Kamis, 13 Februari 2014

25. KITAB TERCELANYA MARAH, DENDAM DAN DENGKI

KITAB TERCELANYA MARAH, DENDAM DAN DENGKI
Yaitu: Kitab Kelima dari Rubu' Yang Membinasakan dari “KITAB  IHYA'‑'ULUMI’DDIN”
Segala pujian bagi Allah yang tidak berpegang kepada kema'afan dan ke­rahmatanNYA, selain orang‑orang yang mengharap. Dan tidak takut kepa­da buruk kemarahan dan keperkasaanNYA, selain orang‑orang yang takut. lA yang mengangsur (kearah kebinasaan) hamba‑hambaNYA, dimana me­reka tiada mengetahuinya. DIA mengerasi nafsu‑syahwat dan menyuruh mereka meninggalkan apa yang menjadi nafsu‑syahwat mereka. DIA men­coba mereka dengan kemarahan dan memberatkan mereka menahan ke­marahan itu, mengenai apa yang dimarahi mereka.
Kemudian DIA keliling­kan mereka dengan hal‑hal yang tidak disukai (al‑makaarih) dan berbagai macam kesenangan. Dan lA menangguhkan kepada mereka, untuk IA meli­hat, bagaimana mereka itu berbuat. Dan DIA mencoba dengan yang demi­kian, akan kecintaan mereka, untuk diketahuiNYA kebenaran mereka me­ngenai apa yang didakwakan mereka. DIA memperkenalkan kepada me­reka, bahwa tiada tersembunyi suatupun kepadaNYA, daripada yang dira­hasiakan mereka dan yang dilahirkan mereka. DIA memperingati mereka, bahwa IA mengambil mereka dalam sekejap ma­ta (secara tiba‑tiba) dan mereka itu tiada mengetahuinya. ALLAH berfirman: “Tak ada lagi yang mereka tunggu, melainkan suatu suara keras, yang akan menyiksa mereka, ketika mereka dalam berbantahan sesamanya. Mereka tiada berkesempatan menyampaikan pesan dan tiada pula dapat kembali kepada keluarganya". S 36 Yaasiin ayat 49‑50.
Rahmat dan sejahtera kepada Muhammad RasuINYA, yang berjalan para nabi‑nabi dibawah benderanya. Dan kepada keluarga dan shahabat‑shahabatnya imam‑imam yang menunjukkan jalan dan penghulu‑penghulu yang memperoleh kerelaan, rahmat yang seimbang bilangannya dengan bilangan yang ada dari makhluk Allah dan apa yang akan ada. Dan memperoleh bahagian dengan barokahnya, orang‑orang dahulu dan orang‑orang kemudian. Curahilah kesejahteraan dengan sebanyak‑banyaknya !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya marah itu nyala api, yang diambil dari api neraka Allah, yang dinyalakan, yang naik ke hati. Dan api itu me­netap dalam lipatan hati, sebagaimana menetapnya bara api dibawah abu. Dan akan dikeluarkannya oleh kesombongan yang tertanam, dalam hati ti­ap‑tiap orang perkasa, yang keras kepala, seperti dikeluarkan oleh batu, a­kan api dari besi. Dan telah tersingkap bagi orang‑orang yang memandang dengan nur keyakinan (nurul‑yaqin), bahwa manusia itu ditarik oleh urat darahnya kepada setan yang terkutuk. Maka barangsiapa dikejutkan oleh api kemarahan, maka sesungguhnya kuatlah padanya kedekatan setan, di­mana setan itu berkata: "ENGKAU  jadikan aku dari api dan ENGKAU ja­dikan dia (Adam) dari tanah". Maka sesungguhnya keadaan tanah itu tetap dan tenteram, sedang keadaan api itu menyala‑nyala, hilang‑timbul, bergerak dan bergejolak. (Api dapat dipadamkan dengan tanah  pent)
Diantara hasil dari marah itu, ialah dendam dan dengki. Dengan dendam dan dengki, binasalah orang yang binasa dan rusaklah orang yang rusak. Dan tempat tinggal dendam dan dengki itu, ialah sekumpul daging (mudl‑ghah). Apabila daging yang sekumpal itu baik, niscaya baiklah tubuh yang lain bersamanya. Apabila dendam, dengki dan marah itu termasuk diantara yang menghalau hamba Allah ke tempat kebinasaan, maka alangkah di perlukannya, mengetahui segala kebinasaan & keburukan‑keburukannya. Supaya ia menjaga yang demikian & memeliharakannya. Dan menghilangkannya dari hati, jikalau ada dan meniadakan nya. Dan mengobatinya, kalau sudah melekat pada hati dan menyembuhkannya. Sesungguhnya orang yang tiada mengenal kejahatan, niscaya akan jatuh ke dalamnya. Dan orang yang me­ngenal kejahatan, maka mengenal saja tidak cukup sebelum ia mengenal jalan, yang dengan jalan itu, ia menolak kejahatan dan menjauhkannya. Kami akan menyebutkan tercelanya marah dan bahaya‑bahaya dendam dan dengki pada Kitab ini.
Dan bahaya itu akan dikumpulkan oleh penjelasan tercelanya marah.
Kemudian penjelasan hakikat/makna marah:
Kemudian penje­lasan bahwa marah itu adakah mungkin dihilangkan asaInya dengan lati­han (riadlah) atau tidak?
Kemudian, penjelasan sebab‑sebab yang mengo­barkan kemarahan.
Kemudian penjelasan pengobatan marah sesudah ber­gejolaknya.
Kemudian, penjelasan keutamaan menahan kemarahan.
Kemudian, penjelasan keutamaan tidak lekas marah (hilmun).
Kemudian, penjelasan kadar perkataan yang boleh untuk menolong diri dan terobat dari kemarahan.
Kemudian, pembicaraan tentang arti dendam (al‑haqd) dan hasil keyakinannya, keutamaan ma'af dan kasih sayang.
Kemudian, pembicaraan mengenai tercelanya dengki, mengenai hakekat & sebab‑sebab serta pengobatannya. Dan tujuan kewajiban pada menghilangkannya.
Kemudian, penjelasan sebab tentang banyaknya dengki diantara teman‑te­man sebaya, kawan‑kawan, saudara‑saudara & diantara anak paman & famili‑famili terdekat. Dan menguatnya dan sedikitnya pada orang lain dan melemahnya.
Kemu­dian, penjelasan obat yang meniadakan penyakit dengki dari hati.
Kemu­dian, penjelasan batas yang wajib pada meniadakan dengki dari hati. Wa bi'llahit‑taufik. Kiranya memperoleh taufiq dari Allah.
PENJELASAN  tercelanya marah.
Allah Ta’ala berfirman: "Perhatikanlah ketika timbul dalam hati orang‑orang yang tiada beriman itu, perasaan kebencian (kesombongan) masa jahiliyah. Maka Al­lah menurunkan ketenanganNYA kepada RasuINYA dan kepada orang‑o­rang yang beriman dan menetapkan kalimat taqwa (memelihara diri dari kejahatan) untuk mereka dan mereka lebih berhak dan patut untuk itu. S 48 AI Fath ayat 26. Tercelanya orang‑orang kafir (orang‑orang yang tiada beriman), disebab­kan apa yang diperlihatkan mereka, kesombongan yang timbul dari kema­rahan dengan salah. Dan terpujinya orang‑orang mu'min, disebabkan kete­nangan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka.
Diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa seorang laki‑laki berkata kepada Nabi: "Wahai Rasulu'llah! Suruhlah aku dengan amal pekerjaan dan sedikitkanlah!”. Maka Nabi saw menjawab: "Jangan engkau marah!”. Kemudian, orang tadi mengulangi lagi, lalu Nabi saw menjawab: "Ja­ngan engkau marah!”.
Ibnu 'Umar berkata: "Aku berkata kepada Rasulu'llah: "Katakanlah kepadaku suatu perkataan dan sedikitkanlah! Mudah‑mudahan aku mema­haminya". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Jangan engkau marah!". Maka aku ulangi perkataan tadi 2 kali kepada Rasulu'llah. Tiap‑tiap kali yang demikian, beliau kembali kepada jawaban: “Jangan engkau marah”.
dari Abdullah bin 'Amr, bahwa ia bertanya kepada Rasulu'llah saw: "Apakah yang melepaskan aku dari kemarahan Allah?”. Rasulu'llah saw menjawab: "Jangan engkau marah!”. Ibnu Mas'ud ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Apakah yang kamu hi­tung membanting pada kamu?”. Lalu kami jawab: "Yang tidak dibanting oleh orang‑orang lain". Maka Nabi saw menjawab: "Tidak demikian. Te­tapi yang memiliki (menguasai) dirinya ketika marah". Abu Hurairah ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Tidaklah orang kuat itu dengan membanting. Sesungguhnya orang kuat, ialah yang memiliki (menguasai) dirinya ketika marah".
Ibnu 'Umar berkata: "Nabi saw bersabda: "Barangsiapa menahan kemarahannya, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (yang malu diketahui orang)”. Nabi Sulaiman bin Daud as berkata: "Hai anakku! Jagalah dirimu dari banyak marah! Sesungguhnya banyak marah itu meringankan hati orang penyantun". Dari 'Akramah mengenai firman Allah Ta’ala: “dan pemimpin dan orang suci”. S 3 AALl ‘Imraan ayat 39. Maka kata 'Akramah, bahwa sayyidan  pada ayat tadi, artinya: orang yang tidak dapat dikalahkan oleh marahnya”.
Abu'd‑Darda' berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Tunjukkan aku kepada amal yang memasukkan aku kedalam sorga!”. Nabi saw menjawab: "Jangan engkau marah!”.
Yahya berkata kepada Isa as: "Jangan engkau marah!”. Isa menjawab: "Aku tidak sanggup untuk tidak marah. Sesungguhnya aku manusia". Kata Yahya lagi: "Jangan engkau menyimpan harta!”. Isa as menjawab: "Ini mudah‑mudahan!”.
Nabi saw bersabda: "Marah itu merusakkan iman, seperti buah pahit me­rusakkan madu. Nabi saw bersabda: "Tiadalah seseorang itu marah, melainkan mende­katkan nya kepada neraka jahannam". Seorang laki‑laki bertanya kepada Nabi saw: “Barang apakah yang lebih berat!”. Nabi menjawab:“Kemarahan Allah!”. Orang itu bertanya lagi: "Apakah yang dapat menjauhkan aku dari kemarahan Allah!”. Nabi saw menjawab: "Jangan engkau marah!”. Menurut al‑atsar (kata para shahabat dan orang‑orang terkemuka), dian­tara lain, ialah: Al Hasan AI‑Bashari berkata: "Hai anak Adam! Tiap kali engkau marah, maka engkau itu melompat. Dan hampirlah engkau melom­pat suatu lompatan, maka jatuhlah engkau dalam api neraka".
Dari Iskandar Zulkarnain dirawikan, bahwa ia bertemu dengan salah se­orang malaikat, lalu la berkata: "Ajarilah aku suatu pengetahuan, yang bertambah aku dengan pengetahuan itu, keimanan dan keyakinan!”. Malaikat itu menjawab: "Jangan engkau marah!”. Sesungguhnya setan itu lebih berkuasa atas anak Adam, ketika anak Adam itu marah. Maka tolaklah kemarahan itu dengan menahan marah dan tenangkanlah dia dengan kasih­ sayang!. Jagalah dari tergopoh‑
gopoh! Sesungguhnya engkau apabila ter­gopoh‑gopoh, niscaya engkau telah menyalahkan keuntungan engkau. Hen­daklah engkau itu mudah, lemah‑lembut bagi yang dekat dan bagi yang jauh! Dan janganlah engkau itu terlalu keras dan keras kepala!”.
Dan Wahb bin Munabbih, yang meriwayatkan bahwa seorang pendeta berada di gerejanya. Maka setan bermaksud menyesatkannya. Lalu setan itu tidak sang­gup. Maka setan tersebut datang kepada pendeta tadi, sehingga mendekatinya. Lalu setan itu berkata kepada pendeta tersebut: "Bukalah!”. Pen­deta itu tidak menjawab. Lalu setan itu berkata lagi: "Bukalah! Sesungguhnya jikalau aku pergi, niscaya engkau menyesal". Tetapi pendeta itu, tidak juga menoleh kepada setan itu. Lalu setan tadi berkata: "Sesungguhnya aku ini AI‑Masih!”. Maka pendeta itu menjawab: “Jikalau engkau Al Masih, maka apa yang akan aku perbuat dengan engkau? Bukankah engkau telah menyuruh kami beribadah dan bekerja sungguh‑sungguh? Dan engkau menjanjikan kepada kami akan hari kiamat? Kalau engkau datang kepada kami pada hari ini, dengan yang lain, niscaya kami tiada akan me­nerimanya dari engkau". Lalu setan itu menjawab: "Sesungguhnya aku ini setan. Aku bermaksud menyesatkan engkau lalu aku tidak sanggup. Maka aku datang kepada engkau, supaya engkau bertanya padaku apa yang engkau kehendaki. Lalu akan aku terangkan kepada engkau". Pendeta itu menjawab: "Aku tidak bermaksud bertanya pada engkau sesuatu".  Wahb bin Munabbih meneruskan riwayatnya maka setan itu berpaling membelakang. Maka pendeta itu bertanya: "Apakah tidak engkau dengar!”. Setan itu menjawab: "Ada!”. Lalu pendeta itu berkata: "Terangkanlah kepadaku, budi pekerti mana dari anak Adam, yang lebih menolong engkau diatas mereka?”. Setan itu menjawab: "Kemarahan! Bahwa seseorang apabila marah, maka akan kami balik‑balikkan dia, seperti anak‑anak kecil membalik‑balikkan bola.
Khaitsamah bin Abdurrahman (seorang tabi'in yang kepercayaan) berkata: "Setan itu berkata: "Bagaimana anak Adam dapat mengalahkan aku. Apa­bila ia rela (setuju), niscaya aku datang, sehingga aku berada dalam hati­nya. Dan apabila ia marah, niscaya aku terbang, sehingga aku berada pada kepalanya".
Jafar bin Muhammad berkata: “Kemarahan itu anak kunci semua kejahat­an". Sebahagian orang anshar (orang‑orang muslim Madinah yang membantu Nabi saw) berkata: "Kepala kedunguan itu marah. Panglima kedunguan itu marah. Barangsiapa rela dengan kebodohan, niscaya ia tidak memer­lukan kesantunan. Kesantunan itu hiasan dan kemanfa'atan. Dan kebo­dohan itu kekurangan dan kerugian. Dan diam daripada menjawab per­tanyaan orang dungu itu, adalah jawabannya".
Mujahid berkata: "Kata Iblis: "Aku tidak dapat dilemahkan oleh anak A­dam. Mereka tidak akan dapat melemahkan aku pada tiga hal yaitu:
1. Apabila salah seorang mereka mabuk, lalu kami ambil dengan talinya, maka kami halau dia kemana kami kehendaki. Dan ia bekerja untuk kami dengan yang kami sukai.
2. Apabila ia marah, niscaya ia berkata dengan apa yang tiada diketahuinya. Dan ia berbuat dengan apa yang disesalinya.
3. Ia kikir dengan apa yang ada dalam tangannya dan ia bercita‑cita (ber­angan‑angan) dengan apa yang tidak disanggupinya.
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (filosuf): "Apakah yang membuat si Anu dapat memiliki (menguasai) dirinya?". Filosuf itu menjawab: "Apa­bila ia tidak dihinakan oleh nafsu syahwatnya, ia tidak dibanting oleh hawa ­nafsunya dan ia tidak dikalahkan oleh kemarahannya". Sebahagian mereka berkata: "Awaslah dari kemarahan! Sesungguhnya marah itu membawa engkau berkesudahan kepada kehinaan meminta ma'­af”. Ada yang mengatakan: "Jagalah dirimu dari kemarahan! Maka sesung­guhnya kemarahan itu, merusakkan iman, sebagaimana buah pahit meru­sakkan madu".
Abdullah bin Mas'ud ra berkata: “Perhatikanlah kepada kelemah‑lembutan orang ketika marahnya dan amanahnya ketika rakusnya! Dan apa yang diajarkan nya engkau dengan kelemah‑lembutannya, apabila ia tidak ma­rah. Dan apa yang diajarkannya engkau dengan amanahnya, apabila ia ti­dak rakus".
Khalifah Umar bin Abdul‑aziz ra menulis surat kepada karyawannya: "Bahwa engkau tidak menghukumkan seseorang, ketika engkau marah. Maka tahanlah orang itu! Lalu apabila kemarahan engkau telah tenang, maka keluarkanlah dia dari tahanan! Lalu hukumkanlah orang itu menurut dosanya. Dan tidak engkau melewati dari 15 kali cemeti!”.
Ali bin Zaid berkata: "Seorang laki‑laki dari Ouraisy telah berkata begitu kasar kepada Khalifah Umar bin Abdul‑aziz. Lalu Umar menekurkan ke­palanya pada masa yang lama. Kemudian, ia berkata: "Aku bermaksud, bahwa aku dikejutkan oleh setan, dengan kemegahan kekuasaan. Maka aku memperoleh daripada engkau pada hari ini, apa yang akan engkau pe­roleh dari padaku pada hari esok”.
Sebahagian mereka berkata kepada anaknya: "Hai anakku! Akal itu tidak tetap ketika marah, sebagaimana tidak tetap nyawa orang yang hidup pada dapur roti yang menyala‑nyala”. Manusia yang paling sedikit marahnya, ialah: “orang yang lebih berakal”. Maka jikalau ia untuk dunia, niscaya adalah ia cerdik dan tipu‑daya. Dan jikalau ia untuk akhirat, niscaya adalah ia lemah‑lembut & berilmu". Ada yang mengatakan: "Marah itu musuh akal & marah itu hantu bagi akal"
Adalah Umar ra apabila berpidato, niscaya ia mengucapkan dalam pida­tonya: "Memperoleh kemenangan dari kamu, orang yang menjaga dirinya dari kerakusan, hawa‑nafsu dan kemarahan". Sebahagian mereka berkata: “Barangsiapa mengikuti nafsu‑syahwatnya dan kemarahannya, niscaya dua hal itu menghalaukannya kepada api neraka".
Al Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Diantara tanda orang muslim, ialah: kuat pada keagamaan, hati‑hati pada kelunakan, iman pada keyakinan, ilmu pada kelemah‑lembutan, pintar pada berteman, memberi pada kebenaran, sederhana pada kekayaan, berbaik‑baik pada kemiskinan, berbuat baik pa­da kekuasaan, menanggung beban pada berteman dan sabar pada kesuka­ran. la tidak dikalahkan oleh marah, tidak dilarikan oleh kesombongan, ti­dak dikalahkan oleh nafsu‑
syahwat, tidak diberi malu oleh perutnya, tidak diringankan oleh kelobaannya dan tidak dipendekkan oleh niatnya. Maka ia menolong orang yang teraniaya. Ia kasih sayang kepada orang yang le­mah. Ia tidak kikir, tidak mubazir, tidak royal (berlebih‑lebihan) dan tidak terlalu berhemat terhadap keluarganya. la memberi ampunan, apabila ia dianiaya dan memberi ma'af, dari orang bodoh, dimana dirinya dalam kesu­sahan dan manusia lain dalam kemewahan".
Orang berkata kepada Abdullah bin AI‑Mubarak: “Terangkanlah kepada kami kesimpulan kebagusan budi‑pekerti dalam suatu kata‑kata!”. Lalu Abdullah menjawab: “Meninggalkan marah". Salah seorang nabi berkata kepada orang yang mengikutinya: "Siapa yang menjamin kepadaku, bahwa ia tidak marah, maka ia bersama aku pada tingkatku. Dan ia sesudahku menjadi khalifahku". Lalu seorang pemuda dari kaum itu menjawab: "Aku!”. Kemudian nabi itu mengulangi lagi pada pemuda tersebut. Lalu pemuda itu menjawab: "A­ku akan menepati jaminan itu". Maka tatkala nabi tersebut meninggal, niscaya pemuda tadi berada pada tingkatnya sesudahnya. Pemuda tadi, ialah: Dzul‑kifli namanya. Ia dinamakan dengan nama tersebut, karena ia menjamin dengan: marah dan menepatinya. Wahb bin Munabbih berkata: "Kufur itu mempunyai 4 sendi, yaitu: marah, nafsu‑syahwat, bodoh  dan loba.
PENJELASAN: hakikat/makna marah.
Ketahuilah, bahwa Allah Ta'ala tatkala menjadikan hewan (mahluk hi­dup) yang mendatangkan kepada kerusakan dan kebinasaan, dengan se­bab‑sebab dalam tubuhnya dan sebab‑sebab diluar tubuhnya, niscaya Allah Ta’ala mencurahkan ni'mat kepadanya, dengan yang memeliharakannya dari kerusakan dan yang menolak nya dari kebinasaan, sampai kepada masa yang dimaklumi, yang disebutkanNYA dalam KitabNYA.
Adapun sebab yang didalam, yaitu: bahwa Allah Ta’ala menyusun kejadian dari panas dan basah. Dan dijadikanNya diantara panas dan basah itu, permusuhan dan berlawa­nan. Maka senantiasalah panas itu menghancurkan basah, mengeringkan dan menguapkannya. Sehingga bahagian‑bahagiannya menjadi uap, yang naik daripadanya. Maka jikalau tidak disambung dengan basah itu oleh pertolongan makanan, yang akan menggantikan yang hancur dan yang menguap dari bahagian‑bahagiannya, niscaya hewan itu rusak.
Lalu Allah Ta’ala menjadikan makanan yang sesuai dengan badan hewan. Dan dijadikanNya pada hewan itu, nafsu keinginan yang menggerakkannya untuk me­ngambil makanan, seperti diwakilkan untuk menampalkan apa yang pecah dan menggantikan apa yang rusak. Supaya adalah yang demikian itu pen­jaganya dari kebinasaan dengan sebab tersebut.
Adapun sebab‑sebab yang di luar, yang didatangi insan, maka ialah, se­perti: pedang, mata tombak dan pembinasa‑pembinasa lainnya yang dimak­sudkan. Maka insan itu memerlukan kepada kekuatan dan kekerasan yang bergolak, dari batiniahnya. Maka tertolaklah pembinasa‑pembinasa itu daripadanya. Maka Allah Ta’ala menjadikan sifat marah itu dari api. Dan dijadikanNya sifat itu menjadi gharizah/instink  pada insan. Dan dira­maskanNya dengan lumpurnya. Maka manakala ia terhambat, dari salah satu hajatnya dan salah satu dari maksudnya, niscaya menyalalah api kema­rahannya. Dan api itu berkobar, yang menjadikan darah hati itu mendidih dan berhamburan pada urat‑urat. Dan meninggi kebahagian badan sebelah atas sebagaimana meningginya api. Dan sebagaimana meningginya air yang dipanaskan dalam periuk. Maka karena itulah tertuang kepada muka. Lalu muka dan mata itu merah. Sedang kulit, karena jernihnya, membayangkan warna merah darah di se­baliknya, sebagaimana kaca membayangkan warna barang padanya. Sesungguhnya darah itu mengembang, apabila seseorang memarahi orang di bawahnya dan merasa berkuasa terhadap orang itu. Jikalau kemarahan itu timbul terhadap orang yang di atasnya dan ia berputus asa untuk mem­balas dendam, niscaya terjadilah kekecutan darah dari permukaan kulit, sampai kepada rongga hati. Dan jadilah ia bergundah hati. Dan karena, itulah warna menjadi kuning. Dan jikalau kemarahan itu terjadi, terhadap orang yang sebanding, yang ragu ia padanya, niscaya darah itu bulak‑balik antara kecut dan mengem­bang. Lalu ia berwama merah, menguning dan menggeletar.
Kesimpulannya: kekuatan marah itu, tempatnya hati. Dan artinya: meng­gelegak darah hati, untuk menuntut balas. Dan kekuatan itu ditujukan ke­tika berkobarnya, kepada menolak yang menyakitkan, sebelum terjadi. Dan kepada kesembuhan dan menuntut balas, sesudah terjadi. Menuntut balas itu adalah makanan kekuatan tersebut dan keinginannya. Dan pada menuntut balas itu kesenangannya. Ia tidak tenteram, selain de­ngan menuntut balas Kemudian, sesungguhnya manusia pada kekuatan ini, terbagi kepada 3 tingkat  pada permulaan kejadiannya (fitrahnya): yaitu dari tafrith(sangat berkurang), ifrath(berlebih-lebihan) dan i'tidal(batas sedang), maka dengan tidak‑adanya kekuatan ini atau dengan lemahnya. Dan yang demikian itu tercela. Yaitu, yang dikatakan: bahwa orang itu tidak mempunyai kepanasan hati.
Dan karena itulah Imam Asy‑Syafi'i ra berkata: "Orang yang diperbuat sesuatu untuk marah, lalu ia tidak marah, maka orang itu keledai" Orang yang tiada mempunyai sedikit pun kekuatan marah dan kepanasan hati, maka orang tersebut itu kurang sekali.
Allah S.W.T. menyifatkan sha­habat‑shahabat Nabi saw dengan syiddah/sikap keras, dan kepanasan hati. Allah berfirman: "Muhammad itu Utusan Allah!  Dan orang‑orang yang beriman dengan dia, bersikap keras terhadap orang‑orang kafir, bersifat kasih‑sayang antara sesama mereka". S 48 AI Fath ayat 29. Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNYA: "Hai Nabi! Berjuanglah dengan sungguh‑sungguh melawan o­rang‑orang kafir dan orang‑orang munafik (beriman palsu), dan bersikap keraslah terhadap mereka! Tempat diam mereka adalah neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang amat buruk". S 66 At Tahrim ayat  9. Sikap keras dan tegas itu, termasuk diantara bekas‑bekas kekuatan kepa­nasan hati. Yaitu: marah. 
Adapun ifrath (berlebih‑lebihan), yaitu, bahwa sifat ini (sifat marah) yang menang, sehingga ia keluar dari kebijaksanaan akal, agama dan keta'atan­nya. Dan tidak tinggal lagi bagi manusia itu, penglihatan hati, pandangan dan pi­kiran. Dan tak ada usaha. Tetapi ia menjadi dalam bentuk orang yang ter­paksa. Sebab kemenangan marah itu, beberapa keadaan gharizab (instink) dan be­berapa keadaan kebiasaan (adat kebiasaan). Maka banyaklah manusia de­ngan fitrahnya, tersedia untuk cepat marah. Sehingga seolah‑olah bentuk­nya pada fitrahnya (kejadiannya) itu, bentuk orang pemarah. Dan meno­long kepada yang demikian, oleh panas tabiat hati. Karena marah itu dari api, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. Dan sesungguhnya, dinginnya tabiat itu, memadamkan marah dan meme­cahkan tanda‑tandanya.
Adapun sebab‑sebab kebiasaan, yaitu: ia bercampur‑baur dengan suatu ka­um yang menyombong dengan kesembuhan marah dan menta'ati marah. Dan mereka menamakan yang demikian itu: keberanian dan kelaki‑laki­an. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan: "Aku orang yang tidak sa­bar atas penipuan dan kemustahilan. Dan aku, tidak tanggung sesuatu uru­san dari seseorang". Artinya: “Tak ada akal padaku dan tak ada kelemah ­lembutan". Kemudian disebutkan nya dalam mengemukakan kesombongan dengan kebodohannya. Maka barangsiapa mendengarnya, niscaya melekat pada dirinya, kebagusan marah dan kesukaan menyerupai dengan kaum tersebut. Maka dengan demikian kuatlah marahnya. Manakala bersangatan api kemarahan dan kuat menyalanya, niscaya Mem­butakan yang punya api itu dan menulikan nya dari setiap pengajaran. Ma­ka apabila ia diberi pengajaran, niscaya tidak didengarnya. Bahkan yang demikian menambahkan kemarahannya. Dan apabila ia memperoleh caha­ya dengan nur akaInya dan ia kembali kepada dirinya, niscaya ia tidak sang­gup. Karena nur akaInya padam dan terus tersapu dengan asap kemarahan. Sesungguhnya tambang fikiran itu otak. Dan naiklah asap yang gelap ketika bersangatan marah, dari menggelagaknya darah hati, keotak, yang mengua­sai tambang‑tambang pikiran. Dan kadang‑kadang ia melampaui kepada tambang‑tambang perasaan. Lalu matanya gelap, sehingga ia tidak melihat dengan matanya itu. Dan menghitamlah dunia kepadanya seluruhnya. Dan adalah otaknya seumpama gua, yang menggelegak api didalamnya. Lalu udaranya hitam dan tempatnya itu panas dan sekelilingnya penuh de­ngan asap. Dan ada padanya lampu yang lemah sinarnya. Lalu terhapus a­tau padam cahayanya. Maka tidak tetap tapak kaki padanya. Tidak terde­ngar padanya perkataan. Tidak terlihat padanya suatu bentukpun. Dan ti­dak sanggup ia memadamkannya, baik dari dalam atau dari luar. Akan te­tapi sayogialah bersabar, sampai terbakar semua yang dapat dibakar. Maka begitulah kiranya, marah itu berbuat dengan hati dan otak.
Dan ka­dang‑kadang api kemarahan itu kuat. Lalu melenyapkan basah, dimana de­ngan basah itu, hidup hati. Maka matilah yang punya hati, karena kema­rahan. Sebagaimana kuatnya api dalam gua, Ialu gua itu runtuh dan pecah bahagian atasnya, keatas bahagian bawahnya. Dan yang demikian itu, ka­rena dirusakkan oleh api, kekuatan sekelilingnya, yang menyikat, yang me­ngumpulkan bahagian‑bahagian gua. Maka beginilah haInya hati ketika marah. Dan pada hakikat/maknanya, sebuah pe­rahu dalam hempasan ombak ketika kekacauan angin, ditengah lautan itu, lebih baik haInya dan lebih besar harapan selamat, dibandingkan dengan ji­wa yang kacau, karena kemarahan. Karena dalam perahu itu, ada orang yang berdaya‑upaya menenteramkan dan mengaturkannya. Dan melihat dan memimpinkannya.
Adapun hati, maka dialah yang punya perahu. Dan telah berguguranlah daya‑upayanya. Karena ia dibuatkan oleh kemarahan dan ditulikannya. Diantara bekas‑bekas kemarahan Ini pada zahir, ialah: berobah warna, ke­sangatan gementar pada sendi‑sendi badan, keluarnya perbuatan, tanpa ter­tib dan teratur, kacaunya gerak dan perkataan. Sehingga lahirlah buih pada tepi mulut, merahlah biji mata, berbalikIah hidung dan berobahlah bentuk tubuh. Dan jikalau orang yang sedang marah itu melihat kekejian bentuknya, ketika sedang marah, niscaya akan tenang kemarahannya. Karena ma­lu dari kekejian bentuknya dan perobahan kejadiannya. Dan kekejian ba­tiniyahnya itu lebih besar, dibandingkan dengan kekejian zahiriyahnya. Se­sungguhnya zahiriyah itu, suatu tanda (alamat) bagi batiniyah. Dan yang pertama‑tama, sesungguhnya buruk bentuk batiniyah. Kemudian, yang ke­dua berkembang keburukannya kepada zahiriyah. Lalu berobahlah zahir­iyah, sebagai buah (hasil perobahan batiniyah). Maka bandingkanlah antara buah dengan yang membuahkan. Maka inilah bekasnya pada tubuh!
Adapun bekasnya pada lidah, maka yaitu: lancarnya memaki dan berkata keji, dimana orang yang berakal malu daripadanya. Dan orang yang me­ngatakannya pun, malu ketika kemarahan sudah menurun. Dan yang demi­kian, serta binasanya peraturan dan kacaunya kata‑kata.
Adapun bekasnya pada anggota badan, maka, yaitu: pemukulan, penye­rangan, pengoyakan pakaian, pembunuhan dan pelukaan, ketika mungkin yang demikian, tanpa ambil pusing. Maka jikalau yang dimarahi itu lari da­ripadanya atau tidak dapat dikejar oleh sesuatu sebab dan orang yang ma­rah itu lemah dari kesembuhan amarahnya, niscaya kemarahan itu kembali kepada yang marah sendiri. Lalu ia mengoyakkan kainnya sendiri dan menempeleng dirinya. Dan kadang‑kadang ia memukul lantai dengan ta­ngannya. Dan ia berlari‑lari, sebagaimana larinya orang yang terganggu pi­kiran, yang mabuk dan orang yang tercengang keheranan. Kadang‑kadang ia jatuh tersungkur, tidak sanggup lari dan bangkit berdiri, disebabkan ke­sangatan marah. Dan menimpa atas dirinya, seperti pingsan. Kadang‑ka­dang ia memukul barang keras dan binatang. Lalu dipukulnya‑umpamanya‑piring diatas lantai. Kadang‑kadang dipecahkannya meja makan, apabila ia marah kepada meja makan. Ia berbuat perbuatan‑perbuatan orang gila. Lalu dimakinya binatang dan benda‑benda keras Dan ditujukannya ucapan kepada benda‑benda itu. Dan dikatakannya: "Sampai kapan ini dari eng­kau, hai begitu‑begitu. Seolah‑olah ia menujukan pembicaraan kepada yang berakal. Sehingga kadang‑kadang, ia disepak oleh hewan, Ialu ia me­nyepak hewan itu. Dan ditantangnya hewan tersebut dengan demikian.
Adapun bekasnya pada hati serta orang yang dimarahi, maka, yaitu: den­dam, dengki, menyembunyikan yang buruk, memaki‑maki dengan yang ja­hat, susah kalau yang dimarahi senang‑gembira, bercita‑cita membuka raha­sia, merusakkan tabir yang menutup hal‑hal yang memalukan yang dima­rahi, mengejek dan kekejian ‑ kekejian yang lain dari yang demikian. Inilah buah (hasil) kemarahan yang bersangatan!
Adapun buah (hasil) kepanasan hati yang lemah, maka, yaitu: sedikitnya sombong daripada yang disombongkan, daripada menyinggung kepada mahram (orang yang haram dikawini), istri dan budak wanita dan me­nanggung kehinaan dipermain‑mainkan dengan kezaliman, kecil jiwa dan kehinaan. Dan itu juga tercela. Karena diantara buahnya (hasilnya) ialah: tiada cemburu terhadap mahram. Dan itu adalah sifat kewanitaan. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Saad itu pencemburu dan aku lebih cemburu dari Saad. Dan sesungguhnya Allah lebih cemburu daripadaku". Sesungguhnya dijadikan cemburu itu, untuk pemeliharaan keturunan. Jika­lau manusia sangat berlapang dada (bertoleransi) dengan yang demikian, niscaya bercampur‑aduklah keturunan. Dan karena itulah dikatakan: tiap-tiap ummat itu diletakkan cemburu pada laki‑lakinya dan diletakkan pen­jagaan diri pada kaum wanitanya. Sebahagian dari lemahnya kemarahan itu, kelemahan hati dan berdiam diri ketika melihat perbuatan munkar.
Nabi saw bersabda: "Sebaik‑baik ummatku itu, orang‑orang yang paling keras".  Ya'ni:  pada agama. Allah Ta’ala berfirman: "Janganlah sayang kepada keduanya (perempuan dan laki‑laki yang berzina) dalam menjalankan (hukum) Allah".  S 24 An Nur ayat 2. Bahkan, siapa yang ketiadaan marah, niscaya ia lemah daripada melatih dirinya. Karena tiada sempurna latihan, selain dengan mengeraskan kema­rahan atas nafsu‑syahwat. Sehingga ia marah kepada dirinya, ketika cen­derung kepada nafsu‑syahwat yang keji. Maka ketiadaan marah itu tercela. Dan sesungguhnya yang terpuji, ialah marah yang menunggu isyarat (penunjukan) akal dan agama. Lalu marah itu bangkit, ketika wajib kepanasan hati dan padam, dimana baik kelemah‑lembutan. Menjaga marah kepada batas sedang (i'tidal) itu, ialah: berdiri lurus (istiqamah) yang diberatkan (di‑taklif‑kan) oleh Allah kepada hambaNYA. Yaitu: ditengah‑tengah (wasath) yang disifatkan oleh Rasulu'llah saw di­mana beliau bersabda: "Sebaik‑baik pekerjaan, ialah: yang ditengah‑tengahnya". Maka siapa yang marahnya cenderung kepada kelesuan, sehingga ia merasa dirinya kelemahan cemburu dan kehinaan diri pada menanggung kehinaan dan kezaliman pada tidak tempatnya, maka sayogialah ia mengobati diri­nya, sehingga kuatlah marahnya. Dan siapa yang cenderung marahnya ke­pada berlebih‑lebihan, sehingga menarikkannya kepada sangatnya berani (at‑tahawwur) dan melakukan perbuatan‑perbuatan keji, maka sayogialah ia mengobati dirinya, supaya berkurang dari tanda kemarahan. Dan berdiri diatas yang tengah‑tengah yang benar diantara dua tepi. Maka itulah jalan yang lurus (ash‑shiratul‑mustaqim). Dan jalan itulah yang lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari pedang. Maka kalau ia lemah daripadanya, niscaya hendaklah ia mencari kedekatan daripadanya. 
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri‑isterimu, biar kamu sangat ingin (berbuat begitu). Sebab itu, janganlah kamu terlampau miring (dari yang satu), sehingga kamu biarkan dia sebagai tergan­tung". S 4 An Nisaa' ayat 129.
Maka tidaklah tiap‑tiap orang yang lemah daripada berbuat kebajikan se­luruhnya, lalu sayogialah berbuat kejahatan seluruhnya. Tetapi, sebahagian kejahatan itu lebih rendah dari sebahagian. Dan sebahagian kebajikan itu lebih tinggi dari sebahagian. Maka inilah hakikat/makna marah dan tingkat‑ tingkatnya! Kita meminta pada Al­lah akan kebaikan taufiq, bagi apa yang diridoiNYA. Sesungguhnya DIA amat berkuasa atas apa yang dikehendakiNYA.
PENJELASAN;   marah, adakah mungkin dihilangkan pokoknya dengan latihan atau tidak?
Ketahuilah, bahwa disangka oleh orang‑orang yang menyangka, bahwa penghapusan marah itu dapat digambarkan secara keseluruhan. Mereka menda'wakan, bahwa latihan dapat ditujukan kepada penghapusan marah. Dan dimaksudkan kepadanya. Dan suatu pihak yang lain menyangka, bah­wa marah itu suatu pokok, yang tidak dapat diobati. Dan ini adalah pen­dapat orang yang menyangka, bahwa tingkah laku (perangai) itu seperti kejadian tubuh (bentuk tubuh). Keduanya tidak dapat dirobah. Kedua pendapat tadi lemah. Tetapi yang benar, ialah, apa yang kami se­butkan. Yaitu, bahwa: tidaklah kekal manusia itu mencintai sesuatu dan membenci sesuatu. Maka ia tidak terlepas daripada meradang dan marah. Dan selama bersesuaian dengan dia sesuatu dan menyalahi dengan dia, se­suatu yang lain maka tak boleh tidak, bahwa ia menyukai yang bersesuaian dengan dia dan membenci yang menyalahi dengan dia. Dan marah itu me­ngikuti yang demikian. Sesungguhnya manusia itu, manakala diambil dari­padanya yang disukainya, niscaya sudah pasti ia marah. Dan apabila ditu­jukan kepadanya yang dibencinya, niscaya sudah pasti ia marah. Hanya a­pa yang disukai manusia itu terbagi kepada 3 bahagian:
          Pertama: apa yang penting pada hak umumnya manusia, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian & kesehatan badan. Maka siapa yang mau dipu­kul badan nya atau dilukai, maka tidak boleh tidak, ia akan marah. Begitu juga apabila diambil kainnya, yang menutupi auratnya. Dan begitu pu­la, apabila ia dikeluarkan dari rumahnya, yang menjadi tempat tinggaInya. Atau dituangkan airnya, yang digunakan untuk menghilangkan kehausan­nya. Maka semua yang tersebut tadi itu penting. Tidak terlepaslah manusia, dari kebencian dengan hilangnya. Dan dari pada sangat marah ter­hadap orang yang menyinggungnya.
          Kedua:  apa yang tidak penting bagi seseorang manusia, seperti: ke­megahan, harta banyak, budak belian, & binatang ternak. Semua yang tersebut ini, adalah disukai, menurut kebiasaan. Dan bodoh, dengan mak­sudnya hal‑hal tersebut. Sehingga, jadilah emas & perak itu dicintai pada diri kedua benda tersebut. Lalu keduanya disimpan & dimarahi orang yang mencurinya. Walaupun ia tidak memerlukan emas & perak itu, pa­da makanan. Maka jenis ini, termasuk yang digambarkan, bahwa: manusia dapat terle­pas dari pokok keberangan (kemarahan) kepadanya. Maka apabila ia mem­punyai rumah yang lebih dari tempat tinggaInya, lalu rumah itu dibongkar oleh orang zalim, maka bolehlah ia tidak marah. Karena boleh ia dapat melihat urusan duniawi. Lalu ia menjadi zahid (orang zuhud), mengenai tambahan dari yang diperlukan. Maka ia tidak marah dengan diambil orang, rumah itu. Karena ia tidak menyukai akan adanya. Dan kalau ia menyukai akan adanya, niscaya sesungguhnya, dapat dipahami dengan mudah, ia ma­rah dengan diambil orang rumah tersebut. Kebanyakan marah manusia itu, pada apa yang tidak penting (yang tidak merupakan hajat hidup yang vital), seperti kemegahan, suaranya didengar orang, mendapat tempat dimuka dalam majelis, bermegah‑megahan dalam ilmu‑pengetahuan. Maka orang yang keras kecintaannya kepada yang ter­sebut itu, tidak mustahil, ia akan marah, apabila didesak oleh orang lain ­yang mendesaknya, pada tempat dimuka dalam perayaan‑perayaan. Dan orang yang tiada menyukai demikian, maka ia tidak perdulikan, walaupun ia didudukkan pada barisan sandal (barisan terakhir). Ia tidak marah, apa­bila orang lain duduk diatasnya.
                         Kebiasaan yang rendah ini, ialah yang memperbanyakkan manusia suka dan manusia benci. Lalu membanyakkan marahnya. Dan manakala kehen­dak dan nafsu‑keinginan itu, lebih banyak, niscaya adalah yang punya ke­hendak dan nafsu‑keinginan itu, menurun dan mengurang darajatnya. Ka­rena hajat keperluan itu, adalah suatu sifat kekurangan. Maka manakala hajat keperluan itu banyak, niscaya banyaklah kekurangan. Dan orang bodoh itu selalu berusaha menambahkan hajat keperluannya & nafsu‑keinginannya. la tidak tahu, bahwa ia membanyakkan sebab du­ka‑cita dan kegundahan. Sehingga sampailah sebahagian orang‑orang bo­doh, dengan adat‑kebiasaan yang rendah & pergaulan dengan teman‑te­man jahat, bahwa ia marah, jikalau dikatakan kepadanya: "Bahwa engkau tidak pandai main burung & main catur. Engkau tidak sanggup minum khamar banyak & makan makanan banyak". Dan sifat‑sifat kehinaan la­in, yang serupa dengan itu. Maka kemarahan atas jenis ini , tidaklah hal penting. Karena menyukainya, tidaklah penting.
          Ketiga:  ialah hal yang menjadi penting pada sebahagian manusia, tidak pada sebahagian manusia lainnya. Umpamanya:  buku pada orang yang berilmu. Karena ia memerlukan kepada buku itu, lalu ia mencintai­nya. Maka ia marah kepada orang yang membakar dan yang meneng­gelamkan buku itu dalam air. Begitu pula alat‑alat perusahaan pada seo­rang pengusaha, yang tidak mungkin ia memperoleh makanan, selain de­ngan alat‑alat tersebut. Maka sesungguh nya, apa yang menjadi jalan, kepada yang penting dan yang dicintai, niscaya menjadi penting dan dicintai. Dan ini berbeda menurut masing‑masing orang. Dan kecintaan yang penting, ialah apa yang diisyaratkan oleh Rasulu'llah saw dengan sabdanya: “Barangsiapa merasa aman pada dirinya, sehat‑afiat pada badan­nya dan mempunyai makanan harinya, maka seakan‑akan dikumpulkan dunia dengan seluruhnya baginya”. Orang yang melihat hakikat/makna segala persoalan dan diserahkan kepadanya tiga hal tadi, niscaya tergambarlah, bahwa ia tiada akan marah pada lain­nya. Maka inilah tiga perkara! Kami akan menyebutkan tujuan latihan  pada ma­sing‑masing daripadanya.
          Adapun bahagian pertama, maka tidaklah latihannya untuk meniadakan kemarahan hati. Akan tetapi, supaya ia sanggup untuk tidak menta'ati ma­rah. Dan tidak dipakainya marah itu pada zahiriyahnya, selain pada batas yang disukai oleh Agama dan dipandang baik oleh akal. Dan yang demi­kian itu, mungkin dengan mujahadah/bersungguh-sungguh, menanggung beratnya kelemah‑lembutan dan tanggungan, pada suatu tempo. Sehingga kelemah‑lembutan dan tanggungan itu, menjadi budi‑pekerti yang mantap. Adapun mengalihkan pokok kemarahan dari hati, maka yang demikian i­tu, tidaklah kehendak tabiat. Dan itu tidak mungkin. Benar, mungkin me­mecahkan tandanya dan melemahkannya, sehingga tidak bersangatan menggelegaknya kemarahan pada batin. Dan berkesudahan lemahnya, se­hingga tidak lahir bekasnya pada muka. Tetapi yang demikian itu berat se­kali. Ini hukum bahagian ketiga juga. Karena apa yang menjadi penting pada pi­hak seseorang, maka tidak mencegahnya dari kemarahan, lantaran orang lain tidak memerlukan kepadanya. Maka latihan padanya itu, mencegah berbuat dan melemahkan menggelegaknya pada batin. Sehingga tidak ber­sangatan merasa pedihnya, bersabar pada yang demikian.
          Adapun bahagian keduamaka mungkin tercapai dengan latihan, sampai kepada terlepas dari kemarahan. Karena mungkin dikeluarkan kesukaan­nya dari hati. Dan yang demikian itu dengan diketahui oleh manusia, bah­wa tanah airnya itu kuburan dan tempat menetapnya itu akhirat. Dan se­sungguhnya dunia itu, tempat menyeberang, yang akan diseberangi diatas­nya. Dan dicari perbekalan dari dunia itu, sekadar yang penting. Dan dibalik yang demikian itu, adalah bencana pada tanah airnya dan tem­pat menetapnya.  Maka ia menjadi zahid (orang zuhud) di dunia dan ter­hapus kecintaan dunia, dari hatinya. Jikalau adalah seorang insan mempunyai seekor anjing yang tiada dicinta­inya, niscaya ia tidak marah, apabila anjing itu dipukul orang. Maka marah itu mengikuti kecintaan. Dan latihan pada ini, berkesudahan kepada mengalihkan pokok kemarah­an. Dan itu jarang sekali. Dan kadang‑kadang latihan itu berkesudahan kepada mencegah daripada pemakaian kemarahan dan berbuat dengan yang diwajibkannya. Dan itu lebih mudah. Kalau anda berkata, bahwa yang penting dari bahagian pertama, ialah: merasa pedih dengan hilangnya barang yang diperlukan, bukan marah. Maka orang yang mempunyai seekor kambing‑umpamanya dan kambing itu menjadi makanannya, lalu mati, niscaya ia tidak akan marah kepada seseorang, walaupun terjadi pada peristiwa itu, hal yang tidak disukainya. Dan tidaklah menjadi hal penting, bahwa tiap-tiap yang tidak disenangi itu kemarahan.
                     Sesungguhnya manusia merasa sakit dengan dibe­tik/dikatakan dengan nyata dan dibekam/dibicarakan dan tidak marah kepada pembetik/pembuat kenyataan dan pembekam/pembicaraan itu. Maka orang yang kuat keesaannya, sehingga ia melihat segala sesuatu itu tangan Allah dan daripada Allah, maka ia tidak marah kepada seseorang daripada makhlukNYA. Karena ia melihat mereka terbuat demikian, dalam geng­gaman qudrah ( kuasa )NYA, seperti pena pada tangan penulis. Dan orang yang di­tanda‑tangani oleh raja memotong lehernya itu, tidak marah kepada pena. Maka ia tidak akan marah kepada orang yang menyembelih kambingnya, yang menjadi makanannya. Sebagaimana ia tidak marah atas kematian kambing itu. Karena ia melihat penyembelihan dan kematian itu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Lalu tertolaklah kemarahan dengan kuatnya keesaan. Dan tertolak juga kemarahan itu, dengan baik sangka kepada Allah. Yaitu bahwa: ia melihat, bahwa semua itu dari Allah. Dan Allah tidak mentaqdirkan baginya, selain yang padanya kebaikan. Dan kadang‑kadang ada kebaikan itu, pada sakitnya, laparnya, lukanya dan terbunuhnya. Lalu ia tidak marah, sebagaimana ia tidak marah kepada pembetik dan pembekam. Karena ia melihat, bahwa kebajikan itu padanya. Lalu kami mengatakan, bahwa ini atas cara ini, adalah tidak mustahil. Tetapi kekerasan keesaan sampai kepada batas ini, sesungguhnya adalah se­perti kilat yang menyambar, yang akan keras pada hal‑hal yang disambar. Dan tidak berkekalan. Dan hati itu kembali secara tabiat kepada yang di­tengah‑tengah, yang tidak dapat ditolak. Jikalau tergambarlah selalu yang demikian bagi manusia, niscaya tergam­barlah bagi Rasulu'llah saw Sesungguhnya adalah beliau itu marah, se­hingga merahlah dua biji matanya. Sehingga beliau berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Aku adalah manusia pemarah, sebagaimana marahnya manusia. Maka siapa saja orang muslim, yang aku maki atau aku kutuk atau aku pukul, maka jadikanlah itu daripadaku sebagai shalat kepadanya, sebagai zakat dan pendekatan, yang mendekatkannya kepada ENGKAU pada hari kiamat!”.
                     Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash berkata: "Wahai Rasulu'llah! Tulislah dari engkau, setiap yang engkau ucapkan pada kemarahan dan kerelaan!”. La­lu Rasulu'llah saw menjawab: "Tulislah! Demi Allah yang mengutuskan aku dengan kebenaran sebagai nabi! Tiadalah keluar dari ini, selain yang benar". Beliau mengisyaratkan kepada lidahnya. Nabi saw tidak mengatakan: "Bahwa aku tidak marah". Akan tetapi be­liau mengatakan: "Bahwa kemarahan itu tidak mengeluarkan aku dari ke­benaran". Artinya: "Aku tidak berbuat, dengan yang dimestikan oleh ke­marahan" Pada suatu kali ‘Aisyah marah. Lalu Rasulu'llah saw bersabda ke­padanya: "Apakah engkau ini, datang setan engkau kepada engkau?”. 'Aisyah menjawab: "Apakah bagi engkau setan?”. Nabi saw menjawab: "Ya!”. Tetapi aku berdo'a kepada Allah, Ialu IA menolong aku atas setan. Maka setan itu menyerah, Ialu tidak menyuruh aku, selain de­ngan kebajikan". Nabi saw tidak mengatakan “Tak ada setan bagiku". Dan yang beliau maksudkan: setan kemarahan. Akan tetapi beliau mengatakan: "la tidak membawa aku kepada kejahatan". 
                     Ali ra berkata: "Adalah Rasulu'llah saw tidak marah karena dunia. Apabila beliau menjadi marah oleh kebenaran, niscaya tiada seorangpun yang mengenalinya. Dan tiada bangun sesuatu karena kemarahannya, se­hingga beliau memperoleh kemenangan untuk kebenaran itu". Maka adalah Rasulu'llah saw marah diatas kebenaran. Dan jikalau kemarahannya itu karena Allah, maka pada umumnya berpaling kepada yang ditengah‑tengah. Bahkan setiap orang yang marah kepada orang yang mengambil makanannya yang penting dan keperluannya, yang tidak boleh tidak pada agamanya, maka sesungguhnya orang itu marah karena Allah. Dan tidaklah mungkin terlepas daripadanya. Benar, kadang‑kadang pokok kemarahan itu tak ada pada apa yang penting, apabila hatinya sibuk, dengan hal penting yang lebih penting daripadanya. Maka tidak adalah dalam hati itu, tempat yang lebih luas bagi kemarahan, karena sibuknya hati dengan yang lain. Maka sesungguhnya tenggelamnya hati dengan sebahagian kepentingan itu, mencegah ia merasa dengan yang lain.
                     Dan ini, adalah seperti Salman AI‑Farisi ra tatkala ia dimaki orang, lalu menjawab: "Jikalau ringanlah timbangan amalanku, maka aku itu lebih jahat daripada yang engkau katakan. Dan jikalau beratlah timbangan amal­anku, niscaya tidak mendatangkan melarat akan aku, oleh apa yang engkau katakan". Sesungguhnya perhatian Salman waktu itu terarah kepada akhirat. Maka ti­ada membekas hatinya dengan makian.
                     Begitu pula, Ar‑Rabi bin Khaitsam dimaki orang. Lalu ia menjawab: "Hai saudara ini! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan engkau. Se­sungguhnya dimuka sorga itu sebuah jalan. Jikalau aku dapat memotong­nya, niscaya tidak mendatangkan melarat bagiku oleh apa yang engkau ka­takan. Dan jikalau aku tidak dapat memotongnya, maka adalah aku itu lebih jahat daripada yang engkau katakan".
                     Seorang laki‑laki memaki Abubakar ra Lalu beliau menjawab: "Apa yang ditutup oleb Allah dari penglihatan engkau itu lebih banyak". Maka seakan‑akan beliau sedang sibuk memperhatikan keteledoran dirinya, dari pada bertaqwa kepada Allah dengan sebenar‑benar taqwa dan mengenal­Nya dengan sebenar‑benar ma'rifah. Maka tidak membawa ia marah oleh singgungan orang lain akan dirinya dengan kekurangan. Karena ia telah melihat kepada dirinya akan kekurangan itu. Dan yang demikian, karena keagungan derajatnya.
                     Seorang wanita berkata kepada Malik bin Dinar AI‑Bashari: "Hai orang ria Lalu Malik menjawab: “Tiada yang mengenal aku, selain engkau". Adalah seolah‑olah Malik itu sedang sibuk, meniadakan dari dirinya baha­ya ria. Dan menentang kepada dirinya, akan apa yang dicampakkan oleh setan kepadanya. Maka ia tidak marah terhadap apa yang dilekatkan kepadanya.
           Seorang laki‑laki memaki Asy‑Sya’bi Lalu Asy‑Sya’bi menjawab: “Jikalau engkau benar, maka kiranya Allah ngampunkan dosaku. Dan jikalau engkau dusta, maka kiranya Allah mengampunkan dosa engkau". Maka kata‑kata tadi menunjukan pada zahiriyahnya, bahwa mereka itu tidak marah. Karena kesibukan hati mereka dengan kepentingan agama. Dan mungkin, bahwa yang demikian itu sudah membekas pada hati mere­ka. Akan tetapi, mereka tidak sibuk dengan yang demikian, Dan mereka sibuk, dengan apa yang lebih mengeras pada hati mereka. Jadi, kesibukan hati dengan sebahagian kepentingan itu, tidak jauh, untuk mencegah bergejolaknya kemarahan, ketika hilang sebahagian yang dicintai. Jadi tergambarlah hilangnya kemarahan: adakalanya disebabkan kesibukan hati dengan suatu kepentingan atau dengan kerasnya perhatian kepada keesaan.
Adapun bahagian ketiga Atau dengan sebab ketiga, yaitu: bahwa ia mengetahui, sesungguhnya Allah menyukai, bahwa ia tidak marah. Maka dipadamkan oleh kesangatan cintanya kepada Allah, akan kemarahannya. Dan yang demikian itu tidak mustahil pada hal‑hal yang jarang terjadi. Sesungguhnya dengan yang tersebut diatas, anda telah mengetahui, bahwa jalan untuk terlepas dari api kemarahan, ialah: menghapuskan kecintaan dunia dari hati. Dan yang demikian, dengan mengetahui bahaya dunia dan tipu‑dayanya, sebagaimana akan datang penjelasan pada "Kitab Tercelanya Dunia”. Dan orang yang mengeluarkan dari hatinya, kecintaan hal‑hal yang berlebihan/hal‑hal yang tidak perlu, niscaya ia terlepas dari kebanyakan sebab‑sebab kemarahan. Dan apa yang tidak mungkin dihapuskan itu, mungkin dipe­cahkan dan dilemahkan. Lalu lemahlah kemarahan dengan sebab yang de­mikian. Dan mudahlah menolaknya. Kita bermohon kepada Allah, akan kebagusan taufiq, dengan kasih‑sayang dan kemurahanNYA. Sesungguhnya DIA Maha Kuasa atas tiap sesuatu. Dan segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
PENJELASAN, sebab‑sebab yang mengobarkan kemarahaan
Anda sudah mengetahui bahwa pengobatan tiap‑tiap penyakit itu memo­tong bendanya (maddahnya) dan menghilangkan sebab‑sebabnya. Maka tak dapat tidak, daripada mengetahui sebab‑sebab kemarahan. Bertanya Yahya kepada nabi Isa as: “Barang apakah yang lebih berat?" Isa as men­jawab: "Kemarahan Allah Ta'ala!”  Yahya bertanya lagi: "Apakah yang mendekati dengan kemarahan Allah?". Isa as menjawab: "Yaitu, bahwa engkau marah". Yahya bertanya pula: "Apakah yang melahirkan kemarahan dan apakah yang menumbuhkannya”. Isa as menjawab: "Takabur, keangkuhan, merasa diri lebih mulia dan ke­panasan hati". Sebab‑sebab yang mengobarkan kemarahan itu, ialah: merasa kemegahan diri,mengherani diri, suka bersenda gurau, bermain‑main, mengejek, memalukan orang, suka bermusuhan, berlawanan, menyalahi janji, sangat loba kepada berlebihan harta & kemegahan. Semua yang tersebut diatas, adalah budi‑pekerti jelek yang tercela pada A­gama. Dan tidak akan terlepas dari kemarahan, serta tetapnya sebab‑sebab tersebut. Maka tidak boleh tidak, daripada menghilangkan sebab‑sebab ta­di dengan lawan‑lawannya. Maka sayogialah anda mematikan perasaan kemegahan diri, dengan pera­saan rendah diri. Dan anda mematikan sifat mengherani diri dengan anda mengenal diri anda sendiri, sebagaimana akan datang penjelasannya pada "Kitab Takabur Dan Ujub”.
Anda menghilangkan si­fat membanggakan diri, dengan anda merasa, bahwa anda sejenis dengan budak anda. Karena manusia itu dikumpulkan pada keturunan oleh satu bapa (Adam as). Hanya mereka berbeda dalam pecahan‑pecahan tentang kelebihan. Maka anak Adam itu adalah satu jenis. Dan kesombongan itu, ialah dengan kelebihan‑kelebihan. Sombong, 'ujub dan takabur itu sifat ke­hinaan yang paling besar. Dan itu adalah pokok dan kepalanya.
-        Apabila sifat‑sifat itu tidak terlepas dari engkau, maka tiada kelebihan engkau atas orang lain. Maka mengapakah engkau menyombongkan, pada hal engkau adalah dari jenis budak engkau, dari segi bentuk tubuh, keturunan dan ang­gota badan, lahiriyah dan batiniyah? 
-        Adapun bersenda‑gurau, maka anda dapat menghilangkannya dengan me­nyibukkan diri dengan kepentingan‑kepentingan agama, yang menghabis­kan umur. Dan anda utamakan dari bersenda‑gurau, apabila anda menge­tahui yang demikian. 
-        Adapun bermain‑main, maka engkau dapat menghilangkannya dengan ke­sungguhan mencari keutamaan, budi‑pekerti yang baik dan pengetahuan keagamaan, yang menyampaikan engkau kepada kebahagiaan akhirat. 
-        Adapun mengejek, maka engkau dapat menghilangkannya, dengan pemuli­aan, dari pada menyakitkan manusia dan dengan menjaga diri daripada engkau diejekkan orang.
-        Adapun memalukan orang, maka dengan menjaga dari perkataan keji dan menjaga diri dari kepahitan jawaban.
-        Adapun kesangatan loba kepada kelebihan kehidupan, maka engkau dapat hilangkan dengan sifat merasa cukup(qana'ah), sekadar perlu, karena mencari kemuliaan sifat tidak memerlukan kepada sesuatu dan mengangkatkan diri dari kehinaan banyak keperluan. Setiap budi‑pekerti dari budi‑pekerti ini dan sifat dari sifat‑sifat ini, me­merlukan pada pengobatannya, kepada latihan dan menanggung kesukar­an. Dan hasil latihannya itu kembali kepada mengenal tipu‑dayanya. Supa­ya diri benci dari padanya dan lari daripada kekejiannya.
Kemudian, rajin kepada melaksanakan lawannya pada jangka waktu yang panjang. Sehingga disebabkan kebiasaan menjadi sifat yang jinak dan mu­dah bagi diri. Apabila sifat‑sifat itu terhapus dari diri, maka sucilah dia dan bersih dari sifat‑sifat kehinaan tersebut. Dan terlepas pula dari kemarahan yang terjadi daripadanya. Diantara penggerak yang sangat keras kepada kemarahan, pada kebanyak­an orang‑orang bodoh, ialah: penanaman mereka kemarahan itu dengan: keberanian, kelaki‑lakian, kemuliaan diri dan tinggi cita‑cita (kemauan). Dan penggelarannya dengan gelar‑gelar terpuji, karena kedunguan dan kebodohan. Sehingga cenderunglah diri kepadanya dan memandang­nya baik. Dan kadang‑kadang: dikuatkan yang demikian, dengan ceritera kesangatan marah orang‑orang besar, dalam mengemukakan pujian dengan keberanian. Dan diri manusia itu cenderung untuk menyerupai dengan o­rang‑orang besar. Lalu menggelegaklah kemarahan kepada hati, disebab­kan yang demikian. Penamaan yang tersebut itu kemuliaan diri dan keberanian, adalah bodoh. Bahkan itu, adalah penyakit hati dan kekurangan akal. Dan itu adalah ka­rena kelemahan dan kekurangan diri. Dan suatu tanda, bahwa itu karena kelemahan diri, bahwa orang sakit lebih lekas marah dari orang sehat. Dan wanita lebih lekas marah dari laki‑laki. Dan anak kecil, lebih lekas marah dari orang besar. Dan orang tua yang lemah, lebih lekas marah dari orang tua biasa. Orang yang berbudi‑pekerti jelek dan sifat‑sifat kehinaan yang buruk, lebih lekas marah dari orang yang mempunyai sifat‑sifat keutamaan. Orang yang bersifat jelek itu marah, karena nafsu‑keinginannya, apabila ia kehilangan sesuap makanan. Dan karena kekikirannya, apabila ia kehilang­an sebiji buah‑buahan. Sehingga ia marah kepada keluarganya, anak dan teman‑temannya.
Akan tetapi, orang kuat, ialah orang yang memiliki (me­nguasai) diri ketika marah, sebagaimana sabda Rasulu'llah saw: "Tidaklah orang kuat itu dengan membanting. Sesungguhnya orang kuat, ialah orang yang memiliki (menguasai) diri ke­tika marah". Akan tetapi, seyogialah diobati orang bodoh tersebut, dengan dibacakan kepadanya, ceritera‑ceritera orang yang lemah lembut & pema'af. Dan apa yang dipandang baik dari mereka, tentang menahan kemarahan. Sesungguh nya yang demikian itu dinukilkan dari nabi‑nabi, wali‑wali, para ahli hikmah, alim‑ulama dan raja‑raja besar yang utama. Dan lawan yang demikian itu, dinukilkan dari orang‑orang Kurdi, orang‑o­rang Turki, orang‑orang bodoh dan orang‑orang dungu, yang tiada berakal dan tiada mempunyai sifat kelebihan.
PENJELASAN. obat marah sesudah berkobarnya.
Apa yang sudah kami sebutkan itu, ialah: melenyapkan bahan‑bahan kemarahan dan memotong sebab‑sebabnya. Sehingga ia tidak berko­bar. Apabila telah berlaku sesuatu sebab yang mengobarkan kemarahan, maka ketika itu haruslah bersikap tetap. Sehingga orang marah tersebut, tidak terbawa berbuat kepada cara tercela. Sesungguhnya kemarahan itu diobati ketika berkobar, dengan azimat ilmu dan amal. Adapun ilmu, maka 6 perkara:
          Perlama: bahwa ia bertafakkur/berfikir pada ceritera‑ceritera yang akan kami bentangkan, tentang keutamaan manahan kemarahan, memberi ma'af, lemah ­lembut dan menanggung perasaan Ialu ia gemar pada pahalanya. Maka ia dicegah oleh kesangatan ingin kepada pahala menahan kemarahan, daripa­da kembali kepada marah dan membalas dendam. Dan terpadamlah dari ­padanya kemarahan. Malik bin Aus bin AI‑Hadtsan berkata: "Umar ra marah kepada seorang laki‑laki dan ia menyuruh memukulnya. Lalu aku menjawab: “Hai Amirul ­mu'minin!” Berilah ma'af, su­ruhlah yang baik dan berpalinglah dari orang‑orang bodoh!”. S 7 AI A’raaf ayat 199. Maka 'Umar menjawab: "Berilah ma'af, su­ruhlah yang baik dan berpalinglah dari orang‑orang bodoh!”. Maka Umar ra memperhatikan pada ayat tadi. Dan ia berdiri disisi Kitab Allah AI‑Quran, manakala dibacakan kepadanya, yang banyak renungan padanya. Maka ia renungkan. Dan laki‑laki tadi dilepaskannya. Umar bin Abdul‑aziz ra menyuruh pukul seorang laki‑laki. Kemudian, la­ki-laki itu membaca firman Allah Ta'ala:..... dan yang sanggup menahan marahnya". S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Lalu 'Umar berkata kepada sahayanya: "Lepaskan orang itu”.
          Kedua:  bahwa ia menakutkan dirinya dengan siksaan Allah. Yaitu, bahwa ia mengatakan: "Kekuasaan Allah atas diriku itu, lebih besar dari kekua­saanku atas manusia ini. Jikalau aku teruskan kemarahanku kepadanya, niscaya aku tidak merasa aman, bahwa Allah akan meneruskan amarah­NYA kepadaku pada hari kiamat. Aku lebih memerlukan kepada kema'­afan". Allah Ta’ala berfirman pada sebahagian Kitab‑kitab Lama: "Hai anak A­dam! Ingatlah kepadaKU ketika engkau marah, niscaya AKU akan ingat kepadamu ketika AKU marah. Maka AKU tiada akan menghapuskan eng­kau, dalam golongan orang yang akan AKU hapuskan". Rasulu'llah saw mengutus seorang budak kecil untuk suatu keperluan. Lalu budak tersebut, lambat sekali kembali. Maka tatkala ia datang, lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Jikalau tidaklah karena qishash (siksa atau ambil bela), niscaya aku sakiti engkau". qishash pada hari kiamat. Dikatakan, bahwa pada tiap‑tiap raja Bani Israil, ada padanya seorang ahli hikmah (filosuf). Apabila raja itu marah, lalu filosuf tersebut memberikan kepadanya selembar kertas, yang isinya: "Kasihanilah orang miskin! Taku­tilah mati! Dan ingatilah akhirat!. Maka raja itu membaca nya sehingga tenanglah kemarahannya.
          Ketiga:  ia mengingatkan dirinya akan akibat permusuhan, pembalasan den­dam, persiapan musuh untuk menghadapinya, usaha menghancurkan maksud‑maksudnya dan perasaan suka dengan malapetaka yang menimpainya. Dan ia tidak akan terlepas dari mala‑petaka itu. Maka ia menakutkan diri­nya dengan segala akibat kemarahan di dunia, jikalau ia tidak takut dari akhirat. Dan ini kembali kepada penguasaan nafsu‑syahwat atas kemarahan. Dan i­ni tidaklah termasuk amal akhirat dan tiada pahala padanya. Karena ia bu­lak‑balik atas keberuntungannya yang segera, yang didahulukannya seba­hagian dari sebahagian. Kecuali bahwa yang ditakutinya itu, mengacaukan­nya didunia, akan perhatiannya kepada ilmu dan amal dan tiada meno­longnya kepada akhirat. Maka ia diberi pahala pada yang demikian.
          Keempat: bahwa ia berpikir tentang buruk bentuknya ketika marah, de­ngan diingatinya bentuk orang lain waktu sedang marah. Dan ia berpikir tentang kejinya marah pada dirinya. Dan penyerupaan orang yang marah itu, seperti anjing galak dan binatang buas yang menerkam. Dan penyeru­paan orang yang lemah‑lembut, yang tenang, yang meninggalkan kemarah­an, dengan nabi‑nabi, wali‑wali, alim‑ulama & ahli‑ahli hikmat (filosuf). Dan ia memilihkan dirinya, antara menyerupakan dengan anjing‑an­jing, binatang‑binatang buas & manusia‑manusia hina & antara menye­rupakan dengan alim‑ulama & nabi‑nabi pada adat‑kebiasaan mereka. Supaya dirinya cenderung kepada menyukai mengikuti jejak mereka, kalau masih ada padanya sisa akal.
          Kelima: bahwa ia berpikir mengenai sebab yang membawanya kepada pembalasan dendam dan mencegahnya dari penahanan marah. Dan tak bo­leh tidak, bahwa ada sebabnya. Umpamanya: kata setan kepadanya: "Bah­wa ini membawa engkau kepada kelemahan, kekecilan jiwa, kerendahan dan kehinaan. Dan engkau menjadi orang hina pada pandangan manusia". Maka hendaklah ia mengatakan kepada dirinya: "Alangkah mengherankan engkau ini! Engkau melepaskan diri dari tanggungan sekarang dan engkau tidak melepaskan diri dari kehinaan hari kiamat dan terbukanya kekurang­an diri, apabila diambilkan ini, dengan tangan engkau dan diambil balas dendam dari engkau. Engkau jaga diri engkau daripada dipandang kecil o­leh mata manusia dan engkau tidak menjaga dipandang kecil disisi Allah, malaikat‑malaikat dan nabi‑nabi". Manakala kemarahan itu ditahan, maka sayogialah menahannya karena Al­lah. Dan yang demikian, membesarkannya disisi Allah. Maka apalah bagi­nya dan bagi manusia lain! Dan kehinaan orang yang menganiayainya di hari kiamat itu, lebih berat daripada kehinaannya, kalau ia membalas den­dam sekarang. Apakah ia tidak suka, bahwa ia yang berdiri, apabila di­panggil pada hari kiamat: "Hendaklah bangun berdiri orang yang pahala­nya atas Allah!”. Lalu tiada yang berdiri, kecuali orang yang mema'afkan. Maka ini dan contoh‑contoh lain yang seperti ini, dari ma'rifah keimanan, sayogialah bahwa ia menetapkannya dalam hatinya.
          Keenam:  bahwa ia mengetahui kemarahannya dari ke ta’jubannya (kehe­ranannya kepada diri sendiri) itu, dari berlakunya sesuatu bersesuaian de­ngan kehendak Allah, tidak atas kesesuaian kehendaknya sendiri. Maka ba­gaimana ia mengatakan: "Kehendakku lebih utama dari kehendak Allah?". Dan hampirlah kemarahan Allah kepadanya itu, lebih besar daripada kemarahannya.
Adapun amal‑perbuatan, maka engkau bacakan dengan lidah engkau: "aku berlindung dengan Allah, da­ri setan yang terkutuk". Beginilah disuruh oleh rasulu'llah saw untuk dibacakan ketika marah. "Adalah Rasulu'llah saw apabila 'Aisyah marah, memegang hidungnya, seraya bersabda: "Hai ‘Uwaisy! Berdo'alah: "Wahai Allah, Tuhanku, Tuhan Nabi Muhammad! Ampunlah bagiku dosaku! Hilangkanlah kemarahan hatiku dan lepaskanlah aku dari fitnah‑fitnah yang menyesatkan!”. Maka disunatkan engkau membaca yang demikian. Kalau kemarahan itu ti­dak hilang dengan demikian, maka duduklah, jikalau engkau sedang ber­diri. Dan berbaringlah, jikalau engkau sedang duduk! Dan dekatilah de­ngan bumi, dimana dari bumi itu engkau dijadikan. Supaya engkau ketahui dengan demikian, akan kehinaan diri engkau. Dan carilah dengan du­duk dan berbaring itu akan ketenangan. Sesungguhnya sebab kemarahan itu panas. Dan sebab panas itu bergerak. Maka Rasulu'llah saw ber­sabda: "Bahwa marah itu sepotong api yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah engkau melihat kepada mengembung urat‑urat lehernya dan merah kedua matanya?. Maka apabila salah seorang kamu mendapati sesuatu da­ri yang demikian, maka jikalau ia sedang berdiri, maka hendaklah ia du­duk. Dan jikalau ia sedang duduk, maka hendaklah ia tidur!” Maka ji­kalau ia senantiasa yang demikian, maka hendaklah ia ber‑wudlu' dengan air dingin atau ia mandi.
Sesungguhnya api itu, tidak akan padam, selain oleh air. Nabi saw bersabda: "Apabila marah seseorang kamu, maka hendaklah ia mengambil wudlu' dengan air! Maka sesungguhnya marah itu dari api". Pada suatu riwayat: "Bahwa kemarahan itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api. Dan api itu dipadamkan dengan air. Maka apabila marah seseorang kamu maka hendaklah ia mengambil wudlu".
Ibnu Abbas berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apabila engkau marah, maka diamlah!”. Abu Hurairah berkata: "Adalah Rasulu'llah saw apabila marah dan be­liau sedang berdiri, niscaya beliau duduk. Dan apabila marah dan beliau se­dang duduk, niscaya beliau berbaring. Maka hilanglah marahnya".
Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Nabi saw bersabda: "Ketahuilah, bahwa marah itu sepotong api dalam hati anak Adam. Apakah tidak kamu melihat kepada kemerahan 2matanya dan mengembung urat‑urat lehernya? Maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari yang demikian, maka hendak­lah ia melekatkan pipinya dengan bumi". Dan ini adalah isyarat kepada sujud. Menetapkan anggota‑anggota badan yang termulia pada tempat‑tem­pat yang terhina. Yaitu: tanah, untuk dirasakan oleh diri akan kehinaan. Dan menghilang­nya dengan demikian, keagungan dan kebanggaan, yang menjadi sebabnya kemarahan.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari Umar ra marah. Lalu beliau me­minta air dan terus berkumur‑kumur, seraya berkata: "Bahwa marah itu dari setan. Dan ini (air) menghilangkan marah". Urwah bin Muhammad berkata: "Tatkala aku ditugaskan di Yaman, Ialu ayahku bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah diangkat menjadi wali negeri (gubemur)?". Aku menjawab: "Ya!”. Maka beliau berkata: "Apabila engkau marah ma­ka pandanglah ke langit diatas engkau dan ke bumi dibawah engkau! Ke­mudian, agungkanlah KHALIQ (YANG MAHA PENCIPTA) langit dan bumi itu!”.
Diriwayatkan, bahwa: "Abu Dzar berkata kepada seorang laki‑laki: "Ya ibnal‑hamra (Hai anak wanita merah)!”, dimana ada permusuhan diantara Abu Dzar & laki‑laki itu. Lalu berita itu sampai kepada Rasulu'llah saw. Maka beliau bertanya: "Hai Abu Dzar! Sampai kepadaku berita, bahwa engkau pada hari ini, engkau hinakan saudara engkau dengan menyebut ibunya". Abu Dzar lalu menjawab: "Ya, benar!”. Maka pergilah Abu Dzar, untuk meminta kerelaan temannya (orang yang dihinakannya) itu. Maka laki‑laki itu mendahuluinya memberi salam kepa­da Abu Dzar. Lalu Abu Dzar menerangkan yang demikian kepada Rasulu'llah saw. Maka beliau menjawab: "Hai Abu Dzar! Angkatlah kepalamu, lalu pandanglah! Kemudi­an ketahuilah, bahwa engkau tidaklah lebih utama dari orang yang merah dan yang hitam, kecuaIi engkau melebihinya dengan amal". Kemudian be­liau menyambung: "Apabila engkau marah, maka jikalau engkau sedang berdiri, maka duduklah! Dan jikalau engkau sedang duduk, maka melu­tutlah!.  Dan jikalau engkau sedang melutut, maka berbaringlah!”
AI‑Mu’tamir bin Sulaiman berkata: "Adalah seorang laki‑laki dari orang‑o­rang sebelum kamu itu marah. Lalu bersangatanlah marahnya. Maka ia menulis 3 helai kertas Tiap‑tiap helai itu diberikannya kepada seorang. Ia mengatakan kepada orang pertama: "Apabila aku marah, maka berikanlah ini kepadaku!”. Dan ia mengatakan kepada orang kedua: "Apabila tenang sebahagian ke­marahanku, maka serahkanlah ini kepadaku!” Dan ia mengatakan kepada orang ketiga: "Apabila telah hilang kemarahanku, maka serahkanlah ini kepadaku!”. Lalu pada suatu hari, bersangatanlah marahnya. Maka ia diberikan kertas pertama, dimana isinya: “Bagaimanakah engkau dengan kemarahan ini? Sesungguhnya engkau bukan tuhan, engkau adalah manusia, dimana ham­pir sebahagian engkau memakan akan sebahagian yang lain". Lalu tenanglah sebahagian kemarahannya. Lalu diberikan kepadanya lembar kedua, dimana isinya: "Kasihanilah orang dibumi, niscaya engkau akan dikasihani oleh orang di langit!”. Kemudian, diberikan kepadanya lembar ketiga, dimana isinya: “Ambillah manusia dengan hak Allah! Sesungguhnya tiada akan memperbaiki mere­ka, selain dengan yang demikian". Artinya: Tidak dihalangi oleh batas‑ba­tas. AI‑Mahdi marah kepada seorang laki‑laki, lalu menjawab Syubaib: "Jangan engkau marah karena Allah, dengan lebih berat dari kemarahannya bagi di­rinya sendiri”. Lalu AI‑Mahdi menjawab: "Berikanlah jalan, supaya ia per­gi”.
KEUTAMAAN MENAHAN KEMARAHAN
Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang sanggup menahan marahnya". S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Allah Ta’ala menyebutkan yang demikian, pada mengemukakan pujian. Rasulu'llah saw bersabda: "Barangsiapa mencegah kemarahannya, niscaya dicegah oleh Al­lah daripadanya akan azabNYA. Barangsiapa meminta 'udzur (diperke­nankan halangannya) kepada Tuhannya, niscaya Allah menerima, 'udzur­nya. Dan barangsiapa menyimpan (tidak menggunakan) lidahnya, niscaya Allah menutupkan auratnya". Nabi saw bersabda: "Yang lebih keras dari kamu, ialah orang yang mengalahkan naf­sunya ketika marah. Dan yang tahan marah dari kamu, ialah orang yang memberi ma'af ketika mampu.

s/d


Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menahan marah dan jikalau ia mau meneruskannya, ia dapat meneruskannya, niscaya Allah memenuhkan hatinya dengan kerelaan pada hari kiamat". Pada suatu riwayat: "Allah meme­nuhkan hatinya keamanan dan keimanan".
Ibnu Umar berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tiadalah seorang hamba meneguk suatu teguk minuman yang lebih besar pahalanya, daripada sete­guk kemarahan, yang ditahannya karena mengharap WAJAH Allah Ta’­ala".
Ibnu Abbas berkata: "Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya neraka jahan­nam itu mempunyai sebuah pintu, yang tidak memasukinya, selain orang yang sembuh kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah Ta’­ala".
Nabi saw bersabda: ”Tiada seteguk minuman yang lebih disukai Allah Ta’ala, daripada seteguk kemarahan, yang ditahan oleh seorang hamba. Dan ditahan oleh seorang hamba seteguk kemarahan itu, melainkan Allah memenuhkan hatinya dengan keimanan".
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menahan marah dan ia sanggup me­laksanakannya, niscaya ia dipanggil oleh Allah dihadapan manusia ramai dan ia disuruh memilih, diantara bidadari & bidadara yang dikehendakinya". Adapun al‑atsar (kata para shahabat dan orang‑orang terkemuka), dian­tara lain, kata Umar ra: “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya tidak sembuh marahnya (karena Allah). Barangsiapa takut kepada Allah, niscaya ia tidak berbuat sekehendak nya. Dan jikalau tidaklah hari kiamat, niscaya adalah yang tidak akan engkau lihat".
Lukman berkata kepada anaknya: "Hai anakku! jangan engkau hilangkan air mukamu dengan meminta! Jangan engkau sembuhkan kemarahamnu dengan perbuatan keji yang engkau kerjakan! Dan kenalilah tingkat eng­kau, niscaya akan bermanfa'at kepada kehidupan engkau".
Ayyub bin Abi Taimiyah As‑Sakhtiany berkata: "Tidak lekas marah satu saat itu, akan menolak banyak kejahatan". Sufyan Ats‑Tsauri, Abu Khuzaimah Al-Yarbu’i dan AI‑Fudlail bin 'Iyadl berkumpul pada suatu tempat. Lalu mereka bertukar‑pikiran (bermudzaka­rah) tentang zuhud. Maka mereka sepakat, bahwa amal yang paling u­tama, ialah: lemah lembut ketika marah dan sabar ketika susah.
Seorang laki‑laki berkata kepada Umar ra: "Wa'llahi, demi Allah, engkau tidak menghukum dengan adil dan tidak memberi banyak". Maka marahlah Umar, sehingga diketahui yang demikian pada wajahnya. Lalu laki‑laki tadi berkata kepada Umar ra!” Hai Amirul‑mu minin! Tidakkah engkau men­dengar, bahwa Allah Ta’ala berfirman:  "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik dan tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu!”. S 7 Al-A'raaf ayat 199. Maka (saya) ini termasuk orang‑orang yang tidak berpengetahuan". Lalu Umar ra menjawab: "Benar engkau! Seolah‑olah ada api, Ialu di­padamkan".
Muhammad bin Ka'ab berkata: “Tiga perkara, barangsiapa ada padanya tiga perkara itu, sempurnalah imannya kepada Allah. Yaitu: apabila ia senang, niscaya kesenangannya itu tidak memasukkannya pada yang batil/salah, apabila ia marah, niscaya kemarahannya itu tidak mengeluarkannya dari ke­benaran dan apabila ia berkuasa niscaya ia tidak akan mengambil yang bu­kan haknya”.
Seorang laki‑laki datang kepada Salman AI‑Farisi ra Lalu laki‑laki itu ber­kata: "Hai ayah Abdullah! Berilah aku wasiat (nasehat)!” Salman menjawab: "Jangan engkau marah!”. Laki‑laki itu menjawab: "Aku tidak sanggup!”. Lalu Salman menjawab: "Jikalau engkau marah, maka tahanlah lidah eng­kau dan tangan engkau!”.
PENJELASAN keutamaan tak lekas marah (hilmun).
Ketahuilah, bahwa hilmun itu lebih utama daripada menahan kemarahan. Karena menahan kemarahan itu ibarat dari tahallum. Artinya memaksakan diri dengan hilmun (tak lekas marah). Dan tidak perlu kepada menahan kemarahan, selain orang yang menggelagak kemarahannya. Dan ia memerlukan pada menahan kemarahan itu, kepada mujahadah yang ke­ras. Akan tetapi, apabila telah membiasakan diri dengan yang demikian pada masa tertentu, niscaya yang demikian itu menjadi kebiasaan. Maka tidaklah akan bergejolak kemarahan lagi. Dan jikalau bergejolak juga, ma­ka tidaklah payah pada menahannya. Dan itulah: tidak lekas marah yang sudah menjadi tabiat (menjadi sifat pribadi). Yaitu: menunjukkan kesem­purnaan akal, berkuasanya akal, pecahnya kekuatan marah dan tunduknya kepada akal. Akan tetapi permulaannya, ialah: tahallum dan menahan kemarahan dengan rasa berat.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar (ta'allum) dan tidak lekas marah (hilmun) itu dengan tahallum (memaksakan diri dengan tidak lekas marah). Barangsiapa bersungguh‑sungguh memperoleh kebajikan, niscaya ia akan diberi oleh Allah Ta’ala. Dan barangsiapa menjaga dirinya dari ke­jahatan, niscaya ia dipelihara oleh Allah Ta’ala daripadanya". Dengan sabdanya tadi, diisyaratkannya, bahwa usaha untuk tidak Iekas ma­rah jalannya, ialah pertama‑tama tahallum dan memaksakannya, sebagai­mana usaha untuk memperoleh ilmu, jalannya, ialah: ta’allum (belajar, me­nuntut ilmu).
Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Tuntutlah ilmu dan tuntutlah bersama ilmu itu, ketenangan dan hilmun (tidak lekas Marah)! Lemah‑lembutlah kepada orang yang kamu ajar (kepada muridmu) dan kepada orang, dimana kamu belajar padanya (kepada gurumu)! Janganlah kamu termasuk kaum ulama yang gagah per­kasa! Maka kebodohanmu akan mengalahkan ketidak lekas marahan mu.
Dengan sabdanya ini, diisyaratkannya, bahwa takabur dan kegagah‑perka­saan, adalah yang mengobarkan kemarahan dan mencegah dari ketidak le­kas marahan (hilmun) dan kelemah‑lembutan.
Adalah diantara do'a Nabi saw: "Wahai Allah, Tuhanku! Kayakanlah aku dengan ilmu. Hiasilah aku dengan tidak lekas marah!. Muliakanlah aku dengan taqwa. Dan elok­kanlah aku dengan sehat wal‑a'fiat".
Abu Hurairah berkata: "Nabi saw bersabda:  "Carilah ketinggian pada sisi Allah”. Para shahabat bertanya: "Apakah ketinggian itu, wahai Rasulu'llah?. Nabi saw menjawab: "Engkau sambung silaturrahim dengan orang yang memutuskan silaturrahim dengan engkau. Engkau berikan kepada orang yang mengha­ramkan pemberian (tidak mau memberi) kepada engkau. Dan engkau tak lekas marah kepada orang yang congkak kepada engkau.
Nabi saw bersabda: “Lima perkara termasuk sunnah rasul‑rasul, yaitu: malu, tak lekas marah, berbekam/bercakap, bersugi dan memakai bau‑bauan". Ali ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya laki‑laki muslim itu, akan mendapat dengan tidak Iekas marahnya/hilmun akan tingkat orang yang berpuasa, yang bangun malam mengerjakan shalat & sesungguhnya ia akan dituliskan sebagai o­rang perkasa, yang keras. Dan ia tidak memiliki kecuali keluarga".
Abu Hurairah berkata: "Seorang laki‑laki bertanya: "Wahai Rasulu'llah Sesungguhnya aku mempunyai famili, yang aku sambung silaturrahim de­ngan mereka. Dan mereka memutuskan silaturrahim dengan aku. Aku ber­buat baik kepada mereka dan mereka berbuat jahat kepadaku. Mereka cong­kak (berbuat bodoh) kepadaku dan aku tak lekas marah kepada mereka". Rasulu'llah saw menjawab: “jikalau benar seperti yang engkau katakan, maka seolah‑olah engkau menyiramkan mereka air hujan (al‑mallu). Dan se­nantiasalah ada yang menolong engkau dari Allah, selama engkau selalu bersifat demikian". AI‑mallu dimaksudkan ialah: ar‑ramalu (sedikit hujan).
Seorang laki‑laki muslim berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Tidak ada pa­daku sedekah, yang dapat aku sedekahkan kepada orang. Maka siapapun yang menyinggung sesuatu dari kehormatanku, maka itu sedekah kepada­nya". Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi saw: "Sesung­guhnya AKU telah mengampunkan‑dosanya". Nabi saw bersabda: "Adakah salah seorang kamu lemah untuk menjadi seperti Abu Dlamdlam?”. Lalu para shababat bertanya: "Siapakah Abu Dlamdlam i­tu?". Nabi saw menjawab: "Seorang laki‑laki dari orang‑orang sebelum kamu, dimana pada waktu pagi hari, ia berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Sesungguhnya aku pada hari ini, bersedekah dengan kehormatanku kepada orang yang berbuat zalim kepadaku". Ditanyakan tentang firman Allah Ta’ala: “Tetapi, hendaklah kamu menjadi orang‑orang rabbaaniyyiin”. S 3 AAIi ‘Imraan ayat 79. Rabbaaniyyiin, artinya: orang‑orang yang tidak lekas ma­rah atau orang yang sangat taqwa kepada Allah , lagi berilmu/alim.
Ditanyakan kepada AI‑Hasan AI‑Bashari ra mengenai firman Allah Ta’­ala: “Dan apabila orang‑orang yang bodoh menghadapkan pertanyaan kepada mereka dijawabnya: Selamat!”. S 25 AI Furqaan ayat 63. Lalu AI‑Ha­san menjawab: "Orang‑orang yang tidak lekas marah (hulama'). Kalau o­rang berbuat bodoh (berbuat tidak pantas) kepada mereka, niscaya mereka tidak berbuat bodoh kepada orang itu".
'Atha' bin Abi Rabah berkata, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan hamba‑hamba Tuhan Yang Pemurah, ialah mereka yang berjalan dibumi dengan haunan”. S 25 AI Furqaan ayat 63. Haunan, artinya: tidak lekas marah (hilmun).
Ibnu Abi Habib berkata tentang firman Allah 'Azza wa Jalla: (Wa kahlan) S 3 Ali ‘Imran ayat 46. Berkata Ibnu Abi Habib, Kahlan itu artinya: sangat tidak lekas marah. Mujahid berkata, bahwa firman Allah Ta’ala: "Dan apabila mereka melalui perkara yang omong‑kosong, mere­ka berlalu dengan hormatnya”. S 25 AI Furqaan ayat 72. Artinya: apabila mereka disakiti, niscaya mereka mema'afkannya. Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud melalui dengan berpaling muka dari hal omong‑kosong. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Jadilah Ibnu Mas'ud itu pagi dan sore, orang yang mulia". Kemudian, Ibrahim bin Maisarah, perawi hadits tadi, membaca firman Al­lah Ta’ala S 25 AI Furqaan ayat 72 tadi. Nabi saw bersabda, dengan do'anya: "Wahai Allah Tuhanku! Tiada ki­ranya dijumpai aku dan tidak aku menjumpainya oleh suatu masa, dimana mereka (ummat) tiada mengikuti orang berilmu padanya dan tiada merasa malu kepada orang yang tidak Iekas marah. Hati mereka itu hati orang A’jam (bukan Arab) dan lidah mereka itu lidah Arab". Nabi saw bersabda: “Hendaklah mendekati aku dari kamu, orang‑orang yang tidak le­kas marah dan orang‑orang yang berakal. Kemudian mereka yang mende­kati mereka. Kemudian, mereka yang mendekati mereka! Janganlah kamu berselisih, maka berselisihlah hatimu! Jagalah dirimu dari fitnah pasar!”
Diriwayatkan, bahwa AI‑Asyaj diutus menghadap Nabi saw Lalu ia memperhentikan kenderaannya(unta yang dikenderainya), kemudian ditam­bahkannya. Dan ia membuka dua helai pakaian yang dipakainya. Dan di­keluarkannya dua helai pakaian yang baik dari bungkusannya. Lalu di­pakainya. Dan yang demikian itu dihadapan Rasulu'llah saw dimana be­liau melihat apa yang diperbuat oleh AI‑Asyaj. Kemudian, ia berjalan keha­dapan Rasulu'llah saw. Lalu Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya pada engkau, hai Asyaj, dua akhlak yang disukai Allah dan RasuINYA". AI‑Asyaj bertanya: "Demi ayahku dan ibuku, wahai Rasulu'llah Apakah akhlak yang dua itu?". Rasulu'llah saw  menjawab: "Tidak lekas marah dan tidak tergesa‑gesa". Lalu AI‑Asyaj berkata: "Kedua sifat ini aku berbuat akhlak dengan kedu­anya atau dua akhlak yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku untuk bersifat dengan keduanya?". Lalu Nabi saw menjawab: "Tetapi dua akhlak itu, telah dianugerahkan oleh Allah menjadi sifatmu". Maka AI‑Asyaj rnenjawab. "Segala pujian bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku dua akhlak itu, yang disukai oleh Allah dan Rasul­Nya". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai orang yang tidak lekas marah, yang pemalu, yang merasa cukup, yang menjaga diri dari meminta, bapak keluarga yang bertaqwa. Dan Allah marah orang yang keji perbu­atannya, buruk lidahnya, suka meminta (pengemis) yang memaksakan dan yang kurang cerdik".
Ibnu Abbas berkata: "Nabi saw bersabda: “3 perkara, barangsiapa tidak ada padanya salah satu dari yang 3 perkara itu, maka jangan kamu hitung sedikitpun dari amalnya: taqwa yang menghalanginya dari perbua­tan maksiat kepada Allah 'Azza wa Jalla, tidak lekas marah yang mence­gahnya jadi orang yang jahat perangai dan kelakuan baik yang dapat ia hidup dalam kalangan manusia banyak”.
Rasulullah saw bersabda: “Apabila dikumpulkan oleh Allah makhluk pada hari kiamat, lalu penyeru menyerukan: “Manakah orang utama?”. Lalu manusia bangun dan mereka itu sedikit jumlahnya. Mereka Ialu ber­jalan dengan cepat ke sorga. Maka bertemulah mereka dengan malaikat. Lalu para malaikat itu berkata kepada mereka: "Sesungguhnya kami meli­hat kamu bersegera ke sorga". Mereka itu menjawab: "Kami orang uta­ma". Maka para malaikat bertanya kepada mereka: "Apakah keutamaan itu?". Lalu mereka menjawab: "Adalah kami, apabila kami dianiaya orang niscaya kami sabar. Apabila orang berbuat jahat kepada kami, nis­caya kami ma'afkan. Dan apabila orang berbuat bodoh (masa bodoh) ke­pada kami, niscaya kami tidak lekas marah". Lalu dikatakan kepada mereka: "Masuklah kesorga! Maka pahala yang baik bagi orang‑orang yang beramal".
Adapun al‑atsar, maka diantara lain, kata 'Umar ra: "Belajarlah ilmu!. Dan belajarlah untuk ilmu itu, ketenangan dan tidak lekas marah!”.
Ali ra berkata: "Tidaklah kebajikan itu, bahwa banyak hartamu dan anakmu. Tetapi kebajikan itu, bahwa banyak ilmumu dan besar hilmun‑mu (tidak lekas marahmu). Dan bahwa engkau tidak membanggakan pada manusia dengan ibadahmu kepada Allah. Apabila engkau berbuat baik, niscaya engkau memujikan Allah Ta’ala. Dan apabila engkau berbuat jahat, niscaya engkau meminta ampun pada Allah Ta'ala".
Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Tuntutlah ilmu dan hiasilah ilmu itu de­ngan kesopanan dan tidak lekas marah!”. Aktsam bin Shaifi berkata: “Tiang akal itu tidak lekas marah dan kum­pulan urusan itu sabar”.
Abud‑Darda' berkata: "Aku dapati manusia itu daun yang tidak ber­duri. Lalu mereka menjadi duri yang tidak berdaun. Jikalau kamu kenal mereka, niscaya mereka mengecam (mengkritik) kamu. Dan jikalau eng­kau tinggalkan mereka, niscaya mereka tidak akan meninggalkan engkau. Lalu mereka bertanya: "Bagaimana kami perbuat?”. Abud‑Darda' menjawab: "Engkau hutangkan mereka dengan harta benda engkau untuk hari kemiskinan engkau”.
Ali ra berkata: "Bahwa yang pertama‑tama, yang digantikan bagi orang yang tidak Iekas marah, dari ketidak lekas marahannya, ialah bahwa manusia semua menjadi penolongnya atas orang bodoh (yang berbuat jahat kepa­danya)".
Mu'awiyah berkata: “Tiada akan sampai seorang hamba tempat sampainya pikiran, sebelum ketidak lekas marahannya mengalahkan kebodohannya, kesabarannya mengalahkan nafsu‑syahwatnya. Dan yang demikian itu tidak akan sampai, selain dengan kekuatan ilmu". Mu'awiyah bertanya kepada 'Amr bin AI‑Ahtsam: "Laki‑laki mana yang lebih berani?”. AI‑Ahtsam menjawab: "Orang yang menolak kebodohannya dengan keti­dak lekas marahannya”. Mu'awiyah bertanya lagi: “Laki‑laki mana yang lebih pemurah?”. AI‑Ahtsam menjawab: "Orang yang memberikan dunianya, untuk keba­ikan agamanya". Anas bin Malik berkata, mengenai firman Allah Ta’ala: “Sehingga orang yang bermusuhan antara engkau dengan dia, akan menjadi sebagai teman yang setia. Dan perbuatan itu tiada diberikan kepada siapapun, selain dari orang‑orang yang berhati teguh dan tiada pula diberikan, melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar". Yaitu: orang yang dimaki oleh saudaranya. Lalu ia menjawab: “Kalau engkau dusta, kiranya Allah meng­ampunkan dosa engkau. Dan kalau engkau benar kiranya Allah mengam­punkan dosaku".
Sebahagian mereka berkata: "Aku maki si Anu dari penduduk Basrah, ma­ka ia tidak marah kepadaku. Lalu dengan demikian, ia memperbudakkan aku (menjadi dibawah pengaruhnya) beberapa waktu lamanya".
Mu'awiyah bertanya kepada 'Urabah bin Aus: "Dengan apa engkau me­mimpin kaum engkau, hai 'Urabah?”. 'Urabah menjawab: "Wahai Amirul‑ mu'minin ! Aku tidak lekas marah ke­pada yang bodoh dari mereka. Aku berikan kepada yang meminta dari me­reka. Dan aku usahakan untuk memenuhi keperluan mereka. Siapa yang berbuat seperti perbuatanku, maka ia seperti aku. Dan siapa yang me­lampaui aku perbuatannya, niscaya ia lebih utama daripadaku. Dan siapa yang kurang perbuatannya daripadaku, maka aku lebih baik daripadanya".
Seorang laki‑laki memaki Ibnu Abbas ra Maka sesudah selesai, Ialu Ibnu Abbas berkata: "Hai 'Akramah (nama pembantu Ibnu Abbas)! Apakah laki‑laki itu mempunyai keperluan? Kalau ada, akan kita tunaikan". Laki‑laki tersebut menundukkan kepalanya & malu. Seorang laki‑laki mengatakan kepada Umar bin Abdul‑aziz ra: "Aku naik saksi, bahwa engkau termasuk orang fasik". Lalu Umar bin Abdul‑aziz menjawab: “Tiada akan diterima kesaksianmu".
Dari Ali bin AI‑Husain bin Ali ra diriwayatkan bahwa ia dimaki oleh se­orang laki‑laki. Lalu dilemparinya orang itu dengan sepotong pakaian yang ada padanya. Dan disuruhnya supaya diberikan kepada orang itu uang 1000 dirham.
Sebahagian mereka berkata: “Barangsiapa terkumpul padanya 5 perka­ra yang terpuji, yaitu: tidak lekas marah, meninggalkan yang menyakiti te­mannya, melepaskan orang yang menjauhkannya daripada Allah 'Azza wa Jalla, membawanya kepada penyesalan dan taubat dan mengembalikannya kepada memuji sesudah mencela, niscaya semua yang demikian, ia belikan dengan sesuatu yang sedikit dari dunia".
Seorang laki‑laki berkata kepada Jafar bin Muhammad: "Bahwa telah ter­jadi diantara aku dengan suatu kaum, percekcokan dalam suatu hal. Aku bermaksud meninggalkannya, Ialu aku takut dikatakan kepadaku: "Bahwa engkau tinggalkan dia itu suatu penghinaan". Lalu Jafar menjawab: "Yang hina, ialah: orang yang zalim".
Al-Khalil bin Ahmad berkata: "Adalah dikatakan, bahwa barangsiapa ber­buat jahat, Ialu ia dibalas dengan perbuatan yang baik, maka sesungguhnya telah diperbuat dinding dari hati orang tersebut, yang menakutkannya un­tuk berbuat kejahatan yang serupa dari yang telah diperbuatnya".
AI‑Ahnaf bin Qais berkata: "Tidaklah aku ini orang yang tidak lekas marah (orang haalim), tetapi aku memaksakan diriku dengan tidak Iekas marah". Wahab bin Munabbih berkata: “Barangsiapa mengasihani, niscaya dikasihani. Barangsiapa diam, niscaya selamat. Barangsiapa membodohkan diri, niscaya dikalahkan. Barangsiapa terburu‑buru, niscaya salah. Barangsiapa loba kepada kejahatan, niscaya tidak selamat. Barangsiapa tidak meninggal­kan ria, niscaya dimaki orang. Barangsiapa tidak benci kepada kejahatan, niscaya berdosa. Barangsiapa benci kepada kejahatan, niscaya terpelihara. Barangsiapa mengikuti nasehat Allah, niscaya terjaga. Barangsiapa takut ke­pada Allah, niscaya aman. Barangsiapa berpaling dari pada Allah, niscaya tidak diberikan. Barangsiapa tiada meminta pada Allah, niscaya akan mis­kin. Barangsiapa merasa aman dari percobaan Allah, niscaya akan hina. Dan barangsiapa meminta tolong pada Allah, niscaya akan mendapat".
Seorang laki‑laki berkata kepada Malik bin Dinar: "Sampai kepadaku be­rita, bahwa engkau menyebutkan aku jahat". Malik bin Dinar menjawab: "Jadi, engkau lebih mulia daripadaku, dari di­riku. Sesungguhnya, apabila benar aku berbuat demikian, niscaya aku ha­diahkan semua kebaikanku kepadamu".
Sebahagian ulama berkata: "Tidak lekas marah (al‑hilmun) itu, lebih tinggi dari akal. Karena Allah Ta’ala dinamakan dengan: AI‑haliim (Tidak lekas Marah)". Seorang laki‑laki berkata kepada sebahagian ahli hikmat (filosuf): "Demi Allah, sesungguhnya aku memakimu dengan suatu makian, yang akan ma­suk ia bersama kamu dalam kuburanmu". Ahli hikmat itu Ialu menjawab: "Bersama kamu ia masuk, tidak bersama a­ku.
Isa AI‑Masih putera Maryam as melintasi suatu kaum Yahudi. Lalu kaum Yahudi itu mengatakan jahat kepada Isa AI‑Masih as. Lalu Isa as me­ngatakan perkataan baik kepada mereka. Isa as lalu ditanyakan: "Bahwa mereka mengatakan: perkataan jahat dan engkau mengatakan perkataan baik". Maka Isa as menjawab: "Masing‑masing membelanjakan apa yang ada padanya".
Lukman berkata: "Tiga golongan, tidak akan dikenal, selain pada tiga hal: tiada akan dikenal orang yang tidak lekas marah (al‑haliim), selain ketika marah, tiada akan dikenal, orang yang berani, selain ketika perang dan ti­ada akan dikenal saudara, selain ketika diperlukan kepadanya".
Masuk ketempat sebahagian ahli hikmat seorang temannya. Lalu ia mem­persembahkan makanan kepada ahli hikmat itu. Maka keluarlah isteri ahli hikmat tadi. Dan wanita itu buruk akhlak. Lalu diangkatnya hidangan ter­sebut & dihadapkannya kepada memaki ahli hikmat itu. Teman tersebut lalu keluar dengan marah. Lalu diikuti oleh ahli hikmat itu & berkata kepada temannya: "Engkau ingat pada suatu hari, dimana kami berada di­rumahmu. Kami diberi makan. Lalu jatuh seekor ayam atas hidangan. Ma­ka ayam itu merusakkan apa yang atas hidangan. Lalu seorangpun dari ki­ta tiada yang marah". Teman itu menjawab: "Ya, tiada yang marah". Ahli hikmah tadi menyambung: "Aku kira, bahwa isteriku seperti ayam itu". Maka hilanglah dari laki‑laki tadi kemarahan nya. Dan terus ia pergi, sambil berkata: "Benar ahli hikmat itu. Tidak lekas marah adalah obat dari tiap-­tiap kesakitan".
Seorang laki‑laki memukul tapak kaki seorang ahli hikmat, sehingga menyakitkannya. Tetapi ahli hikmat itu tidak marah. Lalu ditanyakan tentang yang demikian kepadanya. Maka ia menjawab: "Aku tempatkan orang itu pada tempat batu, yang terpeleset aku dengan dia. Maka aku sembelih (hilangkan) ke­marahan itu". Mahmud Al-Warraq bermadah:
Aku haruskan diriku,
mema'afkan setiap yang berdosa,
walau pun banyak atasku,
kesalahan yang dikerjakannya.
Tiadalah manusia,
selain satu, dari tiga:
yang mulia dan yang hina
dan yang sepertiku, yang sama.
Orang yang diatasku,
maka aku kenal tingkatnya.
Akan aku ikut kebenaran
dan kebenaran itu harus adanya.
Orang yang dibawahku,
kalau ia berkata,
aku jaga dari jawabannya kehormatanku
walaupun dicela oleh pencela.
Adapun orang yang sepertiku,
kalau ia telanjur atau salah,
aku bersikap utama, karena keutamaan itu,
adalah hakim dengan tidak Iekas marah.
PENJELASAN. kadar perkataan yang boleh, untuk menuntut bela dan ter­obat dari kemarahan.
Ketahuilah, bahwa tiap‑tiap kezaliman yang datang dari seseorang, tidak boleh dihadapi dengan serupa. Tidak boleh dihadapi umpatan dengan um­patan, memata‑matai dengan memata‑matai (tajassus) dan makian dengan makian. Begitu juga perbuatan‑perbuatan maksiat lainnya. Sesungguhnya, menuntut bela dan denda adalah menurut kadar yang da­tang dari Agama (hukum syari’at/agama).
Dan telah kami uraikan dalam limu Figh. Adapun makian, maka tidak boleh dihadapi dengan serupa. Karena Ra­sulu'llah saw bersabda: "Kalau seorang manusia memalukan engkau, dengan apa yang a­da pada engkau, maka janganlah engkau memalukannya dengan apa yang ada padanya".
Nabi saw bersabda: "Dua orang yang maki‑memaki itu, ialah: apa yang dikatakan oleh keduanya. Maka makian itu tanggung jawab yang memulai, selama yang teraniaya (yang dimaki) itu, tiada melewati batas".
Nabi saw bersabda: "Dua orang yang maki‑memaki itu, adalah 2 setan yang sedang maki‑memaki". Seorang laki‑laki memaki Abubakar Ash‑Shiddiq dan Abubakar itu diam saja. Tatkala ia mulai menuntut bela, lalu Rasulullah saw bangun berdiri. Ma­ka ujar Abubakar: “Adalah engkau tadi diam tatkala orang itu memaki a­ku. Maka sewaktu aku berbicara, lalu engkau bangun berdiri". Rasulu'llah saw menjawab: "Karena malaikat menjawab dari pihak engkau. Maka tatkala engkau berbicara, malaikat itu pergi dan datanglah setan. Maka aku tidak mau duduk pada majelis, yang padanya ada setan".
Kata suatu kaum (dari ahli ilmu): boleh dihadapi dengan yang tak ada ke­dustaan padanya. Yang dilarang oleh Rasulu'llah saw ialah: menghadapi dimalukan dengan yang sama, sebagai: larangan tanzih (larangan member­sihkan diri dari kekotoran akhlak). Dan yang lebih utama, ditinggalkan. Tetapi tidak merupakan perbuatan maksiat dengan perbuatan itu. Yang diperbolehkan, ialah: bahwa engkau katakan: "Siapa engkau? Ada­kah engkau dari keturunan si Anu? Sebagaimana kata Sa’ad kepada Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Hudzail (keturunan Hudzail)? Dan kata Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Ummaiyah? Dan seperti perkataan: "Hai Dungu!”. Muthrif bin Abdullah (seorang tabi’in yang kepercayaan) berkata: "Setiap manusia itu dungu, me­ngenai sesuatu diantara dia dan Tuhannya. Hanya sebahagian manusia ku­rang sedikit kedunguannya, dari sebahagian yang lain".
Ibnu Umar berkata pada suatu hadits yang panjang: "Sehingga engkau melihat semua manusia itu dungu mengenai Zat Allah Ta'ala". Dan seperti itu juga, perkataan: "Hai bodoh?”. Karena tiada seorang pun, sekalian ada padanya kebodohan. Maka ia menyakitkan orang yang dika­takannya bodoh itu, dengan tidak bohong. Begitu pula perkataan: "Hai buruk perangai! Hai tebal muka! Hai pencela kehormatan!”. Dan yang demikian itu, ada pada orang tersebut. Begitu juga katanya: "Jikalau padamu ada malu, tentu kamu tidak berkata demikian!. Alangkah hinanya engkau pada mataku, dengan apa yang eng­kau perbuat! Dihinakan oleh Allah kiranya engkau dan aku akan membaIas dendam pada engkau".
Adapun fitnah, umpatan, dusta dan memaki ibu‑bapa, maka itu haram de­ngan sepakat para ulama. Karena dirawikan, bahwa ada pembicaraan an­tara Khalid bin AI‑Walid dan Sa'ad. Lalu seorang laki‑laki menyebutkan hal Khalid pada Sa'ad. Maka Sa'ad menjawab: "Diamlah! Bahwa apa yang diantara kami, tiada sampai kepada agama kami".Ya'ni: bahwa akan berdosa sebahagian kami pada sebahagian. Ia tidak terdengar kejahatan, maka bagaimana boleh ia mengatakannya?”. Dalil atas bolehnya yang tidak dusta dan tidak haram, seperti yang diban­dingkan kepada zina, kekejian dan makian, ialah: apa yang diriwayatkan oleh 'Aisyah bahwa para isteri Nabi saw mengutus Fatimah kepada Nabi saw Maka datanglah Fatimah kepada Nabi saw seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Aku diutus oleh isteri‑isteri engkau kepada engkau. Mereka meminta pada engkau keadilan tentang anak perempuan Abi Qu­hafah. Nabi saw waktu itu sedang tidur. Lalu beliau menjawab: "Hai puteriku Adakah engkau sayang, akan apa yang aku sayang?” Fatimah menjawab: "Ya! Lalu Nabi saw  menyambung: "Yang lebih aku sayang, ialah: ini ('Aisyah) Maka kembalilah Fatimah kepada para isteri Nabi saw dan menceritera­kan yang demikian kepada mereka. Lalu mereka itu menjawab: “Tiada sedikitpun engkau membawa manfa'at kepada kami". Lalu mereka mengutus Zainab binti Jahsyin. 'Aisyah mengatakan: "Zainab itu mengalahkan aku tentang kecintaan Nabi saw". Maka datanglah Zainab, lalu ia berkata: “Anak perempuan Abubakar‑a­nak perempuan Abubakar". 'Aisyah meneruskan ceriteranya: "Maka senantiasalah disebutnya aku. Dan aku diam saja. Aku menunggu diizinkan oleh Rasulu'llah saw bagiku untuk menjawab. Lalu beliau mengizinkan bagiku. Maka aku maki Zainab itu, sampai kering lidahku. Lalu Nabi saw bersabda: “Jangan!” Sesungguhnya dia itu puteri Abubakar". Ya'ni: jangan lawan dia sekali‑kali pada perkataan. Kata 'Aisyah! "Aku maki dia”, tidaklah maksudnya keji. Tetapi ada­lah jawaban dari perkataan Zainab dengan kebenaran dan menghadapinya dengan kebenaran.
Nabi saw bersabda: "Dua orang yang maki‑memaki itu, ialah apa yang dikatakan oleh keduanya. Tanggung jawab adalah atas yang memulai, sehingga yang ter­aniaya itu melewati batas". Maka diakui adanya hak bagi yang teraniaya membela diri, sampai ia mele­wati batas. Maka kadar inilah yang diperbolehkan oleh mereka (golongan yang memperbolehkan dihadapi makian itu). Dan itu suatu keringanan (pembolehan) pada menyakitkan orang, sebagai balasan atas menyakitkan yang terdahulu dari si penganiaya itu. Dan keringanan (pembolehan) tersebut, tidak jauh (tidak melebihi) pada kadar tadi. Akan tetapi, yang lebih utama, ialah: meninggalkan pembalasan itu. Karena akan menghela kepada yang sebaliknya. Dan tidak mungkin menuntut bela itu terbatas menurut kadar yang benar. Berdiam diri dari ja­waban yang pokok itu, semoga lebih mudah daripada memasuki pada ja­waban dan berhenti atas batas syara’(agama) padanya. Akan tetapi sete­ngah manusia, tidak sanggup menahan diri tentang cepatnya marah. Bah­kan marah itu kembali dengan segera. Dan setengah manusia, dapat men­cegah dirinya dari kemarahan pada permulaan. Akan tetapi ia akan den­dam untuk selama‑lamanya. Dan manusia itu mengenai kemarahan ada 4 macam:
1.      Sebahagian me­reka seperti batang halfa' (menyerupai pelepah kurma), lekas terbakar dan lekas padam.
2.      Sebahagian mereka seperti batang ghadia/tumbuh dipergu­nungan dan kayunya sangat keras, lambat terbakar & lambat padam.
3.      Se­bahagian mereka, lambat terbakar dan lekas padam. Dan itu terpuji, selama tidak berkesudahan kepada lunturnya kepanasan hati dan cemburu.
4.      Dan  sebahagian mereka, lekas terbakar dan lambat pa­dam. Inilah yang terjahat dari mereka.
Dan pada hadits tersebut: "Orang mu'min itu lekas marah dan lekas rela (mema'afkan)". Maka ini dengan itu. Asy‑Syafi’i ra berkata: "Barangsiapa dibuat orang supaya marah tetapi ia tidak marah, maka itu keledai. Dan barangsiapa dibuat orang supaya rela, tetapi tidak rela, maka itu setan".
Abu Said Al-Khudri berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Ketahuilah, bahwa anak Adam itu dijadikan dalam tingkat yang bermacam‑macam. Setengahnya, lambat marah dan lekas kembali (memaafkan). Setengahnya, lekas marah dan Iekas memaafkan. Maka itu dengan itu. Setengahnya, lekas marah dan lambat memaafkan. Maka ketahuilah, bah­wa yang baik dari mereka, ialah: lambat marah dan lekas memaafkan. Dan yang buruk dari mereka, ialah: lekas marah dan lambat memaafkan".
Manakala kemarahan itu berkobar dan membekas pada setiap manusia, niscaya wajiblah atas penguasa (sultan), tidak menjatuhkan hukuman ter­hadap seseorang, pada waktu ia sedang marah. Karena yang demikian itu kadang‑kadang akan melampaui yang seharusnya. Dan karena yang demi­kian itu kadang‑kadang ia sedang marah kepada orang tersebut. Maka hu­kuman itu untuk menyembuhkan kemarahannya dan menyenangkan diri­nya dari kepedihan marah. Maka ia dalam hal yang demikian, mempunyai kepentingan. Dan sayogialah kiranya pembalasan dendam dan pembelaan diri itu, karena Allah Ta'ala. Tidak karena dirinya sendiri.
Umar ra melihat seorang pemabuk. Maka ia bermaksud mengambil orang tersebut dan menghukumnya. Lalu pemabuk itu memaki Umar ra. Maka Umar ra pun pulang. Lalu ditanyakan kepadanya: "Hai Amirul‑mu’­minin! Tatkala orang itu memaki engkau, mengapa engkau tinggalkan dia?"  Umar ra menjawab: "Karena dia itu telah membuatku marah. Jikalau aku hukum dia, niscaya adalah yang demikian, karena kemarahanku bagi diriku sendiri. Dan aku tidak suka, memukul seorang muslim karena ke­pentingan diriku sendiri". Umar bin Abdul‑aziz ra berkata kepada seorang laki‑laki yang membuat­nya marah: "Jikalau tidaklah engkau telah membuat aku marah, niscaya aku hukum engkau".
PEMBICARAAN tentang arti dendam dan natijah (hasilnya) dan keuta­maan ma'af dan kasih‑sayang.
Ketahuilah, bahwa marah itu apabila harus ditahan, niscaya akan lemah dari kesembuhannya dalam seketika. Ia kembali kedalam dan tertahan disi­tu. Lalu, menjadi: dendam. Arti dendam, ialah: hati itu terus merasa berat, marah dan lari hati dari orang yang didendam. Yang demikian itu terus‑menerus dan berkekalan. Nabi saw bersabda: "Orang mu'min itu tidak pendendam". Maka dendam itu buah marah. Dan dendam itu membuahkan delapan per­kara:
1.      Dengki. Yaitu: engkau dibawa oleh dendam untuk bercita‑cita hi­langnya nikmat, dari orang yang didendamkan. Maka engkau berduka‑cita dengan nikmat, yang diperoleh oleh orang yang didendamkan. Dan engkau bergembira dengan musibah (mala‑petaka) yang turun kepada orang yang didendamkan. Dan ini termasuk perbuatan orang‑orang munafiq. Dan akan datang pen­jelasan tercelanya, insya Allah Ta’ala.
2.      Bahwa anda menambahkan penyembunyian dengki dalam batin an­da. Maka anda gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang diden­damkan.
3.      Bahwa anda tidak berbicara & berteguran dengan orang yang an­da dendamkan. Dan anda memutuskan silaturrahim dengan dia, walaupun ia meminta & datang kepada anda.
4.      Yaitu kurang dari yang tadi. Anda berpaling muka dari orang itu, untuk menghinakannya.
5.      Anda memperkatakan tentang orang itu, dengan yang tidak halal, dari kedustaan, umpatan, membuka rahasia, merusak yang harus ditutup dan lain‑lain.
6.      Anda meniru tingkah‑lakunya untuk mengejek dan menghina.
7.      Menyakitinya dengan memukul dan dengan apa yang menyakit­kan badannya.
8.      Anda larang dia dari haknya, yaitu: pembayaran hutang atau silaturrahim atau menolak kezaliman. Dan semua itu haram.
Derajat dendam yang paling kurang, ialah: anda menjaga dari bahaya, 8perkara tersebut. Dan anda tiada keluar dengan sebab dendam itu kepada perbuatan, dimana anda berbuat maksiat kepada Allah dengan per­buatan itu. Akan tetapi, anda pikul beratnya itu pada batin anda & ti­dak anda larang hati anda daripada memarahinya. Sehingga dengan itu, an­da tercegah dari perbuatan tathawwu'(amal perbuatan sunat yang mempe­roleh pahala) seperti: bermanis muka, kasih‑ sayang, menolong, bangun melaksanakan keperluan orang yang didendamkan, duduk‑duduk bersama orang tersebut untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, tolong‑menolong atas ke­manfa'atan bagi orang itu. Atau dengan meninggalkan berdo'a & memuji kepada orang tersebut. Atau dengan meninggalkan penggerakan kepada perbuatan kebaikan & pertolongan bagi orang yang didendamkan. Maka yang tersebut ini semuanya, termasuk yang mengurangkan darajat engkau pada Agama & yang mendidingkan antara engkau & keuta­man besar & pahala banyak, walaupun tidak akan mendatangkan eng­kau kepada siksaan Allah
Tatkala Abubakar ra bersumpah tidak akan memberi belanja (bantuan nafkah) lagi, kepada Musattah bin Anasah & Musattah ini adalah kera­batnya (karena ibu Musattah anak perempuan tante Abubakar). Karena Musattah itu suka memperkatakan peristiwa palsu (waqi'atul‑ifki)­. Maka turunlah firman Allah Ta’ala: "Orang‑orang yang mempunyai kekayaan dan kelapangan dianta­ra kamu, janganlah bersumpah, bahwa mereka tiada akan memberi kepada kerabat, orang‑orang miskin dan orang‑orang yang berpindah di jalan Al­lah, tetapi hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada! Ti­adakah kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu S 24 An Nur ayat 22. Lalu Abubakar ra berkata: "Ya! Kami suka yang demikian". Dan ia kem­bali memberi belanja kepada Musattah. Yang lebih utama bahwa terus berkekalan kepada apa yang telah ada. Kalau mungkin ditambahkannya berbuat ihsan (berbuat baik) karena berjihad untuk jiwa dan memaksakan setan. Itulah maqam (kedudukan) orang‑orang shiddiq (yang membenarkan Allah dan RasulNya). Dan itu termasuk amal utama bagi orang‑orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Bagi orang yang didendamkan mempunyai 3 hal, ketika sanggup
1.      Bahwa ia mengambil dengan sempurna haknya yang dipikirkannya, tanpa lebih & kurang. Dan itulah keadilan.
2.      Bahwa ia berbuat berbuat baik kepada pendendam, dengan mema'afkan & bersilaturrahim & yang demikian adalah keutamaan.
3.      Bahwa ia berbuat zalim kepada pendendam, dengan yang tidak dimustahakkannya (dipikirkannya/tidak layak dimilikinya). Dan itu adalah kezaliman.
Dan itu adalah usaha orang‑orang yang terpandang hina. Dan yang nomor dua diatas, adalah usaha orang‑orang shiddiq. Dan yang nomor satu tadi, adalah darajat penghabisan bagi orang‑orang sa­lih. Dan akan kami terangkan sekarang, keutamaan memberi ma'af dan berbuat ihsan.
KEUTAMAN  memberi ma'af dan berbuat ihsan (berbuat baik).
Ketahuilah, bahwa arti ma'af (memberi ma'af) ialah; bahwa ia berhak akan sesuatu hak. Lalu hak tersebut digugurkannya (dihilangkannya) dan dilepaskannya dari orang yang harus menunaikan hak tersebut, seperti: qishash(ambil bela) atau denda. Dan itu bukan tidak lekas marah dan menahan kemarahan. Maka karena itulah, kami sendirikan menjelaskannya.
Allah Ta’ala berfirman: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik & tinggalkanlah orang‑orang yang tidak berpengetahuan itu!”. S 7 A'raaf ayat 199. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau kamu ma'afkan, ma'af itu lebih dekat kepada kepa­tuhan kepada Tuhan". S 2 Al Baqarah ayat 237.
Rasulu'llah saw bersabda: "Tiga perkara, demi Allah yang nyawaku dalam kekuasaanNYA, Jikalau aku bersumpah, niscaya akan aku bersumpah atas kebenaran yang tiga perkara itu. Yaitu: tiada berkurang harta dari bersedekah, maka ber­sedekahlah! Tiada dima'afkan oleh seseorang dari kezaliman, yang dica­rinya akan WAJAH ALLAH, melainkan ia ditambah oieh Allah akan ke­muliaan pada hari kiamat. Dan tiada dibuka oleh seseorang atas dirinya pintu meminta‑minta, melainkan dibuka oleh Allah kepadanya pintu kemis­kinan".
Nabi saw bersabda: "Tawadlu' (merendahkan diri) itu, tidak menam­bahkan bagi hamba Allah, melainkan ketinggian. Maka bertawadlu'lah, niscaya kamu akan ditinggikan oleh Allah! Memberi ma'af tiada akan me­nambahkan harta, melainkan banyak. Maka bersedekahlah, niscaya kamu akan dicurahkan rahmat oleh Allah".
'Aisyah berkata: "Tiada pernah sekali‑kali aku melihat Rasulu'llah saw membela diri dari kezaliman yang dizalimi orang, selama tidak me­langgar segala yang diharamkan oleh Allah. Apabila melanggar sesuatu yang diharamkan oleh Allah, niscaya Rasulu'llah saw yang paling marah pada yang demikian. Rasulu'llah saw tiada memilih diantara dua perkara, melainkan beliau pilih yang lebih mudah diantara kedua perkara tersebut, selama tidak mendatangkan dosa".
'Uqbah bin 'Amir AI‑Jahni ra berkata: “Pada suatu hari aku bertemu de­ngan Rasulu'llah saw . Maka bersegeralah aku mengambil tangannya atau ia bersegera mengambil tanganku, seraya beliau bersabda: "Hai 'Uqbah! Apakah tidak aku terangkan kepadamu, akhlak penduduk dunia dan akhirat yang paling utama?. Yaitu: engkau menyam­bung silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau. Engkau memberikan kepada orang yang mengharamkan (tiada mau memberikan) kepada engkau. Dan engkau memberi ma'af kepada orang yang berbuat zalim kepada engkau".
Nabi saw bersabda: Nabi Musa as bertanya kepada Tuhan: "Hai Tu­hanku! HambaMU yang mana yang lebih mulia pada sisiMU?”. Allah Ta’­ala berfirman: "Yaitu: orang, apabila ia sanggup membalas, lalu mema'af­kan". Begitu pula, Abud‑Darda' ra ditanya orang, tentang manusia yang termu­lia, maka ia menjawab: "Yang mema'afkan, apabila ia sanggup membalas. Maka ma'afkanlah, niscaya kamu akan dimuliakan oleh Allah!”.
Seorang laki‑laki datang kepada Nabi saw mengadu tentang kezaliman yang dialaminya. Lalu Nabi saw menyuruhnya duduk, sedang ia bermak­sud hendak mengambil orang zalim itu dengan sebab kezalimannya. Lalu Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang‑orang yang dizalimi, mereka itulah yang memperoleh kemenangan pada hari kiamat". Maka orang tersebut, enggan mengambil balasan kezaliman itu ketika mendengar hadits tadi.
'Aisyah berkata Rasulu'llah saw bersabda: “Barangsiapa berdo'a (dengan yang tidak baik) atas orang yang berbuat zalim kepadanya maka ia telah membela diri". Dari Anas, yang berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Apabila Allah membangkitkan para makhluk pada hari kiamat, Ialu menyerulah penyeru dari bawah 'Arasy dengan tiga suara: "Hai golongan orang‑orang yang meng‑esa‑kan Tuhan (golongan keesaan)! Sesungguhnya Allah sudah memaafkan dosamu, maka ma'afkanlah sebahagian kamu dari sebahagian yang lain!”.
Dari Abi Hurairah, bahwa: "Rasulullah saw tatkala membuka Makkah (menaklukkan Makkah), bertawaf (mengelilingi 7X) Baitu'llah dan mengerjakan shalat dua raka'at. Kemudian, beliau mendatangi ka'bah, Ialu memegang dua kayu dari kedua pinggir pintunya, seraya bersabda: "A­pakah yang kamu katakan? Apakah yang kamu sangka?". Lalu mereka menjawab: "Kami mengatakan: Saudara, Anak paman, yang tidak lekas marah, yang pengasih". Mereka mengatakan yang demikian: 3X. Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Aku berkata, sebagaimana Yusuf berkata: “Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini. Allah Mengampunkan dosa kamu. Allah Maha Pengasih dari yang Pengasih”. S 12 Yusuf ayat 92.
Abu Hurairah mengatakan: “Lalu orang banyak keluar, seolah‑olah mere­ka keluar dari kuburan. Maka mereka Ialu masuk Agama Islam". Dari Suhail bin 'Amr, yang berkata: "Tatkala Rasulu'llah saw datang di Makkah, lalu beliau meletakkan dua tangannya atas pintu Ka'bah dan ma­nusia banyak dikelilingnya. Lalu Rasulu'llah saw mengucapkan: “Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah Tuhan Yang Maha E­sa, yang tiada mempunyai sekutu. IA benarkan dalam menepati janjiNYA. IA to­long hambaNYA. Dan IA hancurkan kelompok‑kelompok musuh, DIA Yang Maha Esa". Kemudian, Rasulu'llah saw bersabda: "Hai jama'ah Qurasy! Apa yang kamu katakan dan apa yang ka­mu sangka?". Suhail bin 'Amr tadi berkata: "Lalu aku menjawab: "Wahai Rasulu'llah Kami katakan yang baik dan kami menyangka yang baik. Saudara yang mu­lia dan anak paman yang kasih sayang dan engkau sanggup (mempunyai kekuasaan)". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Aku akan mengatakan sebagaimana saudaraku Yusuf mengatakan: “Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini. Allah akan mengampunkan dosa kamu”. (S 12 Yusuf ayat 92).
Dari Anas, yang mengatakan: "Rasulu'llah saw  bersabda:  "Apabila hamba‑hamba Allah bangun berdiri nanti pada hari ki­amat, lalu penyeru menyerukan: "Hendaklah berdiri orang, yang pahala­nya pada Allah! Maka hendaklah ia masuk ke sorga!”. Lalu Rasulu'llah saw ditanyakan: "Siapakah kiranya orang yang mem­punyai pahala pada Allah?". Rasulu'llah saw menjawab: "Orang-orang yang mema'afkan kesalahan orang. Lalu orang‑orang tersebut, berdiri, sekian ribu, sekian ribu banyaknya. Mereka itu masuk kesorga, dengan tanpa perkiraan amalannya (tanpa hisaab)".
Ibnu Mas’ud berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Tiada sayogialah bagi seorang penguasa suatu urusan (pemerintah atau hakim), yang dibawa ke­padanya suatu perkara untuk dihukum, melainkan ia menegakkan hukuman (melaksanakan hukuman) itu. Dan Allah Maha Pema'af, yang menyukai kema'afan". Kemudian Rasulu'llah saw membaca ayat: “Dan hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada! Ti­adakah kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu? Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang". S 24 An Nur ayat 22.
Jabir bin Abdullah AI‑Anshari ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda:"Tiga perkara, barangsiapa mendatangkan (melaksanakan) tiga perkara itu serta keimanan, niscaya ia masuk sorga dari pintu mana saja yang dikehen­dakinya. Dan ia dikawinkan dengan bidadari/bidadara, yang mana saja yang dikehen­dakinya. Yaitu: orang yang membayar hutang yang tersembunyi (kepada yang berhak, yang tiada mengetahui lagi piutangnya), orang yang membaca di­belakang tiap‑tiap shalat yang lima: Qulhua'llaahu ahad 10 X  dan orang yang mema'afkan pembunuhnya (ia dibunuh, lalu mema'afkan pembunuh­nya, sebelum ia mati)".
Lalu Abubakar ra bertanya: "Atau satu saja, wahai Rasulu'llah?”. Nabi saw menjawab: "Atau satu saja dari yang tiga itu. Menurut al‑aatsaar diantara lain kata Ibrahim At‑Taimi: "Sesungguhnya seorang laki‑laki yang berbuat zalim kepadaku, maka aku akan kasih‑sayang kepadanya". Ini adalah ihsan (berbuat baik), dibalik mema'afkan. Karena laki‑laki ter­sebut mempekerjakan hatinya, mendatangkan perbuatan maksiat kepada Al­lah Ta’ala, dengan kezaliman. Dan ia akan dituntut pada hari kiamat, lalu ia tiada mempunyai jawaban. Setengah mereka berkata: "Apabila Allah berkehendak menganugerahkan hadiah kepada seorang hambaNYA, niscaya dikuasakanNYA seseorang yang akan berbuat zalim kepada hamba itu".
Seorang laki‑laki masuk ke tempat Umar bin Abdul‑aziz ra. Laki‑laki itu Ialu mengadu kepada khalifah tadi, bahwa ada orang yang berbuat zalim kepa­danya dan memperkatakannya (dengan yang tidak baik). Lalu Umar men­jawab kepada laki‑laki itu: "Sesungguhnya engkau, jikalau engkau bertemu dengan Allah dan kezaliman yang diperbuat orang kepada engkau begitu a­danya, adalah lebih baik engkau daripada engkau bertemu dengan Allah dan engkau sudah mengambil bela atas kezaliman tersebut".
Yazid bin Maisarah berkata: "Kalau engkau senantiasa berdo'a(yang tidak baik) terhadap orang yang berbuat zalim atas engkau, maka Allah Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya orang lain akan berdo'a terhadap engkau, bahwa engkau berbuat zalim atas dia. Jikalau engkau kehendaki, niscaya KAMI te­rima untuk engkau dan KAMI terima yang atas engkau. Dan kalau engkau kehendaki, niscaya AKU kemudiankan kedua engkau sampai hari kiamat, Ma­ka akan melapangkan kedua engkau oleh kema'afanKU”.
Muslim bin Yassar berkata kepada seorang laki‑laki yang berdo'a terhadap orang yang berbuat zalim kepadanya: "Setiap orang zalim itu kepada kezaliman nya. Maka orang zalim itu lebih cepat kepada kezalimannya, dari do'a engkau atasnya. Kecuali, disusulinya dengan amalan yang baik dan ia ber­maksud tidak memperbuatnya".
Dari Ibnu Umar, yang diterimanya dari Abubakar, dimana Abubakar ra berkata: "Sampai kepada kami berita dari Nabi saw bahwa Allah Ta’ala menyuruh penyeru pada hari kiamat. Lalu penyeru itu menyerukan: "Ba­rangsiapa mempunyai sesuatu pada Allah, maka hendaklah ia bangun berdiri!”. Maka bangunlah berdiri orang‑orang yang mema'afkan kesalahan orang. Lalu mereka diberi balasan oleh Allah, dengan apa yang ada, dari kema'afan mereka kepada manusia”.
Dari Hisyam bin Muhammad, yang mengatakan: "An‑Nu'man bin AI‑Munzir datang dengan dua orang laki‑laki, yang mengatakan: An Nu’man bin Al Munzir datang dengan 2 orang laki-laki. Yang seorang telah berbuat dosa besar, lalu dima'afkannya. Dan yang seorang lagi berbuat dosa ringan, lalu disiksanya, seraya ia bermadah:
Raja‑raja itu mema'afkan,
Dari dosa‑dosa besar,
Disebabkan limpahan kurnianya.
Pada dosa yang sedikit ia menyiksakan,
Dan bukanlah yang demikian,
Karena kebodohannya.............
Tetapi, supaya diketahui,
Ke‑tidak lekas marahannya.
Dan supaya ditakuti,  Akan sangat tipu‑dayanya.
Dari Mubarak bin Fadl‑dIalah, yang mengatakan: "Diutus Sawwar bin Ab­dullah dalam suatu rombongan dari penduduk Basrah kepada Abi Ja’far". Mubarak mengatakan: "Aku berada disisi Abi Jafar, ketika seorang laki‑laki dibawa kepadanya, lalu disuruhnya supaya dibunuh. Maka aku bertanya: "Dibunuh seorang laki‑laki dari kaum muslimin, sedang aku hadir disitu?". Lalu aku menyambung: "Hai Amirul mu'minin! Apakah tidak aku terangkan kepada engkau suatu hadits, yang aku dengar dari Al-Hasan AI‑Bashari?”. Abi Ja’far menjawab: "Apakah hadits itu?”. Aku berkata: "Aku mendengar Al-Hasan berkata: "Apabila telah ada hari kiamat, Ialu Allah 'Azza wa Jalla (Allah Maha Mulia & Maha Besar) mengumpulkan manusia pada suatu dataran tinggi, dimana mereka didengar oleh pemanggil dan tembus pemandangan kepada mereka oleh penglihatan. Lalu penyeru berdiri, seraya berseru: "Si­apa yang mempunyai tangan pada sisi Allah, maka hendaklah berdiri!”. Lalu tiada yang berdiri, selain orang yang mema'afkan kesalahan orang lain. Lalu Abi Jafar menjawab: "Wa’Ilahi, demi Allah! Aku sudah mendengarnya dari Al-Hasan". Maka aku menjawab: "Wa'llahi, demi Allah! Aku sudah mendengarnya dari Al-Hasan". Lalu Abi Ja'far menyambung: "Kita lepaskan orang itu".
Mu'awiyah berkata: "Kamu harus hilmun (tidak lekas marah) dan me­nanggung penderitan!. Sehingga memungkinkan bagimu kesempatan. Apa­bila kesempatan memungkinkan bagimu, maka haruslah kamu berlapang da­da dan berbuat keutamaan!”.
Diriwayatkan, bahwa seorang rahib (pendeta) masuk ketempat Hisyam bin Abdulmalik. Lalu Hisyam bin Abdulmalik bertanya kepada rahib tadi: "A­pakah pendapat engkau tentang Zulkarnain? Apakah ia seorang nabi?". Pendeta itu menjawab: "Tidak! Akan tetapi ia diberikan, apa yang telah diberikan, disebabkan 4 perkara yang ada padanya. Yaitu: Apabila ia berkuasa, niscaya ia mema'afkan. Apabila ia berjanji, niscaya ia tepati. Apa­bila ia berbicara, niscaya ia benar. Dan ia tidak mengumpulkan pekerjaan hari ini untuk besok”.
Sebahagian mereka berkata: “Tidaklah orang yang tidak lekas marah/orang halim itu, orang yang dianiaya, Ialu tidak lekas marah, sehingga apabila ia mampu, maka ia membalas dendam. Tetapi orang halim, ialah orang yang dianiaya, lalu tidak Iekas marah. Sehingga apabila ia mampu, maka ia me­ma'afkan".
Zayyad berkata: "Kekuasaan itu menghilangkan al‑hafiidhah. Ya'ni: dendam dan marah. Dibawa kepada Hisyam bin Abdulmalik, seorang laki‑laki, yang sampai ke­pada Hisyam, ada urusan yang tidak disenangi oleh Hisyam. Tatkala laki‑laki tersebut disuruh berdiri dihadapan Hisyam, lalu ia berbicara dengan mengemukakan alasan (hujjah). Maka Hisyam berkata kepada orang tadi: "Eng­kau berbicara pula?". Orang itu menjawab: "Wahai Amirul‑mu'minin! Allah 'Azza wa Jalla ber­firman: "(Ingatlah) akan hari dimana tiap‑tiap diri datang membela dirinya sendiri" S 16 An Nahl ayat 111. Apakah kita akan membela diri dihadapan Al­lah Ta’ala dan tiada berkata‑kata, sepatah katapun dihadapan engkau?". Hisyam menjawab: "Ya, berbicaralah!”.
Diriwayatkan, bahwa seorang pencuri masuk ke kemah 'Ammar bin Yasir di Shiffin. Lalu orang mengatakan kepada 'Ammar: "Potonglah tangannya! Ka­rena dia termasuk musuh kita". Lalu Ammar menjawab: "Bahkan akan aku tutup perbuatannya. Mudah‑mu­dahan Allah akan menutup dosaku pada hari kiamat". Ibnu Mas'ud duduk pada sebuah toko, akan membeli makanan. Lalu di­belinya. Kemudian, dicarinya dirham dan dirham itu ada dalam surbannya. Maka didapatinya surban itu sudah terbuka, lalu ia berkata: "Aku tadi duduk dan dirham itu bersama aku". Maka orang banyak berdo'a (yang tidak baik) terhadap orang yang mengam­bil dirham itu. Mereka berdo'a: “Wahai Allah Tuhanku! Potonglah tangan pencuri yang mengambil uang dirham itu! Wahai Allah Tuhanku Buatlah demikian pada orang itu!”. Lalu Abdullah Ibnu Mas'ud tadi berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku jikalau yang mendorong orang itu kepada mengambilnya oleh suatu keperluan, maka anugerahilah barakah bagi orang itu kepada mengambilnya oleh suatu ke­perluan, maka anugerahilah barakah bagi orang itu pada dirham tersebut! Dan jikalau yang mendorongnya oleh keberanian kepada berbuat dosa, maka jadikanlah dosa itu, sebagai dosanya yang terakhir!”.
AI‑Fudlail berkata: "Aku belum pernah melihat orang yang lebih zuhud, dari seorang laki‑laki dari penduduk Khurasan, yang duduk dekat aku di Masjidil ­haram. Kemudian, ia berdiri untuk mengerjakan thawaf. Lalu dicuri orang u­ang dinar yang ada padanya. Maka membuat ia menangis. Lalu aku bertanya: "Adakah engkau menangis atas hilangnya dinar itu?". Maka ia menjawab: "Tidak! Tetapi dinar itu menyakitkan aku dan orang itu dihadapan Allah 'Azza wa Jalla. Lalu hampirlah akalku kepada membatalkan hajinya. Maka tangisanku adalah rahmat (kasih sayang) bagi pencuri itu.
Malik bin Dinar berkata: “Pada suatu malam kami datang ke tempat AI­ Hakam bin Ayyub. Dan ia adalah amir (penguasa) Basrah. Dan datanglah Al-Hasan dan dia itu dalam ketakutan. Lalu kami masuk bersama AI‑Hasan. Ma­ka tidak adalah kami bersama Al-Hasan, selain seperti anak ayam kecil‑kecil. Lalu Al-Hasan menerangkan kisah Nabi Yusuf as dan apa yang diperbuat oleh saudara‑saudaranya. Diantara lain, mereka menjual Yusuf dan melem­parkannya dalam sumur. Lalu AI‑Hasan berkata: "Mereka menjual sauda­ranya dan mereka menggundahkan ayahnya". Dan disebutkan oleh AI‑Ha­san, apa yang dialami Yusuf, tentang tipuan wanita dan dipenjarakan. Kemu­dian Al-Hasan menyambung: "Hai Amir! Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan Yusuf ? Allah menjadikan masa itu beredar bagi Yusuf dari mereka. Allah mengangkat sebutan Yusuf, meninggikan namanya dan menjadikannya menguasai gudang‑gudang makanan di bumi. Apakah yang diperbuat oleh Yusuf, ketika telah sempurna urusannya dan berkumpul semua keluarganya? Yusuf as, berkata: “Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tidak ada pencelaan (penyesalan) apa‑apa kepada kamu. Allah kiranya mengampuni kesalahan kamu. Dan dia Maha Pemurah dari segala orang‑orang yang pemurah". S 12 Yusuf a­yat 92. Al-Hasan mengemukakan kepada AI‑Hakam, untuk mema'afkan teman‑te­mannya. AI‑Hakam menjawab: "Maka aku mengatakan: “Pada hari ini tidak ada pen­celaan (penyesalan) apa‑apa kepada kamu. Jikalau tiada aku peroleh, selain kainku ini, niscaya akan aku tutupkan kamu dibawahnya".
Ibnul‑Muqaffa' menulis sepucuk surat kepada temannya, dimana ia meminta ma'af dari kesalahan sebahagian teman‑temannya, yang isinya diantara lain: "Si Anu lari dari kesalahannya kepada kema'afan engkau, yang merasa enak dari engkau, dengan engkau. Dan ketahuilah, bahwa dosa itu tidak ber­tambah besar, melainkan kema'afan itu bertambah keutamaan".
Dibawa orang Asara bin AI‑Asy'ats kepada khalifah Abdul‑malik bin Mar­wan. Lalu Abdul‑Malik bertanya kepada Raja'bin Haiwah: "Apa pendapatmu?”. Raja menjawab: "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kepada engkau kemenangan yang engkau sukai. Maka berikanlah kepada Allah ke‑ma'afan yang disukaiNYA". Lalu Abdul‑malik bin Marwan mema'afkan mereka. Diriwayatkan, bahwa Ziyad (gubernur Irak) mengambil (menangkap) seorang laki‑laki dari golongan khawarij. Lalu laki‑laki itu lepas melarikan diri dari tahanan. Maka Ziyad menangkap saudara dari laki‑laki tadi, seraya ber­kata kepadanya: "Jikalau engkau bawa saudaramu, maka engkau akan bebas Jikalau tidak, maka akan aku pukul (potong) lehermu". Laki‑laki yang ditangkap itu menjawab: “Bagaimana pendapat engkau, jika­lau aku bawa kepada engkau surat dari Amirul‑mu'minin, apakah engkau a­kan melepaskan aku?". Ziyad menjawab: "Ya!”. Laki‑laki tadi lalu berkata: "Maka aku akan membawa kepada engkau surat (kitab) dari Yang Maha kuasa lagi Yang Maha bijaksana. Dan akan aku te­gakkan dua saksi: “Ibrahim dan Musa". Kemudian, laki‑laki tersebut, memba­ca ayat: "Atau belumkah diberitakan kepadanya apa yang didalam surat-su­rat Musa. Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)? Yaitu, bahwa seorang pemikul beban tiada dapat memikul beban orang lain". S 53 An Najm ayat 36,37,38. Lalu Ziyad berkata: "Lepaskan jalannya! Ini laki‑laki telah mengajarkan hujjahnya (alasannya)". Ada yang mengatakan, bahwa tertulis dalam Injil  maksudnya "Ba­rangsiapa meminta ampun bagi orang yang berbuat zalim kepadanya, maka ia telah mengalahkan setan"
KEUTAMAAN BELAS KASIHAN.
Ketahuilah, bahwa belas kasihan itu terpuji. Dan lawannya, ialah: kasar dan tabiat tajam (keras). Tabiat kasar itu natijah/hasil keyakinan marah dan jahat perangai. Belas kasihan dan lemah lembut itu hasil kebagusan akhlak dan penurut (mu­dah dan tidak kaku). Kadang‑kadang, sebab tabiat tajam (keras) itu, ialah: marah. Dan kadang‑kadang sebabnya, ialah: sangat loba dan berkuasanya lo­ba itu (pada hati), dimana mencengangkannya, tanpa berpikir dan mence­gahkannya dari tetapnya pendirian. Maka belas kasihan dalam segala urusan itu buah (hasil), yang tidak dibu­ahkan (dihasilkan), selain oleh kebagusan akhlak. Dan akhlak itu tidak akan bagus, selain dengan mengekang kekuatan marah dan kekuatan nafsu‑syah­wat. Dan menjaganya pada batas sederhana. Dan karena inilah, Rasulu'llah saw memuji kelemah‑lembutan dan bersangatan pujinya. Seraya beliau bersabda: "Hai Aisyah! Sesungguhnya, barangsiapa diberikan bahagiannya dari kelemah‑lembutan, maka sesungguhnya ia telah diberikan bahagiannya dari kebajikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa tiada di­beranikan bahagiannya dari kelemah‑lembutan, maka ia telah tiada diberikan bahagiannya, dari kebajikan dunia dan akhirat".
Rasulu'llah saw bersabda: "Apabila Allah mengasihi keluarga suatu rumah tangga, niscaya di­masukkan Allah kepada mereka sifat belas‑kasihan". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah akan memberikan diatas belas‑kasihan, apa yang tidak diberikan Allah, diatas perbuatan yang tidak ada belas kasihan (khurqun). Dan apabila Allah mengasihi seorang hamba, niscaya diberikan­ Allah kepada hamba itu belas kasihan. Dan suatu keluarga suatu rumah tangga yang tidak diberikan belas kasihan, maka mereka diharamkan (tidak diberikan) kasih sayang Allah Ta’ala".
Aisyah berkata: "Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah itu sangat belas‑kasihan, yang sangat menyu­kai belas kasihan. Dan memberikan apa yang tidak diberikan Allah atas keka­saran". Nabi saw bersabda: "Hai Aisyah! Belas‑kasihanilah! Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila berkehendak kemulian (karamah) kepada keluarga suatu ru­mah tangga, niscaya mereka ditunjuki Allah pintu belas‑kasihan". Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengharamkan (tiada memberikan) be­las‑kasihan, niscaya ia di haramkan (tiada diberikan) kebajikan semua­nya".
Nabi saw bersabda: "Wali (penguasa pada suatu golongan) manapun, yang memerintah. Lalu ia belas‑kasihan dan lemah‑lembut, niscaya ia dikasihani oleh Allah Ta’­ala pada hari kiamat". Nabi saw bersabda: "Tahukah kamu orang yang diharamkan (tidak dima­sukkan) ke neraka pada hari kiamat? Yaitu: tiap‑tiap orang yang tidak kaku, lemah‑lembut, mudah berurusan dan bersifat mendekati". Nabi saw bersabda: "Sifat belas kasihan itu suatu nikmat dan sifat tidak be­las kasihan itu suatu sifat serakah".
Nabi saw bersabda: "Pelan‑pelan itu dari Allah dan tergopoh‑gopoh itu dari setan". Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah saw didatangi oleh seorang laki‑laki. Lalu orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberkahi sekalian kaum muslimin pada engkau. Maka khususkanlah (ten­tukanlah) kebajikan bagiku dari engkau!”. Maka Nabi saw membaca: “Alhamdulil‑laah” 2 X atau 3 X. Kemudian Nabi saw menghadapkan pertanyaannya kepada orang itu, se­raya bersabda: "Adakah engkau meminta wasiat (nasehat)?". 2 X atau 3 X, Nabi saw menanyakannya. Orang itu menjawab: "Ya!”. Nabi saw lalu bersabda: "Apabila engkau menghendaki suatu urusan, maka pikirkanlah akibatnya! Kalau baik, maka teruskanlah! Dan jikalau tidak demikian, Maka hentikanlah!”.
Dari 'Aisyah: "Bahwa 'Aisyah ada bersama Rasulu'llah saw dalam suatu perjalanan, atas unta yang sukar dikendalikan. Lalu 'Aisyah mema­lingkan unta itu ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulu'llah saw bersabda: "Hai 'Aisyah! Engkau harus belas‑kasihan! Sesungguhnya belas kasihan apabila masuk pada sesuatu, niscaya ia akan menghiasi sesuatu itu. Dan bila tercabut belas‑kasihan dari sesuatu, maka akan merusakkan sesuatu tersebut".
Al‑atsar  diantara lain ialah: telah sampai berita kepada Umar bin Al-Khatab ra, bahwa suatu jama'ah dari rakyatnya, menyampaikan pengaduan dari hal karyawan‑karyawan Umar. Lalu Umar  menyuruh mereka bertemu de­ngan Umar. Tatkala mereka datang kepada Umar, maka Umar bangun ber­diri. Lalu beliau memuji Allah dan menyanjungNYA. Kemudian, beliau ber­kata "Hai manusia! Hai rakyat! Sesungguhnya kami mempunyai hak pada kamu menasehati dengan yang jauh dan tolong‑menolong diatas kebajikan. Hai para pemimpin rakyat! Sesungguhnya rakyat mempunyai hak atas kamu. Maka ketahuilah, bahwa tiada suatupun yang paling disukai Allah dan yang paling mulia, daripada tidak lekas marahnya imam (kepala) dan belas‑kasih­annya. Dan tiada kebodoban yang paling dimarahi Allah dan yang paling menduka­citakan, daripada bodohnya imam (kepala) dan  tidak lekas belas kasihannya. Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa mengambil dengan sehat pada orang yang ditengah‑tengahnya, maka ia akan dianugerahkan sehat dari orang yang dibawahnya".
Wahab bin Munabbih berkata: “Belas kasihan itu buah (hasiInya) tidak lekas marah". Pada hadits mauquf (berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus) dan marfu' (hadits atau sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi tetapi disampaikan juga), tersebut: “ilmu itu teman orang mu'min, tidak Iekas marah itu menterinya, akal itu penunjuknya, amal itu yang menilaikannya, belas kasihan itu ba­paknya, lemah‑lembut itu saudaranya dan sabar itu panglima tentara‑tenta­ranya".
Sebahagian mereka berkata: "Alangkah bagusnya iman, yang dihiaskan oleh ilmu! Alangkah bagusnya ilmu, yang dihiaskan oleh amal! Alangkah bagus­nya amal, yang dihiaskan oleh belas‑kasihan ! tiada ditambahkan sesuatu kepada sesuatu, seperti tidak Iekas marah (hilmun) kepada ilmu".
'Amr bin Al-Ash bertanya kepada anaknya Abdullah: Apakah belas‑kasih­an itu?".  Abdullah menjawab: “Bahwa engkau  mempunyai tetap pendirian. Lalu eng­kau berlemah‑lembut dengan wali-wali negeri/ penguasa‑ penguasa”. 'Amr bertanya lagi: "Apakah tidak belas‑kasihan itu?”. Abdullah menjawab: “Bermusuh‑musuhan dengan imam/kepala engkau dan menantang orang yang sanggup mendatangkan melarat atas engkau".
Sufyan bin‑Uyaynah bertanya kepada sahabat‑sahabatnya: "Tahukah kamu, apakah belas‑kasihan itu?”. Mereka itu menjawab: "Terangkanlah, hai Ayah Muhammad (panggilan ke­pada Sufyan)!”. Sufyan menjawab: "Bahwa engkau meletakkan segala perkara pada tem­patnya. Keras pada tempatnya. Lemah‑lembut pada tempatnya. Pedang pada tempatnya. Dan cemeti pada tempatnya”. Ini suatu isyarat, bahwa tak boleh tidak dari bercampurnya kekasaran dengan ke‑lemah‑lembutan dan kejahatan perangai dengan belas kasihan, sebagai­mana dikatakan pada suatu madah:
Meletakkan embun,
Pada tempat pedang dengan ketinggian,
itu melarat, seperti meletakkan,
Pedang pada tempat embun.
Maka yang terpuji, ialah pertengahan, antara keras dan lemah‑lembut, se­bagaimana pada akhlak‑akhlak lainnya. Akan tetapi, tatkala tabiat itu lebih cenderung kepada keras dan tajam, niscaya keperluan itu lebih banyak kepada menggemarkan pada segi belas kasihan. Maka karena itulah, pujian a­gama banyak kepada segi belas kasihan, tidak kepada sifat keras, walau pun sifat keras itu baik pada tempatnya. Sebagaimana sifat belas kasihan itu baik pada tempatnya. Maka apabila yang harus itu sifat keras, niscaya sesung­guhnya telah bersesuaian kebenaran dengan hawa‑nafsu. Dan itu lebih enak dari susu dalih yang dicampurkan dengan madu putih. Dan begitulah seterusnya .............
Umar bin Abdul‑aziz ra berkata: "Diriwayatkan, bahwa 'Amr bin Al-Ash menulis surat kepada Muawiyah, yang dicelanya tentang: sangat pelan‑pelan dalam tindakan (at‑taanni). Maka Mu'awiyah menulis balasannya kepada 'Amr bin Al-Ash: "Adapun kemudian, maka sesungguhnya pemahaman pada kebajikan itu menambah petunjuk. Dan orang yang memperoleh petunjuk, ialah: orang yang memperoleh petunjuk dari tergopoh‑gopoh. Dan sesung­guhnya orang yang kecewa, ialah: orang yang kecewa dari tetap pen­dirian. Dan orang yang tetap pendirian itu, ialah: orang yang mem­peroleh kebenaran atau mendekati ia memperoleh kebenaran. Dan se­sungguhnya orang yang terburu‑buru itu orang yang salah atau men­dekati ia menjadi orang yang salah. Dan sesungguhnya orang yang tidak bermanfa'at baginya belas kasihan, maka akan mendatangkan melarat baginya oleh tidak belas kasihan. Dan orang yang tidak ber­manfa'at baginya pengalaman, niscaya ia tidak akan mencapai ke­tinggian".
Dari Abi 'Aun AI‑Anshari, yang berkata: "Tiadalah manusia berkata‑kata dengan kata‑kata yang sukar, melainkan disampingnya ada kata‑kata yang le­bih lemah‑lembut dari kata‑kata itu, yang berjalan pada jalannya". Abu Hamzah AI‑Kufi berkata: "Janganlah engkau mengambil dari pembantu (yang membantu mengurus rumah tangga), selain yang tak boleh tidak dari­padanya. Sesungguhnya bersama setiap manusia itu, ada setan. Dan ketahuilah, bahwa mereka tiada akan memberikan sesuatu kepada engkau dengan kekerasan, melainkan mereka akan memberikan kepada engkau dengan lemah‑lembut, apa yang lebih utama daripadanya".
AI‑Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Orang mu'min itu tetap pendirian, lagi ti­dak terburu‑buru. Ia tidak seperti orang yang mengumpulkan kayu api di ma­lam hari". Maka inilah pujian ahli ilmu kepada belas kasihan. Dan yang demikian, ka­rena itu terpuji dan memberi faedah pada kebanyakan hal dan kebiasaan u­rusan. Dan kadang‑kadang terdapat perlunya kepada sikap keras Akan te­tapi itu jarang terjadi. Dan sesungguhnya orang yang sempurna, ialah orang yang dapat membedakan tempat yang harus belas kasihan, dari tempat yang harus bersikap kasar. Maka diberikan masing‑masing urusan akan haknya. Kalau ia pendek penglihatan atau menjadi kesulitan kepadanya suatu hukum dari peristiwa‑peristiwa yang terjadi, maka hendaklah kecenderungan nya ke­pada belas‑kasihan. Karena pada kebanyakannya, kemenangan itu bersama belas kasihan.
PEMBICARAAN tentang tercelanya dengki, tentang hakikat/makna dengki, se­bab‑sebab dengki, Pengobatannya & tujuan kewajiban pada menghilangkannya.
Ketahuilah, bahwa dengki  juga termasuk sebahagian dari natijah/hasil keyakinan den­dam. Dan dendam itu termasuk sebahagian dari natijah/hasil keyakinan marah. Jadi, dengki itu cucunya marah. Dan marah itu neneknya dengki (asal dari asalnya). Kemudian, dengki itu mempunyai cabang‑cabang yang tercela, yang hampir tidak dapat dihinggakan. Telah datang banyak hadits tentang tercelanya dengki khususnya.
Rasulu'llah saw bersabda: "Dengki itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu kering". Nabi saw bersabda tentang Iarangan dengki, sebab‑sebab dengki dan bu­ahnya: "Janganlah kamu dengki‑mendengki, janganlah kamu putus‑me­mutuskan silaturrahim, janganlah kamu marah‑memarahi, janganlah kamu belakang‑membelakangi! Hendaklah ada kamu itu hamba‑hamba Allah yang bersaudara!”. Anas berkata: “Pada suatu hari kami duduk disisi Rasulu'llah saw. Lalu be­liau bersabda: "Akan muncul kepada kamu sekarang dari jalan celah bukit ini, seorang laki‑laki dari ahli sorga". Anas meneruskan riwayatnya: “Lalu muncullah seorang laki‑laki dari go­longan anshar, janggutnya menetes, dari wudlu'nya. Ia memegang 2 sandal pada tangan kirinya. Lalu ia memberi salam. Tatkala keesokan harinya, Nabi saw bersabda seperti itu lagi. Lalu laki‑laki itu muncul pula. Dan pada hari ketiga, Nabi saw bersabda seperti itu juga. Lalu laki‑laki tersebut muncul lagi. Maka tatkala Nabi saw bangun berdiri, lalu beliau diikuti oleh Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash. Lalu Abdullah berkata kepada laki‑laki itu: "Sesung­guhnya aku bertengkar dengan ayahku. Lalu aku bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke tempat ayahku 3 malam. Jikalau engkau mau membawa aku ke rumahmu, sehingga berlalu 3 malam itu, maka laksa­nakanlah". Laki‑laki itu menjawab, "Ya, boleh!”. Lalu Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash bermalam pada laki‑laki tersebut, 3 malam. Maka ia tidak melihat laki‑laki itu bangun malam sedikitpun, selain apabila ia berbalik‑balik di atas tempat ti­durnya, Ialu berdzikir kepada Allah Ta'ala. Dan ia tidak bangun, sebelum ia bangun untuk shalat fajar (shalat subuh)". Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash meneruskan riwayatnya: "Selain aku tidak mendengar ia mengatakan, melainkan yang kebajikan. Dan tatkala telah berlalu 3 hari dan hampirlah aku menghinakan amalannya, Ialu aku berkata kepadanya: "Hai hamba Allah! Sesungguhnya tiadalah diantara aku dan ayahku itu marah dan tidak bercakap‑ cakap. Akan tetapi, aku te­lah mendengar Rasulu'llah saw bersabda demikian‑demikian. Lalu aku bermaksud untuk mengetahui amalan engkau. Maka aku tidak melihat engkau berbuat amalan yang banyak. Maka apakah kiranya yang me­nyampaikan engkau kepada yang demikian?". Lalu, laki‑laki itu menjawab: “Tidak adalah yang lain, selain apa yang eng­kau lihat". Maka tatkala aku berpaling membelakang, laki‑laki itu memanggil aku, seraya berkata: “Tidak ada yang lain selain apa yang engkau lihat. Hanya aku tidak mendapati pada diriku, tipuan dan dengki, terhadap sese­orang kaum muslimin, di atas kebajikan yang diberikan oleh Allah kepadanya”. Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash berkata: “Lalu aku katakan kepadanya: "Itulah yang telah menyampaikan engkau dan itulah yang kami tidak sanggup".
Nabi saw bersabda: "Tiga perkara, tiada akan terlepas dari padanya seseorang, yaitu: “Jahat sangka, terbang hati (tidak berdekatan jiwa) dan dengki”. Dan akan aku terangkan kepadamu jalan keluar daripada yang demikian. Apabila engkau menyangka sesuatu, maka janganlah engkau selidiki! Apabila hati engkau terbang dari sesuatu, maka teruskan (maksudmu)! Dan apabila engkau dengki, maka jangan engkau melewati batas!”. "Tiga perkara, tiada akan lepas seseorang dari padanya & sedikitlah orang yang terlepas dari padanya". Maka pada riwayat ini, disebutkan akan kemungkinan terlepas dari tiga perkara tersebut.
Nabi saw bersabda: "Telah merangkak kepadamu penyakit umat‑umat yang sebelum kamu, yaitu: dengki dan suka marah. Suka marah itu adalah gunting. Aku tidak mengatakan: gunting rambut, akan tetapi gunting agama. Demi Allah, yang jiwa Muhammad di tanganNYA! Kamu tiada akan masuk sorga, sehingga kamu beriman. Dan kamu tidak beriman, se­hingga kamu kasih‑mengasihi. Apakah tidak aku beritakan kepada kamu, apa yang menetapkan demikian bagimu? Tebarkan salam di antara ka­mu!”.
Nabi saw bersabda: "Hampirlah kemiskinan itu menjadi kufur dan hampirlah dengkian itu mengalahkan taqdir". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya akan menimpa umatku, penyakit umat‑umat yang lain". Lalu para shahabat bertanya: "Apakah penyakik umat‑umat yang lain itu?". Nabi saw menjawab: "Lupa nikmat, zalim ketika memperoleh nikmat berbanyak‑banyakan harta, berlomba‑lomba tentang ke dunia‑an, jauh menjauhkan dan dengki‑mendengki, sehingga terjadilah melampaui batas. Kemudian terjadilah pembunuhan".
Nabi saw bersabda: "Jangan engkau lahirkan kegembiraan dengan bencana yang me­nimpa saudara engkau. Allah akan menganugerah kan sehat‑afiat kepadanya. Dan akan menurunkan bencana kepada engkau”.
Diriwayatkan, bahwa nabi Musa as tatkala bergegas‑gegas kepada Tu­hannya Yang Maha Tinggi, maka ia melihat pada naungan 'Arasy seorang laki‑laki. Lalu ia ingin di tempat tersebut, seraya ia berkata: "Bahwa orang ini sungguh mulia pada Tuhannya". Lalu Musa as bertanya kepada Tuhannya Yang Maha tinggi, kiranya Tuhan menerangkan nama orang tersebut. Tetapi Tuhan tidak menerangkannya. Dan Tuhan berfirman: "AKU terangkan kepadamu amalannya 3 perkara: dia tidak dengki ke­pada manusia, terhadap yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka da­ri kurniaNYA, dia tidak durhaka kepada ibu‑bapanya dan dia tidak menja­lankan upat/pembantu fitnah".
Nabi Zakaria as berkata:  "Allah Ta'ala berfirman: "Orang yang dengki itu musuh nikmatKU, marah kepada qodo'KU (hukum taqdirKU), tidak rela dengan pembagianKU, yang AKU bagikan di antara hamba-­hambaKU".
Nabi saw bersabda: "Yang paling aku takuti dari apa yang aku takuti pada umatku ialah bahwa banyak harta pada mereka, lalu mereka berdengki‑dengkian dan berbunuh‑bunuhan". Nabi saw bersabda: "Minta tolonglah untuk tercapainya hajat keinginanmu dengan menyembunyikannya. Sesungguhnya tiap‑tiap orang yang memperoleh nik­mat itu didengki orang".
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya nikmat Allah itu mempunyai mu­suh. Lalu ditanyakan. "Siapakah mereka itu?". Maka Nabi saw menja­wab: "Mereka yang dengki kepada manusia, terhadap apa yang dianuge­rahkan oleh Allah kepada mereka dari kurniaNYA". Nabi saw bersabda: "Enam golongan akan masuk neraka sebelum per­hitungan (hisap) dengan setahun". Lalu ditanyakan: "Wahai Rasulu'llah! Siapakah mereka?". Nabi saw menjawab: "Umara' (penguasa‑penguasa) dengan kezaliman, orang Arab dengan 'ashabiyah (fanatik kepada bangsanya), kepala‑kepala desa dengan kesombongan, kaum saudagar dengan pengkhianatan, orang-­orang hitam dengan kebodohan tentang agama dan alim‑ulama dengan ke­dengkian".
AI‑atsar, diantara lain, kata sebahagian ulama terdahulu: "Awal kesalahan (kesalahan pertama), ialah: “dengki”. Iblis dengki kepada Nabi Adam as atas kedudukannya. Lalu iblis enggan (menolak) untuk bersujud kepada Adam as. Lalu Iblis itu dibawa oleh kedengkian kepada perbuatan mak­siat".
Diceritakan, bahwa 'Aun bin Abdullah masuk ke tempat AI‑Fadlal bin AI‑muhallab. Dan berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud menasehati engkau sesuatu". Maka AI‑Fadlal bertanya: "Apakah sesuatu itu?". 'Aun bin Abdullah menjawab: "Jagalah dirimu dari takabur. Sesungguh­nya takabur/sombong itu, dosa pertama yang mendurhakai Allah”. Ke­mudian, ia membaca ayat: “Dan ketika KAMI mengatakan kepada malaikat: "Tunduklah kamu kepada Adam. Lalu mereka tunduk, selain dari Iblis, dia enggan dan menyombongkan dirinya dan dia termasuk orang‑orang yang tidak beriman". S 2 Al Baqarah ayat 34. "Jagalah dirimu dari sifat rakus! Sesungguhnya rakus itu mengeluarkan Nabi Adam as dari sorga, dimana ia telah ditetapkan oleh Allah Subha­nahu Wa Ta'ala dari sorga yang lebarnya langit dan bumi, dimana ia makan dari sorga itu, kecuali pohon kayu yang satu, yang dilarang oleh Allah. Maka ia makan dari kayu tersebut. Lalu ia di keluarkan oleh Allah Ta'ala dari sorga". Kemudian 'Aun membaca ayat: "Pergilah kamu semuanya dari sini, tetapi jika datang kepadamu pimpinan daripadaKu, maka siapa yang menurut pimpinanKU, maka me­reka tiada merasa ketakutan dan tiada menaruh duka cita". S 2 Al Baqarah ayat 38. Jagalah dirimu dari dengki! Sesungguhnya seorang putera Adam membu­nuh saudaranya laki‑laki, ketika ia dengki kepadanya". Kemudian, 'Aun membaca ayat: “Dan ceritera kanlah kepada mereka riwayat dua orang anak Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya melakukan kurban penyembe­lihan. Diterima kurban seorang dan tidak diterima kurban yang seorang lagi. Dia mengatakan: Tentu aku akan membunuh engkau. Kata yang lain: “Tuhan hanyalah menerima (kurban) dari orang‑orang yang memelihara diriya (dari kejahatan)” S 5 AI Maa-idah ayat 27.
"Apabila disebutkan nama shahabat‑shahabat Rasulu'llah saw, maka ta­hanlah lidahmu (tidak engkau menyebutkan mereka dengan jahat)! Apa­bila disebutkan taqdir, maka diamlah! Dan apabila disebutkan binatang‑bi­natang, maka diamlah!”.
Bakar bin Abdullah berkata: "Ada seorang laki‑laki masuk ke tempat se­bahagian raja‑raja. Lalu ia berdiri menghadap raja tersebut, seraya berka­ta: "Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik, disebabkan perbu­atan baiknya! Maka orang yang berbuat jahat, akan mencukupi baginya oleh perbuatan jahatnya". Lalu orang tersebut didengki oleh laki‑laki lain atas tempat dan perkataan itu. Maka laki‑laki lain tadi terus memfitnah kepada raja, seraya berkata: "Bahwa orang itu yang berdiri menghadap engkau dan mengatakan apa yang dikatakannya, mendakwakan, bahwa raja busuk bau mulutnya". Raja lalu menjawab: “Bagaimana benar yang demikian padaku?". Orang itu menjawab: "Engkau panggil dia kepada engkau. Maka apabila ia mendekati engkau, ia meletakan tangannya pada hidungnya. Supaya ia tidak mencium bau busuk mulut. Maka raja berkata kepada orang tersebut: "Pergilah, sehingga aku melihat kebenaran yang demikian!”. Orang itu lalu keluar dari hadapan raja, pergi mengajak orang tersebut ke rumahnya. Lalu diberinya makan, yang ada padanya bawang putih. Kemudian, orang itu keluar dari rumah orang tadi. Dan tegak berdiri di hadapan raja menurut kebiasaannya, seraya ia berkata: "Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik, disebabkan perbuatan baiknya! Maka orang yang berbuat jahat, akan mencukupi baginya oleh perbuatan jahat­nya". Lalu raja berkata kepada orang itu: "Dekatilah kepadaku!”. Orang itupun lalu mendekati raja, seraya meletakkan tangannya pada mu­lutnya, karena takut tercium oleh raja bau bawang putih. Lalu raja berkata pada dirinya: "Aku tidak melihat si Anu itu, melainkan benar apa yang dikatakannya". Bakar bin Abdullah meneruskan ceritanya: "Raja itu tidak menulis sesuatu dengan tulisannya sendiri, kecuali disebabkan ada sesuatu anugerah atau pemberian. Lalu raja itu menulis sepucuk surat untuk orang tadi, dengan tu­lisannya sendiri, untuk dibawanya kepada salah seorang pegawai raja itu. Diantara isinya, ialah: "Apabila sampai kepadamu yang membawa suratku ini, maka sembelihkanlah dia dan kupaskan kulitnya! Isikan kulitnya dengan jerami dan kirimkan kulitnya itu kepadaku!”. Orang itu lalu mengambil surat dan keluar. Maka ia dijumpai oleh laki‑la­ki yang membuat fitnah itu, seraya bertanya: "Apakah surat ini?". Orang itu menjawab: "Tulisan raja untukku dengan suatu‑pemberian". Tukang fitnah tadi lalu menjawab: "Berilah surat ini kepadaku!” Lalu orang itu berkata: "Jadi, surat ini untukmu". Tukang fitnah itu lalu mengambil surat tersebut dan dibawanya kepada pegawai raja. Lalu pega­wai itu berkata: “Dalam suratmu ini, supaya aku menyembelih kamu dan mengupas kulitmu". Tukang fitnah itu menjawab: "Bahwa surat ini bukan untukku. Allah, Al­lah, tau tentang urusanku ini!” Kiranya engkau meminta pada raja supaya di­tinjau kembali". Pegawai itu menjawab: "Tidak ada peninjauan bagi surat raja". Lalu pagawai itu menyembelih tukang fitnah tersebut, mengupas kulitnya dan mengisikan kulit itu dengan jerami. Dan dikirimkannya kepada raja. Kemudian, orang yang menerima surat raja itu, datang kembali kepada raja, seperti kebiasaannya. Dan mengatakan seperti perkataannya yang sudah‑sudah. Maka raja itu sangat heran, seraya berkata: "Apakah yang terjadi dengan surat itu?". Orang itu menjawab: "Bertemu dengan aku si Anu, lalu dimintanya dari­padaku surat itu, maka aku berikan kepadanya". Raja lalu menjawab: "Si Anu itu menerangkan kepadaku, bahwa engkau mendakwakan bahwa aku busuk bau mulutku". Orang tadi menjawab: "Tidak pernah aku berkata demikian". Raja lalu menyambung: "Kalau tidak benar, maka mengapa engkau mele­takkan tangan engkau pada mulut engkau?". Orang tadi menjawab: "Karena si Anu itu memberikan aku makan, yang padanya ada bawang putih. Lalu aku tidak suka engkau menciumnya". Raja menjawab: "Benar engkau. Pulanglah ke tempat engkau! Maka mencukupilah bagi orang yang berbuat jahat, oleh perbuatan jahatnya".
Ibnu Sirin ra berkata: "Tidak pernah aku dengki kepada seseorang, ter­hadap sesuatu dari urusan duniawi. Karena jikalau ia ahli sorga, maka ba­gaimana aku dengki kepadaya terhadap dunia. Dan dunia itu amat hina pada sorga? Dan jikalau ia ahli neraka, maka bagaimana aku dengki ke­padanya atas urusan duniawi, pada hal ia akan jadi ke neraka?".
Seorang laki‑laki, bertanya kepada Al-Hasan AI‑Bashari: "Adakah orang mu'min pendengki?”.  Al-Hasan AI‑Bashari menjawab: "Apakah yang melupakan engkau tentang putera‑putera Nabi Ya'qub? Benar, akan tetapi kesusahan dengki itu dalam dada engkau. Karena dengki tidak mendatangkan melarat kepada engkau, selama tidak melampaui kepada tangan dan lidah".
Abud‑Darda' berkata: "Alangkah banyaknya hamba Allah yang ingat kepada mati, Ialu kuranglah gembiranya dan sedikitlah dengkinya". Mu'awiyah berkata: "Semua manusia sanggup atas kerelaannya, selain orang yang dengki kepada nikmat. Maka tiada yang menyenangkannya selain hilangnya nikmat itu". Karena itulah, orang bermadah:
Semua permusuhan,
dapat diharapkan kematiannya.
Selain permusuhan,
orang yang memusuhi engkau dari dengkinya.
Sebahagian ahli hikmat/filosuf berkata: "Dengki itu luka yang tidak akan sembuh & pendengki itu dengki, akan apa yang akan ditemuinya”. A'rabi berkata: "Tiada aku melihat orang zalim yang lebih menyerupai dengan orang yang dizalimi, selain pendengki. la melihat nikmat pada engkau, sebagai bencana pada dirinya".
Al-Hasan AI‑Bashari ra berkata: "Hai anak Adam! Mengapa engkau dengki kepada saudara engkau? Jikalau ada yang diberikan kepadanya, karena kemuliaan nya atas pemberian itu, maka mengapa engkau dengki ke­pada orang yang dimuliakan oleh Allah? Dan jikalau tidak yang demikian, maka mengapakah engkau dengki kepada orang‑orang yang kembalinya keneraka?".
Sebahagian mereka berkata: “Pendengki itu tidak memperoleh dari majlis pertemuan, selain celaan mereka & kehinaan. la tidak memperoleh dari malaikat, selain kutukan & kemarahan. Ia tidak memperoleh dari mahkluk (orang banyak), selain kesedihan & kegundahan. la tidak memperoleh ketika hampir mati (nyawanya akan keluar), selain kesukaran & huru‑hara. Dan ia tidak memperoleh ketika berhenti di padang mahsyar (al‑mauqif), selain terbuka kejahatan (fadlihah) dan hukuman".
PENJELASAN. hakikat/makna dengki, hukumannya, bahagian‑bahagiannya dan tingkat‑tingkatnya.
Ketahuilah bahwa tak ada dengki kecuali atas nikmat. Apabila Allah Ta’ala memberi nikmat kepada saudaramu dengan sesuatu nikmat maka bagimu 2 hal:
          Pertama:  bahwa engkau benci nikmat itu dan engkau menyukai hilangnya. Hal ini dinamai: dengki. Maka dengki itu, batasnya: benci  kepada nikmat  & menyukai hilangnya pada orang yang dinikmati dengan nikmat terse­but.
          Kedua:    bahwa engkau tidak menyukai hilangnya dan tidak benci akan adanya kekalnya nikmat itu. Tetapi engkau mengingini bagi diri engkau, nikmat seperti itu. Ini dinamakan: keinginan (ghibthah). Kadang‑kadang di khususkan de­ngan nama: lomba‑berlomba (al‑munafasah). Kadang‑kadang almunafasah itu dinamakan: dengki dan dengki itu dinamakan: al‑munafasah. Salah sa­tu dari dua perkataan ini, di letakkan pada tempat yang lain. Tak ada la­rangan pada nama, sesudah memahami makna/arti.
Nabi saw bersab­da: "Orang mu'min itu berkeinginan (ghibthah) dan orang munafik itu dengki". Adapun yang pertama tadi, maka haram dalam semua keadaan, kecuali nikmat yang diperoleh orang zalim atau orang kafir. Dan dengan nikmat itu, ia mendapat pertolongan untuk mengobarkan fitnah, merusakkan ke­keluargaan dan menyakitkan orang banyak. Maka tidak mendatangkan melarat bagi engkau, dengan bencinya engkau kepada nikmat itu. Dan su­kanya engkau untuk hilangnya nikmat tersebut. Karena sesungguhnya engkau tidak menyukai hilangnya, dari segi dia itu nikmat, akan tetapi da­ri segi dia itu alat kerusakan. Dan jikalau engkau merasa aman dari keru­sakan, niscaya tidak menyusahkan engkau dengan nikmat itu.
Hadits‑hadits yang menunjukan atas pengharaman dengki, ialah yang te­lah kami nukilkan itu. Dan sesungguhnya kebencian kepada nikmat, ber­arti marah kepada qodo (hukum taqdir) Allah Ta’ala tentang melebih­kan sebahagian hambaNYA dari sebahagian yang lain. Yang demikian, ti­dak diberi kelonggaran dan kelapangan. Dan juga maksiat manapun yang menambahkan kebencian engkau terhadap kesenangan seorang muslim, tanpa ada kemelaratan/kerugian bagi engkau daripadanya. Dan kepada inilah, di­isyaratkan oleh AI‑Quran dengan firmanNYA: "Jikalau kamu beroleh kebaikan, menyedihkan kepada mereka dan jika engkau ditimpa kesusahan, mereka girang karenanya". S 3 Ali ‘Imran ayat 120.
Kesenangan ini, syamatah (suka kepada bencana) namanya. Dengki dan syamatah itu gantung‑bergantung. Allah Ta’ala berfirman: “Kebanyakan dari orang‑orang keturunan Kitab ingin, kiranya mereka dapat mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah beriman, dise­babkan kedengkian dalam jiwa mereka". S 2 Al Baqarah ayat 109. Allah Ta’ala menerangkan, bahwa sukanya mereka akan hilang nikmat itu Dengki. Dan Allah 'Azza Wa Jalla berfiman: “Mereka ingin supaya kamu tidak pula beriman, sebagaimana mereka tidak beriman, sehingga kamu sama‑sama tidak beriman dengan mereka". S 4 An Nisaa' ayat 89.
Allah Ta’ala menyebutkan kedengkian saudara‑saudara Yusuf as Allah mengibaratkan apa yang dalam hati mereka, dengan firmanNYA Yang Maha tinggi: "Ketika mereka mengatakan: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara­nya lebih dicintai bapa kita daripada kita, biarpun kita golongan yang le­bih besar. Sesungguhnya bapa kita dalam kesalahan yang terang. Bunuh­lah Yusuf atau buang dia ke negeri lain, supaya perhatian bapamu tertuju kepada kamu saja. Dan sesudah itu kamu menjadi kaum yang baik”. S 12 Yusuf ayat 8‑9.
Maka tatkala mereka benci, sayangnya ayah mereka kepada Yusuf dan yang demikian menyakitkan hati mereka dan mereka mengingini hilang­nya Yusuf dari ayahnya, lalu mereka jauhkan Yusuf dari ayahnya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terha­dap apa yang diberikan kepada mereka". S 59 Al Ha­syr penggalan ayat 9. Artinya: dada mereka itu tiada sempit dengan melihat nikmat yang di anugerahkan oleh Allah dan mereka itu tiada bersusah hati. Maka Allah Ta’ala memuji mereka itu, dengan tidak adanya kedengkian. Dan Allah Ta’ala berfirman dalam membentangkan pengingkaran tersebut: "Atau mereka dengki kepada manusia karena kurnia yang telah diberikan Allah?". S 4 An Nisaa' ayat  54.
Allah Ta'ala berfirman: "Manusia itu adalah umat (bangsa) yang satu, Ialu diutus oleh Al­lah, nabi‑nabi pembawa berita gembira dan menyampaikan peringatan dan di turunkanNYA bersama mereka Kitab dengan sebenarnya, supaya ia dapat memberi keputusan bagi manusia dalam perkara yang mereka perselisih­kan. Tetapi yang berselisih itu, hanyalah orang‑orang yang diberi Kitab dan sesudah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena iri hati (bagh‑yan) antara sesamanya saja". S 2 Al Baqarah ayat 213.
Dikatakan pada penafsirannya itu: dengki. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka menjadi berpecah‑belah sesudah pengetahuan da­tang kepada mereka, disebabkan kedengkian (bagh‑yan) sesama mereka". S 42 Asy Syuura ayat 14. Maka Allah Ta’ala menurunkan pengetahuan, untuk mengumpulkan me­reka dan menjinakkan hati diantara sesama mereka kepada menta'atiNYA. Dan menyuruh mereka, untuk berjinak‑jinakan dengan pengetahuan. Lalu mereka itu dengki‑mendengki dan berselisih. Karena masing‑masing mere­ka menghendaki menjadi kepala sendiri dan diterima perkataannya. Maka sebahagian mereka menolak terhadap sebabagian yang lain.
Ibnu Abbas berkata: "Adalah orang Yahudi sebelum diutus Nabi saw, apabila mereka berperang dengan suatu golongan (kaum), mereka ber­do'a: "Kami meminta kepada ENGKAU, dengan nabi yang ENGKAU janjikan mengutuskannya dan dengan Kitab yang akan ENGKAU turun­kan, selain apa yang ENGKAU telah menolong kami". Maka orang Yahudi itu diberi pertolongan. Lalu, tatkala Nabi saw da­tang dari anak (keturunan) Nabi Ismail as, mereka mengenaInya dan mereka mengingkarinya (tidak mau beriman), sesudah dikenal mereka akan beliau.
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka sebelum itu telah meminta datangnya kemenangan terhadap orang‑orang yang tidak percaya, tetapi setelah datang apa yang mereka akui itu, mereka tidak percaya kepadanya, sebab itu Allah mengutuki orang‑orang yang tidak beriman. Amat jahat orang‑orang yang menjual dirinya menjadi orang yang tidak beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah, karena iri hati (bagh‑yan)”. Artinya: dengki. S 2 AI Baqarah ayat 89‑90.
Shaflyyah binti Hayyin (istri Nabi saw) berkata kepada Nabi: “Ayahku dan pamanku pada suatu hari datang daripada engkau. Lalu ayahku bertanya kepada pamanku: "Apa yang engkau katakan tentang dia (Nabi saw)?". Pamanku menjawab: "Aku mengatakan, sesungguhnya dia itu nabi yang telah diberitakan oleh Musa". Ayahku bertanya lagi: "Lalu, apa pendapatmu?". Pamanku menjawab: "Aku berpendapat, orang memusuhinya selama hi­dup". Inilah hukum dengki dalam mengharamkannya!
Adapun al‑munafasah (berlomba‑lomba), maka tidak haram. Bahkan, adakalanya wajib, adakalanya sunat dan adakalanya diperbolehkan/mu­bah. Dan kadang‑kadang perkataan dengki/hasad. dipakai ganti berlom­ba‑lomba (al‑munafasah). Dan al‑munafasah ganti al‑hasad. Qatsam bin AI‑Abbas menerangkan: bahwa tatkala dia dan AI‑Fadlal ber­maksud datang kepada Nabi saw Ialu keduanya meminta pada Nabi saw, agar keduanya diangkat menjadi amir zakat (kepala pengurusan zakat). Keduanya sudah mengatakan kepada Ali ra, ketika Ali ra mengatakan kepada keduanya: “Tak usah engkau pergi kepada Nabi. Nabi saw tidak akan mengangkat engkau menjadi amir zakat". Lalu keduanya berkata kepada Ali ra: "Perkataan ini tidak timbul dari engkau, selain karena nafasah (dengki  atau ingin berlomba). WaIlahi, de­mi Allah!
Nabi saw sudah mengawinkan engkau dengan puterinya (Fati­mah). Maka kami tidak dengki yang demikian kepada engkau Artinya: sikap ini dari engkau itu dengki namanya. Dan kami tidak dengki kepada engkau, atas dikawinkannya engkau dengan Fatimah. Menurut bahasa, kata‑kata al‑munafasah itu terambil (musytaqqah) dari kata‑kata nafasah (yang diartikan di atas tadi: dengki atau ingin berlom­ba). Dan yang menunjukan atas bolehnya at‑munafasah, ialah firman Allah Ta’ala: “Dan untuk itu, hendaklah berlomba orang‑orang yang mau ber­lomba!”. S 83 AI Muthaffifiin ayat 26. Allah Ta'ala berfirman: “Berlombalah kamu mengejar ampunan dari Tuhanmu!”. S 57 Al ­Hadiid ayat 21. Sesungguhnya perlombaan itu ketika ditakuti hilang waktu. Dan itu ada­lah seperti dua orang hamba‑sahaya yang berlomba‑lomba melayani tuan­nya. Karena masing‑masing gundah akan didahului oleh temannya. Lalu yang mendahului itu mendapat kedudukan pada tuannya, yang tidak di­peroleh olehnya. Maka bagaimana dan Rasulu'llah saw telah menegaskan dengan yang demikian, seraya beliau bersabda: "Tak ada dengki (tak boleh dengki), selain pada dua hal.
          Perta­ma, orang yang diberikan harta oleh Allah, lalu dikuasainya harta itu un­tuk menghabiskannya pada kebenaran.
          Kedua,    orang yang diberikan ilmu oleh Allah, lalu diamalkannya ilmu itu dan diajarkannya manusia".
Kemudian, Nabi sa.w. menafsirkan yang demikian, pada hadits yang dira­wikan Abi Kabsyah AI‑Anmari, dengan sabdanya: "Contoh ummat ini adalah seperti 4 macam orang: orang yang diberikan oleh Allah, harta dan ilmu, lalu ia beramal (berbuat) de­ngan ilmunya pada hartanya; orang yang diberikan oleh Allah ilmu dan ti­dak diberikan harta, lalu ia berdo'a: "Hai Tuhanku! jikalau kiranya aku mempunyai harta, seperti harta si Anu, niscaya aku akan berbuat seperti perbuatannya". Kedua orang tersebut, sama pahalanya". Dan orang (ma­cam yang kedua itu), ada keinginan daripadanya, supaya ia mempunyai harta seperti orang (yang pertama) tadi. Lalu ia akan berbuat seperti apa yang diperbuat oleh orang yang macam pertama, tanpa berkeinginan hi­langnya nikmat dari orang yang pertama tersebut.  Perawi meneruskan riwayatnya: “Dan orang yang diberikan oleh Allah, harta & tidak diberikan ilmu. Lalu ia membelanjakan harta itu pada perbuatan‑perbuatan maksiat kepada Allah & orang yang tidak diberikan ilmu & tidak diberikan harta. Lalu ia berkata: "Jikalau kiranya aku mempunyai seperti harta si Anu, sungguh akan aku belanjakan, seperti apa yang dibelajakan si Anu pada perbuatan maksiat". Maka kedua orang tersebut sama pada dosa­nya".
Rasulu'llah saw mencela orang tersebut dari segi angan‑angan nya untuk kemaksiatan. Tidak dari segi keinginannya hendak mem­punyai nikmat seperti harta si Anu itu. Jadi, tidak berdosa orang yang suka orang lain dalam kenikmatan dan mengingini bagi dirinya seperti nikmat tersebut, manakala ia tidak mengingini hilangnya nikmat itu dari orang tadi. Dan ia tidak benci kekalnya nikmat itu bagi orang tersebut. Ya, jikalau nikmat itu keagamaan yang wajib, seperti iman, shalat dan za­kat, maka munafasah ini wajib. Yaitu, ia menyukai supaya dia seperti orang tersebut. Karena apabila ia tidak menyukai yang demikian, maka adalah ia rela dengan kemaksiatan. Dan yang demikian itu haram hukum­ nya. Dan kalau nikmat itu termasuk perbuatan yang utama, seperti menafkahkan harta pada perbuatan yang mulia dan sedekah, maka muna­fasah pada perbuatan tersebut itu disunatkan. Dan jikalau nikmat itu di­nikmati atas jalan mubah (yang diperbolehkan), maka munafasah padanya mubah. Semua itu kembali kepada kehendak persamaan dan perbubungannya pa­da nikmat. Dan tak ada padanya kebencian nikmat. Dan di bawah nikmat ini ada dua perkara:
          Pertama:  kesenangan orang yang memperoleh nikmat kepadanya. Yang lain
          Kedua:     tampaknya kekurangan orang lain dan tertinggaInya orang lain daripadanya. Dia benci salah satu dari dua segi itu. Yaitu: tertinggal dirinya dan ia menyukai persamaannya dengan orang itu. Dan tak ada dosa atas orang yang benci tertinggal dirinya dan kekurangannya pada perbuatan‑perbuatan (mubah). Benar, yang demikian itu kekurangan dari perbuatan‑perbuatan utama. Dan berlawanan dengan zuhud, tawakkal dan rela. Dan mendindinginya da­ri kedudukan‑kedudukan (maqam‑maqam) yang tinggi. Akan tetapi tidak mengharuskan/menetapkan yang demikian itu akan kemaksiatan. Disini suatu titik yang tersembunyi. Yaitu: apabila ia putus asa daripada, memperoleh seperti nikmat itu dan ia benci tertinggaInya dan kekurangannya, maka tidak mustahil, ia akan mengingini hilangnya kekurangan itu. Dan kekurangan itu akan hilang, adakalanya dengan ia memperoleh se­perti yang demikian atau dengan hilangnya nikmat orang yang didengkinya.
Maka apabila tertutup salah satu dari dua jalan itu, lalu hampirlah hati, tiada akan terlepas dari keinginan jalan yang lain. Sehingga apa­bila nikmat itu hilang dari orang yang didengkinya, niscaya adalah yang de­mikian itu lebih menyembuhkannya, daripada kekalnya nikmat tersebut. Karena dengan hilangnya nikmat itu, akan hilanglah tertinggaInya dan terke­mukanya orang lain. Dan ini hampirlah hati itu tiada terlepas daripadanya. Jikalau yang demikian, dimana sekiranya persoalan itu diserahkan kepa­danya dan dikembalikan kepada pilihannya, niscaya sesugguhnya ia ber­usaha menghilangkan nikmat tersebut dari orang yang didengkinya, maka itu adalah dengki yang sangat tercela. Dan jikalau ia dicegah oleh ke‑taq­wa‑annya daripada menghilangkan nikmat itu, maka ia dima'afkan dari apa yang diperolehnya pada tabi'atnya, tentang senangnya hilang nikmat itu dari orang yang didengkinya, manakala ia tidak suka bagi yang demi­kian dari hatinya, disebabkan akal dan agamanya. Mudah‑mudahan yang demikian, yang dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Tiga perkara, tiada terlepas orang mu'min daripadanya, yaitu: dengki,  jahat sangka dan hati terbang (tidak berdekatan hati)". Kemudian, Nabi saw bersabda: "Bagi orang mu'min mempunyai jalan keluar, dari 3 perkara tersebut. Yaitu: apabila engkau dengki, maka ja­ngan engkau mau”. Artinya: Kalau engkau dapati sesuatu pada hati eng­kau, maka jangan engkau kerjakan. Dan jauhlah dari kebenaran, bahwa manusia itu bermaksud menyamai saudaranya pada kenikmatan. Lalu ia lemah daripada memperolehnya. Kemudian senantiasalah ia cenderung supaya nikmat itu hilang. Karena ti­dak mustahil ia akan memperoleh penguatan baginya atas kekalnya nik­mat tersebut.
Maka batasan ini dari al‑munafasah, akan mendesak dengki yang haram. Sayogialah menjaga diri padanya. Sesungguhnya itu tempat berbahaya. Tiada seorangpun dari manusia, melainkan ia akan melihat di atas dirinya, segolongan kenalan dan teman‑temannya yang ingin menyamainya. Dan hampirlah yang demikian itu menarik kepada kedengkian yang dilarang, kalau ia tidak kuat iman dan keras takwa. Manakala yang menggerakkan kedengkian itu karena takut berlebih‑kurang dan kelihatan kekurangannya dari orang lain, niscaya yang demikian akan menghelanya kepada kedengkian yang tercela. Dan kepada kecenderung­an tabiat (keinginan) kepada hilangnya nikmat dari saudaranya. Sehingga turun saudaranya itu, kepada persamaan dengan dia. Karena ia tidak sanggup untuk menaiki kepada persamaan dengan memperoleh nikmat tersebut. Dan yang demikian, tidaklah sekali‑kali diberi kelonggaran. Akan tetapi itu adalah haram. Sama saja yang demikian itu, pada mak­sud‑maksud agama atau pada maksud‑maksud duniawi. Akan tetapi di­ ma'afkan pada yang demikian insya Allah Ta’ala, selama tidak dilaksanakannya. Dan adalah kebenciannya dari jiwanya kepada yang demikian itu, menjadi kaffarah (penutup dosa) baginya. Inilah hakekat dengki dan hukum‑hukumnya! Adapun tingkat‑tingkat dengki itu 4 perkara
Pertama: Bahwa ia mengingini hilangnya nikmat dari orang lain, walaupun yang demikian tidak berpindah kepadanya. Dan inilah yang paling keji!
Kedua:  Bahwa ia mengingini hilangnya (berpindahnya) nikmat karena ke­inginannya pada nikmat itu, seperti: keinginannya kepada rumah yang ba­ik atau wanita yang cantik atau kekuasaan yang tembus atau kehidupan yang lapang, yang telah diperoleh orang lain. la mengingini supaya nikmat itu baginya. Dan yang dicarinya, ialah nikmat tersebut, bukan hilangnya dari orang lain itu. Kebenciannya, ialah: ketiadaan nikmat itu baginya. Bukan karena dinikmati orang lain dengan nikmat itu.
Ketiga:   Bahwa ia tidak rindu nikmat itu sendiri bagi dirinya. Akan tetapi ia rindu seperti nikmat itu. Kalau ia lemah daripada memperoleh seperti nikmat tersebut, niscaya ia mengingini hilangnya (dari orang lain). Supaya tidak kelihatan kelebih‑kurangan di antara keduanya (antara dia dan orang lain).
Keempat:  Bahwa ia rindu bagi dirinya seperti nikmat tersebut. Kalau tidak berhasil, maka ia tidak mengingini hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang penghabisan (yang keempat) ini, dima'afkan, kalau dalam urusan keduniaan. Dan disunatkan kalau dalam urusan keagamaan. Dan yang no­mor tiga, ada yang tercela dan ada yang tidak tercela. Dan yang nomor dua itu lebih ringan dari yang nomor tiga. Dan yang pertama itu tercela semata‑mata. Dan menamakan tingkat kedua itu dengki, adalah suatu ke­mungkinan dan perluasan (arti kata‑kata). Tetapi itu dengki, adalah suatu kemungkinan dan perluasan (arti kata‑kata). Tetapi itu tercela, karena fir­man Allah Ta’ala: “Janganlah kamu iri hati terhadap pemberian Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain". S 4 An­ Nisaa' ayat 32. Maka iri hati (bercita‑cita) untuk seperti yang demikian itu, tidak tercela. Adapun iri hatinya untuk memperoleh benda itu sendiri, maka itu tercela.
PENJELASAN: sebab‑sebab dengki dan berlomba‑lomba.
Adapun berlomba‑lomba (al‑munafasah), sebabnya, ialah: kecintaan ke­pada sesuatu yang ada padanya al‑munafasah. Kalau yang demikian itu urusan keagamaan, maka sebabnya, ialah: kecintaan kepada Allah Ta’ala dan kecintaan mentha'atiNYA. Dan kalau urusan keduniaan, maka se­babnya, ialah: kecintaan kepada yang diperbolehkan didunia dan mem­peroleh kenikmatan dengan yang diperbolehkan itu. Sesungguhnya, kita perhatikan sekarang tentang dengki yang tercela. Pin­tu masuknya banyak sekali. Akan tetapi jumlahnya terbatas kepada 7 pintu. Yaitu: permusuhan, perasaan kemuliaan diri (at‑ta'azzuz), takabur, mengherani diri sendiri (ta'ajiub), takut kehilangan maksud‑maksud yang dicintai, kesukaan menjadi kepala, keji jiwa dan kikirnya.
Sesungguhnya, tidak menyukai nikmat kepada orang lain, adakalanya, ka­rena orang itu musuhnya. Lalu ia tidak menghendaki kebajikan bagi orang tersebut. Dan ini tidak tertentu dengan teman‑teman yang sebaya saja, bahkan orang yang hina ada yang dengki kepada raja. Dengan pengertian, bahwa ia menyukai hilang kenikmatannya. Karena ia marah kepada raja itu, disebabkan perbuatan jahat raja tersebut kepadanya atau kepada orang yang dicintainya.
Adakalanya, bahwa ia mengetahui, bahwa orang yang memperoleh kenikmatan itu menyombong dengan kenikmatan kepadanya. Dan ia tidak sanggup memikul kesombongan dan kebanggaan orang itu, karena perasaan kemuliaan dirinya. Dan itulah yang dimaksud dengan: at­-ta'azzuz (perasaan kemuliaan diri). Adakalanya, bahwa ia pada tabi'atnya (karakternya) merasa besar diri atas orang yang didengkinya. Dan yang demikian itu tercegah kepadanya, karena kenikmatan orang tersebut. Dan itulah yang dimaksud dengan: takabur.
Adakalanya, bahwa nikmat itu besar dan kedudukan itu tinggi. Lalu ia merasa ta'ajjub dari kemenangan temannya yang sebaya, dengan kenik­matan yang seperti itu. Dan itulah yang dimaksud dengan: ta'ajjub (mengherani diri sendiri).
Adakalanya, bahwa ia takut dari hilang maksud‑maksudnya, disebabkan nik­matnya orang itu, dengan berusaha untuk ia sampai kepada mendesaknya pada maksud‑maksudnya. Adakalanya, bahwa ia menyukai menjadi kepala (hubbur‑riyasah), yang terbina di atas keistimewaan dengan sesuatu kenikmatan, yang tidak ada kesama‑rataan padanya. Adakalanya, bahwa tidak ada ia dengan salah satu dari sebab‑sebab terse­but. Akan tetapi karena kekejian jiwa dan kekikirannya dengan kebajikan kepada hamba‑hamba Allah Ta’ala. Dan tak dapat, daripada penguraian sebab‑sebab ini.
          Sebab pertama: permusuhan dan kemarahan. Dan inilah sebab kedengkian yang paling berat. Sesungguhnya orang yang disakiti oleh seseorang de­ngan sesuatu sebab dan berbeda kepentingan dengan salah satu segi, nis­caya hatinya akan benci dan marah kepada orang tersebut. Dan melekat­lah kedengkian itu pada hatinya. Dan kedengkian itu menghendaki ke­sembuhan dan pembalasan dendam. Kalau orang yang marah itu lemah dari kesembuhan itu dengan sendirinya, niscaya ia menyukai akan disem­buhkan oleh masa/waktu. Kadang‑kadang yang demikian membawa kepada ke­muliaan dirinya pada sisi Allah Ta’ala. Maka manakala musuhnya menda­pat bencana, niscaya ia merasa senang dan menyangka bahwa bencana itu balasan yang setimpal kepada musuh itu, dari pihak Allah, diatas kemarahannya. Dan bencana itu lantaran karenanya. Dan manakala musuhnya mem­peroleh nikmat, niscaya yang demikian itu menyakitkan nya. Karena berla­wanan dengan maksudnya. Kadang‑kadang terguris dalam hatinya, bahwa ia tiada mempunyai kedudukan (manzilah) pada sisi Allah, dimana Allah Ta’ala tiada mengambil balasan baginya dari musuhnya yang telah menya­kitinya. Tetapi Allah memberi nikmat kepada musuhnya itu.
Kesimpulannya, dengki itu mengharuskan kemarahan dan permusuhan. Dan tidak berpisah dari keduanya. Dan tujuan orang yang menjaga diri (orang yang taqwa), ialah: bahwa ia tidak mau dan tidak menyukai yang demikian dari jiwanya. Adapun untuk memarahi manusia, kemudian sama senang dan sakitnya pada manusia tersebut, maka ini tidak mungkin. Dan ini termasuk apa yang disifatkan oleh Allah Ta’ala akan orang‑orang kafir. Ya'ni: dengki dengan permusuhan. Karena Allah Ta’ala berfirman: "Dan bila mereka menemui kamu, mereka mengatakan: Kami beriman. Dan apabila mereka sendirian, digigitnya anak jarinya, karena sangat marah kepadamu. Katakan kepada mereka matilah karena ber­sangatan marahmu! Sesungguhnya Allah itu mengetahui isi hati. Jika ka­mu beroleh kebajikan, niscaya menyedihkan kepada mereka. Dan jikalau kamu ditimpa kesusahan, niscaya mereka girang karenanya. Dan kalau kamu sabar dan memelihara dirimu, niscaya tipu daya mereka tidaklah akan membahayakan kepada kamu sedikitpun. Sesungguhnya Allah itu mengetahui sungguh apa yang mereka kerjakan". S 3 Ali ‘Imran ayat 119‑120. Dan seperti yang demikian, Allah Ta’ala berfirman: "Mereka ingin menyusahkan kamu. Sesungguhnya rasa kebenci­an telah lahir dari mulut mereka dan apa yang tersimpan dalam hati mere­ka itu lebih besar". S 3 Ali ‘Imran ayat 118. Kedengkian itu disebabkan kemarahan. Kadang‑kadang membawa kepada berbantah‑bantahan, berbunuh‑bunuhan, menghabiskan umur pada menghilangkannya nikmat orang dengan segala daya dan usaha, membuka rahasia yang harus di tutup dllnya.
           Sebab Kedua: at ta’azzuz. Yaitu: bahwa berat baginya bahwa orang lain meninggikan diri atasnya. Apabila sebahagian temannya yang sebaya, memperoleh kekuasaan atau pengetahuan atau harta, niscaya ia takut bah­wa teman itu akan menyombong terhadap dirinya. Dan tidaklah termasuk maksudnya untuk menyombong. Akan tetapi maksudnya, bahwa ia meno­lak akan kesombongan temannya. Karena sesungguhnya ia rela dengan persamaan‑umpamanya dengan teman tersebut. Akan tetapi ia tidak re­la, dengan  ketinggian teman itu terhadap dirinya.
          Sebab Ketiga: takabur (sombong). Yaitu: bahwa ada pada tabi'atnya (ka­rakternya) untuk menyombong terhadap orang lain, memandang kecil dan menggunakan tenaganya (membuatnya menjadi pelayannya). Dan mengha­rap dari orang tersebut, akan mematuhi dan mengikuti segala maksudnya. Maka apabila orang tersebut memperoleh suatu nikmat, niscaya ia takut bahwa ia tiada akan dapat memikul kesombongan orang itu. Dan orang itu akan menarik diri daripada mengikutinya. Atau kadang‑kadang menonjol kepada kesamaan atau kepada meninggi di atasnya. Lalu orang tersebut kembali menjadi penyombong, sesudah ia menyombong terhadap orang itu. Dan termasuk sebahagian dari takabur dan taazzuz, ialah kedengkian keba­nyakan orang‑orang kafir terhadap Rasulu'llah. Karena mereka itu mengatakan: “Bagaimana mendahului kita (tampil terhadap kita), seorang budak laki‑laki yang yatim. Dan bagaimana kita akan menundukan kepala kita?". Lalu mereka mengatakan, yang tersebut dalam AI‑Ouran: "Mengapa AI‑Quran ini tidak diturunkan kepada orang besar da­ri salah satu dua kota?". S 43 Az Zukhruf ayat 31 Artinya: tidak akan berat bagi kita untuk merendahkan diri kepadanya dan mengikutinya, apabila dia (Rasulu'llah saw) itu orang besar (tidak dari anak yatim dan orang biasa). Allah Ta’ala berfirman, menyifatkan perkataan kaum Quraisy: "Inikah orang‑orang yang dikurniai Allah di antara kami ?". S 6 Al­ An'aam ayat 53. Sebagai penghinaan dan kesombongan mereka.
          Sebab Keempat: Ta’ajjub (mengherani diri), sebagaimana dikabarkan oleh Allah Ta’ala dari hal ummat‑ummat yang lampau. Karena mereka itu me­ngatakan: "Kamu tiada lain, hanya manusia serupa kami juga". S 36 Yaasiin ayat 15. Dan mereka mengatakan: "Apakah kami akan percaya (beriman) kepada dua manusia (Mu­sa dan Harun), yang serupa kami, sedang kaumnya menghambakan diri ke­pada kami?". S 23 Al Mukminuun ayat 47. “Dan kalau kamu turuti manusia yang serupa kamu itu, tentulah kamu akan menderita kerugian". S 23 Al Mukminuun ayat 34. Mereka merasa ta’ajjub (mengherani diri), bahwa manusia yang serupa dengan mereka, memperoleh kemenangan dengan pangkat kerasulan, wah­yu dan dekat dengan Allah Ta’ala. Manusia seperti mereka lalu mereka dengki kepadanya dan mereka mengingini hilangnya pangkat kenabian dari padanya. Karena gundah nanti melebihi dari mereka, orang yang serupa dengan mereka pada bentuk kejadian. Bukan dengan maksud takabur, ingin menjadi kepala dan mendahulukan permusuhan ataupun lain sebab dari sebab‑ sebab itu. Mereka berkata dengan penuh keheranan: "Adakah Allah mengutus manusia untuk menjadi rasul?". S 17 Al ­Israa' ayat 94. Mereka mengatakan: "Mengapa tidak malaikat diturunkan kepada kami?". S 25 AI Fur­qaan ayat 21. Allah Ta’ala berfirman: "Apakah mengherankan kamu kedatangan peringatan (pengajar­an) dari Tuhan kamu, dengan perantara seorang laki‑laki dari golongan ka­mu, supaya ia memberi ingat kepada kamu dan supaya kamu bertaqwa dan supaya kamu beroleh rahmat". S 7 Al A'raaf  ayat 63.
           Sebab Kelima: takut hilangnya maksud‑maksud. Dan yang demikian itu ter­tentu dengan orang‑orang yang berebutan pada satu maksud. Maka masing‑masing dengki kepada temannya pada setiap nikmat yang menjadi penolong baginya pada kesendirian dengan maksud. Termasuk jenis ini, berdengki‑ dengkian wanita‑wanita bermadu pada bere­butan atas maksud‑maksud kesuamian. Berdengki‑dengkian sesama sauda­ra, pada berebutan untuk memperoleh tempat pada hati ibu‑bapa, untuk sampai kepada maksud‑maksud kemuliaan dan harta. Begitu pula, berdengki‑dengkian dua orang murid bagi seorang guru, untuk memperoleh tingkat pada hati guru: Dan berdengki‑dengkian teman‑teman raja dan orang‑orang pilihannya pada memperoleh kedudukan pada hati ra­ja, untuk sampai kepada harta dan kemegahan. Begitu pula berdengki‑dengkian dua juru nasehat yang berebut‑rebutan pa­da penduduk sebuah desa, apabila maksudnya memperoleh harta dengan baik sambutan pada mereka. Begitu pula berdengki‑dengkian dua orang alim, yang berebut‑rebutan pada suatu golongan yang mempelajari ilmu fiqh, yang terbatas jumlahnya. Karena masing‑masing mencari tempat pada hati mereka, untuk sampai kepada maksud‑maksudnya.
           Sebab Keenam: ingin menjadi kepala dan mencari kemegahan bagi dirinya, tanpa menyampaikan diri kepada sesuatu maksud. Yang demikian itu, se­perti seorang laki‑laki yang menghendaki bahwa dia tidak ada bandingan­nya pada sesuatu ilmu pengetahuan, apabila telah mengeras kesukaan puji­an baginya, Dan menggeletar kegembiraan dengan pujian kepadanya, bah­wa dia satu‑satunya dan yang tunggal, tak ada bandingan pada masa itu, pada ilmu pengetahuan tersebut. Kalau didengarnya, ada yang menanding­inya pada pojok dunia yang terjauh, niscaya yang demikian itu menyakitinya. Dan ia mengingini orang itu mati atau hilang nikmat daripadanya, yang menyekutuinya pada kedudukan, dari: keberanian atau pengetahuan atau ibadah atau parusahaan atau kecantikan atau kekayaan atau yang lain, dari hal‑hal yang ia ingini sendirian dalam hal tersebut. Dan ia merasa gembira dengan sebab kesendiriannya. Sebabnya dalam hal ini, tidaklah permusuhan, ta'azzuz, kesombongan ter­hadap orang yang didengkinya dan takut dari kehilangan sesuatu maksud, selain semata‑mata ingin menjadi kepala, dengan dakwaan bahwa ia satu-­satunya dalam hal tersebut. Dan ini, adalah dibalik apa yang ada di antara seseorang ahli ilmu (ulama), dari hal mencari kemegahan dan kedudukan pada hati manusia, untuk me­nyampaikan diri kepada maksud‑maksud, selain dari menjadi kepala. Dan adalah ulama‑ulama Yahudi mengingkari mengenal Rasulu'llah saw dan mereka tidak beriman kepadanya. Karena takut akan rusaknya jabatan menjadi kepala dan pengikut mereka, manakala tidak digunakan lagi (man­sukh) keilmuan mereka.
           Sebab Ketujuh: keji diri dan kikirnya dengan kebajikan kepada hamba Al­lah Ta'ala. Sesugguhnya anda, akan menjumpai orang yang tidak menyibuk­kan dirinya dengan kesukaan menjadi kepala, sombong dan mencari harta. Apabila disifatkan kepadanya, akan baiknya keadaan seseorang hamba Al­lah Ta’ala, tentang nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang itu, lalu menyusahkannya yang demikian. Dan apabila disifatkan. kepada­nya, kegoncangan hal‑ihwal orang‑orang, terbelakang dan lenyapnya mak­sud-maksud orang itu dan sempit kehidupannya, niscaya ia gembira. Ia selalu menyukai terbelakangnya orang lain dan ia kikir dengan nikmat Allah kepada hamba‑hambaNya. Seakan‑akan mereka mengambil yang demikian itu, dari kepunyaannya dan simpanannya. Dikatakan: orang bakhil (orang kikir), ialah: orang yang bakhil (kikir) dengan hartanya sendiri. Dan orang, shahih (orang loba), ialah: orang yang kikir dengan harta orang lain. Orang tersebut kikir dengan nikmat Allah Ta’ala kepada hamba‑hambanya, dima­na tidak ada permusuhan dan ikatan di antara orang tadi dan mereka. Dan ini tidak ada sebab yang nyata, selain dari kekejian pada jiwa dan kehinaan pada tabiat, yang telah menjadi sifat (karakter)nya. Dan pengobatannya sukar. Karena dengki yang tetap dengan sebab‑sebab lain, adalah sebab‑sebabnya mendatang, yang dapat di gambarkan akan menghilang. Lalu ia mengharap pada menghilangkannya. Dan ini lebih keji pada sifat (karakter). Tidak dari sebab yang mendatang. Maka sukarlah menghilangkannya. Karena menurut kebiasaan, mustahillah dapat menghilangkannya. Itulah sebab‑sebab dengki! Kadang‑kadang terkumpul sebabagian sebab‑se­bab ini atau lebih banyak itu semua nya pada orang seorang. Lalu, dengan demikian, bersangatlah dengki pada orang itu. Dan kuat, sebagai suatu ke­kuatan, yang tidak sanggup ia menyembunyikan nya atau berbaik‑baikan. Akan tetapi rusaklah hijab (dinding) berbaik‑baikan itu. Dan lahirlah per­musuhan dengan terang‑terangan. Dan pada kebanyakan dengki‑dengkian itu, berkumpul sejumlah sebab‑sebab tersebut. Dan sedikitlah terlepas su­atu sebab pun daripadanya!.
PENJELASAN: sebab tentang banyaknya kedengkian diantara teman‑te­man sebaya, sahabat, saudara, anak paman & kaum ke­rabat.
Dan menguatnya, sedikitnya & lemahnya pada orang‑orang lain.
Ketahuilah, sesungguhnya dengki itu banyak di antara kaum/golongan, yang terdapat banyak sebab‑sebab yang kami sebutkan tadi, di antara me­reka. Dan dengki itu menjadi kuat, di antara kaum yang terkumpul sejum­lah sebab‑sebab tersebut pada mereka dan menonjol. Karena orang se­orang boleh ia berdengki, karena kadang‑kadang ia tidak mau menerima kesombongan orang. Karena orang itu takabur dan karena orang itu mu­suhnya dan karena sebab‑sebab yang lain. Sebab‑sebab orang itu musuhnya dan karena sebab‑sebab yang lain. Sebab‑sebab tersebut, sesungguhnya banyak di antara kaum‑kaum/golong­an‑golongan, yang dihimpunkan mereka oleh ikatan‑ikatan, dimana de­ngan sebab ikatan‑ikatan tadi, mereka berkumpul pada tempat‑tempat orang berbincang‑bincang. Dan mereka mendatanginya dengan berbagai macam maksud. Maka apabila salah seorang dari mereka berlainan dengan temannya mengenai sesuatu maksud, niscaya liarlah tabiatnya dari teman itu. Dan menimbulkan ia marah. Dan melekatlah kedengkian dalam hati­nya. Maka pada ketika itu, ia bermaksud menghinakan, bersikap sombong terhadap orang itu dan mengimbanginya untuk menyalahi maksudnya. la benci akan tetapnya orang itu pada nikmat yang menyampaikannya kepada maksud‑maksudnya. Sejumlah dari sebab‑sebab itu mempunyai arti yang bersamaan. Karena ti­ada ikatan di antara dua orang pada dua negeri yang berjauhan. Maka ti­adalah di antara orang itu dengki‑mendengki. Begitu pula pada dua tempat. Benar, apabila keduanya bertetangga pada tempat tinggal atau pasar atau sekolah atau masjid, niscaya keduanya da­tang‑mendatangi, pada maksud‑maksud, yang bertentangan maksud‑mak­sudnya. Maka berkobarlah dari pertentangan itu, berlarian hati dan kema­rahan. Dan dari pertentangan tersebut, berkobarlah sebab‑sebab kedengki­an yang lain. Dan karena itulah, anda melihat orang berilmu (orang alim), dengki kepada orang berilmu. Dan tidak kepada orang abid (orang yang banyak ibadahnya). Orang abid itu dengki kepada orang abid. Dan tidak kepada orang alim, Pedagang (saudagar) itu, dengki kepada pedagang. Bahkan, penjahit itu dengki kepada penjahit. Dan ia tidak dengki kepada penjual kain. Tidak lain sebabnya, selain dari kesamaan pada pekerjaan.
Orang laki‑laki itu dengki kepada saudaranya dan anak pamannya, lebih banyak dari kedengkiannya kepada orang lain. Wanita itu dengki kepada madunya (istri suaminya) dan gundik suaminya, lebih banyak dari kedengkiannya kepada ibu suaminya dan anak perempuan suaminya. Karena mak­sud penjual kain itu berbeda dengan maksud penjahit. Maka mereka tidak desak‑mendesak di atas maksud‑maksud itu. Karena maksud penjual kain itu kekayaan. Dan ia tidak akan memperoleh kekayaan itu, selain dengan banyak langganan. Dan ia akan berebut‑rebutan dengan penjual kain yang lain, karena langganan penjual kain, tidak dicari oleh tukang jahit. Tetapi dicari oleh penjual kain. Kemudian desak‑mendesaknya penjual kain yang menjadi tetangganya itu, lebih banyak daripada desak mendesaknya yang jauh ke tepi pasar.
Maka tak dapat dibantah, adanya kedengkiannya kepada tetangga itu, lebih banyak. Begitu pula orang yang berani, akan dengki kepada orang yang berani. Dan ia tidak akan dengki kepada orang alim. Karena maksudnya, supaya ia di­sebut sebagai orang berani dan termasyhur dengan keberanian itu. Dan ia menjadi satu‑satunya, yang bersifat dengan yang tersebut. Dan orang alim tidak akan mendesaknya atas maksud itu. Begitu pula orang alim akan dengki kepada orang alim. Dan ia tidak akan dengki kepada orang berani.
Kemudian, dengkinya juru nasehat (mubal­ligh atau wa'idh) kepada juru nasehat itu, lebih banyak dari dengkinya ke­pada ahli fiqh (orang faqih) dan tabib (dokter). Karena desak‑mendesaknya di antara keduanya kepada suatu maksud itu lebih khusus. Maka pokok asal‑usul dengki‑berdengkian ini, ialah permusuhan. Dan asal-­usul permusuhan ialah desak‑mendesak di antara keduanya pada suatu maksud. Dan maksud yang satu itu, tiada akan menghimpunkan dua orang yang berjauhan. Akan tetapi yang bersesuaian. Maka karena itulah, banyak kedengkian di antara keduanya.
Benar, orang yang bersangatan lobanya kepada kemegahan dan menyukai suaranya terdengar kesegenap penjuru dunia, dengan segenap isinya, maka sesungguhnya ia akan dengki kepada setiap orang yang ada di alam ini, walau pun ia jauh dari orang yang bersa­ma‑sama ingin memperoleh bahagian dalam perkara yang dibanggakannya. Sumber semuanya itu, ialah: mencintai dunia. Sesungguhnya dunia, ialah yang menyempitkan kepada orang‑orang yang desak‑mendesak.
Adapun akhirat, maka tak ada kesempitan padanya. Dan sesungguhnya yang seumpama akhirat itu, ialah: kenikmatan ilmu. Maka tak dapat dibantah, bahwa orang yang menyukai mengenal (ma'rifah) Allah Ta’ala, mengenal sifat‑sifatNya, para malaikatNya, nabi‑nabiNya, alam ma­lakut langit dan bumiNya, niscaya ia tiada akan dengki kepada orang lain, apabila ia mengetahui yang demikian juga. Karena mengenal (ma'rifah) itu tiada akan menyempitkan orang‑orang yang mengenal (orang'arifin) itu. Bahkan, suatu ilmu yang diketahui, akan diketahui oleh beribu‑ribu orang berilmu. la merasa gembira dengan ma'rifahnya itu dan merasa lezat citarasanya. Dan tiada akan berkurang kelazatan bagi seseorang, disebabkan orang lain. Akan tetapi dengan banyaknya orang yang mengetahuinya, akan berhasil penambahan kejinakan hati dan buah memperoleh faedah dan memfaedahkan kepada orang lain. Maka karena itulah, tidak ada dengki‑mendengki di antara ulama‑ulama agama (ulamau'ddin). Karena maksud mereka itu mengenal (marifah) Allah Ta’ala. Dan itu lautan yang luas, yang tidak sempit mengenai apa yang disisi Allah Ta’ala. Karena nikmat yang paling mulia disisi Allah Ta’ala ialah kelezatan bertemu dengan Dia. Dan tak ada padanya yang menghalangi dan yang de­sak‑mendesak. Dan oleh sebahagian yang memandang, tiada akan menyempitkan kepada sebahagian. Akan tetapi kejinakan hati bertambah dengan banyaknya mereka. Benar, para ulama itu apabila bermaksud dengan ilmunya, akan harta dan kemegahan, niscaya mereka dengki‑mendengki. Karena harta itu benda dan barang bertubuh. Apabila jatuh dalam tangan seseorang, niscaya terle­paslah tangan orang lain daripadanya. Arti kemegahan, ialah: memiliki hati. Dan manakala telah penuh hati sese­orang, dengan pengagungan seorang alim (ulama), niscaya tidak mustahil berpaling dari penghormatan kepada ulama lain. Atau penghormatan itu berkurang. Maka yang demikian itu, menjadi sebab bagi dengki‑mendeng­ki. Dan apabila hati itu penuh dengan kegembiraan mengenal (ma'rifah), Allah Ta’ala, niscaya yang demikian tiada akan mencegah untuk penuhnya hati orang lain dengan ma'rifah tersebut dan untuk bergembira dengan yang demikian. Perbedaan antara ilmu dan harta, ialah, bahwa harta itu tiada akan bertem­pat pada tangan seseorang' sebelum ia berpindah dari tangan orang lain. Sedang ilmu dalam hati seorang alim itu tetap dan dapat bertempat dalam hati orang lain, dengan mengajarinya, tanpa ilmu itu berpindah dari hati­nya. Dan harta itu bertubuh dan merupakan benda‑benda dan mempunyai kesudahan. Maka jikalau manusia memiliki semua yang pada bumi, niscaya tiada lagi tinggal harta sesudahnya, yang akan dimiliki oleh orang lain. Dan ilmu itu tiada mempunyai kesudahan dan tiada tergambar akan kelengkap­annya. Maka barangsiapa membiasakan dirinya bertafakkur tentang kea­gungan dan kebesaran Allah, alam malakut bumiNya dan langitNya, nisca­ya jadilah yang demkian itu lebih lezat padanya dari semua nikmat. Dan ia tiada terlarang daripadanya dan tiada yang mendesak. Maka tiadalah dalam hatinya kedengkian kepada seseorang dari mahluk. Karena orang lain juga, kalau mengetahui seperti ma'rifahnya, niscaya tiada akan berkurang dari kelezatannya. Bahkan, kelezatan itu bertambah dengan kejinakan hatinya. Maka kelezatan mereka dalam membaca keajaiban alam malakut secara te­rus‑menerus itu, lebih besar dari kelezatan orang yang memandang kepada kayu‑kayuan sorga dan taman‑tamannya dengan mata jahiriah.
Sesungguhnya, kenikmatan bagi orang yang bermarifa/orang ‘arif dan sorganya, ialah marifahnya, yang  menjadi sifat dirinya. Ia merasa aman dari hilangnya. Dan ia akan memetik buahnya untuk selama‑lamanya. Maka ia de­ngan nyawa dan hatinya, memakan buah‑buah ilmunya. Dan itu buah‑buah yang tiada terputus dan terlarang. Bahkan memetiknya dekat sekali. Yaitu, walaupun ia memejamkan mata zahiriahnya, maka rohnya bermain‑main dalam sorga tinggi dan perkebunan yang penuh bunga‑bungaan, untuk sela­ma‑lamanya. Kalau diumpamakan, banyaknya orang 'arifin (orang yang berilmu ma'ri­fah), niscaya tiadalah mereka itu berdengki‑dengkian. Akan tetapi adalah mereka seperti yang difirmankan oleh Allah Tuhan Rabbul ‘alamin; tentang mereka. “Dan Kami buangkan segala kedengkian yang ada dalam hati me­reka, (sehingga mereka menjadi) bersaudara, berhadap‑hadapan di atas ranjang". S 15 Al Hijr ayat 47. Maka inilah keadaan mereka dan mereka itu jauh dalam dunia. Maka apa­kah yang disangka pada mereka, ketika terbukanya tutup dan menyaksikan YANG DICINTAI pada hari kesudahan (akhirat)? Jadi tiadalah akan tergambar, bahwa dalam sorga itu ada dengki‑men­dengki. Dan tidak akan ada, diantara ahli sorga dalam dunia dengki‑men­dengki. Karena sorga itu tak ada sempit‑menyempit dan desak‑mendesakkan di dalamnya. Dan sorga itu tiada akan tercapai, selain dengan ma'rifat/mengenal Allah Ta’ala, yang tidak pula desak‑mendesakkan padanya, dalam dunia. Maka ahli sorga itu dengan sendirinya, terlepas dari kedengkian pada semuanya, di dunia dan di akhirat. Bahkan kedengkian itu, termasuk sebahagian dari sifat orang‑orang yang dijauhkan dari keluasan sorga ting­gi, ke tempat yang sempit kepenjaraan neraka jahannam.
Dan karena itulah, dengan sebab kedengkian, maka diketahui setan yang terkutuk. Dan disebutkan, setengah dari sifat‑sifatnya, ialah: bahwa ia dengki kepada Adam as, terhadap kepada pilihan yang dikhususkan kepada Adam as. Dan tatkala setan itu diajak bersujud, lalu ia menyombong, enggan, melawan dan ingkar. Sesungguhnya anda tahu, bahwa tak ada kedengkian, selain karena mem­bawa kepada suatu maksud yang sempit daripada dilaksanakan dengan ke­seluruhan. Dan karena inilah, anda tiada akan melihat manusia dengki­ mendengki dalam memandang kepada hiasan langit. Dan dengki‑mendengki dalam melihat taman‑taman yang menjadi sebahagian yang sedikit dari keseluruhan bumi. Dan semua bumi itu, tiadalah mempunyai timbangan, dengan dibandingkan kepada langit. Akan tetapi, langit karena luas penjuru‑penjurunya itu menjadi sempurna dengan semua pandangan mata. Maka tiadalah pada langit itu sekali‑kali desak‑mendesak dan dengki‑mendengki. Haruslah anda, kalau anda itu dapat melihat dan belas‑kasihan kepada di­ri anda sendiri, supaya mencari nikmat, yang tak ada padanya desak‑men­desak dan mencari kelazatan yang tak ada padanya kekeruhan. Dan yang demikian itu, tiada akan didapati di dunia, selain pada ma'rifah/mengenal Allah 'Azza wa Jalla, pada ma'rifah sifat‑sifatNya, afalNya/perbuatanNYA, keajaiban alam ma­lakut langit dan bumi. Dan yang demikian tiada akan tercapai di akhirat, selain dengan ma'rifah ini juga. Jikalau anda tiada rindu kepada mengenal Allah Ta’ala dan tiada memper­oleh kelazatannya dan lumpuh pendapat anda dari anda dan lemah keingin­an anda pada mengenal tersebut, maka dalam hal yang demikian, anda di­ma'afkan. Karena orang yang lemah syahwat (al‑'amin), tiada ingin kepada kelezatan bersetubuh. Anak kecil tiada ingin kepada keenakan memiliki se­suatu. Sesungguhnya ini adalah kelezatan‑kelezatan yang khusus laki‑laki mengetahuinya, tidak anak‑anak dan orang‑orang banci (yang menyerupa­kan diri dengan wanita). Maka seperti itu pula kelezatan ma'rifah/mengenal, yang khu­sus diketahui oleh laki‑laki. FirmanNya: "Laki‑laki yang tidak dipermainkan oleh perniagaan dan jual‑beli daripada mengingati Allah (dzikru'llah).". Dan tidak rindu kepada kelezat­an ini, selain mereka. Karena rindu  itu sesudah dirasakan (dzauq). Dan si­apa yang tidak merasakan, niscaya tiada mengenaInya. Dan siapa yang tiada mengenalnya, niscaya tiada akan merindukannya. Dan siapa yang tiada me­rindukannya, niscaya tiada akan mencarinya. Dan siapa yang tiada mencari­nya, niscaya tiada akan mengetahuinya. Dan siapa yang tiada mengetahui­nya, niscaya kekallah bersama orang‑orang yang tidak diberikan (al‑mah­ruumiin), pada tingkat yang paling bawah.  "Siapa yang tiada memperdulikan pengajaran Tuhan Yang Pemu­rah itu, akan Kami adakan baginya orang jahat (setan). Dan itulah yang menjadi temannya". S  43 Az Zukhruf ayat 36.
PENJELASAN: obat yang akan meniadakan penyakit kedengkian dari ha­ti.
Ketahuilah, bahwa kedengkian itu sebahagian dari penyakit‑penyakit besar bagi hati. Dan penyakit‑penyakit hati itu tiada akan dapat di obati, selain dengan ilmu dan amal. Dan ilmu yang bermanfa'at bagi penyakit dengki, ialah: bahwa anda mengetahui dengan keyakinan, bahwa kedengkian itu melarat atas diri anda pada dunia  & agama. Dan tak ada melaratnya atas orang yang didengkikan, pada dunia & agama. Akan tetapi ia memperoleh manfa'at pada dunia dan agama. Manakala anda mengetahui ini dari penglihatan mata‑hati dan penglihatan itu bukan musuh diri anda dan teman musuh anda, niscaya tidak mustahil, anda akan berpisah dari kedengkian. Tentang kedengkian itu melarat kepada anda pada agama, yaitu: bahwa an­da dengan kedengkian, telah marah kepada taqdir (qodo') Allah Ta’ala. Anda benci kepada nikmatNya yang dibagi‑bagikanNya di antara hamba-­hambaNya. Dan kepada keadilanNya yang ditegakkanNya pada kerajaan­Nya dengan hikmahnya yang tersembunyi. Lalu anda menantang yang demikian dan memandang keji. Dan inilah suatu penganiayaan atas biji mata  keesaan dan suatu kotoran pada mata iman. Cegahlah dirimu dari keduanya, dari pengganiayaan kepada agama.
Dan sesungguhnya telah bertambah ke­pada yang demikian, bahwa anda telah menipu seorang laki‑laki mu'min. Anda tinggalkan menasehatinya. Anda berpisah dengan wali‑wali dan nabi-­nabi Allah, tentang cintanya mereka akan kebajikan kepada hamba‑hamba­Nya. Anda bersekutu dengan Iblis dan orang‑orang kafir lainnya, tentang kesukaan mereka akan bala‑bencana kepada orang‑orang yang beriman dan hilangnya kenikmatan. Inilah kekejian dalam hati, yang akan memakan se­gala kebaikan hati, sebagaimana api memakan kayu kering!. Kekejian hati itu akan menghapus segala kebaikan hati, sebagaimana malam menghapuskan siang.
Tentang kedengkian itu melarat kepada anda pada dunia, maka yaitu: bahwa anda akan merasa kepedihannya pada dunia, dengan kedengkian anda. Atau anda akan merasakan azabnya. Dan anda selalu dalam dukacita dan kesedihan. Karena musuh‑musuh anda tiada akan dilepaskan oleh Allah Ta’ala dari nikmat‑nikmat yang dicurahkanNya kepada mereka. Maka se­nantiasalah anda merasa azab kesengsaraan dengan setiap nikmat yang an­da lihat. Dan anda merasa kepedihan, dengan setiap bencana yang berpa­ling (berpindah) dari mereka. Lalu kekallah anda dalam keadaan kesedihan tiada memperoleh apa‑apa, hati bercabang dan dada sempit. Telah menimpa anda yang diingini oleh musuh anda dan yang anda ingini untuk musuh anda. Anda menghendaki bencana itu untuk musuh anda, lalu bencana itu pada waktu itu juga, menjadi bencana anda dan kesedihan anda. Dan da­lam pada itu, nikmat tersebut senantiasa pada orang yang didengkikan, dengan kedengkian anda. Jikalau sekiranya anda tiada beriman dengan kebangkitan dan hitungan amal (hisab di akhirat), niscaya menurut kehen­dak kecerdikan, jikalau anda berakal waras, anda akan takut dari kedeng­kian itu. Karena padanya kepedihan hati dan jahatnya, serta tiada berman­fa'at. Maka bagaimana, sedang anda tahu, bahwa pada kedengkian itu ter­dapat azab yang sangat pedih di akhirat.
Maka alangkah mengherankan da­ri orang yang berakal waras, bagaimana ia berbuat untuk kemarahan Allah ta’ala, tanpa manfa'at yang diperolehnya. Akan tetapi, serta kemelaratan/kerugian yang akan ditanggungnya dan kepedihan yang akan dideritanya. Lalu bina­salah agama dan dunianya, tanpa kegunaan dan faedah. Adapun tak ada melaratnya kepada yang didengkikan pada agama dan du­nianya, maka itu jelas Karena nikmat itu tiada hilang daripadanya dengan kedengkian engkau. Akan tetapi apa yang telah ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala dari kedatangan kebahagiaan dan kenikmatan maka tak dapat tidak, akan kekal sampai kepada masa tertentu, yang teIah ditaqdirkan oleh Allah Subbanahu wa Ta'ala. Maka tiada upaya untuk menolaknya. Bahkan, tiap sesuatu pada sisiNya itu dengan takaran yang ditentukan. Dan bagi tiap­ tiap ajal yang akan datang itu, sudah tertulis. Karena itulah, salah seorang dari para nabi mengadu kepada Allah Ta’ala, dari hal seorang wanita zalim, yang menguasai orang banyak. Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepa­da nabi tersebut, supaya ia lari dari hadapan wanita itu. Sehingga berlalulah hari-hari kekuasaannya. Artinya: apa yang KAMI ditaqdirkan pada azali ( tida kesudahan / permulaan ), tiada jalan untuk merobahnya. Maka bersabarlah, sehingga berlalulah masa yang telah terdahulu taqdir, dengan terus‑menerusnya kedatangan kebaha­giaan kepada wanita tersebut. Manakala nikmat itu tidak hilang dengan kedengkian, maka tiadalah mela­ratnya orang yang didengkikan itu pada dunia. Dan tidak ada atasnya dosa pada hari akhirat. Mungkin anda berkata: kiranya nikmat itu hilang dari orang yang didengkikan dengan kedengkianku! Ini adalah sangat bodoh! Sesungguhnya itu bencana yang anda ingini perta­ma bagi diri anda sendiri. Maka sesungguhnya anda juga, tiada akan terle­pas dari musuh, dengan kedengkian anda. Maka jikalau nikmat itu hilang dengan kedengkian, niscaya tiada akan kekal nikmat Allah Ta’ala kepada anda dan kepada seorangpun dari makhluk. Dan tiada pula kekal kenik­matan iman.
Karena orang‑orang kafir itu dengki kepada orang‑orang mu­min, lantaran imannya. Allah Ta`ala berfirman: "Kebanyakan dari orang‑orang keturunan Kitab ingin, kiranya mereka dapat mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah beriman, disebabkan kedengkian dalam jiwa mereka". S 2 Al Baqarah ayat 109. Karena apa yang dikehendaki oleh pendengki itu, tiada akan terwujud. Be­nar, pendengki itu menyesatkan dengan kehendaknya, akan kesesatan ke­pada orang lain. Sesungguhnya kehendak kufur itu kufur. Maka siapa yang mengingini hilangnya nikmat dari orang yang didengkikan, dengan kedeng­kian, maka seolah‑olah ia menghendaki di cabut nikmat keimanan, dengan kedengkian orang‑orang kafir. Dan demikian juga nikmat‑nikmat yang lain. Jikalau anda mengingini akan hilangnya nikmat, dari makhluk, dengan ke­dengkian anda dan tiada hilangnya nikmat dari anda, dengan kedengkian orang lain dari anda, maka ini sangat bodoh dan dungu.
Sesungguhnya masing‑masing orang pula dari pendengki‑pendengki yang dungu, mengingini untuk dikhususkan dengan kekhususan ini. Dan tidaklah anda lebih utama dari selain anda. Maka nikmat Allah Ta’ala kepada anda, bahwa tiada hi­lang dengan kedengkian itu, termasuk yang harus anda mensyukurinya. Dan anda dengan kebodohan anda, tiada menyukai nikmat itu.
Adapun, bahwa orang yang didengkikan itu akan memanfa'atkannya pada Agama & dunia, maka itu sudah jelas Kemanfa'atannya pada agama, ialah: bahwa orang itu teraniaya (madhlum) dari pihak anda. Lebih‑lebih, apabila kedengkian itu membawa anda kepada perkataan & perbuatan, dengan umpatan, celaan, membuka rahasianya dan menyebutkan keburuk­an‑keburukannya. Maka ini adalah hadiah‑hadiah, yang anda hadiahkan kepadanya! Ya'ni: anda dengan demikian, menghadiahkan kebaikan‑kebaikan anda kepada­nya. Sehingga anda menemuinya diakhirat, dimana anda menjadi bangke­rut (muflis), yang diharamkan dari nikmat, sebagaimana anda diharamkan dari nikmat itu di dunia.
Maka seolah‑olah anda menghendaki hilangnya nikmat dari orang itu, lalu tidak hilang. Benar, Allah mempunyai nikmat padanya, karena IA mencurahkan taufiq kepada anda bagi kebajikan‑keba­jikan. Lalu anda pindahkan kebajikan‑kebajikan itu kepadanya. Maka an­da tambahkan kepadanya nikmat, kepada nikmat yang sudah ada. Dan an­da tambahkan kepada diri anda, kemurkaan, kepada kemurkaan yang su­dah ada. Adapun kemanfa'atannya didunia, maka yaitu: bahwa maksud makhluk yang terpenting, ialah: kejahatan bagi musuhnya, kesusahan dan kedurhakaan bagi musuh itu. Dan supaya musuh itu tersiksa dan berduka‑cita. Dan tiadalah azab yang paling pedih, dimana anda berada didalamnya, dari ke­pedihan dengki. Dan cita‑cita musuh anda yang penghabisan, ialah: bahwa mereka berada dalam kenikmatan dan anda berada dalam kesusahan dan kerugian, disebabkan mereka. Dan anda telah berbuat dengan diri anda sendiri, apa yang menjadi kehendak mereka. Dan karena itulah, musuh anda tiada mengingini akan matinya anda. Tetapi ia mengingini, lamanya hi­dup anda. Akan tetapi, dalam azab kedengkian. Supaya anda melihat kepada nikmat Allah padanya. Lalu putuslah hati anda, karena kedengkian. Ka­rena itulah, orang bermadah:
Musuh‑musuh itu tiada mati,
akan tetapi mereka hidup berkekalan.
Sehingga mereka melihat padamu nanti,
hal‑hal yang menyakitkan.
Senantiasa engkau didengkikan,
di atas sesuatu kenikmatan.
Sesungguhnya yang memperoleh kesempurnaan,
ialah orang yang didengkikan.
Kegembiraan musuhmu dengan kesedihan engkau dan kedengkian engkau itu, lebih besar daripada kegembiraannya dengan nikmatnya. Jikalau ia mengetahui akan kelepasanmu dari kepedihan dengki dan azabnya, niscaya yang demikian itu adalah bencana yang paling besar dan malapetaka bagi­nya. Tidaklah engkau, tentang kesedihan dengki yang selalu engkau alami, selain sebagaimana yang diingini oleh musuhmu.
Apabila ini engkau perhatikan, niscaya engkau ketahui, bahwa engkau itu musuh dirimu sendiri dan teman musuhmu, apabila engkau perbuat apa yang engkau perlukan di dunia dan di akhirat. Dan musuhmu mengambil manfa'atnya di dunia dan di akhirat. Dan jadilah engkau tercela pada Al Khaliq (yang maha pencipta) (Tuhan) dan makhluk, memperoleh kesengsaraan pada masa seka­rang dan masa yang akan datang. Dan kenikmatan bagi orang yang dideng­kikan itu kekal terus, engkau kehendaki yang demikian atau engkau tolak. Kemudian, engkau tiada akan terbatas, kepada menghasilkan kehendak musuh engkau, sehingga sampailah engkau kepada memasukkan kegembira­an yang terbesar kepada Iblis, dimana Iblis itu adalah musuhmu yang terhe­bat. Karena, manakala ia melihat engkau tiada memperoleh kenikmatan ilmu, wara, kemegahan dan harta, yang tertentu untuk musuh engkau, tidak bagi engkau, niscaya Iblis itu takut, bahwa engkau menyukai yang de­mikian untuk musuh engkau itu. Lalu engkau berkongsi dengan musuhmu itu pada pahalanya, disebabkan kesukaan tadi. Karena orang yang menyu­kai kebajikan bagi kaum muslimin, niscaya adalah ia berkongsi pada keba­jikan tersebut. Dan orang yang tiada dapat berhubungan dengan orang­-orang yang berkedudukan tinggi pada agama, niscaya tiada akan hilang ba­ginya, pahala kecintaan kepada mereka, manakala ia mencintai yang demi­kian. Lalu Iblis takut, bahwa engkau mencintai akan apa, yang dianugerah­ kan oleh Allah kepada hambaNya, dari kebaikan agama dan dunianya. Lalu engkau memperoleh kemenangan dengan pahala kecintaan itu. Maka Iblis itu marah kepada engkau, sehingga engkau tiada berhubungan dengan kecintaan engkau, sebagaimana engkau tiada berhubungan dengan amaliah engkau.
Seorang Arab dusun bertanya kepada Nabi saw: "Wahai Rasulu'llah! Ada orang yang mencintai kaumnya dan ia tiada berhubungan dengan mereka” . Nabi saw Ialu menjawab: "Manusia itu bersama orang yang dicintainya". Seorang Arab dusun berdiri dihadapan Rasulu'llah saw yang sedang berkhutbah, seraya bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Kapan kiamat?" Lalu Rasulu'llah saw menjawab:  "Apakah yang telah engkau sediakan untuk kiamat itu?". Arab dusun itu menjawab: "Aku tiada menyediakan untuk hari kiamat itu, dengan banyak shalat dan puasa, selain aku sesungguhnya mencintai Allah dan RasulNya". Lalu Rasulu'llah saw menjawab: "Engkau bersama orang yang engkau cintai".
Anas ra berkata: “Tiada kegembiraan orang‑orang muslim sesudah mere­ka Islam, seperti kegembiraan mereka ketika itu" suatu isyarat, bahwa ke­gemaran mereka yang terbesar, ialah: mencintai Allah dan RasuINya.  Anas ra berkata: "Kami mencintai Rasullullah, Abubakar dan Umar dan kami tiada bekerja seperti pekerjaan mereka. Kami mengharap bahwa ka­mi berada bersama mereka".
Abu Musa AI‑Asy'ari ra berkata: “Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Orang yang mencintai orang‑orang yang mengerjakan shalat dan ia tidak mengerjakan shalat. Ia mencintai orang yang mengerjakan puasa dan ia ti­dak mengerjakan puasa". Sampai Abu Musa menghitung beberapa hal yang lain. Lalu Nabi saw menjawab: “Ia bersama orang yang dicintainya".
Seorang laki‑laki berkata kepada Umar bin Abdul‑'aziz ra: "Sesungguh­nya ada yang mengatakan: "Jikalau engkau sanggup untuk menjadi orang berilmu, maka hendaklah engkau menjadi orang berilmu! Jikalau engkau tidak sanggup menjadi orang berilmu, maka hendaklah engkau menjadi orang yang mempelajari ilmu (pelajar)! Jikalau engkau tidak sanggup menjadi orang yang mempelajari ilmu, maka cintailah mereka! Maka jikalau engkau tidak sanggup, maka jangan engkau memarahi mereka!”. Lalu Umar bin Abdul‑'aziz ra menjawab: "Subhana'llah! (Maha Suci Al­lah). Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi kita jalan keluar". Maka lihatlah sekarang, bagaimana Iblis dengki kepada engkau. Lalu dihi­langkannya pada engkau pahala kecintaan. Kemudian, ia tidak merasa cu­kup dengan itu, sehingga ia memarahkan kepada engkau saudara engkau. Dan dibawanya engkau kepada kebencian. Sehingga engkau berdosa. Ba­gaimana tidak! Ia mengharap engkau akan berdengki‑dengkian dengan orang dari ahli ilmu. Dan engkau menyukai, bahwa ahli ilmu itu salah pada agama Allah Ta’ala. Dan terbuka kesalahannya, supaya tersiar. Dan engkau menyukai, bahwa lidahnya kelu, sehingga ia tidak berkata‑kata. Atau ia sakit, sehingga ia tidak mengajar dan tidak belajar. Dosa manakah yang lebih dari demikian? Mudah‑mudah an kiranya engkau! Karena hilang­nya perhubungan engkau dengan dia, kemudian, engkau merasa susah de­ngan sebab dia, niscaya engkau selamat dari dosa dan azab akhirat.
Telah datang pada hadits: "Ahli sorga itu tiga: orang yang berbuat baik, orang yang mencin­tai kepada orang yang berbuat baik dan orang yang mencegah dari orang yang berbuat baik”. Artinya: orang yang mencegah kesakitan dari orang yang berbuat baik, mencegah kedengkian, kemarahan dan kebencian. Maka perhatikanlah, bagaimana Iblis menjauhkan engkau dari semua jalan masuk yang tiga itu. Sehingga engkau tidak menjadi sekali‑kali dari salah seorang dari yang tiga tadi. Sesungguhnya telah tembus kedengkian Iblis pada engkau. Dan tidak tembus kedengkian engkau pada musuh engkau. Akan tetapi atas diri engkau. Akan tetapi, jikalau engkau dibukakan de­ngan keadaan engkau itu, pada waktu jaga atau waktu tidur, niscaya eng­kau melihat diri engkau, hai orang pendengki, dalam bentuk orang yang melemparkan panah kepada musuhnya. Supaya mengenai tempat pembu­nuhannya. Lalu tiada mengenai nya, akan tetapi kembali kepada mata hitamnya yang kanan. Lalu dicabutnya. Maka bertambahlah kemarahan­nya. Lalu ia kembali kali kedua. Maka dilemparkannya yang lebih keras dari yang pertama. Lalu kembali kepada matanya yang lain. Maka dibuta­kannya. Lalu bertambahlah kemarahannya. Maka ia kembali kali ketiga. Lalu ia kembali kepada kepalanya, Ialu dilobanginya. Dan musuhnya itu se­lamat pada setiap hal yang tersebut. Dan ia kembali kepada musuhnya ber­kali‑kali. Dan musuh‑musuhnya dikelilingnya itu bergembira‑ria dan ter­tawa atas sikapnya. Inilah halnya orang pendengki dan perlakuan setan kepadanya. Akan tetapi keadaan pada kedengkian itu lebih keji dari ini. Karena lemparan yang kembali itu tidak menghilangkan, selain dua mata. Dan ji­kalau kedua mata itu tetap baik, niscaya sudah pasti hilang keduanya de­ngan mati. Dan dengki itu kembali dengan dosa. Dan dosa itu tiada hilang dengan mati. Dan mungkin ia akan membawanya kepada kemarahan Allah dan kepada neraka. Maka dari pada hilang mata­nya di dunia, maka lebih baik baginya, mata itu tetap baik, dimana ia akan masuk neraka dengan mata itu. Lalu mata itu dicabut oleh kepanasan api neraka. Maka perhatikanlah, betapa Allah menuntut balas (intiqam) dari pendeng­ki, apabila ia berkehendak hilangnya nikmat dari orang yang didengkikan. Maka Allah tiada menghilangkan nikmat dari orang yang didengkikan. Ke­mudian, dihilangkanNya dari orang yang dengki (pendengki). Karena selamat dari dosa itu suatu nikmat. Dan selamat dari kesedihan dan kesakitan itu suatu nikmat, yang telah hilang kedua nikmat itu dari padanya, karena membenarkan firman Allah Ta’ala: “Dan rencana kejahatan itu hanyalah akan menimpa orang yang mempunyai rencana itu sendiri". S 35 Faathir ayat 43. Kadang‑kadang pendengki banyak mendapat percobaan dengan suatu, yang diingininya bagi musuhnya. Dan sedikitlah orang yang menyukai akan bencana kepada orang lain, melainkan dia sendiri akan memperoleh perco­baan seperti bencana itu.
Sehingga Aisyah pernah berkata: "Aku tiada bercita‑cita akan sesuatu bagi Usman, melainkan Ialu menimpa kepada di­riku. Sehingga jikalau aku bercita-cita pembunuhan bagi Usman, niscaya aku akan dibunuh orang". Maka inilah dosa kedengkian itu sendiri! Lalu bagaimana yang ditarik oleh kedengkian, tentang perselisihan, mengingkari kebenaran, kelancaran lidah dan tangan dengan perbuatan‑perbuatan keji, pada mencari kesembuhan dari musuh. Dan itulah penyakit yang telah membinasakan ummat‑ummat yang lampau! Maka inilah obat‑obat ilmiah! Manakala manusia berfikir padanya dengan otak yang jernih dan hati yang terbuka, niscaya padamlah api kedengkian dari hatinya. Dan ia akan tahu, bahwa itu yang membinasakan dirinya, menggembirakan musuhnya, memarahkan Tuhannya dan mengeruhkan ke­hidupannya.
Adapun amal yang bermanfa'at padanya, maka yaitu; bahwa: kedengkian itu di hukum. Setiap apa yang dikehendaki oleh kedengkian, baik perkata­an atau perbuatan, maka seyogialah ia memberatkan dirinya yang berla­wanan dengan itu. Kalau kedengkian itu menggerakkannya kepada mencaci orang yang didengkikannya, niscaya diberatkannya lidahnya untuk memuji dan menyanjung orang itu. Jikalau kedengkian itu membawanya kepada menyombong terhadap orang yang didengkikannya, niscaya ia mengharus­kan dirinya merendahkan diri dan meminta ma'af pada orang itu. Dan ka­lau kedengkian itu menggerakkannya kepada mencegah kenikmatan kepa­da orang yang didengkikannya, niscaya ia mengharuskan dirinya menam­bahkan kenikmatan kepada orang yang didengkikan itu. Maka manakala ia berbuat demikian dengan memaksakan diri dan diketa­hui oleh orang yang didengkikan, niscaya baiklah hatinya dan akan men­cintainya. Dan manakala telah menampak kecintaannya, niscaya pendeng­ki itu kembali, lalu mencintainya. Dan terjadilah dari yang demikian itu, kesesuaian yang akan memotong unsur kedengkian. Karena merendahkan diri, memuji, menyanjung dan melahirkan kegembiraan dengan nikmat itu, akan menarik hati orang yang memperoleh nikmat. Akan menghalus­kan dan melembutkannya. Dan akan membawanya kepada mengimbangi yang demikian, dengan perbuatan kebaikan. Kemudian perbuatan kebaik­an itu akan kembali kepada yang pertama. Lalu baiklah hatinya dan jadi­lah apa yang dipaksakannya pada mula‑mula, menjadi tabiat (karakter) yang lain. Dan tidak akan dicegahnya dari yang demikian, oleh perkataan setan kepadanya: "Jikalau engkau merendahkan diri dan memujinya, nis­caya engkau akan dibawa oleh musuh kepada kelemahan atau kepada kemunafikan (nifaq) atau ketakutan. Dan yang demikian itu, suatu kehi­naan dan kerendahan". Dan yang demikian adalah dari penipuan dan godaan setan. Bahkan, ber­baik‑baikan (al‑mujamalah), baik dengan memberatkan diri atau telah menjadi tabi'at, akan menghancurkan tanda permusuhan dari kedua pihak. Dan menyedikitkan yang diingini dari permusuhan itu. Dan akan kembali­lah hati, berjinak‑jinakkan dan berkasih‑kasihan. Dan dengan demikian, beristirahatlah hati dari pedihnya kedengkian dan sedihnya marah‑memarahkan. Maka inilah obat‑obat kedengkian! Dan itu bermanfa'at sekali. Hanya, dia itu pahit sekali kepada hati. Akan tetapi, kemanfa'atan itu adalah pada obat yang pahit. Maka siapa yang tidak bersabar di atas pahitnya obat, nis­caya ia tiada akan memperoleh manisnya sembuh. Sesungguhnya kepahitan obat ini akan mudah, ya'ni: dengan merendah kan diri kepada musuh, mendekatkan diri kepada mereka dengan pujian dan sanjungan, dengan kekuatan pengetahuan terhadap segala pengertian yang telah kami sebutkan. Dan kekuatan keinginan pada pahala rela (merasa se­nang) dengan hukum/taqdir Allah Ta’ala dan menyukai apa yang disukai oleh Allah Ta’ala. Keagungan diri dan merasa tinggi daripada adanya sesuatu di alam ini, yang menyalahi dengan kehendaknya itu, suatu kebodohan. Dan ketika itu, ia berkehendak apa yang tiada akan ada. Karena, tak ada kelobaan mengenai akan ada apa yang dikehendakinya. Dan keluputan (tiada tercapainya) ke­hendak itu, adalah suatu kehinaan dan kekejian. Dan tiada jalan untuk ke­luar dari kehinaan ini, selain dengan salah satu dua hal: Adakalanya dengan akan ada apa yang engkau kehendaki. Atau dengan engkau kehendaki apa yang akan ada. Yang pertama: tiada terserah kepada engkau dan tiada jalan masuk untuk memberatkan diri dan bersungguh‑sungguh (al‑mujahadah) padanya. Adapun yang kedua: maka ada padanya jalan masuk dengan bersungguh­-sungguh. Dan ada kemungkinan memperolehnya/berhasil dengan latihan/riadlah. Maka haruslah menghasilkannya atas tiap‑tiap orang yang ber­akal waras Inilah obatnya secara keseluruhan (global)! Adapun obatnya secara terurai (terperinci)  maka yaitu: mengikuti sebab-­sebab kedengkian: dari kesombongan dan lainnya, keagungan diri dan ke­sangatan rakus atas apa yang diperlukannya. Dan akan datang uraian pengobatan sebab‑sebab tersebut pada tempatnya‑insya Allah Ta'ala! Se­sungguhnya sebab‑sebab itu' adalah unsur‑unsur penyakit ini. Dan tiada akan tercegah penyakit, kecuali dengan mencegah unsurnya. Kalau unsur itu tidak dicegah, niscaya tiada akan berhasil dengan apa yang kami sebut­kan, selain menenteramkan hati dan memadamkan dengki. Dan selalulah ia akan kembali berkali‑kali. Dan lamalah usaha untuk menenteramkannya, serta tetap ada unsur‑unsurnya. Sesungguhnya, selama ia mengingini keme­gahan, maka tak boleh tidak, ia akan dengki kepada orang yang memilih ke­megahan dan kedudukan dalam hati manusia, selain dari dia. Dan sudah pasti, yang demikian, akan menyusahkannya. Tujuannya sesungguhnya, bahwa ia mengentengkan kesedihan pada dirinya. Dan tiada dilahirkannya dengan lidah dan tangannya. Adapun terlepas daripadanya secara keseluruhan, maka tidak mungkin. Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada kita sekalian!
PENJELASAN: kadar yang harus pada meniadakan kedengkian dari hati.
Ketahuilah, bahwa orang yang menyakiti kita itu terkutuk dengan sendiri­nya. Dan barang siapa menyakiti engkau, maka menurut kebiasaan, tidak mungkin engkau tidak memarahinya. Apabila mudah baginya suatu nikmat, maka tidak mungkin engkau tidak membencinya. Sehingga bersa­maanlah pada engkau, baiknya keadaan dan buruknya keadaan musuh eng­kau itu. Bahkan, senantiasalah engkau dapati dalam diri engkau, akan per­bedaan diantara keduanya. Dan senantiasalah  setan bertengkar dengan engkau, pada mendengkikannya. Akan tetapi, jikalau yang demikian itu kuat pada engkau, sehingga menggerakan engkau kepada melahirkan ke­dengkian dengan perkataan atau perbuatan, dimana yang demikian itu, di­ketahui dari jahiriah engkau, dengan perbuatan‑perbuatan engkau yang ikhtiariah (atas pilihan sendiri, tidak dengan paksaan), maka engkau itu pendengki yang durhaka, dengan kedengkian engkau. Dan jikalau engkau cegah jahiriah engkau secara keseluruhan, akan tetapi dengan batiniah eng­kau menyukai hilangnya nikmat dan tiada pada diri engkau kebencian bagi keadaan, ini maka juga engkau itu pendengki, yang durhaka. Karena dengki itu sifat hati, tidak sifat perbuatan. Allah Ta'ala berfirman: “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terha­dap apa yang diberikan kepada mereka". S 59 Al Hasyr penggalan ayat 9. "Mereka ingin supaya kamu tidak pula beriman, sebagaimana me­reka tidak beriman, sehingga kamu sama‑sama tidak beriman dengan mere­ka". S 4 An Nisaa' ayat 89. Allah Ta’ala berfirman: "Jika kamu beroleh kebaikan, menyedihkan kepada mereka". S 3 Ali ‘Imran ayat 120.
Adapun perbuatan, yaitu: umpatan dan kedustaan. Yaitu: perbuatan yang terbit dari kedengkian. Dan tidaklah perbuatan itu zatnya dengki. Bahkan, tempat kedengkian itu hati, tidak anggota badan. Benar, kedengkian ini ti­daklah suatu kezaliman yang harus dikatakan halal. Akan tetapi, suatu ke­maksiatan di antara engkau dan Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya, harus di halalkan, dari sebab‑sebab zahiriah pada anggota badan.
Apabila engkau mencegah jahiriah engkau dan bersamaan dengan itu, engkau mengharuskan hati engkau, membenci apa yang meninggi daripadanya dengan tabiat, dari pada kesukaan hilangnya nikmat, sehingga seakan‑akan engkau mengutuk diri sendiri atas apa yang pada tabiatnya, maka adalah kebencian tersebut dari pihak akal, dalam keseimbangan kecenderungan dari pihak tabiat. Dan engkau sesungguhnya sudah menunaikan kewajiban engkau. Dan tidaklah masuk di bawah ikhtiar (pilihan) engkau, dalam ba­nyak hal, lebih banyak dari ini.
Adapun merobahkan tabiat supaya bersamaan padanya, orang yang menya­kitikan orang lain dan orang yang berbuat baik dan kesenangan atau kesu­sahannya itu sama dengan apa yang menyenangkan kedua orang tadi dari kenikmatan atau yang menimpakan keduanya, dari mala‑petaka, maka ini termasuk tidak menuruti tabiat (sifat manusia), selama ia menoleh kepada kebahagiaan duniawi. Kecuali, bahwa ia menjadi orang yang haram dengan kecintaan kepada Allah Ta'ala, seperti orang mabuk yang bimbang. Kadang‑kadang urusannya berkesudahan, bahwa hatinya tidak menoleh kepada penguraian‑penguraian hal ihwal duniawi. Akan tetapi, ia memandang kepada semua, dengan suatu pandangan. Yaitu: pandangan kasih‑sayang. Ia melihat semua itu hamba Allah dan perbuatan‑perbuatan nya itu perbu­atan‑perbuatan karena Allah. la melihat mereka tunduk dengan kepatuh­an. Dan yang demikian itu jikalau ada, maka itu: seperti kilat yang menyam­bar, yang tiada kekal lama. Kemudian, sesudah yang demikian, hati itu kembali kepada tabiatnya semula. Dan musuh itu kembali kepada menen­tangnya. Ya'ni: setan. Setan itu akan menentangnya dengan: bisikan. Maka manakala ia menan­dingi yang demikian, dengan kebenciannya. dan mengharuskan hatinya akan keadaan ini, maka ia telah menunaikan apa yang ditugaskan kepada­nya.
Banyak orang‑orang yang mempunyai aliran paham, bahwa tidak berdosa, apabila kedengkian itu tidak menampak atas anggota badan. Karena dira­wikan dari Al-Hasan AI‑Bashari ra, bahwa ia ditanyakan dari hal dengki. Lalu ia menjawab: kedukaannya. Maka sesungguhnya kedengkian itu tidak mendatangkan kemelaratan/kerugian kepada engkau, selama tidak engkau lahirkan. Diriwayatkan dari Al‑Hasan AI‑Bashari, sebagai hadits mauquf (berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus) dan marfu' (hadits atau sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi tetapi disampaikan juga), Nabi saw, yang bersab­da: “Tiga perkara, tiada akan terlepas orang mu'min daripadanya. Dan orang mu'min itu mempunyai jalan keluar dari tiga perkara itu". Maka jalan keluar dari kedengkian, ialah: bahwa ia tidak berbuat zalim.  Yang lebih utama, bahwa ini dibawa kepada apa yang telah kami sebutkan, bahwa padanya ada kebencian dari pihak agama dan akal, pada keseim­bangan kesukaan tabiat manusia, bagi hilangnya kenikmatan musuh. Dan kebencian itu mencegahnya dari perbuatan zalim dan menyakiti. Maka semua yang datang pada hadits, tentang tercelanya dengki itu, me­nunjukan zahiriahnya, bahwa tiap‑tiap pendengki itu berdosa. Kemudian, kedengkian itu adalah ibarat dari sifat hati, tidak dari perbuatan. Maka tiap‑tiap orang yang menyukai menyakiti orang muslim, maka dia itu pen­dengki. Jadi, ia berdosa, dengan semata‑mata kedengkian hati, tanpa per­buatan, dimana perbuatan itu pada tempat kesungguhannya. Yang lebih nyata (kebenarannya), ialah: apa yang telah kami sebutkan, da­ri segi zahiriah ayat‑ayat dan hadist‑hadist. Dan dari segi pengertian. Kare­na jauhlah untuk dapat dima'afkan, dari seorang hamba Allah, tentang ke­hendaknya menyakiti orang muslim dan meliputi hatinya kepada yang de­mikian, dengan tiada dibencinya. Anda sesungguhnya mengetahui dari ini, bahwa anda pada musuh‑musuh anda, mempunyai tiga hal:
           Pertama: bahwa anda menyukai menyakitkan mereka dengan tabiat anda. Dan anda tidak suka kecintaan anda bagi yang demikian & kecenderung­an hati anda kepadanya dengan akal anda. Dan ini sudah mempunyai daya ­upaya pada menghilangkan kecenderungan itu dari anda. Dan ini sudah pasti dima'afkan. Karena kebanyakan dari padanya tidak masuk di bawah ikhtiar (pilihan) manusia.
           Kedua: bahwa engkau menyukai yang demikian dan melahirkan kegembira­an dengan memburuk haInya musuh. Adakalanya dengan lidah engkau atau dengan anggota badan engkau. Maka inilah kedengkian yang benar‑benar dilarang.

           Ketiga: dan itu di antara dua tepi yang tadi: bahwa engkau dengki dengan hati, tanpa kutukan bagi diri engkau atas kedengkian engkau. Dan tanpa bantahan dari engkau atas hati engkau. Akan tetapi engkau menjaga ang­gota badan engkau, dari menta'ati kedengkian itu pada kehendaknya. Dan ini terdapat perbedaan paham. Yang jelas, bahwa orang yang mendengki itu, tiada terlepas dari dosa, menurut kadar kekuatan kecintaan itu dan ke­lemahannya. Allah Ta’ala yang lebih mengetahui. Segala pujian bagi Allah, Tuhan Rab­bul Aalamin. Mencukupilah Allah bagi kita dan sebaik‑baik tempat menye­rahkan diri !