Kamis, 13 Februari 2014

10. KITAB SUSUNAN WIRID DAN URAIAN MENGHIDUPKAN MALAM.

KITAB SUSUNAN WIRID DAN URAIAN MENGHIDUPKAN MALAM.
Yaitu: Kitab ke-10 dari “Ihya Ulumiddin”. Dan dengan ini selesailah Rubu’ Ibadah –diberi manfaat kiranya oleh Allah dengan Kitab ini kepada kaum muslimin !
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami memuji Allah diatas segala ni’matNya dengan banyak pujian. Kami mengingatiNya (berdzikir kepadaNya) dengan ingatan yang tidak meninggalkan didalam hati kesombongan dan kerenggangan. Dan kami bersyukur kepadaNya, karena Ia telah menjadikan malam dan siang bergantian bagi orang yang  bermaksud berdzikir atau bermaksud bersyukur kepadaNya. Kami mengucapkan selawat kepada NabiNya yang telah diutuskanNya dengan kebenaran, membawa kabar gembira dan peringatan. Dan kepada kaum keluarganya yang suci dan para sahabatnya yang mulia, yang telah bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah, siang dan malam, pagi dan petang. Sehingga jadilah masing-masing daripada mereka itu bintang agama, menunjukkan jalan dan lampu yang bersinar cemerlang. Adapun kemudian dari itu, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan bumi tunduk kepada hamba-hambaNya. Tidak untuk mereka menetap pada segala penjurunya, tetapi untuk mengambilkannya menjadi tempat tinggal. Lalu mengambil perbekalan daripadanya, perbekalan yang membawa mereka dalam perjalanannya ke tanah air. Dan mereka menyimpan daripadanya sebagai pemberian untuk dirinya, yang merupakan amal dan kurnia, yang mereka pelihara segala perolehan dan pemberiannya. Dan mereka meyakini, bahwa umur itu berjalan pada mereka, laksana kapal berjalan dengan penumpangnya.
Sesungguhnya manusia di dunia ini adalah berjalan. Tempatnya yang pertama, ialah ayunan dan kesudahannya, ialah liang lahad.
Tanah airnya, ialah sorga atau neraka. Dan umur itu, ialah jaraknya perjalanan.
Tahunnya, ialah tempat perhentian.
Bulannya, ialah farsach-farsachnya (lebih panjang dari mil).
Hari-harinya, ialah mil-milnya.
Nafasnya, ialah langkah-langkahnya.
Taatnya, ialah harta bendanya.
Waktunya, ialah modalnya.
Hawa nafsu dan segala keinginannya, ialah perampok-perampok dalam perjalanannya.
Keuntungannya, ialah memperoleh kemenangan dengan menjumpai Allah Ta’ala di Darussalam (Negeri Sejahtera) bersama kerajaan besar dan keni’matan yang berketetapan.
Kerugiannya, ialah jauh dari Allah Ta’ala serta kutukan, rantai dan azab pedih, dalam lapisan bawah neraka jahannam.
Maka orang lalai dalam tiap-tiap nafas dari nafasnya, sehingga ia berlalu, tanpa taat yang mendekatkannya kepada Allah, dibawa pada hari kiamat dengan kerugian dan penyesalan yang tak ada habisnya. Karena bahaya besar dan bencana yang dahsyat ini, maka terus meneruslah orang-orang yang memperoleh taufik dengan segala kesungguhan, meninggalkan dengan keseluruhan yang mengenakkan bagi diri. Menggunakan segala sisa dari umur dan menyusun menurut waktu yang datang berulang-ulang, segala tugas wirid. Karena ingin menghidupkan malam dan siang, pada mencari kedekatan dengan Maharaja Yang Maha Perkasa dan berjalan ke negeri ketetapan. Maka jadilah diantara kepentingan ilmu jalan ke akhirat, menguraikan penjelasan tentang cara pembahagian wirid dan membagi-bagikan ibadah yang telah berlalu uraiannya, menurut ketentuan waktu. Dan jelaslah kepentingan ini dengan menyebutkan dua bab:
Bab Pertama:        tentang keutamaan wirid dan tata tertib pada malam dan siang hari.
Bab Kedua:           tentang cara menghidupkan malam dan keutamaannya serta apa yang berhubungan dengan dia.
BAB PERTAMA:    tentang keutamaan wirid, tata tertib dan hukumnya.
Keutamaan wirid dan penjelasan, bahwa rajin mengerjakannya, adalah jalan kepada Allah Ta’ala:
Ketahuilah, bahwa orang-orang yang memperhatikan dengan nur mata-hati, niscaya mengetahui, bahwa tak ada kelepasan, selain pada menjumpai Allah Ta’ala. Dan tak ada jalan untuk menjumpai itu, selain dengan hamba itu mati, dimana ia mencintai dan mengenal Allah swt. Kecintaan dan kejinakan hati itu, tidak akan berhasil, selain daripada selalu mengingati yang dicintai dan rajin dengan demikian itu. Dan mengenal Allah itu tidak berhasil, selain dengan selalu menumpahkan pikiran kepadaNya, kepada Sifat dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan tidak adalah pada Wujud (yang ada ini), selain Allah Ta’ala dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan tidak mudahlah selalu mengingati (berdzikir) dan berfikir, kecuali dengan meninggalkan dunia dan segala hawa nafsunya. Dan mencukupkan sekedar yang sampai dan penting. Semuanya itu tidak sempurna, kecuali dengan menghabiskan waktu malam dan siang dalam segala tugas dzikir dan fikir. Dan nafsu karena sifat dirinya dengan kemalasan dan kebosanan, lalu tidak sabar diatas suatu bentuk pekerjaan, dari sebab-sebab yang menolong kepada dzikir dan fikir. Tetapi apabila dikembalikan nafsu itu kepada suatu bentuk saja, niscaya ia melahirkan kemalasan dan keberatan. Dan sungguh Allah Ta’ala tidak bosan, sehingga mereka itu bosan. Maka dari pentingnya bersikap lemah lembut kepada nafsu itu, adalah memberi kepadanya kesenangan, dengan berpindah dari satu macam ke satu macam dan dari satu bagian ke satu bagian menurut masing-masing waktu, supaya banyaklah kesenangannya dengan perpindahan itu. Dan besarlah keinginannya dengan kesenangan tadi dan terus meneruslah kerajinannya dengan kekalnya keinginan itu.
Maka karena itulah wirid itu dibagikan dalam bahagian yang bermacam-macam. Dzikir dan fikir seyogyalah menghabiskan semua waktu atau bahagian terbesar daripadanya. Sesungguhnya nafsu itu menurut tabiatnya, condong kepada kelezatan dunia. Kalau hamba itu menyerahkan separoh waktunya kepada urusan duniawi dan keinginan-keinginannya yang dibolehkan –umpamanya dan separoh lagi kepada ibadah, niscaya beratlah segi kecondongan kepada dunia, karena bersesuaian dengan tabiat dirinya. Sebab pembahagian waktu tadi itu sama. Lalu keduanya lawan-melawan dan tabiat dirilah yang menguatkan kepada salah satu daripada keduanya. Karena zahir dan batin tolong-menolong kepada urusan duniawi dan bersihlah hati serta bertindak semata-mata mencari akan duniawi itu.
Adapun kembali kepada ibadah, adalah berat dan tidak sejahteralah keikhlasan dan kehadiran hati kepadanya, selain pada sebahagian waktu saja. Maka orang yang ingin masuk sorga tanpa hisab, hendaklah menghabiskan segala waktunya dalam berbakti (taat). Dan barangsiapa bermaksud kuat daun neraca kebaikannya dan timbangan kebajikannya berat, maka hendaklah melengkapkan dalam taat, sebahagian besar dari waktunya.
Kalau dicampur-adukkannya akan amal shalih dan yang lain jahat, maka pekerjaannya itu amat berbahaya. Tetapi harapan tidak putus dan kema’afan dari kemurahan Allah dinantikan. Semoga Allah Ta’ala mengampunkannya dengan kemurahan dan kemuliaanNya. Maka inilah yang terbuka bagi orang-orang yang memperhatikan dengan nur mata-hati. kalau anda bukan ahlinya, maka perhatikanlah kepada Kalam (kata-kata) Allah Ta’ala kepada RasulNya dan petikkanlah dengan nur-keimanan. Berfirman Allah Ta’ala kepada hambaNya yang terdekat kepadaNya dan yang tertinggi di sisiNya: “Sesungguhnya pada waktu siang, engkau mempunyai urusan yang panjang. Dan sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadaNya dengan sungguh-sungguh !”. S 73 ayat 7 dan 8. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu pagi dan petang. Dan disebahagian daripada malam, maka sujudlah kepadaNya dan bertasbihlah kepadaNya di malam yang panjang !”. S 76 ayat 25 dan 26. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam. Dan bertasbihlah kepadaNya dalam sebahagian daripada malam dan diakhir-akhir sembahyang”. S 50 ayat 39 dan 40. Berfirman Allah swt: “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun pagi. Dan hendaklah engkau bertasbih kepadaNya di sebahagian dari malam di waktu ghaib bintang”. S 52 ayat 48-49. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya (bangun) waktu-waktu malam itu, adalah lebih sangat bekasnya dan lebih teguh bacaannya”. S 73 ayat 6. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan berbaktilah di sebahagian dari waktu-waktu  malam dan di pinggir-pinggir siang, supaya engkau akan rela”. S 20 ayat 130. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan dirikanlah shalat pada dua bahagian siang dan disebahagian dari malam, karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan”. S 11 Huud ayat 114.
Kemudian, lihatlah, bagaimana Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang yang memperoleh kemenangan dari para hambaNya dan dengan apa IA menyifatkan mereka ! Maka berfirman Allah Ta’ala: “Atau adakah orang yang berbakti di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, dalam keadaan takut kepada azab akhirat dan mengharap rahmat Tuhannya ? Katakanlah: “Adakah sama mereka yang tahu dan mereka yang tidak tahu ?”. S 39 ayat 9. Berfirman Allah Ta’ala:“Rengganglah rusuk-rusuk mereka dr tempat tidur, dimana mereka mendoa pada Tuhannya, dgn takut & harapan”. S32 ayat 16. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan ialah mereka yang bermalam dengan sujud dan berdiri (beribadah) kepada Tuhannya”. S 25 Al Furqaan ayat 64. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Adalah mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Sedang diwaktu akhir-akhir malam (waktu sahur), mereka meminta ampun”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 17-18. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Maka Maha Sucilah Allah ketika kamu berpetang dan waktu kamu berpagi”’. S 30 Ar Ruum ayat 17. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau halau orang-orang yang beribadah kepada Tuhannya, pada waktu pagi dan petang yang menghendaki wajahNya”. S 6 Al An’aam ayat 52.
Itu semuanya, menerangkan kepada anda, bahwa jalan kepada Allah Ta’ala, ialah mengintip waktu dan meramaikannya dengan wirid-wirid secara terus-menerus. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Hamba Allah yang paling dicintai Allah ialah mereka yang menjaga matahari, bulan dan bayang-bayang untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya”. S 55 Ar Rahmaan ayat 5. Berfirman Allah Ta’ala: “Tidakkah engkau lihat kepada (kekuasaan) Tuhanmu, bagaimana Ia hamparkan bayang-bayang ? padahal kalau dikehendaki Nya, niscaya dijadikanNya tetap. Kemudian Kami jadikan matahari menjadi petunjuk. Kemudian, Kami tarikkan bayangan itu kepada Kami sedikit-sedikit”. S 25 Al Furqaan ayat 45-46. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan bulan itu, Kami telah tentukan baginya beberapa derajat”. S 36 Yaa Siin ayat 39.  Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang telah menjadikan bagi kamu beberapa bintang, untuk kamu berpedoman dengan dia didalam kegelapan darat dan laut”. S 6 Al An’aam ayat 97.
Maka janganlah anda menyangka, bahwa yang dimaksud dengan perjalanan matahari dan bulan dengan perhitungan yang teratur, lagi tersusun dan dari kejadian bayang-bayang, nur dan bintang-bintang, untuk memperoleh pertolongan dengan dia dalam segala hal urusan duniawi. Tetapi adalah supaya anda mengetahui dengan itu, batas-batas waktu, lalu anda pergunakan untuk taat dan tijarah (perniagaan) bagi negeri akhirat. Dibuktikan kepada anda yang demikian, oleh firman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang menjadikan malam dan siang berganti-ganti bagi orang yang mau ingat atau mau bersyukur”. S 25 Al Furqaan ayat 62. Artinya: digantikan salah satu dari keduanya oleh yang lain, supaya dapat diperoleh pada salah satu dari keduanya, apa yang tertinggal pada yang lain. Dan diterangkanNya, bahwa yang demikian itu adalah untuk berdzikir (mengingat) dan bersyukur. Tidak untuk yang lain.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Kami jadikan malam dan siang itu dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang yang terang, untuk kamu mencari kurnia dari Tuhanmu dan supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan”. S 17 Al Israa’ ayat 12. Sesungguhnya keutamaan yang dicari, ialah pahala dan ampunan. Kita bermohon pada Allah akan taufiq yang baik untuk apa yang direlaiNya.
PENJELASAN: bilangan wirid dan susunannya.
Ketahuilah, bahwa wirid siang itu 7: Diantara terbit cahaya pagi sampai kepada terbit bundaran matahari, 1 wirid. Diantara terbit matahari, sampai kepada gelincir matahari (zawal), 2 wirid. Diantara zawal, sampai kepada waktu ‘Ashar, 2 wirid. Dan diantara ‘Ashar, sampai kepada Maghrib, 2 wirid.
Malam terbagi kepada 4 wirid: 2 wirid, dari Maghrib, sampai kepada waktu orang tidur. Dan 2 wirid lagi, dari tengah malam yang akhir, sampai kepada terbit fajar. Maka marilah kami terangkan keutamaan tiap-tiap wirid tadi dan tugasnya serta yang berhubungan dengan dia.
Maka wirid yang pertama: diantara terbit sinar pagi, sampai kepada terbit matahari. Dan itu adalah waktu yang mulia. Dibuktikan kemuliaan dan kelebihannya, oleh sumpahnya Allah dengan dia, karena Ia berfirman: “Demi waktu subuh, apabila telah terang”. S 81 At Takwiir ayat 18. Dan pujian Allah kepadanya, dengan firmanNya: “Dia (Allah) itu Pembelah subuh”. S 6 Al An’aam ayat 96. Dan firmanNya: “Aku berlindung dengan Yang Mempunyai cuaca subuh”. S 113 Al Falaq ayat 1. Dan dizahirkanNya qudrah ( kuasa ) dengan menarik bayang-bayang kepadaNya, dengan firmanNya: “Kemudian, kami tarik dia (bayang-bayang) kepada Kami sedikit-sedikit”. S 25 ayat 46. Yaitu: waktu menarik bayang-bayang malam dengan membentangkan cahaya matahari. Dan petunjukNya kepada manusia, kepada mengucapkan tasbih kepadaNya, dengan firmanNya: “Maka Maha Sucilah Allah ketika kamu berpetang dan waktu kamu berpagi”. S 30 Ar Ruum ayat 17. Dan dengan firmanNya: “Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya”. S 20 Thaahaa ayat 130. Dan firmanNya: “Dan bertasbihlah disebahagian dari waktu-waktu malam dan dipinggir-pinggir siang, supaya engkau akan rela”. S 20 ayat 130. Dan firmanNya Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu, pagi dan petang !”. S 76 Al Insaan ayat 25.
Adapun tata tertibnya, maka hendaklah diambil waktunya dari waktu terbangun dari tidur. Apabila sudah bangun, maka sewajarnyalah memulai dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, dengan membaca: “Segala pujian bagi Allah yang menghidupkan kita setelah dimatikanNya kita dan kepadaNyalah dibangkitkan –sampai kepada penghabisan doa dan ayat-ayat yang telah kami sebutkan, pada doa bangun tidur dari Kitab Doa. Dan hendaklah memakai pakaian waktu berdoa dan berniat dengan memakai pakaian itu menutup auratnya. Karena, mengikut perintah Allah Ta’ala dan meminta pertolongan padaNya kepada beribadah, tanpa maksud memperlihatkan kepada orang (riya’) dan menonjolkan diri. Kemudian menuju ke tempat membuang air (kakus), bila ia memerlukan kepadanya. Dan pertama-tama, memasukkan kakinya yang kiri dan mendoa dengan doa-doa yang telah kami sebutkan pada Kitab Bersuci, ketika masuk dan keluar dari kakus. Kemudian bersugi selaku amal sunat, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan berwudlu’ dengan menjaga segala sunat dan doa yang telah kami sebutkan pada bersuci dahulu. Sesungguhnya telah kami kemukakan dahulu satu persatu dari ibadah, adalah supaya kami sebutkan pada Kitab ini cara susunan dan tatatertibnya saja.
Apabila telah selesai dari wudlu’, lalu mengerjakan shalat 2 rakaat Fajar, ya’ni: shalat sunat di tempatnya sendiri. Begitulah dikerjakan oleh Rasul saw. Dan sesudah shalat 2 rakaat itu, sama saja kedua rakaat itu dikerjakan di rumah atau di masjid, lalu membaca doa yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon padaMu rahmat daripada sisiMu, Engkau beri petunjuk dengan rahmat itu akan hatiku....” sampai kepada penghabisan doa yang telah disebutkan dahulu.
Kemudian, keluar dari rumah menuju masjid dan jangan dilupakan doa keluar ke masjid. Dan tidak berjalan kepada shalat itu dengan berlari (tergesa-gesa), tetapi berjalan dengan tenang dan khidmat, sebagaimana yang tersebut dalam hadits. Dan tidak membuat jari-jari tangannya sebagai jerjak. Dan masuklah masjid, mendahulukan kakinya yang kanan dan mendoa dengan doa yang diperoleh dari para sahabat dan salaf untuk masuk masjid. Kemudian carilah di masjid itu baris pertama (shaf pertama), kalau ada yang terluang. Dan tidaklah melangkahi bahu orang lain dan desak-mendesak, sebagaimana telah tersebut dahulu pada Kitab Jum’at. Kemudian, mengerjakan shalat 2 rakaat fajar (sunat Subuh), kalau belum dikerjakan di rumah. Kemudian membaca doa yang telah tersebut dahulu, sesudahnya. Dan kalau telah dikerjakan 2 rakaat fajar di rumah, niscaya dikerjakan 2 rakaat shalat tahiyyah-masjid, kemudian duduk menunggu jama’ah. Dan lebih disunatkan melakukan shalat jama’ah Subuh itu pada waktu masih gelap di akhir malam (masih pagi benar). Adalah Nabi saw melakukan shalat Subuh di waktu masih gelap pagi. Dan tiada seyogyalah meninggalkan berjama’ah pada shalat umumnya dan pada shalat Subuh dan shalat Isya’ pada khususnya. Karena keduanya mempunyai kelebihan yang utama. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra daripada Rasulullah saw bahwa Nabi saw bersabda mengenai shalat Subuh: “Barangsiapa berwudlu’, kemudian menuju masjid untuk melakukan shalat padanya, niscaya baginya satu kebaikan dengan tiap-tiap langkahnya dan dihapuskan satu kejahatan daripadanya. Dan kebaikan itu balasannya 10 kali. Maka apabila telah mengerjakan shalat, kemudian meninggalkan tempat itu, ketika terbit matahari, niscaya dituliskan baginya, tiap-tiap sehelai bulu pada badannya, suatu kebaikan. Dan itu bertukar dengan suatu hajji yang penuh dengan kebajikan. Kalau ia duduk, sehingga ia mengerjakan shalat Dhuha, niscaya dituliskan baginya, tiap-tiap rakaat sejuta kebaikan. Dan barangsiapa mengerjakan shalat pada waktu pertiga pertama dari malam (waktu al-‘atamah), maka baginya pahala seperti itu juga dan bertukarlah itu dengan satu ‘umrah yang penuh dengan kebajikan”.
Adalah diantara kebiasaan ulama terdahulu (salaf), masuk masjid sebelum terbit fajar. Berkata seorang dari golongan tabi’in (angkatan sesudah sahabat atau pengikut sahabat Nabi saw): “Aku masuk masjid sebelum terbit fajar, maka aku jumpai Abu Hurairah telah mendahului aku, seraya beliau berkata kepadaku: “Wahai anak saudaraku ! untuk apa engkau keluar dari rumahmu pada saat ini ?”. Maka aku menjawab: “Untuk shalat pagi !”. Lalu beliau berkata: “Bergembiralah! sesungguhnya kami menghitung keluar kami dan duduk kami di masjid pada saat ini, adalah sebagai peperangan pada jalan Allah Ta’ala (perang sabil)”. Atau beliau mengatakan: “Berperang bersama Rasulullah saw”.
Dari Ali ra diriwayatkan, bahwa Nabi saw mengetok pintu rumahnya, dimana ia dan Fathimah ra sedang tidur, seraya bersabda: “Apakah kamu berdua ini tidak shalat ?”. Berkata Ali ra: “Lalu aku menjawab: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya diri kami ditangan Allah Ta’ala. Apabila dikehendakiNya membangunkan kami, niscaya dibangunkanNya”. Maka pergilah Nabi saw dan aku mendengar sedang beliau pergi itu, memukul pahanya dan bersabda: “Adalah manusia itu lebih banyak bertengkar”.
Kemudian, seyogyalah sesudah 2 rakaat fajar dan doanya, membaca istighfar dan tasbih, sampai kepada waktu mendirikan shalat. Yaitu membaca: “Aku meminta ampun pada Allah yang tiada disembah, selain Dia, yang Hidup, yang Berdiri dengan sendiriNya dan aku bertaubat kepadaNya” 70 kali. Dan membaca: “Maha Suci Allah, segala pujian bagi Allah tiada yang disembah, selain Allah dan Allah itu Maha Besar” 100 kali. Kemudian, mengerjakan shalat fardlu, dengan menjaga segala apa yang telah kami bentangkan dahulu, dari segala adab batin dan adab zahir dalam shalat dan berimam.
Apabila telah selesai dari shalat fardlu itu, lalu duduklah dalam masjid sampai terbit matahari, berdzikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana akan kami susun nanti. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya aku duduk pada tempat dudukku, berdzikir kepada Allah Ta’ala padanya, dari shalat pagi (shalat Subuh) sampai terbit matahari, adalah lebih aku sukai daripada memerdekakan 4 orang budak belian”. Diriwayatkan bahwa: “Nabi saw apabila telah mengerjakan shalat Subuh, lalu duduk pada tempat shalatnya, sehingga terbitlah matahari” –dan pada setengah riwayat: “Beliau mengerjakan shalat 2 rakaat” –yakni: “Setelah terbit matahari. Dan tersebutlah keutamaan yang demikian, yang tidak terhinggakan. Dan diriwayatkan oleh Al-Hasan: “Bahwa Rasulullah saw menyebutkan sebahagian dari rahmat Tuhannya, dengan sabdanya: “Bahwa Tuhan berfirman: “Wahai anak Adam ! berdzikirlah kepadaKu sesudah shalat Fajar barang sesaat dan sesudah shalat ‘Ashar barang sesaat, niscaya Aku cukupkan bagi engkau, apa yang ada diantara keduanya”. Apabila telah nyata keutamaan yang demikian, maka hendaklah duduk dan tidak bercakap-cakap sampai terbit matahari.
Tetapi seyogyalah pekerjaannya sampai kepada terbit matahari itu, 4 macam: doa dan dzikir dengan diulang-ulanginya pada buah tasbih, membaca Alquran dan tafakkur. Adapun doa, maka setiap kali selesai dari shalat, hendaklah dimulai dan dibaca: “Wahai Allah Tuhanku ! berilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad dan keluarganya ! wahai Allah Tuhanku ! Engkau kesejahteraan, dari Engkau kesejahteraan, kepada Engkau kembali kesejahteraan ! hidupkanlah kami, wahai Tuhan kami dengan kesejahteraan ! masukkanlah kami ke negeri kesejahteraan, maha barakah Engkau, wahai Yang Mempunyai keagungan dan kemuliaan !”.
Kemudian, memulai doa dengan apa yang dimulai oleh Rasulullah saw, yaitu doanya: “Maha Suci Tuhanku, yang tinggi Maha Tinggi, yang maha memberi ! tiada yang disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dialah yang hidup, yang tidak mati. DitanganNya kebajikan dan Dia maha berkuasa atas tiap-tiap sesuatu. Tiada yang disembah, selain Allah, yang mempunyai nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tiada yang disembah selain Allah dan tiada kami menyembah, selain Dia, dimana kami mengikhlaskan agama bagiNya, walaupun benci orang-orang yang kafir”.
Kemudian, memulai dengan doa-doa yang telah kami bentangkan pada Bab Ketiga dan Keempat dari Kitab Doa. Maka berdoalah dengan semuanya itu, kalau sanggup. Atau dihafal dari keseluruhannya apa yang dipandang sesuai dengan keadaannya, yang lebih menghaluskan bagi jiwanya dan lebih meringankan pada lidahnya.
Adapun dzikir yang berulang-ulang, maka yaitu: kalimat-kalimat yang mempunyai keutamaan dan kelebihan pada mengulang-ulanginya, dimana kami tidak membentangkannya secara panjang. Dan sekurang-kurangnya dari apa yang seyogyanya, ialah diulangi tiap-tiap daripadanya 3 kali atau 7 kali. Dan sebanyak-banyaknya, 100 kali atau 70 kali dan yang sedang, ialah 10 kali. Maka hendaklah diulang-ulanginya itu, menurut kelapangan dan keluasan waktunya. Kelebihan yang banyak, adalah lebih banyak. Dan yang sedang, lagi sederhana, ialah diulang-ulanginya 10 kali. Maka itulah yang lebih layak untuk selalu dilaksanakan. Dan pekerjaan yang lebih baik, ialah yang selalu dikerjakan, walaupun sedikit. Tiap-tiap pekerjaan, adalah tidak mungkin diteruskan selalu dengan banyak. Maka sedikitnya secara terus-menerus, adalah lebih utama dan lebih mempengaruhi hati daripada banyakya serta putus-putus. Yang sedikit terus-menerus itu, adalah seumpama titik-titik air yang menitik keatas bumi dengan terus-menerus berikutan, maka dapatlah mendatangkan suatu lobang kecil pada bumi. Dan juga kalau titik-titik air itu jatuh keatas batu. Dan air yang banyak yang berpisah-pisah, bila tercurah satu kali atau beberapa kali yang berpisah-pisah dalam waktu yang berjauhan, maka tidaklah menimbulkan bekas yang nyata. Kalimat-kalimat itu adalah 10:
1.      membaca “Tiada yang disembah, selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia yang Hidup, tiada mati. DitanganNya kebajikan. Dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
2.      membaca: “Maha Suci Allah, segala pujian bagi Allah, tiada yang disembah selain Allah dan Allah itu Maha Besar. Tiada daya dan tiada upaya, melainkan dengan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.
3.      membaca: “Allah Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan bagi segala malaikat dan nyawa”.
4.      membaca: “Maha Suci Allah yang Maha Agung dan dengan pujian kepadaNya”.
5.      membaca: “Aku meminta ampun pada Allah yang Maha Agung, yang tiada disembah, selain Dia, yang hidup, yang berdiri sendiri dan aku bermohon padaNya akan taubat”.
6.      membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! tiada yang melarang akan apa yang Engkau berikan, tiada yang memberi akan apa yang Engkau larang. Dan tiada bermanfaat akan orang yang mempunyai kesungguhan daripada Engkau oleh kesungguhannya”.
7.      membaca: “Tiada yang disembah, selain Allah, yang memiliki, yang Maha Benar, yang maha menjelaskan segala sesuatu”.
8.      membaca: “Dengan nama Allah yang tiada memberi kemelaratan sesuatu serta namaNya, di bumi dan di langit. Dan Dia maha mendengar, lagi maha mengetahui”.
9.      membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad, hambaMu, NabiMu dan RasulMu, Nabi yang ummi (tak tahu tulis-baca), kepada kaum keluarganya dan sahabat-sahabatnya”.
10.    membaca: “Aku berlindung dengan Allah yang maha mendengar, lagi maha mengetahui daripada setan yang terkutuk. Wahai Tuhanku ! aku berlindung dengan Engkau dari gangguan-gangguan setan. Dan aku berlindung dengan Engkau, wahai Tuhanku, daripada setan-setan itu datang kepadaku”.
Maka 10 inilah kalimat-kalimat, apabila diulang-ulangi tiap-tiap kalimat 10 kali, maka jadilah 100 kali. Maka itu adalah lebih utama (afdhal) daripada mengulang-ulangi suatu dzikir 100 kali. Karena tiap-tiap kalimat dari kalimatt-kalimat tersebut, mempunyai kelebihan  atas dayanya. Dan bagi hati dengan tiap-tiap kalimat itu, mempunyai semacam kesadaran dan kelezatan. Dan bagi jiwa, dalam berpindah dari kalimat ke kalimat, mempunyai semacam ketenangan dan keamanan dari kemalasan.
Adapun membaca, maka disunatkan membaca sejumlah ayat-ayat, yang dibentangkan oleh hadits-hadits dengan keutamaannya. Yaitu: membaca surat “Alhamdulillah” (surat Al Fatihah), Ayat Al-Kursiyy dan penghabisan dari surat “Al Baqarah”, dari firmanNya: “aa-manar-rasuul”. Dan “Syahidallaahu” dan “Qulillaahumma maalikal-mulki”, sampai habis kedua ayat ini. Dan firmanNya: “Laqad jaa-akum rasuulun min an-fusikum” sampai akhirnya. Dan firmanNya: “Laqad shadaqallaahu rasuulahur-ru’ya bil-haq” sampai akhirnya –S 48 Al Fath ayat 27. Dan firmanNya: “Al hamdulillaahil-ladzii lam yattakhidz waladan” sampai akhirnya –S 17 Al Israa’ ayat 111. Dan 5 ayat dari permulaan S 57 Al Hadiid dan 3 ayat dari penghabisan S 59 Al Hasyr. Dan kalau dibaca “tujuh-tujuh kali dari bacaan yang sepuluh” itu (al-musabbatil-‘asyr), yang telah dihadiahkan oleh Nabi Khidlir as kepada Ibrahim At Taimi ra dan diwasiatkannya supaya dibaca pagi dan petang, maka sesungguhnya telah sempurnalah keutamaan. Dan yang demikian itu telah mengumpulkan baginya keutamaan keseluruhan doa-doa yang tersebut dahulu.
Sesungguhnya diriwayatkan dari Karaz bin Wabrah ra dan Karaz ini termasuk al-abdaal (orang-orang shalih) yang selalu ada di dunia ini. Bila ada yang meninggal, maka digantikan oleh Allah swt dengan lainnya. Dimana ia menerangkan: “Telah datang kepadaku seorang saudaraku dari penduduk negeri Syam (Syiria). Lalu dihadiahkannya kepadaku suatu hadiah, seraya berkata: “Wahai Karaz, terimalah dariku hadiah ini ! karena ia adalah hadiah yang sebaik-baiknya”. Lalu aku bertanya: “Wahai saudaraku ! siapakah yang menghadiahkan kepadamu hadiah tersebut ?”. Maka ia menjawab: “Diberikan hadiah ini kepadaku oleh Ibrahim At-Taimi !”. Lalu aku bertanya: “Apakah tidak engkau tanyakan pada Ibrahim, siapakah yang memberikan hadiah itu kepadanya ?”. Menjawab saudara itu: “Ada ! lalu Ibrahim menerangkan: “Adalah aku duduk di halaman Ka’bah, dimana aku sedang bertahlil, bertasbih, bertahmid dan bertamjid (membaca: subhaanallah, wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar), maka datanglah seorang laki-laki, memberi salam kepadaku dan duduk di kananku. Belum pernah aku melihat pada masaku, orang yang secantik itu mukanya, yang sebagus itu pakaiannya, yang lebih putih warnanya dan lebih wangi baunya dari orang itu. Lalu aku bertanya: “Wahai hamba Allah ! siapakah anda ? darimanakah anda datang ?”. Maka ia menjawab: “Aku adalah Khidlir!”. Lalu aku bertanya: “Apakah maksudnya anda datang padaku !”. Menjawab Khidlir: “Aku datang kepadamu untuk memberi salam dan karena cinta kepadamu pada jalan Allah. Dan padaku ada suatu hadiah, yang ingin aku hadiahkan kepadamu !”. Maka aku bertanya: “Apakah hadiah itu ?”. Ia menjawab: “Bahwa engkau baca sebelum terbit matahari dan sebelum terbentangnya diatas bumi dan sebelum ia terbenam: surat Al Hamd, Qul a’uudzu birabbinnaas, Qul a’uudzu birabbil-falaq, Qul huallaahu ahad, Qul yaa ayyuhal-kaafiruun dan ayat Al Kursiyy. Masing-masing daripadanya 7 kali. Dan engkau baca: “Subhaanallaah, wal-hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahuu akbar” 7 kali. Dan berselawat kepada Nabi saw 7 kali. Memintta ampun (membaca Istighfar) bagi dirimu sendiri, bagi ibu bapakmu, bagi orang mu’min laki-laki dan perempuan 7 kali. Membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! buatlah bagiku dan bagi mereka, dengan cepat dan lambat, mengenai agama dunia dan akhirat, akan apa yang Engkau punyai baginya ! dan janganlah Engkau buat kepada kami, wahai yang kami junjung, akan apa yang kami punyai baginya. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Maha Penyantun, Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang”.
Perhatikanlah, bahwa anda tidak meninggalkan yang demikian itu pagi dan petang !”. Maka aku berkata: “Aku ingin, engkau menerangkan kepadaku, siapakah gerangan yang memberikan kepadamu akan pemberian yang agung ini ?”. Lalu ia menjawab: “Diberikan kepadaku oleh Muhammad saw”. Maka aku menyambung: “Terangkanlah kepadaku pahalanya !”. Ia menjawab: “Apabila anda menjumpai Muhammad saw maka tanyalah kepadanya tentang pahalanya ! dia akan menerangkan kepadamu yang demikian itu”. Lalu Ibrahim At-Taimi menerangkan, bahwa pada suatu hari ia bermimpi, seolah-olah malaikat datang kepadanya, lalu membawanya, sehingga dia dimasukkan ke dalam sorga. Maka ia melihat apa yang ada dalam sorga itu. Dan disifatkannya hal-hal yang agung daripada apa yang dilihatnya didalam sorga.  Berkata Ibrahim At-Taimi: “Lalu aku bertanya kepada malaikat itu, dengan mengatakan: “Untuk siapakah ini ?”.
Lalu malaikat itu menjawab: “Untuk orang yang mengerjakan amal, seperti amalmu !”. Disebutkan oleh Ibrahim At-Taimi, bahwa ia makan dari buah-buahan sorga dan para malaikat menyuguhkan kepadanya minuman sorga. Berkata Ibrahim seterusnya: “Maka datanglah kepadaku Nabi saw dan bersamanya 70 orang nabi dan 70 baris (shaf) malaikat. Tiap-tiap baris, seumpama antara masyriqq dan maghrib (antara tempat matahari terbit dan tempat matahari terbenam). Nabi saw memberi salam kepadaku dan memegang tanganku. Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah ! nabi Khidilir menerangkan kepadaku, bahwa ia mendengar daripadamu akan perkabaran ini”. Maka menjawab Nabi saw: “Benar Khidlir ! benar Khidlir ! dan tiap-tiap apa yang diceritakannya, adalah benar. Dia adalah orang yang berilmu dari penduduk bumi, kepala al-abdal dan dia dari tentara Allah Ta’ala di bumi”.
Maka aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! barangsiapa mengerjakan ini atau mengamalkannya dan ia tidak bermimpi seperti yang saya mimpikan didalam tidur saya, adakah ia diberikan sesuatu daripada apa yang diberikan kepada saya ?”. Menjawab Nabi saw: “Demi Allah, yang mengutus aku dengan sebenar-benarnya menjadi nabi ! sesungguhnya orang yang beramal akan diberikan itu, walaupun ia tidak bermimpi, berjumpa dengan aku dan tidak bermimpi melihat sorga. Sesungguhnya diberikan kepadanya ampunan dari segala dosa besar, yang telah diperbuatnya. Dihilangkan oleh Allah daripadanya kemarahan dan kutukanNya. Dan disuruh oleh Allah akan malaikat yang menjaganya di sebelah kiri, supaya tidak menuliskan satupun dari kesalahannya dari perbuatan-perbuatan jahat, sampai setahun lamanya.
Demi Allah yang mengutus aku dengan sebenarnya menjadi nabi ! tidaklah mengerjakan dengan amalan ini, kecuali orang yang telah dijadikan oleh Allah berbahagia. Dan tidak meninggalkan amalan ini, kecuali orang yang telah dijadikan oleh Allah celaka !”. Adalah Ibrahim At-Taimi selama 4 bulan tidak makan dan tidak minum. Dan itu adalah sesudah ia bermimpi dengan mimpi tadi. Maka inilah pekerjaan membaca ! kalau ditambahkannya kepada yang tadi, sesuatu daripada yang sampai kepadanya, wiridnya dari Alquran atau dipendekkannya kepada yang wirid itu saja, adalah baik. Karena Alquran menghimpunkan keutamaan dzikir, fikir dan doa, manakala disertakan pemahaman. Sebagaimana telah kami sebutkan keutamaan dan adabnya pada Bab Tilawah Alquran dahulu. Adapun fikir (tafakkur), maka hendaklah menjadi salah satu tugasnya. Dan akan datang uraian, apa yang ditafakkurkan itu dan caranya, pada Kitab Tafakkur dari “Rubu Yang Melepaskan” (Rubu’ Al-Munjiat). Tetapi kumpulannya kembali kepada dua bahagian:
Pertama: bertafakkur tentang yang bermanfaat dari Ilmu Mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dengan menghisab diri (memperhitungkan segala perbuatan diri sendiri), pada masa yang lampau, dari keteledorannya. Menyusun segala tugasnya pada hari yang berada dihadapannya. Mengatur tentang menolak segala yang memalingkan dan yang mencegah, yang menghabiskan waktunya, daripada berbuat kebajikan. Mengingati keteledoran nya dan yang mendatangkan kepadanya kekecewaan dari segala perbuatannya, untuk diperbaikinya. Menghadirkan kedalam hatinya, niat-niat yang baik dari segala perbuatan, pada dirinya dan dalam pergaulannya dengan kaum muslimin.
Kedua. Bertafakkur pada yang bermanfaat dalam ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu, dengan kertafakkur, sekali pada segala nikmat Allah Ta’ala dan berturut-turut nikmatNya, yang zhahir dan yang bathin supaya bertambahlah pengenalannya (ma’rifatnya) dengan ni’mat itu. Dan membanyak kan kesyukurannya kepada nikmat. Atau bertafakkur tentang siksa dan azabNya, supaya bertambahlah ma’rifatnya dengan qudrah ( kuasa ) Ilahi dan istighna’Nya (Istighna’Nya yaitu: Tuhan tidak memerlukan sesuatu dari makhluk). Dan bertambahlah takutnya kepada siksa dan azab itu. Masing-masing dari hal-keadaan tersebut, mempunyai banyak cabang, yang meluas tafakkur padanya dari sebahagian makhluk dan tidaknya dari sebahagian yang lain. Dan itu akan kami tinjau secara mendalam pada Kitab Tafakkur. Manakala mudah melaksanakan tafakkur itu, maka itu adalah ibadah yang termulia. Karena mengandung pengertian, mengingati Allah Ta’ala (berdzikir kepadaNya) dan menambahkan dua hal:
Pertama: menambahkan ma’rifat, karena berfikir itu, kunci ma’rifat dan kasyaf (terbuka yang terdinding).
Kedua: menambahkan kecintaan, karena hati tidak mencintai, kecuali orang yang ditekadkan mengagungkannya. Dan tidaklah terbuka (inkisyaf) keagungan dan kebesaran Allah swt, selain dengan mengenal sifat, qudrah ( kuasa ) dan keajaiban Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Maka dari berfikir datanglah ma’rifah dan dari ma’rifah, datanglah pengagungan. Dan dari pengagungan, datanglah kecintaan. Dan juga, dzikir itu mempusakai kejinakan hati. Dan kejinakan hati itu, adalah semacam kecintaan. Tetapi kecintaan, yang sebabnya dari pengenalan (ma’rifah), adalah lebih teguh, tetap dan agung.
Bandingan kecintaan orang yang mengenal (al-arif atau yang berma’rifah), dengan kejinakan hati orang yang mengingati (yang berdzikir), tanpa kesempurnaan memandang dan memperhatikan, adalah seperti bandingan asyiknya orang yang menyaksikan kecantikan seseorang dengan mata sendiri dan melihat kebagusan tingkah-laku, perbuatan, keutamaan dan hal-ikhwalnya yang terpuji dengan dicoba, dibandingkan kepada kejinakan hati orang yang berulang kali mendengar sifat seseorang yang jauh dari matanya, dengan kebagusan bentuk dan tingkah lakunya secara mutlak, tanpa uraian segi-segi kebagusan bentuk dan tingkah lakunya itu. Maka tidaklah kecintaan orang yang mendengar itu, seperti kecintaan orang yang melihatnya. Dan tidaklah berita itu, seperti dilihat sendiri.
Para hamba Allah (al-ibad) yang rajin mengingati Allah dengan hati dan lisan, yang membenarkan apa yang dibawa oleh para rasul, dengan keimanan secara taqlid (turut/menurut), maka tidaklah bersama mereka dari kebagusan segala sifat Allah Ta’ala, melainkan segala hal yang cantik yang diyakininya, dengan membenarkan orang yang menyifatkan sifat-sifat Allah itu kepada mereka. Orang yang berma’rifah (al-‘arifun), ialah mereka yang menyaksikan keagungan dan kecantikan itu, dengan mata-hati kebathinan (‘ainil-bashirah al-bathiniah), yang lebih kokoh kuat dari pandangan zhahir. Karena tiada seorangpun sanggup mengetahui penghabisan keagungan dan kecantikan Allah. Yang demikian itu, tidak disanggupi oleh seorangpun daripada makhluk. Tetapi masing-masing orang dapat menyaksikan, sekedar terangkat baginya hijab. Dan tak ada kesudahan (la nijahah) bagi kecantikan Hadirat Ketuhanan dan bagi hijabNya. Dan sesungguhnya, bilangan hijabnya, yang berhak dinamakan Nur dan kadang-kadang disangka oleh orang sampai kepadanya, bahwa telah sempurnalah sampainya kepada asal, adalah 70 hijab. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mempunyai 70 hijab dari Nur. Kalau dibukaNya, niscaya terbakarlah akan apa yang didapati bashar (melihat) Nya oleh keMaha Sucian WajahNya”.
Dan hijab itu pula menurut susunannya. Dan nur-nur itu, berlebih kurang tingkatannya, sebagaimana berlebih-kurangnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Dan nyatalah pada permulaannya, yang lebih kecil, kemudian apa yang berikutnya. Dan diatas dasar itulah, dita’wilkan oleh sebahagian orang Shufi, akan tingkat-tingkat yang manampak bagi Ibrahim as pada meningkatnya.
Berkata sebahagian orang Shufi itu: “Bahwa ayat: “Tatkala gelaplah kepada Ibrahim keadaan”, ra-aakaukabaa –artinya: “maka sampailah ia kepada suatu hijab dari nut”. Disebutkan hijab itu dengan kaukab (bintang). Dan tidaklah dimaksudkan dengan kaukab, benda-benda yang bercahaya itu. Karena masing-masing orang kebanyakan, tidaklah tersembunyi bagi mereka, bahwa Ketuhanan tidaklah layak dengan benda-benda yang bertubuh (al-ajsam). Bahkan mereka mengetahui yang demikian itu pada permulaan perhatian mereka. Maka apa yang tidak menyesatkan orang kebanyakan (orang awam), tentu tidak menyesatkan Ibrahim Al-Khalil as. Dan hijab yang dinamakan dengan “nur”, tidaklah dimaksudkan akan cahaya yang dapat dirasa dengan pandangan mata. Tetapi dimaksud kan akan apa yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Allah itu cahaya bagi langit dan bumi. Bandingan cahayNya adalah seperti satu kurungan pelita, yang didalamnya ada pelita......” sampai akhir ayat. Marilah kita lampaui saja segala pengertian ini, karena diluar dari Ilmu Mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan tidak sampai kepada hakikat/maknanya, kecuali dengan terbuka hijab/ kasyaf yang mengikuti pikiran yang bersih. Dan sedikitlah orang yang terbuka baginya pintu hijab/kasyaf. Dan yang mudah bagi kebanyakan orang ramai, ialah berpikir mengenai apa yang mendatangkan faedah dalam Ilmu Mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan itu juga termasuk hal yang banyak faedahnya dan besar manfaatnya.
Maka tugas yang 4 itu, ya’ni: doa, dzikir, membaca dan tafakkur, seyogyalah menjadi tugas seorang murid (orang yang menuntut jalan Allah), sesudah shalat Subuh. Bahkan pada tiap-tiap wirid sesudah selesai dari tugas shalat. Sehingga tidak ada, tugas, sesudah shalat selain yang 4 ini. Dan dikuatkannya untuk itu, dengan mengambil senjata dan benteng pertahanan. Dan puasa adalah benteng yang menyempitkan jalan lalu-lintas setan, yang selalu bermusuh, memalingkan seorang murid dari jalan petunjuk. Dan tak adalah shalat sesudah datang waktu Subuh, selain dari 2 rakaat fajar dan Fardlu subuh, sampai kepada terbit matahari. Adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya ra menggunakan waktu tersebut dengan berbagai macam dzikir. Dan itu adalah lebih utama, kecuali ia sangat mengantuk sebelum fardlu. Dan mengantuk itu tidak ditolak, selain dengan shalat. Kalau ia bershalat karena yang demikian maka tiada mengapa.
Wirid yang kedua: ialah antara terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang hari. Saya maksudkan dengan dluha, ialah separuh antara terbit matahari, sampai kepada waktu gelincir matahari (waktu zawal). Yang demikian itu, dengan lewatnya 3 jam dari siang, apabila diumpamakan siang itu 12 jam. Yaitu: ¼ dan pada ¼ dari siang ini terdapat 2 tugas tambahan:
Tugas Yang pertama: shalat Dluha dan telah kami terangkan dahulu pada Kitab Shalat. Dan yang lebih utama (al-aula), ialah mengerjakan 2 rakaat Dluha, ketika matahari sudah terbit. Yaitu, apabila matahari telah membentang dan meninggi kira-kira separuh anak panah. Dan mengerjakan shalat 4 rakaat atau 6 rakaat atau 8 rakaat, apabila telah panaslah dinding-dinding dan terasa tapak kaki dengan panas matahari. Maka waktu yang 2 rakaat itu, ialah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Bertasbih memuji Tuhan petang dan pagi”. S 38 Shaad ayat 18. Itu adalah waktu terbit matahari (waktu isyraq). Yaitu: terang sempurna sinarnya dengan meninggi matahari itu dari setentang uap dan debu yang terdapat atas permukaan bumi, dimana asap dan debu itu mencegah sempurnanya menampak terbitnya matahari. Waktu yang 4 rakaat itu, ialah Dluha yang tertinggi, dimana Allah Ta’ala bersumpah dengan dia, dengan firmanNya: “Demi waktu Dluha. Dan malam apabila senyap sepi”. S 93 Adl Dluhaa ayat 1 dan 2.
Rasulullah saw pergi kepada para sahabatnya, dimana mereka sedang mengerjakan shalat ketika waktu isyraq. Lalu Nabi saw berseru dengan suaranya yang keras: “Ketahuilah, bahwa shalat bagi orang-orang yang taubat itu, ialah apabila telah panaslah dinding-dinding dengan sinar matahari”. Maka karena itulah, kami katakan, bahwa apabila disingkatkan kepada sekali saja shalat, maka waktu tadi adalah yang paling utama bagi shalat Dluha, walaupun pokok keutamaan itu, berhasil dengan mengerjakan shalat antara dua tepi waktu makruh (waktu kirahah bagi shalat). Yaitu: antara meninggi matahari dengan terbitnya, lebih-kurang separuh anak panah, sampai kepada sebelum zawal pada saat tengah hari (saat istiwa/bersemayam’). Dan nama Dluha itu, tertuju kepadanya semuanya. Dan seakan-akan 2 rakaat isyaraq tadi, jatuh pada permulaan waktu keizinan shalat dan lewatnya waktu kirahah. Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya tanduk setan. Apabila matahari itu meninggi, maka berpisahlah setan itu daripadanya”. Sekurang-kurang meningginya, ialah matahari itu meninggi dari kabut dan debu tanah. Dan ini dijaga dengan berlebih kurang.
Tugas yang kedua pada waktu ini: ialah perbuatan kebaikan yang berhubungan dengan manusia, yang berlaku menurut adat kebiasaan pada pagi hari. Seperti mengunjungi orang sakit, menyelenggarakan jenazah, menolong pada jalan kebajikan dan taqwa kepada Tuhan, mengunjungi majelis ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang sejalan dengan itu untuk memenuhi keperluan orang-orang muslim dll sebagainya. Kalau tidak ada sesuatu dari yang demikian itu, niscaya kembalilah kepada tugas yang 4 yang telah kami terangkan dahulu. Yaitu: doa, dzikir, membaca dan tafakkur, serta shalat-shalat sunat kalau mau, dimana shalat itu dimakruhkan sesudah shalat Subuh dan tidak dimakruhkan sekarang. Sehingga jadilah shalat itu bahagian kelima dari jumlah tugas waktu ini, bagi orang yang ingin mengerjakannya. Adapun sesudah fardlu Subuh, maka dimakruhkan tiap-tiap shalat yang tidak mempunyai sebab. Dan sesudah datang waktu Subuh, yang lebih disukai, ialah menyingkatkan shalat kepada  2 rakaat fajar dan shalat tahiyyat masjid. Dan tidaklah mengerjakan shalat yang lain, tetapi berdzikir, membaca, mendoa dan bertafakkur.
Wirid ketiga: dari dluha siang, sampai kepada waktu zawal. Yang dimaksudkan dengan dluha, ialah separuh dari waktu tadi dan sebelum separuh itu sedikit, walaupun ada sesudah tiap-tiap 3 jam, disuruh dengan shalat. Apabila telah berlalu 3 jam sesudah terbit matahari, maka pada 3 jam tadi dan sebelum berlalunya, adalah shalat Dluha. Apabila telah lewat 3 jam lagi, maka itulah waktu Dhuhur. Apabila lewat 3 jam lagi maka itulah waktu ‘Ashar. Dan apabila telah lewat 3 jam lagi, maka itulah waktu Maghrib. Kedudukan Dluha diantara zawal dan terbit matahari, adalah seperti kedudukan ‘Ashar diantara zawal dan terbenam matahari. Kecuali, bahwa shalat Dluha itu bukan shalat fardlu. Karena waktunya adalah waktu manusia sibuk dengan urusannya. Maka diringankanlah itu kepada mereka.
Tugas keempat: pada waktu ini ialah bahagian-bahagian yang 4 itu dan ditambahkan lagi 2 perkara:
Pertama: bekerja dengan usaha, mengatur penghidupan dan datang ke pasar. Kalau ia saudagar maka seyogyalah berniaga dengan benar dan jujur. Kalau ia mempunyai perusahaan, maka dengan memberi nasehat dan kasih sayang. Dan tidak melupakan dzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala dalam segala pekerjaan. Dan memendekkan usahanya itu sekedar keperluan untuk hari itu, manakala ia sanggup berusaha tiap-tiap hari untuk pangannya.
Apabila telah berhasil yang mencukupi untuk harinya itu, maka hendaklah ia kembali ke bait Tuhannya (baitul-rabbih) dan menyediakan perbekalan bagi akhirat. Karena keperluan kepada perbekalan akhirat adalah lebih berat. Dan mengambil manfaat dengan dia, adalah lebih kekal. Dari itu, bekerja dengan mengusahakan perbekalan akhirat adalah lebih penting daripada mencari tambahan diatas keperluan waktu itu.
Ada yang mengatakan, bahwa orang mu’min, tidak didapati selain pada 3 tempat: pada masjid yang diramaikannya atau pada rumah yang ditutupkan nya atau pada keperluan yang tak boleh tidak daripadanya. Dan sedikitlah orang yang mengetahui kadar, pada apa yang tidak boleh tidak itu. Bahkan kebanyakan manusia, menaksir barang yang boleh tidak, bahwa itu tidak boleh tidak baginya. Sebabnya karena setan menjanjikan kepada mereka kemiskinan dan menyuruh nya dengan perbuatan keji. Lalu mereka dengar setan itu dan mengumpulkan apa yang tidak dimakan karena takut miskin. Dan Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan ampunan dan kurnia daripadaNya. Lalu mereka berpaling daripada Allah Ta’ala dan tidak menyukaiNya.
Kedua: tidur siang. Dan ini sunat untuk membantu bangun malam, sebagaimana makan sahur sunat untuk membantu puasa siang. Kalau ia tidak bangun malam, tetapi kalau tidak tidur siang, ia tidak menggunakan waktunya itu kepada kebajikan. Dan mungkin bergaul dengan orang-orang yang lalai dan bercakap-cakap dengan mereka. Maka dalam hal ini, tidur adalah lebih baik baginya, apabila tidak membangkirkan kerajinannya untuk kembali kepada berdzikir dan tugas-tugas yang tersebut dahulu. Karena pada tidur itu, adalah diam dan selamat.
Berkata sebahagian mereka, bahwa akan datang kepada manusia suatu masa, dimana diam diri dan tidur padanya adalah lebih utama bagi segala amal perbuatannya. Berapa banyak orang ‘abid (yang banyak beribadah), keadaannya yang sebaik-baiknya  ialah tidur. Yang demikian itu, apabila menimbulkan ria dan tidak mendatangkan keikhlasan pada ibadahnya. Maka betapa lagi dengan orang lalai yang fasiq itu !. Berkata Sufyan Ats-Tsuri ra: “Adalah mena’jubkan akan mereka apabila telah selesai dari tugasnya, oleh tidurnya, karena mencari keselamatan. Apabila tidur itu dimaksudkan untuk mencari keselamatan dan niat bangun malam, maka tidur itu adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (qurbah)”. Tetapi seyogyalah bangun sebelum zawal, sekedar untuk mempersiapkan diri buat shalat dengan wudlu’ dan datang ke masjid sebelum masuk waktu shalat. Yang demikian itu, adalah sebahagian daripada amal yang utama. Kalau tidak tidur dan tidak bekerja dengan sesuatu usaha dan menggunakan waktunya dengan shalat dan dzikir, maka itu adalah lebih utama segala amalan siang. Karena waktu itu, adalah waktu kelengahan manusia daripada mengingati Allah ‘Azza Wa Jalla dan sibuk dengan kepentingan duniawi. Maka hati yang tercurah untuk berkhidmat kepada Tuhannya pada ketika hamba-hamba yang lain berpaling daripada pintuNya, adalah lebih layak disucikan oleh Allah dan dipilihNya untuk mendekati dan mengenaliNya. Kelebihan yang demikian itu, adalah seperti kelebihan menghidupkan malam. Malam adalah waktu kelalaian dengan tidur. Dan itu tadi adalah waktu kelalaian dengan menuruti hawa nafsu dan menghabiskan waktu dengan kepentingan duniawi. Dan salah satu dari dua pengertian firman Allah Ta’ala: “Dan Dia yang menjadikan malam dan siang silih berganti, untuk (pengajaran) bagi siapa yang memperhatikan”. S 25 Al Furqaan ayat 62. Artinya: yang satu menggantikan yang lain tentang kelebihan. Dan pengertian yang kedua: bahwa yang satu menggantikan yang lain, sehingga diperoleh pada yang satu, apa yang telah hilang pada yang lain.
Wirid keempat: diantara zawal sampai kepada selesai dari shalat Dhuhur dan sunat rawatibnya (shalat sunat Dhuhur). Dan ini adalah wirid siang yang terpendek dan yang terutama. Kalau sudah berwudlu’ sebelum zawal dan telah datang ke masjid, maka manakala telah gelincirlah matahari dan muadzin telah memulai adzan, maka hendaklah bersabar sampai kepada selesai menjawab  adzannya. Kemudian, bangunlah menghidupkan waktu dengan shalat diantara adzan dan iqamat. Itu adalah waktu mendhuhurkan (waqtulidh-har), yang dimaksudkan oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan diwaktu kamu berdhuhur”. S 30 Ar Ruum ayat 18. Dan hendaklah bershalat pada waktu ini 4 rakaat dengan satu salam, yang tidak dipisahkan diantara keempat rakaat itu. Dan shalat ini sendiri, diantara shalat-shalat siang yang lain, dinukilkan oleh sebahagian ulama, bahwa Nabi saw mengerjakannya dengan satu salam. Tetapi riwayat tersebut dikecam orang. Dan menurut mazhab Asy-Syafi’i ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat tadi dua-dua rakaat, seperti sunat-sunat yang lain. Dan diceraikan dengan satu salam. Dan itulah yang dishahkan oleh hadits-hadits. Hendaklah diperpanjangkan rakaat-rakaat ini karena segala pintu langit dibuka pada waktunya, sebagaimana telah kami bentangkan hadits mengenainya pada Bab Shalat Sunnat dahulu. Dan hendaklah dibacakan padanya surat Al Baqarah atau surat dari ratusan ayatnya atau 4 dari surat yang dibacakan selalu berulang-ulang (al-matsani/al fateha). Itulah saat-saat yang dimakbulkan doa dan yang paling disukai oleh Rasulullah saw untuk diangkatkan amalan padanya. Kemudian, dikerjakan shalat Dhuhur dengan berjama’ah, sesudah dikerjakan 4 rakaat yang pendek, yang tidak wajar ditinggalkan. Kemudian sesudah Dhuhur, hendaklah dikerjakan shalat 2 rakaat, kemudian 4 rakaat. Dan Ibnu Mas’ud memandang makruh diikutkan shalat fardlu dengan yang menyamainya, tanpa ada yang memisahkan. Dan sunat dibacakan pada shalat sunat ini ayat Al-Kursiyy, penghabisan surat Al Baqarah dan ayat-ayat yang telah kami bentangkan pada wirid pertama dahulu. Supaya adalah yang demikian, menghimpunkan diantara doa, dzikir, bacaan, shalat, tahmid dan tasbih bersama kemuliaan waktu.
Wirid Kelima: yaitu sesudah yang tadi sampai kepada ‘Ashar. Dan disunatkan pada waktu wirid ini i’tikaf (duduk beribadah dengan niat i’tikaf) dalam masjid, berdzikir dan bershalat atau berbagai amalan kebajikan. Dan dalam menunggu shalat itu, adalah dengan beri’tikaf. Maka sebahagian daripada amalan utama, ialah menunggu shalat sesudah shalat. Dan adalah yang demikian itu, sunnah (jalan yang ditempuh) oleh ulama-ulama terdahulu. Adalah orang yang masuk itu, memasuki masjid antara Dhuhur dan ‘Ashar, lalu mendengar dengungan suara pembacaan dari orang-orang yang bershalat, seperti dengungan bunyi lebah. Kalau rumahnya telah diserahkan untuk agama dan disepakatkan untuk kepentingan agama, maka rumah itu adalah lebih utama terhadap dirinya. Maka menghidupkan wirid tadi, dimana wirid itu juga pada waktu manusia dalam kelalaian, adalah seperti menghidupkan wirid ketiga tentang kelebihannya. Pada waktu ini, dimakruhkan tidur bagi orang yang telah tidur sebelum zawal, karena dimakruhkan dua kali tidur pada satu siang hari. Berkata sebahagian ulama: “3 perkara dikutuk oleh Allah: ketawa tanpa ada yang ganjil, makan tanpa lapar dan tidur siang tanpa berjaga pada malam hari”. Pembatasan tidur: bahwa malam dan siang itu, adalah 24 jam. Maka tidur yang sederhana, ialah 8 jam pada malam dan siang seluruhnya. Kalau telah tidur selama 8 jam ini pada malam hari, maka tidak adalah artinya lagi untuk tidur pada siang hari. Dan kalau kurang dari itu, maka disempurnakan sekedar yang kurang, dengan tidur pada siang hari. Hendaklah manusia itu menghitung, kalau ia hidup 60 tahun, maka telah berkurang daripada umurnya 20 tahun. Dan manakala ia tidur 8 jam, yaitu 1/3, maka telah berkurang daripada umurnya 1/3. Tetapi tatkala tidur itu adalah makanan bagi nyawa, sebagaimana makanan biasa adalah makanan bagi tubuh dan sebagaimana ilmu dan dzikir adalah makanan bagi jiwa, maka tidaklah mungkin manusia itu meninggalkan tidur dari jumlah yang sederhana tadi. Kadar sederhana ini dan berkurang daripadanya, mungkin membawa kepada kegoncangan badan (tidak seimbang). Kecuali orang yang membiasakan tidak tidur malam sedikit demi sedikit. Kadang-kadang ia melatih dirinya atas yang demikian, tanpa menggoncangkan. Wirid kelima ini, adalah wirid yang paling panjang dan paling menyedapkan bagi hamba Allah. Yaitu salah satu dari petang, yang disebutkan oleh Allah dengan firmanNya: “Dan apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang”. S 13 Ar Ra’d ayat 15. Apabila telah bersujud kepada Allah ‘Azza Wa Jalla segala benda beku(al-jamadat), maka bagaimanakah boleh dilengahkan oleh hamba ya berakal, daripada segala macam ibadah itu?
Wirid Keenam: apabila telah masuk waktu ashar, niscaya masuklah waktu wirid ke 6 Yaitu: yang disumpahi oleh Allah Ta’ala, dengan firmanNya: “Wal-‘ashri” –Demi waktu ‘Ashar –S 103 Al ‘Ashr ayat 1. Inilah adalah salah satu daripada dua pengertian ayat, yaitu: yang dimaksudkan dengan petang (al-aashaal) pada salah satu dari dua penafsiran. Yaitu: kata-kata al-‘asyiyyi (sore) yang tersebut pada firmanNya ‘wa ‘asyiyyaan”. Dan pada firmanNya: “bil-asyiyyi wal-isyraq”. S 38 Shaad ayat 18, yang artinya: diwaktu sore dan pagi. Dan tak adalah pada wirid ini shalat, selain dari 4 rakaat, antara adzan dan iqamat, sebagaimana yang telah lalu pada Dhuhur. Kemudian, mengerjakan shalat fardlu dan mengerjakan 4 macam yang tersebut pada wirid pertama dahulu sampai kepada meninggi matahari ke puncak pagar tembok dan warnanya menguning. Yang afdhal (lebih utama) pada wirid ini, karena dilarang shalat, ialah membaca Alquran dengan pengertian dan pemahaman yang mendalam. Karena yang demikian itu mengumpulkan antara dzikir, doa dan fikir. Maka masuklah ke dalam bahagian ini kebanyakan maksud dari bahagian yang 3 itu.
Wirid Ketujuh: apabila telah menguning cahaya matahari dengan mendekatnya ke bumi, dimana cahaya ditutup oleh debu dan kabut yang ada dipermukaan bumi dan menampaklah kuning warna cahayanya, maka masuklah waktu wirid ini. Yaitu seperti wirid yang pertama dahulu dari terbit fajar sampai kepada terbit matahari. Karena disini sebelum terbenam, sebagaimana disana sebelum terbit. Dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Bertasbihlah (muliakanlah) Allah, ketika  kamu di petang hari dan ketika kamu di pagi hari !”. S 30 Ar Ruum ayat 17. Dan inilah segi kedua yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka bertasbihlah kepada Allah beberapa jam pada bahagian-bahagian siang, supaya engkau merasa senang !”. S 20 Thaahaa ayat 130. Berkata Al-Hasan: “Adalah mereka sangat mengagungkan petang daripada permulaan siang”. Berkata sebahagian salaf: “Adalah mereka menjadikan permulaan siang untuk dunia dan penghabisan siang untuk akhirat”. Maka disunatkan pada waktu itu bertasbih dan beristighfar khususnya dan yang lain-lain dari apa yang telah kami sebutkan pada wirid yang pertama dahulu. Umpamanya, membaca: “Aku memohonkan ampun pada Allah yang tiada disembah, selain Dia, Yang Hidup, Yang berdiri sendiri dan aku bermohon padaNya taubat”. Dan membaca: (Subhaanallaahil-adhiim, wa bihamdih), dimana ini diambil daripada firman Allah Ta’ala: “Dan mohonkanlah ampun atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi !”. Membaca istighfar dengan ‘asma Allah (nama-nama Allah) yang tersebut dalam Alquran, adalah lebih disunatkan seperti membaca: “Astaghfirullaaha innahuu kaana ghafaaraa (maha pengampun). Astaghfirullaaha innahuu kaana tawwaabaa(maha penerima taubat) –Rabbighfir warham wa anta khairur-raahimiin –Faghfir lanaa warhamnaa wa anta khairur-raahimiin -Faghfir lanaa warhamnaa wa anta khairul-ghaafiriin”. Disunatkan membaca sebelum terbenam matahari: surat “Wasy-syamsi wa dluhaa-haa”, surat “Wallaili idzaa yaghsyaa”, surat “Qul a’uudzu birabbil falaq” dan “Qul a’uudzu birabbinnaas”. Dan hendaklah matahari itu terbenam, dimana dia sedang membaca istighfar. Apabila mendengar adzan, lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! inilah menghadapi malamMu, membelakangi siangMu dan suara-suara doa kepadaMu”, sebagaimana telah diterangkan dahulu.
Kemudian ia menjawab adzan dari muadzin dan bersiap-siap dengan shalat Maghrib. Dan dengan terbenamnya matahari, maka selesailah segala wirid siang. Maka seyogyalah seorang hamba memperhatikan akan hal-ikhwalnya dan mengadakan perhitungan (mengadakan hisab) akan dirinya. Sesungguhnya telah berlalu dari perjalanannya suatu jarak perjalanan. Kalau bersamaanlah harinya itu dengan kemarinnya, maka adalah ia merugi. Dan kalaulah lebih buruk dari kemarin, maka adalah ia terkutuk.
Bersabda Nabi saw: “Tiadalah diberikan kepadaku, keberkatan pada hari, dimana aku tidak bertambah kebajikan padanya”. Kalau ia melihat dirinya sempurna diatas kebajikan pada seluruh siang harinya, dengan merasa senang, tanpa kesulitan, niscaya dirinya itu adalah menggembirakan. Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta’ala, diatas taufiq dan petunjuk Allah kepadanya bagi jalanNya. Dan kalau sebaliknya, maka hendaklah malam itu menggantikan siang. Hendaklah ia ber’azam untuk memperoleh apa yang telah lalu dari keteledorannya. Karena kebajikan itu menghilangkan kejahatan. Dan hendaklah ia bersyukur kepada Allah diatas kesehatan badannya. Dan yang tinggal dari sisa umurnya sepanjang malamnya itu, hendaklah dipergunakannya untuk memperoleh apa yang telah hilang dengan sebab keteledorannya. Dan hendaklah ia menghadirkan kedalam jiwanya, bahwa siang keumuran itu mempunyai penghabisan, dimana terbenamlah matahari kehidupan padanya. Maka tak adalah matahari kehidupan itu terbit lagi sesudahnya. Dan pada ketika itu tertutuplah pintu untuk memperoleh kembali apa yang telah hilang dan meminta kemaafan. Tidaklah umur itu selain dari beberapa hari saja yang dapat dihitung, yang pasti berlalu keseluruhannya dengan berlalu satu-persatunya.
PENJELASAN: wirid-wirid malam. Yaitu: 5
Pertama: apabila telah terbenam matahari, lalu mengerjakan shalat Maghrib dan bekerja dengan menghidupkan diantara Maghrib dan ‘Isya’. Dan penghabisan wirid ini ialah ketika terbenam syafaq, yaitu mega-merah, dimana dengan hilangnya itu, masuklah waktu shalat ‘Isya’ (shalat al-‘atamah). Sesungguhnya Allah Ta’ala telah bersumpah dengan syafaq. Ia berfirman: “Aku bersumpah dengan syafaq (mega merah di senja kala)”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 16. Dan shalat pada waktu syafaq itu, adalah shalat di malam hari. Karena syafaq itu adalah kejadian pertama bagi saat-saat malam. Dan adalah salah satu dari waktu-waktu yang tersebut pada firman Allah Ta’ala: “Maka bertasbihlah pada beberapa jam dari malam hari !”. S 20 Thaahaa ayat 130. Yaitu: shalat orang-orang yang bertaubat (shalat al-awwabin). Dan itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya”. S 32 As Sajdah ayat 16. Diriwayatkan yang demikian daripada Al-Hasan dan disandarkan (di-isnadkan) oleh Ibnu Abi Ziyad kepada Rasulullah saw: “Bahwa ditanyakan Nabi saw tentang ayat tadi, lalu Nabi saw menjawab: yaitu: shalat antara Maghrib dan ‘Isya’. Kemudian Nabi saw menyambung: “Kamu harus mengerjakan shalat diantara Maghrib dan ‘Isya’ karena sesungguhnya shalat itu menghilangkan segala yang sia-sia di siang hari dan membersihkan penghabisan dari hari itu”. Kata-kata: segala yang sia-sia, dalam bahasa Arabnya, tersebut pada hadits tadi, dengan kata-kata al-mulaaghaat, adalah kata-kata jama’ dari kata-kata mulghah, berasal dari kata-kata al-laghwi, artinya: yang sia-sia atau batil/salah. Ditanyakan Anas ra tentang orang yang tidur antara Maghrib dan ‘Isya’, lalu ia menjawab: “Jangan engkau lakukan, karena waktu itu adalah saat yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Tatajaafaa junuubuhum ‘anil-madlaaji” –S As 32 Sajdah ayat 16 yang telah tersebut diatas tadi. Dan akan datang penjelasan keutamaan menghidupkan dengan amalan, diantara Maghrib dan ‘Isya’ nanti pada Bab Kedua. Susunan wirid ini, ialah: mengerjakan shalat pertama-tama sesudah maghrib 2 rakaat dengan membaca pada keduanya: Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun dan Qul huallaahu ahad. Dan kedua rakaat tadi dilaksanakan di belakang Maghrib benar, tanpa diselangi dengan percakapan dan perbuatan apapun. Kemudian, dikerjakan shalat 4 rakaat dengan memanjangkannya. Kemudian, dikerjakan shalat lagi sampai terbenam syafaq, sekedar yang mudah baginya. Kalau masjid itu berdekatan dengan rumahnya, maka tiada mengapa dikerjakan shalat tadi di rumah, kalau tak ada azamnya beri’tikaf di masjid. Dan kalau berazam kepada beri’tikaf di masjid untuk menunggu shalat Isya’, maka itu adalah lebih utama, apabila ia merasa terpelihara daripada berbuat-buat (at-tashannu) dan ria.
Wirid Kedua: masuk dengan masuknya waktu Isya’, sampai kepada batas waktu orang tidur. Yaitu permulaan bersangatan gelap. Allah Ta’ala bersumpah dengan itu. FirmanNya: “Demi malam dan apa yang dikumpulkan dari kegelapannya”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 17. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Sampai gelap malam”. S 17 Al Israa’ ayat 78. Maka disitu menggelaplah malam dan berkumpullah dengan bersangatan gelap. Susunan wirid ini, dengan memelihara 3 perkara:
Pertama: mengerjakan shalat, selain daripada fardlu Isya’, 10 rakaat: 4 rakaat sebelum fardlu Isya’, karena menghidupkan diantara adzan dan iqamat dengan mengerjakan shalat, 6 rakaat sesudah fardlu Isya’: 2 rakaat, kemudian 4 rakaat. Dan membaca padanya dari Alquran, ayat-ayat tertentu, seperti penghabisan surat Al Baqarah, ayat Al-Kursiyy, permulaan surat Al Hadiid, penghabisan surat Al Hasyr dan lainnya. 
Kedua: mengerjakan shalat 13 rakaat, dimana akhirnya adalah witir. Karena sesungguhnya kebanyakan dari apa yang diriwayatkan, ialah Nabi saw mengerjakan shalat dengan cara itu pada malam hari. Orang-orang cerdik mengambil waktunya dari awal malam dan orang-orang kuat dari akhir malam. Dan yang lebih teliti, ialah medahulukan, karena kadang-kadang tiada terbangun atau berat untuk bangun. Kecuali apabila yang demikian itu, telah menjadi kebiasaan baginya. Maka dalam hal ini, akhir malam adalah lebih utama. Kemudian, hendaklah dibaca pada shalat ini, kira-kira 300 ayat dari surat-surat tertentu, dimana Nabi saw banyak membacanya, seperti: surat Yasin, As-sajadah, surat Ad-Dukhan, Tabarakal-mulk, Az Zumar dan Al Waaqi’ah. Kalau tidak mengerjakan shalat, maka janganlah meninggalkan membaca surat-surat tadi atau sebahagian daripadanya sebelum tidur. Sesungguhnya diriwayatkan dalam 3 hadits, akan apa yang dibacakan oleh Rasulullah saw setiap malam. Yang lebih terkenal daripadanya, ialah surat As-Sajadah, Tabaarakal-mulk, Az Zumar dan Al Waaqi’ah.
Kalau tidak mengerjakan sholat, maka janganlah meninggalkan membaca surat2 tadi atau sebahagian daripadanya sebelum tidur. Sesungguhnya diriwayatkan dalam 3 hadis akan apa yg akan dibaca kan oleh rasulluloh saw setiap malam. Yang lebih terkenal daripadanya ialah surat as sajadah, Tabaarakal-mulk, Az Zumar dan Al Waaqi’ah. Dan pada suatu riwayat, surat Az Zumar dan Bani Israil (surat Al-Israa’). Dan pada riwayat lain, adalah nabi saw membaca surat-surat yang dimulai dengan ucapan tasbih pada tiap-tiap malam.
Dan Nabi saw mengatakan, bahwa satu ayat pada surat-surat itu, adalah lebih utama daripada 1000 ayat yang lain. Adalah para ulama menjadikan surat-surat tersebut itu 6, lalu ditambahkan mereka: “Sabbihisma rabbikal-a’laa”, karena tersebut pada hadits: “Bahwa Nabi saw amat menyukai “Sabbihisma rabbikal-a’laa”. Dan ia membaca pada 3 rakaat witir, 3 surat: Sabbiihsma rabbikal-a’laa. Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun dan surat Al-Ikhlas (Qul huallaahu ahad). Apabila telah selesai dari witir, lalu beliau baca: “Subhaanal-malikil-qudduus” 3 kali.
Ketiga: witir. Dan hendaklah berwitir sebelum tidur, kalau tiada ada kebiasaannya bangun malam. Berkata Abu Hurairah ra: “Diwasiatkan kepadaku oleh Rasulullah saw, bahwa aku tidak tidur, kecuali sesudah witir”. Kalau sudah membiasakan shalat malam, maka mengemudiankan witir itu, adalah lebih utama. Bersabda Nabi saw: “Shalat malam itu dua-dua rakaat. Apabila engkau takut akan datang waktu Subuh, maka berwitirlah dengan serakaat saja !”. Berkata ‘Aisyah: “Rasulullah saw mengerjakan witir pada awal malam, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Dan habislah witirnya, sampai kepada waktu sahur”. Berkata Ali ra: “Witir itu adalah atas 3 jurusan. Kalau mau, engkau dapat berwitir pada awal malam, kemudian engkau mengerjakan shalat 2 rakaat-2 rakaat. Ya’ni: dia itu menjadi witir dengan yang telah lalu dikerjakan. Kalau mau, engkau dapat berwitir dengan serakaat. Apabila engkau bangun nanti, engkau genapkan kepadanya dengan rakaat yang lain. Kemudian engkau berwitir pada akhir malam. Dan kalau mau, engkau kemudiankan witir, supaya adalah ia akhir shalatmu!”. Inilah yang diriwayatkan dari Ali ra.
Cara yang pertama dan yang ketiga, tidak apa-apa, dapat dikerjakan. Adapun membatalkan witir itu telah sah dilarang. Maka tiada seyogyalah dibatalkan. Dan diriwayatkan secara mutlak, bahwa Nabi saw bersabda: “Tak ada dua witir pada suatu malam”. Dan bagi orang yang ragu tentang terbangunnya nanti, dapat ia berbuat yang lebih menyenangkan, yang dipandang baik oleh sebahagian ulama. Yaitu, ia mengerjakan shalat 2 rakaat sesudah witir, dengan duduk pada tikarnya ketika tidur. Adalah Rasulullah saw berpindah kepada tikarnya dan mengerjakan shalat 2 rakaat dan membaca pada kedua rakaat itu: “Idzaa zulzilat dan Al-haakumut-takaatsur”. Karena pada 2 surat ini mengandung peringatan dan janji balasan atas perbuatan yang berdosa (at-tahzir dan al-wa’id). Dan pada satu riwayat, Nabi saw membaca: “Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun”. Karena pada surat ini mengandung maksud melepaskan diri dari orang-orang kafir (at-tabriah) dan menunggalkan ibadah semata-mata kepada Allah Ta’ala. Maka dikatakan: kalau ia terbangun, maka yang 2 rakaat tadi, berkedudukan pada kedudukan serakaat. Dan ia dapat berwitir dengan serakaat lagi pada akhir shalat malam. Dan seakan-akan shalat yang lalu telah menjadi genap dengan 2 rakaat itu, lalu baguslah mengulangi kembali shalat witir. Cara ini dipandang baik oleh Abu Thalib Al-Makki dan ia mengatakan: “Pada cara ini terdapat 3 amalan: pendek angan-angan, berhasil witir dan witir itu pada akhir malam”. Dan itu adalah seperti yang telah disebutkannya. Tetapi kadang-kadang terguris di hati, bahwa kalaulah kedua rakaat itu, menggenapkan apa yang telah lalu, niscaya adalah seperti yang demikian. Dan kalau ia tidak terbangun dan telah dibatalkannya witirnya yang pertama, maka keadaannya adalah menggenapkan, kalau ia terbangun dan tiada menggenapkan, kalau ia tertidur. Maka dalam hal ini, ada pandangan. Kecuali, bahwa shah dari Rasulullah saw peng-witirannya sebelum kedua rakaat itu dan pengulangannya akan witir. Mereka dipahamkan daripadanya, bahwa 2 rakaat itu genap menurut bentuknya dan ganjil menurut artinya (maksudnya). Maka disunatkan ganjil rakaatnya (witir), jika ia tidak terbangun dan genap, jika ia terbangun.
Kemudian, disunatkan sesudah memberi salam dari witir, membaca: “Maha Suci Raja-diraja, Yang Maha Qudus, Tuhan malaikat dan ruh. Engkau besarkan bumi dan langit dengan keagungan dan keperkasaan. Engkau Yang Maha Mulia dengan qudrah ( kuasa ) dan Engkau paksakan segala hamba dengan kematian”.
Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw sewaktu akan wafat adalah kebanyakan shalatnya duduk, selain dari shalat fardlu”. Dan Nabi saw bersabda: “Bagi orang yang shalat duduk, separuh pahala shalat orang yang berdiri dan bagi orang yang shalat berbaring, separuh pahala shalat orang yang duduk”. Dan itu menunjukkan, atas sahnya shalat sunat dengan berbaring.
Wirid Ketiga: tidur. Dan tiada mengapa dihitung tidur itu termasuk dalam wirid. Karena apabila dijaga segala adabnya, niscaya terhitung ia sebagai ibadah. Ada yang mengatakan: “Bahwa hamba apabila tidur dengan suci (berwudlu’) dan mengingati (berdzikir) akan Allah Ta’ala, ia dituliskan sebagai orang yang bershalat sampai ia bangun dan masuklah malaikat ke dalam baju panasnya. Kalau ia bergerak dalam tidurnya, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, niscaya malaikat berdoa baginya dan meminta ampun kepada Allah dosanya”. Dan pada suatu hadits tersebut: “Apabila tidur seseorang dengan bersuci (berwudlu’), niscaya diangkatkan ruhnya ke ‘Arasy”. Ini, mengenai orang awam, maka betapa lagi dengan orang-orang tertentu (al-khawwash), para ulama dan orang-orang yang berhati bersih ? maka mereka itu diberi kasyaf/terbuka hijab, terbuka segala sirr/rahasia dalam tidurnya. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Tidur orang yang berilmu (alim) itu ibadah dan nafasnya itu tasbih”. Bertanya Mu’az kepada Abi Musa: “Bagaimana anda berbuat tentang bangun malam ?”. Menjawab Abi Musa: “Aku bangun malam seluruhnya, tiada aku tidur sedikitpun pada malam. Aku junjung Alquran pada malam dengan sebenar-benarnya”. Berkata Mu’az: “Tetapi aku, aku tidur, kemudian aku bangun dan aku menghitung amalanku dalam tidur, sebagaimana aku menghitung amalanku dalam bangun”. Hal ini, diceritakan oleh keduanya (Mu’az dan Abi Musa) kepada Rasulullah saw maka Nabi saw menjawab: “Mu’az lebih berpaham daripadamu !”.
Adab tidur itu 10:
Pertama: bersuci dan bersugi. Bersabda Nabi saw: “Apabila hamba itu tidur dengan bersuci, niscaya dinaikkan ruhnya ke ‘Arasy, maka adalah mimpinya itu benar. Dan kalau ia tidak tidur dengan bersuci, niscaya pendeklah ruhnya daripada sampai. Maka segala mimpinya, adalah mimpi-mimpi yang bercampur baur, yang tidak benar”. Dan yang dimaksudkan dengan suci itu, ialah suci zhahir dan batin kesemuanya. Dan suci batin itu membekas dalam mengkasafkan (terbuka segala yg tertutup) segala hijab (penghalang) yang ghaib.
Kedua: menyediakan pada sisi kepalanya sugi dan air yang suci menyucikan dan berniat bangun beribadah ketika terbangun. Dan tiap kali ia terbangun, terus bersugi. Begitulah dikerjakan oleh sebahagian salaf. Diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Bahwa Nabi saw bersugi pada tiap-tiap malam beberapa kali, ketika tiap-tiap tidur dan ketika terbangun daripadanya”. Dan kalau tidak mudah baginya bersuci (berwudlu’), niscaya disunatkan menyapu anggota badannya dengan air. Kalau tidak ada air, maka hendaklah duduk dan menghadap qiblat dan berdzikir, mendoa dan bertafakkur tentang segala ni’mat Allah Ta’ala dan qudrah/kuasa Nya. Dan itu, sama halnya dengan bangun malam beribadah. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mendatangi tempat tidurnya dan berniat bangun untuk mengerjakan shalat di malam hari, lalu tidak terbangun sampai Subuh, niscaya dituliskan baginya apa yang diniatkannya. Dan tidurnya itu adalah sedekah kepadanya daripada Allah Ta’ala”.
Ketiga: bahwa tidaklah bermalam (tidur) orang yang mempunyai wasiat, sebelum wasiatnya itu tertulis, terletak di sisi kepalanya. Karena ia tidak aman, jiwanya diambil dalam tidur. Sesungguhnya orang yang mati, tanpa meninggalkan wasiat, niscaya tidak diizinkan berkata-kata di alam barzakh, sampai kepada hari kiamat. Ia dikunjungi oleh orang-orang yang mati dan bercakap-cakap, sedang ia tidak dapat berkata-kata. Berkata sebahagian dari orang-orang yang mati itu sesamanya: “Orang yang patut dikasihani ini, meninggal tanpa berwasiat”. Dari itu, disunatkan meninggalkan wasiat, karena dikuatiri mati dengan tiba-tiba. Dan mati dengan tiba-tiba itu, adalah meringankan, kecuali bagi orang yang tidak mempunyai persediaan untuk mati, dengan berat punggungnya memikul perbuatan-perbuatan zalim.
Keempat: bahwa ia tidur dengan bertaubat dari segala dosa, baik hati untuk sekalian orang muslimin, tidak membawa dirinya menganiaya seseorang dan tidak berazam kepada perbuatan ma’siat, bila ia telah bangun nanti. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa kembali kepada tikarnya, tanpa berniat menganiaya dan berdengki hati kepada seseorang, niscaya ia diampunkan dari apa yang telah dikerjakannya”.
Kelima: bahwa tidak bermewah-mewah dengan persediaan tikar yang empuk. Tetapi ditinggalkan yang demikian atau disederhanakan saja. Adalah sebahagian salaf memandang makruh mengadakan persediaan untuk tidur dan memandang yang demikian itu memberatkan diri sendiri (takalluf). Golongan Tasawwuf/kaum shufi tidak mengadakan batas antara mereka dan tanah. Mereka mengatakan: “Dari tanah kita dijadikan dan kepada tanah kita dikembalikan (minhaa khuliqnaa wa ilaihaa nuraddu)”. Mereka memandang yang demikian, menghaluskan jiwa dan lebih layak untuk merendahkan diri. Orang yang tidak membolehkan dirinya dengan yang demikian, maka hendaklah menyederhanakan saja.
Keenam: tidak tidur sebelum tidur itu meminta benar. Dan tidak memberatkan dirinya oleh tarikan tidur, kecuali apabila bermaksud dengan tidur itu, untuk memudahkan bangun pada akhir malam. Adalah tidur mereka (kaum shufi) itu, bila terpaksa, makannya sekedar perlu dan perkataannya yang penting-penting saja. Karena itulah, disifatkan, bahwa mereka sedikit saja tidur pada malam hari. Dan kalau didesak benar oleh tidur, dari melakukan shalat dan dzikir dan tidak tahu lagi, apa yang dikatakannya, maka hendaklah tidur, sampai dapat dipahaminya lagi, akan apa yang diucapkannya. Adalah Ibnu Abbas ra benci benar akan orang tidur sedang duduk. Dalam hadits tersebut: “Jangan kamu menanggung penderitaan pada malam !”. Diceritakan kepada Rasulullah saw: “Bahwa si Anu (seorang wanita) mengerjakan shalat pada malam hari. Maka apabila ia tertidur benar lalu bergantung dengan tali. Maka dilarang oleh Nabi saw daripada yang demikian itu, seraya bersabda: “Hendaklah mengerjakan shalat seorang kamu pada malam, sekedar yang mudah saja. Apabila didesak oleh tidur, maka hendaklah tidur !”.
Bersabda Nabi saw: “Pikullah pekerjaan sekedar kamu sanggup. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bosan sampai kamu bosan”. Bersabda Nabi saw: “Yang baik dari agama ini, ialah yang termudah daripadanya”. Diceritakan kepada Nabi saw: “Bahwa si Anu mengerjakan shalat, lalu ia tidak tidur-tidur dan mengerjakan puasa, lalu tidak pernah berbuka (tidak pernah meninggalkan puasa seharipun)”. Lalu Nabi saw bersabda: “Tetapi aku mengerjakan shalat dan tidur, mengerjakan puasa dan berbuka. Inilah sunnahku ! barangsiapa benci kepada sunnahku, maka dia tidaklah daripada golonganku”. Bersabda Nabi saw: “Jangan kamu lawan agama ini, karena dia adalah kokoh. Barangsiapa melawannya, niscaya akan dikalahkannya. Janganlah engkau marah kepada dirimu, karena beribadah kepada Allah !”.
Ketujuh: tidur dengan menghadap qiblat. Dan menghadap qiblat itu dua macam:
1.      Seperti menghadap qiblat yang dilakukan oleh orang sakit keras, yaitu: tidur menelentang atas kuduknya. Maka yang menghadap qiblat disini, ialah mukanya dan kedua pelipisnya ke arah qiblat.
2.      Seperti menghadap qiblat bagi liang kubur (liang lahad). Yaitu: tidur di atas rusuk, dimana mukanya ke arah qiblat, bersama badannya menghadap ke qiblat juga, apabila tidur dengan rusuk bahagian kanan.
Kedelapan: mendoa ketika tidur, dengan membaca: “Bismika Rabbii, wadla’tu janbii, wa bismika arfa’uhu....sampai kepada penghabisan doa-doa yang dinukilkan, yang telah kami bentangkan dahulu pada Kitab Doa. Disunatkan membaca ayat-ayat tertentu, seperti Ayat Al-Kursiyy, penghabisan surah Al-Baqarah dll dan firman Allah Ta’ala: “Wa ilaahukum ilaahun waahid, laa ilaaha illaahu –sampai kepada firmanNya: liqaumin ya’qiluun” –S 2 Al Baqarah ayat 163-164, yang artinya: “Dan Tuhanmu itu Esa, tiada Tuhan, selain Dia”. Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa membaca ayat tadi ketika tidur niscaya dihafalkan oleh Allah kepadanya Alquran. Maka tidak akan dilupakannya lagi. Dan dibaca dari surat Al-A’raaf, akan ayat ini: “Inna rabbakumul-lahulladzii khalaqas-samaawaati wal-ardla fi sittati ayyaam”, yang artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Sampai kepada firmanNya: “qariibun minal-muhsiniin” –S 7 Al A’raaf ayat 54-55-56. Dan akhir surat Bani Israil: “Qulid’ullaaha –sampai penghabisan kedua ayatnya” –Ayat 110-111. Maka sesungguhnya masuk kedalam baju panasnya, malaikat yang diserahkan untuk menjaganya. Maka malaikat itu meminta ampun baginya. Dan dibaca: “Qul a’uudzu birabbil falaq” dan “Qul a’uudzu birabbinnaas”. Dan menghembuskan dengan ayat-ayat itu pada kedua tangannya dan menyapu dengan kedua tangannya itu akan muka dan seluruh badannya. Begitulah diriwayatkan daripada perbuatan Rasulullah saw.
Dan hendaklah dibaca 10 ayat dari awal surat Al-Kahfi dan 10 ayat daripada akhirnya. Dan ayat-ayat ini, adalah untuk terbangun menegakkan malam dengan amalan. Adalah Ali ra berkata: “Tiadalah aku melihat orang yang sempurna akalnya, tidur sebelum membaca 2 ayat dari penghabisan surat Al Baqarah”. Dan hendaklah dibaca 25 kali: “Subhaanallaah, wal-hamdulillah, wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar”. Supaya jumlah kalimat yang 4 ini menjadi 100 kali.
Kesembilan: bahwa mengingati ketika tidur, bahwa tidur itu adalah semacam mati dan bangun itu adalah semacam kebangkitan.
Berfirman Allah Ta’ala: “Allah yang mengambil jiwa manusia itu ketika mati dan ketika tidurnya”. S 39 Az Zumar ayat 42.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang mematikan (mengambil nyawa) kamu di malam hari (waktu tidur)”. S 6 Al An’aam ayat 60. Allah Ta’ala menamakan tidur itu mati. Dan sebagaimana orang yang terbangun dari tidur, terbuka kepadanya segala pemandangan, yang tiada sesuai keadaannya dengan yang didalam tidur. Maka begitupula orang yang dibangkitkan dari kubur, akan melihat apa yang tidak terguris sekali-kali di hatinya dan tidak dipersaksikan oleh pancaindranya. Dapatlah diumpamakan, bahwa tidur diantara hidup dan mati itu, seperti alam barzakh diantara dunia dan akhirat.
Berkata Lukman kepada anaknya: “Wahai anakku ! kalau engkau ragu pada mati, maka janganlah engkau tidur. Maka sebagaimana engkau tidur, maka begitupulalah engkau mati. Dan kalau engkau ragu pada kebangkitan, maka janganlah engkau bangun. Maka sebagaimana engkau bangun sesudah tidur, maka seperti itu pulalah engkau dibangkitkan sesudah mati”.
Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Apabila engkau tidur maka tidurlah dengan bahagian badanmu yang kanan (rusukmu yang kanan) dan menghadaplah ke qiblat dengan mukamu ! karena tidur itu adalah mati”. Berkata ‘Aisyah: “Adalah penghabisan yang dibacakan oleh Rasulullah saw ketika tidur, dimana ia meletakkan pipinya keatas tangan kanannya dan ia memandang, bahwa ia wafat pada malamnya itu: (Allaahumma rabbas-samaawaatis-sab’i wa rabbal-arsyil-adhiim. Rabbanaa wa rabba kulli syai-in wa maliikahu.....) sampai kepada akhirnya, sebagaimana telah kami sebutkan pada Kitab Doa dahulu. Maka berhaklah hamba memeriksa 3 perkara ketika tidurnya: atas dasar apa ia tidur, apakah yang lebih banyak padanya: mencintai Allah Ta’ala dan mencintai menjumpaiNya atau mencintai dunia. Dan hendaklah ia meyakini, bahwa ia akan meninggal dunia diatas apa yang lebih banyak padanya. Dan ia akan dibangkitkan diatas apa ia meninggal. Sesungguhnya manusia itu bersama orang yang dicintainya dan bersama apa yang dicintainya.
Kesepuluh: mendoa ketika terbangun. Maka hendaklah membaca pada waktu bangun dan berbalik-balik badannya tatkala terbangun, akan apa yang dibaca oleh Rasulullah saw. yaitu: “Tiada yang disembah, selain Allah Yang Maha Esa, lagi Maha Perkasa, Yang mempunyai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, Yang Maha Mulia, lagi Maha Pengampun”. Dan hendaklah berusaha benar, supaya penghabisan yang berlalu pada hatinya, ketika tidur, ialah dzikir (ingatan) kepada Allah Ta’ala. Dan yang pertama datang pada hatinya ketika terbangun, ialah dzikir kepada Allah Ta’ala. Itu adalah tanda cinta kepada Allah. Dan tidaklah terbiasa hati kepada dua keadaan ini, kecuali apa yang terbiasa padanya. Maka hendaklah melatih hati dengan yang demikian. Karena itu, adalah tanda cinta, yang terbuka dari lubuk hati. Sesungguhnya disunatkan segala dzikir tersebut, supaya dapat menarikkan hati kepada berdzikir (mengingat) akan Allah Ta’ala. Apabila bangun untuk mendirikan amalan pada malam, maka dibaca: (Al-hamdulillaahil-ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur......) sampai kepada penghabisan dari apa yang telah kami bentangkan dahulu, dari doa-doa bangun dari tidur.
Wirid Keempat: masuk dengan lewatnya nishfu pertama (setengah yang pertama) daripada malam, sampai kepada tinggal 1/6 dari malam. Dan ketika itu bangunlah hamba untuk shalat tahajjud. Nama Tahajjud: tertentu dengan sesudah hujud dan huju’, yaitu tidur. Dan ini adalah tengah malam dan serupa dengan wirid yang sesudah zawal, yaitu: tengah hari. Dan dengan tengah malam itu, Allah Ta’ala bersumpah dengan firmanNya: “Demi malam, apabila telah tenang (gelap)”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 2. Dan tenangnya itu, adalah tenteramnya pada waktu tersebut. Tidak ada mata, selain yang tidur, kecuali Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri, yang tak ada padaNya kelupaan dan ketiduran. Ada yang mengatakan: “idzaa sajaa”, artinya ialah: apabila malam itu telah memanjang dan telah panjang. Dan ada yang mengatakan: apabila malam itu telah gelap. Ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Malam manakah yang lebih didengar doa ?”. Nabi saw menjawab: “Tengah  malam !”.
Nabi Daud as mendoa: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya aku amat suka berbuat ibadah kepadaMu. Maka waktu manakah yang lebih utama ?”. Maka diwahyukan oleh Allah kepadanya: “Wahai Daud ! janganlah kamu bangun pada awal malam dan jangan pada akhir malam ! sesungguhnya orang yang bangun pada awal malam, niscaya ia tidur pada akhir malam. Dan orang yang terbangun pada akhir malam, niscaya tiada bangun pada awal malam. Tetapi bangunlah tengah malam, sehingga engkau bersunyi-sunyi (berkhilwah) dengan Aku dan Aku berkhilwah dengan engkau dan sampaikanlah kepadaKu segala hajat engkau!”
Ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Malam manakah yang lebih utama ?”. Nabi saw menjawab: “Nishfu malam yang masih tinggal”. Dan pada akhir malam, telah datang hadits, menerangkan: bergoncangnya ‘Arasy, berhembusnya angin dari sorga ‘Adan dan turunnya Yang Maha Perkasa (rahmatNya) ke langit dunia. Dan beberapa hadits, yang lain dari itu.
Susunan wirid ini, ialah: sesudah selesai dari doa yang untuk bangun, lalu mengambil wudlu’ sebagaimana wudlu’ yang telah diterangkan dahulu, dengan sunatnya, adabnya dan doa-doanya. Kemudian menuju ke tempat shalat (mushalla) dan berdiri menghadap qiblat, dan membaca: (Allaahu akbar kabiraa. Wal-hamdu lillaahi katsiiraa. Wa subhaanallaahi bukratan wa ashiila). Artinya: “Allah Maha Besar, segala pujian yang banyak bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan sore”. Kemudian mengucapkan tasbih 10 kali, mengucapkan Al-Hamdulillah 10 kali dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah 10 kali.
Dan hendaklah membaca: “Allah Maha Besar, mempunyai alam malakut dan jabarut, kebesaran dan keagungan, kemuliaan dan kekuasaan”. Hendaklah membaca kalimat-kalimat yang dibawah ini, karena dinukilkan daripada Rasulullah saw, pada bangunnya bagi tahajjud: “Wahai Allah Tuhanku ! bagi Engkau segala jenis pujian. Engkau cahaya segala langit dan bumi. Bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah keeolokan langit dan bumi ! bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah Tuhan segala langit dan bumi ! bagi Engkaulah segala pujian, Engkaulah yang menegakkan segala langit dan bumi dan siapa yang didalamnya, serta siapa yang diatasnya. Engkaulah yang benar dan dari Engkau kebenaran. Menjumpai ALLAH itu benar, sorga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, para nabi itu benar dan Muhammad saw itu benar. Wahai Allah Tuhanku ! kepadaMu aku tunduk, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku menyerahkan diri. KepadaMu aku kembali, dengan sebab agamaMu aku berdebat dan kepadaMu aku meminta keputusan. Maka ampunilah dosaku, apa yang telah terdahulu aku kerjakan dan apa yang terkemudian, apa yang aku sembunyikan dan aku zhahirkan serta apa yang aku kerjakan yang berlebih-lebihan. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengemudian kan. Tiada yang disembah, selain Engkau. Wahai Allah Tuhanku ! datanglah kepada jiwaku akan ketaqwaan dan bersihkanlah akan jiwaku. Engkaulah sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah yang mengatur dan yang menguasainya ! wahai Allah Tuhanku ! tunjukilah aku kepada perbuatan yang sebaik-baiknya ! tidaklah yang menunjukkan aku kepada perbuatan yang sebaik-baiknya itu, selain Engkau ! singkirkanlah daripadaku perbuatan yang keji ! tidaklah yang menyingkirkan daripadaku perbuatan yang keji itu, selain Engkau ! aku bermohon padaMu, selaku permohonan orang yang berputus asa, yang miskin. Aku berdoa padaMu selaku doa orang yang memerlukan, yang hina. Maka jangalah Engkau jadikan aku dengan berdoa kepadaMu, wahai Tuhanku, tidak berbahagia ! adalah Engkau kepadaku, yang berbelas kasihan, lagi penyayang, wahai Yang Sebaik-baik yang diminta dan yang semulia-mulia yang memberi !”.
Berkara ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw apabila bangun malam, lalu memulai shalatnya dengan membaca: “Wahai Allah Tuhanku, Yang Mempunyai Jibril Mikail dan Israfil, yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang tampak, Engkaulah yang menetapkan hukum diantara segala hambaMu, mengenai apa yang diperselisihkan mereka ! tunnjukilah  aku kebenaran dari apa yang diperselisihkan itu dengan keizinanMu ! sesungguhnya Engkau memberi petunjuk akan siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”.
Kemudian memulai shalat, dengan mengerjakan shalat 2 rakaat yang ringan. Kemudian bershalat  2 rakaat-2 rakaat, sekedar yang mudah saja. Dan disudahi dengan witir, kalau belum bershalat witir. Disunatkan memisahkan diantara 2 shalat, ketika memberi salam, dengan membaca 100 kali tasbih (Subhaanallah), untuk istirahat dan untuk bertambah rajinnya mengerjakan shalat. Telah shah riwayat tentang shalat Rasulullah saw di waktu malam: “Bahwa beliau mengerjakan shalat, mula-mula 2 rakaat yang ringan, kemudian 2 rakaat yang panjang, kemudian 2 rakaat yang lebih pendek dari 2 rakaat sebelumnya. Kemudian, senantiasalah memendekkan dengan berangsur-angsur sampai kepada 13 rakaat”. Ditanyakan ‘Aisyah: “Adakah Rasulullah saw menjaharkan (membaca dengan suara keras) pada shalat malam atau mensirr/rahasiakan (membaca dengan suara kecil, sampai didengar oleh diri sendiri saja) ?” ‘Aisyah menjawab: “Kadang-kadang ia menjaharkan dan kadang-kadang ia men-sirr/merahasiakan”.
Bersabda Nabi saw: “Shalat malam itu 2rakaat - 2rakaat. Apabila engkau takut teledor Subuh, maka berwitirlah dengan serakaat saja”. Dan bersabda Nabi saw: “Shalat Maghrib itu meng-witirkan (membuat ganjil) shalat siang hari, maka witirkanlah (buatkanlah ganjil) akan shalat malam !”. Yang terbanyak dari apa yang shah riwayatnya daripada Rasulullah saw, mengenai shalat malam, ialah 13 rakaat”. Dibaca pada rakaat-rakaat ini, daripada wiridnya, dari Alquran atau dari surat-surat tertentu, apa yang ringan saja. Dan adalah dalam hukum wirid ini, dekat kepada perenam yang penghabisan daripada malam.
Wirid Kelima: ialah perenam yang penghabisan daripada malam, yaitu: waktu sahur. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan diujung malam (waktu sahur), mereka mendoa memohonkan ampun”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 18. Ada yang mengatakan, maksud dari firman tadi, ialah mengerjakan shalat, karena dalam shalat itu ada istighfar (meminta ampun). Sahur: adalah waktu yang mendekati terbitnya fajar, dimana fajar itu adalah waktu menyingkir malaikat malam dan datang malaikat siang. Wirid ini, telah disuruh oleh Salman akan saudaranya: Abud-Darda’ ra pada malam ia mengunjunginya, menurut suatu cerita yang panjang, dimana pada akhirnya dikatakan: “Tatkala datang malam, pergilah Abud-Darda’, bangun mengerjakan shalat. Lalu berkata Salman kepadanya: “Tidurlah !”. Maka tidurlah Abud-Darda’. Kemudian pergi lagi untuk mengerjakan shalat, lalu berkata pula Salman: “Tidurlah !” Lalu Abud-Darda’ pergi tidur. Tatkala datang waktu Subuh, maka berkata Salman kepada Abud-Darda’: “Bangunlah sekarang !” Lalu keduanya bangun pergi mengerjakan shalat. Kemudian berkata Salman kepada Abud-Darda’: “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu dan keluargamu mempunyai hak atasmu ! maka serahkanlah untuk masing-masing yang berhak itu akan haknya !”. Yang demikian, ialah bahwa isteri Abud-Darda’ menerangkan kepada Salman, bahwa Abud-Darda’ tidak tidur malam. Kemudian keduanya datang kepada Nabi saw menerangkan hal itu kepada Nabi saw. Maka bersabda Nabi saw: “Benar Salman !”. Inilah wirid kelima ! pada wirid ini disunatkan sahur, apabila dikuatiri akan terbit fajar. Dan tugas pada kedua wirid ini, ialah: shalat.
Apabila telah terbit fajar, maka selesailah wirid malam dan masuklah wirid siang. Lalu bangun mengerjakan shalat 2 rakaat fajar. Dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan bertasbihlah engkau memujiNya di malam hari dan di waktu tenggelamnya bintang-bintang !”. S AthThuur ayat 49. Kemudian dibaca: “Syahidallaahu annahuu laa ilaaha illaa hua wal-malaikah.....” sampai akhir ayat 18 Surat Ali ‘Imran. (artinya; Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (3:18)
Kemudian dibaca: “Aku mengaku dengan apa yang diakui oleh Allah bagi diriNya dan diakui oleh para malaikat dan orang-orang berilmu daripada makhlukNya. Aku petaruhkan pada Allah akan pengakuan (syahadat) ini dan menjadi petaruh (wadi’ah) pada sisi Allah Ta’ala bagiku. Dan aku bermohon daripadaNya penjagaan, sampai aku dimatikanNya diatas pengakuan itu. Wahai Allah Tuhanku ! kurangkanlah dengan sebab syahadat ini akan dosa daripadaku dan jadikanlah syahadat itu bagiku pada sisiMu simpanan dan peliharalah dia bagiku dan matikanlah aku diatas pengakuan itu, sampai aku menjumpaiMu, dengan dia, tidak bertukar sedikitpun !”.
Itulah susunan wirid-wirid bagi para hamba Allah ! Adalah mereka suka mengumpulkan bersama itu, pada tiap-tiap hari, antara 4 perkara: puasa, sedekah walaupun sedikit, mengunjungi orang sakit dan menghadiri tempat kematian. Dalam hadits tersebut: “Barangsiapa mengumpulkan diantara 4 perkara tersebut pada suatu hari, niscaya diampunkan dosanya”. Pada suatu riwayat: “Niscaya ia masuk sorga”. Kalau dilaksanakan sebahagian dari itu dan ia lemah dari yang lain, niscaya baginya pahala seluruhnya, menurut niatnya. Adalah mereka tidak suka berlalu hari, dimana mereka tiada bersedekah padanya suatu sedekah, walaupun dengan sebiji tamar atau bawang atau pecahan roti, karena Nabi saw bersabda: “Manusia itu dalam naungan sedekahnya, sehingga ditentukan nasibnya diantara manusia”. Dan sabda Nabi saw: “Takutlah daripada api neraka, walaupun dengan sekeping tamar !
Diserahkan oleh ‘Aisyah kepada orang yang meminta kepadanya, sebiji ‘inab (anggur kering). Orang itu lalu mengambilnya dan pandang-memandanglah orang-orang yang berada di sisi ‘Aisyah satu sama lain. Maka bertanya: “Aisyah ra: “Apa yang tuan-tuan pikir ? Sesungguhnya pada sebutir ‘inab itu berat pahala yang banyak”. Mereka tidak suka menolak orang yang meminta, karena tidak menolak itu, adalah termasuk akhlaq Rasulullah saw: “Tiadalah seseorang meminta sesuatu pada Nabi saw, lalu beliau mengatakan: “Tidak ada !” Tetapi kalau beliau tidak sanggup memberikan sesuatu, maka beliau berdiam diri”. Pada suatu hadits tersebut: “Jadilah anak Adam (manusia) dan diatas tiap-tiap sendi dari tubuhnya itu sedekah. Dan pada tubuhnya terdapat 360 sendi. Kamu suruh kepada yang baik itu sedekah, kamu larang dari yang munkar itu sedekah, tanggunganmu kepada orang yang lemah itu sedekah, tunjukanmu kepada sesuatu jalan itu sedekah dan kamu buang akan sesuatu yang menyakiti itu sedekah. Sehingga mengingatkan kepada tasbih dan tahlil juga sedekah”. Kemudian Nabi saw menyambung: “2 rakaat dluha itu, datang kepada yang demikian itu semuanya atau ia mengumpulkan bagimu yang demikian itu semuanya”.
PENJELASAN: berlainan wirid dengan berlainan keadaan.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang berkehendak kepada perusahaan akhirat dan yang berjalan kepada jalan akhirat, maka ia tidak terlepas dari 6 keadaan. Yaitu: adakalanya ‘abid (banyak ibadahnya), adakalanya ‘alim (banyak ilmunya), adakalanya muta’allim (masih belajar), adakalanya wali (yang diserahi kekuasaan), adakalanya pekerja dan adakalanya berkeesaan, tenggelam dengan Yang Maha Esa, Tempat meminta, tanpa lainNya.
Yang Pertama: ‘abid, yaitu: yang menjuruskan dirinya kepada ibadah, tak ada sekali-kali kerjanya yang lain. Kalau ia meninggalkan ibadah, niscaya duduklah ia sia-sia. Maka susunan wiridnya, ialah apa yang kami sebutkan dahulu. Ya, tak jauh selisih tugasnya, dengan menghabiskan kebanyakan waktunya, adakalanya dengan shalat atau dengan pembacaan Alquran atau dengan tasbih. Sesungguhnya, ada diantara sahabat Nabi saw yang wiridnya dalam satu hari, 12 ribu kali tasbih. Ada yang wiridnya 30 ribu kali. Ada yang wiridnya 300 sampai 600 rakaat dan sampai 1000 rakaat shalat. Dan yang paling sedikit, dinukilkan mengenai wirid mereka dari shalat itu, ialah 100 rakaat sehari-semalam. Dan sebahagian mereka kebanyakan wiridnya, adalah Alquran. Dan salah seorang dari mereka, mengkhatamkan Alquran dalam sehari sekali. Dan diriwayatkan, ada yang dua kali dari sebahagian sahabat-sahabat itu. Sebahagian dari mereka, ada yang menghabiskan sehari atau semalam untuk bertafakkur, mengenai suatu ayat dari Alquran yang diulang-ulanginya.
Adalah Karaz bin Wabrah bermukim di Makkah. Ia melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, tiap-tiap hari 70 kali 7 kali (karena 7 kali adalah sekali thawaf namanya). Dan pada tiap-tiap malam 70 kali 7 kali. Dan bersama dengan itu, ia mengkhatamkan Alquran sehari semalam dua kali. Maka dihitung yang demikian itu, adalah 10 farsakh jauhnya. Dan bersama dengan tiap-tiap 7 kali keliling Ka’bah itu, 2 rakaat shalat sunat. Maka berjumlah semuanya, 280 rakaat, 2 kali khatam Alquran dan 10 farsakh tadi. Kalau anda bertanya: “Manakah yang lebih utama, untuk dipergunakan waktu terbanyak dari wirid-wirid itu ?”. Maka ketahuilah, bahwa membaca Alquran dalam shalat, yang disertai pemahaman, adalah menghimpunkan semuanya. Tetapi kadang-kadang sulit melaksanakannya terus-menerus. Dari itu, keutamaannya berbeda dengan berbeda keadaannya seseorang. Dan tujuan dari wirid-wirid itu, ialah membersihkan hati, mensucikan dan menghiaskannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, serta menjinakkan hati kepadaNya. Maka hendaklah diperhatikan oleh murid itu, akan hatinya. Apa yang dilihatnya lebih membekas pada hatinya, maka hendaklah rajin ia mengerjakannya. Apabila ia telah merasa jemu daripadanya, maka hendaklah ia berpindah kepada yang lain. Dari itu, kami memandang lebih benar, bagi kebanyakan orang, membagi segala amalan kebajikan yang bermacam-macam itu, kepada beberapa waktu, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan berpindah dari satu macam ke satu macam yang lain. Karena jemu itu adalah perkara biasa menurut sifat manusia.
Dalam pada itu, keadaan diri seseorang itu berbeda pula. Tetapi apabila telah dipahami akan pemahaman dan rahasia daripada wirid-wirid itu, maka hendaklah diikuti akan pengertiannya. Kalau mendengar tasbih umpamanya dan merasa berkesan dalam lubuk hatinya, maka hendaklah rajin mengulang-ulanginya selama memperoleh kesan dari tasbih itu. Diriwayatkan daripada Ibrahim bin Adham dan Ibrahim bin Adham mengambil dari sebahagian abdal, bahwa sebahagian abdal itu, bangun pada suatu malam, pergi mengerjakan shalat di tepi pantai. Lalu mendengar suara keras, membaca tasbih dan tiada kelihatan seorangpun dari manusia. Lalu bertanya abdal tadi: “Siapa engkau, aku mendengar suaramu dan tiada melihat bentukmu ?”.
Maka suara itu menjawab: “Aku adalah malaikat, yang diserahi laut ini. Aku bertasbih akan Allah Ta’ala dengan tasbih tadi, semenjak aku dijadikan”.
Lalu aku bertanya (kata abdal tadi): “Siapakah namamu ?”.
Malaikat itu menjawab: “Muhalhayail !”.
Aku bertanya lagi: “Apakah pahalanya bagi orang yang membaca tasbih itu ?”.
Malaikat itu menjawab: “Barangsiapa membacanya 100 kali, niscaya ia tidak mati, sebelum melihat tempat duduknya dalam sorga atau diperlihatkan sorga itu kepadanya”.
Tasbih itu yaitu membaca: “Maha Suci Allah yang Maha Tinggi, lagi yang Maha Perkasa, Maha Suci Allah, yang maha kokoh sendi-sendi ciptaanNya, Maha Suci yang pergi dengan malam dan datang dengan siang, Maha Suci yang tidak disibukkan oleh suatu keadaan dari keadaan. Maha Suci Allah, yang Maha Penyantun, yang melimpah-limpah ni’matNya. Maha Suci Allah yang dipujikan di seluruh tempat”.
Maka tasbih ini dan yang seumpama dengan tasbih ini, apabila didengar oleh seorang murid serta memperoleh kesan dalam jiwanya, maka hendaklah dibiasakan. Mana saja, ia memperoleh hati padanya dan terbuka baginya kebajikan, maka hendaklah dilaksanakan dengan rajin.
Kedua: orang ‘alim yang bermanfaat ilmunya bagi umat manusia, dengan memberi fatwa atau mengajar atau mengarang. Maka susunan wiridnya berlainan daripada wirid orang ‘abid. Orang ‘alim itu memerlukan kepada membaca kitab-kitab, kepada mengarang dan kepada memberi faedah kepada orang lain. Dan sudah pasti ia memerlukan kepada waktu. Kalau mungkin, ia menghabiskan segala waktunya untuk itu, maka itu, adalah yang lebih utama dari apa yang dikerjakannya, sesudah segala shalat fardlu dan sunat-sunat rawatibnya (shalat-shalat sunat, sebelum atau sesudah shalat fardlu). Dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh segala apa yang telah kami sebutkan dahulu mengenai keutamaan mengajar dan belajar pada Kitab Ilmu. Bagaimanakah tidak demikian ? dalam ilmu itu, ada kerajinan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dan perhatikan apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala dan yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Dan ilmu itu kemanfaatan bagi manusia dan menunjukkan mereka kepada jalan akhirat. Kadang-kadang suatu masalah yang dipelajari oleh seorang pelajar, dapat memperbaiki ibadah seumur hidupnya. Kalau tidak dipelajarinya, niscaya usahanya itu menjadi sia-sia belaka. Kami maksudkan dengan ilmu yang mendahului ibadah, ialah ilmu yang menyukakan manusia kepada akhirat dan menzuhudkannya dari dunia. Atau ilmu yang menolong mereka kepada menjalani jalan akhirat, apabila dipelajarinya dengan maksud memperoleh pertolongan dengan ilmu itu kepada jalan akhirat. Bukan ilmu-ilmu yang menambah kesukaan kepada harta, kemegahan dan kesukaan orang banyak.
Yang lebih utama dengan ilmu itu, ialah membagi-bagikan juga waktunya. Kalau dihabiskannya segala waktunya dalam menyusun ilmu, yang tidak disanggupi oleh tabiat manusia, maka seyogyalah ia menentukan waktu, sesudah Subuh sampai kepada terbit matahari, dengan membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada “Wirid Pertama”. Dan sesudah terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang hari, adalah untuk memanfaatkan ilmu itu kepada orang banyak dan mengajar, kalau ada orang yang ingin memperoleh faedah dari ilmunya itu untuk akhirat. Kalau tidak ada, maka diserahkannya waktu itu kepada berfikir. Dan bertafakkur mengenai apa yang sulit baginya dari ilmu-ilmu agama. Karena kebersihan hati sesudah selesai daripada dzikir dan sebelum sibuk dengan kepentingan duniawi, adalah amat menolong kepada pemecahan segala kesulitan. Dan dari dluha siang hari sampai kepada ‘Ashar, untuk mengarang dan membaca, dimana tidak ditinggalkannya, kecuali pada waktu makan, bersuci, mengerjakan shalat fardlu dan tidur siang sekejap waktu, kalau siang itu panjang.
Dan dari ‘Ashar, sampai kepada kuning cahaya matahari sore menggunakan waktunya untuk mendengar apa yang dibacakan dihadapannya, mengenai tafsir atau hadits atau ilmu lain yang bermanfaat. Dan dari kuning cahaya matahari sore sampai kepada terbenam matahari, dengan berdzikir, beristighfar dan bertasbih. Maka adalah wiridnya yang pertama, sebelum terbit matahari, merupakan amalan lisan. Wiridnya yang kedua, merupakan amalan hati dengan berfikir, sampai kepada waktu dluha. Wiridnya yang ketiga sampai kepada ‘Ashar, merupakan amalan yang ke-4, sesudah ‘Ashar, merupakan amalan mendengar, supaya beristirahatlah mata dan tangan. Membaca dan menulis sesudah ‘Ashar, kadang-kadang mendatangkan melarat kepada mata. Dan ketika menguning cahaya matahari, ia kembali kepada berdzikir dengan lisan. Maka tidaklah kosong suatu bahagianpun dari siang hari, daripada amalan dengan anggota badan, serta kehadiran hati pada semuanya.
Adapun malam hari, maka pembahagian malam yang terbaik, ialah pembahagian malam dari Imam Asy-Syafi’i ra. Karena beliau membagi malam kepada 3 bagian: sepertiga malam untuk membaca dan menyusun ilmu, yaitu: yang pertama. Sepertiga malam untuk shalat, yaitu: yang ditengah dan sepertiga lagi untuk tidur, yaitu: yang penghabisan. Ini mudah dilaksanakan pada malam-malam musim dingin. Dan pada musim panas, kadang-kadang tidak memungkinkan demikian, kecuali ia membanyakkan tidur pada siang hari. Tiga inilah yang kami sukai dari susunan wirid-wirid ilmu.
Ketiga: pelajar. Bekerja menuntut ilmu, adalah lebih utama daripada berdzikir dan mengerjakan shalat-shalat sunat. Caranya adalah menurut cara orang ‘alim menyusun wiridnya. Tetapi pelajar itu bekerja memperolehkan faedah, sedang orang ‘alim itu bekerja memberikan faedah. Pelajar itu bekerja membuat catatan dan menghapuskan yang salah, sedang orang ‘alim itu bekerja menyusun karangan. Pelajar itu menyusun segala waktunya, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Segala apa yang telah kami sebutkan tentang kelebihan belajar dan ilmu dalam Kitab Ilmu, menunjukkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih utama. Bahkan walaupun ia bukan pelajar, dalam pengertian ia mencatat dan menghasilkan untuk menjadi orang ‘alim. Tetapi dia adalah orang awam. Maka kunjungannya ke majlis-majlis dzikir, pengajaran dan ilmu pengetahuan, adalah lebih utama daripada mengerjakan wirid-wirid yang telah kami sebutkan dahulu sesudah Subuh, sesudah terbit matahari dan pada waktu-waktu lainnya.
Pada hadits Abi Dzar ra tersebut: “Bahwa mengunjungi majlis dzikir, adalah lebih utama daripada shalat 1000 rakaat, daripada berkunjung kepada 1000 tempat kematian dan berziarah kepada 1000 orang sakit”. Bersabda Nabi saw: “Apabila kamu melihat kebun sorga, maka bermain-mainlah didalamnya !”. Lalu orang menanyakan: “Wahai Rasulullah ! manakah kebun sorga itu ?”. Nabi saw menjawab: “Ialah majlis dzikir”. Berkata Ka’b Al-Ahbar ra: “Jikalau pahala majlis alim ulama (tempat alim ulama membahas ilmu pengetahuan), terang bagi manusia niscaya mereka berperang untuk memperolehnya. Sehingga orang-orang yang mempunyai daerah kekuasaan, akan meninggalkan daerah kekuasaannya dan orang-orang yang mempunyai kedai (tempat jualan), akan meninggalkan kedainya”.
 Berkata Umar bin Al-Khattab ra: “Sesungguhnya orang yang keluar dari rumahnya dengan mempunyai dosa seperti bukit Tihamah, maka apabila ia mendengar orang alim, lalu ia takut, bertaubat dari segala dosanya dan ia kembali ke rumahnya, tanpa berdosa lagi”. Dari itu, janganlah kamu bercerai dengan majlis alim ulama. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla tidak menjadikan diatas permukaan bumi, tanah yang lebih mulia dari majlis alim-ulama”.
Berkata seorang laki-laki kepada Al-Hasan ra: “Aku mengadu kepadamu akan kesat hatiku”. Al-Hasan menjawab: “Dekatkan hatimu itu kepada majlis dzikir !”. Bermimpi ‘Ammar Az-Zahidi, bertemu dengan Miskinah Ath-Tha-fawiyah dan wanita ini termasuk seorang wanita yang rajin mengunjungi majlis dzikir. Berkata ‘Ammar kepadanya: “Selamat berjumpa, wahai Miskinah !”. Maka sahut Miskinah: “Mudah-mudahan kemsikinan itu telah hilang & datanglah kekayaan!”. Bertanya ‘Ammar: “Mengapa begitu ?”. Miskinah Ath-Thafawiyah menjawab: “Apakah anda bertanya tentang orang yang dibolehkan baginya sorga dengan segala kenikmatannya?”. Sahut ‘Ammar: “Dengan apakah yang demikian itu ?”. Menjawab Miskinah Ath-Thafawiyah: “Dengan menghadiri majlis dzikir”.
Kesimpulannya: apa yang terbuka dari hati, dari ikatan mencintai dunia, dengan perkataan orang yang memberi pelajaran, yang bagus kata-kata dan bersih perjalanan hidupnya, adalah lebih mulia dan bermanfaat dari shalat yang banyak rakaatnya, serta hati tersangkut kepada mencintai dunia.
Keempat: pekerja yang memerlukan kepada usaha untuk keluarganya. Maka tidaklah ia menyia-nyiakan keluarganya dan menghabiskan waktu dalam beribadah. Tetapi wiridnya pada waktu berusaha itu ialah datang ke kedai dan meneruskan usaha. Dalam pada itu, seyogyalah tidak melupakan mengingati Allah Ta’ala dalam berusaha itu. Bahkan rajin bertasbih, berdzikir dan membaca Alquran. Karena yang demikian itu, mungkin dikumpulkan kepada pekerjaan. Dan sesungguhnya mudah dilakukan shalat serta bekerja. Kecuali dia itu pemimpin, maka tidak sukar melakukan wirid shalat serta pekerjaannya.
Kemudian, manakala telah selesai daripada fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu)nya, maka seyogyalah ia kembali kepada susunan wirid-wiridnya. Dan kalau terus menerus ia berusaha dan bersedekah dengan apa yang lebih daripada keperluannya, maka itu adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang lain yang telah kami sebutkan dahulu. Karena ibadah yang melampaui faedahnya kepada orang lain, adalah lebih bermanfaat daripada ibadah yang terbatas manfaatnya kepada yang beribadah itu sendiri. Sedekah dan usaha berdasarkan niat tersebut, adalah ibadahnya, yang dengan sendirinya mendekatkan dia kepada Allah Ta’ala. Kemudian menghasilkan faedah kepada orang lain. Dan menarik kepadanya keberkatan doa orang-orang muslimin dan berganda-ganda pahalanya.
Kelima: wali (yang diserahi kekuasaan): seperti imam (kepala pemerintahan), qadli (hakim) dan yang menerima tugas untuk memperhatikan kepentingan kaum muslimin. Maka tegak melaksanakan keperluan dan maksud kaum muslimin, bersesuaian dengan agama dan dengan tujuan ikhlas, adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang tersebut itu. Maka tugasnya menyelesaikan kepentingan orang banyak pada siang hari serta menyingkatkan ibadah kepada yang fardlu saja. Dan menegakkan wirid-wirid yang tersebut pada malam hari, seperti yang diperbuat oleh Umar ra, yang berkata:  “Apalah tidur itu bagiku ! kalau aku tidur siang, niscaya aku menyia-nyiakan kaum muslimin. Dan kalau aku tidur malam, niscaya aku menyia-nyiakan diriku sendiri”.
Sesungguhnya telah anda pahami dengan apa yang telah kami terangkan itu, bahwa didahulukan 2 perkara atas ibadah badaniyah: pertama ilmu dan kedua kasih sayang kepada kaum muslimin. Karena masing-masing dari ilmu dan berbuat baik, adalah amal pada dasarnya dan ibadah, yang melebihi daripada ibadah-ibadah yang lain, yang melampaui faedahnya dan berkembang kegunaannya. Maka dari itu, keduanya (ilmu dan berbuat baik), didahulukan daripada yang lain.
Keenam: orang yang berkeesaan, yang tenggelam dengan Yang Maha Esa, tempat meminta, yang menjadi cita-citanya, hanya: SATU. Dia tidak mencintai selain Allah Ta’ala. Tidak takut, selain kepadaNya. Tidak mengharapkan rezeki dari yang lain. Tidak memandang sesuatu, melainkan ia melihat Allah Ta’ala padanya. Orang yang meninggi kedudukannya kepada derajat ini, tidak memerlukan kepada bermacam-macamnya wirid dan yang berlain-lainan. Bahkan wiridnya, sesudah shalat fardlu, adalah: satu, yaitu: menghadirkan hati bersama Allah Ta’ala dalam segala hal. Maka tidak mengguris di hatinya sesuatu, tidak mengetok telinganya oleh sesuatu ketokan dan tidak melintas dihadapan matanya sesuatu lintasan, kecuali ada padanya ibarat, pemikiran dan tambahan. Maka tidaklah yang menggerakkan bagi mereka dan yang menetapkkan, melainkan Allah Ta’ala jua. Mereka ini, segala hal-ikhwalnya, pantas menjadi sebab untuk pertambahan bagi mereka. Maka tidaklah berbeda padanya, antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Merekalah orang-orang yang lari kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, sebagaimana firmanNya: “Mudah-mudahan kamu ingat. Sebab itu, segeralah pergi kepada Allah !”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 49-50. Dan terlaksanalah pada mereka firman Allah Ta’ala: “Dan kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah, selain dari Allah. Carilah tempat perlindungan ke dalam gua, nanti Tuhan kamu akan menyebarkan kurniaNya kepada kamu”. S 18 Al Kahfi ayat 16. Dan kepada yang tersebut itu, ditunjukkan dengan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku. Dia nanti akan menunjukkan jalan kepadaku”. S 37 Ash Shaffaat ayat 99. Inilah penghabisan derajat orang-orang shiddiq. Dan tidak sampai kepadanya, melainkan sesudah menyusun wirid-wirid dan terus-menerus mengerjakannya dalam waktu yang panjang. Seyogyalah tiada tertipu orang yang menghendaki jalan Allah, dengan apa yang didengarnya dari yang demikian. Lalu ia mengajak yang demikian itu untuk dirinya. Dan lesu daripada mengerjakan tugas-tugas ibadahnya.
Maka yang demikian itu tandanya, ialah tidak masuk ke dalam jiwanya keragu-raguan. Tidak terguris di hatinya kema’siatan. Tidak mengejutkannya oleh ancaman-ancaman huruhara. Dan tidak membimbangkan hatinya oleh tugas-tugas besar. Kedudukan tersebut, kiranya dianugerahkan kepada tiap-tiap orang. Maka tertentulah diatas keseluruhannya, penyusunan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Dan semua apa yang telah kami sebutkan itu, adalah jalan-jalan kepada Allah Ta’ala. Berfirman Allah Ta’ala: “Katakan: “Masing-masing orang –bekerja menurut ukuran keadaannya. Dan Tuhan kamu lebih mengetahui, siapa yang paling betul jalannya”. S 17 Al Israa’ ayat 84. Semuanya mendapat petunjuk. Dan sebahagian mereka adalah lebih mendapat petunjuk dari sebahagian yang lain. Pada hadits, tersebut: “Iman itu 333 jalan. Barangsiapa menjumpai Allah Ta’ala dengan pengakuan (syahadat) diatas suatu jalan daripadanya, niscaya ia masuk sorga”.
Berkata sebahagian ulama: “Iman itu 333 bentuk pekerti, sebanyak bilangan rasul. Tiap-tiap orang mu’min itu, adalah diatas suatu bentuk pekerti dairpadanya. Maka dia menjalani jalan kepada Allah”. Jadi manusia itu, walaupun berlainan jalannya dalam melakukan ibadah, tetapi semuanya adalah benar –“Orang-orang yang mereka seru itu mencari jalan kepada Tuhan, mana yang paling dekat”. S 17 Al Israa’ ayat 57. Sesungguhnya, mereka berlebih kurang, tentang derajat dekat itu pada pokoknya. Dan yang lebih dekat kepada Allah Ta’ala, ialah yang lebih mengenalNya. Dan yang lebih mengenal kepadaNya itu, pasti ada. Dan adalah ia lebih memperhambakan diri (lebih banyak melakukan ibadah) kepadaNya. Barangsiapa mengenalNya, niscaya tidak akan menyembah yang lain.
Pokoknya, tentang wirid terhadap setiap jenis manusia itu, ialah: terus-menerus (al-mudawamah). Yang dimaksudkan daripadanya, ialah mengobah sifat-sifat batin. Dan secara satu-satu amal perbuatan itu sedikit bekasnya, bahkan tiada terasa bekasnya itu. Dan hanya bekas itu, baru tersusun diatas kumpulan (sesudah berkali-kali dikerjakan). Maka apabila satu kali amal perbuatan tidak meninggalkan bekas yang menampak dan tidak diiringi dengan amal perbuatan kali kedua dan ketiga dalam waktu dekat, niscaya terpupuslah bekasnya amal perbuatan yang pertama itu. Contohnya, adalah seperti seorang ahli fiqh, ingin menjadi seorang ahli yang berjiwa fiqh, maka dia tidak akan menjadi seorang yang berjiwa fiqh itu, kecuali dengan banyak kali mengulang-ulanginya. Kalau ia terlalu banyak mengulang-ulanginya pada suatu malam saja, kemudian meninggalkannya sebulan atau seminggu. Kemudian mengulanginya lagi dan bersangatan pada satu malam saja niscaya itu tidak akan membekas padanya. Tetapi jikalau dibagikannya jumlah waktu tersebut, kepada beberapa malam yang sambung menyambung, niscaya membekaslah kepadanya.
Dan karena rahasia inilah, bersabda Nabi saw: “Amalan yang paling disukai Allah, ialah yang terus-menerus walaupun sedikit”. Ditanyakan ‘Aisyah tentang amal perbuatan Rasulullah saw lalu beliau menjawab: “Adalah  amal perbuatannya terus-menerus berkekalan. Dan adalah dia apabila mengerjakan sesuatu perbuatan maka dilaksanakannya secara tetap”. Dan karena itulah bersabda Nabi saw: “Barangsiapa membiasakan mengerjakan sesuatu ibadah kepada Allah, lalu meninggalkannya karena malas, niscaya dia dikutuk oleh Allah”. Dan inilah sebabnya maka Nabi saw mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar karena menggantikan yg tertinggal 2 rakat, lantaran terganggu oleh utusan yang datang padanya. Kemudian sesudah itu, senantiasalah dikerjakan oleh Nabi yang 2 rakat itu sesudah ‘Ashar. Tetapi dirumahnya, tidak dimasjid, supaya jangan dituruti oleh orang lain –demikianlah diriwayatkan oleh ‘Aisyah dari ummi Salmah ra.
Kalau anda bertanya: “Bolehkan itu dituruti oleh orang lain, sedang itu adalah waktu kirahiyah (waktu makruh shalat) ?”. Ketahuilah kiranya bahwa 3 arti yang telah kami sebutkan dahulu tentang makruhnya: menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah matahari atau sujud waktu lahir tanduk setan atau beristirahat daripada ibadah, karena menjaga diri daripada kemalasan, tidaklah terjadi pada diri Nabi saw. Maka tidaklah dibandingkan orang lain dengan Nabi saw dalam hal demikian. Disaksikan untuk itu oleh perbuatan Nabi di rumahnya, sehingga dia tidak diikuti oleh orang lain.
BAB KEDUA: tentang sebab-sebab yang memudahkan untuk bangun malam, tentang malam-malam yang disunatkan menghidupkannya, tentang keutamaan menghidupkan malam dengan ibadah, tentang waktu diantara Maghrib dan ‘Isya dan tentang cara membagi malam.
Keutamaan menghidupkan waktu diantara Maghrib dan ‘Isya:
Bersabda Nabi saw, menurut apa yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah: “Yang terutama dari shalat-shalat pada sisi Allah ialah shalat Maghrib, di mana tidak dikuranginya pada orang musafir dan pada orang bermukim. DibukakanNya dengan shalat Maghrib itu akan shalat malam dan ditutupkanNya dengan shalat Maghrib itu akan shalat siang. Maka barangsiapa bershalat Maghrib dan bershalat 2 rakaat sesudahnya, niscaya dibangun oleh Allah baginya, 2 istana dalam sorga”.
Berkata orang yang merawikan hadits ini: “Saya tidak tahu istana itu, daripada emas atau perak”. Dan barangsiapa bershalat sesudah Maghrib, 4 rakaat, niscaya diampunkan dosanya 20 tahun” –atau dia bersabda: “40 tahun”. Diriwayatkan oleh Ummi Salmah dan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat 6 rakaat sesudah Maghrib, niscaya disamakan baginya dengan ibadah setahun penuh atau seolah-olah ia mengerjakan shalat pada malam Lailatul-qadar”. Dari Sa’id bin Jubair dan dia menerima dari Tsauban, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beri’tikaf diantara Maghrib dan ‘Isya’ dalam masjid tempat bershalat jama’ah, dimana ia tidak berkata-kata, selain dengan shalat atau membaca Alquran, niscaya berhaklah ia pada Allah untuk dibangun baginya 2 istana dalam sorga. Dan jauh perjalanan dari masing-masing kedua istana itu, 100 tahun. Dan ditanamkan untuknya diantara kedua istana itu tanaman. Kalau sekiranya di kelilingi oleh penduduk dunia niscaya termuatlah mereka semuanya”.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan shalat 10 rakaat diantara Maghrib dan ‘Isya’ niscaya didirikan oleh Allah untuknya suatu istana dalam sorga”. Lalu Umar ra menyahut: “Jadi, banyaklah istana kita, wahai Rasulullah !”. Menjawab Nabi saw: “Bagi Allah adalah lebih banyak dan lebih utama” –atau Nabi saw mengatakan: “Lebih baik”. Dan dari Anas bin Malik ra, dimana ia berkata: “Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa mengerjakan shalat Maghrib dengan berjama’ah, kemudian sesudahnya, lalu mengerjakan shalat 2 rakaat dan tiada berkata-kata dengan sesuatu diantara yang demikian itu, tentang urusan duniawi, dimana dibacanya pada rakaat pertama surat Al Fatihah, 10 ayat dari permulaan surat Al Baqarah, 2 ayat dari pertengahannya dan: Wa ilaahukum ilaahun waahidun laa ilaaha illaa huar-rahmaanur-rahiim, inna fii khlaqqis-samaawaati wal-ardli –sampai kepada akhir ayat dan Qul huallaahu ahad 15 kali, kemudian ia ruku dan sujud. Maka apabila ia telah berdiri pada rakaat kedua, maka dibacanya surat Al-Fatihah, ayat Al-Kursiyy dan 2 ayat sesudahnya, sampai kepada firmanNya: “Ulaaika ash-haabun-naar, hum fiihaa khaaliduun –dan 3 ayat dari akhir surat Al Baqarah, dari firmanNya: “Lillaahi maa fis-samaawaati wamaa fil-ardli, sampai kepada akhir ayat. Dan Qul huallaahu ahad 15 kali”, dimana Nabi saw menyifatkan pahalanya pada hadits itu, diluar dari hinggaan.
Berkata Karaz bin Wabrach –dia itu sebahagian dari Abdal (wali Allah yang datang ganti berganti)-: “Aku berkata kepada Nabi Khidlir as: “Ajarilah aku akan sesuatu yang akan aku kerjakan pada tiap-tiap malam !”. Menjawab Nabi Khidlir as: “Apabila engkau telah mengerjakan shalat Maghrib, maka bangunlah sampai kepada waktu shalat ‘Isya, mengerjakan shalat tanpa berkata-kata dengan seseorang. Dan hadapilah shalatmu itu, dimana engkau didalamnya. Berilah salam pada tiap-tiap 2 rakaat. Bacalah pada tiap-tiap rakaat, surat Al-Fatihah sekali dan Qul huallaahu ahad, 3 kali. Apabila engkau telah selesai dari shalat itu, pulanglah ke rumahmu. Dan janganlah bercakap-cakap dengan seseorang ! dan bershalatlah 2 rakaat ! bacalah surat Al-Fatihah dan Qul huallaahu ahad –7 kali pada tiap-tiap rakaat. Kemudian sujudlah sesudah membaca salam kepada Nabi saw. Dan bacalah istighfar (meminta ampun) pada Allah Ta’ala 7 kali. Dan bacalah: Subhaanallaah wal-hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil-‘aliyyil-adhiim 7 kali ! kemudian angkatkan kepalamu dari sujud dan duduklah dengan lurus, angkatkan kedua tanganmu dan bacakan: “Wahai Yang Hidup, wahai Yang Berdiri sendiri, Wahai Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ! wahai Tuhan bagi mereka yang dahulu dan mereka yang kemudian ! wahai Yang Maha Pengasih bagi dunia dan akhirat dan Yang Maha Penyayang bagi keduanya ! wahai Tuhan, wahai Tuhan, wahai Tuhan ! wahai Allah, wahai Allah, wahai Allah !”.
Kemudian bangunlah, dimana engkau mengangkatkan kedua tangan dan berdoalah dengan doa tadi. Kemudian tidurlah, dimana engkau kehendaki, diatas rusuk kanan, dengan menghadap qiblat ! dan berselawatlah kepada Nabi saw ! dan teruslah berselawat kepadanya, sehingga engkau terbawa tidur !”. Maka aku berkata kepada Khidlir as: “Aku ingin engkau memberitahukan kepadaku, dari siapakah engkau mendengar ini ?”. Menjawab Khidlir as: “Sesungguhnya aku datang kepada Muhammad saw, dimana dia diajarkan doa ini dan diwahyukan kepadanya. Maka adalah aku di sisinya. Yang demikian itu, adalah dengan kehadiranku. Lalu aku pelajari dari siapa, yang mengajarkan doa itu, kepada Muhammad saw”. Dikatakan, bahwa doa dan shalat ini, bagi barangsiapa yang selalu mengerjakannya dengan keyakinan yang baik dan niat yang benar, niscaya akan bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw sebelum ia keluar (meninggal) dunia. Dan telah dikerjakan yang demikian oleh sebahagian manusia. Lalu ia bermimpi dimasukkan ke dalam sorga. Dan ia melihat dalam sorga itu nabi-nabi. Ia melihat Rasulullah saw didalamnya dan bercakap-cakap dengan dia dan mengajarinya.
Kesimpulannya, bahwa apa yang dinukilkan tentang keutamaan menghidupkan malam dengan amalan, diantara Maghrib dan ‘Isya, adalah banyak. Sehingga ditanyakan kepada ‘Ubaidillah bekas budak Nabi saw: “Adakah Rasulullah saw menyuruh shalat yang tidak fardlu ?”. ‘Ubaidillah menjawab: “Ada, yaitu diantara Maghrib dan ‘Isya, dimana Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat diantara Maghrib dan Isya, maka itu adalah shalat orang-orang yang bertaubat kepada Tuhan”. Berkata Al-Aswad: “Bila aku datangi Ibnu Mas’ud ra pada waktu ini (antara Maghrib dan Isya), maka aku melihat dia mengerjakan shalat. Lalu aku tanyakan, maka ia menjawab: “Ya, itu adalah saat orang-orang yang lalai !”. Adalah Anas ra rajin mengerjakannya dan mengatakan: “itu adalah shalat di malam hari !” –seraya mengatakan: “Tentang shalat itu, telah turun firman Allah Ta’ala: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya”. S As Sajadah ayat 16. Berkata Ahmad bin Abil-Hawari: “Aku bertanya kepada Abi Sulaiman Ad-Darani: “Aku berpuasa siang hari dan makan malam diantara Maghrib dan Isya. Apakah itu lebih engkau sukai atau aku berbuka siang (tidak berpuasa) dan menghidupkan malam dengan shalat diantara Maghrib dan Isya?”. Abi Sulaiman Ad-Darani menjawab: “Kumpulkan diantara keduanya !”. Maka aku bertanya: “Kalau sukar ?”. Beliau menjawab: “Berbukalah dan kerjakanlah shalat diantara keduanya !”.
KEUTAMAAN: bangun malam (dengan mengerjakan shalat).
Adapun dari ayat, maka firman Allah Ta’ala:
“Sesunngguhnya Tuhan engkau itu mengetahui, bahwa engkau berdiri (mengerjakan shalat) kurang dari 2/3 malam....., sampai akhir ayat 20 S 73 Al Muzzammil.
Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya bangun (mengerjakan shalat) di malam hari itu, lebih memperkuat (jiwa) dan lebih betul bacaannnya”. S 73 ayat 6 
Dan firman Allah Ta’ala: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya”. S 32 As Sajdah ayat 16.
Dan firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang patuh menjalankan kewajibannya selama beberapa waktu pada malam hari....” sampai akhir ayat 9 S Az Zumar.
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan mereka yang pada malam hari menyembah Tuhan, sujud dan berdiri”. S 25 Al Furqaan ayat 64.
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan usahakanlah pertolongan dengan bersifat sabar dan mengerjakan shalat”. S 2 Al Baqarah ayat 45.
Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan shalat tadi, ialah: bangun malam, dimana dengan pertolongan kesabaran, untuk bermujahadah /melawan hawa nafsu. Dari hadits, ialah sabda Nabi saw: “Diikat oleh setan diatas kuduk seseorang kamu, apabila ia tidur, 3 ikatan. Dan setan itu memukul tempat tiap-tiap ikatan tadi padamu sepanjang malam, lalu tertidurlah kamu. Kalau terbangun dan bedzikir kepada Allah Ta’ala, niscaya terbukalah suatu ikatan. Kalau berwudlu’, niscaya terbukalah suatu ikatan. Dan kalau mengerjakan shalat, niscaya terbukalah suatu ikatan. Sehingga ia menjadi rajin dan baik jiwanya. Kalau tidak yang demikian, niscaya menjadi keji jiwanya dan malas”.
Dan pada suatu hadits, tersebut: “Sesungguhnya diterangkan kepada Nabi saw tentang seorang laki-laki yang tidur sepanjang malam sampai Subuh. Lalu Nabi saw menjawab: “Itulah orang yang telah dikencingi setan pada telinganya”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Bahwa setan itu, mempunyai semacam obat yang dituangkan kedalam hidung (sa’uth) dan semacam benda yang diambil dengan sendok (la’uq), serta semacam obat yang dituangkan kedalam mata atau luka (dzarur). Maka apabila setan itu menuangkan hidung, kepada seorang hamba, niscaya buruklah kelakuannya. Dan apabila setan itu meletakkan sendok pada seorang hamba, niscaya lancarlah lidahnya dengan kejahatan. Dan apabila setan itu menghamburkan obat yang dituangkan kedalam mata, niscaya tertidurlah hamba itu sepanjang malam, sampai datang waktu Subuh”.
Nabi saw bersabda: “2 rakaat yang dikerjakan oleh hamba pada waktu tengah malam, adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya. Dan kalaulah tidak memberi kesukaran kepada umatku, niscaya aku wajibkan kedua rakaat itu atas mereka”. Dan pada suatu hadits shahih dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya pada malam itu ada suatu saat, dimana berkebetulan seorang hamba muslim, meminta pada Allah Ta’ala akan kebajikan, pada saat itu, niscaya dianugerahiNya”. Dan pada suatu riwayat: “Ia meminta pada Allah Ta’ala akan kebajikan dunia dan akhirat. Dan itu adalah pada tiap-tiap malam”.
Berkata Al-Mughirah bin Sya’bah: “Rasulullah saw bangun pada tiap-tiap malam mengerjakan shalat, sehingga melelahkan kedua kakinya, lalu orang bertanya kepadanya: “Bukankah Allah Ta’ala telah mengampunkan dosamu yang terdahulu dan yang terkemudian ?”. Nabi saw menjawab: “Apa, tidakkah aku ini hamba yang mensyukuri akan ni’mat ?”. Dan nyatalah dari pengertian ini, bahwa yang demikian tadi merupakan kinayah (sindiran tidak terus terang/kata kiasan), daripada bertambah tingginya kedudukan. Karena mensyukuri nikmat itu, menjadi sebab bertambahnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu bersyukur, sudah tentu Aku akan menambahkan kepadamu”. S 14 Ibrahim ayat 7. Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! maukah engkau supaya nikmat Allah berada padamu, diwaktu kamu hidup dan mati, didalam kubur dan waktu dibangkitkan ? bangunlah pada malam, lalu kerjakan shalat ! engkau mau akan kerelaan Tuhanmu, wahai Abu Hurairah ? kerjakanlah shalat di sudut rumahmu, niscaya rumahmu di langit, seperti cahaya bintang beredar dan bintang tetap pada penduduk dunia”.
Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu bangun malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu ! sesungguhnya bangun malam, adalah mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, menutupkan segala dosa, menghilangkan penyakit pada tubuh dan mencegah daripada dosa”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah seseorang yang mempunyai shalat malam, lalu dikerasi oleh tidur, melainkan dituliskan baginya pahala shalatnya. Dan tidurnya itu adalah sedekah baginya”. Bersabda Nabi saw kepada Abu Dzar: “Kalau engkau bermaksud musafir, supaya menyediakan alat-alatnya”. Abu Dzar menjawab: “Ya, benar !”. Lalu Nabi saw menyambung: “Maka bagaimanakah berjalan ke jalan kiamat ? tidakkah aku beritahukan kepadamu, wahai Abu Dzar, dengan apa yang bermanfaat bagimu pada hari itu ?”. “Benar, demi ayah dan ibuku !”, sahut Abu Dzar. Bersabda Nabi saw: “Berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk hari kebangkitan ! kerjakanlah shalat 2 rakaat dalam kegelapan malam, untuk kesuraman kubur ! tunaikanlah ibadah hajji sekali untuk urusan-urusan besar ! bersedekahlah dengan sesuatu sedekah kepada orang miskin atau dengan perkataan benar yang engkau ucapkan atau perkataan jahat yang engkau diamkan mengatakannya !”.
Diriwayatkan: “Bahwa, pada masa Rasulullah saw ada seorang laki-laki. Apabila manusia lain pergi tidur dan mata telah tenang tenteram didalam ketiduran, lalu ia bangun mengerjakan shalat dan membaca Alquran, seraya mendoa: “Wahai Tuhan yang mempunyai neraka, lepaskanlah aku daripadanya !” Lalu diceritakannya yang demikian itu kepada Nabi saw. Maka Nabi saw menjawab:”Apabila ada yang demikian, maka beritahukanlah kepadaku !”. Lalu orang itu datang kepada Nabi saw maka Nabi mendengar sendiri daripadanya. Ketika datang waktu Subuh, lalu Nabi saw bersabda: “Hai Anu ! mengapakah tidak engkau minta sorga pada Allah ?”. Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku tidaklah di situ dan tidak sampailah amalanku ke sana, dimana amalanku hanya sedikit saja”. Maka turunlah Jibril as lalu berkata kepada Nabi saw: “Katakanlah kepada si Anu, bahwa Allah Ta’ala telah melepaskannya dari neraka dan memasukkannya ke dalam sorga”.
Diriwayatkan bahwa Jibril as berkata kepada Nabi saw: Orang yang baik, ialah Ibnu Umar, kalau ia ada mengerjakan shalat malam !”. Lalu diceritakan oleh Nabi saw yang demikian itu kepada Ibnu Umar. Sehingga sesudah itu, maka terus-meneruslah Ibnu Umar bangun mengerjakan shalat malam”. Nafi’ menceritakan, bahwa Ibnu ‘Umar itu mengerjakan shalat malam, kemudian bertanya: “Hai Nafi ! apakah kita sudah waktu sahur ?” Lalu aku menjawab –kata Nafi’: “Belum !”. Maka Ibnu ‘Umar terus bangun mengerjakan shalatnya. Kemudian ia bertanya lagi: “Hai Nafi ! apakah kita sudah waktu sahur ?” Maka aku menjawab: “Ya !” Lalu ia duduk, membaca istighfar (memohonkan ampun) pada Allah Ta’ala, sampai terbit fajar”.
Ali bin Abi Thalib bercerita: “Nabi Yahya bin Zakaria as telah kenyang dengan roti sya’ir (biji sya’ir adalah hampir sama dengan padi), lalu ia tertidur dari wiridnya, sehingga datang waktu Subuh. Maka diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepadanya: “Wahai Yahya ! adakah engkau memperoleh rumah yang lebih baik dari rumahKu atau engkau memperoleh tetangga yang lebih baik dari tetanggaKu? maka demi kemuliaan dan keagunganKu, wahai Yahya ! jikalau engkau menoleh ke sorga Firdaus sekali saja, niscaya cairlah benakmu dan hancurlah dirimu karena rindu kepadanya. Dan jikalau engkau menoleh ke neraka Jahannam sekali saja, niscaya cairlah benakmu dan menangislah engkau dengan air mata darah sesudah air mata dan engkau berpakaian kulit sesudah pakaian bulu”.
Diceritakan kepada Rasulullah saw: “Bahwa si Anu mengerjakan shalat di malam hari. Apabila datang waktu pagi, ia mencuri. Lalu Nabi saw menjawab: “Akan dilarang dia oleh amalan yang dikerjakannya”. Nabi saw bersabda: “Diberi rahmat oleh Allah akan laki-laki yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian dibangunkannya isterinya, lalu mengerjakan shalat pula. Kalau isterinya itu enggan, niscaya disiraminya air pada mukanya”.
Nabi saw bersabda: “Diberi rahmat oleh Allah akan wanita yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian dibangunkannya suaminya, lalu mengerjakan shalat pula. Kalau suaminya itu enggan, niscaya disiraminya air pada mukanya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bangun malam dan membangun kan isterinya, lalu keduanya mengerjakan shalat 2 rakaat, niscaya keduanya dituliskan diantara orang-orang yang banyak mengingati (berdzikir) akan Allah, dari golongan laki-laki dan golongan wanita”. Nabi saw bersabda: “Shalat yang terutama sesudah shalat fardlu, ialah shalat di waktu malam (qiamul-lail)”.
 ‘Umar bin Al-Khattab ra berkata: “Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa tidur, dengan meninggalkan sebahagian dari Alquran atau sesuatu dairpadanya pada malam hari, lalu dibacanya diantara shalat Subuh dan shalat Dhuhur, niscaya dituliskan baginya, seolah-olah dibacanya di malam hari”. Dari atsar (kata-kata sahabat), diriwayatkan, bahwa ‘Umar ra pergi berjalan dengan membaca ayat dari wiridnya di malam hari, lalu ia jatuh. Sehingga Umar ra itu dikunjungi beberapa hari, sebagaimana dikunjungi orang sakit.
Adalah Ibnu Mas’ud ra apabila telah tenang segala mata (orang sudah tidur), lalu bangun. Maka terdengarlah daripadanya suara seperti bunyi lebah, sampai datang waktu Subuh. Ada yang menceritakan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra pada suatu malam kenyang makan, lalu mengatakan: “Bahwa keledai itu apabila ditambah umpannya, niscaya ditambah kerjanya. Maka bangunlah ia pada malam itu, mengerjakan ibadah, sampai datang waktu Subuh.
Adalah Thaus ra apabila tidur di tikar peraduannya, merasa tergoreng, seperti tergoreng biji-bijian diatas kuali. Kemudian, ia melompat dan mengerjakan shalat, sampai kepada waktu pagi. Kemudian ia berkata: “Diterbangkan oleh ingatan neraka jahannam, akan tidur orang-orang ‘abid”.
Berkata Al-Hasan ra: “Tiadalah kami ketahui suatu amalan, yang lebih sulit daripada menanggung kesusahan malam dan membelanjakan harta ini”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah halnya orang-orang yang bershalat tahajjud, menjadi manusia, yang terbagus wajahnya ?”. Al-Hasan menjawab: “Karena mereka itu berkhilwah dengan Yang Maha Pengasih. Lalu diberikanNya mereka pakaian dengan nur dari NurNya ?” Datang sebahagian orang-orang shalih dari perjalanan jauh, lalu disediakan baginya tempat tidur, maka tidurlah ia, sampai luput wiridnya. Lalu ia bersumpah, bahwa ia tidak akan tidur lagi sesudah itu diatas tempat tidur selama-lamanya.
Adalah Abdul-aziz bin Abi Rawwad, apabila datang malam, lalu mendatangi tempat tidurnya dan melalukan tangannya diatas tempat tidur itu, seraya berkata: “Engkau sungguhlah empuk dan demi Allah, sesungguhnya dalam sorga, adalah lebih empuk daripada engkau !”. Dan senantiasalah ia mengerjakan shalat malam seluruhnya.
Berkata Al-Fudlail: “Sesungguhnya aku menghadapi malam dari permulaannya, maka amatlah menyusahkan aku oleh karena lamanya. Lalu aku memulai membaca Alquran sehingga datang waktu Subuh dan tidaklah aku laksanakan hajatku”.
Berkata Al-Hasan: “Sesungguhnya seseorang yang akan berbuat sesuatu dosa, maka haramlah dengan sebabnya itu, bangun malam”. Berkata Al-Fudlail: “Apabila engkau tidak sanggup bangun malam dan puasa siang, maka ketahuilah, sesungguhnya engkau itu diharamkan dari pahala. Dan sesungguhnya telah banyak kesalahan engkau”.
Adalah Shilah bin Asyim ra mengerjakan shalat malam seluruhnya. Maka apabila ia berada pada waktu sahur, lalu ia mendoa: “Wahai Tuhanku ! tiadalah yang seperti aku, mencari sorga. Tetapi lepaskanlah aku dengan rahmatMu dari neraka”. Berkata seorang laki-laki kepada sebahagian ahli ilmu hikmat (al-hukama’): “Sesungguhnya aku ini amat lemah daripada bangun malam”. Maka berkatalah hukuma’ tadi kepadanya: “Wahai saudaraku, janganlah engkau mengerjakan ma’siat di waktu siang dan janganlah engkau bangun di waktu malam !”.
Al-Hasan bin Shalih mempunyai seorang budak perempuan, maka dijualnya kepada suatu kaum. Tatkala malam, bangunlah budak wanita itu, seraya berseru: “Wahai penduduk kampung ini ! marilah shalat ! marilah shalat ! Maka penduduk kampung itu bertanya: “Apakah kita telah berada di waktu Subuh ? apakah sudah terbit fajar ?”. Lalu budak itu menyambung: “Apakah tuan-tuan tidak mengerjakan, kecuali shalat fardlu saja ?”. Mereka itu menjawab: “Ya !”. Maka budak wanita itu kembali kepada Al-Hasan, seraya berkata: “Wahai tuanku ! dijualkan aku ini kepada kaum yang tidak mengerjakan, selain dari shalat fardlu saja. Ambil kembalilah aku !” Lalu Al-Hasan mengambil ia kembali.
Berkata Ar-Rabi’: “Aku bermalam di rumah Asy-Syafi’i ra beberapa malam yang banyak. Maka tidaklah Asy-Syafi’i itu tidur malam, kecuali sedikit sekali”. Berkata Abul-Juairiah: “Aku telah menemani Abu Hanifah ra selama 6 bulan. Maka tidak semalampun dalam masa 6 bulan itu, ia meletakkan lembungnya diatas lantai. Adalah Abu Hanifah menghidupkan setengah malam, maka berjalanlah ia pada suatu kaum, lalu kaum itu mengatakan: “Bahwa orang ini (Abu Hanifah) menghidupkan malam seluruhnya. Maka berkatalah Abu Hanifah: “Sesungguhnya aku merasa malu, bahwa aku disebutkan dengan apa yang tidak aku kerjakan”. Maka sesudah itu, Abu Hanifah menghidupkan malam seluruhnya. Dan diriwayatkan, bahwa tak ada baginya tempat tidur di malam hari. Diceritakan orang, bahwa Malik bin Dinar ra senantiasa mengulang-ulangi ayat berikut ini semalam-malaman, sampai datang waktu Subuh. Yaitu: “Adakah orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira, bahwa mereka akan Kami samakan dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik.....” sampai habis ayat 21, S 45 Al Jaatsiah.
Berkata Al-Mughirah bin Habib: “Aku perhatikan Malik bin Dinar, ia berwudlu’ sesudah Isya’. Kemudian, ia bangun ke tempat shalat (mushala) lalu menggenggamkan janggutnya dan berhamburanlah air matanya, seraya mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! haramkanlah ubanan Malik dari neraka ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya Engkau telah mengetahui akan penghuni sorga daripada penghuni neraka, maka yang manakah dari dua lelaki itu Malik ini ? dan yang manakah dari dua kampung itu, kampung Malik ?”. Senantiasalah demikian doanya, sehingga terbit fajar. Berkata Malik bin Dinar: “Pada suatu malam, aku lupa dari wiridku dan aku tertidur. Tiba-tiba aku didalam tidur dengan seorang bidadari, yang paling cantik. Dan pada tangannya secarik kertas. Maka ia berkata kepadaku: “Pandaikah tuan hamba membaca ?”. Lalu aku menjawab: “Pandai !”. Maka diserahkannya kertas itu kepadaku, dimana isinya:
“Adakah dipermain-mainkan engkau,
oleh kesenangan dan angan-angan,
dari gadis yang putih jelita,
didalam sorga......?
Engkau akan hidup kekal,
tak mati lagi didalamnya.
Engkau bermain-main didalam sorga,
bersama bidadari cantik jelita.
Bangunlah dari tidurmu !
Bahwa yang lebih baik, dari tidur itu,
ialah.....bertahajjud dengan Alquran.....”
Ada yang mengatakan, bahwa ketika Masruq mengerjakan hajji, ia tidak tidur malam, selain daripada bersujud (mengerjakan shalat) saja. Diriwayatkan dari Azhar bin Mughits dan ia adalah termasuk orang-orang yang banyak menegakkan shalat, dimana ia mengatakan: “Aku bermimpi melihat seorang wanita, yang menyerupai dengan wanita-wanita dunia. Lalu aku tanyakan kepadanya: “Siapakah engkau ini ?”. Ia menjawab: “Haura !”. Lalu aku menyambung: “Kawinkanlah aku dengan engkau !”. Maka ia menjawab: “Pinanglah aku pada tuanku dan berikanlah kepadaku emas kawinku !”. Lalu aku bertanya: “Apakah emas-kawin engkau ?”. Ia menjawab: “Panjangkanlah shalat tahajjud !”. Berkata Yusuf bin Mahran: “Sampai kepadaku berita, bahwa di bawah ‘Arasy, ada seorang malaikat dalam bentuk seekor ayam jantan, kukunya dari intan permata dan tajinya dari jamrut hijau. Apabila telah berlalu 1/3 malam pertama, niscaya ia memukul dengan kedua sayap dan berkokok, seraya berteriak: “Bangunlah wahai orang-orang yang ingin bangun !”. Apabila telah berlalu setengah malam, maka ia memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berseru: “Hendaklah bangun orang-orang yang melakukan tahajjud !”. Apabila telah berlalu 2/3 malam, maka ia memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berteriak: “Hendaklah bangun orang-orang yang melakukan shalat !”. Apabila telah terbit fajar, lalu ia memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berteriak: “Hendaklah bangun orang-orang yang lalai ! Atas tanggungan mereka sendiri, segala dosanya !”.
Ada yang mengatakan, bahwa Wahb bin Munabbah Al-Yamani, tidak meletakkan lembungnya di lantai selama 30 tahun. Ia mengatakan: “Aku lebih suka melihat setan di rumahku, daripada aku melihat bantal di rumahku, karena bantal itu memanggil kepada tidur”. Ia mempunyai sebuah bantal dari kulit. Apabila tertidur benar, maka diletakkannya dadanya keatas bantal itu dan digerakkannya kepalanya beberapa kali, kemudian bersiap-siap kepada shalat.
Berkata sebahagian mereka: “Aku bermimpi menjumpai Tuhan Yang Maha Mulia, maka aku mendengar IA berfirman: “Demi kemuliaan dan keagunganKu ! sesungguhnya Aku muliakan tempat Sulaiman At-Taimi. Karena ia mengerjakan shalat bagiKu pada pagi hari dengan wudlu’ Isya’, selama 40 tahun”. Dan dikatakan, bahwa aliran (madzhab) Sulaiman At-Taimi, adalah tidur itu apabila masuk ke hati, niscaya membatalkan wudlu’. Dan diriwayatkan pada sebahagian kitab-kitab lama dari Allah Ta’ala, bahwa Allah berfirman: “Sesungguhnya hambaKu yang sebenar-benarnya hambaKu itu, ialah yang tiada menunggu untuk bangunnya akan kokok ayam”.
PENJELASAN: sebab-sebab yang memudahkan bangun malam.
Ketahuilah bahwa bangun malam itu adalah sukar kepada manusia, kecuali orang-orang yang telah memperoleh taufiq untuk bangun, dengan syarat-syaratnya yang memudahkan baginya, zhahir dan batin. Adapun zhahir/luar, maka yaitu 4 perkara:
Pertama: bahwa tidak membanyakkan makan, lalu membanyakkan minum, maka membanyakkan tidur dan memberatkan bangun. Adalah sebahagian guru-guru, berdiri diatas meja makan pada tiap-tiap malam, seraya berkata: “Murid-murid sekalian ! janganlah kamu makan banyak, lalu kamu minum banyak, maka tertidurlah kamu banyak, lalu kamu memperoleh banyak penyesalan ketika mati !”. Ini adalah pokok utama ! yaitu: meringankan perut besar dari beratnya makanan.
Kedua: bahwa tidak meletihkan dirinya di siang hari dengan pekerjaan-pekerjaan yang memayahkan segala anggota badan dan melemahkan urat-urat saraf. Karena itupun menarik kepada tidur.
Ketiga: bahwa tidak meninggalkan tidur di siang hari. Karena tidur tengah hari itu sunat, untuk menolong bangun malam.
Keempat: bahwa tidaklah mengerjakan perbuatan yang berdosa di siang hari. Karena yang demikian itu, mengesatkan hati dan menghambat diantara hati dan sebab-sebab memperoleh rahmat.
Seorang laki-laki mengatakan kepada Al-Hasan: “Hai Abu Said ! sesungguhnya aku bermalam dengan cara yang menyehatkan aku. Aku suka bangun malam dan menyediakan kesucian (wudlu’) bagiku. Maka mengapakah aku tidak terbangun ?”. Menjawab Al-Hasan: “Dosamu mengikatkan kamu !”. Adalah Al-Hasan ra apabila masuk ke pasar, lalu mendengar keributan dan kesia-siaan perbuatan dan perkataan mereka, maka berkata: “Aku menyangka, bahwa malam mereka itu adalah malam buruk, karena mereka itu tidak tidur siang hari !”.
Berkata Ats-Tsuri: “Aku haramkan diriku (tidak memperoleh) bangun malam selama 5 bulan, disebabkan dosa yang aku kerjakan”. Orang menanyakan: “Apakah dosa itu ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Aku melihat seorang laki-laki menangis, lalu aku berkata pada diriku: “Orang ini berbuat ria !”. Berkata sebahagian mereka: “Aku berkunjung kepada Karaz bin Wabrah, dimana ia sedang menangis. Maka aku bertanya: “Apakah datang berita kematian sebahagian keluarga tuan ?”. Ia menjawab: “Lebih berat dari itu !”. Lalu aku bertanya: “Apakah penyakit yang menyakitkan tuan ?”. Ia menjawab: “Lebih berat dari itu !”. Aku bertanya lagi: “Apakah kiranya ?”. Beliau menjawab: “Pintuku terkunci, tabirku terkembang dan aku tidak membaca nasibku yang lalu. Dan tidaklah yang demikian itu, selain disebabkan dosa yang telah aku perbuat”. Dan ini adalah, karena kebajikan itu memanggil kepada kebajikan, kejahatan memanggil kepada kejahatan dan yang sedikit daripada masing-masing keduanya itu menghela kepada yang banyak. Dan karena itulah, berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Tiada akan luput seseorang dari shalat berjama’ah, kecuali disebabkan oleh dosa”. Abu Sulaiman mengatakan: “Bermimpi sampai berjunub di waktu malam (ihtilam) adalah suatu siksaan dan junub (jinabah) itu menjauhkan dari kebajikan”. Berkata sebahagian ulama: “Apabila engkau berpuasa, wahai orang yang patut dikasihani (ya-miskin !), maka perhatikanlah, pada siapa engkau berbuka dan dengan apa engkau berbuka. Karena sesungguhnya hamba itu, memakan akan sesuatu makanan, lalu terbaliklah hatinya daripada apa, yang ada dia padanya. Dan ia tidak kembali kepada keadaannya yang semula. Dosa-dosa itu semuanya mempusakai kekesatan hati dan mencegah daripada bangun malam. Lebih-lebih yang membekas dari dosa itu, ialah memakan yang haram”. Sesuap yang halal membekas pada pembersihan dan penggerakan hati kepada kebajikan, dari apa yang tidak dapat membekas oleh lainnya. Hal itu diketahui oleh orang-orang yang mengintip gerakan hati (ahlul-muraqabah lil-qulub), dengan percobaan, setelah disaksikan oleh agama kepadanya. Karena itulah berkata sebahagian mereka: “Banyaklah terjadi dari sekali makan, mencegah bangun malam. Dan banyaklah terjadi dari sekali pandang, mencegah membaca suatu surat dari Alquran. Dan sesungguhnya hamba itu memakan sekali makan atau berbuat suatu perbuatan, lalu diharamkan dengan sebabnya (tidak diperolehnya) bangun malam setahun. Sebagaimana shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, maka begitu pulalah perbuatan keji itu mencegah dari shalat dan perbuatan-perbuatan kebajikan yang lain”.
Berkata sebahagian pengurus penjara: “Aku adalah pengurus penjara, lebih kurang sudah 30 tahun. Aku bertanya kepada tiap-tiap orang yang diambil di malam hari, adakah ia mengerjakan shalat ‘Isya dengan berjama’ah. Mereka itu menjawab: “Tidak !”. Dan ini memberitahukan kepada kita, bahwa barakah berjama’ah itu, mencegah daripada mengerjakan kekejian dan kemungkaran.
Adapun keadaan bathiniyah yang memudahkan, maka 4 perkara banyaknya:
Pertama: hati itu sejahtera daripada kedengkian kepada kaum muslimin, sejahtera daripada perbuatan-perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) dan daripada berlebihan kepentingan duniawi. Maka orang yang tenggelam, yang mementingkan urusan duniawi, niscaya tiadalah mudah baginya bangun malam. Kalaupun ia bangun, maka ia tidak berfikir tentang shalatnya, melainkan tentang segala kepentingannya. Dan tidaklah ia berkisar, selain pada segala gangguan duniawi. Dan dalam hal seperti itu, diucapkan sekuntum syair:
“Dikatakan kepadaku oleh tukang pintu,
bahwa anda sedang tidur.......
Walaupun anda sudah terbangun,
tetapi masih juga sedang tidur........”
Kedua: ketakutan yang keras, yang membiasakan hati, serta pendek angan-angan. Karena sesungguhnya, apabila bertafakkur tentang huru-hara akhirat dan penderitaan di neraka jahannam, niscaya terbanglah tidurnya dan amat sangatlah takutnya, sebagaimana kata Thaus: “Sesungguhnya mengingati neraka jahannam itu, menerbangkan (menghilangkan) tidur orang-orang ‘abid. Dan sebagaimana diceritakan, bahwa seorang budak di Basrah, bernama Shuhaib, adalah ia bangun malam seluruhnya. Lalu berkatalah wanita yang mempunyai budak itu: “Sesungguhnya engkau bangun di malam hari, membawa melarat kepada pekerjaanmu di siang hari”. Maka menjawab budak itu: “Bahwa Shuhaib, apabila ia teringat kepada neraka, niscaya tidaklah datang tidur kepadanya”. Dan ditanyakan kepada seorang budak yang lain, dimana ia bangun seluruh malam, maka budak itu menjawab: “Apabila aku ingat kepada neraka, niscaya bersangatanlah ketakutanku. Dan apabila aku ingat kepada sorga, niscaya bersangatanlah kerinduanku, sehingga tidak sanggup aku tidur”. Bermadahlah Dzun-nun Al-Mishri ra:
“Alquran dengan wa’ad dan wa’idnya,
mencegah mata untuk tidur semalam-malaman.
Mereka memahami dari Raja Yang Agung akan kalam (kata-kata)Nya,
Lalu leher mereka merendah karena ketundukan.
Dan mereka bermadah pula:
“Wahai yang lama tidur dan lengah lalai,
kebanyakan tidur mempusakai penyesalan !
didalam kubur kalau engkau menempatinya nanti,
adalah tempat tidur yang berkepanjangan setelah mati.
Suatu tempat yang disediakan untukmu didalamnya,
disebabkan dosa atau kebajikan yang engkau kerjakan.
Adakah engkau merasa aman dari serangan Malikul-maut ?
Banyaklah orang yang merasa aman dari serangan itu”.
Bermadah pula Ibnul-Mubarak:
“Apabila malam gelap-gulita diderita mereka,
lalu menjadi terang dan mereka itu ruku’.
Diterbangkan tidur mereka oleh ketakutan, lalu bangun,
Dan orang yang merasa aman di dunia ini, tidur nyenyak”.
Ketiga: mengetahui keutamaan bangun malam, dengan mendengar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar, sehingga meneguhkan harapan dan kerinduannya kepada pahala. Lalu membangkitkan keinginan untuk mencari kelebihan dan kegemaran pada segala tingkat sorga, sebagaimana diceritakan, bahwa sebahagian orang-orang shalih itu pulang dari peperangan. Lalu disediakan oleh isterinya tempat tidur. Dan ia duduk menunggu suaminya itu. Tetapi suaminya itu masuk ke masjid dan senantiasalah ia mengerjakan shalat sampai datang waktu Subuh. Maka berkatalah isterinya: “Kami menunggu kakanda begitu lama. Tatkala kakanda datang lalu mengerjakan shalat sampai pagi hari”. Menjawab suaminya: “Demi Allah, sesungguhnya aku berpikir kepada Haura’ dari bidadari sorga sepanjang malam, sehingga lupalah aku kepada isteri dan rumah. Lalu aku bangun mengerjakan shalat sepanjang malamku, karena rindu kepadanya”.
Keempat: yaitu yang termulia penggerak, ialah cinta kepada Allah dan teguh iman, bahwa dengan bangunnya itu, ia tidak berkata-kata dengan suatu hurufpun, selain bermunajat dengan Tuhannya, dimana Tuhan menoleh kepadanya, serta menyaksikan apa yang terguris di hatinya. Dan segala gurisan itu daripada Allah Ta’ala, adalah ucapan daripadaNya. Apabila ia mencintai Allah Ta’ala, niscaya tidak mustahil ia mencintai berkhilwah (bersunyi-sunyi) dengan Dia dan merasa keenakan bermunajat. Maka dia dibawa oleh keenakan bermunajat dengan Yang Dicintai, kepada lamanya bangun malam. Dan tiada seyogyalah kelezatan itu dipandang jauh dari kebenaran, sebab dapat dibuktikan oleh akal dan naqal.
Adapun akal, maka hendaklah diambil ibarat dengan keadaan orang yang mencintai seseorang, disebabkan kecantikannya. Atau mencintai seorang raja, disebabkan kurnia dan harta yang dianugerahinya. Bahwa betapa enaknya dengan berkhilwah dan bermunajat dengan Dia, sehingga tidak akan tidur-tidur sepanjang malam. Kalau anda berkata: “Bahwa yang cantik itu, dirasakan enaknya dengan memandang kepadanya, sedang allah Ta’ala tidak dapat dilihat”. Maka ketahuilah bahwa kalaupun ada yang cantik dicintai itu di belakang tabir atau dalam rumah yang gelap gulita, niscaya yang mencintai itu tetap merasa lezat dengan semata-mata mendampinginya, tanpa memandang dan tanpa mengharap yang lain daripadanya. Dan ia merasa nikmat dengan melahirkan kecintaannya kepadanya dan menyebutkannya dengan lidahnya sendiri, dengan didengar oleh yang dicintai itu, walaupun itu sudah diketahui juga. Kalau anda mengatakan, bahwa yang mencintai itu menunggu penjawaban dari yang dicintai, lalu merasa lezat dengan mendengar jawabannya. Dan tidaklah dapat didengar akan kalam (berkata-kata) Allaah Ta’ala.
Maka ketahuilah, bahwa yang mencintai itu tahu, bahwa Allah Ta’ala tidak menjawab dan diam daripadanya. Meskipun begitu, tetap juga baginya kelezatan dengan membentangkan segala ikhwal keadaannya kepadaNya dan menyampaikan isi hatinya. Betapa tidak ! orang yang mempunyai penuh keyakinan, mendengar daripada Allah Ta’ala, akan tiap-tiap yang datang kepada gurisan hatinya, waktu sedang bermunajat. Lalu ia merasa kelezatan dengan Dia. Dan begitu juga orang yang berkhilwah dengan raja dan membentangkan segala hajat keperluannya di tengah malam buta, akan merasa kelezatan dengan raja itu, pada mengharap kurnianya. Dan mengharap kepada Allah Ta’ala adalah lebih benar adanya. Dan apa-apa pada sisi Allah itu, adalah lebih baik, lebih kekal dan lebih bermanfaat daripada apa yang pada lainNya. Maka bagaimanakah tiada merasa lezat dengan membentangkan segala keperluan kepadaNya dalam khilwah yang sunyi sepi ?
Adapun naqal, maka dibuktikan oleh keadaan orang-orang yang bangun malam itu sendiri, mengenai lezatnya mereka rasakan dengan bangun malam. Dan menjuruskan perhatian mereka kepadaNya semata-mata, sebagaimana orang yang mencintai itu menjuruskan perhatiannya pada malam sampainya yang dicintai. Sehingga ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Bagaimanakah engkau di malam itu ?”. Ia menjawab: “Tiada aku menduga sekali-kali akan terjadi yang demikian itu ! Ia menampakkan kepadaku akan wajahnya, kemudian ia pergi dan tidak aku lihat lagi sesudah itu !”. Berkata yang lain: “Aku dan malam, adalah laksana dua ekor kuda lomba yang berdekatan benar persamaan kelebihannya. Sekali ia mendahului aku sampai kepada fajar dan sekali ia memotong aku daripada berpikir”. Ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Bagaimanakah malam itu kepada engkau ?” Maka ia menjawab: “Sesaat aku padanya antara dua keadaan. Aku gembira dengan gelapnya apabila datang dan aku berduka-cita dengan fajarnya apabila terbit. Tiadalah sempurna kesenanganku sekali-kali dengan malam itu”. Berkata Ali bin Bakkar: “Semenjak 40 tahun lamanya, tiadalah sesuatu yang menyusahkan aku, selain dari terbit fajar”. Berkata Al-Fudlail bin ‘Iyadl: “Apabila terbenamlah matahari, maka aku gembira dengan gelap. Dan apabila terbitlah matahari, maka aku berdukacita, karena datangnya manusia kepadaku”. Berkata Abu Sulaiman: “Orang yang mempunyai malam pada malamnya, adalah lebih merasa lezat dari orang yang mempunyai permainan pada permainannya. Jikalau tidaklah karena malam, niscaya aku tidaklah menyukai tinggal di dunia ini”. Berkata pula Abu Sulaiman: “Jikalau digantikan oleh Allah kepada orang yang mempunyai malam, daripada pahala amalan mereka, akan apa yang diperolehnya daripada kesenangan, niscaya adalah yang demikian itu, lebih banyak daripada pahala amalan mereka”. Berkata sebahagian ulama: “Tidak adalah dalam dunia suatu waktu, yang menyerupai kenikmatan penduduk sorga, selain daripada apa yang diperoleh oleh orang-orang yang merasa senang jiwanya dengan malam, dari karena manisnya bermunajat dengan Allah Ta’ala”. Berkata sebahagian mereka: “Kelezatan bermunajat, tidaklah dari dunia. Dia adalah dari sorga, yang dizhahirkan oleh Allah Ta’ala kepada para walinya, yang tidak diperoleh orang lain”. Berkata Ibnul-Munkadir: “Tiadalah yang kekal dari kelezatan dunia, selain 3: bangun malam, bertemu teman dan shalat berjama’ah”.
Berkata setengah arifin: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memandang pada waktu sahur, kepada hati orang-orang yang bangun, lalu diisikannya dengan cahaya. Maka datanglah segala faedah kepada hati mereka itu, lalu memperoleh cahaya. Kemudian berkembanglah nur/cahaya itu dari hati mereka yang sehat, ke hati orang-orang yang lalai”. Berkata sebahagian ulama terdahulu: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kepada sebahagian orang-orang shiddiq: “Sesungguh nya bagiKu beberapa orang hamba daripada hambaKu, yang mencintai Aku dan Aku mencintai mereka. Mereka rindu kepadaKu dan Aku rindu kepada mereka. Mereka mengingati Aku dan Aku mengingati mereka. Mereka memandang kepadaKu dan Aku memandang kepada mereka. kalau engkau berjalan pada jalan mereka, niscaya Aku cintai akan engkau. Dan kalau engkau berpaling dari neraka, niscaya aku kutuki akan engkau”. Lalu bertanya sebahagian orang shiddiq itu: “Wahai Tuhanku ! apakah tanda mereka ?”. Allah Ta’ala menjawab: “Mereka itu menjaga akan bayang-bayang di siang hari, sebagaimana penggembala menjaga kambingnya. Mereka rindu kepada terbenamnya matahari, sebagaimana burung rindu kepada sarangnya. Apabila datanglah malam dan bertambah gelapnya dan masing-masing kekasih berkhilwah dengan kekasihnya, maka mereka itu menegakkan kakinya kepadaKu (bangun berdiri mengerjakan shalat). Mereka itu membentangkan kepadaKu mukanya (dengan sujud). Mereka bermunajat dengan Aku, dengan kalam (berkata-kata)Ku. Dan mereka mengharapkan benar kepadaKu dengan penganugerahan nikmatKu. Maka diantara yang memekik dan menangis, diantara yang menyebutkan aduh dan mengadu, dengan MataKu, apa yang dideritai mereka lantaranKu dan dengan pendengaranKu, apa yang diadukan mereka dari kecintaanKu.
Yang pertama dari apa yang Aku anugerahkan kepada mereka, ialah Aku lemparkan dari nurKu dalam hati mereka. Lalu mereka ceritakan tentang Aku sebagaimana Aku menceritakan tentang mereka.
Yang kedua, kalau adalah 7 petala langit dan 7 petala bumi serta isi keduanya dalam neraca mereka, niscaya Aku asingkannya untuk mereka.
Yang ketiga, Aku hadapkan wajahKu kepada mereka. Adakah engkau melihat orang yang Aku hadapkan wajahKu kepadanya ? adakah diketahui oleh seseorang apa yang Aku kehendaki menganugerahinya ?”.
Berkata Malik bin Dinar ra: “Apabila bangunlah hamba bertahajjud di malam hari, niscaya dekatlah kepadanya Yang Maha Perkasa ‘Azza Wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar). Mereka melihat apa yang diperolehnya dari kehalusan dan kemanisan dalam hati mereka dan nur dari mendekatinya Tuhan yang Maha Tinggi kepada hati”. Pahamilah ini ! Ia mempunyai rahasia dan pembuktian yang akan datang nanti penunjukkan kepadanya pada Kitab Kecintaan (Kitab Al-mahabbah). Dan pada hadits (hadits qudsi), daripada Allah ‘Azza Wa Jalla: “Hai hambaKu ! Akulah Allah yang Aku dekati pada hatimu dan dengan secara ghaib, engkau melihat NurKu”. Sebahagian murid mengadu kepada gurunya, tentang lamanya tidak tidur malam dan mencari helah, yang menarik kepada tidur. Maka menjawab gurunya: “Hai anakku ! sesungguhnya Allah mempunyai anugerah-anugerah pada waktu malam dan siang, yang akan membetulkan hati yang jaga dan menyalahkan hati yang tidur. Maka datangilah untuk anugerah-anugerah itu !”. Maka murid itu menjawab: “Wahai penghuluku! biarkanlah aku, tidak tidur malam dan siang ! Ketahuilah, bahwa anugerah-anugerah itu di waktu malam, adalah lebih memberi harapan, untuk apa pada bangun malam itu, yang merupakan kebersihan hati dan tertolak segala gangguan. Pada hadits shahih, dari Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Bahwa di malam hari itu ada suatu saat, dimana berkebetulan seorang hamba muslim bermohon pada Allah Ta’ala kebajikan, niscaya diberikanNya kepadanya”.
Pada lain riwayat, tersebut:  “ia meminta pada Allah Ta’ala kebajikan, dari urusan dunia dan akhirat, niscaya diberikanNya kepadanya”. Dan demikian itu, adalah tiap-tiap malam”. Dan yang dicari oleh orang-orang yang bangun malam itu, ialah saat tersebut. Dan saati itu, tidak jelas waktunnya dalam keseluruhan malam, seperti malam Lailatul-qadar dalam bulan Ramadlan. Dan seperti saat di hari Jum’at, yaitu saat penganugerahan yang tersebut tadi. Wallahu a’lam ! hanya Allah yang maha mengetahuinya !
PENJELASAN: cara pembahagian segala bahagian malam.
Ketahuilah, bahwa menghidupkan malam, dari segi tingkatannya adalah 7 tingkat:
Pertama: menghidupkan seluruh malam. Dan itu adalah keadaan orang-orang yang kuat (al-aqwiya’), yang bertujuan semata-mata beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan merasa lezat bermunajat dengan Allah. Dan yang demikian itu menjadi makanannya dan kehidupan hatinya. Mereka tiada merasa letih dengan lamanya berdiri dan mereka mengembalikan tidur kepada siang hari, di waktu kesibukan manusia. Dan adalah yang demikian itu, cara segolongan dari orang-orang terdahulu (salaf), dimana mereka itu mengerjakan shalat Subuh dengan wudlu’ Isya’. Diceritakan oleh Abu Thalib Al-Makki, bahwa yang demikian itu, diceritakan secara mutawattir dan terkenal dari 40 orang tabi’in. Dan ada diantara mereka itu, yang telah membiasakan demikian, selama 40 tahun. Berkata Abu Thalib, bahwa diantara mereka itu, ialah Sai’d bin Al-Musayyab dari Madinah, Shafan bin Salim dari Madinah, Fudlail bin ‘Iyadl dari Makkah, Wahib bin Al-Ward dari Makkah. Thaus dari Yaman, Wahab bin Munabbah dari Yaman, Ar-Rabi’ bin Khaitsam dari Kufah, AL-Hakam dari Kufah, Abu Sulaiman Ad-Darani dari negeri Syam, Ali bin Bakar dari negeri Syam, Abu Abdillah Al-Khawwash dari Al-Abbadi, Abu ‘Ashim dari Al-Abbadi, Habib Abu Muhammad dari Parsi, Abu Jar As-Salmani dari Parsi, Malik bin Dinar dari Basrah, Sulaiman At-Taimi dari Basrah, Yazid Ar-Raqqasyi dari Basrah, Habib bin Abi Tsabit dari Basrah, Yahya Al-Bakka’ dari Basrah dan Kahmas bin Al-Manhal, dimana ia mengkhatamkan Alquran dalam sebulan 90 kali khatam. Dan apa yang tidak dipahaminya, diulanginya dan dibacanya sekali lagi. Juga dari penduduk Madinah, Abu Hazim dan Muhammad bin Al-Munkadir dalam golongan yang banyak bilangannya.
Tingkat kedua: bangun setengah malam. Dan ini tidak terhingga jumlahnya, yang rajin melaksanakannya dari orang-orang salaf. Dan cara yang terbaik mengenai ini, ialah tidur pada bahagian 1/3 pertama dari malam dan 1/6 terakhir daripada malam. Sehingga jatuh bangunnya itu di tengah malam dan pertengahan malam. Dan itu, adalah lebih utama.
Tingkat ketiga: bangun 1/3 malam. Maka seyogyalah tidur pada setengah malam pertama dan 1/6 yang terakhir. Kesimpulannya: tidur pada akhir malam itu, amat disukai (disunatkan), karena menghilangkan ngantuk pada pagi hari. Mereka itu tidak menyukai yang demikian dan menyedikitkan kuning muka serta kemasyhuran. Kalau bangun bahagian terbanyak dari malam dan tidur pada waktu sahur, niscaya sedikitlah kuning muka dan sedikitlah ngantuk.
Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw apabila mengerjakan witir pada akhir malam, lalu apabila ia memerlukan kepada keluarganya, niscaya ia mendekati mereka. Dan kalau tidak, maka ia berbaring pada tempat shalatnya (mushallanya), sehingga datang kepadanya Bilal. Lalu disuruhnya adzan untuk shalat”. Berkata ‘Aisyah pula:  “Tiada aku jumpai Rasulullah sesudah waktu sahur, melainkan tidur”. Sehingga berkata sebahagian salaf, bahwa tidur ini sebelum Subuh, adalah sunat. Diantara salaf yang mengatakan itu, ialah Abu Hurairah ra. Dan tidur waktu ini, menjadi sebab bagi terbuka kasyaf (al-diminta untuk mengetahuinya saja) dan musyahadah dari balik hijab yang ghaib. Dan itu, adalah bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (arbabil-qulub). Dan padanya terdapat istirahat, yang menolong kepada Wirid Pertama dari wirid-wirid siang. Dan kepada bangun pertiga malam dari nishfu-akhir (setengah yang penghabisan dari malam). Dan tidur bahagian perenam yang akhir dari malam, adalah waktu bangun bagi Nabi Daud as.
Tingkat keempat: ialah bangun 1/6 atau 1/5 dari malam. Dan yang lebih utama, bahwa bangun itu adalah pada pertengahan yang penghabisan (nishfu akhir) dan sebelum perenam yang penghabisan daripada malam.
Tingkat kelima: bahwa tidak diperhatikan akan taqdir (apa yang terjadi dalam perkembangan alam). Yang demikian itu, hanya mudah bagi Nabi yang memperoleh wahyu. Atau bagi orang yang mengetahui tempat-tempat kedudukan bulan dan diwakilkannya untuk itu orang yang akan mengintip, yang memperhatikannya dan yang akan membangunkan dia. Kemudian, kadang-kadang ia bimbang pada malam-malam musim kabut. Tetapi ia bangun dari permulaan malam, sampai kepada sudah mengantuk sekali. Apabila sudah terbangun, lalu bangunlah mengerjakan shalat dan apabila sudah mengantuk pula, lalu tidur kembali. Maka dalam semalam, adalah dua kali tidur dan dua kali bangun. Dan itu adalah dari penanggungan di malam hari dan amalan yang terberat dan lebih utama. Dan ini adalah dari budi pekerti Rasulullah saw. dan jalan yang ditempuh oleh Ibnu Umar, para sahabat yang bercita tinggi dan segolongan dari tabi’in. Direlai oleh Allah kiranya amal perbuatan mereka itu semuanya ! Adalah sebahagian salaf berkata: “Itu adalah permulaan tidur ! apabila aku terbangun, kemudian aku kembali kepada tidur, maka tidaklah ditidurkan oleh Allah mataku”.
Adapun bangunnya Rasulullah saw tentang kadarnya, maka tidaklah diatas suatu susunan. Tetapi kadang-kadang beliau bangun setengah malam atau 2/3 malam atau 1/3 atau 1/6 malam, dimana yang demikian itu berlain-lainan mengenai malam-malamnya. Dibuktikan kepada itu oleh firman Allah Ta’ala pada 2 tempat dari surat Al-Muzzammil:  “Sesungguhnya Tuhan engkau itu mengetahui, bahwa engkau bangun (mengerjakan shalat) kurang dari 2/3 malam, (ada juga) seperdua malam dan 1/3 nya” –ayat 20 dari S Al-Muzzammil.
Maka kurang dari 2/3 malam adalah seakan-akan seperdua (1/2) malam, tambah (+) seperduabelas (1/12) malam. (Hitungannya yaitu: 2/3 malam adalah = 8/12 malam dan ½ malam + 1/12 malam = 7/12 malam. Jadi kurang 1/12 malam. Pent). Kalau firmanNya: wa nishfahu wa tsulutsahu, dibaris-bawahkan, yaitu, dibaca wa nishfihi wa tsulusihi, niscaya menjadi setengah dari 2/3 dan 1/3 nya: Maka mendekati dari 1/3 dan ¼. Dan kalau dibaris-ataskan, niscaya menjadi: setengah malam (yaitu, dibaca: nishfahu wa tsulusahu).
Berkata ‘Aisyah: “Adalah Nabi saw bangun apabila ia mendengar kokok ayam”. Dan ini adalah pada waktu 1/6 malam atau lebih kurang lagi. Dan diriwayatkan oleh bukan seorang, yang mengatakan: “Bahwa aku memperhatikan shalat Rasulullah saw dalam perjalanan di waktu malam hari. Maka adalah ia tidur sebentar sesudah ‘Isya, kemudian ia bangun. Lalu dilhatnya ke tepi langit, seraya membaca: (Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa....) sampai kepada: (Inaaka laa tukhliful-mii’ad) S 3 Ali ‘Imran ayat 191, 192, 193 dan 194. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong. (3:91) Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (3:92) Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar". (3:93) Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim. (3:94). Kemudian,  diambilnya pelan-pelan dari tempat tidurnya alat penggosok gigi, lalu beliau bersugi dan mengambil wudlu’, serta mengerjakan shalat. Sehingga aku berkata: “Beliau mengerjakan shalat seperti lamanya beliau tidur”. Kemudian beliau berbaring, sehingga aku mengatakan: “Beliau tidur, seperti lamanya beliau mengerjakan shalat. Kemudian beliau bangun, lalu membaca apa yang dibacanya pertama kali dan berbuat apa yang diperbuatnya pertama kali dahulu”.
Tingkat keenam: yaitu yang paling sedikit, dimana ia bangun mengerjakan shalat sekedar 4 rakaat atau 2 rakaat. Atau sukar ia bersuci, maka lalu ia duduk menghadap qiblat, barang sesaat, berdzikir dan mendoa. Maka amalan yang tersebut, ditulis dalam jumlah bangun mengerjakan shalat di malam hari, dengan rahmat dan kurnia Allah. Dan telah datang pada suatu hadits: “Bershalatlah di malam hari walaupun sekedar waktu memerah susu kambing”.
Inilah cara-cara pembahagian waktu ! maka hendaklah seorang murid memilih untuk dirinya apa yang dipandangnya lebih mudah. Dan dimana sulit baginya bangun pada tengah malam, maka tiada wajarlah ia melengahkan menghidupkannya diantara waktu Maghrib dan Isya’ dan wirid yang ada sesudah shalat Isya’.
Kemudian bangunlah sebelum waktu Subuh, yaitu: waktu sahur. Sehingga tidak datang kepadanya waktu Subuh, dimana ia sedang tidur. Dan bangun lah pada dua tepi malam. Dan inilah:
Tingkat Ketujuh. Manakala pandangan itu tertuju kepada kadar waktu, maka susunan dari segala tingkat tadi, adalah menurut panjang dan pendeknya waktu. Adapun pada tingkat kelima dan ketujuh, tidaklah dipandang padanya kepada kadar waktunya. Maka tidaklah berlaku urusan keduanya mengenai terdahulu dan terkemudian, menurut susunan yang tersebut diatas. Karena tingkat ketujuh, tidaklah selain apa yang kami sebutkan pada tingkat keenam. Dan tidaklah tingkat kelima selain apa yang kami sebutkan pada tingkat keempat.
PENJELASAN: tentang malam-malam dan hari-hari yang utama.
Ketahuilah kiranya, bahwa malam-malam yang dikhususkan dengan lebih keutamaannya, yang dikuatkan padanya sunat dihidupkan dengan amalan, dalam setahun, adalah 15 malam, dimana tidak wajarlah bagi murid itu melalaikannya. Karena malam-malam tersebut adalah musim kebajikan dan tempat-tempat yang memberatkan dugaan bahwa perniagaan di situ akan beruntung. Manakala seorang saudagar melengahkan akan musim-musim itu, niscaya ia tidak akan berlaba. Dan manakala seorang murid melengahkan akan waktu-waktu yang utama, niscaya ia tidak akan memperoleh kemenangan. Maka 6 dari malam-malam tadi, ialah dalam bulan Ramadlan: 5 pada malam-malam yang ganjil dari 10 yang akhir. Karena padanya dicari Lailatul-qadar. Dan satu malam lagi, malam 17 belas Ramadlan. Yaitu: malam, yang pada paginya Hari Al-Furqan (hari yang memisahkan antara yang hak dan yang batil/salah), hari bertemu dua golongan, dimana terjadi peperangan Badr pada hari itu. Dan berkata Ibnuz-Zubair: “Dan itu adalah malam Lailatul-qadar”.
Adapun 9 malam lagi, maka yaitu: malam pertama dari bulan Muharram, malam ‘asyura’, malam pertama dari Rajab, malam nishfu (malam 15) dari bulan Rajab dan malam 27 Rajab, yaitu: malam Mi’raj. Dan pada malam 27 Rajab itu, ada shalat yang dinukilkan. Bersabda Nabi saw: “Bagi orang yang berbuat amalan pada malam ini, memperoleh kebaikan 100 tahun”. Maka barangsiapa mengerjakan shalat pada malam ini 12 rakaat dimana ia membaca pada tiap rakaatnya surat Al-Fatihah dan satu surat dari Alquran, membaca tasyahhud pada tiap-tiap 2 rakaat dan memberi salam pada akhirnya. Kemudian membaca: “Subhaanallah wal-hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallahu akbar” –100 kali. Kemudian membaca istihgfar 100 kali, membaca selawat kepada Nabi saw 100 kali, berdoa untuk dirinya, dengan apa yang dikehendakinya tentang urusan dunia dan akhiratnya dan pada paginya ia berpuasa. Maka sesungguhnya Allah mengabulkan doanya seluruhnya, kecuali ia mendoa mengenai kemaksiatan”. Dan diantara malam yang 9 tadi, yaitu: malam pertengahan Sya’ban (malam nisfhu Sya’ban). Pada malam ini, bershalat 100 rakaat, dimana ia membaca pada tiap-tiap rakaat sesudah surat Al-Fatihah, akan surat Al-Ikhlas (surat Qul huallaahu ahad) 10 kali. Mereka tidak pernah meninggalkannya, sebagaimana telah kami bentangkan dahulu pada Shalat Sunat. Dan diantara malam yang 9 tadi juga, ialah: malam ‘Arafah dan dua malam dua hari raya (malam hari raya puasa dan malam hari raya hajji). Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa menghidupkan dua malam dua hari raya, niscaya tidak mati hatinya pada hari mati segala hati”.
Adapun hari-hari yang utama, maka adalah: 19, yang disunatkan sambung-menyambung wirid padanya, yaitu: hari ‘Arafah, hari ‘Asyura’, hari 27 Rajab, yang mempunyai kemuliaan yang agung. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berpuasa pada hari 27 Rajab, niscaya dituliskan baginya puasa 60 bulan”. Yaitu: hari yang diturunkan oleh Allah padanya Jibril as kepada Muhammad saw untuk menyampaikan risalah (berita kerasulan Nabi saw). Diantara hari yang 19 itu, ialah: hari 17 Ramadlan, yaitu: hari peristiwa perang Badar, hari Nishfu Sya’ban, hari Jum’at dan dua hari raya. Dan hari-hari yang dimaklumi, yaitu: 10 dari bulan Zulhijjah (sesudah dikurangi dengan hari ‘Arafah dan hari hajji, maka tinggal 8 hari lagi –pent). Dan diantara hari yang 19 itu lagi, ialah: hari-hari yang terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq (hari 11-12-13 dari bulan Zulhijjah). Diriwayatkan oleh Anas dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Apabila selamatlah bulan Ramadlan, niscaya selamatlah tahun itu”. Berkata sebahagian ulama: “Barangsiapa mengerjakan pekerjaan pada 5 hari di dunia, niscaya tidak memperoleh pekerjaan di akhirat”. Yang dimaksudkan dengan hari-hari itu, ialah dua hari raya, hari Jum’at, hari ‘Arafah dan hari ‘Asyura’. Dan dari hari-hari yang utama dalam seminggu, ialah: Khamis dan hari Senin, dimana pada kedua hari itu, diangkatkan segala amal-perbuatan kepada Allah Ta’ala. Dan telah kami sebutkan dahulu bulan-bulan dan hari-hari yang utama berpuasa pada Kitab Puasa. Maka tidaklah perlu lagi diulangi. Wallahu A’lam ! Allah yang Maha mengetahui ! diberi rahmat kiranya oleh Allah kepada tiap-tiap hamba yang pilihan dari seluruh alam ! Telah sempurna kiranya Rubu’ Pertama dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin” dan diiringi oleh “Rubu’ Kedua”.