Kamis, 13 Februari 2014

39. KITAB TAFAKKUR.

KITAB TAFAKKUR. (MEMIKIRKAN / BERFIKIR)
Yaitu Kitab Ke-9 dari “Rubu’ Yang Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah, yang tidak mengkadarkan bagi kesudahan kemuliaan ALLAH arah dan benua. Dan tidak menjadikan bagi tempat pendakian tapak kaki sangka-waham dan tempat lemparan panah segala paham kepada penjagaan keagungan ALLAH, akan tempat lalu. Akan tetapi, Ia membiarkan hati para penuntut pada padang sahara kebesaran ALLAH, bermain-main keheran-heranan. Setiap kali hati para penuntut itu bangkit untuk mencapai tuntutannya, maka hati para penuntut itu dikembalikan oleh kesucian keagungan ALLAH  dengan paksaan. Dan apabila hati itu bercita-cita berpaling, dengan perasaan putus asa, niscaya ia diserukan dari hikmah keelokan: sabar-sabar ! kemudian, dikatakan kepada hati itu: aturlah dalam kehinaan peribadatan kepada Allah dari engkau itu, dengan berfikir (bertafakkur)
Karena jikalau engkau berfikir tentang keagungan ketuhanan, niscaya tidaklah engkau mengkadarkan bagi ALLAH  akan suatu kadar. Dan jikalau engkau mencari di balik fikir itu pada sifat-sifat engkau, akan sesuatu hal, maka lihatlah pada nikmat-nikmat Allah Ta’ala dan kedermawanan-kedermawanan ALLAH ! bagaimana dia itu beriring-iringan kepada engkau terlihat ! barukanlah bagi setiap nikmat daripadanya dengan sebutan dan syukuran ! Perhatikanlah dalam lautan takdir, bagaimana berlimpah-limpah kepada semesta alam, kebajikan dan kejahatan, manfaat dan melarat, sukar dan mudah, menang dan rugi, tertampal dan pecah, terlipat dan terbuka, iman dan kufur, pengakuan dan ingkaran.
Maka jikalau engkau lewatkan pandangan tentang perbuatan, kepada pandangan pada dzat, maka engkau berusaha akan kesulitan demi kesulitan. Dan engkau menempuh dengan diri engkau melewati batas kemampuan manusia, dengan zalim dan kejam. Maka menjadi heranlah akal tanpa memperoleh pokok-pokok kecemerlangannya. Dan kembali mundur ke belakang, karena darurat dan terpaksa.
Selawat kepada Muhammad penghulu anak Adam, walaupun ia tidak menghitung kepenghuluannya itu kesombongan, sebagai selawat yang berkekalan bagi kita pada halaman lapangan kiamat, sebagai senjata dan simpanan. Kepada keluarga dan para sahabatnya, yang masing-masing dari mereka itu menjadi bulan purnama di langit agama. Dan bagi golongan-golongan kaum muslimin yang berdiri di depan. Dan anugerahkanlah kesejahteraan yang banyak !
Adapun kemudian, maka telah datanglah sunnah, bahwa BERFIKIR sesaat itu lebih baik dari beribadah setahun. Dan banyaklah dorongan dalam Kitab Allah Ta’ala kepada memahami dengan mendalam dan mengambil ibarat, memperhatikan dan BERFIKIR. Tidaklah tersembunyi, bahwa fikir itu anak kunci segala cahaya dan pokok penglihatan mata hati. Fikir itu jalan segala ilmu pengetahuan. Dan alat memburu segala ma’rifah (ilmu mengenal Allah ta’ala) dan paham. Kebanyakan manusia itu mengetahui keutamaan & martabat berfikir. Akan tetapi, mereka tidak tahu hakikat/maknanya, buahnya, sumbernya, arahnya, tempat lalunya, tempat lepasnya, jalannya & caranya. Ia tidak tahu, bagaimana berfikir. Pada apa BERFIKIR. Kenapa BERFIKIR. Apakah yang dicari dengan MEMIKIRKAN itu.
Adakah memikirkan itu dimaksudkan karena dirinya atau karena buah (hasil), yang diambil faedah daripadanya ? maka jikalau memikirkan itu karena buah hasilnya, maka apakah buah itu ? adakah dia termasuk ilmu-pengetahuan atau termasuk hal-keadaan atau termasuk keduanya semua. Menyingkapkan semua itu penting. Dan kami, pertama-tama akan menyebutkan keutamaan BERFIKIR. Kemudian, hakikat/makna dan buah pemikiran. Kemudian, tempat lalunya pikiran dan tempat lepasnya pikiran, insya Allah Ta’ala.
KEUTAMAAN TAFAKKUR (MEMIKIRKAN)
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh dengan memikirkan dan memahami dengan mendalam dalam Kitab ALLAH Yang Mulia pada tempat-tempat yang tidak terhingga. Dan ALLAH memuji orang-orang yang berfikir. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang mengingati Allah, ketika berdiri dan duduk, ketika berbaring dan mereka memikirkan tentang kejadian langit dan bumi, sambil berkata: Wahai Tuhan kami ! tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191.
Ibnu Abbas ra berkata: “Bahwa suatu kaum memikirkan tentang Allah ‘Azza Wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar). Lalu Nabi saw bersabda: “Berfikirlah tentang makhluk Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah. Sesungguhnya kamu tiada akan dapat mengkadarkan akan kadar Allah”. Dari Nabi saw, bahwa Nabi saw pada suatu hari pergi kepada suatu kaum. Dan mereka itu sedang BERFIKIR. Maka Nabi saw bersabda: “Mengapa kamu tidak berbicara ?”. Mereka itu menjawab: “Kami BERFIKIR tentang makhluk Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Nabi saw lalu bersabda: “Maka seperti demikianlah kamu berbuat. BERFIKIR tentang makhluk ALLAH dan jangan kamu BERFIKIR tentang ALLAH !
Bahwa di tempat terbenam matahari itu ada bumi yang putih. CahayaNYA putihnya. Dan putihnya cahayanya, menurut perjalanan matahari 40 hari. Dengan dia diciptakan dari ciptaan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Mereka tiada berbuat maksiat kepada Allah, walau sekejap mata”. Mereka itu bertanya: “Wahai Rasulullah, maka dimanakah setan dari mereka ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka tidak tahu. Telah dijadikan setan atau belum”. Mereka bertanya lagi: “Dari anak Adam ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka tidak tahu, telah dijadikan Adam atau belum”.
Dari ‘Atha’ yang menerangkan: “Pada suatu hari, aku dan ‘Ubaid bin ‘Umair berjalan ke tempat ‘Aisyah. Maka ‘Aisyah berkata-kata dengan kami. Dan diantara kami dan dia ada hijab. ‘Aisyah berkata: “Hai ‘Ubaid ! apakah yang mencegah engkau berkunjung kepada kami ?”. ‘Ubaid menjawab: “Sabda Rasulullah saw: “Berkunjunglah jarang-jarang, niscaya bertambah kasih-sayang”. ‘Ubaid ibnu ‘Umair tadi berkata: “Terangkanlah kepada kami, sesuatu yang menakjubkan yang engkau lihat dari Rasulullah saw !”. ‘Atha’ meneruskan ceritanya: “Aisyah ra lalu menangis dan berkata: “Setiap pekerjaannya adalah menakjubkan. Beliau datang kepadaku pada malam giliran bagiku. Sehingga tersentuhlah kulitnya dengan kulitku. Kemudian, beliau bersabda: “Biarkanlah aku beribadah kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Beliau lalu berdiri ke tempat air, mengambil wudhu’ daripadanya. Kemudian, beliau berdiri mengerja kan shalat. Maka beliau menangis, sehingga basahlah janggutnya. Kemudian beliau sujud, sehingga membasahkan bumi. Kemudian beliau berbaring di atas lembungnya. Sehingga datanglah Bilal, melakukan adzan untuk shalat Shubuh. Lalu Bilal bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah yang membawa engkau kepada menangis ? padahal Allah telah mengampunkan bagi engkau, apa yang terdahulu dari dosa engkau dan apa yang terkemudian”. Nabi saw lalu menjawab: “Kasihan hai Bilal ! apakah yang mencegahku daripada aku menangis ? Allah Ta’ala telah menurunkan kepadaku pada malam ini: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, akan menjadi keterangan bagi orang-orang yang mengerti”. S 3 Ali ‘Imran ayat 190. Kemudian, Nabi saw menyambung: “Kasihan bagi orang yang membaca ayat ini dan tidak BERFIKIR padanya”.
Maka ditanyakan kepada Al-Auza’i: “Apakah tujuan BERFIKIR padanya ?”. Al-Auza’i menjawab: “Membacakannya dan menggunakan akal padanya”. Dari Muhammad bin Wasi’, diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Basrah berkendaraan ke tempat Ummi/ibu Dzar, sesudah meninggal Abi/bapak Dzar. Laki-laki itu menanyakan Ummi Dzar tentang ibadah Abi Dzar. Maka menjawab Ummi Dzar: “Adalah harinya semuanya di sudut rumah BERFIKIR”.
Dari Al-Hasan Al-Bashari yang mengatakan: “BERFIKIR sesaat lebih baik dari berdiri semalam mengerjakan shalat”. Dari Al-Fudlail yang mengatakan: “MEMIKIRKAN itu kaca, yang memperlihatkan engkau akan kebaikan engkau dan kejahatan engkau”. Ditanyakan kepada Ibrahim bin Adham: “Bahwa engkau melamakan berfikir”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Berfikir itu otak akal”. Adalah Sufyan bin ‘Uyainah kebanyakan berpepatah dengan ucapan seorang penyair:
Apabila manusia,
mempunyai fikiran,
maka pada apa saja,
mempunyai pengajaran.
Dari Thawus yang mengatakan: “Para sahabat Isa as (al-hawariyyun) bertanya kepada Isa as: “Hai Ruhullah ! adakah di atas bumi hari ini orang yang seperti engkau ?”. Isa as menjawab: “Ada ! yaitu: orang yang tuturnya dzikir, diamnya fikir dan pandangannya pengajaran. Maka orang itu adalah sepertiku”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Barangsiapa yang tidak ada perkataannya itu mengandung hikmah, maka itu kata yang sia-sia. Barangsiapa yang tidak ada diamnya itu berfikir, maka itu lupa/ngelamun. Dan barangsiapa yang tidak ada pandangannya itu pengajaran, maka itu main-main”.
Pada firman Allah Ta’ala: “Akan Aku belokkan dari keterangan-keteranganKu orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146. Allah berfirman itu, artinya: “Aku larang hati mereka BERFIKIR pada urusanKu”.
Dari Abi Sa’id Al-Khudri, yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah kepada matamu akan keberuntungannya dari ibadah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah keberuntungannya dari ibadah ?”. Nabi saw menjawab: “Memandang pada Mush-haf, BERFIKIR padanya dan mengambil ibarat pada yang ajaib-ajaib daripadanya”.
Dari seorang wanita yang bertempat tinggal di suatu desa dekat Makkah, bahwa wanita itu berkata: “Jikalau hati orang-orang yang taqwa dengan fikirannya, menengok kepada apa yang tersimpan baginya dalam hijab ghaib dari kebajikan akhirat, niscaya tidaklah jernih kehidupan bagi mereka di dunia dan tidaklah tetap mata bagi mereka di dunia”.
Adalah Lukman melamakan duduk sendirian. Lalu lewatlah bekas budaknya, seraya berkata: “Hai Lukman ! bahwa engkau terus-menerus duduk sendirian. Maka jikalau engkau bersama manusia, niscaya adalah lebih menjinakkan hati bagi engkau”. Lukman lalu menjawab: “Bahwa lamanya sendirian itu lebih memahamkan bagi berfikir. Dan lamanya berfikir itu menunjukkan kepada jalan sorga”.
Wahab bin Munabbih berkata: “Tiadalah sekali-kali panjang pemikiran seorang manusia, selain ia telah berilmu. Dan tiada sekali-kali berilmu seorang manusia, selain ia amalkan”. ‘Umar bin Abdul-aziz berkata: “Pemikiran mengenai nikmat-nikmat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar adalah termasuk ibadah yang paling utama”. Abdullah bin Al-Mubarak pada suatu hari bertanya kepada Sahal bin Ali dan dilihatnya diam bertafakkur: “Dimana engkau sudah sampai ?”. Sahal bin Ali menjawab: “Titian Shirathal-mustaqim”. Bisyr berkata: “Jikalau BERFIKIRLAH manusia mengenai kebesaran Allah, niscaya mereka tidak akan mengerjakan maksiat kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”.
Dari Ibnu Abbas, yang mengatakan: “2 rakaat yang sederhana dalam BERFIKIR itu lebih baik daripada berdiri mengerjakan shalat satu malam, dengan tidak ada hati”. Sewaktu Abu Syuraih berjalan kaki, tiba-tiba ia duduk. Lalu menutup kepala dengan pakaiannya. Dan beliau itu menangis. Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah yang menyebabkan maka engkau menangis ?”. Abu Syuraih menjawab: “Aku BERFIKIR pada hilangnya umurku, sedikitnya amalku dan mendekatnya ajalku”.
Abu Sulaiman berkata: “Biasakanlah matamu dengan menangis dan hatimu dengan BERFIKIR!”. Abu Sulaiman berkata: “Fikir mengenai dunia itu hijab dari akhirat, siksaan bagi yang mempunyai wilayah pemerintahan. Dan fikir mengenai akhirat itu mewariskan hikmah dan menghidupkan hati”. Hatim berkata: “Dari pengajaran itu menambahkan ilmu. Dari dzikir itu menambahkan kasih. Dan dari MEMIKIRKAN itu menambahkan takut”. Ibnu Abbas berkata: “memikirkan pada kebajikan itu membawa kepada mengamalkannya. Dan menyesal atas kejahatan itu membawa kepada meninggalkannya”.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman pada sebahagian dari Kitab-kitabNya: “Bahwa Aku tidak akan menerima perkataan setiap ahli hikmah. Akan tetapi, Aku memandang kepada cita-citanya dan keinginannya. Apabila ada cita-citanya dan keinginannya kepadaKu, niscaya Aku jadikan diamnya itu MEMIKIRKAN dan perkataannya itu pujian, walaupun ia tidak berkata-kata”.
Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Bahwa orang-orang yang berakal itu senantiasa membiasakan dengan dzikir atas fikir dan dengan fikir atas dzikir. Sehingga mereka itu bertutur kata dengan hatinya. Lalu hati itu bertutur kata dengan hikmah”.
Ishak bin Khalaf berkata: “Adalah Daud Ath-Tha-i di atas sutuh (loteng rumah yang biasa juga ditempati) pada malam berbulan terang. Lalu ia BERFIKIR mengenai kerajaan langit dan bumi. Ia memandang ke langit dan menangis. Sehingga ia jatuh dalam rumah tetangganya”. Ishak bin Khalaf meneruskan ceritanya: “Lalu yang punya rumah itu melompat dari tempat tidurnya dengan telanjang dan di tangannya sebilah pedang. Ia menyangka, bahwa orang yang jatuh itu pencuri. Maka tatkala ia memandang kepada Daud, lalu ia kembali dan meletakkan pedang, seraya bertanya: “Siapakah yang mencampakkan engkau dari sutuh?”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Aku tidak merasa dengan yang demikian”.
Al-Junaid berkata: “Majelis yang paling mulia dan paling tinggi, ialah duduk serta berfikir pada lapangan keesaan (MENGESAKKAN ALLAH), menghirup dengan angin ilmu mengenal Allah Ta’ala, minum dengan gelas kasih dari lautan sayang dan memandang dengan baik sangka kepada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Kemudian, Al-Junaid menyambung: “Wahai dari majlis-majlis, alangkah agungnya ! dan dari minuman, alangkah lezatnya ! amat baiklah bagi orang yang mendapat rezeki dengan yang demikian !”.
Asy-Syafi’i ra berkata: “Kamu meminta tolonglah atas perkataan itu dengan diam dan atas pemahaman yang mendalam itu dengan fikir !”. Asy-Syafi’i berkata pula: “Sehatnya pemandangan pada semua urusan itu kelepasan dari tipuan. Berbuat pada pendapat itu selamat dari pemborosan dan penyesalan. Pengalaman dan fikiran itu menyingkapkan dari hati-hati dan cerdik. Musyawarah para ahli hikmah itu ketetapan pada diri dan kekuatan pada mata hati. Maka berfikirlah sebelum berbuat ! memahami dengan secara mendalam sebelum engkau menyerang ! bermusyawarahlah sebelum tampil ke depan” Berkata Asy-Syafi’i pula: “Keutamaan itu 4:
Yang pertama:   hikmah dan kekuatannya itu fikir.
Yang kedua:      memelihara diri (al-‘iffah) dan kekuatannya itu pada menahan nafsu syahwat
Yang ketiga:      kekuatan dan kekuatannya itu pada menahan marah.
Yang keempat:   adil dan kekuatannya itu, pada kelurusan kekuatan diri.  
Inilah ucapan-ucapan para ulama tentang berfikir. Dan tiada seorangpun dari mereka, yang menyebutkan hakikat/makna &penjelasan tempat lalunya berfikir itu
PENJELASAN: hakikat/makna fikir dan buahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa makna fikir ialah: menghadirkan 2 ilmu mengenal Allah Ta’ala dalam hati, untuk berbuah daripadanya ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Contohnya: bahwa orang yang cenderung kepada yang segera (dunia) dan mengutamakan hidup dunia dan ia menghendaki mengetahui, bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan daripada dunia. Maka baginya dua jalan:
Salah satu dari dua jalan tersebut, ialah: bahwa ia mendengar dari orang lain, bahwa akhirat itu lebih utama diutamakan daripada dunia. Lalu ia mengikuti dan membenarkan yang demikian, tanpa melihat lebih mendalam, dengan hakikat/makna persoalan. Maka ia cenderung dengan amalnya kepada mengutama kan akhirat, karena berpegang kepada perkataan orang itu semata-mata. Ini dinamakan taqlid (menuruti tanpa alasan). Dan tidak dinamakan: ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Jalan yang kedua, ialah: bahwa ia mengetahui, bahwa yang lebih kekal itu yang lebih utama dengan diutamakan. Kemudian, ia mengetahui, bahwa akhirat itu yang lebih kekal. Maka berhasillah baginya dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, ilmu mengenal Allah Ta’ala
ketiga. Yaitu: bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan. Dan tidak mungkin mentahkikan ilmu mengenal Allah Ta’ala, bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan, selain dengan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala yang dahulu itu. Maka menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala yang dahulu itu dalam hati, untuk sampai kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga, dinamakan: tafakkur (memikirkan), i’tibar (ibarat), tadzakkur (mengingati), nadhar (memperhatikan), menelitikan dan tadabbur (memahami dengan mendalam)
Adapun memahami dengan mendalam, meneliti dan memikirkan, maka itu adalah kata-kata yang mempunyai satu makna. Tidak dibawahnya makna-makna yang berlainan. Adapun nama mengingati, ibarat dan memperhatikan, maka maknanya berlain-lainan, walaupun asal yang dinamakan itu satu. Sebagaimana nama sharim, muhannad dan saif itu dikemukakan atas satu benda. Akan tetapi dengan ibarat yang berlainan. Maka sharim itu menunjukkan kepada: pedang, dari segi dia itu pemotong. Muhannad ditunjukkan kepadanya, dari segi dihubungkannya kepada tempat asalnya (yaitu: India). Dan saif menunjukkan dengan dalil mutlak, tanpa diperkenalkan dengan tambahan-tambahan tersebut. Maka seperti demikian juga ibarat, yang berarti kepada menghadirkan 2 ilmu mengenal Allah Ta’ala, dari segi bahwa dilalui dari 2 ilmu mengenal Allah Ta’ala itu kepada: ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Walaupun melalui itu tidak terjadi. Dan tidak mungkin, selain dengan berdiri di atas dua ilmu mengenal Allah Ta’ala itu. Maka berjalanlah kepadanya nama: mengingati, bukan nama:ibarat.
Adapun memperhatikan dan memikirkan maka jatuh ke atasnya dari segi bahwa padanya mencarikan ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Maka siapa yang tidak mencari ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga, niscaya ia tidak dinamakan: orang yang menggunakan nadhar/perhatian. Setiap orang yang memikirkan itu adalah orang mengingati. Dan tidaklah setiap orang mengingati  itu memikirkan. Faedah bertadzakkur (mengingati), ialah: mengulang-ulangi ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada hati, supaya meresap dan tidak terhapus dari hati. Dan faedah tafakkur/memikirkan, ialah: memperbanyak ilmu dan menarikkan ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang belum diperoleh. Maka itulah perbedaan diantara tadzakkur/mengingati dan tafakkur/memikirkan. Ilmu mengenal Allah Ta’ala, ilmu mengenal Allah Ta’ala itu apabila berhimpun dalam hati dan bercampur-aduk di atas ketertiban yang khusus, niscaya membuahkan: ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lain. Maka ilmu mengenal Allah Ta’ala itu (natijah) hasil keyakinan dari ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka apabila telah berhasil ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lain dan bercampur-aduk serta ilmu mengenal Allah Ta’ala yang lain itu, niscaya berhasillah dari yang demikian itu hasil keyakinan yang lain. Begitulah kiranya berkepanjangan hasil keyakinan, berkepanjangan ilmu pengetahuan dan berkepanjangan fikir, sampai tiada berkesudahan.
Sesungguhnya tersumbat jalan bertambahnya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu dengan mati atau dengan halangan-halangan lain. Ini adalah bagi orang yang mampu kepada mencari buah ilmu pengetahuan dan memperoleh petunjuk kepada jalan memikirkan.
Adapun kebanyakan manusia, maka mereka terhalang daripada menambahkan ilmu, karena ketiadaan modal. Yaitu: ilmu mengenal Allah Ta’ala -ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala - ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut, berbuahlah ilmu. Seperti orang yang tiada mempunyai barang jualan, maka ia tidak mampu memperoleh laba. Kadang-kadang ia memiliki barang jualan. Akan tetapi, ia tidak pandai berjualan. Maka ia tidak berlaba sesuatupun. Maka seperti demikian juga, kadang-kadang ada baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang menjadi modal ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ia tidak pandai memakaikannya, menyusunnya dan mengadakan percampuran yang membawa kepada hasil keyakinan padanya.
Mengetahui jalan pemakaian dan memperoleh hasil, sekali adalah dengan nur/cahaya ilahi dalam hati, yang diperoleh dengan fithrah (asal kejadian manusia), sebagaimana ada bagi nabi-nabi as semuanya. Dan yang demikian itu sukar sekali. Kadang-kadang ada dengan mempelajari dan dengan membiasakan diri. Dan itu yang lebih banyak. Kemudian, orang yang berfikir itu kadang-kadang datang kepadanya ilmu mengenal Allah Ta’ala - ilmu mengenal Allah Ta’ala ini. Dan berhasil baginya buah. Dan dia tidak mengetahui cara keberhasilannya. Dan ia tidak mampu mengibaratkan daripadanya, karena kurang kebiasaannya bagi usaha mengibaratkan pada mendatangkan pikiran. Berapa banyak manusia yang mengetahui, bahwa akhirat itu lebih utama diutamakan sebagai ilmu hakiki. Dan jikalau ditanyakan sebab ilmu mengenal Allah Ta’alanya, niscaya ia tidak sanggup mengemukakannya dan mengibaratkannya, serta dia itu tidak berhasil ilmu mengenal Allah Ta’ala nya, selain dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala yang terdahulu. Yakni: bahwa yang lebih kekal itu lebih utama dengan diutamakan. Dan akhirat itu lebih kekal dari dunia. Maka berhasillah baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Yaitu: bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan.
Maka kembalilah hasil hakikat/makna berfikir kepada menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala, untuk sampai dengan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala ketiga. Adapun buah pikiran, ialah: ilmu pengetahuan, hal keadaan dan amal perbuatan. Akan tetapi hasilnya yang khusus, ialah: ilmu, tidak lain. Ya, apabila berhasillah ilmu dalam hati, niscaya berobahlah keadaan hati. Dan apabila keadaan hati sudah berobah, niscaya berobahlah amal perbuatan anggota-anggota badan.
Maka amal perbuatan itu mengikuti hal keadaan. Hal keadaan itu mengikuti ilmu. Dan ilmu itu mengikuti fikir. Jadi, fikir itu adalah pokok dan kunci bagi semua kebajikan. Dan inilah yang tersingkap bagi anda, dari keutamaan tafakkur/memikirkan. Dan itu lebih baik dari dzikir dan tadzakkur/mengingati. Karena fikir itu ingatan (dzikir) dan tambahan. Dan dzikir/ingatan hati adalah lebih baik dari amal perbuatan anggota-anggota badan. Bahkan mulianya amal, karena padanya ada dzikir/ingatan. Jadi, tafakkur/memikirkan itu lebih utama dari sejumlah amal perbuatan. Dan karena itulah dikatakan: “Tafakkur/memikirkan sesaat lebih baik dari ibadah setahun”. Maka dikatakan: tafakkurlah/berfikirlah yang memindahkan dari yang tidak disukai kepada amal perbuatan yang disukai. Dan dari kegemaran dan kerakusan, kepada zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia) dan merasa puas apa yang ada (qana’ah),  Dan dikatakan, bahwa berfikirlah yang mendatangkan musyahadah (penyaksian) dan takwa. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Semoga mereka menjaga dirinya dari kejahatan atau supaya ia menimbulkan pengertian (peringatan) kepada mereka”. S 20 Thaahaa ayat 113. Kalau anda bermaksud memahami cara berobahnya keadaan dengan berfikir, maka contohnya, ialah apa yang telah kami sebutkan dari urusan akhirat. Bahwa berfikir padanya itu memberitahukan kepada kita, bahwa akhirat itu lebih utama dengan diutamakan.
Maka apabila ilmu mengenal Allah Ta’ala ini telah meresap, dengan keyakinan dalam hati kita, niscaya berobahlah hati kepada kegemaran pada akhirat dan tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia/zuhud pada dunia. Inilah yang kami maksudkan dengan hal keadaan, apabila adalah hal keadaan hati sebelum ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, mencintai dunia dan cenderung kepadanya. Lari dari akhirat dan kurang keinginan pada akhirat. Dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala ini berobahlah hal keadaan hati. Dan berganti kehendak dan keinginannya. Kemudian, perobahan kehendak itu, membuahkan amal perbuatan anggota badan pada segala yang dicampakkan dari dunia. Dan menghadap kepada amal perbuatan akhirat. Maka disini ada 5 derajat:
Pertama:   tadzakkur. Yaitu: menghadirkan dua ilmu mengenal Allah Ta’ala dalam hati.
Kedua:     tafakkur. Yaitu: mencari ilmu mengenal Allah Ta’ala yang dimaksudkan dari dua ilmu mengenal Allah Ta’ala itu.
Ketiga:     berhasilnya ilmu mengenal Allah Ta’ala yang dicari dan bersinarlah hati dengan dia.
Keempat: berobahnya keadaan hati, dari yang sudah ada, disebabkan hasilnya cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Kelima:    layanannya anggota-anggota badan bagi hati, menurut apa yang selalu membaru bagi hati dari hal keadaan.
Maka sebagaimana batu yang dipukul atas besi, lalu keluar api daripadanya, yang bercahaya tempat tersebut dengan keadaan itu, lalu mata dapat melihat, sesudah tadinya tidak dapat melihat sesuatu dan tergeraklah anggota-anggota badan untuk bekerja, maka seperti demikianlah yang menyalakan cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala, yaitu: fikir. Maka fikir itu mengumpulkan antara dua ilmu mengenal Allah Ta’ala, sebagaimana ia mengumpulkan antara batu dan besi. Ia susun diantara keduanya dengan penyusunan khusus. Sebagaimana ia memukul batu atas besi dengan pukulan khusus. Maka membangkitlah cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala, sebagaimana membangkitnya api dari besi. Dan berobahlah hati dengan sebab cahaya ini, sehingga ia cenderung kepada apa, yang ia tidak cenderung kepadanya tadinya. Sebagaimana berobahnya penglihatan dengan cahaya api, lalu ia melihat apa yang tadinya tidak dilihatnya. Kemudian tergeraklah anggota-anggota badan untuk bekerja, menurut yang dikehendaki oleh keadaan hati, sebagaimana bergeraknya orang yang lemah dari bekerja, disebabkan kegelapan, bagi bekerja, ketika dirasakan oleh penglihatan, apa yang tadinya tidak dilihatnya. Jadi, buah (hasil) fikir itu, ialah: ilmu pengetahuan dan hal keadaan.
Ilmu pengetahuan itu tiada berkesudahan. Dan hal keadaan yang tergambar bahwa ia berbulak-balik atas hati itu tidak mungkin menghinggakannya. Dan karena inilah, jikalau seorang murid berkehendak menghinggakan berbagai macam pikiran dan jalan-jalannya pikiran dan pada apa, ia berfikir, niscaya ia tidak akan mampu. Karena jalan-jalannya pikiran itu tidak terhingga. Dan hasil-hasilnya tidak berkesudahan. Ya, kita bersungguh-sungguh pada menghinggakan jalan-jalannya pikiran, dengan dikaitkan kepada kepentingan pengetahuan-pengetahuan keagamaan dan dengan dikaitkan kepada hal keadaan yang dia itu maqam orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah (as-salikin). Dan adalah yang demikian itu hinggaan yang tidak terperinci.
Maka penguraian yang demikian itu mengajak kepada penguraian ilmu-ilmu seluruhnya. Dan jumlah kitab-kitab ini adalah seperti penguraian bagi sebahagiannya. Bahwa kitab-kitab itu melengkapi kepada ilmu-ilmu. Dan ilmu-ilmu itu diperoleh dari pikiran-pikiran khusus. Maka marilah kami isyaratkan kepada hinggaan segala yang terkumpul padanya. Supaya berhasillah diketahui atas jalan-jalannya pikiran.
PENJELASAN: jalan-jalannya pikiran.
Ketahuilah kiranya, bahwa pikiran itu kadang-kadang berlaku pada persoalan yang menyangkut dengan agama. Dan kadang-kadang berlaku pada yang menyangkut dengan bukan agama. Dan maksud kami, ialah: yang menyangkut dengan agama. Maka marilah kami tinggalkan bahagian yang akhir itu. Kami kehendaki dengan agama, ialah: mu’amalah (perniagaan) yang berlaku diantara hamba dan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Maka semua pikiran hamba itu, adakalanya menyangkut dengan hamba, sifat-sifatnya dan hal keadaannya. Dan adakalanya menyangkut dengan Tuhan Yang Disembah, dengan sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Tidak mungkin bahwa keluar dari 2 bahagian ini. Dan yang menyangkut dengan hamba, adakalanya bahwa ada yang demikian itu pemandangan pada apa yang disukai pada sisi Tuhan Yang Maha Tinggi atau pada yang tidak disukai. Dan tidak berhajat kepada pikiran, pada yang bukan dua bahagian ini. Dan yang menyangkut dengan Tuhan Yang Maha Tinggi, adakalanya bahwa yang demikian itu pandangan pada ZatNya, sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang Maha Baik (Al-Asmaul-Husna). Dan adakalanya yang demikian itu pada Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, milikNya, kerajaanNya dan semua yang di langit dan di bumi dan yang diantara keduanya. Dan tersingkaplah bagi anda akan penghinggaan pikiran pada bahagian-bahagian ini dengan contoh. Yaitu: bahwa hal-keadaan orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala dan orang-orang yang rindu menjumpaiNya itu menyerupai dengan hal keadaan orang-orang yang asyik dengan kerinduan.
Maka marilah kami ambil seorang yang asyik yang membabi-buta akan contoh kami. Maka kami mengatakan: bahwa orang yang asyik, yang tenggelam cita-citanya dengan keasyikannya itu, tidaklah melampaui pikirannya daripada bahwa menyangkut dengan yang diasyikkannya atau menyangkut dengan dirinya. Maka jikalau ia berfikir pada yang diasyikkannya, maka adakalanya bahwa ia berfikir pada kecantikannya dan bagus bentuknya pada dirinya, untuk ia bersenang-senang dengan berpikir padanya dan dengan menyaksikannya.
Dan adakalanya ia berfikir pada perbuatan-perbuatannya yang lemah-lembut, yang bagus, yang menunjukkan kepada akhlaknya dan sifat-sifatnya. Supaya adalah yang demikian itu menggandakan bagi dirinya dan menguatkan bagi kecintaannya. Dan kalau ia berfikir pada dirinya, maka adalah pikirannya itu pada sifat-sifatnya yang menjatuhkan dia dari mata kekasihnya. Sehingga ia merasa senang dengan yang demikian. Atau pada sifat-sifat yang mendekatkannya dan mencintakannya kepadanya, sehingga ia bersifat dengan sifat-sifat itu. Maka jikalau ia berfikir pada sesuatu di luar dari bagian-bagian ini, maka yang demikian itu diluar dari batas keasyikan. Dan itu suatu kekurangan padanya. Karena keasyikan yang sempurna, lagi lengkap itu menenggelamkan si yang asyik dan menyempurnakan hati. Sehingga tidak meninggalkan padanya tempat yang luas bagi yang lain. Maka orang yang mencintai Allah Ta’ala seyogyalah bahwa ada seperti yang demikian. Maka tidaklah melampaui pandangannya dan memikirkannya dari yang dicintainya. Dan manakala adalah fikirnya terbatas pada bagian-bagian yang 4 ini, niscaya tidaklah ia sekali-kali keluar dari yang dikehendaki oleh kecintaan. Maka marilah kami mulai dengan bagian pertama.
Yaitu: berfikirnya pada sifat-sifat dirinya dan perbuatan-perbuatan dirinya. Supaya dapat dibedakan yang dicintai daripadanya dari yang tidak disukai. Maka pikiran ini, ialah: yang menyangkut dengan ilmu mu’amalah (perniagaan), yang dimaksudkan dengan Kitab ini. Adapun bahagian yang akhir, maka menyangkut dengan ilmu mukasyafah (yang diminta mengetahuinya saja).
Kemudian, masing-masing dari yang tidak disukai pada sisi Allah atau yang disukai itu terbagi kepada zahiriyah/luarnya, seperti amalan taat dan perbuatan maksiat. Dan kepada batiniyah/dalam hati, seperti sifat-sifat yang melepaskan dan yang membinasakan, yang tempatnya itu hati. Dan telah kami sebutkan penguraiannya pada Rubu’ Yang Membinasakan dan Yang melepaskan. Taat dan maksiat itu terbagi kepada: yang menyangkut dengan anggota badan yang 7 dan kepada yang dihubungkan kepada seluruh badan. Seperti lari dari barisan perang, durhaka kepada ibu bapak dan tinggal pada tempat yang haram. Dan wajiblah pada masing-masing dari yang tidak disukai itu, bertafakkur/berfikir pada 3 perkara:
Pertama: tafakkur/memikirkan, bahwa adakah yang tidak disukai itu, tidak disukai pada sisi Allah atau tidak ? kerap-kali sesuatu yang tidak terang keadaannya itu tidak disukai, akan tetapi dapat diketahui dengan penelitian yang halus.
Kedua:    memikirkan, bahwa yang tidak disukai itu, jikalau benar dia itu tidak disukai, maka apakah jalan menjaga daripadanya ?
Ketiga:    bahwa yang tidak disukai ini, adakah dia itu bersifat sekarang dengan yang demikian, maka ditinggalkannya. Atau ia akan mendatangi padanya pada masa mendatang. Maka ia akan menjaga diri daripadanya. Atau telah dikerjakannya pada hal keadaan yang lampau, lalu ia berhajat kepada mengerjakan nya kembali. Seperti demikian juga, setiap sesuatu dari yang disukai, terbagi kepada bagian-bagian ini.
Maka apabila dikumpulkan bagian-bagian ini, niscaya bertambahlah jalan-jalannya pikiran pada bagian-bagian ini kepada 100. Dan hamba itu terdorong kepada pikiran, adakalanya pada semua bagian-bagian tersebut atau pada yang terbanyak daripadanya. Dan uraian dari masing-masing bagian-bagian ini akan panjang. Akan tetapi, terbataslah bagian ini pada 4 macam, yaitu: taat, maksiat, sifat-sifat yang membinasakan dan sifat-sifat yang melepaskan. Maka marilah kami sebutkan pada masing-masing macam tersebut, akan contoh, untuk dibandingkan dengan contoh tersebut oleh murid akan lain-lainnya. Dan terbukalah baginya pintu pikir dan meluaslah kepadanya jalan pikir itu.
Pertama: perbuatan-perbuatan maksiat. Seyogyalah insan itu memeriksa pada pagi setiap hari, akan semua anggota badannya yang 7, dengan terurai. Kemudian badannya dengan tidak terperinci. Adakah dia pada waktu sekarang mengerjakan maksiat, maka akan ditinggalkannya ? atau telah dikerjakannya kemarin, maka akan dihadapinya perbuatan maksiat itu dengan ditinggalkan dan penyesalan. Atau dia akan mengerjakan perbuatan maksiat itu pada siang-harinya. Maka ia bersedia untuk menjaga diri dan menjauhkan diri daripadanya. Maka ia memperhatikan tentang lidah dan ia mengatakan: bahwa lidah itu mengerjakan umpatan, dusta, membersihkan diri, mengejek orang lain, berbuat ria, bersenda-gurau dan terjun mengerjakan pada yang tidak penting. Dan lain-lainnya dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai. Maka pertama-tama, ia menetapkan pada dirinya, bahwa dirinya itu tidak disukai pada sisi Allah Ta’ala. Ia bertafakkur/berfikir pada dalil-dalil Alquran dan Sunnah atas sangatnya azab pada yang demikian. Kemudian, ia bertafakkur/berfikir pada hal keadaannya, bahwa bagaimana ia mengerjakan perbuatan maksiat itu, tanpa disadarinya. Kemudian, ia bertafakkur/berfikir bahwa bagaimana ia menjaga diri dari yang demikian. Dan ia tahu, bahwa tidak sempurna baginya yang demikian, selain dengan uzlah (mengasingkan diri) dan bersendirian. Atau dengan tidak duduk-duduk, selain dengan orang baik-baik (orang shalih), yang taqwa, yang akan menantangnya, manakala ia berbicara dengan yang tidak disukai oleh Allah. Kalau tidak demikian, maka ia meletakkan batu pada mulutnya, apabila ia duduk-duduk dengan orang lain. Sehingga adalah yang demikian itu memperingatkannya. Maka begitulah adanya pikiran tentang daya-upaya menjaga diri. Ia berfikir pada pendengarannya, bahwa ia mencurahkan pendengarannya kepada umpatan, dusta, kata yang tidak berfaedah, kepada main-main dan bid’ah (yang diada-adakan). daya-upaya yang dimaksudkan untuk melemahkannya dan merombakkan nya. Bahwa yang demikian itu, sesungguhnya didengarnya dari si Zaid dan ‘Amr. Bahwa seyogyalah ia menjaga diri dari yang demikian, dengan berpindah atau dengan melarang dari yang munkar. Manakala telah ada yang demikian, maka ia berfikir tentang perutnya, bahwa ia berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala tentang perut itu, dengan makan dan minum. Adakalanya dengan banyaknya makan dari yang halal. Maka yang demikian itu makruh pada sisi Allah dan menguatkan nafsu syahwat, yang menjadi senjata setan musuh Allah. Adakalanya dengan yang haram atau karena syubhat (diragukan). Maka ia perhatikan, darimanakah makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, usahanya dan apa usahanya. Dan ia berfikir pada jalan yang halal dan tempat-tempat masuknya. Kemudian, ia berfikir pada jalan daya-upaya pada berusaha dan menjaga dari yang haram. Dan menetapkan atas dirinya, bahwa ibadah seluruhnya itu lenyap serta memakan yang haram. Dan bahwa memakan yang halal adalah sendi ibadah seluruhnya. Dan Allah Ta’ala tidak akan menerima shalat hamba, yang pada harga kainnya ada dirham haram, sebagaimana dibentangkan oleh hadits dengan yang demikian. Maka begitulah ia berfikir pada semua anggota badannya. Maka pada kadar ini mencukupilah daripada diadakan penyelidikan. Manakala telah berhasil dengan memikirkan itu, akan hakikat/makna ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan hal keadaan ini, niscaya ia berbuat dengan al-muraqabah (memperhatikan perbuatan diri) sepanjang hari. Sehingga ia dapat menjaga anggota-anggota badannya dari yang demikian.
Kedua, yaitu: amalan taat. Maka pertama-tama ia melihat pada ibadah fardhu/wajib yang diwajibkan kepadanya, bagaimana ia melaksanakannya. Bagaimana ia menjaganya dari kekurangan dan keteledoran. Atau bagaimana ia menampalkan kekurangannya dengan membanyakkan ibadah-ibadah sunat. Kemudian ia kembali kepada anggota badan, anggota demi anggota. Lalu ia berfikir pada perbuatan-perbuatan yang menyangkut dengan dia, dari apa yang disukai oleh Allah Ta’ala. Lalu ia mengatakan umpamanya: “Bahwa mata diciptakan untuk memandang pada kerajaan langit dan bumi, sebagai pengajaran. Dan supaya dipakai pada taat kepada Allah Ta’ala. Dan mata itu memandang pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Dan aku sanggup pada menyibukkan mata dengan membaca Alquran dan Sunnah. Maka mengapa tidak aku memperbuatnya ? aku sanggup melihat kepada si Anu yang taat, dengan mata penghormatan. Maka aku masukkan kegembiraan kepada hatinya. Dan aku melihat kepada si Anu yang fasik, dengan mata penghinaan. Maka aku cegah dia dengan yang demikian dari kemaksiatannya. Maka mengapa aku tidak memperbuatnya ?”. Dan seperti demikian juga, ia mengatakan pada pendengarannya: “Bahwa aku sanggup mendengar perkataan yang sungguh-sungguh atau mendengar hikmat dan ilmu atau mendengar bacaan Alquran dan dzikir. Maka mengapakah aku mengosongkannya dan Allah menganugerahkan nikmat kepadaku dengan yang demikian ? dan Allah menyimpankannya padaku untuk aku mensyukuriNya ? maka mengapa aku kufur kepada nikmat Allah padanya dengan menyia-nyiakan atau mengosongkannya ?”.
Seperti demikian juga, ia berfikir pada lidah dan ia mengatakan: “Bahwa aku sanggup mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan mengajar, memberi pengajaran dan berbuat kasih-sayang kepada hati orang-orang shalih dan dengan menanyakan hal-ihwal orang-orang miskin dan memasukkan kegembiraan kepada hati si Zaid yang shalih dan si ‘Amr yang alim, dengan kalimat yang baik. Dan setiap kalimat yang baik itu sedekah”. Seperti yang demikian juga, ia bertafakkur pada hartanya, maka ia mengatakan: “Bahwa aku sanggup bersedekah dengan harta anu. Bahwa aku tidak memerlukan kepadanya. Dan manakala aku memerlukan kepadanya, niscaya Allah Ta’ala menganugerahkan aku negeri yang seperti demikian. Dan jikalau aku memerlukan sekarang, maka aku lebih memerlukan kepada pahala dengan mengutamakan harta itu kepada orang lain, daripada harta itu untuk aku sendiri”.
Begitulah ia memeriksa dari semua anggota badannya, seluruh badan dan hartanya. Bahkan dari binatang ternaknya, hamba-sahayanya dan anak-anaknya. Bahwa setiap yang demikian itu adalah alat-alat dan sebab-sebab baginya. Dan ia sanggup mentaati Allah Ta’ala dengan yang demikian. Maka ia mengambil pemahaman dengan pikiran yang halus, akan segala cara taat yang mungkin dan dengan berfikir pada apa, yang menggemarkannya pada bersegera kepada taat itu. Dan ia berfikir pada keikhlasan niat padanya. Dan ia mencari baginya tempat-tempat sangkaan berhak, sehingga bersihlah dengan yang demikian itu amalnya. Dan bandingkanlah atas ini, akan amalan-amalan taat yang lain!
Ketiga: maka yaitu sifat-sifat yang membinasakan, yang tempatnya itu hati. Maka diketahuinya akan sifat-sifat yang membinasakan itu, dari yang telah kami sebutkan pada Rubu’ Yang Membinasakan. Yaitu: berkuasanya nafsu syahwat, marah, kikir, takabur, ‘ujub/mengherani diri, ria, dengki, jahat sangka, lalai, terperdaya dll dari yang demikian itu. Ia menghilangkan dari hatinya akan sifat-sifat ini. Kalau ia menyangka, bahwa hatinya suci dari sifat-sifat tersebut, maka ia bertafakkur tentang bagaimana mengujinya dan mencari kesaksian dengan tanda-tanda padanya. Bahwa diri itu selalu menjanjikan dengan kebajikan dan dirinya dan ia menyalahinya. Maka apabila ia mendakwakan tawadlu’ (merendahkan diri) dan terlepas dari takabur, maka seyogyalah bahwa ia mencobanya, dengan membawa berkas kayu api di pasar, sebagaimana orang-orang dahulu mencobakan dirinya dengan yang demikian. Apabila diri itu mendakwakan tidak lekas marah, niscaya ia datang kepada marah yang diperolehnya dari orang lain. Kemudian, ia mencobanya pada menahan kemarahan itu. Dan seperti demikian juga pada sifat-sifat yang lain. Ini adalah tafakkur/memikirkan mengenai: adakah ia bersifat dengan sifat yang tidak disukai atau tidak ? dan bagi yang demikian itu ada tanda-tanda yang telah kami sebutkan pada Rubu’ Yang Membinasakan. Maka apabila ada tanda yang menunjukkan atas adanya, niscaya ia berfikir tentang sebab-sebab yang memburukkan sifat-sifat itu padanya. Dan ia menerangkan bahwa asal kejadiannya, ialah dari kebodohan, kelalaian dan keji batinnya.
Sebagaimana ia melihat pada dirinya sifat ‘ujub (mengherani diri) dengan amal, lalu ia berfikir dan mengatakan: “Bahwa amalku dengan badanku dan anggota tubuhku, dengan kesanggupanku dan kehendakku. Dan setiap yang demikian itu tidaklah daripadaku dan tidak kepadaku. Sesungguhnya itu adalah dari ciptaan Allah dan kurnia ALLAH kepadaku. Maka Dialah yang menjadikan aku, menjadikan anggota badanku dan menjadikan kemampuan dan kehendakku. Dialah yang mengerakkan anggota-anggota tubuhku dengan Qudrah (kuasa/kemampuanNya). Dan seperti demikian juga kemampuanku dan kehendakku. Maka bagaimanakah aku merasa ‘ujub(mengherani diri)  dengan amalku atau dengan diriku ? dan aku tidak berdiri bagi diriku dengan diriku”. Maka apabila ia merasa pada dirinya dengan takabur (kesombongan), niscaya ia menetapkan atas dirinya, apa yang padanya kedunguan. Dan ia mengatakan kepada dirinya: “Mengapa engkau melihat diri engkau lebih besar ? dan yang besar itu, ialah orang yang besar di sisi Allah”. Yang demikian itu tersingkap sesudah mati. Berapa banyak kafir pada masa sekarang, yang mati sebagai orang yang mendekatkan diri kepada Allah, dengan tercabutnya dari kekafiran? berapa banyak orang yang Islam, yang mati dengan kedurhakaan, dengan berobah keadaannya ketika mati, dengan buruk kesudahan (suul-khatimah).
Apabila ia mengetahui, bahwa takabur (mau tinggi sebenang dari orang lain/sombong) itu membinasakan dan bahwa asalnya itu dungu, maka ia berfikir pada mengobati menghilangkan yang demikian, dengan ia berbuat dengan perbuatan orang-orang yang merendahkan diri (al-mutawadli-‘in). Apabila ia mendapati padanya akan keinginan kepada makanan dan kerakusannya, niscaya ia berfikir, bahwa itu adalah sifat binatang. Jikalau ada nafsu keinginan kepada makanan dan bersetubuh itu kesempurnaan, niscaya adalah yang demikian itu dari sifat-sifat Allah dan sifat-sifat malaikat, seperti: ilmu dan Qudrah ( kuasa/ kemampuan). Dan tatkala binatang yang bersifat dengan yang demikian dan manakala sifat rakus lebih keras padanya, niscaya adalah dia lebih menyerupai dengan binatang. Dan adalah lebih jauh dari para malaikat yang dekat dengan Allah Ta’ala (al-muqarrabin). Seperti demikian juga ia menetapkan atas dirinya pada sifat marah. Kemudian ia berfikir pada jalan mengobatinya. Dan masing-masing yang demikian itu telah kami sebutkan pada Kitab-kitab ini. Maka siapa yang berkehendak untuk memperoleh keluasan jalan berfikir kepadanya, maka tidak boleh tidak daripada menghasilkan apa yang tersebut dalam Kitab-kitab ini.
Keempat, yaitu: sifat-sifat yang melepaskan. Yaitu: taubat, penyesalan atas dosa, sabar atas bala-percobaan, bersyukur atas segala nikmat, takut dan harap, zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia)  di dunia, ikhlas dan benar pada taat, mencintai Allah dan mengagungkanNya, ridha/rela dengan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, rindu kepadaNya, khusyu’ dan tawadlu’ (merendahkan diri) kepadaNya. Dan semua yang demikian itu telah kami sebutkan pada Rubu’ ini. Dan telah kami sebutkan sebab-sebab dan tanda-tandanya. Maka hendaklah hamba itu berfikir setiap hari dalam hatinya: apakah yang memerlukannya dari sifat-sifat ini, yang mendekatkannya kepada Allah Ta’ala ? maka apabila ia berhajat kepada sesuatu daripadanya, maka hendaklah ia ketahui, bahwa itu adalah hal-ihwal yang tidak dihasilkan, selain oleh ilmu pengetahuan. Dan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak dihasilkan, selain oleh fikiran-fikiran.
Maka apabila ia menghendaki bahwa mengusahakan bagi dirinya, akan hal-ihwal taubat dan penyesalan, maka pertama-tama hendaklah ia memeriksa dosanya. Dan hendaklah ia berfikir tentang dosa-dosa itu ! dan hendaklah ia mengumpulkannya atas dirinya ! dan hendaklah ia memandang besar pada hatinya! kemudian, hendaklah ia memperhatikan tentang janji azab (al-wa’id) dan pengerasan, yang tersebut pada syara’ (agama) tentang yang demikian. Dan hendaklah ia mentahkikan (mencari yg sebenarnya) pada dirinya, bahwa ia mendatangkan bagi kutukan Allah Ta’ala. Sehingga membangkitlah baginya keadaan penyesalan. Apabila ia menghendaki bahwa membangkitkan keutamaan dari hatinya, akan hal-keadaan syukur, maka hendaklah ia memandang kepada ihsan (berbuat kebaikan) Allah kepadanya, nikmat-nikmatNya kepadanya dan pada dilepaskanNya akan keelokan tiraiNya kepadanya, menurut apa yang telah kami uraikan sebahagian daripadanya pada Kitab Syukur. Maka hendaklah dibacakan yang demikian !
Apabila ia berkehendak akan hal-keadaan cinta dan rindu, maka hendaklah ia berfikir pada keagungan Allah dan keelokanNya, kebesaranNya dan kemaha-besaranNya. Dan yang demikian itu, ialah dengan memandang kepada keajaiban hikmahNya dan kebagusan ciptaanNya. Sebagaimana akan kami isyaratkan kepada suatu tepi daripadanya pada bahagian kedua dari fikir.
Apabila ia berkehendak akan hal-ihwal takut, maka hendaklah pertama-tama ia melihat pada dosa-dosanya, yang lahir/zahiriyah dan yang batin/batiniyah.
Kemudian, hendaklah ia melihat kepada mati dan sakaratnya (sakratul-maut).
Kemudian, mengenai yang sesudahnya dari: pertanyaan Munkar dan Nakir, azab kubur, ular-ularnya. Kalajengking-kalajengkingnya dan ulat-ulatnya.
Kemudian, tentang huru-hara panggilan ketika tiupan sangkakala.
Kemudian, tentang huru-hara hari dihimpunkan (hari mahsyar), ketika dikumpulkan semua makhluk di atas suatu dataran tinggi.
Kemudian, tentang bersoal-jawab pada penghitungan amal (al-hisab), bersempit-sempitan pada yang sedikit dan yang lebih sedikit.
Kemudian, tentang titian (shiratul-mustaqim), halusnya dan tajamnya.
Kemudian, tentang bahaya keadaan padanya, bahwa dia akan diarahkan ke kiri. Maka adalah dia dari isi neraka. Atau diarahkan ke kanan, maka ia ditempatkan pada negeri ketetapan (sorga).
Kemudian, hendaklah ia menghadirkan dalam hatinya, sesudah huru-hara kiamat, akan bentuk neraka jahannam, tingkat-tingkat bawahnya, besi-besi pemukulnya, huru-haranya, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya, buah kayu zaqumnya, air nanah-air nanahnya dan berbagai macam azab di dalamnya. Dan buruknya bentuk malaikat pengawal neraka (malaikat zabaniah), yang diserahkan urusan neraka kepadanya. Bahwa isi neraka itu, setiap kali telah hangus kulitnya, niscaya digantikan dengan kulit yang lain. Dan setiap kali mereka menghendaki keluar dari neraka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. Dan bahwa mereka apabila melihat neraka itu dari tempat jauh, niscaya mereka mendengar bagi neraka itu keadaan marah dan memekik.
Dan begitulah seterusnya kepada semua yang tersebut dalam Alquran daripada uraiannya. Apabila ia berkehendak bahwa mendatangkan keadaan harapan, maka hendaklah ia memandang kepada sorga dan nikmatnya, pohon-pohonan dan sungai-sungainya, bidadari dan anak-anak daranya, nikmatnya yang berkekalan dan kerajaannya yang terus-menerus. Maka begitulah jalan berfikir, yang dengan berfikir itu, ia mencari ilmu pengetahuan, yang membuahkan harapan hal-hal yang disukai atau bersih dari sifat-sifat yang tercela.
Dan telah kami sebutkan pada masing-masing dari hal ihwal ini dalam suatu kitab yang tersendiri, yang dengan kitab itu, memperoleh pertolongan kepada penguraian fikir. Adapun dengan menyebutkan kesemuanya, maka tidak diperoleh padanya yang lebih bermanfaat, daripada membaca Alquran dengan memikirkan. Maka yang demikian itu mengumpulkan bagi semua maqam dan hal keadaan. Dan padanya obat bagi semesta alam. Padanya yang mewariskan takut dan harap, sabar dan syukur, cinta dan rindu dan hal-hal lainnya. Padanya yang mencegah dari sifat-sifat yang tercela lainnya. Maka seyogyalah bahwa Alquran itu dibacakan oleh hamba dan diulang-ulanginya ayat, dimana ia memerlukan kepada berfikir padanya berkali-kali, walaupun 100 kali. Maka membaca ayat dengan memikirkan dan paham itu lebih baik daripada mengkhatamkannya (membaca sampai tamat), dengan tidak ada pemahaman yang mendalam dan paham. Maka hendaklah ia berhenti sebentar pada memperhatikannya, walaupun satu malam. Bahwa di bawah setiap kalimat daripadanya itu ada rahasia-rahasia yang tidak terhinggakan. Dan tidak dihentikan padanya, selain dengan kehalusan pikiran, dari kebersihan hati, sesudah besarnya mu’amalah (perniagaan).
Seperti demikian juga membaca hadits-hadits Rasulullah saw, bahwa telah didatangkan kepadanya kalimat yang menghimpunkan. Dan setiap kalimat dari kalimat-kalimatnya itu lautan dari lautan-lautan hikmah. Dan jikalau diteliti oleh orang yang berilmu, dengan penelitian yang sebenar-benarnya, niscaya tidaklah terputus padanya pandangannya sepanjang umurnya. Dan penguraian masing-masing ayat dan hadits itu akan panjang. Maka perhatikanlah kepada sabda Nabi saw: “Bahwa Ruhul-qudus (Ruh-Suci) itu meludah dalam hatiku: “Cintailah siapa yang engkau cintai, maka engkau akan berpisah dengan dia ! dan bekerjalah (beramallah) akan apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan dibalaskan dengan amal itu ! dan hiduplah akan apa yang engkau kehendaki, maka engkau akan mati !”.
Bahwa kalimat-kalimat ini mengumpulkan hikmah-hikmah orang-orang yang dahulu dan orang-orang yang kemudian. Dan itu mencukupi bagi orang-orang yang menelitinya sepanjang umur. Apabila mereka mengerti makna-maknanya dan mengerasi kepada hati mereka oleh kerasnya keyakinan, niscaya makna-maknanya itu habislah bagi mereka. Dan yang demikian itu mendindingkan diantara mereka dan diantara berpaling kepada dunia dengan keseluruhan. Maka ini adalah jalan fikiran tentang ilmu pengetahuan mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan sifat-sifat hamba, dari segi bahwa sifat-sifat itu disukai pada sisi Allah Ta’ala atau tidak disukai. Dan orang yang pada tingkat permulaan, seyogyalah bahwa ada ia menghabiskan waktu pada fikiran-fikiran ini. Sehingga ia membangunkan hatinya dengan akhlak terpuji dan maqam yang mulia. Ia membersihkan batinnya dan tampak luarnya/dzahiriya hari segala yang tidak disukai. Dan hendaklah ia ketahui, bahwa ini serta dianya ini yang lebih utama dari ibadah-ibadah yang lain, tidaklah dia itu baginya tuntutan yang penghabisan. Bahkan yang disibukkan itu terdinding dari tuntutan orang-orang siddik. Yaitu: bernikmat-nikmatan dengan memikirkan tentang keagungan Allah Ta’ala dan keelokanNya. Dan habisnya hati, dimana ia fana (lenyap) dari dirinya, hal-ihwalnya, maqam-maqamnya dan sifat-sifatnya. Maka adalah ia yang menghabiskan cita-cita dengan yang dicintai, seperti orang yang rindu, yang membuta-tuli ketika bertemu dengan yang dicintai. Maka ia menghabiskan tenaganya untuk memandang akan hal-ihwal yang dicintai dan sifat-sifatnya. Bahkan ia terus seperti orang yang tercengang, yang lupa diri. Dan itulah kelezatan yang penghabisan bagi orang-orang yang rindu.
Adapun apa yang telah kami sebutkan, maka itu adalah memikirkan pada pembangunan batiniyah, supaya ia patut untuk dekat dan bersambung. Maka apabila ia menyia-nyiakan semua umurnya pada memperbaiki dirinya, maka kapankah ia bernikmat-nikmatan dengan dekat itu ? dan karena itulah, Ibrahim Al-Khawwash berkeliling di desa-desa, lalu bertemu dengan Al-Husein bin Manshur. Al-Husain bin Manshur bertanya: “Pada apa engkau ini ?”. Ibrahim Al-Khawwash menjawab: “Aku berkeliling di desa-desa, supaya patut keadaanku pada tawakkal”. Lalu Al-Husain berkata: “Engkau habiskan umur engkau pada membangun batiniyah engkau. Maka dimanakah untuk menghabiskan pada keesaan allah ?”. Menghabiskan umur pada Yang Maha Esa, Yang Maha Benar adalah penghabisan maksud orang-orang yang mencari dan kesudahan kenikmatan bagi orang-orang siddik.
Adapun membersihkan diri dari sifat-sifat yang membinasakan, maka berlaku sebagai berlakunya keluar dari ‘iddah pada perkawinan. Adapun bersifat dengan sifat-sifat yang melepaskan dan amalan-amalan taat yang lain, maka berlaku sebagai berlakunya penyediaan wanita dengan kelengkapannya (tempat tidur dll), membersihkan wajahnya dan menyisir rambutnya. Supaya pantas dia dengan yang demikian, untuk menemui suaminya. Maka jikalau ia menghabiskan semua umurnya pada melepaskan kasih-sayang dan menghiaskan muka, niscaya adalah yang demikian itu hijab baginya daripada menemui yang dicintai. Maka begitulah seyogyanya bahwa anda memahami jalan agama, jikalau anda itu dari orang-orang yang suka duduk-duduk. Jikalau adalah anda itu seperti hamba yang jahat, yang tidak bergerak, selain karena takut dari pukulan dan mengharap pada upah, maka tidaklah anda itu menyusahkan badan dengan amalan-amalan zahiriyah. Bahwa diantara anda dan hati itu ada hijab yang tebal. Maka apabila anda menunaikan amal dengan benar, niscaya adalah anda dari isi sorga. Akan tetapi, bagi duduk-duduk itu ada kaum-kaum yang lain. Apabila anda mengetahui jalan pikiran pada ilmu mu’amalah (pengurusan), yang diantara hamba dan Tuhannya, maka seyogyalah bahwa anda membuat yang demikian itu adat dan kebiasaan anda pada pagi dan petang. Maka jangan anda lalai dari diri anda dan dari sifat-sifat anda yang menjauhkan dari Allah Ta’ala dan hal-ihwal anda yang mendekatkan kepada Allah swt. Akan tetapi, seyogyalah bahwa ada bagi setiap murid catatan harian, yang dicantumkan padanya sejumlah sifat-sifat yang membinasakan, sejumlah sifat-sifat yang melepaskan dan sejumlah perbuatan maksiat dan perbuatan taat. Dan ia mengemukakan dirinya kepada yang demikian itu setiap hari. Dan mencukupilah baginya daripada sifat-sifat yang membinasakan, dengan memperhatikan pada 10 perkara. Maka jikalau ia selamat dari 10 perkara itu, niscaya selamat ia dari lainnya.
Yaitu: kikir, takabur, ‘ujub/mengherani diri, ria, dengki, sangat marah, rakus kepada makanan, rakus kepada bersetubuh, cinta harta dan cinta kemegahan. Dan dari sifat-sifat yang melepaskan itu 10 perkara, yaitu: sesal atas dosa, sabar atas bala-bencana, ridha dengan qodo/takdir, syukur atas nikmat, sederhana dengan ketakutan dan harapan, zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia)  di dunia, ikhlas pada segala perbuatan, baik akhlak dengan makhluk, mencintai Allah Ta’ala dan khusyu’ kepadaNya. Maka inilah 20 perkara. 10 yang tercela dan 10 yang terpuji.
Manakala ia terpelihara dari sifat-sifat yang tercela itu satu sifat, maka ia menggariskan atas sifat itu dalam catatan hariannya. Ia tinggalkan berfikir pada sifat itu dan ia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas terpeliharanya dari sifat tersebut. Dan suci hatinya daripadanya. Dan ia mengetahui bahwa yang demikian itu tidak akan sempurna, selain dengan taufik dan pertolongan Allah Ta’ala. Jikalau ia serahkan kepada dirinya, niscaya ia tidak akan mampu mengikiskan sifat kehinaan yang paling kurang dari dirinya. Lalu ia menghadap kepada 9 sifat yang masih tinggal. Begitulah ia berbuat, sehingga ia menggariskan atas semua sifat-sifat itu. Demikian juga ia menuntut dirinya, dengan bersifat dengan sifat-sifat yang melepaskan. Maka apabila ia telah bersifat dengan salah satu daripadanya, seperti: taubat dan sesal umpamanya, niscaya ia gariskan atasnya. Dan ia berbuat dengan yang masih tinggal. Dan ini diperlukan oleh murid yang menyediakan diri untuk itu.
Adapun kebanyakan manusia dari orang-orang yang terhitung dari orang-orang shalih, maka seyogyalah bahwa mencantumkan dalam catatan harian mereka, akan perbuatan-perbuatan maksiat yang tampak, seperti makan harta syubhat (diragukan), melepaskan lidah dengan umpatan, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, ria, memuji diri, berlebih-lebihan pada permusuhan dengan musuh-musuh, mewalikan wali-wali, berminyak-minyak air dengan makhluk pada meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat yang kejahatan),
Maka kebanyakan orang yang menghitung dirinya dari wajah orang-orang shalih, tidaklah terlepas dari sejumlah perbuatan maksiat pada anggota-anggota tubuhnya. Dan yang tidak dilahirkan oleh anggota tubuh dari dosa-dosa, niscaya tidak mungkin berbuat dengan membangun hati dan mensucikannya. Bahkan setiap golongan dari manusia itu mengerasi atas mereka oleh semacam perbuatan maksiat. Maka seyogyalah bahwa mereka mencari maksiat itu dan berfikir padanya. Tidak pada perbuatan-perbuatan maksiat yang mereka tersisih daripadanya. Contohnya: orang alim yang wara’. Bahwa ia tidak terlepas pada kebiasaan keadaan, daripada melahirkan dirinya, dengan: berilmu, mencari kemasyhuran dan tersiar suaranya kemana-mana. Adakalanya dengan mengajar atau dengan memberi pengajaran. Dan siapa yang berbuat demikian, niscaya ia menghadapi fitnah besar, yang tidak akan terlepas daripadanya, selain orang-orang siddik. Maka jikalau perkataannya diterima orang, baik kesannya dalam hati manusia, niscaya ia tidak terlepas dari mengherani diri dan angkuh, menghias-hiasi dan berbuat-buat perkataan. Dan yang demikian itu termasuk yang membinasakan. Kalau perkataannya ditolak, niscaya ia tidak terlepas dari kemarahan, keras hidung dan dengki kepada orang yang menolaknya. Dan itu lebih banyak dari kemarahannya kepada orang yang menolak perkataan orang lain. Kadang-kadang setan menipunya dan mengatakan: “Bahwa kemarahan engkau itu dari segi bahwa orang itu menolak kebenaran dan menantangnya”. Jikalau ia memperoleh perbedaan, diantara perkataannya ditolak kepadanya atau ditolak kepada orang alim yang lain, maka dia itu tertipu dan menjadi tertawaan setan. Kemudian, manakala ada baginya kesenangan hati dengan diterima perkataannya, merasa gembira dengan pujian, merasa besar diri dari ditolak atau tidak dipandang, niscaya ia tidak terlepas dari memberat-beratkan diri dan berbuat-buat untuk membaguskan kata-kata dan mengemukakannya. Karena ingin menarik pujian. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang memberat-beratkan diri. Setan kadang-kadang menipunya dan mengatakan: “Bahwa keinginan engkau pada membaguskan kata-kata dan memberat-beratkan diri padanya adalah untuk mengembangkan kebenaran dan membaguskan kesannya dalam hati, untuk meninggikan agama Allah”. Jikalau ada kegembiraannya dengan bagus kata-katanya dan pujian manusia kepadanya itu lebih banyak daripada kegembiraannya dengan pujian manusia kepada salah seorang dari teman-temannya, maka dia itu tertipu. Sesungguhnya mereka itu berputar di sekeliling mencari kemegahan dan ia menyangka bahwa tuntutannya ialah agama.
Manakala kandungan hatinya (dlamirnya) bercampur dengan sifat-sifat tersebut, niscaya tampaklah yang demikian atas zahiriyahnya. Sehingga adalah bagi orang yang dimuliakan dan diyakinkan kelebihannya itu lebih banyak penghormatan. Dan adalah ia dengan pertemuannya itu lebih bergembira dan bersenang hati daripada orang yang berlebih-lebihan pada menolong orang lain. Walaupun orang lain itu berhak untuk ditolong.
Kadang-kadang berkesudahan persoalan itu dengan ahli ilmu, kepada mereka itu bercemburu, sebagaimana cemburunya kaum wanita. Maka menyusahkan kepada seseorang mereka bahwa pulang pergi sebahagian muridnya kepada orang lain. Walaupun ia tahu, bahwa muridnya itu mengambil manfaat dengan orang lain itu dan memperoleh faedah daripadanya pada agamanya. Semua yang demikian itu menyaring sifat-sifat yang membinasakan, yang tersembunyi dalam rahasia hati, yang kadang-kadang orang yang berilmu itu menyangka terlepas daripadanya. Dan dia itu terperdaya pada yang demikian.
Sesungguhnya tersingkaplah yang demikian itu dengan tanda-tanda ini. Cobaan bagi orang yang berilmu itu besar. Dan orang yang berilmu itu, adakalanya dia itu yang memiliki diri dan adakalanya dia itu yang binasa. Dan tak ada harapan baginya pada keselamatan orang awam. Maka barangsiapa merasakan pada dirinya, dengan sifat-sifat itu, niscaya yang wajib atasnya, ialah mengasingkan diri (al-uzlah), menyendiri, meminta tidak dikenal dan menolak memberi fatwa-fatwa manakala ditanyakan. Adalah masjid pada zaman para sahabat ra itu tempat berkumpul sekumpulan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Semua mereka itu sanggup mengeluarkan fatwa. Dan semua mereka itu menolak untuk memberikan fatwa. Dan setiap yang dimintakan fatwanya, maka ia ingin bahwa mencukupilah fatwa itu oleh orang lain. Maka ketika ini, seyogyalah bahwa ia menjaga diri dari setan-setan manusia, apabila mereka mengatakan: “Jangan engkau kerjakan ini !”. Bahwa pintu ini jikalau dibuka, niscaya terhapuslah ilmu pengetahuan dari antara makhluk.
Dan hendaklah ia mengatakan kepada mereka: “Bahwa agama Islam itu tidak memerlukan kepadaku. Bahwa agama Islam itu sudah terbangun sebelum aku. Dan seperti demikian juga, ia akan ada sesudahku. Jikalau aku mati, niscaya tidak akan roboh sendi-sendi Islam. Bahwa agama ini tidak memerlukan kepadaku. Adapun aku maka tidaklah aku terlepas dari perbaikan hatiku”. Adapun terbawanya yang demikian kepada terhapusnya ilmu maka itu adalah khayal atas penghabisan bodoh. Bahwa manusia jikalau ditahan dalam penjara, diikat dengan ikatan-ikatan dan dijanjikan dengan neraka karena menuntut ilmu, niscaya kesukaan menjadi kepala dan ketinggian, membawa mereka kepada menghancurkan ikatan, merobohkan dinding benteng dan keluar daripadanya dan bekerja dengan menuntut ilmu.
Ilmu itu tidak akan terhapus selama setan itu mengajak makhluk kepada mencintai menjadi kepala. Dan setan itu tidak akan luntur dari pekerjaannya sampai hari kiamat. Bahkan akan bangkit beberapa kaum untuk mengembangkan ilmu, yang tiada keuntungan bagi mereka di akhirat, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: Bahwa Allah menguatkan agama ini dengan orang-orang yang tiada mempunyai akhlak”. Dan sabda Nabi saw: “Bahwa Allah menguatkan agama ini dengan orang yang zalim”. Maka tiada seyogyalah orang berilmu itu terpedaya dengan penipuan-penipuan ini. Lalu ia menyibukkan diri dengan bercampur-aduk dengan makhluk. Sehingga terdidiklah dalam hatinya kecintaan kepada kemegahan, pujian dan kehormatan. Bahwa yang demikian itu adalah bibit kemunafikan. Nabi saw bersabda: “Mencintai kemegahan dan harta itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran”. Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang buas, yang dilepaskan dalam kandang kambing itu lebih banyak mendatangkan kerusakan padanya, dibandingkan dengan cinta kepada kemegahan dan harta, pada agama manusia muslim”. Tidaklah tercabut kecintaan kepada kemegahan dari hati, selain dengan mengasingkan diri dari manusia, lari dari bercampur-baur dengan mereka dan meninggalkan apa yang melebihkan kemegahannya dalam hati mereka. Hendaklah fikiran orang yang berilmu itu pada meneliti yang tersembunyi dari sifat-sifat yang tersebut itu dari hatinya. Dan pada mencari jalan kelepasan daripadanya. Dan ini adalah tugas orang yang berilmu, yang taqwa.
Adapun orang-orang yang seperti kita, maka seyogyalah bahwa ada tafakkur kita itu, pada yang menguatkan iman kita dengan hari perhitungan amal (yaumul-hisab). Karena, jikalau kita dilihat oleh orang-orang dahulu yang shalih, niscaya mereka mengatakan dengan pasti: “Bahwa mereka itu (kita ini) tidak beriman dengan hari perhitungan amal”. Tidaklah amal kita itu amal orang yang beriman dengan sorga dan neraka. Bahwa orang yang takut akan sesuatu, niscaya ia lari daripadanya. Dan siapa yang mengharap akan sesuatu, niscaya ia mencarinya.
Dan telah kita ketahui, bahwa lari dari neraka itu meninggalkan syubhat (diragukan) dan yang haram dan dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Sedang kita rajin padanya. Dan bahwa mencari sorga itu ialah dengan memperbanyak amalan taat yang sunat-sunat. Dan kita menyingkatkan pada yang fardhu-fardhu saja daripadanya. Maka tidaklah berhasil bagi kita dari buah ilmu, selain bahwa orang mengikuti kita pada kelobaan kepada dunia dan kerakusan padanya. Dan orang mengatakan, bahwa jikalau perbuatan ini tercela, niscaya adalah para ulama itu lebih berhak dan lebih utama dengan menjauhkannya, dibandingkan dengan kita. Maka semoga adalah kita ini seperti orang awam, apabila kita mati, maka matilah bersama kita dosa-dosa kita”. Maka alangkah besarnya fitnah yang mendatangi kita, jikalau kita berfikir.
Maka marilah kita bermohon kepada Allah Ta’ala bahwa Ia mendatangkan perbaikan bagi kita dan terjadi perbaikan dengan sebab kita. Dan dianugerahkannya kepada kita taufiq dengan taubat, sebelum Ia mematikan kita. Bahwa ALLAH itu Maha Pemurah, Maha Lemah-lembut kepada kita, Yang Menganugerahkan nikmat kepada kita. Maka inilah tempat lalunya fikiran-fikiran para ulama dan orang-orang shalih dalam ilmu mu’amalah (perniagaan). Jikalau mereka telah selesai daripadanya, niscaya terputuslah berpalingnya mereka dari dirinya. Dan mereka mendaki daripadanya kepada berfikir pada keagungan Allah dan kebesaranNya. Dan bernikmat-nikmatan dengan musyahadah (penyaksian) kepadaNya dengan diri hati. Dan yang demikian itu, tiada sempurna, selain sesudah terlepas dari semua sifat yang membinasakan. Dan bersifat dengan semua sifat yang melepaskan. Dan kalau lahir sesuatu daripadanya sebelum yang demikian, niscaya adalah dia orang kemasukan yang sakit, yang keruh, lagi terputus. Dan adalah dia itu lemah, seperti kilat yang menyambar. Tiada akan tetap dan tiada akan terus-menerus. Dan adalah dia seperti orang yang rindu, yang berada di tempat yang sunyi dengan yang dirinduinya. Akan tetapi, dibawah kainnya ada ular dan kalajengking, yang akan menggigitnya berkali-kali. Maka keruhlah kepadanya kelezatan bermusyahadah (penyaksian). Tiada jalan baginya pada kesempurnaan kenikmatan itu, selain dengan mengeluarkan kalajengking dan ular tadi dari dalam kainnya. Sifat-sifat yang tercela itu ialah kalajengking dan ular. Dan itulah yang menyakitkan dan yang mengganggukan. Dan dalam kubur, bertambah sakit gigitannya di atas gigitan kalajengking dan ular. Sekedar ini mencukupilah pada memberitahukan kepada tempat lalunya fikiran hamba tentang sifat-sifat dirinya yang disukai dan yang tidak disukai pada sisi Tuhannya Yang Maha Tinggi.
Bahagian kedua: Fikiran tentang keAgungan Allah, KebesaranNya dan keMaha-BesarNya. Dan padanya ada 2 maqam:
Maqam yang tertinggi: ialah berfikir pada ZatNya, sifat-sifatNya dan makna-makna asmaNya. Dan ini termasuk dari apa yang dilarang, dimana dikatakan: “Berfikirlah pada makhluk Allah Ta’ala dan jangan kamu berfikir pada Zat Allah !”. Yang demikian itu, karena akal manusia akan tercengang-cengang padanya. Tidak akan mampu memanjangkan penglihatan kepadanya, selain orang-orang siddik. Kemudian, mereka itu tiada akan mampu terus-menerus memandang. Bahkan segala makhluk yang lain, keadaan penglihatan mereka, dengan dikaitkan kepada keagungan Allah Ta’ala, adalah seperti halnya penglihatan burung kelelawar, dengan dikaitkan kepada cahaya matahari. Maka burung kelelawar itu tidaklah mampu sekali-kali, bahkan ia bersembunyi pada siang hari. Ia hanya pulang-pergi pada malam hari. Ia akan melihat pada sisa cahaya matahari apabila jatuh di atas bumi. Dan hal-ihwal orang-orang siddik adalah seperti halnya insan, pada memandang kepada matahari. Ia mampu memandang kepadanya dan tidak akan mampu terus-menerus memandang. Ia takut kepada penglihatannya, jikalau ia terus-menerus memandang. Pandangannya yang menyambar kepada matahari itu dapat mewariskan kaburnya mata dan mencerai-beraikan penglihatan. Seperti demikian pula pandangan kepada Zat Allah Ta’ala, akan mewariskan keheranan, kedahsyatan dan kegoncangan akal. Jadi, maka yang benar, ialah bahwa ia tidak mendatangkan bagi tempat lalunya pikiran, mengenai Zat Allah swt dan sifat-sifatNya. Sesungguhnya kebanyakan akal manusia tiada akan dapat menanggungnya. Bahkan kadar yang sedikit yang ditegaskan oleh sebahagian ulama, yaitu: bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari tempat, Maha Suci dari penjuru dan arah, bahwa IA tidak di dalam alam dan tidak di luarnya, tidak Ia bersambung dengan alam dan tidak bercerai daripada alam, sesungguhnya yang demikian itu telah mengherankan akal beberapa golongan. Sehingga mereka itu menantangnya. Karena mereka tidak mampu mendengarnya dan mengetahuinya. Bahkan telah lemah suatu golongan daripada menanggung yang lebih kurang dari ini, ketika dikatakan kepada mereka: “Bahwa Dia Maha Besar dan Maha Tinggi, daripada bahwa ada bagiNya kepala, kaki, tangan, mata dan anggota badan. Bahwa ALLAH Maha Suci, bahwa IA itu tubuh yang berbentuk, mempunyai kadar dan ukuran. Lalu mereka menantang akan ini dan menyangka, bahwa yang demikian itu mencederakan pada kebesaran Allah dan keagunganNya. Sehingga sebahagian orang-orang dungu dari kalangan awam mengatakan: bahwa ini adalah sifat mentimun India, bukan sifat Tuhan. Karena disangka oleh orang yang patut dikasihani, bahwa keagungan dan kebesaran itu pada anggota-anggota badan. Dan ini, karena manusia tiada dikenalnya, selain dirinya, lalu ia tidak memandang besar, selain dirinya. Maka setiap apa yang tiada menyamainya pada sifat-sifatnya, maka ia tidak memahami akan keagungan padanya.
Ya, tujuannya bahwa ia mengumpamakan dirinya cantik bentuknya, yang duduk di atas tempat tidurnya. Dan dihadapannya budak-budaknya yang mengikuti perintahnya. Maka tidak ragu lagi, bahwa ia mengumpamakan yang demikian tentang Allah Ta’ala dan Dia itu yang Maha Suci dari segala keserupaan, sehingga ia memahami akan kebesaranNya. Bahkan, jikalau adalah bagi lalat itu akal dan dikatakan baginya: “Tidak adalah bagi Khaliq (yang maha pencipta) engkau itu dua sayap, tangan dan kaki dan tidak ada bagiNya terbang, niscaya lalat itu akan menantang yang demikian. Dan ia akan menjawab: “Bagaimana ada bagi TUHANku itu lebih kurang daripadaku ? adakah Ia tergunting sayap ? atau adakah Ia lumpuh, tidak sanggup untuk terbang? atau adakah bagiku alat dan kemampuan, yang tidak ada seperti yang demikian bagiNya, padahal Dia Tuhanku dan yang membentukkan aku ?”.
Akal kebanyakan makhluk itu mendekati dengan akal ini. Bahwa manusia itu sangat bodoh, zalim dan kufur. Dan karena itulah, diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada sebahagian nabi-nabiNya: “Janganlah engkau terangkan kepada hamba-hambaKu akan sifat-sifatKu. Nanti mereka itu menantang Aku. Akan tetapi, terangkanlah kepada mereka akan Aku, menurut yang dapat dipahami mereka”.
Tatkala adalah memandang pada Zat Allah Ta’ala dan sifat-sifatNya itu berbahaya dari segi ini, niscaya adab-kesopanan syara’ (agama) dan kebaikan makhluk menghendaki, bahwa tidaklah persoalan ini dikemukakan bagi tempat lalunya fikiran. Akan tetapi, kita berpaling ke maqam kedua. Yaitu: memandang pada Af’alNya (perbuatan-perbuatanNya), tempat lalu qadarNya (ketetapan dan taqdirNya), keajaiban ciptaanNya dan kebagusan urusanNya pada makhlukNya. Bahwa yang demikian itu menunjukkan atas keagunganNya, kemaha-besaranNya, kemaha-sucianNya dan kemaha-tinggianNya. Dan menunjukkan kepada kesempurnaan ilmuNya dan hikmahNya. Dan atas kelulusan kehendakNya dan qudrah/ kuasa Nya. Lalu ia memandang kepada sifat-sifatNya, dari kesan-kesan sifat-sifatNya. Sesungguhnya kita tidak sanggup memandang kepada sifat-sifatNya, sebagaimana kita sanggup memandang kepada bumi, manakala ia telah bercahaya dengan cahaya matahari. Dan kita mengambil dalil dengan yang demikian, atas besarnya cahaya matahari, dengan dikaitkan kepada cahaya bulan dan bintang-bintang yang lain. Karena cahaya bumi itu adalah dari bekas cahaya matahari. Dan memandang pada bekas itu menunjukkan atas yang mendatangkan bekas, akan dalil apa saja. Walaupun ia tidak berdiri pada tempat berdirinya pandangan pada diri yang mendatang kan bekas itu. Semua yang ada di dunia ini adalah salah satu dari bekas-bekas qudrah ( kuasa ) Allah Ta’ala, salah satu dari cahaya ZatNya. Bahkan tak ada gelap, yang lebih keras dari tidak ada. Dan tak ada cahaya, yang lebih terang dari ada.
Adanya setiap sesuatu itu adalah cahaya (nur) dari cahaya ZatNya. Yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Karena keteguhan adanya segala sesuatu itu adalah dengan ZatNya, Yang Berdiri dengan sendiriNya. Sebagaimana keteguhan cahaya tubuh adalah dengan cahaya matahari, yang menerangkan dengan sendirinya. Manakala telah tersingkaplah sebahagian matahari, maka telah berlaku kebiasaan dengan meletakkan tempat cuci tangan, yang di dalamnya ada air, sehingga terlihatlah matahari di dalamnya. Dan mungkin melihat kepadanya. Maka adalah air itu perantaraan untuk melembutkan sedikit dari cahaya matahari. Sehingga sanggup memandang kepadanya. Maka seperti demikian juga, perbuatan-perbuatan itu adalah perantaraan, yang dapat disaksikan padanya, akan sifat-sifat orang yang memperbuatnya. Kita tidak akan kalah dengan cahaya zat, sesudah kita jauh daripadanya, dengan perantaraan perbuatan-perbuatan. Maka inilah rahasia sabdanya Nabi saw: “Berfikirlah pada makhluk Allah dan jangan kamu berfikir pada Dzat Allah Ta’ala !”.
PENJELASAN: cara bertafakkur/memikirkan tentang ciptaan Allah Ta’ala.
Ketahuilah kiranya, bahwa setiap apa yang ada di alam ini, selain Allah Ta’ala, adalah perbuatan dan ciptaanNya. Setiap atom dari atom-atom dari benda yang tidak dapat dibagikan, ‘aradl (sifat barang yang berdiri dengan lainnya), sifat dan yang disifatkan, maka padanya itu keajaiban-keajaiban dan keganjilan-keganjilan, yang dengan dianya itu lahirlah hikmah Allah, qudrah/kuasa Nya, keagunganNya dan kebesaranNya. Dan menghinggakan yang demikian itu tidak mungkin. Karena, jikalau adalah laut itu tinta bagi yang demikian, niscaya habislah laut, sebelum habis 10 dari 10 nya. Akan tetapi, kami akan mengisyaratkan kepada sejumlah daripadanya, supaya adalah yang demikian itu, sebagai contoh bagi yang lain.
Maka kami katakan: Segala yang maujud (yang ada) yang diciptakan itu terbagi kepada: yang tidak diketahui asalnya. Maka tidak mungkin kita berfikir padanya. Berapa banyak dari yang maujud (yang ada) itu yang tidak kita ketahui, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui”. S 16 An Nahl ayat 8. Dan firman Allah Ta’ala: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan oleh bumi berpasang-pasangan dan pada diri mereka sendiri dan apa-apa yang tiada mereka ketahui”. S 36 Yaa Siin ayat 36. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 61. Dan kepada yang diketahui asalnya dan jumlahnya. Dan tidak diketahui penguraiannya. Maka mungkin bagi kita bahwa berfikir tentang penguraiannya. Dan itu terbagi kepada: yang kita mengetahuinya dengan pancaindra penglihatan dan kepada: yang tidak kita mengetahuinya dengan penglihatan.
Adapun yang tidak kita mengetahuinya dengan penglihatan, maka yaitu, seperti: malaikat, jin, setan, Al-‘Arasy, Al-Kursi dll. Jalan fikiran pada hal-hal tadi, termasuk hal yang sempit dan tidak terang. Maka marilah kita berpaling kepada yang lebih mendekatkan kepada pemahaman. Yaitu: hal-hal yang diketahui dengan pancaindra penglihatan. Dan yang demikian itu, ialah: langit 7, bumi dan yang diantaranya. Maka langit itu dapat disaksikan dengan bintang-bintangnya, mataharinya, bulannya, geraknya dan putarannya pada terbit dan terbenamnya. Dan bumi itu disaksikan dengan apa yang ada padanya, dari bukit-bukit dan gunung-gunungnya, barang-barang tambangnya, sungai-sungainya, laut-lautnya, hewannya dan tumbuh-tumbuhannya. Dan yang diantara langit dan bumi itu, ialah udara, yang diketahui dengan mendungnya, hujannya, saljunya, guruhnya, kilatnya, halilintarnya, awannya dan angin-anginnya yang deras. Maka inilah jenis-jenis yang dapat dipersaksikan dari langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Setiap jenis daripadanya itu terbagi kepada bermacam-macam. Dan setiap macam itu terbagi kepada bahagian-bahagian. Dan setiap bahagian itu bercabang kepada berjenis-jenis. Dan tiada berkesudahan bagi bercabangnya dan terbaginya yang demikian itu pada perbedaan sifat-sifatnya, keadaan-keadaannya dan makna-maknanya, yang terlihat dan yang tidak terlihat. Dan semua yang demikian itu adalah jalannya fikiran. Maka tiada suatu atompun di langit dan di bumi, dari barang beku, tumbuh-tumbuhan, hewan, jalan peredaran bintang-bintang dan bintang, melainkan adalah Allah yang menggerakkannya. Dan pada gerakannya itu suatu hikmah atau dua hikmah atau 10 hikmah atau 1000 hikmah. Semua yang demikian itu menjadi saksi bagi Allah Ta’ala, dengan Keesaan dan menunjukkan kepada keAgungan dan keMaha-besaranNya.
Dan itu adalah tanda-tanda yang menunjukkan kepadaNya. Dan telah datang Alquran dengan mendorong kepada berfikir pada ayat-ayat (tanda-tanda) itu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, akan menjadi keterangan (tanda-tanda) bagi orang-orang yang mengerti”. S 3 Ali ‘Imran ayat 190. Dan sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan diantara ayat-ayat (tanda-tanda) kebesaranNya”. S 30 Ar Ruum ayat 25. Itu adalah dari permulaan Alquran sampai kepada akhirnya. Maka marilah kami sebutkan cara berfikir pada sebahagian ayat-ayat itu ! Diantara tanda-tandanya itu, ialah: manusia yang dijadikan dari nuthfah. Dan yang terdekat dari sesuatu kepada anda, ialah: anda sendiri. Dan pada anda itu dari keajaiban-keajaiban yang menunjukkan kepada kebesaran Allah Ta’ala, yang akan berlalulah umur daripada dapat mengetahui 1/10 dari 1/10 nya. Dan anda lalai daripadanya. Maka yang merasa aman ialah orang yang lalai daripada dirinya dan bodoh tentang dirinya itu. Maka bagaimana engkau mengharap akan mengetahui keadaan orang lain ? dan Allah Ta’ala menyuruh engkau bertadabbur (memahami dengan mendalam) tentang diri engkau, dalam KitabNya yang mulia. Allah berfirman:
“Dan pada diri kamu sendiri, mengapa tidak kamu perhatikan ?”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 21. Allah Ta’ala menyebutkan, bahwa engkau dijadikan dari nuthfah yang kotor. Ia berfirman: “Celakalah kiranya manusia itu ! alangkah ingkarnya (kepada Tuhan) ! Dari benda apakah ia diciptakan ? dari setetes air mani. Tuhan menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan baginya. Kemudian itu dimudahkanNya menempuh jalan. Kemudian ia dimatikanNya dan diletakkanNya di dalam kubur. Sesudah itu, apabila dikehendakiNya dibangkitkanNya”. S 80 ‘Abasa ayat 17 s/d 22.
“Dan diantara ayat-ayat (keterangan-keterangan) kebesaran Tuhan itu, diciptakanNya kamu dari tanah, kemudian itu, lihatlah kamu telah menjadi manusia yang bertebaran”. S 30 Ar Ruum ayat 20.
“Bukankah dia dahulunya setetes air mani yang ditumpahkan ? kemudian itu menjadi segumpal darah dan (Tuhan) menciptakan (bentuk)nya dan menyempurnakan kejadiannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 37-38.
“Bukankah mereka Kami ciptakan dari air yang kotor? lalu Kami letakkan di tempat yang aman. Sampai waktu yg ditentukan”. S77 Al Mursalaat ayat20 s/d 22
“Apakah manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air mani ? tetapi lihatlah dia telah menjadi musuh terang-terangan!”. S36 Yaa Siin ayat 77.
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia itu dari setetes air mani yang bercampur”. S 76 Al Insaan ayat 2. Kemudian, Allah Ta’ala menyebutkan, bagaimana Ia menjadikan air mani itu menjadi segumpal darah. Darah segumpal menjadi daging segumpal. Dan daging segumpal menjadi tulang.
“Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dari sari tanah. Kemudian, Kami jadikan –sari tanah –itu air mani, (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu darah segumpal itu Kami jadikan segumpal daging dan daging segumpal itu Kami jadikan tulang-belulang”. S 23 Al Mukminuun ayat 12 s/d 14. Berulang-ulangnya menyebutkan nuthfah dalam Kitab Yang Mulia tidaklah untuk didengarkan lafalnya dan ditinggalkan berfikir tentang maknanya.
Maka perhatikanlah sekarang kepada nuthfah itu ! dia adalah setetes dari air yang kotor. Jikalau ditinggalkan sesaat untuk dipukul oleh udara, niscaya ia rusak dan membusuk. Bagaimana dia telah dikeluarkan oleh Tuhan semesta alam dari tulang sulbi laki-laki dan tulang at-taraib (tulang dada wanita). Bagaimana Ia mengumpulkan diantara pria dan wanita dan Ia melemparkan kejinakan hati dan kasih sayang dalam hati mereka. Bagaimana Ia membawa mereka dengan rantai kasih-sayang dan nafsu syahwat kepada pergaulan. Bagaimana Ia mengeluarkan nuthfah dari sang pria dengan gerakan bersetubuh. Bagaimana ia menarik darah haid dari dalamnya urat-urat dan dikumpulkanNya dalam rahim wanita.
Kemudian, bagaimana Ia menciptakan anak dari nuthfah itu dan diberiNya minuman dengan air haid dan diberiNya makanan. Sehingga anak itu tumbuh, bertambah dan membesar. Bagaimana Ia menjadikan nuthfah dan adalah nuthfah itu putih cemerlang, menjadi segumpal darah yang merah. Kemudian, Ia menjadikan darah segumpal itu menjadi segumpal daging. Kemudian, bagaimana Ia membagikan bahagian-bahagian nuthfah itu, padahal nuthfah itu serupa dan bersamaan, kepada tulang-belulang, urat saraf, urat-urat, tali pusar dan daging.
Kemudian, bagaimana Ia menyusunkan dari daging, urat saraf dan urat-urat biasa menjadi anggota-anggota badan zahiriyah. Ia memutarkan kepala. Ia mengorekkan pendengaran, penglihatan, hidung, mulut dan lobang-lobang yang lain pada tubuh. Kemudian, Ia memanjangkan tangan dan kaki. Ia membagikan kepala, tangan dan kaki itu dengan anak-anak jari dan anak-anak jari kaki. Dan Ia membagikan anak-anak jari itu dengan ujung-ujung jari. Kemudian, bagaimana Ia menyusunkan anggota-anggota badan batiniyah, dari hati, perut besar, jantung, empedu, paru-paru, rahim, tempat kencing dan perut panjang. Masing-masing di atas bentuk khusus, kadar khusus, untuk pekerjaan khusus.
Kemudian, bagaimana Ia membagikan setiap anggota badan dari anggota-anggota badan itu, dengan bahagian-bahagian yang lain. Maka Ia menyusun kan mata dari 7 lapis. Bagi masing-masing lapis itu mempunyai sifat khusus dan keadaan khusus. Jikalau tidak adalah satu lapis daripadanya atau hilang suatu sifat dari sifat-sifatnya, niscaya tidak dapatlah mata itu melihat. Jikalau kita berjalan untuk menyifatkan apa yang ada pada masing-masing anggota badan itu, dari keajaiban-keajaiban dan tanda-tanda kebesaran Tuhan, niscaya habislah umur kita padanya.
Maka marilah sekarang kita memperhatikan kepada tulang-belulang. Dan itu adalah tubuh yang keras dan kuat, bagaimana Ia menciptakannya dari nuthfah yang lemah dan halus. Kemudian, Ia menjadikannya keteguhan bagi badan dan tiang baginya. Kemudian, Ia mengkadarkannya dengan kadar yang bermacam-macam & bentuk yang bermacam-macam. Maka diantaranya ada yang kecil, besar, panjang, bundar, berlobang, tiada berongga, melintang dan halus.
Tatkala adalah manusia itu memerlukan kepada gerak, dengan seluruh badannya dan dengan sebahagian anggota badannya, yang berhajat bagi pulang-pergi pada hajat keperluannya, niscaya Ia tidak menjadikan tulang-belulang manusia itu sebatang tulang. Akan tetapi, tulang-belulang yang banyak. Diantaranya ada pergelangan-pergelangan. Sehingga mudahlah bergerak dengan yang demikian. Ia mengkadarkan bentuk masing-masing daripadanya, sesuai dengan gerak yang diminta. Kemudian, Ia menyambungkan pergelangan-pergelangannya dan Ia ikatkan sebahagian dengan sebahagian yang lain dengan tali-tali yang ditumbuhkan Nya, dari salah satu dua tepi tulang-belulang. Dan disambungkanNya dengan tulang-belulang yang lain, seperti ikatan baginya. Kemudian, Ia ciptakan pada salah satu dua tepi tulang-belulang itu tambahan-tambahan yang keluar daripadanya. Dan pada tepi yang lain lobang-lobang yang menyelam padanya, bersesuaian bagi bentuk tambahan-tambahan itu. Supaya dapat masuk padanya dan bersesuaian di atasnya. Maka jadilah hamba itu, kalau ia menghendaki menggerak kan sebahagian dari badannya, niscaya tidaklah terhalang baginya. Dan jikalau tidak adalah pergelangan-pergelangan itu, niscaya sukarlah yang demikian baginya.
Kemudian, perhatikanlah bagaimana Ia menjadikan tulang-belulang kepala ! bagaimana Ia mengumpulkannya dan menyusunkannya. Dan sungguh telah disusunkanNya dari 55 tulang, yang berlainan bentuk dan rupa. Maka disusunkanNya sebahagian kepada sebahagian, dimana bersamaan dengan dia itu bola kepala, sebagaimana engkau melihatnya. Maka diantaranya 6, tertentu bagi tempurung kepala. 14 bagi tulang rahang atas dan dua bagi tulang rahang bawah. Dan sisanya ialah gigi-gigi. Sebahagiannya lebar, yang patut untuk menumbuk makanan. Dan sebahagiannya runcing, yang patut untuk memotong. Dan itulah gigi taring, gigi geraham dan gigi depan.
Kemudian, Ia menjadikan leher kendaraan bagi kepala. Ia menyusunkan leher itu dari 7 buku-buku tulang, yang berlobang dan bundar. Padanya itu miring, tambah dan kurang, supaya bersesuaian sebahagian daripadanya di atas sebahagian yang lain. Dan akan panjanglah menyebutkan segi hikmah padanya. Kemudian, Ia menyusunkan leher atas tulang punggung. Ia menyusunkan tulang punggung dari di bawah leher kepada penghabisan tulang pantat, dari 24 buku-buku tulang. Ia menyusunkan tulang pantat dari tiga bahagian yang berlainan. Maka bersambung dengan tulang pantat dari di bawahnya itu, tulang ekor. Dan itu juga tersusun dari tiga bahagian. Kemudian Ia sambungkan tulang-belulang punggung dengan tulang-belulang dada, tulang bahu, tulang dua tangan, tulang bulu ari-ari, tulang pantat, tulang dua paha dan dua betis dan anak jari dua kaki. Maka kami tiada akan memanjangkan menyebut bilangan yang demikian itu. Dan jumlah bilangan tulang-belulang pada tubuh manusia itu adalah 248 tulang, selain dari tulang-tulang kecil yang di isikan dengan dia itu lobang-lobang pergelangan. Maka perhatikanlah bagaimana Ia menciptakan semuanya itu dari nuthfah yang lemah lagi halus! dan tidaklah dimaksudkan daripada menyebut bilangan-bilangan tulang-belulang itu, untuk diketahui bilangannya. Maka itu adalah ilmu yang dekat, yang diketahui oleh tabib-tabib dan orang-orang yang ahli dengan susunan tubuh manusia. Sesungguhnya maksudnya ialah bahwa diperhatikan daripadanya, mengenai Yang Mengaturnya dan Yang Menciptakannya, bagaimana Ia mentakdirkan dan mengaturkannya. Ia membeda-bedakan diantara bentuk-bentuk dan kadar-kadarnya. Ia mengkhususkannya dengan bilangan itu yang khusus. Karena jikalau Ia menambahkan satu di atasnya, niscaya adalah yang demikian mala-petaka atas insan, yang memerlukan kepada mencabutnya. Dan jikalau Ia kurang akan satu daripadanya, niscaya adalah itu kekurangan yang perlu kepada penambalannya. Maka dokter memperhatikan padanya untuk mengetahui cara pengobatan pada menambalkannya/memperbaikinya.
Orang-orang yang bermata hati memperhatikan padanya untuk mengambil dalil dengan yang demikian itu atas keagungan Khaliq (yang maha pencipta) dan Pembentuknya. Maka amat berbedalah diantara 2 pandangan itu. Kemudian, perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala menciptakan alat-alat untuk menggerakkan tulang-belulang ! yaitu: sendi-sendi badan. Maka Ia menciptakan pada badan insan 529 sendi. Dan sendi itu tersusun dari daging, urat, pembalut dan tutup. Dia itu berlain-lainan kadar dan bentuk, menurut kelainan tempatnya dan kadar keperluannya. Maka 24 sendi daripadanya itu adalah untuk menggerak kan biji mata dan pelupuk-pelupuknya. Jikalau berkurang satu dari jumlahnya itu, niscaya cederalah urusan mata. Begitupula bagi setiap anggota sendi-sendi, dengan bilangan khusus dan kadar khusus.
Perkara urat saraf, urat-urat biasa, urat darah dan urat yang mengalir padanya darah merah, bilangannya, tempat tumbuhnya dan percabangan-percabangannya itu lebih menakjubkan dari ini semua. Dan uraiannya akan panjang. Maka bagi pikiran, mempunyai jalan-jalan yang akan ditempuh pada masing-masing bahagian tersebut. Kemudian, pada masing-masing anggota tersebut. Kemudian, pada seluruh tubuh. Maka setiap yang demikian itu adalah pandangan kepada keajaiban-keajaiban jasmani tubuh. Dan keajaiban-keajaiban makna dan sifat yang tidak diketahui dengan pancaindra itu lebih besar. Maka perhatikanlah sekarang kepada zahiriyah insan dan batiniyahnya, kepada badannya dan sifat-sifatnya ! (Maka makanlah yang halal lagi baik buat tubuh kita. pent) Maka anda akan melihat dengan yang demikian itu, dari keajaiban-keajaiban dan ciptaan yang membawa kepada keajaiban itu. Dan semua itu adalah ciptaan Allah pada setetas air yang kotor. Anda melihat dari ini akan ciptaanNya pada setetas air.
Maka betapa pula ciptaanNya pada kerajaan langit dan bintang-bintangnya ? apa hikmahNya pada letak-letaknya, bentuk-bentuknya, kadar-kadarnya, bilangan-bilangannya, berkumpul sebahagiannya dan bercerai sebahagiannya, berlainan bentuk-bentuknya dan berlebih-kurang tempat terbit dan terbenamnya? Maka janganlah anda menyangka bahwa seatom dari kerajaan langit itu terlepas dari hikmah dan hukum. Akan tetapi, dia itu adalah ciptaan yang paling kokoh, bikinan yang paling teguh dan yang paling mengumpulkan bagi keajaiban-keajaiban dari badan insan. Bahkan, tiada bandingan bagi semua apa yang pada bumi, kepada keajaiban-keajaiban langit itu.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Kamukah yang lebih susah menciptakannya atau langit yang dibangunkanNya ? ditinggikanNya dan diaturNya dengan sebaik-baiknya. Dan dijadikanNya malam gelap gulita dan siang terang cuaca”. S 79 An Naazi’aat ayat 27-28-29.
Maka kembalilah sekarang kepada nuthfah ! pertama-tama perhatikanlah keadaannya ! kedua, kepada apa ia akan jadi ! perhatikanlah, bahwa jikalau berkumpullah jin dan manusia, untuk menciptakan pendengaran bagi nuthfah atau penglihatan atau akal atau kemampuan atau ilmu atau ruh. Atau mereka menciptakan padanya tulang atau urat atau urat saraf atau kulit atau rambut. Adakah mereka itu sanggup kepada yang demikian ? bahkan, jikalau mereka itu berkehendak untuk mengetahui peri hakikat/maknanya dan bagaimana kejadiannya, sesudah diciptakan oleh Allah Ta’ala yang demikian, niscaya mereka itu lemah daripadanya. Maka yang mengherankan dari engkau, ialah: jikalau engkau memandang kepada gambar insan yang digambarkan atas dinding tembok, yang haluslah si pelukis pada menggambarkannya. Sehingga yang mendekati yang demikian kepada bentuk insan. Berkatalah yang memandang kepada gambar itu: “Seolah-olah insan !”. Besarlah keherananmu kepada ciptaan si pelukis dan kemahirannya, keringanan tangannya dan kesempurnaan cerdiknya. Tinggilah tempat si pelukis itu pada hatimu. Sedang kamu mengetahui, bahwa gambar itu hanya sempurna dengan cat, pena, tangan, dengan dinding, dengan kemampuan, dengan ilmu dan dengan kehendak. Dan suatupun dari yang demikian itu tidaklah dari perbuatan si pelukis dan ciptaannya. Akan tetapi, adalah dari ciptaan Yang Lain. Kesudahan perbuatan si pelukis itu ialah mengumpulkan antara cat dan dinding, atas susunan khusus. Maka banyaklah ketakjuban engkau kepadanya dan engkau membesarkannya. Dan engkau melihat akan nuthfah yang kotor, yang tadinya tidak ada. Maka diciptakan oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya pada sulbi lelaki & taraib/tulang dada wanita. Kemudian, dikeluarkanNya daripadanya dan dibentukkanNya. Maka dibaguskanNya pembentukannya. Dan dikadarkan Nya. Maka Ia membaguskan kadar dan bentuknya. Ia membagikan bahagian-bahagiannya yang serupa kepada bahagian yang bermacam-macam. Maka dikokohkanNya tulang-belulang pada segala pihaknya. dibaguskanNya bentuk anggota-anggota badannya. DihiaskanNya luar/zahir dan dalam/batinnya. DisusunkanNya urat-urat dan saraf-sarafnya. DijadikanNya tempat lalu bagi makanannya. Supaya adalah yang demikian itu menjadi sebab untuk terus hidupnya. DijadikanNya mendengar, melihat, mengetahui, bertutur kata. Dan dijadikanNya baginya itu tulang punggung menjadi sendi bagi badannya dan perut yang mengandung segala alat-alat makanannya. Dan kepala yang mengumpulkan semua pancaindranya. Maka dibukaNya dua mata dan disusunkanNya lapisan-lapisannya. DibaguskanNya bentuk, warna dan keadaannya. Kemudian, dipeliharakanNya mata itu dengan kelopak-kelopaknya, untuk menutupkannya, menjagakannya, mengkilatkannya dan menolak kotoran-kotoran daripadanya.
Kemudian, Ia melahirkan pada kadar kaca terupung daripadanya, akan bentuk segala langit, serta luas tepi-tepinya dan berjauhan daerah-daerahnya. Maka ia dapat melihat kepada semuanya itu. Kemudian, Ia mengorek dua telinganya. DisimpankanNya pada dua telinga itu air pahit, untuk memelihara pendengarannya dan menolak binatang-binatang kecil kepadanya. DiberiNya dinding dengan daun telinga untuk mengumpulkan suara. Lalu ditolaknya kepada anak telinga. Dan untuk merasakan dengan merangkaknya binatang-binatang kecil kepadanya. DijadikanNya pada telinga itu pemencongan dan pembengkokan. Supaya banyaklah gerakan apa yang merangkak padanya dan panjang jalannya. Lalu terbangun yang mempunyai telinga itu dari tidur, apabila menuju binatang kecil kepadanya pada waktu tidur.
Kemudian, Ia mengangkatkan hidung dari di tengah-tengah muka. DibaguskanNya bentuknya dan dibukakanNya dua lobangnya. DisimpankanNya padanya pancaindra penciuman. Supaya ia mengambil petunjuk dengan menghirup bau makanan dan apa yang dimakannya. Dan supaya ia menghirup dengan tempat tembusnya dua lobang hidung itu akan ruh udara, untuk makanan hatinya dan penganginan bagi kepanasan batinnya. Ia membukakan mulut dan disimpankanNya dalam mulut itu lidah, yang menurutkan, menterjemahkan dan yang melahirkan dari apa, yang di dalam hati. Ia menghiaskan mulut itu dengan gigi, supaya adalah gigi itu alat bagi menumbuk, menghancurkan dan memotong. Maka dikokohkanNya pangkal gigi-gigi itu. DitajamkanNya ujungnya, diputihkanNya warnanya dan disusunkanNya baris-barisnya yang bersamaan ujungnya, yang teratur susunannya. Seakan-akan gigi-gigi itu mutiara yang tersusun. Ia menciptakan dua bibir, membaguskan warna dan bentuknya. Supaya bersesuaian dengan mulut. Lalu menyumbatkan tempat tembusnya. Dan supaya sempurna dengan yang demikian itu huruf-huruf percakapan. Ia menciptakan kerongkongan dan menyediakannya untuk keluarnya suara. Ia menciptakan bagi lisan kemampuan bagi bergerak dan pemutusan-pemutusan suara, supaya ia memutuskan suara pada makhraj (tempat keluarnya suara) yang berlain-lainan, yang berlainan dengan yang demikian itu huruf-huruf. Supaya meluas dengan itu jalannya penuturan dengan banyaknya.
Kemudian, Ia menciptakan kerongkongan-kerongkongan itu berlain-lainan bentuk, tentang sempit, luas, kasar, halus, kerasnya dan lembutnya, panjang dan pendek. Sehingga, dengan sebab yang demikian itu, berlain-lainanlah suara. Maka tiadalah serupa dua suara. Bahkan lahir diantara setiap dua suara itu perbedaan. Sehingga pendengar dapat memperbedakan akan sebahagian manusia dari sebahagian yang lain, dalam gelap dengan semata-mata suara.
Kemudian, Ia menghiaskan kepala dengan rambut dan pelipis. Ia menghiaskan muka dengan janggut dan dua bulu kening. Ia menghiaskan bulu kening dengan halusnya bulu dan melengkungnya bentuk. Dan Ia menghiaskan dua mata dengan bulu mata.
Kemudian, Ia menciptakan anggota-anggota badan yang batiniyah. DijadikanNya bagi setiap satu daripadanya, perbuatan khusus. Maka dijadikanNya perut besar bagi menghancurkan makanan. Jantung untuk mengobahkan makanan kepada darah. Limpa, empedu dan buah pinggang untuk melayani jantung. Maka limpa melayaninya itu dengan menarik yang hitam daripadanya. Dan empedu melayaninya itu dengan menarik yang kuning daripadanya. Dan buah pinggang melayaninya itu dengan menarik yang keairan daripadanya. Dan tempat keluar kencing itu melayani buah pinggang dengan menerima air daripadanya. Kemudian, dikeluarkannya pada jalan lobang keluar air kencing. Dan urat-urat itu melayani jantung pada penyampaian darah ke segala tepi badan yang lain.
Kemudian, IA menciptakan dua tangan dan memanjangkannya, supaya dapat mencapai maksud. Ia membentangkan tapak tangan dan membagikan anak jari yang 5. Ia membagikan setiap anak jari itu dengan 3 ruas. Ia meletakkan 4 anak jari pada satu pihak dan ibu jari pada satu pihak. Supaya dapat berputar ibu jari itu kepada semua. Jikalau berkumpullah orang-orang dahulu dan orang-orang yang kemudian, untuk memahami dengan kehalusan berpikir akan segi yang lain pada letaknya anak-anak jari itu, selain apa yang telah diletakkan padanya, dari jauhnya ibu jari dari anak-anak jari yang 4 itu dan berlebih kurangnya anak jari yang 4 ini pada panjangnya dan tertibnya pada satu baris, niscaya mereka tidak akan mampu atas demikian. Karena dengan tertib ini, patutlah tangan untuk menggenggam dan memberi. Maka jikalau dihamparkanNya tangan, niscaya adalah tangan itu bagi manusia menjadi baki, yang diletakkannya di atasnya, apa yang dikehendakinya. Dan kalau Ia mengumpulkan anak-anak jari itu, jadilah alat baginya untuk memukul. Dan kalau Ia menggenggamkannya, dengan genggaman yang tidak sempurna, niscaya jadilah anak-anak jari itu alat penyenduk air baginya.
Kemudian, Ia menciptakan kuku atas ujung anak-anak jari, untuk hiasan bagi ruas-ruasnya dan tiang baginya dari belakangnya. Sehingga ruas-ruas itu tidak terputus. Dan untuk mengambil dengan kuku-kuku itu barang-barang yang halus, yang tidak dapat dicapai oleh ruas-ruas anak jari. Dan untuk ia menggaruk badannya ketika perlu. Maka kuku yang menjadi anggota badan yang terkeji, jikalau tidak dipunyai oleh manusia dan menampaklah tempat yang perlu digaruk, niscaya adalah manusia tersebut yang paling lemah dan paling dla’if diantara manusia. Dan tiada seorangpun yang tegak berdiri pada tempatnya pada menggarukkan badannya. Kemudian, tangan itu menunjukkan tempat untuk digaruk. Lalu tangan memanjang kepadanya, walaupun dalam tidur dan lalai, tanpa memerlukan kepada diminta. Jikalau ia meminta tolong pada orang lain, niscaya orang itu tidak akan memperoleh tempat untuk digaruk, selain sesudah payah yang lama.
Kemudian, IA menciptakan ini semua dari nuthfah. Dan nuthfah itu dalam rahim wanita, dalam 3 kegelapan. Jikalau terbukalan tutup dan tudung dan memanjanglah penglihatan kepadanya, niscaya akan terlihat penggurisan dan penggambaran yang tampak pada nuthfah itu sedikit demi sedikit. Dan tidaklah terlihat Penggambar dan alatNya. Maka adakah anda melihat penggambar atau pembuat, yang tidak menyentuh alatnya dan bikinannya dan tidak menemuinya, sedang ia berbuat padanya ? maka Maha Sucilah Dia yang alangkah besar keadaanNya dan alangkah tampak buktiNya ! kemudian, perhatikanlah serta sempurna qudrah ( kuasa )Nya, kepada sempurna rahmatNya ! bahwa tatkala sempitlah rahim dari anak bayi itu, tatkala ia telah membesar, maka bagaimana Ia menunjukkan jalan kepadanya. Sehingga ia membalik dan bergerak. Dan ia keluar dari tempat yang sempit itu. Ia mencari tempat ketembusan. Seakan-akan ia berakal, yang melihat akan apa yang diperlukannya. Kemudian, tatkala ia telah keluar dan memerlukan kepada makanan, maka bagaimana Ia menunjukkannya kepada meletakkan mulutnya pada tetek ibu. Kemudian, manakala badannya itu masih lemah, tidak sanggup kepada makanan yang kasar, maka bagaimana Ia mengatur baginya dalam bentuk susu yang lembut. Dan dikeluarkannya susu itu diantara kotoran yang di dalam perut dan darah, menjadi minuman yang lezat dan murni. Bagaimana Allah menciptakan dua tetek dan dikumpulkanNya padanya air susu. Dan ditumbuhkanNya dari dua tetek itu dua puting, yang bersesuaian padanya mulut anak kecil itu. Kemudian, Ia bukakan pada puting tetek itu lobang yang sempit sekali. Sehingga tidak keluar air susu daripadanya, selain sesudah diisap, dengan sedikit demi sedikit. Bahwa anak kecil itu tidak sanggup daripadanya, selain sedikit. Kemudian, bagaimana Ia menunjukkan kepada anak kecil itu untuk menghisap susu. Sehingga keluarlah dari tempat yang sempit itu, air susu yang banyak, ketika bersangatan lapar.
Kemudian, perhatikanlah kepada kasih-sayang dan rahmatNya serta belas-kasihanNya, bagaimana Ia memundurkan akan ciptaan gigi kepada sempurnanya 2 tahun. Karena dalam 2 tahun itu, anak bayi itu tidak memakan makanan, selain dengan susu. Maka ia tidak memerlukan kepada gigi. Apabila telah besar, niscaya tidak sesuai lagi susu yang lemah itu baginya. Dan ia memerlukan kepada makanan yang kasar. Dan makanan itu memerlukan kepada pengunyahan dan penghancuran. Maka Ia menumbuhkan gigi bagi anak kecil itu ketika diperlukan, tidak sebelumnya dan tidak sesudahnya.
Maka Maha Sucilah Dia, bagaimana Ia mengeluarkan tulang-belulang yang keras itu pada gusi-gusi yang demikian lembutnya. Kemudian, Ia curah kan kasih-sayang ke dalam hati ibu bapak, untuk mengatur anak kecil itu, di waktu ia masih lemah untuk mengatur dirinya sendiri. Maka jikalau tidak dikuasakan oleh Allah akan kasih-sayang ke dalam hati kedua ibu bapak, niscaya adalah anak kecil itu makhluk yang paling lemah untuk mengurus dirinya sendiri.
Kemudian, perhatikanlah bagaimana Ia menganugerahkan kemampuan, pembedaan antara baik dan buruk (at-tamyiz), akal dan petunjuk, sedikit demi sedikit. Sehingga anak kecil itu baligh dan sempurna. Lalu ia meningkat dewasa (murahiq). Kemudian menjadi pemuda, kemudian menjadi tua dan kemudian lanjut usia. Adakalanya ia kufur (tidak mensyukuri nikmat) atau mensyukuri nikmat, dia berbuat taat atau maksiat, beriman atau kafir, sebagai pembenaran bagi firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada suatu apapun yang dapat disebut. Sesungguhnya kami menciptakan manusia itu dari setetes air mani yang bercampur. Kami akan mengujinya, lalu dia Kami jadikan orang yang dapat mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, adakalanya dia tahu bersyukur (berterima kasih) atau tidak tahu bersyukur”. S 76 Al Insaan ayat 1-2-3.          
Maka perhatikanlah kepada kelemah-lembutan dan kemurahan, kemudian kepada kemampuan dan hikmah, yang mengherankan engkau oleh keajaiban-keajaiban Ketuhanan (Al-Hadlarat Ar-Rabbaniyah). Yang paling mengherankan, ialah dari orang yang melihat tulisan bagus atau ukiran bagus atas dinding, lalu ia memandang bagus yang demikian. Maka diserahkannya semua cita-citanya kepada bertafakkur/berfikir pada yang mengukir dan yang menulis. Bagaimana ia mengukir dan menulis itu ? bagaimana ia sanggup kepada yang demikian ? senantiasalah ia mengagungkan orang itu pada hatinya dan ia mengatakan: “Alangkah pintarnya ! alangkah sempurna ciptaannya dan alangkah baik kemampuannya !”.
Kemudian, orang itu memandang kepada keajaiban-keajaiban ini pada dirinya dan pada diri orang lain. Kemudian, ia lupa kepada Yang Menciptakan dan Yang Menggambarkannya. Tidak mengherankan kepadanya akan keagunganNya dan tidak mentercengangkannya oleh kebesaran dan hikmahNya. Maka inilah sekelumit dari keajaiban-keajaiban badan anda yang tidak mungkin menghinggakannya lebih jauh.
Maka itu adalah yang lebih mendekati kepada jalan pikiran anda dan saksi yang lebih terang atas keagungan Khaliq (yang maha pencipta) anda dan anda lalai dari yang demikian, sibuk dengan perut dan kemaluan anda. Anda tidak mengenal dari diri anda, selain bahwa anda itu lapar, lalu makan. Dan anda kenyang, lalu anda tidur. Anda bernafsu keinginan, lalu bersetubuh. Anda marah, lalu berperang. Hewan seluruhnya bersekutu dengan anda pada mengenal yang demikian. Sesungguhnya yang khusus bagi insan, yang mendindingkan hewan daripadanya dengan mengenal Allah Ta’ala, ialah: dengan memperhatikan pada kerajaan langit dan bumi dan keajaiban-keajaiban tepi langit dan diri. Karena dengan itulah masuknya hamba dalam jama’ah para malaikat al-muqarrabin dan dikumpulkan dalam jama’ah nabi-nabi dan orang-orang shiddiq, yang didekatkan dengan Hadlarat/keajaiban Tuhan Rabbul-‘alamin. Dan tidaklah derajat ini bagi hewan-hewan dan tidak pula bagi manusia, yang suka kepada dunia, dengan nafsu keinginan hewan-hewan. Bahwa manusia yang demikian itu lebih banyak jahatnya dari hewan. Karena tiada kemampuan bagi hewan atas yang demikian.
Adapun manusia, maka Allah telah menciptakan baginya kemampuan. Kemudian, manusia itu tidak memanfaatkannya. Dan tidak mensyukuri nikmat Allah padanya. Maka mereka itu adalah seperti hewan. Bahkan mereka lebih sesat jalannya lagi. Apabila anda telah mengetahui jalan fikiran pada diri anda, maka berfikirlah mengenai bumi, yg menjadi tetap ketetapan anda! kemudian mengenai sungai-sungainya, laut-lautnya, gunung-gunungnya & barang-barang tambangnya. Kemudian anda meninggilah daripada yang demikian itu ke kerajaan langit !
Adapun bumi, maka dari bukti-buktiNya, bahwa Ia menciptakan bumi itu menjadi hamparan dan terbentang luas. Ia menjalankan padanya jalan-jalan yang berliku-liku. Ia menjadikan bumi untuk dipergunakan, supaya kamu berjalan pada segala penjurunya. Ia menjadikan bumi itu tetap, tidak bergerak-gerak. Ia menciptakan gunung-gunung berlabuh padanya sebagai tiang-tiang, yang mencegah kan nya daripada kegoyangan. Kemudian, Ia meluaskan sayap-sayapnya, sehingga lemahlah anak Adam itu daripada sampai ke semua sudutnya. Walaupun panjang umur mereka dan banyak mereka berkeliling. Allah Ta’ala berfirman: “Dan langit Kami bangunkan dengan kekuatan dan sesungguhnya kekuasaan Kami cukup luas. Dan bumi Kami hamparkan dan alangkah baiknya Kami menghamparkan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 47-48.  Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang telah menjadikan bumi untuk kamu mudah dipergunakan, sebab itu berjalanlah kamu pada segenap penjurunya !”. S 67 Al Mulk ayat 15. Allah Ta’ala berfirman: “Dia yang menciptakan bumi untuk menjadi hamparan bagimu”. S 2 Al Baqarah ayat 22. Allah Ta’ala membanyakkan dalam KitabNya yang mulia penyebutan bumi, untuk ditafakkurkan/difikirkan tentang keajaiban-keajaibannya. Punggung bumi itu tempat ketetapan bagi orang-orang yang masih hidup dan perutnya tempat tidur bagi orang-orang yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah bumi itu Kami jadikan tempat berkumpul ? orang-orang yang hidup dan yang mati”. S 77 Al Mursalaat ayat 25-26. Maka perhatikanlah kepada bumi dan dia itu mati! apabila diturunkan hujan kepadanya, niscaya ia bergerak dan bertambah, menghijau dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang ajaib-ajaib. Dan keluarlah daripadanya bermacam-macam hewan.
Kemudian, perhatikanlah bagaimana Ia mengokohkan sudut-sudut bumi dengan gunung-gunung yang tetap, tinggi, tuli dan keras ! dan bagaimana Ia menyimpankan air di bawahnya. Maka Ia memancar-mancarkan mata air dan mengalirkan sungai di depannya. Ia mengeluarkan dari batu yang kering dan dari tanah yang kotor, air yang halus, tawar, bersih dan nyaman rasanya. Ia jadikan dengan air itu setiap sesuatu yang hidup. Maka Ia keluarkan dengan air itu, bermacam-macam pohon kayu dan tumbuh-tumbuhan, dari biji-bijian, anggur, tebu, zaitun, kurma, buah delima dan banyak buah-buahan yang tidak terhingga jumlahnya, bermacam-macam bentuk, warna, rasa, sifat dan bau. Sebahagiannya melebihi atas sebahagian yang lain pada memakannya, yang disirami dengan air yang satu dan keluar dari bumi yang satu. Kalau anda mengatakan, bahwa bermacam-macamnya itu disebabkan bermacam-macam bibitnya dan pokoknya. Maka kapankah ada pada biji itu batang kurma yang digulung dengan tandan-tandan buah kurma? dan kapankah ada pada sebutir biji 7 tangkai, yang pada setiap tangkai itu 100 biji ? Kemudian, perhatikanlah kepada tanah-tanah desa dan periksalah zahirnya dan batinnya ! maka anda akan melihatnya tanah yang serupa.
Apabila diturunkan air ke atasnya, niscaya ia bergerak, bertambah dan menumbuhkan dari setiap pasangan yang cantik, akan warna yang bermacam-macam dan tumbuh-tumbuhan yang serupa dan yang tidak serupa. Bagi setiap satu itu mempunyai rasa, bau, warna dan bentuk yang berbeda dengan yang lain. Maka perhatikanlah kepada banyaknya, bermacam-macam jenisnya dan banyak bentuknya. Kemudian berlainan sifat-sifat tumbuh-tumbuhan dan banyaknya kemanfaatannya. Dan bagaimana Allah Ta’ala menyimpan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan akar-akar kayu (al-‘aqaqir), yang bermanfaat dan ganjil. Tumbuh-tumbuhan ini menjadi makanan. Ini menguatkan. Ini menghidupkan. Ini membunuh. Ini dingin. Ini panas. Ini apabila sampai dalam perut, niscaya ia mencegah penyakit kuning dari urat-urat yang paling dalam. Ini mengobah kepada penyakit kuning. Ini mencegah dahak dan campuran dalam limpa. Ini mengobah kepada yang dua ini. Ini membersihkan darah. Ini mengobah darah. Ini mendatangkan gembira. Ini menidurkan. Ini menguatkan. Dan ini melemahkan. Maka tidaklah tumbuh dari bumi sehelai daun dan jerami, melainkan padanya kemanfaatan, yang tidak kuatlah manusia untuk mengetahui hakikat/maknanya.
Masing-masing dari tumbuh-tumbuhan ini, sang petani memerlukan pada pemeliharaannya kepada perbuatan khusus. Batang kurma dikawinkan dengan memindahkan serbuk jantan kepada serbuk betina (at-talqih). Batang anggur dibersihkan. Tanaman dibersihkan rumput dan yang merusakkan. Sebahagian yang demikian itu dapat tumbuh dengan membuat rumah bibit dalam tanah. Sebahagiannya dengan menanamkan ranting. Dan sebahagiannya dengan digantungkan pada pohon. Jikalau kami kehendaki menyebutkan berlainannya jenis tumbuh-tumbuhan, macam-macamnya, kemanfaatan-kemanfaatannya, hal keadaannya dan keajaiban-keajaibannya, niscaya habislah hari pada menyifatkan yang demikian. Maka memadailah bagi anda dari setiap jenis itu, bahagian yang sedikit saja, yang menunjukkan kepada anda jalan berpikir. Maka itulah keajaiban-keajaiban tumbuh-tumbuhan !
Diantara tanda-tanda kebesaranNya, ialah benda-benda yang tersimpan di bawah gunung-gunung dan barang tambang yang diperoleh dari bumi. Maka pada bumi itu bagian-bagian yang berdekatan, yang bermacam-macam. Perhatikanlah kepada gunung-gunung, bagaimana Ia mengeluarkan daripadanya benda-benda yang berharga, dari emas, perak, permata fairuz, yakut dll. Sebahagian daripadanya dapat tercetak dengan pemukul besi, seperti emas, perak, tembaga, timah dan besi. Dan sebahagian daripadanya tidak dapat tercetak, seperti permata fairuz dan yakut. Dan bagaimana Allah memberi petunjuk kepada manusia, pada mengeluarkannya dan membersihkannya, membuat bejana-bejana, alat-alat, uang dan pakaian-pakaian daripadanya.
Kemudian, perhatikanlah kepada barang-barang tambang di dalam bumi, seperti: minyak, belerang, minyak dari pohon kayu dll. Dan yang paling kurang daripadanya itu, ialah: garam. Dan tidak diperlukan kepadanya, selain untuk membaguskan makanan. Jikalau kosonglah suatu negeri daripadanya, niscaya segeralah datang kebinasaan kepadanya. Maka perhatikanlah kepada rahmat Allah Ta’ala, bagaimana Ia menciptakan sebahagian bumi yang kosong dengan bendanya, dimana berkumpul padanya air yang bersih dari hujan. Lalu air itu berobah menjadi garam yang asin, yang dimasak, yang tidak mungkin diperoleh sekalipun daripadanya. Supaya adalah yang demikian itu membaguskan makanan anda, apabila anda memakannya. Lalu sedaplah kehidupan anda. Tidaklah dari benda beku, hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan ada padanya hikmah dan hikmah-hikmah dari jenis ini. Tiadalah suatupun daripadanya diciptakan dengan sia-sia, main-main dan senda-gurau. Akan tetapi, semua itu diciptakan dengan benar, sebagaimana yang seyogyanya. Dan diatas cara yang seyogyanya. Dan sebagaimana yang layak dengan keagungan, kemurahan dan kelemah-lembutanNya.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya bukanlah untuk main-main. Dan keduanya tidaklah Kami ciptakan, melainkan dengan yang benar”. S 44 Ad Dukhaan ayat 28-29. Diantara tanda-tanda kebesaranNya, ialah segala jenis hewan dan terbaginya kepada yang terbang dan yang berjalan. Dan terbaginya yang berjalan, kepada yang berjalan dengan 2 kaki, dengan 4 kaki, dengan 10 dan 100 kaki, sebagaimana yang dapat disaksikan pada sebahagian binatang kecil-kecil. Kemudian, terbaginya tentang kemanfaatan, rupa, bentuk, perangai dan tabiat. Maka perhatikanlah kepada burung-burung yang terbang di udara, kepada binatang-binatang liar di daratan dan binatang-binatang ternak yang berpunya. Anda akan melihat padanya dari keajaiban-keajaiban, yang tidak diragukan padanya, tentang keagungan Khaliq (yang maha pencipta)nya, qudrah ( kuasa ) yang Mentakdirkannya dan hikmah yang Membentukkannya. Bagaimana mungkin akan diselidiki yang demikian ? bahkan, jikalau kita menghendaki akan menyebutkan keajaiban-keajaiban kutu busuk atau semut atau lebah atau lawa-lawa dan itu adalah termasuk binatang yang paling kecil, tentang membangun rumahnya, tentang mengumpulkan makanannya, tentang kejinakannya bagi jodohnya, tentang penyimpanan bagi dirinya, tentang kepintarannya pada ukuran rumahnya dan tentang memperoleh petunjuk kepada keperluan-keperluan, niscaya kita tidak akan mampu kepada yang demikian. Anda melihat laba laba itu membangun rumahnya di tepi sungai. Maka pertama-tama dicarinya dua tempat yang berdekatan. Diantaranya itu renggang sekadar sehasta atau kurang daripada sehasta. Sehingga memungkinkannya untuk menyambung dengan benang jaringnya diantara dua tepinya itu. Kemudian, ia mulai dan mengeluarkan air liurnya, yang itulah benang jaringnya, ke atas suatu tepi, supaya melekat. Kemudian, ia berlari ke tepi yang lain. Maka dikokohkannya pinggir yang lain itu dari benang jaringnya. Kemudian, seperti yang demikian juga, kali kedua dan kali ketiga. Dan dibuatkannya kejauhan diantara keduanya itu bersesuaian dengan kesesuaian ukuran. Sehingga apabila ia telah mengokohkan ikatan-ikatan pembarut dan diaturnya benang-benang jaringnya seperti benang bujur tenunan kain, niscaya lalu ia membuat benang lintangnya. Lalu ia meletakkan benang lintang atas benang bujur. Dan ditambahkannya sebahagiannya kepada sebahagian. Dan dikokohkannya akan ikatan atas tempat bertemunya benang lintang dengan benang bujur. Dan dijaganya pada semua yang demikian itu akan kesesuaian ukuran. Dan dijadikannya yang demikian itu jaringan yang jatuh ke dalamnya kenyamuk dan lalat. Dan lawa-lawa itu duduk pada sudut, mengintip jatuhnya buruan dalam jaring. Maka apabila telah jatuh buruan, lalu bersegeralah ia mengambil dan memakannya. Jikalau ia lemah dari berburu seperti yang demikian, niscaya ia mencari bagi dirinya, akan suatu sudut dari dinding. Dan ia sambung diantara dua tepi dinding itu dengan benang jaringan. Kemudian ia menyangkutkan dirinya padanya dengan benang jaringnya yang lain. Dan tetaplah dia menunduk kepala di udara menunggu lalat terbang. Apabila ada lalat terbang, niscaya ia melemparkan dirinya kepadanya. Lalu diambilnya dan dibalutnya benang jaringnya atas dua kakinya dan dikuatkannya. Kemudian dimakannya. Dan tidaklah dari binatang kecil dan binatang besar, melainkan ada padanya dari keajaiban-keajaiban yang tidak terhingga banyaknya.
Adakah anda melihat, bahwa lawa-lawa itu mempelajari perusahaan ini dari dirinya sendiri ? atau menjadi ada dengan dirinya sendiri ? atau diadakan oleh manusia atau diajarkan oleh manusia ? atau tidak ada baginya yang menunjuk jalan dan yang mengajar ? adakah disangkakan oleh orang yang bermata hati, tentang lawa-lawa itu binatang yang patut dikasihani, yang lemah, yang tidak bertenaga, bahkan gajah yang besar tubuhnya, yang terang kuatnya, yang lemah dari urusan dirinya, maka bagaimanakah binatang yang lemah ini ? apakah tidak lawa-lawa itu naik saksi dengan bentuknya, rupanya, geraknya, petunjuknya dan keajaiban-keajaiban ciptaannya bagi Yang Menjadikannya, Yang Maha Bijaksana & Yang Maha Pencipta, Yang Maha Kuasa, lagi Yang Maha Mengetahui? maka orang yang bermata hati itu melihat pada hewan yang kecil ini, dari keagungan Khaliq (yang maha pencipta) Yang Maha Pengatur, kemuliaan dan kesempurnaan qudrah ( kuasa )Nya dan hikmahNya, yang mengherankan hati dan akal padanya. Lebih-lebih dari binatang-binatang yang lain.
Bab ini juga tiada hinggaan baginya. Bahwa hewan-hewan itu, bentuknya, perangainya dan tabiatnya itu tiada terhingga banyaknya. Dan sesungguh nya hilanglah ketakjuban hati daripadanya itu, karena jinaknya hati, disebabkan banyaknya yang dilihat. Ya, apabila ia melihat seekor hewan yang ganjil, walaupun ulat, niscaya membarulah ketakjubannya. Dan ia mengucapkan: “Subhanallah ! alangkah menakjubkan!” Dan manusia itu sendiri adalah hewan yang paling menakjubkan. Dan tidaklah manusia itu merasa takjub dari dirinya. Akan tetapi, jikalau manusia itu memandang kepada hewan yang hatinya jinak kepadanya dan ia memperhatikan kepada bentuknya dan rupanya, kemudian kepada manfaat-manfaatnya dan faedah-faedahnya, dari kulitnya, wolnya, bulunya dan rambutnya, yang diciptakan oleh Allah menjadi pakaian bagi makhlukNya dan tempat kediaman bagi mereka pada bepergian dan tempat menetap, bejana air bagi minuman mereka, karung bagi makanan mereka dan pemeliharaan bagi tapak-kaki mereka. Ia menjadikan susunya dan dagingnya makanan bagi mereka.
Kemudian, Ia jadikan sebahagiannya hiasan bagi kendaraan. Dan sebahagiannya pembawa beban yang berat, menempuh desa-desa dan tempat yang ditempuh yang jauh. Sesungguhnya sangat banyaklah orang yang memandang akan takjub dari hikmah Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan Pembentuknya. Sesungguhnya, tiada Ia menciptakannya, selain dengan Ilmu yang meliputi dengan semua kemanfaatannya, yang mendahului atas ciptaanNya akan semua yang tersebut itu. Maka Maha Sucilah Tuhan, yang semua urusan tersingkap pada IlmuNya, tanpa memikirkan, tanpa memperhatikan dan memahami dengan mendalam, tanpa meminta pertolongan pada menteri atau penasehat. Maka Dia itu Maha Tahu, Maha Pandai, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. DikeluarkanNya dengan yang paling sedikit dari yang sedikit dari yang diciptakanNya, akan benarnya kesaksian dari hati orang-orang yang berilmu mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifin) dengan kemaha-esaanNya. Maka tiadalah bagi makhluk, selain yakin dengan keperkasaanNya, KemampuanNya dan pengakuan dengan ketuhananNya. Berikrar (pengakuan dengan lisan) dengan kelemahan daripada mengetahui keagungan dan kebesaranNya.
Maka siapakah yang dapat menghinggakan pujian kepadaNya ? akan tetapi, Dia, sebagaimana Ia memujikan kepada diriNya sendiri. Sesungguhnya, penghabisan ilmu mengenal Allah Ta’ala kita, ialah pengakuan dengan kelemahan daripada mengenalNya. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala bahwa Ia menganugerahkan kepada kita dengan kemurahanNya, akan hidayahNya dengan kenikmatan dan kasih-sayangNya. Dari tanda-tanda kebesaranNya, ialah lautan yang dalam yang melingkungi bagi tepi-tepi bumi, dimana lautan itu adalah kepingan dari lautan besar, yang meliputi dengan seluruh bumi. Sehingga, semua yang tersingkap dari desa-desa dan gunung-gunung dari air, dengan dikaitkan kepada air, adalah seperti pulau kecil dalam lautan besar dan sisanya bumi itu tertutup dengan air. Nabi saw bersabda: “Bumi pada laut itu, adalah seperti kandang pada bumi”. Bandingkanlah kandang itu kepada seluruh bumi ! Ketahuilah, bahwa bumi, dengan dikaitkan kepada laut, adalah sebanding. Dan telah disaksikan oleh keajaiban-keajaiban bumi dan yang di dalamnya.
Maka perhatikanlah sekarang akan keajaiban-keajaiban laut ! sesungguhnya keajaiban-keajaiban yang dalam lautan itu, dari hewan dan benda-benda adalah berlipat-ganda dari keajaiban-keajaiban yang anda saksikan di atas permukaan bumi. Sebagaimana luasnya itu berlipat-ganda dari luasnya bumi. Karena luasnya lautan, yang ada padanya dari hewan-hewan besar, akan apa yang anda melihat kenyataannya dalam laut itu, lalu anda menyangka, bahwa itu pulau. Lalu turunlah penumpang-penumpang padanya. Kadang-kadang anda merasakan dengan api, apabila ia menyala, lalu ia bergerak. Dan diketahui, bahwa itu hewan. Dan tiada satu jenispun dari jenis-jenis hewan darat, dari kuda atau burung atau lembu atau insan, melainkan dalam lautpun ada yang seperti itu dan berlipat-ganda daripadanya. Dan dalam laut itu berjenis-jenis, yang tiada diketahui bandingannya di daratan. Dan telah aku sebutkan sifat-sifatnya dalam buku yang berjilid-jilid. Dan telah dikumpulkan oleh kaum-kaum yang bersungguh-sungguh menempuh lautan dan mengumpulkan keajaiban-keajaibannya. Kemudian, perhatikanlah, bagaimana Allah menciptakan intan dan rumahnya dalam keongnya di bawah air ! dan perhatikanlah bagaimana Ia menumbuhkan permata dari batu yang sangat keras di bawah air. Sesungguhnya permata itu adalah tumbuh-tumbuhan atas bentuk pohon kayu yang tumbuh dari batu.
Kemudian, perhatikanlah yang lain dari itu, dari bau-bauan anbar (minyak wangi dari dasar laut) dan segala jenis yang berharga yang dilemparkan oleh laut dan dikeluarkan daripadanya. Kemudian, perhatikanlah kepada keajaiban-keajaiban kapal, bagaimana Allah menahankannya di atas permukaan air. Dan menjalankan dalam lautan itu, saudagar-saudagar, pencari-pencari harta dll. Ia manjadikan bagi mereka bahtera, untuk membawa barang-barang berat mereka. Kemudian Ia melepaskan angin untuk menjalankan kapal-kapal. Kemudian, Ia memperkenalkan kepada nelayan-nelayan akan tempat kedatangan angin, tempat berhembusnya dan waktu-waktunya. Secara kesimpulannya, tiada akan dapat diselidiki keajaiban-keajaiban ciptaan Allah tentang lautan dalam berjilid-jilid buku. Dan yang lebih menakjubkan dari yang demikian seluruhnya, ialah apa yang lebih tampak dari setiap yang tampak. Yaitu: cara tetesan air. Dan air itu tubuh yang halus, lemah-lembut, cair, bening, yang bersambung bagian-bagiannya. Seakan-akan ia satu barang, yang lembut susunannya, yang cepat menerima untuk dipotong-potong. Seakan-akan ia berpisah, yang mudah untuk dipergunakan, yang menerima untuk bercerai dan bersambung. Dengan air itu hidup setiap apa yang ada di atas permukaan bumi, dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Maka jikalau seorang hamba memerlukan kepada seteguk air, lalu ia dihalangi dari yang demikian, niscaya ia akan memberikan semua gudang-gudang bumi dan kepunyaan nya di dunia, untuk memperoleh seteguk air tadi, jikalau ia memiliki yang demikian. Jikalau ia telah meminum seteguk air itu, lalu ia dihalangi daripada mengeluarkannya, niscaya ia akan memberikan semua gudang-gudang bumi dan kepunyaannya di dunia, pada mengeluarkan air yang seteguk itu. Maka yang mengherankan dari anak Adam (insan) ini, ialah bagaimana ia membesarkan dinar, dirham dan benda-benda yang berharga dan ia lupa dari nikmat Allah pada seteguk air itu, apabila ia memerlukan kepada meminumnya atau mengosongkan badan daripadanya, dengan memberikan semua dunia, dengan apa yang ada padanya. Maka perhatikanlah tentang keajaiban-keajaiban air dan sungai, sumur dan laut ! pada semuanya itu tempat yang luas dan jalan bagi pikiran. Semua yang demikian itu saksi-saksi yang terang, tanda-tanda yang bantu-membantukan, yang menuturkan dengan lidah keadaan, yang menjelas kan dari keagungan Penciptanya, yang melahirkan dari kesempurnaan hikmahNya padanya, yang menyerukan segala yang mempunyai hati (berakal) dengan lagunya masing-masing, yang mengatakan bagi setiap yang berakal: “Apakah engkau tidak melihat aku, melihat rupaku, susunanku, sifat-sifatku, kemanfaatan-kemanfaatanku, perbedaan hal keadaanku dan banyaknya faedah-faedahku ? adakah engkau menyangka, bahwa aku mengadakan diriku ? atau aku diciptakan oleh seseorang dari jenisku ? atau tidakkah engkau malu bahwa engkau memandang pada kata-kata yang tertulis dari 3 huruf, lalu engkau putuskan, bahwa kalimat itu dari ciptaan anak Adam (manusia) yang berilmu, yang berkuasa, yang berkehendak, yang berkata-kata ? kemudian, engkau memandang kepada keajaiban-keajaiban tulisan ketuhanan, yang tertulis di atas halaman-halaman wajahku, dengan pena (qalam) ketuhanan, yang tidak diketahui oleh penglihatan akan zatnya, geraknya dan sambungannya dengan tempat tulisan. Kemudian terlepas hati engkau dari keagungan Penciptanya ?
Nuthfah (air hanyir setetes) itu mengatakan kepada yang mempunyai pendengaran dan hati, tidak kepada mereka yang terasing dari pendengaran: “Engkau mendugakan aku dalam kegelapan perut, yang terbenam dalam darah haid, pada waktu yang lahir lah penggurisan dan pembentukan atas mukaku. Lalu Yang Mengukirkan biji mataku, pelupuk-pelupuk mataku, dahiku, pipiku dan bibirku. Lalu engkau melihat pembengkokan tampak sedikit demi sedikit, secara berangsur-angsur. Dan engkau tidak melihat di dalam nuhfah itu yang mengikir dan tidak di luarnya. Tidak di dalam rahim ibu dan tidak di luarnya. Dan tiada berita daripadanya bagi ibu, bagi bapak, bagi nuthfah dan bagi rahim. Apa tidakkah Pengukir ini yang lebih menakjubkan dari yang engkau saksikan, yang mengukirkan dengan pena akan rupa yang mengherankan, yang kalau engkau memandang kepadanya sekali atau 2 kali, niscaya engkau mengetahuinya ? maka sanggupkah engkau mempelajari jenis ini dari lukisan dan penggambaran yang melengkapi zahiriyah nuthfah, batiniyahnya dan semua bahagian-bahagiannya, tanpa penyentuhan bagi nuthfah, tanpa penyambungan dengan nuthfah, tidak dari dalam dan tidak dari luar.
Maka jikalau engkau tidak merasakan takjub dari keajaiban-keajaiban ini dan tidak engkau memahami dengan dia itu, bahwa Yang Menggambarkan, Yang Mengukir dan Yang Mentakdirkan, tiada bandingan bagiNya. Dan tidaklah pengukir dan penggambar itu menyamaiNya. Sebagaimana ukiran dan ciptaan Nya tidak akan menyamainya oleh ukiran dan ciptaan manapun.
Maka diantara dua pembuat itu dari perbedaan dan perjauhan, akan apa yang diantara dua perbuatan. Maka jikalau engkau tidak merasa takjub dari ini, maka merasa takjublah dari ketidak-adanya ketakjuban engkau. Maka itu adalah yang lebih menakjubkan dari setiap ketakjuban. Maka yang membutakan mata hati engkau serta jelasnya ini dan yang mencegahkan engkau daripada penerangan serta terangnya ini, adalah patut bahwa engkau merasa takjub daripadanya.
Maka Maha Sucilah Yang Memberi petunjuk dan Yang Menyesatkan, Yang Membelokkan dan Yang Meluruskan, Yang Mencelakakan dan Yang Membahagiakan. Dan Yang Membukakan mata hati kekasih-kekasihNya, lalu menyaksikanNya pada semua atom alam dan bahagian-bahagiannya. Ia membutakan hati musuh-musuhNya dan didindingkanNya dari mereka dengan kemuliaan dan ketinggianNya.
Maka bagiNya ciptaan dan urusan, penganugerahan nikmat dan kelebihan, kelemah-lembutan dan keperkasaan. Tiada akan menolak bagi hukumNya dan tiada yang mendatangkan akibat bagi qodoNya/TakdirNya. Diantara tanda-tanda kebesaranNya, ialah udara yang halus, yang terkurung diantara ketembusan langit dan kebungkukan bumi. Tiada diketahui dengan pancaindra sentuhan ketika berhembusnya angin, akan tubuhnya udara. Dan tiada terlihat dengan mata akan dirinya udara. Jumlahnya adalah seperti satu lautan. Burung-burung itu tergantung di udara langit dan lomba-berlomba. Berenang di udara dengan sayap-sayapnya, sebagaimana binatang laut berenang dalam air. Bergoncanglah tepi-tepinya dan ombak-ombaknya ketika berhembus angin, sebagaimana bergoncang nya ombak-ombak laut. Maka apabila Allah menggerakkan udara dan menjadikannya angin yang berhembus, maka jikalau dikehendakiNya, niscaya dijadikan nya manusia di hadapan rahmatNya, sebagaimana Allah swt berfirman: “Dan Kami tiupkan angin untuk menyuburkan”. S 15  Al Hijr ayat 22. Maka disambungkanNya dengan gerakanNya ruh udara itu kepada hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Lalu semuanya itu bersedia untuk semakin besar. Dan kalau dikehendakiNya, niscaya dijadikanNya azab atas orang-orang yang berbuat maksiat dari makhlukNya, sebagaimana Ia berfirman: “Sesungguhnya Kami kirimkan kepada mereka angin yang amat kencang, di hari sial yang terus-menerus. Yang menumbangkan manusia, seolah-olah mereka sebagai pohon kurma yang terbongkar”. S 54 Al Qamar (19-20).
Kemudian, perhatikanlah kepada kelembutan udara, kemudian kepada kerasnya dan kuatnya manakala tertekan dalam air. Maka kulit yang dibuat untuk tempat air, lalu dimasukkan angin ke dalamnya, yang dibawa oleh seorang yang kuat untuk dibenamkannya ke dalam air, niscaya orang itu akan lemah daripadanya. Dan besi yang keras yang anda letakkan di permukaan air, maka lalu terus masuk ke dalamnya. Maka perhatikanlah bagaimana udara itu bergulung dari air, dengan kuatnya udara itu, serta halusnya air. Dan dengan hikmah ini, Allah Ta’ala menahan kapal-kapal di permukaan air. Dan seperti demikian juga setiap yang berongga, yang di dalamnya angin, tiada akan menyelam dalam air. Karena udara itu bergulung, daripada menyelam ke dalam air. Maka ia tidak bercerai dari dataran yang masuk dari kapal. Lalu tetaplah kapal yang berat itu, serta kuatnya dan kerasnya tergantung pada udara yang lembut. Seperti orang yang jatuh dalam sumur, lalu bergantung pada ujung kain seorang laki-laki yang kuat, yang mencegah dari kejatuhan dalam sumur. Maka kapal itu dengan bawahnya yang dalam bergantung dengan ujung-ujung kain udara yang kuat. Sehingga kapal itu tercegah dari kejatuhan dan menyelam dalam air.
Maka Maha Sucilah Allah yang menggantungkan kendaraan yang berat dalam udara yang lembut, tanpa ada gantungan yang terlihat dan ikatan yang diteguhkan. Kemudian, perhatikanlah kepada keajaiban-keajaiban udara dan yang lahir padanya, dari mendung, petir, kilat, hujan, salju, bintang dan halilintar. Itu semuanya adalah keajaiban-keajaiban yang terdapat di antara langit dan bumi. Dan Alquran telah mengisyaratkan kepada sejumlah yang demikian pada firmanNya: “Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya itu untuk sekedar main-main saja”. S 44 Ad Dukhaan ayat 38. Dan yang diterangkan itu adalah yang diantara langit dan bumi. Dan Allah mengisyaratkan kepada penguraiannya pada banyak tempat, dimana Ia berfirman: “Dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi”. S 2 Al Baqarah ayat 164. Dan di mana Ia membentangkan petir, kilat, awan dan hujan. Maka apabila tidak ada bagi engkau keberuntungan dari jumlah ini, selain bahwa engkau melihat hujan dengan mata engkau dan engkau mendengar petir dengan telinga engkau, maka hewanpun bersekutu dengan engkau pada mengenal ini.
Maka tingkatkanlah dari lembah alam kehewanan ke alam malaikat yang tertinggi. Maka sesungguhnya engkau telah membukakan kedua mata engkau. Lalu engkau memperoleh zahiriyahnya. Maka pejamkanlah mata zahiriyah engkau dan perhatikanlah dengan mata hati batiniyah engkau, supaya engkau melihat keajaiban-keajaiban batiniyah nya dan keganjilan-keganjilan rahasianya. Ini juga suatu pintu, yang panjanglah pemikiran padanya.
Karena tiada harapan pada penyelidikannya yang lebih mendalam. Maka perhatikanlah akan awan yang tebal, yang gelap ! bagaimana engkau melihatnya, yang berkumpul pada udara yang bersih, yang tiada keruh padanya. Bagaimana ia diciptakan oleh Allah Ta’ala, apabila Ia menghendaki dan kapan Ia menghendaki. Dan awan itu serta kelembutannya membawa air yang berat dan yang memegangnya dalam udara langit, sampai diizinkan oleh Allah Ta’ala pada menurunkan air dan memotongkan tetes-tetes air. Setiap tetes itu menurut kadar yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dan di atas bentuk yang dikehendaki Nya. Maka engkau melihat awan itu menyiramkan air ke atas bumi dan mengirimkannya tetesan-tetesan yang bercerai-berai, yang tidak diketahui oleh suatu tetesan daripadanya akan suatu tetesan yang lain. Dan tiada bersambung yang satu dengan lainnya. Akan tetapi, masing-masing turun pada jalan yang digariskan baginya, yang tidak berpaling daripadanya. Maka tidak terdahululah yang kemudian dan tidak terkemudian lah yang dahulu. Sehingga mengenailah bumi setetes demi setetes. Maka jikalau berkumpullah orang yang dahulu dan orang yang kemudian, untuk menciptakan satu tetes daripada nya atau untuk mengetahui bilangan yang diturunkan daripadanya pada suatu negeri atau suatu desa, niscaya lemahlah perhitungan jin dan insan daripada yang demikian. Maka tiada yang mengetahui bilangannya, selain Yang Menjadikannya.
Kemudian, setiap tetes daripadanya itu bagi setiap bahagian dari bumi. Dan bagi setiap hewan daripadanya, dari burung, binatang liar, semua binatang kecil-kecil dan binatang ternak itu tertulis atas tetesan itu, dengan tulisan ketuhanan, yang tidak diketahui dengan penglihatan zahir, bahwa tetesan itu rezeki ulat anu, yang berada pada jurusan gunung anu, yang sampai kepadanya ketika hausnya pada waktu anu. Ini bersama apa yang terjadinya air es yang keras dari air yang lembut dan pada berguguran salju seperti kapas yang mengaca, adalah termasuk dari keajaiban-keajaiban yang tidak terhingga banyaknya. Setiap yang demikian itu adalah kurnia dari Tuhan Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Kuasa dan paksaan dari Tuhan Yang Maha pencipta dan Yang Mahapemaksa. Tiada bagi seorangpun dari makhluk bersekutu padanya dan turut campur. Bahkan tiadalah bagi yang beriman dari makhlukNya, selain ketenangan dan ketundukan di bawah keagungan dan kebesaranNya. Dan tiadalah bagi orang-orang yang buta, yang ingkar, selain kebodohan dengan caranya. Dan terkutuklah segala sangka waham dengan menyebutkan sebab dan alasannya.
Maka berkata orang yang bodoh, yang tertipu: “Sesungguhnya air itu turun, karena dia itu berat menurut sifatnya. Dan ini adalah sebab turunnya. Orang yang bodoh itu menyangka bahwa ini adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang tersingkap baginya dan ia bergembira dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut. Jikalau ditanyakan kepadanya: apa arti tabiat (sifat) itu ? siapakah yang menciptakannya ? siapakah yang menciptakan air yang sifatnya itu berat ? siapakah yang menaikkan air yang dituangkan di bawah pohon kayu, ke atas ranting-ranting, padahal air itu berat menurut sifatnya ? maka bagaimana ia turun ke bawah, kemudian meninggi ke atas dalam rongga pohonan kayu itu sedikit demi sedikit, dimana tidak terlihat dan tidak dipersaksikan, sehingga ia bertebaran pada semua pinggir-pinggir daun ? lalu memberi makan kepada setiap bahagian dari setiap daun. Dan mengalir kepadanya dalam rongga-rongga urat yang kecil sebagai rambut, yang menghilangkan haus urat daun, yang menjadi asal daun itu. Kemudian berkembanglah dari urat yang besar, yang memanjang sepanjang daun itu urat-urat kecil. Maka seakan-akan yang besar itu sungai. Dan yang bercabang daripadanya, adalah sungai-sungai kecil. Kemudian, bercabang dari sungai-sungai kecil itu tempat mengalir yang lebih kecil daripadanya.
Kemudian, berkembang daripadanya, benang-benang kelawa-lawaan yang halus, yang keluar dari dapat diketahui oleh penglihatan. Sehingga ia menghampar pada semua lintangan daun. Lalu sampailah air pada rongga-gongganya ke bahagian-bahagian daun yang lain, untuk diberinya makan, ditambahkan nya besarnya, dihiaskannya dan diteruskannya kelembutan dan kehijauannya. Dan seperti demikian juga pada bahagian-bahagian buah-buahan yang lain. Maka jikalau adalah air itu bergerak menurut sifatnya ke bawah, maka bagaimana ia dapat bergerak ke atas ? kalau adalah yang demikian itu dengan tarikan penarik, maka apakah yang memaksakan penarik itu ? kalau ada yang demikian itu berkesudahan pada akhirnya kepada Pencipta langit dan bumi dan Yang Maha Perkasa di alamul-mulki dan malakut, maka mengapakah tidak dialihkan kepadaNya dari permulaan urusan ? maka kesudahan orang yang bodoh itu adalah permulaan orang yang berakal.
Diantara tanda-tanda kebesaranNya, ialah kerajaan langit dan bumi dan yang di dalamnya, dari bintang-bintang. Itulah urusan seluruhnya. Siapa yang mengetahui seluruhnya dan luput baginya segala keajaiban langit, maka pada hakikat/maknanya telah luput baginya semua. Bumi, laut, udara dan setiap tubuh (benda yang bertubuh) selain langit, dengan dikaitkan kepada langit itu adalah setetes dalam lautan dan lebih kecil lagi.
Kemudian, perhatikanlah, bagaimana Allah mengagungkan urusan langit dan bintang-bintang dalam KitabNya ! maka tiada satu surahpun (dalam Alquran), melainkan melengkapi atas pengagungannya pada beberapa tempat. Berapa banyak dari sumpah dalam Alquran dengan langit dan bintang-bintang itu, seperti firmanNya Allah Ta’ala:
“Demi langit yang penuh bintang-bintang”. S 85 Al Buruuj ayat 1. Dan firmanNya:
“Demi langit dan yang datang di malam hari”. S 86 Ath Thaariq ayat 1. Dan firmanNya:
“Demi langit yang penuh dengan jalan-jalan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 7. Dan firmanNya:
“Demi langit dan bangunannya”. S 91 Asy Syams ayat 5. Dan seperti firmanNya:
“Demi matahari dan cahayanya. Demi bulan ketika mengambil cahaya daripadanya”. S 91 Asy Syams ayat 1-2. Dan seperti firmanNya:
“Sebab itu, Aku bersumpah dengan (bintang-bintang) yang timbul tenggelam. Yang berlari (terbit) dan terbenam”. S 81 At Takwiir ayat 15-16. Dan firmanNya:
“Demi bintang, ketika ia terbenam”. S 53 An Najm ayat 1. Dan firmanNya:
“Aku bersumpah dengan tempat turunnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu suatu sumpah yang besar, kalau kamu tahu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 75-76.
Sesungguhnya engkau tahu, bahwa keajaiban-keajaiban air nuthfah yang kotor, telah tidak sanggup orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, daripada mengetahuinya dan Allah tidak bersumpah dengan air nuthfah itu, maka apa yang persangkaan engkau, dengan yang disumpahkan oleh Allah Ta’ala ? dialihkanNya rezeki-rezeki kepadanya ? dan dikaitkanNya kepadanya ? maka Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Ia memujikan orang-orang yang berfikir. Ia berfirman: “Dan mereka berfikir tentang kejadian langit dan bumi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191. Nabi saw bersabda: “Neraka bagi orang yang membaca ayat ini, kemudian ia sapu dengan ayat tersebut kumisnya”. Artinya: ia lewati saja ayat itu, dengan tidak berpikir. Ia mencela orang-orang yang berpaling daripadanya. Ia berfirman: “Dan Kami jadikan langit itu menjadi atap yang dijaga, sedang mereka tiada memperhatikan keterangan-keterangan yang ada di sana”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 32. Maka apakah perbandingannya semua lautan dan bumi itu dengan langit? lautan dan bumi itu berobah-obah dalam waktu dekat, sedang langit itu keras dan kuat, dijaga dari perobahan, sehingga bahwa sampailah ketentuan kepada ajalnya. Dan karena itulah, maka Allah Ta’ala menamakannya “dijaga”. Allah Ta’ala berfirman:“Dan Kami jadikan langit itu menjadi atap yang dijaga”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 32. Allah swt berfirman:
“Dan Kami bangunkan di atas kamu 7 yang teguh”. S 78 An Nabaa’ ayat 12. Allah Ta’ala berfirman:
“Kamukah yang lebih susah menciptakannya atau langit yang dibangunkanNya ? ditinggikanNya dan diaturNya dengan sebaik-baiknya”. S 79 An Naazi’aat ayat 27-28. Maka perhatikanlah kepada alam al-malakut, supaya engkau melihat akan keajaiban-keajaiban kemuliaan dan keperkasaan ! dan jangan engkau menyangka, bahwa makna memperhatikan kepada alam al-malakut (alam yg tdk dapat disaksikan oleh mata) itu dengan engkau memanjangkan penglihatan kepadanya. Lalu engkau melihat kebiruan langit, cahaya bintang-bintang dan berpisahnya satu sama lain.
Maka hewan-hewan itu bersekutu dengan engkau pada pemandangan ini. Maka kalau adalah ini yang dimaksudkan, maka mengapakah Allah Ta’ala memujikan Ibrahim dengan firmanNya: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi”. S 6 Al An’aam ayat 75. Tidak ! bahkan setiap yang diketahui dengan pancaindra penglihatan, maka Alquran mengibaratkan daripadanya dengan: alam al-mulki wasy-syahadah (alam yg dapat dipersaksikan dengan mata). Dan yang ghaib (yang tidak tampak) dengan penglihatan, maka diibaratkan daripadanya dengan: alamul-ghaibi wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata)
Dan Allah Ta’ala itu mengetahui yang ghaib (al-ghaibi) dan yang tampak (asy-syahadah), Yang Maha Perkasa bagi alamul-mulki wal-malakut (alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata)  Dan tidaklah seseorang itu mengetahui dengan sesuatu dari ilmuNya, selain dengan yang dikehendakiNya. Dialah yang mengetahui akan yang ghaib. Maka tidak dilahirkanNya atas keghaibannya itu kepada seseorang, selain siapa yang diridhaiNya dari rasul.
Maka tangguhkanlah, hai orang yang berakal akan pikiranmu pada alam al-malakut (alam yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Semoga Ia membukakan bagimu, akan pintu-pintu langit. Lalu kamu berkeliling dengan hatimu pada tepi-tepinya, sampai kepada berdirinya hatimu di hadapan ‘Arasy Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka ketika itu kadang-kadang diharapkan bagi engkau bahwa sampailah engkau kepada tingkat Umar bin Al-Khattab, dimana ia mengatakan: “Hatiku melihat Tuhanku”. Dan ini adalah karena untuk sampai kepada yang paling jauh itu tidak akan ada, selain sesudah melewati yg paling dekat. Dan sesuatu yg paling dekat kepada engkau ialah diri engkau sendiri (Carilah Allah dengan seiklas-iklasnya buka hati kita &hanya Allah tujuan kita-pent) Kemudian bumi yang menjadi tempat ketetapan engkau. Kemudian, udara yang mengelilingi engkau. Kemudian tumbuh-tumbuhan, hewan dan apa yang ada di permukaan bumi. Kemudian, keajaiban-keajaiban udara dan yaitu: apa yang ada di antara langit dan bumi. Kemudian langit yang 7 dengan bintang-bintangnya. Kemudian Kursi. Kemudian ‘Arasy. Kemudian para malaikat, yang mereka itu adalah para pembawa ‘Arasy dan gudang-gudang langit. Kemudian, daripadanya itu melewati kepada memandang kepada Yang Empunya ‘Arasy, Kursi, langit, bumi dan yang diantara keduanya. Maka diantara engkau dan tanah balantara yang besar ini, jarak yang jauh dan halangan-halangan yang memuncak dan engkau sesudah itu tidak selesai dari halangan yang dekat, yang turun atas engkau, yaitu: mengenal diri engkau sendiri. Kemudian jadilah engkau melepaskan lidah dengan tiada malunya engkau dan engkau mendakwakan mengenal Tuhan engkau. Dan engkau mengatakan: Bahwa aku telah mengenalNya dan mengenal makhlukNya. Maka pada apakah aku memikirkan ? dan kepada apakah aku menengok ?”. Maka angkatkanlah sekarang kepala engkau ke langit ! perhatikanlah pada langit itu dan pada bintang-bintangnya, pada peredarannya, terbit dan terbenamnya, matahari dan bulannya, perbedaan timur dan baratnya, berkekalannya pada gerak secara terus-menerus, tanpa lesu pada gerakannya, tanpa perobahan pada perjalanannya. Akan tetapi, ia berjalan sekalian pada tempat-tempat yang teratur, dengan hitungan yang dikadarkan, tiada lebih dan tiada kurang, sampai ia dilipatkan oleh Allah Ta’ala, sebagai lipatan kertas bagi buku. Dan pemahaman bilangan bintangnya, banyaknya dan bermacam-macam warnanya. Maka sebahagian daripadanya cenderung kepada merah, sebahagian daripadanya kepada putih dan sebahagian daripadanya kepada warna timah hitam.
Kemudian, perhatikanlah bagaimana bentuknya. Maka sebahagian daripadanya atas bentuk kala dan sebahagian daripadanya atas bentuk kambing, lembu jantan, singa dan manusia. Tiadalah dari suatu bentukpun di bumi, melainkan mempunyai contoh di langit.
Kemudian, perhatikanlah kepada perjalanan matahari pada falaknya dalam masa setahun. Kemudian ia terbit pada setiap hari dan ia terbenam, dengan perjalanan yang lain, yang diciptakan baginya oleh Khaliq (yang maha pencipta)nya. Dan jikalau tidak adalah terbit dan terbenamnya matahari itu, niscaya tidak berbedalah malam dan siang. Dan tidaklah diketahui waktu-waktu. Dan sungguh berlapislah kegelapan terus-menerus atau terang terus-menerus. Maka adalah tidak dapat dibedakan waktu mencari penghidupan dari waktu istirahat.
Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjadikan malam sebagai pakaian (menutup diri kita dengan gelapnya), tidur dengan nyenyak dan siang untuk mencari penghidupan. Dan perhatikanlah kepada dimasukkanNya malam dalam siang dan siang dalam malam. DimasukkanNya lebih dan kurang pada kedua nya itu atas tertib yang khusus. Dan perhatikanlah kepada dimiringkanNya perjalanan matahari dari tengah langit. Sehingga dengan sebabnya itu berbedalah musim panas, musim dingin, musim bunga dan musim sesudah musim panas (musim kharif). Maka apabila merendah matahari dari tengah langit dalam perjalanannya, niscaya dinginlah udara dan datanglah musim dingin. Dan apabila matahari itu sama di tengah langit, niscaya bersangatanlah kemarau. Dan apabila adalah matahari itu pada yang diantara keduanya, niscaya sedanglah udara masa itu.
Keajaiban-keajaiban langit tak ada harapan pada menghinggakan 1/100 bahagian dari bahagian-bahagiannya. Dan ini sesungguhnya adalah pemberitahuan kepada jalan pikiran. Dan yakinlah secara kesimpulan, bahwa tiada dari satu bintangpun dari bintang-bintang itu, melainkan bagi Allah Ta’ala mempunyai banyak hikmah pada ciptaanNya. Kemudian pada kadarnya. Kemudian pada bentuknya. Kemudian pada warnanya. Kemudian, pada letaknya dari langit. Dekatnya dari tengah langit dan jauhnya. Dekatnya dari bintang-bintang yang disampingnya dan jauhnya. Dan bandingkanlah atas yang demikian, akan yang telah kami sebutkan dari anggota-anggota badan engkau. Karena tiada dari satu bahagianpun, melainkan padanya itu hikmah. Bahkan banyak hikmah. Dan urusan langit itu maha besar. Bahkan tiada bandingan bagi alam bumi atas alam langit. Tidak pada besar tubuh dan tidak pada banyak makna-maknanya. Bandingkanlah akan berlebih kurangnya yang terdapat diantara keduanya itu, pada banyaknya makna dari berlebih-kurang pada besarnya bumi. Maka engkau mengetahui dari besarnya bumi dan luas tepi-tepinya, bahwa tidak sangguplah anak Adam (manusia) untuk mengetahuinya dan berkeliling pada tepi-tepinya. Telah sepakatlah para pemerhati, bahwa matahari itu seperti bumi dengan 160 kali lebih. Dan pada hadits-hadits ada yang menunjukkan atas kebesarannya.
Kemudian, bintang-bintang yang anda lihat itu, yang terkecil daripadanya adalah seperti bumi dengan 8 kali. Dan yang terbesar daripadanya sampai kepada mendekati 120 kali dari bumi. Dengan ini, anda mengetahui ketinggiannya dan kejauhannya. Karena lantaran jauh itu menjadi terlihat kecil. Dan karena itulah, diisyaratkan oleh Allah Ta’ala kepada jauhnya. Allah Ta’ala berfirman: “DitinggikanNya dan diaturNya dengan sebaik-baiknya”. S 79 An Naazi’aat ayat 28. Pada hadits-hadits, tersebut bahwa diantara setiap langit kepada yang lain itu perjalanan 500 tahun. Maka apabila adalah kadar satu bintang itu seperti bumi dengan berlipat ganda kalinya, maka perhatikanlah kepada banyaknya bintang-bintang ! kemudian, perhatikanlah kepada langit, yang bintang-bintang itu dipusatkan padanya dan kepada besarnya ! kemudian, perhatikanlah kepada cepat geraknya dan engkau tidak merasakan dengan geraknya itu, lebih-lebih daripada mengetahui kecepatannya.
Akan tetapi, engkau tidak ragu, bahwa dia itu dalam sekejap mata berjalan kadar lintangnya sebuah bintang. Karena masa dari terbitnya permulaan bahagian dari bintang, sampai kepada sempurnanya itu adalah sedikit. Dan bintang itu adalah seperti bumi dengan 100 kali lebih. Maka telah beredarlah falaknya pada sekejap mata ini seperti bumi dengan 100 kali. Dan begitulah ia beredar terus-menerus dan engkau lalai daripadanya. Dan perhatikanlah bagaimana Jibril as mengibaratkan dari cepat geraknya itu, karena Nabi saw bertanya kepadanya: “Adakah matahari itu hilang ?”. Jibril as menjawab: “Tidak –ya !”. Nabi saw lalu bertanya lagi: “Bagaimanakah engkau mengatakan: tidak –ya “. Jibril as lalu menjawab: “Dari ketika aku mengatakan tidak sampai kepada aku mengatakan ya, matahari itu berjalan 500 tahun”. Maka perhatikanlah, kepada besar dirinya matahari itu, kemudian kepada ringan geraknya ! kemudian, perhatikanlah kepada qudrah ( kuasa ) Yang Menciptakan, Yang Maha Bijaksana, bagaimana Ia menetapkan bentuknya serta luas sudut-sudutnya, dalam biji mata dengan kecilnya biji mata itu ! sehingga engkau duduk di atas bumi dan engkau membuka dua mata engkau, lalu melihat semuanya.
Maka langit itu dengan besarnya dan banyak bintang-bintangnya, engkau tidak melihat kepadanya. Akan tetapi, lihatlah kepada Penciptanya, bagaimana Ia menjadikannya. Kemudian, ditahankanNya dengan tiada tiang yang engkau melihatnya dan dengan tiada gantungan dari yang diatasnya. Dan semua alam itu seperti satu rumah dan langit itu atapnya. Maka yang heran dari engkau, bahwa engkau masuk ke rumah orang kaya, lalu engkau melihatnya yang dipercantikkan dengan cat, yang dicelupkan dengan emas. Lalu tiada putus-putusnya ketakjuban engkau daripadanya. Dan senantiasalah engkau menyebutkannya dan menyifatkan kebagusannya sepanjang umur engkau. Dan engkau selama-lamanya memandang kepada rumah yang besar ini, kepada lantainya, kepada atapnya, udaranya, keajaiban harta-bendanya, keganjilan hewan-hewannya, kecantikan ukiran-ukirannya. Kemudian, engkau tidak memperkatakan tentang dia dan tidak engkau palingkan dengan hati engkau kepadanya. Maka tidaklah rumah ini, kurang dari rumah itu, yang engkau menyifatkannya. Bahkan rumah itu adalah juga sebahagian dari bumi, yang bumi itu adalah yang terburuk dari bahagian-bahagian rumah ini. Dan bersamaan dengan ini, maka engkau tiada memandang kepadanya, yang tiada sebab baginya, selain bahwa itu Rumah Tuhan engkau, yang Dia itu sendirian dengan membangun dan menertibkannya. Dan engkau telah lupa kepada diri engkau, Tuhan engkau dan Rumah Tuhan engkau. Dan engkau sibuk dengan perut engkau dan faraj (kemaluan) engkau. Tiada bagi engkau cita-cita, selain nafsu keinginan engkau atau pengiringan engkau. Dan tujuan nafsu keinginan engkau, ialah untuk memenuhkan perut engkau. Dan engkau tidak mampu untuk memakan 1/10 dari yang dimakan oleh binatang ternak. Maka adalah binatang ternak itu di atas engkau dengan 10 tingkat.
Dan tujuan pengiringan engkau, ialah bahwa datang kepada engkau 10 atau 100 dari kenalan engkau. Lalu mereka itu berbuat munafik dengan lidahnya di hadapan engkau. Mereka menyembunyikan iktikad yang keji terhadap engkau, walaupun mereka membenarkan engkau tentang cintanya mereka kepada engkau. Maka mereka tiada memiliki bagi engkau dan bagi diri mereka itu sendiri, akan manfaat dan melarat, mati, hidup dan hidup kembali sesudah mati (an-nusyur).
Dan kadang-kadang ada di negeri engkau, orang Yahudi dan orang Nasrani yang kaya, yang lebih kemegahannya dari kemegahan engkau. Dan engkau sibuk dengan keterpedayaan ini. Dan engkau lalai daripada memperhatikan pada keelokan kerajaan langit dan bumi. Kemudian, engkau lalai dari bernikmat-nikmatan dengan memandang kepada keagungan Yang Memiliki alam al-malakut/akhirat dan al-mulki/dunia itu. Dan tiadalah seperti engkau dan seperti akal engkau itu, melainkan seperti semut yang keluar dari lobangnya, yang dikorekkannya pada istana yang kokoh dari istana-istana raja, yang tinggi bangunannya, yang teguh sendi-sendinya, yang dihiasi dengan bidadari dan pelayan-pelayan dan berbagai macam barang simpanan dan barang-barang yang berharga. Bahwa semut tadi, apabila ia telah keluar dari lobangnya dan ia bertemu dengan temannya, niscaya ia tidak bercakap-cakap, jikalau ia sanggup bertutur kata, selain tentang rumahnya dan makanannya dan bagaimana menyimpankannya.
Adapun hal istana dan raja yang dalam istana itu, maka semut itu tidak membicarakannya dan berfikir padanya. Akan tetapi, tiada kemampuan baginya kepada melewatkan, dengan memandang dari dirinya, makanannya dan rumahnya, kepada yang lain. Dan sebagaimana semut itu lalai dari istana, lantainya, atapnya, dinding-dinding temboknya dan bangunannya yang lain dan ia lupa pula dari penghuni-penghuninya, maka engkau juga lalai dari Rumah Allah Ta’ala dan dari malaikat-malaikatNya, yang mereka itu adalah penghuni-penghuni langitNya. Maka engkau tidak mengenal dari langit, selain apa yang dikenal oleh semut dari atap rumah engkau. Dan engkau tidak mengenal dari malaikat-malaikat langit, selain apa yang dikenal oleh semut dari engkau dan dari penghuni-penghuni rumah engkau. Ya, tiada bagi semut itu jalan, kepada ia mengenal engkau dan mengenal akan keajaiban-keajaiban istana engkau dan kebagusan ciptaan yang menciptakannya.
Adapun engkau maka bagi engkau itu kemampuan untuk berkeliling pada alam al-malakut dan mengenal dari keajaiban-keajaibannya, akan apa yang makhluk itu lalai daripadanya. Dan marilah kami genggamkan tali pembicaraan dari hal ini. Maka sesungguhnya itu adalah jalan yang tiada berkesudahan. Dan jikalau kita menyelidiki dengan menggunakan umur panjang, niscaya kita tidak mampu untuk menguraikan yang dikurniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita dengan berilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah. Dan setiap yang kita mengenaliNya itu adalah sedikit sekali, yang tiada berarti, dengan dibandingkan kepada yang diketahui oleh sejumlah ulama dan wali-wali. Dan yang diketahui oleh mereka ini adalah sedikit sekali, yang tiada berarti, dengan dibandingkan kepada yang diketahui oleh nabi-nabi as. Dan jumlah yang diketahui oleh nabi-nabi as itu adalah sedikit, dibandingkan kepada yang diketahui oleh Muhammad Nabi kita saw. Dan yang diketahui oleh nabi-nabi semuanya adalah sedikit, dibandingkan kepada yang diketahui oleh para malaikat al-muqarrabin, seperti: Israfil, Jibril dll.
Kemudian, semua ilmu malaikat, jin dan insan, apabila dibandingkan kepada ilmu Allah swt, niscaya tidak berhaklah untuk dinamakan ilmu. Akan tetapi, adalah lebih mendekati untuk dinamakan dengan: kedahsyatan, keheranan, kesingkatan dan kelemahan. Maka Maha Sucilah Allah yang memperkenalkan kepada hamba-hambaNya akan apa yang dikenalNya. Kemudian Ia menujukan kata-kata kepada semua mereka, maka berfirman: “Dan tidak diberikan kepada kamu pengetahuan, kecuali sedikit”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Maka inilah penjelasan ikatan-ikatan kesimpulan yang beredar padanya, pikiran orang-orang yang bertafakkur/memikirkan tentang ciptaan Allah Ta’ala. Dan tidak ada padanya pikiran tentang Dzat Allah Ta’ala. Akan tetapi, sudah pasti –diambil faedah dari pikiran tentang makhluk, untuk mengenal Khaliq/TUHAN, kebesaranNya, keagunganNya dan kekuasaanNya. Dan setiap kali engkau membanyakkan mengenal akan keajaiban ciptaan Allah Ta’ala, niscaya adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala engkau dengan keagungan dan kebesaranNya itu lebih sempurna. Dan ini, sebagaimana engkau membesarkan seorang yang berilmu, disebabkan engkau mengenal akan ilmunya, maka senantiasalah engkau melihat kepada keganjilan, akan keganjilan dari karangannya atau sya’irnya. Lalu bertambahlah ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan yang demikian itu. Dan menambahkan dengan kebagusannya baginya akan pemuliaan, pengagungan dan penghormatan. Sehingga, bahwa setiap perkataan dari perkataan-perkataannya dan setiap bait yang menakjubkan dari bait-bait sya’irnya itu menambahkannya tempat dari hati engkau, yang mengajak pengagungan baginya pada diri engkau. Maka begitulah hendaknya, engkau memperhatikan tentang ciptaan Allah Ta’ala, karangan dan susunanNya. Dan setiap yang pada wujud ini adalah dari ciptaan Allah dan karanganNya.
Memandang dan berpikir padanya tiada akan berkesudahan untuk selama-lamanya. Hanya bagi setiap hamba dari memandang dan berpikir itu adalah dengan kadar yang dianugerahkan. Maka marilah kita singkatkan atas yang telah kami sebutkan dahulu. Dan marilah kami tambahkan kepada ini, akan apa yang telah kami uraikan pada Kitab Syukur. Maka kami sesungguhnya telah memperhatikan pada Kitab itu, tentang perbuatan Allah Ta’ala, dari segi bahwa itu adalah perbuatan kebaikan (ihsan) kepada kita dan curahan nikmat kepada kita. Dan pada Kitab ini, kami memandang padanya, dari segi bahwa itu adalah perbuatan Allah saja. Dan setiap yang kami pandang padanya, maka bahwa tabiat memandang padanya. Dan adalah pandangannya itu sebab kesesatan dan kesengsaraan nya. Dan orang yang memperoleh taufiq itu memandang padanya, lalu adalah dia itu sebab bagi petunjuk dan kebahagiaannya. Dan tiada dari satu atompun di langit dan di bumi, melainkan Allah swt menyesatkan dengan dia, akan siapa yang dikehendakiNya dan diberi petunjuk akan siapa yang dikehendakiNya.
Maka barangsiapa memperhatikan pada semua persoalan ini, dari segi bahwa itu perbuatan Allah Ta’ala dan ciptaanNya, niscaya ia mengambil faedah daripadanya, akan ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Dan ia memperoleh petunjuk dengan yang demikian itu. Dan siapa yang memperhatikan padanya, yang menyingkatkan bagi pemandangan kepadanya, dari segi sebahagiannya mendatangkan kesan pada sebahagian yang lain, tidak dari segi ikatannya dengan Yang Menyebabkan sebab-sebab, maka sesungguhnya ia telah celaka dan memperoleh kehinaan.
Maka kita berlindung dengan Allah Ta’ala dari kesesatan. Dan kita bemohon padaNya, bahwa Ia menjauhkan kita akan tergelincirnya tapak kaki orang-orang yang bodoh, dengan nikmatNya, kemurahanNya, kurniaNya, kebaikanNya, dan rahmatNya.

Telah tammat Kitab Ke-9 dari Rubu’ Yang Melepaskan. Dan segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Selawat dan salamNya kepada Muhammad dan keluarganya. Akan diiringi Kitab ke-9 ini, oleh Kitab Mengingati Mati dan yang sesudahnya. Dan dengan yang demikian, sempurnalah semua dewan, dengan pujian kepada Allah Ta’ala dan kemurahanNya.