segala perbuatan zalim, meneguhkan cita-cita kepada tidak
akan kembali lagi kepada perbuatan maksiat, menyatakan penyesalan terhadap apa
yang telah lalu, mengembalikan harta-harta yang zalim kepada pemiliknya dan
meminta kerelaan musuh. Orang yang tidak membetulkan taubatnya dan tidak
meninggalkan perbuatan maksiat zahirnya dan ia bermaksud mengetahui rahasia
agama dengan mukasyafah (terbuka hijab), adalah seperti orang yang bermaksud
mengetahui rahasia Alquran dan tafsinya dan ia sesudah itu tiada mempelajari
bahasa Arab. Karena yang pertama-tama haruslah mendahulukan terjemah
(penyalinan) bahasa Arab Alquran. Kemudian, meningkat kepada rahasia
pengertiannya. Maka begitupula, haruslah pada pertama-tamanya dan pada
penghabisannya, pembetulan hukum syariat yang zahirnya. Kemudian, meningkat
kepada yang mendalam dan rahasia-rahasianya. Apabila telah didahulukan 4 syarat
ini dan melepaskan diri dari harta dan kemegahan, niscaya ia adalah seperti
orang yang bersuci, berwudhu dan membuang hadats. Dan jadilah ia patut untuk
shalat. Lalu ia memerlukan kepada imam yang akan diikutinya. Maka demikian pula
seorang murid, memerlukan kepada seorang syaikh (guru) dan ustaz, yang sudah
pasti untuk diikutinya, untuk menunjukkannya kepada jalan yang benar. Sesungguhnya
jalan agama itu sulit dan jalan setan itu banyak dan terang. Orang yang tiada
mempunyai guru yang akan menunjukkannya, niscaya sudah pasti akan dibawa oleh
setan kepada jalannya. Orang yang menjalani jalan-jalan desa yang membinasakan,
tanpa penunjuk jalan, sesungguhnya membahayakan dirinya sendiri dan
membinasakannya. Dan adalah orang yang berdiri sendiri itu seperti pohon kayu
yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan kering dalam waktu dekat. Dan kalaupun
hidup beberapa waktu dan berdaun, niscaya tidak akan berbuah. Yang menjadi
pegangan bagi seorang murid, sesudah mendahulukan syarat-syarat tersebut,
ialah: gurunya. Maka hendaklah ia berpegang kepada gurunya, sebagai seorang
buta berpegang kepada penuntun di tepi sungai, dimana ia menyerahkan seluruh
urusannya kepada penuntun tersebut. Ia tidak akan menyalahinya pada datang dan
pergi. Tiada suatupun yang tiada diikutinya dan tiada yang tinggal. Dan
hendaklah diketahuinya, bahwa manfaatnya pada kesalahan gurunya, kalau guru itu
bersalah, adalah lebih banyak dari manfaatnya pada betul dirinya sendiri,
jikalau ia betul. Apabila murid itu memperoleh orang yang menjadi pegangannya
seperti diatas tadi, niscaya haruslah atas orang yang menjadi pegangan itu,
menjaga dan memelihara murid tersebut, dengan benteng yang kokoh. Ditolaknya
perampok-perampok jalan dengan benteng itu. Yaitu 4 perkara: khilwah
(menyendiri), diam, lapar dan tidak tidur malam. Inilah benteng dari
perampok-perampok jalan. Maksud murid itu, ialah memperbaiki hatinya, supaya ia
dapat bermusyahadah dengan Tuhannya dan patut untuk mendekatiNya. Adapun lapar
itu mengurangkan darah jantung dan memutihkannya. Dan pada putihnya itu, nurnya
(cahayanya). Dan menghancurkan lemaknya hati. Dan pada kehancuran itu halusnya
hati. Dan halusnya itu kunci mukasyafah, sebagaimana kesatnya itu sebabnya
hijab. Dan manakala darah jantung telah berkurang, niscaya sempitlah jalan
musuh. Karena jalan yang dilalui musuh, ialah urat-urat yang penuh dengan nafsu
syahwat. Nabi Isa as bersabda: “Hai para murid ! laparkanlah perutmu, moga-moga
hatimu melihat Tuhanmu !”. Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata: “Para wali
itu, tidak menjadi wali, kecuali dengan 4 perkara: mengempiskan perut, tidak
tidur malam (untuk beribadah), diam (tidak suka berbicara) dan mengasingkan diri
dari manusia”. Faedah lapar pada mencemerlangkan hati adalah suatu hal yang
jelas, disaksikan oleh pengalaman. Dan akan datang penjelasannya secara
berangsur-angsur pada “Kitab Menghancurkan Dua Nafsu Syahwat”. Tentang tidak
tidur malam, maka ia membersihkan, menjernihkan dan menyinarkan hati. Yang
demikian itu menambahkan kepada kejernihan yang telah berhasil dari lapar. Lalu
hati itu menjadi seperti bintang yang berkilau-kilauan dan kaca yang terang.
Lalu nampaklah padanya keelokan kebenaran. Dan disaksikan padanya ketinggian
derajat di akhirat dan kehinaan serta bahaya dunia. Dengan demikian maka
sempurnalah kebenciannya kepada dunia dan menghadap hatinya kepada akhirat.
Juga tidak tidur malam itu hasil dari lapar. Karena tidak tidur malam pada
waktu kenyang tidak mungkin. Tidur itu mengesatkan dan mematikan hati. Kecuali
apabila tidur itu sekedar perlu. Maka yang demikian menjadi sebabnya mukasyafah
(terbuka) rahasia-rahasia ghaib. Ada yang mengatakan, tentang sifat wali-wali
itu, bahwa makanannya sekedar perlu, tidurnya karena terpaksa dan perkataannya
yang penting-penting saja. Ibrahim Al-Khawwash ra berkata: “Telah sepakat
pendapat 70 orang benar (orang shiddiq), bahwa banyaknya tidur itu dari
banyaknya minum air”. Adapun diam (tidak suka bicara) itu, sesungguhnya
dipermudahkan oleh mengasingkan diri (‘uzlah). Tetapi orang yang mengasingkan
diri itu, tidak terlepas daripada melihat orang yang mengurus makanannya,
minumannya dan pengaturan urusannya. Maka seyogyalah ia tidak berkata-kata,
kecuali sekedar perlu. Karena berkata-kata itu menyibukkan hati. Keinginan hati
kepada berkata-kata itu besar. Karena berkata-kata itu menyenangkan hati dan
memberatkan untuk melepaskan hati kepada zikir dan fikir. Lalu hati itu merasa
senang kepada berkata-kata. Diam itu membersihkan akal, menarik kepada wara’
dan mengajarkan taqwa. Adapun khilwah (menyendiri), maka faedahnya menolak
semua yang menyibukkan, mengendalikan pendengaran dan penglihatan. Pendengaran
dan penglihatan itu serambi hati. Dan hati itu dalam wewenang kolam yang
dialirkan ke dalamnya, air keji, keruh dan kotor dari sungai-sungai pancaindra.
Dan maksud dari latihan, ialah mengosongkan kolam itu dari air-air tersebut dan
dari lumpur yang terjadi daripadanya. Supaya berpancarlah bawah kolam, lalu
keluarlah daripadanya air bersih yang suci. Dan bagaimanakah air itu dapat
habis dari kolam, sedang sungai terbuka kepada kolam itu ?. Maka dalam segala
hal, air baru lebih banyak daripada yang kurang. Dari itu, haruslah dikekang
pancaindra, kecuali sekedar perlu saja. Dan yang demikian itu tidak sempurna
selain dengan khilwah dalam rumah gelap. Dan kalau ia tidak mempunyai tempat
gelap, maka hendaklah membalut kepalanya dalam saku bajunya atau berselimut
dengan pakaian atau kain sarung. Dalam keadaan yang seperti ini, ia mendengar
panggilan kebenaran dan menyaksikan keagungan Hadlarat Ketuhanan. Apakah anda
tidak tahu, bahwa seruan kepada Rasulullah saw sampai kepadanya dan beliau
dalam keadaan yang seperti ini ?. Panggilan itu dengan dikatakan: “Yaa
ayyuhal-muzzammil ! (Hai orang yang meletakkan pakaian) !”. Yaa
ayyuhal-muddatstsir ! (Hai orang yang berselimut) !”. Empat yang tersebut itu,
adalah tembok dan benteng. Dengan itu tertolaklak perampok-perampok jalan. Dan
tercegahlah halangan-halangan yang menghalangi jalanan. Apabila telah diperbuat
demikian, niscaya dapatlah sesudah itu meneruskan perjalanan. Dan perjalanannya
itu dengan membuang rintangan-rintangan. Dan tak ada rintangan pada jalan Allah
Ta’ala, selain dari sifat-sifat hati, yang sebabnya berpaling kepada jalan
Allah Ta’ala, selain dari sifat-sifat hati, yang sebabnya berpaling kepada
dunia. Dan sebagian dari rintangan-rintangan itu, lebih besar dari sebagian
yang lain. Dan penertiban pada penyingkirannya, ialah dengan melaksanakan yang
lebih mudah, lalu yang lebih mudah. Yaitu sifat-sifat tersebut, ya’ni: rahasia
segala hubungan yang dipotongnya pada permulaan kemauan dan bekas-bekasnya,
ya’ni: harta, kemegahan, kecintaan dunia, berpaling kepada makhluk dan menoleh
kepada perbuatan maksiat. Maka haruslah batin itu dikosongkan dari bekas-bekas
sifat tersebut, sebagaimana zahir dikosongkan daripada sebab-sebab sifat yang
zahir. Dalam hal yang demikian, perjuangan itu panjang dan berbeda dengan
berbedanya keadaan. Kadang-kadang ada orang yang telah mencukupi banyak sifat.
Maka baginya tak panjang perjuangan (mujahadah). Dan telah kami sebutkan
dahulu, bahwa jalan mujahadah, ialah melawan semua keinginan dan menentang hawa
nafsu, pada setiap sifat yang mengerasi atas jiwa murid, sebagaimana telah
disebutkan dahulu. Apabila ia merasa cukup demikian atau merasa lemah dengan
mujahadah dan tiada tinggal lagi dalam hatinya hubungan, niscaya ia menyibukkan
dirinya sesudah itu, dengan dzikir, yang mengharuskan hatinya terus-menerus.
Dan mencegahnya daripada membanyakkan wirid-wirid zahiriah. Tetapi ia
menyingkatkan kepada ibadah wajib dan sunat rawatib. Dan wiridnya adalah satu
saja. Yaitu: Isi segala wirid dan buahnya. Yakni: harus menerusnya hati
mengingati (berdzikir) kepada Allah Ta’ala, sesudah terlepas daripada
mengingati lainNya. Dan tidak dapat menyibukkan hati dengan dzikir, selama hati
itu menoleh kepada hubungan-hubungan lain. Asy-Syaibly berkata kepada
Al-Hashary: “Jikalau terguris pada hatimu dari Jum’at yang engkau datang
kepadaku sampai Jum’at lain (Jum’at di muka), sesuatu selain Allah Ta’ala, maka
haramlah engkau datang kepadaku”. Hati yang semata-mata begini tidak akan
diperoleh, selain dengan kebenaran kemauan dan bersemayamnya kecintaan kepada
Allah di dalam hati. Sehingga ia dalam bentuk orang yang rindu, yang tiada
memperhatikan yang lain, yang tiada baginya, selain hanya satu cita-cita saja.
Apabila sudah ada seperti yang demikian, maka syaikh (guru) mengharuskan murid
itu tinggal di suatu sudut langgar (pondok) sendirian. Dan diserahkan kepada seorang
yang mengurus makanannya, sekadar sedikit makanan halal. Sesungguhnya pokok
jalan agama, ialah: makanan halal. Ketika itu, guru mengajarkannya salah satu
zikir, sehingga lidah dan hatinya sibuk dengan zikir itu. Ia duduk dan membaca,
umpamanya: “Allah-Allah” atau “Subhanallah-subhanallah”. Adapun kata-kata lain,
menurut pendapat gurunya. Senantiasalah ia membiasakannya, sehinga jatuh
gerakan lidah dan berada kata-kata tadi, seakan-akan lalu diatas lidah, tanpa
digerakkan. Kemudian senantiasalah murid itu membinasakannya, sehingga jatuh
bekasnya dari lidah dan kekal bentuk kata pada hati. Kemudian senantiasalah
seperti yang demikian, sehingga terhapuslah dari hati, huruf perkataan dan
bentuknya. Dan tinggallah hakikat artinya, yang terus-menerus di hati, berada
pada hati dan menguasai hati, dimana hati itu kosong dari semua yang lain.
Karena hati, apabila sibuk dengan sesuatu, niscaya ia terlepas dari yang lain,
barang apapun juga. Apabila hati sibuk dengan dzikir kepada Allah Ta’ala –dan
itu yang dimaksud –niscaya sudah pasti, ia terlepas dari yang lain. Dan ketika
itu, haruslah murid tersebut, mengawasi bisikan hati dan gurisan-gurisan yang
menyangkut dengan dunia dan apa yang diingatinya, dari keadaannya sendiri dan
keadaan orang lain, yang terjadi pada masa yang lampau. Karena manakala hati
itu sibuk dengan sesuatu, walaupun pada waktu sekejap mata, niscaya hati itu
kosong dari dzikir pada masa sekejap mata itu. Dan juga itu adalah suatu
kekurangan. Maka hendaklah bersungguh-sungguh menolak yang demikian. Manakala
telah ditolak semua bisikan dan dikembalikan jiwa kepada kata-kata yang
tersebut, niscaya datanglah bisikan dari kata-kata itu sendiri. Yaitu: “Apakah
hakikat kata-kata itu ? apakah artinya kata kita “Allah ?”. Dan karena
pengertian apa, Dia itu disembah ?”. Ketika itu, ia diliputi oleh
bermacam-macam gurisan, yang membuka kepadanya, pintu pikiran. Kadang-kadang
datang kepadanya sesuatu sifat kufur dan bid’ah dari bisikan setan. Manakala ia
benci kepada yang demikian dan berusaha menjauhkannya dari hati, niscaya tidak
mendatangkan melarat yang demikian itu kepadanya. Gurisan-gurisan itu terbagi:
kepada yang diketahui dengan yakin, bahwa Allah Ta’ala Maha Suci daripadanya.
Akan tetapi setan itu, melemparkan yang demikian dalam hatinya dan melakukannya
atas gurisan hatinya. Maka syaratnya, bahwa tidak memperdulikannya. Dan ia
berlindung kepada dzikir (mengingati) Allah Ta’ala. Dan berdoa kepadaNya, untuk
menolak dari yang demikian, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kalau setan
(orang jahat) itu membisikkan kepada engkau bisikan (yang membawa kepada
kejahatan), maka hendaklah engkau berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar dan Maha Tahu”. S 7 Al A’raaf ayat 200. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang
datang berkunjung, niscaya mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi
orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Dan terbagi
kepada yang diragukan. Maka seyogyalah dibentangkannya yang demikian kepada
gurunya. Bahkan setiap apa keadaan, yang didapatinya dalam hatinya, baik lesu
atau rajin atau menoleh kepada hubungan (keduniaan atau keakhiratan) atau benar
tentang kemauan, maka seyogyalah dilahirkannya yang demikian itu kepada
gurunya. Dan ditutupkannya pada orang lain. Lalu tidak diperlihatkannya kepada
seorang juapun. Kemudian, bahwa gurunya melihat keadaannya dan memperhatikan
tentang kecerdikan dan kepintarannya. Kalau guru itu mengetahui, bahwa kalau
murid itu ditinggalkannya dan disuruhnya berfikir, niscaya ia menyadari dari
dirinya akan hakekat kebenaran. Maka seyogyalah murid itu dibawa kepada
berfikir dan disuruhnya selalu berfikir. Sehingga tercurahlah dalam hatinya
nur, yang membukakan hakikat itu kepadanya. Kalau guru itu mengetahui bahwa
yang demikian tidak akan menguatkan murid yang seperti itu, niscaya
dikembalikannya murid tersebut kepada keyakinan yang tegas, dengan apa yang
dapat dibawa oleh hatinya, dari pengajaran, dzikir dan keterangan yang
mendekati dengan pemahamannya. Dan seyogyalah guru itu bersikap halus dan
lemah-lembut dengan murid itu. Sesungguhnya ini, adalah jalan kebinasaan dan
tempat yang amat berbahaya. Berapa banyak murid yang berbuat latihan, lalu
banyaklah padanya khayalan yang merusak, yang tidak mampu ia menyingkapkannya.
Maka terputuslah jalannya. Lalu ia berbuat kebatilan dan menempuh jalan yang
membolehkan. Dan itu adalah kebinasaan besar. Orang yang bertindak semata-mata
untuk dzikir dan menolek hubungan-hubungan yang menyibukkan dari hatinya,
niscaya ia tdak terlepas dari pemikiran-pemikiran yang seperti itu. Dia
sesungguhnya menumpang kapal bahaya. Kalau selamat, niscaya dia termasuk
raja-raja agama. Dan kalau bersalah, ia termasuk orang yang binasa. Karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu berpegang dengan agama orang-orang
lemah”. Yaitu: mengambil pokok iman dan zahiriyah i’tikad dengan jalan taqlid
dan berbuat amal kebajikan. Sesungguhnya bahaya berpaling dari demikian itu,
banyak. Karena itulah, dikatakan: harus guru itu mencari firasat pada muridnya.
Kalau murid itu tidak pandai dan cerdik, yang memungkinkan dengan zahiriah
i’tikad, niscaya tidak disibukkannya dengan dzikir dan pikiran. Tetapi
dikembalikannya kepada amaliyah zahiriyah dan wirid-wirid yang berturut-turut
dikerjakan. Atau menyibukkannya dengan melayani orang-orang yang semata-mata
mengarahkan kegiatannya untuk bertafakkur. Supaya barakah mereka, meratainya.
Karena orang yang lemah dari berjihad pada garis peperangan, seyogyalah memberi
minum kaum pejuang dan menyiapkan binatang kendaraan mereka. Supaya ia
dibangkitkan pada hari kiamat, dalam rombongan mereka dan meratainya oleh
barakah mereka. Walaupun ia tidak sampai kepada tingkat mereka. Kemudian, murid
yang semata-mata menuju kepada dzikir dan tafakkur, kadang-kadang ia dipotong
oleh banyak pemotong, yang terdiri dari: sifat mengherani diri (‘ujub), ria dan
gembira dengan terbuka hal-hal kepadanya dan apa yang menampak dari
permulaan-permulaan kiramah (kemuliaan). Manakala murid itu berpaling kepada
sesuatu dari yang demikian dan menyibukkan dirinya dengan itu, niscaya adalah
yang demikian itu kelemahan di jalan dan perhentian. Akan tetapi seyogyalah ia
membiasakan keadaannya dalam jumlah umurnya, sebagaimana dibiasakan oleh orang
haus yang tidak akan diberi kepuasan oleh air laut, walaupun dicurahkan
kepadanya. Dan ia terus-menerus kepada yang demikian. Dan modalnya, ialah putus
hubungan dengan manusia, menuju kepada Al-Haq dan menyendiri. Setengah para
pengembara berkata: “Aku bertanya kepada setengah wali, yang memutuskan hubungan
dengan manusia: “Bagaimana jalan memperoleh hakikat kebenaran ?”. Wali itu
menjawab: “Bahwa adalah engkau di dunia, seakan-akan orang yang melintasi jalan
!”. Pada suatu kali, pengembara itu berkata: “Aku berkata kepada wali itu:
“Tunjukilah aku kepada amal perbuatan, yang aku dapati hatiku padanya bersama
Allah Ta’ala terus-menerus !”. Lalu wali itu menjawab kepadaku: “Jangan engkau
melihat kepada makhluk. Karena memandang kepada mereka itu suatu kegelapan”.
Aku bertanya lagi: “Tak boleh tidak yang demikian bagiku !”. Wali itu menjawab:
“Jangan engkau mendengar perkataan mereka, karena perkataan mereka itu kesat”.
Aku bertanya lagi: “Tak boleh tidak yang demikian itu bagiku !”. Wali itu
menjawab: “Maka jangan engkau bergaul dengan mereka, karena pergaulan dengan
mereka itu liar”. Lalu aku berkata: “Aku berada dihadapan mereka, tak boleh
tidak aku bergaul dengan mereka”. Wali itu menjawab: “Jangan engkau bertempat
bersama mereka. Karena bertempat bersama mereka itu suatu kebinasaan”. Aku
berkata: “Ini karena sesuatu sebab”. Wali itu menjawab: “Wahai saudara ! adakah
kamu melihat kepada orang-orang yang lalai dan kamu mendengar perkataan
orang-orang yang bodoh, bergaul dengan orang-orang yang berbuat batil dan
engkau ingin memperoleh haitmu bersama Allah Ta’ala terus-menerus ? ini barang
yang tidak akan ada selama-lamanya !”. Jadi, kesudahan latihan (riadlah),
ialah, bahwa ia dapati hatinya bersama Allah Ta’ala terus-menerus. Dan yang
demikian tidak mungkin, kecuali ia menyendiri dari orang lain. Dan ia tidak
menyendiri dari orang lain kecuali dengan lama mujahadah. Apabila berhasil
hatinya bersama Allah Ta’ala, niscaya terbukalah baginya keagungan hadlarat
Ketuhanan, cemerlanglah baginya kebenaran (al-haq) dan lahirlah baginya sifat
kelemah-lembutan Allah Ta’ala, yang tidak boleh disifatkan. Bahwa tidaklah
sekali-kali diliputi oleh penyifatan. Apabila tersingkap bagi murid, sesuatu
dari yang demikian, maka pemotong jalan yang terbesar kepadanya, ialah: bahwa
ia berkata-kata dengan demikian, sebagai pengajaran dan nasehat dan ia
berhadapan untuk memperingati. Lalu jiwanya memperoleh kelezatan padanya,
dimana tiada lagi kelezatan lain dibaliknya. Maka kelezatan itu mengajaknya
untuk bertafakkur tentang cara mendatangkan segala pengertian itu, membaguskan
kata-kata yang disebutkan, menyusun penyebutannya, menghiasinya dengan
cerita-cerita, dalil-dalil Alquran dan hadits dan membaguskan perbuatan
kata-kata, supaya hati dan pendengaran condong kepadanya. Kadang-kadang setan
mendatangkan khayalan kepadanya, bahwa: ini adalah dari engkau untuk
menghidupkan hati orang-orang mati, yang lengah terhadap Allah Ta’ala. Engkau
itu sesungguhnya perantara antara Allah Ta’ala dan makhluk. Engkau mengajak
hambaNya kepadaNya. Dan engkau tiada mempunyai bahagian dan tiada padanya kelezatan
bagi diri engkau. Dan jelaslah tipuan setan itu, dengan melahirkan pada
teman-temannya, siapa yang terbagus perkataan, yang banyak kata-kata dan yang
lebih sanggup menarik hati orang awam. Lalu –sudah pasti –bergeraklah pada
batinnya, kalajengking kedengkian, kalau penggeraknya itu, tipuan penerimaan.
Dan kalau penggeraknya adalah kebenaran, karena ingin mengajak hamba Allah
Ta’ala kepada jalanNya yang lurus, maka sangatlah gembiranya dan berkata:
“Segala pujian bagi Allah yang menolongku dan menguatkan aku, dengan orang yang
membantuku pada memperbaiki hambaNya”. Seperti orang yang menjadi kewajibannya
–umpamanya –membawa orang mati untuk dikuburkannya, karena didapatinya mayat
itu disia-siakan orang. Dan menjadi fardlu ‘ain yang demikian atas dirinya pada
agama. Lalu datanglah orang yang menolongnya. Maka ia sangat bergembira dan
tidak akan iri hati kepada orang yang menolongnya. Orang-orang yang lalai itu
mati hati. Pengajar-pengajarnya itu adalah yang membangunkan dan yang
menghidupkannya. Lalu dengan banyaknya mereka, mendatangkan kesenangan dan
tolong-menolong. Maka seyogyalah, bahwa sangat menggembirakan,dengan yang
demikian. Hal yang seperti ini sangat sukar terjadi. Maka seyogyalah murid itu
berhati-hati daripadanya. Karena itu adalah jaringan setan yang terbesar pada
memotong jalan, orang yang terbuka baginya permulaan jalan. Sesungguhnya
memilih (mengutamakan) kehidupan duniawi adalah sifat yang mengerasi atas
manusia. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi, kamu memilig kehidupan
dunia”. S 87 Al A’laa ayat 16. Kemudian Allah Ta’ala menerangkan, bahwa
kejahatan itu adalah barang lama pada sifat (karakter) manusia. Dan itu
tersebut pada kitab-kitab purbakala. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya ini
ada dalam buku-buku purbakala. Buku-buku Ibrahim dan Musa”. S 87 Al A’laa ayat
18-19. Maka inilah jalan latihan dan pendidikan murid dengan jalan
angsur-berangsur untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Adapun uraian latihan pada
tiap-tiap sifat, maka akan datang uraiannya. Sesungguhnya sifat yang lebih
menguasai pada manusia, ialah perutnya, kemaluannya dan lidahnya. Saya
maksudkan nafsu syahwat yang menyangkut dengan anggota-anggota badan tadi.
Kemudian sifat marah, dimana marah itu adalah seperti tentara untuk menjaga
nafsu syahwat. Kemudian, manakala manusia mencintai nafsu syahwat perut dan
kemaluan dan berjinakan hati dengan keduanya, niscaya ia telah mencintai dunia.
Dan tidak mungkin diperoleh syahwat itu, kecuali dengan hartadan kemegahan.
Apabila harta dan kemegahan dicari, niscaya datanglah takabbur (membesarkan
diri), ‘ujub (mengherani diri) dan suka menjadi kepala. Apabila telah menampak
yang demikian, niscaya dirinya tidak membolehkan lagi meninggalkan dunia. Dan
dari agama dipegang apa yang ada padanya hal kekepalaan. Dan mengerasilah
tertipu dengan hal-ikhwal dunia kepadanya. Karena itulah, sesudah kami
hidangkan dua kitab ini (kitab tentang keajaiban hati dan kitab tentang latihan
jiwa), akan kami sempurnakan Rubu’ Yang Membinasakan (Rubu’ Al-Muhlikat) itu,
dengan 8 kitab insya Allah Ta’ala, yaitu:
1. Kitab tentang menghancurkan
nafsu syahwat perut dan kemaluan.
2. Kitab tentang bahaya lisan
(lidah).
3. Kitab tentang menghancurkan
kemarahan, busuk hati dan kedengkian.
4. Kitab tentang celaan dunia
dan penguraian tipuannya.
5. Kitab tentang menghancurkan
kecintaan kepada harta dan mencela kikir.
6. Kitab tentang mencela ria
dan suka kemegahan.
7. Kitab tentang mencela
takabbur (sombong) dan ‘ujub.
8. Kitab tentang tempat-tempat
terjadinya tipuan dunia.
Dengan menyebutkan semua
yang membinasakan dan mengajarkan jalan-jalan pengobatannya, maka sempurnalah
maksud kami dari Rubu’ Al-Muhlikat insya Allah Ta’ala. Apa yang kami sebutkan
pada kitab pertama, adalah uraian sifat-sifat hati, yang menjadi tambang
al-muhlikat (sifat-sifat yang membinasakan) dan al-mujiat (sifat-sifat yang
melepaskan dari kebinasaan). Dan apa yang kami sebutkan pada kitab kedua,
adalah isyarat secara keseluruhan, kepada jalan pemurnian budi-pekerti dan
pengobatan penyakit hati. Adapun uraiannya maka akan datang pada kitab-kitab
tersebut tadi insya Allah Ta’ala. Dengan pujian kepada Allah, pertolongan dan
baik taufiqNya, sempurnalah Kitab Latihan Jiwa dan Pemurnian Akhlak, yang akan
diiringi dengan “Kitab Tentang Menghancurkan Dua Nafsu Syahwat”, insya Allah
Ta’ala. Segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Kiranya Allah mencurahkan
rahmat kepada penghulu kita Muhammad, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan kepada semua hambaNya yang pilihan dari penduduk bumi dan
langit. Dan tiadalah yang memberi taufiq kepadaku, selain Allah. kepadaNyalah
aku menyerahkan diri. Dan kepadaNya aku kembali.