KITAB TAFAKKUR. (MEMIKIRKAN / BERFIKIR)
Yaitu Kitab Ke-9 dari “Rubu’ Yang
Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah,
yang tidak mengkadarkan bagi kesudahan kemuliaan ALLAH arah dan benua. Dan
tidak menjadikan bagi tempat pendakian tapak kaki sangka-waham dan tempat
lemparan panah segala paham kepada penjagaan keagungan ALLAH, akan tempat lalu.
Akan tetapi, Ia membiarkan hati para penuntut pada padang sahara kebesaran
ALLAH, bermain-main keheran-heranan. Setiap kali hati para penuntut itu bangkit
untuk mencapai tuntutannya, maka hati para penuntut itu dikembalikan oleh kesucian keagungan ALLAH dengan paksaan. Dan apabila hati
itu bercita-cita berpaling, dengan perasaan putus asa, niscaya ia diserukan
dari hikmah keelokan: sabar-sabar ! kemudian, dikatakan kepada hati itu:
aturlah dalam kehinaan peribadatan kepada Allah dari engkau itu, dengan berfikir
(bertafakkur)
Karena jikalau engkau
berfikir tentang keagungan ketuhanan, niscaya tidaklah engkau mengkadarkan bagi
ALLAH akan suatu kadar. Dan jikalau
engkau mencari di balik fikir itu pada sifat-sifat engkau, akan sesuatu hal, maka
lihatlah pada nikmat-nikmat Allah Ta’ala dan kedermawanan-kedermawanan ALLAH !
bagaimana dia itu beriring-iringan kepada engkau terlihat ! barukanlah bagi
setiap nikmat daripadanya dengan sebutan dan syukuran ! Perhatikanlah dalam
lautan takdir, bagaimana berlimpah-limpah kepada semesta alam, kebajikan dan
kejahatan, manfaat dan melarat, sukar dan mudah, menang dan rugi, tertampal dan
pecah, terlipat dan terbuka, iman dan kufur, pengakuan dan ingkaran.
Maka jikalau engkau
lewatkan pandangan tentang perbuatan, kepada pandangan pada dzat, maka engkau
berusaha akan kesulitan demi kesulitan. Dan engkau menempuh dengan diri engkau
melewati batas kemampuan manusia, dengan zalim dan kejam. Maka menjadi heranlah
akal tanpa memperoleh pokok-pokok kecemerlangannya. Dan kembali mundur ke
belakang, karena darurat dan terpaksa.
Selawat kepada Muhammad
penghulu anak Adam, walaupun ia tidak menghitung kepenghuluannya itu
kesombongan, sebagai selawat yang berkekalan bagi kita pada halaman lapangan
kiamat, sebagai senjata dan simpanan. Kepada keluarga dan para sahabatnya, yang
masing-masing dari mereka itu menjadi bulan purnama di langit agama. Dan bagi
golongan-golongan kaum muslimin yang berdiri di depan. Dan anugerahkanlah
kesejahteraan yang banyak !
Adapun kemudian, maka
telah datanglah sunnah, bahwa BERFIKIR sesaat itu lebih baik dari beribadah
setahun. Dan banyaklah dorongan dalam Kitab Allah Ta’ala kepada memahami dengan
mendalam dan mengambil ibarat, memperhatikan dan BERFIKIR. Tidaklah
tersembunyi, bahwa fikir itu anak kunci segala cahaya dan pokok penglihatan
mata hati. Fikir itu jalan segala ilmu pengetahuan. Dan alat memburu segala
ma’rifah (ilmu mengenal Allah ta’ala) dan paham. Kebanyakan manusia itu
mengetahui keutamaan & martabat berfikir. Akan tetapi, mereka tidak tahu hakikat/maknanya,
buahnya, sumbernya, arahnya, tempat lalunya, tempat lepasnya, jalannya &
caranya. Ia tidak tahu, bagaimana berfikir. Pada apa BERFIKIR. Kenapa BERFIKIR.
Apakah yang dicari dengan MEMIKIRKAN itu.
Adakah memikirkan itu
dimaksudkan karena dirinya atau karena buah (hasil), yang diambil faedah
daripadanya ? maka jikalau memikirkan itu karena buah hasilnya, maka apakah
buah itu ? adakah dia termasuk ilmu-pengetahuan atau termasuk hal-keadaan atau
termasuk keduanya semua. Menyingkapkan semua itu penting. Dan kami,
pertama-tama akan menyebutkan keutamaan BERFIKIR. Kemudian, hakikat/makna dan
buah pemikiran. Kemudian, tempat lalunya pikiran dan tempat lepasnya pikiran,
insya Allah Ta’ala.
KEUTAMAAN TAFAKKUR
(MEMIKIRKAN)
Sesungguhnya Allah Ta’ala
menyuruh dengan memikirkan dan memahami dengan mendalam dalam Kitab ALLAH Yang
Mulia pada tempat-tempat yang tidak terhingga. Dan ALLAH memuji orang-orang
yang berfikir. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang mengingati Allah,
ketika berdiri dan duduk, ketika berbaring dan mereka memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi, sambil berkata: Wahai Tuhan kami ! tidaklah Engkau
menjadikan ini dengan sia-sia”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191.
Ibnu Abbas ra berkata:
“Bahwa suatu kaum memikirkan tentang Allah ‘Azza Wa Jalla (Allah Yang Maha
Mulia & Maha Besar). Lalu Nabi saw bersabda: “Berfikirlah tentang makhluk
Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah. Sesungguhnya kamu tiada akan
dapat mengkadarkan akan kadar Allah”. Dari Nabi saw, bahwa Nabi saw pada suatu
hari pergi kepada suatu kaum. Dan mereka itu sedang BERFIKIR. Maka Nabi saw
bersabda: “Mengapa kamu tidak berbicara ?”. Mereka itu menjawab: “Kami BERFIKIR
tentang makhluk Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Nabi saw lalu
bersabda: “Maka seperti demikianlah kamu berbuat. BERFIKIR tentang makhluk ALLAH dan jangan kamu BERFIKIR tentang ALLAH !
Bahwa di tempat terbenam
matahari itu ada bumi yang putih. CahayaNYA putihnya. Dan putihnya cahayanya,
menurut perjalanan matahari 40 hari. Dengan dia diciptakan dari ciptaan Allah
Yang Maha Mulia & Maha Besar. Mereka tiada berbuat maksiat kepada Allah,
walau sekejap mata”. Mereka itu bertanya: “Wahai Rasulullah, maka dimanakah
setan dari mereka ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka tidak tahu. Telah dijadikan
setan atau belum”. Mereka bertanya lagi: “Dari anak Adam ?”. Nabi saw menjawab:
“Mereka tidak tahu, telah dijadikan Adam atau belum”.
Dari ‘Atha’ yang
menerangkan: “Pada suatu hari, aku dan ‘Ubaid bin ‘Umair berjalan ke tempat
‘Aisyah. Maka ‘Aisyah berkata-kata dengan kami. Dan diantara kami dan dia ada
hijab. ‘Aisyah berkata: “Hai ‘Ubaid ! apakah yang mencegah engkau berkunjung
kepada kami ?”. ‘Ubaid menjawab: “Sabda Rasulullah saw: “Berkunjunglah
jarang-jarang, niscaya bertambah kasih-sayang”. ‘Ubaid ibnu ‘Umair tadi berkata:
“Terangkanlah kepada kami, sesuatu yang menakjubkan yang engkau lihat dari
Rasulullah saw !”. ‘Atha’ meneruskan ceritanya: “Aisyah ra lalu menangis dan
berkata: “Setiap pekerjaannya adalah menakjubkan. Beliau datang kepadaku pada
malam giliran bagiku. Sehingga tersentuhlah kulitnya dengan kulitku. Kemudian,
beliau bersabda: “Biarkanlah aku beribadah kepada Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar. Beliau lalu berdiri ke tempat air, mengambil wudhu’ daripadanya.
Kemudian, beliau berdiri mengerja kan shalat. Maka beliau menangis, sehingga
basahlah janggutnya. Kemudian beliau sujud, sehingga membasahkan bumi. Kemudian
beliau berbaring di atas lembungnya. Sehingga datanglah Bilal, melakukan adzan
untuk shalat Shubuh. Lalu Bilal bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah yang
membawa engkau kepada menangis ? padahal Allah telah mengampunkan bagi engkau,
apa yang terdahulu dari dosa engkau dan apa yang terkemudian”. Nabi saw lalu
menjawab: “Kasihan hai Bilal ! apakah yang mencegahku daripada aku menangis ?
Allah Ta’ala telah menurunkan kepadaku pada malam ini: “Sesungguhnya tentang
kejadian langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, akan menjadi
keterangan bagi orang-orang yang mengerti”. S 3 Ali ‘Imran ayat 190. Kemudian,
Nabi saw menyambung: “Kasihan bagi orang yang membaca ayat ini dan tidak
BERFIKIR padanya”.
Maka ditanyakan kepada
Al-Auza’i: “Apakah tujuan BERFIKIR padanya ?”. Al-Auza’i menjawab:
“Membacakannya dan menggunakan akal padanya”. Dari Muhammad bin Wasi’,
diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Basrah berkendaraan ke
tempat Ummi/ibu Dzar, sesudah meninggal Abi/bapak Dzar. Laki-laki itu
menanyakan Ummi Dzar tentang ibadah Abi Dzar. Maka menjawab Ummi Dzar: “Adalah
harinya semuanya di sudut rumah BERFIKIR”.
Dari Al-Hasan Al-Bashari yang
mengatakan: “BERFIKIR sesaat lebih baik dari berdiri semalam mengerjakan
shalat”. Dari Al-Fudlail yang mengatakan: “MEMIKIRKAN itu kaca, yang
memperlihatkan engkau akan kebaikan engkau dan kejahatan engkau”. Ditanyakan
kepada Ibrahim bin Adham: “Bahwa engkau melamakan berfikir”. Ibrahim bin Adham
menjawab: “Berfikir itu otak akal”. Adalah Sufyan bin ‘Uyainah kebanyakan
berpepatah dengan ucapan seorang penyair:
Apabila manusia,
mempunyai fikiran,
maka pada apa saja,
mempunyai pengajaran.
Dari Thawus yang
mengatakan: “Para sahabat Isa as (al-hawariyyun) bertanya kepada Isa as: “Hai
Ruhullah ! adakah di atas bumi hari ini orang yang seperti engkau ?”. Isa as
menjawab: “Ada ! yaitu: orang yang tuturnya dzikir, diamnya fikir dan
pandangannya pengajaran. Maka orang itu adalah sepertiku”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata:
“Barangsiapa yang tidak ada perkataannya itu mengandung hikmah, maka itu kata
yang sia-sia. Barangsiapa yang tidak ada diamnya itu berfikir, maka itu
lupa/ngelamun. Dan barangsiapa yang tidak ada pandangannya itu pengajaran, maka
itu main-main”.
Pada firman Allah Ta’ala:
“Akan Aku belokkan dari keterangan-keteranganKu orang-orang yang menyombongkan
dirinya di muka bumi di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146. Allah
berfirman itu, artinya: “Aku larang hati mereka BERFIKIR pada urusanKu”.
Dari Abi Sa’id Al-Khudri, yang
mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah kepada matamu akan
keberuntungannya dari ibadah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah !
apakah keberuntungannya dari ibadah ?”. Nabi saw menjawab: “Memandang pada
Mush-haf, BERFIKIR padanya dan mengambil ibarat pada yang ajaib-ajaib
daripadanya”.
Dari seorang wanita yang
bertempat tinggal di suatu desa dekat Makkah, bahwa wanita itu berkata:
“Jikalau hati orang-orang yang taqwa dengan fikirannya, menengok kepada apa
yang tersimpan baginya dalam hijab ghaib dari kebajikan akhirat, niscaya
tidaklah jernih kehidupan bagi mereka di dunia dan tidaklah tetap mata bagi
mereka di dunia”.
Adalah Lukman melamakan
duduk sendirian. Lalu lewatlah bekas budaknya, seraya berkata: “Hai Lukman !
bahwa engkau terus-menerus duduk sendirian. Maka jikalau engkau bersama
manusia, niscaya adalah lebih menjinakkan hati bagi engkau”. Lukman lalu
menjawab: “Bahwa lamanya sendirian itu lebih memahamkan bagi berfikir. Dan
lamanya berfikir itu menunjukkan kepada jalan sorga”.
Wahab bin Munabbih
berkata: “Tiadalah sekali-kali panjang pemikiran seorang manusia, selain ia
telah berilmu. Dan tiada sekali-kali berilmu seorang manusia, selain ia
amalkan”. ‘Umar bin Abdul-aziz berkata: “Pemikiran mengenai nikmat-nikmat Allah
Yang Maha Mulia & Maha Besar adalah termasuk ibadah yang paling utama”.
Abdullah bin Al-Mubarak pada suatu hari bertanya kepada Sahal bin Ali dan
dilihatnya diam bertafakkur: “Dimana engkau sudah sampai ?”. Sahal bin Ali
menjawab: “Titian Shirathal-mustaqim”. Bisyr berkata: “Jikalau BERFIKIRLAH
manusia mengenai kebesaran Allah, niscaya mereka tidak akan mengerjakan maksiat
kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”.
Dari Ibnu Abbas, yang
mengatakan: “2 rakaat yang sederhana dalam BERFIKIR itu lebih baik daripada
berdiri mengerjakan shalat satu malam, dengan tidak ada hati”. Sewaktu Abu
Syuraih berjalan kaki, tiba-tiba ia duduk. Lalu menutup kepala dengan
pakaiannya. Dan beliau itu menangis. Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah yang
menyebabkan maka engkau menangis ?”. Abu Syuraih menjawab: “Aku BERFIKIR pada
hilangnya umurku, sedikitnya amalku dan mendekatnya ajalku”.
Abu Sulaiman berkata:
“Biasakanlah matamu dengan menangis dan hatimu dengan BERFIKIR!”. Abu Sulaiman
berkata: “Fikir mengenai dunia itu hijab dari akhirat, siksaan bagi yang
mempunyai wilayah pemerintahan. Dan fikir mengenai akhirat itu mewariskan
hikmah dan menghidupkan hati”. Hatim berkata: “Dari pengajaran itu menambahkan
ilmu. Dari dzikir itu menambahkan kasih. Dan dari MEMIKIRKAN itu menambahkan
takut”. Ibnu Abbas berkata: “memikirkan pada kebajikan itu membawa kepada
mengamalkannya. Dan menyesal atas kejahatan itu membawa kepada
meninggalkannya”.
Diriwayatkan, bahwa Allah
Ta’ala berfirman pada sebahagian dari Kitab-kitabNya: “Bahwa Aku tidak akan
menerima perkataan setiap ahli hikmah. Akan tetapi, Aku memandang kepada
cita-citanya dan keinginannya. Apabila ada cita-citanya dan keinginannya
kepadaKu, niscaya Aku jadikan diamnya itu MEMIKIRKAN dan perkataannya itu
pujian, walaupun ia tidak berkata-kata”.
Al-Hasan Al-Bashari
berkata: “Bahwa orang-orang yang berakal itu senantiasa membiasakan dengan
dzikir atas fikir dan dengan fikir atas dzikir. Sehingga mereka itu bertutur
kata dengan hatinya. Lalu hati itu bertutur kata dengan hikmah”.
Ishak bin Khalaf berkata:
“Adalah Daud Ath-Tha-i di atas sutuh (loteng rumah yang biasa juga ditempati)
pada malam berbulan terang. Lalu ia BERFIKIR mengenai kerajaan langit dan bumi.
Ia memandang ke langit dan menangis. Sehingga ia jatuh dalam rumah
tetangganya”. Ishak bin Khalaf meneruskan ceritanya: “Lalu yang punya rumah itu
melompat dari tempat tidurnya dengan telanjang dan di tangannya sebilah pedang.
Ia menyangka, bahwa orang yang jatuh itu pencuri. Maka tatkala ia memandang
kepada Daud, lalu ia kembali dan meletakkan pedang, seraya bertanya: “Siapakah
yang mencampakkan engkau dari sutuh?”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Aku tidak
merasa dengan yang demikian”.
Al-Junaid berkata:
“Majelis yang paling mulia dan paling tinggi, ialah duduk serta berfikir pada
lapangan keesaan (MENGESAKKAN ALLAH), menghirup dengan angin ilmu mengenal
Allah Ta’ala, minum dengan gelas kasih dari lautan sayang dan memandang dengan
baik sangka kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Kemudian, Al-Junaid
menyambung: “Wahai dari majlis-majlis, alangkah agungnya ! dan dari minuman,
alangkah lezatnya ! amat baiklah bagi orang yang mendapat rezeki dengan yang
demikian !”.
Asy-Syafi’i ra berkata:
“Kamu meminta tolonglah atas perkataan itu dengan diam dan atas pemahaman yang
mendalam itu dengan fikir !”. Asy-Syafi’i berkata pula: “Sehatnya pemandangan
pada semua urusan itu kelepasan dari tipuan. Berbuat pada pendapat itu selamat
dari pemborosan dan penyesalan. Pengalaman dan fikiran itu menyingkapkan dari
hati-hati dan cerdik. Musyawarah para ahli hikmah itu ketetapan pada diri dan
kekuatan pada mata hati. Maka berfikirlah sebelum berbuat ! memahami dengan
secara mendalam sebelum engkau menyerang ! bermusyawarahlah sebelum tampil ke
depan” Berkata Asy-Syafi’i pula: “Keutamaan itu 4:
Yang pertama: hikmah dan kekuatannya itu fikir.
Yang kedua: memelihara diri (al-‘iffah) dan
kekuatannya itu pada menahan nafsu syahwat
Yang ketiga: kekuatan dan kekuatannya itu pada menahan
marah.
Yang keempat: adil dan kekuatannya itu, pada kelurusan
kekuatan diri.
Inilah ucapan-ucapan para ulama
tentang berfikir. Dan tiada seorangpun dari mereka, yang menyebutkan hakikat/makna
&penjelasan tempat lalunya berfikir itu
PENJELASAN: hakikat/makna
fikir dan buahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa
makna fikir ialah: menghadirkan 2 ilmu mengenal Allah Ta’ala dalam hati, untuk
berbuah daripadanya ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Contohnya: bahwa orang
yang cenderung kepada yang segera (dunia) dan mengutamakan hidup dunia dan ia
menghendaki mengetahui, bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan
daripada dunia. Maka baginya dua jalan:
Salah satu dari dua jalan tersebut, ialah: bahwa
ia mendengar dari orang lain, bahwa akhirat itu lebih utama diutamakan daripada
dunia. Lalu ia mengikuti dan membenarkan yang demikian, tanpa melihat lebih
mendalam, dengan hakikat/makna persoalan. Maka ia cenderung dengan amalnya
kepada mengutama kan akhirat, karena berpegang kepada perkataan orang itu
semata-mata. Ini dinamakan taqlid (menuruti tanpa alasan). Dan tidak dinamakan:
ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Jalan yang
kedua, ialah: bahwa
ia mengetahui, bahwa yang lebih kekal itu yang lebih utama dengan diutamakan.
Kemudian, ia mengetahui, bahwa akhirat itu yang lebih kekal. Maka berhasillah
baginya dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, ilmu mengenal Allah Ta’ala
ketiga. Yaitu: bahwa akhirat itu lebih utama dengan
diutamakan. Dan tidak mungkin mentahkikan ilmu mengenal Allah Ta’ala, bahwa
akhirat itu lebih utama dengan diutamakan, selain dengan dua ilmu mengenal
Allah Ta’ala yang dahulu itu. Maka menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala
yang dahulu itu dalam hati, untuk sampai kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala
ketiga, dinamakan: tafakkur (memikirkan), i’tibar (ibarat), tadzakkur
(mengingati), nadhar (memperhatikan), menelitikan dan tadabbur (memahami dengan
mendalam)
Adapun memahami dengan
mendalam, meneliti dan memikirkan, maka itu adalah kata-kata yang mempunyai
satu makna. Tidak dibawahnya makna-makna yang berlainan. Adapun nama
mengingati, ibarat dan memperhatikan, maka maknanya berlain-lainan, walaupun
asal yang dinamakan itu satu. Sebagaimana nama sharim, muhannad dan saif itu
dikemukakan atas satu benda. Akan tetapi dengan ibarat yang berlainan. Maka
sharim itu menunjukkan kepada: pedang, dari segi dia itu pemotong. Muhannad
ditunjukkan kepadanya, dari segi dihubungkannya kepada tempat asalnya (yaitu:
India). Dan saif menunjukkan dengan dalil mutlak, tanpa diperkenalkan dengan
tambahan-tambahan tersebut. Maka seperti demikian juga ibarat, yang berarti
kepada menghadirkan 2 ilmu mengenal Allah Ta’ala, dari segi bahwa dilalui dari
2 ilmu mengenal Allah Ta’ala itu kepada: ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga.
Walaupun melalui itu tidak terjadi. Dan tidak mungkin, selain dengan berdiri di
atas dua ilmu mengenal Allah Ta’ala itu. Maka berjalanlah kepadanya nama:
mengingati, bukan nama:ibarat.
Adapun memperhatikan dan
memikirkan maka jatuh ke atasnya dari segi bahwa padanya mencarikan ilmu
mengenal Allah Ta’ala ketiga. Maka siapa yang tidak mencari ilmu mengenal Allah
Ta’ala ketiga, niscaya ia tidak dinamakan: orang yang menggunakan nadhar/perhatian.
Setiap orang yang memikirkan itu adalah orang mengingati. Dan tidaklah setiap
orang mengingati itu memikirkan. Faedah
bertadzakkur (mengingati), ialah: mengulang-ulangi ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada hati, supaya
meresap dan tidak terhapus dari hati. Dan faedah tafakkur/memikirkan, ialah:
memperbanyak ilmu dan menarikkan ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang belum
diperoleh. Maka itulah perbedaan diantara tadzakkur/mengingati dan
tafakkur/memikirkan. Ilmu mengenal Allah Ta’ala, ilmu
mengenal Allah Ta’ala itu apabila berhimpun dalam hati dan bercampur-aduk di
atas ketertiban yang khusus, niscaya membuahkan: ilmu mengenal Allah Ta’ala
yang lain. Maka ilmu mengenal Allah Ta’ala itu (natijah)
hasil keyakinan dari ilmu mengenal
Allah Ta’ala. Maka apabila telah berhasil ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lain
dan bercampur-aduk serta ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lain itu, niscaya
berhasillah dari yang demikian itu hasil keyakinan
yang lain. Begitulah kiranya berkepanjangan hasil
keyakinan, berkepanjangan ilmu pengetahuan dan berkepanjangan fikir,
sampai tiada berkesudahan.
Sesungguhnya tersumbat
jalan bertambahnya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu dengan mati atau dengan
halangan-halangan lain. Ini adalah bagi orang yang mampu kepada mencari buah
ilmu pengetahuan dan memperoleh petunjuk kepada jalan memikirkan.
Adapun kebanyakan manusia,
maka mereka terhalang daripada menambahkan ilmu, karena ketiadaan modal. Yaitu:
ilmu mengenal Allah Ta’ala -ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang dengan ilmu
mengenal Allah Ta’ala - ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut, berbuahlah ilmu.
Seperti orang yang tiada mempunyai barang jualan, maka ia tidak mampu
memperoleh laba. Kadang-kadang ia memiliki barang jualan. Akan tetapi, ia tidak
pandai berjualan. Maka ia tidak berlaba sesuatupun. Maka seperti demikian juga,
kadang-kadang ada baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang menjadi modal ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, ia tidak pandai memakaikannya, menyusunnya dan
mengadakan percampuran yang membawa kepada hasil
keyakinan padanya.
Mengetahui jalan pemakaian
dan memperoleh hasil, sekali adalah dengan nur/cahaya ilahi dalam hati, yang
diperoleh dengan fithrah (asal kejadian manusia), sebagaimana ada bagi
nabi-nabi as semuanya. Dan yang demikian itu sukar sekali. Kadang-kadang ada
dengan mempelajari dan dengan membiasakan diri. Dan itu yang lebih banyak.
Kemudian, orang yang berfikir itu kadang-kadang datang kepadanya ilmu mengenal
Allah Ta’ala - ilmu mengenal Allah Ta’ala ini. Dan berhasil baginya buah. Dan
dia tidak mengetahui cara keberhasilannya. Dan ia tidak mampu mengibaratkan
daripadanya, karena kurang kebiasaannya bagi usaha mengibaratkan pada
mendatangkan pikiran. Berapa banyak manusia yang mengetahui, bahwa akhirat itu
lebih utama diutamakan sebagai ilmu hakiki. Dan jikalau ditanyakan sebab ilmu
mengenal Allah Ta’alanya, niscaya ia tidak sanggup mengemukakannya dan
mengibaratkannya, serta dia itu tidak berhasil ilmu
mengenal Allah Ta’ala nya, selain
dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala yang terdahulu. Yakni: bahwa yang lebih
kekal itu lebih utama dengan diutamakan. Dan akhirat itu lebih kekal dari
dunia. Maka berhasillah baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Yaitu: bahwa
akhirat itu lebih utama dengan diutamakan.
Maka kembalilah hasil hakikat/makna
berfikir kepada menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala, untuk sampai
dengan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut kepada ilmu mengenal Allah
Ta’ala ketiga. Adapun buah pikiran, ialah: ilmu pengetahuan, hal keadaan dan
amal perbuatan. Akan tetapi hasilnya yang khusus, ialah: ilmu, tidak lain. Ya,
apabila berhasillah ilmu dalam hati, niscaya berobahlah keadaan hati. Dan
apabila keadaan hati sudah berobah, niscaya berobahlah amal perbuatan
anggota-anggota badan.
Maka amal perbuatan itu
mengikuti hal keadaan. Hal keadaan itu mengikuti ilmu. Dan ilmu itu mengikuti
fikir. Jadi, fikir itu adalah pokok dan kunci bagi semua kebajikan. Dan inilah
yang tersingkap bagi anda, dari keutamaan tafakkur/memikirkan. Dan itu lebih
baik dari dzikir dan tadzakkur/mengingati. Karena fikir itu ingatan (dzikir)
dan tambahan. Dan dzikir/ingatan hati adalah lebih baik dari amal perbuatan
anggota-anggota badan. Bahkan mulianya amal, karena padanya ada dzikir/ingatan.
Jadi, tafakkur/memikirkan itu lebih utama dari sejumlah amal perbuatan. Dan
karena itulah dikatakan: “Tafakkur/memikirkan sesaat lebih baik dari ibadah
setahun”. Maka dikatakan: tafakkurlah/berfikirlah yang memindahkan dari yang
tidak disukai kepada amal perbuatan yang disukai. Dan dari kegemaran dan
kerakusan, kepada zuhud (tidak terpengaruh dengan
kemewahan dunia) dan merasa puas apa yang ada (qana’ah), Dan dikatakan,
bahwa berfikirlah yang mendatangkan musyahadah (penyaksian) dan takwa. Karena
itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Semoga mereka menjaga dirinya dari kejahatan
atau supaya ia menimbulkan pengertian (peringatan) kepada mereka”. S 20 Thaahaa
ayat 113. Kalau anda bermaksud memahami cara berobahnya keadaan dengan
berfikir, maka contohnya, ialah apa yang telah kami sebutkan dari urusan
akhirat. Bahwa berfikir padanya itu memberitahukan kepada kita, bahwa akhirat
itu lebih utama dengan diutamakan.
Maka apabila ilmu mengenal
Allah Ta’ala ini telah meresap, dengan keyakinan dalam hati kita, niscaya
berobahlah hati kepada kegemaran pada akhirat dan tidak
terpengaruh dengan kemewahan dunia/zuhud pada dunia. Inilah yang
kami maksudkan dengan hal keadaan, apabila adalah hal keadaan hati sebelum ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini, mencintai dunia dan cenderung kepadanya. Lari dari
akhirat dan kurang keinginan pada akhirat. Dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala
ini berobahlah hal keadaan hati. Dan berganti kehendak dan keinginannya.
Kemudian, perobahan kehendak itu, membuahkan amal perbuatan anggota badan pada
segala yang dicampakkan dari dunia. Dan menghadap kepada amal perbuatan
akhirat. Maka disini ada 5 derajat:
Pertama: tadzakkur.
Yaitu: menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala dalam hati.
Kedua: tafakkur. Yaitu: mencari ilmu mengenal
Allah Ta’ala yang dimaksudkan dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala itu.
Ketiga: berhasilnya ilmu mengenal Allah Ta’ala
yang dicari dan bersinarlah hati dengan dia.
Keempat: berobahnya keadaan hati, dari
yang sudah ada, disebabkan hasilnya cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Kelima: layanannya anggota-anggota badan bagi hati,
menurut apa yang selalu membaru bagi hati dari hal keadaan.
Maka sebagaimana batu yang
dipukul atas besi, lalu keluar api daripadanya, yang bercahaya tempat tersebut
dengan keadaan itu, lalu mata dapat melihat, sesudah tadinya tidak dapat
melihat sesuatu dan tergeraklah anggota-anggota badan untuk bekerja, maka
seperti demikianlah yang menyalakan cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala, yaitu:
fikir. Maka fikir itu mengumpulkan antara dua ilmu mengenal Allah Ta’ala,
sebagaimana ia mengumpulkan antara batu dan besi. Ia susun diantara keduanya
dengan penyusunan khusus. Sebagaimana ia memukul batu atas besi dengan pukulan
khusus. Maka membangkitlah cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala, sebagaimana
membangkitnya api dari besi. Dan berobahlah hati dengan sebab cahaya ini,
sehingga ia cenderung kepada apa, yang ia tidak cenderung kepadanya tadinya.
Sebagaimana berobahnya penglihatan dengan cahaya api, lalu ia melihat apa yang
tadinya tidak dilihatnya. Kemudian tergeraklah anggota-anggota badan untuk
bekerja, menurut yang dikehendaki oleh keadaan hati, sebagaimana bergeraknya
orang yang lemah dari bekerja, disebabkan kegelapan, bagi bekerja, ketika
dirasakan oleh penglihatan, apa yang tadinya tidak dilihatnya. Jadi, buah
(hasil) fikir itu, ialah: ilmu pengetahuan dan hal
keadaan.
Ilmu pengetahuan itu tiada
berkesudahan. Dan hal keadaan yang tergambar bahwa ia berbulak-balik atas hati
itu tidak mungkin menghinggakannya. Dan karena inilah, jikalau seorang murid
berkehendak menghinggakan berbagai macam pikiran dan jalan-jalannya pikiran dan
pada apa, ia berfikir, niscaya ia tidak akan mampu. Karena jalan-jalannya pikiran
itu tidak terhingga. Dan hasil-hasilnya tidak berkesudahan. Ya, kita
bersungguh-sungguh pada menghinggakan jalan-jalannya pikiran, dengan dikaitkan
kepada kepentingan pengetahuan-pengetahuan keagamaan dan dengan dikaitkan
kepada hal keadaan yang dia itu maqam orang-orang yang menempuh jalan kepada
Allah (as-salikin). Dan adalah yang demikian itu hinggaan yang tidak
terperinci.
Maka penguraian yang
demikian itu mengajak kepada penguraian ilmu-ilmu seluruhnya. Dan jumlah
kitab-kitab ini adalah seperti penguraian bagi sebahagiannya. Bahwa kitab-kitab
itu melengkapi kepada ilmu-ilmu. Dan ilmu-ilmu itu diperoleh dari
pikiran-pikiran khusus. Maka marilah kami isyaratkan kepada hinggaan segala
yang terkumpul padanya. Supaya berhasillah diketahui atas jalan-jalannya
pikiran.
PENJELASAN: jalan-jalannya
pikiran.
Ketahuilah kiranya, bahwa pikiran itu
kadang-kadang berlaku pada persoalan yang menyangkut dengan agama. Dan
kadang-kadang berlaku pada yang menyangkut dengan bukan agama. Dan maksud kami,
ialah: yang menyangkut dengan agama. Maka marilah kami tinggalkan bahagian yang
akhir itu. Kami kehendaki dengan agama, ialah: mu’amalah (perniagaan) yang
berlaku diantara hamba dan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Maka semua pikiran hamba
itu, adakalanya menyangkut dengan hamba, sifat-sifatnya dan hal keadaannya. Dan
adakalanya menyangkut dengan Tuhan Yang Disembah, dengan sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Tidak mungkin bahwa keluar dari 2 bahagian ini. Dan yang
menyangkut dengan hamba, adakalanya bahwa ada yang demikian itu pemandangan
pada apa yang disukai pada sisi Tuhan Yang Maha Tinggi atau pada yang tidak
disukai. Dan tidak berhajat kepada pikiran, pada yang bukan dua bahagian ini.
Dan yang menyangkut dengan Tuhan Yang Maha Tinggi, adakalanya bahwa yang demikian
itu pandangan pada ZatNya, sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang Maha Baik
(Al-Asmaul-Husna). Dan adakalanya yang demikian itu pada Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, milikNya, kerajaanNya dan semua yang di langit dan di bumi
dan yang diantara keduanya. Dan tersingkaplah bagi anda akan penghinggaan
pikiran pada bahagian-bahagian ini dengan contoh. Yaitu: bahwa hal-keadaan
orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala dan orang-orang yang rindu
menjumpaiNya itu menyerupai dengan hal keadaan orang-orang yang asyik dengan
kerinduan.
Maka marilah kami ambil
seorang yang asyik yang membabi-buta akan contoh kami. Maka kami mengatakan:
bahwa orang yang asyik, yang tenggelam cita-citanya dengan keasyikannya itu,
tidaklah melampaui pikirannya daripada bahwa menyangkut dengan yang
diasyikkannya atau menyangkut dengan dirinya. Maka jikalau ia berfikir pada
yang diasyikkannya, maka adakalanya bahwa ia berfikir pada kecantikannya dan
bagus bentuknya pada dirinya, untuk ia bersenang-senang dengan berpikir padanya
dan dengan menyaksikannya.
Dan adakalanya ia berfikir
pada perbuatan-perbuatannya yang lemah-lembut, yang bagus, yang menunjukkan
kepada akhlaknya dan sifat-sifatnya. Supaya adalah yang demikian itu
menggandakan bagi dirinya dan menguatkan bagi kecintaannya. Dan kalau ia
berfikir pada dirinya, maka adalah pikirannya itu pada sifat-sifatnya yang
menjatuhkan dia dari mata kekasihnya. Sehingga ia merasa senang dengan yang
demikian. Atau pada sifat-sifat yang mendekatkannya dan mencintakannya
kepadanya, sehingga ia bersifat dengan sifat-sifat itu. Maka jikalau ia
berfikir pada sesuatu di luar dari bagian-bagian ini, maka yang demikian itu
diluar dari batas keasyikan. Dan itu suatu kekurangan padanya. Karena keasyikan
yang sempurna, lagi lengkap itu menenggelamkan si yang asyik dan menyempurnakan
hati. Sehingga tidak meninggalkan padanya tempat yang luas bagi yang lain. Maka
orang yang mencintai Allah Ta’ala seyogyalah bahwa ada seperti yang demikian.
Maka tidaklah melampaui pandangannya dan memikirkannya dari yang dicintainya.
Dan manakala adalah fikirnya terbatas pada bagian-bagian yang 4 ini, niscaya
tidaklah ia sekali-kali keluar dari yang dikehendaki oleh kecintaan. Maka
marilah kami mulai dengan bagian pertama.
Yaitu: berfikirnya pada
sifat-sifat dirinya dan perbuatan-perbuatan dirinya. Supaya dapat dibedakan
yang dicintai daripadanya dari yang tidak disukai. Maka pikiran ini, ialah:
yang menyangkut dengan ilmu mu’amalah (perniagaan), yang dimaksudkan dengan
Kitab ini. Adapun bahagian yang akhir, maka menyangkut dengan ilmu mukasyafah
(yang diminta mengetahuinya saja).
Kemudian, masing-masing
dari yang tidak disukai pada sisi Allah atau yang disukai itu terbagi kepada
zahiriyah/luarnya, seperti amalan taat dan perbuatan maksiat. Dan kepada
batiniyah/dalam hati, seperti sifat-sifat yang melepaskan dan yang
membinasakan, yang tempatnya itu hati. Dan telah kami sebutkan penguraiannya
pada Rubu’ Yang Membinasakan dan Yang melepaskan. Taat dan maksiat itu terbagi
kepada: yang menyangkut dengan anggota badan yang 7 dan kepada yang dihubungkan
kepada seluruh badan. Seperti lari dari barisan perang, durhaka kepada ibu
bapak dan tinggal pada tempat yang haram. Dan wajiblah pada masing-masing dari
yang tidak disukai itu, bertafakkur/berfikir pada 3 perkara:
Pertama: tafakkur/memikirkan, bahwa adakah
yang tidak disukai itu, tidak disukai pada sisi Allah atau tidak ? kerap-kali
sesuatu yang tidak terang keadaannya itu tidak disukai, akan tetapi dapat
diketahui dengan penelitian yang halus.
Kedua:
memikirkan, bahwa yang tidak disukai itu, jikalau benar dia itu tidak
disukai, maka apakah jalan menjaga daripadanya ?
Ketiga: bahwa yang tidak
disukai ini, adakah dia itu bersifat sekarang dengan yang demikian, maka
ditinggalkannya. Atau ia akan mendatangi padanya pada masa mendatang. Maka ia
akan menjaga diri daripadanya. Atau telah dikerjakannya pada hal keadaan yang
lampau, lalu ia berhajat kepada mengerjakan nya kembali. Seperti demikian juga,
setiap sesuatu dari yang disukai, terbagi kepada bagian-bagian ini.
Maka apabila dikumpulkan
bagian-bagian ini, niscaya bertambahlah jalan-jalannya pikiran pada
bagian-bagian ini kepada 100. Dan hamba itu terdorong kepada pikiran,
adakalanya pada semua bagian-bagian tersebut atau pada yang terbanyak daripadanya.
Dan uraian dari masing-masing bagian-bagian ini akan panjang. Akan tetapi,
terbataslah bagian ini pada 4 macam, yaitu: taat, maksiat, sifat-sifat yang
membinasakan dan sifat-sifat yang melepaskan. Maka marilah kami sebutkan pada
masing-masing macam tersebut, akan contoh, untuk dibandingkan dengan contoh
tersebut oleh murid akan lain-lainnya. Dan terbukalah baginya pintu pikir dan
meluaslah kepadanya jalan pikir itu.
Pertama: perbuatan-perbuatan maksiat.
Seyogyalah insan itu memeriksa pada pagi setiap hari, akan semua anggota
badannya yang 7, dengan terurai. Kemudian badannya dengan tidak terperinci.
Adakah dia pada waktu sekarang mengerjakan maksiat, maka akan ditinggalkannya ?
atau telah dikerjakannya kemarin, maka akan dihadapinya perbuatan maksiat itu
dengan ditinggalkan dan penyesalan. Atau dia akan mengerjakan perbuatan maksiat
itu pada siang-harinya. Maka ia bersedia untuk menjaga diri dan menjauhkan diri
daripadanya. Maka ia memperhatikan tentang lidah dan ia mengatakan: bahwa lidah
itu mengerjakan umpatan, dusta, membersihkan diri, mengejek orang lain, berbuat
ria, bersenda-gurau dan terjun mengerjakan pada yang tidak penting. Dan
lain-lainnya dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai. Maka pertama-tama, ia
menetapkan pada dirinya, bahwa dirinya itu tidak disukai pada sisi Allah
Ta’ala. Ia bertafakkur/berfikir pada dalil-dalil Alquran dan Sunnah atas
sangatnya azab pada yang demikian. Kemudian, ia bertafakkur/berfikir pada hal
keadaannya, bahwa bagaimana ia mengerjakan perbuatan maksiat itu, tanpa
disadarinya. Kemudian, ia bertafakkur/berfikir bahwa bagaimana ia menjaga diri
dari yang demikian. Dan ia tahu, bahwa tidak sempurna baginya yang demikian, selain dengan uzlah (mengasingkan diri) dan bersendirian.
Atau dengan tidak duduk-duduk, selain dengan orang baik-baik (orang shalih),
yang taqwa, yang akan menantangnya, manakala ia berbicara dengan yang tidak
disukai oleh Allah. Kalau tidak demikian, maka ia meletakkan batu pada
mulutnya, apabila ia duduk-duduk dengan orang lain. Sehingga adalah yang
demikian itu memperingatkannya. Maka begitulah adanya pikiran tentang
daya-upaya menjaga diri. Ia berfikir pada pendengarannya, bahwa ia mencurahkan
pendengarannya kepada umpatan, dusta, kata yang tidak berfaedah, kepada
main-main dan bid’ah (yang diada-adakan). daya-upaya
yang dimaksudkan untuk melemahkannya dan merombakkan nya. Bahwa yang
demikian itu, sesungguhnya didengarnya dari si Zaid dan ‘Amr. Bahwa seyogyalah
ia menjaga diri dari yang demikian, dengan berpindah atau dengan melarang dari
yang munkar. Manakala telah ada yang demikian, maka ia berfikir tentang
perutnya, bahwa ia berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala tentang perut itu,
dengan makan dan minum. Adakalanya dengan banyaknya makan dari yang halal. Maka
yang demikian itu makruh pada sisi Allah dan menguatkan nafsu syahwat, yang
menjadi senjata setan musuh Allah. Adakalanya dengan yang haram atau karena syubhat
(diragukan). Maka ia perhatikan, darimanakah makanannya, pakaiannya, tempat
tinggalnya, usahanya dan apa usahanya. Dan ia berfikir pada jalan yang halal
dan tempat-tempat masuknya. Kemudian, ia berfikir pada jalan daya-upaya pada
berusaha dan menjaga dari yang haram. Dan menetapkan atas dirinya, bahwa ibadah
seluruhnya itu lenyap serta memakan yang haram. Dan
bahwa memakan yang halal adalah sendi ibadah seluruhnya. Dan Allah
Ta’ala tidak akan menerima shalat hamba, yang pada harga kainnya ada dirham
haram, sebagaimana dibentangkan oleh hadits dengan yang demikian. Maka
begitulah ia berfikir pada semua anggota badannya. Maka pada kadar ini
mencukupilah daripada diadakan penyelidikan. Manakala telah berhasil dengan
memikirkan itu, akan hakikat/makna ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan hal
keadaan ini, niscaya ia berbuat dengan al-muraqabah
(memperhatikan perbuatan diri) sepanjang hari. Sehingga ia dapat menjaga
anggota-anggota badannya dari yang demikian.
Kedua, yaitu: amalan taat. Maka
pertama-tama ia melihat pada ibadah fardhu/wajib yang diwajibkan kepadanya,
bagaimana ia melaksanakannya. Bagaimana ia menjaganya dari kekurangan dan
keteledoran. Atau bagaimana ia menampalkan kekurangannya dengan membanyakkan
ibadah-ibadah sunat. Kemudian ia kembali kepada anggota badan, anggota demi
anggota. Lalu ia berfikir pada perbuatan-perbuatan yang menyangkut dengan dia,
dari apa yang disukai oleh Allah Ta’ala. Lalu ia mengatakan umpamanya: “Bahwa
mata diciptakan untuk memandang pada kerajaan langit dan bumi, sebagai
pengajaran. Dan supaya dipakai pada taat kepada Allah Ta’ala. Dan mata itu
memandang pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Dan aku sanggup pada
menyibukkan mata dengan membaca Alquran dan Sunnah. Maka mengapa tidak aku
memperbuatnya ? aku sanggup melihat kepada si Anu yang taat, dengan mata
penghormatan. Maka aku masukkan kegembiraan kepada hatinya. Dan aku melihat
kepada si Anu yang fasik, dengan mata penghinaan. Maka aku cegah dia dengan
yang demikian dari kemaksiatannya. Maka mengapa aku tidak memperbuatnya ?”. Dan
seperti demikian juga, ia mengatakan pada pendengarannya: “Bahwa aku sanggup
mendengar perkataan yang sungguh-sungguh atau mendengar hikmat dan ilmu atau
mendengar bacaan Alquran dan dzikir. Maka mengapakah aku mengosongkannya dan
Allah menganugerahkan nikmat kepadaku dengan yang demikian ? dan Allah
menyimpankannya padaku untuk aku mensyukuriNya ? maka mengapa aku kufur kepada
nikmat Allah padanya dengan menyia-nyiakan atau mengosongkannya ?”.
Seperti demikian juga, ia
berfikir pada lidah dan ia mengatakan: “Bahwa aku sanggup mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan mengajar, memberi pengajaran dan berbuat
kasih-sayang kepada hati orang-orang shalih dan dengan menanyakan hal-ihwal
orang-orang miskin dan memasukkan kegembiraan kepada hati si Zaid yang shalih
dan si ‘Amr yang alim, dengan kalimat yang baik. Dan setiap kalimat yang baik
itu sedekah”. Seperti yang demikian juga, ia bertafakkur pada hartanya, maka ia
mengatakan: “Bahwa aku sanggup bersedekah dengan harta anu. Bahwa aku tidak
memerlukan kepadanya. Dan manakala aku memerlukan kepadanya, niscaya Allah
Ta’ala menganugerahkan aku negeri yang seperti demikian. Dan jikalau aku
memerlukan sekarang, maka aku lebih memerlukan kepada pahala dengan
mengutamakan harta itu kepada orang lain, daripada harta itu untuk aku
sendiri”.
Begitulah ia memeriksa
dari semua anggota badannya, seluruh badan dan hartanya. Bahkan dari binatang
ternaknya, hamba-sahayanya dan anak-anaknya. Bahwa setiap yang demikian itu
adalah alat-alat dan sebab-sebab baginya. Dan ia sanggup mentaati Allah Ta’ala
dengan yang demikian. Maka ia mengambil pemahaman dengan pikiran yang halus,
akan segala cara taat yang mungkin dan dengan berfikir pada apa, yang
menggemarkannya pada bersegera kepada taat itu. Dan ia berfikir pada keikhlasan
niat padanya. Dan ia mencari baginya tempat-tempat sangkaan berhak, sehingga
bersihlah dengan yang demikian itu amalnya. Dan bandingkanlah atas ini, akan
amalan-amalan taat yang lain!
Ketiga: maka yaitu sifat-sifat yang
membinasakan, yang tempatnya itu hati. Maka diketahuinya akan sifat-sifat yang
membinasakan itu, dari yang telah kami sebutkan pada Rubu’ Yang Membinasakan.
Yaitu: berkuasanya nafsu syahwat, marah, kikir, takabur, ‘ujub/mengherani diri,
ria, dengki, jahat sangka, lalai, terperdaya dll dari yang demikian itu. Ia
menghilangkan dari hatinya akan sifat-sifat ini. Kalau ia menyangka, bahwa hatinya
suci dari sifat-sifat tersebut, maka ia bertafakkur tentang bagaimana
mengujinya dan mencari kesaksian dengan tanda-tanda padanya. Bahwa diri itu
selalu menjanjikan dengan kebajikan dan dirinya dan ia menyalahinya. Maka
apabila ia mendakwakan tawadlu’ (merendahkan diri) dan terlepas dari takabur,
maka seyogyalah bahwa ia mencobanya, dengan membawa berkas kayu api di pasar,
sebagaimana orang-orang dahulu mencobakan dirinya dengan yang demikian. Apabila
diri itu mendakwakan tidak lekas marah, niscaya ia datang kepada marah yang
diperolehnya dari orang lain. Kemudian, ia mencobanya pada menahan kemarahan
itu. Dan seperti demikian juga pada sifat-sifat yang lain. Ini adalah
tafakkur/memikirkan mengenai: adakah ia bersifat dengan sifat yang tidak
disukai atau tidak ? dan bagi yang demikian itu ada tanda-tanda yang telah kami
sebutkan pada Rubu’ Yang Membinasakan. Maka apabila ada tanda yang menunjukkan
atas adanya, niscaya ia berfikir tentang sebab-sebab yang memburukkan
sifat-sifat itu padanya. Dan ia menerangkan bahwa asal kejadiannya, ialah dari
kebodohan, kelalaian dan keji batinnya.
Sebagaimana ia melihat
pada dirinya sifat ‘ujub (mengherani diri) dengan amal, lalu ia berfikir dan
mengatakan: “Bahwa amalku dengan badanku dan anggota tubuhku, dengan kesanggupanku
dan kehendakku. Dan setiap yang demikian itu tidaklah daripadaku dan tidak
kepadaku. Sesungguhnya itu adalah dari ciptaan Allah dan kurnia ALLAH kepadaku.
Maka Dialah yang menjadikan aku, menjadikan anggota badanku dan menjadikan
kemampuan dan kehendakku. Dialah yang mengerakkan anggota-anggota tubuhku
dengan Qudrah (kuasa/kemampuanNya). Dan seperti demikian juga
kemampuanku dan kehendakku. Maka bagaimanakah aku merasa ‘ujub(mengherani
diri) dengan amalku atau dengan diriku ?
dan aku tidak berdiri bagi diriku dengan diriku”. Maka apabila ia merasa pada
dirinya dengan takabur (kesombongan), niscaya ia
menetapkan atas dirinya, apa yang padanya kedunguan. Dan ia mengatakan kepada
dirinya: “Mengapa engkau melihat diri engkau lebih besar ? dan yang besar itu,
ialah orang yang besar di sisi Allah”. Yang demikian itu tersingkap sesudah
mati. Berapa banyak kafir pada masa sekarang, yang mati sebagai orang yang
mendekatkan diri kepada Allah, dengan tercabutnya dari kekafiran? berapa banyak
orang yang Islam, yang mati dengan kedurhakaan, dengan berobah keadaannya
ketika mati, dengan buruk kesudahan (suul-khatimah).
Apabila ia mengetahui,
bahwa takabur (mau tinggi sebenang dari orang
lain/sombong) itu membinasakan dan bahwa asalnya itu dungu, maka ia
berfikir pada mengobati menghilangkan yang demikian, dengan ia berbuat dengan
perbuatan orang-orang yang merendahkan diri (al-mutawadli-‘in). Apabila ia
mendapati padanya akan keinginan kepada makanan dan kerakusannya, niscaya ia
berfikir, bahwa itu adalah sifat binatang. Jikalau ada nafsu keinginan kepada
makanan dan bersetubuh itu kesempurnaan,
niscaya adalah yang demikian itu dari sifat-sifat Allah dan sifat-sifat
malaikat, seperti: ilmu dan Qudrah ( kuasa/ kemampuan). Dan tatkala binatang yang bersifat
dengan yang demikian dan manakala sifat rakus lebih keras padanya, niscaya
adalah dia lebih menyerupai dengan binatang. Dan adalah lebih jauh dari para malaikat yang dekat dengan Allah Ta’ala (al-muqarrabin). Seperti
demikian juga ia menetapkan atas dirinya pada sifat marah. Kemudian ia berfikir
pada jalan mengobatinya. Dan masing-masing yang demikian itu telah kami
sebutkan pada Kitab-kitab ini. Maka siapa yang berkehendak untuk memperoleh
keluasan jalan berfikir kepadanya, maka tidak boleh tidak daripada menghasilkan
apa yang tersebut dalam Kitab-kitab ini.
Keempat, yaitu: sifat-sifat yang melepaskan.
Yaitu: taubat, penyesalan atas dosa, sabar atas bala-percobaan, bersyukur atas
segala nikmat, takut dan harap, zuhud (tidak
terpengaruh dengan kemewahan dunia) di dunia, ikhlas dan benar pada taat,
mencintai Allah dan mengagungkanNya, ridha/rela dengan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, rindu kepadaNya, khusyu’ dan tawadlu’
(merendahkan diri) kepadaNya. Dan semua yang demikian itu telah kami
sebutkan pada Rubu’ ini. Dan telah kami sebutkan sebab-sebab dan
tanda-tandanya. Maka hendaklah hamba itu berfikir setiap hari dalam hatinya:
apakah yang memerlukannya dari sifat-sifat ini, yang mendekatkannya kepada
Allah Ta’ala ? maka apabila ia berhajat kepada sesuatu daripadanya, maka
hendaklah ia ketahui, bahwa itu adalah hal-ihwal yang tidak dihasilkan, selain
oleh ilmu pengetahuan. Dan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak dihasilkan, selain
oleh fikiran-fikiran.
Maka apabila ia
menghendaki bahwa mengusahakan bagi dirinya, akan hal-ihwal taubat dan
penyesalan, maka pertama-tama hendaklah ia memeriksa dosanya. Dan hendaklah ia
berfikir tentang dosa-dosa itu ! dan hendaklah ia mengumpulkannya atas dirinya
! dan hendaklah ia memandang besar pada hatinya! kemudian, hendaklah ia
memperhatikan tentang janji azab (al-wa’id) dan pengerasan, yang tersebut pada syara’ (agama) tentang yang demikian. Dan hendaklah ia
mentahkikan (mencari yg sebenarnya) pada dirinya, bahwa ia mendatangkan bagi
kutukan Allah Ta’ala. Sehingga membangkitlah baginya keadaan penyesalan.
Apabila ia menghendaki bahwa membangkitkan keutamaan dari hatinya, akan
hal-keadaan syukur, maka hendaklah ia memandang kepada ihsan
(berbuat kebaikan) Allah kepadanya, nikmat-nikmatNya kepadanya dan pada
dilepaskanNya akan keelokan tiraiNya kepadanya, menurut apa yang telah kami
uraikan sebahagian daripadanya pada Kitab Syukur. Maka hendaklah dibacakan yang
demikian !
Apabila ia berkehendak
akan hal-keadaan cinta dan rindu, maka hendaklah ia berfikir pada keagungan
Allah dan keelokanNya, kebesaranNya dan kemaha-besaranNya. Dan yang demikian
itu, ialah dengan memandang kepada keajaiban hikmahNya dan kebagusan
ciptaanNya. Sebagaimana akan kami isyaratkan kepada suatu tepi daripadanya pada
bahagian kedua dari fikir.
Apabila ia berkehendak akan hal-ihwal
takut, maka hendaklah pertama-tama ia melihat pada dosa-dosanya, yang
lahir/zahiriyah dan yang batin/batiniyah.
Kemudian, hendaklah ia melihat kepada
mati dan sakaratnya (sakratul-maut).
Kemudian, mengenai yang sesudahnya
dari: pertanyaan Munkar dan Nakir, azab kubur, ular-ularnya.
Kalajengking-kalajengkingnya dan ulat-ulatnya.
Kemudian, tentang huru-hara panggilan
ketika tiupan sangkakala.
Kemudian, tentang huru-hara hari
dihimpunkan (hari mahsyar), ketika dikumpulkan semua makhluk di atas suatu
dataran tinggi.
Kemudian, tentang bersoal-jawab pada
penghitungan amal (al-hisab), bersempit-sempitan pada yang sedikit dan yang
lebih sedikit.
Kemudian, tentang titian
(shiratul-mustaqim), halusnya dan tajamnya.
Kemudian, tentang bahaya keadaan padanya,
bahwa dia akan diarahkan ke kiri. Maka adalah dia dari isi neraka. Atau
diarahkan ke kanan, maka ia ditempatkan pada negeri ketetapan (sorga).
Kemudian, hendaklah ia menghadirkan
dalam hatinya, sesudah huru-hara kiamat, akan bentuk neraka jahannam,
tingkat-tingkat bawahnya, besi-besi pemukulnya, huru-haranya, rantai-rantainya,
belenggu-belenggunya, buah kayu zaqumnya, air nanah-air nanahnya dan berbagai
macam azab di dalamnya. Dan buruknya bentuk malaikat pengawal neraka (malaikat
zabaniah), yang diserahkan urusan neraka kepadanya. Bahwa isi neraka itu,
setiap kali telah hangus kulitnya, niscaya digantikan dengan kulit yang lain.
Dan setiap kali mereka menghendaki keluar dari neraka, niscaya mereka
dikembalikan ke dalamnya. Dan bahwa mereka apabila melihat neraka itu dari
tempat jauh, niscaya mereka mendengar bagi neraka itu keadaan marah dan
memekik.
Dan begitulah seterusnya
kepada semua yang tersebut dalam Alquran daripada uraiannya. Apabila ia
berkehendak bahwa mendatangkan keadaan harapan, maka hendaklah ia memandang
kepada sorga dan nikmatnya, pohon-pohonan dan sungai-sungainya, bidadari dan
anak-anak daranya, nikmatnya yang berkekalan dan kerajaannya yang
terus-menerus. Maka begitulah jalan berfikir, yang dengan berfikir itu, ia
mencari ilmu pengetahuan, yang membuahkan harapan hal-hal yang disukai atau
bersih dari sifat-sifat yang tercela.
Dan telah kami sebutkan
pada masing-masing dari hal ihwal ini dalam suatu kitab yang tersendiri, yang
dengan kitab itu, memperoleh pertolongan kepada penguraian fikir. Adapun dengan
menyebutkan kesemuanya, maka tidak diperoleh padanya yang lebih bermanfaat,
daripada membaca Alquran dengan memikirkan. Maka yang demikian itu mengumpulkan
bagi semua maqam dan hal keadaan. Dan padanya obat bagi semesta alam. Padanya
yang mewariskan takut dan harap, sabar dan syukur, cinta dan rindu dan hal-hal
lainnya. Padanya yang mencegah dari sifat-sifat yang tercela lainnya. Maka
seyogyalah bahwa Alquran itu dibacakan oleh hamba dan diulang-ulanginya ayat,
dimana ia memerlukan kepada berfikir padanya berkali-kali, walaupun 100 kali.
Maka membaca ayat dengan memikirkan dan paham itu
lebih baik daripada mengkhatamkannya (membaca sampai tamat), dengan
tidak ada pemahaman yang mendalam dan paham. Maka hendaklah ia berhenti
sebentar pada memperhatikannya, walaupun satu malam. Bahwa di bawah setiap
kalimat daripadanya itu ada rahasia-rahasia yang tidak terhinggakan. Dan tidak
dihentikan padanya, selain dengan kehalusan pikiran, dari kebersihan hati,
sesudah besarnya mu’amalah (perniagaan).
Seperti demikian juga
membaca hadits-hadits Rasulullah saw, bahwa telah didatangkan kepadanya kalimat
yang menghimpunkan. Dan setiap kalimat dari kalimat-kalimatnya itu lautan dari
lautan-lautan hikmah. Dan jikalau diteliti oleh orang yang berilmu, dengan
penelitian yang sebenar-benarnya, niscaya tidaklah terputus padanya pandangannya sepanjang umurnya. Dan penguraian masing-masing ayat dan
hadits itu akan panjang. Maka perhatikanlah kepada sabda Nabi saw: “Bahwa
Ruhul-qudus (Ruh-Suci) itu meludah dalam hatiku: “Cintailah siapa yang engkau
cintai, maka engkau akan berpisah dengan dia ! dan bekerjalah (beramallah) akan
apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan dibalaskan dengan amal itu ! dan
hiduplah akan apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan mati !”.
Bahwa kalimat-kalimat ini
mengumpulkan hikmah-hikmah orang-orang yang dahulu dan orang-orang yang
kemudian. Dan itu mencukupi bagi orang-orang yang menelitinya sepanjang umur.
Apabila mereka mengerti makna-maknanya dan mengerasi kepada hati mereka oleh
kerasnya keyakinan, niscaya makna-maknanya itu habislah bagi mereka. Dan yang
demikian itu mendindingkan diantara mereka dan diantara berpaling kepada dunia
dengan keseluruhan. Maka ini adalah jalan fikiran tentang ilmu pengetahuan
mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan sifat-sifat
hamba, dari segi bahwa sifat-sifat itu disukai pada sisi Allah Ta’ala atau
tidak disukai. Dan orang yang pada tingkat permulaan, seyogyalah bahwa ada ia
menghabiskan waktu pada fikiran-fikiran ini. Sehingga ia membangunkan hatinya
dengan akhlak terpuji dan maqam yang mulia. Ia membersihkan batinnya dan tampak
luarnya/dzahiriya hari segala yang tidak disukai. Dan hendaklah ia ketahui,
bahwa ini serta dianya ini yang lebih utama dari ibadah-ibadah yang lain,
tidaklah dia itu baginya tuntutan yang penghabisan. Bahkan yang disibukkan itu
terdinding dari tuntutan orang-orang siddik. Yaitu: bernikmat-nikmatan dengan
memikirkan tentang keagungan Allah Ta’ala dan keelokanNya. Dan habisnya hati,
dimana ia fana (lenyap) dari dirinya, hal-ihwalnya, maqam-maqamnya dan
sifat-sifatnya. Maka adalah ia yang menghabiskan cita-cita dengan yang
dicintai, seperti orang yang rindu, yang membuta-tuli ketika bertemu dengan
yang dicintai. Maka ia menghabiskan tenaganya untuk memandang akan hal-ihwal
yang dicintai dan sifat-sifatnya. Bahkan ia terus seperti orang yang
tercengang, yang lupa diri. Dan itulah kelezatan
yang penghabisan bagi orang-orang yang rindu.
Adapun apa yang telah kami
sebutkan, maka itu adalah memikirkan pada pembangunan batiniyah, supaya ia
patut untuk dekat dan bersambung. Maka apabila ia menyia-nyiakan semua umurnya
pada memperbaiki dirinya, maka kapankah ia bernikmat-nikmatan dengan dekat itu
? dan karena itulah, Ibrahim Al-Khawwash berkeliling di desa-desa, lalu bertemu
dengan Al-Husein bin Manshur. Al-Husain bin Manshur bertanya: “Pada apa engkau
ini ?”. Ibrahim Al-Khawwash menjawab: “Aku berkeliling di desa-desa, supaya
patut keadaanku pada tawakkal”. Lalu Al-Husain berkata: “Engkau habiskan umur
engkau pada membangun batiniyah engkau. Maka dimanakah untuk menghabiskan pada keesaan
allah ?”. Menghabiskan umur pada Yang Maha Esa, Yang Maha Benar adalah
penghabisan maksud orang-orang yang mencari dan kesudahan kenikmatan bagi
orang-orang siddik.
Adapun membersihkan diri
dari sifat-sifat yang membinasakan, maka berlaku sebagai berlakunya keluar dari
‘iddah pada perkawinan. Adapun bersifat dengan sifat-sifat yang melepaskan dan
amalan-amalan taat yang lain, maka berlaku sebagai berlakunya penyediaan wanita
dengan kelengkapannya (tempat tidur dll), membersihkan wajahnya dan menyisir
rambutnya. Supaya pantas dia dengan yang demikian, untuk menemui suaminya. Maka
jikalau ia menghabiskan semua umurnya pada melepaskan kasih-sayang dan
menghiaskan muka, niscaya adalah yang demikian itu hijab baginya daripada
menemui yang dicintai. Maka begitulah seyogyanya bahwa anda memahami jalan
agama, jikalau anda itu dari orang-orang yang suka duduk-duduk. Jikalau adalah
anda itu seperti hamba yang jahat, yang tidak bergerak, selain karena takut
dari pukulan dan mengharap pada upah, maka tidaklah anda itu menyusahkan badan
dengan amalan-amalan zahiriyah. Bahwa diantara anda dan hati itu ada hijab yang
tebal. Maka apabila anda menunaikan amal dengan benar, niscaya adalah anda dari
isi sorga. Akan tetapi, bagi duduk-duduk itu ada kaum-kaum yang lain. Apabila
anda mengetahui jalan pikiran pada ilmu mu’amalah (pengurusan), yang diantara
hamba dan Tuhannya, maka seyogyalah bahwa anda membuat yang demikian itu adat
dan kebiasaan anda pada pagi dan petang. Maka jangan anda lalai dari diri anda
dan dari sifat-sifat anda yang menjauhkan dari Allah Ta’ala dan hal-ihwal anda
yang mendekatkan kepada Allah swt. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ada bagi
setiap murid catatan harian, yang dicantumkan padanya sejumlah sifat-sifat yang
membinasakan, sejumlah sifat-sifat yang melepaskan dan sejumlah perbuatan
maksiat dan perbuatan taat. Dan ia mengemukakan dirinya kepada yang demikian itu
setiap hari. Dan mencukupilah baginya daripada sifat-sifat yang membinasakan,
dengan memperhatikan pada 10 perkara. Maka jikalau ia selamat dari 10 perkara
itu, niscaya selamat ia dari lainnya.
Yaitu: kikir, takabur,
‘ujub/mengherani diri, ria, dengki, sangat marah, rakus kepada makanan, rakus
kepada bersetubuh, cinta harta dan cinta kemegahan. Dan dari sifat-sifat yang
melepaskan itu 10 perkara, yaitu: sesal atas dosa, sabar atas bala-bencana,
ridha dengan qodo/takdir, syukur atas nikmat, sederhana dengan ketakutan dan
harapan, zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia) di dunia, ikhlas pada segala perbuatan, baik
akhlak dengan makhluk, mencintai Allah Ta’ala dan khusyu’ kepadaNya. Maka
inilah 20 perkara. 10 yang tercela dan 10 yang terpuji.
Manakala ia terpelihara
dari sifat-sifat yang tercela itu satu sifat, maka ia menggariskan atas sifat
itu dalam catatan hariannya. Ia tinggalkan berfikir pada sifat itu dan ia
bersyukur kepada Allah Ta’ala atas terpeliharanya dari sifat tersebut. Dan suci
hatinya daripadanya. Dan ia mengetahui bahwa yang demikian itu tidak akan
sempurna, selain dengan taufik dan pertolongan Allah
Ta’ala. Jikalau ia serahkan kepada dirinya, niscaya ia tidak akan
mampu mengikiskan sifat kehinaan yang paling kurang dari dirinya. Lalu ia
menghadap kepada 9 sifat yang masih tinggal. Begitulah ia berbuat, sehingga ia
menggariskan atas semua sifat-sifat itu. Demikian juga ia menuntut dirinya,
dengan bersifat dengan sifat-sifat yang melepaskan. Maka apabila ia telah
bersifat dengan salah satu daripadanya, seperti: taubat dan sesal umpamanya,
niscaya ia gariskan atasnya. Dan ia berbuat dengan yang masih tinggal. Dan ini
diperlukan oleh murid yang menyediakan diri untuk itu.
Adapun kebanyakan manusia
dari orang-orang yang terhitung dari orang-orang shalih, maka seyogyalah bahwa
mencantumkan dalam catatan harian mereka, akan perbuatan-perbuatan maksiat yang
tampak, seperti makan harta syubhat (diragukan), melepaskan lidah dengan
umpatan, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, ria, memuji diri,
berlebih-lebihan pada permusuhan dengan musuh-musuh, mewalikan wali-wali,
berminyak-minyak air dengan makhluk pada meninggalkan amar ma’ruf dan nahi
munkar (menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat yang kejahatan),
Maka kebanyakan orang yang
menghitung dirinya dari wajah orang-orang shalih, tidaklah terlepas dari
sejumlah perbuatan maksiat pada anggota-anggota tubuhnya. Dan yang tidak
dilahirkan oleh anggota tubuh dari dosa-dosa, niscaya tidak mungkin berbuat
dengan membangun hati dan mensucikannya. Bahkan setiap golongan dari manusia
itu mengerasi atas mereka oleh semacam perbuatan maksiat. Maka seyogyalah bahwa
mereka mencari maksiat itu dan berfikir padanya. Tidak pada perbuatan-perbuatan
maksiat yang mereka tersisih daripadanya. Contohnya: orang alim yang wara’.
Bahwa ia tidak terlepas pada kebiasaan keadaan, daripada melahirkan dirinya,
dengan: berilmu, mencari kemasyhuran dan tersiar suaranya kemana-mana.
Adakalanya dengan mengajar atau dengan memberi pengajaran. Dan siapa yang berbuat
demikian, niscaya ia menghadapi fitnah besar, yang tidak akan terlepas
daripadanya, selain orang-orang siddik. Maka jikalau perkataannya diterima
orang, baik kesannya dalam hati manusia, niscaya ia tidak terlepas dari
mengherani diri dan angkuh, menghias-hiasi dan berbuat-buat perkataan. Dan yang
demikian itu termasuk yang membinasakan. Kalau perkataannya ditolak, niscaya ia
tidak terlepas dari kemarahan, keras hidung dan dengki kepada orang yang
menolaknya. Dan itu lebih banyak dari kemarahannya kepada orang yang menolak
perkataan orang lain. Kadang-kadang setan menipunya dan mengatakan: “Bahwa
kemarahan engkau itu dari segi bahwa orang itu menolak kebenaran dan
menantangnya”. Jikalau ia memperoleh perbedaan, diantara perkataannya ditolak
kepadanya atau ditolak kepada orang alim yang lain, maka dia itu tertipu dan
menjadi tertawaan setan. Kemudian, manakala ada baginya kesenangan hati dengan
diterima perkataannya, merasa gembira dengan pujian, merasa besar diri dari
ditolak atau tidak dipandang, niscaya ia tidak terlepas dari memberat-beratkan
diri dan berbuat-buat untuk membaguskan kata-kata dan mengemukakannya. Karena
ingin menarik pujian. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
memberat-beratkan diri. Setan kadang-kadang menipunya dan mengatakan: “Bahwa
keinginan engkau pada membaguskan kata-kata dan memberat-beratkan diri padanya
adalah untuk mengembangkan kebenaran dan membaguskan kesannya dalam hati, untuk
meninggikan agama Allah”. Jikalau ada kegembiraannya dengan bagus kata-katanya
dan pujian manusia kepadanya itu lebih banyak daripada kegembiraannya dengan
pujian manusia kepada salah seorang dari teman-temannya, maka dia itu tertipu.
Sesungguhnya mereka itu berputar di sekeliling mencari kemegahan dan ia
menyangka bahwa tuntutannya ialah agama.
Manakala kandungan hatinya
(dlamirnya) bercampur dengan sifat-sifat tersebut, niscaya tampaklah yang
demikian atas zahiriyahnya. Sehingga adalah bagi orang yang dimuliakan dan
diyakinkan kelebihannya itu lebih banyak penghormatan. Dan adalah ia dengan pertemuannya
itu lebih bergembira dan bersenang hati daripada orang yang berlebih-lebihan
pada menolong orang lain. Walaupun orang lain itu berhak untuk ditolong.
Kadang-kadang berkesudahan
persoalan itu dengan ahli ilmu, kepada mereka itu bercemburu, sebagaimana
cemburunya kaum wanita. Maka menyusahkan kepada seseorang mereka bahwa pulang
pergi sebahagian muridnya kepada orang lain. Walaupun ia tahu, bahwa muridnya
itu mengambil manfaat dengan orang lain itu dan memperoleh faedah daripadanya
pada agamanya. Semua yang demikian itu menyaring sifat-sifat yang membinasakan,
yang tersembunyi dalam rahasia hati, yang kadang-kadang orang yang berilmu itu
menyangka terlepas daripadanya. Dan dia itu terperdaya pada yang demikian.
Sesungguhnya tersingkaplah
yang demikian itu dengan tanda-tanda ini. Cobaan bagi orang yang berilmu itu
besar. Dan orang yang berilmu itu, adakalanya dia itu yang memiliki diri dan
adakalanya dia itu yang binasa. Dan tak ada harapan baginya pada keselamatan
orang awam. Maka barangsiapa merasakan pada dirinya, dengan sifat-sifat itu,
niscaya yang wajib atasnya, ialah mengasingkan diri
(al-uzlah), menyendiri, meminta tidak dikenal dan menolak memberi
fatwa-fatwa manakala ditanyakan. Adalah masjid pada zaman para sahabat ra itu
tempat berkumpul sekumpulan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Semua mereka itu
sanggup mengeluarkan fatwa. Dan semua mereka itu menolak untuk memberikan
fatwa. Dan setiap yang dimintakan fatwanya, maka ia ingin bahwa mencukupilah
fatwa itu oleh orang lain. Maka ketika ini, seyogyalah bahwa ia menjaga diri
dari setan-setan manusia, apabila mereka mengatakan: “Jangan engkau kerjakan
ini !”. Bahwa pintu ini jikalau dibuka, niscaya terhapuslah
ilmu pengetahuan dari antara makhluk.
Dan hendaklah ia
mengatakan kepada mereka: “Bahwa agama Islam itu tidak memerlukan kepadaku.
Bahwa agama Islam itu sudah terbangun sebelum aku. Dan seperti demikian juga,
ia akan ada sesudahku. Jikalau aku mati, niscaya tidak akan roboh sendi-sendi
Islam. Bahwa agama ini tidak memerlukan kepadaku. Adapun aku maka tidaklah aku
terlepas dari perbaikan hatiku”. Adapun terbawanya yang demikian kepada
terhapusnya ilmu maka itu adalah khayal atas penghabisan bodoh. Bahwa manusia
jikalau ditahan dalam penjara, diikat dengan ikatan-ikatan dan dijanjikan
dengan neraka karena menuntut ilmu, niscaya kesukaan menjadi kepala dan
ketinggian, membawa mereka kepada menghancurkan ikatan, merobohkan dinding
benteng dan keluar daripadanya dan bekerja dengan menuntut ilmu.
Ilmu itu tidak akan
terhapus selama setan itu mengajak makhluk kepada mencintai menjadi kepala. Dan
setan itu tidak akan luntur dari pekerjaannya sampai hari kiamat. Bahkan akan
bangkit beberapa kaum untuk mengembangkan ilmu, yang tiada keuntungan bagi
mereka di akhirat, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah menguatkan agama ini dengan orang-orang yang tiada
mempunyai akhlak”. Dan sabda Nabi saw: “Bahwa
Allah menguatkan agama ini dengan orang yang zalim”. Maka tiada
seyogyalah orang berilmu itu terpedaya dengan penipuan-penipuan ini. Lalu ia menyibukkan
diri dengan bercampur-aduk dengan makhluk. Sehingga terdidiklah dalam hatinya
kecintaan kepada kemegahan, pujian dan kehormatan. Bahwa yang demikian itu
adalah bibit kemunafikan. Nabi saw bersabda: “Mencintai kemegahan dan harta itu
menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran”.
Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang buas, yang dilepaskan
dalam kandang kambing itu lebih banyak mendatangkan kerusakan padanya,
dibandingkan dengan cinta kepada kemegahan dan harta, pada agama manusia
muslim”. Tidaklah tercabut kecintaan kepada kemegahan dari hati, selain
dengan mengasingkan diri dari manusia, lari dari bercampur-baur dengan mereka
dan meninggalkan apa yang melebihkan kemegahannya dalam hati mereka. Hendaklah
fikiran orang yang berilmu itu pada meneliti yang
tersembunyi dari sifat-sifat yang tersebut itu dari hatinya. Dan pada mencari
jalan kelepasan daripadanya. Dan ini adalah tugas orang yang berilmu, yang
taqwa.
Adapun orang-orang yang
seperti kita, maka seyogyalah bahwa ada tafakkur kita itu, pada yang menguatkan
iman kita dengan hari perhitungan amal (yaumul-hisab). Karena, jikalau kita
dilihat oleh orang-orang dahulu yang shalih, niscaya mereka mengatakan dengan
pasti: “Bahwa mereka itu (kita ini) tidak beriman dengan hari perhitungan
amal”. Tidaklah amal kita itu amal orang yang
beriman dengan sorga dan neraka. Bahwa orang yang takut akan
sesuatu, niscaya ia lari daripadanya. Dan siapa yang mengharap akan sesuatu, niscaya ia mencarinya.
Dan telah kita ketahui,
bahwa lari dari neraka itu meninggalkan syubhat (diragukan) dan yang haram dan
dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Sedang kita rajin padanya. Dan
bahwa mencari sorga itu ialah dengan memperbanyak amalan taat yang
sunat-sunat. Dan kita menyingkatkan pada yang fardhu-fardhu saja
daripadanya. Maka tidaklah berhasil bagi kita dari buah ilmu, selain bahwa
orang mengikuti kita pada kelobaan kepada dunia dan kerakusan padanya. Dan
orang mengatakan, bahwa jikalau perbuatan ini tercela, niscaya adalah para
ulama itu lebih berhak dan lebih utama dengan menjauhkannya, dibandingkan
dengan kita. Maka semoga adalah kita ini seperti orang awam, apabila kita mati,
maka matilah bersama kita dosa-dosa kita”. Maka alangkah besarnya fitnah yang mendatangi
kita, jikalau kita berfikir.
Maka marilah kita bermohon
kepada Allah Ta’ala bahwa Ia mendatangkan perbaikan bagi kita dan terjadi
perbaikan dengan sebab kita. Dan dianugerahkannya kepada kita taufiq dengan
taubat, sebelum Ia mematikan kita. Bahwa ALLAH itu Maha Pemurah, Maha
Lemah-lembut kepada kita, Yang Menganugerahkan nikmat kepada kita. Maka inilah
tempat lalunya fikiran-fikiran para ulama dan orang-orang shalih dalam ilmu
mu’amalah (perniagaan). Jikalau mereka telah selesai daripadanya, niscaya
terputuslah berpalingnya mereka dari dirinya. Dan mereka mendaki daripadanya
kepada berfikir pada keagungan Allah dan kebesaranNya. Dan bernikmat-nikmatan
dengan musyahadah (penyaksian) kepadaNya dengan diri hati. Dan yang demikian itu, tiada sempurna, selain sesudah
terlepas dari semua sifat yang membinasakan. Dan bersifat dengan semua
sifat yang melepaskan. Dan kalau lahir sesuatu daripadanya sebelum yang
demikian, niscaya adalah dia orang kemasukan yang sakit, yang keruh, lagi
terputus. Dan adalah dia itu lemah, seperti kilat yang menyambar. Tiada akan
tetap dan tiada akan terus-menerus. Dan adalah dia seperti orang yang rindu,
yang berada di tempat yang sunyi dengan yang dirinduinya. Akan tetapi, dibawah
kainnya ada ular dan kalajengking, yang akan menggigitnya berkali-kali. Maka
keruhlah kepadanya kelezatan bermusyahadah (penyaksian). Tiada jalan baginya
pada kesempurnaan kenikmatan itu, selain dengan mengeluarkan kalajengking dan
ular tadi dari dalam kainnya. Sifat-sifat yang tercela itu ialah kalajengking
dan ular. Dan itulah yang menyakitkan dan yang mengganggukan. Dan dalam kubur,
bertambah sakit gigitannya di atas gigitan kalajengking dan ular. Sekedar ini
mencukupilah pada memberitahukan kepada tempat lalunya fikiran hamba tentang
sifat-sifat dirinya yang disukai dan yang tidak disukai pada sisi Tuhannya Yang
Maha Tinggi.
Bahagian kedua: Fikiran tentang keAgungan Allah, KebesaranNya
dan keMaha-BesarNya. Dan padanya ada 2 maqam:
Maqam yang tertinggi: ialah berfikir pada ZatNya,
sifat-sifatNya dan makna-makna asmaNya. Dan ini termasuk dari apa yang
dilarang, dimana dikatakan: “Berfikirlah pada makhluk Allah Ta’ala dan jangan
kamu berfikir pada Zat Allah !”. Yang demikian itu, karena akal manusia akan tercengang-cengang
padanya. Tidak akan mampu memanjangkan penglihatan kepadanya, selain
orang-orang siddik. Kemudian, mereka itu tiada akan mampu terus-menerus
memandang. Bahkan segala makhluk yang lain, keadaan penglihatan mereka, dengan
dikaitkan kepada keagungan Allah Ta’ala, adalah seperti halnya penglihatan
burung kelelawar, dengan dikaitkan kepada cahaya matahari. Maka burung
kelelawar itu tidaklah mampu sekali-kali, bahkan ia bersembunyi pada siang
hari. Ia hanya pulang-pergi pada malam hari. Ia akan melihat pada sisa cahaya
matahari apabila jatuh di atas bumi. Dan hal-ihwal orang-orang siddik adalah
seperti halnya insan, pada memandang kepada matahari. Ia mampu memandang
kepadanya dan tidak akan mampu terus-menerus memandang. Ia takut kepada penglihatannya,
jikalau ia terus-menerus memandang. Pandangannya yang menyambar kepada matahari
itu dapat mewariskan kaburnya mata dan mencerai-beraikan penglihatan. Seperti
demikian pula pandangan kepada Zat Allah Ta’ala, akan mewariskan keheranan,
kedahsyatan dan kegoncangan akal. Jadi, maka yang benar, ialah bahwa ia tidak
mendatangkan bagi tempat lalunya pikiran, mengenai Zat Allah swt dan
sifat-sifatNya. Sesungguhnya kebanyakan akal manusia tiada akan dapat
menanggungnya. Bahkan kadar yang sedikit yang ditegaskan oleh sebahagian ulama,
yaitu: bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari tempat, Maha Suci dari penjuru dan
arah, bahwa IA tidak di dalam alam dan tidak di luarnya, tidak Ia bersambung
dengan alam dan tidak bercerai daripada alam, sesungguhnya yang demikian itu
telah mengherankan akal beberapa golongan. Sehingga mereka itu menantangnya.
Karena mereka tidak mampu mendengarnya dan mengetahuinya. Bahkan telah lemah
suatu golongan daripada menanggung yang lebih kurang dari ini, ketika dikatakan
kepada mereka: “Bahwa Dia Maha Besar dan Maha Tinggi, daripada bahwa ada
bagiNya kepala, kaki, tangan, mata dan anggota badan. Bahwa ALLAH Maha Suci,
bahwa IA itu tubuh yang berbentuk, mempunyai kadar dan ukuran. Lalu mereka
menantang akan ini dan menyangka, bahwa yang demikian itu mencederakan pada
kebesaran Allah dan keagunganNya. Sehingga sebahagian orang-orang dungu dari
kalangan awam mengatakan: bahwa ini adalah sifat mentimun India, bukan sifat
Tuhan. Karena disangka oleh orang yang patut dikasihani, bahwa keagungan dan kebesaran
itu pada anggota-anggota badan. Dan ini, karena manusia tiada dikenalnya,
selain dirinya, lalu ia tidak memandang besar, selain dirinya. Maka setiap apa
yang tiada menyamainya pada sifat-sifatnya, maka ia tidak memahami akan
keagungan padanya.
Ya, tujuannya bahwa ia
mengumpamakan dirinya cantik bentuknya, yang duduk di atas tempat tidurnya. Dan
dihadapannya budak-budaknya yang mengikuti perintahnya. Maka tidak ragu lagi,
bahwa ia mengumpamakan yang demikian tentang Allah Ta’ala dan Dia itu yang Maha
Suci dari segala keserupaan, sehingga ia memahami akan kebesaranNya. Bahkan,
jikalau adalah bagi lalat itu akal dan dikatakan baginya: “Tidak adalah bagi Khaliq
(yang maha pencipta) engkau itu dua sayap, tangan dan kaki dan tidak ada
bagiNya terbang, niscaya lalat itu akan menantang yang demikian. Dan ia akan
menjawab: “Bagaimana ada bagi TUHANku itu lebih kurang daripadaku ? adakah Ia
tergunting sayap ? atau adakah Ia lumpuh, tidak sanggup untuk terbang? atau
adakah bagiku alat dan kemampuan, yang tidak ada seperti yang demikian bagiNya,
padahal Dia Tuhanku dan yang membentukkan aku ?”.
Akal kebanyakan makhluk
itu mendekati dengan akal ini. Bahwa manusia itu sangat
bodoh, zalim dan kufur. Dan karena itulah, diwahyukan oleh Allah Ta’ala
kepada sebahagian nabi-nabiNya: “Janganlah engkau
terangkan kepada hamba-hambaKu akan sifat-sifatKu. Nanti mereka itu menantang
Aku. Akan tetapi, terangkanlah kepada mereka akan Aku, menurut yang dapat
dipahami mereka”.
Tatkala adalah memandang
pada Zat Allah Ta’ala dan sifat-sifatNya itu berbahaya dari segi ini, niscaya
adab-kesopanan syara’ (agama) dan kebaikan makhluk menghendaki, bahwa tidaklah
persoalan ini dikemukakan bagi tempat lalunya fikiran. Akan tetapi, kita berpaling ke maqam kedua. Yaitu:
memandang pada Af’alNya (perbuatan-perbuatanNya), tempat lalu qadarNya (ketetapan dan taqdirNya), keajaiban
ciptaanNya dan kebagusan urusanNya pada makhlukNya. Bahwa yang demikian itu
menunjukkan atas keagunganNya, kemaha-besaranNya, kemaha-sucianNya dan
kemaha-tinggianNya. Dan menunjukkan kepada kesempurnaan ilmuNya dan hikmahNya.
Dan atas kelulusan kehendakNya dan qudrah/ kuasa Nya. Lalu ia memandang kepada
sifat-sifatNya, dari kesan-kesan sifat-sifatNya. Sesungguhnya kita tidak
sanggup memandang kepada sifat-sifatNya, sebagaimana kita sanggup memandang
kepada bumi, manakala ia telah bercahaya dengan cahaya matahari. Dan kita
mengambil dalil dengan yang demikian, atas besarnya cahaya matahari, dengan
dikaitkan kepada cahaya bulan dan bintang-bintang yang lain. Karena cahaya bumi
itu adalah dari bekas cahaya matahari. Dan memandang pada bekas itu menunjukkan
atas yang mendatangkan bekas, akan dalil apa saja. Walaupun ia tidak berdiri
pada tempat berdirinya pandangan pada diri yang mendatang kan bekas itu. Semua
yang ada di dunia ini adalah salah satu dari bekas-bekas qudrah ( kuasa ) Allah
Ta’ala, salah satu dari cahaya ZatNya. Bahkan tak ada gelap, yang lebih keras
dari tidak ada. Dan tak ada cahaya, yang lebih terang dari ada.
Adanya setiap sesuatu itu
adalah cahaya (nur) dari cahaya ZatNya. Yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Karena
keteguhan adanya segala sesuatu itu adalah dengan ZatNya, Yang Berdiri dengan
sendiriNya. Sebagaimana keteguhan cahaya tubuh adalah dengan cahaya matahari,
yang menerangkan dengan sendirinya. Manakala telah tersingkaplah sebahagian
matahari, maka telah berlaku kebiasaan dengan meletakkan tempat cuci tangan,
yang di dalamnya ada air, sehingga terlihatlah matahari di dalamnya. Dan
mungkin melihat kepadanya. Maka adalah air itu perantaraan untuk melembutkan
sedikit dari cahaya matahari. Sehingga sanggup memandang kepadanya. Maka
seperti demikian juga, perbuatan-perbuatan itu adalah perantaraan, yang dapat
disaksikan padanya, akan sifat-sifat orang yang memperbuatnya. Kita tidak akan
kalah dengan cahaya zat, sesudah kita jauh daripadanya, dengan perantaraan
perbuatan-perbuatan. Maka inilah rahasia sabdanya Nabi saw: “Berfikirlah pada
makhluk Allah dan jangan kamu berfikir pada Dzat Allah Ta’ala !”.
PENJELASAN: cara
bertafakkur/memikirkan tentang ciptaan Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa setiap apa
yang ada di alam ini, selain Allah Ta’ala, adalah perbuatan dan ciptaanNya.
Setiap atom dari atom-atom dari benda yang tidak dapat dibagikan, ‘aradl (sifat
barang yang berdiri dengan lainnya), sifat dan yang disifatkan, maka padanya
itu keajaiban-keajaiban dan keganjilan-keganjilan, yang dengan dianya itu
lahirlah hikmah Allah, qudrah/kuasa Nya, keagunganNya dan kebesaranNya. Dan
menghinggakan yang demikian itu tidak mungkin. Karena, jikalau adalah laut itu
tinta bagi yang demikian, niscaya habislah laut, sebelum habis 10 dari 10 nya.
Akan tetapi, kami akan mengisyaratkan kepada sejumlah daripadanya, supaya
adalah yang demikian itu, sebagai contoh bagi yang lain.
Maka kami katakan: Segala
yang maujud (yang ada) yang diciptakan itu terbagi kepada: yang tidak diketahui
asalnya. Maka tidak mungkin kita berfikir padanya. Berapa banyak dari yang
maujud (yang ada) itu yang tidak kita ketahui, sebagaimana difirmankan oleh
Allah Ta’ala: “Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui”. S 16 An Nahl
ayat 8. Dan firman Allah Ta’ala: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua
yang ditumbuhkan oleh bumi berpasang-pasangan dan pada diri mereka sendiri dan
apa-apa yang tiada mereka ketahui”. S 36 Yaa Siin ayat 36. Dan firman Allah
Ta’ala: “Dan Kami menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui”. S 56
Al Waaqi’ah ayat 61. Dan kepada yang diketahui asalnya dan jumlahnya. Dan tidak
diketahui penguraiannya. Maka mungkin bagi kita bahwa berfikir tentang
penguraiannya. Dan itu terbagi kepada: yang kita mengetahuinya dengan
pancaindra penglihatan dan kepada: yang tidak kita mengetahuinya dengan
penglihatan.
Adapun yang tidak kita
mengetahuinya dengan penglihatan, maka yaitu, seperti: malaikat, jin, setan,
Al-‘Arasy, Al-Kursi dll. Jalan fikiran pada hal-hal tadi, termasuk hal yang
sempit dan tidak terang. Maka marilah kita berpaling kepada yang lebih mendekatkan
kepada pemahaman. Yaitu: hal-hal yang diketahui dengan pancaindra penglihatan.
Dan yang demikian itu, ialah: langit 7, bumi dan yang diantaranya. Maka langit
itu dapat disaksikan dengan bintang-bintangnya, mataharinya, bulannya, geraknya
dan putarannya pada terbit dan terbenamnya. Dan bumi itu disaksikan dengan apa
yang ada padanya, dari bukit-bukit dan gunung-gunungnya, barang-barang
tambangnya, sungai-sungainya, laut-lautnya, hewannya dan tumbuh-tumbuhannya.
Dan yang diantara langit dan bumi itu, ialah udara, yang diketahui dengan
mendungnya, hujannya, saljunya, guruhnya, kilatnya, halilintarnya, awannya dan
angin-anginnya yang deras. Maka inilah jenis-jenis yang dapat dipersaksikan
dari langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Setiap jenis daripadanya
itu terbagi kepada bermacam-macam. Dan setiap macam itu terbagi kepada
bahagian-bahagian. Dan setiap bahagian itu bercabang kepada berjenis-jenis. Dan
tiada berkesudahan bagi bercabangnya dan terbaginya yang demikian itu pada
perbedaan sifat-sifatnya, keadaan-keadaannya dan makna-maknanya, yang terlihat
dan yang tidak terlihat. Dan semua yang demikian itu adalah jalannya fikiran.
Maka tiada suatu atompun di langit dan di bumi, dari barang beku,
tumbuh-tumbuhan, hewan, jalan peredaran bintang-bintang dan bintang, melainkan
adalah Allah yang menggerakkannya. Dan pada gerakannya itu suatu hikmah atau
dua hikmah atau 10 hikmah atau 1000 hikmah. Semua yang demikian itu menjadi
saksi bagi Allah Ta’ala, dengan Keesaan dan menunjukkan kepada keAgungan dan
keMaha-besaranNya.
Dan itu adalah tanda-tanda
yang menunjukkan kepadaNya. Dan telah datang Alquran dengan mendorong kepada
berfikir pada ayat-ayat (tanda-tanda) itu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan pergantian malam dan siang,
akan menjadi keterangan (tanda-tanda) bagi orang-orang yang mengerti”. S 3 Ali
‘Imran ayat 190. Dan sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan diantara ayat-ayat
(tanda-tanda) kebesaranNya”. S 30 Ar Ruum ayat 25. Itu adalah dari permulaan
Alquran sampai kepada akhirnya. Maka marilah kami sebutkan cara berfikir pada
sebahagian ayat-ayat itu ! Diantara tanda-tandanya itu, ialah: manusia yang
dijadikan dari nuthfah. Dan yang terdekat dari sesuatu kepada anda, ialah: anda
sendiri. Dan pada anda itu dari keajaiban-keajaiban yang menunjukkan kepada
kebesaran Allah Ta’ala, yang akan berlalulah umur daripada dapat mengetahui
1/10 dari 1/10 nya. Dan anda lalai daripadanya. Maka yang merasa aman ialah
orang yang lalai daripada dirinya dan bodoh tentang dirinya itu. Maka bagaimana
engkau mengharap akan mengetahui keadaan orang lain ? dan Allah Ta’ala menyuruh
engkau bertadabbur (memahami dengan mendalam) tentang diri engkau, dalam KitabNya yang mulia. Allah berfirman:
“Dan pada diri kamu sendiri, mengapa
tidak kamu perhatikan ?”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 21. Allah Ta’ala
menyebutkan, bahwa engkau dijadikan dari nuthfah yang kotor. Ia berfirman:
“Celakalah kiranya manusia itu ! alangkah ingkarnya (kepada Tuhan) ! Dari benda
apakah ia diciptakan ? dari setetes air mani. Tuhan menciptakannya dan
menentukan ukuran yang sepadan baginya. Kemudian itu dimudahkanNya menempuh
jalan. Kemudian ia dimatikanNya dan diletakkanNya di dalam kubur. Sesudah itu,
apabila dikehendakiNya dibangkitkanNya”. S 80 ‘Abasa ayat 17 s/d 22.
“Dan diantara ayat-ayat
(keterangan-keterangan) kebesaran Tuhan itu, diciptakanNya kamu dari tanah,
kemudian itu, lihatlah kamu telah menjadi manusia yang bertebaran”. S 30 Ar
Ruum ayat 20.
“Bukankah dia dahulunya setetes air
mani yang ditumpahkan ? kemudian itu menjadi segumpal darah dan (Tuhan)
menciptakan (bentuk)nya dan menyempurnakan kejadiannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat
37-38.
“Bukankah mereka Kami ciptakan dari
air yang kotor? lalu Kami letakkan di tempat yang aman. Sampai waktu yg
ditentukan”. S77 Al Mursalaat ayat20 s/d 22
“Apakah manusia itu tidak melihat,
bahwa Kami menjadikannya dari air mani ? tetapi lihatlah dia telah menjadi
musuh terang-terangan!”. S36 Yaa Siin ayat 77.
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia
itu dari setetes air mani yang bercampur”. S 76 Al Insaan ayat 2. Kemudian,
Allah Ta’ala menyebutkan, bagaimana Ia menjadikan air mani itu menjadi segumpal
darah. Darah segumpal menjadi daging segumpal. Dan daging segumpal menjadi
tulang.
“Dan sesungguhnya Kami telah
menjadikan manusia dari sari tanah. Kemudian, Kami jadikan –sari tanah –itu air
mani, (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh. Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah. Lalu darah segumpal itu Kami jadikan segumpal daging
dan daging segumpal itu Kami jadikan tulang-belulang”. S 23 Al Mukminuun ayat
12 s/d 14. Berulang-ulangnya menyebutkan nuthfah dalam Kitab Yang Mulia
tidaklah untuk didengarkan lafalnya dan ditinggalkan
berfikir tentang maknanya.
Maka perhatikanlah sekarang
kepada nuthfah itu ! dia adalah setetes dari air yang kotor. Jikalau
ditinggalkan sesaat untuk dipukul oleh udara, niscaya ia rusak dan membusuk.
Bagaimana dia telah dikeluarkan oleh Tuhan semesta alam dari tulang sulbi
laki-laki dan tulang at-taraib (tulang dada wanita). Bagaimana Ia mengumpulkan
diantara pria dan wanita dan Ia melemparkan kejinakan hati dan kasih sayang
dalam hati mereka. Bagaimana Ia membawa mereka dengan rantai kasih-sayang dan
nafsu syahwat kepada pergaulan. Bagaimana Ia mengeluarkan nuthfah dari sang
pria dengan gerakan bersetubuh. Bagaimana ia menarik darah haid dari dalamnya
urat-urat dan dikumpulkanNya dalam rahim wanita.
Kemudian, bagaimana Ia
menciptakan anak dari nuthfah itu dan diberiNya minuman dengan air haid dan
diberiNya makanan. Sehingga anak itu tumbuh, bertambah dan membesar. Bagaimana
Ia menjadikan nuthfah dan adalah nuthfah itu putih cemerlang, menjadi segumpal
darah yang merah. Kemudian, Ia menjadikan darah segumpal itu menjadi segumpal
daging. Kemudian, bagaimana Ia membagikan bahagian-bahagian nuthfah itu,
padahal nuthfah itu serupa dan bersamaan, kepada tulang-belulang, urat saraf,
urat-urat, tali pusar dan daging.
Kemudian, bagaimana Ia
menyusunkan dari daging, urat saraf dan urat-urat biasa menjadi anggota-anggota
badan zahiriyah. Ia memutarkan kepala. Ia mengorekkan pendengaran, penglihatan,
hidung, mulut dan lobang-lobang yang lain pada tubuh. Kemudian, Ia memanjangkan
tangan dan kaki. Ia membagikan kepala, tangan dan kaki itu dengan anak-anak
jari dan anak-anak jari kaki. Dan Ia membagikan anak-anak jari itu dengan
ujung-ujung jari. Kemudian, bagaimana Ia menyusunkan anggota-anggota badan
batiniyah, dari hati, perut besar, jantung, empedu, paru-paru, rahim, tempat
kencing dan perut panjang. Masing-masing di atas bentuk khusus, kadar khusus,
untuk pekerjaan khusus.
Kemudian, bagaimana Ia
membagikan setiap anggota badan dari anggota-anggota badan itu, dengan
bahagian-bahagian yang lain. Maka Ia menyusun kan mata dari 7 lapis. Bagi
masing-masing lapis itu mempunyai sifat khusus dan keadaan khusus. Jikalau
tidak adalah satu lapis daripadanya atau hilang suatu sifat dari
sifat-sifatnya, niscaya tidak dapatlah mata itu melihat. Jikalau kita berjalan
untuk menyifatkan apa yang ada pada masing-masing anggota badan itu, dari
keajaiban-keajaiban dan tanda-tanda kebesaran Tuhan, niscaya habislah umur kita
padanya.
Maka marilah sekarang kita
memperhatikan kepada tulang-belulang. Dan itu adalah tubuh yang keras dan kuat,
bagaimana Ia menciptakannya dari nuthfah yang lemah dan halus. Kemudian, Ia
menjadikannya keteguhan bagi badan dan tiang baginya. Kemudian, Ia
mengkadarkannya dengan kadar yang bermacam-macam & bentuk yang
bermacam-macam. Maka diantaranya ada yang kecil, besar, panjang, bundar,
berlobang, tiada berongga, melintang dan halus.
Tatkala adalah manusia itu memerlukan
kepada gerak, dengan seluruh badannya dan dengan sebahagian anggota badannya,
yang berhajat bagi pulang-pergi pada hajat keperluannya, niscaya Ia tidak
menjadikan tulang-belulang manusia itu sebatang tulang. Akan tetapi,
tulang-belulang yang banyak. Diantaranya ada pergelangan-pergelangan. Sehingga
mudahlah bergerak dengan yang demikian. Ia mengkadarkan bentuk masing-masing
daripadanya, sesuai dengan gerak yang diminta. Kemudian, Ia menyambungkan pergelangan-pergelangannya
dan Ia ikatkan sebahagian dengan sebahagian yang lain dengan tali-tali yang
ditumbuhkan Nya, dari salah satu dua tepi tulang-belulang. Dan disambungkanNya
dengan tulang-belulang yang lain, seperti ikatan baginya. Kemudian, Ia ciptakan
pada salah satu dua tepi tulang-belulang itu tambahan-tambahan yang keluar
daripadanya. Dan pada tepi yang lain lobang-lobang yang menyelam padanya,
bersesuaian bagi bentuk tambahan-tambahan itu. Supaya dapat masuk padanya dan
bersesuaian di atasnya. Maka jadilah hamba itu, kalau ia menghendaki menggerak kan
sebahagian dari badannya, niscaya tidaklah terhalang baginya. Dan jikalau tidak
adalah pergelangan-pergelangan itu, niscaya sukarlah yang demikian baginya.
Kemudian, perhatikanlah
bagaimana Ia menjadikan tulang-belulang kepala ! bagaimana Ia mengumpulkannya
dan menyusunkannya. Dan sungguh telah disusunkanNya dari 55 tulang, yang
berlainan bentuk dan rupa. Maka disusunkanNya sebahagian kepada sebahagian,
dimana bersamaan dengan dia itu bola kepala, sebagaimana engkau melihatnya.
Maka diantaranya 6, tertentu bagi tempurung kepala. 14 bagi tulang rahang atas
dan dua bagi tulang rahang bawah. Dan sisanya ialah gigi-gigi. Sebahagiannya
lebar, yang patut untuk menumbuk makanan. Dan sebahagiannya runcing, yang patut
untuk memotong. Dan itulah gigi taring, gigi geraham dan gigi depan.
Kemudian, Ia menjadikan
leher kendaraan bagi kepala. Ia menyusunkan leher itu dari 7 buku-buku tulang,
yang berlobang dan bundar. Padanya itu miring, tambah dan kurang, supaya
bersesuaian sebahagian daripadanya di atas sebahagian yang lain. Dan akan
panjanglah menyebutkan segi hikmah padanya. Kemudian, Ia menyusunkan leher atas
tulang punggung. Ia menyusunkan tulang punggung dari di bawah leher kepada
penghabisan tulang pantat, dari 24 buku-buku tulang. Ia menyusunkan tulang
pantat dari tiga bahagian yang berlainan. Maka bersambung dengan tulang pantat
dari di bawahnya itu, tulang ekor. Dan itu juga tersusun dari tiga bahagian.
Kemudian Ia sambungkan tulang-belulang punggung dengan tulang-belulang dada,
tulang bahu, tulang dua tangan, tulang bulu ari-ari, tulang pantat, tulang dua
paha dan dua betis dan anak jari dua kaki. Maka kami tiada akan memanjangkan
menyebut bilangan yang demikian itu. Dan jumlah bilangan tulang-belulang pada
tubuh manusia itu adalah 248 tulang,
selain dari tulang-tulang kecil yang di isikan dengan dia itu lobang-lobang
pergelangan. Maka perhatikanlah bagaimana Ia menciptakan semuanya itu dari
nuthfah yang lemah lagi halus! dan tidaklah dimaksudkan daripada menyebut
bilangan-bilangan tulang-belulang itu, untuk diketahui bilangannya. Maka itu
adalah ilmu yang dekat, yang diketahui oleh tabib-tabib dan orang-orang yang
ahli dengan susunan tubuh manusia. Sesungguhnya maksudnya ialah bahwa
diperhatikan daripadanya, mengenai Yang Mengaturnya dan Yang Menciptakannya,
bagaimana Ia mentakdirkan dan mengaturkannya. Ia membeda-bedakan diantara
bentuk-bentuk dan kadar-kadarnya. Ia mengkhususkannya dengan bilangan itu yang
khusus. Karena jikalau Ia menambahkan satu di atasnya, niscaya adalah yang
demikian mala-petaka atas insan, yang memerlukan kepada mencabutnya. Dan
jikalau Ia kurang akan satu daripadanya, niscaya adalah itu kekurangan yang
perlu kepada penambalannya. Maka dokter memperhatikan padanya untuk mengetahui
cara pengobatan pada menambalkannya/memperbaikinya.
Orang-orang yang bermata
hati memperhatikan padanya untuk mengambil dalil dengan yang demikian itu atas
keagungan Khaliq (yang maha pencipta) dan Pembentuknya. Maka amat berbedalah
diantara 2 pandangan itu. Kemudian, perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala
menciptakan alat-alat untuk menggerakkan tulang-belulang ! yaitu: sendi-sendi
badan. Maka Ia menciptakan pada badan insan 529
sendi. Dan sendi itu tersusun dari
daging, urat, pembalut dan tutup. Dia itu berlain-lainan kadar dan bentuk,
menurut kelainan tempatnya dan kadar keperluannya. Maka 24 sendi daripadanya
itu adalah untuk menggerak kan biji mata dan pelupuk-pelupuknya. Jikalau
berkurang satu dari jumlahnya itu, niscaya cederalah urusan mata. Begitupula
bagi setiap anggota sendi-sendi, dengan bilangan khusus dan kadar khusus.
Perkara urat saraf,
urat-urat biasa, urat darah dan urat yang mengalir padanya darah merah,
bilangannya, tempat tumbuhnya dan percabangan-percabangannya itu lebih
menakjubkan dari ini semua. Dan uraiannya akan panjang. Maka bagi pikiran,
mempunyai jalan-jalan yang akan ditempuh pada masing-masing bahagian tersebut. Kemudian,
pada masing-masing anggota tersebut. Kemudian, pada seluruh tubuh. Maka setiap
yang demikian itu adalah pandangan kepada keajaiban-keajaiban jasmani tubuh.
Dan keajaiban-keajaiban makna dan sifat yang tidak diketahui dengan pancaindra itu lebih besar. Maka perhatikanlah
sekarang kepada zahiriyah insan dan batiniyahnya, kepada badannya dan
sifat-sifatnya ! (Maka makanlah yang halal lagi baik
buat tubuh kita. pent) Maka anda akan melihat dengan yang demikian itu,
dari keajaiban-keajaiban dan ciptaan yang membawa kepada keajaiban itu. Dan
semua itu adalah ciptaan Allah pada setetas air yang kotor. Anda melihat dari
ini akan ciptaanNya pada setetas air.
Maka betapa pula
ciptaanNya pada kerajaan langit dan bintang-bintangnya ? apa hikmahNya pada
letak-letaknya, bentuk-bentuknya, kadar-kadarnya, bilangan-bilangannya,
berkumpul sebahagiannya dan bercerai sebahagiannya, berlainan bentuk-bentuknya
dan berlebih-kurang tempat terbit dan terbenamnya? Maka janganlah anda
menyangka bahwa seatom dari kerajaan langit itu terlepas dari hikmah dan hukum.
Akan tetapi, dia itu adalah ciptaan yang paling kokoh, bikinan yang paling
teguh dan yang paling mengumpulkan bagi keajaiban-keajaiban dari badan insan.
Bahkan, tiada bandingan bagi semua apa yang pada bumi, kepada
keajaiban-keajaiban langit itu.
Dan karena itulah, Allah
Ta’ala berfirman: “Kamukah yang lebih susah menciptakannya atau langit yang
dibangunkanNya ? ditinggikanNya dan diaturNya dengan sebaik-baiknya. Dan
dijadikanNya malam gelap gulita dan siang terang cuaca”. S 79 An Naazi’aat ayat
27-28-29.
Maka kembalilah sekarang
kepada nuthfah ! pertama-tama perhatikanlah keadaannya ! kedua, kepada apa ia
akan jadi ! perhatikanlah, bahwa jikalau berkumpullah jin dan manusia, untuk
menciptakan pendengaran bagi nuthfah atau penglihatan atau akal atau kemampuan
atau ilmu atau ruh. Atau mereka menciptakan padanya tulang atau urat atau urat
saraf atau kulit atau rambut. Adakah mereka itu sanggup kepada yang demikian ?
bahkan, jikalau mereka itu berkehendak untuk mengetahui peri hakikat/maknanya
dan bagaimana kejadiannya, sesudah diciptakan oleh Allah Ta’ala yang demikian,
niscaya mereka itu lemah daripadanya. Maka yang mengherankan dari engkau,
ialah: jikalau engkau memandang kepada gambar insan yang digambarkan atas
dinding tembok, yang haluslah si pelukis pada menggambarkannya. Sehingga yang
mendekati yang demikian kepada bentuk insan. Berkatalah yang memandang kepada
gambar itu: “Seolah-olah insan !”. Besarlah keherananmu kepada ciptaan si
pelukis dan kemahirannya, keringanan tangannya dan kesempurnaan cerdiknya.
Tinggilah tempat si pelukis itu pada hatimu. Sedang kamu mengetahui, bahwa
gambar itu hanya sempurna dengan cat, pena, tangan, dengan dinding, dengan
kemampuan, dengan ilmu dan dengan kehendak. Dan suatupun dari yang demikian itu
tidaklah dari perbuatan si pelukis dan ciptaannya. Akan tetapi, adalah dari
ciptaan Yang Lain. Kesudahan perbuatan si pelukis itu ialah mengumpulkan antara
cat dan dinding, atas susunan khusus. Maka banyaklah ketakjuban engkau
kepadanya dan engkau membesarkannya. Dan engkau melihat akan nuthfah yang
kotor, yang tadinya tidak ada. Maka diciptakan oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya
pada sulbi lelaki & taraib/tulang dada wanita. Kemudian, dikeluarkanNya
daripadanya dan dibentukkanNya. Maka dibaguskanNya pembentukannya. Dan
dikadarkan Nya. Maka Ia membaguskan kadar dan bentuknya. Ia membagikan
bahagian-bahagiannya yang serupa kepada bahagian yang bermacam-macam. Maka
dikokohkanNya tulang-belulang pada segala pihaknya. dibaguskanNya bentuk
anggota-anggota badannya. DihiaskanNya luar/zahir dan dalam/batinnya.
DisusunkanNya urat-urat dan saraf-sarafnya. DijadikanNya tempat lalu bagi
makanannya. Supaya adalah yang demikian itu menjadi sebab untuk terus hidupnya.
DijadikanNya mendengar, melihat, mengetahui, bertutur kata. Dan dijadikanNya
baginya itu tulang punggung menjadi sendi bagi badannya dan perut yang mengandung
segala alat-alat makanannya. Dan kepala yang mengumpulkan semua pancaindranya.
Maka dibukaNya dua mata dan disusunkanNya lapisan-lapisannya. DibaguskanNya
bentuk, warna dan keadaannya. Kemudian, dipeliharakanNya mata itu dengan
kelopak-kelopaknya, untuk menutupkannya, menjagakannya, mengkilatkannya dan
menolak kotoran-kotoran daripadanya.
Kemudian, Ia melahirkan
pada kadar kaca terupung daripadanya, akan bentuk segala langit, serta luas
tepi-tepinya dan berjauhan daerah-daerahnya. Maka ia dapat melihat kepada
semuanya itu. Kemudian, Ia mengorek dua telinganya. DisimpankanNya pada dua
telinga itu air pahit, untuk memelihara pendengarannya dan menolak
binatang-binatang kecil kepadanya. DiberiNya dinding dengan daun telinga untuk
mengumpulkan suara. Lalu ditolaknya kepada anak telinga. Dan untuk merasakan
dengan merangkaknya binatang-binatang kecil kepadanya. DijadikanNya pada
telinga itu pemencongan dan pembengkokan. Supaya banyaklah gerakan apa yang
merangkak padanya dan panjang jalannya. Lalu terbangun yang mempunyai telinga
itu dari tidur, apabila menuju binatang kecil kepadanya pada waktu tidur.
Kemudian, Ia mengangkatkan
hidung dari di tengah-tengah muka. DibaguskanNya bentuknya dan dibukakanNya dua
lobangnya. DisimpankanNya padanya pancaindra penciuman. Supaya ia mengambil
petunjuk dengan menghirup bau makanan dan apa yang dimakannya. Dan supaya ia
menghirup dengan tempat tembusnya dua lobang hidung itu akan ruh udara, untuk
makanan hatinya dan penganginan bagi kepanasan batinnya. Ia membukakan mulut
dan disimpankanNya dalam mulut itu lidah, yang menurutkan, menterjemahkan dan
yang melahirkan dari apa, yang di dalam hati. Ia menghiaskan mulut itu dengan
gigi, supaya adalah gigi itu alat bagi menumbuk, menghancurkan dan memotong.
Maka dikokohkanNya pangkal gigi-gigi itu. DitajamkanNya ujungnya, diputihkanNya
warnanya dan disusunkanNya baris-barisnya yang bersamaan ujungnya, yang teratur
susunannya. Seakan-akan gigi-gigi itu mutiara yang tersusun. Ia menciptakan dua
bibir, membaguskan warna dan bentuknya. Supaya bersesuaian dengan mulut. Lalu
menyumbatkan tempat tembusnya. Dan supaya sempurna dengan yang demikian itu
huruf-huruf percakapan. Ia menciptakan kerongkongan dan menyediakannya untuk
keluarnya suara. Ia menciptakan bagi lisan kemampuan bagi bergerak dan
pemutusan-pemutusan suara, supaya ia memutuskan suara pada makhraj (tempat
keluarnya suara) yang berlain-lainan, yang berlainan dengan yang demikian itu
huruf-huruf. Supaya meluas dengan itu jalannya penuturan dengan banyaknya.
Kemudian, Ia menciptakan
kerongkongan-kerongkongan itu berlain-lainan bentuk, tentang sempit, luas,
kasar, halus, kerasnya dan lembutnya, panjang dan pendek. Sehingga, dengan
sebab yang demikian itu, berlain-lainanlah suara. Maka tiadalah serupa dua suara.
Bahkan lahir diantara setiap dua suara itu perbedaan. Sehingga pendengar dapat
memperbedakan akan sebahagian manusia dari sebahagian yang lain, dalam gelap
dengan semata-mata suara.
Kemudian, Ia menghiaskan
kepala dengan rambut dan pelipis. Ia menghiaskan muka dengan janggut dan dua
bulu kening. Ia menghiaskan bulu kening dengan halusnya bulu dan melengkungnya
bentuk. Dan Ia menghiaskan dua mata dengan bulu mata.
Kemudian, Ia menciptakan
anggota-anggota badan yang batiniyah. DijadikanNya bagi setiap satu
daripadanya, perbuatan khusus. Maka dijadikanNya perut besar bagi menghancurkan
makanan. Jantung untuk mengobahkan makanan kepada darah. Limpa, empedu dan buah
pinggang untuk melayani jantung. Maka limpa melayaninya itu dengan menarik yang
hitam daripadanya. Dan empedu melayaninya itu dengan menarik yang kuning
daripadanya. Dan buah pinggang melayaninya itu dengan menarik yang keairan
daripadanya. Dan tempat keluar kencing itu melayani buah pinggang dengan
menerima air daripadanya. Kemudian, dikeluarkannya pada jalan lobang keluar air
kencing. Dan urat-urat itu melayani jantung pada penyampaian darah ke segala
tepi badan yang lain.
Kemudian, IA menciptakan
dua tangan dan memanjangkannya, supaya dapat mencapai maksud. Ia membentangkan
tapak tangan dan membagikan anak jari yang 5. Ia membagikan setiap anak jari
itu dengan 3 ruas. Ia meletakkan 4 anak jari pada satu pihak dan ibu jari pada
satu pihak. Supaya dapat berputar ibu jari itu kepada semua. Jikalau
berkumpullah orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian, untuk memahami
dengan kehalusan berpikir akan segi yang lain pada letaknya anak-anak jari itu,
selain apa yang telah diletakkan padanya, dari jauhnya ibu jari dari anak-anak
jari yang 4 itu dan berlebih kurangnya anak jari yang 4 ini pada panjangnya dan
tertibnya pada satu baris, niscaya mereka tidak akan mampu atas demikian.
Karena dengan tertib ini, patutlah tangan untuk menggenggam dan memberi. Maka
jikalau dihamparkanNya tangan, niscaya adalah tangan itu bagi manusia menjadi
baki, yang diletakkannya di atasnya, apa yang dikehendakinya. Dan kalau Ia
mengumpulkan anak-anak jari itu, jadilah alat baginya untuk memukul. Dan kalau
Ia menggenggamkannya, dengan genggaman yang tidak sempurna, niscaya jadilah
anak-anak jari itu alat penyenduk air baginya.
Kemudian, Ia menciptakan
kuku atas ujung anak-anak jari, untuk hiasan bagi ruas-ruasnya dan tiang
baginya dari belakangnya. Sehingga ruas-ruas itu tidak terputus. Dan untuk
mengambil dengan kuku-kuku itu barang-barang yang halus, yang tidak dapat dicapai
oleh ruas-ruas anak jari. Dan untuk ia menggaruk badannya ketika perlu. Maka
kuku yang menjadi anggota badan yang terkeji, jikalau tidak dipunyai oleh
manusia dan menampaklah tempat yang perlu digaruk, niscaya adalah manusia
tersebut yang paling lemah dan paling dla’if diantara manusia. Dan tiada
seorangpun yang tegak berdiri pada tempatnya pada menggarukkan badannya.
Kemudian, tangan itu menunjukkan tempat untuk digaruk. Lalu tangan memanjang
kepadanya, walaupun dalam tidur dan lalai, tanpa memerlukan kepada diminta.
Jikalau ia meminta tolong pada orang lain, niscaya orang itu tidak akan
memperoleh tempat untuk digaruk, selain sesudah payah yang lama.
Kemudian, IA menciptakan
ini semua dari nuthfah. Dan nuthfah itu dalam rahim wanita, dalam 3 kegelapan.
Jikalau terbukalan tutup dan tudung dan memanjanglah penglihatan kepadanya,
niscaya akan terlihat penggurisan dan penggambaran yang tampak pada nuthfah itu
sedikit demi sedikit. Dan tidaklah terlihat Penggambar dan alatNya. Maka adakah
anda melihat penggambar atau pembuat, yang tidak menyentuh alatnya dan
bikinannya dan tidak menemuinya, sedang ia berbuat padanya ? maka Maha Sucilah
Dia yang alangkah besar keadaanNya dan alangkah tampak buktiNya ! kemudian,
perhatikanlah serta sempurna qudrah ( kuasa )Nya, kepada sempurna rahmatNya !
bahwa tatkala sempitlah rahim dari anak bayi itu, tatkala ia telah membesar,
maka bagaimana Ia menunjukkan jalan kepadanya. Sehingga ia membalik dan
bergerak. Dan ia keluar dari tempat yang sempit itu. Ia mencari tempat ketembusan.
Seakan-akan ia berakal, yang melihat akan apa yang diperlukannya. Kemudian,
tatkala ia telah keluar dan memerlukan kepada makanan, maka bagaimana Ia
menunjukkannya kepada meletakkan mulutnya pada tetek ibu. Kemudian, manakala
badannya itu masih lemah, tidak sanggup kepada makanan yang kasar, maka
bagaimana Ia mengatur baginya dalam bentuk susu yang lembut. Dan dikeluarkannya
susu itu diantara kotoran yang di dalam perut dan darah, menjadi minuman yang
lezat dan murni. Bagaimana Allah menciptakan dua tetek dan dikumpulkanNya
padanya air susu. Dan ditumbuhkanNya dari dua tetek itu dua puting, yang
bersesuaian padanya mulut anak kecil itu. Kemudian, Ia bukakan pada puting
tetek itu lobang yang sempit sekali. Sehingga tidak keluar air susu
daripadanya, selain sesudah diisap, dengan sedikit demi sedikit. Bahwa anak
kecil itu tidak sanggup daripadanya, selain sedikit. Kemudian, bagaimana Ia
menunjukkan kepada anak kecil itu untuk menghisap susu. Sehingga keluarlah dari
tempat yang sempit itu, air susu yang banyak, ketika bersangatan lapar.
Kemudian, perhatikanlah
kepada kasih-sayang dan rahmatNya serta belas-kasihanNya, bagaimana Ia
memundurkan akan ciptaan gigi kepada sempurnanya 2 tahun. Karena dalam 2 tahun
itu, anak bayi itu tidak memakan makanan, selain dengan susu. Maka ia tidak
memerlukan kepada gigi. Apabila telah besar, niscaya tidak sesuai lagi susu
yang lemah itu baginya. Dan ia memerlukan kepada makanan yang kasar. Dan
makanan itu memerlukan kepada pengunyahan dan penghancuran. Maka Ia menumbuhkan
gigi bagi anak kecil itu ketika diperlukan, tidak sebelumnya dan tidak
sesudahnya.
Maka Maha Sucilah Dia,
bagaimana Ia mengeluarkan tulang-belulang yang keras itu pada gusi-gusi yang
demikian lembutnya. Kemudian, Ia curah kan kasih-sayang ke dalam hati ibu
bapak, untuk mengatur anak kecil itu, di waktu ia masih lemah untuk mengatur
dirinya sendiri. Maka jikalau tidak dikuasakan oleh Allah akan kasih-sayang ke
dalam hati kedua ibu bapak, niscaya adalah anak kecil itu makhluk yang paling
lemah untuk mengurus dirinya sendiri.
Kemudian, perhatikanlah
bagaimana Ia menganugerahkan kemampuan, pembedaan antara baik dan buruk
(at-tamyiz), akal dan petunjuk, sedikit demi sedikit. Sehingga anak kecil itu
baligh dan sempurna. Lalu ia meningkat dewasa (murahiq). Kemudian menjadi
pemuda, kemudian menjadi tua dan kemudian lanjut usia. Adakalanya ia kufur
(tidak mensyukuri nikmat) atau mensyukuri nikmat, dia berbuat taat atau
maksiat, beriman atau kafir, sebagai pembenaran bagi firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada
suatu apapun yang dapat disebut. Sesungguhnya kami menciptakan manusia itu dari
setetes air mani yang bercampur. Kami akan mengujinya, lalu dia Kami jadikan
orang yang dapat mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan
kepadanya, adakalanya dia tahu bersyukur (berterima kasih) atau tidak tahu
bersyukur”. S 76 Al Insaan ayat 1-2-3.
Maka perhatikanlah kepada
kelemah-lembutan dan kemurahan, kemudian kepada kemampuan dan hikmah, yang
mengherankan engkau oleh keajaiban-keajaiban Ketuhanan (Al-Hadlarat
Ar-Rabbaniyah). Yang paling mengherankan, ialah dari orang yang melihat tulisan
bagus atau ukiran bagus atas dinding, lalu ia memandang bagus yang demikian.
Maka diserahkannya semua cita-citanya kepada bertafakkur/berfikir pada yang
mengukir dan yang menulis. Bagaimana ia mengukir dan menulis itu ? bagaimana ia
sanggup kepada yang demikian ? senantiasalah ia mengagungkan orang itu pada
hatinya dan ia mengatakan: “Alangkah pintarnya ! alangkah sempurna ciptaannya
dan alangkah baik kemampuannya !”.
Kemudian, orang itu
memandang kepada keajaiban-keajaiban ini pada dirinya dan pada diri orang lain.
Kemudian, ia lupa kepada Yang Menciptakan dan Yang Menggambarkannya. Tidak
mengherankan kepadanya akan keagunganNya dan tidak mentercengangkannya oleh
kebesaran dan hikmahNya. Maka inilah sekelumit dari keajaiban-keajaiban badan
anda yang tidak mungkin menghinggakannya lebih jauh.
Maka itu adalah yang lebih
mendekati kepada jalan pikiran anda dan saksi yang lebih terang atas keagungan Khaliq
(yang maha pencipta) anda dan anda lalai dari yang demikian, sibuk dengan perut
dan kemaluan anda. Anda tidak mengenal dari diri anda, selain bahwa anda itu
lapar, lalu makan. Dan anda kenyang, lalu anda tidur. Anda bernafsu keinginan,
lalu bersetubuh. Anda marah, lalu berperang. Hewan seluruhnya bersekutu dengan
anda pada mengenal yang demikian. Sesungguhnya yang khusus bagi insan, yang
mendindingkan hewan daripadanya dengan mengenal Allah Ta’ala, ialah: dengan
memperhatikan pada kerajaan langit dan bumi dan keajaiban-keajaiban tepi langit
dan diri. Karena dengan itulah masuknya hamba dalam jama’ah para malaikat
al-muqarrabin dan dikumpulkan dalam jama’ah nabi-nabi dan orang-orang shiddiq,
yang didekatkan dengan Hadlarat/keajaiban Tuhan Rabbul-‘alamin. Dan tidaklah
derajat ini bagi hewan-hewan dan tidak pula bagi manusia, yang suka kepada
dunia, dengan nafsu keinginan hewan-hewan. Bahwa manusia yang demikian itu
lebih banyak jahatnya dari hewan. Karena tiada kemampuan bagi hewan atas yang
demikian.
Adapun manusia, maka Allah
telah menciptakan baginya kemampuan. Kemudian, manusia itu tidak
memanfaatkannya. Dan tidak mensyukuri nikmat Allah padanya. Maka mereka itu
adalah seperti hewan. Bahkan mereka lebih sesat jalannya lagi. Apabila anda
telah mengetahui jalan fikiran pada diri anda, maka berfikirlah mengenai bumi,
yg menjadi tetap ketetapan anda! kemudian mengenai sungai-sungainya,
laut-lautnya, gunung-gunungnya & barang-barang tambangnya. Kemudian anda
meninggilah daripada yang demikian itu ke kerajaan langit !
Adapun bumi, maka dari
bukti-buktiNya, bahwa Ia menciptakan bumi itu menjadi hamparan dan terbentang
luas. Ia menjalankan padanya jalan-jalan yang berliku-liku. Ia menjadikan bumi
untuk dipergunakan, supaya kamu berjalan pada segala penjurunya. Ia menjadikan
bumi itu tetap, tidak bergerak-gerak. Ia menciptakan gunung-gunung berlabuh
padanya sebagai tiang-tiang, yang mencegah kan nya daripada kegoyangan.
Kemudian, Ia meluaskan sayap-sayapnya, sehingga lemahlah anak Adam itu daripada
sampai ke semua sudutnya. Walaupun panjang umur mereka dan banyak mereka
berkeliling. Allah Ta’ala berfirman: “Dan langit Kami bangunkan dengan kekuatan
dan sesungguhnya kekuasaan Kami cukup luas. Dan bumi Kami hamparkan dan
alangkah baiknya Kami menghamparkan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 47-48. Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang telah
menjadikan bumi untuk kamu mudah dipergunakan, sebab itu berjalanlah kamu pada
segenap penjurunya !”. S 67 Al Mulk ayat 15. Allah Ta’ala berfirman: “Dia yang
menciptakan bumi untuk menjadi hamparan bagimu”. S 2 Al Baqarah ayat 22. Allah
Ta’ala membanyakkan dalam KitabNya yang mulia penyebutan bumi, untuk
ditafakkurkan/difikirkan tentang keajaiban-keajaibannya. Punggung bumi itu
tempat ketetapan bagi orang-orang yang masih hidup dan perutnya tempat tidur
bagi orang-orang yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah bumi itu
Kami jadikan tempat berkumpul ? orang-orang yang hidup dan yang mati”. S 77 Al
Mursalaat ayat 25-26. Maka perhatikanlah kepada bumi dan dia itu mati! apabila
diturunkan hujan kepadanya, niscaya ia bergerak dan bertambah, menghijau dan
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang ajaib-ajaib. Dan keluarlah daripadanya
bermacam-macam hewan.
Kemudian, perhatikanlah
bagaimana Ia mengokohkan sudut-sudut bumi dengan gunung-gunung yang tetap,
tinggi, tuli dan keras ! dan bagaimana Ia menyimpankan air di bawahnya. Maka Ia
memancar-mancarkan mata air dan mengalirkan sungai di depannya. Ia mengeluarkan
dari batu yang kering dan dari tanah yang kotor, air yang halus, tawar, bersih
dan nyaman rasanya. Ia jadikan dengan air itu setiap sesuatu yang hidup. Maka
Ia keluarkan dengan air itu, bermacam-macam pohon kayu dan tumbuh-tumbuhan,
dari biji-bijian, anggur, tebu, zaitun, kurma, buah delima dan banyak buah-buahan
yang tidak terhingga jumlahnya, bermacam-macam bentuk, warna, rasa, sifat dan
bau. Sebahagiannya melebihi atas sebahagian yang lain pada memakannya, yang
disirami dengan air yang satu dan keluar dari bumi yang satu. Kalau anda
mengatakan, bahwa bermacam-macamnya itu disebabkan bermacam-macam bibitnya dan
pokoknya. Maka kapankah ada pada biji itu batang kurma yang digulung dengan
tandan-tandan buah kurma? dan kapankah ada pada sebutir biji 7 tangkai, yang
pada setiap tangkai itu 100 biji ? Kemudian, perhatikanlah kepada tanah-tanah
desa dan periksalah zahirnya dan batinnya ! maka anda akan melihatnya tanah
yang serupa.
Apabila diturunkan air ke
atasnya, niscaya ia bergerak, bertambah dan menumbuhkan dari setiap pasangan
yang cantik, akan warna yang bermacam-macam dan tumbuh-tumbuhan yang serupa dan
yang tidak serupa. Bagi setiap satu itu mempunyai rasa, bau, warna dan bentuk
yang berbeda dengan yang lain. Maka perhatikanlah kepada banyaknya,
bermacam-macam jenisnya dan banyak bentuknya. Kemudian berlainan sifat-sifat
tumbuh-tumbuhan dan banyaknya kemanfaatannya. Dan bagaimana Allah Ta’ala
menyimpan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan akar-akar kayu
(al-‘aqaqir), yang bermanfaat dan ganjil. Tumbuh-tumbuhan ini menjadi makanan.
Ini menguatkan. Ini menghidupkan. Ini membunuh. Ini dingin. Ini panas. Ini
apabila sampai dalam perut, niscaya ia mencegah penyakit kuning dari urat-urat
yang paling dalam. Ini mengobah kepada penyakit kuning. Ini mencegah dahak dan
campuran dalam limpa. Ini mengobah kepada yang dua ini. Ini membersihkan darah.
Ini mengobah darah. Ini mendatangkan gembira. Ini menidurkan. Ini menguatkan.
Dan ini melemahkan. Maka tidaklah tumbuh dari bumi sehelai daun dan jerami, melainkan padanya kemanfaatan, yang tidak kuatlah
manusia untuk mengetahui hakikat/maknanya.
Masing-masing dari
tumbuh-tumbuhan ini, sang petani memerlukan pada pemeliharaannya kepada
perbuatan khusus. Batang kurma dikawinkan dengan memindahkan serbuk jantan
kepada serbuk betina (at-talqih). Batang anggur dibersihkan. Tanaman
dibersihkan rumput dan yang merusakkan. Sebahagian yang demikian itu dapat
tumbuh dengan membuat rumah bibit dalam tanah. Sebahagiannya dengan menanamkan
ranting. Dan sebahagiannya dengan digantungkan pada pohon. Jikalau kami
kehendaki menyebutkan berlainannya jenis tumbuh-tumbuhan, macam-macamnya,
kemanfaatan-kemanfaatannya, hal keadaannya dan keajaiban-keajaibannya, niscaya
habislah hari pada menyifatkan yang demikian. Maka memadailah bagi anda dari
setiap jenis itu, bahagian yang sedikit saja, yang menunjukkan kepada anda
jalan berpikir. Maka itulah keajaiban-keajaiban tumbuh-tumbuhan !
Diantara tanda-tanda
kebesaranNya, ialah benda-benda yang tersimpan di bawah gunung-gunung dan
barang tambang yang diperoleh dari bumi. Maka pada bumi itu bagian-bagian yang
berdekatan, yang bermacam-macam. Perhatikanlah kepada gunung-gunung, bagaimana
Ia mengeluarkan daripadanya benda-benda yang berharga, dari emas, perak,
permata fairuz, yakut dll. Sebahagian daripadanya dapat tercetak dengan pemukul
besi, seperti emas, perak, tembaga, timah dan besi. Dan sebahagian daripadanya
tidak dapat tercetak, seperti permata fairuz dan yakut. Dan bagaimana Allah
memberi petunjuk kepada manusia, pada mengeluarkannya dan membersihkannya,
membuat bejana-bejana, alat-alat, uang dan pakaian-pakaian daripadanya.
Kemudian, perhatikanlah
kepada barang-barang tambang di dalam bumi, seperti: minyak, belerang, minyak
dari pohon kayu dll. Dan yang paling kurang daripadanya itu, ialah: garam. Dan
tidak diperlukan kepadanya, selain untuk membaguskan makanan. Jikalau kosonglah
suatu negeri daripadanya, niscaya segeralah datang kebinasaan kepadanya. Maka
perhatikanlah kepada rahmat Allah Ta’ala, bagaimana Ia menciptakan sebahagian
bumi yang kosong dengan bendanya, dimana berkumpul padanya air yang bersih dari
hujan. Lalu air itu berobah menjadi garam yang asin, yang dimasak, yang tidak
mungkin diperoleh sekalipun daripadanya. Supaya adalah yang demikian itu
membaguskan makanan anda, apabila anda memakannya. Lalu sedaplah kehidupan
anda. Tidaklah dari benda beku, hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan ada
padanya hikmah dan hikmah-hikmah dari jenis ini. Tiadalah suatupun daripadanya
diciptakan dengan sia-sia, main-main dan senda-gurau. Akan tetapi, semua itu
diciptakan dengan benar, sebagaimana yang seyogyanya. Dan diatas cara yang
seyogyanya. Dan sebagaimana yang layak dengan keagungan, kemurahan dan
kelemah-lembutanNya.
Dan karena itulah, Allah
Ta’ala berfirman: “Dan Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara
keduanya bukanlah untuk main-main. Dan keduanya tidaklah Kami ciptakan,
melainkan dengan yang benar”. S 44 Ad Dukhaan ayat 28-29. Diantara tanda-tanda
kebesaranNya, ialah segala jenis hewan dan terbaginya kepada yang terbang dan
yang berjalan. Dan terbaginya yang berjalan, kepada yang berjalan dengan 2
kaki, dengan 4 kaki, dengan 10 dan 100 kaki, sebagaimana yang dapat disaksikan
pada sebahagian binatang kecil-kecil. Kemudian, terbaginya tentang kemanfaatan,
rupa, bentuk, perangai dan tabiat. Maka perhatikanlah kepada burung-burung yang
terbang di udara, kepada binatang-binatang liar di daratan dan
binatang-binatang ternak yang berpunya. Anda akan melihat padanya dari
keajaiban-keajaiban, yang tidak diragukan padanya, tentang keagungan Khaliq
(yang maha pencipta)nya, qudrah ( kuasa ) yang Mentakdirkannya dan hikmah yang
Membentukkannya. Bagaimana mungkin akan diselidiki yang demikian ? bahkan,
jikalau kita menghendaki akan menyebutkan keajaiban-keajaiban kutu busuk atau
semut atau lebah atau lawa-lawa dan itu adalah termasuk binatang yang paling
kecil, tentang membangun rumahnya, tentang mengumpulkan makanannya, tentang
kejinakannya bagi jodohnya, tentang penyimpanan bagi dirinya, tentang
kepintarannya pada ukuran rumahnya dan tentang memperoleh petunjuk kepada
keperluan-keperluan, niscaya kita tidak akan mampu kepada yang demikian. Anda
melihat laba laba itu membangun rumahnya di tepi sungai. Maka pertama-tama
dicarinya dua tempat yang berdekatan. Diantaranya itu renggang sekadar sehasta
atau kurang daripada sehasta. Sehingga memungkinkannya untuk menyambung dengan
benang jaringnya diantara dua tepinya itu. Kemudian, ia mulai dan mengeluarkan
air liurnya, yang itulah benang jaringnya, ke atas suatu tepi, supaya melekat.
Kemudian, ia berlari ke tepi yang lain. Maka dikokohkannya pinggir yang lain
itu dari benang jaringnya. Kemudian, seperti yang demikian juga, kali kedua dan
kali ketiga. Dan dibuatkannya kejauhan diantara keduanya itu bersesuaian dengan
kesesuaian ukuran. Sehingga apabila ia telah mengokohkan ikatan-ikatan pembarut
dan diaturnya benang-benang jaringnya seperti benang bujur tenunan kain,
niscaya lalu ia membuat benang lintangnya. Lalu ia meletakkan benang lintang
atas benang bujur. Dan ditambahkannya sebahagiannya kepada sebahagian. Dan
dikokohkannya akan ikatan atas tempat bertemunya benang lintang dengan benang
bujur. Dan dijaganya pada semua yang demikian itu akan kesesuaian ukuran. Dan
dijadikannya yang demikian itu jaringan yang jatuh ke dalamnya kenyamuk dan
lalat. Dan lawa-lawa itu duduk pada sudut, mengintip jatuhnya buruan dalam
jaring. Maka apabila telah jatuh buruan, lalu bersegeralah ia mengambil dan
memakannya. Jikalau ia lemah dari berburu seperti yang demikian, niscaya ia
mencari bagi dirinya, akan suatu sudut dari dinding. Dan ia sambung diantara
dua tepi dinding itu dengan benang jaringan. Kemudian ia menyangkutkan dirinya
padanya dengan benang jaringnya yang lain. Dan tetaplah dia menunduk kepala di
udara menunggu lalat terbang. Apabila ada lalat terbang, niscaya ia melemparkan
dirinya kepadanya. Lalu diambilnya dan dibalutnya benang jaringnya atas dua
kakinya dan dikuatkannya. Kemudian dimakannya. Dan tidaklah dari binatang kecil
dan binatang besar, melainkan ada padanya dari keajaiban-keajaiban yang tidak
terhingga banyaknya.
Adakah anda melihat, bahwa
lawa-lawa itu mempelajari perusahaan ini dari dirinya sendiri ? atau menjadi
ada dengan dirinya sendiri ? atau diadakan oleh manusia atau diajarkan oleh
manusia ? atau tidak ada baginya yang menunjuk jalan dan yang mengajar ? adakah
disangkakan oleh orang yang bermata hati, tentang lawa-lawa itu binatang yang
patut dikasihani, yang lemah, yang tidak bertenaga, bahkan gajah yang besar
tubuhnya, yang terang kuatnya, yang lemah dari urusan dirinya, maka
bagaimanakah binatang yang lemah ini ? apakah tidak lawa-lawa itu naik saksi
dengan bentuknya, rupanya, geraknya, petunjuknya dan keajaiban-keajaiban
ciptaannya bagi Yang Menjadikannya, Yang Maha Bijaksana & Yang Maha
Pencipta, Yang Maha Kuasa, lagi Yang Maha Mengetahui? maka orang yang bermata
hati itu melihat pada hewan yang kecil ini, dari keagungan Khaliq (yang maha
pencipta) Yang Maha Pengatur, kemuliaan dan kesempurnaan qudrah ( kuasa )Nya
dan hikmahNya, yang mengherankan hati dan akal padanya. Lebih-lebih dari
binatang-binatang yang lain.
Bab ini juga tiada hinggaan
baginya. Bahwa hewan-hewan itu, bentuknya, perangainya dan tabiatnya itu tiada
terhingga banyaknya. Dan sesungguh nya hilanglah ketakjuban hati daripadanya
itu, karena jinaknya hati, disebabkan banyaknya yang dilihat. Ya, apabila ia
melihat seekor hewan yang ganjil, walaupun ulat, niscaya membarulah
ketakjubannya. Dan ia mengucapkan: “Subhanallah ! alangkah menakjubkan!” Dan
manusia itu sendiri adalah hewan yang paling menakjubkan. Dan tidaklah manusia
itu merasa takjub dari dirinya. Akan tetapi, jikalau manusia itu memandang
kepada hewan yang hatinya jinak kepadanya dan ia memperhatikan kepada bentuknya
dan rupanya, kemudian kepada manfaat-manfaatnya dan faedah-faedahnya, dari
kulitnya, wolnya, bulunya dan rambutnya, yang diciptakan oleh Allah menjadi
pakaian bagi makhlukNya dan tempat kediaman bagi mereka pada bepergian dan
tempat menetap, bejana air bagi minuman mereka, karung bagi makanan mereka dan
pemeliharaan bagi tapak-kaki mereka. Ia menjadikan susunya dan dagingnya
makanan bagi mereka.
Kemudian, Ia jadikan
sebahagiannya hiasan bagi kendaraan. Dan sebahagiannya pembawa beban yang
berat, menempuh desa-desa dan tempat yang ditempuh yang jauh. Sesungguhnya
sangat banyaklah orang yang memandang akan takjub dari hikmah Khaliq (Yang Maha
Pencipta) dan Pembentuknya. Sesungguhnya, tiada Ia menciptakannya, selain
dengan Ilmu yang meliputi dengan semua kemanfaatannya, yang mendahului atas
ciptaanNya akan semua yang tersebut itu. Maka Maha Sucilah Tuhan, yang semua
urusan tersingkap pada IlmuNya, tanpa memikirkan, tanpa memperhatikan dan
memahami dengan mendalam, tanpa meminta pertolongan pada menteri atau
penasehat. Maka Dia itu Maha Tahu, Maha Pandai, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.
DikeluarkanNya dengan yang paling sedikit dari yang sedikit dari yang diciptakanNya,
akan benarnya kesaksian dari hati orang-orang yang berilmu mengenal Allah
Ta’ala (al-‘arifin) dengan kemaha-esaanNya. Maka tiadalah bagi makhluk, selain
yakin dengan keperkasaanNya, KemampuanNya dan pengakuan dengan ketuhananNya.
Berikrar (pengakuan dengan lisan) dengan kelemahan daripada mengetahui
keagungan dan kebesaranNya.
Maka siapakah yang dapat
menghinggakan pujian kepadaNya ? akan tetapi, Dia, sebagaimana Ia memujikan
kepada diriNya sendiri. Sesungguhnya, penghabisan ilmu mengenal Allah Ta’ala
kita, ialah pengakuan dengan kelemahan daripada
mengenalNya. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala bahwa Ia
menganugerahkan kepada kita dengan kemurahanNya, akan hidayahNya dengan
kenikmatan dan kasih-sayangNya. Dari tanda-tanda kebesaranNya, ialah lautan
yang dalam yang melingkungi bagi tepi-tepi bumi, dimana lautan itu adalah
kepingan dari lautan besar, yang meliputi dengan seluruh bumi. Sehingga, semua
yang tersingkap dari desa-desa dan gunung-gunung dari air, dengan dikaitkan
kepada air, adalah seperti pulau kecil dalam lautan besar dan sisanya bumi itu
tertutup dengan air. Nabi saw bersabda: “Bumi pada laut itu, adalah seperti
kandang pada bumi”. Bandingkanlah kandang itu kepada seluruh bumi ! Ketahuilah,
bahwa bumi, dengan dikaitkan kepada laut, adalah sebanding. Dan telah
disaksikan oleh keajaiban-keajaiban bumi dan yang di dalamnya.
Maka perhatikanlah
sekarang akan keajaiban-keajaiban laut ! sesungguhnya keajaiban-keajaiban yang
dalam lautan itu, dari hewan dan benda-benda adalah berlipat-ganda dari
keajaiban-keajaiban yang anda saksikan di atas permukaan bumi. Sebagaimana
luasnya itu berlipat-ganda dari luasnya bumi. Karena luasnya lautan, yang ada
padanya dari hewan-hewan besar, akan apa yang anda melihat kenyataannya dalam
laut itu, lalu anda menyangka, bahwa itu pulau. Lalu turunlah
penumpang-penumpang padanya. Kadang-kadang anda merasakan dengan api, apabila
ia menyala, lalu ia bergerak. Dan diketahui, bahwa itu hewan. Dan tiada satu
jenispun dari jenis-jenis hewan darat, dari kuda atau burung atau lembu atau
insan, melainkan dalam lautpun ada yang seperti itu dan berlipat-ganda
daripadanya. Dan dalam laut itu berjenis-jenis, yang tiada diketahui
bandingannya di daratan. Dan telah aku sebutkan sifat-sifatnya dalam buku yang
berjilid-jilid. Dan telah dikumpulkan oleh kaum-kaum yang bersungguh-sungguh
menempuh lautan dan mengumpulkan keajaiban-keajaibannya. Kemudian,
perhatikanlah, bagaimana Allah menciptakan intan dan rumahnya dalam keongnya di
bawah air ! dan perhatikanlah bagaimana Ia menumbuhkan permata dari batu yang
sangat keras di bawah air. Sesungguhnya permata itu adalah tumbuh-tumbuhan atas
bentuk pohon kayu yang tumbuh dari batu.
Kemudian, perhatikanlah
yang lain dari itu, dari bau-bauan anbar (minyak wangi dari dasar laut) dan
segala jenis yang berharga yang dilemparkan oleh laut dan dikeluarkan
daripadanya. Kemudian, perhatikanlah kepada keajaiban-keajaiban kapal,
bagaimana Allah menahankannya di atas permukaan air. Dan menjalankan dalam
lautan itu, saudagar-saudagar, pencari-pencari harta dll. Ia manjadikan bagi
mereka bahtera, untuk membawa barang-barang berat mereka. Kemudian Ia
melepaskan angin untuk menjalankan kapal-kapal. Kemudian, Ia memperkenalkan
kepada nelayan-nelayan akan tempat kedatangan angin, tempat berhembusnya dan
waktu-waktunya. Secara kesimpulannya, tiada akan dapat diselidiki
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah tentang lautan dalam berjilid-jilid buku. Dan
yang lebih menakjubkan dari yang demikian seluruhnya, ialah apa yang lebih
tampak dari setiap yang tampak. Yaitu: cara tetesan air. Dan air itu tubuh yang
halus, lemah-lembut, cair, bening, yang bersambung bagian-bagiannya.
Seakan-akan ia satu barang, yang lembut susunannya, yang cepat menerima untuk
dipotong-potong. Seakan-akan ia berpisah, yang mudah untuk dipergunakan, yang
menerima untuk bercerai dan bersambung. Dengan air itu hidup setiap apa yang
ada di atas permukaan bumi, dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Maka jikalau seorang hamba
memerlukan kepada seteguk air, lalu ia dihalangi dari yang demikian, niscaya ia
akan memberikan semua gudang-gudang bumi dan kepunyaan nya di dunia, untuk
memperoleh seteguk air tadi, jikalau ia memiliki yang demikian. Jikalau ia
telah meminum seteguk air itu, lalu ia dihalangi daripada mengeluarkannya,
niscaya ia akan memberikan semua gudang-gudang bumi dan kepunyaannya di dunia,
pada mengeluarkan air yang seteguk itu. Maka yang mengherankan dari anak Adam
(insan) ini, ialah bagaimana ia membesarkan dinar, dirham dan benda-benda yang
berharga dan ia lupa dari nikmat Allah pada seteguk air itu, apabila ia
memerlukan kepada meminumnya atau mengosongkan badan daripadanya, dengan
memberikan semua dunia, dengan apa yang ada padanya. Maka perhatikanlah tentang
keajaiban-keajaiban air dan sungai, sumur dan laut ! pada semuanya itu tempat
yang luas dan jalan bagi pikiran. Semua yang demikian itu saksi-saksi yang
terang, tanda-tanda yang bantu-membantukan, yang menuturkan dengan lidah
keadaan, yang menjelas kan dari keagungan Penciptanya, yang melahirkan dari
kesempurnaan hikmahNya padanya, yang menyerukan segala yang mempunyai hati
(berakal) dengan lagunya masing-masing, yang mengatakan bagi setiap yang
berakal: “Apakah engkau tidak melihat aku, melihat rupaku, susunanku,
sifat-sifatku, kemanfaatan-kemanfaatanku, perbedaan hal keadaanku dan banyaknya
faedah-faedahku ? adakah engkau menyangka, bahwa aku mengadakan diriku ? atau
aku diciptakan oleh seseorang dari jenisku ? atau tidakkah engkau malu bahwa
engkau memandang pada kata-kata yang tertulis dari 3 huruf, lalu engkau putuskan,
bahwa kalimat itu dari ciptaan anak Adam (manusia) yang berilmu, yang berkuasa,
yang berkehendak, yang berkata-kata ? kemudian, engkau memandang kepada
keajaiban-keajaiban tulisan ketuhanan, yang tertulis di atas halaman-halaman
wajahku, dengan pena (qalam) ketuhanan, yang tidak diketahui oleh penglihatan
akan zatnya, geraknya dan sambungannya dengan tempat tulisan. Kemudian terlepas
hati engkau dari keagungan Penciptanya ?
Nuthfah (air hanyir
setetes) itu mengatakan kepada yang mempunyai pendengaran dan hati, tidak
kepada mereka yang terasing dari pendengaran: “Engkau mendugakan aku dalam
kegelapan perut, yang terbenam dalam darah haid, pada waktu yang lahir lah
penggurisan dan pembentukan atas mukaku. Lalu Yang Mengukirkan biji mataku,
pelupuk-pelupuk mataku, dahiku, pipiku dan bibirku. Lalu engkau melihat
pembengkokan tampak sedikit demi sedikit, secara berangsur-angsur. Dan engkau
tidak melihat di dalam nuhfah itu yang mengikir dan tidak di luarnya. Tidak di
dalam rahim ibu dan tidak di luarnya. Dan tiada berita daripadanya bagi ibu,
bagi bapak, bagi nuthfah dan bagi rahim. Apa tidakkah Pengukir ini yang lebih
menakjubkan dari yang engkau saksikan, yang mengukirkan dengan pena akan rupa
yang mengherankan, yang kalau engkau memandang kepadanya sekali atau 2 kali,
niscaya engkau mengetahuinya ? maka sanggupkah engkau mempelajari jenis ini
dari lukisan dan penggambaran yang melengkapi zahiriyah nuthfah, batiniyahnya
dan semua bahagian-bahagiannya, tanpa penyentuhan bagi nuthfah, tanpa
penyambungan dengan nuthfah, tidak dari dalam dan tidak dari luar.
Maka jikalau engkau tidak
merasakan takjub dari keajaiban-keajaiban ini dan tidak engkau memahami dengan
dia itu, bahwa Yang Menggambarkan, Yang Mengukir dan Yang Mentakdirkan, tiada
bandingan bagiNya. Dan tidaklah pengukir dan penggambar itu menyamaiNya.
Sebagaimana ukiran dan ciptaan Nya tidak akan menyamainya oleh ukiran dan
ciptaan manapun.
Maka diantara dua pembuat
itu dari perbedaan dan perjauhan, akan apa yang diantara dua perbuatan. Maka
jikalau engkau tidak merasa takjub dari ini, maka merasa takjublah dari
ketidak-adanya ketakjuban engkau. Maka itu adalah yang lebih menakjubkan dari
setiap ketakjuban. Maka yang membutakan mata hati engkau serta jelasnya ini dan
yang mencegahkan engkau daripada penerangan serta terangnya ini, adalah patut
bahwa engkau merasa takjub daripadanya.
Maka Maha Sucilah Yang
Memberi petunjuk dan Yang Menyesatkan, Yang Membelokkan dan Yang Meluruskan,
Yang Mencelakakan dan Yang Membahagiakan. Dan Yang Membukakan mata hati kekasih-kekasihNya,
lalu menyaksikanNya pada semua atom alam dan bahagian-bahagiannya. Ia
membutakan hati musuh-musuhNya dan didindingkanNya dari mereka dengan kemuliaan
dan ketinggianNya.
Maka bagiNya ciptaan dan
urusan, penganugerahan nikmat dan kelebihan, kelemah-lembutan dan keperkasaan.
Tiada akan menolak bagi hukumNya dan tiada yang mendatangkan akibat bagi
qodoNya/TakdirNya. Diantara tanda-tanda kebesaranNya, ialah udara yang halus,
yang terkurung diantara ketembusan langit dan kebungkukan bumi. Tiada diketahui
dengan pancaindra sentuhan ketika berhembusnya angin, akan tubuhnya udara. Dan
tiada terlihat dengan mata akan dirinya udara. Jumlahnya adalah seperti satu
lautan. Burung-burung itu tergantung di udara langit dan lomba-berlomba.
Berenang di udara dengan sayap-sayapnya, sebagaimana binatang laut berenang
dalam air. Bergoncanglah tepi-tepinya dan ombak-ombaknya ketika berhembus
angin, sebagaimana bergoncang nya ombak-ombak laut. Maka apabila Allah
menggerakkan udara dan menjadikannya angin yang berhembus, maka jikalau
dikehendakiNya, niscaya dijadikan nya manusia di hadapan rahmatNya, sebagaimana
Allah swt berfirman: “Dan Kami tiupkan angin untuk menyuburkan”. S 15 Al Hijr ayat 22. Maka disambungkanNya dengan
gerakanNya ruh udara itu kepada hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Lalu semuanya
itu bersedia untuk semakin besar. Dan kalau dikehendakiNya, niscaya
dijadikanNya azab atas orang-orang yang berbuat maksiat dari makhlukNya,
sebagaimana Ia berfirman: “Sesungguhnya Kami kirimkan kepada mereka angin yang
amat kencang, di hari sial yang terus-menerus. Yang menumbangkan manusia,
seolah-olah mereka sebagai pohon kurma yang terbongkar”. S 54 Al Qamar (19-20).
Kemudian, perhatikanlah
kepada kelembutan udara, kemudian kepada kerasnya dan kuatnya manakala tertekan
dalam air. Maka kulit yang dibuat untuk tempat air, lalu dimasukkan angin ke
dalamnya, yang dibawa oleh seorang yang kuat untuk dibenamkannya ke dalam air,
niscaya orang itu akan lemah daripadanya. Dan besi yang keras yang anda
letakkan di permukaan air, maka lalu terus masuk ke dalamnya. Maka
perhatikanlah bagaimana udara itu bergulung dari air, dengan kuatnya udara itu,
serta halusnya air. Dan dengan hikmah ini, Allah Ta’ala menahan kapal-kapal di
permukaan air. Dan seperti demikian juga setiap yang berongga, yang di dalamnya
angin, tiada akan menyelam dalam air. Karena udara itu bergulung, daripada
menyelam ke dalam air. Maka ia tidak bercerai dari dataran yang masuk dari
kapal. Lalu tetaplah kapal yang berat itu, serta kuatnya dan kerasnya tergantung
pada udara yang lembut. Seperti orang yang jatuh dalam sumur, lalu bergantung
pada ujung kain seorang laki-laki yang kuat, yang mencegah dari kejatuhan dalam
sumur. Maka kapal itu dengan bawahnya yang dalam bergantung dengan ujung-ujung
kain udara yang kuat. Sehingga kapal itu tercegah dari kejatuhan dan menyelam
dalam air.
Maka Maha Sucilah Allah
yang menggantungkan kendaraan yang berat dalam udara yang lembut, tanpa ada
gantungan yang terlihat dan ikatan yang diteguhkan. Kemudian, perhatikanlah
kepada keajaiban-keajaiban udara dan yang lahir padanya, dari mendung, petir,
kilat, hujan, salju, bintang dan halilintar. Itu semuanya adalah
keajaiban-keajaiban yang terdapat di antara langit dan bumi. Dan Alquran telah
mengisyaratkan kepada sejumlah yang demikian pada firmanNya: “Tidaklah Kami
menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya itu untuk sekedar
main-main saja”. S 44 Ad Dukhaan ayat 38. Dan yang diterangkan itu adalah yang
diantara langit dan bumi. Dan Allah mengisyaratkan kepada penguraiannya pada
banyak tempat, dimana Ia berfirman: “Dan awan yang disuruh bekerja diantara
langit dan bumi”. S 2 Al Baqarah ayat 164. Dan di mana Ia membentangkan petir,
kilat, awan dan hujan. Maka apabila tidak ada bagi engkau keberuntungan dari
jumlah ini, selain bahwa engkau melihat hujan dengan mata engkau dan engkau
mendengar petir dengan telinga engkau, maka hewanpun bersekutu dengan engkau
pada mengenal ini.
Maka tingkatkanlah dari
lembah alam kehewanan ke alam malaikat yang tertinggi. Maka sesungguhnya engkau
telah membukakan kedua mata engkau. Lalu engkau memperoleh zahiriyahnya. Maka
pejamkanlah mata zahiriyah engkau dan perhatikanlah dengan mata hati batiniyah
engkau, supaya engkau melihat keajaiban-keajaiban batiniyah nya dan
keganjilan-keganjilan rahasianya. Ini juga suatu pintu, yang panjanglah
pemikiran padanya.
Karena tiada harapan pada
penyelidikannya yang lebih mendalam. Maka perhatikanlah akan awan yang tebal,
yang gelap ! bagaimana engkau melihatnya, yang berkumpul pada udara yang
bersih, yang tiada keruh padanya. Bagaimana ia diciptakan oleh Allah Ta’ala,
apabila Ia menghendaki dan kapan Ia menghendaki. Dan awan itu serta
kelembutannya membawa air yang berat dan yang memegangnya dalam udara langit,
sampai diizinkan oleh Allah Ta’ala pada menurunkan air dan memotongkan
tetes-tetes air. Setiap tetes itu menurut kadar yang dikehendaki oleh Allah
Ta’ala dan di atas bentuk yang dikehendaki Nya. Maka engkau melihat awan itu
menyiramkan air ke atas bumi dan mengirimkannya tetesan-tetesan yang bercerai-berai,
yang tidak diketahui oleh suatu tetesan daripadanya akan suatu tetesan yang
lain. Dan tiada bersambung yang satu dengan lainnya. Akan tetapi, masing-masing
turun pada jalan yang digariskan baginya, yang tidak berpaling daripadanya.
Maka tidak terdahululah yang kemudian dan tidak terkemudian lah yang dahulu.
Sehingga mengenailah bumi setetes demi setetes. Maka jikalau berkumpullah orang
yang dahulu dan orang yang kemudian, untuk menciptakan satu tetes daripada nya
atau untuk mengetahui bilangan yang diturunkan daripadanya pada suatu negeri
atau suatu desa, niscaya lemahlah perhitungan jin dan insan daripada yang
demikian. Maka tiada yang mengetahui bilangannya, selain Yang Menjadikannya.
Kemudian, setiap tetes
daripadanya itu bagi setiap bahagian dari bumi. Dan bagi setiap hewan
daripadanya, dari burung, binatang liar, semua binatang kecil-kecil dan
binatang ternak itu tertulis atas tetesan itu, dengan tulisan ketuhanan, yang
tidak diketahui dengan penglihatan zahir, bahwa tetesan itu rezeki ulat anu,
yang berada pada jurusan gunung anu, yang sampai kepadanya ketika hausnya pada
waktu anu. Ini bersama apa yang terjadinya air es yang keras dari air yang
lembut dan pada berguguran salju seperti kapas yang mengaca, adalah termasuk
dari keajaiban-keajaiban yang tidak terhingga banyaknya. Setiap yang demikian
itu adalah kurnia dari Tuhan Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Kuasa dan paksaan
dari Tuhan Yang Maha pencipta dan Yang Mahapemaksa. Tiada bagi seorangpun dari
makhluk bersekutu padanya dan turut campur. Bahkan tiadalah bagi yang beriman
dari makhlukNya, selain ketenangan dan ketundukan di bawah keagungan dan
kebesaranNya. Dan tiadalah bagi orang-orang yang buta, yang ingkar, selain
kebodohan dengan caranya. Dan terkutuklah segala sangka waham dengan menyebutkan
sebab dan alasannya.
Maka berkata orang yang
bodoh, yang tertipu: “Sesungguhnya air itu turun, karena dia itu berat menurut
sifatnya. Dan ini adalah sebab turunnya. Orang yang bodoh itu menyangka bahwa
ini adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang tersingkap baginya dan ia bergembira
dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut. Jikalau ditanyakan kepadanya: apa
arti tabiat (sifat) itu ? siapakah yang menciptakannya ? siapakah yang
menciptakan air yang sifatnya itu berat ? siapakah yang menaikkan air yang
dituangkan di bawah pohon kayu, ke atas ranting-ranting, padahal air itu berat
menurut sifatnya ? maka bagaimana ia turun ke bawah, kemudian meninggi ke atas
dalam rongga pohonan kayu itu sedikit demi sedikit, dimana tidak terlihat dan
tidak dipersaksikan, sehingga ia bertebaran pada semua pinggir-pinggir daun ?
lalu memberi makan kepada setiap bahagian dari setiap daun. Dan mengalir
kepadanya dalam rongga-rongga urat yang kecil sebagai rambut, yang
menghilangkan haus urat daun, yang menjadi asal daun itu. Kemudian
berkembanglah dari urat yang besar, yang memanjang sepanjang daun itu urat-urat
kecil. Maka seakan-akan yang besar itu sungai. Dan yang bercabang daripadanya,
adalah sungai-sungai kecil. Kemudian, bercabang dari sungai-sungai kecil itu
tempat mengalir yang lebih kecil daripadanya.
Kemudian, berkembang
daripadanya, benang-benang kelawa-lawaan yang halus, yang keluar dari dapat
diketahui oleh penglihatan. Sehingga ia menghampar pada semua lintangan daun.
Lalu sampailah air pada rongga-gongganya ke bahagian-bahagian daun yang lain,
untuk diberinya makan, ditambahkan nya besarnya, dihiaskannya dan diteruskannya
kelembutan dan kehijauannya. Dan seperti demikian juga pada bahagian-bahagian
buah-buahan yang lain. Maka jikalau adalah air itu bergerak menurut sifatnya ke
bawah, maka bagaimana ia dapat bergerak ke atas ? kalau adalah yang demikian
itu dengan tarikan penarik, maka apakah yang memaksakan penarik itu ? kalau ada
yang demikian itu berkesudahan pada akhirnya kepada Pencipta langit dan bumi dan
Yang Maha Perkasa di alamul-mulki dan malakut, maka mengapakah tidak dialihkan
kepadaNya dari permulaan urusan ? maka kesudahan
orang yang bodoh itu adalah permulaan orang yang berakal.
Diantara tanda-tanda
kebesaranNya, ialah kerajaan langit dan bumi dan yang di dalamnya, dari
bintang-bintang. Itulah urusan seluruhnya. Siapa yang mengetahui seluruhnya dan
luput baginya segala keajaiban langit, maka pada hakikat/maknanya telah luput
baginya semua. Bumi, laut, udara dan setiap tubuh (benda yang bertubuh) selain
langit, dengan dikaitkan kepada langit itu adalah setetes dalam lautan dan
lebih kecil lagi.
Kemudian, perhatikanlah, bagaimana
Allah mengagungkan urusan langit dan bintang-bintang dalam KitabNya ! maka
tiada satu surahpun (dalam Alquran), melainkan melengkapi atas pengagungannya
pada beberapa tempat. Berapa banyak dari sumpah dalam Alquran dengan langit dan
bintang-bintang itu, seperti firmanNya Allah Ta’ala:
“Demi langit yang penuh
bintang-bintang”. S 85 Al Buruuj ayat 1. Dan firmanNya:
“Demi langit dan yang datang di malam
hari”. S 86 Ath Thaariq ayat 1. Dan firmanNya:
“Demi langit yang penuh dengan
jalan-jalan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 7. Dan firmanNya:
“Demi langit dan bangunannya”. S 91
Asy Syams ayat 5. Dan seperti firmanNya:
“Demi matahari dan cahayanya. Demi
bulan ketika mengambil cahaya daripadanya”. S 91 Asy Syams ayat 1-2. Dan
seperti firmanNya:
“Sebab itu, Aku bersumpah dengan
(bintang-bintang) yang timbul tenggelam. Yang berlari (terbit) dan terbenam”. S
81 At Takwiir ayat 15-16. Dan firmanNya:
“Demi bintang, ketika ia terbenam”. S
53 An Najm ayat 1. Dan firmanNya:
“Aku bersumpah dengan tempat turunnya
bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu suatu sumpah yang besar, kalau kamu
tahu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 75-76.
Sesungguhnya engkau tahu,
bahwa keajaiban-keajaiban air nuthfah yang kotor, telah tidak sanggup
orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, daripada mengetahuinya dan Allah
tidak bersumpah dengan air nuthfah itu, maka apa yang persangkaan engkau,
dengan yang disumpahkan oleh Allah Ta’ala ? dialihkanNya rezeki-rezeki
kepadanya ? dan dikaitkanNya kepadanya ? maka Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di langit ada rezekimu dan (juga)
apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Ia memujikan
orang-orang yang berfikir. Ia berfirman: “Dan mereka berfikir tentang kejadian
langit dan bumi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191. Nabi saw bersabda: “Neraka bagi
orang yang membaca ayat ini, kemudian ia sapu dengan ayat tersebut kumisnya”.
Artinya: ia lewati saja ayat itu, dengan tidak berpikir. Ia mencela orang-orang
yang berpaling daripadanya. Ia berfirman: “Dan Kami jadikan langit itu menjadi
atap yang dijaga, sedang mereka tiada memperhatikan keterangan-keterangan yang
ada di sana”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 32. Maka apakah perbandingannya semua lautan
dan bumi itu dengan langit? lautan dan bumi itu berobah-obah dalam waktu dekat,
sedang langit itu keras dan kuat, dijaga dari perobahan, sehingga bahwa
sampailah ketentuan kepada ajalnya. Dan karena itulah, maka Allah Ta’ala
menamakannya “dijaga”. Allah Ta’ala berfirman:“Dan Kami jadikan langit itu
menjadi atap yang dijaga”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 32. Allah swt berfirman:
“Dan Kami bangunkan di atas kamu 7
yang teguh”. S 78 An Nabaa’ ayat 12. Allah Ta’ala berfirman:
“Kamukah yang lebih susah menciptakannya
atau langit yang dibangunkanNya ? ditinggikanNya dan diaturNya dengan
sebaik-baiknya”. S 79 An Naazi’aat ayat 27-28. Maka perhatikanlah kepada alam
al-malakut, supaya engkau melihat akan keajaiban-keajaiban kemuliaan dan
keperkasaan ! dan jangan engkau menyangka, bahwa makna memperhatikan kepada
alam al-malakut (alam yg tdk dapat disaksikan oleh mata) itu dengan engkau
memanjangkan penglihatan kepadanya. Lalu engkau melihat kebiruan langit, cahaya
bintang-bintang dan berpisahnya satu sama lain.
Maka hewan-hewan itu
bersekutu dengan engkau pada pemandangan ini. Maka kalau adalah ini yang
dimaksudkan, maka mengapakah Allah Ta’ala memujikan Ibrahim dengan firmanNya:
“Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi”. S 6
Al An’aam ayat 75. Tidak ! bahkan setiap yang diketahui dengan pancaindra
penglihatan, maka Alquran mengibaratkan daripadanya dengan: alam al-mulki
wasy-syahadah (alam yg dapat dipersaksikan dengan mata). Dan yang ghaib (yang
tidak tampak) dengan penglihatan, maka diibaratkan daripadanya dengan: alamul-ghaibi wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa
dipersaksikan dengan mata)
Dan Allah Ta’ala itu
mengetahui yang ghaib (al-ghaibi) dan yang tampak (asy-syahadah), Yang Maha
Perkasa bagi alamul-mulki wal-malakut (alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata) Dan tidaklah seseorang itu mengetahui dengan
sesuatu dari ilmuNya, selain dengan yang dikehendakiNya. Dialah yang mengetahui
akan yang ghaib. Maka tidak dilahirkanNya atas keghaibannya itu kepada
seseorang, selain siapa yang diridhaiNya dari rasul.
Maka tangguhkanlah, hai
orang yang berakal akan pikiranmu pada alam al-malakut (alam
yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Semoga Ia membukakan bagimu,
akan pintu-pintu langit. Lalu kamu berkeliling dengan hatimu pada tepi-tepinya,
sampai kepada berdirinya hatimu di hadapan ‘Arasy Tuhan Yang Maha Pengasih.
Maka ketika itu kadang-kadang diharapkan bagi engkau bahwa sampailah engkau
kepada tingkat Umar bin Al-Khattab, dimana ia mengatakan: “Hatiku melihat
Tuhanku”. Dan ini adalah karena untuk sampai kepada yang paling jauh itu tidak
akan ada, selain sesudah melewati yg paling dekat. Dan sesuatu yg paling dekat
kepada engkau ialah diri engkau sendiri (Carilah Allah
dengan seiklas-iklasnya buka hati kita &hanya Allah tujuan kita-pent) Kemudian
bumi yang menjadi tempat ketetapan engkau. Kemudian, udara yang mengelilingi
engkau. Kemudian tumbuh-tumbuhan, hewan dan apa yang ada di permukaan bumi.
Kemudian, keajaiban-keajaiban udara dan yaitu: apa yang ada di antara langit
dan bumi. Kemudian langit yang 7 dengan bintang-bintangnya. Kemudian Kursi.
Kemudian ‘Arasy. Kemudian para malaikat, yang mereka itu adalah para pembawa
‘Arasy dan gudang-gudang langit. Kemudian, daripadanya itu melewati kepada
memandang kepada Yang Empunya ‘Arasy, Kursi, langit, bumi dan yang diantara
keduanya. Maka diantara engkau dan tanah balantara yang besar ini, jarak yang
jauh dan halangan-halangan yang memuncak dan engkau sesudah itu tidak selesai
dari halangan yang dekat, yang turun atas engkau, yaitu: mengenal diri engkau
sendiri. Kemudian jadilah engkau melepaskan lidah dengan tiada malunya engkau
dan engkau mendakwakan mengenal Tuhan engkau. Dan engkau mengatakan: Bahwa aku
telah mengenalNya dan mengenal makhlukNya. Maka pada apakah aku memikirkan ?
dan kepada apakah aku menengok ?”. Maka angkatkanlah sekarang kepala engkau ke
langit ! perhatikanlah pada langit itu dan pada bintang-bintangnya, pada
peredarannya, terbit dan terbenamnya, matahari dan bulannya, perbedaan timur
dan baratnya, berkekalannya pada gerak secara terus-menerus, tanpa lesu pada
gerakannya, tanpa perobahan pada perjalanannya. Akan tetapi, ia berjalan
sekalian pada tempat-tempat yang teratur, dengan hitungan yang dikadarkan,
tiada lebih dan tiada kurang, sampai ia dilipatkan oleh Allah Ta’ala, sebagai
lipatan kertas bagi buku. Dan pemahaman bilangan bintangnya, banyaknya dan
bermacam-macam warnanya. Maka sebahagian daripadanya cenderung kepada merah,
sebahagian daripadanya kepada putih dan sebahagian daripadanya kepada warna timah
hitam.
Kemudian, perhatikanlah
bagaimana bentuknya. Maka sebahagian daripadanya atas bentuk kala dan
sebahagian daripadanya atas bentuk kambing, lembu jantan, singa dan manusia. Tiadalah dari suatu bentukpun di bumi, melainkan mempunyai
contoh di langit.
Kemudian, perhatikanlah
kepada perjalanan matahari pada falaknya dalam masa setahun. Kemudian ia terbit
pada setiap hari dan ia terbenam, dengan perjalanan yang lain, yang diciptakan
baginya oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya. Dan jikalau tidak adalah terbit
dan terbenamnya matahari itu, niscaya tidak berbedalah malam dan siang. Dan
tidaklah diketahui waktu-waktu. Dan sungguh berlapislah kegelapan terus-menerus
atau terang terus-menerus. Maka adalah tidak dapat dibedakan waktu mencari
penghidupan dari waktu istirahat.
Maka perhatikanlah,
bagaimana Allah Ta’ala menjadikan malam sebagai pakaian (menutup diri kita
dengan gelapnya), tidur dengan nyenyak dan siang untuk mencari penghidupan. Dan
perhatikanlah kepada dimasukkanNya malam dalam siang dan siang dalam malam.
DimasukkanNya lebih dan kurang pada kedua nya itu atas tertib yang khusus. Dan
perhatikanlah kepada dimiringkanNya perjalanan matahari dari tengah langit.
Sehingga dengan sebabnya itu berbedalah musim panas, musim dingin, musim bunga
dan musim sesudah musim panas (musim kharif). Maka apabila merendah matahari
dari tengah langit dalam perjalanannya, niscaya dinginlah udara dan datanglah
musim dingin. Dan apabila matahari itu sama di tengah langit, niscaya
bersangatanlah kemarau. Dan apabila adalah matahari itu pada yang diantara
keduanya, niscaya sedanglah udara masa itu.
Keajaiban-keajaiban langit
tak ada harapan pada menghinggakan 1/100 bahagian dari bahagian-bahagiannya.
Dan ini sesungguhnya adalah pemberitahuan kepada jalan pikiran. Dan yakinlah
secara kesimpulan, bahwa tiada dari satu bintangpun dari bintang-bintang itu,
melainkan bagi Allah Ta’ala mempunyai banyak hikmah pada ciptaanNya. Kemudian
pada kadarnya. Kemudian pada bentuknya. Kemudian pada warnanya. Kemudian, pada
letaknya dari langit. Dekatnya dari tengah langit dan jauhnya. Dekatnya dari
bintang-bintang yang disampingnya dan jauhnya. Dan bandingkanlah atas yang
demikian, akan yang telah kami sebutkan dari anggota-anggota badan engkau.
Karena tiada dari satu bahagianpun, melainkan padanya itu hikmah. Bahkan banyak
hikmah. Dan urusan langit itu maha besar. Bahkan
tiada bandingan bagi alam bumi atas alam langit. Tidak pada besar
tubuh dan tidak pada banyak makna-maknanya. Bandingkanlah akan berlebih
kurangnya yang terdapat diantara keduanya itu, pada banyaknya makna dari
berlebih-kurang pada besarnya bumi. Maka engkau mengetahui dari besarnya bumi
dan luas tepi-tepinya, bahwa tidak sangguplah anak Adam (manusia) untuk
mengetahuinya dan berkeliling pada tepi-tepinya. Telah sepakatlah para
pemerhati, bahwa matahari itu seperti bumi dengan 160 kali lebih. Dan pada
hadits-hadits ada yang menunjukkan atas kebesarannya.
Kemudian, bintang-bintang
yang anda lihat itu, yang terkecil daripadanya adalah seperti bumi dengan 8
kali. Dan yang terbesar daripadanya sampai kepada mendekati 120 kali dari bumi.
Dengan ini, anda mengetahui ketinggiannya dan kejauhannya. Karena lantaran jauh
itu menjadi terlihat kecil. Dan karena itulah, diisyaratkan oleh Allah Ta’ala
kepada jauhnya. Allah Ta’ala berfirman: “DitinggikanNya dan diaturNya dengan
sebaik-baiknya”. S 79 An Naazi’aat ayat 28. Pada hadits-hadits, tersebut bahwa
diantara setiap langit kepada yang lain itu perjalanan 500 tahun. Maka apabila
adalah kadar satu bintang itu seperti bumi dengan berlipat ganda kalinya, maka
perhatikanlah kepada banyaknya bintang-bintang ! kemudian, perhatikanlah kepada
langit, yang bintang-bintang itu dipusatkan padanya dan kepada besarnya !
kemudian, perhatikanlah kepada cepat geraknya dan engkau tidak merasakan dengan
geraknya itu, lebih-lebih daripada mengetahui kecepatannya.
Akan tetapi, engkau tidak
ragu, bahwa dia itu dalam sekejap mata berjalan kadar lintangnya sebuah
bintang. Karena masa dari terbitnya permulaan bahagian dari bintang, sampai
kepada sempurnanya itu adalah sedikit. Dan bintang itu adalah seperti bumi
dengan 100 kali lebih. Maka telah beredarlah falaknya pada sekejap mata ini
seperti bumi dengan 100 kali. Dan begitulah ia beredar terus-menerus dan engkau
lalai daripadanya. Dan perhatikanlah bagaimana Jibril as mengibaratkan dari
cepat geraknya itu, karena Nabi saw bertanya kepadanya: “Adakah matahari itu
hilang ?”. Jibril as menjawab: “Tidak –ya !”. Nabi saw lalu bertanya lagi:
“Bagaimanakah engkau mengatakan: tidak –ya “. Jibril as lalu menjawab: “Dari
ketika aku mengatakan tidak sampai kepada aku mengatakan ya, matahari itu
berjalan 500 tahun”. Maka perhatikanlah, kepada besar dirinya matahari itu,
kemudian kepada ringan geraknya ! kemudian, perhatikanlah kepada qudrah ( kuasa
) Yang Menciptakan, Yang Maha Bijaksana, bagaimana Ia menetapkan bentuknya
serta luas sudut-sudutnya, dalam biji mata dengan kecilnya biji mata itu !
sehingga engkau duduk di atas bumi dan engkau membuka dua mata engkau, lalu
melihat semuanya.
Maka langit itu dengan
besarnya dan banyak bintang-bintangnya, engkau tidak melihat kepadanya. Akan
tetapi, lihatlah kepada Penciptanya, bagaimana Ia menjadikannya. Kemudian,
ditahankanNya dengan tiada tiang yang engkau melihatnya dan dengan tiada
gantungan dari yang diatasnya. Dan semua alam itu seperti satu rumah dan langit
itu atapnya. Maka yang heran dari engkau, bahwa engkau masuk ke rumah orang
kaya, lalu engkau melihatnya yang dipercantikkan dengan cat, yang dicelupkan
dengan emas. Lalu tiada putus-putusnya ketakjuban engkau daripadanya. Dan
senantiasalah engkau menyebutkannya dan menyifatkan kebagusannya sepanjang umur
engkau. Dan engkau selama-lamanya memandang kepada rumah yang besar ini, kepada
lantainya, kepada atapnya, udaranya, keajaiban harta-bendanya, keganjilan
hewan-hewannya, kecantikan ukiran-ukirannya. Kemudian, engkau tidak
memperkatakan tentang dia dan tidak engkau palingkan dengan hati engkau
kepadanya. Maka tidaklah rumah ini, kurang dari rumah itu, yang engkau
menyifatkannya. Bahkan rumah itu adalah juga sebahagian dari bumi, yang bumi
itu adalah yang terburuk dari bahagian-bahagian rumah ini. Dan bersamaan dengan
ini, maka engkau tiada memandang kepadanya, yang tiada sebab baginya, selain
bahwa itu Rumah Tuhan engkau, yang Dia itu sendirian dengan membangun dan menertibkannya.
Dan engkau telah lupa kepada diri engkau, Tuhan engkau dan Rumah Tuhan engkau.
Dan engkau sibuk dengan perut engkau dan faraj (kemaluan) engkau. Tiada bagi
engkau cita-cita, selain nafsu keinginan engkau atau pengiringan engkau. Dan
tujuan nafsu keinginan engkau, ialah untuk memenuhkan perut engkau. Dan engkau
tidak mampu untuk memakan 1/10 dari yang dimakan oleh binatang ternak. Maka
adalah binatang ternak itu di atas engkau dengan 10 tingkat.
Dan tujuan pengiringan
engkau, ialah bahwa datang kepada engkau 10 atau 100 dari kenalan engkau. Lalu
mereka itu berbuat munafik dengan lidahnya di hadapan engkau. Mereka
menyembunyikan iktikad yang keji terhadap engkau, walaupun mereka membenarkan
engkau tentang cintanya mereka kepada engkau. Maka mereka tiada memiliki bagi
engkau dan bagi diri mereka itu sendiri, akan manfaat dan melarat, mati, hidup
dan hidup kembali sesudah mati (an-nusyur).
Dan kadang-kadang ada di
negeri engkau, orang Yahudi dan orang Nasrani yang kaya, yang lebih
kemegahannya dari kemegahan engkau. Dan engkau sibuk dengan keterpedayaan ini.
Dan engkau lalai daripada memperhatikan pada keelokan kerajaan langit dan bumi.
Kemudian, engkau lalai dari bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada
keagungan Yang Memiliki alam al-malakut/akhirat dan al-mulki/dunia itu. Dan
tiadalah seperti engkau dan seperti akal engkau itu, melainkan seperti semut
yang keluar dari lobangnya, yang dikorekkannya pada istana yang kokoh dari
istana-istana raja, yang tinggi bangunannya, yang teguh sendi-sendinya, yang
dihiasi dengan bidadari dan pelayan-pelayan dan berbagai macam barang simpanan
dan barang-barang yang berharga. Bahwa semut tadi, apabila ia telah keluar dari
lobangnya dan ia bertemu dengan temannya, niscaya ia tidak bercakap-cakap,
jikalau ia sanggup bertutur kata, selain tentang rumahnya dan makanannya dan
bagaimana menyimpankannya.
Adapun hal istana dan raja
yang dalam istana itu, maka semut itu tidak membicarakannya dan berfikir
padanya. Akan tetapi, tiada kemampuan baginya kepada melewatkan, dengan
memandang dari dirinya, makanannya dan rumahnya, kepada yang lain. Dan
sebagaimana semut itu lalai dari istana, lantainya, atapnya, dinding-dinding
temboknya dan bangunannya yang lain dan ia lupa pula dari penghuni-penghuninya,
maka engkau juga lalai dari Rumah Allah Ta’ala dan dari malaikat-malaikatNya,
yang mereka itu adalah penghuni-penghuni langitNya. Maka engkau tidak mengenal
dari langit, selain apa yang dikenal oleh semut dari atap rumah engkau. Dan
engkau tidak mengenal dari malaikat-malaikat langit, selain apa yang dikenal
oleh semut dari engkau dan dari penghuni-penghuni rumah engkau. Ya, tiada bagi
semut itu jalan, kepada ia mengenal engkau dan mengenal akan
keajaiban-keajaiban istana engkau dan kebagusan ciptaan yang menciptakannya.
Adapun engkau maka bagi
engkau itu kemampuan untuk berkeliling pada alam al-malakut dan mengenal dari
keajaiban-keajaibannya, akan apa yang makhluk itu lalai daripadanya. Dan
marilah kami genggamkan tali pembicaraan dari hal ini. Maka sesungguhnya itu
adalah jalan yang tiada berkesudahan. Dan jikalau kita menyelidiki dengan
menggunakan umur panjang, niscaya kita tidak mampu untuk menguraikan yang
dikurniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita dengan berilmu mengenal Allah Ta’ala
kepada Allah. Dan setiap yang kita mengenaliNya itu adalah sedikit sekali, yang tiada berarti, dengan
dibandingkan kepada yang diketahui oleh sejumlah ulama dan wali-wali. Dan yang
diketahui oleh mereka ini adalah sedikit sekali, yang tiada berarti, dengan
dibandingkan kepada yang diketahui oleh nabi-nabi as. Dan jumlah yang diketahui
oleh nabi-nabi as itu adalah sedikit, dibandingkan kepada yang diketahui oleh
Muhammad Nabi kita saw. Dan yang diketahui oleh nabi-nabi semuanya adalah
sedikit, dibandingkan kepada yang diketahui oleh para malaikat al-muqarrabin,
seperti: Israfil, Jibril dll.
Kemudian, semua ilmu
malaikat, jin dan insan, apabila dibandingkan kepada ilmu Allah swt, niscaya
tidak berhaklah untuk dinamakan ilmu. Akan tetapi, adalah lebih mendekati untuk
dinamakan dengan: kedahsyatan, keheranan,
kesingkatan dan kelemahan. Maka Maha Sucilah Allah yang
memperkenalkan kepada hamba-hambaNya akan apa yang dikenalNya. Kemudian Ia
menujukan kata-kata kepada semua mereka, maka berfirman: “Dan tidak diberikan
kepada kamu pengetahuan, kecuali sedikit”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Maka inilah
penjelasan ikatan-ikatan kesimpulan yang beredar padanya, pikiran orang-orang
yang bertafakkur/memikirkan tentang ciptaan Allah Ta’ala. Dan tidak ada padanya
pikiran tentang Dzat Allah Ta’ala. Akan tetapi, sudah pasti –diambil faedah
dari pikiran tentang makhluk, untuk mengenal Khaliq/TUHAN, kebesaranNya,
keagunganNya dan kekuasaanNya. Dan setiap kali engkau membanyakkan mengenal
akan keajaiban ciptaan Allah Ta’ala, niscaya adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala
engkau dengan keagungan dan kebesaranNya itu lebih sempurna. Dan ini,
sebagaimana engkau membesarkan seorang yang berilmu, disebabkan engkau mengenal
akan ilmunya, maka senantiasalah engkau melihat kepada keganjilan, akan
keganjilan dari karangannya atau sya’irnya. Lalu bertambahlah ilmu mengenal Allah
Ta’ala dengan yang demikian itu. Dan menambahkan dengan kebagusannya baginya
akan pemuliaan, pengagungan dan penghormatan. Sehingga, bahwa setiap perkataan
dari perkataan-perkataannya dan setiap bait yang menakjubkan dari bait-bait
sya’irnya itu menambahkannya tempat dari hati engkau, yang mengajak pengagungan
baginya pada diri engkau. Maka begitulah hendaknya, engkau memperhatikan
tentang ciptaan Allah Ta’ala, karangan dan susunanNya. Dan setiap yang pada
wujud ini adalah dari ciptaan Allah dan karanganNya.
Memandang dan berpikir
padanya tiada akan berkesudahan untuk selama-lamanya. Hanya bagi setiap hamba
dari memandang dan berpikir itu adalah dengan kadar
yang dianugerahkan. Maka marilah kita singkatkan atas yang telah
kami sebutkan dahulu. Dan marilah kami tambahkan kepada ini, akan apa yang
telah kami uraikan pada Kitab Syukur. Maka kami sesungguhnya telah
memperhatikan pada Kitab itu, tentang perbuatan Allah Ta’ala, dari segi bahwa
itu adalah perbuatan kebaikan (ihsan) kepada kita dan curahan nikmat kepada
kita. Dan pada Kitab ini, kami memandang padanya, dari segi bahwa itu adalah
perbuatan Allah saja. Dan setiap yang kami pandang padanya, maka bahwa tabiat
memandang padanya. Dan adalah pandangannya itu sebab kesesatan dan kesengsaraan
nya. Dan orang yang memperoleh taufiq itu memandang padanya, lalu adalah dia
itu sebab bagi petunjuk dan kebahagiaannya. Dan tiada dari satu atompun di
langit dan di bumi, melainkan Allah swt menyesatkan
dengan dia, akan siapa yang dikehendakiNya dan diberi petunjuk akan siapa yang
dikehendakiNya.
Maka barangsiapa
memperhatikan pada semua persoalan ini, dari segi bahwa itu perbuatan Allah
Ta’ala dan ciptaanNya, niscaya ia mengambil faedah daripadanya, akan ilmu
mengenal Allah Ta’ala dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Dan ia
memperoleh petunjuk dengan yang demikian itu. Dan siapa yang memperhatikan
padanya, yang menyingkatkan bagi pemandangan kepadanya, dari segi sebahagiannya
mendatangkan kesan pada sebahagian yang lain, tidak dari segi ikatannya dengan
Yang Menyebabkan sebab-sebab, maka sesungguhnya ia telah celaka dan memperoleh
kehinaan.
Maka kita berlindung
dengan Allah Ta’ala dari kesesatan. Dan kita bemohon padaNya, bahwa Ia
menjauhkan kita akan tergelincirnya tapak kaki orang-orang yang bodoh, dengan nikmatNya,
kemurahanNya, kurniaNya, kebaikanNya, dan rahmatNya.
Telah tammat Kitab Ke-9
dari Rubu’ Yang Melepaskan. Dan segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Selawat
dan salamNya kepada Muhammad dan keluarganya. Akan diiringi Kitab ke-9 ini,
oleh Kitab Mengingati Mati dan yang sesudahnya. Dan dengan yang demikian,
sempurnalah semua dewan, dengan pujian kepada Allah Ta’ala dan kemurahanNya.