KITAB NIAT, IKHLAS DAN BENAR.
Yaitu: Kitab
ke-7 dari “Rubu’ Yang Melepaskan” dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”.
Kami memuji Allah, sebagai pujiannya orang-orang yang
bersyukur. Kami beriman kepadaNya, sebagai imannya orang-orang yang yakin. Kami
mengaku dengan kemaha-esaanNya, sebagai pengakuan orang-orang yang benar. Dan
kami naik saksi, bahwa tiada yang disembah, selain Allah Tuhan semesta alam,
Pencipta langit dan bumi, Pemberi taklif (tugas) kepada jin dan insan dan para
malaikat yang didekatkan kepadaNya, bahwa beribadah menyembahNya, sebagai
ibadah orang-orang yang ikhlas. Ia yang Maha Tinggi berfirman: “Dan tidaklah mereka disuruh, selain untuk menyembah Allah, dengan ikhlas kepada Nya
dalam (menjalankan) agama”. S 98 Al Bayyinah ayat 5.
Maka tidaklah bagi Allah, selain agama yang murni, lagi kokoh.
Bahwa Dia yang terkaya dari segala yang kaya, dari syiriknya orang-orang
musyrik. Selawat kepada NabiNya Muhammad, penghulu segala rasul dan kepada
semua nabi-nabi, kepada keluarganya dan para sahabatnya, yang baik dan suci.
Adapun kemudian, maka sesungguhnya telah tersingkap bagi
orang-orang yang mempunyai akal, dengan mata hati iman dan nur Alquran, bahwa
tiada akan sampai kepada kebahagiaan, selain dengan ilmu dan ibadah. Manusia
semuanya itu binasa, selain orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu
semuanya itu binasa, selain orang-orang yang mengerjakan. Orang-orang yang
mengerjakan semuanya itu binasa, selain orang-orang yang ikhlas. Dan
orang-orang yang ikhlas itu di atas bahaya besar. Maka amal perbuatan tanpa
niat itu suatu kepayahan. Niat tanpa ikhlas itu suatu keriyaan. Dan itu
kesesuaian bagi kemunafikan dan kesamaan serta kemaksiatan. Keikhlasan tanpa
kebenaran dan ketahkikan (mencari yang
sebenarnya) itu debu yang berterbangan. Allah Ta’ala berfirman,
mengenai setiap amal-perbuatan, yang ada ia dengan kehendak kepada selain
Allah, dalam keadaan bercampur dan terbenam dengan yang lain: “Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang berterbangan”. S 25 Al Furqaan ayat 23.
Semoga kiranya aku rasakan, bagaimana shahnya niat bagi orang
yang tiada mengetahui hakikat/makna niat. Atau bagaimana ikhlasnya orang yang
menshahkan niatnya, apabila ia tidak tahu akan hakikat/makna ikhlas. Atau
bagaimana orang yang ikhlas itu menuntut dirinya dengan kebenaran, apabila ia
tidak mengetahui dengan alasan yang cukup (dengan pentahkikan) akan makna
kebenaran. Maka tugas pertama atas setiap hamba yang berkehendak akan mentaati
Allah Ta’ala, ialah: bahwa pertama-tama ia mempelajari niat. Supaya berhasillah
ma’rifah/ilmu mengenal allah. Kemudian, dishahkannya niat itu dengan amal
perbuatan, sesudah memahami hakikat/makna kebenaran dan keikhlasan, yang mana
keduanya itu adalah jalannya hamba kepada kelepasan dan keikhlasan. Kami akan
menyebutkan makna kebenaran dan keikhlasan itu pada 3 bab:
Bab pertama: tentang hakikat/makna niat dan maknanya.
Bab kedua : tentang ikhlas dan hakikat-hakikat/maknanya.
Bab ketiga : tentang kebenaran dan hakikat/maknanya.
BAB
PERTAMA: tentang niat.
Padanya, penjelasan
keutamaan niat,
penjelasan
hakikat/makna niat,
penjelasan adanya
niat itu kebajikan dari amal,
penjelasan
pengutamaan amal-amal perbuatan yang menyangkut dengan diri dan
penjelasan keluarnya
niat dari ikhtiar (pilihan sendiri).
PENJELASAN:
keutamaan niat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengusir
orang-orang yang menyeru Tuhannya dipagi hari dan dipetang hari, sedang mereka
menghendaki WajahNya (keridhaanNya)”. S 6 Al An’aam ayat 52. Yang dimaksudkan
dengan kehendak itu, ialah: niat.
Nabi saw bersabda: “Bahwa segala amal-perbuatan itu dengan
niat. Dan bagi setiap manusia itu apa yang diniatkannya. Maka siapa yang
hijrahnya (keberangkatannya) kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada
Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan
diperolehnya atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada apa, yang
ia berhijrah kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Kebanyakan yang syahid dari
umatku, ialah: mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyaklah orang yang
terbunuh diantara dua baris perang, yang Allah yang Maha Tahu dengan niatnya”.
Allah Ta’ala berfirman: “Jika kedua orang hakam (juru
perdamaian) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq
kepada suami-isteri itu”. S 4 An Nisaa’ ayat 35. Maka dijadikan niat itu bagi
sebab memperoleh taufiq.
Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala tiada memandang kepada
rupamu dan hartamu. Sesungguhnya Ia memandang kepada hatimu dan amal
perbuatanmu”. Bahwa Allah Ta’ala melihat kepada hati. Karena hatilah tempat
sangkaan niat. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya hamba itu beramal dengan amalan
yang baik. Maka naiklah para malaikat dengan membawa halaman-halaman amal yang
distempelkan (shuhufin-mukhtamah). Lalu diletakkan di hadapan Allah Ta’ala.
Maka Allah berfirman: “Campakkanlah halaman amal ini ! karena tidak dikehendaki
akan WajahKu dengan apa yang di dalamnya”. Kemudian, Ia memanggil para
malaikat: “Tuliskanlah bagi orang itu demikian-demikian ! tuliskanlah baginya
demikian-demikian !”. Para malaikat itu menjawab: “Wahai Tuhan kami ! bahwa
orang itu tiada berbuat akan sesuatu dari yang demikian”. Allah Ta’ala maka
berfirman: “Bahwa ia meniatkan yang demikian”.
Nabi saw bersabda: “Manusia itu 4 macam: seorang laki-laki
yang diberikan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, ilmu dan harta. Maka ia berbuat
dengan ilmu dan hartanya. Lalu seorang laki-laki lain berkata: “Jikalau aku
diberikan oleh Allah Ta’ala seperti apa yang diberikanNya kepada orang itu,
niscaya aku berbuat, seperti apa yang diperbuat oleh orang itu”. Maka kedua
orang tersebut sama dalam pahala. Seorang laki-laki yang diberikan oleh Allah
Ta’ala kepadanya harta dan tidak diberikan kepadanya ilmu. Maka disebabkan
kebodohannya, ia berbuat batil/salah (yang tidak halal) pada hartanya. Lalu orang lain berkata: “Jikalau aku diberikan oleh Allah,
seperti apa yang diberikanNya kepada orang itu, niscaya aku berbuat, seperti
apa yang diperbuatnya”. Maka kedua orang tersebut sama dalam dosa”. Apakah
tidak engkau melihat, bagaimana ia berkongsi dengan orang itu pada niat,
mengenai baik dan buruknya amalannya ?
Seperti demikian juga pada hadits yang diriwayatkan Anas bin
Malik, bahwa tatkala Rasulullah saw keluar pada perang Tabuk, maka beliau
bersabda: “Bahwa di Madinah, ada beberapa kaum (golongan), yang tidak kita
melewati suatu lembah dan tiada kita berpijak pada suatu tempat berpijak, yang
memarahkan orang-orang kafir dan tiada kita mengeluarkan akan sesuatu
pengeluaran dan tidak menimpa ke atas kita kelaparan, melainkan mereka itu
berkongsi dengan kita pada yang demikian, sedang mereka itu berada di Madinah”.
Mereka lalu bertanya: “Bagaimana maka demikian, wahai Rasulullah ? sedang
mereka itu tiada bersama kita ?”. Rasulullah lalu menjawab: “Mereka itu ditahan
oleh halangan”. Maka mereka itu berkongsi, disebabkan baik niatnya.
Tersebut pada hadits yang dirawikan Ibnu Mas’ud, yang
bunyinya: “Siapa yang berhijrah untuk mencari sesuatu, maka dia itu bagi
sesuatu itu”. Lalu seorang laki-laki berhijrah, maka ia kawin dengan seorang
wanita dari kami, maka ia dinamakan: “Muhajir Ummi Qais” (Yang berhijrah buat
Ummi Qais). Seperti demikian juga datang pada hadits, bahwa seorang laki-laki
terbunuh pada perang sabilullah dan ia dipanggil “yang terbunuh karena
keledai”. Dan keledainya. Lalu ia terbunuh pada yang demikian maka ia dikaitkan
kepada niatnya. Pada hadits yang dirawikan ‘Ubaddah dari Nabi saw yang
bersabda: “Barangsiapa berperang dan ia tidak niatkan, selain pengikat
binatang, maka baginya apa yang diniatkannya”.
Berkata Ubai bin Ka’ab ra: “Aku meminta tolong pada seorang
laki-laki, supaya ia berperang bersama aku. Lalu ia menjawab: “Tidak ! sehingga
engkau berikan bagiku upahnya”. Maka aku berikan baginya upah. Lalu aku
terangkan yang demikian kepada Nabi saw. Maka beliau menjawab: “Tiada baginya
dari dunianya dan akhiratnya, selain apa yang engkau berikan upah baginya”.
Diriwayatkan dalam cerita-cerita kaum Bani Israil, bahwa
seorang laki-laki lalu di bukit pasir, dalam keadaan lapar. Lalu ia mengatakan
pada dirinya: “Jikalau adalah pasir ini makanan, niscaya akan aku bagikan diantara
manusia”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi mereka: “Katakanlah
kepada laki-laki itu: “Bahwa Allah Ta’ala telah menerima sedekah engkau. Ia
bersyukur akan baiknya niat engkau. Dan Ia memberikan kepada engkau, akan
pahala, jikalau adalah pasir itu makanan, lalu engkau bersedekah dengan dia”.
Telah tersebut pada banyak hadits, diantaranya: “Barangsiapa bercita-cita
dengan kebaikan dan tidak dikerjakannya, niscaya dituliskan kebaikan baginya”.
Pada hadits yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr, yang berbunyi: karena ia
berperang dengan seorang laki2, untuk mengambil pakaian. Artinya: “Barangsiapa
adalah dunia itu niatnya, niscaya dijadikan oleh Allah kemiskinannya diantara
dua matanya (di pelupuk matanya). Dan ia berpisah dengan dunia itu, akan yang
paling digemari dari apa yang ada padanya. Dan siapa, adalah akhirat itu
niatnya, niscaya dijadikan oleh Allah Ta’ala kekayaannya
dalam hatinya dan dikumpulkan oleh Allah kepadanya harta-bendanya.
Dan ia berpisah dari harta-benda itu, akan yang paling zuhud, dari apa yang ada
pada harta-benda itu”.
Pada hadits yang dirawikan Ummu Salmah, bahwa Nabi saw
menyebutkan tentara, yang kesasar beliau dengan mereka di Al-Baida’ (suatu
padang sahara antara Makkah dan Madinah). Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah !
ada pada mereka itu orang yang dipaksa dan yang diongkosi”. Maka beliau
menjawab: “Mereka itu dikumpulkan di atas niat mereka masing-masing”. Umar ra
berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya berperang
orang-orang yang berperang itu di atas niatnya”.
Nabi saw bersabda: “Apabila bertemu 2 barisan perang, niscaya
turunlah malaikat, yang menulis makhluk itu di atas tingkatan mereka: si Anu
berperang untuk dunia, si Anu berperang karena kepanasan hati, si Anu berperang
karena ‘asha-biyah (fanatik). Ketahuilah, maka janganlah kamu mengatakan: si
Anu itu terbunuh pada perang sabilullah. Maka siapa yang berperang supaya
kalimah Allah yang tertinggi, niscaya dia itu fi sabilillah”.
Dari Jabir, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
“Dibangkitkan setiap hamba di atas apa yang ia mati padanya”. Pada hadits yang
dirawikan Al-Ahnaf, dari Abi Bakrah, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila bertemu
dua orang Islam dengan pedang keduanya, maka yang membunuh dan yang terbunuh
itu dalam neraka”. Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! ini yang membunuh. Maka
bagaimana pula yang dibunuh ?’. Beliau menjawab: “Karena ia bermaksud membunuh
kawannya”. Pada hadits yang dirawikan Abu Hurairah, yaitu: “Barangsiapa
mengawini seorang wanita di atas mas kawin yang ditetapkan dan dia tidak
berniat melunaskannya, maka dia itu penzina. Dan siapa yang berhutang dengan
suatu hutang dan dia tidak berniat membayarnya, maka dia itu pencuri”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memakai bau-bauan karena Allah
Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih harum dari kesturi.
Dan barangsiapa memakai bau-bauan untuk selain Allah, niscaya ia datang pada
hari kiamat dan baunya lebih busuk dari bangkai”.
Adapun atsar, maka berkata Umar bin Al-Khattab ra: “Amal
perbuatan yang paling afdhal, ialah: menunaikan apa yang difardhukan oleh Allah
Ta’ala, wara’ (menjaga diri) dari apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dan
benar niat pada apa yang di sisi Allah Ta’ala”. Salim bin Abdullah menulis
surat kepada Umar bin Abdul-aziz, isinya: “Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah
Ta’ala kepada hamba itu atas kadar niatnya. Maka siapa yang sempurna niatnya,
niscaya sempurnalah pertolongan Allah kepadanya. Dan jikalau kurang, niscaya
berkurang menurut qadarnya”. Sebagian salaf berkata: “Banyaklah amalan yang
kecil, dibesarkan oleh niat. Dan banyaklah amal yang besar, dikecilkan oleh
niat”. Daud Ath-Tha-i berkata: “Orang baik, cita-citanya itu taqwa. Maka
jikalau semua anggota tubuhnya tergantung dengan dunia, niscaya ia dikembalikan
oleh niatnya pada suatu hari kepada niat yang baik. Seperti yang demikian juga
orang bodoh, ialah kebalikan yang demikian”.
Ats-Tsuri berkata: “Adalah mereka itu mempelajari niat bagi
amal, sebagaimana mereka mempelajari amal”. Sebahagian ulama berkata: “Carilah
niat untuk amal, sebelum amal. Dan selama engkau berniat kebajikan, maka engkau
itu dengan kebajikan”. Sebahagian murid-murid yang berkeliling kepada
ulama-ulama itu berkata: “Siapa yang menunjukkan aku kepada amal perbuatan,
yang senantiasa aku mengamalkannya karena Allah Ta’ala, maka sesungguhnya aku
tidak menyukai bahwa datang kepadaku sesaat dari siang dan malam, selain bahwa
aku itu adalah salah seorang dari orang-orang yang beramal-perbuatan pada jalan
Allah”. Lalu dikatakan kepadanya: “Engkau sudah memperoleh hajat keperluan
engkau. Maka berbuatlah kebajikan, sekadar engkau sanggup. Apabila engkau lesu
atau engkau meninggalkannya, maka bercita-citalah dengan mengerjakannya.
Sesungguhnya orang yang bercita-cita dengan amal kebajikan adalah seperti orang
yang mengerjakannya”.
Seperti demikian juga, berkata sebahagian salaf: “Bahwa nikmat
Allah kepadamu itu lebih banyak daripada dapat kamu menghinggakannya. Bahwa
dosa-dosamu itu lebih tersembunyi daripada bahwa kamu mengetahuinya. Akan
tetapi, berpagi-pagilah kamu itu orang yang bertaubat dan bersore-sorelah kamu
itu orang yang bertaubat, niscaya diampunkan bagi kamu akan apa yang diantara
yang demikian”.
Isa as berkata: “Amat baiklah bagi mata yang tidur dan tidak
bercita-cita dengan perbuatan maksiat. Dan dia terbangun kepada tidak
kedosaan”.
Abu Hurairah berkata: “Mereka dibangkitkan pada hari kiamat, di atas kadar
niatan mereka”. Adalah Al-Fudlail bin ‘Iyadl apabila membaca ayat: “Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu, agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal-ihwalmu”. S 47 Muhammad ayat 31, lalu beliau menangis dan
mengulang-ulangi ayat itu. Dan mengatakan: “Bahwa Engkau, jikalau Engkau
menguji kami, niscaya Engkau membuka kekurangan kami dan Engkau mengoyakkan
tabir-tabir kami”.
Al-Hasan Al-Bashari
berkata: “Sesungguhnya kekal lah isi sorga dalam sorga dan isi neraka
dalam neraka, dengan niat”. Abu Hurairah berkata: “Tertulis dalam Taurat: Apa
yang dikehendaki dengan itu akan wajahKu, maka sedikitnya itu menjadi banyak.
Dan apa yang dikehendaki dengan itu akan selain Aku, maka banyaknya itu menjadi
sedikit”. Bilal bin Sa’ad berkata: “Bahwa hamba itu sesungguhnya mengatakan
perkataan orang yang beriman. Maka ia tidak ditinggalkan oleh Allah ‘Azza wa
Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar) dan perkataannya. Sehingga Allah
melihat pada amal-perbuatannya. Apabila ia berbuat, niscaya ia tidak
ditinggalkan oleh Allah, sehingga Allah melihat kepenjagaan
dirinya/kewara’annya. Apabila ia menjaga diri (wara’), niscaya tidak
ditinggalkan Allah, sehingga Allah melihat akan apa yang diniatkannya. Maka
apabila baik niatnya, niscaya dengan sepantasnya bahwa Allah memperbaiki akan
apa yang kurang dari demikian”. Jadi, tiang amal itu niat. Maka amal itu
menghendaki kepada niat, supaya dengan niat itu, ia menjadi kebajikan. Dan niat
itu pada dirinya sendiri kebajikan, walaupun amal perbuatan itu terhalang
dengan sesuatu halangan.
PENJELASAN: hakikat/makna niat.
Ketahuilah kiranya, bahwa niat, kehendak (Kemauan) dan qasad
(maksud) itu adalah kata-kata yang sering dikemukakan dengan satu makna
(pengertian). Yaitu: keadaan dan sifat hati, yang diliputi oleh dua hal, yaitu:
ilmu dan amal. Ilmu itu mendahului amal. Karena dia itu pokoknya dan syaratnya.
Dan amal itu mengikuti ilmu. Karena amal itu buahnya dan cabangnya. Yang
demikian itu, karena setiap amal, ya’ni: setiap gerak dan diam, adalah hal
pilihan
Maka tiada akan sempurna, selain dengan 3 perkara, yaitu:
ilmu, kehendak dan kemampuan. Karena manusia itu tiada menghendaki, akan apa
yang tiada diketahuinya. Maka tak boleh tidak, bahwa diketahuinya. Dan ia tidak
mengerjakan, akan apa yang tiada dikehendakinya. Maka tidak boleh tidak dari:
kehendak/kemauan. Makna kehendak (Kemauan), ialah terbangkitnya hati kepada apa
yang dilihatnya, sesuai bagi maksud.
Adakalanya sekarang atau pada masa yang akan datang. Maka
manusia itu sesungguhnya diciptakan, di mana sebahagian perkara sepakat dengan
dia dan sesuai dengan maksudnya. Dan sebahagian yang lain tidak bersesuaian.
Maka ia berhajat kepada menarik yang bersesuaian dan sepakat kepada dirinya.
Dan menolak yang mendatangkan melarat dan bertentangan dari dirinya. Maka
dengan semestinya, ia memerlukan kepada mengenal dan mengetahui sesuatu yang
mendatangkan melarat dan manfaat. Sehingga ia menarikkan yang ini dan lari dari
yang ini. Bahwa orang yang tidak dapat melihat makanan dan tidak mengenalnya,
niscaya tidak mungkin ia akan mengambilnya. Dan orang yang tidak dapat melihat
api, niscaya tidak mungkin ia lari daripadanya. Maka Allah menciptakan hidayah
(petunjuk) dan ma’rifah (mengenal ilmu allah) dan dijadikanNya baginya itu
sebab-sebab. Yaitu: pancaindra yang luar (zahiriah) dan yang dalam (batiniah).
Dan tidaklah itu dari maksud kita sekarang untuk menerangkannya.
Kemudian, jikalau ia dapat melihat makanan dan mengetahui,
bahwa itu bersesuaian bagi dirinya, maka tidak mencukupkan yang demikian
baginya, untuk mengambil, selama tidak ada padanya kecenderungan dan keinginan
dan nafsu yang membangkitkan kepadanya. Karena orang sakit itu melihat makanan
dan mengetahui bahwa itu bersesuaian. Dan tidak memungkinkannya untuk
mengambil, karena tidak ada keinginan dan kecenderungan. Dan karena tidak ada
pengajak yang menggerakkan kepadanya.
Maka Allah Ta’ala menciptakan baginya kecenderungan, keinginan
dan kehendak. Yakni: keinginan pada dirinya kepada makanan itu. Dan terarah
dalam hatinya kepadanya. Kemudian, yang demikian itu tiada memadai baginya.
Maka berapa banyak orang yang menyaksikan makanan, yang ingin kepadanya,
menghendaki mengambilnya, yang lemah daripadanya. Karena dia itu lumpuh. Maka
diciptakan baginya kemampuan dan anggota-anggota badan yang bergerak. Sehingga,
sempurnalah dengan yang demikian itu, ia mengambilnya. Dan anggota badan itu
tidak bergerak, selain dengan kemampuan (qudrah/kuasa). Dan kemampuan (qudrah/
kuasa) itu menunggu pengajak yang
membangkitkan. Dan pengajak itu menunggu ilmu dan ma’rifah atau sangkaan
(zhann) dan i’tikad (tekad). Yaitu: bahwa ia menguatkan pada dirinya, bahwa
keadaan sesuatu itu bersesuaian baginya. Maka apabila ma’rifah /ilmu mengenal
Allah Ta’ala itu yakin, bahwa sesuatu itu bersesuaian dan tidak boleh tidak
bahwa diperbuatnya dan ia selamat dari rintangan pembangkit lain, yang
memalingkan daripadanya, niscaya membangkitlah kehendak dan terbuktilah
kecenderungan. Maka apabila membangkitlah kehendak, niscaya terbangunlah
kemampuan bagi menggerakkan anggota-anggota badan. Maka kemampuan itu menjadi
pelayan bagi kehendak. Dan kehendak itu mengikuti hukum tekad dan ma’rifah/ilmu
mengenal allah.
Maka niat itu ibarat dari sifat yang di tengah-tengah. Yaitu:
kehendak dan terbangkitnya diri dengan hukum keinginan dan kecenderungan,
kepada apa yang bersesuaian bagi maksud. Adakalanya pada masa sekarang dan
adakalanya pada masa mendatang. Penggerak pertama, ialah maksud yang dicari,
yaitu: pembangkit. Maksud yang pembangkit itu, ialah tujuan yang diniatkan. Dan
keterbangkitan, ialah: qasad (maksud) dan niat. Keterbangunan kemampuan (qudrah/kuasa)
untuk melayani kehendak dengan penggerakan anggota-anggota badan, ialah: amal.
Hanya keterbangunannya kemampuan (qudrah/kuasa). bagi amal itu, kadang-kadang ada ia dengan
satu pembangkit. Dan kadang-kadang ada dia dengan dua pembangkit, yang
berkumpul pada satu perbuatan. Apabila ada ia dengan dua pembangkit, maka
kadang-kadang setiap satunya itu, dimana kalau tersendiri, niscaya adalah dia
dalam tempo yang panjang membangkitkan kemampuan (qudrah/kuasa). Kadang-kadang
adalah setiap satunya itu teledor daripadanya, selain dengan berkumpul.
Kadang-kadang adalah satu dari keduanya itu mencukupi, jikalau tidaklah ada
yang lain. Akan tetapi, yang lain itu bangkit menolong dan membantunya. Maka keluarlah
dari pembahagian ini, 4 bagian. Marilah kami sebutkan bagi masing-masingnya,
akan contoh dan nama.
Adapun yang pertama, maka yaitu, bahwa tersendirilah pembangkit yang satu dan sunyi dari yang
lain. Seperti, apabila manusia diserang oleh binatang buas. Maka setiap kali
dilihatnya, niscaya ia bangun berdiri dari tempatnya. Tiada yang
mengejutkannya, selain maksud lari dari binatang buas itu. Maka ia melihat
binatang buas dan diketahuinya bahwa binatang buas itu mendatangkan melarat.
Maka membangkitlah dirinya kepada lari dan ingin pada lari itu. Maka
tergeraklah kemampuan (qudrah/kuasa), yang berbuat menurut yang dikehendaki
oleh keterbangkitan itu. Lalu dikatakan: niatnya itu lari dari binatang buas.
Tak ada niatnya pada bangun berdiri itu untuk yang lain. Niat ini dinamakan:
niat yang murni (niyyatun khaalishatun). Dan amal perbuatan yang diharuskan
oleh niat tersebut, dinamakan: amal ikhlas, dengan dikaitkan kepada maksud yang
membangkitkannya. Artinya, bahwa ia ikhlas (murni) dari perkongsian dan
percampuran yang lain.
Adapun yang kedua, maka yaitu: bahwa berkumpul dua pembangkit.
Masing-masing berdiri sendiri dengan ketergerakan, jikalau ia tersendiri.
Contohnya dari yang dapat dirasakan dengan pancaindra, yaitu: bahwa dua orang
laki-laki bertolong-tolongan membawa sesuatu menurut kemampuan yang ada, yang
memadai pada membawa, jikalau ia sendirian. Dan contohnya pada maksud kita ini,
ialah, bahwa: ia diminta oleh keluarganya yang miskin, akan suatu keperluan.
Maka dipenuhinya hajat keperluan itu, lantaran miskinnya dan kekeluargaannya
dengan orang itu. Dan ia tahu, bahwa jikalau tidaklah kemiskinannya, niscaya ia
memenuhi hajat keperluan itu dengan sebab kekeluargaan semata-mata. Dan jikalau
tidak kekeluargaannya, niscaya ia memenuhi hajat keperluan itu disebabkan
kemiskinan semata-mata. Ia mengetahui yang demikian dari dirinya sendiri,
dengan datang kepadanya keluarga yang kaya. Lalu ia ingin memenuhi hajat
keperluannya. Dan orang asing (yang bukan keluarga) yang miskin, lalu ia ingin
juga pada memenuhi hajat keperluan itu. Seperti demikian juga orang yang
disuruh oleh dokter dengan meninggalkan makanan (tidak makan). Dan datanglah
hari ‘Arafah (tanggal 9 bulan Zulhijjah). Lalu ia berpuasa. Dan ia tahu, bahwa
jikalau tidaklah hari ‘Arafah, niscaya ia meninggalkan makanan (tidak makan)
karena menjaga diri. Dan jikalau tidaklah menjaga diri, niscaya ia tidak
meninggal kan makan, karena itu hari ‘Arafah. Dan keduanya itu berkumpul
bersama. Lalu ia tampil berbuat. Dan adalah pembangkit kedua itu teman pembangkit
pertama. Maka kita namakan ini: kebertemanan bagi pembangkit-pembangkit.
Yang ketiga: bahwa
masing-masingnya itu tidak berdiri sendiri, jikalau ia tersendiri. Akan tetapi,
kesemuanya itu menjadi kuat atas keterbangkitan kemampuan (qudrah/kuasa).
Contohnya pada yang dapat dirasakan dengan pancaindra, bahwa dua orang lemah,
bertolong-tolongan membawa apa, yang tidak bersendirian salah seorang dari
keduanya dengan pembawaan tersebut. Contohnya pada maksud kita ini, ialah,
bahwa ia dimaksudkan oleh keluarganya yang kaya. Lalu keluarga yang kaya tadi
meminta uang sedirham. Lalu tidak diberikannya. Dan ia dimaksudkan oleh orang
asing (bukan keluarganya) yang miskin. Lalu meminta uang sedirham. Maka tidak
diberikannya. Kemudian, ia dimaksudkan oleh keluarganya yang miskin. Lalu
diberikannya. Maka adalah kebangkitan pengajaknya itu dengan pengumpulan dua
pembangkit. Yaitu: kekeluargaan dan kemiskinan. Seperti demikian juga, seorang
laki-laki bersedekah di hadapan orang banyak, karena maksud pahala dan pujian.
Dan adalah, di mana jikalau ia sendirian, niscaya ia tidak dibangkitkan oleh
semata-mata bermaksud kepada pahala di atas pemberian itu. Dan jikalau yang
meminta itu orang fasik, yang tiada
pahala pada bersedekah kepadanya, niscaya adalah ia tidak dibangkitkan oleh
semata-mata ria pada pemberian tersebut. Jikalau keduanya berkumpul, niscaya
keduanya itu mewariskan dengan pengumpulan keduanya, akan penggerakan hati. Dan
kami namakan jenis ini: perkongsian.
Keempat: bahwa adalah salah satu dari dua
pembangkit itu berdiri sendiri, jikalau ia tersendiri dengan dirinya sendiri.
Dan yang kedua, tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, tatkala dikaitkan
kepadanya, niscaya ia tidak terlepas dari pengaruh, dengan perbantuan dan pengentengan.
Contohnya pada yang dapat dirasakan dengan pancaindra, ialah, bahwa orang lemah
menolong orang kuat pada membawa. Jikalau sendirilah orang kuat itu, niscaya ia
dapat berdiri sendiri. Dan jikalau sendirianlah orang lemah tersebut, niscaya
tidak dapat berdiri sendiri. Maka yang demikian itu dengan bersama tadi,
memudahkan perbuatan dan mempengaruhi pada meringankannya. Contohnya pada
maksud kita ini, ialah bahwa ada bagi seorang insan wirid pada shalat dan adat
kebiasaan pada sedekah. Maka berkebetulanlah bahwa hadir pada waktunya, suatu
jamaah manusia. Maka jadilah perbuatan itu lebih ringan kepadanya, disebabkan
penyaksian mereka. Dan ia tahu dari dirinya, bahwa jikalau ia sendirian, yang
di dalam kesepian, niscaya ia tidak lesu dari mengerjakannya. Dan ia tahu,
bahwa perbuatannya itu, jikalau tidaklah karena taat, niscaya tidaklah
semata-mata ria yang membawanya kepada perbuatan itu. Maka itu campuran, yang
berjalan kepada niat. Dan marilah kami namakan jenis ini: bertolong-tolongan.
Pembangkit kedua adakalanya dia itu teman atau kongsi atau penolong. Dan akan
kami sebutkan hukumnya pada Bab Ikhlas. Dan maksud sekarang, ialah: penjelasan
berbagai macam niat. Bahwa amal perbuatan itu mengikuti bagi pembangkit
padanya. Maka diusahakanlah hukum daripadanya. Dan karena demikian, dikatakan:
sesungguhnya segala amalan itu dengan niat. Karena dia itu pengikut yang tiada
hukum baginya pada dirinya sendiri. Dan bahwa hukum itu bagi yang diikuti.
PENJELASAN: rahasia
Sabda nya Nabi saw; “Niat orang mu’min itu lebih baik dari
amal perbuatannya” Ketahuilah kiranya, bahwa kadang-kadang disangkakan, bahwa
sebab penguatan (tarjih) ini, ialah: niat itu rahasia, yang tidak melihat
kepadanya, selain Allah Ta’ala. Dan amal perbuatan itu terang. Dan bagi amal
perbuatan rahasia itu kelebihan. Dan ini benar. Akan tetapi, tidaklah itu yang
dimaksudkan. Karena jikalau ia berniat bahwa mengingati (berdzikir) akan Allah
dengan hatinya atau ia berfikir/bertafakkur mengenai kemuslihatan kaum
muslimin, maka hadits tadi secara umum, menghendaki, bahwa adalah niat
memikirkan / tafakkur itu lebih baik dari difikirkan. Kadang-kadang
disangkakan, bahwa sebab penguatan ialah, bahwa niat itu berkekalan kepada
akhir amal perbuatan dan amal perbuatan itu tidak berkekalan. Dan itu lemah (dla’if).
Karena yang demikian itu kembali maknanya, bahwa amal perbuatan yang banyak itu
lebih baik dari yang sedikit. Akan tetapi, tidaklah seperti yang demikian.
Bahwa niat amal perbuatan shalat itu kadang-kadang tidaklah berkekalan, selain
pada detik-detik (lah-dhah) yang dapat dihitung. Dan amal perbuatannya
berkekalan (berketerusan). Dan umumnya menghendaki, bahwa adalah niatnya itu
lebih baik dari amal perbuatannya. Kadang-kadang dikatakan, bahwa maknanya,
ialah: bahwa niat, dengan semata-mata niatnya saja itu lebih baik dari amal
perbuatan, dengan semata-matanya, tanpa niat. Dan itu benarlah seperti yang
demikian. Akan tetapi, itu adalah jauh, bahwa itu yang dimaksudkan. Karena amal
perbuatan dengan tidak ada niat atau di atas kelalaian, tidaklah sekali-kali
ada kebajikan padanya. Dan niat itu dengan semata-mata niat saja itu kebajikan.
Dan jelas penguatan (tarjih) itu bagi mereka yang berkongsi pada pokok
kebajikan. Akan tetapi, yang dimaksudkan ialah, bahwa setiap taat itu teratur
dengan niat dan amal.
Adalah niat itu dari jumlah kebajikan. Dan adalah amal
perbuatan itu dari jumlah kebajikan. Akan tetapi, niat dari jumlah taat itu
lebih baik dari amal perbuatan. Artinya: bagi masing-masing dari keduanya itu
mempunyai pengaruh pada maksud. Dan pengaruh niat lebih banyak dari pengaruh
amal perbuatan. Maka maknanya: niat orang mu’min dari jumlah taatnya itu lebih
baik dari amal perbuatannya, yang dia itu dari jumlah taatnya. Maksudnya, bahwa
hamba itu mempunyai ikhtiar (pilihan) pada niat dan amal perbuatan. Keduanya
itu amal perbuatan. Dan niat dari jumlahnya itu lebih baik bagi keduanya. Maka
itulah maknanya.
Adapun sebab keadaannya niat itu kebajikan dan menjadi
kekuatan atas amal perbuatan, maka tidak dapat dipahami, selain orang yang
memahami maksud dan jalan agama dan memahami penyampai pengaruh jalan pada
penyambungan kepada tempat yang dimaksudkan. Dan ia membanding akan sebahagian
pengaruh itu dengan sebahagian yang lain. Sehingga lahirlah baginya sesudah
yang demikian, yang terkuat, dengan dikaitkan kepada yang dimaksudkan. Maka
siapa yang mengatakan, bahwa roti itu lebih baik dari buah-buahan, sesungguhnya
yang dimaksudkannya, ialah bahwa roti itu lebih baik, dengan dikaitkan kepada
maksud makanan dan yang diambil untuk makanan. Dan tidak dipahami yang
demikian, selain orang yang dapat memahami, bahwa makanan itu mempunyai tujuan
yang dimaksudkan. Yaitu: kesehatan dan keterusan hidup. Bahwa makanan-makanan
itu bermacam-macam bekasan padanya. Ia memahami bekas masing-masing makanan dan
membandingkan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Maka ketaatan itu makanan bagi hati. Dan yang
dimaksud ialah sembuhnya, keterusannya, keselamatannya di akhirat,
kebahagiaannya dan kenikmatannya dengan menemui Allah Ta’ala. Maka tujuan
maksud, ialah kelezatan kebahagiaan dengan menemui Allah saja. Dan tiada
bernikmat-nikmatan dengan menemui Allah, selain orang yang mati, dengan
mencintai Allah Ta’ala, dan yang mengenal/berma’rifah kepada Allah. Tiada mencintaiNya, selain orang yang mengenalNya. Tiada jinak hatinya dengan Tuhannya, selain orang yang
lama dzikirnya (sebutannya) kepadaNya. Maka kejinakan hati itu berhasil dengan
terus-menerusnya dzikir. Dan pengenalan/ma’rifah itu berhasil dengan
terus-menerusnya fikir. Kecintaan itu dengan sendirinya mengikuti
ma’rifah. Dan tidaklah hati itu kosong untuk terus-menerusnya dzikir dan fikir,
selain apabila ia kosong dari segala kesibukan duniawi. Dan tidak akan kosong
dari segala kesibukannya, selain apabila telah terputus daripadanya segala
nafsu keinginan kepada dunia. Sehingga jadilah ia cenderung kepada kebajikan
dan menghendaki kebajikan. Lari dari kejahatan dan marah kepada kejahatan.
Bahwa dia cenderung kepada kebajikan dan ketaatan, apabila ia tahu, bahwa
kebahagiaannya di akhirat tergantung dengan itu. Sebagaimana orang yang berakal
itu cenderung kepada betik dan bekam, karena diketahuinya, bahwa keselamatannya
pada yang dua itu.
Apabila telah berhasil pokok kecenderungan dengan
mengenal/ma’rifah, maka sesungguhnya kecenderungan dan kerajinan menghendaki
kepadanya. Bahwa kerajinan atas yang dikehendaki sifat-sifat hati dan
kehendaknya dengan amal perbuatan itu berlaku, sebagaimana berlakunya makanan
dan makanan pokok bagi sifat itu. Sehingga sifat itu tersaring dan kuat dengan
sebabnya. Orang yang cenderung kepada menuntut ilmu atau mencari menjadi kepala
itu tiadalah kecenderungannya pada permulaannya, selain lemah. Maka jikalau ia
mengikuti yang dikehendaki oleh kecenderungan dan ia menyibukkan diri dengan
ilmu, pendidikan kekepalaan dan amal perbuatan yang dicari bagi yang demikian,
niscaya menguatlah kecenderungannya dan meneguh. Dan sulitlah baginya untuk
menarik diri daripadanya. Dan jikalau menyalahi dengan yang dikehendaki oleh
kecenderungan nya, niscaya lemahlah dan hancurlah kecenderungan itu.
Kadang-kadang menjadi hilang dan terhapus. Akan tetapi, orang yang memandang
kepada muka cantik umpamanya, lalu cenderung tabiatnya kepadanya dengan
kecenderungan yang lemah, jikalau diikutinya dan diperbuatnya menurut yang
dikehendaki oleh kecenderungan itu, lalu ia terus-menerus memandang,
duduk-duduk, bercampur-baur dan bercakap-cakap, niscaya menguatlah
kecenderungannya. Sehingga keluarlah urusan tersebut dari pilihannya
(ikhtiarnya). Lalu ia tidak sanggup lagi mencabut diri daripadanya. Jikalau ia
pada permulaannya memisahkan dirinya dan menyalahi dengan yang dikehendaki oleh
kecenderungan nya, niscaya adalah yang demikian itu, seperti memutuskan makanan
pokok dan makanan biasa dari sifat kecenderungan. Dan adalah yang demikian itu
cegahan kuat dan tolakan pada mukanya. Sehingga ia lemah dan hancur dengan
sebabnya. Tercegah dan terhapus.
Begitulah kiranya semua
sifat, kebajikan dan taat seluruhnya, yang dikehendaki dengan semuanya itu akan
akhirat. Dan kejahatan seluruhnya, yang dikehendaki dengan dia akan dunia,
tidak akhirat. Kecenderungan diri kepada kebajikan akhirat dan terpalingnya
dari dunia, adalah yang menyelesaikannya dari urusan lain untuk dzikir dan
fikir. Dan tiada meneguhkan yang demikian, selain dengan kerajinan atas amalan
taat dan meninggalkan perbuatan maksiat dengan anggota badan. Karena diantara
anggota-anggota badan dan hati itu ada hubungan. Sehingga, membekas
masing-masing dari keduanya dengan yang lain. Maka anda melihat, suatu anggota
badan, apabila kena luka, niscaya hati merasa sedih. Dan anda melihat hati,
apabila ia merasa pedih dengan meninggalnya salah seorang temannya yang
dikasihi atau dengan serangan sesuatu yang menakutkan, niscaya terpengaruh
segala anggota badannya dengan yang demikian. Terkejut lah sendi-sendinya dan
berobahlah warna mukanya. Selain bahwa hati itu pokok yang diikuti, maka dia
itu seakan-akan amir dan penggembala. Dan anggota-anggota badan itu seperti
pelayan-pelayan, rakyat dan pengikut. Maka anggota-anggota badan itu pelayan
bagi hati, dengan penguatan sifat-sifatnya pada hati. Maka hati itulah yang
dimaksudkan. Dan anggota-anggota badan itu yang menyampaikan kepada maksud.
Karena itulah Nabi saw bersabda: “Bahwa dalam tubuh itu ada
sepotong daging/mudl-ghah. Apabila ia baik, niscaya baiklah bagian tubuh lainnya”. Nabi saw
berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! baikkanlah penggembala dan rakyat”. Dan yang
dikehendaki dengan penggembala (ar-raa’i), ialah: hati. Allah Ta’ala berfirman:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapai nya”. S 22 Al Hajj
ayat 37. Yaitu: sifat hati. Maka dari segi ini –sudah pasti –wajiblah bahwa
amal perbuatan hati pada keseluruhannya itu lebih utama dari gerak-gerik
anggota tubuh. Kemudian, wajiblah bahwa adalah niat itu lebih utama dari
keseluruhannya. Karena dia itu ibarat dari kecenderungan hati kepada kebajikan
dan kehendaknya bagi kebajikan. Dan maksud kami dari amal perbuatan dengan
anggota-anggota badan, ialah bahwa dibiasakan oleh hati akan kehendak kebajikan
dan dikuatkan padanya akan kecenderungan kepada kebajikan. Supaya ia kosong
dari segala nafsu syahwat duniawi. Dan ia bertekun kepada dzikir dan fikir.
Maka dengan mudah, adalah itu kebajikan, dengan dikaitkan kepada maksud. Karena
dia itu berkedudukan dari diri maksud itu sendiri. Dan ini, sebagaimana maidah
(perut besar) apabila merasa sakit, maka kadang-kadang diobati, dengan
meletakkan air anggur yang sudah dimasak (ath-thila’) di atas dada. Dan diobati
dengan minum dan obat yang sampai ke perut. Maka minum itu lebih baik dari
ath-thila’ di dada. Karena ath-thila’ di dada juga, sesungguhnya dimaksudkan,
bahwa menjalar daripadanya bekas ke perut. Maka apa yang menemui perut itu
sendiri, adalah lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka begitulah seyogyanya
bahwa anda memahami pembekasan taat seluruhnya. Karena yang dicari daripadanya,
ialah pengobahan hati dan penggantian sifat-sifatnya saja, bukan anggota badan.
Maka janganlah anda menyangka, bahwa pada meletakkan dahi di atas bumi itu
maksudnya, dari segi mengumpulkan diantara dahi dan bumi. Akan tetapi, dari
segi, bahwa menurut adat (kebiasaan) ialah, menguatkan sifat merendahkan diri
pada hati. Bahwa orang yang mendapati pada dirinya sifat merendahkan diri, maka
apabila ia merasa tenang dengan anggota-anggota badannya dan menggambarkannya
dengan gambaran merendahkan diri, niscaya menguatlah sifat merendahkan diri
itu.
Dan siapa yang mendapati pada hatinya akan kasih-sayang kepada
anak yatim, maka apabila ia menyapu kepala anak yatim dan memeluknya, niscaya
menguatlah kekasih-sayangan itu dalam hatinya. Karena inilah, tiada sekali-kali
amal perbuatan itu berfaedah, dengan tanpa niat. Karena orang yang menyapu
kepala anak yatim dan ia lalai dengan hatinya atau ia menyangka menyapu kain,
niscaya tiada berkembanglah dari anggota badannya, bekasan kepada hatinya, bagi
menguatkan kasih-sayang. Seperti demikian juga, orang yang sujud dalam keadaan
lalai dan ia disibukkan cita-cita dengan harta benda dunia, niscaya tidaklah
berkembang dari dahinya dan peletakannya di atas bumi itu, bekasan kepada
hatinya, yang menguatkan sifat merendahkan diri dengan yang demikian. Maka
adanya itu seperti tidak adanya. Dan apa yang menyamakan adanya dengan tidaknya
itu dengan dikaitkan kepada maksud yang dicari daripadanya, dinamakan:
batil/tidak benar.
Maka dikatakanlah: ibadah dengan tanpa niat itu batil/salah.
Ini artinya, apabila dikerjakan dalam keadaan lalai. Maka apabila dimaksudkan
dengan perbuatan itu ria atau menghormati orang lain, niscaya tidaklah adanya
itu seperti tidak adanya. Akan tetapi, menambahkan baginya kejahatan. Dia tidak
menguatkan sifat yang dicari penguatannya sehingga ia menguatkan sifat yang
dicari pencegahannya. Yaitu: sifat ria, yang dia itu dari kecenderungan kepada
dunia. Maka inilah segi keadaan niat itu lebih baik dari amal perbuatan. Dan
dengan ini pula, diketahui makna sabda Nabi saw: “Barangsiapa bercita-cita
dengan kebaikan, lalu tidak dikerjakannya niscaya dituliskan baginya suatu
kebaikan”. Karena cita-cita hati itu ialah kecenderungannya kepada kebajikan &
berpalingnya dari hawa nafsu dan kecintaan dunia. Dan itulah kebaikan yg
penghabisan. Dan menyempurnakan nya dengan amal perbuatan itu menambahkan
penguatan nya.
Maka tidaklah yang dimaksudkan dengan menumpahkan darah
binatang yang dikurbankan itu darahnya dan dagingnya. Akan tetapi,
kecenderungan hati dari kecintaan dunia dan memberikannya karena mengutamakan
Wajah Allah Ta’ala. Sifat ini sesungguhnya berhasil, ketika teguhnya niat dan
cita-cita, walaupun dicegah dari amal-perbuatan itu oleh sesuatu pencegah. Maka
daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, akan tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat
mencapainya. Taqwa disini, yakni: hati. Dan karena demikianlah, Nabi saw
bersabda: “Bahwa suatu kaum di Madinah, telah bersekutu dengan kita pada
perjuangan kita”. Sebagaimana telah terdahulu disebutkan. Karena hati mereka
pada kebenaran kehendak kebajikan, memberi harta dan jiwa, ingin mencari
kesyahidan dan meninggikan kalimah Allah Ta’ala itu seperti hati orang-orang
yang keluar ke medan jihad. Hanya berbeda dengan mereka, dengan badan, karena
penghalang-penghalang yang menentukan sebab-sebab yang keluar dari hati. Dan
yang demikian itu tidak dicari, selain untuk meneguhkan sifat-sifat ini. Dengan
makna-makna ini, dipahamilah semua hadits-hadits yang telah kami kemukakan pada
keutamaan niat. Maka datanglah kepadanya, supaya tersingkap bagi anda akan
rahasia-rahasianya. Kami tidak memanjangkannya lagi dengan mengulanginya.
PENJELASAN: uraian amal-amal perbuatan yang menyangkut dengan
niat.
Ketahuilah, bahwa amal perbuatan, walaupun terbagi kepada
banyak bagian, dari perbuatan, perkataan, gerak, tetap, tarik, tolak, fikir,
dzikir dan lain nya, daripada apa yang tidak tergambarkan penghinggaannya dan
penyelidikannya, maka dia itu adalah 3 bahagian, yaitu: perbuatan taat,
perbuatan maksiat dan perbuatan yang diperbolehkan.
Yang pertama: perbuatan maksiat. Yaitu: yang tiada berobah dari tempatnya dengan niat.
Maka tiada seyogyalah, bahwa dipahami oleh orang yang bodoh akan yang demikian
dari umumnya sabda Nabi saw: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu dengan
niat”. Lalu menyangka, bahwa perbuatan maksiat itu terbalik menjadi amalan taat
dengan niat. Seperti orang yang mengumpat seorang insan, karena menjaga hati
orang lain. Atau memberi makanan seorang miskin dari harta orang lain. Atau
membangun sekolah atau masjid atau langgar dengan harta haram. Dan maksudnya
kebajikan. Maka ini semuanya bodoh. Dan niatnya tidaklah berpengaruh pada
mengeluarkan yang tersebut itu, dari keadaannya zalim, permusuhan dan maksiat.
Bahkan maksudnya akan kebajikan dengan kejahatan yang menyalahi kehendak agama
itu suatu kejahatan yang lain. Kalau sudah diketahuinya yang demikian, maka dia
itu mengingkari syara’ (agama). Dan kalau tidak diketahuinya, maka dia orang
maksiat dengan kebodohannya. Karena menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.
Dan perbuatan kebajikan, sesungguhnya diketahui keadaannya itu kebajikan,
adalah dengan syara. Maka bagaimana mungkin bahwa kejahatan itu menjadi
kebajikan ? amat jauh dari yang demikian ! akan tetapi, yang menghiasi bagi
yang demikian pada hati, ialah tersembunyinya nafsu syahwat dan batinnya hawa
nafsu. Bahwa hati, apabila ia cenderung kepada mencari kemegahan dan
mencenderungkan hati manusia kepadanya dan keberuntungan-keberuntungan diri
yang lain, niscaya setan mencari jalan dengan yang demikian kepada menipu orang
bodoh.
Karena itulah Sahal ra berkata: “Tiadalah orang berbuat
maksiat kepada Allah Ta’ala dengan suatu maksiat yang lebih besar dari
kebodohan”. Ditanyakan: “Hai Abu Muhammad ! adakah engkau mengetahui akan
sesuatu, yang lebih berat dari kebodohan ?”. Abu Muhammad menjawab: “Ya, ada !
yaitu: kebodohan dengan kebodohan”. Benarlah sebagaimana yang dikatakannya.
Karena kebodohan dengan kebodohan itu menyumbat secara keseluruhan pintu
belajar. Maka siapa yang menganggap secara keseluruhan pada dirinya, bahwa ia
orang yang berilmu, maka bagaimana ia belajar ? seperti demikian juga, bahwa yang
lebih utama, apa yang dengan itu ditaati Allah Ta’ala, ialah: ilmu.
Modal ilmu, ialah: tahu dengan ilmu. Sebagaimana modal
kebodohan, ialah: bodoh dengan kebodohan. Bahwa orang yang tidak mengetahui
akan ilmu yang bermanfaat, dari ilmu yang melarat, niscaya ia sibuk dengan apa,
yang berkecimpung manusia padanya, dari ilmu-ilmu yang terhias, yang menjadi
jalan mereka kepada dunia. Dan yang demikian itu, adalah alat kebodohan dan
sumber kerusakan alam. Yang dimaksudkan, ialah bahwa orang yang bermaksud akan
kebajikan dengan perbuatan maksiat, dari kebodohan, maka orang itu tidak
dimaafkan. Kecuali, apabila ia baru saja masuk Islam. Dan tidak diperolehnya
sesudah itu kesempatan bagi belajar. Allah swt berfirman: “Maka bertanyalah
kepada orang-orang pandai, kalau kamu tidak tahu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 7.
Nabi saw bersabda: “Tiada dimaafkan orang yang bodoh di atas kebodohan. Dan
tidak halal bagi orang yang bodoh, bahwa berdiam diri di atas kebodohannya. Dan
tiada bagi orang yang berilmu bahwa berdiam diri di atas keilmuannya”. Dan
mendekati dengan pendekatan raja-raja dengan pembangunan masjid-masjid dan
sekolah-sekolah dengan harta haram, oleh pendekatan ulama-ulama jahat
(ulama-us-suu’) dengan mengajarkan ilmu kepada orang-orang yang busuk perangai
dan orang-orang jahat, yang selalu mengerjakan perbuatan fasik dan zalim, yang
terbatas cita-citanya kepada bertengkar dengan para ulama, berlomba-lomba
dengan orang-orang yang buruk perangai, mencari kecenderungan wajah manusia
kepadanya, mengumpulkan harta-benda dunia, mengambil harta sultan-sultan,
anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Maka mereka itu apabila belajar, niscaya adalah mereka
orang-orang yang memotong jalan Allah. Setiap seorang dari mereka itu bergerak
dalam negerinya, menjadi pengganti dajjal,
loba kepada dunia dan mengikuti hawa nafsu. Menjauhkan diri dari taqwa dan
memberanikan manusia dengan sebab melihatnya, berbuat perbuatan maksiat kepada
Allah. Kemudian, kadang-kadang ilmu itu berkembang, kepada yang seperti orang
itu dan yang seperti-sepertinya. Mereka mengambilnya juga menjadi alat dan
jalan pada kejahatan dan mengikuti hawa nafsu. Dan sambung-menyambung yang
demikian. Bahaya semuanya itu kembali kepada yang mengajar (al-mu’allim) yang
mengajarkannya ilmu itu, serta diketahuinya dengan kerusakan niatnya dan
maksudnya. Dan disaksikannya bermacam-macam perbuatan maksiat dari
perkataan-perkataannya dan perbuatan-perbuatannya, pada makanan, pakaian dan
tempat tinggalnya. Maka matilah orang yang berilmu ini dan kekallah bekas-bekas
kejahatannya bertebaran di alam ini, 1000 tahun umpamanya dan 2000 tahun.
Dan amat baiklah bagi orang, yang apabila ia mati, lalu
matilah bersamanya dosa-dosanya. Kemudian, mengherankan dari kebodohannya,
dimana ia mengatakan: “Bahwa semua amal perbuatan itu dengan niat. Aku
maksudkan dengan yang demikian itu, mengembangkan ilmu agama. Kalau orang itu
menggunakannya pada kerusakan, maka maksiat itu daripadanya. Tidak daripadaku.
Aku tidak maksudkan dengan yang demikian, selain bahwa ia memperoleh
pertolongan dengan ilmu itu, kepada kebajikan. Bahwa suka menjadi kepala, suka
menjadi ikutan orang dan merasa bangga dengan ketinggian ilmu, adalah bagus
yang demikian dalam hatinya. Dan setan dengan perantaraan suka menjadi kepala
itu menipunya”. Kiranya aku dapat mengetahui, apakah jawabannya itu, dari orang
yang memberi pedang kepada orang yang memotong jalan (merampok di jalan). Ia
sediakan bagi orang itu kuda dan sebab-sebab yang lain, yang memberi
pertolongan kepadanya atas maksudnya. Dan ia mengatakan: “Bahwa aku kehendaki
memberikan, bermurah hati dan bertingkah-laku dengan tingkah-laku Allah yang
elok. Dan aku maksudkan dengan yang demikian itu, bahwa ia berperang dengan
pedang itu dan kuda pada jalan Allah (sabilullah). Bahwa menyediakan kuda, tali
ikatan dan kekuatan bagi orang-orang yang berperang adalah termasuk pendekatan
diri kepada Allah yang paling utama. Kalau ia palingkan kepada merampok di
jalan, maka orang itulah yang berbuat maksiat. Dan telah sepakat para ulama
bahwa yang demikian itu haram, sedang sifat kemurahan hati adalah akhlak yang
paling disukai oleh Allah Ta’ala.
Sehingga Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah Ta’ala mempunyai 300
akhlak. Barangsiapa mendekati kepadaNya dengan salah satu dari yang 300 akhlak
itu, niscaya ia masuk sorga. Dan yang paling disukai oleh Allah daripadanya
itu, ialah: sifat kemurahan hati”. Kiranya aku dapat mengetahui, mengapa sifat kemurahan
hati ini diharamkan ? mengapakah diwajibkan kepadanya bahwa melihat kepada
karinah (berkumpul) keadaan dari orang zalim itu ? maka apabila menunjukkan
baginya dari adat kebiasaannya, bahwa ia mendapat pertolongan dengan senjata
itu kepada kejahatan, maka seyogyalah bahwa diusahakan pada menarik senjatanya
itu. Tidak bahwa menolongnya dengan yang lain. Ilmu itu senjata untuk diperangi
setan dan musuh-musuh Allah.
Kadang-kadang, musuh-musuh Allah ‘Azza Wa Jalla
bertolong-tolongan dengan ilmu. Yaitu: hawa nafsu. Maka siapa yang senantiasa
mengutamakan dunianya di atas agamanya, hawa nafsunya di atas akhiratnya dan ia
lemah dari yang demikian, karena sedikit keutamaannya, maka bagaimana boleh
menolong nya dengan semacam ilmu, yang memungkinkannya sampai kepada nafsu
syahwatnya ? akan tetapi, senantiasalah ulama-ulama salaf ra menyelidiki
keadaan orang yang pulang pergi kepada mereka. Kalau mereka melihat daripadanya
keteledoran pada salah satu amalan sunat, niscaya mereka membantahnya dan
mereka meninggalkan pemuliaannya. Apabila mereka melihat daripadanya kezaliman
dan menghalalkan yang haram, niscaya mereka tinggalkan berbicara dengan dia dan
mereka mengasingkannya dari majlis-majlis mereka. Mereka tinggalkan
bercakap-cakap dengan dia, apa lagi mengajarkannya. Karena mereka tahu, bahwa
orang yang mempelajari suatu permasalahan dan tidak mengamalkannya dan
melampauinya kepada yang lain, maka tidaklah orang itu mencari, selain alat
kejahatan. Dan semua ulama salaf berlindung dengan Allah dari orang zalim, yang
alim dengan sunnah. Dan mereka tidak berlindung dari orang zalim yang bodoh.
Diceritakan dari sebahagian sahabat Ahmad bin Hanbal ra, bahwa
ia pulang-pergi kepada Ahmad bin Hanbal ra bertahun-tahun. Kemudian, kebetulan
Ahmad berpaling daripadanya. Ditinggalkannya berbicara dan jadilah ia tidak
bercakap-cakap dengan sahabat tersebut. Senantiasalah ia menanyakan tentang
perobahannya terhadap dirinya. Ahmad bin Hanbal ra tidak mau menyebutkannya.
Sehingga Ahmad bin Hanbal itu mengatakan: “Sampai kepadaku bahwa engkau
menembokkan dinding rumah engkau dari pinggir jalan. Dan telah engkau ambil
kadar tebalnya tanah, yaitu satu anak jari,
dari jalan kaum muslimin. Maka engkau tidak pantas untuk memindahkan (menerima)
ilmu”. Maka begitulah adanya pengintipan ulama salaf kepada hal-keadaan
penuntut-penuntut ilmu. Inilah dan contoh-contohnya yang seperti ini, dari apa
yang meragukan kepada orang-orang dungu dan pengikut-pengikut setan, walaupun
adalah mereka itu mempunyai pakaian-pakaian kebesaran ulama, lengan-lengan baju
yang luas dan mempunyai kelancaran berbicara yang jauh dan kelebihan banyak.
Yakni: kelebihan ilmu pengetahuan yang tidak dilengkapi dengan peringatan dari
dunia dan gertakan daripadanya. Penggemaran pada akhirat dan seruan kepadanya.
Bahkan itu adalah ilmu yang menyangkut dengan makhluk dan menyambung dengan dia
kepada mengumpulkan harta-benda dunia, diikuti manusia dan terkemuka di atas
teman-teman.
Jadi, sabda Nabi saw: “Bahwa segala amal perbuatan itu dengan
niat”, adalah khusus dari 3 bahagian dengan taat dan perbuatan mubah (yang
diperbolehkan). Tidak perbuatan-perbuatan maksiat. Karena taat itu terbalik
menjadi maksiat dengan kasad (niat). Dan mubah itu terbalik menjadi maksiat dan
taat dengan kasad. Adapun maksiat, maka tidak terbalik sekali-kali menjadi taat
dengan niat. Benar, niat dapat masuk padanya. Yaitu, bahwa: apabila bertambah
kepadanya niat-niat yang keji, niscaya berlipat-ganda dosanya dan besar
bencananya. Sebagaimana telah kami sebutkan yang demikian pada Kitab Taubat.
Bahagian
kedua: taat. Yaitu, yang terikat dengan niat pada pokok shahnya
dan pada berlipat-gandanya kelebihannya. Adapun pokok, maka yaitu: bahwa ia
niatkan dengan taat itu akan ibadah kepada Allah Ta’ala. Tidak lain. Kalau ia
niatkan riba, niscaya jadilah taat itu maksiat. Adapun berlipat-gandanya
kelebihan, maka dengan banyaknya niat-niat yang baik. Bahwa satu perbuatan
taat, maka mungkin bahwa ia niatkan dengan taat yang satu itu akan banyak
kebajikan. Maka adalah pahala baginya dengan setiap niat. Karena masing-masing
daripadanya suatu kebaikan. Berlipat-gandanya setiap kebaikan dengan 10 kali
daripadanya, sebagaimana yang datang pada hadits. Contohnya duduk dalam masjid.
Maka duduk itu taat. Dan mungkin bahwa ia berniat padanya akan banyak niat.
Sehingga menjadi sebahagian dari keutamaan amal perbuatan orang-orang yang
taqwa (al-muttaqin). Dan sampai ia dengan yang demikian kepada derajat
orang-orang al-muqarrabin (orang-orang mendekatkan diri kepada Allah)
1. bahwa ia beri’tikad (berniat) bahwa masjid itu baitullah. Bahwa yang
masuk ke dalamnya itu menziarahi Allah. Maka ia kasadkan (niatkan) dengan yang
demikian itu menziarahi Tuhannya, karena mengharap apa yang dijanjikan oleh
Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa duduk dalam masjid, maka
sesungguhnya ia menziarahi Allah Ta’ala. Dan berhak atas yang diziarahi
memuliakan yang menziarahinya”.
2. bahwa ia menunggu shalat sesudah shalat. Maka adalah dia dalam jumlah
penungguannya dalam shalat. Dan itulah makna firman Allah Ta’ala: “Dan tetaplah
bersiap siaga”. S 3 Ali ‘Imran ayat 200.
3. peribadatan dengan tercegahnya mendengar, melihat dan anggota-anggota
badan dari gerak dan pulang-pergi. Bahwa i’tikaf (berhenti dalam masjid) itu
pencegahan. Dan itu dalam arti puasa. Yaitu: semacam peribadatan. Karena itulah
Rasulullah saw bersabda: “Keibadatan umatku itu duduk dalam masjid-masjid”.
4. meneguhkan cita-cita kepada Allah dan mengharuskan rahasia (kebatinan
hati) untuk berpikir tentang akhirat dan menolak segala kesibukan yang
memalingkan nya dari yang demikian, dengan mengasingkan diri ke masjid.
5. mensemata-matakan diri untuk berdzikir kepada Allah atau untuk
mendengarkan dzikir orang lain kepadaNya dan untuk mengingatiNya. Sebagaimana
diriwayatkan pada hadits: “Barangsiapa berpagi-pagi ke masjid untuk berdzikir
(mengingati) akan Allah Ta’ala atau untuk ia mengingatkan orang lain kepada
Allah Ta’ala, niscaya adalah dia seperti orang yang berjihad (al-mujahid) pada
jalan Allah Ta’ala (fi sabilillah)”.
6. bahwa ia maksudkan untuk memfaedahkan ilmunya, dengan amar ma’ruf dan
nahi munkar (menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat yang munkar),. Karena masjid itu tidak terlepas dari orang yang berbuat buruk dalam
shalatnya. Atau melakukan apa yang tidak halal baginya. Maka ia menyuruh orang
itu dengan berbuat kebajikan dan menunjukkannya kepada agama. Maka
dia itu berkongsi dengan orang tersebut pada kebajikannya, yang diketahuinya
dari orang itu. Lalu berlipat-gandalah kebajikannya.
7. bahwa ia memperoleh saudara pada jalan Allah. Bahwa yang demikian itu
rampasan dan simpanan untuk negeri akhirat. Dan masjid itu tempat berkumpul
orang-orang agama, yang bercintaan karena Allah dan pada jalan Allah.
8. bahwa ia meninggalkan dosa karena malu kepada Allah Ta’ala dan malu
daripada berbuat di baitullah, yang membawa kerusakan kehormatan.
Al-Hasan bin Ali ra berkata: “Siapa yang selalu pulang-pergi
ke masjid, niscaya diberikan oleh Allah rezeki kepadanya salah satu dari 7
perkara: saudara yang memperoleh faedah pada jalan Allah atau rahmat yang
diturunkan atau ilmu yang menjadikan pintar atau kalimah yang menunjukkan
kepada petunjuk atau yang memalingkannya dari keburukan atau ia meninggalkan
dosa karena takut atau malu. Maka itulah jalan memperbanyakkan niat. Dan
bandingkanlah dengan yang demikian, akan amalan taat dan mubah (yang
diperbolehkan) lainnya. Karena, tiada suatu amalan taatpun, melainkan ia
memungkinkan niatan yang banyak. Dan hadir dalam hati hamba yang beriman, menurut kadar kesungguhannya pada mencari kebajikan,
menghendakinya dan bertafakkur padanya. Maka dengan ini, bersihlah segala amal
perbuatan dan berlipat-gandalah kebaikan-kebaikan.
Bahagian
ketiga: yang mubah. Tiada suatupun dari yang amalan yang mubah
(dibolehkan), melainkan memungkinkan satu niatan atau niatan-niatan, yang
dengan niatan-niatan itu menjadi sebahagian dari amalan yang baik, yang
mendekatkan diri kepada Allah. Dan tercapai dengan yang demikian derajat yang
tinggi. Maka alangkah besarnya kerugian orang yang lalai daripadanya. Dan
diperbuatkannya sebagai perbuatan hewan yang lengah, dari kelupaan dan
kelalaian. Dan tiada seyogyalah bahwa hamba itu memandang leceh akan sesuatu
dari bahaya, salah dan detik-detik waktu. Semua yang demikian itu dipertanyakan
pada hari kiamat, mengapa di perbuatnya ? apakah yang dimaksudkannya ? dan ini
pada yang semata-mata mubah, yang tidak dicampuri oleh kemakruhan. Dan karena
itulah, bersabda Nabi saw: “Halalnya diperhitungkan
dan haramnya mendapat siksa”. Pada
hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal, bahwa: Nabi saw bersabda: “Bahwa
hamba itu ditanyakan pada hari kiamat, dari tiap sesuatu, sehingga dari celak
kedua matanya dan dari pecahan-pecahan tanah dengan dua anak jarinya dan dari
sentuhannya akan kain saudaranya”. Tersebut pada hadits yang lain: “Barangsiapa
memakai bau-bauan karena Allah Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan
baunya lebih harum dari kesturi. Dan barangsiapa memakai bau-bauan bukan karena
Allah Ta’ala, niscaya ia datang pada hari kiamat dan baunya lebih busuk dari
bangkai”. Maka memakai bau-bauan itu mubah (diperbolehkan). Akan tetapi, tak
boleh tidak daripada niat padanya. Maka jikalau anda bertanya: “Apakah yang
memungkinkan bahwa ia berniat dengan memakai bau-bauan dan itu adalah salah
satu dari keberuntungan diri ? bagaimana ia memakai bau-bauan karena
Allah ?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang yang memakai bau-bauan umpamanya
pada hari Jum’at dan pada waktu-waktu yang lain itu tergambar bahwa ia
bernaksud bersenang-senang dengan kelezatan duniawi atau ia bermaksud
melahirkan kesombongan dengan banyak hartanya, supaya dengki teman-temannya.
Atau ia bermaksud memperlihatkan (ria) kepada orang banyak, supaya tegaknya
kemegahan baginya dalam hati mereka dan ia disebutkan dengan keharuman bau.
Atau supaya jatuh kecintaan kepadanya dalam hati wanita-wanita asing (bukan
mahramnya), apabila dia itu halal memandang kepada wanita-wanita tersebut. Dan
karena hal-hal yang lain yang tidak terhingga banyaknya. Semua ini menjadikan
memakai bau-bauan itu perbuatan maksiat. Maka dengan demikian adalah dia lebih
busuk dari bangkai pada hari kiamat.
Kecuali maksud yang pertama. Yaitu: berlezat-lezatan dan
bernikmat-nikmatan. Maka yang demikian itu tidaklah maksiat. Hanya, ia
dipertanyakan dari yang demikian. Dan siapa yang diperdebatkan akan hitungan
amalnya (al-hisab), niscaya dia itu diazabkan. Dan siapa yang mengerjakan akan
sesuatu dari yang diperbolehkan dalam dunia, niscaya ia tidak diazabkan di
akhirat. Akan tetapi, ia berkurang dari kenikmatan akhirat, dengan kadarnya.
Cegahlah dirimu akan kerugian, dengan mengerjakan dengan
segera akan sesuatu yang fana (lenyap-binasa). Dan rugi dari bertambahnya
nikmat yang tiada akan fana. Adapun niat yang baik, ialah meniatkan mengikuti
sunnah Rasulullah saw pada hari Jum’at. Ia meniatkan dengan yang demikian juga
membesarkan (menghormatkan) masjid, menghormati Baitullah. Maka ia tidak
melihat bahwa orang yang menziarahi Allah masuk ke dalamnya, selain bau-bauan
yang harum. Ia maksudkan dengan yang demikian itu membau-harumkan tetangganya,
supaya mereka itu merasa senang dalam masjid ketika berdekatan dengan dia
dengan bau-bauannya. Ia maksudkan dengan yang demikian, menolak bau yang keji
dari dirinya, yang membawa kepada menyakitkan orang-orang yang bercampur-baur
dengan dia. Dan ia maksudkan menutup pintu umpatan dari orang-orang yang
mengumpat, apabila mereka mengumpatinya disebabkan bau yang keji. Maka mereka
itu berbuat maksiat kepada Allah, dengan sebabnya. Maka barangsiapa
mendatangkan bagi umpatan, padahal ia sanggup menjaga daripadanya, niscaya dia
itu berkongsi pada maksiat tersebut, sebagai dikatakan:
Apabila engkau meninggalkan suatu kaum
dan mereka itu sanggup,
bahwa engkau tidak berpisah dengan mereka,
maka yang meninggalkan itu adalah mereka.
Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu marah apa-apa yang mereka sembah
selain dari Allah, supaya mereka jangan pula mencela Allah di luar batas,
dengan tidak berdasar pengetahuan”. S 6 Al An’aam ayat 108. Dengan firman
tersebut, Allah Ta’ala mengisyaratkan, bahwa yang menyebabkan kepada kejahatan
itu adalah suatu kejahatan. Dan bahwa ia maksudkan dengan yang demikian itu,
mengobati otaknya supaya bertambah kecerdikan dan kepintarannya. Dan memudahkan
kepadanya memahami kepentingan agamanya dengan berfikir.
Asy-Syafi’i ra berkata: “Barangsiapa baik baunya, niscaya
bertambah akalnya”. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini dari niat-niat,
tidaklah orang yang ahli dalam ilmu fikih (al-faqih) itu lemah daripada
mengetahuinya, apabila adalah perniagaan akhirat dan mencari kebajikan itu
mengerasi atas hatinya. Dan apabila tidak mengerasi atas hatinya, selain
kenikmatan duniawi, niscaya niat-niat itu hadir kepadanya. Dan kalau disebutkan
kepadanya, niscaya hatinya tidak tergerak kepadanya. Maka tidak ada bersamanya
dari niat-niat itu, selain bisikan jiwa (haditsun-nafsi). Dan tidaklah yang
demikian itu pada suatupun dari niat. Hal yang diperbolehkan (al-mubahat) itu
banyak. Tidak mungkin menghinggakan niat padanya. Maka kiaskanlah dengan yang
satu ini, akan yang lain ! dan karena inilah, sebahagian orang arif (yang
berilmu ma’rifah) dari ulama-ulama salaf berkata: “Sesungguhnya aku menyukai
bahwa adalah bagiku niat pada tiap sesuatu, sehingga pada makanku, minumku,
tidurku dan masukku ke baitul-khala’ (kakus)”. Setiap yang demikian itu
termasuk yang mungkin dimaksudkan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Karena
setiap apa saja yang menyebabkan tidak binasanya badan dan selesainya hati dari
kepentingan-kepentingan badan, maka itu menolong kepada agama. Maka orang, yang
maksudnya dari makan itu memperoleh kekuatan kepada ibadah, dari bersetubuh
menjaga agamanya, membaikkan hati isterinya dan dengan demikian, ia memperoleh
anak yang shalih, yang akan menyembah Allah Ta’ala sesudahnya, lalu dengan anak
itu bertambah banyak umat Muhammad saw, niscaya adalah dia itu berbuat taat
dengan makannya dan kawinnya. Yang lebih banyak keberuntungan diri, ialah makan
dan bersetubuh. Bermaksud kebajikan dengan keduanya itu tidak terlarang bagi
orang yang keras atas hatinya, cita-cita akhirat. Karena itulah, seyogyanya
bahwa baguslah niatnya dari dua hal itu, yang habis baginya harta dan ia
mengatakan: “Itu adalah pada jalan Allah (sabilullah)”.
Apabila sampai kepadanya umpatan orang lain kepadanya, maka
hendaklah ia membaguskan hatinya, dengan ia akan menanggung segala kejahatan nya
dan akan berpindah kepada daftar amal orang itu, segala kebaikannya. Dan
hendaklah ia meniatkan yang demikian dengan diamnya dari menjawab. Tersebut
pada hadits: “Bahwa hamba itu akan diperhitungkan amal perbuatannya. Maka
batallah amal perbuatannya, karena masuknya bahaya padanya. Sehingga
mengharuskan neraka. Kemudian, disiarkan baginya dari amal perbuatan yang baik
(amal shalih), yang mengharuskan baginya sorga. Maka ia merasa heran dan
berkata: “Wahai Tuhan ! ini amal perbuatan yang belum pernah sekali-kali aku
mengerjakannya”. Lalu dikatakan: “Ini adalah amal perbuatan mereka yang
mengumpati engkau, yang menyakiti engkau dan yang berbuat zalim atas engkau”.
Tersebut pada hadits: “Bahwa hamba itu akan didatangkan pada hari kiamat,
dengan kebaikan-kebaikan seumpama gunung-gunung. Jikalau semata-mata kebaikan
itu baginya, niscaya ia masuk sorga. Lalu ia datang dan ia telah berbuat zalim
atas si Ini, telah memaki si Ini dan telah memukul si Ini. Maka diambillah
untuk si Ini tadi, dari kebaikan-kebaikannya dan bagi si Ini dari
kebaikan-kebaikannya. Sehingga tidak tinggal lagi kebaikan baginya. Maka
berkatalah para malaikat: “Telah lenyap kebaikan-kebaikannya dan tinggallah
orang-orang yang menuntutnya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Lemparkanlah ke
atasnya dari kejahatan-kejahatan mereka ! kemudian, tempelengkanlah dia sebagai
tempeleng ke neraka !”. Kesimpulannya, maka jagalah, kemudian jagalah bahwa
anda memandang leceh akan sesuatu dari gerak-gerik anda ! lalu anda tidak
menjaga dari tipuan dan kejahatannya. Tidak anda sediakan jawabannya pada hari
pertanyaan dan perhitungan amal (yamus-su-al wal-hisab). Bahwa Allah Ta’ala
melihat dan menyaksikan perbuatan anda. Tiada sepatah perkataanpun yang
diucapkan, melainkan padanya malaikat pengintip, yang siap sedia.
Sebahagian ulama salaf berkata: “Aku menulis suatu kitab dan
aku bermaksud menanamkannya di bawah dinding tembok tetanggaku. Maka aku,
menjauhkan tempat yang sempit. Kemudian aku mengatakan: “Tanah dan apakah tanah
itu ?”. Lalu aku tanamkan dibawah tanah. Maka seorang penyeru menyerukan
kepadaku: “Akan diketahui oleh siapa saja yang memandang leceh kepada tanah,
akan apa yang ditemuinya besok dari keburukan hitungan amal”.
Seorang laki-laki bershalat bersama Ats-Tsuri. Maka dilihatnya
Ats-Tsuri terbalik kainnya. Lalu diberitahukannya. Maka Ats-Tsuri memanjangkan
tangannya untuk memperbaikinya. Kemudian, ia menggenggam tangannya kembali.
Tidak jadi dibetulkannya. Maka laki-laki itu menanyakan dari yang demikian.
Ats-Tsuri menjawab: “Bahwa aku memakainya karena Allah Ta’ala. Dan aku tidak
bermaksud membetulkannya bagi selain Allah”.
Al-Hasan Al-Bashari
berkata: “Bahwa seorang laki-laki bergantung pada seorang laki-laki pada
hari kiamat, seraya berkata: “Di antara aku dan engkau itu Allah”. Lalu
laki-laki yang menjadi tempat bergantung itu menjawab: “Demi Allah ! aku tidak
mengenal engkau”. Lalu laki-laki yang bergantung itu menjawab: “Ya, engkau
telah mengambil sebuah batu bata dari dinding tembokku. Dan engkau mengambil
sehelai benang dari kainku”. Maka ini dan contoh-contoh yang seperti ini, dari
berita-berita itu memotong hati orang-orang yang takut. Jikalau anda dari
orang-orang yang keras cita-cita dan akal pikiran dan engkau tidak termasuk
orang-orang yang tertipu, maka perhatikanlah sekarang kepada diri engkau ! dan
telitilah mengadakan perhitungan atas diri engkau, sebelum engkau diteliti
orang ! intiplah hal-ihwal engkau ! janganlah engkau tenang dan janganlah
engkau bergerak, sebelum engkau memperhatikan pertama-tama, bahwa mengapa
engkau bergerak ? apakah yang engkau maksudkan ? apakah yang akan engkau capai
dengan yang demikian itu dari dunia ? apakah yang akan hilang dari engkau di
akhirat ? dengan apakah dunia itu lebih kuat di atas akhirat ? Apabila anda
telah mengetahui, bahwa tiada yang menggerakkan, selain agama, maka teruskanlah
cita-cita anda dan apa yang terguris di hati anda ! jikalau tidak, maka
tahanlah ! kemudian, intipkanlah pula akan hati anda pada tahannya anda dan
cegahannya anda ! bahwa meninggalkan perbuatan itu adalah perbuatan. Tidak
boleh tidak baginya dari niat yang benar. Maka tiada seyogyalah bahwa ada yang
mengajak itu hawa nafsu yang tersembunyi, yang tiada terlihat. Dan anda tidak
ditipu oleh zahiriah hal keadaan dan kebajikan-kebajikan yang terkenal. Dan
perhatikanlah kepada lobang-lobang dan rahasia-rahasia yang keluar dari pihak
orang-orang yang mempunyai tipuan.
Diriwayatkan dari nabi Zakaria as, bahwa beliau bekerja
membuat dinding dengan tanah liat. Dan beliau itu mendapat upah dari suatu
kaum. Lalu mereka itu mendatangkan kepadanya rotinya. Karena beliau tidak
makan, selain dari usaha tangannya sendiri. Maka masuklah kaum itu kepadanya.
Beliau tiada mengajak mereka kepada makan, sehingga beliau selesai dari makan. Mereka
itu merasa heran dari yang demikian, karena mereka tahu tentang kemurahannya
dan kezuhudannya. Mereka menyangka, bahwa kebajikan itu pada mencari
pertolongan pada makanan. Maka nabi Zakaria as berkata: “Bahwa aku bekerja
untuk kaum itu dengan upah. Dan mereka datangkan roti kepadaku, supaya aku kuat
bekerja untuk mereka. Maka jikalau kamu makan bersama aku, niscaya tidak
mencukupi bagimu dan tidak mencukupi bagiku dan aku lemah dari mengerjakan
perbuatan mereka”. Maka orang yang bermata hati beginilah memandang pada
hal-hal batiniyah dengan nur Allah. Maka kelemahannya dari bekerja itu
kekurangan pada yang perlu. Dan meninggalkan ajakan kepada makan itu kekurangan
pada keutamaan. Dan tiada hukum bagi keutamaan-keutamaan bersama yang perlu.
Setengah mereka berkata: “Aku masuk ke tempat Sufyan dan ia
sedang makan. Ia tidak berkata-kata dengan aku, sehingga ia menjilat anak
jari-jarinya. Kemudian, baru ia berkata: “Jikalau tidaklah aku ambil makanan
ini dengan hutang, niscaya aku suka bahwa engkau makan daripadanya”. Sufyan
berkata: “Barangsiapa mengajak seseorang kepada makanannya dan tiada baginya
keinginan bahwa orang itu makan daripadanya, maka jikalau orang itu
memperkenalkannya, lalu ia makan, maka atasnya dua dosa. Dan jikalau orang itu
tidak makan, maka atasnya satu dosa. Ia maksudkan dengan salah satu dari dua
dosa itu, ialah: nifaq (kemunafikan). Dan dengan dosa yang kedua, ialah ia
mendatangkan saudaranya kepada yang tidak disukainya, jikalau diketahuinya”.
Maka begitulah seyogyanya bahwa hamba itu mencari niatnya pada amal-amalan yang
lain. Maka ia tidak maju dan tidak mundur, selain dengan niat. Maka jikalau
tidak hadir baginya niat, niscaya ia berhenti. Bahwa niat itu tidak masuk di
bawah pilihan (usaha).
PENJELASAN: bahwa niat itu tidak masuk di bawah pilihan.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang bodoh itu mendengar apa yang telah kami
sebutkan dari nasehat, dengan membaguskan niat dan memperbanyakkannya, bersama
sabdanya Nabi saw: “Bahwa segala amalan itu dengan niat”. Maka ia mengatakan
pada dirinya (hatinya) ketika mengajar atau berniaga atau makan: “Aku niatkan
bahwa aku mengajar karena Allah atau aku berniaga karena Allah atau aku makan
karena Allah”. Dan ia menyangka bahwa yang demikian itu niat. Amat jauh yang
demikian itu. Yang demikian itu adalah bisikan hati, pembicaraan lidah dan
fikir atau pindahan dari gurisan hati kepada gurisan hati. Dan niat itu
terasing dari semua yang demikian.
Sesungguhnya niat itu tergeraknya jiwa, terarahnya dan
cenderungnya kepada yang lahir baginya, bahwa padanya maksudnya. Adakalanya
pada masa yang cepat dan adakalanya pada masa yang lambat. Dan kecenderungan
itu apabila tidak ada, niscaya tidak mungkin menciptakannya dan mengusahakan nya,
dengan semata-mata kehendak. Bahkan yang demikian itu seperti kata orang yang
kenyang: “Aku berniat bahwa aku rindu kepada makanan dan cenderung kepadanya”.
Atau kata orang-orang kosong hatinya dari kecintaan: “Aku berniat bahwa
merindukan si Anu, mencintainya dan membesarkan dengan hatiku”. Maka yang
demikian itu mustahil. Bahkan tiada jalan kepada mengusahakan memalingkan hati
kepada sesuatu, mencenderung kannya kepadanya dan mengarahkannya, selain dengan
mengusahakan sebab-sebabnya. Dan yang demikian itu termasuk kadang-kadang
disanggupkan. Dan kadang-kadang tidak disanggupkan. Bahwa jiwa itu tergerak
kepada berbuat, karena memperkenankan kepada maksud yang membangkitkan, yang
bersesuaian bagi jiwa, yang cocok baginya. Selama manusia tidak beriktikad
(berkeyakinan), bahwa maksudnya menyangkut dengan sesuatu perbuatan, maka
tidaklah terarah maksudnya kepada perbuatan tersebut. Dan yang demikian itu,
termasuk yang tidak disanggupi kepada mengiktikadkannya pada setiap ketika. Dan
apabila ia telah mengiktikadkan maka sesungguhnya terarahlah hati, apabila ia
telah kosong, yang tidak terpaling daripadanya dengan sesuatu maksud yang
mengganggu, yang lebih kuat daripadanya. Dan yang demikian itu tidak mungkin
pada setiap waktu. Pengajak-pengajak dan yang memalingkan itu mempunyai banyak
sebab yang berkumpul padanya. Dan berlainan yang demikian itu dengan
masing-masing orang, hal keadaan dan amal perbuatan. Apabila mengerasi nafsu
keinginan kawin –umpamanya- dan ia tidak beriktikad(berkeyakinan), akan maksud yang benar tentang anak, pada
agama dan dunia, niscaya tidak mungkin bahwa ia bersetubuh di atas niat
memperoleh anak. Akan tetapi, tidak mungkin, selain di atas niat memenuhi nafsu
syahwat. Karena niat itu adalah memperkenankan ajakan penggerak. Dan tidak ada
penggeraknya, selain nafsu syahwat. Maka bagaimana ia meniatkan anak ? dan
apabila telah mengerasi pada hatinya, bahwa menegakkan sunnah perkawinan karena
mengikuti Rasulullah saw yang besar keutamaannya, niscaya tidak mungkin bahwa
ia meniatkan dengan perkawinan itu akan mengikuti sunnah. Kecuali hanya ia
mengatakan yang demikian dengan lidah dan hatinya. Dan itu perkataan semata,
yang tidak dengan niat.
Ya, jalan mengusahakan niat ini –umpamanya- bahwa,
pertama-tama ia menguatkan imannya dengan agama. Ia menguatkan imannya dengan
besar pahala orang yang berusaha pada memperbanyakkan umat Muhammad saw. Ia
menolak dari dirinya akan semua hal-hal yang tersendiri dari hal anak, tentang
beratnya perbelanjaan, lamanya kepayahan dll. Maka apabila ia berbuat yang
demikian, niscaya kadang-kadang tergeraklah dari hatinya keinginan kepada
memperoleh anak untuk pahala. Maka ia digerakkan oleh keinginan itu. Dan
tergeraklah anggota-anggota badannya untuk melakukan aqad nikah. Maka apabila
membangkitlah kemampuan yang menggerakkan lisan dengan menerima (qabul) aqad
nikah itu, karena mentaati penggerak ini yang mengerasi pada hati, niscaya
adalah dia itu telah meniatkan. Jikalau tidaklah seperti yang demikian, maka
tidaklah itu yang memampukannya pada dirinya. Dan yang mengulang-ulangkan dalam
hatinya tentang maksud memperoleh anak itu, adalah bisikan setan dan main-main.
Karena itulah, segolongan dari ulama salaf tidak mau mengerjakan sejumlah
amalan taat. Karena tidak hadir niat bagi mereka. Dan mereka itu berkata:
“Tidak hadir niat kepada kami tentang amal itu”. Sehingga Ibnu Sirin tidak
mengerjakan shalah jenazah Al-Hasan Al-Bashari
dan mengatakan: “Tidak hadir padaku niat”.
Sebahagian mereka memanggil isterinya dan ia sedang
membersihkan rambutnya, supaya dibawa sisir. Lalu isterinya menjawab: “Aku bawa
cernin?” Yang memanggil itu berdiam sesaat, kemudian berkata: “Ya !”. Lalu
ditanyakan dia mengenai yang demikian. Maka ia menjawab: “Adalah bagiku niat
tentang sisir dan tidak hadir bagiku niat tentang cermin. Maka aku berhenti
sebentar, sehingga niat itu disediakan oleh Allah Ta’ala”.
Hammad bin Sulaiman meninggal dunia dan dia salah seorang
ulama Kufah. Lalu ditanyakan kepada Ats-Tsuri: “Apakah tidak engkau menghadiri
jenazahnya ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Jikalau ada bagiku niat, niscaya aku
kerjakan”. Salah seorang mereka apabila ditanyakan akan sesuatu dari amal
kebajikan, maka menjawab: “Jikalau Allah Ta’ala merezekikan aku niat niscaya
aku kerjakan”.
Adalah Thawus tiada berbicara, selain dengan niat. Adalah dia
diminta berbicara, maka ia tidak berbicara. Dan tidak diminta berbicara, lalu
ia memulai berbicara. Maka ia ditanyakan tentang yang demikian. Ia menjawab:
“Apakah kamu suka bahwa aku berbicara dengan tanpa niat ? apabila hadir bagiku
niat, niscaya aku perbuat”.
Diceritakan, bahwa Daud bin Al-Mahbar tatkala mengarang Kitab
Akal maka datang Ahmad bin Hanbal meminta kitab itu daripadanya. Lalu Ahmad
melihat sehalaman dari kitab itu dan dibalik-baliknya, seraya bertanya: “Apa
yang engkau perbuat ini ?”. Ahmad meneruskan perkataannya: “Padanya isnad-isnad
hadits dla’if”. Daud bin Al-Mahbar menjawab: “Aku tidak mengeluarkannya di atas
isnad-isnad. Lalu aku melihat padanya, dengan mata “hadits”. Sesungguhnya aku
melihat padanya dengan mata “amal”. Maka aku mengambil manfaatnya”. Ahmad bin
Hanbal menjawab: “Maka kembalikanlah kepadaku, sehingga aku melihat padanya
dengan mata yang engkau lihat. Ahmad bin Hanbal lalu mengambil kitab itu dan
kitab itu berada padanya dalam waktu yang lama. Sesudah beberapa lama kemudian,
Ahmad bin Hanbal berkata: “Kiranya Allah membalaskan kepada engkau kebajikan.
Aku telah mengambil manfaat dengan kitab ini”.
Dikatakan kepada Thawus: “Berdoalah bagi kami !”. Thawus lalu
menjawab: “Sehingga aku memperoleh niat baginya”. Sebahagian mereka berkata:
“Aku dalam mencari niat untuk mengunjungi laki-laki itu, semenjak sebulan. Maka
tidaklah shah niat itu bagiku sesudahnya”. Isa bin Katsir berkata: “Aku
berjalan bersama Maimun bin Mahran. Maka tatkala sampai ke pintu rumahnya, lalu
aku pergi. Maka berkata anaknya: “Apakah tidak diminta ia makan malam bersama
kita ?”. Maimun bin Mahran menjawab: “Tidaklah itu dari niatku”. Ini, karena
niat itu mengikuti pandangan. Apabila berobah pandangan, niscaya berobahlah
niat. Adalah mereka tidak melihat akan suatu amalan, selain dengan niat. Karena
mereka tahu, bahwa niat nyawa amal. Dan amal dengan tidak niat yang benar
adalah ria dan memberatkan diri. Dan itu sebab kutukan, tidak sebab pendekatan.
Dan mereka tahu, bahwa niat itu tidaklah kata orang yang mengatakan: aku
meniatkan, akan tetapi: dia itu tergeraknya hati, yang berlaku sebagai
berlakunya pembukaan dari Allah Ta’ala. Maka kadang-kadang ia mudah pada
setengah waktu dan kadang-kadang sukar pada setengahnya. Ya, siapa yang
mengeras atas hatinya urusan agama, niscaya mudahlah kepadanya pada kebanyakan
hal-keadaan, menghadirkan niat bagi kebajikan-kebajikan. Bahwa hatinya itu
cenderung secara keseluruhan kepada pokok kebajikan. Maka tergeraklah pada
kebiasaannya kepada uraian-uraian. Dan siapa yang cenderung hatinya kepada
dunia dan mengerasi dunia itu atasnya, niscaya tiada mudahlah yang demikian
baginya. Bahkan tidak mudah baginya pada yang fardhu-fadhu, selain dengan
kesungguhan yang benar-benar. Dan penghabisannya, bahwa ia mengingati neraka
dan menakutkan dirinya akan siksaan neraka. Atau nikmat sorga dan menggemarkan dirinya
pada sorga. Maka kadang-kadang membangkit baginya panggilan yang lemah. Maka
adalah pahalanya dengan kadar kegemaran dan keniatannya.
Adapun taat dengan niat pengagungan Allah Ta’ala, karena
kemustahakanNya (yang layak dimilikiNYA) akan ketaatan dan pengabdian, maka
tidaklah dia itu mudah bagi orang yang gemar kepada dunia. Dan inilah niat yang
termulia dan tertinggi. Dan sukarlah di atas hamparan bumi ini, orang yang
memahaminya, lebih-lebih orang yang melaksanakannya. Keniatan manusia pada taat
itu berbagai bagian. Karena sebahagian mereka, ada orang yang amalannya karena
memperkenankan penggerak ketakutan. Bahwa dia itu menjaga diri (takut) akan
neraka.
Dan sebahagian mereka, ada orang yang beramal, karena
memperkenankan penggerak harapan. Yaitu: kegemaran pada sorga. Dan ini,
walaupun dia itu turun, dengan dikaitkan kepada maksud mentaati Allah dan
membesarkan Zat dan keagunganNya, tidak karena sesuatu yang lain, maka dia itu
termasuk dalam jumlah niat yang shah. Karena dia itu cenderung kepada yang
dijanjikan di akhirat, walaupun sebahagian dari jenis yang disukai itu di
dunia. Yang paling keras dari segala penggerak, ialah: penggerak kemaluan
wanita dan perut. Tempat memenuhi hajat keduanya itu sorga. Maka orang yang
bekerja untuk karena sorga itu, ialah yang bekerja untuk perutnya dan kemaluan
wanitanya, seperti: orang yang diongkosi yang jahat. Tingkatnya itu tingkat
orang yang bodoh. Dan ia akan mencapai tingkat itu dengan amal perbuatannya.
Karena kebanyakan isi sorga itu orang-orang bodoh. Adapun ibadah orang-orang
yang berakal tinggi, maka tidak akan melampaui dzikir dan fikir akan Allah
Ta’ala, karena cinta kepada keelokan dan keagunganNya. Dan amal perbuatan yang
lain adalah yang menguatkan dan yang searti. Dan mereka itu yang tertinggi tingkat
dari berpalingnya kepada yang dikawini dan yang dimakan dalam sorga. Bahwa
mereka tidak memaksudkannya, akan tetapi, merekalah yang berdoa kepada Tuhannya
dengan pagi dan sore, yang menghendaki akan WajahNya saja. Dan pahala bagi
manusia itu menurut kadar niat mereka. Maka tidak pelak lagi, bahwa mereka
bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada WajahNya yang mulia. Dan mereka
dijadikan dari orang yang berpaling kepada wajah bidadari, sebagaimana
dijadikan orang yang bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada bidadari, dari
orang yang bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada muka bentuk-bentuk yang
diperbuat dari tanah liat. Bahkan lebih sangat dari itu. Bahwa
berlebih-kurangnya diantara keelokan hadlarat/keajaiban ketuhanan
(hadlaratur-rububiyah) dan keelokan bidadari adalah lebih sangat dan lebih
besar banyaknya dari berlebih-kurangnya diantara keelokan bidadari dan
bentuk-bentuk yang diperbuat dari tanah liat. Bahkan membesarkan nafsu-nafsu
kehewanan kesyahwatan untuk memenuhi kehajatan dari percampur-bauran dengan
bidadari-bidadari yang cantik dan berpalingnya mereka dari keelokan Wajah Allah
Yang Mulia itu, menyerupai dengan membesarkan binatang kumbang bagi yang
empunyanya dan jinak hatinya kepadanya dan berpalingnya daripada memandang
kepada keelokan wajah wanita-wanita. Maka butalah kebanyakan hati daripada
memandang keelokan dan keagungan Allah, yang menyerupai dengan butanya binatang
kumbang, daripada mengetahui keelokan wanita. Karena ia tidak mengetahuinya
sekali-kali dan ia tidak menoleh kepadanya. Jikalau ada bagi binatang kumbang
itu akal dan disebutkan wanita kepadanya, niscaya ia memandang baik akan akal
orang yang berpaling kepada wanita itu. Senantiasalah mereka itu berselisihan.
Masing-masing golongan bergembira dengan apa yang pada mereka. Dan karena
itulah mereka diciptakan.
Diceritakan, bahwa Ahmad bin Khadl-rawaih memimpikan Tuhannya
Yang Maha Mulia dan Maha Agung dalam tidurnya. Maka Tuhan berfirman kepadanya:
“Setiap manusia mencari daripadaKu sorga, selain Abu Yazid. Maka ia mencari
Aku”.
Abu Yazid memimpikan Tuhannya dalam tidurnya. Maka ia berdoa:
“Wahai Tuhan ! bagaimana jalan kepada Engkau ?”. Maka Tuhan berfirman:
“Tinggalkanlah dirimu dan marilah kepadaKu !”.
Dimimpikan Asy-Syibli, sesudah ia meninggal. Maka ditanyakan kepadanya:
“Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu ?”. Ia menjawab: “Ia tidak menuntut
aku atas segala dakwaan dengan dalil, selain atas suatu perkataan, yang aku
katakan pada suatu hari: “Manakah kerugian yang lebih besar dari kerugian sorga
?”. Maka Allah menjawab: “Manakah kerugian yang lebih besar dari kerugian
bertemu dengan Aku ?”. Maksudnya, bahwa niat-niat ini berlebih-kurang
derajatnya. Siapa yang keras atas hatinya salah satu daripadanya, kadang-kadang
tidak mudah baginya berpaling kepada yang lain.
Mengenal hakikat-hakikat/makna ini akan mewarisi amal dan
perbuatan, yang tidak dibantah oleh para ulama fikih yang memperkatakan tentang
zahiriah ilmu fikih. Maka kami mengatakan, bahwa: orang yang datang baginya
niat tentang hal yang mubah (hal yang diperbolehkan) dan niat itu tidak datang
tentang hal keutamaan, maka yang mubah itu lebih utama. Dan berpindahlah hal
keutamaan kepadanya. Dan jadilah hal keutamaan itu pada pihaknya hal
kekurangan. Karena segala amalan itu dengan niat. Dan yang demikian itu
seperti: kemaafan. Maka kemaafan itu lebih utama daripada memberi pertolongan
pada kezaliman. Kadang-kadang datang kepadanya niat pada memberi pertolongan,
tidak pada memberi kemaafan. Maka adalah yang demikian itu lebih utama.
Contohnya, bahwa ada baginya niat pada makan, minum dan tidur, untuk
mengistirahatkan dirinya dan menguatkannya atas beribadah pada masa yang akan
datang. Dan tidak membangkit niatnya pada dua hal itu bagi puasa dan shalat.
Maka makan dan tidur adalah lebih utama baginya. Bahkan, jikalau ia jemu beribadah,
karena rajinnya atas ibadah itu, tentang kerajinannya dan lemah keinginannya
dan ia tahu, bahwa jikalau ia bersenang-senang sesaat dengan main-main dan
bercakap-cakap, niscaya kembalilah kerajinannya, maka main-main itu lebih utama
baginya daripada shalat.
Abud-Darda’ berkata: “Bahwa aku mencari keistirahatan diriku,
dengan sesuatu dari main-main. Maka adalah yang demikian itu menolong bagiku
atas kebenaran”. Ali ra berkata: “Istirahatkanlah
hatimu ! bahwa hati itu apabila dipaksakan, niscaya ia buta”. Inilah hal yang halus-halus, yang tidak diketahui,
selain oleh para ulama yang ahli, tidaklah yang tipis pengetahuannya dari
mereka. Bahkan yang ahli dengan ketabiban, kadang-kadang mengobati orang yang
masuk kepanasan padanya, dengan daging serta panasnya dan dijauhkan yang
demikian oleh orang yang singkat ilmunya dalam ketabiban.
Sesungguhnya ia maksudkan dengan yang demikian, bahwa ia
pertama-tama mengembalikan kekuatannya untuk memungkinkan pengobatan dengan
lawan dari penyakitnya. Orang yang pintar bermain catur –umpamanya-
kadang-kadang ia turun dari burung garuda dan kuda dengan cuma-cuma, supaya ia
sampai dengan yang demikian kepada kemenangan. Orang yang lemah penglihatan
mata hati, kadang-kadang tertawa dengan yang demikian dan merasa heran
daripadanya. Dan seperti demikian juga orang yang ahli dengan peperangan,
kadang-kadang ia lari di hadapan rekannya dan memalingkan belakangnya, karena
helah daripadanya, untuk menariknya ke tempat yang sempit. Lalu ia menyerang ke
atasnya. Maka ia mengalahkannya. Maka seperti demikian juga menjalani jalan
Allah Ta’ala. Semuanya itu peperangan dengan setan dan pengobatan bagi hati.
Orang yang melihat dengan mata hati, yang memperoleh taufik itu mengetahui
padanya di atas helah-helah yang halus, yang jauh dari dapat diketahui oleh
orang-orang yang lemah. Maka tiada seyogyalah bagi seorang murid bahwa
menyembunyikan penantangan atas apa yang dilihatnya dari gurunya. Dan tidaklah
bagi seorang pelajar, bahwa menegur, mengatakan tidak betul kepada gurunya. Akan
tetapi, seyogyalah bahwa ia berhenti pada batas penglihatan mata hatinya. Dan
apa yang tidak dipahaminya dari hal-ihwal syaikh dan gurunya, maka
diserahkannya kepada keduanya, sampai tersingkap baginya rahasia-rahasia yang
demikian, dengan sampainya kepada tingkat keduanya dan mencapai derajat
keduanya. Kiranya dari Allah kebagusan taufik.
BAB KEDUA: tentang ikhlas, keutamaannya, hakikat/maknanya dan
derajat-derajatnya.
KEUTAMAAN IKHLAS
Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka hanya diperintahkan supaya menyembah
Allah, dengan tulus ikhlas beragama untuk Allah semata-mata”. S 98 Al Bayyinah
ayat 5. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah, bahwa agama yang bersih (yang
ikhlas) itu bagi Allah”. S 39 Az Zumar ayat 3. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali
orang-orang yang kembali (taubat), mengadakan perbaikan, berpegang erat kepada
Allah dan tulus ikhlas karena Allah semata-mata dalam agamanya”. S 4 An Nisaa’
ayat 146. Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang mengharap akan menemui
Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah
mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18
Al Kahfi ayat 110. Ayat ni turun mengenai orang yang beramal karena Allah dan
ingin bahwa ia dipuji.
Nabi saw bersabda: “3 perkara tidaklah hati orang muslim itu
dengki padanya, yaitu keikhlasan amal bagi Allah”. Dari Mash’ab bin Sa’ad, dari
ayahnya, yang mengatakan: “Ayahku menyangka bahwa baginya kelebihan atas orang
yang kurang daripadanya, dari para sahabat Rasulullah saw. Lalu Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla menolong umat ini dengan
orang-orang lemahnya, dengan doa mereka, keikhlasan dan shalat mereka”. Dari
Al-Hasan yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:
“Keikhlasan itu rahasia dari rahasiaKu. Aku simpan dia dalam hati orang yang
Aku cintai dari hamba-hambaKu”.
Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Janganlah kamu pentingkan
karena sedikit amal dan pentingkanlah untuk diterima ! bahwa Nabi saw bersabda
kepada Ma’adz bin Jabal: “Ikhlaskanlah amal itu, niscaya mencukupilah bagi
engkau oleh sedikit daripadanya”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dari seorang
hamba yang ikhlas amalnya karena Allah 40 hari, melainkan lahirlah mata
air-mata air hikmah dari hatinya atas lidahnya”.
Nabi saw bersabda: “Orang pertama yang ditanyakan pada hari
kiamat, ialah 3: laki-laki yang diberikan oleh Allah ilmu kepadanya, maka Allah
Ta’ala bertanya: “Apakah yang kamu perbuat pada apa yang kamu ketahui ?”. Laki-laki
itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! adalah aku dengan ilmu itu, aku bangun berdiri
(mengerjakan shalat) tengah malam dan di pinggir hari”. Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Dusta engkau !”. Dan para malaikat berkata: “Dusta engkau ! akan
tetapi, engkau menghendaki bahwa dikatakan: “Si Anu itu orang alim ! ketahuilah
maka sesungguhnya telah dikatakan yang demikian”. Laki-laki yang diberikan oleh
Allah Ta’ala harta. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah Aku
anugerahkan nikmat kepada engkau. Maka apakah yang engkau perbuat ?” Laki-laki
itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! aku bersedekah dengan harta itu pada tengah
malam dan di pinggir hari”. Maka Allah Ta’ala menjawab: “Dusta engkau”. Dan
para malaikat berkata: “Dusta engkau. Akan tetapi engkau kehendaki bahwa
dikatakan: “Si Anu itu pemurah ! ketahuilah, sesungguhnya telah dikatakan orang
yang demikian”. Laki-laki yang terbunuh pada jalan Allah Ta’ala (sabilullah).
Maka Allah Ta’ala bertanya:“Apakah yang engkau perbuat?” Laki-laki itu
menjawab: “Wahai Tuhanku ! aku disuruh berjihad. Maka aku berperang, sehingga
aku terbunuh”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dusta engkau”. Dan para malaikat
berkata: “Dusta engkau. Akan tetapi, engkau menghendaki bahwa dikatakan: “Si
Anu itu berani ! ketahuilah, sesungguhnya sudah dikatakan orang yang demikian”.
Berkata Abu Hurairah: “Kemudian, Rasulullah saw menggariskan
atas pahaku dan bersabda: “Hai Abu Hurairah ! mereka itu makhluk yang pertama
yang dinyalakan oleh neraka Jahannam kepada mereka pada hari kiamat”. Perawi
hadits ini lalu masuk ke tempat Mu’awiyah dan menceritakan yang demikian
kepadanya. Mu’awiyah lalu menangis, sehingga hampir nyawanya keluar dari
tubuhnya. Kemudian, Mu’awiyah berkata: “Maha Benarlah Allah dengan firmanNya:
“Siapa yang ingin kepada kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya Kami
sempurnakan kepadanya perbuatannya itu di dunia ini dan mereka tidak
dirugikan”. S 11 Huud ayat 15. Dalam cerita kaum Bani Israil, bahwa seorang
abid (yang banyak beribadah), ia beribadah kepada Allah dalam masa yang panjang.
Maka datanglah kepadanya suatu kaum. Lalu mereka berkata: “Bahwa di sini ada
suatu kaum yang menyembah pohon kayu, tidak menyembah Allah Ta’ala. Maka abid
itu marah karena yang demikian. Dan diambilnya kapaknya ke atas bahunya dan ia
menuju ke pohon kayu itu, hendak dipotongnya. Lalu datang Iblis kepadanya dalam
bentuk seorang syaikh, seraya bertanya: “Engkau mau ke mana, kiranya Allah
merahmati engkau ?”. Abid itu menjawab: “Aku bermaksud memotong pohon kayu itu
!”. Iblis itu lalu bertanya: “Ada apa engkau dengan dia ? engkau tinggalkan
ibadah engkau dan kesibukan engkau dengan diri engkau dan engkau berikan tenaga
engkau untuk yang lain”. Abid itu menjawab: “Bahwa ini termasuk ibadahku”. Maka
Iblis itu berkata: “Aku tidak akan membiarkan engkau memotong pohon kayu itu”.
Lalu keduanya perang tanding. Abid itu memegang si Iblis, lalu dibantingkannya
ke bumi. Dan ia duduk di atas dadanya. Lalu berkatalah si Iblis itu kepadanya:
“Lepaskanlah aku, supaya aku terangkan kepada engkau !”. Lalu orang abid itu
bangun berdiri dari si Iblis. Maka Iblis berkata kepadanya: “Ya saudara ! bahwa
Allah Ta’ala telah menggugurkan kewajiban ini dari engkau. Ia tidak mewajibkan
yang demikian atas engkau. Dan engkau sendiri tidak menyembah pohon kayu itu.
Apalah urusan engkau tentang orang lain. Allah Ta’ala mempunyai nabi-nabi di
seluruh daerah bumi. Jikalau dikehendakiNya, niscaya diutusNya mereka kepada
penduduk bumi itu. Dan disuruhNya mereka memotongnya”. Abid itu lalu menjawab:
“Tak boleh tidak aku memotongnya !”. Keduanya lalu lawan-melawan untuk
berperang tanding. Iblis itu dapat dikalahkan oleh orang abid dan
dibantingkannya dan duduk di atas dadanya. Maka lemahlah si Iblis. Lalu ia
mengatakan kepada orang abid itu: “Adakah bagi engkau mengenai sesuatu hal,
yang memisahkan diantara aku dan engkau dan itu lebih baik bagi engkau dan
lebih bermanfaat ?”. Orang abid itu lalu bertanya: “Apakah itu ?”. Iblis
menjawab: “Lepaskanlah aku, supaya aku katakan kepada engkau”. Orang abid itu
lalu melepaskannya. Maka berkata Iblis: “Engkau orang miskin tidak mempunyai
apa-apa. Engkau berpegang atas manusia yang menanggung engkau. Semoga engkau
menyukai bahwa engkau dapat berbuat keutamaan kepada saudara-saudara engkau,
engkau menolong tetangga engkau, engkau kenyang dan tidak memerlukan kepada
manusia lagi”. Abid itu menjawab: “Ya !”. Iblis itu lalu berkata: “Kembalilah
dari urusan ini ! untuk engkau atasku bahwa aku letakkan di sisi kepala engkau
pada setiap malam 2 dinar. Apabila pagi hari, ambillah 2 dinar itu. Engkau
belanjakan kepada diri engkau dan keluarga engkau dan engkau bersedekah kepada
saudara-saudara engkau. Maka adalah yang demikian itu lebih bermanfaat bagi
engkau dan bagi orang muslimin daripada memotong pohon kayu ini yang akan
ditanamkan nanti pada tempatnya. Dan tiada mendatangkan melarat akan sesuatu
dengan memotongnya kepada mereka. Dan tiada mendatangkan manfaat kepada
saudara-saudara engkau yang beriman, dengan engkau memotong pohon kayu itu”.
Orang abid itu lalu berfikir pada apa yang dikatakan oleh syaikh (Iblis) itu.
Maka ia berkata: “Benar tuan Syaikh ! tidaklah aku ini nabi, lalu aku harus
memotong pohon kayu itu. Dan Allah tidak menyuruhkan aku memotongnya. Lalu aku
menjadi orang maksiat dengan tidak memotongnya. Dan apa yang disebutkan oleh
syaikh itu lebih banyak manfaatnya. Iblis itu lalu berjanji akan menepati
janjinya yang demikian dan ia bersumpah. Orang abid itu lalu kembali ke tempat
ia beribadah. Pada malamnya ia tidur dengan baik. Waktu pagi-pagi, ia melihat
uang dinar di sisi kepalanya. Lalu diambilnya. Begitu juga keesokan harinya.
Kemudian, pada pagi hari ke-3 dan sesudahnya, ia tiada melihat sesuatu. Maka ia
marah dan mengambil kapaknya atas bahunya. Lalu Iblis datang kepadanya dengan
bentuk seorang syaikh. Iblis itu bertanya kepadanya: “Mau kemana ?”. Abid itu
menjawab: “Aku akan potong pohon kayu itu”. Iblis menjawab: “Demi Allah !
engkau itu dusta. Engkau tidak akan sanggup dengan yang demikian. Dan tiada
jalan bagi engkau kepada pohon kayu itu”. Kata yang punya cerita: “Orang abid
itu lalu mau mengerjakannya seperti yang telah diperbuatnya pertama kali
dahulu”. Yang punya cerita itu menyambung: “Amat jauh dari yang demikian”. Ia
lalu dipegang oleh Iblis dan dibantingkannya. Abid itu adalah seperti burung
pipit diantara dua kakinya. Dan Iblis duduk di atas dadanya, seraya berkata:
“Engkau mencegah diri engkau dari urusan ini atau aku sembelih engkau”. Orang
abid itu lalu memandang. Tiba-tiba tiada kesanggupan baginya dengan yang
demikian. Ia berkata: “Hai orang ini ! engkau telah mengalahkan aku.
Lepaskanlah aku ! terangkanlah kepadaku, bagaimana pertama-tama dahulu aku
mengalahkan engkau dan sekarang engkau mengalahkan aku”. Iblis itu menjawab:
“Karena engkau pada pertama kali dahulu marah karena Allah. Dan adalah niat
engkau itu akhirat. Maka Allah menjadikan aku untuk engkau. Dan kali ini,
engkau marah untuk diri engkau sendiri dan untuk dunia. Maka aku dapat
membanting engkau”. Cerita ini membenarkan firman Allah Ta’ala: “Kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlas (dianugerahkan keikhlasan) diantara mereka”. S
38 Shaad ayat 83. Karena tiadalah terlepas hamba dari setan, selain dengan
keikhlasan. Karena itulah, maka Ma’ruf Al-Karkhi ra memukul dirinya dan
mengatakan: “Hai diri ! ikhlaskanlah, niscaya engkau terlepas !”. Ya’qub
Al-Makruf berkata: “Orang yang ikhlas, ialah orang yang menyembunyikan
kebaikannya, sebagaimana ia menyembunyikan kejahatannya”.
Sulaiman berkata: “Amat baiklah orang yang shah baginya satu
langkah, yang tidak dikehendakinya dengan langkah itu, selain Allah Ta’ala”.
Umar bin Al-Khattab ra menulis surat kepada Abi Musa Al-Asy’ari, yang isinya
diantara lain: “Barangsiapa ikhlas niatnya, niscaya ia dicukupkan oleh Allah
Ta’ala diantaranya dan manusia”. Sebahagian para wali menulis kepada
saudaranya: “Ikhlaskanlah niat pada amal perbuatan engkau, niscaya mencukupilah
bagi engkau oleh yang sedikit dari amal perbuatan”.
Ayyub As-Sakhtiani berkata: “Mengikhlaskan niat atas
orang-orang yang beramal itu adalah sangat berat atas mereka dari semua amal”.
Mathraf berkata: “Siapa yang bersih, niscaya dibersihkan baginya dan siapa yang
bercampur, niscaya dicampurkan baginya”. Sebahagian para wali itu dimimpikan
orang. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau mendapati amal perbuatan
engkau ?”. Ia lalu menjawab: “Setiap sesuatu yang aku kerjakan karena Allah,
niscaya aku memperolehnya, sehingga sebiji-biji delima yang aku ambilkan dari
jalan dan sehingga seekor kucing yang mati kepunyaan kami, aku melihatnya dalam
daun neraca kebaikan. Adalah dalam kopiahku sehelai benang sutera, maka aku melihatnya
dalam daun neraca kejahatan. Dan telah mati keledaiku, yang nilainya 100 dinar,
maka tiada aku melihat baginya pahala. Maka aku mengatakan: “Kematian kucing
dalam daun neraca kebajikan dan kematian keledai tak ada di dalamnya”. Lalu
dikatakan kepadaku: “Bahwa dia itu diarahkan, menurut yang engkau gerakkan.
Maka tatkala dikatakan kepada engkau bahwa keledai itu telah mati, lalu engkau
menjawab: dalam kutukan Allah, maka batallah pahala engkau padanya. Dan kalau
engkau menjawab: pada jalan Allah, niscaya engkau mendapatinya dalam kebajikan
engkau”.
Pada suatu riwayat ia berkata: “Adalah aku telah bersedekah
dengan suatu sedekah diantara manusia. Maka mengherankan aku oleh pandangan
mereka kepadaku. Maka aku dapati yang demikian itu, tidak atasku dan tidak
bagiku”. Sufyan Ats-Tsuri tatkala mendengar yang demikian, lalu berkata:
“Alangkah bagusnya hal keadaannya ! karena tidak ada atasnya. Maka ia telah
berbuat baik kepadanya”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Keikhlasan itu membedakan
amal dari kekurangan-kekurangan, seperti pembedaan susu dari tahi binatang
selagi di dalam perutnya dan darah”.
Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki keluar dalam pakaian
wanita. Ia menghadiri setiap tempat yang berkumpul padanya kaum wanita, dari
pengantinan atau tempat terhimpun menghiburkan orang yang berduka-cita.
Kebetulan pada suatu hari, ia menghadiri suatu tempat, yang padanya tempat
berkumpul kaum wanita. Maka kecurianlah sebentuk intan permata. Lalu mereka
berteriak supaya dikuncikan pintu sehingga kita memeriksakannya. Mereka lalu
mengadakan pemeriksaan satu demi satu. Sehingga sampailah giliran kepada
laki-laki itu dan wanita yang bersamanya. Laki-laki itu lalu berdoa kepada
Allah Ta’ala dengan ikhlas dan mengatakan: “Jikalau aku terlepas dari kekejian
ini, niscaya aku tiada akan kembali kepada perbuatan yang seperti ini”. Maka
intan permata itu didapati bersama wanita tersebut. Lalu mereka itu berteriak:
“Bahwa mereka melepaskan wanita merdeka, maka kita memperoleh intan permata”.
Sebahagian kaum shufi berkata: “Adalah aku berdiri bersama Abi
‘Ubaid At-Tusturi dan ia sedang membajak tanahnya sesudah asar dari hari
‘Arafah. Lalu lewatlah padanya sebahagian teman-temannya dari para wali-wali.
Maka teman itu membisikkan sesuatu pada telinganya. Abi ‘Ubaid lalu menjawab:
“Tidak !”. Maka teman itu terus berjalan, seperti awan yang menyapu bumi,
sehingga ia hilang dari mataku. Lalu aku bertanya kepada Abi ‘Ubaid: “Apakah
yang ia katakan kepada engkau ?”. Abi ‘Ubaid menjawab: “Ia meminta aku supaya
naik hajji bersama dia. Aku menjawab: “Tidak”. Aku bertanya: “Mengapa tidak
engkau kerjakan ?”. Abi Ubaid menjawab: “Tak ada bagiku niat pada mengerjakan
hajji. Dan aku telah berniat, bahwa menyempurnakan tanah ini sore ini. Maka aku
takut bahwa aku mengerjakan hajji bersama dia. Karena dia aku mendatangkan
perbuatan bagi kutukan Allah Ta’ala. Karena aku masukkan pada amalan bagi Allah
akan sesuatu selain Allah. Maka adalah apa yang aku padanya itu lebih besar
pada sisiku dari 70 hajji”.
Diriwayatkan dari setengah mereka, yang mengatakan: “Aku
berperang di laut. Lalu sebahagian kami membawa karung kecil tempat umpan kuda.
Lalu aku mengatakan: “Aku beli karung ini. Aku dapat memanfaatkannya pada
peperanganku”. Tiba-tiba aku masuk suatu kota, lalu sekian aku menjualnya. Maka
aku beruntung padanya. Maka aku membelinya lagi. Maka pada malam itu aku
bermimpi, seakan-akan dua orang turun dari langit. Lalu yang seorang berkata
kepada temannya: “Tulislah orang-orang yang berperang !”. Lalu ia imlak
(dikte)kan kepadanya, sbb: Si Anu keluar untuk berjalan-jalan. Si Anu keluar
dengan ria. Si Anu sebagai saudagar. Dan si Anu pada jalan Allah (sabilullah).
Kemudian ia memandang kepadaku, seraya berkata: “Tulislah si Anu yang keluar
sebagai saudagar !’. Maka aku menjawab: “Allah ! Allah ! tentang urusanku.
Tidaklah aku keluar untuk berniaga. Tidak ada bersamaku perniagaan yang aku
perniagakan. Tidaklah aku keluar, selain untuk perang”. Orang itu menjawab: “Ya
syaikh ! engkau kemarin membeli karung kecil tempat umpan kuda, yang engkau
maksudkan, bahwa engkau beruntung padanya”. Maka aku menangis dan mengatakan:
“Janganlah engkau tuliskan aku saudagar !”. Maka ia melihat kepada temannya,
seraya berkata: “Apa pendapatmu ?”. Temannya itu menjawab: “Tulislah, bahwa si
Anu ini keluar untuk berperang. Hanya ia membeli di jalannya sebuah karung
kecil tempat umpan kuda, supaya ia beruntung padanya, sehingga Allah ‘Azza Wa
Jalla menghukum padanya, dengan apa yang dilihatNya”.
Sirri As-Saqathi ra berkata: “Bahwa engkau mengerjakan shalat
2 rakaat dalam tempat yang sunyi, yang engkau mengikhlaskan kedua rakaat itu
adalah lebih baik bagi engkau daripada menulis 70 hadits atau 700 dengan
ketinggian”. Setengah mereka berkata: “Pada keikhlasan sesaat itu kelepasan
abadi. Akan tetapi, keikhlasan itu jarang ada”. Dikatakan: “Ilmu itu bibit.
Amal itu menanam. Dan airnya itu keikhlasan”. Setengah mereka berkata: “Apabila
Allah memarahi seorang hamba, niscaya diberikanNya 3 perkara dan dilarangkanNya
3 perkara. DiberikanNya bersahabat dengan orang-orang shalih dan dilarangkanNya
menerima dari mereka. diberikanNya amal-amal shalih dan dilarangkanNya
keikhlasan padanya. Dan diberikanNya ilmu hikmah dan dilarangkanNya kebenaran
padanya”.
Berkata Abu Ya’qub As-Susi: “Kehendak Allah dari amalan
makhluk itu keikhlasan saja”. Berkata Al-Junaid: “Bahwa Allah mempunyai
hamba-hamba yang berakal. Maka tatkala mereka berakal, niscaya mereka beramal.
Maka tatkala mereka beramal, niscaya mereka ikhlas. Maka mereka dipanggil oleh
keikhlasan itu ke pintu kebajikan sekalian”.
Berkata Muhammad bin Sa’id Al-Maruzi: “Seluruh urusan itu
kembali kepada 2 pokok: perbuatan daripadanya dengan engkau dan perbuatan dari
engkau baginya. Maka engkau ridha akan apa yang diperbuatnya dan engkau ikhlas
pada apa yang engkau kerjakan. Jadi, maka engkau telah berbahagia dengan dua
ini. Dan engkau memperoleh kemenangan pada dua negeri”.
PENJELASAN: hakikat/makna ikhlas.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap sesuatu itu tergambar bahwa dicampuri oleh
yang lain. Maka apabila ia suci dari campuran dan bersih daripadanya, niscaya
ia dinamakan: yang bersih (khalish). Dan dinamakan perbuatan yang suci dan
bersih itu: ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: “Diantara tahi dan darah –didapati
–susu yang bersih dan sedap ditelan oleh orang-orang yang meminum”. S 16 An
Nahl ayat 66. Sesungguhnya kebersihan susu itu, bahwa tidak ada di dalamnya
campuran dari darah dan tahi dan dari setiap apa yang mungkin bercampur dengan
dia. Ikhlas (kebersihan) itu berlawanan dengan isyrak (persekutuan). Maka siapa
yang tiada ikhlas, maka dia itu menyekutukan. Hanya kesekutuan itu
bertingkat-tingkat. Maka ikhlas pada keesaan itu berlawanan dengan penyekutuan
(at-tasyrik) pada ketuhanan. Dan kesekutuan itu, sebahagiannya tersembunyi dan
sebahagiannya terang. Demikian juga ikhlas. Maka ikhlas dan lawannya itu
datang-mendatangi kepada hati. Dan tempatnya itu hati. Dan adalah yang demikian
itu pada maksud dan niat. Dan telah kami sebutkan dahulu hakikat/makna niat.
Dan dia itu kembali kepada memperkenankan penggerak-penggerak. Manakala adalah
penggerak itu satu semata-mata, niscaya dinamakan perbuatan yang terbit
daripadanya itu: ikhlas, dengan dikaitkan kepada yang diniatkan. Siapa yang
bersedekah dan maksudnya semata-mata ria, maka dia itu orang yang ikhlas. Dan
siapa yang maksudnya semata-mata mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka dia
orang yang ikhlas. Akan tetapi, kebiasaan itu berlaku dengan mengkhususkan nama
ikhlas dengan mensemata-matakan maksud mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala,
dari semua campuran. Sebagaimana ilhad (mengingkari adanya Tuhan) itu ibarat
dari: kecenderungan. Akan tetapi, dikhususkan oleh kebiasaan, dengan
kecenderungan dari: kebenaran. Dan orang yang penggeraknya itu semata-mata ria,
maka dia itu mendatangkan dirinya kepada kebinasaan. Dan tidaklah kami disini
memperkatakan tentang hal tersebut. Karena telah kami sebutkan dahulu, apa yang
menyangkut dengan yang demikian, pada Kitab Ria dari Rubu’ Yang Membinasakan.
Sekurang-kurangnya mengenai persoalan ria itu, ialah apa yang datang pada
hadits, bahwa: orang yang ria itu dipanggil pada hari kiamat, dengan 4 nama,
yaitu:
hai orang ria (ya mura-i),
hai penipu (ya mukhadi’),
hai orang yang mempersekutukan (ya musyrik) dan
hai yang tertutup dari kebenaran (ya kafir).
Sesungguhnya kami memperkatakan sekarang, tentang orang yang
tergerak hatinya untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub). Akan
tetapi, bercampur dengan penggerak ini, oleh penggerak yang lain. Adakalanya:
dari ria atau dari lainnya, dari keberuntungan-keberuntungan diri. Contoh yang
demikian, ialah bahwa ia berpuasa untuk memperoleh manfaat dengan menjaga dari
kekenyangan (al-hamiyyah), yang diperoleh dengan puasa, serta maksud
at-taqarrub. Atau ia memerdekakan seorang budak, supaya ia terlepas dari
perbelanjaannya dan keburukan budi pekertinya. Atau ia melakukan ibadah hajji,
supaya sehat badannya dengan gerak perjalanan jauh. Atau ia melepaskan diri
dari kejahatan yang datang kepadanya di negerinya. Atau untuk ia lari dari
musuhnya di tempatnya. Atau ia bosan dengan isteri dan anaknya. Atau dengan
kesibukan yang dihadapinya. Lalu ia bermaksud untuk beristirahat beberapa hari.
Atau untuk ia berperang, supaya ia membiasakan diri dengan perang dan
mempalajari sebab-sebabnya. Dan ia sanggup dengan yang demikian menyediakan
tentara dan membawanya. Atau ia mengerjakan shalat di malam hari dan baginya
maksud pada menolakkan ketiduran dari dirinya, supaya dapat ia memperhati kan
isterinya atau kendaraannya. Atau ia mempelajari ilmu, supaya mudah kepadanya
mencari apa yang mencukupkan dari harta. Atau supaya ia mulia diantara
keluarga. Atau supaya tanah ladangnya atau harganya terjaga dengan kemuliaan
ilmu dari kelobaan. Atau ia menyibukkan diri dengan pelajaran dan memberi
nasehat, supaya ia terlepas dari kesusahan diam dan memperoleh kesenangan
dengan keenakan berbicara. Atau ia menanggung dengan melayani ulama atau orang
sufi, supaya adalah kehormatannya itu sempurna pada mereka dan pada manusia.
Atau supaya ia memperoleh dengan yang demikian itu kesenangan di dunia. Atau ia
menulis Mash-haf (Kitab Suci Alquran), supaya ia membaguskan dengan kerajinan
menulis itu akan tulisannya. Atau ia mengerjakan ibadah hajji dengan berjalan
kaki, supaya ia dapat meringankan dari dirinya akan penyewaan kendaraan. Atau
ia mengambil wudhu’, supaya ia bersih atau memperoleh kedinginan. Atau ia
mandi, supaya bagus bau badannya. Atau ia merawikan hadits, supaya ia dikenal
dengan tingginya isnad hadits. Atau ia beriktikaf (berdiam untuk ibadah) dalam
masjid, supaya ringan penyewaan tempat tinggal. Atau ia berpuasa, supaya
meringankan dari dirinya bulak-balik pada memasakkan makanan atau supaya ia
dapat memberikan semua tenaganya untuk urusannya. Lalu ia tidak disibukkan oleh
urusan makan. Atau ia bersedekah kepada orang yang meminta, supaya putuslah
kesangatan orang itu pada meminta daripadanya. Atau ia mengunjungi orang sakit,
supaya ia dikunjungi, apabila ia sakit. Atau ia berta’ziah pada orang kematian,
supaya dita’ziah orang jenazah-jenazah keluarganya. Atau ia berbuat sesuatu
dari yang demikian, supaya ia dikenal dengan orang baik, disebutkan dan
dipandang orang dengan mata kebaikan dan kemuliaan.
Manakala penggeraknya itu adalah at-taqarrub kepada Allah
Ta’ala, akan tetapi bertambah kepadanya suatu lintasan di hati dari
lintasan-lintasan tadi, sehingga amal itu menjadi lebih ringan kepadanya,
disebabkan hal-hal tersebut, maka amalnya itu telah keluar dari batas
keikhlasan. Dan ia keluar dari adanya itu orang yang ikhlas bagi wajah Allah
Ta’ala. Dan berjalanlah kepadanya kesekutuan. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Aku
yang terkaya bagi sekutu-sekutu dari kesekutuan (perkongsian)”.
Kesimpulannya, bahwa setiap keberuntungan dari
keberuntungan-keberuntungan dunia itu merasa senanglah diri kepadanya dan
cenderunglah hati dengan dia. Sedikit atau banyak. Apabila ia berjalan kepada
mengerjakannya, niscaya keruhlah kebersihannya dan hilanglah keikhlasannya. Dan
manusia itu terikat pada keberuntungan-keberuntungannya, terbenam dalam nafsu
syahwatnya. Sedikitlah terlepas sesuatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya
dan suatu ibadah dari ibadah-ibadahnya dari keberuntungan dan maksud yang
segera dari segala jenis itu. Maka karena itulah, dikatakan: “Siapa yang
menyerahkan sekejap mata dari umurnya yang ikhlas bagi wajah Allah, niscaya ia
terlepas”. Dan yang demikian itu karena mulianya
ikhlas dan sukarnya membersihkan hati dari campuran-campuran itu.
Bahkan yang ikhlas itu, ialah yang tak ada penggerak kepadanya,
selain mencari kedekatan kepada Allah Ta’ala. Dan keberuntungan-keberuntungan
ini, jikalau dialah yang menjadi penggeraknya satu-satunya, maka tidaklah
tersembunyi kesulitan urusan kepada yang empunyanya itu padanya. Sesungguhnya
kita memandang pada apa, bila adalah maksud yang asli, ialah mendekatkan diri
kepada Allah (at-taqarrub). Dan
bertambah kepadanya hal-hal yang tersebut ini. Kemudian campuran-campuran itu,
adakalanya pada tingkat penyesuaian atau pada tingkat persekutuan atau pada
tingkat bertolong-tolongan, sebagaimana telah diterangkan dahulu pada niat.
Kesimpulannya, adakalanya bahwa penggerak kejiwaan itu seperti
penggerak keagamaan atau lebih kuat atau lebih lemah daripadanya. Dan bagi
setiap suatu itu hukum yang lain, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Sesungguhnya ikhlas itu membersihkan amal dari campuran-campuran tersebut
seluruh nya, sedikitnya dan banyaknya. Sehingga menjadi semata-mata padanya
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub). Maka tiada padanya
penggerak, selain itu. Dan ini tiada akan tergambar, selain dari orang yang
mencintai Allah, yang tidak memandang, selain kepada Allah, yang menghabiskan
cita-cita dengan akhirat, dimana tidak tinggal lagi bagi mencintai dunia itu
tempat dalam hatinya. Sehingga ia tidak menyukai pula makan dan minum. Akan
tetapi, adalah kegemarannya padanya itu seperti kegemaran pada qodo hajat
(membuang air besar), dari segi bahwa itu hal darurat bagi pekerti manusia.
Maka ia tidak mengingini makanan, karena itu makanan, akan tetapi, karena dia
itu menguatkannya pada beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ia berangan-angan
bahwa jikalau mencukupilah keburukan lapar, sehingga ia tidak berhajat kepada
makan, maka tidak tinggallah dalam hatinya keberuntungan dari hal-hal yang
tidak perlu, yang berlebihan di atas yang darurat. Dan adalah kadar darurat itu
yang dituntut padanya. Karena adalah itu kedaruratan agamanya. Maka tidak ada
baginya cita-cita, selain Allah Ta’ala. Maka orang yang seperti ini, jikalau ia
makan dan minum atau berqodo hajat, niscaya adalah dia itu ikhlas amal, benar
niat pada semua geraknya dan diamnya. Maka jikalau ia tidur –umpamanya-
sehingga ia mengistirahatkan dirinya, supaya ia menjadi kuat pada beribadah
sesudahnya, niscaya adalah tidurnya itu ibadah. Dan adalah baginya derajat
orang-orang yang ikhlas padanya.
Dan siapa yang tidak seperti demikian, maka pintu keikhlasan
pada segala amal itu tertutup padanya, selain di atas yang jarang terjadi. Dan
sebagaimana orang yang mengeras padanya mencintai Allah dan mencintai akhirat,
maka gerak-geriknya yang biasa mengusahakan akan sifat cita-citanya dan jadilah
gerak-gerik itu ikhlas. Maka orang yang mengeras atas dirinya dunia,
ketinggian, ingin menjadi kepala dan dengan berkesimpulan: selain Allah, maka
semua gerak-geriknya mengusahakan akan sifat yang demikian. Maka tidak selamat
baginya ibadah-ibadahnya, dari puasa, shalat dan lainnya, selain jarang sekali.
Jadi, obat ikhlas ialah memecahkan keberuntungan-keberuntungan diri, memotong
kelobaan dari dunia dan menjuruskan diri kepada akhirat, dimana mengeraslah
yang demikian atas hati. Maka ketika itu mudahlah ikhlas. Berapa banyak amal
perbuatan yang payahlah insan padanya dan ia menyangka bahwa amal perbuatan itu
ikhlas bagi wajah Allah. Dan adalah dia padanya itu tertipu. Karena ia tidak
melihat segi bahaya padanya. Sebagaimana diceritakan dari sebagian mereka,
bahwa ia mengatakan: “Aku menunaikan shalat 30 tahun, yang aku kerjakan di
masjid pada shaf pertama. Karena aku terlambat pada suatu hari, sebab ada
halangan, maka aku mengerjakan shalat pada shaf kedua. Maka tertipu aku oleh
perasaan malu kepada manusia, dimana mereka melihat aku di shaf kedua. Maka aku
tahu, bahwa pandangan manusia kepadaku pada shaf pertama itu adalah
menggembirakan aku dan sebab senangnya hatiku, dimana aku tidak merasakannya”.
Inilah hal yang halus, yang kabur. Sedikitlah selamat amal perbuatan dari
hal-hal yang seperti itu. Dan sedikitlah orang yang memperhati kan nya, selain
orang yang diberikan taufiq oleh Allah Ta’ala. Orang-orang yang lalai
daripadanya melihat kebajikan mereka semuanya di akhirat itu kejahatan.
Dan merekalah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan ketika itu jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada
mengiranya, memang dari Allah. Dan telah jelas bagi mereka semua
kejahatan-kejahatan yang mereka kerjakan”. S 39 Az Zumar ayat 47-48. Dan dengan
firman Allah Ta’ala: “Katakan: Akan Kami beritakanlah kepadamu, orang-orang
yang paling rugi dalam pekerjaannya ? orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam
kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha
yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 103-104. Makhluk yang paling banyak mendatang
bagi percobaan ini, ialah: alim ulama. Bahwa bagi kebanyakan mereka, yang
menggerakkan kepada pengembangan ilmu, ialah kelezatan menguasai, kegembiraan
dengan diikuti orang dan memperoleh kesukaan dengan pujian dan sanjungan. Dan
setan mendatangkan keraguan kepada mereka yang demikian. Dan setan itu berkata:
“Maksudmu mengembangkan agama Allah dan menolong syara’ (agama) yang diagamakan
oleh Rasulullah saw. Dan engkau melihat akan juru pengajaran, yang memperoleh
nikmat dari Allah Ta’ala dengan menasehati orang banyak dan pengajarannya
kepada penguasa-penguasa. Ia bergembira dengan diterima oleh orang banyak akan
perkataannya dan terarah perhatian mereka kepadanya. Dan ia mendakwakan, bahwa
ia bergembira dengan apa, yang dimudahkan baginya dari menolong agama. Dan
jikalau muncul dari teman-temannya, orang yang lebih baik pengajarannya
daripadanya dan manusia berpaling daripadanya dan menghadapkan perhatian kepada
temannya itu, niscaya memburukkan yang demikian kepadanya dan menyusahkan
hatinya. Dan jikalau adalah penggeraknya itu agama, niscaya ia bersyukur kepada
Allah Ta’ala. Karena telah dicukupkan oleh Allah Ta’ala akan kepentingan ini
dengan orang lain”. Kemudian, bersama yang demikian itu, setan tidak
membiarkannya dan berkata: “Sesungguhnya yang menyusahkan hati engkau, ialah
karena terputusnya pahala dari engkau. Bukan karena berpalingnya wajah manusia
dari engkau, kepada orang yang lain dari engkau. Karena, jikalau mereka
menerima pengajaran dengan perkataan engkau, niscaya adalah engkau memperoleh
pahala. Kesusahan hati engkau karena hilangnya pahala itu terpuji. Dan orang
yang patut dikasihani itu tidak mengetahui, bahwa kepatuhannya kepada kebenaran
dan penyerahannya akan persoalan itu kepada orang yang lebih utama, adalah
lebih banyak pahala dan lebih mengembalikan kepadanya di akhirat daripada
kesendiriannya”.
Moga-moga kiranya aku ketahui, bahwa jikalau susahlah hati
Umar ra dengan mengangkat kepalanya Abubakar ra untuk menjadi imam (menjadi
khalifah), maka adakah susah hatinya Umar ra itu terpuji atau tercela ? tidak
adalah keraguan bagi orang yang beragama, bahwa jikalau adalah yang demikian,
niscaya adalah tercela. Karena kepatuhannya kepada kebenaran dan penyerahannya
persoalan kepada orang yang lebih pantas daripadanya itu lebih mengembali kannya
kepada agama, daripada dipikulnya tanggung jawab kepentingan orang banyak,
serta apa yang padanya itu banyak pahala. Akan tetapi, Umar ra bergembira
dengan kebebasan orang yang lebih utama daripadanya itu, dengan persoalan
tersebut. Maka bagaimana pula keadaan para ulama itu tidak merasa gembira
dengan hal yang seperti demikian ? terkadang tertipu sebahagian ahli ilmu
dengan tipuan setan. Lalu mengatakan kepada dirinya, bahwa jikalau muncullah
orang yang lebih utama daripadanya dengan persoalan itu, niscaya ia bergembira
dengan yang demikian. Dan diberitakannya dengan yang demikian dari dirinya sebelum
percobaan dan ujian, adalah bodoh dan tertipu semata-mata. Bahwa diri itu mudah
terikut pada janji, dengan contoh-contoh yang seperti demikian, sebelum
terjadinya persoalan. Kemudian, apabila persoalan itu menimpa dirinya, niscaya
ia berobah dan kembali. Dan tidak dipenuhinya dengan janjinya itu. Dan yang
demikian, tidak diketahui, selain orang yang mengetahui tipuan setan dan hawa
nafsu. Dan lamalah kesibukannya dengan ujiannya. Maka mengetahui hakikat/makna
ikhlas dan amalan dengan keikhlasan itu adalah laut
yang dalam, yang menenggelamkan semua orang, selain yang sedikit
lagi jarang dan seorang dua saja. Yaitu: yang dikecualikan pada firman Allah
Ta’ala: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas diantara mereka”. S 38 Shaad
ayat 83. Maka hendaklah hamba itu sangat mencari yang kehilangan ini dan
mengintip detik-detik itu ! jikalau tidak, niscaya ia terhubung dengan
pengikut-pengikut setan. Dan ia tidak merasakan yang demikian.
PENJELASAN: kata-kata
para syaikh tentang ikhlas.
Abu Ya’qub As-Susi berkata: “Ikhlas ialah tidak melihatnya ikhlas. Siapa
yang menyaksikan pada keikhlasannya akan ikhlas, maka sesungguhnya
keikhlasannya itu memerlukan kepada ikhlas”. Apa yang disebutkan oleh Abu
Ya’qub tadi adalah suatu isyarat kepada pembersihan amal dari keujuban dengan
perbuatan. Bahwa memperhatikan kepada keikhlasan dan melihat kepadanya itu
adalah suatu keujuban (mengherani diri). Dan itu termasuk dalam jumlah bahaya.
Dan yang ikhlas itu ialah apa yang bersih dari semua bahaya. Maka ini
pendatangan kepada suatu bahaya.
Sahal ra berkata: “Ikhlas ialah bahwa adanya diam hamba dan
gerak-geriknya khusus karena Allah Ta’ala”. Ini adalah kalimat yang menghimpun
dan yang meliputi dengan maksud. Dan searti dengan itu, ucapan Ibrahim bin
Adham: “Ikhlas ialah benarnya niat serta Allah”. Ditanyakan kepada Sahal:
“Apakah yang paling berat atas diri ?”. Sahal menjawab: “Ikhlas, karena tiada
bagi diri padanya itu keuntungan”.
Berkata Abu Muhammad Ruwaim: “Ikhlas pada amal itu ialah ia
tidak menghendaki sahabatnya padanya itu gantian pada dua negeri”. Ini adalah
isyarat, bahwa keberuntungan diri itu adalah bahaya, masa sekarang (dunia) dan
masa yang akan datang(akhirat). Orang yang beribadah (abid) untuk memperoleh
nikmatan diri dengan nafsu keinginan dalam sorga itu adalah orang yang sakit
pada amalnya. Bahkan menurut hakikat/maknanya, bahwa tidak dikehendaki dengan
amal itu, selain wajah Allah Ta’ala. Dan itu adalah isyarat kepada keikhlasan
orang-orang shiddik (ash-shiddiqin). Yaitu: keikhlasan mutlak.
Adapun orang yang beramal karena mengharap sorga dan takut
kepada neraka, maka dia itu ikhlas, dengan dikaitkan kepada
keberuntungan-keberuntungan masa mendatang (akhirat). Jikalau tidak demikian,
maka dia itu pada mencari keberuntungan perut dan kemaluan. Sesungguhnya yang
dicari, yang sebenarnya bagi orang yang mempunyai akal, ialah wajah Allah Ta’ala saja. Dan kata yang
mengatakan, bahwa manusia itu tiada bergerak, selain karena keberuntungan. Dan
terlepas dari keberuntungan-keberuntungan itu adalah sifat ketuhanan. Maka
orang yang mendakwakan demikian adalah orang yang tertutup hatinya (orang
kufur). Dan Al-qadli Abubakar Al-Baqilani menghukum dengan pengkufuran orang
yang mendakwakan kelepasan bagi dirinya dari keberuntungan-keberuntungan dan
mengatakan, bahwa: ini termasuk sebahagian dari sifat-sifat ketuhanan.
Apa yang disebutkan oleh Al-qadli Abubakar itu benar. Akan
tetapi, golongan (kaum) itu menghendaki dengan yang demikian, ialah kelepasan
dari apa, yang dinamakan oleh manusia: keberuntungan-keberuntungan. Yaitu:
nafsu keinginan yang disifatkan dalam sorga saja.
Adapun berlezat-lezatan dengan semata-mata ma’rifah, munajah
dan memandang kepada wajah Allah Ta’ala, maka ini adalah keberuntungan mereka.
Dan ini tidak dihitung oleh manusia keberuntungan. Akan tetapi, mereka merasa
keheranan (keta’juban) daripadanya. Dan mereka ini, jikalau digantikan dari
apa, yang mereka berada di dalamnya, dari kelezatan taat, munajah dan ketekunan
menyaksikan Hadlarat/keajaiban Ketuhanan, secara rahasia dan nyata, dengan
semua kenikmatan sorga, niscaya mereka memandang leceh semua kenikmatan sorga
itu. Dan mereka tiada akan menoleh kepadanya. Maka gerak mereka itu karena
keberuntungan dan taat mereka itu karena keberuntungan. Akan tetapi,
keberuntungan mereka itu, ialah Yang Disembah mereka itu saja. Tidak yang lain.
Abu Usman berkata: “Ikhlas ialah lupa melihat makhluk, dengan
berkekalan memandang kepada Al-Khaliq (yang maha pencipta) saja”. Ini adalah
isyarat kepada bahaya ria saja. Karena itulah, sebahagian mereka itu berkata: “Ikhlas pada amal, ialah, bahwa setan tidak melihat
kepadanya, lalu dirusakkannya. Dan tiada dilihat oleh malaikat, lalu
dituliskannya”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata
menyembunyikan. Dan dikatakan, bahwa ikhlas itu ialah apa yang tertutup dari
makhluk dan bersih dari hubungan-hubungan. Dan ucapan ini lebih mengumpulkan
bagi segala maksud.
Al-Muhasibi berkata: “Ikhlas ialah mengeluarkan makhluk kepada
mu’amalah (perniagaan) dengan Tuhan”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata
ketiadaan ria. Seperti demikian juga kata Ibrahim Al-Khawwash: “Barangsiapa
meminum dari gelas keinginan menjadi kepala, maka ia telah keluar dari
keikhlasan penghambaan diri kepada Allah (al-‘ubudiyah)”.
Bertanya teman-teman Isa as (al-hawariyyun) kepada Isa as:
“Apakah yang ikhlas dari amal perbuatan itu ?”. Isa as menjawab: “Yang beramal
karena Allah Ta’ala, niscaya ia tidak menyukai, bahwa ia dipuji oleh seseorang
atas amal itu”. Ini juga pembentangan bagi meninggalkan ria. Sesungguhnya
dikhususkannya ria dengan disebutkan, karena ria itu adalah sebab yang terkuat,
yang mengacaukan ikhlas.
Al-Junaid berkata: “Ikhlas itu membersihkan amal dari
kotoran-kotoran”. Al-Fudlail berkata: “Meninggalkan amal dari karena manusia
itu ria. Dan amal dari karena manusia itu syirik. Dan ikhlas ialah, bahwa
engkau disehatkan oleh Allah Ta’ala daripada keduanya”. Ada yang mengatakan,
bahwa ikhlas itu berkekalan muraqabah (menjaga) dan
melupakan setiap keberuntungan. Ini adalah penjelasan yang sempurna.
Kata-kata para syaikh tentang ini banyak. Dan tak ada
faedahnya pada memperbanyakkan nukilan, sesudah tersingkap hakikat/makna. Bahwa
penjelasan yang menyembuhkan, ialah penjelasan penghulu orang-orang yang
pertama (al-awwalin) dan orang-orang yang penghabisan (al-akhirin). Muhammad
saw, ketika ditanyakan tentang ikhlas, maka ia saw menjawab: “Bahwa engkau
mengatakan: “Tuhanku Allah”. Kemudian engkau berpendirian teguh, sebagaimana
engkau disuruhkan”. Artinya: engkau tidak menyembah hawa nafsu engkau dan diri
engkau. Dan engkau tidak menyembah selain Tuhan engkau. Dan engkau berpendirian
teguh pada beribadah kepadaNya, sebagaimana engkau disuruhkan. Ini adalah
isyarat kepada memutuskan berlalunya pandangan kepada selain Allah. Dan itulah
ikhlas yang sebenar-benarnya.
PENJELASAN: derajat
percampuran dan bahaya pengkotoran ikhlas.
Ketahuilah kiranya, bahwa bahaya-bahaya yang mengacaukan keikhlasan,
sebahagiannya itu jelas, sebahagiannya itu tersembunyi, sebahagiannya lemah
serta jelas dan sebahagiannya kuat serta tersembunyi. Dan tidak dapat
dipahamkan perbedaan tingkat-tingkatnya pada tersembunyi dan jelas, selain
dengan contoh. Dan yang paling menonjol yang mengacaukan keikhlasan itu, ialah:
ria. Maka marilah kami sebutkan suatu contoh daripadanya, maka kami mengatakan,
bahwa: setan itu memasukkan bahaya kepada orang yang mengerjakan shalat,
bagaimanapun adanya ia ikhlas pada shalatnya. Kemudian, suatu jama’ah memandang
kepada orang yang shalat itu atau masuk kepadanya orang yang masuk. Lalu ia
mengatakan kepada orang yang shalat itu: “Baguskanlah shalat engkau ! sehingga
orang yang hadir ini melihat kepada engkau dengan mata kemuliaan dan kepatutan.
Ia tidak memandang hina kepada engkau dan ia tidak mengumpati engkau”. Maka
khusuklah anggota-anggota badannya, tenanglah sendi-sendinya dan baguslah
shalatnya. Ini adalah ria yang terang. Dan tidaklah tersembunyi yang demikian
kepada golongan permulaan dari murid-murid.
Derajat
kedua: adalah murid itu
sudah memahami bahaya ini dan mengambil daripadanya akan kehati-hatiannya. Maka
jadilah dia tidak mengikuti setan padanya. Dan tidak menoleh kepadanya. Dan ia
berkekalan pada shalatnya, sebagaimana yang telah ada. Maka datanglah setan
kepadanya pada mengemukakan kebajikan. Setan itu berkata: “Engkau orang yang
diikuti. Orang menuruti engkau dan memandang kepada engkau. Dan apa yang engkau
perbuat, membekas dari engkau. Dan engkau diikuti oleh orang lain. Maka adalah
bagi engkau pahala amal perbuatan mereka, jikalau engkau berbuat baik. Dan atas
engkau dosa, jikalau engkau berbuat jahat. Maka baguskanlah amal engkau di
hadapannya ! mudah-mudahan ia mengikuti engkau pada kekhusukan dan pembagusan
ibadah”. Ini lebih tersembunyi dari yang pertama. Kadang-kadang tertipu dengan
ini, orang yang tidak tertipu dengan yang pertama tadi. Itu juga ria yang
sebenarnya dan membatalkan keikhlasan. Maka jikalau ia melihat kekhusukan dan
kebagusan ibadah itu kebajikan, yang ia tidak ridha orang lain meninggalkannya,
maka mengapa ia tidak ridha bagi dirinya sendiri yang demikian dalam tempat
sunyi (al-khilwah) ? dan tidak mungkin bahwa adalah diri orang lain lebih mulia
padanya dari dirinya sendiri. Maka ini adalah semata-mata penipuan. Akan
tetapi, orang yang diikuti itu, adalah orang yang berpegang teguh pada dirinya
dan memperoleh kesinaran akan hatinya. Maka berkembanglah cahayanya kepada
orang lain. Maka adalah baginya pahala di atas yang demikian. Adapun ini maka
semata-mata nifak dan penipuan. Maka siapa yang mengikutinya, niscaya diberikan
pahala kepadanya. Adapun dia itu maka dituntut dengan penipuannya dan
disaksikan atas melahirkan dari dirinya, akan apa yang ia tidak bersifat dengan
yang demikian.
Derajat
ketiga: yaitu lebih halus dari yang sebelumnya, bahwa hamba itu
mencoba dirinya pada yang demikian. Dan berjaga-jaga dari tipuan setan. Dan ia
tahu, bahwa perbedaannya diantara tempat sepi (al-khilwah) dan disaksikan orang
lain itu semata-mata ria. Dan ia tahu, bahwa ikhlas pada adanya shalatnya itu
di tempat sepi sama seperti shalatnya di muka orang banyak. Ia malu kepada
dirinya dan kepada Tuhannya, bahwa ia berbuat khusyuk karena disaksikan makhluk
dengan kekhusyukan yang lebih di atas kebiasaannya. Maka ia hadapkan kepada
dirinya dalam tempat sepi dan ia membaguskan shalatnya di atas cara yang
disenanginya di depan orang banyak. Ia mengerjakan shalat pula di hadapan orang
banyak seperti yang demikian. Maka ini juga termasuk ria yang tidak terang.
Karena ia membaguskan shalatnya di tempat sepi, supaya ia bagus di muka orang
banyak. Maka tidaklah dia telah membedakan diantara keduanya. Maka perhatiannya
pada tempat sepi dan orang banyak itu adalah kepada makhluk. Bahkan ikhlas itu,
bahwa disaksikan oleh hewan kepada shalatnya dan disaksikan oleh manusia
banyak, adalah sama, tiada bedanya. Maka seakan-akan diri orang ini tidak
membolehkan dengan pemburukan shalat di muka orang banyak. Kemudian, ia malu dari
dirinya bahwa ia berada dalam bentuk orang-orang yang ria. Dan ia menyangka
bahwa yang demikian itu akan hilang dengan bersamaan shalatnya di tempat sepi
dan di muka orang banyak. Amat jauhlah yang demikian ! bahkan hilangnya yang
demikian itu, dengan ia tidak menoleh kepada makhluk, sebagaimana ia tidak
menoleh kepada benda-benda keras, di tempat sepi dan di muka orang banyak
sekalian. Dan ini adalah dari orang yang cita-citanya sibuk dengan makhluk, di
muka orang banyak dan di tempat sepi sekalian. Dan ini sebahagian dari tipuan
yang tersembunyi bagi setan.
Derajat
keempat: yaitu lebih halus dan lebih tersembunyi, bahwa manusia
memandang kepadanya. Dan dia dalam shalatnya. Maka lemahlah setan daripada
mengatakan kepadanya: “Khusyuklah karena mereka !”. Bahwa setan itu sudah tahu,
bahwa orang itu telah cerdik untuk yang demikian. Maka setan mengatakan
kepadanya: “Bertafakkurlah tentang kebesaran Allah dan keagunganNya ! dan siapa
engkau yang berdiri di hadapanNya. Dan malulah bahwa Allah memandang kepada
hati engkau dan engkau lalai daripadaNya !”. Maka hadirlah dengan yang demikian
itu hatinya dan khusyuklah anggota-anggota badannya. Ia menyangka bahwa yang
demikian itulah ikhlas yang sebenarnya. Padahal itu adalah tipu dan daya. Maka
kekhusyukannya jikalau adalah karena pandangannya kepada keagungan Allah,
niscaya adalah gurisan ini tidak akan berpisah dengan dia dalam al-khilwah. Dan
adalah tiada akan khusus kehadiran gurisan tersebut dengan keadaan hadirnya
orang lain. Dan tanda aman dari bahaya ini, ialah bahwa adalah yang terguris
ini dari apa, yang menjinakkan hatinya dalam al-khilwah, sebagaimana yang
menjinakkan hatinya di muka orang banyak. Dan tidaklah kehadiran orang lain itu
yang menjadi sebab pada kehadiran yang terguris itu. Sebagaimana tidaklah
kehadiran hewan itu menjadi sebabnya. Maka selama ia memperbedakan dalam hal
keadaannya, diantara disaksikan manusia dan disaksikan oleh hewan, maka dia itu
terhitung orang yang diluar dari kebersihan ikhlas, yang kotor batiniahnya
dengan syirik yang tersembunyi dari ria. Dan syirik ini lebih tersembunyi dalam
hati anak Adam, daripada merangkaknya semut hitam dalam malam yang gelap, di
atas batu hitam, sebagaimana yang datang pada hadits. Dan tidak akan selamat
dari setan, selain orang yang halus pemandangannya. Dan ia berbahagia dengan
pemeliharaan Allah Ta’ala, taufiq dan hidayahNya. Jikalau tidak, maka setan itu
selalu berada dengan orang-orang yang mengindahkan beribadah kepada Allah
Ta’ala. Setan itu tidak lalai sekejappun dari mereka, sehingga dibawanya mereka
kepada ria pada setiap gerak dari gerak-geriknya.
Sehingga pada meletakkan celak mata, menggunting kumis,
memakai bau-bauan pada hari Jum’at dan memakai pakaian. Bahwa ini adalah sunat
pada waktu-waktu khusus. Dan bagi diri, padanya itu keberuntungan yang
tersembunyi. Karena terikatnya pandangan makhluk dan jinaknya tabiat dengan
dia. Maka ia diajak oleh setan kepada perbuatan itu. Setan berkata: “Ini sunat
! tiada seyogyalah bahwa engkau meninggalkannya”. Dan adalah tergeraknya hati
itu hal batiniyah baginya. Karena nafsu keinginan yang tersembunyi itu. Atau
bercampur dengan dia dengan campuran yang mengeluarkannya dari batas keikhlasan
dengan sebabnya itu. Dan apa yang tidak selamat dari setiap bahaya ini, maka
tidaklah dia itu yang ikhlas. Bahkan orang yang beri’tikaf dalam masjid yang
ramai, yang bersih, bagus bangunannya, yang disukai oleh tabiat manusia
kepadanya, maka setan menggalakkannya kepadanya dan membanyakkan padanya
keutamaan-keutamaan i’tikaf.
Kadang-kadang adalah penggerak yang tersembunyi dalam rahasia
itu, ialah kejinakan hati dengan bagusnya bentuk masjid dan tabiat diri merasa
istirahat kepadanya. Dan jelas yang demikian pada kecenderungannya kepada salah
satu dari dua masjid atau salah satu dari dua tempat, apabila dia itu lebih
bagus dari yang lain. Semua itu bercampur dengan campuran-campuran tabiat dan
kekotoran-kekotoran diri. Demi umurku, bahwa yang membatalkan hakikat/makna
keikhlasan, ialah tipuan yang bercarmpur dengan kemurnian emas, yang mempunyai
derajat yang berlebih kurang. Maka sebahagian daripadanya itu apa yang banyak
dan sebahagian daripadanya apa yang sedikit. Akan tetapi, mudah mengetahuinya.
Dan sebahagian daripadanya itu apa yang halus, dimana tidak diketahui, selain
oleh orang yang suka menyelidiki dan bermata hati.
Tipuan hati, perdayaan setan dan keji jiwa itu lebih tersembunyi
dari yang demikian dan lebih banyak kehalusan. Dan karena inilah dikatakan: “2
rakaat shalat dari orang yang berilmu itu lebih utama dari ibadah setahun dari
orang bodoh”. Dan yang dimaksudkan dengan orang yang berilmu tadi, ialah orang
yang berilmu, yang melihat akan bahaya amal yang halus-halus. Sehingga ia
terlepas daripadanya. Bahwa orang yang bodoh itu pandangannya kepada zahiriah
ibadah dan tertipu dengan dia, seperti pandangan orang hitam kepada merahnya
uang dinar yang dicelup dengan air emas dan bundarannya. Dan dia itu tertipu
yang merugi pada dirinya. Dan sekarat dari emas yang murni yang disenangi oleh
orang yang suka menyelidiki, lagi bermata hati itu lebih baik dari sedinar yang
disenangi oleh orang yang tertipu, lagi dungu.
Maka begitulah berlebih-kurangnya urusan ibadah. Bahkan lebih
sangat dan lebih besar. Dan tempat-tempat masuk bahaya yang menjalani kepada
berbagai macam amal itu tidak mungkin dihinggakan dan dihitung. Maka marilah
dimanfaatkan sebagai contoh dengan apa yang telah kami sebutkan. Dan orang yang
cerdik mencukupi baginya oleh yang sedikit dari yang banyak. Dan orang yang
bodoh tidak mencukupkan baginya juga oleh perpanjangan. Maka tiada faedah pada
penguraian.
PENJELASAN: hukum amal yang bercampur dan berhaknya pahala dengan
amal itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa amal itu, apabila ia tidak semata-mata karena
wajah Allah Ta’ala, akan tetapi bercampur padanya percampuran dari keriaan dan
keberuntungan-keberuntungan diri, maka berbedalah pendapat manusia, pada yang
demikian itu, bahwa adakah ia menghendaki pahala atau menghendaki siksa? atau
tidak sekali-kali menghendaki sesuatu ? maka tidak adalah baginya (keuntungan)
dan tidak ada atasnya (kerugian).
Adapun yang tidak dikehendaki dengan amal itu, selain ria,
maka sudah pasti adalah atasnya (kerugian). Dan itu menjadi sebab kutukan dan
siksaan. Adapun yang semata-mata karena wajah Allah Ta’ala maka itu menjadi
sebab pahala. Sesungguhnya memandang kepada yang bercampur dan zahiriah,
hadits-hadits itu menunjukkan, bahwa tiada pahala baginya. Dan tidaklah
tersembunyi hadits-hadits daripada bertentangan padanya. Dan yang membekas bagi
kita padanya –dan ilmu adalah di sisi Allah- bahwa diperhatikan kepada kadar
kuatnya pembangkit. Jikalau adalah pembangkit keagamaan itu sama bagi pembangkit
kenafsuan, niscaya keduanya lawan-melawan dan berguguran. Dan jadilah amal itu
tidak baginya (keuntungan) dan tidak ada atasnya (kerugian). Jikalau adalah
pembangkit ria itu lebih keras dan lebih kuat, maka tidaklah amal itu
bermanfaat. Dan dia bersama yang demikian itu memperoleh melarat dan membawa
kepada siksaan. Ya, siksaan yang padanya itu lebih ringan dari siksaan amal
yang semata-mata untuk ria. Dan tidak bercampur padanya campuran at-taqarrub
(pendekatan diri kepada Allah Ta’ala). Dan jikalau maksud at-taqarrub itu lebih
keras, dibandingkan kepada pembangkit yang lain, maka baginya pahala, menurut
kadar apa yang berlebihan dari kekuatan pembangkit keagamaan. Dan ini karena
firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom,
akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan
dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7-8. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Bahwa
Allah tidak hendak merugikan seseorang barang sebesar atom. Meskipun perbuatan
baik itu sebesar atom, akan dilipat-gandakan oleh Allah juga”. S 4 An Nisaa’
ayat 40.
Maka tiada seyogyalah bahwa disia-siakan maksud kebajikan.
Akan tetapi, jikalau maksud kebajikan itu yang menang atas maksud ria, niscaya
binasa daripadanya, kadar yang menyamakan akan maksud ria itu. Dan tinggallah
selebihnya. Dan jikalau maksud kebajikan itu yang kalah, niscaya gugurlah
dengan sebabnya itu, sesuatu dari siksaan maksud yang merusak itu. Penyingkapan
tutup dari ini, ialah bahwa amal perbuatan itu membekasnya pada hati dengan
menguatnya sifat-sifatnya. Maka yang mengajak keriaan itu termasuk sebahagian
dari yang membinasakan. Dan bahwa makanan yang membinasakan ini dan
kekuatannya, ialah berbuat di atas kesesuaiannya. Dan yang mengajak kebajikan
itu termasuk sebahagian dari yang melepaskan. Dan bahwa kekuatannya itu dengan
berbuat di atas kesesuaiannya. Apabila dua sifat itu berkumpul pada hati, maka
keduanya itu berlawanan. Apabila ia berbuat di atas kesesuaian kehendak ria,
maka ia telah menguatkan sifat itu. Dan apabila adalah amal itu di atas
kesesuaian kehendak mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub), maka ia telah
menguatkan pula akan sifat itu. Salah satu dari keduanya itu membinasakan dan
yang lain itu melepaskan. Jikalau adalah penguatan ini dengan kadar penguatan
yang lain, maka keduanya itu lawan-melawan. Maka adalah seperti orang yang
merasa melarat dengan kepanasan, apabila ia mengambil apa yang mendatangkan
melarat baginya. Kemudian, ia mengambil dari yang mendinginkan, akan apa yang
melawan akan kadar kekuatannya. Maka adalah ia sesudah mengambil kedua nya itu,
seolah-olah ia tiada mengambil keduanya. Dan jikalau salah satu dari keduanya
itu yang lebih banyak, niscaya tidaklah terlepas yang banyak itu dari membekas.
Maka sebagaimana ia tidak menyia-nyiakan seberat atom dari makanan, minuman dan
obat-obatan dan tidak terlepas ia dari membekas pada tubuh, dengan hukum sunnah
Allah Ta’ala, maka seperti demikian juga, ia tidak menyia-nyiakan seberat atom
dari kebajikan dan kejahatan. Dan tidak terlepas dari pembekasan pada
penyinaran hati atau penghitamannya dan pada pendekatannya kepada Allah atau
pada penjauhannya.
Maka apabila datang dengan apa yang mendekatkannya sejengkal
serta apa yang menjauhkannya, maka sesungguhnya ia telah kembali kepada apa
yang telah ada. Maka tidaklah ada baginya (keuntungan) dan tidak ada atasnya
(kerugian). Dan jikalau adalah perbuatan itu dari apa yang mendekatkannya
dengan dua jengkal dan yang lain, yang menjauhkannya dengan satu jengkal,
niscaya –sudah pasti- melebihkan baginya sejengkal.
Dan Nabi saw bersabda: “Ikutkanlah akan kejahatan itu dengan
kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya”. Jadi, adalah ria yang
semata-mata itu akan dihapuskan oleh keikhlasan yang semata-mata sesudahnya.
Apabila keduanya berkumpul sekalian, maka tidak boleh tidak, secara mudah saja
bahwa keduanya itu tolak-menolak. Disaksikan untuk ini oleh kesepakatan (ijma)
umat, bahwa orang yang keluar dari rumahnya pergi hajji dan sertanya harta
perniagaan, niscaya shahlah hajjinya dan ia memperoleh pahala. Dan telah
bercampur dengan yang demikian itu suatu keberuntungan dari
keberuntungan-keberuntungan diri. Ya, mungkin bahwa dikatakan: bahwa ia diberi
pahala atas amalan hajji, ketika sampainya di Makkah dan harta perniagaannya
itu tiada terhenti atasnya. Dan yang berkongsi itu adalah sepanjang perjalanan.
Dan tiada pahala padanya, manakala ia mengkasadkan dalam hatinya akan
perniagaan. Akan tetapi, yang betul bahwa dikatakan: manakala adalah hajji itu
penggerak yang asli dan maksud perniagaan itu adalah seperti penolong dan
pengikut, maka tidaklah diri perjalanan itu terlepas dari pahala. Dan menurut
pendapatku, bahwa orang-orang yang pergi perang itu tidak mengetahui pada
dirinya, akan perbedaan diantara memerangi orang-orang kafir, pada pihak yang
banyak padanya harta rampasan dan diantara pihak yang tidak ada rampasan
padanya. Dan jauhlah bahwa dikatakan: bahwa mengetahui akan perbedaan ini
membatalkan secara keseluruhan, akan pahala perjuangan mereka. Akan tetapi,
yang adil bahwa dikatakan: apabila pembangkit yang asli dan penggerak yang
kuat, ialah: meninggikan kalimah Allah Ta’ala dan bahwa keinginan pada harta
rampasan itu atas jalan ikutan, maka tidaklah batal pahala dengan yang
demikian. Ya, tidak sama pahalanya dengan pahala orang yang tidak berpaling hatinya
sekali-kali kepada harta rampasan. Maka kepalingan ini –sudah pasti-
kekurangan. Jikalau anda mengatakan: bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits itu
menunjukkan bahwa bercampurnya ria itu membatalkan pahala. Dan searti dengan
ria itu bercampurnya mencari harta rampasan, perniagaan dan
keberuntungan-keberuntungan yang lain. Diriwayatkan oleh Thawus dan lainnya
dari orang-orang tabi’in, bahwa seorang laki-laki menanyakan Nabi saw tentang
orang yang berbuat-buat kebajikan. Atau laki-laki itu mengatakan: ia bersedekah,
lalu menyukai bahwa ia dipuji dan diberi ganjaran. Maka Nabi saw tidak tahu apa
yang akan dikatakannya kepada laki-laki itu. Sehingga turunlah ayat: “Maka
siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, niscaya hendaklah ia mengerjakan
pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya
(peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Dan telah dimaksudkan
pahala dan pujian sekalian. Diriwayatkan Mu’az dari Nabi saw bahwa Nabi saw
bersabda: “Ria yang paling kurang itu syirik”.
Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda: “Dikatakan kepada
orang yang mempersekutukan pada amal perbuatannya: “Ambillah pahalamu dari
orang yang kamu kerjakan baginya”. Diriwayatkan dari Ubadah, bahwa Allah ‘Azza
Wa Jalla berfirman: “Aku Yang Terkaya dari segala yang kaya, dari perkongsian.
Siapa yang berbuat bagiKu suatu perbuatan, lalu dipersekutukannya bersama Aku
akan yang lain dari Aku, niscaya Aku simpan bahagianKu bagi kongsiKu”.
Diriwayatkan Abu Musa, bahwa seorang Arab desa datang kepada Rasulullah saw,
lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! orang yang berperang karena kepanasan hati,
orang yang berperang karena keberanian dan orang yang berperang untuk melihat
tempatnya pada sabilullah”. Nabi saw lalu menjawab: “Barangsiapa berperang
supaya kalimah Allah itu yang tertinggi, maka dia itu pada sabilullah”. Umar ra
berkata: “Kamu mengatakan, bahwa si Anu itu syahid dan mungkin ia telah
memenuhkan kedua belah kendaraannya dengan dirham rampasan perang”. Ibnu Mas’ud
ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berhijrah yang mencari
sesuatu dari dunia, maka dia itu bagi sesuatu itu”.
Kami mengatakan, bahwa hadits-hadits tersebut tidaklah
berlawanan dengan yang telah kami sebutkan itu. Bahkan yang dimaksud dengan
hadits-hadits tersebut, ialah orang yang tidak bermaksud dengan yang demikian,
selain dunia, seperti sabdanya saw: “Barangsiapa berhijrah yang mencari sesuatu
dari dunia, maka dia itu bagi sesuatu itu”, yang tersebut tadi di atas. Adalah
yang demikian itu yang lebih mengeras atas cita-citanya. Dan telah kami
sebutkan, bahwa yang demikian itu adalah kemaksiatan dan permusuhan. Tidak
bahwa mencari dunia itu haram, akan tetapi
mencarinya dengan amal perbuatan agama itu haram. Karena padanya itu
ria dan mengobahkan ibadah dari tempatnya. Adapun lafal kesekutuan, dimana ia
disebutkan, maka itu mutlak bagi persamaan. Dan telah kami terangkan, bahwa
apabila bersamaan dua maksud, niscaya keduanya lawan-melawan. Tidak ada baginya
(kemanfaatan) dan tidak ada atasnya (kemelaratan). Maka tidak seyogyalah
diharapkan pahala padanya. Kemudian, bahwa manusia pada kesekutuan itu
selamanya dalam bahaya. Dia tidak mengetahui, manakah diantara keduanya urusan
itu yang lebih mengerasi atas maksudnya. Kadang-kadang adalah dia itu bahaya
atas dirinya. Karena demikianlah Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang
mengharap akan menemui Tuhannya, niscaya hendaklah ia mengerjakan pekerjaan
yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan)
dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Artinya: ia tidak mengharapkan akan
bertemu, serta kesekutuan (mempersekutukan Tuhan), yang terbaik hal-keadaan
kesekutuan itu jatuh-menjatuhkan. Dan boleh dikatakan pula, bahwa kedudukan
kesyahidan itu tidak akan diperoleh, selain ikhlas dalam peperangan. Dan jauhlah
untuk dikatakan, bahwa orang yang adalah panggilan keagamaannya, dimana
panggilan itu yang mendorongnya kepada semata-mata peperangan, walaupun tidak
ada rampasan perang dan ia sanggup kepada memerangi dua golongan orang kafir,
satu golongan kaya dan yang satu lagi miskin, lalu ia cenderung kepada pihak
yang kaya, untuk meninggikan kalimah Allah dan untuk harta rampasan, bahwa
tiada sekali-kali baginya pahala di atas peperangannya itu.
Kita berlindung dengan Allah, bahwa adalah urusan itu seperti
yang demikian. Bahwa itu kesempitan pada agama dan tempat-masuknya
keputus-asaan kepada kaum muslimin. Karena seperti percampuran yang mengikuti
ini, tidaklah sekali-kali terlepas insan daripadanya, selain jarang sekali.
Maka adalah pembekasan ini pada pengurangan pahala. Adapun bahwa adalah yang
demikian itu pada membatalkan pahala, maka tidaklah yang demikian. Benar, bahwa
manusia pada yang demikian itu di atas bahaya besar. Karena kadang-kadang ia
menyangka, bahwa pembangkit yang terkuat, ialah: maksud at-taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah. Dan adalah yang lebih mengeraskan atas rahasia
(isi hatinya), ialah: keberuntungan jiwa. Dan yang demikian itu termasuk yang
tersembunyi, yang penghabisan tersembunyi. Maka pahala itu tidak berhasil,
selain dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu sedikitlah hamba meyakininya dari
dirinya, walaupun ia bersangatan pada menjaganya. Maka karena demikianlah,
seyogyanya bahwa adalah dia selamanya sesudah sempurna kesungguhan usaha itu,
dalam keraguan diantara tertolak dan diterima, dalam keadaan takut bahwa ada
pada ibadahnya itu bahaya, yang bencananya adalah lebih banyak dari pahalanya.
Begitulah adanya orang-orang yang takut dari orang-orang yang mempunyai mata
hati. Dan begitulah seyogyanya bahwa ada setiap orang yang mempunyai mata-hati.
Karena demikianlah Sufyan ra berkata: “Aku tidak menghitung
dengan apa yang terang dari amalku”. Abdul-aziz bin Abi Rawwad berkata: “Aku
bertetangga dengan Rumah ini (Baitullah) 60 tahun. Dan aku mengerjakan hajji 60
kali hajji. Maka aku tidak masuk pada suatupun dari amal perbuatan bagi Allah,
melainkan aku memperhitungkan diri. Maka aku dapati, bahwa bahagian setan itu
lebih sempurna dari bahagian Allah. Mudah-mudahan tidaklah bagiku (kemanfaatan)
dan tidaklah atasku (kemelaratan). Dan bersamaan dengan ini, maka tiada
seyogyalah bahwa amal itu ditinggalkan, ketika takut bahaya dan ria. Bahwa yang
demikian itu kesudahan keinginan setan daripadanya. Karena yang dimaksudkan,
bahwa tidaklah hilang keikhlasan. Dan manakala ditinggalkan amal, maka telah
disia-siakan amal dan keikhlasan semuanya.
Diceritakan, bahwa sebahagian orang-orang fakir adalah
melayani Abu Sa’id Al-Kharraz dan ia bekerja dengan secara ringan pada segala
pekerjaannya. Maka pada suatu hari, Abu Sa’id memperkatakan tentang keikhlasan,
yang ia maksudkan keikhlasan segala gerak. Maka orang fakir tersebut mencari
akan hatinya pada setiap gerak dan menuntutkannya dengan keikhlasan. Maka
sukarlah kepadanya memenuhi segala hajat keperluan dan Syaikh Abu Sa’id merasa
melarat dengan yang demikian. Lalu beliau menanyakan orang fakir itu tentang
urusannya. Maka orang fakir tersebut menerangkan dengan tuntutannya kepada
dirinya dengan hakikat/makna keikhlasan. Dan ia lemah dari yang demikian pada
kebanyakan amal perbuatannya. Lalu ditinggalkannya. Abu Sa’id lalu menjawab:
“Jangan engkau berbuat ! karena keikhlasan itu tidak akan memutuskan mu’amalah
(perniagaan). Maka rajinlah kepada amal dan bersungguh-sungguhlah pada
menghasilkan keikhlasan. Maka tidak aku katakan kepada engkau: “Tinggalkan amal
! sesungguhnya aku katakan kepada engkau: “Ikhlaskanlah amal itu ! Al-Fadlil
berkata: “Meninggalkan amal perbuatan dengan sebab makhluk itu ria. Dan
mengerjakannya karena makhluk itu syirik”.
BAB KETIGA: tentang benar, keutamaannya dan hakikat/maknanya.
KEUTAMAAN BENAR.
Allah Ta’ala berfirman: “Ada orang-orang yang menepati apa yang telah
dijanjikan kepada Allah”. S 33 Al Ahzab ayat 23. Nabi saw bersabda: “Bahwa
benar (bersifat dengan sifat benar) itu menunjukkan kepada kebajikan. Dan
kebajikan itu menunjukkan kepada sorga. Bahwa orang itu sesungguhnya benar,
sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: orang yang benar (shiddiq). Bahwa dusta
itu menunjukkan kepada kezaliman. Dan kezaliman itu menunjukkan kepada neraka.
Bahwa orang itu sesungguhnya dusta, sehingga ia dituliskan pada sisi Allah:
orang yang dusta (kadz-dzab)”. Mencukupilah pada keutamaan benar itu, bahwa
orang yang benar itu dirindukan orang. Allah Ta’ala menyifatkan nabi-nabi dalam
pembentangan pujian dan sanjungan. Ia berfirman: “Dan ingatlah (riwayat)
Ibrahim di dalam Kitab; sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat benar
(lurus) dan seorang nabi”. S 19 Maryam ayat 41. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
ingatlah (riwayat) Ismail di dalam Kitab, sesungguhnya dia adalah seorang yang
benar (memenuhi) janji dan adalah dia juga seorang rasul dan seorang nabi”. S
19 Maryam ayat 54. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan ingatlah (riwayat) Idris di
dalam Kitab, sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat benar dan seorang
nabi”. S 19 Maryam ayat 56.
Ibnu Abbas berkata: “4 perkara, siapa yang ada padanya 4
perkara itu, maka dia itu beruntung, yaitu: benar, malu, bagus akhlak dan
syukur”. Basyar bin Al-Harts berkata: “Barangsiapa bermu’amalah (perniagaan)
dengan Allah, dengan benar, niscaya ia merasa liar hati dari manusia”. Abu
Abdillah Ar-Ramli berkata: “Aku melihat dalam tidur (bermimpi) akan Manshur
Ad-Dainuri. Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah
dengan engkau ?”. Manshur Ad-Dainuri menjawab: “Ia mengampunkan aku,
mengasihani aku dan memberikan kepadaku, apa yang tidak aku angan-angankan”.
Maka aku bertanya kepadanya: “Yang terbaik dari apa yang dihadapkan hamba
kepada Allah itu apa ?”. Beliau menjawab: “Benar dan yang terkeji dari apa yang
dihadapkannya, ialah: dusta”. Abu Sulaiman berkata: “Jadikanlah benar itu pisau
engkau dan kebenaran itu pedang engkau. Dan Allah Ta’ala tujuan tuntutan
engkau”. Seorang laki-laki bertanya kepada seorang ahli hikmah (filosuf): “Aku
tidak melihat benar itu”. Ahli hikmah tadi menjawab: “Jikalau engkau itu orang
yang benar, niscaya engkau kenal akan orang-orang yang benar”.
Dari Muhammad bin Ali Al-Kattani, yang mengatakan: “Kami
dapati agama Allah Ta’ala itu terbina di atas 3 sendi, yaitu: di atas
kebenaran, benar (tidak dusta) dan keadilan. Maka kebenaran itu di atas segala
anggota badan. Keadilan itu di atas hati. Dan benar (tidak dusta) itu di atas
akal pikiran”. Ats-Tsuri mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Pada hari
kiamat itu, engkau lihat orang-orang yang berkata dusta tentang Allah itu,
hitam mukanya”. S 39 Az Zumar ayat 60, bahwa mereka itu mendakwakan mencintai
Allah Ta’ala. Dan tidaklah mereka itu orang-orang yang benar kecintaan itu.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Hai Daud !
barangsiapa membenarkan Aku pada batinnya, niscaya Aku membenarkan dia di sisi
makhluk pada zahirnya”. Seorang laki-laki berteriak pada majelis Asy-Syibli dan
melemparkan dirinya dalam sungai Dajlah. Lalu Asy-Syibli berkata: “Jikalau
laki-laki itu orang yang benar, maka Allah Ta’ala melepaskannya dari bahaya,
sebagaimana Ia melepaskan Musa as. Dan jikalau ia orang yang dusta, maka Allah
Ta’ala menenggelamkannya, sebagaimana Ia menenggelamkan Fir’aun”. Sebahagian
mereka berkata: “Telah Ijma’ (sepakat) fuqaha (para ahli fikih) dan ulama atas
3 perkara. Bahwa apabila shah yang 3 perkara itu, maka padanya kelepasan. Dan
tiada sempurna sebahagian daripadanya, selain dengan sebahagian yang lain. 3
perkara tersebut, yaitu: Islam yang murni dari bid’ah (yang diada-adakan) dan
hawa nafsu, benar karena Allah Ta’ala pada segala amal perbuatan dan baik
makanan”.
Wahab bin Munabbah berkata: “Aku dapati pada sampul kitab
At-Taurat, 22 huruf (kalimat), dimana orang-orang shalih kaum Bani Israil
(Yahudi) berkumpul, llau membacakan dan mempelajarinya. Kalimat-kalimat itu,
ialah: tiada gudang yang lebih bermanfaat dari ilmu, tiada harta yang lebih
beruntung dari sifat tidak lekas marah (hilm), tiada perhitungan yang lebih
rendah dari marah, tiada teman yang lebih menghiasi dari amal, tiada kawan yang
lebih memalukan dari bodoh, tiada kemuliaan yang lebih mulia dari taqwa, tiada
kemurahan yang lebih sempurna dari meninggalkan hawa nafsu, tiada amal yang
lebih utama dari fikir, tiada kebaikan yang lebih tinggi dari sabar, tiada
kejahatan yang lebih keji dari sombong, tiada obat yang lebih lunak dari
kasih-sayang, tiada penyakit yang lebih menyakitkan dari lemah pikiran, tiada
utusan yang lebih adil dari kebenaran, tiada dalil yang lebih menasehatkan dari
benar, tiada kemiskinan yang lebih hina dari rakus, tiada kekayaan yang lebih
mencelakakan dari mengumpulkan harta, tiada hidup yang lebih baik dari sehat,
tiada kehidupan yang paling tentram dari menjaga diri, tiada ibadah yang lebih
baik dari khusyu’, tiada zuhud yang lebih berkebajikan dari qana’ah (merasa
cukup dengan yang ada), tiada pengawal yang lebih memelihara dari diam dan
tiada barang yang jauh (ghaib) yang lebih dekat dari mati”.
Muhammad bin Sa’id Al-Maruzi berkata: “Apabila engkau mencari
Allah dengan benar, niscaya Allah Ta’ala mendatangkan kepada engkau cermin di
tangan engkau. Sehingga engkau melihat setiap sesuatu dari keajaiban dunia dan
akhirat”. Abubakar Al-Warraq berkata: “Peliharalah benar (sifat benar) pada
apa, yang diantara engkau dan Allah Ta’ala dan kasih-sayang pada apa, yang
diantara engkau dan makhluk”. Ditanyakan orang kepada Zin-Nun Al-Mishri:
“Adakah bagi hamba itu jalan pada perbaikan segala urusannya ?”. Lalu Zin-Nun
bermadah:
Kekallah kita dari dosa keheranan,
Kita mencari kebenaran yang kepadanya ada jalan.
Panggilan hawa nafsu kepada kita meringankan,
menyalahi hawa nafsu kepada kita itu memberatkan.
Ditanyakan orang kepada Sahal: “Apakah asalnya urusan ini, yang kita
padanya ?”. Sahal menjawab: “Benar, bermurah hati dan berani”. Lalu dikatakan
lagi oleh penanya itu: “Tambahkan lagi kepada kami !”. Maka Sahal menjawab:
“Taqwa, malu dan baik makanan”. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw ditanyakan
tentang kesempurnaan, maka beliau menjawab: “Perkataan kebenaran dan perbuatan
dengan benar”. Dari Al-Junaid tentang firman Allah Ta’ala: “Karena Allah hendak
menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka”. S 33 Al
Ahzab ayat 8, maka Al-Junaid berkata: “Allah bertanya kepada orang-orang yang
benar pada diri mereka, dari benarnya mereka pada sisi Tuhan mereka”. Dan ini
adalah urusan di atas bahaya.
PENJELASAN: hakikat/makna benar, makna dan tingkat-tingkatnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa lafal “benar” (ash-shiddiq) itu dipakai pada 6
makna: benar pada perkataan, benar pada niat dan kehendak, benar pada cita-cita
yang telah diputuskan (al-‘azm), benar pada menepati dengan al-‘azm, benar pada
amal dan benar pada mencari yang sebenarnya tingkat kedudukan-kedudukan agama
semuanya. Maka siapa yang bersifat dengan benar pada semua yang demikian itu,
niscaya dia itu orang yang sangat benar (sangat lurus). Karena dia itu
bersangatan pada benar. Kemudian, mereka juga di atas beberapa tingkat. Maka
siapa yang ada baginya keberuntungan pada sifat benar, mengenai sesuatu dari
jumlah itu, niscaya dia itu orang yang benar, dengan dikaitkan kepada apa, yang
padanya kebenarannya.
Sifat benar
yang pertama, ialah: benar lisan. Dan yang demikian itu tidak ada,
selain pada berita-berita atau pada apa, yang mengandungkan berita-berita dan
memperingatinya. Dan berita itu, adakalanya menyangkut dengan yang lalu atau
dengan yang akan datang. Padanya masuk penepatan janji dan penyalahannya. Dan
haklah di atas setiap hamba bahwa menjaga lafal-lafalnya. Maka ia tidak
berkata-kata, selain dengan benar. Dan ini adalah yang termasyhur dari segala
macam benar dan yang lebih menonjol. Maka siapa yang memelihara lidahnya dari
berita-berita pada segala sesuatu, di atas kebalikan apa adanya, niscaya dia
itu orang yang benar. Akan tetapi, bagi benar ini mempunyai dua kesempurnaan:
Pertama: menjaga dari sindiran-sindiran.
Dikatakan: pada sindiran-sindiran itu jalan kepada dusta. Dan yang demikian
itu, karena rintangan-rintangan tersebut tegak pada tempat tegaknya dusta.
Karena yang ditakutkan dari dusta, ialah: pemahaman sesuatu dibalik apa yang
ada pada dirinya. Kecuali, bahwa yang demikian itu sebahagian dari apa, yang
disinggung oleh hajat keperluan dan dikehendaki oleh kemuslihatan pada
sebahagian hal-keadaan, pada mengajarkan anak-anak dan wanita dan yang berlaku
sebagai perlakuan bagi mereka, pada menjaga dari kezaliman, pada memerangi
musuh dan menjaga dari penglihatan mereka kepada rahasia-rahasia kerajaan
(negara). Maka siapa yang memerlukan kepada sesuatu dari yang demikian, maka
benarnya padanya itu, ialah, bahwa adalah penuturannya padanya itu karena
Allah, pada apa yang disuruh oleh kebenaran dan dikehendaki oleh agama padanya.
Maka apabila ia menuturkan dengan yang demikian, maka dia itu orang yang benar,
walaupun perkataannya itu dipahami bukan yang sebenarnya. Karena benar itu, ialah
apa yang dikehendaki bagi dirinya. Bahkan bagi penunjukkan kepada kebenaran dan
pengajakan kepadanya. Maka tidak dipandang karena rupanya, akan tetapi kepada
maknanya. Benar pada tempat yang seperti ini, seyogyalah bahwa dikembalikan
kepada sindiran-sindiran, akan apa yang diperoleh jalan kepadanya. Adalah
Rasulullah saw apabila menuju kepada perjalanan, beliau menyembunyikan diri
dengan orang lain. Dan yang demikian itu, supaya tidak sampai kabar kepada
musuh. Lalu beliau itu dimaksudkan. Dan tidaklah ini termasuk dusta sedikitpun.
Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah pendusta orang yang mendamaikan diantara dua
orang, lalu mengatakan: kebajikan atau menambah kebajikan”.
Diberi kebebasan pada menuturkan yang
bersesuaian dengan kemuslihatan, pada 3 tempat: orang yang mendamaikan diantara
dua orang, orang yang mempunyai dua isteri dan orang yang berada pada
kepentingan-kepentingan peperangan. Dan benar di sini berkisar kepada niat.
Maka tidak dijaga padanya, selain benarnya niat dan kehendak kebajikan. Maka
manakala telah shah maksudnya, telah benar niatnya dan menjurus kepada
kebajikan kehendaknya, niscaya jadilah dia orang yang benar dan sangat benar,
bagaimanapun ada lafal (kata-kata)nya. Kemudian, penyindiran padanya adalah
lebih utama. Dan jalannya, ialah apa yang diceritakan dari sebahagian mereka,
bahwa ia dicari oleh sebahagian orang-orang zalim dan ia berada di rumahnya.
Lalu ia mengatakan kepada isterinya: “Gariskanlah dengan anak jarimu akan suatu
lingkaran. Dan letakkanlah anak jari itu di atas lingkaran tadi dan katakanlah:
“Tidak ada dia disini”. Dengan yang demikian itu ia menjaga dari dusta dan
menolak orang zalim dari dirinya. Maka adalah perkataannya itu benar dan
memberi pengertian kepada orang zalim, bahwa dia tidak ada di rumah. Maka kesempurnaan
pertama pada lafal, ialah bahwa ia menjaga dari ketegasan lafal dan juga dari
sindiran-sindiran, kecuali ketika darurat.
Dan kesempurnaan kedua, ialah, bahwa
ia menjaga makna benar pada lafal-lafalnya, yang ia membisikkan segala isi hati dengan
lafal-lafal itu akan Tuhannya, seperti katanya: “Aku hadapkan wajahku kepada
Yang Menciptakan langit dan bumi”. Maka hatinya jikalau ada berpaling dari
Allah Ta’ala, yang sibuk dengan angan-angan dunia dan nafsu syahwatnya, niscaya
dia itu dusta. Dan seperti ucapannya: “Akan Engkau yang aku sembah”. Dan
ucapannya: “Aku hamba Allah”. Maka apabila ia tidak bersifat dengan
hakikat/makna perhambaan dan ada baginya carian yang lain, selain Allah,
niscaya tidaklah perkataannya itu benar. Dan jikalau ia dituntut pada hari
kiamat dengan benarnya pada ucapannya: “Aku hamba Allah”, niscaya ia lemah
daripada membuktikannya. Bahwa jikalau adalah dia itu hamba bagi dirinya atau
hamba bagi dunia atau hamba bagi nafsu syahwatnya, niscaya tidak adalah dia itu
orang yang benar pada perkataannya. Setiap apa yang terikatlah hamba dengannya
itu, maka dia itu hamba (budak)nya. Sebagaimana Isa as berkata: “Hai
budak-budak dunia !”. Dan Nabi kita saw bersabda: “Binasalah budak dinar,
binasalah budak dirham, budak pakaian baru dan budak pakaian hitam”. Dinamakan
setiap orang yang terikat hatinya dengan sesuatu, budaknya sesuatu itu.
Sesungguhnya hamba yang sebenarnya bagi Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah orang yang
memerdekakan dirinya pertama-tama dari selain Allah Ta’ala. Maka jadilah dia
orang merdeka mutlak. Maka apabila mendahuluilah kemerdekaan ini, niscaya
jadilah hati itu kosong dari yang lain. Lalu bertempatlah padanya kehambaan
bagi Allah. Maka kehambaan itu menyibukkannya dengan Allah dan dengan kecintaan
kepadanya. Mengikatkan batiniyah dan zahiriyahnya dengan mentaatiNya. Maka
tiadalah baginya kehendak, selain Allah Ta’ala. Kemudian melewati ini kepada
maqam (tingkat) yang lain, yang lebih bersinar daripadanya, yang dinamakan:
merdeka. Yaitu, bahwa ia merdeka pula dari kehendaknya kepada Allah, dari segi
dia. Akan tetapi, ia merasa cukup (al-qana’ah) dengan apa yang dikehendaki oleh
Allah baginya, dari pendekatan atau penjauhan. Maka lenyaplah kehendaknya dalam
kehendak Allah Ta’ala. Inilah hamba yang merdeka dari selain Allah, maka
jadilah ia orang merdeka. Kemudian ia kembali dan ia merdeka dari dirinya
sendiri, lalu jadilah ia orang yang merdeka. Jadilah ia orang yang tiada bagi
dirinya, yang ada bagi Penghulunya dan Tuannya. Jikalau Tuannya itu
menggerakkannya, niscaya ia bergerak. Jikalau Tuannya itu mendiamkannya,
niscaya ia diam. Jikalau Tuannya mencobakannya, niscaya ia ridha. Tiada lagi
padanya kelapangan bagi mencari, menuntut dan mempersoalkan. Akan tetapi, dia
itu di hadapan Allah, seperti mayat di hadapan yang memandikannya. Dan inilah
kesudahan benar pada kehambaan bagi Allah Ta’ala. Maka hamba yang sebenarnya,
ialah yang adanya (wujudnya) bagi Tuannya, tidak bagi dirinya. Dan inilah
derajat orang-orang shiddiq (orang yang sangat benar).
Adapun mereka dari selain Allah, maka
itu derajat orang-orang yang benar. Dan sesudahnya mencari yang sebenarnya kehambaan bagi Allah Ta’ala. Dan apa yang
sebelum ini, maka tidak layak dimiliki yang punya sifat yang demikian, bahwa
dinamakan: orang yang benar (shaadiq) dan orang yang sangat benar (shiddiq).
Maka inilah dia itu makna benar pada perkataan !
Benar yang kedua: ialah, pada niat dan kehendak. Dan kembali yang demikian itu kepada
keikhlasan. Yaitu, bahwa tidak ada baginya pembangkit pada segala gerak dan
diam, selain Allah Ta’ala. Maka jikalau dicampuri oleh campuran dari
keberuntungan-keberuntungan diri, niscaya batallah benarnya niat. Dan yang
punya sifat yang demikian, boleh ia dinamakan: orang yang dusta, sebagaimana
kami riwayatkan pada keutamaan ikhlas dari hadits yang dirawikan Abu Hurairah
tentang 3 hal, ketika ditanyakan orang yang berilmu (orang alim): “Apa yang
engkau kerjakan pada apa yang engkau ketahui?”. Orang alim itu lalu menjawab:
“Aku kerjakan demikian-demikian”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dusta engkau !
akan tetapi, engkau kehendaki, bahwa dikatakan orang: “Si Anu itu orang alim”.
Maka sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mendustakannya dan tidak berfirman, bahwa
dia itu tidak berbuat. Akan tetapi, Ia mendustakannya pada kehendak dan
niatnya. Sebahagian mereka mengatakan: “Benar itu shahnya keesaan pada maksud”.
Seperti demikianlah firman Allah Ta’ala: “Dan Allah mengakui, bahwa
sesungguhnya orang-orang munafiq itu dusta”. S 63 Al Munafiquun ayat 1. Mereka
itu mengatakan: “Bahwa engkau Rasul Allah”. Dan ini benar. Akan tetapi, Allah
mendustakan mereka, tidak dari segi tuturan lisan, tetapi dari segi yang
tersembunyi dalam hati (dlamirul-qalb). Dan adalah pendustaan itu menjalar
kepada berita. Dan perkataan tersebut mengandung pengkhabaran dengan karinah (berkumpul) keadaan. Karena yang punya sifat
itu melahirkan dari dirinya, bahwa ia beriktikad apa yang dikatakannya. Maka ia
mendustakan pada pendalilannya dengan karinah (berkumpul) keadaan, atas apa
yang dalam hatinya. Maka ia berdusta pada yang demikian dan ia tidak dusta pada
apa, yang dilafalkannya. Maka kembalilah salah satu makna benar kepada
kemurnian niat, yaitu: ikhlas. Maka setiap orang yang benar, tak boleh tidak,
bahwa dia itu orang yang ikhlas.
Benar yang ketiga, ialah: benarnya al-‘azm (cita-cita tetap yang telah diputuskan). Bahwa
manusia kadang-kadang mendahulukan al-‘azm atas amal perbuatan. Maka ia
mengatakan pada dirinya: “Jikalau Allah menganugerahkan aku rezeki harta,
niscaya aku sedekahkan semuanya atau sebahagiannya. Atau jikalau aku bertemu
dengan musuh pada jalan Allah Ta’ala, niscaya aku berperang. Dan aku tidak
perduli, bahwa aku terbunuh. Dan jikalau Allah Ta’ala menganugerahkan aku
wilayah (daerah pemerintahan), niscaya aku berlaku adil padanya. Dan aku tidak
berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dengan kezaliman dan kecenderungan kepada
makhluk”. Maka al-‘azm(cita-cita tetap yang telah diputuskan) ini kadang-kadang
dijumpainya pada dirinya. Yaitu: al-‘azam(cita-cita tetap yang telah
diputuskan) yang diyakini dan yang benar. Kadang-kadang adalah pada al-‘azamnya
itu semacam kecenderungan, keragu-raguan dan kelemahan, yang melawankan benar
pada al-‘azam. Maka adalah benar disini ibarat dari kesempurnaan dan kekuatan.
Sebagaimana dikatakan: “Si Anu mempunyai nafsu syahwat yang benar”. Dan
dikatakan, bahwa orang sakit ini, nafsu syahwatnya itu yang dusta, manakala
tidaklah nafsu syahwatnya itu dari sebab yang positif, yang kuat. Atau ada
nafsu syahwatnya itu yang lemah. Kadang-kadang benar itu disebutkan secara
mutlak. Dan dimaksudkan akan makna ini. Orang yang benar (ash-shadiq) dan orang
yang sangat benar (ash-shiddiq), yaitu: yang berbetulan al-‘azamnya (cita-cita
tetap yang telah diputuskan)pada semua kebajikan dengan kekuatan yang sempurna.
Tidak ada padanya kecenderungan, kelemahan dan keragu-raguan. Akan tetapi,
dirinya selamanya bermurah dengan al-‘azam, yang betul-betul, yang yakin atas
segala kebajikan. Dan itu adalah sebagaimana dikatakan Umar ra: “Bahwa aku
maju, lalu leherku dipukul itu lebih aku sukai daripada bahwa menjadi amir
(kepala pemerintahan) atas suatu kaum, yang dalam kalangan mereka itu ada
Abubakar ra”. Bahwa Umar ra memperoleh dari dirinya akan al-‘azam yang diyakini
dan kesukaan yang benar, bahwa ia tidak mau menjadi amir, serta adanya Abubakar
ra. Dan ia dikuatkan yang demikian, dengan apa yang disebutkannya dari
pembunuhan.
Tingkat orang-orang shiddiq pada
cita-cita yang tetap itu berbeda. Kadang-kadang ia berbetulan dengan al-‘azam(cita-cita
tetap yang telah diputuskan) dan tidak berkesudahan sampai kepada diridhainya
dengan ia terbunuh padanya. Akan tetapi, apabila ia membiarkan pendapatnya,
niscaya ia tidak tampil. Dan jikalau disebutkan baginya hadits peperangan,
niscaya tidak runtuh al-‘azamnya. Bahkan dalam kalangan orang-orang yang benar
dan orang-orang yang beriman itu ada orang, yang jikalau disuruh piliha
diantara ia terbunuh atau Abubakar ra, niscaya adalah hidupnya lebih disukainya
dari hidupnya Abubakar Ash-Shiddiq.
Benar yang keempat: ialah pada menepatinya al-‘azam(cita-cita
tetap yang telah diputuskan). Bahwa diri itu kadang-kadang bermurah dengan
al-‘azam dalam seketika. Karena tiada kesulitan pada janji dan al-‘azam. Dan
belanya padanya ringan. Maka apabila telah benarlah segala hakikat/makna
kebenaran, telah berhasillah ketekunan dan berkobarlah nafsu syahwat, niscaya
terlepaslah ikatan al-‘azam. Dan menanglah nafsu syahwat. Dan tidak
bersesuaianlah penepatan dengan al-‘azam. Dan ini berlawanan dengan benar
padanya. Dan karena demikianlah, Allah Ta’ala berfirman: “Ada beberapa orang
yang menepati apa yang telah dijanjikannya kepada Allah”. S 33 Al Ahzab ayat
23.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa pamannya
Anas bin An-Nadlar tidaklah syahid pada perang Badar serta Rasulullah saw. Maka
sukarlah yang demikian atas hatinya dan berkata: “Permulaan tempat kesyahidan
yang disaksikan oleh Rasulullah saw aku tidak hadir padanya. Demi Allah,
jikalau Allah memperlihatkan kepadaku tempat kesyahidan bersama Rasulullah saw
sesungguhnya Allah melihat akan apa yang aku perbuat”. Anas meneruskan
riwayatnya: “Anas bin An-Nadlar lalu menyaksikan perang Uhud pada tahun
depannya. Lalu ia disambut oleh Sa’ad bin Ma’adz. Maka Anas bin An-Nadlar
bertanya: “Hai Abu Umar (panggilan Sa’ad bin Ma’adz) ! mau kemana ?”. Sa’ad bin
Ma’adz yang dipanggilkan dengan Abu Umar itu menjawab: “Aduhai bau sorga ! aku
mendapati baunya, tiada seorangpun yang lain”. Sa’ad bin Ma’adz lalu berperang,
sehingga ia tewas. Maka terdapat pada tubuhnya lebih 80 bekasan, diantaranya
lemparan panah, pukulan dan tusukan. Lalu berkatalan saudara perempuannya
Bintun-Nadlar: “Tiada aku mengenal lagi saudaraku, selain dengan pakaiannya”.
Maka turunlah ayat tadi, S 33 Al Ahzab ayat 23, yaitu: Diantara
orang-orang mu'min itu ada orang-orang yg menepati apa yg telah mereka janjikan
kepada Allah; maka diantara mereka ada yg gugur. dan diantara mereka ada (pula)
yg menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), yang tersebut di atas. Rasulullah saw berdiri dekat Mash’ab bin Umair. Dan
ia telah gugur pada hari perang Uhud, sebagai orang syahid. Adalah ia pemegang
bendera Rasulullah saw. Lalu Nabi saw membaca ayat: “Ada beberapa orang yang
menepati apa yang telah dijanjikan kepada Allah, diantaranya ada yang telah
mati syahid dan diantaranya ada pula yang sedang menanti-nanti”. S 33 Al Ahzab
ayat 23.
Fudlalah bin ‘Ubaid berkata: “Aku
mendengar Umar bin Al-Khattab ra mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Orang syahid itu 4 macam: seorang mukmin yang baik imannya, bertemu
dengan musuh, lalu ia membenarkan Allah. Sehingga ia tewas. Maka orang itulah,
yang ditinggikan oleh manusia akan mata mereka kepadanya pada hari kiamat:
begini !”. Ia mengangkatkan kepalanya, sehingga jatuhlah kopiahnya. Perawi
mengatakan: “Aku tidak tahu, kopiah Umar atau kopiah Rasulullah saw”. Sambungan
hadits tadi: “Seorang yang baik imannya. Apabila ia bertemu dengan musuh, maka
seakan-akan mukanya dipukul dengan duri pohon kayu ath-thalhi (nama semacam
pohon kayu yang berduri), yang datang kepadanya anak panah yang jatuh. Lalu
membunuhnya. Maka dia itu pada derajat yang kedua. Seorang mukmin yang
mencampurkan amal shalih dan yang lain, yang jahat. Ia bertemu dengan musuh.
Maka ia membenarkan Allah. Sehingga ia tewas. Maka yang demikian itu pada
derajat yang ketiga. Dan seorang yang royal atas dirinya, yang bertemu dengan
musuh. Maka ia membenarkan Allah, sehingga ia tewas. Maka yang demikian itu
pada derajat keempat”.
Mujahid berkata: “Dua orang laki-laki
yang keluar kepada manusia ramai yang duduk. Lalu keduanya mengatakan: “Jikalau
Allah menganugerahkan rezeki harta kepada kita, sesungguhnya kita akan
bersedekah”. Lalu mereka itu kikir dengan harta itu. Maka turunlah ayat: “Dan diantara
mereka ada yang telah menjanjikan kepada Allah. Demi, jika Allah memberikan
kurniaNya kepada kami, sesungguhnya kami akan bersedekah dan kami akan termasuk
orang yang baik-baik”. S 9 At Taubah ayat 75. Sebahagian mereka berkata:
“Sesungguhnya itu sesuatu yang diniatkan mereka pada dirinya, yang tidak
diperkatakannya. Lalu ia membacakan: “Dan diantara mereka ada yang telah
menjanjikan kepada Allah: Demi, jika Allah memberikan kurniaNya kepada kami,
sesungguhnya kami akan bersedekah dan kami akan termasuk orang yang baik-baik.
Tetapi setelah memberikan sebahagian dari kurniaNya kepada mereka, lantas
mereka menjadi kikir dan berputar dan mereka menjadi menentang. Hal itu
mengakibatkan kepalsuan iman di dalam hati mereka, sampai di hari mereka
bertemu dengan Allah, karena mereka memungkiri apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah dan karena mereka telah berdusta”. S 9 At Taubah ayat 75-76-77.
Allah menjadikan al-‘azam itu janji.
Dan menjadikan menyalahinya itu dusta dan menepatinya itu benar. Benar ini
lebih sulit dari benar yang ketiga. Bahwa diri itu kadang-kadang bermurah hati
dengan al-‘azam. Kemudian, ia melambat pada menepatinya. Karena sulitnya atas
diri itu. Dan karena berkobarnya nafsu syahwat ketika menetap dan berhasilnya
sebab-sebab. Dan karena demikianlah, Umar ra mengecualikan, maka beliau
berkata: “Untuk aku tampil, lalu leherku dipukul itu lebih aku sukai daripada
aku menjadi amir pada suatu kaum, yang pada mereka itu ada Abubakar. Kecuali,
bahwa terhias diriku ketika pembunuhan, dengan sesuatu yang tiada aku dapati
sekarang. Karena tidak merasa aman bahwa akan berat yang demikian atas diriku.
Lalu diri itu berobah dari al-‘azamnya”. Umar ra mengisyaratkan dengan yang
demikian, kepada sulitnya menepati dengan al-‘azam itu.
Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Aku
bermimpi seakan-akan dua malaikat turun dari langit”. Lalu bertanya kepadaku:
“Apakah benar itu ?”. Aku menjawab: “Menepati janji”. Keduanya menjawab
kepadaku: “Benar engkau”. Dan keduanya naik ke langit.
Benar yang
kelima: ialah pada amal perbuatan. Yaitu: bahwa ia
bersungguh-sungguh, sehingga amal perbuatan zahiriyahnya tidak menunjukkan atas
urusan pada batiniyahnya, yang ia tidak bersifat dengan yang demikian. Tidak
dengan ia meninggalkan amal perbuatan itu, akan tetapi, dengan terhelanya
batiniyah itu kepada membenarkan akan zahiriyah. Dan ini berlainan dengan apa
yang telah kami sebutkan dari: meninggalkan ria. Karena orang yang ria itu,
ialah yang bermaksud akan yang demikian. Dan sedikitlah orang yang berdiri di
atas keadaan khusyu’ dalam shalatnya, yang tidak ia maksudkan dengan yang
demikian itu akan dilihat orang lain. Akan tetapi, hatinya lalai dari shalat.
Maka orang yang melihat kepadanya, adalah melihatnya yang tegak berdiri di
hadapan Allah Ta’ala. Dan dia dengan batiniyahnya adalah berdiri di pasar, di
hadapan salah satu dari nafsu syahwatnya. Maka inilah amal perbuatan yang
dilahirkan dengan lisan keadaan dari batiniyah, dengan kelahiran, yang padanya,
dia itu orang yang dusta. Dia itu dituntut dengan benar pada amal perbuatan.
Seperti demikian juga, kadang-kadang orang yang berjalan kaki di atas keadaan
tetap dan tenang dan tidaklah batiniyahnya bersifat dengan ketenangan itu. Maka
dia itu tidaklah orang yang benar pada amal perbuatannya. Walaupun ia tidak
berpaling kepada makhluk dan tidak berbuat ria terhadap mereka. Dan ia tidak
terlepas dari ini, selain dengan lurusnya batiniyah dan zahiriyah, dengan
adalah batiniyahnya seperti zahiriyahnya. Atau lebih baik dari zahiriyahnya.
Dan dari ketakutan yang demikian, maka sebahagian mereka memilih dengan
mengacaukan zahiriyahnya dan memakai pakaian orang-orang jahat. Supaya ia tidak
disangka orang yang baik, dengan sebab zahiriyahnya. Maka adalah dia itu orang
yang dusta pada menunjukkan zahiriyah atas batiniyah.
Jadi, penyalahan
zahiriyah bagi batiniyah, jikalau ada dengan maksud, niscaya dinamakan: ria.
Dan hilanglah dengan yang demikian itu keikhlasan. Dan kalau ada dengan tidak
maksud, maka hilanglah dengan yang demikian itu: benar. Dan karena itulah
Rasulullah saw berdoa: “Wahai Tuhanku ! jadikanlah batiniyahku itu lebih baik
dari zahiriyahku. Dan jadikanlah zahiriyahku itu yang baik !”. Yazid bin
Al-Harits berkata: “Apabila bersamaanlah batiniyah hamba dan zahiriyahnya, maka
yang demikian itu setengah. Jikalau adalah batiniyahnya itu lebih utama dari
zahiriyahnya, maka yang demikian itu keutamaan. Dan jikalau zahiriyahnya itu
yang lebih utama dari batiniyahnya maka yang demikian itu kezaliman. Mereka itu
bermadah:
Jadi, rahasia dan terbuka itu,
sama saja pada orang yang beriman.
Sungguh mulia pada dua negeri itu,
dan mengharuskan pujian.
Kalau terbuka menyalahi rahasia,
maka tiada baginya,
keutamaan dalam usaha,
selain capek dan payah saja.
Maka tidaklah dinar yang murni,
yang dibelanjakan di pasar.
Dan yang palsu, yang ditolaki,
tidaklah menghendaki cita-cita yang besar.
‘Athiyah bin Abdul-ghafir berkata: “Apabila bersesuaianlah
rahasia orang mukmin dengan yang terbuka baginya, niscaya Allah Ta’ala
membanggakan yang demikian dengan para malaikat. Allah berfirman: “Inilah
hambaKu yang sebenarnya !”. Mu’awiyah bin Qurrah berkata: “Siapakah yang
menunjukkan kepadaku, orang yang menangis di malam hari dan tersenyum di siang
hari ?”. Abdul-wahid bin Zaid berkata: “Adalah Al-Hasan Al-Bashari , apabila disuruh
dengan sesuatu, niscaya adalah dia orang yang paling bekerja dari manusia. Dan
apabila dilarang dari sesuatu, niscaya adalah dia orang yang paling
meninggalkan dari manusia. Dan aku tiada sekali-kali melihat seseorang yang
lebih menyerupai rahasia dengan yang terbuka daripadanya”.
Adalah Abu Abdirrahman az-Zahid
berdoa: “Wahai Tuhanku ! aku melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan manusia,
pada apa, yang diantara aku dan mereka dengan amanah. Dan aku melakukan
mu’amalah(perniagaan) dengan Engkau, pada apa, yang diantara aku dan Engkau
dengan khianat”. Dan ia menangis. Abu Ya’qub An-Naharjuri berkata: “Benar itu
bersesuaian dengan kebenaran pada rahasia dan terbuka”. Jadi, persamaan rahasia
dengan terbuka itu salah satu dari bermacam-macam benar.
Benar yang keenam, yaitu derajat yang tertinggi dan termulia, benar pada maqam-maqam agama.
Seperti: benar pada takut, harap, penghormatan, zuhud, ridha, tawakkal, cinta
dll dari hal-hal ini. Bahwa hal-hal ini mempunyai pokok-pokok, yang berjalanlah
nama dengan zahiriyahnya. Kemudian, baginya tujuan dan hakikat/makna. Dan orang
yang benar, yang berpegang teguh, ialah orang yang memperoleh hakikat/maknanya.
Apabila mengerasi sesuatu dan telah sempurna hakikat/maknanya, niscaya yang
punyanya itu dinamakan: orang yang benar padanya. Sebagaimana dikatakan: “Si
Anu itu benar perang”. Dan dikatakan: “Inilah dia itu takut yang benar. Inilah
dia itu nafsu syahwat yang benar”. Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang
sebenarnya beriman, hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya,
kemudian itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan
harta dan dirinya, itulah orang-orang yang benar”. S 49 Al Hujuraat ayat 15.
Allah Ta’ala berfirman: “Akan tetapi, kebaikan ialah kebaikan orang yang
beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan
nabi-nabi dan memberikan harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan,
orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan shalat,
membayarkan zakat dan memenuhi janji, bila mereka berjanji, sabar dalam
kesengsaraan dan kemelaratan dan di waktu perang. Merekalah orang-orang yang
benar”. S 2 Al Baqarah ayat 177.
Ditanyakan Abu Dzarr dari hal iman,
lalu ia membaca ayat tadi. Maka dikatakan oleh orang yang bertanya kepadanya:
“Kami bertanya kepada engkau, dari hal iman”. Maka Abu Dzarr menjawab: “Aku
bertanya kepada Rasulullah saw dari hal iman, lalu beliau membaca ayat
tersebut”. Marilah kami beri contoh dari hal takut. Maka tiadalah seorang hamba
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, melainkan dia itu takut kepada
Allah, dengan ketakutan yang berjalan kepadanya nama takut. Akan tetapi, takut
yang tidak benar. Artinya: tiada sampai derajat hakikat/makna takut. Apakah
anda tidak melihat, apabila orang takut kepada raja atau perampok dalam
perjalanan, bagaimana kuning warna mukanya, gemetar sendi-sendinya, kacau
kehidupannya, sukar makan dan tidurnya dan terbagi pikirannya, sehingga isteri
dan anaknya tiada memperoleh manfaat dengan dia ? kadang-kadang ia terkejut
dari tanah air, lalu ia berganti dengan keliaran dari kejinakan, kepayahan dan
kesukaran dari ketenangan dan tertimpa dengan bahaya-bahaya. Semua itu, karena
takut dari memperoleh yang ditakuti. Kemudian, ia takut kepada neraka. Dan
tidak lahir padanya sesuatu dari yang demikian, ketika berlakulah maksiat
padanya. Dan karena yang demikian, Nabi saw bersabda: “Aku tidak melihat
seperti neraka, yang tidurlah orang yang lari daripadanya. Dan tidaklah seperti
sorga yang tidurlah orang yang mencarinya”. Pentahkikan pada hal-hal ini adalah
sukar sekali. Dan tiada penghabisan bagi maqam-maqam ini, sehingga tercapai
kesempurnaannya. Akan tetapi, bagi setiap hamba mempunyai keberuntungan
daripadanya, menurut hal keadaannya. Adakalanya lemah dan adakalanya kuat. Maka
apabila kuat, niscaya ia dinamakan orang yang benar padanya. Maka ma’rifah
kepada Allah, penghormatan dan takut kepadaNya, tiadalah mempunyai penghabisan.
Dan karena itulah Nabi saw berkata kepada Jibril as: “Aku menyukai bahwa
melihat engkau dalam rupa engkau, yang dia itu rupa engkau”. Jibril as
menjawab: “Engkau tidak sanggup yang demikian”. Nabi saw menjawab: “Akan
tetapi, perlihatkanlah kepadaku !”. Jibril lalu menjanjikan kepada Nabi saw
pekuburan Baqi’ pada malam yang terang bulan. Maka Jibril as datang kepada Nabi
saw. Lalu Nabi saw memandang. Tiba-tiba Jibril dengan yang demikian itu telah
menutup tepi langit. Yakni: segala tepi langit. Maka jatuhlah Nabi saw dalam
keadaan pingsan. Lalu kemudian, ia sembuh dan Jibril as telah kembali kepada
bentuknya yang pertama. Maka Nabi saw bersabda: “Tiada aku menyangka, bahwa
seseorang dari makhluk Allah begitu”. Jibril bertanya: “Bagaimana jikalau
engkau melihat Israfil ? bahwa al-‘Arasy itu di atas bahunya. Dan dua kakinya
tembus di bawah lapisan bumi yang paling bawah. Dan dia menjadi kecil dari
kebesaran Allah, sehingga ia menjadi seperti: al-washa’. Yakni, seperti: burung
pipit yang kecil”.
Maka perhatikanlah apa yang
menudungkannya dari kebesaran dan kehebatan, sehingga ia kembali ke batas yang
demikian. Dan malaikat-malaikat yang lain tidaklah seperti yang demikian.
Karena berlebih-kurangnya mereka itu pada ma’rifah. Maka inilah dia itu benar
pada pengagungan !
Jabir berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Aku melalui pada suatu malam, yang aku diisra’kan. Dan Jibril di
alam arwah yang tertinggi, seperti pelana yang basah, dari ketakutan kepada
Allah Ta’ala”. Yakni: pakaian yang diletakkan di atas punggung unta. Demikian
juga para sahabat, adalah mereka itu orang-orang yang takut. Dan tidak adalah
mereka itu sampai kepada ketakutan Rasulullah saw. Dan karena itulah, Ibnu Umar
ra berkata: “Tidak sampailah engkau kepada hakikat/makna iman, sehingga engkau
memandang manusia semuanya itu bodoh pada agama Allah”.
Mathraf berkata: “Tiada seorangpun
dari manusia, melainkan dia itu bodoh, pada apa, yang diantaranya dan Tuhannya.
Hanya sebahagian dari kebodohan itu lebih mudah dari sebahagian yang lain”.
Nabi saw bersabda: “Tiada akan sampai seorang hamba kepada hakikat/makna iman,
sehingga ia melihat kepada manusia seperti keledai-keledai di samping Allah.
Kemudian, ia kembali kepada dirinya, lalu didapatinya lebih hina dari orang
yang hina”. Jadi, orang yang benar itu mulia pada semua maqam ini. Kemudian,
derajat-derajatnya benar itu tiada berpenghabisan. Kadang-kadang ada bagi hamba
itu benar pada sebahagian persoalan, tidak pada sebahagian yang lain. Jikalau
adalah dia itu yang benar pada semua persoalan, maka dia benar-benar orang yang
sangat benar (ash-shiddiq).
Sa’ad bin Ma’adz berkata: “3 perkara,
dimana aku padanya, maka aku itu kuat. Dan pada yang lain daripadanya, maka
lemah: tiada aku mengerjakan shalat semenjak aku masuk Islam, lalu hatiku
berbicara, sebelum aku selesai dari shalat itu. Tiada aku mengunjungi jenazah,
lalu hatiku berbicara dengan bukan apa yang dikatakannya dan apa yang dikatakan
kepadanya, sebelum selesai daripada mengebumikannya. Dan tidak aku mendengar
Rasulullah saw bersabda dengan suatu sabda, melainkan aku mengetahui, bahwa dia
itu benar”. Lalu berkata Ibnul-Musayyab: “Tiada aku menyangka, bahwa semua
perkara itu berkumpul, selain pada Nabi saw”. Maka ini benar pada semua
persoalan tersebut. Berapa banyak kaum dari para sahabat yang mulia, yang
mengerjakan shalat dan mengiringi jenazah dan mereka tidak sampai akan jumlah
ini. Maka inilah dia itu derajat benar dan makna-maknanya ! dan kalimat-kalimat
yang dinukilkan dari para syaikh tentang hakikat/makna benar, pada
kebanyakannya tidak menyinggung, kecuali bagi satu-satu dari makna-makna ini.
Benar Abubakar Al-Warraq berkata:
“Benar itu 3, yaitu: benar keesaan, benar taat dan benar ma’rifah. Benar
keesaan itu bagi umumnya orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya, itulah mereka yang
sungguh-sungguh benar (dalam kepercayaannya)”. S 57 Al Hadiid ayat 19. Benar
taat itu bagi orang yang berilmu dan wara’ (menjaga diri). Dan
benar ma’rifah itu bagi orang yang mempunyai wilayah pemerintahan, dimana
mereka itu tiang bumi. Semua ini berkisar, di atas apa yang telah kami sebutkan
pada “Benar yang keenam”. Akan tetapi, menyebutkan bahagian-bahagian apa, yang
padanya itu benar. Dan itu juga tidak meliputi dengan semua bahagian.
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Benar,
ialah bersungguh‑sungguh. Dan tidak dipilih kepada Allah akan lainNya,
sebagaimana tidak dipilih atas engkau yang lain dari engkau. Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Dia telah memilih kamu”. S 22 Al Hajj ayat 78. Dikatakan orang,
bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as yaitu: “Bahwa Aku
sesungguhnya apabila mencintai seorang hamba, niscaya Aku mencobainya, dengan
bencana-bencana yang tidak sanggup dipikul oleh gunung-gunung, untuk Aku
ketahui bagaimana benarnya. Kalau Aku menjumpainya yang sabar, niscaya Aku
menjadikannya wali dan kekasih. Dan jikalau Aku mendapatinya yang gundah, yang
di adukannya Aku kepada makhlukKu, niscaya Aku hinakan dia dan tidak Aku perdulikan”.
Jadi, diantara tanda-tanda benar, ialah: menyembunyikan segala musibah dan
mentaati sekaliannya dan benci dilihat makhluk padanya. Telah sempurna Kitab
Benar dan Ikhlas. Dan akan diiringi oleh Kitab Muraqabah dan Muhasabah. Segala
pujian bagi Allah.