KITAB URAIAN KEAJAIBAN HATI.
(Yaitu: Kitab Pertama dari
Rubu’ “Yang Membinasakan”).
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah,
yang heranlah segala hati dan segala gurisan hati, tiada sanggup mengetahui
dengan mendalam akan keagunganNya. Dan merasa dahsyatlah segala mata dan
pandangan tentang dasar-dasar kecemerlangan NurNya. Ia Yang Melihat segala
rahasia yang tersembunyi. Ia Yang Mengetahui segala kandungan jiwa yang
tertutup. Ia Yang Tidak Memerlukan kepada perundingan dan pertolongan pada
mengatur kerajaanNya. Ia Yang Membalik-balikkan semua hati. Ia Yang
Mengampunkan segala dosa, Ia Yang Menutup semua kekurangan. Dan Ia Yang
Melapangkan segala kesempitan. Rahmat kepada penghulu rasul-rasul, yang mengumpulkan
yang bercerai-berai dari agama dan yang memotong pembelakangan orang-orang yang
ingkar. Dan kepada keluarganya yang baik dan suci. Dan anugerahilah kiranya
kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya ! Adapun kemudian, maka kemuliaan dan
keutamaan manusia yang mengatasi sejumlah dari bermacam-macam makhluk yang
lain, adalah disebutkan persediaannya mengenal Allah (ma’rifah kepada Allah)
Yang Maha Suci, dimana mengenal Allah itu di dunia adalah keelokan,
kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan diakhirat adalah alat dan
simpanannya. Sesungguhnya manusia itu menyediakan diri bagi ma’rifah, adalah
dengan hatinya. Tidak dengan salah satu anggota badannya. Maka hatilah yang
mengetahui Allah. Dialah yang mendekati kepada Allah. Dialah yang bekerja karena
Allah. Dialah yang berjalan kepada Allah. Dan dialah yang membuka apa yang di
sisi Allah dan yang padaNya. Dan sesungguhnya anggota badan itu, adalah
pengikut, pelayan dan alat yang dipergunakan oleh hati. Dan yang dipakainya,
laksana pemilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya dan
pekerja bagi perkakasnya. Hatilah yang diterima di sisi Allah apabila ia
selamat sejahtera dari selain Allah. Dan hati itu terdinding (terhijab) dari
Allah, apabila ia tenggelam dengan selain Allah. Hatilah yang mencari. Hatilah
yang berbicara. Dan hatilah yang mencaci. Dan dialah yang berbahagia dengan
dekat kepada Allah. Maka ia memperoleh kemenangan, apabila ia mensucikannya.
Dan memperoleh kekecewaan dan kesengsaraan, apabila ia mengotorkan dan
merusakkannya. Hatilah pada hakikatnya yang taat kepada Allah Ta’ala. Dan
sesungguhnya ibadah-ibadah yang berkembang pada anggota badan, adalah
cahayanya. Hatilah yang durhaka, yang mengingkari Allah Ta’ala. Sesungguhnya
yang berjalan pada anggota badan, dari kekejian-kekejian adalah bekas-bekasnya
hati. Dengan gelap dan bersinarnya hati, lahirlah segala kebaikan zahiriah dan
keburukannya. Karena tiap tempat air itu, kena percikan dengan apa yang ada
didalamnya. Hatilah apabila dikenal oleh manusia, maka sesungguhnya manusia itu
telah mengenal dirinya. Dan apabila manusia telah mengenal dirinya, maka ia
telah mengenal akan Tuhannya. Dan hati itu, apabila tidak dikenal oleh manusia,
maka manusia itu tidak mengenal akan dirinya. Dan apabila manusia itu tidak
mengenal dirinya, maka ia tidak mengenal akan Tuhannya. Dan barangsiapa tidak
mengenal hatinya, maka ia lebih tidak mengenal lagi akan lainnya. Karena
kebanyakan manusia itu, tidak mengetahui hatinya dan dirinya. Dan telah
terdinding di antara mereka dan diri mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala
mendindingkan diiantara manusia dan hatinya. Pendindingan itu, dengan
mencegahnya daripada bermusyahadah, bermuraqabah, mengenal sifat-sifatNya dan
cara berbalik-baliknya diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha
Pemurah. Dan bagaimana ia sekali turun ke tingkat yang paling bawah dan
merendah sejajar dengan setan-setan. Dan bagaimana pada kali yang lain, ia
meninggi ke tingkat yang paling tinggi, naik ke alam malakut yang dekat dengan
Tuhan. Orang yang tiada mengenal hatinya untuk bermuraqabah, menjaga dan
mengintip apa yang tampak dari dan dalam gudang alam malakut, maka orang
tersebut termasuk dalam golongan orang yang difirmankan oleh Ta’ala: “Mereka
yang lupa kepada Allah, lalu Allah melupakan mereka kepada dirinya sendiri.
Itulah orang-orang yang fasiq”. S 59 Al Hasyr ayat 19. Maka mengenal hati dan
hakikat sifat-sifatnya itu pokok agama dan sendi jalan orang-orang salik
(orang-orang yang berjalan kepada Allah). Ketika kita telah selesai dari
bahagian pertama dari Kitab ini, yaitu: dari memperhatikan ibadah-ibadah dan
adat kebiasaan yang berlaku pada anggota badan -dan itu adalah Ilmu Zahir- dan
kita menjanjikan akan menguraikan pada bahagian kedua: sifat-sifat yang
membinasakan (al-muhlikat) dan yang melepaskan (al-munjiyat) yang berlaku pada
hati – dan itu adalah Ilmu batin-, maka tak boleh tidak, bahwa kita dahulukan
padanya: dua kitab lebih dahulu: Kitab tentang uraian keajaiban sifat-sifat dan
tingkah laku hati dan: Kitab tentang cara latihan hati dan pendidikan tingkah
lakunya. Kemudian, sesudah itu, kita bertolak, pada menguraikan: sifat-sifat
yang membinasakan dan yang melepaskan. Sekarang marilah kita sebutkan uraian
keajaiban hati, dengan jalan membuat contoh-contoh, yang mendekatkan kepada
pengertian. Karena penegasan segala keajaiban dan rahasia hati, yang masuk
dalam jumlah alam-malakut, adalah diantara yang menumpulkan kebanyakan paham
daripada mengetahuinya.
PENJELASAN: arti nafas, roh,
hati dan akal dan apa yang dimaksudkan dengan nama-nama itu.
Ketahuilah, bahwa nama-nama
yang ini dipakai pada bab-bab ini. Dan
sedikitlah dalam kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam
pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan
pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamaka dengan nama-nama
tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadinya karena kebodohan dengan arti
nama-nama ini dan persekutuannya diantara apa yang dinamakan itu yang
bermacam-macam. Dan kami akan menguraikan arti nama-nama tersebut, yang
menyangkut dengan maksud kami.
Perkataan pertama: perkataan
hati. Dan itu ditujukan kepada dua pengertian:
Pertama: daging yang
berbentuk buah shanaubar, tertetak pada pinggir dada yang kiri. Yaitu: daging
khusus. Dan didalamnya ada lobang. Dalam lobang itu darah hitam. Itulah sumber
nyawa dan tambangnya. Dan kami tidak bermaksud sekarang menguraikan bentuknya
dan caranya. Karena itu menyangkut dengan maksud dokter-dokter. Dan tiada
menyangkut dengan maksud-maksud keagamaan. Hati itu ada pada hewan. Bahkan ada
pada orang mati. Dan apabila kami menyebutkan secara mutlak, perkataan hati
(al-qalb) dalam kitab ini, maka tidaklah kami maksudkan yang demikian. Karena
itu adalah sepotong daging, yang tidak berharga. Dan itu termasuk sebahagian
dari alam yang dapat diperintah dan dilihat (‘alamul-mulki wasy-syahadah),
karena hewanpun dapat mengetahuinya dengan pancaindra melihat, lebih-lebih lagi
manusia.
Kedua: yaitu: yang halus
(lathifah), ketuhanan (rabbaniyah), kerohanian (ruhaniyah). Dia dengan: hati
yang bertubuh (al-qalbi al-jismany) itu, mempunyai hubungan. Yang halus itu,
ialah hakikat manusia. Dialah yang merasa, yang mengetahui, dan mengenal, dari
manusia. Dialah yang ditujukan dengan pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci
dan yang dicari. Ia mempunyai hubungan dengan hati yang bertubuh. Akal
kebanyakan manusia, heran untuk mengetahui cara hubungannya. Karena hubungannya
itu menyerupai, hubungan sifat (‘aradl) dengan tubuh (jisim). Hubungan sifat
dengan yang bersifat (maushuf). Atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Atau
hubungan orang bertempat dengan tempatnya. Dan menguraikan yang demikian itu,
termasuk apa yang kami takuti, karena dua pengertian:
Pertama: bahwa yang demikian
itu menyangkut dengan Ilmu Mukasyafah. Dan tidaklah maksud kami dari Kitab ini,
selain: Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya
hendaklah diamalkan).
Kedua: bahwa mencari
hakikatnya itu meminta disiarkan rahasia roh (nyawa). Dan yang demikian itu
termasuk hal yang tidak diperkatakan oleh Rasulullah saw. Maka tidaklah bagi
orang lain, bahwa memperkatakannya. Yang dimaksudkan: bahwa apabila kami
menyebutkan perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka yang kami maksudkan,
ialah: yang halus (lathifah) itu. Dan maksud kami, ialah menyebutkan
sifat-sifat dan keadaannya, bukan menyebutkan hakikatnya pada zatnya. Dan Ilmu Mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) itu
menghendaki mengenal sifat-sifat dan keadaannya. Dan tidak menghendaki kepada
menyebutkan hakikatnya.
Perkataan kedua: nyawa
(ruh). Dan juga ditujukan pada yang menyangkut, dengan jenis maksud kami,
karena dua pengertian:
Pertama: tubuh halus (jisim
lathif). Sumbernya itu lobang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan
perantaraan urat-urat yang memanjang, ke segala bahagian tubuh yang lain.
Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan,
pendengaran dan penciuman daripadanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai
membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah.
Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebahagian dari rumah, melainkan
terus disinarinya. Dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding.
Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada
batin, adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan
digerakkan oleh penggeraknya. Dokter-dokter, apabila menyebutkan secara mutlak
perkataan: nyawa, maka yang dikehendaki oleh mereka, ialah: pengertian ini.
Yaitu: uap yang halus, yang dimasakkan oleh kepanasan al-qalb (hati). Dan tidaklah
uraiannya menjadi maksud kami. Karena yang menyangkut dengan itu, adalah maksud
dokter-dokter yang mengobati tubuh. Adapun maksud dokter-dokter agama, yang
mengobati hati, sehingga terbawa ke sisi Tuhan Semesta alam, tidaklah
sekali-kali menyangkut dengan uraian nyawa itu.
Pengertian kedua: yaitu:
yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah yang kami
uraikan tentang salah satu pengertian hati. Dan itulah yang dikehendaki oleh
Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Jawablah ! nyawa (roh) itu termasuk urusan
Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Dan itu adalah urusan ketuhanan yang
menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan ajal dan paham daripada mengetahui
hakikatnya.
Perkataan ketiga: nafas. Dia
juga bersekutu diantara beberapa pengertian. Dan yang menyangkut dengan maksud
daripadanya adalah dua pengertian:
Pertama: bahwa yang
dimaksudkan dengan yang demikian itu, ialah pengertian yang menghimpunkan bagi:
kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, sebagaimana akan datang
uraiannya. Pemakaian ini adalah yang biasa pada ahli tasawwuf. Karena mereka
maksudkan dengan nafas (nafsu) itu, ialah: pokok yang menghimpunkan sifat-sifat
tercela pada manusia. Lalu mereka berkata: tak boleh tidak melawan nafsu dan
menghancurkannya. Ke situlah isyaratnya sabda Nabi saw: “Musuhmu yang terbesar,
ialah nafsumu yang berada diantara dua lembungmu”.
Pengertian kedua: yaitu:
yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan di atas, dimana pada hakikatnya:
itulah manusia. Yaitu: diri manusia dan zatnya. Tetapi disifatkan dengan
bermacam-macam sifat, menurut bermacam-macam keadaannya. Apabila dia itu
tenang, dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan penantangan nafsu
syahwat, maka dinamakan: nafsu muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang). Allah
Ta’ala berfirman tentang contohnya: “Hai jiwa yang tenang tentram ! kembalilah
kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang
kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat 27-28. Jiwa (nafsu) dengan pengertian pertama,
tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dia itu menjauh
dari Allah. Dan dia itu termasuk golongan setan. Apabila tidak sempurna
ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat dan
penantangnya, maka dinamakan: nafsu lawwamah (jiwa yang mencela). Karena jiwa itu
mencela tuannya ketika teledor pada menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman: “Dan
Aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat
2. Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan tantangan, tunduk dan patuh, menurut
kehendak nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan: nafsu yang menurut
kepada yang jahat (an-nafsul-ammarah bis-suu-i). Allah Ta’ala berfirman,
menceritakan tentang Yusuf as atau isteri seorang pembesar (Mesir yang membujuk
Yusuf as): “Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk”. S 12 Yusuf ayat 53.
Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada
yang buruk itu, ialah: nafsu dengan pengertian pertama. Jadi, nafsu dengan
pengertian pertama itu, sangat tercela. Dan dengan pengertian kedua itu,
terpuji. Karena dia adalah nafsu (diri) manusia. Artinya: zat dan hakikatnya,
yang mengetahui Allah Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Perkataan keempat: akal. Itu
juga bersekutu dengan pengertian yang bermacam-macam, yang telah kami sebutkan
pada “Kitab Ilmu”. Dan yang menyangkut dengan maksud kami dari jumlah
pengertiannya, ialah dua pengertian:
Pertama: sesungguhnya,
kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: pengetahuan tentang
hakikat segala keadaan. Maka akal itu, ibarat dari sifat-sifat ilmu, yang
tempatnya hati.
Pengertian kedua:
sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: ialah
yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah: hati. Ya’ni: yang halus itu.
Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang yang berilmu, maka ia mempunyai wujud
pada dirinya. Yaitu: pokok yang berdiri dengan sendirinya. Dan ilmu itu suatu
sifat yang bertempat padanya. Dan sifat itu, bukan benda yang disifatkan.
Kadang-kadang akal itu ditujukan dan dimaksudkan: sifat orang yang berilmu. Dan
kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan: tempat pengetahuan. Yakni: yang
mengetahui. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Yang
pertama-tama dijadikan Allah, ialah akal”. Sesungguhnya ilmu itu sifat
(‘aradl), yang tidak tergambar bahwa dia itu makhluk pertama. Tetapi, tak boleh
tidak, bahwa adalah tempat itu, yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu.
Dan karena tidak mungkin ditujukan perkataan kepada ilmu. Pada hadits, Allah
Ta’ala berfirman kepada akal: “Menghadaplah !”. Lalu ia menghadap. Kemudian
Allah berfirman kepada akal: “Membelakanglah !”, lalu ia
membekalang........sampai akhir hadits. Jadi, sesungguhnya telah terbuka kepada
kita, bahwa pengertian nama-nama tersebut itu ada. Yaitu: hati-jismani (hati
yang terbentuk jisim), roh-jismani (berbentuk jisim), nafsu syahwat dan ilmu.
Maka inilah 4 pengertian yang ditujukan kepada 4 perkataan. Dan pengertian yang
ke-5, yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan
perkataan 4 itu keseluruhannya, banyak kali datang pemakaiannya kepada yang
halus itu. Maka pengertian itu 5 dan perkataannya 4. Tiap-tiap perkataan,
ditujukan kepada dua pengertian. Dan kebanyakan ulama, telah meragukan kepada
mereka, perbedaan kata-kata tersebut dan kebiasaan pemakaiannya. Maka anda akan
melihat mereka, memperkatakan tentang gurisan-gurisan hati (al-khawaathir). Dan
mereka mengatakan: ini gurisan akal, ini gurisan jiwa, ini gurisan hati dan ini
gurisan nafsu (diri). Dan orang yang memperhatikan, tiada akan tahu perbedaan
pengertian nama-nama itu. Dan untuk menyingkap tutupnya dari yang demikian itu,
kami telah dahulukan uraian nama-nama tersebut. Bilamana tersebut perkataan
hati dalam Alquran dan Sunnah, maka yang dimaksudkan, ialah: penguraian yang
dipahami dari manusia. Dan yang mengetahui hakikat segala sesuatu.
Kadang-kadang secara tidak langsung (dengan jalan kinayah), disebutkan tentang
hati itu, akan hati yang di dalam dada. Karena diantara yang halus itu dan
antara jisim hati, ada hubungan khusus. Dan yang halus itu, walaupun ada
sangkutannya dengan seluruh tubuh dan dipakai untuk seluruh tubuh, akan tetapi
ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan perantaraan hati. Maka sangkutannya
yang pertama, ialah dengan hati. Dan seolah-olah hati itu, tempatnya yang halus
tersebut, kerajaannya, alamnya dan binatang kendaraannya. Dan karena itulah,
Sahl At-Tusturi menyerupakan hati dengan ‘Arasy dan dada dengan Kursi. Ia
mengatakan: hati itu ialah ‘Arasy. Dan dada ialah Kursi. Dan tidak ada yang
menyangka, bahwa dia itu berpendapat, bahwa itu ‘Arasy Allah dan KursiNya.
Karena demikian itu mustahil. Tetapi ia bermaksud dengan demikian, bahwa hati
itu kerajaanNya dan saluran pertama untuk mengatur dan memperlakukannya. Maka
keduanya (hati dan dada) dibandingkan kepada manusia, adalah seperti ‘Arasy dan
Kursi dibandingkan kepada Allah Ta’ala. Dan juga penyerupaan ini tidak lurus,
kecuali dari beberapa segi. Dan juga uraian itu tidak layak dengan tujuan kita
sekarang. Maka dari itu, hendaklah kita lampaui saja.
PENJELASAN: tentara hati.
Allah Ta’ala berfirman:
“Tiadalah yang mengetahui tentara Tuhanmu, selain Ia sendiri”. S 74 Al
Muddatstsir ayat 31. Allah swt mempunyai tentara yang terkumpul banyak dalam
hati, dalam roh dan dalam alam-alam yang lain. Hanya Allah sendiri yang
mengetahui hakikatnya dan penguraian bilangannya. Dan kami sekarang
mengisyaratkan kepada sebahagian tentara hati. Maka itulah yang menyangkut
dengan maksud kami. Hati itu mempunyai dua tentara: tentara yang dapat dilihat
dengan mata kepala dan tentara yang tidak dapat dilihat, kecuali dengan mata
hati. Hati itu berkedudukan raja. Dan tentara itu berkedudukan pelayan dan
pembantu. Inilah arti tentara. Adapun tentara hati yang dapat disaksikan dengan
mata, ialah: tangan, kaki, mata, telinga, lidah dan anggota-anggota tubuh
lainnya, yang zahir dan yang batin. Semuanya itu pelayan hati dan yang bekerja
cuma-cuma untuk hati. Hatilah yang menggunakannya dan yang pulang pergi
kepadanya. Semua anggota itu dijadikan secara naluri patuh kepada hati. Tiada
sanggup menyalahinya dan mendurhakainya. Apabila hati menyuruh mata dibuka,
niscaya dia terbuka. Apabila hati menyuruh kaki bergerak, niscaya ia bergerak.
Apabila hati menyuruh lidah berkata-kata dan ia yakin akan hukum yang akan
diperkatakan, niscaya lidah itu berkata-kata. Dan begitulah dengan
anggota-anggota badan lainnya. Kepatuhan anggota-anggota tubuh dan pancaindra
kepada hati, dapat diserupakan dari segi kepatuhan para malaikat kepada Allah
Ta’ala. Sesungguhnya malaikat secara naluri itu patuh, tiada sanggup
menyalahiNya. Bahkan, mereka tiada mendurhakai Allah akan apa yang disuruh oleh
Allah. Mereka berbuat, apa yang disuruh. Hanya keduanya itu, berbeda pada satu
hal. Yaitu: bahwa para malaikat as itu, mengetahui dengan ketaatan dan
kepatuhannya. Dan pelupuk mata itu mematuhi hati tentang terbuka dan
tertutupnya, dengan jalan: terjadinya demikian (taskhir). Tiada berita baginya
dari dirinya dan dari kepatuhannya kepada hati. Sesungguhnya, hati itu memerlukan
kepada tentara tersebut, sebagaimana perlunya kepada kendaraan dan perbekalan
perjalanannya, yang karena itulah, dia dijadikan. Yaitu: perjalanan kepada
Allah swt dan dilampaui tempat-tempat untuk menemuiNya. Maka karena itulah,
hati itu dijadikan. Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku jadikan jin dan
manusia, melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepadaKu”. S 51 Adz
Dzaariyaat ayat 56. Sesungguhnya kendaraan hati itu tubuh. Dan perbekalannya
ilmu. Dan sesungguhnya sebab-sebab yang menyampaikannya kepada perbekalan dan
yang menetapkannya dari perbekalan itu ialah: amal shalih. Dan tidak mungkin
hamba itu sampai kepada Allah swt selama badannya tidak tenang. Dan ia tidak
melewati (meninggalkan) dunia. Sesungguhnya tempat yang terdekat –tak boleh tidak-
dilewati, untuk sampai ke tempat yang terjauh. Dunia adalah tempat bercocok
tanam bagi akhirat. Dan salah satu tempat petunjuk. Dinamakan dengan dunia,
karena dia itu yang terdekat dari dua tempat tersebut. Maka perlulah menyiapkan
perbekalan dari dunia (alam) ini. Maka badan itu, kendaraannya, yang
menyampaikannya kepada alam ini. Maka ia memerlukan kepada persiapan badan dan
memeliharakannya. Sesungguhnya badan itu dipelihara, dengan menarikkan
kepadanya makanan dll yang sesuai dengan dia. Dan menolak daripadanya,
sebab-sebab kebinasaan, yang meniadakan badan itu. Maka ia memerlukan kepada
dua tentara untuk menarik makanan itu. Yaitu: tentara batin, ialah: nafsu
syahwat dan tentara zahir, ialah: tangan dan anggota-anggota badan yang menarik
makanan. Maka dijadikan didalam hati, apa yang dihayatinya, dari
keinginan-keinginan. Dan dijadikan anggota-anggota badan yang menjadi alat
keinginan-keinginan itu. Maka diperlukan dua tentara untuk menolak bahaya yang
membinasakan: tentara batin. Yaitu: marah yang menolak segala yang membinasakan
dan menuntut balas dari musuh. Dan: tentara zahir, yaitu: tangan dan kaki,
dimana dengan tangan dan kaki itu dapat bekerja menurut kehendak marah. Semua
itu, dengan hal-hal yang diluar badan. Maka anggota-anggota dari badan itu,
adalah seperti alat senjata dan lainnya. Kemudian, orang yang memerlukan kepada
makanan, selama ia tidak mengenal makanan itu, niscaya tidak bermanfaat
kepadanya, keinginan dan kesukaan kepada makanan itu. Maka ia memerlukan kepada
dua tentara untuk mengenalnya: tentara batin. Yaitu: pancaindra pendengaran,
penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan lidah. Dan: tentara zahir,
yaitu: mata, telinga, hidung dll. Penguraian segi keperluan dan segi hikmah
padanya itu, panjang. Dan tidak sampai kepada banyak jilid. Dan telah kami
isyaratkan kepada bagian yang sedikit daripadanya, pada “Kitab Syukur”. Maka
hendaklah dicukupkan dengan itu !. Maka jumlah tentara hati itu, dihinggakan
oleh 3 jenis:
jenis pembangkit dan
pendorong. Adakalanya kepada penarikan yang bermanfaat, yang sesuai, seperti:
nafsu syahwat. Dan adakalanya kepada penolakan yang mendatangkan melarat, yang
tidak bermanfaat, seperti: marah. Kadang-kadang dikatakan tentang penggerak
itu: kemauan.
Jenis kedua, yaitu:
penggerak anggota badan untuk menghasilkan maksud-maksud itu. Dan dikatakan
tentang yang kedua ini: kekuasaan. Yaitu: tentara yang berkembang pada
anggota-anggota badan yang lain. Lebih-lebih sendi-sendi dan anggota-anggota
badan yang tumbuh pada sendi-sendi badan.
Jenis ketiga, yaitu: yang
mengetahui dan yang ingin mengenal semua perkara, seperti: mata-mata. Yaitu:
kekuatan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dengan lidah dan
penyentuhan. Dan itu berkembang pada anggota-anggota badan tertentu. Dan
disebutkan tentang ini: ilmu dan perasaan. Dan bersama masing-masing tentara
batini ini, ada tentara zahir. Yaitu: anggota-anggota badan yang tersusun dari:
lemak, daging, urat, darah dan tulang, yang menyediakan perkakas untuk tentara
itu. Maka sesungguhnya kekuatan menggenggam, ialah dengan anak-anak jari.
Kekuatan melihat dengan mata. Dan begitulah kekuatan-kekuatan lainnya. Kami
tidak memperkatakan tentang tentara zahir, yakni: anggota-anggota badan. Karena
dia termasuk ‘alamul-mulki was-syahadah. Dan yang kami perkatakan sekarang,
ialah: apa yang diperkuatkan dengan tentara-tentara yang tiada engkau
melihatnya. Jenis yang ketiga ini, ialah yang mengetahui keseluruhan ini, yang
terbagi kepada: yang menempati tempat-tempat zahiriah, yaitu: pancaindra yang
lima. Yakni: pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah dan
penyentuhan. Dan kepada: yang menempati tempat-tempat batiniah. Yaitu:
rongga-rongga otak. Dan itu juga lima. Maka sesungguhnya manusia, sesudah
melihat sesuatu itu, memejamkan kedua matanya. Maka ia memperoleh bentuknya
dalam dirinya. Yaitu: khayal. Kemudian bentuk itu kekal padanya, disebabkan
sesuatu yang menjagakannya. Yaitu: tentara penjaga. Kemudian, ia bertafakkur
pada yang dijagakannya. Lalu disusunnya sebahagian yang demikian, kepada yang
sebahagian. Kemudia ia mengingati apa yang telah dilupakannya dan ia kembali
kepadanya. Kemudian, dikumpulkannya sejumlah pengertian dari yang dirasakan,
dalam khayalannya, dengan perasaan yang bersekutu diantara yang dirasakan
dengan pancaindra itu. Dalam batin ada perasaan yang bersekutu, khayalan,
pemikiran, ingatan dan hafalan. Jikalau tidak dijadikan oleh Allah, kekuatan
hafalan, pikiran, ingatan dan khayalan, niscaya adalah otak itu kosong
daripadanya. Sebagaimana kosongnya tangan dan kaki daripadanya. Maka kekuatan-kekuatan
itu juga tentara batiniah dan tempatnya juga batiniah. Inilah segala macam
tentara hati ! uraiannya sehingga dapat diketahui oleh paham orang-orang yang
lemah dengan memberikan contoh-contoh itu akan panjang. Dan maksud kitab yang
seperti ini adalah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang kitab yang seperti ini
dan adalah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang kuat pemahamannya dan oleh
ulama-ulama yang terkemuka. Akan tetapi kami berusaha sungguh-sungguh untuk
memberi pengertian kepada orang-orang yang lemah, dengan mengemukakan
contoh-contoh, supaya yang demikian itu, mendekatkan kepada pemahaman mereka.
PENJELASAN: contoh-contoh
hati serta tentara batiniahnya.
Ketahuilah, bahwa dua
tentara: tentara marah dan tentara nafsu syahwat, kadang-kadang keduanya tunduk
kepada hati dengan sempurna. Lalu yang demikian itu dapat menolong hati kepada
jalan yang akan ditempuhnya. Dan baguslah pengawanan keduanya dalam perjalanan
yang dilaksanakan oleh hati. Kadang-kadang keduanya (tentara marah dan nafsu syahwat)
itu mendurhakai hati dengan memberontak dan menantang. Sehingga keduanya itu
memiliki hati dan memperbudakkannya. Pada yang demikianlah, kebinasaan dan
terputusnya hati dari perjalanannya, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan
abadi. Dan hati mempunyai tentara lain, yaitu: ilmu, hikmah kebijaksanaan dan
pemikiran, sebagaimana akan datang uraiannya. Dan menjadi hak hati untuk
meminta pertolongan pada tentara ini. Sesungguhnya tentara ini adalah tentara
Allah Ta’ala (hizbullah) terhadap dua tentara yang tersebut diatas.
Sesungguhnya dua tentara tadi, kadang-kadang berhubungan dengan tentara setan.
Kalau hati itu tidak meminta pertolongan dan tentara marah dan nafsu syahwat
menguasai atas dirinya, niscaya hati itu pasti binasa dan memperoleh kerugian yang
nyata. Begitulah keadaan kebanyakan makhluk manusia. Akal pikirannya tunduk
kepada nafsu syahwatnya dalam mencari daya upaya memenuhi nafsu syahwat itu.
Dan adalah seyogyanya bahwa nafsu syahwat itu tunduk kepada akal pikirannya,
mengenai sesuatu yang diperlukan oleh akal pikiran. Kami akan mendekatkan yang
demikian kepada pemahaman anda dengan 3 contoh:
Contoh pertama: kami
berkata: bahwa jiwa manusia dalam tubuhnya kami maksudkan jiwa halus yang
tersebut dahulu, adalah seperti raja dalam kota dan kerajaannya. Sesungguhnya
tubuh itu kerajaan jiwa (nafsu), alamnya, tempat ketetapannya dan kotanya. Dan
anggota-anggota tubuh dan kekuatannya adalah seperti tukang-tukang dan
pekerja-pekerja. Dan kekuatan ‘aqliah yang berpikir baginya itu adalah,
seperti: penunjuk yang menasehati dan menteri yang berakal pikiran. Nafsu
syahwatnya adalah seperti budak jahat, yang menghela makanan dan makanan
simapanan (al-mirah) ke kota. Kemarahan dan kepanasah hati karena kemarahan itu
adalah seperti orang yang mempunyai polisi. Dan budak yang menghela makanan
al-mirah itu pembohong, pengicuh, penipu yang keji, yang membentuk dirinya
dengan bentuk penasehat. Dan dibawah nasehatnya itu kejahatan yang menakutkan
dan racun yang membunuh. Sifat dan kebiasaannya itu bertentangan bagi menteri
yang menasehati dalam semua pendapat dan pengaturannya. Sehingga tidak terlepas
sesaatpun daripada perlawanan dan penantangannya. Sebagaimana raja dalam
kerajaannya, apabila ia merasa cukup dalam pengaturannya dengan menterinya dan
ia bermusyawarah dengan menterinya itu dan menolak isyarat budak yang keji
tadi, berdalilkan dengan isyaratnya, bahwa yang benar adalah yang berlawanan
dengan pendapat budak itu, niscaya raja itu telah dituntun oleh kepala
polisinya dan bertindak bijaksana bagi menterinya. Ia menjadikan menterinya
tempat musyawarahnya, yang berkuasa dari pihaknya terhadap budak yang keji itu,
pengikut-pengikutnya dan pembantu-pembantunya. Sehingga budak itu disiasati,
tidak menyiasati, disuruh dan diatur, tidak menyuruh dan mengatur. Luruslah
urusan negeri raja tersebut. Dan dengan sebab demikian, teraturlah keadilan.
Maka begitulah an-nafs (diri), manakala ia meminta tolong pada akal dan
memperoleh tuntunan dengan penjagaan marah. Dan an-nafs itu menguasakan
kekerasan marah atas keinginan (syahwat). Dan meminta tolong dengan yang satu
kepada yang lain. Sekali dengan menyedikitkan derajat marah dan meluap-luapnya
dengan menantang syahwat (keinginan) dan menaikkannya setingkat ke setingkat.
Dan sekali dengan mencegah dan memaksakan syahwat dengan berkuasanya marah
kepanasan hati kepadanya. Dan memandang keji kehendak-kehendak syahwat itu.
Niscaya berlaku adillah semua kekuatan diri (an-nafs) dan baguslah
tingkah-lakunya. Orang yang berpaling dari jalan ini, adalah seperti orang yang
difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Adakah engkau lihat orang yang mengambil
keinginan (nafsunya) menjadi tuhannya ? dan Allah membiarkannya sesat menurut
pengetahuan”. S 45 Al Jaatsiah ayat 23. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menurutkan
kemauan hawa nafsunya. Perumpamaannya sebagai anjing: kalau engkau halau,
diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan saja, diulurkannya juga
lidahnya”. S 7 Al A’raaf ayat 176. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman tentang
orang yang mencegah nafsunya dari keinginan hawa nafsu: “Dan adapun orang yang
takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan menahan nafsunya (dirinya) dari
keinginan yang rendah (hawa nafsu). Sesungguhnya sorga tempat kediamannya”. S
79 An Naazi’aat ayat 40-41. Dan akan datang cara perjuangan tentara-tentara
tersebut dan cara sebahagian daripadanya menguasai akan sebahagian yang lain
pada “Kitab Latihan Diri” insya Allah Ta’ala.
Contoh kedua: ketahuilah
bahwa tubuh itu seperti kota. Dan akal. Yakni: yang mengetahui dari manusia
adalah seperti raja, yang mengatur kota itu. Kekuatan manusia yang mengetahui,
yang terdiri dari pancaindra zahiriah dan batiniah, adalah seperti tentaranya
dan pembantu-pembantunya. Anggota badannya adalah seperti rakyatnya. Nafsu yang
menyuruh kepada kejahatan (nafsu ammarah), ialah nafsu syahwat. Dan amarah
adalah seperti musuh yang menantangnya dalam kerajaannya. Dan yang berusaha
membinasakan rakyatnya. Maka jadilah badannya seperti pasukan dan benteng. Dan
nafsunya seperti orang yang menetap dalam benteng, yang menjaga pasukan. Kalau
ia berjuang menghadapi musuhnya dapat menghancurkan dan memaksakan musuh itu
menurut keinginannya, niscaya akibatnya terpuji, apabila ia kembali ke hadirat
Tuhan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “......dan orang-orang
yang berjuang di jalan Allah, dengan harta dan dirinya. Allah melebihkan
tingkatan orang-orang yang berjuang dengan harta dan dirinya dari orang-orang
yang tinggal duduk”. S 4 An Nisaa’ ayat 95. Kalau ia menghilangkan bentengnya
dan menyia-nyiakan rakyatnya, niscaya tercelalah akibatnya. Maka ia dituntut
balas dari perbuatan tersebut di sisi Allah Ta’ala. Dikatakan kepadanya pada
hari kiamat: “Hai pemimpin jahat ! engkau makan daging dan minum susu. Engkau
tidak mengembalikan benda yang hilang dan tidak menampalkan yang pecah. Pada
hari ini, engkau dituntut balas, sebagaimana tersebut pada hadits. Kepada jihad
(perjuangan) inilah, yang ditujukan oleh sabda Nabi saw: “Kita kembali dari
jihad (perjuangan) kecil kepada perjuangan besar”.
Contoh ketiga: akal itu
seperti pengendara kuda, yang pergi berburu. Nafsu syahwatnya adalah seperti
kudanya. Dan marahnya adalah seperti anjingnya. Manakala pengendara kuda itu
cerdik, kudanya terlatih dan anjingnya terdidik, diberi ajaran, niscaya
layaklah ia memperoleh kemenangan. Dan manakala ia sendiri tidak pandai
bekerja, kudanya liar melawan dan anjingnya buas, lalu kudanya tidak bangun
mematuhi perintahnya dan anjingnya tidak dilepaskan dengan mematuhi
petunjuknya, maka layaklah ia mendapat kebinasaan. Lebih-lebih lagi daripada ia
mencapai apa yang dicarinya. Tidak pandainya bekerja pengendara kuda itu,
adalah seperti bodohnya manusia. Kurang kebijaksanaannya dan tumpul
pandangannya. Dan melawannya kuda itu adalah seperti kerasnya nafsu syahwat,
lebih-lebih syahwat perut dan kemaluan. Dan buasnya anjing itu adalah seperti
kerasnya dan berkuasanya kemarahan. Kita bermohon kepada Allah akan taufiq yang
baik dengan kasih sayangNya !
PENJELASAN: kekhususan hati
insan.
Ketahuilah, bahwa sejumlah
apa yang telah kami sebutkan itu, telah dianugerahkan oleh Allah kepada semua
hewan, selain dari anak Adam. Karena, hewanpun mempunyai nafsu syahwat,
kemarahan, pancaindra yang zahir dan yang batin. Sehingga seekor kambing yang
melihat serigala dengan matanya, maka ia tahu dengan hatinya akan permusuhannya
dengan serigala itu. Lalu larilah ia daripadanya. Maka yang demikian itu,
adalah pengetahuan batin (al-idrakul-bathin). Maka marilah kami sebutkan yang
khusus hati manusia dengan itu. Dan karenanya, besarlah kehormatan manusia dan
berhak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Yaitu: kembali kepada ilmu dan kemauan
(iradah). Ilmu, ialah: mengetahui segala urusan dunia dan akhirat serta segala
hakikat yang berhubungan dengan akal (haqaiq-‘aqliyah). Ini semuanya adalah
urusan diluar yang dirasakan dengan pancaindra. Dan hewan tidak bersekutu
dengan manusia padanya. Bahkan segala pengetahuan yang meliputi keseluruhan,
yang dlaruri, adalah hal-hal yang khusus bagi akal. Karena manusia menetapkan,
bahwa tidak tergambar pada pikiran, orang seorang berada pada dua tempat pada
satu keadaan. Dan ketetapan ini berlaku kepada semua orang. Sebagai dimaklumi,
bahwa tidak dapat diketahui dengan pancaindra, selain oleh sebahagian orang.
Maka menetapkannya kepada semua orang, adalah melebihi dari apa yang dapat
diketahui oleh pancaindra. Apabila ini telah dipahami pada ilmu zahir dlaruri,
maka lebih terang lagi pada ilmu nadhari (yang merupakan teori-teori,
memerlukan kepada dalil). Tentang kemauan, sesungguhnya apabila dapat diketahui
dengan akal, akan akibatnya sesuatu dan jalan memperbaikinya, niscaya
tergeraklah daripadanya keinginan untuk memperbaiki, mencari sebab-sebabnya dan
berkemauan untuk yang demikian. Dan yang demikian itu, selain dari kemauan
nafsu syahwat dan kemauan hewan. Bahkan adalah berlawanan dengan nafsu syahwat.
Karena nafsu syahwat (keinginan) itu lari dari berbetik dan berbekam, sedang
akal menghendaki, meminta dan menyerahkan harta untuk yang demikian. Nafsu
syahwat itu condong kepada makanan-makanan enak pada waktu sakit. Dan orang
yang berakal memperoleh pada dirinya menolaknya. Dan yang demikian itu bukanlah
penolakan nafsu syahwat. Jikalau dijadikan oleh Allah, akal yang mengetahui
akibat segala hal dan tidak dijadikanNya pembangkit ini, yang menggerakkan
semua anggota, menurut ketetapan akal, niscaya dengan sebenarnya ketetapan
(hukum) akal itu lenyap (hilang). Jadi, hati insan itu terkhusus dengan ilmu
dan kemauan, yang terlepas hewan yang lain daripadanya. Bahkan juga anak kecil,
terlepas daripadanya pada permulaan lahirnya. Dan baru datang yang demikian
itu, sesudah dewasa (baligh). Adapun nafsu syahwat, kemarahan dan pancaindra
zahiriah dan batiniah, maka sesungguhnya itu terdapat pada anak kecil. Kemudian
pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu mempunyai dua tingkat:
Tingkat pertama: bahwa
hatinya anak kecil itu melengkapi kepada ilmu dlaruri pertama yang lain.
Seperti: ilmu tentang mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya segala
yang jawaz yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada
tingkat ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat
kemungkinannya dan dekat keberhasilannya. Adalah keadaan anak kecil itu, dengan
dihubungkan kepada ilmu pengetahuan, seperti halnya seorang penulis, yang tidak
mengenal dari hal penulisan, selain tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang
tidak bersusun. Ia sudah mendekati kepada penulisan. Dan belum lagi sampai ke
sana.
Tingkat kedua: bahwa
berhasil bagi anak kecil itu ilmu pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman
dan pemikiran. Maka ilmu pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau
ia mau, niscaya ia kembali kepadanya. Dan halnya itu sama dengan halnya orang
yang pandai menulis. Karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak
langsung menulis, disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu. Inilah tujuan
penghabisan derajat insaniyah. Akan tetapi pada derajat ini terdapat
tingkat-tingkat yang tak terhingga jumlahnya, yang berlebih-kurang manusia
padanya, disebabkan banyak dan sedikitnya pengetahuan memperolehnya. Karena
sebahagian hati berhasil ilmu pengetahuan itu, dengan ilham ketuhanan, diatas
jalan mendatangkannya (mubadaah) dan membukakannya (mukasyafah). Dan sebahagian
mereka, memperolehnya dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera
berhasil dan kadang-kadang lambat berhasil. Pada maqam (kedudukan) ini,
berbeda-bedalah tingkat para ulama, hukama (para ahli hikmat atau filosuf),
nabi-nabi dan wali-wali. Maka tingkat meningginya tidak terhingga padanya.
Karena ilmu Allah swt tidak berkesudahan. Dan tingkat yang tertinggi, ialah
tingkat nabi, yang terbuka baginya tiap-tiap hakikat atau yang terbanyak dari
hakikat itu, tanpa usaha dan pemberatan diri. Akan tetapi dengan pembukaan
ketuhanan dalam waktu yang sangat segera. Dengan kebahagiaan ini, seorang hamba
Allah mendekati Allah, dengan arti, hakikat dan sifat. Tidak dengan tempat dan
jarak jauhnya. Tempat pendakian tingkat-tingkat ini, ialah tempat-tempat orang
yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan tak ada hingganya tempat-tempat itu.
Sesungguhnya masing-masing orang yang berjalan itu, tahu akan tempatnya yang
menyampaikannya dalam perjalanannya. Maka ia mengetahui tempat itu dan
mengetahui tempat-tempat di belakangnya. Adapun yang dihadapannya, maka
tidaklah sampai hakikat pengetahuannya. Akan tetapi kadang-kadang ia
membenarkan yang dihadapan itu, karena beriman kepada yang ghaib, sebagaimana
kita beriman kepada kenabian dan nabi. Dan membenarkan adanya. Akan tetapi
tiada yang mengetahui hakikat kenabian, selain nabi sendiri. Sebagaimana anak
dalam kandungan (janin) tiada mengetahui keadaan anak kecil. Dan anak kecil
tiada mengetahui keadaan anak yang akan dewasa (al-mumayyiz) dan pengetahuan
dlaruri yang terbuka baginya. Anak yang akan dewasa tiada mengetahui keadaan
orang yang berakal dan pengetahuan nadhari yang diusahakannya. Maka seperti itu
pulalah orang yang berakal (‘aqli) tiada mengetahui segala macam kelebihan
lemah-lembut dan rahmatnya Allah, yang dibuka oleh Allah kepada wali-wali dan
nabi-nabiNya. Barang apapun rahmat yang dibuka oleh Allah kepada manusia, maka
tiada yang menahannya. Rahmat itu diberikan, disebabkan kemurahan dan kemuliaan
Allah swt, tiada kikir kepada seorangpun. Tetapi sesungguhnya jelas yang
demikian dalam hati yang mencari pemberian rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi saw: “Sesungguhnya pada hari-hari masamu, Tuhanmu
mempunyai pemberian-pemberian. Mengapa kamu tidak datang mengambilnya ?”.
Datang mengambil pemberian itu, ialah dengan membersihkan dan mensucikan hati
dari kekejian dan kekotoran yang diperoleh daripada budi pekerti tercela,
sebagaimana akan datang penjelasannya. Kepada kemurahan inilah disyaratkan
dengan sabda Nabi saw: “Tiap-tiap malam (rahmat) Allah turun ke langit dunia.
Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Adakah orang yang berdoa, supaya Aku perkenankan
doanya ?”. Dan dengan sabda Nabi saw sebagai hikayah daripada Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Telah lamalah rindunya orang-orang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan
Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka”. Dan dengan sabda Nabi saw:
“Barangsiapa mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta”. Semua
itu isyarat, bahwa cahaya ilmu tidak terdinding (terhijab) dari hati, karena
kikir dan larangan dari pihak Yang Memberi nikmat. Maha Suci Ia dari sifat
kikir dan melarang. Akan tetapi cahaya ilmu itu terdinding karena kekejian,
kekotoran dan kesibukan dari pihak hati itu sendiri. Sesungguhnya hati itu
seperti bejana (tempat air). Selama masih penuh dengan air, maka tidak dimasuki
udara. Maka hati yang disibukkan oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh
ma’rifah (mengenal) keagungan Allah Ta’ala. Kepada inilah diisyaratkan dengan
sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam
(manusia), niscaya mereka dapat memandang ke alam malakut yang tinggi”. Dari
keseluruhan ini, teranglah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu dan hikmah. Dan
yang termulia, dari segala macam ilmu itu, ialah: ilmu mengenai Allah,
sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya). Maka dengan itulah kesempurnaan
manusia. Dan pada kesempurnaannya itu kebahagiaan dan kepatutannya di sisi
Tuhan Yang Maha Agung dan Mahasempurna. Maka tubuh manusia itu tersusun untuk
jiwa dan jiwa itu tempat ilmu. Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya,
yang karena ilmulah, manusia itu dijadikan. Sebagaimana kuda bersekutu dengan
keledai tentang kuatnya membawa beban dan khusus bagi kuda dengan kuatnya lari
mengejar musuh dan berlarian serta bagusnya bentuk, maka adalah kuda itu
dijadikan karena kekhususan tersebut. Kalau hal khusus itu kosong, niscaya
turunlah kuda itu ke lembah tingkatan keledai. Begitupulalah manusia ! ia
bersekutu dengan keledai dan kuda pada beberapa hal. Dan ia berbeda dari
keduanya dalam beberapa hal, yang menjadi kekhususannya. Kekhususan itu
setengah dari sifat-sifat malaikat yang dekat di sisi Tuhan Semesta alam. Dan
manusia dalam kedudukannya, adalah diantara hewan dan malaikat. Sesungguhnya
manusia itu dari segi ia makan dan berketurunan, adalah tumbuh-tumbuhan. Dan
dari segi ia merasa dan bergerak dengan kemauan sendiri (ikhtiar), adalah
hewan. Dan dari segi bentuk dan tegaknya, maka adalah seperti bentuk yang
diukir pada dinding tembok. Dan kekhususannya, ialah: mengetahui hakikat segala
sesuatu. Maka barangsiapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya
dengan cara meminta tolong untuk ilmu dan amal, maka ia telah serupa dengan
malaikat. Maka berhaklah ia dihubungkan dengan para malaikat. Dan layaklah
dinamakan: malaikat dan rabbani (orang yang dekat dengan Tuhan), sebagaimana
diterangkan oleh Allah tentang sifat-sifat Yusuf as dengan firmanNya: “Ini
bukan manusia, tetapi ini malaikat yang mulia”. S 12 Yusuf ayat 31. Barangsiapa
berbuat dengan kemauannya untuk menuruti kesenangan badaniah, ia makan seperti
hewan makan, maka ia telah turun ke lembah yang sejajar dengan hewan. Ia
menjadi bebal seperti: sapi atau rakus seperti: babi, atau menjilat seperti:
anjing atau kucing, atau pendengki seperti: unta, atau takabur seperti: harimau
atau penipu seperti: pelanduk atau mengumpulkan sifat-sifat tadi semuanya,
seperti: setan durhaka. Tiap-tiap anggota tubuh dan pancaindra manusia, dapat
dan mungkin diminta tolong untuk menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada
Allah Ta’ala. Sebagaimana akan datang penjelasan sebahagian daripadanya pada
“Kitab Syukur”. Barangsiapa menggunakan anggota tubuh dan pancaindranya pada
jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan barangsiapa
berpaling daripadanya, maka merugi dan kecewa. Keseluruhan kebahagiaan pada
yang demikian, ialah bahwa menjadikan bertemu dengan Allah Ta’ala itu
tujuannya. Negeri akhirat itu tempat ketetapannya. Dunia itu tempat tinggalnya.
Tubuhnya itu kendaraannya. Dan anggota badannya itu pelayan-pelayannya. Maka
tetaplah ia, yakni: yang mengetahui dari manusia itu, dalam hati yang berada di
tengah-tengah kerajaannya, seperti: raja. Berlakulah kekuatan khayalan
(imajinasi) yang tersimpan pada depan otak, sebagai pengurus posnya. Karena
semua berita yang diketahui dengan pancaindra, terkumpul padanya. Berlakulah
kekuatan penjaga yang tempatnya diujung otak, sebagai penjaga gudangnya.
Berlakulah lidah sebagai juru bahasanya. Berlakulah anggota badan yang
bergerak, sebagai juru tulis-juru tulisnya. Dan berlakulah pancaindra yang 5
sebagai mata-matanya. Maka ia mewakilkan kepada masing-masing pancaindra itu,
menyampaikan berita-berita yang terjadi dari semua penjuru. Ia mewakilkan kepada
mata, mengenai dunia warna. Kepada pendengaran, mengenai dunia suara. Kepada
penciuman, mengenai dunia bau-bauan. Dan begitulah pula yang lain-lain.
Semuanya mempunyai berita yang dipetiknya dari dunia-dunia itu. Dan
disampaikannya kepada kekuatan khayalan, yang seolah-olah ia seperti: pengurus
pos. Dan pengurus pos itu menyerahkannya kepada: penjaga gudang. Dialah yang
menjaga. Oleh pengurus gudang itu, disampaikannya kepada raja. Lalu raja itu
mengambil apa yang diperlukannya pada mengatur kerajaannya dan menyempurnakan
perjalanannya yang menjadi tujuannya. Dan mencegah musuhnya yang membahayakan
dan menolak perampok-perampok di jalanan. Apabila manusia itu telah berbuat
demikian, niscaya ia memperoleh taufiq, berbahagia dan bersyukur kepada nikmat
Allah. Apabila ia kosong dari keseluruhannya ini atau dipergunakannya, akan
tetapi untuk memelihara musuhnya, yaitu: nafsu syahwat, kemarahan dan hal-hal
lain yang segera keuntungannya atau pada pembangunan jalannya, tidak
pembangunan tempat tinggalnya, karena dunia itu jalan yang dilaluinya, sedang
tanah air dan tempat ketetapannya, ialah akhirat, niscaya orang tersebut
memperoleh kehinaan, celaka, mengingkari nikmat Allah, menyia-nyiakan tentara
Allah ta’ala, menolong musuh-musuh Allah dan menghina barisan Allah. Maka
berhaklah ia dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan di akhirat.
Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian. Dengan contoh yang kami
kemukakan tadi, diisyaratkan oleh Ka’bul Ahbar, dimana ia berkata: “Aku datang
kepada ‘Aisyah lalu aku berkata: “Manusia, dua matanya itu pemberi petunjuk.
Kedua telinganya itu corong. Lidahnya itu juru bahasa. Kedua tangannya itu
sayap. Kedua kakinya itu pos. Dan hatinya itu raja. Apabila raja itu baik,
niscaya baiklah tentara-tentaranya”. Lalu ‘Aisyah menyahut: “Begitulah aku
mendengar Rasulullah saw bersabda”. Ali ra berkata tentang memberi contoh hati:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai tempat-tempat air (bejana) di bumiNya.
Yaitu: hati. Maka hati yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala, ialah: yang
paling halus, yang paling bersih dan yang paling keras. Kemudian Ali ra
menafsirkannya dengan mengatakan: “Paling kerasnya hati itu mengenai agama,
paling bersihnya mengenai keyakinan. Dan paling halusnya kepada
saudara-saudara. Itulah yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:
“.......bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang yang tidak beriman,
bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Firman Allah
Ta’ala: “Perumpamaan cahaya Tuhan itu sebagai sebuah lobang, yang di dalamnya
pelita”. S 24 An Nur ayat 35. Ubai bin Ka’ab ra berkata: “Artinya seperti
cahaya orang mu’min dan hatinya”. Dan firman Allah Ta’ala: “Atau (keadaan
mereka) sebagai kegelapan di laut yang dalam”. S 24 An Nur ayat 40. Itu adalah
seperti hati orang munafiq. Zaid bin Aslam berkata tentang firman Allah Ta’ala:
“Dalam batu tulis yang terpelihara baik”. S 85 Al Buruuj ayat 22. Yaitu: hati
orang mu’min. Sahl berkata: “Hati dan dada itu adalah seperti: ‘Arasy dan
Kursi. Itulah contoh-contoh hati itu !
PENJELASAN: kumpulan
sifat-sifat hati dan contoh-contohnya.
Ketahuilah, bahwa manusia
itu tentang kejadian dan susunan badannya, tersertakan: 4 campuran. Maka dari
itu, berkumpullah pada manusia: 4 sifat. Yaitu: sifat kebuasan, sifat
kebinatangan, sifat kesetanan dan sifat ketuhanan. Bila manusia itu dikuasai
oleh sifat kemarahan, maka ia melakukan perbuatan-perbuatan binatang buas,
yaitu: permusuhan, kemarahan dan serangan terhadap manusia lain dengan pukulan
dan makian. Sekiranya manusia itu dikuasai oleh nafsu syahwat, maka ia
melakukan perbuatan-perbuatan hewan. Yaitu: kerakusan, kelobaan, kesangatan
nafsu syahwat dll. Sekiranya manusia itu ada pada dirinya urusan ketuhanan
(amrun-rabbaniyyun), sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Jawablah: Ruh
itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85, maka manusia itu
mendakwakan bagi dirinya sifat rububiyah (sifat ketuhanan). Ia ingin kekuasaan,
ketinggian, kekhususan, ketangan-besian dalam semua urusan, kesendirian menjadi
kepala, keterlepasan dari belenggu perbudakan dan kerendahan. Ia ingin
mengetahui semua ilmu. Bahkan mendakwakan dirinya mempunyai ilmu, ma’rifah dan
menguasai hakikat segala urusan. Ia senang apabila dikatakan berilmu dan susah
apabila disebutkan bodoh. Mengetahui semua hakikat dan menguasai dengan paksaan
terhadap semua makhluk itu, termasuk sifat ketuhanan. Dan pada manusia ada
keinginan kepada yang demikian. Dan dari segi manusia itu mempunyai sifat
khusus, dapat membedakan segala sesuatu, dibandingkan dengan hewan, disamping
manusia dan hewan itu sama-sama mempunyai sifat marah dan nafsu syahwat, yang
menghasilkan sifat kesetanan, maka manusia itu menjadi jahat. Ia menggunakan
sifat dapat membedakan segala sesuatu, untuk memikirkan cara-cara kejahatan.
Dan ia sampai kepada maksud dengan tipuan, helah dan tipu daya. Dan ia lahirkan
kejahatan dalam bentuk tontonan kebajikan. Inilah budi pekerti setan-setan !
pada semua manusia terdapat campuran pokok-pokok yang 4 ini. Yakni: rabbaniyah,
(sifat ketuhanan), kesetanan, kebuasan dan kebinatangan. Semuanya terkumpul
dalam hati. Maka seolah-olah yang terkumpul pada kulit manusia itu, ialah:
babi, anjing, setan dan ahli fikir. Babi, yaitu: nafsu syahwat. Sesungguhnya
babi itu tidaklah tercela karena warnanya, bentuknya dan rupanya. Akan tetapi,
karena rakusnya, dahaganya dan lobanya. Dan anjing itu ialah: marah.
Sesungguhnya, binatang buas yang menerkam dan anjing yang galak, tidaklah dia
itu anjing dan binatang buas, dipandang dari rupa, warna dan bentuk. Akan
tetapi jiwa arti kebuasan itu, penerkaman, permusuhan dan kegalakan. Dan dalam
batin manusia itu, terdapat kebuasan binatang buas dan kemarahannya, kerakusan
babi dan kelobaannya. Maka babi itu, dengan sifat kelobaan, mengajak kepada
kekejian dan kemungkaran. Dan binatang buas itu, dengan sifat kemarahan,
mengajak kepada kezaliman dan menyakitkan orang. Dan setan itu selalu
menggerakkan nafsu syahwat babi dan kemarahan binatang buas. Dan digerakkannya
yang satu dengan yang lain. Dan baguslah bagi babi dan binatang buas itu apa
yang menjadi sifat nalurinya. Ahli fikir (ahli hikmat) yang menjadi contoh bagi
akal itu, disuruh untuk menolak godaan dan tipuan setan, dengan membuka
tipuannya dengan pandangan hati yang tembus dan cahayanya yang cemerlang
terang. Dan memecahkan kerakusan babi itu, dengan penguasaan anjing atas babi
itu. Karena dengan kemarahan, dapat dipecahkan bergelagaknya nafsu syahwat. Dan
ditolak kegalakan anjing dengan penguasaan babi atas anjing. Dan dijadikan
anjing itu, terpaksa tunduk di bawah kebijaksanaan babi. Kalau diperbuat yang
demikian dan dikuasainya, maka luruslah urusan dan lahirlah keadilan dalam
kerajaan tubuh. Dan berjalanlah semua di atas jalan yang lurus. Dan jikalau
lemah daripada memaksakannya, maka mereka itu yang memaksakannya dan
mempergunakannya. Lalu senantiasalah memikirkan daya upaya dan menghaluskan
pemikiran, untuk mengenyangkan babi dan menyenangkan anjing. Maka selalulah ia
menyembah anjing dan babi. Inilah keadaan kebanyakan manusia, manakala
kebanyakan cita-cita mereka itu perut, kemaluan dan berlomba-lomba dengan
musuh. Yang heran, bahwa ia menantang kepada penyembah-penyembah berhala, akan
penyembahan mereka itu kepada batu. Jikalau terbuka tutup daripadanya,
dibukakan keadaannya yang sebenarnya dan diberi contoh kepadanya akan hakikat
keadaannya itu, sebagaimana diberi contoh kepada orang-orang yang memperoleh
mukasyafah (terbuka hijab), adakalanya dalam tidur atau pada waktu juga,
niscaya ia melihat akan dirinya, patuh dihadapan babi. Sekali ia sujud kepada
babi itu. Dan pada kali yang lain, ia ruku’ kepadanya. Menunggu petunjuk dan
perintahnya. Maka manakala babi itu bergerak untuk meminta sesuatu dari
keinginannya, niscaya dengan cepat ia bangun untuk melayani dan mendatangkan
keinginan babi itu. Atau ia melihat akan dirinya patuh dihadapan anjing galak,
menyembah anjing itu. Patuh dan mendengar apa yang dikehendaki dan diminta oleh
anjing tadi. Memutar pikiran dengan daya upaya untuk sampai kepada mematuhinya.
Dengan demikian, ia berusaha menyenangkan setannya. Sesungguhnya ia yang
menggerakkan babi dan membangunkan anjing. Ia yang membangunkan anjing dan babi
itu untuk melayani setan. Maka dari segi ini, ia menyembah setan, dengan
menyembah anjing dan babi. Maka hendaklah semua hamba Allah itu memperhatikan
geraknya, dan tetapnya, diamnya dan bicaranya, tegaknya dan duduknya ! dan
hendaklah ia memandang dengan mata hati ! maka ia tidak melihat –kalau ia
menginsyafi akan dirinya –selain ia berusaha sepanjang hari, menyembah yang
tersebut itu. Inilah penganiayaan yang paling penghabisan ! karena pemilik
dijadikannya, yang dimiliki. Pemimpin dijadikannya yang dipimpin. Tuan
dijadikannya budak. Dan yang berkuasa dijadikannya yang dikuasai. Karena
akallah yang berhak untuk menjadi tuan, yang dapat memaksa dan yang berkuasa.
Dan telah diperbuatnya akal itu untuk melayani yang 3 itu (anjing, babi dan
setan). Maka tak dapat dibantah, lantaran mematuhi yang 3 tadi, berkembanglah
dalam hatinya, sifat-sifat yang bertindis-lapis. Sehingga ia menjadi setempel
dan karat, yang membinasakan dan mematikan hati. Adapun mentaati babi nafsu
syahwat, maka timbullah daripadanya sifat kurang malu, keji, boros, kikir, ria,
rusak kehormatan, suka main-main, senda-gurau, loba, rakus, penjilat, dengki,
busuk-hati, suka memaki dll. Adapun mentaati anjing amarah, maka berkembanglah
daripadanya, kepada hati, sifat-sifat: membuta-tuli, semberono, angkuh, ingin
tinggi sebenang, kemarahan meluap-luap, takabur, membanggakan diri, suka
melecehkan orang, memandang ringan terhadap orang, penghinaan terhadap orang,
kemauan jahat, ingin berbuat kezaliman dll. Adapun mentaati setan, ialah:
dengan mengikuti nafsu syahwat dan kemarahan. Maka menghasilkan sifat mengicuh,
menipu, mencari dalil, tipu muslihat, berani babi, menipu, membuat contoh yang
tidak-tidak, menokoh, merusak, perkataan kotor dsb. Jikalau keadaan itu dibalik
dan semuanya dipaksakan di bawah kebijaksanaan sifat ketuhanan (sifat
rabbaniyah), niscaya tetaplah dalam hatinya sifat-sifat ketuhanan. Yaitu: ilmu,
hikmah, yakin, meliputi pengetahuannya tentang hakikat segala sesuatu, mengetahui
segala urusan menurut yang sebenarnya, menguasai atas tiap sesuatu, dengan
kekuatan ilmu, nur mata hati dan berhak tampil diatas makhluk, karena
kesempurnaan dan keagungan ilmu. Dan ia terlepas daripada perbudakan hawa nafsu
dan kemarahan. Dan berkembanglah sifat-sifat mulia, lantaran terkungkungnya
babi hawa nafsu dan kembalinya ke batas normal. Sifat-sifat mulia itu, seperti:
sifat menjaga diri, merasa cukup dengan yang ada, tenang, zuhud, wara’, taqwa,
lapang dada, bagus sikap, malu, ramah, bertolong-tolongan dsb. Dan dengan
mengekang kekuatan amarah, memaksakannya dan mengembalikannya ke batas yang
seharusnya, maka menghasilkan sifat: berani, dermawan, suka menolong, mengekang
nafsu, sabar, penyantun, memikul kewajiabn, pemaaf, tetap pendirian, hati
mulia, cerdik, berjiwa besar, dll. Maka hati adalah seperti cermin yang telah
diliputi oleh hal-hal yang membekas tadi. Bekas-bekas itu secara bersambung
akan sampai kepada hati. Adapun bekas-bekas yang terpuji yang sudah kami
sebutkan dahulu, maka akan menambah cemerlangnya cermin hati, bersinar,
cemerlang, nur dan terang. Sehingga cemerlanglah jelasnya kebenaran. Dan
terbukalah hakikat urusan yang dicari dalam agama. Kepada contoh hati inilah,
diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Apabilah dikehendaki oleh Allah kebajikan
pada seorang hamba, niscaya dijadikanNya orang itu memperoleh pelajaran dari
hatinya”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mempunyai juru nasehat dari
hatinya, niscaya ada penjaga daripada Allah kepadanya”. Hati ini ialah yang menetap
ingatannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah, bahwa dengan
mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Adapun
bekas-bekas yang tercela, adalah seperti: asap yang menggelapkan, yang naik
kepada kaca hati. Dan senantiasa bertambah tebal, dari sekali ke sekali.
Sehingga hati itu hitam dan gelap. Dan secara keseluruhan, hati itu menjadi
terdinding (terhijab) daripada Allah Ta’ala. Yaitu: tabiat. Dan itu karatan.
Allah Ta’ala berfirman: “Jangan berpikir begitu ! bahkan apa yang telah mereka
kerjakan itu, menjadi karat pada hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Bahwa jika Kami capkan hati mereka, sehingga
mereka tidak mendengarkan”. S 7 Al A’raaf ayat 100. Tidak –mendengarnya itu diikatkan
dengan mencapnya dengan segala dosa, adalah sebagaimana mendengar diikatkan
dengan taqwa. Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah dan
dengarkanlah perintahNya”. S 5 Al Maaidah ayat 108. Firman Allah Ta’ala:
“Bertaqwalah kepada Allah dan Allah mengejar kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 282.
Manakala dosa itu telah bertindis-lapis, niscaya tercapkanlah diatas hati. Dan
pada ketika itu, butalah hati daripada mengetahui kebenaran dan kebaikan agama.
Dan ia mempermudahkan urusan akhirat. Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah
cita-citanya terbatas kepada dunia. Maka apabila pendengarannya diketok dengan
urusan akhirat dan bahaya-bahaya yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu
telinga dan keluar dari telinga yang satu lagi. Tidak menetap didalam hati dan
tidak menggerakkannya kepada taubat dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah
orang-orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana putus asanya
orang-orang kafir yang di dalam kubur. Inilah artinya kehitaman hati disebabkan
dosa, sebagaimana dituturkan oleh Alquran dan Sunnah. Maimun bin Mahran
berkata: “Apabila seorang hamba Allah berdosa dengan sesuatu dosa, maka
menitiklah pada hatinya suatu titik hitam. Maka apabila ia mencabut dirinya
dari dosa itu dan bertaubat, maka hati itu berkilat kembali. Dan kalau ia
kembali lagi, niscaya ditambahkan pada titik hitam itu, sehingga hatinya
tinggi. Maka itulah karat namanya. Nabi saw bersabda: “Hati orang mu’min itu
bersih, padanya pelita yang bercahaya gemilang. Dan hati orang kafir itu hitam
terbalik”. Maka mentaati Allah swt dengan menyalahi hawa nafsu itu melicinkan
hati. Dan berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala itu menghitamkan hati. Orang yang
menghadapkan dirinya kepada perbuatan maksiat, niscaya hitamlah hatinya. Dan
orang yang berbuat kebajikan sesudah kejahatan dan menghapuskan bekas kejahatan
itu, niscaya hatinya tidak gelap. Akan tetapi cahayanya berkurang, seperti
kaca, yang bernafas padanya. Kemudian disapunya dan bernafas lagi, kemudian
disapunya. Maka kaca itu tidak terlepas dari kekeruhan. Nabi saw bersabda:
“Hati itu tempat macam: hati yang bersih, padanya pelita yang bersinar
gemilang. Maka itulah hati orang mu’min. Hati hitam terbalik, maka itulah hati
orang kafir. Hati terbungkus yang terikat bungkusannya. Itulah hati orang
munafiq. Dan hati yang melintang, padanya keimanan dan kemunafikan”. Maka
keimanan di dalam hati itu, adalah seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan
oleh air yang baik. Dan kemunafikan di dalam hati, adalah seperti luka yang
dipanjangkan oleh darah dan nanah. Maka yang manakah diantara dua hal tadi yang
banyak pada hati, maka begitulah jadinya hati itu”. Dan pada suatu riwayat:
berjalanlah hal itu dengan hati. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang datang
berkunjung, mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang
mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Diterangkan, bahwa terangnya
hati dan dapat memandang adalah berhasil dengan zikir (menyebut dan mengingati
Allah). Dan ingatan itu tidak mungkin selain dari orang-orang yang taqwa. Maka
taqwa itu pintu zikir. Dan zikir itu pintu kasyaf (terbuka hijab). Dan kasyaf
itu pintu kemenangan besar. Yaitu: kemenangan bertemu dengan Allah Ta’ala.
PENJELASAN: contohnya hati
dihubungkan kepada ilmu pengetahuan khususnya.
Ketahuilah, bahwa tempat
ilmu itu, ialah: hati. Yakni: yang halus, yang mengatur segala anggota tubuh
manusia. Yang halus inilah, yang dipatuhi dan yang dilayani oleh segala anggota
tubuh. Yang halus itu, dengan dihubungkan kepada hakikat pengetahuan, adalah
seperti: cermin, dengan dihubungkan kepada bentuk segala yang berwarna. Maka
sebagaimana yang berwarna itu mempunyai bentuk dan keadaan bentuk itu melekat
pada cermin dan terdapat pada cermin, seperti demikian pula, masing-masing
pengetahuan yang diketahui itu, mempunyai hakikat. Dan hakikat itu mempunyai
bentuk yang tercap dalam cermin hati dan jelas di dalamnya. Sebagaimana cermin
itu lain dan bentuk segala sesuatu itu lain dan hasil bentuknya dalam cermin
itu lain pula, maka itu menjadi 3 hal. Maka demikian pulalah disini, terdapat 3
hal: hati, hakikat segala sesuatu dan hasil hakikat itu sendiri dalam hati dan
beradanya di dalam hati. Maka orang yang berilmu itu, adalah ibarat hati,
dimana keadaan hakikat segala sesuatu bertempat di dalamnya. Dan pengetahuan
yang diketahui itu, adalah ibarat hakikat segala sesuatu. Dan pengetahuan itu
sendiri adalah ibarat hasil bentuk di dalam cermin. Sebagaimana genggaman
umpamanya memerlukan adanya penggenggam, seperti: tangan dan yang digenggam,
seperti: pedang dan hubungan diantara pedang dan tangan, dengan berhasilnya
pedang itu di dalam tangan dan dinamakan: genggaman. Maka begitupulalah
sampainya keadaan ilmu yang diketahui kepada hati, yang dinamakan: pengetahuan.
Sesungguhnya hakikat itu ada dan hati itu ada. Dan tidaklah ilmu itu sudah
berhasil. Karena ilmu itu ibarat daripada sampainya hakikat kepada hati.
Sebagaimana pedang itu ada dan tangan itu ada. Dan tidaklah nama genggaman dan
pengambilan itu sudah berhasil. Karena tidak adanya pedang itu di dalam tangan.
Ya, genggaman itu adalah ibarat daripada berhasilnya pedang itu sendiri dalam
tangan. Dan ilmu yang diketahui itu sendiri, tidak berhasil di dalam hati.
Orang yang mengetahui api, tidaklah api itu sendiri berada dalam hatinya. Akan
tetapi yang ada, ialah batasnya dan hakikatnya yang sesuai dengan bentuknya.
Maka mencontohkannya dengan cermin, adalah lebih utama. Karena diri manusia itu
tidak ada dalam cermin. Yang ada, ialah: keadaan yang bersesuaian dengan
manusia itu. Begitupula adanya keadaan yang bersesuaian dengan hakikat
pengetahuan di dalam hati, yang dinamakan: ilmu. Dan sebagaimana cermin, tidak
menampak padanya bentuk sesuatu, disebabkan oleh 5 hal:
Pertama: kurang bentuknya,
seperti zat besi, sebelum dirobah, dibentuk dan dikilatkan.
Kedua: karena buruk,
berkarat dan kotornya, walaupun bentuknya sempurna.
Ketiga: karena dipindahkan
arah barang itu ke arah yang lain, sebagaimana apabila bentuk itu di belakang
cermin.
Keempat: karena dinding
(hijab) yang terletak diantara cermin dan bentuk barangnya.
Kelima: tidak diketahui
arah, yang padanya bentuk barang yang dimaksud. Sehingga sukar disebabkannya,
untuk dihadapkan arah bentuk barang itu dengan arah cermin.
Maka seperti itu pula hati,
adalah cermin yang disediakan untuk menampakkan padanya hakikat kebenaran dalam
segala hal. Dan sesungguhnya hati itu kosong dari pengetahuan, dimana
kekosongan itu terjadi, disebabkan oleh sebab yang 5 ini:
Pertama: kekurangan pada
hati itu sendiri, seperti: hati anak-anak. Maka tidak menampak padanya
pengetahuan, karena kekurangannya.
Kedua: karena kekotoran
perbuatan maksiat dan keji yang bertindis-lapis diatas wajah hati, lantaran
banyaknya hawa nafsu. Sesungguhnya yang demikian itu, mencegah bersih dan
cemerlangnya hati. Lalu tercegahlah lahir kebenaran padanya, karena kegelapan
dan ketindis-lapisannya. Dan kepadanyalah isyarat dengan sabda Nabi saw:
“Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh akal, yang tidak akan
kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya”. Artinya: terdapat kekotoran pada
hatinya, yang tidak akan hilang bekasnya. Karena tujuannya, bahwa diikutkannya
dosa itu dengan kebaikan, yang akan tersapu dosa itu dengan kebaikan tersebut.
Kalau ia mengerjakan kebaikan dan tidak didahului oleh kejahatan, niscaya
–sudah pasti- bertambahlah kecemerlangan hati. Maka manakala datanglah
kejahatan, niscaya hilanglah faedah kebaikan. Akan tetapi hati itu kembali
kepada keadaannya, sebelumnya kejahatan dan tidak bertambah cahayanya. Inilah
kerugian yang nyata dan kekurangan yang tidak dapat dielakkan. Maka tidaklah
cermin yang kotor, kemudian disapu dengan alat yang mengkilatkan, seperti yang
disapu dengan alat yang mengkilatkan karena bertambah cemerlangnya, tanpa ada
kekotoran yang terdahulu. Maka menghadapkan diri kepada mentaati Allah dan
berpaling dari kehendak hawa nafsu, itulah yang mencemerlangkan dan yang
membersihkan hati. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang
berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada jalan Kami”. S
29 Al ‘Ankabuut ayat 69. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengamalkan
(melaksanakan) apa yang telah diketahuinya, niscaya diberi pusaka oleh Allah
kepadanya akan pengetahuan yang belum diketahuinya”.
Ketiga: hati itu dipalingkan
dari arah hakikat yang dicari. Sesungguhnya hati orang yang taat dan salih,
meskipun bersih, maka tidaklah jelas padanya kecemerlangan kebenaran. Karena ia
tidak mencari kebenaran. Dan ia tidak berbetulan dengan cerminnya, akan arah
yang dicarinya. Akan tetapi kadang-kadang, adalah kelengkapan cita-citanya,
dengan penguraian amalan taat badaniah. Atau dengan penyediaan sebab-sebab
kehidupan. Dan pikirannya tidak ditujukan kepada memperhatikan hadlarat
ketuhanan dan hakikat ilahiyah yang tersembunyi. Maka tidaklah terbuka baginya,
selain apa yang dipikirkan, dari yang halus-halus dari bahaya amalan dan yang
tersembunyi dari kekurangan-kekurangan diri, kalau ia bertafakkur padanya. Atau
tentang kepentingan-kepentingan kehidupan, jikalau ia bertafakkur pada yang
demikian. Apabila adalah pengikatakan cita-cita dengan amal perbuatan dan
penguraian ketaatan itu mencegah daripada tersingkapnya kecemerlangan
kebenaran, maka apakah persangkaan anda tentang orang yang menyerahkan
cita-citanya kepada nafsu syahwat duniawiah, kepada segala kesenangan dan yang
berhubungan dengan itu ? bagaimanakah ia tidak tercegah daripada terbukanya
kehakikatan !
Keempat: hijab (dinding).
Sesungguhnya orang yang taat, yang memaksakan hawa nafsunya, yang menjuruskan
pikirannya pada sesuatu hakikat kebenaran, kadang-kadang tidak terbuka juga
yang demikian baginya, karena terdinding daripadanya, disebabkan aqidahnya yang
telah lalu sejak kecil, dengan jalan taqlid (ikut-ikutan) dan menerimanya
dengan baik sangka. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menghambatkan diantara
dia dan hakikat kebenaran. Dan mencegahkannya daripada terbuka pada hatinya,
yang menyalahi daripada yang didapatinya dari taqlid yang nyata. Ini juga suatu
hijab yang besar, yang menghijabkan kebanyakan orang-orang ahli ilmu Kalam
(ilmu Tauhid) dan orang-orang yang ta’assub (fanatik) kepada mazhab-mazhab.
Bahkan juga kebanyakan orang-orang salih, yang bertafakkur tentang alam malakut
langit dan bumi. Karena mereka itu terhijab dengan aqidah-aqidah ketaqlidan,
yang telah beku dalam diri mereka. Dan telah melekat dalam hati mereka. Dan
menjadi hijab bagi mereka untuk memperoleh hakikat kebenaran.
Kelima: bodoh tentang arah
yang akan diperoleh padanya yang dicari. Sesungguhnya orang yang mencari ilmu
itu, tidak mungkin memperoleh ilmu dengan kebodohan, kecuali dengan mengingati
ilmu yang bersesuaian dengan yang dicarinya. Sehingga apabila ia mengingatinya
dan menertibkannya dalam dirinya, dengan ketertiban yang khusus, yang diketahui
oleh para ulama dengan jalan pemikiran, maka ketika itulah ia telah memperoleh
arah yang dicari. Maka terang-benderanglah hakikat yang dicari untuk hatinya.
Karena ilmu pengetahuan yang dicari itu bukanlah fitriah (diperoleh sejak
lahir). Tidak dapat ditangkap, kecuali dengan jalan ilmu yang menghasilkan.
Bahkan semua ilmu tidak berhasil, kecuali dari dua ilmu yang mendahului, yang
tersusun dan bercampur dengan cara khusus. Maka berhasillah dari percampuran
kedua ilmu itu, ilmu ketiga, sebagaimana berhasilnya anak daripada percampuran
laki-laki dan wanita. Kemudian, sebagaimana orang yang bermaksud menghasilkan
kuda bibit, tidak mungkin yang demikian dari keledai, unta dan manusia. Akan
tetapi dari asal khusus dari kuda jantan dan betina. Dan yang demikian itu,
apabila terjadi diantara keduanya, percampuran khusus. Maka seperti itu pula
tiap-tiap ilmu, mempunyai dua asal khusus. Dan diantara keduanya mempunyai
jalan dalam cara percampurannya, yang menghasilkan dari percampuran itu ilmu
yang berfaedah dan yang dicari. Maka kebodohan tentang asal-usul itu dan
caranya percampuran, itulah pencegah daripada memperoleh ilmu. Contohnya, apa
yang telah kami sebutkan, dari kebodohan mengenai arah terletaknya bentuk
barang. Bahkan contohnya, ialah, bahwa orang ingin melihat kuduknya –umpamanya-
dengan cermin. Maka apabila ia mengangkat cermin setentang mukanya, niscaya
tidak berbetulan dengan arah kuduk. Lalu tidak tampak kuduk itu dalam cermin.
Kalau diangkatnya cermin itu di belakang kuduk dan berbetulan dengan dia,
niscaya ia telah berpaling dengan cermin dari matanya. Maka ia tidak melihat
cermin dan tidak bentuk kuduknya dalam cermin. Maka ia memerlukan kepada cermin
lain yang diletakkannya di belakang kuduk. Dan ini pada hadapannya, kira-kira
dapat dilihatnya. Dan ia menjaga kesesuaian diantara letak kedua cermin itu.
Sehingga menampak bentuk kuduk dalam cermin yang setentang kuduk. Kemudian
menampak bentuk cermin ini dalam cermin yang lain, yang berhadapan dengan mata.
Kemudian mata dapat melihat bentuk kuduk. Maka seperti itu pulalah, pada
memetik segala macam ilmu, terdapat jalan-jalan yang menakjubkan. Padanya ada
hal-hal yang diada-adakan dan diselewengkan, lebih menakjubkan daripada yang
kami sebutkan tentang cermin, yang sukar diperoleh diatas bumi yang lapang ini,
orang-orang yang memperoleh petunjuk kepada caranya daya-upaya tentang hal-hal
yang diada-adakan itu. Maka inilah sebab-sebab yang mencegah hati, daripada
mengetahui hakikat segala hal. Kalau tidak demikian, maka semua hati itu
menurut fitrahnya, pantas untuk mengetahui semua kehakikatan. Karena hati itu
urusan ketuhanan yang mulia, yang membedakan dengan zat alam lainnya, dengan
kekhususan dan kemuliaan itu. Dan kepadanya diisyaratkan dengan firman Allah
‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Kami telah memberikan amanah (tanggung jawab)
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya dan
takut terhadap itu, sedang manusia mau memikulnya”. S 33 Al Ahzab ayat 72,
sebagai isyarat bahwa manusia itu mempunyai kekhususan yang membedakannya dari
langit, bumi dan gunung-gunung, yang dengan kekhususan itu, ia sanggup memikul
amanah Allah Ta’ala. Dan amanah itu, ialah: ma’rifah (mengenal Allah) dan
tauhid. Dan hati tiap-tiap anak Adam (manusia) itu pada asalnya, bersedia
memikul amanah dan sanggup memikulnya. Akan tetapi sebab-sebab yang telah kami
sebutkan dahulu, membawa manusia terlambat untuk bangun melaksanakannya dan
sampai kepada pentahkikannya (pelaksanaan yang sebenar-benarnya). Karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Semua anak itu dilahirkan diatas fitrah (dalam
keadaan asli-suci). Ibu bapaknyalah yang meyahudikannya, menasranikannya dan
memajusikannya”. Dan sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu
mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka itu melihat ke alam
malakut langit”, sebagai isyarat kepada sebahagian sebab-sebab tersebut, yang
menjadi hijab diantara hati dan alam malakut. Dan kepada itu pulalah
diisyaratkan dengan yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Ibnu Umar
berkata: “Orang bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah ! dimanakah
Allah, di bumi atau di langit ?”. Rasulullah saw menjawab: “Dalam hati hambaNya
yang beriman !”. Pada suatu hadits: “Allah Ta’ala berfirman: “Tiada termuat Aku
oleh bumiKu dan langitKu dan termuat Aku oleh hati hambaKu yang beriman, yang
lemah-lembut, yang tenang tentram”. Pada suatu hadits tersebut: “Orang bertanya
kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! siapakah manusia yang terbaik ? Rasulullah
saw menjawab: “Tiap-tiap orang mu’min, yang hatinya “makhmum”. Lalu orang itu
bertanya pula: “Apakah hati yang makhmum itu ? Rasulullah saw menjawab: “Yaitu:
orang yang taqwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan,
pengkhianatan, kedengkian dan hasutan”. Karena itulah, Umar ra berkata: “Hatiku
melihat Tuhanku”. Karena telah terangkat hijab dengan taqwa. Barangsiapa telah
terangkat hijab diantaranya dan Allah, niscaya menjelaslah bentuk ‘alamul-mulki
(alam nyata) dan ‘alamul-malakut (alam batin) dalam hatinya. Maka ia melihat
sorga. Lintang sebahagian daripadanya ialah langit dan bumi. Adapun jumlahnya,
maka lebih banyak dari keluasan langit dan bumi. Karena langit dan bumi itu
ibarat dari ‘alamul-mulki dan ‘alamusy-syahadah (alam nyata dan alam yang dapat
disaksikan). Alam ini meskipun luas tepinya, berjauhan sudut-sudutnya, tetapi
pada umumnya berkesudahan. Adapun ‘alamul-malakut, ialah rahasia gaib, tidak
dapat dengan pandangan mata. Khusus dapat diketahui dengan pandangan mata hati.
Dia itu tiada berkesudahan. Benar, yang tampak bagi hati daripadanya itu, suatu
kadar yang berkesudahan. Akan tetapi pada dirinya dan dengan ditambahkan kepada
ilmu Allah, maka ia tiada berkesudahan. Jumlah ‘alamul-mulki dan
‘alamul-malakut, apabila diambil sekaligus, dinamai: Hadlarah-Rububiah
(hadlarat ketuhanan). Karena Hadlarah Rububiah itu meliputi semua yang ada.
Karena pada wujud itu tiada sesuatu, selain Allah Ta’ala, perbuatanNya dan
kerajaanNya. Dan hamba-hambaNya itu sebahagian dari perbuatanNya. Apa yang
menampak dari yang tersebut bagi hati, adalah sorga. Sorga itu sendiri pada
suatu golongan. Yaitu: sebab berhaknya sorga pada ahli kebenaran. Dan luas kepunyaannya
dalam sorga, adalah menurut luas ma’rifahnya dan menurut yang menampak baginya
tentang Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya). Yang dimaksudkan
dengan taat dan perbuatan anggota badan semuanya, ialah pembersihan hati,
penyucian dan kecemerlangannya. Sesungguhnya orang-orang yang menyucikannya
memperoleh kemenangan. Yang dimaksudkan dengan penyuciannya, ialah berhasilnya
cahaya iman dalam hati. Ya’ni: cemerlangnya nur-ma’rifah (cahaya pengenalan).
Yaitu: yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka barangsiapa
dikehendaki oleh Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibukakanNya hatinya
menganut agama Islam”. S 6 Al An’aam ayat 125. Dan firman Allah Ta’ala: “Apakah
orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima agama Islam, karena itu dia
mendapat cahaya dari Tuhannya”. S 39 Az Zumar ayat 22. Benar, penampakan
(at-tajalli) dan iman itu, mempunyai 3 tingkat:
Tingkat pertama: iman orang
awam. Yaitu: semata-mata taqlid.
Tingkat kedua: iman
orang-orang ahli ilmu kalam (ilmu tauhid). Yaitu: bercampur aduk dengan
macam-macam dalil. Dan tingkatnya mendekati dengan tingkat iman orang awam.
Tingkat ketiga: iman
orang-orang arifin (orang yang berma’rifah akan Allah). Yaitu: orang yang
menyaksikan dengan nur keyakinan.
Akan kami terangkan kepada
anda tingkat-tingkat itu dengan contoh. Yaitu: bahwa pembenaran anda adanya si
Zaid di rumahnya –umpamanya –mempunyai 3 tingkat:
Pertama: bahwa diterangkan
kepada anda, oleh orang, yang telah anda cobakan kebenarannya. Dan tidak anda
kenal padanya kebohongan dan tidak anda curigai kebenaran kata-katanya. Hati
anda tetap kepadanya dan merasa tenang dengan pemberitaannya, dengan
semata-mata mendengarnya. Inilah iman dengan semata-mata taqlid. Yaitu contoh
imannya orang awam. Sesungguhnya tatkala mereka telah sampai kepada umur: dapat
membedakan diantara baik dan buruk (masa tamyiz), lalu mendengar dari bapak dan
ibunya, akan wujudnya Allah Ta’ala, ilmuNya, iradahNya qudrahNya dan
sifat-sifatNya yang lain. Mereka mendengar akan terutusnya rasul-rasul, benarnya
rasul-rasul dan apa yang dibawa rasul-rasul itu. Sebagaimana mereka mendengar,
lalu mereka menerima apa yang didengarnya. Mereka tetap padanya, merasa tentang
dan tidak terguris di dalam hatinya, untuk menyalahi daripada yang dikatakan
oleh mereka kepadanya. Karena baik sangkanya kepada bapak, ibu dan
guru-gurunya. Iman ini menjadi sebab kelepasan di akhirat. Dan orang ini
termasuk tingkat pertama dari golongan kanan (ash-habul yamin). Dan mereka
tidak termasuk orang muqarrabin (orang yang berdekatan dengan Allah). Karena
tidak ada padanya kasyaf (terbuka hijab), mata hati (bashirah) dan terbuka dada
dengan nur iman. Karena kesalahan itu mungkin pada yang didengarnya dari orang
seorang. Bahkan dari beberapa orang, tentang apa yang berhubungan dengan aqidah.
Maka hati orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani juga tenang, dengan apa
yang didengarnya dari bapak dan ibunya. Tetapi mereka beraqidah apa yang
menjadi aqidah ibu bapaknya yang salah. Karena telah dicampakkan kesalahan
kepada mereka. Dan orang-orang Islam itu beraqidah yang benar. Bukan karena
mereka melihat kepada kebenaran. Akan tetapi kalimah kebenaran itu telah
dicampakkan kepada mereka.
Tingkat kedua: bahwa anda
mendengar perkataan si Zaid dan suaranya dari dalam rumah, akan tetapi di belakang
dinding. Lalu anda mengambil alasan tentang adanya di rumah. Maka kepercayaan
anda, pembenaran anda dan keyakinan anda tentang adanya di rumah itu, lebih
kuat daripada pembenaran anda, dengan semata-mata mendengar saja. Sesungguhnya
apabila orang mengatakan kepada anda, bahwa si Zaid itu di rumah. Kemudian anda
mendengar suaranya, niscaya bertambahlah keyakinan anda. Karena suara itu,
menunjukkan kepada bentuk dan rupa pada orang yang mendengar suaranya, dalam
keadaan penyaksian bentuk. Lalu hati menetapkan, bahwa ini suara orang itu. Dan
inilah kepercayaan yang bercampur dengan dalil (alasan). Dan kesalahan mungkin
juga tertimpa kepadanya. Karena suara itu kadang-kadang menyerupai dengan suara
orang lain. Kadang-kadang mungkin diusahakan demikian dengan jalan menirunya,
kecuali yang demikian, tiada terguris di hati yang mendengar. Karena ia tidak
membuat di dalam hatinya, tempat untuk buruk sangka. Dan ia tidak menduga ada
maksud dalam penipuan dan peniruan itu.
Tingkat ketiga: bahwa anda
masuki rumah. Lalu anda melihat kepada orang itu dengan mata anda dan
menyaksikannya. Inilah ma’rifah (pengenalan) yang sebenarnya dan penyaksian
dengan keyakinan. Dan itu menyerupai dengan ma’rifah orang-orang muqarrabin dan
shiddiqin. Karena mereka itu beriman dari musyahadah (penyaksian). Lalu
terlipatlah dalam keimanan mereka, keimanan orang awam dan orang-orang ahli
ilmu kalam. Mereka dapat membedakan dengan pembedaan yang nyata, yang mustahil
kemungkinan salah. Benar, mereka itu berlebih kurang juga, disebabkan kadar
pengetahuannya dan tingkat kasyafnya. Adapun tingkat pengetahuan, maka
umpamanya: ia melihat si Zaid dalam rumah dari jarak dekat dan pada lapangan
rumah pada waktu cemerlangnya matahari. Maka sempurnalah pengetahuannya. Dan
orang lain, mengetahuinya dalam rumah atau dari jarak jauh atau pada waktu
petang. Lalu tergambarlah baginya dalam bentuk yang meyakinkan, bahwa itu betul
si Zaid. Akan tetapi tidak tergambar pada dirinya yang halus-halus dan yang
tersembunyi dari bentuk si Zaid. Contohnya ini menggambarkan tentang
berlebih-kurangnya penyaksian (musyahadah) bagi hal-hal ketuhanan. Adapun kadar
pengetahuan, bahwa ia melihat dalam rumah, si Zaid, si Umar, si Bakar dll.
Sedang orang lain hanya melihat si Zaid saja. Maka pengetahuan yang demikian,
sudah pasti bertambah dengan banyaknya yang diketahui. Inilah keadaan hati,
dengan menyandarkan kepada ilmu pengetahuan ! Allah Ta’ala yang Maha Tahu
dengan yang sebenarnya.
PENJELASAN: keadaan hati
dengan menyandarkan kepada bermacam-macam ilmu aqal, ilmu agama, dunia dan
akhirat.
Ketahuilah, bahwa hati
dengan nalurinya bersedia menerima hakikat segala pengetahuan, sebagaimana
telah diterangkan dahulu. Tetapi pengetahuan yang bertempat di dalam hati itu
terbagi kepada: ‘aqliyah (keakalan) dan syar’iyah (keagamaan). Bahagian
‘aqliyah terbagi kepada dlaruriyah (yang diketahui secara mudah) dan muktasabah
(dengan jalan diusahakan). Dan muktasabah itu terbagi kepada duniawiyah
(keduniaan) dan ukhrawiyah (keakhiratan). Adapun ‘aqliyah, maka yang kami
maksudkan dengan ‘aqliyah itu, ialah: yang dikehendaki oleh instink akal. Dan
tidak diperoleh dengan taqlid dan mendengar. Dan terbagi kepada dlaruriyah,
yang tidak diketahui, darimana datangnya dan bagaimana datangnya. Seperti
pengetahuan manusia bahwa orang satu tidak ada pada dua tempat. Dan suatu
benda, tidak ada dia itu baharu (hadits) dan lama (qadim), ada dan tidak ada
sekaligus. Ini semuanya pengetahuan yang diperoleh oleh manusia sendiri
semenjak kecil, menjadi fitrah baginya. Ia tidak tahu, kapan ilmu itu ada padanya
dan darimana datangnya. Yakni: ia tidak tahu baginya sebab yang dekat. Kalau
tidak demikian, sesungguhnya tidak tersembunyi kepadanya, bahwa Allah Ta’ala
yang menjadikannya dan yang menunjukkannya jalan. Selain terbagi kepada
dlaruriyah tadi, terbagi pula kepada pengetahuan yang diusahakan. Yaitu: yang
diperoleh dengan belajar dan mencari dalil. Kedua bahagian tersebut, dinamakan:
akal. Ali ra berkata:
“Saya melihat akal dua ini,
akal tabi’i dan akal sam’i.
Tidak bermanfaat yang sam’i,
apabila tidak ada yang
tab’i.
Sebagaimana tidak bermanfaat
matahari,
dan cahaya mata itu
dihalangi.
Yang pertama, ialah yang
dimaksudkan dengan sabda Nabi saw kepada Ali ra: “Allah Ta’ala tidak menjadikan
makhluk yang lebih mulia daripada akal”. Dan yang kedua, ialah yang dimaksudkan
dengan sabda Nabi saw kepada Ali ra: “Apabila manusia mendekati (bertaqarrub)
kepada Allah Ta’ala dengan bermacam-macam kebajikan, maka engkau dekatilah
dengan akalmu !”. Karena tidak mungkin bertaqarrub dengan naluri fitrah dan
tidak dengan ilmu-dlaruriyah. Akan tetapi dengan ilmu yang diusahakan. Tetapi
seperti Ali ra adalah sanggup bertaqarrub dengan memakai akal pada memetik
ilmu-ilmu, yang membawanya dekat kepada Tuhan Serwa sekalian alam. Maka hati
itu berlaku seperti mata. Dan naluri akal pada hati berlaku seperti kekuatan
melihat pada mata. Dan kekuatan penglihatan itu halus yang tak ada pada orang
buta. Dan ada pada orang yang dapat melihat, walaupun ia memejamkan kedua
matanya atau berada dalam malam gelap. Dan ilmu yang diperoleh dalam hati itu,
berlaku seperti kekuatan dapat melihat pada mata dan melihatnya segala bentuk
benda. Terlambatnya ilmu dari tanggapan akal pada masa kanak-kanak, kepada
waktu tamyiz (sudah dapat membedakan diantara segala sesuatu) atau dewasa,
adalah menyerupai dengan terlambatnya penglihatan dari melihat sampai kepada
waktu terbit matahari dan membanjir sinarnya kepada semua benda yang dilihat.
Qalam (pena), yang ditulis oleh Allah dengan qalam itu. Segala ilmu di atas
lembaran hati, berlaku seperti berlakunya bundaran matahari. Tidak
terperolehnya ilmu dalam hati anak-anak sebelum tamyiz, karena papan hatinya
belum tersedia untuk menerima ilmu itu sendiri. Dan pena yang merupakan suatu
makhluk Allah Ta’ala, dijadikan sebab untuk berhasilnya ukiran ilmu dalam hati
manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Yang mengajarkan dengan pena (tulis-baca).
Mengajarkan kepada manusia yang belum diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 4-5.
Qalam Allah Ta’ala tidak serupa dengan qalam makhlukNya. Sebagaimana tidak
menyerupai sifatNya dengan sifat makhlukNya. Maka QalamNya tidaklah dari bambu
dan kayu, sebagaimana Dia Ta’ala tidak dari jauhar (zat yang berbentuk) dan
dari ‘aradl (sifat yang berdiri pada jauhar). Dan keseimbangan antara pandangan
hati batiniyah dan pandangan zahir itu benar dari segi-segi ini. Hanya
sesungguhnya, tak bersesuaian diantara keduanya tentang kemuliaan. Karena
pandangan hati batiniyah adalah jiwa itu sendiri, dimana dia itu halus dan yang
mengetahui. Dia adalah seperti pengendara kuda. Dan badan itu seperti kuda. Kebutaan
yang mengendarai kuda adalah lebih mendatangkan kemelaratan kepada pengendara
itu daripada butanya kuda, bahkan tiada perbandingan bagi salah satu dari dua
kemelaratan itu terhadap lainnya. Dan karena keseimbangan pandangan hati
batiniyah bagi pandangan zahir, maka Allah Ta’ala menamakannya dengan namaNya.
Allah Ta’ala berfirman: “Hati tiada berdusta apa yang dilihatnya”. S 53 An Najm
ayat 11. Pengetahuan hati itu dinamai: penglihatan. Demikian pula firman Allah
Ta’ala: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan
bumi”. S 6 Al An’aam yat 75. Dan apa yang dimaksudkan dengan yang demikian itu,
penglihatan zahiriyah, maka sesungguhnya yang demikian tidaklah dikhususkan
bagi Ibrahim as. Sehingga dibentangkan dalam pembentangan keni’matan. Dan
karena itulah, lawan pengetahuannya dinamai: buta. Allah Ta’ala berfirman:
“Karena sebenarnya, bukan mata yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada”. S 22 Al Hajj ayat 46. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa
buta di dunia ini, niscaya di akhirat buta (juga) dan lebih sesat jalannya”. S
17 Al Israa’ ayat 72. Inilah penjelasan ilmu aqli. Adapun ilmu keagamaan (ilmu
dini), maka adalah diambil dengan jalan taqlid (mengikuti) nabi-nabi as. Dan
itu diperoleh dengan mempelajari Kitab Allah Ta’ala. Sunnah Rasulullah saw dan
memahami maksud keduanya, sesudah didengar. Dengan demikian, sempurnalah sifat
hati. Dan selamatlah hati itu dari segala penyakit dan bencana. Ilmu aqli itu
tidak cukup untuk keselamatan hati, walaupun hati itu memerlukan kepadanya.
Sebagaimana akal itu tidak cukup untuk tetapnya sebab-sebab kesehatan badan.
Akan tetapi, memerlukan kepada pengetahuan khasiat-khasiat obat dan
ramuan-ramuan, dengan jalan belajar pada dokter-dokter. Karena akal saja tidak
memperoleh petunjuk kepadanya. Akan tetapi, tidak mungkin memahaminya sesudah
didengar, kecuali dengan akal. Maka tidak cukup dengan akal saja, tanpa
mendengar dan tidak cukup mendengar saja, tanpa akal. Maka mengajak kepada
semata-mata taqlid, serta menyingkirkan akal secara keseluruhan itu bodoh. Dan
mencukupkan dengan semata-mata akal, tanpa nur Alquran dan Sunnah Rasul saw itu
tertipu. Maka awaslah anda menjadi salah satu dari dua golongan tersebut ! dan
hendaklah anda yang menghimpunkan diantara dua pokok itu ! sesungguhnya ilmu
aqli adalah seperti makanan. Dan ilmu syari’at adalah seperti obat. Orang sakit
itu melarat dengan makanan, manakala tidak ada obat. Maka begitupula penyakit
hati, tidak mungkin mengobatinya, kecuali dengan obat-obat yang diambil dari syari’at.
Yaitu: tugas-tugas ibadah dan amalan-amalan yang disusun oleh nabi-nabi as
untuk perbaikan hati. Maka barangsiapa tiada mengobati hatinya yang sakit
dengan pengobatan ibadah syari’at dan mencukupkan saja dengan ilmu akal,
niscaya ia memperoleh melarat, sebagaimana melaratnya orang sakit dengan
makanan. Ada orang yang menyangka, bahwa ilmu akal itu berlawanan dengan ilmu
syari’at dan mengumpulkan diantara keduanya tidak mungkin. Ini adalah sangkaan
yang terbit dari kebutaan pada mata hati ! kita berlindung dengan Allah
daripadanya ! Akan tetapi, orang yang berkata itu sendiri, kadang-kadang
berlawanan padanya, diantara sebahagian ilmu syari’at dengan sebahagian yang
lain. Lalu ia lemah daripada mengumpulkan diantara keduanya. Maka ia menyangka
bahwa ilmu itu berlawanan pada agama. Lalu ia heran, maka ia mencabut dari
agama, laksana mencabut rambut dari tepung. Sesungguhnya yang demikian itu,
adalah lantaran kelemahannya pada dirinya sendiri. Lalu terkhayallah kepadanya
akan pertentangan pada agama. Amat jauhlah yang demikian dari kebenaran !
contohnya, ialah seperti orang buta yang masuk ke rumah suatu kaum. Lalu ia
tersenggol dengan tempat-tempat air di rumah itu. Maka orang buta tersebut
bertanya: “Mengapa tempat-tempat air ini dibiarkan di jalan ? mengapa tidak
diletakkan kembali pada tempatnya ?”. Orang-orang itu menjawab: “Tempat-tempat
air itu adalah pada tempatnya. Anda yang tidak mengetahui jalan, karena anda
buta. Yang heran, anda tidak mengemukakan kesenggolan anda karena anda buta.
Akan tetapi, anda kemukakan kepada keteledoran orang lain. Inilah
perbandingannya diantara ilmu agama dan ilmu akal ! Ilmu akal itu terbagi
kepada: duniawiyah dan ukhrawiyah. Duniawiyah, seperti: ilmu kedokteran, ilmu
hitung, ilmu ukur, ilmu binatang, pekerjaan tangan dan perusahaan-perusahaan
lainnya. Ukhrawiyah, seperti: ilmu hal-ikhwal hati, bahaya-bahaya amal, ilmu
mengenai Allah Ta’ala, mengenai sifat dan af’alNya, sebagaimana telah kami
uraikan pada “Kitab Ilmu”. Kedua pengetahuan tersebut, tidak-menidakkan diantara
satu dengan lainnya. Yakni: orang yang menyerahkan perhatiannya kepada salah
satu daripadanya, sehingga ia mendalami betul-betul yang satu itu, niscaya
teledorlah penglihatan hatinya kepada yang lain, menurut kebanyakannya. Karena
itulah, Ali ra membuat 3 contoh untuk dunia akhirat. Ali berkata: keduany itu
seperti: dua daun neraca, seperti Timur dan Barat dan seperti dua wanita yang
dimadukan. Apabila disenangi yang seorang, niscaya membawa kemarahan kepada
yang lain. Karena itulah, anda melihat, bahwa orang-orang yang pandai tentang
urusan dunia, tentang ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu hindasah dan filsafat,
adalah bodoh tentang urusan akhirat. Orang-orang yang pandai tentang ilmu
akhirat yang halus-halus, adalah bodoh tentang kebanyakan pengetahuan dunia.
Karena kekuatan akal cukup pada galibnya untuk kedua hal tersebut bersama-sama.
Lalu salah satu daripadanya mencegah sempurnanya yang kedua. Karena itulah,
Nabi saw bersabda: “Kebanyakan penduduk sorga itu orang-orang bodoh”. Artinya:
bodoh tentang urusan duniawi. Al-Hasan dalam sebahagian pengajarannya berkata:
“Kami telah mendapati beberapa kaum. Jikalau anda melihatnya, tentu anda
mengatakan: mereka itu orang gila. Dan jikalau mereka itu medapati anda, tentu
mereka itu mengatakan: anda setan. Manakala anda mendengar hal yang ganjil
dalam urusan agama, yang diingkari oleh orang-orang pintar dalam ilmu-ilmu
lain, maka janganlah anda tertipu oleh keingkaran mereka menerimanya. Karena
termasuk mustahil orang yang berjalan jalan ke timur memperoleh, apa yang
didapati pada jalan ke barat. Maka demikian pula berlakunya urusan dunia dan
akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang
tidak mengharapkan menemui Kami, mereka rela dengna kehidupan yang dekat dan
sudah merasa tentram dengan itu”. S 10 Yunus ayat 7. Dan firman Allah Ta’ala:
“Mereka mengetahui (perkara) yang lahir dari kehidupan dunia ini dan terhadap
hari kemudian itu, mereka tiada memperhatikan”. S 30 Ar Ruum ayat 7. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan
pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata ! pengetahuan
mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30. Maka mengumpulkan antara
kesempurnaan penglihatan mata hati dalam segala kepentingan duniawi dan agama,
tidaklah begitu mudah, kecuali bagi orang yang telah dimantapkan oleh Allah
Ta’ala untuk mengatur hambaNya dalam kehidupan di dunia dan kembalinya di
akhirat. Yaitu: nabi-nabi yang dikuatkan dengan roh suci, yang dibantu dengan
kekuatan ketuhanan, yang meluas ke semua urusan dan tidak sempit. Adapun hati
makhluk yang lain, maka sesungguhnya apabila berpegang dengan urusan duniawi,
niscaya terlepas dari akhirat dan lengah daripada menyempurnakan urusan
akhirat.
PENJELASAN: tentang
perbedaan antara ilham dan belajar dan perbedaan antara cara shufi tentang
tersingkapnya kebenaran dan cara orang-orang pemerhati.
Ketahuilah, bahwa ilmu yang
tidak dlaruriyah dan hanya berhasil di dalam hati dalam beberapa hal, maka hal
berhasilnya itu berbeda-beda. Sekali, ia menyerang kepada hati, seolah-olah
dicampakkan ke dalam hati, tanpa diketahui. Sekali diusahakan dengan jalan
mencari dalil dan belajar. Maka yang diperoleh, tidak dengan jalan usaha dan
mencari dalil, dinamakan: ilham. Dan yang berhasil dengan menggunakan dalil,
dinamakan: i’tibar dan istibshar (memperoleh pengertian dan mengetahuinya
dengan penglihatan mata hati). Kemudian, yang jatuh ke dalam hati, tanpa usaha,
belajar dan kesungguhan dari seseorang hamba itu terbagi kepada: yang tiada
diketahui oleh hamba, bagaimana ia memperolehnya dan darimana diperolehnya dan
kepada yang muncul bersamanya, diatas sebab yang dapat diperolehnya ilmu itu.
Yaitu: kesaksian malaikat yang mencampakkan ke dalam hati. Yang pertama,
dinamai: ilham dan pencampakan ke dalam hati. Dan yang kedua, dinamai: wahyu
dan tertentu bagi nabi-nabi. Dan yang pertama tadi, tertentu bagi wali-wali dan
orang-orang pilihan Allah (al-ashfiya’). Dan yang sebelumnya, yaitu: yang
diusahakan dengan jalan mencari dalil, tertentu bagi alim-ulama. Hakekat
perkataan mengenai itu, ialah: bahwa hati bersedia untuk menampak didalamnya
hakekat kebenaran tentang segala sesuatu. Hanya terdinding diantara hati dan
hakekat kebenaran tadi, oleh 5 sebab yang telah tersebut dahulu. Yaitu: seperti
hijab yang terbentang, yang mendindingi diantara cermin hati dan luh-mahfudh,
yang terukir padanya, semua ketetapan Allah Ta’ala hingga hari kiamat. Dan
menjelaslah segala hakekat ilmu dari cermin luh-mahfudh dalam cermin hati, yang
menyerupai mencapnya bentuk dari cermin ke dalam cermin yang menghadapinya. Dan
hijab diantara dua cermin itu, sekali hilang dengan tangan dan lain kali hilang
dengan hembusan angin yang menggerakkannya. Begitupula, kadang-kadang berhembus
angin yang halus dan terbukalah hijab dari mata hati. Lalu jelaslah sebahagian
yang tertulis pada luh-mahfudh. Dan ada yang demikian itu sekali ketika tidur.
Lalu mengetahui apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Dan sempurnanya
terangkat hijab itu dengan mati, yang padanya terbukalah tutup. Dan terbuka
juga dalam waktu tidak tidur, sehingga terangkatlah hijab dengan kehalusan yang
tersembunyi daripada Allah Ta’ala. Lalu cemerlanglah didalam hati dari belakang
tutupan gaib, suatu dari keganjilan ilmu. Sekali seperti kilat yang menyambar
dan pada kali yang lain berturut-turut hingga ke suatu batas dan berkekalan
dalam keadaan yang sangat jarang terjadi. Ilham itu tidak berpisah dengan usaha
tentang ilmu itu sendiri, tentang tempatnya dan sebabnya. Tetapi ia berpisah
dari segi hilangnya hijab. Yang demikian itu tidaklah dengan usaha seseorang.
Wahyu tidak berpisah dengan ilham mengenai sesuatu dari yang tersebut itu,
bahkan dalam penyaksian malaikat yang memfaedahkan ilmu. Ilmu itu sesungguhnya
berhasil dalam hati kita, dengan perantaraan malaikat. Dan kepada itulah
diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan tiada seorang manusiapun, akan
dapat berkata-kata dengan Allah, melainkan dengan wahyu atau dibalik tabir atau
diutusNya utusan. Lalu dengan izinNya diwahyukanNya apa yang dikehendakiNya”. S
42 Asy Syuura ayat 51. Apabila ini anda telah ketahui, maka ketahuilah bahwa
kecenderungan ahli tasawwuf itu kepada ilmu-ilmu keilhaman, tidak kepada
ilmu-ilmu yang dipelajari. Maka karena itulah, mereka tidak bersungguh-sungguh
mempelajari ilmu dan menghasilkan apa yang dikarang oleh para pengarang dan
membahas tentang kata-kata orang dan dalil-dalil yang disebutkan. Tetapi mereka
mengatakan: jalan yang ditempuh, ialah mendahulukan mujahadah
(bersungguh-sungguh melawan nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan), menyapu
sifat-sifat tercela, memutuskan semua hubungan dengan dunia dan menghadapkan
diri dengan penuh cita-cita kepada Allah Ta’ala. Manakala telah berhasil yang
demikian, niscaya adalah Allah yang memerintah hati hambaNya dan yang
menanggungnya dengan penyinaran nur ilmu. Dan apabila Allah memerintah urusan
hati, niscaya melimpahlah rahmatNya kepada hati, bercemerlanglah nur dalam
hati, terbukalah dada, tersingkaplah rahasia alam-malakut, hilanglah dari wajah
hati tabir kelalaian dengan kelemah-lembutan rahmat dan cemerlanglah pada hati
hakekat urusan ketuhanan. Maka tidak ada atas hambaNya, selain bersiap dengan
pembersihan semata, menghadirkan cita-cita serta kemauan yang benar, kehausan
yang sempurna dan mengintip dengan menunggu terus-menerus akan rahmat yang
dibuka oleh Allah Ta’ala kepadanya. Maka nabi-nabi dan wali-wali telah terbuka
urusan bagi mereka dan melimpahlah nur ke dalam dadanya. Tidak dengan belajar,
mempelajari dan menulis buku-buku. Tetapi dengan zuhud di dunia, melepaskan
diri dari segala yang berhubungan dengan dunia, mengosongkan hati dari segala
urusan duniawi dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah
Ta’ala. Maka barangsiapa yang dianya bagi Allah, niscaya adalah Allah baginya.
Mereka mendakwakan, bahwa jalan pada yang demikian itu, adalah pertama-tama
dengan memutuskan segala hubungan dengan dunia seluruhnya, mengosongkan hati
daripadanya, memutuskan cita-cita dari keluarga, harta, anak dan tanah air dan
dari ilmu, kekuasaan dan kemegahan. Bahkan hatinya menjadi pada suatu keadaan,
yang sama padanya adanya segala sesuatu dan tidak adanya. Kemudian ia
berkhilwah sendiri pada suatu sudut (rumahnya atau masjid) serta menyingkatkan
dengan mengerjakan segala fardlu dan sunat rawatib, ia duduk dengan kekosongan
hati, terkumpul cita-cita. Pikirannya tidak bercerai dengan pembicaraan Alquran
dan pemerhatian pada tafsir, kitab-kitab hadits dan lainnya. Bahkan ia
bersungguh-sungguh, supaya tidak terguris di hatinya sesuatu, selain Allah
Ta’ala. Maka senantiasalah sesudah ia duduk dalam khilwah, mengucapkan dengan
lidahnya: Allah –Allah terus menerus serta kehadiran hati. Sehingga ia
berkesudahan kepada keadaan, dimana ia meninggalkan penggerakkan lidah.
Kemudian, ia bersabar atas yang demikian, sehingga terhapus bekasnya dari lidah.
Dan berbetulan hatinya rajin kepada berzikir. Lalu ia membiasakan yang
demikian, sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan
cara kalimatnya. Dan tinggallah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya,
yang hadir di dalam hati. Seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak
berpisah. Dan ia mempunyai usaha yang berkesudahan kepada batas tersebut. Dan
berusaha untuk kekalnya keadaan itu, dengan menolak waswas hati. Dan tiada
baginya usaha, pada menarikkan rahmat Allah Ta’ala. Akan tetapi dengan apa yang
diperbuatnya, ia datang lagi hembusan angin rahmat Allah Ta’ala. Lalu ia tiada
tinggal, selain menunggu rahmat yang dibuka oleh Allah. Sebagaimana dibukaNya
kepada nabi-nabi dan wali-wali dengan jalan tersebut. Dan ketika itu, apabila telah
benar kemauannya, bersih cita-citanya dan baik kerajinannya, maka ia tidak akan
ditarik oleh hawa nafsunya. Dan tidak akan diganggu oleh bisikan hati dengan
segala hal yang berhubungan dengan dunia. Cemerlanglah segala kecemerlangan
kebenaran dalam hatinya. Dan adalah pada permulaannya, seperti kilat yang
menyambar, tiada tetap, kemudian kembal. Kadang-kadang terlambat. Dan kalau ia
kembali, kadang-kadang tetap. Dan kadang-kadang ia menyambar. Kalau tetap,
kadang-kadang lama tetapnya. Dan kadang-kadang tidak lama. Kadang-kadang lahir
contoh-contohnya sambung-menyambung. Kadang-kadang terbatas pada satu
pengetahuan saja. Dan kedudukan wali-wali Allah Ta’ala tidak terhingga padanya,
sebagaimana tidak terhingga berlebih kurang kejadian dan tingkah laku mereka.
Jalan ini kembali kepada penyucian semata-mata dari pihak anda, pembersihan dan
meninggalkan yang tidak baik. Kemudian, bersiap dan menunggu saja. Adapun para
pemerhati dan yang mempunyai pemikiran, mereka tidak mengingkari adanya jalan
tersebut, kemungkinannya dan terbawanya kepada maksud ini dengan jarang
terjadinya. Yang demikian itu, adalah kebanyakan hal-ikhwal para nabi dan wali.
Tetapi mereka memandang sukarnya jalan tersebut, merasa lambat hasilnya, merasa
jauh terkumpul syarat-syaratnya. Dan mereka mendakwakan, bahwa menyapu
hubungan-hubungan duniawi sampai ke batas itu, seperti suatu hal yang dapat
dimaafkan. Walaupun berhasil pada suatu hal, maka tetapnya lebih jauh
daripadanya. Karena sekurang-kurangnya waswas dan gurisan hati itu, dapat mengacaukan
hati. Rasulullah saw bersabda: “Hati orang mu’min itu sangat berbailk-balik,
dibandingkan dengan kuali yang sedang menggelagak panasnya”. Dan Nabi saw
bersabda: “Hati orang mu’min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari
Tuhan Yang Maha Pemurah”. Pada waktu sedang mujahadah ini, kadang-kadang
keadaan badan itu rusak dengan timbulnya penyakit, bercampur akal dengan waswas
dan terasa badan sakit. Apabila tidak didahului oleh latihan jiwa dan
pendidikannya dengan hakekat keilmuan, niscaya tumbuh pada hati
khayalan-khayalan yang merusak, yang akan tenang jiwa kepadanya pada masa yang
panjang, sampai ia hilang. Dan berlalulah umur sebelum memperoleh kemenangan,
pada yang demikian. Banyaklah orang shufi yang menjalani jalan ini. Kemudian ia
kekal dalam suatu khayalan selama 20 tahun. Jikalau ia sudah meneguhkan
pengetahuannya dari sebelumnya, niscaya terbukalah sekarang juga segi
kesangsian khayalan itu. Maka menyibukkan waktu dengan jalan belajar itu lebih
terpercaya dan mendekati kepada maksud. Mereka mendakwakan, bahwa yang demikian
itu menyerupai dengan apa, jikalau orang meninggalkan, balajar fiqh. Dan ia
mendakwakan, bahwa Nabi saw tidak belajar yang demikian. Dan ia menjadi ahli
fiqh dengan wahyu dan ilham, tanpa berulang-ulang dan berhubungan dengan
penulisan. Maka aku juga kadang-kadang sampai kepada yang demikian, dengan
latihan dan kerajinan. Siapa yang menyangka demikian, sesungguhnya ia telah
menganiaya diri sendiri dan menyia-nyiakan umurnya. Bahkan dia adalah seperti
orang yang meninggalkan jalan berusaha dan bertani. Karena mengharap memperoleh
suatu gudang harta. Yang demikian itu mungkin saja. Tetapi jauh sekali akan
terjadi. Maka begitu pulalah ini ! Mereka mengatakan, bahwa pertama-tama tak
boleh tidak menghasilkan apa yang dihasilkan oleh para ulama dan memahami apa
yang dikatakan mereka. Kemudian, tiada mengapa sesudah itu menunggu apa yang
tidak terbuka bagi ulama-ulama lain. Semoga terbuka sesudah itu baginya dengan
mujahadah.
PENJELASAN: perbedaan
diantara dua makam dengan contoh yang dapat dirasakan.
Ketahuilah, bahwa keajaiban
hati itu diluar daripada pengetahuan pancaindra. Karena hati juga diluar
pengetahuan pancaindra. Apa yang tiada diketahui dengan pancaindra itu,
lemahlah pemahaman untuk mengetahuinya, selain dengan contoh yang dapat
dirasakan. Kami akan mendekatkan yang demikian kepada pemahaman-pemahaman yang
lemah itu dengan dua contoh:
Salah satu daripada
keduanya: bahwa jikalau kita umpamakan suatu kolam yang tergali dalam tanah,
yang mungkin dibawa air kepadanya dari atas, dengan sungai yang terbuka
kepadanya. Dan mungkin bahwa digali di bawah kolam itu dan tanahnya diangkat,
sehingga ia dekat dengan tempat air yang jernih. Lalu terpancarlah air dari
bawah kolam itu. Dan air tersebut lebih jernih dan terus-menerus. Dan kadang-kadang
melimpah-limpah dan lebih banyak. Maka hati itu seumpama kolam. Dan ilmu itu
seumpama air. Dan pancaindra yang 5 itu seumpama sungai. Dan kadang-kadang
mungkin dibawa ilmu-ilmu itu kepada hati, dengan perantaraan sungai-sungai
pancaindra dan pengambilan ibarat dengan penyaksian-penyaksian. Sehingga hati
itu penuh dengan ilmu. Dan mungkin bahwa sungai-sungai itu disumbat dengan
khilwah, ‘uzlah dan memicingkan mata. Dan berpegang kepada dalamnya hati dengan
penyuciannya. Dan mengangkatkan lapisan-lapisan hijab daripadanya. Sehingga
terpancar-pancarlah mata air ilmu dari dalamnya. Jikalau anda bertanya:
bagaimana ilmu itu terpancar dari hati itu sendiri, sedang hati itu kosong
daripada ilmu ? Ketahuilah kiranya, bahwa ini termasuk sebahagian daripada
keajaiban rahasia hati. Dan tidak dibolehkan menyebutkannya dalam “Ilmu Mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Akan
tetapi kadar yang mungkin disebutkan, ialah bahwa: hakekat segala sesuatu itu
diguriskan pada Luh-Mahfudh. Bahkan dalam hati para malaikat muqarrabin. Maka
sebagaimana seorang insinyur menggambar bentuk rumah pada kertas putih.
Kemudian dikeluarkannya kepada “ada” yang bersesuaian dengan copy gambaran itu.
Maka seperti itu pulalah Pencipta langit dan bumi, menulis copy alam dari
permulaannya sampai kepada penghabisannya pada Luh-Mahfudh. Kemudian,
dikeluarkanNya kepada “ada”, sesuai dengan copy itu. Dan alam yang telah keluar
kepada “ada” dengan bentuknya itu, membawa bentuk lain kepada pancaindra dan
khayalan. Sesungguhnya orang yang menoleh ke langit dan ke bumi, kemudian
memicingkan matanya, niscaya akan melihat bentuk langit dan bumi dalam
khayalannya. Sehingga seolah-olah ia menoleh kepadanya. Jikalau tidak ada lagi
langit dan bumi dan orang itu tinggal sendirian, niscaya ia memperoleh bentuk
langit dan bumi dalam dirinya. Seakan-akan ia menyaksikan dan menoleh
kepadanya. Kemudian, dari khayalannya itu membawa bekas kepada hati. Lalu
berhasillah di dalam hati, hakekat segala sesuatu yang masuk ke dalam
pancaindra dan khayalan. Dan yang berhasil di dalam hati itu, sesuai dengan
alam yang berhasil dalam khayalan. Dan yang berhasil dalam khayalan itu, sesuai
dengan alam yang ada pada dirinya, di luar dari khayalan dan hati manusia. Dan
alam yang ada itu, sesuai dengan copy yang ada pada Luh-Mahfudh. Maka
seolah-olah alam, mempunyai 4 tingkat pada “ada”. Yaitu: ada pada Luh-Mahfudh.
Dan itu mendahului dari ada jasmaniyahnya. Dan diikuti oleh adanya yang hakiki.
Dan adanya yang hakiki, diikuti oleh adanya yang khayalan. Yakni: ada bentuknya
dalam khayalan. Dan adanya dalam khayalan, diikuti oleh adanya dalam pikiran.
Yakni: ada bentuknya dalam hati. Sebahagian yang ada ini adalah rohaniah
(kerohanian) dan sebahagian lagi jasmaniah (kejasmanian). Sebahagian dari
kerohanian itu, lebih kuat dari sebahagian yang lain. Dan kehalusan ini adalah
dari hikmah ketuhanan. Karena Tuhan menjadikan mata-hitam anda dengan bentuknya
yang kecil, dimana tercetak bentuk alam, langit dan bumi yang demikian luas
tepinya, di dalam mata-hitam itu. Kemudian berjalan dari wujudnya dalam
pancaindra, oleh wujudnya kepada khayalan. Kemudian daripadanya, oleh wujudnya
dalam hati. Maka sesungguhanya anda selama-lamanya tiada mengetahui, selain apa
yang sampai kepada anda. Maka jikalau tidak dijadikan bagi alam seluruhnya
suatu contoh pada diri anda, niscaya tidak ada bagi anda berita dari sesuatu
yang menerangkan diri anda. Maka Maha Sucilah Tuhan yang mengatur segala
keajaiban ini di dalam hati dan mata. Kemudian, telah buta hati dan mata
daripada mengetahuinya. Sehingga jadilah hati kebanyakan makhluk itu bodoh
tentang dirinya dan keajaibannya. Sekarang, marilah kita kembali kepada tujuan
yang dimaksud ! maka kami mengatakan: hati itu kadang-kadang tergambar, bahwa
berhasil padanya hakekat alam dan bentuk alam. Sekali dari pancaindra dan pada
kali yang lain, dari Luh-Mahfudh. Sebagaimana mata itu, tergambar berhasil
padanya bentuk matahari. Sekali dari memandang kepada matahari itu dan pada
lain kali dari memandang ke air yang berkebetulan dengan matahari. Dan
terlihatlah bentuknya di dalam air itu. Maka manakala terangkatlah tabir
diantara seseorang dan Luh-Mahfudh, niscaya ia melihat pada Luh-Mahfudh itu
segala sesuatu. Dan terpancarlah kepadanya ilmu daripada Luh-Mahfudh. Lalu ia tidak
memerlukan lagi, memetik dari dalam pancaindra. Yang demikian itu adalah
seperti terpancarnya air dari dalam bumi. Dan manakala ia menghadapkan dirinya
kepada khayalan yang datang dari yang dirasakan dengan pancaindra, niscaya
adalah yang demikian itu, tabir baginya daripada membaca Luh-Mahfudh.
Sebagaimana air apabila berkumpul dalam sungai, niscaya yang demikian itu
mencegah daripada terpancarnya pada bumi. Dan sebagaimana orang yang melihat
kepada air yang menampakkan bentuk matahari, dia tidak melihat kepada matahari
itu sendiri. Jadi, hati itu mempunyai dua pintu: pintu yang terbuka ke alam
malakut. Yaitu: Luh-Mahfudh dan alam malaikat. Dan: pintu yang terbuka ke
pancaindra yang 5, yang berpegang dengan alamul-mulki wasy-syahadah. Dan
alamul-mulki wasy-syahadah juga memberitakan, semacam pemberitaan dari alam
malakut. Adapun terbukanya pintu hati kepada memetik daripada pancaindra, maka
tidaklah tersembunyi kepada anda. Mengenai terbukanya pintu hati yang masuk ke
alam-malakut dan membaca Luh-Mahfudh, maka mempelajarinya dengan ilmu yakin,
ialah dengan memperhatikan tentang keajaiban mimpi. Dan hati melihat dalam
tidur, apa yang akan terjadi pada masa depan. Atau telah ada pada masa yang
lalu, tanpa dipetik dari segi pancaindra. Sesungguhnya pintu itu terbuka bagi
orang yang menyendiri mengingati (berzikir) akan Allah Ta’ala. Nabi saw
bersabda: “Telah dahulu orang-orang yang menyendiri”. Lalu beliau ditanyakan:
“Siapakah orang-orang yang menyendiri itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw
menjawab: “Orang-orang yang bersenang-senang mengingati Allah Ta’ala
(berzikir). Zikir itu menghapuskan dosa mereka. Lalu mereka datang pada hari
kiamat dalam keadaan ringan”. Kemudian, Nabi saw bersabda, menyifatkan mereka
itu,sebagai pengkabaran daripada Allah Ta’ala: “Kemudian aku hadapkan dengan
mukaku kepada mereka. Adakah engkau melihat, siapakah yang Aku berhadapan
dengan wajahKu ? seseorang mengetahui, barang apa yang Aku maksudkan
memberikannya”. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman: “Yang pertama-tama Aku
berikan, ialah bahwa Aku lemparkan nur ke dalam hati mereka. Lalu mereka
mengabarkan tentang Aku, sebagaimana Aku mengabarkan tentang mereka”. Tempat
masuknya kabar-kabar itu, ialah: pintu batin. Jadi perbedaan antara wali-wali
dan nabi-nabi, antara ilmu para ulama dan hukama’, itulah yang tersebut tadi.
Yaitu: ilmu mereka datang dari dalam hati, dari pintu yang terbuka ke alam
malakut. Dan ilmu hikmah itu datangnya dari pintu pancaindra, yang terbuka ke
alamul-mulki. Dan keajaiban alam hati dan pulang-perginya diantara alam
syahadah (alam yang dapat disaksikan) dan alam gaib, tidak mungkin dibahas
secara mendalam pada “Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Maka itulah contoh yang mengajarkan anda,
perbedaan diantara tempat masuk dua alam itu.
Contoh kedua: diperkenalkan
kepada anda, perbedaan diantara dua amal. Yaitu: amal para ulama dan amal
wali-wali. Para ulama itu beramal dalam mengusahakan ilmu itu sendiri dan
menarikkannya kepada hati. Dan wali-wali sufi itu beramal pada mencemerlangkan
hati, mensucikan, membersihkan dan mengkilatkannya saja. Diceritakan, bahwa
ahli Cina dan ahli Rum, bangga-membanggakan diri dihadapan sebahagian
raja-raja, dengan bagusnya perusahaan mengukir dan membuat gambar. Lalu raja
menetapkan pendapatnya, untuk menyerahkan kepada mereka, suatu ruang. Supaya
ahli Cina mengukir pada suatu sudut daripadanya dan ahli Rum pada sudut yang
lain. Dan diantara keduanya dibentangkan tabir, yang mencegah masing-masing
pihak untuk melihat kepada pihak yang lain. Lalu diperbuatlah yang demikian.
Maka ahli Rum mengumpulkan cat-cat yang ganjil, yang tiada terhingga jumlahnya.
Sedang orang Cina masuk ke tempat itu, tanpa membawa cat. Dan mereka lalu
mencemerlangkan sudutnya dan melicinkannya. Tatkala ahli Rum itu telah selesai,
lalu ahli Cina itu mendakwakan, bahwa mereka telah selesai juga. Maka raja itu
heran dari perkataan ahli Cina itu, bagaimana mereka sudah selesai mengukir,
tanpa ada cat. Lalu orang bertanya kepada ahli Cina itu: “Bagaimana anda sudah
selesai, tanpa cat ?”. Lalu ahli Cina itu menjawab: “Apa tuan-tuan ini.
Angkatlah tabir !”. Lalu mereka mengangkatkannya. Tiba-tiba di sudut mereka,
bersinar-cemerlanglah oleh keajaiban perbuatan orang-orang Rum, serta
bertambahnya kecemerlangan dan kekilatan. Karena sudut mereka telah menjadi
seperti cermin yang berkilat, karena banyaknya pelicinan. Lalu bertambahlah
baik sudut orang Cina itu dengan bertambahnya pelicinan. Maka seperti itulah
kesungguhan wali-wali mensucikan hati, mencemerlangkan, membersihkan dan
menjernihkannya. Sehingga bersinar-cemerlanglah jelasnya kebenaran dengan
sangat bercahaya, seperti perbuatan orang Cina tersebut diatas. Dan kesungguhan
para hukama dan ulama dengan berusaha dan mengukirkan ilmu dan menghasilkan
pengukirannya dalam hati, adalah seperti perbuatan orang Rum itu. Bagaimanapun
urusan itu adanya, maka hati orang mu’min tidak mati. Dan ilmunya ketika mati,
tidak terhapus. Dan kejernihannya tidak akan keruh. Kepada inilah diisyaratkan
oleh Al-Hasan ra dengan katanya: “Tanah tidak akan memakan tempat iman”. Akan
tetapi ia adalah jalan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun apa yang
dihasilkannya dari ilmu itu dan apa yang dihasilkan, dari kebersihan dan
kesediaan, untuk menerima ilmu itu sendiri, maka tidak boleh tidak daripadanya.
Tiada kebahagiaan bagi seseorang, selain dengan ilmu dan ma’rifah. Dan
sebahagian kebahagiaan itu lebih mulia dari sebahagian yang lain. Sebagaimana
orang tidak kaya, selain dengan harta. Maka orang yang mempunyai dirham itu,
orang kaya. Orang yang mempunyai gedung penuh dengan barang-barang itu orang
kaya. Dan lebih-berkurangnya tingkat kebahagiaan, adalah menurut
lebih-berkurangnya ma’rifah dan iman. Sebagaimana lebih-berkurangnya tingkat
orang-orang kaya, adalah menurut sedikit dan banyaknya harta. Ma’rifah itu nur.
Orang-orang mu’min tidak berlari menjumpai Allah Ta’ala, selain dengan nur
mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Cahaya mereka berlari dihadapan dan dikanan
mereka”. S 57 Al Hadiid ayat 12. Diriwayatkan pada hadits: “Bahwa sebahagian
mereka diberikan nur, seperti bukit. Dan sebahagian mereka lebih kecil dari
bukit. Sehingga yang penghabisan dari mereka, adalah seorang laki-laki yang
diberikan nur atas ibu jari kedua tapak kakinya. Lalu nur itu sekali bercahaya
dan sekali padam. Maka apabila bercahaya, niscaya ia mendahulukan kedua tapak
kakinya, lalu ia berjalan. Dan apabila padam, niscaya ia berdiri. Dan lalunya
mereka diatas titian shiratul-mustaqim, adalah menurut kadar nur mereka.
Diantara mereka, ada yang lalu sekejap mata. Diantara mereka, ada yang lalu
seperti kilat. Diantara mereka, ada yang lalu seperti awan. Diantara mereka,
ada yang lalu seperti jatuhnya bintang. Dan diantara mereka, ada yang lalu
seperti kuda, apabila bersangatan larinya di lapangan luas. Dan orang yang diberikan
nur di atas ibu-jari tapak-kakinya, merangkak-rangkak diatas muka, kedua tangan
dan kedua kakinya. Ia menarik tangannya dan menggantungkan tangan yang lain.
Semua segi badannya kena api neraka. Maka senantiasalah ia seperti yang
demikian, sampai ia terlepas”. Dengan ini, jelaslah lebih-berkurangnya tingkat
manusia tentang iman. Dan kalau ditimbang iman Abubakar ra dengan iman isi alam
semesta, selain para nabi dan para rasul, niscaya lebih kuatlah iman Abubakar
ra. Ini juga menyerupai ucapan orang yang mengatakan: “Jikalau ditimbang sinar
matahari dengan sinar lampu seluruhnya, niscaya lebih kuarlah sinar matahari”.
Maka iman masing-masing orang awam, sinarnya adalah seperti sinar lampu.
Sebahagian mereka, sinarnya seperti sinar lilin. Dan iman orang-orang
shiddiqin, sinarnya itu seperti sinar bulan dan bintang-bintang. Dan iman
nabi-nabi itu, seperti matahari. Dan sebagaimana pada sinar matahari, kelihatan
bentuk ufuk, serta luas daerah-daerahnya dan tidak kelihatan pada sinar lampu,
selain suatu sudut yang sempit dari rumah, maka seperti demikianlah
lebih-berkurangnya kelapangan dada dengan ilmu dan terbukanya keluasan malakut
bagi hati orang-orang arifin. Karena itulah tersebut pada hadits: “Sesungguhnya
dikatakan pada hari kiamat: “Keluarkanlah dari neraka, orang-orang yang ada
iman dalam hatinya seberat biji sawi, setengah berat itu, seperempat berat itu
dan seberat biji syair dan biji jagung”. Semua itu pemberitahuan tentang
lebih-kurangnya tingkat iman. Dan iman dalam kadar-kadar tersebut, tidak mencegah
masuk neraka. Dan dalam pengertiannya, dapat dipahami, bahwa orang yang imannya
melebihi berat tadi, tidak masuk neraka. Karena kalau masuk, niscaya disuruh
mengeluarkannya pertama-tama. Dan orang yang dalam hatinya iman seberat biji
sawi, tidak mustahak kekal dalam neraka, walaupun ia masuk ke dalamnya.
Demikian pula sabda Nabi saw: “Tiada suatupun yang lebih baik dari seribu yang
seumpamanya, selain manusia mu’min”. Ini menunjukkan kepada keutamaan hati
orang yang mengenal Allah Ta’ala dengan penuh keyakinan. Maka hatinya itu lebih
baik dari seribu hati orang awam. Allah Ta’ala berfirman: “Kamu adalah lebih
tinggi, kalau kamu benar-benar orang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 139. Ayat
ini menunjukkan kelebihan orang mu’min dari orang muslim. Dan yang dimaksudkan
dengan orang mu’min itu, ialah orang mu’min yang mengenal Allah, bukan orang
yang taqlid (ikut-ikutan). Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11. Maka
yang dimaksudkan disini dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang
benar, tanpa ilmu. Dan dibedakan mereka, dari orang-orang yang diberi ilmu. Dan
yang demikian itu menunjukkan bahwa nama “mu’min” tertuju kepada “muqallid”
(orang yang taqlid), walaupun pembenarannya, tanpa bashirah (melihat dengan
mata hati) dan kasyaf (terbuka hijab). Ibnu Abbas ra menafsirkan firman Allah
Ta’ala: “Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang
tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11, maka Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Allah
Ta’ala mengangkat orang yang berilmu diatas orang mu’min, 700 derajat
tingginya. Dan diantara tiap-tiap dua derajat itu, seperti antara langit dan
bumi. Nabi saw bersabda: “Kebanyakan isi sorga itu orang-orang bodoh. Dan sorga
tinggi bagi orang-orang yang mempunyai akal”. Nabi saw bersabda: “Kelebihan
orang berilmu atas orang yang banyak ibadahnya, adalah seperti kelebihanku atas
orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”. Pada riwayat yang lain,
berbunyi: “Seperti kelebihan bulan pada malam purnama atas bintang-bintang yang
lain”. Dengan bukti-bukti ini, jelaslah bagi anda, lebih-kurangnya derajat isi
sorga, menurut lebih-kurangnya hati dan ma’rifah mereka. Dan karena itulah,
hari kiamat adalah hari tipu-menipu. Karena orang yang tidak memperoleh rahmat
Allah adalah mengalami tipuan dan kerugian besar. Dan orang yang tidak
memperoleh itu melihat diatas tingkatnya tingkat-tingkat yang tinggi. Maka
adalah pandangannya kepada tingkat-tingkat itu, seperti pandangan orang kaya
yang mempunyai 10 dirham, kepada orang kaya yang mempunyai tanah dari Timur ke
Barat. Masing-masing dari kedua orang itu, adalah orang kaya. Tetapi alangkah
besar perbedaan diantara keduanya ! alangkah besarnya kerugian orang yang
merugi keuntungannya dari yang demikian itu ! akhiratlah yang mempunyai derajat
tinggi dan keutamaan besar !
PENJELASAN: saksi-saksi
syara’ atas sahnya jalan ahli tasawwuf dalam mengusahakan ma’rifah, tidak dari
belajar dan jalan yang biasa ditempuh.
Ketahuilah, bahwa
barangsiapa tersingkap (inkisyaf) sesuatu baginya, walaupun hal yang sedikit,
dengan jalan ilham dan jatuh ke dalam hati, dimana ia tidak mengetahuinya, maka
ia telah menjadi orang ‘arif (orang yang berma’rifah) dengan sahnya jalan. Dan
orang yang tiada mengetahui dirinya sekali-kali, maka seyogyalah ia beriman
dengan yang demikian. Sesungguhnya derajat ma’rifah padanya itu mulia sekali.
Untuk yang demikian, dibuktikan oleh saksi-saksi syara’, percobaan-percobaan
dan cerita-cerita. Adapun saksi-saksi syara’, yaitu firman Allah Ta’ala: “Dan
orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabuut ayat 69. Maka tiap-tiap hikmah yang
lahir dari hati, dengan kerajinan beribadah, tanpa belajar itu, adalah dengan
jalan kasyaf dan ilham. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengamalkan apa yang
diketahuinya, niscaya dipusakakan oleh Allah kepadanya, ilmu yang belum
diketahuinya. Dan dianugerahi taufiq oleh Allah kepadanya pada yang
diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh sorga. Dan barangsiapa tiada
mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya ia binasa mengenai yang
diketahuinya. Dan ia tiada memperoleh taufiq pada yang diamalkannya. Sehingga
ia harus memperoleh neraka”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang taqwa
(memenuhi kewajiban) kepada Allah, Dia mengadakan untuk orang itu jalan keluar
(dari kesulitan dan sangka waham). Dan memberikan rezeki kepadanya dari
(sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Allah
mengajarkannya ilmu, tanpa belajar dan menganugerahinya kecerdikan, tanpa
percobaan. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! jika kamu takut kepada Allah, niscaya Ia
akan memberikan kepada kamu pembedaan (antara yang benar dan yang salah)”. S 8
Al Anfaal ayat 29. Ada yang mengatakan, ialah: nur yang membedakan antara yang
benar dan yang batil dan yang mengeluarkannya dari hal-hal yang diragukan.
Karena itulah, Nabi saw membanyakkan dalam doanya meminta: nur. Doanya, yaitu:
“Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku nur, tambahilah aku nur, jadikanlah
dalam hatiku nur, dalam kuburku nur, pada pendengaranku nur –sampai Nabi saw
mengatakan: pada rambutku, pada kulitku, pada dagingku, darahku dan
tulang-belulangku”. Orang bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah Ta’ala:
“Apakah orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima Islam, karena itu dia
mendapat cahaya dari Tuhannya ?”. S 39 Az Zumar ayat 22. “Apakah pembukaan itu
?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: perluasan. Sesungguhnya nur itu, apabila telah
dicurahkan ke dalam hati, niscaya meluaslah dada dan terbuka”. Nabi saw
bersabda untuk Ibnu Abbas: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman
dalam agama dan ajarilah dia penta’wilan (penafsiran)”. Ali ra berkata: “Tak
ada pada kami sesuatu yang dirahasiakan oleh Nabi saw kepada kami, selain
daripada didatangkan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya pemahaman tentang
kitabNya. Dan yang demikian itu tiada dengan belajar”. Ada orang yang
mengatakan mengenai penafsiran firman Allah Ta’ala: “Allah memberikan
kebijaksanaan (hikmah) kepada siapa yang dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat
269. Bahwa: yang dimaksud, ialah pemahaman Kitab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukuman
(yang lebih tepat) itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79. Allah Ta’ala mengkhususkan
yang tersingkap itu, dengan nama: pengertian (pemahaman). Abu Darda’ berkata:
“Orang mu’min ialah orang yang memandang dengan nur Allah, dibalik tutupan yang
halus. Demi Allah, bahwa itu sesungguhnya kebenaran, yang dicurahkan oleh Allah
dalam hati mereka dan dilakukannya diatas lidah mereka”. Sebahagian orang-orang
terdahulu (golongan salaf) berkata: “Sangkaan orang mu’min itu pemberitaan yang
gaib”. Nabi saw bersabda: “Takutilah akan firasat orang mu’min. Maka
sesungguhnya ia melihat dengan nur Allah Ta’ala”. Kepada itulah diisyaratkan
oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tentang hal-hal itu menjadi keterangan
bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda”. S 15 Al Hijr ayat 75. Firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah
menjelaskan keterangan-keterangan kepada kaum yang yakin”. S 2 Al Baqarah ayat
118. Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ilmu itu dua macam. Ilmu batin ialah dalam hati. Itulah ilmu yang bermanfaat”.
Ditanyakan kepada sebahagian ulama, tentang ilmu batin: “Apakah ilmu batin itu
?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu: salah satu dari rahasia (sirr) Allah Ta’ala, yang
dicurahkanNya dalam hati kekasih-kekasihNya, yang tidak diperlihatkanNya kepada
malaikat dan kepada manusia”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari
umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddats), guru dan ahli-ahli
ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka”. Ibnu Abbas ra membaca
ayat: “Dan tiadalah Kami mengutuskan dari sebelum engkau, seorang rasul, Nabi
dan muhaddats. Yakni: orang-orang shiddiqin. Muhaddats itu, ialah: yang
diilhami. Dan yang diilhami itu, ialah: orang yang tersingkap (memperoleh
kasyaf) dalam batin hatinya dari pihak dalam. Tidak dari pihak yang dapat
dirasakan dengan pancaindra yang diluar. Alquran menegaskan, bahwa taqwa itu
kunci hidayah dan kasyaf. Dan itu adalah ilmu, tanpa belajar. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan apa yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi, adalah
menjadi bukti kebenaran bagi kaum yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S
10 Yunus ayat 6. Allah mengkhususkan bukti itu kepada mereka tadi. Allah Ta’ala
berfirman: “Quran inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran
dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3
Ali ‘Imran ayat 138. Abu Yazid dan lainnya mengatakan: “Bukanlah orang yang
berilmu (orang alim) itu, orang yang menghafal dari kitab. Apabila ia lupa yang
dihafalkannya, niscaya ia menjadi orang bodoh. Sesungguhnya orang yang berilmu,
ialah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya, pada sembarang waktu yang
dikehendakinya, tanpa hafalan dan pelajaran”. Inilah ilmu rabbany (ilmu yang
langsung diterima dari Tuhan). Dan kepada inilah diisyaratkan dengan firman
Allah Ta’ala: “Dan telah Kami ajarkan pengetahuan daripada kami kepadanya”. S
18 Al Kahfi ayat 65, sedang semua ilmu itu adalah daripadaNya. Akan tetapi
sebahagian dari ilmu itu adalah dengan perantaraan pengajaran makhlukNya. Maka
ilmu yang demikian, tidak dinamai: Ilmu Ladunni. Tetapi ilmu ladunni, ialah
yang terbuka dalam rahasia hati, tanpa sebab yang biasa dari luar. Inilah
saksi-saksi naqli, (yang diambil dari Allah). Jikalau semua yang datang dari
ayat, hadits dan atsar dikumpulkan, niscaya tidak terhingga adanya. Adapun
penyaksian yang demikian itu dengan pengalaman, maka yang demikian itu, juga
tidak terhingga. Yang demikian itu telah tampak pada para sahabat, para tabi’in
dan orang-orang sesudahnya. Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata kepada ‘Aisyah
ketika akan meninggal dunia: “Bahwa keduanya itu dua saudara laki-laki engkau
dan dua saudara perempuan engkau”. Dan isteri Abubakar ra ketika itu sedang
mengandung. Kemudian isterinya itu melahirkan anak perempuan. Jadi Abubakar ra
telah mengetahui sebelum lahir, bahwa anaknya itu perempuan. Saidina Umar ra
ketika sedang membaca khutbah, lalu mengatakan: “Hai Sariah ! bukit-bukit !!”.
Karena tersingkap kepadanya (dalam kasyaf), bahwa musuh mendekati Sariah. Lalu
ia memperingatkannya, karena ia mengetahui yang demikian. Kemudian sampainya
suaranya itu kepada Sariah, termasuk dalam jumlah kiramat yang besar. Dari Anas
bin Malik ra, yang berkata: “Aku masuk ke tempat Usman ra. Dan di jalan tadi
aku bertemu dengan seorang wanita. Lalu aku memandang kepadanya dengan ujung
mata dan aku memperhatikan kecantikannya”. Lalu Usman ra berkata, tatkala masuk
itu: “Masuk ke tempatku, salah seorang kamu dan bekas zina kelihatan pada kedua
matanya. Tidakkah engkau ketahui, bahwa zina dua mata itu, ialah: memandang ?
taubatlah dengan segera atau aku hukum engkau !”. Lalu aku bertanya: “Adakah
wahyu sesudah nabi ?”. Usman menjawab: “Tidak ! tetapi, mata hati, dalil dan
firasat yang benar !”. Dari Abi Sa’id Al-Charraz, yang berkata: “Aku masuk
Masjidil-haram, lalu aku melihat seorang miskin dengan dua potong pakaian pada
badannya. Lalu aku berkata kepada diriku: “Orang ini dan orang-orang yang
seperti ini, adalah orang-orang yang bergantung hidup pada orang lain”. Lalu
orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah mengetahui apa yang pada diri
kamu. Waspadalah !”. Maka aku bermohon ampun kepada Allah dalam hatiku. Lalu
orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah yang menerima taubat daripada
hambaNya”. Kemudian orang itu menghilang daripada aku dan aku tidak melihatnya
lagi”. Zakaria bin Daud berkata: “Abul-Abbas bin Masruq masuk ke tempat
Abil-Fadli Al-Hasyimi. Dan dia itu sedang sakit. Dan mempunyai keluarga. Dan
tiada diketahui sumber kehidupan Abil-Fadli Al-Hasyimi itu”. Abul-Abbas
menerangkan: “Tatkala aku bangun berdiri, lalu aku berkata pada diriku: “Dari
manakah orang ini makan ?”. Lalu Abil-Fadli berteriak kepadaku: “Hai Abul-Abbas
! tolaklah angan-angan yang keji itu ! sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai
sifat lemah-lembut yang tersembunyi”. Ahmad An-Naqib berkata: “Aku masuk ke
tempat Asy-Syibli. Lalu ia berkata: “Difitnah orang, hai Ahmad !”. Maka aku
bertanya: “Apa kabar ?”. Ia menjawab: “Sewaktu aku sedang duduk, lalu
tergurislah di hatiku, bahwa engkau kikir”. Lalu aku menjawab: “Aku tidak
kikir. Lalu kembali terguris dalam hatiku. Dan Asy-Syibli berkata: “Tetapi
engkau kikir”. Maka aku menjawab: “Apa saja yang terbuka kepadaku hari ini
disebabkan sesuatu, niscaya aku serahkan kepada orang miskin yang pertama aku
jumpai”. Lalu ia berkata: “Belum habis lagi yang terguris itu, lalu datanglah
kepadaku Shahibul-Mu’nis, seorang pelayan, dengan membawa uang 50 dinar. Lalu
Shahibul-Mu’nis berkata: “Pakailah uang ini pada kepentinganmu !”. Ahmad
An-Naqib meneruskan ceritanya: “Aku bangun, lalu aku ambil uang itu dan aku
keluar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang miskin buta, dihadapan tukang cukur,
yang sedang mencukur rambutnya. Lalu aku datang kepadanya dan menyerahkan dinar
itu kepadanya. Lalu orang itu berkata: “Serahkanlah uang itu kepada tukang
cukur !”. Lalu aku menerangkan, bahwa jumlahnya sekian”. Orang buta itu
berkata: “Bukankah kami telah mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu kikir
?”. Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya: “Lalu aku serahkan uang itu kepada
tukang cukur”. Tukang cukur itu lalu berkata: “Kami telah berjanji, tatkala
orang miskin ini duduk dihadapan kami, bahwa kami tidak akan mengambil ongkos”.
Ahmad An-Naqib berkata seterusnya: “Lalu aku lemparkan uang itu ke dalam sungai
Tigris, seraya aku berkata: “Tiada dimuliakan engkau oleh seseorang, melainkan
orang itu dihinakan oleh Allah Ta’ala !”. Hamzah bin Abdullah Al-‘Alwi berkata:
“Aku masuk ke tempat Abil-Khair At-Tainani dan aku bertekad pada diriku, bahwa
aku akan memberi salam kepadanya. Dan tidak akan memakan makanan di rumahnya.
Maka tatkala aku keluar dari rumahnya, tiba-tiba ia mengikuti aku, dengan
membawa sebuah baki, yang didalamnya ada makanan, seraya berkata: “Hai orang
muda ! makanlah ! telah keluarlah saat dari tekadmu”. Abul-Khair At-Tainani ini
terkenal benar dengan kiramatnya. Ibrahim Ar-Ruqy berkata: “Aku menuju ke
tempat Abul-Khair At-Tainani, untuk memberi salam kepadanya. Maka masuklah
waktu shalat Magrib. Maka hampir selesai ia membaca Surat Al-Fatihah, lalu aku
berkata dalam hatiku: “Telah hilang kainku yang tertinggal di luar”. Sesudah
memberi salam, lalu aku keluar ke tempat bersuci. Lalu menuju kepadaku seekor
binatang buas. Maka aku kembali kepada Abul-Khair, seraya menerangkan, bahwa
seekor binatang buas menuju kepadaku”. Abul-Khair lalu keluar dan berteriak,
seraya berkata: “Bukankah sudah aku mengatakan kepadamu: “Jangan engkau ganggu
tamu-tamuku ?”. Lalu singa itu menyingkir dan aku bersuci. Sewaktu aku telah
kembali, lalu Abdul-Khair berkata kepadaku: “Kamu sibuk membetulkan yang
zahiriah, lalu engkau takut kepada singa. Dan kami sibuk membetulkan yang
batiniah, lalu singa tu takut kepada kami”. Apa yang diceritakan, mengenai
firasat para syaikh dan perkabaran mereka tentang itikad dan isi hati manusia,
adalah tidak dapat dihinggakan jumlahnya. Bahkan apa yang diceritakan daripada
mereka, tentang melihat Nabi Khidir as dan bertanya kepadanya, adalah mendengar
suara dengan tiada kelihatan yang empunya suara itu. Dari bermacam-macam bentuk
kiramat adalah diluar hinggaan. Dan cerita tentang kiramat ini, tiada
bermanfaat bagi orang yang mengingkarinya, sebelum ia menyaksikan sendiri yang
demikian. Dan orang yang mengingkari pokok, niscaya mengingkari penguraiannya.
Dalil tegas yang tidak sanggup seorangpun membantahnya, adalah dua perkara:
Pertama: keajaiban mimpi
yang benar. Maka sesungguhnya tersingkaplah yang gaib dengan mimpi tersebut.
Apabila boleh yang demikian dalam tidur, maka tidak mustahil pula waktu jaga.
Tidur itu tidak berbeda dengan jaga, selain dari tenangnya pancaindra, tidak
bekerja dengan hal-hal yang dipancaindrai. Berapa banyak orang yang jaga,
tenggelam dalam lautan khayal, tidak mendengar dan melihat, karena sibuknya
dengan diri sendiri.
Kedua: perkabaran dari
Rasulullah saw tentang hal gaib dan hal-hal yang terjadi pada masa yang akan
datang, sebagaimana yang terkandung dalam Alquran. Dan apabila boleh yang
demikian pada Nabi saw maka boleh pula pada selain Nabi saw. Karena Nabi adalah
ibarat orang yang tersingkap (kasyaf) baginya hakekat-hakekat segala hal. Dan
ia bekerja untuk memperbaiki makhluk. Maka tidak mustahil dalam wujud (alam)
ini, ada orang yang tersingkap baginya hakekat-hakekat itu dan ia tidak bekerja
untuk memperbaiki makhluk. Orang ini tidak dinamai nabi, tetapi dinamai: wali.
Maka orang yang beriman kepada nabi-nabi dan membenarkan mimpi yang benar,
niscaya –tidak mustahil- ia harus mengakui, bahwa hati itu mempunyai dua pintu.
Sebuah pintu keluar, yaitu: pancaindra dan sebuah pintu lagi ke alam malakut
dari dalam hati. Yaitu: ilham, inspirasi dan wahyu. Maka apabila ia mengakui
keduanya itu, niscaya ia tidak mungkin menghinggakan ilmu pengetahuan pada
belajar dan secara langsung sebab-sebab yang dibiasakan. Akan tetapi haruslah
mujahadah (bersungguh-sungguh) menjadi jalan kepadanya. Maka inilah apa yang
memberitahukan tentang hakekat yang kami sebutkan dahulu, mengenai keajaiban
pulang-perginya hati, diantara alamusy-syahadah dan alamul-malakut. Adapun
sebab terbukanya sesuatu hal dalam tidur, dengan contoh yang memerlukan kepada
ta’bir (ta’bir mimpi) dan begitupula para malaikat merupakan diri bagi
nabi-nabi dan wali-wali dengan bentuk yang bermacam-macam, maka itu juga
termasuk diantara rahasia keajaiban hati. Dan ini tidak layak selain dengan
ilmu-mukasyafah. Maka kami ringkas saja menurut yang telah kami sebutkan itu.
Sesungguhnya itu mencukupilah untuk menggerakkan mujahadah dan mencari kasyaf
daripadanya. Setengah ulama kasyaf berkata: “Tampak kepadaku malaikat, lalu
meminta kepadaku, supaya aku imla’kan (ditekan) kepadanya, sesuatu dari
ingatanku yang tersembunyi, dari musyahadahku tentang tauhid. Dan malaikat itu
berkata: “Kami tidak menuliskan bagimu sesuatu amalan (pekerjaan yang kamu
kerjakan). Dan kami ingin menaikkan bagimu amalan, dimana dengan amalan itu
kami mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala”. Lalu aku bertanya: “Tidakkah kamu
berdua menuliskan yang fardlu-fardlu ?”. Kedua malaikat itu menjawab: “Ya !”.
Maka aku menyambung: “Mencukupilah yang demikian itu bagi kedua engkau”. Ini
memberi isyarat, bahwa malaikat-malaikat yang menuliskan amalan manusia
(malaikat kiramil-katibin), tidak mengetahui rahasia hati. Hanya mengetahui
amalan zahiriah saja. Setengah ahl ma’rifat berkata: “Aku bertanya kepada
sebahagian wali mengenai persoalan musyahadatul-yaqin (yang disaksikan dengan
yakin), lalu ia menoleh ke kiri, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu
katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menoleh ke
kanan, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya
engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menekur ke dadanya, seraya bertanya: “Apakah
yang akan kamu katakan, diberi rahmat engkau oleh Allah Ta’ala ?”. Kemudian, ia
menjawab dengan jawaban yang sangat ganjil yang pernah aku dengar. Lalu aku
tanyakan tentang tolehannya itu. Maka itu menjawab: “Tak ada padaku jawaban
yang tersedia mengenai pertanyaan itu. Maka aku bertanya kepada yang empunya
kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku bertanya kepada yang empunya
kanan. Dia itu lebih tahu dari yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak
tahu”. Lalu aku melihat kepada hatiku dan aku bertanya kepadanya. Maka ia
mengatakan kepadaku, apa yang aku jawabkan tadi kepadamu. Jadi, hatilah yang
lebih tahu dari dua yang tersebut itu. Dan seakan-akan ini adalah pengertian
sabda Nabi saw: “Sesungguhnya pada umatku ada orang-orang muhaddats (yang
diilhami). Dan Umar ra adalah salah seorang dari mereka”. Pada atsar (ucapan
Nabi saw atau sahabat), tersebut, bahwa Allah Ta’ala berfirman, yang maksudnya:
“Barangmana hambaKu yang Aku melihat kepada hatinya, lalu kelihatan kepadaKu
yang banyak padanya berpegang dengan zikirKu, niscaya Aku pimpin
kebijaksanaannya, Aku adalah yang duduk, yang bercakap-cakap dan yang
berjinak-jinakan dengan dia”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Adalah hati
itu laksana kubah yang diperbuat. Dikelilingnya pintu-pintu yang terkunci. Maka
pintu manapun yang dibuka baginya, niscaya ia beramal padanya: “Maka tampaklah
terbukanya salah satu dari pintu hati ke pihak alamul-malakut dan
al-malail-a’la. Dan pintu itu terbuka dengan mujahadah, wara’ dan meninggalkan
nafsu syahwat duniawi”. Karena itulah, Umar ra menulis surat kepada
panglima-panglima tentara: “Jagalah apa yang kamu dengar dari orang-orang yang
taat. Sesungguhnya menampak bagi mereka hal-hal yang benar !”. Sebahagian ulama
berkata: “Tangan (kekuasaan) Allah diatas mulut para ahli-hikmat (hukama).
Mereka taida menuturkan sesuatu, selain dengan kebenaran yang disediakan oleh
Allah untuk mereka”. Hukama yang lain berkata: “Jikalau aku mau, niscaya aku
mengatakan, bahwa Allah Ta’ala memperlihatkan kepada orang-orang khusyu’
sebahagian rahasiaNya”.
PENJELASAN: penguasaan setan
atas hati, dengan waswas, pengertian waswas dan sebab kerasnya waswas itu.
Ketahuilah, bahwa hati
sebagaimana telah kami sebutkan, adalah seperti kubah, yang diperbuat. Dan mempunyai
pintu-pintu, yang ditegakkan kepada hati itu, hal-ihwal, dari masing-masing
pintu. Dan juga hati itu seperti sasaran, yang ditegakkan kepadanya, panah dari
segala pihak. Atau seperti cermin yang ditegakkan, singgah di cermin itu segala
macam bentuk yang beraneka ragam. Lalu menampak padanya bentuk barang satu
persatu. Dan tidak terlepas cermin itu dari bentuk-bentuk tersebut. Atau
seperti kolam yang tercurah ke dalamnya air yang bermacam-macam dari
sungai-sungai yang terbuka alirannya ke kolam itu. Sesungguhnya, tempat-tempat
masuk bekas-bekas yang silih berganti ke dalam hati itu, pada segala hal,
adakalanya: dari zahiriah. Maka itu: pancaindra yang lima. Adakalanya dari
batiniah. Maka itu: khayal, nafsu-syahwat, marah dan akhlak yang tersusun dari instink
manusia. Maka sesungguhnya manusia itu apabila mengetahui sesuatu dengan
pancaindranya, lalu berhasillah bekas daripadanya dalam hati. Begitupula,
apabila bergelora syahwatnya –umpamanya, disebabkan banyak makan dan kekuatan
pada instinknya, niscaya berhasillah bekas daripadanya di dalam hati. Dan
walaupun ia tercegah dari kepancaindraan. Maka khayalan-khayalan yang berhasil
dalam jiwa itu tetap. Dan berpindahlah khayalan dari sesuatu kepada sesuatu
yang lain. Dan menurut kepindahan khayal itu, berpindahlah hati dari suatu
keadaan kepada keadaan yang lain. Dan yang dimaksud, ialah bahwa hati itu
selalu dalam perobahan dan pembekasan dari sebab-sebab tersebut. Bekas yang
terdapat dalam hati yang paling khusus, ialah: gurisan-gurisan di dalam hati. Yang
dimaksud dengan gurisan-gurisan itu, ialah: pemikiran-pemikiran yang terdapat
dalam hati dan ingatan-ingatan. Ya’ni: pengetahuan hati akan ilmu-ilmu.
Adakalanya dengan jalan kontinu dan adakalanya dengan jalan ingatan. Maka itu
dinamai: gurisan-gurisan, dimana ia terguris sesudah hati itu melupakannya. Dan
gurisan-gurisan itu adalah penggerak-penggerak kemauan. Sesungguhnya niat,
cita-cita dan kemauan itu, berada tentunya sesudah terguris yang diniatkan
dengan hati. Maka permulaan segala perbuatan, ialah: gurisan-gurisan. Kemudian
gurisan itu, menggerakkan keinginan. Keinginan itu menggerakkan cita-cita.
Cita-cita itu menggerakkan niat. Dan niat itu menggerakkan anggota badan. Dan
gurisan-gurisan yang menggerakkan keinginan itu, terbagi kepada: yang mengajak
kepada kejahatan. Ya’ni: yang akibatnya membawa kepada melarat. Dan yang
mengajak kepada kebaikan. Ya’ni: kepada yang bermanfaat di negeri akhirat.
Keduanya itu adalah dua gurisan yang berlawanan. Keduanya memerlukan nama yang
berlainan. Maka gurisan yang terpuji, dinamai: ilham. Dan gurisan yang tercela,
ya’ni: yang mengajak kepada kejahatan, dinamai: waswas. Kemudian, anda
mengetahui, bahwa gurisan-gurisan di dalam hati itu, adalah: baharu (hadits).
Kemudian tiap-tiap yang baharu, haruslah mempunyai: yang membaharukan
(muhdits). Dan tatkala yang baharu itu bermacam-macam, maka yang demikian itu
menunjukkan atas bermacam-macam sebabnya. Ini diketahui dari sunnah Allah
Ta’ala, pada penyusunan musabbab-musabbab diatas sebab-sebabnya. Manakala
bercahayalah dinding-dinding tembok rumah dengan cahaya api dan gelaplah
atapnya dan menghitam dengan asap, maka tahulah anda, bahwa sebab kehitaman itu
bukanlah sebab dari kesinaran. Begitupula, kesinaran hati dan kegelapannya,
mempunyai dua sebab yang berbeda. Maka sebab gurisan yang mengajak kepada
kebajikan, dinamai: malaikat. Dan sebab gurisan yang mengajak kepada kejahatan,
dinamai: setan. Dan kehalusan yang menyediakan hati untuk menerima ilham
kebajikan, dinamai: taufiq. Dan yang menyediakan untuk menerima waswas setan,
dinamai: kesesatan dan kehinaan. Maka pengertian-pengertian yang berbeda itu,
memerlukan kepada nama-nama yang berbeda. Dan malaikat adalah makhluk yang
dijadikan oleh Allah Ta’ala. Urusannya ialah melimpahkan kebajikan,
memfaedahkan ilmu, membuka kebenaran, berjanji dengan kebajikan dan menyuruh
dengan yang baik. Allah Ta’ala menjadikannya yang demikian dan menentukannya
untuk yang demikian. Setan adalah makhluk yang urusannya berlawanan dengan yang
demikian. Yaitu: janji dengan kejahatan, menyuruh perbuatan keji dan
menakut-nakuti dengan kemiskinan, ketika orang bercita-cita kepada kebajikan.
Maka waswas adalah bertentangan dengan ilham. Setan bertentangan dengan
malaikat. Dan taufiq bertentangan dengan kehinaan. Dan kepada inilah,
diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 49. Sesungguhnya semua yang ada
(maujud) itu bertentangan, bercampur-aduk, selain Allah Ta’ala. Dialah yang
tunggal, tiada bagiNya yang bertentangan. Tetapi Ia Yang Maha Esa, Yang Benar,
yang menjadikan segala yang berpasang-pasangan itu. Hati itu tarik-menarik
diantara setan dan malaikat. Nabi saw bersabda: “Pada hati ada dua langkah.
Yang satu dari malaikat: perjanjian dengan kebajikan dan pembenaran dengan yang
benar. Barangsiapa memperoleh yang demikian, maka hendaklah ia tahu, bahwa itu
adalah dari Allah swt. Dan hendaklah ia memuji Allah ! dan yang satu langkah
lagi dari musuh, perjanjian dengan kejahatan, pembohongan dengan yang benar dan
larangan dari kebajikan. Barangsiapa memperoleh yang demikian, maka hendaklah
ia berlindung dengan Allah dari setan yang terkutuk !”. Kemudian Nabi saw
membaca firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Setan menjanjikan kemiskinan kepada
kamu dan menyuruh mengerjakan pekerjaan keji”. S 2 Al Baqarah ayat 268.
Al-Hasan berkata: “Kedua langkah tadi adalah dua cita-cita yang berjalan dalam
hati. Suatu cita-cita daripada Allah Ta’ala dan suatu cita-cita lagi daripada
musuh. Allah merahmati hambaNya yang tegak pada cita-citaNya. Maka apa yang
daripada Allah Ta’ala, hendaklah diteruskannya. Dan apa yang daripada musuhnya,
hendaklah dilawannya dengan mujahadah. Dan hati itu tarik-menarik diantara dua
kekuasaan ini”. Rasulullah saw bersabda: “Hati orang mu’min diantara dua anak jari
dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”. Allah Ta’ala Maha Suci daripada
mempunyai anak jari yang tersusun dari daging, tulang, darah dan urat yang
terbagi dengan tulang-tulang anak jari. Tetapi roh anak jari itu lekas
berbulak-balik dan sanggup menggerakkan dan merobahkan. Anda tidak bermaksud
anak jari anda itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan, ialah perbuatan anak jari
itu berbalik-balik dan berbanyak gerak, sebagaimana anda melaksanakan segala
perbuatan dengan anak jari anda. Allah Ta’ala berbuat apa yang diperbuatNya,
dengan menjadikan malaikat dan setan. Keduanya dijadikan dengan kekuasaanNya
pada membalik-balikkan hati, sebagaimana anak-anak jari anda dijadikan bagi
anda pada membalik-balikkan tubuh umpamanya. Hati itu pada asal fitrahnya, pantas
untuk menerima pengaruh malaikat dan pengaruh setan dalam keadaan yang sama.
Tidak lebih kuat salah satu daripadanya terhadap yang lain. Hanya lebih kuat
salah satu daripada kedua pihak itu, dengan mengikuti hawa nafsu dan
berkecimpung dalam nafsu syahwatnya atau berpaling daripadanya dan
menyalahinya. Apabila manusia mengikuti kehendak marah dan hawa nafsu, niscaya
kekuasaan setan itu tampak dengan perantaraan hawa nafsu. Dan hati menjadi
tempat menetap dan tempat bermukim setan. Karena hawa nafsu adalah rumput yang
hijau dan tempat bersenang-senang setan. Jikalau bersungguh-sungguh melawan
hawa nafsu dan tidak memberi kekuasaan kepada hawa nafsu untuk menguasai
dirinya dan ia menyerupai dengan akhlak malaikat as, niscaya hatinya menjadi
tempat ketetapan malaikat dan tempat singgahannya. Manakala hati itu tidak
terlepas dari nafsu syahwat, marah, loba, rakus, panjang angan-angan dan
sifat-sifat kemanusiaan lainnya, yang bercabang dari hawa nafsu, maka tidak
ragu lagi, bahwa hati itu tidak terlepas daripada setan di dalamnya, yang
mundar-mandir dengan waswas. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Masing-masing
kamu mempunyai setannya. Lalu para sahabat bertanya: “Dan engkau wahai
Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Juga saya. Hanya saya ini ditolong oleh Allah
Ta’ala terhadap setan itu. Lalu ia Islam, maka ia tidak menyuruh, kecuali yang
kebajikan”. Sesungguhnya adalah demikian, karena setan itu tidak berbuat
sesuatu, kecuali dengan perantaraan hawa nafsu. Maka siapa yang ditolong oleh
Allah Ta’ala terhadap hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu itu tidak berkembang,
selain menurut yang layak dan kepada batas yang layak, maka hawa nafsunya itu
tidak mengajak kepada kejahatan. Setan yang menggunakan hawa nafsu yang
demikian, tidak menyuruh, selain yang kebajikan. Manakala mengingati duniawi
sudah berkeras pada hati sepanjang kehendak hawa-nafsu, niscaya setan
memperoleh jalan. Lalu ia mendatangkan bisikan dalam hati manusia. Manakala
hati telah berpaling kepada mengingati Allah Ta’ala, niscaya setan itu pergi
dan sempitlah jalannya. Lalu malaikat menghadap ke hati itu dan membawa ilham.
Jatuh-menjatuhkan diantara tentara malaikat dan tentara setan dalam peperangan
hati itu berjalan terus-menerus. Sehingga terbukalah hati kepada salah satu
daripada keduanya. Lalu yang satu itu bertempat dan menetap di dalam hati. Dan
singgahnya yang kedua lagi ke dalam hati, adalah secara perebutan. Kebanyakan
hati yang telah dikalahkan oleh tentara setan dan dimilikinya, lalu hati itu
penuhlah dengan waswas yang mengajak kepada mengutamakan duniawi dan membuang
akhirat. Dan permulaan kekuasaan tentara setan itu, ialah menuruti segala
keinginan dan hawa nafsu. Dan tidak mungkin mengalahkannya sesudah itu, selain
dengan mengosongkan hati dari makanan setan. Yaitu: hawa nafsu dan segala keinginan
syahwat. Dan pembangunannya, ialah dengan mengingati Allah Ta’ala yang membawa
pengaruh malaikat ke dalam hati. Jabir bin ‘Ubaidah Al-‘Adawi berkata: “Aku
mengadu kepada Al-‘Ula’ bin Ziyad, bahwa aku tiada memperoleh waswas dalam
dadaku. Lalu beliau menjawab: “Contoh yang demikian adalah seperti rumah yang
dimasuki pencuri. Kalau ada sesuatu dalam rumah itu, lalu diambilnya. Kalau
tidak ada, maka pencuri itu terus pergi dan meninggalkan rumah itu”. Ya’ni:
bahwa hati yang kosong dari hawa nafsu, tidak akan dimasuki oleh setan. Karena
itulah Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, engkau tiada
mempunyai kekuasaan atas mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 65. Maka tiap-tiap orang
yang mengikuti hawa nafsu itu, adalah budak hawa nafsu, bukan hamba Allah.
Karena itulah, Allah Ta’ala menguasakan setan atas orang tersebut. Allah Ta’ala
berfirman: “Adakah engkau lihat orang yang mengambil keinginan (nafsunya)
menjadi tuhannya ?”.S 45 Al Jaatsiah ayat 23. Itu adalah isyarat, bahwa
sebahagian dari hawa nafsu itu, menjadi tuhan dan penyembahannya. Maka dia itu
budak hawa nafsu, bukan hamba Allah. Karena itulah, ‘Amru bin ‘Ash berkata
kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! setan itu menghalangi aku dari shalatku
dan qiraahku (pembacaa Alquran)”. Rasulullah saw menjawab: “Itu adalah setan
yang dinamai: Khanzab. Apabila engkau merasakannya, maka berlindunglah
daripadanya dengan Allah Ta’ala ! dan ludahilah ke kiri engkau 3 kali !”. ‘Amru
bin ‘Ash meneruskan ceritanya: “Lalu aku lakukan yang demikian. Maka Allah Ta’ala
menghilangkan setan itu daripadaku”. Tersebut pada hadits: “Wudlu itu mempunyai
setan, yang dinamai: Walhan. Maka berlindunglah dengan Allah Ta’ala daripadanya
!”. Waswas setan itu tidak terhapus dari hati, selain dengan mengingati yang
lain daripada yang mewaswaskan itu. Karena apabila terguris dalam hati, ingatan
sesuatu, niscaya hilanglah yang telah ada di dalam hati sebelumnya. Akan tetapi
semua itu, selain Allah Ta’ala dan yang berhubungan dengan Allah Ta’ala, maka
boleh pula bahwa hati itu adalah tempat lalu-lintasnya setan. Dan mengingati
Allah adalah yang mendatangkan keamanan keliling hati. Dan yang memberitahukan
bahwa hati itu bukanlah tempat lalu lintasnya setan. Mengobati sesuatu itu
adalah dengan lawannya. Dan lawan semua bisikan setan itu, ialah mengingati
Allah Ta’ala dengan berlindung padaNya. Dan melepaskan diri dengan daya dan
tenaga. Dan itulah artinya perkataan kita: “Aku berlindung dengan Allah Ta’ala
dari setan yang terkutuk. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Besar”. Dan tiada yang menyanggupi demikian, selain orang-orang
taqwa, yang dimenangi oleh ingatan kepada Allah Ta’ala pada mereka. Dan setan
itu berkeliling pada mereka, pada waktu-waktu lengah dengan jalan mencari
kesempatan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa,
apabila mereka ditipu setan yang datang berkunjung, mereka ingat kembali dan
ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al
A’raaf ayat 201. Mujahid berkata tentang pengertian firman Allah Ta’ala: “Dari
bahaya bisikan (setan) yang mengendap”. S 114 An Naas ayat 4, yaitu: setan itu
mengembang pada hati. Apabila orang mengingati Allah Ta’ala, maka setan itu
mengendap dan kuncup. Apabila lupa kepada Allah Ta’ala, niscaya setan itu berkembang
pada hatinya. Perlawanan antara mengingati Allah Ta’ala dan bisikan setan,
adalah seperti perlawanan antara cahaya dan gelap dan antara malam dan siang.
Dan karena berlawanan keduanya itu, Allah Ta’ala berfirman: “Setan telah
menguasai mereka dan melupakan mengingati Allah”. S 58 Al Mujaadalah ayat 19.
Anas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Setan itu meletakkan belalainya pada
hati anak Adam (manusia). Apabila manusia itu mengingati Allah Ta’ala, niscaya
setan itu mengendap. Dan jikalau ia melupakan Allah Ta’ala, niscaya setan itu
akan menelan hatinya”. Ibnu Wadl-dlah berkata pada suatu hadits yang
disebutkannya: “Apabila sampai seseorang 40 tahun dan tidak bertaubat, niscaya
setan menyapu mukanya dengan tangannya. Dan setan itu berkata: “Demi bapakku !
muka orang yang tiada memperoleh kemenangan”. Sebagaimana nafsu syahwat itu
bercampur dengan daging dan darah manusia, maka kekuasaan setan juga berjalan
dalam daging dan darahnya. Dan mengelilingi hati dari segala pinggirnya. Karena
itulah Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada manusia pada
tempat jalannya darah. Maka sempitkanlah tempat jalannya itu dengan lapar !”.
Yang demikian itu, adalah karena lapar menghancurkan nafsu syahwat. Dan tempat
jalannya setan, ialah nafsu syahwat. Dan karena berkelilingnya nafsu syahwat
bagi hati dari segala pinggirnya. Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang
Iblis: “Aku akan duduk mengganggu mereka dari jalan yang lurus. Kemudian itu,
aku datang kepada mereka dari hadapan dan dari belakangnya, dari kanan dan dari
kirinya”. S 7 Al A’raaf ayat 16-17. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu
duduk mengganggu manusia dengan beberapa jalan. Ia duduk melakukan gangguan itu
dengan jalan Islam. Setan itu berkata kepada manusia: “Apakah kamu masuk Islam,
meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu ?”. Tetapi manusia itu menantang
setan dan memeluk agama Islam. Kemudian, setan itu duduk mengganggu manusia
dengan jalan hijrah. Setan itu berkata: “Apakah kamu akan hijrah, meninggalkan
bumimu dan langitmu ?”. Tetapi manusia itu menantang setan dan berhijrah.
Kemudian, setan itu duduk mengganggu manusia dengan jalan jihad. Setan itu
berkata: “Apakah kamu akan berjihad, sedang jihad itu menghilangkan nyawa dan
harta ? kamu akan berperang, lalu kamu terbunuh. Maka isterimu akan dikawini
oleh orang lain dan hartamu akan dibagi-bagikan”. Tetapi manusia itu menantang
setan dan berjihad”. Dan Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berbuat
demikian, lalu meninggal dunia, niscaya berhak bagi Allah memasukkannya ke dalam
sorga”. Rasulullah saw menyebutkan arti bisikan. Yaitu: gurisan-gurisan di
dalam hati yang terguris bagi seorang pejuang (mujahid), bahwa ia akan terbunuh
dan isterinya akan dikawini oleh orang lain dan gurisan-gurisan yang lain, yang
mengelakkannya daripada jihad. Gurisan-gurisan tersebut itu dapat dimaklumi.
Jadi, bisikan itu dapat dimaklumi dengan penyaksian. Dan semua gurisan itu
mempunyai sebab. Dan menghendaki kepada nama yang dikenalnya. Maka nama
sebabnya, ialah: setan. Dan tidak akan tergambar, bahwa manusia itu dapat
terlepas dari setan. Hanya manusia itu berbeda diantara seorang dengan lainnya,
tentang kedurhakaannya dan penurutannya kepada setan. Karena itulah, Nabi saw
bersabda: “Masing-masing orang itu mempunyai setannya”. Maka dengan penelitian
yang semacam ini, jelaslah arti: bisikan, ilham, malaikat, setan, taufiq dan
penghinaan. Kemudian, sesudah ini terdapatlah pandangan bagi orang yang
memperhatikan tentang setan itu, bahwa setan itu tubuh halus atau bukan tubuh.
Jikalau dia itu tubuh, maka bagaimanakah masuk ke dalam tubuh manusia, barang
yang bertubuh. Mengenai ini sekarang, tidak diperlukan pada ilmu-mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Akan
tetapi orang yang membahas tentang ini adalah seperti orang, yang masuk ular ke
dalam bajunya. Ia memerlukan untuk menghilangkan ular itu dan menolak
kemelaratannya. Lalu ia sibuk membahas tentang warna, bentuk, panjang dan
lebarnya ular itu. Yang demikian adalah kebodohan sejati. Maka
berdesak-desaknya gurisan-gurisan yang menggerakkan kepada kejahatan, telah
diketahui. Dan yang demikian menunjukkan dengan pasti, terjadinya dengan
sesuatu sebab. Dan telah diketahui, bahwa yang mengajak kepada kejahatan yang
ditakuti pada masa mendatang itu musuh. Dan musuh itu telah diketahui dengan
pasti. Maka seyogyalah bekerja dengan sungguh-sungguh melawannya. Allah swt
telah memperkenalkan musuhNya pada banyak tempat dalam Kitab SuciNya, untuk
diimani dan dipeliharakan diri daripadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
setan itu musuh kamu. Sebab itu, perlakukanlah dia sebagai musuh ! dia hanya
memanggil kawan separtainya, supaya menjadi isi neraka yang menyala”. S 35
Faathir ayat 6. Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah Aku telah memerintahkan
kepada kamu, hai anak-anak Adam, bahwa janganlah kamu memuja setan ?
sesungguhnya setan itu musuh yang terang bagi kamu”. S 36 Yaa Siin ayat 60.
Maka seyogyalah bagi hamba Allah, bekerja menolak musuh daripada dirinya: Tidak
menanyakan tentang asal-usul musuh itu, bangsanya dan tempat tinggalnya. Benar,
seyogyalah ia menanyakan tentang senjatanya, supaya ia dapat menolaknya dari
dirinya. Dan senjata setan itu, ialah hawa nafsu dan segala keinginan. Dan yang
demikian itu mencukupi bagi orang yang berilmu. Adapun mengenali zat setan,
sifatnya dan hakekatnya, kita berlindung dengan Allah daripadanya dan hakekat
malaikat maka yang demikian itu, bidang orang-orang arifin, yang mendalami
ilmu-mukasyafah. Tidak dperlukan mengetahuinya pada ilmu-mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Benar,
seyogyalah diketahui, bahwa gurisan-gurisan itu terbagi kepada: yang diketahui
dengan pasti, bahwa gurisan itu mengajak kepada kejahatan. Maka tidak
tersembunyi lagi, bahwa gurisan itu adalah: bisikan setan. Dan kepada: yang
diketahui, bahwa gurisan itu mengajak kepada kebajikan. Maka tidak diragukan,
tentang gurisan itu, adalah: ilham. Dan kepada: yang diragukan, maka tidak
diketahui, apakah dari langkah malaikat atau dari langkah setan. Sesungguhnya
diantara tipuan setan itu, ialah: mendatangkan kejahatan pada tempat kebajikan.
Dan amat sulit membedakannya. Dan kebanyakan hamba Allah mendapat kebinasaan.
Dan setan itu sesungguhnya tidak sanggup mengajak kepada kejahatan yang tegas.
Lalu ia membentuk kejahatan dengan bentuk kebajikan. Umpamanya: setan itu
mengatakan kepada ulama, dengan jalan pengajaran. “Apakah anda tidak melihat
kepada orang banyak, bahwa mereka itu mati dari kebodohan dan binasa dari
kelalaian ? mereka itu mendekati kepada api neraka. Adapun anda mempunyai
belas-kasihan kepada hamba-hamba Allah. Anda lepaskan mereka dari tempat
kebinasaan dengan nasehat dan pengajaran anda. Allah Ta’ala telah memberi
ni’mat kepada anda dengan hati yang melihat, lidah yang lancar dan cara
berbicara yang dapat diterima orang. Maka bagaimanakah anda mengingkari ni’mat
Allah Ta’ala dan berbuat yang memarahiNya ? dan anda berdiam diri daripada
mengembangkan ilmu dan mengajak manusia kepada jalan yang lurus ?”.
senantiasalah setan itu menetapkan yang demikian pada diri ulama dan menariknya
dengan daya-upaya yang lemah-lembut. Sehingga ulama itu bekerja mengajari
manusia. Kemudian, sesudah itu, diajaknya ulama tadi, sampai menghiasi diri
untuk manusia dan berbuat-buat dengan kata-kata yang dibagus-baguskan dan
kebajikan yang diperlihat-lihatkan. Seraya setan itu berkata kepada ulama
tersebut: “Jikalau anda tidak berbuat demikian, niscaya hilanglah pengaruh
perkataan anda dari hati mereka. Dan mereka tidak mendapat petunjuk kepada
kebenaran”. Senantiasalah setan itu menetapkan yang demikian pada ulama
tersebut. Dan waktu ia sedang memuji ulama itu, lalu ia menguatkan hal-hal yang
bercampur dengan ria, diterima orang banyak, enaknya kemagahan dan memperoleh
kemuliaan dengan banyak pengikut dan pengetahuan, serta memandang kepada orang
banyak dengan pandangan hina. Lalu ulama yang patut dikasihani tadi, terjerumus
dengan nasehat itu kepada kebinasaan. Maka ia berbicara, dengan menyangka bahwa
maksudnya kebajikan, sedang sebenarnya maksudnya mencari kemegahan dan untuk
disambut oleh orang banyak. Maka binasalah ia dengan sebabnya. Dan ia
menyangka, bahwa ia mendapat tempat di sisi Allah Ta’ala. Padahal ia termasuk
diantara mereka yang dikatakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala
menguatkan agama ini dengan orang-orang (kaum) yang tidak berbudi pekerti mulia
(berakhlak)”. Dan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama
ini dengan laki-laki zalim”. Karena itulah, diriwayatkan bahwa Iblis dikutuki
oleh Allah dia kiranya –datang kepada Nabi Isa as, seraya berkata kepadanya:
“Katakanlah “Laa ilaaha illallaah !”. Lalu Nabi Isa as menjawab: “Itu adalah
perkataan benar dan aku tiada akan mengatakannya dengan perkataanmu”. Karena
mempunyai juga penipuan-penipuan di bawah yang kebajikan. Dan penipuan setan
itu dari yang sejenis ini, tidaklah berkesudahan. Dengan penipuan itu, maka
binasalah para ulama, orang-orang abid (banyak ibadah), orang zuhud, orang
fakir, orang kaya dan segala jenis manusia, daripada orang-orang yang tiada
menyukai kejahatan yang terang. Dan tiada menyukai dirinya terjerumus dalam
perbuatan maksiat yang terbuka. Dan akan kami sebutkan sejumlah tipuan setan
dalam “Kitab Penipuan” pada akhir rubu’ ini. Mudah-mudahan jika waktu
mengizinkan, kami akan menyusun suatu kitab khusus, yang akan kami namakan:
Penipuan Iblis”. Sekarang sesungguhnya telah berkembang penipuannya dalam
negeri dan pada hamba-hamba Allah. Lebih-lebih pada madzhab-madzhab dan
aqidah-aqidah. Sehingga kebajikan itu tidak tinggal lagi, selain gambarannya.
Semua itu karena mengikuti penipuan setan dan tipu dayanya. Maka haklah diatas
hamba Allah, berhenti pada tiap-tiap kesusahan yang terguris kepadanya. Supaya
diketahuinya, bahwa kesusahan itu dari langkah malaikat atau langkah setan. Dan
bahwa ia mendalamkan perhatian dengan pandangan mata-hati, tidak dengan hawa
nafsu nalurinya. Dan ia tidak memandang kepadanya selain dengan nur taqwa, mata
hati dan banyaknya pengetahuan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu setan yang datang berkunjung,
mereka ingat kembali (kembali kepada nur ilmu) dan ketika itu mereka menjadi
orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Artinya:
terbuka bagi mereka kesulitan. Adapun orang yang tidak menyukai dirinya dengan
taqwa, maka tabiat (instink)nya cenderung kepada mengikuti penipuan setan,
dengan menuruti hawa nafsu. Maka banyaklah kesalahannya dan segeralah
kebinasaanya, sedang ia sendiri tiak merasakan yang demikian. Orang-orang yang
seperti itu, Allah swt berfirman: “Dan ketika itu jelas bagi mereka, bahwa
apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar
ayat 47. Ada yang mengatakan, itu adalah: amalan-amalan, yang disangka mereka
itu baik sedang sebenarnya adalah jahat. Yang paling rumit, dari berbagai macam
ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan), ialah: mengetahui tipuan nafsu dan tipu daya setan. Yang demikian
itu, adalah fardhu ‘ain atas tiap-tiap hamba Allah. Dan kebanyakan orang sudah
menyia-nyiakannya. Mereka sibuk dengan pengetahuan yang menarik bisikan setan
kepada mereka dan setan telah menguasai mereka. Dan melupakan mereka akan
permusuhan dan jalan menjaga diri daripada setan. Dan tiada terlepas dari
kebanyakan bisikan itu, selain dengan menutup pintu-pintu gurisan di dalam
hati. Dan pintu-pintunya, ialah: pancaindra yang lima. Pintu-pintunya itu dari
dalam nafsu syahwat dan hubungan duniawi. Berkhilwah dalam sebuah rumah yang
gelap itu menutupkan pintu pancaindra. Melepaskan diri dari keluarga dan harta
itu menyedikitkan tempat masuk bisikan dari dalam. Dan bersama itu, yang masih
ada, ialah: tempat masuk batiniahnya dalam khayalan yang berjalan pada hati.
Dan yang demikian, tidak dapat ditolak, selain dengan menyibukkan hati
mengingati Allah Ta’ala. Kemudian, setan itu senantiasa menarik hati,
bertengkar dengan hati dengan perantaraan nafsu dan melalaikan hati daripada
mengingati Allah Ta’ala. Maka haruslah bermujahadah melawannya. Dan inilah
mujahadah, yang tiada akhirnya, selain dengan mati. Karena seorangpun tiada
terlepas dari tipu daya setan, selama ia hidup. Benar, kadang-kadang seseorang
itu kuat, dimana ia tidak mengikuti setan, menolak kejahatan setan daripada
dirinya dengan jihad. Akan tetapi, sekali-kali tidak dapat melepaskan jihad dan
mempertahankan diri, selama darah masih mengalir dalam tubuhnya. Karena selama
masih hidup, maka pintu-pintu setan itu terbuka kepada hatinya, tiada terkunci.
Yaitu: nafsu syahwat, marah, dengki, loba, rakus dan lainnya, sebagaimana akan
datang uraiannya. Selama pintu itu terbuka dan musuh tidak lengah, maka tiada
pertahanan, selain dengan penjagaan dan mujahadah. Seorang laki-laki bertanya
kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! adakah setan itu tidur ? Lalu Al-hasan
tersenyum dan menjawab: “Jikalau ia tidur, niscaya kita dapat beristirahat”.
Jadi, tiada terlepas bagi orang mu’min daripada setan. Benar, orang mu’min itu
mempunyai jalan menolak setan dan melemahkan kekuatannya. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya orang mu’min itu menguruskan setannya, sebagaimana seseorang kamu
menguruskan untanya dalam perjalanan”. Ibnu Mas’ud berkata: “Setan orang mu’min
itu kurus”. Qais bin Al-Hajjaj berkata: ‘Setanku berkata kepadaku: “Aku masuk
padamu dan aku adalah seperti unta gemuk. Dan sekarang aku seperti burung pipit”.
Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian ?”. Setan itu menjawab: “Engkau cairkan
aku dengan dzikir (mengingati) Allah Ta’ala”. Orang yang taqwa, tidak sukar
baginya menutup pintu setan dan menjaganya dengan penjagaan. Ya’ni: pintu-pintu
yang tampak dan jalan-jalan yang terang, yang membawa kepada kemaksiatan
zahiriah. Sesungguhnya mereka jatuh pada jalan-jalannya yang tersembunyi.
Mereka tiada memperoleh petunjuk kepada jalan-jalan itu, lalu dapat menjaganya,
sebagaimana telah kami isyaratkan kepadanya tentang tertipunya ulama dan
juru-juru nasehat. Yang sukar, ialah bahwa: pintu-pintu yang terbuka bagi setan
kepada hati itu banyak, sedang pintu malaikat itu sebuah saja. Dan pintu yang
sebuah itu menyerupai dengan pintu-pintu yang banyak tadi. Maka hamba Allah
pada pintu-pintu itu, seperti orang musafir yang tinggal pada suatu desa, yang
banyak jalannya, sukar tempat yang dijalani, dalam malam yang gelap-gulita.
Hampir ia tiada mengetahui jalannya, selain dengan mata yang dapat melihat dan
terbitnya matahari yang cemerlang. Mata yang dapat melihat di sini, ialah hati
yang bersih dengan taqwa. Dan matahari yang cemerlang, ialah ilmu yang banyak,
yang terambil dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya saw, dari apa yang
menunjukkan kepada jalan-jalan yang sulit. Jikalau tidak, maka jalan-jalan itu
amat banyak dan sukar. Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Rasulullah saw telah
menggariskan bagi kami pada suatu hari, suatu garis, seraya bersabda: “Inilah
jalan Allah !”. Kemudian, beliau menggariskan beberapa garis, di sebelah kanan
dan di sebelah kiri garis tadi. Kemudian, beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan
dan pada tiap-tiap jalan ini ada setan, yang mengajak kepadanya”. Lalu beliau
membaca ayat ini, untuk menerangkan garis-garis itu: “Sesungguhnya inilah jalanKu
yang lurus, maka turutlah ! dan janganlah kamu turutkan jalan-jalan (untuk
garis-garis itu)”. S 6 Al An’aam ayat 153. Rasulullah saw menerangkan tentang
banyaknya jalan-jalan setan. Kami telah menyebutkan suatu contoh jalan yang
sulit itu dari jalan-jalan setan tadi. Setan itu dengan jalan tersebut, menipu
para ulama dan orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah), yang memiliki nafsu
syahwat, yang mencegah diri dari perbuatan-perbuatan ma’siat yang nyata. Maka
hendaklah sekarang kami menyebutkan suatu contoh dari jalan setan yang terang
itu, yang tidak tersembunyi. Kecuali, bahwa anak Adam itu terpaksa menempuhnya.
Dan yang demikian itu, apa yang diriwayatkan daripada Nabi saw, bahwa beliau
bersabda: “Ada seorang biarawan pada Bani Israil (kaum Yahudi). Maka setan
menuju kepada seorang wanita cantik, lalu dicekeknya. Dan setan itu membisikkan
dalam hati keluarga wanita tadi, bahwa obatnya ada pada biarawan itu. Lalu
merekapun membawa wanita tersebut kepada biarawan tadi. Biarawan itu segan
menerimanya. Tetapi mereka itu senantiasa mendesaknya, sehingga diterimanya.
Maka tatkala wanita itu pada biarawan tersebut untuk diobatinya, lalu datanglah
setan kepadanya. Setan itu mengajaknya untuk mendekati wanita tadi. Dan
selalulah yang demikian, sehingga biarawan itu bersetubuh dengan wanita itu.
Lalu kemudian, wanita itu mengangung. Setan tadi membisikkan kepada biarawan
itu, seraya berkata: “Sekarang, engkau telah berbuat keji. Keluarganya akan
datang kepada engkau. Bunuhlah wanita itu ! kalau mereka bertanya kepada
engkau, jawablah, bahwa wanita itu mati sendiri”. Biarawan itupun lalu membunuh
wanita tersebut dan menguburkannya. Kemudian, setan itu datang kepada keluarga
wanita itu, membisikkannya dan menyampaikan ke dalam hati mereka, bahwa
biarawan itu telah membuat wanita itu mengandung. Kemudian membunuhnya dan
menguburkannya. Maka datanglah keluarga wanita tersebut kepada biarawan itu,
menanyakan tentang wanita tadi. Biarawan itu menjawab, bahwa wanita itu telah
mati. Lalu keluarganya mengambil biarawan itu untuk dibunuhnya. Maka setan
datang kepada biarawan tadi, seraya berkata: “Saya yang mencekek wanita itu dan
saya yang membisikkan dalam hati keluarganya. Dari itu, patuhilah aku supaya
engkau lepas dan aku lepaskan engkau dari tangan mereka”. Biarawan itu bertanya:
“Dengan apa ?”. Setan itu menjawab: “Sujudlah kepadaku dua sujud !”. Lalu
biarawan tadi sujud kepada setan itu dua sujud. Maka berkatalah setan
kepadanya: “Aku berlepas tangan dari engkau”. Orang itulah yang dikatakan oleh
Allah Ta’ala: “Seumpama setan, ketika berkata kepada manusia: “Sangkallah Tuhan
!”. Setelah orang itu menyangkal Tuhan, lalu ia (setan) itu berkata: “Aku
berlepas tangan terhadap engkau”. S 59 Al Hasyr ayat 16. Lihatlah sekarang
kepada tipu-daya setan itu dan dipaksanya biarawan kepada dosa besar tersebut.
Semua itu karena patuhnya kepada setan menerima wanita itu untuk diobati. Dan
itu adalah urusan yang mudah. Kadang-kadang teman setan itu menyangka bahwa
pekerjaan yang dilakukannya itu kebajikan dan baik. Lalu baiklah yang demikian
itu dalam hatinya, dengan tersembunyinya hawa nafsu. Maka ia tampil kepada
perbuatan tersebut, seperti orang yang gemar pada kebajikan. Lalu pekerjaan itu
keluar kemudian dari pilihannya. Dan dia ditarik oleh sebahagian pekerjaan
kepada sebahagian yang lain, dimana ia tidak mendapat jalan keluar. Maka kita
berlindung dengan Allah daripada menyia-nyiakan permulaan segala urusan. Dan
kepada inilah diisyaratkan oleh sabda Nabi saw: “Barangsiapa berputar-putar di
keliling yang dilarang, besar kemungkinan ia akan jatuh ke dalamnya”.
PENJELASAN: penguraian
tempat-tempat masuknya setan ke dalam hati.
Ketahuilah, bahwa contohnya
hati itu seperti benteng. Dan setan itu musuh, yang bermaksud masik ke dalam
benteng. Lalu ia memilikinya dan menguasainya. Dan tidak sanggup menjaga
benteng dari musuh, selain dengan menjaga pintu-pintu benteng, tempat-tempat
masuk dan tempat-tempat lobangnya. Dan tidak sanggup menjaga pintu-pintunya,
oleh orang yang tiada mengetahui pintu-pintu itu. Maka menjaga hati dari
bisikan setan itu wajib. Yaitu: fardlu ‘ain atas tiap-tiap orang mukallaf
(sudah baligh dan berakal). Dan sesuatu yang menyampaikan kepada wajib, juga
menjadi wajib. Dan tidak sampai dapat menolak setan, selain dengan mengetahui
tempat-tempat masuknya. Lalu mengetahui tempat-tempat masuknya itu menjadi
wajib. Tempat-tempat masuk setan dan pintu-pintunya, ialah: sifat-sifat hamba.
Dan itu banyak. Tetapi, kami akan menunjukkan kepada pintu-pintu yang besar,
yang berlaku seperti jalan-jalan yang tidak sempit dari banyaknya tentara
setan. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah: marah dan nafsu syahwat.
Marah, ialah binasanya akal. Apabila lemah tentara akal, niscaya tentara setan
menyerang. Manakala manusia itu marah, niscaya setan bermain dengan dia,
seperti anak-anak bermain dengan bola. Diriwayatkan, bahwa Musa as dijumpai
oleh Iblis. Lalu Iblis itu berkata kepadanya: “Hai Musa ! engkau yang dipilih
oleh Allah menjadi rasulNya dan berkata-kata dengan engkau. Dan aku adalah
salah satu daripada makhlukNya, yang telah berdosa. Aku mau bertaubat. Maka
bersyafaatlah engkau kepadaku pada Tuhanku, kiranya Ia menerima taubatku !”.
Musa menjawab: “Boleh !”. Tatkala Musa as naik diatas bukit dan berkata-kata
dengan Tuhan ‘Azza Wa Jalla dan mau turun, lalu Tuhan berfirman kepadanya:
“Tunaikanlah amanah !”. Maka Musa as menjawab: “Wahai Tuhanku ! hambaMu Iblis
ingin bertaubat !”. Lalu Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa: “Wahai Musa !
engkau telah menunaikan hajat engkau. Suruhlah Iblis itu bersujud kepada
kuburan Adam, sehingga diterima taubatnya”. Kemudian, Musa menemui Iblis dan
berkata kepadanya: “Aku telah tunaikan hajatmu. Kamu disuruh bersujud kepada
kuburan Adam, sehingga diterima taubatmu”. Lalu Iblis itu marah dan menyombong,
seraya berkata: “Aku tidak sujud kepadanya waktu dia masih hidup. Apakah aku
akan sujud kepadanya, setelah ia mati ?”. Kemudian, Iblis itu berkata kepada
Musa as: “Hai Musa ! engkau mempunyai hak atasku, disebabkan engkau memberi
syafaat bagiku kepada Tuhan engkau. Ingatlah akan aku pada 3 hal, yang tidak
akan aku binasakan engkau padanya: ingatlah aku ketika engkau marah.
Sesungguhnya rohku dalam hati engkau. Mataku pada mata engkau. Aku lalu pada
engkau pada tempat lalunya darah. Ingatlah aku apabila engkau marah.
Sesungguhnya apabila manusia sudah marah, niscaya aku hembuskan dalam
hidungnya. Lalu ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ingatlah aku ketika
engkau berada di garis perang. Maka sesungguhnya, aku akan mendatangi manusia,
ketika berada di garis perang. Lalu aku ingatkan dia akan isterinya, anaknya
dan keluarganya. Sehingga ia berpaling dari garis perang. Jagalah diri dari
duduk-duduk dengan wanita yang bukan mahram. Aku adalah utusannya kepada engkau
dan utusan engkau kepadanya. Maka selalu aku demikian, sehingga aku membuat
fitnah diantara engkau dengan dia dan aku membuat fitnah diantara dia dengan
engkau”. Setan itu menunjukkan dengan yang demikian, kepada nafsu syahwat,
marah dan rakus. Melarikan diri dari garis perang (perjuangan), adalah rakus
kepada dunia. Enggannya setan daripada sujud kepada Adam as yang sudah wafat
adalah: dengki. Dan dengki itu tempat masuknya yang terbesar. Telah disebutkan,
bahwa sebahagian wali-wali berkata kepada Iblis: “Perlihatkanlah kepadaku,
bagaimana engkau mengalahkan anak Adam (manusia). Iblis menjawab: “Aku ambil
dia ketika marah dan ketika datang hawa nafsunya”. Menurut cerita, Iblis itu
datang pada seorang biarawan Bani Israil. Lalu biarawan itu bertanya kepadanya:
“Budi pekerti yang mana dari manusia, yang lebih menolong kamu ?”. Iblis itu
menjawab: “Cepat marah. Apabila manusia, yang lebih menolong kamu ?”. Iblis itu
menjawab: “Cepat marah. Apabila manusia itu lekas marah, niscaya kami
bulak-balikkan dia, seperti anak-anak membalik-balikkan bola”. Ada yang
mengatakan, bahwa setan itu berkata: “Bagaimana aku dikalahkan oleh manusia ?
apabila ia suka, aku datang. Sehingga aku berada dalam hatinya. Apabila ia
marah, aku terbang. Sehingga aku berada pada kepalanya”. Diantara pintu-pintu
setan yang besar, ialah: dengki dan rakus. Manakala manusia itu rakus terhadap
tiap-tiap sesuatu, niscaya kerakusan itu membutakan dan menulikannya, karena
Nabi saw bersabda: “Kesukaanmu kepada sesuatu, membutakan dan menulikan kamu”.
Sinar mata hati itulah yang memperkenalkan tempat-tempat masuknya setan.
Apabila manusia itu ditutup oleh dengki dan rakus, niscaya ia tidak dapat
melihat. Maka ketika itu, setan mendapat kesempatan. Lalu baguslah pada orang
yang rakus, semua yang dapat menyampaikannya kepada nafsu syahwatnya, meskipun
barang itu munkar dan keji. Diriwayatkan, bahwa Nabi Nuh as tatkala memasuki
kapalnya, lalu membawa masing-masing berpasangan, jantan dan betina,
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Lalu ia melihat dalam kapal
itu seorang tua yang tidak dikenalnya. Nuh as bertanya: “Apakah yang menyebabkan
engkau masuk kemari ?”. Orang tua itu menjawab: “Aku masuk, untuk mendatangkan
bencana ke dalam hati teman-temanmu. Lalu hati mereka bersama aku dan badannya
bersama kamu”. Lalu Nuh as berkata: “Keluar dari kapal ini, hai musuh Allah !
engkau sesungguhnya terkutuk”. Lalu Iblis itu berkata: “5 perkara yang
membinasakan manusia dan akan aku ceritakan kepada engkau 3 perkara
daripadanya. Dan yang 2 perkara tidak akan aku ceritakan”. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Nuh as, bahwa: “Engkau tidak memerlukan yang 3 perkara
itu. Dan hendaklah diterangkannya kepada engkau yang 2 perkara lagi”. Lalu Nuh
as bertanya kepada Iblis tersebut: “Mana yang 2 perkara itu ?”. Iblis itu
menjawab: “Keduanya yang tidak membohongi aku. Keduanya yang tidak menyalahi aku.
Dengan keduanya itu, manusia binasa: rakus dan dengki. Dengan sebab dengki, aku
terkutuk dan aku mejadi setan terkutuk. Adapun rakus, maka telah dibolehkan
bagi Adam sorga seluruhnya, selain sepohon kayu. Maka aku memperoleh hajatku
daripadanya disebabkan kelobaannya”. Diantara pintu-pintu setan yang besar,
ialah: kenyang dari makanan, walaupun makanan itu halal dan bersih. Karena
kenyang menguatkan nafsu syahwat. Dan nafsu syahwat itu senjata setan.
Diriwayatkan, bahwa Iblis datang kepada Nabi Yahya dan Zakaria as. Beliau
melihat pada Iblis itu, perkakas tempat menggantungkan daging dari segala
sesuatu. Lalu beliau bertanya kepada Iblis itu: “Apakah perkakas-perkakas
penggantung ini ?”. Iblis menjawab: “Inilah nafsu syahwat yang aku jadikan
bencana kepada anak Adam. Lalu Nabi Yahya as bertanya: “Adakah bagiku padanya
sesuatu ?”. Iblis itu menjawab: “Kadang-kadang engkau kenyang, lalu kami
beratkan engkau daripada shalat dan dzikir”. Nabi Yahya as bertanya lagi:
“Adakah yang lain dari itu ?”. Iblis menjawab: “Tidak !”. Maka Nabi Yahya as
berkata: “Menjadi kewajibanku bagi Allah, bahwa aku tiada akan memenuhkan
perutku selama-lamanya dengan makanan”. Lalu Iblis menyambung: “Menjadi
kewajibanku bagi Allah, bahwa aku tiada akan memberi nasehat selama-lamanya
kepada orang Islam”. Dikatakan mengenai banyaknya makan, ada 6 perkara yang
tercela:
Pertama: menghilangkan takut
kepada Allah dari hatinya.
Kedua: menghilangkan belas
kasihan dari hatinya kepada orang lain. Karena ia menyangka, semua orang itu
kenyang.
Ketiga: banyak makan itu
memberatkan dari berbakti (taat).
Keempat: apabila ia
mendengar perkataan hikmat, ia tidak memperoleh kehalusan jiwanya.
Kelima: apabila ia
berkata-kata dengan pangajaran dan hikmat, tidak berkesan pada hati manusia.
Keenam: bahwa banyak makan
itu mendatangkan penyakit.
Diantara pintu-pintu setan,
ialah menyukai penghiasan dengan perabot rumah, kain dan rumah. Setan apabila
melihat yang demikian mengerasi pada hati manusia, niscaya ia bertelur didalam
hati dan menetas. Lalu senantiasalah setan mengajak manusia itu untuk membangun
rumah, menghiasi loteng dan dindingnya, meluaskan bangunan-bangunannya. Dan
mengajak untuk menghiaskan diri dengan kain dan binatang kendaraan dan
menggunakannya sepanjang umurnya. Apabila setan telah dapat menjatuhkan manusia
pada yang demikian, maka setan itu tidak perlu lagi kembali kepada manusia tadi
untuk kedua kalinya. Karena sebahagian yang demikian itu menghela kepada
sebahagian yang lain. Lalu senantiasalah manusia itu melaksanakannya dari
sesuatu kepada sesuatu yang lain, sampai ajalnya tiba. Maka iapun mati. Sedang
ia pada jalan setan dan mengikuti hawa nafsu. Dan dari yang demikian itu,
ditakuti akan buruk akibatnya dengan kekufuran. Kita berlindung dengan Allah
daripadanya !. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah sifat loba pada
manusia. Karena apabila loba itu telah mengerasi pada hati, niscaya
senantiasalah setan itu berusaha pada manusia tadi, supaya menyukai
membuat-buat dan menghiasi terhadap orang yang ia mengharapkan sesuatu padanya,
dengan bermacam-macam ria dan kepalsuan. Sehingga yang dilobakan itu
seolah-olah menjadi sembahannya. Maka senantiasa ia berpikir berdaya-upaya
supaya orang itu menyukai dan mencintainya. Dan ia masuki semua tempat masuk
untuk sampai kepada yang demikian. Sekurang-kurang, tingkah-lakunya, memuji
orang itu dan berminyak-minyak air dengan dia dengan meninggalkan amar-ma’ruf
dan nahi-munkar. Shafwan bin Salim meriwayatkan, bahwa Iblis datang kepada
Abdullah bin Handhalah, seraya berkata kepadanya: “Hai anak Handhalah !
hafalkanlah daripadaku sesuatu yang akan aku ajarkan kepadamu !”. Ibnu
Handhalah menjawab: “Aku tiada memerlukan sesuatu itu”. Setan itu berkata:
“Perhatikanlah ! jikalau itu baik, engkau ambil dan jikalau buruk, engkau
tolak. Hai anak Handhalah ! jangan engkau meminta suatu permintaan kegemaran
pada seseorang, selain pada Allah ! perhatikanlah, bagaimana engkau apabila
marah ! sesungguhnya aku yang memiliki engkau, apabila engkau marah”. Diantara
pintu-pintunya yang besar, ialah terburu-buru dan meninggalkan ketetapan
tentang semua urusan. Nabi saw bersabda: “Terburu-buru itu dari setan dan
pelan-pelan itu dari Allah Ta’ala”. Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu
diciptakan bersifat tergesa-gesa”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 37. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan manusia itu adalah tergesa-gesa”. S 17 Al Israa’ ayat 11. Allah
Ta’ala berfirman kepada NabiNya saw: “Dan janganlah engkau tergesa-gesa tentang
Alquran itu, sebelum selesai diwahyukan kepada engkau !”. S 20 Thaahaa ayat
114. Demikianlah, karena semua perbuatan itu seyogyalah adanya sesudah
memperhatikan dengan penglihatan yang mendalam dan mengetahuinya. Perhatian
yang mendalam itu memerlukan kepada pemerhatian dan pelan-pelan. Sikap
tergesa-gesa menghalangi daripada yang demikian. Dan ketika tergesa-gesa, setan
itu melakukan kejahatannya kepada manusia, dimana manusia itu tiada
mengetahuinya. Dirwayatkan, bahwa ketika Isa putera Maryam as dilahirkan,
datanglah setan-setan kepada Iblis. Mereka mengatakan: “Patung-patung berhala
telah terjungkir balik kepalanya”. Iblis menjawab: “Ini adalah suatu kejadian,
yang telah terjadi. Kamu harus tetap pada tempatmu”. Lalu Iblis itu terbang,
sehingga sampai kedua ufuk bumi. Ia tiada memperoleh apa-apa. Kemudian, ia
mendapati Isa as telah lahir dan para malaikat mengelilinginya. Lalu Iblis itu
kembali kepada setan-setan tadi, seraya berkata: “Bahwa seorang nabi telah
lahir kemarin. Tidak ada seorangpun wanita yang mengandung dan melahirkan,
melainkan aku hadir kepadanya, kecuali ini. Maka putuslah kiranya harapanmu, bahwa
patung-patung berhala itu akan disembah orang sesudah malam ini. Akan tetapi,
datangilah anak Adam dari pihak tergesa-gesa dan memandang enteng terhadap
sesuatu pekerjaan !”. Diantara pintu-pintunya yang besar, ialah: dirham, dinar
dan bermacam-macam harta lainnya, dari harta benda, binatang ternak dan tanah
ladang. Sesungguhnya semua yang melebihi dari sekedar makanan penting dan yang
diperlukan, adalah tempat ketetapan setan. Orang yang mempunyai makanan yang
perlu, maka hatinya kosong dari kesusahan hidup. Kalau ia memperoleh 100 dinar
umpamanya dengan suatu jalan, niscaya tergeraklah dari hatinya 10 nafsu
syahwat. Masing-masing nafsu syahwat itu memerlukan kepada 100 dinar lain.
Sehingga tiada mencukupilah apa yang diperolehnya. Akan tetapi ia memerlukan
kepada 900 lain. Sebelum ada yang 100 itu, ia merasa cukup. Lalu sekarang,
setelah diperolehnya 100 tadi, maka ia menyangka bahwa ia telah kaya. Dan ia
memerlukan kepada 900 tadi, untuk membeli rumah yang akan ditempatinya. Dan
untuk membeli seorang budak perempuan. Untuk membeli perabot rumah. Dan membeli
pakaian yang megah. Masing-masing dari yang tersebut itu memerlukan yang lain
lagi, yang layak dengan dia. Dan yang demikian itu tiada berkesudahan. Akhirnya
jatuhlah ia ke dalam jurang, yang berkesudahan neraka jahannam yang dalam.
Tiada penghabisannya selain dari itu. Tsabit Al-Bannani berkata: “Tatkala
Rasulullah saw diutus, lalu Iblis berkata kepada setan-setannya: “Telah terjadi
suatu kejadian, maka lihatlah apa kejadian itu !”. Maka setan-setan itu
berjalan kesana-kemari, sehingga mereka payah. Kemudian, mereka datang dan
berkata: “Kami tidak tahu. Lalu Iblis itu berkata: “Aku akan sampaikan kepada
kamu berita itu”. Iblis itupun pergi, kemudian datang dan berkata: “Allah telah
mengutus Muhammad saw”. Lalu Iblis itu mengutus setan-setannya kepada
sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka itu kembali dengan kecewa dan mengatakan:
“Tiada kami temui suatu kaumpun seperti mereka. Kami memperoleh mereka dengan
bisikan, kemudian mereka berdiri kepada shalat. Maka terhapuslah yang
demikian”. Lalu Iblis berkata: “Pelan-pelanlah dengan mereka ! mudah-mudahan
Allah membuka dunia kepada mereka, lalu kita memperoleh hajat kita dari
mereka”. Diriwayatkan, bahwa Isa as pada suatu hari berbantal dengan batu. Lalu
lewatlah Iblis, seraya berkata: “Hai Isa ! engkau suka pada dunia ?”. Maka Isa
as mengambil batu itu, melemparkan Iblis tadi dari bawah kepalanya, seraya
berkata: “Ini untukmu bersama dunia !”. Pada hakekatnya, orang yang memiliki
sebuah batu, dimana ia berbantal dengan batu itu ketika tidur, sesungguhnya ia
telah memiliki dari dunia, apa yang mungkin menjadi senjata setan terhadap
dirinya. Karena orang yang bangun malam umpamanya untuk shalat, manakala sebuah
batu itu dekat kepadanya, yang mungkin dibantalinya, maka senantiasalah batu
itu mengajaknya kepada tidur dan kepada membatalinya. Jikalau tidaklah
demikian, niscaya tidaklah terguris yang demikian itu pada hatinya. Dan
tidaklah tergerak keinginannya kepada tidur. Ini mengenai batu ! maka betapa
pula dengan orang yang mempunyai bantal empuk, tikar licin dan tempat istirahat
yang baik. Maka kapankah ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala ? Diantara
pintu-pintunya yang besar, ialah: kikir dan takut miskin. Yang demikian itu
mencegah daripada membelanjakan harta dan bersedekah. Dan mengajak kepada
menyimpan, gudang dan azab yang pedih. Dan itulah yang dijanjikan bagi
orang-orang yang membanyak-banyakkan harta, sebagaimana yang dituturkan oleh
Alquran Mulia. Khaitsamah bin Abdurrahman berkata: “Setan itu berkata: “Aku
tidak dapat dikalahkan oleh anak Adam. Maka tidak dapat ia mengalahkan aku pada
3 hal, yaitu: aku suruh dia mengambil harta yang bukan haknya, membelanjakannya
pada bukan haknya dan melarangkannya pada haknya”. Sufyan Ats-Tsuri berkata:
“Setan itu tiada mempunyai senjata, seperti: sifat takut miskin. Apabila
manusia menerima yang demikian dari setan, niscaya ia berbuat yang batil,
mencegah yang hak, berkata-kata dengan hawa nafsu dan menyangka Tuhannya dengan
sangkaan buruk”. Diantara bahaya kikir, ialah: rakus kepada mengharuskan diri
tinggal di pasar-pasar, untuk mengumpulkan harta. Pasar-pasar itu adalah tempat
berkumpulnya setan-setan. Abu Umamah berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Bahwa Iblis itu, tatkala turun ke bumi, lalu berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau
turunkan aku ke bumi dan Engkau jadikan aku terkutuk, maka buatlah bagiku
sebuah rumah !”. Allah Ta’ala menjawab: “Rumahmu kamar mandi !”. Iblis itu
meneruskan doanya: “Buatlah bagiku sebuah tempat duduk !”. Allah Ta’ala
menjawab: “Tempat dudukmu pasar-pasar dan tempat-tempat berkumpul di
jalan-jalan raya”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku suatu makanan
!”. Allah menjawab: “Makananmu yang tidak disebutkan nama Allah (tidak
dibacakan: Bismillah) padanya”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku
suatu minuman !”. Allah Ta’ala menjawab: “Minumanmu semua yang memabukkan”.
Iblis itu meneruskan doanya: “Adakanlah bagiku seorang muadz-dzin !”. Allah
Ta’ala menjawab: “Muadz-dzinmu, yaitu: suling-suling”. Iblis itu meneruskan
doanya: “Buatlah bagiku Quran !”. Allah Ta’ala menjawab: “Quranmu yaitu:
sya’ir”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku sebuah kitab !”. Allah
Ta’ala menjawab: “Kitabmu, ialah: tatto (lukisan dan garisan-garisan pada
badan)”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku hadits !”. Allah Ta’ala
menjawab: “Haditsmu, yaitu: dusta”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah
bagiku tempat memancing !”. Allah Ta’ala menjawab: “Yaitu: wanita”. Diantara
pintu-pintu setan yang besar, ialah: fanatik mazhab, hawa nafsu, dengki kepada
musuh, memandang kepada musuh dengan pandangan rendah dan hina. Yang demikian
itu, termasuk yang membinasakan hamba dan orang-orang fasik sekalian.
Sesungguhnya mencaci orang dan asyik menyebut kekurangan mereka adalah sifat
yang terjadi pada tabiat manusia, diantara sifat-sifat binatang buas. Apabila
setan mendatangkan khayalan kepada manusia, bahwa yang demikian itu adalah
benar dan bersesuaian dengan nalurinya, niscaya bersangatanlah manisnya pada
hati manusia. Lalu ia melakukannya dengan seluruh kemauannya. Dan ia dengan
yang demikian itu merasa senang dan gembira. Ia menyangka, bahwa ia berbuat
dalam bidang agama, padahal ia berbuat mengikuti setan. Anda melihat, seseorang
dari mereka, fanatik kepada Abubakar Siddik ra, sedang ia memakan yang haram.
Lidahnya terlepas dengan kata yang sia-sia dan dusta dan berbuat dengan segala
macam kerusakan. Jikalau Abubakar melihatnya, niscaya dia musuhnya yang
pertama. Karena pengikut Abubakar, ialah orang yang mengambil jalannya,
berjalan menurut jalannya dan menjaga apa yang diantara janggut dan kumisnya
(mulutnya). Dan adalah diantara perjalanan hidup Abubakar ra meletakkan batu
pada mulutnya, untuk mencegah lidahnya daripada berkata-kata yang tidak
berfaedah. Maka bagaimana bagi orang yang berkata dengan yang sia-sia ini,
mendakwakan dirinya mengikuti dan mencintai Abubakar ra, sedang ia tidak
bertingkah-laku dengan tingkah laku Abubakar ? Kita melihat seorang yang lain
yang berkata dengan sia-sia, bahwa ia fanatik kepada Ali ra, sedang diantara
zuhudnya Ali dan tingkah lakunya, bahwa beliau waktu menjadi khalifah, membeli
pakaiannya dengan harganya 3 dirham dan memotong ujung kedua lengan bajunya
sampai ke pergelangan tangannya. Dan kita melihat orang fasik itu memakai kain
sutera dan menghiaskan diri dengan harta, yang diusahakannya dari yang haram.
Ia berbuat mencintai Ali ra dan mendakwakannya, sedang sebenarnya ia adalah
musuh Ali yang pertama pada hari kiamat. Alangkah samanya dengan orang yang
mengambil seorang anak yang amat dikasihi oleh orang tuanya, yang menjadi
hiasan matanya dan buah hatinya. Lalu dipukulinya anak itu, dicubitnya,
dicabuti rambutnya dan dipotongnya dengan gunting kain. Dalam pada itu, ia
mendakwakan, bahwa ia mencintai bapaknya dan mematuhinya. Maka bagaimanakah
keadaannya orang itu pada siayah anak tadi ? Sebagaimana diketahui, bahwa
Abubakar ra, Umar ra, Usman ra, Ali ra dan para sahabat lainnya, lebih
mencintai agama dan syara’ daripada keluarga dan anak. Bahkan dari diri mereka
itu sendiri. Orang-orang yang melemparkan dirinya ke dalam perbuatan maksiat
sepanjang agama, adalah orang-orang yang mengoyak-ngoyakkan syara’ dan
memotong-motongnya dengan gunting-gunting nafsu syahwat. Dan mereka memperoleh
kasih-sayang musuh Allah dan musuh para walinya, yaitu: Iblis. Maka anda akan melihat,
bagaimana keadaan mereka pada hari kiamat di sisi para sahabat dan di sisi para
wali Allah Ta’ala. Bahkan, jikalau terbukalah tutup dan mereka itu mengetahui
apa yang disukai oleh para sahabat pada umat Rasulullah saw, niscaya mereka itu
malu membawa kepada lidahnya akan menyebutkan para sahabat, sedang perbuatan
mereka itu demikian kejinya. Kemudian, setan itu mengkhayalkan kepada mereka,
bahwa orang yang mati dengan mencintai Abubakar dan Umar, maka api neraka tidak
akan mengelilingi kelilingnya. Dan kepada orang lain, setan itu mengkhayalkan,
bahwa apabila ia mati dengan mencintai Ali, niscaya ia tidak akan mengalami
ketakutan. Ini Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah ra dan Fatimah itu
sepotong daging daripadanya: “Beramallah, hai Fatimah ! sesungguhnya aku tidak
memerlukan sesuatu daripada engkau dari Allah”. Inilah contoh yang kami
kemukakan dari jumlah hawa nafsu. Dan begitu pulalah hukumnya orang-orang yang
fanatik kepada Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan imam-imam yang lain.
Semua orang yang mendakwakan berpegang dengan mazhab seseorang imam, sedang ia
tidak menjalankan yang dijalankan oleh imam tersebut, maka imam itu adalah
musuhnya pada hari kiamat. Karena imam itu berkata kepadanya: “Mazhabku adalah
kerja, tidak bicara dengan lidah. Bicara dengan lidah adalah untuk bekerja,
tidak untuk yang sia-sia. Maka sebagaimana halmu ?. Kamu menyalahi aku dalam
pekerjaan dan perjalanan hidup, yang menjadi mazhabku dan jalanku yang aku
tempuh selalu dan aku berjalan padanya kepada Allah Ta’ala. Kemudian, kamu
dakwakan mazhabku itu yang bohong”. Inilah tempat masuk yang benar diantara
tempat-tempat masuknya setan, yang telah membinasakan kebanyakan orang alim.
Dan telah diserahkan sekolah-sekolah kepada golongan-golongan yang sedikit
takutnya kepada Allah dan lemah mata-hatinya pada agama, kuat keinginannya
kepada dunia dan bersangatan kerakusannya mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak
tetap mengikuti hawa nafsu dan menegakkan kemegahan, selain dengan kefanatikan.
Lalu mereka tahan yang demikian dalam dadanya dan tidak memberitahukan kepada
mereka, tempat-tempat godaan setan. Bahkan mereka itu menggantikan setan, pada
pelaksanaan godaannya. Maka terus meneruslah manusia diatas yang demikian. Dan
mereka lupa akan induk-induk agamanya. Maka merekapun binasa dan membinasakan.
Kiranya Allah Ta’ala menerima taubat kita dan taubat mereka. Al-Hasan berkata:
“Sampai kepada kami berita, bahwa Iblis berkata: “Aku hiaskan perbuatan maksiat
pada umat Muhammad. Lalu mereka potong punggungku dengan istighfar (membaca
istighfar, memohon ampunan Tuhan). Lalu aku hiaskan dosa kepada mereka, dimana
mereka tiada memohon ampunan Allah Ta’ala daripadanya. Yaitu: hawa nafsu”.
Benarlah yang terkutuk itu. Karena umat itu tiada mengetahui, bahwa yang
demikian adalah sebahagian dari sebab-sebab yang menarik kepada maksiat. Maka
bagaimana mereka meminta ampun daripadanya”. Diantara tipu daya setan yang
besar, ialah: setan itu menyibukkan manusia dari urusan dirinya, dengan
perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara sesama manusia, tentang
mazhab-mazhab dan permusuhan-permusuhan. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Suatu
kaum duduk berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu datanglah setan kepada mereka,
untuk membangunkannya dari duduknya dan untuk mencerai-beraikan diantara
mereka. Rupanya setan itu tidak sanggup. Lalu ia mendatangi rombongan lain,
yang sedang asyik berbicara dengan pembicaraan dunia. Lalu setan itu
mendatangkan kerusakan diantara mereka. Lalu mereka itu bangun
berbunuh-bunuhan. Sebenarnya setan itu tidak bermaksud demikian terhadap mereka
tadi. Maka bangunlah mereka yang berdzikir kepada Allah Ta’ala, berusaha
melerai mereka yang bunuh-bunuhan itu. Lalu bercerai-berailah kaum yang
berdzikir tadi dari majelis dzikirnya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh setan
itu dari mereka”. Diantara pintu-pintu setan itu, ialah: membawa orang awam
yang tiada berkecimpung dalam bidang ilmu dan tidak mendalaminya, kepada
berfikir tentang zat Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan mengenai hal-hal yang
tiada sampai batas pemikiran mereka kepadanya. Sehingga meragukan mereka
tentang pokok agama. Atau mengkhayalkan kepada mereka tentang Allah Ta’ala
dengan khayalan-khayalan (imajinasi-imajinasi), yang Maha Sucilah kiranya Allah
Ta’ala daripadanya. Yang membuatnya dengan demikian, menjadi kafir atau orang
bid’ah. Sedang dia dengan demikian, merasa senang gembira, bersuka-ria, dengan
apa yang terjadi dalam dadanya. Ia menyangka yang demikian itu suatu ma’rifah
(pengenalan kepada Allah) dan bashirah penglihatan dengan mata hati). Dan yang
demikian itu terbuka baginya dengan kecerdikan dan kelebihan akalnya. Manusia
yang paling bodoh, ialah orang paling kuat kepercayaannya kepada akalnya
sendiri. Orang yang paling berketetapan akal, ialah orang yang sangat curiga
kepada dirinya sendiri dan yang lebih banyak bertanya kepada orang yang
berpengalaman (para alim-ulama). ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setan itu datang kepada salah seorang kamu. Lalu ia bertanya:
“Siapakah yang menjadikan kamu ?”. Maka salah seorang kamu itu menjawab: “Allah
yang Maha Suci dan Maha Tinggi”. Lalu setan itu bertanya lagi: “Siapakah yang
menjadikan Allah ?”. Apabila salah seorang kamu menjumpai yang demikian, maka
hendaklah ia menjawab: “Aku beriman kepada Allah dan RasulNya. Maka dengan
demikian, setan itu pergi daripadanya”. Nabi saw tiada menyuruh membahas
tentang pengobatan bisikan setan ini. Karena, ini adalah bisikan yang dijumpai
oleh kebanyakan manusia, tidak dijumpai oleh para ulama. Hak orang kebanyakan
ialah: beriman dan Islam. Dan berbuat ibadah dan segala keperluan hidup. Dan
menyerahkan ilmu untuk para alim ulama. Orang awam, jikalau berzina dan
mencuri, niscaya adalah lebih baik baginya daripada memperkatakan tentang ilmu.
Karena orang yang memperkatakan tentang Allah dan agamaNya, tanpa pengetahuan
yang kokoh, bisa jatuh dalam kekufuran, dimana ia tiada mengetahuinya, seperti
orang yang berlayar di laut yang dalam, sedang ia tiada tahu berenang. Dan
tipuan setan mengenai yang berhubungan dengan aqidah dan mazhab itu, tiada
terhingga. Dan sesungguhnya kami kemukakan, dengan apa yang telah kami
kemukakan dahulu dengan contoh. Diantara pintu-pintu setan, ialah: jahat sangka
kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman !
jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka
itu dosa !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Barangsiapa menghukum jahat orang lain,
dengan purbasangka, niscaya setan membawanya untuk panjang lidahnya dengan
mengumpat orang. Lalu ia binasa. Atau teledor melaksanakan kewajibannya. Atau
memandang rendah untuk memuliakan orang itu. Dan melihat kepadanya dengan
pandangan kehinaan. Dan melihat dirinya sendiri lebih baik dari orang tersebut.
Dan semuanya itu termasuk membinasakan. Dan karena itulah, syara’ melarang
melakukan tuduhan-tuduhan kepada orang. Nabi saw bersabda: “Takutlah akan
tempat-tempat yang bisa menimbulkan tuduhan”. Sehingga Rasulullah saw menjaga
diri daripada yang demikian. Diriwayatkan dari Ali bin Husain, bahwa Shafiyyah
binti Huyay bin Akh-thab, menerangkan kepadanya: “Bahwa Nabi saw beri’tikaf
dalam masjid”. Shafiyyah meneruskan ceritanya: “Lalu aku datang kepada
Rasulullah saw. Aku bercakap-cakap dengan beliau. Tatkala telah sore hari, lalu
aku pergi. Maka Rasulullah saw pun bangun berdiri, berjalan bersama aku. Lalu
lewat di situ dua orang anshar dan memberi salam kepada Rasulullah saw.
Kemudian keduanya pergi. Lalu Rasulullah saw memanggil keduanya, seraya
bersabda: “Dia ini Shafiyyah binti Huyay”. Maka keduanya menjawab: “Wahai
Rasulullah ! kami tiada menyangka apa-apa pada engkau, selain yang baik”. Lalu
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada anak Adam, pada
tempat jalannya darah dari tubuhnya. Aku takut, setan itu masuk pada engkau
berdua”. Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah saw berusaha terhadap agama kedua
orang anshar tadi, lalu menjaganya. Dan bagaimana beliau berusaha terhadap
umatnya, lalu mengajarkan mereka jalan menjaga dari tuduhan. Sehingga orang
alim, wara’, yang terkenal dalam semua tingkah-lakunya dengan agama, tidak akan
begitu bermudah-mudah, lalu mengatakan: “Orang seperti aku ini, tidak disangka
orang apa-apa, selain yang baik saja”, karena menyombong dengan dirinya. Orang
yang paling wara’, paling taqwa dan paling alim, tidak akan dipandang oleh
semua manusia kedapanya dengan semacam pandangan. Tetapi sebahagian mereka
memandangnya dengan pandangan suka dan sebahagian yang lain, memandangnya
dengan pandangan marah. Karena itulah, seorang penyair bermadah, sbb:
“Apabila kita senang kepada
orang,
segala kekurangannya tidak
tampak.
Tetapi, bila marah kepada
orang,
segala keburukannya akan
tampak”.
Maka haruslah menjaga diri
dari jahat sangka dan dari menuduh orang-orang jahat. Karena orang-orang jahat
itu tidak menyangka semua orang lain, melainkan jahat pula. Maka manakala anda
melihat seseorang, yang berjahat sangka kepada orang lain, yang mencari segala
kekurangannya, maka ketahuilah, bahwa orang itu busuk hatinya. Dan demikian
itu, kebusukannya, yang tersaring dia daripadanya. Dan ia melihat orang lain,
menurut dirinya sendiri. Sesungguhnya orang mu’min meminta kemaafan, sedang
orang munafik, mencari kekurangan. Orang mu’min itu sejahtera dadanya terhadap
hak semua makhluk Tuhan. Inilah sebahagian tempat-tempat masuknya setan ke
dalam hati manusia. Jikalau aku bermaksud menyelidiki semuanya, niscaya aku
tidak sanggup. Dan dengan sekedar ini, dapatlah memberitahukan kepada yang
lain. Maka tidak ada pada manusia suatu sifat yang tercela, melainkan sifat itu
menjadi senjata setan dan salah satu tempat masuknya. Jikalau anda bertanya:
“Apakah obatnya untuk menolak setan itu ? adakah memadai pada yang demikian,
dengan mengingati Allah (berdzikir) dan manusia mengucapkan: “Laa haula wa laa
quwwata illaa billaah” (tiada daya dan upaya, selain dengan Allah) ?”.
Ketahuilah, bahwa obat hati pada yang demikian itu, ialah: menyumbat
tempat-tempat masuknya setan, dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela
itu. Dan itu termasuk hal-hal yang panjang uraiannya. Dan maksud kami dalam
Rubu’ ini dari Kitab Ihya’ ini, ialah: menerangkan obat sifat-sifat yang
membinasakan. Dan masing-masing sifat itu memerlukan kepada kitab tersendiri,
menurut uraian yang akan datang. Benar, apabila pokok-pokok sifat tersebut
dipotong dari hati, niscaya setan mempunyai tempat singgahan dan bahaya yang
lain pada hati. Dan dia tidak mempunyai tempat ketetapan. Dan ia dicegah dari
singgahan itu, oleh mengingati Allah Ta’ala (berdzikir). Karena hakekat dzikir
itu tidak dapat menetap pada hati kecuali sesudah hati itu dibangun dengan
taqwa. Dan disucikannya dari sifat-sifat tercela. Kalau tidak demikian, maka
adalah dzikir itu merupakan kata diri saja. Tiada berkuasa kepada hati. Lalu
tidak dapat menolak kekuasaan setan. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang
datang berkunjung, mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi
orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Allah Ta’ala
mengkhususkan yang demikian kepada orang yang bertaqwa. Karena setan itu adalah
seperti anjing lapar, yang mendekati engkau. Kalau tidak ada di muka engkau
roti atau daging, maka anjing itu terkejut dengan perkataanmu kepadanya: “Pergi
!”. Maka semata-mata suara, dapat menolaknya untuk pergi. Jikalau ada daging
dihadapan engkau dan anjing itu lapar, niscaya ia menyerang kepada daging. Dan
ia tidak dapat ditolak untuk pergi dengan semata-mata perkataan. Maka hati yang
kosong dari makanan setan itu, ia terkejut dengan semata-mata dzikir. Adapun
nafsu syahwat apabila telah bersangatan pada hati, niscaya ia menolak hakekat
dzikir kepada pinggir-pinggir hati. Lalu dzikir itu tidak menetap di dalam
hati. Akan tetapi setan yang menetap di
dalam hati. Adapun hati orang-orang muttaqin, yang terlepas dari hawa nafsu dan
sifat-sifat tercela, maka ia diketuk oleh setan. Tidak untuk nafsu syahwat,
akan tetapi supaya hati itu kosong, disebabkan lalai daripada dzikir. Maka
apabila ia kembali kepada dzikir, niscaya setan itu mengendap. Dalilnya yang
demikian itu, ialah firman Allah Ta’ala: “Maka bermohonlah perlindungan kepada
Allah, dari setan yang terkutuk !”. S 16 An Nahl ayat 98. Hadits-hadits dan
ayat-ayat yang lain, yang menerangkan tentang dzikir. Abu Hurairah berkata:
“Telah bertemu setan orang mu’min dengan setan orang kafir. Setan orang kafir
itu berminyak rambutnya, gemuk dan berpakaian, sedang setan orang mu’min itu
kurus, tidak teratur rambutnya, berdebu dan telanjang. Lalu setan orang kafir
bertanya kepada setan orang mu’min: “Mengapa kamu kurus ?”. setan orang mu’min
itu menjawab: “Allah (membaca Bismillah), maka senantiasalah aku lapar. Apabila
ia minum, ia menyebut nama Allah, maka senantiasalah aku haus. Apabila ia
berpakaian, ia menyebut nama Allah, maka senantiasalah aku dalam keadaan
telanjang. Apabila ia memakai minyak rambut, ia menyebut nama Allah, maka
senantiasalah rambutku tidak teratur”. Lalu setan orang kafir itu berkata:
“Tetapi aku bersama seorang laki-laki yang tiada berbuat suatupun dari yang
demikian. Aku bersekutu dengan dia pada makanannya, minumannya dan pakaiannya”.
Muhammad bin Wasi’ berdoa tiap-tiap hari sesudah shalat Shubuh, yaitu: “Wahai
Allah Tuhanku ! sesungguhnya Engkau menguasakan diatas diri kami, seorang musuh
yang dapat melihat kekurangan-kekurangan kami, baik oleh dia sendiri atau
golongannya, sedang kami tidak dapat melihat mereka. Wahai Allah Tuhanku !
jadikanlah dia berputus-asa daripada menipu kami, sebagaimana Engkau
menjadikannya berputus-asa daripada rahmat Engkau ! jadikanlah ia berputus-asa
daripada menipu kami, sebagaimana Engkau menjadikannya berputus-asa daripada
kemaafan Engkau ! jauhkanlah diantara kami dan dia, sebagaimana Engkau jauhkan,
diantara dia dan rahmat Engkau ! sesungguhnya Engkau Maha-kuasa atas segala
sesuatu”. Yang meriwayatkan peristiwa ini menerangkan: “Lalu pada suatu hari,
Iblis itu berdiri dihadapan Muhammad bin Wasi’ pada jalan ke masjid, seraya
berkata: “Hai Ibnu Wasi ! adakah engkau mengenal aku ?”. Ibnu Wasi’ menjawab:
“Siapa engkau ?”. Iblis itu menjawab: “Aku Iblis”. Lalu Ibnu Wasi’ bertanya:
“Apa maksud engkau ?”. Iblis itu menjawab: “Aku ingin, supaya engkau tiada
mengajarkan seorangpun, doa meminta perlindungan diri (al-isti’adzah) tadi. Dan
aku tidak akan datang-datang kepada engkau”. Ibnu Wasi’ menjawab: “Demi Allah !
aku tidak akan melarang al-isti’adzah itu kepada siapa saja yang mengingininya.
Buatlah apa yang engkau mau !”. Dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang
mengatakan: “Adalah setan itu datang kepada Nabi saw dan di tangannya api yang
bernyala-nyala. Lalu ia berdiri di hadapan Nabi saw dan Nabi saw sedang shalat.
Maka Nabi saw membaca ayat Alquran dan berlindung dari setan yang terkutuk
(membaca A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim). Tetapi setan itu tidak
pergi. Maka datanglah malaikat Jibril as kepada Nabi saw, seraya mengatakan
kepada Nabi saw: “Aku berlindung dengan kalam Allah yang sempurna, yang tidak
dilampaui oleh orang baik dan orang zalim, dari kejahatan sesuatu yang masuk
dalam bumi dan yang keluar daripadanya, dari sesuatu yang turun dari langit dan
yang naik padanya, dari segala fitnah malam dan siang, dari segala yang datang
pada malam dan siang, kecuali yang datang dimana datangnya itu dengan
kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah !”. Lalu Nabi saw membaca yang
tersebut itu. Maka padamlah apinya dan setan itu jatuh tersungkur”. Al-Hasan
berkata: “Diceritakan orang kepadaku, bahwa malaikat Jibril as datang kepada
Nabi saw, seraya berkata: “Bahwa jin ifrit akan memperdayakan engkau. Apabila
engkau pergi ke tempat tidur, maka bacalah: ayat Al-Kursiyyi. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya setan telah datang kepadaku, lalu ia bertengkar dengan
aku. Kemudian, ia bertengkar lagi dengan aku. Lalu aku pegang lehernya. Demi
Allah yang mengutuskan aku dengan kebenaran ! aku tidak melepaskannya, sehingga
aku dapati kedinginan air lidahnya pada tanganku. Jikalau tidaklah doa
saudaraku Sulaiman as, niscaya jadilah aku tercampak dalam masjid”. Nabi saw
bersabda: “Umar tiada menjalani sesuatu jalan, melainkan setan menjalani
sesuatu jalan yang tiada dijalani oleh Umar”. Fahamilah ini ! karena hati itu
disucikan dari tempat gembalaan dan kekuatan setan. Yaitu: nafsu syahwat.
Manakala anda mengharap, bahwa tertolaknya setan dari anda dengan dzikir
semata-mata, sebagaimana tertolaknya dari Umar ra, maka yang demikian itu
mustahil. Anda adalah seperti orang yang mengharap meminum obat sebelum
mengosongkan perut dari makanan. Dan perut besar (maiddah) itu sibuk dengan
makanan-makanan berat. Dan orang itu mengharap bahwa obat tersebut bermanfaat
kepadanya, sebagaimana bermanfaatnya obat yang diminum sesudah perut kosong dan
pengosongan perut besar. Dzikir itu obat dan taqwa itu pengosongan perut.
Yaitu: pengosongannya hati dari segala nafsu syahwat. Maka apabila dzikir
bertempat pada hati yang kosong dari selain dzikir, niscaya tertolaklah setan,
sebagaimana tertolaknya penyakit dengan bertempatnya obat dalam perut yang
kosong daripada makanan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hal yang
demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian)”. S
50 Qaaf ayat 37. Allah Ta’ala berfirman: “Telah ditetapkan, bahwa siapa, yang
mengikut setan itu, sudah tentu akan disesatkannya dan akan dipimpinnya menuju
siksaan api yang menyala”. S 22 Al Hajj ayat 4. Siapa yang menolong setan
dengan perbuatannya, maka dia adalah pengikut setan, walaupun ia menyebut Allah
dengan lidahnya. Dan walaupun anda mengatakan, bahwa telah datang hadits secara
mutlak, yang menerangkan, bahwa dzikir (menyebut Allah) itu menolak setan. Anda
tidak memahami, bahwa kebanyakan hal yang bersifat umum bagi agama itu
dikhususkan dengan syarat-syarat yang dinukilkan oleh ulama-ulama agama. Maka
lihatlah kepada diri anda. Tidaklah kabar itu seperti dilihat sendiri. Dan
perhatikanlah, bahwa kesudahan dzikir anda dan ibadah anda itu, ialah: shalat !
Maka awasilah hati anda, apabila anda berada dalam shalat ! bagaimana hati itu
ditarik oleh setan ke pasar-pasar, mengadakan perhitungan dengan orang-orang
yang berjual-beli dan bersoal-jawab dengan orang-orang yang menantang ?
bagaimana setan itu membawa anda dalam lembah-lembah dunia dan tempat-tempat yang
membinasakan ? sehingga anda tidak teringat apa yang telah anda lupakan dari
segala tetek bengek dunia, selain dalam shalat anda. Dan setan itu tidak
berdesak-desak pada hati anda, selain apabila anda mengerjakan shalat. Maka
shalat itu adalah batu penguji hati. Pada shalat, lahirlah segala kebaikan dan
keburukan hati. Shalat itu tidak diterima dari hati yang penuh dengan segala
hawa nafsu dunia. Tidak dapat dibantah, bahwa setan itu tidak terusir dari
anda, bahkan kadang-kadang bertambah bisikannya pada anda. Sebagaimana obat
sebelum kosongnya perut kadang-kadang menambahkan kemelaratan kepada anda.
Jikalau anda bermaksud terlepas dari setan, maka dahulukanlah kekosongan perut
dengan taqwa ! kemudian, iringilah dengan obat dzikir, yang akan melarikan setan
daripada anda, sebagaimana setan itu lari daripada Umar ra. Karena itulah Wahab
bin Munabbih berkata: “Bertaqwalah kepada Allah ! janganlah anda memaki setan
secara terang-terangan, sedang anda temannya secara rahasia. Artinya: anda
patuh kepadanya”. Sebahagian mereka berkata: “Alangkah mengherankan, orang yang
mendurhakai orang yang berbuat baik, sesudah diketahuinya akan kebaikan orang
itu. Dan mentaati akan orang yang terkutuk, sesudah diketahuinya akan
kedurhakaannya”. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mendoalah kepadaKu,
nanti Kuperkenankan (permintaan) kamu itu”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Anda mendoa
kepadaNya dan Ia tidak memperkenankan untuk anda. Maka seperti itu pulalah,
anda mengingati Allah (berdzikir) dan setan tidak lari dari anda, karena
ketiadaan syarat-syarat dzikir dan doa. Orang bertanya kepada Ibrahim bin
Adham: “Bagaimana kami ini berdoa, maka tidak diperkenankan doa kami itu ?
padahal Allah Ta’ala berfirman: “Mendoalah kepadaKu, nanti Kuperkenankan
(permintaan) kamu itu ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Karena hatimu itu mati”.
Orang tersebut bertanya lagi: “Apakah yang mematikan hati itu ?”. Ibrahim bin
Adham menjawab: “8 perkar: engkau mengetahui akan hak Allah, lalu engkau tidak
bangun menegakkan hakNya, engkau membaca Alquran dan engkau tidak mengerjakan
menurut batas-batas yang ditentukan oleh Alquran, engkau berkata: kami
mencintai Rasulullah saw dan engkau tidak melaksanakan menurut sunnahnya,
engkau mengatakan: kami takut kepada mati dan kamu tidak mengadakan persiapan
untuk mati. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab
itu, perlakukanlah dia sebagai musuh !”. S 35 Faathir ayat 6. Lalu kamu sepakat
dengan setan itu pada perbuatan maksiat. Engkau mengatakan: kami takut kepada
api neraka dan engkau membawa susah badanmu ke dalam api neraka. Engkau
mengatakan: kami mencintai sorga dan engkau tidak berbuat untuk sorga. Dan
apabila kamu bangun dari tempat tidurmu, kamu lemparkan kekurangan-kekuranganmu
ke belakang punggungmu. Dan kamu bentangkan kekurangan orang lain di hadapanmu.
Kamu telah memarahkan Tuhanmu, maka bagaimanakah Ia memperkenankan doamu ?”.
Kalau anda bertanya: “Yang mengajak kepada maksiat yang bermacam-macam itu,
apakah setan itu satu atau setan-setan yang bermacam-macam ?”. Ketahuilah, bahwa
tidak perlu bagi anda mengetahui yang demikian pada ilmu-mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan).
Bekerjalah menolak musuh dan jangan anda bertanya tentang sifatnya ! makanlah
sayur-sayuran dari mana saja datangnya dan janganlah anda tanyakan tentang
tempat tumbuhnya sayuran itu ! akan tetapi yang terang dengan cahaya
penglihatan pada penyaksian-penyaksian hadits, ialah: mereka itu adalah tentara
yang berbaris. Masing-masing macam dari maksiat itu, mempunyai setan yang
tertentu dan yang mengajak kepadanya. Adapun jalan penglihatan, untuk
menyebutkannya adalah panjang. Dan mencukupilah untuk anda, sekedar yang telah
kami sebutkan itu. Yaitu: bahwa perbedaan yang menyebabkannya, menunjukkan
kepada perbedaan sebab-sebab, sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang
cahaya api dan hitam asap. Adapun hadits, maka Mujahid telah mengatakan: “Iblis
itu mempunyai 5 anak. Masing-masing dari anak itu dijadikan sesuatu yang
menjadi urusannya. Ke-5 anak ialah: Tsabur, A’war, Mabsuth, Dasim dan Zalambur.
Tsabur, yaitu: yang punya segala bencana, yang menyuruh dengan kebinasaan,
merobekkan baju, menampar pipi dan dakwaan jahiliah. Adapun A’war, yaitu: yang
punya zina, yang menyuruh dan menghiaskan kezinaan. Adapun Mabsuth, yaitu: yang
punya kebohongan. Dan Dasim, ialah: yang masuk bersama orang laki-laki kepada
keluarganya, yang menuduh mereka, dengan kekurangan pada laki-laki itu dan yang
membuat laki-laki itu marah kepada keluarganya. Dan Zalambur, yaitu: yang punya
pasar. Lalu dengan sebab Zalambur, mereka itu senantiasa mendapat kezaliman.
Setan shalat, dinamai: Khanzab. Dan setan wudhu’, dinamai: Walhan. Mengenai
yang demikian, telah tersebut pada banyak hadits. Sebagaimana setan pada mereka
itu banyak, maka begitu pulalah malaikatpun banyak. Dan telah kami sebutkan
pada “Kitab Syukur” tentang rahasia banyaknya malaikat dan masing-masing mereka
mempunyai tugas khusus yang tersendiri. Abu Amamah Al-Bahili berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Diwakilkan dengan orang mu’min 160 malaikat, yang
mempertahankannya, apabila ia tidak sanggup mempertahankan dirinya dari yang
demikian. Bagi penglihatan (mata) mempunyai 7 malaikat, yang mempertahankannya,
sebagaimana lalat ditolak-jauh dari piring madu pada hari panas. Jikalau
tampaklah bagi kamu malaikat itu, niscaya kamu melihatnya, pada tiap-tiap
lembah dan bukit. Masing-masing mereka menghamparkan tangannya dan membuka
mulutnya. Dan jikalau diwakilkan hamba mu’min itu kepada dirinya sendiri
sekejap mata niscaya ia disambar oleh setan-setan”. Ayyub bin Yunus bin Yazid
berkata: “Ada berita yang sampai kepada kami, bahwa lahir anak-anak jin bersama
anak-anak manusia. Kemudian mereka itu jadi bersama anak-anak manusia”. Jabir
bin Abdullah meriwayatkan, bahwa Nabi Adam as tatkala turun ke bumi, berdoa:
“Wahai Tuhanku ! Iblis ini yang Engkau jadikan permusuhan diantaraku dan dia.
Jikalau Engkau tidak menolong aku, niscaya aku tiada sanggup menghadapinya”.
Allah berfirman: “Apabila engkau melahirkan anak, maka diwakilkan seorang
malaikat kepadanya”. Nabi Adam as berdoa: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku
!”. Allah berfirman: “Aku balas satu kejahatan dengan satu. Dan satu perbuatan
kebaikan, Aku balas 10, sampai sebanyak yang Aku kehendaki”. Nabi Adam as
berdoa lagi: “Wahai Tuhanku, tambahlah kepadaku !”. Allah berfirman: “Pintu
taubat itu terbuka, selama masih ada nyawa dalam badan”. Dan Iblis berdoa:
“Wahai Tuhanku ! hambaMu itu Engkau muliakan terhadap aku, jikalau tidak Engkau
menolong aku terhadapnya, niscaya aku tidak sanggup menghadapinya”. Allah
berfirman: “Apabila dilahirkan untuk Adam seorang anak, maka untukmu dilahirkan
seorang anak pula”. Iblis berdoa: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah untukku !”.
Allah berfirman: “Engkau berjalan pada mereka pada tempat jalan darahnya dan
engkau mengambil dada mereka menjadi rumahmu”. Iblis mendoa lagi: “Tambahlah,
wahai Tuhanku !”. Allah berfirman: “Dan kerahkanlah mereka dengan pasukan
engkau yang berkuda dan jalan kaki dan berserikatlah dengan mereka tentang
harta dan anak-anak dan janjikanlah (apa-apa) kepada mereka. Dan apa yang
dijanjikan oleh setan itu kepada mereka, tiada lain dari tipuan belaka”. S 17
Al Israa’ ayat 64. Dari Abid-Darda ra yang mengatakan: “Rasulullah saw
bersabda: “Allah Ta’ala menjanjikan jin 3 macam: semacam seperti ular, kala dan
binatang-binatang kecil di bumi. Semacam seperti angin di udara. Dan semacam
lagi, pada mereka pahala dan siksa. Allah Ta’ala menjadikan manusia 3 macam:
semacam seperti hewan sebagaimana firman
Allah Ta’ala: “.......mereka mempunyai hati (tetapi) tidak memahamkan dengan
hatinya, mempunyai mata, (tetapi) tidak melihat dengan matanya dan mempunyai
telinga, (tetapi) tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat”. S 7 Al A’raaf ayat 179. Semacam lagi,
tubuhnya tubuh manusia dan nyawanya nyawa setan. Dan semacam lagi dalam naungan
Allah Ta’ala pada hari kiamat, hari yang tak ada naungan padanya, selain
naungan Allah”. Wahib bin Al-Ward berkata: “Sampai kepada kami cerita, bahwa
Iblis merupakan diri seperti manusia, dihadapan Nabi Yahya bin Zakaria as.
Iblis itu berkata: “Aku bermaksud menasehati engkau”. Nabi Yahya as menjawab:
“Aku tiada memerlukan akan nasehatmu. Akan tetapi terangkanlah kepadaku tentang
anak Adam !”. Lalu Iblis itu menjawab: “Mereka pada kami 3 macam. Semacam dari
mereka itu, adalah macam yang sangat sulit kepada kami. Kami hadapi salah
seorang dari mereka, sehingga kami fitnahkan dia dan kami berketetapan padanya.
Lalu ia berlindung dengan pembacaan istighfar dan taubat. Maka rusaklah semua yang
telah kami peroleh daripadanya. Kemudian, kami kembali lagi kepadanya, lalu
iapun kembali kepada istighfar dan taubat. Kami tiada berputus-asa daripadanya
dan kami tiada memperoleh hajat kami daripadanya. Kami hanya payah saja
menghadapinya. Yang semacam lagi, mereka itu dalam tangan kami, seperti bola
dalam tangan anak-anakmu. Kami balik-balikkan mereka menurut kehendak kami.
Mereka menjaga dari kami, diri mereka. Adapun macam ke-3, mereka adalah seperti
engkau, yang terpelihara dari kesalahan. Kami tidak sanggup berbuat sesuatu
terhadap mereka”. Kalau anda bertanya, bagaimana setan itu membuat dirinya
menyerupai dengan sebahagian manusia dan tidak dengan sebahagian yang lain ?
apabila dilihat bentuknya, maka apakah itu bentuknya yang sebenarnya atau contoh
yang memberi bentuk setan dengan demikian ? jikalau setan itu menurut bentuk
yang sebenarnya, maka bagaimana ia dapat terlihat dengan bentuk yang
bermacam-macam ? dan bagaimana ia dapat terlihat pada satu waktu di dua tempat
dan dengan dua bentuk ? sehingga ia dapat dilihat oleh dua orang dengan dua
bentuk yang berlainan. Ketahuilah kiranya, bahwa malaikat dan setan,
masing-masing mempunyai dua bentuk. Yaitu: hakekat bentuk keduanya. Dan hakekat
bentuk keduanya itu tidak dapat diketahui dengan menyaksikan, kecuali dengan
nur kenabian. Nabi saw tiada melihat malaikat Jibril as dalam bentuknya,
kecuali 2 kali. Yang demikian, ialah: bahwa Nabi saw meminta kepada Jibril as
supaya memperlihatkan dirinya kepada Nabi saw menurut bentuknya. Lalu Jibril as
menjanjikannya di Baqi’. Dan tampaklah Jibril as kepada Nabi saw di Hara’. Maka
tertutuplah ufuk dari Timur (masyriq) sampai ke Barat (maghrib). Dan sekali
lagi, Nabi saw melihat Jibril as menurut bentuknya pada malam mi’raj di sisi
Sadratul-muntaha. Biasanya Nabi saw melihat Jibril as itu dalam bentuk manusia.
Nabi saw melihat Jibril as menurut bentuk Dahiyah Al-Kalabi. Dahiyah adalah
seorang laki-laki yang cantik mukanya. Yang kebanyakan, malaikat Jibril as itu
membuka kepada ahli-mukasyafah dari orang-orang yang mempunyai hati, dengan
contoh bentuknya. Lalu setan menampakkan contoh bentuknya bagi ahli mukasyafah
itu waktu jaga (tidak tidur). Maka ia melihat setan tersebut dengan matanya dan
mendengar perkataannya dengan telinganya. Lalu yang demikian itu berkedudukan
pada kedudukan hakekat bentuknya, sebagaimana tersingkap dalam tidur bagi
kebanyakan orang-orang saleh. Yang tersingkap pada waktu juga, yaitu: yang
telah sampai kepada tingkat, yang tidak dapat dicegah dari mukasyafah yang ada
dalam tidur, oleh kesibukan pancaindra dengan dunia. Lalu ia melihat dalam jaga
itu, apa yang dilihat oleh orang lain dalam tidur. Sebagaimana diriwayatkan
dari Umar bin Abdul-‘aziz ra, bahwa seorang laki-laki, meminta kepada Tuhannya,
supaya Tuhan memperlihatkan kepadanya tempat setan dalam hati manusia. Lalu ia
melihat dalam tidurnya (bermimpi) tubuh seorang laki-laki yang menyerupai batu
yang bersih berkilat. Kelihatan dalamnya dari luarnya. Dan ia melihat setan itu
dalam bentuk katak, yang duduk atas lembung kiri orang itu, diantara lembungnya
dan telinganya. Katak itu mempunyai belalai halus, yang dimasukkannya dari
lembung kiri orang itu ke dalam hatinya, dimana dibisikkan kepadanya hal-hal
yang tidak baik. Apabila orang itu mengingati Allah Ta’ala (berdzikir), niscaya
setan itu mengendap. Hal yang seperti ini, kadang-kadang disaksikan dengan mata
pada waktu jaga. Sebahagian golongan kasyaf melihat setan itu, dalam bentuk
anjing bertelungkup atas bangkai. Ia mengajak manusia kepada bangkai itu. Dan
bangkai itu adalah contoh dunia. Ini berlaku sebagai penyaksian bentuk setan
itu yang hakiki. Sesungguhnya hati itu tak boleh tidak akan lahir hakekatnya,
dari wajahnya yang berhadapan dengan alam malakut. Dan ketika itu cemerlanglah
bekasnya, atas wajahnya yang berhadapan dengan alamul-mulki wasy-syahadah (alam
yang tampak, dapat disaksikan). Karena salah satu daripada keduanya bersambung
dengan yang satu lagi. Dan telah kami terangkan, bahwa hati itu mempunyai dua
wajah: wajah ke alam ghaib, yaitu: tempat masuknya ilham dan wahyu. Dan wajah
ke alam syahadah. Maka yang lahir daripadanya pada wajah yang mengiringi pihak
alam syahadah, adalah merupakan bentuk khayalan. Karena seluruh alam syahadah
itu khayalan. Hanya khayalan itu sekali berhasil dari pandangan dengan
pancaindra kepada zahiriah alam syahadah. Maka bolehlah bentuk itu tidak
bersesuaian dengan maksud. Sehingga terlihat orang yang cantik bentuknya,
padahal dia itu kotor batinnya dan keji rahasianya. Karena alam syahadah itu
alam yang banyak penyelewengan. Adapun bentuk yang berhasil dalam khayalan,
dari cemerlangnya alam malakut diatas batin rahasia hati, adalah merupakan
peniruan sifat dan penyesuaian bagi sifat. Karena bentuk pada alam malakut itu,
mengikuti sifat dan penyesuaian bagi sifat. Maka tak dapat dibantah, bahwa
maksud yang keji akan terlihat dengan bentuk yang keji. Maka setan itu akan
terlihat dalam bentuk anjing, katak, babi dll. Dan malaikat akan terlihat dalam
bentuk yang cantik. Maka bentuk itu adalah judul maksud dan yang menerangkan
maksud itu dengan sebenarnya. Karena itulah, beruk dan babi dalam tidur (mimpi)
menunjukkan kepada manusia keji. Kambing menunjukkan kepada manusia yang
sejahtera isi dadanya. Begitulah semua pintu mimpi dan penta’birannya
(pengertian mimpi). Dan inilah rahasia-rahasia ajaib. Yaitu: diantara
rahasia-rahasia keajaiban hati. Dan tidak layak menyebutkannya dengan Ilmu-Mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan
yang dimaksudkan, ialah; anda membenarkan, bahwa setan itu tersingkap, bagi orang-orang
yang mempunyai hati (arbabil-qulub). Begitupula malaikat, sekali dengan jalan
percontohan dan peniruan, sebagaimana ada yang demikian itu dalam tidur. Dan
sekali dengan jalan hakekat yang sebenarnya. Dan yang kebanyakan, ialah:
percontohan dengan bentuk yang memberi arti. Yaitu: contoh arti, tidak arti itu
sendiri. Hanya yang demikian itu, dapat disaksikan dengan penyaksian yang
hakiki dengan mata. Dan ahli kasyaf saja yang dapat menyaksikannya, tidak orang
kelilingnya, seperti orang yang tidur.
PENJELASAN: tentang bisikan
hati, cita-citanya, segala yang terguris padanya dan maksud-maksudnya, yang
disiksakan seorang hamba dengan yang tersebut itu dan apa yang dimaafkan, tiada
disaksikan dengan yang demikian.
Ketahuilah kiranya, bahwa
ini adalah hal yang tersembunyi, yang memerlukan kepada penguraian. Ayat-ayat
dan hadits-hadits yang bertentangan, telah membentangkannya, yang meragukan
jalan untuk mengumpulkannya. Kecuali pada ulama-ulama yang ahli tentang
syariat. Telah diriwayatkan daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
“Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya, bila tidak
dikatakannya atau dikerjakannya”. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat penjaga:
“Apabila hambaKu bercita-cita perbuatan keji, maka janganlah kamu tuliskan !
kalau dikerjakannya, maka tulislah satu kekejian ! apabila ia bercita-cita
perbuatan yang baik yang tidak dikerjakannya, maka tulislah satu kebaikan ! dan
kalau dikerjakannya, maka tulislah 10 kebaikan”. Hadits ini dikeluarkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim dalam “Shahih”nya. Dan itu adalah dalil tentang dimaafkan
pekerjaab dan cita-cita hati akan perbuatan keji. Dan pada kata-kata yang lain
dari Nabi saw tersebut, yang artinya: “Orang yang bercita-cita perbuatan baik,
lalu tidak dikerjakannya, maka dituliskan suatu kebaikan baginya. Dan orang
yang bercita-cita suatu perbuatan baik, lalu dikerjakannya, maka dituliskan
baginya 700 gandanya. Dan orang yang bercita-cita perbuatan keji, lalu tidak
dikerjakannya, maka tidak dituliskan. Dan kalau dikerjakannya, maka
dituliskan”. Dan pada kata-kata yang lain dari Nabi saw tersebut, yang artinya:
“Apabila seseorang berkata akan mengerjakan suatu pekerjaan keji, maka aku akan
mengampunkannya selama tidak dikerjakannya”. Semua yang tersebut tadi
menunjukkan kepada pemaafan. Adapun yang menunjukkan kepada penyiksaan, ialah
firman Allah swt: “Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu
sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga. Allah mengampuni
orang yang dikehendakiNya dan menyiksa orang yang dikehendakiNya”. S 2 Al
Baqarah ayat 284. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau turut apa yang
tidak engkau ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
akan menerima pertanyaan”. S 17 Al Israa’ ayat 36. Firman itu menunjukkan,
bahwa perbuatan hati adalah seperti perbuatan pendengaran dan penglihatan.
Tidak dimaafkan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menyembunyikan
kesaksian ! siapa yang menyembunyikan kesaksiannya itu, sesungguhnya hatinya
berdosa”. S 2 Al Baqarah ayat 283. Dan firman Allah Ta’ala: “Allah tidak
mengadakan tuntutan kewajiban karena sumpahmu yang tidak disengaja. Tetapi Ia
mengadakan tuntutan kewajiban terhadap apa yang dikerjakan hatimu”. S 2 Al
Baqarah ayat 225. Sebenarnya pada kami tentang persoalan ini, tidak dapat
dipahami, sebelum diliputi dengan uraian pekerjaan hati, dari permulaan
lahirnya sampai kepada lahirnya perbuatan pada anggota badan. Maka sekarang
kami terangkan, bahwa:
Yang pertama datang pada
hati, ialah gurisan, sebagaimana –umpamanya- terguris pada hati seseorang, rupa
seorang wanita. Dan wanita itu dibelakangnya di jalan. Jikalau ia berpaling
kepadanya, niscaya dilihatnya.
Yang kedua, berkobar-kobar
keinginan melihat. Dan itu, adalah gerakan nafsu syahwat yang menjadi sifat
manusia. Dan ini terjadi dari gurisan yang pertama itu. Dan kami namakan:
kecenderungan tabiat. Dan yang pertama tadi, dinamakan: kata hati
(haditsun-nafsi).
Yang ketiga, keputusan hati,
bahwa seyogyalah itu dikerjakan. Artinya: seyogyalah bahwa ia akan memandang
wanita itu. Karena tabiat (karakter manusia) apabila cenderung kepada sesuatu,
niscaya kemauan dan niat itu tidak bergerak, sebelu segala penghalang
tersingkirkan. Kadang-kadang ia dicegah oleh malu atau takut menoleh. Dan tidak
adanya penghalang-penghalang itu, kadang-kadang dengan perhatian. Yaitu, pada
umumnya itu suatu ketetapan dari pihak akal. Dan ini dinamakan: tekad
(keyakinan). Dan tekad itu mengikuti gurisan dan kecenderungan hati.
Dan yang keempat, keputusan
azam (cita-cita) untuk menoleh kepada wanita tersebut dan keyakinan niat hati
pada yang demikian. Dan inilah yang kami namakan: cita-cita, niat dan maksud
mengerjakannya. Cita-cita itu kadang-kadang mempunyai dasar yang lemah. Tetapi
apabila hati mendengar kepada gurisan yang pertama, sehingga panjang
penarikannya kepada jiwa, niscaya cita-cita itu menjadi kuat. Dan menjadi
kemauan yang diyakini. Apabila kemauan telah diyakini, kadang-kadang timbul
penyesalan sesudah keyakinan itu. Lalu ditinggalkan mengerjakannya. Dan
kadang-kadang lupa disebabkan oleh sesuatu penghalang. Lalu tidak dikerjakan
dan tidak menoleh kepadanya. Dan kadang-kadang dicegah oleh sesuatu pencegah,
lalu sulit mengerjakannya. Maka disini ada 4 hal bagi hati, sebelum dikerjakan
dengan anggota badan. Yaitu: gurisan, ya’ni: kata hati. Kemudian:
kecenderungan, kemudian: tekad, kemudian: cita-cita. Maka kami jelaskan, bahwa
gurisan itu, tidak dikenakan tuntutan. Karena ia tidak termasuk dalam ikhtiar
(pilihan atau usaha). Begitupula: kecendorongan dan berkobarnya nafsu syahwat.
Keduanya tidak juga termasuk dalam ikhtiar. Dan itulah yang dimaksudkan oleh
sabda Nabi saw: “Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya”.
Maka kata-hati itu, merupakan gurisan-gurisan yang membisik dalam hati (jiwa).
Dan tidak diikuti oleh cita-cita mengerjakannya. Adapun cita-cita dan azam,
maka tidak dinamakan: kata hati. Akan tetapi kata-hati, adalah sebagaimana
diriwayatkan dari Usman bin Madl’un, dimana ia mengatakan kepada Nabi saw:
“Wahai Rasulullah ! hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku ceraikan Khaulah !”.
Lalu Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya, diantara sunnahku, ialah:
kawin (nikah)”. Usman bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku,
supaya aku potong alat nafsu syahwatku”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati !
memutuskan alat nafsu syahwat umatku, ialah membiasakan berpuasa”. Usman bin
Madh’un berkata pula: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku menjadi padri”.
Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! kepadrian umatku, ialah jihad dan hajji”. Usman
bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku meninggalkan
makan daging”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya aku menyukai
daging. Jikalau aku memperolehnya, niscaya aku makan. Dan jikalau aku minta
pada Allah, niscaya diberikanNya kepadaku”. Semua gurisan ini yang tidak
disertai oleh azam mengerjakannya, adalah: kata hati (haditsun-nafsi). Dan
karena itulah Usman bin Madh’un bermusyawarah dengan Rasulullah saw. Karena
tidak ada padanya azam dan cita-cita dengan perbuatan itu.
Adapun yang ketiga, yaitu:
tekad dan keputusan hati, bahwa seyogyanya ia mengerjakannya, maka ini adalah
keragu-raguan (taraddud), diantara terpaksa atau dengan pilihan (ikhtiar)
mengerjakannya. Dan keadaan berbeda-beda padanya. Yang ikhtiar (dengan pilihan
dan kemauan sendiri) dilakukan tuntutan. Dan yang idltirari (yang terpaksa
dikerjakan), tidak dilakukan tuntutan.
Adapun yang keempat, yaitu:
cita-cita mengerjakannya, maka dilakukan tuntutan. Kecuali, kalau tidak
dikerjakannya, maka itu diperhatikan. Kalau ditinggalkannya karena takut kepada
Allah Ta’ala dan menyesal diatas cita-citanya itu, niscaya dituliskan untuknya
suatu kebaikan. Karena cita-citanya itu keji. Dan pencegahan diri dan
mujahadahnya akan hawa nafsunya itu, suatu kebaikan. Dan cita-cita yang sesuai
dengan tabiat itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada sempurnanya
kelalaian kepada Allah Ta’ala. Dan mencegah diri dengan mujahadah itu menyalahi
tabiat (keinginan hawa nafsu), yang memerlukan kepada kekuatan besar. Maka
sesungguhnya menyalahi tabiat itu, adalah amalan karena Allah Ta’ala. Dan
amalan karena Allah Ta’ala itu, lebih berat daripada kesungguhannya menyetujui
setan dengan menyetujui tabiat (keinginan hawa nafsu) itu. Lalu dituliskan suatu
kebaikan baginya. Karena ia menguatkan kesungguhannya mencegah diri dan
cita-citanya yang tersebut, daripada cita-citanya mengerjakan perbuatan itu.
Kalau ia tercegah dari perbuatan itu disebabkan oleh sesuatu pencegah atau
ditinggalkannya disebabkan sesuatu halangan, bukan karena takut kepada Allah
Ta’ala, niscaya dituliskan suatu kekejian kepadanya. Karena cita-citanya itu
merupakan suatu perbuatan ikhtiari dari hati. Alasan atas uraian ini, ialah apa
yang diriwayatkan dalam kitab “Shahih”, yang terurai pada kata-kata hadits.
Rasulullah saw bersabda: “Para malaikat itu berkata: “Wahai Tuhanku ! orang itu
hambaMu, yang bermaksud berbuat kekejian, sedang ia lebih melihatnya”. Maka
Allah berfirman: “Intiplah dia ! kalau dikerjakannya, maka tulislah kejahatan
itu seperti yang dikerjakannya ! kalau ditnggalkannya, maka tulislah suatu
kebaikan baginya ! sesungguhnya ia meninggalkan kekejian itu, dari karenaKu”.
Sekiranya dikatakan: “Jikalau tidak dikerjakan kekejian itu”, dimaksudkan,
ialah ditinggalkannya, karena Allah. Adapun, apabila seseorang berazam kepada
perbuatan keji, lalu berhalangan disebabkan oleh sesuatu sebab atau karena
lupa, maka bagaimanakah kekejian itu ditulisan baginya suatu kebaikan ? Naib
saw bersabda: “Manusia itu dibangkitkan menurut niatnya”. Kita mengetahui,
bahwa siapa yang berazam pada malamnya, bahwa pada paginya ia akan membunuh
orang Islam atau akan berzina dengan seorang wanita, lalu mati ia pada malam
itu, niscaya ia mati diatas kemaksiatan. Dan ia dibangkitkan nanti menurut niatnya.
Ia telah bercita-cita dengan perbuatan eji dan tidak dikerjakannya. Keterangan
yang kuat tentang itu, ialah hadits yang diriwayatkan daripada Nabi saw, yang
bersabda: “Apabila bertemu dua orang muslim dengan pedang di tangannya
masing-masing, maka si pembunuh dan yang terbunuh itu dalam neraka. Lalu
ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! ini si pembunuh ! maka bagaimana halnya yang
terbunuh ? Nabi saw menjawab: “Karena itu bermaksud membunuh temannya”. Ini
adalah suatu ketegasan (nash) tentang jadinya isi neraka dengan semata-mata
lkehendak. Sedang dia terbunuh dengan teraniaya. Maka bagaimana menjadi
sangkaan, bahwa Allah Ta’ala tiada mengadakan tuntutan (Siksaan) dengan niat
dan cita-cita ? bahkan semua cita-cita itu masuk dalam pilihan (ikhtiar) seseorang
hamba. Ia dituntut (disiksa) dengan yang demikian. Kecuali ditutupnya dengan
kebaikan. Dan meruntuhkan azam dengan penyesalan itu kebaikan. Maka karena
itulah, dituliskan baginya suatu kebaikan. Adapun luputnya yang dimaksud
lantaran halangan, maka tidaklah dinamakan kebaikan. Gurisan-gurisan hati, kata
hati dan berkobarnya keinginan, tidaklah semua ini masuk dalam ikhtiar.
Mengadakan tuntutan (siksaan) dengan yang tersebut, adalah memberatkan sesuatu
yang tiada disanggupi. Dan karena itulah, tatkala turun firman Allah Ta’ala:
“Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya
Allah akan memperhitungkan kamu juga”. Al-Baqarah ayat 284, lalu: datanglah
banyak dari para sahabat kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Kami diberati dengan
yang tiada kami sanggupi. Bahwa seseorang dari kami berkata dalam hatinya,
dengan yang tiada disukainya tetap dalam hatinya. Kemudian ia diperkirakan,
yang demikian”. Nabi saw menjawab: “Mungkin kamu mengatakan seperti dikatakan
oleh orang Yahudi: “Kami mendengar dan kami ingkari”. Katakanlah: “Kami
mendengar dan kami taati”. Lalu para sahabat itu berkata: “Kami mendengar dan
kami taati”. Maka Allah Ta’ala menurunkan kelapangan sesudah setahun dengan
firmanNya: “Allah tiada memikulkan kewajiban kepada seorang, melainkan sekedar
kekuatannya”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Maka jelaslah, bahwa semua pekerjaan
hati yang tidak masuk dalam kelapangan, adalah yang tidak diadakan tuntutan
(siksaan). Maka ini adalah penyingkapan tutup daripada keraguan itu. Tiap-tiap
orang yang menyangka, bahwa semua yang berlaku dalam hati dinamakan: kata-hati
dan tidak diperbedakannya diantara 3 bahagian itu, maka pastilah ia salah.
Bagaimana tidak diadakan tuntutan (siksaan) dengan pekerjaan hati, seperti:
sombong, membanggakan diri, ria, nifaq, dengki dan sejumlah perbuatan hati yang
keji-keji lainnya ? bahkan pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya diminta
tanggung jawab. Artinya: yang tidak masuk dalam ikhtiar (dalam pilihan dan
kemauan sendiri). Kalau jatuh pandangan tanpa ikhtiar, kepada wanita yang bukan
mahramnya, maka tidak diadakan tuntutan (siksaan). Kalau diikutinya dengan
pandangan kedua, maka diadakan tuntutan (siksaan). Karena sudah dengan pilihan
dan kemauannya. Maka begitupula semua gurisan hati berlalu seperti ini. Bahkan
hati itu lebih utama diadakan tuntutan (siksaan), karena dia adalah pokok. Nabi
saw bersabda: “Taqwa itu disini... lalu Nabi saw menunjukkan kepada hati”.
Allah Ta’ala berfirman: “Tiada akan sampai daging dan darahnya itu kepada
Allah, hanya yang sampai kepadaNya, ialah taqwa daripadamu”. S 22 Al Hajj ayat
37. Nabi saw bersabda: “Dosa itu membekas pada hati”. Nabi saw bersabda:
“Kebajikan itu ialah yang menentramkan hati, walaupun mereka meminta fatwa pada
engkau dan mereka meminta fatwa pada engkau”. Sehingga kami dapat mengatakan,
bahwa apabila hati yang memberi fatwa, menetapkan dengan kepositifan sesuatu
dan ia bersalah dalam hal itu, maka ia memperoleh pahala. Bahkan, siapa yang
menyangka bahwa ia suci (mempunyai wudhu’), maka bolehlah ia mengerjakan
shalat. Kalau ia sudah mengerjakan shalat, kemudian teringat, bahwa ia tiada
berwudhu’, niscaya baginya pahala dengan perbuatannya itu. Kalau ia teringat,
kemudian ia tinggalkan (tiada dikerjakannya shalat), niscaya ia disiksa. Siapa
yang mendapati seorang wanita pada tempat tidurnya, lalu menyangka bahwa wanita
itu isterinya, niscaya ia tidak maksiat dengan menyetubuhinya, walaupun
ternyata kemudian, wanita itu orang lain. Kalau disangkanya wanita itu orang
lain, lalu disetubuhinya, niscaya ia maksiat, walaupun ternyata kemudian,
wanita itu isterinya. Semua itu dipandang kepada hati, tidak kepada anggota
badan.
PENJELASAN: bahwa bisikan
hati, adakah tergambar menjadi terputus secara keseluruhan ketika berdzikir
atau tidak ?
Ketahuilah kiranya, bahwa
para ulama yang mengintip hati, yang memperhatikan sifat-sifat dan
keajaiban-keajaiban hati, berbeda pendapat tentang persoalan ini dalam 5
golongan.
Suatu golongan berkata, bahwa: bisikan (bisikan setan) itu,
terputus dengan mengingati Allah (berdzikir). Karena Nabi saw bersabda:
“Apabila mengingati Allah, niscaya hati itu mengendap (al-chansu)”. Al-chansu
itu, ialah diam. Seakan-akan hati itu diam.
Suatu golongan berkata, bahwa: pokoknya bisikan itu tiada
menghilang. Akan tetapi berjalan di dalam hati dan tiada mempunyai bekas. Sebab
apabila hati itu tenggelam dalam dzikir (menyebut dan mengingati Allah),
niscaya ia terhijab (terdinding) daripada berbekas dengan bisikan itu, seperti
orang yang sibuk dengan cita-citanya. Kadang-kadang ia berkata-kata dan tiada
dipahaminya yang diperkatakan itu, walaupun suara itu terlintas pada
pendengarannya.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan itu tiada hilang dan
bekasnya juga tiada hilang. Tetapi yang hilang, ialah mengerasnya pada hati.
Seakan-akan hati itu dibisikkan dari jauh dan bisikan lemah.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan itu seketika menghilang,
ketika mengingati Allah (berdzikir). Dan pada seketika yang lain, dzikir itu
menghilang. Dan ganti-berganti keduanya pada waktu-waktu yang berdekatan, yang
diduga karena berdekatannya, bahwa waktu-waktu itu bersamaan. Yaitu, seperti
bola yang ada padanya titik-titik yang bercerai-berai. Apabila anda putarkan
bola itu dengan cepat, niscaya anda melihat titik-titik itu bundaran-bundaran,
disebabkan cepat bersambungnya dengan gerak. Mereka itu mengambil dalil, bahwa
pengendapan itu telah tersebut pada hadits. Dan kita menyaksikan bisikan setan
itu serta dzikir. Dan tiada dasar bagi yang demikian, kecuali inilah.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan dan dzikir itu,
selalu berjalan bergandengan pada hati, yang tiada putus-putusnya. Dan
sebagaimana manusia kadang-kadang melihat dengan kedua matanya dua bentuk dalam
suatu keadaan, maka begitu pulalah hati, kadang-kadang menjadi tempat
berlalunya dua benda. Nabi saw bersabda: “Masing-masing hamba Allah (manusia)
mempunyai 4 biji mata. 2 biji pada kepalanya, untuk melihat urusan dunianya.
Dan dua biji pada hatinya, untuk melihat urusan agamanya”. Kepada inilah,
Al-Muhasibi berjalan. Dan yang benar menurut kami, ialah bahwa semua mazhab
(aliran) ini betul. Tetapi, semuanya adalah singkat, daripada meliputi dengan
segala macam bisikan itu. Masing-masing mereka hanya memandang kepada semacam
saja dari bisikan, lalu menerangkannya. Bisikan (waswas) itu bermacam-macam:
Pertama: bahwa adalah itu
dari segi penipuan kepada kebenaran. Sesungguhnya setan itu kadang-kadang ia
membuat penipuan dengan kebenaran. Ia berkata kepada manusia: “Tinggalkanlah
bersenang-senang dari segala kesenangan. Sesungguhnya umur itu panjang. Dan
sabar dari segala nafsu syahwat sepanjang umur, kepedihannya adalah berat”.
Ketika itu, apabila hamba mengingati akan agungnya kebenaran Allah Ta’ala,
besarnya pahala dan siksaNya dan ia berkata kepada dirinya, bahwa sabar dari
nafsu syahwat itu berat, akan tetapi sabar dari api neraka lebih berat lagi.
Dan tak boleh tidak daripada salah satu daripadanya”. Apabila hamba mengingati
akan janji balasan baik (wa’ad) dan balasan buruk (wa’id) daripada Allah Ta’ala
dan ia memperbaharui iman dan keyakinannya, niscaya setan itu mengendap dan
lari. Karena ia tidak sanggup berkata kepada hamba itu, bahwa: api neraka lebih
mudah daripada sabar diatas perbuatan maksiat. Dan tidak mungkin setan itu
berkata, bahwa perbuatan maksiat tidak membawa kepada api neraka. Karena
imannya kepada Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, menolaknya daripada yang demikian.
Lalu hilanglah bisikan setan (waswas) tersebut. Begitupula setan itu
membisikkan kepada hamba: perasaan bangga (keta’juban) atas karyanya. Maka
setan itu berkata: “Mana ada orang yang mengenal Allah, seperti yang kamu kenal
? dan menyembahNya seperti yang kamu sembah ? maka alangkah tinggi tempatmu
pada sisi Allah Ta’ala. Lalu hamba itu ketika itu teringat, bahwa ma’rifahnya,
hatinya dan segala anggota tubuhnya, dimana ia berbuat dan berilmu dengan
anggota tubuh itu, semuanya adalah makhluk Allah Ta’ala. Maka darimanakah ia
dapat menyombongkan diri ? lalu mengendaplah (mundurlah) setan itu. Karena
tidak mungkin ia berkata: “Tidaklah ini daripada Allah”. Sesungguhnya ma’rifah
dan iman itu, menolaknya. Maka ini adalah semacam dari waswas, yang terputus
secara keseluruhan dari orang-orang ma’rifah (‘arifin), yang berpemandangan
jauh dengan cahaya iman dan ma’rifah.
Macam kedua: adanya waswas
itu dengan penggerakan dan berkobarnya nafsu syahwat. Dan ini terbagi kepada:
yang diketahui oleh hamba Allah itu dengan yakin, bahwa itu perbuatan maksiat.
Dan kepada apa yang disangkanya dengan keras sangkaan. Kalau diketahuinya
dengan yakin, niscaya setan itu mengendap (mundur), daripada pengobaran yang
membekas kepada penggerakan nafsu syahwat. Dan setan itu tidak mundur daripada
usaha pengobaran itu. Walaupun itu merupakan sangkaan saja. Kadang-kadang tetap
membekas, dimana memerlukan kepada mujahadah pada menolaknya. Jadi waswas (bisikan
setan) itu ada. Akan tetapi, dia tertolak, tidak menang.
Macam ketiga: bahwa adanya
waswas itu dengan gurisan hati semata-mata, mengingati hal-hal yang biasa dan
berpikir pada bukan shalat –umpamanya. Apabila ia menghadap kepada dzikir,
niscaya tergambar bahwa bisikan itu tertolak sebentar dan kembali, tertolak dan
kembali lagi. Maka silih bergantilah diantara dzikir dan waswas. Dan
tergambarlah, bahwa keduanya itu datang beriringan. Sehingga pengertian itu
melengkapi diatas pemahaman arti bacaan dan diatas gurisan-gurisan yang di
dalam hati. Seakan-akan keduanya pada dua tempat dari hati. Dan jauh sekali
bahwa dapat tertolak pengendapan setan itu secara keseluruhan, dimana tidak
terguris lagi di dalam hati. Akan tetapi yang demikian itu tidak mustahil. Karena
Nabi saw pernah bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 2 rakaat, dimana
hatinya tiada berkata sesuatu dari urusan duniawi, niscaya diampunkan dosanya
yang telah berlalu”. Jikalau yang demikian itu tidak tergambar akan terjadi,
niscaya tidak disebutkan oleh Nabi saw. Hanya yang demikian itu tidak akan
tergambar jadinya, selain pada hati yang telah dikuasai oleh kecintaan kepada
Tuhan. Sehingga ia menjadi seperti orang kehilangan akal. Kita kadang-kadang
melihat orang, yang dilengkapi hatinya dengan musuh, yang merasa kesakitan
dengan tindakan musuh itu. Kadang-kadang ia bertafakkur selama 2 rakaat dan
beberapa rakaat shalat, mengenai pertengkaran dengan musuhnya, dimana tidak
terguris di hatinya, selain pembicaraan musuhnya. Begitupula orang yang tenggelam
dalam kecintaan. Kadang-kadang ia bertafakkur dalam percakapan kekasihnya
dengan hatinya. Dan ia terbenam dalam pikirannya, dimana tidak terguris di
hatinya, selain pembicaraan kekasihnya. Kalau orang lain berbicara dengan dia,
niscaya tidak didengarnya. Kalau ada seseorang yang melintasi di hadapannya,
niscaya seakan-akan tidak terlihatnya. Apabila ini tergambar mengenai ketakutan
kepada musuh dan pada kelobaan kepada harta dan kemegahan, maka bagaimanakah
tidak tergambar pada ketakutan kepada api neraka dan kelobaan kepada surga ?.
Tetapi yang demikian itu, sukar karena kelemahan iman kepada Allah Ta’ala dan
hari akhirat. Apabila anda memperhatikan jumlah bahagian-bahagian tersebut dan
jenis-jenis bisikan setan (waswas), niscaya anda tahu, bahwa masing-masing
aliran dari aliran-aliran itu, mempunyai segi. Akan tetapi pada tempat
tertentu. Kesimpulannya, bahwa untuk terlepas dari setan pada waktu sekejap
mata atau seketika dari waktu, adalah tidak jauh dari kejadian (bisa saja
terjadi). Tetapi untuk terlepasnya sepanjang umur (waktu yang lama) dari
pengaruh setan, adalah jauh sekali daripada bisa tercapai dan suatu hal yang
mustahil dapat terwujud. Jikalau dapatlah seseorang terlepas dari bisikan setan
dengan segala gurisan di dalam hati dan pengobaran keinginan hawa nafsu,
niscaya terlepaslah Rasulullah saw dari yang demikian. Diriwayatkan, bahwa
“Nabi saw memandang kepada bendera yang tergambar pada kainnya dalam shalat.
Maka setelah beliau memberi salam dari shalat itu, lalu kain itu dilemparnya,
seraya bersabda: “Kain itu menggangguku dari shalat”. Dan seterusnya, beliau
bersabda: “Bawalah kain ini kepada Abi Jahm dan bawalah kepadaku anbijaniyahnya
(kain lain yang tidak bergambar)”. Tersebut pada hadits lain: “Pada tangan Nabi
saw ada sebentuk cincin emas. Lalu beliau lihat kepadanya, sedang beliau berada
diatas mimbar. Kemudian, beliau lempar cincin itu, seraya bersabda: “Sekali
memandang kepadanya dan sekali memandang kepadamu”. Adalah yang demikian itu,
karena bisikan setan, dengan menggerakkan keenakan memandang kepada cincin emas
dan gambar bendera pada kain tersebut. Dan adalah yang demikian, sebelum
diharamkan emas. Maka karena itulah, Nabi saw memakainya. Kemudian, beliau
melemparkannya. Maka gangguan harta benda dunia dan emas peraknya, tidak akan
hilang, selain dengan melemparkan dan berpisah dengan benda-benda tersebut.
Selama masih memiliki sesuatu di luar keperluannya, walaupun satu dinar, maka
dia tidak akan ditinggalkan oleh setan dari bisikan, dalam memikirkan dinarnya.
Yaitu, bagaimana ia menjaganya, pada apa ia membelanjakannya dan bagaimana ia
menyembunyikannya, sehingga tiada seorangpun yang tahu. Atau bagaimana ia
menonjolkannya, sehingga ia dapat membanggakannya. Dan begitulah seterusnya
dengan bisikan-bisikan yang lain. Maka barangsiapa menancapkan kukunya dalam
dunia, lalu mengharap terlepas dari setan, adalah seperti orang yang
membenamkan tangannya dalam air madu dan menyangka, bahwa lalat tiada akan
jatuh padanya. Itu adalah hal yang mustahil. Maka dunia adalah pintu besar untuk
bisikan setan. Dan setan itu tidak mempunyai satu pintu saja, tetapi mempunyai
banyak pintu. Seorang ahli hikmah (philosof) berkata, bahwa setan itu datang
kepada manusia dari pihak perbuatan maksiat. Kalau manusia itu tidak mau,
niscaya setan itu datang dari segi nasehat. Sehingga dilemparkannya manusia itu
dalam perbuatan bid’ah. Kalau manusia itu enggan juga, niscaya disuruhnya
menjaga diri dari dosa (taharruj) dan bersikap keras. Sehingga diharamkannya
apa yang tidak haram. Kalau enggan juga, niscaya diragukannya pada wudhu’ dan
shalatnya. Sehingga dikeluarkannya dari ilmu. Kalau enggan juga, niscaya
diringankannya kepadanya amalan kebajikan. Sehingga ia dilihat orang sebagai
seorang yang sabar dan terpelihara dari perbuatan yang tidak baik (‘afif). Lalu
cenderunglah hati mereka kepadanya. Maka timbullah sifat perasaan bangga diri.
Dan binasalah ia dengan demikian. Pada waktu yang demikian, bersangatanlah
keperluan, karena itu adalah akhir tingkat dalam perjuangan melawan setan. Dan
tahulah kiranya, apabila dapat melewatinya, niscaya terlepaslah ia dari setan,
menuju ke sorga.
PENJELASAN: tentang
segeranya berbulak-balik hati dan terbaginya hati dalam perobahan dan
ketetapan.
Ketahuilah kiranya, bahwa
hati sebagaimana telah kami sebutkan diliputi oleh sifat-sifat yang telah kami
sebutkan dahulu. Dan ditegakkan kepada hati, bekas-bekas dan keadaan-keadaan
dari pintu-pintu yang telah kami sifatkan itu. Seolah-olah hati itu tujuan yang
selalu mendapat bahaya dari semua penjuru. Maka apabila sesuatu menimpa kepada
hati, yang membekas padanya, niscaya menimpa kepadanya dari segi lain sesuatu
yang berlawanan dengan yang tadi. Lalu berobahlah sifat hati. Kalau setan
bertempat pada hati, lalu diajaknya hati kepada mengikuti hawa nafsu, niscaya
turunlah malaikat pada hati dan memalingkan hati itu dari setan. Kalau setan
menarikkan hati kepada suatu kejahatan, lalu setan yang lain menarikkannya
kepada lain kejahatan. Kalau malaikat menarikkan hati kepada suatu kebajikan,
niscaya malaikat yang lain menarikkannya kepada lain kebajikan. Sekali, hati
itu terjadi perebutan diantara dua malaikat. Dan pada lain kali, diantara dua
setan. Pada lain kali lagi, diantara malaikat dan setan. Tidaklah hati itu
sekali-kali diabaikan. Kepada yang demikianlah, diisyaratkan oleh firman Allah
Ta’ala: “Kami putar hati dan pemandangan mereka”. S 6 Al An’aam ayat 110. Dan
karena dilihat oleh Rasulullah saw keajaiban perbuatan Allah Ta’ala pada
keajaiban hati dan berbulak-baliknya, lalu beliau bersumpah dengan hati, dengan
sabdanya: “Tidak, demi Yang Membulak-balikkan hati”. Banyak kali Nabi saw
berdoa: “Wahai Yang Membulak-balikkan hati ! tetapkanlah hatiku pada agamaMu
!”. Lalu para sahabat bertanya: “Adakah engkau takut, wahai Rasulullah ?”.
Beliau menjawab: “Apakah yang menjamin keamanan bagiku ?”. Dan hati itu
diantara dua anak jari dari anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih,
dibulak-balikkanNya menurut kehendakNya”. Menurut bunyi yang lain dari hadits,
yaitu: “Jika dikehendakiNya akan ditegakkannya, niscaya ditegakkannya. Dan jika
dikehendakiNya akan dimiringkannya, niscaya dimiringkannya”. Rasulullah saw
memberi 3 contoh untuk yang demikian, dengan sabdanya: “Hati itu seperti burung
pipit, yang bulak-balik pada setiap saat”. Nabi saw bersabda: “Hati itu dalam
berbulak-baliknya adalah seperti kuali, apabila berkumpul gelagaknya”. Dan Nabi
saw bersabda: “Hati itu seperti bulu ayam pada tanah sahara, dibulak-balikkan
oleh angin, muka belakang”. Semua perbulak-balikan ini dan segala keajaiban
perbuatan Allah Ta’ala pada membulak-balikkannya, dimana ma’rifah tidak
mendapat petunjuk kepadanya, maka ia tidak diketahui, selain oleh orang-orang
yang bermuraqabah dan menjaga keadaannya serta Allah Ta’ala. Tentang tetapnya
hati itu diatas kebajikan dan kejahatan serta pulang-perginya diantara keduanya
itu terbagi 3:
Pertama: hati yang dibangun
dengan ketaqwaan, bersih dengan latihan dan suci dari segala kekejian akhlak,
terhunjam ke dalamnya gurisan-gurisan kebajikan dari perbendaharaan ghaib dan
tempat-tempat masuk alam malakut. Maka menjuruslah akal kepada pemikiran
tentang apa yang terguris baginya. Untuk mengetahui kebajikan-kebajikan yang
halus padanya dan menoleh kepada rahasia-rahasia faedahnya. Lalu tersingkaplah
bagi yang demikian, mukanya dengan nur mata-hati. Maka ia menetapkan, bahwa tak
boleh tidak mengerjakannya. Lalu ia terdorong kepadanya dan mengajaknya untuk
mengerjakannya. Dan malaikat memandang kepada hati itu, lalu memperolehnya yang
baik pada jauharnya, suci dengan ketaqwaannya, bercahaya dengan cahaya akal,
dibangun dengan nur ma’rifah. Lalu malaikat itu melihat hati tersebut, pantas
untuk tempat ketetapan dan singgahannya. Ketika itu, dibantunya hati tadi
dengan tentara yang tiada kelihatan. Dan ditunjukinya kepada
kebajikan-kebajikan yang lain. Sehingga kebajikan menarik kepada kebajikan.
Begitulah terus-menerus ! dan tiada berkesudahan pertolongannya, dengan
penggemaran kepada kebajikan. Dan memudahkan urusan kepadanya. Dan kepada
inilah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Siapa yang memberi (untuk
kebaikan) dan memelihara dirinya dari kejahatan. Dan membenarkan (mempercayai)
yang baik. Kami akan memudahkan kepadanya menempuh (jalan) yang mudah”. S 92 Al
Lail ayat 5-6-7. Hati yang seperti ini, bercemerlanglah sinar lampu dari lobang
ketuhanan (misykatir-rububiyah). Sehingga tidak tersembunyi padanya lagi syirik
khafi (kemusyrikan yang tersembunyi), yang lebih tersembunyi daripada
merangkaknya semut hitam dalam malam yang gelap-gulita. Maka pada cahaya ini,
tiada sesuatu yang tersembunyi dan tiada laku suatupun daripada godaan setan.
Bahkan setan itu berdiri dari jauh dan mengeluarkan kata-kata yang terpesona
untuk penipuan. Tetapi tidak mendapat perhatian. Hati ini sesudah sucinya dari
semua yang membinasakan, maka dalam masa dekat menjadi makmur dengan semua yang
melepaskan dari kebinasaan, yang akan kami sebutkan, yaitu: syukur, sabar,
takut, harap, fakir, zuhud, kasih-sayang, ridha, tawakkal, tafakkur, mengoreksi
diri dll. Itulah hati yang dihadapkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dengan
wajahNya. Yaitu: hati yang tenang, yang dimaksudkan dengan firmanNya Yang Maha
Tinggi: “Ketahuilah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13
Ar Ra’d ayat 28. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Hai jiwa yang tenang
tentram”. S 89 Al Fajr ayat 27.
Hati kedua: hati yang
terhina, terisi dengan hawa nafsu, yang kotor dengan akhlak tercela dan
kekejian, terbuka padanya semua pintu setan dan tersumbat semua pintu malaikat.
Permulaan kejahatannya, ialah: bahwa terhujam padanya gurisan hawa nafsu dan
terguris di dalamnya. Lalu hati itu memandang kepada hakim akal, untuk meminta
fatwa. Dan menyingkirkan wajah kebenaran padanya. Maka adalah akal, telah
menyusun pelayanan hawa nafsu, berjinak-jinakkan, berkekalan mencari daya-upaya
baginya dan kepada menolong hawa nafsu itu. Lalu hawa nafsu berkuasa dan
menolong akal. Maka terbukalah dada dengan hawa nafsu dan berkembanglah padanya
kegelapan, untuk menahan tentara akal daripada mempertahankan akal. Lalu
kuatlah kekuasaan setan, karena luas tempatnya, disebabkan berkembangnya hawa
nafsu. Maka dihadapkan kepada akal dengan penghiasan diri, tertipu dan banyak
angan-angan. Dan diilhami dengan demikian, hiasa kata-kata untuk penipuan. Maka
lemahlah kekuasaan iman dengan wa’ad dan wa’id. Dan padamlah cahaya keyakinan
untuk takut kepada akhirat. Karena naik dari hawa nafsu itu, asap yang
menggelapkan hati, yang memenuhi tepi-tepinya. Sehingga padamlah cahayanya.
Lalu jadilah akal itu seperti mata, yang dipenuhi asap pelupuk-pelupuknya. Maka
ia tidak sanggup melihat. Begitulah kekerasan nafsu syahwat berbuat kepada hati
! sehingga tidak ada lagi bagi hati, kemungkinan mengetahui dan melihat.
Jikalau juru nasehat memperlihatkan dan memperdengarkannya apa yang benar
kepadanya, niscaya ia buta dari pemahaman dan tuli dari pendengaran. Dan
berkobarlah nafsu syahwat padanya. Berkuasalah setan dan bergeraklah semua
anggota badan, sesuai dengan hawa nafsu. Maka lahirlah perbuatan maksiat ke
alam kenyataan dari alam ghaib, dengan qodo dan qadar daripada Allah Ta’ala.
Hati yang seperti inilah yang diisyaratkan dengan firmanNya Yang Maha Tinggi:
“Tiadakah engkau perhatikan orang yang mengambil kemauan nafsunya menjadi
tuhannya ? engkaukah yang menjadi penjaganya ? atau apakah engkau mengira,
bahwa kebanyakan mereka mendengar atau mengerti ? tidak ! mereka adalah sebagai
binatang ternak. Bahkan lebih tersesat lagi jalannya”. S 25 Al Furqaan ayat
43-44. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya sudah semestinya akan
berlaku perkataan bagi kebanyakan mereka dan mereka tiada beriman”. S 36 Yaa
Siin ayat 7. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Sama saja untuk mereka, engkau
beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman”. S 2 Al Baqarah ayat 6. Banyaklah hati yang begini keadaannya, dengan
mempertautkan kepada sebahagian hawa nafsu. Seperti orang yang menjaga diri
(bersikap wara’) dari sebahagian perkara. Akan tetapi apabila ia melihat muka
yang cantik, lalu tidak dapat menguasai lagi matanya dan hatinya. Akalnya
hilang dan pegangan hatinya jatuh. Atau seperti orang yang tiada menguasai lagi
dirinya, tentang sesuatu yang ada padanya kemegahan, menjadi kepala dan
kesombongan. Tidak ada padanya lagi pegangan untuk ketetapan pendirian, ketika
muncul sebab-sebab yang tersebut. Atau seperti orang yang tiada menguasai
dirinya lagi ketika marah, bagaimanapun ia memperoleh kehinaan dan disebutkan
kekurangan-kekurangannya. Atau seperti orang yang tiada menguasai dirinya lagi,
ketika sanggup mengambil sedirham atau sedinar uang. Bahkan ia terjerumus
binasa seperti orang hina yang kehilangan akal. Lalu melupakan harga diri dan
taqwa. Semua itu karena naiknya asap hawa nafsu kepada hati. Sehingga gelap dan
padam semua cahayanya. Lalu padamlah cahaya malu, harga diri dan iman. Dan
berusaha mencapai maksud setan.
Hati ketiga: yaitu, hati
yang kelihatan padanya gurisan hawa nafsu. Lalu diajaknya kepada kejahatan.
Lalu dihubungi oleh gurisan iman, maka diajaknya kepada kebajikan. Lalu
tergeraklah nafsu dengan keinginannya untuk menolong gurisan kejahatan. Maka
kuatlah nafsu syahwat, enaklah bersenang-senang dan memperoleh kenikmatan. Lalu
akal bangkit kepada gurisan kebajikan, menolak pihak nafsu syahwat, menjelekkan
perbuatannya dan mengatakannya perbuatan orang bodoh. Dan menyerupakannya
dengan binatang ternak dan binatang buas, tentang penyerbuannya kepada kejahatan
serta kurang perhatiannya kepada segala akibat. Lalu nafsu itu cenderung kepada
nasehat akal. Maka setan membawa beban kepada akal. Ia menguatkan penyeru hawa
nafsu, seraya setan itu berkata: “Apakah artinya dosa yang dingin itu ?”.
Mengapa engkau mencegah diri dari nafsu keinginan, lalu engkau menyakitkan
dirimu ? adakah engkau melihat seseorang dari orang-orang masa engkau, yang
menyalahi nafsu keinginanya ? atau meninggalkan maksudnya ? apakah engkau
membiarkan mereka dengan kesenangan dunia, yang mereka bersenang-senang dengan
kesenangan itu ? dan engkau menahan diri engkau, sehingga engkau tinggal, tidak
memperolehnya, dalam keadaan celaka dan payah. Engkau ditertawakan oleh
orang-orang sezaman engkau. Apakah engkau ingin bertambah kedudukan engkau dari
si Anu dan si Anu ? mereka telah berbuat seperti apa yang engkau ingini. Mereka
tidak menahan diri. Apakah tidak engkau lihat ulama Anu tidak menjaga diri
seperti engkau ? jikalau adalah yang demikian itu kejahatan, niscaya ulama itu
mencegah diri dari perbuatan tersebut”. Lalu hawa nafsupun cenderung kepada
setan dan berbalik kepadanya. Maka malaikatpun membawa pikulan kepada setan.
Malaikat itu berkata: “Adakah yang binasa, selain orang yang mengikuti
kesenangan sekarang dan lupa akan akibat ?. Adakah engkau merasa puas dengan
kesenangan yang sedikit dan engkau meninggalkan kesenangan dan kenikmatan sorga
yang berkekalan selama-lamanya ? ataukah engkau merasa berat kepedihan sabar,
menahan diri dari hawa nafsumu ? dan engkau tidak merasa berat kepedihan api
neraka ? adakah engkau tertipu dengan sebab kelalaian manusia lain dari dirinya
dan mereka mengikuti hawa nafsu dan menolong setan ?. Sedang azab neraka tidak
akan diringankan dari engkau oleh perbuatan maksiat orang lain. Adakah engkau
memperhatikan, jikalau engkau berada pada musim panas, yang sangat terik dan
semua manusia berdiri pada matahari dan engkau mempunyai rumah yang dingin,
adakah engkau akan menolong manusia banyak ? atau engkau mencari kelepasan bagi
diri engkau sendiri ? maka bagaimanakah engkau menyalahi orang lain, karena
takut dari kepanasan matahari dan engkau tiada menyalahi mereka karena takut
dari kepanasan api neraka ?”. Maka ketika itu, nafsu tersebut mengikuti
perkataan malaikat. Maka selalulah ia ragu-ragu diantara dua tentara,
tarik-menarik diantara dua golongan. Sehingga membawa kemenangan kepada hati,
mana yang lebih utama. Jikalau sifat-sifat yang ada dalam hati, dimenangi oleh
sifat-sifat kesetanan yang telah kami sebutkan, niscaya menanglah setan. Dan
cenderunglah hati kepada golongan setan yang sejenis dengan dia, meninggalkan
partai Allah Ta’ala dan wali-waliNya. Dan menjadi penolong partai setan dan
musuh-musuh Allah. Berlakulah pada anggota tubuhnya, dengan taqdir yang
mendahului, apa yang menjadikan sebab jauhnya dari Allah Ta’ala. Jikalau yang
memenangi pada hati, sifat-sifat malaikat, niscaya hati tidak akan mendengar
tipuan setan, hasungannya kepada terburu-buru dan penghinaannya akan urusan
akhirat. Bahkan ia cenderung kepada partai Allah Ta’ala. Dan muncullah ketaatan,
disebabkan qodo Tuhan yang telah terdahulu pada anggota-anggota badannya. Hati
mu’min itu diantara dua anak jari dari anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Artinya: diantara tarik-menarik dua tentara itu. Itulah yang menang. Ya’ni:
kebulak-balikan dan perpindahan dari satu partai ke satu partai. Adapun tetap
berkekalan serta partai malaikat atau serta partai setan, maka adalah jarang
dari kedua pihak itu. Segala perbuatan taat dan perbuatan maksiat itu lahir
dari perbendaharaan ghaib ke alam kenyataan, dengan perantaraan perbendaharaan
hati. Karena hati adalah dari perbendaharaan alam malakut yang tinggi. Dan juga
apabila lahir, mempunyai tanda-tanda, yang memperkenalkan kepada yang empunya
hati itu, telah didahului oleh qodo Tuhan YME. Siapa yang djadikan untuk sorga,
niscaya mudahlah baginya sebab-sebab untuk berbuat taat. Dan siapa yang
dijadikan untuk neraka, niscaya mudahlah baginya sebab-sebab berbuat maksiat.
Dan berkuasa padanya teman-teman jahat. Dan dijatuhkan ke dalam hatinya hukum
setan. Karena setan itu dengan bermacam-macam hukum, menipu orang-orang bodoh
dengan perkataannya: “Bahwa Allah itu Maha Pengasih. Maka jangan engkau
hiraukan ! bahwa manusia itu semua tiada takut kepada Allah, maka janganlah
engkau menyalahi mereka ! bahwa umur itu panjang, maka bersabarlah, sehingga
engkau dapat bertaubat besok !”. Setan itu menjanjikan kepadamu dan membuat
angan-angan bagimu. Dan apa yang dijanjikan setan itu, adalah penipuan belaka.
Ia menjanjikan taubat dan memberikan angan-angan pengampunan kepada manusia.
Lalu manusia itu dibinasakannya dengan izin Allah Ta’ala, dengan segala
daya-upaya dan hal-hal lain yang berlaku seperti itu. Lalu ia meluaskan hatinya
untuk menerima penipuan dan menyempitkannya daripada menerima kebenaran. Semua
itu dengan qodo dan qadar daripada Allah. Tersebut pada firmanNya: “Siapa yang
dikehendaki oleh Allah untuk ditunjukinya, maka dilapangkan dadanya untuk
Islam. Dan siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkannya, niscaya
dadanya dijadikan sesak dan sempit, seolah-olah ia naik ke langit”. S 6 Al
An’aam ayat 125. Dan firman Allah Ta’ala: “Jikalau kamu ditolong oleh Allah,
maka tiadalah yang menang diatas kamu. Dan jikalau kamu dihinakan olehNya, maka
siapakah yang menolong kamu sesudahNya ?”. S 3 Ali ‘Imran ayat 160. Dialah yang
menunjukkan dan yang menyesatkan. DiperbuatNya apa yang dikehendakiNya.
DihukumNya menurut iradah (kehendak)Nya. Tiada yang menolak akan hukumNya dan
tiada yang membuat akibat terhadap qodoNya. DijadikanNya sorga dan dijadikanNya
penduduk untuk surga itu. Lalu dipakaikanNya mereka itu dengan perbuatan taat.
DijadikanNya neraka dan dijadikanNya penduduk untuk neraka itu. Lalu
dipakaikanNya mereka dengan perbuatan maksiat. DiperkenankanNya kepada makhluk
akan tanda ahli sorga dan ahli neraka. Ia berfirman: “Sesungguhnya orang-orang
yang baik berada dalam kesenangan. Dan orang-orang yang jahat berada dalam
neraka”. S 82 Al Infithaar ayat 13-14. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman,
menurut yang dirawikan daripada Nabi saw: “Mereka itu dalam sorga dan tiada Aku
perdulikan. Dan mereka itu dalam neraka dan tiada Aku perdulikan”. Maha Suci
Allah, Yang Mahamemiliki dan Yang Maha Benar ! tiada ditanyakan tentang apa
yang diperbuatNya dan manusia itu yang ditanyakan. Dan marilah kita ringkaskan
sekedar ini yang sedikit, tentang penyebutan keajaiban hati ! untuk
menyelidikinya lebih mendalam, tiada layak dengan ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan
sesungguhnya yang kami sebutkan daripadanya, ialah yang diperlukan untuk
mengetahui dalamnya ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan rahasianya. Supaya dapat dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tiada merasa puas dengan ilmu-dhahir saja. Dan tiada
merasa cukup dengan kulit saja, tanpa isi. Tetapi ia rindu untuk mengetahui
hakekat sebab-sebab yang halus. Dan tentang apa yang telah kami sebutkan,
rasanya cukup dan memuaskan bagi orang tersebut –insya Allah Ta’ala. Wallahu
walijjut-taufiq ! Tammatlah Kitab Keajaiban Hati. Segala pujian dan cita-cita
kepada Allah. Dan akan diiringi oleh Kitab Riyadlatun-Nafsi (Kitab Latihan
Jiwa) dan Tahdzibul-Akhlaq. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Dan rahmat
Allah kepada semua hambaNya yang terpilih menjadi rasul.