Kamis, 13 Februari 2014

33. KITAB TAKUT DAN HARAP.

KITAB TAKUT DAN HARAP.
Yaitu: Kitab Ke-3 dari “Rubu’ Yang Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang diharapkan kasih-sayang dan pahalaNya, yang ditakutkan kebencian dan siksaanNya, yang membangun hati wali-waliNya dengan keenakan harapanNya. Sehingga Ia membawa mereka dengan kasih-sayang nikmat-nimatNya kepada ketetapan di halaman keajaibanNya. Dan berpaling dari negeri percobaanNya, yang menjadi tempat ketetapan musuh-musuhNya. Dan Ia memukul dengan cemeti pentakutanNya dan hardikNya yang keras, akan muka orang-orang yang berpaling dari  keajaibanNya, ke negeri pahalaNya dan kemuliaanNya. Dan Ia mencegah mereka kepada mendatangi yang dicacikanNya dan menghampiri kepada kemarahan dan kutukanNya. Karena tarikan segala jenis makhluk dengan rantai-rantai paksaan dan kekerasan. Dan pada kali yang lain, dengan kekang-kekang kelemah-lembutan dan kasih-sayang kepada sorgaNya. Rahmat kepada Muhammad penghulu nabi-nabiNya dan sebaik-baik makhluk Nya. Dan kepada keluarga, para sahabat dan anak-anak cucunya.
Adapun kemudian, maka sesungguhnya harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf) itu dua sayap, yang dengan dua sayap itu, orang-orang muqarrabin terbang ke setiap pangkat yang terpuji. Dan merupakan dua pisau, yang dengan dua pisau itu, orang yang berjalan ke akhirat, memotong setiap tebing yang sukar didaki. Maka tiada yang membawa kepada kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan kepada angin sorga, serta keadaannya itu jauh tepi-tepinya, berat beban-bebannya, terkeliling dengan yang tiada disukai oleh hati dan dirindui oleh anggota-anggota badan dan sendi-sendi tubuh, selain oleh kekang-kekang harapan. Dan tiada yang menahan dari neraka jahannam dan azab yang pedih, serta keadaannya terkeliling dengan keinginan-keinginan yang lemah-lembut dan kesenangan-kesenangan yang menakjubkan, selain oleh cemeti-cemeti pentakutan dan kekuasaan-kekuasaan yang mengeraskan. Jadi, maka tidak boleh tidak, daripada penjelasan hakikat/makna harap dan takut dan keutamaan keduanya. Dan jalan kesampaian kepada mengumpulkan diantara keduanya, serta berlawanan dan bertentangan diantara keduanya. Dan kami akan mengumpulkan penyebutan keduanya dalam suatu kitab, yang melengkapi atas dua bahagian. Bahagian pertama tentang: harap. Dan bahagian kedua, tentang: takut. Adapun bahagian pertama: maka melengkapi atas: penjelasan hakikat/makna harap, penjelasan keutamaan harap, penjelasan obat harap dan jalan yang menarik harap dengan jalan itu.
PENJELASAN: hakikat/makna harap.
Ketahuilah kiranya, bahwa harap itu termasuk dalam jumlah pangkat-pengkat orang salik (orang yang berjalan kepada Allah) dan hal keadaan orang-orang yang menuntut jalan Allah. Sesungguhnya sifat itu dinamakan: tingkat (maqam), ialah: apabila ia tetap dan berketetapan di situ. Dan sesungguhnya dinamakan: hal-keadaan, apabila dia itu mendatang, yang segera hilang. Dan sebagaimana kuning itu terbagi kepada: yang tetap, seperti: kuning emas. Dan kepada yang segera hilang, seperti: kuning (pucat) ketakutan. Dan kepada apa, yang diantara keduanya, seperti: kuning orang sakit. Maka seperti demikian pula, sifat-sifat hati itu terbagi kepada: bahagian-bahagian ini. Maka yang tidak tetap, dinamakan: hal-keadaan. Karena dia itu berpaling dengan dekat. Dan ini berlaku pada setiap sifat, daripada sifat-sifat hati. Maksud kami sekarang, ialah: hakikat/makna harap. Maka harap juga akan sempurna, dari: hal-keadaan, ilmu dan amal. Maka ilmu itu sebab yang membuahkan hal-keadaan. Dan hal-keadaan itu menghendaki amal. Dan adalah harap itu suatu nama dari jumlah yang 3 tadi. Penjelasannya, ialah: bahwa setiap apa yang menemukan anda, dari: yang tidak disukai dan yang disukai, maka terbagi kepada: wujudnya pada hal-keadaan yang sekarang, kepada wujudnya pada masa yang lalu dan kepada yang ditunggu pada masa mendatang.
Maka apabila terguris di hati anda, suatu wujud pada masa yang lalu, niscaya dinamakan: ingatan dan sebutan. Dan jikalau yang terguris di hati anda itu, terdapat sekarang, niscaya dinamakan: perasaan, rasa dan tahu. Dan sesungguhnya dinamakan: perasaan, karena dia itu suatu keadaan yang anda dapati dalam jiwa anda. Dan jikalau terguris di hati anda akan adanya sesuatu pada masa mendatang dan mengeraskan yang demikian pada hati anda, niscaya dinamakan: tungguan dan kemungkinan terjadi. Maka jikalau yang ditunggu itu tidak disukai, niscaya timbullah dalam hati kepedihan, yang dinamakan: takut dan kasihan. Dan kalau yang ditunggu itu disukai, yang diperoleh dari tungguannya, kesangkutan hati kepadanya dan kegurisan adanya di hati, kelezatan dalam hati dan kesenangan, niscaya dinamakan kesenangan itu: harap. Maka harap, ialah: kesenangan hati untuk menunggu apa yang disukainya. Akan tetapi, yang disukai dan yang diharapkan itu, tak boleh tidak, bahwa ada sebab baginya. Kalau tungguan itu karena hasil kebanyakan sebab-sebabnya, maka nama harap padanya itu benar. Dan kalau ada yang demikian itu tungguan serta rusak dan kacau-balau sebab-sebabnya, maka nama tipuan dan dungu lebih tepat padanya, daripada nama: harap. Dan jikalau tidaklah sebab-sebab itu diketahui adanya dan tidak diketahui tidak adanya, maka nama: angan-angan lebih tepat atas tungguannya. Karena itu adalah tungguan, tanpa ada sebab. Dan atas setiap hal-keadaan, maka tidaklah dipakai secara mutlak: nama harap dan takut, selain atas apa yang diragukan padanya. Adapun apa yang diyakinkan, maka tidak dipakai. Karena tidaklah dikatakan: aku harap terbit matahari pada waktu terbit. Dan aku takut akan terbenamnya waktu terbenam. Karena yang demikian sudah diyakini. Benar, dikatakan: aku mengharap turun hujan dan aku takut terputusnya hujan. Sesungguhnya diketahui oleh orang-orang yang mempunyai hati nurani, bahwa dunia itu kebun akhirat. Dan hati itu seperti: bumi. Dan iman itu seperti bibit di dalamnya. Dan taat itu berlaku sebagai berlakunya pembalik-balikan tanah dan pembersihannya. Dan sebagai berlakunya penggalian sungai-sungai dan mengalirkan air kepadanya. Dan hati yang membabi buta dengan dunia, yang karam di dalamnya itu, seperti tanah yang tidak baik, yang tidak tumbuh bibit padanya. Dan hari kiamat itu, hari panen. Dan seseorang tidak panen, selain apa yang ditanamnya. Dan tiada tumbuh yang ditanam, selain dari bibit iman. Dan sedikitlah manfaatnya iman, serta kekejian hati dan keburukan akhlaknya. Sebagaimana bibit tidak tumbuh pada tanah yang tidak baik, maka seyogyalah bahwa dikiaskan harapan hamba akan ampunan dengan harapan orang yang mempunyai tanaman. Maka setiap orang yang mencari tanah yang baik dan menaburkan padanya bibit yang baik, yang tidak busuk dan tidak kena bubuk, kemudian diberinya pertolongan dengan apa yang diperlukan, yaitu: menyirami air pada waktu-waktunya, kemudian membersihkan duri dari tanah dan rumput dan setiap apa yang mencegah tumbuhnya bibit atau merusakkannya, kemudian ia duduk menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, menolak segala yang membinasakan dan bahaya-bahaya yang merusak, sehingga sempurnalah tanaman dan sampai kesudahannya, niscaya tungguan itu dinamakan: harap. Dan kalau ditaburkan bibit pada tanah keras yang tidak baik, yang tinggi, yang tidak disirami air kepadanya dan tidak diusahakan sekali-kali mengurus bibit itu, kemudian menunggu panennya, niscaya dinamakan tungguan itu: bodoh dan tertipu. Bukan: harap. Dan kalau ditaburkan bibit pada tanah yang baik, tetapi tidak ada air dan menunggu air hujan, dimana hujan itu tidak biasa terjadi dan juga bukan tidak, niscaya tungguan itu dinamakan: angan-angan. Bukan: harap. Jadi, nama harap sesungguhnya dibenarkan kepada menunggu yang disukai, yang disediakan semua sebab-sebabnya yang masuk di bawah usaha hamba. Dan tidak tinggal, selain apa yang tidak masuk di bawah usaha hamba itu. Dan itulah kurnia Allah Ta’ala, dengan menyingkirkan segala yang memotong dan yang merusak. Jadi, maka hamba apabila telah menaburkan bibit iman dan menyiramnya dengan air taat dan membersihkan hati dari duri akhlak yang buruk dan menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, akan penetapannya diatas yang demikian, sampai mati dan bagus kesudahan (husnul-khatimah) yang membawa kepada ampunan, niscaya adalah tungguannya itu: harap yang hakiki, yang terpuji, yang menggerakkan kepada kerajinan dan tegak berdiri menurut yang dikehendaki oleh sebab-sebab iman, pada menyempurnakan sebab-sebab ampunan, sampai kepada mati. Dan jikalau terputus dari bibit iman, penyelenggaraannya dengan air taat atau membiarkan hati terisi dengan akhlak-akhlak yang hina dan ia berkecimpung mencari kesenangan duniawi, kemudian ia menunggu ampunan, maka tungguannya itu: bodoh dan tertipu.
Nabi saw bersabda: “Orang bodoh, ialah orang yang mengikutkan dirinya dengan hawa nafsunya dan ia berangan-angan kepada Allah, akan sorga”. Allah Ta’ala berfirman: “Maka digantikan mereka oleh satu angkatan, yang meninggalkan shalat dan memperturutkan keinginan nafsu. Sebab itu, mereka akan menemui kebinasaan”. S 19 Maryam ayat59. Allah Ta’ala berfirman: “Sesudah itu datang angkatan baru (yang jahat) menggantikan mereka. Mereka mempusakai kitab, mengambil harta benda kehidupan dunia ini saja (dengan cara yang tidak halal). Kata mereka: “Nanti (kesalahan) kami akan diampuni”. S 7 Al A’raaf ayat 169. Allah Ta’ala mencela yang empunya kebun. Ketika ia masuk ke kebunnya, dia berkata: “Aku tidak mengira, bahwa (kebun) ini akan pernah binasa. Dan aku tidak mengira, bahwa saat itu akan datang dan kalau kiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, tentu aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini”. Jadi, hamba yang bersungguh-sungguh pada taat, yang menjauhkan diri dari maksiat itu benar-benar ia menunggu kurnia Allah akan kesempurnaan nikmat. Dan tidaklah kesempurnaan nikmat itu, selain dengan masuk sorga.
Adapun orang yang berbuat maksiat, maka apabila ia bertaubat dan mengerjakan kembali apa yang telah terlanjur daripada keteledoran, maka sebenarnya, bahwa dia itu mengharap penerimaan taubat. Adapun penerimaan taubat, apabila ia benci kepada perbuatan maksiat, yang menjahatkannya oleh kejahatan dan menyukakannya oleh kebaikan dan ia mencela dan mencaci dirinya dan ia merindui taubat dan mengingininya, maka benarlah ia mengharap dari Allah, akan taufiqNya kepada taubat. Karena kebenciannya kepada maksiat dan keinginannya kepada taubat itu berlaku, pada tempat berlakunya sebab yang kadang-kadang membawa kepada taubat. Dan sesungguhnya harap itu, sesudah kuatnya sebab-sebab. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah (berpindah dari negerinya) dan bekerja keras di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 218. Artinya, bahwa mereka itu berhak mengharap rahmat Allah. Dan tidak dikehendaki dengan demikian itu pengkhususan adanya harap. Karena selain dari mereka itu juga kadang-kadang mengharap. Akan tetapi, dikhususkan kepada mereka akan berhaknya harap.
Adapun orang yang menjerumuskan dirinya pada apa yang tiada disukai oleh Allah Ta’ala dan tiada mencela dirinya atas yang demikian dan tidak bercita-cita kepada taubat dan kembali, maka harapannya akan ampunan itu bodoh. Seperti harapannya orang yang menaburkan bibit pada bumi yang tidak baik dan bercita-cita bahwa tidak menguruskannya dengan menyiramkan air dan membersihkan.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Termasuk tertipunya diri yang terbesar padaku, ialah: berkepanjangan berbuat dosa, serta mengharapkan kemaafan, tanpa penyesalan. Mengharapkan kedekatan dengan Allah Ta’ala, tanpa taat. Menunggu tanaman sorga dengan bibit neraka. Mencari negeri orang-orang yang taat, dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Menunggu balasan tanpa amal. Dan bercita-cita kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, serta keteledoran”.
Engkau mengharap kelepasan
dan tidak menjalani jalan-jalannya.
Sesungguhnya kapal itu,
tidak berlayar di atas daratan.
Maka apabila anda mengetahui akan hakikat/makna harap dan tempat sangkaannya, maka sesungguhnya anda mengetahui, bahwa hakikat/makna harap itu adalah suatu keadaan, yang dihasilkan oleh ilmu, dengan berlakunya kebanyakan sebab-sebab. Dan hal-keadaan ini membuahkan kesungguhan menegakkan sisa sebab-sebab menurut kemungkinan.
Sesungguhnya orang yang membaguskan bibitnya, baik tanahnya, banyak airnya, benar harapannya, maka senantiasalah ia dibawa oleh benarnya harapan, kepada mencari tanah, mengusahakannya dan membuang setiap rumput yang tumbuh padanya. Maka tidaklah luntur sekali-kali dari usahanya, sampai kepada waktu mengetam. Dan ini adalah karena harap itu berlawanan dengan putus asa. Dan putus asa itu mencegah dari usaha. Maka siapa yang mengetahui, bahwa tanah itu tidak baik, air itu sangat sedikit dan bibit itu tidak tumbuh, niscaya ia akan tinggalkan –sudah pasti –mencari tanah dan berpayah-payah pada mengusahakannya. Harap itu terpuji, karena ia menggerakkan kepada perbuatan. Dan putus asa itu tercela dan itu adalah lawannya harap. Karena putus asa itu memalingkan dari amal. Dan takut itu tidaklah lawan harap. Akan tetapi kawannya, sebagaimana akan datang penjelasannya. Bahkan takut itu penggerak yang lain, dengan jalan ketakutan. Sebagaimana harap itu penggerak dengan jalan kegemaran. Jadi, keadaan harap itu mewarisi panjangnya bersungguh-sungguh (mujahadah) dengan amal perbuatan dan rajin kepada taat, bagaimanapun berbalik-baliknya hal-ihwal. Dan diantara kesan-kesan dari harap itu, ialah enaknya terus-menerus menghadapkan hati kepada Allah Ta’ala, merasa kenikmatan dengan  membisikkan segala isi hati dengan Dia dan berlemah-lembut pada berwajah manis kepadaNya. Sesungguhnya segala hal-ihwal ini tak boleh tidak. Dan bahwa terang atas setiap orang yang mengharap akan seseorang dari raja-raja atau seseorang dari orang-orang biasa. Maka bagaimana tidak terang yang demikian pada hak Allah Ta’ala ? maka jikalau tidak terang, maka hendaklah ia mengambil dalil dengan yang demikian, atas tidak diperolehnya tingkat harap (maqam ar-raja’). Dan turun dalam lembah tertipu dan angan-angan. Maka inilah dia itu penjelasan bagi hal harap itu. Dan mengapa ia dihasilkan oleh ilmu. Dan mengapa ia menerima hasil dari amal. Dan menunjukkan atas dihasilkannya amal-amal ini, oleh hadits yang dirawikan Zaidul-Khail. Karena ia berkata kepada Rasulullah saw: “Aku datang untuk bertanya kepada engkau, dari alamat Allah, pada orang yang menghendakinya. Dan alamatNya pada orang yang tiada menghendakinya”. Maka Nabi saw menjawab: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Zaidul-Khail menjawab: “Keadaanku, ialah mencintai kebajikan dan orang yang mengerjakan kebajikan. Apabila aku sanggup atas sesuatu daripada nya, niscaya aku bersegera mengerjakannya. Dan aku yakin dengan pahalanya. Dan apabila luput bagiku akan sesuatu daripadanya, niscaya menggundahkan aku dan aku rindu kepadanya”. Maka Nabi saw bersabda: “Itulah alamat Allah pada: siapa yang dikehendakiNya. Jikalau Ia menghendaki engkau bagi yang lain, niscaya disiapkanNya engkau baginya. Kemudian Ia tiada menghiraukan pada lembah-lembahnya yang mana engkau binasa”. Maka sesungguhnya Nabi saw telah menyebutkan alamat (tanda) orang yang dimaksudkan dengan dia kebajikan. Maka barangsiapa mengharap bahwa dia dimaksudkan dengan kebajikan dari bukan alamat-alamat ini, maka dia itu tertipu.
PENJELASAN: keutamaan harap dan menggalakkan pada harap.
Ketahuilah kiranya, bahwa amal atas harap itu lebih tinggi daripada atas takut. Karena hamba yang paling dekat kepada Allah Ta’ala itu yang paling mencintaiNya. Dan cinta itu dikerasi dengan harap. Ambillah ibarat yang demikian itu dengan dua orang raja. Yang seorang dilayani, karena takut dari siksaannya. Dan yang seorang lagi, karena mengharap dari balasannya. Dan karena itulah datang pada harap dan baik sangka, beberapa penggalakkan. Lebih-lebih pada waktu mati. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah !”. S 39 Az Zumar ayat 53. Ia mengharamkan asal putus asa. Dan pada cerita-cerita nabi Ya’qub as bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Tahukah engkau, mengapa Aku ceraikan diantara engkau dan Yusuf? karena engkau mengatakan: “Aku takut bahwa Yusuf itu dimakan serigala dan kamu lengah daripadanya”. Mengapakah engkau takut kepada serigala dan engkau tidak mengharap kepadaKu ? dan mengapakah engkau memandang kepada kelengahan saudara-saudaranya dan engkau tidak memandang kepada penjagaanKu baginya?”.
Nabi saw bersabda: “Tiada mati seseorang kamu, melainkan dia itu membaikkan sangka kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Aku pada sangkaan hambaKu kepadaKu. Maka hendaklah ia menyangkakan kepadaKu apa yang dikehendakinya”. Nabi saw masuk ke tempat seorang laki-laki yang dalam sakit keras. Lalu beliau bertanya: “Apakah yang kamu dapati pada dirimu ?”. Orang itu menjawab: “Aku dapati akan diriku, takut akan dosa-dosaku dan mengharap akan rahmat Tuhanku”. Maka Nabi saw bersabda: “Keduanya (takut dosa dan harap rahmat) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapnya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”.
 Ali ra berkata kepada seorang laki-laki, yang dibawa oleh ketakutan kepada putus asa, karena banyak dosanya: “Hai orang ini ! keputus-asaanmu dari rahmat Allah itu lebih besar dari dosa-dosamu”. Sufyan berkata: “Barangsiapa berdosa dengan suatu dosa, maka ia tahu, bahwa Allah Ta’ala mentakdirkan dosa itu atas dirinya dan ia mengharap akan ampunanNya, niscaya Allah mengampunkan dosanya”. Dan Sufyan menyambung lagi: “Karena Allah ‘Azza Wa Jalla merobahkan suatu kaum. Ia berfirman: “Itulah dugaanmu (yang keliru) terhadap Tuhanmu. (Dugaan itulah) yang membawa kamu kepada kecelakaan”. S 41 Fussilat ayat 23. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu mempunyai sangka-sangka yang kurang baik dan kamu kaum yang binasa”. S 48 Al Fath ayat 12. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada hambaNya pada hari kiamat: “Apakah yang melarang kamu, ketika engkau melihat kemunkaran, bahwa engkau menentangnya ?”. Maka jikalau ia telah diajarkan oleh Allah akan dalilnya (hujjahnya), niscaya ia mengatakan: “Wahai Tuhanku ! aku harap akan Engkau dan aku takut kepada manusia”. Nabi saw bersabda: “Maka Allah Ta’ala berfirman: “Telah Aku ampunkan bagi engkau”. Tersebut pada hadits shahih: “Bahwa adalah seorang laki-laki melakukan berjual-beli dengan jalan hutang. Maka ia bersikap lapang dada dengan orang kaya dan bersikap melampaui batas dengan orang miskin. Maka ia menjumpai Allah dan tiada sekali-kali beramal kebajikan. Allah ‘Azza Wa Jalla maka berfirman: “Siapakah yang lebih berhak dengan yang demikian daripada Kami ?”. Maka Allah memaafkan daripadanya, karena baik sangkaannya dan harapannya bahwa dimaafkan, serta kemerosotannya pada taat. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah, mendirikan shalat dan membelanjakan (di jalan kebaikan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak pernah rugi”. S 35 Faathir ayat 29.
Tatkala Nabi saw bersabda: “Jikalau tahulah kamu apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan menangis banyak. Dan akan kamu keluar ke tempat yang tinggi. Kamu akan memukul dadamu dan merendahkan diri kepada Tuhanmu”. Maka turunlah Jibril as seraya berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu mengatakan kepadamu: “Mengapakah engkau mendatangkan keputus-asaan kepada hamba-hambaKu ?”. Lalu Nabi saw keluar menemui mereka dan memberikan harapan kepada mereka. Dan mendatangkan keinginan kepada mereka”. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Cintailah Aku ! cintailah orang yang mencintai Aku ! dan buatlah Aku mencintai makhlukKu !”. Lalu nabi Daud as bertanya: “Wahai Tuhanku! bagaimanakah aku membuat Engkau mencintai akan makhluk Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Sebutkanlah Aku dengan baik dan elok ! sebutkanlah nikmat-nikmatKu dan perbuatan baikKu ! peringatkanlah mereka akan yang demikian ! maka sesungguhnya mereka tiada mengenal daripadaKu, selain yang elok”.
Dimimpikan Abban bin Abi ‘Ayyasy sesudah ia meninggal. Dan ia semasa hidupnya banyak menyebutkan pintu-pintu harapan. Ia mengatakan kepada orang yang bermimpi itu: “Allah Ta’ala menyuruh aku berdiri di hadapanNya. Maka Ia berfirman: “Apakah yang membawa engkau kepada yang demikian ?”. Maka aku menjawab: “Aku bermaksud mencintakan Engkau kepada makhluk Engkau”. Maka Allah berfirman: “Telah Aku ampunkan dosa engkau”.
Dimimpikan Yahya bin Ak-tsam sesudah ia meninggal. Lalu ia ditanyakan: “Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?”. Yahya bin Ak-tsam menjawab: “Allah menyuruh aku berdiri di hadapanNya. Dan Ia berfirman: “Hai syaikh jahat ! engkau telah berbuat itu. Engkau telah berbuat itu !”. Yahya bin Ak-tsam berkata: “Maka menakutkan aku, apa yang diketahui oleh Allah. Kemudian aku berkata: “Wahai Tuhanku ! tidaklah begitu yang aku perkatakan dari hal Engkau”. Maka Allah berfirman: “Dan apakah yang engkau perkatakan dari hal Aku ?”. Lalu aku berkata: “Diberitakan kepadaku oleh Abdurrazaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Anas, dari Nabi Engkau saw, dari Jibril as, bahwa Engkau berfirman: “Bahwa Aku pada sangkaan hambaKu kepadaKu. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKu, akan apa yang dikehendakinya !”. Dan aku menyangka kepada Engkau, bahwa Engkau tiada mengazabkan aku”. Maka berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Benar Jibril. Benar nabiKu. Benar Anas. Benar Az-Zuhri. Benar Ma’mar. Benar Abdurrazaq. Dan benar engkau”. Yahya bin Ak-tsam berkata: “Lalu aku berpakaian dengan pakaian sorga. Dan berjalan dihadapanku, bidadari ke sorga. Maka aku berkata: “Wahai alangkah gembiranya!”.
Tersebut pada hadits, bahwa: seorang laki-laki dari kaum Bani Israil (Yahudi) mendatangkan keputus-asaan kepada manusia dan bersikap keras kepada manusia. Ia berkata: “Maka Allah Ta’ala akan berfirman kepadanya pada hari kiamat: “Pada hari ini, Aku putus-asakan kamu dari rahmatKu, sebagaimana kamu mendatangkan keputus-asaan kepada hamba-hambaKu daripadanya”.
 Nabi saw bersabda: “Seorang laki-laki akan masuk neraka. Maka ia akan bertempat di neraka itu 1000 tahun. Ia akan memanggil: “Ya Hannan, ya Mannan (Wahai Yang Mahabelas kasihan, wahai Yang Maha Pemberi nikmat) !”. Maka Allah Ta’ala berfirman kepada Jibril: “Pergilah ! maka bawalah kepadaKu akan hambaKu !”. Nabi saw meneruskan sabdanya: “Maka hamba itu dibawa kepada Allah. Lalu disuruh berdiri dihadapan Tuhannya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Bagaimana engkau mendapati tempat engkau ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tempat yang buruk”. Nabi saw meneruskan sabdanya: “Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kembalikanlah orang ini ke tempatnya semula !”. Nabi saw meneruskan sabdanya: “Maka laki-laki itu berjalan dan berpaling ke belakangnya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kemana engkau berpaling ?”. Laki-laki itu menjawab: “Sesungguhnya aku berharap, bahwa tidak Engkau kembalikan aku kepadanya, sesudah Engkau keluarkan aku daripadanya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Pergilah dengan laki-laki ini ke sorga”. Maka ini menunjukkan, bahwa harapnya Yahudi itu yang menjadi sebab kelepasannya. Kita bermohon kepada Allah akan bagusnya taufiq dengan kasih-sayang dan kemurahanNya.
PENJELASAN: obat harap dan jalan yang berhasil daripadanya keadaan harap dan mengeras harap itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa obat ini diperlukan oleh salah seorang dari dua orang. Adakalanya orang yang telah mengerasi atasnya oleh keputus-asaan. Lalu ia meninggalkan ibadah. Dan adakalanya orang yang mengerasi atasnya oleh ketakutan. Lalu ia berlebih-lebihan pada rajinnya beribadah. Sehingga mendatangkan melarat atas dirinya dan keluarganya. Inilah dua orang, yang cenderung dari kelurusan (di tengah-tengah) ke segi memboros dan membuang-buang tenaga. Keduanya memerlukan kepada pengobatan yang mengembalikannya kepada kelurusan (di tengah-tengah). Adapun orang maksiat yang tertipu, yang berangan-angan kepada Allah, serta berpaling dari ibadah dan mengerjakan perbuatan maksiat, maka obat harapnya berbalik menjadi racun yang membinasakannya. Dan berkedudukan obat itu pada kedudukan air madu, yang menjadi obat bagi orang yang mengerasi dingin atas dirinya. Dan menjadi racun yang membinasakan bagi orang yang mengerasi panas atas dirinya. Bahkan, orang yang tertipu, tiada memakai pada dirinya, selain obat-obat takut dan sebab-sebab yang membangkit kan ketakutan. Maka karena inilah, harus ada yang memberi pengajaran kepada orang banyak, yang lemah-lembut, yang memperhatikan kepada tempat-tempat terjadinya penyakit-penyakit, yang mengobatkan setiap penyakit dengan yang berlawanan dengan dia. Tidak dengan menambahkan pada penyakit. Sesungguhnya yang dicari, ialah: keadilan (yang di tengah-tengah) dan yang sederhana pada seluruh sifat dan akhlak. Dan sebaik-baik pekerjaan itu yang di tengah-tengah. Maka apabila melewati yang di tengah, ke salah satu dari dua tepi, niscaya diobati dengan yang mengembalikan kepada di tengah. Tidak dengan apa yang menambahkan miringnya dari di tengah. Zaman ini adalah zaman yang tiada seyogyanya dipakaikan sebab-sebab harap, bersama orang banyak. Akan tetapi, bersangatan pada menakutkan juga, hampir tidak mengembalikan mereka kepada kebenaran yang sungguh-sungguh dan jalan kebenaran.
Adapun menyebutkan sebab-sebab harap, maka akan membinasakan mereka dan menjatuhkan mereka keseluruhan ke dalam jurang. Akan tetapi, tatkala adalah sebab-sebab harap itu lebih ringan kepada hati dan lebih lezat pada jiwa dan tidaklah maksud juru-juru pengajaran, selain menarikkan hati dan menuturkan kepada orang banyak dengan pujian, dimanapun mereka berada, niscaya mereka itu cenderung kepada harap. Sehingga kerusakan itu bertambah rusak. Dan bertambahlah terjerumusnya mereka dalam kedurhakaan.
 Ali ra berkata: “Sesungguhnya orang yang berilmu, ialah: orang yang tidak mendatangkan keputus-asaan manusia dari rahmat Allah Ta’ala dan tidak menjamin keamanan bagi mereka dari cobaan Allah. Kami akan menyebutkan sebab-sebab harap, untuk dapat dipakai terhadap orang yang putus asa. Atau pada orang yang dikerasi oleh ketakutan. Karena mengikuti Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya saw. Karena keduanya itu melengkapi kepada takut dan harap. Karena keduanya mengumpulkan sebab-sebab sembuh, terhadap jenis-jenis orang sakit. Supaya dipakai oleh para ulama, yang menjadi pewaris-pewaris para nabi, menurut keperluan, sebagaimana yang dipakai oleh dokter yang ahli. Tidak sebagaimana dipakai oleh orang yang dungu, yang menyangka bahwa setiap sesuatu dari obat-obat itu patut bagi setiap penyakit, bagaimanapun adanya penyakit itu. Keadaan harap itu mengeras dengan dua perkara:
Pertama: dengan jalan mengambil ibarat (i’tibar).
Kedua: dengan penyelidikan ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar.
Bidang kesatu: Adapun i’tibar/ibarat, yaitu: bahwa diperhatikan semua yang telah kami sebutkan, pada jenis-jenis nikmat dari Kitab Syukur. Sehingga ia tahu akan yang halus-halus dari nikmat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya didunia. Dan keajaiban-keajaiban hikmahNya yang dipeliharaNya pada mencipta kan insan. Sehingga tersedialah bagi insan itu didunia, setiap yang penting baginya untuk keterusan adanya. Seperti alat-alat makanan dan apa yang diperlukan, seperti anak jari dan kuku. Dan yang menjadi hiasan baginya, seperti: melengkungnya dua bulu kening, berlainan warna dua mata, merah dua bibir dll, daripada apa, yang tiada sumbing dengan tidak adanya itu, suatu maksud yang dimaksudkan. Hanya ada dengan ketiadaan itu hilangnya ketambahan kecantikan. Maka bantuan ketuhanan, apabila tidak berhenti dari hamba-hambaNya pada contoh-contoh yang halus itu, sehingga Ia tidak ridha bagi hamba-hambaNya, bahwa hilang dari mereka, kelebihan-kelebihan dan tambahan-tambahan pada hiasan dan hajat keperluan, maka bagaimana IA ridha dibawa mereka kepada kebinasaan yang abadi ? bahkan, apabila insan memperhatikan dengan perhatian yang menyenangkan, niscaya ia tahu, bahwa kebanyakan makhluk telah disiapkan baginya, sebab-sebab kebahagiaan didunia. Sehingga ia tidak suka berpindah dari dunia itu dengan kematian. Walaupun diberitahukan kepadanya, bahwa tiada akan diazabkan sesudah mati selama-lamanya –umpamanya. Atau tiada sekali-kali akan dibangkitkan sesudah mati itu. Dan kebencian mereka itu tidaklah karena tidak lagi di dunia, melainkan karena –sudah pasti –sebab-sebab kenikmatan yang membanyak itu. Dan sesungguhnya yang mengangan-angankan mati itu jarang sekali. Kemudian, tiada yang mengangan-angankannya, selain dalam hal yang jarang sekali dan kejadian yang menyerang yang luar biasa.
 Jadi, adalah keadaan kebanyakan makhluk di dunia itu, yang banyak kepadanya, ialah: baik dan selamat. Maka sunnah Allah, tiada anda dapati padanya pergantian. Maka kebanyakannya, urusan akhirat begitu juga adanya. Karena yang mengatur dunia dan akhirat itu satu. Yaitu: yang Maha Pengampun, Maha Pengasih, Maha kasih-sayang kepada hamba-hambaNya, yang Mahabelas-kasihan kepada mereka. Maka ini, apabila diperhatikan dengan sebenar-benarnya, niscaya kuatlah dengan yang demikian itu sebab-sebab harap. Dan dari i’tibar (ibarat) juga, diperhatikan tentang hikmah agama dan sunnah-sunnahnya tentang kemuslihatan dunia dan segi rahmat bagi segala hambaNya. Sehingga sebahagian arifin (yang mempunyai ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang mendalam) melihat ayat hutang-piutang (ayat al-mudayanah) pada surat Al Baqarah, adalah diantara sebab-sebab harap yang terkuat.
Maka ditanyakan kepada orang arifin itu: “Apakah yang padanya itu harap ?”. Beliau itu menjawab: “Dunia semuanya itu sedikit. Rezeki insan padanya sedikit. Dan hutang itu sedikit daripada rezekinya. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menurunkan padanya, ayat yang terpanjang. Supaya hambaNya mendapat petunjuk kepada jalan menjaga diri pada menjaga agamanya. Maka bagaimana ia tidak menjaga agamanya, yang tiada tukaran baginya !”.
Bidang kedua: penyelidikan ayat-ayat dan hadits-hadits. Maka ayat dan hadits yang datang tentang harap itu di luar dari hinggaan. Adapun ayat-ayat, maka Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah ! hai hamba-hambaKu yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri ! janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah ! sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. S 39 Az Zumar ayat 53. Menurut pembacaan Rasulullah saw, ialah: “Dan Ia tidak memperdulikan, sesungguhnya Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan malaikat-malaikat itu mengucapkan tasbih memuji Tuhan mereka dan memohonkan ampunan untuk segenap yang mendiami bumi”. S 42 Asy Syuura ayat 5. Allah Ta’ala menerangkan, bahwa neraka disediakanNya bagi musuh-musuhNya. Dan neraka itu ditakutkanNya kepada para wali-waliNya. Ia berfirman: “Di atas kepala mereka tumpukan api dan di bawahnya tumpukan (api pula). Dengan itu, Allah memberi ancaman kepada hamba-hambaNya”. S 39 Az Zumar ayat 16. Allah Ta’ala berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari neraka yang disediakan untuk orang-orang yang tidak beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 131. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sebab itu, Aku memperingatkan kepada kamu api yang menyala. Tiada masuk ke dalamnya selain dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S 92 Al Lail ayat 14-15-16. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan bahwa Tuhan engkau Pengampun kesalahan manusia”. S 13 Ar Ra’d ayat 6.
Dikatakan, bahwa Nabi saw senantiasa menanyakan tentang umatnya, sehingga dikatakan kepadanya: “Apakah engkau tidak ridha dan telah diturunkan kepada engkau ayat ini ?”. “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yg luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim”. S 13 Ar Ra’d ayat 6. Dan tentang penafsiran firman Allah Ta’ala: “Dan nanti Tuhan engkau akan memberikan kepada engkau, maka engkau akan bersenang hati (ridha)”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 5, bahwa kata Ibnu Abbas, bahwa Muhammad saw tiada senang seorangpun dari umatnya masuk neraka.
Adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ali mengatakan: “Tuan-tuan penduduk Irak mengatakan: “Ayat yang paling mengandung harapan dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla ialah firmanNya: “Katakanlah ! hai hamba-hambaKu yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri ! janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah ! sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. S 39 Az Zumar ayat 53.
Dan kami keluarga Rasulullah saw mengatakan, bahwa yang paling mengandung harapan dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah firmanNya: “Dan nanti Tuhan engkau akan memberikan kepada engkau, maka engkau akan bersenang hati (ridla)”. S 93 Ad Dhuhaa ayat 5. Adapun hadits-hadits, maka diriwayatkan Abu Musa dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Umatku itu umat yang dicurahkan rahmat. Tiada azab atas dirinya di akhirat. Allah menyegerakan siksaannya di dunia, dengan: gempa-gempa bumi dan kekacauan-kekacauan (fitnah-fitnah). Maka apabila telah ada hari kiamat nanti, niscaya ditolakkan kepada setiap orang dari umatku, akan seorang dari pemeluk agama yang berkitab (Yahudi dan Nasrani). Lalu dikatakan: “Inilah tebusan engkau dari neraka !”.
Menurut susunan kata-kata yang lain, ialah: “Setiap orang dari umat ini akan datang dengan seorang Yahudi atau Nasrani ke neraka jahannam. Lalu ia mengatakan: “Inilah tebusanku dari neraka”. Maka orang Yahudi atau Nasrani itu dicampakkan ke dalam neraka”.
Nabi saw bersabda: “Demam itu dari kesangatan panas neraka jahannam. Dan itu adalah keuntungan orang yang beriman, dari api neraka”. Diriwayatkan tentang penafsiran firman Allah Ta’ala: “Pada hari, yang tiada diberikan kehinaan oleh Allah kepada Nabi dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia”. S 66 At Tahrim ayat 8, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada NabiNya saw: “Bahwa Aku jadikan perhitungan amal (hisab) umat engkau kepada engkau”. Nabi saw menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku ! Engkau lebih mengasihani mereka daripadaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Jadi, Kami tidak memberikan kehinaan akan engkau mengenai mereka”.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw menanyakan Tuhannya tentang dosa-dosa umatnya. Nabi saw bersabda: “Wahai Tuhanku ! jadikanlah perhitungan amal mereka kepadaku, supaya tidak dilihat keburukan mereka, selain aku”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi saw: “Mereka itu umatmu dan mereka itu hamba-hambaKu. Aku kasih sayang kepada mereka dari engkau. Aku tidak menjadikan perhitungan amal mereka kepada selain Aku. Supaya tidak dilihat oleh engkau dan selain engkau kepada keburukan mereka”. Nabi saw bersabda: “Hidupku itu kebajikan bagi kamu dan matiku itu kebajikan bagi kamu. Adapun hidupku, maka aku sunnahkan bagi kamu akan sunnah-sunnah dan aku agamakan bagi kamu agama-agama (hukum-hukum agama). Adapun matiku, maka sesungguhnya semua amal kamu didatangkan kepadaku. Maka apa yang aku lihat daripadanya itu baik, niscaya aku memujikan Allah atas yang demikian. Dan apa yang aku lihat daripadanya itu buruk, niscaya aku memohonkan ampunan Allah Ta’ala bagi kamu”.
Pada suatu hari Nabi saw mengucapkan: “Wahai yang Maha Pemurah memberi kemaafan !”. Lalu Jibril as bertanya: “Adakah engkau tahu, apa penafsiran: “Yaa kariimal-‘afwa” itu ?”. Yaitu: jikalau Ia memaafkan dari kejahatan-kejahatan dengan rahmatNya, niscaya digantikanNya kejahatan itu dengan kebaikan, dengan kemurahanNya”. Nabi saw mendengar seorang laki-laki berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! aku bermohon padaMu kesempurnaan nikmat”. Lalu Nabi saw bertanya: “Adakah engkau tahu, apa itu kesempurnaan nikmat ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Masuk sorga”. Para ulama mengatakan, bahwa Allah telah menyempurnakan nikmatNya kepada kita, dengan ridhaNya agama Islam bagi kita. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan telah Kusempurnakan kepadamu nikmatKu dan Aku telah meridhai Islam itu menjadi agamamu”. S 5 Al Maaidah ayat 3.
Dan tersebut pada pada hadits: “Apabila hamba itu berdosa dengan sesuatu dosa, lalu ia meminta ampunan Allah, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada para malaikatNya: “Lihatlah ! kepada hambaKu yang telah berdosa dengan suatu dosa ! maka ia tahu, bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampunkan segala dosa dan yang menyiksakan dengan dosa itu. Aku persaksikan kepada kamu, bahwa Aku telah mengampunkan dosanya”.
Pada hadits tersebut: “Jikalau berdosalah hamba, sehingga sampai dosa-dosanya itu ke awan langit, niscaya Aku ampunkan baginya, apa yang dimintanya ampunan padaKu dan yang diharapkannya padaKu”.
Pada hadits tersebut: “Jikalau hambaKu menemui Aku dengan dosa sesarung bumi, niscaya Aku menemuinya dengan ampunan se sarang bumi”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya malaikat mengangkat pena (al-qalam) dari hamba, apabila ia telah berbuat dosa 6 jam. Maka jikalau ia bertaubat dan meminta ampun, niscaya malaikat itu tidak menuliskan dosa tadi diatas dirinya. Dan jikalau tidak, niscaya malaikat itu menuliskannya sebagai kejahatan”. Dan pada kata-kata yang lain: “Maka apabila malaikat itu menuliskannya atas orang itu dan orang itu berbuat amal baik, niscaya malaikat yang di sebelah kanan mengatakan kepada malaikat yang di sebelah kiri dan malaikat yang di sebelah kanan itu amir (kepala) atas malaikat yang di sebelah kiri: “Campakkanlah kejahatan ini, sehingga aku jumpai dari kebaikan-kebaikannya itu satu, penggandaan 10. Dan aku angkatkan baginya akan 9 kebaikan”. Maka dicampakkan daripadanya kejahatan itu”.
Diriwayatkan Anas pada suatu hadits, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila hamba itu berbuat suatu dosa, niscaya dituliskan atas diri hamba itu”. Lalu seorang Arab desa bertanya: “Dan jikalau ia bertaubat daripadanya ?”. Nabi saw menjawab: “Niscaya dihapuskan dari dosa itu”. Arab desa itu bertanya lagi: “Jikalau diulanginya ?”. Nabi saw menjawab: “Dituliskan lagi atas orang itu”. Arab desa itu bertanya pula: “Jikalau ia taubat ?”. Nabi saw menjawab: “Dihapuskan dari halaman amalnya”. Arab desa itu bertanya: “Hingga kapan ?”. Nabi saw menjawab: “Sampai ia meminta ampunan Allah ‘Azza Wa Jalla dan bertaubat kepadaNya. Sesungguhnya Allah tidak bosan memberi ampunan, sampai hamba itu bosan daripada meminta ampunan. Apabila hamba itu bercita-cita dengan kebaikan, niscaya ditulis oleh malaikat yang disebelah kanan akan kebaikan, sebelum dikerjakannya. Maka kalau sudah dikerjakannya, niscaya dituliskan 10 kebaikan. Kemudian dilipat-gandakan oleh Allah swt kepada 700 ganda. Dan apabila hamba itu bercita-cita dengan kejahatan, niscaya tidak dituliskan. Maka apabila dikerjakan kejahatan itu, niscaya dituliskan satu kesalahan. Dan di belakangnya kebaikan kemaafan Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu berkata: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku tidak berpuasa selain sebulan. Tidak aku tambahkan daripadanya. Dan tidak aku mengerjakan shalat, selain 5 waktu. Dan tidak aku tambahkan daripadanya. Dan tiadalah bagi Allah pada hartaku itu sedekah, hajji dan amalan sunat. Dimanakah aku apabila aku mati ?”. Rasulullah saw lalu tersenyum dan bersabda: “Ya, bersama aku, apabila engkau menjaga hati engkau dari dua perkara: iri hati dan dengki. Engkau menjaga lidah engkau dari dua perkara: umpat dan dusta. Dan dua mata engkau dari dua perkara: memandang kepada apa yang diharamkan oleh Allah dan bahwa engkau mengejek dengan dua mata itu akan orang Islam. Engkau masuk sorga bersama aku, atas dua tapak tanganku yang ini”. Tersebut pada hadits yang panjang yang dirawikan Anas, bahwa seorang Arab desa bertanya: “Wahai Rasulullah ! siapakah yang mengurus hitungan amal makhluk ?”. Nabi saw menjawab: “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi”. Arab desa itu bertanya lagi: “Dia sendiri ?”. Nabi saw menjawab: “Ya !”. Maka Arab desa itu tersenyum. Lalu Nabi saw bertanya: “Dari karena apa engkau tertawa, hai Arab desa ?”. Ia menjawab: “Sesungguhnya Yang Maha Pemurah itu, apabila mentaqdirkan, niscaya memaafkan. Dan apabila mengadakan hitungan amal (hisab), niscaya penuh dengan kelapangan”. Lalu Nabi saw bersabda: “Benarlah Arab desa ini. Ketahuilah kiranya, bahwa tiada yang pemurah, yang lebih pemurah daripada Allah Ta’ala. Dialah Yang Maha Pemurah dari orang-orang yang pemurah”. Kemudian, Nabi saw menyambung: “Arab desa ini telah mengerti”. Dan pada hadits ini, tersebut pula: “Bahwa Allah Ta’ala memuliakan dan mengagungkan Ka’bah. Dan jikalau seorang hamba meruntuhkannya, batu demi batu, kemudian dibakarkannya, niscaya tiada sampai yang demikian itu, dari dosa orang yang merendahkan seorang wali dari para wali Allah Ta’ala”. Lalu Arab desa itu bertanya: “Siapakah para wali Allah Ta’ala ?”. Nabi saw menjawab: “Orang mu’min itu semua wali (aulia) Allah Ta’ala. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Allah itu yang kasih orang-orang yang beriman, mereka dikeluarkanNya dari kegelapan kepada cahaya yang terang (nur)”. Tersebut pada sebahagian hadits: “Orang mu’min itu lebih utama dari Ka’bah”. “Orang mu’min itu baik dan suci”. Orang mu’min itu lebih mulia pada Allah Ta’ala daripada malaikat”. Tersebut pada hadits: “Allah Ta’ala menciptakan neraka jahannam dari kurnia rahmatNya, untuk menjadi cambuk, yang dihalau oleh Allah dengan cambuk itu akan hamba-hambaNya ke sorga”. Tersebut pada hadits yang lain: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Aku jadikan makhluk itu, supaya mereka itu beruntung atas tanggunganKu. Dan tidak Aku jadikan mereka, supaya Aku beruntung atas tanggungan mereka”.
Tersebut pada hadits Abi Sa’id Al-Khudri, dari Rasulullah saw: “Allah Ta’ala tidak menjadikan sesuatu, melainkan dijadikanNya apa yang mengalahkannya. Dan dijadikanNya rahmatNya, mengalahkan marahNya”. Tersebut pada hadits yang terkenal: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menuliskan atas diriNya rahmat, sebelum Ia menjadikan makhluk: sesungguhnya rahmatKu itu mengalahkan marahKu”.
Diriwayatkan dari Ma’adz bin Jabal dan Anas bin Malik, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang membacakan “Laa ilaaha illallaah” (Tiada yang disembah, selain Allah), niscaya ia masuk sorga”. Pada hadits lain: “Siapa yang ada akhir perkataannya “Laa ilaaha illallaah”, niscaya ia tidak akan disentuh oleh neraka”. Pada hadits lain: “Siapa yang bertemu dengan Allah, yang tidak disekutukanNya dengan sesuatu, niscaya ia diharamkan dari neraka”. Pada hadits lain: “Tiada akan masuk neraka, orang yang dalam hatinya, seberat atom dari iman”. Pada hadits lain: “Jikalau orang kafir itu tahu, akan luasnya rahmat Allah Ta’ala, niscaya tiada seorangpun yang putus asa dari sorgaNya”.
Tatkala Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya, kegoncangan kiamat itu suatu peristiwa yang dahsyat”. S 22 Al Hajj ayat 1, lalu beliau bersabda: “Tahukah kamu: hari manakah ini ? inilah hari, yang dikatakan kepada Adam as: “Bangunlah ! maka carilah akan kecarian neraka dari anak cucumu !”. Maka Adam as bertanya: “Berapa ?”. Maka dijawab: “Dari setiap 1000 ini, maka 999 ke neraka dan seorang ke sorga”. Maka kaum itu penuh keheranan. Mereka itu semua menangis dan seharian mereka itu tidak mau berbuat dan bekerja. Maka datanglah kepada mereka, Rasulullah saw dan bersabda: “Mengapa kamu tidak mau bekerja ?”. Mereka itu menjawab: “Siapakah yang mau bekerja sesudah engkau ceritakan kepada kami dengan ini ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Berapa banyak kamu dalam umat-umat itu ? manakah Tawil, Tsaris, Mansik, Ya’juj dan Ma’juj, umat-umat, yang tidak dapat dihinggakan, selain oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya kamu dalam umat-umat yang lain itu, adalah seperti bulu yang putih pada kulit sapi jantan yang hitam dan seperti gurisan pada lengan (kaki depan) binatang kendaraan”. Maka perhatikanlah, bagaimana adanya makhluk itu dihalau dengan cemeti ketakutan dan dituntun mereka dengan tali kekang harapan, kepada Allah Ta’ala. Karena mereka dihalau, pertama-tama dengan cemeti ketakutan. Maka tatkala keluar yang demikian dengan mereka, daripada batas kesederhanaan, kepada bersangatan keputus-asaan, niscaya mereka diobati dengan obat harapan. Dan mereka dikembalikan kepada kelurusan dan kesederhanaan. Dan yang penghabisan itu tidak berlawanan bagi yang permulaan. Akan tetapi, disebutkan pada permulaan apa yang dilihatnya menjadi sebab bagi kesembuhan. Dan disingkatkan kepada yang demikian. Maka manakala mereka itu memerlukan kepada pengobatan dengan harapan, niscaya disebutkan kesempurnaan urusan: bahwa harus atas yang memberi pengajaran, mengikuti penghulu pemberi-pemberi pengajaran. Maka ia berlemah-lembut pada pemakaian hadits-hadits tentang takut dan harap, menurut keperluan, sesudah memperhatikan sakit-sakit batiniyah. Dan jikalau tidak dijaga yang demikian, niscaya adalah apa yang rusak dengan pengajarannya itu lebih banyak daripada yang diperbaikinya.
Tersebut pada hadits: “Jikalau kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah menjadikan suatu makhluk yang berbuat dosa. Maka Ia mengampunkan mereka”. Tersebut pada kata-kata lain: “Niscaya Ia pergi dari kamu dan Ia datang dengan makhluk yang lain yang berbuat dosa. Maka Ia mengampunkan mereka. Sesungguhnya Ia itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih”. Tersebut pada hadits: “Jikalau kamu tidak berbuat dosa, niscaya aku takut atas kamu, apa yang lebih jahat daripada dosa”. Lalu ditanyakan: “Apakah itu yang lebih jahat ?”. Nabi saw menjawab: “Ujub (mengherani diri)”. Nabi saw bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku di TanganNya ! sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih kepada hambaNya yang mu’min, daripada ibu yang sayang kepada anaknya”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampunkan pada hari kiamat, akan ampunan, yang tiada terguris pada hati seseorang. Sampai Iblis menyombong diri atas ampunan itu, karena mengharap diperolehnya”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya bagi Allah Ta’ala 100 rahmat, yang disimpan daripadanya pada sisiNya 99 rahmat. Dan dinampakkanNya daripadanya di dunia satu rahmat, yang berdesak-desak para makhluk pada yang satu itu. Maka ibu kasih-sayang kepada anaknya. Dan binatang sayang kepada anaknya. Maka apabila hari kiamat nanti, Ia mengumpulkan nikmat yang satu ini kepada yang 99. Kemudian, dihamparkanNya kepada semua makhlukNya. Dan setiap rahmat daripadanya itu lapisannya langit dan bumi”. Nabi saw menyambung: “Maka tiada binasa atas tanggungan Allah pada hari itu, selain orang yang binasa”. Tersebut pada hadits: “Tiada seorangpun daripada kamu, yang amalnya memasukkannya ke sorga dan melepaskannya dari neraka”. Lalu para sahabat bertanya: “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw: “Dan tidak juga aku, selain bahwa aku diselubungkan oleh Allah dengan rahmatNya”. Nabi saw bersabda: “Beramallah ! berikanlah kabar gembira ! dan ketahuilah, tiadalah seseorang itu dilepaskan oleh amalnya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku sembunyikan syafaatku bagi orang-orang yang berbuat dosa besar dari umatku. Adakah engkau lihat syafaat itu bagi orang-orang yang taat, yang taqwa saja ? bahkan syafaat itu bagi orang-orang yang berlumuran dosa, yang mencampur-adukkan antara dosa dan bukan dosa”.
Nabi saw bersabda: “Aku diutus membawa agama yang benar, penuh kelapangan, yang mudah”. Nabi saw bersabda dan kepada setiap hamba pilihan: “Aku menyukai, bahwa diketahui oleh orang-orang kafir yang berpegang kepada dua kitab, bahwa pada agama kita itu penuh kelapangan”. Menunjukkan kepada arti hadits ini, akan penerimaan doa oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang mu’min, pada doanya: “Janganlah Engkau pikulkan kepada kami beban yang berat”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan meringankan beban mereka dan belenggu yang menyusahkan mereka”. S 7 Al A’raaf ayat 157. Diriwayatkan Muhammad bin Al-Hanafiyah, dari Ali ra bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Maka berilah maaf yang baik”. S 15 Al Hijr ayat 85. Nabi saw lalu bertanya: “Hai Jibril ! apakah maaf yang baik itu ?”. Jibril as menjawab: “Apabila engkau maafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya”. Nabi saw lalu bersabda: “Hai Jibril ! maka Allah Ta’ala itu Maha Pemurah daripada Ia mencela orang yang dimaafkanNya”. Maka menangislah Jibril. Dan menangislah Nabi saw. Maka Allah Ta’ala mengutuskan malaikat Mikail kepada keduanya. Mikail berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan berfirman: “Bagaimana Aku mencela orang yang Aku maafkan ? itu adalah hal yang tidak menyerupai kemurahanKu”. Hadits-hadits yang membentangkan mengenai sebab-sebab harapan itu, lebih banyak daripada dapat dihinggakan.
Adapun atsar, maka diantaranya Ali ra berkata: “Siapa yang berbuat suatu dosa, lalu ditutup oleh Allah Ta’ala di dunia, maka Allah itu Maha Pemurah, daripada membukakan penutupannya di akhirat. Dan siapa yang berbuat dosa, lalu ia disiksa di dunia, maka Allah Ta’ala Maha Adil daripada mendua-kalikan siksaanNya atas hambaNya di akhirat”.
Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak suka, bahwa dijadikan perhitungan amalku kepada ibu bapakku. Karena aku tahu, bahwa Allah Ta’ala mencurahkan kasih-sayang kepadaku daripada keduanya”. Setengah salaf berkata: “Orang mu’min apabila berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, niscaya Allah menutupkannya dari penglihatan malaikat. Supaya tidak dilihatnya, lalu dinaik-saksikannya”.
 Muhammad bin Sha’ab menulis surat kepada Aswad bin Salim dengan tulisannya sendiri: “Sesungguhnya hamba apabila berbuat berlebih-lebihan atas dirinya, maka ia mengangkatkan dua tangannya berdoa dan mengucapkan: “Wahai Tuhanku !”, niscaya malaikat mendindingkan suaranya. Dan demikian juga, kali kedua dan kali ketiga. Sehingga, apabila ia mengucapkan kali keempat: “Wahai Tuhanku !”, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hingga kapan, kamu dindingkan daripadaKu, akan suara hambaKu ? sesungguhnya hambaKu itu tahu, bahwa tiada baginya Tuhan, yang mengampunkan dosa-dosa, selain Aku. Aku persaksikan kepada kamu, bahwa Aku telah mengampunkan dosanya”.
Ibrahim bin Adham ra berkata: “Pada suatu malam, aku tidak melakukan thawaf. Adalah malam itu banyak turun hujan dan gelap. Lalu aku berdiri di Al-Multazam di sisi pintu Ka’bah. Maka aku berdoa: “Wahai Tuhanku ! peliharakanlah aku, sehingga aku tidak mengerjakan maksiat kepadaMu selama-lamanya!”. Lalu datang suara yang memanggil dari Baitullah: “Hai Ibrahim ! engkau meminta kepadaKu pemeliharaan dari dosa. Semua hambaKu yang beriman, meminta daripadaKu yang demikian. Maka apabila Aku peliharakan mereka, maka kepada siapakah Aku memberikan kurnia? dan bagi siapakah Aku memberi ampunan?”
Al-Hasan berkata: “Jikalau tidaklah orang mu’min itu berbuat dosa, niscaya ia akan terbang pada alam malakut tinggi. Akan tetapi, Allah Ta’ala mencegah kannya dengan dosa”. Al-Junaid ra berkata: “Jikalau nampaklah mata dari orang pemurah, niscaya mata itu menghubungkan orang-orang yang berbuat jahat dengan orang-orang yang berbuat baik”. Malik bin Dinar bertemu dengan Abban bin ‘Ayyasy. Lalu Malik mengatakan kepadanya: “Sudah berapa banyak engkau berbicara dengan manusia, mengenai hal kemudahan ?”. Abban lalu menjawab: “Hai Abu Yahya ! sesungguhnya aku mengharap bahwa engkau melihat dari kemaafan Allah pada hari kiamat, akan apa yang engkau koyakkan pakaian engkau ini karenanya, dari sebab kegembiraan”.
Dalam cerita Rib’iy bin Hirasy dari hal saudaranya (Mas’ud bin Hirasy dan adalah Rib’iy ini termasuk kaum tabi’in pilihan. Dan saudaranya (Mas’ud) itu, adalah diantara orang yang berkata-kata sesudah meninggal. Kata Rib’iy: “Tatkala saudaraku Mas’ud telah meninggal, lalu ia ditutup dengan kainnya. Dan kami meletakkannya di atas usungan mayatnya. Maka ia membukakan kain dari mukanya dan duduk lurus. Seraya ia berkata: “Aku telah menemui Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Maka Ia menyambut aku dengan kegembiraan dan kepuasan. Dan Tuhanku tidak marah. Dan aku melihat keadaan itu lebih mudah dari apa yang kamu sangkakan. Maka janganlah kamu lesu ! dan sesungguhnya Muhammad saw dan para sahabatnya menunggu aku. Sehingga aku kembali kepada mereka”. Rib’iy meneruskan ceritanya: “Kemudian, Ma’sud mencampakkan dirinya. Seakan-akan adalah dia sebutir batu, yang jatuh pada tempat cuci tangan. Maka kami bawa dia dan kami kuburkan”.
Tersebut pada hadits: “Bahwa dua orang laki-laki dari kaum Bani Israil, mengikatkan persaudaraan pada jalan Allah Ta’ala. Yang seorang adalah berlebih-lebihan atas dirinya dengan perbuatan maksiat. Dan yang lain adalah ‘abid (rajin beribadah). Dan ia memberi pengajaran dan menghardik temannya itu. Lalu teman yang jahat itu mengatakan: “Tinggalkanlah aku ! demi Tuhanku ! adakah engkau diutus atas diriku menjadi pengintip ?”. Sehingga pada suatu hari, teman yang ‘abid itu melihat temannya yang jahat, sedang berbuat dosa besar. Lalu ia marah, seraya berkata: “Allah tiada akan mengampunkan dosa engkau”. Teman yang berbuat dosa itu menjawab: “Allah Ta’ala akan berfirman pada hari kiamat: “Adakah sanggup seseorang mencegah rahmatKu kepada hamba-hambaKu ? pergilah engkau, maka sesungguhnya Aku telah mengampunkan dosa engkau”. Kemudian, ia mengatakan kepada temannya yang ‘abid: “Engkau telah mengharuskan bagi engkau neraka”. Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan yang nyawaku di tanganNya ! sesungguhnya orang itu telah mengucapkan perkataan, yang membinasakan dunianya dan akhiratnya”.
Diriwayatkan pula, bahwa seorang pencuri telah merampok pada kaum Bani Israil, selama 40 tahun. Maka nabi Isa as lalu dekat pencuri itu. Dan di belakang beliau seorang abid dari Bani Israil, yang menjadi teman beliau. Maka pencuri itu berkata pada dirinya: “Ini nabi Allah lewat dan di sampingnya sahabatnya. Jikalau aku turun, lalu aku menjadi orang ketiga bersama keduanya”. Kata yang punya riwayat, lalu pencuri itu turun (menggabungkan diri). Ia bermaksud dekat dengan sahabat Isa as. Dan ia menghinakan dirinya, karena menghormati sahabat nabi Isa as. Dan ia berkata kepada dirinya: “Seperti aku tiada akan berjalan di samping ‘abid ini”. Kata yang punya riwayat, bahwa sahabat nabi Isa as merasa pada dirinya. Lalu ia berkata kepada dirinya: “Orang ini mau berjalan di sampingku”. Lalu ia merapatkan dirinya dan berjalan kepada nabi Isa as. Maka ia berjalan di sampingnya. Maka tinggallah pencuri itu di belakangnya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Isa as: “Katakanlah kepada dua orang itu, supaya keduanya mengulangi kembali perbuatannya ! sesungguhnya telah batal apa yang telah berlalu dari amal perbuatannya. Adapun si sahabat itu, telah batal amal kebaikannya, karena ia ‘ujub (mengherani diri). Adapun yang satu lagi (pencuri), maka telah batal perbuatan jahatnya, disebabkan ia menghinakan dirinya”. Lalu nabi Isa as menceritakan kepada dua orang itu yang demikian. Dan pencuri itu menggabungkan diri kepada nabi Isa as dalam perjalanannya. Dan dijadikannya menjadi sahabatnya.
Diriwayatkan dari Masruq, bahwa seorang dari para nabi itu bersujud. Lalu lehernya diinjak oleh seorang maksiat. Sehingga melengketkan batuk dengan dahinya. Masruq meneruskan ceritanya, bahwa nabi as itu lalu mengangkatkan kepalanya, dengan marah. Seraya berkata: “Pergilah, maka Allah tiada akan mengampunkan dosa engkau !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi tadi: “Engkau bersumpah atasKu pada hambaKu ! sesungguhnya Aku telah mengampunkannya”.
Dan mendekati dengan ini, apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw berdoa untuk kemelaratan orang-orang musyrik dan mengutuk mereka dalam shalatnya. Maka turunlah kepadanya firman Allah Ta’ala: “Tiadalah engkau mempunyai kepentingan dalam perkara itu sedikitpun, Allah menerima taubat mereka atau menyiksa mereka”. S 3 Ali ‘Imran ayat 128. Lalu Rasulullah saw meninggalkan berdoa untuk kemelaratan mereka. Dan Allah Ta’ala memberi petunjuk umumnya mereka kepada Islam.
Diriwayatkan pada atsar, bahwa adalah dua orang laki-laki dari orang-orang ‘abid, yang bersamaan pada ibadah. Kata yang meriwayatkan, bahwa apabila keduanya dimasukkan ke sorga, lalu yang seorang ditinggikan pada tingkat tinggi atas temannya. Maka yang seorang itu berkata: “Wahai Tuhanku ! tiadalah orang ini dalam dunia, lebih banyak ibadahnya daripada aku. Lalu Engkau tinggikannya di atasku dalam sorga tinggi”. Maka berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguh nya ia meminta padaKu di dunia akan derajat tinggi. Dan engkau meminta padaKu akan kelepasan dari neraka. Maka Aku berikan kepada setiap hamba akan permintaannya”. Ini menunjukkan, bahwa ibadah lebih utama dari harap. Karena kecintaan itu lebih keras pada orang yang mengharap, daripada pada orang yang takut. Maka berapa banyak perbedaannya pada raja-raja, diantara orang yang melayaninya, karena takut siksaannya dan orang yang melayaninya, karena mengharap keanugerahan dan kemurahannya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala menyuruh, dengan: baik sangka. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Mintalah kepada Allah akan derajat tinggi. Sesungguhnya engkau meminta pada Yang Maha Pemurah”. Nabi saw bersabda: “Apabila kamu meminta pada Allah, maka besarkanlah keinginan dan mintalah sorga Firdaus yang tertinggi. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala tiadalah sesuatu yang besar padaNya”.
Bakr bin Salim Ash-Shawwaf berkata: “Kami masuk ke tempat Malik bin Anas, pada sore, yang pada sore itu, ia meninggal dunia. Kami menanyakan: “Hai Abu Abdillah ! bagaimana engkau mendapati dirimu ?”. Malik bin Anas menjawab: “Aku tidak tahu, apa yang aku katakan kepadamu, kecuali sesungguhnya kamu akan melihat dari kemaafan Allah, apa yang tidak ada bagimu pada hitungan amal (hisab)”. Kemudian, kami tetap di tempat itu, sehingga kami tidak memahami lagi maksud perkataannya”. Yahya bin Ma’adz mengucapkan dalam munajahnya (menghadapkan kata-katanya kepada Allah Ta’ala): “Hampirlah harapanku kepada Engkau serta dosa. Keraslah harapanku akan Engkau serta amal. Karena aku berpegang pada amal itu di atas keikhlasan. Bagaimana aku memelihara amal-amal itu, padahal aku terkenal dengan bahaya. Aku dapati diriku dalam dosa, yang aku berpegang kepada kemaafan Engkau. Bagaimana Engkau tidak mengampunkannya dan Engkau itu bersifat dengan kemurahan”. Dikatakan, bahwa seorang majusi minta bertamu pada nabi Ibrahim Al-Khalil as. Lalu Nabi Ibrahim as menjawab: “Kalau masuk Islam, niscaya aku pertamukan engkau”. Orang majusi itu lalu pergi. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ibrahim: “Hai Ibrahim ! engkau tidak memberi makanan kepadanya, selain dengan ia mengubahkan agamanya. Dan Kami sejak 70 tahun yang lalu, memberi makanan kepadanya, di atas kekafirannya. Maka jikalau engkau pertamukannya semalam, niscaya apa yang ada atas engkau ?”. Maka pergilah Ibrahim as berusaha mencari orang majusi itu. Maka dimintanya kembali dan dipertamukannya. Lalu orang majusi itu bertanya kepada nabi Ibrahim as: “Apa sebab, pada apa yang nampak bagi engkau itu ?”. Nabi Ibrahim as lalu menerangkan kepada orang majusi tadi. Maka orang majusi tersebut bertanya kepada nabi Ibrahim:“Adakah yang begini engkau mengadakan hubungan dengan aku ?” Kemudian, orang majusi itu menyambung:“Kemukakanlah kepadaku agama Islam!”  Maka orang majusi itupun masuk agama Islam.
Al-Ustadz Abu Sahl Ash-Sha’luki bermimpi bertemu dengan Abu Sahl Az-Zujaji. Dan adalah Abu Sahl Az-Zujaji mengatakan, dengan: janji azab selama-lamanya. Lalu Abu Sahl Ash-Sha’luki bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Abu Sahl Az-Zujaji menjawab: “Kami dapati keadaan, lebih mudah daripada apa, yang kami sangkakan”. Kemudian, sebahagian mereka bermimpi bertemu dengan Abu Sahl Ash-Sha’luki, dalam keadaan yang baik, yang tidak dapat disifatkan. Lalu yang bermimpi itu, bertanya kepadanya: “Hai Ustadz ! dengan apa engkau peroleh ini ?”. Lalu Abu Sahl Ash-Sha’luki menjawab: “Dengan baik sangkaanku kepada Tuhanku”. Diceritakan, bahwa Abul-Abbas bin Suraij ra bermimpi dalam sakit, yang ia meninggal dunia pada sakit itu, seakan-akan kiamat sudah terjadi. Tiba-tiba Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang Maha Suci berfirman: “Mana para ulama ?”. Kata Abul-Abbas: “Maka datanglah para ulama itu”. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman: “Apakah yang kamu amalkan, pada apa yang kamu ketahui ?”. Kata Abul-Abbas: “Maka kami menjawab: “Hai Tuhanku! kami teledor dan kami berbuat jahat”. Kata Abul-Abbas: “Maka Allah Ta’ala mengulangi pertanyaan, seakan-akan Ia tidak ridha dengan jawaban tadi dan menghendaki jawaban yang lain. Maka aku menjawab: “Adapun aku, maka tiadalah pada halaman suratan amalku itu syirik. Dan Engkau telah menjanjikan, bahwa Engkau akan mengampunkan yang kurang dari itu”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Pergilah dengan Abul-Abbas itu ! Aku telah mengampunkan dosa kamu”. Abul-Abbas bin Suraij itu meninggal sesudah 3 malam kemudian.
Dikatakan, adalah seorang laki-laki peminum khamar, mengumpulkan suatu golongan dari teman-temannya yang sepeminum. Dan ia menyerahkan kepada budaknya 4 dirham. Dan disuruhnya membeli sedikit buah-buahan untuk pertemuannya itu. Maka budak itu melewati pintu majlis Manshur bin ‘Ammar. Dan Manshur itu meminta sesuatu untuk fakir-miskin. Ia mengatakan: “Bahwa siapa yang memberikan kepada fakir-miskin itu 4 dirham, niscaya aku berdoa kepadanya 4 doa. Kata yang punya riwayat, bahwa budak itu lalu menyerahkan 4 dirham itu kepada fakir-miskin. Maka bertanya Manshur: “Apakah yang engkau kehendaki, bahwa aku doakan bagi engkau ?”. Budak itu menjawab: “Aku mempunyai tuan. Aku menghendaki supaya aku terlepas daripadanya”. Maka Manshur mendoakan yang demikian. Dan bertanya lagi: “Yang lain ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah menggantikan kepadaku akan dirham-dirhamku”. Lalu Manshur mendoakan. Kemudian, bertanya: “Yang lain ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mentaubatkan tuanku”. Maka Manshur mendoakan ! kemudian bertanya: “Yang lain ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mengampunkan aku, tuanku, engkau dan rombongan teman-teman tuanku !”. Maka Manshur pun mendoakan yang demikian. Lalu budak itu kembali. Maka tuannya bertanya kepadanya: “Mengapa engkau lambat ?”. Maka ia ceritakan kepada tuannya cerita tersebut. Dan tuannya itu lalu bertanya: “Apa ia doakan ?”. Budak itu lalu menjawab: “Aku minta bagi diriku merdeka”. Maka tuannya lalu menjawab: “Pergilah, engkau sekarang merdeka !”. Tuannya bertanya lagi: “Apa yang ke-2 ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya digantkan oleh Allah kepadaku, dirham-dirham itu”. Tuannya menjawab: “Untukmu 4000 dirham”. “Dan yang ke-3, apa ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mentaubatkan engkau”. Tuannya menjawab: “Aku bertaubat kepada Allah Ta’ala”. Dan ia bertanya lagi: “Apa yang ke-4 ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mengampunkan aku, engkau, rombongan itu dan yang memperingatkan aku”. Lalu tuannya menjawab: “Yang satu ini tidaklah kepadaku”. Tatkala tuannya tidur pada malam itu, maka ia bermimpi, seakan-akan ada yang mengatakan kepadanya: “Engkau telah berbuat apa yang kepada engkau sekalian. Apakah engkau akan melihat, bahwa Aku tiada berbuat apa yang kepadaKu ? maka Aku ampunkan dosa engkau, dosa budak, dosa Manshur bin ‘Ammar dan dosa orang-orang yang hadir itu”.
Diriwayatkan dari Abdul-wahhab bin Abdul-hamid Ats-Tsaqafi, yang mengatakan: “Aku melihat 3 orang laki-laki dan seorang perempuan, membawa jenazah”. Kata Abdul-wahhab: “Lalu aku ambil tempat wanita itu dan kami pergi ke kuburan. Kami mengerjakan shalat jenazah dan kami kuburkan mayat itu. Maka aku bertanya kepada wanita itu: “Siapakah mayat ini, dari pihak engkau ?”. Perempuan itu menjawab: “Anakku”. Aku bertanya lagi: “Apakah kamu tidak mempunyai tetangga ?”. Perempuan itu menjawab: “Ada ! akan tetapi, mereka menganggap kecil urusannya”. Lalu aku bertanya: “Mengapa ada yang demikian?”. Perempuan itu menjawab: “Anakku itu membuat dirinya menyerupai perempuan (mukhannats)”. Abdul-wahhab itu meneruskan ceritanya: “Maka aku belas kasihan kepada wanita itu dan aku bawa dia ke tempatku. Aku berikan kepadanya uang beberapa dirham, gandum dan beberapa helai kain”. Abdul-wahhab itu meneruskan ceritanya: “Maka aku bermimpi pada malam itu, seakan-akan datang kepadaku, seorang yang datang, seolah-olah bulan pada malam purnama dan ia memakai pakaian putih. Ia datang mengucapkan terima kasih kepadaku. Lalu aku bertanya: “Siapakah engkau ?”. Maka ia menjawab: “Orang mukhannats, yang engkau kuburkan tadi siang. Tuhanku mengasihani aku, disebabkan manusia menghinakan aku”.
Ibrahim Al-Athrusy berkata: “Adalah kami duduk di Bagdad bersama Ma’ruf Al-Karkhi di tepi sungai Dajlah. Tiba-tiba datang anak-anak muda dalam suatu perahu. Mereka memukul rebana, minum khamar dan bermain-main. Lalu orang banyak bertanya kepada Ma’ruf: “Apakah tidak engkau melihat mereka berbuat maksiat dengan terang-terangan ? berdoalah kepada Allah akan kebinasaan mereka !”. Ma’ruf Al-Karkhi lalu mengangkatkan dua tangannya dan berdoa: “Ya Ilaahii ! Wahai Tuhanku ! sebagaimana Engkau gembirakan mereka di dunia, maka gembirakanlah mereka di akhirat !”. Orang banyak itu menjawab: “Sesungguhnya kami meminta engkau berdoa untuk kebinasaan mereka”. Maka jawab Ma’ruf Al-Karkhi: “Apabila Allah menggembirakan mereka di akhirat, niscaya diterimaNya taubat mereka”. Sebahagian salaf mengucapkan dalam doanya: “Wahai Tuhanku ! penduduk masa manakah yang tidak berbuat maksiat kepada Engkau. Kemudian, adalah nikmat Engkau itu merata kepada mereka. Dan rezeki yang Engkau berikan itu beredar kepada mereka. Maha Suci Engkau ! alangkah amat kasih-sayangnya Engkau. Demi keagungan Engkau ! sesungguhnya Engkau menghinggakan, kemudian Engkau ratakan nikmat dan Engkau curahkan. Sehingga seolah-olah Engkau, hai Tuhan kami, tiada Engkau marah”. Maka inilah sebab-sebab yang menarik semangat harapan ke dalam hati orang-orang yang takut dan putus asa.
Adapun orang-orang yang dungu, yang terperdaya, maka tiada seyogyalah, bahwa ia mendengar sesuatu dari yang demikian. Akan tetapi, mereka akan mendengar apa yang akan kami bentangkan pada sebab-sebab takut. Maka sesungguhnya kebanyakan manusia, tiada pantas, selain atas ketakutan. Seperti budak yang jahat dan anak kecil yang suka kotor. Ia tidak lurus, selain dengan cambuk dan tongkat dan melahirkan kata-kata kasar. Adapun lawan yang demikian, maka menyumbatkan kepada mereka, pintu perbaikan pada agama dan dunia.
BAHAGIAN KEDUA: dari Kitab: tentang takut.
Pada bahagian ini: penjelasan hakikat/makna takut, penjelasan tingkat-tingkatnya, penjelasan berbagai macam ketakutan, penjelasan keutamaan takut, penjelasan yang terutama dari takut dan harap, penjelasan obat takut, penjelasan arti buruk kesudahan (su-ul khatimah) dan penjelasan hal-ihwal nabi-nabi as yang takut dan orang-orang shalih –kiranya rahmat Allah kepada mereka. Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq.
PENJELASAN: hakikat/makna takut.
Ketahuilah kiranya, bahwa takut itu ibarat dari kepedihan dan kebakaran hati, disebabkan terjadinya yang tidak disukai pada masa depan. Dan telah jelas ini pada: penjelasan hakikat/makna harap. Orang yang jinak hatinya kepada Allah, kebenaran memiliki hatinya dan ia menjadi putera zamannya, yang menyaksikan keelokan kebenaran secara terus-menerus, niscaya tidak ada baginya penolehan kepada masa depan. Maka tidak ada baginya takut dan harap. Akan tetapi, jadilah keadaannya lebih tinggi dari takut dan harap. Maka sesungguhnya takut dan harap itu dua kekang yang mencegah diri dari keluar kepada ketetapan keadaannya. Dan kepada inilah, diisyaratkan oleh Al-Wasithi, dimana ia berkata: “Takut itu dinding (hijab) diantara Allah dan hamba”. Al-Wasithi mengatakan pula: “Apabila lahirlah kebenaran kepada rahasia, niscaya tidak ada lagi padanya keutamaan bagi harap dan takut”.
Kesimpulannya, bahwa orang yang mencintai, apabila hatinya sibuk menyaksikan yang dicintainya, dengan takut berpisah, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada penyaksian kepada Allah. Dan sesungguhnya keterus-menerusan penyaksian itu maqam (tingkat) yang penghabisan. Akan tetapi, kita sekarang akan memperkatakan, mengenai tingkat permulaan (awa-ilul-maqamat). Maka kami katakan: bahwa hal-ihwal takut itu teratur juga dari: ilmu, hal keadaan dan amal.
Adapun ilmu, maka ilmu dengan sebab yang membawa kepada yang tiada disukai. Dan yang demikian itu, seperti: orang yang berbuat aniaya atas raja. Kemudian, ia jatuh dalam tangan raja. Maka ia takut akan pembunuhan –umpamanya. Dan memungkinkan juga kemaafan dan kelepasan. Akan tetapi, adalah kepedihan hatinya, disebabkan takut, menurut kekuatan pengetahuannya dengan sebab-sebab yang membawa kepada pembunuhannya. Dan itu kekejian penganiayaannya. Dan keadaan raja itu dengki pada dirinya, marah dan pembalas dendam. Dan keadaan dirinya dikelilingi, dengan orang yang membangkitkan kepada pembalasan dendam. Kosong dari orang yang memberi bantuan kepada pihaknya. Dan adalah orang yang takut ini kosong dari setiap jalan dan kebaikan, yang menghapuskan bekas penganiayaannya pada raja. Maka mengetahui dengan jelasnya sebab-sebab itu adalah sebab kuatnya ketakutan dan sangatnya kepedihan hati. Dan menurut lemahnya sebab-sebab itu melemahkan takut. Dan kadang-kadang adalah takut itu, tidak dari sebab penganiayaan yang diperbuat oleh orang yang takut. Akan tetapi, dari sifat pihak yang menakutkan. Seperti orang yang jatuh dalam cengkeraman binatang buas. Maka dia itu takut, karena sifat binatang buas. Yaitu: lobanya dan ganasnya –biasanya –atas mangsanya. Walaupun mangsanya itu dengan pilihannya.
Kadang-kadang adalah takut itu, dari sifat tabiat bagi yang ditakuti. Seperti takutnya orang yang jatuh dalam aliran banjir atau dekat benda yang terbakar. Maka sesungguhnya air itu ditakuti, karena menurut tabiatnya membawa kepada mengalir dan tenggelam. Dan begitupula api, kepada membakar. Maka ilmu dengan sebab-sebab yang tidak disukai itu, menjadi sebab yang menggerakkan, yang membangkitkan kepada terbakarnya hati dan merasa kepedihan. Dan kebakaran itu, ialah: takut. Maka seperti itu pula takut kepada Allah Ta’ala. Sekali adalah karena ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) kepada Allah Ta’ala dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) sifat-sifatNya. Dan jikalau Allah membinasakan alam semesta, niscaya ia tiada memperdulikan dan tiada pencegah: yang mencegahkan. Dan sekali adalah takut itu, karena banyaknya penganiayaan hamba, dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan menurut tahunya akan kekurangan dirinya dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya akan keagungan Allah Ta’ala dan Allah tidak memerlukan kepadanya. Dan sesungguhnya Allah tidak ditanyakan dari apa yang diperbuatNya dan mereka itu ditanyakan. Dan adalah ma’rifah ( ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu di atas ketakutannya. Maka manusia yang paling takut kepada Tuhannya, ialah mereka yang lebih mengenal akan dirinya dan Tuhannya. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Aku yang lebih takut kepada Allah daripada kamu”. Demikian pula, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, ialah: orang-orang yang berilmu (ulama)”. S 35 Faathir ayat 28. Kemudian, apabila ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) telah sempurna, niscaya mewariskan keagungan takut dan terbakarnya hati. Kemudian, melimpahkan bekas kebakaran dari hati kepada badan, kepada anggota-anggota badan dan kepada sifat-sifat.
Adapun pada badan, maka dengan kurus, kuning warna, pingsan, jeritan dan tangisan. Dan kadang-kadang terhisap kepahitan, lalu membawa kepada mati. Atau naik keotak, lalu merusakkan akal. Atau menguat, lalu mewarisi patah hati dan putus asa. Adapun pada anggota-anggota badan, maka dengan mencegahkan nya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mengikatkannya dengan amalan taat, untuk mendapatkan bagi yang telah telanjur dan menyiapkan bagi masa mendatang. Dan karena itulah, dikatakan: tidaklah orang yang takut itu orang yang menangis dan menyapu dua matanya. Akan tetapi, orang yang meninggalkan apa yang ia takutkan, bahwa ia akan disiksa dengan perbuatan itu.
Abdul-Qasim Al-Hakim berkata: “Siapa yang takut akan sesuatu, niscaya ia lari daripadanya. Dan siapa yang takut akan Allah, niscaya ia lari kepada Allah”. Ditanyakan kepada Dzin-Nun: “Kapan hamba itu takut ?”. Dzin-Nun menjawab: “Apabila ia menempatkan dirinya pada tempat orang yang sakit yang menjaga diri, karena takut berkepanjangan sakit”. Adapun pada sifat-sifat, maka dengan mencegah dari nafsu syahwat dan mengeruhkan segala kesenangan. Lalu perbuatan-perbuatan maksiat yang disukai itu, menjadi tidak disukainya. Sebagaimana air madu menjadi tidak disukai, pada orang yang mengingininya, apabila ia tahu, bahwa pada air madu itu ada racun. Maka terbakarlah nafsu syahwat dengan takut. Dan menjadi beradablah semua anggota badan. Dan berhasillah dalam hati itu kelayuan, kekhusu’an, kehinaan diri dan ketenangan. Dan berpisahlah dengan dia, kesombongan, kebusukan hati dan kedengkian. Akan tetapi, jadilah dia yang melengkapi kesusahan hati, dengan takutnya dan perhatian pada bahaya akibatnya. Maka ia tidak mengosongkan waktunya bagi yang lain. Dan tiada baginya kesibukan selain: muraqabah (mengintip kekurangan diri), muhasabah (memperhitungkan amal perbuatan sendiri), mujahadah (bersungguh‑sungguh), kikir dengan nafas dan perhatian, penyiksaan diri dengan segala gurisan, langkah dan kata-kata. Dan adalah keadaannya itu keadaan orang yang jatuh dalam cengkeraman binatang buas, yang mendatangkan melarat. Ia tidak tahu, bahwa binatang buas itu akan lengah daripadanya, lalu ia terlepas. Atau binatang buas itu menyerangnya, lalu ia binasa. Maka adalah zahiriyahnya dan batiniyahnya sibuk dengan apa yang ia takutkan. Tiada peluang padanya untuk yang lain. Inilah keadaan orang, yang dikerasi oleh ketakutan dan yang menguasainya. Dan begitulah keadaan sekumpulan dari para sahabat dan orang-orang tabi’in. Dan kuatnya muraqabah (mengintip kekurangan diri), muhasabah (memperhitungkan amal perbuatan sendiri) dan mujahadah (bersungguh‑sungguh) itu, menurut kuatnya takut yang menjadi kepedihan dan terbakarnya hati. Dan kuatnya takut itu, menurut kuatnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dengan keagungan Allah, sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan mengetahui dengan kekurangan diri dan apa yang dihadapinya, dari marabahaya dan huru-hara. Dan yang paling sedikit dari derajat takut, dari apa yang menampak bekasnya pada amal-perbuatan, ialah bahwa mencegah dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Dan dinamakan cegahan yang berhasil dari perbuatan-perbuatan terlarang itu: wara’ (menjaga diri). Maka jikalau bertambah kuatnya, niscaya ia mencegah daripada apa yang berjalan kepadanya, kemungkinan melakukan yang diharamkan. Maka bagaimana pula, daripada apa yang tidak diyakini pengharaman nya. Dan dinamakan yang demikian itu: taqwa. Karena taqwa, ialah bahwa: ditinggalkan apa yang meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Dan kadang-kadang membawanya, kepada meninggalkan apa yang tiada mengapa padanya. Karena takut akan apa yang ada padanya apa-apa. Dan itulah: kebenaran pada taqwa. Maka apabila bercampur kepadanya kesemata-mataan kepada pelayanan, maka jadilah ia tidak membangun akan apa yang tiada akan ditempatnya. Dan ia tidak mengumpulkan, apa yang tiada akan dimakannya. Dan ia tidak berpaling kepada dunia, yang diketahuinya, bahwa dunia itu akan bercerai dengan dia. Dan ia tidak menyerahkan suatu nafaspun dari nafas-nafasnya, kepada selain Allah Ta’ala. Maka itulah: kebenaran. Dan yang mempunyai sifat ini, pantaslah dinamakan: shiddiq. Dan masuk dalam kebenaran ini: taqwa. Dan masuk dalam taqwa itu: wara’ (menjaga diri). Dan masuk dalam wara’ (menjaga diri) itu: ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik). Maka ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik) itu ibarat, daripada mencegah diri dari yang dikehendaki nafsu syahwat khususnya.
Jadi, takut itu membekas pada seluruh anggota badan, dengan pencegahan dan penampilan. Dan terus membaru baginya, dengan sebab pencegahan itu: nama ‘iffah. Yaitu: pencegahan dari kehendak nafsu syahwat. Dan yang paling tinggi daripadanya, ialah: wara’ (menjaga diri). Maka wara’ (menjaga diri) itu lebih umum, karena ia mencegah dari setiap yang dilarang. Dan yang lebih tinggi daripadanya, ialah: taqwa. Maka taqwa itu nama bagi pencegahan dari semua yang dilarang dan syubhat (diragukan). Dan dibelakangnya: nama shiddiq dan muqarrab (orang yang dekat dengan Tuhan). Dan berlakulah tingkat yang akhir daripada yang sebelumnya, sebagai berlakunya: yang lebih khusus daripada yang lebih umum. Maka apabila anda menyebutkan yang lebih khusus, maka sesungguhnya anda telah menyebutkan: semua. Sebagaimana anda mengatakan:  manusia, adakalanya: orang Arab dan adakalanya: orang ‘Ajam (diluar Arab). Dan orang Arab itu, adakalanya: orang Quraisy atau bukan Quraisy. Dan orang Quraisy itu, adakalanya Hasyimi (keturunan Hasyim) atau bukan Hasyimi. Dan Hasyimi itu, adakalanya ‘Alawi (keturunan Ali) atau bukan ‘Alawi. Dan ‘Alawi itu adakalanya Hasani (keturunan Hasan) atau Husaini (keturunan Husain). Maka apabila anda menyebutkan, bahwa dia itu Hasani –umpamanya, maka anda telah menyifatkan dengan: keseluruhan (al-jamii’). Dan jikalau anda menyifatkan, bahwa orang itu: ‘Alawi, maka anda telah menyifatkannya, dengan yang diatasnya, dari apa, yang lebih umum lagi. Maka demikian pula, apabila anda mengatakan: shiddiq, maka sesungguhnya, anda sudah mengatakan, bahwa orang itu: taqwa, wara’ (menjaga diri) dan ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik). Maka tiada seyogyalah bahwa anda menyangka, bahwa kebanyakan nama-nama ini menunjukkan arti-arti yang banyak, yang berlain-lainan. Lalu bercampur-aduk kepada anda, sebagaimana bercampur-aduknya pada orang yang mencari arti dari kata-kata. Dan ia tidak mengikutkan kata-kata itu dengan arti. Maka inilah isyarat kepada kumpulan arti takut dan apa yang meliputinya, dari segi ketinggian, seperti ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang mewajibkannya. Dan dari segi kebawahan, seperti: amal perbuatan yang terbit daripadanya, sebagai cegahan dan penampilan.
PENJELASAN: tingkat-tingkat takut dan perbedaannya tentang kuat dan lemahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa takut itu terpuji. Kadang-kadang disangka orang, bahwa setiap apa yang dinamakan takut itu: terpuji. Maka setiap apa yang ada lebih kuat dan lebih banyak, niscaya adalah: lebih terpuji. Dan itu salah. Akan tetapi, takut itu cemeti Allah, yang dengan cemeti ini dibawaNya hamba-hambaNya kepada kerajinan kepada ilmu dan amal. Supaya mereka mencapai dengan ilmu dan amal itu tingkat kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dan yang lebih baik bagi binatang ternak, bahwa ia tiada terlepas dari cemeti. Dan demikian juga anak kecil. Akan tetapi, yang demikian itu tidak menunjukkan, bahwa bersangatan pada pemukulan itu terpuji. Demikian juga, takut itu mempunyai kesingkatan, mempunyai kesangatan dan mempunyai kesedangan. Dan yang terpuji, ialah: kesedangan dan pertengahan.
Adapun yang singkat dari ketakutan itu, maka ialah yang berlaku sebagai berlakunya kehalusan wanita, yang mana ketakutan itu terguris di hati, ketika mendengar suatu ayat dari Alquran. Lalu mendatangkan tangisan dan meneteskan air mata. Dan seperti yang demikian juga, ketika menyaksikan suatu sebab yang menggemparkan. Maka apabila sebab tersebut lenyap dari perasaan, niscaya kembalilah hati kepada kelupaan. Maka inilah ketakutan yang singkat, yang sedikit faedahnya, yang lemah manfaatnya. Dan itu adalah seperti ranting yang kecil, yang dipukul binatang kendaraan yang kuat, dengan ranting itu. Yang tidak menyakitkannya dengan kesakitan yang menyakitkan. Lalu dapat membawakannya kepada yang dimaksud. Dan tiada baik bagi latihannya. Begitulah takutnya semua manusia, selain orang-orang ‘arifin yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan para ulama. Dan tidaklah aku maksudkan dengan ulama itu, orang-orang rasmi, dengan kerasmian ulama dan yang dinamakan dengan nama ulama. Maka sesungguhnya mereka itu adalah manusia yang terjauh dari ketakutan. Akan tetapi, yang aku maksudkan, ialah: para ulama pada jalan Allah, mengetahui hari-hariNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan yang demikian itu, sesungguhnya sukar didapati sekarang. Dan karena itulah, Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Adakah engkau takut kepada Allah ?”, maka diamlah! maka sesungguhnya jikalau engkau menjawab: tidak, niscaya engkau kufur. Dan jikalau engkau menjawab: ya, niscaya engkau dusta”. Beliau mengisyaratkan dengan yang demikian, bahwa takut, ialah: yang mencegah anggota-anggota badan dari perbuatan-perbuatan maksiat. Dan mengikatkannya dengan amalan-amalan taat. Dan apa yang tidak membekaskan pada anggota badan, maka itu kata hati dan gerakan gurisan di hati. Tidak berhak untuk dinamakan: takut.
Adapun yang bersangatan, maka yaitu: yang kuat dan melampaui batas kesedangan. Sehingga ia keluar kepada putus asa dan hilang harapan. Dan itu tercela pula. Karena ia mencegah dari amal. Kadang-kadang takut itu keluar pula kepada kesakitan dan kelemahan. Kepada kebimbangan, keheranan dan kehilangan akal. Maka yang dimaksudkan dari takut, ialah: apa yang dimaksudkan dari cemeti. Yaitu: membawa kepada amal-perbuatan. Dan jikalau tidak membawa yang demikian, niscaya tidaklah takut itu sempurna. Karena dia itu kurang dengan hakikat/maknanya. Karena tempat terjadinya itu kebodohan dan kelemahan.
Adapun kebodohan, maka ia tidak tahu akan akibat pekerjaannya. Jikalau ia tahu, niscaya ia tidak takut. Karena yang menakutkannya, ialah: yang diragukan padanya. Adapun kelemahan, maka yaitu ia mendatangkan kepada yang ditakuti, yang tidak sanggup ia menolaknya. Jadi, takut itu terpuji, dengan dikaitkan kepada kekurangan anak Adam (manusia). Dan yang terpuji pada dirinya dan zatnya, ialah: ilmu, qudrah ( kuasa/kemampuan) dan setiap apa yang boleh disifatkan Allah Ta’ala dengan dia. Dan yang tidak boleh disifatkan Allah Ta’ala dengan dia, maka tidak dia itu sempurna pada zatnya. Dan sesungguhnya jadi ia terpuji, dengan dikaitkan kepada kekurangan, yang lebih besar daripadanya. Sebagaimana adanya penanggungan kepedihan obat itu terpuji. Karena dia itu lebih ringan dari kepedihan sakit dan mati. Maka apa yang keluar kepada keputus-asaan, maka itu tercela. Kadang-kadang takut itu keluar pula kepada kesakitan dan kelemahan. Kepada kebimbangan, keheranan dan kehilangan akal. Kadang-kadang ia keluar kepada mati. Dan setiap yang demikian itu tercela. Dan itu adalah seperti pukulan, yang membunuh anak kecil. Dan cemeti yang membinasakan binatang kendaraan atau menyakitkannya. Atau memecahkan salah satu anggota tubuhnya. Sesungguhnya Rasulullah saw telah menyebutkan sebab-sebab harapan dan kebanyakan daripadanya, supaya dapat mengobatkan serangan takut yang bersangatan, yang membawa kepada keputus-asaan atau salah satu dari hal-hal itu. Maka setiap apa yang dimaksudkan karena sesuatu hal, maka yang terpuji daripadanya, ialah: apa yang membawakan kepada yang dikehendaki dan yang dimaksudkan daripadanya. Dan apa yang menyingkatkan dari yang demikian atau melampauinya, maka itu tercela. Faedah takut, ialah: hati-hati, taqwa, mujahadah (bersungguh‑sungguh), ibadah, fikir, dzikir dan sebab-sebab yang lain, yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala. Dan setiap yang demikian, membawa kehidupan serta kesehatan badan dan kesejahteraan akal. Maka setiap apa yang mencederakan pada sebab-sebab tersebut, maka itu tercela. Maka jikalau anda mengatakan: siapa yang takut, lalu ia mati dari ketakutannya, maka orang itu syahid. Maka bagaimana ada keadaannya itu tercela ?. Maka ketahuilah, bahwa arti adanya ia syahid, ialah, bahwa: ia mempunyai tingkat, disebabkan kematiannya dari ketakutan. Ia tidak akan mencapai tingkat itu, jikalau ia mati pada waktu itu, tidak disebabkan ketakutan. Maka itu dikaitkan kepada yang demikian, adalah: keutamaan. Adapun dengan dikaitkan kepada ditakdirkan masih adanya dan panjang umurnya pada mentaati Allah dan menempuh jalan-jalanNya, maka tidaklah itu keutamaan. Bahkan, bagi orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala dengan jalan fikir (tafakkur), bersungguh‑sungguh dan mendaki pada tingkat-tingkat ma’rifah/mengenal Allah, pada setiap detik itu, mempunyai pangkat syahid dan syuhada’. Dan jikalau tidaklah ini, niscaya adalah pangkat anak kecil yang terbunuh atau orang gila yang diterkam binatang buas itu, lebih tinggi dari pangkat nabi atau wali yang meninggal begitu saja. Dan itu adalah mustahil. Maka tiada seyogyalah disangkakan itu. Akan tetapi, kebahagiaan yang paling utama, ialah panjang umur pada mentaati Allah Ta’ala. Maka setiap apa yang merusakkan umur atau akal atau kesehatan, yang menjadi kosong umur dengan pengrusakan itu, maka itu kerugian dan kekurangan, dengan dikaitkan kepada beberapa hal. Walaupun ada setengah bahagiannya itu keutamaan, dengan dikaitkan kepada hal-hal yang lain. Seperti naik saksi itu suatu keutamaan, dengan dikaitkan kepada yang kurang daripadanya. Tidak, dengan dikaitkan kepada derajat orang-orang muttaqin dan shiddiqin. Jadi, takut itu, jikalau tiada membekaskan pada amal, maka adanya itu seperti tidak adanya. Seperti cemeti yang tidak menambahkan pada geraknya binatang kendaraan. Dan jikalau membekas, maka baginya tingkat-tingkat menurut lahirnya kebekasannya. Jikalau takut itu tidak membawa, selain kepada ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik), yaitu: mencegah daripada yang dikehendaki nafsu syahwat, maka ia mempunyai tingkat. Maka apabila wara’ (menjaga diri) itu berbuah, niscaya itu lebih tinggi. Dan yang terjauh tingkatnya, ialah, bahwa membuahkan tingkat-tingkat orang shiddiqin. Yatu: bahwa: tercabut zahir dan batin daripada selain Allah Ta’ala. Sehingga, tiada tinggal bagi selain Allah Ta’ala, kelapangan padanya. Maka inilah yang terjauh (tingkat yang tertinggi) apa yang terpuji daripadanya. Dan yang demikian itu serta tetapnya sehat dan akal. Maka jikalau ini melampaui kepada hilangnya akal dan kesehatan, maka itu penyakit yang harus diobati, jikalau ia mampu. Dan jikalau itu terpuji, niscaya tidak wajib mengobatinya, dengan sebab-sebab harapan dan lainnya. Sehingga hilang. Dan karena itulah, Sahl ra mengatakan kepada murid-murid yang selalu melaparkan diri pada hari-hari yang banyak jumlahnya: “Jagalah akal-pikiranmu ! sesungguhnya Allah Ta’ala tiada mempunyai wali, yang kurang akal”.
PENJELASAN: bahagian-bahagian takut, dengan dikaitkan kepada apa yang ditakutkan.
Ketahuilah kiranya, bahwa takut itu tidak dapat diyakini, selain dengan menunggu yang tiada disukai. Dan yang tiada disukai itu, adakalanya dia itu tidak disukai pada dirinya sendiri (zatnya), seperti: api. Dan adakalanya dia itu tidak disukai, karena membawa kepada yang tidak disukai. Seperti perbuatan-perbuatan maksiat itu tidak disukai, karena ia membawa kepada yang tidak disukai di akhirat. Sebagaimana orang sakit tidak menyukai buah-buahan yang mendatangkan melarat, karena dibawanya kepada mati. Maka tidak boleh tidak, bagi setiap orang yang takut, bahwa mencontohkan pada dirinya, yang tidak disukai itu dari salah satu dua bahagian. Dan menguatkan penungguannya pada hatinya. Sehingga membakarkan hatinya, disebabkan dirasainya yang tidak disukainya itu.
Tingkat orang-orang yang takut itu berlainan, pada apa yang mengerasi atas hatinya, dari hal-hal yang tidak disukai, yang ditakuti. Maka orang-orang yang mengerasi atas hatinya, apa yang tidak dibencikan bagi zatnya, akan tetapi bagi lainnya, adalah seperti orang-orang yang mengerasi atas mereka, ketakutan kepada mati sebelum taubat. Atau ketakutan runtuhnya taubat dan mungkirnya janji. Atau ketakutan lemahnya kekuatan daripada menepati dengan kesempurnaan hak-hak Allah Ta’ala. Atau ketakutan hilangnya kehalusan hati dan bergantian dengan kekasaran. Atau ketakutan kepada kecenderungan dari istiqamah (kelurusan dan ketetapan pendirian). Atau ketakutan berkuasanya adat kebiasaan pada mengikuti nafsu syahwat yang dibinasakan. Atau ketakutan, bahwa ia dilesukan oleh Allah Ta’ala pada kebaikan-kebaikan, yang ia berpegang padanya dan yang menyukarkan pada hamba-hamba Allah. Atau ketakutan kepada kesombongan, disebabkan banyaknya nikmat Allah kepadanya. Atau ketakutan kepada kesibukan jauh dari Allah, dengan yang lain dari Allah. Atau ketakutan terperosok ke jalan yang salah, disebabkan berturut-turutnya kedatangan nikmat. Atau ketakutan tersingkapnya yang membahayakan ketaatannya, dimana nampak baginya dari Allah Ta’ala, apa yang tidak disangkakannya. Atau ketakutan terikutnya manusia padanya tentang umpatan, khianatan, tipuan dan menyembunyikan yang buruk. Atau ketakutan kepada apa yang tidak diketahuinya, bahwa itu akan datang pada sisa-sisa umurnya. Atau ketakutan tersegeranya siksaan di dunia dan tersiarnya sebelum mati. Atau ketakutan tertipu dengan keelokan-keelokan dunia. Atau ketakutan dilihat oleh Allah Ta’ala atas rahasianya pada keadaan kelalaiannya. Atau ketakutan kepada kesudahannya ketika mati, dengan kesudahan yang buruk (su-ul khatimah). Atau ketakutan kepada yang mendahului baginya, yang telah dahulu pada azali ( tida kesudahan / permulaan ). Maka ini semuanya adalah tempat takutnya orang-orang ‘arifin. Dan bagi setiap sesuatu itu mempunyai faedah khusus. Yaitu: menempuh jalan berhati-hati, dari apa yang membawa kepada yang menakutkannya. Maka siapa yang takut dikuasai oleh adat-kebiasaan, maka hendaklah ia membiasakan berpisah dari adat-kebiasaan. Dan orang yang takut dilihat oleh Allah Ta’ala akan rahasia batinnya itu, hendaknya bekerja mensucikan hatinya daripada waswas (bisikan setan). Dan begitulah pada bahagian-bahagian yang lain. Yang lebih keras segala ketakutan ini atas keyakinan, ialah: ketakutan buruk kesudahan (su-ul khatimah).
Sesungguhnya urusan padanya itu amat membahayakan. Yang paling tinggi dan yang paling menunjukkan dari bahagian-bahagian itu kepada kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), ialah: ketakutan bagi yang mendahului. Karena yang menyudahi (al-khatimah) itu mengikuti akan yang mendahului (as-sabiqah). Dan cabang yang bercabang dari yang mendahului itu diselang-selangi banyak sebab. Maka al-khatimah itu menampakkan apa yang telah terdahulu qodo’ (ketetapan Tuhan) dalam ummul-kitab (luh-mahfudh). Dan orang yang takut kepada al-khatimah, dikaitkan kepada orang yang takut kepada as-sabiqah, adalah seperti dua orang laki-laki, yang telah ditanda-tangani oleh raja terhadap dirinya. Mungkin bahwa pada tanda-tangan itu dipotong lehernya dan mungkin bahwa diserahkan kementrian kepadanya. Dan tanda tangan itu belum sampai kepada keduanya kemudian. Maka terikatlah hati salah seorang daripada keduanya, dengan keadaan sampainya dan tersiarnya tanda tangan itu. Dan sesungguhnya apa yang akan lahir ? dan yang seorang lagi, hatinya terikat dengan keadaan tanda tangan raja dan caranya. Dan apa yang terguris bagi raja, pada keadaan tanda tangan itu, belas-kasihan atau kemarahan. Dan ini adalah penolehan kepada sebab. Maka itu adalah lebih tinggi daripada penolehan kepada apa, yang menjadi cabang. Maka seperti demikianlah penolehan kepada ketetapan azali ( tida kesudahan / permulaan ) yang berlaku dengan ditanda-tanganinya Al-Qalam (pada Luh-mahfudh) itu lebih tinggi daripada penolehan kepada apa yang lahir pada yang abadi. Dan kepada itulah, diisyaratkan oleh Nabi saw, dimana beliau berada di atas mimbar. Lalu beliau menggenggam tapak tangannya yang kanan. Kemudian, beliau bersabda: “Ini Kitab Allah yang dituliskan padanya akan penduduk sorga dengan nama-nama mereka dan nama-nama bapak mereka. Tidak ditambahkan pada mereka dan tidak dikurangkan”. Kemudian, beliau menggenggamkan tapak tangannya yang kiri dan bersabda: “Ini Kitab Allah, yang dituliskan padanya akan penduduk neraka, dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Tidak ditambahkan pada mereka dan tidak dikurangkan. Dan hendaklah diperbuat oleh orang yang memperoleh kebahagiaan, dengan perbuatan orang yang memperoleh kecelakaan. Sehingga dikatakan, seakan-akan orang yang memperoleh kebahagiaan itu adalah dari orang-orang yang memperoleh kecelakaan. Bahkan mereka (orang-orang yang memperoleh kebahagiaan) itu, adalah mereka (orang-orang yang memperoleh kecelakaan). Kemudian, mereka itu dilepaskan oleh Allah, sebelum mati, walaupun lamanya, selama istirahat diantara dua kali perahan susu unta. Dan hendaklah diperbuat oleh orang yang memperoleh kecelakaan, dengan perbuatan orang yang memperoleh kebahagiaan. Sehingga dikatakan, seakan-akan orang yang memperoleh kecelakaan itu adalah dari orang-orang yang memperoleh kebahagiaan. Bahkan mereka (orang-orang yang memperoleh kecelakaan) itu, adalah mereka (orang-orang yang memperoleh kebahagiaan). Kemudian, mereka dikeluarkan oleh Allah sebelum mati, walaupun lamanya, selama istirahat diantara dua kali perahan susu unta. Orang yang berbahagia, ialah orang yang berbahagia dengan qodo’ (ketetapan) Allah. Dan orang yang celaka, ialah orang yang celaka dengan qodo’ Allah. Dan semua amal perbuatan itu dipandang kepada kesudahan (al-khatimah)nya”.
Dan ini adalah seperti terbaginya orang-orang yang takut, kepada: orang yang takut akan perbuatan maksiatnya dan penganiayaannya. Dan kepada: orang yang takut akan Allah Ta’ala sendiri, karena sifatNya dan keagunganNya. Dan sifat-sifatNya –sudah pasti –yang menghendaki akan ketakutan dari hambaNya. Maka inilah tingkat yang tertinggi. Dan karena itulah, berkekalan takut kepadaNya, walaupun adanya pada ketaatan orang-orang shiddiqin. Adapun yang lain (takut kepada perbuatan maksiat), maka takut itu dalam halaman keterpedayaan dan keamanan, jika ia rajin mengerjakan amalan taat. Maka takut dari perbuatan maksiat itu takut orang-orang shalih. Dan takut kepada Allah itu takut orang-orang yang berkeesaan (al-muwahhidin) dan orang-orang shiddiqin (benar). Dan itu adalah buah ma’rifah ( ilmu mengenal Allah Ta’ala ) kepada Allah Ta’ala. Setiap orang yang mengenal Allah dan mengenal sifat-sifatNya, niscaya ia tahu dari sifat-sifatNya, akan apa yang layak untuk ditakutkan, tanpa penganiayaan kepada diri. Bahkan orang yang berbuat maksiat, jikalau ia benar-benar mengenal Allah, niscaya ia takut kepada Allah. Dan ia tidak takut akan perbuatan maksiat kepadaNya. Jikalau tidaklah Dia itu mempertakutkan kepada diriNya, niscaya tidak dijadikanNya akan hambaNya berbuat maksiat. dipermudahkanNya jalan maksiat kepada hamba itu. DisediakanNya sebab-sebab maksiat. Maka sesungguh nya pemudahan sebab-sebab maksiat itu penjauhan daripadaNya. Dan tidak terdahulu daripada sebelum maksiat itu, akan suatu kemaksiatan, yang berhak untuk dipermudahkan bagi kemaksiatan. Dan berlaku atasnya sebab-sebab maksiat. Dan tiada terdahulu sebelum amal taat itu, jalan, yang menjadi jalan dengan taat itu bagi orang, yang akan memudahkan bagiNya ketaatan. Dan menyediakan baginya jalan kedekatan kepada Allah Ta’ala. Maka orang yang maksiat itu telah ditakdirkan qodo’ Tuhan atas dirinya, ia mau atau tidak. Dan begitupula orang yang mengerjakan taat. Maka yang mengangkatkan Muhammad saw ke tingkat yang paling tinggi (a’la-‘illiyyin), tanpa jalan perantaraan (wasilah), yang mendahului daripadanya, sebelum adanya dan yang merendahkan Abu Jahal pada tingkat yang paling rendah, tanpa penganiayaan, yang mendahului daripadanya, sebelum adanya itu, layak untuk ditakutkan kepadaNya, karena sifat keagungan Nya. Maka sesungguhnya siapa yang mentaati Allah, niscaya ia mentaati, dengan berkuasa ke atas dirinya Kemauan (kehendak) taat. Dan Ia mendatangkan kepadanya akan kesanggupan (qudrah / kuasa ). Dan sesudah penciptaan Kemauan (kehendak) yang mantap dan qudrah ( kuasa ) (kesanggupan) yang sempurna, niscaya jadilah perbuatan itu mudah. Dan orang yang berbuat maksiat itu berbuat maksiat, karena telah dikerasi atas dirinya, kehendak yang kuat dan mantap. Dan didatangkan kepadanya sebab-sebab dan kemampuan. Maka adalah perbuatan, sesudah Kemauan dan qudrah ( kuasa ) itu mudah. Maka demi kiranya, apakah yang mengharuskan pemuliaan ini dan pengkhususannya, dengan penguasaan kehendak taat atas dirinya ? dan apakah yang mengharuskan penghinaan akan yang lain dan penjauhannya, disebabkan dengan penguasaan pengajak-pengajak kemaksiatan ke atas dirinya ? dan bagaimana diperlukan yang demikian atas hamba ? dan apabila perlakuan itu kembali ke qadla-azali (ketetapan yg kekal), tanpa penganiayaan dan wasilah, maka ketakutan kepada Yang Mengqadla’kan/menetapkan dengan apa kehendakNya dan menghukum dengan apa kemauanNya itu, adalah suatu kekokohan pikiran pada setiap orang yang berakal. Dan di sebalik arti ini adalah rahasia qadar (taqdir), yang tidak diperbolehkan penyiarannya.
Dan tidak mungkin memahami takut itu mengenai sifat-sifat Allah Jalla Jalaluh, selain dengan contoh. Jikalau tidaklah keizinan syara’ (agama), niscaya tidaklah berani orang yang mempunyai mata hati menyebutkannya. Sesungguhnya telah datang pada hadits, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud ! takutlah kepadaKu, sebagaimana engkau takut kepada binatang buas, yang ganas”. Contoh ini, memberi pemahaman kepada engkau, akan hasil pengertiannya. Walaupun tidak memberi pengertian kepada engkau akan sebabnya. Sesungguhnya pengertian atas sebabnya itu adalah pengertian akan rahasia qadar (taqdir). Dan tidak tersingkap yang demikian, selain bagi ahlinya. Walhasil, bahwa binatang buas itu ditakuti, tidak karena penganiayaan yang telah mendahului kepada engkau daripadanya. Akan tetapi, karena sifatnya, serangannya, kekerasannya, kesombongannya dan kehebatannya. Dan karena ia berbuat, akan apa yang diperbuatnya. Dan ia tidak ambil pusing. Jikalau ia membunuh engkau, niscaya hatinya tidak menaruh kasihan. Dan ia tidak merasa pedih, dengan membunuh engkau itu. Dan jikalau ia melepaskan engkau, maka tidak dilepaskannya engkau karena kasih-sayang kepada engkau. Dan karena mengekalkan nyawa engkau. Akan engkau pada sisi binatang buas itu lebih keji, daripada ia menoleh kepada engkau. Hidup engkau atau mati. Bahkan, pembinasaan 1000 orang seperti engkau dan pembinasaan seekor semut pada binatang buas itu, adalah sama saja. Karena tidak mencederakan yang demikian itu pada alam kebuasannya dan apa yang ia disifatkan, dari kemampuan dan kekerasannya. Dan bagi Allah itu contoh yang tertinggi (al-matsa-lul-a’laa). Akan tetapi, siapa yang mengenal akan Allah, niscaya ia mengenal dengan penyaksian batiniyah, yang lebih kuat, lebih terpercaya dan yang lebih jelas, daripada penyaksian zahiriyah. Sesungguhnya Ia Maha Benar pada firmanNya: “Mereka itu ke sorga dan Aku tiada perdulikan. Dan mereka itu ke neraka dan Aku tiada perdulikan”. Dan memadailah bagi engkau, daripada yang mewajibkan kehebatan dan ketakutan, ialah: ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), dengan al-istighna’ (Allah tidak memerlukan kepada makhluk) dan tidak memperdulikan.
TINGKAT KEDUA dari orang-orang yang takut, ialah, bahwa ia mencontohkan pada dirinya, akan apa yang tidak disukai. Dan yang demikian itu, seperti: sakaratul-maut dan kesangatannya. Atau pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Atau azab kubur. Atau huru-hara hari kebangkitan dari kubur. Atau kehebatan tempat perhentian di hadapan Allah Ta’ala, malu terbuka yang tertutup, pertanyaan di tempat perhentian itu dari hal yang sedikit dan yang halus. Atau takut dari titian (ash-shiratul-mustaqim), ketajamannya dan bagaimana melaluinya. Atau takut dari neraka, belenggunya dan kehuru-haraannya. Atau takut dari tidak memperoleh sorga negeri kenikmatan dan kerajaan tempat tinggal dan dari kekurangan tingkat-tingkatnya. Atau takut dari terdinding (terhijab) dari Allah Ta’ala. Semua sebab-sebab tersebut itu tidak disukai pada sebab-sebab itu sendiri. Maka dia itu –sudah pasti –menakutkan. Dan berbeda hal-keadaan orang-orang yang takut padanya. Dan tingkat yang paling tinggi dari sebab-sebab takut itu, ialah: takut terpisah dan terhijab daripada Allah Ta’ala. Yaitu: takut orang-orang ‘arifin. Dan sebelumnya itu, ialah: takut orang-orang yang berbuat amal (‘amilin), orang-orang shalih, orang-orang zahid dan alam selengkapnya.
Dan siapa yang tidak sempurna ma’rifahnya dan tidak terbuka mata hatinya, niscaya ia tidak merasakan kelezatan hubungan (dengan Allah Ta’ala). Dan tidak merasakan kepedihan jauh dan berpisah. Dan apabila disebutkan kepada orang tadi, bahwa orang yang berma’rifah itu (orang ‘arifin), tidak takut kepada neraka dan yang ia takut sesungguhnya, hijab (terdinding), niscaya orang tadi mendapatkan yang demikian itu pada batinnya melawan. Dan ia merasa heran yang demikian pada dirinya. Kadang-kadang ia ingkari akan kelezatan memandang kepada Wajah Allah Yang Maha Pemurah. Dan jikalau tidaklah ia dilarang agama mengingkarinya, maka adalah pengakuannya dengan lidah itu dari karena paksaan taklid (ikut-ikutan). Kalau tidak, maka batinnya tidak membenarkan nya. Karena ia tidak mengenal, selain kelezatan perut, kemaluan dan mata, dengan memandang kepada warna-warni dan muka-muka yang cantik.
Kesimpulannya, bahwa setiap kelezatan itu berkongsi padanya binatang-binatang. Adapun kelezatan orang-orang ‘arifin, maka tidak didapati, selain oleh mereka. Penguraian dan pembentangan yang demikian itu tidak diperbolehkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dan orang yang menjadi ahlinya, ia dapat melihat sendiri dan tidak memerlukan diuraikan oleh orang lain. Maka kepada bahagian-bahagian inilah, kembalinya ketakutan orang-orang yang takut. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan baiknya taufiq dengan kemurahanNya.               
PENJELASAN: keutamaan takut dan penggalakan kepada takut.
Ketahuilah, bahwa kelebihan takut itu, sekali diketahui, dengan pemerhatian dan i’tibar/ibarat. Dan pada kali yang lain, dengan ayat-ayat dan hadits-hadits. Adapun i’tibar/ibarat, maka jalannya, ialah bahwa: keutamaan sesuatu itu menurut kadar kesanggupannya membawa kepada kebahagiaan bertemu dengan Allah Ta’ala di akhirat. Karena tiadalah yang dimaksudkan, selain kebahagiaan itu. Dan tiada kebahagiaan bagi hamba, selain pada menemui Tuhannya dan berdekatan kepadaNya. Maka setiap apa yang menolong kepada yang demikian, maka baginya keutamaan. Dan keutamaannya itu menurut kadar tujuannya. Dan telah jelas, bahwa tiada sampai kepada kebahagiaan bertemu dengan Allah di akhirat, selain dengan memperoleh kasih-sayangNya. Dan jinak hati kepadaNya di dunia. Dan kasih sayang itu tiada akan berhasil, selain dengan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu tiada akan berhasil, selain dengan terus-menerus berfikir (tafakkur). Dan kejinakan hati itu, tiada akan berhasil, selain dengan kasih-sayang dan keterus-menerusan berdzikir. Dan tiada mudah kerajinan kepada dzikir dan fikir, selain dengan memutuskan kecintaan dunia dari hati. Dan yang demikian itu tiada akan terputus, selain dengan meninggalkan kelezatan dunia dan hawa nafsunya. Dan tidak mungkin meninggalkan yang menjadi hawa nafsu itu, selain dengan mencegah nafsu syahwat. Dan nafsu syahwat itu tidak tercegah dengan sesuatu, seperti tidak tercegahnya dengan api ketakutan. Maka takut itu, ialah: api yang membakar nafsu syahwat. Maka keutamaannya takut itu, menurut kadar yang membakarkan nafsu syahwat. Dan menurut kadar yang mencegah perbuatan-perbuatan maksiat dan yang menggerak kan kepada perbuatan-perbuatan taat. Dan yang demikian itu berbeda, dengan berbedanya tingkat-tingkat takut, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan bagaimana takut itu tidak mempunyai keutamaan ? dengan takut itu, berhasil ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik), wara’ (menjaga diri), taqwa dan mujahadah (bersungguh‑sungguh). Dan itu adalah amal perbuatan yang terpuji, yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala.
Adapun dengan jalan pengutipan dari ayat-ayat dan hadits-hadits maka apa yang datang tentang keutamaan itu, diluar dari hinggaan. Dan cukuplah bagi anda menjadi dalil tentang keutamaannya, bahwa Allah Ta’ala mengumpulkan bagi orang-orang yang takut, akan: petunjuk, rahmat, ilmu dan ridha. Dan itu adalah kumpulan tingkat-tingkat isi sorga. Allah Ta’ala berfirman: “Petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya”. S 7 Al A’raaf ayat 154. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya ialah: orang-orang yang berilmu (ulama)’. S 35 Faathir ayat 28. Allah menyifatkan mereka dengan ilmu, bagi ketakutan mereka. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Allah ridha (senang) kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Setiap apa yang menunjukkan kepada keutamaan ilmu itu menunjukkan kepada keutamaan takut. Karena takut itu buah ilmu. Dan karena itulah, tersebut pada ucapan Musa as: “Adapun orang-orang yang takut, maka bagi mereka itu, Teman Yang Maha Tinggi (Ar-Rafiqul-a’la), yang tiada bersekutu mereka dengan orang lain”. Maka perhatikanlah, bagaimana Musa as menyendirikan mereka dengan penemanan Ar-Rafiqul-a’la ? dan yang demikian itu, karena mereka itu orang-orang yang berilmu (ulama). Dan ulama itu mempunyai tingkat penemanan dengan nabi-nabi. Karena para ulama itu pewaris nabi-nabi. Dan penemanan Ar-Rafiqul-a’la itu bagi para nabi dan orang-orang yang berhubungan (mengikuti) dengan mereka. Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw disuruh pilih pada waktu sakitnya yang membawa kepada wafatnya, antara tetap di dunia dan datang kepada Allah Ta’ala, adalah ia bersabda: “Aku bermohon akan Engkau, wahai Ar-Rafiqul-a’la”. Jadi, kalau dilihat kepada yang membuahkan takut itu, maka yaitu: ilmu. Dan kalau dilihat kepada buahnya, maka yaitu: wara’ (menjaga diri) dan taqwa. Dan tiada tersembunyi, apa yang telah datang pada hadits, tentang keutamaan keduanya. Sehingga al-‘aqibah (kesudahan yang baik) itu menjadi dinamakan, dengan: taqwa, yang dikhususkan dengan taqwa itu. Sebagaimana jadinya al-hamdu itu, dikhususkan dengan Allah Ta’ala dan selawat kepada Rasulullah saw. Sehingga dikatakan: “Segala pujian (al-hamdu) bagi Allah Tuhan semesta alam. Dan akibat kesudahan yang baik (al-‘aqibah) bagi orang-orang yang taqwa dan selawat (ash-shalaatu) kepada penghulu kita Muhammad saw dan kepada keluarganya sekalian”. Allah Ta’ala telah mengkhususkan taqwa dikaitkan kepada diriNya. Ia berfirman: “Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Allah. Akan tetapi, yang sampai kepadaNya, ialah: taqwa daripada kamu”. S 22 Al Hajj ayat 37.
 Sesungguhnya taqwa itu ibarat daripada pencegahan dari perbuatan yang tidak baik, menurut yang dikehendaki oleh takut, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu pada sisi Allah, ialah yang lebih bertaqwa dari kamu”. S49 Al Hujuraat ayat13. Dan karena itulah, Allah Ta’ala mewasiatkan (memerintahkan) kepada orang-orang yang dahulu dan orang-orang yang kemudian, dengan: taqwa. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami wasiatkan (perintahkan) kepada orang-orang yang telah diberi Kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu, supaya kamu bertaqwa kepada Allah”. S 4 An Nisaa’ ayat 131. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan takutilah kepadaKu, kalau kamu betul orang-orang yang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 175. Maka Allah menyuruhkan dengan: takut, mewajibkannya dan mensyaratkannya pada: iman. Maka karena itulah, tiada tergambar, bahwa orang mu’min itu terlepas dari: takut, walaupun lemah. Dan adalah kelemahan takutnya itu menurut kelemahan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya dan imannya.
Rasulullah saw bersabda tentang keutamaan taqwa: “Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang dahulu dan orang-orang yang kemudian pada suatu tempat di hari yang dima’lumi, maka tiba-tiba mereka mendengar suara, yang dapat memperdengarkan kepada yang paling jauh dari mereka, sebagaimana dapat memperdengarkan kepada yang paling dekat dari mereka. Maka suara itu berkata: “Hai manusia ! sesungguhnya Aku telah Aku diam bagimu, semenjak Aku jadikan kamu, sampai kepada harimu ini. Maka diamlah kepadaKu hari ini ! sesungguhnya amal kamu dikembalikan kepada kamu. Hai manusia ! sesungguhnya Aku telah menciptakan bangsa (nasab) dan kamu telah menciptakan bangsa. Maka kamu rendahkan nasab/bangsaKu dan kamu tinggikan nasab/bangsamu. Aku berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu pada sisi Allah, ialah yang lebih bertaqwa dari kamu”. Dan kamu enggan, selain mengatakan: “Anu anak si Anu. Si Anu lebih kaya dari si Anu”. Maka pada hari ini, Aku rendahkan nasabmu dan Aku tinggikan nasabKu. Mana orang-orang yang bertaqwa ? maka diangkatkan bendera bagi suatu kaum, lalu kaum (golongan) itu membawa benderanya ke tempatnya. Maka mereka itu masuk sorga, tanpa hisab (perhitungan amal)”. Nabi saw bersabda: “Puncak hikmah itu takut kepada Allah”. Nabi saw berkata kepada Ibnu Mas’ud: “Kalau engkau bermaksud bertemu dengan aku, maka banyakkanlah takut sesudahku”.
Al-Fudlail berkata: “Siapa yang takut akan Allah, niscaya ketakutan itu menunjukkannya atas setiap kebajikan”. Asy-Syibli ra berkata: “Pada suatu hari aku takut akan Allah, lalu aku melihat bagi ketakutan itu suatu pintu dari hikmah dan ibarat, yang tidak pernah sekali-kali aku melihatnya”.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Seorang mu’min yang mengerjakan kejahatan itu, akan dihubungi oleh dua kebaikan: takut siksaan dan harap kemaafan, seperti: serigala diantara dua ekor singa”. Tersebut pada ucapan Musa as: “Adapun orang-orang wara’ (menjaga diri): maka sesungguhnya tiada tinggal seorangpun, melainkan aku bertengkar dengan dia tentang hitungan amalnya dan aku periksakan apa yang dalam dua tangannya, selain orang-orang yang wara’ (menjaga diri). Maka sesungguhnya aku malu kepada mereka. Dan aku muliakan mereka, bahwa aku suruh mereka berhenti untuk hitungan amalnya (hisab)”.
Wara’ (menjaga diri) dan taqwa itu nama-nama yang dipetik dari beberapa arti, yang persyaratannya itu: takut. Maka jikalau kosong dari takut, niscaya tidak dinamakan dengan nama-nama tersebut. Begitu juga apa yang tersebut tentang keutamaan dzikir itu tidak tersembunyi. Dan sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah akan dzikir itu, dikhususkan kepada orang-orang yang takut. Allah Ta’ala berfirman: “Nanti peringatan (dzikir) itu, akan diterima oleh orang yang takut (kepada Allah)”. S 87 Al A’laa ayat 10. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang takut terhadap waktu berdiri dihadapan Tuhannya, dia mempunyai dua sorga (taman)”. S 55 Ar Rahmaan ayat 46. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Demi kemuliaanKu ! tiada Aku kumpulkan atas hambaKu dua ketakutan. Dan tiada Aku kumpulkan baginya dua keamanan. Maka jikalau ia merasa aman kepadaKu di dunia, niscaya Aku pertakutkannya pada hari kiamat. Dan jikalau ia takut kepadaKu di dunia, niscaya Aku amankan dia di hari kiamat”.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang takut kepada Allah Ta’ala, niscaya tiap sesuatu akan takut kepadanya. Dan siapa yang takut akan selain Allah, niscaya ia dipertakutkan oleh Allah dari setiap sesuatu”. Nabi saw bersabda: “Yang paling sempurna akal dari kamu, ialah yang sangat takut kepada Allah Ta’ala daripada kamu, yang paling baik pandangannya dari kamu, pada apa yang disuruh oleh Allah Ta’ala dan yang dilarangnya”.
Yahya bin Ma’adz ra berkata: “Kasihan anak Adam ! jikalau ia takut akan neraka, sebagaimana ia takut akan kemiskinan, niscaya ia masuk sorga”. Dzun-Nun ra berkata: “Siapa yang takut kepada Allah Ta’ala, niscaya halus hatinya, bersangatan cintanya kepada Allah dan benar akalnya”. Dzun-Nun ra berkata pula: “Seyogyalah takut itu lebih keras dari harap. Apabila harap yang keras, niscaya kacaulah hati”.
Abul-Husain Adl-Dlurair berkata: “Tanda kebahagiaan itu takut kecelakaan. Karena takut itu kekang diantara Allah Ta’ala dan hambaNya. Maka jikalau kekang itu terputus, niscaya hamba itu binasa bersama orang-orang yang binasa”. Ditanyakan kepada Yahya bin Ma’adz: “Siapakah diantara makhluk yang paling aman besok ?”. Yahya bin Ma’adz menjawab: “Yang paling takut diantara mereka pada hari ini”.
Sahl ra berkata: “Engkau tidak memperoleh takut, sebelum engkau makan yang halal”. Ditanyakan kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! apa yang kami perbuat ? kami duduk-duduk dengan golongan-golongan yang mempertakutkan kami, sehingga hampir hati kami terbang”. Al-hasan menjawab: “Demi Allah ! sesungguhnya jikalau engkau bercampur-baur dengan golongan-golongan yang mempertakutkan engkau, sehingga engkau memperoleh aman, adalah lebih baik bagi engkau daripada engkau berteman dengan golongan-golongan yang memperamankan engkau, sehingga engkau memperoleh ketakutan”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Tiadalah takut itu bercerai dari hati, melainkan hati itu roboh”. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulullah: “Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya, dengan hatinya yang takut (kepada Tuhan)”. S 23 Al Mukminuun ayat 60, itukah orang yang mencuri dan berzina ?”. Nabi saw menjawab: “Tidak ! akan tetapi, orang yang berpuasa, mengerjakan shalat, bersedekah dan takut bahwa tidak diterima daripadanya”.
Pengerasan-pengerasan yang datang dari hadits mengenai keamanan dari cobaan dan azab Allah itu tiada terhingga banyaknya. Dan setiap yang demikian itu adalah pujian kepada takut. Karena celaan akan sesuatu itu adalah pujian akan lawannya, yang menidakkannya. Dan lawan takut itu aman. Sebagaimana lawan harap itu putus asa. Dan sebagaimana ditunjukkan oleh celaan akan putus asa, kepada kelebihan harap, maka seperti demikian juga, celaan akan aman itu menunjukkan kepada kelebihan takut yang berlawanan dengan dia. Bahkan, kami mengatakan, bahwa: setiap apa yang datang dari hadits, tentang kelebihan harap, maka itu menunjukkan atas kelebihan takut. Karena keduanya itu harus-mengharuskan. Maka sesungguhnya setiap orang yang mengharap akan kekasihnya, maka tak boleh tidak, bahwa ia takut akan hilangnya. Maka jikalau ia tidak takut akan hilangnya, niscaya ia tidak mencintainya. Maka ia tidak mengharap untuk menungguinya. Maka takut dan harap itu harus-mengharuskan. Mustahil terlepas salah satu daripada keduanya dari lainnya. Ya, boleh bahwa yang satu dari keduanya itu mengalahkan yang lain. Dan keduanya itu berkumpul. Dan boleh bahwa hati sibuk dengan salah satu dari keduanya. Dan hati itu tidak menoleh kepada yang lain seketika. Karena kelengahannya daripadanya. Dan ini, karena diantara persyaratan harap dan takut itu, menyangkut keduanya, dengan apa yang diragukan padanya. Karena yang diketahui itu tidak diharapkan dan tidak ditakutkan. Jadi, yang dicintai –sudah pasti –yang boleh adanya itu, boleh tiadanya. Maka mentakdirkan adanya itu menyenangkan akan hati. Dan itulah: harap. Dan mentakdirkan tiadanya itu menyakitkan hati. Dan itulah: takut. Dua pentakdiran yang berlawanan –sudah pasti –apabila keadaan yang ditunggukan itu diragukan. Ya, salah satu dari dua tepi keraguan itu kadang-kadang lebih kuat dari lainnya, dengan adanya sebahagian sebab-sebab. Dan yang demikian itu, dinamakan: sangkaan (dhann).
Maka adalah yang demikian itu sebab menangnya yang satu dari keduanya atas lainnya. Maka apabila telah keras sangkaan akan adanya yang dicintai, niscaya kuatlah harap dan tersembunyilah takut, dengan dikaitkan kepadanya. Dan begitupula sebaliknya. Dan di atas setiap keadaan, maka keduanya itu harus-mengharuskan. Dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka berdoa kepada Kami dengan pengharapan dan perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 90. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan yang penuh ketakutan dan pengharapan”. S 32 As Sajdah ayat 16.
Dan karena itulah, orang Arab mengibaratkan dengan takut itu: harap. Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa kamu tidak mengharapkan kebesaran Allah ?”, artinya: kamu tidak takut. S 71 Nuh ayat 13. Dan kebanyakan apa yang tersebut dalam Alquran, bahwa harap itu, dengan arti: takut. Dan yang demikian, karena antara keduanya harus-mengharuskan. Karena kebiasaan orang Arab itu mengibaratkan dari sesuatu, dengan apa yang ada harus-mengharuskan daripadanya. Bahkan, aku mengatakan, bahwa setiap apa yang datang dalam hadits, tentang keutamaan menangis dari karena ketakutan kepada Allah, maka itu melahirkan bagi keutamaan takut. Maka sesungguhnya tangis itu buah ketakutan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka hendaklah mereka itu tertawa sedikit dan hendaklah menangis banyak !”. S 9 At Taubah ayat 82. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu menangis dan Alquran itu menambahkan kekhusyuan hati mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 109. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini ? dan kamu akan tertawa dan tiada menangis ? dan kamu tiada memperhatikannya ?”. S 53 An Najm ayat 59-60-61.
Nabi saw bersabda: “Tiadalah dari hamba yang beriman, yang keluar dari dua matanya akan air mata, walaupun seperti kepala lalar, dari karena takut kepada Allah Ta’ala, kemudian air mata itu mengenai sesuatu dari panas mukanya, selain ia diharamkan oleh Allah dari api neraka”. Nabi saw bersabda: “Apabila gementar hati orang mu’min dari karena takut kepada Allah, niscaya bergugurlah daripadanya dosanya, sebagaimana berguguran dari pohon kayu daunnya”. Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk neraka, seseorang yang menangis dari karena takut kepada Allah Ta’ala, sehingga kembalilah air susu dalam tempatnya semula”.
Uqbah bin ‘Amir bertanya: “Apa itu kelepasan, ya Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Tahanlah lidahmu atas dirimu ! dan hendaklah melapangkan akan kamu oleh rumahmu ! dan menangislah atas kesalahanmu !”.
‘Aisyah berkata: “Aku bertanya: ya Rasulullah ! adakah seseorang dari umatmu itu masuk sorga tanpa hisab (perhitungan amal) ?”. Nabi saw menjawab: “Ada, yaitu: siapa yang mengingati akan dosanya, lalu ia menangis”. Nabi saw bersabda: “Tiada satu tetaspun yang lebih disukai oleh Allah Ta’ala, daripada setetes air mata dari karena takut kepada Allah Ta’ala atau setetes darah yang ditumpahkan pada sabilillah swt”.
Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku dua mata yang bercucuran airnya, yang menyembuhkan hati, dengan mengalirnya air mata, sebelum air mata itu menjadi darah dan gigi geraham itu menjadi bara api”. Nabi saw bersabda: “7 macam manusia akan dilindungi oleh Allah, pada hari yang tiada lindungan, selain lindunganNya”. Lalu Rasulullah saw menyebutkan dari mereka itu, seorang laki-laki yang mengingati (berdzikir) kepada Allah pada tempat yang sunyi. Lalu bercucuranlah kedua matanya dengan air mata.
Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Barangsiapa sanggup menangis, maka hendaklah menangis ! dan barangsiapa yang tiada sanggup, maka hendaklah ia membuat-buat menangis !”. Adalah Muhammad bin Al-Munkadir ra apabila ia menangis, niscaya ia menyapu mukanya dan janggutnya dengan air matanya. Dan mengatakan: “Sampai kepadaku berita, bahwa neraka tidak akan memakan tempat, yang disentuh oleh air mata”.
Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra berkata: “Menangislah ! maka jikalau engkau tidak menangis, maka buat-buatlah menangis itu ! maka demi Allah yang nyawaku di TanganNya, jikalau tahulah seseorang kamu dengan sebenar-benarnya tahu, niscaya ia memekik, sehingga habis suaranya. Dan ia mengerjakan shalat, sehingga pecah tulang pinggangnya”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Tiadalah pulang-pergi mata itu dengan airnya, melainkan tiada akan menganiaya muka yang punya mata itu, oleh kesempitan dan kehinaan pada hari kiamat. Maka jikalau mengalirkan air matanya, niscaya dipadamkan oleh Allah dengan tetesan yang pertama daripadanya, akan uap dari api neraka. Dan jikalau seorang laki-laki menangis pada suatu umat, niscaya tiada akan diazabkan umat itu”.
Abu Sulaiman berkata: “Menangis itu dari takut. Harap dan sukacita itu dari kerinduan”. Ka’bul Ahbar ra berkata:“Demi Allah yang nyawaku di TanganNya! aku menangis dari karena takut kepada Allah, sehingga mengalirnya air mataku, atas pipiku, adalah lebih aku sukai, daripada aku bersedekah dengan sebuah bukit dari emas”.
Abdullah bin Umar ra berkata: “Bahwa aku mengeluarkan air mata, dari karena takut kepada Allah adalah lebih aku sukai, daripada aku bersedekah dengan 1000 dinar”. Diriwayatkan dari Handhalah, yang mengatakan: “Adalah kami di sisi Rasulullah saw. Lalu beliau memberi pengajaran kepada kami, dengan pengajaran yang menghaluskan hati, mencurahkan air mata dan memperkenalkan akan kami diri kami. Lalu, aku kembali kepada keluargaku. Maka mendekatilah kepadaku seorang wanita. Dan berlakulah diantara kami pembicaraan dunia. Maka aku lupa, apa yang kami berada padanya, di sisi Rasulullah saw. Dan kami masuk dalam urusan duniawi. Kemudian, aku teringat apa yang kami berada padanya. Maka aku mengatakan pada diriku: “Aku telah menjadi munafik, dimana menyeleweng daripadaku, apa yang aku berada padanya, dari ketakutan dan kehalusan hati. Maka aku keluar, lalu aku serukan: Telah menjadi munafik Handhalah ! lalu Abubakar Ash-Shiddiq berhadapan dengan aku, maka beliau mengatakan: “Tidak ! tidaklah Handhalah itu munafik !”. Maka aku masuk ke tempat Rasulullah saw dan aku mengatakan: Telah menjadi munafik Handhalah. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Tidak ! tidaklah Handhalah itu munafik”. Maka aku menjawab: “Ya Rasulullah ! kami berada di sisi engkau. Lalu engkau memberi pengajaran kepada kami, suatu pengajaran yang menakutkan hati, mencucurkan air mata dan kami mengenal akan diri kami. Lalu aku kembali kepada keluargaku. Maka aku masuk membicarakan hal dunia. Dan aku lupa, apa yang ada kami padanya, di sisi engkau”. Maka Nabi saw menjawab: “Hai Handhalah ! jikalau adalah kamu selalu di atas keadaan yang demikian, niscaya akan berpegang tangan dengan kamu, para malaikat di jalan-jalan dan di atas tempat tidurmu. Akan tetapi, hai Handhalah, sesaat dan sesaat”. Jadi, setiap apa yang telah datang pada hadits, tentang kelebihan harap dan menangis, kelebihan taqwa dan wara’ (menjaga diri), kelebihan ilmu dan celaan aman, maka itu menunjukkan kepada kelebihan takut. Karena sejumlah yang demikian itu menyangkut dengan takut. Adakalanya sangkutan sebab, atau sangkutan musabbab (akibat dari sebab).
PENJELASAN: bahwa yang lebih utama, ialah: kerasnya ketakutan atau kerasnya harapan atau keduanya sedang.
Ketahuilah kiranya, bahwa hadits-hadits tentang kelebihan takut dan harap itu sungguh banyak. Kadang-kadang yang memperhatikan, memandang kepada keduanya, lalu diliputi oleh keraguan, tentang yang mana yang lebih utama daripada keduanya. Kata yang mengatakan, takutkah yang lebih utama atau harap, itu pertanyaan yang tidak betul. Menyerupai dengan kata yang mengatakan: rotikah yang lebih utama atau air. Jawabnya, bahwa dikatakan: roti lebih utama bagi orang yang lapar. Dan air lebih utama bagi orang yang haus. Kalau keduanya berkumpul, niscaya dilihat kepada yang lebih keras. Maka jikalau lapar yang lebih keras, maka roti yang lebih utama. Dan jikalau haus yang lebih keras, maka air yang lebih utama. Dan kalau keduanya sama, maka keduanya pun sama. Dan ini, karena setiap apa yang dimaksudkan bagi sesuatu maksud, maka kelebihannya itu jelas, dengan dikaitkan kepada maksudnya. Tidak kepada dirinya. Takut dan harap itu dua macam obat, yang dengan keduanya itu, diobati hati. Maka kelebihan keduanya itu menurut penyakit yang ada. Jikalau yang keras atas hati itu penyakit aman dari siksaan Allah Ta’ala dan tertipu diri, maka takutlah yang lebih utama. Dan jikalau yang lebih keras, ialah putus asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang lebih utama. Dan seperti yang demikian, jikalau adalah yang keras atas hamba itu kemaksiatan, maka takutlah yang lebih utama. Dan bolehlah dikatakan secara mutlak, bahwa takut itu yang lebih utama, atas penafsiran yang dikatakan padanya: bahwa roti itu lebih utama dari sakanjabin. Karena diobati dengan roti itu penyakit lapar. Dan diobati dengan sakanjabin, penyakit kuning. Dan penyakit lapar itu lebih keras dan lebih banyak. Maka keperluan kepada roti itu lebih banyak. Maka rotilah yang lebih utama. Maka dengan ibarat ini, kekerasan takut itu lebih utama. Karena perbuatan maksiat dan tertipu diri di atas manusia itu, lebih keras.
 Dan jikalau ditilik kepada tempat terbitnya takut dan harap, maka harap itu lebih utama. Karena, ia mendapat siraman dari lautan rahmat. Dan siraman takut itu dari lautan marah. Dan siapa yang memperhatikan dari sifat-sifat Allah Ta’ala, akan apa yang menghendaki kasih sayang dan rahmat, niscaya kasih-sayang ke atas dirinya adalah lebih keras. Dan tiadalah di sebalik kasih sayang itu tingkat. Adapun takut, maka tempat saudaranya, ialah menoleh kepada sifat-sifat yang menghendaki kekerasan. Maka ia tidak dicampuri oleh kasih-sayang, sebagaimana turut campurnya bagi harap. Kesimpulannya, maka apa yang dikehendaki bagi yang lain, seyogyalah bahwa dipakaikan padanya, perkataan “lebih patut”. Tidak perkataan “lebih utama”. Maka kami katakan, bahwa kebanyakan manusia, takut bagi mereka, lebih patut dari harap. Dan yang demikian itu, karena banyaknya perbuatan-perbuatan maksiat.
Adapun orang yang taqwa yang meninggalkan dosa zahir dan batinnya, dosa yang tersembunyi dan terangnya, maka yang lebih benar, bahwa sedanglah takutnya dan harapnya. Dan karena demikianlah, dikatakan: “Jikalau ditimbang ketakutan orang mu’min dan harapannya, niscaya keduanya seimbang. Dan diriwayatkan, bahwa Ali ra mengatakan kepada sebahagian anaknya: “Hai anakku ! takutlah akan Allah, dengan takut, bahwa engkau melihat, jikalau engkau bawa kepada Allah segala kebaikan penduduk bumi, niscaya tidak diterimaNya dari engkau. Dan haraplah kepada Allah, dengan harapan yang engkau lihat, bahwa jikalau engkau bawa kepada Allah, segala kejahatan penduduk bumi, niscaya diampunkanNya akan engkau”.
Dan karena itulah, Umar ra berkata: “Jikalau diserukan untuk masuk neraka, semua manusia selain seorang laki-laki, niscaya aku mengharap, bahwa akulah laki-laki itu. Dan jikalau diserukan untuk masuk sorga semua manusia, selain seorang laki-laki, niscaya aku takut, bahwa akulah laki-laki itu”. Dan ini adalah ibarat dari bersangatan takut dan harap dan kesedangan keduanya serta kebanyakan dan kekerasan. Akan tetapi, di atas jalan berlawanan dan bersamaan. Maka seperti Umar ra seyogyalah bahwa bersamaan takutnya dan harapnya. Adapun orang yang berbuat maksiat, apabila ia menyangka, bahwa dia itu laki-laki yang dikecualikan dari orang-orang yang disuruh masuk neraka, niscaya adalah yang demikian itu dalil atas ketipuannya. Jikalau anda mengatakan, bahwa seperti Umar ra itu, tiada seyogyalah bahwa bersamaan takutnya dan harapnya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa keras harapannya, sebagaimana telah terdahulu, pada awal “Kitab Harap”. Dan kekuatannya, seyogyalah bahwa ada, menurut kekuatan sebab-sebabnya. Sebagaimana dicontohkan, dengan tanam-tanaman dan bibit. Dan dimaklumi, bahwa orang yang menaburkan bibit yang sehat pada bumi yang bersih dan ia rajin mengusahakannya dan ia penuhi semua persyaratan bercocok tanam, niscaya mengeraslah pada hatinya, akan harapan memperoleh hasilnya. Dan tidaklah takutnya itu bersamaan bagi harapnya. Maka begitulah seyogyanya bahwa adalah yang demikian itu hal-keadaan orang-orang yang taqwa (al-muttaqin).
Maka ketahuilah, bahwa siapa yang mengambil ilmu pengetahuan dari kata-kata dan contoh-contoh, niscaya banyaklah tergelincirnya. Dan yang demikian itu, walaupun kami telah mengemukakan contoh, maka tidaklah itu menyerupai dari setiap segi, dengan apa yang sedang kami bicarakan. Karena sebab kerasnya harapan itu adalah ilmu yang diperoleh dengan percobaan (pengalaman). Karena ia tahu dengan pengalaman itu, sehatnya bumi dan bersihnya, sehatnya bibit dan sehatnya udara. Dan sedikitnya halilintar yang membinasakan pada tempat-tempat itu dll.
Sesungguhnya contoh permasalahan kita adalah bibit yang belum dicoba yang sejenisnya. Dan telah ditaburkan pada bumi yang ganjil, yang belum diketahui oleh penanam dan belum dicobainya. Dan tanah itu pada negeri yang tidak diketahui, adakah banyak halilintar padanya atau tidak. Maka contoh penanam ini, walaupun ia laksanakan dengan sehabis tenaganya dan didatangkannya dengan setiap kemampuannya, maka tidaklah harapannya itu dapat mengalahkan ketakutannya. Dan bibit pada permasalahan kita ialah: iman. Dan syarat-syarat shahnya iman itu halus. Dan bumi itu hati. Dan yang tersembunyi dari kekejian dan kebersihannya itu dari syirik yang tersembunyi, nifaq (kemunafikan) dan ria. Dan kesembunyian budi pekerti padanya itu kabur. Dan bahaya-bahayanya, ialah: nafsu syahwat, keelokan-keelokan dunia dan berpalingnya hati kepadaya pada masa mendatang. Walaupun ia selamat sekarang. Dan yang demikian itu, tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diketahui dengan pengalaman. Karena kadang-kadang datang dari sebab-sebab, akan apa yang tidak disanggupi melawannya. Dan tidak pernah dicobakan (dialami) yang seperti demikian. Dan halilintar-halilintar itu, ialah: huru-hara sakaratul-maut dan bergoncangnya i’tikad (keimanan) padanya. Dan yang demikian, adalah dari apa yang tidak pernah dicobakan yang seperti yang demikian. Kemudian, mengetam dan mengetahui ketika berpindah dari kiamat ke sorga. Dan yang demikian itu belum pernah dicoba (dialami).
Maka siapa yang mengetahui akan hakikat/makna urusan ini, jikalau ia lemah hati, penakut pada dirinya, niscaya –sudah pasti –ketakutannya mengalahkan akan harapannya. Sebagaimana akan diceritakan tentang keadaan orang-orang yang takut, dari para sahabat dan tabi’in. Dan jikalau ia kuat hati, tetap hati dan sempurna ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya samalah takutnya dan harapnya. Adapun bahwa harapnya mengalahkan takutnya, maka tidaklah demikian.
Sesungguhnya adalah Umar ra bersangatan menyelidiki hatinya. Sehingga ia bertanya kepada Hudzaifah ra: adakah Hudzaifah mengetahui pada Umar, sesuatu daripada bekas-bekas kemunafikan. Karena Hudzaifah itu telah dikhususkan oleh Rasulullah saw dengan mengetahui orang-orang yang munafik. Maka siapakah yang sanggup mengatakan sucinya hati seseorang, daripada kesembunyian nifaq dan syirik yang tersembunyi ? dan jikalau seseorang meyakini akan bersih hatinya dari yang demikian, maka dari mana, ia dapat merasa aman akan taqdir tidak baik daripada Allah Ta’ala, dengan penyerupaan halnya atas demikian dan penyembunyian kekurangannya dari yang demikian ? dan jikalau ia mempercayai dengan yang demikian, maka darimana ia dapat mempercayai dengan ketetapannya di atas yang demikian, sampai kepada kesempurnaan baiknya al-khatimah ?
 Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ada orang yang berbuat, sebagai perbuatan isi sorga, selama 50 tahun. Sehingga, tidak ada lagi, diantaranya dan sorga, selain sejauh sejengkal -pada suatu riwayat- selain sekedar masa berhenti diantara dua kali perahan susu unta (untuk menunggu banyaknya susu). Maka terdahululah kepada orang itu, oleh suratan amal. Lalu dicapkan (distempelkan) baginya, dengan amal perbuatan isi neraka”. Dan kadar masa berhenti diantara dua kali perahan susu unta itu, tidak mungkin adanya amal perbuatan dengan anggota-anggota badan. Dan itu adalah sekedar gurisan yang masuk dalam hati ketika menghadapi mati. Lalu itu menghendaki buruk kesudahan (su-ul khatimah). Maka bagaimana ia merasa aman yang demikian ? Jadi, yang paling jauh tujuan orang mu’min, ialah bahwa sedanglah takut dan harapnya. Dan kerasnya harap pada kebanyakan manusia itu, adalah bersandar bagi ketipuan diri dan sedikitnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan karena demikianlah, Allah Ta’ala mengumpulkan diantara harap dan takut itu pada sifat orang yang dipujiNya. Ia berfirman: “Mereka berdoa kepada Tuhannya, dengan perasaan yang penuh ketakutan dan pengharapan”. S 32 As Sajdah ayat 16. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan mereka berdoa kepada Kami dengan pengharapan dan perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 90.
Dan manakah contoh Umar ra itu ? Maka manusia yang berada pada masa ini semuanya, lebih patut bagi mereka itu kekerasan takut. Dengan syarat, bahwa tidak membawa mereka kepada putus asa, meninggalkan pekerjaan dan putus harapan dari ampunan Allah (al-maghfirah). Maka adalah yang demikian itu, menjadi sebab untuk bermalas-malasan bekerja. Dan membawa kepada terjerumus dalam perbuatan maksiat. Maka yang demikian itu putus asa, bukan takut. Sesungguhnya takut, ialah: yang menggerakkan kepada bekerja, mengeruhkan semua nafsu syahwat, mengejutkan hati dari kecenderungan kepada dunia dan membawanya kepada berjalan, dengan menjauhkan diri dari negeri terperdaya (dunia). Maka itulah takut yang terpuji. Tidaklah bisikan hati yang tidak membekas pada pencegahan dari perbuatan buruk dan penggerakan kepada amal taat. Dan tidaklah keputus-asaan yang mengharuskan kepada patahnya hati.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Siapa yang menyembah (beribadah) kepada Allah Ta’ala dengan semata-mata takut, niscaya ia tenggelam dalam lautan fikir. Dan siapa yang menyembahNya dengan semata-mata harap, niscaya ia berjalan dalam padang pasir ketipuan. Dan siapa yang menyembahNya dengan takut dan harap, niscaya ia berjalan lurus pada tempat beralasannya dzikir”.
Makhul Ad-Dimasyqi berkata: “Siapa yang menyembah (beribadah) kepada Allah, dengan takut, maka dia itu orang merdeka. Siapa yang menyembah Allah dengan harapan, maka dia itu orang yang mengharap. Siapa yang menyembah Allah dengan cinta-kasih, maka dia itu orang zindiq. Dan siapa yang menyembah Allah dengan takut, harap dan cinta-kasih, maka dia itu orang berkeesaan (mengesakan Tuhan)”. Jadi, tak boleh tidak, daripada mengumpulkan diantara hal-hal tersebut. Dan kerasnya takut, itulah yang lebih patut. Akan tetapi, sebelum mendekati kepada mati. Adapun ketika akan mati, maka yang lebih patut , ialah: kerasnya harapan dan baiknya sangka. Karena takut itu berlaku, sebagai berlakunya cemeti yang membangkitkan kepada bekerja. Dan telah lewat waktu bekerja itu. Maka orang yang hampir akan mati, tidaklah sanggup bekerja. Kemudian, ia tidak sanggup akan sebab-sebab ketakutan. Maka yang demikian itu, memutuskan gantungan hatinya. Dan menolong kepada kesegeraan matinya. Adapun semangat harapan, maka sesungguhnya menguatkan hatinya dan mencintakan dia akan Tuhannya, yang kepadaNyalah harapannya.
 Dan tiada seyogyalah bagi seseorang itu bercerai dengan dunia, selain ia mencintai Allah Ta’ala. Supaya adalah ia mencintai bertemu dengan Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya siapa yang menyukai bertemu dengan Allah, niscaya Allah menyukai bertemu dengan dia. Dan harapan itu disertai oleh kecintaan. Maka siapa yang mengharap akan kurnia Allah, maka Allah itu dicintainya. Dan yang dimaksudkan dari ilmu dan amal itu seluruhnya, ialah: ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) Allah Ta’ala. Sehingga ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu membuahkan kecintaan. Sesungguhnya tempat kembali, ialah kepadaNya. Dan datang dengan kematian itu kepadaNya. Dan siapa yang datang kepada yang dikasihinya, niscaya besarlah kegembiraannya, menurut kadar kecintaannya. Dan siapa yang bercerai dengan kecintaannya, niscaya bersangatanlah cobaan dan azabnya. Maka manakala adalah hati, yang mengeras kepadanya ketika mati itu, kecintaan kepada isteri, kepada anak, harta, tempat tinggal, sawah ladang, teman dan sahabat, maka inilah laki-laki yang seluruh kecintaannya pada dunia. Maka dunialah sorganya. Karena sorga itu, adalah ibarat dari suatu tempat yang mengumpulkan semua kekasih. Maka matinya itu, ialah keluar dari sorga dan dinding diantaranya dan apa yang dirinduinya. Apabila ia tidak mempunyai kekasih, selain Allah Ta’ala, selain dzikir kepadaNya, ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan fikir padaNya, sedang dunia dan segala sangkut-pautnya itu menggangguinya dari yang dikasihi, jadi, maka dunia itu penjara baginya. Karena penjara itu ibarat dari tempat yang mencegah si terpenjara, untuk bersenang-senang kepada yang dikasihinya. Maka matinya itu adalah kedatangan kepada kekasihnya dan kelepasan dari penjara. Dan tidaklah tersembunyi, keadaan orang yang terlepas dari penjara. Dan dibiarkan ia dengan kekasihnya, dengan tidak ada yang melarang dan yang mengeruhkan.
Maka inilah permulaan yang ditemui oleh setiap orang yang berpisah dengan dunia, sesudah matinya, dari pahala dan siksa. Lebih-lebih dari apa yang disediakan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang shalih, dari apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak terguris di hati manusia. Lebih-lebih, dari apa yang disediakan oleh Allah Ta’ala, bagi mereka yang mencintai kehidupan duniawi dari akhirat. Senang dengan kehidupan duniawi dan merasa tenang kepada kehidupan duniawi, dari belenggu, rantai, pasung dan berbagai macam kehinaan dan yang menakutkan.
Maka kita mohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia mematikan kita sebagai orang muslim dan menghubungkan kita dengan orang-orang shalih. Dan tiada harapan pada penerimaan doa ini, selain dengan mengusahakan kasih sayang Allah Ta’ala. Dan tiada jalan kepada yang demikian, selain dengan mengeluarkan kasih sayang kepada yang lain daripada Allah, dari hati. Dan memutuskan segala hubungan dari setiap apa, yang selain Allah Ta’ala, dari kemegahan, harta dan tempat tinggal. Maka yang lebih utama, ialah bahwa kita berdoa, dengan apa yang didoakan oleh Nabi kita saw: “Ya Allah, Tuhanku ! anugerahilah kepadaku mencintaiMu, mencintai orang yang mencintaiMu, mencintai apa yang mendekatkan aku kepada mencintaiMu ! dan jadilah kecintaan kepadaMu, yang lebih mencintai kepadaku, daripada air dingin”. Dan maksudnya, ialah: bahwa kekerasan harap ketika akan mati itu lebih patut. Karena harap itu lebih menghela kepada kasih-sayang. Dan kekerasan takut sebelum mati itu lebih patut. Karena takut itu lebih membakar bagi api nafsu syahwat dan lebih mencegah lagi kecintaan dunia dari hati.
Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Tiada matilah seseorang kamu, selain ia membaikkan sangka dengan Tuhannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Aku pada sangkaan hambaKu dengan Aku. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKu, akan apa yang dikehendakinya”. Tatkala Sulaiman At-Taimi hampir wafat, maka ia mengatakan kepada anaknya: “Hai anakku ! berbicaralah dengan aku akan hal-hal yang mudah ! dan sebutkanlah bagiku akan harapan ! sehingga aku bertemu dengan Allah atas baiknya sangkaan kepadaNya”. Begitupula tatkala Ats-Tsauri hampir wafat dan bersangatan gundahnya, lalu beliau mengumpulkan para ulama di kelilingnya, dimana mereka memberi harapan kepadanya.
 Ahmad bin Hanbal ra mengatakan kepada puteranya, tatkala akan wafat: “Sebutkanlah bagiku hadits-hadits, yang padanya harapan dan baik sangka”. Dan yang dimaksud dari itu semua, ialah: bahwa seseorang mempercintakan Allah Ta’ala kepada dirinya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Bahwa engkau memperkasihkan Aku kepada hamba-hambaKu !”. Nabi Daud as lalu bertanya: “Dengan apa ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Dengan engkau peringatkan akan mereka, segala rahmat dan nikmatKu”. Jadi, penghabisan kebahagiaan, ialah: bahwa mati dengan mencintai Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya kecintaan itu berhasil, dengan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan dengan mengeluarkan kecintaan dunia dari hati. Sehingga jadilah dunia itu seluruhnya, seperti penjara yang mencegah dari kekasih. Dan karena itulah, sebahagian orang-orang shalih, memimpikan Abu Sulaiman Ad-Darani, bahwa beliau itu terbang. Lalu yang bermimi itu bertanya kepada Abu Sulaiman Ad-Darani. Abu Sulaiman lalu menjawab: “Sekarang aku terlepas”. Tatkala pagi hari, lalu yang bermimpi itu menanyakan akan keadaan Abu Sulaiman. Maka orang mengatakan kepadanya, bahwa Abu Sulaiman Ad-Darani, telah meninggal kemarin.
PENJELASAN: obat, yang dengan obat itu, tertariklah akan keadaan takut.
Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan, tentang obat sabar dan telah kami uraikan pada Kitab Sabar dan Syukur, maka itu memadailah pada maksud ini. Karena sabar itu tidak mungkin, selain sesudah berhasil takut dan harap. Karena permulaan tingkat agama itu: yakin, yang menjadi ibarat dari kuatnya iman kepada Allah Ta’ala, dengan hari akhirat, sorga dan neraka. Dan yakin ini, dengan mudah mengobarkan ketakutan dari neraka dan harapan kepada sorga. Harap dan takut itu menguatkan sabar. Maka sesungguhnya sorga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tiada disukai. Maka tiada tahan pada menanggung yang tidak disukai itu, selain dengan kuatnya harapan. Dan neraka itu dikelilingi dengan nafsu syahwat. Maka tiada tahun pada mencegahkannya, selain dengan kuatnya ketakutan.
Dan karena itulah, Ali ra berkata: “Siapa yang rindu kepada sorga, niscaya ia menyimpang dari segala nafsu syahwat. Siapa yang sayang kepada dirinya dari neraka, niscaya ia kembali (tidak mengerjakan lagi) dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan”. Kemudian, dilaksanakan tingkat sabar, yang diambil faedah nya dari takut dan harap, kepada tingkat mujahadah (bersungguh‑sungguh) dan menjuruskan diri kepada mengingati Allah Ta’ala (berdzikir kepada Allah Ta’ala) dan bertafakkur kepadaNya terus-menerus. Oleh karena terus-menerusnya dzikir, maka itu membawa kepada kejinakan hati dan terus-menerusnya berfikir (bertafakkur) kepada kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan oleh kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan kejinakan hati itu membawa kepada kecintaan. Dan diikuti oleh tingkat: ridha, tawakkal dan tingkat-tingkat lainnya.
Maka inilah tertib (cara berturutnya) pada menjalani tingkat-tingkat agama. Dan tiadalah, sesudah pokok yakin itu, tingkat lagi, selain takut dan harap. Dan tiadalah sesudah keduanya itu tingkat lagi, selain: sabar. Dan dengan sabar itu, mujahadah (bersungguh‑sungguh) dan menjuruskan hati kepada Allah pada zahir dan batinnya. Dan tiada tingkat lagi sesudah mujahadah (bersungguh‑sungguh), bagi orang yang terbuka baginya jalan, selain hidayah (petunjuk) dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan tiada tingkat sesudah ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), selain kasih sayang dan kejinakan hati. Dan dari mudahnya kasih-sayang itu, datang ridha dengan perbuatan kekasih dan percaya dengan kesungguhan. Dan itulah: tawakkal. Jadi, pada apa yang telah kami sebutkan tentang pengobatan sabar itu, mencukupilah. Akan tetapi kami, akan sendirikan takut itu dengan pembicaraan secara dipersingkat, maka kami mengatakan: Takut itu berhasil, dengan dua jalan yang berlainan. Yang pertama lebih tinggi dari yang lain. Contohnya: bahwa anak kecil, apabila ada ia di rumah, lalu masuk kepadanya binatang buas atau ular, maka kadang-kadang ia tidak takut. Dan kadang-kadang, ia memanjangkan tangannya kepada ular, untuk diambilnya dan bermain-main dengan ular itu. Akan tetapi, apabila ada bersama anak kecil itu bapaknya dan bapaknya itu berpikiran waras, niscaya ia takut kepada ular. Dan lari daripadanya. Maka apabila anak kecil itu melihat kepada ayahnya dan ayahnya itu gementar sendi-sendinya dan berusaha untuk lari dari ular itu, niscaya anak kecil itu bangun berdiri bersama ayahnya. Dan mengeraslah ketakutan atas anak kecil itu dan ia menyesuaikan diri dengan ayahnya pada lari. Maka takutnya ayah itu adalah dari penglihatan dengan pikiran dan mengetahui sifat ular, racunnya, keistimewaannya, kekerasan binatang buas, keperkasaan nya dan kurangnya perhatian binatang buas itu kepada mangsanya. Adapun takutnya anak, maka karena percaya dengan semata-mata ikut-ikutan. Karena ia membaikkan sangka kepada ayahnya. Dan ia tahu, bahwa ayahnya itu tidak takut, selain dari sebab yang menakutkan pada dirinya. Maka tahulah anak kecil itu, bahwa binatang buas itu menakutkan. Dan ia tidak tahu akan segi ketakutan itu. Apabila anda tahu akan contoh ini, maka ketahuilah, bahwa takut kepada Allah Ta’ala itu atas dua tingkat:
Pertama: takut kepada azabNya.
Kedua: takut kepadaNya.
Adapun takut kepadaNya, maka yaitu: takut para ulama dan orang-orang yang mempunyai hati, yang mengetahui dari sifat-sifat Allah Ta’ala, akan apa yang menghendaki kehebatan, ketakutan dan kehati-hatian, yang menengok kepada rahasia firman Allah Ta’ala: “Allah memperingati kamu akan kewajibanmu kepada Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat28. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bertaqwalah kamu kepada Allah sebenar-benarnya !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 102.
Adapun yang pertama, maka itu takutnya umumnya manusia. Dan itu berhasil dengan pokok iman (percaya) akan sorga dan neraka. Dan adanya sorga dan neraka itu balasan atas taat dan maksiat. Dan lemahnya itu disebabkan kelalaian dan sebab lemahnya iman. Dan kelalaian itu hilang dengan: peringatan, pengajaran, selalu berpikir tentang huru-hara hari kiamat dan segala macam azab di akhirat. Dan hilang juga kelalaian itu dengan melihat kepada orang-orang yang takut, duduk-duduk bersama mereka dan menyaksikan hal-ihwal mereka. Maka jikalau tidak ada penyaksian itu, maka dengan mendengar saja, tidak juga terlepas dari membekas.
Adapun yang kedua dan itu yang lebih tinggi. Maka adanya Allah itu yang membawa kepada ketakutan, aku maksudkan, ialah: bahwa ditakutkan akan jauh dan terdinding (hijab) dari Allah. Dan mengharap akan kedekatan kepadaNya.
Dzun-Nun ra berkata: “Ketakutan kepada neraka, pada takutnya berpisah itu adalah seperti setetes air yang menetes pada lautan yang gelap-gulita”. Inilah takut nya para ulama, dimana Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya, ialah orang-orang yang berilmu (ulama)”. S 35 Faathir ayat 28. Dan bagi umumnya orang mu’min juga mempunyai keuntungan dari ketakutan ini. Akan tetapi, itu dengan semata-mata ikut-ikutan (taqlid (turut/menurut), yang menyerupai akan takutnya anak kecil kepada ular, karena ikut-ikutan kepada ayahnya. Dan yang demikian itu tidak disandarkan kepada penglihatan dengan mata hati. Maka sudah pasti, akan lemah dan hilang dalam waktu dekat. Sehingga anak kecil itu, kadang-kadang melihat akan orang yang berazam, tampil mengambil ular itu. Maka ia memandang kepada orang itu dan ia tertipu dengan yang demikian. Lalu ia berani untuk mengambilnya, karena ikut-ikutan kepada orang itu. Sebagaimana ia menjaga diri daripada mengambilnya, karena ikut-ikutan kepada ayahnya.
Akidah-akidah(keyakinan) ikut-ikutan (al’aqaid at-taqlidiyah) itu pada kebiasaannya lemah, kecuali apabila dikuatkan dengan menyaksikan sebab-sebabnya, yang menguatkan akidah-akidah itu terus-menerus. Dan membiasakan menurut yang dikehendakinya, pada membanyakkan taat dan menjauhkan perbuatan maksiat, pada masa yang panjang, secara berkekalan. Jadi, siapa yang mendaki ke tingkat ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan mengenal akan Allah Ta’ala, niscaya dengan mudah, ia takut kepada Allah. Maka ia tidak memerlukan kepada pengobatan, untuk menarik ketakutan. Sebagaimana orang yang mengenal binatang buas dan melihat dirinya terjatuh dalam cengkeramannya, niscaya ia tidak memerlukan kepada pengobatan untuk menarik ketakutan kepada hatinya. Akan tetapi, dengan mudah ia takut kepada binatang buas itu, dikehendakinya atau tidak. Dan karena demikianlah, maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Daud as: “Takutlah kepadaKu, sebagaimana engkau takut kepada binatang buas yang menerkam”. Dan tiada daya pada menarik ketakutan kepada binatang buas yang menerkam, selain mengenal binatang buas itu. Dan mengetahui jatuhnya dalam cengkeramannya. Maka tidak memerlukan kepada daya lainnya.
Maka siapa yang mengenal Allah Ta’ala, niscaya ia mengenal, bahwa Allah Ta’ala itu berbuat sekehendakNya dan tidak memperdulikan yang lain. Ia menghukum apa yang dikehendakiNya. Dan Ia tidak takut. Ia mendekatkan malaikat, tanpa wasilah (perantaraan) yang terdahulu. Ia menjauhkan Iblis, tanpa dosa yang terdahulu. Akan tetapi, sifatNya ialah apa yang diterjemahkan oleh firmanNya Yang Maha Tinggi: “Mereka ini dalam sorga dan Aku tidak perdulikan. Dan mereka itu dalam neraka dan Aku tidak perdulikan”.
Jikalau terguris di hati anda, bahwa Ia tidak menyiksakan, selain di atas maksiat dan IA tidak memberi pahala, selain di atas taat, maka perhatikanlah, bahwa Ia tidak membantu orang yang taat, dengan sebab-sebab ketaatannya, sehingga ia taat. Orang itu mau atau tidak. Dan Ia tidak menolong orang yang maksiat, dengan pengajak-pengajak maksiat, sehingga ia berbuat maksiat. Orang itu, mau atau tidak. Maka sesungguhnya, walau Ia menjadikan kelalaian, nafsu syahwat dan kemampuan atau melaksanakan nafsu syahwat itu, adalah perbuatan itu terjadi dengan mudah. Maka jikalau Ia menjauhkan orang itu, karena orang itu berbuat maksiat kepadaNya, maka mengapakah Ia membawa orang itu kepada perbuatan maksiat ? adakah yang demikian itu, karena maksiat yang terdahulu, sehingga rantai-berantai kepada tiada berkesudahan ? atau Ia berhenti –sudah pasti –pada permulaan, yang tiada alasan bagiNya dari pihak hamba. Akan tetapi, Ia mengqodokan (mentaqdirkan) atas hamba itu pada azali ( kekal ).
Dari pengertian ini, diibaratkan oleh Nabi saw, karena beliau bersabda: “Berhujjah (mengemukakan alasan) Adam as dan Musa as di sisi Tuhannya. Maka Adam as mengemukakan alasan kepada Musa as, lalu Musa as menjawab: “Engkau Adam, yang dijadikan engkau oleh Allah dengan tanganNya. Ia menghembus kan pada engkau dari RuhNya. Ia menyuruh sujud kepada engkau, akan malaikat-malaikatNya. Dan ditempatkanNya engkau dalam sorgaNya. Kemudian, engkau menurunkan manusia dengan kesalahan engkau, kebumi. Lalu Adam as menjawab: “Engkau Musa, yang dipilih engkau oleh Allah, dengan risalahNya (dijadikanNya engkau rasulNya) dan dengan kalamNya (berkata-kata denganNya). DiberikanNya kepada engkau al-alwah (papan-papan tulis), yang padanya penjelasan setiap sesuatu. Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dengan kelepasan dari bahaya. Maka dengan berapa lama, engkau mendapati Allah menulis Taurat, sebelum aku dijadikan ?”. Musa menjawab: “Dengan 40 tahun”. Adam bertanya: “Adakah engkau dapati dalam Taurat, bahwa Adam berbuat maksiat kepada Tuhannya, lalu ia durhaka ?”. Musa menjawab: “Ada !”. Lalu Adam bertanya: “Adakah engkau mencacikan aku, atas perbuatan yang aku perbuat, yang telah dituliskan oleh Allah atasku, sebelum aku memperbuatnya dan sebelum aku dijadikanNya 40 tahun tahun ?”. Nabi saw bersabda: “Maka Adam berhujjah dengan Musa”. Maka siapa yang mengetahui sebab pada urusan ini, dengan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang timbul dari nur-hidayah, maka itu dari kekhususan orang-orang ‘arifin, yang melihat kepada rahasia qadar. Dan siapa yang mendengar ini, lalu mengimaninya dan membenarkan dengan semata-mata mendengar, maka orang itu termasuk umumnya orang mu’min. Dan berhasil bagi setiap satu dari dua golongan itu, ketakutan. Sesungguhnya setiap hamba, maka dia itu jatuh dalam genggaman qudrah ( kuasa ), sebagai jatuhnya anak kecil yang lemah dalam cengkeraman binatang buas. Dan binatang buas itu, kadang-kadang lengah secara kebetulan. Lalu dilepaskanya anak kecil itu. Dan kadang-kadang binatang buas itu menyerbu atas anak kecil itu, lalu diterkamnya. Dan yang demikian itu, adalah menurut yang kebetulan. Dan bagi kebetulan itu mempunyai sebab-sebab yang teratur dengan taqdir yang telah dimaklumi.
 Tetapi, apabila dikaitkan kepada orang yang tidak mengetahuinya, maka dinamakan: kebetulan. Dan kalau dikaitkan kepada Ilmu Allah, maka tidak boleh dinamakan: kebetulan. Orang yang jatuh dalam cengkeraman binatang buas, jikalau sempurnalah ma’rifahnya (ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya ia tidak takut kepada binatang buas itu. Karena binatang buas tersebut telah diciptakan demikian. Jikalau ia lapar, niscaya ia menerkam. Dan jikalau dirinya dikuasai oleh kelalaian, niscaya ia biarkan dan tinggalkan.
Sesungguhnya yang ditakuti, ialah Pencipta binatang buas itu dan Pencipta sifat-sifatnya. Dan aku tidak mengatakan, bahwa contoh takut kepada Allah Ta’ala itu seperti takut kepada binatang buas. Akan tetapi, apabila terbukalah tutup, niscaya diketahui bahwa takut kepada binatang buas itu adalah takut itu juga kepada Allah Ta’ala. Karena yang membinasakan dengan perantaraan binatang buas itu, adalah Allah. Maka ketahuilah, bahwa binatang-binatang buas akhirat itu seperti binatang-binatang buas dunia. Dan Allah Ta’ala yang menciptakan sebab-sebab azab dan sebab-sebab pahala. Dan Ia menciptakan bagi setiap suatu itu ada yang punya, yang didorong oleh taqdir, yang bercabang dari qodo, akan kepastian azali ( tida kesudahan / permulaan ), kepada apa ia diciptakan. Ia menciptakan sorga dan diciptakanNya untuk sorga itu, penduduknya (isinya), dimana mereka itu diciptakan untuk memperoleh sebab-sebab masuk ke sorga. Mereka berkehendak yang demikian atau tidak. Dan Ia menciptakan neraka dan diciptakanNya untuk neraka itu, penduduknya (isinya), dimana mereka itu diciptakan untuk memperoleh sebab-sebab masuk ke neraka. Mereka berkehendak yang demikian atau tidak. Maka tiada seorangpun melihat dirinya dalam pukulan ombak-ombak taqdir itu, selain ia –dengan sendirinya –dikerasi oleh ketakutan. Maka inilah takutnya orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) akan rahasia Qadar/takdir. Maka siapa yang teledor dari meningkat ke tingkat melihat dengan mata hati, maka jalannya ialah, bahwa ia mengobati dirinya dengan mendengar hadits-hadits dan atsar-atsar. Lalu ia membaca hal-ihwal orang-orang yang takut, yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan ucapan-ucapan mereka. Dan ia menyamakan akal pikiran dan kedudukannya, dengan kedudukan orang-orang yang mengharap, yang terperdaya. Maka ia tidak ragu, tentang mengikuti mereka itu adalah lebih utama. Karena mereka itu adalah nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama.
Adapun orang-orang yang merasa aman, maka mereka itu ialah fir’un-fir’un yang bodoh dan orang-orang dungu. Dan Rasul kita Muhammad saw, adalah penghulu orang-orang yang dahulu dan orang-orang yang kemudian. Dan ia adalah manusia yang paling takut kepada Allah. Sehingga, diriwayatkan, bahwa beliau menyembahyangkan kepada jenazah anak kecil. Pada suatu riwayat, terdengar dalam doanya Nabi saw, beliau mengucapkan: “Wahai Allah Tuhanku ! peliharalah dia dari azab kubur dan azab neraka !”. Pada riwayat yang kedua, bahwa Nabi saw mendengar orang yang mengatakan: “Selamat, bagi engkau seekor dari burung pipit sorga !”. Lalu Nabi saw marah dan bersabda: “Apakah yang menerangkan kepadamu, bahwa anak itu demikian ? demi Allah ! sesungguhnya aku utusan Allah dan aku tidak tahu, apa yang diperbuat kepadaku. Sesungguhnya Allah menciptakan sorga. Dan diciptakanNya bagi sorga itu penduduknya (isinya). Mereka itu tidak ditambahkan dan tidak dikurangi”.
 Diriwayatkan, bahwa Nabi saw mengucapkan pula yang demikian, kepada jenazah Utsman bin Madh’un. Dan Utsman ini termasuk dari orang-orang muhajirin yang pertama. Tatkala Umma Salmah mengatakan: “Selamat, bagi engkau sorga !”. Dan sesudah itu, Umma Salmah mengatakan: “Demi Allah ! aku tidak mengatakan bersih (dari dosa) seorangpun sesudah Utsman”. Muhammad bin Khaulah Al-Hanafiyah berkata: “Demi Allah ! tiada seorangpun aku mengatakan bersih (dari dosa) selain Rasulullah saw. Dan tidak juga ayahku yang memperanakkan aku”.
Muhammad bin Khaulah Al-Hanafiyah mengatakan, bahwa tatkala telah berkembang aliran Syi’ah, lalu ia turut menyebutkan keutamaan-keutamaan Ali dan sifat-sifat kepujiannya (manaqibnya). Diriwayatkan pada hadits yang lain, dari seorang laki-laki, dari penghuni Ash-Shaffah, yang telah meninggal dunia, sebagai orang syahid. Lalu ibunya mengatakan: “Selamat, bagi engkau seekor burung pipit sorga. Engkau berhijrah kepada Rasulullah saw. Dan engkau terbunuh pada sabilullah”. Lalu Nabi saw bersabda: “Apakah yang memberitahukan kepada engkau yang demikian ? mungkin ia mengatakan apa yang tidak bermanfaat baginya. Dan ia mencegah apa yang tidak mendatangkan melarat kepadanya”. Tersebut pada hadits yang lain, bahwa Nabi saw masuk ke tempat sebahagian sahabatnya. Dan sahabatnya itu sedang sakit. Lalu beliau mendengar seorang wanita mengatakan: “Selamat, bagimu sorga !”. Maka Nabi saw bertanya: “Siapakah yang bersumpah ini kepada Allah Ta’ala ?”. Orang sakit itu menjawab: “Ibuku, wahai Rasulullah !”. Nabi saw lalu bersabda: “Apakah yang memberitahukan yang demikian, akan engkau, hai ibu ? mungkin si Anu ini, berkata-kata dengan apa yang tidak penting baginya. Dan kikir dengan apa, yang ia perlukan kepadanya”. Bagaimana kaum mu’min itu semua tidak takut, padahal Nabi saw bersabda: “Aku dibuat beruban oleh “Surat Hud” dan teman-temannya: “Surat Al-Waqi’ah”, “Surat Idzasy-Syamsu kuwwirat” dan “Surat ‘Amma Yatasaa-aluun”.
Para ulama mengatakan, bahwa mungkin yang demikian, karena yang terdapat pada Surat Hud, dari hal “menjauhkan”, seperti firmanNya: “Ingatlah, jauh (binasalah) ‘Ad, kaum Hud itu !”. S 11 Huud ayat 60. FirmanNya: “Ingatlah, jauhlah Tsamud itu !”. S 11 Huud ayat 68. FirmanNya: “Ingatlah, binasalah Madyan sebagaimana Tsamud telah binasa”. S 11 Huud ayat 95. Serta diketahui oleh Nabi saw, bahwa jikalau dikehendaki oleh Allah, niscaya mereka itu tidak menjadi musyrik. Karena, jikalau dikehendakiNya, niscaya didatangkanNya kepada setiap jiwa, akan petunjuk. Dan pada surat Al-Waqi’ah: “Tiada seorangpun yang dapat mendustakan terjadinya. (Sebahagian) direndahkannya, (dan sebahagian) ditinggikannya”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 2-3. Artinya: “Keringlah pena dengan apa yang ada. Dan sempurnalah yang terdahulu. Sehingga turunlah yang kejadian. Adakalanya direndahkan suatu golongan, yang mereka itu tinggi di dunia. Dan adakalanya, ditinggikan suatu golongan, yang mereka itu rendah di dunia”. Pada Surat At-Takwir (Wa idzasy-syamsu kuwwirat), disebutkan huru-hara hari kiamat dan terbukanya al-khatimah (kesudahan setiap insan). Yaitu firman Allah Ta’ala: “Dan ketika api neraka dinyalakan. Dan ketika taman (sorga) didekatkan. (Ketika itu) setiap diri mengetahui, apa yang disediakannya”. S 81 At Takwiir ayat 12-13-14. Pada surat ‘Amma Yatasaa-alun: “Di hari manusia akan melihat apa yang telah dikirimkan terlebih dahulu oleh kedua tangannya dan orang-orang yang tiada beriman, akan mengatakan: “Wahai nasib malangku ! kiranya aku menjadi tanah hendaknya !”. S 78 An Nabaa’ ayat 40. Dan firmanNya: “Tiada seorangpun yang berbicara, selain dari siapa yang diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan mengatakan apa yang sebenarnya”. S 78 An Nabaa’’ ayat 38.
Alquran itu, dari permulaannya, sampai kepada penghabisannya, adalah tempat-tempat yang mendatangkan takut, bagi orang yang membaca dengan pemahaman. Dan jikalau tak ada dalam Alquran, selain firmanNya: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, kemudian dia itu mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82, niscaya adalah memadai. Karena Ia menggantungkan ampunan kepada 4 syarat, yang lemahlah hambaNya dari masing-masing syarat itu. Dan yang paling keras daripadanya, ialah firmanNya: “Adapun yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka ia diharapkan akan berada dari orang-orang yang beruntung”. S 28 Al Qashash ayat 67. Dan firmanNya: “Karena Allah hendak menanyakan kepada orang-orang yang benar, tentang kebenaran mereka”. S 33 Al Ahzab ayat 8. Dan firmanNya: “Kami akan bertindak terhadap kamu, hai kedua penduduk dunia (jin dan manusia) !”. S 55 Ar Rahmaan ayat 31. Dan firmanNya: “Apakah mereka merasa aman dari rencana Allah ? tak ada yang merasa aman dari rencana Allah, selain kaum yang merugi”. S 7 Al A’raaf ayat 99. Dan firmanNya: “Dan begitulah Tuhan engkau menghukum negeri-negeri, yang penduduknya melakukan kesalahan. Sesungguhnya hukuman Tuhan itu pedih dan keras”. S 11 Huud ayat 102. Dan firmanNya: “Di hari itu Kami kumpulkan orang-orang yang memelihara dirinya (bertaqwa) –dari kejahatan- sebagai menyambut perutusan. Dan Kami halau orang-orang yang bersalah itu ke dalam neraka secara kasar”. S 19 Maryam ayat 85-86. Dan firmanNya: “Dan tiada seorangpun diantara kamu, yang tiada masuk ke dalamnya, itulah keputusan Tuhan engkau, yang tak dapat dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71. Dan firmanNya: “Buatlah apa yang kamu suka, sesungguhnya Tuhan itu tahu betul, apa yang kamu kerjakan”. S 41 Fussilat ayat 40. Dan firmanNya: “Siapa yang ingin kepada keuntungan hari akhirat, akan Kami berikan tambahan kepada keuntungannya. Dan siapa yang ingin kepada keuntungan di dunia ini, akan Kami berikan keuntungan itu kepadanya, tetapi dia tiada mempunyai bagian lagi pada hari kemudian”. S 42 Asy Syuura ayat 20. Dan firmanNya: “Siapa yang mengerjakan perbuatan baik, seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7-8. Dan firmanNya: “Dan kami (datang) dengan sengaja kepada pekerjaan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan debu yang beterbangan”. S 25 Al Furqaan ayat 23. Dan demikian juga firmanNya: “Demi (perhatian) waktu ! sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain, dengan kebenaran dan mewasiat kan satu sama lain, supaya berhati teguh (sabar)”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3.
 Maka inilah 4 syarat bagi kelepasan dari kerugian ! Sesungguhnya, adalah takutnya para nabi itu, bersama dengan nikmat-nikmat yang melimpah-ruah kepada mereka, adalah dikarenakan mereka itu tidak merasa aman dari rencana Allah Ta’ala. Dan tiada yang merasa aman dari rencana Allah itu, selain orang-orang (kaum) yang merugi. Sehingga diriwayatkan, bahwa Nabi saw dan Jibril as menangis, karena takut kepada Allah Ta’ala. Maka Allah menurunkan wahyu kepada keduanya: “Mengapakah kamu menangis dan kamu berdua sudah Aku amankan ?”. Keduanya lalu menjawab: “Siapakah yang merasa aman dari rencana Engkau ?”. Keduanya, karena mengetahui, bahwa Allah itu Maha Tahu akan segala yang ghaib dan keduanya tidak mengetahui akan kesudahan segala urusan, lalu tidak merasa aman. Dan adalah firmanNya: “Kamu berdua sudah Aku amankan” itu, seakan-akan percobaan, ujian dan rencana Allah bagi keduanya. Sehingga, jikalau tenanglah ketakutan keduanya, niscaya nampaklah bahwa keduanya telah merasa aman dari rencana Allah dan apa yang dipenuhinya dengan perkataannya.
Sebagaimana nabi Ibrahim as tatkala diletakkan dalam meriam (al-manjaniq). Beliau mengucapkan: “Cukuplah Allah bagiku”. Dan adalah ucapan itu termasuk doa yang besar. Maka nabi Ibrahim as itu dicoba dan dilawankan dengan Jibril as di udara (sesudah al-manjaniq itu dilepaskan ke udara). Jibril as bertanya: “Adakah hajat keperluan engkau ?”. Nabi Ibrahim as menjawab: “Adapun kepada engkau, tidak !”. Maka adalah jawaban itu memenuhi akan hakikat/makna ucapannya: “Cukuplah Allah bagiku”. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu, dengan firmanNya: “Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)”. S 53 An Najm ayat 37. Artinya: dengan yang diharuskan oleh ucapannya: “Hasbiyallah” itu. Dan yang seperti ini, dikabarkan oleh Allah Ta’ala dari hal nabi Musa as dengan firmanNya: “Keduanya (nabi Musa as dan nabi Harun as) memohon: “Wahai Tuhan kami ! kami kuatir, bahwa dia (Fir’un) terlebih dahulu bersedia menentang kami atau dia melakukan kekejaman di luar batas”. Dia (Tuhan) berfirman: “Janganlah kamu takut, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat”. S 20 Thaahaa ayat 45-46. Dan bersama ini, tatkala tukang-tukang sihir itu melemparkan sihirnya, lalu timbul ketakutan pada diri nabi Musa as. Karena ia tidak merasa aman dari rencana Allah. Dan meragukan urusan kepadanya. Sehingga Allah membarukan akan keamanan kepadanya. Dan dikatakan: “Jangan takut, sesungguhnya engkau lebih tinggi !”. S 20 Thaahaa ayat 68. Tatkala lemah ketakutan kaum muslimin pada hari perang Badar, lalu Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jikalau binasalah pasukan ini, niscaya tidak tinggal seorangpun di permukaan bumi yang menyembah Engkau”. Lalu Abubakar ra berkata: “Biarlah akan pertolongan Tuhan engkau kepada engkau ! sesungguhnya Tuhan itu memenuhi bagi engkau, dengan apa yang dijanjikanNya”. Maka adalah tempat tegaknya Abubakar Ash-Shiddiq itu tempat tegak kepercayaan, dengan janji Allah. Dan itu lebih sempurna. Karena tidak timbul, selain dari kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dengan rahasia-rahasia Allah Ta’ala dan kesembunyian Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan arti sifat-sifatNya yang diibaratkan dari sebahagian apa, yang timbul daripadanya rencana itu. Dan tiada seorangpun manusia yang mengetahui hakikat/makna sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan orang yang mengetahui akan hakikat/makna ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan singkat ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya daripada meliputi hakikat/makna segala urusan, niscaya –sudah pasti- sangat ketakutannya.
 Dan karena itulah, nabi Isa Al-Masih menjawab, tatkala ditanyakan kepadanya: “Dan ketika Allah berfirman: “Hai Isa anak Maryam ! engkaukah yang mengatakan kepada manusia: “Ambillah aku dan ibuku menjadi dua tuhan, selain dari Allah ? Isa mengatakan: “Maha Suci Engkau ! tiada sepatutnya aku mengatakan, apa yang bukan hakku (menyebutkan). Kalau kiranya aku mengatakan itu, tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang dalam pikiranku dan aku tidak mengetahui apa yang dalam ilmu Engkau”. S 5 Al Maaidah ayat 116. Dan Allah berfirman: “Kalau mereka Engkau siksa, maka mereka itu hamba-hamba Engkau dan kalau mereka Engkau ampuni, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana”. S 5 Al Maaidah ayat 118. Nabi Isa as menyerahkan urusan itu kepada kehendakNya. Dan mengeluarkan dirinya secara keseluruhan, dari kejelasan. Karena ia tahu, tiada suatu urusanpun baginya. Dan semua urusan itu terikat dengan kehendak Allah, dengan ikatan, yang keluar dari batas, yang dapat diketahui dengan akal dan kebiasaan. Maka tidak mungkin diambil keputusannya dengan qias, tebakan dan kiraan. Lebih-lebih lagi, dengan pentahkikan dan keyakinan. Inilah yang meyakinkan hati orang-orang arifin. Karena bahaya besar, ialah: terikatnya urusan engkau, dengan kehendak orang yang tiada perduli kepada engkau, jikalau membinasakan engkau. Maka sesungguhnya telah membinasakan orang-orang yang seperti engkau, yang tidak terhinggakan. Dan senantiasalah Ia, di dunia menyiksakan mereka dengan berbagai macam kepedihan dan penyakit. Dan bersama dengan yang demikian, Ia mendatangkan penyakit kepada hati mereka, dengan kekufuran dan kemunafikan. Kemudian, Ia mengekalkan siksaan atas mereka selama-lamanya. Kemudian, Ia mengabarkan dari yang demikian dengan firmanNya: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri. Akan tetapi, perkataan daripadaKu sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S 32 As Sajdah ayat 13. Dan firmanNya: “Perkataan Tuhan engkau sudah tetap: Bahwa Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia bersama-sama”. S 11 Huud ayat 119. Maka bagaimana tidak ditakuti akan perkataan yang benar pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) ? Dan tidak dapat diharapkan dapat mengetahuinya. Dan jikalau urusan itu baru tadi, niscaya adalah harapan-harapan dapat membantu berdaya-upaya kepadanya. Akan tetapi, tak ada, selain menyerah saja. Dan penyelidikan yang tersembunyi bagi yang lalu itu, termasuk sebab-sebab zahiriyah yang terang kepada hati dan anggota badan. Maka siapa yang mudah baginya sebab-sebab kejahatan dan terdinding diantaranya dan sebab-sebab kebajikan dan kokoh hubungannya dengan dunia, maka seakan-akan –diatas ketahkikannya –telah terbuka baginya, rahasia barang yang lalu, yang telah terdahulu baginya dengan ketidak-beruntungan. Karena masing-masing manusia itu dipermudahkan, untuk apa ia diciptakan. Dan jikalau setiap kebajikan itu dipermudah kan dan hati secara keseluruhan terputus dari dunia dan zahir batinnya menghadap kepada Allah, niscaya adalah ini menghendaki keringanan takut. Jikalau adalah terus-terusan di atas yang demikian itu dapat dipercayakan. Akan tetapi, bahaya al-khatimah dan sukar tetapnya hal itu, menambahkan berkobarnya nyala api ketakutan. Dan tidak mungkin dipadamkan. Bagaimana dirasakan aman perobahan keadaan, sedang hati orang yang beriman itu diantara dua anak jari, dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pemurah ? Dan hati itu lebih keras berbalik-baliknya, dibandingkan dengan kuali dalam gelagaknya. Dan telah berfirman: Yang membalik-balikkan hati, Yang Maha Mulia dan Maha Agung: “Sesungguhnya terhadap siksaan Tuhan itu, tiada seorangpun patut merasa aman”. S 70 Al Ma’arij ayat 28. Maka manusia yang paling bodoh, ialah orang yang merasa aman daripadanya. Dan dia sendiri menyerukan supaya berhati-hati dari amannya itu. Jikalau tidaklah Allah Ta’ala kasih-sayang kepada hamba-hambaNya yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), karena disemangatkanNya hati mereka, dengan semangat harap, niscaya terbakarlah hati mereka dengan api ketakutan. Maka sebab-sebabnya harap itu adalah rahmat, bagi orang-orang yang telah dikhususkan oleh Allah. Dan sebab-sebab kelalaian itu adalah rahmat kepada makhluk (manusia) yang awam, dari suatu segi. Karena jikalau terbukalah tutup, niscaya binasalah diri dan terpotong-potonglah hati dari ketakutan kepada Yang Membalik-balikkan hati.
Setengah ‘arifin berkata: “Jikalau terdinding oleh suatu tiang, diantara aku dan orang yang telah aku kenal berkeesaan selama 50 tahun, lalu orang itu mati, niscaya tidak aku yakin dengan keesaannya. Karena aku tidak tahu apa yang lahir baginya, dari kebulak-balikan hati”. Setengah mereka mengatakan: “Jikalau mati syahid itu di pintu rumah dan mati dalam Islam itu pada pintu kamar, niscaya aku pilih mati dalam Islam. Karena aku tidak tahu, apa yang datang bagi hatiku, diantara pintu kamar dan pintu rumah”.
Abud-Darda bersumpah dengan nama Allah, bahwa seseorang yang merasa aman kepada imannya, dari dicabut ketika mati, niscaya dicabut. Dan Sahl berkata: “Takutnya orang-orang shiddiq dari buruk kesudahan (su-ul khatimah) itu pada setiap langkah dan pada setiap gerak. Dan mereka itu ialah orang-orang yang disifatkan oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan hati mereka itu takut”. S 23 Al Mukminuun ayat 60. Tatkala Sufyan Ats-Tsauri hampir meninggal, beliau menangis dan gundah. Lalu dikatakan kepadanya: “Hai Abu Abdillah, engkau harus harap ! sesungguhnya kemaafan Allah itu lebih besar dari dosa engkau”. Maka beliau menjawab: “Adakah atas kedosaanku aku menangis ? jikalau aku tahu, bahwa aku akan mati di atas keesaan, niscaya aku tidak perduli, bahwa aku bertemu dengan Allah, dengan kesalahan seperti gunung”.
Diceritakan dari setengah orang-orang yang takut kepada Allah, bahwa ia mewasiatkan kepada sebahagian saudaranya, sbb: “Apabila aku meninggal, maka duduklah di sisi kepalaku ! kalau engkau melihat aku mati di atas keesaan, maka ambillah semua milikku ! dan belilah dengan hartaku itu buah lauz (semacam buah-buahan) dan gula ! dan bagi-bagikanlah kepada anak-anak dari penduduk negeri ini ! dan katakanlah: “Ini pesta perkawinan orang yang terlepas dari bahaya”. Dan kalau aku mati tidak di atas keesaan, maka beritahukanlah kepada manusia dengan yang demikian ! sehingga mereka itu tidak tertipu dengan menghadiri jenazahku. Supaya hadir pada jenazahku, orang yang menyukainya dengan mengetahui betul. Supaya tidak melekat padaku ria, sesudah meninggal. Temannya lalu bertanya: “Dengan apa aku tahu yang demikian ?”. Orang itu lalu menyebutkan tandanya. Maka temannya itu melihat tanda keesaan, ketika matinya. Lalu teman itu membeli gula dan buah lauz. Dan dibagi-bagikannya. Sahl berkata: “Murid (orang yang menghendaki jalan Allah) itu takut, bahwa mendapat percobaan dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan orang ‘arif (yang berilmu ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)) itu takut, bahwa dicoba dengan kekufuran”.
Abu Yazid berkata: “Apabila aku menuju ke masjid, seolah-olah pada pinggangku ikat pinggang. Aku takut, dibawanya aku ke gereja dan rumah api (tempat ibadah orang Majusi). Sampai aku masuk ke masjid, maka terputuslah daripadaku ikat pinggang itu. Maka ini bagiku, pada setiap hati 5 kali”.
 Diriwayatkan dari Isa Al-Masih as, bahwa ia berkata: “Hai jama’ah sahabatku ! kamu takut akan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan kami para nabi takut akan kekufuran”. Diriwayatkan pada berita nabi-nabi, bahwa seorang nabi mengadukan kepada Allah Ta’ala, akan lapar, kudis dan tidak berpakaian bertahun-tahun. Dan adalah pakaiannya bulu domba. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai hambaKu ! apakah engkau tidak senang Aku pelihara hati engkau, daripada engkau kufur kepadaKu, sehingga engkau meminta padaKu dunia ?”. Nabi itu lalu mengambil tanah. Dan diletakkannya di atas kepalanya. Dan berkata: “Ya, aku senang wahai Tuhanku ! maka peliharakanlah aku dari kekufuran !”. Apabila adalah ketakutan orang-orang arifin itu, serta teguhnya tapak kaki mereka dan kuatnya iman mereka, kepada buruknya kesudahan (su-ul khatimah), maka bagaimanapula tidak ditakuti oleh orang-orang yang lemah imannya ? Bagi su-ul khatimah itu mempunyai sebab-sebab yang mendahului dari kematian. Seperti: perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), nifaq, takabbur dan sejumlah sifat-sifat yang tercela. Dan karena itulah, para sahabat sangat takut kepada nifaq (kemunafikan). Sehingga Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Jikalau aku tahu, bahwa aku terlepas dari nifaq, niscaya itu lebih aku sukai daripada terbitnya matahari”. Dan tidaklah mereka maksudkan dengan nifaq itu, lawan dari pokok iman. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: apa yang berkumpul serta pokok iman itu. Lalu orang itu menjadi muslim, yang munafiq.
Tanda-tanda nifaq itu banyak. Nabi saw bersabda: “4 perkara, siapa yang ada padanya 4 perkara itu, maka dia munafiq betul, walaupun ia mengerjakan shalat, berpuasa dan mendakwakan dirinya muslim. Dan kalau ada padanya satu perkara dari yang 4 itu, maka pada dirinya suatu cabang dari nifaq. Sehingga ditinggalkannya yang satu perkara tersebut. 4 perkara itu, yaitu: siapa, yang bila berbicara, ia berdusta, apabila berjanji, menyalahi janji, apabila diserahkan suatu amanah, lalu berkhianat dan apabila bermusuhan, lalu berbuat kezaliman”. Dan pada kata yang lain: “apabila membuat perjanjian, lalu meninggalkannya”.
 Para sahabat dan tabi’in menafsirkan nifaq, dengan beberapa tafsir, yang tidak terlepas sedikitpun dari nifaq itu, selain dari orang shiddiq. Karena Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Sesungguhnya termasuk nifaq, ialah berlainan antara rahasia dan yang terang, berlainan antara lisan dan hati dan berlainan antara yang masuk dan yang keluar”. Siapakah yang terlepas dari pengertian-pengertian ini ? bahkan, segala hal tersebut, menjadi kesukaan yang biasa diantara manusia. Dan manusia itu lupa, bahwa secara keseluruhan itu adalah hal munkar. Bahkan, telah berlaku yang demikian, pada masa yang dekat dengan masa kenabian Muhammad saw. Maka bagaimana sangkaan dengan masa kita sekarang ? sehingga Hudzaifah ra berkata: “Ada orang yang mengatakan dengan kalimat tertentu pada masa Rasulullah saw lalu ia menjadi munafik. Dan sekarang aku mendengarnya dari seseorang kamu dalam sehari 10 kali”.
Adalah para sahabat Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya kamu berbuat perbuatan-perbuatan yang lebih halus pada mata kamu dari sehelai rambut. Kami menghitungkannya pada masa Rasulullah saw termasuk dosa besar”. Sebahagian mereka mengatakan: “Tiada munafik, bahwa engkau tidak suka dari orang lain, akan perbuatan yang engkau kerjakan seperti perbuatan itu. Bahwa engkau sukai sesuatu dari kezaliman. Dan engkau marah kepada sesuatu dari kebenaran”. Ada yang mengatakan: termasuk nifaq, bahwa apabila dipujikan sesuatu, yang tak ada padanya apa-apa, lalu mena’jubkannya yang demikian. Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar ra: “Bahwa kami masuk ke tempat amir-amir itu. Lalu kami benarkan mereka pada apa yang dikatakannya. Maka apabila kami keluar, niscaya kami perkatakan tentang mereka”. Ibnu Umar ra lalu menjawab: “Kami menghitungkan itu nifaq pada masa Rasulullah saw”.
 Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra mendengar seorang laki-laki mencaci Al-Hajjaj dan menuduhnya. Lalu Ibnu Umar ra berkata: “Jikalau Al-Hajjaj itu hadir di sini, apakah kamu mengatakan, dengan apa yang telah kamu perkatakan itu ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Maka Ibnu Umar berkata: “Kami menghitung ini suatu nifaq pada masa Rasulullah saw”. Yang lebih berat dari itu, apa yang diriwayatkan, bahwa: suatu jama’ah duduk di pintu Hudzaifah, yang menunggu kedatangannya. Mereka itu memperkatakan tentang sesuatu dari keadaannya. Tatkala Hudzaifah telah keluar menemui mereka, maka mereka itu diam, karena malu daripadanya. Hudzaifah lalu mengatakan: “Berbicaralah, mengenai yang telah kamu katakan itu !”. Mereka itu diam. Lalu Hudzaifah berkata: “Kami menghitung ini perbuatan nifaq pada masa Rasulullah saw”. Inilah Hudzaifah, yang telah dikhususkan dengan mengetahui orang-orang munafik dan sebab-sebab kemunafikan. Ia mengatakan: “Akan datang kepada hati, suatu saat, yang penuh dengan iman. Sehingga tidak ada bagi nifaq tempat tusukan jarum penjahit pada hati itu. Dan akan datang kepada hati, suatu saat yang penuh dengan nifaq. Sehingga tidak ada pada hati itu tempat tusukan jarum penjahit”.
 Sesungguhnya anda telah mengetahui dengan ini, bahwa takutnya orang-orang arifin itu dari buruknya kesudahan (su-ul khatimah). Dan sebabnya takut itu adalah hal-hal yang mendahuluinya. Diantaranya: perbuatan-perbuatan bid’ah (yang diada-adakan). Diantaranya: perbuatan-perbuatan maksiat. Dan diantaranya: nifaq. Dan kapankah hamba itu terlepas dari sesuatu dari jumlah yang demikian ? kalau ada orang yang menyangka, bahwa dia terlepas dari yang demikian, maka itu adalah nifaq. Karena dikatakan: siapa yang merasa aman dari nifaq, maka dia itu orang munafik. Sebahagian mereka mengatakan kepada sebahagian orang-orang arifin: “Aku takut kepada diriku akan nifaq”. Lalu beliau menyambung: “Jikalau aku munafiq, niscaya aku tidak takut kepada kemunafikan”. Maka senantiasalah orang arifin (yang berilmu ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)) diantara menoleh kepada yang lalu dan yang kesudahan itu, dalam ketakutan. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Hamba yang beriman itu diantara dua ketakutan: antara waktu yang telah lalu, yang tidak diketahuinya: apa yang diperbuat oleh Allah padanya. Dan diantara waktu yang masih ada, yang tidak diketahuinya: apa yang dikehendaki (ditetapkan) oleh Allah padanya. Maka demi Allah, yang jiwaku di TanganNya ! tidaklah sesudah mati itu tempat kepayahan dan tidak adalah kampung sesudah dunia itu, selain sorga atau neraka”. Pada Allah tempat memohonkan pertolongan !
PENJELASAN: arti su-ul khatimah.
Kalau anda bertanya: bahwa kebanyakan mereka itu, takutnya adalah kepada su-ul khatimah, maka apa arti su-ul khatimah itu ? Ketahuilah, bahwa su-ul khatimah itu ada dua tingkat. Salah satu daripadanya lebih besar dari yang lain.
Adapun tingkat yang besar, yang mendahsyatkan, bahwa mengerasi atas hati, ketika sakratul-maut dan lahir kehuru-haraannya, adakalanya oleh keraguan dan adakalanya oleh keingkaran. Lalu ruh (nyawa) diambil dalam keadaan kerasnya keingkaran atau keraguan. Maka ikatan keingkaran yang mengerasi atas hati itu, menjadi dinding (hijab) diantaranya dan Allah Ta’ala untuk selama-lamanya. Dan yang demikian menghendaki akan kejauhan yang terus-menerus dan siksaan yang berkekalan.
Yang kedua, yaitu: kurang dari yang pertama tadi, bahwa mengerasi atas hatinya ketika mati, oleh kecintaan kepada sesuatu dari hal dunia dan keinginan dari keinginan-keinginan dunia. Maka membentuk yang demikian itu dalam hatinya dan menenggelamkannya. Sehingga, tidak ada lagi dalam keadaan itu, tempat yang lapang untuk yang lain. Maka berkebetulan pengambilan nyawanya dalam keadaan yang demikian. Maka adalah ketenggelaman hatinya dengan yang demikian itu, membalikkan kepalanya ke dunia. Dan memalingkan mukanya ke dunia itu. Manakala muka telah berpaling dari Allah Ta’ala, niscaya terjadilah hijab. Dan manakala telah terjadi hijab, niscaya turunlah azab. Karena neraka Allah yang menyala-nyala itu, tidak mengambil, selain orang-orang yang terhijab daripada Allah.
Adapun orang mu’min yang sejahtera hatinya dari kecintaan kepada dunia, yang terarah cita-citanya kepada Allah Ta’ala, maka neraka mengatakan kepadanya: “Lalulah, hai mu’min ! sinarimu telah memadamkan api baraku”. Manakala berkebetulan pengambilan nyawa dalam keadaan kerasnya kecintaan kepada dunia, maka keadaan amat berbahaya. Karena manusia itu mati, menurut apa yang ia hidup. Dan tidak mungkin diusahakan sifat yang lain bagi hati, sesudah mati, yang berlawanan dengan sifat yang mengerasi atas dirinya. Karena tidak berlaku pada hati, selain amal perbuatan anggota badan. Dan anggota badan itu telah batil/salah dengan mati. Maka batil/salahlah segala amal perbuatan. Maka tak ada harapan pada amal perbuatan lagi. Dan tak ada harapan untuk kembali ke dunia, untuk memperoleh apa yang hilang. Dan ketika itu, besarlah penyesalan. Hanya, pokok iman dan kecintaan kepada Allah Ta’ala, apabila telah melekat pada hati, maka itu masa yang panjang. Dan yang demikian, bertambah teguh, dengan amal-amal shalih. Maka itu menghapuskan dari hati, akan keadaan tersebut, yang datang bagi hati ketika mati. Kalau ada kekuatan imannya kepada batas seberat biji sawi, niscaya iman itu mengeluarkannya dari neraka, pada waktu yang sangat dekat. Dan kalau kurang dari yang demikian, niscaya lamalah berhentinya dalam neraka. Dan kalau tak ada imannya, selain seberat sebutir biji-bijian, maka tak dapat tidak, iman itu akan mengeluarkannya dari neraka, walaupun sesudah ribuan tahun. Kalau anda mengatakan: “Bahwa apa yang telah aku sebutkan itu menghendaki, bahwa bersegeralah neraka kepadanya, sesudah matinya. Maka apa artinya dikemudiankan kepada hari kiamat dan ditangguhkan sepanjang masa itu ?”.
Ketahuilah kiranya, bahwa setiap orang yang mengingkari akan azab kubur, maka orang itu pembuat bid’ah (yang diada-adakan) dan ia terdinding dari nur Allah Ta’ala, dari nur Alquran dan nur iman. Bahkan yang shalih dari orang-orang yang mempunyai mata hati, ialah apa yang shahih pada hadits-hadits, yaitu: bahwa kubur itu, adakalanya suatu lobang dari lobang-lobang neraka atau suatu taman dari taman-taman sorga. Dan kadang-kadang dibukakan kepada kubur yang diazabkan, 70 pintu dari neraka jahannam, sebagaimana tersebut pada hadits-hadits. Maka ketika nyawanya bercerai dari si mati, lalu turun padanya bala-bencana, kalau ia celaka dengan su-ul khatimah. Hanya bermacam-macam jenis azab itu, dengan bermacam-macam waktu. Maka adalah pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir ketika diletakkan orang yang mati itu dalam kubur dan penyiksaan sesudahnya. Kemudian perdebatan pada hitungan amal (hisab amal). Dan tersiarnya di hadapan orang banyak, yang menyaksikan di hari kiamat. Sesudah itu, bahaya pada titian shiratul-mustaqim. Yaitu: malaikat-malaikat penjaga neraka (az-zabaniyah). Sampai kepada penghabisan apa yang tersebut pada hadits-hadits. Maka senantiasalah orang yang celaka itu bulak-balik dalam semua keadaan nya, diantara berbagai macam azab siksaan. Dan diazabkan dalam jumlah hal keadaan itu, selain orang yang dilindungi oleh Allah dengan rahmatNya. Jangan anda menyangka, bahwa tempat iman itu dimakan oleh tanah. Akan tetapi, tanah memakan semua anggota badan dan dihancurkannya, sampai datang waktunya. Maka berkumpullah bahagian-bahagian badan yang telah cerai-berai. Dan dikembalikan nyawa kepadanya, dimana nyawa itu adalah tempatnya iman. Dan nyawa itu, sejak dari waktu mati, sampai kepada dikembalikannya, adakalanya: dalam perut burung hijau, yang tergantung di bawah ‘Arasy, jikalau nyawa itu berbahagia. Dan adakalanya dalam keadaan yang berlawanan dengan keadaan di atas, jikalau kita berlindung dengan Allah ada nyawa itu tidak mendapat kebahagiaan. Kalau anda bertanya: “Apa sebabnya yang membawa kepada su-ul khatimah ? maka ketahuilah, bahwa sebab-sebab keadaan ini, tidak mungkin dihinggakan dengan uraian. Akan tetapi, mungkin diisyaratkan kepada kumpulannya. Adapun kesudahan dengan keraguan dan keingkaran, maka terbatas sebabnya pada dua perkara:
Pertama: tergambar kesudahan itu serta sempurnanya wara’ (menjaga diri) dan zuhud dan sempurnanya kebaikan pada amal perbuatan, seperti orang yang mengerjakan bid’ah (yang diada-adakan), yang zuhud. Maka akibatnya berbahaya sekali. Walaupun amal perbuatannya shalih. Dan tidaklah aku maksudkan suatu mazhab, lalu aku katakan, bahwa: itu bid’ah (yang diada-adakan). Maka penjelasan yang demikian itu akan panjang pembicaraan padanya. Akan tetapi, aku kehendaki dengan bid’ah (yang diada-adakan), ialah: bahwa seseorang beri’tikad mengenai zat Allah Ta’ala, sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, menyalahi kebenaran. Lalu ia beri’tikad menyalahi apa yang sebenarnya. Adakalanya, dengan pendapatnya, dengan yang dipikirinya dan pandangannya, yang dengan demikian itu, ia berdebat dengan musuhnya. Kepada yang demikian, ia berpegang. Dan yang demikian itu, ia tertipu. Adakalanya, ia mengambil dengan ikut-ikutan (taqlid) dari orang, yang demikian keadaannya. Maka apabila telah mendekat mati, telah menampak baginya ubun-ubun. Malakul-maut dan bergoncangan hati, dengan apa padanya, kadang-kadang terbukalah baginya dalam keadaan sakaratul-maut itu, batalnya apa yang telah dii’tikadkannya, karena kebodohan. Karena keadaan mati itu, ialah: keadaan terbukanya tutup. Dan permulaan sakaratnya itu daripadanya. Maka kadang-kadang terbuka sebahagian perkara. Maka manakala batallah padanya, apa yang telah dii’tikadkannya (diyakininya) dan ia telah berketetapan hati dan yakin pada dirinya, niscaya ia tidak menyangka, bahwa ia bersalah pada i’tikad tersebut khususnya. Karena ia terbawa kepada pendapat yang batil/salah dan akal yang kurang. Bahkan, ia menyangka, bahwa setiap apa yang dii’tikadkannya itu tidak berasal. Karena tak ada padanya, perbedaan antara imannya kepada Allah dan RasulNya dan aqidah-aqidahnya yang lain yang benar, dengan i’tikad yang salah. Maka tersingkapnya sebahagian aqidahnya dari kebodohan, adalah sebab batalnya aqidah-aqidahnya yang lain. Atau karena keraguannya pada aqidah-aqidah itu. Kalau kebetulan keluar nyawanya pada kali ini, sebelum ia tetap dan kembali kepada pokok iman, maka berkesudahanlah baginya dengan keadaan buruk (su-ul khatimah). Dan keluarlah nyawanya di atas kemusyrikan. Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Mereka itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Dan ketika itu, jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Dan dengan firmanNya: “Katakan, akan Kami beritakankah kepadamu, orang-orang yang paling rugi dalam pekerjaannya ? mereka yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 103-104. Dan sebagaimana kadang-kadang, terbuka pada sakaratul-maut, sebahagian keadaan. Karena, kesibukan dunia dan nafsu keinginan badan, itulah yang mencegah hati daripada memperhatikan kepada alam-malakut (alam tinggi). Maka ia membaca, apa yang pada Luh Mahfudh, supaya terbuka baginya keadaan yang sebenarnya. Maka adalah contoh hal keadaan ini, menjadi sebab bagi terbuka (al-kasyaf (terbuka hijab) ). Dan adalah al-kasyaf (terbuka hijab)  itu menjadi sebab keraguan pada i’tikad-i’tikad lainnya. Setiap orang yang beri’tikad mengenai Allah Ta’ala, mengenai sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, akan sesuatu dibalik yang sebenarnya, maka adakalanya, karena ikut-ikutan (taqlid). Dan adakalanya, karena memperhatikan kepada pendapat dan pemikiran. Maka dia berada dalam bahaya ini. Zuhud dan keshalihan itu tidak mencukupi, untuk menolak bahaya tersebut. Akan tetapi, tiada yang melepaskan daripadanya, selain oleh i’tikad yang benar. Dan orang-orang dungu dapat tersingkirkan dari bahaya ini. Ya’ni: mereka yang beriman kepada Allah, RasulNya, dan hari akhirat, dengan iman yang mujmal (tiada terperinci), yang meresap dalam hatinya. Seperti: orang Arab dusun, orang-orang hitam dan orang-orang awam lainnya, yang tiada terjun dalam pembahasan dan pemerhatian. Dan mereka tidak masuk dalam ilmu kalam (ilmu ketuhanan) secara bebas. Dan mereka tidak bertekun kepada bermacam-macam jenis orang-orang ahli ilmu kalam (al-Mutakallim), pada mengikuti pembicaraan mereka itu yang bermacam-macam.
Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Kebanyakan isi sorga itu orang-orang dungu”. Karena itulah, dilarang oleh ulama salaf, dari pembahasan, pemerhatian dan penerjunan dalam ilmu kalam (berkata-kata). Dan pemeriksaan dari urusan-urusan itu. Mereka menyuruh manusia membatasi diri untuk mengimani, dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza Wa Jalla semuanya. Dan dengan setiap apa yang datang dari secara zahiriyah saja. Serta beri’tikad akan tidak keserupaan (dalam bentuk apapun antara Khaliq (yang maha pencipta) dengan makhluq). Mereka melarang manusia terjun dalam penafsiran (mencari pengertian yang dapat dipahami pikiran). Karena bahaya pada membahas sifat-sifat Allah itu amat besar, halangan-halangannya menyusahkan dan jalan-jalannya menyulitkan. Dan akal manusia untuk mengetahui keagungan Allah Ta’ala itu pendek. Dan petunjuk Allah Ta’ala dengan nurul-yaqin dari hati, dengan apa yang menjadi tabiatnya dari kecintaan kepada dunia itu, terhijab (terdinding).
 Dan apa yang disebutkan oleh para pembahas, dengan modal akal pikiran mereka itu kacau dan bertentangan. Dan hati, untuk apa yang disampaikan kepada nya pada permulaan kejadian itu merasa jinak. Dan dengannya itu tersangkut. Dan ta’assub (kefanatikan) yang berkobar diantara manusia itu merupakan paku-paku yang teguh, bagi kepercayaan-kepercayaan yang diwarisi. Atau yang diambil dengan baik sangka, dari para guru pada permulaan keadaannya. Kemudian, tabiat manusia itu tersangkut dengan kecintaan kepada dunia. Kepada dunia, tabiat itu menghadap. Dan nafsu keinginan dunia itu mencekek lehernya. Dan berpaling dari kesempurnaan berpikir. Maka apabila pintu pembicaraan mengenai Allah dan sifat-sifatNya, dengan pendapat dan akal itu dibuka, serta berlebih-kurangnya manusia tentang kecerdasan, berbedanya mereka pada tabiat dan lobanya setiap orang bodoh pada mendakwakan kesempurnaan atau mengetahui akan hakikat/makna kebenaran, niscaya terlepaslah lidah mereka, dengan apa yang terjadi, bagi setiap orang dari mereka.
 Dan menyangkutlah yang demikian dengan hati orang-orang yang memperhatikan kepada mereka. Dan teguhlah yang demikian, dengan lamanya kejinakan hati pada mereka. Lalu tersumbatlah secara keseluruhan, jalan kelepasan kepada mereka. Maka adalah keselamatan makhluk itu, dengan menyibukkan mereka dengan amal shalih (perbuatan yang baik). Dan tidak membawa mereka, kepada apa yang di luar dari batas kesanggupan mereka. Akan tetapi, sekarang telah menurunlah tali kekang dan telah berkembanglah kesia-siaan. Setiap orang bodoh menempatkan diri yang bersesuaian dengan pembawaannya, dengan sangkaan dan terkaan. Dia berkeyakinan, bahwa yang demikian itu ilmu dan yang meyakinkan. Dan itu iman yang murni. Ia menyangka, bahwa apa yang terjadi pada dirinya, dari terkaan dan uret-uretan itu ilmul-yaqin dan ‘ainul-yaqin. Dan akan anda ketahui beritanya sesudah seketika. Dan seyogyalah dinyanyikan mengenai mereka itu, ketika tersingkapnya tutup:
Engkau baikkan sangkaan,
dengan hari-hari, karena ia berbuat baik.
Dan engkau tidak takut akan keburukan,
apa yang didatangkan oleh taqdir.
Engkau diselamatkan oleh malam-malam,
lalu engkau tertipu dengan demikian.
Dan ketika jernihnya malam-malam,
datanglah kekeruhan.......
Ketahuilah dengan keyakinan, bahwa setiap orang yang memperbedakan iman yang penuh sangkaan dengan Allah, RasulNya dan kitab-kitabNya dan terjun dalam pembahasan, maka sesungguhnya ia menempuh bahaya ini. Contohnya adalah seperti orang yang pecah kapalnya dan dia dalam pukulan ombak. Ia dilemparkan oleh ombak ke ombak. Kadang-kadang, berbetulan ia dilemparkan ke pantai. Dan yang demikian itu jauh dari kejadian. Dan yang banyak terjadi, dia itu binasa.
Setiap orang yang turun kepada suatu aqidah/keyakinan, yang diperolehnya dari para pembahas, dengan modal akan pikiran mereka, adakalanya bersama dalil-dalil, yang diuraikannya dalam kefanatikan. Atau tanpa dalil-dalil. Maka jikalau dia itu ragu padanya, niscaya dia itu perusak agama. Dan jikalau ia percaya dengan yang demikian, maka dia itu merasa aman dari rencana Allah. Tertipu dengan akalnya yang kurang. Dan setiap orang yang terjun dalam pembahasan, maka ia tidak terlepas dari dua hal ini. Kecuali, apabila ia melampaui batas-batas yang diterima akal pikiran, kepada nur diminta untuk mengetahuinya saja, yang menjadi tempat terbitnya matahari pada alam kewalian dan kenabian. Dan yang demikian itu adalah belerang merah. Dan dimanakah mudah diperoleh ? dan yang selamat daripada bahaya ini, ialah: orang dungu dari orang awam. Atau mereka yang disibukkan oleh takutnya kepada neraka, dengan mentaati Allah. Maka mereka tidak terjun pada perbuatan yang tidak penting ini.
Maka inilah salah satu sebab yang membahayakan pada su-ul khatimah. Adapun kedua, yaitu: kelemahan iman pada pokok. Kemudian, kecintaan kepada dunia, menguasai hati. Dan manakala lemahlah iman, niscaya lemahlah kecintaan kepada Allah Ta’ala dan kuatlah kecintaan kepada dunia. Lalu jadilah, tidak ada lagi tempat dalam hati untuk mencintai Allah Ta’ala. Selain dari segi: kata hati. Dan tak lahir baginya bekas pada menyalahi hawa nafsu dan berpaling dari jalan setan. Maka yang demikian itu mewarisi kebinasaan pada mengikuti nafsu syahwat. Sehingga gelaplah hati, kesat dan hitam. Dan bertindis-lapis kegelapan hawa nafsu ke atas hati. Maka senantiasalah padam nur iman yang ada padanya, diatas kelemahannya itu. Sehingga jadilah yang demikian itu tabiat dan karat.
 Maka apabila datang sakaratul-maut, niscaya bertambahlah kecintaan itu. Ya’ni: kecintaan kepada Allah itu bertambah lemah, karena apa yang tampak dari perasaan berpisah dengan dunia. Dan dunia itu kecintaan yang mengerasi atas hati. Lalu hati itu merasa pedih dengan perasaan perpisahan dengan dunia. Dan ia melihat yang demikian dari Allah. Maka tergeraklah hatinya dengan mengingkari apa yang ditakdirkan kepadanya, dari kematian. Dan tiada menyukai yang demikian, dari segi, bahwa dia itu dari Allah. Maka ditakuti akan berkobar dalam batinnya akan kemarahan kepada Allah, ganti dari kecintaannya. Sebagaimana orang yang mencintai anaknya, dengan kecintaan yang lemah. Apabila anaknya itu mengambil hartanya, yang lebih dikasihinya dari anaknya dan dirusakkannya, niscaya berbaliklah kecintaan yang lemah itu kepada kemarahan. Maka jikalau berbetulan keluar nyawanya pada detik itu, yang terguris padanya gurisan ini, niscaya berkesudahanlah baginya dengan keburukan (su-ul khatimah). Dan binasalah ia untuk selama-lamanya. Dan sebab yang membawa kepada kesudahan yang seperti ini, ialah: kerasnya kecintaan kepada dunia, kecenderungan kepadanya dan gembira dengan sebab-sebabnya. Serta kelemahan iman, yang memastikan kelemahan kecintaan kepada Allah Ta’ala. Maka siapa yang memperoleh dalam hatinya kecintaan kepada Allah, yang lebih keras dari kecintaan kepada dunia, walaupun ada juga kecintaannya kepada dunia, maka dia itu lebih jauh dari bahaya tersebut.
Kecintaan kepada dunia itu, kepala (pokok) setiap kesalahan. Dan itu penyakit yang melumpuhkan. Dan telah meratai kepada segala jenis manusia. Dan yang demikian itu semuanya, karena sedikitnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) kepada Allah Ta’ala. Karena tiada yang mencintai akan Allah, selain orang yang mengenaliNya. Dan karena inilah Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, kalau semua itu lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjuang di jalan Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintahNya”. S 9 At Taubah ayat 24. Jadi, maka setiap orang yang berpisah nyawanya, pada keadaan detik keingkaran hatinya kepada Allah Ta’ala dan lahir kemarahan kepada perbuatan Allah dengan hatinya, pada terpisahnya diantara dia dan isterinya, hartanya dll yang dikasihinya, niscaya adalah kematiannya itu, merupakan kedatangan kepada yang dimarahi oleh Allah Ta’ala dan berpisah dengan apa yang dikasihinya. Maka ia datang kepada Allah, sebagai datangnya hamba yang dimarahi, yang lari dari tuannya, apabila ia datang kepada tuannya itu, karena terpaksa. Maka tidak tersembunyi lagi, apa yang berhak diterimanya, dari kehinaan dan hukuman.
Adapun orang yang mati diatas kecintaan kepada Allah, maka orang itu datang kepada Allah Ta’ala, sebagai datangnya hamba yang berbuat baik, yang rindu kepada Allah Ta’ala, sebagai datangnya hamba yang berbuat baik, yang rindu kepada tuannya, yang menanggung kesulitan-kesulitan perbuatan dan kesukaran-kesukaran perjalanan, karena mengharap bertemu dengan tuannya. Maka tidaklah tersembunyi, apa yang dijumpainya dari kesenangan dan kegembiraan, dengan semata-mata bertemu itu. Lebih-lebih dengan apa yang berhak diterimanya, dari kelemah-lembutan pemuliaan dan kecemerlangan penikmatan.
Adapun kesudahan kedua (al-khatimah ats-tsaniyah), yang kurang dari yang pertama itu dan tidak menghendaki kepada kekekalan dalam neraka, maka ia mempunyai juga dua sebab:
Yang pertama, banyak perbutan maksiat, walau imannya kuat.
Dan yang satu lagi (yang kedua), lemahnya iman, walaupun sedikit perbuatan maksiat.
Yang demikian itu, karena berbuat perbuatan maksiat itu, sebabnya ialah: kerasnya nafsu syahwat dan melekatnya di hati, disebabkan banyaknya kejinakan hati dan kebiasaan atas yang demikian. Dan semua yang suka hati manusia kepadanya, dalam umurnya, akan kembali ingatannya kepada hatinya ketika ia mati. Kalau kecenderungannya itu lebih banyak kepada perbuatan taat, niscaya adalah kebanyakan yang hadir kepada hatinya, ingatan taat kepada Allah Ta’ala. Dan kalau kecenderungannya lebih banyak kepada perbuatan maksiat, niscaya banyaklah ingatan kepada perbuatan maksiat itu pada hatinya, ketika mati. Maka kadang-kadang diambil nyawanya ketika kerasnya nafsu keinginan kepada dunia dan kepada perbuatan maksiat. Lalu terikat hatinya kepada yang demikian. Dan ia menjadi terhijab (terdinding) dari Allah Ta’ala. Maka orang yang tiada mengerjakan dosa, selain sekelumit, sesudah sekelumit, niscaya ia lebih jauh dari bahaya itu. Dan orang yang tiada sekali-kali mengerjakan dosa, maka dia itu jauh sekali dari bahaya itu. Dan orang yang banyak perbuatan maksiatnya dan lebih banyak dari perbuatan taatnya dan hatinya lebih senang dengan perbuatan maksiat itu dari perbuatan taat, maka bahaya itu besar sekali terhadap dirinya.
Akan kami perkenalkan ini dengan suatu contoh. Yaitu: sesungguhnya tiada tersembunyi kepada anda, bahwa manusia itu bermimpi sewaktu tidur, sejumlah hal-keadaan yang diketahuinya sepanjang umurnya. Sehingga dia itu bermimpi, sesuai dengan yang dilihatnya sewaktu ia jaga. Dan sehingga anak yang mendekati dewasa (al-muhariq) yang bermimpi dengan keluar maninya (al-ihtilam), niscaya tidak akan memimpikan bentuk bersetubuh, apabila ia belum pernah bersetubuh dalam jaganya. Dan kalau tetap ia dalam beberapa waktu, seperti yang demikian, niscaya ia tiada akan melihat dalam mimpinya akan bentuk bersetubuh. Kemudian, tiada tersembunyi lagi, bahwa orang yang menghabiskan umurnya mempelajari ilmu fikih, niscaya akan bermimpi hal ihwal yang menyangkut dengan ilmu dan ulama, lebih banyak daripada yang dimimpikan oleh seseorang saudagar, yang menghabiskan umurnya dalam perniagaan. Dan seorang saudagar yang bermimpi tentang hal-ihwal yang menyangkut dengan perniagaan dan sebab-sebabnya itu lebih banyak dari yang dimimpikan oleh seorang dokter dan seorang ahli fikih (al-faqih). Karena, timbul dalam keadaan tidur itu, apa yang telah dihasilkannya, bersesuaian dengan hati, dengan lamanya kejinakan hati atau dengan salah satu sebab-sebab lain.
 Mati itu menyerupai tidur. Akan tetapi, diatas dari tidur. Akan tetapi, sakratul-maut dan yang mendahuluinya dari kepingsanan itu mendekati tidur. Maka yang demikian itu, menghendaki teringatnya yang dibiasakan oleh hati. Dan kembalinya kepada hati. Dan salah satu sebab yang menguatkan berhasilnya ingatan itu dalam hati, ialah: lamanya kejinakan hati dahulu kepadanya. Maka lamanya kejinakan hati dengan perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan taat juga, menguatkan yang demikian. Dan yang demikian itu berlainan pula antara tidurnya orang-orang shalih dan orang-orang fasik. Maka adalah kerasnya kejinakan hati itu menjadi sebab untuk tergambarnya bentuk yang keji dalam hatinya. Dan cenderung jiwanya kepadanya. Lalu kadang-kadang nyawanya diambil diatas yang demikian. Maka adalah yang demikian itu menjadi sebab buruk kesudahannya (su-ul khatimah). Walaupun pokok iman masih ada, menurut yang diharapkan keikhlasannya pada yang demikian.
Sebagaimana apa yang terguris di hatinya waktu jaga, sesungguhnya itu terguris dengan sebab khas (yang khusus), yang diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka seperti demikian juga, bagi masing-masing tidur itu mempunyai sebab-sebab pada sisi Allah Ta’ala. Sebahagiannya kita ketahui dan sebahagiannya tidak kita ketahui. Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang terguris di hati itu berpindah dari sesuatu, kepada yang bersesuaian dengan dia. Adakalanya, disebabkan keserupaan. Adakalanya, disebab keberlawanan. Dan adakalanya, disebabkan keberbandingan. Dengan adanya telah datang kepada pancaindra dari yang demikian. Adapun disebabkan keserupaan, maka dengan sebab memadang kepada suatu yang cantik, lalu teringat kepada yang cantik, yang lain. Adapun disebabkan keberlawanan, maka dengan melihat kepada yang cantik, lalu teringat kepada yang buruk. Dan memperhatikan tentang sangat berlebih-kurangnya diantara keduanya itu. Adapun disebabkan keberbandingan, maka dengan melihat kepada seekor kuda yang telah dilihatnya sebelumnya, serta seorang insan. Maka ia teringat akan insan itu. Kadang-kadang yang terguris di hati itu berpindah dari sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dan ia tidak tahu segi kesesuaiannya. Dan adalah yang demikian itu, dengan suatu perantaraan dan dua perantaraan. Seperti ia berpindah dari sesuatu yang pertama, kepada sesuatu yang kedua. Dan daripadanya kepada sesuatu yang ketiga. Kemudian, ia lupa kepada yang kedua. Dan tak ada kesesuaian antara yang ketiga dan yang pertama. Akan tetapi, ada kesesuaian antara yang ketiga dan yang kedua. Dan antara yang kedua dan yang pertama. Maka seperti demikian juga, bagi perpindahan gurisan-gurisan hati dalam tidur itu mempunyai sebab-sebab, dari jenis ini. Dan seperti yang demikian juga, ketika sakaratul-maut.
Maka diatas dasar ini dan ilmu itu pada Allah bahwa orang, yang pekerjaan menjahit adalah terbanyak kesibukannya, maka anda akan melihat, bahwa orang itu menunjukkan kepada kepalanya, seakan-akan ia mengambil jarum pejahit, untuk dia menjahit dengan jarum penjahit itu. Dan ia membasahkan anak jarinya, yang menjadi kebiasaan baginya, dengan sarung jari. Ia mengambil kain sarung dari atasnya. Diukur dan dijengkalinya. Seakan-akan ia akan berbuat menceraikan kain sarung itu. Kemudian, ia memanjangkan tangannya kepada gunting.
Siapa yang menghendaki untuk mencegah gurisan hatinya kepada berpindah pada perbuatan maksiat dan nafsu syahwat, maka tiada jalan baginya, selain bermujahadah (bersungguh‑sungguh) sepanjang umur, untuk memisahkan dirinya dari yang demikian. Dan pada mencegah nafsu syahwatnya dari hati. Maka ini adalah kadar yang masuk di bawah ikhtiar (usaha). Dan selalu rajin kepada kebajikan dan melepaskan diri dari kejahatan adalah alat dan simpanan untuk ketika sakaratul-maut. Sesungguhnya manusia itu akan mati, diatas apa yang ia hidup. Dan akan dibangkitkan di atas apa yang ia mati.
Karena itulah, dinukilkan dari keadaan seorang tukang juang buah-buahan, bahwa ia diajarkan (ditalqinkan) ketika akan mati, dua kalimah syahadah. Lalu tukang jual buah-buahan itu menjawab: 5,6,4. Adalah jiwanya sibuk dengan hitungan yang selalu dikerjakannya sebelum mati. Sebahagian kaum berilmu ma’rifah (orang-orang ‘arifin) dari ulama-ulama terdahulu, mengatakan: “Arasy itu suatu permata yang nurnya gilang-gemilang. Maka tiadalah hamba itu di atas suatu keadaan, melainkan tercaplah sepertinya pada ‘Arasy, di atas bentuk yang ada padanya. Maka apabila hamba itu pada sakaratul-maut, niscaya terbukalah bentuknya dari ‘Arasy. Kadang-kadang ia melihat dirinya diatas bentuk maksiat. Dan seperti itu juga, terbuka baginya pada hari kiamat. Lalu ia melihat keadaan dirinya. Maka ia mengambil dari malu dan takut, akan sifat yang mulia. Dan apa yang disebutkan oleh orang arifin tadi itu benar ! dan sebabnya mimpi yang benar itu mendekati yang demikian. Sesungguhnya orang yang tidur itu mengetahui apa yang akan ada, pada masa mendatang, dari membaca Luh-Mahfudh. Dan itu adalah sebahagian dari nubuwwah (kenabian).
Jadi, su-ul khatimah itu kembali kepada hal-keadaan hati dan masuknya gurisan-gurisan hati. Dan yang membalik-balikkan hati, ialah: Allah. Dan kebetulan-kebetulan yang menghendaki kepada buruknya gurisan-gurisan hati itu tidak masuk di bawah usaha, secara keseluruhan. Walaupun ada pembekasan karena lamanya kejinakan hati padanya. Maka dengan ini, sangatlah takutnya orang-orang arifin kepada su-ul khatimah. Karena jikalau manusia mengingini, bahwa tidak melihat dalam mimpinya, selain hal-ihwal orang-orang shalih dan hal-ihwal taat dan ibadah, niscaya sukarlah yang demikian kepadanya. Walaupun banyaknya keshalihan dan rajin pada keshalihan itu, termasuk yang membekas padanya. Akan tetapi, kegoncangan-kegoncangan khayalan itu, secara keseluruhan, tidak masuk di bawah kendalian. Walaupun biasanya ada kesesuaian, apa yang tampak dalam tidur itu, dengan apa yang biasanya dalam jaga. Sehingga aku mendengar Syaikh Abu Ali Al-Farimadzi ra menyifatkan (menerangkan) kepadaku, wajibnya kebagusan adab seorang murid bagi gurunya (syaikhnya). Dan bahwa tidak ada dalam hatinya, penentangan bagi setiap apa yang dikatakan oleh syaikhnya. Dan tidak ada pada lidahnya pertengkaran dengan gurunya. Syaikh Abu Ali berkata: “Aku ceritakan kepada guruku Abil-Qasim Al-Kirmani akan mimpiku. Aku mengatakan: “Aku bermimpi, bahwa tuan guru mengatakan kepadaku demikian...... Lalu aku bertanya, mengapa yang demikian itu ?”. Syaikh Abu Ali meneruskan ceritanya: “Lalu guruku Abil-Qasim Al-Kirmani membekot aku sebulan. Beliau tidak berbicara dengan aku. Dan mengatakan: “Jikalau tidaklah dalam batin engkau, pembolehan penuntutan dan penentangan terhadap apa yang aku katakan kepada engkau, niscaya tidaklah berlaku yang demikian atas lidah engkau dalam tidur”. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Abil-Qasim Al-Kirmani itu. Karena sedikitlah dimimpikan oleh manusia dalam tidurnya, akan kebalikan dari apa yang biasa waktu jaga pada hatinya. Inilah kadar yang kami perbolehkan menyebutkannya pada ilmu Mu’amalah (perniagaan), dari rahasia-rahasia persoalan al-khatimah/kesudahan. Dan dibalik yang demikian itu masuk dalam Ilmu Muksyafah.
 Dan telah terang bagi anda dengan ini, bahwa merasa aman dari su-ul khatimah, ialah: dengan anda melihat segala sesuatu itu, menurut yang sebenarnya, tanpa kebodohan. Dan anda halau semua umur dalam ketaatan kepada Allah, tanpa ada kemaksiatan. Maka jikalau anda tahu, bahwa yang demikian itu mustahil atau sukar, niscaya tidak boleh tidak, bahwa keraslah di atas anda ketakutan, akan apa yang telah keras atas orang-orang arifin. Sehingga dengan sebabnya itu, lamalah tangisan anda dan pekikan anda. Dan terus-meneruslah dengan yang demikian itu, kegundahan anda dan kekacauan pikiran anda. Sebagaimana akan kami ceritakan dari hal-ihwal nabi-nabi dan orang-orang salaf yang shalih. Supaya adalah yang demikian itu salah satu sebab yang mengobarkan api ketakutan dari hati anda. Sesungguhnya anda mengetahui dengan ini, bahwa amal perbuatan selama umur seluruhnya itu lenyap, jikalau tidak selamat pada nafas yang akhir, pada waktu keluarnya nyawa. Dan selamatnya itu serta bergoncangnya gelombang kegurisan-gurisan di hati itu sukar sekali. Dan karena itulah, Mathraf bin Abdullah mengatakan: “Sesungguhnya aku tidak heran akan orang yang binasa, bagaimana ia binasa. Akan tetapi, aku heran akan orang yang terlepas dari kebinasaan, bagaimana maka ia terlepas”.
Dan karena itulah, Hamid Al-Laffaf berkata: “Apabila naiklah para malaikat dengan membawa ruh hamba yang mu’min, yang sudah mati di atas kebajikan dan agama Islam, niscaya heranlah para malaikat dari yang demikian. Dan mereka mengatakan: “Bagaimana terlepasnya si Ini dari dunia, yang telah rusak padanya orang-orang pilihan kita ?”.
Ats-Tsuri pada suatu hari menangis. Lalu ditanyakan kepadanya: “Atas dasar apa anda menangis ?”. Beliau menjawab: “Kami menangis di atas dosa-dosa pada suatu ketika. Maka sekarang, kami menangis di atas Islam”.
Kesimpulannya, bahwa orang yang jatuh kapalnya dalam lautan yang dalam dan diserang oleh angin ribut dan dipukul oleh ombak, niscaya kelepasan pada orang ini, adalah lebih jauh, dibandingkan dengan kebinasaan. Dan hati orang mu’min itu, lebih berat pukulannya, dibandingkan dengan kapal. Dan ombak kegurisan-kegurisan di hati itu, lebih besar tamparannya, dari ombak lautan. Dan sesungguhnya yang menakutkan ketika mati itu, ialah kekuatiran su-ul khatimah saja. Dan itulah yang disabdakan Nabi saw: “Sesungguhnya orang yang beramal dengan amalan penduduk sorga selama 50 tahun. Sehingga tidak ada lagi, diantaranya dan sorga, selain masa perhentian diantara dua kali memerah susu unta. Maka berkesudahan bagi orang itu, dengan apa yang telah terdahulu baginya suratan amal”. Masa diantara dua kali memerah susu unta itu, tidak termuat untuk amalan yang mengharuskan ketidak-beruntungan. Akan tetapi, itu adalah gurisan-gurisan hati yang kacau-balau. Dan terguris sebagai gurisan kilat yang menyambar.
Sahl berkata: “Aku bermimpi, seakan-akan aku dimasukkan ke dalam sorga. Lalu aku melihat 300 orang nabi. Maka aku bertanya kepada mereka: “Apakah yang lebih kamu takuti, dari apa-apa yang kamu takuti di dunia ?”. Para nabi itu menjawab: “Su-ul khatimah !”. Oleh karena bahaya yang besar ini, maka mati syahid itu digemari orang. Dan mati secara tiba-tiba itu tidak disukai. Adapun mati secara tiba-tiba, maka karena mati itu kadang-kadang berkebetulan ketika kerasnya gurisan jahat dan menguasainya pada hati. Dan hati itu terlepas dari hal-hal yang seperti itu, kecuali ditolak dengan kebencian atau dengan nur ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Adapun mati syahid, maka karena mati syahid itu adalah ibarat dari pengambilan nyawa, dalam keadaan yang tak ada lagi dalam hati, selain kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dan telah keluar dari hati kecintaan kepada dunia, isteri, harta, anak dan semua nafsu syahwat. Karena ia tidak menyerbu ke barisan perang, yang menempatkan dirinya pada kematian, selain karena cinta kepada Allah, mencari keridhaanNya, menjual dunianya dengan akhiratnya dan ridha dengan penjualan, yang diperjual-belikan oleh Allah Ta’ala dengan dia. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Penjual itu –sudah pasti –tidak ingin lagi kepada barang yang dijualnya. Telah keluar kecintaannya dari hatinya. Dan semata-mata kecintaan itu sekarang tertuju dalam hatinya kepada harga yang dimaksud. Keadaan yang seperti ini, kadang-kadang mengerasi pada hati dalam sebahagian hal-ihwal yang lain. Akan tetapi, tiada berbetulan keluar nyawanya pada hal keadaan itu. Maka barisan perang itu sebab bagi keluarnya nyawa, di atas hal keadaan yang tersebut. Ini adalah terhadap orang yang tiada bermaksud untuk menang, harta rampasan dan bagus suara orang tentang keberaniannya. Maka orang yang ini keadaannya, jikalau ia terbunuh dalam peperangan, niscaya dia itu jauh dari derajat yang seperti ini, sebagaimana telah dibuktikan oleh hadits-hadits.
Ketika telah terang bagi anda, makna su-ul khatimah dan apa yang menakutkan padanya, maka berbuatlah dengan menyiapkan diri untuknya. Maka rajinlah berdzikir (mengingati) akan Allah Ta’ala ! keluarkanlah dari hati anda, akan kecintaan kepada dunia ! jagalah anggota tubuh anda dari perbuatan maksiat dan hati anda daripada berpikir padanya ! dan peliharalah kesungguhan anda daripada menyaksikan perbuatan-perbuatan maksiat dan menyaksikan orang-orangnya! sesungguhnya yang demikian itu juga membekas pada hati anda. Dan memalingkan kepadanya pikiran anda dan gurisan-gurisan hati anda. Awaslah bahwa anda menyerahkan hal itu kepada masa nanti dan mengatakan: “Aku akan menyiapkan untuk itu, apabila telah datang al-khatimah (kesudahan)”.
Sesungguhnya setiap nafas engkau itu kesudahan engkau. Karena mungkin padanya akan disambar nyawa engkau. Maka intiplah akan hati engkau pada setiap detik ! awaslah bahwa engkau melengahkannya, akan sedetikpun ! mungkin detik itu kesudahan engkau. Karena mungkin akan disambar nyawa engkau padanya. Ini adalah selama engkau dalam jaga. Adapun apabila engkau tidur, maka awaslah bahwa engkau tidur itu, selain di atas kesucian zahir dan batin. Dan jagalah, bahwa tidur itu mengerasi akan engkau, selain sesudah banyaklah dzikir kepada Allah pada hati engkau. Aku tidak mengatakan pada lidah engkau. Sesungguhnya gerakan lidah semata-mata itu lemah kesannya (membekasnya). Dan ketahuilah dengan yakin, bahwa tiada yang mengerasi atas hati engkau ketika tidur, selain apa yang biasanya ada sebelum tidur. Sesungguhnya, tiada yang mengerasi pada tidur, selain apa yang biasanya telah mengerasi sebelum tidur. Dan tidak membangkit dari tidur engkau, selain apa yang mengerasi atas hati engkau pada tidur engkau.
Kematian dan kebangkitan itu menyerupai tidur dan jaga. Maka sebagaimana hamba itu tidak tidur, selain di atas apa yang telah mengerasinya pada jaganya dan ia tidak jaga (bangun dari tidur), selain di atas apa, ia berada dalam tidurnya, maka seperti demikianlah, manusia itu tidak akan mati, selain di atas apa yang ia hidup padanya. Dan ia tidak akan dibangkitkan, selain di atas apa yang ia mati padanya. Yakinilah dengan tegas yakin, bahwa kematian dan kebangkitan itu dua keadaan dari hal-hal keadaan engkau. Sebagaimana tidur dan jaga itu dua keadaan dari hal-hal keadaan engkau. Dan percayalah dengan ini, dengan pembenaran dengan i’tikad hati, jikalau engkau tidak ahli untuk menyaksikan yang demikian, dengan ‘ainul-yaqin dan nur penglihatan hati !. Intiplah nafas engkau dan detik-detik engkau ! dan jagalah diri engkau, daripada melupakan kepada Allah sekejap matapun ! maka sesungguhnya, apabila engkau berbuat setiap yang demikian itu, niscaya engkau berada dalam bahaya besar. Maka bagaimana apabila engkau tidak berbuat ? manusia itu semua dalam kebinasaan, selain orang-orang yang berilmu. Dan orang-orang yang berilmu itu semua dalam kebinasaan, selain orang-orang yang beramal. Dan orang-orang yang beramal itu semua dalam kebinasaan, selain orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu dalam bahaya besar.
Ketahulah, bahwa yang demikian itu tidak mudah atas engkau, selama engkau tidak merasa cukup dari dunia, sekadar yang penting bagi engkau. Dan yang penting bagi engkau itu, ialah: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dan yang lain dari itu semua adalah hal kelebihan (tidak perlu). Dan yang penting dari makanan, ialah: yang dapat menegakkan tulang pinggang engkau dan menyumbat nyawa engkau dari keluar. Maka seyogyalah bahwa pengambilan engkau itu, sebagai pengamblan orang yang sangat memerlukan, yang tidak begitu suka kepadanya. Dan tidak ada keinginan engkau kepadanya, lebih banyak dari keinginan engkau pada membuang air besar engkau (berqodo hajat). Karena, tiada berbeda, antara memasukkan makanan dalam perut dan mengeluarkannya dari perut. Keduanya itu penting pada tabiat kejadian manusia. Dan sebagaimana tidaklah membuang air besar itu termasuk cita-cita engkau yang menyibukkan hati engkau, maka tiada seyogyalah bahwa mengambil makanan itu termasuk dari cita-cita engkau. Dan ketahuilah, bahwa jikalau adalah cita-cita engkau itu apa yang masuk ke dalam perut engkau, maka nilai engkau itu apa yang keluar dari perut engkau. Apabila tidak ada maksud engkau dari makanan, selain taqwa kepada ibadah kepada Allah Ta’ala, seperti maksud engkau dari membuang air besar engkau, maka tanda yang demikian itu tampak pada tiga hal dari makanan engkau, yaitu: pada waktunya, kadarnya dan jenisnya. Adapun waktu, maka sekurang-kurangnya bahwa dicukupkan pada sehari semalam, dengan satu kali. Maka dibiasakan berpuasa. Adapun kadarnya, maka bahwa tidak lebih dari 1/3 perut. Adapun jenisnya, maka tidak dicari makanan yang enak. Akan tetapi, dicukupkan dengan apa yang kebetulan ada. Jikalau engkau sanggup di atas tiga keadaan ini dan gugur dari engkau perbelanjaan nafsu keinginan yang enak-enak, niscaya sangguplah engkau sesudah itu, pada meninggalkan harta yang diragukan halalnya (harta syubhat). Dan memungkinkan engkau, bahwa engkau tidak makan, selain dari halal. Sesungguhnya yang halal itu sukar dan tidak menyempurnakan semua keinginan nafsu.
Adapun pakaian engkau, maka adalah maksud engkau dari padanya, ialah: menolak panas dan dingin dan menutupi aurat. Maka setiap apa yang menolak kedinginan dari kepala engkau, walaupun dengan peci, yang harganya 1/6 dirham, maka engkau mencari yang lain dari itu, merupakan hal yang berkelebihan dari engkau, yang menyia-nyiakan masa engkau. Dan mengharuskan engkau bekerja terus-terusan dan kepayahan pada menghasilkannya. Sekali dengan usaha dan pada kali yang lain dengan harap, dari yang haram dan harta syubhat (diragukan). Kiaskanlah dengan ini, akan apa yang dapat engkau tolakkan panas dan dingin dari badan engkau ! maka setiap apa yang dapat menghasilkan maksud pakaian, apabila engkau tidak merasa cukup dengan yang demikian, lantaran buruk mutu dan jenisnya, niscaya tidak adalah bagi engkau tempat berdiri dan kembali sesudahnya. Akan tetapi, adalah engkau itu termasuk orang yang perutnya dipenuhi oleh tanah.
Seperti demikian pula tempat tinggal. Jikalau engkau merasa cukup dengan maksud dari tempat tinggal itu, niscaya mencukupilah bagi engkau langit itu menjadi atap. Dan bumi itu tempat ketetapan. Jikalau engkau dikerasi oleh panas atau dingin, maka haruslah engkau tinggal di masjid. Jikalau engkau mencari tempat yang khusus, niscaya panjanglah waktu atas engkau. Dan teralihlah kepadanya kebanyakan umur engkau. Dan umur engkau itu adalah harta kekayaan engkau. Kemudian, jikalau mudahlah bagi engkau, lalu engkau maksudkan dari dinding itu, selain dari untuk mendindingi diantara engkau dan mata orang. Dan dari atap, selain dari untuk menolak hujan. Lalu engkau meninggikan dinding dan menghiaskan atap-atap. Maka engkau terjatuh dalam jurang, yang menjauhkan kemungkinan engkau dapat mendaki daripadanya.
 Begitulah semua kepentingan urusan engkau, jikalau engkau singkatkan seperlunya saja, niscaya engkau dapat mengisikan semua waktu untuk Allah. Dan engkau sanggup menyediakan perbekalan bagi akhirat engkau dan bersiap untuk kesudahan engkau. Dan jikalau engkau lampaui batas yang penting, kepada lembah angan-angan, niscaya kenyanglah angan-angan engkau. Dan Allah tidak memperdulikan pada lembah yang mana, yang membinasakan engkau. Maka terimalah nasehat ini, dari orang yang sangat memerlukan nasehat dari engkau !
 Ketahuilah, bahwa lapangan mengatur, mencari perbekalan dan menjaga diri, adalah umur yang singkat ini. Kalau engkau dorong umur ini dari hari ke hari, tentang menyerahkan kepada masa depan atau engkau lengah, niscaya engkau disambar dengan tiba-tiba pada bukan waktu kehendak engkau. Dan tidak berpisah dari engkau, kerugian dan penyesalan engkau. Jikalau engkau tidak sanggup bergantung kepada apa, yang telah aku berikan petunjuk, disebabkan lemahnya takut engkau, karena tidak ada pada urusan kesudahan (al-khatimah) yang telah aku terangkan itu, mencukupi pada menakutkan engkau, maka akan kami bentangkan kepada engkau hal-ihwal orang-orang yang takut, yang kami harap, dapat menghilangkan sebahagian kekesatan hati engkau.
Maka sesungguhnya engkau yakini, bahwa akal pikiran nabi-nabi, wali-wali, ulama-ulama, amal mereka dan kedudukan mereka, pada sisi Allah Ta’ala itu, tidaklah kurang dari akal pikiran engkau, amal engkau dan kedudukan engkau. Maka perhatikanlah, serta kaburnya mata penglihatan engkau dan rusaknya mata hati engkau, tentang hal keadaan mereka ! mengapa bersangatan kepada mereka itu ketakutan? dan berkepanjangan pada mereka itu kegundahan dan tangisan ? sehingga ada sebahagian mereka itu mati pingsan. Sebahagian mereka itu merasa dahsyat. Sebahagian jatuh dalam keadaan tidak menyadarkan diri. Dan sebahagiannya jatuh tersungkur ke bumi dan meninggal. Dan tidak ragu lagi, jikalau ada yang demikian itu tidak membekas pada hati engkau. Sesungguhnya hati orang-orang yang lalai itu seperti batu atau lebih kesat lagi. Dan sebahagian dari batu itu sesungguhnya tatkala memancar daripadanya sungai-sungai. Dan sebahagian daripadanya tatkala pecah retak, lalu keluar daripadanya air. Dan sebahagian daripadanya, tatkala ia turun dari ketakutan kepada Allah. Dan tidaklah Allah itu lalai dari apa yang kamu kerjakan.
PENJELASAN: hal-ihwal nabi-nabi dan malaikat-malaikat as tentang takut.
Diriwayatkan ‘Aisyah, bahwa Rasulullah saw apabila terjadi perobahan udara dan berhembus angin keras, maka wajah beliau berobah. Beliau bangun dan bolak-balik dalam kamar. Beliau masuk dan keluar. Semua itu adalah karena takut kepada azab Allah. Nabi saw membaca suatu ayat dari surat Al-Waqi’ah. Lalu beliau jatuh pingsan. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan Musa jatuh pingsan”. S 7 Al A’raaf ayat 143. Rasulullah saw melihat bentuk malaikat Jibril dengan meniarap. Lalu beliau jatuh pingsan. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw apabila beliau masuk pada shalat, maka terdengar guruh bagi dadanya, seperti bunyi guruhnya periuk tembaga. Nabi saw bersabda: “Tiada sekalipun Jibril itu datang kepadaku, selain dia itu gemuruh bunyinya, karena takut kepada Yang Maha Perkasa”. Ada yang mengatakan, bahwa tatkala telah tampak atas Iblis, apa yang telah tampak, maka Jibril dan Mikail senantiasa menangis. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada keduanya: “Apakah kiranya kamu berdua menangis setiap tangisan ini ?”. Keduanya menjawab: “Hai Tuhan ! kami tidak merasa aman dari rencana Engkau”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Begitulah kiranya kamu berdua ! kamu tidak merasa aman dari rencanaKu”.
Dari Muhammad bin Al-Munkadir yang mengatakan: “Tatkala diciptakan neraka, maka jantung para malaikat itu terbang dari tempatnya. Maka tatkala diciptakan anak-anak Adam, lalu jantung itu kembali”. Dari Anas ra, bahwa Nabi saw bertanya kepada Jibril: “Mengapakah aku tidak melihat Mikail itu ketawa?” Maka Jibril menjawab: “Mikail itu tidak ketawa, semenjak diciptakan neraka”.
Dikatakan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat, yang tiada seorangpun dari mereka itu ketawa semenjak diciptakan neraka. Karena takut, bahwa Allah marah kepada mereka. Lalu Ia mengazabkan mereka dengan neraka itu. Ibnu Umar ra berkata: “Aku keluar bersama Rasulullah saw. Sehingga beliau masuk ke sebahagian kebun orang-orang anshar. Lalu beliau memetik buah kurmanya dan beliau makan. Maka beliau bersabda: “Hai Ibnu Umar ! mengapa engkau tidak makan ?”. Aku lalu menjawab: “Aku tiada keinginan untuk memakannya”. Maka Nabi saw bersabda: “Tetapi aku ingin memakannya. Dan ini pagi ke-4, yang aku tidak merasakan makanan dan tidak memperolehnya. Jikalau aku meminta pada Tuhanku, niscaya diberikanNya kepadaku, akan kerajaan kaisar (Rumawi) dan kisra (Parsia). Maka bagaimana dengan engkau, hai Ibnu Umar, apabila engkau berada di suatu kaum (golongan), yang menyembunyikan rezeki tahunan mereka dan lemah keyakinan pada hati mereka ?”. Ibnu Umar ra meneruskan riwayatnya: “Demi Allah ! senantiasalah kami di tempat kami itu. Dan tidak bangun berjalan, sehingga turunlah ayat: “Dan berapa banyaknya binatang yang tiada membawa rezekinya sendiri. Allah yang memberinya makan dan (memberi makan) kamu. Dan dia Maha mendengar dan Maha Tahu”. S 29 Al Ankabuut ayat 60. Ibnu Umar meneruskan riwayatnya: “Maka Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kamu menyimpan harta dan tidak menuruti nafsu syahwat. Barangsiapa menyimpan dinar (uang emas), yang ia maksudkan untuk hidup yang fana, maka sesungguhnya hidup itu di Tangan (kekuasaan) Allah. Ketahuilah, bahwa aku tidak menyimpan satu dinar dan satu dirhampun dan aku tidak menyembunyikannya untuk rezeki besok”.
 Abud-Darda berkata: “Adalah terdengar suara guruh jantung Ibrahim Khalilur-rahman as, apabila ia bangun pada shalat, dari jarak perjalanan 1 mil, karena takut kepada Tuhannya”. Mujahid berkata: “Nabi Daud as menangis 40 hari dalam bersujud, yang tiada mengangkat kepalanya, sampai tumbuh rumput dari air matanya. Dan sampai ia menutupkan kepalanya. Lalu ia dipanggil: “Hai Daud ! adakah engkau lapar, maka engkau diberi makan ? atau engkau haus, maka engkau diberi minum? Atau engkau tiada pakaian (bertelanjang), maka engkau diberi pakaian ?”. Lalu nabi Daud as itu memekik dengan pekikan yang mengeringkan kayu. Maka kayu itu terbakar dari kepanasan takutnya. Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan taubat kepadanya dan ampunan. Maka ia berdoa: “Wahai Tuhan ! jadikanlah kesalahanku dalam tapak tanganku !”. Maka jadilah kesalahannya itu tertulis pada tapak tangannya. Maka ia tidak membuka tapak tangannya untuk makan, minum dan lainnya, melainkan ia melihat kesalahannya yang tertulis itu. Lalu membawa ia menangis. Mujahid meneruskan riwayatnya: “Dan dibawa kepada Daud as gelas yang berisi 2/3 nya. Maka apabila ia memegangnya, lalu ia melihat kesalahannya. Maka tidaklah diletakkannya gelas itu pada bibirnya, sampai penuh gelas itu dengan air matanya”. Diriwayatkan dari nabi Daud as bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya ke langit, sampai ia wafat. Karena malu kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia mengucapkan dalam munajahnya: “Wahai Tuhanku ! apabila aku ingat akan kesalahanku, niscaya sempitlah kepadaku bumi, serta lapangnya. Dan apabila aku ingat akan rahmatMu, niscaya kembalilah kepadaku nyawaku. Maha Suci Engkau wahai Tuhanku ! Engkau datangkan tabib-tabib hamba Engkau, untuk mengobati kesalahanku. Maka semua mereka menunjukkan aku kepada Engkau. Maka siallah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Engkau !
Al-Fudlail berkata: “Bahwa sampai kepadaku pada suatu hari, nabi Daud as mengingati dosanya. Maka ia melompat dengan memekik dan meletakkan tangannya ke atas kepalanya. Sehingga ia sampai di bukit-bukit. Lalu berkumpul binatang buas kepadanya. Maka Nabi Daud as berkata: “Pulanglah, aku tiada berkehendak kepadamu ! sesungguhnya yang aku kehendaki, ialah setiap orang yang menangis diatas kesalahannya. Maka ia tiada menghadap aku, selain dengan tangisan. Dan siapa yang tiada mempunyai kesalahan, maka tidak diperbuatnya akan kesalahan dengan Daud”.
Adalah Nabi Daud as mencela tentang banyaknya tangisan. Beliau berkata: “Tinggalkanlah aku menangis, sebelum keluar hari tangisan, sebelum pengrobekan tulang-belulang dan nyala terbakarnya perut. Dan sebelum disuruhkan kepadaku, para malaikat, yang bersikap kasar dan keras. Mereka itu tiada mendurhakai Allah, terhadap apa yang disuruhNya. Dan mereka berbuat akan apa yang disuruhkan”.
Abdul-aziz bin Umar berkata: “Tatkala Daud memperoleh kesalahan, maka kuranglah merdu suaranya. Lalu ia berdoa: “Wahai Tuhanku ! bolehkanlah suaraku dalam kebersihan suara orang-orang shiddiq !”. Diriwayatkan, bahwa nabi Daud as tatkala telah lama tangisannya dan tidak bermanfaat yang demikian, lalu sempitlah baju besinya dan bersangatanlah gundah hatinya. Maka beliau berdoa: “Wahai Tuhan ! apakah tidak Engkau mengasihani akan tangisanku ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud ! engkau lupa akan dosa engkau dan engkau ingat akan tangisan engkau”. Nabi Daud as berdoa: “Wahai Tuhanku dan Penghuluku ! bagaimana aku lupa akan dosaku dan aku apabila membaca kitab Zabur, niscaya ia mencegah air yang mengalir dari mengalirnya. Menenangkan hembusan angin. Dan burung menaungi aku atas kepalaku. Dan aku menjinakkan binatang-binatang liar ke tempat shalatku (mihrabku). Wahai Tuhanku dan Penghuluku ! maka apakah keliaran ini yang ada diantaraku dan Engkau ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud: “Hai Daud ! itu adalah kejinakan taat dan ini keliaran maksiat ! hai Daud ! Adam itu makhluk dari ciptaanKu. Aku ciptakan dia dengan Tangan (kekuasaan)Ku. Aku hembuskan padanya dari ruhKu. Aku suruh sujud kepadanya para malaikatKu. Aku pakaikan padanya kain kemuliaanKu. Aku letakkan mahkota padanya, dengan mahkota kemuliaanKu. Ia mengadu kepadaKu akan kesendirian, maka Aku kawinkan dia dengan Hawa hamba wanitaKu. Aku tempatkan dia dalam sorgaKu. Maka ia berbuat maksiat kepadaKu. Lalu Aku usir dia dari tetanggaKu, dengan tak berpakaian dan hina. Hai Daud ! dengarlah dari Aku ! yang benar Aku firmankan. Engkau taat akan Kami, maka Kami patuh kepada engkau. Engkau minta kepada Kami, maka Kami berikan kepada engkau. Engkau berbuat maksiat kepada Kami, maka Kami perlahan-lahan kepada engkau. Dan kalau engkau kembali kepada Kami, atas apa yang ada dari engkau, niscaya Kami terima akan engkau !”.
 Yahya bin Abi Katsir berkata: “Telah sampai kepada kami riwayat, bahwa nabi Daud as, apabila ia bermaksud meratap, niscaya ia berhenti sebelum itu selama seminggu, tidak makan makanan, tidak minum minuman dan tidak mendekati wanita. Apabila ia sehari sebelum itu, maka dikeluarkan mimbar baginya di tanah lapang. Maka ia suruh Sulaiman, supaya menyerukan dengan suara, yang meminta kedatangan tamu, dari negeri itu dan sekelilingnya. Yaitu: dari semak-semak, bukit-bukit, gunung-gunung, padang sahara, candi-candi dan biara-biara. Maka diserukan padanya: “Ketahuilah, siapa yang ingin mendengar ratapan Daud atas dirinya, maka datanglah !”.
Yahya bin Abi Katsir meneruskan ceritanya: “Maka datanglah binatang-binatang liar dari padang sahara dan bukit-bukit. Dan datanglah binatang-binatang buas dari semak-semak. Dan datanglah binatang-binatang yang menjalar dari gunung-gunung. Dan datanglah burung-burung dari sarang-sarangnya. Dan datang lah anak-anak gadis dari pingitannya. Dan berkumpullah manusia untuk hari itu. Dan datanglah Daud, lalu ia naik di mimbar. Dan ia dikeliling oleh Bani Israil (kaum Yahudi). Setiap bahagian mengelilingi nabi Daud di atas batasnya. Dan nabi Sulaiman as berdiri setentang kepalanya. Lalu nabi Daud itu memuji Tuhannya. Maka gemparlah mereka itu dengan tangisan dan pekikan. Kemudian, nabi Daud as menyebut sorga dan neraka. Maka matilah binatang-binatang yang menjalar dan segolongan dari binatang-binatang liar, binatang-binatang buas dan manusia. Kemudian, nabi Daud menerangkan tentang huru-hara hari kiamat dan pada meratapi dirinya. Maka matilah dari setiap macam itu suatu golongan. Maka tatkala Sulaiman melihat banyak yang mati, lalu berkata: “Wahai ayahku ! ayah telah merobek-robekkan para pendengar itu dengan setiap robekan. Dan telah mati beberapa golongan dari Bani Israil dan dari binatang-binatang liar dan binatang-binatang yang menjalar”. Maka nabi Daud as lalu berdoa. Dalam keadaan dia yang demikian, tiba-tiba ia dipanggil oleh sebahagian budak Bani Israil: “Hai Daud ! engkau terlalu cepat meminta balasan dari Tuhan engkau”. Yahya bin Abi Katsir meneruskan riwayatnya: “Maka Daud jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan. Maka tatkala nabi Sulaiman melihat apa yang telah menimpa ayahnya (nabi Daud as), lalu ia mendatangkan tempat tidur dan diletakkannya nabi Daud di atasnya. Kemudian, nabi Sulaiman menyuruh orang yang menyeru, sbb: “Ketahuilah, siapa yang berteman atau berfamili dengan Daud, maka hendaklah mendatangkan tempat tidur ! maka hendaklah membawanya di tempat tidur itu ! sesungguhnya orang-orang yang berada bersama Daud, mereka itu telah terbunuh (mati) oleh menyebutkan sorga dan neraka”. Adalah seorang wanita mendatangkan tempat tidur dan dibawanya familinya dengan tempat tidur itu, seraya mengatakan: “Wahai orang yang terbunuh oleh penyebutan neraka ! wahai orang yang terbunuh oleh ketakutan kepada Allah !”. Kemudian, tatkala Daud telah sembuh dari pingsannya, lalu bangun berdiri. Dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ia masuk ke rumah ibadahnya dan dikuncikan nya pintunya. Dan ia berdoa: “Wahai Tuhan Daud ! adakah Engkau marah kepada Daud ?”. Dan senantiasalah ia  membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya. Maka datanglah Sulaiman dan duduk di pintu. Dan meminta izin masuk. Kemudian, ia masuk. Dan padanya ada roti syair (serupa dengan gandum). Lalu ia berkata: “Hai ayahku ! kuatkan diri dengan ini, menurut kehendak ayah !”. Lalu nabi Daud as memakan roti itu, masya Allah banyaknya. Kemudian, beliau keluar, menemui kaum Bani Israil (Yahudi). Maka ia berada di antara mereka.
Yazid Ar-Raqqasyi berkata: “Pada suatu hari, nabi Daud as keluar kepada orang banyak. Beliau memberi pengajaran kepada mereka dan memberi berita takut. Lalu beliau keluar kepada manusia, yang jumlahnya 40 ribu orang. Maka mati 30 ribu orang dari mereka. Dan beliau pulang dalam jumlah manusia 10 ribu orang lagi. Yazid Ar-Raqqasyi meneruskan riwayatnya: “Nabi Daud as mempunyi dua orang budak wanita, yang diambilnya untuk melayaninya. Sehingga apabila datang kepadanya ketakutan dan jatuh, lalu ia gugup, maka dua budak wanita itu duduk di atas dadanya dan di atas dua kakinya. Karena takut bercerai-berai anggota tubuhnya dan sendi-sendinya, lalu ia wafat nanti”.
Ibnu Umar ra berkata: “Nabi Yahya bin Zakaria as masuk ke Baitul-makdis. Dan dia itu berumur 8 kali hajji. Lalu ia melihat kepada orang-orang yang sedang beribadah diantara mereka, yang memakai baju sempit lengan, dari bulu dan wol. Ia melihat orang-orang yang ahli ijtihad (bersunguh-sungguh mengeluarkan pendapat) dari mereka, telah mengoyakkan baju yang besar lehernya. Dan mereka perbuat dengan baju itu seperti tali rantai. Dan mereka mengikatkan dirinya ke tepi Baitul-makdis. Maka yang demikian itu mendahsyatkan Yahya bin Zakaria as. Lalu ia pulang kepada ibu bapaknya. Ia melintasi anak-anak kecil yang sedang bermain-main. Mereka mengatakan kepadanya: “Hai Yahya ! marilah kita bermain-main !”. Yahya bin Zakaria as menjawab: “Aku tidak dijadikan untuk bermain-main”. Ibnu Umar ra meneruskan riwayatnya: “Maka datanglah Yahya menemui ibu bapaknya. Ia meminta pada ibu bapaknya, supaya ia diberi pakaian bulu. Lalu ibu bapaknya berbuat demikian. Maka Yahya as kembali ke Baitul-makdis. Ia melayani Baitul-makdis itu pada siang hari. Dan ia bermalam sampai pagi di dalamnya. Sampai ia berumur 15 tahun. Lalu ia keluar dan selalu ia tinggal di bukit-bukit dan di lembah-lembah diantara bukit-bukit itu. Maka pergilah ibu bapak nabi Yahya mencarinya kesana kemari. Lalu keduanya mengetahui, bahwa Yahya berada di danau Al-Ardun, merendamkan kedua kakinya dalam air. Sehingga hampirlah kehausan itu menyembelihnya (membunuhnya). Nabi Yahya itu berdoa: “Demi kemuliaan Engkau dan demi keagungan Engkau ! aku tiada akan merasakan kedinginan minuman, sebelum aku tahu, dimana tempatku daripada Engkau”. Maka ibu bapaknya meminta, supaya ia memakan roti syair yang ada pada keduanya. Dan meminum dari air itu. Lalu Yahya memperbuat yang demikian dan memberikan kafarat dari sumpahnya. Maka ia dipujikan sebagai orang yang berbakti. Dan ia dibawa pulang oleh ibu bapaknya ke Baitul-makdis. Dan adalah Yahya, apabila ia bangun mengerjakan shalat, niscaya ia menangis. Sehingga menangislah bersama Yahya itu, kayu dan tanah. Dan nabi Zakaria as (ayah nabi Yahya) itu juga menangis, dari karena menangisnya Yahya. Sehingga ia pingsan. Terus-meneruslah Yahya itu menangis. Sehingga air matanya mengoyakkan daging dua pipinya. Dan tampaklah gigi gerahamnya bagi orang-orang yang melihatnya. Lalu ibunya mengatakan kepadanya: “Hai anakku ! kalau engkau izinkan bagiku, aku perbuat sesuatu yang menutupkan gigi gerahammu dari orang-orang yang memandangnya”. Maka Yahya as mengizinkan yang demikian bagi ibunya. Lalu ibunya mengambil dua potong kain bulu. Maka dilekatkannya ke dua pipi Yahya as. Dan Yahya as itu apabila bangun mengerjakan shalat, niscaya menangis. Apabila air matanya tergenang pada dua potong kain bulu itu, niscaya datang ibunya kepadanya. Lalu ia memeras kedua kain bulu itu. Apabila Yahya as melihat air matanya mengalir di lengan ibunya, lalu ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! inilah air mataku ! inilah ibuku ! dan aku hambaMu dan Engkau yang sangat pengasih dari yang pengasih”. Pada suatu hari, nabi Zakaria as berkata kepada Yahya as: “Aku bermohon kepada Tuhanku, kiranya Ia memberikan engkau bagiku, supaya tetaplah dua mataku dengan engkau”. Lalu Yahya as menjawab: “Hai ayahku ! bahwa Jibril as memberi kabar kepadaku, bahwa diantara sorga dan neraka itu padang pasir, yang tidak dapat dilampaui, selain oleh setiap yang menangis”. Maka nabi Zakaria as menyahut: “Hai anakku ! menangislah !”.
Nabi Isa Al-Masih berkata: “Hai para sahabatku ! takut kepada Allah dan cinta kepada sorga Firdaus itu mewariskan kesabaran di atas kesulitan. Dan dua hal itu menjauhkan dari dunia. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu, bahwa memakan syair dan tidur di atas sampah bersama anjing, pada mencari sorga Firdaus itu sedikit jumlah orangnya”.
Dikatakan, adalah nabi Ibrahim Khalilullah as, apabila mengingati kesalahannya niscaya ia pingsan. Dan terdengar getaran hatinya sejauh 1 mil. Maka datanglah Jibril kepadanya, seraya berkata: “Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Adakah engkau melihat khalil itu takut akan Khalilnya?” Maka Ibrahim as menjawab: “Hai Jibril ! bahwa apabila aku mengingati kesalahanku, niscaya aku lupa akan ketemananku”. Inilah hal keadaan nabi-nabi as. Maka ambillah perhatian padanya ! sesungguhnya mereka makhluk Allah yang lebih mengenal (ma’rifah) akan Allah dan sifat-sifatNya. Rahmat Allah kepada mereka sekalian dan kepada setiap hamba Allah yang mendekatkan diri kepadaNya (al-muqarrabin). Mencukupilah Allah bagi kita. Dan sebaik-baik Yang Diserahkan urusan kepadaNya.
PENJELASAN: hal-ihwal para sahabat, tabi’in, salaf dan orang-orang shalih tentang sangatnya takut.
Diriwayatkan, bahwa Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata kepada burung: “Semoga kiranya aku seperti engkau, hai burung ! aku tidak dijadikan sebagai manusia”. Abu Dzar ra berkata: “Aku mengingini, jikalau aku ini sepohon kayu yang ditolong orang”. Begitu juga, kata Thalhah. Usman ra berkata: “Aku mengingini, bahwa aku ini apabila mati, tidak dibangkitkan”. ‘Aisyah berkata: “Aku mengingini, bahwa aku ini dilupakan orang”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra jatuh pingsan dari ketakutan, apabila mendengar suatu ayat dari Alquran. Maka ia dikunjungi beberapa hari. Dan pada suatu hari ia mengambil sepotong jerami dari tanah. Lalu mengatakan: “Kiranya aku ini adalah jerami ini ! kiranya tidaklah aku ini sesuatu yang disebutkan orang ! kiranya adalah aku dilupakan orang ! kiranya aku ini, tidaklah dilahirkan oleh ibuku”. Adalah pada wajah Umar ra dua garis hitam dari air mata. Dan beliau ra mengatakan: “Siapa yang takut kepada Allah, niscaya ia tidak merasa sembuh kemarahan Allah kepadanya. Siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya tidak diperbuatnya, akan apa yang dikehendaki nya. Dan jikalau tidak adalah hari kiamat, niscaya adalah Allah lain dari apa yang kamu lihat”. Tatkala Umar ra membaca ayat: “Ketika matahari telah digulung. Dan ketika bintang-bintang jatuh bertaburan. Ketika gunung-gunung telah dihilangkan. Dan ketika unta-unta betina telah ditinggalkan. Dan ketika binatang-binatang liar dikumpulkan. Dan ketika lautan bergelombang besar. Dan ketika diri (manusia) dikumpulkan. Dan ketika ditanyai anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup: karena dosa apakah dia dibunuh. Dan ketika buku-buku (lembaran) disebarkan”. S 81 At Takwiir ayat 1 sampai 10, maka Umar ra itu jatuh tersungkur dengan pingsan.
Pada suatu hari, Umar ra melintasi rumah seorang insan, yang sedang shalat dan membaca S 52 Ath-Thuur ayat 1. Lalu beliau berhenti dan mendengar. Tatkala sampai kepada firmanNya Yang Maha Agung: “Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya”. S 52 Ath Thuur ayat 7 dan 8, lalu beliau turun dari keledainya dan bersandar ke dinding. Dan berhenti beberapa waktu. Kemudian, beliau kembali ke rumahnya. Lalu sakit sebulan, yang dikunjungi oleh manusia ramai. Dan mereka tidak tahu, apa sakitnya.
Ali ra berkata dan beliau baru saja memberi salam (menyiapkan) dari shalat fajar (shalat Subuh) dan telah meninggi kegundahan hatinya dan beliau membalik-balikkan tangannya: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad saw. Maka pada hari ini, aku tiada melihat suatupun yang menyerupai dengan mereka. Sesungguhnya adalah para sahabat itu berpagi hari, dengan rambut yang kusut, bermuka kuning (pucat) dan berdebu. Diantara mata mereka itu seperti lutut kambing (dari bekas sujud). Mereka pada malam hari bersujud dan menegakkan shalat karena Allah. Mereka membaca Kitab Allah. Mereka membuat giliran, diantara dahi dan tapak kaki mereka. Maka apabila berpagi hari, maka mereka berdzikir kepada Allah. Mereka bergoncang badannya, seperti bergoncang nya kayu pada hari berangin. Dan berhamburan matanya dengan air mata. Sehingga basah kain mereka. Demi Allah ! maka seakan-akan aku dengan kaum itu menjadi orang-orang yang lalai dari berdzikir kepada Allah Ta’ala”. Kemudian, beliau bangun berdiri. Maka sesudah itu, tiada terlihat lagi beliau tertawa, sampai ia dibunuh oleh Ibnu Muljam.
 ‘Imran bin Hushain berkata: “Aku ini ingin bahwa aku ini debu, yang dihembuskan angin pada hari yang berangin kencang”. Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah ra berkata: “Aku ingin bahwa aku ini kibasy (biri-biri). Maka aku disembelihkan oleh keluargaku. Mereka memakan dagingku. Dan mereka merasakan kuahku”. Adalah Ali bin Al-Husain ra apabila mengambil wudhu, maka kuning (pucat) warnanya. Maka keluarganya bertanya kepadanya: “Apakah ini yang terbiasa pada engkau ketika berwudhu ?”. Beliau menjawab: “Apakah kamu tahu, dihadapanku, siapa yang aku kehendaki untuk berdiri karenaNya ?”.
Musa bin Mas’ud berkata: “Adalah kami, apabila kami duduk berhadapan dengan Ats-Tsauri, niscaya seakan-akan api telah mengelilingi kami. Karena kami melihat dari ketakutan dan kegundahannya”. Mudlar Al-Qari’ pada suatu hari membaca: “Inilah kitab (catatan) Kami, yang mengatakan kepada kamu, menurut keadaan yang sebenarnya. Sesungguhnya Kami menyuruh menuliskan segala apa yang kamu kerjakan”. S 45 Al Jaatsiah ayat 29. Maka Abdul-wahid bin Zaid menangis, sehingga pingsan. Maka tatkala telah sembuh, beliau berkata: “Demi keagungan Engkau ! aku tiada mendurhakai Engkau oleh tenagaku untuk selama-lamanya. Maka tolonglah aku dengan taufiq Engkau kepada mentaati Engkau”.
Adalah Al-Musawwar bin Makhzamah, tidak kuat untuk mendengar sesuatu dari Alquran, karena sangat takutnya. Sesungguhnya dibacakan padanya suatu huruf dan ayat, lalu ia memekik dengan suatu pekikan keras. Maka ia tidak dapat berakal (berpikir) beberapa hari. Sehingga datanglah kepadanya seorang laki-laki dari Khats’am. Maka orang itu membacakan kepadanya: “Di hari itu, Kami kumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sebagai menyambut perutusan. Dan Kami halau orang-orang yang berbuat kesalahan ke dalam neraka secara kasar”. S 19 Maryam ayat 85-86. Lalu Al-Musawwar bin Makhzamah berkata: “Aku termasuk orang-orang yang berbuat kesalahan. Dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa. Ulangilah kepadaku bacaan itu, hai qari’ (pembaca) ! Lalu diulanginya, maka pingsanlah Al-Musawwir. Sehingga ia meninggal dunia (kembali ke akhirat).
 Dibacakan pada Yahya Al-Bakka’ (Yahya yang banyak menangis): “Dan kalau engkau lihat ketika mereka ditegakkan di hadapan Tuhan”. S 6 Al An’aam ayat 30. Maka Yahya Penangis itu memekik dengan pekikan yang keras, yang dia berhenti dari pekikan itu karena sakit selama 4 bulan. Ia dikunjungi orang dari segala penjuru kota Basrah.
 Malik bin Dinar berkata: “Sewaktu aku berthawaf mengelilingi Baitullah (Ka’bah), tiba-tiba aku dekat seorang anak perempuan yang kuat beribadah. Ia bergantung pada tirai Ka’bah dan berdoa: “Hai Tuhanku ! banyaklah nafsu keinginan, yang telah hilang kelezatannya dan tinggal ikutannya (akibatnya) ! Hai Tuhanku ! apakah tidak ada bagi Engkau pelajaran dan siksaan, selain neraka ?”. Dan ia menangis. Maka senantiasalah yang demikian, di tempat berdirinya, sehingga terbit fajar”.
 Malik berkata: “Maka tatkala aku melihat yang demikian, lalu aku letakkan tanganku ke atas kepalaku. Dan dengan menjerit aku berkata: “Ditiadakan Malik oleh ibunya”. Diriwayatkan, bahwa Al-Fudlail dilihat orang pada hari Arafah (tanggal 9 Zulhijjah) dan orang banyak itu berdoa. Dan Al-Fudlail itu menangis, sebagai tangisnya wanita yang kehilangan anak, yang menghadapi kebarakan. Sehingga, apabila matahari hampir terbenam, maka Al-Fudlail menggenggam janggutnya. Kemudian, mengangkatkan kepalanya ke langit dan berdoa:“Demi kejahatanku pada Engkau ! dan kalau kiranya Engkau ampunkan!”
Kemudian, ia berbalik bersama manusia ramai. Ditanyakan Ibnu Abbas ra dari hal orang-orang yang takut. Maka beliau menjawab: “Hati mereka disebabkan takut itu luka dan mata mereka menangis. Mereka mengatakan, bagaimana kami bergembira dan mati itu di belakang kami dan kubur itu di hadapan kami. Hari kiamat itu janjian bagi kami. Di atas neraka jahannam jalanan kami. Dan dihadapan Allah Tuhan kami, tempat perhentian kami”.
Al-Hasan Al-Bashari  ra melewati seorang pemuda dan pemuda itu tenggelam dalam tertawa. Dia duduk bersama orang banyak pada suatu majelis. Lalu Al-Hasan berkata kepadanya: “Hai anak muda ! adakah engkau lalui titian ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak !”. Al-Hasan bertanya lagi: “Adakah engkau ketahui, engkau berkesudahan ke sorga atau ke neraka ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak !”. Al-Hasan bertanya pula: “Maka apakah ketawa ini ?”. Al-Hasan berkata: “Maka anak muda itu tidak terlihat lagi ketawa sesudah itu”.
Adalah Hammad bin Abdurabbih, apabila ia duduk, maka ia duduk dengan tidak tenang di atas kedua tapak kakinya. Lalu ia ditanyakan: “Jikalau anda duduk tenang, ya ?”. Maka beliau menjawab: “Itu duduk orang yang merasa aman. Dan aku tidak merasa aman. Karena aku berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala”. Umar bin Abdul-aziz ra berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan kelalaian pada hati hambaNya, sebagai suatu rahmat. Supaya mereka tidak mati dari karena takut kepada Allah Ta’ala”.
Malik bin Dinar berkata: “Sesungguhnya aku bercita-cita apabila aku mati, akan aku suruh mereka mengikatkan aku dan merantaikan aku. Kemudian, mereka melepaskan aku kepada Tuhanku, sebagaimana dilepaskan hamba yang lari kepada tuannya”. Hatim Al-Ashamm berkata: “Jangan engkau terperdaya dengan tempat yang baik. Maka tiada tempat yang terbaik, selain dari sorga.
Dan nabi Adam as telah menemui dalam sorga, apa yang telah ditemuinya. Dan engkau jangan terperdaya dengan banyak ibadah ! sesungguhnya Iblis, sesudah lama ia beribadah, maka ditemuinya, akan apa yang telah ditemuinya. Dan jangan engkau terperdaya dengan banyak ilmu ! sesungguhnya Bal’am adalah mengetahui dengan baik akan nama Allah Yang Maha Agung. Maka perhatikanlah, apa yang telah ditemuinya ! dan janganlah engkau terperdaya dengan melihat orang-orang shalih ! maka tiada seorangpun yang lebih besar tingkatnya di sisi Allah, dari Nabi yang pilihan Muhammad saw. Dan tidak dapat diambil manfaat oleh keluarganya dan musuhnya dengan menemuinya”.
As-Sirri berkata: “Bahwa aku melihat setiap hari beberapa kali, kepada hal-hal yang menidakkan (hal-hal yang negatif). Karena takut., bahwa ada yang menghitamkan mukaku”. Abu Hafash berkata: “Semenjak 40 tahun yang lampau, i’tikadku/keyakinanku pada diriku, bahwa Allah memandang kepadaku dengan pandangan marah. Dan amal perbuatanku menunjukkan kepada yang demikian”. Ibnul-Mubarak pada suatu hari pergi kepada teman-temannya. Lalu mengatakan: “Bahwa aku kemarin memberanikan diri kepada Allah. Aku meminta kepadaNya akan sorga”.
Ummu Muhammad bin Ka’ab Al-Qaradhi mengatakan kepada puteranya: “Hai anakku ! aku mengenal engkau anak kecil yang baik dan anak yang sudah besar, yang baik. Dan seakan-akan engkau telah mendatangkan suatu kejadian yang membinasakan. Karena apa, yang aku lihat engkau mengerjakannya, pada malam dan siang engkau bermacam ibadah”. Anak itu menjawab: “Hai ibuku ! aku tidak merasa aman, bahwa Allah Ta’ala melihat kepadaku dan aku di atas sebahagian dosa-dosaku. Maka Ia mengutukkan aku. Dan Ia berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu, Aku tiada mengampunkan engkau”.
Al-Fudlail berkata: “Bahwa aku tidak iri hati kepada nabi yang menjadi rasul, kepada malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan kepada hamba yang shalih. Bukankah mereka itu menyaksikan akan huru-hara hari kiamat ? sesungguhnya aku iri hati kepada orang yang tidak diciptakan”. Diriwayatkan, bahwa seorang pemuda anshar, masuk kepadanya perasaan takut kepada neraka. Lalu ia menangis. Sehingga yang demikian itu, menahankannya dalam rumah. Maka datanglah Nabi saw. Lalu beliau masuk ke tempatnya dan berpeluk-pelukan leher dengan dia. Lalu anak muda itu jatuh tersungkur dalam keadaan meninggal dunia. Maka Nabi saw bersabda: “Uruslah mayat temanmu ! maka sesungguhnya takut dari neraka itu menghancurkan jantungnya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Maisarah, bahwa ia apabila pergi ke tempat tidurnya, maka ia mengatakan: “Wahai kiranya ibuku tidak memperanakkan aku!”. Maka ibunya mengatakan kepadanya: “Hai Maisarah ! bahwa Allah Ta’ala telah berbuat baik kepada engkau. DitunjukkanNya engkau kepada agama Islam”. Maisarah menjawab: “Benar ! akan tetapi, Allah telah menerangkan kepada kita, bahwa kita datang ke neraka. Dan tidak diterangkanNya kepada kita, bahwa kita keluar dari neraka”.
Dikatakan kepada Farqad As-Sabakhi: “Terangkanlah kepada kami, sesuatu yang paling menakjubkan, yang sampai kepada engkau dari kaum Bani Israil (kaum Yahudi) !”. Farqad As-Sabakhi menjawab: “Telah sampai berita kepadaku, bahwa telah masuk ke Baitul-makdis sejumlah 500 wanita perawan (gadis). Pakaian mereka itu kain bulu (wol) dan tenunan bulu. Lalu mereka berbincang-bincang (mengadakan diskusi) tentang pahala dan siksaan Allah. Maka mereka itu mati semuanya pada satu hari”.
 Adalah ‘Atha As-Salimi dari orang-orang yang takut. Dia tidak meminta sorga pada Allah selama-lamanya. Ia meminta pada Allah akan kemaafanNya. Dan ditanyakan kepadanya dalam sakitnya: “Apakah anda tidak mengingini akan sesuatu ?”. Maka ia menjawab: “Bahwa ketakutan kepada neraka jahannam, tidak meninggalkan tempat dalam hatiku, untuk nafsu keinginan”. Dan orang mengatakan, bahwa ‘Atha As-Salimi tidak mengangkatkan kepalanya ke langit dan tidak tertawa, selama 40 tahun. Dan pada suatu hari, ia mengangkatkan kepalanya. Lalu ia terkejut dan jatuh. Maka pecahlah dalam perutnya suatu pecahan. Ia menyentuh badannya pada sebahagian malam, karena takut bahwa badannya itu berobah kepada yang lebih buruk. Adalah, apabila mereka (manusia) kena angin atau kilat atau mahal makanan, maka ‘Atha As-Salimi mengatakan: “Ini dari karenaku, yang menimpa kepada mereka. Jikalau matilah ‘Atha’, niscaya manusia memperoleh kesenangan”. ‘Atha’ berkata: “Kami keluar bersama ‘Atbah Al-Ghulam. Dan dalam rombongan kami itu orang-orang tua dan pemuda-pemuda. Mereka mengerjakan shalat fajar (shalat Subuh) dengan wudhu Isya. Tapak kaki mereka telah bengkak, lantaran lamanya berdiri. Maka mereka telah masuk dalam kepalanya. Kulit mereka telah melekat pada tulangnya. Dan tinggallah urat-uratnya itu, seolah-olah tali gitar. Mereka berpagi hari, seolah-olah kulit mereka itu kulit buah mentimun. Dan seolah-olah mereka telah keluar dari kuburan, dimana mereka menerangkan, bagaimana Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang taat. Dan bagaimana Allah menghinakan orang-orang yang berbuat maksiat. Pada waktu mereka itu sedang berjalan kaki, ketika seorang dari mereka itu melewati suatu tempat, lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Maka duduklah para sahabatnya dikelilingnya menangis pada hari yang sangat dingin. Tepi dahi orang itu bercucuran keringat. Lalu mereka mendatangkan air dan menyapu muka orang itu. Maka orang itu sembuh dari pingsannya. Dan mereka bertanya tentang keadaannya. Maka orang itu menjawab: “Bahwa aku teringat, aku telah berbuat maksiat kepada Allah pada tempat itu”.
Shalih Al-Marri mengatakan: “Aku bacakan ayat di bawah ini kepada seorang laki-laki dari orang-orang yang banyak ibadahnya: “Pada hari dibalik-balik muka mereka dalam neraka, (dan) mereka berkata: Wahai: Alangkah baik kiranya (hendaknya) kami patuh (taat) kepada Allah dan patuh kepada Rasul !”. S 33 Al Ahzab ayat 66. Lalu orang itu pingsan. Kemudian, setelah ia sembuh dari pingsannya, lalu berkata: “Tambahkan lagi kepadaku, hai Shalih ! sesungguhnya aku dapati kesedihan”. Maka aku bacakan: “Setiap mereka hendak keluar dari dalamnya karena kesedihan, lantas mereka dikembalikan lagi ke dalamnya”. S 22 Al Hajj ayat 22. Lalu laki-laki yang banyak ibadahnya itu jatuh tersungkur dan meninggal dunia.
 Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Abi Aufa mengerjakan shalat Subuh dengan orang banyak. Maka tatkala beliau membaca ayat: “Maka ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8. Lalu beliau jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan. Maka beliau dibawakan, sudah meninggal dunia.
Yazid Ar-Raqqasyi masuk ke tempat Umar bin Abdul-aziz. Maka Umar bin Abdul-aziz berkata: “Berilah pengajaran kepadaku, hai Yazid !”. Yazid menjawab: “Wahai amirul-mu’minin ! ketahuilah bahwa tidaklah engkau khalifah pertama yang mati”. Maka Umar bin Abdul-aziz menangis, kemudian berkata: “Tambahkanlah pengajaran kepadaku !”. Yazid menjawab: “Hai amirul-mu’minin ! tiadalah diantara engkau dan Adam itu bapak, selain orang yang sudah meninggal”. Maka Umar bin Abdul-aziz menangis. Kemudian ia berkata: “Tambahkan lagi, hai Yazid !”. Yazid menjawab: “Hai amirul-mu’minin ! tiadalah diantara engkau dan antara sorga dan neraka itu tempat”. Lalu Umar bin Abdul-aziz jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan.
Maimun bin Mahran berkata: “Tatkala turun ayat ini: “Dan sesungguhnya neraka jahannam tempat yang telah dijanjikan buat mereka semuanya”. S 15 Al Hijr ayat 43. Maka Salman Al-Farisi memekik dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ia lari keluar dari rumahnya, selama 3 hari, di mana orang-orang tidak sanggup mengejarinya”. Daud Ath-Tha-i melihat seorang wanita menangis pada kepala kuburan anaknya. Wanita itu mengatakan: “Hai anakku ! kiranya aku ketahui, pintu-pintu yang mana, yang pertama-tama dimulai oleh ulat”. Maka Daud pingsan dan jatuh ke tempatnya. Dikatakan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri sakit. Lalu dibawa oleh penunjuknya kepada seorang tabib dzimmi. Tabib itu mengatakan: “Inilah orang, yang ketakutannya telah memutuskan jantungnya”. Kemudian tabib itu datang dan memegang urat-uratnya. Kemudian, tabib itu mengatakan: “Tidak aku tahu, bahwa pada agama yang benar, ada orang yang seperti Sufyan ini”.
Ahmad bin Hanbal ra berkata: “Aku bermohon kepada Allah ‘Azza Wa Jalla kiranya Ia membuka kepadaku pintu ketakutan. Maka dibukaNya. Lalu aku takut kepada akalku. Maka aku berdoa: “Hai Tuhanku ! sekadar apa yang aku sanggupi”. Maka tenanglah hatiku”. Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: “Menangislah ! maka kalau engkau tidak dapat menangis, maka berbuat tangislah ! demi Tuhan, yang diriku di TanganNya ! kalau tahulah seorang kamu akan pengetahuan, niscaya ia berteriak, sehingga putuslah suaranya. Dan ia mengerjakan shalat, sehingga pecahlah tulang pinggangnya”. Seakan-akan Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengisyaratkan kepada makna sabda Nabi saw: “Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”.
Al-Anbari berkata: “Berkumpul para perawi hadits di pintu Al-Fudlail bin Iyadl. Maka terlihat kpada mereka dari lobang dinding, Al-Fudlail itu menangis. Dan janggutnya bergoyang-goyang. Lalu Al-Fudlail berkata: “Haruslah kamu dengan Alquran ! haruslah kamu mengerjakan shalat ! berhati-hatilah kamu, tidaklah ini zaman hadits. Sesungguhnya ini zaman menangis, merendahkan diri, ketetapan hati dan doa, seperti doanya orang yang karam. Sesungguhnya ini zaman: peliharalah lisan engkau, sembunyikanlah tempat engkau, obatilah hati engkau, ambillah apa yang engkau pandang ma’ruf/baik dan tinggalkanlah apa yang engkau pandang munkar/buruk !”.
Pada suatu hari, orang melihat Al-Fudlail berjalan kaki. Lalu ditanyakan: “Mau kemana ?”. Al-Fudlail menjawab: “Tidak aku tahu”. Adalah Al-Fudlail berjalan kaki itu, untuk melengahkan dari ketakutan. Dzar bin Umar bertanya kepada bapaknya Umar bin Dzar: “Apakah keadaan kiranya orang-orang yang ahli ilmu kalam (ilmu keesaan) yang berkata-kata ? maka tiada seorangpun yang menangis. Maka apabila ayah berkata-kata, niscaya aku mendengar tangisan dari setiap sudut”. Ayahnya menjawab: “Hai anakku ! tidaklah wanita yang meratap kematian anak, seperti wanita yang meratap, yang disewakan”.
 Diceritakan, bahwa suatu kaum (orang banyak) berdiri dengan seorang abid (yang banyak beribadah). Abid itu sedang menangis. Lalu orang banyak itu bertanya: “Apakah yang membawa engkau maka menangis ? Kiranya engkau diberi rahmat oleh Allah”. Abid itu menjawab: “Luka yang diperoleh oleh orang-orang yang takut dalam hatinya”. Mereka bertanya: “Apakah luka itu ?”. Abid itu menjawab: “Terkejut oleh panggilan untuk datang kepada Allah ‘Azza Wa jalla”. Adalah Ibrahim Al-Khawwash itu menangis dan mengatakan dalam munajahnya: “Sesungguhnya aku telah tua dan telah lemah tubuhku untuk berkhidmah kepada Engkau. Maka merdekalah aku !”.
Shalih Al-Marri berkata: “Datang kepada kami Ibnus-Samak sekali. Lalu beliau mengatakan: “Perlihatkanlah kepadaku akan sesuatu dari sebahagian keajaiban hamba-hambamu”. Lalu aku pergi kepada seorang laki-laki pada sebahagian desa, dengan Ibnus-Samak, pada suatu rumah bambu kepunyaan laki-laki itu. Maka kami minta izin pada laki-laki itu. Tiba-tiba laki-laki itu mengerjakan daun kurma. Maka aku bacakan kepadanya: “Pada waktu belenggu dan rantai telah (dipasang) di leher mereka; mereka akan dihela. Ke dalam air yang sangat panas, kemudian itu mereka dibakar di dalam api”. S 40 Al Mukmin ayat 71-72. Maka laki-laki itu memekik dengan keras dan jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu kami keluar dari tempat laki-laki itu. Dan kami tinggalkan dia dalam keadaannya yang demikian. Dan kami pergi kepada orang lain. Lalu kami masuk ke tempatnya. Maka aku baca ayat tadi. Lalu orang itu memekik dengan keras dan jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu kami pergi dan kami meminta izin kepada orang ketiga. Maka orang ketiga ini, mengatakan: “Masuklah, kalau kamu tidak mengganggu kami dari Tuhan kami”. Maka aku bacakan ayat: “Tempat yang demikian itu adalah untuk orang yang takut kepada kebesaranKu dan takut akan janji siksaanKu”. S 14 Ibrahim ayat 14. Lalu orang itu memekik dengan pekikan keras. Maka nampaklah darah dari dua lobang hidungnya. Dan ia menghapuskan darahnya, sehingga kering. Lalu kami tinggalkan dia dalam keadaannya yang demikian. Dan kami keluar.
Maka aku telah berkeliling pada 6 orang. Setiap orang itu, aku keluar daripadanya dan aku tinggalkan dalam keadaan pingsan. Kemudian, aku datangi kepada orang ke-7. Lalu kami minta izin masuk. Rupanya seorang wanita dari dalam rumah bambu itu berkata: “Masuklah ! Lalu kamu masuk. Maka terlihat seorang tua yang sudah lanjut usianya, duduk pada tikar mushallanya. Lalu kami memberi salam kepadanya. Ia tidak mengetahui dengan salam kami itu. Lalu aku berkata dengan suara keras: “Ketahuilah, bahwa di hari besok, makhluk itu mempunyai tempat kedudukan”. Maka orang tua itu menjawab: “Di hadapan siapa ? hati-hatilah engkau!”. Kemudian, orang tua itu dalam keheranan, yang terbuka mulutnya, matanya memandang keatas. Ia memekik dengan suaranya yang lemah: “Oh-oh!. sehingga suara itu terputus. Lalu isterinya berkata: “Keluarlah! bahwa kamu tidak dapat mengambil manfaat sesaatpun dengan dia”. Sesudah itu, aku bertanya tentang orang banyak itu. Rupanya 3 orang sudah sembuh. Dan 3 orang sudah kembali kepada Allah Ta’ala (meninggal dunia). Adapun orang tua itu, 3 hari dalam keadaannya yang demikian, ternganga keheranan. Tidak mengerjakan amal yang fardhu. Dan sesudah 3 hari, barulah kembali akal pikirannya.
Adalah Yazid bin Al-Aswad, kelihatan termasuk golongan wali-wali (aulia). Ia bersumpah, tidak akan tertawa untuk selama-lamanya. Tidak akan tidur dengan berbaring. Dan tiada akan makan minyak samin untuk selama-lamanya. Maka tiadalah ia kelihatan tertawa dan tiada tidur berbaring. Dan tiada makan minyak samin sampai ia meninggal dunia. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya.
Al-Hajjaj berkata kepada Sa’id bin Jubair: “Sampai kepadaku berita bahwa engkau tiada pernah tertawa”. Sa’id bin Jubair menjawab: “Bagaimana aku tertawa dan neraka jahannam itu menyala. Rantai-rantai itu dipasang. Dan neraka zabaniyah itu telah disiapkan”. Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashari: “Hai Abu Sa’id ! bagaimana aku berpagi hari ?”. Al-Hasan Al-Bashari ra menjawab: “Dengan penuh kebajikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana hal keadaanmu ?”. Al-Hasan tersenyum dan menjawab: “Engkau bertanya kepadaku tentang hal-keadaanku. Apa persangkaanmu dengan manusia yang menumpang kapal, sehingga mereka sampai di tengah lautan. Lalu pecahlah kapal mereka. Maka setiap insan dari mereka bergantung dengan sepotong kayu. Bagaimanakah keadaan setiap insan itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Dalam keadaan yang sangat sulit”. Maka Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Hal-keadaanku lebih sulit dari hal keadaan mereka”.
Bekas budak wanita Umar bin Abdul-aziz masuk ke tempat Umar bin Abdul-aziz. Ia memberi salam kepada Umar bin Abdul-aziz. Kemudian ia pergi ke mushalla dalam rumah Umar bin Abdul-aziz. Lalu wanita itu mengerjakan shalat 2 rakaat. Dan dua matanya keras hendak tidur, lalu ia berbaring dan tertidur. Maka ia tertangis dalam tidurnya. Kemudian, ia terbangun. Lalu ia berkata: “Wahai amirul-mu’minin ! sesungguhnya demi Allah, aku bermimpi suatu keajaiban”. Umar bin Abdul-aziz bertanya: “Apakah yang demikian itu ?”. Wanita itu menjawab: “Aku bermimpi neraka. Dan neraka itu berkobar-kobar apinya kepada penghuninya. Kemudian dibawa titian (Ash-shirathal-mustaqim). Lalu diletakkan di atas titian itu, penghuni tadi”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung: “Maka dibawa Abdul-malik bin Marwan. Lalu ia dipikulkan di atas penghuni itu. Maka tiada berlalu, selain waktu yang sedikit saja. Sehingga titian itu terbalik. Maka Abdul-malik bin Marwan, jatuh ke dalam neraka jahannam”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung: “Kemudian, dibawa Al-Walid bin Abdul-malik. Lalu ia dipikulkan di atas penghuni itu. Maka tiada berlalu, selain waktu yang sedikit saja. Sehingga titian itu terbalik. Maka Al-Walid bin Abdul-malik jatuh dalam neraka jahannam”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung: “Kemudian, dibawa Sulaiman bin Abdul-malik. Maka tiada berlalu selain sebentar saja, sehingga titian itu terbalik. Maka Sulaiman bin Abdul-aziz jatuh seperti yang demikian juga”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung: “Kemudian, dibawa engkau –demi Allah, wahai Amirul-mu’minin !”. Lalu Umar bin Abdul-aziz ra memekik dengan pekikan, yang membawa ia jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan. Lalu wanita itu bangun berdiri datang kepada Umar bin Abdul-aziz. Lalu ia memanggil dengan bisikan pada telinganya: “Hai Amirul-mu’minin ! aku melihat engkau -demi Allah- terlepas. Aku melihat engkau –demi Allah- terlepas dari bahaya itu”. Kata yang punya riwayat: “Wanita itu terus memanggil. Dan Umar bin Abdul-aziz terus memekik dan ia memeriksa dengan kedua kakinya”.
 Diceritakan, bahwa Uwais Al-Qarani ra datang kepada Al-Qash. Maka ia menangis dari mendengar perkataan Al-Qash. Apabila Al-Qash menyebutkan neraka, maka Uwais memekik. Kemudian Uwais bangun berjalan, lalu diikuti manusia banyak. Mereka mengatakan: “Gila-gila !”.
Ma’adz bin Jabal ra berkata: “Bahwa orang mu’min itu tidak tenang ketakutannya, sebelum meninggalkan titian jahannam di belakangnya”. Adalah Thawus bin Khaisan Al-Yamani membentangkan tikar tidur untuk Ma’adz bin Jabal. Maka Ma’adz berbaring dan bergoncang badannya, sebagaimana bergoncangnya biji-bijian dalam kuali penggoreng. Kemudian ia melompat berdiri. Lalu ia melipatkan badannya dan menghadap kiblat dengan ruku’ dan sujud, sampai datang waktu shalat Subuh. Dan ia mengatakan: “Mengingati neraka jahannam itu menerbangkan tidur orang-orang yang takut”.
Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Seorang laki-laki keluar dari neraka sesudah 1000 tahun. Wahai kiranya, akulah laki-laki itu !”. Beliau mengatakan yang demikian, karena takutnya berkekalan dalam neraka dan su-ul khatimah. Diriwayatkan, bahwa beliau tiada tertawa selama 40 tahun. Dan perawi riwayat ini mengatakan: “Apabila aku melihat Al-Hasan Al-Bashari  duduk, maka seakan-akan beliau itu orang tawanan, yang didatangkan, untuk dipenggal lehernya. Apabila beliau berkata-kata, seakan-akan beliau melihat akhirat. Lalu beliau menceritakan dari hal penglihatannya. Apabila beliau diam, seakan-akan neraka menyala-nyala di hadapannya”. Beliau dicela orang lantaran bersangatan kegundahan dan ketakutannya. Maka beliau berkata: “Aku tidak merasa aman, bahwa Allah telah melihat padaku, atas sebahagian apa yang tidak disenangiNya. Maka Ia mengutukkan aku. Lalu Ia berfirman: “Pergilah, maka tiada Aku ampunkan engkau! Maka aku berbuat pada tiada tempat berbuat”. Dari Ibnus-Samak, yang mengatakan: “Aku pada satu hari memberi pengajaran pada suatu majelis. Maka bangun berdiri seorang pemuda dari rombongan itu. Pemuda itu mengatakan: “Hai Abul-Abbas ! engkau pada hari ini telah memberi pengajaran, dengan perkataan, yang tidak kami hiraukan bahwa tiada kami mendengar yang lainnya”. Lalu aku bertanya: “Apakah perkataan itu ? kiranya engkau dicurahkan rahmat oleh Allah !”. Pemuda itu menjawab: “Perkataan engkau: “Hati orang-orang yang takut telah dipotong oleh lamanya orang-orang yang kekal, adakalanya dalam sorga atau dalam neraka”. Kemudian, pemuda itu menghilang daripadaku. Maka aku mencarinya pada majelis yang lain. Aku tiada melihatnya. Lalu aku tanyakan. Maka diberitakan kepadaku, bahwa pemuda itu sakit, yang boleh dikunjungi. Maka aku datang mengunjunginya. Lalu aku mengatakan: “Hai saudaraku! apakah yang aku lihat pada engkau ?”. Pemuda itu lalu menjawab: “Hai Abul-Abbas ! itu dari perkataan engkau: “Hati orang-orang yang takut telah diputuskan oleh lamanya orang-orang yang kekal, adakalanya dalam sorga atau dalam neraka”. Ibnus-Samak meneruskan ceritanya: “Kemudian pemuda itu meninggal dunia. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya. Lalu aku bermimpi melihatnya dalam tidur. Maka aku bertanya: “Hai saudaraku ! apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?’. Pemuda itu menjawab: “Allah mengampunkan dosaku, merahmati aku dan memasukkan aku dalam sorga”. Aku bertanya: “Dengan apa ?”. Pemuda itu menjawab: “Dengan perkataan engkau itu !”. Maka inilah tempat takutnya para nabi, wali, ulama dan orang-orang shalih. Dan kita lebih layak dengan ketakutan diibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, tidaklah takut itu disebabkan banyak dosa, tetapi dengan kebersihan hati dan kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Jikalau tidak, maka tidaklah keamanan kita, karena sedikitnya dosa kita dan banyaknya taat kita. Akan tetapi, dipimpin kita oleh hawa nafsu kita dan dikerasi kita oleh kedurhakaan kita. Dan dicegah kita daripada memperhatikan hal-ihwal kita, oleh kelalaian dan kekesatan hati kita. Maka tidaklah mendekatnya keberangkatan (ke akhirat) itu, membangunkan kita. Dan tidaklah banyaknya dosa menggerakkan kita. Tidaklah penyaksian hal-keadaan orang-orang yang takut, menakutkan kita. Dan tidaklah bahaya al-khatimah mengejutkan kita. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia memperdapatkan kembali dengan kurnia dan kemurahanNya, akan hal-ihwal kita. Lalu diperbaikinya kita, jikalau adalah penggerakan lisan dengan semata-mata meminta, tanpa persediaan itu bermanfaat bagi kita. Dan diantara keajaiban-keajaiban, bahwa kita apabila berkehndak kepada harta dan dunia, niscaya kita bercocok tanam dan menanam, berniaga, menyeberangi lautan dan padang pasir dan kita menghadang bahaya. Dan kalau kita bermaksud mencari pangkat ilmu pengetahuan, niscaya kita mempelajari ilmu fikih. Dan kita bersusah payah menghafal dan mengulang-ulanginya. Dan kita tidak tidur malam. Kita bersungguh-sungguh mencari rezeki kita. Dan kita tidak percaya akan jaminan Allah kepada kita. Dan kita tidak duduk di rumah kita, lalu kita berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! berikanlah kami rezeki !”. Kemudian apabila mata kita menatap ke arah Raja Yang Kekal Yang Berketetapan, niscaya kita cukupkan dengan mendoakan dengan lidah kita: “Wahai Tuhan kami ! ampunilah kami dan kasihanilah kami ! Tuhan, yang kepadaNya harapan kami dan dengan Dia kemegahan kami, yang memanggil kami dan berfirman: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Dan firmanNya: “Dan janganlah kepercayaan kamu kepada Allah tertipu oleh yang amat pandai menipu !”. S 35 Faathir ayat 5. Dan firmanNya: “Hai manusia ! apakah yang memperdayakan engkau terhadap Tuhan engkau yang Pemurah ?”. S 82 Al Infithaar ayat 6.
Kemudian, setiap yang demikian itu tidak memberitahukan kepada kita dan tidak mengeluarkan kita dari lembah keterperdayaan kita dan angan-angan kita. Maka tidaklah ini, selain bencana yang menghuru-harakan, jikalau tidaklah Allah mengkurniakan kepada kita dengan taubat nashuha, yang memperdapatkan kita dengan taubat itu dan menampalkan kekurangan kita. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia mempertaubatkan kita. Bahkan, kita bermohon kepadaNya, bahwa IA merindukan rahasia hati kita kepada taubat. Dan Ia tidak menjadikan gerakan lidah, dengan permintaan taubat itu penghabisan keberuntungan kita. Lalu kita termasuk orang yang mengatakan dan tidak mengerjakan. Mendengar dan tidak menerima. Apabila kita mendengar pengajaran, niscaya kita menangis. Dan apabila datang waktu amal, dengan apa yang kita dengar, lalu kita ingkari. Maka tiada tanda kehinaan yang lebih besar dari ini ! maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala kiranya Ia mencurahkan kepada kita nikmat dengan taufiq dan petunjuk, dengan nikmat dan kuniaNya !
Marilah kita singkatkan cerita hal-ihwal orang-orang yang takut, sekadar apa yang telah kita kemukakan itu. Sesungguhnya sedikit dari ini berbetulan dengan hati yang menerima. Maka memadailah. Dan yang banyak daripadanya, jikalah dicurahkan kepada hati yang lalai, maka tidaklah mengayakan. Sungguh benarlah seorang pendeta yang diceritakan oleh Isa bin Malik Al-Khaulani. Dan pendeta itu termasuk orang yang beribadah yang pilihan. Bahwa Isa bin Malik Al-Khaulani melihat pendeta tersebut di pintu Baitul-makdis berdiri, seperti keadaan orang gundah hati, dari bersangatan bimbang. Dan hampir tidak kering air matanya dari banyaknya menangis. Maka Isa bin Malik Al-Khaulani berkata: “Tatkala aku melihatnya, maka mendahsyatkan aku memandangnya. Lalu aku berkata: “Hai pendeta ! berikanlah aku wasiat (nasehat) yang akan aku hafal dari engkau !”. Pendeta itu menjawab: “Hai saudaraku ! dengan apa aku nasehatkan engkau ? jikalau sangguplah engkau setingkat dengan seorang laki-laki, yang dihalau oleh binatang buas dan singa. Orang itu takut, yang berhati-hati. Ia takut lengah, lalu diterkam oleh binatang buas. Atau lupa, lalu ia ditangkap dengan mulut oleh singa. Dia yang berhati kecut, yang takut. Dia pada malamnya dalam ketakutan, walaupun orang-orang yang terperdaya merasa aman. Dan pada siangnya dalam kegundahan, walaupun orang-orang yang tak ada kerja, merasa beruntung”. Kemudian, pendeta itu pergi dan ditinggalkannya aku. Lalu aku mengatakan: “Jikalau engkau tambahkan sedikit lagi kepadaku, niscaya mudah-mudahan bermanfaat kepadaku”. Pendeta itu menjawab: “Orang yang haus, memadailah baginya dari air sesedikitnya”. Sungguh benar pendeta itu ! bahwa hati yang bersih itu digerakkan oleh sedikitnya ketakutan. Dan hati yang beku, setiap pengajaran tidak disetujuinya. Apa yang disebutkannya dari kira-kira, bahwa ia dihalau oleh binatang buas dan singa, maka tiada seyogyalah disangka, bahwa ia kira-kira. Akan tetapi, itu sungguh-sungguh. Maka jikalau engkau menyaksikan dengan nur mata hati, akan batin engkau, niscaya engkau lihat penuh dengan berbagai macam binatang buas dan bermacam-macam singa: seperti marah, nafsu syahwat, busuk hati, dengki, sombong, mengherani diri (‘ujub), ria dan lainnya. Dan sifat-sifat ini selalu menerkam engkau dan menangkap engkau dengan mulutnya, jikalau engkau lalai sekejap mata saja. Hanya, terdinding mata engkau daripada melihatnya. Maka apabila tersingkap tutupnya dan engkau telah diletakkan dalam kubur engkau, niscaya engkau melihatnya. Dan telah tergambar bagi engkau dengan rupa dan bentuknya yang bersesuaian dengan maknanya. Maka engkau melihat dengan mata engkau, akan kalajengking dan ular. Dan ia melekatkan pandangan kepada engkau dalam kubur engkau. Dan itu sesungguhnya adalah sifat-sifat engkau yang ada sekarang, yang telah terbuka kepada engkau bentuk-bentuknya. Jikalau engkau bermaksud membunuhnya dan memaksakannya dan engkau sanggup atas yang demikian, sebelum mati, maka kerjakanlah ! jikalau tidak, maka sediakanlah diri engkau kepada sengatan dan tangkapan mulutnya, bagi jantung hati engkau ! lebih-lebih lagi, dari zahiriyah kulit engkau !  Wassalam !.