KITAB TAKUT DAN HARAP.
Yaitu: Kitab Ke-3 dari “Rubu’ Yang
Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Dengan nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha penyayang.
Segala pujian bagi Allah,
yang diharapkan kasih-sayang dan pahalaNya, yang ditakutkan kebencian dan
siksaanNya, yang membangun hati wali-waliNya dengan keenakan harapanNya.
Sehingga Ia membawa mereka dengan kasih-sayang nikmat-nimatNya kepada ketetapan
di halaman keajaibanNya. Dan berpaling dari negeri percobaanNya, yang menjadi
tempat ketetapan musuh-musuhNya. Dan Ia memukul dengan cemeti pentakutanNya dan
hardikNya yang keras, akan muka orang-orang yang berpaling dari keajaibanNya, ke negeri pahalaNya dan
kemuliaanNya. Dan Ia mencegah mereka kepada mendatangi yang dicacikanNya dan
menghampiri kepada kemarahan dan kutukanNya. Karena tarikan segala jenis
makhluk dengan rantai-rantai paksaan dan kekerasan. Dan pada kali yang lain,
dengan kekang-kekang kelemah-lembutan dan kasih-sayang kepada sorgaNya. Rahmat
kepada Muhammad penghulu nabi-nabiNya dan sebaik-baik makhluk Nya. Dan kepada
keluarga, para sahabat dan anak-anak cucunya.
Adapun kemudian,
maka sesungguhnya harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf) itu dua sayap, yang
dengan dua sayap itu, orang-orang muqarrabin terbang ke setiap pangkat yang
terpuji. Dan merupakan dua pisau, yang dengan dua pisau itu, orang yang
berjalan ke akhirat, memotong setiap tebing yang sukar didaki. Maka tiada yang
membawa kepada kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan kepada angin sorga,
serta keadaannya itu jauh tepi-tepinya, berat beban-bebannya, terkeliling
dengan yang tiada disukai oleh hati dan dirindui oleh anggota-anggota badan dan
sendi-sendi tubuh, selain oleh kekang-kekang harapan. Dan tiada yang menahan
dari neraka jahannam dan azab yang pedih, serta keadaannya terkeliling dengan
keinginan-keinginan yang lemah-lembut dan kesenangan-kesenangan yang
menakjubkan, selain oleh cemeti-cemeti pentakutan dan kekuasaan-kekuasaan yang
mengeraskan. Jadi, maka tidak boleh tidak, daripada penjelasan hakikat/makna
harap dan takut dan keutamaan keduanya. Dan jalan kesampaian kepada
mengumpulkan diantara keduanya, serta berlawanan dan bertentangan diantara
keduanya. Dan kami akan mengumpulkan penyebutan keduanya dalam suatu kitab,
yang melengkapi atas dua bahagian. Bahagian pertama tentang: harap. Dan
bahagian kedua, tentang: takut. Adapun bahagian pertama: maka melengkapi atas:
penjelasan hakikat/makna harap, penjelasan keutamaan harap, penjelasan obat
harap dan jalan yang menarik harap dengan jalan itu.
PENJELASAN: hakikat/makna harap.
Ketahuilah kiranya, bahwa
harap itu termasuk dalam jumlah pangkat-pengkat orang salik (orang yang
berjalan kepada Allah) dan hal keadaan orang-orang yang menuntut jalan Allah.
Sesungguhnya sifat itu dinamakan: tingkat (maqam), ialah: apabila ia tetap dan
berketetapan di situ. Dan sesungguhnya dinamakan: hal-keadaan, apabila dia itu
mendatang, yang segera hilang. Dan sebagaimana kuning itu terbagi kepada: yang
tetap, seperti: kuning emas. Dan kepada yang segera hilang, seperti: kuning
(pucat) ketakutan. Dan kepada apa, yang diantara keduanya, seperti: kuning
orang sakit. Maka seperti demikian pula, sifat-sifat hati itu terbagi kepada:
bahagian-bahagian ini. Maka yang tidak tetap, dinamakan: hal-keadaan. Karena
dia itu berpaling dengan dekat. Dan ini berlaku pada setiap sifat, daripada
sifat-sifat hati. Maksud kami sekarang, ialah: hakikat/makna harap. Maka harap
juga akan sempurna, dari: hal-keadaan, ilmu dan amal. Maka ilmu itu sebab yang
membuahkan hal-keadaan. Dan hal-keadaan itu menghendaki amal. Dan adalah harap
itu suatu nama dari jumlah yang 3 tadi. Penjelasannya, ialah: bahwa setiap apa
yang menemukan anda, dari: yang tidak disukai dan yang disukai, maka terbagi
kepada: wujudnya pada hal-keadaan yang sekarang, kepada wujudnya pada masa yang
lalu dan kepada yang ditunggu pada masa mendatang.
Maka apabila
terguris di hati anda, suatu wujud pada masa yang lalu, niscaya dinamakan:
ingatan dan sebutan. Dan jikalau yang terguris di hati anda itu, terdapat
sekarang, niscaya dinamakan: perasaan, rasa dan tahu. Dan sesungguhnya
dinamakan: perasaan, karena dia itu suatu keadaan yang anda dapati dalam jiwa
anda. Dan jikalau terguris di hati anda akan adanya sesuatu pada masa mendatang
dan mengeraskan yang demikian pada hati anda, niscaya dinamakan: tungguan dan
kemungkinan terjadi. Maka jikalau yang ditunggu itu tidak disukai, niscaya
timbullah dalam hati kepedihan, yang dinamakan: takut dan kasihan. Dan kalau
yang ditunggu itu disukai, yang diperoleh dari tungguannya, kesangkutan hati
kepadanya dan kegurisan adanya di hati, kelezatan dalam hati dan kesenangan,
niscaya dinamakan kesenangan itu: harap. Maka harap, ialah: kesenangan hati
untuk menunggu apa yang disukainya. Akan tetapi, yang disukai dan yang
diharapkan itu, tak boleh tidak, bahwa ada sebab baginya. Kalau tungguan itu
karena hasil kebanyakan sebab-sebabnya, maka nama harap padanya itu benar. Dan
kalau ada yang demikian itu tungguan serta rusak dan kacau-balau
sebab-sebabnya, maka nama tipuan dan dungu lebih tepat padanya, daripada nama:
harap. Dan jikalau tidaklah sebab-sebab itu diketahui adanya dan tidak
diketahui tidak adanya, maka nama: angan-angan lebih tepat atas tungguannya.
Karena itu adalah tungguan, tanpa ada sebab. Dan atas setiap hal-keadaan, maka
tidaklah dipakai secara mutlak: nama harap dan takut, selain atas apa yang
diragukan padanya. Adapun apa yang diyakinkan, maka tidak dipakai. Karena
tidaklah dikatakan: aku harap terbit matahari pada waktu terbit. Dan aku takut
akan terbenamnya waktu terbenam. Karena yang demikian sudah diyakini. Benar,
dikatakan: aku mengharap turun hujan dan aku takut terputusnya hujan.
Sesungguhnya diketahui oleh orang-orang yang mempunyai hati nurani, bahwa dunia
itu kebun akhirat. Dan hati itu seperti: bumi. Dan iman itu seperti bibit di
dalamnya. Dan taat itu berlaku sebagai berlakunya pembalik-balikan tanah dan
pembersihannya. Dan sebagai berlakunya penggalian sungai-sungai dan mengalirkan
air kepadanya. Dan hati yang membabi buta dengan dunia, yang karam di dalamnya
itu, seperti tanah yang tidak baik, yang tidak tumbuh bibit padanya. Dan hari
kiamat itu, hari panen. Dan seseorang tidak panen, selain apa yang ditanamnya. Dan tiada tumbuh yang ditanam, selain dari
bibit iman. Dan sedikitlah manfaatnya iman, serta
kekejian hati dan keburukan akhlaknya. Sebagaimana bibit tidak tumbuh pada
tanah yang tidak baik, maka seyogyalah bahwa dikiaskan harapan hamba akan
ampunan dengan harapan orang yang mempunyai tanaman. Maka setiap orang yang
mencari tanah yang baik dan menaburkan padanya bibit yang baik, yang tidak
busuk dan tidak kena bubuk, kemudian diberinya pertolongan dengan apa yang
diperlukan, yaitu: menyirami air pada waktu-waktunya, kemudian membersihkan
duri dari tanah dan rumput dan setiap apa yang mencegah tumbuhnya bibit atau
merusakkannya, kemudian ia duduk menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, menolak
segala yang membinasakan dan bahaya-bahaya yang merusak, sehingga sempurnalah
tanaman dan sampai kesudahannya, niscaya tungguan itu dinamakan: harap. Dan
kalau ditaburkan bibit pada tanah keras yang tidak baik, yang tinggi, yang
tidak disirami air kepadanya dan tidak diusahakan sekali-kali mengurus bibit
itu, kemudian menunggu panennya, niscaya dinamakan tungguan itu: bodoh
dan tertipu. Bukan: harap. Dan kalau ditaburkan bibit
pada tanah yang baik, tetapi tidak ada air dan menunggu air hujan, dimana hujan
itu tidak biasa terjadi dan juga bukan tidak, niscaya tungguan itu dinamakan:
angan-angan. Bukan: harap. Jadi, nama harap sesungguhnya dibenarkan kepada
menunggu yang disukai, yang disediakan semua sebab-sebabnya yang masuk di bawah
usaha hamba. Dan tidak tinggal, selain apa yang tidak masuk di bawah usaha
hamba itu. Dan itulah kurnia Allah Ta’ala, dengan menyingkirkan segala yang
memotong dan yang merusak. Jadi, maka hamba apabila telah menaburkan bibit iman
dan menyiramnya dengan air taat dan membersihkan hati dari duri akhlak yang
buruk dan menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, akan penetapannya diatas yang
demikian, sampai mati dan bagus kesudahan (husnul-khatimah) yang membawa kepada
ampunan, niscaya adalah tungguannya itu: harap yang hakiki, yang terpuji, yang
menggerakkan kepada kerajinan dan tegak berdiri menurut yang dikehendaki oleh
sebab-sebab iman, pada menyempurnakan sebab-sebab ampunan, sampai kepada mati.
Dan jikalau terputus dari bibit iman, penyelenggaraannya dengan air taat atau
membiarkan hati terisi dengan akhlak-akhlak yang hina dan ia berkecimpung
mencari kesenangan duniawi, kemudian ia menunggu ampunan, maka tungguannya itu:
bodoh dan tertipu.
Nabi saw
bersabda: “Orang bodoh, ialah orang yang mengikutkan dirinya dengan hawa
nafsunya dan ia berangan-angan kepada Allah, akan sorga”. Allah Ta’ala
berfirman: “Maka digantikan mereka oleh satu angkatan, yang meninggalkan shalat
dan memperturutkan keinginan nafsu. Sebab itu, mereka akan menemui kebinasaan”.
S 19 Maryam ayat59. Allah Ta’ala berfirman: “Sesudah itu datang angkatan baru
(yang jahat) menggantikan mereka. Mereka mempusakai kitab, mengambil harta
benda kehidupan dunia ini saja (dengan cara yang tidak halal). Kata mereka:
“Nanti (kesalahan) kami akan diampuni”. S 7 Al A’raaf ayat 169. Allah Ta’ala
mencela yang empunya kebun. Ketika ia masuk ke kebunnya, dia berkata: “Aku
tidak mengira, bahwa (kebun) ini akan pernah binasa. Dan aku tidak mengira,
bahwa saat itu akan datang dan kalau kiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku,
tentu aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini”. Jadi, hamba
yang bersungguh-sungguh pada taat, yang menjauhkan diri dari maksiat itu
benar-benar ia menunggu kurnia Allah akan kesempurnaan nikmat. Dan tidaklah
kesempurnaan nikmat itu, selain dengan masuk sorga.
Adapun orang
yang berbuat maksiat, maka apabila ia bertaubat dan mengerjakan kembali apa
yang telah terlanjur daripada keteledoran, maka sebenarnya, bahwa dia itu
mengharap penerimaan taubat. Adapun penerimaan taubat, apabila ia benci kepada
perbuatan maksiat, yang menjahatkannya oleh kejahatan dan menyukakannya oleh
kebaikan dan ia mencela dan mencaci dirinya dan ia merindui taubat dan
mengingininya, maka benarlah ia mengharap dari Allah, akan taufiqNya kepada
taubat. Karena kebenciannya kepada maksiat dan keinginannya kepada taubat itu
berlaku, pada tempat berlakunya sebab yang kadang-kadang membawa kepada taubat.
Dan sesungguhnya harap itu, sesudah kuatnya sebab-sebab. Dan karena itulah,
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berhijrah (berpindah dari negerinya) dan bekerja keras di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 218. Artinya, bahwa
mereka itu berhak mengharap rahmat Allah. Dan tidak dikehendaki dengan demikian
itu pengkhususan adanya harap. Karena selain dari mereka itu juga kadang-kadang
mengharap. Akan tetapi, dikhususkan kepada mereka akan berhaknya harap.
Adapun orang
yang menjerumuskan dirinya pada apa yang tiada disukai oleh Allah Ta’ala dan
tiada mencela dirinya atas yang demikian dan tidak bercita-cita kepada taubat
dan kembali, maka harapannya akan ampunan itu bodoh. Seperti harapannya orang
yang menaburkan bibit pada bumi yang tidak baik dan bercita-cita bahwa tidak
menguruskannya dengan menyiramkan air dan membersihkan.
Yahya bin Ma’adz
berkata: “Termasuk tertipunya diri yang terbesar padaku, ialah: berkepanjangan
berbuat dosa, serta mengharapkan kemaafan, tanpa penyesalan. Mengharapkan
kedekatan dengan Allah Ta’ala, tanpa taat. Menunggu tanaman sorga dengan bibit
neraka. Mencari negeri orang-orang yang taat, dengan perbuatan-perbuatan
maksiat. Menunggu balasan tanpa amal. Dan bercita-cita kepada Allah ‘Azza Wa
Jalla, serta keteledoran”.
Engkau mengharap kelepasan
dan tidak menjalani
jalan-jalannya.
Sesungguhnya kapal itu,
tidak berlayar di atas
daratan.
Maka apabila anda mengetahui
akan hakikat/makna harap dan tempat sangkaannya, maka sesungguhnya anda
mengetahui, bahwa hakikat/makna harap itu adalah suatu keadaan, yang dihasilkan
oleh ilmu, dengan berlakunya kebanyakan sebab-sebab. Dan hal-keadaan ini
membuahkan kesungguhan menegakkan sisa sebab-sebab menurut kemungkinan.
Sesungguhnya
orang yang membaguskan bibitnya, baik tanahnya, banyak airnya, benar
harapannya, maka senantiasalah ia dibawa oleh benarnya harapan, kepada mencari
tanah, mengusahakannya dan membuang setiap rumput yang tumbuh padanya. Maka
tidaklah luntur sekali-kali dari usahanya, sampai kepada waktu mengetam. Dan
ini adalah karena harap itu berlawanan dengan putus asa. Dan putus asa itu
mencegah dari usaha. Maka siapa yang mengetahui, bahwa tanah itu tidak baik,
air itu sangat sedikit dan bibit itu tidak tumbuh, niscaya ia akan tinggalkan
–sudah pasti –mencari tanah dan berpayah-payah pada mengusahakannya. Harap itu
terpuji, karena ia menggerakkan kepada perbuatan. Dan putus asa itu tercela dan
itu adalah lawannya harap. Karena putus asa itu memalingkan dari amal. Dan
takut itu tidaklah lawan harap. Akan tetapi kawannya, sebagaimana akan datang
penjelasannya. Bahkan takut itu penggerak yang lain, dengan jalan ketakutan.
Sebagaimana harap itu penggerak dengan jalan kegemaran. Jadi, keadaan harap itu
mewarisi panjangnya bersungguh-sungguh (mujahadah) dengan amal perbuatan dan
rajin kepada taat, bagaimanapun berbalik-baliknya hal-ihwal. Dan diantara
kesan-kesan dari harap itu, ialah enaknya terus-menerus menghadapkan hati
kepada Allah Ta’ala, merasa kenikmatan dengan membisikkan segala isi hati dengan Dia dan
berlemah-lembut pada berwajah manis kepadaNya. Sesungguhnya segala hal-ihwal
ini tak boleh tidak. Dan bahwa terang atas setiap orang yang mengharap akan
seseorang dari raja-raja atau seseorang dari orang-orang biasa. Maka bagaimana
tidak terang yang demikian pada hak Allah Ta’ala ? maka jikalau tidak terang,
maka hendaklah ia mengambil dalil dengan yang demikian, atas tidak diperolehnya
tingkat harap (maqam ar-raja’). Dan turun dalam lembah tertipu dan angan-angan.
Maka inilah dia itu penjelasan bagi hal harap itu. Dan mengapa ia dihasilkan
oleh ilmu. Dan mengapa ia menerima hasil dari amal. Dan menunjukkan atas
dihasilkannya amal-amal ini, oleh hadits yang dirawikan Zaidul-Khail. Karena ia
berkata kepada Rasulullah saw: “Aku datang untuk bertanya kepada engkau, dari
alamat Allah, pada orang yang menghendakinya. Dan alamatNya pada orang yang
tiada menghendakinya”. Maka Nabi saw menjawab: “Bagaimana keadaan engkau ?”.
Zaidul-Khail menjawab: “Keadaanku, ialah mencintai kebajikan dan orang yang
mengerjakan kebajikan. Apabila aku sanggup atas sesuatu daripada nya, niscaya
aku bersegera mengerjakannya. Dan aku yakin dengan pahalanya. Dan apabila luput
bagiku akan sesuatu daripadanya, niscaya menggundahkan aku dan aku rindu
kepadanya”. Maka Nabi saw bersabda: “Itulah alamat Allah pada: siapa yang
dikehendakiNya. Jikalau Ia menghendaki engkau bagi yang lain, niscaya
disiapkanNya engkau baginya. Kemudian Ia tiada menghiraukan pada
lembah-lembahnya yang mana engkau binasa”. Maka sesungguhnya Nabi saw telah
menyebutkan alamat (tanda) orang yang dimaksudkan dengan dia kebajikan. Maka
barangsiapa mengharap bahwa dia dimaksudkan dengan kebajikan dari bukan
alamat-alamat ini, maka dia itu tertipu.
PENJELASAN: keutamaan harap dan
menggalakkan pada harap.
Ketahuilah kiranya, bahwa
amal atas harap itu lebih tinggi daripada atas takut. Karena hamba yang paling
dekat kepada Allah Ta’ala itu yang paling mencintaiNya. Dan cinta itu dikerasi
dengan harap. Ambillah ibarat yang demikian itu dengan dua orang raja. Yang
seorang dilayani, karena takut dari siksaannya. Dan yang seorang lagi, karena
mengharap dari balasannya. Dan karena itulah datang pada harap dan baik sangka,
beberapa penggalakkan. Lebih-lebih pada waktu mati. Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah !”. S 39 Az Zumar ayat 53. Ia
mengharamkan asal putus asa. Dan pada cerita-cerita nabi Ya’qub as bahwa Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Tahukah engkau, mengapa Aku ceraikan
diantara engkau dan Yusuf? karena engkau mengatakan: “Aku takut bahwa Yusuf itu
dimakan serigala dan kamu lengah daripadanya”. Mengapakah engkau takut kepada
serigala dan engkau tidak mengharap kepadaKu ? dan mengapakah engkau memandang
kepada kelengahan saudara-saudaranya dan engkau tidak memandang kepada
penjagaanKu baginya?”.
Nabi saw
bersabda: “Tiada mati seseorang kamu, melainkan dia itu membaikkan sangka
kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya Aku pada sangkaan hambaKu kepadaKu. Maka hendaklah ia
menyangkakan kepadaKu apa yang dikehendakinya”. Nabi saw masuk ke tempat
seorang laki-laki yang dalam sakit keras. Lalu beliau bertanya: “Apakah yang
kamu dapati pada dirimu ?”. Orang itu menjawab: “Aku dapati akan diriku, takut
akan dosa-dosaku dan mengharap akan rahmat Tuhanku”. Maka Nabi saw bersabda:
“Keduanya (takut dosa dan harap rahmat) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba
pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapnya dan ia
diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”.
Ali ra berkata kepada seorang laki-laki, yang
dibawa oleh ketakutan kepada putus asa, karena banyak dosanya: “Hai orang ini !
keputus-asaanmu dari rahmat Allah itu lebih besar dari dosa-dosamu”. Sufyan
berkata: “Barangsiapa berdosa dengan suatu dosa, maka ia tahu, bahwa Allah
Ta’ala mentakdirkan dosa itu atas dirinya dan ia mengharap akan ampunanNya,
niscaya Allah mengampunkan dosanya”. Dan Sufyan menyambung lagi: “Karena Allah
‘Azza Wa Jalla merobahkan suatu kaum. Ia berfirman: “Itulah dugaanmu (yang
keliru) terhadap Tuhanmu. (Dugaan itulah) yang membawa kamu kepada kecelakaan”.
S 41 Fussilat ayat 23. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu mempunyai
sangka-sangka yang kurang baik dan kamu kaum yang binasa”. S 48 Al Fath ayat
12. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada hambaNya
pada hari kiamat: “Apakah yang melarang kamu, ketika engkau melihat kemunkaran,
bahwa engkau menentangnya ?”. Maka jikalau ia telah diajarkan oleh Allah akan
dalilnya (hujjahnya), niscaya ia mengatakan: “Wahai Tuhanku ! aku harap akan
Engkau dan aku takut kepada manusia”. Nabi saw bersabda: “Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Telah Aku ampunkan bagi engkau”. Tersebut pada hadits shahih:
“Bahwa adalah seorang laki-laki melakukan berjual-beli dengan jalan hutang.
Maka ia bersikap lapang dada dengan orang kaya dan bersikap melampaui batas
dengan orang miskin. Maka ia menjumpai Allah dan tiada sekali-kali beramal
kebajikan. Allah ‘Azza Wa Jalla maka berfirman: “Siapakah yang lebih berhak
dengan yang demikian daripada Kami ?”. Maka Allah memaafkan daripadanya, karena
baik sangkaannya dan harapannya bahwa dimaafkan, serta kemerosotannya pada
taat. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab
Allah, mendirikan shalat dan membelanjakan (di jalan kebaikan) sebahagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak pernah rugi”. S 35 Faathir ayat
29.
Tatkala Nabi saw
bersabda: “Jikalau tahulah kamu apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa
sedikit dan menangis banyak. Dan akan kamu keluar ke tempat yang tinggi. Kamu
akan memukul dadamu dan merendahkan diri kepada Tuhanmu”. Maka turunlah Jibril
as seraya berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu mengatakan kepadamu: “Mengapakah
engkau mendatangkan keputus-asaan kepada hamba-hambaKu ?”. Lalu Nabi saw keluar
menemui mereka dan memberikan harapan kepada mereka. Dan mendatangkan keinginan
kepada mereka”. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepada nabi Daud as: “Cintailah Aku ! cintailah orang yang mencintai Aku ! dan
buatlah Aku mencintai makhlukKu !”. Lalu nabi Daud as bertanya: “Wahai Tuhanku!
bagaimanakah aku membuat Engkau mencintai akan makhluk Engkau ?”. Allah Ta’ala
berfirman: “Sebutkanlah Aku dengan baik dan elok ! sebutkanlah nikmat-nikmatKu
dan perbuatan baikKu ! peringatkanlah mereka akan yang demikian ! maka
sesungguhnya mereka tiada mengenal daripadaKu, selain yang elok”.
Dimimpikan Abban
bin Abi ‘Ayyasy sesudah ia meninggal. Dan ia semasa hidupnya banyak menyebutkan
pintu-pintu harapan. Ia mengatakan kepada orang yang bermimpi itu:
“Allah Ta’ala menyuruh aku berdiri di hadapanNya. Maka Ia berfirman: “Apakah
yang membawa engkau kepada yang demikian ?”. Maka aku menjawab: “Aku bermaksud
mencintakan Engkau kepada makhluk Engkau”. Maka Allah berfirman: “Telah Aku
ampunkan dosa engkau”.
Dimimpikan Yahya
bin Ak-tsam sesudah ia meninggal. Lalu ia ditanyakan: “Apakah yang diperbuat
oleh Allah dengan engkau ?”. Yahya bin Ak-tsam menjawab: “Allah menyuruh aku
berdiri di hadapanNya. Dan Ia berfirman: “Hai syaikh jahat ! engkau telah
berbuat itu. Engkau telah berbuat itu !”. Yahya bin Ak-tsam berkata: “Maka
menakutkan aku, apa yang diketahui oleh Allah. Kemudian aku berkata: “Wahai
Tuhanku ! tidaklah begitu yang aku perkatakan dari hal Engkau”. Maka Allah
berfirman: “Dan apakah yang engkau perkatakan dari hal Aku ?”. Lalu aku
berkata: “Diberitakan kepadaku oleh Abdurrazaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri,
dari Anas, dari Nabi Engkau saw, dari Jibril as, bahwa Engkau berfirman: “Bahwa
Aku pada sangkaan hambaKu kepadaKu. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKu, akan
apa yang dikehendakinya !”. Dan aku menyangka kepada Engkau, bahwa Engkau tiada
mengazabkan aku”. Maka berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Benar Jibril. Benar
nabiKu. Benar Anas. Benar Az-Zuhri. Benar Ma’mar. Benar Abdurrazaq. Dan benar
engkau”. Yahya bin Ak-tsam berkata: “Lalu aku berpakaian dengan pakaian sorga.
Dan berjalan dihadapanku, bidadari ke sorga. Maka aku berkata: “Wahai alangkah
gembiranya!”.
Tersebut pada
hadits, bahwa: seorang laki-laki dari kaum Bani Israil (Yahudi) mendatangkan
keputus-asaan kepada manusia dan bersikap keras kepada manusia. Ia berkata:
“Maka Allah Ta’ala akan berfirman kepadanya pada hari kiamat: “Pada hari ini,
Aku putus-asakan kamu dari rahmatKu, sebagaimana kamu mendatangkan
keputus-asaan kepada hamba-hambaKu daripadanya”.
Nabi saw bersabda: “Seorang laki-laki akan
masuk neraka. Maka ia akan bertempat di neraka itu 1000 tahun. Ia akan
memanggil: “Ya Hannan, ya Mannan (Wahai Yang Mahabelas kasihan, wahai Yang Maha
Pemberi nikmat) !”. Maka Allah Ta’ala berfirman kepada Jibril: “Pergilah ! maka
bawalah kepadaKu akan hambaKu !”. Nabi saw meneruskan sabdanya: “Maka hamba itu
dibawa kepada Allah. Lalu disuruh berdiri dihadapan Tuhannya. Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Bagaimana engkau mendapati tempat engkau ?”. Laki-laki itu
menjawab: “Tempat yang buruk”. Nabi saw meneruskan sabdanya: “Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Kembalikanlah orang ini ke tempatnya semula !”. Nabi saw meneruskan
sabdanya: “Maka laki-laki itu berjalan dan berpaling ke belakangnya. Maka Allah
Ta’ala berfirman: “Kemana engkau berpaling ?”. Laki-laki itu menjawab:
“Sesungguhnya aku berharap, bahwa tidak Engkau kembalikan aku kepadanya,
sesudah Engkau keluarkan aku daripadanya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Pergilah
dengan laki-laki ini ke sorga”. Maka ini menunjukkan, bahwa harapnya Yahudi itu
yang menjadi sebab kelepasannya. Kita bermohon kepada Allah akan bagusnya
taufiq dengan kasih-sayang dan kemurahanNya.
PENJELASAN: obat harap dan jalan yang
berhasil daripadanya keadaan harap dan mengeras harap itu.
Ketahuilah kiranya, bahwa
obat ini diperlukan oleh salah seorang dari dua orang. Adakalanya orang yang
telah mengerasi atasnya oleh keputus-asaan. Lalu ia meninggalkan ibadah. Dan
adakalanya orang yang mengerasi atasnya oleh ketakutan. Lalu ia
berlebih-lebihan pada rajinnya beribadah. Sehingga mendatangkan melarat atas
dirinya dan keluarganya. Inilah dua orang, yang cenderung dari kelurusan (di
tengah-tengah) ke segi memboros dan membuang-buang tenaga. Keduanya memerlukan
kepada pengobatan yang mengembalikannya kepada kelurusan (di tengah-tengah).
Adapun orang maksiat yang tertipu, yang berangan-angan kepada Allah, serta
berpaling dari ibadah dan mengerjakan perbuatan maksiat, maka obat harapnya
berbalik menjadi racun yang membinasakannya. Dan berkedudukan obat itu pada
kedudukan air madu, yang menjadi obat bagi orang yang mengerasi dingin atas
dirinya. Dan menjadi racun yang membinasakan bagi orang yang mengerasi panas
atas dirinya. Bahkan, orang yang tertipu, tiada memakai pada dirinya, selain
obat-obat takut dan sebab-sebab yang membangkit kan ketakutan. Maka karena
inilah, harus ada yang memberi pengajaran kepada orang banyak, yang
lemah-lembut, yang memperhatikan kepada tempat-tempat terjadinya
penyakit-penyakit, yang mengobatkan setiap penyakit dengan yang berlawanan
dengan dia. Tidak dengan menambahkan pada penyakit. Sesungguhnya yang dicari,
ialah: keadilan (yang di tengah-tengah) dan yang sederhana pada seluruh sifat
dan akhlak. Dan sebaik-baik pekerjaan itu yang di tengah-tengah. Maka apabila
melewati yang di tengah, ke salah satu dari dua tepi, niscaya diobati dengan
yang mengembalikan kepada di tengah. Tidak dengan apa yang menambahkan
miringnya dari di tengah. Zaman ini adalah zaman yang tiada seyogyanya
dipakaikan sebab-sebab harap, bersama orang banyak. Akan tetapi, bersangatan pada
menakutkan juga, hampir tidak mengembalikan mereka kepada kebenaran yang
sungguh-sungguh dan jalan kebenaran.
Adapun
menyebutkan sebab-sebab harap, maka akan membinasakan mereka dan menjatuhkan
mereka keseluruhan ke dalam jurang. Akan tetapi, tatkala adalah sebab-sebab
harap itu lebih ringan kepada hati dan lebih lezat pada jiwa dan tidaklah
maksud juru-juru pengajaran, selain menarikkan hati dan menuturkan kepada orang
banyak dengan pujian, dimanapun mereka berada, niscaya mereka itu cenderung
kepada harap. Sehingga kerusakan itu bertambah rusak. Dan bertambahlah
terjerumusnya mereka dalam kedurhakaan.
Ali ra berkata: “Sesungguhnya orang yang
berilmu, ialah: orang yang tidak mendatangkan keputus-asaan manusia dari rahmat
Allah Ta’ala dan tidak menjamin keamanan bagi mereka dari cobaan Allah. Kami
akan menyebutkan sebab-sebab harap, untuk dapat dipakai terhadap orang yang
putus asa. Atau pada orang yang dikerasi oleh ketakutan. Karena mengikuti Kitab
Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya saw. Karena keduanya itu melengkapi kepada
takut dan harap. Karena keduanya mengumpulkan sebab-sebab sembuh, terhadap
jenis-jenis orang sakit. Supaya dipakai oleh para ulama, yang menjadi
pewaris-pewaris para nabi, menurut keperluan, sebagaimana yang dipakai oleh
dokter yang ahli. Tidak sebagaimana dipakai oleh orang yang dungu, yang
menyangka bahwa setiap sesuatu dari obat-obat itu patut bagi setiap penyakit,
bagaimanapun adanya penyakit itu. Keadaan harap itu mengeras dengan dua
perkara:
Pertama: dengan
jalan mengambil ibarat (i’tibar).
Kedua: dengan
penyelidikan ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar.
Bidang kesatu: Adapun i’tibar/ibarat, yaitu: bahwa diperhatikan semua yang
telah kami sebutkan, pada jenis-jenis nikmat dari Kitab Syukur. Sehingga ia
tahu akan yang halus-halus dari nikmat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya
didunia. Dan keajaiban-keajaiban hikmahNya yang dipeliharaNya pada mencipta kan
insan. Sehingga tersedialah bagi insan itu didunia, setiap yang penting baginya
untuk keterusan adanya. Seperti alat-alat makanan dan apa yang diperlukan,
seperti anak jari dan kuku. Dan yang menjadi hiasan baginya, seperti:
melengkungnya dua bulu kening, berlainan warna dua mata, merah dua bibir dll,
daripada apa, yang tiada sumbing dengan tidak adanya itu, suatu maksud yang dimaksudkan.
Hanya ada dengan ketiadaan itu hilangnya ketambahan kecantikan. Maka bantuan
ketuhanan, apabila tidak berhenti dari hamba-hambaNya pada contoh-contoh yang
halus itu, sehingga Ia tidak ridha bagi hamba-hambaNya, bahwa hilang dari
mereka, kelebihan-kelebihan dan tambahan-tambahan pada hiasan dan hajat
keperluan, maka bagaimana IA ridha dibawa mereka kepada kebinasaan yang abadi ?
bahkan, apabila insan memperhatikan dengan perhatian yang menyenangkan, niscaya
ia tahu, bahwa kebanyakan makhluk telah disiapkan baginya, sebab-sebab
kebahagiaan didunia. Sehingga ia tidak suka berpindah dari dunia itu dengan
kematian. Walaupun diberitahukan kepadanya, bahwa tiada akan diazabkan sesudah
mati selama-lamanya –umpamanya. Atau tiada sekali-kali akan dibangkitkan
sesudah mati itu. Dan kebencian mereka itu tidaklah karena tidak lagi di dunia,
melainkan karena –sudah pasti –sebab-sebab kenikmatan yang membanyak itu. Dan
sesungguhnya yang mengangan-angankan mati itu jarang sekali. Kemudian, tiada
yang mengangan-angankannya, selain dalam hal yang jarang sekali dan kejadian
yang menyerang yang luar biasa.
Jadi, adalah keadaan kebanyakan makhluk di
dunia itu, yang banyak kepadanya, ialah: baik dan selamat. Maka sunnah Allah,
tiada anda dapati padanya pergantian. Maka kebanyakannya, urusan akhirat begitu
juga adanya. Karena yang mengatur dunia dan akhirat itu satu. Yaitu: yang Maha
Pengampun, Maha Pengasih, Maha kasih-sayang kepada hamba-hambaNya, yang
Mahabelas-kasihan kepada mereka. Maka ini, apabila diperhatikan dengan
sebenar-benarnya, niscaya kuatlah dengan yang demikian itu sebab-sebab harap.
Dan dari i’tibar (ibarat) juga, diperhatikan tentang hikmah agama dan
sunnah-sunnahnya tentang kemuslihatan dunia dan segi rahmat bagi segala
hambaNya. Sehingga sebahagian arifin (yang mempunyai ma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala) yang mendalam) melihat ayat hutang-piutang (ayat al-mudayanah)
pada surat Al Baqarah, adalah diantara sebab-sebab harap yang terkuat.
Maka ditanyakan
kepada orang arifin itu: “Apakah yang padanya itu harap ?”. Beliau itu
menjawab: “Dunia semuanya itu sedikit. Rezeki insan padanya sedikit. Dan hutang
itu sedikit daripada rezekinya. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala
menurunkan padanya, ayat yang terpanjang. Supaya hambaNya mendapat petunjuk kepada
jalan menjaga diri pada menjaga agamanya. Maka bagaimana ia tidak menjaga
agamanya, yang tiada tukaran baginya !”.
Bidang kedua: penyelidikan ayat-ayat dan hadits-hadits. Maka ayat dan
hadits yang datang tentang harap itu di luar dari hinggaan. Adapun ayat-ayat,
maka Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah ! hai hamba-hambaKu yang melampaui
batas mencelakakan dirinya sendiri ! janganlah kamu putus harapan dari rahmat
Allah ! sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa. Sesungguhnya Ia Maha
Pengampun dan Maha Penyayang”. S 39 Az Zumar ayat 53. Menurut pembacaan
Rasulullah saw, ialah: “Dan Ia tidak memperdulikan, sesungguhnya Ia Maha
Pengampun dan Maha Penyayang”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan malaikat-malaikat
itu mengucapkan tasbih memuji Tuhan mereka dan memohonkan ampunan untuk segenap
yang mendiami bumi”. S 42 Asy Syuura ayat 5. Allah Ta’ala menerangkan, bahwa
neraka disediakanNya bagi musuh-musuhNya. Dan neraka itu ditakutkanNya kepada
para wali-waliNya. Ia berfirman: “Di atas kepala mereka tumpukan api dan di
bawahnya tumpukan (api pula). Dengan itu, Allah memberi ancaman kepada
hamba-hambaNya”. S 39 Az Zumar ayat 16. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
peliharalah dirimu dari neraka yang disediakan untuk orang-orang yang tidak
beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 131. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sebab itu, Aku
memperingatkan kepada kamu api yang menyala. Tiada masuk ke dalamnya selain
dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S
92 Al Lail ayat 14-15-16. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan bahwa Tuhan
engkau Pengampun kesalahan manusia”. S 13 Ar Ra’d ayat 6.
Dikatakan, bahwa
Nabi saw senantiasa menanyakan tentang umatnya, sehingga dikatakan kepadanya:
“Apakah engkau tidak ridha dan telah diturunkan kepada engkau ayat ini ?”. “Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yg luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim”. S 13 Ar Ra’d ayat 6. Dan tentang
penafsiran firman Allah Ta’ala: “Dan nanti Tuhan engkau akan memberikan kepada
engkau, maka engkau akan bersenang hati (ridha)”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 5, bahwa
kata Ibnu Abbas, bahwa Muhammad saw tiada senang seorangpun dari umatnya masuk
neraka.
Adalah Abu
Ja’far Muhammad bin Ali mengatakan: “Tuan-tuan penduduk Irak mengatakan: “Ayat
yang paling mengandung harapan dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla ialah
firmanNya: “Katakanlah ! hai hamba-hambaKu yang melampaui batas mencelakakan
dirinya sendiri ! janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah ! sesungguhnya
Allah mengampuni segenap dosa. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
S 39 Az Zumar ayat 53.
Dan kami
keluarga Rasulullah saw mengatakan, bahwa yang paling mengandung harapan dalam
Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, ialah firmanNya: “Dan nanti Tuhan engkau akan
memberikan kepada engkau, maka engkau akan bersenang hati (ridla)”. S 93 Ad
Dhuhaa ayat 5. Adapun hadits-hadits, maka diriwayatkan Abu Musa dari Nabi saw,
bahwa beliau bersabda: “Umatku itu umat yang dicurahkan rahmat. Tiada azab atas
dirinya di akhirat. Allah menyegerakan siksaannya di dunia, dengan: gempa-gempa
bumi dan kekacauan-kekacauan (fitnah-fitnah). Maka apabila telah ada hari
kiamat nanti, niscaya ditolakkan kepada setiap orang dari umatku, akan seorang
dari pemeluk agama yang berkitab (Yahudi dan Nasrani). Lalu dikatakan: “Inilah
tebusan engkau dari neraka !”.
Menurut susunan
kata-kata yang lain, ialah: “Setiap orang dari umat ini akan datang dengan
seorang Yahudi atau Nasrani ke neraka jahannam. Lalu ia mengatakan: “Inilah
tebusanku dari neraka”. Maka orang Yahudi atau Nasrani itu dicampakkan ke dalam
neraka”.
Nabi saw
bersabda: “Demam itu dari kesangatan panas neraka jahannam. Dan itu adalah
keuntungan orang yang beriman, dari api neraka”. Diriwayatkan tentang
penafsiran firman Allah Ta’ala: “Pada hari, yang tiada diberikan kehinaan oleh
Allah kepada Nabi dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia”. S 66
At Tahrim ayat 8, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada NabiNya saw:
“Bahwa Aku jadikan perhitungan amal (hisab) umat engkau kepada engkau”. Nabi
saw menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku ! Engkau lebih mengasihani mereka
daripadaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Jadi, Kami tidak memberikan kehinaan
akan engkau mengenai mereka”.
Diriwayatkan
dari Anas, bahwa Rasulullah saw menanyakan Tuhannya tentang dosa-dosa umatnya.
Nabi saw bersabda: “Wahai Tuhanku ! jadikanlah perhitungan amal mereka
kepadaku, supaya tidak dilihat keburukan mereka, selain aku”. Maka Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Nabi saw: “Mereka itu umatmu dan mereka itu
hamba-hambaKu. Aku kasih sayang kepada mereka dari engkau. Aku tidak menjadikan
perhitungan amal mereka kepada selain Aku. Supaya tidak dilihat oleh engkau dan
selain engkau kepada keburukan mereka”. Nabi saw bersabda: “Hidupku itu
kebajikan bagi kamu dan matiku itu kebajikan bagi kamu. Adapun hidupku, maka
aku sunnahkan bagi kamu akan sunnah-sunnah dan aku agamakan bagi kamu agama-agama
(hukum-hukum agama). Adapun matiku, maka sesungguhnya semua amal kamu
didatangkan kepadaku. Maka apa yang aku lihat daripadanya itu baik, niscaya aku
memujikan Allah atas yang demikian. Dan apa yang aku lihat daripadanya itu
buruk, niscaya aku memohonkan ampunan Allah Ta’ala bagi kamu”.
Pada suatu hari
Nabi saw mengucapkan: “Wahai yang Maha Pemurah memberi kemaafan !”. Lalu Jibril
as bertanya: “Adakah engkau tahu, apa penafsiran: “Yaa kariimal-‘afwa” itu ?”.
Yaitu: jikalau Ia memaafkan dari kejahatan-kejahatan dengan rahmatNya, niscaya
digantikanNya kejahatan itu dengan kebaikan, dengan kemurahanNya”. Nabi saw
mendengar seorang laki-laki berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! aku bermohon padaMu
kesempurnaan nikmat”. Lalu Nabi saw bertanya: “Adakah engkau tahu, apa itu
kesempurnaan nikmat ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Nabi saw
bersabda: “Masuk sorga”. Para ulama mengatakan, bahwa Allah telah
menyempurnakan nikmatNya kepada kita, dengan ridhaNya agama Islam bagi kita.
Karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan telah Kusempurnakan kepadamu nikmatKu dan
Aku telah meridhai Islam itu menjadi agamamu”. S 5 Al Maaidah ayat 3.
Dan tersebut
pada pada hadits: “Apabila hamba itu berdosa dengan sesuatu dosa, lalu ia
meminta ampunan Allah, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada para
malaikatNya: “Lihatlah ! kepada hambaKu yang telah berdosa dengan suatu dosa !
maka ia tahu, bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampunkan segala dosa dan yang
menyiksakan dengan dosa itu. Aku persaksikan kepada kamu, bahwa Aku telah
mengampunkan dosanya”.
Pada hadits
tersebut: “Jikalau berdosalah hamba, sehingga sampai dosa-dosanya itu ke awan
langit, niscaya Aku ampunkan baginya, apa yang dimintanya ampunan padaKu dan yang
diharapkannya padaKu”.
Pada hadits
tersebut: “Jikalau hambaKu menemui Aku dengan dosa sesarung bumi, niscaya Aku
menemuinya dengan ampunan se sarang bumi”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya
malaikat mengangkat pena (al-qalam) dari hamba, apabila ia telah berbuat dosa 6
jam. Maka jikalau ia bertaubat dan meminta ampun, niscaya malaikat itu tidak
menuliskan dosa tadi diatas dirinya. Dan jikalau tidak, niscaya malaikat itu
menuliskannya sebagai kejahatan”. Dan pada kata-kata yang lain: “Maka apabila malaikat
itu menuliskannya atas orang itu dan orang itu berbuat amal baik, niscaya
malaikat yang di sebelah kanan mengatakan kepada malaikat yang di sebelah kiri
dan malaikat yang di sebelah kanan itu amir (kepala) atas malaikat yang di
sebelah kiri: “Campakkanlah kejahatan ini, sehingga aku jumpai dari
kebaikan-kebaikannya itu satu, penggandaan 10. Dan aku angkatkan baginya akan 9
kebaikan”. Maka dicampakkan daripadanya kejahatan itu”.
Diriwayatkan
Anas pada suatu hadits, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila hamba itu berbuat
suatu dosa, niscaya dituliskan atas diri hamba itu”. Lalu seorang Arab desa
bertanya: “Dan jikalau ia bertaubat daripadanya ?”. Nabi saw menjawab: “Niscaya
dihapuskan dari dosa itu”. Arab desa itu bertanya lagi: “Jikalau diulanginya
?”. Nabi saw menjawab: “Dituliskan lagi atas orang itu”. Arab desa itu bertanya
pula: “Jikalau ia taubat ?”. Nabi saw menjawab: “Dihapuskan dari halaman
amalnya”. Arab desa itu bertanya: “Hingga kapan ?”. Nabi saw menjawab: “Sampai
ia meminta ampunan Allah ‘Azza Wa Jalla dan bertaubat kepadaNya. Sesungguhnya
Allah tidak bosan memberi ampunan, sampai hamba itu bosan daripada meminta
ampunan. Apabila hamba itu bercita-cita dengan kebaikan, niscaya ditulis oleh
malaikat yang disebelah kanan akan kebaikan, sebelum dikerjakannya. Maka kalau
sudah dikerjakannya, niscaya dituliskan 10 kebaikan. Kemudian dilipat-gandakan
oleh Allah swt kepada 700 ganda. Dan apabila hamba itu bercita-cita dengan
kejahatan, niscaya tidak dituliskan. Maka apabila dikerjakan kejahatan itu, niscaya
dituliskan satu kesalahan. Dan di belakangnya kebaikan kemaafan Allah ‘Azza Wa
Jalla”.
Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu berkata: “Wahai Rasulullah !
sesungguhnya aku tidak berpuasa selain sebulan. Tidak aku tambahkan
daripadanya. Dan tidak aku mengerjakan shalat, selain 5 waktu. Dan tidak aku
tambahkan daripadanya. Dan tiadalah bagi Allah pada hartaku itu sedekah, hajji
dan amalan sunat. Dimanakah aku apabila aku mati ?”. Rasulullah saw lalu
tersenyum dan bersabda: “Ya, bersama aku, apabila engkau menjaga hati engkau
dari dua perkara: iri hati dan dengki. Engkau menjaga lidah engkau dari dua
perkara: umpat dan dusta. Dan dua mata engkau dari dua perkara: memandang
kepada apa yang diharamkan oleh Allah dan bahwa engkau mengejek dengan dua mata
itu akan orang Islam. Engkau masuk sorga bersama aku, atas dua tapak tanganku
yang ini”. Tersebut pada hadits yang panjang yang dirawikan Anas, bahwa seorang
Arab desa bertanya: “Wahai Rasulullah ! siapakah yang mengurus hitungan amal
makhluk ?”. Nabi saw menjawab: “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi”. Arab
desa itu bertanya lagi: “Dia sendiri ?”. Nabi saw menjawab: “Ya !”. Maka Arab
desa itu tersenyum. Lalu Nabi saw bertanya: “Dari karena apa engkau tertawa,
hai Arab desa ?”. Ia menjawab: “Sesungguhnya Yang Maha Pemurah itu, apabila
mentaqdirkan, niscaya memaafkan. Dan apabila mengadakan hitungan amal (hisab),
niscaya penuh dengan kelapangan”. Lalu Nabi saw bersabda: “Benarlah Arab desa
ini. Ketahuilah kiranya, bahwa tiada yang pemurah, yang lebih pemurah daripada
Allah Ta’ala. Dialah Yang Maha Pemurah dari orang-orang yang pemurah”.
Kemudian, Nabi saw menyambung: “Arab desa ini telah mengerti”. Dan pada hadits
ini, tersebut pula: “Bahwa Allah Ta’ala memuliakan dan mengagungkan Ka’bah. Dan
jikalau seorang hamba meruntuhkannya, batu demi batu, kemudian dibakarkannya,
niscaya tiada sampai yang demikian itu, dari dosa orang yang merendahkan
seorang wali dari para wali Allah Ta’ala”. Lalu Arab desa itu bertanya:
“Siapakah para wali Allah Ta’ala ?”. Nabi saw menjawab: “Orang mu’min itu semua
wali (aulia) Allah Ta’ala. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Allah itu yang kasih orang-orang yang beriman, mereka dikeluarkanNya
dari kegelapan kepada cahaya yang terang (nur)”. Tersebut pada sebahagian
hadits: “Orang mu’min itu lebih utama dari Ka’bah”. “Orang mu’min itu baik dan
suci”. Orang mu’min itu lebih mulia pada Allah Ta’ala daripada malaikat”.
Tersebut pada hadits: “Allah Ta’ala menciptakan neraka jahannam dari kurnia
rahmatNya, untuk menjadi cambuk, yang dihalau oleh Allah dengan cambuk itu akan
hamba-hambaNya ke sorga”. Tersebut pada hadits yang lain: “Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Sesungguhnya Aku jadikan makhluk itu, supaya mereka itu beruntung
atas tanggunganKu. Dan tidak Aku jadikan mereka, supaya Aku beruntung atas
tanggungan mereka”.
Tersebut pada
hadits Abi Sa’id Al-Khudri, dari Rasulullah saw: “Allah Ta’ala tidak menjadikan
sesuatu, melainkan dijadikanNya apa yang mengalahkannya. Dan dijadikanNya
rahmatNya, mengalahkan marahNya”. Tersebut pada hadits yang terkenal:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menuliskan atas diriNya rahmat, sebelum Ia
menjadikan makhluk: sesungguhnya rahmatKu itu mengalahkan marahKu”.
Diriwayatkan
dari Ma’adz bin Jabal dan Anas bin Malik, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang
membacakan “Laa ilaaha illallaah” (Tiada yang disembah, selain Allah), niscaya
ia masuk sorga”. Pada hadits lain: “Siapa yang ada akhir perkataannya “Laa
ilaaha illallaah”, niscaya ia tidak akan disentuh oleh neraka”. Pada hadits lain:
“Siapa yang bertemu dengan Allah, yang tidak disekutukanNya dengan sesuatu,
niscaya ia diharamkan dari neraka”. Pada hadits lain: “Tiada akan masuk neraka,
orang yang dalam hatinya, seberat atom dari iman”. Pada hadits lain: “Jikalau
orang kafir itu tahu, akan luasnya rahmat Allah Ta’ala, niscaya tiada
seorangpun yang putus asa dari sorgaNya”.
Tatkala
Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya, kegoncangan kiamat
itu suatu peristiwa yang dahsyat”. S 22 Al Hajj ayat 1, lalu beliau bersabda:
“Tahukah kamu: hari manakah ini ? inilah hari, yang dikatakan kepada Adam as:
“Bangunlah ! maka carilah akan kecarian neraka dari anak cucumu !”. Maka Adam
as bertanya: “Berapa ?”. Maka dijawab: “Dari setiap 1000 ini, maka 999 ke
neraka dan seorang ke sorga”. Maka kaum itu penuh keheranan. Mereka itu semua
menangis dan seharian mereka itu tidak mau berbuat dan bekerja. Maka datanglah
kepada mereka, Rasulullah saw dan bersabda: “Mengapa kamu tidak mau bekerja ?”.
Mereka itu menjawab: “Siapakah yang mau bekerja sesudah engkau ceritakan kepada
kami dengan ini ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Berapa banyak kamu dalam umat-umat
itu ? manakah Tawil, Tsaris, Mansik, Ya’juj dan Ma’juj, umat-umat, yang tidak
dapat dihinggakan, selain oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya kamu dalam umat-umat
yang lain itu, adalah seperti bulu yang putih pada kulit sapi jantan yang hitam
dan seperti gurisan pada lengan (kaki depan) binatang kendaraan”. Maka
perhatikanlah, bagaimana adanya makhluk itu dihalau dengan cemeti ketakutan dan
dituntun mereka dengan tali kekang harapan, kepada Allah Ta’ala. Karena mereka
dihalau, pertama-tama dengan cemeti ketakutan. Maka tatkala keluar yang
demikian dengan mereka, daripada batas kesederhanaan, kepada bersangatan
keputus-asaan, niscaya mereka diobati dengan obat harapan. Dan mereka
dikembalikan kepada kelurusan dan kesederhanaan. Dan yang penghabisan itu tidak
berlawanan bagi yang permulaan. Akan tetapi, disebutkan pada permulaan apa yang
dilihatnya menjadi sebab bagi kesembuhan. Dan disingkatkan kepada yang
demikian. Maka manakala mereka itu memerlukan kepada pengobatan dengan harapan,
niscaya disebutkan kesempurnaan urusan: bahwa harus atas yang memberi
pengajaran, mengikuti penghulu pemberi-pemberi pengajaran. Maka ia
berlemah-lembut pada pemakaian hadits-hadits tentang takut dan harap, menurut
keperluan, sesudah memperhatikan sakit-sakit batiniyah. Dan jikalau tidak
dijaga yang demikian, niscaya adalah apa yang rusak dengan pengajarannya itu
lebih banyak daripada yang diperbaikinya.
Tersebut pada
hadits: “Jikalau kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah menjadikan suatu
makhluk yang berbuat dosa. Maka Ia mengampunkan mereka”. Tersebut pada
kata-kata lain: “Niscaya Ia pergi dari kamu dan Ia datang dengan makhluk yang
lain yang berbuat dosa. Maka Ia mengampunkan mereka. Sesungguhnya Ia itu Maha
Pengampun dan Maha Pengasih”. Tersebut pada hadits: “Jikalau kamu tidak berbuat
dosa, niscaya aku takut atas kamu, apa yang lebih jahat daripada dosa”. Lalu
ditanyakan: “Apakah itu yang lebih jahat ?”. Nabi saw menjawab: “Ujub
(mengherani diri)”. Nabi saw bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku di TanganNya !
sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih kepada hambaNya yang mu’min, daripada ibu
yang sayang kepada anaknya”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya Allah Ta’ala
mengampunkan pada hari kiamat, akan ampunan, yang tiada terguris pada hati
seseorang. Sampai Iblis menyombong diri atas ampunan itu, karena mengharap
diperolehnya”. Tersebut pada hadits: “Sesungguhnya bagi Allah Ta’ala 100
rahmat, yang disimpan daripadanya pada sisiNya 99 rahmat. Dan dinampakkanNya
daripadanya di dunia satu rahmat, yang berdesak-desak para makhluk pada yang
satu itu. Maka ibu kasih-sayang kepada anaknya. Dan binatang sayang kepada
anaknya. Maka apabila hari kiamat nanti, Ia mengumpulkan nikmat yang satu ini
kepada yang 99. Kemudian, dihamparkanNya kepada semua makhlukNya. Dan setiap
rahmat daripadanya itu lapisannya langit dan bumi”. Nabi saw menyambung: “Maka
tiada binasa atas tanggungan Allah pada hari itu, selain orang yang binasa”.
Tersebut pada hadits: “Tiada seorangpun daripada kamu, yang amalnya
memasukkannya ke sorga dan melepaskannya dari neraka”. Lalu para sahabat
bertanya: “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw: “Dan tidak juga
aku, selain bahwa aku diselubungkan oleh Allah dengan rahmatNya”. Nabi saw
bersabda: “Beramallah ! berikanlah kabar gembira ! dan ketahuilah, tiadalah
seseorang itu dilepaskan oleh amalnya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku
sembunyikan syafaatku bagi orang-orang yang berbuat dosa besar dari umatku.
Adakah engkau lihat syafaat itu bagi orang-orang yang taat, yang taqwa saja ?
bahkan syafaat itu bagi orang-orang yang berlumuran dosa, yang
mencampur-adukkan antara dosa dan bukan dosa”.
Nabi saw
bersabda: “Aku diutus membawa agama yang benar, penuh kelapangan, yang mudah”.
Nabi saw bersabda dan kepada setiap hamba pilihan: “Aku menyukai, bahwa diketahui
oleh orang-orang kafir yang berpegang kepada dua kitab, bahwa pada agama kita
itu penuh kelapangan”. Menunjukkan kepada arti hadits ini, akan penerimaan doa
oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang mu’min, pada doanya: “Janganlah Engkau
pikulkan kepada kami beban yang berat”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Dan meringankan beban mereka dan belenggu yang menyusahkan
mereka”. S 7 Al A’raaf ayat 157. Diriwayatkan Muhammad bin Al-Hanafiyah, dari
Ali ra bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Maka berilah maaf yang baik”.
S 15 Al Hijr ayat 85. Nabi saw lalu bertanya: “Hai Jibril ! apakah maaf yang
baik itu ?”. Jibril as menjawab: “Apabila engkau maafkan orang yang berbuat
zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya”. Nabi saw lalu bersabda:
“Hai Jibril ! maka Allah Ta’ala itu Maha Pemurah daripada Ia mencela orang yang
dimaafkanNya”. Maka menangislah Jibril. Dan menangislah Nabi saw. Maka Allah
Ta’ala mengutuskan malaikat Mikail kepada keduanya. Mikail berkata:
“Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan berfirman: “Bagaimana
Aku mencela orang yang Aku maafkan ? itu adalah hal yang tidak menyerupai
kemurahanKu”. Hadits-hadits yang membentangkan mengenai sebab-sebab harapan
itu, lebih banyak daripada dapat dihinggakan.
Adapun atsar,
maka diantaranya Ali ra berkata: “Siapa yang berbuat suatu dosa, lalu ditutup
oleh Allah Ta’ala di dunia, maka Allah itu Maha Pemurah, daripada membukakan
penutupannya di akhirat. Dan siapa yang berbuat dosa, lalu ia disiksa di dunia,
maka Allah Ta’ala Maha Adil daripada mendua-kalikan siksaanNya atas hambaNya di
akhirat”.
Ats-Tsauri
berkata: “Aku tidak suka, bahwa dijadikan perhitungan amalku kepada ibu
bapakku. Karena aku tahu, bahwa Allah Ta’ala mencurahkan kasih-sayang kepadaku
daripada keduanya”. Setengah salaf berkata: “Orang mu’min apabila berbuat
maksiat kepada Allah Ta’ala, niscaya Allah menutupkannya dari penglihatan
malaikat. Supaya tidak dilihatnya, lalu dinaik-saksikannya”.
Muhammad bin Sha’ab menulis surat kepada Aswad
bin Salim dengan tulisannya sendiri: “Sesungguhnya hamba apabila berbuat
berlebih-lebihan atas dirinya, maka ia mengangkatkan dua tangannya berdoa dan
mengucapkan: “Wahai Tuhanku !”, niscaya malaikat mendindingkan suaranya. Dan
demikian juga, kali kedua dan kali ketiga. Sehingga, apabila ia mengucapkan
kali keempat: “Wahai Tuhanku !”, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hingga kapan,
kamu dindingkan daripadaKu, akan suara hambaKu ? sesungguhnya hambaKu itu tahu,
bahwa tiada baginya Tuhan, yang mengampunkan dosa-dosa, selain Aku. Aku
persaksikan kepada kamu, bahwa Aku telah mengampunkan dosanya”.
Ibrahim bin
Adham ra berkata: “Pada suatu malam, aku tidak melakukan thawaf. Adalah malam
itu banyak turun hujan dan gelap. Lalu aku berdiri di Al-Multazam di sisi pintu
Ka’bah. Maka aku berdoa: “Wahai Tuhanku ! peliharakanlah aku, sehingga aku
tidak mengerjakan maksiat kepadaMu selama-lamanya!”. Lalu datang suara yang
memanggil dari Baitullah: “Hai Ibrahim ! engkau meminta kepadaKu pemeliharaan
dari dosa. Semua hambaKu yang beriman, meminta daripadaKu yang demikian. Maka
apabila Aku peliharakan mereka, maka kepada siapakah Aku memberikan kurnia? dan
bagi siapakah Aku memberi ampunan?”
Al-Hasan
berkata: “Jikalau tidaklah orang mu’min itu berbuat dosa, niscaya ia akan
terbang pada alam malakut tinggi. Akan tetapi, Allah Ta’ala mencegah kannya
dengan dosa”. Al-Junaid ra berkata: “Jikalau nampaklah mata dari orang pemurah,
niscaya mata itu menghubungkan orang-orang yang berbuat jahat dengan
orang-orang yang berbuat baik”. Malik bin Dinar bertemu dengan Abban bin
‘Ayyasy. Lalu Malik mengatakan kepadanya: “Sudah berapa banyak engkau berbicara
dengan manusia, mengenai hal kemudahan ?”. Abban lalu menjawab: “Hai Abu Yahya
! sesungguhnya aku mengharap bahwa engkau melihat dari kemaafan Allah pada hari
kiamat, akan apa yang engkau koyakkan pakaian engkau ini karenanya, dari sebab
kegembiraan”.
Dalam cerita
Rib’iy bin Hirasy dari hal saudaranya (Mas’ud bin Hirasy dan adalah Rib’iy ini
termasuk kaum tabi’in pilihan. Dan saudaranya (Mas’ud) itu, adalah diantara
orang yang berkata-kata sesudah meninggal. Kata Rib’iy: “Tatkala saudaraku
Mas’ud telah meninggal, lalu ia ditutup dengan kainnya. Dan kami meletakkannya
di atas usungan mayatnya. Maka ia membukakan kain dari mukanya dan duduk lurus.
Seraya ia berkata: “Aku telah menemui Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Maka Ia menyambut
aku dengan kegembiraan dan kepuasan. Dan Tuhanku tidak marah. Dan aku melihat
keadaan itu lebih mudah dari apa yang kamu sangkakan. Maka janganlah kamu lesu
! dan sesungguhnya Muhammad saw dan para sahabatnya menunggu aku. Sehingga aku
kembali kepada mereka”. Rib’iy meneruskan ceritanya: “Kemudian, Ma’sud
mencampakkan dirinya. Seakan-akan adalah dia sebutir batu, yang jatuh pada
tempat cuci tangan. Maka kami bawa dia dan kami kuburkan”.
Tersebut pada
hadits: “Bahwa dua orang laki-laki dari kaum Bani Israil, mengikatkan
persaudaraan pada jalan Allah Ta’ala. Yang seorang adalah berlebih-lebihan atas
dirinya dengan perbuatan maksiat. Dan yang lain adalah ‘abid (rajin beribadah).
Dan ia memberi pengajaran dan menghardik temannya itu. Lalu teman yang jahat
itu mengatakan: “Tinggalkanlah aku ! demi Tuhanku ! adakah engkau diutus atas
diriku menjadi pengintip ?”. Sehingga pada suatu hari, teman yang ‘abid itu
melihat temannya yang jahat, sedang berbuat dosa besar. Lalu ia marah, seraya
berkata: “Allah tiada akan mengampunkan dosa engkau”. Teman yang berbuat dosa
itu menjawab: “Allah Ta’ala akan berfirman pada hari kiamat: “Adakah sanggup
seseorang mencegah rahmatKu kepada hamba-hambaKu ? pergilah engkau, maka
sesungguhnya Aku telah mengampunkan dosa engkau”. Kemudian, ia mengatakan
kepada temannya yang ‘abid: “Engkau telah mengharuskan bagi engkau neraka”.
Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan yang nyawaku di tanganNya ! sesungguhnya orang
itu telah mengucapkan perkataan, yang membinasakan dunianya dan akhiratnya”.
Diriwayatkan
pula, bahwa seorang pencuri telah merampok pada kaum Bani Israil, selama 40
tahun. Maka nabi Isa as lalu dekat pencuri itu. Dan di belakang beliau seorang
abid dari Bani Israil, yang menjadi teman beliau. Maka pencuri itu berkata pada
dirinya: “Ini nabi Allah lewat dan di sampingnya sahabatnya. Jikalau aku turun,
lalu aku menjadi orang ketiga bersama keduanya”. Kata yang punya riwayat, lalu
pencuri itu turun (menggabungkan diri). Ia bermaksud dekat dengan sahabat Isa
as. Dan ia menghinakan dirinya, karena menghormati sahabat nabi Isa as. Dan ia
berkata kepada dirinya: “Seperti aku tiada akan berjalan di samping ‘abid ini”.
Kata yang punya riwayat, bahwa sahabat nabi Isa as merasa pada dirinya. Lalu ia
berkata kepada dirinya: “Orang ini mau berjalan di sampingku”. Lalu ia
merapatkan dirinya dan berjalan kepada nabi Isa as. Maka ia berjalan di
sampingnya. Maka tinggallah pencuri itu di belakangnya. Maka Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Isa as: “Katakanlah kepada dua orang itu, supaya
keduanya mengulangi kembali perbuatannya ! sesungguhnya telah batal apa yang
telah berlalu dari amal perbuatannya. Adapun si sahabat itu, telah batal amal
kebaikannya, karena ia ‘ujub (mengherani diri). Adapun yang satu lagi
(pencuri), maka telah batal perbuatan jahatnya, disebabkan ia menghinakan
dirinya”. Lalu nabi Isa as menceritakan kepada dua orang itu yang demikian. Dan
pencuri itu menggabungkan diri kepada nabi Isa as dalam perjalanannya. Dan dijadikannya
menjadi sahabatnya.
Diriwayatkan
dari Masruq, bahwa seorang dari para nabi itu bersujud. Lalu lehernya diinjak
oleh seorang maksiat. Sehingga melengketkan batuk dengan dahinya. Masruq
meneruskan ceritanya, bahwa nabi as itu lalu mengangkatkan kepalanya, dengan
marah. Seraya berkata: “Pergilah, maka Allah tiada akan mengampunkan dosa
engkau !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi tadi: “Engkau
bersumpah atasKu pada hambaKu ! sesungguhnya Aku telah mengampunkannya”.
Dan mendekati
dengan ini, apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw
berdoa untuk kemelaratan orang-orang musyrik dan mengutuk mereka dalam
shalatnya. Maka turunlah kepadanya firman Allah Ta’ala: “Tiadalah engkau
mempunyai kepentingan dalam perkara itu sedikitpun, Allah menerima taubat
mereka atau menyiksa mereka”. S 3 Ali ‘Imran ayat 128. Lalu Rasulullah saw
meninggalkan berdoa untuk kemelaratan mereka. Dan Allah Ta’ala memberi petunjuk
umumnya mereka kepada Islam.
Diriwayatkan
pada atsar, bahwa adalah dua orang laki-laki dari orang-orang ‘abid, yang
bersamaan pada ibadah. Kata yang meriwayatkan, bahwa apabila keduanya
dimasukkan ke sorga, lalu yang seorang ditinggikan pada tingkat tinggi atas
temannya. Maka yang seorang itu berkata: “Wahai Tuhanku ! tiadalah orang ini
dalam dunia, lebih banyak ibadahnya daripada aku. Lalu Engkau tinggikannya di
atasku dalam sorga tinggi”. Maka berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguh nya ia meminta padaKu di
dunia akan derajat tinggi. Dan engkau meminta padaKu akan kelepasan dari
neraka. Maka Aku berikan kepada setiap hamba akan permintaannya”. Ini menunjukkan, bahwa ibadah lebih utama dari harap. Karena
kecintaan itu lebih keras pada orang yang mengharap, daripada pada orang yang
takut. Maka berapa banyak perbedaannya pada raja-raja, diantara orang yang
melayaninya, karena takut siksaannya dan orang yang melayaninya, karena
mengharap keanugerahan dan kemurahannya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala
menyuruh, dengan: baik sangka. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Mintalah
kepada Allah akan derajat tinggi. Sesungguhnya engkau meminta pada Yang Maha
Pemurah”. Nabi saw bersabda: “Apabila kamu meminta pada Allah, maka besarkanlah
keinginan dan mintalah sorga Firdaus yang tertinggi. Maka sesungguhnya Allah
Ta’ala tiadalah sesuatu yang besar padaNya”.
Bakr bin Salim
Ash-Shawwaf berkata: “Kami masuk ke tempat Malik bin Anas, pada sore, yang pada
sore itu, ia meninggal dunia. Kami menanyakan: “Hai Abu Abdillah ! bagaimana
engkau mendapati dirimu ?”. Malik bin Anas menjawab: “Aku tidak tahu, apa yang
aku katakan kepadamu, kecuali sesungguhnya kamu akan melihat dari kemaafan
Allah, apa yang tidak ada bagimu pada hitungan amal (hisab)”. Kemudian, kami
tetap di tempat itu, sehingga kami tidak memahami lagi maksud perkataannya”.
Yahya bin Ma’adz mengucapkan dalam munajahnya (menghadapkan kata-katanya kepada
Allah Ta’ala): “Hampirlah harapanku kepada Engkau serta dosa. Keraslah
harapanku akan Engkau serta amal. Karena aku berpegang pada amal itu di atas
keikhlasan. Bagaimana aku memelihara amal-amal itu, padahal aku terkenal dengan
bahaya. Aku dapati diriku dalam dosa, yang aku berpegang kepada kemaafan
Engkau. Bagaimana Engkau tidak mengampunkannya dan Engkau itu bersifat dengan
kemurahan”. Dikatakan, bahwa seorang majusi minta bertamu pada nabi Ibrahim
Al-Khalil as. Lalu Nabi Ibrahim as menjawab: “Kalau masuk Islam, niscaya aku
pertamukan engkau”. Orang majusi itu lalu pergi. Maka Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada nabi Ibrahim: “Hai Ibrahim ! engkau tidak memberi makanan
kepadanya, selain dengan ia mengubahkan agamanya. Dan Kami sejak 70 tahun yang
lalu, memberi makanan kepadanya, di atas kekafirannya. Maka jikalau engkau
pertamukannya semalam, niscaya apa yang ada atas engkau ?”. Maka pergilah
Ibrahim as berusaha mencari orang majusi itu. Maka dimintanya kembali dan
dipertamukannya. Lalu orang majusi itu bertanya kepada nabi Ibrahim as: “Apa
sebab, pada apa yang nampak bagi engkau itu ?”. Nabi Ibrahim as lalu
menerangkan kepada orang majusi tadi. Maka orang majusi tersebut bertanya
kepada nabi Ibrahim:“Adakah yang begini engkau mengadakan hubungan dengan aku
?” Kemudian, orang majusi itu menyambung:“Kemukakanlah kepadaku agama Islam!” Maka orang majusi itupun masuk agama Islam.
Al-Ustadz Abu
Sahl Ash-Sha’luki bermimpi bertemu dengan Abu Sahl Az-Zujaji. Dan adalah Abu
Sahl Az-Zujaji mengatakan, dengan: janji azab selama-lamanya. Lalu Abu Sahl
Ash-Sha’luki bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Abu Sahl
Az-Zujaji menjawab: “Kami dapati keadaan, lebih mudah daripada apa, yang kami
sangkakan”. Kemudian, sebahagian mereka bermimpi bertemu dengan Abu Sahl
Ash-Sha’luki, dalam keadaan yang baik, yang tidak dapat disifatkan. Lalu yang
bermimpi itu, bertanya kepadanya: “Hai Ustadz ! dengan apa engkau peroleh ini
?”. Lalu Abu Sahl Ash-Sha’luki menjawab: “Dengan baik sangkaanku kepada
Tuhanku”. Diceritakan, bahwa Abul-Abbas bin Suraij ra bermimpi dalam sakit,
yang ia meninggal dunia pada sakit itu, seakan-akan kiamat sudah terjadi.
Tiba-tiba Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang Maha Suci berfirman: “Mana para ulama
?”. Kata Abul-Abbas: “Maka datanglah para ulama itu”. Kemudian, Allah Ta’ala
berfirman: “Apakah yang kamu amalkan, pada apa yang kamu ketahui ?”. Kata
Abul-Abbas: “Maka kami menjawab: “Hai Tuhanku! kami teledor dan kami berbuat
jahat”. Kata Abul-Abbas: “Maka Allah Ta’ala mengulangi pertanyaan, seakan-akan
Ia tidak ridha dengan jawaban tadi dan menghendaki jawaban yang lain. Maka aku
menjawab: “Adapun aku, maka tiadalah pada halaman suratan amalku itu syirik.
Dan Engkau telah menjanjikan, bahwa Engkau akan mengampunkan yang kurang dari
itu”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Pergilah dengan Abul-Abbas itu ! Aku telah
mengampunkan dosa kamu”. Abul-Abbas bin Suraij itu meninggal sesudah 3 malam
kemudian.
Dikatakan,
adalah seorang laki-laki peminum khamar, mengumpulkan suatu golongan dari
teman-temannya yang sepeminum. Dan ia menyerahkan kepada budaknya 4 dirham. Dan
disuruhnya membeli sedikit buah-buahan untuk pertemuannya itu. Maka budak itu
melewati pintu majlis Manshur bin ‘Ammar. Dan Manshur itu meminta sesuatu untuk
fakir-miskin. Ia mengatakan: “Bahwa siapa yang memberikan kepada fakir-miskin
itu 4 dirham, niscaya aku berdoa kepadanya 4 doa. Kata yang punya riwayat,
bahwa budak itu lalu menyerahkan 4 dirham itu kepada fakir-miskin. Maka
bertanya Manshur: “Apakah yang engkau kehendaki, bahwa aku doakan bagi engkau
?”. Budak itu menjawab: “Aku mempunyai tuan. Aku menghendaki supaya aku
terlepas daripadanya”. Maka Manshur mendoakan yang demikian. Dan bertanya lagi:
“Yang lain ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah menggantikan kepadaku akan
dirham-dirhamku”. Lalu Manshur mendoakan. Kemudian, bertanya: “Yang lain ?”.
Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mentaubatkan tuanku”. Maka Manshur mendoakan
! kemudian bertanya: “Yang lain ?”. Budak itu menjawab: “Kiranya Allah mengampunkan
aku, tuanku, engkau dan rombongan teman-teman tuanku !”. Maka Manshur pun
mendoakan yang demikian. Lalu budak itu kembali. Maka tuannya bertanya
kepadanya: “Mengapa engkau lambat ?”. Maka ia ceritakan kepada tuannya cerita
tersebut. Dan tuannya itu lalu bertanya: “Apa ia doakan ?”. Budak itu lalu
menjawab: “Aku minta bagi diriku merdeka”. Maka tuannya lalu menjawab:
“Pergilah, engkau sekarang merdeka !”. Tuannya bertanya lagi: “Apa yang ke-2
?”. Budak itu menjawab: “Kiranya digantkan oleh Allah kepadaku, dirham-dirham
itu”. Tuannya menjawab: “Untukmu 4000 dirham”. “Dan yang ke-3, apa ?”. Budak
itu menjawab: “Kiranya Allah mentaubatkan engkau”. Tuannya menjawab: “Aku
bertaubat kepada Allah Ta’ala”. Dan ia bertanya lagi: “Apa yang ke-4 ?”. Budak
itu menjawab: “Kiranya Allah mengampunkan aku, engkau, rombongan itu dan yang
memperingatkan aku”. Lalu tuannya menjawab: “Yang satu ini tidaklah kepadaku”.
Tatkala tuannya tidur pada malam itu, maka ia bermimpi, seakan-akan ada yang
mengatakan kepadanya: “Engkau telah berbuat apa yang kepada engkau sekalian.
Apakah engkau akan melihat, bahwa Aku tiada berbuat apa yang kepadaKu ? maka
Aku ampunkan dosa engkau, dosa budak, dosa Manshur bin ‘Ammar dan dosa
orang-orang yang hadir itu”.
Diriwayatkan
dari Abdul-wahhab bin Abdul-hamid Ats-Tsaqafi, yang mengatakan: “Aku melihat 3
orang laki-laki dan seorang perempuan, membawa jenazah”. Kata Abdul-wahhab:
“Lalu aku ambil tempat wanita itu dan kami pergi ke kuburan. Kami mengerjakan
shalat jenazah dan kami kuburkan mayat itu. Maka aku bertanya kepada wanita
itu: “Siapakah mayat ini, dari pihak engkau ?”. Perempuan itu menjawab:
“Anakku”. Aku bertanya lagi: “Apakah kamu tidak mempunyai tetangga ?”.
Perempuan itu menjawab: “Ada ! akan tetapi, mereka menganggap kecil urusannya”.
Lalu aku bertanya: “Mengapa ada yang demikian?”. Perempuan itu menjawab:
“Anakku itu membuat dirinya menyerupai perempuan (mukhannats)”. Abdul-wahhab
itu meneruskan ceritanya: “Maka aku belas kasihan kepada wanita itu dan aku
bawa dia ke tempatku. Aku berikan kepadanya uang beberapa dirham, gandum dan
beberapa helai kain”. Abdul-wahhab itu meneruskan ceritanya: “Maka aku bermimpi
pada malam itu, seakan-akan datang kepadaku, seorang yang datang, seolah-olah
bulan pada malam purnama dan ia memakai pakaian putih. Ia datang mengucapkan
terima kasih kepadaku. Lalu aku bertanya: “Siapakah engkau ?”. Maka ia
menjawab: “Orang mukhannats, yang engkau kuburkan tadi siang. Tuhanku
mengasihani aku, disebabkan manusia menghinakan aku”.
Ibrahim
Al-Athrusy berkata: “Adalah kami duduk di Bagdad bersama Ma’ruf Al-Karkhi di
tepi sungai Dajlah. Tiba-tiba datang anak-anak muda dalam suatu perahu. Mereka
memukul rebana, minum khamar dan bermain-main. Lalu orang banyak bertanya
kepada Ma’ruf: “Apakah tidak engkau melihat mereka berbuat maksiat dengan
terang-terangan ? berdoalah kepada Allah akan kebinasaan mereka !”. Ma’ruf
Al-Karkhi lalu mengangkatkan dua tangannya dan berdoa: “Ya Ilaahii ! Wahai
Tuhanku ! sebagaimana Engkau gembirakan mereka di dunia, maka gembirakanlah
mereka di akhirat !”. Orang banyak itu menjawab: “Sesungguhnya kami meminta
engkau berdoa untuk kebinasaan mereka”. Maka jawab Ma’ruf Al-Karkhi: “Apabila
Allah menggembirakan mereka di akhirat, niscaya diterimaNya taubat mereka”. Sebahagian
salaf mengucapkan dalam doanya: “Wahai Tuhanku ! penduduk masa manakah yang
tidak berbuat maksiat kepada Engkau. Kemudian, adalah nikmat Engkau itu merata
kepada mereka. Dan rezeki yang Engkau berikan itu beredar kepada mereka. Maha
Suci Engkau ! alangkah amat kasih-sayangnya Engkau. Demi keagungan Engkau !
sesungguhnya Engkau menghinggakan, kemudian Engkau ratakan nikmat dan Engkau
curahkan. Sehingga seolah-olah Engkau, hai Tuhan kami, tiada Engkau marah”.
Maka inilah sebab-sebab yang menarik semangat harapan ke dalam hati orang-orang
yang takut dan putus asa.
Adapun
orang-orang yang dungu, yang terperdaya, maka tiada seyogyalah, bahwa ia
mendengar sesuatu dari yang demikian. Akan tetapi, mereka akan mendengar apa
yang akan kami bentangkan pada sebab-sebab takut. Maka sesungguhnya kebanyakan
manusia, tiada pantas, selain atas ketakutan. Seperti budak yang jahat dan anak
kecil yang suka kotor. Ia tidak lurus, selain dengan cambuk dan tongkat dan
melahirkan kata-kata kasar. Adapun lawan yang demikian, maka menyumbatkan
kepada mereka, pintu perbaikan pada agama dan dunia.
BAHAGIAN KEDUA: dari Kitab: tentang
takut.
Pada bahagian ini:
penjelasan hakikat/makna takut, penjelasan tingkat-tingkatnya, penjelasan
berbagai macam ketakutan, penjelasan keutamaan takut, penjelasan yang terutama
dari takut dan harap, penjelasan obat takut, penjelasan arti buruk kesudahan
(su-ul khatimah) dan penjelasan hal-ihwal nabi-nabi as yang takut dan
orang-orang shalih –kiranya rahmat Allah kepada mereka. Kita bermohon kepada
Allah akan kebaikan taufiq.
PENJELASAN: hakikat/makna takut.
Ketahuilah kiranya, bahwa
takut itu ibarat dari kepedihan dan kebakaran hati, disebabkan terjadinya yang
tidak disukai pada masa depan. Dan telah jelas ini pada: penjelasan hakikat/makna
harap. Orang yang jinak hatinya kepada Allah, kebenaran memiliki hatinya dan ia
menjadi putera zamannya, yang menyaksikan keelokan kebenaran secara
terus-menerus, niscaya tidak ada baginya penolehan kepada masa depan. Maka
tidak ada baginya takut dan harap. Akan tetapi, jadilah keadaannya lebih tinggi
dari takut dan harap. Maka sesungguhnya takut dan harap itu dua kekang yang
mencegah diri dari keluar kepada ketetapan keadaannya. Dan kepada inilah,
diisyaratkan oleh Al-Wasithi, dimana ia berkata: “Takut itu dinding (hijab)
diantara Allah dan hamba”. Al-Wasithi mengatakan pula: “Apabila lahirlah
kebenaran kepada rahasia, niscaya tidak ada lagi padanya keutamaan bagi harap
dan takut”.
Kesimpulannya,
bahwa orang yang mencintai, apabila hatinya sibuk menyaksikan yang dicintainya,
dengan takut berpisah, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada
penyaksian kepada Allah. Dan sesungguhnya keterus-menerusan penyaksian itu
maqam (tingkat) yang penghabisan. Akan tetapi, kita sekarang akan
memperkatakan, mengenai tingkat permulaan (awa-ilul-maqamat). Maka kami
katakan: bahwa hal-ihwal takut itu teratur juga dari: ilmu, hal keadaan dan
amal.
Adapun ilmu,
maka ilmu dengan sebab yang membawa kepada yang tiada disukai. Dan yang
demikian itu, seperti: orang yang berbuat aniaya atas raja. Kemudian, ia jatuh
dalam tangan raja. Maka ia takut akan pembunuhan –umpamanya. Dan memungkinkan
juga kemaafan dan kelepasan. Akan tetapi, adalah kepedihan hatinya, disebabkan
takut, menurut kekuatan pengetahuannya dengan sebab-sebab yang membawa kepada
pembunuhannya. Dan itu kekejian penganiayaannya. Dan keadaan raja itu dengki
pada dirinya, marah dan pembalas dendam. Dan keadaan dirinya dikelilingi,
dengan orang yang membangkitkan kepada pembalasan dendam. Kosong dari orang
yang memberi bantuan kepada pihaknya. Dan adalah orang yang takut ini kosong
dari setiap jalan dan kebaikan, yang menghapuskan bekas penganiayaannya pada
raja. Maka mengetahui dengan jelasnya sebab-sebab itu adalah sebab kuatnya
ketakutan dan sangatnya kepedihan hati. Dan menurut lemahnya sebab-sebab itu
melemahkan takut. Dan kadang-kadang adalah takut itu, tidak dari sebab
penganiayaan yang diperbuat oleh orang yang takut. Akan tetapi, dari sifat
pihak yang menakutkan. Seperti orang yang jatuh dalam cengkeraman binatang buas.
Maka dia itu takut, karena sifat binatang buas. Yaitu: lobanya dan ganasnya
–biasanya –atas mangsanya. Walaupun mangsanya itu dengan pilihannya.
Kadang-kadang
adalah takut itu, dari sifat tabiat bagi yang ditakuti. Seperti takutnya orang
yang jatuh dalam aliran banjir atau dekat benda yang terbakar. Maka
sesungguhnya air itu ditakuti, karena menurut tabiatnya membawa kepada mengalir
dan tenggelam. Dan begitupula api, kepada membakar. Maka ilmu dengan
sebab-sebab yang tidak disukai itu, menjadi sebab yang menggerakkan, yang
membangkitkan kepada terbakarnya hati dan merasa kepedihan. Dan kebakaran itu,
ialah: takut. Maka seperti itu pula takut kepada Allah Ta’ala. Sekali adalah
karena ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) kepada Allah Ta’ala dan ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) sifat-sifatNya. Dan jikalau Allah membinasakan
alam semesta, niscaya ia tiada memperdulikan dan tiada pencegah: yang
mencegahkan. Dan sekali adalah takut itu, karena banyaknya penganiayaan hamba,
dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan menurut tahunya akan
kekurangan dirinya dan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya akan keagungan
Allah Ta’ala dan Allah tidak memerlukan kepadanya. Dan sesungguhnya Allah tidak
ditanyakan dari apa yang diperbuatNya dan mereka itu ditanyakan. Dan adalah ma’rifah
( ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu di atas ketakutannya. Maka manusia yang
paling takut kepada Tuhannya, ialah mereka yang lebih mengenal akan dirinya dan
Tuhannya. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Aku yang lebih takut kepada
Allah daripada kamu”. Demikian pula, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, ialah: orang-orang yang berilmu
(ulama)”. S 35 Faathir ayat 28. Kemudian, apabila ma’rifah (ilmu mengenal Allah
Ta’ala) telah sempurna, niscaya mewariskan keagungan takut dan terbakarnya
hati. Kemudian, melimpahkan bekas kebakaran dari hati kepada badan, kepada
anggota-anggota badan dan kepada sifat-sifat.
Adapun pada
badan, maka dengan kurus, kuning warna, pingsan, jeritan dan tangisan. Dan
kadang-kadang terhisap kepahitan, lalu membawa kepada mati. Atau naik keotak,
lalu merusakkan akal. Atau menguat, lalu mewarisi patah hati dan putus asa.
Adapun pada anggota-anggota badan, maka dengan mencegahkan nya dari
perbuatan-perbuatan maksiat dan mengikatkannya dengan amalan taat, untuk
mendapatkan bagi yang telah telanjur dan menyiapkan bagi masa mendatang. Dan
karena itulah, dikatakan: tidaklah orang yang takut itu orang yang menangis dan
menyapu dua matanya. Akan tetapi, orang yang meninggalkan apa yang ia takutkan,
bahwa ia akan disiksa dengan perbuatan itu.
Abdul-Qasim
Al-Hakim berkata: “Siapa yang takut akan sesuatu, niscaya ia lari daripadanya.
Dan siapa yang takut akan Allah, niscaya ia lari kepada Allah”. Ditanyakan
kepada Dzin-Nun: “Kapan hamba itu takut ?”. Dzin-Nun menjawab: “Apabila ia
menempatkan dirinya pada tempat orang yang sakit yang menjaga diri, karena
takut berkepanjangan sakit”. Adapun pada sifat-sifat, maka dengan mencegah dari
nafsu syahwat dan mengeruhkan segala kesenangan. Lalu perbuatan-perbuatan
maksiat yang disukai itu, menjadi tidak disukainya. Sebagaimana air madu
menjadi tidak disukai, pada orang yang mengingininya, apabila ia tahu, bahwa
pada air madu itu ada racun. Maka terbakarlah nafsu syahwat dengan takut. Dan
menjadi beradablah semua anggota badan. Dan berhasillah dalam hati itu
kelayuan, kekhusu’an, kehinaan diri dan ketenangan. Dan berpisahlah dengan dia,
kesombongan, kebusukan hati dan kedengkian. Akan tetapi, jadilah dia yang
melengkapi kesusahan hati, dengan takutnya dan perhatian pada bahaya akibatnya.
Maka ia tidak mengosongkan waktunya bagi yang lain. Dan tiada baginya kesibukan
selain: muraqabah
(mengintip kekurangan diri), muhasabah (memperhitungkan amal perbuatan
sendiri), mujahadah (bersungguh‑sungguh), kikir dengan
nafas dan perhatian, penyiksaan diri dengan segala gurisan, langkah dan
kata-kata. Dan adalah keadaannya itu keadaan orang yang jatuh dalam cengkeraman
binatang buas, yang mendatangkan melarat. Ia tidak tahu, bahwa binatang buas itu
akan lengah daripadanya, lalu ia terlepas. Atau binatang buas itu menyerangnya,
lalu ia binasa. Maka adalah zahiriyahnya dan batiniyahnya sibuk dengan apa yang
ia takutkan. Tiada peluang padanya untuk yang lain. Inilah keadaan orang, yang
dikerasi oleh ketakutan dan yang menguasainya. Dan begitulah keadaan sekumpulan
dari para sahabat dan orang-orang tabi’in. Dan kuatnya muraqabah (mengintip
kekurangan diri), muhasabah (memperhitungkan amal perbuatan sendiri) dan mujahadah
(bersungguh‑sungguh) itu, menurut kuatnya takut yang menjadi kepedihan dan
terbakarnya hati. Dan kuatnya takut itu, menurut kuatnya ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala) dengan keagungan Allah, sifat-sifatNya dan Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya. Dan mengetahui dengan kekurangan diri dan apa yang
dihadapinya, dari marabahaya dan huru-hara. Dan yang paling sedikit dari
derajat takut, dari apa yang menampak bekasnya pada amal-perbuatan, ialah bahwa
mencegah dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Dan dinamakan cegahan yang
berhasil dari perbuatan-perbuatan terlarang itu: wara’ (menjaga diri). Maka jikalau bertambah kuatnya, niscaya ia mencegah
daripada apa yang berjalan kepadanya, kemungkinan melakukan yang diharamkan.
Maka bagaimana pula, daripada apa yang tidak diyakini pengharaman nya. Dan
dinamakan yang demikian itu: taqwa. Karena taqwa, ialah bahwa: ditinggalkan apa
yang meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Dan kadang-kadang
membawanya, kepada meninggalkan apa yang tiada mengapa padanya. Karena takut
akan apa yang ada padanya apa-apa. Dan itulah: kebenaran pada taqwa. Maka
apabila bercampur kepadanya kesemata-mataan kepada pelayanan, maka jadilah ia
tidak membangun akan apa yang tiada akan ditempatnya. Dan ia tidak mengumpulkan,
apa yang tiada akan dimakannya. Dan ia tidak berpaling kepada dunia, yang
diketahuinya, bahwa dunia itu akan bercerai dengan dia. Dan ia tidak
menyerahkan suatu nafaspun dari nafas-nafasnya, kepada selain Allah Ta’ala.
Maka itulah: kebenaran. Dan yang mempunyai sifat ini, pantaslah dinamakan:
shiddiq. Dan masuk dalam kebenaran ini: taqwa. Dan masuk dalam taqwa itu: wara’
(menjaga diri). Dan masuk dalam wara’ (menjaga diri) itu: ‘iffah (terpelihara
diri dari segala yang tidak baik). Maka ‘iffah (terpelihara diri dari segala
yang tidak baik) itu ibarat, daripada mencegah diri dari yang dikehendaki nafsu
syahwat khususnya.
Jadi, takut itu
membekas pada seluruh anggota badan, dengan pencegahan dan penampilan. Dan
terus membaru baginya, dengan sebab pencegahan itu: nama ‘iffah. Yaitu:
pencegahan dari kehendak nafsu syahwat. Dan yang paling tinggi daripadanya,
ialah: wara’ (menjaga diri). Maka wara’ (menjaga diri) itu lebih umum, karena
ia mencegah dari setiap yang dilarang. Dan yang lebih tinggi daripadanya, ialah:
taqwa. Maka taqwa itu nama bagi pencegahan dari semua yang dilarang dan syubhat
(diragukan). Dan dibelakangnya: nama shiddiq dan muqarrab (orang yang dekat
dengan Tuhan). Dan berlakulah tingkat yang akhir daripada yang sebelumnya,
sebagai berlakunya: yang lebih khusus daripada yang lebih umum. Maka apabila
anda menyebutkan yang lebih khusus, maka sesungguhnya anda telah menyebutkan:
semua. Sebagaimana anda mengatakan:
manusia, adakalanya: orang Arab dan adakalanya: orang ‘Ajam (diluar
Arab). Dan orang Arab itu, adakalanya: orang Quraisy atau bukan Quraisy. Dan
orang Quraisy itu, adakalanya Hasyimi (keturunan Hasyim) atau bukan Hasyimi.
Dan Hasyimi itu, adakalanya ‘Alawi (keturunan Ali) atau bukan ‘Alawi. Dan
‘Alawi itu adakalanya Hasani (keturunan Hasan) atau Husaini (keturunan Husain).
Maka apabila anda menyebutkan, bahwa dia itu Hasani –umpamanya, maka anda telah
menyifatkan dengan: keseluruhan (al-jamii’). Dan jikalau anda menyifatkan,
bahwa orang itu: ‘Alawi, maka anda telah menyifatkannya, dengan yang diatasnya,
dari apa, yang lebih umum lagi. Maka demikian pula, apabila anda mengatakan:
shiddiq, maka sesungguhnya, anda sudah mengatakan, bahwa orang itu: taqwa, wara’
(menjaga diri) dan ‘iffah (terpelihara diri dari segala yang tidak baik). Maka
tiada seyogyalah bahwa anda menyangka, bahwa kebanyakan nama-nama ini
menunjukkan arti-arti yang banyak, yang berlain-lainan. Lalu bercampur-aduk
kepada anda, sebagaimana bercampur-aduknya pada orang yang mencari arti dari
kata-kata. Dan ia tidak mengikutkan kata-kata itu dengan arti. Maka inilah
isyarat kepada kumpulan arti takut dan apa yang meliputinya, dari segi
ketinggian, seperti ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang mewajibkannya.
Dan dari segi kebawahan, seperti: amal perbuatan yang terbit daripadanya,
sebagai cegahan dan penampilan.
PENJELASAN: tingkat-tingkat takut dan
perbedaannya tentang kuat dan lemahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa
takut itu terpuji. Kadang-kadang disangka orang, bahwa setiap apa yang
dinamakan takut itu: terpuji. Maka setiap apa yang ada lebih kuat dan lebih
banyak, niscaya adalah: lebih terpuji. Dan itu salah. Akan tetapi, takut itu
cemeti Allah, yang dengan cemeti ini dibawaNya hamba-hambaNya kepada kerajinan
kepada ilmu dan amal. Supaya mereka mencapai dengan ilmu dan amal itu tingkat
kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dan yang lebih baik bagi binatang ternak, bahwa
ia tiada terlepas dari cemeti. Dan demikian juga anak kecil. Akan tetapi, yang
demikian itu tidak menunjukkan, bahwa bersangatan pada pemukulan itu terpuji.
Demikian juga, takut itu mempunyai kesingkatan, mempunyai kesangatan dan
mempunyai kesedangan. Dan yang terpuji, ialah: kesedangan dan pertengahan.
Adapun yang
singkat dari ketakutan itu, maka ialah yang berlaku sebagai berlakunya
kehalusan wanita, yang mana ketakutan itu terguris di hati, ketika mendengar
suatu ayat dari Alquran. Lalu mendatangkan tangisan dan meneteskan air mata.
Dan seperti yang demikian juga, ketika menyaksikan suatu sebab yang
menggemparkan. Maka apabila sebab tersebut lenyap dari perasaan, niscaya
kembalilah hati kepada kelupaan. Maka inilah ketakutan yang singkat, yang
sedikit faedahnya, yang lemah manfaatnya. Dan itu adalah seperti ranting yang
kecil, yang dipukul binatang kendaraan yang kuat, dengan ranting itu. Yang
tidak menyakitkannya dengan kesakitan yang menyakitkan. Lalu dapat
membawakannya kepada yang dimaksud. Dan tiada baik bagi latihannya. Begitulah
takutnya semua manusia, selain orang-orang ‘arifin yang berma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala) dan para ulama. Dan tidaklah aku maksudkan dengan ulama
itu, orang-orang rasmi, dengan kerasmian ulama dan yang dinamakan dengan nama
ulama. Maka sesungguhnya mereka itu adalah manusia yang terjauh dari ketakutan.
Akan tetapi, yang aku maksudkan, ialah: para ulama pada jalan Allah, mengetahui
hari-hariNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan yang demikian itu,
sesungguhnya sukar didapati sekarang. Dan karena itulah, Al-Fudlail bin ‘Iyadl
berkata: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Adakah engkau takut kepada Allah
?”, maka diamlah! maka sesungguhnya jikalau engkau menjawab: tidak, niscaya
engkau kufur. Dan jikalau engkau menjawab: ya, niscaya engkau dusta”. Beliau
mengisyaratkan dengan yang demikian, bahwa takut, ialah: yang mencegah
anggota-anggota badan dari perbuatan-perbuatan maksiat. Dan mengikatkannya
dengan amalan-amalan taat. Dan apa yang tidak membekaskan pada anggota badan,
maka itu kata hati dan gerakan gurisan di hati. Tidak berhak untuk dinamakan:
takut.
Adapun yang
bersangatan, maka yaitu: yang kuat dan melampaui batas kesedangan. Sehingga ia
keluar kepada putus asa dan hilang harapan. Dan itu tercela pula. Karena ia
mencegah dari amal. Kadang-kadang takut itu keluar pula kepada kesakitan dan
kelemahan. Kepada kebimbangan, keheranan dan kehilangan akal. Maka yang
dimaksudkan dari takut, ialah: apa yang dimaksudkan dari cemeti. Yaitu: membawa
kepada amal-perbuatan. Dan jikalau tidak membawa yang demikian, niscaya
tidaklah takut itu sempurna. Karena dia itu kurang dengan hakikat/maknanya.
Karena tempat terjadinya itu kebodohan dan kelemahan.
Adapun
kebodohan, maka ia tidak tahu akan akibat pekerjaannya. Jikalau ia tahu,
niscaya ia tidak takut. Karena yang menakutkannya, ialah: yang diragukan
padanya. Adapun kelemahan, maka yaitu ia mendatangkan kepada yang ditakuti,
yang tidak sanggup ia menolaknya. Jadi, takut itu terpuji, dengan dikaitkan
kepada kekurangan anak Adam (manusia). Dan yang terpuji pada dirinya dan
zatnya, ialah: ilmu, qudrah ( kuasa/kemampuan) dan setiap apa yang boleh
disifatkan Allah Ta’ala dengan dia. Dan yang tidak boleh disifatkan Allah
Ta’ala dengan dia, maka tidak dia itu sempurna pada zatnya. Dan sesungguhnya
jadi ia terpuji, dengan dikaitkan kepada kekurangan, yang lebih besar
daripadanya. Sebagaimana adanya penanggungan kepedihan obat itu terpuji. Karena
dia itu lebih ringan dari kepedihan sakit dan mati. Maka apa yang keluar kepada
keputus-asaan, maka itu tercela. Kadang-kadang takut itu keluar pula kepada
kesakitan dan kelemahan. Kepada kebimbangan, keheranan dan kehilangan akal.
Kadang-kadang ia keluar kepada mati. Dan setiap yang demikian itu tercela. Dan
itu adalah seperti pukulan, yang membunuh anak kecil. Dan cemeti yang
membinasakan binatang kendaraan atau menyakitkannya. Atau memecahkan salah satu
anggota tubuhnya. Sesungguhnya Rasulullah saw telah menyebutkan sebab-sebab
harapan dan kebanyakan daripadanya, supaya dapat mengobatkan serangan takut
yang bersangatan, yang membawa kepada keputus-asaan atau salah satu dari
hal-hal itu. Maka setiap apa yang dimaksudkan karena sesuatu hal, maka yang
terpuji daripadanya, ialah: apa yang membawakan kepada yang dikehendaki dan
yang dimaksudkan daripadanya. Dan apa yang menyingkatkan dari yang demikian
atau melampauinya, maka itu tercela. Faedah takut, ialah: hati-hati, taqwa, mujahadah (bersungguh‑sungguh), ibadah, fikir,
dzikir dan sebab-sebab yang lain, yang menyampaikan
kepada Allah Ta’ala. Dan setiap yang demikian, membawa kehidupan serta
kesehatan badan dan kesejahteraan akal. Maka setiap apa yang mencederakan pada
sebab-sebab tersebut, maka itu tercela. Maka jikalau anda mengatakan: siapa
yang takut, lalu ia mati dari ketakutannya, maka orang itu syahid. Maka
bagaimana ada keadaannya itu tercela ?. Maka ketahuilah, bahwa arti adanya ia
syahid, ialah, bahwa: ia mempunyai tingkat, disebabkan kematiannya dari
ketakutan. Ia tidak akan mencapai tingkat itu, jikalau ia mati pada waktu itu,
tidak disebabkan ketakutan. Maka itu dikaitkan kepada yang demikian, adalah:
keutamaan. Adapun dengan dikaitkan kepada ditakdirkan masih adanya dan panjang
umurnya pada mentaati Allah dan menempuh jalan-jalanNya, maka tidaklah itu
keutamaan. Bahkan, bagi orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala dengan jalan
fikir (tafakkur), bersungguh‑sungguh dan mendaki pada tingkat-tingkat ma’rifah/mengenal
Allah, pada setiap detik itu, mempunyai pangkat syahid dan syuhada’. Dan
jikalau tidaklah ini, niscaya adalah pangkat anak kecil yang terbunuh atau
orang gila yang diterkam binatang buas itu, lebih tinggi dari pangkat nabi atau
wali yang meninggal begitu saja. Dan itu adalah mustahil. Maka tiada seyogyalah
disangkakan itu. Akan tetapi, kebahagiaan yang paling utama, ialah panjang umur
pada mentaati Allah Ta’ala. Maka setiap apa yang merusakkan umur atau akal atau
kesehatan, yang menjadi kosong umur dengan pengrusakan itu, maka itu kerugian
dan kekurangan, dengan dikaitkan kepada beberapa hal. Walaupun ada setengah
bahagiannya itu keutamaan, dengan dikaitkan kepada hal-hal yang lain. Seperti
naik saksi itu suatu keutamaan, dengan dikaitkan kepada yang kurang
daripadanya. Tidak, dengan dikaitkan kepada derajat orang-orang muttaqin dan
shiddiqin. Jadi, takut itu, jikalau tiada membekaskan pada amal, maka adanya
itu seperti tidak adanya. Seperti cemeti yang tidak menambahkan pada geraknya
binatang kendaraan. Dan jikalau membekas, maka baginya tingkat-tingkat menurut
lahirnya kebekasannya. Jikalau takut itu tidak membawa, selain kepada ‘iffah
(terpelihara diri dari segala yang tidak baik), yaitu: mencegah daripada yang
dikehendaki nafsu syahwat, maka ia mempunyai tingkat. Maka apabila wara’ (menjaga
diri) itu berbuah, niscaya itu lebih tinggi. Dan yang terjauh tingkatnya,
ialah, bahwa membuahkan tingkat-tingkat orang shiddiqin. Yatu: bahwa: tercabut
zahir dan batin daripada selain Allah Ta’ala. Sehingga, tiada tinggal bagi
selain Allah Ta’ala, kelapangan padanya. Maka inilah yang terjauh (tingkat yang
tertinggi) apa yang terpuji daripadanya. Dan yang demikian itu serta tetapnya
sehat dan akal. Maka jikalau ini melampaui kepada hilangnya akal dan kesehatan,
maka itu penyakit yang harus diobati, jikalau ia mampu. Dan jikalau itu
terpuji, niscaya tidak wajib mengobatinya, dengan sebab-sebab harapan dan
lainnya. Sehingga hilang. Dan karena itulah, Sahl ra mengatakan kepada
murid-murid yang selalu melaparkan diri pada hari-hari yang banyak jumlahnya: “Jagalah
akal-pikiranmu ! sesungguhnya Allah Ta’ala tiada mempunyai wali, yang kurang
akal”.
PENJELASAN: bahagian-bahagian takut,
dengan dikaitkan kepada apa yang ditakutkan.
Ketahuilah kiranya, bahwa
takut itu tidak dapat diyakini, selain dengan menunggu yang tiada disukai. Dan
yang tiada disukai itu, adakalanya dia itu tidak disukai pada dirinya sendiri
(zatnya), seperti: api. Dan adakalanya dia itu tidak disukai, karena membawa
kepada yang tidak disukai. Seperti perbuatan-perbuatan maksiat itu tidak
disukai, karena ia membawa kepada yang tidak disukai di akhirat. Sebagaimana
orang sakit tidak menyukai buah-buahan yang mendatangkan melarat, karena
dibawanya kepada mati. Maka tidak boleh tidak, bagi setiap orang yang takut,
bahwa mencontohkan pada dirinya, yang tidak disukai itu dari salah satu dua
bahagian. Dan menguatkan penungguannya pada hatinya. Sehingga membakarkan
hatinya, disebabkan dirasainya yang tidak disukainya itu.
Tingkat
orang-orang yang takut itu berlainan, pada apa yang mengerasi atas hatinya,
dari hal-hal yang tidak disukai, yang ditakuti. Maka orang-orang yang mengerasi
atas hatinya, apa yang tidak dibencikan bagi zatnya, akan tetapi bagi lainnya,
adalah seperti orang-orang yang mengerasi atas mereka, ketakutan kepada mati
sebelum taubat. Atau ketakutan runtuhnya taubat dan mungkirnya janji. Atau
ketakutan lemahnya kekuatan daripada menepati dengan kesempurnaan hak-hak Allah
Ta’ala. Atau ketakutan hilangnya kehalusan hati dan bergantian dengan
kekasaran. Atau ketakutan kepada kecenderungan dari istiqamah (kelurusan dan
ketetapan pendirian). Atau ketakutan berkuasanya adat kebiasaan pada mengikuti
nafsu syahwat yang dibinasakan. Atau ketakutan, bahwa ia dilesukan oleh Allah
Ta’ala pada kebaikan-kebaikan, yang ia berpegang padanya dan yang menyukarkan
pada hamba-hamba Allah. Atau ketakutan kepada kesombongan, disebabkan banyaknya
nikmat Allah kepadanya. Atau ketakutan kepada kesibukan jauh dari Allah, dengan
yang lain dari Allah. Atau ketakutan terperosok ke jalan yang salah, disebabkan
berturut-turutnya kedatangan nikmat. Atau ketakutan tersingkapnya yang
membahayakan ketaatannya, dimana nampak baginya dari Allah Ta’ala, apa yang
tidak disangkakannya. Atau ketakutan terikutnya manusia padanya tentang
umpatan, khianatan, tipuan dan menyembunyikan yang buruk. Atau ketakutan kepada
apa yang tidak diketahuinya, bahwa itu akan datang pada sisa-sisa umurnya. Atau
ketakutan tersegeranya siksaan di dunia dan tersiarnya sebelum mati. Atau
ketakutan tertipu dengan keelokan-keelokan dunia. Atau ketakutan dilihat oleh
Allah Ta’ala atas rahasianya pada keadaan kelalaiannya. Atau ketakutan kepada
kesudahannya ketika mati, dengan kesudahan yang buruk (su-ul khatimah). Atau
ketakutan kepada yang mendahului baginya, yang telah dahulu pada azali ( tida
kesudahan / permulaan ). Maka ini semuanya adalah tempat takutnya orang-orang
‘arifin. Dan bagi setiap sesuatu itu mempunyai faedah khusus. Yaitu: menempuh
jalan berhati-hati, dari apa yang membawa kepada yang menakutkannya. Maka siapa
yang takut dikuasai oleh adat-kebiasaan, maka hendaklah ia membiasakan berpisah
dari adat-kebiasaan. Dan orang yang takut dilihat oleh Allah Ta’ala akan
rahasia batinnya itu, hendaknya bekerja mensucikan hatinya daripada waswas
(bisikan setan). Dan begitulah pada bahagian-bahagian yang lain. Yang lebih
keras segala ketakutan ini atas keyakinan, ialah: ketakutan buruk kesudahan
(su-ul khatimah).
Sesungguhnya
urusan padanya itu amat membahayakan. Yang paling tinggi dan yang paling
menunjukkan dari bahagian-bahagian itu kepada kesempurnaan ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala), ialah: ketakutan bagi yang mendahului. Karena yang
menyudahi (al-khatimah) itu mengikuti akan yang mendahului (as-sabiqah). Dan
cabang yang bercabang dari yang mendahului itu diselang-selangi banyak sebab.
Maka al-khatimah itu menampakkan apa yang telah terdahulu qodo’ (ketetapan
Tuhan) dalam ummul-kitab (luh-mahfudh). Dan orang yang takut kepada
al-khatimah, dikaitkan kepada orang yang takut kepada as-sabiqah, adalah
seperti dua orang laki-laki, yang telah ditanda-tangani oleh raja terhadap
dirinya. Mungkin bahwa pada tanda-tangan itu dipotong lehernya dan mungkin
bahwa diserahkan kementrian kepadanya. Dan tanda tangan itu belum sampai kepada
keduanya kemudian. Maka terikatlah hati salah seorang daripada keduanya, dengan
keadaan sampainya dan tersiarnya tanda tangan itu. Dan sesungguhnya apa yang
akan lahir ? dan yang seorang lagi, hatinya terikat dengan keadaan tanda tangan
raja dan caranya. Dan apa yang terguris bagi raja, pada keadaan tanda tangan
itu, belas-kasihan atau kemarahan. Dan ini adalah penolehan kepada sebab. Maka
itu adalah lebih tinggi daripada penolehan kepada apa, yang menjadi cabang.
Maka seperti demikianlah penolehan kepada ketetapan azali ( tida kesudahan /
permulaan ) yang berlaku dengan ditanda-tanganinya Al-Qalam (pada Luh-mahfudh)
itu lebih tinggi daripada penolehan kepada apa yang lahir pada yang abadi. Dan
kepada itulah, diisyaratkan oleh Nabi saw, dimana beliau berada di atas mimbar.
Lalu beliau menggenggam tapak tangannya yang kanan. Kemudian, beliau bersabda:
“Ini Kitab Allah yang dituliskan padanya akan penduduk sorga dengan nama-nama
mereka dan nama-nama bapak mereka. Tidak ditambahkan pada mereka dan tidak dikurangkan”.
Kemudian, beliau menggenggamkan tapak tangannya yang kiri dan bersabda: “Ini
Kitab Allah, yang dituliskan padanya akan penduduk neraka, dengan nama-nama
mereka dan nama bapak-bapak mereka. Tidak ditambahkan pada mereka dan tidak
dikurangkan. Dan hendaklah diperbuat oleh orang yang memperoleh kebahagiaan,
dengan perbuatan orang yang memperoleh kecelakaan. Sehingga dikatakan,
seakan-akan orang yang memperoleh kebahagiaan itu adalah dari orang-orang yang
memperoleh kecelakaan. Bahkan mereka (orang-orang yang memperoleh kebahagiaan)
itu, adalah mereka (orang-orang yang memperoleh kecelakaan). Kemudian, mereka
itu dilepaskan oleh Allah, sebelum mati, walaupun lamanya, selama istirahat
diantara dua kali perahan susu unta. Dan hendaklah diperbuat oleh orang yang
memperoleh kecelakaan, dengan perbuatan orang yang memperoleh kebahagiaan.
Sehingga dikatakan, seakan-akan orang yang memperoleh kecelakaan itu adalah
dari orang-orang yang memperoleh kebahagiaan. Bahkan mereka (orang-orang yang
memperoleh kecelakaan) itu, adalah mereka (orang-orang yang memperoleh
kebahagiaan). Kemudian, mereka dikeluarkan oleh Allah sebelum mati, walaupun
lamanya, selama istirahat diantara dua kali perahan susu unta. Orang yang
berbahagia, ialah orang yang berbahagia dengan qodo’ (ketetapan) Allah. Dan
orang yang celaka, ialah orang yang celaka dengan qodo’ Allah. Dan semua amal
perbuatan itu dipandang kepada kesudahan (al-khatimah)nya”.
Dan ini adalah
seperti terbaginya orang-orang yang takut, kepada: orang yang takut akan perbuatan
maksiatnya dan penganiayaannya. Dan kepada: orang yang takut akan Allah Ta’ala
sendiri, karena sifatNya dan keagunganNya. Dan sifat-sifatNya –sudah pasti
–yang menghendaki akan ketakutan dari hambaNya. Maka inilah tingkat yang
tertinggi. Dan karena itulah, berkekalan takut kepadaNya, walaupun adanya pada
ketaatan orang-orang shiddiqin. Adapun yang lain (takut kepada perbuatan
maksiat), maka takut itu dalam halaman keterpedayaan dan keamanan, jika ia
rajin mengerjakan amalan taat. Maka takut dari perbuatan maksiat itu takut
orang-orang shalih. Dan takut kepada Allah itu takut orang-orang yang berkeesaan
(al-muwahhidin) dan orang-orang shiddiqin (benar). Dan itu adalah buah ma’rifah
( ilmu mengenal Allah Ta’ala ) kepada Allah Ta’ala. Setiap orang yang mengenal
Allah dan mengenal sifat-sifatNya, niscaya ia tahu dari sifat-sifatNya, akan
apa yang layak untuk ditakutkan, tanpa penganiayaan kepada diri. Bahkan orang
yang berbuat maksiat, jikalau ia benar-benar mengenal Allah, niscaya ia takut
kepada Allah. Dan ia tidak takut akan perbuatan maksiat kepadaNya. Jikalau
tidaklah Dia itu mempertakutkan kepada diriNya, niscaya tidak dijadikanNya akan
hambaNya berbuat maksiat. dipermudahkanNya jalan maksiat kepada hamba itu.
DisediakanNya sebab-sebab maksiat. Maka sesungguh nya pemudahan sebab-sebab
maksiat itu penjauhan daripadaNya. Dan tidak terdahulu daripada sebelum maksiat
itu, akan suatu kemaksiatan, yang berhak untuk dipermudahkan bagi kemaksiatan.
Dan berlaku atasnya sebab-sebab maksiat. Dan tiada terdahulu sebelum amal taat
itu, jalan, yang menjadi jalan dengan taat itu bagi orang, yang akan memudahkan
bagiNya ketaatan. Dan menyediakan baginya jalan kedekatan kepada Allah Ta’ala.
Maka orang yang maksiat itu telah ditakdirkan qodo’ Tuhan atas dirinya, ia mau atau tidak. Dan begitupula orang yang mengerjakan taat. Maka yang
mengangkatkan Muhammad saw ke tingkat yang paling tinggi (a’la-‘illiyyin),
tanpa jalan perantaraan (wasilah), yang mendahului daripadanya, sebelum adanya
dan yang merendahkan Abu Jahal pada tingkat yang paling rendah, tanpa
penganiayaan, yang mendahului daripadanya, sebelum adanya itu, layak untuk
ditakutkan kepadaNya, karena sifat keagungan Nya. Maka sesungguhnya siapa yang
mentaati Allah, niscaya ia mentaati, dengan berkuasa ke atas dirinya Kemauan
(kehendak) taat. Dan Ia mendatangkan kepadanya akan kesanggupan (qudrah / kuasa
). Dan sesudah penciptaan Kemauan (kehendak) yang mantap dan qudrah ( kuasa )
(kesanggupan) yang sempurna, niscaya jadilah perbuatan itu mudah. Dan orang
yang berbuat maksiat itu berbuat maksiat, karena telah dikerasi atas dirinya,
kehendak yang kuat dan mantap. Dan didatangkan kepadanya sebab-sebab dan
kemampuan. Maka adalah perbuatan, sesudah Kemauan dan qudrah ( kuasa ) itu
mudah. Maka demi kiranya, apakah yang mengharuskan pemuliaan ini dan
pengkhususannya, dengan penguasaan kehendak taat atas dirinya ? dan apakah yang
mengharuskan penghinaan akan yang lain dan penjauhannya, disebabkan dengan
penguasaan pengajak-pengajak kemaksiatan ke atas dirinya ? dan bagaimana diperlukan
yang demikian atas hamba ? dan apabila perlakuan itu kembali ke qadla-azali
(ketetapan yg kekal), tanpa penganiayaan dan wasilah, maka
ketakutan kepada Yang Mengqadla’kan/menetapkan dengan apa kehendakNya dan
menghukum dengan apa kemauanNya itu, adalah suatu kekokohan pikiran pada setiap
orang yang berakal. Dan di sebalik arti ini adalah rahasia qadar (taqdir), yang
tidak diperbolehkan penyiarannya.
Dan tidak
mungkin memahami takut itu mengenai sifat-sifat Allah Jalla Jalaluh, selain
dengan contoh. Jikalau tidaklah keizinan syara’ (agama), niscaya tidaklah
berani orang yang mempunyai mata hati menyebutkannya. Sesungguhnya telah datang
pada hadits, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud
! takutlah kepadaKu, sebagaimana engkau takut kepada binatang buas, yang
ganas”. Contoh ini, memberi pemahaman kepada engkau, akan hasil pengertiannya.
Walaupun tidak memberi pengertian kepada engkau akan sebabnya. Sesungguhnya
pengertian atas sebabnya itu adalah pengertian akan rahasia qadar (taqdir). Dan
tidak tersingkap yang demikian, selain bagi ahlinya. Walhasil, bahwa binatang
buas itu ditakuti, tidak karena penganiayaan yang telah mendahului kepada
engkau daripadanya. Akan tetapi, karena sifatnya, serangannya, kekerasannya,
kesombongannya dan kehebatannya. Dan karena ia berbuat, akan apa yang
diperbuatnya. Dan ia tidak ambil pusing. Jikalau ia membunuh engkau, niscaya
hatinya tidak menaruh kasihan. Dan ia tidak merasa pedih, dengan membunuh
engkau itu. Dan jikalau ia melepaskan engkau, maka tidak dilepaskannya engkau
karena kasih-sayang kepada engkau. Dan karena mengekalkan nyawa engkau. Akan
engkau pada sisi binatang buas itu lebih keji, daripada ia menoleh kepada
engkau. Hidup engkau atau mati. Bahkan, pembinasaan 1000 orang seperti engkau
dan pembinasaan seekor semut pada binatang buas itu, adalah sama saja. Karena
tidak mencederakan yang demikian itu pada alam kebuasannya dan apa yang ia
disifatkan, dari kemampuan dan kekerasannya. Dan bagi Allah itu contoh yang
tertinggi (al-matsa-lul-a’laa). Akan tetapi, siapa yang mengenal akan Allah,
niscaya ia mengenal dengan penyaksian batiniyah, yang lebih kuat, lebih
terpercaya dan yang lebih jelas, daripada penyaksian zahiriyah. Sesungguhnya Ia
Maha Benar pada firmanNya: “Mereka itu ke sorga dan Aku tiada perdulikan. Dan
mereka itu ke neraka dan Aku tiada perdulikan”. Dan memadailah bagi engkau,
daripada yang mewajibkan kehebatan dan ketakutan, ialah: ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala), dengan al-istighna’ (Allah tidak memerlukan kepada makhluk)
dan tidak memperdulikan.
TINGKAT KEDUA dari orang-orang yang takut, ialah, bahwa ia mencontohkan
pada dirinya, akan apa yang tidak disukai. Dan yang demikian itu, seperti:
sakaratul-maut dan kesangatannya. Atau pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Atau
azab kubur. Atau huru-hara hari kebangkitan dari kubur. Atau kehebatan tempat
perhentian di hadapan Allah Ta’ala, malu terbuka yang tertutup, pertanyaan di
tempat perhentian itu dari hal yang sedikit dan yang halus. Atau takut dari
titian (ash-shiratul-mustaqim), ketajamannya dan bagaimana melaluinya. Atau
takut dari neraka, belenggunya dan kehuru-haraannya. Atau takut dari tidak
memperoleh sorga negeri kenikmatan dan kerajaan tempat tinggal dan dari
kekurangan tingkat-tingkatnya. Atau takut dari terdinding (terhijab) dari Allah
Ta’ala. Semua sebab-sebab tersebut itu tidak disukai pada sebab-sebab itu
sendiri. Maka dia itu –sudah pasti –menakutkan. Dan berbeda hal-keadaan
orang-orang yang takut padanya. Dan tingkat yang paling tinggi dari sebab-sebab
takut itu, ialah: takut terpisah dan terhijab daripada Allah Ta’ala. Yaitu:
takut orang-orang ‘arifin. Dan sebelumnya itu, ialah: takut orang-orang yang
berbuat amal (‘amilin), orang-orang shalih, orang-orang zahid dan alam
selengkapnya.
Dan siapa yang
tidak sempurna ma’rifahnya dan tidak terbuka mata hatinya, niscaya ia tidak
merasakan kelezatan hubungan (dengan Allah Ta’ala). Dan tidak merasakan
kepedihan jauh dan berpisah. Dan apabila disebutkan kepada orang tadi, bahwa
orang yang berma’rifah itu (orang ‘arifin), tidak takut kepada neraka dan yang
ia takut sesungguhnya, hijab (terdinding), niscaya orang tadi mendapatkan yang
demikian itu pada batinnya melawan. Dan ia merasa heran yang demikian pada
dirinya. Kadang-kadang ia ingkari akan kelezatan memandang kepada Wajah Allah
Yang Maha Pemurah. Dan jikalau tidaklah ia dilarang agama mengingkarinya, maka
adalah pengakuannya dengan lidah itu dari karena paksaan taklid (ikut-ikutan).
Kalau tidak, maka batinnya tidak membenarkan nya. Karena ia tidak mengenal,
selain kelezatan perut, kemaluan dan mata, dengan memandang kepada warna-warni
dan muka-muka yang cantik.
Kesimpulannya,
bahwa setiap kelezatan itu berkongsi padanya binatang-binatang. Adapun
kelezatan orang-orang ‘arifin, maka tidak didapati, selain oleh mereka.
Penguraian dan pembentangan yang demikian itu tidak diperbolehkan kepada orang
yang bukan ahlinya. Dan orang yang menjadi ahlinya, ia dapat melihat sendiri
dan tidak memerlukan diuraikan oleh orang lain. Maka kepada bahagian-bahagian
inilah, kembalinya ketakutan orang-orang yang takut. Kita bermohon kepada Allah
Ta’ala akan baiknya taufiq dengan kemurahanNya.
PENJELASAN: keutamaan takut dan
penggalakan kepada takut.
Ketahuilah, bahwa kelebihan
takut itu, sekali diketahui, dengan pemerhatian dan i’tibar/ibarat. Dan pada
kali yang lain, dengan ayat-ayat dan hadits-hadits. Adapun i’tibar/ibarat, maka
jalannya, ialah bahwa: keutamaan sesuatu itu menurut kadar kesanggupannya
membawa kepada kebahagiaan bertemu dengan Allah Ta’ala di akhirat. Karena
tiadalah yang dimaksudkan, selain kebahagiaan itu. Dan tiada kebahagiaan bagi
hamba, selain pada menemui Tuhannya dan berdekatan kepadaNya. Maka setiap apa
yang menolong kepada yang demikian, maka baginya keutamaan. Dan keutamaannya
itu menurut kadar tujuannya. Dan telah jelas, bahwa tiada sampai kepada
kebahagiaan bertemu dengan Allah di akhirat, selain dengan memperoleh
kasih-sayangNya. Dan jinak hati kepadaNya di dunia. Dan kasih sayang itu tiada
akan berhasil, selain dengan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu tiada akan berhasil, selain dengan
terus-menerus berfikir (tafakkur). Dan kejinakan hati itu, tiada akan berhasil,
selain dengan kasih-sayang dan keterus-menerusan berdzikir. Dan tiada mudah
kerajinan kepada dzikir dan fikir, selain dengan memutuskan kecintaan dunia
dari hati. Dan yang demikian itu tiada akan terputus, selain dengan
meninggalkan kelezatan dunia dan hawa nafsunya. Dan tidak mungkin meninggalkan
yang menjadi hawa nafsu itu, selain dengan mencegah nafsu syahwat. Dan nafsu
syahwat itu tidak tercegah dengan sesuatu, seperti tidak tercegahnya dengan api
ketakutan. Maka takut itu, ialah: api yang membakar nafsu syahwat. Maka
keutamaannya takut itu, menurut kadar yang membakarkan nafsu syahwat. Dan
menurut kadar yang mencegah perbuatan-perbuatan maksiat dan yang menggerak kan
kepada perbuatan-perbuatan taat. Dan yang demikian itu berbeda, dengan
berbedanya tingkat-tingkat takut, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan
bagaimana takut itu tidak mempunyai keutamaan ? dengan takut itu, berhasil ‘iffah
(terpelihara diri dari segala yang tidak baik), wara’ (menjaga diri), taqwa dan
mujahadah (bersungguh‑sungguh). Dan itu adalah amal perbuatan yang terpuji,
yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala.
Adapun dengan
jalan pengutipan dari ayat-ayat dan hadits-hadits maka apa yang datang tentang
keutamaan itu, diluar dari hinggaan. Dan cukuplah bagi anda menjadi dalil
tentang keutamaannya, bahwa Allah Ta’ala mengumpulkan bagi orang-orang yang
takut, akan: petunjuk, rahmat, ilmu dan ridha. Dan itu adalah kumpulan
tingkat-tingkat isi sorga. Allah Ta’ala berfirman: “Petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang takut kepada Tuhannya”. S 7 Al A’raaf ayat 154. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya ialah:
orang-orang yang berilmu (ulama)’. S 35 Faathir ayat 28. Allah menyifatkan
mereka dengan ilmu, bagi ketakutan mereka. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“Allah ridha (senang) kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Itu adalah
bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. S 98 Al Bayyinah ayat 8. Setiap apa
yang menunjukkan kepada keutamaan ilmu itu menunjukkan kepada keutamaan takut.
Karena takut itu buah ilmu. Dan karena itulah, tersebut pada ucapan Musa as:
“Adapun orang-orang yang takut, maka bagi mereka itu, Teman Yang Maha Tinggi
(Ar-Rafiqul-a’la), yang tiada bersekutu mereka dengan orang lain”. Maka
perhatikanlah, bagaimana Musa as menyendirikan mereka dengan penemanan
Ar-Rafiqul-a’la ? dan yang demikian itu, karena mereka itu orang-orang yang
berilmu (ulama). Dan ulama itu mempunyai tingkat penemanan dengan nabi-nabi.
Karena para ulama itu pewaris nabi-nabi. Dan penemanan Ar-Rafiqul-a’la itu bagi
para nabi dan orang-orang yang berhubungan (mengikuti) dengan mereka. Dan
karena itulah, tatkala Rasulullah saw disuruh pilih pada waktu sakitnya yang
membawa kepada wafatnya, antara tetap di dunia dan datang kepada Allah Ta’ala,
adalah ia bersabda: “Aku bermohon akan Engkau, wahai Ar-Rafiqul-a’la”. Jadi, kalau
dilihat kepada yang membuahkan takut itu, maka yaitu: ilmu. Dan kalau dilihat
kepada buahnya, maka yaitu: wara’ (menjaga diri) dan taqwa. Dan tiada
tersembunyi, apa yang telah datang pada hadits, tentang keutamaan keduanya.
Sehingga al-‘aqibah (kesudahan yang baik) itu menjadi dinamakan, dengan: taqwa,
yang dikhususkan dengan taqwa itu. Sebagaimana jadinya al-hamdu itu,
dikhususkan dengan Allah Ta’ala dan selawat kepada Rasulullah saw. Sehingga
dikatakan: “Segala pujian (al-hamdu) bagi Allah Tuhan semesta alam. Dan akibat
kesudahan yang baik (al-‘aqibah) bagi orang-orang yang taqwa dan selawat
(ash-shalaatu) kepada penghulu kita Muhammad saw dan kepada keluarganya
sekalian”. Allah Ta’ala telah mengkhususkan taqwa dikaitkan kepada diriNya. Ia
berfirman: “Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Allah. Akan
tetapi, yang sampai kepadaNya, ialah: taqwa daripada kamu”. S 22 Al Hajj ayat
37.
Sesungguhnya taqwa itu ibarat daripada
pencegahan dari perbuatan yang tidak baik, menurut yang dikehendaki oleh takut,
sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan karena itulah, Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu pada sisi Allah, ialah
yang lebih bertaqwa dari kamu”. S49 Al Hujuraat ayat13. Dan karena itulah,
Allah Ta’ala mewasiatkan (memerintahkan) kepada orang-orang yang dahulu dan
orang-orang yang kemudian, dengan: taqwa. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
sesungguhnya telah Kami wasiatkan (perintahkan) kepada orang-orang yang telah
diberi Kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu, supaya kamu bertaqwa kepada
Allah”. S 4 An Nisaa’ ayat 131. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan takutilah
kepadaKu, kalau kamu betul orang-orang yang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 175.
Maka Allah menyuruhkan dengan: takut, mewajibkannya dan mensyaratkannya pada:
iman. Maka karena itulah, tiada tergambar, bahwa orang mu’min itu terlepas
dari: takut, walaupun lemah. Dan adalah kelemahan takutnya itu menurut
kelemahan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya dan imannya.
Rasulullah saw
bersabda tentang keutamaan taqwa: “Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang
dahulu dan orang-orang yang kemudian pada suatu tempat di hari yang dima’lumi,
maka tiba-tiba mereka mendengar suara, yang dapat memperdengarkan kepada yang
paling jauh dari mereka, sebagaimana dapat memperdengarkan kepada yang paling
dekat dari mereka. Maka suara itu berkata: “Hai manusia ! sesungguhnya Aku telah Aku diam bagimu,
semenjak Aku jadikan kamu, sampai kepada harimu ini. Maka diamlah kepadaKu hari
ini ! sesungguhnya amal kamu dikembalikan kepada kamu. Hai manusia !
sesungguhnya Aku telah menciptakan bangsa (nasab) dan kamu telah menciptakan
bangsa. Maka kamu rendahkan nasab/bangsaKu dan kamu tinggikan nasab/bangsamu. Aku berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu pada sisi Allah, ialah yang lebih bertaqwa dari kamu”. Dan kamu enggan,
selain mengatakan: “Anu anak si Anu. Si Anu lebih kaya dari si Anu”. Maka pada
hari ini, Aku rendahkan nasabmu dan Aku tinggikan nasabKu. Mana orang-orang
yang bertaqwa ? maka diangkatkan bendera bagi suatu kaum, lalu kaum (golongan)
itu membawa benderanya ke tempatnya. Maka mereka itu masuk sorga, tanpa hisab
(perhitungan amal)”. Nabi saw bersabda: “Puncak hikmah itu takut kepada Allah”.
Nabi saw berkata kepada Ibnu Mas’ud: “Kalau engkau bermaksud bertemu dengan
aku, maka banyakkanlah takut sesudahku”.
Al-Fudlail
berkata: “Siapa yang takut akan Allah, niscaya ketakutan itu menunjukkannya
atas setiap kebajikan”. Asy-Syibli ra berkata: “Pada suatu hari aku takut akan
Allah, lalu aku melihat bagi ketakutan itu suatu pintu dari hikmah dan ibarat,
yang tidak pernah sekali-kali aku melihatnya”.
Yahya bin Ma’adz
berkata: “Seorang mu’min yang mengerjakan kejahatan itu, akan dihubungi oleh
dua kebaikan: takut siksaan dan harap kemaafan, seperti: serigala diantara dua
ekor singa”. Tersebut pada ucapan Musa as: “Adapun orang-orang wara’ (menjaga
diri): maka sesungguhnya tiada tinggal seorangpun, melainkan aku bertengkar
dengan dia tentang hitungan amalnya dan aku periksakan apa yang dalam dua
tangannya, selain orang-orang yang wara’ (menjaga diri). Maka sesungguhnya aku
malu kepada mereka. Dan aku muliakan mereka, bahwa aku suruh mereka berhenti
untuk hitungan amalnya (hisab)”.
Wara’ (menjaga
diri) dan taqwa itu nama-nama yang dipetik dari beberapa arti, yang
persyaratannya itu: takut. Maka jikalau kosong dari takut, niscaya tidak
dinamakan dengan nama-nama tersebut. Begitu juga apa yang tersebut tentang
keutamaan dzikir itu tidak tersembunyi. Dan sesungguhnya telah diciptakan oleh
Allah akan dzikir itu, dikhususkan kepada orang-orang yang takut. Allah Ta’ala
berfirman: “Nanti peringatan (dzikir) itu, akan diterima oleh orang yang takut
(kepada Allah)”. S 87 Al A’laa ayat 10. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang
takut terhadap waktu berdiri dihadapan Tuhannya, dia mempunyai dua sorga
(taman)”. S 55 Ar Rahmaan ayat 46. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Demi kemuliaanKu ! tiada Aku kumpulkan atas hambaKu dua ketakutan.
Dan tiada Aku kumpulkan baginya dua keamanan. Maka jikalau ia merasa aman
kepadaKu di dunia, niscaya Aku pertakutkannya pada hari kiamat. Dan jikalau ia
takut kepadaKu di dunia, niscaya Aku amankan dia di hari kiamat”.
Nabi saw
bersabda: “Siapa yang takut kepada Allah Ta’ala, niscaya tiap sesuatu akan
takut kepadanya. Dan siapa yang takut akan selain Allah, niscaya ia
dipertakutkan oleh Allah dari setiap sesuatu”. Nabi saw bersabda: “Yang paling
sempurna akal dari kamu, ialah yang sangat takut kepada Allah Ta’ala daripada
kamu, yang paling baik pandangannya dari kamu, pada apa yang disuruh oleh Allah
Ta’ala dan yang dilarangnya”.
Yahya bin Ma’adz
ra berkata: “Kasihan anak Adam ! jikalau ia takut akan neraka, sebagaimana ia
takut akan kemiskinan, niscaya ia masuk sorga”. Dzun-Nun ra berkata: “Siapa
yang takut kepada Allah Ta’ala, niscaya halus hatinya, bersangatan cintanya
kepada Allah dan benar akalnya”. Dzun-Nun ra berkata pula: “Seyogyalah takut
itu lebih keras dari harap. Apabila harap yang keras, niscaya kacaulah hati”.
Abul-Husain
Adl-Dlurair berkata: “Tanda kebahagiaan itu takut kecelakaan. Karena takut itu
kekang diantara Allah Ta’ala dan hambaNya. Maka jikalau kekang itu terputus,
niscaya hamba itu binasa bersama orang-orang yang binasa”. Ditanyakan kepada
Yahya bin Ma’adz: “Siapakah diantara makhluk yang paling aman besok ?”. Yahya
bin Ma’adz menjawab: “Yang paling takut diantara mereka pada hari ini”.
Sahl ra berkata:
“Engkau tidak memperoleh takut, sebelum engkau makan yang halal”. Ditanyakan
kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! apa yang kami perbuat ? kami duduk-duduk
dengan golongan-golongan yang mempertakutkan kami, sehingga hampir hati kami
terbang”. Al-hasan menjawab: “Demi Allah ! sesungguhnya jikalau engkau
bercampur-baur dengan golongan-golongan yang mempertakutkan engkau, sehingga
engkau memperoleh aman, adalah lebih baik bagi engkau daripada engkau berteman
dengan golongan-golongan yang memperamankan engkau, sehingga engkau memperoleh
ketakutan”.
Abu Sulaiman
Ad-Darani ra berkata: “Tiadalah takut itu bercerai dari hati, melainkan hati
itu roboh”. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulullah: “Dan orang-orang
yang memberikan pemberiannya, dengan hatinya yang takut (kepada Tuhan)”. S 23
Al Mukminuun ayat 60, itukah orang yang mencuri dan berzina ?”. Nabi saw
menjawab: “Tidak ! akan tetapi, orang yang berpuasa, mengerjakan shalat,
bersedekah dan takut bahwa tidak diterima daripadanya”.
Pengerasan-pengerasan
yang datang dari hadits mengenai keamanan dari cobaan dan azab Allah itu tiada
terhingga banyaknya. Dan setiap yang demikian itu adalah pujian kepada takut.
Karena celaan akan sesuatu itu adalah pujian akan lawannya, yang menidakkannya.
Dan lawan takut itu aman. Sebagaimana lawan harap itu putus asa. Dan
sebagaimana ditunjukkan oleh celaan akan putus asa, kepada kelebihan harap,
maka seperti demikian juga, celaan akan aman itu menunjukkan kepada kelebihan
takut yang berlawanan dengan dia. Bahkan, kami mengatakan, bahwa: setiap apa
yang datang dari hadits, tentang kelebihan harap, maka itu menunjukkan atas
kelebihan takut. Karena keduanya itu harus-mengharuskan. Maka sesungguhnya
setiap orang yang mengharap akan kekasihnya, maka tak boleh tidak, bahwa ia
takut akan hilangnya. Maka jikalau ia tidak takut akan hilangnya, niscaya ia
tidak mencintainya. Maka ia tidak mengharap untuk menungguinya. Maka takut dan
harap itu harus-mengharuskan. Mustahil terlepas salah satu daripada keduanya
dari lainnya. Ya, boleh bahwa yang satu dari keduanya itu mengalahkan yang
lain. Dan keduanya itu berkumpul. Dan boleh bahwa hati sibuk dengan salah satu
dari keduanya. Dan hati itu tidak menoleh kepada yang lain seketika. Karena
kelengahannya daripadanya. Dan ini, karena diantara persyaratan harap dan takut
itu, menyangkut keduanya, dengan apa yang diragukan padanya. Karena yang
diketahui itu tidak diharapkan dan tidak ditakutkan. Jadi, yang dicintai –sudah
pasti –yang boleh adanya itu, boleh tiadanya. Maka mentakdirkan adanya itu
menyenangkan akan hati. Dan itulah: harap. Dan mentakdirkan tiadanya itu
menyakitkan hati. Dan itulah: takut. Dua pentakdiran yang berlawanan –sudah
pasti –apabila keadaan yang ditunggukan itu diragukan. Ya, salah satu dari dua
tepi keraguan itu kadang-kadang lebih kuat dari lainnya, dengan adanya
sebahagian sebab-sebab. Dan yang demikian itu, dinamakan: sangkaan (dhann).
Maka adalah yang
demikian itu sebab menangnya yang satu dari keduanya atas lainnya. Maka apabila
telah keras sangkaan akan adanya yang dicintai, niscaya kuatlah harap dan
tersembunyilah takut, dengan dikaitkan kepadanya. Dan begitupula sebaliknya.
Dan di atas setiap keadaan, maka keduanya itu harus-mengharuskan. Dan karena
itulah Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka berdoa kepada Kami dengan
pengharapan dan perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 90. Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan yang penuh ketakutan
dan pengharapan”. S 32 As Sajdah ayat 16.
Dan karena
itulah, orang Arab mengibaratkan dengan takut itu: harap. Allah Ta’ala
berfirman: “Mengapa kamu tidak mengharapkan kebesaran Allah ?”, artinya: kamu
tidak takut. S 71 Nuh ayat 13. Dan kebanyakan apa yang tersebut dalam Alquran,
bahwa harap itu, dengan arti: takut. Dan yang demikian, karena antara keduanya
harus-mengharuskan. Karena kebiasaan orang Arab itu mengibaratkan dari sesuatu,
dengan apa yang ada harus-mengharuskan daripadanya. Bahkan, aku mengatakan,
bahwa setiap apa yang datang dalam hadits, tentang keutamaan menangis dari
karena ketakutan kepada Allah, maka itu melahirkan bagi keutamaan takut. Maka
sesungguhnya tangis itu buah ketakutan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka hendaklah
mereka itu tertawa sedikit dan hendaklah menangis banyak !”. S 9 At Taubah ayat
82. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu menangis dan Alquran itu menambahkan
kekhusyuan hati mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 109. Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini ? dan kamu akan
tertawa dan tiada menangis ? dan kamu tiada memperhatikannya ?”. S 53 An Najm
ayat 59-60-61.
Nabi saw bersabda:
“Tiadalah dari hamba yang beriman, yang keluar dari dua matanya akan air mata,
walaupun seperti kepala lalar, dari karena takut kepada Allah Ta’ala, kemudian
air mata itu mengenai sesuatu dari panas mukanya, selain ia diharamkan oleh
Allah dari api neraka”. Nabi saw bersabda: “Apabila gementar hati orang mu’min
dari karena takut kepada Allah, niscaya bergugurlah daripadanya dosanya,
sebagaimana berguguran dari pohon kayu daunnya”. Nabi saw bersabda: “Tiada akan
masuk neraka, seseorang yang menangis dari karena takut kepada Allah Ta’ala,
sehingga kembalilah air susu dalam tempatnya semula”.
Uqbah bin ‘Amir
bertanya: “Apa itu kelepasan, ya Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Tahanlah
lidahmu atas dirimu ! dan hendaklah melapangkan akan kamu oleh rumahmu ! dan
menangislah atas kesalahanmu !”.
‘Aisyah berkata:
“Aku bertanya: ya Rasulullah ! adakah seseorang dari umatmu itu masuk sorga
tanpa hisab (perhitungan amal) ?”. Nabi saw menjawab: “Ada,
yaitu: siapa yang mengingati akan dosanya, lalu ia menangis”. Nabi saw
bersabda: “Tiada satu tetaspun yang lebih disukai oleh Allah Ta’ala, daripada
setetes air mata dari karena takut kepada Allah Ta’ala atau setetes darah yang
ditumpahkan pada sabilillah swt”.
Nabi saw berdoa:
“Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku dua mata yang bercucuran airnya, yang
menyembuhkan hati, dengan mengalirnya air mata, sebelum air mata itu menjadi
darah dan gigi geraham itu menjadi bara api”. Nabi saw bersabda: “7 macam
manusia akan dilindungi oleh Allah, pada hari yang tiada lindungan, selain
lindunganNya”. Lalu Rasulullah saw menyebutkan dari mereka itu, seorang
laki-laki yang mengingati (berdzikir) kepada Allah pada tempat yang sunyi. Lalu
bercucuranlah kedua matanya dengan air mata.
Abubakar
Ash-Shiddiq ra berkata: “Barangsiapa sanggup menangis, maka hendaklah menangis
! dan barangsiapa yang tiada sanggup, maka hendaklah ia membuat-buat menangis
!”. Adalah Muhammad bin Al-Munkadir ra apabila ia menangis, niscaya ia menyapu
mukanya dan janggutnya dengan air matanya. Dan mengatakan: “Sampai kepadaku
berita, bahwa neraka tidak akan memakan tempat, yang disentuh oleh air mata”.
Abdullah bin Amr
bin Al-Ash ra berkata: “Menangislah ! maka jikalau engkau tidak menangis, maka
buat-buatlah menangis itu ! maka demi Allah yang nyawaku di TanganNya, jikalau
tahulah seseorang kamu dengan sebenar-benarnya tahu, niscaya ia memekik,
sehingga habis suaranya. Dan ia mengerjakan shalat, sehingga pecah tulang
pinggangnya”.
Abu Sulaiman
Ad-Darani ra berkata: “Tiadalah pulang-pergi mata itu dengan airnya, melainkan
tiada akan menganiaya muka yang punya mata itu, oleh kesempitan dan kehinaan
pada hari kiamat. Maka jikalau mengalirkan air matanya, niscaya dipadamkan oleh
Allah dengan tetesan yang pertama daripadanya, akan uap dari api neraka. Dan
jikalau seorang laki-laki menangis pada suatu umat, niscaya tiada akan
diazabkan umat itu”.
Abu Sulaiman
berkata: “Menangis itu dari takut. Harap dan sukacita itu dari kerinduan”.
Ka’bul Ahbar ra berkata:“Demi Allah yang nyawaku di TanganNya! aku menangis
dari karena takut kepada Allah, sehingga mengalirnya air mataku, atas pipiku,
adalah lebih aku sukai, daripada aku bersedekah dengan sebuah bukit dari emas”.
Abdullah bin
Umar ra berkata: “Bahwa aku mengeluarkan air mata, dari karena takut kepada
Allah adalah lebih aku sukai, daripada aku bersedekah dengan 1000 dinar”.
Diriwayatkan dari Handhalah, yang mengatakan: “Adalah kami di sisi Rasulullah
saw. Lalu beliau memberi pengajaran kepada kami, dengan pengajaran yang
menghaluskan hati, mencurahkan air mata dan memperkenalkan akan kami diri kami.
Lalu, aku kembali kepada keluargaku. Maka mendekatilah kepadaku seorang wanita.
Dan berlakulah diantara kami pembicaraan dunia. Maka aku lupa, apa yang kami
berada padanya, di sisi Rasulullah saw. Dan kami masuk dalam urusan duniawi.
Kemudian, aku teringat apa yang kami berada padanya. Maka aku mengatakan pada
diriku: “Aku telah menjadi munafik, dimana menyeleweng daripadaku, apa yang aku
berada padanya, dari ketakutan dan kehalusan hati. Maka aku keluar, lalu aku
serukan: Telah menjadi munafik Handhalah ! lalu Abubakar Ash-Shiddiq berhadapan
dengan aku, maka beliau mengatakan: “Tidak ! tidaklah Handhalah itu munafik !”.
Maka aku masuk ke tempat Rasulullah saw dan aku mengatakan: Telah menjadi
munafik Handhalah. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Tidak ! tidaklah Handhalah
itu munafik”. Maka aku menjawab: “Ya Rasulullah ! kami berada di sisi engkau.
Lalu engkau memberi pengajaran kepada kami, suatu pengajaran yang menakutkan
hati, mencucurkan air mata dan kami mengenal akan diri kami. Lalu aku kembali
kepada keluargaku. Maka aku masuk membicarakan hal dunia. Dan aku lupa, apa
yang ada kami padanya, di sisi engkau”. Maka Nabi saw menjawab: “Hai Handhalah
! jikalau adalah kamu selalu di atas keadaan yang demikian, niscaya akan
berpegang tangan dengan kamu, para malaikat di jalan-jalan dan di atas tempat
tidurmu. Akan tetapi, hai Handhalah, sesaat dan sesaat”. Jadi, setiap apa yang
telah datang pada hadits, tentang kelebihan harap dan menangis, kelebihan taqwa
dan wara’ (menjaga diri), kelebihan ilmu dan celaan aman, maka itu menunjukkan
kepada kelebihan takut. Karena sejumlah yang demikian itu menyangkut dengan
takut. Adakalanya sangkutan sebab, atau sangkutan musabbab (akibat dari sebab).
PENJELASAN: bahwa yang lebih utama,
ialah: kerasnya ketakutan atau kerasnya harapan atau keduanya sedang.
Ketahuilah kiranya, bahwa
hadits-hadits tentang kelebihan takut dan harap itu sungguh banyak.
Kadang-kadang yang memperhatikan, memandang kepada keduanya, lalu diliputi oleh
keraguan, tentang yang mana yang lebih utama daripada keduanya. Kata yang
mengatakan, takutkah yang lebih utama atau harap, itu pertanyaan yang tidak
betul. Menyerupai dengan kata yang mengatakan: rotikah yang lebih utama atau
air. Jawabnya, bahwa dikatakan: roti lebih utama bagi orang yang lapar. Dan air
lebih utama bagi orang yang haus. Kalau keduanya berkumpul, niscaya dilihat
kepada yang lebih keras. Maka jikalau lapar yang lebih keras, maka roti yang
lebih utama. Dan jikalau haus yang lebih keras, maka air yang lebih utama. Dan
kalau keduanya sama, maka keduanya pun sama. Dan ini, karena setiap apa yang
dimaksudkan bagi sesuatu maksud, maka kelebihannya itu jelas, dengan dikaitkan
kepada maksudnya. Tidak kepada dirinya. Takut dan harap itu dua macam obat,
yang dengan keduanya itu, diobati hati. Maka kelebihan keduanya itu menurut penyakit
yang ada. Jikalau yang keras atas hati itu penyakit aman dari siksaan Allah
Ta’ala dan tertipu diri, maka takutlah yang lebih utama. Dan jikalau yang lebih
keras, ialah putus asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang
lebih utama. Dan seperti yang demikian, jikalau adalah yang keras atas hamba
itu kemaksiatan, maka takutlah yang lebih utama. Dan bolehlah dikatakan secara
mutlak, bahwa takut itu yang lebih utama, atas penafsiran yang dikatakan
padanya: bahwa roti itu lebih utama dari sakanjabin. Karena diobati dengan roti
itu penyakit lapar. Dan diobati dengan sakanjabin, penyakit kuning. Dan
penyakit lapar itu lebih keras dan lebih banyak. Maka keperluan kepada roti itu
lebih banyak. Maka rotilah yang lebih utama. Maka dengan ibarat ini, kekerasan
takut itu lebih utama. Karena perbuatan maksiat dan tertipu diri di atas
manusia itu, lebih keras.
Dan jikalau ditilik kepada tempat terbitnya
takut dan harap, maka harap itu lebih utama. Karena, ia mendapat siraman dari
lautan rahmat. Dan siraman takut itu dari lautan marah. Dan siapa yang
memperhatikan dari sifat-sifat Allah Ta’ala, akan apa yang menghendaki kasih
sayang dan rahmat, niscaya kasih-sayang ke atas dirinya adalah lebih keras. Dan
tiadalah di sebalik kasih sayang itu tingkat. Adapun takut, maka tempat
saudaranya, ialah menoleh kepada sifat-sifat yang menghendaki kekerasan. Maka
ia tidak dicampuri oleh kasih-sayang, sebagaimana turut campurnya bagi harap.
Kesimpulannya, maka apa yang dikehendaki bagi yang lain, seyogyalah bahwa dipakaikan
padanya, perkataan “lebih patut”. Tidak perkataan “lebih utama”. Maka kami
katakan, bahwa kebanyakan manusia, takut bagi mereka, lebih patut dari harap.
Dan yang demikian itu, karena banyaknya perbuatan-perbuatan maksiat.
Adapun orang
yang taqwa yang meninggalkan dosa zahir dan batinnya, dosa yang tersembunyi dan
terangnya, maka yang lebih benar, bahwa sedanglah takutnya dan harapnya. Dan
karena demikianlah, dikatakan: “Jikalau ditimbang ketakutan orang mu’min dan
harapannya, niscaya keduanya seimbang. Dan diriwayatkan, bahwa Ali ra
mengatakan kepada sebahagian anaknya: “Hai anakku ! takutlah akan Allah, dengan
takut, bahwa engkau melihat, jikalau engkau bawa kepada Allah segala kebaikan
penduduk bumi, niscaya tidak diterimaNya dari engkau. Dan haraplah kepada
Allah, dengan harapan yang engkau lihat, bahwa jikalau engkau bawa kepada
Allah, segala kejahatan penduduk bumi, niscaya diampunkanNya akan engkau”.
Dan karena
itulah, Umar ra berkata: “Jikalau diserukan untuk masuk neraka, semua manusia
selain seorang laki-laki, niscaya aku mengharap, bahwa akulah laki-laki itu.
Dan jikalau diserukan untuk masuk sorga semua manusia, selain seorang
laki-laki, niscaya aku takut, bahwa akulah laki-laki itu”. Dan ini adalah
ibarat dari bersangatan takut dan harap dan kesedangan keduanya serta
kebanyakan dan kekerasan. Akan tetapi, di atas jalan berlawanan dan bersamaan.
Maka seperti Umar ra seyogyalah bahwa bersamaan takutnya dan harapnya. Adapun
orang yang berbuat maksiat, apabila ia menyangka, bahwa dia itu laki-laki yang
dikecualikan dari orang-orang yang disuruh masuk neraka, niscaya adalah yang
demikian itu dalil atas ketipuannya. Jikalau anda mengatakan, bahwa seperti
Umar ra itu, tiada seyogyalah bahwa bersamaan takutnya dan harapnya. Akan
tetapi, seyogyalah bahwa keras harapannya, sebagaimana telah terdahulu, pada
awal “Kitab Harap”. Dan kekuatannya, seyogyalah bahwa ada, menurut kekuatan
sebab-sebabnya. Sebagaimana dicontohkan, dengan tanam-tanaman dan bibit. Dan
dimaklumi, bahwa orang yang menaburkan bibit yang sehat pada bumi yang bersih
dan ia rajin mengusahakannya dan ia penuhi semua persyaratan bercocok tanam,
niscaya mengeraslah pada hatinya, akan harapan memperoleh hasilnya. Dan
tidaklah takutnya itu bersamaan bagi harapnya. Maka begitulah seyogyanya bahwa
adalah yang demikian itu hal-keadaan orang-orang yang taqwa (al-muttaqin).
Maka ketahuilah,
bahwa siapa yang mengambil ilmu pengetahuan dari kata-kata dan contoh-contoh,
niscaya banyaklah tergelincirnya. Dan yang demikian itu, walaupun kami telah mengemukakan
contoh, maka tidaklah itu menyerupai dari setiap segi, dengan apa yang sedang
kami bicarakan. Karena sebab kerasnya harapan itu adalah ilmu yang diperoleh
dengan percobaan (pengalaman). Karena ia tahu dengan pengalaman itu, sehatnya
bumi dan bersihnya, sehatnya bibit dan sehatnya udara. Dan sedikitnya
halilintar yang membinasakan pada tempat-tempat itu dll.
Sesungguhnya
contoh permasalahan kita adalah bibit yang belum dicoba yang sejenisnya. Dan
telah ditaburkan pada bumi yang ganjil, yang belum diketahui oleh penanam dan
belum dicobainya. Dan tanah itu pada negeri yang tidak diketahui, adakah banyak
halilintar padanya atau tidak. Maka contoh penanam ini, walaupun ia laksanakan
dengan sehabis tenaganya dan didatangkannya dengan setiap kemampuannya, maka
tidaklah harapannya itu dapat mengalahkan ketakutannya. Dan bibit pada
permasalahan kita ialah: iman. Dan syarat-syarat shahnya iman itu halus. Dan
bumi itu hati. Dan yang tersembunyi dari kekejian dan kebersihannya itu dari
syirik yang tersembunyi, nifaq (kemunafikan) dan ria. Dan kesembunyian budi
pekerti padanya itu kabur. Dan bahaya-bahayanya, ialah: nafsu syahwat,
keelokan-keelokan dunia dan berpalingnya hati kepadaya pada masa mendatang.
Walaupun ia selamat sekarang. Dan yang demikian itu, tidak dapat dibuktikan dan
tidak dapat diketahui dengan pengalaman. Karena kadang-kadang datang dari
sebab-sebab, akan apa yang tidak disanggupi melawannya. Dan tidak pernah
dicobakan (dialami) yang seperti demikian. Dan halilintar-halilintar itu,
ialah: huru-hara sakaratul-maut dan bergoncangnya i’tikad (keimanan) padanya.
Dan yang demikian, adalah dari apa yang tidak pernah dicobakan yang seperti
yang demikian. Kemudian, mengetam dan mengetahui ketika berpindah dari kiamat
ke sorga. Dan yang demikian itu belum pernah dicoba (dialami).
Maka siapa yang
mengetahui akan hakikat/makna urusan ini, jikalau ia lemah hati, penakut pada
dirinya, niscaya –sudah pasti –ketakutannya mengalahkan akan harapannya.
Sebagaimana akan diceritakan tentang keadaan orang-orang yang takut, dari para
sahabat dan tabi’in. Dan jikalau ia kuat hati, tetap hati dan sempurna ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala), niscaya samalah takutnya dan harapnya. Adapun
bahwa harapnya mengalahkan takutnya, maka tidaklah demikian.
Sesungguhnya
adalah Umar ra bersangatan menyelidiki hatinya. Sehingga ia bertanya kepada
Hudzaifah ra: adakah Hudzaifah mengetahui pada Umar, sesuatu daripada
bekas-bekas kemunafikan. Karena Hudzaifah itu telah dikhususkan oleh Rasulullah
saw dengan mengetahui orang-orang yang munafik. Maka siapakah yang sanggup
mengatakan sucinya hati seseorang, daripada kesembunyian nifaq dan syirik yang
tersembunyi ? dan jikalau seseorang meyakini akan bersih hatinya dari yang
demikian, maka dari mana, ia dapat merasa aman akan taqdir tidak baik daripada
Allah Ta’ala, dengan penyerupaan halnya atas demikian dan penyembunyian
kekurangannya dari yang demikian ? dan jikalau ia mempercayai dengan yang
demikian, maka darimana ia dapat mempercayai dengan ketetapannya di atas yang
demikian, sampai kepada kesempurnaan baiknya al-khatimah ?
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ada orang
yang berbuat, sebagai perbuatan isi sorga, selama 50 tahun. Sehingga, tidak ada
lagi, diantaranya dan sorga, selain sejauh sejengkal -pada suatu riwayat-
selain sekedar masa berhenti diantara dua kali perahan susu unta (untuk
menunggu banyaknya susu). Maka terdahululah kepada orang itu, oleh suratan
amal. Lalu dicapkan (distempelkan) baginya, dengan amal perbuatan isi neraka”.
Dan kadar masa berhenti diantara dua kali perahan susu unta itu, tidak mungkin
adanya amal perbuatan dengan anggota-anggota badan. Dan itu adalah sekedar
gurisan yang masuk dalam hati ketika menghadapi mati. Lalu itu menghendaki
buruk kesudahan (su-ul khatimah). Maka bagaimana ia merasa aman yang demikian ?
Jadi, yang paling jauh tujuan orang mu’min, ialah bahwa sedanglah takut dan
harapnya. Dan kerasnya harap pada kebanyakan manusia itu, adalah bersandar bagi
ketipuan diri dan sedikitnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan karena
demikianlah, Allah Ta’ala mengumpulkan diantara harap dan takut itu pada sifat
orang yang dipujiNya. Ia berfirman: “Mereka berdoa kepada Tuhannya, dengan
perasaan yang penuh ketakutan dan pengharapan”. S 32 As Sajdah ayat 16. Allah
‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan mereka berdoa kepada Kami dengan pengharapan dan
perasaan takut”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 90.
Dan manakah
contoh Umar ra itu ? Maka manusia yang berada pada masa ini semuanya, lebih
patut bagi mereka itu kekerasan takut. Dengan syarat, bahwa tidak membawa
mereka kepada putus asa, meninggalkan pekerjaan dan putus harapan dari ampunan
Allah (al-maghfirah). Maka adalah yang demikian itu, menjadi sebab untuk
bermalas-malasan bekerja. Dan membawa kepada terjerumus dalam perbuatan
maksiat. Maka yang demikian itu putus asa, bukan takut. Sesungguhnya takut,
ialah: yang menggerakkan kepada bekerja, mengeruhkan semua nafsu syahwat,
mengejutkan hati dari kecenderungan kepada dunia dan membawanya kepada
berjalan, dengan menjauhkan diri dari negeri terperdaya (dunia). Maka itulah
takut yang terpuji. Tidaklah bisikan hati yang tidak membekas pada pencegahan
dari perbuatan buruk dan penggerakan kepada amal taat. Dan tidaklah
keputus-asaan yang mengharuskan kepada patahnya hati.
Yahya bin Ma’adz
berkata: “Siapa yang
menyembah (beribadah) kepada Allah Ta’ala dengan semata-mata takut, niscaya ia
tenggelam dalam lautan fikir. Dan siapa yang menyembahNya dengan semata-mata
harap, niscaya ia berjalan dalam padang pasir ketipuan. Dan siapa yang
menyembahNya dengan takut dan harap, niscaya ia berjalan lurus pada tempat
beralasannya dzikir”.
Makhul
Ad-Dimasyqi berkata: “Siapa yang menyembah (beribadah) kepada Allah, dengan
takut, maka dia itu orang merdeka. Siapa yang menyembah Allah dengan harapan,
maka dia itu orang yang mengharap. Siapa yang menyembah Allah dengan
cinta-kasih, maka dia itu orang zindiq. Dan siapa yang menyembah Allah dengan
takut, harap dan cinta-kasih, maka dia itu orang berkeesaan (mengesakan
Tuhan)”. Jadi, tak boleh tidak, daripada mengumpulkan diantara hal-hal
tersebut. Dan kerasnya takut, itulah yang lebih patut. Akan tetapi, sebelum
mendekati kepada mati. Adapun ketika akan mati, maka yang lebih patut , ialah:
kerasnya harapan dan baiknya sangka. Karena takut itu berlaku, sebagai
berlakunya cemeti yang membangkitkan kepada bekerja. Dan telah lewat waktu
bekerja itu. Maka orang yang hampir akan mati, tidaklah sanggup bekerja.
Kemudian, ia tidak sanggup akan sebab-sebab ketakutan. Maka yang demikian itu,
memutuskan gantungan hatinya. Dan menolong kepada kesegeraan matinya. Adapun
semangat harapan, maka sesungguhnya menguatkan hatinya dan mencintakan dia akan
Tuhannya, yang kepadaNyalah harapannya.
Dan tiada seyogyalah bagi seseorang itu
bercerai dengan dunia, selain ia mencintai Allah Ta’ala. Supaya adalah ia
mencintai bertemu dengan Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya siapa yang menyukai
bertemu dengan Allah, niscaya Allah menyukai bertemu dengan dia. Dan harapan
itu disertai oleh kecintaan. Maka siapa yang mengharap akan kurnia Allah, maka
Allah itu dicintainya. Dan yang dimaksudkan dari ilmu dan amal itu seluruhnya,
ialah: ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) Allah Ta’ala. Sehingga ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) itu membuahkan kecintaan. Sesungguhnya tempat
kembali, ialah kepadaNya. Dan datang dengan kematian itu kepadaNya. Dan siapa
yang datang kepada yang dikasihinya, niscaya besarlah kegembiraannya, menurut
kadar kecintaannya. Dan siapa yang bercerai dengan kecintaannya, niscaya
bersangatanlah cobaan dan azabnya. Maka manakala adalah hati, yang mengeras
kepadanya ketika mati itu, kecintaan kepada isteri, kepada anak, harta, tempat
tinggal, sawah ladang, teman dan sahabat, maka inilah laki-laki yang seluruh
kecintaannya pada dunia. Maka dunialah sorganya. Karena sorga itu, adalah
ibarat dari suatu tempat yang mengumpulkan semua kekasih. Maka matinya itu,
ialah keluar dari sorga dan dinding diantaranya dan apa yang dirinduinya.
Apabila ia tidak mempunyai kekasih, selain Allah Ta’ala, selain dzikir
kepadaNya, ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan fikir padaNya, sedang
dunia dan segala sangkut-pautnya itu menggangguinya dari yang dikasihi, jadi,
maka dunia itu penjara baginya. Karena penjara itu ibarat dari tempat yang
mencegah si terpenjara, untuk bersenang-senang kepada yang dikasihinya. Maka
matinya itu adalah kedatangan kepada kekasihnya dan kelepasan dari penjara. Dan
tidaklah tersembunyi, keadaan orang yang terlepas dari penjara. Dan dibiarkan
ia dengan kekasihnya, dengan tidak ada yang melarang dan yang mengeruhkan.
Maka inilah
permulaan yang ditemui oleh setiap orang yang berpisah dengan dunia, sesudah
matinya, dari pahala dan siksa. Lebih-lebih dari apa yang disediakan oleh Allah
kepada hamba-hambaNya yang shalih, dari apa yang tidak pernah dilihat oleh
mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak terguris di hati manusia.
Lebih-lebih, dari apa yang disediakan oleh Allah Ta’ala, bagi mereka yang
mencintai kehidupan duniawi dari akhirat. Senang dengan kehidupan duniawi dan
merasa tenang kepada kehidupan duniawi, dari belenggu, rantai, pasung dan
berbagai macam kehinaan dan yang menakutkan.
Maka kita mohon
kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia mematikan kita sebagai orang muslim dan
menghubungkan kita dengan orang-orang shalih. Dan tiada harapan pada penerimaan
doa ini, selain dengan mengusahakan kasih sayang Allah Ta’ala. Dan tiada jalan
kepada yang demikian, selain dengan mengeluarkan kasih sayang kepada yang lain
daripada Allah, dari hati. Dan memutuskan segala hubungan dari setiap apa, yang
selain Allah Ta’ala, dari kemegahan, harta dan tempat tinggal. Maka yang lebih
utama, ialah bahwa kita berdoa, dengan apa yang didoakan oleh Nabi kita saw:
“Ya Allah, Tuhanku ! anugerahilah kepadaku mencintaiMu, mencintai orang yang
mencintaiMu, mencintai apa yang mendekatkan aku kepada mencintaiMu ! dan
jadilah kecintaan kepadaMu, yang lebih mencintai kepadaku, daripada air
dingin”. Dan maksudnya, ialah: bahwa kekerasan harap ketika akan mati itu lebih
patut. Karena harap itu lebih menghela kepada kasih-sayang. Dan kekerasan takut
sebelum mati itu lebih patut. Karena takut itu lebih membakar bagi api nafsu
syahwat dan lebih mencegah lagi kecintaan dunia dari hati.
Dan karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Tiada matilah seseorang kamu, selain ia membaikkan
sangka dengan Tuhannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Aku pada sangkaan hambaKu
dengan Aku. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKu, akan apa yang
dikehendakinya”. Tatkala Sulaiman At-Taimi hampir wafat, maka ia mengatakan
kepada anaknya: “Hai anakku ! berbicaralah dengan aku akan hal-hal yang mudah !
dan sebutkanlah bagiku akan harapan ! sehingga aku bertemu dengan Allah atas
baiknya sangkaan kepadaNya”. Begitupula tatkala Ats-Tsauri hampir wafat dan
bersangatan gundahnya, lalu beliau mengumpulkan para ulama di kelilingnya,
dimana mereka memberi harapan kepadanya.
Ahmad bin Hanbal ra mengatakan kepada
puteranya, tatkala akan wafat: “Sebutkanlah bagiku hadits-hadits, yang padanya
harapan dan baik sangka”. Dan yang dimaksud dari itu semua, ialah: bahwa
seseorang mempercintakan Allah Ta’ala kepada dirinya. Dan karena itulah, Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Bahwa engkau memperkasihkan Aku
kepada hamba-hambaKu !”. Nabi Daud as lalu bertanya: “Dengan apa ?”. Allah
Ta’ala berfirman: “Dengan engkau peringatkan akan mereka, segala rahmat dan
nikmatKu”. Jadi, penghabisan kebahagiaan, ialah: bahwa mati dengan mencintai
Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya kecintaan itu berhasil, dengan ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala) dan dengan mengeluarkan kecintaan dunia dari hati.
Sehingga jadilah dunia itu seluruhnya, seperti penjara yang mencegah dari
kekasih. Dan karena itulah, sebahagian orang-orang shalih, memimpikan Abu
Sulaiman Ad-Darani, bahwa beliau itu terbang. Lalu yang bermimi itu bertanya
kepada Abu Sulaiman Ad-Darani. Abu Sulaiman lalu menjawab: “Sekarang aku
terlepas”. Tatkala pagi hari, lalu yang bermimpi itu menanyakan akan keadaan
Abu Sulaiman. Maka orang mengatakan kepadanya, bahwa Abu Sulaiman Ad-Darani,
telah meninggal kemarin.
PENJELASAN: obat, yang dengan obat
itu, tertariklah akan keadaan takut.
Ketahuilah kiranya, bahwa
apa yang telah kami sebutkan, tentang obat sabar dan telah kami uraikan pada
Kitab Sabar dan Syukur, maka itu memadailah pada maksud ini. Karena sabar itu
tidak mungkin, selain sesudah berhasil takut dan harap. Karena permulaan tingkat
agama itu: yakin, yang menjadi ibarat dari kuatnya iman kepada Allah Ta’ala,
dengan hari akhirat, sorga dan neraka. Dan yakin ini, dengan mudah mengobarkan
ketakutan dari neraka dan harapan kepada sorga. Harap dan takut itu menguatkan
sabar. Maka sesungguhnya sorga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tiada
disukai. Maka tiada tahan pada menanggung yang tidak disukai itu, selain dengan
kuatnya harapan. Dan neraka itu dikelilingi dengan nafsu syahwat. Maka tiada
tahun pada mencegahkannya, selain dengan kuatnya ketakutan.
Dan karena
itulah, Ali ra berkata: “Siapa yang rindu kepada sorga, niscaya ia menyimpang
dari segala nafsu syahwat. Siapa yang sayang kepada dirinya dari neraka,
niscaya ia kembali (tidak mengerjakan lagi) dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan”.
Kemudian, dilaksanakan tingkat sabar, yang diambil faedah nya dari takut dan
harap, kepada tingkat mujahadah (bersungguh‑sungguh) dan menjuruskan diri
kepada mengingati Allah Ta’ala (berdzikir kepada Allah Ta’ala) dan bertafakkur
kepadaNya terus-menerus. Oleh karena terus-menerusnya dzikir, maka itu membawa
kepada kejinakan hati dan terus-menerusnya berfikir (bertafakkur) kepada
kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Dan oleh kesempurnaan ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan kejinakan hati itu membawa kepada kecintaan.
Dan diikuti oleh tingkat: ridha, tawakkal dan tingkat-tingkat lainnya.
Maka inilah
tertib (cara berturutnya) pada menjalani tingkat-tingkat agama. Dan tiadalah,
sesudah pokok yakin itu, tingkat lagi, selain takut dan harap. Dan tiadalah
sesudah keduanya itu tingkat lagi, selain: sabar. Dan dengan sabar itu, mujahadah
(bersungguh‑sungguh) dan menjuruskan hati kepada Allah pada zahir dan batinnya.
Dan tiada tingkat lagi sesudah mujahadah (bersungguh‑sungguh), bagi orang yang
terbuka baginya jalan, selain hidayah (petunjuk) dan ma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala). Dan tiada tingkat sesudah ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala),
selain kasih sayang dan kejinakan hati. Dan dari mudahnya kasih-sayang itu,
datang ridha dengan perbuatan kekasih dan percaya dengan kesungguhan. Dan
itulah: tawakkal. Jadi, pada apa yang telah kami sebutkan tentang pengobatan
sabar itu, mencukupilah. Akan tetapi kami, akan sendirikan takut itu dengan
pembicaraan secara dipersingkat, maka kami mengatakan: Takut itu berhasil,
dengan dua jalan yang berlainan. Yang pertama lebih tinggi dari yang lain.
Contohnya: bahwa anak kecil, apabila ada ia di rumah, lalu masuk kepadanya
binatang buas atau ular, maka kadang-kadang ia tidak takut. Dan kadang-kadang,
ia memanjangkan tangannya kepada ular, untuk diambilnya dan bermain-main dengan
ular itu. Akan tetapi, apabila ada bersama anak kecil itu bapaknya dan bapaknya
itu berpikiran waras, niscaya ia takut kepada ular. Dan lari daripadanya. Maka
apabila anak kecil itu melihat kepada ayahnya dan ayahnya itu gementar
sendi-sendinya dan berusaha untuk lari dari ular itu, niscaya anak kecil itu
bangun berdiri bersama ayahnya. Dan mengeraslah ketakutan atas anak kecil itu
dan ia menyesuaikan diri dengan ayahnya pada lari. Maka takutnya ayah itu
adalah dari penglihatan dengan pikiran dan mengetahui sifat ular, racunnya,
keistimewaannya, kekerasan binatang buas, keperkasaan nya dan kurangnya
perhatian binatang buas itu kepada mangsanya. Adapun takutnya anak, maka karena
percaya dengan semata-mata ikut-ikutan. Karena ia membaikkan sangka kepada
ayahnya. Dan ia tahu, bahwa ayahnya itu tidak takut, selain dari sebab yang
menakutkan pada dirinya. Maka tahulah anak kecil itu, bahwa binatang buas itu
menakutkan. Dan ia tidak tahu akan segi ketakutan itu. Apabila anda tahu akan
contoh ini, maka ketahuilah, bahwa takut kepada Allah Ta’ala itu atas dua
tingkat:
Pertama: takut
kepada azabNya.
Kedua: takut
kepadaNya.
Adapun takut kepadaNya, maka
yaitu: takut para ulama dan orang-orang yang mempunyai hati, yang mengetahui
dari sifat-sifat Allah Ta’ala, akan apa yang menghendaki kehebatan, ketakutan
dan kehati-hatian, yang menengok kepada rahasia firman Allah Ta’ala: “Allah
memperingati kamu akan kewajibanmu kepada Allah sendiri”. S 3 Ali ‘Imran ayat28.
Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bertaqwalah kamu kepada Allah
sebenar-benarnya !”. S 3 Ali ‘Imran ayat 102.
Adapun yang
pertama, maka itu takutnya umumnya manusia. Dan itu berhasil dengan pokok iman
(percaya) akan sorga dan neraka. Dan adanya sorga dan neraka itu balasan atas
taat dan maksiat. Dan lemahnya itu disebabkan kelalaian dan sebab lemahnya
iman. Dan kelalaian itu hilang dengan: peringatan, pengajaran, selalu berpikir
tentang huru-hara hari kiamat dan segala macam azab di akhirat. Dan hilang juga
kelalaian itu dengan melihat kepada orang-orang yang takut, duduk-duduk bersama
mereka dan menyaksikan hal-ihwal mereka. Maka jikalau tidak ada penyaksian itu,
maka dengan mendengar saja, tidak juga terlepas dari membekas.
Adapun yang
kedua dan itu yang lebih tinggi. Maka adanya Allah itu yang membawa kepada
ketakutan, aku maksudkan, ialah: bahwa ditakutkan akan jauh dan terdinding
(hijab) dari Allah. Dan mengharap akan kedekatan kepadaNya.
Dzun-Nun ra
berkata: “Ketakutan kepada neraka, pada takutnya berpisah itu adalah seperti
setetes air yang menetes pada lautan yang gelap-gulita”. Inilah takut nya para
ulama, dimana Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah
dari hamba-hambaNya, ialah orang-orang yang berilmu (ulama)”. S 35 Faathir ayat
28. Dan bagi umumnya orang mu’min juga mempunyai keuntungan dari ketakutan ini.
Akan tetapi, itu dengan semata-mata ikut-ikutan (taqlid (turut/menurut), yang
menyerupai akan takutnya anak kecil kepada ular, karena ikut-ikutan kepada
ayahnya. Dan yang demikian itu tidak disandarkan kepada penglihatan dengan mata
hati. Maka sudah pasti, akan lemah dan hilang dalam waktu dekat. Sehingga anak
kecil itu, kadang-kadang melihat akan orang yang berazam, tampil mengambil ular
itu. Maka ia memandang kepada orang itu dan ia tertipu dengan yang demikian.
Lalu ia berani untuk mengambilnya, karena ikut-ikutan kepada orang itu.
Sebagaimana ia menjaga diri daripada mengambilnya, karena ikut-ikutan kepada
ayahnya.
Akidah-akidah(keyakinan)
ikut-ikutan (al’aqaid at-taqlidiyah) itu pada kebiasaannya lemah, kecuali
apabila dikuatkan dengan menyaksikan sebab-sebabnya, yang menguatkan
akidah-akidah itu terus-menerus. Dan membiasakan menurut yang dikehendakinya,
pada membanyakkan taat dan menjauhkan perbuatan maksiat, pada masa yang
panjang, secara berkekalan. Jadi, siapa yang mendaki ke tingkat ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala) dan mengenal akan Allah Ta’ala, niscaya dengan mudah, ia
takut kepada Allah. Maka ia tidak memerlukan kepada pengobatan, untuk menarik
ketakutan. Sebagaimana orang yang mengenal binatang buas dan melihat dirinya
terjatuh dalam cengkeramannya, niscaya ia tidak memerlukan kepada pengobatan
untuk menarik ketakutan kepada hatinya. Akan tetapi, dengan mudah ia takut
kepada binatang buas itu, dikehendakinya atau tidak. Dan karena demikianlah,
maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Daud as: “Takutlah kepadaKu,
sebagaimana engkau takut kepada binatang buas yang menerkam”. Dan tiada daya
pada menarik ketakutan kepada binatang buas yang menerkam, selain mengenal
binatang buas itu. Dan mengetahui jatuhnya dalam cengkeramannya. Maka tidak
memerlukan kepada daya lainnya.
Maka siapa yang
mengenal Allah Ta’ala, niscaya ia mengenal, bahwa Allah Ta’ala itu berbuat
sekehendakNya dan tidak memperdulikan yang lain. Ia menghukum apa yang
dikehendakiNya. Dan Ia tidak takut. Ia mendekatkan malaikat, tanpa wasilah
(perantaraan) yang terdahulu. Ia menjauhkan Iblis, tanpa dosa yang terdahulu.
Akan tetapi, sifatNya ialah apa yang diterjemahkan oleh firmanNya Yang Maha
Tinggi: “Mereka ini dalam sorga dan Aku tidak perdulikan. Dan mereka itu dalam
neraka dan Aku tidak perdulikan”.
Jikalau terguris
di hati anda, bahwa Ia tidak menyiksakan, selain di atas maksiat dan IA tidak
memberi pahala, selain di atas taat, maka perhatikanlah, bahwa Ia tidak
membantu orang yang taat, dengan sebab-sebab ketaatannya, sehingga ia taat.
Orang itu mau atau tidak. Dan Ia tidak menolong orang yang maksiat, dengan
pengajak-pengajak maksiat, sehingga ia berbuat maksiat. Orang itu, mau atau
tidak. Maka sesungguhnya, walau Ia menjadikan kelalaian, nafsu syahwat dan
kemampuan atau melaksanakan nafsu syahwat itu, adalah perbuatan itu terjadi
dengan mudah. Maka jikalau Ia menjauhkan orang itu, karena orang itu berbuat
maksiat kepadaNya, maka mengapakah Ia membawa orang itu kepada perbuatan
maksiat ? adakah yang demikian itu, karena maksiat yang terdahulu, sehingga
rantai-berantai kepada tiada berkesudahan ? atau Ia berhenti –sudah pasti –pada
permulaan, yang tiada alasan bagiNya dari pihak hamba. Akan tetapi, Ia
mengqodokan (mentaqdirkan) atas hamba itu pada azali ( kekal ).
Dari pengertian
ini, diibaratkan oleh Nabi saw, karena beliau bersabda: “Berhujjah
(mengemukakan alasan) Adam as dan Musa as di sisi Tuhannya. Maka Adam as mengemukakan
alasan kepada Musa as, lalu Musa as menjawab: “Engkau Adam, yang dijadikan
engkau oleh Allah dengan tanganNya. Ia menghembus kan pada engkau dari RuhNya.
Ia menyuruh sujud kepada engkau, akan malaikat-malaikatNya. Dan ditempatkanNya
engkau dalam sorgaNya. Kemudian, engkau menurunkan manusia dengan kesalahan
engkau, kebumi. Lalu Adam as menjawab: “Engkau Musa, yang dipilih engkau oleh
Allah, dengan risalahNya (dijadikanNya engkau rasulNya) dan dengan kalamNya
(berkata-kata denganNya). DiberikanNya kepada engkau al-alwah (papan-papan
tulis), yang padanya penjelasan setiap sesuatu. Ia mendekatkan engkau
kepadaNya, dengan kelepasan dari bahaya. Maka dengan berapa lama, engkau
mendapati Allah menulis Taurat, sebelum aku dijadikan ?”. Musa menjawab: “Dengan
40 tahun”. Adam bertanya: “Adakah engkau dapati dalam Taurat, bahwa Adam
berbuat maksiat kepada Tuhannya, lalu ia durhaka ?”. Musa menjawab: “Ada !”.
Lalu Adam bertanya: “Adakah engkau mencacikan aku, atas perbuatan yang aku
perbuat, yang telah dituliskan oleh Allah atasku, sebelum aku memperbuatnya dan
sebelum aku dijadikanNya 40 tahun tahun ?”. Nabi saw bersabda: “Maka Adam
berhujjah dengan Musa”. Maka siapa yang mengetahui sebab pada urusan ini,
dengan ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang timbul dari nur-hidayah, maka
itu dari kekhususan orang-orang ‘arifin, yang melihat kepada rahasia qadar. Dan
siapa yang mendengar ini, lalu mengimaninya dan membenarkan dengan semata-mata
mendengar, maka orang itu termasuk umumnya orang mu’min. Dan berhasil bagi
setiap satu dari dua golongan itu, ketakutan. Sesungguhnya setiap hamba, maka
dia itu jatuh dalam genggaman qudrah ( kuasa ), sebagai jatuhnya anak kecil
yang lemah dalam cengkeraman binatang buas. Dan binatang buas itu,
kadang-kadang lengah secara kebetulan. Lalu dilepaskanya anak kecil itu. Dan
kadang-kadang binatang buas itu menyerbu atas anak kecil itu, lalu diterkamnya.
Dan yang demikian itu, adalah menurut yang kebetulan. Dan bagi kebetulan itu
mempunyai sebab-sebab yang teratur dengan taqdir yang telah dimaklumi.
Tetapi, apabila dikaitkan kepada orang yang
tidak mengetahuinya, maka dinamakan: kebetulan. Dan kalau dikaitkan kepada Ilmu
Allah, maka tidak boleh dinamakan: kebetulan. Orang yang jatuh dalam
cengkeraman binatang buas, jikalau sempurnalah ma’rifahnya (ilmu mengenal Allah
Ta’ala), niscaya ia tidak takut kepada binatang buas itu. Karena binatang buas
tersebut telah diciptakan demikian. Jikalau ia lapar, niscaya ia menerkam. Dan
jikalau dirinya dikuasai oleh kelalaian, niscaya ia biarkan dan tinggalkan.
Sesungguhnya
yang ditakuti, ialah Pencipta binatang buas itu dan Pencipta sifat-sifatnya.
Dan aku tidak mengatakan, bahwa contoh takut kepada Allah Ta’ala itu seperti
takut kepada binatang buas. Akan tetapi, apabila terbukalah tutup, niscaya
diketahui bahwa takut kepada binatang buas itu adalah takut itu juga kepada
Allah Ta’ala. Karena yang membinasakan dengan perantaraan binatang buas itu,
adalah Allah. Maka ketahuilah, bahwa binatang-binatang buas akhirat itu seperti
binatang-binatang buas dunia. Dan Allah Ta’ala yang menciptakan sebab-sebab
azab dan sebab-sebab pahala. Dan Ia menciptakan bagi setiap suatu itu ada yang
punya, yang didorong oleh taqdir, yang bercabang dari qodo, akan kepastian azali
( tida kesudahan / permulaan ), kepada apa ia diciptakan. Ia menciptakan sorga
dan diciptakanNya untuk sorga itu, penduduknya (isinya), dimana mereka itu
diciptakan untuk memperoleh sebab-sebab masuk ke sorga. Mereka berkehendak yang
demikian atau tidak. Dan Ia menciptakan neraka dan diciptakanNya untuk neraka
itu, penduduknya (isinya), dimana mereka itu diciptakan untuk memperoleh
sebab-sebab masuk ke neraka. Mereka berkehendak yang demikian atau tidak. Maka
tiada seorangpun melihat dirinya dalam pukulan ombak-ombak taqdir itu, selain
ia –dengan sendirinya –dikerasi oleh ketakutan. Maka inilah takutnya
orang-orang yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) akan rahasia Qadar/takdir.
Maka siapa yang teledor dari meningkat ke tingkat melihat dengan mata hati,
maka jalannya ialah, bahwa ia mengobati dirinya dengan mendengar hadits-hadits
dan atsar-atsar. Lalu ia membaca hal-ihwal orang-orang yang takut, yang berma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan ucapan-ucapan mereka. Dan ia menyamakan akal
pikiran dan kedudukannya, dengan kedudukan orang-orang yang mengharap, yang
terperdaya. Maka ia tidak ragu, tentang mengikuti mereka itu adalah lebih
utama. Karena mereka itu adalah nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama.
Adapun
orang-orang yang merasa aman, maka mereka itu ialah fir’un-fir’un yang bodoh dan
orang-orang dungu. Dan Rasul kita Muhammad saw, adalah penghulu orang-orang
yang dahulu dan orang-orang yang kemudian. Dan ia adalah manusia yang paling
takut kepada Allah. Sehingga, diriwayatkan, bahwa beliau menyembahyangkan
kepada jenazah anak kecil. Pada suatu riwayat, terdengar dalam doanya Nabi saw,
beliau mengucapkan: “Wahai Allah Tuhanku ! peliharalah dia dari azab kubur dan
azab neraka !”. Pada riwayat yang kedua, bahwa Nabi saw mendengar orang yang
mengatakan: “Selamat, bagi engkau seekor dari burung pipit sorga !”. Lalu Nabi
saw marah dan bersabda: “Apakah yang menerangkan kepadamu, bahwa anak itu
demikian ? demi Allah ! sesungguhnya aku utusan Allah dan aku tidak tahu, apa
yang diperbuat kepadaku. Sesungguhnya Allah menciptakan sorga. Dan diciptakanNya
bagi sorga itu penduduknya (isinya). Mereka itu tidak ditambahkan dan tidak
dikurangi”.
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw mengucapkan pula
yang demikian, kepada jenazah Utsman bin Madh’un. Dan Utsman ini termasuk dari
orang-orang muhajirin yang pertama. Tatkala Umma Salmah mengatakan: “Selamat,
bagi engkau sorga !”. Dan sesudah itu, Umma Salmah mengatakan: “Demi Allah !
aku tidak mengatakan bersih (dari dosa) seorangpun sesudah Utsman”. Muhammad
bin Khaulah Al-Hanafiyah berkata: “Demi Allah ! tiada seorangpun aku mengatakan
bersih (dari dosa) selain Rasulullah saw. Dan tidak juga ayahku yang
memperanakkan aku”.
Muhammad bin
Khaulah Al-Hanafiyah mengatakan, bahwa tatkala telah berkembang aliran Syi’ah,
lalu ia turut menyebutkan keutamaan-keutamaan Ali dan sifat-sifat kepujiannya
(manaqibnya). Diriwayatkan pada hadits yang lain, dari seorang laki-laki, dari
penghuni Ash-Shaffah, yang telah meninggal dunia, sebagai orang syahid. Lalu
ibunya mengatakan: “Selamat, bagi engkau seekor burung pipit sorga. Engkau
berhijrah kepada Rasulullah saw. Dan engkau terbunuh pada sabilullah”. Lalu
Nabi saw bersabda: “Apakah yang memberitahukan kepada engkau yang demikian ?
mungkin ia mengatakan apa yang tidak bermanfaat baginya. Dan ia mencegah apa
yang tidak mendatangkan melarat kepadanya”. Tersebut pada hadits yang lain,
bahwa Nabi saw masuk ke tempat sebahagian sahabatnya. Dan sahabatnya itu sedang
sakit. Lalu beliau mendengar seorang wanita mengatakan: “Selamat, bagimu sorga
!”. Maka Nabi saw bertanya: “Siapakah yang bersumpah ini kepada Allah Ta’ala
?”. Orang sakit itu menjawab: “Ibuku, wahai Rasulullah !”. Nabi saw lalu
bersabda: “Apakah yang memberitahukan yang demikian, akan engkau, hai ibu ?
mungkin si Anu ini, berkata-kata dengan apa yang tidak penting baginya. Dan
kikir dengan apa, yang ia perlukan kepadanya”. Bagaimana kaum mu’min itu semua
tidak takut, padahal Nabi saw bersabda: “Aku dibuat beruban oleh “Surat Hud”
dan teman-temannya: “Surat Al-Waqi’ah”, “Surat Idzasy-Syamsu kuwwirat” dan
“Surat ‘Amma Yatasaa-aluun”.
Para ulama
mengatakan, bahwa mungkin yang demikian, karena yang terdapat pada Surat Hud,
dari hal “menjauhkan”, seperti firmanNya: “Ingatlah, jauh (binasalah) ‘Ad, kaum
Hud itu !”. S 11 Huud ayat 60. FirmanNya: “Ingatlah, jauhlah Tsamud itu !”. S
11 Huud ayat 68. FirmanNya: “Ingatlah, binasalah Madyan sebagaimana Tsamud
telah binasa”. S 11 Huud ayat 95. Serta diketahui oleh Nabi saw, bahwa jikalau
dikehendaki oleh Allah, niscaya mereka itu tidak menjadi musyrik. Karena,
jikalau dikehendakiNya, niscaya didatangkanNya kepada setiap jiwa, akan
petunjuk. Dan pada surat Al-Waqi’ah: “Tiada seorangpun yang dapat mendustakan
terjadinya. (Sebahagian) direndahkannya, (dan sebahagian) ditinggikannya”. S 56
Al Waaqi’ah ayat 2-3. Artinya: “Keringlah pena dengan apa yang ada. Dan
sempurnalah yang terdahulu. Sehingga turunlah yang kejadian. Adakalanya
direndahkan suatu golongan, yang mereka itu tinggi di dunia. Dan adakalanya,
ditinggikan suatu golongan, yang mereka itu rendah di dunia”. Pada Surat
At-Takwir (Wa idzasy-syamsu kuwwirat), disebutkan huru-hara hari kiamat dan
terbukanya al-khatimah (kesudahan setiap insan). Yaitu firman Allah Ta’ala:
“Dan ketika api neraka dinyalakan. Dan ketika taman (sorga) didekatkan. (Ketika
itu) setiap diri mengetahui, apa yang disediakannya”. S 81 At Takwiir ayat
12-13-14. Pada surat ‘Amma Yatasaa-alun: “Di hari manusia akan melihat apa yang
telah dikirimkan terlebih dahulu oleh kedua tangannya dan orang-orang yang
tiada beriman, akan mengatakan: “Wahai nasib malangku ! kiranya aku menjadi
tanah hendaknya !”. S 78 An Nabaa’ ayat 40. Dan firmanNya: “Tiada seorangpun
yang berbicara, selain dari siapa yang diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah
dan mengatakan apa yang sebenarnya”. S 78 An Nabaa’’ ayat 38.
Alquran itu,
dari permulaannya, sampai kepada penghabisannya, adalah tempat-tempat yang
mendatangkan takut, bagi orang yang membaca dengan pemahaman. Dan jikalau tak
ada dalam Alquran, selain firmanNya: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun
kepada siapa yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, kemudian dia
itu mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82, niscaya adalah memadai.
Karena Ia menggantungkan ampunan kepada 4 syarat, yang lemahlah hambaNya dari
masing-masing syarat itu. Dan yang paling keras daripadanya, ialah firmanNya:
“Adapun yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka ia diharapkan
akan berada dari orang-orang yang beruntung”. S 28 Al Qashash ayat 67. Dan
firmanNya: “Karena Allah hendak menanyakan kepada orang-orang yang benar,
tentang kebenaran mereka”. S 33 Al Ahzab ayat 8. Dan firmanNya: “Kami akan
bertindak terhadap kamu, hai kedua penduduk dunia (jin dan manusia) !”. S 55 Ar
Rahmaan ayat 31. Dan firmanNya: “Apakah mereka merasa aman dari rencana Allah ?
tak ada yang merasa aman dari rencana Allah, selain kaum yang merugi”. S 7 Al
A’raaf ayat 99. Dan firmanNya: “Dan begitulah Tuhan engkau menghukum
negeri-negeri, yang penduduknya melakukan kesalahan. Sesungguhnya hukuman Tuhan
itu pedih dan keras”. S 11 Huud ayat 102. Dan firmanNya: “Di hari itu Kami
kumpulkan orang-orang yang memelihara dirinya (bertaqwa) –dari kejahatan-
sebagai menyambut perutusan. Dan Kami halau orang-orang yang bersalah itu ke
dalam neraka secara kasar”. S 19 Maryam ayat 85-86. Dan firmanNya: “Dan tiada
seorangpun diantara kamu, yang tiada masuk ke dalamnya, itulah keputusan Tuhan
engkau, yang tak dapat dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71. Dan firmanNya:
“Buatlah apa yang kamu suka, sesungguhnya Tuhan itu tahu betul, apa yang kamu
kerjakan”. S 41 Fussilat ayat 40. Dan firmanNya: “Siapa yang ingin kepada
keuntungan hari akhirat, akan Kami berikan tambahan kepada keuntungannya. Dan
siapa yang ingin kepada keuntungan di dunia ini, akan Kami berikan keuntungan
itu kepadanya, tetapi dia tiada mempunyai bagian lagi pada hari kemudian”. S 42
Asy Syuura ayat 20. Dan firmanNya: “Siapa yang mengerjakan perbuatan baik,
seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat
atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7-8. Dan firmanNya: “Dan kami
(datang) dengan sengaja kepada pekerjaan yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan debu yang beterbangan”. S 25 Al Furqaan ayat 23. Dan demikian juga
firmanNya: “Demi (perhatian) waktu ! sesungguhnya manusia itu dalam kerugian.
Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
mewasiatkan (memesankan) satu sama lain, dengan kebenaran dan mewasiat kan satu
sama lain, supaya berhati teguh (sabar)”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3.
Maka inilah 4 syarat bagi kelepasan dari
kerugian ! Sesungguhnya, adalah takutnya para nabi itu, bersama dengan
nikmat-nikmat yang melimpah-ruah kepada mereka, adalah dikarenakan mereka itu
tidak merasa aman dari rencana Allah Ta’ala. Dan tiada yang merasa aman dari
rencana Allah itu, selain orang-orang (kaum) yang merugi. Sehingga diriwayatkan,
bahwa Nabi saw dan Jibril as menangis, karena takut kepada Allah Ta’ala. Maka
Allah menurunkan wahyu kepada keduanya: “Mengapakah kamu menangis dan kamu
berdua sudah Aku amankan ?”. Keduanya lalu menjawab: “Siapakah yang merasa aman
dari rencana Engkau ?”. Keduanya, karena mengetahui, bahwa Allah itu Maha Tahu
akan segala yang ghaib dan keduanya tidak mengetahui akan kesudahan segala
urusan, lalu tidak merasa aman. Dan adalah firmanNya: “Kamu berdua sudah Aku
amankan” itu, seakan-akan percobaan, ujian dan rencana Allah bagi keduanya.
Sehingga, jikalau tenanglah ketakutan keduanya, niscaya nampaklah bahwa
keduanya telah merasa aman dari rencana Allah dan apa yang dipenuhinya dengan
perkataannya.
Sebagaimana nabi
Ibrahim as tatkala diletakkan dalam meriam (al-manjaniq). Beliau mengucapkan:
“Cukuplah Allah bagiku”. Dan adalah ucapan itu termasuk doa yang besar. Maka
nabi Ibrahim as itu dicoba dan dilawankan dengan Jibril as di udara (sesudah
al-manjaniq itu dilepaskan ke udara). Jibril as bertanya: “Adakah hajat
keperluan engkau ?”. Nabi Ibrahim as menjawab: “Adapun kepada engkau, tidak !”.
Maka adalah jawaban itu memenuhi akan hakikat/makna ucapannya: “Cukuplah Allah
bagiku”. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu, dengan firmanNya: “Dan
Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)”. S 53 An Najm ayat 37. Artinya: dengan
yang diharuskan oleh ucapannya: “Hasbiyallah” itu. Dan yang seperti ini,
dikabarkan oleh Allah Ta’ala dari hal nabi Musa as dengan firmanNya: “Keduanya
(nabi Musa as dan nabi Harun as) memohon: “Wahai Tuhan kami ! kami kuatir,
bahwa dia (Fir’un) terlebih dahulu bersedia menentang kami atau dia melakukan
kekejaman di luar batas”. Dia (Tuhan) berfirman: “Janganlah kamu takut,
sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat”. S 20
Thaahaa ayat 45-46. Dan bersama ini, tatkala tukang-tukang sihir itu
melemparkan sihirnya, lalu timbul ketakutan pada diri nabi Musa as. Karena ia
tidak merasa aman dari rencana Allah. Dan meragukan urusan kepadanya. Sehingga
Allah membarukan akan keamanan kepadanya. Dan dikatakan: “Jangan takut,
sesungguhnya engkau lebih tinggi !”. S 20 Thaahaa ayat 68. Tatkala lemah
ketakutan kaum muslimin pada hari perang Badar, lalu Nabi saw berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! jikalau binasalah pasukan ini, niscaya tidak tinggal seorangpun
di permukaan bumi yang menyembah Engkau”. Lalu Abubakar ra berkata: “Biarlah
akan pertolongan Tuhan engkau kepada engkau ! sesungguhnya Tuhan itu memenuhi
bagi engkau, dengan apa yang dijanjikanNya”. Maka adalah tempat tegaknya Abubakar
Ash-Shiddiq itu tempat tegak kepercayaan, dengan janji Allah. Dan itu lebih
sempurna. Karena tidak timbul, selain dari kesempurnaan ma’rifah (ilmu mengenal
Allah Ta’ala) dengan rahasia-rahasia Allah Ta’ala dan kesembunyian Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya dan arti sifat-sifatNya yang diibaratkan dari
sebahagian apa, yang timbul daripadanya rencana itu. Dan tiada seorangpun
manusia yang mengetahui hakikat/makna sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan orang yang
mengetahui akan hakikat/makna ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) dan singkat
ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)nya daripada meliputi hakikat/makna segala
urusan, niscaya –sudah pasti- sangat ketakutannya.
Dan karena itulah, nabi Isa Al-Masih menjawab,
tatkala ditanyakan kepadanya: “Dan ketika Allah berfirman: “Hai Isa anak Maryam
! engkaukah yang mengatakan kepada manusia: “Ambillah aku dan ibuku menjadi dua
tuhan, selain dari Allah ? Isa mengatakan: “Maha Suci Engkau ! tiada sepatutnya
aku mengatakan, apa yang bukan hakku (menyebutkan). Kalau kiranya aku mengatakan
itu, tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang dalam pikiranku
dan aku tidak mengetahui apa yang dalam ilmu Engkau”. S 5 Al Maaidah ayat 116.
Dan Allah berfirman: “Kalau mereka Engkau siksa, maka mereka itu hamba-hamba
Engkau dan kalau mereka Engkau ampuni, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan
Bijaksana”. S 5 Al Maaidah ayat 118. Nabi Isa as menyerahkan urusan itu kepada
kehendakNya. Dan mengeluarkan dirinya secara keseluruhan, dari kejelasan.
Karena ia tahu, tiada suatu urusanpun baginya. Dan semua urusan itu terikat
dengan kehendak Allah, dengan ikatan, yang keluar dari batas, yang dapat
diketahui dengan akal dan kebiasaan. Maka tidak mungkin diambil keputusannya
dengan qias, tebakan dan kiraan. Lebih-lebih lagi, dengan pentahkikan dan
keyakinan. Inilah yang meyakinkan hati orang-orang arifin. Karena bahaya besar,
ialah: terikatnya urusan engkau, dengan kehendak orang yang tiada perduli
kepada engkau, jikalau membinasakan engkau. Maka sesungguhnya telah
membinasakan orang-orang yang seperti engkau, yang tidak terhinggakan. Dan
senantiasalah Ia, di dunia menyiksakan mereka dengan berbagai macam kepedihan
dan penyakit. Dan bersama dengan yang demikian, Ia mendatangkan penyakit kepada
hati mereka, dengan kekufuran dan kemunafikan. Kemudian, Ia mengekalkan siksaan
atas mereka selama-lamanya. Kemudian, Ia mengabarkan dari yang demikian dengan
firmanNya: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada
setiap diri. Akan tetapi, perkataan daripadaKu sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya
Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S 32 As
Sajdah ayat 13. Dan firmanNya: “Perkataan Tuhan engkau sudah tetap: Bahwa Aku
akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia bersama-sama”. S 11 Huud
ayat 119. Maka bagaimana tidak ditakuti akan perkataan yang benar pada azali (
tida kesudahan / permulaan ) ? Dan tidak dapat diharapkan dapat mengetahuinya.
Dan jikalau urusan itu baru tadi, niscaya adalah harapan-harapan dapat membantu
berdaya-upaya kepadanya. Akan tetapi, tak ada, selain menyerah saja. Dan penyelidikan yang tersembunyi bagi yang lalu itu,
termasuk sebab-sebab zahiriyah yang terang kepada hati dan anggota badan. Maka
siapa yang mudah baginya sebab-sebab kejahatan dan terdinding diantaranya dan
sebab-sebab kebajikan dan kokoh hubungannya dengan dunia, maka seakan-akan
–diatas ketahkikannya –telah terbuka baginya, rahasia barang yang lalu, yang
telah terdahulu baginya dengan ketidak-beruntungan. Karena masing-masing
manusia itu dipermudahkan, untuk apa ia diciptakan. Dan jikalau setiap
kebajikan itu dipermudah kan dan hati secara keseluruhan terputus dari dunia
dan zahir batinnya menghadap kepada Allah, niscaya adalah ini menghendaki
keringanan takut. Jikalau adalah terus-terusan di atas yang demikian itu dapat
dipercayakan. Akan tetapi, bahaya al-khatimah dan sukar tetapnya hal itu,
menambahkan berkobarnya nyala api ketakutan. Dan tidak mungkin dipadamkan.
Bagaimana dirasakan aman perobahan keadaan, sedang hati orang yang beriman itu
diantara dua anak jari, dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pemurah ? Dan hati
itu lebih keras berbalik-baliknya, dibandingkan dengan kuali dalam gelagaknya.
Dan telah berfirman: Yang membalik-balikkan hati, Yang Maha Mulia dan Maha
Agung: “Sesungguhnya terhadap siksaan Tuhan itu, tiada seorangpun patut merasa
aman”. S 70 Al Ma’arij ayat 28. Maka manusia yang paling bodoh, ialah orang
yang merasa aman daripadanya. Dan dia sendiri menyerukan supaya berhati-hati
dari amannya itu. Jikalau tidaklah Allah Ta’ala kasih-sayang kepada
hamba-hambaNya yang berma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala), karena
disemangatkanNya hati mereka, dengan semangat harap, niscaya terbakarlah hati
mereka dengan api ketakutan. Maka sebab-sebabnya harap itu adalah rahmat, bagi
orang-orang yang telah dikhususkan oleh Allah. Dan sebab-sebab kelalaian itu
adalah rahmat kepada makhluk (manusia) yang awam, dari suatu segi. Karena
jikalau terbukalah tutup, niscaya binasalah diri dan terpotong-potonglah hati
dari ketakutan kepada Yang Membalik-balikkan hati.
Setengah ‘arifin
berkata: “Jikalau terdinding oleh suatu tiang, diantara aku dan orang yang
telah aku kenal berkeesaan selama 50 tahun, lalu orang itu mati, niscaya tidak
aku yakin dengan keesaannya. Karena aku tidak tahu apa yang lahir baginya, dari
kebulak-balikan hati”. Setengah mereka mengatakan: “Jikalau mati syahid itu di
pintu rumah dan mati dalam Islam itu pada pintu kamar, niscaya aku pilih mati
dalam Islam. Karena aku tidak tahu, apa yang datang bagi hatiku, diantara pintu
kamar dan pintu rumah”.
Abud-Darda
bersumpah dengan nama Allah, bahwa seseorang yang merasa aman kepada imannya,
dari dicabut ketika mati, niscaya dicabut. Dan Sahl berkata: “Takutnya
orang-orang shiddiq dari buruk kesudahan (su-ul khatimah) itu pada setiap
langkah dan pada setiap gerak. Dan mereka itu ialah orang-orang yang disifatkan
oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan hati mereka itu takut”. S 23 Al
Mukminuun ayat 60. Tatkala Sufyan Ats-Tsauri hampir meninggal, beliau menangis
dan gundah. Lalu dikatakan kepadanya: “Hai Abu Abdillah, engkau harus harap !
sesungguhnya kemaafan Allah itu lebih besar dari dosa engkau”. Maka beliau
menjawab: “Adakah atas kedosaanku aku menangis ? jikalau aku tahu, bahwa aku
akan mati di atas keesaan, niscaya aku tidak perduli, bahwa aku bertemu dengan
Allah, dengan kesalahan seperti gunung”.
Diceritakan dari
setengah orang-orang yang takut kepada Allah, bahwa ia mewasiatkan kepada
sebahagian saudaranya, sbb: “Apabila aku meninggal, maka duduklah di sisi
kepalaku ! kalau engkau melihat aku mati di atas keesaan, maka ambillah semua
milikku ! dan belilah dengan hartaku itu buah lauz (semacam buah-buahan) dan
gula ! dan bagi-bagikanlah kepada anak-anak dari penduduk negeri ini ! dan
katakanlah: “Ini pesta perkawinan orang yang terlepas dari bahaya”. Dan kalau
aku mati tidak di atas keesaan, maka beritahukanlah kepada manusia dengan yang
demikian ! sehingga mereka itu tidak tertipu dengan menghadiri jenazahku.
Supaya hadir pada jenazahku, orang yang menyukainya dengan mengetahui betul.
Supaya tidak melekat padaku ria, sesudah meninggal. Temannya lalu bertanya:
“Dengan apa aku tahu yang demikian ?”. Orang itu lalu menyebutkan tandanya.
Maka temannya itu melihat tanda keesaan, ketika matinya. Lalu teman itu membeli
gula dan buah lauz. Dan dibagi-bagikannya. Sahl berkata: “Murid (orang yang
menghendaki jalan Allah) itu takut, bahwa mendapat percobaan dengan
perbuatan-perbuatan maksiat. Dan orang ‘arif (yang berilmu ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala)) itu takut, bahwa dicoba dengan kekufuran”.
Abu Yazid
berkata: “Apabila aku menuju ke masjid, seolah-olah pada pinggangku ikat
pinggang. Aku takut, dibawanya aku ke gereja dan rumah api (tempat ibadah orang
Majusi). Sampai aku masuk ke masjid, maka terputuslah daripadaku ikat pinggang
itu. Maka ini bagiku, pada setiap hati 5 kali”.
Diriwayatkan dari Isa Al-Masih as, bahwa ia
berkata: “Hai jama’ah sahabatku ! kamu takut akan perbuatan-perbuatan maksiat.
Dan kami para nabi takut akan kekufuran”. Diriwayatkan pada berita nabi-nabi,
bahwa seorang nabi mengadukan kepada Allah Ta’ala, akan lapar, kudis dan tidak
berpakaian bertahun-tahun. Dan adalah pakaiannya bulu domba. Maka Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepadanya: “Hai hambaKu ! apakah engkau tidak senang Aku
pelihara hati engkau, daripada engkau kufur kepadaKu, sehingga engkau meminta
padaKu dunia ?”. Nabi itu lalu mengambil tanah. Dan diletakkannya di atas
kepalanya. Dan berkata: “Ya, aku senang wahai Tuhanku ! maka peliharakanlah aku
dari kekufuran !”. Apabila adalah ketakutan orang-orang arifin itu, serta
teguhnya tapak kaki mereka dan kuatnya iman mereka, kepada buruknya kesudahan
(su-ul khatimah), maka bagaimanapula tidak ditakuti oleh orang-orang yang lemah
imannya ? Bagi su-ul khatimah itu mempunyai sebab-sebab yang mendahului dari
kematian. Seperti: perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), nifaq, takabbur dan
sejumlah sifat-sifat yang tercela. Dan karena itulah, para sahabat sangat takut
kepada nifaq (kemunafikan). Sehingga Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Jikalau aku
tahu, bahwa aku terlepas dari nifaq, niscaya itu lebih aku sukai daripada
terbitnya matahari”. Dan tidaklah mereka maksudkan dengan nifaq itu, lawan dari
pokok iman. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: apa yang berkumpul serta
pokok iman itu. Lalu orang itu menjadi muslim, yang munafiq.
Tanda-tanda
nifaq itu banyak. Nabi saw bersabda: “4 perkara, siapa yang ada padanya 4
perkara itu, maka dia munafiq betul, walaupun ia mengerjakan shalat, berpuasa
dan mendakwakan dirinya muslim. Dan kalau ada padanya satu perkara dari yang 4
itu, maka pada dirinya suatu cabang dari nifaq. Sehingga ditinggalkannya yang
satu perkara tersebut. 4 perkara itu, yaitu: siapa, yang bila berbicara, ia
berdusta, apabila berjanji, menyalahi janji, apabila diserahkan suatu amanah,
lalu berkhianat dan apabila bermusuhan, lalu berbuat kezaliman”. Dan pada kata
yang lain: “apabila membuat perjanjian, lalu meninggalkannya”.
Para sahabat dan tabi’in menafsirkan nifaq,
dengan beberapa tafsir, yang tidak terlepas sedikitpun dari nifaq itu, selain
dari orang shiddiq. Karena Al-Hasan Al-Bashari ra berkata: “Sesungguhnya termasuk nifaq,
ialah berlainan antara rahasia dan yang terang, berlainan antara lisan dan hati
dan berlainan antara yang masuk dan yang keluar”. Siapakah yang terlepas dari
pengertian-pengertian ini ? bahkan, segala hal tersebut, menjadi kesukaan yang
biasa diantara manusia. Dan manusia itu lupa, bahwa secara keseluruhan itu
adalah hal munkar. Bahkan, telah berlaku yang demikian, pada masa yang dekat
dengan masa kenabian Muhammad saw. Maka bagaimana sangkaan dengan masa kita
sekarang ? sehingga Hudzaifah ra berkata: “Ada orang yang mengatakan dengan
kalimat tertentu pada masa Rasulullah saw lalu ia menjadi munafik. Dan sekarang
aku mendengarnya dari seseorang kamu dalam sehari 10 kali”.
Adalah para
sahabat Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya kamu berbuat perbuatan-perbuatan
yang lebih halus pada mata kamu dari sehelai rambut. Kami menghitungkannya pada
masa Rasulullah saw termasuk dosa besar”. Sebahagian mereka mengatakan: “Tiada
munafik, bahwa engkau tidak suka dari orang lain, akan perbuatan yang engkau
kerjakan seperti perbuatan itu. Bahwa engkau sukai sesuatu dari kezaliman. Dan
engkau marah kepada sesuatu dari kebenaran”. Ada yang mengatakan: termasuk
nifaq, bahwa apabila dipujikan sesuatu, yang tak ada padanya apa-apa, lalu
mena’jubkannya yang demikian. Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar ra:
“Bahwa kami masuk ke tempat amir-amir itu. Lalu kami benarkan mereka pada apa
yang dikatakannya. Maka apabila kami keluar, niscaya kami perkatakan tentang
mereka”. Ibnu Umar ra lalu menjawab: “Kami menghitungkan itu nifaq pada masa
Rasulullah saw”.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra mendengar
seorang laki-laki mencaci Al-Hajjaj dan menuduhnya. Lalu Ibnu Umar ra berkata:
“Jikalau Al-Hajjaj itu hadir di sini, apakah kamu mengatakan, dengan apa yang
telah kamu perkatakan itu ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Maka Ibnu Umar
berkata: “Kami menghitung ini suatu nifaq pada masa Rasulullah saw”. Yang lebih
berat dari itu, apa yang diriwayatkan, bahwa: suatu jama’ah duduk di pintu
Hudzaifah, yang menunggu kedatangannya. Mereka itu memperkatakan tentang
sesuatu dari keadaannya. Tatkala Hudzaifah telah keluar menemui mereka, maka
mereka itu diam, karena malu daripadanya. Hudzaifah lalu mengatakan:
“Berbicaralah, mengenai yang telah kamu katakan itu !”. Mereka itu diam. Lalu
Hudzaifah berkata: “Kami menghitung ini perbuatan nifaq pada masa Rasulullah
saw”. Inilah Hudzaifah, yang telah dikhususkan dengan mengetahui orang-orang
munafik dan sebab-sebab kemunafikan. Ia mengatakan: “Akan datang kepada hati,
suatu saat, yang penuh dengan iman. Sehingga tidak ada bagi nifaq tempat
tusukan jarum penjahit pada hati itu. Dan akan datang kepada hati, suatu saat
yang penuh dengan nifaq. Sehingga tidak ada pada hati itu tempat tusukan jarum
penjahit”.
Sesungguhnya anda telah mengetahui dengan ini,
bahwa takutnya orang-orang arifin itu dari buruknya kesudahan (su-ul khatimah).
Dan sebabnya takut itu adalah hal-hal yang mendahuluinya. Diantaranya:
perbuatan-perbuatan bid’ah (yang diada-adakan). Diantaranya:
perbuatan-perbuatan maksiat. Dan diantaranya: nifaq. Dan kapankah hamba itu
terlepas dari sesuatu dari jumlah yang demikian ? kalau ada orang yang
menyangka, bahwa dia terlepas dari yang demikian, maka itu adalah nifaq. Karena
dikatakan: siapa yang merasa aman dari nifaq, maka dia itu orang munafik.
Sebahagian mereka mengatakan kepada sebahagian orang-orang arifin: “Aku takut
kepada diriku akan nifaq”. Lalu beliau menyambung: “Jikalau aku munafiq,
niscaya aku tidak takut kepada kemunafikan”. Maka senantiasalah orang arifin
(yang berilmu ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala)) diantara menoleh kepada
yang lalu dan yang kesudahan itu, dalam ketakutan. Dan karena itulah, Nabi saw
bersabda: “Hamba yang beriman itu diantara dua ketakutan: antara waktu yang
telah lalu, yang tidak diketahuinya: apa yang diperbuat oleh Allah padanya. Dan
diantara waktu yang masih ada, yang tidak diketahuinya: apa yang dikehendaki
(ditetapkan) oleh Allah padanya. Maka demi Allah, yang jiwaku di TanganNya !
tidaklah sesudah mati itu tempat kepayahan dan tidak adalah kampung sesudah
dunia itu, selain sorga atau neraka”. Pada Allah tempat memohonkan pertolongan
!
PENJELASAN: arti su-ul khatimah.
Kalau anda bertanya: bahwa
kebanyakan mereka itu, takutnya adalah kepada su-ul khatimah, maka apa arti
su-ul khatimah itu ? Ketahuilah, bahwa su-ul khatimah itu ada dua tingkat.
Salah satu daripadanya lebih besar dari yang lain.
Adapun tingkat yang besar, yang mendahsyatkan, bahwa mengerasi atas hati, ketika
sakratul-maut dan lahir kehuru-haraannya, adakalanya oleh keraguan dan
adakalanya oleh keingkaran. Lalu ruh (nyawa) diambil dalam keadaan kerasnya
keingkaran atau keraguan. Maka ikatan keingkaran yang mengerasi atas hati itu,
menjadi dinding (hijab) diantaranya dan Allah Ta’ala untuk selama-lamanya. Dan
yang demikian menghendaki akan kejauhan yang terus-menerus dan siksaan yang
berkekalan.
Yang kedua, yaitu: kurang dari yang pertama
tadi, bahwa mengerasi atas hatinya ketika mati, oleh kecintaan kepada sesuatu
dari hal dunia dan keinginan dari keinginan-keinginan dunia. Maka membentuk
yang demikian itu dalam hatinya dan menenggelamkannya. Sehingga, tidak ada lagi
dalam keadaan itu, tempat yang lapang untuk yang lain. Maka berkebetulan
pengambilan nyawanya dalam keadaan yang demikian. Maka adalah ketenggelaman
hatinya dengan yang demikian itu, membalikkan kepalanya ke dunia. Dan
memalingkan mukanya ke dunia itu. Manakala muka telah berpaling dari Allah Ta’ala,
niscaya terjadilah hijab. Dan manakala telah terjadi hijab, niscaya turunlah
azab. Karena neraka Allah yang menyala-nyala itu, tidak mengambil, selain
orang-orang yang terhijab daripada Allah.
Adapun orang
mu’min yang sejahtera hatinya dari kecintaan kepada dunia, yang terarah
cita-citanya kepada Allah Ta’ala, maka neraka mengatakan kepadanya: “Lalulah,
hai mu’min ! sinarimu telah memadamkan api baraku”. Manakala berkebetulan
pengambilan nyawa dalam keadaan kerasnya kecintaan kepada dunia, maka keadaan
amat berbahaya. Karena
manusia itu mati, menurut apa yang ia hidup. Dan tidak mungkin diusahakan sifat yang
lain bagi hati, sesudah mati, yang berlawanan dengan sifat yang mengerasi atas
dirinya. Karena tidak berlaku pada hati, selain amal perbuatan anggota badan.
Dan anggota badan itu telah batil/salah dengan mati. Maka batil/salahlah segala
amal perbuatan. Maka tak ada harapan pada amal perbuatan lagi. Dan tak ada
harapan untuk kembali ke dunia, untuk memperoleh apa yang hilang. Dan ketika
itu, besarlah penyesalan. Hanya, pokok iman dan kecintaan kepada Allah Ta’ala,
apabila telah melekat pada hati, maka itu masa yang panjang. Dan yang demikian,
bertambah teguh, dengan amal-amal shalih. Maka itu menghapuskan dari hati, akan
keadaan tersebut, yang datang bagi hati ketika mati. Kalau ada kekuatan imannya
kepada batas seberat biji sawi, niscaya iman itu mengeluarkannya dari neraka,
pada waktu yang sangat dekat. Dan kalau kurang dari yang demikian, niscaya
lamalah berhentinya dalam neraka. Dan kalau tak ada imannya, selain seberat
sebutir biji-bijian, maka tak dapat tidak, iman itu akan mengeluarkannya dari
neraka, walaupun sesudah ribuan tahun. Kalau anda mengatakan: “Bahwa apa yang
telah aku sebutkan itu menghendaki, bahwa bersegeralah neraka kepadanya, sesudah
matinya. Maka apa artinya dikemudiankan kepada hari kiamat dan ditangguhkan
sepanjang masa itu ?”.
Ketahuilah
kiranya, bahwa setiap orang yang mengingkari akan azab kubur, maka orang itu
pembuat bid’ah (yang diada-adakan) dan ia terdinding dari nur Allah Ta’ala,
dari nur Alquran dan nur iman. Bahkan yang shalih dari orang-orang yang
mempunyai mata hati, ialah apa yang shahih pada hadits-hadits, yaitu: bahwa
kubur itu, adakalanya suatu lobang dari lobang-lobang neraka atau suatu taman
dari taman-taman sorga. Dan kadang-kadang dibukakan kepada kubur yang
diazabkan, 70 pintu dari neraka jahannam, sebagaimana tersebut pada
hadits-hadits. Maka ketika nyawanya bercerai dari si mati, lalu turun padanya
bala-bencana, kalau ia celaka dengan su-ul khatimah. Hanya bermacam-macam jenis
azab itu, dengan bermacam-macam waktu. Maka adalah pertanyaan malaikat Munkar
dan Nakir ketika diletakkan orang yang mati itu dalam kubur dan penyiksaan
sesudahnya. Kemudian perdebatan pada hitungan amal (hisab amal). Dan tersiarnya
di hadapan orang banyak, yang menyaksikan di hari kiamat. Sesudah itu, bahaya
pada titian shiratul-mustaqim. Yaitu: malaikat-malaikat penjaga neraka
(az-zabaniyah). Sampai kepada penghabisan apa yang tersebut pada hadits-hadits.
Maka senantiasalah orang yang celaka itu bulak-balik dalam semua keadaan nya,
diantara berbagai macam azab siksaan. Dan diazabkan dalam jumlah hal keadaan
itu, selain orang yang dilindungi oleh Allah dengan rahmatNya. Jangan anda
menyangka, bahwa tempat iman itu dimakan oleh tanah. Akan tetapi, tanah memakan
semua anggota badan dan dihancurkannya, sampai datang waktunya. Maka
berkumpullah bahagian-bahagian badan yang telah cerai-berai. Dan dikembalikan
nyawa kepadanya, dimana nyawa itu adalah tempatnya iman. Dan nyawa itu, sejak
dari waktu mati, sampai kepada dikembalikannya, adakalanya: dalam perut burung
hijau, yang tergantung di bawah ‘Arasy, jikalau nyawa itu berbahagia. Dan
adakalanya dalam keadaan yang berlawanan dengan keadaan di atas, jikalau kita
berlindung dengan Allah ada nyawa itu tidak mendapat kebahagiaan. Kalau anda
bertanya: “Apa sebabnya yang membawa kepada su-ul khatimah ? maka ketahuilah,
bahwa sebab-sebab keadaan ini, tidak mungkin dihinggakan dengan uraian. Akan
tetapi, mungkin diisyaratkan kepada kumpulannya. Adapun kesudahan dengan
keraguan dan keingkaran, maka terbatas sebabnya pada dua perkara:
Pertama: tergambar kesudahan itu serta sempurnanya wara’ (menjaga
diri) dan zuhud dan sempurnanya kebaikan pada amal perbuatan, seperti orang
yang mengerjakan bid’ah (yang diada-adakan), yang zuhud. Maka akibatnya
berbahaya sekali. Walaupun amal perbuatannya shalih. Dan tidaklah aku maksudkan
suatu mazhab, lalu aku katakan, bahwa: itu bid’ah (yang diada-adakan). Maka
penjelasan yang demikian itu akan panjang pembicaraan padanya. Akan tetapi, aku
kehendaki dengan bid’ah (yang diada-adakan), ialah: bahwa seseorang beri’tikad
mengenai zat Allah Ta’ala, sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya,
menyalahi kebenaran. Lalu ia beri’tikad menyalahi apa yang sebenarnya.
Adakalanya, dengan pendapatnya, dengan yang dipikirinya dan pandangannya, yang
dengan demikian itu, ia berdebat dengan musuhnya. Kepada yang demikian, ia
berpegang. Dan yang demikian itu, ia tertipu. Adakalanya, ia mengambil dengan
ikut-ikutan (taqlid) dari orang, yang demikian keadaannya. Maka apabila telah
mendekat mati, telah menampak baginya ubun-ubun. Malakul-maut dan bergoncangan
hati, dengan apa padanya, kadang-kadang terbukalah baginya dalam keadaan
sakaratul-maut itu, batalnya apa yang telah dii’tikadkannya, karena kebodohan.
Karena keadaan mati itu, ialah: keadaan terbukanya tutup. Dan permulaan
sakaratnya itu daripadanya. Maka kadang-kadang terbuka sebahagian perkara. Maka
manakala batallah padanya, apa yang telah dii’tikadkannya (diyakininya) dan ia
telah berketetapan hati dan yakin pada dirinya, niscaya ia tidak menyangka,
bahwa ia bersalah pada i’tikad tersebut khususnya. Karena ia terbawa kepada
pendapat yang batil/salah dan akal yang kurang. Bahkan, ia menyangka, bahwa
setiap apa yang dii’tikadkannya itu tidak berasal. Karena tak ada padanya,
perbedaan antara imannya kepada Allah dan RasulNya dan aqidah-aqidahnya yang
lain yang benar, dengan i’tikad yang salah. Maka tersingkapnya sebahagian
aqidahnya dari kebodohan, adalah sebab batalnya aqidah-aqidahnya yang lain.
Atau karena keraguannya pada aqidah-aqidah itu. Kalau kebetulan keluar nyawanya
pada kali ini, sebelum ia tetap dan kembali kepada pokok iman, maka
berkesudahanlah baginya dengan keadaan buruk (su-ul khatimah). Dan keluarlah
nyawanya di atas kemusyrikan. Kita berlindung dengan Allah daripada yang
demikian. Mereka itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Dan ketika
itu, jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu,
memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Dan dengan firmanNya: “Katakan, akan
Kami beritakankah kepadamu, orang-orang yang paling rugi dalam pekerjaannya ?
mereka yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka
mengira, bahwa mereka bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al
Kahfi ayat 103-104. Dan sebagaimana kadang-kadang, terbuka pada sakaratul-maut,
sebahagian keadaan. Karena, kesibukan dunia dan nafsu keinginan badan, itulah
yang mencegah hati daripada memperhatikan kepada alam-malakut (alam tinggi).
Maka ia membaca, apa yang pada Luh Mahfudh, supaya terbuka baginya keadaan yang
sebenarnya. Maka adalah contoh hal keadaan ini, menjadi sebab bagi terbuka (al-kasyaf
(terbuka hijab) ). Dan adalah al-kasyaf (terbuka hijab) itu menjadi sebab keraguan pada
i’tikad-i’tikad lainnya. Setiap orang yang beri’tikad mengenai Allah Ta’ala,
mengenai sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya, akan sesuatu
dibalik yang sebenarnya, maka adakalanya, karena ikut-ikutan (taqlid). Dan
adakalanya, karena memperhatikan kepada pendapat dan pemikiran. Maka dia berada
dalam bahaya ini. Zuhud dan keshalihan itu tidak mencukupi, untuk menolak
bahaya tersebut. Akan tetapi, tiada yang melepaskan daripadanya, selain oleh
i’tikad yang benar. Dan orang-orang dungu dapat tersingkirkan dari bahaya ini.
Ya’ni: mereka yang beriman kepada Allah, RasulNya, dan hari akhirat, dengan
iman yang mujmal (tiada terperinci), yang meresap dalam hatinya. Seperti: orang
Arab dusun, orang-orang hitam dan orang-orang awam lainnya, yang tiada terjun
dalam pembahasan dan pemerhatian. Dan mereka tidak masuk dalam ilmu kalam (ilmu
ketuhanan) secara bebas. Dan mereka tidak bertekun kepada bermacam-macam jenis
orang-orang ahli ilmu kalam (al-Mutakallim), pada mengikuti pembicaraan mereka
itu yang bermacam-macam.
Dan karena
itulah Nabi saw bersabda: “Kebanyakan isi sorga itu orang-orang dungu”. Karena
itulah, dilarang oleh ulama salaf, dari pembahasan, pemerhatian dan penerjunan
dalam ilmu kalam (berkata-kata). Dan pemeriksaan dari urusan-urusan itu. Mereka
menyuruh manusia membatasi diri untuk mengimani, dengan apa yang diturunkan
oleh Allah Azza Wa Jalla semuanya. Dan dengan setiap apa yang datang dari
secara zahiriyah saja. Serta beri’tikad akan tidak keserupaan (dalam bentuk
apapun antara Khaliq (yang maha pencipta) dengan makhluq). Mereka melarang
manusia terjun dalam penafsiran (mencari pengertian yang dapat dipahami
pikiran). Karena bahaya pada membahas sifat-sifat Allah itu amat besar,
halangan-halangannya menyusahkan dan jalan-jalannya menyulitkan. Dan akal manusia
untuk mengetahui keagungan Allah Ta’ala itu pendek. Dan petunjuk Allah Ta’ala
dengan nurul-yaqin dari hati, dengan apa yang menjadi tabiatnya dari kecintaan
kepada dunia itu, terhijab (terdinding).
Dan apa yang disebutkan oleh para pembahas,
dengan modal akal pikiran mereka itu kacau dan bertentangan. Dan hati, untuk
apa yang disampaikan kepada nya pada permulaan kejadian itu merasa jinak. Dan
dengannya itu tersangkut. Dan ta’assub (kefanatikan) yang berkobar diantara
manusia itu merupakan paku-paku yang teguh, bagi kepercayaan-kepercayaan yang
diwarisi. Atau yang diambil dengan baik sangka, dari para guru pada permulaan
keadaannya. Kemudian, tabiat manusia itu tersangkut dengan kecintaan kepada
dunia. Kepada dunia, tabiat itu menghadap. Dan nafsu keinginan dunia itu
mencekek lehernya. Dan berpaling dari kesempurnaan berpikir. Maka apabila pintu
pembicaraan mengenai Allah dan sifat-sifatNya, dengan pendapat dan akal itu
dibuka, serta berlebih-kurangnya manusia tentang kecerdasan, berbedanya mereka pada
tabiat dan lobanya setiap orang bodoh pada mendakwakan kesempurnaan atau
mengetahui akan hakikat/makna kebenaran, niscaya terlepaslah lidah mereka,
dengan apa yang terjadi, bagi setiap orang dari mereka.
Dan menyangkutlah yang demikian dengan hati
orang-orang yang memperhatikan kepada mereka. Dan teguhlah yang demikian,
dengan lamanya kejinakan hati pada mereka. Lalu tersumbatlah secara
keseluruhan, jalan kelepasan kepada mereka. Maka adalah keselamatan makhluk
itu, dengan menyibukkan mereka dengan amal shalih (perbuatan yang baik). Dan
tidak membawa mereka, kepada apa yang di luar dari batas kesanggupan mereka.
Akan tetapi, sekarang telah menurunlah tali kekang dan telah berkembanglah
kesia-siaan. Setiap orang bodoh menempatkan diri yang bersesuaian dengan
pembawaannya, dengan sangkaan dan terkaan. Dia berkeyakinan, bahwa yang
demikian itu ilmu dan yang meyakinkan. Dan itu iman yang murni. Ia menyangka,
bahwa apa yang terjadi pada dirinya, dari terkaan dan uret-uretan itu
ilmul-yaqin dan ‘ainul-yaqin. Dan akan anda ketahui beritanya sesudah seketika.
Dan seyogyalah dinyanyikan mengenai mereka itu, ketika tersingkapnya tutup:
Engkau baikkan sangkaan,
dengan hari-hari, karena ia
berbuat baik.
Dan engkau tidak takut akan
keburukan,
apa yang didatangkan oleh taqdir.
Engkau diselamatkan oleh
malam-malam,
lalu engkau tertipu dengan
demikian.
Dan ketika jernihnya
malam-malam,
datanglah kekeruhan.......
Ketahuilah dengan keyakinan,
bahwa setiap orang yang memperbedakan iman yang penuh sangkaan dengan Allah,
RasulNya dan kitab-kitabNya dan terjun dalam pembahasan, maka sesungguhnya ia
menempuh bahaya ini. Contohnya adalah seperti orang yang pecah kapalnya dan dia
dalam pukulan ombak. Ia dilemparkan oleh ombak ke ombak. Kadang-kadang,
berbetulan ia dilemparkan ke pantai. Dan yang demikian itu jauh dari kejadian.
Dan yang banyak terjadi, dia itu binasa.
Setiap orang
yang turun kepada suatu aqidah/keyakinan, yang diperolehnya dari para pembahas,
dengan modal akan pikiran mereka, adakalanya bersama dalil-dalil, yang diuraikannya
dalam kefanatikan. Atau tanpa dalil-dalil. Maka jikalau dia itu ragu padanya,
niscaya dia itu perusak agama. Dan jikalau ia percaya dengan yang demikian,
maka dia itu merasa aman dari rencana Allah. Tertipu dengan akalnya yang
kurang. Dan setiap orang yang terjun dalam pembahasan, maka ia tidak terlepas
dari dua hal ini. Kecuali, apabila ia melampaui batas-batas yang diterima akal
pikiran, kepada nur diminta untuk mengetahuinya saja, yang menjadi tempat
terbitnya matahari pada alam kewalian dan kenabian. Dan yang demikian itu
adalah belerang merah. Dan dimanakah mudah diperoleh ? dan yang selamat
daripada bahaya ini, ialah: orang dungu dari orang awam. Atau mereka yang
disibukkan oleh takutnya kepada neraka, dengan mentaati Allah. Maka mereka tidak
terjun pada perbuatan yang tidak penting ini.
Maka inilah
salah satu sebab yang membahayakan pada su-ul khatimah. Adapun kedua, yaitu:
kelemahan iman pada pokok. Kemudian, kecintaan kepada dunia, menguasai hati.
Dan manakala lemahlah iman, niscaya lemahlah kecintaan kepada Allah Ta’ala dan
kuatlah kecintaan kepada dunia. Lalu jadilah, tidak ada lagi tempat dalam hati
untuk mencintai Allah Ta’ala. Selain dari segi: kata hati. Dan tak lahir
baginya bekas pada menyalahi hawa nafsu dan berpaling dari jalan setan. Maka
yang demikian itu mewarisi kebinasaan pada mengikuti nafsu syahwat. Sehingga
gelaplah hati, kesat dan hitam. Dan bertindis-lapis kegelapan hawa nafsu ke
atas hati. Maka senantiasalah padam nur iman yang ada padanya, diatas
kelemahannya itu. Sehingga jadilah yang demikian itu tabiat dan karat.
Maka apabila datang sakaratul-maut, niscaya
bertambahlah kecintaan itu. Ya’ni: kecintaan kepada Allah itu bertambah lemah,
karena apa yang tampak dari perasaan berpisah dengan dunia. Dan dunia itu
kecintaan yang mengerasi atas hati. Lalu hati itu merasa pedih dengan perasaan
perpisahan dengan dunia. Dan ia melihat yang demikian dari Allah. Maka
tergeraklah hatinya dengan mengingkari apa yang ditakdirkan kepadanya, dari
kematian. Dan tiada menyukai yang demikian, dari segi, bahwa dia itu dari
Allah. Maka ditakuti akan berkobar dalam batinnya akan kemarahan kepada Allah,
ganti dari kecintaannya. Sebagaimana orang yang mencintai anaknya, dengan
kecintaan yang lemah. Apabila anaknya itu mengambil hartanya, yang lebih
dikasihinya dari anaknya dan dirusakkannya, niscaya berbaliklah kecintaan yang
lemah itu kepada kemarahan. Maka jikalau berbetulan keluar nyawanya pada detik
itu, yang terguris padanya gurisan ini, niscaya berkesudahanlah baginya dengan
keburukan (su-ul khatimah). Dan binasalah ia untuk selama-lamanya. Dan sebab
yang membawa kepada kesudahan yang seperti ini, ialah: kerasnya kecintaan
kepada dunia, kecenderungan kepadanya dan gembira dengan sebab-sebabnya. Serta
kelemahan iman, yang memastikan kelemahan kecintaan kepada Allah Ta’ala. Maka
siapa yang memperoleh dalam hatinya kecintaan kepada Allah, yang lebih keras
dari kecintaan kepada dunia, walaupun ada juga kecintaannya kepada dunia, maka
dia itu lebih jauh dari bahaya tersebut.
Kecintaan kepada
dunia itu, kepala (pokok) setiap kesalahan. Dan itu penyakit yang melumpuhkan.
Dan telah meratai kepada segala jenis manusia. Dan yang demikian itu semuanya,
karena sedikitnya ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) kepada Allah Ta’ala.
Karena tiada yang mencintai akan Allah, selain orang yang mengenaliNya. Dan
karena inilah Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Kalau bapak-bapakmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu,
kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan
tempat tinggal yang kamu sukai, kalau semua itu lebih kamu cintai dari Allah
dan RasulNya dan dari berjuang di jalan Allah, tunggulah sampai Allah
mendatangkan perintahNya”. S 9 At Taubah ayat 24. Jadi, maka setiap orang yang
berpisah nyawanya, pada keadaan detik keingkaran hatinya kepada Allah Ta’ala
dan lahir kemarahan kepada perbuatan Allah dengan hatinya, pada terpisahnya
diantara dia dan isterinya, hartanya dll yang dikasihinya, niscaya adalah
kematiannya itu, merupakan kedatangan kepada yang dimarahi oleh Allah Ta’ala
dan berpisah dengan apa yang dikasihinya. Maka ia datang kepada Allah, sebagai
datangnya hamba yang dimarahi, yang lari dari tuannya, apabila ia datang kepada
tuannya itu, karena terpaksa. Maka tidak tersembunyi lagi, apa yang berhak
diterimanya, dari kehinaan dan hukuman.
Adapun orang
yang mati diatas kecintaan kepada Allah, maka orang itu datang kepada Allah
Ta’ala, sebagai datangnya hamba yang berbuat baik, yang rindu kepada Allah
Ta’ala, sebagai datangnya hamba yang berbuat baik, yang rindu kepada tuannya,
yang menanggung kesulitan-kesulitan perbuatan dan kesukaran-kesukaran
perjalanan, karena mengharap bertemu dengan tuannya. Maka tidaklah tersembunyi,
apa yang dijumpainya dari kesenangan dan kegembiraan, dengan semata-mata
bertemu itu. Lebih-lebih dengan apa yang berhak diterimanya, dari
kelemah-lembutan pemuliaan dan kecemerlangan penikmatan.
Adapun kesudahan
kedua (al-khatimah ats-tsaniyah), yang kurang dari yang pertama itu dan tidak
menghendaki kepada kekekalan dalam neraka, maka ia mempunyai juga dua sebab:
Yang pertama,
banyak perbutan maksiat, walau imannya kuat.
Dan yang satu
lagi (yang kedua), lemahnya iman, walaupun sedikit perbuatan maksiat.
Yang demikian itu, karena
berbuat perbuatan maksiat itu, sebabnya ialah: kerasnya nafsu syahwat dan
melekatnya di hati, disebabkan banyaknya kejinakan hati dan kebiasaan atas yang
demikian. Dan semua yang suka hati manusia kepadanya, dalam umurnya, akan
kembali ingatannya kepada hatinya ketika ia mati. Kalau kecenderungannya itu
lebih banyak kepada perbuatan taat, niscaya adalah kebanyakan yang hadir kepada
hatinya, ingatan taat kepada Allah Ta’ala. Dan kalau kecenderungannya lebih
banyak kepada perbuatan maksiat, niscaya banyaklah ingatan kepada perbuatan
maksiat itu pada hatinya, ketika mati. Maka kadang-kadang diambil nyawanya
ketika kerasnya nafsu keinginan kepada dunia dan kepada perbuatan maksiat. Lalu
terikat hatinya kepada yang demikian. Dan ia menjadi terhijab (terdinding) dari
Allah Ta’ala. Maka orang yang tiada mengerjakan dosa, selain sekelumit, sesudah
sekelumit, niscaya ia lebih jauh dari bahaya itu. Dan orang yang tiada
sekali-kali mengerjakan dosa, maka dia itu jauh sekali dari bahaya itu. Dan
orang yang banyak perbuatan maksiatnya dan lebih banyak dari perbuatan taatnya
dan hatinya lebih senang dengan perbuatan maksiat itu dari perbuatan taat, maka
bahaya itu besar sekali terhadap dirinya.
Akan kami
perkenalkan ini dengan suatu contoh. Yaitu: sesungguhnya tiada tersembunyi
kepada anda, bahwa manusia itu bermimpi sewaktu tidur, sejumlah hal-keadaan
yang diketahuinya sepanjang umurnya. Sehingga dia itu bermimpi, sesuai dengan
yang dilihatnya sewaktu ia jaga. Dan sehingga anak yang mendekati dewasa
(al-muhariq) yang bermimpi dengan keluar maninya (al-ihtilam), niscaya tidak
akan memimpikan bentuk bersetubuh, apabila ia belum pernah bersetubuh dalam
jaganya. Dan kalau tetap ia dalam beberapa waktu, seperti yang demikian,
niscaya ia tiada akan melihat dalam mimpinya akan bentuk bersetubuh. Kemudian,
tiada tersembunyi lagi, bahwa orang yang menghabiskan umurnya mempelajari ilmu
fikih, niscaya akan bermimpi hal ihwal yang menyangkut dengan ilmu dan ulama,
lebih banyak daripada yang dimimpikan oleh seseorang saudagar, yang
menghabiskan umurnya dalam perniagaan. Dan seorang saudagar yang bermimpi
tentang hal-ihwal yang menyangkut dengan perniagaan dan sebab-sebabnya itu
lebih banyak dari yang dimimpikan oleh seorang dokter dan seorang ahli fikih
(al-faqih). Karena, timbul dalam keadaan tidur itu, apa yang telah
dihasilkannya, bersesuaian dengan hati, dengan lamanya kejinakan hati atau
dengan salah satu sebab-sebab lain.
Mati itu menyerupai tidur. Akan tetapi, diatas
dari tidur. Akan tetapi, sakratul-maut dan yang mendahuluinya dari kepingsanan
itu mendekati tidur. Maka yang demikian itu, menghendaki teringatnya yang
dibiasakan oleh hati. Dan kembalinya kepada hati. Dan salah satu sebab yang
menguatkan berhasilnya ingatan itu dalam hati, ialah: lamanya kejinakan hati
dahulu kepadanya. Maka lamanya kejinakan hati dengan perbuatan-perbuatan
maksiat dan perbuatan-perbuatan taat juga, menguatkan yang demikian. Dan yang
demikian itu berlainan pula antara tidurnya orang-orang shalih dan orang-orang
fasik. Maka adalah kerasnya kejinakan hati itu menjadi sebab untuk tergambarnya
bentuk yang keji dalam hatinya. Dan cenderung jiwanya kepadanya. Lalu
kadang-kadang nyawanya diambil diatas yang demikian. Maka adalah yang demikian
itu menjadi sebab buruk kesudahannya (su-ul khatimah). Walaupun pokok iman
masih ada, menurut yang diharapkan keikhlasannya pada yang demikian.
Sebagaimana apa
yang terguris di hatinya waktu jaga, sesungguhnya itu terguris dengan sebab
khas (yang khusus), yang diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka seperti demikian
juga, bagi masing-masing tidur itu mempunyai sebab-sebab pada sisi Allah
Ta’ala. Sebahagiannya kita ketahui dan sebahagiannya tidak kita ketahui.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang terguris di hati itu berpindah dari
sesuatu, kepada yang bersesuaian dengan dia. Adakalanya, disebabkan keserupaan.
Adakalanya, disebab keberlawanan. Dan adakalanya, disebabkan keberbandingan.
Dengan adanya telah datang kepada pancaindra dari yang demikian. Adapun
disebabkan keserupaan, maka dengan sebab memadang kepada suatu yang cantik,
lalu teringat kepada yang cantik, yang lain. Adapun disebabkan keberlawanan,
maka dengan melihat kepada yang cantik, lalu teringat kepada yang buruk. Dan
memperhatikan tentang sangat berlebih-kurangnya diantara keduanya itu. Adapun
disebabkan keberbandingan, maka dengan melihat kepada seekor kuda yang telah
dilihatnya sebelumnya, serta seorang insan. Maka ia teringat akan insan itu.
Kadang-kadang yang terguris di hati itu berpindah dari sesuatu kepada sesuatu
yang lain. Dan ia tidak tahu segi kesesuaiannya. Dan adalah yang demikian itu,
dengan suatu perantaraan dan dua perantaraan. Seperti ia berpindah dari sesuatu
yang pertama, kepada sesuatu yang kedua. Dan daripadanya kepada sesuatu yang
ketiga. Kemudian, ia lupa kepada yang kedua. Dan tak ada kesesuaian antara yang
ketiga dan yang pertama. Akan tetapi, ada kesesuaian antara yang ketiga dan
yang kedua. Dan antara yang kedua dan yang pertama. Maka seperti demikian juga,
bagi perpindahan gurisan-gurisan hati dalam tidur itu mempunyai sebab-sebab,
dari jenis ini. Dan seperti yang demikian juga, ketika sakaratul-maut.
Maka diatas dasar
ini dan ilmu itu pada Allah bahwa orang, yang pekerjaan menjahit adalah
terbanyak kesibukannya, maka anda akan melihat, bahwa orang itu menunjukkan
kepada kepalanya, seakan-akan ia mengambil jarum pejahit, untuk dia menjahit
dengan jarum penjahit itu. Dan ia membasahkan anak jarinya, yang menjadi
kebiasaan baginya, dengan sarung jari. Ia mengambil kain sarung dari atasnya.
Diukur dan dijengkalinya. Seakan-akan ia akan berbuat menceraikan kain sarung
itu. Kemudian, ia memanjangkan tangannya kepada gunting.
Siapa yang
menghendaki untuk mencegah gurisan hatinya kepada berpindah pada perbuatan
maksiat dan nafsu syahwat, maka tiada jalan baginya, selain bermujahadah
(bersungguh‑sungguh) sepanjang umur, untuk memisahkan dirinya dari yang
demikian. Dan pada mencegah nafsu syahwatnya dari hati. Maka ini adalah kadar
yang masuk di bawah ikhtiar (usaha). Dan selalu rajin kepada kebajikan dan
melepaskan diri dari kejahatan adalah alat dan simpanan untuk ketika
sakaratul-maut. Sesungguhnya manusia itu akan mati, diatas apa yang ia hidup.
Dan akan dibangkitkan di atas apa yang ia mati.
Karena itulah,
dinukilkan dari keadaan seorang tukang juang buah-buahan, bahwa ia diajarkan
(ditalqinkan) ketika akan mati, dua kalimah syahadah. Lalu tukang jual
buah-buahan itu menjawab: 5,6,4. Adalah jiwanya sibuk dengan hitungan yang
selalu dikerjakannya sebelum mati. Sebahagian kaum berilmu ma’rifah
(orang-orang ‘arifin) dari ulama-ulama terdahulu, mengatakan: “Arasy itu suatu
permata yang nurnya gilang-gemilang. Maka tiadalah hamba itu di atas suatu
keadaan, melainkan tercaplah sepertinya pada ‘Arasy, di atas bentuk yang ada
padanya. Maka apabila hamba itu pada sakaratul-maut, niscaya terbukalah
bentuknya dari ‘Arasy. Kadang-kadang ia melihat dirinya diatas bentuk maksiat.
Dan seperti itu juga, terbuka baginya pada hari kiamat. Lalu ia melihat keadaan
dirinya. Maka ia mengambil dari malu dan takut, akan sifat yang mulia. Dan apa
yang disebutkan oleh orang arifin tadi itu benar ! dan sebabnya mimpi yang
benar itu mendekati yang demikian. Sesungguhnya orang yang tidur itu mengetahui
apa yang akan ada, pada masa mendatang, dari membaca Luh-Mahfudh. Dan itu
adalah sebahagian dari nubuwwah (kenabian).
Jadi, su-ul
khatimah itu kembali kepada hal-keadaan hati dan masuknya gurisan-gurisan hati.
Dan yang membalik-balikkan hati, ialah: Allah. Dan kebetulan-kebetulan yang
menghendaki kepada buruknya gurisan-gurisan hati itu tidak masuk di bawah
usaha, secara keseluruhan. Walaupun ada pembekasan karena lamanya kejinakan
hati padanya. Maka dengan ini, sangatlah takutnya orang-orang arifin kepada
su-ul khatimah. Karena jikalau manusia mengingini, bahwa tidak melihat dalam
mimpinya, selain hal-ihwal orang-orang shalih dan hal-ihwal taat dan ibadah,
niscaya sukarlah yang demikian kepadanya. Walaupun banyaknya keshalihan dan
rajin pada keshalihan itu, termasuk yang membekas padanya. Akan tetapi,
kegoncangan-kegoncangan khayalan itu, secara keseluruhan, tidak masuk di bawah
kendalian. Walaupun biasanya ada kesesuaian, apa yang tampak dalam tidur itu, dengan
apa yang biasanya dalam jaga. Sehingga aku mendengar Syaikh Abu Ali
Al-Farimadzi ra menyifatkan (menerangkan) kepadaku, wajibnya kebagusan adab
seorang murid bagi gurunya (syaikhnya). Dan bahwa tidak ada dalam hatinya,
penentangan bagi setiap apa yang dikatakan oleh syaikhnya. Dan tidak ada pada
lidahnya pertengkaran dengan gurunya. Syaikh Abu Ali berkata: “Aku ceritakan
kepada guruku Abil-Qasim Al-Kirmani akan mimpiku. Aku mengatakan: “Aku
bermimpi, bahwa tuan guru mengatakan kepadaku demikian...... Lalu aku bertanya,
mengapa yang demikian itu ?”. Syaikh Abu Ali meneruskan ceritanya: “Lalu guruku
Abil-Qasim Al-Kirmani membekot aku sebulan. Beliau tidak berbicara dengan aku.
Dan mengatakan: “Jikalau tidaklah dalam batin engkau, pembolehan penuntutan dan
penentangan terhadap apa yang aku katakan kepada engkau, niscaya tidaklah
berlaku yang demikian atas lidah engkau dalam tidur”. Dan benarlah apa yang
dikatakan oleh Syaikh Abil-Qasim Al-Kirmani itu. Karena sedikitlah dimimpikan
oleh manusia dalam tidurnya, akan kebalikan dari apa yang biasa waktu jaga pada
hatinya. Inilah kadar yang kami perbolehkan menyebutkannya pada ilmu Mu’amalah
(perniagaan), dari rahasia-rahasia persoalan al-khatimah/kesudahan. Dan dibalik
yang demikian itu masuk dalam Ilmu Muksyafah.
Dan telah terang bagi anda dengan ini, bahwa
merasa aman dari su-ul khatimah, ialah: dengan anda melihat segala sesuatu itu,
menurut yang sebenarnya, tanpa kebodohan. Dan anda halau semua umur dalam
ketaatan kepada Allah, tanpa ada kemaksiatan. Maka jikalau anda tahu, bahwa
yang demikian itu mustahil atau sukar, niscaya tidak boleh tidak, bahwa
keraslah di atas anda ketakutan, akan apa yang telah keras atas orang-orang
arifin. Sehingga dengan sebabnya itu, lamalah tangisan anda dan pekikan anda.
Dan terus-meneruslah dengan yang demikian itu, kegundahan anda dan kekacauan
pikiran anda. Sebagaimana akan kami ceritakan dari hal-ihwal nabi-nabi dan
orang-orang salaf yang shalih. Supaya adalah yang demikian itu salah satu sebab
yang mengobarkan api ketakutan dari hati anda. Sesungguhnya anda mengetahui
dengan ini, bahwa amal perbuatan selama umur seluruhnya itu lenyap, jikalau
tidak selamat pada nafas yang akhir, pada waktu keluarnya nyawa. Dan selamatnya
itu serta bergoncangnya gelombang kegurisan-gurisan di hati itu sukar sekali.
Dan karena itulah, Mathraf bin Abdullah mengatakan: “Sesungguhnya aku tidak
heran akan orang yang binasa, bagaimana ia binasa. Akan tetapi, aku heran akan
orang yang terlepas dari kebinasaan, bagaimana maka ia terlepas”.
Dan karena itulah,
Hamid Al-Laffaf berkata: “Apabila naiklah para malaikat dengan membawa ruh
hamba yang mu’min, yang sudah mati di atas kebajikan dan agama Islam, niscaya
heranlah para malaikat dari yang demikian. Dan mereka mengatakan: “Bagaimana
terlepasnya si Ini dari dunia, yang telah rusak padanya orang-orang pilihan
kita ?”.
Ats-Tsuri pada
suatu hari menangis. Lalu ditanyakan kepadanya: “Atas dasar apa anda menangis
?”. Beliau menjawab: “Kami menangis di atas dosa-dosa pada suatu ketika. Maka
sekarang, kami menangis di atas Islam”.
Kesimpulannya,
bahwa orang yang jatuh kapalnya dalam lautan yang dalam dan diserang oleh angin
ribut dan dipukul oleh ombak, niscaya kelepasan pada orang ini, adalah lebih
jauh, dibandingkan dengan kebinasaan. Dan hati orang mu’min itu, lebih berat
pukulannya, dibandingkan dengan kapal. Dan ombak kegurisan-kegurisan di hati
itu, lebih besar tamparannya, dari ombak lautan. Dan sesungguhnya yang
menakutkan ketika mati itu, ialah kekuatiran su-ul khatimah saja. Dan itulah
yang disabdakan Nabi saw: “Sesungguhnya orang yang beramal dengan amalan
penduduk sorga selama 50 tahun. Sehingga tidak ada lagi, diantaranya dan sorga,
selain masa perhentian diantara dua kali memerah susu unta. Maka berkesudahan
bagi orang itu, dengan apa yang telah terdahulu baginya suratan amal”. Masa
diantara dua kali memerah susu unta itu, tidak termuat untuk amalan yang
mengharuskan ketidak-beruntungan. Akan tetapi, itu adalah gurisan-gurisan hati
yang kacau-balau. Dan terguris sebagai gurisan kilat yang menyambar.
Sahl berkata:
“Aku bermimpi, seakan-akan aku dimasukkan ke dalam sorga. Lalu aku melihat 300
orang nabi. Maka aku bertanya kepada mereka: “Apakah yang lebih kamu takuti,
dari apa-apa yang kamu takuti di dunia ?”. Para nabi itu menjawab: “Su-ul khatimah !”. Oleh karena bahaya yang besar ini, maka mati syahid itu
digemari orang. Dan mati secara tiba-tiba itu tidak disukai. Adapun mati secara
tiba-tiba, maka karena mati itu kadang-kadang berkebetulan ketika kerasnya
gurisan jahat dan menguasainya pada hati. Dan hati itu terlepas dari hal-hal
yang seperti itu, kecuali ditolak dengan kebencian atau dengan nur ma’rifah
(ilmu mengenal Allah Ta’ala). Adapun mati syahid, maka karena mati syahid itu
adalah ibarat dari pengambilan nyawa, dalam keadaan yang tak ada lagi dalam
hati, selain kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dan telah keluar dari hati
kecintaan kepada dunia, isteri, harta, anak dan semua nafsu syahwat. Karena ia
tidak menyerbu ke barisan perang, yang menempatkan dirinya pada kematian,
selain karena cinta kepada Allah, mencari keridhaanNya, menjual dunianya dengan
akhiratnya dan ridha dengan penjualan, yang diperjual-belikan oleh Allah Ta’ala
dengan dia. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli
diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk mereka”.
S 9 At Taubah ayat 111. Penjual itu –sudah pasti –tidak ingin lagi kepada
barang yang dijualnya. Telah keluar kecintaannya dari hatinya. Dan semata-mata
kecintaan itu sekarang tertuju dalam hatinya kepada harga yang dimaksud.
Keadaan yang seperti ini, kadang-kadang mengerasi pada hati dalam sebahagian
hal-ihwal yang lain. Akan tetapi, tiada berbetulan keluar nyawanya pada hal
keadaan itu. Maka barisan perang itu sebab bagi keluarnya nyawa, di atas hal
keadaan yang tersebut. Ini adalah terhadap orang yang tiada bermaksud untuk
menang, harta rampasan dan bagus suara orang tentang keberaniannya. Maka orang
yang ini keadaannya, jikalau ia terbunuh dalam peperangan, niscaya dia itu jauh
dari derajat yang seperti ini, sebagaimana telah dibuktikan oleh hadits-hadits.
Ketika telah
terang bagi anda, makna su-ul khatimah dan apa yang menakutkan padanya, maka
berbuatlah dengan menyiapkan diri untuknya. Maka rajinlah berdzikir
(mengingati) akan Allah Ta’ala ! keluarkanlah dari hati anda, akan kecintaan
kepada dunia ! jagalah anggota tubuh anda dari perbuatan maksiat dan hati anda
daripada berpikir padanya ! dan peliharalah kesungguhan anda daripada
menyaksikan perbuatan-perbuatan maksiat dan menyaksikan orang-orangnya!
sesungguhnya yang demikian itu juga membekas pada hati anda. Dan memalingkan
kepadanya pikiran anda dan gurisan-gurisan hati anda. Awaslah bahwa anda
menyerahkan hal itu kepada masa nanti dan mengatakan: “Aku akan menyiapkan
untuk itu, apabila telah datang al-khatimah (kesudahan)”.
Sesungguhnya
setiap nafas engkau itu kesudahan engkau. Karena mungkin padanya akan disambar
nyawa engkau. Maka intiplah akan hati engkau pada setiap detik ! awaslah bahwa
engkau melengahkannya, akan sedetikpun ! mungkin detik itu kesudahan engkau.
Karena mungkin akan disambar nyawa engkau padanya. Ini adalah selama engkau
dalam jaga. Adapun apabila engkau tidur, maka awaslah bahwa engkau tidur itu,
selain di atas kesucian zahir dan batin. Dan jagalah, bahwa tidur itu mengerasi
akan engkau, selain sesudah banyaklah dzikir kepada Allah pada hati engkau. Aku
tidak mengatakan pada lidah engkau. Sesungguhnya gerakan lidah semata-mata itu
lemah kesannya (membekasnya). Dan ketahuilah dengan yakin, bahwa tiada yang
mengerasi atas hati engkau ketika tidur, selain apa yang biasanya ada sebelum
tidur. Sesungguhnya, tiada yang mengerasi pada tidur, selain apa yang biasanya
telah mengerasi sebelum tidur. Dan tidak membangkit dari tidur engkau, selain
apa yang mengerasi atas hati engkau pada tidur engkau.
Kematian dan
kebangkitan itu menyerupai tidur dan jaga. Maka sebagaimana hamba itu tidak
tidur, selain di atas apa yang telah mengerasinya pada jaganya dan ia tidak
jaga (bangun dari tidur), selain di atas apa, ia berada dalam tidurnya, maka
seperti demikianlah, manusia itu tidak akan mati, selain di atas apa yang ia
hidup padanya. Dan ia tidak akan dibangkitkan, selain di atas apa yang ia mati
padanya. Yakinilah dengan tegas yakin, bahwa kematian dan kebangkitan itu dua
keadaan dari hal-hal keadaan engkau. Sebagaimana tidur dan jaga itu dua keadaan
dari hal-hal keadaan engkau. Dan percayalah dengan ini, dengan pembenaran
dengan i’tikad hati, jikalau engkau tidak ahli untuk menyaksikan yang demikian,
dengan ‘ainul-yaqin dan nur penglihatan hati !. Intiplah nafas engkau dan
detik-detik engkau ! dan jagalah diri engkau, daripada melupakan kepada Allah
sekejap matapun ! maka sesungguhnya, apabila engkau berbuat setiap yang
demikian itu, niscaya engkau berada dalam bahaya besar. Maka bagaimana apabila
engkau tidak berbuat ? manusia itu semua dalam kebinasaan, selain orang-orang
yang berilmu. Dan orang-orang yang berilmu itu semua dalam kebinasaan, selain
orang-orang yang beramal. Dan orang-orang yang beramal itu semua dalam
kebinasaan, selain orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu
dalam bahaya besar.
Ketahulah, bahwa
yang demikian itu tidak mudah atas engkau, selama engkau tidak merasa cukup
dari dunia, sekadar yang penting bagi engkau. Dan yang penting bagi engkau itu,
ialah: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dan yang lain dari itu semua adalah
hal kelebihan (tidak perlu). Dan yang penting dari makanan, ialah: yang dapat
menegakkan tulang pinggang engkau dan menyumbat nyawa engkau dari keluar. Maka
seyogyalah bahwa pengambilan engkau itu, sebagai pengamblan orang yang sangat
memerlukan, yang tidak begitu suka kepadanya. Dan tidak ada keinginan engkau
kepadanya, lebih banyak dari keinginan engkau pada membuang air besar engkau
(berqodo hajat). Karena, tiada berbeda, antara memasukkan makanan dalam perut
dan mengeluarkannya dari perut. Keduanya itu penting pada tabiat kejadian
manusia. Dan sebagaimana tidaklah membuang air besar itu termasuk cita-cita
engkau yang menyibukkan hati engkau, maka tiada seyogyalah bahwa mengambil
makanan itu termasuk dari cita-cita engkau. Dan ketahuilah, bahwa jikalau
adalah cita-cita engkau itu apa yang masuk ke dalam perut engkau, maka nilai
engkau itu apa yang keluar dari perut engkau. Apabila tidak ada maksud engkau
dari makanan, selain taqwa kepada ibadah kepada Allah Ta’ala, seperti maksud
engkau dari membuang air besar engkau, maka tanda yang demikian itu tampak pada
tiga hal dari makanan engkau, yaitu: pada waktunya, kadarnya dan jenisnya.
Adapun waktu, maka sekurang-kurangnya bahwa dicukupkan pada sehari semalam, dengan
satu kali. Maka dibiasakan berpuasa. Adapun kadarnya, maka bahwa tidak lebih
dari 1/3 perut. Adapun jenisnya, maka tidak dicari makanan yang enak. Akan
tetapi, dicukupkan dengan apa yang kebetulan ada. Jikalau engkau sanggup di
atas tiga keadaan ini dan gugur dari engkau perbelanjaan nafsu keinginan yang
enak-enak, niscaya sangguplah engkau sesudah itu, pada meninggalkan harta yang
diragukan halalnya (harta syubhat). Dan memungkinkan engkau, bahwa engkau tidak
makan, selain dari halal. Sesungguhnya yang halal itu sukar dan tidak
menyempurnakan semua keinginan nafsu.
Adapun pakaian
engkau, maka adalah maksud engkau dari padanya, ialah: menolak panas dan dingin
dan menutupi aurat. Maka setiap apa yang menolak kedinginan dari kepala engkau,
walaupun dengan peci, yang harganya 1/6 dirham, maka engkau mencari yang lain
dari itu, merupakan hal yang berkelebihan dari engkau, yang menyia-nyiakan masa
engkau. Dan mengharuskan engkau bekerja terus-terusan dan kepayahan pada
menghasilkannya. Sekali dengan usaha dan pada kali yang lain dengan harap, dari
yang haram dan harta syubhat (diragukan). Kiaskanlah dengan ini, akan apa yang
dapat engkau tolakkan panas dan dingin dari badan engkau ! maka setiap apa yang
dapat menghasilkan maksud pakaian, apabila engkau tidak merasa cukup dengan
yang demikian, lantaran buruk mutu dan jenisnya, niscaya tidak adalah bagi
engkau tempat berdiri dan kembali sesudahnya. Akan tetapi, adalah engkau itu
termasuk orang yang perutnya dipenuhi oleh tanah.
Seperti demikian
pula tempat tinggal. Jikalau engkau merasa cukup dengan maksud dari tempat
tinggal itu, niscaya mencukupilah bagi engkau langit itu menjadi atap. Dan bumi
itu tempat ketetapan. Jikalau engkau dikerasi oleh panas atau dingin, maka
haruslah engkau tinggal di masjid. Jikalau engkau mencari tempat yang khusus,
niscaya panjanglah waktu atas engkau. Dan teralihlah kepadanya kebanyakan umur
engkau. Dan umur engkau itu adalah harta kekayaan engkau. Kemudian, jikalau
mudahlah bagi engkau, lalu engkau maksudkan dari dinding itu, selain dari untuk
mendindingi diantara engkau dan mata orang. Dan dari atap, selain dari untuk
menolak hujan. Lalu engkau meninggikan dinding dan menghiaskan atap-atap. Maka
engkau terjatuh dalam jurang, yang menjauhkan kemungkinan engkau dapat mendaki daripadanya.
Begitulah semua kepentingan urusan engkau,
jikalau engkau singkatkan seperlunya saja, niscaya engkau dapat mengisikan
semua waktu untuk Allah. Dan engkau sanggup menyediakan perbekalan bagi akhirat
engkau dan bersiap untuk kesudahan engkau. Dan jikalau engkau lampaui batas
yang penting, kepada lembah angan-angan, niscaya kenyanglah angan-angan engkau.
Dan Allah tidak memperdulikan pada lembah yang mana, yang membinasakan engkau.
Maka terimalah nasehat ini, dari orang yang sangat memerlukan nasehat dari engkau
!
Ketahuilah, bahwa lapangan mengatur, mencari
perbekalan dan menjaga diri, adalah umur yang singkat ini. Kalau engkau dorong
umur ini dari hari ke hari, tentang menyerahkan kepada masa depan atau engkau
lengah, niscaya engkau disambar dengan tiba-tiba pada bukan waktu kehendak
engkau. Dan tidak berpisah dari engkau, kerugian dan penyesalan engkau. Jikalau
engkau tidak sanggup bergantung kepada apa, yang telah aku berikan petunjuk,
disebabkan lemahnya takut engkau, karena tidak ada pada urusan kesudahan
(al-khatimah) yang telah aku terangkan itu, mencukupi pada menakutkan engkau,
maka akan kami bentangkan kepada engkau hal-ihwal orang-orang yang takut, yang
kami harap, dapat menghilangkan sebahagian kekesatan hati engkau.
Maka
sesungguhnya engkau yakini, bahwa akal pikiran nabi-nabi, wali-wali,
ulama-ulama, amal mereka dan kedudukan mereka, pada sisi Allah Ta’ala itu,
tidaklah kurang dari akal pikiran engkau, amal engkau dan kedudukan engkau.
Maka perhatikanlah, serta kaburnya mata penglihatan engkau dan rusaknya mata
hati engkau, tentang hal keadaan mereka ! mengapa bersangatan kepada mereka itu
ketakutan? dan berkepanjangan pada mereka itu kegundahan dan tangisan ?
sehingga ada sebahagian mereka itu mati pingsan. Sebahagian mereka itu merasa
dahsyat. Sebahagian jatuh dalam keadaan tidak menyadarkan diri. Dan
sebahagiannya jatuh tersungkur ke bumi dan meninggal. Dan tidak ragu lagi,
jikalau ada yang demikian itu tidak membekas pada hati engkau. Sesungguhnya
hati orang-orang yang lalai itu seperti batu atau lebih kesat lagi. Dan
sebahagian dari batu itu sesungguhnya tatkala memancar daripadanya
sungai-sungai. Dan sebahagian daripadanya tatkala pecah retak, lalu keluar
daripadanya air. Dan sebahagian daripadanya, tatkala ia turun dari ketakutan
kepada Allah. Dan tidaklah Allah itu lalai dari apa yang kamu kerjakan.
PENJELASAN: hal-ihwal nabi-nabi dan
malaikat-malaikat as tentang takut.
Diriwayatkan ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah saw apabila terjadi perobahan udara dan berhembus angin keras, maka
wajah beliau berobah. Beliau bangun dan bolak-balik dalam kamar. Beliau masuk
dan keluar. Semua itu adalah karena takut kepada azab Allah. Nabi saw membaca
suatu ayat dari surat Al-Waqi’ah. Lalu beliau jatuh pingsan. Dan Allah Ta’ala
berfirman: “Dan Musa jatuh pingsan”. S 7 Al A’raaf ayat 143. Rasulullah saw
melihat bentuk malaikat Jibril dengan meniarap. Lalu beliau jatuh pingsan.
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw apabila beliau masuk pada shalat, maka terdengar
guruh bagi dadanya, seperti bunyi guruhnya periuk tembaga. Nabi saw bersabda:
“Tiada sekalipun Jibril itu datang kepadaku, selain dia itu gemuruh bunyinya,
karena takut kepada Yang Maha Perkasa”. Ada yang mengatakan, bahwa tatkala
telah tampak atas Iblis, apa yang telah tampak, maka Jibril dan Mikail
senantiasa menangis. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada keduanya: “Apakah
kiranya kamu berdua menangis setiap tangisan ini ?”. Keduanya menjawab: “Hai
Tuhan ! kami tidak merasa aman dari rencana Engkau”. Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Begitulah kiranya kamu berdua ! kamu tidak merasa aman dari
rencanaKu”.
Dari Muhammad
bin Al-Munkadir yang mengatakan: “Tatkala diciptakan neraka, maka jantung para
malaikat itu terbang dari tempatnya. Maka tatkala diciptakan anak-anak Adam,
lalu jantung itu kembali”. Dari Anas ra, bahwa Nabi saw bertanya kepada Jibril:
“Mengapakah aku tidak melihat Mikail itu ketawa?” Maka Jibril menjawab: “Mikail
itu tidak ketawa, semenjak diciptakan neraka”.
Dikatakan, bahwa
Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat, yang tiada seorangpun dari mereka itu
ketawa semenjak diciptakan neraka. Karena takut, bahwa Allah marah kepada
mereka. Lalu Ia mengazabkan mereka dengan neraka itu. Ibnu Umar ra berkata:
“Aku keluar bersama Rasulullah saw. Sehingga beliau masuk ke sebahagian kebun
orang-orang anshar. Lalu beliau memetik buah kurmanya dan beliau makan. Maka
beliau bersabda: “Hai Ibnu Umar ! mengapa engkau tidak makan ?”. Aku lalu
menjawab: “Aku tiada keinginan untuk memakannya”. Maka Nabi saw bersabda:
“Tetapi aku ingin memakannya. Dan ini pagi ke-4, yang aku tidak merasakan
makanan dan tidak memperolehnya. Jikalau aku meminta pada Tuhanku, niscaya
diberikanNya kepadaku, akan kerajaan kaisar (Rumawi) dan kisra (Parsia). Maka
bagaimana dengan engkau, hai Ibnu Umar, apabila engkau berada di suatu kaum
(golongan), yang menyembunyikan rezeki tahunan mereka dan lemah keyakinan pada
hati mereka ?”. Ibnu Umar ra meneruskan riwayatnya: “Demi Allah ! senantiasalah
kami di tempat kami itu. Dan tidak bangun berjalan, sehingga turunlah ayat:
“Dan berapa banyaknya binatang yang tiada membawa rezekinya sendiri. Allah yang
memberinya makan dan (memberi makan) kamu. Dan dia Maha mendengar dan Maha
Tahu”. S 29 Al Ankabuut ayat 60. Ibnu Umar meneruskan riwayatnya: “Maka
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kamu menyimpan
harta dan tidak menuruti nafsu syahwat. Barangsiapa menyimpan dinar (uang
emas), yang ia maksudkan untuk hidup yang fana, maka sesungguhnya hidup itu di
Tangan (kekuasaan) Allah. Ketahuilah, bahwa aku tidak menyimpan satu dinar dan
satu dirhampun dan aku tidak menyembunyikannya untuk rezeki besok”.
Abud-Darda berkata: “Adalah terdengar suara
guruh jantung Ibrahim Khalilur-rahman as, apabila ia bangun pada shalat, dari
jarak perjalanan 1 mil, karena takut kepada Tuhannya”. Mujahid berkata: “Nabi
Daud as menangis 40 hari dalam bersujud, yang tiada mengangkat kepalanya,
sampai tumbuh rumput dari air matanya. Dan sampai ia menutupkan kepalanya. Lalu
ia dipanggil: “Hai Daud ! adakah engkau lapar, maka engkau diberi makan ? atau
engkau haus, maka engkau diberi minum? Atau engkau tiada pakaian
(bertelanjang), maka engkau diberi pakaian ?”. Lalu nabi Daud as itu memekik
dengan pekikan yang mengeringkan kayu. Maka kayu itu terbakar dari kepanasan
takutnya. Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan taubat kepadanya dan ampunan. Maka
ia berdoa: “Wahai Tuhan ! jadikanlah kesalahanku dalam tapak tanganku !”. Maka
jadilah kesalahannya itu tertulis pada tapak tangannya. Maka ia tidak membuka
tapak tangannya untuk makan, minum dan lainnya, melainkan ia melihat
kesalahannya yang tertulis itu. Lalu membawa ia menangis. Mujahid meneruskan
riwayatnya: “Dan dibawa kepada Daud as gelas yang berisi 2/3 nya. Maka apabila
ia memegangnya, lalu ia melihat kesalahannya. Maka tidaklah diletakkannya gelas
itu pada bibirnya, sampai penuh gelas itu dengan air matanya”. Diriwayatkan
dari nabi Daud as bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya ke langit, sampai ia
wafat. Karena malu kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia mengucapkan dalam
munajahnya: “Wahai Tuhanku ! apabila aku ingat akan kesalahanku, niscaya
sempitlah kepadaku bumi, serta lapangnya. Dan apabila aku ingat akan rahmatMu,
niscaya kembalilah kepadaku nyawaku. Maha Suci Engkau wahai Tuhanku ! Engkau
datangkan tabib-tabib hamba Engkau, untuk mengobati kesalahanku. Maka semua
mereka menunjukkan aku kepada Engkau. Maka siallah orang-orang yang berputus
asa dari rahmat Engkau !
Al-Fudlail
berkata: “Bahwa sampai kepadaku pada suatu hari, nabi Daud as mengingati
dosanya. Maka ia melompat dengan memekik dan meletakkan tangannya ke atas
kepalanya. Sehingga ia sampai di bukit-bukit. Lalu berkumpul binatang buas
kepadanya. Maka Nabi Daud as berkata: “Pulanglah, aku tiada berkehendak
kepadamu ! sesungguhnya yang aku kehendaki, ialah setiap orang yang menangis
diatas kesalahannya. Maka ia tiada menghadap aku, selain dengan tangisan. Dan
siapa yang tiada mempunyai kesalahan, maka tidak diperbuatnya akan kesalahan
dengan Daud”.
Adalah Nabi Daud
as mencela tentang banyaknya tangisan. Beliau berkata: “Tinggalkanlah aku
menangis, sebelum keluar hari tangisan, sebelum pengrobekan tulang-belulang dan
nyala terbakarnya perut. Dan sebelum disuruhkan kepadaku, para malaikat, yang
bersikap kasar dan keras. Mereka itu tiada mendurhakai Allah, terhadap apa yang
disuruhNya. Dan mereka berbuat akan apa yang disuruhkan”.
Abdul-aziz bin
Umar berkata: “Tatkala Daud memperoleh kesalahan, maka kuranglah merdu
suaranya. Lalu ia berdoa: “Wahai Tuhanku ! bolehkanlah suaraku dalam kebersihan
suara orang-orang shiddiq !”. Diriwayatkan, bahwa nabi Daud as tatkala telah
lama tangisannya dan tidak bermanfaat yang demikian, lalu sempitlah baju
besinya dan bersangatanlah gundah hatinya. Maka beliau berdoa: “Wahai Tuhan !
apakah tidak Engkau mengasihani akan tangisanku ?”. Maka Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud ! engkau lupa akan dosa engkau dan engkau
ingat akan tangisan engkau”. Nabi Daud as berdoa: “Wahai Tuhanku dan Penghuluku
! bagaimana aku lupa akan dosaku dan aku apabila membaca kitab Zabur, niscaya
ia mencegah air yang mengalir dari mengalirnya. Menenangkan hembusan angin. Dan
burung menaungi aku atas kepalaku. Dan aku menjinakkan binatang-binatang liar
ke tempat shalatku (mihrabku). Wahai Tuhanku dan Penghuluku ! maka apakah
keliaran ini yang ada diantaraku dan Engkau ?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada nabi Daud: “Hai Daud ! itu adalah kejinakan taat dan ini keliaran
maksiat ! hai Daud ! Adam itu makhluk dari ciptaanKu. Aku ciptakan dia dengan
Tangan (kekuasaan)Ku. Aku hembuskan padanya dari ruhKu. Aku suruh sujud
kepadanya para malaikatKu. Aku pakaikan padanya kain kemuliaanKu. Aku letakkan
mahkota padanya, dengan mahkota kemuliaanKu. Ia mengadu kepadaKu akan
kesendirian, maka Aku kawinkan dia dengan Hawa hamba wanitaKu. Aku tempatkan
dia dalam sorgaKu. Maka ia berbuat maksiat kepadaKu. Lalu Aku usir dia dari
tetanggaKu, dengan tak berpakaian dan hina. Hai Daud ! dengarlah dari Aku !
yang benar Aku firmankan. Engkau taat akan Kami, maka Kami patuh kepada engkau.
Engkau minta kepada Kami, maka Kami berikan kepada engkau. Engkau berbuat
maksiat kepada Kami, maka Kami perlahan-lahan kepada engkau. Dan kalau engkau
kembali kepada Kami, atas apa yang ada dari engkau, niscaya Kami terima akan
engkau !”.
Yahya bin Abi Katsir berkata: “Telah sampai
kepada kami riwayat, bahwa nabi Daud as, apabila ia bermaksud meratap, niscaya
ia berhenti sebelum itu selama seminggu, tidak makan makanan, tidak minum
minuman dan tidak mendekati wanita. Apabila ia sehari sebelum itu, maka
dikeluarkan mimbar baginya di tanah lapang. Maka ia suruh Sulaiman, supaya
menyerukan dengan suara, yang meminta kedatangan tamu, dari negeri itu dan
sekelilingnya. Yaitu: dari semak-semak, bukit-bukit, gunung-gunung, padang
sahara, candi-candi dan biara-biara. Maka diserukan padanya: “Ketahuilah, siapa
yang ingin mendengar ratapan Daud atas dirinya, maka datanglah !”.
Yahya bin Abi
Katsir meneruskan ceritanya: “Maka datanglah binatang-binatang liar dari padang
sahara dan bukit-bukit. Dan datanglah binatang-binatang buas dari semak-semak.
Dan datanglah binatang-binatang yang menjalar dari gunung-gunung. Dan datanglah
burung-burung dari sarang-sarangnya. Dan datang lah anak-anak gadis dari
pingitannya. Dan berkumpullah manusia untuk hari itu. Dan datanglah Daud, lalu
ia naik di mimbar. Dan ia dikeliling oleh Bani Israil (kaum Yahudi). Setiap
bahagian mengelilingi nabi Daud di atas batasnya. Dan nabi Sulaiman as berdiri
setentang kepalanya. Lalu nabi Daud itu memuji Tuhannya. Maka gemparlah mereka
itu dengan tangisan dan pekikan. Kemudian, nabi Daud as menyebut sorga dan
neraka. Maka matilah binatang-binatang yang menjalar dan segolongan dari
binatang-binatang liar, binatang-binatang buas dan manusia. Kemudian, nabi Daud
menerangkan tentang huru-hara hari kiamat dan pada meratapi dirinya. Maka
matilah dari setiap macam itu suatu golongan. Maka tatkala Sulaiman melihat
banyak yang mati, lalu berkata: “Wahai ayahku ! ayah telah merobek-robekkan
para pendengar itu dengan setiap robekan. Dan telah mati beberapa golongan dari
Bani Israil dan dari binatang-binatang liar dan binatang-binatang yang
menjalar”. Maka nabi Daud as lalu berdoa. Dalam keadaan dia yang demikian,
tiba-tiba ia dipanggil oleh sebahagian budak Bani Israil: “Hai Daud ! engkau
terlalu cepat meminta balasan dari Tuhan engkau”. Yahya bin Abi Katsir
meneruskan riwayatnya: “Maka Daud jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan. Maka
tatkala nabi Sulaiman melihat apa yang telah menimpa ayahnya (nabi Daud as),
lalu ia mendatangkan tempat tidur dan diletakkannya nabi Daud di atasnya.
Kemudian, nabi Sulaiman menyuruh orang yang menyeru, sbb: “Ketahuilah, siapa
yang berteman atau berfamili dengan Daud, maka hendaklah mendatangkan tempat
tidur ! maka hendaklah membawanya di tempat tidur itu ! sesungguhnya
orang-orang yang berada bersama Daud, mereka itu telah terbunuh (mati) oleh
menyebutkan sorga dan neraka”. Adalah seorang wanita mendatangkan tempat tidur
dan dibawanya familinya dengan tempat tidur itu, seraya mengatakan: “Wahai
orang yang terbunuh oleh penyebutan neraka ! wahai orang yang terbunuh oleh
ketakutan kepada Allah !”. Kemudian, tatkala Daud telah sembuh dari pingsannya,
lalu bangun berdiri. Dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ia masuk ke
rumah ibadahnya dan dikuncikan nya pintunya. Dan ia berdoa: “Wahai Tuhan Daud !
adakah Engkau marah kepada Daud ?”. Dan senantiasalah ia membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya.
Maka datanglah Sulaiman dan duduk di pintu. Dan meminta izin masuk. Kemudian,
ia masuk. Dan padanya ada roti syair (serupa dengan gandum). Lalu ia berkata:
“Hai ayahku ! kuatkan diri dengan ini, menurut kehendak ayah !”. Lalu nabi Daud
as memakan roti itu, masya Allah banyaknya. Kemudian, beliau keluar, menemui
kaum Bani Israil (Yahudi). Maka ia berada di antara mereka.
Yazid
Ar-Raqqasyi berkata: “Pada suatu hari, nabi Daud as keluar kepada orang banyak.
Beliau memberi pengajaran kepada mereka dan memberi berita takut. Lalu beliau
keluar kepada manusia, yang jumlahnya 40 ribu orang. Maka mati 30 ribu orang
dari mereka. Dan beliau pulang dalam jumlah manusia 10 ribu orang lagi. Yazid
Ar-Raqqasyi meneruskan riwayatnya: “Nabi Daud as mempunyi dua orang budak
wanita, yang diambilnya untuk melayaninya. Sehingga apabila datang kepadanya
ketakutan dan jatuh, lalu ia gugup, maka dua budak wanita itu duduk di atas
dadanya dan di atas dua kakinya. Karena takut bercerai-berai anggota tubuhnya
dan sendi-sendinya, lalu ia wafat nanti”.
Ibnu Umar ra
berkata: “Nabi Yahya bin Zakaria as masuk ke Baitul-makdis. Dan dia itu berumur
8 kali hajji. Lalu ia melihat kepada orang-orang yang sedang beribadah diantara
mereka, yang memakai baju sempit lengan, dari bulu dan wol. Ia melihat
orang-orang yang ahli ijtihad (bersunguh-sungguh mengeluarkan pendapat) dari
mereka, telah mengoyakkan baju yang besar lehernya. Dan mereka perbuat dengan
baju itu seperti tali rantai. Dan mereka mengikatkan dirinya ke tepi
Baitul-makdis. Maka yang demikian itu mendahsyatkan Yahya bin Zakaria as. Lalu
ia pulang kepada ibu bapaknya. Ia melintasi anak-anak kecil yang sedang
bermain-main. Mereka mengatakan kepadanya: “Hai Yahya ! marilah kita
bermain-main !”. Yahya bin Zakaria as menjawab: “Aku tidak dijadikan untuk
bermain-main”. Ibnu Umar ra meneruskan riwayatnya: “Maka datanglah Yahya
menemui ibu bapaknya. Ia meminta pada ibu bapaknya, supaya ia diberi pakaian
bulu. Lalu ibu bapaknya berbuat demikian. Maka Yahya as kembali ke
Baitul-makdis. Ia melayani Baitul-makdis itu pada siang hari. Dan ia bermalam
sampai pagi di dalamnya. Sampai ia berumur 15 tahun. Lalu ia keluar dan selalu
ia tinggal di bukit-bukit dan di lembah-lembah diantara bukit-bukit itu. Maka
pergilah ibu bapak nabi Yahya mencarinya kesana kemari. Lalu keduanya
mengetahui, bahwa Yahya berada di danau Al-Ardun, merendamkan kedua kakinya
dalam air. Sehingga hampirlah kehausan itu menyembelihnya (membunuhnya). Nabi
Yahya itu berdoa: “Demi kemuliaan Engkau dan demi keagungan Engkau ! aku tiada
akan merasakan kedinginan minuman, sebelum aku tahu, dimana tempatku daripada
Engkau”. Maka ibu bapaknya meminta, supaya ia memakan roti syair yang ada pada
keduanya. Dan meminum dari air itu. Lalu Yahya memperbuat yang demikian dan
memberikan kafarat dari sumpahnya. Maka ia dipujikan sebagai orang yang
berbakti. Dan ia dibawa pulang oleh ibu bapaknya ke Baitul-makdis. Dan adalah
Yahya, apabila ia bangun mengerjakan shalat, niscaya ia menangis. Sehingga
menangislah bersama Yahya itu, kayu dan tanah. Dan nabi Zakaria as (ayah nabi
Yahya) itu juga menangis, dari karena menangisnya Yahya. Sehingga ia pingsan.
Terus-meneruslah Yahya itu menangis. Sehingga air matanya mengoyakkan daging
dua pipinya. Dan tampaklah gigi gerahamnya bagi orang-orang yang melihatnya.
Lalu ibunya mengatakan kepadanya: “Hai anakku ! kalau engkau izinkan bagiku,
aku perbuat sesuatu yang menutupkan gigi gerahammu dari orang-orang yang
memandangnya”. Maka Yahya as mengizinkan yang demikian bagi ibunya. Lalu ibunya
mengambil dua potong kain bulu. Maka dilekatkannya ke dua pipi Yahya as. Dan
Yahya as itu apabila bangun mengerjakan shalat, niscaya menangis. Apabila air
matanya tergenang pada dua potong kain bulu itu, niscaya datang ibunya
kepadanya. Lalu ia memeras kedua kain bulu itu. Apabila Yahya as melihat air
matanya mengalir di lengan ibunya, lalu ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
inilah air mataku ! inilah ibuku ! dan aku hambaMu dan Engkau yang sangat
pengasih dari yang pengasih”. Pada suatu hari, nabi Zakaria as berkata kepada
Yahya as: “Aku bermohon kepada Tuhanku, kiranya Ia memberikan engkau bagiku,
supaya tetaplah dua mataku dengan engkau”. Lalu Yahya as menjawab: “Hai ayahku
! bahwa Jibril as memberi kabar kepadaku, bahwa diantara sorga dan neraka itu padang
pasir, yang tidak dapat dilampaui, selain oleh setiap yang menangis”. Maka nabi
Zakaria as menyahut: “Hai anakku ! menangislah !”.
Nabi Isa
Al-Masih berkata: “Hai para sahabatku ! takut kepada Allah dan cinta kepada
sorga Firdaus itu mewariskan kesabaran di atas kesulitan. Dan dua hal itu
menjauhkan dari dunia. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu, bahwa
memakan syair dan tidur di atas sampah bersama anjing, pada mencari sorga
Firdaus itu sedikit jumlah orangnya”.
Dikatakan,
adalah nabi Ibrahim Khalilullah as, apabila mengingati kesalahannya niscaya ia
pingsan. Dan terdengar getaran hatinya sejauh 1 mil. Maka datanglah Jibril
kepadanya, seraya berkata: “Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman:
“Adakah engkau melihat khalil itu takut akan Khalilnya?” Maka Ibrahim as
menjawab: “Hai Jibril ! bahwa apabila aku mengingati kesalahanku, niscaya aku
lupa akan ketemananku”. Inilah hal keadaan nabi-nabi as. Maka ambillah
perhatian padanya ! sesungguhnya mereka makhluk Allah yang lebih mengenal (ma’rifah)
akan Allah dan sifat-sifatNya. Rahmat Allah kepada mereka sekalian dan kepada
setiap hamba Allah yang mendekatkan diri kepadaNya (al-muqarrabin).
Mencukupilah Allah bagi kita. Dan sebaik-baik Yang Diserahkan urusan kepadaNya.
PENJELASAN: hal-ihwal para sahabat,
tabi’in, salaf dan orang-orang shalih tentang sangatnya takut.
Diriwayatkan, bahwa Abubakar
Ash-Shiddiq ra berkata kepada burung: “Semoga kiranya aku seperti engkau, hai
burung ! aku tidak dijadikan sebagai manusia”. Abu Dzar ra berkata: “Aku
mengingini, jikalau aku ini sepohon kayu yang ditolong orang”. Begitu juga,
kata Thalhah. Usman ra berkata: “Aku mengingini, bahwa aku ini apabila mati,
tidak dibangkitkan”. ‘Aisyah berkata: “Aku mengingini, bahwa aku ini dilupakan
orang”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra jatuh pingsan dari ketakutan, apabila
mendengar suatu ayat dari Alquran. Maka ia dikunjungi beberapa hari. Dan pada
suatu hari ia mengambil sepotong jerami dari tanah. Lalu mengatakan: “Kiranya
aku ini adalah jerami ini ! kiranya tidaklah aku ini sesuatu yang disebutkan
orang ! kiranya adalah aku dilupakan orang ! kiranya aku ini, tidaklah
dilahirkan oleh ibuku”. Adalah pada wajah Umar ra dua garis hitam dari air
mata. Dan beliau ra mengatakan: “Siapa yang takut kepada Allah, niscaya ia tidak
merasa sembuh kemarahan Allah kepadanya. Siapa yang bertaqwa kepada Allah,
niscaya tidak diperbuatnya, akan apa yang dikehendaki nya. Dan jikalau tidak
adalah hari kiamat, niscaya adalah Allah lain dari apa yang kamu lihat”.
Tatkala Umar ra membaca ayat: “Ketika matahari telah digulung. Dan ketika
bintang-bintang jatuh bertaburan. Ketika gunung-gunung telah dihilangkan. Dan
ketika unta-unta betina telah ditinggalkan. Dan ketika binatang-binatang liar
dikumpulkan. Dan ketika lautan bergelombang besar. Dan ketika diri (manusia)
dikumpulkan. Dan ketika ditanyai anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup:
karena dosa apakah dia dibunuh. Dan ketika buku-buku (lembaran) disebarkan”. S
81 At Takwiir ayat 1 sampai 10, maka Umar ra itu jatuh tersungkur dengan pingsan.
Pada suatu hari,
Umar ra melintasi rumah seorang insan, yang sedang shalat dan membaca S 52
Ath-Thuur ayat 1. Lalu beliau berhenti dan mendengar. Tatkala sampai kepada
firmanNya Yang Maha Agung: “Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti terjadi.
Tiada seorangpun dapat menolaknya”. S 52 Ath Thuur ayat 7 dan 8, lalu beliau
turun dari keledainya dan bersandar ke dinding. Dan berhenti beberapa waktu.
Kemudian, beliau kembali ke rumahnya. Lalu sakit sebulan, yang dikunjungi oleh
manusia ramai. Dan mereka tidak tahu, apa sakitnya.
Ali ra berkata
dan beliau baru saja memberi salam (menyiapkan) dari shalat fajar (shalat
Subuh) dan telah meninggi kegundahan hatinya dan beliau membalik-balikkan
tangannya: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad saw. Maka pada hari ini,
aku tiada melihat suatupun yang menyerupai dengan mereka. Sesungguhnya adalah
para sahabat itu berpagi hari, dengan rambut yang kusut, bermuka kuning (pucat)
dan berdebu. Diantara mata mereka itu seperti lutut kambing (dari bekas sujud).
Mereka pada malam hari bersujud dan menegakkan shalat karena Allah. Mereka
membaca Kitab Allah. Mereka membuat giliran, diantara dahi dan tapak kaki
mereka. Maka apabila berpagi hari, maka mereka berdzikir kepada Allah. Mereka
bergoncang badannya, seperti bergoncang nya kayu pada hari berangin. Dan
berhamburan matanya dengan air mata. Sehingga basah kain mereka. Demi Allah !
maka seakan-akan aku dengan kaum itu menjadi orang-orang yang lalai dari
berdzikir kepada Allah Ta’ala”. Kemudian, beliau bangun berdiri. Maka sesudah
itu, tiada terlihat lagi beliau tertawa, sampai ia dibunuh oleh Ibnu Muljam.
‘Imran bin Hushain berkata: “Aku ini ingin
bahwa aku ini debu, yang dihembuskan angin pada hari yang berangin kencang”.
Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah ra berkata: “Aku ingin bahwa aku ini kibasy
(biri-biri). Maka aku disembelihkan oleh keluargaku. Mereka memakan dagingku.
Dan mereka merasakan kuahku”. Adalah Ali bin Al-Husain ra apabila mengambil
wudhu, maka kuning (pucat) warnanya. Maka keluarganya bertanya kepadanya: “Apakah
ini yang terbiasa pada engkau ketika berwudhu ?”. Beliau menjawab: “Apakah kamu
tahu, dihadapanku, siapa yang aku kehendaki untuk berdiri karenaNya ?”.
Musa bin Mas’ud
berkata: “Adalah kami, apabila kami duduk berhadapan dengan Ats-Tsauri, niscaya
seakan-akan api telah mengelilingi kami. Karena kami melihat dari ketakutan dan
kegundahannya”. Mudlar Al-Qari’ pada suatu hari membaca: “Inilah kitab
(catatan) Kami, yang mengatakan kepada kamu, menurut keadaan yang sebenarnya.
Sesungguhnya Kami menyuruh menuliskan segala apa yang kamu kerjakan”. S 45 Al
Jaatsiah ayat 29. Maka Abdul-wahid bin Zaid menangis, sehingga pingsan. Maka
tatkala telah sembuh, beliau berkata: “Demi keagungan Engkau ! aku tiada
mendurhakai Engkau oleh tenagaku untuk selama-lamanya. Maka tolonglah aku
dengan taufiq Engkau kepada mentaati Engkau”.
Adalah
Al-Musawwar bin Makhzamah, tidak kuat untuk mendengar sesuatu dari Alquran,
karena sangat takutnya. Sesungguhnya dibacakan padanya suatu huruf dan ayat,
lalu ia memekik dengan suatu pekikan keras. Maka ia tidak dapat berakal
(berpikir) beberapa hari. Sehingga datanglah kepadanya seorang laki-laki dari
Khats’am. Maka orang itu membacakan kepadanya: “Di hari itu, Kami kumpulkan
orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sebagai menyambut
perutusan. Dan Kami halau orang-orang yang berbuat kesalahan ke dalam neraka
secara kasar”. S 19 Maryam ayat 85-86. Lalu Al-Musawwar bin Makhzamah berkata:
“Aku termasuk orang-orang yang berbuat kesalahan. Dan tidaklah aku termasuk
orang-orang yang bertaqwa. Ulangilah kepadaku bacaan itu, hai qari’ (pembaca) !
Lalu diulanginya, maka pingsanlah Al-Musawwir. Sehingga ia meninggal dunia
(kembali ke akhirat).
Dibacakan pada Yahya Al-Bakka’ (Yahya yang
banyak menangis): “Dan kalau engkau lihat ketika mereka ditegakkan di hadapan
Tuhan”. S 6 Al An’aam ayat 30. Maka Yahya Penangis itu memekik dengan pekikan
yang keras, yang dia berhenti dari pekikan itu karena sakit selama 4 bulan. Ia
dikunjungi orang dari segala penjuru kota Basrah.
Malik bin Dinar berkata: “Sewaktu aku
berthawaf mengelilingi Baitullah (Ka’bah), tiba-tiba aku dekat seorang anak
perempuan yang kuat beribadah. Ia bergantung pada tirai Ka’bah dan berdoa: “Hai
Tuhanku ! banyaklah nafsu keinginan, yang telah hilang kelezatannya dan tinggal
ikutannya (akibatnya) ! Hai Tuhanku ! apakah tidak ada bagi Engkau pelajaran
dan siksaan, selain neraka ?”. Dan ia menangis. Maka senantiasalah yang
demikian, di tempat berdirinya, sehingga terbit fajar”.
Malik berkata: “Maka tatkala aku melihat yang
demikian, lalu aku letakkan tanganku ke atas kepalaku. Dan dengan menjerit aku
berkata: “Ditiadakan Malik oleh ibunya”. Diriwayatkan, bahwa Al-Fudlail dilihat
orang pada hari Arafah (tanggal 9 Zulhijjah) dan orang banyak itu berdoa. Dan
Al-Fudlail itu menangis, sebagai tangisnya wanita yang kehilangan anak, yang
menghadapi kebarakan. Sehingga, apabila matahari hampir terbenam, maka
Al-Fudlail menggenggam janggutnya. Kemudian, mengangkatkan kepalanya ke langit
dan berdoa:“Demi kejahatanku pada Engkau ! dan kalau kiranya Engkau ampunkan!”
Kemudian, ia berbalik
bersama manusia ramai. Ditanyakan Ibnu Abbas ra dari hal orang-orang yang
takut. Maka beliau menjawab: “Hati mereka disebabkan takut itu luka dan mata
mereka menangis. Mereka mengatakan, bagaimana kami bergembira dan mati itu di
belakang kami dan kubur itu di hadapan kami. Hari kiamat itu janjian bagi kami.
Di atas neraka jahannam jalanan kami. Dan dihadapan Allah Tuhan kami, tempat
perhentian kami”.
Al-Hasan Al-Bashari
ra melewati seorang pemuda dan pemuda
itu tenggelam dalam tertawa. Dia duduk bersama orang banyak pada suatu majelis.
Lalu Al-Hasan berkata kepadanya: “Hai anak muda ! adakah engkau lalui titian
?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak !”. Al-Hasan bertanya lagi: “Adakah engkau
ketahui, engkau berkesudahan ke sorga atau ke neraka ?”. Anak muda itu
menjawab: “Tidak !”. Al-Hasan bertanya pula: “Maka apakah ketawa ini ?”.
Al-Hasan berkata: “Maka anak muda itu tidak terlihat lagi ketawa sesudah itu”.
Adalah Hammad
bin Abdurabbih, apabila ia duduk, maka ia duduk dengan tidak tenang di atas
kedua tapak kakinya. Lalu ia ditanyakan: “Jikalau anda duduk tenang, ya ?”.
Maka beliau menjawab: “Itu duduk orang yang merasa aman. Dan aku tidak merasa
aman. Karena aku berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala”. Umar bin Abdul-aziz ra
berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan kelalaian pada hati hambaNya, sebagai
suatu rahmat. Supaya mereka tidak mati dari karena takut kepada Allah Ta’ala”.
Malik bin Dinar
berkata: “Sesungguhnya aku bercita-cita apabila aku mati, akan aku suruh mereka
mengikatkan aku dan merantaikan aku. Kemudian, mereka melepaskan aku kepada
Tuhanku, sebagaimana dilepaskan hamba yang lari kepada tuannya”. Hatim
Al-Ashamm berkata: “Jangan engkau terperdaya dengan tempat yang baik. Maka
tiada tempat yang terbaik, selain dari sorga.
Dan nabi Adam as
telah menemui dalam sorga, apa yang telah ditemuinya. Dan engkau jangan
terperdaya dengan banyak ibadah ! sesungguhnya Iblis, sesudah lama ia
beribadah, maka ditemuinya, akan apa yang telah ditemuinya. Dan jangan engkau
terperdaya dengan banyak ilmu ! sesungguhnya Bal’am adalah mengetahui dengan
baik akan nama Allah Yang Maha Agung. Maka perhatikanlah, apa yang telah
ditemuinya ! dan janganlah engkau terperdaya dengan melihat orang-orang shalih
! maka tiada seorangpun yang lebih besar tingkatnya di sisi Allah, dari Nabi
yang pilihan Muhammad saw. Dan tidak dapat diambil manfaat oleh keluarganya dan
musuhnya dengan menemuinya”.
As-Sirri
berkata: “Bahwa aku melihat setiap hari beberapa kali, kepada hal-hal yang
menidakkan (hal-hal yang negatif). Karena takut., bahwa ada yang menghitamkan
mukaku”. Abu Hafash berkata: “Semenjak 40 tahun yang lampau, i’tikadku/keyakinanku
pada diriku, bahwa Allah memandang kepadaku dengan pandangan marah. Dan amal
perbuatanku menunjukkan kepada yang demikian”. Ibnul-Mubarak pada suatu hari
pergi kepada teman-temannya. Lalu mengatakan: “Bahwa aku kemarin memberanikan
diri kepada Allah. Aku meminta kepadaNya akan sorga”.
Ummu Muhammad
bin Ka’ab Al-Qaradhi mengatakan kepada puteranya: “Hai anakku ! aku mengenal
engkau anak kecil yang baik dan anak yang sudah besar, yang baik. Dan
seakan-akan engkau telah mendatangkan suatu kejadian yang membinasakan. Karena
apa, yang aku lihat engkau mengerjakannya, pada malam dan siang engkau bermacam
ibadah”. Anak itu menjawab: “Hai ibuku ! aku tidak merasa aman, bahwa Allah
Ta’ala melihat kepadaku dan aku di atas sebahagian dosa-dosaku. Maka Ia
mengutukkan aku. Dan Ia berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu, Aku tiada
mengampunkan engkau”.
Al-Fudlail
berkata: “Bahwa aku tidak iri hati kepada nabi yang menjadi rasul, kepada
malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan kepada hamba yang shalih.
Bukankah mereka itu menyaksikan akan huru-hara hari kiamat ? sesungguhnya aku
iri hati kepada orang yang tidak diciptakan”. Diriwayatkan, bahwa seorang
pemuda anshar, masuk kepadanya perasaan takut kepada neraka. Lalu ia menangis.
Sehingga yang demikian itu, menahankannya dalam rumah. Maka datanglah Nabi saw.
Lalu beliau masuk ke tempatnya dan berpeluk-pelukan leher dengan dia. Lalu anak
muda itu jatuh tersungkur dalam keadaan meninggal dunia. Maka Nabi saw
bersabda: “Uruslah mayat temanmu ! maka sesungguhnya takut dari neraka itu
menghancurkan jantungnya”.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abi Maisarah, bahwa ia apabila pergi ke tempat tidurnya, maka ia
mengatakan: “Wahai kiranya ibuku tidak memperanakkan aku!”. Maka ibunya
mengatakan kepadanya: “Hai Maisarah ! bahwa Allah Ta’ala telah berbuat baik
kepada engkau. DitunjukkanNya engkau kepada agama Islam”. Maisarah menjawab:
“Benar ! akan tetapi, Allah telah menerangkan kepada kita, bahwa kita datang ke
neraka. Dan tidak diterangkanNya kepada kita, bahwa kita keluar dari neraka”.
Dikatakan kepada
Farqad As-Sabakhi: “Terangkanlah kepada kami, sesuatu yang paling menakjubkan,
yang sampai kepada engkau dari kaum Bani Israil (kaum Yahudi) !”. Farqad
As-Sabakhi menjawab: “Telah sampai berita kepadaku, bahwa telah masuk ke
Baitul-makdis sejumlah 500 wanita perawan (gadis). Pakaian mereka itu kain bulu
(wol) dan tenunan bulu. Lalu mereka berbincang-bincang (mengadakan diskusi)
tentang pahala dan siksaan Allah. Maka mereka itu mati semuanya pada satu
hari”.
Adalah ‘Atha As-Salimi dari orang-orang yang
takut. Dia tidak meminta sorga pada Allah selama-lamanya. Ia meminta pada Allah
akan kemaafanNya. Dan ditanyakan kepadanya dalam sakitnya: “Apakah anda tidak
mengingini akan sesuatu ?”. Maka ia menjawab: “Bahwa ketakutan kepada neraka
jahannam, tidak meninggalkan tempat dalam hatiku, untuk nafsu keinginan”. Dan
orang mengatakan, bahwa ‘Atha As-Salimi tidak mengangkatkan kepalanya ke langit
dan tidak tertawa, selama 40 tahun. Dan pada suatu hari, ia mengangkatkan
kepalanya. Lalu ia terkejut dan jatuh. Maka pecahlah dalam perutnya suatu
pecahan. Ia menyentuh badannya pada sebahagian malam, karena takut bahwa
badannya itu berobah kepada yang lebih buruk. Adalah, apabila mereka (manusia)
kena angin atau kilat atau mahal makanan, maka ‘Atha As-Salimi mengatakan: “Ini
dari karenaku, yang menimpa kepada mereka. Jikalau matilah ‘Atha’, niscaya
manusia memperoleh kesenangan”. ‘Atha’ berkata: “Kami keluar bersama ‘Atbah
Al-Ghulam. Dan dalam rombongan kami itu orang-orang tua dan pemuda-pemuda.
Mereka mengerjakan shalat fajar (shalat Subuh) dengan wudhu Isya. Tapak kaki
mereka telah bengkak, lantaran lamanya berdiri. Maka mereka telah masuk dalam
kepalanya. Kulit mereka telah melekat pada tulangnya. Dan tinggallah
urat-uratnya itu, seolah-olah tali gitar. Mereka berpagi hari, seolah-olah
kulit mereka itu kulit buah mentimun. Dan seolah-olah mereka telah keluar dari
kuburan, dimana mereka menerangkan, bagaimana Allah Ta’ala memuliakan orang-orang
yang taat. Dan bagaimana Allah menghinakan orang-orang yang berbuat maksiat.
Pada waktu mereka itu sedang berjalan kaki, ketika seorang dari mereka itu
melewati suatu tempat, lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Maka
duduklah para sahabatnya dikelilingnya menangis pada hari yang sangat dingin.
Tepi dahi orang itu bercucuran keringat. Lalu mereka mendatangkan air dan
menyapu muka orang itu. Maka orang itu sembuh dari pingsannya. Dan mereka
bertanya tentang keadaannya. Maka orang itu menjawab: “Bahwa aku teringat, aku
telah berbuat maksiat kepada Allah pada tempat itu”.
Shalih Al-Marri
mengatakan: “Aku bacakan ayat di bawah ini kepada seorang laki-laki dari
orang-orang yang banyak ibadahnya: “Pada hari dibalik-balik muka mereka dalam
neraka, (dan) mereka berkata: Wahai: Alangkah baik kiranya (hendaknya) kami
patuh (taat) kepada Allah dan patuh kepada Rasul !”. S 33 Al Ahzab ayat 66.
Lalu orang itu pingsan. Kemudian, setelah ia sembuh dari pingsannya, lalu
berkata: “Tambahkan lagi kepadaku, hai Shalih ! sesungguhnya aku dapati
kesedihan”. Maka aku bacakan: “Setiap mereka hendak keluar dari dalamnya karena
kesedihan, lantas mereka dikembalikan lagi ke dalamnya”. S 22 Al Hajj ayat 22.
Lalu laki-laki yang banyak ibadahnya itu jatuh tersungkur dan meninggal dunia.
Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Abi Aufa
mengerjakan shalat Subuh dengan orang banyak. Maka tatkala beliau membaca ayat:
“Maka ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8. Lalu beliau
jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan. Maka beliau dibawakan, sudah meninggal
dunia.
Yazid
Ar-Raqqasyi masuk ke tempat Umar bin Abdul-aziz. Maka Umar bin Abdul-aziz
berkata: “Berilah pengajaran kepadaku, hai Yazid !”. Yazid menjawab: “Wahai
amirul-mu’minin ! ketahuilah bahwa tidaklah engkau khalifah pertama yang mati”.
Maka Umar bin Abdul-aziz menangis, kemudian berkata: “Tambahkanlah pengajaran
kepadaku !”. Yazid menjawab: “Hai amirul-mu’minin ! tiadalah diantara engkau
dan Adam itu bapak, selain orang yang sudah meninggal”. Maka Umar bin Abdul-aziz
menangis. Kemudian ia berkata: “Tambahkan lagi, hai Yazid !”. Yazid menjawab:
“Hai amirul-mu’minin ! tiadalah diantara engkau dan antara sorga dan neraka itu
tempat”. Lalu Umar bin Abdul-aziz jatuh tersungkur, dalam keadaan pingsan.
Maimun bin
Mahran berkata: “Tatkala turun ayat ini: “Dan sesungguhnya neraka jahannam
tempat yang telah dijanjikan buat mereka semuanya”. S 15 Al Hijr ayat 43. Maka
Salman Al-Farisi memekik dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ia lari
keluar dari rumahnya, selama 3 hari, di mana orang-orang tidak sanggup
mengejarinya”. Daud Ath-Tha-i melihat seorang wanita menangis pada kepala
kuburan anaknya. Wanita itu mengatakan: “Hai anakku ! kiranya aku ketahui,
pintu-pintu yang mana, yang pertama-tama dimulai oleh ulat”. Maka Daud pingsan
dan jatuh ke tempatnya. Dikatakan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri sakit. Lalu dibawa
oleh penunjuknya kepada seorang tabib dzimmi. Tabib itu mengatakan: “Inilah
orang, yang ketakutannya telah memutuskan jantungnya”. Kemudian tabib itu
datang dan memegang urat-uratnya. Kemudian, tabib itu mengatakan: “Tidak aku
tahu, bahwa pada agama yang benar, ada orang yang seperti Sufyan ini”.
Ahmad bin Hanbal
ra berkata: “Aku bermohon kepada Allah ‘Azza Wa Jalla kiranya Ia membuka
kepadaku pintu ketakutan. Maka dibukaNya. Lalu aku takut kepada akalku. Maka
aku berdoa: “Hai Tuhanku ! sekadar apa yang aku sanggupi”. Maka tenanglah
hatiku”. Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: “Menangislah ! maka kalau engkau
tidak dapat menangis, maka berbuat tangislah ! demi Tuhan, yang diriku di
TanganNya ! kalau tahulah seorang kamu akan pengetahuan, niscaya ia berteriak,
sehingga putuslah suaranya. Dan ia mengerjakan shalat, sehingga pecahlah tulang
pinggangnya”. Seakan-akan Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengisyaratkan kepada
makna sabda Nabi saw: “Jikalau
kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”.
Al-Anbari
berkata: “Berkumpul para perawi hadits di pintu Al-Fudlail bin Iyadl. Maka
terlihat kpada mereka dari lobang dinding, Al-Fudlail itu menangis. Dan
janggutnya bergoyang-goyang. Lalu Al-Fudlail berkata: “Haruslah kamu dengan
Alquran ! haruslah kamu mengerjakan shalat ! berhati-hatilah kamu, tidaklah ini
zaman hadits. Sesungguhnya ini zaman menangis, merendahkan diri, ketetapan hati
dan doa, seperti doanya orang yang karam. Sesungguhnya ini zaman: peliharalah
lisan engkau, sembunyikanlah tempat engkau, obatilah hati engkau, ambillah apa
yang engkau pandang ma’ruf/baik dan tinggalkanlah apa yang engkau pandang
munkar/buruk !”.
Pada suatu hari,
orang melihat Al-Fudlail berjalan kaki. Lalu ditanyakan: “Mau kemana ?”.
Al-Fudlail menjawab: “Tidak aku tahu”. Adalah Al-Fudlail berjalan kaki itu,
untuk melengahkan dari ketakutan. Dzar bin Umar bertanya kepada bapaknya Umar
bin Dzar: “Apakah keadaan kiranya orang-orang yang ahli ilmu kalam (ilmu keesaan)
yang berkata-kata ? maka tiada seorangpun yang menangis. Maka apabila ayah
berkata-kata, niscaya aku mendengar tangisan dari setiap sudut”. Ayahnya
menjawab: “Hai anakku ! tidaklah wanita yang meratap kematian anak, seperti
wanita yang meratap, yang disewakan”.
Diceritakan, bahwa suatu kaum (orang banyak)
berdiri dengan seorang abid (yang banyak beribadah). Abid itu sedang menangis.
Lalu orang banyak itu bertanya: “Apakah yang membawa engkau maka menangis ?
Kiranya engkau diberi rahmat oleh Allah”. Abid itu menjawab: “Luka yang
diperoleh oleh orang-orang yang takut dalam hatinya”. Mereka bertanya: “Apakah
luka itu ?”. Abid itu menjawab: “Terkejut oleh panggilan untuk datang kepada
Allah ‘Azza Wa jalla”. Adalah Ibrahim Al-Khawwash itu menangis dan mengatakan
dalam munajahnya: “Sesungguhnya aku telah tua dan telah lemah tubuhku untuk
berkhidmah kepada Engkau. Maka merdekalah aku !”.
Shalih Al-Marri
berkata: “Datang kepada kami Ibnus-Samak sekali. Lalu beliau mengatakan:
“Perlihatkanlah kepadaku akan sesuatu dari sebahagian keajaiban hamba-hambamu”.
Lalu aku pergi kepada seorang laki-laki pada sebahagian desa, dengan
Ibnus-Samak, pada suatu rumah bambu kepunyaan laki-laki itu. Maka kami minta
izin pada laki-laki itu. Tiba-tiba laki-laki itu mengerjakan daun kurma. Maka
aku bacakan kepadanya: “Pada waktu belenggu dan rantai telah (dipasang) di
leher mereka; mereka akan dihela. Ke dalam air yang sangat panas, kemudian itu
mereka dibakar di dalam api”. S 40 Al Mukmin ayat 71-72. Maka laki-laki itu
memekik dengan keras dan jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu kami
keluar dari tempat laki-laki itu. Dan kami tinggalkan dia dalam keadaannya yang
demikian. Dan kami pergi kepada orang lain. Lalu kami masuk ke tempatnya. Maka
aku baca ayat tadi. Lalu orang itu memekik dengan keras dan jatuh tersungkur
dalam keadaan pingsan. Lalu kami pergi dan kami meminta izin kepada orang
ketiga. Maka orang ketiga ini, mengatakan: “Masuklah, kalau kamu tidak mengganggu
kami dari Tuhan kami”. Maka aku bacakan ayat: “Tempat yang demikian itu adalah
untuk orang yang takut kepada kebesaranKu dan takut akan janji siksaanKu”. S 14
Ibrahim ayat 14. Lalu orang itu memekik dengan pekikan keras. Maka nampaklah
darah dari dua lobang hidungnya. Dan ia menghapuskan darahnya, sehingga kering.
Lalu kami tinggalkan dia dalam keadaannya yang demikian. Dan kami keluar.
Maka aku telah
berkeliling pada 6 orang. Setiap orang itu, aku keluar daripadanya dan aku
tinggalkan dalam keadaan pingsan. Kemudian, aku datangi kepada orang ke-7. Lalu
kami minta izin masuk. Rupanya seorang wanita dari dalam rumah bambu itu
berkata: “Masuklah ! Lalu kamu masuk. Maka terlihat seorang tua yang sudah
lanjut usianya, duduk pada tikar mushallanya. Lalu kami memberi salam
kepadanya. Ia tidak mengetahui dengan salam kami itu. Lalu aku berkata dengan
suara keras: “Ketahuilah, bahwa di hari besok, makhluk itu mempunyai tempat
kedudukan”. Maka orang tua itu menjawab: “Di hadapan siapa ? hati-hatilah
engkau!”. Kemudian, orang tua itu dalam keheranan, yang terbuka mulutnya,
matanya memandang keatas. Ia memekik dengan suaranya yang lemah: “Oh-oh!.
sehingga suara itu terputus. Lalu isterinya berkata: “Keluarlah! bahwa kamu
tidak dapat mengambil manfaat sesaatpun dengan dia”. Sesudah itu, aku bertanya
tentang orang banyak itu. Rupanya 3 orang sudah sembuh. Dan 3 orang sudah
kembali kepada Allah Ta’ala (meninggal dunia). Adapun orang tua itu, 3 hari
dalam keadaannya yang demikian, ternganga keheranan. Tidak mengerjakan amal
yang fardhu. Dan sesudah 3 hari, barulah kembali akal pikirannya.
Adalah Yazid bin
Al-Aswad, kelihatan termasuk golongan wali-wali (aulia). Ia bersumpah, tidak
akan tertawa untuk selama-lamanya. Tidak akan tidur dengan berbaring. Dan tiada
akan makan minyak samin untuk selama-lamanya. Maka tiadalah ia kelihatan
tertawa dan tiada tidur berbaring. Dan tiada makan minyak samin sampai ia
meninggal dunia. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya.
Al-Hajjaj
berkata kepada Sa’id bin Jubair: “Sampai kepadaku berita bahwa engkau tiada
pernah tertawa”. Sa’id bin Jubair menjawab: “Bagaimana aku tertawa dan neraka
jahannam itu menyala. Rantai-rantai itu dipasang. Dan neraka zabaniyah itu
telah disiapkan”. Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashari: “Hai
Abu Sa’id ! bagaimana aku berpagi hari ?”. Al-Hasan Al-Bashari ra menjawab:
“Dengan penuh kebajikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana hal keadaanmu
?”. Al-Hasan tersenyum dan menjawab: “Engkau bertanya kepadaku tentang
hal-keadaanku. Apa persangkaanmu dengan manusia yang menumpang kapal, sehingga
mereka sampai di tengah lautan. Lalu pecahlah kapal mereka. Maka setiap insan
dari mereka bergantung dengan sepotong kayu. Bagaimanakah keadaan setiap insan
itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Dalam keadaan yang sangat sulit”. Maka
Al-Hasan Al-Bashari berkata:
“Hal-keadaanku lebih sulit dari hal keadaan mereka”.
Bekas budak
wanita Umar bin Abdul-aziz masuk ke tempat Umar bin Abdul-aziz. Ia memberi
salam kepada Umar bin Abdul-aziz. Kemudian ia pergi ke mushalla dalam rumah
Umar bin Abdul-aziz. Lalu wanita itu mengerjakan shalat 2 rakaat. Dan dua
matanya keras hendak tidur, lalu ia berbaring dan tertidur. Maka ia tertangis
dalam tidurnya. Kemudian, ia terbangun. Lalu ia berkata: “Wahai amirul-mu’minin
! sesungguhnya demi Allah, aku bermimpi suatu keajaiban”. Umar bin Abdul-aziz
bertanya: “Apakah yang demikian itu ?”. Wanita itu menjawab: “Aku bermimpi
neraka. Dan neraka itu berkobar-kobar apinya kepada penghuninya. Kemudian
dibawa titian (Ash-shirathal-mustaqim). Lalu diletakkan di atas titian itu,
penghuni tadi”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu
menyambung: “Maka dibawa Abdul-malik bin Marwan. Lalu ia dipikulkan di atas
penghuni itu. Maka tiada berlalu, selain waktu yang sedikit saja. Sehingga
titian itu terbalik. Maka Abdul-malik bin Marwan, jatuh ke dalam neraka
jahannam”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung:
“Kemudian, dibawa Al-Walid bin Abdul-malik. Lalu ia dipikulkan di atas penghuni
itu. Maka tiada berlalu, selain waktu yang sedikit saja. Sehingga titian itu
terbalik. Maka Al-Walid bin Abdul-malik jatuh dalam neraka jahannam”. Umar bin
Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung: “Kemudian, dibawa
Sulaiman bin Abdul-malik. Maka tiada berlalu selain sebentar saja, sehingga
titian itu terbalik. Maka Sulaiman bin Abdul-aziz jatuh seperti yang demikian
juga”. Umar bin Abdul-aziz berkata: “Teruskan !”. Wanita itu menyambung:
“Kemudian, dibawa engkau –demi Allah, wahai Amirul-mu’minin !”. Lalu Umar bin
Abdul-aziz ra memekik dengan pekikan, yang membawa ia jatuh tersungkur, dalam
keadaan pingsan. Lalu wanita itu bangun berdiri datang kepada Umar bin
Abdul-aziz. Lalu ia memanggil dengan bisikan pada telinganya: “Hai
Amirul-mu’minin ! aku melihat engkau -demi Allah- terlepas. Aku melihat engkau
–demi Allah- terlepas dari bahaya itu”. Kata yang punya riwayat: “Wanita itu
terus memanggil. Dan Umar bin Abdul-aziz terus memekik dan ia memeriksa dengan
kedua kakinya”.
Diceritakan, bahwa Uwais Al-Qarani ra datang
kepada Al-Qash. Maka ia menangis dari mendengar perkataan Al-Qash. Apabila
Al-Qash menyebutkan neraka, maka Uwais memekik. Kemudian Uwais bangun berjalan,
lalu diikuti manusia banyak. Mereka mengatakan: “Gila-gila !”.
Ma’adz bin Jabal
ra berkata: “Bahwa orang mu’min itu tidak tenang ketakutannya, sebelum
meninggalkan titian jahannam di belakangnya”. Adalah Thawus bin Khaisan
Al-Yamani membentangkan tikar tidur untuk Ma’adz bin Jabal. Maka Ma’adz
berbaring dan bergoncang badannya, sebagaimana bergoncangnya biji-bijian dalam
kuali penggoreng. Kemudian ia melompat berdiri. Lalu ia melipatkan badannya dan
menghadap kiblat dengan ruku’ dan sujud, sampai datang waktu shalat Subuh. Dan
ia mengatakan: “Mengingati neraka jahannam itu menerbangkan tidur orang-orang
yang takut”.
Al-Hasan Al-Bashari
ra berkata: “Seorang laki-laki keluar
dari neraka sesudah 1000 tahun. Wahai kiranya, akulah laki-laki itu !”. Beliau
mengatakan yang demikian, karena takutnya berkekalan dalam neraka dan su-ul
khatimah. Diriwayatkan, bahwa beliau tiada tertawa selama 40 tahun. Dan perawi
riwayat ini mengatakan: “Apabila aku melihat Al-Hasan Al-Bashari duduk, maka seakan-akan beliau itu orang
tawanan, yang didatangkan, untuk dipenggal lehernya. Apabila beliau
berkata-kata, seakan-akan beliau melihat akhirat. Lalu beliau menceritakan dari
hal penglihatannya. Apabila beliau diam, seakan-akan neraka menyala-nyala di
hadapannya”. Beliau dicela orang lantaran bersangatan kegundahan dan
ketakutannya. Maka beliau berkata: “Aku tidak merasa aman, bahwa Allah telah
melihat padaku, atas sebahagian apa yang tidak disenangiNya. Maka Ia
mengutukkan aku. Lalu Ia berfirman: “Pergilah, maka tiada Aku ampunkan engkau!
Maka aku berbuat pada tiada tempat berbuat”. Dari Ibnus-Samak, yang mengatakan:
“Aku pada satu hari memberi pengajaran pada suatu majelis. Maka bangun berdiri
seorang pemuda dari rombongan itu. Pemuda itu mengatakan: “Hai Abul-Abbas !
engkau pada hari ini telah memberi pengajaran, dengan perkataan, yang tidak
kami hiraukan bahwa tiada kami mendengar yang lainnya”. Lalu aku bertanya:
“Apakah perkataan itu ? kiranya engkau dicurahkan rahmat oleh Allah !”. Pemuda
itu menjawab: “Perkataan engkau: “Hati orang-orang yang takut telah dipotong oleh lamanya orang-orang
yang kekal, adakalanya dalam sorga atau dalam neraka”.
Kemudian, pemuda itu menghilang daripadaku. Maka aku mencarinya pada majelis
yang lain. Aku tiada melihatnya. Lalu aku tanyakan. Maka diberitakan kepadaku,
bahwa pemuda itu sakit, yang boleh dikunjungi. Maka aku datang mengunjunginya.
Lalu aku mengatakan: “Hai saudaraku! apakah yang aku lihat pada engkau ?”.
Pemuda itu lalu menjawab: “Hai Abul-Abbas ! itu dari perkataan engkau: “Hati
orang-orang yang takut telah diputuskan oleh lamanya orang-orang yang kekal,
adakalanya dalam sorga atau dalam neraka”. Ibnus-Samak
meneruskan ceritanya: “Kemudian pemuda itu meninggal dunia. Kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepadanya. Lalu aku bermimpi melihatnya dalam tidur. Maka
aku bertanya: “Hai saudaraku ! apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau
?’. Pemuda itu menjawab: “Allah mengampunkan dosaku, merahmati aku dan
memasukkan aku dalam sorga”. Aku bertanya: “Dengan apa ?”. Pemuda itu menjawab:
“Dengan perkataan engkau itu !”. Maka inilah tempat takutnya para nabi, wali,
ulama dan orang-orang shalih. Dan kita lebih layak dengan ketakutan
diibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, tidaklah takut itu disebabkan banyak
dosa, tetapi dengan kebersihan hati dan kesempurnaan ma’rifah (ilmu
mengenal Allah Ta’ala). Jikalau tidak, maka
tidaklah keamanan kita, karena sedikitnya dosa kita dan banyaknya taat kita.
Akan tetapi, dipimpin kita oleh hawa nafsu kita dan dikerasi kita oleh
kedurhakaan kita. Dan dicegah kita daripada memperhatikan hal-ihwal kita, oleh
kelalaian dan kekesatan hati kita. Maka tidaklah mendekatnya keberangkatan (ke
akhirat) itu, membangunkan kita. Dan tidaklah banyaknya dosa menggerakkan kita.
Tidaklah penyaksian hal-keadaan orang-orang yang takut, menakutkan kita. Dan
tidaklah bahaya al-khatimah mengejutkan kita. Maka kita bermohon kepada Allah
Ta’ala, kiranya Ia memperdapatkan kembali dengan kurnia dan kemurahanNya, akan
hal-ihwal kita. Lalu diperbaikinya kita, jikalau adalah penggerakan lisan
dengan semata-mata meminta, tanpa persediaan itu bermanfaat bagi kita. Dan
diantara keajaiban-keajaiban, bahwa kita apabila berkehndak kepada harta dan
dunia, niscaya kita bercocok tanam dan menanam, berniaga, menyeberangi lautan
dan padang pasir dan kita menghadang bahaya. Dan kalau kita bermaksud mencari pangkat
ilmu pengetahuan, niscaya kita mempelajari ilmu fikih. Dan kita bersusah payah
menghafal dan mengulang-ulanginya. Dan kita tidak tidur malam. Kita
bersungguh-sungguh mencari rezeki kita. Dan kita tidak percaya akan jaminan
Allah kepada kita. Dan kita tidak duduk di rumah kita, lalu kita berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! berikanlah kami rezeki !”. Kemudian apabila mata kita menatap
ke arah Raja Yang Kekal Yang Berketetapan, niscaya kita cukupkan dengan
mendoakan dengan lidah kita: “Wahai Tuhan kami ! ampunilah kami dan kasihanilah
kami ! Tuhan, yang kepadaNya harapan kami dan dengan Dia kemegahan kami, yang
memanggil kami dan berfirman: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang
diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Dan firmanNya: “Dan janganlah kepercayaan
kamu kepada Allah tertipu oleh yang amat pandai menipu !”. S 35 Faathir ayat 5.
Dan firmanNya: “Hai manusia ! apakah yang memperdayakan engkau terhadap Tuhan
engkau yang Pemurah ?”. S 82 Al Infithaar ayat 6.
Kemudian, setiap
yang demikian itu tidak memberitahukan kepada kita dan tidak mengeluarkan kita
dari lembah keterperdayaan kita dan angan-angan kita. Maka tidaklah ini, selain
bencana yang menghuru-harakan, jikalau tidaklah Allah mengkurniakan kepada kita
dengan taubat nashuha, yang memperdapatkan kita dengan taubat itu dan
menampalkan kekurangan kita. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia
mempertaubatkan kita. Bahkan, kita bermohon kepadaNya, bahwa IA merindukan
rahasia hati kita kepada taubat. Dan Ia tidak menjadikan gerakan lidah, dengan
permintaan taubat itu penghabisan keberuntungan kita. Lalu kita termasuk orang
yang mengatakan dan tidak mengerjakan. Mendengar dan tidak menerima. Apabila
kita mendengar pengajaran, niscaya kita menangis. Dan apabila datang waktu
amal, dengan apa yang kita dengar, lalu kita ingkari. Maka tiada tanda kehinaan
yang lebih besar dari ini ! maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala kiranya Ia
mencurahkan kepada kita nikmat dengan taufiq dan petunjuk, dengan nikmat dan
kuniaNya !
Marilah kita
singkatkan cerita hal-ihwal orang-orang yang takut, sekadar apa yang telah kita
kemukakan itu. Sesungguhnya sedikit dari ini berbetulan dengan hati yang
menerima. Maka memadailah. Dan yang banyak daripadanya, jikalah dicurahkan
kepada hati yang lalai, maka tidaklah mengayakan. Sungguh benarlah seorang
pendeta yang diceritakan oleh Isa bin Malik Al-Khaulani. Dan pendeta itu
termasuk orang yang beribadah yang pilihan. Bahwa Isa bin Malik Al-Khaulani
melihat pendeta tersebut di pintu Baitul-makdis berdiri, seperti keadaan orang
gundah hati, dari bersangatan bimbang. Dan hampir tidak kering air matanya dari
banyaknya menangis. Maka Isa bin Malik Al-Khaulani berkata: “Tatkala aku
melihatnya, maka mendahsyatkan aku memandangnya. Lalu aku berkata: “Hai pendeta
! berikanlah aku wasiat (nasehat) yang akan aku hafal dari engkau !”. Pendeta
itu menjawab: “Hai saudaraku ! dengan apa aku nasehatkan engkau ? jikalau
sangguplah engkau setingkat dengan seorang laki-laki, yang dihalau oleh
binatang buas dan singa. Orang itu takut, yang berhati-hati. Ia takut lengah,
lalu diterkam oleh binatang buas. Atau lupa, lalu ia ditangkap dengan mulut
oleh singa. Dia yang berhati kecut, yang takut. Dia pada malamnya dalam
ketakutan, walaupun orang-orang yang terperdaya merasa aman. Dan pada siangnya
dalam kegundahan, walaupun orang-orang yang tak ada kerja, merasa beruntung”.
Kemudian, pendeta itu pergi dan ditinggalkannya aku. Lalu aku mengatakan:
“Jikalau engkau tambahkan sedikit lagi kepadaku, niscaya mudah-mudahan
bermanfaat kepadaku”. Pendeta itu menjawab: “Orang yang haus, memadailah
baginya dari air sesedikitnya”. Sungguh benar pendeta itu ! bahwa hati yang
bersih itu digerakkan oleh sedikitnya ketakutan. Dan hati yang beku, setiap
pengajaran tidak disetujuinya. Apa yang disebutkannya dari kira-kira, bahwa ia
dihalau oleh binatang buas dan singa, maka tiada seyogyalah disangka, bahwa ia
kira-kira. Akan tetapi, itu sungguh-sungguh. Maka jikalau engkau menyaksikan
dengan nur mata hati, akan batin engkau, niscaya engkau lihat penuh dengan
berbagai macam binatang buas dan bermacam-macam singa: seperti marah, nafsu syahwat, busuk hati,
dengki, sombong, mengherani diri (‘ujub), ria dan lainnya. Dan sifat-sifat ini selalu
menerkam engkau dan menangkap engkau dengan mulutnya, jikalau engkau lalai
sekejap mata saja. Hanya, terdinding mata engkau daripada melihatnya. Maka
apabila tersingkap tutupnya dan engkau telah diletakkan dalam kubur engkau,
niscaya engkau melihatnya. Dan telah tergambar bagi engkau dengan rupa dan
bentuknya yang bersesuaian dengan maknanya. Maka engkau melihat dengan mata
engkau, akan kalajengking dan ular. Dan ia melekatkan pandangan kepada engkau
dalam kubur engkau. Dan itu sesungguhnya adalah sifat-sifat engkau yang ada
sekarang, yang telah terbuka kepada engkau bentuk-bentuknya. Jikalau engkau
bermaksud membunuhnya dan memaksakannya dan engkau sanggup atas yang demikian,
sebelum mati, maka kerjakanlah ! jikalau tidak, maka sediakanlah diri engkau
kepada sengatan dan tangkapan mulutnya, bagi jantung hati engkau ! lebih-lebih
lagi, dari zahiriyah kulit engkau !
Wassalam !.