KITAB TERCELANYA
TAKABUR DAN ‘UJUB.
Yaitu: kitab ke 9
dari “Rubu’ Yang Membinasakan”, dari kitab “IHYA ‘ULUMIDDIN”
Segala pujian bagi Allah, yang menjadikan,
yang menciptakan, yang membentuk, yang mula, yang perkasa, yang membesarkan
diri, yang tinggi, yang tidak diletakkan oleh yang meletakkan, dari hal
kemuliaanNya yang perkasa, dimana setiap yang perkasa itu hina dan tunduk
kepadaNya. Dan setiap yang menyombongkan diri itu miskin dan merendahkan diri
pada sisi kemuliaanNya. Maka Dialah yang maha perkasa, yang tidak dapat ditolak
dari kehendakNya oleh yang menolak. Dialah yang kaya, yang tiada mempunyai
sekutu dan yang membantah. Yang berkuasa, yang oleh keagungan dan keelokanNya
menerangi penglihatan makhluk. Dan oleh kedudukan, ketinggian dan kekuasaanNya
menguasai Arasy mulia. Dan oleh sifatNya dan sanjunganNya membatasi lisan
nabi-nabi. Dan oleh penghinggaan dan pemeriksaanNya, terangkatlah dari batas
kekuasaan mereka. Maka mengakulah para malaikat dan nabi-nabiNya dengan
kelemahan daripada menyifati penghabisan keagunganNya. Dan oleh keagungan dan
ketinggianNya, memecahkan punggung kisra-kisra (raja-raja Parsi). Dan oleh
kebesaran dan kesombonganNya memendekkan tangan kaisar-kaisar (raja-raja
Rumawi). Maka kebesaran itu kain sarungNya (izarNya) dan kesombongan itu kain
selendangNya (rida’Nya). Dan barangsiapa bertengkar dengan Dia pada yang dua
itu, niscaya Ia akan mematahkannya dengan penyakit mati. Maka dilemahkannya
dari mencari obatnya. Maka agunglah keagunganNya dan maha kuduslah (suci)
asmaNya (nama-namaNya). Dan rahmat kepada Muhammad yang diturunkan nur (cahaya) kepadanya. Yang
bertebaranlah cahayanya. Sehingga bersinarlah dengan nurnya, segala penjuru dan
tepi alam. Dan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, dimana mereka itu semua
kekasih Allah, wali-waliNya, pilihanNya dan orang-orangNya yang bersih. Dan
anugerahlah kesejahteraan yang banyak pada mereka! Adapun kemudian, maka
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Kesombongan itu
selendangKu dan kebesaran itu kain sarungKu. Maka siapa yang bertengkar dengan
Aku pada keduanya, niscaya Aku patahkan dia”. Nabi saw bersabda: “3 perkara
yang membinasakan, yaitu: kikir yang diikuti orang, hawa nafsu yang dituruti
orang dan orang mengherani (berlaku ‘ujub) dengan diri sendiri”. Maka takabur
(sombong-membesarkan diri) dan ‘ujub (mengherani diri atau heran kepada diri
sendiri, dengan merasa kelebihan, lalu membanggakan diri) itu, adalah dua
penyakit yang membinasakan. Orang yang takabur dan ‘ujub itu, adalah orang
sakit yang sedang menderita kesakitan. Keduanya pada sisi Allah itu terkutuk,
lagi dimarahi. Apabila adalah maksud pada Rubu’ ini dari Kitab Ihya’
‘Ulumiddin, menguraikan hal-hal yang membinasakan, niscaya wajiblah dijelaskan
tentang takabur dan ‘ujub. Sesungguhnya kedua sifat itu termasuk sifat-sifat
yang membinasakan, lagi keji. Dan kami akan menjelaskan keduanya dengan panjang
lebar pada kitab ini pada: dua bahagian. Satu bahagian mengenai takabur dan
satu bahgian lagi, mengenai ‘ujub.
Bahagian pertama dari kitab ini, mengenai takabur. Tentang
ini, ialah: penjelasan tercelanya takabur. Penjelasan tercelanya menyombongkan
diri. Penjelasan keutamaan tawadlu’ (merendahkan diri). Penjelasan
hakikat/makna takabur dan bahayanya. Penjelasan orang yang takabur kepadanya
dan tingkat-tingkat takabur. Penjelasan apa yang menjadi takabur. Penjelasan
hal-hal yang membangkitkan kepada takabur. Penjelasan akhlak orang-orang yang
merendahkan diri dan apa, yang padanya melahirkan takabur. Penjelasan
pengobatan takabur. Penjelasan ujian diri pada akhlak takabur. Dan penjelasan
yang terpuji dari akhlak merendahkan diri yang tercela daripadanya.
PENJELASAN: tercelanya takabur (sombong).
Sesungguhnya Allah Ta’ala mencela takabur
pada beberapa tempat dari kitabNya. Dan mencela tiap-tiap orang yang perkasa,
yang bersikap takabur. Allah Ta’ala berfirman: “Akan Aku belokkan dari
keterangan-keteranganKu, orang-orang yang menyombongkan dirinya (takabur) di
muka bumi, di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146. Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Begitulah Allah mencap
(menutup) setiap hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”. S 40 Al Mukmin
ayat 35. “Dan mereka rasul-rasul itu meminta pertolongan dan kecewalah setiap
orang berkuasa yang keras kepala”. S 14 Ibrahim ayat 15. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya Dia/Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. S
16 An Nahl ayat 23. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka amat sombong dalam hatinya
dan melakukan pelanggaran yang sangat besar”. S 25 Al Furqaan ayat 21. Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah
Aku, akan masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat 60.
Tercelanya sifat takabur (sombong) dalam Alquran itu banyak. Dan Rasulullah saw
bersabda: “Tiada akan masuk sorga, orang yang ada dalam hatinya, seberat biji
sawi, dari takabur (sombong). Dan tiada akan masuk neraka orang yang dalam
hatinya, seberat biji sawi dari iman”. Abu Hurairah ra mengatakan: “Rasulullah
saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Takabur itu selendangKu dan kebesaran
itu kain sarungKu. Maka barangsiapa bertengkar dengan Aku pada salah satu dari
yang dua itu, niscaya Aku campakkan dia dalam neraka jahannam. Dan Aku tiada
perdulikan”. Dari Abi Salmah bin Abdurrahman, yang mengatakan: “Telah berjumpa
Abdullah bin ‘Amr dengan Abdullah bin Umar di atas bukit Shafa. Lalu keduanya
berhenti sejenak. Kemudian, Abbdullah bin Amr pergi dan Abdullah bin Umar terus
berdiri di situ dan menangis. Lalu mereka (orang-orang yang berada di situ)
bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau menangis, hai Abu Abdurrahman?”.
Abdullah bin Umar menjawab: “Itu! Yakni: Abdullah bin Amr, yang mendakwakan,
bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa ada dalam hatinya
seberat biji sawi dari takabur, niscaya ditelungkupkan oleh Allah dalam api
neraka, mukanya”. Rasulullah saw bersabda: “Senantiasalah orang itu berjalan
sendiri, sehingga ia tertulis dalam golongan orang-orang yang sombong durhaka.
Maka akan menimpa kepadanya, apa yang menimpa kepada mereka yang sombong
durhaka, dari azab”. Pada suatu hari, Nabi Sulaiman bin Daud as mengatakan
kepada burung, manusia, jin dan hewan: “Keluarlah dari tempatmu!”. Maka
keluarlah mereka, dalam jumlah 200 ribu manusia dan 200 ribu jin. Lalu Nabi
Sulaiman as meninggi, sehingga ia mendengar bunyi suara malaikat di langit
membaca tasbih. Kemudian, ia merendah, sehingga tapak kakinya menyentuh laut.
Lalu ia mendengar suara: “Jikalau ada dalam hati temanmu sombong, seberat
atom/dzarrah, niscaya engkau tenggelam dengan dia, lebih jauh daripada apa yang
engkau tinggikan”. Nabi saw bersabda: “Akan keluar dari api neraka sebuah
batang leher, yang mempunyai dua telinga yang mendengar, dua mata yang melihat
dan lidah yang bertutur kata, yang mengatakan: “Aku diwakilkan dengan 3
golongan, yaitu: dengan setiap orang yang sombong keras kepala, dengan setiap
orang yang berdoa serta Allah akan tuhan yang lain dan dengan orang-orang yang
membuat gambar”. Nabi saw bersabda: “Tiada masuk sorga, orang kikir, orang
sombong dan orang yang jahat sifatnya”. Nabi saw bersabda: “Berhujjah
(masing-masing mengemukakan alasan) diantara sorga dan neraka. Kata neraka: “aku
dipilih dengan orang-orang yang sombong dan orang-orang yang keras kepala. Dan
kata sorga: “Apalah aku ini, yang tiada akan masuk kepadaku, selain
manusia-manusia yang lemah, orang-orang yang jatuh dari mereka dan orang-orang
yang tiada bertenaga”. Lalu Allah berfirman kepada sorga: “Sesungguhnya engkau
rahmatKu. Aku beri rahmat dengan sebab engkau, akan siapa yang Aku kehendaki
dari hamba-hambaKu”. Dan Ia berfirman kepada neraka: “Sesungguhnya engkau
azabKu. Aku azabkan dengan sebab engkau, akan siapa yang Aku kehendaki. Dan
bagi masing-masing dari kedua engkau, mempunyai kepenuhannya”. Nabi saw
bersabda: “Hamba yang jahat, ialah hamba yang sombong keras kepala dan melewati
batas. Orang yang sombong keras kepala itu, lupa kepada Yang Maha Perkasa, Maha
Tinggi. Hamba yang jahat, itulah hamba yang keras kepala, yang sombong. Ia lupa
kepada Yang Maha Besar, lagi Maha Tinggi. Hamba yang jahat, ialah hamba yang
lalai dan lupa. Ia lupa kepada kubur dan kehancuran tubuh di dalamnya. Jahatlah
hamba yang sombong dan melewati batas. Ia lupa kepada permulaan dan kesudahan”.
Dari Tsabit bin Aslam (w.Th.20 lebih dari tahun Hijriyah), mengatakan: “Sampai
kepada kami, bahwa ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah! Alangkah
hebatnya sombong si Anu!”. Lalu Nabi saw menanyakan: “Apakah tidak ada
sesudahnya mati?”. Abdullah bin Amr mengatakan: “Bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Bahwa Nuh as tatkala hampir wafat, lalu memanggil dua orang anaknya dan
mengatakan: “Sesungguhnya aku suruh kamu berdua, dengan dua perkara. Dan aku
larang kamu berdua, dari 2 perkara. Aku larang kamu berdua dari: syirik dan
takabur. Dan aku suruh kamu berdua dengan mengucapkan: Laa ilaaha illallaah
(Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah). Sesungguhnya langit dan bumi serta
isinya, jikalau diletakkan pada satu daun neraca dan Laa ilaaha illallah
diletakkan pada daun neraca yang satu lagi, niscaya adalah Laa ilaaha illallaah
itu lebih berat daripada langit dan bumi serta isinya. Dan jikalau langit dan
bumi serta isinya itu suatu kalung, lalu diletakkan “Laa ilaaha illallaah” atas
kalung itu, niscaya dipatahkannya. Dan aku suruh kamu berdua mengucapkan:
Subhaanallaah & Alhamdulillaah. Sesungguhnya itu, adalah shalat setiap
sesuatu. Dan dengan dia itu, diberikan rezeki setiap sesuatu”’. Nabi Isa Al-Masih
as berkata: “Selamatlah bagi orang yang diajarkan oleh Allah KitabNya. Kemudian
dia tidak mati, dalam keadaan sombong keras kepala”. Nabi saw bersabda: “Isi
neraka itu setiap orang yang kasar, sombong, angkuh kepada teman-temannya,
pengumpul harta dan tidak mau memberikan kepada yang berhak. Dan isi sorga itu:
orang-orang lemah, yang sedikit hartanya (miskin)”. Nabi saw bersabda: “Yang
paling kami kasihi daripada kamu dan yang paling dekat kepada kami daripada
kamu di akhirat, ialah: yang terbaik akhlak daripada kamu. Dan yang sangat kami
marahi daripada kamu dan terjauh kepada kami daripada kamu, ialah: mereka yang
banyak bicara tidak menentu (tsartsar), besar mulut, tanpa ada penjagaan
(mutasyaddiq) dan mutafaihiq”. Mereka lalu bertanya “Wahai Rasulullah! Kami
telah mengetahui arti tsartsar dan mutasyaddiq. Maka apakah arti: mutafaihiq?”.
Nabi saw menjawab: “Yaitu: orang takabur (sombong)”. Nabi saw bersabda:
“Orang-orang yang sombong itu dikumpulkan pada hari kiamat, seperti bentuk
semut yang halus. Mereka diinjak oleh manusia, sebagai semut yang halus, dalam
bentuk seperti orang (laki-laki). Di atasi mereka oleh tiap sesuatu dari
kehinaan. Kemudian, mereka itu dihalau ke penjara dalam neraka jahannam, yang
namanya: Bulas. Diatasi mereka oleh api dari segala api. Mereka itu disiram
dari debu racun yang berbisa, lindir tubuh isi neraka”. Abu Hurairah
mengatakan: “Nabi saw bersabda: “Orang-orang yang sombong, keras kepala dan
takabur, akan dikumpulkan pada hari kiamat, dalam bentuk semut kecil, yang
diinjak mereka oleh manusia, karena hinanya mereka pada Allah Ta’ala. Dari
Muhammad bin Wasi’, yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Bilal bin Abi Bardah.
Lalu aku katakan kepadanya: “Hai Bilal! Sesungguhnya bapakmu menerangkan hadits
kepadaku, dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang namanya: Habhab. Allah berhak
menempatkannya setiap orang yang sombong keras kepala”. Maka jagalah dirimu,
hai Bilal, bahwa engkau termasuk diantara orang yang menempatinya”. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya dalam neraka ada sebuah tempat besar, yang ditempatkan
di dalamnya orang-orang sombong dan mereka bertindis lapis di situ”. Nabi saw
bedoa: “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari
hembusan sombong”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang berpisah nyawanya
dengan tubuhnya dan dia itu terlepas dari 3 perkara, niscaya ia masuk sorga,
yaitu: sombong, hutang dan iri hati”. Al-atsar, yaitu: diantara lain, ialah:
Abubakar Siddik ra mengatakan: “Janganlah seseorang menghinakan akan seseorang
dari kaum muslimin! Maka sesungguhnya yang kecil dari kaum muslimin itu, besar
pada sisi Allah”. Wahab bin Manbah mengatakan: “Tatkala Allah Ta’ala menjadikan
sorga Aden, lalu Ia melihat kepadanya, seraya berfirman: “Engkau ini haram
(tidak boleh) bagi setiap orang yang takabur”. Adalah Al-Ahnaf bin Qais duduk
bersama Mash’ab bin Az-Zubair pada tempat tidurnya. Pada suatu hari datang
Al-Ahnaf dan Mash’ab sedang meluruskan kedua kakinya. Maka tidak ditarik oleh
Mash’ab kedua kakinya itu. Dan Al-Ahnaf terus duduk. Lalu didesaknya Mash’ab
sedikit. Maka ia melihat kesan yang demikian pada muka Mash’ab. Lalu Al-Ahnaf
mengatakan: “Heran bagi anak Adam itu menyombong, padahal ia keluar dari tempat
keluar kencing, dua kali”. Al-Hasan Al Bashar (melihat)i ra berkata: “Heran
dari anak Adam, yang membasuh kemaluannya dengan tangannya setiap hari sekali
atau dua kali. Kemudian, ia menentang Tuhan Yang Maha Perkasa bagi semua
langit”. Sesungguhnya ada yang mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Dan
pada dirimu sendiri, apakah tidak kamu memperhatikannya?”. S 51 Adz Dzaariyaat
ayat 21. Bahwa yang dimaksud dengan itu, ialah: jalan keluar berak dan kencing.
Muhammad bin Al-Husain bin Ali ra mengatakan: “Tiada masuk sekali-kali dalam
hati manusia, sesuatu dari kesombongan, melainkan telah berkurang dari akalnya,
sekedar apa yang masuk dari kesombongan itu, sedikit atau banyak”. Ditanyakan
Salman Al-Farisi ra dari hal kejahatan yang tiada bermanfaat kebaikan bersama
kejahatan itu. Lalu beliau menjawab: “Sombong”. An-Nu’man bin Basyir mengatakan
di atas mimbar: “Sesungguhnya setan itu mempunyai jaring-jaring dan alat-alat
penangkap. Termasuk diantara jaring-jaring dan alat-alat penangkap kepunyaan
setan itu, ialah: durhaka dengan nikmat-nikmat Allah, angkuh dengan pemberian
Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah dan menuruti keinginan pada bukan Zat
Allah”. Kita bermohon kepada Allah, akan kemaafan dan sehat wal afiat di dunia
dan di akhirat dengan nikmat dan kurniaNya.
PENJELASAN:
Tercelanya keangkuhan dan melahirkan bekas-bekas kesombongan pada berjalan dan
menarik kain.
Rasulullah saw bersabda: “Allah tidak memandang kepada orang
yang menarik kain sarungnya dengan angkuh”. Nabi saw bersabda: “Sementara
seorang laki-laki yang menyombong pada pakaiannya, karena pakaian tersebut
membanggakannya, maka ditenggelam kan oleh Allah akan bumi dengan sebabnya.
Lalu ia bergerak dengan kacau di bumi sampai kepada hari kiamat”. Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa menarik kainnya dengan angkuh, niscaya Allah tidak
memandang kepadanya pada hari kiamat”. Zaid bin Aslam mengatakan: “Aku masuk ke
tempat Ibnu Umar. Maka lalu di situ Abdullah bin Waqid. Dan dia memakai kain
baru. Lalu aku mendengar ia mengatakan: “Hai anakku! Angkatlah kain sarungmu!”
maka sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala tiada
memandang kepada orang, yang menarik kain sarungnya dengan perasaan angkuh
(sombong)”. Diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw pada suatu hari meludah atas
tapak tangannya dan meletakkan anak jarinya atas ludah itu. Dan beliau
bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Hai anak Adam! Adakah engkau melemahkan
Aku? Padahal Aku telah menjadikan engkau dari yang seperti ini. Sehingga
apabila Aku telah menjadikan engkau yang seimbang dan lurus, lalu engkau
berjalan dengan keangkuhan. Dan bumi mempunyai tempat berpijak dari engkau.
Engkau kumpulkan harta dan engkau tidak mau mengeluarkan hak orang. Sehingga
apabila ruh engkau sampai di tulang leher, niscaya engkau mengatakan: “Aku
bersedekah!”. Dan dimanakah waktu bersedekah itu?”. Nabi saw bersabda: “Apabila
umatku berjalan dengan angkuh dan mereka dilayani oleh orang Parsi dan orang
Rumawi, niscaya Allah menguasakan sebahagian mereka di atas sebahagian yang
lain”. Ibnul-Arabi mengatakan: yaitu, perjalanan yang ada padanya keangkuhan.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membesarkan diri dan angkuh pada jalannya,
niscaya ia menemui Allah dan Allah marah kepadanya”. Al-atsar: yaitu, dari
Abubakar Al-Hadzali (w. Th.67 H), yang mengatakan: “Sewaktu kami berada bersama
Al-Hasan Al-Bashari , tiba-tiba lalu dekat kami Ibnul-Ahtam, yang bermaksud ke
al-maqshurah (suatu tempat yang menyerupai mahligai, terletak di kanan mihrab
masjid, yang dibangun oleh Bani Ummiyah). Ia memakai baju jubah sutera, yang
berlapis-lapis pada betisnya. Dan terbuka (tidak dikancing) baju qaba’nya (baju
yang dipakai bagian luar). Ia berjalan dengan menyombong. Tatkala Al-Hasan Al
Bashar (melihat)i memandang kepada Ibnul-Ahtam sekali pandang, lalu Al-Hasan
Al-Bashari mengatakan: “Cis –Cis!
Kembang hidungnya, melipat lembungnya dan memalingkan pipinya. Ia memandang
pada dua lembungnya. Hai orang dungu! Engkau memandang pada dua lembung engkau,
pada nikmat yang tidak disyukuri dan tidak diingati. Yang tidak diambil padanya
dengan perintah Allah dan tidak dilaksanakan hak Allah daripadanya. Demi Allah,
bahwa seseorang berjalan, menurut tabiatnya, yang bergoncang badannya,
sebagaimana bergoncangnya badan orang gila. Pada setiap anggota dari anggota
badannya itu nikmat Allah. Dan setan menoleh kepadanya”. Maka didengar oleh
Ibnul-Ahtam. Lalu ia kembali dan meminta maaf kepada Al-Hasan Al-Bashari . Maka
Al-Hasan Al-Bashari menjawab: “Jangan
kamu meminta maaf kepadaku. Bertobatlah kepada Tuhanmu! Apakah kamu tidak
mendengar firman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan
sombong, sesungguhnya engkau tiada dapat menembus bumi dan takkan sampai engkau
setinggi gunung”. S 17 Al Israa’ ayat 37. Seorang pemuda lalu di tempat
Al-Hasan Al-Bashari , memakai pakaiannya yang bagus. Lalu Al-Hasan
Al-Bashari memanggilnya, seraya
mengatakan kepadanya: “Anak Adam, yang membanggakan kemudaannya, yang mencintai
sifat-sifatnya. Seakan-akan kubur telah menyembunyi kan badan engkau. Dan
seakan-akan engkau, telah menjumpai amal engkau. Kasihan engkau! Obatil/salahah
hati engkau! Sesungguhnya hajat Allah kepada hamba-hambaNya, ialah perbaikan
hati mereka”. Diriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul-‘aziz menunaikan ibadah haji,
sebelum ia menjadi khalifah. Lalu Thawus Al-Yamani ra melihat kepadanya. Dan
Umar itu berjalan dengan angkuh. Maka Thawus mengisyaratkan dengan anak
jarinya, ke lembung ‘Umar. Kemudian, Thawus mengatakan: “Tidaklah ini jalannya
orang, yang dalam perutnya tai”. Maka Umar bin Abdul-‘aziz menjawab, sebagai
meminta maaf: “Wahai pamanku! Setiap anggota tubuhku telah memukul atas
perjalanan ini, sehingga aku mempelajarinya”. Muhammad bin Wasi’ melihat
anaknya, bersikap angkuh. Lalu dipanggilnya dan dikatakannya: “Tahukah kamu,
siapa kamu? Adapun ibumu, maka ia aku beli dengan harga 200 dirham. Dan
bapakmu, maka tidak diperbanyakkan oleh Allah seperti dia dalam kalangan kaum
muslimin”. Ibnu Umar ra melihat seorang laki-laki menghela kain sarungnya,
dengan sombong lalu Ibnu Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya setan itu mempunyai
teman”. Ibnu Umar ra mengulangi perkataannya itu dua atau tiga kali.
Diriwayatkan, bahwa Mathraf bin Abdullah bin Asy-Syukhair melihat Al-Muhallab.
Dia itu menyombong memakai baju jubah sutera. Lalu Mathraf mengatakan: “Hai
hamba Allah! ini adalah perjalanan yang dimarahi Allah dan RasulNya”. Lalu
Al-Muhallab menjawab: “Apakah engkau tidak mengenal aku?”. Mathraf menjawab:
“Ya, aku kenal engkau. Permulaan engkau itu nuthfah (air anyir) yang berobah.
Dan kesudahan engkau itu bangkai yang busuk. Dan engkau diantara yang dua itu,
membawa tai”. Maka Al-Muhallab lalu dari situ dan meninggalkan perjalanannya
yang demikian”. Mujahid ra mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Kemudian,
ia pergi kepada keluarganya dengan sombong/yatamath-tha”. S 75 Al Qiamah ayat
33. Dan tatkala telah kami sebutkan tercelanya sombong dan angkuh, maka
hendaklah kami sebutkan sekarang keutamaan merendahkan diri (at-tawadlu’).
Wallahu Ta’ala a’lam! Allah Ta’ala yang maha tahu!.
PENJELASAN: keutamaan merendahkan diri.
Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala
tiada menambahkan seseorang hamba, dengan kemaafannya, selain kemuliaan. Dan
tiada seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan dia diangkat oleh
Allah”. Nabi saw bersabda: “Tiada
seorangpun, melainkan ada bersama dia dua orang malaikat. Dan pada orang
itu cemeti, yang dipegang oleh dua malaikat tadi orang tersebut, dengan cemeti
itu. Maka jikalau orang itu mengangkat dirinya, niscaya dua malaikat itu
menarik cemeti tersebut. Kemudian, kedua malaikat tadi berdoa: “Wahai Allah,
Tuhanku! Rendahkanlah dia!”. Dan jikalau orang itu merendahkan dirinya, lalu
kedua malaikat itu bredoa: “Wahai Allah, Tuhanku! Alangkatkanlah (tinggikanlah)
dia!”. Nabi saw bersabda: “Amat baiklah orang yang merendahkan diri pada bukan
karena kemiskinan. Membelanjakan harta yang dikumpulkannya pada bukan maksiat.
Mengasihani orang hina dan miskin. Dan bercampur gaul dengan ahli fiqih dan
hikmah”. Dari Abu Salmah Al-Madini, dari ayahnya, dari neneknya, yang
mengatakan: “Adalah Rasulullah saw pada tempat kami di Quba’ dan beliau
berpuasa. Lalu kami bawakan kepadanya ketika berbuka puasa, segelas susu. Dan
kami masukkan dalam susu itu sedikit madu. Maka tatkala beliau mengangkat gelas
itu dan merasakan susunya, beliau dapati kemanisan madu. Lalu beliau bertanya:
“Apakah ini?”. Kami menjawab: “Wahai Rasulullah! Kami masukkan ke dalamnya
sedikit madu”. Lalu beliau letakkan dan mengatakan: “Sesungguhnya aku tidak
mengharamkannya. Dan siapa yang merendahkan diri karena Allah, niscaya ia
diangkat oleh Allah. Dan siapa yang menyombong, niscaya direndahkan oleh Allah.
Dan siapa yang sederhana, niscaya dikayakan oleh Allah. Dan siapa yang mubazir
(boros), niscaya dimiskinkan oleh Allah. dan siapa yang banyak mengingati Allah
(berdzikir), niscaya dikasihi oleh Allah”. Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw berada
dalam suatu jama’ah sahabat-sahabatnya di rumahnya, dimana mereka itu makan.
Lalu berdiri di pintu seorang peminta-peminta dan dia itu sakit lumpuh, yang
tidak disenangi orang. Lalu ia diizinkan masuk. Tatkala ia sudah masuk, maka
didudukkan oleh Rasulullah saw atas pahanya (dalam pangkuannya). Kemudian
beliau mengatakan kepada peminta-peminta itu: “Makanlah! Seakan-akan ada
seseorang dari suku Quraisy yang jijik dan tidak suka kepada dia ini. Maka
tiadalah mati orang Quraisy itu, sehingga ia mendapat penyakit lumpuh, seperti
lumpuhnya peminta-peminta itu”. Nabi saw bersabda: “Disuruh pilih aku oleh
Tuhanku diantara dua perkara, yaitu: bahwa aku menjadi hamba dan rasul atau
menjadi raja dan nabi. Maka aku tidak tahu, mana yang akan aku pilih. Dan
adalah temanku Jibril diantara malaikat itu. Maka aku mengangkatkan kepalaku
kepadanya. Lalu ia mengatakan: “Merendahilah dirimu kepada Tuhanmu ! maka aku
menjawab: “Hamba dan rasul”. Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa as:
“Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendahkan dirinya karena
kebesaranKu. Ia tidak membesarkan dirinya kepada makhlukKu. Ia mengharuskan
hatinya takut kepadaKu. Ia menghabiskan harinya dengan berdzikir kepadaKu. Dan
ia mencegah dirinya dari nafsu-syahwat, dari karenaKu”. Nabi saw bersabda:
“Sifat pemurah itu taqwa. Mulia itu merendahkan diri dan yakin itu kekayaan”.
Nabi Isa Al-Masih as mengatakan: “Amat baiklah bagi orang-orang yang
merendahkan diri di dunia. Mereka itu teman-teman mimbar pada hari kiamat. Amat
baiklah bagi orang-orang yang berbuat perbaikan diantara manusia di dunia.
Mereka itu akan mewarisi sorga Firdaus pada hari kiamat. Amat baiklah bagi
mereka yang disucikan hatinya di dunia. Mereka yang melihat kepada Allah Ta’ala
pada hari kiamat”. Setengah mereka mengatakan: “Telah sampai kepadaku, bahwa
Nabi saw bersabda: “Apabila Allah memberi petunjuk seorang hamba bagi agama
Islam dan membaguskan bentuknya, menjadikan dia pada tempat yang tiada
berkekurangan dan bersama itu, Allah menganugerahkan kepadanya sifat
merendahkan diri, maka yang demikian itu, dari pilihan Allah”. Nabi saw
bersabda: “4 perkara tiada diberikan oleh Allah, selain orang yang dikasihiNya:
yaitu, diam dan itu adalah permulaan ibadah, tawakkal kepada Allah, merendahkan
diri dan zuhud di dunia". Ibnu Abbas mengatakan: “Rasulullah saw bersabda:
“Apabila hamba itu merendahkan diri, niscaya ia diangkat oleh Allah ke langit
ke 7”. Nabi saw bersabda: “Merendahkan diri itu, tiada menambahkan bagi hamba,
melainkan ketinggian. Maka merendah dirilah kamu, niscaya akan dicurahkan
rahmat oleh Allah kepada kamu”. Diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw sedang
makan. Lalu datanglah seorang laki-laki hitam, yang berpenyakit cacar sedang
mengupas. Maka orang hitam itu tiada duduk dekat seseorang, melainkan orang itu
berdiri dari samping orang hitam itu. Lalu Nabi saw mendudukkan orang hitam itu
disampingnya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya menakjubkan aku, oleh orang
yang membawa sesuatu dalam tangannya, yang menjadi layanan bagi keluarganya.
Dia menolak kesombongan dengan yang demikian itu dari dirinya”. Nabi saw pada
suatu hari mengatakan kepada sahabat-sahabatnya: “Mengapa aku tiada melihat
padamu kemanisan ibadah?”. Para sahabat lalu bertanya: “Apakah kemanisan ibadah
itu?”. Nabi saw lalu menjawab: “Merendahkan diri”. Nabi saw bersabda: “Apabila
kamu melihat orang-orang yang merendahkan diri dari umatku, maka merendahkan
dirilah kamu kepada mereka! Dan apabila kamu melihat orang-orang yang
menyombongkan diri, maka menyombongkan dirilah kamu kepada mereka! Maka
sesungguhnya yang demikian itu penghinaan dan pengecilan bagi mereka”.
Al-Atsar: Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya hamba itu, apabila ia merendahkan
diri, karena Allah, niscaya Allah mengangkatkan hikmahNya. Dan berkata malaikat
yang diwakilkan dengan hikmah itu: “Bangunlah dari jatuhmu, niscaya kamu
diangkatkan oleh Allah!”. Dan apabila hamba itu menyombong dan melampaui
batasnya, niscaya ia ditolak oleh Allah dalam bumi. Dan berkata malaikat yang
diwakilkan dengan hikmat itu: “Nyahlah engkau! Niscaya engkau dinyahkan oleh
Allah” Dia itu pada dirinya besar dan pada mata manusia hina. Sehingga,
sesungguhnya dia itu lebih hina dari babi pada sisi manusia”. Jarir bin
Abdullah mengatakan: “Pada suatu kali, aku sampai ke sebatang pohon kayu, yang
dibawahnya seorang laki-laki sedang tidur, yang bernaung dengan permadani kulit
kepunyaannya. Dan matahari sudah melampaui permadani kulit itu. Lalu aku
buatkan permadani tersebut atasnya. Kemudian, laki-laki itu terbangun dari
tidurnya. Tiba-tiba, orang itu adalah Salman Al-Farisi. Lalu aku sebutkan
kepadanya, apa yang telah aku perbuat. Maka ia mengatakan kepadaku: “Hai Jarir!
Merendahkan dirilah engkau karena Allah di dunia! Maka sesungguhnya, siapa yang
merendahkan diri karena Allah di dunia, niscaya ia diangkatkan oleh Allah pada
hari kiamat. Hai Jarir! Tahukah engkau, apakah kegelapan api neraka pada hari
kiamat?”. Aku menjawab: “Tidak!”. Salman Al-Farisi mengatakan: “Sesungguhnya
itu, ialah kezaliman manusia, sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain di
dunia”. ‘Aisyah mengatakan: “Sesungguhnya kamu lupa dari ibadah yang paling
utama, ialah: merendahkan diri (at-tawadlu’)”. Yusuf bin Asbath ra mengatakan:
“Dibalasi sedikit wara’ dari banyaknya amal dan dibalasi sedikit at-tawadlu’,
dari banyaknya kesungguhan berpikir kepada ilmu (al-ijtihad)”. Al-Fudlail bin
‘Iyadl ra mengatakan dan dia itu ditanyakan tentang at-tawadlu’, apakah
at-tawadlu’ itu? Lalu ia menjawab: “Bahwa engkau tunduk kepada kebenaran dan
engkau mematuhinya. Dan jikalau engkau dengar kebenaran itu dari seorang anak
kecil, niscaya engkau terima. Dan jikalau engkau dengar dari manusia yang
paling bodoh, niscaya engkau terima”. Ibnul-Mubarak ra mengatakan: “Kepala
at-tawadlu’, ialah: bahwa engkau letakkan diri engkau di sisi orang yang kurang
dari engkau pada kenikmatan dunia. Sehingga engkau ketahui, bahwa tiada bagi
engkau dengan dunia engkau, kelebihan daripadanya. Dan bahwa engkau angkatlah
diri engkau, dari orang yang di atas engkau di dunia. Sehingga engkau ketahui,
bahwa tiada baginya dengan dunianya, kelebihan dari engkau”. Qatadah bin
Da’amah Al-Bashari ra mengatakan:
“Barangsiapa diberikan harta atau keelokan atau pujian atau ilmu, kemudian, ia
tiada merendahkan dirinya padanya, niscaya adalah yang demikian itu bencana
kepadanya pada hari kiamat”. Dikatakan orang, bahwa Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada Isa as, yaitu: “Apabila Aku berikan nikmat kepada engkau dengan
sesuatu nikmat, maka terimalah dengan merendahkan diri, niscaya Aku sempurnakan
nikmat itu kepada engkau”. Ka’bul Ahbar ra mengatakan: “Apabila diberi nikmat
oleh Allah kepada seorang hamba dari sesuatu nikmat di dunia, lalu disyukurinya
nikmat itu, karena Allah dan ia merendahkan diri dengan nikmat itu, karena
Allah, niscaya ia diberikan oleh Allah kemanfaatannya di dunia. Dan ia
ditinggikan suatu tingkat di akhhirat. Dan apabila diberi nikmat oleh Allah
kepada seorang hamba, dengan sesuatu nikmat di dunia, lalu tidak disyukurinya
dan ia tiada merendahkan diri dengan nikmat itu karena Allah, niscaya ia
dilarang oleh Allah kemanfaatan nikmat itu di dunia. Dan dibukakan baginya
suatu lapis dari neraka, yang akan diazabkan dia, jika dikehendaki oleh Allah
atau ia terlepas daripadanya”. Ditanyakan kepada khalifah Abdul-malik bin
Marwan: “Orang mana yang lebih utama?”. Abdul-malik menjawab: “Orang yang
merendahkan diri dari kekuasaan, orang yang zuhud dari keinginan dan orang yang
meninggalkan pertolongan bagi diri sendiri, dari kekuatan”. Ibnus-Sammak masuk
ke tempat Harunu’rrasyid. Lalu ia mengatakan: “Hai Amirul-mukminin! Sesungguhnya
tawadlu’ engkau dalam kemuliaan engkau itu, lebih mulia bagi engkau dari
kemuliaan engkau”. Maka Harunu’rrasyid menjawab: “Alangkah bagusnya perkataan
yang engkau katakan itu!”. Lalu Ibnus-Sammak menyambung: “Hai Amirul-mukminin!
Sesungguhnya seorang manusia yang dianugerahkan oleh Allah kecantikan pada
bentuknya dan tempat pada kenamaannya dan Allah melapangkan baginya barang
dalam tangannya (harta), lalu manusia tersebut memelihara pada kecantikannya,
memberi pertolongan dari hartanya dan merendahkan diri pada kenamaannya,
niscaya ia dituliskan dalam Dewan Allah, termasuk yang murni dari wali-wali
Allah”. Lalu Harunu’rrasyid meminta tinta dan kertas dan dituliskannya
perkataan tersebut dengan tangannya. Adalah Nabi Sulaiman bin Daud as apabila
pagi hari, ia memperhatikan muka orang-orang kaya dan orang-orang mulia.
Kemudian, ia datang kepada orang-orang miskin. Lalu duduk bersama mereka dan
mengatakan: “Orang miskin bersama orang-orang miskin”. Setengah mereka
mengatakan: “Sebagaimana engkau benci, bahwa engkau dilihat oleh orang-orang
kaya dalam pakaian yang hina, maka seperti itu pula, maka bencilah, bahwa
engkau dilihat oleh orang-orang miskin dalam pakaian yang tinggi harganya!”.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari keluar ke suatu tempat, Yunus bin ‘Ubaid,
Ayyub As-Sakhtiani dan Al-Hasan Al-Bashari . Mereka memperbincangkan tentang
“at-tawadlu”. Maka Al-Hasan mengatakan kepada mereka: “Tahukah kamu, apa
at-tawadlu’ itu? At-tawadlu’, ialah, bahwa engkau keluar dari rumah engkau. Dan
apabila engkau menjumpai orang muslim, niscaya engkau melihat bahwa orang itu
mempunyai kelebihan dari engkau”. Mujahid ra mengatakan: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala tatkala menenggelamkan kaum Nabi Nuh as (umat nabi Nuh as), lalu
gunung-gunung itu meninggi dan memanjang. Dan Al-Judi (suatu bukit dekat Mosul)
itu, merendahkan diri. Maka ia diangkatkan (ditinggikan) oleh Allah di atas
bukit-bukit (gunung-gunung) yang lain. Dan dijadikanNya tempat ketetapan
safinah (kapal Nuh as) di atasnya”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar melihat kepada hati anak
Adam. Maka tidak didapatiNya hati yang lebih sangat tawadlu’, daripada hati
Musa as. Maka dikhususkannya dari antara mereka itu, dengan: al-kalam
(berkata-kata)”. Yunus bin ‘Ubaid ra mengatakan, dimana dia baru saja kembali
dari ‘Arafah: “Aku tidak ragu pada rahmat Allah, yang diberikan kepada mereka.
Jikalau tidaklah aku ini bersama mereka, niscaya sesungguhnya aku takut, bahwa
mereka diharamkan dari rahmat, disebabkan aku (dosaku)”. Ada yang mengatakan:
“Yang tertinggi apa yang ada orang mukimin itu pada Allah, ialah: yang terendah
apa yang ada pada dirinya. Dan yang terendah apa yang ada pada Allah, ialah:
yang tertinggi apa yang ada pada diri orang mukmin itu”. Ziyad bin Abdullah
An-Numairi mengatakan: “Orang zuhud tanpa tawadlu’, adalah seperti pohon kayu
yang tiada berbuah”. Malik bin Dinar Al-Bashari
ra mengatakan: “Jikalau adalah seorang penyeru menyerukan di pintu
masjid: “Hendaknya orang yang jahat dari kamu, mengeluarkan seseorang, maka
demi Allah, tiada seorangpun mendahului aku ke pintu itu, selain orang yang
dengan kelebihan kekuatan atau usaha”. Perawi riwayat ini, lalu menyambung:
“Tatkala sampai kepada Ibnul-Mubarak perkataan Malik bin Dinar itu, lalu Ibnul-Mubarak
mengatakan: “Dengan ini, jadilah Malik itu Malik”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra
mengatakan: “Siapa yang suka menjadi kepala, niscaya ia tiada akan memperoleh
kemenangan untuk selama-lamanya”. Musa bin Al-Qasim Al-Kufi mengatakan: “Telah
menimpa kami gempa bumi dan angin merah. Lalu aku pergi kepada Muhammad bin
Muqatil Al-Kufi, seraya aku mengatakan: “Hai Abu Abdillah! Engkau imam kami.
Maka berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar
bagi kami!”. Lalu beliau menangis. Kemudian, mengatakan: “Mudah-mudahan
kiranya, tidaklah aku ini menajdi sebab kebiasanmu”. Musa bin Al-Qasim
meneruskan ceriteranya: “Maka aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Lalu
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhn ya Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia
& Maha Besar menolak bahaya daripadamu, dengan doa Muhammad bin Muqatil”.
Seorang laki-laki datang kepada Abubakar Asy-Syibli ra, lalu Abubakar
Asy-Syibli ra bertanya kepada orang itu: “Apakah engkau ini?” Dan itu adalah
cara kebiasaan Abubakar Asy-Syibli ra. Laki-laki itu lalu menjawab: “Aku ini,
titik yang dibawah huruf: ba”. Lalu Asy-Syibli mengatakan kepadanya:
“Dibinasakan oleh Allah, akan yang menyaksikan engkau. Atau engkau buat bagi
diri engkau sendiri, suatu tempat”. Asy-Syibli ra mengatakan pada sebahagian
perkataannya: “Kehinaanku itu mengosong kan kehinaan Yahudi”. Ada yang
mengatakan: “Siapa yang melihat dirinya mempunyai harga, maka ia tiada
mempunyai bahagian dari tawadlu’”. Dari Abil-Fath bin Syukhruf, yang
mengatakan: “Aku bermimpi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib ra. Lalu aku
mengatakan kepadanya: “Hai ayah Al-Hasan! Berilah aku nasehat!”. Maka ia
mengatakan kepadaku: “Alangkah bagusnya tawadlu’ orang-orang kaya pada majelis
orang-orang miskin. Karena keinginan mereka pada pahala daripada Allah! Dan
yang lebih bagus dari itu lagi, ialah: kesombongan orang-orang miskin kepada
orang-orang kaya karena kepercayaan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah
Maha Mulia & Maha Besar”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Tiadalah
hamba itu merendahkan diri, sebelum ia mengenal dirinya sendiri”. Abu Yazid
Al-Busthami ra mengatakan: “Selama hamba itu menyangka, bahwa pada kalangan
makhluk, ada orang yang lebih jahat daripadanya, maka dia itu orang yang
sombong”. Lalu ia ditanyakan: “Kapankah orang itu merendahkan diri?”. Abu Yazid
menjawab: “Apabila ia tidak melihat bagi dirinya, tempat berdiri (kedudukan)
dan keadaan. Dan tawadlu’nya tiap-tiap manusia itu, adalah menurut kadar
ma’rifahnya kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dan ma’rifahnya (pengenalannya)
kepada dirinya sendiri”. Abu Sulaiman mengatakan: “Jikalau sepakatlah makhluk
untuk meletakkan aku, seperti letaknya aku pada diriku, niscaya mereka tidak
sanggup kepada yang demikian”. ‘Urwah bin Al-Ward mengatakan: “At-tawadlu’ itu
salah satu alat memancing kemuliaan. Dan tiap-tiap nikmat itu, didengki orang
yang empunya, selain: at-tawadlu’”. Yahya bin Khalid Al-Barmaki mengatakan:
“Orang mulia, apabila beribadah, niscaya ia merendahkan diri. Dan orang
congkak, apabila beribadah, niscaya ia membesarkan diri”. Yahya bin Ma’adz
mengatakan: “Menyombong atas orang yang menyombongkan diri atas engkau, dengan
hartanya itu tawadlu”. Ada yang mengatakan: “Merendahkan diri pada semua
makhluk itu baik. Dan pada orang-orang kaya itu lebih baik. Dan menyombong pada
semua makhluk itu buruk. Dan pada orang-orang miskin itu, lebih buruk”. Ada
yang mengatakan: “Tiada kemuliaan, selain bagi siapa yang menghinakan diri,
karena Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada
ketinggian, selain bagi siapa, yang merendahkan diri karena Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada aman, selain bagi siapa yang
takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada
laba, selain bagi siapa yang membeli dirinya dari Allah ‘Azza wa Jalla/Allah
Maha Mulia & Maha Besar”. Abu Ali Al-Jauzajani mengatakan: “Diri itu hancur
dengan sombong, rakus dan dengki. Maka siapa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala
akan kebinasaannya, niscaya tercegah daripadanya: tawadlu’, menerima nasehat
dan qana’ah. Dan apabila dikehendaki oleh Allah, akan kebajikan baginya,
niscaya ia dilemah-lembutkan pada yang demikian. Maka apabila berlobar pada
dirinya api kesombongan, niscaya api kesombongan itu diketahui oleh tawadlu’,
(lalu dipadamkan) dengan pertolongan Allah Ta’ala. Dengan apabila berkobar api
kedengkian pada dirinya, niscaya api kedengkian itu diketahui oleh nasehat
(lalu dipadamkannya) dengan taufiq Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia &
Maha Besar. Dan apabila berkobar pada dirinya api kerakusan, niscaya api
kerakusan itu, diketahui oleh qana’ah (lalu dipadamkannya), dengan pertolongan
Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Dari Al-Junaid ra,
bahwa ia mengatakan pada hari Jum’at pada majelisnya: “Jikalau tidaklah
dirawikan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Adalah pada akhir zaman,
pemimpin suatu kaum (golongan) itu, orang yang terhina dari mereka”, niscaya
aku tidak berbicara kepada kamu”. Al-Junaid mengatakan pula: “At-tawadlu’ pada
ahli keesaan itu takabur (sombong)”. Semoga maksud Al-Junaid dengan ucapannya
itu, ialah, bahwa: orang yang tawadlu itu, pertama-tama menetapkan ada dirinya,
kemudian meletakkannya (merendahkannya). Dan orang yang berkeesaan itu, tidak
sekali-kali menetapkan ada dirinya dan tidak melihat dirinya suatupun. Sehingga
direndahkannya atau diangkatnya. Dari Amr bin Syaibah, yang mengatakan: “Aku
berada di Makkah, diantara Ash-Shafa dan Al-Marwah. Lalu aku lihat seorang
laki-laki mengendarai binatang baghal. Dan dihadapannya, budak-budak yang
mengawalnya. Tiba-tiba budak-budak itu bersikap keras terhadap orang banyak”.
Amr bin Syaibah meneruskan riwayatnya: “Kemudian, aku kembali ke tempatku,
sesudah beberapa lama. Lalu aku masuk kota Baghdad. Maka aku berada di jembatan
sungai Dajlah (sungai Tigris). Lalu tiba-tiba aku berhadapan dengan seorang
laki-laki, yang tidak beralas kakinya, tidak tertutup kepalanya, panjang
rambutnya”. Amr bin Syaibah meneruskan riwayatnya: “Maka aku melihat kepada
orang tersebut dan aku memperhatikannya. Ia lalu bertanya kepadaku: “Mengapa
engkau melihat kepadaku?”. Lalu aku menjawab kepadanya: “Aku melihat engkau
serupa dengan seorang laki-laki, yang aku lihat di Makkah. Dan aku terangkan
kepadanya sifat orang itu”. Maka ia menjawab: “Akulah orang itu”. Lalu aku
bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu?”. Maka ia menjawab: “Aku
mengangkat diriku pada tempat, dimana manusia merendahkan dirinya pada tempat
itu. Maka aku direndahkan oleh Allah, dimana manusia memperoleh ketinggian”.
Al-Mughirah bin Muslim (w. Th. 36 H) mengatakan: “Adalah kami takut kepada
Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i, sebagai mana takutnya kepada seorang amir
(penguasa). Dan Ibrahim bin Yazid Ann-Nakha’i itu mengatakan: “Bahwa zaman,
dimana aku menjadi ahli fiqih negeri Kufah padanya, adalah sesungguhnya zaman jahat”.
Adalah ‘Atha As-Salimi, apabila mendengar suara guruh, niscaya ia berdiri dan
duduk. Dan ia diambil oleh perutnya, seakan-akan wanita yang melahirkan anak.
Dan ‘Atha itu mengatakan: “Ini dari karena aku, yang menjadi musibah bagi kamu.
Jikalau mati ‘Atha, niscaya manusia senang”. Adalah Bisyr Al-Hafi mengatakan:
“Berilah salam kepada anak-anak dunia, dengan meninggalkan salam kepada
mereka!”. Seorang laki-laki berdoa kepada Abdullah bin Mubarak, dengan
mengatakan: Kiranya Allah memberikan kepada engkau, apa yang engkau harapkan!.
Lalu Abdullah bin Mubarak menjawab: “Bahwa harap itu adalah sesudah ma’rifah.
Maka dimanakah ma’rifah itu?”. Pada suatu hari, orang-orang Arab Quraisy itu
membanggakan diri pada Salman Al-Farisi (orang Parsi). Lalu Salman mengatakan:
“Akan tetapi, aku dijadikan dari air anyir yang kotor. Kemudian aku kembali
kepada bangkai yang busuk. Kemudian aku mendatangi timbangan (al-mizan). Maka
jikalau berat, maka aku orang mulia dan jikalau ringan, maka aku orang
terkutuk”. Abubakar Ash-Shiddiq ra mengatakan: “Kami dapati kemurahan hati pada
taqwa, kekayaan pada yakin & kemuliaan pada tawadlu”. Kita bermohon pada
Allah Yang Maha Pemurah, akan kebaikan taufiq.
PENJELASAN: hakikat/makna sombong dan bahayanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sombong itu terbagi kepada: batin
dan zahir. Maka yang batin, ialah: suatu tingkah laku (perangai) pada jiwa. Dan
yang zahir, ialah: amal perbuatan, yang terbit dari anggota tubuh. Dan nama
sombong dengan tingkah laku batin itu, lebih berhak. Adapun amal perbuatan,
maka itu adalah buah (hasil) dari tingkah laku itu. Dan tingkah laku sombong
itu, mengharuskan bagi amal perbuatan. Dan karena itulah, apabila tingkah laku
itu lahir pada anggota tubuh, niscaya dikatakan: ia menyombong. Dan apabila
tidak lahir, niscaya dikatakan: pada dirinya (jiwanya) sombong. Maka pokoknya
sombong itu, ialah: tingkah laku yang ada pada jiwa. Yaitu: merasa senang dan
cenderung kepada dilihat dirinya, di atas orang yang disombonginya. Karena
sombong itu mengajak orang yang disombonginya dan tentang apa yang
disombonginya. Dan dengan yang demikian, terpisahlah sombong itu dari ‘ujub
(mengherani diri atau membanggakan diri), sebagimana akan diterangkan nanti.
Sesungguhnya ‘ujub itu, tidak mengajak (tidak terlibat), selain orang yang ‘ujub
itu. Bahkan, jikalau manusia itu tidak dijadikan, selain dia sendirian, niscaya
dapat digambar kan, bahwa dia itu orang yang ‘ujub. Dan tidak dapat
digambarkan, bahwa dia orang yang takabur (sombong), kecuali ia berada bersama
orang lain. Dan ia melihat dirinya di atas orang lain itu, pada sifat-sifat
kesempurnaan. Maka ketika itu, adalah dia orang yang sombong. Dan tidak
mencukupi, bahwa ia membesarkan dirinya, supaya ia menjadi orang sombong.
Sesungguhnya, kadang-kadang ia membesarkan dirinya, akan tetapi, ia melihat
orang lain, lebih besar dari dirinya atau seperti dirinya. Maka ia tidak
menyombong atas orang tersebut. Dan tidak mencukupi, bahwa ia menghina orang
lain. Maka bersama yang demikian, jikalau ia melihat orang lain seperti
dirinya, niscaya ia tidak menyombong. Akan tetapi seyogyalah ia melihat dirinya
mempunyai suatu tingkat dan orang lain mempunyai suatu tingkat. Kemudian, ia
mellihat tingkat dirinya, di atas tingkat orang lain. Maka pada tiga keyakinan
ini, berhasillah padanya tingkah laku sombong. Tidak, bahwa penglihatan itu
yang menidakkan kesombongan. Akan tetapi, penglihatan dan keyakinan itu,
menghembuskan kepada kesombongan. Lalu berhasillah dalam hatinya persediaan,
kegoncangan, kegembiraan dan kecenderungan kepada apa yang diyakininya dan yang
kuat pada dirinya, disebabkan yang demikian. Maka keagungan itu, kegoncangan
dan kecenderungan kepada keyakinan, itulah: tingkah laku takabur. Dan karena
itulah, Nabi saw berdoa: “Aku berlindung dengan ENGKAU dari hembusan
kesombongan”. Seperti yang demikian juga, Umar ra mengatakan: “Aku takut bahwa
kesombongan itu berhembus, sehingga sampai ke bintang Surayya”. Umar ra
mengatakan yang demikian, kepada orang yang meminta izin kepadanya, untuk
memberi pengajaran (nasehat) sesudah shalat Subuh. Maka seolah-olah manusia
itu, manakala melihat dirinya dengan mata ini, yaitu: kebesaran diri, niscaya
ia menjadi besar, berhembus dan merasa kuat. Maka kesombongan itu, adalah
ibarat dari keadaan yang berhasil pada jiwa, dari keyakinan-keyakinan itu. Dan
dinamakan juga: keagungan dan kebesaran. Dan karena itulah, Ibnu Abbas
mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Tak ada dalam dada mereka, melainkan
kesombongan, tiadalah mereka mencapainya”. S 40 Al Mukmin ayat 56. Ibnu Abbas
mengatakan, yaitu: kebesaran yang tidak disampaikan mereka. Maka kesombongan
itu ditafsirkan dengan kebesaran itu. Kemudian, keagungan tersebut, menghendaki
amal perbuatan pada zahir dan pada batin. Itulah buah. Dan dinamakan yang
demikian itu: sombong. Maka sesungguhnya, manakala telah besar kadar
kesombongan itu padanya, dibandingkan dengan orang lain, niscaya ia hinakan
orang yang kurang daripadanya. Tidak diindah kannya, dipojokkan dan
dijauhkannya dari dirinya. Ia merasa tinggi dari duduk-duduk dan makan-makan
bersama orang itu. Dan ia melihat, bahwa ia berhak orang itu bangun berdiri,
membungkuk dihadapannya, jikalau bersangatan kesombongannya. Maka jikalau lebih
berat dari yang demikian, niscaya ia tidak mau dilayani orang itu. Dan
dipandangnya orang tersebut, tidak layak berdiri di hadapannya dan melayani
tangganya. Maka jikalau ada kurang dari yang demikian, maka ia benci daripada
menyamakannya. Dan ia mendahuluinya pada jalan yang sempit dan meninggikan diri
daripadanya, pada upacara-upacara. Dan ia menunggu, bahwa orang itu, memulainya
dengan salam. Ia menjauhkan diri dari kelengahan pada menunaikan segala
keperluannya. Ia membanggakan diri daripadanya. Dan jikalau ia berhujjah atau
bertukar pikiran, niscaya ia benci kalau alasannya (hujjahnya) ditolak. Jikalau
ia diberi nasehat (pengajaran), niscaya ia menyombong daripada menerimanya. Dan
kalau ia memberi nasehat, niscaya ia berkeras pada nasehatnya. Jikalau sesuatu
dari perkataannya ditolak orang, niscaya ia marah. Dan jikalau ia mengajar,
niscaya ia tidak kasih sayang kepada pelajar-pelajar. Ia menghina mereka,
membentak-bentak, membangkit-bangkit dan memakai mereka menjadi
pelayannya. Ia memandang kepada orang
awam, seolah-olah ia memandang kepada keledai, karena dipandangnya mereka itu bodoh
dan hina. Amal perbuatan yang timbul dari tingkah laku sombong itu banyak.
Yaitu: lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Maka tiada perlu kepada
perhitungannya. Karena semuanya itu sudah terkenal. Maka itulah sombong.
Bahayanya besar. Celakanya besar sekali. Pada kesombongan itu membinasakan
orang-orang tertentu dari makhluk. Dan sedikitlah yang dapat terlepas
daripadanya, dari orang-orang yang banyak ibadahnya, orang-orang zuhud dan
ulama-ulama. Apalagi orang-orang awam dari makhluk Allah. Bagaimana tidak besar
bahayanya? Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk sorga, orang yang dalam hatinya
seberat atom daripada kesombongan”. Sesungguhnya kesombongan itu menjadi
dinding (hijab) daripada sorga. Karena kesombongan itu mendindingi diantara
hamba dan akhlak orang mukmin seluruhnya. Dan akhlak itu ialah: pintu surga.
Kesombongan dan keagungan diri itu, menguncikan (menutup) pintu-pintu itu
seluruhnya. Karena ia tidak sanggup mencintai orang-orang mukmin, akan apa yang
ia cintai bagi dirinya sendiri. Dan padanya itu sesuatu dari kemuliaan. Dan ia tidak
sanggup merendahkan diri. Dan merendahkan diri itu kepala akhlak orang-orang
yang bertaqwa. Dan pada kerendahan diri itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup
meninggalkan kebusukan hati dan pada kebusukan hati itu kemuliaan. Dan ia tidak
sanggup berkekalan di atas kebenaran dan pada kebenaran itu kemuliaan. Dan ia
tidak sanggup meninggalkan kemarahan dan pada kebenaran itu kemuliaan. Dan ia
tidak sanggup menahan amarahnya dan pada ketahanan amarah itu kemuliaan. Dan ia
tidak sanggup meninggalkan kedengkian dan pada meninggalkan kedengkian itu
kemuliaan. Dan ia tidak sanggup kepada nasehat yang lemah lembut dan pada
nasehat yang lemah lembut itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup menerima nasehat
dan padanya itu kemuliaan. Dan ia tidak selamat dari menghina dan mencela
manusia dan padanya itu kemuliaan. Dan tidak ada artinya untuk diperpanjangkan
lagi. Maka tiadalah dari suatu tingkah laku yang tercela, melainkan orang yang
merasa kemuliaan diri dan sombong itu memerlukan kepadanya, untuk menjaga
kemuliaannya. Dan tiada dari suatu tingkah laku yang terpuji, melainkan ia
merasa lemah daripadanya. Karena takut daripada hilangnya kemuliaan itu. Maka
dari inilah, tiada akan masuk sorga, orang yang dalam hatinya seberat bijian
daripada kesombongan. Dan akhlak yang tercela itu, memerlukan satu sama lain.
Sebahagian daripadanya –sudah pasti- mengajak sebahagian yang lain. Dan macam
kesombongan yang paling jahat, ialah: yang mencegah daripada mengambil faedah
ilmu pengetahuan, daripada menerima kebenaran dan mematuhinya. Dan pada yang
demikian itu, telah datang ayat-ayat, yang mencela kesombongan dan orang-orang
yang sombong. Allah Ta’ala berfirman: “Dan malaikat-malaikat itu mengembangkan
tangannya (mengatakan): “Lepaskanlah nyawamu! Pada hari ini, kamu dibalas
dengan siksaan kehinaan, disebabkan perkataanmu yang tidak benar tentang Allah
dan adalah kamu itu menyombong terhadap keterangan-keterangan (ayat-ayat)
Allah”. S 6 Al An’aam ayat 93. Kemudian, Allah berfirman: “Dikatakan (kepada
mereka): “Masukilah pintu neraka jahannam itu, tetaplah di sana. Dan amatlah
buruk tempat tinggal orang-orang yang menyombongkan diri!”. S 39 Az Zumar ayat
72. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa penduduk neraka yang paling
menderita azab, ialah: mereka yang paling durhaka kepada Allah Ta’ala. Maka
Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian, Kami tarik dari tiap-tiap golongan, siapa
diantaranya yang paling durhaka kepada Tuhan yang Maha pemurah”. S 19 Maryam
ayat 69. Allah Ta’ala berfirman: “Maka mereka yang tiada beriman kepada
akhirat, hati mereka ingkar (menolak). Mereka adalah orang-orang yang sombong”.
S 16 An Nahl ayat 22. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar
berfirman: “Orang-orang yang tertindas (lemah) berkata kepada orang-orang yang
menyombong dirinya: “Jikalau tidak karena kamu, tentulah kami menjadi
orang-orang yang beriman”. S 34 As Sabak ayat 31. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah Aku, akan
masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Allah Ta’ala
berfirman: “Akan Aku belokkan dari keterangan-keteranganKu, orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146.
Ada yang mengatakan pada penafsiran ayat tersebut: “Akan Aku angkatkan
pemahaman Alquran dari hati mereka”. Dan pada sebahagian tafsir, yaitu: “Akan
Aku dindingi hati mereka dari alam malakut”. Ibnu Juraij (w. Th. 50 H)
mengatakan (tentang penafsiran ayat tadi), yaitu: “Akan Aku belokkan mereka,
daripada bertafakkur pada keterangan-keteranganKu dan mengambil ibarat
daripadanya”. Karena itulah Nabi Isa Al Masih as mengatakan: “Bahwa tanaman itu
tumbuh pada tempat yang lunak dan tidak tumbuh pada batu yang licin. Seperti
itu pulalah, ilmu hikmah itu bekerja pada hati orang yang merendahkan diri. Dan
ia tidak bekerja pada hati orang yang menyombongkan diri. Tidakkah kamu
melihat, bahwa orang yang memanjangkan kepalanya ke atas atap rumah, niscaya
atap itu akan melukakan kepalanya. Dan orang yang membungkuk dengan kepalanya,
niscaya atap itu menaungi dan menyembunyikannya”. Maka inilah contoh yang
dibuat oleh Isa as lepada orang-orang yang menyombongkan diri. Dan sesungguhnya
mereka, bagaimana tidak memperoleh ilmu hikmah. Dan karena itulah, Rasulullah
saw menyebutkan keingkaran kebenaran pada batas kesombongan dan keingkaran
terbuka dari hakikat/maknanya. Rasulullah saw
mengatakan: “Orang yang mengingkari kebenaran dan menghina manusia”.
PENJELASAN: orang yang disombongi, tingkat-tingkat dan
bahagian-bahagiannya dan buah (hasil) kesombongan padanya.
Ketahuilah, bahwa yang disombonginya,
ialah: Allah Ta’ala atau rasul-rasulNya atau makhlukNya yang lain. Sesungguhnya
manusia itu dijadikan, zalim dan jahil (bodoh). Sekali ia menyombongkan dirinya
atas makhluk dan sekali ia menyombongkan dirinya atas AL-KHALIQ (YANG MAHA
PENCIPTA). Jadi, kesombongan itu dengan memandang kepada yang disombongi,
adalah 3 bahagian:
Pertama: kesombongan atas Allah. Dan yang
demikian itu, adalah macam kesombongan yang paling keji. Dan tiada yang
menggerakkan kepadanya, selain oleh kebodohan semata-mata dan kedurhakaan.
Seperti: apa yang terjadi dari Namrud. Bahwa Namrud itu mengatakan kepada
dirinya bahwa, ia akan berperang dengan Tuhan yang empunya langit. Dan
sebagaimana diceitakan dari segolongan orang-orang bodoh, bahkan apa yang diceritakan
dari setiap orang yang mendakwakan ketuhanan, seperti Fir’aun dan lainnya. Maka
Fir’aun itu karena kesombongannya, mengatakan: “Aku tuhanmu yang Maha Tinggi”,
karena ia menyombongkan diri, bahwa dia hamba Allah. dan karena itulah Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari
menyembah Aku, akan masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat
60. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Al-Masih tidak enggan menjadi hamba Allah,
begitupun malaikat-malaikat yang berdekatan (dengan Tuhan). Barangsiapa yang
enggan menyembah Allah dan menyombongkan dirinnya, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semuanya kepadaNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 172. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah (tunduklah) kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah! Mereka menjawab: “Apakah Tuhan Yang Maha Pemurah itu?
Akan sujudkah kami kepada apa yang engkau perintahkan kepada kami? Dan hal itu
menyebabkan mereka bertambah lari (dari keimanan)”. S 25 Al Furqaan ayat 60.
Bahagian kedua: menyombongkan diri atas
rasul-rasul, dari segi memegahkan diri dan mengangkatkannya daripada mematuhi
kepada manusia, seperti manusia yang lain. Yang demikian itu, sekali
membelokkan diri dari berfikir dan memandang dengan mata hati. Maka terus meneruslah
dia dalam kegelapan kebodohan, disebabkan kesombongannya. Maka ia tidak mau
mematuhi dan ia menyangka, bahwa dia yang benar. Dan sekali, ia tidak mau
mengenal (berma’rifah). Akan tetapi, dirinya tidak mau taat untuk mengikuti
kebenaran dan merendahkan diri kepada rasul-rasul. Sebagaimana diceritakan oleh
Allah tentang ucapan mereka: “Apakah kami akan percaya (beriman) kepada dua
manusia yang serupa dengan kami”. Dan kata mereka: “Kamu hanya manusia yang
serupa kami juga”. S 14 Ibrahim ayat 10. “Dan kalau kamu turuti manusia yang
serupa dengan kamu itu, tentulah kamu akan menderita kerugian”. S 23 Al
Mukminuun ayat 34. “Orang-orang yang tidak mengharapkan akan menemui Kami,
berkata: “Mengapa tidak malaikat diturunkan kepada kami atau (mengapa) kami tidak
melihat Tuhan kami? Mereka amat sombong dalam hatinya dan melakukan pelanggaran
yang sangat besar”. S 25 Al Furqaan ayat 21. “Dan mereka mengatakan: “Mengapa
tidak diturunkan kepadanya malaikat?”. S 6 Al An’aam ayat 8. Fir’aun mengatakan
mengenai apa yang diterangkan oleh Allah tentang dirinya: “Atau
malaikat-malaikat datang bersama-sama dengan dia untuk menemuinya?”. S 43 Az
Zukhruf ayat 53. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menyombongkan diri dia (Fir’aun)
dan tentaranya di bumi di luar kebenaran”. S 28 Al Qashash ayat 39. Maka
Fir’aun itu menyombongkan diri atas Allah dan rasul-rasulNya sekalian. Wahab
bin Munabbih mengatakan: “Nabi Musa as mengatakan kepada Fir’aun: “Berimanlah
dan bagimu kerajaanmu!”. Fir’aun menjawab: “Aku bermusyawarah dengan Haman dahulu”.
Lalu Fir’aun bermusyawarah dengan Haman. Maka Haman mengatakan: “Di mana engkau
itu tuhan yang disembah, lalu menjadi hamba yang menyembah”. Maka Fir’aun itu
menyombongkan diri daripada menyembah Allah dan daripada mengikuti Musa as.
Kaum Quarisy mengatakan, tentang apa yang diceritakan oleh Allah Ta’ala,
mengenai mereka: “Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari
salah satu dua kota?”. S 43 Az Zukhruf ayat 31. Qatadah bin Di’amah
Al-Bashari mengatakan, bahwa orang besar
dari 2 kota itu, ialah: Al-Walid bin Al-Mughirah dan Abu Mas’ud Ats-Tsaqafi.
Mereka meminta orang yang lebih besar ke-ketua-annya dari Naib saw. Karena
mereka mengatakan: “Bahwa Nabi saw itu anak yatim. Maka bagaimana ia diutus
oleh Allah kepada kita?”. Maka Allah berfirman: “Apakah mereka hendak
membagi-bagikan kurnia Tuhan engkau itu?”. S 43 Az Zukhruf ayat 32. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Supaya mereka mengatakan: “Inikah orang-orang yang dikurniai
Allah di antara kami?”. S 6 Al An’aam ayat 53. Artinya: penghinaan kepada
mereka dan penjauhan, karena kedahuluan mereka. Kaum Quraisy mengatakan kepada
Rasulullah saw: “Bagaimana kami duduk padamu. Dan di sampingmu itu
mereka....?”. Kaum Quraisy itu mengisyaratkan dengan katanya: mereka, ialah:
orang-orang muslimin yang miskin. Mereka hinakan kaum muslimin yang miskin itu,
dengan mata mereka, karena kemiskinan. Dan mereka menyombongkan diri dari
duduk-duduk dengan orang-orang miskin itu. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat:
“Dan janganlah engkau usir orang-orang yang menyeru Tuhannya pagi dan petang.
Mereka menghendaki wajahNya. Engkau tidak memikul tanggung jawab mereka
sedikitpun”. S 6 Al An’aam ayat 52. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tahanlah diri
engkau bersama-sama orang yang menyeru Tuhannya, di waktu pagi dan senja. Mereka
menghendaki wajahNya. Dan janganlah engkau hindarkan pemandangan engkau dari
mereka, karena menghendaki perhiasan kehidupan dunia”. S 18 Al Kahfi ayat 28.
Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan tentang keheranan mereka, ketika mereka
masuk neraka jahannam. Karena mereka tidak melihat orang-orang yang mereka
hinakan. Lalu mereka mengatakan: “Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang
kami hitung termasuk orang-orang yang jahat?”. S 38 Shaad ayat 62. Ada yang
mengatakan, bahwa yang dimaksudkan mereka, ialah: ‘Ammar, Bilal, Shuhaib dan
Al-Miqdad. Kiranya Allah merelai mereka sekalian! Kemudian, ada diantara
mereka, orang yang dicegah oleh kesombongannya, daripada berpikir dan ma'rifah.
Lalu ia bodoh, bahwa Nabi saw itu orang yang benar. Diantara mereka, ada orang
yang berma’rifah (mengetahui) dan dicegah oleh kesombongannya dari mengaku.
Allah Ta’ala berfirman untuk menerangkan tentang mereka: “Maka tatkala datang
kepada mereka, apa yang mereka ketahui, maka mereka tidak percaya kepadanya”. S
2 Al Baqarah ayat 89. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka menyangkalnya,
karena tiada jujur dan sombong, biarpun jiwa mereka telah meyakini
kebenarannya”. S 27 An Naml ayat 14. Kesombongan ini mendekati dengan
menyombongkan diri atas Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar.
Walaupun kurang daripadanya. Akan tetapi itu menyombongkan diri pada menerima
perintah Allah dan merendahkan diri kepada RasulNya.
Bahagian ketiga: menyombongkan diri atas
hamba-hamba Allah. Dan yang demikian itu, dengan membesarkan diri sendiri dan
menghina orang lain. Maka diri itu enggan menuruti mereka. Dan diri itu
mengajaknya kepada mengangkat diri atas mereka. Lalu menghina mereka, memandang
kecil mereka dan berkeras hidung daripada menyamai mereka. Pahamilah ini,
walaupun kurang dari yang pertama dan yang kedua! Maka yang ketiga ini juga
besar dari 2 segi.
Pertama: bahwa kesombongan, kemegahan,
kebesaran dan ketinggian itu tidak layak, selain pada Pemilik, Yang Maha Kuasa.
Adapun hamba yang dimiliki, yang dla’if, yang lemah, yang tidak berkuasa atas
sesuatu, maka dari manakah ia layak dengan keadaannya itu akan kesombongan?
Manakala hamba itu menyombongkan diri, maka sesungguhnya ia telah bertengkar
dengan Allah Ta’ala, pada sifat yang tidak layak, selain pada keagunganNya.
Contohnya; bahwa seorang budak mengambil peci raja. Lalu diletakkannya atas
kepalanya. Dan ia duduk pada tempat tidurnya. Maka alangkah besar
ke-mustahak-annya untuk dikutuk! Dan alangkah besar kedekatannya untuk kehinaan
dan hukuman pengajaran! Alangkah sangat keberaniannya kepada tuannya! Dan
alangkah keji apa yang diperbuatnya! Dan kepada pengertian inilah, diisyaratkan
dengan firman Allah Ta’ala (pada hadits Qudsi): “Keagungan itu kain sarungKu
dan kesombongan itu kain selendangKu. Maka siapa yang bertengkar dengan Aku
pada yang dua itu, niscaya Aku hancurkan dia”. Artinya: itu adalah khusus
sifatKu. Dan tiada layak, selain padaKu. Orang yang bertengkar padanya, ialah:
orang yang bertengkar pada salah satu daripada sifat-sifatKu. Apabila
kesombongan atas hamba-hamba Allah itu, tiada layak, selain pada Allah, maka
siapa yang menyombongkan diri atas hamba-hambaNya, sesungguhnya ia telah
berbuat penganiayaan. Karena orang yang memandang hina budak-budak pilihan dari
seorang pemilik, mengambil mereka menjadi pelayannya, merasa lebih tinggi dari
mereka dan mengutamakan dengan sesuatu, dimana hak pemilik hendaknya diutamakan
dari mereka, maka orang itu adalah bertengkar (berebutan) dengan pemiliknya
pada sebahagian urusannya. Walaupun tingkatnya tiada sampai kepada tingkat
orang yang bermaksud duduk pada tempat tidurnya dan bertangan besi dengan
miliknya. Makhluk itu semua adalah hamba Allah. Dan bagi Allah keagungan dan
kesombongan di atas mereka. Maka siapa yang menyombongkan diri atas salah
seorang dari hamba-hamba Allah, sesungguhnya ia telah bertengkar dengan Allah
pada hakNya. Ya, benar, bahwa perbedaan diantara pertengkaran ini dan
pertengkaran Namruz dan Fir’aun, ialah: apa yang menjadi perbedaan diantara
pertengkaran pemilik, pada dipandang kecil sebahagian budak-budaknya dan pada
diambil mereka sebagai pelayan dan diantara pertengkarannya pada pokok
pemilikan.
Segi kedua yang besarlah kehinaan sombong
padanya, ialah: yang membawa kepada menyalahi Allah Ta’ala pada segala amarNya.
Karena orang yang menyombongkan diri itu, apabila mendengar kebenaran dari
salah seorang hamba Allah, niscaya ia enggan menerimanya. Dan ia berterusan
mengingkarinya. Dan karena itulah, anda melihat orang-orang yang bertukar
pikiran tentang masalah-masalah agama, mendakwakan, bahwa mereka bahas-membahas
dari hal rahasia agama. Kemudian, mereka itu sangkal-menyangkal, sebagaimana
sangkal-menyangkalnya orang-orang yang menyombong diri. Dan manakala telah
nyata kebenaran pada lisan seseorang dari mereka, niscaya yang lain berkeras
hidung daripada menerimanya. Dan berterusan mengingkarinya. Mencari daya-upaya
untuk menolaknya, dengan penipuan yang disanggupinya. Yang demikian itu,
termasuk akhlak orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Karena disifatkan
mereka oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang tiada beriman
itu berkata: “Janganlah kamu dengarkan Alquran ini dan hiruk-pikuklah ketika
orang membacanya, supaya kamu mendapat kemenangan!”. S 41 Fussilat ayat 26.
Maka tiap-tiap orang yang bertengkar (ber-munadharah) untuk mencari kemenangan
dan mendiamkan lawan dengan hujjah, tidak untuk mencari kebenaran, apabila ia
memperoleh kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berkongsi dengan mereka pada
tingkah laku tersebut. Dan seperti itu pula, membawa yang demikian kepada tidak
mau menerima pengajaran (nasehat), sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Dan bila dikatakan kepadanya: “Patuhlah kepada Allah!”, tetapi keangkuhannya
membawanya kepada dosa”. S 2 Al Baqarah ayat 206. Diriwayatkan dari Umar ra,
bahwa ia membaca ayat tadi, lalu ia membaca: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun (Sesungguhnya kita kepunyaan Allah. Dan sesungguhnya kita itu kembali
kepada Allah)”. Lalu bangun berdiri seorang laki-laki, menyuruh dengan yang
baik (ber-amar ma’ruf), maka orang itu lalu dibunuh. Lalu bangun berdiri
seorang laki-laki yang lain, seraya mengatakan: “Engkau bunuh orang-orang yang
menyuruh dengan keadilan diantara manusia”. Maka orang yang menyombongkan diri
itu, membunuh orang yang menyalahinya dan yang menyuruhnya dengan ma’ruf,
adalah karena kesombongan. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Mencukupilah bagi
seseorang itu dengan dosa, apabila dikatakan kepadanya “Bertaqwalah kepada
Allah! lalu ia menjawab: “Jagalah dirimu sendiri!”. Nabi saw mengatakan kepada
seorang laki-laki: “Makanlah dengan tangan kananmu!”. Orang itu lalu menjawab:
“Aku tidak sanggup”. Maka Nabi saw menjawab: “Kamu tidak sanggup?”. Tidak ada
yang mencegahnya dari yang demikian, selain oleh kesombongannya. Kata perawi,
bahwa orang tersebut, tidak dapat mengangkatkan tangannya lagi sesudah itu”.
Artinya: tangannya terus sakit. Jadi, kesombongan atas makhluk itu besar
akibatnya. Karena akan membawa kepada kesombongan, pada perintah Allah.
Sesungguhnya Iblis dibuat menjadi contoh bagi ini. Dan apa yang diceritakan
dari keadaan Iblis itu, tidak lain, melainkan untuk diambil menjadi ibarat.
Sesungguhnya Iblis itu mengatakan: “Aku lebih baik daripadanya (Adam)”.
Kesombongan Iblis tersebut, adalah disebabkan keturunan. Karena ia mengatakan:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau jadikan aku dari api dan Engkau
jadikan dia dari tanah”. S 38 Shaad ayat 76. Maka demikianlah itu membawa
Iblis, kepada tidak mau bersujud yang disuruh oleh Allah Ta’ala. Dan
permulaannya itu adalah kesombongannya atas Adam dan kedengkiannya. Lalu yang
demikian itu, menghelakannya kepada menyombongkan diri pada perintah Allah
Ta’ala. Maka adalah yang demikian itu, sebab kebinasaannya untuk
selama-lamanya. Maka inilah salah satu dari bahaya-bahaya kesombongan yang
besar atas hamba-hamba Allah. Dan karena itulah, diuraikan oleh Rasulullah saw
kesombongan itu dengan dua bahaya tersebut. Karena beliau ditanyakan oleh
Tsabit bin Qais bin Syammas, yang menanyakan: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya
aku seorang manusia yang sangat menyukai kecantikan. Apakah pendapatmu? Adakah
itu termasuk kesombongan?”. Nabi saw menjawab: “Tidak! Akan tetapi kesombongan
itu, ialah: orang yang benci kepada kebenaran dan menghinakan manusia”. Pada
hadits lain: “Orang yang mengingkari kebenaran”. Dan sabdanya saw: “Wa
ghamishan-naasa” di atas tadi, artinya: melecehkan dan menghinakan manusia.
Padahal mereka itu, adalah hamba Allah, seperti dia itu lebih baik daripadanya.
Inilah: bahaya pertama! Mengingkari kebenaran, yaitu: menolak kebenaran. Dan
itu adalah: bahaya kedua. Maka setiap orang yang melihat, bahwa dirinya lebih
baik dari saudaranya dan ia menghinakan saudaranya, melecehkannya dan memandang
kepadanya dengan mata kekecilan atau ia menolak kebenaran, padahal ia tahu akan
kebenaran itu, maka sesungguhnya ia telah menyombongkan diri, mengenai hal-hal
diantara dia dan makhluk. Dan barangsiapa berkeras hidung daripada tunduk
kepada Allah Ta’ala dan merendahkan diri kepada Allah dengan mematuhiNya dan
mengikuti rasul-rasulNya, maka sesungguhnya ia telah menyombongkan diri, mengenai
hal-hal diantara dia dan Allah Ta’ala dan rasul-rasulNya.
PENJELASAN: apa yang dengan itu, menjadi sombong.
Ketahuilah, sesungguhnya tiadalah
seseorang itu menyombongkan diri, kecuali manakala ia membesarkan dirinya. Dan
ia tidak membesarkan dirinya, kecuali dia berkeyakinan, bahwa dirinya mempunyai
salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan. Dan kumpullah yang demikian itu
kembali kepada kesempurnaan keagamaan atau keduniaan. Maka keagamaan, ialah:
ilmu dan amal. Dan keduniaan, ialah: keturunan, kecantikan, kekuatan, harta dan
banyak pembantu. Maka inilah 7 bab:
Pertama: ilmu, alangkah cepatnya kesombongan kepada ulama-ulama. Dan karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Bahaya ilmu, ialah: sombong”. Maka tiada urunglah,
bahwa orang yang berilmu itu, memegahkan dirinya dengan kemegahan ilmu, yang
merasa pada dirinya kecantikan ilmu dan kesempurnaannya. Ia membesarkan dirinya
dan menghinakan manusia. Ia memandang kepada manusia, seperti pandangannya
kepada hewan. Ia memandang mereka itu bodoh. Dan mengharap, supaya mereka
memulai memberi salam kepadanya. Maka jikalau ia memulai memberi salam kepada
seseorang dari mereka atau orang itu membalas salamnya dengan suka cita atau
orang itu bangun berdiri atas kedatangannya atau memperkenankan undangannya,
niscaya ia melihat yang demikian itu suatu perbuatan baik padanya dan uluran
tangan kepadanya, yang harus disyukurinya. Dan ia berkeyakinan bahwa dia yang
termulia dari mereka. Dan ia berbuat dengan mereka, apa yang tidak berhak
mereka dari orang yang seperti dia. Dan sesungguhnya seyogyalah mereka
memperbudakkan diri kepadanya dan melayaninya, sebagai tanda terima kasih
kepadanya di atas perbuatan baiknya. Bahkan biasanya, bahwa mereka berbuat
kebaikan kepadanya, lalu dia tidak berbuat kebaikan kepada mereka. Mereka
berziarah kepadanya, lalu ia tidak berziarah kepada mereka. Mereka berkunjung kepadanya,
lalu ia tidak berkunjung kepada mereka. Ia meminta pelayanan dari orang yang
bercampur-baur dengan dia dari mereka. Dan ia menggunakan orang tersebut pada
segala hajat keperluannya. Jikalau orang itu teledor pada melayaninya, niscaya
ia tiada berkenan kepada orang itu. Seakan-akan mereka itu budaknya atau orang
sewaannya. Dan seakan-akan diajarinya ilmu itu, merupakan suatu perbuatan baik
daripadanya kepada mereka dan suatu yang ma’ruf (amar ma’ruf) kepada mereka.
Dan berhak memperoleh suatu hak atas mereka. Ini, mengenai hal yang menyangkut
dengan dunia. Adapun pada urusan akhirat, maka kesombongannya atas mereka,
ialah: dengan melihat dirinya pada sisi Allah Ta’ala itu lebih tinggi dan lebih
utama daripada mereka. Maka ia takut atas mereka, lebih banyak daripada ia
takut atas dirinya sendiri. Dan ia mengharap bagi dirinya sendiri, lebih banyak
daripada yang diharapnya bagi mereka. Dan orang ini untuk dinamakan: orang
bodoh, adalah lebih utama, daripada ia dinamakan: orang berilmu. Bahkan ilmu yang
hakiki, ialah: yang dikenal oleh manusia dengan ilmu itu, akan dirinya,
Tuhannya, bahaya kesudahan (al-khatimah), hujjah/alasan Allah atas alim ulama.
Dan besarnya bahaya ilmu padanya, sebagaimana akan datang penjelasannya pada:
jalan pengobatan kesombongan dengan ilmu. Dan ilmu ini akan menambahkan takut,
tawadlu’ dan khusyu’. Dan dikehendaki, bahwa yang punya ilmu itu, melihat bahwa
setiap manusia, adalah lebih baik daripadanya. Karena besarnya hujjah Allah
atas dirinya, disebabkan ilmu. Dan keteledorannya pada menegakkan syukur akan
kenikmatan ilmu. Karena itulah, Abud Darda’ ra mengatakan: “Barangsiapa
bertambah ilmunya, niscaya bertambah sakitnya”. Dan benarlah, sebagaimana yang
dikatakan Abud Darda’ tersebut. Jikalau anda menanyakan: “Apakah kiranya keadaan
setengah manusia yang bertambah dengan ilmunya itu, kesombongan & aman?”.
Maka ketahuilah, bahwa yang demikian itu mempunyai 2 sebab:
Sebab pertama:
bahwa adalah kesibukannya itu dengan: apa yang dinamakan ilmu. Dan tidaklah itu
ilmu yang hakiki. Dan sesungguhnya ilmu yang hakiki, ialah: apa yang dikenal
oleh hamba dengan ilmu tersebut; akan Tuhannya dan dirinya, bahaya urusannya
pada menjumpai Allah dan terdinding (hijab) daripadaNya. Dan ini mempusakakan
(mendatangkan) takut dan tawadlu’, tidak kesombongan dan aman. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, ialah orang-orang yang
berilmu diantara hamba-hambaNya”. S 35 Faathir ayat 28. Adapun yang dibalik
demikian, seperti: ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu bahasa, ilmu syair (menyusun
pantun), ilmu nahu (ilmu gramatika bahasa Arab), ilmu menyelesaikan permusuhan
dan jalan-jalan pertengkar an, maka apabila manusia menuju semata-mata kepada
ilmu-ilmu tersebut, sehingga penuh, niscaya penuhlah dia dengan kesombo- ngan
& kemunafikan. Dan ini dengan menamainya perusahaan, adalah lebih utama,
daripada menamainya: ilmu. Bahkan ilmu itu, ialah: mengenal ‘ubudiyah
(perhambaan/pengabdian kepada Allah) dan rububiyah (pemeliharaan) serta jalan
ibadah. Dan ini pada umumnya mewarisi (mendatangkan) tawadlu’/merendahkan diri.
Sebab kedua: bahwa
hamba itu terjun dalam ilmu, sedang dia keji batinnya, rendah jiwanya, jahat
akhlaknya. Maka dia sesungguhnya tidak berusaha, pertama-tama dengan
membersihkan dirinya dan mensucikan hatinya dengan bermacam-macam
mujahadah/kesungguhan. Dan ia tidak menyukakan dirinya pada beribadah kepada
Tuhannya. Lalu ia kekal keji pribadinya. Maka apabila ia terjun dalam ilmu,
dalam ilmu manapun juga, niscaya ia menjumpai ilmu itu dalam hatinya, pada
tempat yang keji. Maka tiada baiklah buahnya dan tiada lahir bekasnya pada
kebajikan. Dan Wahab bin Munabbih ra telah memberi contoh bagi ini, dengan
katanya: “Ilmu itu seperti hujan yang turun dari langit, manis lagi bersih.
Lalu diminum oleh kayu-kayuan dengan urat-uratnya. Maka dirobahnya air itu,
menurut kadar rasanya. Lalu yang pahit, menambahkan kepahitannya dan yang
manis, menambahkan kemanisannya. Maka begitu pulalah ilmu, yang dipelihara
(dihapal) oleh orang-orang. Lalu dirobahnya, menurut kadar cita-citanya dan hawa
nafsunya. Maka orang yang menyombongkan diri, menambahkan kesombongan dan orang
yang merendahkan diri, menambahkan tawadlu’”. Dan pahamilah ini! Karena orang
yang cita-citanya itu sombong dan dia itu orang bodoh, maka apabila ia
menghapal ilmu, niscaya ia memperoleh apa yang menyebabkan dia itu sombong.
Maka bertambahlah kesombongannya. Apabila orang itu takut serta kebodohannya,
lalu bertambah ilmunya, niscaya ia mengetahui, bahwa alasan (hujjah) telah
menguat padanya, lalu ia bertambah ketakutan, kasih sayang, kehinaan dan
merendahkan diri. Maka ilmu itu adalah termasuk yang terbesar dari apa yang
menyebabkan orang menyombongkan diri. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman
kepada Nabi saw: “Dan bersikap sopan santunlah terhadap orang-orang mu’min yang
mengikuti engkau”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 215. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha
Mulia & Maha Besar berfirman: “Dan kalau kiranya engkau berbudi kasar dan
berhati bengis, tentulah mereka akan lari dari keliling engkau”. S 3 Ali ‘Imran
ayat 159. Allah Ta’ala menyifatkan wali-waliNya, dengan firmanNya: “Bersikap
lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan bersikap keras terhadap
orang-orang yang kafir". ”S 5 Al Maaidah ayat 54. Begitu pula, Nabi saw
bersabda, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Abbas ra: “Adalah suatu kaum
membaca Alquran, yang tiada melampaui kerongkongannya, mengatakan: “Kami telah
membaca Alquran. Maka siapakah yang lebih pandai membacanya daripada kami dan
siapakah yang lebih berilmu daripada kami?”. Kemudian, Nabi saw berpaling kepada
sahabat-sahabatnya dan bersabda: “Mereka itu adalah daripada kamu, hai umat!
Mereka itu adalah kayu api neraka”. Dan karena itulah, Umar ra mengatakan:
“Janganlah kamu itu menjadi ulama-ulama yang sombong! Maka tidaklah cukup
ilmumu itu dengan kebodohanmu”. Dan karena itulah, Tamim Ad-Dari meminta izin
pada Umar ra pada bercerita. Maka Umar ra enggan untuk memberi izin kepadanya,
seraya Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya itu penyembelihan”. Seorang laki-laki
lain meminta izin pada Umar ra dan orang itu imam suatu kaum. Bahwa apabila ia
telah memberi salam dari shalatnya, lalu ia memberi peringatan (nasehat) kepada
mereka. Maka Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya aku takut bahwa engkau kembung
angin, sehingga sampai ke bintang Surayya”. Hudzaifah bin Al-Yaman ra
mengerjakan shalat dengan suatu kaum. Maka tatkala ia telah memberi salam dari
shalatnya, ia mengatakan: “Hendaklah engkau mencari imam, selain dari aku. Atau
engkau shalat sendirian. Sesungguhnya aku melihat pada diriku, bahwa tiadalah
dalam kaum ini orang yang lebih utama daripada aku”. Maka apabila ada orang
yang seperti Hudzaifah, tiada selamat, lalu bagaimana akan selamat orang-orang
yang lemah, dari orang-orang yang terkemudian dari umat ini? Maka alangkah
sukarnya di atas permukaan bumi, orang yang berilmu, yang berhak untuk
dikatakan kepadanya: orang berilmu. Kemudian, ia tidak digerakkan oleh
kemegahan dan kesombongan ilmu. Maka jikalau diperoleh orang yang demikian,
niscaya adalah dia itu orang yang benar (orang shiddiq) pada zamannya. Maka tiada
seyogyalah berpisah dengan orang itu. Akan tetapi memandang kepadannya saja
adalah ibadah. Terutama lagi dengan mengambil faedah daripada diri dan
keadaannya. Jikalau kita ketahui yang demikian, walaupun di tempat yang paling
jauh di negeri China, niscaya kita pergi kepadanya. Karena harapan untuk
meratakan kepada kita barakahnya. Dan menular kepada kita, perjalanan hidup dan
sifatnya. Mudah-mudahanlah yang demikian. Maka dimanakah akhir zaman ini
membolehkan dijumpai orang yang seperti mereka? Mereka itu orang-orang yang
beruntung dan yang mempunyai kedaulatan, yang telah lenyap pada abad pertama
dan orang-orang yang mengiringi mereka. Bahkan sukar pada zaman kita, seorang
yang berilmu, yang masuk pada dirinya penyesalan dan kegundahan, atas lenyapnya
perkara ini. Maka yang demikian itu juga, adakalanya tidak ada dan adakalanya
sukar. Dan jikalau tidak adalah kabar yang menggembirakan hati dari Rasulullah
saw, dengan sabdanya: “Akan datang kepada umat manusia suatu zaman, orang yang
berpegang pada zaman tersebut, dengan 1/10 dari apa yang kamu padanya, niscaya
ia terlepas”, sesungguhnya adalah layak bagi kita untuk memandang hina –dan
kita berlindung dengan Allah Ta’ala- akan lumpur patah hati dan putus asa,
serta kejahatan amalan kita, yang ada kita padanya. Dan siapakah pula dari kita
yang berpegang 1/10 dari apa yang ada mereka itu padanya? Dan mudah-mudahan
kita dapatlah kiranya berpegang dengan 1/100 nya. Kita bermohon kepada Allah
Ta’ala, kiranya Ia mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya
hendaklah diamalkan)kan (pergaulkan) kita, dengan apa yang kepunyaanNya. Dan Ia
tutupkan pada kita kekejian-kekejian amalan kita, sebagaimana yang dikehendaki
oleh kemurahan dan kurniaNya.
Kedua: amal dan ibadah. Dan tidak terlepas orang-orang zahid dan
abid, dari kehinaan kemegahan, kesombongan dan kecenderungan hati manusia. Dan
menguatlah kesombongan dari mereka pada agama dan dunia. Adapun pada dunia,
yaitu: bahwa mereka lihat orang lebih utama mengunjungi mereka, daripada mereka
mengunjungi orang lain. Mereka mengharap bangun berdirinya manusia memenuhi
keperluan mereka, memuliakan mereka, meluaskan tempat bagi mereka pada
majelis-majelis, menyebutkan mereka orang wara’ dan taqwa dan mendahulukan
mereka dari manusia lain, pada memperoleh keuntungan. Sehingga semua apa yang
telah kami sebutkan dahulu, mengenai hak ulama-ulama. Dan seakan-akan mereka
itu melihat, bahwa ibadahnya itu suatu nikmat kepada makhluk. Adapun pada
agama, maka ia melihat, bahwa manusia itu binasa dan ia melihat dirinya sendiri
yang terlepas. Padahal dia itu sebenarnya yang binasa, manakala ia melihat yang
demikian. Nabi saw bersabda: “Apabila kamu melihat orang mengatakan: “Telah
binasa manusia”, maka dialah yang lebih binasa dari mereka”. Sesungguhnya Nabi
saw mengatakan yang demikian, karena perkataan tersebut dari orang itu,
menunjukkan bahwa dia menghina makhluk Allah, tertipu darinya sendiri dengan
amal ibadah kepada Allah, merasa aman dari percobaan Allah, tidak takut dari
kekuasaan Allah. Bagaimana ia tidak takut dari kekuasaan Allah? Dan
mencukupilah baginya kejahatan oleh penghinaannya kepada orang lain. Nabi saw
bersabda: “Mencukupilah kejahatan bagi seorang manusia, bahwa ia menghina
saudaranya orang muslim”. Berapa banyak perbedaannya diantara dia dan orang
yang mencintainya karena Allah, membesarkannya karena ibadahnya, menghormatinya
dan mengharap baginya, apa yang tidak diharapkannya bagi dirinya sendiri. Maka
makhluk itu mengetahui akan kelepasannya, dengan menghormatinya karena Allah.
Maka mereka itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menghampirinya. Dan
ia berbuat kutukan kepada Allah, dengan membersihkan diri dan menjauhkan diri
dari mereka. Seakan-akan dia terangkat tinggi daripada duduk-duduk dengan
mereka. Maka alangkah pantasnya mereka, apabila mereka mengasihinya karena
kebaikannya, bahwa mereka dipindahkan oleh Allah kepada tingkatnya, pada amal!
Dan alangkah pantasnya, apabila ia menghinakan mereka, dengan sendirinya, bahwa
ia dipindahkan oleh Allah kepada batas disia-siakan (tidak diperdulikan).
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki pada kaum Bani Israil, yang
dinamakan: orang keji Bani Israil, karena banyaknya kerusakan yang
diperbuatnya. Orang itu melalui pada tempat seorang laki-laki yang lain, yang
dinamakan: abid Bani Israil (yang banyak beribadah). Dan di atas kepala abid
tadi, ada sepotong awan yang menaunginya. Maka tatkala si keji itu lalu pada si
abid, lalu si yang keji tadi mengatakan pada dirinya: “Aku ini orang keji Bani
Israil. Dan ini orang abid Bani Israil. Maka jikalau aku duduk dekat padanya,
mudah-mudahan Allah mencurahkan rahmat kepadaku". Lalu ia duduk pada si
abid tersebut. Maka abid itu mengatakan: “Aku ini abid Bani Israil. Dan ini
orang yang keji dari Bani Israil. Maka bagaimanakah ia duduk padaku?”. Lalu si
abid itu benci kepada si keji tadi. Dan ia katakan kepada si keji tersebut:
“Bangunlah dari tempatku ini!”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi
zaman itu, dengan firmanNya: “Suruhlah keduanya, supaya keduanya mengulangi
amal. Sesungguhya Aku ampunkan dosa si keji dan Aku batalkan amal si abid”.
Pada riwayat lain, yaitu: “Maka berpindahlah sepotong awan itu ke kepala si
keji”. Ini memberitahukan kepada engkau, bahwa Allah Ta’ala sesungguhnya
menghendaki dari hamba-hamba itu, akan hatinya. Maka orang bodoh yang maksiat,
apabila ia merendahkan diri karena takut kepada Allah dan menghinakan diri
karena takut kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah dengan
hatinya. Maka dia itu, yang lebih taat kepada Allah daripada orang berilmu,
yang menyombongkan diri dan orang abid yang mengherani diri (yang bersifat
‘ujub). Dan seperti itu juga, diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki pada kaum
Bani Israil datang kepada seorang abid dari kaum Bani Israil. Lalu laki-laki
tadi menginjakkan tapaknya atas leher si abid tersebut yang sedang bersujud.
Lalu si abid itu mengatakan: “Angkatlah tapak kakimu! Demi Allah! Allah tidak
akan mengampunkan dosa kamu”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya,
dengan firmanNya: “Hai orang yang bersumpah kepadaKu! Bahkan engkau yang tidak
diampunkan oleh Allah akan dosa engkau”. Begitu juga, Al-Hasan Al-Bashari ra mengatakan bahwa: sehingga orang yang
memakai pakaian bulu itu lebih keras kesombongannya daripada orang yang memakai
kain selendang sutera. Artinya: bahwa orang yang memakai kain sutera itu,
menghina orang yang memakai bulu. Ia melihat kelebihan baginya. Dan orang yang
memakai bulu itu melihat kelebihan bagi dirinya. Dan bahaya ini juga,
sedikitlah terlepas daripadanya, kebanyakan orang-orang abid. Yaitu: jikalau ia
dipandang ringan oleh orang yang memandang ringan kepadanya atau ia disakiti
oleh orang yang menyakitinya, niscaya jauhlah dia untuk diampunkan oleh Allah
baginya. Dan tidak ragu lagi, bahwa dia itu terkutuk pada sisi Allah. Dan
jikalau ia menyakiti orang Islam lain, niscaya ia tidak menantang tantangan
itu. Dan yang demikian, karena besarnya kadar dirinya padanya. Dan itu
kebodohan, pengumpulan diantara kesombongan dan kebanggaan diri dan tertipu
dengan ibadahnya kepada Allah. Dan kadang-kadang, oleh kedunguan dan kebodohan
itu, berkesudahan pada sebahagian
mereka, kepada pertentangan. Dan ia mengatakan: “Kamu akan melihat apa yang
akan berlaku atasnya”. Dan apabila ia tertimpa dengan suatu bencana, niscaya ia
mendakwakan, bahwa yang demikian itu adalah dari karamahnya. Dan Allah tiada
menghendaki padanya, selain obat kedengkiannya dan balasan baginya. Serta ia
melihat beberapa lapisan dari orang-orang kafir itu memaki Alalh dan RasulNya.
Dan ia mengetahui suatu golongan yang menyakiti nabi-nabi as. Sebahagian mereka
ada yang membunuh nabi-nabi as itu. Dan sebahagian lagi yang memukul nabi-nabi
as. Kemudian, sesungguhnya Allah Ta’ala menangguhkan sebahagian besar mereka.
Dan tidak disiksakannya di dunia. Bahkan kadang-kadang, sebahagian mereka diselamatkanNya.
Maka tidak tertimpa kepada orang itu, yang tidak disukai, baik di dunia atau
akhirat. Kemudian, orang bodoh yang tertipu itu, menyangka, bahwa ia lebih
mulia pada Allah, daripada nabi-nabiNya. Dan sesungguhnya Allah menyiksakannya,
dengan apa yang tidak disiksakanNya nabi-nabiNya as. Dan semoga dia dalam
kutukan Allah, disebabkan keangkuhan dan kesombongannya. Dan dia itu lalai
daripada kebinasaan dirinya. Maka inilah ‘akidah (kepercayaan) orang-orang yang
tertipu. Adapun hamba-hamba yang pandai, maka mereka mengatakan, apa yang
dikatakan oleh ‘Atha As-Salimi ini, ketika berhembus angin keras atau terjadi
petir: “Tidaklah tertimpa atas manusia, oleh apa yang menimpa mereka, melainkan
disebabkan aku. Dan jikalau ‘Atha mati, niscaya mereka terlepas daripada
bencana”. Dan apa yang dikatakan oleh lainnya (yaitu: Yunus bin ‘Ubaid
Al-Bashari ), sesudah perginya dari ‘Arafah, dengan katanya: “Aku mengharapkan
rahmat bagi semua mereka, jikalau tidak adalah aku bersama mereka”. Maka
perhatikanlah perbedaan diantara dua orang itu! Yang ini bertaqwa kepada Allah,
zahir dan batin. Dan dia itu takut atas dirinya, menghinakan amalnya dan
usahanya. Dan yang itu, kadang-kadang, ia menyembunyikan ria, sombong, dengki
dan busuk hati, yaitu: yang menertawakan setan. Kemudian, ia memohonkan nikmat
pada Allah dengan amalnya. Orang yang meyakini dengan penuh keyakinan, bahwa
dia lebih tinggi dari seseorang hamba Allah, maka sesungguhnya dia telah
membatalkan semua amalnya dengan kebodohannya. Sesungguhnya kebodohan itu maksiat
yang paling keji dan suatu yang paling besar, yang menjauhkan hamba daripada
Allah. Dan menetapkan dirinya, bahwa dia lebih baik daripada orang lain, adalah
kebodohan semata-mata. Dan ia merasa aman dari rencana Allah. Dan tiada yang
merasa aman dari rencana Allah, melainkan kaum yang mendapat kerugian. Dan
karena itulah, diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki disebutkan, bahwa dia itu
baik, pada nabi saw. Maka pada suatu hari laki-laki itu datang menghadap Nabi
saw. Lalu para sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah! Inilah orang yang kami
sebutkan padamu!”. Lalu Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya aku melihat pada
mukanya bekas hitam dari setan”. Orang itu lalu memberi salam kepada Nabi saw
dan berdiri. Maka Nabi saw bersabda kepadanya: “Aku bertanya kepada engkau
dengan nama Allah, benarkah dibisikkan engkau oleh jiwa engkau, bahwa tiada
dalam kaum engkau, orang yang lebih baik daripada engkau?”. Laki-laki itu
menjawab: “Allahumma, ya, benar!”. Maka Rasulullah saw itu melihat dengan nur
kenabian, apa yang tersembunyi dalam hati orang itu, bekas hitam pada mukanya.
Ini adalah bahaya yang tiada terlepas daripadanya seseorang dari hamba, selain
orang yang mendapat pemeliharaan Allah. Akan tetapi, para ulama dan abid pada
bahaya kesombongan itu, atas 3 tingkat:
Tingkat pertama:
bahwa kesombongan itu menetap dalam hatinya. Ia melihat dirinya lebih baik dari
orang lain, selain bahwa dia itu bersungguh-sungguh bekerja dan merendahkan
diri. Dan ia berbuat seperti perbuatan orang yang melihat orang lain, lebih
baik daripada dirinya. Orang tersebut telah mantap dalam hatinya, pohon
kesombongan. Akan tetapi ia potong ranting-rantingnya secara keseluruhan.
Tingkat kedua:
bahwa nyata yang demikian pada perbuatan-perbuatannya, dengan mengangkat diri
pada majelis-majelis, mendahului atas teman-teman dan melahirkan tantangan
terhadap orang yang teledor mengenai haknya. Dan sekurang-kurangnya yang
demikian pada orang yang berilmu, ialah: memalingkan mukanya dari manusia,
seakan-akan dia itu membuang muka dari mereka. Dan sekurang-kurang yang
demikian pada seorang abid, ialah: bahwa ia bermasam muka dan mengerut
keningnya. Seakan-akan ia membersihkan diri dari manusia, menghinakan mereka
atau marah kepada mereka. Dan orang yang patut dikasihani itu, tidak tahu,
bahwa wara’, tidaklah pada dahi sehingga mengerut. Dan tidak pada muka,
sehingga masam. Dan tidak pada pipi (muka), sehingga dipalingkan. Dan tidak
pada leher, sehingga ditundukkan. Dan tidak pada ekor sehingga dilipatkan.
Sesungguhnya wara’ itu, pada hati. Rasulullah saw bersabda: “Taqwa itu di
sini”. Dan beliau tunjukkan ke dadanya. Maka sesungguhnya Rasulullah saw adalah
“makhluk yang termulia dan yang paling taqwa. Dan dia adalah yang mempunyai
akhlak terluas, yang terbanyak gembira, tersenyum dan berlapang dada”. Dan
karena itulah, Al-Harts bin Jaz-i Az-Zubaidi sahabat Rasulullah saw mengatakan:
“Mengherankan aku dari ulama-ulama, oleh setiap yang bermanis muka, yang banyak
ketawa. Adapun orang yang engkau jumpai dengan kegembiraan dan ia menjumpai
engkau dengan masam muka itu, membangkit-bangkitkan kepada engkau dengan
ilmunya. Maka kiranya Allah tidak membanyakkan yang seperti itu pada kaum
muslimin. Dan jikalau Allah SWT merelai yang demikian, niscaya Ia tidak
berfirman kepada NabiNya saw, dengan firrmanNya: “Dan rendahkanlah sayap engkau
kepada orang-orang yang beriman yang mengikut engkau”. S 26 Asy Syu’ara’ ayat
215. Dan merekalah orang-orang yang tampak bekas kesombongan pada sifat-sifat
mereka. Maka keadaan mereka itu lebih ringan daripada orang yang pada tingkat
ketiga. Yaitu: orang yang tampak kesombongannya pada lisannya. Sehingga
mengajaknya kepada mendakwakan, bermegah-megahan, berbanggakan diri,
membersihkan diri, menceritakan keadaan dan keduduk kan dan menyiapkan diri
untuk mengalahkan orang lain, pada ilmu dan amal. Adapun orang abid, maka dia
mengatakan pada mengemukakan kesombongan kepada orang lain dari hamba-hamba
Allah, dengan katanya: “Siapa dia itu? Apa amalnya? Dan darimana zuhudnya?”.
Maka panjanglah lisannya pada mereka dengan mengemukakan kekurangan. Kemudian
ia memuji dirinya sendiri dan mengatakan: “Bahwa aku tiada berbuka (artinya:
berpuasa) sejak itu dan itu. Aku tidak tidur malam (maksudnya: ia mengerjakan
shalat tahajjud). Aku mengkhatamkan Alquran (maksudnya: menamatkan bacaan
seluruh Alquran) pada setiap hari. Si Anu tidur pada waktu sahur (artinya:
tidak berpuasa). Dan ia tidak membanyakkan bacaan”. Dan kata-kata lain yang
seperti itu. Kadang-kadang ia membersihkan diri, secara terkandung dalam
kata-kata (tidak terus terang). Ia mengatakan umpamanya: “Aku dimaksudkan oleh
si Anu dengan jahat. Lalu binasalah anaknya. Hartanya diambil orang”. Atau ia
sakit atau kata-kata lain yang serupa dengan itu. Ia mendakwakan karamah bagi
dirinya. Adapun membanggakan diri, maka yaitu: jikalau ia berada bersama suatu
kaum, yang mengerjakan shalat di malam hari, niscaya ia bangun berdiri dan
mengerjakan shalat lebih banyak daripada shalat yang pernah dikerjakannya. Dan
jikalau mereka itu sabar diatas kelaparan, maka ia memaksakan dirinya sabar,
untuk mengalahkan mereka. Dan melahirkan kekuatannya dan kelemahan mereka. Dan
begitu pula, ia bersangatan pada ibadah, karena takut dikatakan, bahwa: orang
lain lebih banyak ibadahnya dari dia. Atau lebih kuat daripadanya pada agama
Allah. Adapun orang yang berilmu. Maka ia menyombongkan diri dan mengatakan:
“Aku ahli pada beberapa ilmu dan mendalami tentang hakikat/makna-hakikat/makna
ilmu. Dan aku melihat dari syaikh-syaikh itu, si Anu dan si Anu. Dan engkau itu
siapa? Dan apa kelebihan engkau? Dan siapa yang engkau temui dari syaikh-syaikh
itu? Dan apa yang engkau dengar dari hadits?. Semua itu untuk mengecilkan orang
lain dan membesarkan dirinya sendiri. Adapun membanggakan diri, maka yaitu: ia
bersungguh-sungguh berdebat untuk menang dan tidak dikalahkan. Dan ia tidak
tidur sepanjang malam dan siang hari, pada mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan, untuk memperelokkan diri pada upacara-upacara, seperti: berdebat,
bertengkar, membaguskan susunan kata, menyusun kata-kata bersajak. Dan
menghapal ilmu-ilmu yang ganjil, supaya ia ganjil atas teman-temannya. Ia
membesarkan diri atas mereka. Ia menghapal hadits-hadits menurut bunyinya dan
isnad-isnadnya. Sehingga ia menolak terhadap orang yang salah hapalannya pada
hadits-hadits itu. Maka tampaklah kelebihannya dan kekurangan teman-temannya.
Dan ia bergembira manakala bersalah seseorang dari mereka, untuk ditolaknya.
Dan menyusah kannya, apabila teman itu betul dan berbuat baik, karena takut
bahwa temannya itu dipandang orang, lebih besar daripadanya. Maka ini semua adalah
akhlak sombong dan bekas-bekasnya yang dihasilkan oleh kemegahan diri dengan
ilmu dan amal. Dan manakah orangnya yang terlepas dari semua yang demikian atau
dari sebahagian daripadanya? Maka menurut perasaanku, siapakah kiranya yang
tahu akan akhlak ini dari dirinya dan mendengar sabda Rasulullah saw, yang
menyabdakan: “Tiada akan masuk sorga orang yang dalam hatinya, seberat biji
sawi daripada kesombongan”. Bagaimana ia membesarkan dirinya dan menyombong
atas orang lain? Dan Rasulullah saw bersabda, bahwa dia itu dari penduduk
neraka. Dan sesungguhnya orang besar, ialah: orang yang terlepas dari ini. Dan
orang yang terlepas dari itu, niscaya tidak ada padanya membesarkan dan
menyombongkan diri. Orang yang berilmu, ialah: orang yang memahami bahwa Allah Ta’ala
berfirman kepadanya: “Bahwa engkau pada Kami mempunyai kadar (tingkat), apa
yang tidak engkau lihat kadar itu bagi diri engkau sendiri. Maka jikalau engkau
melihat bagi diri engkau kadar itu, niscaya tiada kadar itu bagi engkau pada
Kami”. Dan orang yang tiada mengetahui ini dari agama, maka nama “orang
berilmu” padanya itu dusta. Dan orang yang mengetahui ilmu itu, niscaya
haruslah tidak menyombongkan diri dan tidak melihat bagi dirinya mempunyai
kadar itu. Maka itulah menyombongkan diri dengan ilmu dan amal!.
Ketiga:
menyombongkan diri dengan keturunan dan bangsa. Maka orang yang mempunyai
bangsa mulia itu, menghinakan orang yang tiada mempunyai kebangsaan. Walaupun
orang yang tidak berbangsa itu lebih tinggi amal dan ilmu daripadanya. Kadang-kadang
sebahagian mereka menyombongkan diri, lalu melihat, bahwa manusia itu,
mempunyai harta dan budak-budak. Ia tidak mau bercampur baur dan duduk-duduk
dengan mereka. Dan buahnya pada lidah, ialah: membanggakan diri. Lalu
mengatakan kepada orang lain: “Hai orang Ajam! Hai orang Hindi! Hai orang
Armania! Siapa engkau? Siapa bapak engkau? Adapun aku si Anu anak si Anu. Dan
dimanakah orang yang seperti engkau iin berbicara dengan aku? Atau melihat
kepada aku? Orang yang seperti aku, engkau berbicara? Dan kata-kata lain yang
seperti itu. Itu adalah sifat yang tertanam dalam diri, yang tidak terlepas
daripadanya, orang yang berbangsa. Walaupun ia orang salih dan berakal.
Kecuali, kadang-kadang tidak patut yang demikian itu daripadanya pada keadaan
yang normal (baik). Maka jikalau ia dikerasi oleh kemarahan, niscaya yang
demikian itu memadamkan nur mata hatinya. Dan menjadi patut yang demikian itu
daripadanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar, yang mengatakan: “Aku
bermusuhan dengan seorang laki-laki di sisi Nabi saw. Lalu aku katakan kepada
laki-laki itu: “Hai anak wanita hitam!”. Maka Nabi saw bersabda: “Hai Abu Dzar!
Tinggilah engkau segantang! Tinggilah engkau segantang! Tidaklah bagi anak
wanita putih mempunyai kelebihan atas anak wanita hitam”. Lalu Abu Dzar
mengatakan: “Maka aku berbaring dan katakan kepada laki-laki tersebut:
“Bangunlah dan pijaklah atas pipiku!”. Maka perhatikanlah, bagaimana Rasulullah
saw memperingatinya, bahwa dia melihat bagi dirinya kelebihan, lantaran dia
anak wanita putih. Dan bahwa yang demikian itu salah dan bodoh. Perhatikanlah,
bagaimana ia bertobat dan mencabut dari dirinya pohon kesombongan dengan lekuk
tapak kaki orang yang disombonginya. Karena ia mengetahui, bahwa kemegahan itu
tidak akan dicegah, selain oleh kehinaan. Dan dari yang demikianlah, apa yang
diriwayatkan, bahwa dua orang laki-laki bangga-membanggakan di sisi Nabi saw.
Maka salah seorang dari keduanya mengatakan kepada yang lain: “Aku si Anu anak
si Anu. Maka siapa engkau, tiada ibu bagi engkau?”. Lalu Nabi saw bersabda:
“Dua orang laki-laki bangga-membanggakan diri di sisi Musa as. Maka salah
seorang dari keduanya, mengatakan: “Aku si Anu anak si Anu”. Sehingga ia hitung
9 keturunan. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as, dengan
firmanNya: “Katakanlah kepada orang yang membanggakan diri itu: “Bahkan, 9 dari
sisi neraka dan engkau yang ke-10 dari mereka”. Rasulullah saw bersabda:
“Hendaklah kaum itu meninggalkan kesombongan dengan menyebutkan bapak-bapak
mereka! Sesungguhnya mereka telah menjadi arang kayu dalam neraka jahannam.
Atau sesungguhnya adalah dia lebih hina pada Allah dari kepik bedugal Mesir
(dalam bahasa Arab, yaitu: al-ji’laan), yang mengisap dengan hidungnya
kotoran”.
Keempat: membanggakan diri dengan kecantikan. Dan yang demikian
itu, lebih banyak diantara kaum wanita. Dan yang demikian itu mengajak kepada
memandang kurang kepada orang, memalukan orang, mencaci dan menyebutkan
kekurangan orang lain. Dan dari yang demikian itu, apa yang diriwayatkan dari
‘Aisyah yang mengatakan: “Seorang wanita masuk ke tempat Nabi saw. Lalu aku
mengatakan dengan tanganku: “Begini! Artinya: dia itu pendek. Lalu Nabi saw
bersabda: “Engkau sudah mencacinya”. Ini, tempat kejadiannya, ialah:
tersembunyinya kesombongan. Karena sesungguhnya, jikalau ‘Aisyah itu juga
pendek, niscaya tidak disebut nya pendek. Maka seakan-akan ‘Aisyah merasa heran
dengan bentuk badan wanita itu. Dan pendeknya wanita tersebut pada lembung
dirinya. Lali ‘Aisyah mengatakan apa yang telah dikatakannya.
Kelima: kesombongan dengan harta. Dan yang demikian
itu berlaku diantara raja-raja mengenai gudang-gudang simpanan mereka. Dan
diantara saudagar-saudagar mengenai harta benda mereka. Diantara kepala-kepala
desa mengenai tanah mereka. Dan di antara orang-orang yang berbuat kecantikan
pada pakaian, kuda dan kendaraan mereka. Lalu yang kaya menghinakan yang miskin
dan menyombongkan diri atasnya. Ia mengatakan kepada yang miskin itu: “Engkau
orang susah dan miskin. Dan aku, kalau aku mau, niscaya tidak aku beli orang
yang seperti engkau. Dan aku pakai menjadi pelayan, orang yang di atas engkau.
Siapakah engkau? Apa yang ada pada engkau? Perabot rumahku menyamai yang lebih
banyak dari semua harta engkau. Aku berbelanja dalam sehari, apa yang engkau
makan dalam setahun”. Semua itu, adalah karena penghormatannya kepada orang
kaya dan penghinaannya kepada orang miskin. Semua itu adalah kebodohannya,
dengan keutamaannya kemiskinan dan bahayanya kekayaan. Kepada yang demikianlah,
diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Lalu ia mengatakan kepada temannya,
ketika bercakap-cakap: “Harta aku lebih banyak dari harta engkau dan pengikutku
lebih banyak dari pengikut engkau”. S 18 Al Kahfi ayat 34. Sehingga temannya
itu lalu menjawab, dengan katanya: “Kalau engkau melihat harta dan anakku
kurang dari harta dan anak engkau. Boleh jadi Tuhanku nanti memberikan
kebajikan kepadaku lebih banyak dari hasil kebun engkau dan kemudian Dia
mengirimkan petir dari langit kepada kebun
engkau, sehingga kebun itu menjadi tanah yang tidak mempunyai tanaman.
Atau airnya lulus ke dalam, sehingga engkau tidak kuasa mendapatnya”. S 18 Al
Kahfi ayat 39-40-41. Adalah yang demikian itu kesombongan daripadanya dengan
harta dan anak. Kemudian, Allah menerangkan akibat pekerjaannya dengan katanya:
“Aduhai! Kiranya aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan seseorang pun”. S 18
Al Kahfi ayat 42. Dan termasuk seperti yang demikian, kesombongan Karun, karena
Allah Ta’ala berfirman, sebagai menerangkan tentang kesombongannya: “Lalu dia
keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah-indah). Orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia ini, berkata: “Wahai! Kiranya kami mempunyai
seperti apa yang diberikan Karun! Sesungguhnya dia beruntung yang besar
(bernasib baik)!”. S 28 Al Qashash ayat 79.
Keenam: sombong dengan kekuatan dan sangat garang. Dan kesombongan
itu terhadap orang-orang lemah.
Ketujuh: sombong dengan sebab banyak pengikut, pembantu,
murid dan hamba sahaya. Dan sombong, disebabkan keluarga, kerabat dan banyak putera.
Dan yang demikian itu berlaku di antara raja-raja pada banyak-membanyakkan
dengan tentara. Dan di antara alim ulama pada banyak-membanyakkan dengan
orang-orang yang mengambil faedah dengan ilmunya (belajar padanya).
Kesimpulannya, maka setiap yang menjadi nikmat dan mungkin diyakini sebagai
suatu kesempurnaan, walaupun pada dirinya tidak merupakan suatu kesempurnaan,
niscaya mungkin ia akan menyombongkan dengan yang tersebut itu. Sehingga
seorang mukhannats (yang dapat membuat dirinya seperti gerak-gerik wanita),
akan menyombong atas teman-temannya, disebabkan kelebihan pengetahuannya dan
kemampuannya pada berbuat seperti mukhannats itu. Karena ia berpendapat yang
demikian itu suatu kesempurnaan. Lalu ia membanggakan diri dengan yang
demikian. Walaupun perbuatannya itu tidak lain, melainkan suatu perbuatan yang
terlarang. Seperti yang demikian juga, orang fasiq, kadang-kadang ia
membanggakan diri dengan banyaknya meminum khamar dan banyaknya berbuat jahat
dengan wanita-wanita dan anak-anak muda belia. Ia menyombongkan dengan yang
demikian, karena disangkanya, bahwa yang demikian itu suatu kesempurnaan.
Walaupun ia salah pada yang demikian. Maka itulah jumlahan apa yang
disombongkan oleh hamba-hamba. Sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain.
Lalu menyombonglah orang yang mendekati kepada sesuatu, atas orang yang tiada
mendekatinya. Atau atas orang yang mendekati, dengan apa yang lebih kurang
daripadanya pada keyakinan. Dan kadang-kadang adalah orang yang seperti itu
atau yang diatasnya pada sisi Allah Ta’ala, seperti orang yang berilmu, yang
menyombong dengan ilmunya, atas orang yang lebih berilmu daripadanya. Karena
persangkaannya, bahwa ia lebih berilmu. Dan karena bagus keyakinannya pada
dirinya. Kita bermohon pada Allah Ta’ala akan pertolongan dengan kemurahan dan
rahmatNya. Sesungguhnya Dia itu amat berkuasa atas setiap sesuatu.
PENJELASAN:
tentang penggerak-penggerak kepada kesombongan dan sebab-sebab yang
membangkitkannya.
Ketahuilah, bahwa sombong itu akhlak
batiniyah. Adapun yang zahiriyah dari akhlak dan perbuatan, maka itu adalah
buah dan natijah/hasil keyakinan/hasil. Dan seyogayalah dinamakan buah dan
natijah/hasil keyakinan itu: sombong. Dikhususkan nama: sombong, dengan
pengertian batiniyah, yaitu: membesarkan diri dan melihat kadar (tingkat) diri
diatas tingkat orang lain. Dan batiniyah ini mempunyai suatu yang harus
terjadi, yaitu: ujub (mengherani diri), yang menyangkut dengan orang yang
menyombongkan diri, sebagaimana akan datang pengertiannya nanti. Maka apabila
ia mengherani dirinya, ilmunya, amalnya atau sesuatu dari sebab-sebabnya, niscaya
ia membesarkan dirinya dan menyombong. Adapun sombong zahriyah, maka sebabnya
3, yaitu: sebab pada yang menyombongkan diri, sebab pada orang yang
disombongkan dan sebab pada yang menyangkut dengan yang lain, dari yang
menyombongkan dan yang disombongkan. Adapun sebab pada orang yang meyombongkan
diri itu, ialah: ujub. Dan yang menyangkut dengan orang yang disombongkan,
yaitu: dendam dan dengki. Dan yang menyangkut dengan yang lain dari keduanya,
yaitu: ria. Maka sebab-sebab dengan pengertian ini, menjadi 4: ‘ujub, dendam,
dengki dan ria.
Adapun ‘ujub, maka
telah kami sebutkan dahulu, bahwa ‘ujub itu mempusakai sombong batiniyah. Dan
sombong batiniyah itu membuahkan sombong zahiriyah, pada: perbuatan, perkataan
dan hal-ihwal keadaan.
Adapun dendam,
maka itu membawa kepada kesombongan, tanpa ‘ujub. Seperti orang yang
menyombongkan diri atas orang yang dilihatnya, bahwa orang tersebut seperti dia
atau diatas dia. Akan tetapi ia marah kepada orang itu, dengan suatu sebab yang
telah mendahului dari orang itu. Maka marah itu mempusakai dendam. Dan
melekatlah kemarahan itu pada hatinya. Maka karena yang demikian, ia tidak
dipatuhi oleh dirinya untuk merendahkan diri kepada orang tersebut. Walaupun
ada padanya mustahak bagi merendahkan diri. Maka banyaklah orang yang hina,
yang tidak dipatuhi oleh dirinya kepada merendahkan diri kepada seseorang dari
orang-orang besar. karena dendamnya atas orang besar tersebut atau marahnya
kepadanya. Dan yang demikian itu, membawanya kepada menolak kebenaran, apabila
kebenaran itu datang dari pihak orang itu. Dan membawa kepada keras hidung
daripada menerima nasehatnya. Dan membawa kepada bersungguh-sungguh untuk
mendahului orang itu. Walaupun ia tahu, bahwa ia tidak berhak yang demikian.
Dan membawa kepada tidak akan meminta ke-halal-an daripadanya dan walaupun ia
berbuat zalim kepada orang itu. Maka ia tidak akan meminta maaf pada orang itu
dan walaupun ia berbuat aniaya kepadanya. Dan ia tidak akan bertanya pada orang
itu, dari apa yang tiada diketahuinya.
Adapun dengki,
maka juga mengharuskan kemarahan bagi orang yang didengkikan. Walaupun tidak
ada, dari pihak orang yang didengkikan itu, orang yang menyakitkan dan sebab
yang menghendaki kemarahan dan kedengkian. Dan juga dengki itu membawa kepada
mengingkari kebenaran. Sehingga ia tidak mau menerima nasehat dan mempelajari
ilmu. Maka berapa banyak dari orang bodoh, yang ingin kepada ilmu pengetahuan
dan terus tinggal dalam kehinaan kebodohan. Karena ia menyombongkan diri untuk
mengambil faedah dari seseorang dari penduduk kampungnya atau familinya. Karena
dengki dan durhaka kepadanya. Lalu ia berpaling dan menyombongkan diri, serta
diketahuinya, bahwa ia mustahak merendahkan diri, disebabkan kelebihan ilmu
orang itu. Akan tetapi, kedengkian yang menggerakkannya kepada bermu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)
(bergaul) dengan orang itu, dengan tingkah laku orang-orang yang menyombongkan
diri. Walaupun dalam batinnya, ia tidak melihat dirinya di atas orang itu.
Adapun ria, maka
juga membawa kepada akhlak orang-orang yang menyombongkan diri. Sehingga
seseorang sesungguhnya berdebat dengan orang, yang diketahuinya, bahwa orang
itu lebih utama daripadanya. Dan tiada perkenalan di antaranya dan orang
tersebut. Tidak ada dengki-mendengki dan dendam. Akan tetapi, ia tidak mau
menerima kebenaran dari orang itu. Tidak mau merendahkan diri kepadanya, pada
mengambil faedah dari ilmu-pengetahuannya. Karena takut dikatakan orang, bahwa
orang itu lebih utama daripadanya. Maka yang menggerakkannya kepada
menyombongkan diri itu, ialah: ria semata-mata. Jikalau ia mengasingkan diri
bersama orang itu, niscaya ia tidak akan menyombongkan diri atas orang itu.
Adapun orang yang menyombongkan diri dengan ‘ujub atau dengki atau dendam, maka
ia menyombongkan diri juga, ketika ia dalam kesepian dengan orang itu, walaupun
tidak ada bersama keduanya, orang ketiga. Dan seperti itu juga, kadang-kadang
ia membangsakan dirinya kepada golongan bangsawan, dengan membohong. Dan ia
tahu, bahwa dia itu bohong. Kemudian, ia menyombongkan diri dengan demikian,
terhadap orang yang tiada berbangsa kepada golongan bangsawan itu. Dan ia
mengangkatkan dirinya terhadap orang itu pada majelis-majelis pertemuan. Ia
mendahulukan berjalan terhadap orang itu di jalanan. Ia tidak rela sama dengan
orang tersebut pada kemuliaan dan penghormatan. Dan ia tahu pada batinnya,
bahwa ia tidak mustahak yang demikian. Dan tidak ada kesombongan pada batinnya,
karena diketahuinya, bahwa ia dusta pada mendakwakan kebangsawanan itu. Akan
tetapi, ia dibawa oleh sifat ria, kepada perbuatan orang-orang yang
menyombongkan diri. Dan seakan-akan nama orang yang menyombongkan diri itu,
sesungguhnya, dikatakan secara mutlak pada kebanyakannya, kepada orang yang
berbuat perbuatan-perbuatan tersebut, dari kesombongan pada batin, yang terbit
dari ke’ujuban dan memandang kepada orang lain, dengan mata penghinaan. Dan dia
itu jikalau dinamakan orang yang menyombongkan diri, maka dikarenakan oleh
penyerupaan dengan perbuatan kesombongan. Kita bermohon kepada Allah, akan
kebagusan taufiq. Wallahu Ta’ala A’lam. Allah Ta’ala Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN:
tentang akhlak orang-orang yang merendahkan diri dan kumpulan yang lahir
padanya oleh bekas merendahkan diri dan menyombongkan diri.
Ketahuilah, bahwa kesombongan itu
kelihatan pada tabiat seseorang, seperti: memalingkan mukanya, memandang dengan
mengerling, menundukkan kepala, duduk dengan bersela atau bertekan di lantai.
Dan juga kesombongan itu kelihatan pada perkataannya, sehingga pada suara, tekanan
suara dan kata-kata suara pada mengemukakan. Dan kesombongan itu kelihatan pada
jalannya, cara berjalannya, berdirinya, duduknya, geraknya dan tenangnya. Dan
pada cara ia mengerjakan perbuatannya dan pada lain-lain perobahannya tentang
keadaan, perkataan dan perbuatannya. Diantara orang-orang yang menyombongkan
diri, ialah orang yang mengumpulkan itu semua. Di antara mereka, ada orang yang
menyombongkan diri pada sebahagian dan merendahkan diri pada sebahagian. Maka
diantara akhlak orang-orang yang sombong, ialah menyombongkan diri dengan
menyukai manusia bangun berdiri karena kedatangannya. Atau berdiri
dihadapannya. Ali ra mengatakan: “Barangsiapa bermaksud melihat orang dari isi
neraka, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang duduk. Dan dihadapannya
suatu kaum yang berdiri”. Anas ra mengatakan: “Tiada orang yang lebih dicintai
mereka, selain dari Rasulullah saw. Adalah mereka apabila melihatnya, tiada
berdiri, karena diketahui mereka, akan kebencian Rasulullah saw untuk yang
demikian”. Diantara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: ia tidak
berjalan, selain ada bersama dia orang lain, yang berjalan di belakangnya.
Abu-Darda ra mengatakan: “Senantiasalah hamba itu bertambah jauh daripada
Allah, oleh apa yang berjalan di belakangnya”. Adalah Abdurrahman bin ‘Auf
tiada mengenal dari antara budak-budaknya. Karena ia tidak membedakan dari
mereka pada bentuk zahiriyahnya. Suatu kaum berjalan kaki di belakang Al-Hasan
Al-Bashari . Lalu beliau melarang mereka dan mengatakan: “Tiada tinggal ini dari
hati hamba Allah”. Adalah Rasulullah saw pada sebahagian waktu, berjalan kaki
bersama sebahagian sahabat. Lalu beliau menyuruh mereka berjalan di muka. Dan
beliau berjalan kaki dalam rombongan mereka. Adakalanya, tindakan Rasulullah
saw itu untuk mengajar orang lain. Atau untuk meniadakan dari dirinya gangguan
setan dengan kesombongan dan ke’ujuban. Sebagaimana ia melepaskan kain baru
dalam shalat dan menggantikan nya dengan kain tua. Karena salah satu dari 2
arti tersebut. Di antara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah:
bahwa ia tidak mau berziarah (berkunjung) kepada orang lain, walaupun berhasil
dari kunjungannya itu kebajikan bagi orang lain pada agama. Dan itu adalah
lawan dari tawadlu’ (merendahkan diri). Diriwayatkan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra
tiba di Ar-Ramlah (suatu kota di Palestina). Lalu Ibrahim bin Adham mengutus
orang kepadanya, untuk menyampaikan kata-kata: “Datanglah, supaya kita
bercakap-cakap!” Maka datanglah Sufyan itu. Lalu orang menanyakan kepadanya:
“Hai Abu Ishak! Engkau telah datang kepadanya dengan cara yang seperti ini?”.
Lalu Sufyan yang dipanggil dengan Abu Ishak tadi, menjawab: “Aku bermaksud
hendak melihat, bagaimana tawadlu’nya”. Diantara akhlak orang-orang yang
menyombongkan diri, ialah: ia menyombongkan diri, tidak suka orang lain duduk
di dekatnya, selain duduk dihadapannya. Dan tawadlu’/merendahkan diri adalah sebaliknya. Ibnu Wahab (seorang
penghapal hadits, ahli fiqih, w. Th.97 H) mengatakan: “Aku duduk dekat Abdurrahman
bin Abi Rawwad. Lalu pahaku menyentuh pahanya. Lalu aku menjauhkan diriku pada
duduk daripadanya. Maka diambilnya kainku, lalu ditariknya aku kepadanya,
seraya mengatakan kepadaku: “Mengapa engkau berbuat dengan aku, apa yang engkau
perbuat dengan orang-orang yang sombong? Aku tidak kenal seseorang daripada
kamu, yang lebih jahat daripada aku”. Anas ra mengatakan: “Adalah seorang budak
wanita yang masih kecil dari budak-budak wanita Madinah memegang tangan
Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw tiada melepaskan tangannya dari budak itu,
sehingga budak tersebut berjalan dengan Rasulullah saw, kemana saja ia
kehendaki”. Diantara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: bahwa
ia menjaga diri daripada duduk-duduk bersama orang-orang sakit dan yang sakit
parah. Ia menjauhkan diri dari mereka. Dan itu termasuk sebahagian dari
kesombongan. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki yang berpenyakit cacar yang
sudah mengupas, masuk ke tempat Rasulullah saw. Dan di sisi beliau banyak dari
para sahabatnya, yang sedang makan. Maka laki-laki tersebut tidak dapat duduk
dekat seseorang, selain orang itu terus bangun dari samping orang tersebut.
Lalu orang sakit cacar itu didudukkan oleh Nabi saw di sampingnya. Adalah
Abdullah bin Umar ra tiada menahan dari makanannya kepada orang yang
berpenyakit kusta, supak dan yang kena dengan sesuatu penyakit, melainkan
didudukkannya mereka pada hidangannya. Di antara akhlak orang-orang yang
menyombongkan diri, ialah: bahwa ia tidak mau mengerjakan dengan tangannya
sendiri sesuatu tugas di rumahnya. Dan tawadlu’ adalah yang sebaliknya.
Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Abdul ‘Aziz ra pada suatu malam datang kepadanya
seorang tamu. Dan adalah Umar ra itu menulis, lalu lampunya hampir padam. Lalu
tamu tersebut mengatakan: “Bolehkah aku bangun berdiri, memperbaiki lampu itu?”.
Umar bin Abdul-‘Aziz ra lalu menjawab: “Tidaklah dari kemuliaan seseorang,
bahwa memperoleh pelayanan dari tamunya”. Tamu itu menanyakan lagi: “Apakah aku
bangunkan budak pelayan?”. Umar lalu menjawab: “Itu adalah permulaan tidur,
dimana budak itu baru tidur”. Umar ra lalu bangun berdiri dan mengambil botol
minyak dan mengisikan lampu itu dengan minyak. Lalu tamu tadi, mengatakan:
“Engkau kerjakan sendiri, wahai Amirul-mu’minin?”. Umar ibnu Abdul ‘Aziz ra
lalu menjawab: “Aku pergi dan aku itu Umar. Aku kembali dan aku itu Umar. Tiada
berkurang daripadaku sesuatu. Dan sebaik-baik manusia, ialah: orang yang ada
pada sisi Allah itu merendahkan diri”. Di antara akhlak orang-orang yang
menyombongkan diri, ialah bahwa: ia tidak mengambil harta bendanya dan membawanya
sendiri ke rumahnya. Dan itu adalah kebalikan daripada kebiasaan orang-orang
yang merendahkan diri. Adalah Rasulullah saw berbuat demikian. Ali ra
mengatakan: “Tiadalah berkurang orang yang sempurna dari kesempurnaannya, oleh
membawa sesuatu kepada keluarganya”. Adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra dan
dia waktu itu menjadi amir (amir Damaskus dalam pemerintahan Umar bin Khattab
ra), membawa tempat air dari kayu kepunyaannya, ke kamar mandi. Tsabit bin Abi
Malik mengatakan: “Aku melihat Abu Hurairah ra datang dari pasar, membawa
seberkas kayu bakar. Dan dia waktu itu adalah wakil khalifah Marwan bin
Al-Hakam di Madinah. Abu Hurairah lalu mengatakan: “Lapangkan jalan bagi amir,
wahai putera Abi Malik!”. Dari Al-Ashbagh bin Nubatah, yang mengatakan: “Seolah-olah
aku melihat kepada Umar ra yang memegang daging pada tangan kirinya. Dan pada
tangan kanannya sebiji permata. Ia berkeliling di pasar, sehingga ia masuk ke
rumahnya”. Setengah mereka mengatakan: “Aku melihat Ali ra membeli daging
sedirham. Lalu dibawanya dalam tasnya. Maka aku mengatakan kepadanya: “Biarlah
aku yang membawa wahai Amirul-mu’minin!”. Ali ra lalu menjawab: “Tidak! Kepala
keluarga itu lebih berhak membawanya”. Di antara akhlak orang-orang yang
menyombongkan diri, ialah: mengenai pakaian. Karena tampak dengan pakaian itu
kesombongan dan kerendahan diri. Nabi saw bersabda: “Pakaian yang sederhana itu
termasuk sebahagian dari iman”. Harun (bin Sa’id As-Sa’di salah seorang perawi
hadits ini) mengatakan: “Saya menanyakan tentang arti maksud dari al-badzadzah.
Lalu dijawab, bahwa artinya, ialah: pakaian yang kurang bagus. Zaid bin Wahab
Al-Jahny (w. Sesudah Th. 80 H) mengatakan: “Aku melihat Umar bin Khattab ra
pergi ke pasar. Dan di tangannya sebutir mutiara. Ia memakai kain sarung, yang
padanya terjahit dari 14 potong. Sebahagiannya yang berwarna hitam manis”. Ali
ra dicaci orang karena memakai kain sarung yang bertampal. Lalu Ali ra
menjawab: “Akan diikuti oleh orang mu’min dan mengkhusyu’kan hatinya”. Nabi Isa
as mengatakan: “Kain bagus itu kesombongan dalam hati”. Thaus Al-Yamani ra
mengatakan: “Sesungguhnya aku akan mencucikan kainku yang dua ini. Lalu hatiku
membantahnya, selama kedua kain ini masih bersih”. Diriwayatkan bahwa Umar bin
Abdul ‘Aziz ra sebelum menjadi khalifah, dibelikan pakaian baginya dengan harga
100 dinar. Lalu ia mengatakan: “Alangkah bagusnya pakaian ini, jikalau tiada
kekasaran padanya!” Maka tatkala ia telah menjadi khalifah, lalu dibelikan kain
baginya dengan harga 5 dirham. Maka ia mengatakan: “Alangkah bagusnya kain ini,
jikalau tidak kelembutannya”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Di mana pakaian
engkau, kendaraan engkau dan minyak atar (minyak wangi) engkau, wahai
Amirul-mu’minin?”. Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mempunyai jiwa perasa. Dan
jiwa itu tidak merasakan dari dunia suatu lapisan, melainkan ia rindu kepada
lapisan (tingkat) yang di atasnya. Sehingga apabila ia telah merasakan pangkat
khalifah, yaitu yang tertinggi dari segala tingkat, niscaya ia rindu kepada apa
yang ada di sisi Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Sa’id
bin Suwaid mengatakan: “Khalifah Umar bin Abdul-‘aziz ra bershalat Jum’at
dengan kami. Kemudian, beliau duduk. Ia memakai baju kemeja, yang kantongnya
bertampalan dari hadapannya dan dari belakangnya. Lalu seorang laki-laki bertanya
kepadanya: “Wahai Amirul-mu’minin! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan
kepada engkau. Maka mengapa tidak engkau pakai?” Umar bin Abdul-‘aziz ra lalu
menundukkan kepalanya seketika. Kemudian mengangkatkan kepalanya, seraya
mengatakan: “Sesungguhnya yang lebih utama kesederhanaan, ialah: ketika kaya.
Dan kemaafan yang lebih utama, ialah: ketika kuasa”. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan perhiasan karena Allah dan meletakkan (tidak memakai)
kain-kain bagus, karena merendah kan diri bagi Allah dan mencari kerelaanNya,
niscaya berhak atas Allah menyimpankan baginya permadani sorga”. Jikalau anda
mengatakan, bahwa sesungguhnya Nabi Isa as berkata: “Pakaian bagus itu
kesombongan dalam hati”. Dan Nabi kita saw telah ditanyakan dari hal kecantikan
kain-kain, adakah itu termasuk sombong? Lalu Nabi saw menjawab: “Tidak! Akan
tetapi orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”. Maka bagaimanakah
jalan mengumpulkan di antara dua ucapan tersebut? Ketahuilah kiranya, bahwa
kain baru tidaklah dari keadaannya itu termasuk sebahagian dari kesombongan
pada hak setiap orang dalam segala hal. Dan itulah yang diisyaratkan oleh
Rasulullah saw. Dan itulah yang diperkenalkan oleh Rasulullah saw dari keadaan
Tsabit bin Qais. Karena beliau bersabda: “Sesungguhnya aku manusia yang
mencintai kecantikan, sebagaimana engkau lihat”. Maka dapatlah diketahui, bahwa
kecenderungan kepada kebersihan dan kebagusan kain, tidaklah untuk
menyombongkan diri kepada orang lain. Maka tidaklah dengan keadaannya itu
menjadi sebahagian dari kesombongan. Kadang-kadang ada yang demikian itu
termasuk sebahagian dari kesombongan. Sebagaimana rela dengan kain kurang
bagus, kadang-kadang termasuk sebahagian dari merendahkan diri (tawadlu’). Dan
tanda orang yang menyombongkan diri itu, ialah: bahwa ia mencari kecantikan,
apabila ia dilihat oleh manusia. Dan ia tidak memperdulikan yang demikian,
apabila ia berada sendirian, akan bagaimana adanya. Dan tanda orang yang
mencari kecantikan, ialah: bahwa ia mencintai kecantikan pada tiap sesuatu, walaupun
ia pada tempat kesepian (khilwah). Dan sehingga dalam rumahnya yang tertutup.
Maka yang demikian itu tidak termasuk, sebahagian dari kesombongan. Jadi,
hal-ikhwal itu, telah terbagi-bagi. Ditempatkan ucapan nabi Isa as di atas
sebahagian hal-ikhwal. Bahwa ucapannya: kesombongan hati itu, dimaksudkan:
kadang-kadang mendatangkan kesombongan dalam hati. Dan sabda Nabi kita saw
bahwa: tidak termasuk sebahagian dari kesombongan, dimaksudkan, ialah: bahwa
kesombongan tidak mengharuskan kepadanya. Dan boleh tidak diharuskan oleh
kesombongan kepadanya. Kemudian adalah itu dapat mendatangkan bagi kesombongan.
Kesimpulannya, maka hal-ikhwal itu berbeda-beda dalam hal yang seperti ini. Dan
yang disukai (yang disunatkan) itu, yang di tengah-tengah, di antara pakaian
yang tidak mengharuskan kemasyhuran dengan bagusnya dan tidak dengan buruknya.
Dan Nabi saw bersabda: “”Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedekahlah pada
tidak berlebih-lebihan dan tidak kesombongan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah menyukai untuk melihat bekas nikmatNya pada hambaNya”. Anak Adam itu
mencari hati manusia untuk dimilikinya, dengan menanamkan dalam hati itu rasa
penghormatan dan pemuliaan kepadanya. Yaitu: yang diibaratkan, dengan
kemegahan. Karena arti kemegahan itu: memiliki hati anak Adam (manusia). Maka
inilah benda-benda yang diibaratkan dengan dunia. Dan telah dikumpulkan oleh
Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Manusia itu diberi perasaan berhasrat (bernafsu
syahwat) kepada wanita dan anak-anak”. Ini adalah dari: manusia. “Dari kekayaan
yang melimpah-limpah, dari emas dan perak”. Ini adalah dari: barang permata dan
barang-barang tambang. Dan padanya, pemberitahuan kepada yang lain-lain, dari:
mutiara batu delima dll. “Kuda yang bagus dan binatang ternak”. Ini adalah:
binatang ternak dan hewan-hewan lainnya. “Sawah ladang”. Ini adalah
tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman. Bakr bin Abdullah Al-Mazani mengatakan:
“Pakailah pakaian raja-raja dan matikan hatimu dengan takut (kepada Allah)!”.
Sesungguhnya Bakr bin Abdullah itu menunjukkan dengan ucapannya ini kepada
suatu kaum yang mencari kesombongan dengan pakaian orang-orang shalih. Dan Nabi
Isa as mengatakan: “Tidaklah kamu itu datang kepadaku dengan memakai pakaian
rahib (pendeta) dan hatimu itu hati serigala yang buas. Pakailah pakaian
raja-raja dan matikanlah hatimu dengan takut (kepada Allah)!”. Di antara akhlak
orang-orang yang merendahkan diri, bahwa ia merendahkan diri dengan
penanggungan (menerima saja) apabila ia dimaki, disakiti dan diambil haknya.
Maka yang demikian itu, ialah: yang pokok. Dan telah kami bentangkan, apa yang
dinukilkan dari orang-orang terdahulu (orang salaf), daripada menanggung
kesakitan pada “Kitab Marah dan Dengki”. Kesimpulannya, maka kumpulan kebagusan
akhlak dan tawadlu’ itu, ialah: perjalanan hidup (sirah) Nabi saw. Maka
seyogyalah diikuti Nabi saw. Dan daripadanyalah seyogyanya dipelajari. Abu
Salmah bin Abdurrahman bin ‘Auf (seorang tabi’in Madinah) mengatakan: “Aku
bertanya kepada Abi Sa’id Al-Khudri ra: “Apakah pendapat anda, tentang yang
diada-adakan manusia mengenai pakaian, minuman, kendaraan dan makanan?”. Abi
Sa’id Al-Khudri ra menjawab: “Hai anak saudaraku! Makanlah karena Allah,
minumlah karena Allah dan pakailah karena Allah! dan setiap sesuatu dari yang
demikian itu, yang dimasuki oleh keujuban dan kebanggaan atau ria atau
kemasyhuran, maka itu maksiat dan berlebih-lebihan. Dan berbuatlah di rumahmu
dari pelayanan, apa yang diperbuat Rasulullah saw di rumahnya. Ia saw memberi umpan unta, mengikatkannya, menyapu
rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menjahit kain yang koyak,
makan bersama pelayan, menumbuk tepung ganti pelayan itu, apabila pelayan itu
sudah capek dan ia membeli sesuatu di pasar. Dan tidak menghalanginnya oleh
perasaan malu untuk memegangnya dengan tangannya atau meletakkannya pada tepi
kainnya. Dan ia bulak-balik kepada keluarganya. Ia berjabatan tangan dengan
orang kaya dan orang miskin, orang besar dan orang kecil. Ia memberi salam
dengan memulainya kepada tiap-tiap orang yang dijumpainya, dari orang kecil
atau orang besar, orang hitam atau orang merah, orang merdeka atau hamba
sahaya, dari orang-orang yang mengerjakan shalat. Tiada baginya saw pakaian
khusus untuk dalam rumah dan pakaian untuk di luar rumah. Ia saw tiada malu,
untuk memperkenankan, apabila ia diundang orang. Walau yang mengundang itu
rambutnya kusut, berdebu. Ia saw tidak melecehkan, apa yang diundang orang
kepadanya. Walaupun tidak didapatinya disitu, selain kurma buruk. Ia saw tidak
meninggalkan makanan siang untuk makanan malam. Dan tidak makanan malam untuk
makanan siang. Mudah perbelanjaannya, lembut akhlaknnya, mulia tabiatnya, bagus
pergaulannya, bersih mukanya, tersenyum tanpa ketua, gundah tanpa kedukaan,
keras tanpa kasar, merendahkan diri pada tidak kehinaan, pemurah tanpa
berlebih-lebihan, pengasih kepada setiap famili dan orang Islam, halus hatinya,
selalu menundukkan kepala, tiada penuh perutnya sekali-kali dari kekenyangan
dan tidak mengulurkan tangannya dari kerakusan”. Abu Salmah bin Abdurrahman
mengatakan: “Aku masuk ke tempat ‘Aisyah.
Lalu aku memperkatakan dengan dia mengenai apa yang dikatakan oleh Abu Sa’id,
tentang zuhudnya Rasulullah saw. Maka ‘Aisyah menjawab: “Abu Sa’id itu tidak
salah dari yang demikian itu, sehurufpun. Dan ia telah meringkaskannya. Karena
ia tidak menceritakan kepada engkau, bahwa Rasulullah saw tidak pernah
sekali-kali perutnya penuh dengan kekenyangan. Dan tidak pernah mengadukan
halnya kepada seorangpun. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih disukainya dari
kemudahan dan kekayaan. Walaupun ia senantiasa lapar semalam-malaman, hingga
pagi hari. Maka yang demikian itu tidak menghalanginya dari puasa pada
siangnya. Dan jikalau ia mau meminta pada Tuhannya, maka akan diberikan dengan
gudang-gudang bumi, buah-buahannya dan kemewahan hidupnya dari bahagian timur dan
baratnya bumi, niscaya dapat ia berbuat demikian. Kadang-kadang aku menangis,
karena kasihan kepadanya dari kelaparan yang menimpa kepadanya. Maka aku sapuh
perutnya dengan tanganku dan aku mengatakan: “Nyawaku tebusan bagi engkau!
Jikalau engkau mencukupkan dari dunia sekedar yang menjadi makanan engkau dan
mencegah engkau dari kelaparan?”. Ia saw lalu menjawab: “Hai ‘Aisyah! Saudaraku
dari rasul-rasul ulul-‘azmi telah bersabar di atas keadaan yang lebih berat
daripada ini. Mereka meneruskan di atas keadaan mereka. Dan mereka datang
kepada Tuhannya. Lalu Tuhan memuliakan kembalinya mereka dan membanyakkan
pahala bagi mereka. Maka aku dapati diriku malu, jikalau aku bermewah-mewah
pada kehidupanku. Bahwa Tuhan memandang aku lengah, sedang rasul-rasul ulul-‘azmi
itu tidak. Maka aku bersabar beberapa hari yang sedikit, lebih aku sukai
daripada berkurangnnya keberuntunganku besok di akhirat. Tiada suatupun yang
lebih aku sukai, selain menyusuli saudara-saudaraku dan kekasih-kekasihku”.
‘Aisyah mengatakan: “Demi Allah, tiada cukup seminggu sesudah itu, sehingga
iapun diambil oleh Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”.
Maka apa yang dinukilkan dari prihal-ikhwal Nabi saw itu, mengumpulkan kumpulan
akhlak orang-orang yang merendahkan diri. Maka siapa yang mencari kerendahan
diri, maka hendaklah ia mengikutinya saw. Dan siapa yang melihat dirinya di
atas tempatnya saw dan tidak rela bagi dirinya, apa yang direlai Nabi saw bagi
dirinya, maka alangkah bodohnya orang itu. Sesungguhnya adalah Nabi saw makhluk
Allah yang terbesar kedudukannya di dunia dan pada agama. Maka tiada kemuliaan
dan ketinggian, pada mengikutinya. Dan karena itulah, Umar ra mengatakan:
“Sesungguhnya kami suatu kaum, yang dimuliakan kami oleh Allah dengan Islam.
Maka kami tidak mencari kemuliaan pada yang lain”, tatkala Umar itu dicaci
orang, dalam keadaan buruk pakaiannya ketika ia datang di negeri Syam (Syiria).
Abud-Darda ra mengatakan: “Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba
yang dinamakan: al-abdal, pengganti nabi-nabi. Mereka itu tiang bumi. Maka
tatkala telah berlalu pangkat kenabian (an-nubuwwah), niscaya diganti oleh
Allah tempat mereka, dengan suatu kaum dari umat Muhammad saw. Mereka tiada
melebihi dari manusia lain, dengan banyaknya puasa, shalat dan bagus pakaian.
Akan tetapi, dengan benar wara’, bagus niat dan sejahtera dada (hati) bagi
semua kaum muslimin. Dan menasehati mereka untuk mencari kerelaan Allah dengan
sabar, bukan karena penakut. Dan merendahkan diri pada tiada kehinaan. Mereka
itu kaum yang dipilih oleh Allah. Dan Ia mengikhlaskan mereka bagi diriNya.
Mereka itu 40 orang shiddik atau 30 orang laki-laki. Hati mereka seperti
yakinnya Nabi Ibrahim Khalilurrahman as. Tiada seorangpun yang mati dari
mereka, melainkan Allah telah menjadikan siapa yang akan menggantikannya.
Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa mereka tiada mengutuk sesuatu, tiada
menyakitinya, tiada menghinakannya, tiada menyombongkan kepadanya, tiada dengki
kepada seseorang dan tiada rakus kepada dunia. Merekalah manusia yang terbaik
kebajikannya, yang paling lembut tabiatnya dan yang paling pemurah jiwanya.
Tanda mereka, ialah: pemurah. Tabiatnya gembira dan sifatnya sejahtera.
Tidaklah mereka pada hari ini dalam ketakutan dan besok dalam kelalaian. Akan
tetapi, mereka berbekalan atas keadaan mereka yang tampak. Dan mereka, mengenai
apa yang diantara mereka dan Tuhannya, tiada diketahui oleh angin yang kencang
dan oleh kuda yang lari. Hati mereka naik karena senangnya kepada Allah, rindu
kepadaNya dan datang pada mendahului kepada kebajikan. Mereka adalah golongan
Allah (hizbullah). Ketahuilah kiranya, bahwa hizbullah itu, mereka yang
memperoleh kemenangan”. Perawi itu mengatakan: “Lalu aku bertanya: “Hai
Abud-Darda! Apakah engkau tidak mendengar suatu sifat, yang lebih sukar
kepadaku dari sifat tersebut? Dan bagaimana bagiku untuk menyampaikannya?”.
Menjawab Abud-Darda: “Tiadalah di antara engkau dan di antara bahwa engkau
berada pada yang lebih luas daripadanya, selain bahwa engkau itu berada dalam
memarahi dunia. Maka sesungguhnya, apabila engkau memarahi dunia, niscaya
engkau menghadapi kepada kecintaan akhirat. Dan dengan kadar kecintaan engkau
bagi akhirat itu, engkau menjadi zuhud di dunia. Dan dengan kadar yang
demikian, engkau akan melihat apa yang bermanfaat bagi engkau. Dan apabila
diketahui oleh Allah dari hamba-hambaNya, kebagusan yang dicari, niscaya Ia
menuang kan kepadanya jalan yang benar. Dan diliputinya dengan pemeliharaan.
Ketahuilah, wahai anak saudaraku! Bahwa yang demikian itu, ada dalam Kitab
Allah yang diturunkan kepada NabiNya, yaitu: “Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan dan orang-orang yang berbuat
kebaikan”. S 16 An Nahl ayat 128. Yahya bin Katsir Al-Kufi mengatakan: “Maka
kami memandang pada yang demikian, maka tiadalah kelezatan yang diperoleh oleh
orang-orang yang memperoleh kelezatan, seperti mencintai Allah dan mencari
kerelaanNya. Wahai Allah, Tuhan kami! Jadikanlah kami sebahagian dari
orang-orang yang mencintai orang-orang yang mencintai Engkau, wahai Tuhan seru
sekalian alam! Maka sesungguhnya tiada patut untuk mencintai Engkau, selain
orang yang telah Engkau relai. Dan rahmat Allah dan sehjahteraNya kepada
penghulu kita Muhammad, kepada keluarganya dan sahabatnya.
PENJELASAN: jalan
pada mengobati kesombongan dan mengusahakan tawadlu’(merendahkan diri) bagi
kesombongan itu.
Ketahuilah bahwa kesombongan itu termasuk
sebahagian dari yang membinasakan. Dan tiada seorangpun dari makhluk, yang
terlepas dari sesuatu daripada kesombongan. Dan menghilangkan itu fardlu
‘ain/wajib. Dan tiada akan hilang dengan semata-amta angan-angan. Akan tetapi
dengan pengobatan dan memakai obat-obat yang mencabut kesombongan itu. Pada
pengobatan kesombongan itu 2 tingkat:
Pertama: mencabut
pokoknya dari akar-akarnya dan mencabut pohonnya dari tempat tertanamnya dalam
hati.
Kedua: menolak yang datang daripadanya, dengan sebab-sebab
khusus, di mana dengan sebab tersebut, manusia menyombongkan diri atas orang lain.
Tingkat pertama:
mengenai pencabutan pokoknya. Dan pengobatannya itu ilmiyah dan amaliyah. Dan
tiada akan sempurna sembuhnya, selain dengan terkumpul keduanya. Adapun
ilmiyah, maka yaitu: bahwa ia mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya Yang Maha
Tinggi. Dan yang demikian itu mencukupi baginya pada menghilangkan kesombongan.
Maka sesungguhnya, manakala ia mengenal dirinya dengan sebenarnya, niscaya ia
tahu, bahwa dia itu yang paling hina dari setiap yang hina dan yang paling
sedikit dari setiap yang sedikit. Dan sesungguhnya tiada layak dengan dia,
selain merendahkan diri, hina dan menghinakan diri. Dan apabila ia mengenal
Tuhannya, niscaya ia tahu bahwa tiada layak kebesaran dan kesombongan, selain
bagi Allah. Adapun ma’rifahnya akan Tuhannya, kebesaran dan kemuliaanNya, maka
pembicaraan padanya akan panjang. Dan itulah kesudahan ilmu al-diminta untuk
mengetahuinya saja. Adapun ma’rifahnya akan dirinya, maka itu juga akan
panjang. Akan tetapi, kami menyebutkan dari yang demikian, apa yang bermanfaat
pada mengobarkan tawadlu’ dan kehinaan. Dan mencukupi baginya, bahwa ia mengetahui
arti suatu ayat pada Kitab Allah. Maka sesungguhnya dalam Alquran itu ilmu
orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, bagi orang terbuka mata hatinya.
Allah Ta’ala berfirman: “Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya
(kepada Tuhan). Dari benda apakah ia dijadikan? Dari setetas air mani, Allah
menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan baginya. Kemudian itu,
dimudahkanNya menempuh jalan. Kemudian itu dimatikanNya dan diletakkanNya di
dalam kubur. Sesudah itu, apabila dikehendakiNya dibangkitkannya”. S 80 Abasa
ayat 17-18-19-20-21-22. Maka ayat tersebut mengisyaratkan kepada permulaan
kejadian manusia dan kepada akhir urusannya dan kepada pertengahannya. Maka
hendaklah manusia memperhatikan yang demikian, supaya ia memahami arti ayat
tersebut. Adapun permulaan manusia, yaitu: bahwa manusia itu, tiada suatupun
yang dapat disebutkan. Dan ia berada pada segi tidak ada, beberapa masa
lamanya. Bahkan, tidak ada bagi tidak adanya itu permulaan. Dan manakah sesuatu
yang lebih keji dan tersedikit daripada terhapus dan tidak ada? Dan telah ada
seperti yang demikian itu, pada masa tiada berpemulaan. Kemudian, ia dijadikan
oleh Allah dari barang yang paling hina. Kemudian, dari yang paling kotornya.
Ketika ia dijadikan dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging. Kemudian dijadikanNya tulang.
Kemudian tulang itu dihiaskanNya dengan daging. Maka adalah ini permulaan
wujudnya manusia, di mana dia telah menjadi suatu yang dapat disebutkan. Maka dia
tidak menjadi suatu yang dapat disebutkan, melainkan dia di atas sifat dan
keadaan yang paling keji. Karena ia tidak dijadikan pada permulaannya dengan
sempurna. Akan tetapi, dijadikannya sebagai benda beku mati, yang tidak
mendengar, tidak melihat, tidak merasa, tidak bergerak, tidak bertutur kata,
tidak menyerang, tidak mengetahui dan tidak tahu apa-apa. Maka ia memulai
dengan matinya sebelum hidupnya, dengan lemahnya sebelum kuatnya, dengan
bodohnya sebelum tahunya, dengan butanya sebelum lihatnya, dengan tulinya
sebelum dengarnya, dengan bisunya sebelum tuturnya, dengan sesatnya sebelum
petunjuknya, dengan miskinnya sebelum kayanya dan dengan lemahnya sebelum
kuasanya. Maka itulah arti firmanNya: “Dari benda apakah ia dijadikan? Dari
setetes air mani, Allah menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan
baginya”. Ayat 18-19. Dan arti firmanNya: “Sesungguhnya telah datang kepada
manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada suatupun yang dapat disebut.
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia itu dari setetes air mani yang bercampur.
Kami akan mengujinya”. S 76 Al Insaan ayat 1-2. Begitulah Allah menciptakan
manusia pada permulaannya, kemudian Ia menganugerahkan nikmat kepadanya. Maka
Ia berfirman: “Kemudian itu dimudahkanNya menempuh jalan”. Ayat 20 dari S 80
Abasa yang tersebut di atas. Dan ini adalah isyarat kepada apa yang diperoleh
insan, dengan mudah pada masa hidupnya sampai kepada mati. Begitu pula
firmanNya: “Dari setetes air mani itu bercampur. Kami akan mengujinya, lalu dia
Kami jadikan orang yang dapat mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami
menunjukkan jalan kepadanya, adakalanya dia tahu berterima kasih atau tidak
tahu berterima kasih”. S 76 Al Insaan ayat 2 dan 3. Artinya, sesungguhnya Allah
Ta’ala menghidupkannya, sesudah insan itu berada barang beku yang mati.
Pertama-tama tanah dan yang kedua setetes air mani. DiberikanNya pendengaran,
sesudah insan itu tuli dan penglihatan sesudah insan itu tidak dapat melihat.
Diberinya kekuatan sesudah lemah dan ilmu-pengetahuan sesudah bodoh. DijadikanNya
bagi insan itu anggota badan dengan segala keajaiban dan tanda-tanda yang ada
padanya, sesudah tadinya tidak ada. DikayakanNya sesudah miskin,
dikenyangkanNya sesudah lapar, diberikanNya pakaian sesudah telanjang dan
diberiNya petunjuk sesudah sesat. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah mengatur
dan membentukkannya. Dan kepada jalan, bagaimana dimudahkannya. Dan kepada
kedurhakaan insan, alangkah ingkarnya! Dan kepada kebodohan insan, bagaimana
dilahirkannya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Apakah manusia itu tidak melihat,
bahwa Kami menjadikannya dari setetes air mani? Tetapi, lihatlah dia telah
menjadi musuh terang-terangan”. S 36 Yasin ayat 77. Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan diantara keterangan-keterangan –kebesaran-Tuhan itu, diciptakanNya kamu
dari tanah. Kemudian itu, lihatlah kamu telah menjadi manusia yang bertebaran”.
S 30 Ar Rum ayat 20. Maka perhatikanlah kepada nikmat Allah atas insan,
bagaimana Ia memindahkannya dari kehinaan itu, kesedikitan, kekejian dan
kekotoran, kepada ketinggian ini dan kemuliaan! Maka jadilah insan itu ada
(maujud) sesudah tidak ada, hidup sesudah mati, dapat bertutur kata sesudah
bisu, melihat sesudah buta, kuat sesudah lemah, berilmu sesudah bodoh, mendapat
petunjuk sesudah sesat, berkuasa sesudah lemah dan kaya sesudah miskin. Maka
adalah insan itu pada zatnya: tidak ada suatupun. Dan manakah sesuatu yang
lebih keji, daripada: tidak ada suatupun? Dan manakah kesedikitan, yang
tersedikit, daripada: tidak ada semata-mata? Kemudian, insan itu menjadi
sesuatu, dengan kurnia Allah. Dan sesungguhnya Ia menjadikan insan, dari tanah
yang hina, yang diinjak dengan tapak kaki. Dan dari setetes air mani yang
kotor, sesudah tidak ada pula semata-mata. Untuk diperkenalkanNya kepada insan
itu akan kekejian dirinya. Lalu insan itu dengan demikian, mengenal akan
dirinya. Sesungguhnya Allah menyempurnakan nikmat kepada insan. Supaya dengan
nikmat itu, insan mengenal akan Tuhannya. Dan dengan nikmat itu, insan
mengetahui kebesaran dan keagunganNya. Dan sesungguhnya kesombongan itu tidak
layak, selain bagiNya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Dan karena itulah, maka
Allah memberi nikmat kepada insan. Ia berfirman: “Bukankah telah Kami buatkan
untuknya dua mata? Dan lidah dan dua bibir? Dan Kami tunjukkan kepadanya dua
jalan raya?”. S 90 Al Balad ayat 8-9-10. Pertama-tama, diperkenalkanNya
kekejian insan itu. Ia berfirman: “Bukankah dia dahulunya setetes air mani yang
ditumpahkan? Kemudian itu, menjadi segumpal darah”. S 75 Al Qiamah ayat 37-38.
Kemudian, Ia menyebutkan nikmatNya kepada insan. Ia berfirman: “Lalu (Tuhan)
menciptakan (bentuk)nya dan menyempurnakan kejadiannya. Dan dijadikan oleh
Tuhan dua jenis, laki-laki dan perempuan”. S 75 Al Qiamah ayat 38-39. Supaya
kekal adanya insan itu, dengan berketurunan. Sebagaimana berhasil adanya pertama-tama
diciptakan oleh Tuhan. Maka siapa yang ini permulaannya dan itu keadaannya,
maka dari manakah sombong, takabur, bangga dan angkuh itu? Dan dia itu
sebenarnya yang terkeji dari yang keji-keji dan yang paling lemah dari yang
lemah-lemah. Akan tetapi ini, adalah kebiasaan dari orang keji. Apabila ia
terangkat dari kekejian, niscaya ia meninggalkan hidungnya dan merasa besar.
Dan yang demikian itu karena menunjukkan kekejian permulaannya. Dan tiada daya
dan upaya, selain dengan Allah. Ya, jikalau Allah menyempurnakan insan,
menyerahkan kepadanya urusannya dan mengekalkan wujudnya (adanya) dengan
pilihannya, niscaya dapatlah insan itu berbuat durhaka dan melupakan permulaan
dan kesudahannya. Akan tetapi, pada kekekalan wujudnya, insan itu dikuasai oleh
penyakit-penyakit yang menakutkan, penyakit-penyakit yang besar, bahaya yang
bermacam-macam, tabiat-tabiat yang berlawanan, dari kepahitan, dahak, angin dan
darah, yang dihancurkan sebahagian dari sendi-sendinya oleh sebahagian yang
lain. Dia berkehendak yang demikian atau enggan atau marah. Maka ia lapar
dengan terpaksa, ia haus dengan terpaksa, ia sakit dengan terpaksa dan ia mati
dengan terpaksa. Ia tidak memiliki bagi dirinya, manfaat dan melarat, kebajikan
dan kejahatan. Ia tidak memiliki bagi mengetahui sesuatu, maka tidak
diketahuinya. Ia menghendaki mengingati sesuatu, maka dilupainya. Ia
menghendaki melupakan sesuatu dan melalaikannya, maka tidak dapat dilupakannya.
Ia menghendaki memalingkan hatinya kepada apa yang penting, lalu hatinya itu
berputar dalam lembah bisikan-bisikan setan dan pikiran-pikiran dengan
terpaksa. Maka hatinnya tidak memiliki (menguasai) hatinya. Dirinya tidak
menguasai dirinya. Dan ia rindu kepada sesuatu. Kadang-kadang adalah
kebinasaannya pada yang sesuatu itu. Ia benci kepada sesuatu. Kadang-kadang
hidupnya adalah pada yang sesuatu itu. Ia merasa lezat dengan bermacam makanan.
Dan makanan itu membinasakannya dan merusakkannya. Ia tidak menyukai obat,
padahal obat itu bermanfaat dan menghidupkannya. Ia tidak merasa aman pada suatu
saat dari malam atau siang, bahwa pendengarannya dan penglihatannya akan
dicabut. Anggota badannya akan lumpuh. Akal pikirannya akan hilang. Nyawanya
akan diambil. Dan semua yang diingininya dalam dunia akan dirampas. Maka dia
itu menjadi orang yang sangat memerlukan, lagi hina. Jikalau ia dibiarkan
dengan demikian, niscaya ia kekal tetap. Dan jikalau dirampas semua yang
tersebut, niscaya ia hancur binasa. Dia itu adalah budak yang dimiliki (ada
yang punya). Tidak berkuasa atas sesuatu dari dirinya dan tidak kepada sesuatu
dari lainnya. Maka manakah sesuatu yang lebih hina daripadanya, jikalau ia
mengenal akan dirinya? Dan dimanakah layak kesombongan baginya, jikalau
tidaklah karena kebodohannya? Maka inilah hal-ikhwal yang ditengah-tengah! Maka
hendaklah diperhatikan! Adapun akhirnya dan tempat kedatangannya, maka yaitu:
mati, yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Kemudian itu dimatikanNya
dan diletakkanNya di dalam kubur. Sesudah itu, apabila dikehendakiNya,
dibangkitkanNya”. S 80 Abasa ayat 21-22. Artinya: Allah Ta’ala mencabut
nyawanya, pendengarannya, penglihatannya, ilmunya, kuasanya, perasaannya,
pemahamannya dan geraknya. Lalu insan itu kembali menjadi beku, sebagaimana
adanya pada pertama kali dahulu. Tidak tinggal lagi, selain bentuk anggota
badannya dan rupanya. Tak ada perasaan dan gerak padanya lagi. Kemudian, ia
diletakkan dalam tanah. Maka ia menjadi bangkai yang busuk kotor, sebagaimana
adanya pada permulaan dahulu, setetes air mani yang berhamburan. Kemudian,
anggota badannya menjadi busuk, hancur bahagian-bahagiannya dan busuk
tulang-belulangnya. Ia menjadi hancur luluh. Ulat memakan bahagian-bahagian
tubuhnya. Lalu dimulainya dengan memakan dua biji matanya. Maka dicabutnya
kedua biji mata itu. Dan dengan kedua pipinya, maka dipotongnya kedua pipi itu.
Dan dengan bahagian-bahagian tubuh lainnya. Maka jadilah dia taik (berak) dalam
perut ulat. Dan adalah dia itu bangkai, yang lari hewan daripadanya. Dan semua
insan jijik kepadanya. Dan melarikan diri daripadanya, karena bersangatan busuknya.
Dan yang paling bagus keadaannya, bahwa ia kembali kepada apa adanya dahulu.
Lalu ia menjadi tanah, yang diperbuat kendi-kendi daripadanya. Dan dibangun
rumah-rumah dari tanah liat itu. Maka dia itu, menjadi tidak ada, sesudah ia
ada. Dan jadilah ia seakan-akan ladang padi yang sudah dituai, yang kemarinnya
tidak ada apa-apa. Sebagaimana ia telah berada pada permulaan kejadiannya pada
masa yang lama. Mudah-mudahan tinggallah ia seperti yang demikian. Alangkah
baiknya, jikalau ia dibiarkan menjadi tanah! Tidak! Akan tetapi ia akan
dihidupkan kembali sesudah lamanya busuk. Supaya ia merasakan kesangatan
percobaan. Lalu ia dikeluarkan dari kuburnya, sesudah terkumpul bahagian
tubuhnya yang bercerai berai. Ia dikeluarkan kepada huru hara hari kiamat. Maka
ia melihat kepada kiamat yang tegak berdiri, langit yang pecah-pecah hancur,
bumi yang sudah berganti, gunung-gunung yang berjalan, bintang-bintang jatuh
bertaburan, matahari gerhana, keadaan yang gelap, malaikat-malaikat yang kasar
keras, neraka jahannam yang menyala-nyala dan surga yang dipandang oleh orang
berdosa. Maka ia bersedih hati. Ia melihat suratan amal yang dihamburkan. Lalu
dikatakan kepadanya: “Bacalah suratan amalmu (kitabmu)!. Maka ia bertanya:
“Apakah kitab amal itu?. Lalu dijawab: “Sudah ada kitab amal itu. Telah
diwakilkan kitab itu pada engkau, dalam hidup engkau, yang engkau bergembira
dalam hidup itu. Engkau menyombong dengan kenikmatan hidup dan membanggakan
diri dengan sebab-sebab kehidupan itu. Dua malaikat pengintip, yang menulis
terhadap kamu, apa yang kamu tuturkan atau kerjakan, dari sedikit dan banyak,
biji dan kulit, makan dan minum, berdiri dan duduk. Engkau telah lupa yang
demikian. Dan Allah menghitungkan terhadap engkau. Maka marilah kepada hitungan
amal dan bersedialah untuk jawabannya! Atau engkau dihalau ke kampung azab.
Lalu terputuslah hatinya karrena gundah dari kehebatan perkataan tersebut,
sebelum dihamburkan surat amal. Dan melihat apa yang didalamnya dari
kehinaan-kehinaannya. Maka apabila ia telah menyaksikannya, niscaya ia berkata:
“Aduhai, malangnya kami! Kitab apakah ini! Tidak ditinggalkannya perkara yang
kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semuanya”. Maka inilah akhir
urusannya! Dan itulah arti firman Allah Ta’ala:
“Sesudah itu apabila dikehendakiNya dibangkitanNya”. S 80 Abasa ayat 22.
Maka apalah kiranya, bagi orang yang begini keadaannya, menyombong dan
membesarkan diri? Bahkan apalah baginyya dan bagi kegembiraan pada sekejap
waktu, sebagai kelebihan dari kesombongan dan tidak mensyukuri nikmat. Maka
telah menampak baginya permulaan keadaannya dan pertengahannya. Dan jikalau
menampaklah akhir keadaannya kita berlindung dengan dengan Allah Ta’ala,
mungkin ia memilih menjadi anjing atau babi. Supaya ia menjadi tanah bersama
binatang. Dan tidak menjadi insan, yang mendengar pembicaraan dan menemui azab.
Walaupun ia pada sisi Allah berhak bagi neraka, maka babi itu lebih mulia
daripadanya, lebih baik dan lebih tinggi. Karena permulaannya tanah dan
penghabisannya tanah. Dan babi itu tidak kena hisab (hitungan amal) dan azab.
Anjing dan babi, tidak lari makhluk daripadanya. Dan jikalau penduduk dunia
melihat hamba yang berdosa dalam neraka, niscaya mereka jatuh pingsan dari
kekejian kejadiannya dan buruk bentuknya. Dan jikalau mereka mencium baunya, sungguh
mereka akan mati dari busuknya. Dan jikalau jatuhlah setetes dari minumannya
yang diminumnya dalam laut dunia, niscaya yang setetes itu lebih busuk dari
bangkai. Maka orang yang begini keadaan kesudahannya, kecuali dimaafkan oleh
Allah dan dia itu dalam keraguan dari mendapat kemaafan, lalu bagaimana ia
bergembira dan menyombong? Bagaimana ia menyombongkan diri dan merasa perkasa?
Bagaimana ia melihat dirinya akan sesuatu, sehingga diyakininya bahwa ia
mempunyai kelebihan? Hamba manakah yang tidak berdosa dengan suatu dosa, yang
berhak akan siksaan? Kecuali dimaafkan oleh Allah Yang Maha Pemurah, dengan
kurniaNya? Dan ia menampalkan kepecahan dengan nikmatNya. Dan mengharap
daripadaNya demikian, karena kemurahanNya dan bagus prasangka kepadaNya. Dan tiada
upaya, selain dengan Allah. Adakah anda melihat orang yang berbuat aniaya
kepada setengah raja-raja, lalu ia berhak disebabkan penganiayaannya itu,
pukulan 1000 cambuk. Maka ia dikurung dalam penajra. Dan dia menunggu untuk
dikeluarkan ke lapangan (padang mahsyar). Dan dijatuhkan siksaan atas dirinya
di hadapan manusia banyak. Dan ia tidak tahu, apakah ia akan dimaafkan atau
tidak. Bagaimana hinanya dia dalam penjara? Adakah anda melihat, bahwa ia
menyombongkan diri terhadap orang-orang yang dalam penjara? Dan tidak adalah
dari hamba yang berdosa, melainkan dunia penjaranya. Dan ia berhak memperoleh
siksaan dari Allah Ta’ala. Ia tidak tahu, bagaimana akhir urusannya. Maka
mencukupilah yang demikian, kegundahan baginya, ketakutan, mengharap belas
kasihan, kerendahan dan kehinaan. Inilah kiranya obat ilmiyah yang mengalahkan
pokok kesombongan. Adapun pengobatan alamiyah, maka yaitu: merendahkan diri
karena Allah, dnegan perbuatan dan karena semua makhluk, dengan rajin berakhlak
dengan akhlak orang-orang yang merendahkan diri. Sebagaimana telah kami
sifatkan dan ceritakan dari hal-ikhwal orang-orang shalih dari hal-ikhwal
Rasulullah saw. Sehingga adalah dia saw makan di atas tanah dan bersabda:
“Sesungguhnya aku hamba. Aku makan, sebagaimana hamba itu makan”. Ditanyakan
kepada Salman Al-Farisi: “Mengapa anda tidak memakai pakaian baru? Salman lalu
menjawab: “Aku sesungguhnya hamba. Maka apabila aku telah dimerdekakan pada
sesuatu hari nanti, niscaya aku pakai yang baru”. Salman Al-Farisi ra
mengisyaratkan dengan yang demikian, kepada kemerdekaan di akhirat. Tawadlu’
itu tidak sempurna sesudah ma’rifah, selain dengan amal. Dan karena itulah,
disuruh orang-orang Arab yang menyombongkan diri atas Allah dan RasulNya,
dengan beriman dan mengerjakan shalat sekalian. Dan dikatakan: shalat itu tiang
agama. Dan dalam shalat terdapat rahasia-rahasia. Dan karenanyalah, shalat itu
menjadi tiang agama. Di antara jumlah rahasia itu, ialah: apa yang terdapat
dalam shalat, dari tawadlu’, dengan merendahkan diri berdiri, dengan ruku’ dan
sujud. Dan adalah orang-orang Arab itu dahulu menolak daripada membungkuk. Lalu
jatuhlah cemeti dari tangan salah seorang mereka. Maka ia tidak mau membungkuk
untuk mengambilnya. Dan ada yang terputus tali sepatunya, maka ia tidak mau
menundukkan kepalanya untuk memperbaiki tali sepatu itu. Sehingga Hakim bin
Hizam ra (keponakan Siti Khadijah binti Khuwailid, seorang dermawan Islam,
wafat Th. 50 H.dalam usia 120 Th), mengatakan: “Aku melakukan bai’ah dengan
Nabi saw, bahwa aku tidak menelungkup untuk sujud, melainkan berdiri saja”.
Maka diterima oleh Nabi saw bai’atnya. Kemudian, dapat ia memahami dan
sempurnalah imannya kemudian. Tatkala adalah sujud pada mereka itu, kesudahan
kehinaan dan kerendahan, niscaya mereka itu disuruh dengan sujud. Supaya dengan
demikian, hancur kesombongan mereka dan hilang keangkuhan mereka. Dam mantaplah
tawadlu’ dalam hati mereka. Dan dengan sujud itu disuruh makhluk lainnya. Maka
sesungguhnya rukuk, sujud dan berdiri tegak itu, adalah amal perbuatan yang
dikehendaki oleh tawadlu’. Maka begitu pula orang yang mengenal dirinya. Maka
hendaklah ia memperhatikan tiap-tiap apa dari perbuatan, yang dikehendakinya
dari kesombongan. Maka hendaklah ia rajin mengerjakan yang sebaliknya! Sehingga
jadilah tawadlu’ itu suatu akhlak baginya. Sesungguhnya hait itu tiadaa akan
berakhlak, dengan akhlak terpuji, selain dengan ilmu bersama dengan amal. Dan
yang demikian itu, karena tersembunyi hubungan antara haati dan anggota badan.
Dan rahasia ikatan di antara alamul-mulki dan alam al-malakut. Dan hati itu
termasuk alam al-malakut.
Tingkat kedua: tentang apa yang datang
dari kesombongan itu, dengan 7 sebab yang tersebut dahulu. Dan telah kami
sebutkan pada Kitab Tercelanya Kemegahan diri, bahwa kesempurnaan hakiki,
ialah: ilmu dan amal. Adapun selainnya, dari hal-hal yang lenyap dengan mati,
maka adalah: kesempurnaan sangkaan. Maka dari ini, sukarlah bagi orang yang
berilmu, bahwa tidak menyombongkan diri. Akan tetapi, kami akan menerangkan
jalan pengobatan, dari ilmu dan amal pada semua sebab yang 7 itu:
Pertama:
keturunan. Maka orang yang diselimuti oleh kesombongan dari pihak keturunan,
maka hendaklah ia mengobati hatinya, dengan mengetahui: 2 hal: salah satu dari
ddua hal itu, ialah: bahwa itu suatu kebodohan, dimana ia merasa mulia dengan
kesempurnaan orang lain. Dan karena itulah, dikatakan pada sekuntum syair:
Kalau engkau
membanggakan diri,
Dengan ayah-ayahmu
orang bangsawan.
Maka kamu itu
benar sekali,
Akan tetapi
buruklah mereka yang dianakkan.
Orang yang menyombongkan diri dengan keturunan,
jikalau dia itu keji pada sifat-sifat pribadinya, maka dari manakah ia
menampalkan kekejiannya itu dengan kesempurnaan orang lain? Bahkan, jikalau ada
orang yang dia membangsawankan diri kepadanya, masih hidup, maka sesungguhnya
orang tersebut akan mengatakan kepadanya: “Kelebihan itu bagiku dan engkau itu
siapa? Sesungguhnya engkau itu ulat, yang dijadikan dari kencingku. Apakah
engkau berpendapat, bahwa ulat yang dijadikan dari kencing manusia itu, lebih
mulia daripada ulat yang dijadikan dari kencing kuda? Jauhlah itu dari
kebenaran! Akan tetapi, keduanya bersamaan. Dan kemuliaan itu bagi insan, tidak
bagi ulat.
Kedua: bahwa ia mengetahui keturunannya
yang hakiki. Maka dikenalnya ayahnya dan neneknya. Maka sesungguhnya ayahnya
yang dekat, ialah: setetes air mani yang kotor. Dan neneknya yang jauh, ialah:
tanah debu yang hina. Dan telah diperkenalkan oleh Allah Ta’ala keturunannya,
dengan firmanNya: “Dan segala sesuat yang diciptakanNya, dibuatNya dengan
sebaik-baiknya. Dan dimulaiNya menciptakan manusia dari tanah. Kemudian itu,
dijadikanNya turunan manusia dari sari pati air yang hina”. S 32 As Sajadah
ayat 7-8. Maka orang yang asalnya tanah yang hina, yang diinjak-injak dengan
tapak kaki. Kemudian, tanah itu diragikan, sehingga menjadi lumpur yang busuk,
lalu bagaimana ia menyombongkan diri? Dan sesuatu yang paling keji, ialah: apa
yang ia mem-bangsawan-kan dirinya kepadanya. Karena dapat dikatakan: “Hai yang
terhina dari tanah! Hai yang terbusuk dari lumpur! Hai yang terkotor dari darah
segumpal!”. Kalau adanya itu dari bapaknya lebih dekat dari adanya dari tanah,
maka kita mengatakan, bahwa ia membanggakan diri dengan yang dekat, tidak
dengan yang jauh. Maka setetes air mani dan segumpal darah itu lebih dekat
kepadanya dari bapaknya. Maka hendaklah ia menghinakan dirinya dengan demikian!
Kemudian, jikalau ada yang demikian itu, mengharuskan ketinggian, karena
dekatnya, maka bapaknya yang teratas (nabi Adam as), adalah dari tanah. Maka
dari manakah ketinggiannya itu? Dan apabila bapaknya tiada mempunyai
ketinggian, maka dari manakah datangnya ketinggian itu bagi anaknya? Jadi, asal
pokoknya dari tanah dan cabang keturunannya dari setetes air mani. Maka ia
tidak mempunyai asal pokok dan cabang keturunan. Dan inilah kekejian
kebangsawanan yang penghabisan. Awal pokoknya itu, diinjak-injak dengan tapak
kaki. Dan cabang keturunannya itu, dimandikan tubuh daripadanya. Maka inilah
keturunan yang hakiki bagi insan. Dan siapa yang mengenalinya, niscaya dia
tidak akan menyombongkan diri dengan keturunan itu. Dan adalah contohnya
sesudah ma’rifah ini dan terbuka tutupnya, dari hakikat/makna asalnya, seperti
seorang laki-laki, yang senantiasa melekat pada dirinnya, bahwa dia dari
keturunan Bani Hasyim. Dan telah diterangkan yang demikian kepadanya oleh ibu bapaknya.
Maka senantiasalah padanya kebesaran kebangsawanan. Maka dalam hal dia yang
seperti demikian, tiba-tiba diceritakan kepadanya oleh orang-orang yang jujur,
yang tidak diragukan pada perkataannya, bahwa dia itu anak orang India tukang
bekam, yang bergelimang dengan kotoran. Orang-orang jujur tadi menyingkapkan
kepadanya cara ketipuan kepadanya. Maka tidak ada lagi baginya keraguan pada
kebenaran orang-orang tersebut. Maka apakah pendapat anda, bahwa yang demikian
itu meninggalkan sesuatu dari kesombongannya? Tidak! Akan tetapi, jadilah dia
pada dirinya manusia terhina dan tiada berharga. Maka dia, dari perasaan
kehinaan karena kekejiannya pada pekerjaan itu, akan menjauhkan diri untuk
menyombongkan atas orang lain. Maka inilah keadaan orang yang bermata hati,
apabila merenungkan (bertafakkur) tentang asalnya. Dan mengetahui bahwa dia
dari setetes air mani, segumpal darah dan tanah. Karena jikalau bapaknya
termasuk orang yang bergellimang dengan memindahkan tanah atau bergelimang
darah dengan membekam atau lainnya, niscaya ia akan mengetahui dengan yang
demikian itu, akan kekejian dirinya, karena anggota badan bapaknya selalu
menyentuh tanah dan darah. Maka bagaimanakah, apabila ia mengetahui, bahwa pada
dirinya itu terdiri dari tanah, darah dan barang-barang yang kotor menjijikkan,
di mana ia ingin membersihkan diri daripadanya?
Sebab
kedua: kesombongan dengan kecantikan. Dan obatnya ialah: bahwa iaa memandang
kepada batinnya, sebagai pandangan orang-orang yang berakal. Dan ia tidak
memandang kepada zahiriyah sebagai pandangan binatang hewan. Dan manakala ia
memandang kepada batinnya, niscaya ia melihat dari kekejian-kekejian yang
mengotorkan kebanggaannya dengan kecantikan itu. Sesungguhnya, diserahkan
kepadanya kotoran-kotoran yang menjijikkan pada semua bahagian badannya, yang
dikembalikan dalam perut panjangnya dan kencing dalam tempat kencingnya, taik
hidung dalam hidungnya, ludah dalam mulutnya, taik telinga dalam dua
telinganya, darah dalam urat-uratnya, lindir di bawah kulitnya dan kotoran
ketiak di bawah ketiaknya. Ia membasuh berak dengan tangannya setiap hari,
sekali atau dua kali. Ia bulak-balik setiap hari ke kakus, sekalli atau dua
kali, untuk mengeluarkan dari perutnya, sesuatu, jikalau dilihatnya dengan
matanya, niscaya ia jijik, apalagi kalau disentuhnya atau diciumnya. Semua yang
demikian itu, supaya diketahuinya akan kejijikan dan kehinaannya. Ini dalam hal
yang ditengah-tengah. Dan pada awal kejadiannya, ia dijadikan dari
barang-barang jijik, yang buruk bentuknya, dari air maani setetes dan darah
bulanan wanita (darah haid). Dan ia dikeluarkan dari tempat keluar kotoran.
Karena ia keluar dari tulang punggung. (tulang sulbi). Kemudian, dari dzakar
(kemaluan laki-laki), tempat keluar kencing. Kemudian, dari rahim wanita, yang
menjadi tempat mengalir darah haid. Kemudian, ia keluar dari tempat berlalunya
barang kotor, menjijikan. Anas ra mengatakan: “Adalah Abubakar Siddik ra
berkhutbah (berpidato) di muka kami. Lalu ia menjijikkan kepada kami diri kami.
Ia mengatakan: seseorang kamu itu keluar dari tempat lalunya kencing dua kali”.
Seperti demikian juga, Thaus mengatakan kepada Umar bin Abdul-aziz: “Tidaklah
ini perjalanan orang, yang dalam perutnya berak, ketika ia melihatnya, ia akan
menyombong? Adalah peristiwa ini, sebelum Umar bin Abdul-aziz menjadi khalifah.
Inilah permulaan dan ketengahan kejadian insan! Dan jikalau insan itu
membiarkan dirinya dalam hidupnya sehari, tidak mengurus dirinya itu dengan
pembersihan dan mandi, niscaya berkobarlah daripadanya kebusukan dan kejijikan.
Dan jadilah dia lebih busuk adn lebih menjijikkan dari binatang ternak yang
disia-siakan, yang tidak dapat sekali-kali mengurus dirinya. Maka apabila insan
itu melihat, bahwa ia dijadikan dari kotoran-kotoran yang menjiikkan dan di
tempatkan dalam kotoran-kotoran dan ia akan mati, lalu menjadi bangkai, yang
lebih menjijikkan dari benda-benda lain yang menjijikkan, niscaya ia tidak akan
menyombongkan diri dengan kecantikannya, yang mana kecantikan itu, adalah
seperti: hijaunya bekas sampah dan seperti warna bunga-bungaan di
lembah-lembah. Maka dalam keadaan yang seperti demikian, tiba-tiba menjadi
kering diterbangkan angin. Bagaimana? Dan jikalau kecantikannya itu tetap dan
dia terlepas dari kekejian-kekejian tersebut, niscaya haruslah dia tidaak
menyoombongkan diri dengan kecantikan itu, terhadap kepada yang keji (buruk).
Karena tidak ada keburukan yang buruk kepadanya, lalu ia tiadakan (nafikan).
Dan tidak ada kecantikan yang cantik kepadanya, sehingga ia dipujikan kepada
yang demikian. Bagaimana? Tiada yang kekal baginya. Bahkan kecantikan itu, pada
setiap ketika, tergambar akan hilang, dengan sakit atau cacar atau luka atau
dengan salah satu dari sebab-sebab yang lain. Maka berapa banyak muka yang
cantik, menjadi buruk dengan sebab-sebab tersebut. Maka mengetahui hal-hal
tadi, akan mencabutkan dari hati, penyakit kesombongan dengan kecantikan, bagi
orang yang banyak memperhatikan.
Sebab
ketiga: kesombongan dengan kekuatan dan kekuasaan. Dan dapat mencegahnya dari
yang demikian itu, dengan diketahuinya apa yang menguasainya, dari berbagai
macam penderitaan dan penyakit. Dan sesungguhnya, jikalau sakitlah suatu urat
pada tangannya, niscaya jadilah dia lebih lemah dari tiap-tiap orang yang lemah
dan lebih hina dari tiap-tiap orang yaang hina. Dan sesungguhnya jikalau
diambil oleh lalat sesuatu daripadanya, niscaya ia tidak dapat melepaskan diri
daripadanya. Dan sesungguhnya jikalau seekor kutu busuk masuk dalam hidungnya
atau seekor nyamuk masuk dalam telinganya, niscaya dapat membunuhnya. Dan
jikalau masuklah duri pada kakinya, niscaya dapat melemahkannya. Dan demam
sehari akan melumpuhkan kekuatannya, yang tidak akan tergantikan ddalam suatu
waktu tertentu. Maka orang yang tidak menguasai duri, tidak dapat melawan kutu
busuk dan tidak sanggup menolak dari dirinya seekor lalat, maka tiada
seyogyalah membanggakan diri dengan kekuatannya. Kemudian, jikalau manusia itu
kuat, maka tidaklah ia lebih kuat dari keledai atau lembu atau gajah atau unta.
Dan manakah kebanggaan pada suatu sifat, yang didahulukan oleh binatang dari
engkau padanya?.
Sebab
keempat dan kelima: kaya dan banyak harta. Dan seperti dengan yang demikian,
banyak pengikut dan pembantu dan kesombongan dengan mempunyai daerah kekuasaan
bagi raja-raja (penguasa-penguasa) dan berkedudukan tetap dari pihak mereka.
Semua itu adalah kesombongan dengan arti, yang di luar dari diri insan.
Seperti: kecantikan, kekuatan dan ilmu pengetahuan. Dan ini adalah yang
terburuk dari segala macam kesombongan. Sesungguhnya orang yang menyombongkan
diri dengan hartanya itu, seperti: orang menyombongkan diri dengan kudanya dan
rumahnya. Dan jikalau kudanya mati dan rumahnya roboh, niscaya kembali ia
menjadi hina. Dan orang yang menyombongkan diri dengan kedudukan sebagai raja
dan dengan wilayah kekuasaannya, bukan karena suatu sifat pada dirinya, niscaya
ia membina keadaannya di atas acuan, yang lebih keras menggelagaknya dari
periuk di atas api. Kalau datang perobahan atas dirinya, niscaya dia menjadi
makhluk yang terhina. Dan setiap orang yang menyombongkan diri dengan hal yang
diluar dari dirinya, maka itu nyatalah bodohnya. Bagaimana tidak? Orang yang
menyombongkan diri dengan kekayaan, jikalau ia merenungkan, niscaya ia akan
melihat pada orang Yahudi, orang yang lebih daripadanya, tentang kekayaan,
kebanyakan harta dan keelokan. Maka cis...lah bagi kemuliaan, yang didahulukan
oleh orang yahudi daripada engkau. Dan cis...lah bagi kemuliaan, yang diambil
oleh pencuri dalam sekejap mata. Lalu yang empunyanya kembali menjadi hina yang
failit (tiada mempunyai harta lagi). Maka inilah sebab-sebab, yang tiada pada
diri insan. Dan apa yang ada pada diri insan itu, tiadalah kekal wujudnya pada
insan. Dan pada hari akhirat nanti, suatu bencana dan malapetaka. Maka
membanggakan diri dengan yang demikian itu, adalah bodoh. Tiap-tiap sesuatu
yang tidak kepada engkau, maka tidaklah kepunyaan engkau. Dan sesuatu dari
hal-hal yang tersebut di atas, tidaklah kepada engkau. Akan tetapi kepada YANG
MEMBERIKANnya. Jikalau ditetapkanNya, niscaya bagi engkau. Dan jikalau
diambilkanNya, niscaya hilang dari engkau. Dan tidaklah engkau, selain hamba
yang dimiliki (ada PEMILIKnya). Engkau tiada berkuasa atas sesuatu. Siapa
mengetahui yang demikian, niscaya pastilah hilang kesombongannya. Contohnya
ialah: orang yang lengah, yang membanggakan diri dengan kekuatan, kecantikan, harta,
kemerdekaan, dapat berdiri sendiri, luas tempat tinggal, banyak kuda dan hamba
sahayanya, ketika naik saksi dua orang saksi yang adil (jujur), pada hakim yang
insaf, bahwa dia itu seorang budak kepunyaan si anu. Dan ibu bapaknya adalah
kepunyaan si anu itu. Lalu tahulah ia yang demikian. Dan diputuskan oleh hakim
dengan yang demikian. Maka datanglah pemiliknya. Lalu mengambilkannya dan
mengambil semua yang dalam tangannya. Dan bersamaan dengan yang demikian, ia
takut akan disiksa oleh tuannya dan dibelengguinya. Karena ia memboros pada
hartanya dan teledor dalam mencari pemiliknya (tuannya), untuk diketahuinya,
bahwa dia mempunyai pemiliknya. Kemudian, hamba itu memperhatikan, lalu melihat
dirinya terkurung pada suatu tempat, yang dikelilingi oleh ular, kalajengking
dan binatang-binatang kecil. Dan dia dalam semua keadaan itu, pada ketakutan
dari tiap-tiap sesuatu dari yang tersebut. Dan ia tinggal, tiada memiliki
dirinya dan hartanya. Dan ia tiada mengetahui sekali-kali jalan untuk lepas.
Apakah yang anda lihat pada orang yang begini keadaannya? Adakah ia
membanggakan diri dengan kekuasaan, kekayaan, kekuatan dan kesempurnaannya?
Ataukah ia menghinakan dirinya dan tunduk? Inilah hal keadaan setiap orang
yaang berakal dan bermata hati. Dia sesungguhnya melihat dirinya seperti yang
demikian. Maka ia tidak memiliki lehernya, badannya, anggota tubuhnya dan
hartanya. Dan dia bersama yang demikian itu, diantara mara bahaya, nafsu
syahwat, sakit dan penyakitan. Semua itu adalah seperti kalajengking dan ular,
yang ditakuti akan kebinasaan daripadanya. Maka orang yang ini keadaannya,
tiada akan menyombongkan diri dengan kekuatan dan kekuasaannya. Karena ia tahu,
bahwa tiada kekuasaan dan kekuatan baginya. Inilah jalan pengobatan kesombongan
dengan sebab-sebab yang diluar diri insan. Yaitu: lebih mudah daripada
pengobatan kesombongan, dengan ilmu dan amal perbuatan. Karena keduanya ini,
adalah kesempurnaan pada diri, yang pantas untuk bergembira. Akan tetapi,
menyombongkan diri dengan keduanya (ilmu dan amal) itu, juga semacam dari
kebodohan yang tersembunyi, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Sebab
keenam: kesombongan dengan ilmu. Dan itu adalah bahaya yang paling besar,
penyakit yang paling biasa terjadi dan yang paling jauh untuk menerima
pengobatan. Kecuali dengan sangat sulit dan usaha yang sangat payah. Yang
demikian itu, karena nilai ilmu itu besar pada sisi Allah, besar pada sisi
manusia. Dan ilmu itu lebih besar nilainya daripada harta, kecantikan dan
lainnya. Bahkan harta dan kecantikan itu tiada mempunyai nilai sekali-kali,
selain apabila ada ilmu dan amal bersama harta dan kecantikan itu. Dan karena
demikianlah, Ka’bul-ahbar ra mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu mempunyai
kedurhakaan, seperti kedurhakaan harta”. Begitu pula, Umar ra mengatakan:
“Orang berilmu itu, apabila tergelincir, niscaya tergelincirlah alam dengan
tergelincirnya”. Maka lemahlah orang yang berilmu itu daripada tidak
membesarkan dirinya, dibandingkan kepada orang bodoh. Karena banyaknya syara’
(agama) (agama) memperkatakan tentang keutamaan ilmu. Dan orang berilmu itu
tidak sanggup menolak kesombongan, selain dengan mengetahui 2 perkara: salah
satu dari dua perkara itu ialah: bahwa ia mengetahui bahwa hujjah (alasan)
Allah terhadap ahli ilmu itu lebih kuat. Dan sesungguhnya dimungkinkan dari
orang bodoh, apa yang tidak dimungkinkan 1/10 nya dari orang berilmu. Orang
yang berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dengan ma’rifah dan ilmu, maka
penganiayaannya itu lebih keji. Karena ia tidak menunaikan hak nikmat Allah
kepadannya pada ilmu. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Orang berilmu itu
akan dibawa pada hari kiamat, lalu dicampakkan dalam neraka. Maka dikeluarkan
perut panjangnya. Lalu ia mengelilingi perut panjang itu, sebagaimana keledai
mengelilingi tempat tumbuk gandum. Maka berkumpul penduduk neraka padanya,
seraya mereka mengatakan: “Mengapa engkau begini?”. Orang itu menjawab: “Adalah
aku menyuruh dengan kebajikan dan tidak aku kerjakan. Aku melarang dari
kejahatan dan aku kerjakan kejahatan itu”. Allah SWT telah menyerupakan orang
yang berilmu dan tidak mengerjakan (tidak mengamalkan), dengan keledai dan
anjing. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman:
“Umpama orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya (diberati, supaya
mengamalkan isinya), kemudian mereka tiada memikulnya (mengikut perintahnya)
adalah mereka seperti keledai, yang memikul kitab-kitab tebal (tetapi tiada
mengerti isinya)”. S 62 Al Jumu’ah ayat 5. Yang dimaksudkan dengan orang
tersebut, ialah: ulama Yahudi. Allah Ta’ala berfirman mengenai Bal-‘am bin
Ba’ura: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
keterangan-keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya”. S 7 Al A’raf ayat 175.
Sehingga sampailah pada ayat: “Perumpamaannya sebagai anjing: kalau engkau
halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan saja, diulurkannya juga
lidahnya”. S 7 Al A’raf ayat 176. Ibnu Abbas ra mengatakan: “Diberikan sebuah
kitab kepada Bal’am, lalu ia berkekalan pada nafsu syahwat di bumi. Artinya:
kesukaannya tetap pada nafsu syahwat itu. Maka dia diumpamakan dengan anjing
–kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya. Atau engkau biarkan saja,
diulurkannya juga lidahnya. Artinya: sama saja, antara engkau berikan kepadanya
ilmu pengetahuan tinggi (ilmu hikmah) atau tidak diberikan, dia tidak akan
meninggalkan nafsu syahwatnya. Dan mencukupilah bagi orang berilmu akan bahaya
ini. Maka orang berilmu manakah yang tidak menuruti nafsu syahwatnya? Dan orang
berilmu manakah yang tidak menyuruh dengan kebajikan, yang tidak dikerjakannya
sendiri? Maka manakala bahaya bagi orang berilmu itu besar kadarnya,
dibandingkan kepada orang bodoh, maka hendaklah ia merenungkan tentang bahaya
besar yang dihadapinya itu. Karena bahayanya adalah lebih besar daripada bahaya
bagi orang lain. Sebagaimana kadarnya itu, lebih besar dari kadar orang lain,
maka bandingkanlah ini dengan yang itu. Yaitu, seperti raja yang berbahaya bagi
jiwanya dalam kerajaannya, karena banyak musuhnya. Maka sesungguhnya raja
tersebut, apabila ia diambil dan dipaksakan, niscaya ia ingin bahwa dia itu
menjadi orang miskin saja. Maka berapa banyak dari orang berilmu yang
mengingini di akhirat memperoleh keselamatan yang diperoleh orang-orang bodoh.
Berlindunglah kiat dengan Allah Ta’ala daripada yang demikian. Maka bahaya ini,
dapat mencegah dari kesombongan. Karena jikalau dia termasuk isi neraka, maka
babi lebih utama daripadanya. Lalu bagaimana menyombongkan diri, orang yang
begini keadaannya? Maka tiada seyogyalah orang berilmu itu, bahwa pada dirinya
lebih besar daripada para sahabat ra. Adalah sebahagian mereka mengatakan:
“Kiranya aku ini tidak dilahirkan oleh ibuku!”. Adapula yang lain, mengambil
sehelai rumput makanan hewan dari tanah dan mengatakan: “Kiranya aku ini adalah
rumput makanan hewan ini!”. Yang lain lagi mengatakan pula: “Kiranya aku ini
seekor burung, yang akan dimakan orang!”. Yang lain lagi mengatakan pula:
“Kiranya aku ini tiadalah sesuatu yang dapat disebutkan!’. Semua itu karena
takut dari bahaya akibat. Mereka itu melihat dirinya lebih buruk keadaannya
dari burung dan tanah. Dan manakala ia berpikir panjang tentang bahaya yang
dihadapinya, niscaya hilang secara keseluruhan kesombongannya. Dan ia melihat
dirinya seakan-akan makhluk yang terjahat. Perumpamaannya, adalah seperti
seorang hamba sahaya yang disuruh oleh tuannya beberapa urusan. Lalu ia
mengerjakan urusan-urusan itu dan ditinggalkannya sebahagian. Dilakukannya
dengan kekurangan pada sebahagian. Dan ia ragu pada sebahagian, adakah ia
melaksanakannya menurut yang disenangi oleh tuannya atau tidak? Lalu
disampaikan berita kepadanya oleh orang yang menyampaikannya, bahwa tuannya
telah mengutus seorang utusan kepadanya, yang akan mengeluarkannya dari semua
urusan yang sedang dikerjakannya, dengan telanjang lagi hina. Dan ia akan
dilemparkan melewati pintunya dalam panas terik dan matahari dalam waktu yang
lama. Sehingga apabila keadaannya telah demikian sempit dan telah habis
tenaganya, lalu ia disuruh bertanggung jawab dan diperiksa dari semua
perbuatannya, yang sedikit dan yang banyak. Kemudian, ia disuruh bawa ke panjara
yang sempit dan siksaan yang berketerusan, yang tiada sesaatpun ia memperoleh
kesenangan. Dan ia telah mengetahui, bahwa tuannya itu telah berbuat seperti
yang demikian, pada beberapa golongan dari budak-budaknya. Dan memaafkan dari
sebahagian mereka. Dan ia tidak tahu, termasuk golongan manakah dia, dari dua
bahagian itu (golongan yang disiksa atau yang dimaafkan). Maka apabila ia
merenungkan yang demikian, niscaya hancurlah jiwanya dan merasa sangat hina.
Dan batallah kemegahan dan kesombongannya. Dan lahirlah kegundahan dan
ketakutannya. Dan ia tidak akan menyombongkan kepada seorangpun dari makhluk
ini. Bahkan ia merendahkan diri, karena mengharap, bahwa orang itu menjadi
orang yang memberi syafaatnya (pertolongannya) ketika datang azab sengsara. Maka
begitu pulalah orang berilmu, apabila ia merenungkan, mengenai apa yang telah
disia-siakannya daripada perintah Tuhannya, dengan penganiayaan kepada anggota
badannya dan dengan bermacam-macam dosa pada batinnya: dari ria, dendam,
dengki, ‘ujub, nifaq dll dan ia tahu dengan apa yang dihadapinya, daripada
bahaya besar, niscaya sudah pasti, kesombongannya berpisah daripadanya.
Perkara kedua: bahwa orang berilmu itu
mengetahui, bahwa kesombongan itu tidak layak, selain pada Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar sendiri. Dan apabila ia menyombongkan
diri, niscaya ia menjadi terkutuk pada sisi Allah, yang mendapat kemarahanNya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai dari orang berilmu itu merendahkan diri.
Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Hai hambaKu! Bahwa engkau mempunyai kadar
padaKu, apa yang tidak engkau melihat bagi diri engkau itu kadar. Jikalau
engkau melihat bagi diri engkau itu suatu kadar, maka tiada kadar bagi engkau
pada sisiKu”. Maka tidak boleh tidak, ia memberatkan dirinya, apa yang disukai
tuannya daripadanya. Dan ini menghilangkan kesombongan dari hatinya. Walaupun
ia yakin, bahwa ia tiada berdosa umpamanya. Atau ia menggambarkan yang
demikian. Dengan ini, hilanglah kesombongan dari nabi-nabi as. Karena mereka
mengetahui, bahwa siapa yang bertengkar dengan Allah Ta’ala pada selendang
kesombongan, niscaya ia dipatahkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah menyuruhkan
mereka untuk mengecilkan diri, sehingga besarlah tempat mereka pada sisi Allah.
Maka ini juga termasuk apa yang membangkitkan –sudah pasti –kepada tawadlu’.
Kalau anda bertanya: bagaimana merendahkan diri kepada orang fasiq, yang
menampakkan kefasiqannya dan kepada orang yang berbuat bid’ah (yang
diada-adakan)? Bagaimana ia melihat dirinya lebih rendah dari mereka, padahal
dia seorang alim yang abid? Dan bagaimana ia membodohkan dirinya tentang
kelebihan ilmu dan ibadah pada sisi Allah Ta’ala? Dan bagaimana ia mencukupkan,
bahwa mengguriskan di hatinya akan bahaya ilmu, padahal ia tahu, bahwa bahaya
orang fasiq dan orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu lebih banyak?
Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu, sesungguhnya mungkin dengan
merenungkan tentang bahaya khatimah (bahaya kesudahan). Bahkan, kalau ia
melihat kepada kafirpun, niscaya ia tidak mungkin menyombongkan diri. Karena
mungkin kafir itu akan masuk agama Islam. Lalu ia berkesudahan (khatimahnya)
dengan iman. Dan orang alim tersebut sesat. Lalu berkesudahan dengan kekafiran.
Yang besar, ialah orang yang besar pada sisi Allah di akhirat. Anjing dan babi
lebih tinggi derajatnya daripada orang, yang pada sisi Allah menjadi isi
neraka. Dan ia tiada mengetahui yang demikian. Berapa banyak orang muslim, yang
melihat kepada Umar ra sebelum ia masuk Islam. Lalu menghina dan melecehkannya
karena kekafirannya. Dan Allah Ta’ala mencurahkan rezeki keislaman kepadanya.
Dan ia mengatasi semua kaum muslimin, selain Abubakar ra seorang. Maka akibat
itu tersembunyi dari hamba. Dan orang berakal, tiada melihat, selain kepada
akibat. Dan semua perbuatan keutamaan di dunia, dikehendaki karen akibatnya.
Jadi, sebahagian dari hak hamba itu, untuk tidak menyombongkan diri atas
seseorang. Bahkan, kalau ia melihat kepada orang bodoh, niscaya ia mengatakan:
“Orang ini berbuat maksiat kepada Allah, disebabkan kebodohan. Dan aku berbuat
maksiat kepadaNya, dengan ilmu. Maka dia lebih dimaafkan daripadaku”. Kalau ia
melihat kepada orang berilmu, niscaya ia mengatakan: “Orang ini telah
mengetahui, apa yang tiada aku ketahui, maka bagaimanakah aku seperti dia?”.
Kalau ia melihat kepada orang yang sudah besar, yang lebih tua umur
daripadanya, niscaya ia mengatakan: “Orang ini telah mentaati Allah sebelum
aku, maka bagaimanakah aku seperti dia?”. Kalau ia melihat kepada anak kecil,
niscaya ia mengatakan: “Sesungguhnya aku telah berbuat maksiat kepada Allah
sebelum dia. Maka bagaimanakah aku seperti dia?”. Dan kalau ia melihat kepada
orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau kafir, niscaya ia mengatakan:
“Aku tidak tahu, semoga dia berkesudahan (mempunyai khatimah) memeluk Islam.
Dan aku berkesudahan dengan apa yang ada aku sekarang. Maka tiadalah kekekalan
petunjuk kepadaku, sebagaimana tiada permulaannya kepadaku”. Maka dengan
memperhatikan khatimah (kesudahan) itu, ia sanggup meniadakan kesombongan dari
dirinya. Dan semua itu, dengan dia mengetahui, bahwa kesempurnaan itu, pada
kebahagiaan akhirat dan dekat dengan Allah. Tidak pada yang menampak di dunia,
dari apa yang tiada kekal. Dan demi umurku! Bahaya ini berserikat diantara
orang yang menyombongkan diri dan orang yang disombongkan kepadanya. Akan
tetapi, berhak atas tiap-tiap orang, menjuruskan cita-cita kepada dirinya
sendiri, menyibukkan hati dengan takutnya kepada akibatnya. Tidak untuk
menyibukkan dengan ketakutan kepada akibatnya. Tidak untuk menyibukkan dengan
ketakutan orang lain. Sesungguhnya orang yang kasih sayang itu, tertarik dengan
buruk sangka (prasangka). Dan kasih sayangnya setiap manusia itu kepada
dirinya. Maka apabila suatu golongan dipenjarakan dalam suatu penganiayaan dan
mereka diancam dengan dihukum bunuh, niscaya mereka tiada berkesempatan untuk
menyombongkan diri sebahagian mereka terhadap sebahagian yang lain. Dan
walaupun kepentingan mereka, diratakan oleh bahaya. Karena masing-masing mereka
disibukkan oleh kepentingan dirinya sendiri, tanpa memperhatikan kepada
kepentingan orang lain. Sehingga, seolah-olah setiap seorang, adalah ia
sendirian dalam musibah dan bahayanya. Jikalau anda bertanya: bagaimana caranya
aku marah kepada orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) pada jalan Allah
dan aku marah kepada orang fasiq. Dan aku disuruh untuk memarahi keduanya.
Kemudian, dalam pada itu, aku merendahkan diri kepada keduanya. Dan
mengumpulkan diantara yang dua keadaan itu bertentangan. Maka ketahuilah
kiranya, bahwa ini adalah urusan yang meragukan, yang kabur kepada kebanyakan
orang. Karena bercampur aduk kemarahan engkau karena Allah pada menantang
bid’ah (yang diada-adakan) dan perbuatan fasiq, dengan menyombongkan diri dan
ber’ujub dengan ilmu dan wara’. Maka banyaklah orang ‘abid yang bodoh dan orang
berilmu yang tertipu dengan dirinya, apabila ia melihat orang fasiq duduk
disampingnya, niscaya ia bangun berdiri dari sisi orang tersebut. Ia menjauhkan
diri daripadanya, disebabkan kesombongan batin pada dirinya. Dan ia menyangka,
bahwa ia telah marah, karena Allah, sebagaimana terjadi bagi seorang abid dari
kaum Bani Israil serta seorang jahat dari mereka. Yang demikian itu, karena
sesungguhnya menyombongkan diri atas orang yang taat, jelas keadaannya itu
jahat. Dan menjaga diri daripadanya itu mungkin. Dan menyombongkan diri atas
orang fasiq dan orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu, menyerupai
marah karena Allah. Dan itu baik. Maka orang yang marah juga menyombongkan diri
atas orang yang marah kepadanya. Orang yang menyombong itu marah. Dan salah
satu dari keduanya membuahkan yang lain dan mengharuskan adanya. Keduanya itu
bercampur dan menyerupai satu dengan lainnya. Tiada dapat dibedakan diantara
keduanya, selain oleh orang-orang yang mendapat taufiq. Dan yang melepaskan
anda dari ini, ialah: bahwa yang datang pada hati anda, ketika menyaksikan
orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau fasiq atau ketika menyuruh
keduanya dengan ma’ruf dan melarang dari mungkar, ialah 3 perkara:
Pertama: engkau menoleh kepada yang telah berlalu, dari dosa-dosa engkau
dan kesalahan-kesalahan engkau. Supaya mengecil ketika itu kadar engkau pada
mata engkau.
Kedua: bahwa adalah perhatian engkau bagi sesuatu, yang berbeda engkau
dengan sesuatu itu: dari ilmu, itikad kebenaran dan amal salih, dari segi bahwa
itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala kepada engkau. Maka bagi Allah kenikmatan
padanya. Tidak bagi engkau. Maka engkau lihat yang demikian itu daripadaNya.
Sehingga engkau tidak mengherani (mena’jubkan) diri engkau sendiri. Dan apabila
engkau tidak menta’jubkan diri, niscaya engkau tidak akan menyombongkan diri.
Ketiga: memperhatikan kekaburan akibat engkau dan akibatnya.
Sesungguhnya kadang-kadang berkesudahan bagi engkau dengan buruk dan kesudahan
baginya dengan baik. Sehingga dibimbangkan engkau oleh ketakutan, daripada
menyombongkan diri kepadanya. Kalau anda bertanya: bagaimana aku marah dalam
hal-keadaan tersebut? Aku menjawab: engkau marah karena yang menguasai engkau
dan tuan engkau. Karena ia menyuruh engkau untuk marah kepadanya. Tidak karena
diri engkau sendiri. Dan engkau pada kemarahan engkau itu, tiada engkau melihat
diri engkau sendiri terlepas dari bahaya dan teman engkau itu binasa. Akan
tetapi, adalah ketakutan engkau itu atas diri engkau, disebabkan diketahui oleh
Allah dari dosa-dosa engkau yang tersembunnyi itu terlebih banyak dari
ketakutan engkau kepadaNya, serta kebodohan dengan khatimah (kesudahan). Dan
akan aku perkenalkan yang demikian kepada engkau, dengan suatu contoh, untuk
engkau ketahui, bahwa tidaklah dari kemestian marah karena Allah, bahwa engkau
meenyombongkan diri atas orang yang dimarahi. Dan engkau melihat kadar engkau
di atas kadarnya. Maka aku menjawab: apabila raja itu mempunyai seorang budak
dan anak yang menjadi biji matanya (yang amat dicintainya). Dan ia telah menyerahkan
kepada budak itu, pengurusan anaknya untuk diamat-amatinya. Dan disuruhnya
supaya anak itu dipukul, manakala buruk tingkah lakunya dan berbuat yang tidak
layak. Dan memarahinya. Maka jikalau budak itu mencintai dan mentaati perintah
tuannya, maka tidak boleh tidak, bahwa ia akan marah, manakala dilihatnya anak
itu telah buruk tingkah lakunya. Dan dia sesungguhnya marah kepada anak
tersebut, karena tuannya. Karena tuannya yang menyuruhnya. Dan karena ia
menghendaki mendekatkan diri kepada tuannya, dengan mengikuti perintahnya.
Karena telah berlaku dari anak tersebut, apa yang tiada disukai tuannya. Lalu
dipukulnya anak itu dan dimarahinya, tanpa menyombongkan diri atas anak
tersebut. Bahkan dia itu merendahkan diri kepada anak tadi, yang dilihatnya kadar
anak itu pada tuannya, di atas kadar dirinya sendiri. Karena anak tersebut
–sudah pasti –lebih mulia sari budak itu. Jadi, tidaklah dari keharusan marah
itu, menyombongkan diri dan tidak tawadlu’. Maka begitu pula, memungkinkan
kepada engkau, bahwa melihat kepada orang yang berbuat bid’ah (yang
diada-adakan) dan fasiq. Dan engkau menyangka, bahwa kadang-kadang kadar kedua
orang tersebut di akhirat pada sisi Allah, lebih besar. Karena apa yang telah
terdahulu bagi keduanya dari bagus khatimah pada azali ( tida kesudahan /
permulaan ). Dan karena apa yang telah terdahulu bagi engkau dari buruk qodo
(takdir) pada azali ( tida kesudahan / permulaan ). Dan engkau lengah
daripadanya. Dan bersamaan dengan yang demikian, lalu engkau marah, disebabkan
hukum perintah, karena kecintaan kepada Tuhan engkau. Karena telah terjadi apa
yang tiada disukaiNya, serta merendahkan diri kepada orang yang boleh ada pada
sisiNya, lebih dekat daripada engkau di akhirat. Maka begitulah adanya,
sebahagian ulama dan orang-orang pintar. Lalu bercampur kepadanya takut dan
merendahkan diri. Adapun orang yang terpedaya (tertipu dengan dirinya sendiri),
maka ia menyombongkan diri. Dan mengharap bagi dirinya lebih banyak daripada
yang diharapnya bagi orang lain, serta bodohnya akan akibat. Dan yang demikian
itu, terpedaya yang penghabisan. Maka inilah jalan tawadlu’ bagi orang yang
berbuat maksiat kepada Allah. Atau berkeyakinan (percaya) kepada yang bid’ah
(yang diada-adakan), serta marah kepadanya dan menjauhkannya, disebabkan hukum
perintah Ilahi.
Sebab
ketujuh: kesombongan dengan wara’ dan ibadah. Yang demikian itu juga suatu
fitnah besar atas hamba Allah. dan jalannya, ialah, bahwa ia mengharuskan
hatinya merendahkan diri kepada semua hamba Allah. Yaitu, dia tahu bahwa orang
yang terkemuka daripadanya dengan ilmu, tiada seyogyalah dia menyombongkan diri
kepadanya, bagaimanapun adanya dia. Karena apa yang diketahuinya, dari
keutamaan ilmu. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Adakah sama orang-orang yang
berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan?”. S 39 Az Zumar
ayat 9. Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang abid, adalah
seperti kelebihan atas orang yang paling rendah dari shabat-sahabatku”. Dan
hadits-hadits lain yang telah dibentangkan dahulu tentang kelebihan ilmu. Kalau
orang abid itu mengatakan: “Yang demikian itu bagi orang berilmu, yang
mengamalkan dengan ilmunya. dan ini adalah orang berilmu yang durhaka”. Maka
dijawabkan kepadanya: “Apakah tidak engkau ketahui, bahwa perbuatan baik itu
menghilangkan perbuatan jahat. Dan sebagaimana ilmu itu mungkin menjadi hujjah
(alasan) atas orang yang berilmu (memberatkan kepadanya), maka begitu juga
mungkin bahwa ilmu itu menjadi jalan baginya dan menutupkan segala dosanya. Dan
masing-masing dari yang dua itu mungkin”. Dan telah datang hadits-hadits yang
menjadi saksi untuk yang demikian. Apabila hal itu tersembunyi baginya, niscaya
tidak boleh ia menghina orang berilmu. Akan tetapi, harus ia merendahkan diri
kepadanya. Kalau anda mengatakan, bahwa kalau benar yang demikian, maka
seyogyalah bagi orang berilmu itu, bahwa melihat dirinya di atas orang abid,
karena sabda Nabi saw: “Kelebihan orang berilmu atas orang abid, seperti
kelebihanku atas orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”. Maka
ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu mungkin, jikalau orang berilmu itu
mengetahui akibat pekerjaannya. Dan kesudahan keadaan itu, diragukan. Mungkin
ia mati, dimana keadaannya lebih buruk pada sisi Allah, dari keadaan orang
bodoh, yang fasiq. Karena suatu dosa yang dianggapnya mudah. Padahal di sisi
Allah, dosa itu besar. dan Allah telah mengutuknya. Apabila itu tadi mungkin,
niscaya adalah dia itu takut atas dirinya. Apabila masing-masing dari orang
abid dan berilmu itu takut atas dirinya dan ia memberatkan urusan dirinya
sendiri, tidak urusan orang lain, maka seyogyalah yang mengerasi atasnya pada
hak dirinya itu: takut. Dan pada hak orang lain: harap. Dan yang demikian itu
akan mencegahnya dari kesombongan dalam setiap hal. Inilah keadaan orang abid,
serta orang alim (orang berilmu). Adapun serta orang tidak berilmu, maka mereka
terbagi pada hak orang abid, kepada: orang-orang tertutup dan orang-orang
terbuka. Maka seyogyalah orang abid itu tidak menyombongkan diri atas: orang
tertutup perbuatan maksiatnya. Mungkin ia lebih kurang dosanya daripadanya,
lebih banyak ibadahnya dan lebih kuat cintanya kepada Allah. Adapun orang yang
terbuka keadaannya, jikalau tidak tampak bagi engkau dari dosanya, selain apa
yang melebihi dosa engkau di atasnya, pada sepanjang umur engkau maka tiada
seyogyalah, bahwa engkau menyombongkan kepadanya. Dan tidak mungkin, bahwa
engkau mengatakan: “Dia itu lebih banyak dosanya daripadaku”. Karena bilangan
dosa engkau pada sepanjang umur engkau dan dosa orang lain pada sepanjang
umurnya, tidak mampu engkau menghitungnya. Sehingga engkau mengetahui
banyaknya. Ya, mungkin engkau tahu, bahwa dosanya lebih berat, seperti engkau
melihat daripadanya: membunuh, meminum yang memabukkan dan berzina. Dan serta
yang demikian, maka tiada seyogya juga, bahwa engkau menyombongkan diri
kepadanya. Karena dosa hati, dari kesombongan, kedengkian, ria, penipuan,
iktikad batil/salah, bisikan setan tentang sifat-sifat Allah Ta’ala dan
khayalan salah pada yang demikian, semua itu adalah berat di sisi Allah Ta’ala.
Kadang-kadang berlaku atas engkau pada batin engkau, dosa tersembunyi, apa yang
menjadikan engkau terkutuk pada sisi Allah. Dan berlaku bagi orang fasiq, yang
terang fasiqnya, dari: ketaatan-ketaatan hati, dari kecintaan kepada Allah,
keikhlasan, ketakutan dan pengagungan kepada Allah, yaitu: apa yang engkau
tidak ada daripadanya. Dan dengan yang demikian itu, Allah Ta’ala menutup
keburukan-keburukannya. Maka tersingkaplah tutup pada hari kiamat. Lalu engkau
melihat dia di atas diri engkau, dengan beberapa tingkat. Ini mungkin! Dan
kemungkinannya yang jauh mengenai apa yang atas diri engkau, seyogyalah
hendaknya itu dekat di sisi engkau, jika engkau kasihan kepada diri engkau.
Maka engkau tidak merenungkan (bertafakkur), mengenai apa yang mungkin bagi
orang lain. Akan tetapi, mengenai apa yang menakutkan pada pihak engkau. Maka
tiadalah pemikul beban, akan memikul beban orang lain. Azab orang lain, tiada
akan meringankan sedikitpun dari azab engkau. Apabila engkau merenungkan pada
bahaya itu, niscaya adalah pada engkau kesibukan yang menyibukkan, daripada
menyombongkan diri. Dan daripada engkau melihat diri engkau di atas orang lain.
Wahab bin Munabbih Al-Yamani ra mengatakan: “Tiada sempurna akal hamba, sebelum
ada padanya 10 perkara”. Lalu ia menghitung 9, sehingga ia sampai yang ke-10,
maka ia mengatakan: “Yang ke-10, apakah yang ke-10 itu?” Dengan yang ke-10 ini,
meningkatlah kemuliaannya dan tinggilah sebutannya. Ialah: bahwa ia melihat
manusia semua lebih baik daripadanya. Dan manusia padanya itu, 2 golongan: segolongan
lebih utama daripadanya dan lebih tinggi. Dan segolongan lagi lebih jahat dan
lebih rendah daripadanya. Maka ia merendahkan diri bagi semua golongan
tersebut, dengan hatinya. Kalau ia melihat orang yang lebih baik daripadanya,
niscaya menggembirakannya yang demikian. Dan ia bercita-cita dapat
menyusulinya. Dan kalau ia melihat orang yang lebih buruk daripadanya, niscaya
ia mengatakan: “Semoga orang itu lepas dari bahaya dan aku binasa”. Maka engkau
tidak melihat dia, selain ia takut kepada akibat. Dan ia mengatakan: “Semoga
kebajikan orang ini menjadi hal batin”. Maka yang demikian itu lebih baik
baginya. Dan aku tidak mengetahui, semoga padanya akhlak mulia, diantara dia
dengan Allah. maka Allah mencurahkan rahmat kepadanya, menerima tobatnya dan memberi
khatimah (kesudahan) baginya dengan amalan yang sebaik-baiknya. Dan dilihat
yang zahir. Maka yang demikian itu amat buruk bagiku. Maka ia tidak merasa
aman, mengenai apa yang dilahirkannya dari amal taat, bahwa akan dimasuki
bahaya-bahaya. Lalu membinasakan amal taatnya”. Kemudian, Wahab bin Munabbih
menyambung: “Maka ketika itu, sempurnalah akalnya dan ia yang mulia dari
penduduk masanya”. Itulah perkataan Wahab bin Munabbih! Kesimpulannya, maka
orang yang membolehkan bahwa dia itu tidak beruntung pada sisi Allah dan telah
terdahulu qodo (taqdir) pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) dengan
ketidak-beruntungannya, maka tiada baginya jalan untuk menyombongkan diri
dengan keadaan manapun. Ya, apabila mengerasi atasnya ketakutan, niscaya ia
melihat, akan setiap orang, lebih baik daripada dirinya. Dan yang demikian itu
adalah sifat keutamaan, sebagaimana diriwayatkan, bahwa seorang ‘abid bertempat
tinggal di sebuah gunung. Lalu dikatakan orang kepadanya dalam tidurnya:
“Datanglah kepada si Anu tukang sepatu itu! Lalu dimintalah padanya, supaya ia
berdoa bagi engkau!”. Maka abid tadi datang kepada orang itu dan menanyakan
tentang amalnya. Lalu orang tersebut menerangkan, bahwa ia berpuasa pada siang
hari dan berusaha. Lalu sebahagiannya disedekahkannya. Dan sebahagian lagi
untuk diberinya makan keluarganya. ‘Abid itu kemudian kembali dan mengatakan:
bahwa ini sesungguhnya baik. Akan tetapi, tidaklah ini seperti mengosongkan
semua waktu, untuk taat kepada Allah. Lalu datang lagi kali kedua dalam
tidurnya, seraya dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada si Anu tukang seperti
itu! Lalu tanyakanlah kepadanya, apakah putih telur yang di muka engkau itu?”.
‘Abid itu lalu datang kepada orang tersebut dan bertanya kepadanya. Maka orang
itu menjawab: “Tiada seorangpun aku melihat dari manusia, melainkan timbul
dalam gurisan hatiku, bahwa orang itu akan lepas dari kebinasaan. Dan aku
sendiri binasa”. ‘Abid itu lalu menjawab: “Benarlah dengan ini tercapai
kedekatan dan kemuliaan dari Allah!”. Yang menunjukkan kepada keutamaan hal
ini, ialah firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya,
dengan hatinya yang takut (kepada Allah), karena tahu bahwa mereka akan kembali
kepada Tuhannya”. S 23 Al Mukminuun ayat 60. Artinya: mereka itu mengerjakan
amal taat dan mereka dengan sangat ketakutan, daripada diterimanya taat itu.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang menjaga dirinya (berhati-hati)
karena takut kepada Tuhannya”. S 23 Al Mukminuun ayat 57. Allah Ta’ala
berfirman: “Mereka berkata: “Sesungguhnya kita pdaa masa dahulu merasa takut
terhadap keluarga kita”. S 52 Ath Thur ayat 26. Allah Ta’ala menyifatkan para
malaikat as serta kesucian mereka dari dosa dan kerajinan mereka kepada ibadah,
di atas berkekalan menjaga diri. Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang
para malaikat itu: “Mereka memuliakan (Tuhan) malam dan siang dan mereka tiada
pernah berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 20. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka
gemetar karena takut kepadaNya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 28. Manakala hilang
kehati-hatian dan takut, dari apa yang telah terdahulu qodo (takdir) pada azali
( tida kesudahan / permulaan ) dan itu terbuka ketika kesudahan ajal, niscaya
mengeraslah perasaan aman daripada kemarahan Allah. Dan yang demikian itu
mengharuskan kesombongan. Dan itu sebab kebinasaan. Maka kesombongan itu dalil
perasaan aman. Dan perasaan aman itu membinasakan. Dan merendahkan diri itu
dalil ketakutan. Dan itu membahagiakan. Jadi, apa yang dirusakkan oleh orang
abid, dengan menyembunyikan kesombongan, menghinakan makhluk (orang banyak) dan
memandang kepada mereka dengan mata penghinaan itu lebih banyak dari apa yang
diperbaikinya dengan amal zahiriyah. Maka inilah ma’rifah-ma’rifah yang
menghilangkan penyakit kesombongan dari hati. Tidak lain. Selain jiwa sesudah ma’rifah
ini, kadang-kadang menyembunyikan tawadlu’ dan mengajak kelepasan daripada
kesombongan. Dan jiwa itu dusta. Maka apabila terjadi suatu kejadian, niscaya
jiwa itu kembali kepada tabiatnya. Dan lupa akan janjinya. Maka dari ini, tiada
seyogyalah mencukupkan pada pengobatan itu, dengan semata-mata ma’rifah saja.
Akan tetapi, seyogyalah disempurnakan dengan amal dan dicoba dengan perbuatan
orang-orang yang merendahkan diri, pada tempat-tempat berkobarnya kesombongan
dari jiwa. Penjelasannya, ialah, bahwa: jiwa itu diuji dengan 5 macam ujian.
Yaitu: dalil-dalil kepada mengeluarkan apa yang dalam batin, walaupun
ujian-ujian itu banyak macamnya:
Ujian pertama:
bahwa ia bermunadharah (bersoal jawab) dengan seseorang dari temannya mengenai
suatu masalah. Maka jikalau lahir sesuatu kebenaran dari lisan temannya, lalu
berat kepadanya menerima, mengikuti, mengakui dan mensyukurinya, di atas
peringatan, pengenalan dan pengeluarannya akan kebenaran, maka itu menunjukkan,
bahwa padanya ada sifat sombong yang tertanam dalam jiwanya. Maka hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dan berusaha mengobatinya. Adapun dari segi ilmu, maka
dengan memperingatkan dirinya akan kekejian diri dan bahaya akibatnya. Dan
kesombongan itu tiada layak, selain pada Allah Ta’ala. Adapun amal, maka dengan
melaksanakan dirinya, apa yang berat kepadanya, daari pengakuan kebenaran. Dan
bahwa ia melancarkan lisannya dengan pujian dan sanjungan. Dan mengaku atas
dirinya, dengan kelemahan. Dan bersyukur berterima kasih kepada temannya itu,
dapat mengambil faedah daripadanya. Dan ia mengatakan: “Alangkah baiknya apa
yang engkau fahami itu! Dan aku lupa daripadanya. Kiranya Allah membalas kepada
engkau dengan kebajikan, sebagaimana engkau telah memperingatkan aku
kepadanya”. Hikmat (ilmu yang tinggi) itu adalah harta orang mukmin yang
hilang. Maka apabila didapatinya, niscaya seyogyalah disyukurinya orang yang
menunjukkan kepada hikmat itu. Apabila ia rajin kepada yang demikian, beberapa
kali yang berturut-turut, niscaya jadilah yang demikian itu tabiat baginya. Dan
hilanglah beratnya kebenaran dari hatinya. Dan baiklah baginya penerimaan
kebenaran itu. Manakala berat kepadanya untuk memuji teman-temannya, dengan apa
yang ada pada mereka, maka padanya itu ada kesombongan. Kalau yang demikian
itu, tidak berat kepadanya pada tempat yang sunyi dan berat kalau di muka orang
banyak, maka tiadalah padanya itu kesombongan. Yang ada padanya, ialah: ria.
Maka hendaklah diobatinya ria itu, dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu
yaitu: memutuskan mengharap sesuatu dari manusia. Dan mengingatkan hati, bahwa
kemanfaatannya, ialah: pada kesempurnaan pada dirinya dan di sisi Allah. Tidak
pada makhluk. Dan lain daripada itu, dari berbagai macam obat ria. Kalau berat
baginya, baik di tempat sunyi dan di muka orang banyak, maka padanya
kesombongan dan ria. Tiada bermanfaat baginya kelepasan dari salah satu, selama
ia tidak terlepas dari yang kedua. Maka hendaklah diobatinya kedua penyakit
itu! Karena keduanya membinasakan.
Ujian kedua: bahwa
ia berkumpul bersama teman-teman dan kawan-kawan pada perayaan-perayaan. Dan
mendahulukan mereka dari dirinya sendiri. Ia berjalan di belakang mereka dan
duduk di depan di bawah mereka. Kalau berat yang demikian itu padanya, maka dia
itu orang yang sombong. Maka hendaklah ia membiasakan kepada yang demikian,
dengan cara terpaksa. Sehingga hilang beratnya daripadanya. Maka dengan
demikian, ia dicerai-beraikan oleh kesombongan. Dan disitu, setan mempunyai
penipuan yang tersembunyi. Yaitu, ia duduk pada baris sandal-sandal (baris
terakhir) atau dibuatnya diantaranya dan teman-teman, sebahagian orang-orang
hina. Lalu menyangka, bahwa yang demikian itu tawadlu’ (merendahkan diri).
Padahal itu sombong yang sebenarnya. Yang demikian itu ringan kepada jiwa
orang-orang sombong. Karena mereka menyangka, bahwa mereka telah meninggalkan
tempatnya dengan sebenarnya dan mempersilahkan orang lain. Maka adalah dia
telah menyombongkan diri. Dan menyombongkan diri dengan melahirkan tawadlu’
pula. Akan tetapi, seyogyalah ia mendahulukan teman-temannya dan duduk diantara
mereka, di samping mereka. Dan tidak turun dari mereka kepada barisan
sandal-sandal. Maka yang demikian itu, dialah yang mengeluarkan kekejian
sombong dari batinnya.
Ujian ketiga:
bahwa ia memperkenankan undangan orang miskin. Dan ia pergi ke pasar pada
keperluan teman dan keluarga. Kalau berat yang demikian padanya, maka itu
adalah sombong. Semua perbuatan tersebut termasuk akhlak mulia. Dan pahala
adalah banyak padanya. Larinya jiwa dari perbuatan tersebut, tidak lain,
melainkan karena kekejian pada batin. Maka hendaklah diusahakan
menghilangkannya dengan membiasakan diri kepadanya, serta mengingati semua yang
telah kami sebutkan dahulu, dari pengetahuan-pengetahuan yang menghilangkan
penyakit sombong.
Ujian keempat:
bahwa ia membawa sendiri keperluannya, keperluan keluarga dan teman-temannya
dari pasar ke rumah. Kalau dirinya enggan yang demikian, maka itu sombong atau
ria. Kalau berat yang demikian itu kepadanya, serta jalan yang dilalui sepi
(tidak ada orang yang melihat), maka itu sombong. Dan jikalau tidak berat
kepadanya, selain bila dilihat orang, maka itu ria namanya. Semua itu termasuk
penyakit hati dan penyakit-penyakitnya yang membinasakannya kalau tidak
disambung dengan pengobatan. Manusia sesungguhnya menyia-nyiakan pengobatan
hati dan mengusahakan pengobatan tubuh, sedang tubuh itu –sudah pasti –telah
tertulis padanya kematian. Dan hati tiada memperoleh kebahagiaan, selain dengan
keselamatannya. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang beruntung, ialah
orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera”. S 26 Asy Syu’ara
ayat 89. Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, bahwa ia membawa seberkas kayu
api, lalu ditanyakan kepadanya: “Hai ayah Yusuf! Sesungguhnya sudah ada pada
pembantu-pembantumu (hamba sahayamu) dan anak perempuanmu, yang cukup bagimu
untuk membawanya”. Abdullah bin Salam menjawab: “Benar, akan tetapi aku mau
mencoba diriku, apakah dia menenatng yang demikian atau tidak?”. Abdullah bin
Salam tidak merasa puas dari dirinya, dengan apa yang diberikan oleh dirinya, dari
bercita-cita meninggalkan keangkuhan. Sehingga dicobanya dirinya, adakah diri
itu benar atau dusta. Pada hadits, yaitu: “Barangsiapa membawa buah-buahan atau
sesuatu, maka ia terlepas dari kesombongan”.
Ujian kelima:
bahwa ia memakai kain buruk. Larinya diri (tidak suka) dari yang demikian di
muka orang banyak itu ria. Dan pada tempat sunyi itu sombong. ‘Umar bin
Abdul-‘aziz ra mempunyai pakaian dari kain wol hitam, yang dipakainya malam
hari. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menambat (mengikat) unta dan memakai
kain wol (kain terbuat dari bulu), maka ia terlepas dari kesombongan”. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya aku itu hamba yang makan di tanah, memakai kain bulu,
menambat unta, aku membuat anak jariku sendok (makan dengan tangan) dan
memperkenan undangan hamba sahaya (undangan orang rendah). Barangsiapa benci
kepada sunnahku (jalan yang aku tempuh), maka dia tidak termasuk golonganku”.
Diriwayatkan, bahwa orang mengatakan kepada Abu Musa Al Asy’ari ra bahwa
beberapa kaum (golongan) di Basrah (Irak) meninggalkan shalat Jum’at,
disebabkan pakaian mereka buruk. Lalu Abu Musa Al Asy’ari ra memakai baju
kemeja dan mengerjakan shalat dengan orang banyak. Inilah tempat-tempat yang
berkumpul padanya ria dan sombong. Maka apa yang tertentu dengan orang banyak,
maka itu ria. Dan apa yang ada pada tempat sunyi, maka itu sombong. Maka
ketahuilah, bahwa orang yang tiada mengetahui kejahatan, niscaya ia tidak dapat
menjaga diri daripadanya. Dan orang yang tiada mengetahui penyakit, niscaya
tiada dapat mengobatinya.
PENJELASAN: tujuan
latihan pada akhlak tawadlu’.
Ketahuilah, bahwa akhlak ini (akhlak
tawadlu’), sebagaimana akhlak-akhlak lainnya, mempunyai dua tepi dan di
tengah-tengah. Tepinya yang cenderung kepada lebih, dinamakan: sombong. Dan
tepinya yang cenderung kepada kurang, dinamakan: kekurangan dan kehinaan. Dan
yang di tengah-tengah dinamakan: tawadlu’ (merendahkan diri). Yang terpuji,
ialah: merendahkan diri pada tidak kehinaan dan tidak kekurangan. Karena
tiap-tiap dua tepi pekerjaan itu tercela. Dan pekerjaan yang paling disukai
oleh Allah Ta’ala, ialah: di tengah-tengah. Maka orang yang mendahului dari
teman-temannya, adalah dia itu orang sombong. Dan orang yang mengemudiankan
diri dari mereka, maka dia itu orang yang merendahkan diri. Artinya: ia meletakkan
sesuatu menurut kadarnya, yang berhak diterimanya. Dan orang berilmu, apabila
masuk ke tempatnya tukang sandal, lalu ia menjauhkan diri dari tempat duduknya
dan didudukkannya tukang sandal tadi pada tempat duduknya, kemudian ia maju dan
dibetulkannya tempat letak sandal tukang sandal itu dan ia pergi ke pintu rumah
di belakang tukang sandal tersebut, maka ia mengurangkan diri sendiri dan
menghina dengan sikap demikian. Ini juga tidak terpuji. Bahkan yang terpuji
pada sisi Allah, ialah: yang adil (tidak berat sebelah). Yaitu: bahwa diberikan
masing-masing yang berhak akan haknya. Maka seyogyalah merendahkan diri seperti
yang tersebut itu kepada teman-teman dan orang-orang yang mendekati dengan
tingkatnya. Adapun merendahkan diri kepada orang-orang pasar, maka dengan
bangun berdiri, gembira pada berbicara, lemah lembut pada bertanya, menerima
undangannya, berusaha memenuhi keperluannya dan contoh-contoh lain yang seperti
itu. Dan ia tidak melihat dirinya lebih baik dari orang itu. Akan tetapi, ada
atas dirinya perasaan lebih takut kepada orang lain. Lalu tidak dihinakannya
dan tidak dipandangnya orang itu kecil (tidak berharga). Dan ia tidak tahu,
akan kesudahan (khatimah) urusannya. Jadi, jalan pada mengusahakan tawadlu’,
ialah dengan merendahkan diri kepada teman-teman dan kepada orang yang lebih
rendah dari teman-teman. Sehingga ringanlah kepadanya tawadlu’ yang terpuji
pada adat kebiasaan yang baik. Supaya hilang kesombongan daripadanya. Kalau
telah ringan yang demikian itu padanya, maka telah berhasil baginya akhlak
tawadlu’. Dan kalau berat padanya yang demikian dan ia berbuat juga yang
demikian, maka dia itu: orang yang memaksakan diri. Tidak orang yang
merendahkan diri. Bahkan, akhlak itu, ialah: yang datang daripadanya perbuatan
dengan mudah, tanpa berat dan tanpa memikir-mikir. Kalau yang demikian itu
ringan dan yang berat kepadanya, ialah: memelihara kadarnya, sehingga ia
menyukai berminyak-minyak air (mengambil muka) dan menghinakan diri, maka
sesungguhnya ia telah keluar kepada segi: kurang. Maka hendaklah ia
mengangkatkan dirinya. Karena tiada bagi orang mu’min, bahwa menghinakan diri.
Sampai ia kembali kepada: di tengah-tengah, yang menjadi: jalan lurus. Dan yang
demikian itu sulit mengenai akhlak ini dan akhlak-akhlak lainnya. Dan cenderung
dari: di tengah-tengah, kepada tepi: kurang, yaitu: mengambil muka, adalah
lebih mudah daripadanya: cenderung ke tepi: lebih dengan kesombongan.
Sebagaimana kecenderungan kepada tepi: membuang-buang harta (perbuatan
mubadzir), lebih terpuji pada manusia daripada kecenderungan kepada tepi:
kikir. Kesudahan mubadzir dan kesudahan kikir itu tercela. Salah satu dari
keduanya itu lebih keji. Begitu pula, kesudahan sombong, kesudahan mengurangkan
diri dan membuat diri hina itu tercela. Salah satu dari keduanya itu lebih keji
dari lainnya. Dan yang mutlak terpuji, ialah: adil (tidak berat sebelah). Dan
meletakkan segala pekerjaan pada tempatnya, sebagaimana seharusnya dan di atas
apa yang seharusnya, sebagaimana diketahui yang demikian dari syara’ (agama)
(agama) dan adat kebiasaan. Kiranya kami singkatkan sekedar ini, dari
penjelasan budi pekerti: sombong dan merendahkan diri.
BAHAGIAN KEDUA
dari kitab ini: tentang ‘UJUB (mengherani diri atau membanggakan diri).
Dan padanya penjelasan tercelanya ‘ujub
dan bahaya-bahayanya, penjelasan hakikat/makna ‘ujub dan kebanggaan diri serta
batasnya, penjelasan obat ‘ujub secara keseluruhan, penjelasan
bahagian-bahagian yang ada padanya ‘ujub dan penguraian pengobatannya.
PENJELASAN:
tercelanya ‘ujub dan bahaya-bahayanya.
Ketahuilah, bahwa ‘ujub itu tercela dalam
Kitab Allah Ta’ala dan sunnah RasulNya saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan hari
perang Hunain, ketika itu kamu sangat girang (‘ujub, membanggakan diri), karena
banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang baik itu tidak menolong kepada kamu
sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Disebutkan oleh Allah yang demikian, dalam
bentuk: menentang ke’ujuban itu. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia &
Maha Besar berfirman: “Dan mereka mengira, bahwa benteng-benteng mereka akan
dapat mempertahankan mereka terhadap Allah. Dan (siksaan) Allah datang kepada
mereka dari tempat yang tiada mereka sangka sedikitpun”. S 59 Al Hasyr ayat 2.
Allah Ta’ala menolak atas orang-orang kafir, pada ke’ujubannya dengan benteng
dan kekuatannya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka itu mengira, bahwa mereka
melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 104. Ini juga kembali
kepada ‘ujub dengan perbuatan. Kadang-kadang manusia itu ‘ujub (mengherani
diri) dengan perbuatan, dimana dia tersalah padanya, sebagaimana ia mengherani
diri dengan perbuatan, dimana ia benar padanya. Nabi saw bersabda: “3 perkara
membinasakan, yaitu: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan
mengherani manusia dengan dirinya”. Nabi saw bersabda kepada Abi Tsa’labah,
dimana Nabi saw menyebutkan akhir umat ini, dengan sabdanya: “Apabila engkau
melihat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan masing-masing yang
mempunyai pendapat mengherani dengan pendapatnya, maka haruslah menjaga diri
engkau!”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Kebinasaan itu pada 2 perkara: putus asa dan
‘ujub”. Ibnu Mas’ud mengumpulkan diantara 2 perkara tersebut, karena
kebahagiaan tiada akan tercapai, selain dengan usaha, mencari, rajin dan
terus-terusan. Dan orang yang putus asa itu tiada berusaha dan tiada mencari.
Dan orang yang ‘ujub, beri’tikad, bahwa dia sudah berbahagia dan telah
memperoleh maksudnya. Lalu dia tidak berusaha lagi. Maka yang ada itu tidak
dicari. Dan yang mustahil itu tidak dicari. Dan kebahagiaan itu ada pada itikad
orang yang ‘ujub, yang telah berhasil baginya. Dan kebahagiaan itu mustahil
pada itikad orang yang putus asa. Maka dari sinilah Ibnu Mas’ud ra mengumpulkan
diantara keduanya. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu melagak-lagakkan
dirimu orang suci!”. S 53 An Najm ayat 32. Ibnu Juraij mengatakan: Artinya
ialah: apabila kamu berbuat kebajikan, maka janganlah kamu mengatakan: “Aku
telah berbuat”. Zaid bin Aslam mengatakan: “Jangan kamu anggap bahwa dirimu itu
baik. Artinya: jangan kamu iktikad, bahwa dirimu itu yang baik”. Dan itulah arti
‘ujub. Pada hari perang Uhud, Thalhah bin Ubaidillah At Taimi, menjaga
keselamatan Rasulullah saw dengan jiwanya. Ia menelungkup atas Rasulullah saw,
sehingga kena tembak tapak tangannya. Seakan-akan Thalhah merasa ‘ujub dengan
perbuatan besarnya itu. Karena ia menebus diri Rasulullah saw dengan nyawanya.
Sehingga ia berdarah. Lalu Umar ra memperhatikan yang demikian pada Thalhah,
seraya mengatakan: “Selalulah dikenal na’wun pada Thalhah, semenjak anak
jarinya kena panah bersama Rasulullah saw. Na’wun menurut bahasa, ialah: ‘ujub.
Hanya tidak dinukilkan (diriwayatkan) pada Thalhah, bahwa ia melahirkan ‘ujub
itu dan menghinakan orang muslim. Pada waktu bermusyawarah, Ibnu Abbas bertanya
kepada Umar ra: “Bagaimana pendapatmu tentang Thalhah?”. Umar ra menjawab: “Dia
itu seorang laki-laki, yang ada padanya rasa bermegah diri”. Maka apabila tidak
terlepas dari ‘ujub, orang-orang yang seperti mereka, maka bagaimana terlepas
orang-orang yang lemah, jikalau mereka tidak menjaga diri? Muthrif bin Abdullah
bin Asy-Syukhair (seorang tabi’in yang abid) mengatakan: “Aku lebih menyukai
bermalam dengan tidur (tidak melakukan shalat malam) dan pagi-pagi aku
menyesal, daripada aku bermalam dengan bangun berdiri (mengerjakan shalat
malam) dan pagi-pagi aku merasa ‘ujub (mengherani diri dengan shalat malam)”.
Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu tidak berbuat dosa, niscaya aku takut
kepadamu, apa yang lebih besar, dari ‘ujub-‘ujub itu”. Nabi saw menjadikan
‘ujub itu, dosa terbesar. Adalah Bisyr bin Manshur Al-Bashari (w. Th. 180 H) termasuk sebahagian dari
mereka, ketika dilihat mengingati Allah Ta’ala dan negeri akhirat, karena
rajinnya mengerjakan ibadah. Lalu pada suatu hari, ia memanjangkan shalat. Dan
di belakangnya ada seorang laki-laki yang memperhatikannya. Lalu hal itu diketahui
oleh Bisyr. Tatkala Bisyr telah selesai dari shalat, lalu ia mengatakan kepada
laki-laki tersebut: “Janganlah mengherankan (mena’jubkan) kamu, apa yang engkau
lihat daripadaku! Iblis yang dikutuk oleh Allah, telah beribadah kepada Allah
Ta’ala bersama para malaikat, dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Iblis itu
menjadi, apa yang telah terjadi padanya”. Ditanyakan ‘Aisyah: “Kapan orang
menjadi jahat?”. ‘Aisyah menjawab: “Apabila ia menyangka, bahwa dia telah
berbuat baik”. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu hapuskan pahala sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan”. S 2 Al Baqarah
ayat 264. Kebanggaan tadi itu, natijah/hasil keyakinan dari membesar-besarkan
sedekahnya. Dan membesar-besarkan amal, itulah: ‘ujub namanya. Maka dengan ini
jelaslah, bahwa ‘ujub itu tercela sekali.
PENJELASAN: bahaya
‘ujub.
Ketahuilah, bahwa bahaya ‘ujub itu banyak.
‘Ujub sesungguhnya mengundang kesombongan. Karena kesombongan itu salah satu
sebab ‘ujub, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Maka terjadilah dari ‘ujub
itu sombong. Dan dari sombong itu banyak bahaya yang tiada tersembunyi. Ini,
yang bersama hamba-hamba Allah. Adapun yang bersama Allah Ta’ala, maka ‘ujub
itu mengajak kepada lupa dosa dan menyia-nyiakan dosa. Sebahagian dosanya,
tiada diingatinya dan tidak diperiksanya. Karena sangkanya, bahwa ia tidak
memerlukan kepada memeriksa dosa. Lalu ia lupa kepada dosa itu dan tidak
diingatinya. Maka dipandangnya kecil dan tidak dianggapnya soal besar. Maka ia
tiada bersungguh-sungguh pada mengetahui dan mendapatinya. Bahkan ia menyangka,
bahwa ia telah diampunkan daripada dosa. Adapun ibadah dan amal, maka ia
memandang besar. Ia membanggakan diri dengan ibadah dan amal itu, ia
membanggakan diri kepada Allah dengan mengerjakannya. Ia lupa akan nikmat Allah
kepadanya, dengan taufiq dan ketetapan amal ibadah itu. Kemudian, apabila ia
telah meng’ujubkan diri dengan amal ibadah tadi, niscaya ia buta dari
bahaya-bahayanya. Dan yang tiada memeriksa bahaya amal, niscaya kebanyakan
usahanya menjadi sia-sia. Amal zahir sesungguhnya, apabila tidak ikhlas, bersih
dari segala campuran, niscaya sedikitlah yang bermanfaat. Dan yang
menyelidiknya, ialah orang keras padanya, kehati-hatian dan ketakutan, yang
tidak ‘ujub. Orang yang ujub itu, tertipu dengan dirinya dan dengan
pendapatnya. Ia merasa aman dari percobaan dan azab Allah. ia menyangka, bahwa
ia di sisi Allah memperoleh tempat. Dan ia mempunyai nikmat dan hak di sisi
Allah dengan amal perbuatannya, yang menjadi suatu nikmat dari nikmat-nikmat Allah
dan suatu pemberian dari pemberian-pemberian Allah. ia dikeluarkan oleh ‘ujub
itu, kepada menyanjung dirinya, memuji dan mensucikannya. Dan kalau ia ‘ujub
dengan pendapat, amal dan akalnya, niscaya yang demikian itu, mencegahnya dari
memperoleh faedah dari bermusyawarah dan bertanya. Lalu ia bertangan besi
dengan dirinya sendiri dan dengan pendapatnya. Dan ia menolak daripada bertanya
kepada orang yang lebih tahu daripadanya. Kadang-kadang ia ‘ujub dengan
pendapat yang salah, yang terguris dalam hatinya. Maka ia bergembira dengan
adanya gurisan itu diantara gurisan-gurisan hatinya. Dan ia tidak bergembira
dengan gurisan-gurisan hati orang lain. Lalu ia berpegang teguh atas gurisan
tersebut. Ia tidak mau mendengar nasehat orang yang menasehatinya dan tidak mau
menerima pengajaran orang yang mengajarinya. Bahkan ia memandang kepada orang
lain, dengan pandangan orang itu bodoh. Dan ia terus berpegang diatas
kesalahannya. Kalau pendapatnya itu tentang urusan duniawi, maka dipandangnya
ia benar pada yang demikian. Dan kalau tentang urusan agama, lebih-lebih yang
menyangkut dengan pokok-pokok aqidah, maka ia akan binasa dengan demikian,
kalau ia curiga akan dirinya sendiri dan ia tidak percaya dengan pendapatnya,
ia mencari cahaya dengan Nur Alquran, ia meminta bantuan ulama-ulama agama, ia
rajin mempelajari ilmu pengetahuan dan ia mengikuti bertanya kepada orang-orang
yang bermata hati, niscaya adalah yang demikian itu, akan menyampaikannya
kepada kebenaran. Maka ini dan yang seperti dengan ini, termasuk sebahagian
dari bahaya-bahaya ‘ujub. Maka karena itulah, adalah dia sebahagian daripada
yang memibnasakan. Dan diantara bahayanya yang paling besar, ialah bahwa ia
lumpuh pada usaha, karena persangkaannya bahwa dia telah memperoleh kemenangan.
Dan dia telah merasa cukup. Dan itulah kebinasaan yang tegas, yang tak ada
keraguan padanya. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala Yang Maha Agung, akan
kebagusan taufiq untuk mentaatiNya.
PENJELASAN:
hakikat/makna ‘ujub dan kebanggaan diri serta batasnya.
Ketahuilah, bahwa adanya ‘ujub itu
sesungguhnya sudah pasti disebabkan suatu sifat kesempurnaan. Dan bagi orang
yang berilmu, dengan kesempurnaan dirinya pada ilmu, amal, harta dan lainnya
itu, dua hal:
Pertama: bahwa ia takut kepada hilangnya
kesempurnaan itu dan ia menjaga dari kekotoran atau tercabutnya dari pokoknya.
Maka ini, tidaklah dia itu orang yang ‘ujub. Hal yang satu lagi, bahwa ia tidak
takut dari hilangnya kesempurnaan itu. Akan tetapi, ia bergembira dengan
kesempurnaan tersebut, dari segi bahwa kesempurnaan itu, suatu nikmat dari
Allah Ta’ala kepadanya. Tidak dari segi dikaitkannya kepada dirinya. Ini juga,
tidaklah dia itu orang yang ‘ujub. Dan bagi orang berilmu itu mempunyai hal
ketiga, yaitu: ‘ujub. Ia tidak takut hilangnya kesempurnaan itu. Akan tetapi, ia
bergembira dan berhati tentram kepada kesempurnaan itu. Dan kegembiraannya itu
adalah dari segi, bahwa itu kesempurnaan, nikmat, kebajikan dan ketinggian.
Tidak dari segi bahwa kesempurnaan itu suatu pemberian dari Allah Ta’ala dan
suatu nikmat daripadaNya. Maka adalah kegembiraannya dari segi, bahwa
kesempurnaan itu adalah sifatnya dan disangkutkan kepadanya, bahwa kesempurnaan
itu baginya. Tidak dari segi, bahwa kesempurnaan itu disangkutkan kepada Allah
Ta’ala, bahwa kesempurnaan itu daripadaNya. Manakala telah mengeras pada
hatinya, bahwa itu suatu nikmat daripada Allah, manakala dikehendakiNYA,
niscaya ditarikNya nikmat itu daripadanya, niscaya dengan demikian, hilanglah
‘ujub itu daripada dirinya. Jadi, ‘ujub itu ialah: merasa besar nikmat dan
cenderung kepadanya, serta lupa menyandarkannya kepada Yang Memberi nikmat.
Kalau bertambah kepada demikian, bahwa telah mengeras pada dirinya, bahwa dia
mempunyai hak pada sisi Allah dan dia daripadaNya mendapat tempat, sehingga ia
mengharap dengan amalnya itu, akan kemuliaan (kiramah) di dunia dan ia merasa
jauh akan berlaku atas dirinya hal-hal yang tidak disenangi, kejauhan mana yang
bertambah atas kejauhannya apa yang berlaku terhadap orang-orang fasiq, maka
ini dinamakan: kebanggaan diri (id-lal) dengan amal. Seakan-akan ia melihat
bagi dirinya atas Allah suatu yang membanggakan. Seperti itu juga,
kadang-kadang ia memberikan kepada orang akan sesuatu, lalu ia merasa besar
pemberian itu dan merasa bangga. Maka dia itu orang yang ‘ujub. Kalau
dipakainya orang itu untuk melayaninya atau ia meminta pada orang itu beberapa
permintaan atau ia merasa jauh tertinggalnya orang itu daripada menunaikan
hak-haknya, maka dia itu membanggakan diri terhadap orang tersebut. Qatadah
Al-Bashr ra mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau
memberikan (sesuatu), karena hendak meminta lebih banyak (daripadanya)”. S 74
Al Muddatstsir ayat 6. Artinya: jangan engkau membanggakan diri dengan amal
engkau itu!. Pada hadits yaitu: “Shalat orang yang membanggakan diri, sesungguhnya
tiada akan diangkat di atas kepalanya. Sesungguhnya engkau ketawa dan engkau
mengakui dengan dosa engkau itu lebih baik daripada engkau menangis dan engkau
membanggakan dengan amal engkau”. Membanggakan diri (idlal) itu, dibelakang
‘ujub. Maka tidak membanggakan diri, selain orang itu ‘ujub. Banyak orang
‘ujub, yang tidak membanggakan. Karena ‘ujub itu berhasil dengan merasa diri
besar dan lupa nikmat, tanpa mengharap balasan padanya. Dan idlal itu tiada
sempurna, selain dengan mengharap balasan. Kalau ia mengharap diperkenan
undangannya dan ditentangnya penolakan undangan itu dengan batinnya dan ia
merasa ‘ujub dengan yang demikian, niscaya dia itu orrang yang membanggakan
dengan perbuatannya. Karena ia tidak merasa ‘ujub dari penolakan doa orang fasiq.
Dan karena itu, ia merasa heran daripada penolakan doanya sendiri. Maka ini
adalah ‘ujub dan idlal. Dan itu termasuk sebahagian dari mukaddimah
(pendahuluan) sombong dan sebab-sebabnya. Wallahu Ta’ala A’lam! Allah Ta’ala
Maha Tahu!.
PENJELASAN:
pengobatan ‘ujub secara keseluruhan.
Ketahuilah, bahwa pengobatan setiap
penyakit, ialah menghadapi sebabnya, dengan lawannya. Dan penyakit ‘ujub,
ialah: kebodohan semata. Maka obatnya, ialah: ma’rifah (mengetahui), yang
berlawanan dengan kebodohan itu saja. Maka hendaklah kita umpamakan: ‘ujub
dengan perbuatan yang masuk dibawah ikhtiar (pilihan) hamba Allah. Seperti:
ibadah, sedekah, perang, siasat makhluk dan perbaikan mereka. Maka ke’ujuban
dengan ini, adalah lebih sering terjadinya, daripada ke’ujuban dengan kecantikan,
kekuatan, kebangsawanan dan apa yang tidak masuk di bawah ikhtiar Allah. Dan
tidak dilihatnya dari dirinya. Maka kami mengatakan: Wara’, taqwa, ibadah dan
amal yang di’ujubkannya, sesungguhnya ia di’ujubkan itu dari segi, bahwa dia
pada perbuatan tersebut. Dialah tempatnya dan tempat berlakunya. Atau dari
segi, bahwa perbuatan tersebut daripadanya, dengan sebabnnya, dengan kekuasaan
dan kekuatannya. Kalau ia ‘ujubkan dengan perbuatan tersebut, dari segi bahwa
dia pada perbuatan itu dan dia tempatnya dan tempat berlakunya, yang berlaku
padanya dan di atasnya dari pihak lain, maka ini adalah kebodohan. Karena
tempat itu adalah tempat berbuat dan berlaku. Tidak ada jalan masuk baginya
pada menjadikan dan menghasilkan. Maka bagaimana, ia ber’ujub dengan apa, yang
ia tidak padanya? Kalau ia ber’ujub dengan yang demikian, dari segi, bahwa
perbuatan itu daripadanya dan kepadanya, dengan pilihannya berhasil dan dengan
kekuasaannya menjadi sempurna, maka seyogyalah ia memperhatikan tentang
kekuasaan, kehendak, anggota-anggota badannya dan lain-lain sebab, yang mana,
dengan sebab-sebab tersebut, perbuatannya menjadi sempurna, bahwa dari mana
sebab-sebab itu baginya? Kalau semua itu adalah nikmat daripada Allah
kepadanya, tanpa ada hak baginya sebelumnya dan tanpa wasilah (jalan atau
perantaraan) yang diturunkannya, maka seyogyalah ke’ujubannya itu adalah dengan
kemurahan Allah, kurnia dan kelimpahanNya. Karena Ia telah mencurahkan
kepadanya, apa yang tidak menjadi haknya. Dan Ia memilihkan dia dari orang lain,
tanpa ada nikmat yang lebih dahulu dan wasilah. Maka manakala raja itu keluar
karena hamba-sahayanya dan ia memandang kepada mereka dan dilepaskannya
(dimerdekakannya) dari jumlah yang banyak itu seorang daripadanya, tidak karena
suatu sifat yang istimewa pada yang seorang itu, tidak karena ada wasilah,
tidak karena kecantikan dan tidak karena pelayanannya, maka seyogyalah yang
dinikmati itu merasa heran, dari kelimpahan raja, ketetapan dan pilihannya,
tanpa ada hak. Dan ke’ujubannya dengan dirinya: dari mana dan apa sebabnya? Dan
tiada seyogyalah ia merasa ‘ujub dengan diri sendiri. Ya, bolehlah budak itu
ber’ujub, lalu mengatakan: “Raja itu hakim yang adil, tiada berbuat zalim,
tiada mendahulukan dan tiada mengemudiankan, kecuali karena sesuatu sebab. Maka
kalau tidaklah raja itu mengerti, mengenai salah satu sifat dari sifat-sifat
terpuji, yang tersembunyi, niscaya ia tidak menghendaki pilihan dengan
pencabutan (pembebasan) itu. Dan sungguh tidaklah raja itu memilih aku dengan
pencabutan tersebut. Maka dikatakan: Sifat itu juga adalah dari pencabuutan
raja dan pemberiannya, yang telah dikhususkan engkau dengan pencabutan
tersebut, tidak orang lain. Tanpa ada wasilah. Atau itu pemberian orang lain?
Kalau itu dari pemberian raja juga, niscaya tidak bagi engkau untuk
meng’ujubkannya. Akan tetapi, adalah seperti, kalau diberikannya kepada engkau
seekor kuda, maka engkau tidak ber’ujub dengan yang demikian. Lalu diberikannya
kepada engkau seorang budak, maka jadilah engkau ber’ujub dengan yang demikian,
seraya engkau mengatakan: “Sesungguhnya ia memberikan kepadaku seorang budak,
karena aku mempunyai kuda. Adapun orang lain, ia tiada mempunyai kuda”. Lalu
dikatakan: “Raja itu telah memberikan kepada engkau seekor kuda. Maka tiada
bedanya, antara diberikannya kepada engkau kuda dan bersama budak. Atau
diberikannya kepada engkau salah satu daripada keduanya, sesudah yang lain.
Maka apabila adalah tiap-tiap itu daripadanya, niscaya seyogyalah meng’ujubkan
engkau oleh kemurahan dan kurnianya. Tidak ‘ujub itu oleh diri engkau. Dan
kalau sifat itu dari orang lain, maka tiada jauhlah untuk engkau ‘ujubkan
dengan sifat tersebut. Ini tergambar pada hak raja-raja. Dan tidak tergambar
pada hak Yang Perkasa, yang menang, Raja diraja, yang sendirian dengan
menciptakan semua, Yang sendirian mengadakan yang disifatkan dan sifatnya.
Jikalau engkau ber’ujub dengan ibadah engkau dan engkau mengatakan: “Ia telah
memberi aku taufiq untuk ibadah, karena cintaku kepadaNya, maka dikatakan:
“Siapakah yang menjadikan kecintaan itu dalam hati engkau?”. Lalu engkau
menjawab: “Dia!”. Maka dikatakan lagi kepada engkau: “Cinta dan ibadah itu,
keduanya nikmat daripadaNya. DimulaiNya kepada engkau dengan cinta dan ibadah
itu, tanpa berhak dari pihak engkau. Karena tiada wasilah bagi engkau dan tiada
hubungan. Maka ke’ujuban itu adalah disebabkan kemurahanNya. Karena Ia
menganugerahkan nikmat dengan adanya engkau, adanya sifat-sifat engkau, adanya
amal engkau dan sebab-sebab amal engkau”. Jadi, tiada arti bagi ke’ujuban orang
abid dengan ibadahnya, ke’ujuban orang berilmu dengan ilmunya, ke’ujuban orang
cantik dengan kecantikannya dan ke’ujuban orang kaya dengan kekayaannya. Karena
semua itu adalah dari kurnia Allah. Dan dia itu tempat melimpahnya kurnia Allah
Ta’ala dan kemurahanNya. Dan juga tempat dari kurnia dan kemurahanNya. Kalau
anda mengatakan: Tidak mungkin aku tiada mengetahui amalku dan aku yang
mengerjakannya. Aku menunggu pada amalku itu pahala. Dan kalau itu bukan
amalku, niscaya aku tidak menunggu pahalanya. Kalau amal-amal itu makhluk (dijadikan)
Allah, dengan jalan diciptakanNya, maka dari manakah bagiku pahala? Dan kalau
amal-amal itu daripadaku dan dengan kesanggupanku, maka bagaimanakah aku tidak
‘ujub dengan amal-amal itu? Maka ketahuilah, bahwa jawaban engkau itu dari 2
segi. Salah satu daripadanya, ialah: jelas kebenarannnya. Dan yang satu lagi,
ada padanya musamahah (toleransi). Yang jelas (tegas) kebenarannya, yaitu:
Sesungguhnya engkau, kemampuan engkau, kehendak engkau, gerak engkau dan semua
itu adalah dari yang dijadikan Allah dan ciptaanNya. Maka tidak engkau yang
mengerjakan, ketika engkau kerjakan, tidak engkau yang bershalat, ketika engkau
yang mengerjakan shalat dan tidak engkau yang melempar, ketika engkau
melemparkan. Akan tetapi, Allah yang melemparkan. Maka inilah kebenaran itu,
yang tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai hati, dengan penyaksian yang
lebih jelas dari penglihatan mata. Bahkan Dialah yang menjadikan engkau,
menjadikan anggota tubuh engkau, menjadikan padanya kekuatan, kemampuan dan
kesehatan, menjadikan bagi engkau akal dan ilmu dan menjadikan bagi engkau
kemauan. Kalau engkau bermaksud untuk meniadakan sesuatu dari ini, dari diri
engkau, niscaya engkau tidak mampu kepada yang demikian. Kemudian, Ia
menjadikan gerak-gerik pada anggota tubuh engkau, dengan bersendirian
menjadikannya, tanpa bersekutu dari pihak engkau bersama Dia pada menjadikan.
Melainkan ia menjadikannya dengan tertib. Maka tidak dijadikanNya gerak sebelum
dijadikanNya pada anggota badan kekuatan dan pada hati kehendak. Dan tidak dijadikanNya
kehendak, sebelum dijadikanNya ilmu dengan yang dikehendaki. Dan tidak
dijadikanNya ilmu, sebelum dijadikanNya hati yang menjadi tempat ilmu.
Berangsur-angsurnya pada menjadikan sesuatu sesudah sesuatu, itulah yang
mengkhayalkan kepada engkau, bahwa engkau yang mengadakan perbuatan engkau. Dan
engkau sesungguhnya salah. Penjelasan yang demikian dan cara pahala di atas
amal itu, adalah termasuk makhluk (yang dijadikan) Allah, sebagaimana akan
datang ketetapannya pada Kitab Syukur. Itu adalah lebih layak, maka kembalilah
membaca pada Kitab Syukur itu! Kami sekarang akan menghilangkan kesulitan
engkau, dengan jawaban kedua, yang ada padanya sedikit musamahah (toleransi).
Yaitu: bahwa engkau mengira amal itu berhasil (terjadi) dengan kekuasaan
engkau. Maka dimanakah kekuasaan engkau itu? Dan amal itu tiada akan tergambar,
selain dengan ada engkau dan ada amal engkau, kehendak engkau, kekuasaan engkau
dan sebab-sebab amal engkau yang lain. Dan semua itu adalah dari Allah Ta’ala.
Tidak dari engkau. Kalau adanya amal itu dengan kemampuan, maka kemampuan itu
adalah kuncinya. Dan kunci ini di Tangan Allah. Manakala Ia tidak memberi kunci
kepada engkau, maka tidak mungkin engkau beramal (bekerja). Maka ibadah-ibadah
itu gudang. Dengan gudang itu sampai kepada bahagia. Dan kunci bahagia ialah
kemampuan, kehendak dan ilmu. Dan itu semua sudah pasti di tangan Allah. adakah
engkau melihat, jikalau engkau melihat gudang-gudang dunia, terkumpul dalam
benteng yang kokoh dan kuncinya di tangan penjaga gudang? Kalau engkau duduk di
pintu gudang dan di keliling tembok pagarnya 1000 tahun, niscaya tidak mungkin
engkau melihat kepada satu dinarpun daripada apa yang ada di dalamnya. Dan
kalau penjaga gudang itu memberikan kepada engkau kuncinya, niscaya engkau akan
mengambil dari dekat, dengan menghamparkan tangan engkau kepadanya. Lalu engkau
mengambilnya saja. Apabila penjaga gudang itu memberikan kepada engkau beberapa
anak kunci dan ia menguasakan engkau pada anak kunci-anak kunci itu dan ia
memungkinkan engkau padanya, lalu engkau panjangkan tangan engkau dan engkau
mengambilkannya, niscaya adalah ketakjuban engkau itu, dengan diberikan oleh
penjaga gudang, anak kunci-anak kunci tersebut. Atau dengan engkau memanjangkan
tangan dan mengambilnya? Maka engkau tidak ragu bahwa engkau mengambil yang
demikian, sebagai suatu nikmat dari penjaga gudang. Karena kesulitan itu dekat,
pada mengerakkan tangan dengan mengambilkan harta. Dan urusan seluruhnya adalah
pada penyerahan anak kunci-anak kunci itu. Maka begitu pula, manakala telah
dijadikan kemampuan, telah dikuasakan kehendak yang yakin, telah digerakkan
semua pengajak dan pembangkit dan telah disingkirkan dari engkau semua
penghalang dan pengganggu. Sehingga tidak tinggal lagi pengganggu, selain yang
mendorong. Dan tidak ada lagi pembangkit, selain telah diserahkan kepada
engkau. Maka amal itu menjadi mudah kepada engkau. Dan penggerakan
pembangkit-pembangkit, penyingkir penghalang-penghalang dan penyediaan
sebab-sebab, semuanya itu dari Allah. Tiada suatupun daripadanya diserahkan
kepada engkau. Maka termasuk ajaib (yang mengherankan) bahwa engkau mengherani
diri engkau. Dan engkau tidak mengherani kepada Allah, yang seluruh urusan itu
terserah kepadaNya. Engkau tidak mengherani dengan kemurahanNya, kurnia dan
kemuliaanNya, pada diutamakanNya engkau diatas orang-orang fasiq dari
hamba-hambaNya. Karena Ia menguasakan pengajak-pengajak kerusakan atas
orang-orang fasiq dan menyingkirkannya daripada engkau. Ia menguasakan
teman-teman jahat dan pengajak-pengajak kejahatan kepada orang-orang fasiq. Dan
disingkirkanNya mereka dari engkau. DitetapkanNya mereka menjadi sebab-sebab
nafsu syahwat dan kelezatan dan dicegahkannya daripada engkau. DipalingkanNya
daripada mereka, pengerak-penggerak kebajikan dan pengajak-pengajaknya. Dan
dikuasakannya kepada engkau. Sehingga memudahkan kepada engkau kebajikan dan
memudahkan bagi mereka kejahatan. Ia berbuat yang demikian itu semua pada
engkau, tanpa wasilah yang sudah ada dahulunya dari engkau. Dan tanpa dosa yang
sudah ada dahulunya dari orang fasiq, yang maksiat. Tetapi Ia mengutamakan
engkau, Ia mendahulukan engkau, Ia memilih engkau dengan kurniaNya. Ia
menjauhkan orang maksiat dan dicelakannya dengan keadilanNya. Maka alangkah
ganjilnya ke’ujuban engkau dengan diri engkau, apabila engkau mengetahui yang
demikian! Jadi, tiada berpaling kemampuan engkau kepada yang dikuasai, selain
dengan dianugerahkan kekuasaan oleh Allah kepada engkau, yang mengajak, dimana
engkau tiada akan memperoleh jalan kepada menyalahinya. Maka seakan-akan Dialah
yang memaksakan engkau kepada berbuat, kalau engkau itu pembuat sebenarnya.
Maka kepadaNyalah terima kasih (syukur) dan kebanggaan. Tidak kepada engkau.
Dan akan datang pada Kitab Keesaan dan Tawakkal, penjelasan tali-temali sebab
dan musabab, yang dapat engkau memperoleh penjelasan, bahwa tiada yang berbuat,
selain Allah. Dan tiada Khaliq (yang maha pencipta), selain Dia. Dan adalah
ujub dari orang yang mengherani diri, apabila ia dianugerahkan oleh Allah akal
dan dimiskinkannya dari harta, terhadap orang yang dilimpahkan oleh Allah
kepadanya harta, tanpa ilmu. Lalu orang yang diberi akal mengatakan: “Bagaimana
Allah tidak memberikan kepadaku makanan siangku ini, sedang aku orang berakal
(berilmu), yang utama? Dan dilimpahkanNya kepada orang ini, nikmat dunia, padahal
dia orang lalai, yang bodoh”. Sehingga hampir ia melihat ini suatu kezaliman.
Dan orang yang terpedaya tadi, tiada mengetahui, bahwa jikalau dikumpulkan
kepadanya antara akal (ilmu) dan harta, niscaya adalah yang demikian itu lebih
menyerupai dengan kezaliman menurut keadaan yang zahir. Karena orang bodoh yang
miskin itu akan mengatakan: “Hai Tuhanku! Mengapa Engkau kumpulkan baginya
antara akal (ilmu) dan kekayaan? Dan Engkau haramkan akan aku daripada
keduanya. Mengapa tidak Engkau kumpulkan keduanya itu bagiku? Atau mengapa
tidak Engkau anugerahkan kepadaku salah satu dari harta dan ilmu itu?”. Kepada
inilah diisyaratkan oleh Ali ra ketika ditanyakan kepadanya: “Bagaimana keadaan
orang berakal (berilmu) yang miskin?”. Ali ra lalu menjawab: “Bahwa akal (ilmu)
orang itu diperhitungkan dari rezekinya”. Dan heran, bahwa orang berakal
(berilmu) yang miskin, kadang-kadang melihat orang bodoh yang kaya, lebih baik
keadaannya dari dirinya sendiri. Dan kalau ditanyakan kepadanya: “Maukah engkau
memilih kebodohan dan kekayaannya, sebagai ganti dari akal engkau dan
kemiskinan engkau?”, niscaya ia tidak mau. Jadi, demikian itu menunjukkan,
bahwa nikmat Allah Ta’ala kepadanya itu lebih besar. Maka karena apakah ia
ber’ujub daripada yang demikian? Wanita cantik yang miskin melihat pakaian emas
perak dan mutiara pada wanita buruk rupa, keji bentuknya. Maka ia merasa heran
dan mengatakan: “Bagaimana ia tidak diberikan perhiasan cantik seperti ini? Dan
ia dikhususkan seperti yang seburuk itu”. Wanita yang terpedaya tadi tidak
mengetahui, bahwa kecantikan itu diperkirakan kepadanya sebahagian dari
rezekinya. Dan dia, kalau disuruh pilih antara kecantikan dan keburukan bentuk
serta kaya, niscaya ia akan memilih kecantikan. Jadi, nikmat Allah Ta’ala itu
lebih besar kepadanya. Dan perkataan orang yang bijaksana, miskin lagi berakal,
dengan hatinya: “Hai Tuhanku! Mengapa Engkau tidak berikan kepadaku dunia dan
Engkau berikan kepada orang-orang bodoh”, adalah seperti perkataan orang yang
diberikan oleh raja kepadanya seekor kuda, lalu ia mengatakan: “Hai raja!
Mengapa tidak engkau berikan kepadaku seorang budak dan aku sudah mempunyai
kuda?”. Lalu raja itu menjawab: “Engkau tidak merasa heran dari ini, kalau
tidak aku berikan kuda kepada engkau! Umpamakanlah, aku tidak berikan kuda
kepada engkau, adakah nikmatku kepada engkau menjadi jalan dan alasan bagi
engkau yang engkau tuntut dengan nikmat itu akan nikmat yang lain?”. Inilah
sangkaan-sangkaan yang tidak terlepas orang-orang bodoh daripadanya dan tempat
terjadinya semua kebodohan itu. Dan senantiasalah yang demikian dengan ilmu
yang diyakini, bahwa hamba, amalnya dan sifat-sifatnya, semuanya itu dari Allah
Ta’ala, sebagai suatu nikmat, yang dimulaikanNya memberikan nikmat tersebut
kepada orang itu, sebelum ia berhak. Dan ini meniadakan ‘ujub dan kebanggaan.
Dan mengwariskan khudlu’, syukur dan takut daripada hilangnya nikmat. Orang
yang tahu akan ini, niscaya tidak akan tergambar, bahwa ia ‘ujub dengan ilmunya
dan amalnya. Karena ia tahu, bahwa itu adalah dari Allah Ta’ala. Dan karena
itulah, Nabi Daud as berdoa: “Ya Rabbi, hai Tuhanku! Tiada datang satu
malampun, melainkan adalah manusia dari keluarga Daud itu berdiri mengerjakan
shalat. Dan tiada datang satu haripun, melainkan adalah manusia dari keluarga
Daud itu mengerjakan puasa”. Pada suatu riwayat: “Bahwa tiada berlaku suatu
saatpun dari malam atau siang, melainkan orang yang beribadah dari keluarga
Daud itu menyembah (beribadah) kepada Engkau. Adakalanya ia mengerjakan shalat,
adakalanya ia mengerjakan puasa dan adakalanya ia berdzikir (menyebut nama)
Engkau”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud! Darimana bagi
mereka yang demikian? Bahwa yang demikian itu tidak ada, selain dengan sebab
Aku. Dan jikalau tidak adalah pertolonganKu akan engkau, niscaya engkau tidak
kuat. Dan Aku akan menyerahkan engkau kepada diri engkau sendiri”. Ibnu Abbas
ra mengatakan: “Sesungguhnya Daud telah kena musibah, apa yang telah menjadi
musibah baginya dari dosa, disebabkan ‘ujubnya dengan amalnya. Karena ia
mengkaitkan amal itu kepada keluarga Daud, yang ia banggakan dengan demikian.
Sehingga diserahkan kepada dirinya sendiri. Maka ia berdosa dengan dosa yang
dipusakai oleh kesedihan dan penyesalan”. Daud as mengatakan: “Hai Tuhanku!
Sesungguhnya kaum Bani Israil bertanya kepada Engkau dengan perantaraan
Ibrahim, Ishak dan Yaqub”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku telah
menurunkan bencana kepada mereka. Mereka itu sabar”. Daud as mengatakan: “Hai
Tuhanku! Jika Engkau menurunkan bencana kepadaku, niscaya aku sabar”. Lalu Daud
membanggakan dengan amal sebelum waktunya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Aku
tidak memberi kabar kepada mereka dengan sesuatupun yang Aku telah turunkan
bencana kepada mereka. Tidak pada bulan mana dan tidak pada hari mana. Aku
memberi kabar kepada engkau pada tahun engkau ini dan bulan engkau ini. Aku
akan cobakan engkau besok, dengan seorang wanita. Maka jagalah diri engkau!”.
Lalu terjadilah apa yang telah terjadi padanya. Begitu pula tatkala para shabat
Rasulullah saw pada hari perang Hunain, berpegang kepada kekuatan dan banyaknya
mereka. Mereka melupakan kurnia Allah Ta’ala kepada mereka. Dan mereka
mengatakan: “Kita tidak akan dikalahkan hari ini dari karena sedikit”. Mereka
berpegang kepada dirinya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan di hari Hunain
karena kamu merasa ‘ujub (sangat girang) oleh banyaknya jumlah kamu. Tetapi
jumlah yang banyak itu tidak menolong kepada kamu sedikitpun. Dan bumi yang
masih luas terbentang ini bagimu terasa amat sempitnya. Kemudian kamu mundur ke
belakang”. S 9 At Taubah ayat 25. Diriwayatkan Ibnu ‘Uyaynah ra, bahwa nabi
Ayyub as berdoa: “Hai Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menurunkan bencana
kepadaku dengan bencana ini. Dan tidak datang kepadaku sesuatu hal, melainkan
aku utamakan keinginan engkau di atas keinginanku”. Lalu Ayyub as dipanggil
dari sekumpulan awan dengan 10 ribu suara: “Hai Ayyub: “Darimana yang demikian
itu bagi engkau?”. Yang empunya riwayat (Ibnu ‘Uyaynah ra) mengatakan: “Lalu
Ayyub as mengambil debu tanah dan meletakkannya di atas kepalanya, seraya
mengucapkan: “Dari Engkau hai Tuhanku! Dari Engkau hai Tuhanku!”. Lalu Ayyub as
kembali dari kelupaannya, kepada menyandarkan yang demikian itu kepada Allah
Ta’ala. Dan karena inilah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tiadalah
kemurahan Allah dan kasih sayangNya kepada kamu, buat selamanya tiada
seorangpun diantara kamu yang bersih (suci)”. S 24 An Nur ayat 21. Nabi saw
bersabda kepada para sahabatnya dan mereka itu manusia yang terbaik: “Tiada
seorangpun daripada kamu yang dilepaskan oleh amalnya”. Maka para sahabat itu
bertanya: “Dan tidak juga engkau, wahai Rasulullah?”. Beliau saw menjawab: “Dan
tidak juga aku, selain bahwa aku diliputi oleh Allah dengan rahmatNya”. Adalah
para sahabat Nabi saw sesudah Nabi saw, mereka itu, bercita-cita bahwa jadilah
mereka itu tanah, jerami, dan burung, serta bersihnya amal mereka dan sucinya
hati mereka. Maka bagaimana bagi orang yang bermata hati, ber’ujub dengan
amalnya atau membanggakan dengan amalnya? Dan ia tidak takut atas dirinya?
Jadi, inilah dia itu obat yang mencegah faktor ‘ujub dari hati! Manakala telah
mengeras yang demikian atas hati, niscaya ia disibukkan oleh ketakutan
tercabutnya nikmat ini, dengan menjauhkan ‘ujub dengan nikmat tersebut. Akan
tetapi, ia melihat kepada orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dan mereka
itu telah dicabut nikmat iman dan taat, tanpa dosa yang telah diperbuatnya
sebelumnya. Maka orang yang bermata hati itu takut dari yang demikian. Lalu
mengatakan: bahwa orang yang tiada memperdulikan bahwa ia tidak diberikan nikmat,
dengan tiada penganiayaan dan diberikan, dengan tidak wasilah (jalan
perantaraan), niscaya ia tidak memperdulikan bahwa kembali dan diminta kembali
apa yang telah diberikan. Berapa banyak orang mu’min yang telah menjadi murtad
dan orang yang taat yang telah menjadi fasiq dan berkesudahan dengan buruk
(su-ul khatimah). Dan ini tidak berketerusan padanya sifat ‘ujub dengan hal
apapun. Wallahu Ta’ala A’lam! Allah Ta’ala Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN:
bahagian-bahagian apa yang menyebabkan ‘ujub dan penguraian pengobatannya.
Ketahuilah, bahwa ‘ujub itu adalah dengan
sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu, orang menjadi sombong, sebagaimaan
telah kami sebutkan dahulu. Kadang-kadang, ia ‘ujub dengan apa yang ia tidak
sombong dengan yang demikian. Seperti ‘ujubnya dengan pendapat yang salah yang
menghiasi dirinya, disebabkan kebodohannya. Maka apa yang menjadi sebab ‘ujub
itu 8 bahagia:
Pertama: bahwa ia ‘ujub dengan tubuhnya,
mengenai kecantikan, bentuk, kesehatan, kekuatan, kesesuaian bentuk-bentuknya,
bagus rupa dan bagus suaranya. Dan dengan secara keseluruhan, ialah: penguraian
kejadian dirinya. Lalu ia menoleh kepada kecantikan dirinya. Dan ia lupa bahwa
yang demikian itu nikmat daripada Allah Ta’ala. Dan itu dapat hilang pada
setiap keadaan. Pengobatannya, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu,
tentang sombong dengan kecantikan. Yaitu: bertafakkur (merenungkan) tentang
kekotoran batinnya, tentang permulaan kejadian dan akhir kejadiannya. Dan
tentang wajah-wajah yang cantik dan badan-badan (tubuh-tubuh) yang licin,
bagaimana ia hancur dalam tanah dan busuk dalam kubur. Sehingga dipandang jijik
oleh tabiat manusia.
Kedua: keperkasaan dan kekuatan,
sebagaimana diceritakan dari hal kaum ‘Ad, ketika mereka mengatakan,
sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang mereka itu: “Siapakah yang lebih
besar kekuatannya dari kami?”. S 41 Ha Mim As Sajadah ayat 15. Dan sebagaimana
‘Uj/seorang laki-laki yang hidup pada zaman nabi Musa as berpegang atas
kekuatannya. Dan ia merasa ‘ujub dengan kekuatan itu. Lalu ia mencabut bukit
(batu besar dari bukit itu) untuk dilemparnya atas tentara Musa as. Maka
dilobangkan oleh Allah Ta’ala sepotong batu besar dari bukit itu, dengan
korekan burung hudhud yang lemah paruhnya. Sehingga jadilah batu besar itu pada
leher ‘Uj. Kadang-kadang orang mu’min berpegang juga atas kekuatannya,
sebagaimana dirawikan dari nabi Sulaiman as, bahwa ia mengatakan: “Akan aku
berkeliling dalam semalam atas 100 wanita”. Dan ia tidak mengatakan: “Insya
Allah Ta’ala (kalau dikehendaki Allah Ta’ala). Maka Sulaiman as tidak
dianugerahkan anak sebagaimana yang dikehendakinya. Begitu pula kata Daud as:
“Kalau Engkau turunkan bencana atasku, niscaya aku sabar”. Ia merasa ‘ujub
dengan yang demikian, dengan kekuatan yang ada padanya. Tatkala ia memperoleh
bencana disebabkan dengan wanita, lalu ia tidak sabar. ‘Ujub dengan kekuatan,
dapat mendorong untuk menyerbu pada peperangan, mencampakkan diri daripada
kebinasaan dan bersegera memukul dan membunuh bagi tiap-tiap orang yang
bermaksud jahat. Pengobatannya, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu.
Yaitu: bahwa ia tahu, sesungguhnya demam sehari itu dapat melumpuhkannya
kekuatannya. Bahwa, apabila ia merasa ‘ujub dengan kekuatan, kadang-kadang akan
dicabut oleh Allah Ta’ala dengan bahaya yang sedikit saja, yang menguasai atas
dirinya.
Ketiga: ‘ujub dengan akal pikiran,
kepintaran dan kecerdikan tentang hal-hal yang halus-halus dari segala
kepentingan agama dan dunia. Buahnya ‘ujub itu, ialah bertangan besi dengan
pendapat sendiri, meninggalkan musyawarah, memandang bodoh manusia yang berbeda
pendapat dengan dia. Ia keluar dengan kurang mendengar suara ahli ilmu.
Berpaling dari mereka, disebabkan merasa cukup dengan pendapat dan akal pikiran
sendiri. Melecehkan dan menghinakan mereka. Pengobatannya, ialah: bahwa bersyukur
kepada Allah Ta’ala di atas akal pikiran yang dianugerahkanNya. Dan merenungkan
bahwa dengan sedikit sakit saja yang menimpa otaknya, bagaimana ia terganggu
pikiran dan gila, dimana ia akan ditertawakan orang. Maka ia tidak akan merasa
aman dari pencabutan akal pikirannya, kalau ia merasa ‘ujub dengan akal pikiran
itu. Dan tidak tegak menunaikan kesyukurannya. Dan hendaklah ia menganggap akal
pikirannya dan ilmu pengetahuannya itu pendek! Dan hendaklah ia mengetahui,
bahwa ilmu yang diberikan kepadanya itu, adalah sedikit saja, walaupun ilmunya
itu meluas. Dan apa yang tidak diketahuinya dari apa yang diketahui oleh orang
lain, adalah lebih banyak dari apa yang diketahuinya. Maka bagaimana pula,
dengan apa yang tidak diketahui oleh manusia dari ilmu Allah Ta’ala? Dan bahwa
ia mencurigakan akan akal pikirannya. Dan melihat kepada orang-orang dungu,
bagaimana mereka merasa ‘ujub dengan akal pikiran mereka. Dan orang banyak
tertawa kepada mereka. Maka menjaga dirilah bahwa ia sebahagian dari mereka,
sedang dia itu tidak tahu. Orang yang pendek akal saja, tidak mengetahui akan
kependekan akalnya. Maka seyogyalah bahwa ia mengenal akan kadar akal
pikirannya, dari orang lain, tidak dari dirinya sendiri. Dari musuh-musuhnya,
tidak dari teman-temannya. Maka orang yang berminyak-minyak air (mengambil
muka), akan memujikannya. Lalu menambahkan ke’ujubannya. Dan ia tidak menyangka
dengan dirinya, selain kebajikan. Dan ia tidak menjadi cerdik, karena kebodohan
dirinya. Maka bertambahlah ke’ujubannya dengan yang demikian.
Keempat: ‘ujub dengan keturunan mulia
(keturunan bangsawan), seperti ‘ujubnya orang-orang keturunan Bani Hasyim
(keturunan Nabi saw). Sehingga sebahagian mereka menyangka bahwa ia terlepas
(dari bahaya), disebabkan mulia keturunannya dan kelepasan nenek moyangnya. Dan
ia diampunkan karenanya. Dan sebahagian mereka berkhayal, bahwa semua makhluk
Tuhan adalah bekas hamba sahaya dan budaknya.xxxxPengobatannya, ialah bahwa ia
tahu, manakala ia menyalahi dengan nenek moyangnya tentang perbuatan dan
tingkah laku mereka dan ia menyangka bahwa ia dihubungkan dengan mereka, maka
sesungguhnya dia itu bodoh. Dan kalau ia mengikuti jejak nenek moyangnya maka
tidak adalah dari tingkah laku (akhlak) mereka itu ‘ujub. Akan tetapi takut.
Menghinakan diri, membesarkan makhluk Tuhan, dan mencela diri. Mereka itu
menjadi mulia (orang bangsawan), dengan taat, ilmu dan segala perkara yang
terpuji. Tidak lantaran keturunan. Maka hendaklah ia memperoleh kemuliaan
(kebangsawanan), dengan kemuliaan yang diperoleh mereka itu. Dan sungguh telah
menyamakan diri dengan mereka, pada keturunan dan menyekutukan dengan mereka,
pada kabilah-kabilah (suku-suku bangsa), orang-orang yang tidak beriman dengan
Allah dan hari akhirat (hari penghabisan). Dan mereka itu di sisi Allah adalah
lebih jahat dari anjing-anjing dan lebih keji dari babi-babi. Dan karena itulah
Allah Ta’ala berfirman: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan”. S 49 Al Hujuraat ayat 13. Artinya:
tiada berlebih kurang pada keturunan kamu, karena kehimpunanmu pada satu asal.
Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan faedah keturunan, lalu berfirman (sambungan
ayat di atas): “Dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku-suku bangsa,
supaya kamu mengenal satu sama lain”. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa
kemuliaan itu adalah dengan taqwa, tidak dengan keturunan. Maka Ia berfirman
(sambungan ayat di atas): “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam
pandangan Allah, ialah yang lebih bertaqwa (memelihara diri dari kejahatan)”.
Tatkala ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Siapakah manusia yang termulia dan
siapakah manusia yang terpintar?”. Nabi saw tidak menjawab: “Orang yang
membangsakan dirinya kepada keturunanku”, akan tetapi beliau menjawab: “Yang
termulia mereka, ialah yang terbanyak ingatan mereka kepada mati dan yang
tersangat bersiap dari mereka bagi mati”. Sesungguhnya ayat yang di atas tadi
diturunkan, ketika Bilal ra adzan pada hari pembukaan Makkah (penaklukan
Makkah) di atas Ka’bah. Lalu Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Khalid
bin As-yad mengatakan: “Budak hitam ini adzan”. Maka Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang
lebih bertaqwa” (ayat yang di atas tadi). Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah telah
menghilangkan daripada kamu ‘aibah al-jahiliyah. Artinya: kesombongan
jahiliyah. Semua kamu itu anak Adam. Dan Adam itu dari tanah”. Nabi saw
bersabda: “Hai jamaah Quraisy! Manusia tiada akan datang dengan amal pada hari
kiamat. Dan kamu akan datang dengan dunia, yang kamu pikul dunia itu di atas
lehermu. Kamu mengatakan: “Hai Muhammad! Hai Muhammad!” Lalu aku menjawab:
“Beginilah!” Artinya: “Aku berpaling dari kamu”. Nabi saw menerangkan, bahwa
jikalau mereka cenderung kepada dunia, niscaya tiada bermanfaat bagi mereka
keturunan Quraisy. Tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Dan berilah peringatan
kepada keluargamu yang amat terdekat!”. S 26 Asy Syu’ara ayat 214. Maka Nabi
saw memanggil mereka sepuak sesudah sepuak (sekaum sesudah sekaum). Sampai
beliau bersabda: “Hai Fatimah binti Muhammad! Hai Safiah binti Abdul Muthalib
‘ammah (saudara perempuan bapak) Rasulullah saw! bekerjalah untuk diirmu!
Sesungguhnya aku tidak dapat menolong sesuatu dari Allah bagi kamu berdua”.
Orang yang mengetahui semua hal ini dan tahu bahwa kemuliaannya itu sekedar
taqwanya dan adalah dari kebiasaan nenek moyangnya merendahkan diri, niscaya ia
mengikuti mereka pada taqwa dan merendahkan diri itu. Jikalau tidak, maka dia
itu menusuk keturunan dirinya dengan lisan keadaannya, manakala ia membangsakan
dirinya kepada mereka. Dan ia tidak menyerupai mereka pada merendahkan diri
(tawadlu’), taqwa, takut dan kasih sayang. Kalau anda mengatakan, bahwa Nabi
saw mengatakan, sesudah sabdanya tadi kepada Fatimah dan Safiah: “Sesungguhnya
aku tidak dapat menolong sesuatu dari Allah bagi kamu berdua, kecuali kamu
mempunyai rahim (keturunan kekeluargaan), yang akan aku sambung dengan
sambungannya”.xxxDan Nabi saw bersabda: “Adakah diharap oleh kabilah (suku)
Sulaim akan syafaatku dan tidak diharapkan oleh anak cucu Abdul Muthalib?”.
Maka yang demikian itu menunjukkan, bahwa Nabi saw akan mengkhususkan kepada
keluarganya dengan syafaat. Maka ketahuilah kiranya, bahwa setiap muslim itu
menunggu syafaat Rasulullah saw. Dan orang yang menjadi keturunan Nabi saw juga
pantas mengharap syafaat itu. Akan tetapi dengan syarat, bahwa ia bertaqwa
(menjaga diri) daripada dimarahi oleh Allah. Jikalau ia dimarahi Allah, maka Ia
tidak mengizinkan bagi seseorang memperoleh syafaatnya. Karena dosa itu terbagi
kepada yang mengharuskan kutukan. Maka tidak diizinkan memberi syafaat
kepadanya. Dan kepada dosa yang dimaafkan, dengan sebab syafaat, seperti dosa
pada raja-raja dunia. Maka setiap orang yang mempunyai kedudukan di sisi raja
itu, ia tidak sanggup pada memberi syafaat (pertolongan) mengenai hal, yang
sangat dimarahi raja. Maka di antara dosa, ada yang tidak dapat dilepaskan oleh
syafaat. dan dari hal itu diibaratkan oleh Allah dengan firmanNya: “Dan mereka
tidak dapat memberikan syafaat (bantuan), melainkan kepada siapa yang direlai
Tuhan”’. S 21 Al Anbiyaa ayat 28. Dan dengan firmanNya: “Siapakah yang dapat
menolong (memberi syafaat) di sisi Tuhan, selain dengan izinNya”. S 2 Al
Baqarah ayat 255. Dan dengan firmanNya: “Tiadalah berguna pertolongan (syafaat)
di sisi Tuhan, melainkan untuk orang yang telah diizinkanNya”. S 34 Saba ayat
23. Dan dengan firmanNya: “Karena itu, tiada berguna kepada mereka pertolongan
(syafaat) orang-orang yang memberi pertolongan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 48.
Apabila dosa itu terbagi kepada: yang dapat diberikan syafaat dan kepada yang
tidak dapat diberikan syafaat, niscaya sudah pasti haruslah takut dan kasih
sayang. Dan kalau ada setiap dosa diterima syafaat, niscaya Nabi saw tidak
menyuruh orang-orang Quraisy dengan taat. Dan tentu Rasulullah saw tidak
melarang Fatimah ra dari perbuataan maksiat. Dan tentu ia mengizinkan Fatimah
untuk mengikuti nafsu syahwat, supaya sempurna kesenangannya di dunia.
Kemudian, ia akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada Fatimah di akhirat.
Supaya sempurna kesenangannya di akhirat. Maka keterjerumusan dalam dosa dan
meninggalkan taqwa, karena berpegang atas harapan syafaat itu, menyerupai
dengan keterjerumusan orang sakit pada nafsu syahwatnya. Karena berpegang
kepada tabib (dokter) pandai, yang dekat, yang penuh kasih sayang, dari bapak
atau saudara atau lainnya. Dan itu kebodohan. Karena usaha tabib, kemauan dan
kepintarannya itu, bermanfaat pada menghilangkan sebahagian penyakit. Tidak
pada semuanya. Maka tidak boleh meninggalkan penjagaan diri secara mutlak,
karena berpegang kepada semata-mata ketabiban. Akan tetapi, tabib itu mempunyai
bekas (pengaruh) secara keseluruhan, tetapi pada penyakit-penyakit yang ringan
dan ketika dikerasi kesederhanaan sifat dari yang sakit itu. Maka begitulah
seyogyanya, bahwa dipahami kesungguhan para pemberi syafaat (pertolongan) dari
nabi-nabi dan orang-orang shalih, bagi kaum kerabat dan orang-orang yang bukan
kaum kerabat. Maka seperti yang demikian itu secara pasti. Dan yang demikian,
tiada akan menghilangkan takut dari hati-hati menjaga diri. Dan bagaimana ia
menghilangkannya, padahal makhluk yang terbaik sesudah Rasulullah saw itu
adalah para sahabatnya. Dan mereka itu bercita-cita kiranya mereka adalah
binatang ternak, dari takutnya akhirat, serta sempurnanya taqwa mereka,
bagusnya amal dan bersihnya hati mereka. Dan apa yang didengar dari janji
Rasulullah saw kepada mereka dengar sorga khususnya dan kepada kaum muslimin
lainnya dengan syafaat umumnya dan mereka tidak menyerah kepada janji itu dan
tidak berpisah takut dan khusyu’ dari hati mereka. Maka bagaimanakah orang yang
tidak mempunyai persahabatan dan kedahuluan seperti mereka dengan Nabi saw,
merasa ‘ujub dengan dirinya dan berpegang kepada syafaat Nabi saw?.
Kelima: ‘ujub dengan keturunan
sultan-sultan (penguasa-penguasa) yang zalim dan pembantu-pembantu mereka,
tanpa keturunan agama dan ilmu. Dan ini adalah paling bodoh. Pengobatannya,
ialah, bahwa: ia merenungkan pada kehinaan penguasa-penguasa itu dan apa yang
terjadi bagi mereka, dari kezaliman atas hamba-hamba Allah dan kerusakan pada
agama Allah. Dan mereka itu terkutuk di sisi Allah Ta’ala. Kalau ia melihat
kepada bentuk mereka dalam api neraka, kebusukan dan kejijikan mereka, niscaya
ia mencegah diri dari mereka. Dan melepaskan diri dari menjadi keturunan
mereka. Dan ia menentang orang yang membangsakan dirinya keturunan mereka.
karena merasa jijik dan hinanya mereka. Dan jikalau tersingkaplah baginya
kehinaan mereka di hari kiamat dan bergantungan lawan-lawan mereka yang
menuntut haknya dan para malaikat yang mengambil pundak mereka, yang menghela
atas muka mereka ke neraka jahannam, lantaran kezaliman mereka kepada
hamba-hamba Allah, niscaya ia bermohon kepada Allah akan kelepasan diri dari
mereka. Dan berketurunannya kepada anjing dan babi lebih disukainya daripada
berketurunan kepada mereka. Maka berhaklah anak-anak orang zalim –jika mereka
dipelihara oleh Allah daripada kezliman mereka –bahwa bersyukur kepada Allah
Ta’ala atas keselamatan agama mereka. Dan meminta ampun dosa bapak-bapaknya. Jikalau
mereka itu orang muslim. Maka ‘ujub dengan keturunan mereka itu, adalah
kebodohan semata-mata.
Keenam: ‘ujub dengan banyaknya bilangan
anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat, pembantu dan pengikut, sebagaimana
dikatakan oleh orang-orang kafir: “Kami lebih banyak (dari kamu) mempunyai
harta dan anak”. S 34 Saba ayat 35. Dan sebagaimana orang-orang mu’min
mengatakan pada hari perang Hunain: “Kami tiada akan terkalahkan hari ini dari
karena sedikit”. Pengobatannya, ialah: apa yang telah kami sebutkan tentang
sombong. Yaitu: bahwa ia merenungkan (bertafakkur) tentang kelemahannya dan
kelemahan mereka. Dan semua mereka itu hamba yang lemah, tiada memiliki bagi
dirinya, melarat dan manfaat. Dan: “Berapa banyaknya pasukan kecil dapat
mengalahkan pasukan yang besar dengan izin Allah”. Kemudian, bagaimana ia
merasa ‘ujub dengan mereka. Dan sesungguhnya mereka itu akan bercerai dengan
dia, apabila ia sudah mati. Maka ia dikuburkan dalam kuburannya, hina terhina
seorang diri. Tiada ditemani oleh keluarga, anak, kerabat, teman dan kawan.
Mereka menyerahkannya kepada kehancuran, ular, kala dan ulat. Dan mereka tiada
mengambil manfaat sesuatupun daripadanya. Sedang itu, pada waktu yang sangat
diperlukannya kepada mereka. Dan begitu pula, mereka itu lari daripadanya pada
hari kiamat. “Di hari seorang manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu dan
bapaknya. Dan dari isteri dan anak-anakanya. Setiap orang di hari itu mempunyai
urusan yang mengganggunya (dari urusan orang lain)”. Maka manakah kebajikan
pada orang yang berpisah dengan engkau pada keadaan yang sangat sulit bagi
engkau dan ia lari dari engkau? Bagaimana engkau ber’ujub dengan dia? Dan ia
tidak mendatangkan manfaat bagi engkau dalam kubur, di hari kiamat dan di atas
titian, selain amal engkau dan kurnia Allah Ta’ala. Maka bagaimana engkau
berpegang kepada orang yang tidak mendatangkan manfaat dan melarat, mati dan
hidup engkau?
Ketujuh: ‘Ujub dengan harta, sebagaimana
difirmankan oleh Allah Ta’ala, menerangkan dari hal orang yang mempunyai dua
kebun, ketika ia mengatakan kepada temannya:
“Hartaku lebih banyak dari harta engkau dan pengikutku lebih banyak dari
pengikut engkau”. Rasulullah saw melihat seorang laki-laki kaya, yang duduk di
sampingnya seorang miskin. Lalu si kaya itu menjauhkan diri dari orang miskin
tersebut dan mengumpulkan kain-kainnya. Maka Nabi saw bersabda: “Adakah engkau
takut menular kepada engkau kemiskinannya”. Yang demikian itu, adalah karena
‘ujub dengan kekayaannya. Dan pengobatannya, ialah: bahwa ia merenungkan
tentang bahaya harta, banyak hak orang padanya dan besar tipuannya. Dan
memandang kepada kelebihan orang-orang miskin dan dahulunya mereka ke sorga
pada hari kiamat. Dan bahwa harta itu datang dan pergi dan tak ada asal
baginya. Dan bahwa pada orang Yahudi ada orang yang bertambah padanya harta.
Dan memperhatikan kepada sabda Nabi saw: “Dimana seorang laki-laki yang
menyombong pada pakaiannya, yang telah mendatangkan ‘ujub bagi dirinya, lalu
Allah Ta’ala menyuruh bumi untuk mengambilkannya. Maka ia tenggelam dalam bumi,
sampai hari kiamat”. Nabi saw mengisyaratkan dengan sabdanya itu, kepada
siksaan 'ujubnya orang itu, dengan harta dan dirinya. Abu Dzar ra
mengatakan: “Aku berada bersama
Rasulullah saw. Lalu beliau masuk masjid, seraya bersabda kepadaku: “Hai Abu
Dzar! Angkatlah kepalamu!”. Lalu aku mengangkatkan kepalaku. Tiba-tiba terlihat
seorang laki-laki dengan pakaian bagus. Kemudian, beliau bersabda: “Angkatlah
kepalamu!”. Lalu aku mengangkatkan kepalaku. Tiba-tiba terlihat seorang
laki-laki dengan pakaian buruk. Maka beliau saw bersabda kepadaku: “Hai Abu
Dzar! Ini pada sisi Allah lebih baik dari sarung bumi, seperti ini”. Semua apa
yang telah kami sebutkan pada Kitab Zuhud, Kitab Tercelanya Dunia dan Kitab
Tercelanya Harta itu menjelaskan kehinaan orang-orang kaya dan kemuliaan
orang-orang miskin pada sisi Allah Ta’ala. Maka bagaimana tergambar dari orang
mu’min bahwa ia merasa ‘ujub dengan kekayaannya? Akan tetapi, orang mu’min itu
tiada terlepas dari takut, dari teledornya pada menegakkan hak-hak harta, pada
mengambilnya dari yang halal dan meletakkannya pada haknya. Dan orang yang
tiada berbuat demikian, maka kembalinya kepada kehinaan dan kebinasaan. Lalu,
bagaimana ia merasa ‘ujub dengan hartanya itu?
Kedelapan: ‘ujub dengan pendapat salah.
Allah Ta’ala berfirman: “Adakah orang yang memandang baik perbuatannya yang
buruk, lalu perbuatan buruk itu dianggapnya baik?”. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka itu mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al
Kahfi ayat 104. Rasulullah saw menerangkan, bahwa yang demikian itu akan banyak
terjadi pada akhir umat ini. Dengan demikian, telah binasa umat-umat yang lalu,
karena bercerai berai kepada golongan-golongan. Maka setiap orang itu, ‘ujub
dengan pendapatnya. Dan setiap golongan, bergembira dengan apa yang ada pada
mereka. Dan semua ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan sesat, berkekalan atas
yang demikian, karena ‘ujubnya dengan pendapatnya. Dan ‘ujub dengan bid’ah
(yang diada-adakan) itu, ialah: memandang baik apa yang dibawa oleh hawa nafsu
dan keinginan, serta menyangka itulah yang benar. Pengobatan ‘ujub ini lebih
sukar dari pengobatan lainnya. Karena orang yang mempunyai pendapat salah itu
bodoh dengan kesalahannya. Dan jikalau diketahuinya, niscaya ditinggalkannya.
Dan tidak diobati penyakit yang tidak diketahui. Dan kebodohan itu penyakit
yang tidak diketahui. Maka sukar sekali mengobatinya. Karena orang arif
bijaksana itu sanggup menerangkan kepada orang bodoh akan kebodohannya dan
menghilangkan kebodohan itu daripadanya. Kecuali apabila orang itu ‘ujub dengan
pendapat dan kebodohannya. Maka ia tidak akan mendengar orang arif bijaksana
tadi dan akan dicurigainya. Allah Ta’ala menguasakan kepadanya bencana yang
akan membinasakannya. Dan ia menyangka bencana itu nikmat. Maka bagaimana
mungkin mengobatinya? Dan bagaimana ia mencari kelarian (melepaskan diri) dari
apa yang menjadi kebahagiaan menurut keyakinannya? Sesungguhnya pengobatannya
secara keseluruhan, ialah: bahwa ia curiga selalu kepada pendapatnya sendiri.
Ia tidak tertipu dengan pendapatnya itu, selain apabila disaksikan dengan yang
meyakinkan dari Kitab atau Sunnah atau dalil akal yang benar, yang mengumpulkan
syarat-syarat dalil. Dan manusia tidak mengetahui dalil-dalil syara’ (agama)
dan akal, syarat-syarat dan tempat-tempat tersembunyi kesalahan padanya, selain
dengan kepintaran sempurna, akal tembus, kesungguhan, kekekalan mencari, selalu
membiasakan membaca Kitab dan Sunnah, duduk-duduk dengan ahli ilmu sepanjang
umur dan mempelajari berbagai ilmu. Dan serta yang demikianpun, tiada aman dari
kesalahan pada sebahagian urusan. Dan yang betul bagi orang yang tidak
menyelesaikan untuk menghabiskan umurnya pada mencari ilmu, ialah: bahwa ia
tiada terjun pada mazhab-mazhab, tidak memasangkan telinga dan tidak
mendengarnya. Akan tetapi ia berkeyakinan, bahwa Allah Ta’ala itu Esa, tiada
sekutu bagiNya. Dan bahwa: tiada suatupun yang sepertiNya. Dia maha mendengar
dan maha melihat. Dan bahwa RasulNya benar tentang apa yang dikhabarkannya. Ia
mengikuti Sunnah salaf (jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu). Ia
beriman dengan cara keseluruhan apa yang dibawa oleh Kitab dan Sunnah, tanpa
pembahasan, pengorekan dan pertanyaan dari penguraiannya. Akan tetapi, ia
mengatakan: Kami beriman dan kami membenarkan. Ia menyibukkan diri dengan
taqwa, menjauhkan perbuatan maksiat, mengerjakan taat, kasih sayang kepada kaum
muslimin dan amal-amal yang lain. Kalau ia terjun ke dalam mazhab-mazhab,
bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang diada-adakan) dan fanatik pada aqidah,
niscaya ia binasa, dari segi yang tidak disadarinya. Dan inilah hak setiap
orang yang bercita-cita menghabiskan umurnya dengan sesuatu, selain ilmu.
Adapun orang yang bercita-cita kepada semata-mata ilmu, maka pertama-tama yang
penting baginya, ialah: mengenal dalil dan syarat-syaratnya. Dan yang demikian
itu, adalah sebahagian dari yang panjanglah urusan padanya. Dan sampai kepada
keyakinan dan mengetahui pada kebanyakan yang dicari, adalah sukar, yang tidak
disanggupi, selain oleh orang-orang kuat, yang memperoleh kekuatan dengan Nur
Allah Ta’ala. Dan itu sukar sekali adanya. Maka kita bermohon kepada Allah
Ta’ala akan terpelihara dari kesesatan. Dan kita berlindung dengan Dia dari
ketipuan dengan khayalan-khayalan orang-orang bodoh. Tamatlah sudah Kitab
Tercelanya Sombong dan ‘Ujub. Segala pujian bagi Allah Tuhan YME. Mencukupilah
bagi kita Allah dan sebaik-baik yang kita menyerahkan diri. Tiada daya dan
upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Dan rahmat Allah
kepada penghulu kita Muhammad, kepada kaum keluarga dan para sahabatnya serta
selamat sejahtera.