KITAB SUSUNAN WIRID
DAN URAIAN MENGHIDUPKAN MALAM.
Yaitu:
Kitab ke-10 dari “Ihya Ulumiddin”. Dan dengan ini selesailah Rubu’ Ibadah
–diberi manfaat kiranya oleh Allah dengan Kitab ini kepada kaum muslimin !
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami memuji Allah diatas segala ni’matNya dengan
banyak pujian. Kami mengingatiNya (berdzikir kepadaNya) dengan ingatan yang
tidak meninggalkan didalam hati kesombongan dan kerenggangan. Dan kami
bersyukur kepadaNya, karena Ia telah menjadikan malam dan siang bergantian bagi
orang yang bermaksud berdzikir atau
bermaksud bersyukur kepadaNya. Kami mengucapkan selawat kepada NabiNya yang
telah diutuskanNya dengan kebenaran, membawa kabar gembira dan peringatan. Dan
kepada kaum keluarganya yang suci dan para sahabatnya yang mulia, yang telah
bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah, siang dan malam, pagi dan petang.
Sehingga jadilah masing-masing daripada mereka itu bintang agama, menunjukkan
jalan dan lampu yang bersinar cemerlang. Adapun kemudian dari itu, maka
sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan bumi tunduk kepada hamba-hambaNya.
Tidak untuk mereka menetap pada segala penjurunya, tetapi untuk mengambilkannya
menjadi tempat tinggal. Lalu mengambil perbekalan daripadanya, perbekalan yang
membawa mereka dalam perjalanannya ke tanah air. Dan mereka menyimpan
daripadanya sebagai pemberian untuk dirinya, yang merupakan amal dan kurnia,
yang mereka pelihara segala perolehan dan pemberiannya. Dan mereka meyakini,
bahwa umur itu berjalan pada mereka, laksana kapal berjalan dengan
penumpangnya.
Sesungguhnya manusia di dunia ini adalah berjalan.
Tempatnya yang pertama, ialah ayunan dan kesudahannya, ialah liang lahad.
Tanah airnya, ialah sorga atau neraka. Dan umur
itu, ialah jaraknya perjalanan.
Tahunnya, ialah tempat perhentian.
Bulannya, ialah farsach-farsachnya (lebih panjang
dari mil).
Hari-harinya, ialah mil-milnya.
Nafasnya, ialah langkah-langkahnya.
Taatnya, ialah harta bendanya.
Waktunya, ialah modalnya.
Hawa nafsu dan segala keinginannya, ialah
perampok-perampok dalam perjalanannya.
Keuntungannya, ialah memperoleh kemenangan dengan
menjumpai Allah Ta’ala di Darussalam (Negeri Sejahtera) bersama kerajaan besar
dan keni’matan yang berketetapan.
Kerugiannya, ialah jauh dari Allah Ta’ala serta
kutukan, rantai dan azab pedih, dalam lapisan bawah neraka jahannam.
Maka orang lalai dalam tiap-tiap
nafas dari nafasnya, sehingga ia berlalu, tanpa taat yang mendekatkannya kepada
Allah, dibawa pada hari kiamat dengan kerugian dan penyesalan yang tak ada habisnya. Karena bahaya besar dan bencana yang dahsyat ini, maka
terus meneruslah orang-orang yang memperoleh taufik dengan segala kesungguhan,
meninggalkan dengan keseluruhan yang mengenakkan bagi diri. Menggunakan segala
sisa dari umur dan menyusun menurut waktu yang datang berulang-ulang, segala
tugas wirid. Karena ingin menghidupkan malam dan siang, pada mencari kedekatan
dengan Maharaja Yang Maha Perkasa dan berjalan ke negeri ketetapan. Maka
jadilah diantara kepentingan ilmu jalan ke akhirat, menguraikan penjelasan
tentang cara pembahagian wirid dan membagi-bagikan ibadah yang telah berlalu
uraiannya, menurut ketentuan waktu. Dan jelaslah kepentingan ini dengan
menyebutkan dua bab:
Bab Pertama:
tentang keutamaan wirid dan tata tertib pada malam dan siang hari.
Bab Kedua:
tentang cara menghidupkan malam dan keutamaannya serta apa yang
berhubungan dengan dia.
BAB PERTAMA: tentang keutamaan wirid, tata tertib dan
hukumnya.
Keutamaan wirid dan penjelasan, bahwa rajin
mengerjakannya, adalah jalan kepada Allah Ta’ala:
Ketahuilah, bahwa orang-orang
yang memperhatikan dengan nur mata-hati, niscaya mengetahui, bahwa tak ada
kelepasan, selain pada menjumpai Allah Ta’ala. Dan tak ada jalan untuk
menjumpai itu, selain dengan hamba itu mati, dimana ia mencintai dan mengenal Allah
swt. Kecintaan dan kejinakan hati itu, tidak akan berhasil, selain daripada
selalu mengingati yang dicintai dan rajin dengan demikian itu. Dan mengenal
Allah itu tidak berhasil, selain dengan selalu menumpahkan pikiran kepadaNya,
kepada Sifat dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan tidak adalah pada Wujud
(yang ada ini), selain Allah Ta’ala dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan
tidak mudahlah selalu mengingati (berdzikir) dan berfikir, kecuali dengan
meninggalkan dunia dan segala hawa nafsunya. Dan mencukupkan
sekedar yang sampai dan penting. Semuanya itu tidak sempurna, kecuali dengan
menghabiskan waktu malam dan siang dalam segala tugas dzikir dan fikir. Dan
nafsu karena sifat dirinya dengan kemalasan dan kebosanan, lalu tidak sabar
diatas suatu bentuk pekerjaan, dari sebab-sebab yang menolong kepada dzikir dan
fikir. Tetapi apabila dikembalikan nafsu itu kepada suatu bentuk saja, niscaya
ia melahirkan kemalasan dan keberatan. Dan sungguh Allah Ta’ala tidak bosan,
sehingga mereka itu bosan. Maka dari pentingnya bersikap lemah lembut kepada
nafsu itu, adalah memberi kepadanya kesenangan, dengan berpindah dari satu
macam ke satu macam dan dari satu bagian ke satu bagian menurut masing-masing
waktu, supaya banyaklah kesenangannya dengan perpindahan itu. Dan besarlah
keinginannya dengan kesenangan tadi dan terus meneruslah kerajinannya dengan
kekalnya keinginan itu.
Maka karena itulah wirid itu
dibagikan dalam bahagian yang bermacam-macam. Dzikir dan fikir seyogyalah
menghabiskan semua waktu atau bahagian terbesar daripadanya. Sesungguhnya nafsu
itu menurut tabiatnya, condong kepada kelezatan dunia. Kalau hamba itu
menyerahkan separoh waktunya kepada urusan duniawi dan keinginan-keinginannya
yang dibolehkan –umpamanya dan separoh lagi kepada ibadah, niscaya beratlah
segi kecondongan kepada dunia, karena bersesuaian dengan tabiat dirinya. Sebab
pembahagian waktu tadi itu sama. Lalu keduanya lawan-melawan dan tabiat dirilah
yang menguatkan kepada salah satu daripada keduanya. Karena zahir dan batin
tolong-menolong kepada urusan duniawi dan bersihlah hati serta bertindak
semata-mata mencari akan duniawi itu.
Adapun kembali kepada ibadah,
adalah berat dan tidak sejahteralah keikhlasan dan kehadiran hati kepadanya,
selain pada sebahagian waktu saja. Maka orang yang ingin masuk sorga tanpa
hisab, hendaklah menghabiskan segala waktunya dalam berbakti (taat). Dan
barangsiapa bermaksud kuat daun neraca kebaikannya dan timbangan kebajikannya
berat, maka hendaklah melengkapkan dalam taat, sebahagian besar dari waktunya.
Kalau dicampur-adukkannya akan
amal shalih dan yang lain jahat, maka pekerjaannya itu amat berbahaya. Tetapi
harapan tidak putus dan kema’afan dari kemurahan Allah dinantikan. Semoga Allah
Ta’ala mengampunkannya dengan kemurahan dan kemuliaanNya. Maka inilah yang
terbuka bagi orang-orang yang memperhatikan dengan nur mata-hati. kalau anda
bukan ahlinya, maka perhatikanlah kepada Kalam (kata-kata) Allah Ta’ala kepada
RasulNya dan petikkanlah dengan nur-keimanan. Berfirman Allah Ta’ala kepada
hambaNya yang terdekat kepadaNya dan yang tertinggi di sisiNya: “Sesungguhnya
pada waktu siang, engkau mempunyai urusan yang panjang. Dan sebutlah nama
Tuhanmu dan beribadahlah kepadaNya dengan sungguh-sungguh !”. S 73 ayat 7 dan
8. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu pagi dan petang. Dan
disebahagian daripada malam, maka sujudlah kepadaNya dan bertasbihlah kepadaNya
di malam yang panjang !”. S 76 ayat 25 dan 26. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam. Dan bertasbihlah kepadaNya dalam sebahagian daripada malam dan
diakhir-akhir sembahyang”. S 50 ayat 39 dan 40. Berfirman Allah swt: “Dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun pagi. Dan hendaklah
engkau bertasbih kepadaNya di sebahagian dari malam di waktu ghaib bintang”. S
52 ayat 48-49. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya (bangun) waktu-waktu malam
itu, adalah lebih sangat bekasnya dan lebih teguh bacaannya”. S 73 ayat 6.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan berbaktilah di sebahagian dari waktu-waktu malam dan di pinggir-pinggir siang, supaya
engkau akan rela”. S 20 ayat 130. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan
dirikanlah shalat pada dua bahagian siang dan disebahagian dari malam, karena
sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan”. S 11
Huud ayat 114.
Kemudian, lihatlah, bagaimana
Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang yang memperoleh kemenangan dari para
hambaNya dan dengan apa IA menyifatkan mereka ! Maka berfirman Allah Ta’ala:
“Atau adakah orang yang berbakti di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
dalam keadaan takut kepada azab akhirat dan mengharap rahmat Tuhannya ?
Katakanlah: “Adakah sama mereka yang tahu dan mereka yang tidak tahu ?”. S 39
ayat 9. Berfirman Allah Ta’ala:“Rengganglah rusuk-rusuk mereka dr tempat tidur,
dimana mereka mendoa pada Tuhannya, dgn takut & harapan”. S32 ayat 16. Berfirman
Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan ialah mereka yang bermalam dengan sujud dan berdiri
(beribadah) kepada Tuhannya”. S 25 Al Furqaan ayat 64. Berfirman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Adalah mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Sedang diwaktu
akhir-akhir malam (waktu sahur), mereka meminta ampun”. S 51 Adz Dzaariyaat
ayat 17-18. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Maka Maha Sucilah Allah ketika
kamu berpetang dan waktu kamu berpagi”’. S 30 Ar Ruum ayat 17. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan janganlah engkau halau orang-orang yang beribadah kepada Tuhannya,
pada waktu pagi dan petang yang menghendaki wajahNya”. S 6 Al An’aam ayat 52.
Itu semuanya, menerangkan kepada
anda, bahwa jalan kepada Allah Ta’ala, ialah mengintip waktu dan meramaikannya
dengan wirid-wirid secara terus-menerus. Karena itulah, bersabda Nabi saw:
“Hamba Allah yang paling dicintai Allah ialah mereka yang menjaga matahari,
bulan dan bayang-bayang untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungannya”. S 55 Ar Rahmaan ayat 5. Berfirman
Allah Ta’ala: “Tidakkah engkau lihat kepada (kekuasaan) Tuhanmu, bagaimana Ia
hamparkan bayang-bayang ? padahal kalau dikehendaki Nya, niscaya dijadikanNya
tetap. Kemudian Kami jadikan matahari menjadi petunjuk. Kemudian, Kami tarikkan
bayangan itu kepada Kami sedikit-sedikit”. S 25 Al Furqaan ayat 45-46. Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan bulan itu, Kami telah tentukan baginya beberapa derajat”. S
36 Yaa Siin ayat 39. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan Dialah yang telah menjadikan bagi kamu beberapa bintang, untuk
kamu berpedoman dengan dia didalam kegelapan darat dan laut”. S 6 Al An’aam
ayat 97.
Maka janganlah anda menyangka,
bahwa yang dimaksud dengan perjalanan matahari dan bulan dengan perhitungan
yang teratur, lagi tersusun dan dari kejadian bayang-bayang, nur dan
bintang-bintang, untuk memperoleh pertolongan dengan dia dalam segala hal
urusan duniawi. Tetapi adalah supaya anda mengetahui dengan itu, batas-batas
waktu, lalu anda pergunakan untuk taat dan tijarah (perniagaan) bagi negeri
akhirat. Dibuktikan kepada anda yang demikian, oleh firman Allah Ta’ala: “Dan
Dialah yang menjadikan malam dan siang berganti-ganti bagi orang yang mau ingat
atau mau bersyukur”. S 25 Al Furqaan ayat 62. Artinya: digantikan salah satu
dari keduanya oleh yang lain, supaya dapat diperoleh pada salah satu dari
keduanya, apa yang tertinggal pada yang lain. Dan diterangkanNya, bahwa yang
demikian itu adalah untuk berdzikir (mengingat) dan bersyukur. Tidak untuk yang
lain.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Kami
jadikan malam dan siang itu dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami
jadikan tanda siang yang terang, untuk kamu mencari kurnia dari Tuhanmu dan
supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan”. S 17 Al Israa’ ayat 12.
Sesungguhnya keutamaan yang dicari, ialah pahala dan ampunan. Kita bermohon
pada Allah akan taufiq yang baik untuk apa yang direlaiNya.
PENJELASAN:
bilangan wirid dan susunannya.
Ketahuilah, bahwa wirid siang itu
7: Diantara terbit cahaya pagi sampai kepada terbit bundaran matahari, 1 wirid.
Diantara terbit matahari, sampai kepada gelincir matahari (zawal), 2 wirid.
Diantara zawal, sampai kepada waktu ‘Ashar, 2 wirid. Dan diantara ‘Ashar,
sampai kepada Maghrib, 2 wirid.
Malam terbagi kepada 4 wirid: 2
wirid, dari Maghrib, sampai kepada waktu orang tidur. Dan 2 wirid lagi, dari
tengah malam yang akhir, sampai kepada terbit fajar. Maka marilah kami
terangkan keutamaan tiap-tiap wirid tadi dan tugasnya serta yang berhubungan
dengan dia.
Maka wirid yang pertama: diantara
terbit sinar pagi, sampai kepada terbit matahari. Dan itu adalah waktu yang
mulia. Dibuktikan kemuliaan dan kelebihannya, oleh sumpahnya Allah dengan dia,
karena Ia berfirman: “Demi waktu subuh, apabila telah terang”. S 81 At Takwiir
ayat 18. Dan pujian Allah kepadanya, dengan firmanNya: “Dia (Allah) itu
Pembelah subuh”. S 6 Al An’aam ayat 96. Dan firmanNya: “Aku berlindung dengan
Yang Mempunyai cuaca subuh”. S 113 Al Falaq ayat 1. Dan dizahirkanNya qudrah (
kuasa ) dengan menarik bayang-bayang kepadaNya, dengan firmanNya: “Kemudian,
kami tarik dia (bayang-bayang) kepada Kami sedikit-sedikit”. S 25 ayat 46.
Yaitu: waktu menarik bayang-bayang malam dengan membentangkan cahaya matahari.
Dan petunjukNya kepada manusia, kepada mengucapkan tasbih kepadaNya, dengan
firmanNya: “Maka Maha Sucilah Allah ketika kamu berpetang dan waktu kamu
berpagi”. S 30 Ar Ruum ayat 17. Dan dengan firmanNya: “Bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya”. S 20 Thaahaa
ayat 130. Dan firmanNya: “Dan bertasbihlah disebahagian dari waktu-waktu malam
dan dipinggir-pinggir siang, supaya engkau akan rela”. S 20 ayat 130. Dan
firmanNya Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu, pagi dan petang !”. S 76 Al
Insaan ayat 25.
Adapun tata tertibnya, maka
hendaklah diambil waktunya dari waktu terbangun dari tidur. Apabila sudah
bangun, maka sewajarnyalah memulai dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, dengan
membaca: “Segala pujian bagi Allah yang menghidupkan kita setelah dimatikanNya
kita dan kepadaNyalah dibangkitkan –sampai kepada penghabisan doa dan ayat-ayat
yang telah kami sebutkan, pada doa bangun tidur dari Kitab Doa. Dan hendaklah
memakai pakaian waktu berdoa dan berniat dengan memakai pakaian itu menutup
auratnya. Karena, mengikut perintah Allah Ta’ala dan meminta pertolongan
padaNya kepada beribadah, tanpa maksud memperlihatkan kepada orang (riya’) dan
menonjolkan diri. Kemudian menuju ke tempat membuang air (kakus), bila ia
memerlukan kepadanya. Dan pertama-tama, memasukkan kakinya yang kiri dan mendoa
dengan doa-doa yang telah kami sebutkan pada Kitab Bersuci, ketika masuk dan
keluar dari kakus. Kemudian bersugi selaku amal sunat, sebagaimana telah diterangkan
dahulu. Dan berwudlu’ dengan menjaga segala sunat dan doa yang telah kami
sebutkan pada bersuci dahulu. Sesungguhnya telah kami kemukakan dahulu satu
persatu dari ibadah, adalah supaya kami sebutkan pada Kitab ini cara susunan
dan tatatertibnya saja.
Apabila telah selesai dari
wudlu’, lalu mengerjakan shalat 2 rakaat Fajar, ya’ni: shalat sunat di
tempatnya sendiri. Begitulah dikerjakan oleh Rasul saw. Dan sesudah shalat 2
rakaat itu, sama saja kedua rakaat itu dikerjakan di rumah atau di masjid, lalu
membaca doa yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku !
sesungguhnya aku bermohon padaMu rahmat daripada sisiMu, Engkau beri petunjuk
dengan rahmat itu akan hatiku....” sampai kepada penghabisan doa yang telah
disebutkan dahulu.
Kemudian, keluar dari rumah
menuju masjid dan jangan dilupakan doa keluar ke masjid. Dan tidak berjalan
kepada shalat itu dengan berlari (tergesa-gesa), tetapi berjalan dengan tenang
dan khidmat, sebagaimana yang tersebut dalam hadits. Dan tidak membuat jari-jari
tangannya sebagai jerjak. Dan masuklah masjid, mendahulukan kakinya yang kanan
dan mendoa dengan doa yang diperoleh dari para sahabat dan salaf untuk masuk
masjid. Kemudian carilah di masjid itu baris pertama (shaf pertama), kalau ada
yang terluang. Dan tidaklah melangkahi bahu orang lain dan desak-mendesak,
sebagaimana telah tersebut dahulu pada Kitab Jum’at. Kemudian, mengerjakan
shalat 2 rakaat fajar (sunat Subuh), kalau belum dikerjakan di rumah. Kemudian
membaca doa yang telah tersebut dahulu, sesudahnya. Dan kalau telah dikerjakan
2 rakaat fajar di rumah, niscaya dikerjakan 2 rakaat shalat tahiyyah-masjid,
kemudian duduk menunggu jama’ah. Dan lebih disunatkan melakukan shalat jama’ah
Subuh itu pada waktu masih gelap di akhir malam (masih pagi benar). Adalah Nabi
saw melakukan shalat Subuh di waktu masih gelap pagi. Dan tiada seyogyalah
meninggalkan berjama’ah pada shalat umumnya dan pada shalat Subuh dan shalat
Isya’ pada khususnya. Karena keduanya mempunyai kelebihan yang utama.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra daripada Rasulullah saw bahwa Nabi saw
bersabda mengenai shalat Subuh: “Barangsiapa berwudlu’, kemudian menuju masjid
untuk melakukan shalat padanya, niscaya baginya satu kebaikan dengan tiap-tiap
langkahnya dan dihapuskan satu kejahatan daripadanya. Dan kebaikan itu
balasannya 10 kali. Maka apabila telah mengerjakan shalat, kemudian
meninggalkan tempat itu, ketika terbit matahari, niscaya dituliskan baginya,
tiap-tiap sehelai bulu pada badannya, suatu kebaikan. Dan itu bertukar dengan
suatu hajji yang penuh dengan kebajikan. Kalau ia duduk, sehingga ia
mengerjakan shalat Dhuha, niscaya dituliskan baginya, tiap-tiap rakaat sejuta
kebaikan. Dan barangsiapa mengerjakan shalat pada waktu pertiga pertama dari
malam (waktu al-‘atamah), maka baginya pahala seperti itu juga dan bertukarlah
itu dengan satu ‘umrah yang penuh dengan kebajikan”.
Adalah diantara kebiasaan ulama
terdahulu (salaf), masuk masjid sebelum terbit fajar. Berkata seorang dari
golongan tabi’in (angkatan sesudah sahabat atau pengikut sahabat Nabi saw):
“Aku masuk masjid sebelum terbit fajar, maka aku jumpai Abu Hurairah telah
mendahului aku, seraya beliau berkata kepadaku: “Wahai anak saudaraku ! untuk
apa engkau keluar dari rumahmu pada saat ini ?”. Maka aku menjawab: “Untuk shalat
pagi !”. Lalu beliau berkata: “Bergembiralah! sesungguhnya kami menghitung
keluar kami dan duduk kami di masjid pada saat ini, adalah sebagai peperangan
pada jalan Allah Ta’ala (perang sabil)”. Atau beliau mengatakan: “Berperang
bersama Rasulullah saw”.
Dari Ali ra diriwayatkan, bahwa
Nabi saw mengetok pintu rumahnya, dimana ia dan Fathimah ra sedang tidur,
seraya bersabda: “Apakah kamu berdua ini tidak shalat ?”. Berkata Ali ra: “Lalu
aku menjawab: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya diri kami ditangan Allah Ta’ala.
Apabila dikehendakiNya membangunkan kami, niscaya dibangunkanNya”. Maka
pergilah Nabi saw dan aku mendengar sedang beliau pergi itu, memukul pahanya
dan bersabda: “Adalah manusia itu lebih banyak bertengkar”.
Kemudian, seyogyalah sesudah 2
rakaat fajar dan doanya, membaca istighfar dan tasbih, sampai kepada waktu
mendirikan shalat. Yaitu membaca: “Aku meminta ampun pada Allah yang tiada
disembah, selain Dia, yang Hidup, yang Berdiri dengan sendiriNya dan aku
bertaubat kepadaNya” 70 kali. Dan membaca: “Maha Suci Allah, segala pujian bagi
Allah tiada yang disembah, selain Allah dan Allah itu Maha Besar” 100 kali.
Kemudian, mengerjakan shalat fardlu, dengan menjaga segala apa yang telah kami
bentangkan dahulu, dari segala adab batin dan adab zahir dalam shalat dan
berimam.
Apabila telah selesai dari shalat
fardlu itu, lalu duduklah dalam masjid sampai terbit matahari, berdzikir kepada
Allah Ta’ala, sebagaimana akan kami susun nanti. Bersabda Nabi saw:
“Sesungguhnya aku duduk pada tempat dudukku, berdzikir kepada Allah Ta’ala
padanya, dari shalat pagi (shalat Subuh) sampai terbit matahari, adalah lebih
aku sukai daripada memerdekakan 4 orang budak belian”. Diriwayatkan bahwa:
“Nabi saw apabila telah mengerjakan shalat Subuh, lalu duduk pada tempat shalatnya,
sehingga terbitlah matahari” –dan pada setengah riwayat: “Beliau mengerjakan
shalat 2 rakaat” –yakni: “Setelah terbit matahari. Dan tersebutlah keutamaan
yang demikian, yang tidak terhinggakan. Dan diriwayatkan oleh Al-Hasan: “Bahwa
Rasulullah saw menyebutkan sebahagian dari rahmat Tuhannya, dengan sabdanya:
“Bahwa Tuhan berfirman: “Wahai anak Adam ! berdzikirlah kepadaKu sesudah shalat
Fajar barang sesaat dan sesudah shalat ‘Ashar barang sesaat, niscaya Aku
cukupkan bagi engkau, apa yang ada diantara keduanya”. Apabila telah nyata
keutamaan yang demikian, maka hendaklah duduk dan tidak bercakap-cakap sampai
terbit matahari.
Tetapi seyogyalah pekerjaannya
sampai kepada terbit matahari itu, 4 macam: doa dan dzikir dengan
diulang-ulanginya pada buah tasbih, membaca Alquran dan tafakkur. Adapun doa,
maka setiap kali selesai dari shalat, hendaklah dimulai dan dibaca: “Wahai
Allah Tuhanku ! berilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad dan
keluarganya ! wahai Allah Tuhanku ! Engkau kesejahteraan, dari Engkau
kesejahteraan, kepada Engkau kembali kesejahteraan ! hidupkanlah kami, wahai
Tuhan kami dengan kesejahteraan ! masukkanlah kami ke negeri kesejahteraan,
maha barakah Engkau, wahai Yang Mempunyai keagungan dan kemuliaan !”.
Kemudian, memulai doa dengan apa
yang dimulai oleh Rasulullah saw, yaitu doanya: “Maha Suci Tuhanku, yang tinggi
Maha Tinggi, yang maha memberi ! tiada yang disembah selain Allah Yang Maha
Esa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia yang
menghidupkan dan yang mematikan. Dialah yang hidup, yang tidak mati.
DitanganNya kebajikan dan Dia maha berkuasa atas tiap-tiap sesuatu. Tiada yang
disembah, selain Allah, yang mempunyai nikmat, keutamaan dan pujian yang baik.
Tiada yang disembah selain Allah dan tiada kami menyembah, selain Dia, dimana
kami mengikhlaskan agama bagiNya, walaupun benci orang-orang yang kafir”.
Kemudian, memulai dengan doa-doa
yang telah kami bentangkan pada Bab Ketiga dan Keempat dari Kitab Doa. Maka
berdoalah dengan semuanya itu, kalau sanggup. Atau dihafal dari keseluruhannya
apa yang dipandang sesuai dengan keadaannya, yang lebih menghaluskan bagi
jiwanya dan lebih meringankan pada lidahnya.
Adapun dzikir yang
berulang-ulang, maka yaitu: kalimat-kalimat yang mempunyai keutamaan dan kelebihan
pada mengulang-ulanginya, dimana kami tidak membentangkannya secara panjang.
Dan sekurang-kurangnya dari apa yang seyogyanya, ialah diulangi tiap-tiap
daripadanya 3 kali atau 7 kali. Dan sebanyak-banyaknya, 100 kali atau 70 kali
dan yang sedang, ialah 10 kali. Maka hendaklah diulang-ulanginya itu, menurut
kelapangan dan keluasan waktunya. Kelebihan yang banyak, adalah lebih banyak.
Dan yang sedang, lagi sederhana, ialah diulang-ulanginya 10 kali. Maka itulah
yang lebih layak untuk selalu dilaksanakan. Dan pekerjaan yang lebih baik, ialah yang selalu
dikerjakan, walaupun sedikit. Tiap-tiap pekerjaan,
adalah tidak mungkin diteruskan selalu dengan banyak. Maka sedikitnya secara
terus-menerus, adalah lebih utama dan lebih mempengaruhi hati daripada banyakya
serta putus-putus. Yang sedikit terus-menerus itu, adalah seumpama titik-titik
air yang menitik keatas bumi dengan terus-menerus berikutan, maka dapatlah
mendatangkan suatu lobang kecil pada bumi. Dan juga kalau titik-titik air itu
jatuh keatas batu. Dan air yang banyak yang berpisah-pisah, bila tercurah satu
kali atau beberapa kali yang berpisah-pisah dalam waktu yang berjauhan, maka
tidaklah menimbulkan bekas yang nyata. Kalimat-kalimat itu adalah 10:
1.
membaca “Tiada yang disembah, selain Allah yang
Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia
yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia yang Hidup, tiada mati. DitanganNya
kebajikan. Dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
2.
membaca: “Maha Suci Allah, segala pujian bagi
Allah, tiada yang disembah selain Allah dan Allah itu Maha Besar. Tiada daya
dan tiada upaya, melainkan dengan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.
3.
membaca: “Allah Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan bagi
segala malaikat dan nyawa”.
4.
membaca: “Maha Suci Allah yang Maha Agung dan
dengan pujian kepadaNya”.
5.
membaca: “Aku meminta ampun pada Allah yang Maha
Agung, yang tiada disembah, selain Dia, yang hidup, yang berdiri sendiri dan
aku bermohon padaNya akan taubat”.
6.
membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! tiada yang melarang
akan apa yang Engkau berikan, tiada yang memberi akan apa yang Engkau larang.
Dan tiada bermanfaat akan orang yang mempunyai kesungguhan daripada Engkau oleh
kesungguhannya”.
7.
membaca: “Tiada yang disembah, selain Allah, yang
memiliki, yang Maha Benar, yang maha menjelaskan segala sesuatu”.
8.
membaca: “Dengan nama Allah yang tiada memberi
kemelaratan sesuatu serta namaNya, di bumi dan di langit. Dan Dia maha
mendengar, lagi maha mengetahui”.
9.
membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah rahmat
dan kesejahteraan kepada Muhammad, hambaMu, NabiMu dan RasulMu, Nabi yang ummi
(tak tahu tulis-baca), kepada kaum keluarganya dan sahabat-sahabatnya”.
10.
membaca: “Aku berlindung dengan Allah yang maha
mendengar, lagi maha mengetahui daripada setan yang terkutuk. Wahai Tuhanku !
aku berlindung dengan Engkau dari gangguan-gangguan setan. Dan aku berlindung
dengan Engkau, wahai Tuhanku, daripada setan-setan itu datang kepadaku”.
Maka 10 inilah kalimat-kalimat, apabila
diulang-ulangi tiap-tiap kalimat 10 kali, maka jadilah 100 kali. Maka itu
adalah lebih utama (afdhal) daripada mengulang-ulangi suatu dzikir 100 kali.
Karena tiap-tiap kalimat dari kalimatt-kalimat tersebut, mempunyai
kelebihan atas dayanya. Dan bagi hati
dengan tiap-tiap kalimat itu, mempunyai semacam kesadaran dan kelezatan. Dan
bagi jiwa, dalam berpindah dari kalimat ke kalimat, mempunyai semacam
ketenangan dan keamanan dari kemalasan.
Adapun membaca, maka disunatkan
membaca sejumlah ayat-ayat, yang dibentangkan oleh hadits-hadits dengan
keutamaannya. Yaitu: membaca surat “Alhamdulillah” (surat Al Fatihah), Ayat
Al-Kursiyy dan penghabisan dari surat “Al Baqarah”, dari firmanNya:
“aa-manar-rasuul”. Dan “Syahidallaahu” dan “Qulillaahumma maalikal-mulki”,
sampai habis kedua ayat ini. Dan firmanNya: “Laqad jaa-akum rasuulun min
an-fusikum” sampai akhirnya. Dan firmanNya: “Laqad shadaqallaahu
rasuulahur-ru’ya bil-haq” sampai akhirnya –S 48 Al Fath ayat 27. Dan firmanNya:
“Al hamdulillaahil-ladzii lam yattakhidz waladan” sampai akhirnya –S 17 Al
Israa’ ayat 111. Dan 5 ayat dari permulaan S 57 Al Hadiid dan 3 ayat dari
penghabisan S 59 Al Hasyr. Dan kalau dibaca “tujuh-tujuh kali dari bacaan yang
sepuluh” itu (al-musabbatil-‘asyr), yang telah dihadiahkan oleh Nabi Khidlir as
kepada Ibrahim At Taimi ra dan diwasiatkannya supaya dibaca pagi dan petang,
maka sesungguhnya telah sempurnalah keutamaan. Dan yang demikian itu telah
mengumpulkan baginya keutamaan keseluruhan doa-doa yang tersebut dahulu.
Sesungguhnya diriwayatkan dari
Karaz bin Wabrah ra dan Karaz ini termasuk al-abdaal (orang-orang
shalih) yang selalu ada di dunia ini. Bila ada yang meninggal, maka digantikan
oleh Allah swt dengan lainnya. Dimana ia menerangkan: “Telah
datang kepadaku seorang saudaraku dari penduduk negeri Syam (Syiria). Lalu
dihadiahkannya kepadaku suatu hadiah, seraya berkata: “Wahai Karaz, terimalah
dariku hadiah ini ! karena ia adalah hadiah yang sebaik-baiknya”. Lalu aku
bertanya: “Wahai saudaraku ! siapakah yang menghadiahkan kepadamu hadiah
tersebut ?”. Maka ia menjawab: “Diberikan hadiah ini kepadaku oleh Ibrahim
At-Taimi !”. Lalu aku bertanya: “Apakah tidak engkau tanyakan pada Ibrahim,
siapakah yang memberikan hadiah itu kepadanya ?”. Menjawab saudara itu: “Ada !
lalu Ibrahim menerangkan: “Adalah aku duduk di halaman Ka’bah, dimana aku
sedang bertahlil, bertasbih, bertahmid dan bertamjid (membaca: subhaanallah,
wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar), maka datanglah
seorang laki-laki, memberi salam kepadaku dan duduk di kananku. Belum pernah
aku melihat pada masaku, orang yang secantik itu mukanya, yang sebagus itu
pakaiannya, yang lebih putih warnanya dan lebih wangi baunya dari orang itu.
Lalu aku bertanya: “Wahai hamba Allah ! siapakah anda ? darimanakah anda datang
?”. Maka ia menjawab: “Aku adalah Khidlir!”. Lalu aku bertanya: “Apakah
maksudnya anda datang padaku !”. Menjawab Khidlir: “Aku datang kepadamu untuk
memberi salam dan karena cinta kepadamu pada jalan Allah. Dan padaku ada suatu
hadiah, yang ingin aku hadiahkan kepadamu !”. Maka aku bertanya: “Apakah hadiah
itu ?”. Ia menjawab: “Bahwa engkau baca sebelum terbit matahari dan sebelum
terbentangnya diatas bumi dan sebelum ia terbenam: surat Al Hamd, Qul a’uudzu
birabbinnaas, Qul a’uudzu birabbil-falaq, Qul huallaahu ahad, Qul yaa
ayyuhal-kaafiruun dan ayat Al Kursiyy. Masing-masing daripadanya 7 kali. Dan
engkau baca: “Subhaanallaah, wal-hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaah,
wallaahuu akbar” 7 kali. Dan berselawat kepada Nabi saw 7 kali. Memintta ampun
(membaca Istighfar) bagi dirimu sendiri, bagi ibu bapakmu, bagi orang mu’min
laki-laki dan perempuan 7 kali. Membaca: “Wahai Allah Tuhanku ! buatlah bagiku
dan bagi mereka, dengan cepat dan lambat, mengenai agama dunia dan akhirat,
akan apa yang Engkau punyai baginya ! dan janganlah Engkau buat kepada kami,
wahai yang kami junjung, akan apa yang kami punyai baginya. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun, Maha Penyantun, Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Pengasih, lagi
Maha Penyayang”.
Perhatikanlah, bahwa anda tidak
meninggalkan yang demikian itu pagi dan petang !”. Maka aku berkata: “Aku
ingin, engkau menerangkan kepadaku, siapakah gerangan yang memberikan kepadamu
akan pemberian yang agung ini ?”. Lalu ia menjawab: “Diberikan kepadaku oleh
Muhammad saw”. Maka aku menyambung: “Terangkanlah kepadaku pahalanya !”. Ia
menjawab: “Apabila anda menjumpai Muhammad saw maka tanyalah kepadanya tentang
pahalanya ! dia akan menerangkan kepadamu yang demikian itu”. Lalu Ibrahim
At-Taimi menerangkan, bahwa pada suatu hari ia bermimpi, seolah-olah malaikat
datang kepadanya, lalu membawanya, sehingga dia dimasukkan ke dalam sorga. Maka
ia melihat apa yang ada dalam sorga itu. Dan disifatkannya hal-hal yang agung
daripada apa yang dilihatnya didalam sorga. Berkata Ibrahim At-Taimi: “Lalu aku bertanya
kepada malaikat itu, dengan mengatakan: “Untuk siapakah ini ?”.
Lalu malaikat itu menjawab: “Untuk orang yang
mengerjakan amal, seperti amalmu !”. Disebutkan oleh Ibrahim At-Taimi, bahwa ia
makan dari buah-buahan sorga dan para malaikat menyuguhkan kepadanya minuman
sorga. Berkata Ibrahim seterusnya: “Maka datanglah kepadaku Nabi saw dan
bersamanya 70 orang nabi dan 70 baris (shaf) malaikat. Tiap-tiap baris,
seumpama antara masyriqq dan maghrib (antara tempat matahari terbit dan tempat
matahari terbenam). Nabi saw memberi salam kepadaku dan memegang tanganku. Lalu
aku berkata: “Wahai Rasulullah ! nabi Khidilir menerangkan kepadaku, bahwa ia
mendengar daripadamu akan perkabaran ini”. Maka menjawab Nabi saw: “Benar
Khidlir ! benar Khidlir ! dan tiap-tiap apa yang diceritakannya, adalah benar.
Dia adalah orang yang berilmu dari penduduk bumi, kepala al-abdal dan dia dari
tentara Allah Ta’ala di bumi”.
Maka aku bertanya: “Wahai
Rasulullah ! barangsiapa mengerjakan ini atau mengamalkannya dan ia tidak
bermimpi seperti yang saya mimpikan didalam tidur saya, adakah ia diberikan
sesuatu daripada apa yang diberikan kepada saya ?”. Menjawab Nabi saw: “Demi
Allah, yang mengutus aku dengan sebenar-benarnya menjadi nabi ! sesungguhnya
orang yang beramal akan diberikan itu, walaupun ia tidak bermimpi, berjumpa
dengan aku dan tidak bermimpi melihat sorga. Sesungguhnya diberikan kepadanya ampunan
dari segala dosa besar, yang telah diperbuatnya. Dihilangkan oleh Allah
daripadanya kemarahan dan kutukanNya. Dan disuruh oleh Allah akan malaikat yang
menjaganya di sebelah kiri, supaya tidak menuliskan satupun dari kesalahannya
dari perbuatan-perbuatan jahat, sampai setahun lamanya.
Demi Allah yang mengutus aku
dengan sebenarnya menjadi nabi ! tidaklah mengerjakan dengan amalan ini,
kecuali orang yang telah dijadikan oleh Allah berbahagia. Dan tidak
meninggalkan amalan ini, kecuali orang yang telah dijadikan oleh Allah celaka
!”. Adalah Ibrahim At-Taimi selama 4 bulan tidak makan dan tidak minum. Dan itu
adalah sesudah ia bermimpi dengan mimpi tadi. Maka inilah pekerjaan membaca !
kalau ditambahkannya kepada yang tadi, sesuatu daripada yang sampai kepadanya,
wiridnya dari Alquran atau dipendekkannya kepada yang wirid itu saja, adalah
baik. Karena Alquran menghimpunkan keutamaan dzikir, fikir dan doa, manakala
disertakan pemahaman. Sebagaimana telah kami sebutkan keutamaan dan adabnya
pada Bab Tilawah Alquran dahulu. Adapun fikir (tafakkur), maka hendaklah
menjadi salah satu tugasnya. Dan akan datang uraian, apa yang ditafakkurkan itu
dan caranya, pada Kitab Tafakkur dari “Rubu Yang Melepaskan” (Rubu’
Al-Munjiat). Tetapi kumpulannya kembali kepada dua bahagian:
Pertama:
bertafakkur tentang yang bermanfaat dari Ilmu Mu’amalah (yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan) dengan menghisab diri (memperhitungkan
segala perbuatan diri sendiri), pada masa yang lampau, dari keteledorannya.
Menyusun segala tugasnya pada hari yang berada dihadapannya. Mengatur tentang
menolak segala yang memalingkan dan yang mencegah, yang menghabiskan waktunya,
daripada berbuat kebajikan. Mengingati keteledoran nya dan yang mendatangkan
kepadanya kekecewaan dari segala perbuatannya, untuk diperbaikinya.
Menghadirkan kedalam hatinya, niat-niat yang baik dari segala perbuatan, pada
dirinya dan dalam pergaulannya dengan kaum muslimin.
Kedua. Bertafakkur
pada yang bermanfaat dalam ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu, dengan
kertafakkur, sekali pada segala nikmat Allah Ta’ala dan berturut-turut
nikmatNya, yang zhahir dan yang bathin supaya bertambahlah pengenalannya
(ma’rifatnya) dengan ni’mat itu. Dan membanyak kan kesyukurannya kepada nikmat.
Atau bertafakkur tentang siksa dan azabNya,
supaya bertambahlah ma’rifatnya dengan qudrah ( kuasa ) Ilahi dan istighna’Nya
(Istighna’Nya yaitu: Tuhan tidak memerlukan sesuatu dari makhluk). Dan
bertambahlah takutnya kepada siksa dan azab itu. Masing-masing dari hal-keadaan
tersebut, mempunyai banyak cabang, yang meluas tafakkur padanya dari sebahagian
makhluk dan tidaknya dari sebahagian yang lain. Dan itu akan kami tinjau secara
mendalam pada Kitab Tafakkur. Manakala mudah melaksanakan tafakkur itu, maka
itu adalah ibadah yang termulia. Karena mengandung pengertian, mengingati Allah
Ta’ala (berdzikir kepadaNya) dan menambahkan dua hal:
Pertama:
menambahkan ma’rifat, karena berfikir itu, kunci ma’rifat dan kasyaf (terbuka
yang terdinding).
Kedua: menambahkan
kecintaan, karena hati tidak mencintai, kecuali orang yang ditekadkan
mengagungkannya. Dan tidaklah terbuka (inkisyaf) keagungan dan kebesaran Allah
swt, selain dengan mengenal sifat, qudrah ( kuasa ) dan keajaiban Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya. Maka dari berfikir datanglah ma’rifah dan dari
ma’rifah, datanglah pengagungan. Dan dari pengagungan, datanglah kecintaan. Dan juga, dzikir itu mempusakai kejinakan hati. Dan
kejinakan hati itu, adalah semacam kecintaan. Tetapi kecintaan, yang sebabnya
dari pengenalan (ma’rifah), adalah lebih teguh,
tetap dan agung.
Bandingan kecintaan orang yang
mengenal (al-arif atau yang berma’rifah), dengan kejinakan hati orang yang
mengingati (yang berdzikir), tanpa kesempurnaan memandang dan memperhatikan,
adalah seperti bandingan asyiknya orang yang menyaksikan kecantikan seseorang
dengan mata sendiri dan melihat kebagusan tingkah-laku, perbuatan, keutamaan
dan hal-ikhwalnya yang terpuji dengan dicoba, dibandingkan kepada kejinakan
hati orang yang berulang kali mendengar sifat seseorang yang jauh dari matanya,
dengan kebagusan bentuk dan tingkah lakunya secara mutlak, tanpa uraian
segi-segi kebagusan bentuk dan tingkah lakunya itu. Maka tidaklah kecintaan
orang yang mendengar itu, seperti kecintaan orang yang melihatnya. Dan tidaklah
berita itu, seperti dilihat sendiri.
Para hamba Allah (al-ibad) yang
rajin mengingati Allah dengan hati dan lisan, yang membenarkan apa yang dibawa
oleh para rasul, dengan keimanan secara taqlid (turut/menurut), maka tidaklah
bersama mereka dari kebagusan segala sifat Allah Ta’ala, melainkan segala hal
yang cantik yang diyakininya, dengan membenarkan orang yang menyifatkan
sifat-sifat Allah itu kepada mereka. Orang yang berma’rifah (al-‘arifun), ialah
mereka yang menyaksikan keagungan dan kecantikan itu, dengan mata-hati
kebathinan (‘ainil-bashirah al-bathiniah), yang lebih kokoh kuat dari pandangan
zhahir. Karena tiada seorangpun sanggup mengetahui penghabisan keagungan dan
kecantikan Allah. Yang demikian itu, tidak disanggupi oleh seorangpun daripada
makhluk. Tetapi masing-masing orang dapat menyaksikan,
sekedar terangkat baginya hijab. Dan tak ada
kesudahan (la nijahah) bagi kecantikan Hadirat Ketuhanan dan bagi hijabNya. Dan
sesungguhnya, bilangan hijabnya, yang berhak dinamakan Nur dan kadang-kadang
disangka oleh orang sampai kepadanya, bahwa telah sempurnalah sampainya kepada
asal, adalah 70 hijab. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mempunyai 70
hijab dari Nur. Kalau dibukaNya, niscaya terbakarlah akan apa yang didapati
bashar (melihat) Nya oleh keMaha Sucian WajahNya”.
Dan hijab itu pula menurut
susunannya. Dan nur-nur itu, berlebih kurang tingkatannya, sebagaimana
berlebih-kurangnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Dan nyatalah pada
permulaannya, yang lebih kecil, kemudian apa yang berikutnya. Dan diatas dasar
itulah, dita’wilkan oleh sebahagian orang Shufi, akan tingkat-tingkat yang
manampak bagi Ibrahim as pada meningkatnya.
Berkata sebahagian orang Shufi
itu: “Bahwa ayat: “Tatkala gelaplah kepada Ibrahim keadaan”, ra-aakaukabaa
–artinya: “maka sampailah ia kepada suatu hijab dari nut”. Disebutkan hijab itu
dengan kaukab (bintang). Dan tidaklah dimaksudkan dengan kaukab, benda-benda
yang bercahaya itu. Karena masing-masing orang kebanyakan, tidaklah tersembunyi
bagi mereka, bahwa Ketuhanan tidaklah layak dengan benda-benda yang bertubuh (al-ajsam).
Bahkan mereka mengetahui yang demikian itu pada permulaan perhatian mereka.
Maka apa yang tidak menyesatkan orang kebanyakan (orang awam), tentu tidak
menyesatkan Ibrahim Al-Khalil as. Dan hijab yang dinamakan dengan “nur”,
tidaklah dimaksudkan akan cahaya yang dapat dirasa dengan pandangan mata.
Tetapi dimaksud kan akan apa yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Allah itu cahaya bagi langit dan bumi. Bandingan cahayNya adalah seperti satu
kurungan pelita, yang didalamnya ada pelita......” sampai akhir ayat. Marilah
kita lampaui saja segala pengertian ini, karena diluar dari Ilmu Mu’amalah
(yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan tidak sampai kepada
hakikat/maknanya, kecuali dengan terbuka hijab/ kasyaf yang mengikuti pikiran yang
bersih. Dan sedikitlah orang yang terbuka baginya pintu hijab/kasyaf. Dan yang mudah bagi kebanyakan orang ramai, ialah berpikir
mengenai apa yang mendatangkan faedah dalam Ilmu Mu’amalah (yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan itu juga termasuk hal yang banyak
faedahnya dan besar manfaatnya.
Maka tugas yang 4 itu, ya’ni:
doa, dzikir, membaca dan tafakkur, seyogyalah menjadi tugas seorang murid
(orang yang menuntut jalan Allah), sesudah shalat Subuh. Bahkan pada tiap-tiap
wirid sesudah selesai dari tugas shalat. Sehingga tidak ada, tugas, sesudah
shalat selain yang 4 ini. Dan dikuatkannya untuk itu, dengan mengambil senjata
dan benteng pertahanan. Dan puasa adalah benteng yang menyempitkan jalan
lalu-lintas setan, yang selalu bermusuh, memalingkan seorang murid dari jalan
petunjuk. Dan tak adalah shalat sesudah datang waktu Subuh, selain dari 2
rakaat fajar dan Fardlu subuh, sampai kepada terbit matahari. Adalah Rasulullah
saw dan para sahabatnya ra menggunakan waktu tersebut dengan berbagai macam
dzikir. Dan itu adalah lebih utama, kecuali ia sangat mengantuk sebelum fardlu.
Dan mengantuk itu tidak ditolak, selain dengan shalat. Kalau ia bershalat
karena yang demikian maka tiada mengapa.
Wirid yang kedua:
ialah antara terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang hari. Saya
maksudkan dengan dluha, ialah separuh antara terbit matahari, sampai kepada
waktu gelincir matahari (waktu zawal). Yang demikian itu, dengan lewatnya 3 jam
dari siang, apabila diumpamakan siang itu 12 jam. Yaitu: ¼ dan pada ¼ dari
siang ini terdapat 2 tugas tambahan:
Tugas Yang pertama:
shalat Dluha dan telah kami terangkan dahulu pada Kitab Shalat. Dan yang lebih
utama (al-aula), ialah mengerjakan 2 rakaat Dluha, ketika matahari sudah
terbit. Yaitu, apabila matahari telah membentang dan meninggi kira-kira separuh
anak panah. Dan mengerjakan shalat 4 rakaat atau 6 rakaat atau 8 rakaat,
apabila telah panaslah dinding-dinding dan terasa tapak kaki dengan panas
matahari. Maka waktu yang 2 rakaat itu, ialah yang dikehendaki oleh Allah
Ta’ala dengan firmanNya: “Bertasbih memuji Tuhan petang dan pagi”. S 38 Shaad
ayat 18. Itu adalah waktu terbit matahari (waktu isyraq). Yaitu: terang
sempurna sinarnya dengan meninggi matahari itu dari setentang uap dan debu yang
terdapat atas permukaan bumi, dimana asap dan debu itu mencegah sempurnanya
menampak terbitnya matahari. Waktu yang 4 rakaat itu, ialah Dluha yang
tertinggi, dimana Allah Ta’ala bersumpah dengan dia, dengan firmanNya: “Demi
waktu Dluha. Dan malam apabila senyap sepi”. S 93 Adl Dluhaa ayat 1 dan 2.
Rasulullah saw pergi kepada para
sahabatnya, dimana mereka sedang mengerjakan shalat ketika waktu isyraq. Lalu
Nabi saw berseru dengan suaranya yang keras: “Ketahuilah, bahwa shalat bagi
orang-orang yang taubat itu, ialah apabila telah panaslah dinding-dinding
dengan sinar matahari”. Maka karena itulah, kami katakan, bahwa apabila
disingkatkan kepada sekali saja shalat, maka waktu tadi adalah yang paling
utama bagi shalat Dluha, walaupun pokok keutamaan itu, berhasil dengan mengerjakan
shalat antara dua tepi waktu makruh (waktu kirahah bagi shalat). Yaitu: antara
meninggi matahari dengan terbitnya, lebih-kurang separuh anak panah, sampai
kepada sebelum zawal pada saat tengah hari (saat istiwa/bersemayam’). Dan nama
Dluha itu, tertuju kepadanya semuanya. Dan seakan-akan 2 rakaat isyaraq tadi,
jatuh pada permulaan waktu keizinan shalat dan lewatnya waktu kirahah. Karena
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya tanduk
setan. Apabila matahari itu meninggi, maka berpisahlah setan itu daripadanya”. Sekurang-kurang meningginya, ialah matahari itu meninggi
dari kabut dan debu tanah. Dan ini dijaga dengan berlebih kurang.
Tugas yang kedua pada
waktu ini: ialah perbuatan kebaikan yang berhubungan dengan manusia, yang
berlaku menurut adat kebiasaan pada pagi hari. Seperti mengunjungi orang sakit,
menyelenggarakan jenazah, menolong pada jalan kebajikan dan taqwa kepada Tuhan,
mengunjungi majelis ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang sejalan dengan itu
untuk memenuhi keperluan orang-orang muslim dll sebagainya. Kalau tidak ada
sesuatu dari yang demikian itu, niscaya kembalilah kepada tugas yang 4 yang
telah kami terangkan dahulu. Yaitu: doa, dzikir, membaca dan tafakkur, serta
shalat-shalat sunat kalau mau, dimana shalat itu dimakruhkan sesudah shalat
Subuh dan tidak dimakruhkan sekarang. Sehingga jadilah shalat itu bahagian
kelima dari jumlah tugas waktu ini, bagi orang yang ingin mengerjakannya.
Adapun sesudah fardlu Subuh, maka dimakruhkan tiap-tiap shalat yang tidak
mempunyai sebab. Dan sesudah datang waktu Subuh, yang lebih disukai, ialah
menyingkatkan shalat kepada 2 rakaat
fajar dan shalat tahiyyat masjid. Dan tidaklah mengerjakan shalat yang lain,
tetapi berdzikir, membaca, mendoa dan bertafakkur.
Wirid ketiga: dari
dluha siang, sampai kepada waktu zawal. Yang dimaksudkan dengan dluha, ialah
separuh dari waktu tadi dan sebelum separuh itu sedikit, walaupun ada sesudah
tiap-tiap 3 jam, disuruh dengan shalat. Apabila telah berlalu 3 jam sesudah
terbit matahari, maka pada 3 jam tadi dan sebelum berlalunya, adalah shalat
Dluha. Apabila telah lewat 3 jam lagi, maka itulah waktu Dhuhur. Apabila lewat
3 jam lagi maka itulah waktu ‘Ashar. Dan apabila telah lewat 3 jam lagi, maka
itulah waktu Maghrib. Kedudukan Dluha diantara zawal dan terbit matahari,
adalah seperti kedudukan ‘Ashar diantara zawal dan terbenam matahari. Kecuali,
bahwa shalat Dluha itu bukan shalat fardlu. Karena waktunya adalah waktu
manusia sibuk dengan urusannya. Maka diringankanlah itu kepada mereka.
Tugas keempat: pada waktu ini ialah
bahagian-bahagian yang 4 itu dan ditambahkan lagi 2 perkara:
Pertama: bekerja dengan
usaha, mengatur penghidupan dan datang ke pasar. Kalau ia saudagar maka
seyogyalah berniaga dengan benar dan jujur. Kalau ia mempunyai perusahaan, maka
dengan memberi nasehat dan kasih sayang. Dan tidak melupakan dzikir (ingat)
kepada Allah Ta’ala dalam segala pekerjaan. Dan memendekkan usahanya itu
sekedar keperluan untuk hari itu, manakala ia sanggup berusaha tiap-tiap hari
untuk pangannya.
Apabila telah berhasil yang
mencukupi untuk harinya itu, maka hendaklah ia kembali ke bait Tuhannya
(baitul-rabbih) dan menyediakan perbekalan bagi akhirat. Karena keperluan
kepada perbekalan akhirat adalah lebih berat. Dan mengambil manfaat dengan dia,
adalah lebih kekal. Dari itu, bekerja dengan mengusahakan perbekalan akhirat
adalah lebih penting daripada mencari tambahan diatas keperluan waktu itu.
Ada yang mengatakan, bahwa orang
mu’min, tidak didapati selain pada 3 tempat: pada masjid yang diramaikannya
atau pada rumah yang ditutupkan nya atau pada keperluan yang tak boleh tidak
daripadanya. Dan sedikitlah orang yang mengetahui kadar, pada apa yang tidak
boleh tidak itu. Bahkan kebanyakan manusia, menaksir barang yang boleh tidak,
bahwa itu tidak boleh tidak baginya. Sebabnya karena setan menjanjikan kepada
mereka kemiskinan dan menyuruh nya dengan perbuatan keji. Lalu mereka dengar
setan itu dan mengumpulkan apa yang tidak dimakan karena takut miskin. Dan Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan ampunan dan
kurnia daripadaNya. Lalu mereka berpaling daripada Allah Ta’ala dan tidak
menyukaiNya.
Kedua: tidur siang. Dan ini sunat
untuk membantu bangun malam, sebagaimana makan sahur sunat untuk membantu puasa
siang. Kalau ia tidak bangun malam, tetapi kalau tidak tidur siang, ia tidak
menggunakan waktunya itu kepada kebajikan. Dan mungkin bergaul dengan
orang-orang yang lalai dan bercakap-cakap dengan mereka. Maka dalam hal ini,
tidur adalah lebih baik baginya, apabila tidak membangkirkan kerajinannya untuk
kembali kepada berdzikir dan tugas-tugas yang tersebut dahulu. Karena pada
tidur itu, adalah diam dan selamat.
Berkata sebahagian mereka, bahwa
akan datang kepada manusia suatu masa, dimana diam diri dan tidur padanya
adalah lebih utama bagi segala amal perbuatannya. Berapa banyak orang ‘abid
(yang banyak beribadah), keadaannya yang sebaik-baiknya ialah tidur. Yang demikian itu, apabila
menimbulkan ria dan tidak mendatangkan keikhlasan pada ibadahnya. Maka betapa
lagi dengan orang lalai yang fasiq itu !. Berkata Sufyan Ats-Tsuri ra: “Adalah
mena’jubkan akan mereka apabila telah selesai dari tugasnya, oleh tidurnya,
karena mencari keselamatan. Apabila tidur itu dimaksudkan untuk mencari
keselamatan dan niat bangun malam, maka tidur itu adalah mendekatkan diri
kepada Tuhan (qurbah)”. Tetapi seyogyalah bangun sebelum zawal, sekedar untuk
mempersiapkan diri buat shalat dengan wudlu’ dan datang ke masjid sebelum masuk
waktu shalat. Yang demikian itu, adalah sebahagian daripada amal yang utama.
Kalau tidak tidur dan tidak bekerja dengan sesuatu usaha dan menggunakan
waktunya dengan shalat dan dzikir, maka itu adalah lebih utama segala amalan
siang. Karena waktu itu, adalah waktu kelengahan manusia daripada mengingati
Allah ‘Azza Wa Jalla dan sibuk dengan kepentingan duniawi. Maka hati yang
tercurah untuk berkhidmat kepada Tuhannya pada ketika hamba-hamba yang lain
berpaling daripada pintuNya, adalah lebih layak disucikan oleh Allah dan
dipilihNya untuk mendekati dan mengenaliNya. Kelebihan yang demikian itu, adalah
seperti kelebihan menghidupkan malam. Malam adalah waktu kelalaian dengan
tidur. Dan itu tadi adalah waktu kelalaian dengan menuruti hawa nafsu dan
menghabiskan waktu dengan kepentingan duniawi. Dan salah satu dari dua
pengertian firman Allah Ta’ala: “Dan Dia yang menjadikan malam dan siang silih
berganti, untuk (pengajaran) bagi siapa yang memperhatikan”. S 25 Al Furqaan
ayat 62. Artinya: yang satu menggantikan yang lain tentang kelebihan. Dan
pengertian yang kedua: bahwa yang satu menggantikan yang lain, sehingga
diperoleh pada yang satu, apa yang telah hilang pada yang lain.
Wirid keempat:
diantara zawal sampai kepada selesai dari shalat Dhuhur dan sunat rawatibnya
(shalat sunat Dhuhur). Dan ini adalah wirid siang yang terpendek dan yang
terutama. Kalau sudah berwudlu’ sebelum zawal dan telah datang ke masjid, maka
manakala telah gelincirlah matahari dan muadzin telah memulai adzan, maka
hendaklah bersabar sampai kepada selesai menjawab adzannya. Kemudian, bangunlah menghidupkan
waktu dengan shalat diantara adzan dan iqamat. Itu adalah waktu mendhuhurkan
(waqtulidh-har), yang dimaksudkan oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan
diwaktu kamu berdhuhur”. S 30 Ar Ruum ayat 18. Dan hendaklah bershalat pada
waktu ini 4 rakaat dengan satu salam, yang tidak dipisahkan diantara keempat
rakaat itu. Dan shalat ini sendiri, diantara shalat-shalat siang yang lain,
dinukilkan oleh sebahagian ulama, bahwa Nabi saw mengerjakannya dengan satu
salam. Tetapi riwayat tersebut dikecam orang. Dan menurut mazhab Asy-Syafi’i ra
bahwa Nabi saw mengerjakan shalat tadi dua-dua rakaat, seperti sunat-sunat yang
lain. Dan diceraikan dengan satu salam. Dan itulah yang dishahkan oleh
hadits-hadits. Hendaklah diperpanjangkan rakaat-rakaat ini karena segala pintu
langit dibuka pada waktunya, sebagaimana telah kami bentangkan hadits
mengenainya pada Bab Shalat Sunnat dahulu. Dan hendaklah dibacakan padanya
surat Al Baqarah atau surat dari ratusan ayatnya atau 4 dari surat yang
dibacakan selalu berulang-ulang (al-matsani/al fateha). Itulah saat-saat yang
dimakbulkan doa dan yang paling disukai oleh Rasulullah saw untuk diangkatkan
amalan padanya. Kemudian, dikerjakan shalat Dhuhur dengan berjama’ah, sesudah
dikerjakan 4 rakaat yang pendek, yang tidak wajar ditinggalkan. Kemudian
sesudah Dhuhur, hendaklah dikerjakan shalat 2 rakaat, kemudian 4 rakaat. Dan
Ibnu Mas’ud memandang makruh diikutkan shalat fardlu dengan yang menyamainya,
tanpa ada yang memisahkan. Dan sunat dibacakan pada shalat sunat ini ayat
Al-Kursiyy, penghabisan surat Al Baqarah dan ayat-ayat yang telah kami
bentangkan pada wirid pertama dahulu. Supaya adalah yang demikian,
menghimpunkan diantara doa, dzikir, bacaan, shalat, tahmid dan tasbih bersama
kemuliaan waktu.
Wirid Kelima: yaitu
sesudah yang tadi sampai kepada ‘Ashar. Dan disunatkan pada waktu wirid ini
i’tikaf (duduk beribadah dengan niat i’tikaf) dalam masjid, berdzikir dan
bershalat atau berbagai amalan kebajikan. Dan dalam menunggu shalat itu, adalah
dengan beri’tikaf. Maka sebahagian daripada amalan utama, ialah menunggu shalat
sesudah shalat. Dan adalah yang demikian itu, sunnah (jalan yang ditempuh) oleh
ulama-ulama terdahulu. Adalah orang yang masuk itu, memasuki masjid antara
Dhuhur dan ‘Ashar, lalu mendengar dengungan suara pembacaan dari orang-orang
yang bershalat, seperti dengungan bunyi lebah. Kalau rumahnya telah diserahkan
untuk agama dan disepakatkan untuk kepentingan agama, maka rumah itu adalah
lebih utama terhadap dirinya. Maka menghidupkan wirid tadi, dimana wirid itu
juga pada waktu manusia dalam kelalaian, adalah seperti menghidupkan wirid
ketiga tentang kelebihannya. Pada waktu ini, dimakruhkan tidur bagi orang yang
telah tidur sebelum zawal, karena dimakruhkan dua kali tidur pada satu siang
hari. Berkata sebahagian ulama: “3 perkara dikutuk oleh Allah: ketawa tanpa ada
yang ganjil, makan tanpa lapar dan tidur siang tanpa berjaga pada malam hari”.
Pembatasan tidur: bahwa malam dan siang itu, adalah 24 jam. Maka tidur yang
sederhana, ialah 8 jam pada malam dan siang
seluruhnya. Kalau telah tidur selama 8 jam ini pada malam hari, maka tidak
adalah artinya lagi untuk tidur pada siang hari. Dan kalau kurang dari itu,
maka disempurnakan sekedar yang kurang, dengan tidur pada siang hari. Hendaklah
manusia itu menghitung, kalau ia hidup 60 tahun, maka telah berkurang daripada
umurnya 20 tahun. Dan manakala ia tidur 8 jam, yaitu 1/3, maka telah berkurang
daripada umurnya 1/3. Tetapi tatkala tidur itu adalah makanan bagi nyawa,
sebagaimana makanan biasa adalah makanan bagi tubuh dan sebagaimana ilmu dan
dzikir adalah makanan bagi jiwa, maka tidaklah mungkin manusia itu meninggalkan
tidur dari jumlah yang sederhana tadi. Kadar sederhana ini dan berkurang
daripadanya, mungkin membawa kepada kegoncangan badan (tidak seimbang). Kecuali
orang yang membiasakan tidak tidur malam sedikit demi sedikit. Kadang-kadang ia
melatih dirinya atas yang demikian, tanpa menggoncangkan. Wirid kelima ini,
adalah wirid yang paling panjang dan paling menyedapkan bagi hamba Allah. Yaitu
salah satu dari petang, yang disebutkan oleh Allah dengan firmanNya: “Dan apa
yang ada di langit dan di bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau tidak mau,
demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang”. S 13 Ar Ra’d ayat
15. Apabila telah bersujud kepada Allah ‘Azza Wa Jalla segala benda
beku(al-jamadat), maka bagaimanakah boleh dilengahkan oleh hamba ya berakal, daripada
segala macam ibadah itu?
Wirid Keenam: apabila
telah masuk waktu ashar, niscaya masuklah waktu wirid ke 6 Yaitu: yang
disumpahi oleh Allah Ta’ala, dengan firmanNya: “Wal-‘ashri” –Demi waktu ‘Ashar
–S 103 Al ‘Ashr ayat 1. Inilah adalah salah satu daripada dua pengertian ayat,
yaitu: yang dimaksudkan dengan petang (al-aashaal) pada salah satu dari dua
penafsiran. Yaitu: kata-kata al-‘asyiyyi (sore) yang tersebut pada firmanNya
‘wa ‘asyiyyaan”. Dan pada firmanNya: “bil-asyiyyi wal-isyraq”. S 38 Shaad ayat
18, yang artinya: diwaktu sore dan pagi. Dan tak adalah pada wirid ini shalat,
selain dari 4 rakaat, antara adzan dan iqamat, sebagaimana yang telah lalu pada
Dhuhur. Kemudian, mengerjakan shalat fardlu dan mengerjakan 4 macam yang
tersebut pada wirid pertama dahulu sampai kepada meninggi matahari ke puncak
pagar tembok dan warnanya menguning. Yang afdhal (lebih utama) pada wirid ini,
karena dilarang shalat, ialah membaca Alquran dengan pengertian dan pemahaman
yang mendalam. Karena yang demikian itu mengumpulkan antara dzikir, doa dan
fikir. Maka masuklah ke dalam bahagian ini kebanyakan maksud dari bahagian yang
3 itu.
Wirid Ketujuh:
apabila telah menguning cahaya matahari dengan mendekatnya ke bumi, dimana
cahaya ditutup oleh debu dan kabut yang ada dipermukaan bumi dan menampaklah
kuning warna cahayanya, maka masuklah waktu wirid ini. Yaitu seperti wirid yang
pertama dahulu dari terbit fajar sampai kepada terbit matahari. Karena disini
sebelum terbenam, sebagaimana disana sebelum terbit. Dan inilah yang
dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Bertasbihlah (muliakanlah) Allah,
ketika kamu di petang hari dan ketika
kamu di pagi hari !”. S 30 Ar Ruum ayat 17. Dan inilah segi kedua yang
dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka bertasbihlah kepada Allah beberapa
jam pada bahagian-bahagian siang, supaya engkau merasa senang !”. S 20 Thaahaa
ayat 130. Berkata Al-Hasan: “Adalah mereka sangat mengagungkan petang daripada
permulaan siang”. Berkata sebahagian salaf: “Adalah mereka menjadikan permulaan
siang untuk dunia dan penghabisan siang untuk akhirat”. Maka disunatkan pada
waktu itu bertasbih dan beristighfar khususnya dan yang lain-lain dari apa yang
telah kami sebutkan pada wirid yang pertama dahulu. Umpamanya, membaca: “Aku
memohonkan ampun pada Allah yang tiada disembah, selain Dia, Yang Hidup, Yang
berdiri sendiri dan aku bermohon padaNya taubat”. Dan membaca:
(Subhaanallaahil-adhiim, wa bihamdih), dimana ini diambil daripada firman Allah
Ta’ala: “Dan mohonkanlah ampun atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu pada waktu petang dan pagi !”. Membaca istighfar dengan ‘asma Allah
(nama-nama Allah) yang tersebut dalam Alquran, adalah lebih disunatkan seperti
membaca: “Astaghfirullaaha innahuu kaana ghafaaraa (maha pengampun).
Astaghfirullaaha innahuu kaana tawwaabaa(maha penerima taubat) –Rabbighfir
warham wa anta khairur-raahimiin –Faghfir lanaa warhamnaa wa anta
khairur-raahimiin -Faghfir lanaa warhamnaa wa anta khairul-ghaafiriin”.
Disunatkan membaca sebelum terbenam matahari: surat “Wasy-syamsi wa
dluhaa-haa”, surat “Wallaili idzaa yaghsyaa”, surat “Qul a’uudzu birabbil
falaq” dan “Qul a’uudzu birabbinnaas”. Dan hendaklah matahari itu terbenam,
dimana dia sedang membaca istighfar. Apabila mendengar adzan, lalu berdoa:
“Wahai Allah Tuhanku ! inilah menghadapi malamMu, membelakangi siangMu dan
suara-suara doa kepadaMu”, sebagaimana telah diterangkan dahulu.
Kemudian ia menjawab adzan dari
muadzin dan bersiap-siap dengan shalat Maghrib. Dan dengan terbenamnya
matahari, maka selesailah segala wirid siang. Maka seyogyalah seorang hamba
memperhatikan akan hal-ikhwalnya dan mengadakan perhitungan (mengadakan hisab)
akan dirinya. Sesungguhnya telah berlalu dari perjalanannya suatu jarak
perjalanan. Kalau bersamaanlah harinya itu dengan kemarinnya, maka adalah ia
merugi. Dan kalaulah lebih buruk dari kemarin, maka adalah ia terkutuk.
Bersabda Nabi saw: “Tiadalah
diberikan kepadaku, keberkatan pada hari, dimana aku tidak bertambah kebajikan
padanya”. Kalau ia melihat dirinya sempurna diatas kebajikan pada seluruh siang
harinya, dengan merasa senang, tanpa kesulitan, niscaya dirinya itu adalah
menggembirakan. Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta’ala, diatas taufiq
dan petunjuk Allah kepadanya bagi jalanNya. Dan kalau sebaliknya, maka
hendaklah malam itu menggantikan siang. Hendaklah ia ber’azam untuk memperoleh
apa yang telah lalu dari keteledorannya. Karena kebajikan itu menghilangkan
kejahatan. Dan hendaklah ia bersyukur kepada Allah diatas kesehatan badannya.
Dan yang tinggal dari sisa umurnya sepanjang malamnya itu, hendaklah
dipergunakannya untuk memperoleh apa yang telah hilang dengan sebab
keteledorannya. Dan hendaklah ia menghadirkan kedalam jiwanya, bahwa siang
keumuran itu mempunyai penghabisan, dimana terbenamlah matahari kehidupan
padanya. Maka tak adalah matahari kehidupan itu terbit lagi sesudahnya. Dan
pada ketika itu tertutuplah pintu untuk memperoleh kembali apa yang telah
hilang dan meminta kemaafan. Tidaklah umur itu selain dari beberapa hari saja
yang dapat dihitung, yang pasti berlalu keseluruhannya dengan berlalu
satu-persatunya.
PENJELASAN: wirid-wirid malam. Yaitu: 5
Pertama: apabila
telah terbenam matahari, lalu mengerjakan shalat Maghrib dan bekerja dengan
menghidupkan diantara Maghrib dan ‘Isya’. Dan penghabisan wirid ini ialah
ketika terbenam syafaq, yaitu mega-merah, dimana dengan hilangnya itu, masuklah
waktu shalat ‘Isya’ (shalat al-‘atamah). Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
bersumpah dengan syafaq. Ia berfirman: “Aku bersumpah dengan syafaq (mega merah
di senja kala)”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 16. Dan shalat pada waktu syafaq itu,
adalah shalat di malam hari. Karena syafaq itu adalah kejadian pertama bagi
saat-saat malam. Dan adalah salah satu dari waktu-waktu yang tersebut pada
firman Allah Ta’ala: “Maka bertasbihlah pada beberapa jam dari malam hari !”. S
20 Thaahaa ayat 130. Yaitu: shalat orang-orang yang bertaubat (shalat
al-awwabin). Dan itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Mereka
meninggalkan tempat tidurnya”. S 32 As Sajdah ayat 16. Diriwayatkan yang
demikian daripada Al-Hasan dan disandarkan (di-isnadkan) oleh Ibnu Abi Ziyad
kepada Rasulullah saw: “Bahwa ditanyakan Nabi saw tentang ayat tadi, lalu Nabi
saw menjawab: yaitu: shalat antara Maghrib dan ‘Isya’. Kemudian Nabi saw
menyambung: “Kamu harus mengerjakan shalat diantara Maghrib dan ‘Isya’ karena
sesungguhnya shalat itu menghilangkan segala yang sia-sia di siang hari dan
membersihkan penghabisan dari hari itu”. Kata-kata: segala yang sia-sia, dalam
bahasa Arabnya, tersebut pada hadits tadi, dengan kata-kata al-mulaaghaat,
adalah kata-kata jama’ dari kata-kata mulghah, berasal dari kata-kata al-laghwi,
artinya: yang sia-sia atau batil/salah. Ditanyakan Anas ra tentang orang yang
tidur antara Maghrib dan ‘Isya’, lalu ia menjawab: “Jangan engkau lakukan,
karena waktu itu adalah saat yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Tatajaafaa junuubuhum ‘anil-madlaaji” –S As 32 Sajdah ayat 16 yang telah
tersebut diatas tadi. Dan akan datang penjelasan keutamaan menghidupkan dengan
amalan, diantara Maghrib dan ‘Isya’ nanti pada Bab Kedua. Susunan wirid ini,
ialah: mengerjakan shalat pertama-tama sesudah maghrib 2 rakaat dengan membaca
pada keduanya: Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun dan Qul huallaahu ahad. Dan kedua
rakaat tadi dilaksanakan di belakang Maghrib benar, tanpa diselangi dengan
percakapan dan perbuatan apapun. Kemudian, dikerjakan shalat 4 rakaat dengan memanjangkannya.
Kemudian, dikerjakan shalat lagi sampai terbenam syafaq, sekedar yang mudah
baginya. Kalau masjid itu berdekatan dengan rumahnya, maka tiada mengapa
dikerjakan shalat tadi di rumah, kalau tak ada azamnya beri’tikaf di masjid.
Dan kalau berazam kepada beri’tikaf di masjid untuk menunggu shalat Isya’, maka
itu adalah lebih utama, apabila ia merasa terpelihara daripada berbuat-buat
(at-tashannu) dan ria.
Wirid Kedua: masuk
dengan masuknya waktu Isya’, sampai kepada batas waktu orang tidur. Yaitu permulaan
bersangatan gelap. Allah Ta’ala bersumpah dengan itu. FirmanNya: “Demi malam
dan apa yang dikumpulkan dari kegelapannya”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 17. Dan
berfirman Allah Ta’ala: “Sampai gelap malam”. S 17 Al Israa’ ayat 78. Maka
disitu menggelaplah malam dan berkumpullah dengan bersangatan gelap. Susunan
wirid ini, dengan memelihara 3 perkara:
Pertama:
mengerjakan shalat, selain daripada fardlu Isya’, 10 rakaat: 4 rakaat sebelum
fardlu Isya’, karena menghidupkan diantara adzan dan iqamat dengan mengerjakan
shalat, 6 rakaat sesudah fardlu Isya’: 2 rakaat, kemudian 4 rakaat. Dan membaca
padanya dari Alquran, ayat-ayat tertentu, seperti penghabisan surat Al Baqarah,
ayat Al-Kursiyy, permulaan surat Al Hadiid, penghabisan surat Al Hasyr dan
lainnya.
Kedua: mengerjakan
shalat 13 rakaat, dimana akhirnya adalah witir. Karena sesungguhnya kebanyakan
dari apa yang diriwayatkan, ialah Nabi saw mengerjakan shalat dengan cara itu
pada malam hari. Orang-orang cerdik mengambil waktunya dari awal malam dan
orang-orang kuat dari akhir malam. Dan yang lebih teliti, ialah medahulukan,
karena kadang-kadang tiada terbangun atau berat untuk bangun. Kecuali apabila
yang demikian itu, telah menjadi kebiasaan baginya. Maka dalam hal ini, akhir
malam adalah lebih utama. Kemudian, hendaklah dibaca pada shalat ini, kira-kira
300 ayat dari surat-surat tertentu, dimana Nabi saw banyak membacanya, seperti:
surat Yasin, As-sajadah, surat Ad-Dukhan, Tabarakal-mulk, Az Zumar dan
Al Waaqi’ah. Kalau tidak mengerjakan shalat, maka
janganlah meninggalkan membaca surat-surat tadi atau sebahagian daripadanya
sebelum tidur. Sesungguhnya diriwayatkan dalam 3 hadits, akan apa yang
dibacakan oleh Rasulullah saw setiap malam. Yang lebih terkenal daripadanya, ialah
surat As-Sajadah, Tabaarakal-mulk, Az Zumar dan Al Waaqi’ah.
Kalau tidak mengerjakan sholat,
maka janganlah meninggalkan membaca surat2 tadi atau sebahagian daripadanya
sebelum tidur. Sesungguhnya diriwayatkan dalam 3 hadis akan apa yg akan dibaca
kan oleh rasulluloh saw setiap malam. Yang lebih terkenal daripadanya ialah
surat as sajadah, Tabaarakal-mulk, Az Zumar dan Al Waaqi’ah. Dan pada suatu riwayat, surat Az Zumar dan Bani Israil (surat
Al-Israa’). Dan pada riwayat lain, adalah nabi saw membaca surat-surat yang
dimulai dengan ucapan tasbih pada tiap-tiap malam.
Dan Nabi saw mengatakan, bahwa
satu ayat pada surat-surat itu, adalah lebih utama daripada 1000 ayat yang lain. Adalah
para ulama menjadikan surat-surat tersebut itu 6, lalu ditambahkan mereka:
“Sabbihisma rabbikal-a’laa”, karena tersebut pada hadits: “Bahwa Nabi saw amat
menyukai “Sabbihisma rabbikal-a’laa”. Dan ia membaca pada 3 rakaat witir, 3
surat: Sabbiihsma rabbikal-a’laa. Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun dan surat Al-Ikhlas
(Qul huallaahu ahad). Apabila telah selesai dari witir, lalu beliau baca:
“Subhaanal-malikil-qudduus” 3 kali.
Ketiga: witir. Dan
hendaklah berwitir sebelum tidur, kalau tiada ada kebiasaannya bangun malam.
Berkata Abu Hurairah ra: “Diwasiatkan kepadaku oleh Rasulullah saw, bahwa aku
tidak tidur, kecuali sesudah witir”. Kalau sudah membiasakan shalat malam, maka
mengemudiankan witir itu, adalah lebih utama. Bersabda Nabi saw: “Shalat malam
itu dua-dua rakaat. Apabila engkau takut akan datang waktu Subuh, maka
berwitirlah dengan serakaat saja !”. Berkata ‘Aisyah: “Rasulullah saw
mengerjakan witir pada awal malam, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Dan
habislah witirnya, sampai kepada waktu sahur”. Berkata Ali ra: “Witir itu
adalah atas 3 jurusan. Kalau mau, engkau dapat berwitir pada awal malam,
kemudian engkau mengerjakan shalat 2 rakaat-2 rakaat. Ya’ni: dia itu menjadi
witir dengan yang telah lalu dikerjakan. Kalau mau, engkau dapat berwitir
dengan serakaat. Apabila engkau bangun nanti, engkau genapkan kepadanya dengan
rakaat yang lain. Kemudian engkau berwitir pada akhir malam. Dan kalau mau,
engkau kemudiankan witir, supaya adalah ia akhir shalatmu!”. Inilah yang
diriwayatkan dari Ali ra.
Cara yang pertama dan yang
ketiga, tidak apa-apa, dapat dikerjakan. Adapun membatalkan witir itu telah sah
dilarang. Maka tiada seyogyalah dibatalkan. Dan diriwayatkan secara mutlak,
bahwa Nabi saw bersabda: “Tak ada dua witir pada suatu malam”. Dan bagi orang
yang ragu tentang terbangunnya nanti, dapat ia berbuat yang lebih menyenangkan,
yang dipandang baik oleh sebahagian ulama. Yaitu, ia mengerjakan shalat 2
rakaat sesudah witir, dengan duduk pada tikarnya ketika tidur. Adalah
Rasulullah saw berpindah kepada tikarnya dan mengerjakan shalat 2 rakaat dan
membaca pada kedua rakaat itu: “Idzaa zulzilat dan Al-haakumut-takaatsur”.
Karena pada 2 surat ini mengandung peringatan dan janji balasan atas perbuatan
yang berdosa (at-tahzir dan al-wa’id). Dan pada satu riwayat, Nabi saw membaca:
“Qul-yaa ayyuhal-kaafiruun”. Karena pada surat ini mengandung maksud melepaskan
diri dari orang-orang kafir (at-tabriah) dan menunggalkan ibadah semata-mata
kepada Allah Ta’ala. Maka dikatakan: kalau ia terbangun, maka yang 2 rakaat
tadi, berkedudukan pada kedudukan serakaat. Dan ia dapat berwitir dengan
serakaat lagi pada akhir shalat malam. Dan seakan-akan shalat yang lalu telah
menjadi genap dengan 2 rakaat itu, lalu baguslah mengulangi kembali shalat
witir. Cara ini dipandang baik oleh Abu Thalib Al-Makki dan ia mengatakan:
“Pada cara ini terdapat 3 amalan: pendek angan-angan, berhasil witir dan witir
itu pada akhir malam”. Dan itu adalah seperti yang telah disebutkannya. Tetapi
kadang-kadang terguris di hati, bahwa kalaulah kedua rakaat itu, menggenapkan
apa yang telah lalu, niscaya adalah seperti yang demikian. Dan kalau ia tidak
terbangun dan telah dibatalkannya witirnya yang pertama, maka keadaannya adalah
menggenapkan, kalau ia terbangun dan tiada menggenapkan, kalau ia tertidur.
Maka dalam hal ini, ada pandangan. Kecuali, bahwa shah dari Rasulullah saw
peng-witirannya sebelum kedua rakaat itu dan pengulangannya akan witir. Mereka
dipahamkan daripadanya, bahwa 2 rakaat itu genap menurut bentuknya dan ganjil
menurut artinya (maksudnya). Maka disunatkan ganjil rakaatnya (witir), jika ia
tidak terbangun dan genap, jika ia terbangun.
Kemudian, disunatkan sesudah
memberi salam dari witir, membaca: “Maha Suci Raja-diraja, Yang Maha Qudus,
Tuhan malaikat dan ruh. Engkau besarkan bumi dan langit dengan keagungan dan
keperkasaan. Engkau Yang Maha Mulia dengan qudrah ( kuasa ) dan Engkau paksakan
segala hamba dengan kematian”.
Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw sewaktu
akan wafat adalah kebanyakan shalatnya duduk, selain dari shalat fardlu”. Dan
Nabi saw bersabda: “Bagi orang yang shalat duduk, separuh pahala shalat orang
yang berdiri dan bagi orang yang shalat berbaring, separuh pahala shalat orang
yang duduk”. Dan itu menunjukkan, atas sahnya shalat sunat dengan berbaring.
Wirid Ketiga:
tidur. Dan tiada mengapa dihitung tidur itu termasuk dalam wirid. Karena
apabila dijaga segala adabnya, niscaya terhitung ia sebagai ibadah. Ada yang
mengatakan: “Bahwa hamba apabila tidur dengan suci (berwudlu’) dan mengingati
(berdzikir) akan Allah Ta’ala, ia dituliskan sebagai orang yang bershalat
sampai ia bangun dan masuklah malaikat ke dalam baju panasnya. Kalau ia
bergerak dalam tidurnya, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, niscaya malaikat
berdoa baginya dan meminta ampun kepada Allah dosanya”. Dan pada suatu hadits
tersebut: “Apabila tidur seseorang dengan bersuci (berwudlu’), niscaya
diangkatkan ruhnya ke ‘Arasy”. Ini, mengenai orang awam, maka betapa lagi
dengan orang-orang tertentu (al-khawwash), para ulama dan orang-orang yang
berhati bersih ? maka mereka itu diberi kasyaf/terbuka hijab, terbuka segala
sirr/rahasia dalam tidurnya. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Tidur orang
yang berilmu (alim) itu ibadah dan nafasnya itu tasbih”. Bertanya Mu’az kepada
Abi Musa: “Bagaimana anda berbuat tentang bangun malam ?”. Menjawab Abi Musa:
“Aku bangun malam seluruhnya, tiada aku tidur sedikitpun pada malam. Aku
junjung Alquran pada malam dengan sebenar-benarnya”. Berkata Mu’az: “Tetapi
aku, aku tidur, kemudian aku bangun dan aku menghitung amalanku dalam tidur,
sebagaimana aku menghitung amalanku dalam bangun”. Hal ini, diceritakan oleh
keduanya (Mu’az dan Abi Musa) kepada Rasulullah saw maka Nabi saw menjawab:
“Mu’az lebih berpaham daripadamu !”.
Adab tidur itu 10:
Pertama: bersuci
dan bersugi. Bersabda Nabi saw: “Apabila hamba itu tidur dengan bersuci,
niscaya dinaikkan ruhnya ke ‘Arasy, maka adalah mimpinya itu benar. Dan kalau
ia tidak tidur dengan bersuci, niscaya pendeklah ruhnya daripada sampai. Maka
segala mimpinya, adalah mimpi-mimpi yang bercampur baur, yang tidak benar”. Dan
yang dimaksudkan dengan suci itu, ialah suci zhahir dan batin kesemuanya. Dan
suci batin itu membekas dalam mengkasafkan (terbuka segala yg tertutup) segala
hijab (penghalang) yang ghaib.
Kedua: menyediakan
pada sisi kepalanya sugi dan air yang suci menyucikan dan berniat bangun
beribadah ketika terbangun. Dan tiap kali ia terbangun, terus bersugi.
Begitulah dikerjakan oleh sebahagian salaf. Diriwayatkan dari Rasulullah saw:
“Bahwa Nabi saw bersugi pada tiap-tiap malam beberapa kali, ketika tiap-tiap
tidur dan ketika terbangun daripadanya”. Dan kalau tidak mudah baginya bersuci
(berwudlu’), niscaya disunatkan menyapu anggota badannya dengan air. Kalau tidak
ada air, maka hendaklah duduk dan menghadap qiblat dan berdzikir, mendoa dan
bertafakkur tentang segala ni’mat Allah Ta’ala dan qudrah/kuasa Nya. Dan itu,
sama halnya dengan bangun malam beribadah. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa
mendatangi tempat tidurnya dan berniat bangun untuk mengerjakan shalat di malam
hari, lalu tidak terbangun sampai Subuh, niscaya dituliskan baginya apa yang
diniatkannya. Dan tidurnya itu adalah sedekah kepadanya daripada Allah Ta’ala”.
Ketiga: bahwa
tidaklah bermalam (tidur) orang yang mempunyai wasiat, sebelum wasiatnya itu
tertulis, terletak di sisi kepalanya. Karena ia tidak aman, jiwanya diambil
dalam tidur. Sesungguhnya orang yang mati, tanpa meninggalkan wasiat, niscaya tidak diizinkan berkata-kata di alam barzakh, sampai
kepada hari kiamat. Ia dikunjungi oleh orang-orang yang mati dan
bercakap-cakap, sedang ia tidak dapat berkata-kata. Berkata sebahagian dari
orang-orang yang mati itu sesamanya: “Orang yang patut dikasihani ini,
meninggal tanpa berwasiat”. Dari itu, disunatkan meninggalkan wasiat, karena
dikuatiri mati dengan tiba-tiba. Dan mati dengan tiba-tiba itu, adalah
meringankan, kecuali bagi orang yang tidak mempunyai
persediaan untuk mati, dengan berat punggungnya memikul perbuatan-perbuatan
zalim.
Keempat: bahwa ia
tidur dengan bertaubat dari segala dosa, baik hati untuk sekalian orang
muslimin, tidak membawa dirinya menganiaya seseorang dan tidak berazam kepada
perbuatan ma’siat, bila ia telah bangun nanti. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa
kembali kepada tikarnya, tanpa berniat menganiaya dan berdengki hati kepada
seseorang, niscaya ia diampunkan dari apa yang telah dikerjakannya”.
Kelima: bahwa tidak
bermewah-mewah dengan persediaan tikar yang empuk. Tetapi ditinggalkan yang
demikian atau disederhanakan saja. Adalah sebahagian salaf memandang makruh
mengadakan persediaan untuk tidur dan memandang yang demikian itu memberatkan
diri sendiri (takalluf). Golongan Tasawwuf/kaum shufi tidak mengadakan batas
antara mereka dan tanah. Mereka mengatakan: “Dari tanah kita dijadikan dan
kepada tanah kita dikembalikan (minhaa khuliqnaa wa ilaihaa nuraddu)”. Mereka
memandang yang demikian, menghaluskan jiwa dan lebih layak untuk merendahkan
diri. Orang yang tidak membolehkan dirinya dengan yang demikian, maka hendaklah
menyederhanakan saja.
Keenam: tidak tidur
sebelum tidur itu meminta benar. Dan tidak memberatkan dirinya oleh tarikan
tidur, kecuali apabila bermaksud dengan tidur itu, untuk memudahkan bangun pada
akhir malam. Adalah tidur mereka (kaum shufi) itu, bila terpaksa, makannya
sekedar perlu dan perkataannya yang penting-penting saja. Karena itulah,
disifatkan, bahwa mereka sedikit saja tidur pada malam hari. Dan kalau didesak
benar oleh tidur, dari melakukan shalat dan dzikir dan tidak tahu lagi, apa
yang dikatakannya, maka hendaklah tidur, sampai dapat dipahaminya lagi, akan
apa yang diucapkannya. Adalah Ibnu Abbas ra benci benar akan orang tidur sedang
duduk. Dalam hadits tersebut: “Jangan kamu menanggung penderitaan pada malam
!”. Diceritakan kepada Rasulullah saw: “Bahwa si Anu (seorang wanita)
mengerjakan shalat pada malam hari. Maka apabila ia tertidur benar lalu
bergantung dengan tali. Maka dilarang oleh Nabi saw daripada yang demikian itu,
seraya bersabda: “Hendaklah mengerjakan shalat seorang kamu pada malam, sekedar
yang mudah saja. Apabila didesak oleh tidur, maka hendaklah tidur !”.
Bersabda Nabi saw: “Pikullah
pekerjaan sekedar kamu sanggup. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bosan sampai
kamu bosan”. Bersabda Nabi saw: “Yang baik dari agama ini, ialah yang termudah
daripadanya”. Diceritakan kepada Nabi saw: “Bahwa si Anu mengerjakan shalat,
lalu ia tidak tidur-tidur dan mengerjakan puasa, lalu tidak pernah berbuka
(tidak pernah meninggalkan puasa seharipun)”. Lalu Nabi saw bersabda: “Tetapi
aku mengerjakan shalat dan tidur, mengerjakan puasa dan berbuka. Inilah
sunnahku ! barangsiapa benci kepada sunnahku, maka dia tidaklah daripada
golonganku”. Bersabda Nabi saw: “Jangan kamu lawan agama ini, karena dia adalah
kokoh. Barangsiapa melawannya, niscaya akan dikalahkannya. Janganlah engkau
marah kepada dirimu, karena beribadah kepada Allah !”.
Ketujuh: tidur
dengan menghadap qiblat. Dan menghadap qiblat itu dua macam:
1.
Seperti menghadap qiblat yang dilakukan oleh orang
sakit keras, yaitu: tidur menelentang atas kuduknya. Maka yang menghadap qiblat
disini, ialah mukanya dan kedua pelipisnya ke arah qiblat.
2.
Seperti menghadap qiblat bagi liang kubur (liang
lahad). Yaitu: tidur di atas rusuk, dimana mukanya ke arah qiblat, bersama
badannya menghadap ke qiblat juga, apabila tidur dengan rusuk bahagian kanan.
Kedelapan: mendoa
ketika tidur, dengan membaca: “Bismika Rabbii, wadla’tu janbii, wa bismika
arfa’uhu....sampai kepada penghabisan doa-doa yang dinukilkan, yang telah kami
bentangkan dahulu pada Kitab Doa. Disunatkan membaca ayat-ayat tertentu,
seperti Ayat Al-Kursiyy, penghabisan surah Al-Baqarah dll dan firman Allah
Ta’ala: “Wa ilaahukum ilaahun waahid, laa ilaaha illaahu –sampai kepada
firmanNya: liqaumin ya’qiluun” –S 2 Al Baqarah ayat 163-164, yang artinya: “Dan
Tuhanmu itu Esa, tiada Tuhan, selain Dia”. Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa
membaca ayat tadi ketika tidur niscaya dihafalkan oleh Allah kepadanya Alquran.
Maka tidak akan dilupakannya lagi. Dan dibaca dari surat Al-A’raaf, akan ayat
ini: “Inna rabbakumul-lahulladzii khalaqas-samaawaati wal-ardla fi sittati
ayyaam”, yang artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari”. Sampai kepada firmanNya: “qariibun minal-muhsiniin” –S 7
Al A’raaf ayat 54-55-56. Dan akhir surat Bani Israil: “Qulid’ullaaha –sampai
penghabisan kedua ayatnya” –Ayat 110-111. Maka sesungguhnya masuk kedalam baju
panasnya, malaikat yang diserahkan untuk menjaganya. Maka malaikat itu meminta
ampun baginya. Dan dibaca: “Qul a’uudzu birabbil falaq” dan “Qul a’uudzu
birabbinnaas”. Dan menghembuskan dengan ayat-ayat itu pada kedua tangannya dan
menyapu dengan kedua tangannya itu akan muka dan seluruh badannya. Begitulah
diriwayatkan daripada perbuatan Rasulullah saw.
Dan hendaklah dibaca 10 ayat dari
awal surat Al-Kahfi dan 10 ayat daripada akhirnya. Dan ayat-ayat ini, adalah untuk
terbangun menegakkan malam dengan amalan. Adalah Ali ra berkata: “Tiadalah aku
melihat orang yang sempurna akalnya, tidur sebelum membaca 2 ayat dari
penghabisan surat Al Baqarah”. Dan hendaklah dibaca 25 kali: “Subhaanallaah,
wal-hamdulillah, wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar”. Supaya jumlah kalimat
yang 4 ini menjadi 100 kali.
Kesembilan: bahwa
mengingati ketika tidur, bahwa tidur itu adalah semacam mati dan bangun itu
adalah semacam kebangkitan.
Berfirman Allah Ta’ala: “Allah yang mengambil jiwa
manusia itu ketika mati dan ketika tidurnya”. S 39 Az Zumar ayat 42.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang
mematikan (mengambil nyawa) kamu di malam hari (waktu tidur)”. S 6 Al An’aam
ayat 60. Allah Ta’ala menamakan tidur itu mati. Dan sebagaimana orang yang
terbangun dari tidur, terbuka kepadanya segala pemandangan, yang tiada sesuai
keadaannya dengan yang didalam tidur. Maka begitupula orang yang dibangkitkan
dari kubur, akan melihat apa yang tidak terguris sekali-kali di hatinya dan
tidak dipersaksikan oleh pancaindranya. Dapatlah diumpamakan, bahwa tidur
diantara hidup dan mati itu, seperti alam barzakh diantara dunia dan akhirat.
Berkata Lukman kepada anaknya:
“Wahai anakku ! kalau engkau ragu pada mati, maka janganlah engkau tidur. Maka
sebagaimana engkau tidur, maka begitupulalah engkau mati. Dan kalau engkau ragu
pada kebangkitan, maka janganlah engkau bangun. Maka sebagaimana engkau bangun
sesudah tidur, maka seperti itu pulalah engkau dibangkitkan sesudah mati”.
Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Apabila
engkau tidur maka tidurlah dengan bahagian badanmu yang kanan (rusukmu yang
kanan) dan menghadaplah ke qiblat dengan mukamu ! karena tidur itu adalah
mati”. Berkata ‘Aisyah: “Adalah penghabisan yang dibacakan oleh Rasulullah saw
ketika tidur, dimana ia meletakkan pipinya keatas tangan kanannya dan ia
memandang, bahwa ia wafat pada malamnya itu: (Allaahumma
rabbas-samaawaatis-sab’i wa rabbal-arsyil-adhiim. Rabbanaa wa rabba kulli
syai-in wa maliikahu.....) sampai kepada akhirnya, sebagaimana telah kami
sebutkan pada Kitab Doa dahulu. Maka berhaklah hamba memeriksa 3 perkara ketika
tidurnya: atas dasar apa ia tidur, apakah yang lebih banyak padanya: mencintai
Allah Ta’ala dan mencintai menjumpaiNya atau mencintai dunia. Dan hendaklah ia
meyakini, bahwa ia akan meninggal dunia diatas apa yang lebih banyak padanya.
Dan ia akan dibangkitkan diatas apa ia meninggal. Sesungguhnya manusia itu
bersama orang yang dicintainya dan bersama apa yang dicintainya.
Kesepuluh: mendoa
ketika terbangun. Maka hendaklah membaca pada waktu bangun dan berbalik-balik
badannya tatkala terbangun, akan apa yang dibaca oleh Rasulullah saw. yaitu:
“Tiada yang disembah, selain Allah Yang Maha Esa, lagi Maha Perkasa, Yang
mempunyai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, Yang Maha
Mulia, lagi Maha Pengampun”. Dan hendaklah berusaha benar, supaya penghabisan
yang berlalu pada hatinya, ketika tidur, ialah dzikir (ingatan) kepada Allah
Ta’ala. Dan yang pertama datang pada hatinya ketika terbangun, ialah dzikir
kepada Allah Ta’ala. Itu adalah tanda cinta kepada Allah. Dan tidaklah terbiasa
hati kepada dua keadaan ini, kecuali apa yang terbiasa padanya. Maka hendaklah
melatih hati dengan yang demikian. Karena itu, adalah tanda cinta, yang terbuka
dari lubuk hati. Sesungguhnya disunatkan segala dzikir tersebut, supaya dapat
menarikkan hati kepada berdzikir (mengingat) akan Allah Ta’ala. Apabila bangun
untuk mendirikan amalan pada malam, maka dibaca: (Al-hamdulillaahil-ladzii
ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur......) sampai kepada
penghabisan dari apa yang telah kami bentangkan dahulu, dari doa-doa bangun
dari tidur.
Wirid Keempat:
masuk dengan lewatnya nishfu pertama (setengah yang pertama) daripada malam,
sampai kepada tinggal 1/6 dari malam. Dan ketika itu bangunlah hamba untuk
shalat tahajjud. Nama Tahajjud: tertentu dengan sesudah hujud dan huju’, yaitu
tidur. Dan ini adalah tengah malam dan serupa dengan wirid yang sesudah zawal,
yaitu: tengah hari. Dan dengan tengah malam itu, Allah Ta’ala bersumpah dengan
firmanNya: “Demi malam, apabila telah tenang (gelap)”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 2.
Dan tenangnya itu, adalah tenteramnya pada waktu tersebut. Tidak ada mata,
selain yang tidur, kecuali Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri, yang tak ada
padaNya kelupaan dan ketiduran. Ada yang mengatakan: “idzaa sajaa”, artinya
ialah: apabila malam itu telah memanjang dan telah panjang. Dan ada yang
mengatakan: apabila malam itu telah gelap. Ditanyakan kepada Rasulullah saw:
“Malam manakah yang lebih didengar doa ?”. Nabi saw menjawab: “Tengah malam !”.
Nabi Daud as mendoa: “Wahai
Tuhanku ! sesungguhnya aku amat suka berbuat ibadah kepadaMu. Maka waktu
manakah yang lebih utama ?”. Maka diwahyukan oleh Allah kepadanya: “Wahai Daud
! janganlah kamu bangun pada awal malam dan jangan pada akhir malam !
sesungguhnya orang yang bangun pada awal malam, niscaya ia tidur pada akhir
malam. Dan orang yang terbangun pada akhir malam, niscaya tiada bangun pada
awal malam. Tetapi bangunlah tengah malam, sehingga engkau bersunyi-sunyi
(berkhilwah) dengan Aku dan Aku berkhilwah dengan engkau dan sampaikanlah
kepadaKu segala hajat engkau!”
Ditanyakan kepada Rasulullah saw:
“Malam manakah yang lebih utama ?”. Nabi saw menjawab: “Nishfu malam yang masih
tinggal”. Dan pada akhir malam, telah datang hadits, menerangkan: bergoncangnya
‘Arasy, berhembusnya angin dari sorga ‘Adan dan turunnya Yang Maha Perkasa
(rahmatNya) ke langit dunia. Dan beberapa hadits, yang lain dari itu.
Susunan wirid ini, ialah: sesudah
selesai dari doa yang untuk bangun, lalu mengambil wudlu’ sebagaimana wudlu’
yang telah diterangkan dahulu, dengan sunatnya, adabnya dan doa-doanya.
Kemudian menuju ke tempat shalat (mushalla) dan berdiri menghadap qiblat, dan
membaca: (Allaahu akbar kabiraa. Wal-hamdu lillaahi katsiiraa. Wa subhaanallaahi
bukratan wa ashiila). Artinya: “Allah Maha Besar, segala pujian yang banyak
bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan sore”. Kemudian mengucapkan tasbih 10
kali, mengucapkan Al-Hamdulillah 10 kali dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah
10 kali.
Dan hendaklah membaca: “Allah Maha Besar,
mempunyai alam malakut dan jabarut, kebesaran dan keagungan, kemuliaan dan
kekuasaan”. Hendaklah membaca kalimat-kalimat yang dibawah ini, karena
dinukilkan daripada Rasulullah saw, pada bangunnya bagi tahajjud: “Wahai Allah
Tuhanku ! bagi Engkau segala jenis pujian. Engkau cahaya segala langit dan
bumi. Bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah keeolokan langit dan bumi !
bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah Tuhan segala langit dan bumi ! bagi
Engkaulah segala pujian, Engkaulah yang menegakkan segala langit dan bumi dan
siapa yang didalamnya, serta siapa yang diatasnya. Engkaulah yang benar dan
dari Engkau kebenaran. Menjumpai ALLAH itu benar, sorga itu benar, neraka itu
benar, kebangkitan itu benar, para nabi itu benar dan Muhammad saw itu benar.
Wahai Allah Tuhanku ! kepadaMu aku tunduk, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku
menyerahkan diri. KepadaMu aku kembali, dengan sebab agamaMu aku berdebat dan
kepadaMu aku meminta keputusan. Maka ampunilah dosaku, apa yang telah terdahulu
aku kerjakan dan apa yang terkemudian, apa yang aku sembunyikan dan aku
zhahirkan serta apa yang aku kerjakan yang berlebih-lebihan. Engkaulah yang
mendahulukan dan Engkaulah yang mengemudian kan. Tiada yang disembah, selain
Engkau. Wahai Allah Tuhanku ! datanglah kepada jiwaku akan ketaqwaan dan
bersihkanlah akan jiwaku. Engkaulah sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah
yang mengatur dan yang menguasainya ! wahai Allah Tuhanku ! tunjukilah aku
kepada perbuatan yang sebaik-baiknya ! tidaklah yang menunjukkan aku kepada
perbuatan yang sebaik-baiknya itu, selain Engkau ! singkirkanlah daripadaku
perbuatan yang keji ! tidaklah yang menyingkirkan daripadaku perbuatan yang
keji itu, selain Engkau ! aku bermohon padaMu, selaku permohonan orang yang
berputus asa, yang miskin. Aku berdoa padaMu selaku doa orang yang memerlukan,
yang hina. Maka jangalah Engkau jadikan aku dengan berdoa kepadaMu, wahai
Tuhanku, tidak berbahagia ! adalah Engkau kepadaku, yang berbelas kasihan, lagi
penyayang, wahai Yang Sebaik-baik yang diminta dan yang semulia-mulia yang
memberi !”.
Berkara ‘Aisyah: “Adalah
Rasulullah saw apabila bangun malam, lalu memulai shalatnya dengan membaca:
“Wahai Allah Tuhanku, Yang Mempunyai Jibril Mikail dan Israfil, yang
menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang tampak,
Engkaulah yang menetapkan hukum diantara segala hambaMu, mengenai apa yang
diperselisihkan mereka ! tunnjukilah aku
kebenaran dari apa yang diperselisihkan itu dengan keizinanMu ! sesungguhnya
Engkau memberi petunjuk akan siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”.
Kemudian memulai shalat, dengan
mengerjakan shalat 2 rakaat yang ringan. Kemudian bershalat 2 rakaat-2 rakaat, sekedar yang mudah saja.
Dan disudahi dengan witir, kalau belum bershalat witir. Disunatkan memisahkan diantara
2 shalat, ketika memberi salam, dengan membaca 100 kali tasbih (Subhaanallah),
untuk istirahat dan untuk bertambah rajinnya mengerjakan shalat. Telah shah
riwayat tentang shalat Rasulullah saw di waktu malam: “Bahwa beliau mengerjakan
shalat, mula-mula 2 rakaat yang ringan, kemudian 2 rakaat yang panjang,
kemudian 2 rakaat yang lebih pendek dari 2 rakaat sebelumnya. Kemudian,
senantiasalah memendekkan dengan berangsur-angsur sampai kepada 13 rakaat”.
Ditanyakan ‘Aisyah: “Adakah Rasulullah saw menjaharkan (membaca dengan suara keras)
pada shalat malam atau mensirr/rahasiakan (membaca dengan suara kecil, sampai
didengar oleh diri sendiri saja) ?” ‘Aisyah menjawab: “Kadang-kadang ia
menjaharkan dan kadang-kadang ia men-sirr/merahasiakan”.
Bersabda Nabi saw: “Shalat malam
itu 2rakaat - 2rakaat. Apabila engkau takut teledor Subuh, maka berwitirlah
dengan serakaat saja”. Dan bersabda Nabi saw: “Shalat Maghrib itu meng-witirkan
(membuat ganjil) shalat siang hari, maka witirkanlah (buatkanlah ganjil) akan
shalat malam !”. Yang terbanyak dari apa yang shah riwayatnya daripada
Rasulullah saw, mengenai shalat malam, ialah 13 rakaat”. Dibaca pada
rakaat-rakaat ini, daripada wiridnya, dari Alquran atau dari surat-surat
tertentu, apa yang ringan saja. Dan adalah dalam hukum wirid ini, dekat kepada
perenam yang penghabisan daripada malam.
Wirid Kelima: ialah
perenam yang penghabisan daripada malam, yaitu: waktu sahur. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan diujung malam (waktu sahur), mereka mendoa memohonkan ampun”. S 51
Adz Dzaariyaat ayat 18. Ada yang mengatakan, maksud dari firman tadi, ialah
mengerjakan shalat, karena dalam shalat itu ada istighfar (meminta ampun).
Sahur: adalah waktu yang mendekati terbitnya fajar, dimana fajar itu adalah
waktu menyingkir malaikat malam dan datang malaikat siang. Wirid ini, telah
disuruh oleh Salman akan saudaranya: Abud-Darda’ ra pada malam ia
mengunjunginya, menurut suatu cerita yang panjang, dimana pada akhirnya
dikatakan: “Tatkala datang malam, pergilah Abud-Darda’, bangun mengerjakan
shalat. Lalu berkata Salman kepadanya: “Tidurlah !”. Maka tidurlah Abud-Darda’.
Kemudian pergi lagi untuk mengerjakan shalat, lalu berkata pula Salman:
“Tidurlah !” Lalu Abud-Darda’ pergi tidur. Tatkala datang waktu Subuh, maka
berkata Salman kepada Abud-Darda’: “Bangunlah sekarang !” Lalu keduanya
bangun pergi mengerjakan shalat. Kemudian berkata Salman kepada Abud-Darda’:
“Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu dan
keluargamu mempunyai hak atasmu ! maka serahkanlah untuk masing-masing yang
berhak itu akan haknya !”. Yang demikian, ialah bahwa
isteri Abud-Darda’ menerangkan kepada Salman, bahwa Abud-Darda’ tidak tidur
malam. Kemudian keduanya datang kepada Nabi saw menerangkan hal itu kepada Nabi
saw. Maka bersabda Nabi saw: “Benar Salman !”. Inilah wirid kelima ! pada wirid
ini disunatkan sahur, apabila dikuatiri akan terbit fajar. Dan tugas pada kedua
wirid ini, ialah: shalat.
Apabila telah terbit fajar, maka
selesailah wirid malam dan masuklah wirid siang. Lalu bangun mengerjakan shalat
2 rakaat fajar. Dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
bertasbihlah engkau memujiNya di malam hari dan di waktu tenggelamnya
bintang-bintang !”. S AthThuur ayat 49. Kemudian dibaca: “Syahidallaahu annahuu
laa ilaaha illaa hua wal-malaikah.....” sampai akhir ayat 18 Surat Ali ‘Imran.
(artinya; Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (3:18)
Kemudian dibaca: “Aku mengaku
dengan apa yang diakui oleh Allah bagi diriNya dan diakui oleh para malaikat
dan orang-orang berilmu daripada makhlukNya. Aku petaruhkan pada Allah akan
pengakuan (syahadat) ini dan menjadi petaruh (wadi’ah) pada sisi Allah Ta’ala
bagiku. Dan aku bermohon daripadaNya penjagaan, sampai aku dimatikanNya diatas
pengakuan itu. Wahai Allah Tuhanku ! kurangkanlah dengan sebab syahadat ini
akan dosa daripadaku dan jadikanlah syahadat itu bagiku pada sisiMu simpanan
dan peliharalah dia bagiku dan matikanlah aku diatas pengakuan itu, sampai aku
menjumpaiMu, dengan dia, tidak bertukar sedikitpun !”.
Itulah susunan wirid-wirid bagi
para hamba Allah ! Adalah mereka suka mengumpulkan bersama itu, pada tiap-tiap
hari, antara 4 perkara: puasa, sedekah walaupun sedikit, mengunjungi orang
sakit dan menghadiri tempat kematian. Dalam hadits tersebut: “Barangsiapa
mengumpulkan diantara 4 perkara tersebut pada suatu hari, niscaya diampunkan
dosanya”. Pada suatu riwayat: “Niscaya ia masuk sorga”. Kalau dilaksanakan
sebahagian dari itu dan ia lemah dari yang lain, niscaya baginya pahala
seluruhnya, menurut niatnya. Adalah mereka tidak suka berlalu hari, dimana
mereka tiada bersedekah padanya suatu sedekah, walaupun dengan sebiji tamar
atau bawang atau pecahan roti, karena Nabi saw bersabda: “Manusia itu dalam
naungan sedekahnya, sehingga ditentukan nasibnya diantara manusia”. Dan sabda
Nabi saw: “Takutlah daripada api neraka, walaupun dengan sekeping tamar !
Diserahkan oleh ‘Aisyah kepada
orang yang meminta kepadanya, sebiji ‘inab (anggur kering). Orang itu lalu
mengambilnya dan pandang-memandanglah orang-orang yang berada di sisi ‘Aisyah
satu sama lain. Maka bertanya: “Aisyah ra: “Apa yang tuan-tuan pikir ?
Sesungguhnya pada sebutir ‘inab itu berat pahala yang banyak”. Mereka tidak
suka menolak orang yang meminta, karena tidak menolak itu, adalah termasuk akhlaq
Rasulullah saw: “Tiadalah seseorang meminta sesuatu
pada Nabi saw, lalu beliau mengatakan: “Tidak ada !” Tetapi kalau beliau tidak
sanggup memberikan sesuatu, maka beliau berdiam diri”. Pada suatu hadits
tersebut: “Jadilah anak Adam (manusia) dan diatas tiap-tiap sendi dari tubuhnya
itu sedekah. Dan pada tubuhnya terdapat 360 sendi. Kamu suruh kepada yang baik
itu sedekah, kamu larang dari yang munkar itu sedekah, tanggunganmu kepada
orang yang lemah itu sedekah, tunjukanmu kepada sesuatu jalan itu sedekah dan
kamu buang akan sesuatu yang menyakiti itu sedekah. Sehingga mengingatkan
kepada tasbih dan tahlil juga sedekah”. Kemudian Nabi saw menyambung: “2 rakaat
dluha itu, datang kepada yang demikian itu semuanya atau ia mengumpulkan bagimu
yang demikian itu semuanya”.
PENJELASAN:
berlainan wirid dengan berlainan keadaan.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang
yang berkehendak kepada perusahaan akhirat dan yang berjalan kepada jalan
akhirat, maka ia tidak terlepas dari 6 keadaan. Yaitu: adakalanya ‘abid (banyak
ibadahnya), adakalanya ‘alim (banyak ilmunya), adakalanya muta’allim (masih
belajar), adakalanya wali (yang diserahi kekuasaan), adakalanya pekerja dan
adakalanya berkeesaan, tenggelam dengan Yang Maha Esa, Tempat meminta, tanpa
lainNya.
Yang Pertama:
‘abid, yaitu: yang menjuruskan dirinya kepada ibadah, tak ada sekali-kali
kerjanya yang lain. Kalau ia meninggalkan ibadah, niscaya duduklah ia sia-sia.
Maka susunan wiridnya, ialah apa yang kami sebutkan dahulu. Ya, tak jauh
selisih tugasnya, dengan menghabiskan kebanyakan waktunya, adakalanya dengan
shalat atau dengan pembacaan Alquran atau dengan tasbih. Sesungguhnya, ada
diantara sahabat Nabi saw yang wiridnya dalam satu hari, 12 ribu kali tasbih.
Ada yang wiridnya 30 ribu kali. Ada yang wiridnya 300 sampai 600 rakaat dan
sampai 1000 rakaat shalat. Dan yang paling sedikit, dinukilkan mengenai wirid
mereka dari shalat itu, ialah 100 rakaat sehari-semalam. Dan sebahagian mereka
kebanyakan wiridnya, adalah Alquran. Dan salah seorang dari mereka,
mengkhatamkan Alquran dalam sehari sekali. Dan diriwayatkan, ada yang dua kali
dari sebahagian sahabat-sahabat itu. Sebahagian dari mereka, ada yang
menghabiskan sehari atau semalam untuk bertafakkur, mengenai suatu ayat dari
Alquran yang diulang-ulanginya.
Adalah Karaz bin Wabrah bermukim
di Makkah. Ia melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, tiap-tiap hari 70 kali 7
kali (karena 7 kali adalah sekali thawaf namanya). Dan pada tiap-tiap malam 70
kali 7 kali. Dan bersama dengan itu, ia mengkhatamkan Alquran sehari semalam
dua kali. Maka dihitung yang demikian itu, adalah 10 farsakh jauhnya. Dan
bersama dengan tiap-tiap 7 kali keliling Ka’bah itu, 2 rakaat shalat sunat.
Maka berjumlah semuanya, 280 rakaat, 2 kali khatam Alquran dan 10 farsakh tadi.
Kalau anda bertanya: “Manakah yang lebih utama, untuk dipergunakan waktu
terbanyak dari wirid-wirid itu ?”. Maka ketahuilah, bahwa membaca Alquran
dalam shalat, yang disertai pemahaman, adalah menghimpunkan semuanya. Tetapi kadang-kadang sulit melaksanakannya terus-menerus.
Dari itu, keutamaannya berbeda dengan berbeda keadaannya seseorang. Dan tujuan
dari wirid-wirid itu, ialah membersihkan hati, mensucikan dan
menghiaskannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, serta menjinakkan hati
kepadaNya. Maka hendaklah diperhatikan oleh murid itu,
akan hatinya. Apa yang dilihatnya lebih membekas pada hatinya, maka hendaklah
rajin ia mengerjakannya. Apabila ia telah merasa jemu daripadanya, maka
hendaklah ia berpindah kepada yang lain. Dari itu, kami memandang lebih benar,
bagi kebanyakan orang, membagi segala amalan kebajikan yang bermacam-macam itu,
kepada beberapa waktu, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan berpindah dari
satu macam ke satu macam yang lain. Karena jemu itu adalah perkara biasa
menurut sifat manusia.
Dalam pada itu, keadaan diri
seseorang itu berbeda pula. Tetapi apabila telah dipahami akan pemahaman dan
rahasia daripada wirid-wirid itu, maka hendaklah diikuti akan pengertiannya.
Kalau mendengar tasbih umpamanya dan merasa berkesan dalam lubuk hatinya, maka
hendaklah rajin mengulang-ulanginya selama memperoleh kesan dari tasbih itu.
Diriwayatkan daripada Ibrahim bin Adham dan Ibrahim bin Adham mengambil dari
sebahagian abdal, bahwa sebahagian abdal itu, bangun pada suatu malam, pergi
mengerjakan shalat di tepi pantai. Lalu mendengar suara keras, membaca tasbih
dan tiada kelihatan seorangpun dari manusia. Lalu bertanya abdal tadi: “Siapa
engkau, aku mendengar suaramu dan tiada melihat bentukmu ?”.
Maka suara itu menjawab: “Aku adalah malaikat, yang
diserahi laut ini. Aku bertasbih akan Allah Ta’ala dengan tasbih tadi, semenjak
aku dijadikan”.
Lalu aku bertanya (kata abdal tadi): “Siapakah
namamu ?”.
Malaikat itu menjawab: “Muhalhayail !”.
Aku bertanya lagi: “Apakah pahalanya bagi orang
yang membaca tasbih itu ?”.
Malaikat itu menjawab: “Barangsiapa membacanya 100
kali, niscaya ia tidak mati, sebelum melihat tempat duduknya dalam sorga atau
diperlihatkan sorga itu kepadanya”.
Tasbih itu yaitu
membaca: “Maha Suci Allah yang Maha Tinggi, lagi yang Maha Perkasa, Maha Suci
Allah, yang maha kokoh sendi-sendi ciptaanNya, Maha Suci yang pergi dengan
malam dan datang dengan siang, Maha Suci yang tidak disibukkan oleh suatu
keadaan dari keadaan. Maha Suci Allah, yang Maha Penyantun, yang
melimpah-limpah ni’matNya. Maha Suci Allah yang dipujikan di seluruh tempat”.
Maka tasbih ini dan yang seumpama dengan tasbih
ini, apabila didengar oleh seorang murid serta memperoleh kesan dalam jiwanya,
maka hendaklah dibiasakan. Mana saja, ia memperoleh hati padanya dan terbuka
baginya kebajikan, maka hendaklah dilaksanakan dengan rajin.
Kedua: orang ‘alim
yang bermanfaat ilmunya bagi umat manusia, dengan memberi fatwa atau mengajar
atau mengarang. Maka susunan wiridnya berlainan daripada wirid orang ‘abid.
Orang ‘alim itu memerlukan kepada membaca kitab-kitab, kepada mengarang dan
kepada memberi faedah kepada orang lain. Dan sudah pasti ia memerlukan kepada
waktu. Kalau mungkin, ia menghabiskan segala waktunya untuk itu, maka itu,
adalah yang lebih utama dari apa yang dikerjakannya, sesudah segala shalat
fardlu dan sunat-sunat rawatibnya (shalat-shalat sunat, sebelum atau sesudah
shalat fardlu). Dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh segala apa yang telah
kami sebutkan dahulu mengenai keutamaan mengajar dan belajar pada Kitab Ilmu.
Bagaimanakah tidak demikian ? dalam ilmu itu, ada kerajinan berdzikir kepada
Allah Ta’ala. Dan perhatikan apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala dan yang
disabdakan oleh Rasulullah saw. Dan ilmu itu kemanfaatan bagi manusia dan
menunjukkan mereka kepada jalan akhirat. Kadang-kadang suatu masalah yang dipelajari
oleh seorang pelajar, dapat memperbaiki ibadah seumur hidupnya. Kalau tidak
dipelajarinya, niscaya usahanya itu menjadi sia-sia belaka. Kami maksudkan
dengan ilmu yang mendahului ibadah, ialah ilmu yang menyukakan manusia kepada
akhirat dan menzuhudkannya dari dunia. Atau ilmu yang menolong mereka kepada
menjalani jalan akhirat, apabila dipelajarinya dengan maksud memperoleh
pertolongan dengan ilmu itu kepada jalan akhirat. Bukan ilmu-ilmu yang menambah
kesukaan kepada harta, kemegahan dan kesukaan orang banyak.
Yang lebih utama dengan ilmu itu,
ialah membagi-bagikan juga waktunya. Kalau dihabiskannya segala waktunya dalam
menyusun ilmu, yang tidak disanggupi oleh tabiat manusia, maka seyogyalah ia
menentukan waktu, sesudah Subuh sampai kepada terbit matahari, dengan membaca
dzikir-dzikir dan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada
“Wirid Pertama”. Dan sesudah terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang
hari, adalah untuk memanfaatkan ilmu itu kepada orang banyak dan mengajar,
kalau ada orang yang ingin memperoleh faedah dari ilmunya itu untuk akhirat.
Kalau tidak ada, maka diserahkannya waktu itu kepada berfikir. Dan bertafakkur
mengenai apa yang sulit baginya dari ilmu-ilmu agama. Karena kebersihan hati
sesudah selesai daripada dzikir dan sebelum sibuk dengan kepentingan duniawi,
adalah amat menolong kepada pemecahan segala kesulitan. Dan dari dluha siang
hari sampai kepada ‘Ashar, untuk mengarang dan membaca, dimana tidak
ditinggalkannya, kecuali pada waktu makan, bersuci, mengerjakan shalat fardlu
dan tidur siang sekejap waktu, kalau siang itu panjang.
Dan dari ‘Ashar, sampai kepada
kuning cahaya matahari sore menggunakan waktunya untuk mendengar apa yang
dibacakan dihadapannya, mengenai tafsir atau hadits atau ilmu lain yang
bermanfaat. Dan dari kuning cahaya matahari sore sampai kepada terbenam
matahari, dengan berdzikir, beristighfar dan bertasbih. Maka adalah wiridnya
yang pertama, sebelum terbit matahari, merupakan amalan lisan. Wiridnya yang
kedua, merupakan amalan hati dengan berfikir, sampai kepada waktu dluha.
Wiridnya yang ketiga sampai kepada ‘Ashar, merupakan amalan yang ke-4, sesudah
‘Ashar, merupakan amalan mendengar, supaya beristirahatlah mata dan tangan.
Membaca dan menulis sesudah ‘Ashar, kadang-kadang mendatangkan melarat kepada
mata. Dan ketika menguning cahaya matahari, ia kembali kepada berdzikir dengan
lisan. Maka tidaklah kosong suatu bahagianpun dari siang hari, daripada amalan
dengan anggota badan, serta kehadiran hati pada semuanya.
Adapun malam hari, maka
pembahagian malam yang terbaik, ialah pembahagian malam dari Imam Asy-Syafi’i
ra. Karena beliau membagi malam kepada 3 bagian: sepertiga malam untuk membaca
dan menyusun ilmu, yaitu: yang pertama. Sepertiga malam untuk shalat, yaitu:
yang ditengah dan sepertiga lagi untuk tidur, yaitu: yang penghabisan. Ini
mudah dilaksanakan pada malam-malam musim dingin. Dan pada musim panas,
kadang-kadang tidak memungkinkan demikian, kecuali ia membanyakkan tidur pada
siang hari. Tiga inilah yang kami sukai dari susunan wirid-wirid ilmu.
Ketiga: pelajar.
Bekerja menuntut ilmu, adalah lebih utama daripada berdzikir dan mengerjakan
shalat-shalat sunat. Caranya adalah menurut cara orang
‘alim menyusun wiridnya. Tetapi pelajar itu bekerja memperolehkan faedah,
sedang orang ‘alim itu bekerja memberikan faedah. Pelajar itu bekerja membuat
catatan dan menghapuskan yang salah, sedang orang ‘alim itu bekerja menyusun
karangan. Pelajar itu menyusun segala waktunya, sebagaimana telah kami sebutkan
dahulu. Segala apa yang telah kami sebutkan tentang kelebihan belajar dan ilmu
dalam Kitab Ilmu, menunjukkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih utama.
Bahkan walaupun ia bukan pelajar, dalam pengertian ia mencatat dan menghasilkan
untuk menjadi orang ‘alim. Tetapi dia adalah orang awam. Maka kunjungannya ke
majlis-majlis dzikir, pengajaran dan ilmu pengetahuan, adalah lebih utama
daripada mengerjakan wirid-wirid yang telah kami sebutkan dahulu sesudah Subuh,
sesudah terbit matahari dan pada waktu-waktu lainnya.
Pada hadits Abi Dzar ra tersebut:
“Bahwa mengunjungi
majlis dzikir, adalah lebih utama daripada shalat 1000
rakaat, daripada berkunjung kepada 1000 tempat kematian dan berziarah kepada
1000 orang sakit”. Bersabda Nabi saw: “Apabila kamu melihat kebun sorga, maka
bermain-mainlah didalamnya !”. Lalu orang menanyakan: “Wahai Rasulullah !
manakah kebun sorga itu ?”. Nabi saw menjawab: “Ialah majlis dzikir”. Berkata
Ka’b Al-Ahbar ra: “Jikalau pahala majlis alim ulama (tempat alim ulama membahas
ilmu pengetahuan), terang bagi manusia niscaya mereka berperang untuk
memperolehnya. Sehingga orang-orang yang mempunyai daerah kekuasaan, akan
meninggalkan daerah kekuasaannya dan orang-orang yang mempunyai kedai (tempat
jualan), akan meninggalkan kedainya”.
Berkata Umar bin Al-Khattab ra: “Sesungguhnya
orang yang keluar dari rumahnya dengan mempunyai dosa seperti bukit Tihamah,
maka apabila ia mendengar orang alim, lalu ia takut, bertaubat dari segala
dosanya dan ia kembali ke rumahnya, tanpa berdosa lagi”. Dari itu, janganlah
kamu bercerai dengan majlis alim ulama. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza Wa
Jalla tidak menjadikan diatas permukaan bumi, tanah yang lebih mulia dari
majlis alim-ulama”.
Berkata seorang laki-laki kepada
Al-Hasan ra: “Aku mengadu kepadamu akan kesat hatiku”. Al-Hasan
menjawab: “Dekatkan hatimu itu kepada majlis dzikir !”. Bermimpi ‘Ammar
Az-Zahidi, bertemu dengan Miskinah Ath-Tha-fawiyah dan wanita ini termasuk
seorang wanita yang rajin mengunjungi majlis dzikir. Berkata ‘Ammar kepadanya:
“Selamat berjumpa, wahai Miskinah !”. Maka sahut Miskinah: “Mudah-mudahan
kemsikinan itu telah hilang & datanglah kekayaan!”. Bertanya ‘Ammar:
“Mengapa begitu ?”. Miskinah Ath-Thafawiyah menjawab: “Apakah anda bertanya
tentang orang yang dibolehkan baginya sorga dengan segala kenikmatannya?”.
Sahut ‘Ammar: “Dengan apakah yang demikian itu ?”. Menjawab Miskinah
Ath-Thafawiyah: “Dengan menghadiri majlis dzikir”.
Kesimpulannya: apa yang terbuka
dari hati, dari ikatan mencintai dunia, dengan
perkataan orang yang memberi pelajaran, yang bagus kata-kata dan bersih
perjalanan hidupnya, adalah lebih mulia dan bermanfaat dari shalat yang banyak
rakaatnya, serta hati tersangkut kepada mencintai dunia.
Keempat: pekerja
yang memerlukan kepada usaha untuk keluarganya. Maka tidaklah ia menyia-nyiakan
keluarganya dan menghabiskan waktu dalam beribadah. Tetapi wiridnya pada waktu
berusaha itu ialah datang ke kedai dan meneruskan usaha. Dalam pada itu,
seyogyalah tidak melupakan mengingati Allah Ta’ala dalam berusaha itu. Bahkan
rajin bertasbih, berdzikir dan membaca Alquran. Karena
yang demikian itu, mungkin dikumpulkan kepada pekerjaan. Dan sesungguhnya mudah
dilakukan shalat serta bekerja. Kecuali dia itu pemimpin, maka tidak sukar
melakukan wirid shalat serta pekerjaannya.
Kemudian, manakala telah selesai
daripada fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan
itu)nya, maka seyogyalah ia kembali kepada susunan wirid-wiridnya. Dan kalau
terus menerus ia berusaha dan bersedekah dengan apa yang lebih daripada
keperluannya, maka itu adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang lain yang
telah kami sebutkan dahulu. Karena ibadah yang melampaui faedahnya kepada orang
lain, adalah lebih bermanfaat daripada ibadah yang terbatas manfaatnya kepada
yang beribadah itu sendiri. Sedekah dan usaha berdasarkan niat tersebut, adalah
ibadahnya, yang dengan sendirinya mendekatkan dia kepada Allah Ta’ala. Kemudian
menghasilkan faedah kepada orang lain. Dan menarik kepadanya keberkatan doa orang-orang
muslimin dan berganda-ganda pahalanya.
Kelima: wali (yang
diserahi kekuasaan): seperti imam (kepala pemerintahan), qadli (hakim) dan yang
menerima tugas untuk memperhatikan kepentingan kaum muslimin. Maka tegak
melaksanakan keperluan dan maksud kaum muslimin, bersesuaian dengan agama dan
dengan tujuan ikhlas, adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang tersebut
itu. Maka tugasnya menyelesaikan kepentingan orang banyak pada siang hari serta
menyingkatkan ibadah kepada yang fardlu saja. Dan menegakkan wirid-wirid yang
tersebut pada malam hari, seperti yang diperbuat oleh Umar ra, yang
berkata: “Apalah tidur itu bagiku !
kalau aku tidur siang, niscaya aku menyia-nyiakan kaum muslimin. Dan kalau aku
tidur malam, niscaya aku menyia-nyiakan diriku sendiri”.
Sesungguhnya telah anda pahami
dengan apa yang telah kami terangkan itu, bahwa didahulukan 2 perkara atas
ibadah badaniyah: pertama ilmu dan kedua kasih sayang kepada kaum muslimin.
Karena masing-masing dari ilmu dan berbuat baik, adalah amal pada dasarnya dan
ibadah, yang melebihi daripada ibadah-ibadah yang lain, yang melampaui
faedahnya dan berkembang kegunaannya. Maka dari itu, keduanya (ilmu dan berbuat
baik), didahulukan daripada yang lain.
Keenam: orang yang
berkeesaan, yang tenggelam dengan Yang Maha Esa, tempat meminta, yang menjadi
cita-citanya, hanya: SATU. Dia tidak mencintai selain Allah Ta’ala. Tidak
takut, selain kepadaNya. Tidak mengharapkan rezeki dari yang lain. Tidak
memandang sesuatu, melainkan ia melihat Allah Ta’ala padanya. Orang yang
meninggi kedudukannya kepada derajat ini, tidak memerlukan kepada
bermacam-macamnya wirid dan yang berlain-lainan. Bahkan wiridnya, sesudah
shalat fardlu, adalah: satu, yaitu: menghadirkan hati bersama Allah Ta’ala
dalam segala hal. Maka tidak mengguris di hatinya sesuatu, tidak mengetok
telinganya oleh sesuatu ketokan dan tidak melintas dihadapan matanya sesuatu
lintasan, kecuali ada padanya ibarat, pemikiran dan tambahan. Maka tidaklah
yang menggerakkan bagi mereka dan yang menetapkkan, melainkan Allah Ta’ala jua.
Mereka ini, segala hal-ikhwalnya, pantas menjadi sebab untuk pertambahan bagi
mereka. Maka tidaklah berbeda padanya, antara satu ibadah dengan ibadah
lainnya. Merekalah orang-orang yang lari kepada Allah ‘Azza Wa Jalla,
sebagaimana firmanNya: “Mudah-mudahan kamu ingat. Sebab itu, segeralah pergi
kepada Allah !”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 49-50. Dan terlaksanalah pada mereka
firman Allah Ta’ala: “Dan kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah,
selain dari Allah. Carilah tempat perlindungan ke dalam gua, nanti Tuhan kamu
akan menyebarkan kurniaNya kepada kamu”. S 18 Al Kahfi ayat 16. Dan kepada yang
tersebut itu, ditunjukkan dengan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya aku hendak
pergi kepada Tuhanku. Dia nanti akan menunjukkan jalan kepadaku”. S 37 Ash
Shaffaat ayat 99. Inilah penghabisan derajat orang-orang shiddiq. Dan tidak
sampai kepadanya, melainkan sesudah menyusun wirid-wirid dan terus-menerus
mengerjakannya dalam waktu yang panjang. Seyogyalah tiada tertipu orang yang
menghendaki jalan Allah, dengan apa yang didengarnya dari yang demikian. Lalu
ia mengajak yang demikian itu untuk dirinya. Dan lesu daripada mengerjakan
tugas-tugas ibadahnya.
Maka yang demikian itu tandanya,
ialah tidak masuk ke dalam jiwanya keragu-raguan. Tidak terguris di hatinya
kema’siatan. Tidak mengejutkannya oleh ancaman-ancaman huruhara. Dan tidak
membimbangkan hatinya oleh tugas-tugas besar. Kedudukan tersebut, kiranya
dianugerahkan kepada tiap-tiap orang. Maka tertentulah diatas keseluruhannya,
penyusunan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Dan semua apa
yang telah kami sebutkan itu, adalah jalan-jalan kepada Allah Ta’ala. Berfirman
Allah Ta’ala: “Katakan: “Masing-masing orang –bekerja menurut ukuran
keadaannya. Dan Tuhan kamu lebih mengetahui, siapa yang paling betul jalannya”.
S 17 Al Israa’ ayat 84. Semuanya mendapat petunjuk. Dan sebahagian mereka
adalah lebih mendapat petunjuk dari sebahagian yang lain. Pada hadits,
tersebut: “Iman itu 333 jalan. Barangsiapa menjumpai Allah Ta’ala dengan pengakuan
(syahadat) diatas suatu jalan daripadanya, niscaya ia masuk sorga”.
Berkata sebahagian ulama: “Iman
itu 333 bentuk pekerti, sebanyak bilangan rasul. Tiap-tiap orang mu’min itu,
adalah diatas suatu bentuk pekerti dairpadanya. Maka dia menjalani jalan kepada
Allah”. Jadi manusia itu, walaupun berlainan jalannya dalam melakukan ibadah,
tetapi semuanya adalah benar –“Orang-orang yang mereka seru itu mencari jalan
kepada Tuhan, mana yang paling dekat”. S 17 Al Israa’ ayat 57. Sesungguhnya,
mereka berlebih kurang, tentang derajat dekat itu pada pokoknya. Dan yang lebih
dekat kepada Allah Ta’ala, ialah yang lebih mengenalNya. Dan yang lebih
mengenal kepadaNya itu, pasti ada. Dan adalah ia lebih memperhambakan diri
(lebih banyak melakukan ibadah) kepadaNya. Barangsiapa mengenalNya, niscaya
tidak akan menyembah yang lain.
Pokoknya, tentang wirid terhadap
setiap jenis manusia itu, ialah: terus-menerus (al-mudawamah). Yang dimaksudkan
daripadanya, ialah mengobah sifat-sifat batin. Dan secara satu-satu amal perbuatan
itu sedikit bekasnya, bahkan tiada terasa bekasnya itu. Dan hanya bekas itu,
baru tersusun diatas kumpulan (sesudah berkali-kali dikerjakan). Maka apabila
satu kali amal perbuatan tidak meninggalkan bekas yang menampak dan tidak
diiringi dengan amal perbuatan kali kedua dan ketiga dalam waktu dekat, niscaya
terpupuslah bekasnya amal perbuatan yang pertama itu. Contohnya, adalah seperti
seorang ahli fiqh, ingin menjadi seorang ahli yang berjiwa fiqh, maka dia tidak
akan menjadi seorang yang berjiwa fiqh itu, kecuali dengan banyak kali
mengulang-ulanginya. Kalau ia terlalu banyak mengulang-ulanginya pada suatu
malam saja, kemudian meninggalkannya sebulan atau seminggu. Kemudian
mengulanginya lagi dan bersangatan pada satu malam saja niscaya itu tidak akan
membekas padanya. Tetapi jikalau dibagikannya jumlah waktu tersebut, kepada
beberapa malam yang sambung menyambung, niscaya membekaslah kepadanya.
Dan karena rahasia inilah,
bersabda Nabi saw: “Amalan yang paling disukai Allah, ialah yang terus-menerus
walaupun sedikit”. Ditanyakan ‘Aisyah tentang amal
perbuatan Rasulullah saw lalu beliau menjawab: “Adalah amal perbuatannya terus-menerus berkekalan.
Dan adalah dia apabila mengerjakan sesuatu perbuatan maka dilaksanakannya
secara tetap”. Dan karena itulah bersabda Nabi saw: “Barangsiapa membiasakan
mengerjakan sesuatu ibadah kepada Allah, lalu meninggalkannya karena malas, niscaya
dia dikutuk oleh Allah”. Dan inilah sebabnya maka Nabi
saw mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar karena menggantikan yg tertinggal 2 rakat,
lantaran terganggu oleh utusan yang datang padanya. Kemudian sesudah itu,
senantiasalah dikerjakan oleh Nabi yang 2 rakat itu sesudah ‘Ashar. Tetapi
dirumahnya, tidak dimasjid, supaya jangan dituruti oleh orang lain –demikianlah
diriwayatkan oleh ‘Aisyah dari ummi Salmah ra.
Kalau anda bertanya: “Bolehkan
itu dituruti oleh orang lain, sedang itu adalah waktu kirahiyah (waktu makruh
shalat) ?”. Ketahuilah kiranya bahwa 3 arti yang telah kami sebutkan dahulu
tentang makruhnya: menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah matahari atau
sujud waktu lahir tanduk setan atau beristirahat daripada ibadah, karena
menjaga diri daripada kemalasan, tidaklah terjadi pada diri Nabi saw. Maka
tidaklah dibandingkan orang lain dengan Nabi saw dalam hal demikian. Disaksikan
untuk itu oleh perbuatan Nabi di rumahnya, sehingga dia tidak diikuti oleh
orang lain.
BAB KEDUA: tentang
sebab-sebab yang memudahkan untuk bangun malam, tentang malam-malam yang
disunatkan menghidupkannya, tentang keutamaan menghidupkan malam dengan ibadah,
tentang waktu diantara Maghrib dan ‘Isya dan tentang cara membagi malam.
Keutamaan menghidupkan waktu diantara Maghrib dan
‘Isya:
Bersabda Nabi saw, menurut apa
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah: “Yang terutama dari shalat-shalat pada sisi Allah
ialah shalat Maghrib, di mana tidak dikuranginya pada orang musafir dan pada
orang bermukim. DibukakanNya dengan shalat Maghrib itu akan shalat malam dan
ditutupkanNya dengan shalat Maghrib itu akan shalat siang. Maka barangsiapa
bershalat Maghrib dan bershalat 2 rakaat sesudahnya, niscaya dibangun oleh
Allah baginya, 2 istana dalam sorga”.
Berkata orang yang merawikan
hadits ini: “Saya tidak tahu istana itu, daripada emas atau perak”. Dan
barangsiapa bershalat sesudah Maghrib, 4 rakaat, niscaya diampunkan dosanya 20
tahun” –atau dia bersabda: “40 tahun”. Diriwayatkan oleh Ummi Salmah dan Abu
Hurairah ra daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan
shalat 6 rakaat sesudah Maghrib, niscaya disamakan baginya dengan ibadah
setahun penuh atau seolah-olah ia mengerjakan shalat pada malam
Lailatul-qadar”. Dari Sa’id bin Jubair dan dia menerima dari Tsauban, yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beri’tikaf diantara
Maghrib dan ‘Isya’ dalam masjid tempat bershalat jama’ah, dimana ia tidak
berkata-kata, selain dengan shalat atau membaca Alquran, niscaya berhaklah ia
pada Allah untuk dibangun baginya 2 istana dalam sorga. Dan jauh perjalanan
dari masing-masing kedua istana itu, 100 tahun. Dan ditanamkan untuknya diantara
kedua istana itu tanaman. Kalau sekiranya di kelilingi oleh penduduk dunia
niscaya termuatlah mereka semuanya”.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa
mengerjakan shalat 10 rakaat diantara Maghrib dan ‘Isya’ niscaya didirikan oleh
Allah untuknya suatu istana dalam sorga”. Lalu Umar ra menyahut: “Jadi,
banyaklah istana kita, wahai Rasulullah !”. Menjawab Nabi saw: “Bagi Allah
adalah lebih banyak dan lebih utama” –atau Nabi saw mengatakan: “Lebih baik”.
Dan dari Anas bin Malik ra, dimana ia berkata: “Bersabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa mengerjakan shalat Maghrib dengan berjama’ah, kemudian sesudahnya,
lalu mengerjakan shalat 2 rakaat dan tiada berkata-kata dengan sesuatu diantara
yang demikian itu, tentang urusan duniawi, dimana dibacanya pada rakaat pertama
surat Al Fatihah, 10 ayat dari permulaan surat Al Baqarah, 2 ayat dari
pertengahannya dan: Wa ilaahukum ilaahun waahidun laa ilaaha illaa
huar-rahmaanur-rahiim, inna fii khlaqqis-samaawaati wal-ardli –sampai kepada
akhir ayat dan Qul huallaahu ahad 15 kali, kemudian ia ruku dan sujud. Maka
apabila ia telah berdiri pada rakaat kedua, maka dibacanya surat Al-Fatihah,
ayat Al-Kursiyy dan 2 ayat sesudahnya, sampai kepada firmanNya: “Ulaaika
ash-haabun-naar, hum fiihaa khaaliduun –dan 3 ayat dari akhir surat Al Baqarah,
dari firmanNya: “Lillaahi maa fis-samaawaati wamaa fil-ardli, sampai kepada
akhir ayat. Dan Qul huallaahu ahad 15 kali”, dimana Nabi saw menyifatkan
pahalanya pada hadits itu, diluar dari hinggaan.
Berkata Karaz bin Wabrach –dia
itu sebahagian dari Abdal (wali Allah yang datang ganti berganti)-: “Aku
berkata kepada Nabi Khidlir as: “Ajarilah aku akan sesuatu yang akan aku
kerjakan pada tiap-tiap malam !”. Menjawab Nabi Khidlir as: “Apabila engkau
telah mengerjakan shalat Maghrib, maka bangunlah sampai kepada waktu shalat
‘Isya, mengerjakan shalat tanpa berkata-kata dengan seseorang. Dan hadapilah
shalatmu itu, dimana engkau didalamnya. Berilah salam pada tiap-tiap 2 rakaat.
Bacalah pada tiap-tiap rakaat, surat Al-Fatihah sekali dan Qul huallaahu ahad,
3 kali. Apabila engkau telah selesai dari shalat itu, pulanglah ke rumahmu. Dan
janganlah bercakap-cakap dengan seseorang ! dan bershalatlah 2 rakaat ! bacalah
surat Al-Fatihah dan Qul huallaahu ahad –7 kali pada tiap-tiap rakaat. Kemudian
sujudlah sesudah membaca salam kepada Nabi saw. Dan bacalah istighfar (meminta
ampun) pada Allah Ta’ala 7 kali. Dan bacalah: Subhaanallaah wal-hamdulillaah wa
laa ilaaha illallaah wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illaa
billaahil-‘aliyyil-adhiim 7 kali ! kemudian angkatkan kepalamu dari sujud dan
duduklah dengan lurus, angkatkan kedua tanganmu dan bacakan: “Wahai Yang Hidup,
wahai Yang Berdiri sendiri, Wahai Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan !
wahai Tuhan bagi mereka yang dahulu dan mereka yang kemudian ! wahai Yang Maha
Pengasih bagi dunia dan akhirat dan Yang Maha Penyayang bagi keduanya ! wahai
Tuhan, wahai Tuhan, wahai Tuhan ! wahai Allah, wahai Allah, wahai Allah !”.
Kemudian bangunlah, dimana engkau
mengangkatkan kedua tangan dan berdoalah dengan doa tadi. Kemudian tidurlah,
dimana engkau kehendaki, diatas rusuk kanan, dengan menghadap qiblat ! dan
berselawatlah kepada Nabi saw ! dan teruslah berselawat kepadanya, sehingga
engkau terbawa tidur !”. Maka aku berkata kepada Khidlir as: “Aku ingin engkau
memberitahukan kepadaku, dari siapakah engkau mendengar ini ?”. Menjawab
Khidlir as: “Sesungguhnya aku datang kepada Muhammad saw, dimana dia diajarkan
doa ini dan diwahyukan kepadanya. Maka adalah aku di sisinya. Yang demikian
itu, adalah dengan kehadiranku. Lalu aku pelajari dari siapa, yang mengajarkan
doa itu, kepada Muhammad saw”. Dikatakan, bahwa doa dan shalat ini, bagi
barangsiapa yang selalu mengerjakannya dengan keyakinan yang baik dan niat yang
benar, niscaya akan bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw sebelum ia keluar
(meninggal) dunia. Dan telah dikerjakan yang demikian
oleh sebahagian manusia. Lalu ia bermimpi dimasukkan ke dalam sorga. Dan ia
melihat dalam sorga itu nabi-nabi. Ia melihat Rasulullah saw didalamnya dan
bercakap-cakap dengan dia dan mengajarinya.
Kesimpulannya, bahwa apa yang
dinukilkan tentang keutamaan menghidupkan malam dengan amalan, diantara Maghrib
dan ‘Isya, adalah banyak. Sehingga ditanyakan kepada ‘Ubaidillah bekas budak
Nabi saw: “Adakah Rasulullah saw menyuruh shalat yang tidak fardlu ?”.
‘Ubaidillah menjawab: “Ada, yaitu diantara Maghrib dan ‘Isya, dimana Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat diantara Maghrib dan Isya, maka itu
adalah shalat orang-orang yang bertaubat kepada Tuhan”. Berkata Al-Aswad: “Bila
aku datangi Ibnu Mas’ud ra pada waktu ini (antara Maghrib dan Isya), maka aku
melihat dia mengerjakan shalat. Lalu aku tanyakan, maka ia menjawab: “Ya, itu
adalah saat orang-orang yang lalai !”. Adalah Anas ra rajin mengerjakannya dan
mengatakan: “itu adalah shalat di malam hari !” –seraya mengatakan: “Tentang
shalat itu, telah turun firman Allah Ta’ala: “Mereka meninggalkan tempat
tidurnya”. S As Sajadah ayat 16. Berkata Ahmad bin Abil-Hawari: “Aku bertanya
kepada Abi Sulaiman Ad-Darani: “Aku berpuasa siang hari dan makan malam
diantara Maghrib dan Isya. Apakah itu lebih engkau sukai atau aku berbuka siang
(tidak berpuasa) dan menghidupkan malam dengan shalat diantara Maghrib dan
Isya?”. Abi Sulaiman Ad-Darani menjawab: “Kumpulkan diantara keduanya !”. Maka
aku bertanya: “Kalau sukar ?”. Beliau menjawab: “Berbukalah dan kerjakanlah
shalat diantara keduanya !”.
KEUTAMAAN: bangun malam (dengan mengerjakan shalat).
Adapun dari ayat, maka firman Allah Ta’ala:
“Sesunngguhnya Tuhan engkau itu mengetahui, bahwa
engkau berdiri (mengerjakan shalat) kurang dari 2/3 malam....., sampai akhir
ayat 20 S 73 Al Muzzammil.
Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya bangun
(mengerjakan shalat) di malam hari itu, lebih memperkuat (jiwa) dan lebih betul
bacaannnya”. S 73 ayat 6
Dan firman Allah Ta’ala: “Mereka meninggalkan
tempat tidurnya”. S 32 As Sajdah ayat 16.
Dan firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang patuh
menjalankan kewajibannya selama beberapa waktu pada malam hari....” sampai
akhir ayat 9 S Az Zumar.
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan mereka yang pada
malam hari menyembah Tuhan, sujud dan berdiri”. S 25 Al Furqaan ayat 64.
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan usahakanlah
pertolongan dengan bersifat sabar dan mengerjakan shalat”. S 2 Al Baqarah ayat
45.
Ada yang mengatakan, bahwa yang
dimaksud dengan shalat tadi, ialah: bangun malam, dimana dengan pertolongan
kesabaran, untuk bermujahadah /melawan hawa nafsu. Dari hadits, ialah sabda
Nabi saw: “Diikat oleh setan diatas kuduk seseorang kamu, apabila ia tidur, 3
ikatan. Dan setan itu memukul tempat tiap-tiap ikatan tadi padamu sepanjang
malam, lalu tertidurlah kamu. Kalau terbangun dan bedzikir kepada Allah Ta’ala,
niscaya terbukalah suatu ikatan. Kalau berwudlu’, niscaya terbukalah suatu
ikatan. Dan kalau mengerjakan shalat, niscaya terbukalah suatu ikatan. Sehingga
ia menjadi rajin dan baik jiwanya. Kalau tidak yang demikian, niscaya menjadi
keji jiwanya dan malas”.
Dan pada suatu hadits, tersebut:
“Sesungguhnya diterangkan kepada Nabi saw tentang seorang laki-laki yang tidur
sepanjang malam sampai Subuh. Lalu Nabi saw menjawab: “Itulah orang yang telah
dikencingi setan pada telinganya”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Bahwa
setan itu, mempunyai semacam obat yang dituangkan kedalam hidung (sa’uth) dan
semacam benda yang diambil dengan sendok (la’uq), serta semacam obat yang
dituangkan kedalam mata atau luka (dzarur). Maka apabila setan itu menuangkan
hidung, kepada seorang hamba, niscaya buruklah kelakuannya. Dan apabila setan
itu meletakkan sendok pada seorang hamba, niscaya lancarlah lidahnya dengan
kejahatan. Dan apabila setan itu menghamburkan obat yang dituangkan kedalam
mata, niscaya tertidurlah hamba itu sepanjang malam, sampai datang waktu
Subuh”.
Nabi saw bersabda: “2 rakaat yang
dikerjakan oleh hamba pada waktu tengah malam, adalah lebih baik baginya dari
dunia dan isinya. Dan kalaulah tidak memberi kesukaran kepada umatku, niscaya
aku wajibkan kedua rakaat itu atas mereka”. Dan pada suatu hadits shahih dari
Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya pada malam itu ada suatu saat,
dimana berkebetulan seorang hamba muslim, meminta pada Allah Ta’ala akan
kebajikan, pada saat itu, niscaya dianugerahiNya”. Dan pada suatu riwayat: “Ia
meminta pada Allah Ta’ala akan kebajikan dunia dan akhirat. Dan itu adalah pada
tiap-tiap malam”.
Berkata Al-Mughirah bin Sya’bah:
“Rasulullah saw bangun pada tiap-tiap malam mengerjakan shalat, sehingga
melelahkan kedua kakinya, lalu orang bertanya kepadanya: “Bukankah Allah Ta’ala
telah mengampunkan dosamu yang terdahulu dan yang terkemudian ?”. Nabi saw
menjawab: “Apa, tidakkah aku ini hamba yang mensyukuri akan ni’mat ?”. Dan
nyatalah dari pengertian ini, bahwa yang demikian tadi merupakan kinayah
(sindiran tidak terus terang/kata kiasan), daripada bertambah tingginya
kedudukan. Karena mensyukuri nikmat itu, menjadi sebab bertambahnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Kalau
kamu bersyukur, sudah tentu Aku akan menambahkan kepadamu”. S 14 Ibrahim ayat
7. Nabi saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah ! maukah engkau supaya nikmat Allah
berada padamu, diwaktu kamu hidup dan mati, didalam kubur dan waktu
dibangkitkan ? bangunlah pada malam, lalu kerjakan shalat ! engkau mau akan
kerelaan Tuhanmu, wahai Abu Hurairah ? kerjakanlah shalat di sudut rumahmu,
niscaya rumahmu di langit, seperti cahaya bintang beredar dan bintang tetap
pada penduduk dunia”.
Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu
bangun malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu !
sesungguhnya bangun malam, adalah mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla,
menutupkan segala dosa, menghilangkan penyakit pada tubuh dan mencegah daripada
dosa”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah seseorang yang mempunyai shalat malam, lalu
dikerasi oleh tidur, melainkan dituliskan baginya pahala shalatnya. Dan
tidurnya itu adalah sedekah baginya”. Bersabda Nabi saw kepada Abu Dzar: “Kalau
engkau bermaksud musafir, supaya menyediakan alat-alatnya”. Abu Dzar menjawab:
“Ya, benar !”. Lalu Nabi saw menyambung: “Maka bagaimanakah berjalan ke jalan
kiamat ? tidakkah aku beritahukan kepadamu, wahai Abu Dzar, dengan apa yang
bermanfaat bagimu pada hari itu ?”. “Benar, demi ayah dan ibuku !”, sahut Abu
Dzar. Bersabda Nabi saw: “Berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk hari
kebangkitan ! kerjakanlah shalat 2 rakaat dalam kegelapan malam, untuk
kesuraman kubur ! tunaikanlah ibadah hajji sekali untuk urusan-urusan besar !
bersedekahlah dengan sesuatu sedekah kepada orang miskin atau dengan perkataan
benar yang engkau ucapkan atau perkataan jahat yang engkau diamkan
mengatakannya !”.
Diriwayatkan: “Bahwa, pada masa
Rasulullah saw ada seorang laki-laki. Apabila manusia lain pergi tidur dan mata
telah tenang tenteram didalam ketiduran, lalu ia bangun mengerjakan shalat dan
membaca Alquran, seraya mendoa: “Wahai Tuhan yang mempunyai neraka, lepaskanlah
aku daripadanya !” Lalu diceritakannya yang demikian itu kepada Nabi saw. Maka
Nabi saw menjawab:”Apabila ada yang demikian, maka beritahukanlah kepadaku !”.
Lalu orang itu datang kepada Nabi saw maka Nabi mendengar sendiri daripadanya.
Ketika datang waktu Subuh, lalu Nabi saw bersabda: “Hai Anu ! mengapakah tidak
engkau minta sorga pada Allah ?”. Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah !
sesungguhnya aku tidaklah di situ dan tidak sampailah amalanku ke sana, dimana
amalanku hanya sedikit saja”. Maka turunlah Jibril as lalu berkata kepada Nabi
saw: “Katakanlah kepada si Anu, bahwa Allah Ta’ala telah melepaskannya dari
neraka dan memasukkannya ke dalam sorga”.
Diriwayatkan bahwa Jibril as
berkata kepada Nabi saw: Orang yang baik, ialah Ibnu Umar, kalau ia ada
mengerjakan shalat malam !”. Lalu diceritakan oleh Nabi saw yang demikian itu
kepada Ibnu Umar. Sehingga sesudah itu, maka terus-meneruslah Ibnu Umar bangun
mengerjakan shalat malam”. Nafi’ menceritakan, bahwa Ibnu ‘Umar itu mengerjakan
shalat malam, kemudian bertanya: “Hai Nafi ! apakah kita sudah waktu sahur ?”
Lalu aku menjawab –kata Nafi’: “Belum !”. Maka Ibnu ‘Umar terus bangun mengerjakan
shalatnya. Kemudian ia bertanya lagi: “Hai Nafi ! apakah kita sudah waktu sahur
?” Maka aku menjawab: “Ya !” Lalu ia duduk, membaca istighfar (memohonkan
ampun) pada Allah Ta’ala, sampai terbit fajar”.
Ali bin Abi Thalib bercerita:
“Nabi Yahya bin Zakaria as telah kenyang dengan roti sya’ir (biji sya’ir adalah
hampir sama dengan padi), lalu ia tertidur dari wiridnya, sehingga datang waktu
Subuh. Maka diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepadanya: “Wahai Yahya ! adakah
engkau memperoleh rumah yang lebih baik dari rumahKu atau engkau memperoleh
tetangga yang lebih baik dari tetanggaKu? maka demi kemuliaan dan keagunganKu,
wahai Yahya ! jikalau engkau menoleh ke sorga Firdaus sekali saja, niscaya
cairlah benakmu dan hancurlah dirimu karena rindu kepadanya. Dan jikalau engkau
menoleh ke neraka Jahannam sekali saja, niscaya cairlah benakmu dan menangislah
engkau dengan air mata darah sesudah air mata dan engkau berpakaian kulit
sesudah pakaian bulu”.
Diceritakan kepada Rasulullah
saw: “Bahwa si Anu mengerjakan shalat di malam hari. Apabila datang waktu pagi,
ia mencuri. Lalu Nabi saw menjawab: “Akan dilarang dia oleh amalan yang
dikerjakannya”. Nabi saw bersabda: “Diberi rahmat oleh Allah akan laki-laki
yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian dibangunkannya isterinya,
lalu mengerjakan shalat pula. Kalau isterinya itu enggan, niscaya disiraminya
air pada mukanya”.
Nabi saw bersabda: “Diberi rahmat
oleh Allah akan wanita yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian
dibangunkannya suaminya, lalu mengerjakan shalat pula. Kalau suaminya itu
enggan, niscaya disiraminya air pada mukanya”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
bangun malam dan membangun kan isterinya, lalu keduanya mengerjakan shalat 2
rakaat, niscaya keduanya dituliskan diantara orang-orang yang banyak mengingati
(berdzikir) akan Allah, dari golongan laki-laki dan golongan wanita”. Nabi saw
bersabda: “Shalat yang terutama sesudah shalat fardlu, ialah shalat di waktu
malam (qiamul-lail)”.
‘Umar bin Al-Khattab ra berkata: “Bersabda
Nabi saw: “Barangsiapa tidur, dengan meninggalkan sebahagian dari Alquran atau
sesuatu dairpadanya pada malam hari, lalu dibacanya diantara shalat Subuh dan
shalat Dhuhur, niscaya dituliskan baginya, seolah-olah dibacanya di malam
hari”. Dari atsar (kata-kata sahabat), diriwayatkan, bahwa ‘Umar ra pergi
berjalan dengan membaca ayat dari wiridnya di malam hari, lalu ia jatuh.
Sehingga Umar ra itu dikunjungi beberapa hari, sebagaimana dikunjungi orang
sakit.
Adalah Ibnu Mas’ud ra apabila
telah tenang segala mata (orang sudah tidur), lalu bangun. Maka terdengarlah
daripadanya suara seperti bunyi lebah, sampai datang waktu Subuh. Ada yang
menceritakan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra pada suatu malam kenyang makan, lalu
mengatakan: “Bahwa keledai itu apabila ditambah umpannya, niscaya ditambah
kerjanya. Maka bangunlah ia pada malam itu, mengerjakan ibadah, sampai datang
waktu Subuh.
Adalah Thaus ra apabila tidur di
tikar peraduannya, merasa tergoreng, seperti tergoreng biji-bijian diatas
kuali. Kemudian, ia melompat dan mengerjakan shalat, sampai kepada waktu pagi.
Kemudian ia berkata: “Diterbangkan oleh ingatan neraka jahannam, akan tidur
orang-orang ‘abid”.
Berkata Al-Hasan ra: “Tiadalah
kami ketahui suatu amalan, yang lebih sulit daripada menanggung kesusahan malam
dan membelanjakan harta ini”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah halnya
orang-orang yang bershalat tahajjud, menjadi manusia, yang terbagus wajahnya
?”. Al-Hasan menjawab: “Karena mereka itu berkhilwah dengan Yang Maha Pengasih.
Lalu diberikanNya mereka pakaian dengan nur dari NurNya ?” Datang sebahagian
orang-orang shalih dari perjalanan jauh, lalu disediakan baginya tempat tidur,
maka tidurlah ia, sampai luput wiridnya. Lalu ia bersumpah, bahwa ia tidak akan
tidur lagi sesudah itu diatas tempat tidur selama-lamanya.
Adalah Abdul-aziz bin Abi Rawwad,
apabila datang malam, lalu mendatangi tempat tidurnya dan melalukan tangannya
diatas tempat tidur itu, seraya berkata: “Engkau sungguhlah empuk dan demi
Allah, sesungguhnya dalam sorga, adalah lebih empuk daripada engkau !”. Dan
senantiasalah ia mengerjakan shalat malam seluruhnya.
Berkata Al-Fudlail: “Sesungguhnya
aku menghadapi malam dari permulaannya, maka amatlah menyusahkan aku oleh
karena lamanya. Lalu aku memulai membaca Alquran sehingga datang waktu Subuh dan
tidaklah aku laksanakan hajatku”.
Berkata Al-Hasan: “Sesungguhnya
seseorang yang akan berbuat sesuatu dosa, maka haramlah dengan sebabnya itu,
bangun malam”. Berkata Al-Fudlail: “Apabila engkau tidak sanggup bangun malam
dan puasa siang, maka ketahuilah, sesungguhnya engkau itu diharamkan dari
pahala. Dan sesungguhnya telah banyak kesalahan engkau”.
Adalah Shilah bin Asyim ra
mengerjakan shalat malam seluruhnya. Maka apabila ia berada pada waktu sahur,
lalu ia mendoa: “Wahai Tuhanku ! tiadalah yang seperti aku, mencari sorga.
Tetapi lepaskanlah aku dengan rahmatMu dari neraka”. Berkata seorang laki-laki
kepada sebahagian ahli ilmu hikmat (al-hukama’): “Sesungguhnya aku ini amat
lemah daripada bangun malam”. Maka berkatalah hukuma’ tadi kepadanya: “Wahai
saudaraku, janganlah engkau mengerjakan ma’siat di waktu siang dan janganlah
engkau bangun di waktu malam !”.
Al-Hasan bin Shalih mempunyai
seorang budak perempuan, maka dijualnya kepada suatu kaum. Tatkala malam,
bangunlah budak wanita itu, seraya berseru: “Wahai penduduk kampung ini !
marilah shalat ! marilah shalat ! Maka penduduk kampung itu bertanya: “Apakah kita
telah berada di waktu Subuh ? apakah sudah terbit fajar ?”. Lalu budak itu
menyambung: “Apakah tuan-tuan tidak mengerjakan, kecuali shalat fardlu saja ?”.
Mereka itu menjawab: “Ya !”. Maka budak wanita itu kembali kepada Al-Hasan,
seraya berkata: “Wahai tuanku ! dijualkan aku ini kepada kaum yang tidak
mengerjakan, selain dari shalat fardlu saja. Ambil kembalilah aku !” Lalu
Al-Hasan mengambil ia kembali.
Berkata Ar-Rabi’: “Aku bermalam
di rumah Asy-Syafi’i ra beberapa malam yang banyak. Maka tidaklah Asy-Syafi’i
itu tidur malam, kecuali sedikit sekali”. Berkata Abul-Juairiah: “Aku telah
menemani Abu Hanifah ra selama 6 bulan. Maka tidak semalampun dalam masa 6
bulan itu, ia meletakkan lembungnya diatas lantai. Adalah Abu Hanifah
menghidupkan setengah malam, maka berjalanlah ia pada suatu kaum, lalu kaum itu
mengatakan: “Bahwa orang ini (Abu Hanifah) menghidupkan malam seluruhnya. Maka
berkatalah Abu Hanifah: “Sesungguhnya aku merasa malu, bahwa aku disebutkan
dengan apa yang tidak aku kerjakan”. Maka sesudah itu, Abu Hanifah menghidupkan
malam seluruhnya. Dan diriwayatkan, bahwa tak ada baginya tempat tidur di malam
hari. Diceritakan orang, bahwa Malik bin Dinar ra senantiasa mengulang-ulangi
ayat berikut ini semalam-malaman, sampai datang waktu Subuh. Yaitu: “Adakah
orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira, bahwa mereka akan Kami samakan
dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik.....” sampai
habis ayat 21, S 45 Al Jaatsiah.
Berkata Al-Mughirah bin Habib:
“Aku perhatikan Malik bin Dinar, ia berwudlu’ sesudah Isya’. Kemudian, ia
bangun ke tempat shalat (mushala) lalu menggenggamkan janggutnya dan
berhamburanlah air matanya, seraya mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! haramkanlah
ubanan Malik dari neraka ! wahai Tuhanku ! sesungguhnya Engkau telah mengetahui
akan penghuni sorga daripada penghuni neraka, maka yang manakah dari dua lelaki
itu Malik ini ? dan yang manakah dari dua kampung itu, kampung Malik ?”.
Senantiasalah demikian doanya, sehingga terbit fajar. Berkata Malik bin Dinar: “Pada
suatu malam, aku lupa dari wiridku dan aku tertidur. Tiba-tiba aku didalam
tidur dengan seorang bidadari, yang paling cantik. Dan pada tangannya secarik
kertas. Maka ia berkata kepadaku: “Pandaikah tuan hamba membaca ?”. Lalu aku
menjawab: “Pandai !”. Maka diserahkannya kertas itu kepadaku, dimana isinya:
“Adakah dipermain-mainkan engkau,
oleh kesenangan dan angan-angan,
dari gadis yang putih jelita,
didalam sorga......?
Engkau akan hidup kekal,
tak mati lagi didalamnya.
Engkau bermain-main didalam sorga,
bersama
bidadari cantik jelita.
Bangunlah dari tidurmu !
Bahwa yang lebih baik, dari tidur itu,
ialah.....bertahajjud dengan Alquran.....”
Ada yang mengatakan, bahwa ketika
Masruq mengerjakan hajji, ia tidak tidur malam, selain daripada bersujud (mengerjakan
shalat) saja. Diriwayatkan dari Azhar bin Mughits dan ia adalah termasuk
orang-orang yang banyak menegakkan shalat, dimana ia mengatakan: “Aku bermimpi
melihat seorang wanita, yang menyerupai dengan wanita-wanita dunia. Lalu aku
tanyakan kepadanya: “Siapakah engkau ini ?”. Ia menjawab: “Haura !”. Lalu aku
menyambung: “Kawinkanlah aku dengan engkau !”. Maka ia menjawab: “Pinanglah aku
pada tuanku dan berikanlah kepadaku emas kawinku !”. Lalu aku bertanya: “Apakah
emas-kawin engkau ?”. Ia menjawab: “Panjangkanlah shalat tahajjud !”. Berkata
Yusuf bin Mahran: “Sampai kepadaku berita, bahwa di bawah ‘Arasy, ada seorang
malaikat dalam bentuk seekor ayam jantan, kukunya dari intan permata dan
tajinya dari jamrut hijau. Apabila telah berlalu 1/3 malam pertama, niscaya ia
memukul dengan kedua sayap dan berkokok, seraya berteriak: “Bangunlah wahai
orang-orang yang ingin bangun !”. Apabila telah berlalu setengah malam, maka ia
memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berseru: “Hendaklah bangun
orang-orang yang melakukan tahajjud !”. Apabila telah berlalu 2/3 malam, maka
ia memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berteriak: “Hendaklah
bangun orang-orang yang melakukan shalat !”. Apabila telah terbit fajar, lalu
ia memukul dengan kedua sayapnya dan berkokok, seraya berteriak: “Hendaklah
bangun orang-orang yang lalai ! Atas tanggungan mereka sendiri, segala dosanya
!”.
Ada yang mengatakan, bahwa Wahb
bin Munabbah Al-Yamani, tidak meletakkan lembungnya di lantai selama 30 tahun.
Ia mengatakan: “Aku lebih suka melihat setan di rumahku, daripada aku melihat
bantal di rumahku, karena bantal itu memanggil kepada tidur”. Ia mempunyai
sebuah bantal dari kulit. Apabila tertidur benar, maka diletakkannya dadanya
keatas bantal itu dan digerakkannya kepalanya beberapa kali, kemudian
bersiap-siap kepada shalat.
Berkata sebahagian mereka: “Aku
bermimpi menjumpai Tuhan Yang Maha Mulia, maka aku mendengar IA berfirman:
“Demi kemuliaan dan keagunganKu ! sesungguhnya Aku muliakan tempat Sulaiman
At-Taimi. Karena ia mengerjakan shalat bagiKu pada pagi hari dengan wudlu’
Isya’, selama 40 tahun”. Dan dikatakan, bahwa aliran (madzhab) Sulaiman
At-Taimi, adalah tidur itu apabila masuk ke hati, niscaya membatalkan wudlu’.
Dan diriwayatkan pada sebahagian kitab-kitab lama dari Allah Ta’ala, bahwa
Allah berfirman: “Sesungguhnya hambaKu yang sebenar-benarnya hambaKu itu, ialah
yang tiada menunggu untuk bangunnya akan kokok ayam”.
PENJELASAN:
sebab-sebab yang memudahkan bangun malam.
Ketahuilah bahwa bangun malam itu adalah sukar
kepada manusia, kecuali orang-orang yang telah memperoleh taufiq untuk bangun,
dengan syarat-syaratnya yang memudahkan baginya, zhahir dan batin. Adapun
zhahir/luar, maka yaitu 4 perkara:
Pertama: bahwa tidak membanyakkan
makan, lalu membanyakkan minum, maka membanyakkan tidur dan memberatkan bangun.
Adalah sebahagian guru-guru, berdiri diatas meja makan pada tiap-tiap malam,
seraya berkata: “Murid-murid sekalian ! janganlah kamu makan banyak, lalu kamu
minum banyak, maka tertidurlah kamu banyak, lalu kamu memperoleh banyak
penyesalan ketika mati !”. Ini adalah pokok utama ! yaitu: meringankan perut
besar dari beratnya makanan.
Kedua: bahwa tidak meletihkan dirinya
di siang hari dengan pekerjaan-pekerjaan yang memayahkan segala anggota badan
dan melemahkan urat-urat saraf. Karena itupun menarik kepada tidur.
Ketiga: bahwa tidak meninggalkan
tidur di siang hari. Karena tidur tengah hari itu sunat, untuk menolong bangun
malam.
Keempat: bahwa tidaklah mengerjakan
perbuatan yang berdosa di siang hari. Karena yang demikian itu, mengesatkan
hati dan menghambat diantara hati dan sebab-sebab memperoleh rahmat.
Seorang laki-laki mengatakan
kepada Al-Hasan: “Hai Abu Said ! sesungguhnya aku bermalam dengan cara yang
menyehatkan aku. Aku suka bangun malam dan menyediakan kesucian (wudlu’)
bagiku. Maka mengapakah aku tidak terbangun ?”. Menjawab Al-Hasan: “Dosamu
mengikatkan kamu !”. Adalah Al-Hasan ra apabila masuk ke pasar, lalu mendengar
keributan dan kesia-siaan perbuatan dan perkataan mereka, maka berkata: “Aku
menyangka, bahwa malam mereka itu adalah malam buruk, karena mereka itu tidak
tidur siang hari !”.
Berkata Ats-Tsuri: “Aku haramkan
diriku (tidak memperoleh) bangun malam selama 5 bulan, disebabkan dosa yang aku
kerjakan”. Orang menanyakan: “Apakah dosa itu ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Aku
melihat seorang laki-laki menangis, lalu aku berkata pada diriku: “Orang ini
berbuat ria !”. Berkata sebahagian mereka: “Aku berkunjung kepada Karaz bin Wabrah,
dimana ia sedang menangis. Maka aku bertanya: “Apakah datang berita kematian
sebahagian keluarga tuan ?”. Ia menjawab: “Lebih berat dari itu !”. Lalu aku
bertanya: “Apakah penyakit yang menyakitkan tuan ?”. Ia menjawab: “Lebih berat
dari itu !”. Aku bertanya lagi: “Apakah kiranya ?”. Beliau menjawab: “Pintuku
terkunci, tabirku terkembang dan aku tidak membaca nasibku yang lalu. Dan
tidaklah yang demikian itu, selain disebabkan dosa yang telah aku perbuat”. Dan
ini adalah, karena kebajikan itu memanggil kepada kebajikan, kejahatan
memanggil kepada kejahatan dan yang sedikit daripada masing-masing keduanya itu
menghela kepada yang banyak. Dan karena itulah, berkata Abu Sulaiman Ad-Darani:
“Tiada akan luput seseorang dari shalat berjama’ah, kecuali disebabkan oleh
dosa”. Abu Sulaiman mengatakan: “Bermimpi sampai berjunub di waktu malam
(ihtilam) adalah suatu siksaan dan junub (jinabah) itu menjauhkan dari
kebajikan”. Berkata sebahagian ulama: “Apabila engkau berpuasa, wahai orang
yang patut dikasihani (ya-miskin !), maka perhatikanlah, pada siapa engkau
berbuka dan dengan apa engkau berbuka. Karena sesungguhnya hamba itu, memakan
akan sesuatu makanan, lalu terbaliklah hatinya daripada apa, yang ada dia
padanya. Dan ia tidak kembali kepada keadaannya yang semula. Dosa-dosa itu
semuanya mempusakai kekesatan hati dan mencegah daripada bangun malam.
Lebih-lebih yang membekas dari dosa itu, ialah memakan yang haram”. Sesuap
yang halal membekas pada pembersihan dan penggerakan hati kepada kebajikan,
dari apa yang tidak dapat membekas oleh lainnya. Hal itu diketahui oleh
orang-orang yang mengintip gerakan hati (ahlul-muraqabah lil-qulub), dengan
percobaan, setelah disaksikan oleh agama kepadanya. Karena itulah berkata
sebahagian mereka: “Banyaklah terjadi dari sekali makan, mencegah
bangun malam. Dan banyaklah terjadi dari sekali
pandang, mencegah membaca suatu surat dari Alquran. Dan
sesungguhnya hamba itu memakan sekali makan atau berbuat suatu perbuatan, lalu
diharamkan dengan sebabnya (tidak diperolehnya) bangun malam setahun.
Sebagaimana shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, maka begitu
pulalah perbuatan keji itu mencegah dari shalat dan perbuatan-perbuatan
kebajikan yang lain”.
Berkata sebahagian pengurus
penjara: “Aku adalah pengurus penjara, lebih kurang sudah 30 tahun. Aku
bertanya kepada tiap-tiap orang yang diambil di malam hari, adakah ia
mengerjakan shalat ‘Isya dengan berjama’ah. Mereka itu menjawab: “Tidak !”. Dan
ini memberitahukan kepada kita, bahwa barakah berjama’ah itu, mencegah daripada
mengerjakan kekejian dan kemungkaran.
Adapun keadaan
bathiniyah yang memudahkan, maka 4 perkara banyaknya:
Pertama: hati itu sejahtera daripada
kedengkian kepada kaum muslimin, sejahtera daripada perbuatan-perbuatan bid’ah
(yang diada-adakan) dan daripada berlebihan kepentingan duniawi. Maka orang
yang tenggelam, yang mementingkan urusan duniawi, niscaya tiadalah mudah
baginya bangun malam. Kalaupun ia bangun, maka ia tidak berfikir tentang
shalatnya, melainkan tentang segala kepentingannya. Dan tidaklah ia berkisar, selain pada segala gangguan
duniawi. Dan dalam hal seperti itu, diucapkan sekuntum syair:
“Dikatakan kepadaku oleh tukang pintu,
bahwa anda sedang tidur.......
Walaupun anda sudah terbangun,
tetapi
masih juga sedang tidur........”
Kedua: ketakutan yang keras, yang
membiasakan hati, serta pendek angan-angan. Karena sesungguhnya, apabila
bertafakkur tentang huru-hara akhirat dan penderitaan di neraka jahannam,
niscaya terbanglah tidurnya dan amat sangatlah takutnya, sebagaimana kata Thaus:
“Sesungguhnya mengingati neraka jahannam itu, menerbangkan (menghilangkan)
tidur orang-orang ‘abid. Dan sebagaimana diceritakan,
bahwa seorang budak di Basrah, bernama Shuhaib, adalah ia bangun malam
seluruhnya. Lalu berkatalah wanita yang mempunyai budak itu: “Sesungguhnya
engkau bangun di malam hari, membawa melarat kepada pekerjaanmu di siang hari”.
Maka menjawab budak itu: “Bahwa Shuhaib, apabila ia teringat kepada neraka,
niscaya tidaklah datang tidur kepadanya”. Dan ditanyakan kepada seorang budak yang
lain, dimana ia bangun seluruh malam, maka budak itu menjawab: “Apabila aku
ingat kepada neraka, niscaya bersangatanlah ketakutanku. Dan apabila aku ingat
kepada sorga, niscaya bersangatanlah kerinduanku, sehingga tidak sanggup aku
tidur”. Bermadahlah Dzun-nun Al-Mishri ra:
“Alquran dengan wa’ad dan wa’idnya,
mencegah mata untuk tidur semalam-malaman.
Mereka memahami dari Raja Yang Agung akan kalam
(kata-kata)Nya,
Lalu
leher mereka merendah karena ketundukan.
Dan mereka bermadah pula:
“Wahai yang lama tidur dan lengah lalai,
kebanyakan tidur mempusakai penyesalan !
didalam kubur kalau engkau menempatinya nanti,
adalah
tempat tidur yang berkepanjangan setelah mati.
Suatu tempat yang disediakan untukmu didalamnya,
disebabkan dosa atau kebajikan yang engkau
kerjakan.
Adakah engkau merasa aman dari serangan
Malikul-maut ?
Banyaklah orang yang merasa aman dari serangan
itu”.
Bermadah
pula Ibnul-Mubarak:
“Apabila malam gelap-gulita diderita mereka,
lalu menjadi terang dan mereka itu ruku’.
Diterbangkan tidur mereka oleh ketakutan, lalu
bangun,
Dan orang
yang merasa aman di dunia ini, tidur nyenyak”.
Ketiga: mengetahui keutamaan bangun
malam, dengan mendengar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar, sehingga
meneguhkan harapan dan kerinduannya kepada pahala. Lalu membangkitkan keinginan
untuk mencari kelebihan dan kegemaran pada segala tingkat sorga, sebagaimana
diceritakan, bahwa sebahagian orang-orang shalih itu pulang dari peperangan.
Lalu disediakan oleh isterinya tempat tidur. Dan ia duduk menunggu suaminya
itu. Tetapi suaminya itu masuk ke masjid dan senantiasalah ia mengerjakan
shalat sampai datang waktu Subuh. Maka berkatalah isterinya: “Kami menunggu
kakanda begitu lama. Tatkala kakanda datang lalu mengerjakan shalat sampai pagi
hari”. Menjawab suaminya: “Demi Allah, sesungguhnya aku berpikir kepada Haura’
dari bidadari sorga sepanjang malam, sehingga lupalah aku kepada isteri dan
rumah. Lalu aku bangun mengerjakan shalat sepanjang malamku, karena rindu
kepadanya”.
Keempat: yaitu yang termulia
penggerak, ialah cinta kepada Allah dan teguh iman,
bahwa dengan bangunnya itu, ia tidak berkata-kata dengan suatu hurufpun, selain
bermunajat dengan Tuhannya, dimana Tuhan menoleh kepadanya, serta menyaksikan
apa yang terguris di hatinya. Dan segala gurisan itu daripada Allah Ta’ala,
adalah ucapan daripadaNya. Apabila ia mencintai Allah Ta’ala, niscaya tidak
mustahil ia mencintai berkhilwah (bersunyi-sunyi) dengan Dia dan merasa
keenakan bermunajat. Maka dia dibawa oleh keenakan bermunajat dengan Yang Dicintai,
kepada lamanya bangun malam. Dan tiada seyogyalah kelezatan itu dipandang jauh
dari kebenaran, sebab dapat dibuktikan oleh akal dan naqal.
Adapun akal, maka hendaklah
diambil ibarat dengan keadaan orang yang mencintai seseorang, disebabkan
kecantikannya. Atau mencintai seorang raja, disebabkan kurnia dan harta yang
dianugerahinya. Bahwa betapa enaknya dengan berkhilwah dan bermunajat dengan
Dia, sehingga tidak akan tidur-tidur sepanjang malam. Kalau anda berkata:
“Bahwa yang cantik itu, dirasakan enaknya dengan memandang kepadanya, sedang
allah Ta’ala tidak dapat dilihat”. Maka ketahuilah bahwa kalaupun ada yang
cantik dicintai itu di belakang tabir atau dalam rumah yang gelap gulita,
niscaya yang mencintai itu tetap merasa lezat dengan semata-mata mendampinginya,
tanpa memandang dan tanpa mengharap yang lain daripadanya. Dan ia merasa nikmat
dengan melahirkan kecintaannya kepadanya dan menyebutkannya dengan lidahnya
sendiri, dengan didengar oleh yang dicintai itu, walaupun itu sudah diketahui
juga. Kalau anda mengatakan, bahwa yang mencintai itu menunggu penjawaban dari
yang dicintai, lalu merasa lezat dengan mendengar jawabannya. Dan tidaklah
dapat didengar akan kalam (berkata-kata) Allaah Ta’ala.
Maka ketahuilah, bahwa yang
mencintai itu tahu, bahwa Allah Ta’ala tidak menjawab dan diam daripadanya.
Meskipun begitu, tetap juga baginya kelezatan dengan membentangkan segala
ikhwal keadaannya kepadaNya dan menyampaikan isi hatinya. Betapa tidak ! orang
yang mempunyai penuh keyakinan, mendengar daripada Allah Ta’ala, akan tiap-tiap
yang datang kepada gurisan hatinya, waktu sedang bermunajat.
Lalu ia merasa kelezatan dengan Dia. Dan begitu juga orang yang berkhilwah
dengan raja dan membentangkan segala hajat keperluannya di tengah malam buta,
akan merasa kelezatan dengan raja itu, pada mengharap kurnianya. Dan mengharap
kepada Allah Ta’ala adalah lebih benar adanya. Dan apa-apa pada sisi Allah itu,
adalah lebih baik, lebih kekal dan lebih bermanfaat daripada apa yang pada
lainNya. Maka bagaimanakah tiada merasa lezat dengan membentangkan segala
keperluan kepadaNya dalam khilwah yang sunyi sepi ?
Adapun naqal, maka dibuktikan
oleh keadaan orang-orang yang bangun malam itu sendiri, mengenai lezatnya
mereka rasakan dengan bangun malam. Dan menjuruskan perhatian mereka kepadaNya
semata-mata, sebagaimana orang yang mencintai itu menjuruskan perhatiannya pada
malam sampainya yang dicintai. Sehingga ditanyakan kepada sebahagian mereka:
“Bagaimanakah engkau di malam itu ?”. Ia menjawab: “Tiada aku menduga
sekali-kali akan terjadi yang demikian itu ! Ia menampakkan kepadaku akan
wajahnya, kemudian ia pergi dan tidak aku lihat lagi sesudah itu !”. Berkata
yang lain: “Aku dan malam, adalah laksana dua ekor kuda lomba yang berdekatan
benar persamaan kelebihannya. Sekali ia mendahului aku sampai kepada fajar dan
sekali ia memotong aku daripada berpikir”. Ditanyakan kepada sebahagian mereka:
“Bagaimanakah malam itu kepada engkau ?” Maka ia menjawab: “Sesaat aku padanya
antara dua keadaan. Aku gembira dengan gelapnya apabila datang dan aku
berduka-cita dengan fajarnya apabila terbit. Tiadalah sempurna kesenanganku
sekali-kali dengan malam itu”. Berkata Ali bin Bakkar: “Semenjak 40 tahun
lamanya, tiadalah sesuatu yang menyusahkan aku, selain dari terbit fajar”.
Berkata Al-Fudlail bin ‘Iyadl: “Apabila terbenamlah matahari, maka aku gembira
dengan gelap. Dan apabila terbitlah matahari, maka aku berdukacita, karena
datangnya manusia kepadaku”. Berkata Abu Sulaiman: “Orang yang mempunyai malam
pada malamnya, adalah lebih merasa lezat dari orang yang mempunyai permainan
pada permainannya. Jikalau tidaklah karena malam, niscaya aku tidaklah menyukai
tinggal di dunia ini”. Berkata pula Abu Sulaiman: “Jikalau digantikan oleh
Allah kepada orang yang mempunyai malam, daripada pahala amalan mereka, akan
apa yang diperolehnya daripada kesenangan, niscaya adalah yang demikian itu,
lebih banyak daripada pahala amalan mereka”. Berkata sebahagian ulama: “Tidak
adalah dalam dunia suatu waktu, yang menyerupai kenikmatan penduduk sorga,
selain daripada apa yang diperoleh oleh orang-orang yang merasa senang jiwanya
dengan malam, dari karena manisnya bermunajat dengan Allah Ta’ala”. Berkata
sebahagian mereka: “Kelezatan bermunajat, tidaklah dari dunia. Dia adalah dari
sorga, yang dizhahirkan oleh Allah Ta’ala kepada para walinya, yang tidak
diperoleh orang lain”. Berkata Ibnul-Munkadir: “Tiadalah yang kekal dari
kelezatan dunia, selain 3: bangun malam, bertemu teman dan shalat berjama’ah”.
Berkata setengah arifin:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memandang pada waktu sahur, kepada hati orang-orang
yang bangun, lalu diisikannya dengan cahaya. Maka datanglah segala faedah
kepada hati mereka itu, lalu memperoleh cahaya. Kemudian berkembanglah
nur/cahaya itu dari hati mereka yang sehat, ke hati orang-orang yang lalai”.
Berkata sebahagian ulama terdahulu: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan
kepada sebahagian orang-orang shiddiq: “Sesungguh nya bagiKu beberapa orang
hamba daripada hambaKu, yang mencintai Aku dan Aku mencintai mereka. Mereka rindu kepadaKu dan Aku rindu kepada mereka. Mereka mengingati Aku dan Aku mengingati
mereka. Mereka memandang kepadaKu dan Aku memandang kepada mereka. kalau engkau
berjalan pada jalan mereka, niscaya Aku cintai akan engkau. Dan kalau engkau
berpaling dari neraka, niscaya aku kutuki akan engkau”. Lalu bertanya
sebahagian orang shiddiq itu: “Wahai Tuhanku ! apakah tanda mereka ?”. Allah
Ta’ala menjawab: “Mereka itu menjaga akan bayang-bayang di siang hari,
sebagaimana penggembala menjaga kambingnya. Mereka rindu kepada terbenamnya matahari,
sebagaimana burung rindu kepada sarangnya. Apabila datanglah malam dan
bertambah gelapnya dan masing-masing kekasih berkhilwah dengan kekasihnya, maka
mereka itu menegakkan kakinya kepadaKu (bangun berdiri mengerjakan shalat).
Mereka itu membentangkan kepadaKu mukanya (dengan sujud). Mereka bermunajat
dengan Aku, dengan kalam (berkata-kata)Ku. Dan mereka mengharapkan benar
kepadaKu dengan penganugerahan nikmatKu. Maka diantara yang memekik dan
menangis, diantara yang menyebutkan aduh dan mengadu, dengan MataKu, apa yang
dideritai mereka lantaranKu dan dengan pendengaranKu, apa yang diadukan mereka
dari kecintaanKu.
Yang pertama dari apa yang Aku
anugerahkan kepada mereka, ialah Aku lemparkan dari nurKu dalam hati mereka.
Lalu mereka ceritakan tentang Aku sebagaimana Aku menceritakan tentang mereka.
Yang kedua, kalau adalah 7 petala
langit dan 7 petala bumi serta isi keduanya dalam neraca mereka, niscaya Aku
asingkannya untuk mereka.
Yang ketiga, Aku hadapkan wajahKu
kepada mereka. Adakah engkau melihat orang yang Aku hadapkan wajahKu kepadanya
? adakah diketahui oleh seseorang apa yang Aku kehendaki menganugerahinya ?”.
Berkata Malik bin Dinar ra:
“Apabila bangunlah hamba bertahajjud di malam hari, niscaya dekatlah kepadanya
Yang Maha Perkasa ‘Azza Wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar). Mereka melihat apa yang diperolehnya dari kehalusan dan
kemanisan dalam hati mereka dan nur dari mendekatinya Tuhan yang Maha Tinggi
kepada hati”. Pahamilah ini ! Ia mempunyai rahasia dan pembuktian yang akan
datang nanti penunjukkan kepadanya pada Kitab Kecintaan (Kitab Al-mahabbah).
Dan pada hadits (hadits qudsi), daripada Allah ‘Azza Wa Jalla: “Hai hambaKu !
Akulah Allah yang Aku dekati pada hatimu dan dengan secara ghaib, engkau
melihat NurKu”. Sebahagian murid mengadu kepada gurunya, tentang lamanya tidak
tidur malam dan mencari helah, yang menarik kepada tidur. Maka menjawab
gurunya: “Hai anakku ! sesungguhnya Allah mempunyai anugerah-anugerah pada
waktu malam dan siang, yang akan membetulkan hati yang jaga dan menyalahkan
hati yang tidur. Maka datangilah untuk anugerah-anugerah itu !”. Maka murid itu
menjawab: “Wahai penghuluku! biarkanlah aku, tidak tidur malam dan siang !
Ketahuilah, bahwa anugerah-anugerah itu di waktu malam, adalah lebih memberi
harapan, untuk apa pada bangun malam itu, yang merupakan kebersihan hati dan
tertolak segala gangguan. Pada hadits shahih, dari Jabir bin Abdullah, dari
Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Bahwa di malam hari itu ada suatu
saat, dimana berkebetulan seorang hamba muslim bermohon pada Allah Ta’ala
kebajikan, niscaya diberikanNya kepadanya”.
Pada lain riwayat, tersebut: “ia meminta pada Allah Ta’ala kebajikan, dari
urusan dunia dan akhirat, niscaya diberikanNya kepadanya”. Dan demikian itu,
adalah tiap-tiap malam”. Dan yang dicari oleh orang-orang yang bangun malam
itu, ialah saat tersebut. Dan saati itu, tidak jelas waktunnya dalam
keseluruhan malam, seperti malam Lailatul-qadar dalam bulan Ramadlan. Dan
seperti saat di hari Jum’at, yaitu saat penganugerahan yang tersebut tadi.
Wallahu a’lam ! hanya Allah yang maha mengetahuinya !
PENJELASAN: cara
pembahagian segala bahagian malam.
Ketahuilah, bahwa menghidupkan malam, dari segi
tingkatannya adalah 7 tingkat:
Pertama: menghidupkan seluruh malam.
Dan itu adalah keadaan orang-orang yang kuat (al-aqwiya’), yang bertujuan
semata-mata beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan merasa lezat bermunajat dengan
Allah. Dan yang demikian itu menjadi makanannya dan kehidupan hatinya. Mereka
tiada merasa letih dengan lamanya berdiri dan mereka mengembalikan tidur kepada
siang hari, di waktu kesibukan manusia. Dan adalah yang demikian itu, cara segolongan
dari orang-orang terdahulu (salaf), dimana mereka itu mengerjakan shalat Subuh
dengan wudlu’ Isya’. Diceritakan oleh Abu Thalib Al-Makki, bahwa yang demikian
itu, diceritakan secara mutawattir dan terkenal dari 40 orang tabi’in. Dan ada
diantara mereka itu, yang telah membiasakan demikian, selama 40 tahun. Berkata
Abu Thalib, bahwa diantara mereka itu, ialah Sai’d bin Al-Musayyab dari
Madinah, Shafan bin Salim dari Madinah, Fudlail bin ‘Iyadl dari Makkah, Wahib
bin Al-Ward dari Makkah. Thaus dari Yaman, Wahab bin Munabbah dari Yaman,
Ar-Rabi’ bin Khaitsam dari Kufah, AL-Hakam dari Kufah, Abu Sulaiman Ad-Darani
dari negeri Syam, Ali bin Bakar dari negeri Syam, Abu Abdillah Al-Khawwash dari
Al-Abbadi, Abu ‘Ashim dari Al-Abbadi, Habib Abu Muhammad dari Parsi, Abu Jar
As-Salmani dari Parsi, Malik bin Dinar dari Basrah, Sulaiman At-Taimi dari
Basrah, Yazid Ar-Raqqasyi dari Basrah, Habib bin Abi Tsabit dari Basrah, Yahya
Al-Bakka’ dari Basrah dan Kahmas bin Al-Manhal, dimana ia mengkhatamkan Alquran
dalam sebulan 90 kali khatam. Dan apa yang tidak dipahaminya, diulanginya dan
dibacanya sekali lagi. Juga dari penduduk Madinah, Abu Hazim dan Muhammad bin
Al-Munkadir dalam golongan yang banyak bilangannya.
Tingkat kedua: bangun setengah malam.
Dan ini tidak terhingga jumlahnya, yang rajin melaksanakannya dari orang-orang
salaf. Dan cara yang terbaik mengenai ini, ialah tidur pada bahagian 1/3
pertama dari malam dan 1/6 terakhir daripada malam. Sehingga jatuh bangunnya
itu di tengah malam dan pertengahan malam. Dan itu, adalah lebih utama.
Tingkat ketiga: bangun 1/3 malam.
Maka seyogyalah tidur pada setengah malam pertama dan 1/6 yang terakhir.
Kesimpulannya: tidur pada akhir malam itu, amat disukai (disunatkan), karena
menghilangkan ngantuk pada pagi hari. Mereka itu tidak menyukai yang demikian
dan menyedikitkan kuning muka serta kemasyhuran. Kalau bangun bahagian
terbanyak dari malam dan tidur pada waktu sahur, niscaya sedikitlah kuning muka
dan sedikitlah ngantuk.
Berkata ‘Aisyah: “Adalah
Rasulullah saw apabila mengerjakan witir pada akhir malam, lalu apabila ia
memerlukan kepada keluarganya, niscaya ia mendekati mereka. Dan kalau tidak,
maka ia berbaring pada tempat shalatnya (mushallanya), sehingga datang
kepadanya Bilal. Lalu disuruhnya adzan untuk shalat”. Berkata ‘Aisyah
pula: “Tiada aku jumpai Rasulullah
sesudah waktu sahur, melainkan tidur”. Sehingga berkata sebahagian salaf, bahwa
tidur ini sebelum Subuh, adalah sunat. Diantara salaf yang mengatakan itu,
ialah Abu Hurairah ra. Dan tidur waktu ini, menjadi sebab bagi terbuka kasyaf
(al-diminta untuk mengetahuinya saja) dan musyahadah dari balik hijab yang
ghaib. Dan itu, adalah bagi orang-orang yang mempunyai mata hati
(arbabil-qulub). Dan padanya terdapat istirahat, yang menolong kepada Wirid
Pertama dari wirid-wirid siang. Dan kepada bangun pertiga malam dari
nishfu-akhir (setengah yang penghabisan dari malam). Dan tidur bahagian perenam
yang akhir dari malam, adalah waktu bangun bagi Nabi Daud as.
Tingkat keempat: ialah bangun 1/6
atau 1/5 dari malam. Dan yang lebih utama, bahwa bangun itu adalah pada
pertengahan yang penghabisan (nishfu akhir) dan sebelum perenam yang
penghabisan daripada malam.
Tingkat kelima: bahwa tidak
diperhatikan akan taqdir (apa yang terjadi dalam perkembangan alam). Yang
demikian itu, hanya mudah bagi Nabi yang memperoleh wahyu. Atau bagi orang yang
mengetahui tempat-tempat kedudukan bulan dan diwakilkannya untuk itu orang yang
akan mengintip, yang memperhatikannya dan yang akan membangunkan dia. Kemudian,
kadang-kadang ia bimbang pada malam-malam musim kabut. Tetapi ia bangun dari
permulaan malam, sampai kepada sudah mengantuk sekali. Apabila sudah terbangun,
lalu bangunlah mengerjakan shalat dan apabila sudah mengantuk pula, lalu tidur
kembali. Maka dalam semalam, adalah dua kali tidur dan dua kali bangun. Dan itu
adalah dari penanggungan di malam hari dan amalan yang terberat dan lebih
utama. Dan ini adalah dari budi pekerti Rasulullah saw. dan jalan yang ditempuh
oleh Ibnu Umar, para sahabat yang bercita tinggi dan segolongan dari tabi’in.
Direlai oleh Allah kiranya amal perbuatan mereka itu semuanya ! Adalah
sebahagian salaf berkata: “Itu adalah permulaan tidur ! apabila aku terbangun,
kemudian aku kembali kepada tidur, maka tidaklah ditidurkan oleh Allah mataku”.
Adapun bangunnya Rasulullah saw
tentang kadarnya, maka tidaklah diatas suatu susunan. Tetapi kadang-kadang
beliau bangun setengah malam atau 2/3 malam atau 1/3 atau 1/6 malam, dimana
yang demikian itu berlain-lainan mengenai malam-malamnya. Dibuktikan kepada itu
oleh firman Allah Ta’ala pada 2 tempat dari surat Al-Muzzammil: “Sesungguhnya Tuhan engkau itu mengetahui,
bahwa engkau bangun (mengerjakan shalat) kurang dari 2/3 malam, (ada juga)
seperdua malam dan 1/3 nya” –ayat 20 dari S Al-Muzzammil.
Maka kurang dari 2/3 malam adalah
seakan-akan seperdua (1/2) malam, tambah (+) seperduabelas (1/12) malam. (Hitungannya yaitu:
2/3 malam adalah = 8/12 malam dan ½ malam + 1/12 malam = 7/12 malam. Jadi
kurang 1/12 malam. Pent). Kalau firmanNya: wa nishfahu
wa tsulutsahu, dibaris-bawahkan, yaitu, dibaca wa nishfihi wa tsulusihi,
niscaya menjadi setengah dari 2/3 dan 1/3 nya: Maka mendekati dari 1/3 dan ¼.
Dan kalau dibaris-ataskan, niscaya menjadi: setengah malam (yaitu, dibaca:
nishfahu wa tsulusahu).
Berkata ‘Aisyah: “Adalah Nabi saw
bangun apabila ia mendengar kokok ayam”. Dan ini adalah pada waktu 1/6 malam
atau lebih kurang lagi. Dan diriwayatkan oleh bukan seorang, yang mengatakan:
“Bahwa aku memperhatikan shalat Rasulullah saw dalam perjalanan di waktu malam
hari. Maka adalah ia tidur sebentar sesudah ‘Isya, kemudian ia bangun. Lalu
dilhatnya ke tepi langit, seraya membaca: (Rabbanaa maa khalaqta haadzaa
baathilaa....) sampai kepada: (Inaaka laa tukhliful-mii’ad) S 3 Ali ‘Imran ayat
191, 192, 193 dan 194. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang
mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang
diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang
sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak
memperoleh penolong. (3:91) Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta
yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya. (3:92) Semua makanan adalah halal bagi Bani
Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya
sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada
makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu
bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar". (3:93) Maka
barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah
orang-orang yang zalim. (3:94). Kemudian,
diambilnya pelan-pelan dari tempat tidurnya alat penggosok gigi, lalu
beliau bersugi dan mengambil wudlu’, serta mengerjakan shalat. Sehingga aku
berkata: “Beliau mengerjakan shalat seperti lamanya beliau tidur”. Kemudian
beliau berbaring, sehingga aku mengatakan: “Beliau tidur, seperti lamanya
beliau mengerjakan shalat. Kemudian beliau bangun, lalu membaca apa yang
dibacanya pertama kali dan berbuat apa yang diperbuatnya pertama kali dahulu”.
Tingkat keenam: yaitu yang paling
sedikit, dimana ia bangun mengerjakan shalat sekedar 4 rakaat atau 2 rakaat.
Atau sukar ia bersuci, maka lalu ia duduk menghadap qiblat, barang sesaat,
berdzikir dan mendoa. Maka amalan yang tersebut, ditulis dalam jumlah bangun
mengerjakan shalat di malam hari, dengan rahmat dan kurnia Allah. Dan telah
datang pada suatu hadits: “Bershalatlah di malam hari walaupun sekedar waktu
memerah susu kambing”.
Inilah cara-cara pembahagian waktu ! maka hendaklah
seorang murid memilih untuk dirinya apa yang dipandangnya lebih mudah. Dan
dimana sulit baginya bangun pada tengah malam, maka tiada wajarlah ia
melengahkan menghidupkannya diantara waktu Maghrib dan Isya’ dan wirid yang ada
sesudah shalat Isya’.
Kemudian bangunlah sebelum waktu
Subuh, yaitu: waktu sahur. Sehingga tidak datang kepadanya waktu Subuh, dimana
ia sedang tidur. Dan bangun lah pada dua tepi malam. Dan inilah:
Tingkat Ketujuh. Manakala pandangan
itu tertuju kepada kadar waktu, maka susunan dari segala tingkat tadi, adalah
menurut panjang dan pendeknya waktu. Adapun pada tingkat kelima dan ketujuh,
tidaklah dipandang padanya kepada kadar waktunya. Maka tidaklah berlaku urusan
keduanya mengenai terdahulu dan terkemudian, menurut susunan yang tersebut
diatas. Karena tingkat ketujuh, tidaklah selain apa yang kami sebutkan pada
tingkat keenam. Dan tidaklah tingkat kelima selain apa yang kami sebutkan pada
tingkat keempat.
PENJELASAN: tentang
malam-malam dan hari-hari yang utama.
Ketahuilah kiranya, bahwa malam-malam yang
dikhususkan dengan lebih keutamaannya, yang dikuatkan padanya sunat dihidupkan
dengan amalan, dalam setahun, adalah 15 malam, dimana tidak wajarlah bagi murid
itu melalaikannya. Karena malam-malam tersebut adalah musim kebajikan dan
tempat-tempat yang memberatkan dugaan bahwa perniagaan di situ akan beruntung.
Manakala seorang saudagar melengahkan akan musim-musim itu, niscaya ia tidak
akan berlaba. Dan manakala seorang murid melengahkan akan waktu-waktu yang utama,
niscaya ia tidak akan memperoleh kemenangan. Maka 6 dari malam-malam tadi,
ialah dalam bulan Ramadlan: 5 pada malam-malam yang ganjil dari 10 yang akhir.
Karena padanya dicari Lailatul-qadar. Dan satu malam lagi, malam 17 belas
Ramadlan. Yaitu: malam, yang pada paginya Hari Al-Furqan (hari yang memisahkan
antara yang hak dan yang batil/salah), hari bertemu dua golongan, dimana
terjadi peperangan Badr pada hari itu. Dan berkata Ibnuz-Zubair: “Dan itu
adalah malam Lailatul-qadar”.
Adapun 9 malam lagi, maka yaitu:
malam pertama dari bulan Muharram, malam ‘asyura’, malam pertama dari Rajab,
malam nishfu (malam 15) dari bulan Rajab dan malam 27 Rajab, yaitu: malam
Mi’raj. Dan pada malam 27 Rajab itu, ada shalat yang dinukilkan. Bersabda Nabi
saw: “Bagi orang yang berbuat amalan pada malam ini, memperoleh kebaikan 100
tahun”. Maka barangsiapa mengerjakan shalat pada malam ini 12 rakaat dimana ia
membaca pada tiap rakaatnya surat Al-Fatihah dan satu surat dari Alquran,
membaca tasyahhud pada tiap-tiap 2 rakaat dan memberi salam pada akhirnya.
Kemudian membaca: “Subhaanallah wal-hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah
wallahu akbar” –100 kali. Kemudian membaca istihgfar 100 kali, membaca selawat
kepada Nabi saw 100 kali, berdoa untuk dirinya, dengan apa yang dikehendakinya
tentang urusan dunia dan akhiratnya dan pada paginya ia berpuasa. Maka
sesungguhnya Allah mengabulkan doanya seluruhnya, kecuali ia mendoa mengenai
kemaksiatan”. Dan diantara malam yang 9 tadi, yaitu: malam pertengahan Sya’ban
(malam nisfhu Sya’ban). Pada malam ini, bershalat 100 rakaat, dimana ia membaca
pada tiap-tiap rakaat sesudah surat Al-Fatihah, akan surat Al-Ikhlas (surat Qul
huallaahu ahad) 10 kali. Mereka tidak pernah meninggalkannya, sebagaimana telah
kami bentangkan dahulu pada Shalat Sunat. Dan diantara malam yang 9 tadi juga,
ialah: malam ‘Arafah dan dua malam dua hari raya (malam hari raya puasa dan
malam hari raya hajji). Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa menghidupkan dua malam
dua hari raya, niscaya tidak mati hatinya pada hari mati segala hati”.
Adapun hari-hari yang utama, maka
adalah: 19, yang disunatkan sambung-menyambung wirid padanya, yaitu: hari
‘Arafah, hari ‘Asyura’, hari 27 Rajab, yang mempunyai kemuliaan yang agung.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
berpuasa pada hari 27 Rajab, niscaya dituliskan baginya puasa 60 bulan”. Yaitu:
hari yang diturunkan oleh Allah padanya Jibril as kepada Muhammad saw untuk
menyampaikan risalah (berita kerasulan Nabi saw). Diantara hari yang 19 itu,
ialah: hari 17 Ramadlan, yaitu: hari peristiwa perang Badar, hari Nishfu
Sya’ban, hari Jum’at dan dua hari raya. Dan hari-hari yang dimaklumi, yaitu: 10
dari bulan Zulhijjah (sesudah dikurangi dengan hari ‘Arafah dan hari hajji, maka
tinggal 8 hari lagi –pent). Dan diantara hari yang 19
itu lagi, ialah: hari-hari yang terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq (hari
11-12-13 dari bulan Zulhijjah). Diriwayatkan oleh Anas dari Rasulullah saw
bahwa beliau bersabda: “Apabila selamatlah bulan Ramadlan, niscaya selamatlah
tahun itu”. Berkata sebahagian ulama: “Barangsiapa mengerjakan pekerjaan pada 5
hari di dunia, niscaya tidak memperoleh pekerjaan di akhirat”. Yang dimaksudkan
dengan hari-hari itu, ialah dua hari raya, hari Jum’at, hari ‘Arafah dan hari
‘Asyura’. Dan dari hari-hari yang utama dalam seminggu, ialah: Khamis dan hari
Senin, dimana pada kedua hari itu, diangkatkan segala amal-perbuatan kepada
Allah Ta’ala. Dan telah kami sebutkan dahulu bulan-bulan dan hari-hari yang
utama berpuasa pada Kitab Puasa. Maka tidaklah perlu lagi diulangi. Wallahu
A’lam ! Allah yang Maha mengetahui ! diberi rahmat kiranya oleh Allah kepada
tiap-tiap hamba yang pilihan dari seluruh alam ! Telah sempurna kiranya Rubu’
Pertama dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin” dan diiringi oleh “Rubu’ Kedua”.