Kamis, 13 Februari 2014

29. KITAB TERCELANYA TAKABUR DAN ‘UJUB.

KITAB TERCELANYA TAKABUR DAN ‘UJUB.
Yaitu: kitab ke 9 dari “Rubu’ Yang Membinasakan”, dari kitab “IHYA ‘ULUMIDDIN”
Segala pujian bagi Allah, yang menjadikan, yang menciptakan, yang membentuk, yang mula, yang perkasa, yang membesarkan diri, yang tinggi, yang tidak diletakkan oleh yang meletakkan, dari hal kemuliaanNya yang perkasa, dimana setiap yang perkasa itu hina dan tunduk kepadaNya. Dan setiap yang menyombongkan diri itu miskin dan merendahkan diri pada sisi kemuliaanNya. Maka Dialah yang maha perkasa, yang tidak dapat ditolak dari kehendakNya oleh yang menolak. Dialah yang kaya, yang tiada mempunyai sekutu dan yang membantah. Yang berkuasa, yang oleh keagungan dan keelokanNya menerangi penglihatan makhluk. Dan oleh kedudukan, ketinggian dan kekuasaanNya menguasai Arasy mulia. Dan oleh sifatNya dan sanjunganNya membatasi lisan nabi-nabi. Dan oleh penghinggaan dan pemeriksaanNya, terangkatlah dari batas kekuasaan mereka. Maka mengakulah para malaikat dan nabi-nabiNya dengan kelemahan daripada menyifati penghabisan keagunganNya. Dan oleh keagungan dan ketinggianNya, memecahkan punggung kisra-kisra (raja-raja Parsi). Dan oleh kebesaran dan kesombonganNya memendekkan tangan kaisar-kaisar (raja-raja Rumawi). Maka kebesaran itu kain sarungNya (izarNya) dan kesombongan itu kain selendangNya (rida’Nya). Dan barangsiapa bertengkar dengan Dia pada yang dua itu, niscaya Ia akan mematahkannya dengan penyakit mati. Maka dilemahkannya dari mencari obatnya. Maka agunglah keagunganNya dan maha kuduslah (suci) asmaNya (nama-namaNya). Dan rahmat kepada Muhammad  yang diturunkan nur (cahaya) kepadanya. Yang bertebaranlah cahayanya. Sehingga bersinarlah dengan nurnya, segala penjuru dan tepi alam. Dan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, dimana mereka itu semua kekasih Allah, wali-waliNya, pilihanNya dan orang-orangNya yang bersih. Dan anugerahlah kesejahteraan yang banyak pada mereka! Adapun kemudian, maka sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Kesombongan itu selendangKu dan kebesaran itu kain sarungKu. Maka siapa yang bertengkar dengan Aku pada keduanya, niscaya Aku patahkan dia”. Nabi saw bersabda: “3 perkara yang membinasakan, yaitu: kikir yang diikuti orang, hawa nafsu yang dituruti orang dan orang mengherani (berlaku ‘ujub) dengan diri sendiri”. Maka takabur (sombong-membesarkan diri) dan ‘ujub (mengherani diri atau heran kepada diri sendiri, dengan merasa kelebihan, lalu membanggakan diri) itu, adalah dua penyakit yang membinasakan. Orang yang takabur dan ‘ujub itu, adalah orang sakit yang sedang menderita kesakitan. Keduanya pada sisi Allah itu terkutuk, lagi dimarahi. Apabila adalah maksud pada Rubu’ ini dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, menguraikan hal-hal yang membinasakan, niscaya wajiblah dijelaskan tentang takabur dan ‘ujub. Sesungguhnya kedua sifat itu termasuk sifat-sifat yang membinasakan, lagi keji. Dan kami akan menjelaskan keduanya dengan panjang lebar pada kitab ini pada: dua bahagian. Satu bahagian mengenai takabur dan satu bahgian lagi, mengenai ‘ujub.
Bahagian pertama dari kitab ini, mengenai takabur. Tentang ini, ialah: penjelasan tercelanya takabur. Penjelasan tercelanya menyombongkan diri. Penjelasan keutamaan tawadlu’ (merendahkan diri). Penjelasan hakikat/makna takabur dan bahayanya. Penjelasan orang yang takabur kepadanya dan tingkat-tingkat takabur. Penjelasan apa yang menjadi takabur. Penjelasan hal-hal yang membangkitkan kepada takabur. Penjelasan akhlak orang-orang yang merendahkan diri dan apa, yang padanya melahirkan takabur. Penjelasan pengobatan takabur. Penjelasan ujian diri pada akhlak takabur. Dan penjelasan yang terpuji dari akhlak merendahkan diri yang tercela daripadanya.
PENJELASAN: tercelanya takabur (sombong).
Sesungguhnya Allah Ta’ala mencela takabur pada beberapa tempat dari kitabNya. Dan mencela tiap-tiap orang yang perkasa, yang bersikap takabur. Allah Ta’ala berfirman: “Akan Aku belokkan dari keterangan-keteranganKu, orang-orang yang menyombongkan dirinya (takabur) di muka bumi, di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Begitulah Allah mencap (menutup) setiap hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”. S 40 Al Mukmin ayat 35. “Dan mereka rasul-rasul itu meminta pertolongan dan kecewalah setiap orang berkuasa yang keras kepala”. S 14 Ibrahim ayat 15. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Dia/Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. S 16 An Nahl ayat 23. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka amat sombong dalam hatinya dan melakukan pelanggaran yang sangat besar”. S 25 Al Furqaan ayat 21. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah Aku, akan masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Tercelanya sifat takabur (sombong) dalam Alquran itu banyak. Dan Rasulullah saw bersabda: “Tiada akan masuk sorga, orang yang ada dalam hatinya, seberat biji sawi, dari takabur (sombong). Dan tiada akan masuk neraka orang yang dalam hatinya, seberat biji sawi dari iman”. Abu Hurairah ra mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Takabur itu selendangKu dan kebesaran itu kain sarungKu. Maka barangsiapa bertengkar dengan Aku pada salah satu dari yang dua itu, niscaya Aku campakkan dia dalam neraka jahannam. Dan Aku tiada perdulikan”. Dari Abi Salmah bin Abdurrahman, yang mengatakan: “Telah berjumpa Abdullah bin ‘Amr dengan Abdullah bin Umar di atas bukit Shafa. Lalu keduanya berhenti sejenak. Kemudian, Abbdullah bin Amr pergi dan Abdullah bin Umar terus berdiri di situ dan menangis. Lalu mereka (orang-orang yang berada di situ) bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau menangis, hai Abu Abdurrahman?”. Abdullah bin Umar menjawab: “Itu! Yakni: Abdullah bin Amr, yang mendakwakan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa ada dalam hatinya seberat biji sawi dari takabur, niscaya ditelungkupkan oleh Allah dalam api neraka, mukanya”. Rasulullah saw bersabda: “Senantiasalah orang itu berjalan sendiri, sehingga ia tertulis dalam golongan orang-orang yang sombong durhaka. Maka akan menimpa kepadanya, apa yang menimpa kepada mereka yang sombong durhaka, dari azab”. Pada suatu hari, Nabi Sulaiman bin Daud as mengatakan kepada burung, manusia, jin dan hewan: “Keluarlah dari tempatmu!”. Maka keluarlah mereka, dalam jumlah 200 ribu manusia dan 200 ribu jin. Lalu Nabi Sulaiman as meninggi, sehingga ia mendengar bunyi suara malaikat di langit membaca tasbih. Kemudian, ia merendah, sehingga tapak kakinya menyentuh laut. Lalu ia mendengar suara: “Jikalau ada dalam hati temanmu sombong, seberat atom/dzarrah, niscaya engkau tenggelam dengan dia, lebih jauh daripada apa yang engkau tinggikan”. Nabi saw bersabda: “Akan keluar dari api neraka sebuah batang leher, yang mempunyai dua telinga yang mendengar, dua mata yang melihat dan lidah yang bertutur kata, yang mengatakan: “Aku diwakilkan dengan 3 golongan, yaitu: dengan setiap orang yang sombong keras kepala, dengan setiap orang yang berdoa serta Allah akan tuhan yang lain dan dengan orang-orang yang membuat gambar”. Nabi saw bersabda: “Tiada masuk sorga, orang kikir, orang sombong dan orang yang jahat sifatnya”. Nabi saw bersabda: “Berhujjah (masing-masing mengemukakan alasan) diantara sorga dan neraka. Kata neraka: “aku dipilih dengan orang-orang yang sombong dan orang-orang yang keras kepala. Dan kata sorga: “Apalah aku ini, yang tiada akan masuk kepadaku, selain manusia-manusia yang lemah, orang-orang yang jatuh dari mereka dan orang-orang yang tiada bertenaga”. Lalu Allah berfirman kepada sorga: “Sesungguhnya engkau rahmatKu. Aku beri rahmat dengan sebab engkau, akan siapa yang Aku kehendaki dari hamba-hambaKu”. Dan Ia berfirman kepada neraka: “Sesungguhnya engkau azabKu. Aku azabkan dengan sebab engkau, akan siapa yang Aku kehendaki. Dan bagi masing-masing dari kedua engkau, mempunyai kepenuhannya”. Nabi saw bersabda: “Hamba yang jahat, ialah hamba yang sombong keras kepala dan melewati batas. Orang yang sombong keras kepala itu, lupa kepada Yang Maha Perkasa, Maha Tinggi. Hamba yang jahat, itulah hamba yang keras kepala, yang sombong. Ia lupa kepada Yang Maha Besar, lagi Maha Tinggi. Hamba yang jahat, ialah hamba yang lalai dan lupa. Ia lupa kepada kubur dan kehancuran tubuh di dalamnya. Jahatlah hamba yang sombong dan melewati batas. Ia lupa kepada permulaan dan kesudahan”. Dari Tsabit bin Aslam (w.Th.20 lebih dari tahun Hijriyah), mengatakan: “Sampai kepada kami, bahwa ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah! Alangkah hebatnya sombong si Anu!”. Lalu Nabi saw menanyakan: “Apakah tidak ada sesudahnya mati?”. Abdullah bin Amr mengatakan: “Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Nuh as tatkala hampir wafat, lalu memanggil dua orang anaknya dan mengatakan: “Sesungguhnya aku suruh kamu berdua, dengan dua perkara. Dan aku larang kamu berdua, dari 2 perkara. Aku larang kamu berdua dari: syirik dan takabur. Dan aku suruh kamu berdua dengan mengucapkan: Laa ilaaha illallaah (Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah). Sesungguhnya langit dan bumi serta isinya, jikalau diletakkan pada satu daun neraca dan Laa ilaaha illallah diletakkan pada daun neraca yang satu lagi, niscaya adalah Laa ilaaha illallaah itu lebih berat daripada langit dan bumi serta isinya. Dan jikalau langit dan bumi serta isinya itu suatu kalung, lalu diletakkan “Laa ilaaha illallaah” atas kalung itu, niscaya dipatahkannya. Dan aku suruh kamu berdua mengucapkan: Subhaanallaah & Alhamdulillaah. Sesungguhnya itu, adalah shalat setiap sesuatu. Dan dengan dia itu, diberikan rezeki setiap sesuatu”’. Nabi Isa Al-Masih as berkata: “Selamatlah bagi orang yang diajarkan oleh Allah KitabNya. Kemudian dia tidak mati, dalam keadaan sombong keras kepala”. Nabi saw bersabda: “Isi neraka itu setiap orang yang kasar, sombong, angkuh kepada teman-temannya, pengumpul harta dan tidak mau memberikan kepada yang berhak. Dan isi sorga itu: orang-orang lemah, yang sedikit hartanya (miskin)”. Nabi saw bersabda: “Yang paling kami kasihi daripada kamu dan yang paling dekat kepada kami daripada kamu di akhirat, ialah: yang terbaik akhlak daripada kamu. Dan yang sangat kami marahi daripada kamu dan terjauh kepada kami daripada kamu, ialah: mereka yang banyak bicara tidak menentu (tsartsar), besar mulut, tanpa ada penjagaan (mutasyaddiq) dan mutafaihiq”. Mereka lalu bertanya “Wahai Rasulullah! Kami telah mengetahui arti tsartsar dan mutasyaddiq. Maka apakah arti: mutafaihiq?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: orang takabur (sombong)”. Nabi saw bersabda: “Orang-orang yang sombong itu dikumpulkan pada hari kiamat, seperti bentuk semut yang halus. Mereka diinjak oleh manusia, sebagai semut yang halus, dalam bentuk seperti orang (laki-laki). Di atasi mereka oleh tiap sesuatu dari kehinaan. Kemudian, mereka itu dihalau ke penjara dalam neraka jahannam, yang namanya: Bulas. Diatasi mereka oleh api dari segala api. Mereka itu disiram dari debu racun yang berbisa, lindir tubuh isi neraka”. Abu Hurairah mengatakan: “Nabi saw bersabda: “Orang-orang yang sombong, keras kepala dan takabur, akan dikumpulkan pada hari kiamat, dalam bentuk semut kecil, yang diinjak mereka oleh manusia, karena hinanya mereka pada Allah Ta’ala. Dari Muhammad bin Wasi’, yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Bilal bin Abi Bardah. Lalu aku katakan kepadanya: “Hai Bilal! Sesungguhnya bapakmu menerangkan hadits kepadaku, dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang namanya: Habhab. Allah berhak menempatkannya setiap orang yang sombong keras kepala”. Maka jagalah dirimu, hai Bilal, bahwa engkau termasuk diantara orang yang menempatinya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dalam neraka ada sebuah tempat besar, yang ditempatkan di dalamnya orang-orang sombong dan mereka bertindis lapis di situ”. Nabi saw bedoa: “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari hembusan sombong”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang berpisah nyawanya dengan tubuhnya dan dia itu terlepas dari 3 perkara, niscaya ia masuk sorga, yaitu: sombong, hutang dan iri hati”. Al-atsar, yaitu: diantara lain, ialah: Abubakar Siddik ra mengatakan: “Janganlah seseorang menghinakan akan seseorang dari kaum muslimin! Maka sesungguhnya yang kecil dari kaum muslimin itu, besar pada sisi Allah”. Wahab bin Manbah mengatakan: “Tatkala Allah Ta’ala menjadikan sorga Aden, lalu Ia melihat kepadanya, seraya berfirman: “Engkau ini haram (tidak boleh) bagi setiap orang yang takabur”. Adalah Al-Ahnaf bin Qais duduk bersama Mash’ab bin Az-Zubair pada tempat tidurnya. Pada suatu hari datang Al-Ahnaf dan Mash’ab sedang meluruskan kedua kakinya. Maka tidak ditarik oleh Mash’ab kedua kakinya itu. Dan Al-Ahnaf terus duduk. Lalu didesaknya Mash’ab sedikit. Maka ia melihat kesan yang demikian pada muka Mash’ab. Lalu Al-Ahnaf mengatakan: “Heran bagi anak Adam itu menyombong, padahal ia keluar dari tempat keluar kencing, dua kali”. Al-Hasan Al Bashar (melihat)i ra berkata: “Heran dari anak Adam, yang membasuh kemaluannya dengan tangannya setiap hari sekali atau dua kali. Kemudian, ia menentang Tuhan Yang Maha Perkasa bagi semua langit”. Sesungguhnya ada yang mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Dan pada dirimu sendiri, apakah tidak kamu memperhatikannya?”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 21. Bahwa yang dimaksud dengan itu, ialah: jalan keluar berak dan kencing. Muhammad bin Al-Husain bin Ali ra mengatakan: “Tiada masuk sekali-kali dalam hati manusia, sesuatu dari kesombongan, melainkan telah berkurang dari akalnya, sekedar apa yang masuk dari kesombongan itu, sedikit atau banyak”. Ditanyakan Salman Al-Farisi ra dari hal kejahatan yang tiada bermanfaat kebaikan bersama kejahatan itu. Lalu beliau menjawab: “Sombong”. An-Nu’man bin Basyir mengatakan di atas mimbar: “Sesungguhnya setan itu mempunyai jaring-jaring dan alat-alat penangkap. Termasuk diantara jaring-jaring dan alat-alat penangkap kepunyaan setan itu, ialah: durhaka dengan nikmat-nikmat Allah, angkuh dengan pemberian Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah dan menuruti keinginan pada bukan Zat Allah”. Kita bermohon kepada Allah, akan kemaafan dan sehat wal afiat di dunia dan di akhirat dengan nikmat dan kurniaNya.
PENJELASAN: Tercelanya keangkuhan dan melahirkan bekas-bekas kesombongan pada berjalan dan menarik kain.
Rasulullah saw bersabda: “Allah tidak memandang kepada orang yang menarik kain sarungnya dengan angkuh”. Nabi saw bersabda: “Sementara seorang laki-laki yang menyombong pada pakaiannya, karena pakaian tersebut membanggakannya, maka ditenggelam kan oleh Allah akan bumi dengan sebabnya. Lalu ia bergerak dengan kacau di bumi sampai kepada hari kiamat”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menarik kainnya dengan angkuh, niscaya Allah tidak memandang kepadanya pada hari kiamat”. Zaid bin Aslam mengatakan: “Aku masuk ke tempat Ibnu Umar. Maka lalu di situ Abdullah bin Waqid. Dan dia memakai kain baru. Lalu aku mendengar ia mengatakan: “Hai anakku! Angkatlah kain sarungmu!” maka sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala tiada memandang kepada orang, yang menarik kain sarungnya dengan perasaan angkuh (sombong)”. Diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw pada suatu hari meludah atas tapak tangannya dan meletakkan anak jarinya atas ludah itu. Dan beliau bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Hai anak Adam! Adakah engkau melemahkan Aku? Padahal Aku telah menjadikan engkau dari yang seperti ini. Sehingga apabila Aku telah menjadikan engkau yang seimbang dan lurus, lalu engkau berjalan dengan keangkuhan. Dan bumi mempunyai tempat berpijak dari engkau. Engkau kumpulkan harta dan engkau tidak mau mengeluarkan hak orang. Sehingga apabila ruh engkau sampai di tulang leher, niscaya engkau mengatakan: “Aku bersedekah!”. Dan dimanakah waktu bersedekah itu?”. Nabi saw bersabda: “Apabila umatku berjalan dengan angkuh dan mereka dilayani oleh orang Parsi dan orang Rumawi, niscaya Allah menguasakan sebahagian mereka di atas sebahagian yang lain”. Ibnul-Arabi mengatakan: yaitu, perjalanan yang ada padanya keangkuhan. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membesarkan diri dan angkuh pada jalannya, niscaya ia menemui Allah dan Allah marah kepadanya”. Al-atsar: yaitu, dari Abubakar Al-Hadzali (w. Th.67 H), yang mengatakan: “Sewaktu kami berada bersama Al-Hasan Al-Bashari , tiba-tiba lalu dekat kami Ibnul-Ahtam, yang bermaksud ke al-maqshurah (suatu tempat yang menyerupai mahligai, terletak di kanan mihrab masjid, yang dibangun oleh Bani Ummiyah). Ia memakai baju jubah sutera, yang berlapis-lapis pada betisnya. Dan terbuka (tidak dikancing) baju qaba’nya (baju yang dipakai bagian luar). Ia berjalan dengan menyombong. Tatkala Al-Hasan Al Bashar (melihat)i memandang kepada Ibnul-Ahtam sekali pandang, lalu Al-Hasan Al-Bashari  mengatakan: “Cis –Cis! Kembang hidungnya, melipat lembungnya dan memalingkan pipinya. Ia memandang pada dua lembungnya. Hai orang dungu! Engkau memandang pada dua lembung engkau, pada nikmat yang tidak disyukuri dan tidak diingati. Yang tidak diambil padanya dengan perintah Allah dan tidak dilaksanakan hak Allah daripadanya. Demi Allah, bahwa seseorang berjalan, menurut tabiatnya, yang bergoncang badannya, sebagaimana bergoncangnya badan orang gila. Pada setiap anggota dari anggota badannya itu nikmat Allah. Dan setan menoleh kepadanya”. Maka didengar oleh Ibnul-Ahtam. Lalu ia kembali dan meminta maaf kepada Al-Hasan Al-Bashari . Maka Al-Hasan Al-Bashari  menjawab: “Jangan kamu meminta maaf kepadaku. Bertobatlah kepada Tuhanmu! Apakah kamu tidak mendengar firman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya engkau tiada dapat menembus bumi dan takkan sampai engkau setinggi gunung”. S 17 Al Israa’ ayat 37. Seorang pemuda lalu di tempat Al-Hasan Al-Bashari , memakai pakaiannya yang bagus. Lalu Al-Hasan Al-Bashari  memanggilnya, seraya mengatakan kepadanya: “Anak Adam, yang membanggakan kemudaannya, yang mencintai sifat-sifatnya. Seakan-akan kubur telah menyembunyi kan badan engkau. Dan seakan-akan engkau, telah menjumpai amal engkau. Kasihan engkau! Obatil/salahah hati engkau! Sesungguhnya hajat Allah kepada hamba-hambaNya, ialah perbaikan hati mereka”. Diriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul-‘aziz menunaikan ibadah haji, sebelum ia menjadi khalifah. Lalu Thawus Al-Yamani ra melihat kepadanya. Dan Umar itu berjalan dengan angkuh. Maka Thawus mengisyaratkan dengan anak jarinya, ke lembung ‘Umar. Kemudian, Thawus mengatakan: “Tidaklah ini jalannya orang, yang dalam perutnya tai”. Maka Umar bin Abdul-‘aziz menjawab, sebagai meminta maaf: “Wahai pamanku! Setiap anggota tubuhku telah memukul atas perjalanan ini, sehingga aku mempelajarinya”. Muhammad bin Wasi’ melihat anaknya, bersikap angkuh. Lalu dipanggilnya dan dikatakannya: “Tahukah kamu, siapa kamu? Adapun ibumu, maka ia aku beli dengan harga 200 dirham. Dan bapakmu, maka tidak diperbanyakkan oleh Allah seperti dia dalam kalangan kaum muslimin”. Ibnu Umar ra melihat seorang laki-laki menghela kain sarungnya, dengan sombong lalu Ibnu Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya setan itu mempunyai teman”. Ibnu Umar ra mengulangi perkataannya itu dua atau tiga kali. Diriwayatkan, bahwa Mathraf bin Abdullah bin Asy-Syukhair melihat Al-Muhallab. Dia itu menyombong memakai baju jubah sutera. Lalu Mathraf mengatakan: “Hai hamba Allah! ini adalah perjalanan yang dimarahi Allah dan RasulNya”. Lalu Al-Muhallab menjawab: “Apakah engkau tidak mengenal aku?”. Mathraf menjawab: “Ya, aku kenal engkau. Permulaan engkau itu nuthfah (air anyir) yang berobah. Dan kesudahan engkau itu bangkai yang busuk. Dan engkau diantara yang dua itu, membawa tai”. Maka Al-Muhallab lalu dari situ dan meninggalkan perjalanannya yang demikian”. Mujahid ra mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Kemudian, ia pergi kepada keluarganya dengan sombong/yatamath-tha”. S 75 Al Qiamah ayat 33. Dan tatkala telah kami sebutkan tercelanya sombong dan angkuh, maka hendaklah kami sebutkan sekarang keutamaan merendahkan diri (at-tawadlu’). Wallahu Ta’ala a’lam! Allah Ta’ala yang maha tahu!.
PENJELASAN: keutamaan merendahkan diri.
Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala tiada menambahkan seseorang hamba, dengan kemaafannya, selain kemuliaan. Dan tiada seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan dia diangkat oleh Allah”. Nabi saw bersabda: “Tiada  seorangpun, melainkan ada bersama dia dua orang malaikat. Dan pada orang itu cemeti, yang dipegang oleh dua malaikat tadi orang tersebut, dengan cemeti itu. Maka jikalau orang itu mengangkat dirinya, niscaya dua malaikat itu menarik cemeti tersebut. Kemudian, kedua malaikat tadi berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku! Rendahkanlah dia!”. Dan jikalau orang itu merendahkan dirinya, lalu kedua malaikat itu bredoa: “Wahai Allah, Tuhanku! Alangkatkanlah (tinggikanlah) dia!”. Nabi saw bersabda: “Amat baiklah orang yang merendahkan diri pada bukan karena kemiskinan. Membelanjakan harta yang dikumpulkannya pada bukan maksiat. Mengasihani orang hina dan miskin. Dan bercampur gaul dengan ahli fiqih dan hikmah”. Dari Abu Salmah Al-Madini, dari ayahnya, dari neneknya, yang mengatakan: “Adalah Rasulullah saw pada tempat kami di Quba’ dan beliau berpuasa. Lalu kami bawakan kepadanya ketika berbuka puasa, segelas susu. Dan kami masukkan dalam susu itu sedikit madu. Maka tatkala beliau mengangkat gelas itu dan merasakan susunya, beliau dapati kemanisan madu. Lalu beliau bertanya: “Apakah ini?”. Kami menjawab: “Wahai Rasulullah! Kami masukkan ke dalamnya sedikit madu”. Lalu beliau letakkan dan mengatakan: “Sesungguhnya aku tidak mengharamkannya. Dan siapa yang merendahkan diri karena Allah, niscaya ia diangkat oleh Allah. Dan siapa yang menyombong, niscaya direndahkan oleh Allah. Dan siapa yang sederhana, niscaya dikayakan oleh Allah. Dan siapa yang mubazir (boros), niscaya dimiskinkan oleh Allah. dan siapa yang banyak mengingati Allah (berdzikir), niscaya dikasihi oleh Allah”. Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw berada dalam suatu jama’ah sahabat-sahabatnya di rumahnya, dimana mereka itu makan. Lalu berdiri di pintu seorang peminta-peminta dan dia itu sakit lumpuh, yang tidak disenangi orang. Lalu ia diizinkan masuk. Tatkala ia sudah masuk, maka didudukkan oleh Rasulullah saw atas pahanya (dalam pangkuannya). Kemudian beliau mengatakan kepada peminta-peminta itu: “Makanlah! Seakan-akan ada seseorang dari suku Quraisy yang jijik dan tidak suka kepada dia ini. Maka tiadalah mati orang Quraisy itu, sehingga ia mendapat penyakit lumpuh, seperti lumpuhnya peminta-peminta itu”. Nabi saw bersabda: “Disuruh pilih aku oleh Tuhanku diantara dua perkara, yaitu: bahwa aku menjadi hamba dan rasul atau menjadi raja dan nabi. Maka aku tidak tahu, mana yang akan aku pilih. Dan adalah temanku Jibril diantara malaikat itu. Maka aku mengangkatkan kepalaku kepadanya. Lalu ia mengatakan: “Merendahilah dirimu kepada Tuhanmu ! maka aku menjawab: “Hamba dan rasul”. Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa as: “Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendahkan dirinya karena kebesaranKu. Ia tidak membesarkan dirinya kepada makhlukKu. Ia mengharuskan hatinya takut kepadaKu. Ia menghabiskan harinya dengan berdzikir kepadaKu. Dan ia mencegah dirinya dari nafsu-syahwat, dari karenaKu”. Nabi saw bersabda: “Sifat pemurah itu taqwa. Mulia itu merendahkan diri dan yakin itu kekayaan”. Nabi Isa Al-Masih as mengatakan: “Amat baiklah bagi orang-orang yang merendahkan diri di dunia. Mereka itu teman-teman mimbar pada hari kiamat. Amat baiklah bagi orang-orang yang berbuat perbaikan diantara manusia di dunia. Mereka itu akan mewarisi sorga Firdaus pada hari kiamat. Amat baiklah bagi mereka yang disucikan hatinya di dunia. Mereka yang melihat kepada Allah Ta’ala pada hari kiamat”. Setengah mereka mengatakan: “Telah sampai kepadaku, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila Allah memberi petunjuk seorang hamba bagi agama Islam dan membaguskan bentuknya, menjadikan dia pada tempat yang tiada berkekurangan dan bersama itu, Allah menganugerahkan kepadanya sifat merendahkan diri, maka yang demikian itu, dari pilihan Allah”. Nabi saw bersabda: “4 perkara tiada diberikan oleh Allah, selain orang yang dikasihiNya: yaitu, diam dan itu adalah permulaan ibadah, tawakkal kepada Allah, merendahkan diri dan zuhud di dunia". Ibnu Abbas mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila hamba itu merendahkan diri, niscaya ia diangkat oleh Allah ke langit ke 7”. Nabi saw bersabda: “Merendahkan diri itu, tiada menambahkan bagi hamba, melainkan ketinggian. Maka merendah dirilah kamu, niscaya akan dicurahkan rahmat oleh Allah kepada kamu”. Diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw sedang makan. Lalu datanglah seorang laki-laki hitam, yang berpenyakit cacar sedang mengupas. Maka orang hitam itu tiada duduk dekat seseorang, melainkan orang itu berdiri dari samping orang hitam itu. Lalu Nabi saw mendudukkan orang hitam itu disampingnya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya menakjubkan aku, oleh orang yang membawa sesuatu dalam tangannya, yang menjadi layanan bagi keluarganya. Dia menolak kesombongan dengan yang demikian itu dari dirinya”. Nabi saw pada suatu hari mengatakan kepada sahabat-sahabatnya: “Mengapa aku tiada melihat padamu kemanisan ibadah?”. Para sahabat lalu bertanya: “Apakah kemanisan ibadah itu?”. Nabi saw lalu menjawab: “Merendahkan diri”. Nabi saw bersabda: “Apabila kamu melihat orang-orang yang merendahkan diri dari umatku, maka merendahkan dirilah kamu kepada mereka! Dan apabila kamu melihat orang-orang yang menyombongkan diri, maka menyombongkan dirilah kamu kepada mereka! Maka sesungguhnya yang demikian itu penghinaan dan pengecilan bagi mereka”. Al-Atsar: Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya hamba itu, apabila ia merendahkan diri, karena Allah, niscaya Allah mengangkatkan hikmahNya. Dan berkata malaikat yang diwakilkan dengan hikmah itu: “Bangunlah dari jatuhmu, niscaya kamu diangkatkan oleh Allah!”. Dan apabila hamba itu menyombong dan melampaui batasnya, niscaya ia ditolak oleh Allah dalam bumi. Dan berkata malaikat yang diwakilkan dengan hikmat itu: “Nyahlah engkau! Niscaya engkau dinyahkan oleh Allah” Dia itu pada dirinya besar dan pada mata manusia hina. Sehingga, sesungguhnya dia itu lebih hina dari babi pada sisi manusia”. Jarir bin Abdullah mengatakan: “Pada suatu kali, aku sampai ke sebatang pohon kayu, yang dibawahnya seorang laki-laki sedang tidur, yang bernaung dengan permadani kulit kepunyaannya. Dan matahari sudah melampaui permadani kulit itu. Lalu aku buatkan permadani tersebut atasnya. Kemudian, laki-laki itu terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba, orang itu adalah Salman Al-Farisi. Lalu aku sebutkan kepadanya, apa yang telah aku perbuat. Maka ia mengatakan kepadaku: “Hai Jarir! Merendahkan dirilah engkau karena Allah di dunia! Maka sesungguhnya, siapa yang merendahkan diri karena Allah di dunia, niscaya ia diangkatkan oleh Allah pada hari kiamat. Hai Jarir! Tahukah engkau, apakah kegelapan api neraka pada hari kiamat?”. Aku menjawab: “Tidak!”. Salman Al-Farisi mengatakan: “Sesungguhnya itu, ialah kezaliman manusia, sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain di dunia”. ‘Aisyah mengatakan: “Sesungguhnya kamu lupa dari ibadah yang paling utama, ialah: merendahkan diri (at-tawadlu’)”. Yusuf bin Asbath ra mengatakan: “Dibalasi sedikit wara’ dari banyaknya amal dan dibalasi sedikit at-tawadlu’, dari banyaknya kesungguhan berpikir kepada ilmu (al-ijtihad)”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra mengatakan dan dia itu ditanyakan tentang at-tawadlu’, apakah at-tawadlu’ itu? Lalu ia menjawab: “Bahwa engkau tunduk kepada kebenaran dan engkau mematuhinya. Dan jikalau engkau dengar kebenaran itu dari seorang anak kecil, niscaya engkau terima. Dan jikalau engkau dengar dari manusia yang paling bodoh, niscaya engkau terima”. Ibnul-Mubarak ra mengatakan: “Kepala at-tawadlu’, ialah: bahwa engkau letakkan diri engkau di sisi orang yang kurang dari engkau pada kenikmatan dunia. Sehingga engkau ketahui, bahwa tiada bagi engkau dengan dunia engkau, kelebihan daripadanya. Dan bahwa engkau angkatlah diri engkau, dari orang yang di atas engkau di dunia. Sehingga engkau ketahui, bahwa tiada baginya dengan dunianya, kelebihan dari engkau”. Qatadah bin Da’amah Al-Bashari  ra mengatakan: “Barangsiapa diberikan harta atau keelokan atau pujian atau ilmu, kemudian, ia tiada merendahkan dirinya padanya, niscaya adalah yang demikian itu bencana kepadanya pada hari kiamat”. Dikatakan orang, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Isa as, yaitu: “Apabila Aku berikan nikmat kepada engkau dengan sesuatu nikmat, maka terimalah dengan merendahkan diri, niscaya Aku sempurnakan nikmat itu kepada engkau”. Ka’bul Ahbar ra mengatakan: “Apabila diberi nikmat oleh Allah kepada seorang hamba dari sesuatu nikmat di dunia, lalu disyukurinya nikmat itu, karena Allah dan ia merendahkan diri dengan nikmat itu, karena Allah, niscaya ia diberikan oleh Allah kemanfaatannya di dunia. Dan ia ditinggikan suatu tingkat di akhhirat. Dan apabila diberi nikmat oleh Allah kepada seorang hamba, dengan sesuatu nikmat di dunia, lalu tidak disyukurinya dan ia tiada merendahkan diri dengan nikmat itu karena Allah, niscaya ia dilarang oleh Allah kemanfaatan nikmat itu di dunia. Dan dibukakan baginya suatu lapis dari neraka, yang akan diazabkan dia, jika dikehendaki oleh Allah atau ia terlepas daripadanya”. Ditanyakan kepada khalifah Abdul-malik bin Marwan: “Orang mana yang lebih utama?”. Abdul-malik menjawab: “Orang yang merendahkan diri dari kekuasaan, orang yang zuhud dari keinginan dan orang yang meninggalkan pertolongan bagi diri sendiri, dari kekuatan”. Ibnus-Sammak masuk ke tempat Harunu’rrasyid. Lalu ia mengatakan: “Hai Amirul-mukminin! Sesungguhnya tawadlu’ engkau dalam kemuliaan engkau itu, lebih mulia bagi engkau dari kemuliaan engkau”. Maka Harunu’rrasyid menjawab: “Alangkah bagusnya perkataan yang engkau katakan itu!”. Lalu Ibnus-Sammak menyambung: “Hai Amirul-mukminin! Sesungguhnya seorang manusia yang dianugerahkan oleh Allah kecantikan pada bentuknya dan tempat pada kenamaannya dan Allah melapangkan baginya barang dalam tangannya (harta), lalu manusia tersebut memelihara pada kecantikannya, memberi pertolongan dari hartanya dan merendahkan diri pada kenamaannya, niscaya ia dituliskan dalam Dewan Allah, termasuk yang murni dari wali-wali Allah”. Lalu Harunu’rrasyid meminta tinta dan kertas dan dituliskannya perkataan tersebut dengan tangannya. Adalah Nabi Sulaiman bin Daud as apabila pagi hari, ia memperhatikan muka orang-orang kaya dan orang-orang mulia. Kemudian, ia datang kepada orang-orang miskin. Lalu duduk bersama mereka dan mengatakan: “Orang miskin bersama orang-orang miskin”. Setengah mereka mengatakan: “Sebagaimana engkau benci, bahwa engkau dilihat oleh orang-orang kaya dalam pakaian yang hina, maka seperti itu pula, maka bencilah, bahwa engkau dilihat oleh orang-orang miskin dalam pakaian yang tinggi harganya!”. Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari keluar ke suatu tempat, Yunus bin ‘Ubaid, Ayyub As-Sakhtiani dan Al-Hasan Al-Bashari . Mereka memperbincangkan tentang “at-tawadlu”. Maka Al-Hasan mengatakan kepada mereka: “Tahukah kamu, apa at-tawadlu’ itu? At-tawadlu’, ialah, bahwa engkau keluar dari rumah engkau. Dan apabila engkau menjumpai orang muslim, niscaya engkau melihat bahwa orang itu mempunyai kelebihan dari engkau”. Mujahid ra mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tatkala menenggelamkan kaum Nabi Nuh as (umat nabi Nuh as), lalu gunung-gunung itu meninggi dan memanjang. Dan Al-Judi (suatu bukit dekat Mosul) itu, merendahkan diri. Maka ia diangkatkan (ditinggikan) oleh Allah di atas bukit-bukit (gunung-gunung) yang lain. Dan dijadikanNya tempat ketetapan safinah (kapal Nuh as) di atasnya”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar melihat kepada hati anak Adam. Maka tidak didapatiNya hati yang lebih sangat tawadlu’, daripada hati Musa as. Maka dikhususkannya dari antara mereka itu, dengan: al-kalam (berkata-kata)”. Yunus bin ‘Ubaid ra mengatakan, dimana dia baru saja kembali dari ‘Arafah: “Aku tidak ragu pada rahmat Allah, yang diberikan kepada mereka. Jikalau tidaklah aku ini bersama mereka, niscaya sesungguhnya aku takut, bahwa mereka diharamkan dari rahmat, disebabkan aku (dosaku)”. Ada yang mengatakan: “Yang tertinggi apa yang ada orang mukimin itu pada Allah, ialah: yang terendah apa yang ada pada dirinya. Dan yang terendah apa yang ada pada Allah, ialah: yang tertinggi apa yang ada pada diri orang mukmin itu”. Ziyad bin Abdullah An-Numairi mengatakan: “Orang zuhud tanpa tawadlu’, adalah seperti pohon kayu yang tiada berbuah”. Malik bin Dinar Al-Bashari  ra mengatakan: “Jikalau adalah seorang penyeru menyerukan di pintu masjid: “Hendaknya orang yang jahat dari kamu, mengeluarkan seseorang, maka demi Allah, tiada seorangpun mendahului aku ke pintu itu, selain orang yang dengan kelebihan kekuatan atau usaha”. Perawi riwayat ini, lalu menyambung: “Tatkala sampai kepada Ibnul-Mubarak perkataan Malik bin Dinar itu, lalu Ibnul-Mubarak mengatakan: “Dengan ini, jadilah Malik itu Malik”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra mengatakan: “Siapa yang suka menjadi kepala, niscaya ia tiada akan memperoleh kemenangan untuk selama-lamanya”. Musa bin Al-Qasim Al-Kufi mengatakan: “Telah menimpa kami gempa bumi dan angin merah. Lalu aku pergi kepada Muhammad bin Muqatil Al-Kufi, seraya aku mengatakan: “Hai Abu Abdillah! Engkau imam kami. Maka berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar bagi kami!”. Lalu beliau menangis. Kemudian, mengatakan: “Mudah-mudahan kiranya, tidaklah aku ini menajdi sebab kebiasanmu”. Musa bin Al-Qasim meneruskan ceriteranya: “Maka aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhn ya Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar menolak bahaya daripadamu, dengan doa Muhammad bin Muqatil”. Seorang laki-laki datang kepada Abubakar Asy-Syibli ra, lalu Abubakar Asy-Syibli ra bertanya kepada orang itu: “Apakah engkau ini?” Dan itu adalah cara kebiasaan Abubakar Asy-Syibli ra. Laki-laki itu lalu menjawab: “Aku ini, titik yang dibawah huruf: ba”. Lalu Asy-Syibli mengatakan kepadanya: “Dibinasakan oleh Allah, akan yang menyaksikan engkau. Atau engkau buat bagi diri engkau sendiri, suatu tempat”. Asy-Syibli ra mengatakan pada sebahagian perkataannya: “Kehinaanku itu mengosong kan kehinaan Yahudi”. Ada yang mengatakan: “Siapa yang melihat dirinya mempunyai harga, maka ia tiada mempunyai bahagian dari tawadlu’”. Dari Abil-Fath bin Syukhruf, yang mengatakan: “Aku bermimpi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib ra. Lalu aku mengatakan kepadanya: “Hai ayah Al-Hasan! Berilah aku nasehat!”. Maka ia mengatakan kepadaku: “Alangkah bagusnya tawadlu’ orang-orang kaya pada majelis orang-orang miskin. Karena keinginan mereka pada pahala daripada Allah! Dan yang lebih bagus dari itu lagi, ialah: kesombongan orang-orang miskin kepada orang-orang kaya karena kepercayaan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Tiadalah hamba itu merendahkan diri, sebelum ia mengenal dirinya sendiri”. Abu Yazid Al-Busthami ra mengatakan: “Selama hamba itu menyangka, bahwa pada kalangan makhluk, ada orang yang lebih jahat daripadanya, maka dia itu orang yang sombong”. Lalu ia ditanyakan: “Kapankah orang itu merendahkan diri?”. Abu Yazid menjawab: “Apabila ia tidak melihat bagi dirinya, tempat berdiri (kedudukan) dan keadaan. Dan tawadlu’nya tiap-tiap manusia itu, adalah menurut kadar ma’rifahnya kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dan ma’rifahnya (pengenalannya) kepada dirinya sendiri”. Abu Sulaiman mengatakan: “Jikalau sepakatlah makhluk untuk meletakkan aku, seperti letaknya aku pada diriku, niscaya mereka tidak sanggup kepada yang demikian”. ‘Urwah bin Al-Ward mengatakan: “At-tawadlu’ itu salah satu alat memancing kemuliaan. Dan tiap-tiap nikmat itu, didengki orang yang empunya, selain: at-tawadlu’”. Yahya bin Khalid Al-Barmaki mengatakan: “Orang mulia, apabila beribadah, niscaya ia merendahkan diri. Dan orang congkak, apabila beribadah, niscaya ia membesarkan diri”. Yahya bin Ma’adz mengatakan: “Menyombong atas orang yang menyombongkan diri atas engkau, dengan hartanya itu tawadlu”. Ada yang mengatakan: “Merendahkan diri pada semua makhluk itu baik. Dan pada orang-orang kaya itu lebih baik. Dan menyombong pada semua makhluk itu buruk. Dan pada orang-orang miskin itu, lebih buruk”. Ada yang mengatakan: “Tiada kemuliaan, selain bagi siapa yang menghinakan diri, karena Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada ketinggian, selain bagi siapa, yang merendahkan diri karena Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada aman, selain bagi siapa yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan tiada laba, selain bagi siapa yang membeli dirinya dari Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Abu Ali Al-Jauzajani mengatakan: “Diri itu hancur dengan sombong, rakus dan dengki. Maka siapa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala akan kebinasaannya, niscaya tercegah daripadanya: tawadlu’, menerima nasehat dan qana’ah. Dan apabila dikehendaki oleh Allah, akan kebajikan baginya, niscaya ia dilemah-lembutkan pada yang demikian. Maka apabila berlobar pada dirinya api kesombongan, niscaya api kesombongan itu diketahui oleh tawadlu’, (lalu dipadamkan) dengan pertolongan Allah Ta’ala. Dengan apabila berkobar api kedengkian pada dirinya, niscaya api kedengkian itu diketahui oleh nasehat (lalu dipadamkannya) dengan taufiq Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Dan apabila berkobar pada dirinya api kerakusan, niscaya api kerakusan itu, diketahui oleh qana’ah (lalu dipadamkannya), dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Dari Al-Junaid ra, bahwa ia mengatakan pada hari Jum’at pada majelisnya: “Jikalau tidaklah dirawikan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Adalah pada akhir zaman, pemimpin suatu kaum (golongan) itu, orang yang terhina dari mereka”, niscaya aku tidak berbicara kepada kamu”. Al-Junaid mengatakan pula: “At-tawadlu’ pada ahli keesaan itu takabur (sombong)”. Semoga maksud Al-Junaid dengan ucapannya itu, ialah, bahwa: orang yang tawadlu itu, pertama-tama menetapkan ada dirinya, kemudian meletakkannya (merendahkannya). Dan orang yang berkeesaan itu, tidak sekali-kali menetapkan ada dirinya dan tidak melihat dirinya suatupun. Sehingga direndahkannya atau diangkatnya. Dari Amr bin Syaibah, yang mengatakan: “Aku berada di Makkah, diantara Ash-Shafa dan Al-Marwah. Lalu aku lihat seorang laki-laki mengendarai binatang baghal. Dan dihadapannya, budak-budak yang mengawalnya. Tiba-tiba budak-budak itu bersikap keras terhadap orang banyak”. Amr bin Syaibah meneruskan riwayatnya: “Kemudian, aku kembali ke tempatku, sesudah beberapa lama. Lalu aku masuk kota Baghdad. Maka aku berada di jembatan sungai Dajlah (sungai Tigris). Lalu tiba-tiba aku berhadapan dengan seorang laki-laki, yang tidak beralas kakinya, tidak tertutup kepalanya, panjang rambutnya”. Amr bin Syaibah meneruskan riwayatnya: “Maka aku melihat kepada orang tersebut dan aku memperhatikannya. Ia lalu bertanya kepadaku: “Mengapa engkau melihat kepadaku?”. Lalu aku menjawab kepadanya: “Aku melihat engkau serupa dengan seorang laki-laki, yang aku lihat di Makkah. Dan aku terangkan kepadanya sifat orang itu”. Maka ia menjawab: “Akulah orang itu”. Lalu aku bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu?”. Maka ia menjawab: “Aku mengangkat diriku pada tempat, dimana manusia merendahkan dirinya pada tempat itu. Maka aku direndahkan oleh Allah, dimana manusia memperoleh ketinggian”. Al-Mughirah bin Muslim (w. Th. 36 H) mengatakan: “Adalah kami takut kepada Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i, sebagai mana takutnya kepada seorang amir (penguasa). Dan Ibrahim bin Yazid Ann-Nakha’i itu mengatakan: “Bahwa zaman, dimana aku menjadi ahli fiqih negeri Kufah padanya, adalah sesungguhnya zaman jahat”. Adalah ‘Atha As-Salimi, apabila mendengar suara guruh, niscaya ia berdiri dan duduk. Dan ia diambil oleh perutnya, seakan-akan wanita yang melahirkan anak. Dan ‘Atha itu mengatakan: “Ini dari karena aku, yang menjadi musibah bagi kamu. Jikalau mati ‘Atha, niscaya manusia senang”. Adalah Bisyr Al-Hafi mengatakan: “Berilah salam kepada anak-anak dunia, dengan meninggalkan salam kepada mereka!”. Seorang laki-laki berdoa kepada Abdullah bin Mubarak, dengan mengatakan: Kiranya Allah memberikan kepada engkau, apa yang engkau harapkan!. Lalu Abdullah bin Mubarak menjawab: “Bahwa harap itu adalah sesudah ma’rifah. Maka dimanakah ma’rifah itu?”. Pada suatu hari, orang-orang Arab Quraisy itu membanggakan diri pada Salman Al-Farisi (orang Parsi). Lalu Salman mengatakan: “Akan tetapi, aku dijadikan dari air anyir yang kotor. Kemudian aku kembali kepada bangkai yang busuk. Kemudian aku mendatangi timbangan (al-mizan). Maka jikalau berat, maka aku orang mulia dan jikalau ringan, maka aku orang terkutuk”. Abubakar Ash-Shiddiq ra mengatakan: “Kami dapati kemurahan hati pada taqwa, kekayaan pada yakin & kemuliaan pada tawadlu”. Kita bermohon pada Allah Yang Maha Pemurah, akan kebaikan taufiq.
PENJELASAN: hakikat/makna sombong dan bahayanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sombong itu terbagi kepada: batin dan zahir. Maka yang batin, ialah: suatu tingkah laku (perangai) pada jiwa. Dan yang zahir, ialah: amal perbuatan, yang terbit dari anggota tubuh. Dan nama sombong dengan tingkah laku batin itu, lebih berhak. Adapun amal perbuatan, maka itu adalah buah (hasil) dari tingkah laku itu. Dan tingkah laku sombong itu, mengharuskan bagi amal perbuatan. Dan karena itulah, apabila tingkah laku itu lahir pada anggota tubuh, niscaya dikatakan: ia menyombong. Dan apabila tidak lahir, niscaya dikatakan: pada dirinya (jiwanya) sombong. Maka pokoknya sombong itu, ialah: tingkah laku yang ada pada jiwa. Yaitu: merasa senang dan cenderung kepada dilihat dirinya, di atas orang yang disombonginya. Karena sombong itu mengajak orang yang disombonginya dan tentang apa yang disombonginya. Dan dengan yang demikian, terpisahlah sombong itu dari ‘ujub (mengherani diri atau membanggakan diri), sebagimana akan diterangkan nanti. Sesungguhnya ‘ujub itu, tidak mengajak (tidak terlibat), selain orang yang ‘ujub itu. Bahkan, jikalau manusia itu tidak dijadikan, selain dia sendirian, niscaya dapat digambar kan, bahwa dia itu orang yang ‘ujub. Dan tidak dapat digambarkan, bahwa dia orang yang takabur (sombong), kecuali ia berada bersama orang lain. Dan ia melihat dirinya di atas orang lain itu, pada sifat-sifat kesempurnaan. Maka ketika itu, adalah dia orang yang sombong. Dan tidak mencukupi, bahwa ia membesarkan dirinya, supaya ia menjadi orang sombong. Sesungguhnya, kadang-kadang ia membesarkan dirinya, akan tetapi, ia melihat orang lain, lebih besar dari dirinya atau seperti dirinya. Maka ia tidak menyombong atas orang tersebut. Dan tidak mencukupi, bahwa ia menghina orang lain. Maka bersama yang demikian, jikalau ia melihat orang lain seperti dirinya, niscaya ia tidak menyombong. Akan tetapi seyogyalah ia melihat dirinya mempunyai suatu tingkat dan orang lain mempunyai suatu tingkat. Kemudian, ia mellihat tingkat dirinya, di atas tingkat orang lain. Maka pada tiga keyakinan ini, berhasillah padanya tingkah laku sombong. Tidak, bahwa penglihatan itu yang menidakkan kesombongan. Akan tetapi, penglihatan dan keyakinan itu, menghembuskan kepada kesombongan. Lalu berhasillah dalam hatinya persediaan, kegoncangan, kegembiraan dan kecenderungan kepada apa yang diyakininya dan yang kuat pada dirinya, disebabkan yang demikian. Maka keagungan itu, kegoncangan dan kecenderungan kepada keyakinan, itulah: tingkah laku takabur. Dan karena itulah, Nabi saw berdoa: “Aku berlindung dengan ENGKAU dari hembusan kesombongan”. Seperti yang demikian juga, Umar ra mengatakan: “Aku takut bahwa kesombongan itu berhembus, sehingga sampai ke bintang Surayya”. Umar ra mengatakan yang demikian, kepada orang yang meminta izin kepadanya, untuk memberi pengajaran (nasehat) sesudah shalat Subuh. Maka seolah-olah manusia itu, manakala melihat dirinya dengan mata ini, yaitu: kebesaran diri, niscaya ia menjadi besar, berhembus dan merasa kuat. Maka kesombongan itu, adalah ibarat dari keadaan yang berhasil pada jiwa, dari keyakinan-keyakinan itu. Dan dinamakan juga: keagungan dan kebesaran. Dan karena itulah, Ibnu Abbas mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Tak ada dalam dada mereka, melainkan kesombongan, tiadalah mereka mencapainya”. S 40 Al Mukmin ayat 56. Ibnu Abbas mengatakan, yaitu: kebesaran yang tidak disampaikan mereka. Maka kesombongan itu ditafsirkan dengan kebesaran itu. Kemudian, keagungan tersebut, menghendaki amal perbuatan pada zahir dan pada batin. Itulah buah. Dan dinamakan yang demikian itu: sombong. Maka sesungguhnya, manakala telah besar kadar kesombongan itu padanya, dibandingkan dengan orang lain, niscaya ia hinakan orang yang kurang daripadanya. Tidak diindah kannya, dipojokkan dan dijauhkannya dari dirinya. Ia merasa tinggi dari duduk-duduk dan makan-makan bersama orang itu. Dan ia melihat, bahwa ia berhak orang itu bangun berdiri, membungkuk dihadapannya, jikalau bersangatan kesombongannya. Maka jikalau lebih berat dari yang demikian, niscaya ia tidak mau dilayani orang itu. Dan dipandangnya orang tersebut, tidak layak berdiri di hadapannya dan melayani tangganya. Maka jikalau ada kurang dari yang demikian, maka ia benci daripada menyamakannya. Dan ia mendahuluinya pada jalan yang sempit dan meninggikan diri daripadanya, pada upacara-upacara. Dan ia menunggu, bahwa orang itu, memulainya dengan salam. Ia menjauhkan diri dari kelengahan pada menunaikan segala keperluannya. Ia membanggakan diri daripadanya. Dan jikalau ia berhujjah atau bertukar pikiran, niscaya ia benci kalau alasannya (hujjahnya) ditolak. Jikalau ia diberi nasehat (pengajaran), niscaya ia menyombong daripada menerimanya. Dan kalau ia memberi nasehat, niscaya ia berkeras pada nasehatnya. Jikalau sesuatu dari perkataannya ditolak orang, niscaya ia marah. Dan jikalau ia mengajar, niscaya ia tidak kasih sayang kepada pelajar-pelajar. Ia menghina mereka, membentak-bentak, membangkit-bangkit dan memakai mereka menjadi pelayannya.  Ia memandang kepada orang awam, seolah-olah ia memandang kepada keledai, karena dipandangnya mereka itu bodoh dan hina. Amal perbuatan yang timbul dari tingkah laku sombong itu banyak. Yaitu: lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Maka tiada perlu kepada perhitungannya. Karena semuanya itu sudah terkenal. Maka itulah sombong. Bahayanya besar. Celakanya besar sekali. Pada kesombongan itu membinasakan orang-orang tertentu dari makhluk. Dan sedikitlah yang dapat terlepas daripadanya, dari orang-orang yang banyak ibadahnya, orang-orang zuhud dan ulama-ulama. Apalagi orang-orang awam dari makhluk Allah. Bagaimana tidak besar bahayanya? Nabi saw bersabda: “Tiada akan masuk sorga, orang yang dalam hatinya seberat atom daripada kesombongan”. Sesungguhnya kesombongan itu menjadi dinding (hijab) daripada sorga. Karena kesombongan itu mendindingi diantara hamba dan akhlak orang mukmin seluruhnya. Dan akhlak itu ialah: pintu surga. Kesombongan dan keagungan diri itu, menguncikan (menutup) pintu-pintu itu seluruhnya. Karena ia tidak sanggup mencintai orang-orang mukmin, akan apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri. Dan padanya itu sesuatu dari kemuliaan. Dan ia tidak sanggup merendahkan diri. Dan merendahkan diri itu kepala akhlak orang-orang yang bertaqwa. Dan pada kerendahan diri itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup meninggalkan kebusukan hati dan pada kebusukan hati itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup berkekalan di atas kebenaran dan pada kebenaran itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup meninggalkan kemarahan dan pada kebenaran itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup menahan amarahnya dan pada ketahanan amarah itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup meninggalkan kedengkian dan pada meninggalkan kedengkian itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup kepada nasehat yang lemah lembut dan pada nasehat yang lemah lembut itu kemuliaan. Dan ia tidak sanggup menerima nasehat dan padanya itu kemuliaan. Dan ia tidak selamat dari menghina dan mencela manusia dan padanya itu kemuliaan. Dan tidak ada artinya untuk diperpanjangkan lagi. Maka tiadalah dari suatu tingkah laku yang tercela, melainkan orang yang merasa kemuliaan diri dan sombong itu memerlukan kepadanya, untuk menjaga kemuliaannya. Dan tiada dari suatu tingkah laku yang terpuji, melainkan ia merasa lemah daripadanya. Karena takut daripada hilangnya kemuliaan itu. Maka dari inilah, tiada akan masuk sorga, orang yang dalam hatinya seberat bijian daripada kesombongan. Dan akhlak yang tercela itu, memerlukan satu sama lain. Sebahagian daripadanya –sudah pasti- mengajak sebahagian yang lain. Dan macam kesombongan yang paling jahat, ialah: yang mencegah daripada mengambil faedah ilmu pengetahuan, daripada menerima kebenaran dan mematuhinya. Dan pada yang demikian itu, telah datang ayat-ayat, yang mencela kesombongan dan orang-orang yang sombong. Allah Ta’ala berfirman: “Dan malaikat-malaikat itu mengembangkan tangannya (mengatakan): “Lepaskanlah nyawamu! Pada hari ini, kamu dibalas dengan siksaan kehinaan, disebabkan perkataanmu yang tidak benar tentang Allah dan adalah kamu itu menyombong terhadap keterangan-keterangan (ayat-ayat) Allah”. S 6 Al An’aam ayat 93. Kemudian, Allah berfirman: “Dikatakan (kepada mereka): “Masukilah pintu neraka jahannam itu, tetaplah di sana. Dan amatlah buruk tempat tinggal orang-orang yang menyombongkan diri!”. S 39 Az Zumar ayat 72. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa penduduk neraka yang paling menderita azab, ialah: mereka yang paling durhaka kepada Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian, Kami tarik dari tiap-tiap golongan, siapa diantaranya yang paling durhaka kepada Tuhan yang Maha pemurah”. S 19 Maryam ayat 69. Allah Ta’ala berfirman: “Maka mereka yang tiada beriman kepada akhirat, hati mereka ingkar (menolak). Mereka adalah orang-orang yang sombong”. S 16 An Nahl ayat 22. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Orang-orang yang tertindas (lemah) berkata kepada orang-orang yang menyombong dirinya: “Jikalau tidak karena kamu, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman”. S 34 As Sabak ayat 31. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah Aku, akan masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Allah Ta’ala berfirman: “Akan Aku belokkan dari keterangan-keteranganKu, orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi di luar kebenaran”. S 7 Al A’raaf ayat 146. Ada yang mengatakan pada penafsiran ayat tersebut: “Akan Aku angkatkan pemahaman Alquran dari hati mereka”. Dan pada sebahagian tafsir, yaitu: “Akan Aku dindingi hati mereka dari alam malakut”. Ibnu Juraij (w. Th. 50 H) mengatakan (tentang penafsiran ayat tadi), yaitu: “Akan Aku belokkan mereka, daripada bertafakkur pada keterangan-keteranganKu dan mengambil ibarat daripadanya”. Karena itulah Nabi Isa Al Masih as mengatakan: “Bahwa tanaman itu tumbuh pada tempat yang lunak dan tidak tumbuh pada batu yang licin. Seperti itu pulalah, ilmu hikmah itu bekerja pada hati orang yang merendahkan diri. Dan ia tidak bekerja pada hati orang yang menyombongkan diri. Tidakkah kamu melihat, bahwa orang yang memanjangkan kepalanya ke atas atap rumah, niscaya atap itu akan melukakan kepalanya. Dan orang yang membungkuk dengan kepalanya, niscaya atap itu menaungi dan menyembunyikannya”. Maka inilah contoh yang dibuat oleh Isa as lepada orang-orang yang menyombongkan diri. Dan sesungguhnya mereka, bagaimana tidak memperoleh ilmu hikmah. Dan karena itulah, Rasulullah saw menyebutkan keingkaran kebenaran pada batas kesombongan dan keingkaran terbuka dari hakikat/maknanya. Rasulullah saw  mengatakan: “Orang yang mengingkari kebenaran dan menghina manusia”.
PENJELASAN: orang yang disombongi, tingkat-tingkat dan bahagian-bahagiannya dan buah (hasil) kesombongan padanya.
Ketahuilah, bahwa yang disombonginya, ialah: Allah Ta’ala atau rasul-rasulNya atau makhlukNya yang lain. Sesungguhnya manusia itu dijadikan, zalim dan jahil (bodoh). Sekali ia menyombongkan dirinya atas makhluk dan sekali ia menyombongkan dirinya atas AL-KHALIQ (YANG MAHA PENCIPTA). Jadi, kesombongan itu dengan memandang kepada yang disombongi, adalah 3 bahagian:
Pertama: kesombongan atas Allah. Dan yang demikian itu, adalah macam kesombongan yang paling keji. Dan tiada yang menggerakkan kepadanya, selain oleh kebodohan semata-mata dan kedurhakaan. Seperti: apa yang terjadi dari Namrud. Bahwa Namrud itu mengatakan kepada dirinya bahwa, ia akan berperang dengan Tuhan yang empunya langit. Dan sebagaimana diceitakan dari segolongan orang-orang bodoh, bahkan apa yang diceritakan dari setiap orang yang mendakwakan ketuhanan, seperti Fir’aun dan lainnya. Maka Fir’aun itu karena kesombongannya, mengatakan: “Aku tuhanmu yang Maha Tinggi”, karena ia menyombongkan diri, bahwa dia hamba Allah. dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah Aku, akan masuk neraka jahannam dengan kehinaan”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Al-Masih tidak enggan menjadi hamba Allah, begitupun malaikat-malaikat yang berdekatan (dengan Tuhan). Barangsiapa yang enggan menyembah Allah dan menyombongkan dirinnya, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semuanya kepadaNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 172. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah (tunduklah) kepada Tuhan Yang Maha Pemurah! Mereka menjawab: “Apakah Tuhan Yang Maha Pemurah itu? Akan sujudkah kami kepada apa yang engkau perintahkan kepada kami? Dan hal itu menyebabkan mereka bertambah lari (dari keimanan)”. S 25 Al Furqaan ayat 60.
Bahagian kedua: menyombongkan diri atas rasul-rasul, dari segi memegahkan diri dan mengangkatkannya daripada mematuhi kepada manusia, seperti manusia yang lain. Yang demikian itu, sekali membelokkan diri dari berfikir dan memandang dengan mata hati. Maka terus meneruslah dia dalam kegelapan kebodohan, disebabkan kesombongannya. Maka ia tidak mau mematuhi dan ia menyangka, bahwa dia yang benar. Dan sekali, ia tidak mau mengenal (berma’rifah). Akan tetapi, dirinya tidak mau taat untuk mengikuti kebenaran dan merendahkan diri kepada rasul-rasul. Sebagaimana diceritakan oleh Allah tentang ucapan mereka: “Apakah kami akan percaya (beriman) kepada dua manusia yang serupa dengan kami”. Dan kata mereka: “Kamu hanya manusia yang serupa kami juga”. S 14 Ibrahim ayat 10. “Dan kalau kamu turuti manusia yang serupa dengan kamu itu, tentulah kamu akan menderita kerugian”. S 23 Al Mukminuun ayat 34. “Orang-orang yang tidak mengharapkan akan menemui Kami, berkata: “Mengapa tidak malaikat diturunkan kepada kami atau (mengapa) kami tidak melihat Tuhan kami? Mereka amat sombong dalam hatinya dan melakukan pelanggaran yang sangat besar”. S 25 Al Furqaan ayat 21. “Dan mereka mengatakan: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya malaikat?”. S 6 Al An’aam ayat 8. Fir’aun mengatakan mengenai apa yang diterangkan oleh Allah tentang dirinya: “Atau malaikat-malaikat datang bersama-sama dengan dia untuk menemuinya?”. S 43 Az Zukhruf ayat 53. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menyombongkan diri dia (Fir’aun) dan tentaranya di bumi di luar kebenaran”. S 28 Al Qashash ayat 39. Maka Fir’aun itu menyombongkan diri atas Allah dan rasul-rasulNya sekalian. Wahab bin Munabbih mengatakan: “Nabi Musa as mengatakan kepada Fir’aun: “Berimanlah dan bagimu kerajaanmu!”. Fir’aun menjawab: “Aku bermusyawarah dengan Haman dahulu”. Lalu Fir’aun bermusyawarah dengan Haman. Maka Haman mengatakan: “Di mana engkau itu tuhan yang disembah, lalu menjadi hamba yang menyembah”. Maka Fir’aun itu menyombongkan diri daripada menyembah Allah dan daripada mengikuti Musa as. Kaum Quarisy mengatakan, tentang apa yang diceritakan oleh Allah Ta’ala, mengenai mereka: “Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua kota?”. S 43 Az Zukhruf ayat 31. Qatadah bin Di’amah Al-Bashari  mengatakan, bahwa orang besar dari 2 kota itu, ialah: Al-Walid bin Al-Mughirah dan Abu Mas’ud Ats-Tsaqafi. Mereka meminta orang yang lebih besar ke-ketua-annya dari Naib saw. Karena mereka mengatakan: “Bahwa Nabi saw itu anak yatim. Maka bagaimana ia diutus oleh Allah kepada kita?”. Maka Allah berfirman: “Apakah mereka hendak membagi-bagikan kurnia Tuhan engkau itu?”. S 43 Az Zukhruf ayat 32. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Supaya mereka mengatakan: “Inikah orang-orang yang dikurniai Allah di antara kami?”. S 6 Al An’aam ayat 53. Artinya: penghinaan kepada mereka dan penjauhan, karena kedahuluan mereka. Kaum Quraisy mengatakan kepada Rasulullah saw: “Bagaimana kami duduk padamu. Dan di sampingmu itu mereka....?”. Kaum Quraisy itu mengisyaratkan dengan katanya: mereka, ialah: orang-orang muslimin yang miskin. Mereka hinakan kaum muslimin yang miskin itu, dengan mata mereka, karena kemiskinan. Dan mereka menyombongkan diri dari duduk-duduk dengan orang-orang miskin itu. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: “Dan janganlah engkau usir orang-orang yang menyeru Tuhannya pagi dan petang. Mereka menghendaki wajahNya. Engkau tidak memikul tanggung jawab mereka sedikitpun”. S 6 Al An’aam ayat 52. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tahanlah diri engkau bersama-sama orang yang menyeru Tuhannya, di waktu pagi dan senja. Mereka menghendaki wajahNya. Dan janganlah engkau hindarkan pemandangan engkau dari mereka, karena menghendaki perhiasan kehidupan dunia”. S 18 Al Kahfi ayat 28. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan tentang keheranan mereka, ketika mereka masuk neraka jahannam. Karena mereka tidak melihat orang-orang yang mereka hinakan. Lalu mereka mengatakan: “Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang kami hitung termasuk orang-orang yang jahat?”. S 38 Shaad ayat 62. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan mereka, ialah: ‘Ammar, Bilal, Shuhaib dan Al-Miqdad. Kiranya Allah merelai mereka sekalian! Kemudian, ada diantara mereka, orang yang dicegah oleh kesombongannya, daripada berpikir dan ma'rifah. Lalu ia bodoh, bahwa Nabi saw itu orang yang benar. Diantara mereka, ada orang yang berma’rifah (mengetahui) dan dicegah oleh kesombongannya dari mengaku. Allah Ta’ala berfirman untuk menerangkan tentang mereka: “Maka tatkala datang kepada mereka, apa yang mereka ketahui, maka mereka tidak percaya kepadanya”. S 2 Al Baqarah ayat 89. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka menyangkalnya, karena tiada jujur dan sombong, biarpun jiwa mereka telah meyakini kebenarannya”. S 27 An Naml ayat 14. Kesombongan ini mendekati dengan menyombongkan diri atas Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar. Walaupun kurang daripadanya. Akan tetapi itu menyombongkan diri pada menerima perintah Allah dan merendahkan diri kepada RasulNya.
Bahagian ketiga: menyombongkan diri atas hamba-hamba Allah. Dan yang demikian itu, dengan membesarkan diri sendiri dan menghina orang lain. Maka diri itu enggan menuruti mereka. Dan diri itu mengajaknya kepada mengangkat diri atas mereka. Lalu menghina mereka, memandang kecil mereka dan berkeras hidung daripada menyamai mereka. Pahamilah ini, walaupun kurang dari yang pertama dan yang kedua! Maka yang ketiga ini juga besar dari 2 segi.
Pertama: bahwa kesombongan, kemegahan, kebesaran dan ketinggian itu tidak layak, selain pada Pemilik, Yang Maha Kuasa. Adapun hamba yang dimiliki, yang dla’if, yang lemah, yang tidak berkuasa atas sesuatu, maka dari manakah ia layak dengan keadaannya itu akan kesombongan? Manakala hamba itu menyombongkan diri, maka sesungguhnya ia telah bertengkar dengan Allah Ta’ala, pada sifat yang tidak layak, selain pada keagunganNya. Contohnya; bahwa seorang budak mengambil peci raja. Lalu diletakkannya atas kepalanya. Dan ia duduk pada tempat tidurnya. Maka alangkah besar ke-mustahak-annya untuk dikutuk! Dan alangkah besar kedekatannya untuk kehinaan dan hukuman pengajaran! Alangkah sangat keberaniannya kepada tuannya! Dan alangkah keji apa yang diperbuatnya! Dan kepada pengertian inilah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala (pada hadits Qudsi): “Keagungan itu kain sarungKu dan kesombongan itu kain selendangKu. Maka siapa yang bertengkar dengan Aku pada yang dua itu, niscaya Aku hancurkan dia”. Artinya: itu adalah khusus sifatKu. Dan tiada layak, selain padaKu. Orang yang bertengkar padanya, ialah: orang yang bertengkar pada salah satu daripada sifat-sifatKu. Apabila kesombongan atas hamba-hamba Allah itu, tiada layak, selain pada Allah, maka siapa yang menyombongkan diri atas hamba-hambaNya, sesungguhnya ia telah berbuat penganiayaan. Karena orang yang memandang hina budak-budak pilihan dari seorang pemilik, mengambil mereka menjadi pelayannya, merasa lebih tinggi dari mereka dan mengutamakan dengan sesuatu, dimana hak pemilik hendaknya diutamakan dari mereka, maka orang itu adalah bertengkar (berebutan) dengan pemiliknya pada sebahagian urusannya. Walaupun tingkatnya tiada sampai kepada tingkat orang yang bermaksud duduk pada tempat tidurnya dan bertangan besi dengan miliknya. Makhluk itu semua adalah hamba Allah. Dan bagi Allah keagungan dan kesombongan di atas mereka. Maka siapa yang menyombongkan diri atas salah seorang dari hamba-hamba Allah, sesungguhnya ia telah bertengkar dengan Allah pada hakNya. Ya, benar, bahwa perbedaan diantara pertengkaran ini dan pertengkaran Namruz dan Fir’aun, ialah: apa yang menjadi perbedaan diantara pertengkaran pemilik, pada dipandang kecil sebahagian budak-budaknya dan pada diambil mereka sebagai pelayan dan diantara pertengkarannya pada pokok pemilikan.
Segi kedua yang besarlah kehinaan sombong padanya, ialah: yang membawa kepada menyalahi Allah Ta’ala pada segala amarNya. Karena orang yang menyombongkan diri itu, apabila mendengar kebenaran dari salah seorang hamba Allah, niscaya ia enggan menerimanya. Dan ia berterusan mengingkarinya. Dan karena itulah, anda melihat orang-orang yang bertukar pikiran tentang masalah-masalah agama, mendakwakan, bahwa mereka bahas-membahas dari hal rahasia agama. Kemudian, mereka itu sangkal-menyangkal, sebagaimana sangkal-menyangkalnya orang-orang yang menyombong diri. Dan manakala telah nyata kebenaran pada lisan seseorang dari mereka, niscaya yang lain berkeras hidung daripada menerimanya. Dan berterusan mengingkarinya. Mencari daya-upaya untuk menolaknya, dengan penipuan yang disanggupinya. Yang demikian itu, termasuk akhlak orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Karena disifatkan mereka oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang tiada beriman itu berkata: “Janganlah kamu dengarkan Alquran ini dan hiruk-pikuklah ketika orang membacanya, supaya kamu mendapat kemenangan!”. S 41 Fussilat ayat 26. Maka tiap-tiap orang yang bertengkar (ber-munadharah) untuk mencari kemenangan dan mendiamkan lawan dengan hujjah, tidak untuk mencari kebenaran, apabila ia memperoleh kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berkongsi dengan mereka pada tingkah laku tersebut. Dan seperti itu pula, membawa yang demikian kepada tidak mau menerima pengajaran (nasehat), sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Dan bila dikatakan kepadanya: “Patuhlah kepada Allah!”, tetapi keangkuhannya membawanya kepada dosa”. S 2 Al Baqarah ayat 206. Diriwayatkan dari Umar ra, bahwa ia membaca ayat tadi, lalu ia membaca: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kita kepunyaan Allah. Dan sesungguhnya kita itu kembali kepada Allah)”. Lalu bangun berdiri seorang laki-laki, menyuruh dengan yang baik (ber-amar ma’ruf), maka orang itu lalu dibunuh. Lalu bangun berdiri seorang laki-laki yang lain, seraya mengatakan: “Engkau bunuh orang-orang yang menyuruh dengan keadilan diantara manusia”. Maka orang yang menyombongkan diri itu, membunuh orang yang menyalahinya dan yang menyuruhnya dengan ma’ruf, adalah karena kesombongan. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Mencukupilah bagi seseorang itu dengan dosa, apabila dikatakan kepadanya “Bertaqwalah kepada Allah! lalu ia menjawab: “Jagalah dirimu sendiri!”. Nabi saw mengatakan kepada seorang laki-laki: “Makanlah dengan tangan kananmu!”. Orang itu lalu menjawab: “Aku tidak sanggup”. Maka Nabi saw menjawab: “Kamu tidak sanggup?”. Tidak ada yang mencegahnya dari yang demikian, selain oleh kesombongannya. Kata perawi, bahwa orang tersebut, tidak dapat mengangkatkan tangannya lagi sesudah itu”. Artinya: tangannya terus sakit. Jadi, kesombongan atas makhluk itu besar akibatnya. Karena akan membawa kepada kesombongan, pada perintah Allah. Sesungguhnya Iblis dibuat menjadi contoh bagi ini. Dan apa yang diceritakan dari keadaan Iblis itu, tidak lain, melainkan untuk diambil menjadi ibarat. Sesungguhnya Iblis itu mengatakan: “Aku lebih baik daripadanya (Adam)”. Kesombongan Iblis tersebut, adalah disebabkan keturunan. Karena ia mengatakan: “Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau jadikan aku dari api dan Engkau jadikan dia dari tanah”. S 38 Shaad ayat 76. Maka demikianlah itu membawa Iblis, kepada tidak mau bersujud yang disuruh oleh Allah Ta’ala. Dan permulaannya itu adalah kesombongannya atas Adam dan kedengkiannya. Lalu yang demikian itu, menghelakannya kepada menyombongkan diri pada perintah Allah Ta’ala. Maka adalah yang demikian itu, sebab kebinasaannya untuk selama-lamanya. Maka inilah salah satu dari bahaya-bahaya kesombongan yang besar atas hamba-hamba Allah. Dan karena itulah, diuraikan oleh Rasulullah saw kesombongan itu dengan dua bahaya tersebut. Karena beliau ditanyakan oleh Tsabit bin Qais bin Syammas, yang menanyakan: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku seorang manusia yang sangat menyukai kecantikan. Apakah pendapatmu? Adakah itu termasuk kesombongan?”. Nabi saw menjawab: “Tidak! Akan tetapi kesombongan itu, ialah: orang yang benci kepada kebenaran dan menghinakan manusia”. Pada hadits lain: “Orang yang mengingkari kebenaran”. Dan sabdanya saw: “Wa ghamishan-naasa” di atas tadi, artinya: melecehkan dan menghinakan manusia. Padahal mereka itu, adalah hamba Allah, seperti dia itu lebih baik daripadanya. Inilah: bahaya pertama! Mengingkari kebenaran, yaitu: menolak kebenaran. Dan itu adalah: bahaya kedua. Maka setiap orang yang melihat, bahwa dirinya lebih baik dari saudaranya dan ia menghinakan saudaranya, melecehkannya dan memandang kepadanya dengan mata kekecilan atau ia menolak kebenaran, padahal ia tahu akan kebenaran itu, maka sesungguhnya ia telah menyombongkan diri, mengenai hal-hal diantara dia dan makhluk. Dan barangsiapa berkeras hidung daripada tunduk kepada Allah Ta’ala dan merendahkan diri kepada Allah dengan mematuhiNya dan mengikuti rasul-rasulNya, maka sesungguhnya ia telah menyombongkan diri, mengenai hal-hal diantara dia dan Allah Ta’ala dan rasul-rasulNya.
PENJELASAN: apa yang dengan itu, menjadi sombong.
Ketahuilah, sesungguhnya tiadalah seseorang itu menyombongkan diri, kecuali manakala ia membesarkan dirinya. Dan ia tidak membesarkan dirinya, kecuali dia berkeyakinan, bahwa dirinya mempunyai salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan. Dan kumpullah yang demikian itu kembali kepada kesempurnaan keagamaan atau keduniaan. Maka keagamaan, ialah: ilmu dan amal. Dan keduniaan, ialah: keturunan, kecantikan, kekuatan, harta dan banyak pembantu. Maka inilah 7 bab:
Pertama: ilmu, alangkah cepatnya kesombongan kepada ulama-ulama. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Bahaya ilmu, ialah: sombong”. Maka tiada urunglah, bahwa orang yang berilmu itu, memegahkan dirinya dengan kemegahan ilmu, yang merasa pada dirinya kecantikan ilmu dan kesempurnaannya. Ia membesarkan dirinya dan menghinakan manusia. Ia memandang kepada manusia, seperti pandangannya kepada hewan. Ia memandang mereka itu bodoh. Dan mengharap, supaya mereka memulai memberi salam kepadanya. Maka jikalau ia memulai memberi salam kepada seseorang dari mereka atau orang itu membalas salamnya dengan suka cita atau orang itu bangun berdiri atas kedatangannya atau memperkenankan undangannya, niscaya ia melihat yang demikian itu suatu perbuatan baik padanya dan uluran tangan kepadanya, yang harus disyukurinya. Dan ia berkeyakinan bahwa dia yang termulia dari mereka. Dan ia berbuat dengan mereka, apa yang tidak berhak mereka dari orang yang seperti dia. Dan sesungguhnya seyogyalah mereka memperbudakkan diri kepadanya dan melayaninya, sebagai tanda terima kasih kepadanya di atas perbuatan baiknya. Bahkan biasanya, bahwa mereka berbuat kebaikan kepadanya, lalu dia tidak berbuat kebaikan kepada mereka. Mereka berziarah kepadanya, lalu ia tidak berziarah kepada mereka. Mereka berkunjung kepadanya, lalu ia tidak berkunjung kepada mereka. Ia meminta pelayanan dari orang yang bercampur-baur dengan dia dari mereka. Dan ia menggunakan orang tersebut pada segala hajat keperluannya. Jikalau orang itu teledor pada melayaninya, niscaya ia tiada berkenan kepada orang itu. Seakan-akan mereka itu budaknya atau orang sewaannya. Dan seakan-akan diajarinya ilmu itu, merupakan suatu perbuatan baik daripadanya kepada mereka dan suatu yang ma’ruf (amar ma’ruf) kepada mereka. Dan berhak memperoleh suatu hak atas mereka. Ini, mengenai hal yang menyangkut dengan dunia. Adapun pada urusan akhirat, maka kesombongannya atas mereka, ialah: dengan melihat dirinya pada sisi Allah Ta’ala itu lebih tinggi dan lebih utama daripada mereka. Maka ia takut atas mereka, lebih banyak daripada ia takut atas dirinya sendiri. Dan ia mengharap bagi dirinya sendiri, lebih banyak daripada yang diharapnya bagi mereka. Dan orang ini untuk dinamakan: orang bodoh, adalah lebih utama, daripada ia dinamakan: orang berilmu. Bahkan ilmu yang hakiki, ialah: yang dikenal oleh manusia dengan ilmu itu, akan dirinya, Tuhannya, bahaya kesudahan (al-khatimah), hujjah/alasan Allah atas alim ulama. Dan besarnya bahaya ilmu padanya, sebagaimana akan datang penjelasannya pada: jalan pengobatan kesombongan dengan ilmu. Dan ilmu ini akan menambahkan takut, tawadlu’ dan khusyu’. Dan dikehendaki, bahwa yang punya ilmu itu, melihat bahwa setiap manusia, adalah lebih baik daripadanya. Karena besarnya hujjah Allah atas dirinya, disebabkan ilmu. Dan keteledorannya pada menegakkan syukur akan kenikmatan ilmu. Karena itulah, Abud Darda’ ra mengatakan: “Barangsiapa bertambah ilmunya, niscaya bertambah sakitnya”. Dan benarlah, sebagaimana yang dikatakan Abud Darda’ tersebut. Jikalau anda menanyakan: “Apakah kiranya keadaan setengah manusia yang bertambah dengan ilmunya itu, kesombongan & aman?”. Maka ketahuilah, bahwa yang demikian itu mempunyai 2 sebab:
Sebab pertama: bahwa adalah kesibukannya itu dengan: apa yang dinamakan ilmu. Dan tidaklah itu ilmu yang hakiki. Dan sesungguhnya ilmu yang hakiki, ialah: apa yang dikenal oleh hamba dengan ilmu tersebut; akan Tuhannya dan dirinya, bahaya urusannya pada menjumpai Allah dan terdinding (hijab) daripadaNya. Dan ini mempusakakan (mendatangkan) takut dan tawadlu’, tidak kesombongan dan aman. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, ialah orang-orang yang berilmu diantara hamba-hambaNya”. S 35 Faathir ayat 28. Adapun yang dibalik demikian, seperti: ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu bahasa, ilmu syair (menyusun pantun), ilmu nahu (ilmu gramatika bahasa Arab), ilmu menyelesaikan permusuhan dan jalan-jalan pertengkar an, maka apabila manusia menuju semata-mata kepada ilmu-ilmu tersebut, sehingga penuh, niscaya penuhlah dia dengan kesombo- ngan & kemunafikan. Dan ini dengan menamainya perusahaan, adalah lebih utama, daripada menamainya: ilmu. Bahkan ilmu itu, ialah: mengenal ‘ubudiyah (perhambaan/pengabdian kepada Allah) dan rububiyah (pemeliharaan) serta jalan ibadah. Dan ini pada umumnya mewarisi (mendatangkan) tawadlu’/merendahkan diri.
Sebab kedua: bahwa hamba itu terjun dalam ilmu, sedang dia keji batinnya, rendah jiwanya, jahat akhlaknya. Maka dia sesungguhnya tidak berusaha, pertama-tama dengan membersihkan dirinya dan mensucikan hatinya dengan bermacam-macam mujahadah/kesungguhan. Dan ia tidak menyukakan dirinya pada beribadah kepada Tuhannya. Lalu ia kekal keji pribadinya. Maka apabila ia terjun dalam ilmu, dalam ilmu manapun juga, niscaya ia menjumpai ilmu itu dalam hatinya, pada tempat yang keji. Maka tiada baiklah buahnya dan tiada lahir bekasnya pada kebajikan. Dan Wahab bin Munabbih ra telah memberi contoh bagi ini, dengan katanya: “Ilmu itu seperti hujan yang turun dari langit, manis lagi bersih. Lalu diminum oleh kayu-kayuan dengan urat-uratnya. Maka dirobahnya air itu, menurut kadar rasanya. Lalu yang pahit, menambahkan kepahitannya dan yang manis, menambahkan kemanisannya. Maka begitu pulalah ilmu, yang dipelihara (dihapal) oleh orang-orang. Lalu dirobahnya, menurut kadar cita-citanya dan hawa nafsunya. Maka orang yang menyombongkan diri, menambahkan kesombongan dan orang yang merendahkan diri, menambahkan tawadlu’”. Dan pahamilah ini! Karena orang yang cita-citanya itu sombong dan dia itu orang bodoh, maka apabila ia menghapal ilmu, niscaya ia memperoleh apa yang menyebabkan dia itu sombong. Maka bertambahlah kesombongannya. Apabila orang itu takut serta kebodohannya, lalu bertambah ilmunya, niscaya ia mengetahui, bahwa alasan (hujjah) telah menguat padanya, lalu ia bertambah ketakutan, kasih sayang, kehinaan dan merendahkan diri. Maka ilmu itu adalah termasuk yang terbesar dari apa yang menyebabkan orang menyombongkan diri. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi saw: “Dan bersikap sopan santunlah terhadap orang-orang mu’min yang mengikuti engkau”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 215. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Dan kalau kiranya engkau berbudi kasar dan berhati bengis, tentulah mereka akan lari dari keliling engkau”. S 3 Ali ‘Imran ayat 159. Allah Ta’ala menyifatkan wali-waliNya, dengan firmanNya: “Bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir". ”S 5 Al Maaidah ayat 54. Begitu pula, Nabi saw bersabda, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Abbas ra: “Adalah suatu kaum membaca Alquran, yang tiada melampaui kerongkongannya, mengatakan: “Kami telah membaca Alquran. Maka siapakah yang lebih pandai membacanya daripada kami dan siapakah yang lebih berilmu daripada kami?”. Kemudian, Nabi saw berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda: “Mereka itu adalah daripada kamu, hai umat! Mereka itu adalah kayu api neraka”. Dan karena itulah, Umar ra mengatakan: “Janganlah kamu itu menjadi ulama-ulama yang sombong! Maka tidaklah cukup ilmumu itu dengan kebodohanmu”. Dan karena itulah, Tamim Ad-Dari meminta izin pada Umar ra pada bercerita. Maka Umar ra enggan untuk memberi izin kepadanya, seraya Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya itu penyembelihan”. Seorang laki-laki lain meminta izin pada Umar ra dan orang itu imam suatu kaum. Bahwa apabila ia telah memberi salam dari shalatnya, lalu ia memberi peringatan (nasehat) kepada mereka. Maka Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya aku takut bahwa engkau kembung angin, sehingga sampai ke bintang Surayya”. Hudzaifah bin Al-Yaman ra mengerjakan shalat dengan suatu kaum. Maka tatkala ia telah memberi salam dari shalatnya, ia mengatakan: “Hendaklah engkau mencari imam, selain dari aku. Atau engkau shalat sendirian. Sesungguhnya aku melihat pada diriku, bahwa tiadalah dalam kaum ini orang yang lebih utama daripada aku”. Maka apabila ada orang yang seperti Hudzaifah, tiada selamat, lalu bagaimana akan selamat orang-orang yang lemah, dari orang-orang yang terkemudian dari umat ini? Maka alangkah sukarnya di atas permukaan bumi, orang yang berilmu, yang berhak untuk dikatakan kepadanya: orang berilmu. Kemudian, ia tidak digerakkan oleh kemegahan dan kesombongan ilmu. Maka jikalau diperoleh orang yang demikian, niscaya adalah dia itu orang yang benar (orang shiddiq) pada zamannya. Maka tiada seyogyalah berpisah dengan orang itu. Akan tetapi memandang kepadannya saja adalah ibadah. Terutama lagi dengan mengambil faedah daripada diri dan keadaannya. Jikalau kita ketahui yang demikian, walaupun di tempat yang paling jauh di negeri China, niscaya kita pergi kepadanya. Karena harapan untuk meratakan kepada kita barakahnya. Dan menular kepada kita, perjalanan hidup dan sifatnya. Mudah-mudahanlah yang demikian. Maka dimanakah akhir zaman ini membolehkan dijumpai orang yang seperti mereka? Mereka itu orang-orang yang beruntung dan yang mempunyai kedaulatan, yang telah lenyap pada abad pertama dan orang-orang yang mengiringi mereka. Bahkan sukar pada zaman kita, seorang yang berilmu, yang masuk pada dirinya penyesalan dan kegundahan, atas lenyapnya perkara ini. Maka yang demikian itu juga, adakalanya tidak ada dan adakalanya sukar. Dan jikalau tidak adalah kabar yang menggembirakan hati dari Rasulullah saw, dengan sabdanya: “Akan datang kepada umat manusia suatu zaman, orang yang berpegang pada zaman tersebut, dengan 1/10 dari apa yang kamu padanya, niscaya ia terlepas”, sesungguhnya adalah layak bagi kita untuk memandang hina –dan kita berlindung dengan Allah Ta’ala- akan lumpur patah hati dan putus asa, serta kejahatan amalan kita, yang ada kita padanya. Dan siapakah pula dari kita yang berpegang 1/10 dari apa yang ada mereka itu padanya? Dan mudah-mudahan kita dapatlah kiranya berpegang dengan 1/100 nya. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya Ia mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)kan (pergaulkan) kita, dengan apa yang kepunyaanNya. Dan Ia tutupkan pada kita kekejian-kekejian amalan kita, sebagaimana yang dikehendaki oleh kemurahan dan kurniaNya.
Kedua: amal dan ibadah. Dan tidak terlepas orang-orang zahid dan abid, dari kehinaan kemegahan, kesombongan dan kecenderungan hati manusia. Dan menguatlah kesombongan dari mereka pada agama dan dunia. Adapun pada dunia, yaitu: bahwa mereka lihat orang lebih utama mengunjungi mereka, daripada mereka mengunjungi orang lain. Mereka mengharap bangun berdirinya manusia memenuhi keperluan mereka, memuliakan mereka, meluaskan tempat bagi mereka pada majelis-majelis, menyebutkan mereka orang wara’ dan taqwa dan mendahulukan mereka dari manusia lain, pada memperoleh keuntungan. Sehingga semua apa yang telah kami sebutkan dahulu, mengenai hak ulama-ulama. Dan seakan-akan mereka itu melihat, bahwa ibadahnya itu suatu nikmat kepada makhluk. Adapun pada agama, maka ia melihat, bahwa manusia itu binasa dan ia melihat dirinya sendiri yang terlepas. Padahal dia itu sebenarnya yang binasa, manakala ia melihat yang demikian. Nabi saw bersabda: “Apabila kamu melihat orang mengatakan: “Telah binasa manusia”, maka dialah yang lebih binasa dari mereka”. Sesungguhnya Nabi saw mengatakan yang demikian, karena perkataan tersebut dari orang itu, menunjukkan bahwa dia menghina makhluk Allah, tertipu darinya sendiri dengan amal ibadah kepada Allah, merasa aman dari percobaan Allah, tidak takut dari kekuasaan Allah. Bagaimana ia tidak takut dari kekuasaan Allah? Dan mencukupilah baginya kejahatan oleh penghinaannya kepada orang lain. Nabi saw bersabda: “Mencukupilah kejahatan bagi seorang manusia, bahwa ia menghina saudaranya orang muslim”. Berapa banyak perbedaannya diantara dia dan orang yang mencintainya karena Allah, membesarkannya karena ibadahnya, menghormatinya dan mengharap baginya, apa yang tidak diharapkannya bagi dirinya sendiri. Maka makhluk itu mengetahui akan kelepasannya, dengan menghormatinya karena Allah. Maka mereka itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menghampirinya. Dan ia berbuat kutukan kepada Allah, dengan membersihkan diri dan menjauhkan diri dari mereka. Seakan-akan dia terangkat tinggi daripada duduk-duduk dengan mereka. Maka alangkah pantasnya mereka, apabila mereka mengasihinya karena kebaikannya, bahwa mereka dipindahkan oleh Allah kepada tingkatnya, pada amal! Dan alangkah pantasnya, apabila ia menghinakan mereka, dengan sendirinya, bahwa ia dipindahkan oleh Allah kepada batas disia-siakan (tidak diperdulikan). Sebagaimana diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki pada kaum Bani Israil, yang dinamakan: orang keji Bani Israil, karena banyaknya kerusakan yang diperbuatnya. Orang itu melalui pada tempat seorang laki-laki yang lain, yang dinamakan: abid Bani Israil (yang banyak beribadah). Dan di atas kepala abid tadi, ada sepotong awan yang menaunginya. Maka tatkala si keji itu lalu pada si abid, lalu si yang keji tadi mengatakan pada dirinya: “Aku ini orang keji Bani Israil. Dan ini orang abid Bani Israil. Maka jikalau aku duduk dekat padanya, mudah-mudahan Allah mencurahkan rahmat kepadaku". Lalu ia duduk pada si abid tersebut. Maka abid itu mengatakan: “Aku ini abid Bani Israil. Dan ini orang yang keji dari Bani Israil. Maka bagaimanakah ia duduk padaku?”. Lalu si abid itu benci kepada si keji tadi. Dan ia katakan kepada si keji tersebut: “Bangunlah dari tempatku ini!”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi zaman itu, dengan firmanNya: “Suruhlah keduanya, supaya keduanya mengulangi amal. Sesungguhya Aku ampunkan dosa si keji dan Aku batalkan amal si abid”. Pada riwayat lain, yaitu: “Maka berpindahlah sepotong awan itu ke kepala si keji”. Ini memberitahukan kepada engkau, bahwa Allah Ta’ala sesungguhnya menghendaki dari hamba-hamba itu, akan hatinya. Maka orang bodoh yang maksiat, apabila ia merendahkan diri karena takut kepada Allah dan menghinakan diri karena takut kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah dengan hatinya. Maka dia itu, yang lebih taat kepada Allah daripada orang berilmu, yang menyombongkan diri dan orang abid yang mengherani diri (yang bersifat ‘ujub). Dan seperti itu juga, diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki pada kaum Bani Israil datang kepada seorang abid dari kaum Bani Israil. Lalu laki-laki tadi menginjakkan tapaknya atas leher si abid tersebut yang sedang bersujud. Lalu si abid itu mengatakan: “Angkatlah tapak kakimu! Demi Allah! Allah tidak akan mengampunkan dosa kamu”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya, dengan firmanNya: “Hai orang yang bersumpah kepadaKu! Bahkan engkau yang tidak diampunkan oleh Allah akan dosa engkau”. Begitu juga, Al-Hasan Al-Bashari  ra mengatakan bahwa: sehingga orang yang memakai pakaian bulu itu lebih keras kesombongannya daripada orang yang memakai kain selendang sutera. Artinya: bahwa orang yang memakai kain sutera itu, menghina orang yang memakai bulu. Ia melihat kelebihan baginya. Dan orang yang memakai bulu itu melihat kelebihan bagi dirinya. Dan bahaya ini juga, sedikitlah terlepas daripadanya, kebanyakan orang-orang abid. Yaitu: jikalau ia dipandang ringan oleh orang yang memandang ringan kepadanya atau ia disakiti oleh orang yang menyakitinya, niscaya jauhlah dia untuk diampunkan oleh Allah baginya. Dan tidak ragu lagi, bahwa dia itu terkutuk pada sisi Allah. Dan jikalau ia menyakiti orang Islam lain, niscaya ia tidak menantang tantangan itu. Dan yang demikian, karena besarnya kadar dirinya padanya. Dan itu kebodohan, pengumpulan diantara kesombongan dan kebanggaan diri dan tertipu dengan ibadahnya kepada Allah. Dan kadang-kadang, oleh kedunguan dan kebodohan itu, berkesudahan pada  sebahagian mereka, kepada pertentangan. Dan ia mengatakan: “Kamu akan melihat apa yang akan berlaku atasnya”. Dan apabila ia tertimpa dengan suatu bencana, niscaya ia mendakwakan, bahwa yang demikian itu adalah dari karamahnya. Dan Allah tiada menghendaki padanya, selain obat kedengkiannya dan balasan baginya. Serta ia melihat beberapa lapisan dari orang-orang kafir itu memaki Alalh dan RasulNya. Dan ia mengetahui suatu golongan yang menyakiti nabi-nabi as. Sebahagian mereka ada yang membunuh nabi-nabi as itu. Dan sebahagian lagi yang memukul nabi-nabi as. Kemudian, sesungguhnya Allah Ta’ala menangguhkan sebahagian besar mereka. Dan tidak disiksakannya di dunia. Bahkan kadang-kadang, sebahagian mereka diselamatkanNya. Maka tidak tertimpa kepada orang itu, yang tidak disukai, baik di dunia atau akhirat. Kemudian, orang bodoh yang tertipu itu, menyangka, bahwa ia lebih mulia pada Allah, daripada nabi-nabiNya. Dan sesungguhnya Allah menyiksakannya, dengan apa yang tidak disiksakanNya nabi-nabiNya as. Dan semoga dia dalam kutukan Allah, disebabkan keangkuhan dan kesombongannya. Dan dia itu lalai daripada kebinasaan dirinya. Maka inilah ‘akidah (kepercayaan) orang-orang yang tertipu. Adapun hamba-hamba yang pandai, maka mereka mengatakan, apa yang dikatakan oleh ‘Atha As-Salimi ini, ketika berhembus angin keras atau terjadi petir: “Tidaklah tertimpa atas manusia, oleh apa yang menimpa mereka, melainkan disebabkan aku. Dan jikalau ‘Atha mati, niscaya mereka terlepas daripada bencana”. Dan apa yang dikatakan oleh lainnya (yaitu: Yunus bin ‘Ubaid Al-Bashari ), sesudah perginya dari ‘Arafah, dengan katanya: “Aku mengharapkan rahmat bagi semua mereka, jikalau tidak adalah aku bersama mereka”. Maka perhatikanlah perbedaan diantara dua orang itu! Yang ini bertaqwa kepada Allah, zahir dan batin. Dan dia itu takut atas dirinya, menghinakan amalnya dan usahanya. Dan yang itu, kadang-kadang, ia menyembunyikan ria, sombong, dengki dan busuk hati, yaitu: yang menertawakan setan. Kemudian, ia memohonkan nikmat pada Allah dengan amalnya. Orang yang meyakini dengan penuh keyakinan, bahwa dia lebih tinggi dari seseorang hamba Allah, maka sesungguhnya dia telah membatalkan semua amalnya dengan kebodohannya. Sesungguhnya kebodohan itu maksiat yang paling keji dan suatu yang paling besar, yang menjauhkan hamba daripada Allah. Dan menetapkan dirinya, bahwa dia lebih baik daripada orang lain, adalah kebodohan semata-mata. Dan ia merasa aman dari rencana Allah. Dan tiada yang merasa aman dari rencana Allah, melainkan kaum yang mendapat kerugian. Dan karena itulah, diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki disebutkan, bahwa dia itu baik, pada nabi saw. Maka pada suatu hari laki-laki itu datang menghadap Nabi saw. Lalu para sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah! Inilah orang yang kami sebutkan padamu!”. Lalu Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya aku melihat pada mukanya bekas hitam dari setan”. Orang itu lalu memberi salam kepada Nabi saw dan berdiri. Maka Nabi saw bersabda kepadanya: “Aku bertanya kepada engkau dengan nama Allah, benarkah dibisikkan engkau oleh jiwa engkau, bahwa tiada dalam kaum engkau, orang yang lebih baik daripada engkau?”. Laki-laki itu menjawab: “Allahumma, ya, benar!”. Maka Rasulullah saw itu melihat dengan nur kenabian, apa yang tersembunyi dalam hati orang itu, bekas hitam pada mukanya. Ini adalah bahaya yang tiada terlepas daripadanya seseorang dari hamba, selain orang yang mendapat pemeliharaan Allah. Akan tetapi, para ulama dan abid pada bahaya kesombongan itu, atas 3 tingkat:
Tingkat pertama: bahwa kesombongan itu menetap dalam hatinya. Ia melihat dirinya lebih baik dari orang lain, selain bahwa dia itu bersungguh-sungguh bekerja dan merendahkan diri. Dan ia berbuat seperti perbuatan orang yang melihat orang lain, lebih baik daripada dirinya. Orang tersebut telah mantap dalam hatinya, pohon kesombongan. Akan tetapi ia potong ranting-rantingnya secara keseluruhan.
Tingkat kedua: bahwa nyata yang demikian pada perbuatan-perbuatannya, dengan mengangkat diri pada majelis-majelis, mendahului atas teman-teman dan melahirkan tantangan terhadap orang yang teledor mengenai haknya. Dan sekurang-kurangnya yang demikian pada orang yang berilmu, ialah: memalingkan mukanya dari manusia, seakan-akan dia itu membuang muka dari mereka. Dan sekurang-kurang yang demikian pada seorang abid, ialah: bahwa ia bermasam muka dan mengerut keningnya. Seakan-akan ia membersihkan diri dari manusia, menghinakan mereka atau marah kepada mereka. Dan orang yang patut dikasihani itu, tidak tahu, bahwa wara’, tidaklah pada dahi sehingga mengerut. Dan tidak pada muka, sehingga masam. Dan tidak pada pipi (muka), sehingga dipalingkan. Dan tidak pada leher, sehingga ditundukkan. Dan tidak pada ekor sehingga dilipatkan. Sesungguhnya wara’ itu, pada hati. Rasulullah saw bersabda: “Taqwa itu di sini”. Dan beliau tunjukkan ke dadanya. Maka sesungguhnya Rasulullah saw adalah “makhluk yang termulia dan yang paling taqwa. Dan dia adalah yang mempunyai akhlak terluas, yang terbanyak gembira, tersenyum dan berlapang dada”. Dan karena itulah, Al-Harts bin Jaz-i Az-Zubaidi sahabat Rasulullah saw mengatakan: “Mengherankan aku dari ulama-ulama, oleh setiap yang bermanis muka, yang banyak ketawa. Adapun orang yang engkau jumpai dengan kegembiraan dan ia menjumpai engkau dengan masam muka itu, membangkit-bangkitkan kepada engkau dengan ilmunya. Maka kiranya Allah tidak membanyakkan yang seperti itu pada kaum muslimin. Dan jikalau Allah SWT merelai yang demikian, niscaya Ia tidak berfirman kepada NabiNya saw, dengan firrmanNya: “Dan rendahkanlah sayap engkau kepada orang-orang yang beriman yang mengikut engkau”. S 26 Asy Syu’ara’ ayat 215. Dan merekalah orang-orang yang tampak bekas kesombongan pada sifat-sifat mereka. Maka keadaan mereka itu lebih ringan daripada orang yang pada tingkat ketiga. Yaitu: orang yang tampak kesombongannya pada lisannya. Sehingga mengajaknya kepada mendakwakan, bermegah-megahan, berbanggakan diri, membersihkan diri, menceritakan keadaan dan keduduk kan dan menyiapkan diri untuk mengalahkan orang lain, pada ilmu dan amal. Adapun orang abid, maka dia mengatakan pada mengemukakan kesombongan kepada orang lain dari hamba-hamba Allah, dengan katanya: “Siapa dia itu? Apa amalnya? Dan darimana zuhudnya?”. Maka panjanglah lisannya pada mereka dengan mengemukakan kekurangan. Kemudian ia memuji dirinya sendiri dan mengatakan: “Bahwa aku tiada berbuka (artinya: berpuasa) sejak itu dan itu. Aku tidak tidur malam (maksudnya: ia mengerjakan shalat tahajjud). Aku mengkhatamkan Alquran (maksudnya: menamatkan bacaan seluruh Alquran) pada setiap hari. Si Anu tidur pada waktu sahur (artinya: tidak berpuasa). Dan ia tidak membanyakkan bacaan”. Dan kata-kata lain yang seperti itu. Kadang-kadang ia membersihkan diri, secara terkandung dalam kata-kata (tidak terus terang). Ia mengatakan umpamanya: “Aku dimaksudkan oleh si Anu dengan jahat. Lalu binasalah anaknya. Hartanya diambil orang”. Atau ia sakit atau kata-kata lain yang serupa dengan itu. Ia mendakwakan karamah bagi dirinya. Adapun membanggakan diri, maka yaitu: jikalau ia berada bersama suatu kaum, yang mengerjakan shalat di malam hari, niscaya ia bangun berdiri dan mengerjakan shalat lebih banyak daripada shalat yang pernah dikerjakannya. Dan jikalau mereka itu sabar diatas kelaparan, maka ia memaksakan dirinya sabar, untuk mengalahkan mereka. Dan melahirkan kekuatannya dan kelemahan mereka. Dan begitu pula, ia bersangatan pada ibadah, karena takut dikatakan, bahwa: orang lain lebih banyak ibadahnya dari dia. Atau lebih kuat daripadanya pada agama Allah. Adapun orang yang berilmu. Maka ia menyombongkan diri dan mengatakan: “Aku ahli pada beberapa ilmu dan mendalami tentang hakikat/makna-hakikat/makna ilmu. Dan aku melihat dari syaikh-syaikh itu, si Anu dan si Anu. Dan engkau itu siapa? Dan apa kelebihan engkau? Dan siapa yang engkau temui dari syaikh-syaikh itu? Dan apa yang engkau dengar dari hadits?. Semua itu untuk mengecilkan orang lain dan membesarkan dirinya sendiri. Adapun membanggakan diri, maka yaitu: ia bersungguh-sungguh berdebat untuk menang dan tidak dikalahkan. Dan ia tidak tidur sepanjang malam dan siang hari, pada mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, untuk memperelokkan diri pada upacara-upacara, seperti: berdebat, bertengkar, membaguskan susunan kata, menyusun kata-kata bersajak. Dan menghapal ilmu-ilmu yang ganjil, supaya ia ganjil atas teman-temannya. Ia membesarkan diri atas mereka. Ia menghapal hadits-hadits menurut bunyinya dan isnad-isnadnya. Sehingga ia menolak terhadap orang yang salah hapalannya pada hadits-hadits itu. Maka tampaklah kelebihannya dan kekurangan teman-temannya. Dan ia bergembira manakala bersalah seseorang dari mereka, untuk ditolaknya. Dan menyusah kannya, apabila teman itu betul dan berbuat baik, karena takut bahwa temannya itu dipandang orang, lebih besar daripadanya. Maka ini semua adalah akhlak sombong dan bekas-bekasnya yang dihasilkan oleh kemegahan diri dengan ilmu dan amal. Dan manakah orangnya yang terlepas dari semua yang demikian atau dari sebahagian daripadanya? Maka menurut perasaanku, siapakah kiranya yang tahu akan akhlak ini dari dirinya dan mendengar sabda Rasulullah saw, yang menyabdakan: “Tiada akan masuk sorga orang yang dalam hatinya, seberat biji sawi daripada kesombongan”. Bagaimana ia membesarkan dirinya dan menyombong atas orang lain? Dan Rasulullah saw bersabda, bahwa dia itu dari penduduk neraka. Dan sesungguhnya orang besar, ialah: orang yang terlepas dari ini. Dan orang yang terlepas dari itu, niscaya tidak ada padanya membesarkan dan menyombongkan diri. Orang yang berilmu, ialah: orang yang memahami bahwa Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Bahwa engkau pada Kami mempunyai kadar (tingkat), apa yang tidak engkau lihat kadar itu bagi diri engkau sendiri. Maka jikalau engkau melihat bagi diri engkau kadar itu, niscaya tiada kadar itu bagi engkau pada Kami”. Dan orang yang tiada mengetahui ini dari agama, maka nama “orang berilmu” padanya itu dusta. Dan orang yang mengetahui ilmu itu, niscaya haruslah tidak menyombongkan diri dan tidak melihat bagi dirinya mempunyai kadar itu. Maka itulah menyombongkan diri dengan ilmu dan amal!.
          Ketiga: menyombongkan diri dengan keturunan dan bangsa. Maka orang yang mempunyai bangsa mulia itu, menghinakan orang yang tiada mempunyai kebangsaan. Walaupun orang yang tidak berbangsa itu lebih tinggi amal dan ilmu daripadanya. Kadang-kadang sebahagian mereka menyombongkan diri, lalu melihat, bahwa manusia itu, mempunyai harta dan budak-budak. Ia tidak mau bercampur baur dan duduk-duduk dengan mereka. Dan buahnya pada lidah, ialah: membanggakan diri. Lalu mengatakan kepada orang lain: “Hai orang Ajam! Hai orang Hindi! Hai orang Armania! Siapa engkau? Siapa bapak engkau? Adapun aku si Anu anak si Anu. Dan dimanakah orang yang seperti engkau iin berbicara dengan aku? Atau melihat kepada aku? Orang yang seperti aku, engkau berbicara? Dan kata-kata lain yang seperti itu. Itu adalah sifat yang tertanam dalam diri, yang tidak terlepas daripadanya, orang yang berbangsa. Walaupun ia orang salih dan berakal. Kecuali, kadang-kadang tidak patut yang demikian itu daripadanya pada keadaan yang normal (baik). Maka jikalau ia dikerasi oleh kemarahan, niscaya yang demikian itu memadamkan nur mata hatinya. Dan menjadi patut yang demikian itu daripadanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar, yang mengatakan: “Aku bermusuhan dengan seorang laki-laki di sisi Nabi saw. Lalu aku katakan kepada laki-laki itu: “Hai anak wanita hitam!”. Maka Nabi saw bersabda: “Hai Abu Dzar! Tinggilah engkau segantang! Tinggilah engkau segantang! Tidaklah bagi anak wanita putih mempunyai kelebihan atas anak wanita hitam”. Lalu Abu Dzar mengatakan: “Maka aku berbaring dan katakan kepada laki-laki tersebut: “Bangunlah dan pijaklah atas pipiku!”. Maka perhatikanlah, bagaimana Rasulullah saw memperingatinya, bahwa dia melihat bagi dirinya kelebihan, lantaran dia anak wanita putih. Dan bahwa yang demikian itu salah dan bodoh. Perhatikanlah, bagaimana ia bertobat dan mencabut dari dirinya pohon kesombongan dengan lekuk tapak kaki orang yang disombonginya. Karena ia mengetahui, bahwa kemegahan itu tidak akan dicegah, selain oleh kehinaan. Dan dari yang demikianlah, apa yang diriwayatkan, bahwa dua orang laki-laki bangga-membanggakan di sisi Nabi saw. Maka salah seorang dari keduanya mengatakan kepada yang lain: “Aku si Anu anak si Anu. Maka siapa engkau, tiada ibu bagi engkau?”. Lalu Nabi saw bersabda: “Dua orang laki-laki bangga-membanggakan diri di sisi Musa as. Maka salah seorang dari keduanya, mengatakan: “Aku si Anu anak si Anu”. Sehingga ia hitung 9 keturunan. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as, dengan firmanNya: “Katakanlah kepada orang yang membanggakan diri itu: “Bahkan, 9 dari sisi neraka dan engkau yang ke-10 dari mereka”. Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kaum itu meninggalkan kesombongan dengan menyebutkan bapak-bapak mereka! Sesungguhnya mereka telah menjadi arang kayu dalam neraka jahannam. Atau sesungguhnya adalah dia lebih hina pada Allah dari kepik bedugal Mesir (dalam bahasa Arab, yaitu: al-ji’laan), yang mengisap dengan hidungnya kotoran”.
Keempat: membanggakan diri dengan kecantikan. Dan yang demikian itu, lebih banyak diantara kaum wanita. Dan yang demikian itu mengajak kepada memandang kurang kepada orang, memalukan orang, mencaci dan menyebutkan kekurangan orang lain. Dan dari yang demikian itu, apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang mengatakan: “Seorang wanita masuk ke tempat Nabi saw. Lalu aku mengatakan dengan tanganku: “Begini! Artinya: dia itu pendek. Lalu Nabi saw bersabda: “Engkau sudah mencacinya”. Ini, tempat kejadiannya, ialah: tersembunyinya kesombongan. Karena sesungguhnya, jikalau ‘Aisyah itu juga pendek, niscaya tidak disebut nya pendek. Maka seakan-akan ‘Aisyah merasa heran dengan bentuk badan wanita itu. Dan pendeknya wanita tersebut pada lembung dirinya. Lali ‘Aisyah mengatakan apa yang telah dikatakannya.
Kelima: kesombongan dengan harta. Dan yang demikian itu berlaku diantara raja-raja mengenai gudang-gudang simpanan mereka. Dan diantara saudagar-saudagar mengenai harta benda mereka. Diantara kepala-kepala desa mengenai tanah mereka. Dan di antara orang-orang yang berbuat kecantikan pada pakaian, kuda dan kendaraan mereka. Lalu yang kaya menghinakan yang miskin dan menyombongkan diri atasnya. Ia mengatakan kepada yang miskin itu: “Engkau orang susah dan miskin. Dan aku, kalau aku mau, niscaya tidak aku beli orang yang seperti engkau. Dan aku pakai menjadi pelayan, orang yang di atas engkau. Siapakah engkau? Apa yang ada pada engkau? Perabot rumahku menyamai yang lebih banyak dari semua harta engkau. Aku berbelanja dalam sehari, apa yang engkau makan dalam setahun”. Semua itu, adalah karena penghormatannya kepada orang kaya dan penghinaannya kepada orang miskin. Semua itu adalah kebodohannya, dengan keutamaannya kemiskinan dan bahayanya kekayaan. Kepada yang demikianlah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Lalu ia mengatakan kepada temannya, ketika bercakap-cakap: “Harta aku lebih banyak dari harta engkau dan pengikutku lebih banyak dari pengikut engkau”. S 18 Al Kahfi ayat 34. Sehingga temannya itu lalu menjawab, dengan katanya: “Kalau engkau melihat harta dan anakku kurang dari harta dan anak engkau. Boleh jadi Tuhanku nanti memberikan kebajikan kepadaku lebih banyak dari hasil kebun engkau dan kemudian Dia mengirimkan petir dari langit kepada kebun  engkau, sehingga kebun itu menjadi tanah yang tidak mempunyai tanaman. Atau airnya lulus ke dalam, sehingga engkau tidak kuasa mendapatnya”. S 18 Al Kahfi ayat 39-40-41. Adalah yang demikian itu kesombongan daripadanya dengan harta dan anak. Kemudian, Allah menerangkan akibat pekerjaannya dengan katanya: “Aduhai! Kiranya aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan seseorang pun”. S 18 Al Kahfi ayat 42. Dan termasuk seperti yang demikian, kesombongan Karun, karena Allah Ta’ala berfirman, sebagai menerangkan tentang kesombongannya: “Lalu dia keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah-indah). Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia ini, berkata: “Wahai! Kiranya kami mempunyai seperti apa yang diberikan Karun! Sesungguhnya dia beruntung yang besar (bernasib baik)!”. S 28 Al Qashash ayat 79.
Keenam: sombong dengan kekuatan dan sangat garang. Dan kesombongan itu terhadap orang-orang lemah.
Ketujuh: sombong dengan sebab banyak pengikut, pembantu, murid dan hamba sahaya. Dan sombong, disebabkan keluarga, kerabat dan banyak putera. Dan yang demikian itu berlaku di antara raja-raja pada banyak-membanyakkan dengan tentara. Dan di antara alim ulama pada banyak-membanyakkan dengan orang-orang yang mengambil faedah dengan ilmunya (belajar padanya). Kesimpulannya, maka setiap yang menjadi nikmat dan mungkin diyakini sebagai suatu kesempurnaan, walaupun pada dirinya tidak merupakan suatu kesempurnaan, niscaya mungkin ia akan menyombongkan dengan yang tersebut itu. Sehingga seorang mukhannats (yang dapat membuat dirinya seperti gerak-gerik wanita), akan menyombong atas teman-temannya, disebabkan kelebihan pengetahuannya dan kemampuannya pada berbuat seperti mukhannats itu. Karena ia berpendapat yang demikian itu suatu kesempurnaan. Lalu ia membanggakan diri dengan yang demikian. Walaupun perbuatannya itu tidak lain, melainkan suatu perbuatan yang terlarang. Seperti yang demikian juga, orang fasiq, kadang-kadang ia membanggakan diri dengan banyaknya meminum khamar dan banyaknya berbuat jahat dengan wanita-wanita dan anak-anak muda belia. Ia menyombongkan dengan yang demikian, karena disangkanya, bahwa yang demikian itu suatu kesempurnaan. Walaupun ia salah pada yang demikian. Maka itulah jumlahan apa yang disombongkan oleh hamba-hamba. Sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain. Lalu menyombonglah orang yang mendekati kepada sesuatu, atas orang yang tiada mendekatinya. Atau atas orang yang mendekati, dengan apa yang lebih kurang daripadanya pada keyakinan. Dan kadang-kadang adalah orang yang seperti itu atau yang diatasnya pada sisi Allah Ta’ala, seperti orang yang berilmu, yang menyombong dengan ilmunya, atas orang yang lebih berilmu daripadanya. Karena persangkaannya, bahwa ia lebih berilmu. Dan karena bagus keyakinannya pada dirinya. Kita bermohon pada Allah Ta’ala akan pertolongan dengan kemurahan dan rahmatNya. Sesungguhnya Dia itu amat berkuasa atas setiap sesuatu.
PENJELASAN: tentang penggerak-penggerak kepada kesombongan dan sebab-sebab yang membangkitkannya.
Ketahuilah, bahwa sombong itu akhlak batiniyah. Adapun yang zahiriyah dari akhlak dan perbuatan, maka itu adalah buah dan natijah/hasil keyakinan/hasil. Dan seyogayalah dinamakan buah dan natijah/hasil keyakinan itu: sombong. Dikhususkan nama: sombong, dengan pengertian batiniyah, yaitu: membesarkan diri dan melihat kadar (tingkat) diri diatas tingkat orang lain. Dan batiniyah ini mempunyai suatu yang harus terjadi, yaitu: ujub (mengherani diri), yang menyangkut dengan orang yang menyombongkan diri, sebagaimana akan datang pengertiannya nanti. Maka apabila ia mengherani dirinya, ilmunya, amalnya atau sesuatu dari sebab-sebabnya, niscaya ia membesarkan dirinya dan menyombong. Adapun sombong zahriyah, maka sebabnya 3, yaitu: sebab pada yang menyombongkan diri, sebab pada orang yang disombongkan dan sebab pada yang menyangkut dengan yang lain, dari yang menyombongkan dan yang disombongkan. Adapun sebab pada orang yang meyombongkan diri itu, ialah: ujub. Dan yang menyangkut dengan orang yang disombongkan, yaitu: dendam dan dengki. Dan yang menyangkut dengan yang lain dari keduanya, yaitu: ria. Maka sebab-sebab dengan pengertian ini, menjadi 4: ‘ujub, dendam, dengki dan ria.
Adapun ‘ujub, maka telah kami sebutkan dahulu, bahwa ‘ujub itu mempusakai sombong batiniyah. Dan sombong batiniyah itu membuahkan sombong zahiriyah, pada: perbuatan, perkataan dan hal-ihwal keadaan.
Adapun dendam, maka itu membawa kepada kesombongan, tanpa ‘ujub. Seperti orang yang menyombongkan diri atas orang yang dilihatnya, bahwa orang tersebut seperti dia atau diatas dia. Akan tetapi ia marah kepada orang itu, dengan suatu sebab yang telah mendahului dari orang itu. Maka marah itu mempusakai dendam. Dan melekatlah kemarahan itu pada hatinya. Maka karena yang demikian, ia tidak dipatuhi oleh dirinya untuk merendahkan diri kepada orang tersebut. Walaupun ada padanya mustahak bagi merendahkan diri. Maka banyaklah orang yang hina, yang tidak dipatuhi oleh dirinya kepada merendahkan diri kepada seseorang dari orang-orang besar. karena dendamnya atas orang besar tersebut atau marahnya kepadanya. Dan yang demikian itu, membawanya kepada menolak kebenaran, apabila kebenaran itu datang dari pihak orang itu. Dan membawa kepada keras hidung daripada menerima nasehatnya. Dan membawa kepada bersungguh-sungguh untuk mendahului orang itu. Walaupun ia tahu, bahwa ia tidak berhak yang demikian. Dan membawa kepada tidak akan meminta ke-halal-an daripadanya dan walaupun ia berbuat zalim kepada orang itu. Maka ia tidak akan meminta maaf pada orang itu dan walaupun ia berbuat aniaya kepadanya. Dan ia tidak akan bertanya pada orang itu, dari apa yang tiada diketahuinya.
Adapun dengki, maka juga mengharuskan kemarahan bagi orang yang didengkikan. Walaupun tidak ada, dari pihak orang yang didengkikan itu, orang yang menyakitkan dan sebab yang menghendaki kemarahan dan kedengkian. Dan juga dengki itu membawa kepada mengingkari kebenaran. Sehingga ia tidak mau menerima nasehat dan mempelajari ilmu. Maka berapa banyak dari orang bodoh, yang ingin kepada ilmu pengetahuan dan terus tinggal dalam kehinaan kebodohan. Karena ia menyombongkan diri untuk mengambil faedah dari seseorang dari penduduk kampungnya atau familinya. Karena dengki dan durhaka kepadanya. Lalu ia berpaling dan menyombongkan diri, serta diketahuinya, bahwa ia mustahak merendahkan diri, disebabkan kelebihan ilmu orang itu. Akan tetapi, kedengkian yang menggerakkannya kepada bermu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) (bergaul) dengan orang itu, dengan tingkah laku orang-orang yang menyombongkan diri. Walaupun dalam batinnya, ia tidak melihat dirinya di atas orang itu.
Adapun ria, maka juga membawa kepada akhlak orang-orang yang menyombongkan diri. Sehingga seseorang sesungguhnya berdebat dengan orang, yang diketahuinya, bahwa orang itu lebih utama daripadanya. Dan tiada perkenalan di antaranya dan orang tersebut. Tidak ada dengki-mendengki dan dendam. Akan tetapi, ia tidak mau menerima kebenaran dari orang itu. Tidak mau merendahkan diri kepadanya, pada mengambil faedah dari ilmu-pengetahuannya. Karena takut dikatakan orang, bahwa orang itu lebih utama daripadanya. Maka yang menggerakkannya kepada menyombongkan diri itu, ialah: ria semata-mata. Jikalau ia mengasingkan diri bersama orang itu, niscaya ia tidak akan menyombongkan diri atas orang itu. Adapun orang yang menyombongkan diri dengan ‘ujub atau dengki atau dendam, maka ia menyombongkan diri juga, ketika ia dalam kesepian dengan orang itu, walaupun tidak ada bersama keduanya, orang ketiga. Dan seperti itu juga, kadang-kadang ia membangsakan dirinya kepada golongan bangsawan, dengan membohong. Dan ia tahu, bahwa dia itu bohong. Kemudian, ia menyombongkan diri dengan demikian, terhadap orang yang tiada berbangsa kepada golongan bangsawan itu. Dan ia mengangkatkan dirinya terhadap orang itu pada majelis-majelis pertemuan. Ia mendahulukan berjalan terhadap orang itu di jalanan. Ia tidak rela sama dengan orang tersebut pada kemuliaan dan penghormatan. Dan ia tahu pada batinnya, bahwa ia tidak mustahak yang demikian. Dan tidak ada kesombongan pada batinnya, karena diketahuinya, bahwa ia dusta pada mendakwakan kebangsawanan itu. Akan tetapi, ia dibawa oleh sifat ria, kepada perbuatan orang-orang yang menyombongkan diri. Dan seakan-akan nama orang yang menyombongkan diri itu, sesungguhnya, dikatakan secara mutlak pada kebanyakannya, kepada orang yang berbuat perbuatan-perbuatan tersebut, dari kesombongan pada batin, yang terbit dari ke’ujuban dan memandang kepada orang lain, dengan mata penghinaan. Dan dia itu jikalau dinamakan orang yang menyombongkan diri, maka dikarenakan oleh penyerupaan dengan perbuatan kesombongan. Kita bermohon kepada Allah, akan kebagusan taufiq. Wallahu Ta’ala A’lam. Allah Ta’ala Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN: tentang akhlak orang-orang yang merendahkan diri dan kumpulan yang lahir padanya oleh bekas merendahkan diri dan menyombongkan diri.
Ketahuilah, bahwa kesombongan itu kelihatan pada tabiat seseorang, seperti: memalingkan mukanya, memandang dengan mengerling, menundukkan kepala, duduk dengan bersela atau bertekan di lantai. Dan juga kesombongan itu kelihatan pada perkataannya, sehingga pada suara, tekanan suara dan kata-kata suara pada mengemukakan. Dan kesombongan itu kelihatan pada jalannya, cara berjalannya, berdirinya, duduknya, geraknya dan tenangnya. Dan pada cara ia mengerjakan perbuatannya dan pada lain-lain perobahannya tentang keadaan, perkataan dan perbuatannya. Diantara orang-orang yang menyombongkan diri, ialah orang yang mengumpulkan itu semua. Di antara mereka, ada orang yang menyombongkan diri pada sebahagian dan merendahkan diri pada sebahagian. Maka diantara akhlak orang-orang yang sombong, ialah menyombongkan diri dengan menyukai manusia bangun berdiri karena kedatangannya. Atau berdiri dihadapannya. Ali ra mengatakan: “Barangsiapa bermaksud melihat orang dari isi neraka, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang duduk. Dan dihadapannya suatu kaum yang berdiri”. Anas ra mengatakan: “Tiada orang yang lebih dicintai mereka, selain dari Rasulullah saw. Adalah mereka apabila melihatnya, tiada berdiri, karena diketahui mereka, akan kebencian Rasulullah saw untuk yang demikian”. Diantara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: ia tidak berjalan, selain ada bersama dia orang lain, yang berjalan di belakangnya. Abu-Darda ra mengatakan: “Senantiasalah hamba itu bertambah jauh daripada Allah, oleh apa yang berjalan di belakangnya”. Adalah Abdurrahman bin ‘Auf tiada mengenal dari antara budak-budaknya. Karena ia tidak membedakan dari mereka pada bentuk zahiriyahnya. Suatu kaum berjalan kaki di belakang Al-Hasan Al-Bashari . Lalu beliau melarang mereka dan mengatakan: “Tiada tinggal ini dari hati hamba Allah”. Adalah Rasulullah saw pada sebahagian waktu, berjalan kaki bersama sebahagian sahabat. Lalu beliau menyuruh mereka berjalan di muka. Dan beliau berjalan kaki dalam rombongan mereka. Adakalanya, tindakan Rasulullah saw itu untuk mengajar orang lain. Atau untuk meniadakan dari dirinya gangguan setan dengan kesombongan dan ke’ujuban. Sebagaimana ia melepaskan kain baru dalam shalat dan menggantikan nya dengan kain tua. Karena salah satu dari 2 arti tersebut. Di antara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: bahwa ia tidak mau berziarah (berkunjung) kepada orang lain, walaupun berhasil dari kunjungannya itu kebajikan bagi orang lain pada agama. Dan itu adalah lawan dari tawadlu’ (merendahkan diri). Diriwayatkan, bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra tiba di Ar-Ramlah (suatu kota di Palestina). Lalu Ibrahim bin Adham mengutus orang kepadanya, untuk menyampaikan kata-kata: “Datanglah, supaya kita bercakap-cakap!” Maka datanglah Sufyan itu. Lalu orang menanyakan kepadanya: “Hai Abu Ishak! Engkau telah datang kepadanya dengan cara yang seperti ini?”. Lalu Sufyan yang dipanggil dengan Abu Ishak tadi, menjawab: “Aku bermaksud hendak melihat, bagaimana tawadlu’nya”. Diantara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: ia menyombongkan diri, tidak suka orang lain duduk di dekatnya, selain duduk dihadapannya. Dan tawadlu’/merendahkan diri  adalah sebaliknya. Ibnu Wahab (seorang penghapal hadits, ahli fiqih, w. Th.97 H) mengatakan: “Aku duduk dekat Abdurrahman bin Abi Rawwad. Lalu pahaku menyentuh pahanya. Lalu aku menjauhkan diriku pada duduk daripadanya. Maka diambilnya kainku, lalu ditariknya aku kepadanya, seraya mengatakan kepadaku: “Mengapa engkau berbuat dengan aku, apa yang engkau perbuat dengan orang-orang yang sombong? Aku tidak kenal seseorang daripada kamu, yang lebih jahat daripada aku”. Anas ra mengatakan: “Adalah seorang budak wanita yang masih kecil dari budak-budak wanita Madinah memegang tangan Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw tiada melepaskan tangannya dari budak itu, sehingga budak tersebut berjalan dengan Rasulullah saw, kemana saja ia kehendaki”. Diantara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: bahwa ia menjaga diri daripada duduk-duduk bersama orang-orang sakit dan yang sakit parah. Ia menjauhkan diri dari mereka. Dan itu termasuk sebahagian dari kesombongan. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki yang berpenyakit cacar yang sudah mengupas, masuk ke tempat Rasulullah saw. Dan di sisi beliau banyak dari para sahabatnya, yang sedang makan. Maka laki-laki tersebut tidak dapat duduk dekat seseorang, selain orang itu terus bangun dari samping orang tersebut. Lalu orang sakit cacar itu didudukkan oleh Nabi saw di sampingnya. Adalah Abdullah bin Umar ra tiada menahan dari makanannya kepada orang yang berpenyakit kusta, supak dan yang kena dengan sesuatu penyakit, melainkan didudukkannya mereka pada hidangannya. Di antara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: bahwa ia tidak mau mengerjakan dengan tangannya sendiri sesuatu tugas di rumahnya. Dan tawadlu’ adalah yang sebaliknya. Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Abdul ‘Aziz ra pada suatu malam datang kepadanya seorang tamu. Dan adalah Umar ra itu menulis, lalu lampunya hampir padam. Lalu tamu tersebut mengatakan: “Bolehkah aku bangun berdiri, memperbaiki lampu itu?”. Umar bin Abdul-‘Aziz ra lalu menjawab: “Tidaklah dari kemuliaan seseorang, bahwa memperoleh pelayanan dari tamunya”. Tamu itu menanyakan lagi: “Apakah aku bangunkan budak pelayan?”. Umar lalu menjawab: “Itu adalah permulaan tidur, dimana budak itu baru tidur”. Umar ra lalu bangun berdiri dan mengambil botol minyak dan mengisikan lampu itu dengan minyak. Lalu tamu tadi, mengatakan: “Engkau kerjakan sendiri, wahai Amirul-mu’minin?”. Umar ibnu Abdul ‘Aziz ra lalu menjawab: “Aku pergi dan aku itu Umar. Aku kembali dan aku itu Umar. Tiada berkurang daripadaku sesuatu. Dan sebaik-baik manusia, ialah: orang yang ada pada sisi Allah itu merendahkan diri”. Di antara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah bahwa: ia tidak mengambil harta bendanya dan membawanya sendiri ke rumahnya. Dan itu adalah kebalikan daripada kebiasaan orang-orang yang merendahkan diri. Adalah Rasulullah saw berbuat demikian. Ali ra mengatakan: “Tiadalah berkurang orang yang sempurna dari kesempurnaannya, oleh membawa sesuatu kepada keluarganya”. Adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra dan dia waktu itu menjadi amir (amir Damaskus dalam pemerintahan Umar bin Khattab ra), membawa tempat air dari kayu kepunyaannya, ke kamar mandi. Tsabit bin Abi Malik mengatakan: “Aku melihat Abu Hurairah ra datang dari pasar, membawa seberkas kayu bakar. Dan dia waktu itu adalah wakil khalifah Marwan bin Al-Hakam di Madinah. Abu Hurairah lalu mengatakan: “Lapangkan jalan bagi amir, wahai putera Abi Malik!”. Dari Al-Ashbagh bin Nubatah, yang mengatakan: “Seolah-olah aku melihat kepada Umar ra yang memegang daging pada tangan kirinya. Dan pada tangan kanannya sebiji permata. Ia berkeliling di pasar, sehingga ia masuk ke rumahnya”. Setengah mereka mengatakan: “Aku melihat Ali ra membeli daging sedirham. Lalu dibawanya dalam tasnya. Maka aku mengatakan kepadanya: “Biarlah aku yang membawa wahai Amirul-mu’minin!”. Ali ra lalu menjawab: “Tidak! Kepala keluarga itu lebih berhak membawanya”. Di antara akhlak orang-orang yang menyombongkan diri, ialah: mengenai pakaian. Karena tampak dengan pakaian itu kesombongan dan kerendahan diri. Nabi saw bersabda: “Pakaian yang sederhana itu termasuk sebahagian dari iman”. Harun (bin Sa’id As-Sa’di salah seorang perawi hadits ini) mengatakan: “Saya menanyakan tentang arti maksud dari al-badzadzah. Lalu dijawab, bahwa artinya, ialah: pakaian yang kurang bagus. Zaid bin Wahab Al-Jahny (w. Sesudah Th. 80 H) mengatakan: “Aku melihat Umar bin Khattab ra pergi ke pasar. Dan di tangannya sebutir mutiara. Ia memakai kain sarung, yang padanya terjahit dari 14 potong. Sebahagiannya yang berwarna hitam manis”. Ali ra dicaci orang karena memakai kain sarung yang bertampal. Lalu Ali ra menjawab: “Akan diikuti oleh orang mu’min dan mengkhusyu’kan hatinya”. Nabi Isa as mengatakan: “Kain bagus itu kesombongan dalam hati”. Thaus Al-Yamani ra mengatakan: “Sesungguhnya aku akan mencucikan kainku yang dua ini. Lalu hatiku membantahnya, selama kedua kain ini masih bersih”. Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz ra sebelum menjadi khalifah, dibelikan pakaian baginya dengan harga 100 dinar. Lalu ia mengatakan: “Alangkah bagusnya pakaian ini, jikalau tiada kekasaran padanya!” Maka tatkala ia telah menjadi khalifah, lalu dibelikan kain baginya dengan harga 5 dirham. Maka ia mengatakan: “Alangkah bagusnya kain ini, jikalau tidak kelembutannya”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Di mana pakaian engkau, kendaraan engkau dan minyak atar (minyak wangi) engkau, wahai Amirul-mu’minin?”. Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mempunyai jiwa perasa. Dan jiwa itu tidak merasakan dari dunia suatu lapisan, melainkan ia rindu kepada lapisan (tingkat) yang di atasnya. Sehingga apabila ia telah merasakan pangkat khalifah, yaitu yang tertinggi dari segala tingkat, niscaya ia rindu kepada apa yang ada di sisi Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Sa’id bin Suwaid mengatakan: “Khalifah Umar bin Abdul-‘aziz ra bershalat Jum’at dengan kami. Kemudian, beliau duduk. Ia memakai baju kemeja, yang kantongnya bertampalan dari hadapannya dan dari belakangnya. Lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya: “Wahai Amirul-mu’minin! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kepada engkau. Maka mengapa tidak engkau pakai?” Umar bin Abdul-‘aziz ra lalu menundukkan kepalanya seketika. Kemudian mengangkatkan kepalanya, seraya mengatakan: “Sesungguhnya yang lebih utama kesederhanaan, ialah: ketika kaya. Dan kemaafan yang lebih utama, ialah: ketika kuasa”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggalkan perhiasan karena Allah dan meletakkan (tidak memakai) kain-kain bagus, karena merendah kan diri bagi Allah dan mencari kerelaanNya, niscaya berhak atas Allah menyimpankan baginya permadani sorga”. Jikalau anda mengatakan, bahwa sesungguhnya Nabi Isa as berkata: “Pakaian bagus itu kesombongan dalam hati”. Dan Nabi kita saw telah ditanyakan dari hal kecantikan kain-kain, adakah itu termasuk sombong? Lalu Nabi saw menjawab: “Tidak! Akan tetapi orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”. Maka bagaimanakah jalan mengumpulkan di antara dua ucapan tersebut? Ketahuilah kiranya, bahwa kain baru tidaklah dari keadaannya itu termasuk sebahagian dari kesombongan pada hak setiap orang dalam segala hal. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. Dan itulah yang diperkenalkan oleh Rasulullah saw dari keadaan Tsabit bin Qais. Karena beliau bersabda: “Sesungguhnya aku manusia yang mencintai kecantikan, sebagaimana engkau lihat”. Maka dapatlah diketahui, bahwa kecenderungan kepada kebersihan dan kebagusan kain, tidaklah untuk menyombongkan diri kepada orang lain. Maka tidaklah dengan keadaannya itu menjadi sebahagian dari kesombongan. Kadang-kadang ada yang demikian itu termasuk sebahagian dari kesombongan. Sebagaimana rela dengan kain kurang bagus, kadang-kadang termasuk sebahagian dari merendahkan diri (tawadlu’). Dan tanda orang yang menyombongkan diri itu, ialah: bahwa ia mencari kecantikan, apabila ia dilihat oleh manusia. Dan ia tidak memperdulikan yang demikian, apabila ia berada sendirian, akan bagaimana adanya. Dan tanda orang yang mencari kecantikan, ialah: bahwa ia mencintai kecantikan pada tiap sesuatu, walaupun ia pada tempat kesepian (khilwah). Dan sehingga dalam rumahnya yang tertutup. Maka yang demikian itu tidak termasuk, sebahagian dari kesombongan. Jadi, hal-ikhwal itu, telah terbagi-bagi. Ditempatkan ucapan nabi Isa as di atas sebahagian hal-ikhwal. Bahwa ucapannya: kesombongan hati itu, dimaksudkan: kadang-kadang mendatangkan kesombongan dalam hati. Dan sabda Nabi kita saw bahwa: tidak termasuk sebahagian dari kesombongan, dimaksudkan, ialah: bahwa kesombongan tidak mengharuskan kepadanya. Dan boleh tidak diharuskan oleh kesombongan kepadanya. Kemudian adalah itu dapat mendatangkan bagi kesombongan. Kesimpulannya, maka hal-ikhwal itu berbeda-beda dalam hal yang seperti ini. Dan yang disukai (yang disunatkan) itu, yang di tengah-tengah, di antara pakaian yang tidak mengharuskan kemasyhuran dengan bagusnya dan tidak dengan buruknya. Dan Nabi saw bersabda: “”Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedekahlah pada tidak berlebih-lebihan dan tidak kesombongan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai untuk melihat bekas nikmatNya pada hambaNya”. Anak Adam itu mencari hati manusia untuk dimilikinya, dengan menanamkan dalam hati itu rasa penghormatan dan pemuliaan kepadanya. Yaitu: yang diibaratkan, dengan kemegahan. Karena arti kemegahan itu: memiliki hati anak Adam (manusia). Maka inilah benda-benda yang diibaratkan dengan dunia. Dan telah dikumpulkan oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Manusia itu diberi perasaan berhasrat (bernafsu syahwat) kepada wanita dan anak-anak”. Ini adalah dari: manusia. “Dari kekayaan yang melimpah-limpah, dari emas dan perak”. Ini adalah dari: barang permata dan barang-barang tambang. Dan padanya, pemberitahuan kepada yang lain-lain, dari: mutiara batu delima dll. “Kuda yang bagus dan binatang ternak”. Ini adalah: binatang ternak dan hewan-hewan lainnya. “Sawah ladang”. Ini adalah tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman. Bakr bin Abdullah Al-Mazani mengatakan: “Pakailah pakaian raja-raja dan matikan hatimu dengan takut (kepada Allah)!”. Sesungguhnya Bakr bin Abdullah itu menunjukkan dengan ucapannya ini kepada suatu kaum yang mencari kesombongan dengan pakaian orang-orang shalih. Dan Nabi Isa as mengatakan: “Tidaklah kamu itu datang kepadaku dengan memakai pakaian rahib (pendeta) dan hatimu itu hati serigala yang buas. Pakailah pakaian raja-raja dan matikanlah hatimu dengan takut (kepada Allah)!”. Di antara akhlak orang-orang yang merendahkan diri, bahwa ia merendahkan diri dengan penanggungan (menerima saja) apabila ia dimaki, disakiti dan diambil haknya. Maka yang demikian itu, ialah: yang pokok. Dan telah kami bentangkan, apa yang dinukilkan dari orang-orang terdahulu (orang salaf), daripada menanggung kesakitan pada “Kitab Marah dan Dengki”. Kesimpulannya, maka kumpulan kebagusan akhlak dan tawadlu’ itu, ialah: perjalanan hidup (sirah) Nabi saw. Maka seyogyalah diikuti Nabi saw. Dan daripadanyalah seyogyanya dipelajari. Abu Salmah bin Abdurrahman bin ‘Auf (seorang tabi’in Madinah) mengatakan: “Aku bertanya kepada Abi Sa’id Al-Khudri ra: “Apakah pendapat anda, tentang yang diada-adakan manusia mengenai pakaian, minuman, kendaraan dan makanan?”. Abi Sa’id Al-Khudri ra menjawab: “Hai anak saudaraku! Makanlah karena Allah, minumlah karena Allah dan pakailah karena Allah! dan setiap sesuatu dari yang demikian itu, yang dimasuki oleh keujuban dan kebanggaan atau ria atau kemasyhuran, maka itu maksiat dan berlebih-lebihan. Dan berbuatlah di rumahmu dari pelayanan, apa yang diperbuat Rasulullah saw di rumahnya. Ia saw  memberi umpan unta, mengikatkannya, menyapu rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menjahit kain yang koyak, makan bersama pelayan, menumbuk tepung ganti pelayan itu, apabila pelayan itu sudah capek dan ia membeli sesuatu di pasar. Dan tidak menghalanginnya oleh perasaan malu untuk memegangnya dengan tangannya atau meletakkannya pada tepi kainnya. Dan ia bulak-balik kepada keluarganya. Ia berjabatan tangan dengan orang kaya dan orang miskin, orang besar dan orang kecil. Ia memberi salam dengan memulainya kepada tiap-tiap orang yang dijumpainya, dari orang kecil atau orang besar, orang hitam atau orang merah, orang merdeka atau hamba sahaya, dari orang-orang yang mengerjakan shalat. Tiada baginya saw pakaian khusus untuk dalam rumah dan pakaian untuk di luar rumah. Ia saw tiada malu, untuk memperkenankan, apabila ia diundang orang. Walau yang mengundang itu rambutnya kusut, berdebu. Ia saw tidak melecehkan, apa yang diundang orang kepadanya. Walaupun tidak didapatinya disitu, selain kurma buruk. Ia saw tidak meninggalkan makanan siang untuk makanan malam. Dan tidak makanan malam untuk makanan siang. Mudah perbelanjaannya, lembut akhlaknnya, mulia tabiatnya, bagus pergaulannya, bersih mukanya, tersenyum tanpa ketua, gundah tanpa kedukaan, keras tanpa kasar, merendahkan diri pada tidak kehinaan, pemurah tanpa berlebih-lebihan, pengasih kepada setiap famili dan orang Islam, halus hatinya, selalu menundukkan kepala, tiada penuh perutnya sekali-kali dari kekenyangan dan tidak mengulurkan tangannya dari kerakusan”. Abu Salmah bin Abdurrahman mengatakan:  “Aku masuk ke tempat ‘Aisyah. Lalu aku memperkatakan dengan dia mengenai apa yang dikatakan oleh Abu Sa’id, tentang zuhudnya Rasulullah saw. Maka ‘Aisyah menjawab: “Abu Sa’id itu tidak salah dari yang demikian itu, sehurufpun. Dan ia telah meringkaskannya. Karena ia tidak menceritakan kepada engkau, bahwa Rasulullah saw tidak pernah sekali-kali perutnya penuh dengan kekenyangan. Dan tidak pernah mengadukan halnya kepada seorangpun. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih disukainya dari kemudahan dan kekayaan. Walaupun ia senantiasa lapar semalam-malaman, hingga pagi hari. Maka yang demikian itu tidak menghalanginya dari puasa pada siangnya. Dan jikalau ia mau meminta pada Tuhannya, maka akan diberikan dengan gudang-gudang bumi, buah-buahannya dan kemewahan hidupnya dari bahagian timur dan baratnya bumi, niscaya dapat ia berbuat demikian. Kadang-kadang aku menangis, karena kasihan kepadanya dari kelaparan yang menimpa kepadanya. Maka aku sapuh perutnya dengan tanganku dan aku mengatakan: “Nyawaku tebusan bagi engkau! Jikalau engkau mencukupkan dari dunia sekedar yang menjadi makanan engkau dan mencegah engkau dari kelaparan?”. Ia saw lalu menjawab: “Hai ‘Aisyah! Saudaraku dari rasul-rasul ulul-‘azmi telah bersabar di atas keadaan yang lebih berat daripada ini. Mereka meneruskan di atas keadaan mereka. Dan mereka datang kepada Tuhannya. Lalu Tuhan memuliakan kembalinya mereka dan membanyakkan pahala bagi mereka. Maka aku dapati diriku malu, jikalau aku bermewah-mewah pada kehidupanku. Bahwa Tuhan memandang aku lengah, sedang rasul-rasul ulul-‘azmi itu tidak. Maka aku bersabar beberapa hari yang sedikit, lebih aku sukai daripada berkurangnnya keberuntunganku besok di akhirat. Tiada suatupun yang lebih aku sukai, selain menyusuli saudara-saudaraku dan kekasih-kekasihku”. ‘Aisyah mengatakan: “Demi Allah, tiada cukup seminggu sesudah itu, sehingga iapun diambil oleh Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar”. Maka apa yang dinukilkan dari prihal-ikhwal Nabi saw itu, mengumpulkan kumpulan akhlak orang-orang yang merendahkan diri. Maka siapa yang mencari kerendahan diri, maka hendaklah ia mengikutinya saw. Dan siapa yang melihat dirinya di atas tempatnya saw dan tidak rela bagi dirinya, apa yang direlai Nabi saw bagi dirinya, maka alangkah bodohnya orang itu. Sesungguhnya adalah Nabi saw makhluk Allah yang terbesar kedudukannya di dunia dan pada agama. Maka tiada kemuliaan dan ketinggian, pada mengikutinya. Dan karena itulah, Umar ra mengatakan: “Sesungguhnya kami suatu kaum, yang dimuliakan kami oleh Allah dengan Islam. Maka kami tidak mencari kemuliaan pada yang lain”, tatkala Umar itu dicaci orang, dalam keadaan buruk pakaiannya ketika ia datang di negeri Syam (Syiria). Abud-Darda ra mengatakan: “Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba yang dinamakan: al-abdal, pengganti nabi-nabi. Mereka itu tiang bumi. Maka tatkala telah berlalu pangkat kenabian (an-nubuwwah), niscaya diganti oleh Allah tempat mereka, dengan suatu kaum dari umat Muhammad saw. Mereka tiada melebihi dari manusia lain, dengan banyaknya puasa, shalat dan bagus pakaian. Akan tetapi, dengan benar wara’, bagus niat dan sejahtera dada (hati) bagi semua kaum muslimin. Dan menasehati mereka untuk mencari kerelaan Allah dengan sabar, bukan karena penakut. Dan merendahkan diri pada tiada kehinaan. Mereka itu kaum yang dipilih oleh Allah. Dan Ia mengikhlaskan mereka bagi diriNya. Mereka itu 40 orang shiddik atau 30 orang laki-laki. Hati mereka seperti yakinnya Nabi Ibrahim Khalilurrahman as. Tiada seorangpun yang mati dari mereka, melainkan Allah telah menjadikan siapa yang akan menggantikannya. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa mereka tiada mengutuk sesuatu, tiada menyakitinya, tiada menghinakannya, tiada menyombongkan kepadanya, tiada dengki kepada seseorang dan tiada rakus kepada dunia. Merekalah manusia yang terbaik kebajikannya, yang paling lembut tabiatnya dan yang paling pemurah jiwanya. Tanda mereka, ialah: pemurah. Tabiatnya gembira dan sifatnya sejahtera. Tidaklah mereka pada hari ini dalam ketakutan dan besok dalam kelalaian. Akan tetapi, mereka berbekalan atas keadaan mereka yang tampak. Dan mereka, mengenai apa yang diantara mereka dan Tuhannya, tiada diketahui oleh angin yang kencang dan oleh kuda yang lari. Hati mereka naik karena senangnya kepada Allah, rindu kepadaNya dan datang pada mendahului kepada kebajikan. Mereka adalah golongan Allah (hizbullah). Ketahuilah kiranya, bahwa hizbullah itu, mereka yang memperoleh kemenangan”. Perawi itu mengatakan: “Lalu aku bertanya: “Hai Abud-Darda! Apakah engkau tidak mendengar suatu sifat, yang lebih sukar kepadaku dari sifat tersebut? Dan bagaimana bagiku untuk menyampaikannya?”. Menjawab Abud-Darda: “Tiadalah di antara engkau dan di antara bahwa engkau berada pada yang lebih luas daripadanya, selain bahwa engkau itu berada dalam memarahi dunia. Maka sesungguhnya, apabila engkau memarahi dunia, niscaya engkau menghadapi kepada kecintaan akhirat. Dan dengan kadar kecintaan engkau bagi akhirat itu, engkau menjadi zuhud di dunia. Dan dengan kadar yang demikian, engkau akan melihat apa yang bermanfaat bagi engkau. Dan apabila diketahui oleh Allah dari hamba-hambaNya, kebagusan yang dicari, niscaya Ia menuang kan kepadanya jalan yang benar. Dan diliputinya dengan pemeliharaan. Ketahuilah, wahai anak saudaraku! Bahwa yang demikian itu, ada dalam Kitab Allah yang diturunkan kepada NabiNya, yaitu: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. S 16 An Nahl ayat 128. Yahya bin Katsir Al-Kufi mengatakan: “Maka kami memandang pada yang demikian, maka tiadalah kelezatan yang diperoleh oleh orang-orang yang memperoleh kelezatan, seperti mencintai Allah dan mencari kerelaanNya. Wahai Allah, Tuhan kami! Jadikanlah kami sebahagian dari orang-orang yang mencintai orang-orang yang mencintai Engkau, wahai Tuhan seru sekalian alam! Maka sesungguhnya tiada patut untuk mencintai Engkau, selain orang yang telah Engkau relai. Dan rahmat Allah dan sehjahteraNya kepada penghulu kita Muhammad, kepada keluarganya dan sahabatnya.
PENJELASAN: jalan pada mengobati kesombongan dan mengusahakan tawadlu’(merendahkan diri) bagi kesombongan itu.
Ketahuilah bahwa kesombongan itu termasuk sebahagian dari yang membinasakan. Dan tiada seorangpun dari makhluk, yang terlepas dari sesuatu daripada kesombongan. Dan menghilangkan itu fardlu ‘ain/wajib. Dan tiada akan hilang dengan semata-amta angan-angan. Akan tetapi dengan pengobatan dan memakai obat-obat yang mencabut kesombongan itu. Pada pengobatan kesombongan itu 2 tingkat:
Pertama: mencabut pokoknya dari akar-akarnya dan mencabut pohonnya dari tempat tertanamnya dalam hati.
Kedua: menolak yang datang daripadanya, dengan sebab-sebab khusus, di mana dengan sebab tersebut, manusia menyombongkan           diri atas orang lain.
Tingkat pertama: mengenai pencabutan pokoknya. Dan pengobatannya itu ilmiyah dan amaliyah. Dan tiada akan sempurna sembuhnya, selain dengan terkumpul keduanya. Adapun ilmiyah, maka yaitu: bahwa ia mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan yang demikian itu mencukupi baginya pada menghilangkan kesombongan. Maka sesungguhnya, manakala ia mengenal dirinya dengan sebenarnya, niscaya ia tahu, bahwa dia itu yang paling hina dari setiap yang hina dan yang paling sedikit dari setiap yang sedikit. Dan sesungguhnya tiada layak dengan dia, selain merendahkan diri, hina dan menghinakan diri. Dan apabila ia mengenal Tuhannya, niscaya ia tahu bahwa tiada layak kebesaran dan kesombongan, selain bagi Allah. Adapun ma’rifahnya akan Tuhannya, kebesaran dan kemuliaanNya, maka pembicaraan padanya akan panjang. Dan itulah kesudahan ilmu al-diminta untuk mengetahuinya saja. Adapun ma’rifahnya akan dirinya, maka itu juga akan panjang. Akan tetapi, kami menyebutkan dari yang demikian, apa yang bermanfaat pada mengobarkan tawadlu’ dan kehinaan. Dan mencukupi baginya, bahwa ia mengetahui arti suatu ayat pada Kitab Allah. Maka sesungguhnya dalam Alquran itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, bagi orang terbuka mata hatinya. Allah Ta’ala berfirman: “Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari benda apakah ia dijadikan? Dari setetas air mani, Allah menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan baginya. Kemudian itu, dimudahkanNya menempuh jalan. Kemudian itu dimatikanNya dan diletakkanNya di dalam kubur. Sesudah itu, apabila dikehendakiNya dibangkitkannya”. S 80 Abasa ayat 17-18-19-20-21-22. Maka ayat tersebut mengisyaratkan kepada permulaan kejadian manusia dan kepada akhir urusannya dan kepada pertengahannya. Maka hendaklah manusia memperhatikan yang demikian, supaya ia memahami arti ayat tersebut. Adapun permulaan manusia, yaitu: bahwa manusia itu, tiada suatupun yang dapat disebutkan. Dan ia berada pada segi tidak ada, beberapa masa lamanya. Bahkan, tidak ada bagi tidak adanya itu permulaan. Dan manakah sesuatu yang lebih keji dan tersedikit daripada terhapus dan tidak ada? Dan telah ada seperti yang demikian itu, pada masa tiada berpemulaan. Kemudian, ia dijadikan oleh Allah dari barang yang paling hina. Kemudian, dari yang paling kotornya. Ketika ia dijadikan dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging. Kemudian dijadikanNya tulang. Kemudian tulang itu dihiaskanNya dengan daging. Maka adalah ini permulaan wujudnya manusia, di mana dia telah menjadi suatu yang dapat disebutkan. Maka dia tidak menjadi suatu yang dapat disebutkan, melainkan dia di atas sifat dan keadaan yang paling keji. Karena ia tidak dijadikan pada permulaannya dengan sempurna. Akan tetapi, dijadikannya sebagai benda beku mati, yang tidak mendengar, tidak melihat, tidak merasa, tidak bergerak, tidak bertutur kata, tidak menyerang, tidak mengetahui dan tidak tahu apa-apa. Maka ia memulai dengan matinya sebelum hidupnya, dengan lemahnya sebelum kuatnya, dengan bodohnya sebelum tahunya, dengan butanya sebelum lihatnya, dengan tulinya sebelum dengarnya, dengan bisunya sebelum tuturnya, dengan sesatnya sebelum petunjuknya, dengan miskinnya sebelum kayanya dan dengan lemahnya sebelum kuasanya. Maka itulah arti firmanNya: “Dari benda apakah ia dijadikan? Dari setetes air mani, Allah menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan baginya”. Ayat 18-19. Dan arti firmanNya: “Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada suatupun yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami menciptakan manusia itu dari setetes air mani yang bercampur. Kami akan mengujinya”. S 76 Al Insaan ayat 1-2. Begitulah Allah menciptakan manusia pada permulaannya, kemudian Ia menganugerahkan nikmat kepadanya. Maka Ia berfirman: “Kemudian itu dimudahkanNya menempuh jalan”. Ayat 20 dari S 80 Abasa yang tersebut di atas. Dan ini adalah isyarat kepada apa yang diperoleh insan, dengan mudah pada masa hidupnya sampai kepada mati. Begitu pula firmanNya: “Dari setetes air mani itu bercampur. Kami akan mengujinya, lalu dia Kami jadikan orang yang dapat mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, adakalanya dia tahu berterima kasih atau tidak tahu berterima kasih”. S 76 Al Insaan ayat 2 dan 3. Artinya, sesungguhnya Allah Ta’ala menghidupkannya, sesudah insan itu berada barang beku yang mati. Pertama-tama tanah dan yang kedua setetes air mani. DiberikanNya pendengaran, sesudah insan itu tuli dan penglihatan sesudah insan itu tidak dapat melihat. Diberinya kekuatan sesudah lemah dan ilmu-pengetahuan sesudah bodoh. DijadikanNya bagi insan itu anggota badan dengan segala keajaiban dan tanda-tanda yang ada padanya, sesudah tadinya tidak ada. DikayakanNya sesudah miskin, dikenyangkanNya sesudah lapar, diberikanNya pakaian sesudah telanjang dan diberiNya petunjuk sesudah sesat. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah mengatur dan membentukkannya. Dan kepada jalan, bagaimana dimudahkannya. Dan kepada kedurhakaan insan, alangkah ingkarnya! Dan kepada kebodohan insan, bagaimana dilahirkannya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Apakah manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari setetes air mani? Tetapi, lihatlah dia telah menjadi musuh terang-terangan”. S 36 Yasin ayat 77. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan diantara keterangan-keterangan –kebesaran-Tuhan itu, diciptakanNya kamu dari tanah. Kemudian itu, lihatlah kamu telah menjadi manusia yang bertebaran”. S 30 Ar Rum ayat 20. Maka perhatikanlah kepada nikmat Allah atas insan, bagaimana Ia memindahkannya dari kehinaan itu, kesedikitan, kekejian dan kekotoran, kepada ketinggian ini dan kemuliaan! Maka jadilah insan itu ada (maujud) sesudah tidak ada, hidup sesudah mati, dapat bertutur kata sesudah bisu, melihat sesudah buta, kuat sesudah lemah, berilmu sesudah bodoh, mendapat petunjuk sesudah sesat, berkuasa sesudah lemah dan kaya sesudah miskin. Maka adalah insan itu pada zatnya: tidak ada suatupun. Dan manakah sesuatu yang lebih keji, daripada: tidak ada suatupun? Dan manakah kesedikitan, yang tersedikit, daripada: tidak ada semata-mata? Kemudian, insan itu menjadi sesuatu, dengan kurnia Allah. Dan sesungguhnya Ia menjadikan insan, dari tanah yang hina, yang diinjak dengan tapak kaki. Dan dari setetes air mani yang kotor, sesudah tidak ada pula semata-mata. Untuk diperkenalkanNya kepada insan itu akan kekejian dirinya. Lalu insan itu dengan demikian, mengenal akan dirinya. Sesungguhnya Allah menyempurnakan nikmat kepada insan. Supaya dengan nikmat itu, insan mengenal akan Tuhannya. Dan dengan nikmat itu, insan mengetahui kebesaran dan keagunganNya. Dan sesungguhnya kesombongan itu tidak layak, selain bagiNya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Dan karena itulah, maka Allah memberi nikmat kepada insan. Ia berfirman: “Bukankah telah Kami buatkan untuknya dua mata? Dan lidah dan dua bibir? Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan raya?”. S 90 Al Balad ayat 8-9-10. Pertama-tama, diperkenalkanNya kekejian insan itu. Ia berfirman: “Bukankah dia dahulunya setetes air mani yang ditumpahkan? Kemudian itu, menjadi segumpal darah”. S 75 Al Qiamah ayat 37-38. Kemudian, Ia menyebutkan nikmatNya kepada insan. Ia berfirman: “Lalu (Tuhan) menciptakan (bentuk)nya dan menyempurnakan kejadiannya. Dan dijadikan oleh Tuhan dua jenis, laki-laki dan perempuan”. S 75 Al Qiamah ayat 38-39. Supaya kekal adanya insan itu, dengan berketurunan. Sebagaimana berhasil adanya pertama-tama diciptakan oleh Tuhan. Maka siapa yang ini permulaannya dan itu keadaannya, maka dari manakah sombong, takabur, bangga dan angkuh itu? Dan dia itu sebenarnya yang terkeji dari yang keji-keji dan yang paling lemah dari yang lemah-lemah. Akan tetapi ini, adalah kebiasaan dari orang keji. Apabila ia terangkat dari kekejian, niscaya ia meninggalkan hidungnya dan merasa besar. Dan yang demikian itu karena menunjukkan kekejian permulaannya. Dan tiada daya dan upaya, selain dengan Allah. Ya, jikalau Allah menyempurnakan insan, menyerahkan kepadanya urusannya dan mengekalkan wujudnya (adanya) dengan pilihannya, niscaya dapatlah insan itu berbuat durhaka dan melupakan permulaan dan kesudahannya. Akan tetapi, pada kekekalan wujudnya, insan itu dikuasai oleh penyakit-penyakit yang menakutkan, penyakit-penyakit yang besar, bahaya yang bermacam-macam, tabiat-tabiat yang berlawanan, dari kepahitan, dahak, angin dan darah, yang dihancurkan sebahagian dari sendi-sendinya oleh sebahagian yang lain. Dia berkehendak yang demikian atau enggan atau marah. Maka ia lapar dengan terpaksa, ia haus dengan terpaksa, ia sakit dengan terpaksa dan ia mati dengan terpaksa. Ia tidak memiliki bagi dirinya, manfaat dan melarat, kebajikan dan kejahatan. Ia tidak memiliki bagi mengetahui sesuatu, maka tidak diketahuinya. Ia menghendaki mengingati sesuatu, maka dilupainya. Ia menghendaki melupakan sesuatu dan melalaikannya, maka tidak dapat dilupakannya. Ia menghendaki memalingkan hatinya kepada apa yang penting, lalu hatinya itu berputar dalam lembah bisikan-bisikan setan dan pikiran-pikiran dengan terpaksa. Maka hatinnya tidak memiliki (menguasai) hatinya. Dirinya tidak menguasai dirinya. Dan ia rindu kepada sesuatu. Kadang-kadang adalah kebinasaannya pada yang sesuatu itu. Ia benci kepada sesuatu. Kadang-kadang hidupnya adalah pada yang sesuatu itu. Ia merasa lezat dengan bermacam makanan. Dan makanan itu membinasakannya dan merusakkannya. Ia tidak menyukai obat, padahal obat itu bermanfaat dan menghidupkannya. Ia tidak merasa aman pada suatu saat dari malam atau siang, bahwa pendengarannya dan penglihatannya akan dicabut. Anggota badannya akan lumpuh. Akal pikirannya akan hilang. Nyawanya akan diambil. Dan semua yang diingininya dalam dunia akan dirampas. Maka dia itu menjadi orang yang sangat memerlukan, lagi hina. Jikalau ia dibiarkan dengan demikian, niscaya ia kekal tetap. Dan jikalau dirampas semua yang tersebut, niscaya ia hancur binasa. Dia itu adalah budak yang dimiliki (ada yang punya). Tidak berkuasa atas sesuatu dari dirinya dan tidak kepada sesuatu dari lainnya. Maka manakah sesuatu yang lebih hina daripadanya, jikalau ia mengenal akan dirinya? Dan dimanakah layak kesombongan baginya, jikalau tidaklah karena kebodohannya? Maka inilah hal-ikhwal yang ditengah-tengah! Maka hendaklah diperhatikan! Adapun akhirnya dan tempat kedatangannya, maka yaitu: mati, yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Kemudian itu dimatikanNya dan diletakkanNya di dalam kubur. Sesudah itu, apabila dikehendakiNya, dibangkitkanNya”. S 80 Abasa ayat 21-22. Artinya: Allah Ta’ala mencabut nyawanya, pendengarannya, penglihatannya, ilmunya, kuasanya, perasaannya, pemahamannya dan geraknya. Lalu insan itu kembali menjadi beku, sebagaimana adanya pada pertama kali dahulu. Tidak tinggal lagi, selain bentuk anggota badannya dan rupanya. Tak ada perasaan dan gerak padanya lagi. Kemudian, ia diletakkan dalam tanah. Maka ia menjadi bangkai yang busuk kotor, sebagaimana adanya pada permulaan dahulu, setetes air mani yang berhamburan. Kemudian, anggota badannya menjadi busuk, hancur bahagian-bahagiannya dan busuk tulang-belulangnya. Ia menjadi hancur luluh. Ulat memakan bahagian-bahagian tubuhnya. Lalu dimulainya dengan memakan dua biji matanya. Maka dicabutnya kedua biji mata itu. Dan dengan kedua pipinya, maka dipotongnya kedua pipi itu. Dan dengan bahagian-bahagian tubuh lainnya. Maka jadilah dia taik (berak) dalam perut ulat. Dan adalah dia itu bangkai, yang lari hewan daripadanya. Dan semua insan jijik kepadanya. Dan melarikan diri daripadanya, karena bersangatan busuknya. Dan yang paling bagus keadaannya, bahwa ia kembali kepada apa adanya dahulu. Lalu ia menjadi tanah, yang diperbuat kendi-kendi daripadanya. Dan dibangun rumah-rumah dari tanah liat itu. Maka dia itu, menjadi tidak ada, sesudah ia ada. Dan jadilah ia seakan-akan ladang padi yang sudah dituai, yang kemarinnya tidak ada apa-apa. Sebagaimana ia telah berada pada permulaan kejadiannya pada masa yang lama. Mudah-mudahan tinggallah ia seperti yang demikian. Alangkah baiknya, jikalau ia dibiarkan menjadi tanah! Tidak! Akan tetapi ia akan dihidupkan kembali sesudah lamanya busuk. Supaya ia merasakan kesangatan percobaan. Lalu ia dikeluarkan dari kuburnya, sesudah terkumpul bahagian tubuhnya yang bercerai berai. Ia dikeluarkan kepada huru hara hari kiamat. Maka ia melihat kepada kiamat yang tegak berdiri, langit yang pecah-pecah hancur, bumi yang sudah berganti, gunung-gunung yang berjalan, bintang-bintang jatuh bertaburan, matahari gerhana, keadaan yang gelap, malaikat-malaikat yang kasar keras, neraka jahannam yang menyala-nyala dan surga yang dipandang oleh orang berdosa. Maka ia bersedih hati. Ia melihat suratan amal yang dihamburkan. Lalu dikatakan kepadanya: “Bacalah suratan amalmu (kitabmu)!. Maka ia bertanya: “Apakah kitab amal itu?. Lalu dijawab: “Sudah ada kitab amal itu. Telah diwakilkan kitab itu pada engkau, dalam hidup engkau, yang engkau bergembira dalam hidup itu. Engkau menyombong dengan kenikmatan hidup dan membanggakan diri dengan sebab-sebab kehidupan itu. Dua malaikat pengintip, yang menulis terhadap kamu, apa yang kamu tuturkan atau kerjakan, dari sedikit dan banyak, biji dan kulit, makan dan minum, berdiri dan duduk. Engkau telah lupa yang demikian. Dan Allah menghitungkan terhadap engkau. Maka marilah kepada hitungan amal dan bersedialah untuk jawabannya! Atau engkau dihalau ke kampung azab. Lalu terputuslah hatinya karrena gundah dari kehebatan perkataan tersebut, sebelum dihamburkan surat amal. Dan melihat apa yang didalamnya dari kehinaan-kehinaannya. Maka apabila ia telah menyaksikannya, niscaya ia berkata: “Aduhai, malangnya kami! Kitab apakah ini! Tidak ditinggalkannya perkara yang kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semuanya”. Maka inilah akhir urusannya! Dan itulah arti firman Allah Ta’ala:  “Sesudah itu apabila dikehendakiNya dibangkitanNya”. S 80 Abasa ayat 22. Maka apalah kiranya, bagi orang yang begini keadaannya, menyombong dan membesarkan diri? Bahkan apalah baginyya dan bagi kegembiraan pada sekejap waktu, sebagai kelebihan dari kesombongan dan tidak mensyukuri nikmat. Maka telah menampak baginya permulaan keadaannya dan pertengahannya. Dan jikalau menampaklah akhir keadaannya kita berlindung dengan dengan Allah Ta’ala, mungkin ia memilih menjadi anjing atau babi. Supaya ia menjadi tanah bersama binatang. Dan tidak menjadi insan, yang mendengar pembicaraan dan menemui azab. Walaupun ia pada sisi Allah berhak bagi neraka, maka babi itu lebih mulia daripadanya, lebih baik dan lebih tinggi. Karena permulaannya tanah dan penghabisannya tanah. Dan babi itu tidak kena hisab (hitungan amal) dan azab. Anjing dan babi, tidak lari makhluk daripadanya. Dan jikalau penduduk dunia melihat hamba yang berdosa dalam neraka, niscaya mereka jatuh pingsan dari kekejian kejadiannya dan buruk bentuknya. Dan jikalau mereka mencium baunya, sungguh mereka akan mati dari busuknya. Dan jikalau jatuhlah setetes dari minumannya yang diminumnya dalam laut dunia, niscaya yang setetes itu lebih busuk dari bangkai. Maka orang yang begini keadaan kesudahannya, kecuali dimaafkan oleh Allah dan dia itu dalam keraguan dari mendapat kemaafan, lalu bagaimana ia bergembira dan menyombong? Bagaimana ia menyombongkan diri dan merasa perkasa? Bagaimana ia melihat dirinya akan sesuatu, sehingga diyakininya bahwa ia mempunyai kelebihan? Hamba manakah yang tidak berdosa dengan suatu dosa, yang berhak akan siksaan? Kecuali dimaafkan oleh Allah Yang Maha Pemurah, dengan kurniaNya? Dan ia menampalkan kepecahan dengan nikmatNya. Dan mengharap daripadaNya demikian, karena kemurahanNya dan bagus prasangka kepadaNya. Dan tiada upaya, selain dengan Allah. Adakah anda melihat orang yang berbuat aniaya kepada setengah raja-raja, lalu ia berhak disebabkan penganiayaannya itu, pukulan 1000 cambuk. Maka ia dikurung dalam penajra. Dan dia menunggu untuk dikeluarkan ke lapangan (padang mahsyar). Dan dijatuhkan siksaan atas dirinya di hadapan manusia banyak. Dan ia tidak tahu, apakah ia akan dimaafkan atau tidak. Bagaimana hinanya dia dalam penjara? Adakah anda melihat, bahwa ia menyombongkan diri terhadap orang-orang yang dalam penjara? Dan tidak adalah dari hamba yang berdosa, melainkan dunia penjaranya. Dan ia berhak memperoleh siksaan dari Allah Ta’ala. Ia tidak tahu, bagaimana akhir urusannya. Maka mencukupilah yang demikian, kegundahan baginya, ketakutan, mengharap belas kasihan, kerendahan dan kehinaan. Inilah kiranya obat ilmiyah yang mengalahkan pokok kesombongan. Adapun pengobatan alamiyah, maka yaitu: merendahkan diri karena Allah, dnegan perbuatan dan karena semua makhluk, dengan rajin berakhlak dengan akhlak orang-orang yang merendahkan diri. Sebagaimana telah kami sifatkan dan ceritakan dari hal-ikhwal orang-orang shalih dari hal-ikhwal Rasulullah saw. Sehingga adalah dia saw makan di atas tanah dan bersabda: “Sesungguhnya aku hamba. Aku makan, sebagaimana hamba itu makan”. Ditanyakan kepada Salman Al-Farisi: “Mengapa anda tidak memakai pakaian baru? Salman lalu menjawab: “Aku sesungguhnya hamba. Maka apabila aku telah dimerdekakan pada sesuatu hari nanti, niscaya aku pakai yang baru”. Salman Al-Farisi ra mengisyaratkan dengan yang demikian, kepada kemerdekaan di akhirat. Tawadlu’ itu tidak sempurna sesudah ma’rifah, selain dengan amal. Dan karena itulah, disuruh orang-orang Arab yang menyombongkan diri atas Allah dan RasulNya, dengan beriman dan mengerjakan shalat sekalian. Dan dikatakan: shalat itu tiang agama. Dan dalam shalat terdapat rahasia-rahasia. Dan karenanyalah, shalat itu menjadi tiang agama. Di antara jumlah rahasia itu, ialah: apa yang terdapat dalam shalat, dari tawadlu’, dengan merendahkan diri berdiri, dengan ruku’ dan sujud. Dan adalah orang-orang Arab itu dahulu menolak daripada membungkuk. Lalu jatuhlah cemeti dari tangan salah seorang mereka. Maka ia tidak mau membungkuk untuk mengambilnya. Dan ada yang terputus tali sepatunya, maka ia tidak mau menundukkan kepalanya untuk memperbaiki tali sepatu itu. Sehingga Hakim bin Hizam ra (keponakan Siti Khadijah binti Khuwailid, seorang dermawan Islam, wafat Th. 50 H.dalam usia 120 Th), mengatakan: “Aku melakukan bai’ah dengan Nabi saw, bahwa aku tidak menelungkup untuk sujud, melainkan berdiri saja”. Maka diterima oleh Nabi saw bai’atnya. Kemudian, dapat ia memahami dan sempurnalah imannya kemudian. Tatkala adalah sujud pada mereka itu, kesudahan kehinaan dan kerendahan, niscaya mereka itu disuruh dengan sujud. Supaya dengan demikian, hancur kesombongan mereka dan hilang keangkuhan mereka. Dam mantaplah tawadlu’ dalam hati mereka. Dan dengan sujud itu disuruh makhluk lainnya. Maka sesungguhnya rukuk, sujud dan berdiri tegak itu, adalah amal perbuatan yang dikehendaki oleh tawadlu’. Maka begitu pula orang yang mengenal dirinya. Maka hendaklah ia memperhatikan tiap-tiap apa dari perbuatan, yang dikehendakinya dari kesombongan. Maka hendaklah ia rajin mengerjakan yang sebaliknya! Sehingga jadilah tawadlu’ itu suatu akhlak baginya. Sesungguhnya hait itu tiadaa akan berakhlak, dengan akhlak terpuji, selain dengan ilmu bersama dengan amal. Dan yang demikian itu, karena tersembunyi hubungan antara haati dan anggota badan. Dan rahasia ikatan di antara alamul-mulki dan alam al-malakut. Dan hati itu termasuk alam al-malakut.
Tingkat kedua: tentang apa yang datang dari kesombongan itu, dengan 7 sebab yang tersebut dahulu. Dan telah kami sebutkan pada Kitab Tercelanya Kemegahan diri, bahwa kesempurnaan hakiki, ialah: ilmu dan amal. Adapun selainnya, dari hal-hal yang lenyap dengan mati, maka adalah: kesempurnaan sangkaan. Maka dari ini, sukarlah bagi orang yang berilmu, bahwa tidak menyombongkan diri. Akan tetapi, kami akan menerangkan jalan pengobatan, dari ilmu dan amal pada semua sebab yang 7 itu:
Pertama: keturunan. Maka orang yang diselimuti oleh kesombongan dari pihak keturunan, maka hendaklah ia mengobati hatinya, dengan mengetahui: 2 hal: salah satu dari ddua hal itu, ialah: bahwa itu suatu kebodohan, dimana ia merasa mulia dengan kesempurnaan orang lain. Dan karena itulah, dikatakan pada sekuntum syair:
Kalau engkau membanggakan diri,
Dengan ayah-ayahmu orang bangsawan.
Maka kamu itu benar sekali,
Akan tetapi buruklah mereka yang dianakkan.
Orang yang menyombongkan diri dengan keturunan, jikalau dia itu keji pada sifat-sifat pribadinya, maka dari manakah ia menampalkan kekejiannya itu dengan kesempurnaan orang lain? Bahkan, jikalau ada orang yang dia membangsawankan diri kepadanya, masih hidup, maka sesungguhnya orang tersebut akan mengatakan kepadanya: “Kelebihan itu bagiku dan engkau itu siapa? Sesungguhnya engkau itu ulat, yang dijadikan dari kencingku. Apakah engkau berpendapat, bahwa ulat yang dijadikan dari kencing manusia itu, lebih mulia daripada ulat yang dijadikan dari kencing kuda? Jauhlah itu dari kebenaran! Akan tetapi, keduanya bersamaan. Dan kemuliaan itu bagi insan, tidak bagi ulat.
Kedua: bahwa ia mengetahui keturunannya yang hakiki. Maka dikenalnya ayahnya dan neneknya. Maka sesungguhnya ayahnya yang dekat, ialah: setetes air mani yang kotor. Dan neneknya yang jauh, ialah: tanah debu yang hina. Dan telah diperkenalkan oleh Allah Ta’ala keturunannya, dengan firmanNya: “Dan segala sesuat yang diciptakanNya, dibuatNya dengan sebaik-baiknya. Dan dimulaiNya menciptakan manusia dari tanah. Kemudian itu, dijadikanNya turunan manusia dari sari pati air yang hina”. S 32 As Sajadah ayat 7-8. Maka orang yang asalnya tanah yang hina, yang diinjak-injak dengan tapak kaki. Kemudian, tanah itu diragikan, sehingga menjadi lumpur yang busuk, lalu bagaimana ia menyombongkan diri? Dan sesuatu yang paling keji, ialah: apa yang ia mem-bangsawan-kan dirinya kepadanya. Karena dapat dikatakan: “Hai yang terhina dari tanah! Hai yang terbusuk dari lumpur! Hai yang terkotor dari darah segumpal!”. Kalau adanya itu dari bapaknya lebih dekat dari adanya dari tanah, maka kita mengatakan, bahwa ia membanggakan diri dengan yang dekat, tidak dengan yang jauh. Maka setetes air mani dan segumpal darah itu lebih dekat kepadanya dari bapaknya. Maka hendaklah ia menghinakan dirinya dengan demikian! Kemudian, jikalau ada yang demikian itu, mengharuskan ketinggian, karena dekatnya, maka bapaknya yang teratas (nabi Adam as), adalah dari tanah. Maka dari manakah ketinggiannya itu? Dan apabila bapaknya tiada mempunyai ketinggian, maka dari manakah datangnya ketinggian itu bagi anaknya? Jadi, asal pokoknya dari tanah dan cabang keturunannya dari setetes air mani. Maka ia tidak mempunyai asal pokok dan cabang keturunan. Dan inilah kekejian kebangsawanan yang penghabisan. Awal pokoknya itu, diinjak-injak dengan tapak kaki. Dan cabang keturunannya itu, dimandikan tubuh daripadanya. Maka inilah keturunan yang hakiki bagi insan. Dan siapa yang mengenalinya, niscaya dia tidak akan menyombongkan diri dengan keturunan itu. Dan adalah contohnya sesudah ma’rifah ini dan terbuka tutupnya, dari hakikat/makna asalnya, seperti seorang laki-laki, yang senantiasa melekat pada dirinnya, bahwa dia dari keturunan Bani Hasyim. Dan telah diterangkan yang demikian kepadanya oleh ibu bapaknya. Maka senantiasalah padanya kebesaran kebangsawanan. Maka dalam hal dia yang seperti demikian, tiba-tiba diceritakan kepadanya oleh orang-orang yang jujur, yang tidak diragukan pada perkataannya, bahwa dia itu anak orang India tukang bekam, yang bergelimang dengan kotoran. Orang-orang jujur tadi menyingkapkan kepadanya cara ketipuan kepadanya. Maka tidak ada lagi baginya keraguan pada kebenaran orang-orang tersebut. Maka apakah pendapat anda, bahwa yang demikian itu meninggalkan sesuatu dari kesombongannya? Tidak! Akan tetapi, jadilah dia pada dirinya manusia terhina dan tiada berharga. Maka dia, dari perasaan kehinaan karena kekejiannya pada pekerjaan itu, akan menjauhkan diri untuk menyombongkan atas orang lain. Maka inilah keadaan orang yang bermata hati, apabila merenungkan (bertafakkur) tentang asalnya. Dan mengetahui bahwa dia dari setetes air mani, segumpal darah dan tanah. Karena jikalau bapaknya termasuk orang yang bergellimang dengan memindahkan tanah atau bergelimang darah dengan membekam atau lainnya, niscaya ia akan mengetahui dengan yang demikian itu, akan kekejian dirinya, karena anggota badan bapaknya selalu menyentuh tanah dan darah. Maka bagaimanakah, apabila ia mengetahui, bahwa pada dirinya itu terdiri dari tanah, darah dan barang-barang yang kotor menjijikkan, di mana ia ingin membersihkan diri daripadanya?
Sebab kedua: kesombongan dengan kecantikan. Dan obatnya ialah: bahwa iaa memandang kepada batinnya, sebagai pandangan orang-orang yang berakal. Dan ia tidak memandang kepada zahiriyah sebagai pandangan binatang hewan. Dan manakala ia memandang kepada batinnya, niscaya ia melihat dari kekejian-kekejian yang mengotorkan kebanggaannya dengan kecantikan itu. Sesungguhnya, diserahkan kepadanya kotoran-kotoran yang menjijikkan pada semua bahagian badannya, yang dikembalikan dalam perut panjangnya dan kencing dalam tempat kencingnya, taik hidung dalam hidungnya, ludah dalam mulutnya, taik telinga dalam dua telinganya, darah dalam urat-uratnya, lindir di bawah kulitnya dan kotoran ketiak di bawah ketiaknya. Ia membasuh berak dengan tangannya setiap hari, sekali atau dua kali. Ia bulak-balik setiap hari ke kakus, sekalli atau dua kali, untuk mengeluarkan dari perutnya, sesuatu, jikalau dilihatnya dengan matanya, niscaya ia jijik, apalagi kalau disentuhnya atau diciumnya. Semua yang demikian itu, supaya diketahuinya akan kejijikan dan kehinaannya. Ini dalam hal yang ditengah-tengah. Dan pada awal kejadiannya, ia dijadikan dari barang-barang jijik, yang buruk bentuknya, dari air maani setetes dan darah bulanan wanita (darah haid). Dan ia dikeluarkan dari tempat keluar kotoran. Karena ia keluar dari tulang punggung. (tulang sulbi). Kemudian, dari dzakar (kemaluan laki-laki), tempat keluar kencing. Kemudian, dari rahim wanita, yang menjadi tempat mengalir darah haid. Kemudian, ia keluar dari tempat berlalunya barang kotor, menjijikan. Anas ra mengatakan: “Adalah Abubakar Siddik ra berkhutbah (berpidato) di muka kami. Lalu ia menjijikkan kepada kami diri kami. Ia mengatakan: seseorang kamu itu keluar dari tempat lalunya kencing dua kali”. Seperti demikian juga, Thaus mengatakan kepada Umar bin Abdul-aziz: “Tidaklah ini perjalanan orang, yang dalam perutnya berak, ketika ia melihatnya, ia akan menyombong? Adalah peristiwa ini, sebelum Umar bin Abdul-aziz menjadi khalifah. Inilah permulaan dan ketengahan kejadian insan! Dan jikalau insan itu membiarkan dirinya dalam hidupnya sehari, tidak mengurus dirinya itu dengan pembersihan dan mandi, niscaya berkobarlah daripadanya kebusukan dan kejijikan. Dan jadilah dia lebih busuk adn lebih menjijikkan dari binatang ternak yang disia-siakan, yang tidak dapat sekali-kali mengurus dirinya. Maka apabila insan itu melihat, bahwa ia dijadikan dari kotoran-kotoran yang menjiikkan dan di tempatkan dalam kotoran-kotoran dan ia akan mati, lalu menjadi bangkai, yang lebih menjijikkan dari benda-benda lain yang menjijikkan, niscaya ia tidak akan menyombongkan diri dengan kecantikannya, yang mana kecantikan itu, adalah seperti: hijaunya bekas sampah dan seperti warna bunga-bungaan di lembah-lembah. Maka dalam keadaan yang seperti demikian, tiba-tiba menjadi kering diterbangkan angin. Bagaimana? Dan jikalau kecantikannya itu tetap dan dia terlepas dari kekejian-kekejian tersebut, niscaya haruslah dia tidaak menyoombongkan diri dengan kecantikan itu, terhadap kepada yang keji (buruk). Karena tidak ada keburukan yang buruk kepadanya, lalu ia tiadakan (nafikan). Dan tidak ada kecantikan yang cantik kepadanya, sehingga ia dipujikan kepada yang demikian. Bagaimana? Tiada yang kekal baginya. Bahkan kecantikan itu, pada setiap ketika, tergambar akan hilang, dengan sakit atau cacar atau luka atau dengan salah satu dari sebab-sebab yang lain. Maka berapa banyak muka yang cantik, menjadi buruk dengan sebab-sebab tersebut. Maka mengetahui hal-hal tadi, akan mencabutkan dari hati, penyakit kesombongan dengan kecantikan, bagi orang yang banyak memperhatikan.
Sebab ketiga: kesombongan dengan kekuatan dan kekuasaan. Dan dapat mencegahnya dari yang demikian itu, dengan diketahuinya apa yang menguasainya, dari berbagai macam penderitaan dan penyakit. Dan sesungguhnya, jikalau sakitlah suatu urat pada tangannya, niscaya jadilah dia lebih lemah dari tiap-tiap orang yang lemah dan lebih hina dari tiap-tiap orang yaang hina. Dan sesungguhnya jikalau diambil oleh lalat sesuatu daripadanya, niscaya ia tidak dapat melepaskan diri daripadanya. Dan sesungguhnya jikalau seekor kutu busuk masuk dalam hidungnya atau seekor nyamuk masuk dalam telinganya, niscaya dapat membunuhnya. Dan jikalau masuklah duri pada kakinya, niscaya dapat melemahkannya. Dan demam sehari akan melumpuhkan kekuatannya, yang tidak akan tergantikan ddalam suatu waktu tertentu. Maka orang yang tidak menguasai duri, tidak dapat melawan kutu busuk dan tidak sanggup menolak dari dirinya seekor lalat, maka tiada seyogyalah membanggakan diri dengan kekuatannya. Kemudian, jikalau manusia itu kuat, maka tidaklah ia lebih kuat dari keledai atau lembu atau gajah atau unta. Dan manakah kebanggaan pada suatu sifat, yang didahulukan oleh binatang dari engkau padanya?.
Sebab keempat dan kelima: kaya dan banyak harta. Dan seperti dengan yang demikian, banyak pengikut dan pembantu dan kesombongan dengan mempunyai daerah kekuasaan bagi raja-raja (penguasa-penguasa) dan berkedudukan tetap dari pihak mereka. Semua itu adalah kesombongan dengan arti, yang di luar dari diri insan. Seperti: kecantikan, kekuatan dan ilmu pengetahuan. Dan ini adalah yang terburuk dari segala macam kesombongan. Sesungguhnya orang yang menyombongkan diri dengan hartanya itu, seperti: orang menyombongkan diri dengan kudanya dan rumahnya. Dan jikalau kudanya mati dan rumahnya roboh, niscaya kembali ia menjadi hina. Dan orang yang menyombongkan diri dengan kedudukan sebagai raja dan dengan wilayah kekuasaannya, bukan karena suatu sifat pada dirinya, niscaya ia membina keadaannya di atas acuan, yang lebih keras menggelagaknya dari periuk di atas api. Kalau datang perobahan atas dirinya, niscaya dia menjadi makhluk yang terhina. Dan setiap orang yang menyombongkan diri dengan hal yang diluar dari dirinya, maka itu nyatalah bodohnya. Bagaimana tidak? Orang yang menyombongkan diri dengan kekayaan, jikalau ia merenungkan, niscaya ia akan melihat pada orang Yahudi, orang yang lebih daripadanya, tentang kekayaan, kebanyakan harta dan keelokan. Maka cis...lah bagi kemuliaan, yang didahulukan oleh orang yahudi daripada engkau. Dan cis...lah bagi kemuliaan, yang diambil oleh pencuri dalam sekejap mata. Lalu yang empunyanya kembali menjadi hina yang failit (tiada mempunyai harta lagi). Maka inilah sebab-sebab, yang tiada pada diri insan. Dan apa yang ada pada diri insan itu, tiadalah kekal wujudnya pada insan. Dan pada hari akhirat nanti, suatu bencana dan malapetaka. Maka membanggakan diri dengan yang demikian itu, adalah bodoh. Tiap-tiap sesuatu yang tidak kepada engkau, maka tidaklah kepunyaan engkau. Dan sesuatu dari hal-hal yang tersebut di atas, tidaklah kepada engkau. Akan tetapi kepada YANG MEMBERIKANnya. Jikalau ditetapkanNya, niscaya bagi engkau. Dan jikalau diambilkanNya, niscaya hilang dari engkau. Dan tidaklah engkau, selain hamba yang dimiliki (ada PEMILIKnya). Engkau tiada berkuasa atas sesuatu. Siapa mengetahui yang demikian, niscaya pastilah hilang kesombongannya. Contohnya ialah: orang yang lengah, yang membanggakan diri dengan kekuatan, kecantikan, harta, kemerdekaan, dapat berdiri sendiri, luas tempat tinggal, banyak kuda dan hamba sahayanya, ketika naik saksi dua orang saksi yang adil (jujur), pada hakim yang insaf, bahwa dia itu seorang budak kepunyaan si anu. Dan ibu bapaknya adalah kepunyaan si anu itu. Lalu tahulah ia yang demikian. Dan diputuskan oleh hakim dengan yang demikian. Maka datanglah pemiliknya. Lalu mengambilkannya dan mengambil semua yang dalam tangannya. Dan bersamaan dengan yang demikian, ia takut akan disiksa oleh tuannya dan dibelengguinya. Karena ia memboros pada hartanya dan teledor dalam mencari pemiliknya (tuannya), untuk diketahuinya, bahwa dia mempunyai pemiliknya. Kemudian, hamba itu memperhatikan, lalu melihat dirinya terkurung pada suatu tempat, yang dikelilingi oleh ular, kalajengking dan binatang-binatang kecil. Dan dia dalam semua keadaan itu, pada ketakutan dari tiap-tiap sesuatu dari yang tersebut. Dan ia tinggal, tiada memiliki dirinya dan hartanya. Dan ia tiada mengetahui sekali-kali jalan untuk lepas. Apakah yang anda lihat pada orang yang begini keadaannya? Adakah ia membanggakan diri dengan kekuasaan, kekayaan, kekuatan dan kesempurnaannya? Ataukah ia menghinakan dirinya dan tunduk? Inilah hal keadaan setiap orang yaang berakal dan bermata hati. Dia sesungguhnya melihat dirinya seperti yang demikian. Maka ia tidak memiliki lehernya, badannya, anggota tubuhnya dan hartanya. Dan dia bersama yang demikian itu, diantara mara bahaya, nafsu syahwat, sakit dan penyakitan. Semua itu adalah seperti kalajengking dan ular, yang ditakuti akan kebinasaan daripadanya. Maka orang yang ini keadaannya, tiada akan menyombongkan diri dengan kekuatan dan kekuasaannya. Karena ia tahu, bahwa tiada kekuasaan dan kekuatan baginya. Inilah jalan pengobatan kesombongan dengan sebab-sebab yang diluar diri insan. Yaitu: lebih mudah daripada pengobatan kesombongan, dengan ilmu dan amal perbuatan. Karena keduanya ini, adalah kesempurnaan pada diri, yang pantas untuk bergembira. Akan tetapi, menyombongkan diri dengan keduanya (ilmu dan amal) itu, juga semacam dari kebodohan yang tersembunyi, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Sebab keenam: kesombongan dengan ilmu. Dan itu adalah bahaya yang paling besar, penyakit yang paling biasa terjadi dan yang paling jauh untuk menerima pengobatan. Kecuali dengan sangat sulit dan usaha yang sangat payah. Yang demikian itu, karena nilai ilmu itu besar pada sisi Allah, besar pada sisi manusia. Dan ilmu itu lebih besar nilainya daripada harta, kecantikan dan lainnya. Bahkan harta dan kecantikan itu tiada mempunyai nilai sekali-kali, selain apabila ada ilmu dan amal bersama harta dan kecantikan itu. Dan karena demikianlah, Ka’bul-ahbar ra mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu mempunyai kedurhakaan, seperti kedurhakaan harta”. Begitu pula, Umar ra mengatakan: “Orang berilmu itu, apabila tergelincir, niscaya tergelincirlah alam dengan tergelincirnya”. Maka lemahlah orang yang berilmu itu daripada tidak membesarkan dirinya, dibandingkan kepada orang bodoh. Karena banyaknya syara’ (agama) (agama) memperkatakan tentang keutamaan ilmu. Dan orang berilmu itu tidak sanggup menolak kesombongan, selain dengan mengetahui 2 perkara: salah satu dari dua perkara itu ialah: bahwa ia mengetahui bahwa hujjah (alasan) Allah terhadap ahli ilmu itu lebih kuat. Dan sesungguhnya dimungkinkan dari orang bodoh, apa yang tidak dimungkinkan 1/10 nya dari orang berilmu. Orang yang berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala dengan ma’rifah dan ilmu, maka penganiayaannya itu lebih keji. Karena ia tidak menunaikan hak nikmat Allah kepadannya pada ilmu. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Orang berilmu itu akan dibawa pada hari kiamat, lalu dicampakkan dalam neraka. Maka dikeluarkan perut panjangnya. Lalu ia mengelilingi perut panjang itu, sebagaimana keledai mengelilingi tempat tumbuk gandum. Maka berkumpul penduduk neraka padanya, seraya mereka mengatakan: “Mengapa engkau begini?”. Orang itu menjawab: “Adalah aku menyuruh dengan kebajikan dan tidak aku kerjakan. Aku melarang dari kejahatan dan aku kerjakan kejahatan itu”. Allah SWT telah menyerupakan orang yang berilmu dan tidak mengerjakan (tidak mengamalkan), dengan keledai dan anjing. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Umpama orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya (diberati, supaya mengamalkan isinya), kemudian mereka tiada memikulnya (mengikut perintahnya) adalah mereka seperti keledai, yang memikul kitab-kitab tebal (tetapi tiada mengerti isinya)”. S 62 Al Jumu’ah ayat 5. Yang dimaksudkan dengan orang tersebut, ialah: ulama Yahudi. Allah Ta’ala berfirman mengenai Bal-‘am bin Ba’ura: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan keterangan-keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya”. S 7 Al A’raf ayat 175. Sehingga sampailah pada ayat: “Perumpamaannya sebagai anjing: kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan saja, diulurkannya juga lidahnya”. S 7 Al A’raf ayat 176. Ibnu Abbas ra mengatakan: “Diberikan sebuah kitab kepada Bal’am, lalu ia berkekalan pada nafsu syahwat di bumi. Artinya: kesukaannya tetap pada nafsu syahwat itu. Maka dia diumpamakan dengan anjing –kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya. Atau engkau biarkan saja, diulurkannya juga lidahnya. Artinya: sama saja, antara engkau berikan kepadanya ilmu pengetahuan tinggi (ilmu hikmah) atau tidak diberikan, dia tidak akan meninggalkan nafsu syahwatnya. Dan mencukupilah bagi orang berilmu akan bahaya ini. Maka orang berilmu manakah yang tidak menuruti nafsu syahwatnya? Dan orang berilmu manakah yang tidak menyuruh dengan kebajikan, yang tidak dikerjakannya sendiri? Maka manakala bahaya bagi orang berilmu itu besar kadarnya, dibandingkan kepada orang bodoh, maka hendaklah ia merenungkan tentang bahaya besar yang dihadapinya itu. Karena bahayanya adalah lebih besar daripada bahaya bagi orang lain. Sebagaimana kadarnya itu, lebih besar dari kadar orang lain, maka bandingkanlah ini dengan yang itu. Yaitu, seperti raja yang berbahaya bagi jiwanya dalam kerajaannya, karena banyak musuhnya. Maka sesungguhnya raja tersebut, apabila ia diambil dan dipaksakan, niscaya ia ingin bahwa dia itu menjadi orang miskin saja. Maka berapa banyak dari orang berilmu yang mengingini di akhirat memperoleh keselamatan yang diperoleh orang-orang bodoh. Berlindunglah kiat dengan Allah Ta’ala daripada yang demikian. Maka bahaya ini, dapat mencegah dari kesombongan. Karena jikalau dia termasuk isi neraka, maka babi lebih utama daripadanya. Lalu bagaimana menyombongkan diri, orang yang begini keadaannya? Maka tiada seyogyalah orang berilmu itu, bahwa pada dirinya lebih besar daripada para sahabat ra. Adalah sebahagian mereka mengatakan: “Kiranya aku ini tidak dilahirkan oleh ibuku!”. Adapula yang lain, mengambil sehelai rumput makanan hewan dari tanah dan mengatakan: “Kiranya aku ini adalah rumput makanan hewan ini!”. Yang lain lagi mengatakan pula: “Kiranya aku ini seekor burung, yang akan dimakan orang!”. Yang lain lagi mengatakan pula: “Kiranya aku ini tiadalah sesuatu yang dapat disebutkan!’. Semua itu karena takut dari bahaya akibat. Mereka itu melihat dirinya lebih buruk keadaannya dari burung dan tanah. Dan manakala ia berpikir panjang tentang bahaya yang dihadapinya, niscaya hilang secara keseluruhan kesombongannya. Dan ia melihat dirinya seakan-akan makhluk yang terjahat. Perumpamaannya, adalah seperti seorang hamba sahaya yang disuruh oleh tuannya beberapa urusan. Lalu ia mengerjakan urusan-urusan itu dan ditinggalkannya sebahagian. Dilakukannya dengan kekurangan pada sebahagian. Dan ia ragu pada sebahagian, adakah ia melaksanakannya menurut yang disenangi oleh tuannya atau tidak? Lalu disampaikan berita kepadanya oleh orang yang menyampaikannya, bahwa tuannya telah mengutus seorang utusan kepadanya, yang akan mengeluarkannya dari semua urusan yang sedang dikerjakannya, dengan telanjang lagi hina. Dan ia akan dilemparkan melewati pintunya dalam panas terik dan matahari dalam waktu yang lama. Sehingga apabila keadaannya telah demikian sempit dan telah habis tenaganya, lalu ia disuruh bertanggung jawab dan diperiksa dari semua perbuatannya, yang sedikit dan yang banyak. Kemudian, ia disuruh bawa ke panjara yang sempit dan siksaan yang berketerusan, yang tiada sesaatpun ia memperoleh kesenangan. Dan ia telah mengetahui, bahwa tuannya itu telah berbuat seperti yang demikian, pada beberapa golongan dari budak-budaknya. Dan memaafkan dari sebahagian mereka. Dan ia tidak tahu, termasuk golongan manakah dia, dari dua bahagian itu (golongan yang disiksa atau yang dimaafkan). Maka apabila ia merenungkan yang demikian, niscaya hancurlah jiwanya dan merasa sangat hina. Dan batallah kemegahan dan kesombongannya. Dan lahirlah kegundahan dan ketakutannya. Dan ia tidak akan menyombongkan kepada seorangpun dari makhluk ini. Bahkan ia merendahkan diri, karena mengharap, bahwa orang itu menjadi orang yang memberi syafaatnya (pertolongannya) ketika datang azab sengsara. Maka begitu pulalah orang berilmu, apabila ia merenungkan, mengenai apa yang telah disia-siakannya daripada perintah Tuhannya, dengan penganiayaan kepada anggota badannya dan dengan bermacam-macam dosa pada batinnya: dari ria, dendam, dengki, ‘ujub, nifaq dll dan ia tahu dengan apa yang dihadapinya, daripada bahaya besar, niscaya sudah pasti, kesombongannya berpisah daripadanya.
Perkara kedua: bahwa orang berilmu itu mengetahui, bahwa kesombongan itu tidak layak, selain pada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar sendiri. Dan apabila ia menyombongkan diri, niscaya ia menjadi terkutuk pada sisi Allah, yang mendapat kemarahanNya. Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai dari orang berilmu itu merendahkan diri. Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Hai hambaKu! Bahwa engkau mempunyai kadar padaKu, apa yang tidak engkau melihat bagi diri engkau itu kadar. Jikalau engkau melihat bagi diri engkau itu suatu kadar, maka tiada kadar bagi engkau pada sisiKu”. Maka tidak boleh tidak, ia memberatkan dirinya, apa yang disukai tuannya daripadanya. Dan ini menghilangkan kesombongan dari hatinya. Walaupun ia yakin, bahwa ia tiada berdosa umpamanya. Atau ia menggambarkan yang demikian. Dengan ini, hilanglah kesombongan dari nabi-nabi as. Karena mereka mengetahui, bahwa siapa yang bertengkar dengan Allah Ta’ala pada selendang kesombongan, niscaya ia dipatahkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah menyuruhkan mereka untuk mengecilkan diri, sehingga besarlah tempat mereka pada sisi Allah. Maka ini juga termasuk apa yang membangkitkan –sudah pasti –kepada tawadlu’. Kalau anda bertanya: bagaimana merendahkan diri kepada orang fasiq, yang menampakkan kefasiqannya dan kepada orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan)? Bagaimana ia melihat dirinya lebih rendah dari mereka, padahal dia seorang alim yang abid? Dan bagaimana ia membodohkan dirinya tentang kelebihan ilmu dan ibadah pada sisi Allah Ta’ala? Dan bagaimana ia mencukupkan, bahwa mengguriskan di hatinya akan bahaya ilmu, padahal ia tahu, bahwa bahaya orang fasiq dan orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu lebih banyak? Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu, sesungguhnya mungkin dengan merenungkan tentang bahaya khatimah (bahaya kesudahan). Bahkan, kalau ia melihat kepada kafirpun, niscaya ia tidak mungkin menyombongkan diri. Karena mungkin kafir itu akan masuk agama Islam. Lalu ia berkesudahan (khatimahnya) dengan iman. Dan orang alim tersebut sesat. Lalu berkesudahan dengan kekafiran. Yang besar, ialah orang yang besar pada sisi Allah di akhirat. Anjing dan babi lebih tinggi derajatnya daripada orang, yang pada sisi Allah menjadi isi neraka. Dan ia tiada mengetahui yang demikian. Berapa banyak orang muslim, yang melihat kepada Umar ra sebelum ia masuk Islam. Lalu menghina dan melecehkannya karena kekafirannya. Dan Allah Ta’ala mencurahkan rezeki keislaman kepadanya. Dan ia mengatasi semua kaum muslimin, selain Abubakar ra seorang. Maka akibat itu tersembunyi dari hamba. Dan orang berakal, tiada melihat, selain kepada akibat. Dan semua perbuatan keutamaan di dunia, dikehendaki karen akibatnya. Jadi, sebahagian dari hak hamba itu, untuk tidak menyombongkan diri atas seseorang. Bahkan, kalau ia melihat kepada orang bodoh, niscaya ia mengatakan: “Orang ini berbuat maksiat kepada Allah, disebabkan kebodohan. Dan aku berbuat maksiat kepadaNya, dengan ilmu. Maka dia lebih dimaafkan daripadaku”. Kalau ia melihat kepada orang berilmu, niscaya ia mengatakan: “Orang ini telah mengetahui, apa yang tiada aku ketahui, maka bagaimanakah aku seperti dia?”. Kalau ia melihat kepada orang yang sudah besar, yang lebih tua umur daripadanya, niscaya ia mengatakan: “Orang ini telah mentaati Allah sebelum aku, maka bagaimanakah aku seperti dia?”. Kalau ia melihat kepada anak kecil, niscaya ia mengatakan: “Sesungguhnya aku telah berbuat maksiat kepada Allah sebelum dia. Maka bagaimanakah aku seperti dia?”. Dan kalau ia melihat kepada orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau kafir, niscaya ia mengatakan: “Aku tidak tahu, semoga dia berkesudahan (mempunyai khatimah) memeluk Islam. Dan aku berkesudahan dengan apa yang ada aku sekarang. Maka tiadalah kekekalan petunjuk kepadaku, sebagaimana tiada permulaannya kepadaku”. Maka dengan memperhatikan khatimah (kesudahan) itu, ia sanggup meniadakan kesombongan dari dirinya. Dan semua itu, dengan dia mengetahui, bahwa kesempurnaan itu, pada kebahagiaan akhirat dan dekat dengan Allah. Tidak pada yang menampak di dunia, dari apa yang tiada kekal. Dan demi umurku! Bahaya ini berserikat diantara orang yang menyombongkan diri dan orang yang disombongkan kepadanya. Akan tetapi, berhak atas tiap-tiap orang, menjuruskan cita-cita kepada dirinya sendiri, menyibukkan hati dengan takutnya kepada akibatnya. Tidak untuk menyibukkan dengan ketakutan kepada akibatnya. Tidak untuk menyibukkan dengan ketakutan orang lain. Sesungguhnya orang yang kasih sayang itu, tertarik dengan buruk sangka (prasangka). Dan kasih sayangnya setiap manusia itu kepada dirinya. Maka apabila suatu golongan dipenjarakan dalam suatu penganiayaan dan mereka diancam dengan dihukum bunuh, niscaya mereka tiada berkesempatan untuk menyombongkan diri sebahagian mereka terhadap sebahagian yang lain. Dan walaupun kepentingan mereka, diratakan oleh bahaya. Karena masing-masing mereka disibukkan oleh kepentingan dirinya sendiri, tanpa memperhatikan kepada kepentingan orang lain. Sehingga, seolah-olah setiap seorang, adalah ia sendirian dalam musibah dan bahayanya. Jikalau anda bertanya: bagaimana caranya aku marah kepada orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) pada jalan Allah dan aku marah kepada orang fasiq. Dan aku disuruh untuk memarahi keduanya. Kemudian, dalam pada itu, aku merendahkan diri kepada keduanya. Dan mengumpulkan diantara yang dua keadaan itu bertentangan. Maka ketahuilah kiranya, bahwa ini adalah urusan yang meragukan, yang kabur kepada kebanyakan orang. Karena bercampur aduk kemarahan engkau karena Allah pada menantang bid’ah (yang diada-adakan) dan perbuatan fasiq, dengan menyombongkan diri dan ber’ujub dengan ilmu dan wara’. Maka banyaklah orang ‘abid yang bodoh dan orang berilmu yang tertipu dengan dirinya, apabila ia melihat orang fasiq duduk disampingnya, niscaya ia bangun berdiri dari sisi orang tersebut. Ia menjauhkan diri daripadanya, disebabkan kesombongan batin pada dirinya. Dan ia menyangka, bahwa ia telah marah, karena Allah, sebagaimana terjadi bagi seorang abid dari kaum Bani Israil serta seorang jahat dari mereka. Yang demikian itu, karena sesungguhnya menyombongkan diri atas orang yang taat, jelas keadaannya itu jahat. Dan menjaga diri daripadanya itu mungkin. Dan menyombongkan diri atas orang fasiq dan orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu, menyerupai marah karena Allah. Dan itu baik. Maka orang yang marah juga menyombongkan diri atas orang yang marah kepadanya. Orang yang menyombong itu marah. Dan salah satu dari keduanya membuahkan yang lain dan mengharuskan adanya. Keduanya itu bercampur dan menyerupai satu dengan lainnya. Tiada dapat dibedakan diantara keduanya, selain oleh orang-orang yang mendapat taufiq. Dan yang melepaskan anda dari ini, ialah: bahwa yang datang pada hati anda, ketika menyaksikan orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau fasiq atau ketika menyuruh keduanya dengan ma’ruf dan melarang dari mungkar, ialah 3 perkara:
     Pertama: engkau menoleh kepada yang telah berlalu, dari dosa-dosa engkau dan kesalahan-kesalahan engkau. Supaya mengecil ketika itu kadar engkau pada mata engkau.
     Kedua: bahwa adalah perhatian engkau bagi sesuatu, yang berbeda engkau dengan sesuatu itu: dari ilmu, itikad kebenaran dan amal salih, dari segi bahwa itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala kepada engkau. Maka bagi Allah kenikmatan padanya. Tidak bagi engkau. Maka engkau lihat yang demikian itu daripadaNya. Sehingga engkau tidak mengherani (mena’jubkan) diri engkau sendiri. Dan apabila engkau tidak menta’jubkan diri, niscaya engkau tidak akan menyombongkan diri.
     Ketiga: memperhatikan kekaburan akibat engkau dan akibatnya. Sesungguhnya kadang-kadang berkesudahan bagi engkau dengan buruk dan kesudahan baginya dengan baik. Sehingga dibimbangkan engkau oleh ketakutan, daripada menyombongkan diri kepadanya. Kalau anda bertanya: bagaimana aku marah dalam hal-keadaan tersebut? Aku menjawab: engkau marah karena yang menguasai engkau dan tuan engkau. Karena ia menyuruh engkau untuk marah kepadanya. Tidak karena diri engkau sendiri. Dan engkau pada kemarahan engkau itu, tiada engkau melihat diri engkau sendiri terlepas dari bahaya dan teman engkau itu binasa. Akan tetapi, adalah ketakutan engkau itu atas diri engkau, disebabkan diketahui oleh Allah dari dosa-dosa engkau yang tersembunnyi itu terlebih banyak dari ketakutan engkau kepadaNya, serta kebodohan dengan khatimah (kesudahan). Dan akan aku perkenalkan yang demikian kepada engkau, dengan suatu contoh, untuk engkau ketahui, bahwa tidaklah dari kemestian marah karena Allah, bahwa engkau meenyombongkan diri atas orang yang dimarahi. Dan engkau melihat kadar engkau di atas kadarnya. Maka aku menjawab: apabila raja itu mempunyai seorang budak dan anak yang menjadi biji matanya (yang amat dicintainya). Dan ia telah menyerahkan kepada budak itu, pengurusan anaknya untuk diamat-amatinya. Dan disuruhnya supaya anak itu dipukul, manakala buruk tingkah lakunya dan berbuat yang tidak layak. Dan memarahinya. Maka jikalau budak itu mencintai dan mentaati perintah tuannya, maka tidak boleh tidak, bahwa ia akan marah, manakala dilihatnya anak itu telah buruk tingkah lakunya. Dan dia sesungguhnya marah kepada anak tersebut, karena tuannya. Karena tuannya yang menyuruhnya. Dan karena ia menghendaki mendekatkan diri kepada tuannya, dengan mengikuti perintahnya. Karena telah berlaku dari anak tersebut, apa yang tiada disukai tuannya. Lalu dipukulnya anak itu dan dimarahinya, tanpa menyombongkan diri atas anak tersebut. Bahkan dia itu merendahkan diri kepada anak tadi, yang dilihatnya kadar anak itu pada tuannya, di atas kadar dirinya sendiri. Karena anak tersebut –sudah pasti –lebih mulia sari budak itu. Jadi, tidaklah dari keharusan marah itu, menyombongkan diri dan tidak tawadlu’. Maka begitu pula, memungkinkan kepada engkau, bahwa melihat kepada orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) dan fasiq. Dan engkau menyangka, bahwa kadang-kadang kadar kedua orang tersebut di akhirat pada sisi Allah, lebih besar. Karena apa yang telah terdahulu bagi keduanya dari bagus khatimah pada azali ( tida kesudahan / permulaan ). Dan karena apa yang telah terdahulu bagi engkau dari buruk qodo (takdir) pada azali ( tida kesudahan / permulaan ). Dan engkau lengah daripadanya. Dan bersamaan dengan yang demikian, lalu engkau marah, disebabkan hukum perintah, karena kecintaan kepada Tuhan engkau. Karena telah terjadi apa yang tiada disukaiNya, serta merendahkan diri kepada orang yang boleh ada pada sisiNya, lebih dekat daripada engkau di akhirat. Maka begitulah adanya, sebahagian ulama dan orang-orang pintar. Lalu bercampur kepadanya takut dan merendahkan diri. Adapun orang yang terpedaya (tertipu dengan dirinya sendiri), maka ia menyombongkan diri. Dan mengharap bagi dirinya lebih banyak daripada yang diharapnya bagi orang lain, serta bodohnya akan akibat. Dan yang demikian itu, terpedaya yang penghabisan. Maka inilah jalan tawadlu’ bagi orang yang berbuat maksiat kepada Allah. Atau berkeyakinan (percaya) kepada yang bid’ah (yang diada-adakan), serta marah kepadanya dan menjauhkannya, disebabkan hukum perintah Ilahi.
Sebab ketujuh: kesombongan dengan wara’ dan ibadah. Yang demikian itu juga suatu fitnah besar atas hamba Allah. dan jalannya, ialah, bahwa ia mengharuskan hatinya merendahkan diri kepada semua hamba Allah. Yaitu, dia tahu bahwa orang yang terkemuka daripadanya dengan ilmu, tiada seyogyalah dia menyombongkan diri kepadanya, bagaimanapun adanya dia. Karena apa yang diketahuinya, dari keutamaan ilmu. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Adakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan?”. S 39 Az Zumar ayat 9. Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang abid, adalah seperti kelebihan atas orang yang paling rendah dari shabat-sahabatku”. Dan hadits-hadits lain yang telah dibentangkan dahulu tentang kelebihan ilmu. Kalau orang abid itu mengatakan: “Yang demikian itu bagi orang berilmu, yang mengamalkan dengan ilmunya. dan ini adalah orang berilmu yang durhaka”. Maka dijawabkan kepadanya: “Apakah tidak engkau ketahui, bahwa perbuatan baik itu menghilangkan perbuatan jahat. Dan sebagaimana ilmu itu mungkin menjadi hujjah (alasan) atas orang yang berilmu (memberatkan kepadanya), maka begitu juga mungkin bahwa ilmu itu menjadi jalan baginya dan menutupkan segala dosanya. Dan masing-masing dari yang dua itu mungkin”. Dan telah datang hadits-hadits yang menjadi saksi untuk yang demikian. Apabila hal itu tersembunyi baginya, niscaya tidak boleh ia menghina orang berilmu. Akan tetapi, harus ia merendahkan diri kepadanya. Kalau anda mengatakan, bahwa kalau benar yang demikian, maka seyogyalah bagi orang berilmu itu, bahwa melihat dirinya di atas orang abid, karena sabda Nabi saw: “Kelebihan orang berilmu atas orang abid, seperti kelebihanku atas orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu mungkin, jikalau orang berilmu itu mengetahui akibat pekerjaannya. Dan kesudahan keadaan itu, diragukan. Mungkin ia mati, dimana keadaannya lebih buruk pada sisi Allah, dari keadaan orang bodoh, yang fasiq. Karena suatu dosa yang dianggapnya mudah. Padahal di sisi Allah, dosa itu besar. dan Allah telah mengutuknya. Apabila itu tadi mungkin, niscaya adalah dia itu takut atas dirinya. Apabila masing-masing dari orang abid dan berilmu itu takut atas dirinya dan ia memberatkan urusan dirinya sendiri, tidak urusan orang lain, maka seyogyalah yang mengerasi atasnya pada hak dirinya itu: takut. Dan pada hak orang lain: harap. Dan yang demikian itu akan mencegahnya dari kesombongan dalam setiap hal. Inilah keadaan orang abid, serta orang alim (orang berilmu). Adapun serta orang tidak berilmu, maka mereka terbagi pada hak orang abid, kepada: orang-orang tertutup dan orang-orang terbuka. Maka seyogyalah orang abid itu tidak menyombongkan diri atas: orang tertutup perbuatan maksiatnya. Mungkin ia lebih kurang dosanya daripadanya, lebih banyak ibadahnya dan lebih kuat cintanya kepada Allah. Adapun orang yang terbuka keadaannya, jikalau tidak tampak bagi engkau dari dosanya, selain apa yang melebihi dosa engkau di atasnya, pada sepanjang umur engkau maka tiada seyogyalah, bahwa engkau menyombongkan kepadanya. Dan tidak mungkin, bahwa engkau mengatakan: “Dia itu lebih banyak dosanya daripadaku”. Karena bilangan dosa engkau pada sepanjang umur engkau dan dosa orang lain pada sepanjang umurnya, tidak mampu engkau menghitungnya. Sehingga engkau mengetahui banyaknya. Ya, mungkin engkau tahu, bahwa dosanya lebih berat, seperti engkau melihat daripadanya: membunuh, meminum yang memabukkan dan berzina. Dan serta yang demikian, maka tiada seyogya juga, bahwa engkau menyombongkan diri kepadanya. Karena dosa hati, dari kesombongan, kedengkian, ria, penipuan, iktikad batil/salah, bisikan setan tentang sifat-sifat Allah Ta’ala dan khayalan salah pada yang demikian, semua itu adalah berat di sisi Allah Ta’ala. Kadang-kadang berlaku atas engkau pada batin engkau, dosa tersembunyi, apa yang menjadikan engkau terkutuk pada sisi Allah. Dan berlaku bagi orang fasiq, yang terang fasiqnya, dari: ketaatan-ketaatan hati, dari kecintaan kepada Allah, keikhlasan, ketakutan dan pengagungan kepada Allah, yaitu: apa yang engkau tidak ada daripadanya. Dan dengan yang demikian itu, Allah Ta’ala menutup keburukan-keburukannya. Maka tersingkaplah tutup pada hari kiamat. Lalu engkau melihat dia di atas diri engkau, dengan beberapa tingkat. Ini mungkin! Dan kemungkinannya yang jauh mengenai apa yang atas diri engkau, seyogyalah hendaknya itu dekat di sisi engkau, jika engkau kasihan kepada diri engkau. Maka engkau tidak merenungkan (bertafakkur), mengenai apa yang mungkin bagi orang lain. Akan tetapi, mengenai apa yang menakutkan pada pihak engkau. Maka tiadalah pemikul beban, akan memikul beban orang lain. Azab orang lain, tiada akan meringankan sedikitpun dari azab engkau. Apabila engkau merenungkan pada bahaya itu, niscaya adalah pada engkau kesibukan yang menyibukkan, daripada menyombongkan diri. Dan daripada engkau melihat diri engkau di atas orang lain. Wahab bin Munabbih Al-Yamani ra mengatakan: “Tiada sempurna akal hamba, sebelum ada padanya 10 perkara”. Lalu ia menghitung 9, sehingga ia sampai yang ke-10, maka ia mengatakan: “Yang ke-10, apakah yang ke-10 itu?” Dengan yang ke-10 ini, meningkatlah kemuliaannya dan tinggilah sebutannya. Ialah: bahwa ia melihat manusia semua lebih baik daripadanya. Dan manusia padanya itu, 2 golongan: segolongan lebih utama daripadanya dan lebih tinggi. Dan segolongan lagi lebih jahat dan lebih rendah daripadanya. Maka ia merendahkan diri bagi semua golongan tersebut, dengan hatinya. Kalau ia melihat orang yang lebih baik daripadanya, niscaya menggembirakannya yang demikian. Dan ia bercita-cita dapat menyusulinya. Dan kalau ia melihat orang yang lebih buruk daripadanya, niscaya ia mengatakan: “Semoga orang itu lepas dari bahaya dan aku binasa”. Maka engkau tidak melihat dia, selain ia takut kepada akibat. Dan ia mengatakan: “Semoga kebajikan orang ini menjadi hal batin”. Maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan aku tidak mengetahui, semoga padanya akhlak mulia, diantara dia dengan Allah. maka Allah mencurahkan rahmat kepadanya, menerima tobatnya dan memberi khatimah (kesudahan) baginya dengan amalan yang sebaik-baiknya. Dan dilihat yang zahir. Maka yang demikian itu amat buruk bagiku. Maka ia tidak merasa aman, mengenai apa yang dilahirkannya dari amal taat, bahwa akan dimasuki bahaya-bahaya. Lalu membinasakan amal taatnya”. Kemudian, Wahab bin Munabbih menyambung: “Maka ketika itu, sempurnalah akalnya dan ia yang mulia dari penduduk masanya”. Itulah perkataan Wahab bin Munabbih! Kesimpulannya, maka orang yang membolehkan bahwa dia itu tidak beruntung pada sisi Allah dan telah terdahulu qodo (taqdir) pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) dengan ketidak-beruntungannya, maka tiada baginya jalan untuk menyombongkan diri dengan keadaan manapun. Ya, apabila mengerasi atasnya ketakutan, niscaya ia melihat, akan setiap orang, lebih baik daripada dirinya. Dan yang demikian itu adalah sifat keutamaan, sebagaimana diriwayatkan, bahwa seorang ‘abid bertempat tinggal di sebuah gunung. Lalu dikatakan orang kepadanya dalam tidurnya: “Datanglah kepada si Anu tukang sepatu itu! Lalu dimintalah padanya, supaya ia berdoa bagi engkau!”. Maka abid tadi datang kepada orang itu dan menanyakan tentang amalnya. Lalu orang tersebut menerangkan, bahwa ia berpuasa pada siang hari dan berusaha. Lalu sebahagiannya disedekahkannya. Dan sebahagian lagi untuk diberinya makan keluarganya. ‘Abid itu kemudian kembali dan mengatakan: bahwa ini sesungguhnya baik. Akan tetapi, tidaklah ini seperti mengosongkan semua waktu, untuk taat kepada Allah. Lalu datang lagi kali kedua dalam tidurnya, seraya dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada si Anu tukang seperti itu! Lalu tanyakanlah kepadanya, apakah putih telur yang di muka engkau itu?”. ‘Abid itu lalu datang kepada orang tersebut dan bertanya kepadanya. Maka orang itu menjawab: “Tiada seorangpun aku melihat dari manusia, melainkan timbul dalam gurisan hatiku, bahwa orang itu akan lepas dari kebinasaan. Dan aku sendiri binasa”. ‘Abid itu lalu menjawab: “Benarlah dengan ini tercapai kedekatan dan kemuliaan dari Allah!”. Yang menunjukkan kepada keutamaan hal ini, ialah firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya, dengan hatinya yang takut (kepada Allah), karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhannya”. S 23 Al Mukminuun ayat 60. Artinya: mereka itu mengerjakan amal taat dan mereka dengan sangat ketakutan, daripada diterimanya taat itu. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang menjaga dirinya (berhati-hati) karena takut kepada Tuhannya”. S 23 Al Mukminuun ayat 57. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka berkata: “Sesungguhnya kita pdaa masa dahulu merasa takut terhadap keluarga kita”. S 52 Ath Thur ayat 26. Allah Ta’ala menyifatkan para malaikat as serta kesucian mereka dari dosa dan kerajinan mereka kepada ibadah, di atas berkekalan menjaga diri. Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang para malaikat itu: “Mereka memuliakan (Tuhan) malam dan siang dan mereka tiada pernah berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 20. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka gemetar karena takut kepadaNya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 28. Manakala hilang kehati-hatian dan takut, dari apa yang telah terdahulu qodo (takdir) pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) dan itu terbuka ketika kesudahan ajal, niscaya mengeraslah perasaan aman daripada kemarahan Allah. Dan yang demikian itu mengharuskan kesombongan. Dan itu sebab kebinasaan. Maka kesombongan itu dalil perasaan aman. Dan perasaan aman itu membinasakan. Dan merendahkan diri itu dalil ketakutan. Dan itu membahagiakan. Jadi, apa yang dirusakkan oleh orang abid, dengan menyembunyikan kesombongan, menghinakan makhluk (orang banyak) dan memandang kepada mereka dengan mata penghinaan itu lebih banyak dari apa yang diperbaikinya dengan amal zahiriyah. Maka inilah ma’rifah-ma’rifah yang menghilangkan penyakit kesombongan dari hati. Tidak lain. Selain jiwa sesudah ma’rifah ini, kadang-kadang menyembunyikan tawadlu’ dan mengajak kelepasan daripada kesombongan. Dan jiwa itu dusta. Maka apabila terjadi suatu kejadian, niscaya jiwa itu kembali kepada tabiatnya. Dan lupa akan janjinya. Maka dari ini, tiada seyogyalah mencukupkan pada pengobatan itu, dengan semata-mata ma’rifah saja. Akan tetapi, seyogyalah disempurnakan dengan amal dan dicoba dengan perbuatan orang-orang yang merendahkan diri, pada tempat-tempat berkobarnya kesombongan dari jiwa. Penjelasannya, ialah, bahwa: jiwa itu diuji dengan 5 macam ujian. Yaitu: dalil-dalil kepada mengeluarkan apa yang dalam batin, walaupun ujian-ujian itu banyak macamnya:
Ujian pertama: bahwa ia bermunadharah (bersoal jawab) dengan seseorang dari temannya mengenai suatu masalah. Maka jikalau lahir sesuatu kebenaran dari lisan temannya, lalu berat kepadanya menerima, mengikuti, mengakui dan mensyukurinya, di atas peringatan, pengenalan dan pengeluarannya akan kebenaran, maka itu menunjukkan, bahwa padanya ada sifat sombong yang tertanam dalam jiwanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan berusaha mengobatinya. Adapun dari segi ilmu, maka dengan memperingatkan dirinya akan kekejian diri dan bahaya akibatnya. Dan kesombongan itu tiada layak, selain pada Allah Ta’ala. Adapun amal, maka dengan melaksanakan dirinya, apa yang berat kepadanya, daari pengakuan kebenaran. Dan bahwa ia melancarkan lisannya dengan pujian dan sanjungan. Dan mengaku atas dirinya, dengan kelemahan. Dan bersyukur berterima kasih kepada temannya itu, dapat mengambil faedah daripadanya. Dan ia mengatakan: “Alangkah baiknya apa yang engkau fahami itu! Dan aku lupa daripadanya. Kiranya Allah membalas kepada engkau dengan kebajikan, sebagaimana engkau telah memperingatkan aku kepadanya”. Hikmat (ilmu yang tinggi) itu adalah harta orang mukmin yang hilang. Maka apabila didapatinya, niscaya seyogyalah disyukurinya orang yang menunjukkan kepada hikmat itu. Apabila ia rajin kepada yang demikian, beberapa kali yang berturut-turut, niscaya jadilah yang demikian itu tabiat baginya. Dan hilanglah beratnya kebenaran dari hatinya. Dan baiklah baginya penerimaan kebenaran itu. Manakala berat kepadanya untuk memuji teman-temannya, dengan apa yang ada pada mereka, maka padanya itu ada kesombongan. Kalau yang demikian itu, tidak berat kepadanya pada tempat yang sunyi dan berat kalau di muka orang banyak, maka tiadalah padanya itu kesombongan. Yang ada padanya, ialah: ria. Maka hendaklah diobatinya ria itu, dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu yaitu: memutuskan mengharap sesuatu dari manusia. Dan mengingatkan hati, bahwa kemanfaatannya, ialah: pada kesempurnaan pada dirinya dan di sisi Allah. Tidak pada makhluk. Dan lain daripada itu, dari berbagai macam obat ria. Kalau berat baginya, baik di tempat sunyi dan di muka orang banyak, maka padanya kesombongan dan ria. Tiada bermanfaat baginya kelepasan dari salah satu, selama ia tidak terlepas dari yang kedua. Maka hendaklah diobatinya kedua penyakit itu! Karena keduanya membinasakan.
Ujian kedua: bahwa ia berkumpul bersama teman-teman dan kawan-kawan pada perayaan-perayaan. Dan mendahulukan mereka dari dirinya sendiri. Ia berjalan di belakang mereka dan duduk di depan di bawah mereka. Kalau berat yang demikian itu padanya, maka dia itu orang yang sombong. Maka hendaklah ia membiasakan kepada yang demikian, dengan cara terpaksa. Sehingga hilang beratnya daripadanya. Maka dengan demikian, ia dicerai-beraikan oleh kesombongan. Dan disitu, setan mempunyai penipuan yang tersembunyi. Yaitu, ia duduk pada baris sandal-sandal (baris terakhir) atau dibuatnya diantaranya dan teman-teman, sebahagian orang-orang hina. Lalu menyangka, bahwa yang demikian itu tawadlu’ (merendahkan diri). Padahal itu sombong yang sebenarnya. Yang demikian itu ringan kepada jiwa orang-orang sombong. Karena mereka menyangka, bahwa mereka telah meninggalkan tempatnya dengan sebenarnya dan mempersilahkan orang lain. Maka adalah dia telah menyombongkan diri. Dan menyombongkan diri dengan melahirkan tawadlu’ pula. Akan tetapi, seyogyalah ia mendahulukan teman-temannya dan duduk diantara mereka, di samping mereka. Dan tidak turun dari mereka kepada barisan sandal-sandal. Maka yang demikian itu, dialah yang mengeluarkan kekejian sombong dari batinnya.
Ujian ketiga: bahwa ia memperkenankan undangan orang miskin. Dan ia pergi ke pasar pada keperluan teman dan keluarga. Kalau berat yang demikian padanya, maka itu adalah sombong. Semua perbuatan tersebut termasuk akhlak mulia. Dan pahala adalah banyak padanya. Larinya jiwa dari perbuatan tersebut, tidak lain, melainkan karena kekejian pada batin. Maka hendaklah diusahakan menghilangkannya dengan membiasakan diri kepadanya, serta mengingati semua yang telah kami sebutkan dahulu, dari pengetahuan-pengetahuan yang menghilangkan penyakit sombong.
Ujian keempat: bahwa ia membawa sendiri keperluannya, keperluan keluarga dan teman-temannya dari pasar ke rumah. Kalau dirinya enggan yang demikian, maka itu sombong atau ria. Kalau berat yang demikian itu kepadanya, serta jalan yang dilalui sepi (tidak ada orang yang melihat), maka itu sombong. Dan jikalau tidak berat kepadanya, selain bila dilihat orang, maka itu ria namanya. Semua itu termasuk penyakit hati dan penyakit-penyakitnya yang membinasakannya kalau tidak disambung dengan pengobatan. Manusia sesungguhnya menyia-nyiakan pengobatan hati dan mengusahakan pengobatan tubuh, sedang tubuh itu –sudah pasti –telah tertulis padanya kematian. Dan hati tiada memperoleh kebahagiaan, selain dengan keselamatannya. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang beruntung, ialah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera”. S 26 Asy Syu’ara ayat 89. Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, bahwa ia membawa seberkas kayu api, lalu ditanyakan kepadanya: “Hai ayah Yusuf! Sesungguhnya sudah ada pada pembantu-pembantumu (hamba sahayamu) dan anak perempuanmu, yang cukup bagimu untuk membawanya”. Abdullah bin Salam menjawab: “Benar, akan tetapi aku mau mencoba diriku, apakah dia menenatng yang demikian atau tidak?”. Abdullah bin Salam tidak merasa puas dari dirinya, dengan apa yang diberikan oleh dirinya, dari bercita-cita meninggalkan keangkuhan. Sehingga dicobanya dirinya, adakah diri itu benar atau dusta. Pada hadits, yaitu: “Barangsiapa membawa buah-buahan atau sesuatu, maka ia terlepas dari kesombongan”.
Ujian kelima: bahwa ia memakai kain buruk. Larinya diri (tidak suka) dari yang demikian di muka orang banyak itu ria. Dan pada tempat sunyi itu sombong. ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra mempunyai pakaian dari kain wol hitam, yang dipakainya malam hari. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menambat (mengikat) unta dan memakai kain wol (kain terbuat dari bulu), maka ia terlepas dari kesombongan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku itu hamba yang makan di tanah, memakai kain bulu, menambat unta, aku membuat anak jariku sendok (makan dengan tangan) dan memperkenan undangan hamba sahaya (undangan orang rendah). Barangsiapa benci kepada sunnahku (jalan yang aku tempuh), maka dia tidak termasuk golonganku”. Diriwayatkan, bahwa orang mengatakan kepada Abu Musa Al Asy’ari ra bahwa beberapa kaum (golongan) di Basrah (Irak) meninggalkan shalat Jum’at, disebabkan pakaian mereka buruk. Lalu Abu Musa Al Asy’ari ra memakai baju kemeja dan mengerjakan shalat dengan orang banyak. Inilah tempat-tempat yang berkumpul padanya ria dan sombong. Maka apa yang tertentu dengan orang banyak, maka itu ria. Dan apa yang ada pada tempat sunyi, maka itu sombong. Maka ketahuilah, bahwa orang yang tiada mengetahui kejahatan, niscaya ia tidak dapat menjaga diri daripadanya. Dan orang yang tiada mengetahui penyakit, niscaya tiada dapat mengobatinya.
PENJELASAN: tujuan latihan pada akhlak tawadlu’.
Ketahuilah, bahwa akhlak ini (akhlak tawadlu’), sebagaimana akhlak-akhlak lainnya, mempunyai dua tepi dan di tengah-tengah. Tepinya yang cenderung kepada lebih, dinamakan: sombong. Dan tepinya yang cenderung kepada kurang, dinamakan: kekurangan dan kehinaan. Dan yang di tengah-tengah dinamakan: tawadlu’ (merendahkan diri). Yang terpuji, ialah: merendahkan diri pada tidak kehinaan dan tidak kekurangan. Karena tiap-tiap dua tepi pekerjaan itu tercela. Dan pekerjaan yang paling disukai oleh Allah Ta’ala, ialah: di tengah-tengah. Maka orang yang mendahului dari teman-temannya, adalah dia itu orang sombong. Dan orang yang mengemudiankan diri dari mereka, maka dia itu orang yang merendahkan diri. Artinya: ia meletakkan sesuatu menurut kadarnya, yang berhak diterimanya. Dan orang berilmu, apabila masuk ke tempatnya tukang sandal, lalu ia menjauhkan diri dari tempat duduknya dan didudukkannya tukang sandal tadi pada tempat duduknya, kemudian ia maju dan dibetulkannya tempat letak sandal tukang sandal itu dan ia pergi ke pintu rumah di belakang tukang sandal tersebut, maka ia mengurangkan diri sendiri dan menghina dengan sikap demikian. Ini juga tidak terpuji. Bahkan yang terpuji pada sisi Allah, ialah: yang adil (tidak berat sebelah). Yaitu: bahwa diberikan masing-masing yang berhak akan haknya. Maka seyogyalah merendahkan diri seperti yang tersebut itu kepada teman-teman dan orang-orang yang mendekati dengan tingkatnya. Adapun merendahkan diri kepada orang-orang pasar, maka dengan bangun berdiri, gembira pada berbicara, lemah lembut pada bertanya, menerima undangannya, berusaha memenuhi keperluannya dan contoh-contoh lain yang seperti itu. Dan ia tidak melihat dirinya lebih baik dari orang itu. Akan tetapi, ada atas dirinya perasaan lebih takut kepada orang lain. Lalu tidak dihinakannya dan tidak dipandangnya orang itu kecil (tidak berharga). Dan ia tidak tahu, akan kesudahan (khatimah) urusannya. Jadi, jalan pada mengusahakan tawadlu’, ialah dengan merendahkan diri kepada teman-teman dan kepada orang yang lebih rendah dari teman-teman. Sehingga ringanlah kepadanya tawadlu’ yang terpuji pada adat kebiasaan yang baik. Supaya hilang kesombongan daripadanya. Kalau telah ringan yang demikian itu padanya, maka telah berhasil baginya akhlak tawadlu’. Dan kalau berat padanya yang demikian dan ia berbuat juga yang demikian, maka dia itu: orang yang memaksakan diri. Tidak orang yang merendahkan diri. Bahkan, akhlak itu, ialah: yang datang daripadanya perbuatan dengan mudah, tanpa berat dan tanpa memikir-mikir. Kalau yang demikian itu ringan dan yang berat kepadanya, ialah: memelihara kadarnya, sehingga ia menyukai berminyak-minyak air (mengambil muka) dan menghinakan diri, maka sesungguhnya ia telah keluar kepada segi: kurang. Maka hendaklah ia mengangkatkan dirinya. Karena tiada bagi orang mu’min, bahwa menghinakan diri. Sampai ia kembali kepada: di tengah-tengah, yang menjadi: jalan lurus. Dan yang demikian itu sulit mengenai akhlak ini dan akhlak-akhlak lainnya. Dan cenderung dari: di tengah-tengah, kepada tepi: kurang, yaitu: mengambil muka, adalah lebih mudah daripadanya: cenderung ke tepi: lebih dengan kesombongan. Sebagaimana kecenderungan kepada tepi: membuang-buang harta (perbuatan mubadzir), lebih terpuji pada manusia daripada kecenderungan kepada tepi: kikir. Kesudahan mubadzir dan kesudahan kikir itu tercela. Salah satu dari keduanya itu lebih keji. Begitu pula, kesudahan sombong, kesudahan mengurangkan diri dan membuat diri hina itu tercela. Salah satu dari keduanya itu lebih keji dari lainnya. Dan yang mutlak terpuji, ialah: adil (tidak berat sebelah). Dan meletakkan segala pekerjaan pada tempatnya, sebagaimana seharusnya dan di atas apa yang seharusnya, sebagaimana diketahui yang demikian dari syara’ (agama) (agama) dan adat kebiasaan. Kiranya kami singkatkan sekedar ini, dari penjelasan budi pekerti: sombong dan merendahkan diri.
BAHAGIAN KEDUA dari kitab ini: tentang ‘UJUB (mengherani diri atau membanggakan diri).
Dan padanya penjelasan tercelanya ‘ujub dan bahaya-bahayanya, penjelasan hakikat/makna ‘ujub dan kebanggaan diri serta batasnya, penjelasan obat ‘ujub secara keseluruhan, penjelasan bahagian-bahagian yang ada padanya ‘ujub dan penguraian pengobatannya.
PENJELASAN: tercelanya ‘ujub dan bahaya-bahayanya.
Ketahuilah, bahwa ‘ujub itu tercela dalam Kitab Allah Ta’ala dan sunnah RasulNya saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan hari perang Hunain, ketika itu kamu sangat girang (‘ujub, membanggakan diri), karena banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang baik itu tidak menolong kepada kamu sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Disebutkan oleh Allah yang demikian, dalam bentuk: menentang ke’ujuban itu. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Dan mereka mengira, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka terhadap Allah. Dan (siksaan) Allah datang kepada mereka dari tempat yang tiada mereka sangka sedikitpun”. S 59 Al Hasyr ayat 2. Allah Ta’ala menolak atas orang-orang kafir, pada ke’ujubannya dengan benteng dan kekuatannya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka itu mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 104. Ini juga kembali kepada ‘ujub dengan perbuatan. Kadang-kadang manusia itu ‘ujub (mengherani diri) dengan perbuatan, dimana dia tersalah padanya, sebagaimana ia mengherani diri dengan perbuatan, dimana ia benar padanya. Nabi saw bersabda: “3 perkara membinasakan, yaitu: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan mengherani manusia dengan dirinya”. Nabi saw bersabda kepada Abi Tsa’labah, dimana Nabi saw menyebutkan akhir umat ini, dengan sabdanya: “Apabila engkau melihat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan masing-masing yang mempunyai pendapat mengherani dengan pendapatnya, maka haruslah menjaga diri engkau!”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Kebinasaan itu pada 2 perkara: putus asa dan ‘ujub”. Ibnu Mas’ud mengumpulkan diantara 2 perkara tersebut, karena kebahagiaan tiada akan tercapai, selain dengan usaha, mencari, rajin dan terus-terusan. Dan orang yang putus asa itu tiada berusaha dan tiada mencari. Dan orang yang ‘ujub, beri’tikad, bahwa dia sudah berbahagia dan telah memperoleh maksudnya. Lalu dia tidak berusaha lagi. Maka yang ada itu tidak dicari. Dan yang mustahil itu tidak dicari. Dan kebahagiaan itu ada pada itikad orang yang ‘ujub, yang telah berhasil baginya. Dan kebahagiaan itu mustahil pada itikad orang yang putus asa. Maka dari sinilah Ibnu Mas’ud ra mengumpulkan diantara keduanya. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu melagak-lagakkan dirimu orang suci!”. S 53 An Najm ayat 32. Ibnu Juraij mengatakan: Artinya ialah: apabila kamu berbuat kebajikan, maka janganlah kamu mengatakan: “Aku telah berbuat”. Zaid bin Aslam mengatakan: “Jangan kamu anggap bahwa dirimu itu baik. Artinya: jangan kamu iktikad, bahwa dirimu itu yang baik”. Dan itulah arti ‘ujub. Pada hari perang Uhud, Thalhah bin Ubaidillah At Taimi, menjaga keselamatan Rasulullah saw dengan jiwanya. Ia menelungkup atas Rasulullah saw, sehingga kena tembak tapak tangannya. Seakan-akan Thalhah merasa ‘ujub dengan perbuatan besarnya itu. Karena ia menebus diri Rasulullah saw dengan nyawanya. Sehingga ia berdarah. Lalu Umar ra memperhatikan yang demikian pada Thalhah, seraya mengatakan: “Selalulah dikenal na’wun pada Thalhah, semenjak anak jarinya kena panah bersama Rasulullah saw. Na’wun menurut bahasa, ialah: ‘ujub. Hanya tidak dinukilkan (diriwayatkan) pada Thalhah, bahwa ia melahirkan ‘ujub itu dan menghinakan orang muslim. Pada waktu bermusyawarah, Ibnu Abbas bertanya kepada Umar ra: “Bagaimana pendapatmu tentang Thalhah?”. Umar ra menjawab: “Dia itu seorang laki-laki, yang ada padanya rasa bermegah diri”. Maka apabila tidak terlepas dari ‘ujub, orang-orang yang seperti mereka, maka bagaimana terlepas orang-orang yang lemah, jikalau mereka tidak menjaga diri? Muthrif bin Abdullah bin Asy-Syukhair (seorang tabi’in yang abid) mengatakan: “Aku lebih menyukai bermalam dengan tidur (tidak melakukan shalat malam) dan pagi-pagi aku menyesal, daripada aku bermalam dengan bangun berdiri (mengerjakan shalat malam) dan pagi-pagi aku merasa ‘ujub (mengherani diri dengan shalat malam)”. Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu tidak berbuat dosa, niscaya aku takut kepadamu, apa yang lebih besar, dari ‘ujub-‘ujub itu”. Nabi saw menjadikan ‘ujub itu, dosa terbesar. Adalah Bisyr bin Manshur Al-Bashari  (w. Th. 180 H) termasuk sebahagian dari mereka, ketika dilihat mengingati Allah Ta’ala dan negeri akhirat, karena rajinnya mengerjakan ibadah. Lalu pada suatu hari, ia memanjangkan shalat. Dan di belakangnya ada seorang laki-laki yang memperhatikannya. Lalu hal itu diketahui oleh Bisyr. Tatkala Bisyr telah selesai dari shalat, lalu ia mengatakan kepada laki-laki tersebut: “Janganlah mengherankan (mena’jubkan) kamu, apa yang engkau lihat daripadaku! Iblis yang dikutuk oleh Allah, telah beribadah kepada Allah Ta’ala bersama para malaikat, dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Iblis itu menjadi, apa yang telah terjadi padanya”. Ditanyakan ‘Aisyah: “Kapan orang menjadi jahat?”. ‘Aisyah menjawab: “Apabila ia menyangka, bahwa dia telah berbuat baik”. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu hapuskan pahala sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Kebanggaan tadi itu, natijah/hasil keyakinan dari membesar-besarkan sedekahnya. Dan membesar-besarkan amal, itulah: ‘ujub namanya. Maka dengan ini jelaslah, bahwa ‘ujub itu tercela sekali.
PENJELASAN: bahaya ‘ujub.
Ketahuilah, bahwa bahaya ‘ujub itu banyak. ‘Ujub sesungguhnya mengundang kesombongan. Karena kesombongan itu salah satu sebab ‘ujub, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Maka terjadilah dari ‘ujub itu sombong. Dan dari sombong itu banyak bahaya yang tiada tersembunyi. Ini, yang bersama hamba-hamba Allah. Adapun yang bersama Allah Ta’ala, maka ‘ujub itu mengajak kepada lupa dosa dan menyia-nyiakan dosa. Sebahagian dosanya, tiada diingatinya dan tidak diperiksanya. Karena sangkanya, bahwa ia tidak memerlukan kepada memeriksa dosa. Lalu ia lupa kepada dosa itu dan tidak diingatinya. Maka dipandangnya kecil dan tidak dianggapnya soal besar. Maka ia tiada bersungguh-sungguh pada mengetahui dan mendapatinya. Bahkan ia menyangka, bahwa ia telah diampunkan daripada dosa. Adapun ibadah dan amal, maka ia memandang besar. Ia membanggakan diri dengan ibadah dan amal itu, ia membanggakan diri kepada Allah dengan mengerjakannya. Ia lupa akan nikmat Allah kepadanya, dengan taufiq dan ketetapan amal ibadah itu. Kemudian, apabila ia telah meng’ujubkan diri dengan amal ibadah tadi, niscaya ia buta dari bahaya-bahayanya. Dan yang tiada memeriksa bahaya amal, niscaya kebanyakan usahanya menjadi sia-sia. Amal zahir sesungguhnya, apabila tidak ikhlas, bersih dari segala campuran, niscaya sedikitlah yang bermanfaat. Dan yang menyelidiknya, ialah orang keras padanya, kehati-hatian dan ketakutan, yang tidak ‘ujub. Orang yang ujub itu, tertipu dengan dirinya dan dengan pendapatnya. Ia merasa aman dari percobaan dan azab Allah. ia menyangka, bahwa ia di sisi Allah memperoleh tempat. Dan ia mempunyai nikmat dan hak di sisi Allah dengan amal perbuatannya, yang menjadi suatu nikmat dari nikmat-nikmat Allah dan suatu pemberian dari pemberian-pemberian Allah. ia dikeluarkan oleh ‘ujub itu, kepada menyanjung dirinya, memuji dan mensucikannya. Dan kalau ia ‘ujub dengan pendapat, amal dan akalnya, niscaya yang demikian itu, mencegahnya dari memperoleh faedah dari bermusyawarah dan bertanya. Lalu ia bertangan besi dengan dirinya sendiri dan dengan pendapatnya. Dan ia menolak daripada bertanya kepada orang yang lebih tahu daripadanya. Kadang-kadang ia ‘ujub dengan pendapat yang salah, yang terguris dalam hatinya. Maka ia bergembira dengan adanya gurisan itu diantara gurisan-gurisan hatinya. Dan ia tidak bergembira dengan gurisan-gurisan hati orang lain. Lalu ia berpegang teguh atas gurisan tersebut. Ia tidak mau mendengar nasehat orang yang menasehatinya dan tidak mau menerima pengajaran orang yang mengajarinya. Bahkan ia memandang kepada orang lain, dengan pandangan orang itu bodoh. Dan ia terus berpegang diatas kesalahannya. Kalau pendapatnya itu tentang urusan duniawi, maka dipandangnya ia benar pada yang demikian. Dan kalau tentang urusan agama, lebih-lebih yang menyangkut dengan pokok-pokok aqidah, maka ia akan binasa dengan demikian, kalau ia curiga akan dirinya sendiri dan ia tidak percaya dengan pendapatnya, ia mencari cahaya dengan Nur Alquran, ia meminta bantuan ulama-ulama agama, ia rajin mempelajari ilmu pengetahuan dan ia mengikuti bertanya kepada orang-orang yang bermata hati, niscaya adalah yang demikian itu, akan menyampaikannya kepada kebenaran. Maka ini dan yang seperti dengan ini, termasuk sebahagian dari bahaya-bahaya ‘ujub. Maka karena itulah, adalah dia sebahagian daripada yang memibnasakan. Dan diantara bahayanya yang paling besar, ialah bahwa ia lumpuh pada usaha, karena persangkaannya bahwa dia telah memperoleh kemenangan. Dan dia telah merasa cukup. Dan itulah kebinasaan yang tegas, yang tak ada keraguan padanya. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala Yang Maha Agung, akan kebagusan taufiq untuk mentaatiNya.
PENJELASAN: hakikat/makna ‘ujub dan kebanggaan diri serta batasnya.
Ketahuilah, bahwa adanya ‘ujub itu sesungguhnya sudah pasti disebabkan suatu sifat kesempurnaan. Dan bagi orang yang berilmu, dengan kesempurnaan dirinya pada ilmu, amal, harta dan lainnya itu, dua hal:
Pertama: bahwa ia takut kepada hilangnya kesempurnaan itu dan ia menjaga dari kekotoran atau tercabutnya dari pokoknya. Maka ini, tidaklah dia itu orang yang ‘ujub. Hal yang satu lagi, bahwa ia tidak takut dari hilangnya kesempurnaan itu. Akan tetapi, ia bergembira dengan kesempurnaan tersebut, dari segi bahwa kesempurnaan itu, suatu nikmat dari Allah Ta’ala kepadanya. Tidak dari segi dikaitkannya kepada dirinya. Ini juga, tidaklah dia itu orang yang ‘ujub. Dan bagi orang berilmu itu mempunyai hal ketiga, yaitu: ‘ujub. Ia tidak takut hilangnya kesempurnaan itu. Akan tetapi, ia bergembira dan berhati tentram kepada kesempurnaan itu. Dan kegembiraannya itu adalah dari segi, bahwa itu kesempurnaan, nikmat, kebajikan dan ketinggian. Tidak dari segi bahwa kesempurnaan itu suatu pemberian dari Allah Ta’ala dan suatu nikmat daripadaNya. Maka adalah kegembiraannya dari segi, bahwa kesempurnaan itu adalah sifatnya dan disangkutkan kepadanya, bahwa kesempurnaan itu baginya. Tidak dari segi, bahwa kesempurnaan itu disangkutkan kepada Allah Ta’ala, bahwa kesempurnaan itu daripadaNya. Manakala telah mengeras pada hatinya, bahwa itu suatu nikmat daripada Allah, manakala dikehendakiNYA, niscaya ditarikNya nikmat itu daripadanya, niscaya dengan demikian, hilanglah ‘ujub itu daripada dirinya. Jadi, ‘ujub itu ialah: merasa besar nikmat dan cenderung kepadanya, serta lupa menyandarkannya kepada Yang Memberi nikmat. Kalau bertambah kepada demikian, bahwa telah mengeras pada dirinya, bahwa dia mempunyai hak pada sisi Allah dan dia daripadaNya mendapat tempat, sehingga ia mengharap dengan amalnya itu, akan kemuliaan (kiramah) di dunia dan ia merasa jauh akan berlaku atas dirinya hal-hal yang tidak disenangi, kejauhan mana yang bertambah atas kejauhannya apa yang berlaku terhadap orang-orang fasiq, maka ini dinamakan: kebanggaan diri (id-lal) dengan amal. Seakan-akan ia melihat bagi dirinya atas Allah suatu yang membanggakan. Seperti itu juga, kadang-kadang ia memberikan kepada orang akan sesuatu, lalu ia merasa besar pemberian itu dan merasa bangga. Maka dia itu orang yang ‘ujub. Kalau dipakainya orang itu untuk melayaninya atau ia meminta pada orang itu beberapa permintaan atau ia merasa jauh tertinggalnya orang itu daripada menunaikan hak-haknya, maka dia itu membanggakan diri terhadap orang tersebut. Qatadah Al-Bashr ra mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau memberikan (sesuatu), karena hendak meminta lebih banyak (daripadanya)”. S 74 Al Muddatstsir ayat 6. Artinya: jangan engkau membanggakan diri dengan amal engkau itu!. Pada hadits yaitu: “Shalat orang yang membanggakan diri, sesungguhnya tiada akan diangkat di atas kepalanya. Sesungguhnya engkau ketawa dan engkau mengakui dengan dosa engkau itu lebih baik daripada engkau menangis dan engkau membanggakan dengan amal engkau”. Membanggakan diri (idlal) itu, dibelakang ‘ujub. Maka tidak membanggakan diri, selain orang itu ‘ujub. Banyak orang ‘ujub, yang tidak membanggakan. Karena ‘ujub itu berhasil dengan merasa diri besar dan lupa nikmat, tanpa mengharap balasan padanya. Dan idlal itu tiada sempurna, selain dengan mengharap balasan. Kalau ia mengharap diperkenan undangannya dan ditentangnya penolakan undangan itu dengan batinnya dan ia merasa ‘ujub dengan yang demikian, niscaya dia itu orrang yang membanggakan dengan perbuatannya. Karena ia tidak merasa ‘ujub dari penolakan doa orang fasiq. Dan karena itu, ia merasa heran daripada penolakan doanya sendiri. Maka ini adalah ‘ujub dan idlal. Dan itu termasuk sebahagian dari mukaddimah (pendahuluan) sombong dan sebab-sebabnya. Wallahu Ta’ala A’lam! Allah Ta’ala Maha Tahu!.
PENJELASAN: pengobatan ‘ujub secara keseluruhan.
Ketahuilah, bahwa pengobatan setiap penyakit, ialah menghadapi sebabnya, dengan lawannya. Dan penyakit ‘ujub, ialah: kebodohan semata. Maka obatnya, ialah: ma’rifah (mengetahui), yang berlawanan dengan kebodohan itu saja. Maka hendaklah kita umpamakan: ‘ujub dengan perbuatan yang masuk dibawah ikhtiar (pilihan) hamba Allah. Seperti: ibadah, sedekah, perang, siasat makhluk dan perbaikan mereka. Maka ke’ujuban dengan ini, adalah lebih sering terjadinya, daripada ke’ujuban dengan kecantikan, kekuatan, kebangsawanan dan apa yang tidak masuk di bawah ikhtiar Allah. Dan tidak dilihatnya dari dirinya. Maka kami mengatakan: Wara’, taqwa, ibadah dan amal yang di’ujubkannya, sesungguhnya ia di’ujubkan itu dari segi, bahwa dia pada perbuatan tersebut. Dialah tempatnya dan tempat berlakunya. Atau dari segi, bahwa perbuatan tersebut daripadanya, dengan sebabnnya, dengan kekuasaan dan kekuatannya. Kalau ia ‘ujubkan dengan perbuatan tersebut, dari segi bahwa dia pada perbuatan itu dan dia tempatnya dan tempat berlakunya, yang berlaku padanya dan di atasnya dari pihak lain, maka ini adalah kebodohan. Karena tempat itu adalah tempat berbuat dan berlaku. Tidak ada jalan masuk baginya pada menjadikan dan menghasilkan. Maka bagaimana, ia ber’ujub dengan apa, yang ia tidak padanya? Kalau ia ber’ujub dengan yang demikian, dari segi, bahwa perbuatan itu daripadanya dan kepadanya, dengan pilihannya berhasil dan dengan kekuasaannya menjadi sempurna, maka seyogyalah ia memperhatikan tentang kekuasaan, kehendak, anggota-anggota badannya dan lain-lain sebab, yang mana, dengan sebab-sebab tersebut, perbuatannya menjadi sempurna, bahwa dari mana sebab-sebab itu baginya? Kalau semua itu adalah nikmat daripada Allah kepadanya, tanpa ada hak baginya sebelumnya dan tanpa wasilah (jalan atau perantaraan) yang diturunkannya, maka seyogyalah ke’ujubannya itu adalah dengan kemurahan Allah, kurnia dan kelimpahanNya. Karena Ia telah mencurahkan kepadanya, apa yang tidak menjadi haknya. Dan Ia memilihkan dia dari orang lain, tanpa ada nikmat yang lebih dahulu dan wasilah. Maka manakala raja itu keluar karena hamba-sahayanya dan ia memandang kepada mereka dan dilepaskannya (dimerdekakannya) dari jumlah yang banyak itu seorang daripadanya, tidak karena suatu sifat yang istimewa pada yang seorang itu, tidak karena ada wasilah, tidak karena kecantikan dan tidak karena pelayanannya, maka seyogyalah yang dinikmati itu merasa heran, dari kelimpahan raja, ketetapan dan pilihannya, tanpa ada hak. Dan ke’ujubannya dengan dirinya: dari mana dan apa sebabnya? Dan tiada seyogyalah ia merasa ‘ujub dengan diri sendiri. Ya, bolehlah budak itu ber’ujub, lalu mengatakan: “Raja itu hakim yang adil, tiada berbuat zalim, tiada mendahulukan dan tiada mengemudiankan, kecuali karena sesuatu sebab. Maka kalau tidaklah raja itu mengerti, mengenai salah satu sifat dari sifat-sifat terpuji, yang tersembunyi, niscaya ia tidak menghendaki pilihan dengan pencabutan (pembebasan) itu. Dan sungguh tidaklah raja itu memilih aku dengan pencabutan tersebut. Maka dikatakan: Sifat itu juga adalah dari pencabuutan raja dan pemberiannya, yang telah dikhususkan engkau dengan pencabutan tersebut, tidak orang lain. Tanpa ada wasilah. Atau itu pemberian orang lain? Kalau itu dari pemberian raja juga, niscaya tidak bagi engkau untuk meng’ujubkannya. Akan tetapi, adalah seperti, kalau diberikannya kepada engkau seekor kuda, maka engkau tidak ber’ujub dengan yang demikian. Lalu diberikannya kepada engkau seorang budak, maka jadilah engkau ber’ujub dengan yang demikian, seraya engkau mengatakan: “Sesungguhnya ia memberikan kepadaku seorang budak, karena aku mempunyai kuda. Adapun orang lain, ia tiada mempunyai kuda”. Lalu dikatakan: “Raja itu telah memberikan kepada engkau seekor kuda. Maka tiada bedanya, antara diberikannya kepada engkau kuda dan bersama budak. Atau diberikannya kepada engkau salah satu daripada keduanya, sesudah yang lain. Maka apabila adalah tiap-tiap itu daripadanya, niscaya seyogyalah meng’ujubkan engkau oleh kemurahan dan kurnianya. Tidak ‘ujub itu oleh diri engkau. Dan kalau sifat itu dari orang lain, maka tiada jauhlah untuk engkau ‘ujubkan dengan sifat tersebut. Ini tergambar pada hak raja-raja. Dan tidak tergambar pada hak Yang Perkasa, yang menang, Raja diraja, yang sendirian dengan menciptakan semua, Yang sendirian mengadakan yang disifatkan dan sifatnya. Jikalau engkau ber’ujub dengan ibadah engkau dan engkau mengatakan: “Ia telah memberi aku taufiq untuk ibadah, karena cintaku kepadaNya, maka dikatakan: “Siapakah yang menjadikan kecintaan itu dalam hati engkau?”. Lalu engkau menjawab: “Dia!”. Maka dikatakan lagi kepada engkau: “Cinta dan ibadah itu, keduanya nikmat daripadaNya. DimulaiNya kepada engkau dengan cinta dan ibadah itu, tanpa berhak dari pihak engkau. Karena tiada wasilah bagi engkau dan tiada hubungan. Maka ke’ujuban itu adalah disebabkan kemurahanNya. Karena Ia menganugerahkan nikmat dengan adanya engkau, adanya sifat-sifat engkau, adanya amal engkau dan sebab-sebab amal engkau”. Jadi, tiada arti bagi ke’ujuban orang abid dengan ibadahnya, ke’ujuban orang berilmu dengan ilmunya, ke’ujuban orang cantik dengan kecantikannya dan ke’ujuban orang kaya dengan kekayaannya. Karena semua itu adalah dari kurnia Allah. Dan dia itu tempat melimpahnya kurnia Allah Ta’ala dan kemurahanNya. Dan juga tempat dari kurnia dan kemurahanNya. Kalau anda mengatakan: Tidak mungkin aku tiada mengetahui amalku dan aku yang mengerjakannya. Aku menunggu pada amalku itu pahala. Dan kalau itu bukan amalku, niscaya aku tidak menunggu pahalanya. Kalau amal-amal itu makhluk (dijadikan) Allah, dengan jalan diciptakanNya, maka dari manakah bagiku pahala? Dan kalau amal-amal itu daripadaku dan dengan kesanggupanku, maka bagaimanakah aku tidak ‘ujub dengan amal-amal itu? Maka ketahuilah, bahwa jawaban engkau itu dari 2 segi. Salah satu daripadanya, ialah: jelas kebenarannnya. Dan yang satu lagi, ada padanya musamahah (toleransi). Yang jelas (tegas) kebenarannya, yaitu: Sesungguhnya engkau, kemampuan engkau, kehendak engkau, gerak engkau dan semua itu adalah dari yang dijadikan Allah dan ciptaanNya. Maka tidak engkau yang mengerjakan, ketika engkau kerjakan, tidak engkau yang bershalat, ketika engkau yang mengerjakan shalat dan tidak engkau yang melempar, ketika engkau melemparkan. Akan tetapi, Allah yang melemparkan. Maka inilah kebenaran itu, yang tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai hati, dengan penyaksian yang lebih jelas dari penglihatan mata. Bahkan Dialah yang menjadikan engkau, menjadikan anggota tubuh engkau, menjadikan padanya kekuatan, kemampuan dan kesehatan, menjadikan bagi engkau akal dan ilmu dan menjadikan bagi engkau kemauan. Kalau engkau bermaksud untuk meniadakan sesuatu dari ini, dari diri engkau, niscaya engkau tidak mampu kepada yang demikian. Kemudian, Ia menjadikan gerak-gerik pada anggota tubuh engkau, dengan bersendirian menjadikannya, tanpa bersekutu dari pihak engkau bersama Dia pada menjadikan. Melainkan ia menjadikannya dengan tertib. Maka tidak dijadikanNya gerak sebelum dijadikanNya pada anggota badan kekuatan dan pada hati kehendak. Dan tidak dijadikanNya kehendak, sebelum dijadikanNya ilmu dengan yang dikehendaki. Dan tidak dijadikanNya ilmu, sebelum dijadikanNya hati yang menjadi tempat ilmu. Berangsur-angsurnya pada menjadikan sesuatu sesudah sesuatu, itulah yang mengkhayalkan kepada engkau, bahwa engkau yang mengadakan perbuatan engkau. Dan engkau sesungguhnya salah. Penjelasan yang demikian dan cara pahala di atas amal itu, adalah termasuk makhluk (yang dijadikan) Allah, sebagaimana akan datang ketetapannya pada Kitab Syukur. Itu adalah lebih layak, maka kembalilah membaca pada Kitab Syukur itu! Kami sekarang akan menghilangkan kesulitan engkau, dengan jawaban kedua, yang ada padanya sedikit musamahah (toleransi). Yaitu: bahwa engkau mengira amal itu berhasil (terjadi) dengan kekuasaan engkau. Maka dimanakah kekuasaan engkau itu? Dan amal itu tiada akan tergambar, selain dengan ada engkau dan ada amal engkau, kehendak engkau, kekuasaan engkau dan sebab-sebab amal engkau yang lain. Dan semua itu adalah dari Allah Ta’ala. Tidak dari engkau. Kalau adanya amal itu dengan kemampuan, maka kemampuan itu adalah kuncinya. Dan kunci ini di Tangan Allah. Manakala Ia tidak memberi kunci kepada engkau, maka tidak mungkin engkau beramal (bekerja). Maka ibadah-ibadah itu gudang. Dengan gudang itu sampai kepada bahagia. Dan kunci bahagia ialah kemampuan, kehendak dan ilmu. Dan itu semua sudah pasti di tangan Allah. adakah engkau melihat, jikalau engkau melihat gudang-gudang dunia, terkumpul dalam benteng yang kokoh dan kuncinya di tangan penjaga gudang? Kalau engkau duduk di pintu gudang dan di keliling tembok pagarnya 1000 tahun, niscaya tidak mungkin engkau melihat kepada satu dinarpun daripada apa yang ada di dalamnya. Dan kalau penjaga gudang itu memberikan kepada engkau kuncinya, niscaya engkau akan mengambil dari dekat, dengan menghamparkan tangan engkau kepadanya. Lalu engkau mengambilnya saja. Apabila penjaga gudang itu memberikan kepada engkau beberapa anak kunci dan ia menguasakan engkau pada anak kunci-anak kunci itu dan ia memungkinkan engkau padanya, lalu engkau panjangkan tangan engkau dan engkau mengambilkannya, niscaya adalah ketakjuban engkau itu, dengan diberikan oleh penjaga gudang, anak kunci-anak kunci tersebut. Atau dengan engkau memanjangkan tangan dan mengambilnya? Maka engkau tidak ragu bahwa engkau mengambil yang demikian, sebagai suatu nikmat dari penjaga gudang. Karena kesulitan itu dekat, pada mengerakkan tangan dengan mengambilkan harta. Dan urusan seluruhnya adalah pada penyerahan anak kunci-anak kunci itu. Maka begitu pula, manakala telah dijadikan kemampuan, telah dikuasakan kehendak yang yakin, telah digerakkan semua pengajak dan pembangkit dan telah disingkirkan dari engkau semua penghalang dan pengganggu. Sehingga tidak tinggal lagi pengganggu, selain yang mendorong. Dan tidak ada lagi pembangkit, selain telah diserahkan kepada engkau. Maka amal itu menjadi mudah kepada engkau. Dan penggerakan pembangkit-pembangkit, penyingkir penghalang-penghalang dan penyediaan sebab-sebab, semuanya itu dari Allah. Tiada suatupun daripadanya diserahkan kepada engkau. Maka termasuk ajaib (yang mengherankan) bahwa engkau mengherani diri engkau. Dan engkau tidak mengherani kepada Allah, yang seluruh urusan itu terserah kepadaNya. Engkau tidak mengherani dengan kemurahanNya, kurnia dan kemuliaanNya, pada diutamakanNya engkau diatas orang-orang fasiq dari hamba-hambaNya. Karena Ia menguasakan pengajak-pengajak kerusakan atas orang-orang fasiq dan menyingkirkannya daripada engkau. Ia menguasakan teman-teman jahat dan pengajak-pengajak kejahatan kepada orang-orang fasiq. Dan disingkirkanNya mereka dari engkau. DitetapkanNya mereka menjadi sebab-sebab nafsu syahwat dan kelezatan dan dicegahkannya daripada engkau. DipalingkanNya daripada mereka, pengerak-penggerak kebajikan dan pengajak-pengajaknya. Dan dikuasakannya kepada engkau. Sehingga memudahkan kepada engkau kebajikan dan memudahkan bagi mereka kejahatan. Ia berbuat yang demikian itu semua pada engkau, tanpa wasilah yang sudah ada dahulunya dari engkau. Dan tanpa dosa yang sudah ada dahulunya dari orang fasiq, yang maksiat. Tetapi Ia mengutamakan engkau, Ia mendahulukan engkau, Ia memilih engkau dengan kurniaNya. Ia menjauhkan orang maksiat dan dicelakannya dengan keadilanNya. Maka alangkah ganjilnya ke’ujuban engkau dengan diri engkau, apabila engkau mengetahui yang demikian! Jadi, tiada berpaling kemampuan engkau kepada yang dikuasai, selain dengan dianugerahkan kekuasaan oleh Allah kepada engkau, yang mengajak, dimana engkau tiada akan memperoleh jalan kepada menyalahinya. Maka seakan-akan Dialah yang memaksakan engkau kepada berbuat, kalau engkau itu pembuat sebenarnya. Maka kepadaNyalah terima kasih (syukur) dan kebanggaan. Tidak kepada engkau. Dan akan datang pada Kitab Keesaan dan Tawakkal, penjelasan tali-temali sebab dan musabab, yang dapat engkau memperoleh penjelasan, bahwa tiada yang berbuat, selain Allah. Dan tiada Khaliq (yang maha pencipta), selain Dia. Dan adalah ujub dari orang yang mengherani diri, apabila ia dianugerahkan oleh Allah akal dan dimiskinkannya dari harta, terhadap orang yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya harta, tanpa ilmu. Lalu orang yang diberi akal mengatakan: “Bagaimana Allah tidak memberikan kepadaku makanan siangku ini, sedang aku orang berakal (berilmu), yang utama? Dan dilimpahkanNya kepada orang ini, nikmat dunia, padahal dia orang lalai, yang bodoh”. Sehingga hampir ia melihat ini suatu kezaliman. Dan orang yang terpedaya tadi, tiada mengetahui, bahwa jikalau dikumpulkan kepadanya antara akal (ilmu) dan harta, niscaya adalah yang demikian itu lebih menyerupai dengan kezaliman menurut keadaan yang zahir. Karena orang bodoh yang miskin itu akan mengatakan: “Hai Tuhanku! Mengapa Engkau kumpulkan baginya antara akal (ilmu) dan kekayaan? Dan Engkau haramkan akan aku daripada keduanya. Mengapa tidak Engkau kumpulkan keduanya itu bagiku? Atau mengapa tidak Engkau anugerahkan kepadaku salah satu dari harta dan ilmu itu?”. Kepada inilah diisyaratkan oleh Ali ra ketika ditanyakan kepadanya: “Bagaimana keadaan orang berakal (berilmu) yang miskin?”. Ali ra lalu menjawab: “Bahwa akal (ilmu) orang itu diperhitungkan dari rezekinya”. Dan heran, bahwa orang berakal (berilmu) yang miskin, kadang-kadang melihat orang bodoh yang kaya, lebih baik keadaannya dari dirinya sendiri. Dan kalau ditanyakan kepadanya: “Maukah engkau memilih kebodohan dan kekayaannya, sebagai ganti dari akal engkau dan kemiskinan engkau?”, niscaya ia tidak mau. Jadi, demikian itu menunjukkan, bahwa nikmat Allah Ta’ala kepadanya itu lebih besar. Maka karena apakah ia ber’ujub daripada yang demikian? Wanita cantik yang miskin melihat pakaian emas perak dan mutiara pada wanita buruk rupa, keji bentuknya. Maka ia merasa heran dan mengatakan: “Bagaimana ia tidak diberikan perhiasan cantik seperti ini? Dan ia dikhususkan seperti yang seburuk itu”. Wanita yang terpedaya tadi tidak mengetahui, bahwa kecantikan itu diperkirakan kepadanya sebahagian dari rezekinya. Dan dia, kalau disuruh pilih antara kecantikan dan keburukan bentuk serta kaya, niscaya ia akan memilih kecantikan. Jadi, nikmat Allah Ta’ala itu lebih besar kepadanya. Dan perkataan orang yang bijaksana, miskin lagi berakal, dengan hatinya: “Hai Tuhanku! Mengapa Engkau tidak berikan kepadaku dunia dan Engkau berikan kepada orang-orang bodoh”, adalah seperti perkataan orang yang diberikan oleh raja kepadanya seekor kuda, lalu ia mengatakan: “Hai raja! Mengapa tidak engkau berikan kepadaku seorang budak dan aku sudah mempunyai kuda?”. Lalu raja itu menjawab: “Engkau tidak merasa heran dari ini, kalau tidak aku berikan kuda kepada engkau! Umpamakanlah, aku tidak berikan kuda kepada engkau, adakah nikmatku kepada engkau menjadi jalan dan alasan bagi engkau yang engkau tuntut dengan nikmat itu akan nikmat yang lain?”. Inilah sangkaan-sangkaan yang tidak terlepas orang-orang bodoh daripadanya dan tempat terjadinya semua kebodohan itu. Dan senantiasalah yang demikian dengan ilmu yang diyakini, bahwa hamba, amalnya dan sifat-sifatnya, semuanya itu dari Allah Ta’ala, sebagai suatu nikmat, yang dimulaikanNya memberikan nikmat tersebut kepada orang itu, sebelum ia berhak. Dan ini meniadakan ‘ujub dan kebanggaan. Dan mengwariskan khudlu’, syukur dan takut daripada hilangnya nikmat. Orang yang tahu akan ini, niscaya tidak akan tergambar, bahwa ia ‘ujub dengan ilmunya dan amalnya. Karena ia tahu, bahwa itu adalah dari Allah Ta’ala. Dan karena itulah, Nabi Daud as berdoa: “Ya Rabbi, hai Tuhanku! Tiada datang satu malampun, melainkan adalah manusia dari keluarga Daud itu berdiri mengerjakan shalat. Dan tiada datang satu haripun, melainkan adalah manusia dari keluarga Daud itu mengerjakan puasa”. Pada suatu riwayat: “Bahwa tiada berlaku suatu saatpun dari malam atau siang, melainkan orang yang beribadah dari keluarga Daud itu menyembah (beribadah) kepada Engkau. Adakalanya ia mengerjakan shalat, adakalanya ia mengerjakan puasa dan adakalanya ia berdzikir (menyebut nama) Engkau”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Daud! Darimana bagi mereka yang demikian? Bahwa yang demikian itu tidak ada, selain dengan sebab Aku. Dan jikalau tidak adalah pertolonganKu akan engkau, niscaya engkau tidak kuat. Dan Aku akan menyerahkan engkau kepada diri engkau sendiri”. Ibnu Abbas ra mengatakan: “Sesungguhnya Daud telah kena musibah, apa yang telah menjadi musibah baginya dari dosa, disebabkan ‘ujubnya dengan amalnya. Karena ia mengkaitkan amal itu kepada keluarga Daud, yang ia banggakan dengan demikian. Sehingga diserahkan kepada dirinya sendiri. Maka ia berdosa dengan dosa yang dipusakai oleh kesedihan dan penyesalan”. Daud as mengatakan: “Hai Tuhanku! Sesungguhnya kaum Bani Israil bertanya kepada Engkau dengan perantaraan Ibrahim, Ishak dan Yaqub”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan bencana kepada mereka. Mereka itu sabar”. Daud as mengatakan: “Hai Tuhanku! Jika Engkau menurunkan bencana kepadaku, niscaya aku sabar”. Lalu Daud membanggakan dengan amal sebelum waktunya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Aku tidak memberi kabar kepada mereka dengan sesuatupun yang Aku telah turunkan bencana kepada mereka. Tidak pada bulan mana dan tidak pada hari mana. Aku memberi kabar kepada engkau pada tahun engkau ini dan bulan engkau ini. Aku akan cobakan engkau besok, dengan seorang wanita. Maka jagalah diri engkau!”. Lalu terjadilah apa yang telah terjadi padanya. Begitu pula tatkala para shabat Rasulullah saw pada hari perang Hunain, berpegang kepada kekuatan dan banyaknya mereka. Mereka melupakan kurnia Allah Ta’ala kepada mereka. Dan mereka mengatakan: “Kita tidak akan dikalahkan hari ini dari karena sedikit”. Mereka berpegang kepada dirinya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan di hari Hunain karena kamu merasa ‘ujub (sangat girang) oleh banyaknya jumlah kamu. Tetapi jumlah yang banyak itu tidak menolong kepada kamu sedikitpun. Dan bumi yang masih luas terbentang ini bagimu terasa amat sempitnya. Kemudian kamu mundur ke belakang”. S 9 At Taubah ayat 25. Diriwayatkan Ibnu ‘Uyaynah ra, bahwa nabi Ayyub as berdoa: “Hai Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menurunkan bencana kepadaku dengan bencana ini. Dan tidak datang kepadaku sesuatu hal, melainkan aku utamakan keinginan engkau di atas keinginanku”. Lalu Ayyub as dipanggil dari sekumpulan awan dengan 10 ribu suara: “Hai Ayyub: “Darimana yang demikian itu bagi engkau?”. Yang empunya riwayat (Ibnu ‘Uyaynah ra) mengatakan: “Lalu Ayyub as mengambil debu tanah dan meletakkannya di atas kepalanya, seraya mengucapkan: “Dari Engkau hai Tuhanku! Dari Engkau hai Tuhanku!”. Lalu Ayyub as kembali dari kelupaannya, kepada menyandarkan yang demikian itu kepada Allah Ta’ala. Dan karena inilah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tiadalah kemurahan Allah dan kasih sayangNya kepada kamu, buat selamanya tiada seorangpun diantara kamu yang bersih (suci)”. S 24 An Nur ayat 21. Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya dan mereka itu manusia yang terbaik: “Tiada seorangpun daripada kamu yang dilepaskan oleh amalnya”. Maka para sahabat itu bertanya: “Dan tidak juga engkau, wahai Rasulullah?”. Beliau saw menjawab: “Dan tidak juga aku, selain bahwa aku diliputi oleh Allah dengan rahmatNya”. Adalah para sahabat Nabi saw sesudah Nabi saw, mereka itu, bercita-cita bahwa jadilah mereka itu tanah, jerami, dan burung, serta bersihnya amal mereka dan sucinya hati mereka. Maka bagaimana bagi orang yang bermata hati, ber’ujub dengan amalnya atau membanggakan dengan amalnya? Dan ia tidak takut atas dirinya? Jadi, inilah dia itu obat yang mencegah faktor ‘ujub dari hati! Manakala telah mengeras yang demikian atas hati, niscaya ia disibukkan oleh ketakutan tercabutnya nikmat ini, dengan menjauhkan ‘ujub dengan nikmat tersebut. Akan tetapi, ia melihat kepada orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dan mereka itu telah dicabut nikmat iman dan taat, tanpa dosa yang telah diperbuatnya sebelumnya. Maka orang yang bermata hati itu takut dari yang demikian. Lalu mengatakan: bahwa orang yang tiada memperdulikan bahwa ia tidak diberikan nikmat, dengan tiada penganiayaan dan diberikan, dengan tidak wasilah (jalan perantaraan), niscaya ia tidak memperdulikan bahwa kembali dan diminta kembali apa yang telah diberikan. Berapa banyak orang mu’min yang telah menjadi murtad dan orang yang taat yang telah menjadi fasiq dan berkesudahan dengan buruk (su-ul khatimah). Dan ini tidak berketerusan padanya sifat ‘ujub dengan hal apapun. Wallahu Ta’ala A’lam! Allah Ta’ala Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN: bahagian-bahagian apa yang menyebabkan ‘ujub dan penguraian pengobatannya.
Ketahuilah, bahwa ‘ujub itu adalah dengan sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu, orang menjadi sombong, sebagaimaan telah kami sebutkan dahulu. Kadang-kadang, ia ‘ujub dengan apa yang ia tidak sombong dengan yang demikian. Seperti ‘ujubnya dengan pendapat yang salah yang menghiasi dirinya, disebabkan kebodohannya. Maka apa yang menjadi sebab ‘ujub itu 8 bahagia:
Pertama: bahwa ia ‘ujub dengan tubuhnya, mengenai kecantikan, bentuk, kesehatan, kekuatan, kesesuaian bentuk-bentuknya, bagus rupa dan bagus suaranya. Dan dengan secara keseluruhan, ialah: penguraian kejadian dirinya. Lalu ia menoleh kepada kecantikan dirinya. Dan ia lupa bahwa yang demikian itu nikmat daripada Allah Ta’ala. Dan itu dapat hilang pada setiap keadaan. Pengobatannya, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu, tentang sombong dengan kecantikan. Yaitu: bertafakkur (merenungkan) tentang kekotoran batinnya, tentang permulaan kejadian dan akhir kejadiannya. Dan tentang wajah-wajah yang cantik dan badan-badan (tubuh-tubuh) yang licin, bagaimana ia hancur dalam tanah dan busuk dalam kubur. Sehingga dipandang jijik oleh tabiat manusia.
Kedua: keperkasaan dan kekuatan, sebagaimana diceritakan dari hal kaum ‘Ad, ketika mereka mengatakan, sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang mereka itu: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?”. S 41 Ha Mim As Sajadah ayat 15. Dan sebagaimana ‘Uj/seorang laki-laki yang hidup pada zaman nabi Musa as berpegang atas kekuatannya. Dan ia merasa ‘ujub dengan kekuatan itu. Lalu ia mencabut bukit (batu besar dari bukit itu) untuk dilemparnya atas tentara Musa as. Maka dilobangkan oleh Allah Ta’ala sepotong batu besar dari bukit itu, dengan korekan burung hudhud yang lemah paruhnya. Sehingga jadilah batu besar itu pada leher ‘Uj. Kadang-kadang orang mu’min berpegang juga atas kekuatannya, sebagaimana dirawikan dari nabi Sulaiman as, bahwa ia mengatakan: “Akan aku berkeliling dalam semalam atas 100 wanita”. Dan ia tidak mengatakan: “Insya Allah Ta’ala (kalau dikehendaki Allah Ta’ala). Maka Sulaiman as tidak dianugerahkan anak sebagaimana yang dikehendakinya. Begitu pula kata Daud as: “Kalau Engkau turunkan bencana atasku, niscaya aku sabar”. Ia merasa ‘ujub dengan yang demikian, dengan kekuatan yang ada padanya. Tatkala ia memperoleh bencana disebabkan dengan wanita, lalu ia tidak sabar. ‘Ujub dengan kekuatan, dapat mendorong untuk menyerbu pada peperangan, mencampakkan diri daripada kebinasaan dan bersegera memukul dan membunuh bagi tiap-tiap orang yang bermaksud jahat. Pengobatannya, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: bahwa ia tahu, sesungguhnya demam sehari itu dapat melumpuhkannya kekuatannya. Bahwa, apabila ia merasa ‘ujub dengan kekuatan, kadang-kadang akan dicabut oleh Allah Ta’ala dengan bahaya yang sedikit saja, yang menguasai atas dirinya.
Ketiga: ‘ujub dengan akal pikiran, kepintaran dan kecerdikan tentang hal-hal yang halus-halus dari segala kepentingan agama dan dunia. Buahnya ‘ujub itu, ialah bertangan besi dengan pendapat sendiri, meninggalkan musyawarah, memandang bodoh manusia yang berbeda pendapat dengan dia. Ia keluar dengan kurang mendengar suara ahli ilmu. Berpaling dari mereka, disebabkan merasa cukup dengan pendapat dan akal pikiran sendiri. Melecehkan dan menghinakan mereka. Pengobatannya, ialah: bahwa bersyukur kepada Allah Ta’ala di atas akal pikiran yang dianugerahkanNya. Dan merenungkan bahwa dengan sedikit sakit saja yang menimpa otaknya, bagaimana ia terganggu pikiran dan gila, dimana ia akan ditertawakan orang. Maka ia tidak akan merasa aman dari pencabutan akal pikirannya, kalau ia merasa ‘ujub dengan akal pikiran itu. Dan tidak tegak menunaikan kesyukurannya. Dan hendaklah ia menganggap akal pikirannya dan ilmu pengetahuannya itu pendek! Dan hendaklah ia mengetahui, bahwa ilmu yang diberikan kepadanya itu, adalah sedikit saja, walaupun ilmunya itu meluas. Dan apa yang tidak diketahuinya dari apa yang diketahui oleh orang lain, adalah lebih banyak dari apa yang diketahuinya. Maka bagaimana pula, dengan apa yang tidak diketahui oleh manusia dari ilmu Allah Ta’ala? Dan bahwa ia mencurigakan akan akal pikirannya. Dan melihat kepada orang-orang dungu, bagaimana mereka merasa ‘ujub dengan akal pikiran mereka. Dan orang banyak tertawa kepada mereka. Maka menjaga dirilah bahwa ia sebahagian dari mereka, sedang dia itu tidak tahu. Orang yang pendek akal saja, tidak mengetahui akan kependekan akalnya. Maka seyogyalah bahwa ia mengenal akan kadar akal pikirannya, dari orang lain, tidak dari dirinya sendiri. Dari musuh-musuhnya, tidak dari teman-temannya. Maka orang yang berminyak-minyak air (mengambil muka), akan memujikannya. Lalu menambahkan ke’ujubannya. Dan ia tidak menyangka dengan dirinya, selain kebajikan. Dan ia tidak menjadi cerdik, karena kebodohan dirinya. Maka bertambahlah ke’ujubannya dengan yang demikian.
Keempat: ‘ujub dengan keturunan mulia (keturunan bangsawan), seperti ‘ujubnya orang-orang keturunan Bani Hasyim (keturunan Nabi saw). Sehingga sebahagian mereka menyangka bahwa ia terlepas (dari bahaya), disebabkan mulia keturunannya dan kelepasan nenek moyangnya. Dan ia diampunkan karenanya. Dan sebahagian mereka berkhayal, bahwa semua makhluk Tuhan adalah bekas hamba sahaya dan budaknya.xxxxPengobatannya, ialah bahwa ia tahu, manakala ia menyalahi dengan nenek moyangnya tentang perbuatan dan tingkah laku mereka dan ia menyangka bahwa ia dihubungkan dengan mereka, maka sesungguhnya dia itu bodoh. Dan kalau ia mengikuti jejak nenek moyangnya maka tidak adalah dari tingkah laku (akhlak) mereka itu ‘ujub. Akan tetapi takut. Menghinakan diri, membesarkan makhluk Tuhan, dan mencela diri. Mereka itu menjadi mulia (orang bangsawan), dengan taat, ilmu dan segala perkara yang terpuji. Tidak lantaran keturunan. Maka hendaklah ia memperoleh kemuliaan (kebangsawanan), dengan kemuliaan yang diperoleh mereka itu. Dan sungguh telah menyamakan diri dengan mereka, pada keturunan dan menyekutukan dengan mereka, pada kabilah-kabilah (suku-suku bangsa), orang-orang yang tidak beriman dengan Allah dan hari akhirat (hari penghabisan). Dan mereka itu di sisi Allah adalah lebih jahat dari anjing-anjing dan lebih keji dari babi-babi. Dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”. S 49 Al Hujuraat ayat 13. Artinya: tiada berlebih kurang pada keturunan kamu, karena kehimpunanmu pada satu asal. Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan faedah keturunan, lalu berfirman (sambungan ayat di atas): “Dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku-suku bangsa, supaya kamu mengenal satu sama lain”. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa kemuliaan itu adalah dengan taqwa, tidak dengan keturunan. Maka Ia berfirman (sambungan ayat di atas): “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang lebih bertaqwa (memelihara diri dari kejahatan)”. Tatkala ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Siapakah manusia yang termulia dan siapakah manusia yang terpintar?”. Nabi saw tidak menjawab: “Orang yang membangsakan dirinya kepada keturunanku”, akan tetapi beliau menjawab: “Yang termulia mereka, ialah yang terbanyak ingatan mereka kepada mati dan yang tersangat bersiap dari mereka bagi mati”. Sesungguhnya ayat yang di atas tadi diturunkan, ketika Bilal ra adzan pada hari pembukaan Makkah (penaklukan Makkah) di atas Ka’bah. Lalu Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Khalid bin As-yad mengatakan: “Budak hitam ini adzan”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang lebih bertaqwa” (ayat yang di atas tadi). Nabi saw bersabda: “Bahwa Allah telah menghilangkan daripada kamu ‘aibah al-jahiliyah. Artinya: kesombongan jahiliyah. Semua kamu itu anak Adam. Dan Adam itu dari tanah”. Nabi saw bersabda: “Hai jamaah Quraisy! Manusia tiada akan datang dengan amal pada hari kiamat. Dan kamu akan datang dengan dunia, yang kamu pikul dunia itu di atas lehermu. Kamu mengatakan: “Hai Muhammad! Hai Muhammad!” Lalu aku menjawab: “Beginilah!” Artinya: “Aku berpaling dari kamu”. Nabi saw menerangkan, bahwa jikalau mereka cenderung kepada dunia, niscaya tiada bermanfaat bagi mereka keturunan Quraisy. Tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang amat terdekat!”. S 26 Asy Syu’ara ayat 214. Maka Nabi saw memanggil mereka sepuak sesudah sepuak (sekaum sesudah sekaum). Sampai beliau bersabda: “Hai Fatimah binti Muhammad! Hai Safiah binti Abdul Muthalib ‘ammah (saudara perempuan bapak) Rasulullah saw! bekerjalah untuk diirmu! Sesungguhnya aku tidak dapat menolong sesuatu dari Allah bagi kamu berdua”. Orang yang mengetahui semua hal ini dan tahu bahwa kemuliaannya itu sekedar taqwanya dan adalah dari kebiasaan nenek moyangnya merendahkan diri, niscaya ia mengikuti mereka pada taqwa dan merendahkan diri itu. Jikalau tidak, maka dia itu menusuk keturunan dirinya dengan lisan keadaannya, manakala ia membangsakan dirinya kepada mereka. Dan ia tidak menyerupai mereka pada merendahkan diri (tawadlu’), taqwa, takut dan kasih sayang. Kalau anda mengatakan, bahwa Nabi saw mengatakan, sesudah sabdanya tadi kepada Fatimah dan Safiah: “Sesungguhnya aku tidak dapat menolong sesuatu dari Allah bagi kamu berdua, kecuali kamu mempunyai rahim (keturunan kekeluargaan), yang akan aku sambung dengan sambungannya”.xxxDan Nabi saw bersabda: “Adakah diharap oleh kabilah (suku) Sulaim akan syafaatku dan tidak diharapkan oleh anak cucu Abdul Muthalib?”. Maka yang demikian itu menunjukkan, bahwa Nabi saw akan mengkhususkan kepada keluarganya dengan syafaat. Maka ketahuilah kiranya, bahwa setiap muslim itu menunggu syafaat Rasulullah saw. Dan orang yang menjadi keturunan Nabi saw juga pantas mengharap syafaat itu. Akan tetapi dengan syarat, bahwa ia bertaqwa (menjaga diri) daripada dimarahi oleh Allah. Jikalau ia dimarahi Allah, maka Ia tidak mengizinkan bagi seseorang memperoleh syafaatnya. Karena dosa itu terbagi kepada yang mengharuskan kutukan. Maka tidak diizinkan memberi syafaat kepadanya. Dan kepada dosa yang dimaafkan, dengan sebab syafaat, seperti dosa pada raja-raja dunia. Maka setiap orang yang mempunyai kedudukan di sisi raja itu, ia tidak sanggup pada memberi syafaat (pertolongan) mengenai hal, yang sangat dimarahi raja. Maka di antara dosa, ada yang tidak dapat dilepaskan oleh syafaat. dan dari hal itu diibaratkan oleh Allah dengan firmanNya: “Dan mereka tidak dapat memberikan syafaat (bantuan), melainkan kepada siapa yang direlai Tuhan”’. S 21 Al Anbiyaa ayat 28. Dan dengan firmanNya: “Siapakah yang dapat menolong (memberi syafaat) di sisi Tuhan, selain dengan izinNya”. S 2 Al Baqarah ayat 255. Dan dengan firmanNya: “Tiadalah berguna pertolongan (syafaat) di sisi Tuhan, melainkan untuk orang yang telah diizinkanNya”. S 34 Saba ayat 23. Dan dengan firmanNya: “Karena itu, tiada berguna kepada mereka pertolongan (syafaat) orang-orang yang memberi pertolongan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 48. Apabila dosa itu terbagi kepada: yang dapat diberikan syafaat dan kepada yang tidak dapat diberikan syafaat, niscaya sudah pasti haruslah takut dan kasih sayang. Dan kalau ada setiap dosa diterima syafaat, niscaya Nabi saw tidak menyuruh orang-orang Quraisy dengan taat. Dan tentu Rasulullah saw tidak melarang Fatimah ra dari perbuataan maksiat. Dan tentu ia mengizinkan Fatimah untuk mengikuti nafsu syahwat, supaya sempurna kesenangannya di dunia. Kemudian, ia akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada Fatimah di akhirat. Supaya sempurna kesenangannya di akhirat. Maka keterjerumusan dalam dosa dan meninggalkan taqwa, karena berpegang atas harapan syafaat itu, menyerupai dengan keterjerumusan orang sakit pada nafsu syahwatnya. Karena berpegang kepada tabib (dokter) pandai, yang dekat, yang penuh kasih sayang, dari bapak atau saudara atau lainnya. Dan itu kebodohan. Karena usaha tabib, kemauan dan kepintarannya itu, bermanfaat pada menghilangkan sebahagian penyakit. Tidak pada semuanya. Maka tidak boleh meninggalkan penjagaan diri secara mutlak, karena berpegang kepada semata-mata ketabiban. Akan tetapi, tabib itu mempunyai bekas (pengaruh) secara keseluruhan, tetapi pada penyakit-penyakit yang ringan dan ketika dikerasi kesederhanaan sifat dari yang sakit itu. Maka begitulah seyogyanya, bahwa dipahami kesungguhan para pemberi syafaat (pertolongan) dari nabi-nabi dan orang-orang shalih, bagi kaum kerabat dan orang-orang yang bukan kaum kerabat. Maka seperti yang demikian itu secara pasti. Dan yang demikian, tiada akan menghilangkan takut dari hati-hati menjaga diri. Dan bagaimana ia menghilangkannya, padahal makhluk yang terbaik sesudah Rasulullah saw itu adalah para sahabatnya. Dan mereka itu bercita-cita kiranya mereka adalah binatang ternak, dari takutnya akhirat, serta sempurnanya taqwa mereka, bagusnya amal dan bersihnya hati mereka. Dan apa yang didengar dari janji Rasulullah saw kepada mereka dengar sorga khususnya dan kepada kaum muslimin lainnya dengan syafaat umumnya dan mereka tidak menyerah kepada janji itu dan tidak berpisah takut dan khusyu’ dari hati mereka. Maka bagaimanakah orang yang tidak mempunyai persahabatan dan kedahuluan seperti mereka dengan Nabi saw, merasa ‘ujub dengan dirinya dan berpegang kepada syafaat Nabi saw?.
Kelima: ‘ujub dengan keturunan sultan-sultan (penguasa-penguasa) yang zalim dan pembantu-pembantu mereka, tanpa keturunan agama dan ilmu. Dan ini adalah paling bodoh. Pengobatannya, ialah, bahwa: ia merenungkan pada kehinaan penguasa-penguasa itu dan apa yang terjadi bagi mereka, dari kezaliman atas hamba-hamba Allah dan kerusakan pada agama Allah. Dan mereka itu terkutuk di sisi Allah Ta’ala. Kalau ia melihat kepada bentuk mereka dalam api neraka, kebusukan dan kejijikan mereka, niscaya ia mencegah diri dari mereka. Dan melepaskan diri dari menjadi keturunan mereka. Dan ia menentang orang yang membangsakan dirinya keturunan mereka. karena merasa jijik dan hinanya mereka. Dan jikalau tersingkaplah baginya kehinaan mereka di hari kiamat dan bergantungan lawan-lawan mereka yang menuntut haknya dan para malaikat yang mengambil pundak mereka, yang menghela atas muka mereka ke neraka jahannam, lantaran kezaliman mereka kepada hamba-hamba Allah, niscaya ia bermohon kepada Allah akan kelepasan diri dari mereka. Dan berketurunannya kepada anjing dan babi lebih disukainya daripada berketurunan kepada mereka. Maka berhaklah anak-anak orang zalim –jika mereka dipelihara oleh Allah daripada kezliman mereka –bahwa bersyukur kepada Allah Ta’ala atas keselamatan agama mereka. Dan meminta ampun dosa bapak-bapaknya. Jikalau mereka itu orang muslim. Maka ‘ujub dengan keturunan mereka itu, adalah kebodohan semata-mata.
Keenam: ‘ujub dengan banyaknya bilangan anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat, pembantu dan pengikut, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang kafir: “Kami lebih banyak (dari kamu) mempunyai harta dan anak”. S 34 Saba ayat 35. Dan sebagaimana orang-orang mu’min mengatakan pada hari perang Hunain: “Kami tiada akan terkalahkan hari ini dari karena sedikit”. Pengobatannya, ialah: apa yang telah kami sebutkan tentang sombong. Yaitu: bahwa ia merenungkan (bertafakkur) tentang kelemahannya dan kelemahan mereka. Dan semua mereka itu hamba yang lemah, tiada memiliki bagi dirinya, melarat dan manfaat. Dan: “Berapa banyaknya pasukan kecil dapat mengalahkan pasukan yang besar dengan izin Allah”. Kemudian, bagaimana ia merasa ‘ujub dengan mereka. Dan sesungguhnya mereka itu akan bercerai dengan dia, apabila ia sudah mati. Maka ia dikuburkan dalam kuburannya, hina terhina seorang diri. Tiada ditemani oleh keluarga, anak, kerabat, teman dan kawan. Mereka menyerahkannya kepada kehancuran, ular, kala dan ulat. Dan mereka tiada mengambil manfaat sesuatupun daripadanya. Sedang itu, pada waktu yang sangat diperlukannya kepada mereka. Dan begitu pula, mereka itu lari daripadanya pada hari kiamat. “Di hari seorang manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu dan bapaknya. Dan dari isteri dan anak-anakanya. Setiap orang di hari itu mempunyai urusan yang mengganggunya (dari urusan orang lain)”. Maka manakah kebajikan pada orang yang berpisah dengan engkau pada keadaan yang sangat sulit bagi engkau dan ia lari dari engkau? Bagaimana engkau ber’ujub dengan dia? Dan ia tidak mendatangkan manfaat bagi engkau dalam kubur, di hari kiamat dan di atas titian, selain amal engkau dan kurnia Allah Ta’ala. Maka bagaimana engkau berpegang kepada orang yang tidak mendatangkan manfaat dan melarat, mati dan hidup engkau?
Ketujuh: ‘Ujub dengan harta, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala, menerangkan dari hal orang yang mempunyai dua kebun, ketika ia mengatakan kepada temannya:  “Hartaku lebih banyak dari harta engkau dan pengikutku lebih banyak dari pengikut engkau”. Rasulullah saw melihat seorang laki-laki kaya, yang duduk di sampingnya seorang miskin. Lalu si kaya itu menjauhkan diri dari orang miskin tersebut dan mengumpulkan kain-kainnya. Maka Nabi saw bersabda: “Adakah engkau takut menular kepada engkau kemiskinannya”. Yang demikian itu, adalah karena ‘ujub dengan kekayaannya. Dan pengobatannya, ialah: bahwa ia merenungkan tentang bahaya harta, banyak hak orang padanya dan besar tipuannya. Dan memandang kepada kelebihan orang-orang miskin dan dahulunya mereka ke sorga pada hari kiamat. Dan bahwa harta itu datang dan pergi dan tak ada asal baginya. Dan bahwa pada orang Yahudi ada orang yang bertambah padanya harta. Dan memperhatikan kepada sabda Nabi saw: “Dimana seorang laki-laki yang menyombong pada pakaiannya, yang telah mendatangkan ‘ujub bagi dirinya, lalu Allah Ta’ala menyuruh bumi untuk mengambilkannya. Maka ia tenggelam dalam bumi, sampai hari kiamat”. Nabi saw mengisyaratkan dengan sabdanya itu, kepada siksaan 'ujubnya orang itu, dengan harta dan dirinya. Abu Dzar ra mengatakan:  “Aku berada bersama Rasulullah saw. Lalu beliau masuk masjid, seraya bersabda kepadaku: “Hai Abu Dzar! Angkatlah kepalamu!”. Lalu aku mengangkatkan kepalaku. Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki dengan pakaian bagus. Kemudian, beliau bersabda: “Angkatlah kepalamu!”. Lalu aku mengangkatkan kepalaku. Tiba-tiba terlihat seorang laki-laki dengan pakaian buruk. Maka beliau saw bersabda kepadaku: “Hai Abu Dzar! Ini pada sisi Allah lebih baik dari sarung bumi, seperti ini”. Semua apa yang telah kami sebutkan pada Kitab Zuhud, Kitab Tercelanya Dunia dan Kitab Tercelanya Harta itu menjelaskan kehinaan orang-orang kaya dan kemuliaan orang-orang miskin pada sisi Allah Ta’ala. Maka bagaimana tergambar dari orang mu’min bahwa ia merasa ‘ujub dengan kekayaannya? Akan tetapi, orang mu’min itu tiada terlepas dari takut, dari teledornya pada menegakkan hak-hak harta, pada mengambilnya dari yang halal dan meletakkannya pada haknya. Dan orang yang tiada berbuat demikian, maka kembalinya kepada kehinaan dan kebinasaan. Lalu, bagaimana ia merasa ‘ujub dengan hartanya itu?
Kedelapan: ‘ujub dengan pendapat salah. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah orang yang memandang baik perbuatannya yang buruk, lalu perbuatan buruk itu dianggapnya baik?”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka itu mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 104. Rasulullah saw menerangkan, bahwa yang demikian itu akan banyak terjadi pada akhir umat ini. Dengan demikian, telah binasa umat-umat yang lalu, karena bercerai berai kepada golongan-golongan. Maka setiap orang itu, ‘ujub dengan pendapatnya. Dan setiap golongan, bergembira dengan apa yang ada pada mereka. Dan semua ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan sesat, berkekalan atas yang demikian, karena ‘ujubnya dengan pendapatnya. Dan ‘ujub dengan bid’ah (yang diada-adakan) itu, ialah: memandang baik apa yang dibawa oleh hawa nafsu dan keinginan, serta menyangka itulah yang benar. Pengobatan ‘ujub ini lebih sukar dari pengobatan lainnya. Karena orang yang mempunyai pendapat salah itu bodoh dengan kesalahannya. Dan jikalau diketahuinya, niscaya ditinggalkannya. Dan tidak diobati penyakit yang tidak diketahui. Dan kebodohan itu penyakit yang tidak diketahui. Maka sukar sekali mengobatinya. Karena orang arif bijaksana itu sanggup menerangkan kepada orang bodoh akan kebodohannya dan menghilangkan kebodohan itu daripadanya. Kecuali apabila orang itu ‘ujub dengan pendapat dan kebodohannya. Maka ia tidak akan mendengar orang arif bijaksana tadi dan akan dicurigainya. Allah Ta’ala menguasakan kepadanya bencana yang akan membinasakannya. Dan ia menyangka bencana itu nikmat. Maka bagaimana mungkin mengobatinya? Dan bagaimana ia mencari kelarian (melepaskan diri) dari apa yang menjadi kebahagiaan menurut keyakinannya? Sesungguhnya pengobatannya secara keseluruhan, ialah: bahwa ia curiga selalu kepada pendapatnya sendiri. Ia tidak tertipu dengan pendapatnya itu, selain apabila disaksikan dengan yang meyakinkan dari Kitab atau Sunnah atau dalil akal yang benar, yang mengumpulkan syarat-syarat dalil. Dan manusia tidak mengetahui dalil-dalil syara’ (agama) dan akal, syarat-syarat dan tempat-tempat tersembunyi kesalahan padanya, selain dengan kepintaran sempurna, akal tembus, kesungguhan, kekekalan mencari, selalu membiasakan membaca Kitab dan Sunnah, duduk-duduk dengan ahli ilmu sepanjang umur dan mempelajari berbagai ilmu. Dan serta yang demikianpun, tiada aman dari kesalahan pada sebahagian urusan. Dan yang betul bagi orang yang tidak menyelesaikan untuk menghabiskan umurnya pada mencari ilmu, ialah: bahwa ia tiada terjun pada mazhab-mazhab, tidak memasangkan telinga dan tidak mendengarnya. Akan tetapi ia berkeyakinan, bahwa Allah Ta’ala itu Esa, tiada sekutu bagiNya. Dan bahwa: tiada suatupun yang sepertiNya. Dia maha mendengar dan maha melihat. Dan bahwa RasulNya benar tentang apa yang dikhabarkannya. Ia mengikuti Sunnah salaf (jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu). Ia beriman dengan cara keseluruhan apa yang dibawa oleh Kitab dan Sunnah, tanpa pembahasan, pengorekan dan pertanyaan dari penguraiannya. Akan tetapi, ia mengatakan: Kami beriman dan kami membenarkan. Ia menyibukkan diri dengan taqwa, menjauhkan perbuatan maksiat, mengerjakan taat, kasih sayang kepada kaum muslimin dan amal-amal yang lain. Kalau ia terjun ke dalam mazhab-mazhab, bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang diada-adakan) dan fanatik pada aqidah, niscaya ia binasa, dari segi yang tidak disadarinya. Dan inilah hak setiap orang yang bercita-cita menghabiskan umurnya dengan sesuatu, selain ilmu. Adapun orang yang bercita-cita kepada semata-mata ilmu, maka pertama-tama yang penting baginya, ialah: mengenal dalil dan syarat-syaratnya. Dan yang demikian itu, adalah sebahagian dari yang panjanglah urusan padanya. Dan sampai kepada keyakinan dan mengetahui pada kebanyakan yang dicari, adalah sukar, yang tidak disanggupi, selain oleh orang-orang kuat, yang memperoleh kekuatan dengan Nur Allah Ta’ala. Dan itu sukar sekali adanya. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan terpelihara dari kesesatan. Dan kita berlindung dengan Dia dari ketipuan dengan khayalan-khayalan orang-orang bodoh. Tamatlah sudah Kitab Tercelanya Sombong dan ‘Ujub. Segala pujian bagi Allah Tuhan YME. Mencukupilah bagi kita Allah dan sebaik-baik yang kita menyerahkan diri. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad, kepada kaum keluarga dan para sahabatnya serta selamat sejahtera.