Kamis, 13 Februari 2014

37. KITAB NIAT, IKHLAS DAN BENAR.

KITAB NIAT, IKHLAS DAN BENAR.
Yaitu: Kitab ke-7 dari “Rubu’ Yang Melepaskan” dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”.

Kami memuji Allah, sebagai pujiannya orang-orang yang bersyukur. Kami beriman kepadaNya, sebagai imannya orang-orang yang yakin. Kami mengaku dengan kemaha-esaanNya, sebagai pengakuan orang-orang yang benar. Dan kami naik saksi, bahwa tiada yang disembah, selain Allah Tuhan semesta alam, Pencipta langit dan bumi, Pemberi taklif (tugas) kepada jin dan insan dan para malaikat yang didekatkan kepadaNya, bahwa beribadah menyembahNya, sebagai ibadah orang-orang yang ikhlas. Ia yang Maha Tinggi berfirman: “Dan tidaklah mereka disuruh, selain untuk menyembah Allah, dengan ikhlas kepada Nya dalam (menjalankan) agama”. S 98 Al Bayyinah ayat 5.
Maka tidaklah bagi Allah, selain agama yang murni, lagi kokoh. Bahwa Dia yang terkaya dari segala yang kaya, dari syiriknya orang-orang musyrik. Selawat kepada NabiNya Muhammad, penghulu segala rasul dan kepada semua nabi-nabi, kepada keluarganya dan para sahabatnya, yang baik dan suci.
Adapun kemudian, maka sesungguhnya telah tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai akal, dengan mata hati iman dan nur Alquran, bahwa tiada akan sampai kepada kebahagiaan, selain dengan ilmu dan ibadah. Manusia semuanya itu binasa, selain orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu semuanya itu binasa, selain orang-orang yang mengerjakan. Orang-orang yang mengerjakan semuanya itu binasa, selain orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu di atas bahaya besar. Maka amal perbuatan tanpa niat itu suatu kepayahan. Niat tanpa ikhlas itu suatu keriyaan. Dan itu kesesuaian bagi kemunafikan dan kesamaan serta kemaksiatan. Keikhlasan tanpa kebenaran dan ketahkikan (mencari yang sebenarnya) itu debu yang berterbangan. Allah Ta’ala berfirman, mengenai setiap amal-perbuatan, yang ada ia dengan kehendak kepada selain Allah, dalam keadaan bercampur dan terbenam dengan yang lain: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. S 25 Al Furqaan ayat 23.
Semoga kiranya aku rasakan, bagaimana shahnya niat bagi orang yang tiada mengetahui hakikat/makna niat. Atau bagaimana ikhlasnya orang yang menshahkan niatnya, apabila ia tidak tahu akan hakikat/makna ikhlas. Atau bagaimana orang yang ikhlas itu menuntut dirinya dengan kebenaran, apabila ia tidak mengetahui dengan alasan yang cukup (dengan pentahkikan) akan makna kebenaran. Maka tugas pertama atas setiap hamba yang berkehendak akan mentaati Allah Ta’ala, ialah: bahwa pertama-tama ia mempelajari niat. Supaya berhasillah ma’rifah/ilmu mengenal allah. Kemudian, dishahkannya niat itu dengan amal perbuatan, sesudah memahami hakikat/makna kebenaran dan keikhlasan, yang mana keduanya itu adalah jalannya hamba kepada kelepasan dan keikhlasan. Kami akan menyebutkan makna kebenaran dan keikhlasan itu pada 3 bab:
Bab pertama: tentang hakikat/makna niat dan maknanya.
Bab kedua   : tentang ikhlas dan hakikat-hakikat/maknanya.
Bab ketiga   : tentang kebenaran dan hakikat/maknanya.
BAB PERTAMA: tentang niat.
Padanya, penjelasan keutamaan niat,
penjelasan hakikat/makna niat,
penjelasan adanya niat itu kebajikan dari amal,
penjelasan pengutamaan amal-amal perbuatan yang menyangkut dengan diri dan
penjelasan keluarnya niat dari ikhtiar (pilihan sendiri).
PENJELASAN: keutamaan niat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya dipagi hari dan dipetang hari, sedang mereka menghendaki WajahNya (keridhaanNya)”. S 6 Al An’aam ayat 52. Yang dimaksudkan dengan kehendak itu, ialah: niat.
Nabi saw bersabda: “Bahwa segala amal-perbuatan itu dengan niat. Dan bagi setiap manusia itu apa yang diniatkannya. Maka siapa yang hijrahnya (keberangkatannya) kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada apa, yang ia berhijrah kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Kebanyakan yang syahid dari umatku, ialah: mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyaklah orang yang terbunuh diantara dua baris perang, yang Allah yang Maha Tahu dengan niatnya”.
Allah Ta’ala berfirman: “Jika kedua orang hakam (juru perdamaian) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-isteri itu”. S 4 An Nisaa’ ayat 35. Maka dijadikan niat itu bagi sebab memperoleh taufiq.
Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala tiada memandang kepada rupamu dan hartamu. Sesungguhnya Ia memandang kepada hatimu dan amal perbuatanmu”. Bahwa Allah Ta’ala melihat kepada hati. Karena hatilah tempat sangkaan niat. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya hamba itu beramal dengan amalan yang baik. Maka naiklah para malaikat dengan membawa halaman-halaman amal yang distempelkan (shuhufin-mukhtamah). Lalu diletakkan di hadapan Allah Ta’ala. Maka Allah berfirman: “Campakkanlah halaman amal ini ! karena tidak dikehendaki akan WajahKu dengan apa yang di dalamnya”. Kemudian, Ia memanggil para malaikat: “Tuliskanlah bagi orang itu demikian-demikian ! tuliskanlah baginya demikian-demikian !”. Para malaikat itu menjawab: “Wahai Tuhan kami ! bahwa orang itu tiada berbuat akan sesuatu dari yang demikian”. Allah Ta’ala maka berfirman: “Bahwa ia meniatkan yang demikian”.
Nabi saw bersabda: “Manusia itu 4 macam: seorang laki-laki yang diberikan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, ilmu dan harta. Maka ia berbuat dengan ilmu dan hartanya. Lalu seorang laki-laki lain berkata: “Jikalau aku diberikan oleh Allah Ta’ala seperti apa yang diberikanNya kepada orang itu, niscaya aku berbuat, seperti apa yang diperbuat oleh orang itu”. Maka kedua orang tersebut sama dalam pahala. Seorang laki-laki yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya harta dan tidak diberikan kepadanya ilmu. Maka disebabkan kebodohannya, ia berbuat batil/salah (yang tidak halal) pada hartanya. Lalu orang lain berkata: “Jikalau aku diberikan oleh Allah, seperti apa yang diberikanNya kepada orang itu, niscaya aku berbuat, seperti apa yang diperbuatnya”. Maka kedua orang tersebut sama dalam dosa”. Apakah tidak engkau melihat, bagaimana ia berkongsi dengan orang itu pada niat, mengenai baik dan buruknya amalannya ?
Seperti demikian juga pada hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, bahwa tatkala Rasulullah saw keluar pada perang Tabuk, maka beliau bersabda: “Bahwa di Madinah, ada beberapa kaum (golongan), yang tidak kita melewati suatu lembah dan tiada kita berpijak pada suatu tempat berpijak, yang memarahkan orang-orang kafir dan tiada kita mengeluarkan akan sesuatu pengeluaran dan tidak menimpa ke atas kita kelaparan, melainkan mereka itu berkongsi dengan kita pada yang demikian, sedang mereka itu berada di Madinah”. Mereka lalu bertanya: “Bagaimana maka demikian, wahai Rasulullah ? sedang mereka itu tiada bersama kita ?”. Rasulullah lalu menjawab: “Mereka itu ditahan oleh halangan”. Maka mereka itu berkongsi, disebabkan baik niatnya.
Tersebut pada hadits yang dirawikan Ibnu Mas’ud, yang bunyinya: “Siapa yang berhijrah untuk mencari sesuatu, maka dia itu bagi sesuatu itu”. Lalu seorang laki-laki berhijrah, maka ia kawin dengan seorang wanita dari kami, maka ia dinamakan: “Muhajir Ummi Qais” (Yang berhijrah buat Ummi Qais). Seperti demikian juga datang pada hadits, bahwa seorang laki-laki terbunuh pada perang sabilullah dan ia dipanggil “yang terbunuh karena keledai”. Dan keledainya. Lalu ia terbunuh pada yang demikian maka ia dikaitkan kepada niatnya. Pada hadits yang dirawikan ‘Ubaddah dari Nabi saw yang bersabda: “Barangsiapa berperang dan ia tidak niatkan, selain pengikat binatang, maka baginya apa yang diniatkannya”.
Berkata Ubai bin Ka’ab ra: “Aku meminta tolong pada seorang laki-laki, supaya ia berperang bersama aku. Lalu ia menjawab: “Tidak ! sehingga engkau berikan bagiku upahnya”. Maka aku berikan baginya upah. Lalu aku terangkan yang demikian kepada Nabi saw. Maka beliau menjawab: “Tiada baginya dari dunianya dan akhiratnya, selain apa yang engkau berikan upah baginya”.
Diriwayatkan dalam cerita-cerita kaum Bani Israil, bahwa seorang laki-laki lalu di bukit pasir, dalam keadaan lapar. Lalu ia mengatakan pada dirinya: “Jikalau adalah pasir ini makanan, niscaya akan aku bagikan diantara manusia”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi mereka: “Katakanlah kepada laki-laki itu: “Bahwa Allah Ta’ala telah menerima sedekah engkau. Ia bersyukur akan baiknya niat engkau. Dan Ia memberikan kepada engkau, akan pahala, jikalau adalah pasir itu makanan, lalu engkau bersedekah dengan dia”. Telah tersebut pada banyak hadits, diantaranya: “Barangsiapa bercita-cita dengan kebaikan dan tidak dikerjakannya, niscaya dituliskan kebaikan baginya”. Pada hadits yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr, yang berbunyi: karena ia berperang dengan seorang laki2, untuk mengambil pakaian. Artinya: “Barangsiapa adalah dunia itu niatnya, niscaya dijadikan oleh Allah kemiskinannya diantara dua matanya (di pelupuk matanya). Dan ia berpisah dengan dunia itu, akan yang paling digemari dari apa yang ada padanya. Dan siapa, adalah akhirat itu niatnya, niscaya dijadikan oleh Allah Ta’ala kekayaannya dalam hatinya dan dikumpulkan oleh Allah kepadanya harta-bendanya. Dan ia berpisah dari harta-benda itu, akan yang paling zuhud, dari apa yang ada pada harta-benda itu”.
Pada hadits yang dirawikan Ummu Salmah, bahwa Nabi saw menyebutkan tentara, yang kesasar beliau dengan mereka di Al-Baida’ (suatu padang sahara antara Makkah dan Madinah). Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah ! ada pada mereka itu orang yang dipaksa dan yang diongkosi”. Maka beliau menjawab: “Mereka itu dikumpulkan di atas niat mereka masing-masing”. Umar ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya berperang orang-orang yang berperang itu di atas niatnya”.
Nabi saw bersabda: “Apabila bertemu 2 barisan perang, niscaya turunlah malaikat, yang menulis makhluk itu di atas tingkatan mereka: si Anu berperang untuk dunia, si Anu berperang karena kepanasan hati, si Anu berperang karena ‘asha-biyah (fanatik). Ketahuilah, maka janganlah kamu mengatakan: si Anu itu terbunuh pada perang sabilullah. Maka siapa yang berperang supaya kalimah Allah yang tertinggi, niscaya dia itu fi sabilillah”.
Dari Jabir, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: “Dibangkitkan setiap hamba di atas apa yang ia mati padanya”. Pada hadits yang dirawikan Al-Ahnaf, dari Abi Bakrah, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila bertemu dua orang Islam dengan pedang keduanya, maka yang membunuh dan yang terbunuh itu dalam neraka”. Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! ini yang membunuh. Maka bagaimana pula yang dibunuh ?’. Beliau menjawab: “Karena ia bermaksud membunuh kawannya”. Pada hadits yang dirawikan Abu Hurairah, yaitu: “Barangsiapa mengawini seorang wanita di atas mas kawin yang ditetapkan dan dia tidak berniat melunaskannya, maka dia itu penzina. Dan siapa yang berhutang dengan suatu hutang dan dia tidak berniat membayarnya, maka dia itu pencuri”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memakai bau-bauan karena Allah Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih harum dari kesturi. Dan barangsiapa memakai bau-bauan untuk selain Allah, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih busuk dari bangkai”.
Adapun atsar, maka berkata Umar bin Al-Khattab ra: “Amal perbuatan yang paling afdhal, ialah: menunaikan apa yang difardhukan oleh Allah Ta’ala, wara’ (menjaga diri) dari apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dan benar niat pada apa yang di sisi Allah Ta’ala”. Salim bin Abdullah menulis surat kepada Umar bin Abdul-aziz, isinya: “Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah Ta’ala kepada hamba itu atas kadar niatnya. Maka siapa yang sempurna niatnya, niscaya sempurnalah pertolongan Allah kepadanya. Dan jikalau kurang, niscaya berkurang menurut qadarnya”. Sebagian salaf berkata: “Banyaklah amalan yang kecil, dibesarkan oleh niat. Dan banyaklah amal yang besar, dikecilkan oleh niat”. Daud Ath-Tha-i berkata: “Orang baik, cita-citanya itu taqwa. Maka jikalau semua anggota tubuhnya tergantung dengan dunia, niscaya ia dikembalikan oleh niatnya pada suatu hari kepada niat yang baik. Seperti yang demikian juga orang bodoh, ialah kebalikan yang demikian”.
Ats-Tsuri berkata: “Adalah mereka itu mempelajari niat bagi amal, sebagaimana mereka mempelajari amal”. Sebahagian ulama berkata: “Carilah niat untuk amal, sebelum amal. Dan selama engkau berniat kebajikan, maka engkau itu dengan kebajikan”. Sebahagian murid-murid yang berkeliling kepada ulama-ulama itu berkata: “Siapa yang menunjukkan aku kepada amal perbuatan, yang senantiasa aku mengamalkannya karena Allah Ta’ala, maka sesungguhnya aku tidak menyukai bahwa datang kepadaku sesaat dari siang dan malam, selain bahwa aku itu adalah salah seorang dari orang-orang yang beramal-perbuatan pada jalan Allah”. Lalu dikatakan kepadanya: “Engkau sudah memperoleh hajat keperluan engkau. Maka berbuatlah kebajikan, sekadar engkau sanggup. Apabila engkau lesu atau engkau meninggalkannya, maka bercita-citalah dengan mengerjakannya. Sesungguhnya orang yang bercita-cita dengan amal kebajikan adalah seperti orang yang mengerjakannya”.
Seperti demikian juga, berkata sebahagian salaf: “Bahwa nikmat Allah kepadamu itu lebih banyak daripada dapat kamu menghinggakannya. Bahwa dosa-dosamu itu lebih tersembunyi daripada bahwa kamu mengetahuinya. Akan tetapi, berpagi-pagilah kamu itu orang yang bertaubat dan bersore-sorelah kamu itu orang yang bertaubat, niscaya diampunkan bagi kamu akan apa yang diantara yang demikian”.
Isa as berkata: “Amat baiklah bagi mata yang tidur dan tidak bercita-cita dengan perbuatan maksiat. Dan dia terbangun kepada tidak kedosaan”.
Abu Hurairah berkata: “Mereka dibangkitkan pada hari kiamat, di atas kadar niatan mereka”. Adalah Al-Fudlail bin ‘Iyadl apabila membaca ayat: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu, agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal-ihwalmu”. S 47 Muhammad ayat 31, lalu beliau menangis dan mengulang-ulangi ayat itu. Dan mengatakan: “Bahwa Engkau, jikalau Engkau menguji kami, niscaya Engkau membuka kekurangan kami dan Engkau mengoyakkan tabir-tabir kami”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Sesungguhnya kekal lah isi sorga dalam sorga dan isi neraka dalam neraka, dengan niat”. Abu Hurairah berkata: “Tertulis dalam Taurat: Apa yang dikehendaki dengan itu akan wajahKu, maka sedikitnya itu menjadi banyak. Dan apa yang dikehendaki dengan itu akan selain Aku, maka banyaknya itu menjadi sedikit”. Bilal bin Sa’ad berkata: “Bahwa hamba itu sesungguhnya mengatakan perkataan orang yang beriman. Maka ia tidak ditinggalkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar) dan perkataannya. Sehingga Allah melihat pada amal-perbuatannya. Apabila ia berbuat, niscaya ia tidak ditinggalkan oleh Allah, sehingga Allah melihat kepenjagaan dirinya/kewara’annya. Apabila ia menjaga diri (wara’), niscaya tidak ditinggalkan Allah, sehingga Allah melihat akan apa yang diniatkannya. Maka apabila baik niatnya, niscaya dengan sepantasnya bahwa Allah memperbaiki akan apa yang kurang dari demikian”. Jadi, tiang amal itu niat. Maka amal itu menghendaki kepada niat, supaya dengan niat itu, ia menjadi kebajikan. Dan niat itu pada dirinya sendiri kebajikan, walaupun amal perbuatan itu terhalang dengan sesuatu halangan.
PENJELASAN: hakikat/makna niat.
Ketahuilah kiranya, bahwa niat, kehendak (Kemauan) dan qasad (maksud) itu adalah kata-kata yang sering dikemukakan dengan satu makna (pengertian). Yaitu: keadaan dan sifat hati, yang diliputi oleh dua hal, yaitu: ilmu dan amal. Ilmu itu mendahului amal. Karena dia itu pokoknya dan syaratnya. Dan amal itu mengikuti ilmu. Karena amal itu buahnya dan cabangnya. Yang demikian itu, karena setiap amal, ya’ni: setiap gerak dan diam, adalah hal pilihan
Maka tiada akan sempurna, selain dengan 3 perkara, yaitu: ilmu, kehendak dan kemampuan. Karena manusia itu tiada menghendaki, akan apa yang tiada diketahuinya. Maka tak boleh tidak, bahwa diketahuinya. Dan ia tidak mengerjakan, akan apa yang tiada dikehendakinya. Maka tidak boleh tidak dari: kehendak/kemauan. Makna kehendak (Kemauan), ialah terbangkitnya hati kepada apa yang dilihatnya, sesuai bagi maksud.
Adakalanya sekarang atau pada masa yang akan datang. Maka manusia itu sesungguhnya diciptakan, di mana sebahagian perkara sepakat dengan dia dan sesuai dengan maksudnya. Dan sebahagian yang lain tidak bersesuaian. Maka ia berhajat kepada menarik yang bersesuaian dan sepakat kepada dirinya. Dan menolak yang mendatangkan melarat dan bertentangan dari dirinya. Maka dengan semestinya, ia memerlukan kepada mengenal dan mengetahui sesuatu yang mendatangkan melarat dan manfaat. Sehingga ia menarikkan yang ini dan lari dari yang ini. Bahwa orang yang tidak dapat melihat makanan dan tidak mengenalnya, niscaya tidak mungkin ia akan mengambilnya. Dan orang yang tidak dapat melihat api, niscaya tidak mungkin ia lari daripadanya. Maka Allah menciptakan hidayah (petunjuk) dan ma’rifah (mengenal ilmu allah) dan dijadikanNya baginya itu sebab-sebab. Yaitu: pancaindra yang luar (zahiriah) dan yang dalam (batiniah). Dan tidaklah itu dari maksud kita sekarang untuk menerangkannya.
Kemudian, jikalau ia dapat melihat makanan dan mengetahui, bahwa itu bersesuaian bagi dirinya, maka tidak mencukupkan yang demikian baginya, untuk mengambil, selama tidak ada padanya kecenderungan dan keinginan dan nafsu yang membangkitkan kepadanya. Karena orang sakit itu melihat makanan dan mengetahui bahwa itu bersesuaian. Dan tidak memungkinkannya untuk mengambil, karena tidak ada keinginan dan kecenderungan. Dan karena tidak ada pengajak yang menggerakkan kepadanya.
Maka Allah Ta’ala menciptakan baginya kecenderungan, keinginan dan kehendak. Yakni: keinginan pada dirinya kepada makanan itu. Dan terarah dalam hatinya kepadanya. Kemudian, yang demikian itu tiada memadai baginya. Maka berapa banyak orang yang menyaksikan makanan, yang ingin kepadanya, menghendaki mengambilnya, yang lemah daripadanya. Karena dia itu lumpuh. Maka diciptakan baginya kemampuan dan anggota-anggota badan yang bergerak. Sehingga, sempurnalah dengan yang demikian itu, ia mengambilnya. Dan anggota badan itu tidak bergerak, selain dengan kemampuan (qudrah/kuasa). Dan kemampuan (qudrah/ kuasa)  itu menunggu pengajak yang membangkitkan. Dan pengajak itu menunggu ilmu dan ma’rifah atau sangkaan (zhann) dan i’tikad (tekad). Yaitu: bahwa ia menguatkan pada dirinya, bahwa keadaan sesuatu itu bersesuaian baginya. Maka apabila ma’rifah /ilmu mengenal Allah Ta’ala itu yakin, bahwa sesuatu itu bersesuaian dan tidak boleh tidak bahwa diperbuatnya dan ia selamat dari rintangan pembangkit lain, yang memalingkan daripadanya, niscaya membangkitlah kehendak dan terbuktilah kecenderungan. Maka apabila membangkitlah kehendak, niscaya terbangunlah kemampuan bagi menggerakkan anggota-anggota badan. Maka kemampuan itu menjadi pelayan bagi kehendak. Dan kehendak itu mengikuti hukum tekad dan ma’rifah/ilmu mengenal allah.
Maka niat itu ibarat dari sifat yang di tengah-tengah. Yaitu: kehendak dan terbangkitnya diri dengan hukum keinginan dan kecenderungan, kepada apa yang bersesuaian bagi maksud. Adakalanya pada masa sekarang dan adakalanya pada masa mendatang. Penggerak pertama, ialah maksud yang dicari, yaitu: pembangkit. Maksud yang pembangkit itu, ialah tujuan yang diniatkan. Dan keterbangkitan, ialah: qasad (maksud) dan niat. Keterbangunan kemampuan (qudrah/kuasa) untuk melayani kehendak dengan penggerakan anggota-anggota badan, ialah: amal. Hanya keterbangunannya kemampuan (qudrah/kuasa).  bagi amal itu, kadang-kadang ada ia dengan satu pembangkit. Dan kadang-kadang ada dia dengan dua pembangkit, yang berkumpul pada satu perbuatan. Apabila ada ia dengan dua pembangkit, maka kadang-kadang setiap satunya itu, dimana kalau tersendiri, niscaya adalah dia dalam tempo yang panjang membangkitkan kemampuan (qudrah/kuasa). Kadang-kadang adalah setiap satunya itu teledor daripadanya, selain dengan berkumpul. Kadang-kadang adalah satu dari keduanya itu mencukupi, jikalau tidaklah ada yang lain. Akan tetapi, yang lain itu bangkit menolong dan membantunya. Maka keluarlah dari pembahagian ini, 4 bagian. Marilah kami sebutkan bagi masing-masingnya, akan contoh dan nama.
Adapun yang pertama, maka yaitu, bahwa tersendirilah pembangkit yang satu dan sunyi dari yang lain. Seperti, apabila manusia diserang oleh binatang buas. Maka setiap kali dilihatnya, niscaya ia bangun berdiri dari tempatnya. Tiada yang mengejutkannya, selain maksud lari dari binatang buas itu. Maka ia melihat binatang buas dan diketahuinya bahwa binatang buas itu mendatangkan melarat. Maka membangkitlah dirinya kepada lari dan ingin pada lari itu. Maka tergeraklah kemampuan (qudrah/kuasa), yang berbuat menurut yang dikehendaki oleh keterbangkitan itu. Lalu dikatakan: niatnya itu lari dari binatang buas. Tak ada niatnya pada bangun berdiri itu untuk yang lain. Niat ini dinamakan: niat yang murni (niyyatun khaalishatun). Dan amal perbuatan yang diharuskan oleh niat tersebut, dinamakan: amal ikhlas, dengan dikaitkan kepada maksud yang membangkitkannya. Artinya, bahwa ia ikhlas (murni) dari perkongsian dan percampuran yang lain.
Adapun yang kedua, maka yaitu: bahwa berkumpul dua pembangkit. Masing-masing berdiri sendiri dengan ketergerakan, jikalau ia tersendiri. Contohnya dari yang dapat dirasakan dengan pancaindra, yaitu: bahwa dua orang laki-laki bertolong-tolongan membawa sesuatu menurut kemampuan yang ada, yang memadai pada membawa, jikalau ia sendirian. Dan contohnya pada maksud kita ini, ialah, bahwa: ia diminta oleh keluarganya yang miskin, akan suatu keperluan. Maka dipenuhinya hajat keperluan itu, lantaran miskinnya dan kekeluargaannya dengan orang itu. Dan ia tahu, bahwa jikalau tidaklah kemiskinannya, niscaya ia memenuhi hajat keperluan itu dengan sebab kekeluargaan semata-mata. Dan jikalau tidak kekeluargaannya, niscaya ia memenuhi hajat keperluan itu disebabkan kemiskinan semata-mata. Ia mengetahui yang demikian dari dirinya sendiri, dengan datang kepadanya keluarga yang kaya. Lalu ia ingin memenuhi hajat keperluannya. Dan orang asing (yang bukan keluarga) yang miskin, lalu ia ingin juga pada memenuhi hajat keperluan itu. Seperti demikian juga orang yang disuruh oleh dokter dengan meninggalkan makanan (tidak makan). Dan datanglah hari ‘Arafah (tanggal 9 bulan Zulhijjah). Lalu ia berpuasa. Dan ia tahu, bahwa jikalau tidaklah hari ‘Arafah, niscaya ia meninggalkan makanan (tidak makan) karena menjaga diri. Dan jikalau tidaklah menjaga diri, niscaya ia tidak meninggal kan makan, karena itu hari ‘Arafah. Dan keduanya itu berkumpul bersama. Lalu ia tampil berbuat. Dan adalah pembangkit kedua itu teman pembangkit pertama. Maka kita namakan ini: kebertemanan bagi pembangkit-pembangkit.
Yang ketiga: bahwa masing-masingnya itu tidak berdiri sendiri, jikalau ia tersendiri. Akan tetapi, kesemuanya itu menjadi kuat atas keterbangkitan kemampuan (qudrah/kuasa). Contohnya pada yang dapat dirasakan dengan pancaindra, bahwa dua orang lemah, bertolong-tolongan membawa apa, yang tidak bersendirian salah seorang dari keduanya dengan pembawaan tersebut. Contohnya pada maksud kita ini, ialah, bahwa ia dimaksudkan oleh keluarganya yang kaya. Lalu keluarga yang kaya tadi meminta uang sedirham. Lalu tidak diberikannya. Dan ia dimaksudkan oleh orang asing (bukan keluarganya) yang miskin. Lalu meminta uang sedirham. Maka tidak diberikannya. Kemudian, ia dimaksudkan oleh keluarganya yang miskin. Lalu diberikannya. Maka adalah kebangkitan pengajaknya itu dengan pengumpulan dua pembangkit. Yaitu: kekeluargaan dan kemiskinan. Seperti demikian juga, seorang laki-laki bersedekah di hadapan orang banyak, karena maksud pahala dan pujian. Dan adalah, di mana jikalau ia sendirian, niscaya ia tidak dibangkitkan oleh semata-mata bermaksud kepada pahala di atas pemberian itu. Dan jikalau yang meminta itu orang fasik, yang tiada pahala pada bersedekah kepadanya, niscaya adalah ia tidak dibangkitkan oleh semata-mata ria pada pemberian tersebut. Jikalau keduanya berkumpul, niscaya keduanya itu mewariskan dengan pengumpulan keduanya, akan penggerakan hati. Dan kami namakan jenis ini: perkongsian.
Keempat: bahwa adalah salah satu dari dua pembangkit itu berdiri sendiri, jikalau ia tersendiri dengan dirinya sendiri. Dan yang kedua, tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, tatkala dikaitkan kepadanya, niscaya ia tidak terlepas dari pengaruh, dengan perbantuan dan pengentengan. Contohnya pada yang dapat dirasakan dengan pancaindra, ialah, bahwa orang lemah menolong orang kuat pada membawa. Jikalau sendirilah orang kuat itu, niscaya ia dapat berdiri sendiri. Dan jikalau sendirianlah orang lemah tersebut, niscaya tidak dapat berdiri sendiri. Maka yang demikian itu dengan bersama tadi, memudahkan perbuatan dan mempengaruhi pada meringankannya. Contohnya pada maksud kita ini, ialah bahwa ada bagi seorang insan wirid pada shalat dan adat kebiasaan pada sedekah. Maka berkebetulanlah bahwa hadir pada waktunya, suatu jamaah manusia. Maka jadilah perbuatan itu lebih ringan kepadanya, disebabkan penyaksian mereka. Dan ia tahu dari dirinya, bahwa jikalau ia sendirian, yang di dalam kesepian, niscaya ia tidak lesu dari mengerjakannya. Dan ia tahu, bahwa perbuatannya itu, jikalau tidaklah karena taat, niscaya tidaklah semata-mata ria yang membawanya kepada perbuatan itu. Maka itu campuran, yang berjalan kepada niat. Dan marilah kami namakan jenis ini: bertolong-tolongan. Pembangkit kedua adakalanya dia itu teman atau kongsi atau penolong. Dan akan kami sebutkan hukumnya pada Bab Ikhlas. Dan maksud sekarang, ialah: penjelasan berbagai macam niat. Bahwa amal perbuatan itu mengikuti bagi pembangkit padanya. Maka diusahakanlah hukum daripadanya. Dan karena demikian, dikatakan: sesungguhnya segala amalan itu dengan niat. Karena dia itu pengikut yang tiada hukum baginya pada dirinya sendiri. Dan bahwa hukum itu bagi yang diikuti.
PENJELASAN: rahasia
Sabda nya Nabi saw; “Niat orang mu’min itu lebih baik dari amal perbuatannya” Ketahuilah kiranya, bahwa kadang-kadang disangkakan, bahwa sebab penguatan (tarjih) ini, ialah: niat itu rahasia, yang tidak melihat kepadanya, selain Allah Ta’ala. Dan amal perbuatan itu terang. Dan bagi amal perbuatan rahasia itu kelebihan. Dan ini benar. Akan tetapi, tidaklah itu yang dimaksudkan. Karena jikalau ia berniat bahwa mengingati (berdzikir) akan Allah dengan hatinya atau ia berfikir/bertafakkur mengenai kemuslihatan kaum muslimin, maka hadits tadi secara umum, menghendaki, bahwa adalah niat memikirkan / tafakkur itu lebih baik dari difikirkan. Kadang-kadang disangkakan, bahwa sebab penguatan ialah, bahwa niat itu berkekalan kepada akhir amal perbuatan dan amal perbuatan itu tidak berkekalan. Dan itu lemah (dla’if). Karena yang demikian itu kembali maknanya, bahwa amal perbuatan yang banyak itu lebih baik dari yang sedikit. Akan tetapi, tidaklah seperti yang demikian. Bahwa niat amal perbuatan shalat itu kadang-kadang tidaklah berkekalan, selain pada detik-detik (lah-dhah) yang dapat dihitung. Dan amal perbuatannya berkekalan (berketerusan). Dan umumnya menghendaki, bahwa adalah niatnya itu lebih baik dari amal perbuatannya. Kadang-kadang dikatakan, bahwa maknanya, ialah: bahwa niat, dengan semata-mata niatnya saja itu lebih baik dari amal perbuatan, dengan semata-matanya, tanpa niat. Dan itu benarlah seperti yang demikian. Akan tetapi, itu adalah jauh, bahwa itu yang dimaksudkan. Karena amal perbuatan dengan tidak ada niat atau di atas kelalaian, tidaklah sekali-kali ada kebajikan padanya. Dan niat itu dengan semata-mata niat saja itu kebajikan. Dan jelas penguatan (tarjih) itu bagi mereka yang berkongsi pada pokok kebajikan. Akan tetapi, yang dimaksudkan ialah, bahwa setiap taat itu teratur dengan niat dan amal.
Adalah niat itu dari jumlah kebajikan. Dan adalah amal perbuatan itu dari jumlah kebajikan. Akan tetapi, niat dari jumlah taat itu lebih baik dari amal perbuatan. Artinya: bagi masing-masing dari keduanya itu mempunyai pengaruh pada maksud. Dan pengaruh niat lebih banyak dari pengaruh amal perbuatan. Maka maknanya: niat orang mu’min dari jumlah taatnya itu lebih baik dari amal perbuatannya, yang dia itu dari jumlah taatnya. Maksudnya, bahwa hamba itu mempunyai ikhtiar (pilihan) pada niat dan amal perbuatan. Keduanya itu amal perbuatan. Dan niat dari jumlahnya itu lebih baik bagi keduanya. Maka itulah maknanya.
Adapun sebab keadaannya niat itu kebajikan dan menjadi kekuatan atas amal perbuatan, maka tidak dapat dipahami, selain orang yang memahami maksud dan jalan agama dan memahami penyampai pengaruh jalan pada penyambungan kepada tempat yang dimaksudkan. Dan ia membanding akan sebahagian pengaruh itu dengan sebahagian yang lain. Sehingga lahirlah baginya sesudah yang demikian, yang terkuat, dengan dikaitkan kepada yang dimaksudkan. Maka siapa yang mengatakan, bahwa roti itu lebih baik dari buah-buahan, sesungguhnya yang dimaksudkannya, ialah bahwa roti itu lebih baik, dengan dikaitkan kepada maksud makanan dan yang diambil untuk makanan. Dan tidak dipahami yang demikian, selain orang yang dapat memahami, bahwa makanan itu mempunyai tujuan yang dimaksudkan. Yaitu: kesehatan dan keterusan hidup. Bahwa makanan-makanan itu bermacam-macam bekasan padanya. Ia memahami bekas masing-masing makanan dan membandingkan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Maka ketaatan itu makanan bagi hati. Dan yang dimaksud ialah sembuhnya, keterusannya, keselamatannya di akhirat, kebahagiaannya dan kenikmatannya dengan menemui Allah Ta’ala. Maka tujuan maksud, ialah kelezatan kebahagiaan dengan menemui Allah saja. Dan tiada bernikmat-nikmatan dengan menemui Allah, selain orang yang mati, dengan mencintai Allah Ta’ala, dan yang mengenal/berma’rifah kepada Allah. Tiada mencintaiNya, selain orang yang mengenalNya. Tiada jinak hatinya dengan Tuhannya, selain orang yang lama dzikirnya (sebutannya) kepadaNya. Maka kejinakan hati itu berhasil dengan terus-menerusnya dzikir. Dan pengenalan/ma’rifah itu berhasil dengan terus-menerusnya fikir. Kecintaan itu dengan sendirinya mengikuti ma’rifah. Dan tidaklah hati itu kosong untuk terus-menerusnya dzikir dan fikir, selain apabila ia kosong dari segala kesibukan duniawi. Dan tidak akan kosong dari segala kesibukannya, selain apabila telah terputus daripadanya segala nafsu keinginan kepada dunia. Sehingga jadilah ia cenderung kepada kebajikan dan menghendaki kebajikan. Lari dari kejahatan dan marah kepada kejahatan. Bahwa dia cenderung kepada kebajikan dan ketaatan, apabila ia tahu, bahwa kebahagiaannya di akhirat tergantung dengan itu. Sebagaimana orang yang berakal itu cenderung kepada betik dan bekam, karena diketahuinya, bahwa keselamatannya pada yang dua itu.
Apabila telah berhasil pokok kecenderungan dengan mengenal/ma’rifah, maka sesungguhnya kecenderungan dan kerajinan menghendaki kepadanya. Bahwa kerajinan atas yang dikehendaki sifat-sifat hati dan kehendaknya dengan amal perbuatan itu berlaku, sebagaimana berlakunya makanan dan makanan pokok bagi sifat itu. Sehingga sifat itu tersaring dan kuat dengan sebabnya. Orang yang cenderung kepada menuntut ilmu atau mencari menjadi kepala itu tiadalah kecenderungannya pada permulaannya, selain lemah. Maka jikalau ia mengikuti yang dikehendaki oleh kecenderungan dan ia menyibukkan diri dengan ilmu, pendidikan kekepalaan dan amal perbuatan yang dicari bagi yang demikian, niscaya menguatlah kecenderungannya dan meneguh. Dan sulitlah baginya untuk menarik diri daripadanya. Dan jikalau menyalahi dengan yang dikehendaki oleh kecenderungan nya, niscaya lemahlah dan hancurlah kecenderungan itu. Kadang-kadang menjadi hilang dan terhapus. Akan tetapi, orang yang memandang kepada muka cantik umpamanya, lalu cenderung tabiatnya kepadanya dengan kecenderungan yang lemah, jikalau diikutinya dan diperbuatnya menurut yang dikehendaki oleh kecenderungan itu, lalu ia terus-menerus memandang, duduk-duduk, bercampur-baur dan bercakap-cakap, niscaya menguatlah kecenderungannya. Sehingga keluarlah urusan tersebut dari pilihannya (ikhtiarnya). Lalu ia tidak sanggup lagi mencabut diri daripadanya. Jikalau ia pada permulaannya memisahkan dirinya dan menyalahi dengan yang dikehendaki oleh kecenderungan nya, niscaya adalah yang demikian itu, seperti memutuskan makanan pokok dan makanan biasa dari sifat kecenderungan. Dan adalah yang demikian itu cegahan kuat dan tolakan pada mukanya. Sehingga ia lemah dan hancur dengan sebabnya. Tercegah dan terhapus.
 Begitulah kiranya semua sifat, kebajikan dan taat seluruhnya, yang dikehendaki dengan semuanya itu akan akhirat. Dan kejahatan seluruhnya, yang dikehendaki dengan dia akan dunia, tidak akhirat. Kecenderungan diri kepada kebajikan akhirat dan terpalingnya dari dunia, adalah yang menyelesaikannya dari urusan lain untuk dzikir dan fikir. Dan tiada meneguhkan yang demikian, selain dengan kerajinan atas amalan taat dan meninggalkan perbuatan maksiat dengan anggota badan. Karena diantara anggota-anggota badan dan hati itu ada hubungan. Sehingga, membekas masing-masing dari keduanya dengan yang lain. Maka anda melihat, suatu anggota badan, apabila kena luka, niscaya hati merasa sedih. Dan anda melihat hati, apabila ia merasa pedih dengan meninggalnya salah seorang temannya yang dikasihi atau dengan serangan sesuatu yang menakutkan, niscaya terpengaruh segala anggota badannya dengan yang demikian. Terkejut lah sendi-sendinya dan berobahlah warna mukanya. Selain bahwa hati itu pokok yang diikuti, maka dia itu seakan-akan amir dan penggembala. Dan anggota-anggota badan itu seperti pelayan-pelayan, rakyat dan pengikut. Maka anggota-anggota badan itu pelayan bagi hati, dengan penguatan sifat-sifatnya pada hati. Maka hati itulah yang dimaksudkan. Dan anggota-anggota badan itu yang menyampaikan kepada maksud.
Karena itulah Nabi saw bersabda: “Bahwa dalam tubuh itu ada sepotong daging/mudl-ghah. Apabila ia baik, niscaya baiklah bagian tubuh lainnya”. Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! baikkanlah penggembala dan rakyat”. Dan yang dikehendaki dengan penggembala (ar-raa’i), ialah: hati. Allah Ta’ala berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapai nya”. S 22 Al Hajj ayat 37. Yaitu: sifat hati. Maka dari segi ini –sudah pasti –wajiblah bahwa amal perbuatan hati pada keseluruhannya itu lebih utama dari gerak-gerik anggota tubuh. Kemudian, wajiblah bahwa adalah niat itu lebih utama dari keseluruhannya. Karena dia itu ibarat dari kecenderungan hati kepada kebajikan dan kehendaknya bagi kebajikan. Dan maksud kami dari amal perbuatan dengan anggota-anggota badan, ialah bahwa dibiasakan oleh hati akan kehendak kebajikan dan dikuatkan padanya akan kecenderungan kepada kebajikan. Supaya ia kosong dari segala nafsu syahwat duniawi. Dan ia bertekun kepada dzikir dan fikir. Maka dengan mudah, adalah itu kebajikan, dengan dikaitkan kepada maksud. Karena dia itu berkedudukan dari diri maksud itu sendiri. Dan ini, sebagaimana maidah (perut besar) apabila merasa sakit, maka kadang-kadang diobati, dengan meletakkan air anggur yang sudah dimasak (ath-thila’) di atas dada. Dan diobati dengan minum dan obat yang sampai ke perut. Maka minum itu lebih baik dari ath-thila’ di dada. Karena ath-thila’ di dada juga, sesungguhnya dimaksudkan, bahwa menjalar daripadanya bekas ke perut. Maka apa yang menemui perut itu sendiri, adalah lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka begitulah seyogyanya bahwa anda memahami pembekasan taat seluruhnya. Karena yang dicari daripadanya, ialah pengobahan hati dan penggantian sifat-sifatnya saja, bukan anggota badan. Maka janganlah anda menyangka, bahwa pada meletakkan dahi di atas bumi itu maksudnya, dari segi mengumpulkan diantara dahi dan bumi. Akan tetapi, dari segi, bahwa menurut adat (kebiasaan) ialah, menguatkan sifat merendahkan diri pada hati. Bahwa orang yang mendapati pada dirinya sifat merendahkan diri, maka apabila ia merasa tenang dengan anggota-anggota badannya dan menggambarkannya dengan gambaran merendahkan diri, niscaya menguatlah sifat merendahkan diri itu.
Dan siapa yang mendapati pada hatinya akan kasih-sayang kepada anak yatim, maka apabila ia menyapu kepala anak yatim dan memeluknya, niscaya menguatlah kekasih-sayangan itu dalam hatinya. Karena inilah, tiada sekali-kali amal perbuatan itu berfaedah, dengan tanpa niat. Karena orang yang menyapu kepala anak yatim dan ia lalai dengan hatinya atau ia menyangka menyapu kain, niscaya tiada berkembanglah dari anggota badannya, bekasan kepada hatinya, bagi menguatkan kasih-sayang. Seperti demikian juga, orang yang sujud dalam keadaan lalai dan ia disibukkan cita-cita dengan harta benda dunia, niscaya tidaklah berkembang dari dahinya dan peletakannya di atas bumi itu, bekasan kepada hatinya, yang menguatkan sifat merendahkan diri dengan yang demikian. Maka adanya itu seperti tidak adanya. Dan apa yang menyamakan adanya dengan tidaknya itu dengan dikaitkan kepada maksud yang dicari daripadanya, dinamakan: batil/tidak benar.
Maka dikatakanlah: ibadah dengan tanpa niat itu batil/salah. Ini artinya, apabila dikerjakan dalam keadaan lalai. Maka apabila dimaksudkan dengan perbuatan itu ria atau menghormati orang lain, niscaya tidaklah adanya itu seperti tidak adanya. Akan tetapi, menambahkan baginya kejahatan. Dia tidak menguatkan sifat yang dicari penguatannya sehingga ia menguatkan sifat yang dicari pencegahannya. Yaitu: sifat ria, yang dia itu dari kecenderungan kepada dunia. Maka inilah segi keadaan niat itu lebih baik dari amal perbuatan. Dan dengan ini pula, diketahui makna sabda Nabi saw: “Barangsiapa bercita-cita dengan kebaikan, lalu tidak dikerjakannya niscaya dituliskan baginya suatu kebaikan”. Karena cita-cita hati itu ialah kecenderungannya kepada kebajikan & berpalingnya dari hawa nafsu dan kecintaan dunia. Dan itulah kebaikan yg penghabisan. Dan menyempurnakan nya dengan amal perbuatan itu menambahkan penguatan nya.
Maka tidaklah yang dimaksudkan dengan menumpahkan darah binatang yang dikurbankan itu darahnya dan dagingnya. Akan tetapi, kecenderungan hati dari kecintaan dunia dan memberikannya karena mengutamakan Wajah Allah Ta’ala. Sifat ini sesungguhnya berhasil, ketika teguhnya niat dan cita-cita, walaupun dicegah dari amal-perbuatan itu oleh sesuatu pencegah. Maka daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, akan tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Taqwa disini, yakni: hati. Dan karena demikianlah, Nabi saw bersabda: “Bahwa suatu kaum di Madinah, telah bersekutu dengan kita pada perjuangan kita”. Sebagaimana telah terdahulu disebutkan. Karena hati mereka pada kebenaran kehendak kebajikan, memberi harta dan jiwa, ingin mencari kesyahidan dan meninggikan kalimah Allah Ta’ala itu seperti hati orang-orang yang keluar ke medan jihad. Hanya berbeda dengan mereka, dengan badan, karena penghalang-penghalang yang menentukan sebab-sebab yang keluar dari hati. Dan yang demikian itu tidak dicari, selain untuk meneguhkan sifat-sifat ini. Dengan makna-makna ini, dipahamilah semua hadits-hadits yang telah kami kemukakan pada keutamaan niat. Maka datanglah kepadanya, supaya tersingkap bagi anda akan rahasia-rahasianya. Kami tidak memanjangkannya lagi dengan mengulanginya.
PENJELASAN: uraian amal-amal perbuatan yang menyangkut dengan niat.
Ketahuilah, bahwa amal perbuatan, walaupun terbagi kepada banyak bagian, dari perbuatan, perkataan, gerak, tetap, tarik, tolak, fikir, dzikir dan lain nya, daripada apa yang tidak tergambarkan penghinggaannya dan penyelidikannya, maka dia itu adalah 3 bahagian, yaitu: perbuatan taat, perbuatan maksiat dan perbuatan yang diperbolehkan.
       Yang pertama: perbuatan maksiat. Yaitu: yang tiada berobah dari tempatnya dengan niat. Maka tiada seyogyalah, bahwa dipahami oleh orang yang bodoh akan yang demikian dari umumnya sabda Nabi saw: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu dengan niat”. Lalu menyangka, bahwa perbuatan maksiat itu terbalik menjadi amalan taat dengan niat. Seperti orang yang mengumpat seorang insan, karena menjaga hati orang lain. Atau memberi makanan seorang miskin dari harta orang lain. Atau membangun sekolah atau masjid atau langgar dengan harta haram. Dan maksudnya kebajikan. Maka ini semuanya bodoh. Dan niatnya tidaklah berpengaruh pada mengeluarkan yang tersebut itu, dari keadaannya zalim, permusuhan dan maksiat. Bahkan maksudnya akan kebajikan dengan kejahatan yang menyalahi kehendak agama itu suatu kejahatan yang lain. Kalau sudah diketahuinya yang demikian, maka dia itu mengingkari syara’ (agama). Dan kalau tidak diketahuinya, maka dia orang maksiat dengan kebodohannya. Karena menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim. Dan perbuatan kebajikan, sesungguhnya diketahui keadaannya itu kebajikan, adalah dengan syara. Maka bagaimana mungkin bahwa kejahatan itu menjadi kebajikan ? amat jauh dari yang demikian ! akan tetapi, yang menghiasi bagi yang demikian pada hati, ialah tersembunyinya nafsu syahwat dan batinnya hawa nafsu. Bahwa hati, apabila ia cenderung kepada mencari kemegahan dan mencenderungkan hati manusia kepadanya dan keberuntungan-keberuntungan diri yang lain, niscaya setan mencari jalan dengan yang demikian kepada menipu orang bodoh.
Karena itulah Sahal ra berkata: “Tiadalah orang berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dengan suatu maksiat yang lebih besar dari kebodohan”. Ditanyakan: “Hai Abu Muhammad ! adakah engkau mengetahui akan sesuatu, yang lebih berat dari kebodohan ?”. Abu Muhammad menjawab: “Ya, ada ! yaitu: kebodohan dengan kebodohan”. Benarlah sebagaimana yang dikatakannya. Karena kebodohan dengan kebodohan itu menyumbat secara keseluruhan pintu belajar. Maka siapa yang menganggap secara keseluruhan pada dirinya, bahwa ia orang yang berilmu, maka bagaimana ia belajar ? seperti demikian juga, bahwa yang lebih utama, apa yang dengan itu ditaati Allah Ta’ala, ialah: ilmu.
Modal ilmu, ialah: tahu dengan ilmu. Sebagaimana modal kebodohan, ialah: bodoh dengan kebodohan. Bahwa orang yang tidak mengetahui akan ilmu yang bermanfaat, dari ilmu yang melarat, niscaya ia sibuk dengan apa, yang berkecimpung manusia padanya, dari ilmu-ilmu yang terhias, yang menjadi jalan mereka kepada dunia. Dan yang demikian itu, adalah alat kebodohan dan sumber kerusakan alam. Yang dimaksudkan, ialah bahwa orang yang bermaksud akan kebajikan dengan perbuatan maksiat, dari kebodohan, maka orang itu tidak dimaafkan. Kecuali, apabila ia baru saja masuk Islam. Dan tidak diperolehnya sesudah itu kesempatan bagi belajar. Allah swt berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang-orang pandai, kalau kamu tidak tahu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 7. Nabi saw bersabda: “Tiada dimaafkan orang yang bodoh di atas kebodohan. Dan tidak halal bagi orang yang bodoh, bahwa berdiam diri di atas kebodohannya. Dan tiada bagi orang yang berilmu bahwa berdiam diri di atas keilmuannya”. Dan mendekati dengan pendekatan raja-raja dengan pembangunan masjid-masjid dan sekolah-sekolah dengan harta haram, oleh pendekatan ulama-ulama jahat (ulama-us-suu’) dengan mengajarkan ilmu kepada orang-orang yang busuk perangai dan orang-orang jahat, yang selalu mengerjakan perbuatan fasik dan zalim, yang terbatas cita-citanya kepada bertengkar dengan para ulama, berlomba-lomba dengan orang-orang yang buruk perangai, mencari kecenderungan wajah manusia kepadanya, mengumpulkan harta-benda dunia, mengambil harta sultan-sultan, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Maka mereka itu apabila belajar, niscaya adalah mereka orang-orang yang memotong jalan Allah. Setiap seorang dari mereka itu bergerak dalam negerinya, menjadi pengganti dajjal, loba kepada dunia dan mengikuti hawa nafsu. Menjauhkan diri dari taqwa dan memberanikan manusia dengan sebab melihatnya, berbuat perbuatan maksiat kepada Allah. Kemudian, kadang-kadang ilmu itu berkembang, kepada yang seperti orang itu dan yang seperti-sepertinya. Mereka mengambilnya juga menjadi alat dan jalan pada kejahatan dan mengikuti hawa nafsu. Dan sambung-menyambung yang demikian. Bahaya semuanya itu kembali kepada yang mengajar (al-mu’allim) yang mengajarkannya ilmu itu, serta diketahuinya dengan kerusakan niatnya dan maksudnya. Dan disaksikannya bermacam-macam perbuatan maksiat dari perkataan-perkataannya dan perbuatan-perbuatannya, pada makanan, pakaian dan tempat tinggalnya. Maka matilah orang yang berilmu ini dan kekallah bekas-bekas kejahatannya bertebaran di alam ini, 1000 tahun umpamanya dan 2000 tahun.
Dan amat baiklah bagi orang, yang apabila ia mati, lalu matilah bersamanya dosa-dosanya. Kemudian, mengherankan dari kebodohannya, dimana ia mengatakan: “Bahwa semua amal perbuatan itu dengan niat. Aku maksudkan dengan yang demikian itu, mengembangkan ilmu agama. Kalau orang itu menggunakannya pada kerusakan, maka maksiat itu daripadanya. Tidak daripadaku. Aku tidak maksudkan dengan yang demikian, selain bahwa ia memperoleh pertolongan dengan ilmu itu, kepada kebajikan. Bahwa suka menjadi kepala, suka menjadi ikutan orang dan merasa bangga dengan ketinggian ilmu, adalah bagus yang demikian dalam hatinya. Dan setan dengan perantaraan suka menjadi kepala itu menipunya”. Kiranya aku dapat mengetahui, apakah jawabannya itu, dari orang yang memberi pedang kepada orang yang memotong jalan (merampok di jalan). Ia sediakan bagi orang itu kuda dan sebab-sebab yang lain, yang memberi pertolongan kepadanya atas maksudnya. Dan ia mengatakan: “Bahwa aku kehendaki memberikan, bermurah hati dan bertingkah-laku dengan tingkah-laku Allah yang elok. Dan aku maksudkan dengan yang demikian itu, bahwa ia berperang dengan pedang itu dan kuda pada jalan Allah (sabilullah). Bahwa menyediakan kuda, tali ikatan dan kekuatan bagi orang-orang yang berperang adalah termasuk pendekatan diri kepada Allah yang paling utama. Kalau ia palingkan kepada merampok di jalan, maka orang itulah yang berbuat maksiat. Dan telah sepakat para ulama bahwa yang demikian itu haram, sedang sifat kemurahan hati adalah akhlak yang paling disukai oleh Allah Ta’ala.
Sehingga Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala mempunyai 300 akhlak. Barangsiapa mendekati kepadaNya dengan salah satu dari yang 300 akhlak itu, niscaya ia masuk sorga. Dan yang paling disukai oleh Allah daripadanya itu, ialah: sifat kemurahan hati”. Kiranya aku dapat mengetahui, mengapa sifat kemurahan hati ini diharamkan ? mengapakah diwajibkan kepadanya bahwa melihat kepada karinah (berkumpul) keadaan dari orang zalim itu ? maka apabila menunjukkan baginya dari adat kebiasaannya, bahwa ia mendapat pertolongan dengan senjata itu kepada kejahatan, maka seyogyalah bahwa diusahakan pada menarik senjatanya itu. Tidak bahwa menolongnya dengan yang lain. Ilmu itu senjata untuk diperangi setan dan musuh-musuh Allah.
Kadang-kadang, musuh-musuh Allah ‘Azza Wa Jalla bertolong-tolongan dengan ilmu. Yaitu: hawa nafsu. Maka siapa yang senantiasa mengutamakan dunianya di atas agamanya, hawa nafsunya di atas akhiratnya dan ia lemah dari yang demikian, karena sedikit keutamaannya, maka bagaimana boleh menolong nya dengan semacam ilmu, yang memungkinkannya sampai kepada nafsu syahwatnya ? akan tetapi, senantiasalah ulama-ulama salaf ra menyelidiki keadaan orang yang pulang pergi kepada mereka. Kalau mereka melihat daripadanya keteledoran pada salah satu amalan sunat, niscaya mereka membantahnya dan mereka meninggalkan pemuliaannya. Apabila mereka melihat daripadanya kezaliman dan menghalalkan yang haram, niscaya mereka tinggalkan berbicara dengan dia dan mereka mengasingkannya dari majlis-majlis mereka. Mereka tinggalkan bercakap-cakap dengan dia, apa lagi mengajarkannya. Karena mereka tahu, bahwa orang yang mempelajari suatu permasalahan dan tidak mengamalkannya dan melampauinya kepada yang lain, maka tidaklah orang itu mencari, selain alat kejahatan. Dan semua ulama salaf berlindung dengan Allah dari orang zalim, yang alim dengan sunnah. Dan mereka tidak berlindung dari orang zalim yang bodoh.
Diceritakan dari sebahagian sahabat Ahmad bin Hanbal ra, bahwa ia pulang-pergi kepada Ahmad bin Hanbal ra bertahun-tahun. Kemudian, kebetulan Ahmad berpaling daripadanya. Ditinggalkannya berbicara dan jadilah ia tidak bercakap-cakap dengan sahabat tersebut. Senantiasalah ia menanyakan tentang perobahannya terhadap dirinya. Ahmad bin Hanbal ra tidak mau menyebutkannya. Sehingga Ahmad bin Hanbal itu mengatakan: “Sampai kepadaku bahwa engkau menembokkan dinding rumah engkau dari pinggir jalan. Dan telah engkau ambil kadar tebalnya tanah, yaitu satu anak jari, dari jalan kaum muslimin. Maka engkau tidak pantas untuk memindahkan (menerima) ilmu”. Maka begitulah adanya pengintipan ulama salaf kepada hal-keadaan penuntut-penuntut ilmu. Inilah dan contoh-contohnya yang seperti ini, dari apa yang meragukan kepada orang-orang dungu dan pengikut-pengikut setan, walaupun adalah mereka itu mempunyai pakaian-pakaian kebesaran ulama, lengan-lengan baju yang luas dan mempunyai kelancaran berbicara yang jauh dan kelebihan banyak. Yakni: kelebihan ilmu pengetahuan yang tidak dilengkapi dengan peringatan dari dunia dan gertakan daripadanya. Penggemaran pada akhirat dan seruan kepadanya. Bahkan itu adalah ilmu yang menyangkut dengan makhluk dan menyambung dengan dia kepada mengumpulkan harta-benda dunia, diikuti manusia dan terkemuka di atas teman-teman.
Jadi, sabda Nabi saw: “Bahwa segala amal perbuatan itu dengan niat”, adalah khusus dari 3 bahagian dengan taat dan perbuatan mubah (yang diperbolehkan). Tidak perbuatan-perbuatan maksiat. Karena taat itu terbalik menjadi maksiat dengan kasad (niat). Dan mubah itu terbalik menjadi maksiat dan taat dengan kasad. Adapun maksiat, maka tidak terbalik sekali-kali menjadi taat dengan niat. Benar, niat dapat masuk padanya. Yaitu, bahwa: apabila bertambah kepadanya niat-niat yang keji, niscaya berlipat-ganda dosanya dan besar bencananya. Sebagaimana telah kami sebutkan yang demikian pada Kitab Taubat.
Bahagian kedua: taat. Yaitu, yang terikat dengan niat pada pokok shahnya dan pada berlipat-gandanya kelebihannya. Adapun pokok, maka yaitu: bahwa ia niatkan dengan taat itu akan ibadah kepada Allah Ta’ala. Tidak lain. Kalau ia niatkan riba, niscaya jadilah taat itu maksiat. Adapun berlipat-gandanya kelebihan, maka dengan banyaknya niat-niat yang baik. Bahwa satu perbuatan taat, maka mungkin bahwa ia niatkan dengan taat yang satu itu akan banyak kebajikan. Maka adalah pahala baginya dengan setiap niat. Karena masing-masing daripadanya suatu kebaikan. Berlipat-gandanya setiap kebaikan dengan 10 kali daripadanya, sebagaimana yang datang pada hadits. Contohnya duduk dalam masjid. Maka duduk itu taat. Dan mungkin bahwa ia berniat padanya akan banyak niat. Sehingga menjadi sebahagian dari keutamaan amal perbuatan orang-orang yang taqwa (al-muttaqin). Dan sampai ia dengan yang demikian kepada derajat orang-orang al-muqarrabin (orang-orang mendekatkan diri kepada Allah)
1. bahwa ia beri’tikad (berniat) bahwa masjid itu baitullah. Bahwa yang masuk ke dalamnya itu menziarahi Allah. Maka ia kasadkan (niatkan) dengan yang demikian itu menziarahi Tuhannya, karena mengharap apa yang dijanjikan oleh Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa duduk dalam masjid, maka sesungguhnya ia menziarahi Allah Ta’ala. Dan berhak atas yang diziarahi memuliakan yang menziarahinya”.
2. bahwa ia menunggu shalat sesudah shalat. Maka adalah dia dalam jumlah penungguannya dalam shalat. Dan itulah makna firman Allah Ta’ala: “Dan tetaplah bersiap siaga”. S 3 Ali ‘Imran ayat 200.
3. peribadatan dengan tercegahnya mendengar, melihat dan anggota-anggota badan dari gerak dan pulang-pergi. Bahwa i’tikaf (berhenti dalam masjid) itu pencegahan. Dan itu dalam arti puasa. Yaitu: semacam peribadatan. Karena itulah Rasulullah saw bersabda: “Keibadatan umatku itu duduk dalam masjid-masjid”.
4. meneguhkan cita-cita kepada Allah dan mengharuskan rahasia (kebatinan hati) untuk berpikir tentang akhirat dan menolak segala kesibukan yang memalingkan nya dari yang demikian, dengan mengasingkan diri ke masjid.
5. mensemata-matakan diri untuk berdzikir kepada Allah atau untuk mendengarkan dzikir orang lain kepadaNya dan untuk mengingatiNya. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits: “Barangsiapa berpagi-pagi ke masjid untuk berdzikir (mengingati) akan Allah Ta’ala atau untuk ia mengingatkan orang lain kepada Allah Ta’ala, niscaya adalah dia seperti orang yang berjihad (al-mujahid) pada jalan Allah Ta’ala (fi sabilillah)”.
6. bahwa ia maksudkan untuk memfaedahkan ilmunya, dengan amar ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat yang munkar),. Karena masjid itu tidak terlepas dari orang yang berbuat buruk dalam shalatnya. Atau melakukan apa yang tidak halal baginya. Maka ia menyuruh orang itu dengan berbuat kebajikan dan menunjukkannya kepada agama. Maka dia itu berkongsi dengan orang tersebut pada kebajikannya, yang diketahuinya dari orang itu. Lalu berlipat-gandalah kebajikannya.
7. bahwa ia memperoleh saudara pada jalan Allah. Bahwa yang demikian itu rampasan dan simpanan untuk negeri akhirat. Dan masjid itu tempat berkumpul orang-orang agama, yang bercintaan karena Allah dan pada jalan Allah.
8. bahwa ia meninggalkan dosa karena malu kepada Allah Ta’ala dan malu daripada berbuat di baitullah, yang membawa kerusakan kehormatan.
Al-Hasan bin Ali ra berkata: “Siapa yang selalu pulang-pergi ke masjid, niscaya diberikan oleh Allah rezeki kepadanya salah satu dari 7 perkara: saudara yang memperoleh faedah pada jalan Allah atau rahmat yang diturunkan atau ilmu yang menjadikan pintar atau kalimah yang menunjukkan kepada petunjuk atau yang memalingkannya dari keburukan atau ia meninggalkan dosa karena takut atau malu. Maka itulah jalan memperbanyakkan niat. Dan bandingkanlah dengan yang demikian, akan amalan taat dan mubah (yang diperbolehkan) lainnya. Karena, tiada suatu amalan taatpun, melainkan ia memungkinkan niatan yang banyak. Dan hadir dalam hati hamba yang beriman, menurut kadar kesungguhannya pada mencari kebajikan, menghendakinya dan bertafakkur padanya. Maka dengan ini, bersihlah segala amal perbuatan dan berlipat-gandalah kebaikan-kebaikan.
Bahagian ketiga: yang mubah. Tiada suatupun dari yang amalan yang mubah (dibolehkan), melainkan memungkinkan satu niatan atau niatan-niatan, yang dengan niatan-niatan itu menjadi sebahagian dari amalan yang baik, yang mendekatkan diri kepada Allah. Dan tercapai dengan yang demikian derajat yang tinggi. Maka alangkah besarnya kerugian orang yang lalai daripadanya. Dan diperbuatkannya sebagai perbuatan hewan yang lengah, dari kelupaan dan kelalaian. Dan tiada seyogyalah bahwa hamba itu memandang leceh akan sesuatu dari bahaya, salah dan detik-detik waktu. Semua yang demikian itu dipertanyakan pada hari kiamat, mengapa di perbuatnya ? apakah yang dimaksudkannya ? dan ini pada yang semata-mata mubah, yang tidak dicampuri oleh kemakruhan. Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: “Halalnya diperhitungkan dan haramnya mendapat siksa”. Pada hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal, bahwa: Nabi saw bersabda: “Bahwa hamba itu ditanyakan pada hari kiamat, dari tiap sesuatu, sehingga dari celak kedua matanya dan dari pecahan-pecahan tanah dengan dua anak jarinya dan dari sentuhannya akan kain saudaranya”. Tersebut pada hadits yang lain: “Barangsiapa memakai bau-bauan karena Allah Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih harum dari kesturi. Dan barangsiapa memakai bau-bauan bukan karena Allah Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih busuk dari bangkai”. Maka memakai bau-bauan itu mubah (diperbolehkan). Akan tetapi, tak boleh tidak daripada niat padanya. Maka jikalau anda bertanya: “Apakah yang memungkinkan bahwa ia berniat dengan memakai bau-bauan dan itu adalah salah satu dari keberuntungan diri ? bagaimana  ia memakai bau-bauan karena Allah ?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang yang memakai bau-bauan umpamanya pada hari Jum’at dan pada waktu-waktu yang lain itu tergambar bahwa ia bernaksud bersenang-senang dengan kelezatan duniawi atau ia bermaksud melahirkan kesombongan dengan banyak hartanya, supaya dengki teman-temannya. Atau ia bermaksud memperlihatkan (ria) kepada orang banyak, supaya tegaknya kemegahan baginya dalam hati mereka dan ia disebutkan dengan keharuman bau. Atau supaya jatuh kecintaan kepadanya dalam hati wanita-wanita asing (bukan mahramnya), apabila dia itu halal memandang kepada wanita-wanita tersebut. Dan karena hal-hal yang lain yang tidak terhingga banyaknya. Semua ini menjadikan memakai bau-bauan itu perbuatan maksiat. Maka dengan demikian adalah dia lebih busuk dari bangkai pada hari kiamat.
Kecuali maksud yang pertama. Yaitu: berlezat-lezatan dan bernikmat-nikmatan. Maka yang demikian itu tidaklah maksiat. Hanya, ia dipertanyakan dari yang demikian. Dan siapa yang diperdebatkan akan hitungan amalnya (al-hisab), niscaya dia itu diazabkan. Dan siapa yang mengerjakan akan sesuatu dari yang diperbolehkan dalam dunia, niscaya ia tidak diazabkan di akhirat. Akan tetapi, ia berkurang dari kenikmatan akhirat, dengan kadarnya.
Cegahlah dirimu akan kerugian, dengan mengerjakan dengan segera akan sesuatu yang fana (lenyap-binasa). Dan rugi dari bertambahnya nikmat yang tiada akan fana. Adapun niat yang baik, ialah meniatkan mengikuti sunnah Rasulullah saw pada hari Jum’at. Ia meniatkan dengan yang demikian juga membesarkan (menghormatkan) masjid, menghormati Baitullah. Maka ia tidak melihat bahwa orang yang menziarahi Allah masuk ke dalamnya, selain bau-bauan yang harum. Ia maksudkan dengan yang demikian itu membau-harumkan tetangganya, supaya mereka itu merasa senang dalam masjid ketika berdekatan dengan dia dengan bau-bauannya. Ia maksudkan dengan yang demikian, menolak bau yang keji dari dirinya, yang membawa kepada menyakitkan orang-orang yang bercampur-baur dengan dia. Dan ia maksudkan menutup pintu umpatan dari orang-orang yang mengumpat, apabila mereka mengumpatinya disebabkan bau yang keji. Maka mereka itu berbuat maksiat kepada Allah, dengan sebabnya. Maka barangsiapa mendatangkan bagi umpatan, padahal ia sanggup menjaga daripadanya, niscaya dia itu berkongsi pada maksiat tersebut, sebagai dikatakan:
Apabila engkau meninggalkan suatu kaum
dan mereka itu sanggup,
bahwa engkau tidak berpisah dengan mereka,
maka yang meninggalkan itu adalah mereka.
Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu marah apa-apa yang mereka sembah selain dari Allah, supaya mereka jangan pula mencela Allah di luar batas, dengan tidak berdasar pengetahuan”. S 6 Al An’aam ayat 108. Dengan firman tersebut, Allah Ta’ala mengisyaratkan, bahwa yang menyebabkan kepada kejahatan itu adalah suatu kejahatan. Dan bahwa ia maksudkan dengan yang demikian itu, mengobati otaknya supaya bertambah kecerdikan dan kepintarannya. Dan memudahkan kepadanya memahami kepentingan agamanya dengan berfikir.
Asy-Syafi’i ra berkata: “Barangsiapa baik baunya, niscaya bertambah akalnya”. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini dari niat-niat, tidaklah orang yang ahli dalam ilmu fikih (al-faqih) itu lemah daripada mengetahuinya, apabila adalah perniagaan akhirat dan mencari kebajikan itu mengerasi atas hatinya. Dan apabila tidak mengerasi atas hatinya, selain kenikmatan duniawi, niscaya niat-niat itu hadir kepadanya. Dan kalau disebutkan kepadanya, niscaya hatinya tidak tergerak kepadanya. Maka tidak ada bersamanya dari niat-niat itu, selain bisikan jiwa (haditsun-nafsi). Dan tidaklah yang demikian itu pada suatupun dari niat. Hal yang diperbolehkan (al-mubahat) itu banyak. Tidak mungkin menghinggakan niat padanya. Maka kiaskanlah dengan yang satu ini, akan yang lain ! dan karena inilah, sebahagian orang arif (yang berilmu ma’rifah) dari ulama-ulama salaf berkata: “Sesungguhnya aku menyukai bahwa adalah bagiku niat pada tiap sesuatu, sehingga pada makanku, minumku, tidurku dan masukku ke baitul-khala’ (kakus)”. Setiap yang demikian itu termasuk yang mungkin dimaksudkan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Karena setiap apa saja yang menyebabkan tidak binasanya badan dan selesainya hati dari kepentingan-kepentingan badan, maka itu menolong kepada agama. Maka orang, yang maksudnya dari makan itu memperoleh kekuatan kepada ibadah, dari bersetubuh menjaga agamanya, membaikkan hati isterinya dan dengan demikian, ia memperoleh anak yang shalih, yang akan menyembah Allah Ta’ala sesudahnya, lalu dengan anak itu bertambah banyak umat Muhammad saw, niscaya adalah dia itu berbuat taat dengan makannya dan kawinnya. Yang lebih banyak keberuntungan diri, ialah makan dan bersetubuh. Bermaksud kebajikan dengan keduanya itu tidak terlarang bagi orang yang keras atas hatinya, cita-cita akhirat. Karena itulah, seyogyanya bahwa baguslah niatnya dari dua hal itu, yang habis baginya harta dan ia mengatakan: “Itu adalah pada jalan Allah (sabilullah)”.
Apabila sampai kepadanya umpatan orang lain kepadanya, maka hendaklah ia membaguskan hatinya, dengan ia akan menanggung segala kejahatan nya dan akan berpindah kepada daftar amal orang itu, segala kebaikannya. Dan hendaklah ia meniatkan yang demikian dengan diamnya dari menjawab. Tersebut pada hadits: “Bahwa hamba itu akan diperhitungkan amal perbuatannya. Maka batallah amal perbuatannya, karena masuknya bahaya padanya. Sehingga mengharuskan neraka. Kemudian, disiarkan baginya dari amal perbuatan yang baik (amal shalih), yang mengharuskan baginya sorga. Maka ia merasa heran dan berkata: “Wahai Tuhan ! ini amal perbuatan yang belum pernah sekali-kali aku mengerjakannya”. Lalu dikatakan: “Ini adalah amal perbuatan mereka yang mengumpati engkau, yang menyakiti engkau dan yang berbuat zalim atas engkau”. Tersebut pada hadits: “Bahwa hamba itu akan didatangkan pada hari kiamat, dengan kebaikan-kebaikan seumpama gunung-gunung. Jikalau semata-mata kebaikan itu baginya, niscaya ia masuk sorga. Lalu ia datang dan ia telah berbuat zalim atas si Ini, telah memaki si Ini dan telah memukul si Ini. Maka diambillah untuk si Ini tadi, dari kebaikan-kebaikannya dan bagi si Ini dari kebaikan-kebaikannya. Sehingga tidak tinggal lagi kebaikan baginya. Maka berkatalah para malaikat: “Telah lenyap kebaikan-kebaikannya dan tinggallah orang-orang yang menuntutnya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Lemparkanlah ke atasnya dari kejahatan-kejahatan mereka ! kemudian, tempelengkanlah dia sebagai tempeleng ke neraka !”. Kesimpulannya, maka jagalah, kemudian jagalah bahwa anda memandang leceh akan sesuatu dari gerak-gerik anda ! lalu anda tidak menjaga dari tipuan dan kejahatannya. Tidak anda sediakan jawabannya pada hari pertanyaan dan perhitungan amal (yamus-su-al wal-hisab). Bahwa Allah Ta’ala melihat dan menyaksikan perbuatan anda. Tiada sepatah perkataanpun yang diucapkan, melainkan padanya malaikat pengintip, yang siap sedia.
Sebahagian ulama salaf berkata: “Aku menulis suatu kitab dan aku bermaksud menanamkannya di bawah dinding tembok tetanggaku. Maka aku, menjauhkan tempat yang sempit. Kemudian aku mengatakan: “Tanah dan apakah tanah itu ?”. Lalu aku tanamkan dibawah tanah. Maka seorang penyeru menyerukan kepadaku: “Akan diketahui oleh siapa saja yang memandang leceh kepada tanah, akan apa yang ditemuinya besok dari keburukan hitungan amal”.
Seorang laki-laki bershalat bersama Ats-Tsuri. Maka dilihatnya Ats-Tsuri terbalik kainnya. Lalu diberitahukannya. Maka Ats-Tsuri memanjangkan tangannya untuk memperbaikinya. Kemudian, ia menggenggam tangannya kembali. Tidak jadi dibetulkannya. Maka laki-laki itu menanyakan dari yang demikian. Ats-Tsuri menjawab: “Bahwa aku memakainya karena Allah Ta’ala. Dan aku tidak bermaksud membetulkannya bagi selain Allah”.
Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Bahwa seorang laki-laki bergantung pada seorang laki-laki pada hari kiamat, seraya berkata: “Di antara aku dan engkau itu Allah”. Lalu laki-laki yang menjadi tempat bergantung itu menjawab: “Demi Allah ! aku tidak mengenal engkau”. Lalu laki-laki yang bergantung itu menjawab: “Ya, engkau telah mengambil sebuah batu bata dari dinding tembokku. Dan engkau mengambil sehelai benang dari kainku”. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini, dari berita-berita itu memotong hati orang-orang yang takut. Jikalau anda dari orang-orang yang keras cita-cita dan akal pikiran dan engkau tidak termasuk orang-orang yang tertipu, maka perhatikanlah sekarang kepada diri engkau ! dan telitilah mengadakan perhitungan atas diri engkau, sebelum engkau diteliti orang ! intiplah hal-ihwal engkau ! janganlah engkau tenang dan janganlah engkau bergerak, sebelum engkau memperhatikan pertama-tama, bahwa mengapa engkau bergerak ? apakah yang engkau maksudkan ? apakah yang akan engkau capai dengan yang demikian itu dari dunia ? apakah yang akan hilang dari engkau di akhirat ? dengan apakah dunia itu lebih kuat di atas akhirat ? Apabila anda telah mengetahui, bahwa tiada yang menggerakkan, selain agama, maka teruskanlah cita-cita anda dan apa yang terguris di hati anda ! jikalau tidak, maka tahanlah ! kemudian, intipkanlah pula akan hati anda pada tahannya anda dan cegahannya anda ! bahwa meninggalkan perbuatan itu adalah perbuatan. Tidak boleh tidak baginya dari niat yang benar. Maka tiada seyogyalah bahwa ada yang mengajak itu hawa nafsu yang tersembunyi, yang tiada terlihat. Dan anda tidak ditipu oleh zahiriah hal keadaan dan kebajikan-kebajikan yang terkenal. Dan perhatikanlah kepada lobang-lobang dan rahasia-rahasia yang keluar dari pihak orang-orang yang mempunyai tipuan.
Diriwayatkan dari nabi Zakaria as, bahwa beliau bekerja membuat dinding dengan tanah liat. Dan beliau itu mendapat upah dari suatu kaum. Lalu mereka itu mendatangkan kepadanya rotinya. Karena beliau tidak makan, selain dari usaha tangannya sendiri. Maka masuklah kaum itu kepadanya. Beliau tiada mengajak mereka kepada makan, sehingga beliau selesai dari makan. Mereka itu merasa heran dari yang demikian, karena mereka tahu tentang kemurahannya dan kezuhudannya. Mereka menyangka, bahwa kebajikan itu pada mencari pertolongan pada makanan. Maka nabi Zakaria as berkata: “Bahwa aku bekerja untuk kaum itu dengan upah. Dan mereka datangkan roti kepadaku, supaya aku kuat bekerja untuk mereka. Maka jikalau kamu makan bersama aku, niscaya tidak mencukupi bagimu dan tidak mencukupi bagiku dan aku lemah dari mengerjakan perbuatan mereka”. Maka orang yang bermata hati beginilah memandang pada hal-hal batiniyah dengan nur Allah. Maka kelemahannya dari bekerja itu kekurangan pada yang perlu. Dan meninggalkan ajakan kepada makan itu kekurangan pada keutamaan. Dan tiada hukum bagi keutamaan-keutamaan bersama yang perlu.
Setengah mereka berkata: “Aku masuk ke tempat Sufyan dan ia sedang makan. Ia tidak berkata-kata dengan aku, sehingga ia menjilat anak jari-jarinya. Kemudian, baru ia berkata: “Jikalau tidaklah aku ambil makanan ini dengan hutang, niscaya aku suka bahwa engkau makan daripadanya”. Sufyan berkata: “Barangsiapa mengajak seseorang kepada makanannya dan tiada baginya keinginan bahwa orang itu makan daripadanya, maka jikalau orang itu memperkenalkannya, lalu ia makan, maka atasnya dua dosa. Dan jikalau orang itu tidak makan, maka atasnya satu dosa. Ia maksudkan dengan salah satu dari dua dosa itu, ialah: nifaq (kemunafikan). Dan dengan dosa yang kedua, ialah ia mendatangkan saudaranya kepada yang tidak disukainya, jikalau diketahuinya”. Maka begitulah seyogyanya bahwa hamba itu mencari niatnya pada amal-amalan yang lain. Maka ia tidak maju dan tidak mundur, selain dengan niat. Maka jikalau tidak hadir baginya niat, niscaya ia berhenti. Bahwa niat itu tidak masuk di bawah pilihan (usaha).
PENJELASAN: bahwa niat itu tidak masuk di bawah pilihan.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang bodoh itu mendengar apa yang telah kami sebutkan dari nasehat, dengan membaguskan niat dan memperbanyakkannya, bersama sabdanya Nabi saw: “Bahwa segala amalan itu dengan niat”. Maka ia mengatakan pada dirinya (hatinya) ketika mengajar atau berniaga atau makan: “Aku niatkan bahwa aku mengajar karena Allah atau aku berniaga karena Allah atau aku makan karena Allah”. Dan ia menyangka bahwa yang demikian itu niat. Amat jauh yang demikian itu. Yang demikian itu adalah bisikan hati, pembicaraan lidah dan fikir atau pindahan dari gurisan hati kepada gurisan hati. Dan niat itu terasing dari semua yang demikian.
Sesungguhnya niat itu tergeraknya jiwa, terarahnya dan cenderungnya kepada yang lahir baginya, bahwa padanya maksudnya. Adakalanya pada masa yang cepat dan adakalanya pada masa yang lambat. Dan kecenderungan itu apabila tidak ada, niscaya tidak mungkin menciptakannya dan mengusahakan nya, dengan semata-mata kehendak. Bahkan yang demikian itu seperti kata orang yang kenyang: “Aku berniat bahwa aku rindu kepada makanan dan cenderung kepadanya”. Atau kata orang-orang kosong hatinya dari kecintaan: “Aku berniat bahwa merindukan si Anu, mencintainya dan membesarkan dengan hatiku”. Maka yang demikian itu mustahil. Bahkan tiada jalan kepada mengusahakan memalingkan hati kepada sesuatu, mencenderung kannya kepadanya dan mengarahkannya, selain dengan mengusahakan sebab-sebabnya. Dan yang demikian itu termasuk kadang-kadang disanggupkan. Dan kadang-kadang tidak disanggupkan. Bahwa jiwa itu tergerak kepada berbuat, karena memperkenankan kepada maksud yang membangkitkan, yang bersesuaian bagi jiwa, yang cocok baginya. Selama manusia tidak beriktikad (berkeyakinan), bahwa maksudnya menyangkut dengan sesuatu perbuatan, maka tidaklah terarah maksudnya kepada perbuatan tersebut. Dan yang demikian itu, termasuk yang tidak disanggupi kepada mengiktikadkannya pada setiap ketika. Dan apabila ia telah mengiktikadkan maka sesungguhnya terarahlah hati, apabila ia telah kosong, yang tidak terpaling daripadanya dengan sesuatu maksud yang mengganggu, yang lebih kuat daripadanya. Dan yang demikian itu tidak mungkin pada setiap waktu. Pengajak-pengajak dan yang memalingkan itu mempunyai banyak sebab yang berkumpul padanya. Dan berlainan yang demikian itu dengan masing-masing orang, hal keadaan dan amal perbuatan. Apabila mengerasi nafsu keinginan kawin –umpamanya- dan ia tidak beriktikad(berkeyakinan),  akan maksud yang benar tentang anak, pada agama dan dunia, niscaya tidak mungkin bahwa ia bersetubuh di atas niat memperoleh anak. Akan tetapi, tidak mungkin, selain di atas niat memenuhi nafsu syahwat. Karena niat itu adalah memperkenankan ajakan penggerak. Dan tidak ada penggeraknya, selain nafsu syahwat. Maka bagaimana ia meniatkan anak ? dan apabila telah mengerasi pada hatinya, bahwa menegakkan sunnah perkawinan karena mengikuti Rasulullah saw yang besar keutamaannya, niscaya tidak mungkin bahwa ia meniatkan dengan perkawinan itu akan mengikuti sunnah. Kecuali hanya ia mengatakan yang demikian dengan lidah dan hatinya. Dan itu perkataan semata, yang tidak dengan niat.
Ya, jalan mengusahakan niat ini –umpamanya- bahwa, pertama-tama ia menguatkan imannya dengan agama. Ia menguatkan imannya dengan besar pahala orang yang berusaha pada memperbanyakkan umat Muhammad saw. Ia menolak dari dirinya akan semua hal-hal yang tersendiri dari hal anak, tentang beratnya perbelanjaan, lamanya kepayahan dll. Maka apabila ia berbuat yang demikian, niscaya kadang-kadang tergeraklah dari hatinya keinginan kepada memperoleh anak untuk pahala. Maka ia digerakkan oleh keinginan itu. Dan tergeraklah anggota-anggota badannya untuk melakukan aqad nikah. Maka apabila membangkitlah kemampuan yang menggerakkan lisan dengan menerima (qabul) aqad nikah itu, karena mentaati penggerak ini yang mengerasi pada hati, niscaya adalah dia itu telah meniatkan. Jikalau tidaklah seperti yang demikian, maka tidaklah itu yang memampukannya pada dirinya. Dan yang mengulang-ulangkan dalam hatinya tentang maksud memperoleh anak itu, adalah bisikan setan dan main-main. Karena itulah, segolongan dari ulama salaf tidak mau mengerjakan sejumlah amalan taat. Karena tidak hadir niat bagi mereka. Dan mereka itu berkata: “Tidak hadir niat kepada kami tentang amal itu”. Sehingga Ibnu Sirin tidak mengerjakan shalah jenazah Al-Hasan Al-Bashari  dan mengatakan: “Tidak hadir padaku niat”.
Sebahagian mereka memanggil isterinya dan ia sedang membersihkan rambutnya, supaya dibawa sisir. Lalu isterinya menjawab: “Aku bawa cernin?” Yang memanggil itu berdiam sesaat, kemudian berkata: “Ya !”. Lalu ditanyakan dia mengenai yang demikian. Maka ia menjawab: “Adalah bagiku niat tentang sisir dan tidak hadir bagiku niat tentang cermin. Maka aku berhenti sebentar, sehingga niat itu disediakan oleh Allah Ta’ala”.
Hammad bin Sulaiman meninggal dunia dan dia salah seorang ulama Kufah. Lalu ditanyakan kepada Ats-Tsuri: “Apakah tidak engkau menghadiri jenazahnya ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Jikalau ada bagiku niat, niscaya aku kerjakan”. Salah seorang mereka apabila ditanyakan akan sesuatu dari amal kebajikan, maka menjawab: “Jikalau Allah Ta’ala merezekikan aku niat niscaya aku kerjakan”.
Adalah Thawus tiada berbicara, selain dengan niat. Adalah dia diminta berbicara, maka ia tidak berbicara. Dan tidak diminta berbicara, lalu ia memulai berbicara. Maka ia ditanyakan tentang yang demikian. Ia menjawab: “Apakah kamu suka bahwa aku berbicara dengan tanpa niat ? apabila hadir bagiku niat, niscaya aku perbuat”.
Diceritakan, bahwa Daud bin Al-Mahbar tatkala mengarang Kitab Akal maka datang Ahmad bin Hanbal meminta kitab itu daripadanya. Lalu Ahmad melihat sehalaman dari kitab itu dan dibalik-baliknya, seraya bertanya: “Apa yang engkau perbuat ini ?”. Ahmad meneruskan perkataannya: “Padanya isnad-isnad hadits dla’if”. Daud bin Al-Mahbar menjawab: “Aku tidak mengeluarkannya di atas isnad-isnad. Lalu aku melihat padanya, dengan mata “hadits”. Sesungguhnya aku melihat padanya dengan mata “amal”. Maka aku mengambil manfaatnya”. Ahmad bin Hanbal menjawab: “Maka kembalikanlah kepadaku, sehingga aku melihat padanya dengan mata yang engkau lihat. Ahmad bin Hanbal lalu mengambil kitab itu dan kitab itu berada padanya dalam waktu yang lama. Sesudah beberapa lama kemudian, Ahmad bin Hanbal berkata: “Kiranya Allah membalaskan kepada engkau kebajikan. Aku telah mengambil manfaat dengan kitab ini”.
Dikatakan kepada Thawus: “Berdoalah bagi kami !”. Thawus lalu menjawab: “Sehingga aku memperoleh niat baginya”. Sebahagian mereka berkata: “Aku dalam mencari niat untuk mengunjungi laki-laki itu, semenjak sebulan. Maka tidaklah shah niat itu bagiku sesudahnya”. Isa bin Katsir berkata: “Aku berjalan bersama Maimun bin Mahran. Maka tatkala sampai ke pintu rumahnya, lalu aku pergi. Maka berkata anaknya: “Apakah tidak diminta ia makan malam bersama kita ?”. Maimun bin Mahran menjawab: “Tidaklah itu dari niatku”. Ini, karena niat itu mengikuti pandangan. Apabila berobah pandangan, niscaya berobahlah niat. Adalah mereka tidak melihat akan suatu amalan, selain dengan niat. Karena mereka tahu, bahwa niat nyawa amal. Dan amal dengan tidak niat yang benar adalah ria dan memberatkan diri. Dan itu sebab kutukan, tidak sebab pendekatan. Dan mereka tahu, bahwa niat itu tidaklah kata orang yang mengatakan: aku meniatkan, akan tetapi: dia itu tergeraknya hati, yang berlaku sebagai berlakunya pembukaan dari Allah Ta’ala. Maka kadang-kadang ia mudah pada setengah waktu dan kadang-kadang sukar pada setengahnya. Ya, siapa yang mengeras atas hatinya urusan agama, niscaya mudahlah kepadanya pada kebanyakan hal-keadaan, menghadirkan niat bagi kebajikan-kebajikan. Bahwa hatinya itu cenderung secara keseluruhan kepada pokok kebajikan. Maka tergeraklah pada kebiasaannya kepada uraian-uraian. Dan siapa yang cenderung hatinya kepada dunia dan mengerasi dunia itu atasnya, niscaya tiada mudahlah yang demikian baginya. Bahkan tidak mudah baginya pada yang fardhu-fadhu, selain dengan kesungguhan yang benar-benar. Dan penghabisannya, bahwa ia mengingati neraka dan menakutkan dirinya akan siksaan neraka. Atau nikmat sorga dan menggemarkan dirinya pada sorga. Maka kadang-kadang membangkit baginya panggilan yang lemah. Maka adalah pahalanya dengan kadar kegemaran dan keniatannya.
Adapun taat dengan niat pengagungan Allah Ta’ala, karena kemustahakanNya (yang layak dimilikiNYA) akan ketaatan dan pengabdian, maka tidaklah dia itu mudah bagi orang yang gemar kepada dunia. Dan inilah niat yang termulia dan tertinggi. Dan sukarlah di atas hamparan bumi ini, orang yang memahaminya, lebih-lebih orang yang melaksanakannya. Keniatan manusia pada taat itu berbagai bagian. Karena sebahagian mereka, ada orang yang amalannya karena memperkenankan penggerak ketakutan. Bahwa dia itu menjaga diri (takut) akan neraka.
Dan sebahagian mereka, ada orang yang beramal, karena memperkenankan penggerak harapan. Yaitu: kegemaran pada sorga. Dan ini, walaupun dia itu turun, dengan dikaitkan kepada maksud mentaati Allah dan membesarkan Zat dan keagunganNya, tidak karena sesuatu yang lain, maka dia itu termasuk dalam jumlah niat yang shah. Karena dia itu cenderung kepada yang dijanjikan di akhirat, walaupun sebahagian dari jenis yang disukai itu di dunia. Yang paling keras dari segala penggerak, ialah: penggerak kemaluan wanita dan perut. Tempat memenuhi hajat keduanya itu sorga. Maka orang yang bekerja untuk karena sorga itu, ialah yang bekerja untuk perutnya dan kemaluan wanitanya, seperti: orang yang diongkosi yang jahat. Tingkatnya itu tingkat orang yang bodoh. Dan ia akan mencapai tingkat itu dengan amal perbuatannya. Karena kebanyakan isi sorga itu orang-orang bodoh. Adapun ibadah orang-orang yang berakal tinggi, maka tidak akan melampaui dzikir dan fikir akan Allah Ta’ala, karena cinta kepada keelokan dan keagunganNya. Dan amal perbuatan yang lain adalah yang menguatkan dan yang searti. Dan mereka itu yang tertinggi tingkat dari berpalingnya kepada yang dikawini dan yang dimakan dalam sorga. Bahwa mereka tidak memaksudkannya, akan tetapi, merekalah yang berdoa kepada Tuhannya dengan pagi dan sore, yang menghendaki akan WajahNya saja. Dan pahala bagi manusia itu menurut kadar niat mereka. Maka tidak pelak lagi, bahwa mereka bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada WajahNya yang mulia. Dan mereka dijadikan dari orang yang berpaling kepada wajah bidadari, sebagaimana dijadikan orang yang bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada bidadari, dari orang yang bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada muka bentuk-bentuk yang diperbuat dari tanah liat. Bahkan lebih sangat dari itu. Bahwa berlebih-kurangnya diantara keelokan hadlarat/keajaiban ketuhanan (hadlaratur-rububiyah) dan keelokan bidadari adalah lebih sangat dan lebih besar banyaknya dari berlebih-kurangnya diantara keelokan bidadari dan bentuk-bentuk yang diperbuat dari tanah liat. Bahkan membesarkan nafsu-nafsu kehewanan kesyahwatan untuk memenuhi kehajatan dari percampur-bauran dengan bidadari-bidadari yang cantik dan berpalingnya mereka dari keelokan Wajah Allah Yang Mulia itu, menyerupai dengan membesarkan binatang kumbang bagi yang empunyanya dan jinak hatinya kepadanya dan berpalingnya daripada memandang kepada keelokan wajah wanita-wanita. Maka butalah kebanyakan hati daripada memandang keelokan dan keagungan Allah, yang menyerupai dengan butanya binatang kumbang, daripada mengetahui keelokan wanita. Karena ia tidak mengetahuinya sekali-kali dan ia tidak menoleh kepadanya. Jikalau ada bagi binatang kumbang itu akal dan disebutkan wanita kepadanya, niscaya ia memandang baik akan akal orang yang berpaling kepada wanita itu. Senantiasalah mereka itu berselisihan. Masing-masing golongan bergembira dengan apa yang pada mereka. Dan karena itulah mereka diciptakan.
Diceritakan, bahwa Ahmad bin Khadl-rawaih memimpikan Tuhannya Yang Maha Mulia dan Maha Agung dalam tidurnya. Maka Tuhan berfirman kepadanya: “Setiap manusia mencari daripadaKu sorga, selain Abu Yazid. Maka ia mencari Aku”.
Abu Yazid memimpikan Tuhannya dalam tidurnya. Maka ia berdoa: “Wahai Tuhan ! bagaimana jalan kepada Engkau ?”. Maka Tuhan berfirman: “Tinggalkanlah dirimu dan marilah kepadaKu !”.
Dimimpikan Asy-Syibli, sesudah ia meninggal. Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu ?”. Ia menjawab: “Ia tidak menuntut aku atas segala dakwaan dengan dalil, selain atas suatu perkataan, yang aku katakan pada suatu hari: “Manakah kerugian yang lebih besar dari kerugian sorga ?”. Maka Allah menjawab: “Manakah kerugian yang lebih besar dari kerugian bertemu dengan Aku ?”. Maksudnya, bahwa niat-niat ini berlebih-kurang derajatnya. Siapa yang keras atas hatinya salah satu daripadanya, kadang-kadang tidak mudah baginya berpaling kepada yang lain.
Mengenal hakikat-hakikat/makna ini akan mewarisi amal dan perbuatan, yang tidak dibantah oleh para ulama fikih yang memperkatakan tentang zahiriah ilmu fikih. Maka kami mengatakan, bahwa: orang yang datang baginya niat tentang hal yang mubah (hal yang diperbolehkan) dan niat itu tidak datang tentang hal keutamaan, maka yang mubah itu lebih utama. Dan berpindahlah hal keutamaan kepadanya. Dan jadilah hal keutamaan itu pada pihaknya hal kekurangan. Karena segala amalan itu dengan niat. Dan yang demikian itu seperti: kemaafan. Maka kemaafan itu lebih utama daripada memberi pertolongan pada kezaliman. Kadang-kadang datang kepadanya niat pada memberi pertolongan, tidak pada memberi kemaafan. Maka adalah yang demikian itu lebih utama. Contohnya, bahwa ada baginya niat pada makan, minum dan tidur, untuk mengistirahatkan dirinya dan menguatkannya atas beribadah pada masa yang akan datang. Dan tidak membangkit niatnya pada dua hal itu bagi puasa dan shalat. Maka makan dan tidur adalah lebih utama baginya. Bahkan, jikalau ia jemu beribadah, karena rajinnya atas ibadah itu, tentang kerajinannya dan lemah keinginannya dan ia tahu, bahwa jikalau ia bersenang-senang sesaat dengan main-main dan bercakap-cakap, niscaya kembalilah kerajinannya, maka main-main itu lebih utama baginya daripada shalat.
Abud-Darda’ berkata: “Bahwa aku mencari keistirahatan diriku, dengan sesuatu dari main-main. Maka adalah yang demikian itu menolong bagiku atas kebenaran”. Ali ra berkata: “Istirahatkanlah hatimu ! bahwa hati itu apabila dipaksakan, niscaya ia buta”. Inilah hal yang halus-halus, yang tidak diketahui, selain oleh para ulama yang ahli, tidaklah yang tipis pengetahuannya dari mereka. Bahkan yang ahli dengan ketabiban, kadang-kadang mengobati orang yang masuk kepanasan padanya, dengan daging serta panasnya dan dijauhkan yang demikian oleh orang yang singkat ilmunya dalam ketabiban.
Sesungguhnya ia maksudkan dengan yang demikian, bahwa ia pertama-tama mengembalikan kekuatannya untuk memungkinkan pengobatan dengan lawan dari penyakitnya. Orang yang pintar bermain catur –umpamanya- kadang-kadang ia turun dari burung garuda dan kuda dengan cuma-cuma, supaya ia sampai dengan yang demikian kepada kemenangan. Orang yang lemah penglihatan mata hati, kadang-kadang tertawa dengan yang demikian dan merasa heran daripadanya. Dan seperti demikian juga orang yang ahli dengan peperangan, kadang-kadang ia lari di hadapan rekannya dan memalingkan belakangnya, karena helah daripadanya, untuk menariknya ke tempat yang sempit. Lalu ia menyerang ke atasnya. Maka ia mengalahkannya. Maka seperti demikian juga menjalani jalan Allah Ta’ala. Semuanya itu peperangan dengan setan dan pengobatan bagi hati. Orang yang melihat dengan mata hati, yang memperoleh taufik itu mengetahui padanya di atas helah-helah yang halus, yang jauh dari dapat diketahui oleh orang-orang yang lemah. Maka tiada seyogyalah bagi seorang murid bahwa menyembunyikan penantangan atas apa yang dilihatnya dari gurunya. Dan tidaklah bagi seorang pelajar, bahwa menegur, mengatakan tidak betul kepada gurunya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ia berhenti pada batas penglihatan mata hatinya. Dan apa yang tidak dipahaminya dari hal-ihwal syaikh dan gurunya, maka diserahkannya kepada keduanya, sampai tersingkap baginya rahasia-rahasia yang demikian, dengan sampainya kepada tingkat keduanya dan mencapai derajat keduanya. Kiranya dari Allah kebagusan taufik.
BAB KEDUA: tentang ikhlas, keutamaannya, hakikat/maknanya dan derajat-derajatnya.
KEUTAMAAN IKHLAS
Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka hanya diperintahkan supaya menyembah Allah, dengan tulus ikhlas beragama untuk Allah semata-mata”. S 98 Al Bayyinah ayat 5. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah, bahwa agama yang bersih (yang ikhlas) itu bagi Allah”. S 39 Az Zumar ayat 3. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali orang-orang yang kembali (taubat), mengadakan perbaikan, berpegang erat kepada Allah dan tulus ikhlas karena Allah semata-mata dalam agamanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 146. Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Ayat ni turun mengenai orang yang beramal karena Allah dan ingin bahwa ia dipuji.
Nabi saw bersabda: “3 perkara tidaklah hati orang muslim itu dengki padanya, yaitu keikhlasan amal bagi Allah”. Dari Mash’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, yang mengatakan: “Ayahku menyangka bahwa baginya kelebihan atas orang yang kurang daripadanya, dari para sahabat Rasulullah saw. Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla menolong umat ini dengan orang-orang lemahnya, dengan doa mereka, keikhlasan dan shalat mereka”. Dari Al-Hasan yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Keikhlasan itu rahasia dari rahasiaKu. Aku simpan dia dalam hati orang yang Aku cintai dari hamba-hambaKu”.
Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Janganlah kamu pentingkan karena sedikit amal dan pentingkanlah untuk diterima ! bahwa Nabi saw bersabda kepada Ma’adz bin Jabal: “Ikhlaskanlah amal itu, niscaya mencukupilah bagi engkau oleh sedikit daripadanya”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dari seorang hamba yang ikhlas amalnya karena Allah 40 hari, melainkan lahirlah mata air-mata air hikmah dari hatinya atas lidahnya”.
Nabi saw bersabda: “Orang pertama yang ditanyakan pada hari kiamat, ialah 3: laki-laki yang diberikan oleh Allah ilmu kepadanya, maka Allah Ta’ala bertanya: “Apakah yang kamu perbuat pada apa yang kamu ketahui ?”. Laki-laki itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! adalah aku dengan ilmu itu, aku bangun berdiri (mengerjakan shalat) tengah malam dan di pinggir hari”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dusta engkau !”. Dan para malaikat berkata: “Dusta engkau ! akan tetapi, engkau menghendaki bahwa dikatakan: “Si Anu itu orang alim ! ketahuilah maka sesungguhnya telah dikatakan yang demikian”. Laki-laki yang diberikan oleh Allah Ta’ala harta. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah Aku anugerahkan nikmat kepada engkau. Maka apakah yang engkau perbuat ?” Laki-laki itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! aku bersedekah dengan harta itu pada tengah malam dan di pinggir hari”. Maka Allah Ta’ala menjawab: “Dusta engkau”. Dan para malaikat berkata: “Dusta engkau. Akan tetapi engkau kehendaki bahwa dikatakan: “Si Anu itu pemurah ! ketahuilah, sesungguhnya telah dikatakan orang yang demikian”. Laki-laki yang terbunuh pada jalan Allah Ta’ala (sabilullah). Maka Allah Ta’ala bertanya:“Apakah yang engkau perbuat?” Laki-laki itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! aku disuruh berjihad. Maka aku berperang, sehingga aku terbunuh”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dusta engkau”. Dan para malaikat berkata: “Dusta engkau. Akan tetapi, engkau menghendaki bahwa dikatakan: “Si Anu itu berani ! ketahuilah, sesungguhnya sudah dikatakan orang yang demikian”.
Berkata Abu Hurairah: “Kemudian, Rasulullah saw menggariskan atas pahaku dan bersabda: “Hai Abu Hurairah ! mereka itu makhluk yang pertama yang dinyalakan oleh neraka Jahannam kepada mereka pada hari kiamat”. Perawi hadits ini lalu masuk ke tempat Mu’awiyah dan menceritakan yang demikian kepadanya. Mu’awiyah lalu menangis, sehingga hampir nyawanya keluar dari tubuhnya. Kemudian, Mu’awiyah berkata: “Maha Benarlah Allah dengan firmanNya: “Siapa yang ingin kepada kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya Kami sempurnakan kepadanya perbuatannya itu di dunia ini dan mereka tidak dirugikan”. S 11 Huud ayat 15. Dalam cerita kaum Bani Israil, bahwa seorang abid (yang banyak beribadah), ia beribadah kepada Allah dalam masa yang panjang. Maka datanglah kepadanya suatu kaum. Lalu mereka berkata: “Bahwa di sini ada suatu kaum yang menyembah pohon kayu, tidak menyembah Allah Ta’ala. Maka abid itu marah karena yang demikian. Dan diambilnya kapaknya ke atas bahunya dan ia menuju ke pohon kayu itu, hendak dipotongnya. Lalu datang Iblis kepadanya dalam bentuk seorang syaikh, seraya bertanya: “Engkau mau ke mana, kiranya Allah merahmati engkau ?”. Abid itu menjawab: “Aku bermaksud memotong pohon kayu itu !”. Iblis itu lalu bertanya: “Ada apa engkau dengan dia ? engkau tinggalkan ibadah engkau dan kesibukan engkau dengan diri engkau dan engkau berikan tenaga engkau untuk yang lain”. Abid itu menjawab: “Bahwa ini termasuk ibadahku”. Maka Iblis itu berkata: “Aku tidak akan membiarkan engkau memotong pohon kayu itu”. Lalu keduanya perang tanding. Abid itu memegang si Iblis, lalu dibantingkannya ke bumi. Dan ia duduk di atas dadanya. Lalu berkatalah si Iblis itu kepadanya: “Lepaskanlah aku, supaya aku terangkan kepada engkau !”. Lalu orang abid itu bangun berdiri dari si Iblis. Maka Iblis berkata kepadanya: “Ya saudara ! bahwa Allah Ta’ala telah menggugurkan kewajiban ini dari engkau. Ia tidak mewajibkan yang demikian atas engkau. Dan engkau sendiri tidak menyembah pohon kayu itu. Apalah urusan engkau tentang orang lain. Allah Ta’ala mempunyai nabi-nabi di seluruh daerah bumi. Jikalau dikehendakiNya, niscaya diutusNya mereka kepada penduduk bumi itu. Dan disuruhNya mereka memotongnya”. Abid itu lalu menjawab: “Tak boleh tidak aku memotongnya !”. Keduanya lalu lawan-melawan untuk berperang tanding. Iblis itu dapat dikalahkan oleh orang abid dan dibantingkannya dan duduk di atas dadanya. Maka lemahlah si Iblis. Lalu ia mengatakan kepada orang abid itu: “Adakah bagi engkau mengenai sesuatu hal, yang memisahkan diantara aku dan engkau dan itu lebih baik bagi engkau dan lebih bermanfaat ?”. Orang abid itu lalu bertanya: “Apakah itu ?”. Iblis menjawab: “Lepaskanlah aku, supaya aku katakan kepada engkau”. Orang abid itu lalu melepaskannya. Maka berkata Iblis: “Engkau orang miskin tidak mempunyai apa-apa. Engkau berpegang atas manusia yang menanggung engkau. Semoga engkau menyukai bahwa engkau dapat berbuat keutamaan kepada saudara-saudara engkau, engkau menolong tetangga engkau, engkau kenyang dan tidak memerlukan kepada manusia lagi”. Abid itu menjawab: “Ya !”. Iblis itu lalu berkata: “Kembalilah dari urusan ini ! untuk engkau atasku bahwa aku letakkan di sisi kepala engkau pada setiap malam 2 dinar. Apabila pagi hari, ambillah 2 dinar itu. Engkau belanjakan kepada diri engkau dan keluarga engkau dan engkau bersedekah kepada saudara-saudara engkau. Maka adalah yang demikian itu lebih bermanfaat bagi engkau dan bagi orang muslimin daripada memotong pohon kayu ini yang akan ditanamkan nanti pada tempatnya. Dan tiada mendatangkan melarat akan sesuatu dengan memotongnya kepada mereka. Dan tiada mendatangkan manfaat kepada saudara-saudara engkau yang beriman, dengan engkau memotong pohon kayu itu”. Orang abid itu lalu berfikir pada apa yang dikatakan oleh syaikh (Iblis) itu. Maka ia berkata: “Benar tuan Syaikh ! tidaklah aku ini nabi, lalu aku harus memotong pohon kayu itu. Dan Allah tidak menyuruhkan aku memotongnya. Lalu aku menjadi orang maksiat dengan tidak memotongnya. Dan apa yang disebutkan oleh syaikh itu lebih banyak manfaatnya. Iblis itu lalu berjanji akan menepati janjinya yang demikian dan ia bersumpah. Orang abid itu lalu kembali ke tempat ia beribadah. Pada malamnya ia tidur dengan baik. Waktu pagi-pagi, ia melihat uang dinar di sisi kepalanya. Lalu diambilnya. Begitu juga keesokan harinya. Kemudian, pada pagi hari ke-3 dan sesudahnya, ia tiada melihat sesuatu. Maka ia marah dan mengambil kapaknya atas bahunya. Lalu Iblis datang kepadanya dengan bentuk seorang syaikh. Iblis itu bertanya kepadanya: “Mau kemana ?”. Abid itu menjawab: “Aku akan potong pohon kayu itu”. Iblis menjawab: “Demi Allah ! engkau itu dusta. Engkau tidak akan sanggup dengan yang demikian. Dan tiada jalan bagi engkau kepada pohon kayu itu”. Kata yang punya cerita: “Orang abid itu lalu mau mengerjakannya seperti yang telah diperbuatnya pertama kali dahulu”. Yang punya cerita itu menyambung: “Amat jauh dari yang demikian”. Ia lalu dipegang oleh Iblis dan dibantingkannya. Abid itu adalah seperti burung pipit diantara dua kakinya. Dan Iblis duduk di atas dadanya, seraya berkata: “Engkau mencegah diri engkau dari urusan ini atau aku sembelih engkau”. Orang abid itu lalu memandang. Tiba-tiba tiada kesanggupan baginya dengan yang demikian. Ia berkata: “Hai orang ini ! engkau telah mengalahkan aku. Lepaskanlah aku ! terangkanlah kepadaku, bagaimana pertama-tama dahulu aku mengalahkan engkau dan sekarang engkau mengalahkan aku”. Iblis itu menjawab: “Karena engkau pada pertama kali dahulu marah karena Allah. Dan adalah niat engkau itu akhirat. Maka Allah menjadikan aku untuk engkau. Dan kali ini, engkau marah untuk diri engkau sendiri dan untuk dunia. Maka aku dapat membanting engkau”. Cerita ini membenarkan firman Allah Ta’ala: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas (dianugerahkan keikhlasan) diantara mereka”. S 38 Shaad ayat 83. Karena tiadalah terlepas hamba dari setan, selain dengan keikhlasan. Karena itulah, maka Ma’ruf Al-Karkhi ra memukul dirinya dan mengatakan: “Hai diri ! ikhlaskanlah, niscaya engkau terlepas !”. Ya’qub Al-Makruf berkata: “Orang yang ikhlas, ialah orang yang menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana ia menyembunyikan kejahatannya”.
Sulaiman berkata: “Amat baiklah orang yang shah baginya satu langkah, yang tidak dikehendakinya dengan langkah itu, selain Allah Ta’ala”. Umar bin Al-Khattab ra menulis surat kepada Abi Musa Al-Asy’ari, yang isinya diantara lain: “Barangsiapa ikhlas niatnya, niscaya ia dicukupkan oleh Allah Ta’ala diantaranya dan manusia”. Sebahagian para wali menulis kepada saudaranya: “Ikhlaskanlah niat pada amal perbuatan engkau, niscaya mencukupilah bagi engkau oleh yang sedikit dari amal perbuatan”.
Ayyub As-Sakhtiani berkata: “Mengikhlaskan niat atas orang-orang yang beramal itu adalah sangat berat atas mereka dari semua amal”. Mathraf berkata: “Siapa yang bersih, niscaya dibersihkan baginya dan siapa yang bercampur, niscaya dicampurkan baginya”. Sebahagian para wali itu dimimpikan orang. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau mendapati amal perbuatan engkau ?”. Ia lalu menjawab: “Setiap sesuatu yang aku kerjakan karena Allah, niscaya aku memperolehnya, sehingga sebiji-biji delima yang aku ambilkan dari jalan dan sehingga seekor kucing yang mati kepunyaan kami, aku melihatnya dalam daun neraca kebaikan. Adalah dalam kopiahku sehelai benang sutera, maka aku melihatnya dalam daun neraca kejahatan. Dan telah mati keledaiku, yang nilainya 100 dinar, maka tiada aku melihat baginya pahala. Maka aku mengatakan: “Kematian kucing dalam daun neraca kebajikan dan kematian keledai tak ada di dalamnya”. Lalu dikatakan kepadaku: “Bahwa dia itu diarahkan, menurut yang engkau gerakkan. Maka tatkala dikatakan kepada engkau bahwa keledai itu telah mati, lalu engkau menjawab: dalam kutukan Allah, maka batallah pahala engkau padanya. Dan kalau engkau menjawab: pada jalan Allah, niscaya engkau mendapatinya dalam kebajikan engkau”.
Pada suatu riwayat ia berkata: “Adalah aku telah bersedekah dengan suatu sedekah diantara manusia. Maka mengherankan aku oleh pandangan mereka kepadaku. Maka aku dapati yang demikian itu, tidak atasku dan tidak bagiku”. Sufyan Ats-Tsuri tatkala mendengar yang demikian, lalu berkata: “Alangkah bagusnya hal keadaannya ! karena tidak ada atasnya. Maka ia telah berbuat baik kepadanya”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Keikhlasan itu membedakan amal dari kekurangan-kekurangan, seperti pembedaan susu dari tahi binatang selagi di dalam perutnya dan darah”.
Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki keluar dalam pakaian wanita. Ia menghadiri setiap tempat yang berkumpul padanya kaum wanita, dari pengantinan atau tempat terhimpun menghiburkan orang yang berduka-cita. Kebetulan pada suatu hari, ia menghadiri suatu tempat, yang padanya tempat berkumpul kaum wanita. Maka kecurianlah sebentuk intan permata. Lalu mereka berteriak supaya dikuncikan pintu sehingga kita memeriksakannya. Mereka lalu mengadakan pemeriksaan satu demi satu. Sehingga sampailah giliran kepada laki-laki itu dan wanita yang bersamanya. Laki-laki itu lalu berdoa kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas dan mengatakan: “Jikalau aku terlepas dari kekejian ini, niscaya aku tiada akan kembali kepada perbuatan yang seperti ini”. Maka intan permata itu didapati bersama wanita tersebut. Lalu mereka itu berteriak: “Bahwa mereka melepaskan wanita merdeka, maka kita memperoleh intan permata”.
Sebahagian kaum shufi berkata: “Adalah aku berdiri bersama Abi ‘Ubaid At-Tusturi dan ia sedang membajak tanahnya sesudah asar dari hari ‘Arafah. Lalu lewatlah padanya sebahagian teman-temannya dari para wali-wali. Maka teman itu membisikkan sesuatu pada telinganya. Abi ‘Ubaid lalu menjawab: “Tidak !”. Maka teman itu terus berjalan, seperti awan yang menyapu bumi, sehingga ia hilang dari mataku. Lalu aku bertanya kepada Abi ‘Ubaid: “Apakah yang ia katakan kepada engkau ?”. Abi ‘Ubaid menjawab: “Ia meminta aku supaya naik hajji bersama dia. Aku menjawab: “Tidak”. Aku bertanya: “Mengapa tidak engkau kerjakan ?”. Abi Ubaid menjawab: “Tak ada bagiku niat pada mengerjakan hajji. Dan aku telah berniat, bahwa menyempurnakan tanah ini sore ini. Maka aku takut bahwa aku mengerjakan hajji bersama dia. Karena dia aku mendatangkan perbuatan bagi kutukan Allah Ta’ala. Karena aku masukkan pada amalan bagi Allah akan sesuatu selain Allah. Maka adalah apa yang aku padanya itu lebih besar pada sisiku dari 70 hajji”.
Diriwayatkan dari setengah mereka, yang mengatakan: “Aku berperang di laut. Lalu sebahagian kami membawa karung kecil tempat umpan kuda. Lalu aku mengatakan: “Aku beli karung ini. Aku dapat memanfaatkannya pada peperanganku”. Tiba-tiba aku masuk suatu kota, lalu sekian aku menjualnya. Maka aku beruntung padanya. Maka aku membelinya lagi. Maka pada malam itu aku bermimpi, seakan-akan dua orang turun dari langit. Lalu yang seorang berkata kepada temannya: “Tulislah orang-orang yang berperang !”. Lalu ia imlak (dikte)kan kepadanya, sbb: Si Anu keluar untuk berjalan-jalan. Si Anu keluar dengan ria. Si Anu sebagai saudagar. Dan si Anu pada jalan Allah (sabilullah). Kemudian ia memandang kepadaku, seraya berkata: “Tulislah si Anu yang keluar sebagai saudagar !’. Maka aku menjawab: “Allah ! Allah ! tentang urusanku. Tidaklah aku keluar untuk berniaga. Tidak ada bersamaku perniagaan yang aku perniagakan. Tidaklah aku keluar, selain untuk perang”. Orang itu menjawab: “Ya syaikh ! engkau kemarin membeli karung kecil tempat umpan kuda, yang engkau maksudkan, bahwa engkau beruntung padanya”. Maka aku menangis dan mengatakan: “Janganlah engkau tuliskan aku saudagar !”. Maka ia melihat kepada temannya, seraya berkata: “Apa pendapatmu ?”. Temannya itu menjawab: “Tulislah, bahwa si Anu ini keluar untuk berperang. Hanya ia membeli di jalannya sebuah karung kecil tempat umpan kuda, supaya ia beruntung padanya, sehingga Allah ‘Azza Wa Jalla menghukum padanya, dengan apa yang dilihatNya”.
Sirri As-Saqathi ra berkata: “Bahwa engkau mengerjakan shalat 2 rakaat dalam tempat yang sunyi, yang engkau mengikhlaskan kedua rakaat itu adalah lebih baik bagi engkau daripada menulis 70 hadits atau 700 dengan ketinggian”. Setengah mereka berkata: “Pada keikhlasan sesaat itu kelepasan abadi. Akan tetapi, keikhlasan itu jarang ada”. Dikatakan: “Ilmu itu bibit. Amal itu menanam. Dan airnya itu keikhlasan”. Setengah mereka berkata: “Apabila Allah memarahi seorang hamba, niscaya diberikanNya 3 perkara dan dilarangkanNya 3 perkara. DiberikanNya bersahabat dengan orang-orang shalih dan dilarangkanNya menerima dari mereka. diberikanNya amal-amal shalih dan dilarangkanNya keikhlasan padanya. Dan diberikanNya ilmu hikmah dan dilarangkanNya kebenaran padanya”.
Berkata Abu Ya’qub As-Susi: “Kehendak Allah dari amalan makhluk itu keikhlasan saja”. Berkata Al-Junaid: “Bahwa Allah mempunyai hamba-hamba yang berakal. Maka tatkala mereka berakal, niscaya mereka beramal. Maka tatkala mereka beramal, niscaya mereka ikhlas. Maka mereka dipanggil oleh keikhlasan itu ke pintu kebajikan sekalian”.
Berkata Muhammad bin Sa’id Al-Maruzi: “Seluruh urusan itu kembali kepada 2 pokok: perbuatan daripadanya dengan engkau dan perbuatan dari engkau baginya. Maka engkau ridha akan apa yang diperbuatnya dan engkau ikhlas pada apa yang engkau kerjakan. Jadi, maka engkau telah berbahagia dengan dua ini. Dan engkau memperoleh kemenangan pada dua negeri”.
PENJELASAN: hakikat/makna ikhlas.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap sesuatu itu tergambar bahwa dicampuri oleh yang lain. Maka apabila ia suci dari campuran dan bersih daripadanya, niscaya ia dinamakan: yang bersih (khalish). Dan dinamakan perbuatan yang suci dan bersih itu: ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: “Diantara tahi dan darah –didapati –susu yang bersih dan sedap ditelan oleh orang-orang yang meminum”. S 16 An Nahl ayat 66. Sesungguhnya kebersihan susu itu, bahwa tidak ada di dalamnya campuran dari darah dan tahi dan dari setiap apa yang mungkin bercampur dengan dia. Ikhlas (kebersihan) itu berlawanan dengan isyrak (persekutuan). Maka siapa yang tiada ikhlas, maka dia itu menyekutukan. Hanya kesekutuan itu bertingkat-tingkat. Maka ikhlas pada keesaan itu berlawanan dengan penyekutuan (at-tasyrik) pada ketuhanan. Dan kesekutuan itu, sebahagiannya tersembunyi dan sebahagiannya terang. Demikian juga ikhlas. Maka ikhlas dan lawannya itu datang-mendatangi kepada hati. Dan tempatnya itu hati. Dan adalah yang demikian itu pada maksud dan niat. Dan telah kami sebutkan dahulu hakikat/makna niat. Dan dia itu kembali kepada memperkenankan penggerak-penggerak. Manakala adalah penggerak itu satu semata-mata, niscaya dinamakan perbuatan yang terbit daripadanya itu: ikhlas, dengan dikaitkan kepada yang diniatkan. Siapa yang bersedekah dan maksudnya semata-mata ria, maka dia itu orang yang ikhlas. Dan siapa yang maksudnya semata-mata mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka dia orang yang ikhlas. Akan tetapi, kebiasaan itu berlaku dengan mengkhususkan nama ikhlas dengan mensemata-matakan maksud mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dari semua campuran. Sebagaimana ilhad (mengingkari adanya Tuhan) itu ibarat dari: kecenderungan. Akan tetapi, dikhususkan oleh kebiasaan, dengan kecenderungan dari: kebenaran. Dan orang yang penggeraknya itu semata-mata ria, maka dia itu mendatangkan dirinya kepada kebinasaan. Dan tidaklah kami disini memperkatakan tentang hal tersebut. Karena telah kami sebutkan dahulu, apa yang menyangkut dengan yang demikian, pada Kitab Ria dari Rubu’ Yang Membinasakan. Sekurang-kurangnya mengenai persoalan ria itu, ialah apa yang datang pada hadits, bahwa: orang yang ria itu dipanggil pada hari kiamat, dengan 4 nama, yaitu:
hai orang ria (ya mura-i),
hai penipu (ya mukhadi’),
hai orang yang mempersekutukan (ya musyrik) dan
hai yang tertutup dari kebenaran (ya kafir).
Sesungguhnya kami memperkatakan sekarang, tentang orang yang tergerak hatinya untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub). Akan tetapi, bercampur dengan penggerak ini, oleh penggerak yang lain. Adakalanya: dari ria atau dari lainnya, dari keberuntungan-keberuntungan diri. Contoh yang demikian, ialah bahwa ia berpuasa untuk memperoleh manfaat dengan menjaga dari kekenyangan (al-hamiyyah), yang diperoleh dengan puasa, serta maksud at-taqarrub. Atau ia memerdekakan seorang budak, supaya ia terlepas dari perbelanjaannya dan keburukan budi pekertinya. Atau ia melakukan ibadah hajji, supaya sehat badannya dengan gerak perjalanan jauh. Atau ia melepaskan diri dari kejahatan yang datang kepadanya di negerinya. Atau untuk ia lari dari musuhnya di tempatnya. Atau ia bosan dengan isteri dan anaknya. Atau dengan kesibukan yang dihadapinya. Lalu ia bermaksud untuk beristirahat beberapa hari. Atau untuk ia berperang, supaya ia membiasakan diri dengan perang dan mempalajari sebab-sebabnya. Dan ia sanggup dengan yang demikian menyediakan tentara dan membawanya. Atau ia mengerjakan shalat di malam hari dan baginya maksud pada menolakkan ketiduran dari dirinya, supaya dapat ia memperhati kan isterinya atau kendaraannya. Atau ia mempelajari ilmu, supaya mudah kepadanya mencari apa yang mencukupkan dari harta. Atau supaya ia mulia diantara keluarga. Atau supaya tanah ladangnya atau harganya terjaga dengan kemuliaan ilmu dari kelobaan. Atau ia menyibukkan diri dengan pelajaran dan memberi nasehat, supaya ia terlepas dari kesusahan diam dan memperoleh kesenangan dengan keenakan berbicara. Atau ia menanggung dengan melayani ulama atau orang sufi, supaya adalah kehormatannya itu sempurna pada mereka dan pada manusia. Atau supaya ia memperoleh dengan yang demikian itu kesenangan di dunia. Atau ia menulis Mash-haf (Kitab Suci Alquran), supaya ia membaguskan dengan kerajinan menulis itu akan tulisannya. Atau ia mengerjakan ibadah hajji dengan berjalan kaki, supaya ia dapat meringankan dari dirinya akan penyewaan kendaraan. Atau ia mengambil wudhu’, supaya ia bersih atau memperoleh kedinginan. Atau ia mandi, supaya bagus bau badannya. Atau ia merawikan hadits, supaya ia dikenal dengan tingginya isnad hadits. Atau ia beriktikaf (berdiam untuk ibadah) dalam masjid, supaya ringan penyewaan tempat tinggal. Atau ia berpuasa, supaya meringankan dari dirinya bulak-balik pada memasakkan makanan atau supaya ia dapat memberikan semua tenaganya untuk urusannya. Lalu ia tidak disibukkan oleh urusan makan. Atau ia bersedekah kepada orang yang meminta, supaya putuslah kesangatan orang itu pada meminta daripadanya. Atau ia mengunjungi orang sakit, supaya ia dikunjungi, apabila ia sakit. Atau ia berta’ziah pada orang kematian, supaya dita’ziah orang jenazah-jenazah keluarganya. Atau ia berbuat sesuatu dari yang demikian, supaya ia dikenal dengan orang baik, disebutkan dan dipandang orang dengan mata kebaikan dan kemuliaan.
Manakala penggeraknya itu adalah at-taqarrub kepada Allah Ta’ala, akan tetapi bertambah kepadanya suatu lintasan di hati dari lintasan-lintasan tadi, sehingga amal itu menjadi lebih ringan kepadanya, disebabkan hal-hal tersebut, maka amalnya itu telah keluar dari batas keikhlasan. Dan ia keluar dari adanya itu orang yang ikhlas bagi wajah Allah Ta’ala. Dan berjalanlah kepadanya kesekutuan. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Aku yang terkaya bagi sekutu-sekutu dari kesekutuan (perkongsian)”.
Kesimpulannya, bahwa setiap keberuntungan dari keberuntungan-keberuntungan dunia itu merasa senanglah diri kepadanya dan cenderunglah hati dengan dia. Sedikit atau banyak. Apabila ia berjalan kepada mengerjakannya, niscaya keruhlah kebersihannya dan hilanglah keikhlasannya. Dan manusia itu terikat pada keberuntungan-keberuntungannya, terbenam dalam nafsu syahwatnya. Sedikitlah terlepas sesuatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya dan suatu ibadah dari ibadah-ibadahnya dari keberuntungan dan maksud yang segera dari segala jenis itu. Maka karena itulah, dikatakan: “Siapa yang menyerahkan sekejap mata dari umurnya yang ikhlas bagi wajah Allah, niscaya ia terlepas”. Dan yang demikian itu karena mulianya ikhlas dan sukarnya membersihkan hati dari campuran-campuran itu.
Bahkan yang ikhlas itu, ialah yang tak ada penggerak kepadanya, selain mencari kedekatan kepada Allah Ta’ala. Dan keberuntungan-keberuntungan ini, jikalau dialah yang menjadi penggeraknya satu-satunya, maka tidaklah tersembunyi kesulitan urusan kepada yang empunyanya itu padanya. Sesungguhnya kita memandang pada apa, bila adalah maksud yang asli, ialah mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub).  Dan bertambah kepadanya hal-hal yang tersebut ini. Kemudian campuran-campuran itu, adakalanya pada tingkat penyesuaian atau pada tingkat persekutuan atau pada tingkat bertolong-tolongan, sebagaimana telah diterangkan dahulu pada niat.
Kesimpulannya, adakalanya bahwa penggerak kejiwaan itu seperti penggerak keagamaan atau lebih kuat atau lebih lemah daripadanya. Dan bagi setiap suatu itu hukum yang lain, sebagaimana akan kami sebutkan nanti. Sesungguhnya ikhlas itu membersihkan amal dari campuran-campuran tersebut seluruh nya, sedikitnya dan banyaknya. Sehingga menjadi semata-mata padanya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub). Maka tiada padanya penggerak, selain itu. Dan ini tiada akan tergambar, selain dari orang yang mencintai Allah, yang tidak memandang, selain kepada Allah, yang menghabiskan cita-cita dengan akhirat, dimana tidak tinggal lagi bagi mencintai dunia itu tempat dalam hatinya. Sehingga ia tidak menyukai pula makan dan minum. Akan tetapi, adalah kegemarannya padanya itu seperti kegemaran pada qodo hajat (membuang air besar), dari segi bahwa itu hal darurat bagi pekerti manusia. Maka ia tidak mengingini makanan, karena itu makanan, akan tetapi, karena dia itu menguatkannya pada beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ia berangan-angan bahwa jikalau mencukupilah keburukan lapar, sehingga ia tidak berhajat kepada makan, maka tidak tinggallah dalam hatinya keberuntungan dari hal-hal yang tidak perlu, yang berlebihan di atas yang darurat. Dan adalah kadar darurat itu yang dituntut padanya. Karena adalah itu kedaruratan agamanya. Maka tidak ada baginya cita-cita, selain Allah Ta’ala. Maka orang yang seperti ini, jikalau ia makan dan minum atau berqodo hajat, niscaya adalah dia itu ikhlas amal, benar niat pada semua geraknya dan diamnya. Maka jikalau ia tidur –umpamanya- sehingga ia mengistirahatkan dirinya, supaya ia menjadi kuat pada beribadah sesudahnya, niscaya adalah tidurnya itu ibadah. Dan adalah baginya derajat orang-orang yang ikhlas padanya.
Dan siapa yang tidak seperti demikian, maka pintu keikhlasan pada segala amal itu tertutup padanya, selain di atas yang jarang terjadi. Dan sebagaimana orang yang mengeras padanya mencintai Allah dan mencintai akhirat, maka gerak-geriknya yang biasa mengusahakan akan sifat cita-citanya dan jadilah gerak-gerik itu ikhlas. Maka orang yang mengeras atas dirinya dunia, ketinggian, ingin menjadi kepala dan dengan berkesimpulan: selain Allah, maka semua gerak-geriknya mengusahakan akan sifat yang demikian. Maka tidak selamat baginya ibadah-ibadahnya, dari puasa, shalat dan lainnya, selain jarang sekali. Jadi, obat ikhlas ialah memecahkan keberuntungan-keberuntungan diri, memotong kelobaan dari dunia dan menjuruskan diri kepada akhirat, dimana mengeraslah yang demikian atas hati. Maka ketika itu mudahlah ikhlas. Berapa banyak amal perbuatan yang payahlah insan padanya dan ia menyangka bahwa amal perbuatan itu ikhlas bagi wajah Allah. Dan adalah dia padanya itu tertipu. Karena ia tidak melihat segi bahaya padanya. Sebagaimana diceritakan dari sebagian mereka, bahwa ia mengatakan: “Aku menunaikan shalat 30 tahun, yang aku kerjakan di masjid pada shaf pertama. Karena aku terlambat pada suatu hari, sebab ada halangan, maka aku mengerjakan shalat pada shaf kedua. Maka tertipu aku oleh perasaan malu kepada manusia, dimana mereka melihat aku di shaf kedua. Maka aku tahu, bahwa pandangan manusia kepadaku pada shaf pertama itu adalah menggembirakan aku dan sebab senangnya hatiku, dimana aku tidak merasakannya”. Inilah hal yang halus, yang kabur. Sedikitlah selamat amal perbuatan dari hal-hal yang seperti itu. Dan sedikitlah orang yang memperhati kan nya, selain orang yang diberikan taufiq oleh Allah Ta’ala. Orang-orang yang lalai daripadanya melihat kebajikan mereka semuanya di akhirat itu kejahatan.
Dan merekalah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan ketika itu jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada mengiranya, memang dari Allah. Dan telah jelas bagi mereka semua kejahatan-kejahatan yang mereka kerjakan”. S 39 Az Zumar ayat 47-48. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Katakan: Akan Kami beritakanlah kepadamu, orang-orang yang paling rugi dalam pekerjaannya ? orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 103-104. Makhluk yang paling banyak mendatang bagi percobaan ini, ialah: alim ulama. Bahwa bagi kebanyakan mereka, yang menggerakkan kepada pengembangan ilmu, ialah kelezatan menguasai, kegembiraan dengan diikuti orang dan memperoleh kesukaan dengan pujian dan sanjungan. Dan setan mendatangkan keraguan kepada mereka yang demikian. Dan setan itu berkata: “Maksudmu mengembangkan agama Allah dan menolong syara’ (agama) yang diagamakan oleh Rasulullah saw. Dan engkau melihat akan juru pengajaran, yang memperoleh nikmat dari Allah Ta’ala dengan menasehati orang banyak dan pengajarannya kepada penguasa-penguasa. Ia bergembira dengan diterima oleh orang banyak akan perkataannya dan terarah perhatian mereka kepadanya. Dan ia mendakwakan, bahwa ia bergembira dengan apa, yang dimudahkan baginya dari menolong agama. Dan jikalau muncul dari teman-temannya, orang yang lebih baik pengajarannya daripadanya dan manusia berpaling daripadanya dan menghadapkan perhatian kepada temannya itu, niscaya memburukkan yang demikian kepadanya dan menyusahkan hatinya. Dan jikalau adalah penggeraknya itu agama, niscaya ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Karena telah dicukupkan oleh Allah Ta’ala akan kepentingan ini dengan orang lain”. Kemudian, bersama yang demikian itu, setan tidak membiarkannya dan berkata: “Sesungguhnya yang menyusahkan hati engkau, ialah karena terputusnya pahala dari engkau. Bukan karena berpalingnya wajah manusia dari engkau, kepada orang yang lain dari engkau. Karena, jikalau mereka menerima pengajaran dengan perkataan engkau, niscaya adalah engkau memperoleh pahala. Kesusahan hati engkau karena hilangnya pahala itu terpuji. Dan orang yang patut dikasihani itu tidak mengetahui, bahwa kepatuhannya kepada kebenaran dan penyerahannya akan persoalan itu kepada orang yang lebih utama, adalah lebih banyak pahala dan lebih mengembalikan kepadanya di akhirat daripada kesendiriannya”.
Moga-moga kiranya aku ketahui, bahwa jikalau susahlah hati Umar ra dengan mengangkat kepalanya Abubakar ra untuk menjadi imam (menjadi khalifah), maka adakah susah hatinya Umar ra itu terpuji atau tercela ? tidak adalah keraguan bagi orang yang beragama, bahwa jikalau adalah yang demikian, niscaya adalah tercela. Karena kepatuhannya kepada kebenaran dan penyerahannya persoalan kepada orang yang lebih pantas daripadanya itu lebih mengembali kannya kepada agama, daripada dipikulnya tanggung jawab kepentingan orang banyak, serta apa yang padanya itu banyak pahala. Akan tetapi, Umar ra bergembira dengan kebebasan orang yang lebih utama daripadanya itu, dengan persoalan tersebut. Maka bagaimana pula keadaan para ulama itu tidak merasa gembira dengan hal yang seperti demikian ? terkadang tertipu sebahagian ahli ilmu dengan tipuan setan. Lalu mengatakan kepada dirinya, bahwa jikalau muncullah orang yang lebih utama daripadanya dengan persoalan itu, niscaya ia bergembira dengan yang demikian. Dan diberitakannya dengan yang demikian dari dirinya sebelum percobaan dan ujian, adalah bodoh dan tertipu semata-mata. Bahwa diri itu mudah terikut pada janji, dengan contoh-contoh yang seperti demikian, sebelum terjadinya persoalan. Kemudian, apabila persoalan itu menimpa dirinya, niscaya ia berobah dan kembali. Dan tidak dipenuhinya dengan janjinya itu. Dan yang demikian, tidak diketahui, selain orang yang mengetahui tipuan setan dan hawa nafsu. Dan lamalah kesibukannya dengan ujiannya. Maka mengetahui hakikat/makna ikhlas dan amalan dengan keikhlasan itu adalah laut yang dalam, yang menenggelamkan semua orang, selain yang sedikit lagi jarang dan seorang dua saja. Yaitu: yang dikecualikan pada firman Allah Ta’ala: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas diantara mereka”. S 38 Shaad ayat 83. Maka hendaklah hamba itu sangat mencari yang kehilangan ini dan mengintip detik-detik itu ! jikalau tidak, niscaya ia terhubung dengan pengikut-pengikut setan. Dan ia tidak merasakan yang demikian.
PENJELASAN: kata-kata para syaikh tentang ikhlas.
Abu Ya’qub As-Susi berkata: “Ikhlas ialah tidak melihatnya ikhlas. Siapa yang menyaksikan pada keikhlasannya akan ikhlas, maka sesungguhnya keikhlasannya itu memerlukan kepada ikhlas”. Apa yang disebutkan oleh Abu Ya’qub tadi adalah suatu isyarat kepada pembersihan amal dari keujuban dengan perbuatan. Bahwa memperhatikan kepada keikhlasan dan melihat kepadanya itu adalah suatu keujuban (mengherani diri). Dan itu termasuk dalam jumlah bahaya. Dan yang ikhlas itu ialah apa yang bersih dari semua bahaya. Maka ini pendatangan kepada suatu bahaya.
Sahal ra berkata: “Ikhlas ialah bahwa adanya diam hamba dan gerak-geriknya khusus karena Allah Ta’ala”. Ini adalah kalimat yang menghimpun dan yang meliputi dengan maksud. Dan searti dengan itu, ucapan Ibrahim bin Adham: “Ikhlas ialah benarnya niat serta Allah”. Ditanyakan kepada Sahal: “Apakah yang paling berat atas diri ?”. Sahal menjawab: “Ikhlas, karena tiada bagi diri padanya itu keuntungan”.
Berkata Abu Muhammad Ruwaim: “Ikhlas pada amal itu ialah ia tidak menghendaki sahabatnya padanya itu gantian pada dua negeri”. Ini adalah isyarat, bahwa keberuntungan diri itu adalah bahaya, masa sekarang (dunia) dan masa yang akan datang(akhirat). Orang yang beribadah (abid) untuk memperoleh nikmatan diri dengan nafsu keinginan dalam sorga itu adalah orang yang sakit pada amalnya. Bahkan menurut hakikat/maknanya, bahwa tidak dikehendaki dengan amal itu, selain wajah Allah Ta’ala. Dan itu adalah isyarat kepada keikhlasan orang-orang shiddik (ash-shiddiqin). Yaitu: keikhlasan mutlak.
Adapun orang yang beramal karena mengharap sorga dan takut kepada neraka, maka dia itu ikhlas, dengan dikaitkan kepada keberuntungan-keberuntungan masa mendatang (akhirat). Jikalau tidak demikian, maka dia itu pada mencari keberuntungan perut dan kemaluan. Sesungguhnya yang dicari, yang sebenarnya bagi orang yang mempunyai akal, ialah wajah Allah Ta’ala saja. Dan kata yang mengatakan, bahwa manusia itu tiada bergerak, selain karena keberuntungan. Dan terlepas dari keberuntungan-keberuntungan itu adalah sifat ketuhanan. Maka orang yang mendakwakan demikian adalah orang yang tertutup hatinya (orang kufur). Dan Al-qadli Abubakar Al-Baqilani menghukum dengan pengkufuran orang yang mendakwakan kelepasan bagi dirinya dari keberuntungan-keberuntungan dan mengatakan, bahwa: ini termasuk sebahagian dari sifat-sifat ketuhanan.
Apa yang disebutkan oleh Al-qadli Abubakar itu benar. Akan tetapi, golongan (kaum) itu menghendaki dengan yang demikian, ialah kelepasan dari apa, yang dinamakan oleh manusia: keberuntungan-keberuntungan. Yaitu: nafsu keinginan yang disifatkan dalam sorga saja.
Adapun berlezat-lezatan dengan semata-mata ma’rifah, munajah dan memandang kepada wajah Allah Ta’ala, maka ini adalah keberuntungan mereka. Dan ini tidak dihitung oleh manusia keberuntungan. Akan tetapi, mereka merasa keheranan (keta’juban) daripadanya. Dan mereka ini, jikalau digantikan dari apa, yang mereka berada di dalamnya, dari kelezatan taat, munajah dan ketekunan menyaksikan Hadlarat/keajaiban Ketuhanan, secara rahasia dan nyata, dengan semua kenikmatan sorga, niscaya mereka memandang leceh semua kenikmatan sorga itu. Dan mereka tiada akan menoleh kepadanya. Maka gerak mereka itu karena keberuntungan dan taat mereka itu karena keberuntungan. Akan tetapi, keberuntungan mereka itu, ialah Yang Disembah mereka itu saja. Tidak yang lain.
Abu Usman berkata: “Ikhlas ialah lupa melihat makhluk, dengan berkekalan memandang kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta) saja”. Ini adalah isyarat kepada bahaya ria saja. Karena itulah, sebahagian mereka itu berkata: “Ikhlas pada amal, ialah, bahwa setan tidak melihat kepadanya, lalu dirusakkannya. Dan tiada dilihat oleh malaikat, lalu dituliskannya”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata menyembunyikan. Dan dikatakan, bahwa ikhlas itu ialah apa yang tertutup dari makhluk dan bersih dari hubungan-hubungan. Dan ucapan ini lebih mengumpulkan bagi segala maksud.
Al-Muhasibi berkata: “Ikhlas ialah mengeluarkan makhluk kepada mu’amalah (perniagaan) dengan Tuhan”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata ketiadaan ria. Seperti demikian juga kata Ibrahim Al-Khawwash: “Barangsiapa meminum dari gelas keinginan menjadi kepala, maka ia telah keluar dari keikhlasan penghambaan diri kepada Allah (al-‘ubudiyah)”.
Bertanya teman-teman Isa as (al-hawariyyun) kepada Isa as: “Apakah yang ikhlas dari amal perbuatan itu ?”. Isa as menjawab: “Yang beramal karena Allah Ta’ala, niscaya ia tidak menyukai, bahwa ia dipuji oleh seseorang atas amal itu”. Ini juga pembentangan bagi meninggalkan ria. Sesungguhnya dikhususkannya ria dengan disebutkan, karena ria itu adalah sebab yang terkuat, yang mengacaukan ikhlas.
Al-Junaid berkata: “Ikhlas itu membersihkan amal dari kotoran-kotoran”. Al-Fudlail berkata: “Meninggalkan amal dari karena manusia itu ria. Dan amal dari karena manusia itu syirik. Dan ikhlas ialah, bahwa engkau disehatkan oleh Allah Ta’ala daripada keduanya”. Ada yang mengatakan, bahwa ikhlas itu berkekalan muraqabah (menjaga) dan melupakan setiap keberuntungan. Ini adalah penjelasan yang sempurna.
Kata-kata para syaikh tentang ini banyak. Dan tak ada faedahnya pada memperbanyakkan nukilan, sesudah tersingkap hakikat/makna. Bahwa penjelasan yang menyembuhkan, ialah penjelasan penghulu orang-orang yang pertama (al-awwalin) dan orang-orang yang penghabisan (al-akhirin). Muhammad saw, ketika ditanyakan tentang ikhlas, maka ia saw menjawab: “Bahwa engkau mengatakan: “Tuhanku Allah”. Kemudian engkau berpendirian teguh, sebagaimana engkau disuruhkan”. Artinya: engkau tidak menyembah hawa nafsu engkau dan diri engkau. Dan engkau tidak menyembah selain Tuhan engkau. Dan engkau berpendirian teguh pada beribadah kepadaNya, sebagaimana engkau disuruhkan. Ini adalah isyarat kepada memutuskan berlalunya pandangan kepada selain Allah. Dan itulah ikhlas yang sebenar-benarnya.
PENJELASAN: derajat percampuran dan bahaya pengkotoran ikhlas.
Ketahuilah kiranya, bahwa bahaya-bahaya yang mengacaukan keikhlasan, sebahagiannya itu jelas, sebahagiannya itu tersembunyi, sebahagiannya lemah serta jelas dan sebahagiannya kuat serta tersembunyi. Dan tidak dapat dipahamkan perbedaan tingkat-tingkatnya pada tersembunyi dan jelas, selain dengan contoh. Dan yang paling menonjol yang mengacaukan keikhlasan itu, ialah: ria. Maka marilah kami sebutkan suatu contoh daripadanya, maka kami mengatakan, bahwa: setan itu memasukkan bahaya kepada orang yang mengerjakan shalat, bagaimanapun adanya ia ikhlas pada shalatnya. Kemudian, suatu jama’ah memandang kepada orang yang shalat itu atau masuk kepadanya orang yang masuk. Lalu ia mengatakan kepada orang yang shalat itu: “Baguskanlah shalat engkau ! sehingga orang yang hadir ini melihat kepada engkau dengan mata kemuliaan dan kepatutan. Ia tidak memandang hina kepada engkau dan ia tidak mengumpati engkau”. Maka khusuklah anggota-anggota badannya, tenanglah sendi-sendinya dan baguslah shalatnya. Ini adalah ria yang terang. Dan tidaklah tersembunyi yang demikian kepada golongan permulaan dari murid-murid.
Derajat kedua: adalah murid itu sudah memahami bahaya ini dan mengambil daripadanya akan kehati-hatiannya. Maka jadilah dia tidak mengikuti setan padanya. Dan tidak menoleh kepadanya. Dan ia berkekalan pada shalatnya, sebagaimana yang telah ada. Maka datanglah setan kepadanya pada mengemukakan kebajikan. Setan itu berkata: “Engkau orang yang diikuti. Orang menuruti engkau dan memandang kepada engkau. Dan apa yang engkau perbuat, membekas dari engkau. Dan engkau diikuti oleh orang lain. Maka adalah bagi engkau pahala amal perbuatan mereka, jikalau engkau berbuat baik. Dan atas engkau dosa, jikalau engkau berbuat jahat. Maka baguskanlah amal engkau di hadapannya ! mudah-mudahan ia mengikuti engkau pada kekhusukan dan pembagusan ibadah”. Ini lebih tersembunyi dari yang pertama. Kadang-kadang tertipu dengan ini, orang yang tidak tertipu dengan yang pertama tadi. Itu juga ria yang sebenarnya dan membatalkan keikhlasan. Maka jikalau ia melihat kekhusukan dan kebagusan ibadah itu kebajikan, yang ia tidak ridha orang lain meninggalkannya, maka mengapa ia tidak ridha bagi dirinya sendiri yang demikian dalam tempat sunyi (al-khilwah) ? dan tidak mungkin bahwa adalah diri orang lain lebih mulia padanya dari dirinya sendiri. Maka ini adalah semata-mata penipuan. Akan tetapi, orang yang diikuti itu, adalah orang yang berpegang teguh pada dirinya dan memperoleh kesinaran akan hatinya. Maka berkembanglah cahayanya kepada orang lain. Maka adalah baginya pahala di atas yang demikian. Adapun ini maka semata-mata nifak dan penipuan. Maka siapa yang mengikutinya, niscaya diberikan pahala kepadanya. Adapun dia itu maka dituntut dengan penipuannya dan disaksikan atas melahirkan dari dirinya, akan apa yang ia tidak bersifat dengan yang demikian.
Derajat ketiga: yaitu lebih halus dari yang sebelumnya, bahwa hamba itu mencoba dirinya pada yang demikian. Dan berjaga-jaga dari tipuan setan. Dan ia tahu, bahwa perbedaannya diantara tempat sepi (al-khilwah) dan disaksikan orang lain itu semata-mata ria. Dan ia tahu, bahwa ikhlas pada adanya shalatnya itu di tempat sepi sama seperti shalatnya di muka orang banyak. Ia malu kepada dirinya dan kepada Tuhannya, bahwa ia berbuat khusyuk karena disaksikan makhluk dengan kekhusyukan yang lebih di atas kebiasaannya. Maka ia hadapkan kepada dirinya dalam tempat sepi dan ia membaguskan shalatnya di atas cara yang disenanginya di depan orang banyak. Ia mengerjakan shalat pula di hadapan orang banyak seperti yang demikian. Maka ini juga termasuk ria yang tidak terang. Karena ia membaguskan shalatnya di tempat sepi, supaya ia bagus di muka orang banyak. Maka tidaklah dia telah membedakan diantara keduanya. Maka perhatiannya pada tempat sepi dan orang banyak itu adalah kepada makhluk. Bahkan ikhlas itu, bahwa disaksikan oleh hewan kepada shalatnya dan disaksikan oleh manusia banyak, adalah sama, tiada bedanya. Maka seakan-akan diri orang ini tidak membolehkan dengan pemburukan shalat di muka orang banyak. Kemudian, ia malu dari dirinya bahwa ia berada dalam bentuk orang-orang yang ria. Dan ia menyangka bahwa yang demikian itu akan hilang dengan bersamaan shalatnya di tempat sepi dan di muka orang banyak. Amat jauhlah yang demikian ! bahkan hilangnya yang demikian itu, dengan ia tidak menoleh kepada makhluk, sebagaimana ia tidak menoleh kepada benda-benda keras, di tempat sepi dan di muka orang banyak sekalian. Dan ini adalah dari orang yang cita-citanya sibuk dengan makhluk, di muka orang banyak dan di tempat sepi sekalian. Dan ini sebahagian dari tipuan yang tersembunyi bagi setan.
Derajat keempat: yaitu lebih halus dan lebih tersembunyi, bahwa manusia memandang kepadanya. Dan dia dalam shalatnya. Maka lemahlah setan daripada mengatakan kepadanya: “Khusyuklah karena mereka !”. Bahwa setan itu sudah tahu, bahwa orang itu telah cerdik untuk yang demikian. Maka setan mengatakan kepadanya: “Bertafakkurlah tentang kebesaran Allah dan keagunganNya ! dan siapa engkau yang berdiri di hadapanNya. Dan malulah bahwa Allah memandang kepada hati engkau dan engkau lalai daripadaNya !”. Maka hadirlah dengan yang demikian itu hatinya dan khusyuklah anggota-anggota badannya. Ia menyangka bahwa yang demikian itulah ikhlas yang sebenarnya. Padahal itu adalah tipu dan daya. Maka kekhusyukannya jikalau adalah karena pandangannya kepada keagungan Allah, niscaya adalah gurisan ini tidak akan berpisah dengan dia dalam al-khilwah. Dan adalah tiada akan khusus kehadiran gurisan tersebut dengan keadaan hadirnya orang lain. Dan tanda aman dari bahaya ini, ialah bahwa adalah yang terguris ini dari apa, yang menjinakkan hatinya dalam al-khilwah, sebagaimana yang menjinakkan hatinya di muka orang banyak. Dan tidaklah kehadiran orang lain itu yang menjadi sebab pada kehadiran yang terguris itu. Sebagaimana tidaklah kehadiran hewan itu menjadi sebabnya. Maka selama ia memperbedakan dalam hal keadaannya, diantara disaksikan manusia dan disaksikan oleh hewan, maka dia itu terhitung orang yang diluar dari kebersihan ikhlas, yang kotor batiniahnya dengan syirik yang tersembunyi dari ria. Dan syirik ini lebih tersembunyi dalam hati anak Adam, daripada merangkaknya semut hitam dalam malam yang gelap, di atas batu hitam, sebagaimana yang datang pada hadits. Dan tidak akan selamat dari setan, selain orang yang halus pemandangannya. Dan ia berbahagia dengan pemeliharaan Allah Ta’ala, taufiq dan hidayahNya. Jikalau tidak, maka setan itu selalu berada dengan orang-orang yang mengindahkan beribadah kepada Allah Ta’ala. Setan itu tidak lalai sekejappun dari mereka, sehingga dibawanya mereka kepada ria pada setiap gerak dari gerak-geriknya.
Sehingga pada meletakkan celak mata, menggunting kumis, memakai bau-bauan pada hari Jum’at dan memakai pakaian. Bahwa ini adalah sunat pada waktu-waktu khusus. Dan bagi diri, padanya itu keberuntungan yang tersembunyi. Karena terikatnya pandangan makhluk dan jinaknya tabiat dengan dia. Maka ia diajak oleh setan kepada perbuatan itu. Setan berkata: “Ini sunat ! tiada seyogyalah bahwa engkau meninggalkannya”. Dan adalah tergeraknya hati itu hal batiniyah baginya. Karena nafsu keinginan yang tersembunyi itu. Atau bercampur dengan dia dengan campuran yang mengeluarkannya dari batas keikhlasan dengan sebabnya itu. Dan apa yang tidak selamat dari setiap bahaya ini, maka tidaklah dia itu yang ikhlas. Bahkan orang yang beri’tikaf dalam masjid yang ramai, yang bersih, bagus bangunannya, yang disukai oleh tabiat manusia kepadanya, maka setan menggalakkannya kepadanya dan membanyakkan padanya keutamaan-keutamaan i’tikaf.
Kadang-kadang adalah penggerak yang tersembunyi dalam rahasia itu, ialah kejinakan hati dengan bagusnya bentuk masjid dan tabiat diri merasa istirahat kepadanya. Dan jelas yang demikian pada kecenderungannya kepada salah satu dari dua masjid atau salah satu dari dua tempat, apabila dia itu lebih bagus dari yang lain. Semua itu bercampur dengan campuran-campuran tabiat dan kekotoran-kekotoran diri. Demi umurku, bahwa yang membatalkan hakikat/makna keikhlasan, ialah tipuan yang bercarmpur dengan kemurnian emas, yang mempunyai derajat yang berlebih kurang. Maka sebahagian daripadanya itu apa yang banyak dan sebahagian daripadanya apa yang sedikit. Akan tetapi, mudah mengetahuinya. Dan sebahagian daripadanya itu apa yang halus, dimana tidak diketahui, selain oleh orang yang suka menyelidiki dan bermata hati.
Tipuan hati, perdayaan setan dan keji jiwa itu lebih tersembunyi dari yang demikian dan lebih banyak kehalusan. Dan karena inilah dikatakan: “2 rakaat shalat dari orang yang berilmu itu lebih utama dari ibadah setahun dari orang bodoh”. Dan yang dimaksudkan dengan orang yang berilmu tadi, ialah orang yang berilmu, yang melihat akan bahaya amal yang halus-halus. Sehingga ia terlepas daripadanya. Bahwa orang yang bodoh itu pandangannya kepada zahiriah ibadah dan tertipu dengan dia, seperti pandangan orang hitam kepada merahnya uang dinar yang dicelup dengan air emas dan bundarannya. Dan dia itu tertipu yang merugi pada dirinya. Dan sekarat dari emas yang murni yang disenangi oleh orang yang suka menyelidiki, lagi bermata hati itu lebih baik dari sedinar yang disenangi oleh orang yang tertipu, lagi dungu.
Maka begitulah berlebih-kurangnya urusan ibadah. Bahkan lebih sangat dan lebih besar. Dan tempat-tempat masuk bahaya yang menjalani kepada berbagai macam amal itu tidak mungkin dihinggakan dan dihitung. Maka marilah dimanfaatkan sebagai contoh dengan apa yang telah kami sebutkan. Dan orang yang cerdik mencukupi baginya oleh yang sedikit dari yang banyak. Dan orang yang bodoh tidak mencukupkan baginya juga oleh perpanjangan. Maka tiada faedah pada penguraian.
PENJELASAN: hukum amal yang bercampur dan berhaknya pahala dengan amal itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa amal itu, apabila ia tidak semata-mata karena wajah Allah Ta’ala, akan tetapi bercampur padanya percampuran dari keriaan dan keberuntungan-keberuntungan diri, maka berbedalah pendapat manusia, pada yang demikian itu, bahwa adakah ia menghendaki pahala atau menghendaki siksa? atau tidak sekali-kali menghendaki sesuatu ? maka tidak adalah baginya (keuntungan) dan tidak ada atasnya (kerugian).
Adapun yang tidak dikehendaki dengan amal itu, selain ria, maka sudah pasti adalah atasnya (kerugian). Dan itu menjadi sebab kutukan dan siksaan. Adapun yang semata-mata karena wajah Allah Ta’ala maka itu menjadi sebab pahala. Sesungguhnya memandang kepada yang bercampur dan zahiriah, hadits-hadits itu menunjukkan, bahwa tiada pahala baginya. Dan tidaklah tersembunyi hadits-hadits daripada bertentangan padanya. Dan yang membekas bagi kita padanya –dan ilmu adalah di sisi Allah- bahwa diperhatikan kepada kadar kuatnya pembangkit. Jikalau adalah pembangkit keagamaan itu sama bagi pembangkit kenafsuan, niscaya keduanya lawan-melawan dan berguguran. Dan jadilah amal itu tidak baginya (keuntungan) dan tidak ada atasnya (kerugian). Jikalau adalah pembangkit ria itu lebih keras dan lebih kuat, maka tidaklah amal itu bermanfaat. Dan dia bersama yang demikian itu memperoleh melarat dan membawa kepada siksaan. Ya, siksaan yang padanya itu lebih ringan dari siksaan amal yang semata-mata untuk ria. Dan tidak bercampur padanya campuran at-taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Ta’ala). Dan jikalau maksud at-taqarrub itu lebih keras, dibandingkan kepada pembangkit yang lain, maka baginya pahala, menurut kadar apa yang berlebihan dari kekuatan pembangkit keagamaan. Dan ini karena firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7-8. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Bahwa Allah tidak hendak merugikan seseorang barang sebesar atom. Meskipun perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat-gandakan oleh Allah juga”. S 4 An Nisaa’ ayat 40.
Maka tiada seyogyalah bahwa disia-siakan maksud kebajikan. Akan tetapi, jikalau maksud kebajikan itu yang menang atas maksud ria, niscaya binasa daripadanya, kadar yang menyamakan akan maksud ria itu. Dan tinggallah selebihnya. Dan jikalau maksud kebajikan itu yang kalah, niscaya gugurlah dengan sebabnya itu, sesuatu dari siksaan maksud yang merusak itu. Penyingkapan tutup dari ini, ialah bahwa amal perbuatan itu membekasnya pada hati dengan menguatnya sifat-sifatnya. Maka yang mengajak keriaan itu termasuk sebahagian dari yang membinasakan. Dan bahwa makanan yang membinasakan ini dan kekuatannya, ialah berbuat di atas kesesuaiannya. Dan yang mengajak kebajikan itu termasuk sebahagian dari yang melepaskan. Dan bahwa kekuatannya itu dengan berbuat di atas kesesuaiannya. Apabila dua sifat itu berkumpul pada hati, maka keduanya itu berlawanan. Apabila ia berbuat di atas kesesuaian kehendak ria, maka ia telah menguatkan sifat itu. Dan apabila adalah amal itu di atas kesesuaian kehendak mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub), maka ia telah menguatkan pula akan sifat itu. Salah satu dari keduanya itu membinasakan dan yang lain itu melepaskan. Jikalau adalah penguatan ini dengan kadar penguatan yang lain, maka keduanya itu lawan-melawan. Maka adalah seperti orang yang merasa melarat dengan kepanasan, apabila ia mengambil apa yang mendatangkan melarat baginya. Kemudian, ia mengambil dari yang mendinginkan, akan apa yang melawan akan kadar kekuatannya. Maka adalah ia sesudah mengambil kedua nya itu, seolah-olah ia tiada mengambil keduanya. Dan jikalau salah satu dari keduanya itu yang lebih banyak, niscaya tidaklah terlepas yang banyak itu dari membekas. Maka sebagaimana ia tidak menyia-nyiakan seberat atom dari makanan, minuman dan obat-obatan dan tidak terlepas ia dari membekas pada tubuh, dengan hukum sunnah Allah Ta’ala, maka seperti demikian juga, ia tidak menyia-nyiakan seberat atom dari kebajikan dan kejahatan. Dan tidak terlepas dari pembekasan pada penyinaran hati atau penghitamannya dan pada pendekatannya kepada Allah atau pada penjauhannya.
Maka apabila datang dengan apa yang mendekatkannya sejengkal serta apa yang menjauhkannya, maka sesungguhnya ia telah kembali kepada apa yang telah ada. Maka tidaklah ada baginya (keuntungan) dan tidak ada atasnya (kerugian). Dan jikalau adalah perbuatan itu dari apa yang mendekatkannya dengan dua jengkal dan yang lain, yang menjauhkannya dengan satu jengkal, niscaya –sudah pasti- melebihkan baginya sejengkal.
Dan Nabi saw bersabda: “Ikutkanlah akan kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya”. Jadi, adalah ria yang semata-mata itu akan dihapuskan oleh keikhlasan yang semata-mata sesudahnya. Apabila keduanya berkumpul sekalian, maka tidak boleh tidak, secara mudah saja bahwa keduanya itu tolak-menolak. Disaksikan untuk ini oleh kesepakatan (ijma) umat, bahwa orang yang keluar dari rumahnya pergi hajji dan sertanya harta perniagaan, niscaya shahlah hajjinya dan ia memperoleh pahala. Dan telah bercampur dengan yang demikian itu suatu keberuntungan dari keberuntungan-keberuntungan diri. Ya, mungkin bahwa dikatakan: bahwa ia diberi pahala atas amalan hajji, ketika sampainya di Makkah dan harta perniagaannya itu tiada terhenti atasnya. Dan yang berkongsi itu adalah sepanjang perjalanan. Dan tiada pahala padanya, manakala ia mengkasadkan dalam hatinya akan perniagaan. Akan tetapi, yang betul bahwa dikatakan: manakala adalah hajji itu penggerak yang asli dan maksud perniagaan itu adalah seperti penolong dan pengikut, maka tidaklah diri perjalanan itu terlepas dari pahala. Dan menurut pendapatku, bahwa orang-orang yang pergi perang itu tidak mengetahui pada dirinya, akan perbedaan diantara memerangi orang-orang kafir, pada pihak yang banyak padanya harta rampasan dan diantara pihak yang tidak ada rampasan padanya. Dan jauhlah bahwa dikatakan: bahwa mengetahui akan perbedaan ini membatalkan secara keseluruhan, akan pahala perjuangan mereka. Akan tetapi, yang adil bahwa dikatakan: apabila pembangkit yang asli dan penggerak yang kuat, ialah: meninggikan kalimah Allah Ta’ala dan bahwa keinginan pada harta rampasan itu atas jalan ikutan, maka tidaklah batal pahala dengan yang demikian. Ya, tidak sama pahalanya dengan pahala orang yang tidak berpaling hatinya sekali-kali kepada harta rampasan. Maka kepalingan ini –sudah pasti- kekurangan. Jikalau anda mengatakan: bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits itu menunjukkan bahwa bercampurnya ria itu membatalkan pahala. Dan searti dengan ria itu bercampurnya mencari harta rampasan, perniagaan dan keberuntungan-keberuntungan yang lain. Diriwayatkan oleh Thawus dan lainnya dari orang-orang tabi’in, bahwa seorang laki-laki menanyakan Nabi saw tentang orang yang berbuat-buat kebajikan. Atau laki-laki itu mengatakan: ia bersedekah, lalu menyukai bahwa ia dipuji dan diberi ganjaran. Maka Nabi saw tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada laki-laki itu. Sehingga turunlah ayat: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, niscaya hendaklah ia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Dan telah dimaksudkan pahala dan pujian sekalian. Diriwayatkan Mu’az dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Ria yang paling kurang itu syirik”.
Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda: “Dikatakan kepada orang yang mempersekutukan pada amal perbuatannya: “Ambillah pahalamu dari orang yang kamu kerjakan baginya”. Diriwayatkan dari Ubadah, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Aku Yang Terkaya dari segala yang kaya, dari perkongsian. Siapa yang berbuat bagiKu suatu perbuatan, lalu dipersekutukannya bersama Aku akan yang lain dari Aku, niscaya Aku simpan bahagianKu bagi kongsiKu”. Diriwayatkan Abu Musa, bahwa seorang Arab desa datang kepada Rasulullah saw, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! orang yang berperang karena kepanasan hati, orang yang berperang karena keberanian dan orang yang berperang untuk melihat tempatnya pada sabilullah”. Nabi saw lalu menjawab: “Barangsiapa berperang supaya kalimah Allah itu yang tertinggi, maka dia itu pada sabilullah”. Umar ra berkata: “Kamu mengatakan, bahwa si Anu itu syahid dan mungkin ia telah memenuhkan kedua belah kendaraannya dengan dirham rampasan perang”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berhijrah yang mencari sesuatu dari dunia, maka dia itu bagi sesuatu itu”.
Kami mengatakan, bahwa hadits-hadits tersebut tidaklah berlawanan dengan yang telah kami sebutkan itu. Bahkan yang dimaksud dengan hadits-hadits tersebut, ialah orang yang tidak bermaksud dengan yang demikian, selain dunia, seperti sabdanya saw: “Barangsiapa berhijrah yang mencari sesuatu dari dunia, maka dia itu bagi sesuatu itu”, yang tersebut tadi di atas. Adalah yang demikian itu yang lebih mengeras atas cita-citanya. Dan telah kami sebutkan, bahwa yang demikian itu adalah kemaksiatan dan permusuhan. Tidak bahwa mencari dunia itu haram, akan tetapi mencarinya dengan amal perbuatan agama itu haram. Karena padanya itu ria dan mengobahkan ibadah dari tempatnya. Adapun lafal kesekutuan, dimana ia disebutkan, maka itu mutlak bagi persamaan. Dan telah kami terangkan, bahwa apabila bersamaan dua maksud, niscaya keduanya lawan-melawan. Tidak ada baginya (kemanfaatan) dan tidak ada atasnya (kemelaratan). Maka tidak seyogyalah diharapkan pahala padanya. Kemudian, bahwa manusia pada kesekutuan itu selamanya dalam bahaya. Dia tidak mengetahui, manakah diantara keduanya urusan itu yang lebih mengerasi atas maksudnya. Kadang-kadang adalah dia itu bahaya atas dirinya. Karena demikianlah Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, niscaya hendaklah ia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Artinya: ia tidak mengharapkan akan bertemu, serta kesekutuan (mempersekutukan Tuhan), yang terbaik hal-keadaan kesekutuan itu jatuh-menjatuhkan. Dan boleh dikatakan pula, bahwa kedudukan kesyahidan itu tidak akan diperoleh, selain ikhlas dalam peperangan. Dan jauhlah untuk dikatakan, bahwa orang yang adalah panggilan keagamaannya, dimana panggilan itu yang mendorongnya kepada semata-mata peperangan, walaupun tidak ada rampasan perang dan ia sanggup kepada memerangi dua golongan orang kafir, satu golongan kaya dan yang satu lagi miskin, lalu ia cenderung kepada pihak yang kaya, untuk meninggikan kalimah Allah dan untuk harta rampasan, bahwa tiada sekali-kali baginya pahala di atas peperangannya itu.
Kita berlindung dengan Allah, bahwa adalah urusan itu seperti yang demikian. Bahwa itu kesempitan pada agama dan tempat-masuknya keputus-asaan kepada kaum muslimin. Karena seperti percampuran yang mengikuti ini, tidaklah sekali-kali terlepas insan daripadanya, selain jarang sekali. Maka adalah pembekasan ini pada pengurangan pahala. Adapun bahwa adalah yang demikian itu pada membatalkan pahala, maka tidaklah yang demikian. Benar, bahwa manusia pada yang demikian itu di atas bahaya besar. Karena kadang-kadang ia menyangka, bahwa pembangkit yang terkuat, ialah: maksud at-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dan adalah yang lebih mengeraskan atas rahasia (isi hatinya), ialah: keberuntungan jiwa. Dan yang demikian itu termasuk yang tersembunyi, yang penghabisan tersembunyi. Maka pahala itu tidak berhasil, selain dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu sedikitlah hamba meyakininya dari dirinya, walaupun ia bersangatan pada menjaganya. Maka karena demikianlah, seyogyanya bahwa adalah dia selamanya sesudah sempurna kesungguhan usaha itu, dalam keraguan diantara tertolak dan diterima, dalam keadaan takut bahwa ada pada ibadahnya itu bahaya, yang bencananya adalah lebih banyak dari pahalanya. Begitulah adanya orang-orang yang takut dari orang-orang yang mempunyai mata hati. Dan begitulah seyogyanya bahwa ada setiap orang yang mempunyai mata-hati.
Karena demikianlah Sufyan ra berkata: “Aku tidak menghitung dengan apa yang terang dari amalku”. Abdul-aziz bin Abi Rawwad berkata: “Aku bertetangga dengan Rumah ini (Baitullah) 60 tahun. Dan aku mengerjakan hajji 60 kali hajji. Maka aku tidak masuk pada suatupun dari amal perbuatan bagi Allah, melainkan aku memperhitungkan diri. Maka aku dapati, bahwa bahagian setan itu lebih sempurna dari bahagian Allah. Mudah-mudahan tidaklah bagiku (kemanfaatan) dan tidaklah atasku (kemelaratan). Dan bersamaan dengan ini, maka tiada seyogyalah bahwa amal itu ditinggalkan, ketika takut bahaya dan ria. Bahwa yang demikian itu kesudahan keinginan setan daripadanya. Karena yang dimaksudkan, bahwa tidaklah hilang keikhlasan. Dan manakala ditinggalkan amal, maka telah disia-siakan amal dan keikhlasan semuanya.
Diceritakan, bahwa sebahagian orang-orang fakir adalah melayani Abu Sa’id Al-Kharraz dan ia bekerja dengan secara ringan pada segala pekerjaannya. Maka pada suatu hari, Abu Sa’id memperkatakan tentang keikhlasan, yang ia maksudkan keikhlasan segala gerak. Maka orang fakir tersebut mencari akan hatinya pada setiap gerak dan menuntutkannya dengan keikhlasan. Maka sukarlah kepadanya memenuhi segala hajat keperluan dan Syaikh Abu Sa’id merasa melarat dengan yang demikian. Lalu beliau menanyakan orang fakir itu tentang urusannya. Maka orang fakir tersebut menerangkan dengan tuntutannya kepada dirinya dengan hakikat/makna keikhlasan. Dan ia lemah dari yang demikian pada kebanyakan amal perbuatannya. Lalu ditinggalkannya. Abu Sa’id lalu menjawab: “Jangan engkau berbuat ! karena keikhlasan itu tidak akan memutuskan mu’amalah (perniagaan). Maka rajinlah kepada amal dan bersungguh-sungguhlah pada menghasilkan keikhlasan. Maka tidak aku katakan kepada engkau: “Tinggalkan amal ! sesungguhnya aku katakan kepada engkau: “Ikhlaskanlah amal itu ! Al-Fadlil berkata: “Meninggalkan amal perbuatan dengan sebab makhluk itu ria. Dan mengerjakannya karena makhluk itu syirik”.
BAB KETIGA: tentang benar, keutamaannya dan hakikat/maknanya.
KEUTAMAAN BENAR.
Allah Ta’ala berfirman: “Ada orang-orang yang menepati apa yang telah dijanjikan kepada Allah”. S 33 Al Ahzab ayat 23. Nabi saw bersabda: “Bahwa benar (bersifat dengan sifat benar) itu menunjukkan kepada kebajikan. Dan kebajikan itu menunjukkan kepada sorga. Bahwa orang itu sesungguhnya benar, sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: orang yang benar (shiddiq). Bahwa dusta itu menunjukkan kepada kezaliman. Dan kezaliman itu menunjukkan kepada neraka. Bahwa orang itu sesungguhnya dusta, sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: orang yang dusta (kadz-dzab)”. Mencukupilah pada keutamaan benar itu, bahwa orang yang benar itu dirindukan orang. Allah Ta’ala menyifatkan nabi-nabi dalam pembentangan pujian dan sanjungan. Ia berfirman: “Dan ingatlah (riwayat) Ibrahim di dalam Kitab; sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat benar (lurus) dan seorang nabi”. S 19 Maryam ayat 41. Allah Ta’ala berfirman: “Dan ingatlah (riwayat) Ismail di dalam Kitab, sesungguhnya dia adalah seorang yang benar (memenuhi) janji dan adalah dia juga seorang rasul dan seorang nabi”. S 19 Maryam ayat 54. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan ingatlah (riwayat) Idris di dalam Kitab, sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat benar dan seorang nabi”. S 19 Maryam ayat 56.
Ibnu Abbas berkata: “4 perkara, siapa yang ada padanya 4 perkara itu, maka dia itu beruntung, yaitu: benar, malu, bagus akhlak dan syukur”. Basyar bin Al-Harts berkata: “Barangsiapa bermu’amalah (perniagaan) dengan Allah, dengan benar, niscaya ia merasa liar hati dari manusia”. Abu Abdillah Ar-Ramli berkata: “Aku melihat dalam tidur (bermimpi) akan Manshur Ad-Dainuri. Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?”. Manshur Ad-Dainuri menjawab: “Ia mengampunkan aku, mengasihani aku dan memberikan kepadaku, apa yang tidak aku angan-angankan”. Maka aku bertanya kepadanya: “Yang terbaik dari apa yang dihadapkan hamba kepada Allah itu apa ?”. Beliau menjawab: “Benar dan yang terkeji dari apa yang dihadapkannya, ialah: dusta”. Abu Sulaiman berkata: “Jadikanlah benar itu pisau engkau dan kebenaran itu pedang engkau. Dan Allah Ta’ala tujuan tuntutan engkau”. Seorang laki-laki bertanya kepada seorang ahli hikmah (filosuf): “Aku tidak melihat benar itu”. Ahli hikmah tadi menjawab: “Jikalau engkau itu orang yang benar, niscaya engkau kenal akan orang-orang yang benar”.
Dari Muhammad bin Ali Al-Kattani, yang mengatakan: “Kami dapati agama Allah Ta’ala itu terbina di atas 3 sendi, yaitu: di atas kebenaran, benar (tidak dusta) dan keadilan. Maka kebenaran itu di atas segala anggota badan. Keadilan itu di atas hati. Dan benar (tidak dusta) itu di atas akal pikiran”. Ats-Tsuri mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Pada hari kiamat itu, engkau lihat orang-orang yang berkata dusta tentang Allah itu, hitam mukanya”. S 39 Az Zumar ayat 60, bahwa mereka itu mendakwakan mencintai Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka itu orang-orang yang benar kecintaan itu.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud ! barangsiapa membenarkan Aku pada batinnya, niscaya Aku membenarkan dia di sisi makhluk pada zahirnya”. Seorang laki-laki berteriak pada majelis Asy-Syibli dan melemparkan dirinya dalam sungai Dajlah. Lalu Asy-Syibli berkata: “Jikalau laki-laki itu orang yang benar, maka Allah Ta’ala melepaskannya dari bahaya, sebagaimana Ia melepaskan Musa as. Dan jikalau ia orang yang dusta, maka Allah Ta’ala menenggelamkannya, sebagaimana Ia menenggelamkan Fir’aun”. Sebahagian mereka berkata: “Telah Ijma’ (sepakat) fuqaha (para ahli fikih) dan ulama atas 3 perkara. Bahwa apabila shah yang 3 perkara itu, maka padanya kelepasan. Dan tiada sempurna sebahagian daripadanya, selain dengan sebahagian yang lain. 3 perkara tersebut, yaitu: Islam yang murni dari bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa nafsu, benar karena Allah Ta’ala pada segala amal perbuatan dan baik makanan”.
Wahab bin Munabbah berkata: “Aku dapati pada sampul kitab At-Taurat, 22 huruf (kalimat), dimana orang-orang shalih kaum Bani Israil (Yahudi) berkumpul, llau membacakan dan mempelajarinya. Kalimat-kalimat itu, ialah: tiada gudang yang lebih bermanfaat dari ilmu, tiada harta yang lebih beruntung dari sifat tidak lekas marah (hilm), tiada perhitungan yang lebih rendah dari marah, tiada teman yang lebih menghiasi dari amal, tiada kawan yang lebih memalukan dari bodoh, tiada kemuliaan yang lebih mulia dari taqwa, tiada kemurahan yang lebih sempurna dari meninggalkan hawa nafsu, tiada amal yang lebih utama dari fikir, tiada kebaikan yang lebih tinggi dari sabar, tiada kejahatan yang lebih keji dari sombong, tiada obat yang lebih lunak dari kasih-sayang, tiada penyakit yang lebih menyakitkan dari lemah pikiran, tiada utusan yang lebih adil dari kebenaran, tiada dalil yang lebih menasehatkan dari benar, tiada kemiskinan yang lebih hina dari rakus, tiada kekayaan yang lebih mencelakakan dari mengumpulkan harta, tiada hidup yang lebih baik dari sehat, tiada kehidupan yang paling tentram dari menjaga diri, tiada ibadah yang lebih baik dari khusyu’, tiada zuhud yang lebih berkebajikan dari qana’ah (merasa cukup dengan yang ada), tiada pengawal yang lebih memelihara dari diam dan tiada barang yang jauh (ghaib) yang lebih dekat dari mati”.
Muhammad bin Sa’id Al-Maruzi berkata: “Apabila engkau mencari Allah dengan benar, niscaya Allah Ta’ala mendatangkan kepada engkau cermin di tangan engkau. Sehingga engkau melihat setiap sesuatu dari keajaiban dunia dan akhirat”. Abubakar Al-Warraq berkata: “Peliharalah benar (sifat benar) pada apa, yang diantara engkau dan Allah Ta’ala dan kasih-sayang pada apa, yang diantara engkau dan makhluk”. Ditanyakan orang kepada Zin-Nun Al-Mishri: “Adakah bagi hamba itu jalan pada perbaikan segala urusannya ?”. Lalu Zin-Nun bermadah:
Kekallah kita dari dosa keheranan,
Kita mencari kebenaran yang kepadanya ada jalan.
Panggilan hawa nafsu kepada kita meringankan,
menyalahi hawa nafsu kepada kita itu memberatkan.
Ditanyakan orang kepada Sahal: “Apakah asalnya urusan ini, yang kita padanya ?”. Sahal menjawab: “Benar, bermurah hati dan berani”. Lalu dikatakan lagi oleh penanya itu: “Tambahkan lagi kepada kami !”. Maka Sahal menjawab: “Taqwa, malu dan baik makanan”. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw ditanyakan tentang kesempurnaan, maka beliau menjawab: “Perkataan kebenaran dan perbuatan dengan benar”. Dari Al-Junaid tentang firman Allah Ta’ala: “Karena Allah hendak menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka”. S 33 Al Ahzab ayat 8, maka Al-Junaid berkata: “Allah bertanya kepada orang-orang yang benar pada diri mereka, dari benarnya mereka pada sisi Tuhan mereka”. Dan ini adalah urusan di atas bahaya.
PENJELASAN: hakikat/makna benar, makna dan tingkat-tingkatnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa lafal “benar” (ash-shiddiq) itu dipakai pada 6 makna: benar pada perkataan, benar pada niat dan kehendak, benar pada cita-cita yang telah diputuskan (al-‘azm), benar pada menepati dengan al-‘azm, benar pada amal dan benar pada mencari yang sebenarnya tingkat kedudukan-kedudukan agama semuanya. Maka siapa yang bersifat dengan benar pada semua yang demikian itu, niscaya dia itu orang yang sangat benar (sangat lurus). Karena dia itu bersangatan pada benar. Kemudian, mereka juga di atas beberapa tingkat. Maka siapa yang ada baginya keberuntungan pada sifat benar, mengenai sesuatu dari jumlah itu, niscaya dia itu orang yang benar, dengan dikaitkan kepada apa, yang padanya kebenarannya.
Sifat benar yang pertama, ialah: benar lisan. Dan yang demikian itu tidak ada, selain pada berita-berita atau pada apa, yang mengandungkan berita-berita dan memperingatinya. Dan berita itu, adakalanya menyangkut dengan yang lalu atau dengan yang akan datang. Padanya masuk penepatan janji dan penyalahannya. Dan haklah di atas setiap hamba bahwa menjaga lafal-lafalnya. Maka ia tidak berkata-kata, selain dengan benar. Dan ini adalah yang termasyhur dari segala macam benar dan yang lebih menonjol. Maka siapa yang memelihara lidahnya dari berita-berita pada segala sesuatu, di atas kebalikan apa adanya, niscaya dia itu orang yang benar. Akan tetapi, bagi benar ini mempunyai dua kesempurnaan:
Pertama: menjaga dari sindiran-sindiran. Dikatakan: pada sindiran-sindiran itu jalan kepada dusta. Dan yang demikian itu, karena rintangan-rintangan tersebut tegak pada tempat tegaknya dusta. Karena yang ditakutkan dari dusta, ialah: pemahaman sesuatu dibalik apa yang ada pada dirinya. Kecuali, bahwa yang demikian itu sebahagian dari apa, yang disinggung oleh hajat keperluan dan dikehendaki oleh kemuslihatan pada sebahagian hal-keadaan, pada mengajarkan anak-anak dan wanita dan yang berlaku sebagai perlakuan bagi mereka, pada menjaga dari kezaliman, pada memerangi musuh dan menjaga dari penglihatan mereka kepada rahasia-rahasia kerajaan (negara). Maka siapa yang memerlukan kepada sesuatu dari yang demikian, maka benarnya padanya itu, ialah, bahwa adalah penuturannya padanya itu karena Allah, pada apa yang disuruh oleh kebenaran dan dikehendaki oleh agama padanya. Maka apabila ia menuturkan dengan yang demikian, maka dia itu orang yang benar, walaupun perkataannya itu dipahami bukan yang sebenarnya. Karena benar itu, ialah apa yang dikehendaki bagi dirinya. Bahkan bagi penunjukkan kepada kebenaran dan pengajakan kepadanya. Maka tidak dipandang karena rupanya, akan tetapi kepada maknanya. Benar pada tempat yang seperti ini, seyogyalah bahwa dikembalikan kepada sindiran-sindiran, akan apa yang diperoleh jalan kepadanya. Adalah Rasulullah saw apabila menuju kepada perjalanan, beliau menyembunyikan diri dengan orang lain. Dan yang demikian itu, supaya tidak sampai kabar kepada musuh. Lalu beliau itu dimaksudkan. Dan tidaklah ini termasuk dusta sedikitpun. Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah pendusta orang yang mendamaikan diantara dua orang, lalu mengatakan: kebajikan atau menambah kebajikan”.
Diberi kebebasan pada menuturkan yang bersesuaian dengan kemuslihatan, pada 3 tempat: orang yang mendamaikan diantara dua orang, orang yang mempunyai dua isteri dan orang yang berada pada kepentingan-kepentingan peperangan. Dan benar di sini berkisar kepada niat. Maka tidak dijaga padanya, selain benarnya niat dan kehendak kebajikan. Maka manakala telah shah maksudnya, telah benar niatnya dan menjurus kepada kebajikan kehendaknya, niscaya jadilah dia orang yang benar dan sangat benar, bagaimanapun ada lafal (kata-kata)nya. Kemudian, penyindiran padanya adalah lebih utama. Dan jalannya, ialah apa yang diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa ia dicari oleh sebahagian orang-orang zalim dan ia berada di rumahnya. Lalu ia mengatakan kepada isterinya: “Gariskanlah dengan anak jarimu akan suatu lingkaran. Dan letakkanlah anak jari itu di atas lingkaran tadi dan katakanlah: “Tidak ada dia disini”. Dengan yang demikian itu ia menjaga dari dusta dan menolak orang zalim dari dirinya. Maka adalah perkataannya itu benar dan memberi pengertian kepada orang zalim, bahwa dia tidak ada di rumah. Maka kesempurnaan pertama pada lafal, ialah bahwa ia menjaga dari ketegasan lafal dan juga dari sindiran-sindiran, kecuali ketika darurat.
Dan kesempurnaan kedua, ialah, bahwa ia menjaga makna benar pada lafal-lafalnya, yang ia  membisikkan segala isi hati dengan lafal-lafal itu akan Tuhannya, seperti katanya: “Aku hadapkan wajahku kepada Yang Menciptakan langit dan bumi”. Maka hatinya jikalau ada berpaling dari Allah Ta’ala, yang sibuk dengan angan-angan dunia dan nafsu syahwatnya, niscaya dia itu dusta. Dan seperti ucapannya: “Akan Engkau yang aku sembah”. Dan ucapannya: “Aku hamba Allah”. Maka apabila ia tidak bersifat dengan hakikat/makna perhambaan dan ada baginya carian yang lain, selain Allah, niscaya tidaklah perkataannya itu benar. Dan jikalau ia dituntut pada hari kiamat dengan benarnya pada ucapannya: “Aku hamba Allah”, niscaya ia lemah daripada membuktikannya. Bahwa jikalau adalah dia itu hamba bagi dirinya atau hamba bagi dunia atau hamba bagi nafsu syahwatnya, niscaya tidak adalah dia itu orang yang benar pada perkataannya. Setiap apa yang terikatlah hamba dengannya itu, maka dia itu hamba (budak)nya. Sebagaimana Isa as berkata: “Hai budak-budak dunia !”. Dan Nabi kita saw bersabda: “Binasalah budak dinar, binasalah budak dirham, budak pakaian baru dan budak pakaian hitam”. Dinamakan setiap orang yang terikat hatinya dengan sesuatu, budaknya sesuatu itu. Sesungguhnya hamba yang sebenarnya bagi Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah orang yang memerdekakan dirinya pertama-tama dari selain Allah Ta’ala. Maka jadilah dia orang merdeka mutlak. Maka apabila mendahuluilah kemerdekaan ini, niscaya jadilah hati itu kosong dari yang lain. Lalu bertempatlah padanya kehambaan bagi Allah. Maka kehambaan itu menyibukkannya dengan Allah dan dengan kecintaan kepadanya. Mengikatkan batiniyah dan zahiriyahnya dengan mentaatiNya. Maka tiadalah baginya kehendak, selain Allah Ta’ala. Kemudian melewati ini kepada maqam (tingkat) yang lain, yang lebih bersinar daripadanya, yang dinamakan: merdeka. Yaitu, bahwa ia merdeka pula dari kehendaknya kepada Allah, dari segi dia. Akan tetapi, ia merasa cukup (al-qana’ah) dengan apa yang dikehendaki oleh Allah baginya, dari pendekatan atau penjauhan. Maka lenyaplah kehendaknya dalam kehendak Allah Ta’ala. Inilah hamba yang merdeka dari selain Allah, maka jadilah ia orang merdeka. Kemudian ia kembali dan ia merdeka dari dirinya sendiri, lalu jadilah ia orang yang merdeka. Jadilah ia orang yang tiada bagi dirinya, yang ada bagi Penghulunya dan Tuannya. Jikalau Tuannya itu menggerakkannya, niscaya ia bergerak. Jikalau Tuannya itu mendiamkannya, niscaya ia diam. Jikalau Tuannya mencobakannya, niscaya ia ridha. Tiada lagi padanya kelapangan bagi mencari, menuntut dan mempersoalkan. Akan tetapi, dia itu di hadapan Allah, seperti mayat di hadapan yang memandikannya. Dan inilah kesudahan benar pada kehambaan bagi Allah Ta’ala. Maka hamba yang sebenarnya, ialah yang adanya (wujudnya) bagi Tuannya, tidak bagi dirinya. Dan inilah derajat orang-orang shiddiq (orang yang sangat benar).
Adapun mereka dari selain Allah, maka itu derajat orang-orang yang benar. Dan sesudahnya mencari yang sebenarnya  kehambaan bagi Allah Ta’ala. Dan apa yang sebelum ini, maka tidak layak dimiliki yang punya sifat yang demikian, bahwa dinamakan: orang yang benar (shaadiq) dan orang yang sangat benar (shiddiq). Maka inilah dia itu makna benar pada perkataan !
Benar yang kedua: ialah, pada niat dan kehendak. Dan kembali yang demikian itu kepada keikhlasan. Yaitu, bahwa tidak ada baginya pembangkit pada segala gerak dan diam, selain Allah Ta’ala. Maka jikalau dicampuri oleh campuran dari keberuntungan-keberuntungan diri, niscaya batallah benarnya niat. Dan yang punya sifat yang demikian, boleh ia dinamakan: orang yang dusta, sebagaimana kami riwayatkan pada keutamaan ikhlas dari hadits yang dirawikan Abu Hurairah tentang 3 hal, ketika ditanyakan orang yang berilmu (orang alim): “Apa yang engkau kerjakan pada apa yang engkau ketahui?”. Orang alim itu lalu menjawab: “Aku kerjakan demikian-demikian”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dusta engkau ! akan tetapi, engkau kehendaki, bahwa dikatakan orang: “Si Anu itu orang alim”. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mendustakannya dan tidak berfirman, bahwa dia itu tidak berbuat. Akan tetapi, Ia mendustakannya pada kehendak dan niatnya. Sebahagian mereka mengatakan: “Benar itu shahnya keesaan pada maksud”. Seperti demikianlah firman Allah Ta’ala: “Dan Allah mengakui, bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu dusta”. S 63 Al Munafiquun ayat 1. Mereka itu mengatakan: “Bahwa engkau Rasul Allah”. Dan ini benar. Akan tetapi, Allah mendustakan mereka, tidak dari segi tuturan lisan, tetapi dari segi yang tersembunyi dalam hati (dlamirul-qalb). Dan adalah pendustaan itu menjalar kepada berita. Dan perkataan tersebut mengandung pengkhabaran dengan karinah (berkumpul) keadaan. Karena yang punya sifat itu melahirkan dari dirinya, bahwa ia beriktikad apa yang dikatakannya. Maka ia mendustakan pada pendalilannya dengan karinah (berkumpul) keadaan, atas apa yang dalam hatinya. Maka ia berdusta pada yang demikian dan ia tidak dusta pada apa, yang dilafalkannya. Maka kembalilah salah satu makna benar kepada kemurnian niat, yaitu: ikhlas. Maka setiap orang yang benar, tak boleh tidak, bahwa dia itu orang yang ikhlas.
Benar yang ketiga, ialah: benarnya al-‘azm (cita-cita tetap yang telah diputuskan). Bahwa manusia kadang-kadang mendahulukan al-‘azm atas amal perbuatan. Maka ia mengatakan pada dirinya: “Jikalau Allah menganugerahkan aku rezeki harta, niscaya aku sedekahkan semuanya atau sebahagiannya. Atau jikalau aku bertemu dengan musuh pada jalan Allah Ta’ala, niscaya aku berperang. Dan aku tidak perduli, bahwa aku terbunuh. Dan jikalau Allah Ta’ala menganugerahkan aku wilayah (daerah pemerintahan), niscaya aku berlaku adil padanya. Dan aku tidak berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dengan kezaliman dan kecenderungan kepada makhluk”. Maka al-‘azm(cita-cita tetap yang telah diputuskan) ini kadang-kadang dijumpainya pada dirinya. Yaitu: al-‘azam(cita-cita tetap yang telah diputuskan) yang diyakini dan yang benar. Kadang-kadang adalah pada al-‘azamnya itu semacam kecenderungan, keragu-raguan dan kelemahan, yang melawankan benar pada al-‘azam. Maka adalah benar disini ibarat dari kesempurnaan dan kekuatan. Sebagaimana dikatakan: “Si Anu mempunyai nafsu syahwat yang benar”. Dan dikatakan, bahwa orang sakit ini, nafsu syahwatnya itu yang dusta, manakala tidaklah nafsu syahwatnya itu dari sebab yang positif, yang kuat. Atau ada nafsu syahwatnya itu yang lemah. Kadang-kadang benar itu disebutkan secara mutlak. Dan dimaksudkan akan makna ini. Orang yang benar (ash-shadiq) dan orang yang sangat benar (ash-shiddiq), yaitu: yang berbetulan al-‘azamnya (cita-cita tetap yang telah diputuskan)pada semua kebajikan dengan kekuatan yang sempurna. Tidak ada padanya kecenderungan, kelemahan dan keragu-raguan. Akan tetapi, dirinya selamanya bermurah dengan al-‘azam, yang betul-betul, yang yakin atas segala kebajikan. Dan itu adalah sebagaimana dikatakan Umar ra: “Bahwa aku maju, lalu leherku dipukul itu lebih aku sukai daripada bahwa menjadi amir (kepala pemerintahan) atas suatu kaum, yang dalam kalangan mereka itu ada Abubakar ra”. Bahwa Umar ra memperoleh dari dirinya akan al-‘azam yang diyakini dan kesukaan yang benar, bahwa ia tidak mau menjadi amir, serta adanya Abubakar ra. Dan ia dikuatkan yang demikian, dengan apa yang disebutkannya dari pembunuhan.
Tingkat orang-orang shiddiq pada cita-cita yang tetap itu berbeda. Kadang-kadang ia berbetulan dengan al-‘azam(cita-cita tetap yang telah diputuskan) dan tidak berkesudahan sampai kepada diridhainya dengan ia terbunuh padanya. Akan tetapi, apabila ia membiarkan pendapatnya, niscaya ia tidak tampil. Dan jikalau disebutkan baginya hadits peperangan, niscaya tidak runtuh al-‘azamnya. Bahkan dalam kalangan orang-orang yang benar dan orang-orang yang beriman itu ada orang, yang jikalau disuruh piliha diantara ia terbunuh atau Abubakar ra, niscaya adalah hidupnya lebih disukainya dari hidupnya Abubakar Ash-Shiddiq.
Benar yang keempat: ialah pada menepatinya al-‘azam(cita-cita tetap yang telah diputuskan). Bahwa diri itu kadang-kadang bermurah dengan al-‘azam dalam seketika. Karena tiada kesulitan pada janji dan al-‘azam. Dan belanya padanya ringan. Maka apabila telah benarlah segala hakikat/makna kebenaran, telah berhasillah ketekunan dan berkobarlah nafsu syahwat, niscaya terlepaslah ikatan al-‘azam. Dan menanglah nafsu syahwat. Dan tidak bersesuaianlah penepatan dengan al-‘azam. Dan ini berlawanan dengan benar padanya. Dan karena demikianlah, Allah Ta’ala berfirman: “Ada beberapa orang yang menepati apa yang telah dijanjikannya kepada Allah”. S 33 Al Ahzab ayat 23.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa pamannya Anas bin An-Nadlar tidaklah syahid pada perang Badar serta Rasulullah saw. Maka sukarlah yang demikian atas hatinya dan berkata: “Permulaan tempat kesyahidan yang disaksikan oleh Rasulullah saw aku tidak hadir padanya. Demi Allah, jikalau Allah memperlihatkan kepadaku tempat kesyahidan bersama Rasulullah saw sesungguhnya Allah melihat akan apa yang aku perbuat”. Anas meneruskan riwayatnya: “Anas bin An-Nadlar lalu menyaksikan perang Uhud pada tahun depannya. Lalu ia disambut oleh Sa’ad bin Ma’adz. Maka Anas bin An-Nadlar bertanya: “Hai Abu Umar (panggilan Sa’ad bin Ma’adz) ! mau kemana ?”. Sa’ad bin Ma’adz yang dipanggilkan dengan Abu Umar itu menjawab: “Aduhai bau sorga ! aku mendapati baunya, tiada seorangpun yang lain”. Sa’ad bin Ma’adz lalu berperang, sehingga ia tewas. Maka terdapat pada tubuhnya lebih 80 bekasan, diantaranya lemparan panah, pukulan dan tusukan. Lalu berkatalan saudara perempuannya Bintun-Nadlar: “Tiada aku mengenal lagi saudaraku, selain dengan pakaiannya”. Maka turunlah ayat tadi, S 33 Al Ahzab ayat 23, yaitu: Diantara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yg menepati apa yg telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yg gugur. dan diantara mereka ada (pula) yg menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), yang tersebut di atas. Rasulullah saw berdiri dekat Mash’ab bin Umair. Dan ia telah gugur pada hari perang Uhud, sebagai orang syahid. Adalah ia pemegang bendera Rasulullah saw. Lalu Nabi saw membaca ayat: “Ada beberapa orang yang menepati apa yang telah dijanjikan kepada Allah, diantaranya ada yang telah mati syahid dan diantaranya ada pula yang sedang menanti-nanti”. S 33 Al Ahzab ayat 23.
Fudlalah bin ‘Ubaid berkata: “Aku mendengar Umar bin Al-Khattab ra mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Orang syahid itu 4 macam: seorang mukmin yang baik imannya, bertemu dengan musuh, lalu ia membenarkan Allah. Sehingga ia tewas. Maka orang itulah, yang ditinggikan oleh manusia akan mata mereka kepadanya pada hari kiamat: begini !”. Ia mengangkatkan kepalanya, sehingga jatuhlah kopiahnya. Perawi mengatakan: “Aku tidak tahu, kopiah Umar atau kopiah Rasulullah saw”. Sambungan hadits tadi: “Seorang yang baik imannya. Apabila ia bertemu dengan musuh, maka seakan-akan mukanya dipukul dengan duri pohon kayu ath-thalhi (nama semacam pohon kayu yang berduri), yang datang kepadanya anak panah yang jatuh. Lalu membunuhnya. Maka dia itu pada derajat yang kedua. Seorang mukmin yang mencampurkan amal shalih dan yang lain, yang jahat. Ia bertemu dengan musuh. Maka ia membenarkan Allah. Sehingga ia tewas. Maka yang demikian itu pada derajat yang ketiga. Dan seorang yang royal atas dirinya, yang bertemu dengan musuh. Maka ia membenarkan Allah, sehingga ia tewas. Maka yang demikian itu pada derajat keempat”.
Mujahid berkata: “Dua orang laki-laki yang keluar kepada manusia ramai yang duduk. Lalu keduanya mengatakan: “Jikalau Allah menganugerahkan rezeki harta kepada kita, sesungguhnya kita akan bersedekah”. Lalu mereka itu kikir dengan harta itu. Maka turunlah ayat: “Dan diantara mereka ada yang telah menjanjikan kepada Allah. Demi, jika Allah memberikan kurniaNya kepada kami, sesungguhnya kami akan bersedekah dan kami akan termasuk orang yang baik-baik”. S 9 At Taubah ayat 75. Sebahagian mereka berkata: “Sesungguhnya itu sesuatu yang diniatkan mereka pada dirinya, yang tidak diperkatakannya. Lalu ia membacakan: “Dan diantara mereka ada yang telah menjanjikan kepada Allah: Demi, jika Allah memberikan kurniaNya kepada kami, sesungguhnya kami akan bersedekah dan kami akan termasuk orang yang baik-baik. Tetapi setelah memberikan sebahagian dari kurniaNya kepada mereka, lantas mereka menjadi kikir dan berputar dan mereka menjadi menentang. Hal itu mengakibatkan kepalsuan iman di dalam hati mereka, sampai di hari mereka bertemu dengan Allah, karena mereka memungkiri apa yang telah mereka janjikan kepada Allah dan karena mereka telah berdusta”. S 9 At Taubah ayat 75-76-77.
Allah menjadikan al-‘azam itu janji. Dan menjadikan menyalahinya itu dusta dan menepatinya itu benar. Benar ini lebih sulit dari benar yang ketiga. Bahwa diri itu kadang-kadang bermurah hati dengan al-‘azam. Kemudian, ia melambat pada menepatinya. Karena sulitnya atas diri itu. Dan karena berkobarnya nafsu syahwat ketika menetap dan berhasilnya sebab-sebab. Dan karena demikianlah, Umar ra mengecualikan, maka beliau berkata: “Untuk aku tampil, lalu leherku dipukul itu lebih aku sukai daripada aku menjadi amir pada suatu kaum, yang pada mereka itu ada Abubakar. Kecuali, bahwa terhias diriku ketika pembunuhan, dengan sesuatu yang tiada aku dapati sekarang. Karena tidak merasa aman bahwa akan berat yang demikian atas diriku. Lalu diri itu berobah dari al-‘azamnya”. Umar ra mengisyaratkan dengan yang demikian, kepada sulitnya menepati dengan al-‘azam itu.
Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Aku bermimpi seakan-akan dua malaikat turun dari langit”. Lalu bertanya kepadaku: “Apakah benar itu ?”. Aku menjawab: “Menepati janji”. Keduanya menjawab kepadaku: “Benar engkau”. Dan keduanya naik ke langit.
Benar yang kelima: ialah pada amal perbuatan. Yaitu: bahwa ia bersungguh-sungguh, sehingga amal perbuatan zahiriyahnya tidak menunjukkan atas urusan pada batiniyahnya, yang ia tidak bersifat dengan yang demikian. Tidak dengan ia meninggalkan amal perbuatan itu, akan tetapi, dengan terhelanya batiniyah itu kepada membenarkan akan zahiriyah. Dan ini berlainan dengan apa yang telah kami sebutkan dari: meninggalkan ria. Karena orang yang ria itu, ialah yang bermaksud akan yang demikian. Dan sedikitlah orang yang berdiri di atas keadaan khusyu’ dalam shalatnya, yang tidak ia maksudkan dengan yang demikian itu akan dilihat orang lain. Akan tetapi, hatinya lalai dari shalat. Maka orang yang melihat kepadanya, adalah melihatnya yang tegak berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Dan dia dengan batiniyahnya adalah berdiri di pasar, di hadapan salah satu dari nafsu syahwatnya. Maka inilah amal perbuatan yang dilahirkan dengan lisan keadaan dari batiniyah, dengan kelahiran, yang padanya, dia itu orang yang dusta. Dia itu dituntut dengan benar pada amal perbuatan. Seperti demikian juga, kadang-kadang orang yang berjalan kaki di atas keadaan tetap dan tenang dan tidaklah batiniyahnya bersifat dengan ketenangan itu. Maka dia itu tidaklah orang yang benar pada amal perbuatannya. Walaupun ia tidak berpaling kepada makhluk dan tidak berbuat ria terhadap mereka. Dan ia tidak terlepas dari ini, selain dengan lurusnya batiniyah dan zahiriyah, dengan adalah batiniyahnya seperti zahiriyahnya. Atau lebih baik dari zahiriyahnya. Dan dari ketakutan yang demikian, maka sebahagian mereka memilih dengan mengacaukan zahiriyahnya dan memakai pakaian orang-orang jahat. Supaya ia tidak disangka orang yang baik, dengan sebab zahiriyahnya. Maka adalah dia itu orang yang dusta pada menunjukkan zahiriyah atas batiniyah.
 Jadi, penyalahan zahiriyah bagi batiniyah, jikalau ada dengan maksud, niscaya dinamakan: ria. Dan hilanglah dengan yang demikian itu keikhlasan. Dan kalau ada dengan tidak maksud, maka hilanglah dengan yang demikian itu: benar. Dan karena itulah Rasulullah saw berdoa: “Wahai Tuhanku ! jadikanlah batiniyahku itu lebih baik dari zahiriyahku. Dan jadikanlah zahiriyahku itu yang baik !”. Yazid bin Al-Harits berkata: “Apabila bersamaanlah batiniyah hamba dan zahiriyahnya, maka yang demikian itu setengah. Jikalau adalah batiniyahnya itu lebih utama dari zahiriyahnya, maka yang demikian itu keutamaan. Dan jikalau zahiriyahnya itu yang lebih utama dari batiniyahnya maka yang demikian itu kezaliman. Mereka itu bermadah:
Jadi, rahasia dan terbuka itu,
sama saja pada orang yang beriman.
Sungguh mulia pada dua negeri itu,
dan mengharuskan pujian.
Kalau terbuka menyalahi rahasia,
maka tiada baginya,
keutamaan dalam usaha,
selain capek dan payah saja.
Maka tidaklah dinar yang murni,
yang dibelanjakan di pasar.
Dan yang palsu, yang ditolaki,
tidaklah menghendaki cita-cita yang besar.
‘Athiyah bin Abdul-ghafir berkata: “Apabila bersesuaianlah rahasia orang mukmin dengan yang terbuka baginya, niscaya Allah Ta’ala membanggakan yang demikian dengan para malaikat. Allah berfirman: “Inilah hambaKu yang sebenarnya !”. Mu’awiyah bin Qurrah berkata: “Siapakah yang menunjukkan kepadaku, orang yang menangis di malam hari dan tersenyum di siang hari ?”. Abdul-wahid bin Zaid berkata: “Adalah Al-Hasan Al-Bashari , apabila disuruh dengan sesuatu, niscaya adalah dia orang yang paling bekerja dari manusia. Dan apabila dilarang dari sesuatu, niscaya adalah dia orang yang paling meninggalkan dari manusia. Dan aku tiada sekali-kali melihat seseorang yang lebih menyerupai rahasia dengan yang terbuka daripadanya”.
Adalah Abu Abdirrahman az-Zahid berdoa: “Wahai Tuhanku ! aku melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan manusia, pada apa, yang diantara aku dan mereka dengan amanah. Dan aku melakukan mu’amalah(perniagaan) dengan Engkau, pada apa, yang diantara aku dan Engkau dengan khianat”. Dan ia menangis. Abu Ya’qub An-Naharjuri berkata: “Benar itu bersesuaian dengan kebenaran pada rahasia dan terbuka”. Jadi, persamaan rahasia dengan terbuka itu salah satu dari bermacam-macam benar.
Benar yang keenam, yaitu derajat yang tertinggi dan termulia, benar pada maqam-maqam agama. Seperti: benar pada takut, harap, penghormatan, zuhud, ridha, tawakkal, cinta dll dari hal-hal ini. Bahwa hal-hal ini mempunyai pokok-pokok, yang berjalanlah nama dengan zahiriyahnya. Kemudian, baginya tujuan dan hakikat/makna. Dan orang yang benar, yang berpegang teguh, ialah orang yang memperoleh hakikat/maknanya. Apabila mengerasi sesuatu dan telah sempurna hakikat/maknanya, niscaya yang punyanya itu dinamakan: orang yang benar padanya. Sebagaimana dikatakan: “Si Anu itu benar perang”. Dan dikatakan: “Inilah dia itu takut yang benar. Inilah dia itu nafsu syahwat yang benar”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang sebenarnya beriman, hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya, itulah orang-orang yang benar”. S 49 Al Hujuraat ayat 15. Allah Ta’ala berfirman: “Akan tetapi, kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan shalat, membayarkan zakat dan memenuhi janji, bila mereka berjanji, sabar dalam kesengsaraan dan kemelaratan dan di waktu perang. Merekalah orang-orang yang benar”. S 2 Al Baqarah ayat 177.
Ditanyakan Abu Dzarr dari hal iman, lalu ia membaca ayat tadi. Maka dikatakan oleh orang yang bertanya kepadanya: “Kami bertanya kepada engkau, dari hal iman”. Maka Abu Dzarr menjawab: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw dari hal iman, lalu beliau membaca ayat tersebut”. Marilah kami beri contoh dari hal takut. Maka tiadalah seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, melainkan dia itu takut kepada Allah, dengan ketakutan yang berjalan kepadanya nama takut. Akan tetapi, takut yang tidak benar. Artinya: tiada sampai derajat hakikat/makna takut. Apakah anda tidak melihat, apabila orang takut kepada raja atau perampok dalam perjalanan, bagaimana kuning warna mukanya, gemetar sendi-sendinya, kacau kehidupannya, sukar makan dan tidurnya dan terbagi pikirannya, sehingga isteri dan anaknya tiada memperoleh manfaat dengan dia ? kadang-kadang ia terkejut dari tanah air, lalu ia berganti dengan keliaran dari kejinakan, kepayahan dan kesukaran dari ketenangan dan tertimpa dengan bahaya-bahaya. Semua itu, karena takut dari memperoleh yang ditakuti. Kemudian, ia takut kepada neraka. Dan tidak lahir padanya sesuatu dari yang demikian, ketika berlakulah maksiat padanya. Dan karena yang demikian, Nabi saw bersabda: “Aku tidak melihat seperti neraka, yang tidurlah orang yang lari daripadanya. Dan tidaklah seperti sorga yang tidurlah orang yang mencarinya”. Pentahkikan pada hal-hal ini adalah sukar sekali. Dan tiada penghabisan bagi maqam-maqam ini, sehingga tercapai kesempurnaannya. Akan tetapi, bagi setiap hamba mempunyai keberuntungan daripadanya, menurut hal keadaannya. Adakalanya lemah dan adakalanya kuat. Maka apabila kuat, niscaya ia dinamakan orang yang benar padanya. Maka ma’rifah kepada Allah, penghormatan dan takut kepadaNya, tiadalah mempunyai penghabisan. Dan karena itulah Nabi saw berkata kepada Jibril as: “Aku menyukai bahwa melihat engkau dalam rupa engkau, yang dia itu rupa engkau”. Jibril as menjawab: “Engkau tidak sanggup yang demikian”. Nabi saw menjawab: “Akan tetapi, perlihatkanlah kepadaku !”. Jibril lalu menjanjikan kepada Nabi saw pekuburan Baqi’ pada malam yang terang bulan. Maka Jibril as datang kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw memandang. Tiba-tiba Jibril dengan yang demikian itu telah menutup tepi langit. Yakni: segala tepi langit. Maka jatuhlah Nabi saw dalam keadaan pingsan. Lalu kemudian, ia sembuh dan Jibril as telah kembali kepada bentuknya yang pertama. Maka Nabi saw bersabda: “Tiada aku menyangka, bahwa seseorang dari makhluk Allah begitu”. Jibril bertanya: “Bagaimana jikalau engkau melihat Israfil ? bahwa al-‘Arasy itu di atas bahunya. Dan dua kakinya tembus di bawah lapisan bumi yang paling bawah. Dan dia menjadi kecil dari kebesaran Allah, sehingga ia menjadi seperti: al-washa’. Yakni, seperti: burung pipit yang kecil”.
Maka perhatikanlah apa yang menudungkannya dari kebesaran dan kehebatan, sehingga ia kembali ke batas yang demikian. Dan malaikat-malaikat yang lain tidaklah seperti yang demikian. Karena berlebih-kurangnya mereka itu pada ma’rifah. Maka inilah dia itu benar pada pengagungan !
Jabir berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Aku melalui pada suatu malam, yang aku diisra’kan. Dan Jibril di alam arwah yang tertinggi, seperti pelana yang basah, dari ketakutan kepada Allah Ta’ala”. Yakni: pakaian yang diletakkan di atas punggung unta. Demikian juga para sahabat, adalah mereka itu orang-orang yang takut. Dan tidak adalah mereka itu sampai kepada ketakutan Rasulullah saw. Dan karena itulah, Ibnu Umar ra berkata: “Tidak sampailah engkau kepada hakikat/makna iman, sehingga engkau memandang manusia semuanya itu bodoh pada agama Allah”.
Mathraf berkata: “Tiada seorangpun dari manusia, melainkan dia itu bodoh, pada apa, yang diantaranya dan Tuhannya. Hanya sebahagian dari kebodohan itu lebih mudah dari sebahagian yang lain”. Nabi saw bersabda: “Tiada akan sampai seorang hamba kepada hakikat/makna iman, sehingga ia melihat kepada manusia seperti keledai-keledai di samping Allah. Kemudian, ia kembali kepada dirinya, lalu didapatinya lebih hina dari orang yang hina”. Jadi, orang yang benar itu mulia pada semua maqam ini. Kemudian, derajat-derajatnya benar itu tiada berpenghabisan. Kadang-kadang ada bagi hamba itu benar pada sebahagian persoalan, tidak pada sebahagian yang lain. Jikalau adalah dia itu yang benar pada semua persoalan, maka dia benar-benar orang yang sangat benar (ash-shiddiq).
Sa’ad bin Ma’adz berkata: “3 perkara, dimana aku padanya, maka aku itu kuat. Dan pada yang lain daripadanya, maka lemah: tiada aku mengerjakan shalat semenjak aku masuk Islam, lalu hatiku berbicara, sebelum aku selesai dari shalat itu. Tiada aku mengunjungi jenazah, lalu hatiku berbicara dengan bukan apa yang dikatakannya dan apa yang dikatakan kepadanya, sebelum selesai daripada mengebumikannya. Dan tidak aku mendengar Rasulullah saw bersabda dengan suatu sabda, melainkan aku mengetahui, bahwa dia itu benar”. Lalu berkata Ibnul-Musayyab: “Tiada aku menyangka, bahwa semua perkara itu berkumpul, selain pada Nabi saw”. Maka ini benar pada semua persoalan tersebut. Berapa banyak kaum dari para sahabat yang mulia, yang mengerjakan shalat dan mengiringi jenazah dan mereka tidak sampai akan jumlah ini. Maka inilah dia itu derajat benar dan makna-maknanya ! dan kalimat-kalimat yang dinukilkan dari para syaikh tentang hakikat/makna benar, pada kebanyakannya tidak menyinggung, kecuali bagi satu-satu dari makna-makna ini.
Benar Abubakar Al-Warraq berkata: “Benar itu 3, yaitu: benar keesaan, benar taat dan benar ma’rifah. Benar keesaan itu bagi umumnya orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya, itulah mereka yang sungguh-sungguh benar (dalam kepercayaannya)”. S 57 Al Hadiid ayat 19. Benar taat itu bagi orang yang berilmu dan wara’ (menjaga diri). Dan benar ma’rifah itu bagi orang yang mempunyai wilayah pemerintahan, dimana mereka itu tiang bumi. Semua ini berkisar, di atas apa yang telah kami sebutkan pada “Benar yang keenam”. Akan tetapi, menyebutkan bahagian-bahagian apa, yang padanya itu benar. Dan itu juga tidak meliputi dengan semua bahagian.
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Benar, ialah bersungguh‑sungguh. Dan tidak dipilih kepada Allah akan lainNya, sebagaimana tidak dipilih atas engkau yang lain dari engkau. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah memilih kamu”. S 22 Al Hajj ayat 78. Dikatakan orang, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as yaitu: “Bahwa Aku sesungguhnya apabila mencintai seorang hamba, niscaya Aku mencobainya, dengan bencana-bencana yang tidak sanggup dipikul oleh gunung-gunung, untuk Aku ketahui bagaimana benarnya. Kalau Aku menjumpainya yang sabar, niscaya Aku menjadikannya wali dan kekasih. Dan jikalau Aku mendapatinya yang gundah, yang di adukannya Aku kepada makhlukKu, niscaya Aku hinakan dia dan tidak Aku perdulikan”. Jadi, diantara tanda-tanda benar, ialah: menyembunyikan segala musibah dan mentaati sekaliannya dan benci dilihat makhluk padanya. Telah sempurna Kitab Benar dan Ikhlas. Dan akan diiringi oleh Kitab Muraqabah dan Muhasabah. Segala pujian bagi Allah.