Kamis, 13 Februari 2014

22. KITAB LATIHAN JIWA, TAHDZIBUL-AKHLAQ DAN PENGOBATAN PENYAKIT HATI.



KITAB LATIHAN JIWA, TAHDZIBUL-AKHLAQ DAN PENGOBATAN PENYAKIT HATI.
Yaitu: Kitab Ke-2 dari Rubu’ Yang Membinasakan.

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah yang menjalankan segala urusan dengan pimpinanNya. Yang mengatur susunan makhluk, maka Ia yang membaguskan pada pembentukannya. Ia yang menghiasi bentuk manusia dengan bentuk dan takaran yang sebaik-baiknya. Ia yang menjaganya dari kelebihan dan kekurangan pada bentuk dan takaran-takarannya. Ia yang menyerahkan pembaikan akhlaq kepada kesungguhan dan kesediaan hambaNya. Ia yang menggerakkannya kepada perbaikan akhlaq, dengan mempertakutkan dan memperingatinya dari akhlaq tercela. Ia yang memudahkan kepada hamba-hambaNya tertentu, untuk perbaikan akhlaq, dengan taufiq dan pemudahan jalan daripadaNya. Dan Ia yang mencurahkan nikmat kepada mereka, dengan memudahkan yang payah dan yang sukar. Rahmat dan sejahtera kepada Muhammad Abdillah, NabiNya, kecintaanNya, pilihanNya, penyampai kabar gembira dan kabar tidak gembira, daripadaNya, yang menampakkan nur kenabian dari garis-garis dahinya, yang melahirkan hakekat kebenaran dari segala tempat sangkaan dan yang terang. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya yang mensucikan wajah Islam dari kegelapan kufur dan kesangatan hitamnya. Dan mereka yang menghancurkan benda batil, maka mereka tiada mengalami kekotoran, sedikit dan banyaknya. Amma ba’du: maka budi pekerti yang baik adalah sifat penghulu segala rasul dan amalan yang utama dari para shiddiqin (yang membenarkan segala ajaran Nabi saw dengan sebaik-baiknya). Sebenarnyalah budi pekerti yang baik itu setengah iman, hasil mujahadah para muttaqin dan latihan para penegak ibadah. Dan budi pekerti yang jahat adalah racun yang membunuhkan, yang membinasakan, yang memecahkan kepala, perbuatan-perbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan kotor yang nyata, kekejian-kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan semesta alam dan yang memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan setan. Itulah pintu-pintu yang terbuka ke neraka Allah yang menyala-nyala, yang naik ke hati. Sebagaimana akhlak yang elok, adalah pintu yang terbuka dari hati kepada kenikmatan sorga dan di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan budi pekerti yang keji itu penyakit hati dan penyakit jiwa, penyakit yang menghilangkan hidup abadi. Dan dimanakah letaknya, kalau dibandingkan dengan penyakit, yang hanya menghilangkan hidup jasmaniah ? Manakala bersangatanlah kesungguhan para dokter, dengan memastikan undang-undang (cara) pengobatan tubuh, dan penyakit tubuh itu, hanyalah hilangnya hidup yang fana, maka kesungguhan dengan pemastian undang-undang (cara) pengobatan penyakit hati, dimana padanya kelenyapan hidup yang kekal, adalah lebih utama sekali. Pengobatan yang semacam ini wajib dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berakal. Karena tidak terlepas semua hati itu daripada penyakit. Jikalau disia-siakan, niscaya penyakit itu bertindis-lapis dan sama menyamakan penyakit-penyakit itu dan bermunculan. Maka hamba itu memerlukan kepada kerapian pada mengetahui penyakit-penyakit dan sebab-sebabnya. Kemudian, kepada kesediaan pada mengobati dan memperbaikinya. Pengobatan penyakit hati itulah yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa)nya”. S 91 Asy Syams ayat 9. Dan penyia-nyiaan pengobatan hati itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorkannya”. S 91 Asy Syams ayat 10. Pada kitab ini kami akan tunjukkan kepada sejumlah penyakit hati dan bagaimana pembicaraan tentang pengobatannya secara keseluruhan. Tanpa perincian untuk pengobatan penyakit khusus. Sesungguhnya yang demikian itu akan datang nanti pada akhir kitab dari bahagian (rubu’) ini. Maksud kami sekarang, ialah peninjauan secara keseluruhan tentang tahdzibul-akhlaq (pelajaran perbaikan akhlaq) dan penyusunan caranya. Kami sebutkan yang demikian dan kami jadikan pengobatan badan menjadi contoh, untuk mendekatkan tercapainya pengertian. Dan yang demikian, akan jelas dengan penjelasan keutamaan budi pekerti yang baik. Kemudian penjelasan hakekat budi pekerti yang baik. Kemudian, penjelasan penerimaan akhlak akan perobahan dengan latihan. Kemudian, penjelasan sebab untuk tercapainya akhlak yang baik. Kemudian, penjelasan jalan-jalan untuk mengetahui penguraian jalan-jalan menuju ke perbaikan akhlak dan latihan jiwa. Kemudian, penjelasan tanda-tanda untuk mengetahui penyakit hati. Kemudian penjelasan jalan, yang memberitahukan kepada manusia kekurangan dirinya. Kemudian penjelasan dalil-dalil agama (yang diambil dari firman Allah Ta’ala dan hadits Nabi saw), tentang jalan pengobatan hati, dengan meninggalkan segala nafsu syahwat. Tiada yang lain..... Kemudian, penjelasan tanda-tanda kebagusan akhlak. Kemudian, penjelasan jalan tentang latihan anak-anak pada permulaan pertumbuhannya. Kemudian, penjelasan syarat-syarat kemauan (iradah) dan mukaddimah mujahadah (pendahuluan perjuangan menentang hawa nafsu). Semua ini 11 pasal, dimana semua maksudnya terkumpul pada kitab ini Insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: keutamaan kebagusan akhlak dan tercelanya keburukan akhlak.
Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya dan KekasihNya, memuji dan melahirkan nikmatNya kepadanya: “Dan engkau sesungguhnya mempunyai budi pekerti yang tinggi”. S 68 Al Qalam ayat 4. Aisyah ra berkata: “Adalah akhlak Rasulullah saw itu (menurut) Alquran”. Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebagusan akhlak. Lalu Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Hendaklah engkau pemaaf dan menyuruh mengerjakan yang baik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak berpengetahuan itu”. S 7 Al A’raaf ayat 199. Kemudian, Nabi saw bersabda: “Yaitu: engkau sambung silaturrahim orang yang memutuskannya dengan engkau. Engkau memberi kepada orang yang tiada mau memberi kepada engkau. Dan engkau memaafkan kepada orang yang berbuat zalim terhadap engkau”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Nabi saw bersabda: “Yang paling berat dari apa yang diletakkan dalam timbangan di hari kiamat, ialah: taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Seorang laki-laki datang dihadapan Rasulullah saw lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Nabi saw menjawab: “Baik budi pekerti”. Lalu ia berpindah ke kanan Nabi saw, seraya bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Nabi saw menjawab: “Baik budi pekerti”. Kemudian, ia berpindah ke kiri Nabi saw, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Nabi saw menjawab: “Baik budi pekerti”. Kemudian, ia berpindah ke belakang Nabi saw, seraya bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah agama itu ?”. Lalu Nabi saw menoleh kepadanya, seraya bersabda: “Tidakkah engkau mengerti, bahwa agama itu, ialah: engkau tidak marah ?”. Ada orang yang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! apakah tidak memperoleh barakah (asy-syu’mu) itu ?”. Nabi saw menjawab: “Buruk akhlak”. Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: “Berilah aku wasiat !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah, dimana saja engkau berada !”. Lalu orang itu berkata: “Tambah lagi !”. Nabi saw menjawab: “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya yang baik itu akan menghapuskan yang buruk”. Orang itu berkata: “Tambah lagi !”. Lalu Nabi saw menyambung: “Berakhlaklah dengan manusia, dengan akhlak yang baik !”. Orang bertanya kepada Nabi saw: “Amalan apakah yang paling utama ?”. Nabi saw menjawab: “Akhlak yang baik”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala tidak akan membaguskan kejadian dan akhlak hambaNya, lalu dijadikannya makanan api neraka”. Al-Fudlail berkata: “Orang berkata kepada Nabi saw: “Si Anu wanita itu, puasa pada siang hari dan berdiri mengerjakan shalat pada malam hari. Dan dia buruk akhlaknya, menyakiti tetangganya dengan lidahnya”. Nabi saw menjawab: “Tak ada kebajikan pada wanita itu. Ia termasuk isi neraka”. Abud-Darda berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Yang mula-mula diletakkan dalam neraca (tempat timbangan amal), ialah: akhlak yang baik dan kemurahan hati. Tatkala Allah Ta’ala telah menjadikan iman, lalu iman itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! kuatkanlah aku !”. Lalu Allah menguatkannya dengan kebagusan akhlak dan kemurahan hati. Tatkala Allah Ta’ala menjadikan kufur, lalu kufur itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! kuatkanlah aku !”. Lalu dikuatkannya dengan kekikiran dan keburukan akhlak”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menerima dengan ikhlas agama ini (agama Islam) bagi diriNya. Dan tidak patut bagi agamamu, selain kemurahan hati dan kebagusan budi. Dari itu, ketahuilah ! maka hiasilah agamamu itu dengan keduanya (kemurahan hati dan kebagusan akhlak)”. Nabi saw bersabda: “Akhlak yang baik, itu makhluk Allah yang paling besar”. Orang bertanya kepada Nabi saw, yang bunyinya: “Wahai Rasulullah ! mu’min yang manakah yang paling utama imannya ?”. Rasulullah saw menjawab: “Yang terbagus akhlaknya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak sanggup memberi kelapangan kepada manusia dengan hartamu. Maka berilah kelapangan kepada mereka dengan kemanisan muka dan kebagusan akhlak !”. Nabi saw bersabda pula: “Keburukan akhlak itu merusakkan amalan, sebagaimana cuka merusakkan madu”. Dari Jarir bin Abdullah, dimana ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya engkau itu manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah kebagusan kejadianmu. Maka baguskanlah budi pekertimu !”. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, dimana ia berkata: “Adalah Rasulullah saw mempunyai muka yang tercantik dan akhlak yang terbaik”. Dari Abi Mas’ud Al-Badri, dimana ia berkata: “Adalah Rasulullah saw membaca dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! Engkau telah membaguskan kejadianku, maka baguskanlah budi pekertiku !”. Dari Abdullah bin ‘Amr ra, dimana ia berkata: “Adalah Rasulullah saw membanyakkan doa, lalu membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! aku bermohon padaMu kesehatan, ke’afiatan dan kebagusan akhlak”. Dari Abi Hurairah ra, yang meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Kemuliaan mu’min, ialah agamanya. Kebangsawanannya, ialah kebagusan akhlaknya dan kepribadiannya, ialah akalnya”. Dari Usamah bin Syuraik, dimana ia menerangkan: “Aku menyaksikan orang-orang Arab desa bertanya kepada Nabi saw dengan pertanyaan: “Apakah yang terbaik diberikan kepada seseorang ?”. Nabi saw menjawab: “Budi pekerti yang baik”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling tercinta kamu kepadaku dan yang paling terdekat tempat duduk kamu daripadaku pada hari kiamat, ialah yang terbagus akhlak daripada kamu”. Dari Ibnu Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada 3 perkara dan barangsiapa tidak ada padanya 3 perkara tersebut atau salah satu daripadanya, maka janganlah engkau hitung sesuatupun daripada amalannya. Yaitu: taqwa, yang mendindingkannya daripada perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Atau pikiran waras, yang dapat mencegah orang bodoh (apabila bermaksud tidak baik kepadanya). Atau budi pekerti, yang dapat ia hidup diantara orang banyak”. Diantara doa Nabi saw pada permulaan shalat, ialah: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah aku petunjuk kepada akhlak yang sebaik-baiknya ! tiada yang memberi petunjuk kepada akhlak yang sebaik-baiknya itu, selain Engkau. Jauhkanlah daripadaku akhlak yang jahat ! tiada yang menjauhkan akhlak yang jahat itu daripadaku, selain Engkau”. Anas berkata: “Pada suatu hari ketika kami bersama Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya akhlak yang baik, menghancurkan kesalahan, sebagaimana matahari menghancurkan air beku”. Nabi saw bersabda: “Diantara kebahagiaan manusia, ialah bagus akhlaknya”. Nabi saw bersabda: “Kebajikan adalah pada bagusnya akhlak”. Nabi saw bersabda kepada Abi Dzar: “Hai Abi Dzar ! tak ada akal seperti tadlbir (memikirkan akibat sesuatu pekerjaan) dan tiada yang mencukupkan seperti kebagusan akhlak”. Dari Anas, dimana ia berkata: “Ummu Habibah bertanya kepada Rasulullah saw: “Adakah engkau melihat seorang wanita yang mempunyai dua suami di dunia, lalu wanita itu mati dan kedua suaminyapun mati dan semuanya masuk sorga, lalu untuk siapa wanita itu ?”. Nabi saw menjawab: “Untuk yang terbaik akhlaknya dari kedua suaminya itu, yang hidup bersama dengan wanita itu di dunia. Wahai Ummu Habibah ! kebagusan akhlak itu berjalan dengan kebajikan dunia dan akhirat”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya muslim yang memperoleh taufiq itu mengetahui tingkat orang yang berpuasa dan yang bangun malam mengerjakan shalat, dengan kebagusan akhlaknya dan kemuliaan kedudukannya”. Dan pada suatu riwayat: “Sesungguhnya mengetahui tingkat orang yang haus di tengah hari pada musim panas”. Abdurrahman bin Samrah berkata: “Kami berada di sisi Nabi saw, lalu beliau bersabda: “Aku melihat semalam suatu keajaiban. Aku melihat seorang laki-laki dari umatku bertekan diatas kedua lututnya. Dan ada suatu dinding diantaranya dan Allah. Maka datanglah kebagusan akhlaknya, lalu memasukkannya kepada Allah Ta’ala”. Anas berkata, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba Allah itu akan sampai yang tinggi dari derajat-derajat akhirat dan kemuliaan tingkat, disebabkan kebagusan akhlaknya. Dan dia itu sesungguhnya lemah dalam peribadatan”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra meminta izin masuk pada tempat Nabi saw. Dan padanya saw itu banyak wanita Quraisy yang bercakap-cakap dengan beliau saw dan percakapan itu banyak. Suara mereka itu lebih tinggi daripada suara Nabi saw. Tatkala Umar ra memperoleh keizinan masuk, lalu bergegas-gegaslah wanita itu memakai hijab. Maka Umar ra pun masuk dan Rasulullah saw tersenyum: “Lalu Umar ra bertanya: “Mengapa tertawa, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Aku heran kepada wanita-wanita ini, yang berada di sisiku. Sewaktu mereka mendengar suara engkau, terus mereka bergegas-gegas memakai hijab”. Umar ra menjawab: “Engkau lebih berhak ditakuti mereka wahai Rasulullah !”. Kemudian, Umar ra melihat kepada wanita itu, seraya berkata: “Hai wanita-wanita yang menganiaya dirinya sendiri ! pantaskah engkau takut kepadaku dan tidak engkau takut kepada Rasulullah saw ?”. Wanita itu menjawab: “Benar ! engkau lebih kasar dan lebih keras daripada Rasulullah saw”. Lalu Nabi saw bersabda: “Biarlah, wahai putera Al-Khattab ! demi Allah ! tiada akan dijumpai engkau sekali-kali oleh setan yang berjalan di jalan yang luas, selain setan itu akan berjalan pada jalan yang tiada engkau tempuh”. Nabi saw bersabda: “Buruknya akhlak itu dosa yang tidak diampunkan. Dan buruknya sangka itu kesalahan yang mendatangkan kejahatan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya hamba itu akan sampai pada tingkat yang paling bawah dari neraka jahannam, dari buruk akhlaknya”. Kata-kata sahabat dan pemuka-pemuka agama (al-atsar): Putera Lukmanul-hakim bertanya kepada ayahnya (Lukmanul-hakim): “Wahai ayahku ! perkara manakah daripada manusia itu yang baik ?”. Ayahnya menjawab: “Agama !”. Putera itu bertanya lagi: “Apabila ada dua ?”. Lukmanul-hakim menjawab: “Agama dan harta”. Apabila ada 3 ?”, tanya puteranya lagi. “Agama, harta dan malu”, jawab Lukmanul-hakim. “Apabila ada 4 ?”, tanyanya pula. Lalu ayahnya menjawab: “Agama, harta, malu dan bagus akhlak”. “Apabila ada 5 ?”, tanya putera itu pula. Lukman menjawab: “Agama, harta, malu, bagus akhlak dan pemurah”. Apabila ada 6 ?”, tanya putera itu lagi. Lukmanul-hakim menjawab: “Hai anakku ! apabila yang 5 perkara tadi berkumpul pada seseorang, maka orang itu adalah orang yang bersih dan taqwa. Allah melindunginya dan ia terlepas dari setan”. Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Siapa yang jahat akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya”. Anas bin Malik berkata: “Bahwa seseorang akan sampai ke tingkat yang tertinggi dalam sorga, disebabkan kebagusan akhlaknya, walaupun ia orang yang tidak banyak ibadahnya. Dan akan sampai ke tingkat yang paling rendah dalam neraka jahannam, disebabkan keburukan akhlaknya, walaupun ia seorang yang banyak ibadahnya”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Dalam kelapangan akhlak itu terdapat gudang rezeki”. Wahab bin Munabbih berkata: “Akhlak yang buruk itu adalah seperti tembikar yang pecah. Tidak dapat dilekatkan lagi dan tidak dapat dikembalikan lagi menjadi tanah”. Al-Fudlail berkata: “Aku lebih suka ditemani oleh seorang yang kurang beribadah, tetapi berakhlak baik, daripada ditemani oleh seorang yang banyak ibadahnya, tetapi berakhlak buruk”. Ibnul-Mubarak menemani seorang laki-laki yang buruk akhlaknya, dalam perjalanan. Maka beliau menderita dari buruk akhlaknya orang itu dan mempergaulinya dengan lemah-lembut. Sewaktu beliau berpisah dengan orang tersebut, lalu beliau menangis. Maka orang bertanya kepadanya tentang yang demikian, lalu beliau menjawab: “Aku menangisinya, karena kasihan kepadanya. Aku berpisah dengan dia dan akhlaknya tidak berpisah dengan dia”. Al-Junaid berkata: “4 perkara mengangkatkan seorang hamba ke derajat yang paling tinggi , walaupun amalannya dan pengetahuannya sedikit. Yaitu: lemah-lembut, rendah-hati, murah-hati dan bagus akhlak. Dan itulah kesempurnaan iman”. Abubakar Al-Kattani berkata: “Tasawwuf itu suatu akhlak. Siapa yang berlebih dari engkau tentang akhlak, niscaya ia berlebih dari engkau tentang tasawwuf”. Umar ra berkata: “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik dan berpisahlah dengan mereka dengan perbuatan !”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Keburukan akhlak itu suatu kejahatan, yang tidak bermanfaat dengan banyaknya perbuatan baik. Kebagusan akhlak itu suatu kebaikan, yang tidak mendatangkan melarat dengan banyaknya perbuatan buruk”. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: “Apakah kemuliaan itu ?”. Beliau menjawab: “Yaitu, yang diterangkan oleh Allah Ta’ala dalam KitabNya yang mulia: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah, ialah yang paling bertaqwa (memelihara diri dari kejahatan)”. S 49 Al Hujuraat ayat 13. Dan ditanyakan pula: “Apakah kebangsawanan itu ?”. Ibnu Abbas menjawab: “Yang terbagus akhlak daripada kamu, itulah yang terlebih utama kebangsawanannya”. Seraya Ibnu Abbas berkata: “Tiap-tiap bangunan itu mempunyai sendi. Dan sendi Islam itu kebagusan akhlak”. ‘Atha’ berkata: “Tiada terangkat orang yang terangkat, selain dengan akhlak yang baik. Tiada seorangpun yang mencapai kesempurnaan akhlak, selain Nabi Mustafa (Nabi pilihan) Muhammad saw. Manusia yang terdekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah yang berjalan menurut jejaknya, dengan kebagusan akhlak”.
PENJELASAN: hakekat kebagusan dan keburukan akhlak.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia memperkatakan tentang hakekat kebagusan akhlak dan apa akhlak yang bagus itu. Sebenarnya mereka tidak membentangkan hakekat akhlak itu. Hanya mereka membentangkan buahnya. Kemudian, mereka tidak melengkapkan semua buah itu. Tetapi menyebutkan masing-masing dari buahnya, apa yang terguris baginya dan apa yang timbul pada hatinya. Mereka tiada menyerahkan kesungguhan, untuk menyebutkan batas dan hakekatnya, yang meliputi semua buah akhlak itu, dengan penguraian dan lengkap. Umpamanya, seperti kata Al-Hasan Al-Bashari: “Kebagusan akhlak itu manis muka memberi kelebihan dan mencegah kesakitan”. Dan Al-Wasithi berkata: “Akhlak yang bagus, ialah: tidak bertengkar dengan orang dan orang tiada bertengkar dengan dia, dari karena bersangatan ma’rifahya kepada Allah Ta’ala”. Syah Al-Kirmani berkata: “Akhlak yang baik, ialah: mencegah yang menyakitkan dan menanggung kesulitan”. Setengah mereka berkata: “Orang yang berakhlak ialah: yang dekat dengan manusia (karena bagus pergaulannya) dan asing tentang sesuatu diantara manusia itu (tiada rapat penghubungan)”. Al-Wasithi sekali berkata: “Akhlak yang baik, ialah: menyenangkan manusia pada waktu suka dan duka”. Abu Usman berkata: “Akhlak yang baik, ialah mencari keridlaan Allah Ta’ala”. Orang bertanya kepada Sahal As-Tusturi tentang kebagusan akhlak, lalu ia menjawab: “Sekurang-kurangnya, menanggung penderitaan (dari orang yang bergaul dengan dia), tidak memberikan balasan dan kasih-sayang kepada orang yang zalim dan meminta ampunan Allah bagi orang yang zalim itu dan belas-kasihan kepadanya”. Pada kali yang lain, Sahal berkata: “Bahwa ia tidak menuduh Tuhan Yang Maha Benar tentang rezeki. Ia percaya kepadaNya, tetap hatinya, bahwa Tuhan Yang Maha Benar itu menyempurnakan yang ditanggungNya. Ia mentaatiNya dan tidak mendurhakaiNya pada semua urusan diantaranya dengan Tuhan dan diantaranya dengan manusia”. Ali ra berkata: “Kebagusan akhlak itu pada 3 perkara: menjauhkan segala yang haram, mencari yang halal dan berbuat keluasan kepada keluarga”. Al-Husain bin Mansur berkata: “Kebagusan akhlak itu, ialah: tidak berpengaruh pada engkau oleh putusnya hubungan dengan orang banyak, sesudah engkau melihat kebenaran”. Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Kebagusan akhlak itu, ialah: tidak ada cita-citamu, selain Allah Ta’ala”. Ucapan tadi dan yang sama dengan itu adalah banyak. Yaitu: mengemukakan buah (hasil) dari kebagusan akhlak. Tidak diri kebagusan akhlak itu sendiri. Kemudian, tidak pula meliputi dengan semua buah itu. Dan menyingkapkan yang tertutup dari hakekat itu adalah lebih utama daripada menyalinkan kata-kata yang bermacam-macam itu. Maka kami katakan, bahwa perkataan: al-khalqu (kejadian) dan al-khuluqa (akhlak atau tingkah laku) adalah dua perkataan, yang dipakai bersama-sama. Dikatakan: si Anu bagus al-khalqu dan al-khuluqa (bagus kejadiannya dan akhlaknya). Artinya: bagus zahir dan batin. Yang dimaksud dengan al-khalqu; bentuk zahir dan yang dimaksud dengan al-khuluqa: bentuk batin. Sebabnya, karena manusia itu tersusun dari jasad (tubuh) yang terlihat dengan mata. Dan dari roh dan jiwa, yang terlihat dengan mata hati. Masing-masing mempunyai keadaan dan bentuk. Adakalanya buruk dan adakalanya cantik. Maka jiwa yang terlihat dengan mata-hati itu lebih besar nilainya, dibandingkan dengan tubuh yang terlihat dengan mata-kepala. Karena itulah, diagungkan oleh Allah Ta’ala urusan jiwa, dengan disandarkannya kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah. Dan ketika dia telah Kubentuk dengan sempurna dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruhKu, hendaklah kamu tunduk merendahkan diri kepadanya !”. S 38 Shaad ayat 71-72. Dengan ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan, bahwa jasad (tubuh) itu dihubungkan kepada tanah, sedang ruh (jiwa) kepada Tuhan Serwa sekalian alam. Yang dimaksud dengan ruh dan jiwa pada tempat ini, adalah satu. Maka akhlak (budi pekerti) adalah menerangkan tentang keadaan dalam jiwa yang menetap di dalamnya. Dan daripadanyalah terbit semua perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan kepada pemikiran dan penelitian. Kalau keadaan ini, dimana terbit daripadanya perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama (syari’at), niscaya keadaan itu dinamai: akhlak yang baik. Dan kalau yang terbit itu perbuatan-perbuatan yang jelek, niscaya keadaan yang menerbitkannya, dinamai: akhlak yang buruk. Sesungguhnya kami mengatakan: bahwa itu keadaan yang menetap di dalam ruh (jiwa), karena orang yang memberikan uangnya jarang sekali, karena keperluan yang datang (dari luar). Tidak dinamakan akhlaknya: pemurah, sebelum yang demikian itu menetap dalam jiwanya dengan teguh. Sesungguhnya kami mensyaratkan diatas tadi, bahwa perbuatan-perbuatan itu terbit daripadanya dengan mudah, tanpa penelitian, karena orang yang merasa berat memberikan harta atau diam ketika marah, dengan sungguh-sungguh dan penelitian, tidaklah akhlaknya, dikatakan: pemurah dan lemah-lembut. Maka dalam hal ini ada 4 perkara:
Pertama  :    perbuatan baik dan keji.
Kedua     :    mampu menghadapi keduanya.
Ketiga     :    mengetahui tentang kedua hal itu.
Keempat  :    keadaan jiwa, dimana dengan keadaan itu, ia cenderung kepada salah satu dari dua pihak. Dan salah satu dari kedua hal itu mudah kepadanya. Adakalanya: yang baik dan adakalanya: yang buruk. Bukanlah akhlak itu dapat dikatakan: perbuatan. Berapa banyak orang yang akhlaknya: pemurah, tetapi tidak memberi. Adakalanya, karena ketiadaan harta atau karena ada sesuatu halangan. Kadang-kadang akhlaknya: kikir, tetapi ia memberi. Karena suatu penggerak atau karena ria (ingin memperlihatkan kepada orang). Dan tidaklah akhlak itu dapat dikatakan: kekuatan. Karena dibandingkan kekuatan menahan dan memberi, bahkan kepada dua hal yang berlawanan itu satu. Semua manusia dijadikan menurut fitrahnya, sanggup memberi dan menahan (tidak memberi). Yang demikian itu tidak mengharuskan akhlak kikir dan akhlak pemurah. Tidak pula akhlak itu dapat dikatakan: ma’rifah (mengetahui dengan mendalam). Karena ma’rifah itu sama-sama berhubungan dengan yang baik dan yang buruk atas satu cara. Tetapi akhlak itu dapat diartikan dengan arti yang keempat. Yaitu, keadaan, dimana jiwa bersiap untuk terbit daripadanya: menahan atau memberi. Jadi, akhlak itu ibarat dari keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah. Sebagaimana kebagusan bentuk zahiriah secara mutlak, tidak sempurna dengan bagusnya dua mata saja, tidak hidung, mulut dan pipi. Tetapi, tak boleh tidak, daripada bagus semua. Supaya sempurnalah kebagusan zahiriah itu. Maka seperti demikian pula, pada batiniah itu 4 sendi. Tak boleh tidak, harus bagus semuanya sehingga sempurnalah kebagusan akhlak. Apabila sendi yang 4 itu lurus, betul dan sesuai, niscaya berhasillah kebagusan akhlak. Yaitu: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang 3 tersebut. Adapun kekuatan ilmu, maka bagusnya dan patutnya tentang jadinya kekuatan ilmu itu, dimana dengan mudah dapat diketahui perbedaan antara benar dan dustanya perkataan, antara benar dan batilnya i’tikad kepercayaan, antara baik dan buruknya perbuatan. Apabila kekuatan ini baik, niscaya berhasillah buah hikmah. Dan hikmah itu kepada akhlak yang baik. Yaitu yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Dan orang yang diberiNya kebijaksanaan itu, maka sesungguhnya telah diberi kebaikan yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 269. Adapun kekuatan marah, maka baiknya ialah, pada dapat mengekangnya dan melepaskannya, menurut batas yang dikehendaki oleh kebijaksanaan. Begitupula nafsu syahwat, maka baiknya dan patutnya, ialah pada beradanya di bawah penunjukkan hikmah (kebijaksanaan). Ya’ni: penunjukkan akal dan agama. Adapun kekuatan keadilan, maka yaitu: pengekangan nafsu syahwat dan kemarahan di bawah penunjukkan akal dan agama. Akal itu seumpama penasehat, yang menunjukkan jalan. Dan kekuatan keadilan ialah kekuasaan. Contohnya, seperti pelaksana, penerus penunjukkan akal.d an kemarahan, ialah: yang dilaksanakan penunjukkan padanya. Contohnya, seperti: anjing buruan. Anjing itu memerlukan pendidikan, sehingga pelepasannya dan perhentiannya itu menurut isyarat. Tidak menurut berkobarnya keinginan diri. Dan nafsu itu, seumpama kuda yang dikendarai untuk mencari buruan. Sekali, kuda itu adalah terlatih dan terdidik. Dan pada lain kali adalah pelawan. Maka siapa yang benar semua perkara tersebut dan lurus, maka itulah: kebagusan akhlak namanya, secara mutlak. Dan siapa yang lurus sebahagian dan tidak yang sebahagian lagi, maka itupun kebagusan akhlak, disandarkan kepada pengertian itu khususnya. Seperti orang yang bagus sebahagian mukanya, dan tidak bagus bahagian yang lain. Baiknya kekuatan marah dan kelurusannya, dinamakan: berani (syaja’ah). Baiknya kekuatan nafsu syahwat dan kelurusannya, dinamakan: ‘iffah (penjagaan diri). Kalau kekuatan amarah itu cenderung dari kelurusan kepada segi berlebihan, maka dinamakan: tahawwur (berani sembrono). Kalau kekuatan amarah itu cenderung kepada kelemahan dan kekurangan, maka dinamakan: jubun (penakut) dan khauran (lemah, tidak bertenaga). Kalau kekuatan nafsu syahwat itu cenderung kepada segi berlebihan, maka dinamakan: syarhan (rakus). Dan kalau cenderung kepada kekurangan, maka dinamakan: jumud (beku). Dan yang terpuji, ialah: yang ditengah-tengah. Itulah: keutamaan (fadlilah). Yang dua tepi itu adalah: buruk yang tercela. Keadilan, apabila lenyap, maka ia tidak mempunyai pinggiran lebih dan kurang. Tetapi mempunyai suatu lawan dan yang bertentangan. Yaitu: kezaliman. Adapun hikmah, kalau bersangatan pemakaiannya pada maksud-maksud buruk, maka dinamai: khubtsan wa jarbazah (keji dan pintar-busuk). Dan kalau berkekurangan pemakaiannya (tidak mempunyai hikmah-kebijaksanaan atau sedikit sekali) maka dinamai: balhan (bodoh,goblok). yang ditengah-tengah itulah, yang khusus tertentu dengan nama: hikmah (kebijaksanaan). Jadi, induk akhlak dan pokok akhlak, itu 4: hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan ‘adil. Kami maksudkan dengan hikmah, ialah keadaan jiwa, yang dengan itu dapat diketahui kebenaran dari kesalahan pada semua perbuatan ikhtiariah (perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Kami maksudkan dengan ‘adil, ialah keadaan dan kekuatan jiwa, yang dengan itu, dituntun amarah dan syahwat dan dibawa menurut kehendak hikmah. Dan mengendalikannya pada pelepasan dan pengekangan, menurut kehendak hikmah itu. Kami maksudkan dengan syaja’ah, ialah: keadaan kekuatan amarah itu tunduk kepada akal, tentang majunya dan mundurnya. Dan kami maksudkan dengan ‘iffah, ialah: terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan agama. Maka dari kelurusan pokok yang 4 tersebut, terbitlah semua akhlak yang baik. Karena dari kelurusan kekuatan akal, berhasillah baiknya pentadlbiran, baiknya hati, cerdasnya pikiran, betulnya sangkaan dan kecerdikan meneliti perbuatan yang halus-halus dan bahaya-bahaya bagi jiwa yang tersembunyi. Dari bersangatan kekuatan akal, timbullah sifat: pintar-busuk, suka mengicuh, menipu dan putar-belit. Dan dari merosotnya kekuatan akal, timbullah kebodohan, ghamarah, dungu dan gila. Dimaksudkan dengan ghamarah, ialah: kurang pengalaman dalam segala urusan, serta khayalan sejahtera. Kadang-kadang manusia itu tidak berpengalaman dalam satu hal, tetapi berpengalaman pada lain hal. Dan perbedaan antara dungu (al-hamq) dan gila, ialah: bahwa orang dungu itu maksudnya benar. Akan tetapi perjalanan menuju sesuatu jalan itu tidak betul. Maka tidak ada baginya pengalaman yang benar, dalam menempuh jalan yang menyampaikan kepada maksud. Adapun orang gila, maka ia memilih apa yang tidak layak untuk dipilih. Lalu pokok pilihan dan pengutamaannya itu merusak. Adapun akhlak syaja’ah, maka timbul daripadanya sifat-sifat: kemurahan, pertolongan, keberanian, menghancurkan nafsu, menanggung penderitaan, lemah-lembut, tetap pendirian, meneka kekasaran, hati mulia, kasih-sayang dsb. Yaitu: budi pekerti yang terpuji. Bersangatan syaja’ah, ialah: tahawwur (keberanian membabi-buta). Maka timbullah daripadanya sifat-sifat: angkuh, sombong, lekas marah, takabur dan ‘ujub (membanggakan diri). Adapun merosotnya syaja’ah, maka timbullah daripadanya, rendah diri, hina diri, gundah, kecil jiwa, dan menyempitnya daripada mengambil hak yang wajib diperolehnya. Adapun akhlak ‘iffah, maka timbul daripadanya sifat-sifat: pemurah, malu, sabar, maaf-memaafkan, merasa puas apa yang ada (qana’ah), wara’, halus perkataan, tolong-menolong, peramah dan kurang mengharapkan dari orang. Cenderungnya sifat ‘iffah kepada bersangatan atau kemerosotan, maka menghasilkan sifat-sifat: loba, rakus, kurang malu, keji, boros, lengah, ria, merusak diri, gila, suka bergurau, mengambil muka, dengki, suka memaki, suka menghina diri pada orang-orang kaya, suka menghinakan orang-orang miskin dsb. Maka induk akhlak yang baik, inilah sifat-sifat keutamaan yang 4. Yaitu: hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan ‘adil. Yang lain adalah cabangnya. Dan tiada yang sampai kepada kesempurnaan kelurusan pada sifat-sifat yang 4 ini, selain Rasulullah saw. Dan manusia-manusia yang lain sesudahnya, berlebih-kurang, tentang dekat dan jauh daripadanya. Maka tiap-tiap orang yang mendekati Nabi saw pada akhlak tersebut, maka ia dekat dengan Allah Ta’ala, menurut kadar dekatnya dengan Rasulullah saw. Dan tiap-tiap orang yang mengumpulkan kesempurnaan akhlak-akhlak tersebut itu, berhak bahwa ia menjadi malaikat yang ditaati diantara makhluk, dimana semua makhluk itu kembali kepadanya. Dan mengikutinya dalam semua perbuatan. Dan siapa yang terlepas dari semua akhlak tersebut dan bersifat dengan lawannya, niscaya ia berhak untuk keluar dari semua negeri dan semua hamba (hamba Allah). Ia telah dekat dengan setan yang terkutuk, yang jauh dari hadlarat Tuhan. Maka seyogyalah ia dijauhkan. Sebagaimana yang pertama diatas dekat dengan malaikat yang dekat dengan hadlarat Tuhan, maka seyogyalah orang pertama tadi diikuti dan didekati. Rasulullah saw tiada diutus, selain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana disabdakan oleh beliau sendiri. Alquran mengisyaratkan kepada akhlak-akhlak tersebut, mengenai sifat orang-orang mu’min. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang sebenarnya beriman itu, hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya. Itulah orang-orang yang benar”. S 49 Al Hujuraat ayat 15. Beriman kepada Allah dan RasulNya, tanpa ragu, ialah kuatnya keyakinan. Dan itulah buah akal dan kesudahan hikmah. Berjuang dengan harta, ialah: kemurahan hati, yang kembali kepada pengekangan kekuatan nafsu-syahwat. Berjuang dengan jiwa (diri), ialah: syaja’ah (keberanian), yang kembali kepada pemakaian kekuatan amarah, menurut ketentuan akal dan batas kelurusan. Allah Ta’ala telah menyifatkan para sahabat dengan firmanNya: “Mereka bersikap keras terhadap orang-orang yang tiada beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29, sebagai isyarat, bahwa sikap keras itu mempunyai tempat dan sikap kasih-sayangpun mempunyai tempat. Maka tiadalah kesempurnaan pada kekerasan itu, dalam segala hal. Begitupula tiada kesempurnaan pada kasih-sayang itu, dalam segala hal. Inilah penjelasan arti akhlak, baik dan buruknya dan penjelasan sendi-sendi, buah dan cabang-cabangnya.
PENJELASAN: tentang akhlak dapat berobah dengan jalan latihan (riyadlah).
Ketahuilah kiranya, bahwa sebahagian orang yang dikerasi oleh sifat tiada suka bekerja, maka beratlah ia berjuang, berlatih dan bekerja untuk mensucikan diri dan membersihkan akhlak. Dirinya tiada membolehkan, bahwa ia ada yang demikian. Karena kelengahannya, kekurangannya dan kekejian batinnya. Lalu ia mendakwakan, bahwa akhlak itu tiada tergambar dapat berobah. Karena sesungguhnya, tabiat (karakter) itu, tiada dapat berobah. Ia mengambil dalil dua perkara:
Pertama: bahwa al-khuluqa (budi pekerti) itu adalah bentuk batin, sebagaimana al-khalqu (kejadian diri manusia) itu bentuk zahir. Bentuk zahir tidak sanggup untuk dirobah. Maka orang pendek, tidak sanggup menjadikan dirinya menjadi orang panjang. Dan orang panjang tidak sanggup menjadikan dirinya menjadi orang pendek. Orang yang jelek mukanya tidak sanggup membuat mukanya menjadi cantik. Maka begitupula keburukan batin itu, berlaku seperti itu.
Kedua: mereka berkata, bahwa kebagusan akhlak itu, dengan mencegah nafsu syahwat dan marah. Dan kami telah mencoba yang demikian, dengan perjuangan (mujahadah) pada masa yang panjang. Dan kami mengetahui, bahwa yang demikian itu termasuk yang dikehendaki oleh instink (naluri) dan tabiat manusia. Hal itu tiada sekali-kali terputus (hilang) daripada manusia. Dari itu, mengusahakannya adalah membuang-buang waktu tanpa ada faedah. Maka yang dicari itu, ialah, membuang palingan hati kepada keuntungan duniawi yang secara datangnya. Dan itu mustahil dapat terwujud. Maka kami menjawab, bahwa kalau benar akhlak itu tidak dapat berobah, maka sia-sialah nasehat, pelajaran dan pendidikan. Dan sesungguhnya tidaklah Nabi saw bersabda: “Baguskanlah akhlakmu !”. Bagaimana ini dibantah terhadap diri manusia, sedang merobah budi pekerti binatangpun mungkin. Karena binatang buas dapat dipindahkan dari liar kepada jinak. Anjing dari sifat kerakusan kepada makan, dapat dipindahkan kepada terdidik, dapat menahan diri dan bersunyi-sunyi sendirian. Dan kuda dari sifat suka melawan, kepada sifat lembut dan tunduk. Semua itu adalah perobahan akhlak namanya. Kata-kata yang menyingkapkan tutupnya yang demikian, ialah dengan keterangan kami ini. Yaitu: segala yang ada di alam semesta ini terbagi kepada: yang tidak masuk dalam urusan dan usaha manusia, pada pokoknya dan perinciannya, seperti: langit dan bintang-bintang. Bahkan juga anggota tubuh manusia itu sendiri, dalam dan luar dan bahagian binatang-binatang yang lain. Pendek kata, semua yang sudah berhasil sempurna, yang telah selesai wujud dan kesempurnaannya. Dan terbagi pula kepada: yang didapati wujudnya dengan kekurangan dan dijadikan padanya kekuatan untuk menerima kesempurnaan, sesudah diperoleh syaratnya. Dan syaratnya itu kadang-kadang terikat dengan usaha hamba. Umpamanya: biji tumbuh-tumbuhan, bukanlah dia itu buah jambu dan bukan batang kurma. Kecuali ia telah dijadikan sebagai suatu makhluk, yang mungkin menjadi sebatang kurma, apabila ditambahkan pemeliharaan kepadanya. Dan tiada sekali-kali akan menjadi buah jambu. Dan tidak akan menjadi demikian, dengan pemeliharaan sekalipun. Apabila biji tumbuh-tumbuhan itu membekas dengan usaha manusia, sehingga menerima sebahagian keadaan (yang baru) dan tidak menerima sebahagian keadaan yang lain, maka seperti demikian pula sifat marah dan nafsu syahwat, kalau kita mau mencegah dan memaksakannya secara keseluruhan. Sehingga tiada tinggal sekali-kali bekasnya, yang tidak kita kuasai. Kalau kita mau melembutkan dan menuntun sifat marah dan nafsu syahwat dengan latihan dan mujahadah, niscaya kita sanggup yang demikian. Dan memang kita disuruh dengan yang demikian. Dan menjadi sebab kelepasan kita dan sampainya kita kepada Allah Ta’ala. Benar, sifat manusia itu bermacam-macam. Sebahagian segera menerima perobahan dan sebahagian lagi lambat menerima perobahan. Perbedaan itu mempunyai dua sebab:
Pertama: kuatnya gharizah (naluri) tentang asalnya tabiat itu. Dan memanjangnya masa adanya. Sesungguhnya kekuatan nafsu syahwat, marah dan takabur itu ada pada manusia. Tetapi yang paling sukar dan yang paling menentang perobahan, ialah: kekuatan nafsu syahwat. Sesungguhnya nafsu syahwat itu paling dahulu adanya. Karena anak kecil pada permulaan fitrah kejadiannya, sudah dijadikan baginya nafsu keinginan. Kemudian, sesudah 7 tahun, kadang-kadang sudah dijadikan sifat: amarah. Dan sesudah itu, dijadikan kekuatan: membedakan (tamyiz).
Sebab kedua: akhlak itu kadang-kadang menjadi kuat, disebabkan banyak berbuat menurut yang dikehendaki oleh akhlak itu, mematuhinya dan yakin dengan baiknya dan disukai orang. Maka manusia dalam hal tersebut, terdiri atas 4 tingkat:
Tingkat pertama: yaitu manusia yang lalai, yang tidak dapat membedakan diantara yang hak dan yang batil, diantara yang bagus dan yang buruk. Bahkan, ia tetap seperti kejadian pada fitrahnya, kosong dari semua keyakinan (aqidah). Nafsu keinginannya pun tiada sempurna, dengan mengikuti kelezatan hidup. Manusia yang seperti ini lekas sekali menerima pengobatan. Ia tidak memerlukan, selain kepada guru dan penunjuk (mursyid). Dan kepada penggerak dari dirinya yang membawanya kepada mujahadah. Maka akan bagus akhlaknya dalam waktu singkat.
Tingkat kedua: bahwa ia mengetahui buruknya yang buruk. Tetapi ia tiada membiasakan mengerjakan amal saleh. Bahkan selalu ia dihiasi dengan perbuatan jahat. Lalu ia bergelimang mengikuti nafsu syahwatnya dan berpaling dari pikiran yang betul. Karena telah dikuasai oleh nafsu keinginan. Tetapi ia tahu akan keteledorannya dalam perbuatannya. Maka keadaan orang ini lebih sukar dari yang pertama tadi. Karena telah berlipat-ganda tugas terhadap dirinya. Sebab ia harus mencabut mula-mula apa yang telah melekat pada dirinya, dari banyaknya membiasakan perbuatan merusak. Dan yang penghabisan: bahwa ia menanam pada dirinya sifat membiasakan perbuatan baik. Tetapi, secara keseluruhan, ia adalah tempat yang menerima latihan (riyadlah), kalau ia bangun untuk riyadlah itu dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan berketetapan hati.
Tingkat ketiga, bahwa ia meyakini tentang akhlak yang keji itu, bahwa akhlak yang keji itulah yang wajib dipakai, lagi baik. Bahwa itulah yang benar dan yang bagus. Ia terdidik diatas sifat yang keji itu. Orang yang seperti ini, hampir-hampir tidak dapat mengobatinya. Dan tidak dapat diharap akan baiknya, kecuali jarang sekali. Yang demikian itu, karena berlipat-gandanya sebab-sebab kesesatannya.
Tingkat keempat: bahwa ia serta pertumbuhannya pada pikiran yang batil dan terdidiknya diatas perbuatan yang demikian, ia melihat keutamaan itu pada banyaknya kejahatan dan merusakkan diri. Ia membanggakan diri dengan perbuatan yang demikian. Ia menyangka, bahwa dengan demikian pangkatnya terangkat tinggi. Inilah tingkat yang paling sukar. Orang yang seperti ini dikatakan: “Sukarlah melatih orang tua dan termasuk penyiksaan mendidik orang dungu”. Yang pertama dari mereka tadi adalah orang bodoh saja. Yang kedua, orang bodoh dan sesat. Yang ketiga, bodoh, sesat dan fasik. Dan yang keempat, bodoh, sesat, fasik dan jahat. Adapun khayalan yang lain, yang mereka ambil menjadi dalil, ialah kata mereka, bahwa: manusia selama ia hidup, tidaklah terputus daripadanya nafsu keinginan, amarah, cinta dunia dan akhlak-akhlak lainnya. Maka ini adalah salah, yang menjadi pegangan bagi suatu golongan. Mereka menyangka, bahwa yang dimaksud dengan mujahadah, ialah mencegah dan menyapu sifat-sifat tersebut secara keseluruhan. Amat jauh yang demikian ! Sesungguhnya nafsu syahwat itu dijadikan karena ada faedahnya. Yaitu penting dalam tabiat manusia. Kalau putuslah nafsu keinginan makan, tentu manusia itu binasa. Kalau putuslah syahwat bersetubuh, niscaya putuslah keturunan. Kalau hilanglah sifat kemarahan secara keseluruhan, niscaya manusia tidak akan mempertahankan dirinya daripada yang membinasakannya. Dan binasalah dia. Manakala pokok nafsu syahwat masih ada, maka tidak mustahil kecintaan kepada hartapun tetap ada, yang menyampaikannya kepada nafsu syahwat. Sehingga yang demikian, membawanya untuk menahan harta. Dan yang dicari bukanlah menjauhkan yang demikian secara keseluruhan. Tetapi yang dicari, ialah mengembalikannya kepada kelurusan (yang sedang), yaitu: yang ditengah-tengah, antara bersangatan dan berkekurangan. Dan yang dicari pada sifat amarah, ialah bagusnya menahan diri. Yang demikian, ialah, bahwa ia terlepas dari tahawwur (berani membabi-buta) dan jubun (pengecut). Pendek kata, bahwa ia kuat pada dirinya. Dan beserta kekuatan itu, ia patuh kepada akalnya. Karena demikianlah Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang tiada beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Allah Ta’ala menyifatkan mereka dengan teguh dan kuat (keras atau syiddah). Sesungguhnya kekerasan itu timbul dari amarah. Kalau lenyaplah amarah, niscaya lenyaplah jihad (perjuangan). Bagaimana maka timbul maksud mencabut nafsu syahwat dan amarah secara keseluruhan ? sedang nabi-nabi as tiada terlepas dari sifat-sifat itu. Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia. Aku marah, sebagaimana manusia lain marah”. “Adalah Nabi saw apabila berkata-kata, dmana di hadapannya ada sesuatu yang tiada disukainya, niscaya beliau marah. Sehingga merahlah kedua pipinya. Tetapi beliau tiada mengatakan, selain yang benar. Adalah Nabi saw kemarahannya tiada mengeluarkannya dari kebenaran”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya serta orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Tuhan tiada berfirman: “Orang-orang yang tiada marah”. (tetapi: yang sanggup menahan marahnya). Kemarahan dan nafsu keinginan itu dikembalikan kepada batas kelurusan, dimana masing-masing yang dua tadi, tidak memaksakan akal dan tidak mengalahkan akal. Tetapi akallah yang mengekang keduanya. Dan yang menang terhadap sifat marah nafsu keinginan itu, merupakan suatu kemungkinan. Itulah yang dimaksudkan dengan: pengobatan akhlak. Kadang-kadang nafsu keinginan itu menguasai manusia, dimana akalnya tidak kuat menolaknya daripada terhamparnya kepada perbuatan-perbuatan keji. Dan dengan latihan (riadlah), nafsu keinginan itu dapat kembali kepada kelurusan. Maka menunjukkan, bahwa demikian itu mungkin. Percobaan dan penyaksian itu menunjukkan kepada yang demikian, sebagai suatu bukti yang tidak diragukan lagi. Yang menunjukkan, bahwa yang dicari, ialah: akhlak yang ditengah-tengah, bukan dua tepinya, ialah: bahwa kemurahan itu akhlak yang terpuji pada agama. Kemurahan itu ditengah-tengah diantara dua pinggirnya: boros dan kikir. Allah Ta’ala memuji kemurahan, dengan firmanNya: “Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir, tetapi pertengahan antara keduanya”. S 25 Al Furqaan ayat 67. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau jadikan tangan engkau terbelenggu ke kuduk dan jangan (pula) engkau kembangkan seluas-luasnya !”. S 17 Al Israa’ ayat 29. Begitupula, yang dicari mengenai keinginan makan, ialah: kelurusan, tiada rakus dan membeku (tidak ingin apa-apa). Allah Ta’ala berfirman: “Dan makanlah dan minumlah dan jangan melampaui batas ! sesungguhnya Allah tiada menyukai orang-orang yang melampaui batas”. S 7 Al A’raaf ayat 31. Mengenai marah, Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang yang tiada beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Nabi saw bersabda: “Pekerjaan yang terbaik, ialah yang ditengah-tengah (sedang)”. Ini mempunyai rahasia dan pentahkikan. Yaitu, bahwa: kebahagiaan itu bergantung dengan keselamatan hati, dari penghalang-penghalang alam ini. Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang beruntung, ialah orang yang datang kepada Allah, dengan hati yang bersih”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 89. Kikir itu sebagian dari penghalang-penghalang dunia. Dan boros juga termasuk sebagian dari penghalang dunia. Syarat hati itu, bahwa ia bersih dari kikir dan boros. Artinya: ia tidak berpaling kepada harta. Dan tidak loba membelanjai dan menahaninya. Orang yang loba membelanjainya, terjurus hatinya kepada membelanjainya, sebagaimana orang loba menahaninya, terjurus hatinya kepada menahaninya. Maka kesempurnaan hati, adalah bersih dari kedua sifat tersebut semuanya. Apabila tidak ada yang demikian itu di dunia ini, niscaya kita cari yang lebih menyerupai dengan tidak adanya kedua sifat tersebut dan jauh daripada kedua tepinya. Yaitu: ditengah-tengah. Air biasa (al-fatir) itu, tiada panas dan tiada dingin. Tetapi ditengah-tengah, antara panas dan dingin. Seakan-akan air biasa itu terlepas dari dua sifat tersebut. Maka begitupula: as-sakha’ (bersifat pemurah) itu, diantara sifat boros dan sifat kikir. Sifat syaja’ah, diantara jubun dan tahawwur. Dan sifat ‘iffah, diantara rakus dan beku (tidak bernafsu apa-apa). Begitupula sifat akhlak yang lain. Masing-masing dari kedua tepi pekerjaan itu tercela. Inilah yang dicari ! dan itu mungkin !. Benar, bagi guru yang menunjukkan jalan kepada muridnya, harus mencela sifat marah dengan tegas dan mencela sifat menahan harta (kikir) dengan tegas. Dan tidak memberi kesempatan sedikitpun daripadanya kepada murid itu. Karena kalau diberinya kesempatan walaupun sedikit saja, niscaya murid itu mengambil yang demikian, menjadi alasan untuk meneruskan kekikirannya dan kemarahannya. Dan ia menyangka, bahwa yang demikian itu kadar yang diperbolehkan. Apabila dimaksudkan memotong pokoknya dan dengan bersangatan yang demikian dan tidak mudah baginya, kecuali dengan memecahkan tempatnya, dimana akan kembali kepada kelurusan, maka yang benar, ialah dimaksudkan mencabut pokok itu. Sehingga mudahlah baginya batas yang dimaksud. Rahasia ini tiada terbuka bagi murid dan menjadi tempat tertipunya orang-orang dungu. Karena ia menyangka sendiri, bahwa marahnya itu benar dan menahan harta itu benar.
PENJELASAN: sebab yang dapat tercapai kebagusan akhlak.
Secara keseluruhan anda telah mengetahui, bahwa bagusnya akhlak itu kembali kepada kelurusan kuatnya akal dan sempurnanya hikmah dan kepada kelurusan kuatnya amarah dan nafsu keinginan. Dan adanya sifat-sifat itu patuh kepada akal dan juga kepada agama. Kelurusan ini berhasil dengan dua jalan:
Pertama: dengan kurnia Ilahi dan sempurnanya fithrah (kejadian), dimana manusia itu dijadikan dan dilahirkan dengan akal yang sempurna, akhlak yang baik, yang mencukupkan kekuasaan nafsu-syahwat dan amarah. Bahkan nafsu syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah manusia tersebut berilmu (alim), tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, seperti Isa anak Maryam dan Yahya anak Zakaria as. Dan begitupula nabi-nabi yang lain. Kiranya rahmat Allah kepada mereka itu semuanya. Dan tidak jauh dari kebenaran, bahwa ia berada pada tabiat dan fitrah (kejadian) itu, kadang-kadang ia capai dengan usaha. Banyak anak kecil yang lahir dengan cara bicaranya yang benar, pemurah dan berani. Kadang-kadang dijadikan sebaliknya. Lalu sifat yang demikian, berhasil dengan dibiasakan dan bergaul dengan orang-orang yang berakhlak dengan akhlak-akhlak tersebut. Dan kadang-kadang yang demikian itu berhasil dengan belajar.
Jalan kedua: akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riadlah. Kami maksudkan: membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak yang dimaksud. Siapa –umpamanya-yang bermaksud supaya dirinya memperoleh akhlak kemurahan, maka jalannya, ialah: memberatkan diri melakukan perbuatan orang yang pemurah. Yaitu: memberikan harta. Lalu ia senantiasa menuntutkan dirinya dan membiasakannya, memperjuangkan dirinya pada yang demikian. Sehingga sifat tersebut menjadi tabiatnya. Mudah ia melakukannya, lalu ia menjadi seorang pemurah. Begitupula, siapa yang ingin berhasil untuk dirinya akhlak tawadlu (rendah hati, tidak menyombong). Dan selama ini sifat takabur sudah berkuasa (banyak) pada dirinya. Maka jalannya, ialah: membiasakan diri dalam waktu yang cukup lama, kepada perbuatan orang-orang yang rendah hati. Memperjuangkan dirinya dan memaksakannya, sehingga akhlak tersebut menjadi akhlaknya dan tabiatnya. Lalu mudahlah dilaksanakannya. Semua akhlak yang terpuji pada agama itu dapat berhasil dengan jalan tersebut. Tujuannya, ialah: bahwa perbuatan yang timbul daripadanya itu menjadi enak. Orang yang pemurah, ialah orang yang merasa enak memberikan harta yang diberikannya, tanpa ada perasaan paksaan. Orang yang rendah hati, ialah: orang yang merasa enak dengan sifat rendah hati (tawadlu’). Akhlak keagamaan pada diri seseorang, tidak akan melekat, selama tidak dibiasakan oleh diri semua adat kebiasaan yang baik. Dan selama tidak ditinggalkan semua perbuatan yang jelek. Dan selama tidak dibiasakan, sebagai yang dibiasakan oleh orang yang rindu kepada perbuatan-perbuatan yang baik. Ia merasa nikmat dengan perbuatan-perbuatan yang baik, benci kepada perbuatan-perbuatan yang keji dan merasa tidak enak dengan perbuatan-perbuatan tersebut, sebagaimana Nabi saw bersabda: “Dijadikan ketetapan mataku (kesenanganku) pada sembahyangnya”. Manakala adalah ibadah dan meninggalkan yang terlarang itu dengan perasaan tidak senang dan merasa berat, maka itu adalah kekurangan. Dan kesempurnaan kebahagiaan tidak akan tercapai dengan demikian. Benar, rajin beribadah dan meninggalkan yang terlarang dengan perjuangan (mujahadah) itu baik. Akan tetapi baiknya itu dibandingkan kepada meninggalkannya, tidak dengan dibandingkan kepada mengerjakannya dengan ketaatan (penuh kepatuhan). Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu berat, selain bagi orang-orang yang tunduk hatinya (khusyu’) kepada Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 45. Nabi saw bersabda: “Sembahlah Allah (beribadahlah) dengan segala kerelaan hati ! jikalau engkau tidak sanggup, maka dengan bersabar diatas apa yang tiada engkau sukai itu, banyak kebajikannya”. Kemudian, tiada mencukupi memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan diatas bagusnya akhlak, oleh keenakan taat dan kebencian kepada perbuatan maksiat, pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain. Tetapi seyogyalah ada yang demikian itu berkekalan dan dalam jumlah umur. Manakala umur itu lebih panjang, maka perbuatan utama itu lebih meresap dan lebih sempurna. Karena itulah, ketika Nabi saw ditanyakan tentang kebahagiaan, lalu beliau menjawab: “Panjang umur dalam mentaati Allah Ta’ala”. Karena itulah, nabi-nabi dan wali-wali tidak suka mati. Karena dunia itu tempat bercocok tanam (mazra’ah) bagi akhirat. Dan manakala adalah ibadah itu bertambah banyak dengan panjang umur, niscaya pahalanya adalah lebih banyak, jiwa lebih bersih dan suci. Dan akhlak lebih kuat dan lebih meresap. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari ibadah itu, ialah membekasnya pada hati. Dan membekasnya itu menjadi lebih kuat, dengan banyaknya membiasakan (muwadhabah) pada ibadah. Dan tujuan akhlak ini, ialah terputusnya kecintaan dunia dari diri. Dan meresaplah padanya kecintaan kepada Allah Ta’ala. Maka tiada suatupun yang paling dicintainya, selain ingin bertemu dengan Allah Azza Wa Jalla. Ia tiada menggunakan semua hartanya, selain pada jalan yang menyampaikanNya kepada Allah. Amarah dan nafsu syahwatnya itu termasuk yang diberikan kepadanya. Maka tidak dipergunakannya, selain pada jalan yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, ialah dengan ditimbang menurut timbangan agama dan akal. Kemudian, ia bergembira sesudah itu dan merasa enak. Dan tiada seyogyalah bahwa kesudahan shalat itu jauh dari batas, yang menjadi ia ketetapan matanya (kesenangannya). Dan kesudahan semua ibadah itu enak (penuh kelezatan). Sesungguhnya adat kebiasaan itu menghendaki pada diri seseorang akan keajaiban-keajaiban, yang lebih ganjil dari itu. Kita melihat raja-raja dan orang-orang yang hidup dalam kesenangan, selalu dalam kegundahan hati. Dan kita melihat penjudi yang sudah failit, kadang-kadang lebih banyak kegembiraan dan kelezatan dengan judinya dan apa yang padanya, akan hal yang rasanya beratlah kegembiraan manusia dengan tanpa judi. Sedang judi itu kadang-kadang menghabiskan hartanya, menghancurkan rumah-tangganya dan membuatnya failit tiada mempunyai harta lagi. Dalam pada itu, ia menyukai judi dan merasa enak dengan judi itu. Sebabnya yang demikian, karena lamanya ia bermain judi dan menggunakan dirinya kepada judi pada masa yang panjang. Begitupula, orang yang suka bermain-main di hammam (tempat permandian umum). Kadang-kadang ia berdiri sepanjang hari pada panas matahari, berdiri dengan kedua kakinya dan ia tiada merasa sakit. Karena gembiranya melihat burung, gerak-gerik burung, terbangnya dan meninggi terbangnya di udara tinggi. Bahkan kita melihat orang fasik yang suka mengambil harta orang, yang merasa bangga dengan pukulan dan potong tangan yang diperolehnya. Dan sabar dengan cambuk dan dibawa ke tiang gantungan. Dalam pada itu, ia membanggakan diri dan dengan kuat sabarnya diatas yang demikian. Sehingga ia melihat yang demikian itu, merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya. Dan salah seorang dari mereka dipotong berpotong-potong, supaya ia mengaku dengan apa yang dilakukannya atau dilakukan oleh orang lain. Maka ia terus-menerus tiada mau mengaku dan tiada menghiraukan dengan siksaan-siksaan. Karena kegembiraan, lantaran dipandangnya yang demikian itu suatu kesempurnaan, keberanian dan kejantanan. Lalu segala hal-ikhwalnya serta larangan yang ada padanya, menjadi kesenangannya dan sebab kebanggaannya. Bahkan tiada hal yang lebih keji dan buruk, dari halnya laki-laki yang membuat dirinya serupa dengan wanita, tentang mencabut bulu, mencat muka dan bergaul dengan wanita-wanita. Lalu anda melihat laki-laki yang menyerupakan diri dengan wanita itu, bergembira dengan keadaannya yang demikian dan merasa bangga dengan kesempurnaannya, dapat membuat dirinya seperti wanita (takhannuts). Ia merasa bangga bersama laki-laki lain yang seperti itu. Sehingga berlakulah kesombongan dan kebanggaan itu, diantara tukang-tukang bekam dan tukang-tukang sapu, sebagaimana berlakunya diantara raja-raja dan ulama-ulama. Semua itu natijah (hasil) dari kebiasaan dan kerajinan diatas suatu jalan, yang terus-menerus, pada masa yang panjang. Dan yang demikian dapat dipersaksikan pada orang-orang yang sama-sama bercampur-gaul dan dalam bidang pengetahuan. Apabila diri, disebabkan adat-kebiasaan, merasa enak dengan yang batil, cenderung kepada yang batil dan kepada perbuatan keji, maka bagaimana pula ia tidak merasa enak kepada kebenaran, jikalau ia dikembalikan kepada kebenaran, pada sewaktu-waktu dan diharuskan rajin mengerjakannya ? bahkan kecenderungan diri kepada hal-hal yang keji itu, adalah diluar dari tabiat manusia, yang menyerupai kecenderungan kepada memakan tanah. Kadang-kadang yang demikian telah banyak terjadi pada sebahagian manusia, disebabkan oleh adat kebiasaan. Adapun kecenderungannya kepada hikmah, kepada kecintaan kepada Allah Ta’ala, kepada ma’rifah dan beribadah kepadaNya, maka adalah seperti kecenderungan kepada makanan dan minuman. Itu adalah dikehendaki oleh tabiat hati manusia. Itu adalah urusan ketuhanan (amrun rabbaniyyun). Kecenderungan kepada yang dikehendaki oleh nafsu syahwat, adalah asing dari diri manusia dan hal yang datang kepada tabiat manusia. Sesungguhnya makanan hati itu hikmah, ma’rifah dan kecintaan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Tetapi hati itu berpaling dari kehendak tabiatnya, karena penyakit yang hinggap padanya, sebagaimana kadang-kadang penyakit itu hinggap pada maiddah (perut besar). Lalu tiada ingin makan dan minum. Sedang makan dan minum itu sebab untuk hidupnya. Maka tiap-tiap hati yang cenderung kepada mencintai sesuatu, selain Allah Ta’ala, niscaya ia tidak terlepas dari penyakit, menurut kadar kecenderungannya. Kecuali apabila yang paling dicintainya itu, karena menolongnya kepada mencintai Allah Ta’ala dan agamaNya. Maka ketika itu, tidaklah yang demikian, menunjukkan kepada sakit. Jadi, dengan ini anda dapat mengetahui dengan pasti, bahwa budi pekerti yang baik ini, mungkin diusahakan dengan latihan (riadlah). Yaitu: pada permulaannya, segala perbuatan yang timbul daripadanya, dilaksanakan dengan perasaan berat. Supaya pada kesudahannya menjadi tabiat (dapat dilaksanakan dengan mudah, sudah menjadi kebiasaan). Ini adalah diantara hal-hal yang mengherankan dalam hubungan diantara hati dan anggota badan. Ya’ni: jiwa dan badan manusia. Semua sifat yang timbul pada hati itu, melimpah bekasnya pada anggota badan. Sehingga –sudah pasti mustahil lagi –anggota badan itu bergerak, selain bersesuaian dengan jiwa. Semua perbuatan yang berlaku pada anggota badan, maka bekasnya naik kepada hati. Dan urusan itu berputar pada hati. Hal itu dapat diketahui dengan contoh. Yaitu: “bahwa siapa yang ingin supaya kepintaran menulis menjadi sifat kejiwaannya, sehingga ia menjadi penulis dengan tabiat dirinya, maka tiada jalan lain, kecuali bahwa ia melaksanakan dengan anggota tangan, apa yang dilaksanakan oleh seorang penulis yang pintar. Ia harus membiasakan yang demikian pada masa yang panjang, meniru tulisan yang cantik. Pekerjaan si penulis ialah tulisan yang cantik. Lalu ia menyerupai dengan si penulis itu, dengan perasaan berat. Kemudian, selalu ia membiasakan demikian, sehingga menjadi suatu sifat yang meresap pada dirinya. Maka timbullah padanya, pada akhirnya, tulisan yang cantik, secara tabiat kebiasaannya dengan mudah, sebagaimana timbulnya pada permulaan dahulu dengan perasaan berat. Maka adalah tulisan cantik itu, yang menjadikan tulisannya cantik. Akan tetapi yang pertama dahulu dengan perasaan berat. Kecuali bekasnya naik, kepada hati. Kemudian, menurun dari hati kepada anggota badan. Lalu ia menulis tulisan cantik dengan tabiat dirinya yang mudah. Begitupula orang yang ingin menjadi ahli fiqh dengan jiwanya. Maka tiada jalan, selain berbuat seperti perbuatan para ahli fiqh. Yaitu: mengulang-ulangi fiqh, sehingga terlipat sifat fiqh pada hatinya. Lalu ia menjadi ahli fiqh dengan jiwanya (tidak sekedar ahli begitu saja). Begitupula siapa yang ingin menjadi seorang pemurah, terpelihara jiwa, penyantun dan rendah hati. Ia harus berbuat perbuatan orang-orang tersebut tadi, dengan perasaan berat pada mulanya. Sehingga yang demikian menjadi tabiatnya (sifatnya sehari-hari). Maka tiada obat bagi yang demikian, selain yang tersebut diatas. Sebagaimana penuntut ilmu fiqh, sehingga berjiwa fiqh (fiqhun-nafsi), tiada berputus asa untuk mencapai kedudukan tersebut dengan mengosongkan satu malam dan tiada akan mencapainya dengan mengulang-ulangi satu malam saja. Maka begitupula penuntut kebersihan jiwa, kesempurnaan dan penghiasan jiwa dengan perbuatan yang baik, tidak akan diperolehnya dengan ibadah satu hari. Dan ia tiada akan haram dari perbuatan yang baik itu, dengan perbuatan kemaksiatan satu hari. Itulah maksudnya perkataan kami: bahwa suatu dosa besar tiada akan mewajibkan kedurhakaan untuk selama-lamanya. Tetapi tiada berbuat satu hari, membawa akibat sebanyak tiada berbuat itu. Kemudian, dari sedikit ke sedikit membawa pula, sehingga jiwa itu suka malas dan dengan sendirinya tiada memperhatikan hasil lagi. Lalu hilanglah fadlilat fiqh. Begitupula, perbuatan-perbuatan maksiat yang kecil-kecil. Sebahagian daripadanya menghela kepada sebahagian lainnya. Sehingga pokok kebahagiaan itu lenyap, disebabkan runtuhnya pokok iman pada kesudahannya (al-khatimah). Sebagaimana mengulang-ulangi satu malam, tiada membekasnya pada jiwa fiqhnya, tetapi jiwa fiqh itu lahir sedikit demi sedikit, secara berangsur-angsur, seperti tumbuhnya badan dan tingginya tubuh, maka seperti itu pula, taat yang sekali tiada terasa membekasnya pada pembersihan jiwa dan pensuciannya pada waktu itu juga. Tetapi tiada seyogyalah dipandang hina ketaatan yang sedikit. Sesungguhnya, jumlah yang banyak daripada ketaatan itu, yang membekas. Dan jumlah yang banyak itu terkumpul dari satu-satu. Masing-masing dari satu itu mempunyai bekas. Lalu dari satu-satu ketaatan itu mempunyai bekas, walaupun tersembunyi. Maka sudah pasti masing-masingnya mempunyai pahala. Pahala itu adalah timbalan dari bekas tersebut. Begitupula perbuatan maksiat. Berapa banyak ahli fiqh (faqih), menganggap mudah, dengan mengosongkan sehari semalam (tiada membaca fiqhnya). Dan begitulah dengan berturut-turut, menangguhkan dirinya bekerja dari hari ke hari. Sehingga tabiatnya keluar, tiada menerima fiqh lagi. Begitulah, orang yang menganggap enteng terhadap perbuatan-perbuatan maksiat yang kecil-kecil. Dan membuat dirinya menangguhkan akan bertaubat nanti dari hari ke hari berturut-turut. Sehingga tiba-tiba ia disambar oleh kematian. Atau kegelapan dosa bertindis-lapis pada hatinya. Dan sudah sukar ia bertaubat. Karena yang sedikit itu membawa kepada banyak. Lalu hatinya menjadi terikat dengan rantai-rantai nafsu syahwat, yang tidak memungkinan terlepasnya dari cengkeraman kukunya. Itulah yang dimaksud dengan tertutupnya pintu taubat. Dan itulah yang dimaksudkan oleh firman Allah Ta’ala: “Dan Kami adakan tutup dihadapan dan dibelakang mereka, lalu mereka Kami tutup, sebab itu, mereka tiada menampak”. S 36 Yaa Siin ayat 9. Dan karena itulah, Ali ra berkata: “Sesungguhnya iman itu menampak pada hati sebagai titik putih. Semakin iman itu bertambah, maka putih itupun bertambah. Apabila iman seseorang hamba Allah itu telah sempurna, niscaya putihlah hatinya seluruhnya. Dan nifaq itu, sesungguhnya menampakkan pada hati sebagai titik hitam. Semakin nifaq itu bertambah, maka semakin bertambah pula hitam itu. Apabila nifaq itu telah sempurna, niscaya hitamlah hati itu seluruhnya. Apabila anda telah mengetahui, bahwa akhlak yang baik itu, sekali adanya disebabkan tabiat (karakter) dan fitrah kejadiannya, sekali adanya disebabkan oleh kebiasaan perbuatan-perbuatan yang baik. Sekali disebabkan melihat orang-orang yang berbuat baik dan menemani mereka, sedang mereka itu teman-teman kebaikan dan saudara-saudara yang menegakkan perbaikan (ishlah). Karena tabiat itu mencuri dari tabiat orang lain yang buruk dan baiknya. Maka siapa yang menonjol pada dirinya tiga arah, sehingga ia menjadi orang yang mempunyai keutamaan, pada tabiat, kebiasaan dan belajar, maka ia berada pada keutamaan yang penghabisan. Barangsiapa hina disebabkan tabiatnya dan kebetulan mempunyai teman orang-orang jahat, lalu ia belajar dari mereka itu. Dan mudahlah sebab-sebab kejahatan mengalir kepadanya, sehingga dibiasakannya. Maka orang itu pada kejauhan yang penghabisan dari Allah ‘Azza Wa Jalla. Diantara dua tingkat tersebut tadi, terdapatlah orang-orang yang bermacam-macam tentang arah-arah ini. Masing-masing mempunyai tingkat, tentang dekat dan jauhnya, menurut yang dikehendaki oleh sifat dan keadaannya. Barangsiapa berbuat seberat biji sawi kebajikan, niscaya dilihatnya. ”Maka barangsiapa berbuat seberat biji sawi kebajikan, niscaya dilihatnya. Dan barangsiapa berbuat biji sawi kejahatan, niscaya dilihatnya”. Allah tiada menganiaya mereka, tetapi mereka sendiri menganiaya dirinya”.
PENJELASAN: penguraian jalan kepada pendidikan akhlak.
Dari dahulu anda sudah mengetahui, bahwa kelurusan pada akhlak, ialah sehatnya jiwa. Dan cenderung (miring) dari kelurusan itu bencana dan penyakit pada jiwa, sebagaimana kelurusan pada sifat tubuh, adalah sehatnya tubuh. Dan miring dari kelurusan sakit pada tubuh. Maka hendaklah badan manusia kita ambil menjadi contoh ! maka kami katakan, bahwa seperti: jiwa pada pengobatannya ialah dengan menghapuskan semua perbuatan keji dan akhlak rendah dari jiwa. Dan menarik segala sifat keutamaan dan akhlak yang baik kepada jiwa. Seperti badan pada pengobatannya ialah, menghapuskan segala penyakit daripadanya. Dan mengusahakan serta menarik kesehatan kepadanya. Sebagaimana menurut biasanya sifat badan itu asalnya kelurusan. Sesungguhnya perut itu menderita kemelaratan, disebabkan hal-hal yang mendatang dari makanan udara dan hal-ihwal keadaan. Maka begitupula tiap-tiap anak itu dilahirkan, dalam keadaan kelurusan, sehat kejadian (fitrah)nya. Ibu bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Artinya: dengan kebiasaan dan pengajaran, maka perbuatan-perbuatan keji itu diperolehnya. Sebagaimana tubuh manusia itu, pada mulanya tidaklah dijadikan sempurna. Sesungguhnya ia sempurna dan kuat, dengan pertumbuhan dan pendidikan dengan makanan. Maka begitupula jiwa, dijadikan dalam keadaan kurang, yang menerima kesempurnaan. Jiwa itu sempurna dengan pendidikan, pembersihan akhlak dan pemberian makanan ilmu pengetahuan. Sebagaimana badan, kalau ia sehat, maka kedudukan dokter itu, menyiapkan undang-undang yang menjaga kesehatan. Dan kalau ia sakit, maka kedudukan dokter itu membawa kesehatan kepadanya. Maka begitupula jiwa anda, jikalah dia itu suci, bersih dan terdidik, maka seyogyalah diusahakan memeliharanya. Dan membawa tambahan kekuatan kepadanya dan mengusahakan tambahan kebersihannya. Jikalau dia itu tidak sempurna dan tidak bersih, maka seyogyalah diusahakan membawa yang tersebut tadi kepadanya. Sebagaimana penyakit yang merobah kelurusan badan, yang mewajibkan sakit itu, tidak diobati, selain dengan lawannya. Maka jikalau penyakit itu dari panas, maka diobati dengan dingin. Dan jikalau dari dingin, maka diobati dengan panas. Maka begitu pulalah perbuatan hina yang menjadi penyakit hati itu, obatnya, ialah: dengan lawannya. Maka penyakit kebodohan diobati dengan belajar. Penyakit kikir, diobati dengan kemurahan. Penyakit sombong dengan merendahkan hati. Dan penyakit rakus dengan menahan diri dengan rasa berat, dari sesuatu yang diingini. Sebagaimana harus menanggung kepahitan obat dan sukarnya bersabar dari yang dirindukan, untuk pengobatan badan yang sakit, maka begitupula harus menanggung kepahitan mujahadah dan sabar untuk pengobatan penyakit hati. Bahkan lebih utama lagi. Sesungguhnya penyakit badan itu dapat terlepas dengan mati. Sedang penyakit hati –kita berlindung dengan Allah Ta’ala –adalah penyakit yang berkekalan sesudah mati, untuk selama-lamanya. Sebagaimana tiap-tiap yang dingin itu, tidak baik untuk penyakit, yang sebab-sebabnya panas, kecuali apabila ada dalam batas yang tertentu. Dan yang demikian itu berbeda, dengan keras dan lemahnya, terus-menerus dan tidaknya, banyak dan sedikitnya. Dan harus pula mempunyai timbangan, untuk mengetahui kadar yang bermanfaat daripadanya. Dan kalau timbangannya tidak dijaga, niscaya bertambahlah kerusakan. Maka begitupula hal-hal yang bertentangan (annaqaa-idl) yang menjadi pengobatan akhlak, haruslah mempunyai timbangan (ukuran). Sebagaimana ukuran obat diambil dari ukuran penyakit, sehingga dokter tiada mengobati, sebelum ia mengetahui, bahwa penyakit itu dari panas atau dari dingin. Kalau penyakit dari panas, maka diketahuinya dari derajatnya, lemah atau kuat. Apabila ia telah mengetahui yang demikian, niscaya ia menoleh kepada keadaan badan, keadaan masa, perusahaan si sakit, umurnya dan hal-ihwalnya yang lain. Kemudian barulah diobatinya menurut hal-hal tadi. Begitupula guru (syaikh) yang ajarannya, yang menjadi dokter jiwa murid-murid dan yang mengobati hati orang-orang yang meminta petunjuk padanya, seyogyalah tidak memaksa murid-muridnya dengan latihan dan hal-hal yang memberatkan pada mata pelajaran tertentu dan pada jalan tertentu, sebelum ia mengetahui akhlak dan penyakit mereka. Sebagaimana dokter, jikalau mengobati semua orang sakit dengan semacam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit. Maka begitupula guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid-muridnya, dengan semacam saja dari latihan, niscaya membinasakan dan mematikan hati mereka. Akan tetapi, seyogyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaannya, umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupi oleh tubuhnya. Dan berdasarkan kepada yang demikian, dibina latihannya. Kalau murid itu masih permulaan, tidak mengetahui batas-batas agama, maka pertama-tama, diajarkan bersuci, shalat dan ibadah-ibadah zahiriah. Kalau ia berkecimpung dengan harta haram atau mengerjakan perbuatan maksiat, maka pertama-tama, disuruh meninggalkan perbuatan tersebut. Apabila zahiriahnya terhias dengan ibadah dan anggota tubuhnya suci daripada perbuatan maksiat zahiriah, niscaya diperhatikan dengan tanda-tanda keadaannya, kepada batiniahnya, untuk diteliti akhlaknya dan penyakit hatinya. Kalau kelihatan padanya harta berlebihan dari kadar yang dibutuhinya, maka diambil yang berlebihan itu dan diserahkan kepada amal sosial (al-khairat). Dan hatinya kosong dari harta itu. Sehingga ia tidak menoleh kepada harta itu lagi. Kalau ia kelihatan keras kepala, sombong dan mulia diri, yang mengerasi padanya, maka ia disuruh keluar ke pasar, untuk meminta bantuan pada orang dan meminta-minta. Maka sesungguhnya sifat mulia diri dan merasa diri kepala itu, tidak dihancur, selain dengan sifat hina diri. Dan tiada kehinaan yang lebih besar, dari kehinaan meminta-minta. Maka dipaksakan ia melakukan demikian beberapa lamanya. Sehingga hancurlah sifat kesombongan dan kemuliaan dirinya. Sesungguhnya sombong itu termasuk penyakit yang membinasakan. Begitupula sifat keras kepala (suka melawan). Kalau kelihatan yang menonjol pada murid itu kebersihan pada badan dan pakaiannya dan kelihatan hatinya cenderung kepada yang demikian, karena gembira dan menaruh perhatian kepadanya, niscaya murid tersebut dipergunakan untuk mengurus kamar mandi dan membersihkannya, menyapu tempat-tempat yang kotor, dibiasakan di dapur dan tempa-tempat yang berasap. Sehingga bercampur-aduklah sifat keras kepalanya pada kebersihan itu. Karena orang-orang yang membersihkan pakaiannya, menghiasinya dan mencari potongan-potongan kain yang bersih dan kain-kain sajadah yang berwarna itu, tiada berbeda diantara mereka, dengan pengantin wanita yang menghiasi dirinya sepanjang hari. Tiada berbeda diantara manusia yang menyembah dirinya atau menyembah patung berhala. Maka manakala ia menyembah selain Allah Ta’ala, niscaya ia terhijab (terdinding) dari Allah Ta’ala. Dan orang yang memelihara (membiarkan) pada kainnya sesuatu, selain dari kainnya itu halal dan suci, dimana hatinya menoleh kepadanya, maka orang tersebut sibuk dengan dirinya. Diantara latihan yang halus-halus, apabila murid itu tidak begitu mudah dengan serta-merta meninggalkan sifat keras kepala (suka melawan) atau sifat yang lain dan tidak mudah dengan sekaligus, lawan dari sifat itu, maka seyogyalah ia memindahkannya dari akhlak yang tercela itu, kepada akhlak lain yang tercela yang lebih ringan daripadanya. Seperti orang yang membasuh darah dengan kencing, kemudian ia membasuh kencing dengan air, apabila air itu tidak menghilangkan darah. Sebagaimana anak-anak di sekolah suka bermain bola, mainan tongkat dll yang serupa dengan itu, kemudian ia berpindah dari permainan, kepada perhiasan dan pakaian-pakaian yang indah. Kemudian, ia berpindah dari itu, dengan penggemaran menjadi kepala dan mencari kemegahan. Kemudian, ia berpindah dari kemegahan itu, dengan penggemaran pada akhirat. Maka begitupula, orang yang tidak membolehkan dirinya meninggalkan dengan sekaligus, maka hendaklah ia berpindah kepada sifat kemegahan diri yang lebih ringan daripadanya. Dan begitupula sifat-sifat yang lain. Demikian juga, apabila ia melihat sifat rakus kepada makanan yang mengerasi pada dirinya, niscaya mengharuskan ia berpuasa dan menyedikitkan makanan. Kemudian, ia memaksakan dirinya menyediakan makanan-makanan yang lezat dan dihidangkannya kepada orang lain. Dan dia sendiri tidak makan dari makanan-makanan itu. Sehingga dengan demikian, dapat ia menguatkan dirinya. Lalu ia membiasakan sabar dan hancurlah sifat rakusnya. Begitupula, apabila ia melihat seorang pemuda yang ingin kawin, sedang pemuda itu tidak mampu perbelanjaan. Maka disuruhnya berpuasa. Kadang-kadang nafsunya tidak tenang dengan demikian. Maka disuruhnya berbuka puasa, semalam dengan air, tanpa roti dan semalam dengan roti, tanpa air. Dan dilarangnya terus makan daging dan lauk-pauk. Sehingga dirinya hina dan nafsu syahwatnya hancur. Maka tiada obat pada permulaan keinginan yang demikian, yang lebih bermanfaat, selain dari lapar. Kalau dilihatnya sifat marah mengerasi padanya, niscaya haruslah ia bersifat sopan-santun dan berdiam diri. Dan ia dikerasi oleh orang-orang yang menemaninya, terdiri dari orang-orang yang padanya berakhlak buruk. Dan ia harus melayani orang yang buruk akhlaknya itu. Sehingga ia melatih dirinya menanggung perasaan bersama orang itu. Sebagaimana diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa ia membiasakan dirinya bersifat sopan-santun dan menghilangkan sifat kesangatan amarah dari dirinya. Lalu ia menyewa orang yang akan memaki-makinya di muka orang banyak. Dan ia memaksakan dirinya sabar dan menutup rapat amarahnya. Sehingga sifat sopan-santun itu menjadi sifat kebiasaan bagi dirinya, dimana kemudian dijadikan menjadi pepatah. Sebahagian mereka merasa dirinya pengecut dan lemah hati. Lalu ia bermaksud memperoleh akhlak keberanian bagi dirinya. Maka ia berangkat dengan jalan laut pada musim dingin, ketika ombak sedang pukul-memukul. Orang-orang Hindu yang suka beribadah, mengobati kemalasannya dari beribadah, dengan berdiri sepanjang malam sebelak kaki. Sebahagian guru (syaikh) pada permulaan keinginannya beribadah, adalah malas berdiri. Lalu mengharuskan dirinya berdiri diatas kepalanya sepanjang malam. Supaya mudah ia berdiri diatas kaki dengan penuh kepatuhan. Sebahagian mereka mengobati dirinya dari kecintaan kepada harta, dengan menjual semua hartanya dan melemparkannya dalam laut. Karena ia takut dengan membagi-bagikannya kepada manusia, akan timbul sifat kebanggaan diri dengan sifat kemurahan itu dan sifat ria dengan pemberian tersebut. Contoh-contoh ini memperkenalkan kepada anda, jalan pengobatan hati. Dan tidaklah maksud kami menyebutkan obat tiap-tiap penyakit. Sesungguhnya yang demikian, akan datang nanti pada kitab-kitab yang masih tinggal (yang akan dibicarakan). Sesungguhnya maksud kami sekarang itu, memberitahukan bahwa jalan keseluruhan pada pengobatan itu, ialah: menempuh jalan yang berlawanan dari yang diingini oleh hawa nafsu dan yang dicenderunginya. Allah Ta’ala telah mengumpulkan yang demikian semuanya dalam KitabNya yang mulia dalam suatu kalimat saja, dengan firmanNya: “Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan melarang dirinya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu). Sesungguhnya sorga tempat kediamannya”. S 79 An Naazi’aat ayat 40-41. Pokok yang penting dalam mujahadah (perjuangan) itu, penyempurnaan azam (cita-cita). Apabila ia berazam meninggalkan nafsu syahwat, maka sesungguhnya mudahlah sebab-sebabnya. Yang demikian itu, adalah percobaan dan ujian daripada Allah Ta’ala. Maka seyogyalah ia bersabar dan meneruskan. Sesungguhnya, kalau ia membiasakan dirinya, meninggalkan azam, niscaya nafsunya itu berjinakkan yang demikian, lalu rusaklah. Dan apabila berbetulan ia merusakkan azam, maka seyogyalah ia mengharuskan dirinya akan siksaan terhadap perusakan itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada penyiksaan diri (jiwa) pada “Kitab Al-Muhasabah dan Al-Muraqabah” dahulu. Dan apabila ia tidak menakutkan dirinya dengan siksaan yang mengerasinya dan baik padanya memperoleh nafsu syahwat, maka rusaklah latihan (riadlah) dengan demikian keseluruhannya.
PENJELASAN: tanda-tanda penyakit hati dan tanda-tanda kembalinya menjadi sehat.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap anggota badan itu dijadikan untuk suatu perbuatan khusus. Dan sakitnya anggota badan itu, sesungguhnya menyukarkan kepadanya perbuatan yang dijadikan baginya. Sehingga perbuatan itu tidak muncul daripadanya sekali-kali. Atau muncul dalam keadaan semacam kekacauan (idl-thirab). Maka sakit tangan itu, menyukarkan kepadanya menggenggam. Dan sakit mata itu, menyukarkan kepadanya melihat. Dan begitupula sakit hati, menyukarkan kepadanya perbuatan khusus, dimana hati itu dijadikan karenanya. Yaitu: ilmu, hikmah, ma’rifah, mencintai Allah Ta’ala, beribadah kepadaNya, merasa lezat dengan menyebutNya, mengutamakan yang demiakian diatas semua keinginan yang lain, meminta tolong dengan semua keinginan dan anggota badan kepada yang tersebut. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada Aku jadikan jin dan manusia, selain untuk beribadah (menyembah) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Pada tiap-tiap anggota badan ada faedahnya. Faedah hati itu: hikmah dan ma’rifah. Dan khasiat jiwa bagi manusia, ialah: yang membedakan manusia itu daripada hewan. Manusia tidak berbeda dari hewan, dengan kuatnya makan, bersetubuh, melihat atau lainnya. Akan tetapi, dengan mengetahui segala sesuatu, menurut yang sebenarnya. Asalnya segala sesuatu, Yang Menjadikan dan Yang mencitakannya, ialah: Allah ‘Azza Wa Jalla, yang menjadikannya segala sesuatu. Kalau ia mengenal tiap-tiap sesuatu dan ia tidak mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla, maka seakan-akan ia tidak mengenal sesuatu. Dan tanda kenal itu: cinta (mahabbah). Maka siapa yang mengenal Allah Ta’ala, niscaya ia mencintaiNya. Tanda cinta, ialah tidak mengutamakan dunia dan kecintaan-kecintaan lainnya, daripada Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Katakan: kalau bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai: kalau semua itu kamu cintai lebih dari Allah dan RasulNya dan dari berjuang di jalan Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintahNya”. S 9 At Taubah ayat 24. Maka siapa yang ada padanya sesuatu, yang lebih dicintainya daripada Allah, maka hati orang itu sakit. Sebagaimana tiap-tiap perut, yang lebih menyukai tanah dari roti dan air atau hilang keinginannya kepada roti dan air. Maka perut itu sakit. Maka inilah tanda-tanda sakit !. Dengan ini dapat diketahui, bahwa hati itu semuanya sakit. Kecuali yang dikehendaki oleh Allah (untuk tidak sakit). Hanya diantara penyakit-penyakit itu, ada yang tidak diketahui oleh yang punya penyakit itu. Dan penyakit hati, termasuk yang tidak diketahui oleh yang punyanya. Karena itulah, maka dilengahkan. Dan kalau diketahuinya, niscaya sukarlah ia bersabar atas kepahitan obatnya. Karena obat itu berlawanan dengan keinginan hawa nafsu. Yaitu: tercabutnya nyawa dari tubuh. Kalau didapatinya pada dirinya, kekuatan sabar atas hal tersebut, niscaya ia tidak memperoleh dokter yang ahli mengobatinya. Sesungguhnya dokter-dokter itu, ialah para ulama. Dan penyakit sudah menguasai para ulama itu. Maka dokter yang sakit, sedikit sekali memperhatikan kepada pengobatannya. Maka karena inilah, penyakit itu menjadi sukar diobati. Dan penyakitnya menjadi melumpuhkan. Dan ilmu ini menjadi terhapus. Dan secara keseluruhan, kedokteran hati dimungkiri dan dimungkiri penyakitnya. Lalu manusia menuju kepada mencintai dunia dan kepada amal perbuatan, yang zahiriahnya ibadah dan pada batiniahnya adat-kebiasaan dan memperlihatkan kepada orang (ria). Inilah tanda asal-usul penyakit !. Adapun tanda kembalinya menjadi sehat sesudah pengobatan, maka dilihat pada penyakit yang diobati. Kalau yang diobati itu penyakit kikir, maka itu penyakit yang membinasakan dan yang menjauhkan daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka obatnya dengan memberikan harta dan membelanjakannya. Akan tetapi, kadang-kadang harta itu diberikan, sampai kepada batas yang menjadikan ia mubazzir (membuang-buang harta). Maka mubazzir itupun menjadi penyakit pula. Lalu menjadi seperti orang yang mengobatkan dingin dengan panas, sehingga keraslah panas. Maka itupun penyakit pula. Akan tetapi, yang dicari, ialah kelurusan, diantara panas dan dingin. Begitupula yang dicari, kelurusan diantara pemborosan dan kekikiran. Sehingga berada di pertengahan. Dan dalam penghabisan jauh dari dua tepi. Kalau anda ingin mengetahui pertengahan, maka perhatikanlah kepada perbuatan yang diharuskan oleh akhlak yang ditakuti itu. Kalau perbuatan tersebut lebih mudah bagi engkau melaksanakannya dan lebih enak dari perbuatan yang menjadi lawannya, maka yang kuat pada engkau, ialah akhlak yang mewajibkan perbuatan tersebut. Misalnya: bahwa menahan harta daripada memberikan dan mengumpulkannya itu, lebih enak dan lebih mudah bagi engkau, daripada memberikannya kepada yang berhak. Maka ketahuilah, bahwa yang kuat pada engkau, ialah: akhlak kikir. Dari itu, maka tambahlah membiasakan memberi. Kalau memberi kepada yang tidak berhak, lebih enak bagi engkau dan lebih ringan kepada engkau daripada menahankannya dengan benar, maka telah kuatlah sifat boros pada engkau. Maka kembalilah kepada membiasakan: menahan (tidak memberikan). Senantiasalah hendaknya, engkau mengintip diri engkau dan mencari bukti tentang akhlak engkau, dengan memudahkan perbuatan dan menyulitkannya ! sehingga hubungan hati engkau terputus daripada menoleh kepada harta. Lalu engkau tidak cenderung kepada memberikannya dan menahankannya. Tetapi harta itu pada engkau menjadi seperti: air. Maka engkau tidak meminta pada air itu, selain menahannya karena keperluan orang yang memerlukan. Atau memberikannya karena keperluan orang yang memerlukan. Tiada yang kuat pada engkau, diantara: memberi dan menahan. Maka tiap-tiap hati menjadi seperti demikian. Maka Allah mendatangkan akan hati yang selamat dari kedudukan ini khususnya. Dan harus hati itu selamat dari akhlak-akhlak yang lain. Sehingga ia tiada mempunyai hubungan dengan suatu yang menyangkut dengan dunia. Sehingga dirinya (jiwanya) berangkat dari dunia, putus segala hubungan dengan dunia. Tiada menoleh lagi kepada dunia dan tiada merindukan kepada sebab-sebab dunia. Maka ketika itu, ia kembali kepada Tuhannya, sebagai kembalinya jiwa yang tenang (an-nafsul-muthmainnah), yang rela, direlakan, yang masuk dalam rombongan hamba Allah yang muqarrabin, dari nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Dan baiklah mereka itu menjadi teman. Tatkala pertengahan yang hakiki diantara dua tepi itu sangat sukar, bahkan lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang, maka tak dapat dibantah lagi, bahwa siapa yang bertahta diatas jalan lurus (ash-shiraathal-mustaqiim) ini, di dunia, niscaya ia akan memperoleh seperti jalan ini di akhirat nanti. Sedikitlah hamba itu terlepas dari kemiringan pada jalan lurus. Ya’ni: jalan pertengahan. Sehingga ia tidak miring kepada salah satu dari dua pinggir. Lalu hatinya tersangkut pada pinggir yang miring ia kepadanya. Maka karena itulah, manusia tiada terlepas daripada azab apa saja dan singgah di neraka, walaupun itu seperti kilat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan. Akhirnya Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan)”. S 19 Maryam ayat 71-72. Artinya: orang-orang yang lebih banyak dekatnya kepada jalan lurus, daripada jauhnya. Dan karena sukarnya kelurusan (al-istiqamah) itu, maka haruslah bagi masing-masing hamba Allah, berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari 17 kali, dalam bacaannya –“Ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Karena wajiblah membaca “Al-Fatihah” pada tiap-tiap rakaat shalat 5 waktu. Diriwayatkan, bahwa sebahagian mereka bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! engkau telah bersabda: “Beruban kepalaku oleh Surat Hud (Syayyabatnii Huudu)’. Mengapakah engkau bersabda demikian ?”. Nabi saw menjawab: “Karena firman Allah Ta’ala: “Beristiqamahlah (berpegang pada jalan lurus atau bertetap pendirian), sebagaimana yang diperintahkan kepada engkau !”. S 11 Huud ayat 112. Istiqamah diatas jalan yang lurus, adalah sangat sulit. Tetapi seyogyalah manusia berusaha mendekati jalan lurus, jikalau ia tidak mampu pada hakekat jalan lurus itu. Maka tiap-tiap orang yang ingin terlepas (dari keburukan), maka kelepasan itu tidak ada, selain dengan amal-shalih (perbuatan yang baik). Dan perbuatan baik itu tidak timbul, selain dari akhlak yang baik. Maka hendaklah masing-masing manusia mencari sifat dan akhlaknya ! hendaklah dihitungkannya dan diusahakannya dengan pengobatan, satu demi satu menurut tertibnya ! Kita bermohon pada Allah Yang Maha Pemurah, menjadikan kita termasuk orang-orang muttaqin !
PENJELASAN: jalan yang memperkenalkan manusia akan kekurangan dirinya.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla apabila berkehendak kebajikan pada hambaNya, niscaya diperlihatkanNya kekurangan-kekurangan diri hamba itu. Siapa yang penglihatan mata hatinya tembus, niscaya tidak tersembunyilah kepadanya kekurangan-kekurangannya. Maka apabila ia sudah mengetahui kekurangan-kekurangannya, niscaya memungkinkan ia mengobatinya. Akan tetapi, kebanyakan makhluk itu tidak mengetahui kekurangan dirinya. Seseorang mereka itu melihat abu pada mata saudaranya dan tidak melihat pelapah kurma pada matanya sendiri. Maka barangsiapa bermaksud mengetahui kekurangan dirinya, maka baginya 4 jalan:
Pertama: bahwa ia duduk dihadapan guru (syaikh) yang melihat kekurangan diri, yang memperhatikan bahaya-bahaya yang tersembunyi. Dan ia menetapkannya yang demikian pada dirinya. Dan ia turut petunjuknya pada mujahadahnya. Dan inilah keadaan murid bersama syaikhnya dan anak didik bersama ustadznya. Maka ia diperkenalkan oleh ustadz dan syaikhnya akan kekurangan dirinya. Dan ia diperkenalkan jalan pengobatannya. Dan ini sukar sekali diperoleh pada masa sekarang !
Kedua: bahwa ia mencari teman yang benar, yang melihat (bermata-hati) dan yang beragama. Lalu dijadikannya temannya itu pengintip terhadap dirinya, untuk memperhatikan hal-ikhwal dan perbuatannya. Maka apa yang tiada disukai, daripada akhlak, perbuatan dan kekurangan-kekurangannya, baik batin ataupun zahir, diberitahukannya kepadanya. Begitulah diperbuat oleh orang-orang cerdik dan orang-orang besar dari pemuka-pemuka agama. Umar ra berkata: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada orang yang menunjukkan kepadaku kekuranganku”. Ia bertanya kepada Salman Al-Farisi tentang kekurangannya. Tatkala Salman datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah yang sampai kepadamu tentang diriku, yang tiada kamu sukai ?”. Salman meminta, supaya Umar tiada memperkatakan tentang itu. Tetapi Umar mendesak menanyakannya. Lalu Salman menjawab: “Sampai kepadaku, bahwa engkau mengumpulkan dua makanan diatas suatu meja makan. Dan engkau mempunyai dua tempat, suatu tempat siang dan suatu tempat malam”. Kemudian, Umar bertanya pula: “Adakah sampai kepada engkau yang lain dari itu ?”. Salman menjawab: “Tidak !”. Lalu Umar berkata: “Dua tadi sudah cukup bagiku”. Adalah Umar ra bertanya kepada Huzaifah, seraya berkata kepada Huzaifah: “Engkau teman rahasia Rasulullah saw mengenai orang-orang munafik. Adakah engkau melihat pada diriku sesuatu bekas nifaq (munafiq) itu ?”. Sedang Umar ra begitu mulia pangkatnya dan demikian tinggi kedudukannya. Begitulah Umar ra menuduh dirinya ! tiap-tiap orang yang sempurna akalnya dan tinggi kedudukannya, adalah sangat sedikit membanggakan diri dan sangat besar menuduh (memperhatikan keburukan) dirinya sendiri. Tetapi hal yang seperti ini, sangat sukar pula dijumpai. Sangat sedikit pada teman-teman, orang yang meninggalkan berminyak air (bersifat palsu). Lalu ia menerangkan kekurangan atau meninggalkan kedengkian. Lalu tiada menambahkan dari kadar yang perlu. Maka tiada terlepas pada teman-temanmu, orang yang dengki atau mempunyai maksud tertentu, yang memandang yang bukan kekurangan itu kekurangan. Atau teman yang berminyak air (palsu), yang menyembunyikan tentang dirimu, sebahagian kekuranganmu. Karena itulah, maka Daud Ath-Thai mengasingkan diri dari manusia. Orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tiada bercampur-baur dengan manusia ?”. Daud Ath-Thai menjawab: “Apakah yang akan aku perbuat dengan golongan-golongan itu, yang menyembunyikan daripadaku kekuranganku ?”. Adalah keinginan kaum agama itu, dapat menyadari kekurangan dirinya, dengan diberitahukan oleh orang lain. Dan telah menjadi kenyataan pada orang-orang seperti kita sekarang, bahwa yang sangat tidak disenangi, ialah orang yang menasehati kita dan memberitahukan kepada kita akan kekurangan kita. Ini hampir menjadi pertanda yang terang, dari kelemahan iman. Sesungguhnya akhlak jahat itu ular dan kalajengking yang menyengat. Kalau ada orang yang memberitahukan kepada kita, bahwa dibawah kain kita ada kalajengking, tentu kita terima perkataan itu sebagai suatu nikmat. Dan kita merasa senang sekali. Dan kita berusaha menghilangkan kalajengking tadi, menjauhkannya dan membunuhnya. Penganiayaannya itu atas badan dan kesakitannya berketerusan, sehari atau kurang dari sehari. Dan penganiayaan akhlak buruk atas lubuk hati itu, lebih ditakuti, bahwa berketerusan sesudah mati untuk selama-lamanya atau ribuan tahun lamanya. Kemudian, kita tidak merasa gembira kepada orang yang memberitahukan kepada kita akan akhlak buruk itu. Dan kita tidak berusaha menghilangkannya. Akan tetapi berusaha menghadapi penasehat tadi, seperti perkataannya kepada kita. Lalu kita berkata kepadanya: “Saudara juga berbuat begitu....begitu....!”. Dan kita sibuk bermusuhan dengan orang tersebut, tanpa mengambil manfaat dengan nasehatnya. Yang demikian, menyerupai dengan kekesatan hati yang dihasilkan oleh kebanyakan dosa. Dan pokok semua itu, ialah: kelemahan iman. Maka kita bermohon pada Allah ‘Azza Wa Jalla kiranya, kita diilhamiNya petunjuk, diperlihatkanNya kepada kita akan segala kekurangan dan dianugerahiNya kita kesibukan untuk mengobatinya. Dan diberiNya kita taufik, untuk bangun mengucapkan terima kasih (syukur) kepada orang yang memperlihatkan kepada kita akan segala keburukan kita, dengan nikmat dan kurniaNya.
Jalan ketiga: bahwa ia memperoleh faedah mengetahui kekurangan dirinya, dari perkataan (lidah) musuhnya. Sesungguhnya mata yang penuh kemarahan akan melahirkan segala keburukan. Semoga manusia lebih banyak mengambil manfaat dari musuh yang meluap-luap kemarahannya, yang menyebutkan segala kekurangannya, daripada teman yang berminyak air (palsu) yang menyanjung dan memujinya. Dan menyembunyikan segala kekurangannya. Hanya tabiat manusia sudah menjadi sifatnya, mendustakan musuhnya. Dan apa yang dikatakan musuh itu, dianggapnya dengki. Akan tetapi orang yang berpemandangan jauh (bermata hati), selalu mengambil manfaat dengan perkataan musuh-musuhnya. Karena semua kejahatannya –tak boleh tidak –akan berhamburan dari lidah musuh itu.
Jalan keempat: bahwa ia bercampur-baur dengan manusia. Semua yang dilihatnya tercela diantara orang banyak itu, maka hendaklah dicarinya pada dirinya sendiri dan disandarkannya kepadanya. Sesungguhnya orang mu’min itu, cermin orang mu’min. Lalu melihat dari kekurangan orang lain, akan kekurangan dirinya. Dan ia tahu, bahwa tabiat (karakter) itu, berdekat-dekatan tentang mengikuti hawa nafsu. Sifat yang dipunyai oleh seorang teman, senantiasa asalnya dari teman yang lain atau dari yang lebih besar daripadanya atau sedikit daripadanya. Maka hendaklah ia mencari pada dirinya dan membersihkannya dari semua yang mencelanya dari orang lain. Mencukupilah bagimu dengan yang tersebut, untuk pendidikan diri ! Kalau manusia semua meninggalkan apa yang tiada disukainya dari orang lain, niscaya mereka tiada memerlukan kepada pendidik. Orang bertanya kepada nabi Isa as: “Siapakah yang mendidik engkau ?”. Nabi Isa as menjawab: “Tiada seorangpun mendidikku. Aku melihat kebodohan orang bodoh itu suatu kekurangan, maka aku jauhkan kebodohan itu”. Ini semua adalah daya upaya orang yang tiada mempunyai guru yang arif bijaksana, yang cerdik, yang melihat kekurangan diri, yang penuh kasih sayang, yang menasehati bidang agama, yang selesai daripada mendidik dirinya, yang bekerja mendidik hamba Allah Ta’ala dan menasehati mereka. Siapa yang memperoleh orang seperti itu, maka sesungguhnya ia telah memperoleh dokter. Maka hendaklah ia tidak berpisah dengan orang itu. Orang itulah yang menyembuhkannya dari sakitnya. Dan melepaskannya daripada kebinasaan yang dihadapinya.
PENJELASAN: dalil-dalil yang diambil dari orang-orang bermata hati dan dalil-dalil agama, bahwa jalan pada pengobatan penyakit hati itu ialah: meninggalkan nafsu syahwat. Dan unsur penyakitnya, ialah menuruti nafsu syahwat.
Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan, jika anda perhatikan dengan mata yang penuh perhatian, niscaya terbukalah mata hati anda dan tersingkaplah bagi anda segala penyakit hati, sakitnya dan obatnya, dengan nur ilmu dan yakin. Jikalau anda lemah dari yang demikian, maka tidak seyogyalah anda, kehilangan pembenaran (tashdiq) dan iman, dengan jalan menemui dan mengikuti, bagi orang yang berhak mengikuti. Sesungguhnya iman itu mempunyai tingkat, sebagaimana ilmu itu mempunyai tingkat. Ilmu itu berhasil sesudah iman. Dan ilmu itu di belakang iman. Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11. Siapa yang membenarkan, bahwa menentang nafsu syahwat itu, adalah jalan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan ia tidak memperhatikan kepada sebab dan rahasianya, maka ia termasuk diantara orang-orang yang beriman. Dan apabila ia memperhatikan kepada apa yang telah kami sebutkan, tentang penolong-penolong nafsu syahwat, maka ia termasuk diantara orang-orang yang memperoleh ilmu. Masing-masing dijanjikan oleh Allah akan kebaikan (sorga). Dan yang dikehendaki iman dengan hal ini, dalam Alquran dan As-Sunnah dan ucapan para ulama itu, sangat banyak dari dapat dihinggakan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menahan dirinya dari hawa nafsu. Sesungguhnya sorga tempat diamnya”. S 79 An Naazi’aat ayat 40-41. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu orang-orang yang telah diuji oleh Allah hatinya untuk taqwa”. S 49 Al Hujuraat ayat 3. Ada yang mengatakan: dicabut oleh Allah dari hatinya kesukaan kepada nafsu syahwat. Nabi saw bersabda: “Orang mu’min itu diantara 5 kesulitan: orang mu’min sendiri yang dengki kepadanya, orang munafik yang marah kepadanya, orang kafir yang memeranginya, setan yang menyesatkannya dan hawa nafsu yang bertengkar dengan dia”. Nabi saw menerangkan, bahwa hawa nafsu itu musuh yang bertengkar, yang harus dilawannya dengan mujahadah (perjuangan yang sengit). Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud ! berilah nasehat dan peringatan kepada teman-temanmu akan memakan nafsu syahwat ! sesungguhnya hati yang tergantung akalnya dengan nafsu syahwat dunia itu, terdinding (terhijab) daripadaKu”. Nabi Isa as bersabda: “Amat baiklah orang yang meninggalkan nafsu syahwat yang sekarang, untuk memperoleh yang dijanjikan, yang ghaib, yang tidak dilihatnya”. Nabi kita saw bersabda kepada suatu kaum (orang banyak) yang datang dari perjuangan (jihad): “Selamat datang bagi kamu sekalian, yang datang dari perjuangan kecil (al-jihadul-ash-ghar) ke perjuangan besar (al-jihadul-akbar) !”. Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah perjuangan besar itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Berjuang dengan hawa nafsu”. Nabi saw bersabda: “Pejuang (al-mujahid), ialah orang yang memperjuangkan hawa nafsunya untuk mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla”. Nabi saw bersabda: “Cegahlah yang menyakiti kamu dari hawa nafsumu ! dan janganlah kamu turuti hawa nafsu itu pada perbuatan maksiat terhadap Allah ! jadi, hawa nafsu itu akan memusuhi kamu pada hari kiamat. Lalu sebahagian kamu akan mengutuki sebahagian yang lain. Kecuali diampuni oleh Allah dan ditutupNya”. Sufyan Ats-Tsuri ra berkata: “Tiada aku obati sesuatu, yang lebih sukar kepadaku, daripada hawa nafsuku. Sekali untukku (bermanfaat bagiku) dan sekali atas diriku (mendatangkan melarat atas diriku)”. Abdul Abbas Al-Maushali ra berkata kepada nafsunya: “Hai nafsu ! tidak di dalam dunia, bersama anak raja-raja engkau bersenang-senang. Dan tidak pada mencari akhirat, bersama hamba-hamba Allah, engkau bersungguh-sungguh. Seolah-olah aku dengan engkau, diantara sorga dan neraka engkau kurung. Hai nafsu ! apakah engkau tiada malu ?”. Al-Hasan Al-Basri ra berkata: “Tiadalah binatang yang sukar dikendarai, yang lebih memerlukan kepada kekang yang kuat, dari nafsu engkau sendiri”. Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata: “Berjuanglah menentang hawa nafsumu dengan pedang latihan ! dan latihan itu diatas 4 cara: yang menguatkan dari makanan, memicingkan mata dari tidur, yang perlu dari perkataan dan menahan kesakitan dari semua manusia. Dari sedikit makan itu terjadilah mati nafsu syahwat. Dari sedikit tidur, bersihlah semua kehendak. Dari sedikit berkata-kata, selamatlah dari segala bahaya. Dan dari menahan kesakitan sampailah kepada segal tujuan. Tiada suatupun yang lebih sukar atas seorang hamba, selain sopan-santun ketika kekasaran dan sabar atas kesakitan. Apabila bergerak kehendak dari nafsu syahwat dan dosa dan bergelora daripadanya keenakan perkataan yang sia-sia, niscaya dicabut pedang sedikit makan dari sarungnya tahajjud dan sedikit tidur. Dan dipukulnya dengan tangan kelesuan dan sedikit berbicara. Sehingga ia terputus dari kezaliman dan balas dendam. Lalu ia aman daripada malapetakanya, diantara manusia-manusia yang lain. Dan dibersihkannya dari kegelapan segala keinginannya. Maka terlepaslah ia dari segala tipuan bahayanya. Maka ketika itu, jadilah nafsu tadi bersih dan bercahaya, yang ringan kerohanian. Lalu ia berkeliling di lapangan kebajikan. Dan berjalan pada jalanan ketaatan. Seperti kuda, yang tangkas di lapangan. Dan seperti raja yang berjalan-jalan di taman”. Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata pula: “Musuh manusia itu 3: “dunianya, setannya dan nafsunya. Maka jagalah diri dari dunia dengan zuhud, dari setan dengan menentangnya dan dari nafsu dengan meninggalkan segala keinginan !”. Sebahagian hukama’ (ahli hikmah atau failosuf) berkata: “Siapa yang dikuasai oleh nafsu, maka ia menjadi tawanan dalam sumur keinginannya, terkurung dalam penjara kecenderungannya, dipaksakan dan diikatkan kekangnya dalam tangan hawa nafsu itu. Lalu nafsu itu menariknya menurut sekehendaknya. Maka ia mencegah hatinya dari segala yang faedah”. Ja’far bin Hamid berkata: “Telah sepakat para ulama dan hukama, bahwa nikmat (akhirat) tidak akan diperoleh, kecuali dengan meninggalkan nikmat (dunia). Abu Yahya Al-Warraq berkata: “Siapa yang merelai anggota-anggota badannya dengan nafsu syahwat, maka ia telah menanamkan dalam hatinya, pohon penyesalan”. Wahib bin Al-Ward berkata: “Apa yang berlebih dari roti, maka itu nafsu syahwat”. Dan ia berkata pula: “Siapa yang mencintai nafsu syahwat dunia, maka hendaklah ia bersiap untuk kehinaan”. Diriwayatkan, bahwa perempuan pembesar itu (tempat nabi Yusuf as pada mulanya di Mesir) berkata kepada nabi Yusuf as, sesudah nabi Yusuf as memiliki gudang kekayaan bumi dan perempuan pembesar itu duduk di tepi jalan, pada hari berjalannya rombongan Yusuf as dan adalah Yusuf as berkendaraan dalam rombongan, yang jumlahnya kira-kira 12 ribu para pembesar kerajaannya: “Maha Suci Tuhan yang menjadikan raja-raja, menjadi budak, disebabkan perbuatan maksiat. Dan menjadikan budak menjadi raja, disebabkan ketaatannya kepada Tuhan. Sesungguhnya sifat rakus dan nafsu syahwat, menjadikan raja-raja itu menjadi budak. Dan demikianlah balasan terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan. Sabar dan taqwa itu menjadikan budak menjadi raja”. Lalu Yusuf as menjawab, sebagaimana diterangkan oleh Allah Ta’ala (dalam Kitab Suci Alquran, Surat Yusuf ayat 90): “Sesungguhnya, barangsiapa yang menjaga dirinya –dari kejahatan –dan berhati teguh (sabar), maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahal orang-orang yang berbuat kebaikan”. Al-Junaid ra berkata: “Pada suatu malam aku tidak tidur. Lalu aku bangun mengerjakan shalat wiridku. Maka aku tiada memperoleh halawah (kemanisan iman) yang sudah aku peroleh sebelumnya. Lalu aku ingin tidur. Tetapi aku tidak mau tertidur. Lalu aku duduk, maka aku tidak sanggup duduk. Lalu aku keluar. Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki terbungkus dalam baju bulu, tercampak diatas jalan. Tatkala ia merasa dengan kedatanganku, lalu ia berkata: “Hai Abal-qasim ! telah tiba saatnya kepadaku”. Lalu aku menjawab: “Wahai Tuanku ! dengan tidak ada perjanjian lebih dahulu !”. Lalu orang itu menjawab: “Ada ! aku telah bermohon pada Allah ‘Azza Wa Jalla, bahwa Ia menggerakkan hatimu untukku”. Lalu aku menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berbuat demikian. Apa hajat tuan hamba ?”. Orang itu menjawab: “Kapankah penyakit nafsu itu menjadi obatnya ?”. Lalu aku menjawab: “Apabila nafsu itu menentang keinginannya”. Orang itu lalu menghadapkan kata-katanya kepada nafsunya, seraya berkata: “Dengarlah ! dengan ini, telah aku jawab kepada engkau 7 kali. Tetapi engkau enggan mendengarnya, kecuali dari Al-Junaid. Nah, sekarang engkau telah mendengar daripadanya”. Kemudian orang itu pergi dan aku tidak mengenalnya”. Jazid Ar-Raqasyi berkata: “Untukmu air dingin di dunia, tidak untukku. Mudah-mudahan aku memperolehnya di akhirat nanti”. Seorang laki-laki bertanya kepada Umar bin Abdul-aziz ra: “Kapankah aku berbicara ?”. Umar bin Abdul-aziz ra menjawab: “Apabila engkau ingin diam”. Orang itu bertnaya lagi: “Kapankah aku diam ?”. Umar menjawab: “Apabila engkau ingin berbicara”. Ali ra berkata: “Siapa yang ingin kepada sorga, niscaya ia melupakan nafsu syahwatnya di dunia”. Adalah Malik bin Dinar berjalan-jalan di pasar. Apabila ia melihat sesuatu yang diingininya, lalu ia berkata kepada nafsunya: “Sabarlah ! demi Allah, aku tiada melarang engkau, melainkan karena kemuliaan engkau atas diriku”. Jadi, telah sepakat para ulama dan hukama’, bahwa tiada jalan kepada kebahagiaan akhirat, selain dengan mencegah nafsu dari keinginan dan menentang segala nafsu syahwat. Maka percaya dengan ini, wajib. Adapun ilmu penguraian tentang nafsu syahwat yang ditinggalkan dan yang tidak ditinggalkan itu, tidak dapat diketahui, selain dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Hasil latihan dan rahasianya ialah, bahwa nafsu itu tidak mencari kesenangan dengan sesuatu yang tidak akan diperoleh nanti di dalam kubur, kecuali sekadar perlu. Maka itu, terbatas kepada: makan, kawin, pakaian, tempat tinggal dan semua yang diperlukan, sekedar hajat dan penting. Maka sesungguhnya, kalau ia sudah memperoleh kesenangan dengan sesuatu, niscaya melekat dan hatinya jinak kepadanya. Apabila ia telah mati, maka ia bercita-cita kembali ke dunia, disebabkan sesuatu tadi. Tiada bercita-cita kembali ke dunia, selain orang yang tiada memperoleh keuntungan di akhirat dalam suatu hal pun. Dan tiada terlepas dari yang demikian, selain bahwa hati itu sibuk dengan: ma’rifah, cinta, bertafakkur dan sepenuh hati kepada Allah. Tiada tenaga untuk yang demikian, selain dengan bantuan Allah. Dan ia singkatkan dari dunia, kepada apa yang menolak segala penghalang dzikir dan pikiran saja. Siapa yang tidak sanggup diatas hakekat yang demikian, maka hendaklah didekatinya ! manusia padanya 4 macam:
Pertama: orang yang terbenam hatinya dengan mengingati (dzikir) kepada Allah. Ia tiada menoleh kepada dunia, selain pada yang penting untuk penghidupan. Orang ini termasuk orang-orang shiddiqin. Dan tiada sampai kepada tingkat ini, selain dengan latihan panjang dan sabar atas segala keinginan pada waktu yang lama.
Kedua: orang yang telah terbenam dunia dalam hatinya. Dan tiada lagi tinggal dzikir kepada Allah Ta’ala dalam hatinya, selain dari sekadar pembicaraan diri (hadidsin-nafsi), dimana ia menyebutkanNya dengan lidah, tidak dengan hati. Orang ini, termasuk orang-orang yang binasa.
Ketiga: orang yang berbuat untuk dunia dan agama. Akan tetapi yang banyak pada hatinya, ialah: agama. Maka orang ini, tak boleh tidak, datang di neraka. Tetapi ia bebas dari neraka dengan segera, menurut banyak dzikirnya kepada Allah Ta’ala dalam hatinya.
Keempat: orang yang berbuat dengan dunia dan agama bersama-sama. Tetapi lebih banyak dunia dalam hatinya. Orang ini lama tinggalnya di neraka. Tetapi –tiada mustahil –ia akan keluar dari neraka, karena kuat dzikirnya kepada Allah Ta’ala dalam hatinya dan mantapnya dzikir itu dalam lubuk hatinya. Walaupun ingatan kepada dunia itu, lebih banyak pada hatinya. Wahai Allah Tuhanku ! kami berlindung dengan Engkau dari azab Engkau !”. Sesungguhnya Engkaulah tempat berlindung ! mungkin ada orang yang berkata, bahwa bersenang-senang dengan hal mubah (yang dibolehkan oleh agama) itu dibolehkan. Maka bagaimana bersenang-senang itu, menjadi sebab jauhnya daripada Allah ‘Azza Wa Jalla ? Itu adalah khayalan lemah. Bahkan mencintai dunia itu kepala semua kesalahan dan sebab batalnya semua kebaikan. Hal mubah yang keluar dari sekedar diperlukan, juga termasuk sebahagian dari dunia. Dan menjadi sebab jauhnya daripada Allah Ta’ala. Dan akan datang uraian itu pada Kitab Celaan Dunia nanti. Ibrahim Al-Khawwash berkata: “Pada suatu kali aku berada pada pergunungan Al-Lukam (di Syria). Lalu aku melihat buah delima. Maka timbul keinginanku kepada buah delima itu. Lalu aku ambil sebuah, aku belah dan aku dapati rasanya masam. Lalu aku pergi dan aku tinggalkan buah delima itu. Maka aku lihat seorang laki-laki tercampak diatas tanah dan telah berkumpul lalat-lalat atas badannya. Maka aku memberi salam, dengan ucapan: “Assalamu ‘alaika”. Lalu ia menjawab: “Wa ‘alaikas-salamu ya Ibrahim !”. Maka aku bertanya: “Bagaimana engkau mengenal aku ?”. Lalu ia menjawab: “Siapa yang mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya tiada suatupun tersembunyi kepadanya”. Maka aku menjawab: “Aku melihat bagimu suatu hal serta Allah ‘Azza Wa Jalla. Jikalau kamu bermohon kepadaNya, untuk dipeliharaNya engkau dari lalat-lalat ini”. Lalu ia menjawab: “Akupun melihat bagimu suatu hal serta Allah ta’ala. Jikalau engkau bermohon kepadaNya, untuk dipeliharaNya engkau dari keinginan kepada buah delima. Sesungguhnya sengatan delima akan didapati oleh manusia sakitnya pada hari akhirat. Sedang sengatalan lalat, akan didapati sakitnya di dunia. Lalu aku tinggalkan orang tersebut dan aku pergi”. As-Sirri berkata: “Aku semenjak 40 tahun yang lampau, diminta oleh nafsuku, supaya aku membenamkan roti dalam air manisan. Maka aku tidak makan roti yang demikian itu”. Jadi, tidak mungkin memperbaiki hati untuk menempuh jalan akhirat, sebelum nafsu dilarang bersenang-senang dengan hal mubah. Sesungguhnya nafsu, apabila tidak dilarang dari sebahagian hal-hal mubah, niscaya nafsu itu loba pada hal-hal yang terlarang. Siapa yang bermaksud memelihara lidahnya daripada mengumpat dan kata-kata yang tidak perlu, maka menjadi haknya, bahwa ia harus diam, selain dari dzikir kepada Allah Ta’ala dan hal-hal yang penting pada agama. Sehingga matilah keinginannya berkata-kata. Ia tidak berkata-kata, selain yang benar. Lalu diamnya itu adalah ibadah dan perkataannya pun adalah ibadah. Manakala mata membinasakan melemparkan pandangannya kepada tiap-tiap sesuatu yang baik, niscaya mata itu tidak menjaga pandangannya kepada apa yang tidak halal. Begitupula keinginan-keinginan yang lain. Karena yang dia ingini akan yang halal, barang itu pulalah yang dia ingini akan yang haram. Keinginan (syahwah) itu satu. Dan haruslah kepada hamba Allah, mencegahnya dari yang haram. Kalau syahwah itu tidak dibiasakan terbatas kepada syahwah sekedar yang penting, maka syahwah itu akan mengalahkannya. Inilah salah satu bahaya hal-hal yang mubah. Dan disebaliknya terdapat bahaya-bahaya besar, yang lebih besar dari yang tersebut tadi. Yaitu: nafsu itu gembira dengan bersenang-senang di dunia. Ia cenderung kepada dunia dan merasa tentram kepada dunia, dengan kegembiraan dan kebatilan. Sehingga nafsu itu menjadi mabuk, seperti orang mabuk yang tidak sembuh dari kemabukannya. Kesenangan duniawi itu racun yang membunuh, yang mengalir dalam urat. Lalu keluarlah dari hati, ketakutan, kegundahan, ingatan kepada mati dan huru-hara hari kiamat. Inilah, yang dinamakan: mati hati. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka rela dengan kehidupan yang dekat (dunia) dan sudah merasa tentram dengan itu”. S 10 Yunus ayat 7. Allah Ta’ala berfirman: “Sedangkan kesukaan kehidupan dunia ini dibandingkan dengan akhirat, hanyalah sementara waktu”. S 13 Ar Ra’d ayat 26. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah olehmu, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megah antara sesama kamu, berlomba banyak kekayaan dan anak-anak; perumpamaannya bagai hujan, yang menakjubkan orang-orang kafir, melihat tumbuh tanamannya, kemudian itu menjadi kering dan engkau lihat kuning warnanya, lalu menjadi hancur. Dan dihari akhirat siksa yang sangat keras (untuk orang yang bersalah) dan ampunan dari Tuhan dan keridhaan (untuk orang yang mengerjakan kebaikan). Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan tipuan semata”. S 57 Al Hadiid ayat 20. Semua yang tersebut itu adalah celaan kepada dunia. Kita bermohon kepada Allah akan keselamatan. Maka orang-orang yang berhati teguh kuat, mencoba hatinya mendatangi dunia pada waktu senang. Lalu mereka memperoleh hatinya kesat dan liar, jauh daripada memperoleh bekas pada mengingati Allah dan hari akhirat. Dan mereka mencoba hatinya pada waktu sedih. Lalu mereka memperolehnya lembut, halus, bersih, menerima bekas dzikir kepada Allah. Lalu mereka mengetahui, bahwa kelepasan itu adalah pada kesedihan yang terus-menerus, jauh dari sebab-sebab kesenangan dan tenggelam dalam kenikmatan. Lalu mereka putuskan hatinya dari kelezatan dunia. Dan membiasakannya bersabar dari segala nafsu syahwat, halalnya dan haramnya. Mereka mengetahui, bahwa yang halal itu ada perhitungan. Yang haram itu ada siksaan. Dan yang meragukan diantara keduanya itu, ada celaan. Yaitu, semacam azab juga. Siapa yang diperdebatkan hitungan amalannya di lapangan kiamat nanti, maka sesungguhnya ia telah memperoleh azab. Maka mereka melepaskan dirinya dari azab itu. Dan mereka sampai kepada kemerdekaan dan milik yang kekal di dunia dan di akhirat, dengan terlepasnya dari tawanan nafsu syahwat dan perbudakannya. Dan hati jinak dengan dzikir kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan sibuk dengan mentaatiNya. Mereka berbuat dengan nafsu syahwat, apa yang diperbuat dengan burung liar, apabila dimaksudkan mendidiknya dan mengobahkannya dari melompat-lompat dan liar, kepada menuruti dan terdidik. Maka pertama-tama, burung itu dikurung dalam sangkar gelap dan ditutup kedua matanya. Sehingga berhasil ia terputus dari dapat terbang lagi di udara lepas. Dan ia lupa dari naluri lepas bebas yang disukainya selama ini. Kemudian, disayangi dengan daging, sehingga ia jinak kepada tuannya dan disukainya benar-benar. Apabila dipanggil, ia menyahut. Dan manakala ia mendengar suara tuannya, niscaya ia kembali kepadanya. Begitupulalah jiwa, tiada jinak kepada Tuhannya dan tiada selalu berdzikir kepadaNya, selain apabila jiwa itu terlepas dari kebiasaannya. Pertama-tama dengan khilwah dan ‘uzlah (mengasingkan diri), supaya terpelihara pendengaran dan penglihatan dari segala yang disukai. Kemudian, yang kedua, jiwa itu dibiasakan dengan memuji Allah, berdzikir dan berdoa di dalam khilwah tadi. Sehingga sangatlah jinaknya dengan dzikir kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, sebagai ganti dari jinaknya dengan dunia dan keinginan-keinginan yang lain. Yang demikian itu terasa berat bagi seorang murid pada permulaannya. Kemudian, terasa nikmat pada kesudahannya. Seperti anak kecil yang dihentikan dari menyusu pada susuan ibunya, adalah sangat berat bagi anak kecil itu. Karena sesaatpun ia tidak sabar. Maka karenanya, bersangatan tangisnya dan gundahnya ketika dihentikan susuan itu. Dan anak itu sangatlah menolak makanan yang disugukan kepadanya, sebagai ganti dari susu. Akan tetapi, apabila terus tidak diberikan susu dari sehari ke sehari dan sangatlah payahnya bersabar dan ia sangat lapar, niscaya diambilnya makanan itu karena terpaksa. Kemudian, jadilah yang demikian itu menjadi tabiat baginya. Jikalau, sesudah itu ia dikembalikan kepada susuan lagi, niscaya ia tidak mau kembali kepadanya. Ia tidak menyukai lagi susuan, memandang jijik kepada susu dan menyukai makanan. Begitupula binatang kendaraan. Pada mulanya, tiada menyukai pelana, kekang dan dikendarai. Lalu, binatang itu dibawa kepada yang demikian, dengan paksaan. Ia tidak mau terlepas yang telah dijinakinya dengan rantai dan ikatan pada mulanya. Kemudian, disukainya dengan pelana itu, dimana ia ditinggalkan pada tempatnya, berhenti tanpa diikat. Maka begitupula, nafsu itu dididik, sebagaimana mendidik burung dan binatang kendaraan. Mendidiknya, ialah mencegahnya daripada memandang, menyukai dan merasa senang dengan nikmat dunia. Bahkan dengan semua yang akan diceraikannya dengan mati. Karena akan dikatakan kepadanya: “Cintailah apa yang engkau cintai. Sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia”. Apabila ia tahu, bahwa siapa yang mencintai sesuatu, yang harus akan berpisah dengan dia dan sudah pasti merasa tiada berbahagian dengan perpisahan itu, niscaya hatinya akan sibuk dengan mencintai sesuatu yang tiada akan berpisah. Yaitu: dzikir (menyebut dan mengingati) Allah Ta’ala. Sesungguhnya dzikir itu akan menemaninya dalam kubur dan tiada akan berpisah dengan dia. Semua itu, akan sempurna mula pertama dengan kesabaran dalam beberapa hari yang sedikit jumlahnya. Dan umur itu adalah sedikit sekali, apabila dibandingkan kepada masa hidup akhirat. Orang yang berakal rela menanggung kesulitan dalam perjalanan, dalam mempelajari pekerjaan tangan dan lainnya dalam waktu sebulan, untuk memperoleh kesenangan setahun atau dalam suatu masa. Semua umur dengan dibandingkan kepada suatu yang lama, adalah kurang dari sebulan, dibandingkan kepada umur dunia. Maka tak boleh tidak bersabar dan berjuang (bermujahadah). “Ketika pagi, maka kaum itu memujikan perjalanan malam. Dan hilanglah kebutaan ngantuk dari mereka”. Sebagaimana dikatakan Ali ra. Jalan mujahadah dan riadlah berbeda bagi masing-masing manusia, menurut perbedaan hal-ikhwalnya. Yang pokok, masing-masing orang meninggalkan apa yang menjadi kesenangannya dari sebab-sebab duniawi. Orang yang merasa gembira dengan harta atau kemegahan atau disebabkan diterima pada pengajarannya atau merasa mulia menjadi hakim atau menjadi penguasa atau disebabkan banyak pengikut pada mengajar dan memfaedahkan ilmu kepada orang, maka seyogyalah pertama-tama ditinggalkan apa yang menjadi kesenangannya. Karena jikalau ia dilarang dari sesuatu yang demikian dan dikatakan kepadanya: “Pahalamu di akhirat, yang tiada berkurang dengan larangan itu”, maka ia tiada merasa senang yang demikian dan merasa pedih hatinya. Maka orang itu termasuk diantara orang yang menyenangi dengan kehidupan duniawi dan merasa tentram dengan itu. Hal yang demikian membinasakan dirinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan sebab-sebab kesenangan, maka hendaklah ia mengasingkan diri dari manusia. Dan hidup sendirian dengan dirinya sendiri. Dan hendaklah ia mengintip hatinya ! sehingga ia tiada sibuk, selain dengan mengingati (dzikir) Allah dan berpikir padaNya. Dan hendaklah ia mengintip tentang nafsu syahwat dan bisikan (waswas) yang tampak pada dirinya ! sehingga dicegahnya materi tersebut manakala muncul. Karena tiap-tiap bisikan itu mempunyai sebab. Dan bisikan itu tidak akan hilang, selain dengan memotong sebab itu dan hubungannya. Hendaklah selalu berbuat demikian selama umur masih ada ! dan perjuangan (jihad) itu tiada akhirnya, selain dengan datangnya mati.
PENJELASAN: tanda-tanda kebagusan akhlak.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap manusia itu, tiada mengetahui dengan kekurangan dirinya. Apabila ia berjuang menentang nafsunya, dengan perjuangan sedikit saja, sehingga ia meninggalkan kekejian-kekejian perbuatan maksiat, kadang-kadang lalu ia menyangka sendiri, bahwa ia telah membersihkan dirinya dan membaguskan akhlaknya. Dan merasa tidak perlu lagi mujahadah. Dari itu, maka tak boleh tidak, dijelaskan tanda kebagusan akhlak. Sesungguhnya kebagusan akhlak itu, ialah iman. Dan keburukan akhlak itu, ialah nifaq (sifat orang munafiq). Allah Ta’ala menyebutkan sifat-sifat orang mu’min dan orang munafiq dalam KitabNya. Dan sifat-sifat itu pada jumlahnya, adalah buah (hasil) kebagusan akhlak dan keburukan akhlak. Maka marilah kami kemukakan sebahagian dari yang demikian, untuk diketahui tanda kebagusan akhlak. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam sembahyangnya. Dan yang menjauhkan diri dari perkataan yang kotor. Dan yang mengerjakan perbuatan suci (membayarkan zakat). Dan yang menjaga kehormatannya (tidak melepaskan syahwatnya). Melainkan kepada isterinya atau kepunyaan tangan kanannya (sahaya perempuan). Maka sesungguhnya mereka itu tiada tercela. Tetapi, orang-orang yang mencari selain dari itu, maka merekalah orang-orang yang melanggar batas. Dan orang beriman dan beruntung juga, orang-orang yang memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya serta janji yang dibuatnya. Dan yang menjaga sembahyangnya. Itulah orang-orang yang mempusakai”. S 23 Al Mukminuun ayat 1 s/d 10. Allah berfirman: “Orang-orang yang taubat (kepada Allah), orang-orang yang menyembah (Allah), orang-orang yang memuji (Allah), orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang ruku’, orang-orang yang sujud, orang-orang yang menyuruh mengerjakan perbuatan baik, orang-orang yang melarang mengerjakan kejahatan dan orang-orang yang menjaga batas-batas (aturan) Allah; sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman !”. S 9 At Taubah ayat 112. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan apabila dibacakan kepadanya keterangan-keteranganNya, bertambah keimanannya karena itu dan mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhannya. Mereka tetap mengerjakan shalat dan membelanjakan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman”. S 8 Al Anfaal ayat 2-3-4. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah, ialah mereka yang berjalan di bumi dengan sopannya dan apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan kepadanya, dijawabnya: selamat ! dan mereka yang pada malam hari menyembah Tuhan, sujud dan berdiri. Dan mereka yang berkata: “Wahai Tuhan kami ! jauhkanlah kiranya dari kami siksaan neraka. Sesungguhnya siksaan neraka itu memilukan hati. Sesungguhnya itulah kediaman dan tempat tinggal yang amat buruk. Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir, tetapi pertengahan antara keduanya. Dan mereka itu tiada menyeru tuhan yang lain di samping Allah dan tidak membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah (membunuhnya), melainkan untuk keadilan dan mereka tiada melakukan perzinaan. Dan siapa yang mengerjakan semua itu, niscaya akan menemui hukuman. Kepadanya akan diperlipat-gandakan siksaan pada hari kiamat dan mereka tetap disana dalam keadaan terhina. Kecuali orang yang telah kembali (taubat) dan mengerjakan perbuatan baik, maka kejahatan orang-orang itu diganti oleh Allah dengan kebaikan. Dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan orang yang kembali (taubat) dan mengerjakan perbuatan baik itu, maka sesungguhnya dia kembali kepada Allah dengan diterima baik. Dan mereka yang tidak mau menjadi saksi palsu dan apabila melampaui perkara yang omong kosong, mereka berlalu dengan hormatnya. Dan mereka itu, apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan, mereka tiada bersikap menulikan telinga dan membutakan mata. Dan mereka itu berkata: “Wahai Tuhan kami ! kurniakanlah kepada isteri kami dan turunan menjadi cahaya mata dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan ! mereka mendapat tempat yang tinggi, sebagai pembalasan dari kesabaran mereka dan di sana mereka akan mendapat penghormatan selamat datang dan kebahagiaan. Mereka kekal di sana. Alangkah baik kediaman dan tempat tinggalnya ! katakan: “Tuhanku tidak akan memperhatikan kamu, kalau tiada doa (ibadah) kamu. Sesungguhnya kamu telah mendustakan (Tuhan), karena itu, (hukuman) pasti datang”. S 25 Al Furqan ayat 63 s/d 77. Siapa yang menjadi pertanyaan tentang keadaannya, maka hendaklah ia mengemukakan dirinya pada ayat-ayat yang tersebut diatas. Adanya semua sifat-sifat itu menjadi tanda baik akhlaknya. Tidak adanya sifat-sifat itu, menjadi tanda buruk akhlaknya. Adanya sebahagian dan tidak adanya sebahagian menunjukkan adanya sebahagian kebaikan akhlak dan tidak baiknya sebahagian. Maka hendaklah ia  berusaha memperoleh yang tidak ada dan menjaga yang sudah ada. Rasulullah saw menyifatkan orang mu’min dengan banyak sifat. Dan dengan semua itu ditunjukkannya kepada akhlak yang baik. Beliau bersabda: “Orang mu’min itu mencintai saudaranya, apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. Nabi saw menyebutkan, bahwa sifat-sifat orang mu’min itu, ialah: kebaikan akhlak. Beliau bersabda: “Orang mu’min yang paling sempurna akhlaknya, ialah mereka yang terbaik akhlaknya”. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau melihat orang mu’min itu pendiam dan lemah lembut, maka dekatilah dia, karena dia itu akan diajarkan hikmah”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang menyenangkannya oleh kebaikannya dan memburukkannya oleh kejahatannya, maka dia adalah orang mu’min (yang sempurna)”. Nabi saw bersabda: “Tidak halal (tidak dibolehkan) bagi orang mu’min, menunjuk kepada saudaranya (sesama mu’min) dengan pandangan yang menyakitinya”. Nabi saw bersabda: “Tidak halal (tidak dibolehkan) bagi orang muslim, menakut-nakuti sesama muslim”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya duduk-duduklah dua orang yang duduk-duduk dengan amanah Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka tidak halal (tidak dibolehkan) bagi salah seseorang menyiarkan terhadap temannya, apa yang tidak disukainya”. Sebahagian mereka mengumpulkan tanda-tanda kebagusan akhlak, lalu mengatakan: “Orang yang bagus akhlak itu: banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak perbaikan, lidah banyak yang benar, sedikit bicara, banyak kerja, sedikit terperosok, sedikit hal-hal yang tidak perlu, berbuat baik, penyambung silaturrahim, lemah-lembut, penyabar, banyak berterima kasih (bersyukur), rela kepada apa yang ada, dapat mengendalikan diri ketika marah, kasih-sayang, dapat menjaga diri dan murah hati kepada fakir miskin. Tidak mengutuk orang, tidak suka memaki, tidak menjadi lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, tidak mencaci orang, tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak pendengki, tidak kikir, tidak penghasut, manis muka, bagus lidah, mencinta pada jalan Allah, benci karena Allah, rela karena Allah dan marah karena Allah”. Itulah orang yang bagus akhlak ! Ditanyakan kepada Rasulullah saw tentang tanda orang mu’min dan orang munafik, maka beliau menjawab: “Orang mu’min itu, cita-citanya pada shalat, puasa dan ibadah. Dan orang munafik, cita-citanya pada makan dan minum, seperti binatang ternak”. Hatim Al-Asham berkata: “Orang mu’min itu sibuk dengan pemikiran dan pemerhatian. Dan orang munafik itu sibuk dengan loba dan angan-angan. Orang mu’min itu tidak mengharap pada seseorang, selain pada Allah. Dan orang munafik itu mengharap pada tiap-tiap orang, selain Allah. Orang mu’min itu, tidak merasa takut pada semua orang, selain pada Allah. Dan orang munafik itu takut pada semua orang, selain pada Allah. Orang mu’min itu, memandang ringan hartanya, tidak agamanya. Dan orang munafik itu memandang ringan agamanya, tidak hartanya. Orang mu’min itu berbuat baik (berbuat ihsan) dan menangis. Dan orang munafik itu berbuat jahat dan ketawa. Orang mu’min itu menyukai khilwah dan sendirian. Dan orang munafik itu menyukai bercampur-baur dan orang banyak. Orang mu’min itu menanam dan takut kepada kerusakan. Dan orang munafik itu, mencabut dan mengharap akan panen. Orang mu’min itu, menyuruh dan melarang untuk siasah, lalu ia memperbaiki. Dan orang munafik itu, menyuruh dan melarang untuk riasah (menjadi kepala), lalu merusak”. Yang paling utama ujian baiknya akhlak, ialah: sabar atas kesakitan dan tahan atas kekasaran orang. Siapa yang mengadu dari buruknya akhlak orang lain, niscaya yang demikian itu, menunjukkan kepada buruk akhlaknya. Karena baiknya akhlak itu, tahan kesakitan. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu hari berjalan kaki bersama Anas bin Malik ra. Lalu bertemu dengan seorang Arab dusun. Maka ditariknya selimut Nabi saw dengan keras dan pada diri Nabi saw baju Najran (berasal dari negeri Najran Yaman), yang tebal pinggirnya. Anas menerangkan: “Lalu aku melihat leher Rasulullah saw, telah membekas pinggir baju itu, lantaran keras tarikannya”. Orang Arab dusun itu berkata: “Hai Muhammad ! berilah kepadaku harta Allah yang ada padamu !”. Lalu Rasulullah saw menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian, beliau menyuruh memberikannya”. Sewaktu orang Quraisy banyak menyakiti Nabi saw dan memukulinya, beliau berdoa: Ada yang mengatakan, bahwa Nabi saw mengucapkan ini pada hari perang Uhud. Karena itulah, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini kepada Nabi saw: “Dan engkau sesungguhnya mempunyai budi pekerti (akhlak) yang tinggi”. S 68 Al Qalam ayat 4. Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pada suatu hari, keluar ke padang pasir (padang sahara). Lalu seorang tentara menjumpainya, seraya bertanya: “Apakah kamu budak ?”. “Ya !”, jawab Ibrahim bin Adham. “Dimana bangunan (yang kamu kerjakan) ?”, tanya tentara itu. Lalu Ibrahim bin Adham menunjukkan ke kuburan. Tentara itu menjawab: “Yang aku maksudkan pembangunan”. Lalu Ibrahim bin Adham menjawab: “Itulah kuburan !”. Maka tentara itu marah yang demikian. Lalu dipukulnya kepala Ibrahim bin Adham dengan cambuk, sehingga berdarah. Dan dibawanya pulang ke kampung. Lalu teman-teman Ibrahim menemuinya, seraya mereka itu bertanya: “Apa kabar ?”. Lalu tentara itu menerangkan kepada mereka, apa yang dijawab oleh Ibrahim bin Adham. Lalu teman-teman itu menerangkan: “Ini Ibrahim bin Adham !”. Maka tentara itu turun dari kudanya, seraya mencium kedua tangan dan kedua kaki Ibrahim bin Adham, meminta maaf kepadanya. Lalu orang bertanya sesudah itu kepada Ibrahim bin Adham: “Mengapa tuan katakan: “Aku ini budak”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Tentara itu tidak bertanya kepadaku: “Budak siapa engkau. Tetapi ia bertanya: “Engkau budak ?”. Lalu aku menjawab: “Ya, karena aku budak (hamba) Allah. Tatkala ia memukul kepalaku, aku bermohon kepada Allah, agar untuknya sorga”. Lalu orang bertanya: “Bagaimana begitu, sedang ia telah menganiaya tuan ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Aku tahu, bahwa aku mendapat pahala, terhadap apa yang diperbuatnya pada diriku. Aku tidak menghendaki bahwa nasibku yang kuperoleh daripadanya itu baik, sedang nasibnya yang diperolehnya daripadaku itu buruk”. Abu Usman Al-Hiyari diundang pada suatu undangan. Dan yang mengundang itu ingin mencobanya. Setelah Abu Usman tiba di tempatnya, lalu pengundang itu berkata: “Saya tidak mempunyai maksud apa-apa”. Lalu Abu Usman pulang kembali. Setelah ia pergi dan belum begitu jauh, maka diundangnya kali kedua. Lalu pengundang itu berkata: “Ya tuan guru ! pulanglah !”. Lalu Abu Usman pulang. Kemudian diundangnya lagi kali ketiga, seraya ia berkata: “Pulanglah menurut yang diharuskan oleh waktu”. Abu Usman lalu kembali. Sewaktu sampai di pintu, lalu pengundang itu mengatakan seperti perkataannya pertama. Maka Abu Usmanpun kembali. Kemudian datang lagi kali keempat, lalu kembali lagi. Sampai pengundang itu memperlakukan demikian beberapa kali. Dan Abu Usman tidak berobah sikapnya dari yang demikian. Lalu pengundang itu bertekuk lutut pada dua kaki Abu Usman, seraya berkata: “Ya tuan guru ! sesungguhnya aku bermaksud, mencoba tuan. Alangkah bagusnya akhlak tuan !”. Abu Usman menjawab: “Apa yang engkau lihat daripadaku itu, adalah perangai anjing. Anjing itu sesungguhnya apabila dipanggil, ia datang. Dan apabila digertak, ia pergi”. Diriwayatkan pula tentang Abu Usman itu, bahwa pada suatu hari ia melintasi suatu jalan, lalu dicampakkan orang suatu panci abu keatasnya. Lalu Abu Usman turun dari kendaraannya dan beliau bersujud syukur. Kemudian, beliau membuang abu itu dari kainnya. Dan tiada mengatakan sesuatupun. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa tidak tuang bentak mereka itu ?”. Abu Usman menjawab: “Orang yang mustahak api, lalu didamaikan dengan abu, maka tidak boleh ia marah”. Diriwayatkan, bahwa Ali bin Musa Ar-Ridla ra, warnanya condong kepada hitam, karena ibunya hitam. Dan di Naisabur ada sebuah sumur mandi (hammam) dekat pintu rumahnya. Apabila ia bermaksud masuk hammam itu, lalu penjaga hammam mengosongkan dari orang lain. Pada suatu hari Ali bin Musa Ar-Ridla masuk ke hammam tersebut. Lalu oleh penjaga hammam itu, menutup pintunya dari luar. Dan penjaga itu pergi karena sesuatu keperluan. Lalu datanglah seorang Rustak ke pintu hammam, lalu dibukanya dan ia masuk dan membuka pakaiannya. Lalu ia masuk ke hammam. Maka dilihatnya Ali bin Musa Ar-Ridla. Dan disangkanya salah seorang pelayan hammam. Orang Rustak itu berkata kepada Ali bin Musa Ar-Ridla: “Bangun dan bawalah air kepadaku !”. Ali bin Musa lalu berdiri dan mematuhi semua yang disuruh oleh orang tersebut. Kemudian penjaga hammam itu kembali dan melihat pakaian orang Rustak itu dan mendengar kata-katanya kepada Ali bin Musa Ar-Ridla. Maka iapun takut dan melarikan diri, meninggalkan kedua orang itu di situ. Sewaktu Ali bin Musa keluar dari hammam, lalu menanyakan tentang penjaga hammam. Maka orang mengatakan kepadanya, bahwa penjaga itu takut tentang apa yang telah terjadi, lalu ia melarikan diri. Ali bin Musa menjawab: “Tiada seyogyanya ia melarikan diri. Sesungguhnya dosa adalah bagi orang yang meletakkan airnya pada budak wanita hitam”. Diriwayatkan bahwa Abu Abdillah Al-Khayyath (penjahit) duduk pada tokonya. Ia mempunyai seorang pekerja majusi (beragama Zaroaster), yang dipekerjakannya pada menjahit. Apabila orang majusi itu telah menjahit sesuatu lalu dibawanya kepada Abu Abdillah beberapa uang dirham buruk. Abu Abdillah mengambil uang itu dari orang majusi tersebut. Dan tidak diberitahukannya yang demikian dan tidak dikembalikannya kepadanya. Pada suatu hari kebetulan terjadi, bahwa Abu Abdillah pergi untuk suatu keperlua. Maka datanglah orang majusi itu. Ketika tidak didapatinya Abu Abdillah di situ, lalu diserahkannya ongkos menjahit itu kepada murid Abu Abdillah. Dan ia minta kembali pakaian yang telah dijahitnya. Dan itu adalah dirham buruk. Tatkala murid tadi melihat uang tersebut, lalu diketahuinya, bahwa itu uang buruk. Maka dikembalikannya kepada orang majusi itu. Setelah kembali Abu Abdillah, lalu murid itu menceritakannya yang demikian. Maka Abu Abdillah menjawab: “Tidak baik yang engkau perbuat itu. Orang majusi ini memperlakukan aku dengan perlakuan demikian, sejak setahun yang lalu. Aku sabar dan aku ambil dirham itu daripadanya. Aku lemparkan dalam sumur, supaya tidak tertipu dengan dirham itu, orang Islam”. Abu Yusuf bin Asbath berkata: “Tanda kebagusan akhlak itu 10 perkara: sedikit perselisihan, baik keinsyafan, meninggalkan mencari kesalahan, memandang baik apa yang nyata dari kejahatan, meminta maaf, menanggung kesakitan, kembali mencaci diri sendiri, sendirian dengan mengetahui kekurangan diri sendiri, tidak kekurangan orang lain, jernih muka untuk orang kecil dan orang besar dan lemah-lembut perkataan, terhadap orang yang dibawahnya dan orang yang diatasnya. Ditanyakan Sahl tentang kebagusan akhlak, lalu ia menjawab: “Sekurang-kurangnya menanggung kesakitan, meninggalkan meminta pembalasan, meminta rahmat kepada orang zalim, meminta ampun dosa orang zalim itu, dan kasih sayang kepadanya”. Ditanyakan kepada Ahnaf bin Qais: “Dari siapakah anda belajar sifat lemah lembut ?”. Ahnaf bin Qais menjawab: “Dari Qais bin ‘Ashim”. Lalu ditanyakan lagi: “Sampai dimana kelemah-lembutannya itu ?”. Ahnaf bin Qais menjawab: “Pada waktu ia sedang duduk di rumahnya, lalu datanglah budak wanitanya membawa besi tempat pembakar daging, yang berisi daging bakar. Lalu jatuhlah besi itu dari tangannya. Dan terjatuh atas puteranya yang masih kecil. Lalu meninggal. Lalu budak wanita itu gugup. Maka ia berkata kepada budaknya: “Engkau tak usah gugup. Engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Ada yang mengatakan, bahwa Uais Al-Qarany, apabila dilihat oleh anak-anak, lalu dilemparinya dengan batu. Ia berkata kepada anak-anak itu: “Hai saudaraku ! jikalau tak boleh tidak demikian, maka lemparilah aku dengan batu-batu kecil, sehingga kamu tidak membuat betisku berdarah. Lalu kamu mencegah aku daripada shalat !”. Seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qais. Dan Al-Ahnaf tidak menjawabnya. Ia mengikuti laki-laki itu. Dan sewaktu telah dekat dengan kampung, lalu Ahnaf berhenti, seraya berkata: “Kalau masih ada pada dirimu sesuatu, maka katakanlah ! supaya tidak didengar nanti oleh sebagian orang-orang bodoh kampung ini. Nanti disakitinya engkau”. Diriwayatkan, bahwa Ali ra memanggil seorang budak pria. Budak itu tidak menyahut, lalu dipanggilnya kali kedua dan ketiga. Tidak juga menyahut. Lalu Ali pergi kepadanya, maka dilihatnya budak itu sedang berbaring. Lalu ia bertanya: “Apakah tidak engkau dengar, wahai budak ?”. Budak itu menjawab: “Ada !”. Lalu Ali bertanya: “Apakah yang mendorong engkau, untuk tidak menyahut panggilanku ?”. Budak itu menjawab: “Aku merasa aman daripada siksaanmu, lalu aku bermalas-malas”. Maka Ali menyambung: “Kalau begitu, pergilah ! engkau merdeka karena Allah Ta’ala”. Seorang wanita berkata kepada Malik bin Dinar ra: “Hai orang yang ria !”. Malik bin Dinar menjawab: “Hai wanita ini ! engkau dapati namaku yang dipandang sesat oleh penduduk kota Basrah”. Yahya bin Ziyad Al-Harisi mempunyai seorang budak jahat. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau pegang (tidak engkau lepaskan) budak itu ?”. Yahya menjawab: “Untuk aku pelajari lemah-lembut padanya”. Maka inilah jiwa-jiwa yang telah dihinakan dengan latihan, lalu lulus akhlaknya dan bersih bathinnya daripada tipuan, kungkungan dan dengki. Maka membuahkan ridla dengan semua yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Itulah kebagusan akhlak tingkat kesudahan ! orang yang tidak menyukai dan tidak rela dengan perbuatan Allah Ta’ala, adalah orang yang paling buruk akhlaknya. Mereka itu telah menampak tanda-tanda pada zahiriahnya, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Orang-orang yang tidak menjumpai tanda-tanda pada dirinya, maka tiada seyogyanya tertipu dengan dirinya. Lalu menyangka bagus akhlaknya. Tetapi seyogyalah menggunakan waktu dengan latihan (riyadlah) dan bersungguh-sungguh (mujahadah), sehingga ia sampai kepada derajat kebagusan akhlak. Itulah derajat tinggi, yang tidak dicapai, selain oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (orang-orang muqarrabun) dan orang-orang siddik (yang membenarkan Allah).
PENJELASAN: jalan melatih anak-anak pada permulaan lahirnya, cara menyopankan dan membaguskan akhlaknya.
Ketahuilah, bahwa jalan pada melatih anak-anak itu, termasuk urusan yang sangat penting dan sangat kuat perlunya. Anak kecil adalah amanah pada ibu bapaknya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang amat berharga, halus, kosong dari semua ukiran dan gambaran. Ia menerima untuk semua yang diukirkan. Dan condong kepada semua yang dicondongkan kepadanya. Kalau anak itu membiasakan kebaikan dan mengetahui kebaikan, niscaya ia tumbuh diatas kebaikan. Ia berbahagia di dunia dan di akhirat. Ibu bapaknya, semua guru dan pendidiknya, sama-sama berkongsi pada pahala anak itu. Kalau ia membiasakan kejahatan dan ia disia-siakan seperti disia-siakan binatang ternak, niscaya anak itu celaka dan binasa. Dan dosa itu adalah pada leher orang yang mengurus dan walinya. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Bagaimanapun bapak itu memelihara anaknya dari neraka dunia maka lebih utama lagi memeliharanya dari neraka akhirat. Pemeliharaannya, ialah mendidik, mencerdaskan dan mengajarinya budi pekerti yang baik. Menjaganya dari teman-teman jahat. Tidak dibiasakan dengan kesenangan, tidak disukakannya dengan perhiasan dan sebab-sebab kemewahan. Lalu ia menyia-nyiakan umurnya mencari kemewahan, apabila ia sudah besar. Maka binasalah ia untuk selama-lamanya. Tetapi seyogyalah ia diawasi dari sejak permulaan. Tidak dipakai untuk menjaga dan menyusuinya, selain wanita shalih, beragama, makan yang halal. Karena susu yang berhasilnya dari yang haram, tak ada barakah padanya. Apabila pertumbuhan anak itu terjadi dari susu yang demikian, niscaya melekatlah kejadiannya dari yang keji. Lalu tabiatnya condong kepada yang bersesuaian dengan yang keji-keji itu. Manakala telah kelihatan fantasinya dapat membeda-bedakan sesuatu, maka seyogyalah diperbagus pengawasannya. Permulaan yang demikian, ialah timbulnya permulaan sifat malu. Apabila ia marah, malu dan meninggalkan sebagian pekerjaan, maka yang demikian itu adalah karena bersinarnya cahaya akal. Sehingga ia melihat sebagian keadaan itu keji dan menyalahi dengan sebagian yang lain. Lalu ia malu dari sesuatu dan tidak malu dari yang lain. Ini adalah pemberian Allah Ta’ala kepada anak itu ! dan suatu kegembiraan yang menunjukkan kepada kelurusan akhlak dan kebersihan hati. Ia digembirakan dengan kesempurnaan akal ketika dewasa. Maka anak kecil yang pemalu, tidaklah seyogyanya disia-siakan. Akan tetapi ditolong kepada mendidiknya dengan malu dan tamyiznya. Sifat pertama yang menonjol pada anak-anak itu, ialah: rakus kepada makanan. Maka seyogyalah ia dididik tentang makanan ini, umpamanya: bahwa anak itu tidak mengambil makanan, selain dengan tangan kanannya. Bahwa ia membaca “Bismillah” ketika mengambilnya. Bahwa ia makan makanan yang dekat dengan dia. Bahwa ia tidak tergesa-gesa kepada suatu makanan sebelum orang lain. Bahwa ia tidak menitikkan perhatian kepada sesuatu makanan dan kepada orang yang memakannya. Bahwa ia tidak makan cepat-cepat. Bahwa ia mengunyah makanan dengan baik dan tidak berturut-turut suapan. Tidak mengotorkan tangan dan pakaiannya dengan makanan. Bahwa ia membiasakan roti kering pada sebagian waktu. Sehingga ia tidak menjadi orang yang memandang harus adanya lauk-pauk. Bahwa ia memandang jelek banyaknya makan dengan diserupakannya tiap-tiap orang, yang banyak makan itu, dengan binatang ternak. Dan dengan dicelanya anak-anak dihadapannya yang banyak makan dan dipujinya anak-anak yang sopan, yang sedikit makan. Bahwa disukakan kepadanya mengutamakan makanan itu untuk orang lain dan kurang memperhatikan kepada makanan itu. Dan merasa cukup dengan makanan kasar, makanan apa saja yang ada. Dan disukakan kepadanya pakaian putih, tidak berwarna dan sutera. Ditetapkan padanya, bahwa yang demikian itu adalah keadaan wanita dan orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Bahwa orang laki-laki itu, mencegah dirinya daripada yang demikian. Dan diulang-ulanginya yang demikian kepada anak itu. Manakala terlihat pada seorang anak kecil, pakaian dari sutera atau berwarna, maka seyogyalah ditantang dan dicela. Anak kecil itu dijaga daripada bergaul dengan anak-anak kecil yang membiasakan dirinya bersenang-senang, bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan. Dan dijaga daripada bergaul dengan tiap-tiap orang, yang memperdengarkan apa yang digemarinya. Karena anak-anak itu apabila disia-siakan pada permulaan pertumbuhannya, niscaya menurut yang kebanyakan, anak itu keluar dengan buruk akhlak, pendusta, pendengki, pencuri, lalat-merah, suka meminta-minta, banyak perkataan sia-sia, suka tertawa, menipu dan banyak senda gurau. Sesungguhnya yang demikian itu, dapat dijaga dengan baiknya pendidikan. Kemudian disibukkan dia di madrasah. Maka ia mempelajari Alquran, hadits-hadits yang mengandung cerita-cerita riwayat dan hal-ihwal orang baik-baik. Supaya tertanam dalam jiwanya kecintaan kepada orang-orang shalih. Anak-anak itu dijaga daripada membaca syair-syair (pantun-pantun), yang di dalamnya disebutkan asyik-wal ma’syuk (urusan sex) dan orang-orangnya. Dan dijaga daripada bergaul dengan orang-orang sastrawan, yang mendakwakan bahwa yang demikian itu, termasuk perbuatan senda-gurau dan kehalusan tabiat. Sesungguhnya yang demikian itu, akan menanamkan bibit kerusakan dalam hati anak-anak. Kemudian, manakala telah lahir kelakuan baik dan perbuatan terpuji pada seorang anak, maka seyogyalah dimuliakan dan diberi ganjaran, dengan yang menggembirakannya. Dan dipuji dimuka orang banyak. Kalau pada sebagian keadaan, pada suatu kali anak itu menyalahi yang demikian, maka seyogyalah tidak diperhatikan (seolah-olah tidak diketahui). Tidak dirusakkan tutupnya dan tidak dibuka-bukakan. Dan tidak tampak bagi anak itu, bahwa tergambar baginya, ada seseorang yang berani melakukan seperti itu. Lebih-lebih apabila anak itu sendiri menutupinya dan bersungguh-sungguh menyembunyikan. Karena melahirkan yang demikian itu kepadanya, kadang-kadang membawa anak itu kepada keras kepala. Sehingga tidak perduli lagi dengan terbukanya keadaan itu. Maka ketika demikian, kalau diulanginya kali kedua, niscaya seyogyalah dicela secara berbisik dan dibesar-besarkan hal itu. Dan dikatakan kepadanya: “Awas, bahwa engkau ulangi lagi sesudah itu yang seperti ini ! dan bahwa dilihat orang kepada engkau, tentang hal yang seperti ini. Lalu tersiarlah keburukanmu diantara orang banyak”. Janganlah engkau membanyakkan perkataan terhadap anak itu dengan celaan, pada setiap waktu. Karena yang demikian itu, memudahkan baginya mendengar cacian dan perbuatan yang keji-keji. Dan hilanglah pengaruh perkataan itu pada hatinya. Hendaklah orang tua itu, menjaga pengaruh perkataannya dengan anak. Tidak mengejek anaknya, kecuali sewaktu-waktu. Ibu mempertakutkan anaknya kepada bapak dan menggertaknya daripada perbuatan keji. Seyogyalah anak itu dilarang tidur siang hari, karena membawa kepada kemalasan. Dan tidak dilarang tidur pada malam hari. Akan tetapi dilarang pada tempat tidur yang empuk. Sehingga keraslah anggota tubuhnya dan tidak gemuk badannya. Maka ia tidak sabar kalau tidak ada kesenangan. Akan tetapi ia membiasakan dengan tempat tidur, pakaian dan makanan kasar. Seyogyalah dilarang, dari setiap perbuatan yang diperbuatnya dengan sembunyi-sembunyi. Sesungguhnya tidak disembunyikannya suatu perbuatan, kecuali diyakininya bahwa perbuatan itu keji. Maka apabila telah dibiasakannya demikian, niscaya ia akan meninggalkan perbuatan keji. Anak itu dibiasakan pada sebagian waktu di siang hari, dengan jalan-jalan, gerak badan dan olah raga. Sehingga ia tidak menjadi malas. Dan dibiasakan, bahwa tidak terbuka anggota badannya di muka orang dan tidak berjalan cepat, tidak menjatuhkan kedua tangannya ke bawah, tetapi diletakkannya kedua tangan itu pada dada. Dilarang menyombongkan diri dengan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh ibu bapaknya atau disebabkan sesuatu dari makanannya dan pakaiannya atau batu tulis dan tintanya. Akan tetapi dibiasakan merendah-diri dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia. Dan berkata lemah-lembut dengan mereka. Dilarang anak-anak itu mengambil dari anak-anak lain, sesuatu yang kelihatannya berharga, kalau ia termasuk anak orang-orang besar. Akan tetapi diberitahukan, bahwa ketinggian derajat seorang adalah pada memberi, tidak pada mengambil. Mengambil itu tercela, keji dan hina. Kalau ia termasuk anak orang-orang miskin, maka diberitahukan, bahwa loba dan mengambil hak orang adalah hina dan rendah. Dan itu termasuk tabiat anjing. Anjing itu menggerak-gerakkan ekornya, menunggu dan mengharap sesuap makanan. Kesimpulannya, dinyatakan keji kepada anak-anak, akan cinta kepada emas dan perak dan kepada kelobaan memperoleh keduanya. Dan lebih banyak diperingati dari emas dan perak itu, dibandingkan daripada diperingati dari hal ular dan kalajengking. Karena bahaya mencintai emas dan perak dan loba untuk memperolehnya itu, lebih besar daripada bahaya racun kepada anak-anak, bahkan juga terhadap orang-orang besar. Seyogyalah anak itu dibiasakan, bahwa ia tidak meludah pada tempat duduknya. Tidak membuang hingus dan menguap dihadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang lain. Tidak meletakkan kakinya yang sebelah diatas kakinya yang sebelah lagi. Tidak meletakkan tapak tangannya dibawah dagunya. Dan tidak menegakkan kepalanya dengan lengannya. Karena yang demikian itu menunjukkan kemalasan. Dan diajarkan cara duduk dan dilarang banyak berbicara. Diterangkan kepadanya bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada kurang malu. Dan itu adalah anak-anak tercela. Dan anak itu dilarang bersumpah mutlak, baik ia benar atau bohong. Sehingga ia tiada terbiasa yang demikian, pada waktu kecil. Dilarang ia memulai berbicara. Dan dibiasakan bahwa ia tidak berbicara, selain menjawab pertanyaan orang lain dan sekedar pertanyaan. Dan bahwa ia mendengar perkataan orang lain baik-baik, manakala orang itu berbicara, orang yang lebih tua daripadanya. Dan bahwa ia berdiri untuk orang yang diatasnya. Dan bahwa ia meluaskan tempat duduk untuknya. Dan duduk dihadapannya. Dilarang anak-anak itu dari perkataan sia-sia, yang keji, dari mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat demikian. Karena tidak dapat dibantah, bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman jahat. Dan pokok pendidikan anak-anak, ialah menjaga dari teman-teman jahat. Seyogyalah, apabila anak itu dipukul oleh guru, bahwa tidak membanyakkan memekik-mekik dan berteriak-teriak. Dan tidak meminta tolong pada seseorang. Akan tetapi bersabar dan menyebutkan kepada anak itu, bahwa yang demikian adalah kebiasaan orang-orang berani dan laki-laki. Dan membanyakkan memekik-mekik itu kebiasan budak dan wanita. Seyogyalah, sesudah keluar dari sekolah, anak-anak itu diizinkan bermain-main yang baik. Ia beristirahat dari kepayahan sekolah, dimana ia tidak merasa payah dalam permainan. Sesungguhnya melarang anak-anak daripada bermain dan selalu memaksakannya belajar, akan mematikan hatinya, merusakkan kecerdikannya dan mengeruhkan hidupnya. Sehingga ia akan mencari daya upaya untuk melepaskan diri daripadanya. Seyogyalah, anak itu diajar mentaati ibu bapaknya, gurunya, pendidiknya dan setiap orang yang lebih tua daripadanya, ahli kerabatnya dan orang asing. Bahwa ia memandang orang-orang itu dengan pandangan kemuliaan dan penghormatan. Dan ia tidak bermain-main dihadapan mereka. Manakala anak itu telah sampai usia tamyiz, maka seyogyalah tidak diperbolehkan meninggalkan bersuci dan shalat. Disuruh ia berpuasa pada beberapa hari bulan Ramadlan. Dijauhkan ia memakai kain yang berisikan sutera (ad-dii-baj), sutera dan emas. Diajarkan ia setiap yang diperlukan dari batas-batas agama. Ditakutkannya daripada mencuri, makan haram, berkhianat, berdusta, berbuat keji dan setiap perbuatan yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Apabila telah terjadi pertumbuhan anak-anak itu demikian pada masa kanak-kanak, maka sewaktu telah mendekati dewasa, niscaya mungkin ia diperkenalkan rahasia segala hal tersebut. Lalu disebutkan kepadanya, bahwa makanan itu obat. Sesungguhnya yang dimaksud dari obat itu, ialah untuk menguatkan manusia taat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan dunia seluruhnya tidak mempunyai pokok, sebab tidak kekal. Kematian akan memutuskan kenikmatan dunia. Dan dunia itu negeri lintasan, bukan negeri ketetapan. Dan akhirat itu negeri ketetapan, bukan negeri lintasan. Kematian itu menunggu pada setiap saat. Orang pandai berakal, ialah orang yang mencari bekal dari dunia untuk akhirat. Sehingga tinggilah derajatnya pada sisi Allah Ta’ala dan luaslah kenikmatannya dalam sorga. Apabila pertumbuhan anak itu baik, maka kata-kata diatas tadi, ketika ia dewasa, adalah berpengaruh, membekas dan menyembuhkan, yang tetap dalam hatinya, sebagaimana tetapnya ukiran pada batu. Jikalau pertumbuhan anak itu sebaliknya, sehingga anak itu menyukai main-main, perbuatan keji, kurang malu, rakus kepada makanan dan pakaian, suka berhias dan menyombong, niscaya hatinya jauh daripada menerima kebenaran, sebagaimana jauhnya dinding tembok dari tanah kering. Maka pekerjaan yang pertama-tama, ialah yang seharusnya dijaga. Sesungguhnya anak itu dengan zat kejadiannya, dijadikan, yang dapat menerima yang baik dan yang jahat. Ibu bapaknyalah yang membawa anak itu, condong kepada salah satu dua segi. Nabi saw bersabda: “Semua anak itu dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah). Ibu bapaknyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau memajusikannya”. Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata: “Adalah aku sewaktu berumur 3 tahun, aku itu bangun malam. Lalu aku melihat shalat pamanku Muhammad bin Suwar. Pada suatu hari, ia berkata kepadaku: “Tidakkah engkau mengingati Allah yang menjadikan engkau ?”. Lalu aku bertanya: “Bagaimana aku mengingatiNya ?”. Pamanku menjawab: “Katakanlah dengan hatimu, ketika kamu berbalik-balik dalam pakaianmu, 3 kali, tanpa kamu menggerakkan lidahmu: “Allah bersamaku, Allah memandang kepadaku, Allah menyaksikan aku”. Lalu aku bacakan yang demikian beberapa malam. Kemudian aku beritahukan kepada pamanku. Lalu ia menjawab: “Bacalah pada tiap-tiap malam 7 kali”. Lalu aku lakukan yang demikian. Kemudian aku beritahukan kepada pamanku. Maka ia menjawab: “Bacalah yang demikian setiap malam 11 kali”. Lalu aku lakukan yang demikian. Maka terjadilah dalam hatiku kemanisannya. Sesudah setahun kemudian, pamanku berkata kepadaku: “Jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu ! dan terus-meneruslah yang demikian, sampai engkau masuk kubur ! karena bermanfaat kepadamu di dunia dan di akhirat”. Maka selalulah aku lakukan yang demikian bertahun-tahun. Karena itu, aku memperolah manisnya pada batinku. Kemudian, pada suatu hari pamanku berkata kepadaku: “Hai Sahl ! barangsiapa ada Allah bersamanya, Allah memandang kepadanya dan menyaksikannya, adakah ia berbuat maksiat kepadaNya ? awaslah daripada perbuatan maksiat !”. Lalu aku menyendiri (berkhilwah). Maka mereka kirim aku ke sekolah. Lalu aku jawab: “Aku takut bercerai dengan cita-citaku (dengan dzikir)”. Tetapi rupanya, mereka membuat syarat dengan guru, bahwa aku pergi pada guru hanya satu jam, lalu belajar. Kemudian aku pulang. Maka pergilah aku ke sekolah, lalu mempelajari Alquran dan menghafalnya. Umurku ketika itu 6 atau 7 tahun. Aku berpuasa sepanjang masa. Makananku dari roti tepung syair sampai aku berusia 12 tahun. Lalu timbullah suatu persoalan bagiku dan umurku sudah 13 tahun. Lalu au meminta kepada keluargaku, supaya aku dikirim ke Basrah, untuk bertanya di Basrah. Aku datang di Basrah, lalu aku bertanya pada ulama-ulamanya. Maka tiada seorangpun yang dapat memuaskan sesuatu daripada dahagaku. Lalu aku pergi ke Abadan, kepada seorang laki-laki yang bernama: Abi Habib Hamzah bin Abi Abdillah Al-Abbadany. Aku bertanya kepadanya tentang persoalan itu. Lalu ia memberi jawaban kepadaku. Maka aku tinggal padanya beberapa waktu. Aku mengambil manfaat dengan kata-katanya. Dan aku mendapat pendidikan dengan adab-kesopanannya. Kemudian, aku kembali ke Tustur. Lalu aku buat makananku secara sederhana. Yaitu: dibelikan untukku sesukat biji syair dengan harganya satu dirham. Ditumbuk dan dibuat roti bagiku. Pada waktu sahur tiap-tiap malam aku makan satu ugiyah (1/12 hati) saja, tanpa garam dan lauk-pauk. Maka tepung syair harga sedirham itu mencukupi bagiku untuk setahun. Kemudian, aku berazam menahan lapar 3 malam. Kemudian aku berbuka pada suatu malam. Kemudian, aku tahan 5 malam, kemudian 7, kemudian 25 malam. Aku berada demikian selama 20 tahun. Kemudian, aku pergi mengembara di bumi bertahun-tahun. Kemudian, aku kembali ke Tustur. Aku bangun malam seluruhnya. Masya Allah Ta’ala. Ahmad berkata: “Aku tiada melihat dia makan garam, sampai ia meninggal, menjumpai Allah Ta’ala”.
PENJELASAN: syarat-syarat kemauan, mukaddimah mujahadah dan berangsur-angsurnya seorang murid menjalani jalan latihan.
Ketahuilah, bahwa barangsiapa menyaksikan akhirat dengan hatinya dengan penyaksian keyakinan, niscaya dengan mudah ia berkemauan usaha akhirat, rindu kepada akhirat, menempuh jalan-jalan akhirat, memandang hina kepada kenikmatan dan kelezatan dunia. Karena orang yang ada padanya manik-manik, lalu melihat mutiara yang berharga, niscaya tidak lagi ia mempunyai keinginan pada manik-manik itu. Dan kuatlah kemauannya menjual manik-manik tersebut untuk membeli mutiara. Orang yang tidak berkehendak kepada usaha akhirat dan tidak mencari untuk bertemu dengan Allah Ta’ala, adalah karena ketiadaan imannya kepada Allah dan hari akhirat. Aku tidak bermaksud dengan: iman itu, bisikan jiwa dan gerakan lidah dengan dua kalimah syahadah, tanpa dibenarkan dengan hati dan keikhlasan. Sesungguhnya yang demikian itu, menyerupai dengan perkataan orang yang membenarkan, bahwa mutiara itu lebih baik dari manik-manik. Karena ia tidak tahu mutiara itu, selain kata-katanya saja. Adapun hakikat mutiara yang sebenarnya, ia tidak tahu. Orang yang membenarkan sesuatu seperti ini, apabila ia menyukai manik-manik, kadang-kadang tidak akan ditinggalkannya lagi. Dan tidak besar keinginannya kepada mutiara. Jadi, yang mencegah daripada sampai ialah: tiada dijalani. Yang mencegah daripada dijalani, ialah tiada kemauan. Yang mencegah daripada kemauan, ialah: tiada iman. Dan sebab tiada iman, ialah tiada orang-orang yang memberi petunjuk, tiada orang-orang yang memperingati dan tiada ulama-ulama Allah yang menunjukkan kepada jalanNya, yang memperingati atas kehinaan dan kehancuran dunia. Dan besarnya serta kekalnya urusan akhirat. Manusia itu lalai, terjerumus dalam nafsu syahwat. Dan terbenam dalam laut ketidurannya. Dan tak ada pada ulama agama, orang yang memperingati mereka. Kalau ada daripada mereka yang terbangun, niscaya ia lemah daripada menjalani jalan itu, karena kebodohannya. Kalau ia mencari jalan pada ulama-ulama, niscaya didapatinya mereka condong kepada hawa nafsu, berpaling daripada jalan yang lurus. Lalu, jadilah lemahnya kemauan, bodohnya tentang jalan dan pembicaraannya ulama-ulama dengan hawa nafsu itu, menjadi sebab sepinya jalan Allah Ta’ala dari orang-orang yang berjalan padanya. Manakala yang dicari itu tertutup, dalil penunjuk tidak ada, hawa nafsu yang menang dan yang mencari itu lalai, niscaya sudah pasti terhalanglah sampai kepada Allah Ta’ala dan tertutuplah semua jalan. Kalau orang itu terbangun dari dirinya sendiri atau terbangun oleh orang lain dan tergerak kemauannya pada usaha dan perniagaan akhirat, maka seyogyalah diketahuinya bahwa ada syarat-syarat yang harus dikemukakannya pada permulaan kemauan itu. Baginya pegangan yang harus dipegangnya dan baginya benteng yang harus dibentenginya. Supaya ia aman dari musuh-musuh yang memotong jalannya. Ada beberapa tugas yang harus diperhatikannya pada waktu menjalani jalan itu. Syarat-syarat yang harus didahulukannya pada kemauan, ialah membuang tutup dan hijab, yang ada diantara dia dan kebenaran. Sesungguhnya tidak tercapainya kebenaran bagi makhluk, sebabnya ialah bertindis-lapisnya hijab dan adanya tutup pada jalan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami adakan tutup dihadapan dan dibelakang mereka, lalu mereka kami tutup, sebab itu, mereka tiada menampak”. S 36 Yaa Siin ayat 9. Tutup diantara murid dan kebenaran, ada 4, yaitu: harta, kemegahan, taklid dan maksiat.
Hijab harta baru terbuang, dengan keluarnya dari harta miliknya, sehingga tiada tinggal baginya selain sekedar yang perlu. Selama masih ada satu dirham yang terpaling hatinya kepada dirham itu, maka dia terikat dan terhijab daripada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Hijab kemegahan baru terbuang, dengan menjaukan diri dari tempat kemegahan, dengan merendahkan diri, mengutamakan menyembunyikan diri dari orang banyak, melarikan diri daripada sebab-sebab disebut orang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang melarikan hati manusia daripadanya.
Hijab taklid baru terbuang, dengan meninggalkan fanatik (ta’assub) kepada mazhab-mazhab. Membenarkan pengertian ucapannya: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur-rasuulullaah dengan pembenaran keimanan. Dan diusahakan pengokohan pembenarannya dengan menghilangkan setiap yang disembah, selain Allah Ta’ala. Yang paling besar disembah oleh manusia, ialah: hawa nafsu. Sehingga apabila diperbuatnya demikian, niscaya terbukalah baginya hakekat keadaan, tentang pengertian kepercayaannya yang diperolehnya secara taklid. Maka seyogyalah dicarinya pembukaan yang demikian itu dari mujahadah (bersungguh-sungguh dengan amalan). Tidak dari pertengkaran lidah (mujadalah dengan lisan). Kalau dimenangi oleh kefanatikan bagi aqidahnya dan tidak tinggal lagi pada jiwanya tempat yang lapang untuk yang lain, maka yang demikian itu, menjadi ikatan dan hijab baginya. Karena tidaklah sekali-kali menjadi syarat bagi seorang murid, menyandarkan diri kepada mazhab (aliran) tertentu.
Adapun maksiat adalah hijab dan tak ada yang membuangnya, selain taubat, keluar dari segala perbuatan zalim, meneguhkan cita-cita kepada tidak akan kembali lagi kepada perbuatan maksiat, menyatakan penyesalan terhadap apa yang telah lalu, mengembalikan harta-harta yang zalim kepada pemiliknya dan meminta kerelaan musuh. Orang yang tidak membetulkan taubatnya dan tidak meninggalkan perbuatan maksiat zahirnya dan ia bermaksud mengetahui rahasia agama dengan mukasyafah (terbuka hijab), adalah seperti orang yang bermaksud mengetahui rahasia Alquran dan tafsinya dan ia sesudah itu tiada mempelajari bahasa Arab. Karena yang pertama-tama haruslah mendahulukan terjemah (penyalinan) bahasa Arab Alquran. Kemudian, meningkat kepada rahasia pengertiannya. Maka begitupula, haruslah pada pertama-tamanya dan pada penghabisannya, pembetulan hukum syariat yang zahirnya. Kemudian, meningkat kepada yang mendalam dan rahasia-rahasianya. Apabila telah didahulukan 4 syarat ini dan melepaskan diri dari harta dan kemegahan, niscaya ia adalah seperti orang yang bersuci, berwudhu dan membuang hadats. Dan jadilah ia patut untuk shalat. Lalu ia memerlukan kepada imam yang akan diikutinya. Maka demikian pula seorang murid, memerlukan kepada seorang syaikh (guru) dan ustaz, yang sudah pasti untuk diikutinya, untuk menunjukkannya kepada jalan yang benar. Sesungguhnya jalan agama itu sulit dan jalan setan itu banyak dan terang. Orang yang tiada mempunyai guru yang akan menunjukkannya, niscaya sudah pasti akan dibawa oleh setan kepada jalannya. Orang yang menjalani jalan-jalan desa yang membinasakan, tanpa penunjuk jalan, sesungguhnya membahayakan dirinya sendiri dan membinasakannya. Dan adalah orang yang berdiri sendiri itu seperti pohon kayu yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan kering dalam waktu dekat. Dan kalaupun hidup beberapa waktu dan berdaun, niscaya tidak akan berbuah. Yang menjadi pegangan bagi seorang murid, sesudah mendahulukan syarat-syarat tersebut, ialah: gurunya. Maka hendaklah ia berpegang kepada gurunya, sebagai seorang buta berpegang kepada penuntun di tepi sungai, dimana ia menyerahkan seluruh urusannya kepada penuntun tersebut. Ia tidak akan menyalahinya pada datang dan pergi. Tiada suatupun yang tiada diikutinya dan tiada yang tinggal. Dan hendaklah diketahuinya, bahwa manfaatnya pada kesalahan gurunya, kalau guru itu bersalah, adalah lebih banyak dari manfaatnya pada betul dirinya sendiri, jikalau ia betul. Apabila murid itu memperoleh orang yang menjadi pegangannya seperti diatas tadi, niscaya haruslah atas orang yang menjadi pegangan itu, menjaga dan memelihara murid tersebut, dengan benteng yang kokoh. Ditolaknya perampok-perampok jalan dengan benteng itu. Yaitu 4 perkara: khilwah (menyendiri), diam, lapar dan tidak tidur malam. Inilah benteng dari perampok-perampok jalan. Maksud murid itu, ialah memperbaiki hatinya, supaya ia dapat bermusyahadah dengan Tuhannya dan patut untuk mendekatiNya. Adapun lapar itu mengurangkan darah jantung dan memutihkannya. Dan pada putihnya itu, nurnya (cahayanya). Dan menghancurkan lemaknya hati. Dan pada kehancuran itu halusnya hati. Dan halusnya itu kunci mukasyafah, sebagaimana kesatnya itu sebabnya hijab. Dan manakala darah jantung telah berkurang, niscaya sempitlah jalan musuh. Karena jalan yang dilalui musuh, ialah urat-urat yang penuh dengan nafsu syahwat. Nabi Isa as bersabda: “Hai para murid ! laparkanlah perutmu, moga-moga hatimu melihat Tuhanmu !”. Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata: “Para wali itu, tidak menjadi wali, kecuali dengan 4 perkara: mengempiskan perut, tidak tidur malam (untuk beribadah), diam (tidak suka berbicara) dan mengasingkan diri dari manusia”. Faedah lapar pada mencemerlangkan hati adalah suatu hal yang jelas, disaksikan oleh pengalaman. Dan akan datang penjelasannya secara berangsur-angsur pada “Kitab Menghancurkan Dua Nafsu Syahwat”. Tentang tidak tidur malam, maka ia membersihkan, menjernihkan dan menyinarkan hati. Yang demikian itu menambahkan kepada kejernihan yang telah berhasil dari lapar. Lalu hati itu menjadi seperti bintang yang berkilau-kilauan dan kaca yang terang. Lalu nampaklah padanya keelokan kebenaran. Dan disaksikan padanya ketinggian derajat di akhirat dan kehinaan serta bahaya dunia. Dengan demikian maka sempurnalah kebenciannya kepada dunia dan menghadap hatinya kepada akhirat. Juga tidak tidur malam itu hasil dari lapar. Karena tidak tidur malam pada waktu kenyang tidak mungkin. Tidur itu mengesatkan dan mematikan hati. Kecuali apabila tidur itu sekedar perlu. Maka yang demikian menjadi sebabnya mukasyafah (terbuka) rahasia-rahasia ghaib. Ada yang mengatakan, tentang sifat wali-wali itu, bahwa makanannya sekedar perlu, tidurnya karena terpaksa dan perkataannya yang penting-penting saja. Ibrahim Al-Khawwash ra berkata: “Telah sepakat pendapat 70 orang benar (orang shiddiq), bahwa banyaknya tidur itu dari banyaknya minum air”. Adapun diam (tidak suka bicara) itu, sesungguhnya dipermudahkan oleh mengasingkan diri (‘uzlah). Tetapi orang yang mengasingkan diri itu, tidak terlepas daripada melihat orang yang mengurus makanannya, minumannya dan pengaturan urusannya. Maka seyogyalah ia tidak berkata-kata, kecuali sekedar perlu. Karena berkata-kata itu menyibukkan hati. Keinginan hati kepada berkata-kata itu besar. Karena berkata-kata itu menyenangkan hati dan memberatkan untuk melepaskan hati kepada zikir dan fikir. Lalu hati itu merasa senang kepada berkata-kata. Diam itu membersihkan akal, menarik kepada wara’ dan mengajarkan taqwa. Adapun khilwah (menyendiri), maka faedahnya menolak semua yang menyibukkan, mengendalikan pendengaran dan penglihatan. Pendengaran dan penglihatan itu serambi hati. Dan hati itu dalam wewenang kolam yang dialirkan ke dalamnya, air keji, keruh dan kotor dari sungai-sungai pancaindra. Dan maksud dari latihan, ialah mengosongkan kolam itu dari air-air tersebut dan dari lumpur yang terjadi daripadanya. Supaya berpancarlah bawah kolam, lalu keluarlah daripadanya air bersih yang suci. Dan bagaimanakah air itu dapat habis dari kolam, sedang sungai terbuka kepada kolam itu ?. Maka dalam segala hal, air baru lebih banyak daripada yang kurang. Dari itu, haruslah dikekang pancaindra, kecuali sekedar perlu saja. Dan yang demikian itu tidak sempurna selain dengan khilwah dalam rumah gelap. Dan kalau ia tidak mempunyai tempat gelap, maka hendaklah membalut kepalanya dalam saku bajunya atau berselimut dengan pakaian atau kain sarung. Dalam keadaan yang seperti ini, ia mendengar panggilan kebenaran dan menyaksikan keagungan Hadlarat Ketuhanan. Apakah anda tidak tahu, bahwa seruan kepada Rasulullah saw sampai kepadanya dan beliau dalam keadaan yang seperti ini ?. Panggilan itu dengan dikatakan: “Yaa ayyuhal-muzzammil ! (Hai orang yang meletakkan pakaian) !”. Yaa ayyuhal-muddatstsir ! (Hai orang yang berselimut) !”. Empat yang tersebut itu, adalah tembok dan benteng. Dengan itu tertolaklak perampok-perampok jalan. Dan tercegahlah halangan-halangan yang menghalangi jalanan. Apabila telah diperbuat demikian, niscaya dapatlah sesudah itu meneruskan perjalanan. Dan perjalanannya itu dengan membuang rintangan-rintangan. Dan tak ada rintangan pada jalan Allah Ta’ala, selain dari sifat-sifat hati, yang sebabnya berpaling kepada jalan Allah Ta’ala, selain dari sifat-sifat hati, yang sebabnya berpaling kepada dunia. Dan sebagian dari rintangan-rintangan itu, lebih besar dari sebagian yang lain. Dan penertiban pada penyingkirannya, ialah dengan melaksanakan yang lebih mudah, lalu yang lebih mudah. Yaitu sifat-sifat tersebut, ya’ni: rahasia segala hubungan yang dipotongnya pada permulaan kemauan dan bekas-bekasnya, ya’ni: harta, kemegahan, kecintaan dunia, berpaling kepada makhluk dan menoleh kepada perbuatan maksiat. Maka haruslah batin itu dikosongkan dari bekas-bekas sifat tersebut, sebagaimana zahir dikosongkan daripada sebab-sebab sifat yang zahir. Dalam hal yang demikian, perjuangan itu panjang dan berbeda dengan berbedanya keadaan. Kadang-kadang ada orang yang telah mencukupi banyak sifat. Maka baginya tak panjang perjuangan (mujahadah). Dan telah kami sebutkan dahulu, bahwa jalan mujahadah, ialah melawan semua keinginan dan menentang hawa nafsu, pada setiap sifat yang mengerasi atas jiwa murid, sebagaimana telah disebutkan dahulu. Apabila ia merasa cukup demikian atau merasa lemah dengan mujahadah dan tiada tinggal lagi dalam hatinya hubungan, niscaya ia menyibukkan dirinya sesudah itu, dengan dzikir, yang mengharuskan hatinya terus-menerus. Dan mencegahnya daripada membanyakkan wirid-wirid zahiriah. Tetapi ia menyingkatkan kepada ibadah wajib dan sunat rawatib. Dan wiridnya adalah satu saja. Yaitu: Isi segala wirid dan buahnya. Yakni: harus menerusnya hati mengingati (berdzikir) kepada Allah Ta’ala, sesudah terlepas daripada mengingati lainNya. Dan tidak dapat menyibukkan hati dengan dzikir, selama hati itu menoleh kepada hubungan-hubungan lain. Asy-Syaibly berkata kepada Al-Hashary: “Jikalau terguris pada hatimu dari Jum’at yang engkau datang kepadaku sampai Jum’at lain (Jum’at di muka), sesuatu selain Allah Ta’ala, maka haramlah engkau datang kepadaku”. Hati yang semata-mata begini tidak akan diperoleh, selain dengan kebenaran kemauan dan bersemayamnya kecintaan kepada Allah di dalam hati. Sehingga ia dalam bentuk orang yang rindu, yang tiada memperhatikan yang lain, yang tiada baginya, selain hanya satu cita-cita saja. Apabila sudah ada seperti yang demikian, maka syaikh (guru) mengharuskan murid itu tinggal di suatu sudut langgar (pondok) sendirian. Dan diserahkan kepada seorang yang mengurus makanannya, sekadar sedikit makanan halal. Sesungguhnya pokok jalan agama, ialah: makanan halal. Ketika itu, guru mengajarkannya salah satu zikir, sehingga lidah dan hatinya sibuk dengan zikir itu. Ia duduk dan membaca, umpamanya: “Allah-Allah” atau “Subhanallah-subhanallah”. Adapun kata-kata lain, menurut pendapat gurunya. Senantiasalah ia membiasakannya, sehinga jatuh gerakan lidah dan berada kata-kata tadi, seakan-akan lalu diatas lidah, tanpa digerakkan. Kemudian senantiasalah murid itu membinasakannya, sehingga jatuh bekasnya dari lidah dan kekal bentuk kata pada hati. Kemudian senantiasalah seperti yang demikian, sehingga terhapuslah dari hati, huruf perkataan dan bentuknya. Dan tinggallah hakikat artinya, yang terus-menerus di hati, berada pada hati dan menguasai hati, dimana hati itu kosong dari semua yang lain. Karena hati, apabila sibuk dengan sesuatu, niscaya ia terlepas dari yang lain, barang apapun juga. Apabila hati sibuk dengan dzikir kepada Allah Ta’ala –dan itu yang dimaksud –niscaya sudah pasti, ia terlepas dari yang lain. Dan ketika itu, haruslah murid tersebut, mengawasi bisikan hati dan gurisan-gurisan yang menyangkut dengan dunia dan apa yang diingatinya, dari keadaannya sendiri dan keadaan orang lain, yang terjadi pada masa yang lampau. Karena manakala hati itu sibuk dengan sesuatu, walaupun pada waktu sekejap mata, niscaya hati itu kosong dari dzikir pada masa sekejap mata itu. Dan juga itu adalah suatu kekurangan. Maka hendaklah bersungguh-sungguh menolak yang demikian. Manakala telah ditolak semua bisikan dan dikembalikan jiwa kepada kata-kata yang tersebut, niscaya datanglah bisikan dari kata-kata itu sendiri. Yaitu: “Apakah hakikat kata-kata itu ? apakah artinya kata kita “Allah ?”. Dan karena pengertian apa, Dia itu disembah ?”. Ketika itu, ia diliputi oleh bermacam-macam gurisan, yang membuka kepadanya, pintu pikiran. Kadang-kadang datang kepadanya sesuatu sifat kufur dan bid’ah dari bisikan setan. Manakala ia benci kepada yang demikian dan berusaha menjauhkannya dari hati, niscaya tidak mendatangkan melarat yang demikian itu kepadanya. Gurisan-gurisan itu terbagi: kepada yang diketahui dengan yakin, bahwa Allah Ta’ala Maha Suci daripadanya. Akan tetapi setan itu, melemparkan yang demikian dalam hatinya dan melakukannya atas gurisan hatinya. Maka syaratnya, bahwa tidak memperdulikannya. Dan ia berlindung kepada dzikir (mengingati) Allah Ta’ala. Dan berdoa kepadaNya, untuk menolak dari yang demikian, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kalau setan (orang jahat) itu membisikkan kepada engkau bisikan (yang membawa kepada kejahatan), maka hendaklah engkau berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Tahu”. S 7 Al A’raaf ayat 200. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang datang berkunjung, niscaya mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Dan terbagi kepada yang diragukan. Maka seyogyalah dibentangkannya yang demikian kepada gurunya. Bahkan setiap apa keadaan, yang didapatinya dalam hatinya, baik lesu atau rajin atau menoleh kepada hubungan (keduniaan atau keakhiratan) atau benar tentang kemauan, maka seyogyalah dilahirkannya yang demikian itu kepada gurunya. Dan ditutupkannya pada orang lain. Lalu tidak diperlihatkannya kepada seorang juapun. Kemudian, bahwa gurunya melihat keadaannya dan memperhatikan tentang kecerdikan dan kepintarannya. Kalau guru itu mengetahui, bahwa kalau murid itu ditinggalkannya dan disuruhnya berfikir, niscaya ia menyadari dari dirinya akan hakekat kebenaran. Maka seyogyalah murid itu dibawa kepada berfikir dan disuruhnya selalu berfikir. Sehingga tercurahlah dalam hatinya nur, yang membukakan hakikat itu kepadanya. Kalau guru itu mengetahui bahwa yang demikian tidak akan menguatkan murid yang seperti itu, niscaya dikembalikannya murid tersebut kepada keyakinan yang tegas, dengan apa yang dapat dibawa oleh hatinya, dari pengajaran, dzikir dan keterangan yang mendekati dengan pemahamannya. Dan seyogyalah guru itu bersikap halus dan lemah-lembut dengan murid itu. Sesungguhnya ini, adalah jalan kebinasaan dan tempat yang amat berbahaya. Berapa banyak murid yang berbuat latihan, lalu banyaklah padanya khayalan yang merusak, yang tidak mampu ia menyingkapkannya. Maka terputuslah jalannya. Lalu ia berbuat kebatilan dan menempuh jalan yang membolehkan. Dan itu adalah kebinasaan besar. Orang yang bertindak semata-mata untuk dzikir dan menolek hubungan-hubungan yang menyibukkan dari hatinya, niscaya ia tdak terlepas dari pemikiran-pemikiran yang seperti itu. Dia sesungguhnya menumpang kapal bahaya. Kalau selamat, niscaya dia termasuk raja-raja agama. Dan kalau bersalah, ia termasuk orang yang binasa. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu berpegang dengan agama orang-orang lemah”. Yaitu: mengambil pokok iman dan zahiriyah i’tikad dengan jalan taqlid dan berbuat amal kebajikan. Sesungguhnya bahaya berpaling dari demikian itu, banyak. Karena itulah, dikatakan: harus guru itu mencari firasat pada muridnya. Kalau murid itu tidak pandai dan cerdik, yang memungkinkan dengan zahiriah i’tikad, niscaya tidak disibukkannya dengan dzikir dan pikiran. Tetapi dikembalikannya kepada amaliyah zahiriyah dan wirid-wirid yang berturut-turut dikerjakan. Atau menyibukkannya dengan melayani orang-orang yang semata-mata mengarahkan kegiatannya untuk bertafakkur. Supaya barakah mereka, meratainya. Karena orang yang lemah dari berjihad pada garis peperangan, seyogyalah memberi minum kaum pejuang dan menyiapkan binatang kendaraan mereka. Supaya ia dibangkitkan pada hari kiamat, dalam rombongan mereka dan meratainya oleh barakah mereka. Walaupun ia tidak sampai kepada tingkat mereka. Kemudian, murid yang semata-mata menuju kepada dzikir dan tafakkur, kadang-kadang ia dipotong oleh banyak pemotong, yang terdiri dari: sifat mengherani diri (‘ujub), ria dan gembira dengan terbuka hal-hal kepadanya dan apa yang menampak dari permulaan-permulaan kiramah (kemuliaan). Manakala murid itu berpaling kepada sesuatu dari yang demikian dan menyibukkan dirinya dengan itu, niscaya adalah yang demikian itu kelemahan di jalan dan perhentian. Akan tetapi seyogyalah ia membiasakan keadaannya dalam jumlah umurnya, sebagaimana dibiasakan oleh orang haus yang tidak akan diberi kepuasan oleh air laut, walaupun dicurahkan kepadanya. Dan ia terus-menerus kepada yang demikian. Dan modalnya, ialah putus hubungan dengan manusia, menuju kepada Al-Haq dan menyendiri. Setengah para pengembara berkata: “Aku bertanya kepada setengah wali, yang memutuskan hubungan dengan manusia: “Bagaimana jalan memperoleh hakikat kebenaran ?”. Wali itu menjawab: “Bahwa adalah engkau di dunia, seakan-akan orang yang melintasi jalan !”. Pada suatu kali, pengembara itu berkata: “Aku berkata kepada wali itu: “Tunjukilah aku kepada amal perbuatan, yang aku dapati hatiku padanya bersama Allah Ta’ala terus-menerus !”. Lalu wali itu menjawab kepadaku: “Jangan engkau melihat kepada makhluk. Karena memandang kepada mereka itu suatu kegelapan”. Aku bertanya lagi: “Tak boleh tidak yang demikian bagiku !”. Wali itu menjawab: “Jangan engkau mendengar perkataan mereka, karena perkataan mereka itu kesat”. Aku bertanya lagi: “Tak boleh tidak yang demikian itu bagiku !”. Wali itu menjawab: “Maka jangan engkau bergaul dengan mereka, karena pergaulan dengan mereka itu liar”. Lalu aku berkata: “Aku berada dihadapan mereka, tak boleh tidak aku bergaul dengan mereka”. Wali itu menjawab: “Jangan engkau bertempat bersama mereka. Karena bertempat bersama mereka itu suatu kebinasaan”. Aku berkata: “Ini karena sesuatu sebab”. Wali itu menjawab: “Wahai saudara ! adakah kamu melihat kepada orang-orang yang lalai dan kamu mendengar perkataan orang-orang yang bodoh, bergaul dengan orang-orang yang berbuat batil dan engkau ingin memperoleh haitmu bersama Allah Ta’ala terus-menerus ? ini barang yang tidak akan ada selama-lamanya !”. Jadi, kesudahan latihan (riadlah), ialah, bahwa ia dapati hatinya bersama Allah Ta’ala terus-menerus. Dan yang demikian tidak mungkin, kecuali ia menyendiri dari orang lain. Dan ia tidak menyendiri dari orang lain kecuali dengan lama mujahadah. Apabila berhasil hatinya bersama Allah Ta’ala, niscaya terbukalah baginya keagungan hadlarat Ketuhanan, cemerlanglah baginya kebenaran (al-haq) dan lahirlah baginya sifat kelemah-lembutan Allah Ta’ala, yang tidak boleh disifatkan. Bahwa tidaklah sekali-kali diliputi oleh penyifatan. Apabila tersingkap bagi murid, sesuatu dari yang demikian, maka pemotong jalan yang terbesar kepadanya, ialah: bahwa ia berkata-kata dengan demikian, sebagai pengajaran dan nasehat dan ia berhadapan untuk memperingati. Lalu jiwanya memperoleh kelezatan padanya, dimana tiada lagi kelezatan lain dibaliknya. Maka kelezatan itu mengajaknya untuk bertafakkur tentang cara mendatangkan segala pengertian itu, membaguskan kata-kata yang disebutkan, menyusun penyebutannya, menghiasinya dengan cerita-cerita, dalil-dalil Alquran dan hadits dan membaguskan perbuatan kata-kata, supaya hati dan pendengaran condong kepadanya. Kadang-kadang setan mendatangkan khayalan kepadanya, bahwa: ini adalah dari engkau untuk menghidupkan hati orang-orang mati, yang lengah terhadap Allah Ta’ala. Engkau itu sesungguhnya perantara antara Allah Ta’ala dan makhluk. Engkau mengajak hambaNya kepadaNya. Dan engkau tiada mempunyai bahagian dan tiada padanya kelezatan bagi diri engkau. Dan jelaslah tipuan setan itu, dengan melahirkan pada teman-temannya, siapa yang terbagus perkataan, yang banyak kata-kata dan yang lebih sanggup menarik hati orang awam. Lalu –sudah pasti –bergeraklah pada batinnya, kalajengking kedengkian, kalau penggeraknya itu, tipuan penerimaan. Dan kalau penggeraknya adalah kebenaran, karena ingin mengajak hamba Allah Ta’ala kepada jalanNya yang lurus, maka sangatlah gembiranya dan berkata: “Segala pujian bagi Allah yang menolongku dan menguatkan aku, dengan orang yang membantuku pada memperbaiki hambaNya”. Seperti orang yang menjadi kewajibannya –umpamanya –membawa orang mati untuk dikuburkannya, karena didapatinya mayat itu disia-siakan orang. Dan menjadi fardlu ‘ain yang demikian atas dirinya pada agama. Lalu datanglah orang yang menolongnya. Maka ia sangat bergembira dan tidak akan iri hati kepada orang yang menolongnya. Orang-orang yang lalai itu mati hati. Pengajar-pengajarnya itu adalah yang membangunkan dan yang menghidupkannya. Lalu dengan banyaknya mereka, mendatangkan kesenangan dan tolong-menolong. Maka seyogyalah, bahwa sangat menggembirakan,dengan yang demikian. Hal yang seperti ini sangat sukar terjadi. Maka seyogyalah murid itu berhati-hati daripadanya. Karena itu adalah jaringan setan yang terbesar pada memotong jalan, orang yang terbuka baginya permulaan jalan. Sesungguhnya memilih (mengutamakan) kehidupan duniawi adalah sifat yang mengerasi atas manusia. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi, kamu memilig kehidupan dunia”. S 87 Al A’laa ayat 16. Kemudian Allah Ta’ala menerangkan, bahwa kejahatan itu adalah barang lama pada sifat (karakter) manusia. Dan itu tersebut pada kitab-kitab purbakala. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya ini ada dalam buku-buku purbakala. Buku-buku Ibrahim dan Musa”. S 87 Al A’laa ayat 18-19. Maka inilah jalan latihan dan pendidikan murid dengan jalan angsur-berangsur untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Adapun uraian latihan pada tiap-tiap sifat, maka akan datang uraiannya. Sesungguhnya sifat yang lebih menguasai pada manusia, ialah perutnya, kemaluannya dan lidahnya. Saya maksudkan nafsu syahwat yang menyangkut dengan anggota-anggota badan tadi. Kemudian sifat marah, dimana marah itu adalah seperti tentara untuk menjaga nafsu syahwat. Kemudian, manakala manusia mencintai nafsu syahwat perut dan kemaluan dan berjinakan hati dengan keduanya, niscaya ia telah mencintai dunia. Dan tidak mungkin diperoleh syahwat itu, kecuali dengan hartadan kemegahan. Apabila harta dan kemegahan dicari, niscaya datanglah takabbur (membesarkan diri), ‘ujub (mengherani diri) dan suka menjadi kepala. Apabila telah menampak yang demikian, niscaya dirinya tidak membolehkan lagi meninggalkan dunia. Dan dari agama dipegang apa yang ada padanya hal kekepalaan. Dan mengerasilah tertipu dengan hal-ikhwal dunia kepadanya. Karena itulah, sesudah kami hidangkan dua kitab ini (kitab tentang keajaiban hati dan kitab tentang latihan jiwa), akan kami sempurnakan Rubu’ Yang Membinasakan (Rubu’ Al-Muhlikat) itu, dengan 8 kitab insya Allah Ta’ala, yaitu:
1.       Kitab tentang menghancurkan nafsu syahwat perut dan kemaluan.
2.       Kitab tentang bahaya lisan (lidah).
3.       Kitab tentang menghancurkan kemarahan, busuk hati dan kedengkian.
4.       Kitab tentang celaan dunia dan penguraian tipuannya.
5.       Kitab tentang menghancurkan kecintaan kepada harta dan mencela kikir.
6.       Kitab tentang mencela ria dan suka kemegahan.
7.       Kitab tentang mencela takabbur (sombong) dan ‘ujub.
8.       Kitab tentang tempat-tempat terjadinya tipuan dunia.
Dengan menyebutkan semua yang membinasakan dan mengajarkan jalan-jalan pengobatannya, maka sempurnalah maksud kami dari Rubu’ Al-Muhlikat insya Allah Ta’ala. Apa yang kami sebutkan pada kitab pertama, adalah uraian sifat-sifat hati, yang menjadi tambang al-muhlikat (sifat-sifat yang membinasakan) dan al-mujiat (sifat-sifat yang melepaskan dari kebinasaan). Dan apa yang kami sebutkan pada kitab kedua, adalah isyarat secara keseluruhan, kepada jalan pemurnian budi-pekerti dan pengobatan penyakit hati. Adapun uraiannya maka akan datang pada kitab-kitab tersebut tadi insya Allah Ta’ala. Dengan pujian kepada Allah, pertolongan dan baik taufiqNya, sempurnalah Kitab Latihan Jiwa dan Pemurnian Akhlak, yang akan diiringi dengan “Kitab Tentang Menghancurkan Dua Nafsu Syahwat”, insya Allah Ta’ala. Segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada penghulu kita Muhammad, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan kepada semua hambaNya yang pilihan dari penduduk bumi dan langit. Dan tiadalah yang memberi taufiq kepadaku, selain Allah. kepadaNyalah aku menyerahkan diri. Dan kepadaNya aku kembali.