KITAB TERCELANYA MARAH, DENDAM DAN DENGKI
Yaitu: Kitab Kelima dari Rubu' Yang Membinasakan dari
“KITAB IHYA'‑'ULUMI’DDIN”
Segala pujian bagi Allah yang tidak
berpegang kepada kema'afan dan kerahmatanNYA, selain orang‑orang yang
mengharap. Dan tidak takut kepada buruk kemarahan dan keperkasaanNYA, selain
orang‑orang yang takut. lA yang mengangsur (kearah kebinasaan) hamba‑hambaNYA,
dimana mereka tiada mengetahuinya. DIA mengerasi nafsu‑syahwat
dan menyuruh mereka meninggalkan apa yang menjadi nafsu‑syahwat mereka. DIA mencoba
mereka dengan kemarahan dan memberatkan mereka menahan kemarahan
itu, mengenai apa yang dimarahi mereka.
Kemudian DIA kelilingkan mereka dengan hal‑hal
yang tidak disukai (al‑makaarih) dan berbagai macam kesenangan. Dan lA
menangguhkan kepada mereka, untuk IA melihat, bagaimana mereka itu berbuat.
Dan DIA mencoba dengan yang demikian, akan
kecintaan mereka, untuk diketahuiNYA kebenaran mereka mengenai apa yang didakwakan
mereka. DIA memperkenalkan kepada mereka, bahwa tiada tersembunyi suatupun
kepadaNYA, daripada yang dirahasiakan mereka dan yang dilahirkan mereka. DIA
memperingati mereka, bahwa IA mengambil mereka dalam sekejap mata (secara tiba‑tiba)
dan mereka itu tiada mengetahuinya. ALLAH berfirman: “Tak ada lagi yang mereka
tunggu, melainkan suatu suara keras, yang akan menyiksa mereka, ketika mereka
dalam berbantahan sesamanya. Mereka tiada berkesempatan menyampaikan pesan dan
tiada pula dapat kembali kepada keluarganya". S 36 Yaasiin ayat 49‑50.
Rahmat dan
sejahtera kepada Muhammad RasuINYA, yang berjalan para nabi‑nabi dibawah
benderanya. Dan kepada keluarga dan shahabat‑shahabatnya imam‑imam yang
menunjukkan jalan dan penghulu‑penghulu yang memperoleh kerelaan, rahmat yang
seimbang bilangannya dengan bilangan yang ada dari makhluk Allah dan apa yang
akan ada. Dan memperoleh bahagian dengan barokahnya, orang‑orang dahulu dan
orang‑orang kemudian. Curahilah kesejahteraan dengan sebanyak‑banyaknya !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya marah itu
nyala api, yang diambil dari api neraka Allah, yang dinyalakan, yang naik ke
hati. Dan api itu menetap dalam lipatan hati, sebagaimana menetapnya bara api
dibawah abu. Dan akan dikeluarkannya oleh kesombongan yang tertanam, dalam hati
tiap‑tiap orang perkasa, yang keras kepala, seperti dikeluarkan oleh batu, akan
api dari besi. Dan telah tersingkap bagi orang‑orang yang memandang dengan nur
keyakinan (nurul‑yaqin), bahwa manusia itu ditarik oleh urat darahnya kepada
setan yang terkutuk. Maka barangsiapa dikejutkan oleh api kemarahan, maka
sesungguhnya kuatlah padanya kedekatan setan, dimana setan itu berkata:
"ENGKAU jadikan aku dari api dan
ENGKAU jadikan dia (Adam) dari tanah". Maka sesungguhnya keadaan tanah itu
tetap dan tenteram, sedang keadaan api itu menyala‑nyala, hilang‑timbul,
bergerak dan bergejolak. (Api dapat dipadamkan dengan tanah pent)
Diantara hasil
dari marah itu, ialah dendam dan dengki. Dengan dendam dan dengki, binasalah orang yang binasa dan
rusaklah orang yang rusak. Dan tempat tinggal dendam dan dengki itu, ialah
sekumpul daging (mudl‑ghah). Apabila daging yang sekumpal itu baik, niscaya
baiklah tubuh yang lain bersamanya. Apabila dendam, dengki dan marah itu
termasuk diantara yang menghalau hamba Allah ke tempat kebinasaan, maka
alangkah di perlukannya, mengetahui segala kebinasaan & keburukan‑keburukannya.
Supaya ia menjaga yang demikian & memeliharakannya. Dan menghilangkannya
dari hati, jikalau ada dan meniadakan nya. Dan mengobatinya, kalau sudah
melekat pada hati dan menyembuhkannya. Sesungguhnya orang yang tiada mengenal
kejahatan, niscaya akan jatuh ke dalamnya. Dan orang yang mengenal kejahatan,
maka mengenal saja tidak cukup sebelum ia mengenal jalan, yang dengan jalan itu,
ia menolak kejahatan dan menjauhkannya. Kami akan menyebutkan tercelanya marah
dan bahaya‑bahaya dendam dan dengki pada Kitab ini.
Dan bahaya itu akan dikumpulkan oleh
penjelasan tercelanya marah.
Kemudian penjelasan hakikat/makna marah:
Kemudian penjelasan bahwa marah itu
adakah mungkin dihilangkan asaInya dengan latihan (riadlah) atau tidak?
Kemudian, penjelasan sebab‑sebab yang
mengobarkan kemarahan.
Kemudian penjelasan pengobatan marah
sesudah bergejolaknya.
Kemudian, penjelasan keutamaan menahan
kemarahan.
Kemudian, penjelasan keutamaan tidak lekas marah (hilmun).
Kemudian, penjelasan kadar perkataan yang
boleh untuk menolong diri dan terobat dari kemarahan.
Kemudian, pembicaraan tentang arti dendam
(al‑haqd) dan hasil keyakinannya, keutamaan ma'af dan kasih sayang.
Kemudian, pembicaraan mengenai tercelanya
dengki, mengenai hakekat & sebab‑sebab serta pengobatannya. Dan tujuan
kewajiban pada menghilangkannya.
Kemudian, penjelasan sebab tentang
banyaknya dengki diantara teman‑teman sebaya, kawan‑kawan, saudara‑saudara
& diantara anak paman & famili‑famili terdekat. Dan menguatnya dan
sedikitnya pada orang lain dan melemahnya.
Kemudian, penjelasan obat yang meniadakan
penyakit dengki dari hati.
Kemudian, penjelasan batas yang wajib
pada meniadakan dengki dari hati. Wa
bi'llahit‑taufik. Kiranya memperoleh taufiq dari Allah.
PENJELASAN tercelanya marah.
Allah Ta’ala berfirman:
"Perhatikanlah ketika timbul dalam hati orang‑orang yang tiada beriman
itu, perasaan kebencian (kesombongan) masa jahiliyah. Maka Allah menurunkan
ketenanganNYA kepada RasuINYA dan kepada orang‑orang yang beriman dan
menetapkan kalimat taqwa (memelihara diri dari kejahatan) untuk mereka dan
mereka lebih berhak dan patut untuk itu. S 48 AI Fath ayat 26. Tercelanya orang‑orang
kafir (orang‑orang yang tiada beriman), disebabkan apa yang diperlihatkan
mereka, kesombongan yang timbul dari kemarahan dengan salah. Dan terpujinya
orang‑orang mu'min, disebabkan ketenangan yang diturunkan oleh Allah kepada
mereka.
Diriwayatkan Abu
Hurairah, bahwa seorang laki‑laki berkata kepada Nabi: "Wahai Rasulu'llah!
Suruhlah aku dengan amal pekerjaan dan sedikitkanlah!”. Maka Nabi saw menjawab:
"Jangan engkau marah!”. Kemudian, orang tadi mengulangi lagi, lalu Nabi
saw menjawab: "Jangan engkau marah!”.
Ibnu 'Umar
berkata: "Aku berkata kepada Rasulu'llah: "Katakanlah kepadaku suatu
perkataan dan sedikitkanlah! Mudah‑mudahan aku memahaminya". Lalu
Rasulu'llah saw menjawab: "Jangan engkau marah!". Maka aku ulangi
perkataan tadi 2 kali kepada Rasulu'llah. Tiap‑tiap kali yang demikian, beliau
kembali kepada jawaban: “Jangan engkau
marah”.
dari Abdullah bin
'Amr, bahwa ia bertanya kepada Rasulu'llah saw: "Apakah yang melepaskan
aku dari kemarahan Allah?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Jangan engkau
marah!”. Ibnu Mas'ud ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Apakah yang
kamu hitung membanting pada kamu?”.
Lalu kami jawab: "Yang tidak
dibanting oleh orang‑orang lain". Maka Nabi saw menjawab: "Tidak
demikian. Tetapi yang memiliki (menguasai) dirinya ketika marah". Abu
Hurairah ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Tidaklah orang kuat itu
dengan membanting. Sesungguhnya orang kuat, ialah yang memiliki (menguasai)
dirinya ketika marah".
Ibnu 'Umar
berkata: "Nabi saw bersabda: "Barangsiapa menahan kemarahannya,
niscaya ditutup oleh Allah auratnya (yang
malu diketahui orang)”. Nabi Sulaiman bin Daud as berkata: "Hai
anakku! Jagalah dirimu dari banyak marah! Sesungguhnya banyak marah itu
meringankan hati orang penyantun". Dari 'Akramah mengenai firman Allah
Ta’ala: “dan pemimpin dan orang suci”.
S 3 AALl ‘Imraan ayat 39. Maka kata 'Akramah, bahwa sayyidan pada ayat tadi,
artinya: orang yang tidak dapat
dikalahkan oleh marahnya”.
Abu'd‑Darda'
berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Tunjukkan aku kepada amal
yang memasukkan aku kedalam sorga!”. Nabi saw menjawab: "Jangan engkau
marah!”.
Yahya berkata
kepada Isa as: "Jangan engkau marah!”. Isa menjawab: "Aku tidak
sanggup untuk tidak marah. Sesungguhnya aku manusia". Kata Yahya lagi:
"Jangan engkau menyimpan harta!”. Isa as menjawab: "Ini mudah‑mudahan!”.
Nabi saw bersabda:
"Marah itu merusakkan iman, seperti buah pahit merusakkan madu. Nabi saw
bersabda: "Tiadalah seseorang itu marah, melainkan mendekatkan nya kepada
neraka jahannam". Seorang laki‑laki bertanya kepada Nabi saw: “Barang
apakah yang lebih berat!”. Nabi menjawab:“Kemarahan Allah!”. Orang itu bertanya
lagi: "Apakah yang dapat menjauhkan aku dari kemarahan Allah!”. Nabi saw
menjawab: "Jangan engkau marah!”. Menurut al‑atsar (kata para shahabat dan orang‑orang terkemuka), diantara
lain, ialah: Al Hasan AI‑Bashari berkata: "Hai anak Adam! Tiap kali engkau
marah, maka engkau itu melompat. Dan hampirlah engkau melompat suatu lompatan,
maka jatuhlah engkau dalam api neraka".
Dari Iskandar
Zulkarnain dirawikan, bahwa ia bertemu dengan salah seorang malaikat, lalu la
berkata: "Ajarilah aku suatu pengetahuan, yang bertambah aku dengan
pengetahuan itu, keimanan dan keyakinan!”. Malaikat itu menjawab:
"Jangan engkau marah!”. Sesungguhnya setan itu lebih berkuasa atas anak
Adam, ketika anak Adam itu marah. Maka tolaklah kemarahan itu dengan menahan
marah dan tenangkanlah dia dengan kasih sayang!. Jagalah dari tergopoh‑
gopoh! Sesungguhnya engkau apabila tergopoh‑gopoh,
niscaya engkau telah menyalahkan keuntungan engkau. Hendaklah engkau itu
mudah, lemah‑lembut bagi yang dekat dan bagi yang jauh! Dan janganlah engkau
itu terlalu keras dan keras kepala!”.
Dan Wahb bin
Munabbih, yang meriwayatkan bahwa seorang pendeta berada di gerejanya. Maka
setan bermaksud menyesatkannya. Lalu setan itu tidak sanggup. Maka setan
tersebut datang kepada pendeta tadi, sehingga mendekatinya. Lalu setan itu
berkata kepada pendeta tersebut: "Bukalah!”. Pendeta itu tidak menjawab.
Lalu setan itu berkata lagi: "Bukalah! Sesungguhnya jikalau aku pergi,
niscaya engkau menyesal". Tetapi pendeta itu, tidak juga menoleh kepada
setan itu. Lalu setan tadi berkata: "Sesungguhnya aku ini AI‑Masih!”. Maka
pendeta itu menjawab: “Jikalau engkau Al Masih, maka apa yang akan aku perbuat
dengan engkau? Bukankah engkau telah menyuruh kami beribadah dan bekerja
sungguh‑sungguh? Dan engkau menjanjikan kepada kami akan hari kiamat? Kalau
engkau datang kepada kami pada hari ini, dengan yang lain, niscaya kami tiada
akan menerimanya dari engkau". Lalu setan itu menjawab:
"Sesungguhnya aku ini setan. Aku bermaksud menyesatkan engkau lalu aku
tidak sanggup. Maka aku datang kepada engkau, supaya engkau bertanya padaku apa
yang engkau kehendaki. Lalu akan aku terangkan kepada engkau". Pendeta itu
menjawab: "Aku tidak bermaksud bertanya pada engkau sesuatu". Wahb bin Munabbih meneruskan riwayatnya maka
setan itu berpaling membelakang. Maka pendeta itu bertanya: "Apakah tidak
engkau dengar!”. Setan itu menjawab: "Ada!”. Lalu pendeta itu berkata:
"Terangkanlah kepadaku, budi pekerti mana dari anak Adam, yang lebih
menolong engkau diatas mereka?”. Setan itu menjawab: "Kemarahan! Bahwa
seseorang apabila marah, maka akan kami balik‑balikkan dia, seperti anak‑anak
kecil membalik‑balikkan bola.
Khaitsamah bin
Abdurrahman (seorang tabi'in yang kepercayaan) berkata: "Setan itu
berkata: "Bagaimana anak Adam dapat mengalahkan aku. Apabila ia rela
(setuju), niscaya aku datang, sehingga aku berada dalam hatinya. Dan apabila
ia marah, niscaya aku terbang, sehingga aku berada pada kepalanya".
Jafar bin Muhammad
berkata: “Kemarahan itu anak kunci semua kejahatan". Sebahagian orang anshar (orang‑orang muslim Madinah yang
membantu Nabi saw) berkata: "Kepala kedunguan itu marah. Panglima
kedunguan itu marah. Barangsiapa rela dengan kebodohan, niscaya ia tidak memerlukan
kesantunan. Kesantunan itu hiasan dan kemanfa'atan. Dan kebodohan itu
kekurangan dan kerugian. Dan diam daripada menjawab pertanyaan orang
dungu itu, adalah jawabannya".
Mujahid
berkata: "Kata Iblis: "Aku tidak dapat dilemahkan oleh anak Adam.
Mereka tidak akan dapat melemahkan aku pada tiga hal yaitu:
1. Apabila salah seorang mereka mabuk,
lalu kami ambil dengan talinya, maka kami halau dia kemana kami kehendaki. Dan
ia bekerja untuk kami dengan yang kami sukai.
2. Apabila ia marah, niscaya ia berkata
dengan apa yang tiada diketahuinya. Dan ia berbuat dengan apa yang disesalinya.
3. Ia kikir dengan apa yang ada dalam
tangannya dan ia bercita‑cita (berangan‑angan) dengan apa yang tidak
disanggupinya.
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah
(filosuf): "Apakah yang membuat si Anu dapat memiliki (menguasai) dirinya?".
Filosuf itu menjawab: "Apabila ia
tidak dihinakan oleh nafsu syahwatnya, ia tidak dibanting oleh hawa nafsunya dan
ia tidak dikalahkan oleh
kemarahannya". Sebahagian mereka berkata: "Awaslah dari
kemarahan! Sesungguhnya marah itu membawa engkau berkesudahan kepada kehinaan
meminta ma'af”. Ada yang mengatakan: "Jagalah dirimu dari kemarahan! Maka
sesungguhnya kemarahan itu, merusakkan iman, sebagaimana buah pahit merusakkan
madu".
Abdullah bin
Mas'ud ra berkata: “Perhatikanlah kepada kelemah‑lembutan orang ketika marahnya
dan amanahnya ketika rakusnya! Dan apa yang diajarkan nya engkau dengan kelemah‑lembutannya,
apabila ia tidak marah. Dan apa yang diajarkannya engkau dengan amanahnya,
apabila ia tidak rakus".
Khalifah Umar bin
Abdul‑aziz ra menulis surat kepada karyawannya: "Bahwa engkau tidak
menghukumkan seseorang, ketika engkau marah. Maka tahanlah orang itu! Lalu
apabila kemarahan engkau telah tenang, maka keluarkanlah dia dari tahanan! Lalu
hukumkanlah orang itu menurut dosanya. Dan tidak engkau melewati dari 15 kali
cemeti!”.
Ali bin Zaid
berkata: "Seorang laki‑laki dari Ouraisy telah berkata begitu kasar kepada
Khalifah Umar bin Abdul‑aziz. Lalu Umar menekurkan kepalanya pada masa yang
lama. Kemudian, ia berkata: "Aku bermaksud, bahwa aku dikejutkan oleh
setan, dengan kemegahan kekuasaan. Maka aku memperoleh daripada engkau pada
hari ini, apa yang akan engkau peroleh dari padaku pada hari esok”.
Sebahagian mereka
berkata kepada anaknya: "Hai anakku! Akal itu tidak tetap ketika marah,
sebagaimana tidak tetap nyawa orang yang hidup pada dapur roti yang menyala‑nyala”.
Manusia yang paling sedikit marahnya, ialah: “orang yang lebih berakal”. Maka jikalau ia untuk dunia, niscaya
adalah ia cerdik dan tipu‑daya. Dan jikalau ia untuk akhirat, niscaya adalah ia
lemah‑lembut & berilmu". Ada yang mengatakan: "Marah itu musuh
akal & marah itu hantu bagi akal"
Adalah Umar ra
apabila berpidato, niscaya ia mengucapkan dalam pidatonya: "Memperoleh
kemenangan dari kamu, orang yang menjaga dirinya dari kerakusan, hawa‑nafsu dan
kemarahan". Sebahagian mereka berkata: “Barangsiapa mengikuti nafsu‑syahwatnya
dan kemarahannya, niscaya dua hal itu menghalaukannya kepada api neraka".
Al Hasan AI‑Bashari
ra berkata: "Diantara tanda orang
muslim, ialah: kuat pada keagamaan, hati‑hati pada kelunakan, iman pada
keyakinan, ilmu pada kelemah‑lembutan, pintar pada berteman, memberi pada
kebenaran, sederhana pada kekayaan, berbaik‑baik pada kemiskinan, berbuat baik
pada kekuasaan, menanggung beban pada berteman dan sabar pada kesukaran. la
tidak dikalahkan oleh marah, tidak dilarikan oleh kesombongan, tidak
dikalahkan oleh nafsu‑
syahwat, tidak
diberi malu oleh perutnya, tidak diringankan oleh kelobaannya dan tidak
dipendekkan oleh niatnya. Maka ia menolong orang yang teraniaya. Ia kasih
sayang kepada orang yang lemah. Ia tidak kikir, tidak mubazir, tidak royal
(berlebih‑lebihan) dan tidak terlalu berhemat terhadap keluarganya. la memberi
ampunan, apabila ia dianiaya dan memberi ma'af, dari orang bodoh, dimana
dirinya dalam kesusahan dan manusia lain dalam kemewahan".
Orang berkata
kepada Abdullah bin AI‑Mubarak: “Terangkanlah kepada kami kesimpulan kebagusan
budi‑pekerti dalam suatu kata‑kata!”. Lalu Abdullah menjawab: “Meninggalkan
marah". Salah seorang nabi berkata kepada orang yang mengikutinya:
"Siapa yang menjamin kepadaku, bahwa ia tidak marah, maka ia bersama aku
pada tingkatku. Dan ia sesudahku menjadi khalifahku". Lalu seorang pemuda
dari kaum itu menjawab: "Aku!”. Kemudian nabi itu mengulangi lagi pada
pemuda tersebut. Lalu pemuda itu menjawab: "Aku akan menepati jaminan
itu". Maka tatkala nabi tersebut meninggal, niscaya pemuda tadi berada
pada tingkatnya sesudahnya. Pemuda tadi, ialah: Dzul‑kifli namanya. Ia dinamakan dengan nama tersebut, karena ia
menjamin dengan: marah dan menepatinya. Wahb
bin Munabbih berkata: "Kufur itu mempunyai 4 sendi, yaitu: marah, nafsu‑syahwat,
bodoh dan loba.
PENJELASAN:
hakikat/makna marah.
Ketahuilah, bahwa Allah Ta'ala tatkala
menjadikan hewan (mahluk hidup) yang mendatangkan kepada kerusakan dan
kebinasaan, dengan sebab‑sebab dalam
tubuhnya dan sebab‑sebab diluar
tubuhnya, niscaya Allah Ta’ala mencurahkan ni'mat kepadanya, dengan yang
memeliharakannya dari kerusakan dan yang menolak nya dari kebinasaan, sampai
kepada masa yang dimaklumi, yang disebutkanNYA dalam KitabNYA.
Adapun sebab yang didalam, yaitu: bahwa Allah
Ta’ala menyusun kejadian dari panas dan basah. Dan dijadikanNya diantara panas
dan basah itu, permusuhan dan berlawanan. Maka senantiasalah panas itu
menghancurkan basah, mengeringkan dan menguapkannya. Sehingga bahagian‑bahagiannya
menjadi uap, yang naik daripadanya. Maka jikalau tidak disambung dengan basah
itu oleh pertolongan makanan, yang akan menggantikan yang hancur dan yang
menguap dari bahagian‑bahagiannya, niscaya hewan itu rusak.
Lalu Allah Ta’ala
menjadikan makanan yang sesuai dengan badan hewan. Dan dijadikanNya pada hewan
itu, nafsu keinginan yang menggerakkannya untuk mengambil makanan, seperti
diwakilkan untuk menampalkan apa yang pecah dan menggantikan apa yang rusak.
Supaya adalah yang demikian itu penjaganya dari kebinasaan dengan sebab
tersebut.
Adapun sebab‑sebab yang di luar, yang didatangi
insan, maka ialah, seperti: pedang, mata tombak dan pembinasa‑pembinasa
lainnya yang dimaksudkan. Maka insan itu memerlukan kepada kekuatan dan
kekerasan yang bergolak, dari batiniahnya. Maka tertolaklah pembinasa‑pembinasa
itu daripadanya. Maka Allah Ta’ala menjadikan sifat marah itu dari api. Dan dijadikanNya sifat itu menjadi gharizah/instink pada insan. Dan diramaskanNya dengan
lumpurnya. Maka manakala ia terhambat, dari salah satu hajatnya dan salah satu
dari maksudnya, niscaya menyalalah api kemarahannya. Dan api itu berkobar, yang
menjadikan darah hati itu mendidih dan berhamburan pada urat‑urat. Dan meninggi
kebahagian badan sebelah atas sebagaimana meningginya api. Dan sebagaimana
meningginya air yang dipanaskan dalam periuk. Maka karena itulah tertuang
kepada muka. Lalu muka dan mata itu merah. Sedang kulit, karena jernihnya,
membayangkan warna merah darah di sebaliknya, sebagaimana kaca membayangkan
warna barang padanya. Sesungguhnya darah itu mengembang, apabila seseorang
memarahi orang di bawahnya dan merasa berkuasa terhadap orang itu. Jikalau
kemarahan itu timbul terhadap orang yang di atasnya dan ia berputus asa untuk
membalas dendam, niscaya terjadilah kekecutan darah dari permukaan kulit,
sampai kepada rongga hati. Dan jadilah ia bergundah hati. Dan karena, itulah
warna menjadi kuning. Dan jikalau kemarahan itu terjadi, terhadap orang yang
sebanding, yang ragu ia padanya, niscaya darah itu bulak‑balik antara kecut dan
mengembang. Lalu ia berwama merah, menguning dan menggeletar.
Kesimpulannya:
kekuatan marah itu, tempatnya hati. Dan
artinya: menggelegak darah hati, untuk menuntut balas. Dan kekuatan itu
ditujukan ketika berkobarnya, kepada menolak yang menyakitkan, sebelum
terjadi. Dan kepada kesembuhan dan menuntut balas, sesudah terjadi. Menuntut
balas itu adalah makanan kekuatan tersebut dan keinginannya. Dan pada menuntut
balas itu kesenangannya. Ia tidak tenteram, selain dengan menuntut balas
Kemudian, sesungguhnya manusia pada kekuatan ini, terbagi kepada 3 tingkat
pada permulaan kejadiannya
(fitrahnya): yaitu dari tafrith(sangat
berkurang), ifrath(berlebih-lebihan) dan i'tidal(batas sedang), maka dengan tidak‑adanya kekuatan ini atau dengan lemahnya. Dan yang demikian itu tercela. Yaitu, yang dikatakan:
bahwa orang itu tidak mempunyai kepanasan
hati.
Dan karena itulah
Imam Asy‑Syafi'i ra berkata: "Orang yang diperbuat
sesuatu untuk marah, lalu ia tidak marah, maka orang itu keledai" Orang
yang tiada mempunyai sedikit pun kekuatan marah dan kepanasan hati, maka orang
tersebut itu kurang sekali.
Allah S.W.T.
menyifatkan shahabat‑shahabat Nabi saw dengan syiddah/sikap keras, dan kepanasan hati. Allah berfirman:
"Muhammad itu Utusan Allah! Dan
orang‑orang yang beriman dengan dia, bersikap keras terhadap orang‑orang kafir,
bersifat kasih‑sayang antara sesama mereka". S 48 AI Fath ayat 29. Allah
Ta’ala berfirman kepada NabiNYA: "Hai Nabi! Berjuanglah dengan sungguh‑sungguh
melawan orang‑orang kafir dan orang‑orang munafik
(beriman palsu), dan bersikap keraslah terhadap mereka! Tempat diam mereka
adalah neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang amat buruk". S 66 At
Tahrim ayat 9. Sikap keras dan tegas
itu, termasuk diantara bekas‑bekas kekuatan kepanasan hati. Yaitu: marah.
Adapun ifrath (berlebih‑lebihan), yaitu, bahwa
sifat ini (sifat marah) yang menang, sehingga ia keluar dari kebijaksanaan
akal, agama dan keta'atannya. Dan tidak tinggal lagi bagi manusia itu,
penglihatan hati, pandangan dan pikiran. Dan tak ada usaha. Tetapi ia menjadi
dalam bentuk orang yang terpaksa. Sebab kemenangan marah itu, beberapa keadaan
gharizab (instink) dan beberapa keadaan kebiasaan (adat kebiasaan). Maka
banyaklah manusia dengan fitrahnya, tersedia untuk cepat marah. Sehingga
seolah‑olah bentuknya pada fitrahnya
(kejadiannya) itu, bentuk orang
pemarah. Dan menolong kepada yang demikian, oleh panas tabiat hati. Karena
marah itu dari api, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. Dan sesungguhnya,
dinginnya tabiat itu, memadamkan marah dan memecahkan tanda‑tandanya.
Adapun sebab‑sebab
kebiasaan, yaitu: ia bercampur‑baur dengan suatu kaum yang menyombong dengan
kesembuhan marah dan menta'ati marah. Dan mereka menamakan yang demikian itu: keberanian dan kelaki‑lakian. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan:
"Aku orang yang tidak sabar atas penipuan dan kemustahilan. Dan aku,
tidak tanggung sesuatu urusan dari seseorang". Artinya: “Tak ada akal
padaku dan tak ada kelemah lembutan". Kemudian disebutkan nya dalam
mengemukakan kesombongan dengan kebodohannya. Maka barangsiapa mendengarnya,
niscaya melekat pada dirinya, kebagusan marah dan kesukaan menyerupai dengan
kaum tersebut. Maka dengan demikian kuatlah marahnya. Manakala bersangatan api
kemarahan dan kuat menyalanya, niscaya Membutakan yang punya api itu dan
menulikan nya dari setiap pengajaran. Maka apabila ia diberi pengajaran,
niscaya tidak didengarnya. Bahkan yang demikian menambahkan kemarahannya. Dan
apabila ia memperoleh cahaya dengan nur akaInya dan ia kembali kepada dirinya,
niscaya ia tidak sanggup. Karena nur akaInya padam dan terus tersapu dengan
asap kemarahan. Sesungguhnya tambang fikiran itu otak. Dan naiklah asap yang
gelap ketika bersangatan marah, dari menggelagaknya darah hati, keotak, yang
menguasai tambang‑tambang pikiran. Dan kadang‑kadang ia melampaui kepada
tambang‑tambang perasaan. Lalu matanya gelap, sehingga ia tidak melihat dengan
matanya itu. Dan menghitamlah dunia kepadanya seluruhnya. Dan adalah otaknya
seumpama gua, yang menggelegak api didalamnya. Lalu udaranya hitam dan
tempatnya itu panas dan sekelilingnya penuh dengan asap. Dan ada padanya lampu
yang lemah sinarnya. Lalu terhapus atau padam cahayanya. Maka tidak tetap
tapak kaki padanya. Tidak terdengar padanya perkataan. Tidak terlihat padanya
suatu bentukpun. Dan tidak sanggup ia memadamkannya, baik dari dalam atau dari
luar. Akan tetapi sayogialah bersabar, sampai terbakar semua yang dapat
dibakar. Maka begitulah kiranya, marah itu berbuat dengan hati dan otak.
Dan kadang‑kadang
api kemarahan itu kuat. Lalu melenyapkan basah, dimana dengan basah itu, hidup
hati. Maka matilah yang punya hati, karena kemarahan. Sebagaimana kuatnya api
dalam gua, Ialu gua itu runtuh dan pecah bahagian atasnya, keatas bahagian
bawahnya. Dan yang demikian itu, karena dirusakkan oleh api, kekuatan
sekelilingnya, yang menyikat, yang mengumpulkan bahagian‑bahagian gua. Maka
beginilah haInya hati ketika marah. Dan pada hakikat/maknanya, sebuah perahu
dalam hempasan ombak ketika kekacauan angin, ditengah lautan itu, lebih baik
haInya dan lebih besar harapan selamat, dibandingkan dengan jiwa yang kacau,
karena kemarahan. Karena dalam perahu itu, ada orang yang berdaya‑upaya
menenteramkan dan mengaturkannya. Dan melihat dan memimpinkannya.
Adapun hati, maka
dialah yang punya perahu. Dan telah berguguranlah daya‑upayanya. Karena ia
dibuatkan oleh kemarahan dan ditulikannya. Diantara bekas‑bekas kemarahan Ini
pada zahir, ialah: berobah warna, kesangatan
gementar pada sendi‑sendi badan, keluarnya perbuatan, tanpa tertib dan teratur, kacaunya gerak dan perkataan. Sehingga lahirlah buih pada
tepi mulut, merahlah biji mata, berbalikIah hidung dan berobahlah bentuk tubuh.
Dan jikalau orang yang sedang marah itu melihat kekejian bentuknya, ketika
sedang marah, niscaya akan tenang kemarahannya. Karena malu dari kekejian
bentuknya dan perobahan kejadiannya. Dan kekejian batiniyahnya itu lebih
besar, dibandingkan dengan kekejian zahiriyahnya. Sesungguhnya zahiriyah itu,
suatu tanda (alamat) bagi batiniyah. Dan yang pertama‑tama, sesungguhnya buruk bentuk batiniyah. Kemudian, yang
kedua berkembang keburukannya kepada zahiriyah. Lalu berobahlah zahiriyah,
sebagai buah (hasil perobahan batiniyah). Maka bandingkanlah antara buah dengan yang membuahkan. Maka inilah bekasnya pada tubuh!
Adapun bekasnya
pada lidah, maka yaitu: lancarnya
memaki dan berkata keji, dimana orang yang berakal malu daripadanya. Dan orang yang
mengatakannya pun, malu ketika kemarahan sudah menurun. Dan yang demikian,
serta binasanya peraturan dan kacaunya kata‑kata.
Adapun bekasnya
pada anggota badan, maka, yaitu: pemukulan, penyerangan, pengoyakan pakaian,
pembunuhan dan pelukaan, ketika mungkin yang demikian, tanpa ambil pusing. Maka jikalau yang dimarahi
itu lari daripadanya atau tidak dapat dikejar oleh sesuatu sebab dan orang yang
marah itu lemah dari kesembuhan amarahnya, niscaya kemarahan itu kembali
kepada yang marah sendiri. Lalu ia mengoyakkan kainnya sendiri dan menempeleng
dirinya. Dan kadang‑kadang ia memukul lantai dengan tangannya. Dan ia berlari‑lari,
sebagaimana larinya orang yang terganggu pikiran, yang mabuk dan orang yang
tercengang keheranan. Kadang‑kadang ia jatuh tersungkur, tidak sanggup lari dan
bangkit berdiri, disebabkan kesangatan marah. Dan menimpa atas dirinya,
seperti pingsan. Kadang‑kadang ia memukul barang keras dan binatang. Lalu
dipukulnya‑umpamanya‑piring diatas lantai. Kadang‑kadang dipecahkannya meja
makan, apabila ia marah kepada meja makan. Ia berbuat perbuatan‑perbuatan orang
gila. Lalu dimakinya binatang dan benda‑benda keras Dan ditujukannya ucapan
kepada benda‑benda itu. Dan dikatakannya: "Sampai kapan ini dari engkau,
hai begitu‑begitu. Seolah‑olah ia menujukan pembicaraan kepada yang berakal.
Sehingga kadang‑kadang, ia disepak oleh hewan, Ialu ia menyepak hewan itu. Dan
ditantangnya hewan tersebut dengan demikian.
Adapun bekasnya
pada hati serta orang yang dimarahi, maka, yaitu: dendam, dengki,
menyembunyikan yang buruk, memaki‑maki dengan yang jahat, susah kalau yang
dimarahi senang‑gembira, bercita‑cita membuka rahasia, merusakkan tabir yang
menutup hal‑hal yang memalukan yang dimarahi, mengejek dan kekejian ‑ kekejian
yang lain dari yang demikian. Inilah
buah (hasil) kemarahan yang bersangatan!
Adapun buah
(hasil) kepanasan hati yang lemah, maka, yaitu: sedikitnya sombong daripada yang disombongkan, daripada menyinggung kepada mahram (orang yang haram
dikawini), istri dan budak wanita dan menanggung kehinaan dipermain‑mainkan
dengan kezaliman, kecil jiwa dan kehinaan. Dan itu juga tercela. Karena
diantara buahnya (hasilnya) ialah: tiada cemburu terhadap mahram. Dan itu
adalah sifat kewanitaan. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Saad itu
pencemburu dan aku lebih cemburu dari Saad. Dan sesungguhnya Allah lebih
cemburu daripadaku". Sesungguhnya dijadikan cemburu itu, untuk pemeliharaan
keturunan. Jikalau manusia sangat berlapang dada (bertoleransi) dengan yang
demikian, niscaya bercampur‑aduklah keturunan. Dan karena itulah dikatakan: tiap-tiap ummat itu diletakkan cemburu pada
laki‑lakinya dan diletakkan penjagaan
diri pada kaum wanitanya. Sebahagian dari lemahnya kemarahan itu, kelemahan
hati dan berdiam diri ketika melihat perbuatan munkar.
Nabi saw bersabda:
"Sebaik‑baik ummatku itu, orang‑orang yang paling keras". Ya'ni:
pada agama. Allah Ta’ala berfirman: "Janganlah sayang kepada
keduanya (perempuan dan laki‑laki yang berzina) dalam menjalankan (hukum)
Allah". S 24 An Nur ayat 2. Bahkan,
siapa yang ketiadaan marah, niscaya ia lemah daripada melatih dirinya. Karena
tiada sempurna latihan, selain dengan mengeraskan kemarahan atas nafsu‑syahwat.
Sehingga ia marah kepada dirinya, ketika cenderung kepada nafsu‑syahwat yang
keji. Maka ketiadaan marah itu tercela. Dan sesungguhnya yang terpuji, ialah
marah yang menunggu isyarat (penunjukan) akal dan agama. Lalu marah itu
bangkit, ketika wajib kepanasan hati dan padam, dimana baik kelemah‑lembutan.
Menjaga marah kepada batas sedang (i'tidal) itu, ialah: berdiri lurus (istiqamah) yang diberatkan (di‑taklif‑kan) oleh
Allah kepada hambaNYA. Yaitu: ditengah‑tengah
(wasath) yang disifatkan oleh Rasulu'llah saw dimana beliau bersabda:
"Sebaik‑baik pekerjaan, ialah: yang ditengah‑tengahnya". Maka siapa yang
marahnya cenderung kepada kelesuan, sehingga ia merasa dirinya kelemahan
cemburu dan kehinaan diri pada menanggung kehinaan dan kezaliman pada tidak
tempatnya, maka sayogialah ia mengobati dirinya, sehingga kuatlah marahnya.
Dan siapa yang cenderung marahnya kepada berlebih‑lebihan, sehingga
menarikkannya kepada sangatnya berani (at‑tahawwur) dan melakukan perbuatan‑perbuatan
keji, maka sayogialah ia mengobati dirinya, supaya berkurang dari tanda
kemarahan. Dan berdiri diatas yang tengah‑tengah
yang benar diantara dua tepi. Maka itulah jalan yang lurus (ash‑shiratul‑mustaqim). Dan jalan itulah yang
lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari pedang. Maka kalau ia
lemah daripadanya, niscaya hendaklah ia mencari kedekatan daripadanya.
Allah Ta’ala
berfirman: “Dan kamu tidak akan dapat
berlaku adil antara isteri‑isterimu, biar kamu sangat ingin (berbuat begitu).
Sebab itu, janganlah kamu terlampau miring (dari yang satu), sehingga kamu
biarkan dia sebagai tergantung". S 4 An Nisaa' ayat 129.
Maka tidaklah tiap‑tiap
orang yang lemah daripada berbuat kebajikan seluruhnya, lalu sayogialah berbuat
kejahatan seluruhnya. Tetapi, sebahagian kejahatan itu lebih rendah dari
sebahagian. Dan sebahagian kebajikan itu lebih tinggi dari sebahagian. Maka
inilah hakikat/makna marah dan tingkat‑ tingkatnya! Kita meminta pada Allah
akan kebaikan taufiq, bagi apa yang diridoiNYA. Sesungguhnya DIA amat berkuasa
atas apa yang dikehendakiNYA.
PENJELASAN; marah, adakah mungkin dihilangkan pokoknya
dengan latihan atau tidak?
Ketahuilah, bahwa
disangka oleh orang‑orang yang menyangka, bahwa penghapusan marah itu dapat
digambarkan secara keseluruhan. Mereka menda'wakan, bahwa latihan dapat
ditujukan kepada penghapusan marah. Dan dimaksudkan kepadanya. Dan suatu pihak yang
lain menyangka, bahwa marah itu suatu pokok, yang tidak dapat diobati. Dan ini
adalah pendapat orang yang menyangka, bahwa tingkah laku (perangai) itu seperti kejadian tubuh (bentuk tubuh). Keduanya tidak dapat dirobah. Kedua
pendapat tadi lemah. Tetapi yang benar, ialah, apa yang kami sebutkan. Yaitu,
bahwa: tidaklah kekal manusia itu mencintai sesuatu dan membenci sesuatu. Maka
ia tidak terlepas daripada meradang dan marah. Dan selama bersesuaian dengan
dia sesuatu dan menyalahi dengan dia, sesuatu yang lain maka tak boleh tidak,
bahwa ia menyukai yang bersesuaian dengan dia dan membenci yang menyalahi
dengan dia. Dan marah itu mengikuti yang demikian. Sesungguhnya manusia itu,
manakala diambil daripadanya yang disukainya, niscaya sudah pasti ia marah.
Dan apabila ditujukan kepadanya yang dibencinya, niscaya sudah pasti ia marah.
Hanya apa yang disukai manusia itu terbagi kepada 3 bahagian:
Pertama:
apa yang penting
pada hak umumnya manusia, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian &
kesehatan badan. Maka siapa yang mau dipukul badan nya atau dilukai, maka
tidak boleh tidak, ia akan marah. Begitu juga apabila diambil kainnya, yang
menutupi auratnya. Dan begitu pula, apabila ia dikeluarkan dari rumahnya, yang
menjadi tempat tinggaInya. Atau dituangkan airnya, yang digunakan untuk
menghilangkan kehausannya. Maka semua yang tersebut tadi itu penting. Tidak
terlepaslah manusia, dari kebencian dengan hilangnya. Dan dari pada sangat
marah terhadap orang yang menyinggungnya.
Kedua: apa yang tidak penting bagi seseorang
manusia, seperti: kemegahan, harta
banyak, budak belian, & binatang
ternak. Semua yang tersebut ini, adalah disukai, menurut kebiasaan. Dan
bodoh, dengan maksudnya hal‑hal tersebut. Sehingga, jadilah emas & perak
itu dicintai pada diri kedua benda tersebut. Lalu keduanya disimpan &
dimarahi orang yang mencurinya. Walaupun ia tidak memerlukan emas & perak
itu, pada makanan. Maka jenis ini, termasuk yang digambarkan, bahwa: manusia
dapat terlepas dari pokok keberangan (kemarahan) kepadanya. Maka apabila ia
mempunyai rumah yang lebih dari tempat tinggaInya, lalu rumah itu dibongkar
oleh orang zalim, maka bolehlah ia tidak marah. Karena boleh ia dapat melihat
urusan duniawi. Lalu ia menjadi zahid (orang zuhud), mengenai tambahan dari yang
diperlukan. Maka ia tidak marah dengan diambil orang, rumah itu. Karena ia
tidak menyukai akan adanya. Dan kalau ia menyukai akan adanya, niscaya
sesungguhnya, dapat dipahami dengan mudah, ia marah dengan diambil orang rumah
tersebut. Kebanyakan marah manusia itu, pada apa yang tidak penting (yang tidak
merupakan hajat hidup yang vital), seperti kemegahan, suaranya didengar orang,
mendapat tempat dimuka dalam majelis, bermegah‑megahan dalam ilmu‑pengetahuan.
Maka orang yang keras kecintaannya kepada yang tersebut itu, tidak mustahil,
ia akan marah, apabila didesak oleh orang lain yang mendesaknya, pada tempat
dimuka dalam perayaan‑perayaan. Dan orang yang tiada menyukai demikian, maka ia
tidak perdulikan, walaupun ia didudukkan pada barisan sandal (barisan
terakhir). Ia tidak marah, apabila orang lain duduk diatasnya.
Kebiasaan yang rendah
ini, ialah yang memperbanyakkan manusia suka dan manusia benci. Lalu
membanyakkan marahnya. Dan manakala kehendak dan nafsu‑keinginan itu, lebih
banyak, niscaya adalah yang punya kehendak dan nafsu‑keinginan itu, menurun
dan mengurang darajatnya. Karena hajat keperluan itu, adalah suatu sifat
kekurangan. Maka manakala hajat keperluan itu banyak, niscaya banyaklah
kekurangan. Dan orang bodoh itu selalu berusaha menambahkan hajat keperluannya
& nafsu‑keinginannya. la tidak tahu, bahwa ia membanyakkan sebab duka‑cita
dan kegundahan. Sehingga sampailah sebahagian orang‑orang bodoh, dengan adat‑kebiasaan
yang rendah & pergaulan dengan teman‑teman jahat, bahwa ia marah, jikalau
dikatakan kepadanya: "Bahwa engkau tidak pandai main burung & main
catur. Engkau tidak sanggup minum khamar banyak & makan makanan
banyak". Dan sifat‑sifat kehinaan lain, yang serupa dengan itu. Maka
kemarahan atas jenis ini , tidaklah hal penting. Karena menyukainya, tidaklah
penting.
Ketiga: ialah hal yang
menjadi penting pada sebahagian manusia, tidak pada sebahagian manusia lainnya.
Umpamanya: buku pada orang yang berilmu. Karena ia memerlukan kepada buku itu,
lalu ia mencintainya. Maka ia marah kepada orang yang membakar dan yang menenggelamkan
buku itu dalam air. Begitu pula alat‑alat perusahaan pada seorang pengusaha, yang
tidak mungkin ia memperoleh makanan, selain dengan alat‑alat tersebut. Maka
sesungguh nya, apa yang menjadi jalan, kepada yang penting dan yang dicintai,
niscaya menjadi penting dan dicintai. Dan ini berbeda menurut masing‑masing
orang. Dan kecintaan yang penting, ialah apa yang diisyaratkan oleh Rasulu'llah
saw dengan sabdanya: “Barangsiapa merasa aman pada dirinya, sehat‑afiat pada
badannya dan mempunyai makanan harinya, maka seakan‑akan dikumpulkan dunia
dengan seluruhnya baginya”. Orang yang melihat hakikat/makna segala persoalan
dan diserahkan kepadanya tiga hal tadi, niscaya tergambarlah, bahwa ia tiada
akan marah pada lainnya. Maka inilah tiga perkara! Kami akan menyebutkan tujuan latihan pada masing‑masing daripadanya.
Adapun bahagian
pertama, maka tidaklah
latihannya untuk meniadakan kemarahan hati. Akan tetapi, supaya ia sanggup
untuk tidak menta'ati marah. Dan tidak dipakainya marah itu pada zahiriyahnya,
selain pada batas yang disukai oleh Agama dan dipandang baik oleh akal. Dan yang
demikian itu, mungkin dengan mujahadah/bersungguh-sungguh,
menanggung beratnya kelemah‑lembutan dan tanggungan, pada suatu tempo.
Sehingga kelemah‑lembutan dan tanggungan itu, menjadi budi‑pekerti yang mantap.
Adapun mengalihkan pokok kemarahan dari hati, maka yang demikian itu, tidaklah
kehendak tabiat. Dan itu tidak mungkin. Benar, mungkin memecahkan tandanya dan
melemahkannya, sehingga tidak bersangatan menggelegaknya kemarahan pada batin.
Dan berkesudahan lemahnya, sehingga tidak lahir bekasnya pada muka. Tetapi yang
demikian itu berat sekali. Ini hukum bahagian ketiga juga. Karena apa yang
menjadi penting pada pihak seseorang, maka tidak mencegahnya dari kemarahan,
lantaran orang lain tidak memerlukan kepadanya. Maka latihan padanya itu,
mencegah berbuat dan melemahkan menggelegaknya pada batin. Sehingga tidak bersangatan
merasa pedihnya, bersabar pada yang demikian.
Adapun bahagian kedua: maka
mungkin tercapai dengan latihan, sampai kepada terlepas dari kemarahan. Karena
mungkin dikeluarkan kesukaannya dari hati. Dan yang demikian itu dengan
diketahui oleh manusia, bahwa tanah airnya itu kuburan dan tempat menetapnya
itu akhirat. Dan sesungguhnya dunia itu, tempat menyeberang, yang akan
diseberangi diatasnya. Dan dicari perbekalan dari dunia itu, sekadar yang
penting. Dan dibalik yang demikian itu, adalah bencana pada tanah airnya dan
tempat menetapnya. Maka ia menjadi
zahid (orang zuhud) di dunia dan terhapus kecintaan dunia, dari hatinya.
Jikalau adalah seorang insan mempunyai seekor anjing yang tiada dicintainya,
niscaya ia tidak marah, apabila anjing itu dipukul orang. Maka marah itu
mengikuti kecintaan. Dan latihan pada ini, berkesudahan kepada mengalihkan
pokok kemarahan. Dan itu jarang sekali. Dan kadang‑kadang latihan itu
berkesudahan kepada mencegah daripada pemakaian kemarahan dan berbuat dengan yang
diwajibkannya. Dan itu lebih mudah. Kalau anda berkata, bahwa yang penting dari
bahagian pertama, ialah: merasa pedih
dengan hilangnya barang yang diperlukan, bukan marah. Maka orang yang mempunyai
seekor kambing‑umpamanya dan kambing itu menjadi makanannya, lalu mati, niscaya
ia tidak akan marah kepada seseorang, walaupun terjadi pada peristiwa itu, hal yang
tidak disukainya. Dan tidaklah menjadi hal penting, bahwa tiap-tiap yang tidak
disenangi itu kemarahan.
Sesungguhnya manusia merasa
sakit dengan dibetik/dikatakan dengan nyata dan dibekam/dibicarakan dan tidak
marah kepada pembetik/pembuat kenyataan dan pembekam/pembicaraan itu. Maka
orang yang kuat keesaannya, sehingga ia melihat segala sesuatu itu tangan Allah
dan daripada Allah, maka ia tidak marah kepada seseorang daripada makhlukNYA.
Karena ia melihat mereka terbuat demikian, dalam genggaman qudrah ( kuasa
)NYA, seperti pena pada tangan penulis. Dan orang yang ditanda‑tangani oleh
raja memotong lehernya itu, tidak marah kepada pena. Maka ia tidak akan marah
kepada orang yang menyembelih kambingnya, yang menjadi makanannya. Sebagaimana
ia tidak marah atas kematian kambing itu. Karena ia melihat penyembelihan dan
kematian itu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Lalu tertolaklah kemarahan dengan
kuatnya keesaan. Dan tertolak juga kemarahan itu, dengan baik sangka kepada
Allah. Yaitu bahwa: ia melihat, bahwa semua itu dari Allah. Dan Allah tidak
mentaqdirkan baginya, selain yang padanya kebaikan. Dan kadang‑kadang ada
kebaikan itu, pada sakitnya, laparnya, lukanya dan terbunuhnya. Lalu ia tidak
marah, sebagaimana ia tidak marah kepada pembetik dan pembekam. Karena ia
melihat, bahwa kebajikan itu padanya. Lalu kami mengatakan, bahwa ini atas cara
ini, adalah tidak mustahil. Tetapi kekerasan keesaan sampai kepada batas ini,
sesungguhnya adalah seperti kilat yang menyambar, yang akan keras pada hal‑hal
yang disambar. Dan tidak berkekalan. Dan hati itu kembali secara tabiat kepada yang
ditengah‑tengah, yang tidak dapat ditolak. Jikalau tergambarlah selalu yang
demikian bagi manusia, niscaya tergambarlah bagi Rasulu'llah saw Sesungguhnya
adalah beliau itu marah, sehingga merahlah dua biji matanya. Sehingga beliau
berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Aku adalah manusia pemarah, sebagaimana
marahnya manusia. Maka siapa saja orang muslim, yang aku maki atau aku kutuk atau
aku pukul, maka jadikanlah itu daripadaku sebagai shalat kepadanya, sebagai
zakat dan pendekatan, yang mendekatkannya kepada ENGKAU pada hari kiamat!”.
Abdullah bin ‘Amr bin
Al-Ash berkata: "Wahai Rasulu'llah! Tulislah dari engkau, setiap yang
engkau ucapkan pada kemarahan dan kerelaan!”. Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Tulislah! Demi Allah yang mengutuskan aku dengan kebenaran sebagai nabi!
Tiadalah keluar dari ini, selain yang benar". Beliau mengisyaratkan kepada
lidahnya. Nabi saw tidak mengatakan: "Bahwa aku tidak marah". Akan
tetapi beliau mengatakan: "Bahwa kemarahan itu tidak mengeluarkan aku
dari kebenaran". Artinya: "Aku tidak berbuat, dengan yang dimestikan
oleh kemarahan" Pada suatu kali ‘Aisyah marah. Lalu Rasulu'llah saw
bersabda kepadanya: "Apakah engkau ini, datang setan engkau kepada
engkau?”. 'Aisyah menjawab: "Apakah bagi engkau setan?”. Nabi saw
menjawab: "Ya!”. Tetapi aku berdo'a kepada Allah, Ialu IA menolong aku
atas setan. Maka setan itu menyerah, Ialu tidak menyuruh aku, selain dengan
kebajikan". Nabi saw tidak mengatakan “Tak ada setan bagiku". Dan yang
beliau maksudkan: setan kemarahan. Akan
tetapi beliau mengatakan: "la tidak membawa aku kepada
kejahatan".
Ali ra berkata:
"Adalah Rasulu'llah saw tidak marah karena dunia. Apabila beliau menjadi
marah oleh kebenaran, niscaya tiada seorangpun yang mengenalinya. Dan tiada
bangun sesuatu karena kemarahannya, sehingga beliau memperoleh kemenangan
untuk kebenaran itu". Maka adalah Rasulu'llah saw marah diatas kebenaran.
Dan jikalau kemarahannya itu karena Allah, maka pada umumnya berpaling kepada yang
ditengah‑tengah. Bahkan setiap orang yang marah kepada orang yang mengambil
makanannya yang penting dan keperluannya, yang tidak boleh tidak pada agamanya,
maka sesungguhnya orang itu marah karena Allah. Dan tidaklah mungkin terlepas
daripadanya. Benar, kadang‑kadang pokok kemarahan itu tak ada pada apa yang
penting, apabila hatinya sibuk, dengan hal penting yang lebih penting
daripadanya. Maka tidak adalah dalam hati itu, tempat yang lebih luas bagi
kemarahan, karena sibuknya hati dengan yang lain. Maka sesungguhnya
tenggelamnya hati dengan sebahagian kepentingan itu, mencegah ia merasa dengan yang
lain.
Dan ini, adalah seperti
Salman AI‑Farisi ra tatkala ia dimaki orang, lalu menjawab: "Jikalau
ringanlah timbangan amalanku, maka aku itu lebih jahat daripada yang engkau
katakan. Dan jikalau beratlah timbangan amalanku, niscaya tidak mendatangkan
melarat akan aku, oleh apa yang engkau katakan". Sesungguhnya perhatian
Salman waktu itu terarah kepada akhirat. Maka tiada membekas hatinya dengan
makian.
Begitu pula, Ar‑Rabi bin
Khaitsam dimaki orang. Lalu ia menjawab: "Hai saudara ini! Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan engkau. Sesungguhnya dimuka sorga itu sebuah
jalan. Jikalau aku dapat memotongnya, niscaya tidak mendatangkan melarat
bagiku oleh apa yang engkau katakan. Dan jikalau aku tidak dapat memotongnya,
maka adalah aku itu lebih jahat daripada yang engkau katakan".
Seorang laki‑laki memaki
Abubakar ra Lalu beliau menjawab: "Apa yang ditutup oleb Allah dari
penglihatan engkau itu lebih banyak". Maka seakan‑akan beliau sedang sibuk
memperhatikan keteledoran dirinya, dari pada bertaqwa kepada Allah dengan
sebenar‑benar taqwa dan mengenalNya dengan sebenar‑benar ma'rifah. Maka tidak
membawa ia marah oleh singgungan orang lain akan dirinya dengan kekurangan.
Karena ia telah melihat kepada dirinya akan kekurangan itu. Dan yang demikian,
karena keagungan derajatnya.
Seorang wanita berkata
kepada Malik bin Dinar AI‑Bashari: "Hai orang ria Lalu Malik menjawab:
“Tiada yang mengenal aku, selain engkau". Adalah seolah‑olah Malik itu
sedang sibuk, meniadakan dari dirinya bahaya ria. Dan menentang kepada
dirinya, akan apa yang dicampakkan oleh setan kepadanya. Maka ia tidak marah
terhadap apa yang dilekatkan kepadanya.
Seorang laki‑laki memaki Asy‑Sya’bi
Lalu Asy‑Sya’bi menjawab: “Jikalau engkau benar, maka kiranya Allah ngampunkan
dosaku. Dan jikalau engkau dusta, maka kiranya Allah mengampunkan dosa
engkau". Maka kata‑kata tadi menunjukan pada zahiriyahnya, bahwa mereka
itu tidak marah. Karena kesibukan hati mereka dengan kepentingan agama. Dan
mungkin, bahwa yang demikian itu sudah membekas pada hati mereka. Akan tetapi,
mereka tidak sibuk dengan yang demikian, Dan mereka sibuk, dengan apa yang
lebih mengeras pada hati mereka. Jadi, kesibukan hati dengan sebahagian
kepentingan itu, tidak jauh, untuk mencegah bergejolaknya kemarahan, ketika
hilang sebahagian yang dicintai. Jadi tergambarlah
hilangnya kemarahan: adakalanya disebabkan kesibukan hati dengan suatu
kepentingan atau dengan kerasnya perhatian kepada keesaan.
Adapun bahagian ketiga Atau dengan sebab
ketiga, yaitu: bahwa ia mengetahui, sesungguhnya Allah menyukai, bahwa ia tidak
marah. Maka dipadamkan oleh kesangatan cintanya kepada Allah, akan
kemarahannya. Dan yang demikian itu tidak mustahil pada hal‑hal yang jarang
terjadi. Sesungguhnya dengan yang tersebut diatas, anda telah mengetahui, bahwa
jalan untuk terlepas dari api kemarahan, ialah: menghapuskan kecintaan dunia dari hati. Dan yang demikian,
dengan mengetahui bahaya dunia dan tipu‑dayanya, sebagaimana akan datang
penjelasan pada "Kitab Tercelanya
Dunia”. Dan orang yang mengeluarkan dari hatinya, kecintaan hal‑hal yang
berlebihan/hal‑hal yang tidak perlu, niscaya ia terlepas dari kebanyakan sebab‑sebab
kemarahan. Dan apa yang tidak mungkin dihapuskan itu, mungkin dipecahkan dan
dilemahkan. Lalu lemahlah kemarahan dengan sebab yang demikian. Dan mudahlah
menolaknya. Kita bermohon kepada Allah, akan kebagusan taufiq, dengan kasih‑sayang
dan kemurahanNYA. Sesungguhnya DIA Maha Kuasa atas tiap sesuatu. Dan segala
pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
PENJELASAN,
sebab‑sebab yang mengobarkan kemarahaan
Anda sudah mengetahui bahwa pengobatan
tiap‑tiap penyakit itu memotong bendanya (maddahnya) dan menghilangkan sebab‑sebabnya.
Maka tak dapat tidak, daripada mengetahui sebab‑sebab kemarahan. Bertanya Yahya
kepada nabi Isa as: “Barang apakah yang lebih berat?" Isa as menjawab:
"Kemarahan Allah Ta'ala!” Yahya
bertanya lagi: "Apakah yang mendekati dengan kemarahan Allah?". Isa
as menjawab: "Yaitu, bahwa engkau marah". Yahya bertanya pula:
"Apakah yang melahirkan kemarahan dan apakah yang menumbuhkannya”. Isa as
menjawab: "Takabur, keangkuhan, merasa diri lebih mulia dan kepanasan
hati". Sebab‑sebab yang mengobarkan kemarahan itu, ialah: merasa kemegahan diri,mengherani diri, suka
bersenda gurau, bermain‑main, mengejek, memalukan orang, suka bermusuhan,
berlawanan, menyalahi janji, sangat loba kepada berlebihan harta &
kemegahan. Semua yang tersebut diatas, adalah budi‑pekerti jelek yang
tercela pada Agama. Dan tidak akan terlepas dari kemarahan, serta tetapnya
sebab‑sebab tersebut. Maka tidak boleh tidak, daripada menghilangkan sebab‑sebab
tadi dengan lawan‑lawannya. Maka sayogialah anda mematikan perasaan kemegahan
diri, dengan perasaan rendah diri. Dan
anda mematikan sifat mengherani diri dengan
anda mengenal diri anda sendiri, sebagaimana
akan datang penjelasannya pada "Kitab
Takabur Dan Ujub”.
Anda menghilangkan
sifat membanggakan diri, dengan anda merasa, bahwa anda sejenis dengan budak anda. Karena manusia itu dikumpulkan pada
keturunan oleh satu bapa (Adam as). Hanya mereka berbeda dalam pecahan‑pecahan
tentang kelebihan. Maka anak Adam itu adalah satu jenis. Dan kesombongan itu,
ialah dengan kelebihan‑kelebihan. Sombong, 'ujub dan takabur itu sifat kehinaan
yang paling besar. Dan itu adalah pokok dan kepalanya.
-
Apabila sifat‑sifat itu tidak terlepas dari engkau, maka
tiada kelebihan engkau atas orang lain. Maka mengapakah engkau menyombongkan,
pada hal engkau adalah dari jenis budak engkau, dari segi bentuk tubuh, keturunan
dan anggota badan, lahiriyah dan batiniyah?
-
Adapun bersenda‑gurau, maka anda dapat menghilangkannya
dengan menyibukkan diri dengan kepentingan‑kepentingan agama, yang menghabiskan
umur. Dan anda utamakan dari bersenda‑gurau, apabila anda mengetahui yang
demikian.
-
Adapun bermain‑main, maka engkau dapat menghilangkannya
dengan kesungguhan mencari keutamaan, budi‑pekerti yang baik dan pengetahuan
keagamaan, yang menyampaikan engkau kepada kebahagiaan akhirat.
-
Adapun mengejek, maka engkau dapat menghilangkannya, dengan
pemuliaan, dari pada menyakitkan manusia dan dengan menjaga diri daripada
engkau diejekkan orang.
-
Adapun memalukan orang, maka dengan menjaga dari perkataan
keji dan menjaga diri dari kepahitan jawaban.
-
Adapun kesangatan loba kepada kelebihan kehidupan, maka
engkau dapat hilangkan dengan sifat merasa
cukup(qana'ah), sekadar perlu, karena mencari kemuliaan sifat tidak
memerlukan kepada sesuatu dan mengangkatkan diri dari kehinaan banyak
keperluan. Setiap budi‑pekerti dari budi‑pekerti ini dan sifat dari sifat‑sifat
ini, memerlukan pada pengobatannya, kepada latihan dan menanggung kesukaran.
Dan hasil latihannya itu kembali kepada mengenal tipu‑dayanya. Supaya diri
benci dari padanya dan lari daripada kekejiannya.
Kemudian, rajin
kepada melaksanakan lawannya pada jangka waktu yang panjang. Sehingga
disebabkan kebiasaan menjadi sifat yang jinak dan mudah bagi diri. Apabila
sifat‑sifat itu terhapus dari diri, maka sucilah dia dan bersih dari sifat‑sifat
kehinaan tersebut. Dan terlepas pula dari kemarahan yang terjadi daripadanya.
Diantara penggerak yang sangat keras kepada kemarahan, pada kebanyakan orang‑orang
bodoh, ialah: penanaman mereka kemarahan itu dengan: keberanian, kelaki‑lakian, kemuliaan diri dan tinggi cita‑cita (kemauan). Dan penggelarannya dengan gelar‑gelar
terpuji, karena kedunguan dan kebodohan. Sehingga cenderunglah diri kepadanya
dan memandangnya baik. Dan kadang‑kadang: dikuatkan yang demikian, dengan
ceritera kesangatan marah orang‑orang besar, dalam mengemukakan pujian dengan
keberanian. Dan diri manusia itu cenderung untuk menyerupai dengan orang‑orang
besar. Lalu menggelegaklah kemarahan kepada hati, disebabkan yang demikian.
Penamaan yang tersebut itu kemuliaan diri dan keberanian, adalah bodoh. Bahkan
itu, adalah penyakit hati dan kekurangan akal. Dan itu adalah karena kelemahan
dan kekurangan diri. Dan suatu tanda, bahwa itu karena kelemahan diri, bahwa
orang sakit lebih lekas marah dari orang sehat. Dan wanita lebih lekas marah
dari laki‑laki. Dan anak kecil, lebih lekas marah dari orang besar. Dan orang
tua yang lemah, lebih lekas marah dari orang tua biasa. Orang yang berbudi‑pekerti
jelek dan sifat‑sifat kehinaan yang buruk, lebih lekas marah dari orang yang
mempunyai sifat‑sifat keutamaan. Orang yang bersifat jelek itu marah, karena
nafsu‑keinginannya, apabila ia kehilangan sesuap makanan. Dan karena
kekikirannya, apabila ia kehilangan sebiji buah‑buahan. Sehingga ia marah
kepada keluarganya, anak dan teman‑temannya.
Akan tetapi, orang
kuat, ialah orang yang memiliki (menguasai) diri ketika marah, sebagaimana
sabda Rasulu'llah saw: "Tidaklah orang kuat itu dengan membanting.
Sesungguhnya orang kuat, ialah orang yang memiliki (menguasai) diri ketika
marah". Akan tetapi, seyogialah diobati orang
bodoh tersebut, dengan dibacakan kepadanya, ceritera‑ceritera orang yang
lemah lembut & pema'af. Dan apa yang dipandang baik dari mereka, tentang
menahan kemarahan. Sesungguh nya yang demikian itu dinukilkan dari nabi‑nabi,
wali‑wali, para ahli hikmah, alim‑ulama dan raja‑raja besar yang utama. Dan
lawan yang demikian itu, dinukilkan dari orang‑orang Kurdi, orang‑orang Turki,
orang‑orang bodoh dan orang‑orang dungu, yang tiada berakal dan tiada mempunyai
sifat kelebihan.
PENJELASAN.
obat marah sesudah berkobarnya.
Apa yang sudah kami sebutkan itu, ialah:
melenyapkan bahan‑bahan kemarahan dan memotong sebab‑sebabnya. Sehingga ia
tidak berkobar. Apabila telah berlaku sesuatu sebab yang mengobarkan
kemarahan, maka ketika itu haruslah bersikap tetap. Sehingga orang marah
tersebut, tidak terbawa berbuat kepada cara tercela. Sesungguhnya kemarahan itu
diobati ketika berkobar, dengan azimat ilmu dan amal. Adapun
ilmu, maka 6 perkara:
Perlama: bahwa ia
bertafakkur/berfikir pada ceritera‑ceritera yang akan kami bentangkan, tentang
keutamaan manahan kemarahan, memberi ma'af, lemah lembut dan menanggung
perasaan Ialu ia gemar pada pahalanya. Maka ia dicegah oleh kesangatan ingin
kepada pahala menahan kemarahan, daripada kembali kepada marah dan membalas
dendam. Dan terpadamlah dari padanya kemarahan. Malik bin Aus bin AI‑Hadtsan
berkata: "Umar ra marah kepada seorang laki‑laki dan ia menyuruh
memukulnya. Lalu aku menjawab: “Hai Amirul mu'minin!”
Berilah ma'af, suruhlah yang baik dan berpalinglah dari orang‑orang bodoh!”.
S 7 AI A’raaf ayat 199. Maka 'Umar menjawab: "Berilah ma'af, suruhlah yang
baik dan berpalinglah dari orang‑orang bodoh!”. Maka Umar ra memperhatikan pada
ayat tadi. Dan ia berdiri disisi Kitab Allah AI‑Quran, manakala dibacakan
kepadanya, yang banyak renungan padanya. Maka ia renungkan. Dan laki‑laki tadi
dilepaskannya. Umar bin Abdul‑aziz ra menyuruh pukul seorang laki‑laki.
Kemudian, laki-laki itu membaca firman Allah Ta'ala:..... dan yang sanggup menahan marahnya". S 3 Ali ‘Imran ayat 134.
Lalu 'Umar berkata kepada sahayanya: "Lepaskan orang itu”.
Kedua: bahwa ia menakutkan dirinya dengan siksaan
Allah. Yaitu, bahwa ia mengatakan: "Kekuasaan Allah atas diriku itu, lebih
besar dari kekuasaanku atas manusia ini. Jikalau aku teruskan kemarahanku
kepadanya, niscaya aku tidak merasa aman, bahwa Allah akan meneruskan amarahNYA
kepadaku pada hari kiamat. Aku lebih memerlukan kepada kema'afan". Allah
Ta’ala berfirman pada sebahagian Kitab‑kitab
Lama: "Hai anak Adam! Ingatlah kepadaKU ketika engkau marah, niscaya
AKU akan ingat kepadamu ketika AKU marah. Maka AKU tiada akan menghapuskan engkau,
dalam golongan orang yang akan AKU hapuskan". Rasulu'llah saw mengutus seorang budak kecil untuk suatu keperluan.
Lalu budak tersebut, lambat sekali kembali. Maka tatkala ia datang, lalu
Rasulu'llah saw bersabda: "Jikalau tidaklah karena qishash (siksa atau ambil bela), niscaya aku sakiti engkau". qishash pada hari kiamat. Dikatakan,
bahwa pada tiap‑tiap raja Bani Israil, ada padanya seorang ahli hikmah
(filosuf). Apabila raja itu marah, lalu filosuf tersebut memberikan kepadanya
selembar kertas, yang isinya: "Kasihanilah orang miskin! Takutilah mati!
Dan ingatilah akhirat!. Maka raja itu membaca nya sehingga tenanglah
kemarahannya.
Ketiga: ia mengingatkan dirinya akan akibat
permusuhan, pembalasan dendam, persiapan musuh untuk menghadapinya, usaha
menghancurkan maksud‑maksudnya dan perasaan suka dengan malapetaka yang
menimpainya. Dan ia tidak akan terlepas dari mala‑petaka itu. Maka ia
menakutkan dirinya dengan segala akibat kemarahan di dunia, jikalau ia tidak
takut dari akhirat. Dan ini kembali kepada penguasaan nafsu‑syahwat atas
kemarahan. Dan ini tidaklah termasuk amal akhirat dan tiada pahala padanya.
Karena ia bulak‑balik atas keberuntungannya yang segera, yang didahulukannya
sebahagian dari sebahagian. Kecuali bahwa yang ditakutinya itu, mengacaukannya
didunia, akan perhatiannya kepada ilmu dan amal
dan tiada menolongnya kepada akhirat. Maka ia diberi pahala pada yang
demikian.
Keempat:
bahwa ia berpikir
tentang buruk bentuknya ketika marah, dengan diingatinya bentuk orang lain
waktu sedang marah. Dan ia berpikir tentang kejinya marah pada dirinya. Dan
penyerupaan orang yang marah itu, seperti anjing galak
dan binatang buas yang menerkam. Dan penyerupaan orang yang lemah‑lembut,
yang tenang, yang meninggalkan kemarahan, dengan nabi‑nabi, wali‑wali, alim‑ulama
& ahli‑ahli hikmat (filosuf). Dan ia memilihkan dirinya, antara
menyerupakan dengan anjing‑anjing, binatang‑binatang buas & manusia‑manusia
hina & antara menyerupakan dengan alim‑ulama & nabi‑nabi pada adat‑kebiasaan
mereka. Supaya dirinya cenderung kepada menyukai mengikuti jejak mereka, kalau
masih ada padanya sisa akal.
Kelima:
bahwa ia berpikir
mengenai sebab yang membawanya kepada pembalasan dendam dan mencegahnya dari
penahanan marah. Dan tak boleh tidak, bahwa ada sebabnya. Umpamanya: kata
setan kepadanya: "Bahwa ini membawa engkau kepada kelemahan, kekecilan
jiwa, kerendahan dan kehinaan. Dan engkau menjadi orang hina pada pandangan
manusia". Maka hendaklah ia mengatakan kepada dirinya: "Alangkah
mengherankan engkau ini! Engkau melepaskan diri dari tanggungan sekarang dan
engkau tidak melepaskan diri dari kehinaan hari kiamat dan terbukanya kekurangan
diri, apabila diambilkan ini, dengan tangan engkau dan diambil balas dendam
dari engkau. Engkau jaga diri engkau daripada dipandang kecil oleh mata manusia
dan engkau tidak menjaga dipandang kecil disisi Allah, malaikat‑malaikat dan
nabi‑nabi". Manakala kemarahan itu ditahan, maka sayogialah menahannya
karena Allah. Dan yang demikian, membesarkannya disisi Allah. Maka apalah baginya
dan bagi manusia lain! Dan kehinaan orang yang
menganiayainya di hari kiamat itu, lebih berat daripada kehinaannya,
kalau ia membalas dendam sekarang. Apakah ia tidak suka, bahwa ia yang
berdiri, apabila dipanggil pada hari kiamat: "Hendaklah bangun berdiri
orang yang pahalanya atas Allah!”. Lalu tiada yang berdiri, kecuali orang yang
mema'afkan. Maka ini dan contoh‑contoh lain yang seperti ini, dari ma'rifah
keimanan, sayogialah bahwa ia menetapkannya dalam hatinya.
Keenam: bahwa ia mengetahui kemarahannya dari ke ta’jubannya (keheranannya kepada diri
sendiri) itu, dari berlakunya sesuatu bersesuaian dengan kehendak Allah, tidak
atas kesesuaian kehendaknya sendiri. Maka bagaimana ia mengatakan:
"Kehendakku lebih utama dari kehendak Allah?". Dan hampirlah kemarahan
Allah kepadanya itu, lebih besar daripada kemarahannya.
Adapun amal‑perbuatan,
maka engkau bacakan dengan lidah engkau: "aku berlindung dengan Allah,
dari setan yang terkutuk". Beginilah disuruh oleh rasulu'llah saw untuk
dibacakan ketika marah. "Adalah Rasulu'llah saw apabila 'Aisyah marah,
memegang hidungnya, seraya bersabda: "Hai ‘Uwaisy! Berdo'alah: "Wahai
Allah, Tuhanku, Tuhan Nabi Muhammad! Ampunlah bagiku dosaku! Hilangkanlah
kemarahan hatiku dan lepaskanlah aku dari fitnah‑fitnah yang menyesatkan!”.
Maka disunatkan engkau membaca yang demikian. Kalau kemarahan itu tidak hilang
dengan demikian, maka duduklah, jikalau engkau sedang berdiri. Dan
berbaringlah, jikalau engkau sedang duduk! Dan dekatilah dengan bumi, dimana
dari bumi itu engkau dijadikan. Supaya engkau ketahui dengan demikian, akan
kehinaan diri engkau. Dan carilah dengan duduk dan berbaring itu akan
ketenangan. Sesungguhnya sebab kemarahan itu panas. Dan sebab panas itu
bergerak. Maka Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa marah itu sepotong api yang
dinyalakan dalam hati. Tidakkah engkau melihat kepada mengembung urat‑urat
lehernya dan merah kedua matanya?. Maka apabila salah seorang kamu mendapati
sesuatu dari yang demikian, maka jikalau ia sedang berdiri, maka hendaklah ia
duduk. Dan jikalau ia sedang duduk, maka hendaklah ia tidur!” Maka jikalau ia
senantiasa yang demikian, maka hendaklah ia ber‑wudlu' dengan air dingin atau
ia mandi.
Sesungguhnya api
itu, tidak akan padam, selain oleh air. Nabi saw bersabda: "Apabila marah
seseorang kamu, maka hendaklah ia mengambil wudlu' dengan air! Maka
sesungguhnya marah itu dari api". Pada suatu riwayat: "Bahwa
kemarahan itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api. Dan api itu
dipadamkan dengan air. Maka apabila marah seseorang kamu maka hendaklah ia
mengambil wudlu".
Ibnu Abbas
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apabila engkau marah, maka
diamlah!”. Abu Hurairah berkata: "Adalah Rasulu'llah saw apabila marah dan
beliau sedang berdiri, niscaya beliau duduk. Dan apabila marah dan beliau sedang
duduk, niscaya beliau berbaring. Maka hilanglah marahnya".
Abu Sa'id
Al-Khudri berkata: "Nabi saw bersabda: "Ketahuilah, bahwa marah itu
sepotong api dalam hati anak Adam. Apakah tidak kamu melihat kepada kemerahan
2matanya dan mengembung urat‑urat lehernya? Maka barangsiapa mendapatkan
sesuatu dari yang demikian, maka hendaklah ia melekatkan pipinya dengan
bumi". Dan ini adalah isyarat kepada sujud. Menetapkan anggota‑anggota
badan yang termulia pada tempat‑tempat yang terhina. Yaitu: tanah, untuk dirasakan oleh diri akan
kehinaan. Dan menghilangnya dengan demikian, keagungan dan kebanggaan, yang
menjadi sebabnya kemarahan.
Diriwayatkan,
bahwa pada suatu hari Umar ra marah. Lalu beliau meminta air dan terus
berkumur‑kumur, seraya berkata: "Bahwa marah itu dari setan. Dan ini (air)
menghilangkan marah". Urwah bin Muhammad berkata: "Tatkala aku
ditugaskan di Yaman, Ialu ayahku bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah
diangkat menjadi wali negeri (gubemur)?". Aku menjawab: "Ya!”. Maka
beliau berkata: "Apabila engkau marah maka pandanglah ke langit diatas
engkau dan ke bumi dibawah engkau! Kemudian, agungkanlah KHALIQ (YANG MAHA
PENCIPTA) langit dan bumi itu!”.
Diriwayatkan,
bahwa: "Abu Dzar berkata kepada seorang laki‑laki: "Ya ibnal‑hamra
(Hai anak wanita merah)!”, dimana ada permusuhan diantara Abu Dzar & laki‑laki
itu. Lalu berita itu sampai kepada Rasulu'llah saw. Maka beliau bertanya:
"Hai Abu Dzar! Sampai kepadaku berita, bahwa engkau pada hari ini, engkau
hinakan saudara engkau dengan menyebut ibunya". Abu Dzar lalu menjawab:
"Ya, benar!”. Maka pergilah Abu Dzar, untuk meminta kerelaan temannya
(orang yang dihinakannya) itu. Maka laki‑laki itu mendahuluinya memberi salam
kepada Abu Dzar. Lalu Abu Dzar menerangkan yang demikian kepada Rasulu'llah
saw. Maka beliau menjawab: "Hai Abu Dzar! Angkatlah kepalamu, lalu
pandanglah! Kemudian ketahuilah, bahwa engkau tidaklah lebih utama dari orang yang
merah dan yang hitam, kecuaIi engkau melebihinya dengan amal". Kemudian beliau
menyambung: "Apabila engkau marah, maka jikalau engkau sedang berdiri,
maka duduklah! Dan jikalau engkau sedang duduk, maka melututlah!. Dan jikalau engkau sedang melutut, maka
berbaringlah!”
AI‑Mu’tamir bin
Sulaiman berkata: "Adalah seorang laki‑laki dari orang‑orang sebelum kamu
itu marah. Lalu bersangatanlah marahnya. Maka ia menulis 3 helai kertas Tiap‑tiap
helai itu diberikannya kepada seorang. Ia mengatakan kepada orang pertama: "Apabila aku marah,
maka berikanlah ini kepadaku!”. Dan ia mengatakan kepada orang kedua: "Apabila tenang sebahagian kemarahanku, maka
serahkanlah ini kepadaku!” Dan ia mengatakan kepada orang ketiga: "Apabila telah hilang kemarahanku, maka serahkanlah
ini kepadaku!”. Lalu pada suatu hari, bersangatanlah marahnya. Maka ia
diberikan kertas pertama, dimana isinya: “Bagaimanakah engkau dengan kemarahan
ini? Sesungguhnya engkau bukan tuhan, engkau adalah manusia, dimana hampir
sebahagian engkau memakan akan sebahagian yang lain". Lalu tenanglah
sebahagian kemarahannya. Lalu diberikan kepadanya lembar kedua, dimana isinya:
"Kasihanilah orang dibumi, niscaya engkau akan dikasihani oleh orang di
langit!”. Kemudian, diberikan kepadanya lembar ketiga, dimana isinya: “Ambillah
manusia dengan hak Allah! Sesungguhnya tiada akan memperbaiki mereka, selain
dengan yang demikian". Artinya: Tidak dihalangi oleh batas‑batas. AI‑Mahdi
marah kepada seorang laki‑laki, lalu menjawab Syubaib: "Jangan engkau
marah karena Allah, dengan lebih berat dari kemarahannya bagi dirinya
sendiri”. Lalu AI‑Mahdi menjawab: "Berikanlah jalan, supaya ia pergi”.
KEUTAMAAN
MENAHAN KEMARAHAN
Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup
menahan marahnya". S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Allah Ta’ala menyebutkan yang
demikian, pada mengemukakan pujian. Rasulu'llah saw bersabda: "Barangsiapa
mencegah kemarahannya, niscaya dicegah oleh Allah daripadanya akan azabNYA.
Barangsiapa meminta 'udzur (diperkenankan halangannya) kepada Tuhannya,
niscaya Allah menerima, 'udzurnya. Dan barangsiapa menyimpan (tidak
menggunakan) lidahnya, niscaya Allah menutupkan auratnya". Nabi saw
bersabda: "Yang lebih keras dari kamu, ialah orang yang mengalahkan nafsunya
ketika marah. Dan yang tahan marah dari kamu, ialah
orang yang memberi ma'af ketika mampu.
s/d
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menahan marah dan jikalau ia mau meneruskannya, ia
dapat meneruskannya, niscaya Allah memenuhkan hatinya dengan kerelaan pada hari
kiamat". Pada suatu riwayat: "Allah memenuhkan hatinya keamanan dan
keimanan".
Ibnu Umar berkata:
"Rasulu'llah saw bersabda: "Tiadalah seorang hamba meneguk suatu
teguk minuman yang lebih besar pahalanya, daripada seteguk kemarahan, yang
ditahannya karena mengharap WAJAH Allah Ta’ala".
Ibnu Abbas
berkata: "Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya neraka jahannam itu
mempunyai sebuah pintu, yang tidak memasukinya, selain orang yang sembuh
kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala".
Nabi saw bersabda:
”Tiada seteguk minuman yang lebih disukai Allah Ta’ala, daripada seteguk
kemarahan, yang ditahan oleh seorang hamba. Dan
ditahan oleh seorang hamba seteguk kemarahan itu, melainkan Allah memenuhkan
hatinya dengan keimanan".
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa menahan marah dan ia sanggup melaksanakannya, niscaya ia
dipanggil oleh Allah dihadapan manusia ramai dan ia disuruh memilih, diantara
bidadari & bidadara yang dikehendakinya". Adapun al‑atsar (kata para shahabat dan orang‑orang terkemuka), diantara
lain, kata Umar ra: “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya tidak sembuh
marahnya (karena Allah). Barangsiapa takut kepada Allah, niscaya ia tidak
berbuat sekehendak nya. Dan jikalau tidaklah hari kiamat, niscaya adalah yang
tidak akan engkau lihat".
Lukman berkata
kepada anaknya: "Hai anakku! jangan engkau hilangkan air mukamu dengan
meminta! Jangan engkau sembuhkan kemarahamnu dengan perbuatan keji yang engkau
kerjakan! Dan kenalilah tingkat engkau, niscaya akan bermanfa'at kepada
kehidupan engkau".
Ayyub bin Abi
Taimiyah As‑Sakhtiany berkata: "Tidak lekas marah satu saat itu, akan
menolak banyak kejahatan". Sufyan Ats‑Tsauri, Abu Khuzaimah Al-Yarbu’i dan
AI‑Fudlail bin 'Iyadl berkumpul pada suatu tempat. Lalu mereka bertukar‑pikiran
(bermudzakarah) tentang zuhud. Maka
mereka sepakat, bahwa amal yang paling utama, ialah: lemah
lembut ketika marah dan sabar ketika susah.
Seorang laki‑laki
berkata kepada Umar ra: "Wa'llahi, demi Allah, engkau tidak menghukum
dengan adil dan tidak memberi banyak". Maka marahlah Umar, sehingga
diketahui yang demikian pada wajahnya. Lalu laki‑laki tadi berkata kepada Umar
ra!” Hai Amirul‑mu minin! Tidakkah engkau mendengar, bahwa Allah Ta’ala
berfirman: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang baik dan
tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu!”. S 7 Al-A'raaf
ayat 199. Maka (saya) ini termasuk orang‑orang yang tidak berpengetahuan".
Lalu Umar ra menjawab: "Benar engkau! Seolah‑olah ada api, Ialu dipadamkan".
Muhammad bin Ka'ab
berkata: “Tiga perkara, barangsiapa
ada padanya tiga perkara itu, sempurnalah imannya kepada Allah. Yaitu: apabila ia senang, niscaya kesenangannya itu
tidak memasukkannya pada yang batil/salah, apabila ia marah, niscaya
kemarahannya itu tidak mengeluarkannya dari kebenaran dan apabila ia berkuasa
niscaya ia tidak akan mengambil yang bukan haknya”.
Seorang laki‑laki
datang kepada Salman AI‑Farisi ra Lalu laki‑laki itu berkata: "Hai ayah
Abdullah! Berilah aku wasiat (nasehat)!” Salman menjawab: "Jangan engkau
marah!”. Laki‑laki itu menjawab: "Aku tidak sanggup!”. Lalu Salman
menjawab: "Jikalau engkau marah, maka tahanlah lidah engkau dan tangan
engkau!”.
PENJELASAN
keutamaan tak lekas marah (hilmun).
Ketahuilah, bahwa hilmun itu lebih utama
daripada menahan kemarahan. Karena menahan kemarahan itu ibarat dari tahallum. Artinya memaksakan diri dengan hilmun (tak lekas marah). Dan tidak perlu
kepada menahan kemarahan, selain orang yang menggelagak kemarahannya. Dan ia
memerlukan pada menahan kemarahan itu, kepada mujahadah yang keras. Akan
tetapi, apabila telah membiasakan diri dengan yang demikian pada masa tertentu,
niscaya yang demikian itu menjadi kebiasaan. Maka tidaklah akan bergejolak
kemarahan lagi. Dan jikalau bergejolak juga, maka tidaklah payah pada
menahannya. Dan itulah: tidak lekas marah
yang sudah menjadi tabiat (menjadi sifat pribadi). Yaitu: menunjukkan kesempurnaan
akal, berkuasanya akal, pecahnya kekuatan marah dan tunduknya kepada akal. Akan
tetapi permulaannya, ialah: tahallum dan
menahan kemarahan dengan rasa berat.
Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar (ta'allum) dan tidak lekas marah (hilmun) itu dengan tahallum (memaksakan diri dengan
tidak lekas marah). Barangsiapa bersungguh‑sungguh memperoleh kebajikan,
niscaya ia akan diberi oleh Allah Ta’ala. Dan barangsiapa menjaga dirinya dari
kejahatan, niscaya ia dipelihara oleh Allah Ta’ala daripadanya". Dengan
sabdanya tadi, diisyaratkannya, bahwa usaha untuk tidak Iekas marah jalannya,
ialah pertama‑tama tahallum dan memaksakannya, sebagaimana usaha untuk memperoleh
ilmu, jalannya, ialah: ta’allum (belajar,
menuntut ilmu).
Abu Hurairah
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tuntutlah ilmu dan tuntutlah
bersama ilmu itu, ketenangan dan hilmun (tidak lekas Marah)! Lemah‑lembutlah
kepada orang yang kamu ajar (kepada muridmu) dan kepada orang, dimana kamu
belajar padanya (kepada gurumu)! Janganlah kamu termasuk kaum ulama yang gagah
perkasa! Maka kebodohanmu akan mengalahkan ketidak lekas marahan mu.
Dengan sabdanya
ini, diisyaratkannya, bahwa takabur dan kegagah‑perkasaan, adalah yang
mengobarkan kemarahan dan mencegah dari ketidak lekas marahan (hilmun) dan
kelemah‑lembutan.
Adalah diantara
do'a Nabi saw: "Wahai Allah, Tuhanku! Kayakanlah aku dengan ilmu. Hiasilah
aku dengan tidak lekas marah!. Muliakanlah aku dengan taqwa. Dan elokkanlah
aku dengan sehat wal‑a'fiat".
Abu Hurairah berkata:
"Nabi saw bersabda: "Carilah
ketinggian pada sisi Allah”. Para shahabat bertanya: "Apakah ketinggian
itu, wahai Rasulu'llah?. Nabi saw menjawab: "Engkau sambung silaturrahim
dengan orang yang memutuskan silaturrahim dengan engkau. Engkau berikan kepada
orang yang mengharamkan pemberian (tidak mau memberi) kepada engkau. Dan
engkau tak lekas marah kepada orang yang congkak kepada engkau.
Nabi saw bersabda:
“Lima perkara termasuk sunnah rasul‑rasul, yaitu: malu,
tak lekas marah, berbekam/bercakap, bersugi dan memakai bau‑bauan".
Ali ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya laki‑laki
muslim itu, akan mendapat dengan tidak Iekas marahnya/hilmun akan tingkat orang
yang berpuasa, yang bangun malam mengerjakan shalat & sesungguhnya ia akan
dituliskan sebagai orang perkasa, yang keras. Dan ia tidak memiliki kecuali
keluarga".
Abu Hurairah
berkata: "Seorang laki‑laki bertanya: "Wahai Rasulu'llah Sesungguhnya
aku mempunyai famili, yang aku sambung silaturrahim dengan mereka. Dan mereka
memutuskan silaturrahim dengan aku. Aku berbuat baik kepada mereka dan mereka
berbuat jahat kepadaku. Mereka congkak (berbuat bodoh) kepadaku dan aku tak
lekas marah kepada mereka". Rasulu'llah saw menjawab: “jikalau benar
seperti yang engkau katakan, maka seolah‑olah engkau menyiramkan mereka air
hujan (al‑mallu). Dan senantiasalah ada yang menolong engkau dari Allah,
selama engkau selalu bersifat demikian". AI‑mallu dimaksudkan ialah: ar‑ramalu (sedikit hujan).
Seorang laki‑laki
muslim berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Tidak ada padaku sedekah, yang
dapat aku sedekahkan kepada orang. Maka siapapun yang menyinggung sesuatu dari
kehormatanku, maka itu sedekah kepadanya". Lalu Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada Nabi saw: "Sesungguhnya AKU telah mengampunkan‑dosanya".
Nabi saw bersabda: "Adakah salah seorang kamu lemah untuk menjadi seperti
Abu Dlamdlam?”. Lalu para shababat bertanya: "Siapakah Abu Dlamdlam itu?".
Nabi saw menjawab: "Seorang laki‑laki dari orang‑orang sebelum kamu,
dimana pada waktu pagi hari, ia berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku!
Sesungguhnya aku pada hari ini, bersedekah dengan kehormatanku kepada orang yang
berbuat zalim kepadaku". Ditanyakan tentang firman Allah Ta’ala: “Tetapi, hendaklah kamu menjadi orang‑orang
rabbaaniyyiin”. S 3 AAIi ‘Imraan ayat 79. Rabbaaniyyiin, artinya: orang‑orang
yang tidak lekas marah atau orang yang sangat taqwa kepada Allah , lagi
berilmu/alim.
Ditanyakan kepada
AI‑Hasan AI‑Bashari ra mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan apabila orang‑orang yang bodoh menghadapkan pertanyaan kepada
mereka dijawabnya: Selamat!”. S 25 AI Furqaan ayat 63. Lalu AI‑Hasan
menjawab: "Orang‑orang yang tidak lekas marah (hulama'). Kalau orang
berbuat bodoh (berbuat tidak pantas) kepada mereka, niscaya mereka tidak
berbuat bodoh kepada orang itu".
'Atha' bin Abi
Rabah berkata, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan
hamba‑hamba Tuhan Yang Pemurah, ialah mereka yang berjalan dibumi dengan
haunan”. S 25 AI Furqaan ayat 63. Haunan,
artinya: tidak lekas marah (hilmun).
Ibnu Abi Habib
berkata tentang firman Allah 'Azza wa Jalla: (Wa kahlan) S 3 Ali ‘Imran ayat
46. Berkata Ibnu Abi Habib, Kahlan itu
artinya: sangat tidak lekas marah. Mujahid
berkata, bahwa firman Allah Ta’ala: "Dan
apabila mereka melalui perkara yang omong‑kosong, mereka berlalu dengan
hormatnya”. S 25 AI Furqaan ayat 72. Artinya: apabila mereka disakiti,
niscaya mereka mema'afkannya. Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud melalui dengan
berpaling muka dari hal omong‑kosong. Lalu Rasulu'llah saw bersabda:
"Jadilah Ibnu Mas'ud itu pagi dan sore, orang yang mulia". Kemudian,
Ibrahim bin Maisarah, perawi hadits tadi, membaca firman Allah Ta’ala S 25 AI
Furqaan ayat 72 tadi. Nabi saw
bersabda, dengan do'anya: "Wahai Allah Tuhanku! Tiada kiranya dijumpai
aku dan tidak aku menjumpainya oleh suatu masa, dimana mereka (ummat) tiada
mengikuti orang berilmu padanya dan tiada merasa malu kepada orang yang tidak
Iekas marah. Hati mereka itu hati orang A’jam (bukan Arab) dan lidah mereka itu
lidah Arab". Nabi saw bersabda: “Hendaklah mendekati aku dari kamu, orang‑orang
yang tidak lekas marah dan orang‑orang yang berakal. Kemudian mereka yang
mendekati mereka. Kemudian, mereka yang mendekati mereka! Janganlah kamu
berselisih, maka berselisihlah hatimu! Jagalah dirimu dari fitnah pasar!”
Diriwayatkan,
bahwa AI‑Asyaj diutus menghadap Nabi saw Lalu ia memperhentikan
kenderaannya(unta yang dikenderainya), kemudian ditambahkannya. Dan ia membuka
dua helai pakaian yang dipakainya. Dan dikeluarkannya dua helai pakaian yang
baik dari bungkusannya. Lalu dipakainya. Dan yang demikian itu dihadapan
Rasulu'llah saw dimana beliau melihat apa yang diperbuat oleh AI‑Asyaj.
Kemudian, ia berjalan kehadapan Rasulu'llah saw. Lalu Rasulu'llah saw bersabda:
"Sesungguhnya pada engkau, hai Asyaj, dua akhlak yang disukai Allah dan
RasuINYA". AI‑Asyaj bertanya: "Demi ayahku dan ibuku, wahai
Rasulu'llah Apakah akhlak yang dua itu?". Rasulu'llah saw menjawab: "Tidak lekas marah dan tidak
tergesa‑gesa". Lalu AI‑Asyaj berkata: "Kedua sifat ini aku berbuat
akhlak dengan keduanya atau dua akhlak yang telah dianugerahkan oleh Allah
kepadaku untuk bersifat dengan keduanya?". Lalu Nabi saw menjawab:
"Tetapi dua akhlak itu, telah dianugerahkan oleh Allah menjadi sifatmu".
Maka AI‑Asyaj rnenjawab. "Segala pujian bagi Allah yang telah
menganugrahkan kepadaku dua akhlak itu, yang disukai oleh Allah dan RasulNya".
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala
menyukai orang yang tidak lekas marah, yang pemalu, yang merasa cukup, yang
menjaga diri dari meminta, bapak keluarga yang bertaqwa. Dan Allah marah orang yang
keji perbuatannya, buruk lidahnya, suka meminta (pengemis) yang memaksakan dan
yang kurang cerdik".
Ibnu Abbas
berkata: "Nabi saw bersabda: “3
perkara, barangsiapa tidak ada padanya salah satu dari yang 3 perkara itu,
maka jangan kamu hitung sedikitpun dari amalnya: taqwa yang menghalanginya dari perbuatan maksiat kepada Allah
'Azza wa Jalla, tidak lekas marah yang
mencegahnya jadi orang yang jahat perangai dan kelakuan baik yang dapat ia hidup dalam kalangan manusia banyak”.
Rasulullah saw
bersabda: “Apabila dikumpulkan oleh Allah makhluk pada hari kiamat, lalu
penyeru menyerukan: “Manakah orang utama?”. Lalu manusia bangun dan mereka itu
sedikit jumlahnya. Mereka Ialu berjalan dengan cepat ke sorga. Maka bertemulah
mereka dengan malaikat. Lalu para malaikat itu berkata kepada mereka:
"Sesungguhnya kami melihat kamu bersegera ke sorga". Mereka itu
menjawab: "Kami orang utama". Maka para malaikat bertanya kepada
mereka: "Apakah keutamaan itu?". Lalu mereka menjawab: "Adalah
kami, apabila kami dianiaya orang niscaya kami sabar. Apabila orang berbuat
jahat kepada kami, niscaya kami ma'afkan. Dan apabila orang berbuat bodoh
(masa bodoh) kepada kami, niscaya kami tidak lekas marah". Lalu dikatakan
kepada mereka: "Masuklah kesorga! Maka pahala yang baik bagi orang‑orang yang
beramal".
Adapun al‑atsar, maka diantara lain, kata 'Umar
ra: "Belajarlah ilmu!. Dan belajarlah untuk ilmu itu, ketenangan dan tidak
lekas marah!”.
Ali ra berkata:
"Tidaklah kebajikan itu, bahwa banyak hartamu dan anakmu. Tetapi kebajikan
itu, bahwa banyak ilmumu dan besar hilmun‑mu
(tidak lekas marahmu). Dan bahwa engkau tidak membanggakan pada manusia
dengan ibadahmu kepada Allah. Apabila engkau berbuat baik, niscaya engkau
memujikan Allah Ta’ala. Dan apabila engkau berbuat jahat, niscaya engkau
meminta ampun pada Allah Ta'ala".
Al-Hasan AI‑Bashari
ra berkata: "Tuntutlah ilmu dan hiasilah ilmu itu dengan kesopanan dan
tidak lekas marah!”. Aktsam bin Shaifi berkata: “Tiang akal itu tidak lekas marah dan kumpulan urusan
itu sabar”.
Abud‑Darda'
berkata: "Aku dapati manusia itu daun yang tidak berduri. Lalu mereka
menjadi duri yang tidak berdaun. Jikalau kamu kenal mereka, niscaya mereka
mengecam (mengkritik) kamu. Dan jikalau engkau tinggalkan mereka, niscaya
mereka tidak akan meninggalkan engkau. Lalu mereka bertanya: "Bagaimana
kami perbuat?”. Abud‑Darda' menjawab: "Engkau hutangkan mereka dengan
harta benda engkau untuk hari kemiskinan engkau”.
Ali ra berkata:
"Bahwa yang pertama‑tama, yang digantikan bagi orang yang tidak Iekas
marah, dari ketidak lekas marahannya, ialah bahwa manusia semua menjadi
penolongnya atas orang bodoh (yang berbuat jahat kepadanya)".
Mu'awiyah berkata:
“Tiada akan sampai seorang hamba tempat sampainya pikiran, sebelum ketidak
lekas marahannya mengalahkan kebodohannya, kesabarannya mengalahkan nafsu‑syahwatnya.
Dan yang demikian itu tidak akan sampai, selain dengan kekuatan ilmu".
Mu'awiyah bertanya kepada 'Amr bin AI‑Ahtsam: "Laki‑laki mana yang lebih
berani?”. AI‑Ahtsam menjawab: "Orang yang menolak kebodohannya dengan ketidak
lekas marahannya”. Mu'awiyah bertanya lagi: “Laki‑laki mana yang lebih
pemurah?”. AI‑Ahtsam menjawab: "Orang yang memberikan dunianya, untuk kebaikan
agamanya". Anas bin Malik berkata, mengenai firman Allah Ta’ala: “Sehingga
orang yang bermusuhan antara engkau dengan dia, akan menjadi sebagai teman yang
setia. Dan perbuatan itu tiada diberikan kepada siapapun, selain dari orang‑orang
yang berhati teguh dan tiada pula diberikan, melainkan kepada orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar". Yaitu: orang yang dimaki oleh
saudaranya. Lalu ia menjawab: “Kalau engkau dusta,
kiranya Allah mengampunkan dosa engkau. Dan kalau engkau benar kiranya Allah
mengampunkan dosaku".
Sebahagian mereka
berkata: "Aku maki si Anu dari penduduk Basrah, maka ia tidak marah
kepadaku. Lalu dengan demikian, ia memperbudakkan aku (menjadi dibawah
pengaruhnya) beberapa waktu lamanya".
Mu'awiyah bertanya
kepada 'Urabah bin Aus: "Dengan apa engkau memimpin kaum engkau, hai
'Urabah?”. 'Urabah menjawab: "Wahai Amirul‑ mu'minin ! Aku tidak lekas
marah kepada yang bodoh dari mereka. Aku berikan kepada yang meminta dari mereka.
Dan aku usahakan untuk memenuhi keperluan mereka. Siapa yang berbuat seperti
perbuatanku, maka ia seperti aku. Dan siapa yang melampaui aku perbuatannya,
niscaya ia lebih utama daripadaku. Dan siapa yang kurang perbuatannya
daripadaku, maka aku lebih baik daripadanya".
Seorang laki‑laki
memaki Ibnu Abbas ra Maka sesudah selesai, Ialu Ibnu Abbas berkata: "Hai
'Akramah (nama pembantu Ibnu Abbas)! Apakah laki‑laki itu mempunyai keperluan?
Kalau ada, akan kita tunaikan". Laki‑laki tersebut menundukkan kepalanya
& malu. Seorang laki‑laki mengatakan kepada Umar bin Abdul‑aziz ra:
"Aku naik saksi, bahwa engkau termasuk orang fasik". Lalu Umar bin
Abdul‑aziz menjawab: “Tiada akan diterima kesaksianmu".
Dari Ali bin AI‑Husain
bin Ali ra diriwayatkan bahwa ia dimaki oleh seorang laki‑laki. Lalu
dilemparinya orang itu dengan sepotong pakaian yang ada padanya. Dan disuruhnya
supaya diberikan kepada orang itu uang 1000 dirham.
Sebahagian mereka
berkata: “Barangsiapa terkumpul padanya 5 perkara yang terpuji, yaitu: tidak
lekas marah, meninggalkan yang menyakiti temannya, melepaskan orang yang
menjauhkannya daripada Allah 'Azza wa Jalla, membawanya kepada penyesalan dan
taubat dan mengembalikannya kepada memuji sesudah mencela, niscaya semua yang
demikian, ia belikan dengan sesuatu yang sedikit dari dunia".
Seorang laki‑laki
berkata kepada Jafar bin Muhammad: "Bahwa telah terjadi diantara aku
dengan suatu kaum, percekcokan dalam suatu hal. Aku bermaksud meninggalkannya,
Ialu aku takut dikatakan kepadaku: "Bahwa engkau tinggalkan dia itu suatu
penghinaan". Lalu Jafar menjawab: "Yang hina, ialah: orang yang
zalim".
Al-Khalil bin
Ahmad berkata: "Adalah dikatakan, bahwa barangsiapa berbuat jahat, Ialu
ia dibalas dengan perbuatan yang baik, maka sesungguhnya telah diperbuat
dinding dari hati orang tersebut, yang menakutkannya untuk berbuat kejahatan yang
serupa dari yang telah diperbuatnya".
AI‑Ahnaf bin Qais
berkata: "Tidaklah aku ini orang yang tidak lekas marah (orang haalim),
tetapi aku memaksakan diriku dengan tidak Iekas marah". Wahab bin Munabbih
berkata: “Barangsiapa mengasihani, niscaya dikasihani.
Barangsiapa diam, niscaya selamat. Barangsiapa membodohkan diri, niscaya
dikalahkan. Barangsiapa terburu‑buru, niscaya salah. Barangsiapa loba kepada
kejahatan, niscaya tidak selamat. Barangsiapa tidak meninggalkan ria, niscaya
dimaki orang. Barangsiapa tidak benci kepada kejahatan, niscaya berdosa.
Barangsiapa benci kepada kejahatan, niscaya terpelihara. Barangsiapa mengikuti
nasehat Allah, niscaya terjaga. Barangsiapa takut kepada Allah, niscaya aman.
Barangsiapa berpaling dari pada Allah, niscaya tidak diberikan. Barangsiapa
tiada meminta pada Allah, niscaya akan miskin. Barangsiapa merasa aman dari
percobaan Allah, niscaya akan hina. Dan barangsiapa meminta tolong pada Allah,
niscaya akan mendapat".
Seorang laki‑laki
berkata kepada Malik bin Dinar: "Sampai kepadaku berita, bahwa engkau
menyebutkan aku jahat". Malik bin Dinar menjawab: "Jadi, engkau lebih
mulia daripadaku, dari diriku. Sesungguhnya, apabila benar aku berbuat
demikian, niscaya aku hadiahkan semua kebaikanku kepadamu".
Sebahagian ulama
berkata: "Tidak lekas marah (al‑hilmun) itu, lebih tinggi dari akal.
Karena Allah Ta’ala dinamakan dengan: AI‑haliim (Tidak lekas Marah)". Seorang laki‑laki berkata kepada
sebahagian ahli hikmat (filosuf): "Demi Allah, sesungguhnya aku memakimu
dengan suatu makian, yang akan masuk ia bersama kamu dalam kuburanmu".
Ahli hikmat itu Ialu menjawab: "Bersama kamu ia masuk, tidak bersama aku.
Isa AI‑Masih
putera Maryam as melintasi suatu kaum Yahudi. Lalu kaum Yahudi itu mengatakan
jahat kepada Isa AI‑Masih as. Lalu Isa as mengatakan perkataan baik kepada
mereka. Isa as lalu ditanyakan: "Bahwa mereka mengatakan: perkataan jahat dan engkau mengatakan perkataan baik". Maka Isa as menjawab:
"Masing‑masing membelanjakan apa yang ada padanya".
Lukman berkata:
"Tiga golongan, tidak akan dikenal, selain pada tiga hal: tiada akan dikenal orang yang tidak lekas
marah (al‑haliim), selain ketika marah, tiada akan dikenal, orang yang berani,
selain ketika perang dan tiada akan
dikenal saudara, selain ketika diperlukan kepadanya".
Masuk ketempat
sebahagian ahli hikmat seorang temannya. Lalu ia mempersembahkan makanan
kepada ahli hikmat itu. Maka keluarlah isteri ahli hikmat tadi. Dan wanita itu
buruk akhlak. Lalu diangkatnya hidangan tersebut & dihadapkannya kepada
memaki ahli hikmat itu. Teman tersebut lalu keluar dengan marah. Lalu diikuti
oleh ahli hikmat itu & berkata kepada temannya: "Engkau ingat pada
suatu hari, dimana kami berada dirumahmu. Kami diberi makan. Lalu jatuh seekor
ayam atas hidangan. Maka ayam itu merusakkan apa yang atas hidangan. Lalu
seorangpun dari kita tiada yang marah". Teman itu menjawab: "Ya,
tiada yang marah". Ahli hikmah tadi menyambung: "Aku kira, bahwa
isteriku seperti ayam itu". Maka hilanglah dari laki‑laki tadi kemarahan
nya. Dan terus ia pergi, sambil berkata: "Benar ahli hikmat itu. Tidak
lekas marah adalah obat dari tiap-tiap kesakitan".
Seorang laki‑laki
memukul tapak kaki seorang ahli hikmat, sehingga menyakitkannya. Tetapi ahli
hikmat itu tidak marah. Lalu ditanyakan tentang yang demikian kepadanya. Maka
ia menjawab: "Aku tempatkan orang itu pada tempat batu, yang terpeleset
aku dengan dia. Maka aku sembelih (hilangkan) kemarahan itu". Mahmud
Al-Warraq bermadah:
Aku haruskan
diriku,
mema'afkan setiap yang
berdosa,
walau pun banyak
atasku,
kesalahan yang
dikerjakannya.
Tiadalah manusia,
selain satu, dari
tiga:
yang mulia dan yang
hina
dan yang
sepertiku, yang sama.
Orang yang
diatasku,
maka aku kenal
tingkatnya.
Akan aku ikut
kebenaran
dan kebenaran itu
harus adanya.
Orang yang
dibawahku,
kalau ia berkata,
aku jaga dari
jawabannya kehormatanku
walaupun dicela
oleh pencela.
Adapun orang yang
sepertiku,
kalau ia telanjur
atau salah,
aku bersikap
utama, karena keutamaan itu,
adalah hakim
dengan tidak Iekas marah.
PENJELASAN.
kadar perkataan yang boleh, untuk menuntut bela dan terobat dari kemarahan.
Ketahuilah, bahwa tiap‑tiap kezaliman yang
datang dari seseorang, tidak boleh dihadapi dengan serupa. Tidak boleh dihadapi
umpatan dengan umpatan, memata‑matai dengan memata‑matai (tajassus) dan makian
dengan makian. Begitu juga perbuatan‑perbuatan maksiat lainnya. Sesungguhnya,
menuntut bela dan denda adalah menurut kadar yang datang dari Agama (hukum
syari’at/agama).
Dan telah kami
uraikan dalam limu Figh. Adapun makian, maka
tidak boleh dihadapi dengan serupa. Karena Rasulu'llah saw bersabda:
"Kalau seorang manusia memalukan engkau, dengan apa yang ada pada engkau,
maka janganlah engkau memalukannya dengan apa yang ada padanya".
Nabi saw bersabda:
"Dua orang yang maki‑memaki itu, ialah: apa yang dikatakan oleh keduanya.
Maka makian itu tanggung jawab yang memulai, selama yang teraniaya (yang
dimaki) itu, tiada melewati batas".
Nabi saw bersabda:
"Dua orang yang maki‑memaki itu, adalah 2 setan yang sedang maki‑memaki".
Seorang laki‑laki memaki Abubakar Ash‑Shiddiq dan Abubakar itu diam saja.
Tatkala ia mulai menuntut bela, lalu Rasulullah saw bangun berdiri. Maka ujar
Abubakar: “Adalah engkau tadi diam tatkala orang itu memaki aku. Maka sewaktu
aku berbicara, lalu engkau bangun berdiri". Rasulu'llah saw menjawab:
"Karena malaikat menjawab dari pihak engkau. Maka tatkala engkau
berbicara, malaikat itu pergi dan datanglah setan. Maka aku tidak mau duduk
pada majelis, yang padanya ada setan".
Kata suatu kaum
(dari ahli ilmu): boleh dihadapi dengan yang tak ada kedustaan padanya. Yang
dilarang oleh Rasulu'llah saw ialah: menghadapi dimalukan dengan yang sama,
sebagai: larangan tanzih (larangan membersihkan
diri dari kekotoran akhlak). Dan yang lebih utama, ditinggalkan. Tetapi
tidak merupakan perbuatan maksiat dengan perbuatan itu. Yang diperbolehkan, ialah:
bahwa engkau katakan: "Siapa engkau? Adakah engkau dari keturunan si Anu?
Sebagaimana kata Sa’ad kepada Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Hudzail
(keturunan Hudzail)? Dan kata Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Ummaiyah?
Dan seperti perkataan: "Hai Dungu!”. Muthrif bin Abdullah (seorang tabi’in
yang kepercayaan) berkata: "Setiap manusia itu dungu, mengenai sesuatu diantara dia dan Tuhannya. Hanya
sebahagian manusia kurang sedikit kedunguannya, dari sebahagian yang
lain".
Ibnu Umar berkata
pada suatu hadits yang panjang: "Sehingga engkau melihat semua manusia itu
dungu mengenai Zat Allah Ta'ala". Dan seperti itu juga, perkataan:
"Hai bodoh?”. Karena tiada seorang pun, sekalian ada padanya kebodohan.
Maka ia menyakitkan orang yang dikatakannya bodoh itu, dengan tidak bohong. Begitu pula perkataan: "Hai
buruk perangai! Hai tebal muka! Hai pencela kehormatan!”. Dan yang demikian
itu, ada pada orang tersebut. Begitu juga katanya: "Jikalau padamu ada
malu, tentu kamu tidak berkata demikian!. Alangkah hinanya engkau pada mataku,
dengan apa yang engkau perbuat! Dihinakan oleh Allah kiranya engkau dan aku
akan membaIas dendam pada engkau".
Adapun fitnah, umpatan, dusta dan memaki ibu‑bapa,
maka itu haram dengan sepakat para ulama. Karena dirawikan, bahwa ada
pembicaraan antara Khalid bin AI‑Walid dan Sa'ad. Lalu seorang laki‑laki
menyebutkan hal Khalid pada Sa'ad. Maka Sa'ad menjawab: "Diamlah! Bahwa
apa yang diantara kami, tiada sampai kepada agama kami".Ya'ni: bahwa akan berdosa sebahagian
kami pada sebahagian. Ia tidak terdengar kejahatan, maka bagaimana boleh ia
mengatakannya?”. Dalil atas bolehnya yang tidak dusta dan tidak haram, seperti yang
dibandingkan kepada zina, kekejian dan makian, ialah: apa yang diriwayatkan
oleh 'Aisyah bahwa para isteri Nabi saw mengutus Fatimah kepada Nabi saw Maka
datanglah Fatimah kepada Nabi saw seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Aku
diutus oleh isteri‑isteri engkau kepada engkau. Mereka meminta pada engkau
keadilan tentang anak perempuan Abi Quhafah.
Nabi saw waktu itu sedang tidur. Lalu beliau menjawab: "Hai puteriku
Adakah engkau sayang, akan apa yang aku sayang?” Fatimah menjawab: "Ya!
Lalu Nabi saw menyambung: "Yang
lebih aku sayang, ialah: ini ('Aisyah)
Maka kembalilah Fatimah kepada para isteri Nabi saw dan menceriterakan yang
demikian kepada mereka. Lalu mereka itu menjawab: “Tiada sedikitpun engkau
membawa manfa'at kepada kami". Lalu mereka mengutus Zainab binti Jahsyin.
'Aisyah mengatakan: "Zainab itu mengalahkan aku tentang kecintaan Nabi
saw". Maka datanglah Zainab, lalu ia berkata: “Anak perempuan Abubakar‑anak
perempuan Abubakar". 'Aisyah meneruskan ceriteranya: "Maka
senantiasalah disebutnya aku. Dan aku diam saja. Aku menunggu diizinkan oleh
Rasulu'llah saw bagiku untuk menjawab. Lalu beliau mengizinkan bagiku. Maka aku
maki Zainab itu, sampai kering lidahku. Lalu Nabi saw bersabda: “Jangan!”
Sesungguhnya dia itu puteri Abubakar". Ya'ni: jangan lawan dia sekali‑kali
pada perkataan. Kata 'Aisyah! "Aku maki
dia”, tidaklah maksudnya keji. Tetapi adalah jawaban dari perkataan Zainab
dengan kebenaran dan menghadapinya dengan kebenaran.
Nabi saw bersabda:
"Dua orang yang maki‑memaki itu, ialah apa yang dikatakan oleh keduanya.
Tanggung jawab adalah atas yang memulai, sehingga yang teraniaya itu melewati
batas". Maka diakui adanya hak bagi yang teraniaya membela diri, sampai ia
melewati batas. Maka kadar inilah yang diperbolehkan oleh mereka (golongan yang
memperbolehkan dihadapi makian itu). Dan itu suatu keringanan (pembolehan) pada
menyakitkan orang, sebagai balasan atas menyakitkan yang terdahulu dari si
penganiaya itu. Dan keringanan (pembolehan) tersebut, tidak jauh (tidak
melebihi) pada kadar tadi. Akan tetapi, yang lebih utama, ialah: meninggalkan
pembalasan itu. Karena akan menghela kepada yang sebaliknya. Dan tidak mungkin
menuntut bela itu terbatas menurut kadar yang benar. Berdiam diri dari jawaban
yang pokok itu, semoga lebih mudah daripada memasuki pada jawaban dan berhenti
atas batas syara’(agama) padanya. Akan tetapi setengah manusia, tidak sanggup
menahan diri tentang cepatnya marah. Bahkan marah itu kembali dengan segera.
Dan setengah manusia, dapat mencegah dirinya dari kemarahan pada permulaan. Akan tetapi ia akan dendam untuk selama‑lamanya. Dan
manusia itu mengenai kemarahan ada 4
macam:
1.
Sebahagian mereka seperti batang halfa' (menyerupai pelepah kurma), lekas terbakar dan lekas
padam.
2.
Sebahagian mereka seperti batang
ghadia/tumbuh dipergunungan dan kayunya sangat keras, lambat terbakar
& lambat padam.
3.
Sebahagian mereka, lambat terbakar dan lekas padam. Dan itu
terpuji, selama tidak berkesudahan kepada lunturnya kepanasan hati dan cemburu.
4.
Dan sebahagian mereka,
lekas terbakar dan lambat padam. Inilah yang terjahat dari mereka.
Dan pada hadits tersebut: "Orang
mu'min itu lekas marah dan lekas rela (mema'afkan)". Maka ini dengan itu.
Asy‑Syafi’i ra berkata: "Barangsiapa dibuat orang
supaya marah tetapi ia tidak marah, maka itu keledai. Dan barangsiapa
dibuat orang supaya rela, tetapi tidak rela, maka itu setan".
Abu Said Al-Khudri
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Ketahuilah, bahwa anak Adam itu
dijadikan dalam tingkat yang bermacam‑macam. Setengahnya, lambat marah dan
lekas kembali (memaafkan). Setengahnya, lekas marah dan Iekas memaafkan. Maka
itu dengan itu. Setengahnya, lekas marah dan lambat memaafkan. Maka ketahuilah,
bahwa yang baik dari mereka, ialah: lambat
marah dan lekas memaafkan. Dan yang buruk dari mereka, ialah: lekas marah dan lambat memaafkan".
Manakala kemarahan
itu berkobar dan membekas pada setiap manusia, niscaya wajiblah atas penguasa
(sultan), tidak menjatuhkan hukuman terhadap seseorang, pada waktu ia sedang
marah. Karena yang demikian itu kadang‑kadang akan melampaui yang seharusnya.
Dan karena yang demikian itu kadang‑kadang ia sedang marah kepada orang
tersebut. Maka hukuman itu untuk menyembuhkan kemarahannya dan menyenangkan
dirinya dari kepedihan marah. Maka ia dalam hal yang demikian, mempunyai
kepentingan. Dan sayogialah kiranya pembalasan dendam dan pembelaan diri itu,
karena Allah Ta'ala. Tidak karena dirinya sendiri.
Umar ra melihat
seorang pemabuk. Maka ia bermaksud mengambil orang tersebut dan menghukumnya.
Lalu pemabuk itu memaki Umar ra. Maka Umar ra pun pulang. Lalu ditanyakan
kepadanya: "Hai Amirul‑mu’minin! Tatkala orang itu memaki engkau, mengapa
engkau tinggalkan dia?" Umar ra
menjawab: "Karena dia itu telah membuatku marah. Jikalau aku hukum dia,
niscaya adalah yang demikian, karena kemarahanku bagi diriku sendiri. Dan aku
tidak suka, memukul seorang muslim karena kepentingan diriku sendiri".
Umar bin Abdul‑aziz ra berkata kepada seorang laki‑laki yang membuatnya marah:
"Jikalau tidaklah engkau telah membuat aku marah, niscaya aku hukum
engkau".
PEMBICARAAN
tentang arti dendam dan natijah (hasilnya)
dan keutamaan ma'af dan kasih‑sayang.
Ketahuilah, bahwa marah itu apabila harus
ditahan, niscaya akan lemah dari kesembuhannya dalam seketika. Ia kembali
kedalam dan tertahan disitu. Lalu, menjadi: dendam. Arti dendam, ialah: hati itu terus merasa berat, marah dan
lari hati dari orang yang didendam. Yang demikian itu terus‑menerus dan
berkekalan. Nabi saw bersabda: "Orang mu'min itu tidak pendendam".
Maka dendam itu buah marah. Dan dendam itu membuahkan delapan perkara:
1.
Dengki. Yaitu: engkau
dibawa oleh dendam untuk bercita‑cita hilangnya nikmat, dari orang yang
didendamkan. Maka engkau berduka‑cita dengan nikmat, yang diperoleh oleh orang yang
didendamkan. Dan engkau bergembira dengan musibah (mala‑petaka) yang turun kepada
orang yang didendamkan. Dan ini termasuk perbuatan orang‑orang munafiq. Dan
akan datang penjelasan tercelanya, insya Allah Ta’ala.
2.
Bahwa anda menambahkan penyembunyian dengki dalam batin anda.
Maka anda gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang didendamkan.
3.
Bahwa anda tidak berbicara & berteguran dengan orang yang
anda dendamkan. Dan anda memutuskan silaturrahim dengan dia, walaupun ia
meminta & datang kepada anda.
4.
Yaitu kurang dari yang tadi. Anda berpaling muka dari orang
itu, untuk menghinakannya.
5.
Anda memperkatakan tentang orang itu, dengan yang tidak
halal, dari kedustaan, umpatan, membuka rahasia, merusak yang harus ditutup dan
lain‑lain.
6.
Anda meniru tingkah‑lakunya untuk mengejek dan menghina.
7.
Menyakitinya dengan memukul dan dengan apa yang menyakitkan
badannya.
8.
Anda larang dia dari haknya, yaitu: pembayaran hutang atau
silaturrahim atau menolak kezaliman. Dan semua itu haram.
Derajat dendam yang paling kurang, ialah:
anda menjaga dari bahaya, 8perkara tersebut. Dan anda tiada keluar dengan sebab
dendam itu kepada perbuatan, dimana anda berbuat maksiat kepada Allah dengan
perbuatan itu. Akan tetapi, anda pikul beratnya itu pada batin anda & tidak
anda larang hati anda daripada memarahinya. Sehingga dengan itu, anda tercegah
dari perbuatan tathawwu'(amal perbuatan
sunat yang memperoleh pahala) seperti: bermanis
muka, kasih‑ sayang, menolong, bangun melaksanakan keperluan orang yang
didendamkan, duduk‑duduk bersama orang tersebut untuk berdzikir kepada Allah
Ta’ala, tolong‑menolong atas kemanfa'atan bagi orang itu. Atau dengan
meninggalkan berdo'a & memuji kepada orang tersebut. Atau dengan
meninggalkan penggerakan kepada perbuatan kebaikan & pertolongan bagi orang
yang didendamkan. Maka yang tersebut ini semuanya, termasuk yang mengurangkan
darajat engkau pada Agama & yang mendidingkan antara engkau & keutaman
besar & pahala banyak, walaupun tidak akan mendatangkan engkau kepada
siksaan Allah
Tatkala Abubakar
ra bersumpah tidak akan memberi belanja (bantuan nafkah) lagi, kepada Musattah
bin Anasah & Musattah ini adalah kerabatnya (karena ibu Musattah anak
perempuan tante Abubakar). Karena
Musattah itu suka memperkatakan peristiwa
palsu (waqi'atul‑ifki). Maka turunlah firman Allah Ta’ala: "Orang‑orang yang mempunyai kekayaan
dan kelapangan diantara kamu, janganlah bersumpah, bahwa mereka tiada akan
memberi kepada kerabat, orang‑orang miskin dan orang‑orang yang berpindah di
jalan Allah, tetapi hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada! Tiadakah
kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu S 24 An Nur ayat 22.
Lalu Abubakar ra berkata: "Ya! Kami suka yang demikian". Dan ia kembali
memberi belanja kepada Musattah. Yang lebih utama bahwa terus berkekalan kepada
apa yang telah ada. Kalau mungkin ditambahkannya berbuat ihsan (berbuat baik) karena berjihad untuk jiwa dan memaksakan
setan. Itulah maqam (kedudukan) orang‑orang
shiddiq (yang membenarkan Allah dan
RasulNya). Dan itu termasuk amal utama bagi orang‑orang yang mendekatkan diri
kepada Allah. Bagi orang yang didendamkan mempunyai 3 hal, ketika sanggup
1.
Bahwa ia mengambil dengan sempurna haknya yang dipikirkannya,
tanpa lebih & kurang. Dan itulah keadilan.
2.
Bahwa ia berbuat berbuat baik kepada pendendam, dengan
mema'afkan & bersilaturrahim & yang demikian adalah keutamaan.
3.
Bahwa ia berbuat zalim kepada pendendam, dengan yang tidak
dimustahakkannya (dipikirkannya/tidak layak dimilikinya). Dan itu adalah kezaliman.
Dan itu adalah usaha orang‑orang yang
terpandang hina. Dan yang nomor dua diatas, adalah usaha orang‑orang shiddiq.
Dan yang nomor satu tadi, adalah darajat penghabisan bagi orang‑orang salih.
Dan akan kami terangkan sekarang, keutamaan memberi ma'af dan berbuat ihsan.
KEUTAMAN memberi ma'af dan berbuat ihsan (berbuat
baik).
Ketahuilah, bahwa arti ma'af (memberi ma'af) ialah; bahwa ia berhak
akan sesuatu hak. Lalu hak tersebut digugurkannya (dihilangkannya) dan
dilepaskannya dari orang yang harus menunaikan hak tersebut, seperti: qishash(ambil bela) atau denda. Dan itu bukan tidak
lekas marah dan menahan kemarahan. Maka karena itulah, kami sendirikan
menjelaskannya.
Allah Ta’ala berfirman: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang baik
& tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu!”. S 7 A'raaf
ayat 199. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
kalau kamu ma'afkan, ma'af itu lebih dekat kepada kepatuhan kepada
Tuhan". S 2 Al Baqarah ayat 237.
Rasulu'llah saw
bersabda: "Tiga perkara, demi Allah yang nyawaku dalam kekuasaanNYA,
Jikalau aku bersumpah, niscaya akan aku bersumpah atas kebenaran yang tiga
perkara itu. Yaitu: tiada berkurang harta dari bersedekah, maka bersedekahlah!
Tiada dima'afkan oleh seseorang dari kezaliman, yang dicarinya akan WAJAH
ALLAH, melainkan ia ditambah oieh Allah akan kemuliaan pada hari kiamat. Dan
tiada dibuka oleh seseorang atas dirinya pintu meminta‑minta, melainkan dibuka
oleh Allah kepadanya pintu kemiskinan".
Nabi saw bersabda:
"Tawadlu' (merendahkan diri) itu, tidak menambahkan bagi hamba Allah,
melainkan ketinggian. Maka bertawadlu'lah, niscaya kamu akan ditinggikan oleh
Allah! Memberi ma'af tiada akan menambahkan harta, melainkan banyak. Maka
bersedekahlah, niscaya kamu akan dicurahkan rahmat oleh Allah".
'Aisyah berkata:
"Tiada pernah sekali‑kali aku melihat Rasulu'llah saw membela diri dari
kezaliman yang dizalimi orang, selama tidak melanggar segala yang diharamkan
oleh Allah. Apabila melanggar sesuatu yang diharamkan oleh Allah, niscaya Rasulu'llah
saw yang paling marah pada yang demikian. Rasulu'llah saw tiada memilih
diantara dua perkara, melainkan beliau pilih yang lebih
mudah diantara kedua perkara tersebut, selama tidak mendatangkan
dosa".
'Uqbah bin 'Amir
AI‑Jahni ra berkata: “Pada suatu hari aku bertemu dengan Rasulu'llah saw .
Maka bersegeralah aku mengambil tangannya atau ia bersegera mengambil tanganku,
seraya beliau bersabda: "Hai 'Uqbah! Apakah tidak aku terangkan kepadamu,
akhlak penduduk dunia dan akhirat yang paling utama?. Yaitu: engkau menyambung
silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau. Engkau memberikan
kepada orang yang mengharamkan (tiada mau memberikan) kepada engkau. Dan engkau
memberi ma'af kepada orang yang berbuat zalim kepada engkau".
Nabi saw bersabda:
Nabi Musa as bertanya kepada Tuhan: "Hai Tuhanku! HambaMU yang mana yang
lebih mulia pada sisiMU?”. Allah Ta’ala berfirman: "Yaitu:
orang, apabila ia sanggup membalas, lalu mema'afkan". Begitu pula,
Abud‑Darda' ra ditanya orang, tentang manusia yang termulia, maka ia menjawab:
"Yang mema'afkan, apabila ia sanggup membalas. Maka ma'afkanlah, niscaya
kamu akan dimuliakan oleh Allah!”.
Seorang laki‑laki
datang kepada Nabi saw mengadu tentang kezaliman yang dialaminya. Lalu Nabi saw
menyuruhnya duduk, sedang ia bermaksud hendak mengambil orang zalim itu dengan
sebab kezalimannya. Lalu Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang‑orang yang
dizalimi, mereka itulah yang memperoleh kemenangan pada hari kiamat". Maka
orang tersebut, enggan mengambil balasan kezaliman itu ketika mendengar hadits
tadi.
'Aisyah berkata
Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa berdo'a (dengan yang tidak baik) atas
orang yang berbuat zalim kepadanya maka ia telah membela diri". Dari Anas,
yang berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apabila Allah membangkitkan
para makhluk pada hari kiamat, Ialu menyerulah penyeru dari bawah 'Arasy dengan
tiga suara: "Hai golongan orang‑orang yang meng‑esa‑kan Tuhan (golongan
keesaan)! Sesungguhnya Allah sudah memaafkan dosamu, maka ma'afkanlah
sebahagian kamu dari sebahagian yang lain!”.
Dari Abi Hurairah,
bahwa: "Rasulullah saw tatkala membuka Makkah (menaklukkan Makkah),
bertawaf (mengelilingi 7X) Baitu'llah dan mengerjakan shalat dua raka'at.
Kemudian, beliau mendatangi ka'bah, Ialu memegang dua kayu dari kedua pinggir
pintunya, seraya bersabda: "Apakah yang kamu katakan? Apakah yang kamu
sangka?". Lalu mereka menjawab: "Kami mengatakan: Saudara, Anak paman, yang tidak lekas marah,
yang pengasih". Mereka mengatakan yang demikian: 3X. Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Aku berkata, sebagaimana Yusuf berkata: “Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini. Allah Mengampunkan dosa kamu.
Allah Maha Pengasih dari yang Pengasih”. S 12 Yusuf ayat 92.
Abu Hurairah mengatakan:
“Lalu orang banyak keluar, seolah‑olah mereka keluar dari kuburan. Maka mereka
Ialu masuk Agama Islam". Dari Suhail bin 'Amr, yang berkata: "Tatkala
Rasulu'llah saw datang di Makkah, lalu beliau meletakkan dua tangannya atas
pintu Ka'bah dan manusia banyak dikelilingnya. Lalu Rasulu'llah saw
mengucapkan: “Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang
tiada mempunyai sekutu. IA benarkan dalam menepati janjiNYA. IA tolong
hambaNYA. Dan IA hancurkan kelompok‑kelompok musuh, DIA Yang Maha Esa".
Kemudian, Rasulu'llah saw bersabda: "Hai jama'ah Qurasy! Apa yang kamu
katakan dan apa yang kamu sangka?". Suhail bin 'Amr tadi berkata:
"Lalu aku menjawab: "Wahai Rasulu'llah Kami katakan yang baik dan
kami menyangka yang baik. Saudara yang mulia dan anak paman yang kasih sayang
dan engkau sanggup (mempunyai kekuasaan)". Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Aku akan mengatakan sebagaimana saudaraku Yusuf mengatakan: “Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini.
Allah akan mengampunkan dosa kamu”. (S 12 Yusuf ayat 92).
Dari Anas, yang
mengatakan: "Rasulu'llah saw
bersabda: "Apabila hamba‑hamba
Allah bangun berdiri nanti pada hari kiamat, lalu penyeru menyerukan:
"Hendaklah berdiri orang, yang pahalanya pada Allah! Maka hendaklah ia
masuk ke sorga!”. Lalu Rasulu'llah saw ditanyakan: "Siapakah kiranya orang
yang mempunyai pahala pada Allah?". Rasulu'llah saw menjawab:
"Orang-orang yang mema'afkan kesalahan orang. Lalu orang‑orang tersebut,
berdiri, sekian ribu, sekian ribu banyaknya. Mereka itu masuk kesorga, dengan
tanpa perkiraan amalannya (tanpa hisaab)".
Ibnu Mas’ud
berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Tiada sayogialah bagi seorang
penguasa suatu urusan (pemerintah atau hakim), yang dibawa kepadanya suatu
perkara untuk dihukum, melainkan ia menegakkan hukuman (melaksanakan hukuman)
itu. Dan Allah Maha Pema'af, yang menyukai kema'afan". Kemudian
Rasulu'llah saw membaca ayat: “Dan
hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada! Tiadakah kamu suka Allah
akan memberikan ampunan kepada kamu? Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang".
S 24 An Nur ayat 22.
Jabir bin Abdullah
AI‑Anshari ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda:"Tiga perkara, barangsiapa mendatangkan (melaksanakan) tiga
perkara itu serta keimanan, niscaya ia masuk sorga dari pintu mana saja yang
dikehendakinya. Dan ia dikawinkan dengan bidadari/bidadara, yang mana saja yang
dikehendakinya. Yaitu: orang yang
membayar hutang yang tersembunyi (kepada yang berhak, yang tiada mengetahui
lagi piutangnya), orang yang membaca dibelakang tiap‑tiap shalat yang lima:
Qulhua'llaahu ahad 10 X dan orang yang mema'afkan pembunuhnya (ia
dibunuh, lalu mema'afkan pembunuhnya, sebelum ia mati)".
Lalu Abubakar ra
bertanya: "Atau satu saja, wahai Rasulu'llah?”. Nabi saw menjawab:
"Atau satu saja dari yang tiga itu. Menurut al‑aatsaar diantara lain kata Ibrahim At‑Taimi: "Sesungguhnya
seorang laki‑laki yang berbuat zalim kepadaku, maka aku akan kasih‑sayang
kepadanya". Ini adalah ihsan
(berbuat baik), dibalik mema'afkan. Karena laki‑laki tersebut
mempekerjakan hatinya, mendatangkan perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala,
dengan kezaliman. Dan ia akan dituntut pada hari kiamat, lalu ia tiada
mempunyai jawaban. Setengah mereka berkata: "Apabila Allah berkehendak
menganugerahkan hadiah kepada seorang hambaNYA, niscaya dikuasakanNYA seseorang
yang akan berbuat zalim kepada hamba itu".
Seorang laki‑laki
masuk ke tempat Umar bin Abdul‑aziz ra. Laki‑laki itu Ialu mengadu kepada
khalifah tadi, bahwa ada orang yang berbuat zalim kepadanya dan
memperkatakannya (dengan yang tidak baik). Lalu Umar menjawab kepada laki‑laki
itu: "Sesungguhnya engkau, jikalau engkau bertemu dengan Allah dan
kezaliman yang diperbuat orang kepada engkau begitu adanya, adalah lebih baik
engkau daripada engkau bertemu dengan Allah dan engkau sudah mengambil bela
atas kezaliman tersebut".
Yazid bin Maisarah
berkata: "Kalau engkau senantiasa berdo'a(yang tidak baik) terhadap orang yang
berbuat zalim atas engkau, maka Allah Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya orang lain akan berdo'a terhadap engkau, bahwa
engkau berbuat zalim atas dia. Jikalau engkau kehendaki, niscaya KAMI terima
untuk engkau dan KAMI terima yang atas engkau. Dan kalau engkau kehendaki,
niscaya AKU kemudiankan kedua engkau sampai hari kiamat, Maka akan melapangkan
kedua engkau oleh kema'afanKU”.
Muslim bin Yassar
berkata kepada seorang laki‑laki yang berdo'a terhadap orang yang berbuat zalim
kepadanya: "Setiap orang zalim itu kepada kezaliman nya. Maka orang zalim
itu lebih cepat kepada kezalimannya, dari do'a engkau atasnya. Kecuali,
disusulinya dengan amalan yang baik dan ia bermaksud tidak
memperbuatnya".
Dari Ibnu Umar, yang
diterimanya dari Abubakar, dimana Abubakar ra berkata: "Sampai kepada kami
berita dari Nabi saw bahwa Allah Ta’ala menyuruh penyeru pada hari kiamat. Lalu
penyeru itu menyerukan: "Barangsiapa mempunyai sesuatu pada Allah, maka
hendaklah ia bangun berdiri!”. Maka bangunlah berdiri orang‑orang yang
mema'afkan kesalahan orang. Lalu mereka diberi balasan oleh Allah, dengan apa yang
ada, dari kema'afan mereka kepada manusia”.
Dari Hisyam bin
Muhammad, yang mengatakan: "An‑Nu'man bin AI‑Munzir datang dengan dua
orang laki‑laki, yang mengatakan: An Nu’man bin Al Munzir datang dengan 2 orang
laki-laki. Yang seorang telah berbuat dosa besar, lalu dima'afkannya. Dan yang
seorang lagi berbuat dosa ringan, lalu disiksanya, seraya ia bermadah:
Raja‑raja itu
mema'afkan,
Dari dosa‑dosa
besar,
Disebabkan
limpahan kurnianya.
Pada dosa yang
sedikit ia menyiksakan,
Dan bukanlah yang
demikian,
Karena
kebodohannya.............
Tetapi, supaya
diketahui,
Ke‑tidak lekas
marahannya.
Dan supaya
ditakuti, Akan sangat tipu‑dayanya.
Dari Mubarak bin Fadl‑dIalah, yang
mengatakan: "Diutus Sawwar bin Abdullah dalam suatu rombongan dari
penduduk Basrah kepada Abi Ja’far". Mubarak mengatakan: "Aku berada
disisi Abi Jafar, ketika seorang laki‑laki dibawa kepadanya, lalu disuruhnya
supaya dibunuh. Maka aku bertanya: "Dibunuh seorang laki‑laki dari kaum
muslimin, sedang aku hadir disitu?". Lalu aku menyambung: "Hai Amirul
mu'minin! Apakah tidak aku terangkan kepada engkau suatu hadits, yang aku
dengar dari Al-Hasan AI‑Bashari?”. Abi Ja’far menjawab: "Apakah hadits
itu?”. Aku berkata: "Aku mendengar Al-Hasan berkata: "Apabila telah
ada hari kiamat, Ialu Allah 'Azza wa Jalla (Allah Maha Mulia & Maha Besar)
mengumpulkan manusia pada suatu dataran tinggi, dimana mereka didengar oleh
pemanggil dan tembus pemandangan kepada mereka oleh penglihatan. Lalu penyeru
berdiri, seraya berseru: "Siapa yang mempunyai tangan pada sisi Allah,
maka hendaklah berdiri!”. Lalu tiada yang berdiri, selain orang yang mema'afkan
kesalahan orang lain. Lalu Abi Jafar menjawab: "Wa’Ilahi, demi Allah! Aku
sudah mendengarnya dari Al-Hasan". Maka aku menjawab: "Wa'llahi, demi
Allah! Aku sudah mendengarnya dari Al-Hasan". Lalu Abi Ja'far menyambung:
"Kita lepaskan orang itu".
Mu'awiyah berkata:
"Kamu harus hilmun (tidak lekas marah) dan menanggung penderitan!.
Sehingga memungkinkan bagimu kesempatan. Apabila kesempatan memungkinkan
bagimu, maka haruslah kamu berlapang dada dan berbuat keutamaan!”.
Diriwayatkan,
bahwa seorang rahib (pendeta) masuk
ketempat Hisyam bin Abdulmalik. Lalu Hisyam bin Abdulmalik bertanya kepada
rahib tadi: "Apakah pendapat engkau tentang Zulkarnain? Apakah ia seorang
nabi?". Pendeta itu menjawab: "Tidak! Akan tetapi ia diberikan, apa yang
telah diberikan, disebabkan 4 perkara yang ada padanya. Yaitu: Apabila ia berkuasa, niscaya ia mema'afkan.
Apabila ia berjanji, niscaya ia tepati. Apabila ia berbicara, niscaya ia
benar. Dan ia tidak mengumpulkan pekerjaan hari ini untuk besok”.
Sebahagian mereka
berkata: “Tidaklah orang yang tidak lekas marah/orang halim itu, orang yang
dianiaya, Ialu tidak lekas marah, sehingga apabila ia mampu, maka ia membalas
dendam. Tetapi orang halim, ialah orang yang dianiaya, lalu tidak Iekas marah.
Sehingga apabila ia mampu, maka ia mema'afkan".
Zayyad berkata:
"Kekuasaan itu menghilangkan al‑hafiidhah.
Ya'ni: dendam dan marah. Dibawa kepada Hisyam bin
Abdulmalik, seorang laki‑laki, yang sampai kepada Hisyam, ada urusan yang
tidak disenangi oleh Hisyam. Tatkala laki‑laki tersebut disuruh berdiri
dihadapan Hisyam, lalu ia berbicara dengan mengemukakan alasan (hujjah). Maka
Hisyam berkata kepada orang tadi: "Engkau berbicara pula?". Orang
itu menjawab: "Wahai Amirul‑mu'minin! Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
"(Ingatlah) akan hari dimana tiap‑tiap diri datang membela dirinya
sendiri" S 16 An Nahl ayat 111. Apakah kita akan membela diri dihadapan Allah
Ta’ala dan tiada berkata‑kata, sepatah katapun dihadapan engkau?". Hisyam
menjawab: "Ya, berbicaralah!”.
Diriwayatkan,
bahwa seorang pencuri masuk ke kemah 'Ammar bin Yasir di Shiffin. Lalu orang
mengatakan kepada 'Ammar: "Potonglah tangannya! Karena dia termasuk musuh
kita". Lalu Ammar menjawab: "Bahkan akan aku tutup perbuatannya.
Mudah‑mudahan Allah akan menutup dosaku pada hari kiamat". Ibnu Mas'ud
duduk pada sebuah toko, akan membeli makanan. Lalu dibelinya. Kemudian,
dicarinya dirham dan dirham itu ada dalam surbannya. Maka didapatinya surban
itu sudah terbuka, lalu ia berkata: "Aku tadi duduk dan dirham itu bersama
aku". Maka orang banyak berdo'a (yang tidak baik) terhadap orang yang
mengambil dirham itu. Mereka berdo'a: “Wahai Allah Tuhanku! Potonglah tangan
pencuri yang mengambil uang dirham itu! Wahai Allah Tuhanku Buatlah demikian
pada orang itu!”. Lalu Abdullah Ibnu Mas'ud tadi berdo'a: "Wahai Allah
Tuhanku jikalau yang mendorong orang itu kepada mengambilnya oleh suatu
keperluan, maka anugerahilah barakah bagi orang itu
kepada mengambilnya oleh suatu keperluan, maka anugerahilah barakah bagi orang
itu pada dirham tersebut! Dan jikalau yang mendorongnya oleh keberanian kepada
berbuat dosa, maka jadikanlah dosa itu, sebagai dosanya yang terakhir!”.
AI‑Fudlail
berkata: "Aku belum pernah melihat orang yang lebih zuhud, dari seorang
laki‑laki dari penduduk Khurasan, yang duduk dekat aku di Masjidil haram. Kemudian,
ia berdiri untuk mengerjakan thawaf. Lalu dicuri orang uang dinar yang ada
padanya. Maka membuat ia menangis. Lalu aku bertanya: "Adakah engkau
menangis atas hilangnya dinar itu?". Maka ia menjawab: "Tidak! Tetapi
dinar itu menyakitkan aku dan orang itu dihadapan Allah 'Azza wa Jalla. Lalu
hampirlah akalku kepada membatalkan hajinya. Maka tangisanku adalah rahmat
(kasih sayang) bagi pencuri itu.
Malik bin Dinar
berkata: “Pada suatu malam kami datang ke tempat AI Hakam bin Ayyub. Dan ia
adalah amir (penguasa) Basrah. Dan datanglah Al-Hasan dan dia itu dalam
ketakutan. Lalu kami masuk bersama AI‑Hasan. Maka tidak adalah kami bersama
Al-Hasan, selain seperti anak ayam kecil‑kecil. Lalu Al-Hasan menerangkan kisah
Nabi Yusuf as dan apa yang diperbuat oleh saudara‑saudaranya. Diantara lain,
mereka menjual Yusuf dan melemparkannya dalam sumur. Lalu AI‑Hasan berkata:
"Mereka menjual saudaranya dan mereka menggundahkan ayahnya". Dan
disebutkan oleh AI‑Hasan, apa yang dialami Yusuf, tentang tipuan wanita dan
dipenjarakan. Kemudian Al-Hasan menyambung: "Hai Amir! Apakah yang diperbuat
oleh Allah dengan Yusuf ? Allah menjadikan masa itu beredar bagi Yusuf dari
mereka. Allah mengangkat sebutan Yusuf, meninggikan namanya dan menjadikannya
menguasai gudang‑gudang makanan di bumi. Apakah yang diperbuat oleh Yusuf,
ketika telah sempurna urusannya dan berkumpul semua keluarganya? Yusuf as,
berkata: “Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tidak ada pencelaan (penyesalan)
apa‑apa kepada kamu. Allah kiranya mengampuni kesalahan kamu. Dan dia Maha
Pemurah dari segala orang‑orang yang pemurah". S 12 Yusuf ayat 92.
Al-Hasan mengemukakan kepada AI‑Hakam, untuk mema'afkan teman‑temannya. AI‑Hakam
menjawab: "Maka aku mengatakan: “Pada
hari ini tidak ada pencelaan (penyesalan) apa‑apa kepada kamu. Jikalau
tiada aku peroleh, selain kainku ini, niscaya akan aku tutupkan kamu
dibawahnya".
Ibnul‑Muqaffa'
menulis sepucuk surat kepada temannya, dimana ia meminta ma'af dari kesalahan
sebahagian teman‑temannya, yang isinya diantara lain: "Si Anu lari dari
kesalahannya kepada kema'afan engkau, yang merasa enak dari engkau, dengan
engkau. Dan ketahuilah, bahwa dosa itu tidak bertambah besar, melainkan
kema'afan itu bertambah keutamaan".
Dibawa orang Asara
bin AI‑Asy'ats kepada khalifah Abdul‑malik bin Marwan. Lalu Abdul‑Malik
bertanya kepada Raja'bin Haiwah: "Apa pendapatmu?”. Raja menjawab:
"Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kepada engkau kemenangan yang
engkau sukai. Maka berikanlah kepada Allah ke‑ma'afan yang disukaiNYA".
Lalu Abdul‑malik bin Marwan mema'afkan mereka. Diriwayatkan, bahwa Ziyad
(gubernur Irak) mengambil (menangkap) seorang laki‑laki dari golongan khawarij.
Lalu laki‑laki itu lepas melarikan diri dari tahanan. Maka Ziyad menangkap
saudara dari laki‑laki tadi, seraya berkata kepadanya: "Jikalau engkau
bawa saudaramu, maka engkau akan bebas Jikalau tidak, maka akan aku pukul
(potong) lehermu". Laki‑laki yang ditangkap itu menjawab: “Bagaimana
pendapat engkau, jikalau aku bawa kepada engkau surat dari Amirul‑mu'minin,
apakah engkau akan melepaskan aku?". Ziyad menjawab: "Ya!”. Laki‑laki
tadi lalu berkata: "Maka aku akan membawa kepada engkau surat (kitab) dari
Yang Maha kuasa lagi Yang Maha bijaksana.
Dan akan aku tegakkan dua saksi: “Ibrahim dan Musa". Kemudian, laki‑laki
tersebut, membaca ayat: "Atau belumkah diberitakan kepadanya apa yang
didalam surat-surat Musa. Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)? Yaitu,
bahwa seorang pemikul beban tiada dapat memikul beban
orang lain". S 53 An Najm ayat 36,37,38. Lalu Ziyad berkata:
"Lepaskan jalannya! Ini laki‑laki telah mengajarkan hujjahnya
(alasannya)". Ada yang mengatakan, bahwa tertulis dalam Injil maksudnya "Barangsiapa meminta ampun
bagi orang yang berbuat zalim kepadanya, maka ia telah mengalahkan setan"
KEUTAMAAN
BELAS KASIHAN.
Ketahuilah, bahwa belas kasihan itu terpuji.
Dan lawannya, ialah: kasar dan tabiat tajam (keras). Tabiat kasar itu
natijah/hasil keyakinan marah dan jahat perangai. Belas kasihan dan lemah
lembut itu hasil kebagusan akhlak dan penurut (mudah dan tidak kaku). Kadang‑kadang,
sebab tabiat tajam (keras) itu, ialah: marah. Dan kadang‑kadang sebabnya,
ialah: sangat loba dan berkuasanya loba itu (pada hati), dimana
mencengangkannya, tanpa berpikir dan mencegahkannya dari tetapnya pendirian.
Maka belas kasihan dalam segala urusan itu buah (hasil), yang tidak dibuahkan
(dihasilkan), selain oleh kebagusan akhlak. Dan akhlak itu tidak akan bagus,
selain dengan mengekang kekuatan marah dan kekuatan nafsu‑syahwat. Dan
menjaganya pada batas sederhana. Dan karena inilah, Rasulu'llah saw memuji
kelemah‑lembutan dan bersangatan pujinya. Seraya beliau bersabda: "Hai
Aisyah! Sesungguhnya, barangsiapa diberikan bahagiannya dari kelemah‑lembutan,
maka sesungguhnya ia telah diberikan bahagiannya dari kebajikan dunia dan
akhirat. Dan barangsiapa tiada diberanikan bahagiannya dari kelemah‑lembutan,
maka ia telah tiada diberikan bahagiannya, dari kebajikan dunia dan
akhirat".
Rasulu'llah saw
bersabda: "Apabila Allah mengasihi keluarga suatu rumah tangga, niscaya dimasukkan
Allah kepada mereka sifat belas‑kasihan". Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah akan memberikan diatas belas‑kasihan, apa yang tidak
diberikan Allah, diatas perbuatan yang
tidak ada belas kasihan (khurqun). Dan apabila Allah mengasihi seorang
hamba, niscaya diberikan Allah kepada hamba itu belas kasihan. Dan suatu
keluarga suatu rumah tangga yang tidak diberikan belas kasihan, maka mereka
diharamkan (tidak diberikan) kasih sayang Allah Ta’ala".
Aisyah berkata:
"Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah itu sangat belas‑kasihan, yang
sangat menyukai belas kasihan. Dan memberikan apa yang tidak diberikan Allah
atas kekasaran". Nabi saw bersabda: "Hai Aisyah! Belas‑kasihanilah!
Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila berkehendak kemulian (karamah) kepada keluarga suatu rumah tangga, niscaya
mereka ditunjuki Allah pintu belas‑kasihan". Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa mengharamkan (tiada memberikan) belas‑kasihan, niscaya ia di
haramkan (tiada diberikan) kebajikan semuanya".
Nabi saw bersabda:
"Wali (penguasa pada suatu golongan) manapun, yang memerintah. Lalu ia
belas‑kasihan dan lemah‑lembut, niscaya ia dikasihani oleh Allah Ta’ala pada
hari kiamat". Nabi saw bersabda: "Tahukah kamu orang yang diharamkan
(tidak dimasukkan) ke neraka pada hari kiamat? Yaitu: tiap‑tiap orang yang
tidak kaku, lemah‑lembut, mudah berurusan dan bersifat mendekati". Nabi
saw bersabda: "Sifat belas kasihan itu suatu nikmat dan sifat tidak belas
kasihan itu suatu sifat serakah".
Nabi saw bersabda:
"Pelan‑pelan itu dari Allah dan tergopoh‑gopoh itu dari setan".
Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah saw didatangi oleh seorang laki‑laki. Lalu
orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
memberkahi sekalian kaum muslimin pada engkau. Maka khususkanlah (tentukanlah)
kebajikan bagiku dari engkau!”. Maka Nabi saw membaca: “Alhamdulil‑laah” 2 X atau 3 X. Kemudian Nabi saw menghadapkan
pertanyaannya kepada orang itu, seraya bersabda: "Adakah engkau meminta wasiat (nasehat)?". 2 X atau 3 X,
Nabi saw menanyakannya. Orang itu menjawab: "Ya!”. Nabi saw lalu bersabda:
"Apabila engkau menghendaki suatu urusan, maka pikirkanlah akibatnya!
Kalau baik, maka teruskanlah! Dan jikalau tidak demikian, Maka hentikanlah!”.
Dari 'Aisyah:
"Bahwa 'Aisyah ada bersama Rasulu'llah saw dalam suatu perjalanan, atas
unta yang sukar dikendalikan. Lalu 'Aisyah memalingkan unta itu ke kanan dan
ke kiri. Maka Rasulu'llah saw bersabda: "Hai 'Aisyah! Engkau harus belas‑kasihan!
Sesungguhnya belas kasihan apabila masuk pada sesuatu, niscaya ia akan
menghiasi sesuatu itu. Dan bila tercabut belas‑kasihan dari sesuatu, maka akan
merusakkan sesuatu tersebut".
Al‑atsar diantara lain
ialah: telah sampai berita kepada Umar bin Al-Khatab ra, bahwa suatu jama'ah
dari rakyatnya, menyampaikan pengaduan dari hal karyawan‑karyawan Umar. Lalu Umar menyuruh mereka bertemu dengan Umar. Tatkala
mereka datang kepada Umar, maka Umar bangun berdiri. Lalu beliau memuji Allah
dan menyanjungNYA. Kemudian, beliau berkata "Hai manusia! Hai rakyat!
Sesungguhnya kami mempunyai hak pada kamu menasehati dengan yang jauh dan
tolong‑menolong diatas kebajikan. Hai para pemimpin rakyat! Sesungguhnya rakyat
mempunyai hak atas kamu. Maka ketahuilah, bahwa tiada suatupun yang paling
disukai Allah dan yang paling mulia, daripada
tidak lekas marahnya imam (kepala) dan belas‑kasihannya. Dan tiada
kebodoban yang paling dimarahi Allah dan yang paling mendukacitakan, daripada bodohnya imam (kepala) dan tidak lekas
belas kasihannya. Dan ketahuilah,
bahwa barangsiapa mengambil dengan sehat pada orang yang ditengah‑tengahnya,
maka ia akan dianugerahkan sehat dari orang yang dibawahnya".
Wahab bin Munabbih
berkata: “Belas kasihan itu buah (hasiInya) tidak lekas marah". Pada
hadits mauquf (berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang
disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun
terputus) dan marfu' (hadits atau sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi
tetapi disampaikan juga), tersebut: “ilmu itu teman
orang mu'min, tidak Iekas marah itu menterinya, akal itu penunjuknya, amal itu yang
menilaikannya, belas kasihan itu bapaknya, lemah‑lembut itu saudaranya dan
sabar itu panglima tentara‑tentaranya".
Sebahagian mereka
berkata: "Alangkah bagusnya iman, yang dihiaskan oleh ilmu! Alangkah
bagusnya ilmu, yang dihiaskan oleh amal! Alangkah bagusnya amal, yang
dihiaskan oleh belas‑kasihan ! tiada ditambahkan sesuatu kepada sesuatu,
seperti tidak Iekas marah (hilmun) kepada ilmu".
'Amr bin Al-Ash
bertanya kepada anaknya Abdullah: “Apakah
belas‑kasihan itu?". Abdullah menjawab: “Bahwa engkau mempunyai tetap pendirian. Lalu engkau berlemah‑lembut
dengan wali-wali negeri/ penguasa‑ penguasa”. 'Amr bertanya lagi: "Apakah tidak belas‑kasihan itu?”. Abdullah
menjawab: “Bermusuh‑musuhan dengan
imam/kepala engkau dan menantang
orang yang sanggup mendatangkan melarat atas engkau".
Sufyan bin‑Uyaynah
bertanya kepada sahabat‑sahabatnya: "Tahukah kamu, apakah belas‑kasihan
itu?”. Mereka itu menjawab: "Terangkanlah, hai Ayah Muhammad (panggilan kepada
Sufyan)!”. Sufyan menjawab: "Bahwa engkau meletakkan segala perkara pada
tempatnya. Keras pada tempatnya. Lemah‑lembut pada tempatnya. Pedang pada
tempatnya. Dan cemeti pada tempatnya”. Ini suatu isyarat, bahwa tak boleh tidak
dari bercampurnya kekasaran dengan ke‑lemah‑lembutan dan kejahatan perangai
dengan belas kasihan, sebagaimana dikatakan pada suatu madah:
Meletakkan embun,
Pada tempat pedang
dengan ketinggian,
itu melarat,
seperti meletakkan,
Pedang pada tempat
embun.
Maka yang terpuji, ialah pertengahan,
antara keras dan lemah‑lembut, sebagaimana pada akhlak‑akhlak lainnya. Akan
tetapi, tatkala tabiat itu lebih cenderung kepada keras dan tajam, niscaya
keperluan itu lebih banyak kepada menggemarkan pada
segi belas kasihan. Maka karena itulah, pujian agama banyak kepada segi
belas kasihan, tidak kepada sifat keras, walau pun sifat keras itu baik pada
tempatnya. Sebagaimana sifat belas kasihan itu baik pada tempatnya. Maka
apabila yang harus itu sifat keras, niscaya sesungguhnya telah bersesuaian
kebenaran dengan hawa‑nafsu. Dan itu lebih enak dari susu dalih yang
dicampurkan dengan madu putih. Dan begitulah seterusnya .............
Umar bin Abdul‑aziz ra berkata:
"Diriwayatkan, bahwa 'Amr bin Al-Ash menulis surat kepada Muawiyah, yang
dicelanya tentang: sangat pelan‑pelan dalam tindakan (at‑taanni). Maka
Mu'awiyah menulis balasannya kepada 'Amr bin Al-Ash: "Adapun kemudian,
maka sesungguhnya pemahaman pada kebajikan itu menambah petunjuk. Dan orang yang
memperoleh petunjuk, ialah: orang yang memperoleh petunjuk dari tergopoh‑gopoh.
Dan sesungguhnya orang yang kecewa, ialah: orang yang kecewa dari tetap pendirian.
Dan orang yang tetap pendirian itu, ialah: orang yang memperoleh kebenaran
atau mendekati ia memperoleh kebenaran. Dan sesungguhnya orang yang terburu‑buru
itu orang yang salah atau mendekati ia menjadi orang yang salah. Dan
sesungguhnya orang yang tidak bermanfa'at baginya belas kasihan, maka akan
mendatangkan melarat baginya oleh tidak belas kasihan. Dan orang yang tidak bermanfa'at
baginya pengalaman, niscaya ia tidak akan mencapai ketinggian".
Dari Abi 'Aun AI‑Anshari,
yang berkata: "Tiadalah manusia berkata‑kata dengan kata‑kata yang sukar,
melainkan disampingnya ada kata‑kata yang lebih lemah‑lembut dari kata‑kata
itu, yang berjalan pada jalannya". Abu Hamzah AI‑Kufi berkata:
"Janganlah engkau mengambil dari pembantu (yang membantu mengurus rumah
tangga), selain yang tak boleh tidak daripadanya. Sesungguhnya bersama setiap
manusia itu, ada setan. Dan ketahuilah, bahwa mereka tiada akan memberikan
sesuatu kepada engkau dengan kekerasan, melainkan mereka akan memberikan kepada
engkau dengan lemah‑lembut, apa yang lebih utama daripadanya".
AI‑Hasan AI‑Bashari
ra berkata: "Orang mu'min itu tetap pendirian, lagi tidak terburu‑buru.
Ia tidak seperti orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari". Maka
inilah pujian ahli ilmu kepada belas kasihan. Dan yang demikian, karena itu
terpuji dan memberi faedah pada kebanyakan hal dan kebiasaan urusan. Dan
kadang‑kadang terdapat perlunya kepada sikap keras Akan tetapi itu jarang
terjadi. Dan sesungguhnya orang yang sempurna, ialah orang yang dapat
membedakan tempat yang harus belas kasihan, dari tempat yang harus bersikap
kasar. Maka diberikan masing‑masing urusan akan haknya. Kalau ia pendek
penglihatan atau menjadi kesulitan kepadanya suatu hukum dari peristiwa‑peristiwa
yang terjadi, maka hendaklah kecenderungan nya kepada belas‑kasihan. Karena
pada kebanyakannya, kemenangan itu
bersama belas kasihan.
PEMBICARAAN tentang tercelanya dengki, tentang hakikat/makna
dengki, sebab‑sebab dengki, Pengobatannya & tujuan kewajiban pada
menghilangkannya.
Ketahuilah, bahwa dengki juga termasuk
sebahagian dari natijah/hasil keyakinan dendam.
Dan dendam itu termasuk
sebahagian dari natijah/hasil keyakinan marah.
Jadi, dengki itu cucunya marah.
Dan marah itu neneknya dengki (asal dari asalnya). Kemudian, dengki itu
mempunyai cabang‑cabang yang tercela, yang hampir tidak dapat dihinggakan.
Telah datang banyak hadits tentang tercelanya dengki khususnya.
Rasulu'llah saw
bersabda: "Dengki itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu
kering". Nabi saw bersabda tentang Iarangan dengki, sebab‑sebab dengki dan
buahnya: "Janganlah kamu dengki‑mendengki, janganlah kamu putus‑memutuskan
silaturrahim, janganlah kamu marah‑memarahi, janganlah kamu belakang‑membelakangi!
Hendaklah ada kamu itu hamba‑hamba Allah yang bersaudara!”. Anas berkata: “Pada
suatu hari kami duduk disisi Rasulu'llah saw. Lalu beliau bersabda: "Akan
muncul kepada kamu sekarang dari jalan celah bukit ini, seorang laki‑laki dari
ahli sorga". Anas meneruskan riwayatnya: “Lalu muncullah seorang laki‑laki
dari golongan anshar, janggutnya menetes, dari wudlu'nya. Ia memegang 2 sandal
pada tangan kirinya. Lalu ia memberi salam. Tatkala keesokan harinya, Nabi saw
bersabda seperti itu lagi. Lalu laki‑laki itu muncul pula. Dan pada hari
ketiga, Nabi saw bersabda seperti itu juga. Lalu laki‑laki tersebut muncul
lagi. Maka tatkala Nabi saw bangun berdiri, lalu beliau diikuti oleh Abdullah
bin 'Amr bin Al-Ash. Lalu Abdullah berkata kepada laki‑laki itu: "Sesungguhnya
aku bertengkar dengan ayahku. Lalu aku bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke
tempat ayahku 3 malam. Jikalau engkau mau membawa
aku ke rumahmu, sehingga berlalu 3 malam itu, maka laksanakanlah".
Laki‑laki itu menjawab, "Ya, boleh!”. Lalu Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash
bermalam pada laki‑laki tersebut, 3 malam. Maka ia tidak melihat laki‑laki itu
bangun malam sedikitpun, selain apabila ia berbalik‑balik di atas tempat tidurnya,
Ialu berdzikir kepada Allah Ta'ala. Dan ia tidak bangun, sebelum ia bangun
untuk shalat fajar (shalat subuh)". Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash
meneruskan riwayatnya: "Selain aku tidak mendengar ia mengatakan,
melainkan yang kebajikan. Dan tatkala telah berlalu 3 hari dan hampirlah aku
menghinakan amalannya, Ialu aku berkata kepadanya: "Hai hamba Allah!
Sesungguhnya tiadalah diantara aku dan ayahku itu marah dan tidak bercakap‑
cakap. Akan tetapi, aku telah mendengar Rasulu'llah saw bersabda demikian‑demikian.
Lalu aku bermaksud untuk mengetahui amalan engkau. Maka aku tidak melihat
engkau berbuat amalan yang banyak. Maka apakah kiranya yang menyampaikan
engkau kepada yang demikian?". Lalu, laki‑laki itu menjawab: “Tidak adalah
yang lain, selain apa yang engkau lihat". Maka tatkala aku berpaling
membelakang, laki‑laki itu memanggil aku, seraya berkata: “Tidak ada yang lain
selain apa yang engkau lihat. Hanya aku tidak mendapati pada diriku, tipuan dan
dengki, terhadap seseorang kaum muslimin, di atas kebajikan yang diberikan oleh
Allah kepadanya”. Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash berkata: “Lalu aku katakan
kepadanya: "Itulah yang telah menyampaikan engkau dan itulah yang kami
tidak sanggup".
Nabi saw bersabda:
"Tiga perkara, tiada akan terlepas dari padanya seseorang, yaitu: “Jahat sangka,
terbang hati (tidak berdekatan jiwa) dan dengki”. Dan akan aku terangkan kepadamu jalan
keluar daripada yang demikian. Apabila engkau menyangka sesuatu, maka
janganlah engkau selidiki! Apabila hati engkau terbang dari sesuatu, maka
teruskan (maksudmu)! Dan apabila engkau dengki, maka jangan engkau melewati
batas!”. "Tiga perkara, tiada akan lepas seseorang dari padanya &
sedikitlah orang yang terlepas dari padanya". Maka pada riwayat ini,
disebutkan akan kemungkinan terlepas dari tiga perkara tersebut.
Nabi saw bersabda:
"Telah merangkak kepadamu penyakit umat‑umat yang sebelum kamu, yaitu: dengki dan suka
marah. Suka marah itu adalah gunting. Aku tidak mengatakan: gunting
rambut, akan tetapi gunting agama. Demi Allah, yang jiwa Muhammad di tanganNYA!
Kamu tiada akan masuk sorga, sehingga kamu beriman. Dan kamu tidak beriman, sehingga
kamu kasih‑mengasihi. Apakah tidak aku beritakan kepada kamu, apa yang
menetapkan demikian bagimu? Tebarkan salam di antara kamu!”.
Nabi saw bersabda: "Hampirlah kemiskinan itu menjadi kufur dan hampirlah
dengkian itu mengalahkan taqdir". Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya akan menimpa umatku, penyakit umat‑umat yang lain".
Lalu para shahabat bertanya: "Apakah penyakik umat‑umat yang lain
itu?". Nabi saw menjawab: "Lupa nikmat, zalim ketika memperoleh
nikmat berbanyak‑banyakan harta, berlomba‑lomba tentang ke dunia‑an, jauh
menjauhkan dan dengki‑mendengki, sehingga terjadilah melampaui batas. Kemudian
terjadilah pembunuhan".
Nabi saw bersabda:
"Jangan engkau lahirkan kegembiraan dengan bencana yang menimpa saudara
engkau. Allah akan menganugerah kan sehat‑afiat kepadanya. Dan akan menurunkan
bencana kepada engkau”.
Diriwayatkan,
bahwa nabi Musa as tatkala bergegas‑gegas kepada Tuhannya Yang Maha Tinggi,
maka ia melihat pada naungan 'Arasy seorang laki‑laki. Lalu ia ingin di tempat
tersebut, seraya ia berkata: "Bahwa orang ini sungguh mulia pada
Tuhannya". Lalu Musa as bertanya kepada Tuhannya Yang Maha tinggi, kiranya
Tuhan menerangkan nama orang tersebut. Tetapi Tuhan tidak menerangkannya. Dan
Tuhan berfirman: "AKU terangkan kepadamu amalannya 3 perkara: dia tidak dengki kepada manusia, terhadap yang
dianugerahkan oleh Allah kepada mereka dari kurniaNYA, dia tidak durhaka
kepada ibu‑bapanya dan dia tidak menjalankan upat/pembantu fitnah".
Nabi Zakaria as
berkata: "Allah Ta'ala berfirman:
"Orang yang dengki itu musuh nikmatKU, marah kepada qodo'KU (hukum
taqdirKU), tidak rela dengan pembagianKU, yang AKU bagikan di antara hamba-hambaKU".
Nabi saw bersabda:
"Yang paling aku takuti dari apa yang aku takuti pada umatku ialah bahwa
banyak harta pada mereka, lalu mereka berdengki‑dengkian dan berbunuh‑bunuhan".
Nabi saw bersabda: "Minta tolonglah untuk tercapainya hajat keinginanmu
dengan menyembunyikannya. Sesungguhnya tiap‑tiap orang yang memperoleh nikmat
itu didengki orang".
Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya nikmat Allah itu mempunyai musuh. Lalu ditanyakan.
"Siapakah mereka itu?". Maka Nabi saw menjawab: "Mereka yang
dengki kepada manusia, terhadap apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada
mereka dari kurniaNYA". Nabi saw bersabda: "Enam golongan akan masuk
neraka sebelum perhitungan (hisap) dengan setahun". Lalu ditanyakan:
"Wahai Rasulu'llah! Siapakah mereka?". Nabi saw menjawab: "Umara'
(penguasa‑penguasa) dengan kezaliman, orang Arab dengan 'ashabiyah (fanatik kepada bangsanya), kepala‑kepala desa dengan
kesombongan, kaum saudagar dengan pengkhianatan, orang-orang hitam dengan
kebodohan tentang agama dan alim‑ulama dengan kedengkian".
AI‑atsar, diantara
lain, kata sebahagian ulama terdahulu: "Awal kesalahan (kesalahan
pertama), ialah: “dengki”. Iblis
dengki kepada Nabi Adam as atas kedudukannya. Lalu iblis enggan (menolak) untuk
bersujud kepada Adam as. Lalu Iblis itu dibawa oleh kedengkian kepada perbuatan
maksiat".
Diceritakan, bahwa
'Aun bin Abdullah masuk ke tempat AI‑Fadlal bin AI‑muhallab. Dan berkata:
“Sesungguhnya aku bermaksud menasehati engkau sesuatu". Maka AI‑Fadlal
bertanya: "Apakah sesuatu itu?". 'Aun bin Abdullah menjawab:
"Jagalah dirimu dari takabur. Sesungguhnya takabur/sombong itu, dosa
pertama yang mendurhakai Allah”. Kemudian, ia membaca ayat: “Dan ketika KAMI
mengatakan kepada malaikat: "Tunduklah kamu kepada Adam. Lalu mereka
tunduk, selain dari Iblis, dia enggan dan menyombongkan dirinya dan dia
termasuk orang‑orang yang tidak beriman". S 2 Al Baqarah ayat 34.
"Jagalah dirimu dari sifat rakus! Sesungguhnya rakus itu mengeluarkan Nabi
Adam as dari sorga, dimana ia telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dari sorga yang lebarnya langit dan bumi, dimana ia makan dari sorga itu,
kecuali pohon kayu yang satu, yang
dilarang oleh Allah. Maka ia makan dari kayu tersebut. Lalu ia di keluarkan
oleh Allah Ta'ala dari sorga". Kemudian 'Aun membaca ayat: "Pergilah
kamu semuanya dari sini, tetapi jika datang kepadamu pimpinan daripadaKu, maka
siapa yang menurut pimpinanKU, maka mereka tiada merasa ketakutan dan tiada
menaruh duka cita". S 2 Al Baqarah ayat 38. Jagalah dirimu dari dengki!
Sesungguhnya seorang putera Adam membunuh saudaranya laki‑laki, ketika ia
dengki kepadanya". Kemudian, 'Aun membaca ayat: “Dan ceritera kanlah
kepada mereka riwayat dua orang anak Adam menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya melakukan kurban penyembelihan. Diterima kurban seorang dan tidak
diterima kurban yang seorang lagi. Dia mengatakan: Tentu aku akan membunuh
engkau. Kata yang lain: “Tuhan hanyalah menerima (kurban) dari orang‑orang yang
memelihara diriya (dari kejahatan)” S 5 AI Maa-idah ayat 27.
"Apabila
disebutkan nama shahabat‑shahabat Rasulu'llah saw, maka tahanlah lidahmu
(tidak engkau menyebutkan mereka dengan jahat)! Apabila disebutkan taqdir, maka diamlah! Dan apabila
disebutkan binatang‑binatang, maka diamlah!”.
Bakar bin Abdullah
berkata: "Ada seorang laki‑laki masuk ke tempat sebahagian raja‑raja.
Lalu ia berdiri menghadap raja tersebut, seraya berkata: "Berbuat baiklah
kepada orang yang berbuat baik, disebabkan perbuatan baiknya! Maka orang yang
berbuat jahat, akan mencukupi baginya oleh perbuatan jahatnya". Lalu orang
tersebut didengki oleh laki‑laki lain atas tempat dan perkataan itu. Maka laki‑laki
lain tadi terus memfitnah kepada raja, seraya berkata: "Bahwa orang itu yang
berdiri menghadap engkau dan mengatakan apa yang dikatakannya, mendakwakan, bahwa
raja busuk bau mulutnya". Raja lalu menjawab: “Bagaimana benar yang
demikian padaku?". Orang itu menjawab: "Engkau panggil dia kepada
engkau. Maka apabila ia mendekati engkau, ia meletakan tangannya pada
hidungnya. Supaya ia tidak mencium bau busuk mulut. Maka raja berkata kepada
orang tersebut: "Pergilah, sehingga aku melihat kebenaran yang demikian!”.
Orang itu lalu keluar dari hadapan raja, pergi mengajak orang tersebut ke
rumahnya. Lalu diberinya makan, yang ada padanya bawang putih. Kemudian, orang
itu keluar dari rumah orang tadi. Dan tegak berdiri di hadapan raja menurut
kebiasaannya, seraya ia berkata: "Berbuat baiklah kepada orang yang
berbuat baik, disebabkan perbuatan baiknya! Maka orang yang berbuat jahat, akan
mencukupi baginya oleh perbuatan jahatnya". Lalu raja berkata kepada
orang itu: "Dekatilah kepadaku!”. Orang itupun lalu mendekati raja, seraya
meletakkan tangannya pada mulutnya, karena takut tercium oleh raja bau bawang
putih. Lalu raja berkata pada dirinya: "Aku tidak melihat si Anu itu,
melainkan benar apa yang dikatakannya". Bakar bin Abdullah meneruskan
ceritanya: "Raja itu tidak menulis sesuatu dengan tulisannya sendiri,
kecuali disebabkan ada sesuatu anugerah atau pemberian. Lalu raja itu menulis
sepucuk surat untuk orang tadi, dengan tulisannya sendiri, untuk dibawanya
kepada salah seorang pegawai raja itu. Diantara isinya, ialah: "Apabila
sampai kepadamu yang membawa suratku ini, maka sembelihkanlah dia dan kupaskan
kulitnya! Isikan kulitnya dengan jerami dan kirimkan kulitnya itu kepadaku!”.
Orang itu lalu mengambil surat dan keluar. Maka ia dijumpai oleh laki‑laki yang
membuat fitnah itu, seraya bertanya: "Apakah surat ini?". Orang itu
menjawab: "Tulisan raja untukku dengan suatu‑pemberian". Tukang
fitnah tadi lalu menjawab: "Berilah surat ini kepadaku!” Lalu orang itu
berkata: "Jadi, surat ini untukmu". Tukang fitnah itu lalu mengambil
surat tersebut dan dibawanya kepada pegawai raja. Lalu pegawai itu berkata:
“Dalam suratmu ini, supaya aku menyembelih kamu dan mengupas kulitmu".
Tukang fitnah itu menjawab: "Bahwa surat ini bukan untukku. Allah, Allah,
tau tentang urusanku ini!” Kiranya engkau meminta pada raja supaya ditinjau
kembali". Pegawai itu menjawab: "Tidak ada peninjauan bagi surat
raja". Lalu pagawai itu menyembelih tukang fitnah tersebut, mengupas
kulitnya dan mengisikan kulit itu dengan jerami. Dan dikirimkannya kepada raja.
Kemudian, orang yang menerima surat raja itu, datang kembali kepada raja,
seperti kebiasaannya. Dan mengatakan seperti perkataannya yang sudah‑sudah.
Maka raja itu sangat heran, seraya berkata: "Apakah yang terjadi dengan
surat itu?". Orang itu menjawab: "Bertemu dengan aku si Anu, lalu
dimintanya daripadaku surat itu, maka aku berikan kepadanya". Raja lalu
menjawab: "Si Anu itu menerangkan kepadaku, bahwa engkau mendakwakan bahwa
aku busuk bau mulutku". Orang tadi menjawab: "Tidak pernah aku
berkata demikian". Raja lalu menyambung: "Kalau tidak benar, maka
mengapa engkau meletakkan tangan engkau pada mulut engkau?". Orang tadi
menjawab: "Karena si Anu itu memberikan aku makan, yang padanya ada bawang
putih. Lalu aku tidak suka engkau menciumnya". Raja menjawab: "Benar
engkau. Pulanglah ke tempat engkau! Maka mencukupilah bagi orang yang berbuat
jahat, oleh perbuatan jahatnya".
Ibnu Sirin ra
berkata: "Tidak pernah aku dengki kepada seseorang, terhadap sesuatu dari
urusan duniawi. Karena jikalau ia ahli sorga, maka bagaimana aku dengki
kepadaya terhadap dunia. Dan dunia itu amat hina pada sorga? Dan jikalau ia
ahli neraka, maka bagaimana aku dengki kepadanya atas urusan duniawi, pada hal
ia akan jadi ke neraka?".
Seorang laki‑laki,
bertanya kepada Al-Hasan AI‑Bashari: "Adakah orang mu'min
pendengki?”. Al-Hasan AI‑Bashari
menjawab: "Apakah yang melupakan engkau tentang putera‑putera Nabi Ya'qub?
Benar, akan tetapi kesusahan dengki itu dalam dada engkau. Karena dengki tidak
mendatangkan melarat kepada engkau, selama tidak melampaui kepada tangan dan
lidah".
Abud‑Darda'
berkata: "Alangkah banyaknya hamba Allah yang ingat kepada mati, Ialu kuranglah
gembiranya dan sedikitlah dengkinya". Mu'awiyah berkata: "Semua
manusia sanggup atas kerelaannya, selain orang yang dengki kepada nikmat. Maka
tiada yang menyenangkannya selain hilangnya nikmat itu". Karena itulah,
orang bermadah:
Semua permusuhan,
dapat diharapkan
kematiannya.
Selain permusuhan,
orang yang
memusuhi engkau dari dengkinya.
Sebahagian ahli hikmat/filosuf berkata:
"Dengki itu luka yang tidak akan sembuh & pendengki itu dengki, akan
apa yang akan ditemuinya”. A'rabi berkata: "Tiada aku melihat orang zalim yang
lebih menyerupai dengan orang yang dizalimi, selain pendengki. la melihat
nikmat pada engkau, sebagai bencana pada dirinya".
Al-Hasan AI‑Bashari
ra berkata: "Hai anak Adam! Mengapa engkau dengki kepada saudara engkau?
Jikalau ada yang diberikan kepadanya, karena kemuliaan nya atas pemberian itu,
maka mengapa engkau dengki kepada orang yang dimuliakan oleh Allah? Dan
jikalau tidak yang demikian, maka mengapakah engkau dengki kepada orang‑orang yang
kembalinya keneraka?".
Sebahagian mereka
berkata: “Pendengki itu tidak memperoleh dari majlis pertemuan, selain celaan
mereka & kehinaan. la tidak memperoleh dari malaikat, selain kutukan &
kemarahan. Ia tidak memperoleh dari mahkluk (orang banyak), selain kesedihan
& kegundahan. la tidak memperoleh ketika hampir mati (nyawanya akan
keluar), selain kesukaran & huru‑hara. Dan ia tidak memperoleh ketika
berhenti di padang mahsyar (al‑mauqif), selain terbuka kejahatan (fadlihah) dan
hukuman".
PENJELASAN.
hakikat/makna dengki, hukumannya, bahagian‑bahagiannya dan tingkat‑tingkatnya.
Ketahuilah bahwa tak ada dengki kecuali
atas nikmat. Apabila Allah Ta’ala
memberi nikmat kepada saudaramu dengan sesuatu nikmat maka bagimu 2 hal:
Pertama: bahwa engkau benci
nikmat itu dan engkau menyukai hilangnya. Hal ini dinamai: dengki. Maka dengki itu, batasnya: benci kepada nikmat & menyukai hilangnya pada orang yang
dinikmati dengan nikmat tersebut.
Kedua: bahwa engkau tidak menyukai hilangnya dan
tidak benci akan adanya kekalnya nikmat itu. Tetapi engkau mengingini bagi diri
engkau, nikmat seperti itu. Ini
dinamakan: keinginan (ghibthah). Kadang‑kadang
di khususkan dengan nama: lomba‑berlomba
(al‑munafasah). Kadang‑kadang almunafasah itu dinamakan: dengki dan dengki itu dinamakan: al‑munafasah. Salah satu dari dua
perkataan ini, di letakkan pada tempat yang lain. Tak ada larangan pada nama,
sesudah memahami makna/arti.
Nabi saw bersabda: "Orang mu'min itu
berkeinginan (ghibthah) dan orang munafik itu dengki". Adapun yang pertama tadi, maka haram dalam semua
keadaan, kecuali nikmat yang diperoleh orang zalim atau orang kafir. Dan dengan
nikmat itu, ia mendapat pertolongan untuk mengobarkan fitnah, merusakkan kekeluargaan
dan menyakitkan orang banyak. Maka tidak mendatangkan melarat bagi engkau,
dengan bencinya engkau kepada nikmat itu. Dan sukanya engkau untuk hilangnya
nikmat tersebut. Karena sesungguhnya engkau tidak menyukai hilangnya, dari segi
dia itu nikmat, akan tetapi dari
segi dia itu alat kerusakan. Dan
jikalau engkau merasa aman dari kerusakan, niscaya tidak menyusahkan engkau
dengan nikmat itu.
Hadits‑hadits yang
menunjukan atas pengharaman dengki, ialah yang telah kami nukilkan itu. Dan
sesungguhnya kebencian kepada nikmat, berarti marah kepada qodo (hukum taqdir) Allah Ta’ala tentang
melebihkan sebahagian hambaNYA dari sebahagian yang lain. Yang demikian, tidak
diberi kelonggaran dan kelapangan. Dan juga maksiat manapun yang menambahkan
kebencian engkau terhadap kesenangan seorang muslim, tanpa ada
kemelaratan/kerugian bagi engkau daripadanya. Dan kepada inilah, diisyaratkan
oleh AI‑Quran dengan firmanNYA: "Jikalau kamu beroleh kebaikan,
menyedihkan kepada mereka dan jika engkau ditimpa kesusahan, mereka girang
karenanya". S 3 Ali ‘Imran ayat 120.
Kesenangan ini, syamatah
(suka kepada bencana) namanya. Dengki dan syamatah itu gantung‑bergantung.
Allah Ta’ala berfirman: “Kebanyakan dari orang‑orang keturunan Kitab ingin,
kiranya mereka dapat mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah beriman, disebabkan
kedengkian dalam jiwa mereka". S 2 Al Baqarah ayat 109. Allah Ta’ala
menerangkan, bahwa sukanya mereka akan hilang nikmat itu Dengki. Dan Allah 'Azza Wa Jalla berfiman: “Mereka ingin supaya
kamu tidak pula beriman, sebagaimana mereka tidak beriman, sehingga kamu sama‑sama
tidak beriman dengan mereka". S 4 An Nisaa' ayat 89.
Allah Ta’ala
menyebutkan kedengkian saudara‑saudara Yusuf as Allah mengibaratkan apa yang
dalam hati mereka, dengan firmanNYA Yang Maha tinggi: "Ketika mereka
mengatakan: "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai bapa kita
daripada kita, biarpun kita golongan yang lebih besar. Sesungguhnya bapa kita
dalam kesalahan yang terang. Bunuhlah Yusuf atau buang dia ke negeri lain,
supaya perhatian bapamu tertuju kepada kamu saja. Dan sesudah itu kamu menjadi
kaum yang baik”. S 12 Yusuf ayat 8‑9.
Maka tatkala
mereka benci, sayangnya ayah mereka kepada Yusuf dan yang demikian menyakitkan
hati mereka dan mereka mengingini hilangnya Yusuf dari ayahnya, lalu mereka
jauhkan Yusuf dari ayahnya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka". S
59 Al Hasyr penggalan ayat 9. Artinya: dada mereka itu tiada sempit dengan
melihat nikmat yang di anugerahkan oleh Allah dan mereka itu tiada bersusah
hati. Maka Allah Ta’ala memuji mereka itu, dengan tidak adanya kedengkian. Dan
Allah Ta’ala berfirman dalam membentangkan pengingkaran tersebut: "Atau
mereka dengki kepada manusia karena kurnia yang telah diberikan Allah?". S
4 An Nisaa' ayat 54.
Allah Ta'ala
berfirman: "Manusia itu adalah umat (bangsa) yang satu, Ialu diutus oleh
Allah, nabi‑nabi pembawa berita gembira dan menyampaikan peringatan dan di
turunkanNYA bersama mereka Kitab dengan sebenarnya, supaya ia dapat memberi
keputusan bagi manusia dalam perkara yang mereka perselisihkan. Tetapi yang
berselisih itu, hanyalah orang‑orang yang diberi Kitab dan sesudah datang
kepada mereka keterangan yang nyata, karena iri hati (bagh‑yan) antara sesamanya saja". S 2 Al Baqarah ayat
213.
Dikatakan pada
penafsirannya itu: dengki. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan mereka menjadi berpecah‑belah sesudah pengetahuan datang
kepada mereka, disebabkan kedengkian
(bagh‑yan) sesama mereka". S 42 Asy Syuura ayat 14. Maka Allah Ta’ala
menurunkan pengetahuan, untuk mengumpulkan mereka dan menjinakkan hati
diantara sesama mereka kepada menta'atiNYA. Dan menyuruh mereka, untuk berjinak‑jinakan
dengan pengetahuan. Lalu mereka itu dengki‑mendengki dan berselisih. Karena
masing‑masing mereka menghendaki menjadi kepala
sendiri dan diterima perkataannya. Maka
sebahagian mereka menolak terhadap sebabagian yang lain.
Ibnu Abbas
berkata: "Adalah orang Yahudi sebelum diutus Nabi saw, apabila mereka
berperang dengan suatu golongan (kaum), mereka berdo'a: "Kami meminta
kepada ENGKAU, dengan nabi yang ENGKAU janjikan mengutuskannya dan dengan Kitab
yang akan ENGKAU turunkan, selain apa yang ENGKAU telah menolong kami".
Maka orang Yahudi itu diberi pertolongan. Lalu, tatkala Nabi saw datang dari
anak (keturunan) Nabi Ismail as, mereka mengenaInya dan mereka mengingkarinya
(tidak mau beriman), sesudah dikenal mereka akan beliau.
Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Dan mereka sebelum itu telah meminta datangnya kemenangan terhadap
orang‑orang yang tidak percaya, tetapi setelah datang apa yang mereka akui itu,
mereka tidak percaya kepadanya, sebab itu Allah mengutuki orang‑orang yang
tidak beriman. Amat jahat orang‑orang yang menjual dirinya menjadi orang yang
tidak beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah, karena iri hati (bagh‑yan)”. Artinya: dengki. S 2 AI Baqarah ayat 89‑90.
Shaflyyah binti
Hayyin (istri Nabi saw) berkata kepada Nabi: “Ayahku dan pamanku pada suatu
hari datang daripada engkau. Lalu ayahku bertanya kepada pamanku: "Apa yang
engkau katakan tentang dia (Nabi saw)?". Pamanku menjawab: "Aku
mengatakan, sesungguhnya dia itu nabi yang telah diberitakan oleh Musa".
Ayahku bertanya lagi: "Lalu, apa pendapatmu?". Pamanku menjawab:
"Aku berpendapat, orang memusuhinya selama hidup". Inilah hukum
dengki dalam mengharamkannya!
Adapun al‑munafasah (berlomba‑lomba), maka
tidak haram. Bahkan, adakalanya wajib, adakalanya sunat dan adakalanya
diperbolehkan/mubah. Dan kadang‑kadang perkataan dengki/hasad. dipakai ganti berlomba‑lomba
(al‑munafasah). Dan al‑munafasah ganti
al‑hasad. Qatsam bin AI‑Abbas
menerangkan: bahwa tatkala dia dan AI‑Fadlal bermaksud datang kepada Nabi saw
Ialu keduanya meminta pada Nabi saw, agar keduanya diangkat menjadi amir zakat
(kepala pengurusan zakat). Keduanya sudah mengatakan kepada Ali ra, ketika Ali
ra mengatakan kepada keduanya: “Tak usah engkau pergi kepada Nabi. Nabi saw
tidak akan mengangkat engkau menjadi amir zakat". Lalu keduanya berkata
kepada Ali ra: "Perkataan ini tidak timbul dari engkau, selain karena nafasah (dengki atau ingin
berlomba). WaIlahi, demi Allah!
Nabi saw sudah
mengawinkan engkau dengan puterinya (Fatimah). Maka kami tidak dengki yang
demikian kepada engkau Artinya: sikap ini dari engkau itu dengki namanya. Dan
kami tidak dengki kepada engkau, atas dikawinkannya engkau dengan Fatimah.
Menurut bahasa, kata‑kata al‑munafasah itu
terambil (musytaqqah) dari kata‑kata nafasah
(yang diartikan di atas tadi: dengki atau
ingin berlomba). Dan yang menunjukan
atas bolehnya at‑munafasah, ialah
firman Allah Ta’ala: “Dan untuk itu, hendaklah berlomba orang‑orang yang mau
berlomba!”. S 83 AI Muthaffifiin ayat 26. Allah Ta'ala berfirman: “Berlombalah
kamu mengejar ampunan dari Tuhanmu!”. S 57 Al Hadiid ayat 21. Sesungguhnya
perlombaan itu ketika ditakuti hilang waktu. Dan itu adalah seperti dua orang
hamba‑sahaya yang berlomba‑lomba melayani tuannya. Karena masing‑masing gundah
akan didahului oleh temannya. Lalu yang mendahului itu mendapat kedudukan pada
tuannya, yang tidak diperoleh olehnya. Maka bagaimana dan Rasulu'llah saw
telah menegaskan dengan yang demikian, seraya beliau bersabda: "Tak ada
dengki (tak boleh dengki), selain pada dua
hal.
Pertama,
orang yang
diberikan harta oleh Allah, lalu dikuasainya harta itu untuk menghabiskannya
pada kebenaran.
Kedua, orang yang diberikan ilmu oleh Allah, lalu
diamalkannya ilmu itu dan diajarkannya manusia".
Kemudian, Nabi sa.w. menafsirkan yang
demikian, pada hadits yang dirawikan Abi Kabsyah AI‑Anmari, dengan sabdanya:
"Contoh ummat ini adalah seperti 4 macam orang: orang yang diberikan oleh Allah, harta dan ilmu, lalu ia beramal (berbuat) dengan ilmunya pada hartanya; orang yang diberikan oleh Allah ilmu dan
tidak diberikan harta, lalu ia
berdo'a: "Hai Tuhanku! jikalau kiranya aku mempunyai harta, seperti harta
si Anu, niscaya aku akan berbuat seperti perbuatannya". Kedua orang tersebut, sama pahalanya". Dan orang
(macam yang kedua itu), ada keinginan daripadanya, supaya ia mempunyai harta
seperti orang (yang pertama) tadi. Lalu ia akan berbuat seperti apa yang
diperbuat oleh orang yang macam pertama, tanpa berkeinginan hilangnya nikmat
dari orang yang pertama tersebut. Perawi
meneruskan riwayatnya: “Dan orang yang
diberikan oleh Allah, harta & tidak
diberikan ilmu. Lalu ia membelanjakan harta itu pada perbuatan‑perbuatan
maksiat kepada Allah & orang yang
tidak diberikan ilmu & tidak
diberikan harta. Lalu ia berkata: "Jikalau kiranya aku mempunyai
seperti harta si Anu, sungguh akan aku belanjakan, seperti apa yang dibelajakan
si Anu pada perbuatan maksiat". Maka kedua orang
tersebut sama pada dosanya".
Rasulu'llah saw
mencela orang tersebut dari segi angan‑angan nya untuk kemaksiatan. Tidak dari
segi keinginannya hendak mempunyai nikmat seperti harta si Anu itu. Jadi,
tidak berdosa orang yang suka orang lain dalam kenikmatan dan mengingini bagi
dirinya seperti nikmat tersebut, manakala ia tidak mengingini hilangnya nikmat
itu dari orang tadi. Dan ia tidak benci kekalnya nikmat itu bagi orang
tersebut. Ya, jikalau nikmat itu keagamaan yang wajib, seperti iman, shalat dan
zakat, maka munafasah ini wajib. Yaitu, ia menyukai supaya dia seperti orang
tersebut. Karena apabila ia tidak menyukai yang demikian, maka adalah ia rela
dengan kemaksiatan. Dan yang demikian itu haram hukum nya. Dan kalau nikmat
itu termasuk perbuatan yang utama, seperti menafkahkan harta pada perbuatan yang
mulia dan sedekah, maka munafasah pada perbuatan tersebut itu disunatkan. Dan
jikalau nikmat itu dinikmati atas jalan mubah (yang diperbolehkan), maka
munafasah padanya mubah. Semua itu kembali kepada kehendak persamaan dan
perbubungannya pada nikmat. Dan tak ada padanya kebencian nikmat. Dan di bawah
nikmat ini ada dua perkara:
Pertama: kesenangan orang yang memperoleh nikmat
kepadanya. Yang lain
Kedua: tampaknya kekurangan orang lain dan
tertinggaInya orang lain daripadanya. Dia benci salah satu dari dua segi itu.
Yaitu: tertinggal dirinya dan ia
menyukai persamaannya dengan orang
itu. Dan tak ada dosa atas orang yang benci tertinggal dirinya dan
kekurangannya pada perbuatan‑perbuatan (mubah).
Benar, yang demikian itu kekurangan dari perbuatan‑perbuatan utama. Dan
berlawanan dengan zuhud, tawakkal dan
rela. Dan mendindinginya dari kedudukan‑kedudukan (maqam‑maqam) yang tinggi.
Akan tetapi tidak mengharuskan/menetapkan yang demikian itu akan kemaksiatan.
Disini suatu titik yang tersembunyi. Yaitu: apabila ia putus asa daripada,
memperoleh seperti nikmat itu dan ia benci tertinggaInya dan kekurangannya,
maka tidak mustahil, ia akan mengingini hilangnya kekurangan itu. Dan
kekurangan itu akan hilang, adakalanya dengan ia memperoleh seperti yang
demikian atau dengan hilangnya nikmat orang yang didengkinya.
Maka apabila
tertutup salah satu dari dua jalan itu, lalu hampirlah hati, tiada akan
terlepas dari keinginan jalan yang lain. Sehingga apabila nikmat itu hilang
dari orang yang didengkinya, niscaya adalah yang demikian itu lebih
menyembuhkannya, daripada kekalnya nikmat tersebut. Karena dengan hilangnya
nikmat itu, akan hilanglah tertinggaInya dan terkemukanya orang lain. Dan ini
hampirlah hati itu tiada terlepas daripadanya. Jikalau yang demikian, dimana
sekiranya persoalan itu diserahkan kepadanya dan dikembalikan kepada
pilihannya, niscaya sesugguhnya ia berusaha menghilangkan nikmat tersebut dari
orang yang didengkinya, maka itu adalah dengki yang sangat tercela. Dan jikalau
ia dicegah oleh ke‑taqwa‑annya daripada menghilangkan nikmat itu, maka ia
dima'afkan dari apa yang diperolehnya pada tabi'atnya, tentang senangnya hilang
nikmat itu dari orang yang didengkinya, manakala ia tidak suka bagi yang demikian
dari hatinya, disebabkan akal dan agamanya. Mudah‑mudahan yang demikian, yang
dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Tiga
perkara, tiada terlepas orang mu'min daripadanya, yaitu: dengki, jahat sangka dan hati terbang (tidak berdekatan hati)". Kemudian, Nabi saw
bersabda: "Bagi orang mu'min
mempunyai jalan keluar, dari 3 perkara tersebut. Yaitu: apabila engkau dengki, maka jangan engkau
mau”. Artinya: Kalau engkau dapati
sesuatu pada hati engkau, maka jangan engkau kerjakan. Dan jauhlah dari
kebenaran, bahwa manusia itu bermaksud menyamai saudaranya pada kenikmatan.
Lalu ia lemah daripada memperolehnya. Kemudian senantiasalah ia cenderung
supaya nikmat itu hilang. Karena tidak mustahil ia akan memperoleh penguatan
baginya atas kekalnya nikmat tersebut.
Maka batasan ini
dari al‑munafasah, akan mendesak dengki yang haram. Sayogialah menjaga diri
padanya. Sesungguhnya itu tempat berbahaya. Tiada seorangpun dari manusia,
melainkan ia akan melihat di atas dirinya, segolongan kenalan dan teman‑temannya
yang ingin menyamainya. Dan hampirlah yang demikian itu menarik kepada
kedengkian yang dilarang, kalau ia tidak kuat iman dan keras takwa. Manakala yang
menggerakkan kedengkian itu karena takut berlebih‑kurang dan kelihatan
kekurangannya dari orang lain, niscaya yang demikian akan menghelanya kepada
kedengkian yang tercela. Dan kepada kecenderungan tabiat (keinginan) kepada
hilangnya nikmat dari saudaranya. Sehingga turun saudaranya itu, kepada
persamaan dengan dia. Karena ia tidak sanggup untuk menaiki kepada persamaan
dengan memperoleh nikmat tersebut. Dan yang demikian, tidaklah sekali‑kali
diberi kelonggaran. Akan tetapi itu adalah haram. Sama saja yang demikian itu,
pada maksud‑maksud agama atau pada maksud‑maksud duniawi. Akan tetapi di
ma'afkan pada yang demikian insya Allah Ta’ala, selama tidak dilaksanakannya.
Dan adalah kebenciannya dari jiwanya kepada yang demikian itu, menjadi kaffarah (penutup dosa) baginya. Inilah
hakekat dengki dan hukum‑hukumnya! Adapun tingkat‑tingkat dengki itu 4 perkara
Pertama: Bahwa ia mengingini hilangnya nikmat dari orang lain,
walaupun yang demikian tidak berpindah kepadanya. Dan inilah yang paling keji!
Kedua: Bahwa ia
mengingini hilangnya (berpindahnya) nikmat karena keinginannya pada nikmat
itu, seperti: keinginannya kepada rumah yang baik atau wanita yang cantik atau
kekuasaan yang tembus atau kehidupan yang lapang, yang telah diperoleh orang
lain. la mengingini supaya nikmat itu baginya. Dan yang dicarinya, ialah nikmat
tersebut, bukan hilangnya dari orang lain itu.
Kebenciannya, ialah: ketiadaan nikmat itu baginya. Bukan karena dinikmati orang
lain dengan nikmat itu.
Ketiga: Bahwa ia tidak
rindu nikmat itu sendiri bagi dirinya. Akan tetapi ia rindu seperti nikmat itu.
Kalau ia lemah daripada memperoleh seperti nikmat tersebut, niscaya ia
mengingini hilangnya (dari orang lain). Supaya tidak kelihatan kelebih‑kurangan
di antara keduanya (antara dia dan orang lain).
Keempat: Bahwa ia rindu
bagi dirinya seperti nikmat tersebut. Kalau tidak berhasil, maka ia tidak
mengingini hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang penghabisan (yang
keempat) ini, dima'afkan, kalau dalam urusan keduniaan. Dan disunatkan kalau
dalam urusan keagamaan. Dan yang nomor
tiga, ada yang tercela dan ada yang tidak tercela. Dan yang nomor dua itu lebih ringan dari yang nomor tiga. Dan yang pertama itu tercela
semata‑mata. Dan menamakan tingkat kedua itu
dengki, adalah suatu kemungkinan dan perluasan (arti kata‑kata). Tetapi itu
dengki, adalah suatu kemungkinan dan perluasan (arti kata‑kata). Tetapi itu
tercela, karena firman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu iri hati terhadap
pemberian Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain". S 4 An Nisaa' ayat 32. Maka iri hati (bercita‑cita) untuk seperti yang
demikian itu, tidak tercela. Adapun iri hatinya untuk memperoleh benda itu
sendiri, maka itu tercela.
PENJELASAN:
sebab‑sebab dengki dan berlomba‑lomba.
Adapun berlomba‑lomba (al‑munafasah),
sebabnya, ialah: kecintaan kepada sesuatu yang ada padanya al‑munafasah. Kalau
yang demikian itu urusan keagamaan, maka sebabnya, ialah: kecintaan kepada
Allah Ta’ala dan kecintaan mentha'atiNYA. Dan kalau urusan keduniaan, maka sebabnya,
ialah: kecintaan kepada yang diperbolehkan didunia dan memperoleh kenikmatan
dengan yang diperbolehkan itu. Sesungguhnya, kita perhatikan sekarang tentang
dengki yang tercela. Pintu masuknya banyak sekali. Akan tetapi jumlahnya
terbatas kepada 7 pintu. Yaitu: permusuhan, perasaan kemuliaan diri (at‑ta'azzuz),
takabur, mengherani diri sendiri (ta'ajiub), takut kehilangan maksud‑maksud yang
dicintai, kesukaan menjadi kepala, keji jiwa dan kikirnya.
Sesungguhnya,
tidak menyukai nikmat kepada orang lain, adakalanya, karena orang itu
musuhnya. Lalu ia tidak menghendaki kebajikan bagi orang tersebut. Dan ini
tidak tertentu dengan teman‑teman yang sebaya saja, bahkan orang yang hina ada yang
dengki kepada raja. Dengan pengertian, bahwa ia menyukai hilang kenikmatannya.
Karena ia marah kepada raja itu, disebabkan perbuatan jahat raja tersebut
kepadanya atau kepada orang yang dicintainya.
Adakalanya, bahwa
ia mengetahui, bahwa orang yang memperoleh kenikmatan itu menyombong dengan
kenikmatan kepadanya. Dan ia tidak sanggup memikul kesombongan dan kebanggaan
orang itu, karena perasaan kemuliaan dirinya. Dan itulah yang dimaksud dengan: at-ta'azzuz
(perasaan kemuliaan diri). Adakalanya, bahwa ia pada tabi'atnya
(karakternya) merasa besar diri atas orang yang didengkinya. Dan yang demikian
itu tercegah kepadanya, karena kenikmatan orang tersebut. Dan itulah yang
dimaksud dengan: takabur.
Adakalanya, bahwa
nikmat itu besar dan kedudukan itu tinggi. Lalu ia merasa ta'ajjub dari
kemenangan temannya yang sebaya, dengan kenikmatan yang seperti itu. Dan
itulah yang dimaksud dengan: ta'ajjub
(mengherani diri sendiri).
Adakalanya, bahwa
ia takut dari hilang maksud‑maksudnya, disebabkan nikmatnya orang itu, dengan
berusaha untuk ia sampai kepada mendesaknya pada maksud‑maksudnya. Adakalanya,
bahwa ia menyukai menjadi kepala (hubbur‑riyasah), yang terbina di atas
keistimewaan dengan sesuatu kenikmatan, yang tidak ada kesama‑rataan padanya.
Adakalanya, bahwa tidak ada ia dengan salah satu dari sebab‑sebab tersebut.
Akan tetapi karena kekejian jiwa dan kekikirannya dengan kebajikan kepada hamba‑hamba
Allah Ta’ala. Dan tak dapat, daripada penguraian sebab‑sebab ini.
Sebab pertama: permusuhan dan
kemarahan. Dan inilah sebab kedengkian yang paling berat. Sesungguhnya orang yang
disakiti oleh seseorang dengan sesuatu sebab dan berbeda kepentingan dengan
salah satu segi, niscaya hatinya akan benci dan marah kepada orang tersebut.
Dan melekatlah kedengkian itu pada hatinya. Dan kedengkian itu menghendaki kesembuhan
dan pembalasan dendam. Kalau orang yang marah itu lemah dari kesembuhan itu
dengan sendirinya, niscaya ia menyukai akan disembuhkan oleh masa/waktu.
Kadang‑kadang yang demikian membawa kepada kemuliaan dirinya pada sisi Allah
Ta’ala. Maka manakala musuhnya mendapat bencana, niscaya ia merasa senang dan
menyangka bahwa bencana itu balasan yang setimpal kepada musuh itu, dari pihak
Allah, diatas kemarahannya. Dan bencana itu lantaran karenanya. Dan manakala
musuhnya memperoleh nikmat, niscaya yang demikian itu menyakitkan nya. Karena
berlawanan dengan maksudnya. Kadang‑kadang terguris dalam hatinya, bahwa ia
tiada mempunyai kedudukan (manzilah) pada sisi Allah, dimana Allah Ta’ala tiada
mengambil balasan baginya dari musuhnya yang telah menyakitinya. Tetapi Allah
memberi nikmat kepada musuhnya itu.
Kesimpulannya,
dengki itu mengharuskan kemarahan dan permusuhan. Dan tidak berpisah dari
keduanya. Dan tujuan orang yang menjaga diri (orang yang taqwa), ialah: bahwa
ia tidak mau dan tidak menyukai yang demikian dari jiwanya. Adapun untuk
memarahi manusia, kemudian sama senang dan sakitnya pada manusia tersebut, maka
ini tidak mungkin. Dan ini termasuk apa yang disifatkan oleh Allah Ta’ala akan
orang‑orang kafir. Ya'ni: dengki dengan
permusuhan. Karena Allah Ta’ala berfirman: "Dan bila mereka menemui
kamu, mereka mengatakan: Kami beriman. Dan apabila mereka sendirian, digigitnya
anak jarinya, karena sangat marah kepadamu. Katakan kepada mereka matilah
karena bersangatan marahmu! Sesungguhnya Allah itu mengetahui isi hati. Jika
kamu beroleh kebajikan, niscaya menyedihkan kepada mereka. Dan jikalau kamu
ditimpa kesusahan, niscaya mereka girang karenanya. Dan kalau kamu sabar dan memelihara
dirimu, niscaya tipu daya mereka tidaklah akan membahayakan kepada kamu
sedikitpun. Sesungguhnya Allah itu mengetahui sungguh apa yang mereka
kerjakan". S 3 Ali ‘Imran ayat 119‑120. Dan seperti yang demikian, Allah
Ta’ala berfirman: "Mereka ingin menyusahkan kamu. Sesungguhnya rasa
kebencian telah lahir dari mulut mereka dan apa yang tersimpan dalam hati mereka
itu lebih besar". S 3 Ali ‘Imran ayat 118. Kedengkian itu disebabkan
kemarahan. Kadang‑kadang membawa kepada berbantah‑bantahan, berbunuh‑bunuhan,
menghabiskan umur pada menghilangkannya nikmat orang dengan segala daya dan
usaha, membuka rahasia yang harus di tutup dllnya.
Sebab Kedua: at ta’azzuz. Yaitu: bahwa berat baginya bahwa orang lain
meninggikan diri atasnya. Apabila sebahagian temannya yang sebaya, memperoleh
kekuasaan atau pengetahuan atau harta, niscaya ia takut bahwa teman itu akan
menyombong terhadap dirinya. Dan tidaklah termasuk maksudnya untuk menyombong.
Akan tetapi maksudnya, bahwa ia menolak akan kesombongan temannya. Karena
sesungguhnya ia rela dengan persamaan‑umpamanya dengan teman tersebut. Akan
tetapi ia tidak rela, dengan ketinggian teman itu terhadap dirinya.
Sebab Ketiga: takabur (sombong). Yaitu: bahwa ada pada tabi'atnya (karakternya) untuk
menyombong terhadap orang lain, memandang kecil dan menggunakan tenaganya
(membuatnya menjadi pelayannya). Dan mengharap dari orang tersebut, akan
mematuhi dan mengikuti segala maksudnya. Maka apabila orang tersebut memperoleh
suatu nikmat, niscaya ia takut bahwa ia tiada akan dapat memikul kesombongan
orang itu. Dan orang itu akan menarik diri daripada mengikutinya. Atau kadang‑kadang
menonjol kepada kesamaan atau kepada meninggi di atasnya. Lalu orang tersebut
kembali menjadi penyombong, sesudah ia menyombong terhadap orang itu. Dan
termasuk sebahagian dari takabur dan taazzuz, ialah kedengkian kebanyakan
orang‑orang kafir terhadap Rasulu'llah. Karena mereka itu mengatakan:
“Bagaimana mendahului kita (tampil terhadap kita), seorang budak laki‑laki yang
yatim. Dan bagaimana kita akan menundukan kepala kita?". Lalu mereka
mengatakan, yang tersebut dalam AI‑Ouran: "Mengapa AI‑Quran ini tidak
diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua kota?". S 43 Az Zukhruf
ayat 31 Artinya: tidak akan berat bagi kita untuk merendahkan diri kepadanya
dan mengikutinya, apabila dia (Rasulu'llah saw) itu orang besar (tidak dari
anak yatim dan orang biasa). Allah Ta’ala berfirman, menyifatkan perkataan kaum
Quraisy: "Inikah orang‑orang yang dikurniai Allah di antara kami ?".
S 6 Al An'aam ayat 53. Sebagai penghinaan dan kesombongan mereka.
Sebab Keempat: Ta’ajjub (mengherani diri), sebagaimana dikabarkan oleh Allah Ta’ala dari hal ummat‑ummat yang
lampau. Karena mereka itu mengatakan: "Kamu tiada lain, hanya manusia
serupa kami juga". S 36 Yaasiin ayat 15. Dan mereka mengatakan:
"Apakah kami akan percaya (beriman) kepada dua manusia (Musa dan Harun), yang
serupa kami, sedang kaumnya menghambakan diri kepada kami?". S 23 Al
Mukminuun ayat 47. “Dan kalau kamu turuti manusia yang serupa kamu itu,
tentulah kamu akan menderita kerugian". S 23 Al Mukminuun ayat 34. Mereka
merasa ta’ajjub (mengherani diri), bahwa manusia yang serupa dengan mereka,
memperoleh kemenangan dengan pangkat kerasulan,
wahyu dan dekat dengan Allah Ta’ala.
Manusia seperti mereka lalu mereka dengki kepadanya dan mereka mengingini
hilangnya pangkat kenabian dari padanya. Karena gundah nanti melebihi dari
mereka, orang yang serupa dengan mereka pada bentuk kejadian. Bukan dengan
maksud takabur, ingin menjadi kepala dan mendahulukan permusuhan ataupun lain
sebab dari sebab‑ sebab itu. Mereka berkata dengan penuh keheranan:
"Adakah Allah mengutus manusia untuk menjadi rasul?". S 17 Al Israa'
ayat 94. Mereka mengatakan: "Mengapa tidak malaikat diturunkan kepada
kami?". S 25 AI Furqaan ayat 21. Allah Ta’ala berfirman: "Apakah
mengherankan kamu kedatangan peringatan (pengajaran) dari Tuhan kamu, dengan
perantara seorang laki‑laki dari golongan kamu, supaya ia memberi ingat kepada
kamu dan supaya kamu bertaqwa dan supaya kamu beroleh rahmat". S 7 Al
A'raaf ayat 63.
Sebab Kelima: takut hilangnya maksud‑maksud. Dan yang demikian itu tertentu
dengan orang‑orang yang berebutan pada satu maksud. Maka masing‑masing dengki
kepada temannya pada setiap nikmat yang menjadi penolong baginya pada
kesendirian dengan maksud. Termasuk jenis ini, berdengki‑ dengkian wanita‑wanita
bermadu pada berebutan atas maksud‑maksud kesuamian. Berdengki‑dengkian sesama
saudara, pada berebutan untuk memperoleh tempat pada hati ibu‑bapa, untuk
sampai kepada maksud‑maksud kemuliaan dan harta. Begitu pula, berdengki‑dengkian
dua orang murid bagi seorang guru, untuk memperoleh tingkat pada hati guru: Dan
berdengki‑dengkian teman‑teman raja dan orang‑orang pilihannya pada memperoleh
kedudukan pada hati raja, untuk sampai kepada harta dan kemegahan. Begitu pula
berdengki‑dengkian dua juru nasehat yang berebut‑rebutan pada penduduk sebuah
desa, apabila maksudnya memperoleh harta dengan baik sambutan pada mereka.
Begitu pula berdengki‑dengkian dua orang alim, yang berebut‑rebutan pada suatu
golongan yang mempelajari ilmu fiqh, yang terbatas jumlahnya. Karena masing‑masing
mencari tempat pada hati mereka, untuk sampai kepada maksud‑maksudnya.
Sebab Keenam: ingin menjadi kepala dan mencari
kemegahan bagi dirinya, tanpa menyampaikan diri kepada sesuatu maksud. Yang
demikian itu, seperti seorang laki‑laki yang menghendaki bahwa dia tidak ada
bandingannya pada sesuatu ilmu pengetahuan, apabila telah mengeras kesukaan
pujian baginya, Dan menggeletar kegembiraan dengan pujian kepadanya, bahwa
dia satu‑satunya dan yang tunggal, tak ada bandingan pada masa itu, pada ilmu
pengetahuan tersebut. Kalau didengarnya, ada yang menandinginya pada pojok
dunia yang terjauh, niscaya yang demikian itu menyakitinya. Dan ia mengingini
orang itu mati atau hilang nikmat daripadanya, yang menyekutuinya pada
kedudukan, dari: keberanian atau pengetahuan atau ibadah atau parusahaan atau
kecantikan atau kekayaan atau yang lain, dari
hal‑hal yang ia ingini sendirian dalam hal tersebut. Dan ia merasa gembira
dengan sebab kesendiriannya. Sebabnya dalam hal ini, tidaklah permusuhan,
ta'azzuz, kesombongan terhadap orang yang didengkinya dan takut dari
kehilangan sesuatu maksud, selain semata‑mata ingin menjadi kepala, dengan
dakwaan bahwa ia satu-satunya dalam hal tersebut. Dan ini, adalah dibalik apa yang
ada di antara seseorang ahli ilmu (ulama), dari hal mencari kemegahan dan
kedudukan pada hati manusia, untuk menyampaikan diri kepada maksud‑maksud,
selain dari menjadi kepala. Dan adalah ulama‑ulama Yahudi mengingkari mengenal
Rasulu'llah saw dan mereka tidak beriman kepadanya. Karena takut akan rusaknya
jabatan menjadi kepala dan pengikut mereka, manakala tidak digunakan lagi (mansukh) keilmuan mereka.
Sebab
Ketujuh: keji diri dan
kikirnya dengan kebajikan kepada hamba Allah Ta'ala. Sesugguhnya anda, akan
menjumpai orang yang tidak menyibukkan dirinya dengan kesukaan menjadi kepala,
sombong dan mencari harta. Apabila disifatkan kepadanya, akan baiknya keadaan
seseorang hamba Allah Ta’ala, tentang nikmat yang dianugerahkan oleh Allah
kepada orang itu, lalu menyusahkannya yang demikian. Dan apabila disifatkan.
kepadanya, kegoncangan hal‑ihwal orang‑orang, terbelakang dan lenyapnya maksud-maksud
orang itu dan sempit kehidupannya, niscaya ia gembira. Ia selalu menyukai
terbelakangnya orang lain dan ia kikir dengan nikmat Allah kepada hamba‑hambaNya.
Seakan‑akan mereka mengambil yang demikian itu, dari kepunyaannya dan
simpanannya. Dikatakan: orang bakhil (orang
kikir), ialah: orang yang bakhil (kikir) dengan hartanya sendiri. Dan orang, shahih (orang loba), ialah: orang
yang kikir dengan harta orang lain. Orang tersebut kikir dengan nikmat Allah
Ta’ala kepada hamba‑hambanya, dimana tidak ada permusuhan dan ikatan di antara
orang tadi dan mereka. Dan ini tidak ada sebab yang nyata, selain dari kekejian
pada jiwa dan kehinaan pada tabiat, yang telah menjadi sifat (karakter)nya. Dan
pengobatannya sukar. Karena dengki yang tetap dengan sebab‑sebab lain, adalah
sebab‑sebabnya mendatang, yang dapat di gambarkan akan menghilang. Lalu ia
mengharap pada menghilangkannya. Dan ini lebih keji pada sifat (karakter).
Tidak dari sebab yang mendatang. Maka sukarlah menghilangkannya. Karena menurut
kebiasaan, mustahillah dapat menghilangkannya. Itulah sebab‑sebab dengki!
Kadang‑kadang terkumpul sebabagian sebab‑sebab ini atau lebih banyak itu semua
nya pada orang seorang. Lalu, dengan demikian, bersangatlah dengki pada orang
itu. Dan kuat, sebagai suatu kekuatan, yang tidak sanggup ia menyembunyikan nya
atau berbaik‑baikan. Akan tetapi rusaklah hijab (dinding) berbaik‑baikan itu.
Dan lahirlah permusuhan dengan terang‑terangan. Dan pada kebanyakan dengki‑dengkian
itu, berkumpul sejumlah sebab‑sebab tersebut. Dan sedikitlah terlepas suatu
sebab pun daripadanya!.
PENJELASAN:
sebab tentang banyaknya kedengkian diantara teman‑teman sebaya, sahabat,
saudara, anak paman & kaum kerabat.
Dan
menguatnya, sedikitnya & lemahnya pada orang‑orang lain.
Ketahuilah, sesungguhnya dengki itu banyak
di antara kaum/golongan, yang terdapat banyak sebab‑sebab yang kami sebutkan
tadi, di antara mereka. Dan dengki itu menjadi kuat, di antara kaum yang
terkumpul sejumlah sebab‑sebab tersebut pada mereka dan menonjol. Karena orang
seorang boleh ia berdengki, karena kadang‑kadang ia tidak mau menerima
kesombongan orang. Karena orang itu takabur dan karena orang itu musuhnya dan
karena sebab‑sebab yang lain. Sebab‑sebab orang itu musuhnya dan karena sebab‑sebab
yang lain. Sebab‑sebab tersebut, sesungguhnya banyak di antara kaum‑kaum/golongan‑golongan,
yang dihimpunkan mereka oleh ikatan‑ikatan, dimana dengan sebab ikatan‑ikatan
tadi, mereka berkumpul pada tempat‑tempat orang berbincang‑bincang. Dan mereka
mendatanginya dengan berbagai macam maksud. Maka apabila salah seorang dari
mereka berlainan dengan temannya mengenai sesuatu maksud, niscaya liarlah
tabiatnya dari teman itu. Dan menimbulkan ia marah. Dan melekatlah kedengkian
dalam hatinya. Maka pada ketika itu, ia bermaksud menghinakan, bersikap
sombong terhadap orang itu dan mengimbanginya untuk menyalahi maksudnya. la
benci akan tetapnya orang itu pada nikmat yang menyampaikannya kepada maksud‑maksudnya.
Sejumlah dari sebab‑sebab itu mempunyai arti yang bersamaan. Karena tiada
ikatan di antara dua orang pada dua negeri yang berjauhan. Maka tiadalah di
antara orang itu dengki‑mendengki. Begitu pula pada dua tempat. Benar, apabila
keduanya bertetangga pada tempat tinggal atau pasar atau sekolah atau masjid,
niscaya keduanya datang‑mendatangi, pada maksud‑maksud, yang bertentangan
maksud‑maksudnya. Maka berkobarlah dari pertentangan itu, berlarian hati dan
kemarahan. Dan dari pertentangan tersebut, berkobarlah sebab‑sebab kedengkian
yang lain. Dan karena itulah, anda melihat orang berilmu (orang alim), dengki
kepada orang berilmu. Dan tidak kepada orang
abid (orang yang banyak ibadahnya). Orang abid itu dengki kepada orang
abid. Dan tidak kepada orang alim, Pedagang (saudagar) itu, dengki kepada
pedagang. Bahkan, penjahit itu dengki kepada penjahit. Dan ia tidak dengki
kepada penjual kain. Tidak lain sebabnya, selain dari kesamaan pada pekerjaan.
Orang laki‑laki
itu dengki kepada saudaranya dan anak pamannya, lebih banyak dari kedengkiannya
kepada orang lain. Wanita itu dengki kepada madunya (istri suaminya) dan gundik
suaminya, lebih banyak dari kedengkiannya kepada ibu suaminya dan anak perempuan
suaminya. Karena maksud penjual kain itu berbeda dengan maksud penjahit. Maka
mereka tidak desak‑mendesak di atas maksud‑maksud itu. Karena maksud penjual
kain itu kekayaan. Dan ia tidak akan memperoleh kekayaan itu, selain dengan
banyak langganan. Dan ia akan berebut‑rebutan dengan penjual kain yang lain,
karena langganan penjual kain, tidak dicari oleh tukang jahit. Tetapi dicari
oleh penjual kain. Kemudian desak‑mendesaknya penjual kain yang menjadi
tetangganya itu, lebih banyak daripada desak mendesaknya yang jauh ke tepi
pasar.
Maka tak dapat
dibantah, adanya kedengkiannya kepada tetangga itu, lebih banyak. Begitu pula
orang yang berani, akan dengki kepada orang yang berani. Dan ia tidak akan
dengki kepada orang alim. Karena maksudnya, supaya ia disebut sebagai orang
berani dan termasyhur dengan keberanian itu. Dan ia menjadi satu‑satunya, yang
bersifat dengan yang tersebut. Dan orang alim tidak akan mendesaknya atas
maksud itu. Begitu pula orang alim akan dengki kepada orang alim. Dan ia tidak
akan dengki kepada orang berani.
Kemudian,
dengkinya juru nasehat (muballigh atau wa'idh) kepada juru nasehat itu, lebih banyak
dari dengkinya kepada ahli fiqh (orang faqih) dan tabib (dokter). Karena desak‑mendesaknya
di antara keduanya kepada suatu maksud itu lebih khusus. Maka pokok asal‑usul
dengki‑berdengkian ini, ialah permusuhan.
Dan asal-usul permusuhan ialah desak‑mendesak di antara keduanya pada
suatu maksud. Dan maksud yang satu itu, tiada akan menghimpunkan dua orang yang
berjauhan. Akan tetapi yang bersesuaian. Maka karena itulah, banyak kedengkian
di antara keduanya.
Benar, orang yang
bersangatan lobanya kepada kemegahan dan menyukai suaranya terdengar kesegenap
penjuru dunia, dengan segenap isinya, maka sesungguhnya ia akan dengki kepada
setiap orang yang ada di alam ini, walau pun ia jauh dari orang yang bersama‑sama
ingin memperoleh bahagian dalam perkara yang dibanggakannya. Sumber semuanya
itu, ialah: mencintai dunia. Sesungguhnya
dunia, ialah yang menyempitkan kepada orang‑orang yang desak‑mendesak.
Adapun akhirat,
maka tak ada kesempitan padanya. Dan sesungguhnya yang seumpama akhirat itu,
ialah: kenikmatan ilmu. Maka tak
dapat dibantah, bahwa orang yang menyukai mengenal (ma'rifah) Allah Ta’ala,
mengenal sifat‑sifatNya, para malaikatNya, nabi‑nabiNya, alam malakut langit
dan bumiNya, niscaya ia tiada akan dengki kepada orang lain, apabila ia
mengetahui yang demikian juga. Karena mengenal (ma'rifah) itu tiada akan
menyempitkan orang‑orang yang mengenal (orang'arifin) itu. Bahkan, suatu ilmu yang
diketahui, akan diketahui oleh beribu‑ribu orang berilmu. la merasa gembira
dengan ma'rifahnya itu dan merasa lezat citarasanya. Dan tiada akan berkurang
kelazatan bagi seseorang, disebabkan orang lain. Akan tetapi dengan banyaknya
orang yang mengetahuinya, akan berhasil penambahan kejinakan hati dan buah
memperoleh faedah dan memfaedahkan kepada orang lain. Maka karena itulah, tidak
ada dengki‑mendengki di antara ulama‑ulama agama (ulamau'ddin). Karena maksud
mereka itu mengenal (marifah) Allah Ta’ala. Dan itu lautan yang luas, yang
tidak sempit mengenai apa yang disisi Allah Ta’ala. Karena nikmat yang paling
mulia disisi Allah Ta’ala ialah kelezatan
bertemu dengan Dia. Dan tak ada padanya yang menghalangi dan yang desak‑mendesak.
Dan oleh sebahagian yang memandang, tiada akan menyempitkan kepada sebahagian.
Akan tetapi kejinakan hati bertambah dengan banyaknya mereka. Benar, para ulama
itu apabila bermaksud dengan ilmunya, akan harta dan kemegahan, niscaya mereka
dengki‑mendengki. Karena harta itu benda dan barang bertubuh. Apabila jatuh
dalam tangan seseorang, niscaya terlepaslah tangan orang lain daripadanya.
Arti kemegahan, ialah: memiliki hati. Dan manakala telah penuh
hati seseorang, dengan pengagungan seorang alim (ulama), niscaya tidak
mustahil berpaling dari penghormatan kepada ulama lain. Atau penghormatan itu
berkurang. Maka yang demikian itu, menjadi sebab bagi dengki‑mendengki. Dan
apabila hati itu penuh dengan kegembiraan mengenal (ma'rifah), Allah Ta’ala,
niscaya yang demikian tiada akan mencegah untuk penuhnya hati orang lain dengan
ma'rifah tersebut dan untuk bergembira dengan yang demikian. Perbedaan antara ilmu dan harta, ialah, bahwa harta itu tiada akan bertempat pada tangan
seseorang' sebelum ia berpindah dari tangan orang lain. Sedang ilmu dalam hati
seorang alim itu tetap dan dapat bertempat dalam hati orang lain, dengan
mengajarinya, tanpa ilmu itu berpindah dari hatinya. Dan harta itu bertubuh
dan merupakan benda‑benda dan mempunyai kesudahan. Maka jikalau manusia
memiliki semua yang pada bumi, niscaya tiada lagi tinggal harta sesudahnya, yang
akan dimiliki oleh orang lain. Dan ilmu itu tiada mempunyai kesudahan dan tiada
tergambar akan kelengkapannya. Maka barangsiapa membiasakan dirinya
bertafakkur tentang keagungan dan kebesaran Allah, alam malakut bumiNya dan
langitNya, niscaya jadilah yang demkian itu lebih lezat padanya dari semua
nikmat. Dan ia tiada terlarang daripadanya dan tiada yang mendesak. Maka
tiadalah dalam hatinya kedengkian kepada seseorang dari mahluk. Karena orang
lain juga, kalau mengetahui seperti ma'rifahnya, niscaya tiada akan berkurang
dari kelezatannya. Bahkan, kelezatan itu bertambah dengan kejinakan hatinya.
Maka kelezatan mereka dalam membaca keajaiban alam malakut secara terus‑menerus
itu, lebih besar dari kelezatan orang yang memandang kepada kayu‑kayuan sorga
dan taman‑tamannya dengan mata jahiriah.
Sesungguhnya,
kenikmatan bagi orang yang bermarifa/orang ‘arif dan sorganya, ialah
marifahnya, yang menjadi sifat dirinya.
Ia merasa aman dari hilangnya. Dan ia akan memetik buahnya untuk selama‑lamanya.
Maka ia dengan nyawa dan hatinya, memakan buah‑buah ilmunya. Dan itu buah‑buah
yang tiada terputus dan terlarang. Bahkan memetiknya dekat sekali. Yaitu,
walaupun ia memejamkan mata zahiriahnya, maka rohnya bermain‑main dalam sorga
tinggi dan perkebunan yang penuh bunga‑bungaan, untuk selama‑lamanya. Kalau
diumpamakan, banyaknya orang 'arifin (orang yang berilmu ma'rifah), niscaya
tiadalah mereka itu berdengki‑dengkian. Akan tetapi adalah mereka seperti yang
difirmankan oleh Allah Tuhan Rabbul ‘alamin; tentang mereka. “Dan Kami buangkan
segala kedengkian yang ada dalam hati mereka, (sehingga mereka menjadi)
bersaudara, berhadap‑hadapan di atas ranjang". S 15 Al Hijr ayat 47. Maka
inilah keadaan mereka dan mereka itu jauh dalam dunia. Maka apakah yang
disangka pada mereka, ketika terbukanya tutup dan menyaksikan YANG DICINTAI pada hari kesudahan
(akhirat)? Jadi tiadalah akan tergambar, bahwa dalam sorga itu ada dengki‑mendengki.
Dan tidak akan ada, diantara ahli sorga dalam dunia dengki‑mendengki. Karena
sorga itu tak ada sempit‑menyempit dan desak‑mendesakkan di dalamnya. Dan sorga
itu tiada akan tercapai, selain dengan ma'rifat/mengenal Allah Ta’ala, yang
tidak pula desak‑mendesakkan padanya, dalam dunia. Maka ahli sorga itu dengan
sendirinya, terlepas dari kedengkian pada semuanya, di dunia dan di akhirat.
Bahkan kedengkian itu, termasuk sebahagian dari sifat orang‑orang yang
dijauhkan dari keluasan sorga tinggi, ke tempat yang sempit kepenjaraan neraka
jahannam.
Dan karena itulah,
dengan sebab kedengkian, maka diketahui setan yang terkutuk. Dan disebutkan,
setengah dari sifat‑sifatnya, ialah: bahwa ia dengki kepada Adam as, terhadap
kepada pilihan yang dikhususkan kepada Adam as. Dan tatkala setan itu diajak
bersujud, lalu ia menyombong, enggan, melawan dan ingkar. Sesungguhnya anda
tahu, bahwa tak ada kedengkian, selain karena membawa kepada suatu maksud yang
sempit daripada dilaksanakan dengan keseluruhan. Dan karena inilah, anda tiada
akan melihat manusia dengki mendengki dalam memandang kepada hiasan langit.
Dan dengki‑mendengki dalam melihat taman‑taman yang menjadi sebahagian yang
sedikit dari keseluruhan bumi. Dan semua bumi itu, tiadalah mempunyai
timbangan, dengan dibandingkan kepada langit. Akan tetapi, langit karena luas
penjuru‑penjurunya itu menjadi sempurna dengan semua pandangan mata. Maka
tiadalah pada langit itu sekali‑kali desak‑mendesak dan dengki‑mendengki.
Haruslah anda, kalau anda itu dapat melihat dan belas‑kasihan kepada diri anda
sendiri, supaya mencari nikmat, yang tak ada padanya desak‑mendesak dan
mencari kelazatan yang tak ada padanya kekeruhan. Dan yang demikian itu, tiada
akan didapati di dunia, selain pada ma'rifah/mengenal Allah 'Azza wa Jalla,
pada ma'rifah sifat‑sifatNya, afalNya/perbuatanNYA, keajaiban alam malakut
langit dan bumi. Dan yang demikian tiada akan tercapai di akhirat, selain
dengan ma'rifah ini juga. Jikalau anda tiada rindu kepada mengenal Allah Ta’ala
dan tiada memperoleh kelazatannya dan lumpuh pendapat anda dari anda dan lemah
keinginan anda pada mengenal tersebut, maka dalam hal yang demikian, anda dima'afkan.
Karena orang yang lemah syahwat (al‑'amin), tiada ingin kepada kelezatan
bersetubuh. Anak kecil tiada ingin kepada keenakan memiliki sesuatu.
Sesungguhnya ini adalah kelezatan‑kelezatan yang khusus laki‑laki
mengetahuinya, tidak anak‑anak dan orang‑orang banci (yang menyerupakan diri
dengan wanita). Maka seperti itu pula kelezatan ma'rifah/mengenal, yang khusus
diketahui oleh laki‑laki. FirmanNya: "Laki‑laki yang tidak dipermainkan
oleh perniagaan dan jual‑beli daripada mengingati Allah (dzikru'llah).".
Dan tidak rindu kepada kelezatan ini, selain mereka. Karena rindu
itu sesudah dirasakan (dzauq).
Dan siapa yang tidak merasakan, niscaya
tiada mengenaInya. Dan siapa yang tiada mengenalnya, niscaya tiada akan
merindukannya. Dan siapa yang tiada merindukannya, niscaya tiada akan
mencarinya. Dan siapa yang tiada mencarinya, niscaya tiada akan mengetahuinya.
Dan siapa yang tiada mengetahuinya, niscaya kekallah bersama orang‑orang yang tidak diberikan (al‑mahruumiin),
pada tingkat yang paling bawah.
"Siapa yang tiada memperdulikan pengajaran Tuhan Yang Pemurah itu,
akan Kami adakan baginya orang jahat (setan). Dan itulah yang menjadi
temannya". S 43 Az Zukhruf ayat 36.
PENJELASAN:
obat yang akan meniadakan penyakit kedengkian dari hati.
Ketahuilah, bahwa kedengkian itu
sebahagian dari penyakit‑penyakit besar bagi hati. Dan penyakit‑penyakit hati
itu tiada akan dapat di obati, selain dengan ilmu dan amal. Dan ilmu yang
bermanfa'at bagi penyakit dengki, ialah: bahwa anda mengetahui dengan
keyakinan, bahwa kedengkian itu melarat atas diri anda pada dunia
& agama. Dan tak ada
melaratnya atas orang yang didengkikan, pada dunia & agama. Akan tetapi ia memperoleh manfa'at pada dunia dan agama.
Manakala anda mengetahui ini dari penglihatan mata‑hati dan penglihatan itu
bukan musuh diri anda dan teman musuh anda, niscaya tidak mustahil, anda akan
berpisah dari kedengkian. Tentang kedengkian itu melarat kepada anda pada agama, yaitu: bahwa anda dengan
kedengkian, telah marah kepada taqdir (qodo') Allah Ta’ala. Anda benci kepada
nikmatNya yang dibagi‑bagikanNya di antara hamba-hambaNya. Dan kepada
keadilanNya yang ditegakkanNya pada kerajaanNya dengan hikmahnya yang
tersembunyi. Lalu anda menantang yang demikian dan memandang keji. Dan inilah
suatu penganiayaan atas biji mata keesaan dan suatu kotoran pada mata iman. Cegahlah dirimu dari
keduanya, dari pengganiayaan kepada agama.
Dan sesungguhnya
telah bertambah kepada yang demikian, bahwa anda telah menipu seorang laki‑laki
mu'min. Anda tinggalkan menasehatinya. Anda berpisah dengan wali‑wali dan nabi-nabi
Allah, tentang cintanya mereka akan kebajikan kepada hamba‑hambaNya. Anda
bersekutu dengan Iblis dan orang‑orang kafir lainnya, tentang kesukaan mereka
akan bala‑bencana kepada orang‑orang yang beriman dan hilangnya kenikmatan.
Inilah kekejian dalam hati, yang akan memakan segala kebaikan hati,
sebagaimana api memakan kayu kering!. Kekejian hati itu akan menghapus segala
kebaikan hati, sebagaimana malam menghapuskan siang.
Tentang kedengkian
itu melarat kepada anda pada dunia, maka yaitu: bahwa anda akan merasa
kepedihannya pada dunia, dengan kedengkian anda. Atau anda akan merasakan
azabnya. Dan anda selalu dalam dukacita dan kesedihan. Karena musuh‑musuh anda
tiada akan dilepaskan oleh Allah Ta’ala dari nikmat‑nikmat yang dicurahkanNya
kepada mereka. Maka senantiasalah anda merasa azab kesengsaraan dengan setiap
nikmat yang anda lihat. Dan anda merasa kepedihan, dengan setiap bencana yang
berpaling (berpindah) dari mereka. Lalu kekallah anda dalam keadaan kesedihan
tiada memperoleh apa‑apa, hati bercabang dan dada sempit. Telah menimpa anda yang
diingini oleh musuh anda dan yang anda ingini untuk musuh anda. Anda
menghendaki bencana itu untuk musuh anda, lalu bencana itu pada waktu itu juga,
menjadi bencana anda dan kesedihan anda. Dan dalam pada itu, nikmat tersebut
senantiasa pada orang yang didengkikan, dengan kedengkian anda. Jikalau
sekiranya anda tiada beriman dengan kebangkitan dan hitungan amal (hisab di
akhirat), niscaya menurut kehendak
kecerdikan, jikalau anda berakal waras, anda akan takut dari kedengkian
itu. Karena padanya kepedihan hati dan jahatnya, serta tiada bermanfa'at. Maka
bagaimana, sedang anda tahu, bahwa pada kedengkian itu terdapat azab yang
sangat pedih di akhirat.
Maka alangkah
mengherankan dari orang yang berakal waras, bagaimana ia berbuat untuk
kemarahan Allah ta’ala, tanpa manfa'at yang diperolehnya. Akan tetapi, serta
kemelaratan/kerugian yang akan ditanggungnya dan kepedihan yang akan
dideritanya. Lalu binasalah agama dan dunianya, tanpa kegunaan dan faedah.
Adapun tak ada melaratnya kepada yang didengkikan pada agama dan dunianya, maka
itu jelas Karena nikmat itu tiada hilang daripadanya dengan kedengkian engkau.
Akan tetapi apa yang telah ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala dari kedatangan
kebahagiaan dan kenikmatan maka tak dapat tidak, akan kekal sampai kepada masa
tertentu, yang teIah ditaqdirkan oleh Allah Subbanahu wa Ta'ala. Maka tiada
upaya untuk menolaknya. Bahkan, tiap sesuatu pada sisiNya itu dengan takaran yang
ditentukan. Dan bagi tiap tiap ajal yang akan datang itu, sudah tertulis.
Karena itulah, salah seorang dari para nabi mengadu kepada Allah Ta’ala, dari
hal seorang wanita zalim, yang menguasai orang banyak. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada nabi tersebut, supaya ia lari dari hadapan wanita itu.
Sehingga berlalulah hari-hari kekuasaannya. Artinya: apa yang KAMI ditaqdirkan
pada azali ( tida kesudahan / permulaan
), tiada jalan untuk merobahnya. Maka bersabarlah, sehingga berlalulah masa
yang telah terdahulu taqdir, dengan terus‑menerusnya kedatangan kebahagiaan
kepada wanita tersebut. Manakala nikmat itu tidak hilang dengan kedengkian,
maka tiadalah melaratnya orang yang didengkikan itu pada dunia. Dan tidak ada
atasnya dosa pada hari akhirat. Mungkin anda berkata: kiranya nikmat itu hilang dari orang yang didengkikan dengan
kedengkianku! Ini adalah sangat bodoh! Sesungguhnya itu bencana yang anda
ingini pertama bagi diri anda sendiri. Maka sesungguhnya anda juga, tiada akan
terlepas dari musuh, dengan kedengkian anda. Maka jikalau nikmat itu hilang
dengan kedengkian, niscaya tiada akan kekal nikmat Allah Ta’ala kepada anda dan
kepada seorangpun dari makhluk. Dan tiada pula kekal kenikmatan iman.
Karena orang‑orang
kafir itu dengki kepada orang‑orang mumin, lantaran imannya. Allah Ta`ala
berfirman: "Kebanyakan dari orang‑orang keturunan Kitab ingin, kiranya
mereka dapat mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah beriman, disebabkan
kedengkian dalam jiwa mereka". S 2 Al Baqarah ayat 109. Karena apa yang
dikehendaki oleh pendengki itu, tiada akan terwujud. Benar, pendengki itu
menyesatkan dengan kehendaknya, akan kesesatan kepada orang lain. Sesungguhnya
kehendak kufur itu kufur. Maka siapa yang mengingini hilangnya nikmat dari
orang yang didengkikan, dengan kedengkian, maka seolah‑olah ia menghendaki di
cabut nikmat keimanan, dengan kedengkian orang‑orang kafir. Dan demikian juga
nikmat‑nikmat yang lain. Jikalau anda mengingini akan hilangnya nikmat, dari
makhluk, dengan kedengkian anda dan tiada hilangnya nikmat dari anda, dengan
kedengkian orang lain dari anda, maka ini sangat bodoh dan dungu.
Sesungguhnya
masing‑masing orang pula dari pendengki‑pendengki yang dungu, mengingini untuk
dikhususkan dengan kekhususan ini. Dan tidaklah anda lebih utama dari selain
anda. Maka nikmat Allah Ta’ala kepada anda, bahwa tiada hilang dengan
kedengkian itu, termasuk yang harus anda mensyukurinya. Dan anda dengan
kebodohan anda, tiada menyukai nikmat itu.
Adapun, bahwa
orang yang didengkikan itu akan memanfa'atkannya pada Agama & dunia, maka
itu sudah jelas Kemanfa'atannya pada agama,
ialah: bahwa orang itu teraniaya (madhlum) dari pihak anda. Lebih‑lebih,
apabila kedengkian itu membawa anda kepada perkataan & perbuatan, dengan umpatan, celaan, membuka rahasianya dan menyebutkan keburukan‑keburukannya. Maka
ini adalah hadiah‑hadiah, yang anda hadiahkan kepadanya! Ya'ni: anda dengan
demikian, menghadiahkan kebaikan‑kebaikan anda kepadanya. Sehingga anda
menemuinya diakhirat, dimana anda menjadi bangkerut (muflis), yang diharamkan
dari nikmat, sebagaimana anda diharamkan dari nikmat itu di dunia.
Maka seolah‑olah
anda menghendaki hilangnya nikmat dari orang itu, lalu tidak hilang. Benar,
Allah mempunyai nikmat padanya, karena IA mencurahkan taufiq kepada anda bagi
kebajikan‑kebajikan. Lalu anda pindahkan kebajikan‑kebajikan itu kepadanya.
Maka anda tambahkan kepadanya nikmat, kepada nikmat yang sudah ada. Dan anda
tambahkan kepada diri anda, kemurkaan, kepada kemurkaan yang sudah ada. Adapun
kemanfa'atannya didunia, maka yaitu:
bahwa maksud makhluk yang terpenting, ialah: kejahatan bagi musuhnya, kesusahan
dan kedurhakaan bagi musuh itu. Dan supaya musuh itu tersiksa dan berduka‑cita.
Dan tiadalah azab yang paling pedih, dimana anda berada didalamnya, dari kepedihan
dengki. Dan cita‑cita musuh anda yang penghabisan, ialah: bahwa mereka berada
dalam kenikmatan dan anda berada dalam kesusahan dan kerugian, disebabkan
mereka. Dan anda telah berbuat dengan diri anda sendiri, apa yang menjadi
kehendak mereka. Dan karena itulah, musuh anda tiada mengingini akan matinya
anda. Tetapi ia mengingini, lamanya hidup anda. Akan tetapi, dalam azab
kedengkian. Supaya anda melihat kepada nikmat Allah padanya. Lalu putuslah hati
anda, karena kedengkian. Karena itulah, orang bermadah:
Musuh‑musuh itu
tiada mati,
akan tetapi mereka
hidup berkekalan.
Sehingga mereka
melihat padamu nanti,
hal‑hal yang
menyakitkan.
Senantiasa engkau
didengkikan,
di atas sesuatu
kenikmatan.
Sesungguhnya yang
memperoleh kesempurnaan,
ialah orang yang
didengkikan.
Kegembiraan musuhmu dengan kesedihan
engkau dan kedengkian engkau itu, lebih besar daripada kegembiraannya dengan
nikmatnya. Jikalau ia mengetahui akan kelepasanmu dari kepedihan dengki dan
azabnya, niscaya yang demikian itu adalah bencana yang paling besar dan
malapetaka baginya. Tidaklah engkau, tentang kesedihan dengki yang selalu
engkau alami, selain sebagaimana yang diingini oleh musuhmu.
Apabila ini engkau
perhatikan, niscaya engkau ketahui, bahwa engkau itu musuh dirimu sendiri dan
teman musuhmu, apabila engkau perbuat apa yang engkau perlukan di dunia dan di
akhirat. Dan musuhmu mengambil manfa'atnya di dunia dan di akhirat. Dan jadilah
engkau tercela pada Al Khaliq (yang maha pencipta) (Tuhan) dan makhluk,
memperoleh kesengsaraan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan
kenikmatan bagi orang yang didengkikan itu kekal terus, engkau kehendaki yang
demikian atau engkau tolak. Kemudian, engkau tiada akan terbatas, kepada
menghasilkan kehendak musuh engkau, sehingga sampailah engkau kepada memasukkan
kegembiraan yang terbesar kepada Iblis, dimana Iblis itu adalah musuhmu yang
terhebat. Karena, manakala ia melihat engkau tiada memperoleh kenikmatan ilmu, wara, kemegahan dan harta, yang tertentu untuk musuh engkau,
tidak bagi engkau, niscaya Iblis itu takut, bahwa engkau menyukai yang demikian
untuk musuh engkau itu. Lalu engkau berkongsi dengan musuhmu itu pada
pahalanya, disebabkan kesukaan tadi. Karena orang yang menyukai kebajikan bagi
kaum muslimin, niscaya adalah ia berkongsi pada kebajikan tersebut. Dan orang yang
tiada dapat berhubungan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi pada
agama, niscaya tiada akan hilang baginya, pahala kecintaan kepada mereka,
manakala ia mencintai yang demikian. Lalu Iblis takut, bahwa engkau mencintai
akan apa, yang dianugerah kan oleh Allah kepada hambaNya, dari kebaikan agama
dan dunianya. Lalu engkau memperoleh kemenangan dengan pahala kecintaan itu. Maka
Iblis itu marah kepada engkau, sehingga engkau tiada berhubungan dengan
kecintaan engkau, sebagaimana engkau tiada berhubungan dengan amaliah engkau.
Seorang Arab dusun
bertanya kepada Nabi saw: "Wahai Rasulu'llah! Ada orang yang mencintai
kaumnya dan ia tiada berhubungan dengan mereka” . Nabi saw Ialu menjawab:
"Manusia itu bersama orang yang dicintainya". Seorang Arab dusun
berdiri dihadapan Rasulu'llah saw yang sedang berkhutbah, seraya bertanya:
"Wahai Rasulu'llah! Kapan kiamat?" Lalu Rasulu'llah saw
menjawab: "Apakah yang telah engkau
sediakan untuk kiamat itu?". Arab dusun itu menjawab: "Aku tiada
menyediakan untuk hari kiamat itu, dengan banyak shalat dan puasa, selain aku
sesungguhnya mencintai Allah dan RasulNya". Lalu Rasulu'llah saw menjawab:
"Engkau bersama orang yang engkau cintai".
Anas ra berkata:
“Tiada kegembiraan orang‑orang muslim sesudah mereka Islam, seperti
kegembiraan mereka ketika itu" suatu isyarat, bahwa kegemaran mereka yang
terbesar, ialah: mencintai Allah dan RasuINya.
Anas ra berkata: "Kami mencintai Rasullullah, Abubakar dan Umar dan
kami tiada bekerja seperti pekerjaan mereka. Kami mengharap bahwa kami berada
bersama mereka".
Abu Musa AI‑Asy'ari
ra berkata: “Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Orang yang mencintai orang‑orang
yang mengerjakan shalat dan ia tidak mengerjakan shalat. Ia mencintai orang yang
mengerjakan puasa dan ia tidak mengerjakan puasa". Sampai Abu Musa
menghitung beberapa hal yang lain. Lalu Nabi saw menjawab: “Ia bersama orang yang
dicintainya".
Seorang laki‑laki
berkata kepada Umar bin Abdul‑'aziz ra: "Sesungguhnya ada yang
mengatakan: "Jikalau engkau sanggup untuk menjadi orang berilmu, maka
hendaklah engkau menjadi orang berilmu! Jikalau engkau tidak sanggup menjadi
orang berilmu, maka hendaklah engkau menjadi orang yang mempelajari ilmu
(pelajar)! Jikalau engkau tidak sanggup menjadi orang yang mempelajari ilmu,
maka cintailah mereka! Maka jikalau engkau tidak sanggup, maka jangan engkau
memarahi mereka!”. Lalu Umar bin Abdul‑'aziz ra menjawab: "Subhana'llah!
(Maha Suci Allah). Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi kita jalan
keluar". Maka lihatlah sekarang, bagaimana Iblis dengki kepada engkau.
Lalu dihilangkannya pada engkau pahala kecintaan. Kemudian, ia tidak merasa cukup
dengan itu, sehingga ia memarahkan kepada engkau saudara engkau. Dan dibawanya
engkau kepada kebencian. Sehingga engkau berdosa. Bagaimana tidak! Ia
mengharap engkau akan berdengki‑dengkian dengan orang dari ahli ilmu. Dan
engkau menyukai, bahwa ahli ilmu itu salah pada agama Allah Ta’ala. Dan terbuka
kesalahannya, supaya tersiar. Dan engkau menyukai, bahwa lidahnya kelu,
sehingga ia tidak berkata‑kata. Atau ia sakit, sehingga ia tidak mengajar dan
tidak belajar. Dosa manakah yang lebih dari demikian? Mudah‑mudah an kiranya
engkau! Karena hilangnya perhubungan engkau dengan dia, kemudian, engkau
merasa susah dengan sebab dia, niscaya engkau selamat dari dosa dan azab
akhirat.
Telah datang pada
hadits: "Ahli sorga itu tiga: orang yang berbuat baik, orang yang mencintai
kepada orang yang berbuat baik dan orang yang
mencegah dari orang yang berbuat baik”. Artinya: orang yang mencegah kesakitan dari orang yang berbuat baik, mencegah
kedengkian, kemarahan dan kebencian. Maka
perhatikanlah, bagaimana Iblis menjauhkan engkau dari semua jalan masuk yang
tiga itu. Sehingga engkau tidak menjadi sekali‑kali dari salah seorang dari yang
tiga tadi. Sesungguhnya telah tembus kedengkian Iblis pada engkau. Dan tidak
tembus kedengkian engkau pada musuh engkau. Akan tetapi atas diri engkau. Akan
tetapi, jikalau engkau dibukakan dengan keadaan engkau itu, pada waktu jaga
atau waktu tidur, niscaya engkau melihat diri engkau, hai orang pendengki,
dalam bentuk orang yang melemparkan panah kepada musuhnya. Supaya mengenai
tempat pembunuhannya. Lalu tiada mengenai nya, akan tetapi kembali kepada mata
hitamnya yang kanan. Lalu dicabutnya. Maka bertambahlah kemarahannya. Lalu ia
kembali kali kedua. Maka dilemparkannya yang lebih keras dari yang pertama.
Lalu kembali kepada matanya yang lain. Maka dibutakannya. Lalu bertambahlah
kemarahannya. Maka ia kembali kali ketiga. Lalu ia kembali kepada kepalanya,
Ialu dilobanginya. Dan musuhnya itu selamat pada setiap hal yang tersebut. Dan
ia kembali kepada musuhnya berkali‑kali. Dan musuh‑musuhnya dikelilingnya itu
bergembira‑ria dan tertawa atas sikapnya. Inilah halnya orang pendengki dan
perlakuan setan kepadanya. Akan tetapi keadaan pada kedengkian itu lebih keji
dari ini. Karena lemparan yang kembali itu tidak menghilangkan, selain dua
mata. Dan jikalau kedua mata itu tetap baik, niscaya sudah pasti hilang
keduanya dengan mati. Dan dengki itu kembali dengan dosa. Dan dosa itu tiada
hilang dengan mati. Dan mungkin ia akan membawanya kepada kemarahan Allah dan
kepada neraka. Maka dari pada hilang matanya di dunia, maka lebih baik
baginya, mata itu tetap baik, dimana ia akan masuk neraka dengan mata itu. Lalu
mata itu dicabut oleh kepanasan api neraka. Maka perhatikanlah, betapa Allah menuntut balas (intiqam) dari pendengki,
apabila ia berkehendak hilangnya nikmat dari orang yang didengkikan. Maka Allah
tiada menghilangkan nikmat dari orang yang didengkikan. Kemudian,
dihilangkanNya dari orang yang dengki (pendengki). Karena selamat dari dosa itu
suatu nikmat. Dan selamat dari kesedihan dan kesakitan itu suatu nikmat, yang
telah hilang kedua nikmat itu dari padanya, karena membenarkan firman Allah
Ta’ala: “Dan rencana kejahatan itu hanyalah akan menimpa orang yang mempunyai
rencana itu sendiri". S 35 Faathir ayat 43. Kadang‑kadang pendengki banyak
mendapat percobaan dengan suatu, yang diingininya bagi musuhnya. Dan sedikitlah
orang yang menyukai akan bencana kepada orang lain, melainkan dia sendiri akan
memperoleh percobaan seperti bencana itu.
Sehingga Aisyah
pernah berkata: "Aku tiada bercita‑cita akan sesuatu bagi Usman, melainkan
Ialu menimpa kepada diriku. Sehingga jikalau aku bercita-cita pembunuhan bagi
Usman, niscaya aku akan dibunuh orang". Maka inilah dosa kedengkian itu
sendiri! Lalu bagaimana yang ditarik oleh kedengkian, tentang perselisihan,
mengingkari kebenaran, kelancaran lidah dan tangan dengan perbuatan‑perbuatan
keji, pada mencari kesembuhan dari musuh. Dan itulah penyakit yang telah
membinasakan ummat‑ummat yang lampau! Maka inilah obat‑obat ilmiah! Manakala
manusia berfikir padanya dengan otak yang jernih dan hati yang terbuka, niscaya
padamlah api kedengkian dari hatinya. Dan ia akan tahu, bahwa itu yang
membinasakan dirinya, menggembirakan musuhnya, memarahkan Tuhannya dan
mengeruhkan kehidupannya.
Adapun amal yang
bermanfa'at padanya, maka yaitu; bahwa: kedengkian
itu di hukum. Setiap apa yang dikehendaki oleh kedengkian, baik perkataan
atau perbuatan, maka seyogialah ia memberatkan dirinya yang berlawanan dengan itu. Kalau kedengkian itu menggerakkannya
kepada mencaci orang yang didengkikannya, niscaya diberatkannya lidahnya untuk
memuji dan menyanjung orang itu. Jikalau kedengkian itu membawanya kepada
menyombong terhadap orang yang didengkikannya, niscaya ia mengharuskan dirinya
merendahkan diri dan meminta ma'af pada orang itu. Dan kalau kedengkian itu
menggerakkannya kepada mencegah kenikmatan kepada orang yang didengkikannya,
niscaya ia mengharuskan dirinya menambahkan kenikmatan kepada orang yang didengkikan
itu. Maka manakala ia berbuat demikian dengan memaksakan diri dan diketahui
oleh orang yang didengkikan, niscaya baiklah hatinya dan akan mencintainya.
Dan manakala telah menampak kecintaannya, niscaya pendengki itu kembali, lalu
mencintainya. Dan terjadilah dari yang demikian itu, kesesuaian yang akan
memotong unsur kedengkian. Karena merendahkan diri, memuji, menyanjung dan
melahirkan kegembiraan dengan nikmat itu, akan menarik hati orang yang
memperoleh nikmat. Akan menghaluskan dan melembutkannya. Dan akan membawanya
kepada mengimbangi yang demikian, dengan perbuatan kebaikan. Kemudian perbuatan
kebaikan itu akan kembali kepada yang pertama. Lalu baiklah hatinya dan jadilah
apa yang dipaksakannya pada mula‑mula, menjadi tabiat (karakter) yang lain. Dan
tidak akan dicegahnya dari yang demikian, oleh perkataan setan kepadanya:
"Jikalau engkau merendahkan diri dan memujinya, niscaya engkau akan
dibawa oleh musuh kepada kelemahan atau kepada kemunafikan (nifaq) atau
ketakutan. Dan yang demikian itu, suatu kehinaan dan kerendahan". Dan yang
demikian adalah dari penipuan dan godaan setan. Bahkan, berbaik‑baikan (al‑mujamalah),
baik dengan memberatkan diri atau telah menjadi tabi'at, akan menghancurkan
tanda permusuhan dari kedua pihak. Dan menyedikitkan yang diingini dari
permusuhan itu. Dan akan kembalilah hati, berjinak‑jinakkan dan berkasih‑kasihan.
Dan dengan demikian, beristirahatlah hati dari pedihnya kedengkian dan sedihnya
marah‑memarahkan. Maka inilah obat‑obat kedengkian! Dan itu bermanfa'at sekali.
Hanya, dia itu pahit sekali kepada hati. Akan tetapi, kemanfa'atan itu adalah
pada obat yang pahit. Maka siapa yang tidak bersabar di atas pahitnya obat, niscaya
ia tiada akan memperoleh manisnya sembuh. Sesungguhnya kepahitan obat ini akan
mudah, ya'ni: dengan merendah kan diri kepada musuh, mendekatkan diri kepada
mereka dengan pujian dan sanjungan, dengan kekuatan pengetahuan terhadap segala
pengertian yang telah kami sebutkan. Dan kekuatan keinginan pada pahala rela
(merasa senang) dengan hukum/taqdir Allah Ta’ala dan menyukai apa yang disukai
oleh Allah Ta’ala. Keagungan diri dan merasa tinggi daripada adanya sesuatu di
alam ini, yang menyalahi dengan kehendaknya itu, suatu kebodohan. Dan ketika
itu, ia berkehendak apa yang tiada akan ada. Karena, tak ada kelobaan mengenai
akan ada apa yang dikehendakinya. Dan keluputan (tiada tercapainya) kehendak
itu, adalah suatu kehinaan dan kekejian. Dan tiada jalan untuk keluar dari
kehinaan ini, selain dengan salah satu dua
hal: Adakalanya dengan akan ada apa yang
engkau kehendaki. Atau dengan engkau
kehendaki apa yang akan ada. Yang pertama: tiada terserah kepada engkau dan
tiada jalan masuk untuk memberatkan diri dan bersungguh‑sungguh (al‑mujahadah)
padanya. Adapun yang kedua: maka ada padanya
jalan masuk dengan bersungguh-sungguh. Dan ada kemungkinan
memperolehnya/berhasil dengan latihan/riadlah. Maka haruslah menghasilkannya
atas tiap‑tiap orang yang berakal waras Inilah obatnya secara keseluruhan
(global)! Adapun obatnya secara terurai
(terperinci) maka yaitu: mengikuti
sebab-sebab kedengkian: dari kesombongan
dan lainnya, keagungan diri dan kesangatan rakus atas apa yang
diperlukannya. Dan akan datang uraian pengobatan sebab‑sebab tersebut pada
tempatnya‑insya Allah Ta'ala! Sesungguhnya sebab‑sebab itu' adalah unsur‑unsur
penyakit ini. Dan tiada akan tercegah penyakit, kecuali dengan mencegah
unsurnya. Kalau unsur itu tidak dicegah, niscaya tiada akan berhasil dengan apa
yang kami sebutkan, selain menenteramkan hati dan memadamkan dengki. Dan
selalulah ia akan kembali berkali‑kali. Dan lamalah usaha untuk
menenteramkannya, serta tetap ada unsur‑unsurnya. Sesungguhnya, selama ia
mengingini kemegahan, maka tak boleh tidak, ia akan dengki kepada orang yang
memilih kemegahan dan kedudukan dalam hati manusia, selain dari dia. Dan sudah
pasti, yang demikian, akan menyusahkannya. Tujuannya sesungguhnya, bahwa ia
mengentengkan kesedihan pada dirinya. Dan tiada dilahirkannya dengan lidah dan
tangannya. Adapun terlepas daripadanya secara keseluruhan, maka tidak mungkin.
Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada kita sekalian!
PENJELASAN:
kadar yang harus pada meniadakan kedengkian dari hati.
Ketahuilah, bahwa orang yang menyakiti
kita itu terkutuk dengan sendirinya. Dan barang siapa menyakiti engkau, maka
menurut kebiasaan, tidak mungkin engkau tidak memarahinya. Apabila mudah
baginya suatu nikmat, maka tidak mungkin engkau tidak membencinya. Sehingga
bersamaanlah pada engkau, baiknya keadaan dan buruknya keadaan musuh engkau
itu. Bahkan, senantiasalah engkau dapati dalam diri engkau, akan perbedaan
diantara keduanya. Dan senantiasalah
setan bertengkar dengan engkau, pada mendengkikannya. Akan tetapi,
jikalau yang demikian itu kuat pada engkau, sehingga menggerakan engkau kepada
melahirkan kedengkian dengan perkataan atau perbuatan, dimana yang demikian
itu, diketahui dari jahiriah engkau, dengan perbuatan‑perbuatan engkau yang ikhtiariah (atas pilihan sendiri, tidak
dengan paksaan), maka engkau itu pendengki yang durhaka, dengan kedengkian
engkau. Dan jikalau engkau cegah jahiriah engkau secara keseluruhan, akan
tetapi dengan batiniah engkau menyukai hilangnya nikmat dan tiada pada diri
engkau kebencian bagi keadaan, ini maka juga engkau itu pendengki, yang
durhaka. Karena dengki itu sifat hati, tidak sifat perbuatan. Allah Ta'ala
berfirman: “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang
diberikan kepada mereka". S 59 Al Hasyr penggalan ayat 9. "Mereka
ingin supaya kamu tidak pula beriman, sebagaimana mereka tidak beriman,
sehingga kamu sama‑sama tidak beriman dengan mereka". S 4 An Nisaa' ayat
89. Allah Ta’ala berfirman: "Jika kamu beroleh kebaikan, menyedihkan
kepada mereka". S 3 Ali ‘Imran ayat 120.
Adapun perbuatan, yaitu: umpatan dan kedustaan.
Yaitu: perbuatan yang terbit dari
kedengkian. Dan tidaklah perbuatan itu zatnya dengki. Bahkan, tempat
kedengkian itu hati, tidak anggota badan. Benar, kedengkian ini tidaklah suatu
kezaliman yang harus dikatakan halal. Akan tetapi, suatu kemaksiatan di antara
engkau dan Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya, harus di halalkan, dari sebab‑sebab
zahiriah pada anggota badan.
Apabila engkau
mencegah jahiriah engkau dan bersamaan dengan itu, engkau mengharuskan hati
engkau, membenci apa yang meninggi daripadanya dengan tabiat, dari pada
kesukaan hilangnya nikmat, sehingga seakan‑akan engkau mengutuk diri sendiri
atas apa yang pada tabiatnya, maka adalah kebencian tersebut dari pihak akal,
dalam keseimbangan kecenderungan dari pihak tabiat. Dan engkau sesungguhnya
sudah menunaikan kewajiban engkau. Dan tidaklah masuk di bawah ikhtiar
(pilihan) engkau, dalam banyak hal, lebih banyak dari ini.
Adapun merobahkan
tabiat supaya bersamaan padanya, orang yang menyakitikan orang lain dan orang yang
berbuat baik dan kesenangan atau kesusahannya itu sama dengan apa yang
menyenangkan kedua orang tadi dari kenikmatan atau yang menimpakan keduanya,
dari mala‑petaka, maka ini termasuk tidak menuruti tabiat (sifat manusia),
selama ia menoleh kepada kebahagiaan duniawi. Kecuali, bahwa ia menjadi orang yang
haram dengan kecintaan kepada Allah Ta'ala, seperti orang mabuk yang bimbang.
Kadang‑kadang urusannya berkesudahan, bahwa hatinya tidak menoleh kepada
penguraian‑penguraian hal ihwal duniawi. Akan tetapi, ia memandang kepada
semua, dengan suatu pandangan. Yaitu: pandangan kasih‑sayang. Ia melihat semua itu hamba Allah dan perbuatan‑perbuatan
nya itu perbuatan‑perbuatan karena Allah. la melihat mereka tunduk dengan
kepatuhan. Dan yang demikian itu jikalau ada, maka itu: seperti kilat yang
menyambar, yang tiada kekal lama. Kemudian, sesudah yang demikian, hati itu
kembali kepada tabiatnya semula. Dan musuh itu kembali kepada menentangnya.
Ya'ni: setan. Setan itu akan
menentangnya dengan: bisikan. Maka
manakala ia menandingi yang demikian, dengan kebenciannya. dan mengharuskan
hatinya akan keadaan ini, maka ia telah menunaikan apa yang ditugaskan kepadanya.
Banyak orang‑orang
yang mempunyai aliran paham, bahwa tidak berdosa, apabila kedengkian itu tidak
menampak atas anggota badan. Karena dirawikan dari Al-Hasan AI‑Bashari ra,
bahwa ia ditanyakan dari hal dengki. Lalu ia menjawab: kedukaannya. Maka sesungguhnya kedengkian itu tidak mendatangkan
kemelaratan/kerugian kepada engkau, selama tidak engkau lahirkan. Diriwayatkan
dari Al‑Hasan AI‑Bashari, sebagai hadits mauquf
(berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang
disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun
terputus) dan marfu' (hadits atau sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi
tetapi disampaikan juga), Nabi saw, yang
bersabda: “Tiga perkara, tiada akan terlepas orang mu'min daripadanya. Dan
orang mu'min itu mempunyai jalan keluar dari tiga perkara itu". Maka jalan
keluar dari kedengkian, ialah: bahwa ia
tidak berbuat zalim. Yang lebih
utama, bahwa ini dibawa kepada apa yang telah kami sebutkan, bahwa padanya ada
kebencian dari pihak agama dan akal, pada keseimbangan kesukaan tabiat
manusia, bagi hilangnya kenikmatan musuh. Dan kebencian itu mencegahnya dari
perbuatan zalim dan menyakiti. Maka semua yang datang pada hadits, tentang
tercelanya dengki itu, menunjukan zahiriahnya, bahwa tiap‑tiap pendengki itu
berdosa. Kemudian, kedengkian itu adalah ibarat dari sifat hati, tidak dari
perbuatan. Maka tiap‑tiap orang yang menyukai menyakiti orang muslim, maka dia
itu pendengki. Jadi, ia berdosa, dengan semata‑mata kedengkian hati, tanpa perbuatan,
dimana perbuatan itu pada tempat kesungguhannya. Yang lebih nyata
(kebenarannya), ialah: apa yang telah kami sebutkan, dari segi zahiriah ayat‑ayat
dan hadist‑hadist. Dan dari segi pengertian. Karena jauhlah untuk dapat
dima'afkan, dari seorang hamba Allah, tentang kehendaknya menyakiti orang
muslim dan meliputi hatinya kepada yang demikian, dengan tiada dibencinya.
Anda sesungguhnya mengetahui dari ini, bahwa anda pada musuh‑musuh anda,
mempunyai tiga hal:
Pertama: bahwa anda
menyukai menyakitkan mereka dengan tabiat anda. Dan anda tidak suka kecintaan
anda bagi yang demikian & kecenderungan hati anda kepadanya dengan akal
anda. Dan ini sudah mempunyai daya upaya pada menghilangkan kecenderungan itu
dari anda. Dan ini sudah pasti dima'afkan. Karena kebanyakan dari padanya tidak
masuk di bawah ikhtiar (pilihan) manusia.
Kedua: bahwa engkau
menyukai yang demikian dan melahirkan kegembiraan dengan memburuk haInya
musuh. Adakalanya dengan lidah engkau atau dengan anggota badan engkau. Maka
inilah kedengkian yang benar‑benar dilarang.
Ketiga: dan itu di antara dua
tepi yang tadi: bahwa engkau dengki dengan hati, tanpa kutukan bagi diri
engkau atas kedengkian engkau. Dan tanpa bantahan dari engkau atas hati engkau.
Akan tetapi engkau menjaga anggota badan engkau, dari menta'ati kedengkian itu
pada kehendaknya. Dan ini terdapat perbedaan paham. Yang jelas, bahwa orang yang
mendengki itu, tiada terlepas dari dosa, menurut kadar kekuatan kecintaan itu dan
kelemahannya. Allah Ta’ala yang lebih mengetahui. Segala pujian bagi Allah,
Tuhan Rabbul Aalamin. Mencukupilah Allah bagi kita dan sebaik‑baik tempat
menyerahkan diri !