Kamis, 13 Februari 2014

21. KITAB URAIAN KEAJAIBAN HATI.


KITAB URAIAN KEAJAIBAN HATI.
(Yaitu: Kitab Pertama dari Rubu’ “Yang Membinasakan”).

Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp 081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian bagi Allah, yang heranlah segala hati dan segala gurisan hati, tiada sanggup mengetahui dengan mendalam akan keagunganNya. Dan merasa dahsyatlah segala mata dan pandangan tentang dasar-dasar kecemerlangan NurNya. Ia Yang Melihat segala rahasia yang tersembunyi. Ia Yang Mengetahui segala kandungan jiwa yang tertutup. Ia Yang Tidak Memerlukan kepada perundingan dan pertolongan pada mengatur kerajaanNya. Ia Yang Membalik-balikkan semua hati. Ia Yang Mengampunkan segala dosa, Ia Yang Menutup semua kekurangan. Dan Ia Yang Melapangkan segala kesempitan. Rahmat kepada penghulu rasul-rasul, yang mengumpulkan yang bercerai-berai dari agama dan yang memotong pembelakangan orang-orang yang ingkar. Dan kepada keluarganya yang baik dan suci. Dan anugerahilah kiranya kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya ! Adapun kemudian, maka kemuliaan dan keutamaan manusia yang mengatasi sejumlah dari bermacam-macam makhluk yang lain, adalah disebutkan persediaannya mengenal Allah (ma’rifah kepada Allah) Yang Maha Suci, dimana mengenal Allah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan diakhirat adalah alat dan simpanannya. Sesungguhnya manusia itu menyediakan diri bagi ma’rifah, adalah dengan hatinya. Tidak dengan salah satu anggota badannya. Maka hatilah yang mengetahui Allah. Dialah yang mendekati kepada Allah. Dialah yang bekerja karena Allah. Dialah yang berjalan kepada Allah. Dan dialah yang membuka apa yang di sisi Allah dan yang padaNya. Dan sesungguhnya anggota badan itu, adalah pengikut, pelayan dan alat yang dipergunakan oleh hati. Dan yang dipakainya, laksana pemilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya dan pekerja bagi perkakasnya. Hatilah yang diterima di sisi Allah apabila ia selamat sejahtera dari selain Allah. Dan hati itu terdinding (terhijab) dari Allah, apabila ia tenggelam dengan selain Allah. Hatilah yang mencari. Hatilah yang berbicara. Dan hatilah yang mencaci. Dan dialah yang berbahagia dengan dekat kepada Allah. Maka ia memperoleh kemenangan, apabila ia mensucikannya. Dan memperoleh kekecewaan dan kesengsaraan, apabila ia mengotorkan dan merusakkannya. Hatilah pada hakikatnya yang taat kepada Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya ibadah-ibadah yang berkembang pada anggota badan, adalah cahayanya. Hatilah yang durhaka, yang mengingkari Allah Ta’ala. Sesungguhnya yang berjalan pada anggota badan, dari kekejian-kekejian adalah bekas-bekasnya hati. Dengan gelap dan bersinarnya hati, lahirlah segala kebaikan zahiriah dan keburukannya. Karena tiap tempat air itu, kena percikan dengan apa yang ada didalamnya. Hatilah apabila dikenal oleh manusia, maka sesungguhnya manusia itu telah mengenal dirinya. Dan apabila manusia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal akan Tuhannya. Dan hati itu, apabila tidak dikenal oleh manusia, maka manusia itu tidak mengenal akan dirinya. Dan apabila manusia itu tidak mengenal dirinya, maka ia tidak mengenal akan Tuhannya. Dan barangsiapa tidak mengenal hatinya, maka ia lebih tidak mengenal lagi akan lainnya. Karena kebanyakan manusia itu, tidak mengetahui hatinya dan dirinya. Dan telah terdinding di antara mereka dan diri mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mendindingkan diiantara manusia dan hatinya. Pendindingan itu, dengan mencegahnya daripada bermusyahadah, bermuraqabah, mengenal sifat-sifatNya dan cara berbalik-baliknya diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan bagaimana ia sekali turun ke tingkat yang paling bawah dan merendah sejajar dengan setan-setan. Dan bagaimana pada kali yang lain, ia meninggi ke tingkat yang paling tinggi, naik ke alam malakut yang dekat dengan Tuhan. Orang yang tiada mengenal hatinya untuk bermuraqabah, menjaga dan mengintip apa yang tampak dari dan dalam gudang alam malakut, maka orang tersebut termasuk dalam golongan orang yang difirmankan oleh Ta’ala: “Mereka yang lupa kepada Allah, lalu Allah melupakan mereka kepada dirinya sendiri. Itulah orang-orang yang fasiq”. S 59 Al Hasyr ayat 19. Maka mengenal hati dan hakikat sifat-sifatnya itu pokok agama dan sendi jalan orang-orang salik (orang-orang yang berjalan kepada Allah). Ketika kita telah selesai dari bahagian pertama dari Kitab ini, yaitu: dari memperhatikan ibadah-ibadah dan adat kebiasaan yang berlaku pada anggota badan -dan itu adalah Ilmu Zahir- dan kita menjanjikan akan menguraikan pada bahagian kedua: sifat-sifat yang membinasakan (al-muhlikat) dan yang melepaskan (al-munjiyat) yang berlaku pada hati – dan itu adalah Ilmu batin-, maka tak boleh tidak, bahwa kita dahulukan padanya: dua kitab lebih dahulu: Kitab tentang uraian keajaiban sifat-sifat dan tingkah laku hati dan: Kitab tentang cara latihan hati dan pendidikan tingkah lakunya. Kemudian, sesudah itu, kita bertolak, pada menguraikan: sifat-sifat yang membinasakan dan yang melepaskan. Sekarang marilah kita sebutkan uraian keajaiban hati, dengan jalan membuat contoh-contoh, yang mendekatkan kepada pengertian. Karena penegasan segala keajaiban dan rahasia hati, yang masuk dalam jumlah alam-malakut, adalah diantara yang menumpulkan kebanyakan paham daripada mengetahuinya.
PENJELASAN: arti nafas, roh, hati dan akal dan apa yang dimaksudkan dengan nama-nama itu.
Ketahuilah, bahwa nama-nama yang  ini dipakai pada bab-bab ini. Dan sedikitlah dalam kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamaka dengan nama-nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadinya karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya diantara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam. Dan kami akan menguraikan arti nama-nama tersebut, yang menyangkut dengan maksud kami.
Perkataan pertama: perkataan hati. Dan itu ditujukan kepada dua pengertian:
Pertama: daging yang berbentuk buah shanaubar, tertetak pada pinggir dada yang kiri. Yaitu: daging khusus. Dan didalamnya ada lobang. Dalam lobang itu darah hitam. Itulah sumber nyawa dan tambangnya. Dan kami tidak bermaksud sekarang menguraikan bentuknya dan caranya. Karena itu menyangkut dengan maksud dokter-dokter. Dan tiada menyangkut dengan maksud-maksud keagamaan. Hati itu ada pada hewan. Bahkan ada pada orang mati. Dan apabila kami menyebutkan secara mutlak, perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka tidaklah kami maksudkan yang demikian. Karena itu adalah sepotong daging, yang tidak berharga. Dan itu termasuk sebahagian dari alam yang dapat diperintah dan dilihat (‘alamul-mulki wasy-syahadah), karena hewanpun dapat mengetahuinya dengan pancaindra melihat, lebih-lebih lagi manusia.
Kedua: yaitu: yang halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah), kerohanian (ruhaniyah). Dia dengan: hati yang bertubuh (al-qalbi al-jismany) itu, mempunyai hubungan. Yang halus itu, ialah hakikat manusia. Dialah yang merasa, yang mengetahui, dan mengenal, dari manusia. Dialah yang ditujukan dengan pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari. Ia mempunyai hubungan dengan hati yang bertubuh. Akal kebanyakan manusia, heran untuk mengetahui cara hubungannya. Karena hubungannya itu menyerupai, hubungan sifat (‘aradl) dengan tubuh (jisim). Hubungan sifat dengan yang bersifat (maushuf). Atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Atau hubungan orang bertempat dengan tempatnya. Dan menguraikan yang demikian itu, termasuk apa yang kami takuti, karena dua pengertian:
Pertama: bahwa yang demikian itu menyangkut dengan Ilmu Mukasyafah. Dan tidaklah maksud kami dari Kitab ini, selain: Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan).
Kedua: bahwa mencari hakikatnya itu meminta disiarkan rahasia roh (nyawa). Dan yang demikian itu termasuk hal yang tidak diperkatakan oleh Rasulullah saw. Maka tidaklah bagi orang lain, bahwa memperkatakannya. Yang dimaksudkan: bahwa apabila kami menyebutkan perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka yang kami maksudkan, ialah: yang halus (lathifah) itu. Dan maksud kami, ialah menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, bukan menyebutkan hakikatnya pada zatnya. Dan Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) itu menghendaki mengenal sifat-sifat dan keadaannya. Dan tidak menghendaki kepada menyebutkan hakikatnya.
Perkataan kedua: nyawa (ruh). Dan juga ditujukan pada yang menyangkut, dengan jenis maksud kami, karena dua pengertian:
Pertama: tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lobang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang, ke segala bahagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman daripadanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebahagian dari rumah, melainkan terus disinarinya. Dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin, adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya. Dokter-dokter, apabila menyebutkan secara mutlak perkataan: nyawa, maka yang dikehendaki oleh mereka, ialah: pengertian ini. Yaitu: uap yang halus, yang dimasakkan oleh kepanasan al-qalb (hati). Dan tidaklah uraiannya menjadi maksud kami. Karena yang menyangkut dengan itu, adalah maksud dokter-dokter yang mengobati tubuh. Adapun maksud dokter-dokter agama, yang mengobati hati, sehingga terbawa ke sisi Tuhan Semesta alam, tidaklah sekali-kali menyangkut dengan uraian nyawa itu.
Pengertian kedua: yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah yang kami uraikan tentang salah satu pengertian hati. Dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Jawablah ! nyawa (roh) itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan ajal dan paham daripada mengetahui hakikatnya.
Perkataan ketiga: nafas. Dia juga bersekutu diantara beberapa pengertian. Dan yang menyangkut dengan maksud daripadanya adalah dua pengertian:
Pertama: bahwa yang dimaksudkan dengan yang demikian itu, ialah pengertian yang menghimpunkan bagi: kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, sebagaimana akan datang uraiannya. Pemakaian ini adalah yang biasa pada ahli tasawwuf. Karena mereka maksudkan dengan nafas (nafsu) itu, ialah: pokok yang menghimpunkan sifat-sifat tercela pada manusia. Lalu mereka berkata: tak boleh tidak melawan nafsu dan menghancurkannya. Ke situlah isyaratnya sabda Nabi saw: “Musuhmu yang terbesar, ialah nafsumu yang berada diantara dua lembungmu”.
Pengertian kedua: yaitu: yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan di atas, dimana pada hakikatnya: itulah manusia. Yaitu: diri manusia dan zatnya. Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat, menurut bermacam-macam keadaannya. Apabila dia itu tenang, dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan penantangan nafsu syahwat, maka dinamakan: nafsu muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang). Allah Ta’ala berfirman tentang contohnya: “Hai jiwa yang tenang tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat 27-28. Jiwa (nafsu) dengan pengertian pertama, tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dia itu menjauh dari Allah. Dan dia itu termasuk golongan setan. Apabila tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat dan penantangnya, maka dinamakan: nafsu lawwamah (jiwa yang mencela). Karena jiwa itu mencela tuannya ketika teledor pada menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat 2. Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan tantangan, tunduk dan patuh, menurut kehendak nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan: nafsu yang menurut kepada yang jahat (an-nafsul-ammarah bis-suu-i). Allah Ta’ala berfirman, menceritakan tentang Yusuf as atau isteri seorang pembesar (Mesir yang membujuk Yusuf as): “Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk”. S 12 Yusuf ayat 53. Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang buruk itu, ialah: nafsu dengan pengertian pertama. Jadi, nafsu dengan pengertian pertama itu, sangat tercela. Dan dengan pengertian kedua itu, terpuji. Karena dia adalah nafsu (diri) manusia. Artinya: zat dan hakikatnya, yang mengetahui Allah Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Perkataan keempat: akal. Itu juga bersekutu dengan pengertian yang bermacam-macam, yang telah kami sebutkan pada “Kitab Ilmu”. Dan yang menyangkut dengan maksud kami dari jumlah pengertiannya, ialah dua pengertian:
Pertama: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: pengetahuan tentang hakikat segala keadaan. Maka akal itu, ibarat dari sifat-sifat ilmu, yang tempatnya hati.
Pengertian kedua: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah: hati. Ya’ni: yang halus itu. Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang yang berilmu, maka ia mempunyai wujud pada dirinya. Yaitu: pokok yang berdiri dengan sendirinya. Dan ilmu itu suatu sifat yang bertempat padanya. Dan sifat itu, bukan benda yang disifatkan. Kadang-kadang akal itu ditujukan dan dimaksudkan: sifat orang yang berilmu. Dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan: tempat pengetahuan. Yakni: yang mengetahui. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Yang pertama-tama dijadikan Allah, ialah akal”. Sesungguhnya ilmu itu sifat (‘aradl), yang tidak tergambar bahwa dia itu makhluk pertama. Tetapi, tak boleh tidak, bahwa adalah tempat itu, yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu. Dan karena tidak mungkin ditujukan perkataan kepada ilmu. Pada hadits, Allah Ta’ala berfirman kepada akal: “Menghadaplah !”. Lalu ia menghadap. Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Membelakanglah !”, lalu ia membekalang........sampai akhir hadits. Jadi, sesungguhnya telah terbuka kepada kita, bahwa pengertian nama-nama tersebut itu ada. Yaitu: hati-jismani (hati yang terbentuk jisim), roh-jismani (berbentuk jisim), nafsu syahwat dan ilmu. Maka inilah 4 pengertian yang ditujukan kepada 4 perkataan. Dan pengertian yang ke-5, yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan perkataan 4 itu keseluruhannya, banyak kali datang pemakaiannya kepada yang halus itu. Maka pengertian itu 5 dan perkataannya 4. Tiap-tiap perkataan, ditujukan kepada dua pengertian. Dan kebanyakan ulama, telah meragukan kepada mereka, perbedaan kata-kata tersebut dan kebiasaan pemakaiannya. Maka anda akan melihat mereka, memperkatakan tentang gurisan-gurisan hati (al-khawaathir). Dan mereka mengatakan: ini gurisan akal, ini gurisan jiwa, ini gurisan hati dan ini gurisan nafsu (diri). Dan orang yang memperhatikan, tiada akan tahu perbedaan pengertian nama-nama itu. Dan untuk menyingkap tutupnya dari yang demikian itu, kami telah dahulukan uraian nama-nama tersebut. Bilamana tersebut perkataan hati dalam Alquran dan Sunnah, maka yang dimaksudkan, ialah: penguraian yang dipahami dari manusia. Dan yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Kadang-kadang secara tidak langsung (dengan jalan kinayah), disebutkan tentang hati itu, akan hati yang di dalam dada. Karena diantara yang halus itu dan antara jisim hati, ada hubungan khusus. Dan yang halus itu, walaupun ada sangkutannya dengan seluruh tubuh dan dipakai untuk seluruh tubuh, akan tetapi ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan perantaraan hati. Maka sangkutannya yang pertama, ialah dengan hati. Dan seolah-olah hati itu, tempatnya yang halus tersebut, kerajaannya, alamnya dan binatang kendaraannya. Dan karena itulah, Sahl At-Tusturi menyerupakan hati dengan ‘Arasy dan dada dengan Kursi. Ia mengatakan: hati itu ialah ‘Arasy. Dan dada ialah Kursi. Dan tidak ada yang menyangka, bahwa dia itu berpendapat, bahwa itu ‘Arasy Allah dan KursiNya. Karena demikian itu mustahil. Tetapi ia bermaksud dengan demikian, bahwa hati itu kerajaanNya dan saluran pertama untuk mengatur dan memperlakukannya. Maka keduanya (hati dan dada) dibandingkan kepada manusia, adalah seperti ‘Arasy dan Kursi dibandingkan kepada Allah Ta’ala. Dan juga penyerupaan ini tidak lurus, kecuali dari beberapa segi. Dan juga uraian itu tidak layak dengan tujuan kita sekarang. Maka dari itu, hendaklah kita lampaui saja.
PENJELASAN: tentara hati.
Allah Ta’ala berfirman: “Tiadalah yang mengetahui tentara Tuhanmu, selain Ia sendiri”. S 74 Al Muddatstsir ayat 31. Allah swt mempunyai tentara yang terkumpul banyak dalam hati, dalam roh dan dalam alam-alam yang lain. Hanya Allah sendiri yang mengetahui hakikatnya dan penguraian bilangannya. Dan kami sekarang mengisyaratkan kepada sebahagian tentara hati. Maka itulah yang menyangkut dengan maksud kami. Hati itu mempunyai dua tentara: tentara yang dapat dilihat dengan mata kepala dan tentara yang tidak dapat dilihat, kecuali dengan mata hati. Hati itu berkedudukan raja. Dan tentara itu berkedudukan pelayan dan pembantu. Inilah arti tentara. Adapun tentara hati yang dapat disaksikan dengan mata, ialah: tangan, kaki, mata, telinga, lidah dan anggota-anggota tubuh lainnya, yang zahir dan yang batin. Semuanya itu pelayan hati dan yang bekerja cuma-cuma untuk hati. Hatilah yang menggunakannya dan yang pulang pergi kepadanya. Semua anggota itu dijadikan secara naluri patuh kepada hati. Tiada sanggup menyalahinya dan mendurhakainya. Apabila hati menyuruh mata dibuka, niscaya dia terbuka. Apabila hati menyuruh kaki bergerak, niscaya ia bergerak. Apabila hati menyuruh lidah berkata-kata dan ia yakin akan hukum yang akan diperkatakan, niscaya lidah itu berkata-kata. Dan begitulah dengan anggota-anggota badan lainnya. Kepatuhan anggota-anggota tubuh dan pancaindra kepada hati, dapat diserupakan dari segi kepatuhan para malaikat kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya malaikat secara naluri itu patuh, tiada sanggup menyalahiNya. Bahkan, mereka tiada mendurhakai Allah akan apa yang disuruh oleh Allah. Mereka berbuat, apa yang disuruh. Hanya keduanya itu, berbeda pada satu hal. Yaitu: bahwa para malaikat as itu, mengetahui dengan ketaatan dan kepatuhannya. Dan pelupuk mata itu mematuhi hati tentang terbuka dan tertutupnya, dengan jalan: terjadinya demikian (taskhir). Tiada berita baginya dari dirinya dan dari kepatuhannya kepada hati. Sesungguhnya, hati itu memerlukan kepada tentara tersebut, sebagaimana perlunya kepada kendaraan dan perbekalan perjalanannya, yang karena itulah, dia dijadikan. Yaitu: perjalanan kepada Allah swt dan dilampaui tempat-tempat untuk menemuiNya. Maka karena itulah, hati itu dijadikan. Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Sesungguhnya kendaraan hati itu tubuh. Dan perbekalannya ilmu. Dan sesungguhnya sebab-sebab yang menyampaikannya kepada perbekalan dan yang menetapkannya dari perbekalan itu ialah: amal shalih. Dan tidak mungkin hamba itu sampai kepada Allah swt selama badannya tidak tenang. Dan ia tidak melewati (meninggalkan) dunia. Sesungguhnya tempat yang terdekat –tak boleh tidak- dilewati, untuk sampai ke tempat yang terjauh. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan salah satu tempat petunjuk. Dinamakan dengan dunia, karena dia itu yang terdekat dari dua tempat tersebut. Maka perlulah menyiapkan perbekalan dari dunia (alam) ini. Maka badan itu, kendaraannya, yang menyampaikannya kepada alam ini. Maka ia memerlukan kepada persiapan badan dan memeliharakannya. Sesungguhnya badan itu dipelihara, dengan menarikkan kepadanya makanan dll yang sesuai dengan dia. Dan menolak daripadanya, sebab-sebab kebinasaan, yang meniadakan badan itu. Maka ia memerlukan kepada dua tentara untuk menarik makanan itu. Yaitu: tentara batin, ialah: nafsu syahwat dan tentara zahir, ialah: tangan dan anggota-anggota badan yang menarik makanan. Maka dijadikan didalam hati, apa yang dihayatinya, dari keinginan-keinginan. Dan dijadikan anggota-anggota badan yang menjadi alat keinginan-keinginan itu. Maka diperlukan dua tentara untuk menolak bahaya yang membinasakan: tentara batin. Yaitu: marah yang menolak segala yang membinasakan dan menuntut balas dari musuh. Dan: tentara zahir, yaitu: tangan dan kaki, dimana dengan tangan dan kaki itu dapat bekerja menurut kehendak marah. Semua itu, dengan hal-hal yang diluar badan. Maka anggota-anggota dari badan itu, adalah seperti alat senjata dan lainnya. Kemudian, orang yang memerlukan kepada makanan, selama ia tidak mengenal makanan itu, niscaya tidak bermanfaat kepadanya, keinginan dan kesukaan kepada makanan itu. Maka ia memerlukan kepada dua tentara untuk mengenalnya: tentara batin. Yaitu: pancaindra pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan lidah. Dan: tentara zahir, yaitu: mata, telinga, hidung dll. Penguraian segi keperluan dan segi hikmah padanya itu, panjang. Dan tidak sampai kepada banyak jilid. Dan telah kami isyaratkan kepada bagian yang sedikit daripadanya, pada “Kitab Syukur”. Maka hendaklah dicukupkan dengan itu !. Maka jumlah tentara hati itu, dihinggakan oleh 3 jenis:
jenis pembangkit dan pendorong. Adakalanya kepada penarikan yang bermanfaat, yang sesuai, seperti: nafsu syahwat. Dan adakalanya kepada penolakan yang mendatangkan melarat, yang tidak bermanfaat, seperti: marah. Kadang-kadang dikatakan tentang penggerak itu: kemauan.
Jenis kedua, yaitu: penggerak anggota badan untuk menghasilkan maksud-maksud itu. Dan dikatakan tentang yang kedua ini: kekuasaan. Yaitu: tentara yang berkembang pada anggota-anggota badan yang lain. Lebih-lebih sendi-sendi dan anggota-anggota badan yang tumbuh pada sendi-sendi badan.
Jenis ketiga, yaitu: yang mengetahui dan yang ingin mengenal semua perkara, seperti: mata-mata. Yaitu: kekuatan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dengan lidah dan penyentuhan. Dan itu berkembang pada anggota-anggota badan tertentu. Dan disebutkan tentang ini: ilmu dan perasaan. Dan bersama masing-masing tentara batini ini, ada tentara zahir. Yaitu: anggota-anggota badan yang tersusun dari: lemak, daging, urat, darah dan tulang, yang menyediakan perkakas untuk tentara itu. Maka sesungguhnya kekuatan menggenggam, ialah dengan anak-anak jari. Kekuatan melihat dengan mata. Dan begitulah kekuatan-kekuatan lainnya. Kami tidak memperkatakan tentang tentara zahir, yakni: anggota-anggota badan. Karena dia termasuk ‘alamul-mulki was-syahadah. Dan yang kami perkatakan sekarang, ialah: apa yang diperkuatkan dengan tentara-tentara yang tiada engkau melihatnya. Jenis yang ketiga ini, ialah yang mengetahui keseluruhan ini, yang terbagi kepada: yang menempati tempat-tempat zahiriah, yaitu: pancaindra yang lima. Yakni: pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah dan penyentuhan. Dan kepada: yang menempati tempat-tempat batiniah. Yaitu: rongga-rongga otak. Dan itu juga lima. Maka sesungguhnya manusia, sesudah melihat sesuatu itu, memejamkan kedua matanya. Maka ia memperoleh bentuknya dalam dirinya. Yaitu: khayal. Kemudian bentuk itu kekal padanya, disebabkan sesuatu yang menjagakannya. Yaitu: tentara penjaga. Kemudian, ia bertafakkur pada yang dijagakannya. Lalu disusunnya sebahagian yang demikian, kepada yang sebahagian. Kemudia ia mengingati apa yang telah dilupakannya dan ia kembali kepadanya. Kemudian, dikumpulkannya sejumlah pengertian dari yang dirasakan, dalam khayalannya, dengan perasaan yang bersekutu diantara yang dirasakan dengan pancaindra itu. Dalam batin ada perasaan yang bersekutu, khayalan, pemikiran, ingatan dan hafalan. Jikalau tidak dijadikan oleh Allah, kekuatan hafalan, pikiran, ingatan dan khayalan, niscaya adalah otak itu kosong daripadanya. Sebagaimana kosongnya tangan dan kaki daripadanya. Maka kekuatan-kekuatan itu juga tentara batiniah dan tempatnya juga batiniah. Inilah segala macam tentara hati ! uraiannya sehingga dapat diketahui oleh paham orang-orang yang lemah dengan memberikan contoh-contoh itu akan panjang. Dan maksud kitab yang seperti ini adalah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang kitab yang seperti ini dan adalah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang kuat pemahamannya dan oleh ulama-ulama yang terkemuka. Akan tetapi kami berusaha sungguh-sungguh untuk memberi pengertian kepada orang-orang yang lemah, dengan mengemukakan contoh-contoh, supaya yang demikian itu, mendekatkan kepada pemahaman mereka.
PENJELASAN: contoh-contoh hati serta tentara batiniahnya.
Ketahuilah, bahwa dua tentara: tentara marah dan tentara nafsu syahwat, kadang-kadang keduanya tunduk kepada hati dengan sempurna. Lalu yang demikian itu dapat menolong hati kepada jalan yang akan ditempuhnya. Dan baguslah pengawanan keduanya dalam perjalanan yang dilaksanakan oleh hati. Kadang-kadang keduanya (tentara marah dan nafsu syahwat) itu mendurhakai hati dengan memberontak dan menantang. Sehingga keduanya itu memiliki hati dan memperbudakkannya. Pada yang demikianlah, kebinasaan dan terputusnya hati dari perjalanannya, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan abadi. Dan hati mempunyai tentara lain, yaitu: ilmu, hikmah kebijaksanaan dan pemikiran, sebagaimana akan datang uraiannya. Dan menjadi hak hati untuk meminta pertolongan pada tentara ini. Sesungguhnya tentara ini adalah tentara Allah Ta’ala (hizbullah) terhadap dua tentara yang tersebut diatas. Sesungguhnya dua tentara tadi, kadang-kadang berhubungan dengan tentara setan. Kalau hati itu tidak meminta pertolongan dan tentara marah dan nafsu syahwat menguasai atas dirinya, niscaya hati itu pasti binasa dan memperoleh kerugian yang nyata. Begitulah keadaan kebanyakan makhluk manusia. Akal pikirannya tunduk kepada nafsu syahwatnya dalam mencari daya upaya memenuhi nafsu syahwat itu. Dan adalah seyogyanya bahwa nafsu syahwat itu tunduk kepada akal pikirannya, mengenai sesuatu yang diperlukan oleh akal pikiran. Kami akan mendekatkan yang demikian kepada pemahaman anda dengan 3 contoh:
Contoh pertama: kami berkata: bahwa jiwa manusia dalam tubuhnya kami maksudkan jiwa halus yang tersebut dahulu, adalah seperti raja dalam kota dan kerajaannya. Sesungguhnya tubuh itu kerajaan jiwa (nafsu), alamnya, tempat ketetapannya dan kotanya. Dan anggota-anggota tubuh dan kekuatannya adalah seperti tukang-tukang dan pekerja-pekerja. Dan kekuatan ‘aqliah yang berpikir baginya itu adalah, seperti: penunjuk yang menasehati dan menteri yang berakal pikiran. Nafsu syahwatnya adalah seperti budak jahat, yang menghela makanan dan makanan simapanan (al-mirah) ke kota. Kemarahan dan kepanasah hati karena kemarahan itu adalah seperti orang yang mempunyai polisi. Dan budak yang menghela makanan al-mirah itu pembohong, pengicuh, penipu yang keji, yang membentuk dirinya dengan bentuk penasehat. Dan dibawah nasehatnya itu kejahatan yang menakutkan dan racun yang membunuh. Sifat dan kebiasaannya itu bertentangan bagi menteri yang menasehati dalam semua pendapat dan pengaturannya. Sehingga tidak terlepas sesaatpun daripada perlawanan dan penantangannya. Sebagaimana raja dalam kerajaannya, apabila ia merasa cukup dalam pengaturannya dengan menterinya dan ia bermusyawarah dengan menterinya itu dan menolak isyarat budak yang keji tadi, berdalilkan dengan isyaratnya, bahwa yang benar adalah yang berlawanan dengan pendapat budak itu, niscaya raja itu telah dituntun oleh kepala polisinya dan bertindak bijaksana bagi menterinya. Ia menjadikan menterinya tempat musyawarahnya, yang berkuasa dari pihaknya terhadap budak yang keji itu, pengikut-pengikutnya dan pembantu-pembantunya. Sehingga budak itu disiasati, tidak menyiasati, disuruh dan diatur, tidak menyuruh dan mengatur. Luruslah urusan negeri raja tersebut. Dan dengan sebab demikian, teraturlah keadilan. Maka begitulah an-nafs (diri), manakala ia meminta tolong pada akal dan memperoleh tuntunan dengan penjagaan marah. Dan an-nafs itu menguasakan kekerasan marah atas keinginan (syahwat). Dan meminta tolong dengan yang satu kepada yang lain. Sekali dengan menyedikitkan derajat marah dan meluap-luapnya dengan menantang syahwat (keinginan) dan menaikkannya setingkat ke setingkat. Dan sekali dengan mencegah dan memaksakan syahwat dengan berkuasanya marah kepanasan hati kepadanya. Dan memandang keji kehendak-kehendak syahwat itu. Niscaya berlaku adillah semua kekuatan diri (an-nafs) dan baguslah tingkah-lakunya. Orang yang berpaling dari jalan ini, adalah seperti orang yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Adakah engkau lihat orang yang mengambil keinginan (nafsunya) menjadi tuhannya ? dan Allah membiarkannya sesat menurut pengetahuan”. S 45 Al Jaatsiah ayat 23. Allah Ta’ala berfirman: “Dan menurutkan kemauan hawa nafsunya. Perumpamaannya sebagai anjing: kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan saja, diulurkannya juga lidahnya”. S 7 Al A’raaf ayat 176. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman tentang orang yang mencegah nafsunya dari keinginan hawa nafsu: “Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan menahan nafsunya (dirinya) dari keinginan yang rendah (hawa nafsu). Sesungguhnya sorga tempat kediamannya”. S 79 An Naazi’aat ayat 40-41. Dan akan datang cara perjuangan tentara-tentara tersebut dan cara sebahagian daripadanya menguasai akan sebahagian yang lain pada “Kitab Latihan Diri” insya Allah Ta’ala.
Contoh kedua: ketahuilah bahwa tubuh itu seperti kota. Dan akal. Yakni: yang mengetahui dari manusia adalah seperti raja, yang mengatur kota itu. Kekuatan manusia yang mengetahui, yang terdiri dari pancaindra zahiriah dan batiniah, adalah seperti tentaranya dan pembantu-pembantunya. Anggota badannya adalah seperti rakyatnya. Nafsu yang menyuruh kepada kejahatan (nafsu ammarah), ialah nafsu syahwat. Dan amarah adalah seperti musuh yang menantangnya dalam kerajaannya. Dan yang berusaha membinasakan rakyatnya. Maka jadilah badannya seperti pasukan dan benteng. Dan nafsunya seperti orang yang menetap dalam benteng, yang menjaga pasukan. Kalau ia berjuang menghadapi musuhnya dapat menghancurkan dan memaksakan musuh itu menurut keinginannya, niscaya akibatnya terpuji, apabila ia kembali ke hadirat Tuhan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “......dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah, dengan harta dan dirinya. Allah melebihkan tingkatan orang-orang yang berjuang dengan harta dan dirinya dari orang-orang yang tinggal duduk”. S 4 An Nisaa’ ayat 95. Kalau ia menghilangkan bentengnya dan menyia-nyiakan rakyatnya, niscaya tercelalah akibatnya. Maka ia dituntut balas dari perbuatan tersebut di sisi Allah Ta’ala. Dikatakan kepadanya pada hari kiamat: “Hai pemimpin jahat ! engkau makan daging dan minum susu. Engkau tidak mengembalikan benda yang hilang dan tidak menampalkan yang pecah. Pada hari ini, engkau dituntut balas, sebagaimana tersebut pada hadits. Kepada jihad (perjuangan) inilah, yang ditujukan oleh sabda Nabi saw: “Kita kembali dari jihad (perjuangan) kecil kepada perjuangan besar”.
Contoh ketiga: akal itu seperti pengendara kuda, yang pergi berburu. Nafsu syahwatnya adalah seperti kudanya. Dan marahnya adalah seperti anjingnya. Manakala pengendara kuda itu cerdik, kudanya terlatih dan anjingnya terdidik, diberi ajaran, niscaya layaklah ia memperoleh kemenangan. Dan manakala ia sendiri tidak pandai bekerja, kudanya liar melawan dan anjingnya buas, lalu kudanya tidak bangun mematuhi perintahnya dan anjingnya tidak dilepaskan dengan mematuhi petunjuknya, maka layaklah ia mendapat kebinasaan. Lebih-lebih lagi daripada ia mencapai apa yang dicarinya. Tidak pandainya bekerja pengendara kuda itu, adalah seperti bodohnya manusia. Kurang kebijaksanaannya dan tumpul pandangannya. Dan melawannya kuda itu adalah seperti kerasnya nafsu syahwat, lebih-lebih syahwat perut dan kemaluan. Dan buasnya anjing itu adalah seperti kerasnya dan berkuasanya kemarahan. Kita bermohon kepada Allah akan taufiq yang baik dengan kasih sayangNya !
PENJELASAN: kekhususan hati insan.
Ketahuilah, bahwa sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, telah dianugerahkan oleh Allah kepada semua hewan, selain dari anak Adam. Karena, hewanpun mempunyai nafsu syahwat, kemarahan, pancaindra yang zahir dan yang batin. Sehingga seekor kambing yang melihat serigala dengan matanya, maka ia tahu dengan hatinya akan permusuhannya dengan serigala itu. Lalu larilah ia daripadanya. Maka yang demikian itu, adalah pengetahuan batin (al-idrakul-bathin). Maka marilah kami sebutkan yang khusus hati manusia dengan itu. Dan karenanya, besarlah kehormatan manusia dan berhak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Yaitu: kembali kepada ilmu dan kemauan (iradah). Ilmu, ialah: mengetahui segala urusan dunia dan akhirat serta segala hakikat yang berhubungan dengan akal (haqaiq-‘aqliyah). Ini semuanya adalah urusan diluar yang dirasakan dengan pancaindra. Dan hewan tidak bersekutu dengan manusia padanya. Bahkan segala pengetahuan yang meliputi keseluruhan, yang dlaruri, adalah hal-hal yang khusus bagi akal. Karena manusia menetapkan, bahwa tidak tergambar pada pikiran, orang seorang berada pada dua tempat pada satu keadaan. Dan ketetapan ini berlaku kepada semua orang. Sebagai dimaklumi, bahwa tidak dapat diketahui dengan pancaindra, selain oleh sebahagian orang. Maka menetapkannya kepada semua orang, adalah melebihi dari apa yang dapat diketahui oleh pancaindra. Apabila ini telah dipahami pada ilmu zahir dlaruri, maka lebih terang lagi pada ilmu nadhari (yang merupakan teori-teori, memerlukan kepada dalil). Tentang kemauan, sesungguhnya apabila dapat diketahui dengan akal, akan akibatnya sesuatu dan jalan memperbaikinya, niscaya tergeraklah daripadanya keinginan untuk memperbaiki, mencari sebab-sebabnya dan berkemauan untuk yang demikian. Dan yang demikian itu, selain dari kemauan nafsu syahwat dan kemauan hewan. Bahkan adalah berlawanan dengan nafsu syahwat. Karena nafsu syahwat (keinginan) itu lari dari berbetik dan berbekam, sedang akal menghendaki, meminta dan menyerahkan harta untuk yang demikian. Nafsu syahwat itu condong kepada makanan-makanan enak pada waktu sakit. Dan orang yang berakal memperoleh pada dirinya menolaknya. Dan yang demikian itu bukanlah penolakan nafsu syahwat. Jikalau dijadikan oleh Allah, akal yang mengetahui akibat segala hal dan tidak dijadikanNya pembangkit ini, yang menggerakkan semua anggota, menurut ketetapan akal, niscaya dengan sebenarnya ketetapan (hukum) akal itu lenyap (hilang). Jadi, hati insan itu terkhusus dengan ilmu dan kemauan, yang terlepas hewan yang lain daripadanya. Bahkan juga anak kecil, terlepas daripadanya pada permulaan lahirnya. Dan baru datang yang demikian itu, sesudah dewasa (baligh). Adapun nafsu syahwat, kemarahan dan pancaindra zahiriah dan batiniah, maka sesungguhnya itu terdapat pada anak kecil. Kemudian pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu mempunyai dua tingkat:
Tingkat pertama: bahwa hatinya anak kecil itu melengkapi kepada ilmu dlaruri pertama yang lain. Seperti: ilmu tentang mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya segala yang jawaz yang zahiriah. Maka adalah ilmu nadhariah itu tidak berhasil pada tingkat ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat kemungkinannya dan dekat keberhasilannya. Adalah keadaan anak kecil itu, dengan dihubungkan kepada ilmu pengetahuan, seperti halnya seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal penulisan, selain tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang tidak bersusun. Ia sudah mendekati kepada penulisan. Dan belum lagi sampai ke sana.
Tingkat kedua: bahwa berhasil bagi anak kecil itu ilmu pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka ilmu pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau ia mau, niscaya ia kembali kepadanya. Dan halnya itu sama dengan halnya orang yang pandai menulis. Karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak langsung menulis, disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu. Inilah tujuan penghabisan derajat insaniyah. Akan tetapi pada derajat ini terdapat tingkat-tingkat yang tak terhingga jumlahnya, yang berlebih-kurang manusia padanya, disebabkan banyak dan sedikitnya pengetahuan memperolehnya. Karena sebahagian hati berhasil ilmu pengetahuan itu, dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya (mubadaah) dan membukakannya (mukasyafah). Dan sebahagian mereka, memperolehnya dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera berhasil dan kadang-kadang lambat berhasil. Pada maqam (kedudukan) ini, berbeda-bedalah tingkat para ulama, hukama (para ahli hikmat atau filosuf), nabi-nabi dan wali-wali. Maka tingkat meningginya tidak terhingga padanya. Karena ilmu Allah swt tidak berkesudahan. Dan tingkat yang tertinggi, ialah tingkat nabi, yang terbuka baginya tiap-tiap hakikat atau yang terbanyak dari hakikat itu, tanpa usaha dan pemberatan diri. Akan tetapi dengan pembukaan ketuhanan dalam waktu yang sangat segera. Dengan kebahagiaan ini, seorang hamba Allah mendekati Allah, dengan arti, hakikat dan sifat. Tidak dengan tempat dan jarak jauhnya. Tempat pendakian tingkat-tingkat ini, ialah tempat-tempat orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan tak ada hingganya tempat-tempat itu. Sesungguhnya masing-masing orang yang berjalan itu, tahu akan tempatnya yang menyampaikannya dalam perjalanannya. Maka ia mengetahui tempat itu dan mengetahui tempat-tempat di belakangnya. Adapun yang dihadapannya, maka tidaklah sampai hakikat pengetahuannya. Akan tetapi kadang-kadang ia membenarkan yang dihadapan itu, karena beriman kepada yang ghaib, sebagaimana kita beriman kepada kenabian dan nabi. Dan membenarkan adanya. Akan tetapi tiada yang mengetahui hakikat kenabian, selain nabi sendiri. Sebagaimana anak dalam kandungan (janin) tiada mengetahui keadaan anak kecil. Dan anak kecil tiada mengetahui keadaan anak yang akan dewasa (al-mumayyiz) dan pengetahuan dlaruri yang terbuka baginya. Anak yang akan dewasa tiada mengetahui keadaan orang yang berakal dan pengetahuan nadhari yang diusahakannya. Maka seperti itu pulalah orang yang berakal (‘aqli) tiada mengetahui segala macam kelebihan lemah-lembut dan rahmatnya Allah, yang dibuka oleh Allah kepada wali-wali dan nabi-nabiNya. Barang apapun rahmat yang dibuka oleh Allah kepada manusia, maka tiada yang menahannya. Rahmat itu diberikan, disebabkan kemurahan dan kemuliaan Allah swt, tiada kikir kepada seorangpun. Tetapi sesungguhnya jelas yang demikian dalam hati yang mencari pemberian rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw: “Sesungguhnya pada hari-hari masamu, Tuhanmu mempunyai pemberian-pemberian. Mengapa kamu tidak datang mengambilnya ?”. Datang mengambil pemberian itu, ialah dengan membersihkan dan mensucikan hati dari kekejian dan kekotoran yang diperoleh daripada budi pekerti tercela, sebagaimana akan datang penjelasannya. Kepada kemurahan inilah disyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Tiap-tiap malam (rahmat) Allah turun ke langit dunia. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Adakah orang yang berdoa, supaya Aku perkenankan doanya ?”. Dan dengan sabda Nabi saw sebagai hikayah daripada Allah ‘Azza Wa Jalla: “Telah lamalah rindunya orang-orang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta”. Semua itu isyarat, bahwa cahaya ilmu tidak terdinding (terhijab) dari hati, karena kikir dan larangan dari pihak Yang Memberi nikmat. Maha Suci Ia dari sifat kikir dan melarang. Akan tetapi cahaya ilmu itu terdinding karena kekejian, kekotoran dan kesibukan dari pihak hati itu sendiri. Sesungguhnya hati itu seperti bejana (tempat air). Selama masih penuh dengan air, maka tidak dimasuki udara. Maka hati yang disibukkan oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh ma’rifah (mengenal) keagungan Allah Ta’ala. Kepada inilah diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang ke alam malakut yang tinggi”. Dari keseluruhan ini, teranglah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu dan hikmah. Dan yang termulia, dari segala macam ilmu itu, ialah: ilmu mengenai Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya). Maka dengan itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaannya itu kebahagiaan dan kepatutannya di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan Mahasempurna. Maka tubuh manusia itu tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat ilmu. Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah, manusia itu dijadikan. Sebagaimana kuda bersekutu dengan keledai tentang kuatnya membawa beban dan khusus bagi kuda dengan kuatnya lari mengejar musuh dan berlarian serta bagusnya bentuk, maka adalah kuda itu dijadikan karena kekhususan tersebut. Kalau hal khusus itu kosong, niscaya turunlah kuda itu ke lembah tingkatan keledai. Begitupulalah manusia ! ia bersekutu dengan keledai dan kuda pada beberapa hal. Dan ia berbeda dari keduanya dalam beberapa hal, yang menjadi kekhususannya. Kekhususan itu setengah dari sifat-sifat malaikat yang dekat di sisi Tuhan Semesta alam. Dan manusia dalam kedudukannya, adalah diantara hewan dan malaikat. Sesungguhnya manusia itu dari segi ia makan dan berketurunan, adalah tumbuh-tumbuhan. Dan dari segi ia merasa dan bergerak dengan kemauan sendiri (ikhtiar), adalah hewan. Dan dari segi bentuk dan tegaknya, maka adalah seperti bentuk yang diukir pada dinding tembok. Dan kekhususannya, ialah: mengetahui hakikat segala sesuatu. Maka barangsiapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya dengan cara meminta tolong untuk ilmu dan amal, maka ia telah serupa dengan malaikat. Maka berhaklah ia dihubungkan dengan para malaikat. Dan layaklah dinamakan: malaikat dan rabbani (orang yang dekat dengan Tuhan), sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang sifat-sifat Yusuf as dengan firmanNya: “Ini bukan manusia, tetapi ini malaikat yang mulia”. S 12 Yusuf ayat 31. Barangsiapa berbuat dengan kemauannya untuk menuruti kesenangan badaniah, ia makan seperti hewan makan, maka ia telah turun ke lembah yang sejajar dengan hewan. Ia menjadi bebal seperti: sapi atau rakus seperti: babi, atau menjilat seperti: anjing atau kucing, atau pendengki seperti: unta, atau takabur seperti: harimau atau penipu seperti: pelanduk atau mengumpulkan sifat-sifat tadi semuanya, seperti: setan durhaka. Tiap-tiap anggota tubuh dan pancaindra manusia, dapat dan mungkin diminta tolong untuk menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana akan datang penjelasan sebahagian daripadanya pada “Kitab Syukur”. Barangsiapa menggunakan anggota tubuh dan pancaindranya pada jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan barangsiapa berpaling daripadanya, maka merugi dan kecewa. Keseluruhan kebahagiaan pada yang demikian, ialah bahwa menjadikan bertemu dengan Allah Ta’ala itu tujuannya. Negeri akhirat itu tempat ketetapannya. Dunia itu tempat tinggalnya. Tubuhnya itu kendaraannya. Dan anggota badannya itu pelayan-pelayannya. Maka tetaplah ia, yakni: yang mengetahui dari manusia itu, dalam hati yang berada di tengah-tengah kerajaannya, seperti: raja. Berlakulah kekuatan khayalan (imajinasi) yang tersimpan pada depan otak, sebagai pengurus posnya. Karena semua berita yang diketahui dengan pancaindra, terkumpul padanya. Berlakulah kekuatan penjaga yang tempatnya diujung otak, sebagai penjaga gudangnya. Berlakulah lidah sebagai juru bahasanya. Berlakulah anggota badan yang bergerak, sebagai juru tulis-juru tulisnya. Dan berlakulah pancaindra yang 5 sebagai mata-matanya. Maka ia mewakilkan kepada masing-masing pancaindra itu, menyampaikan berita-berita yang terjadi dari semua penjuru. Ia mewakilkan kepada mata, mengenai dunia warna. Kepada pendengaran, mengenai dunia suara. Kepada penciuman, mengenai dunia bau-bauan. Dan begitulah pula yang lain-lain. Semuanya mempunyai berita yang dipetiknya dari dunia-dunia itu. Dan disampaikannya kepada kekuatan khayalan, yang seolah-olah ia seperti: pengurus pos. Dan pengurus pos itu menyerahkannya kepada: penjaga gudang. Dialah yang menjaga. Oleh pengurus gudang itu, disampaikannya kepada raja. Lalu raja itu mengambil apa yang diperlukannya pada mengatur kerajaannya dan menyempurnakan perjalanannya yang menjadi tujuannya. Dan mencegah musuhnya yang membahayakan dan menolak perampok-perampok di jalanan. Apabila manusia itu telah berbuat demikian, niscaya ia memperoleh taufiq, berbahagia dan bersyukur kepada nikmat Allah. Apabila ia kosong dari keseluruhannya ini atau dipergunakannya, akan tetapi untuk memelihara musuhnya, yaitu: nafsu syahwat, kemarahan dan hal-hal lain yang segera keuntungannya atau pada pembangunan jalannya, tidak pembangunan tempat tinggalnya, karena dunia itu jalan yang dilaluinya, sedang tanah air dan tempat ketetapannya, ialah akhirat, niscaya orang tersebut memperoleh kehinaan, celaka, mengingkari nikmat Allah, menyia-nyiakan tentara Allah ta’ala, menolong musuh-musuh Allah dan menghina barisan Allah. Maka berhaklah ia dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan di akhirat. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian. Dengan contoh yang kami kemukakan tadi, diisyaratkan oleh Ka’bul Ahbar, dimana ia berkata: “Aku datang kepada ‘Aisyah lalu aku berkata: “Manusia, dua matanya itu pemberi petunjuk. Kedua telinganya itu corong. Lidahnya itu juru bahasa. Kedua tangannya itu sayap. Kedua kakinya itu pos. Dan hatinya itu raja. Apabila raja itu baik, niscaya baiklah tentara-tentaranya”. Lalu ‘Aisyah menyahut: “Begitulah aku mendengar Rasulullah saw bersabda”. Ali ra berkata tentang memberi contoh hati: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai tempat-tempat air (bejana) di bumiNya. Yaitu: hati. Maka hati yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala, ialah: yang paling halus, yang paling bersih dan yang paling keras. Kemudian Ali ra menafsirkannya dengan mengatakan: “Paling kerasnya hati itu mengenai agama, paling bersihnya mengenai keyakinan. Dan paling halusnya kepada saudara-saudara. Itulah yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “.......bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang yang tidak beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29. Firman Allah Ta’ala: “Perumpamaan cahaya Tuhan itu sebagai sebuah lobang, yang di dalamnya pelita”. S 24 An Nur ayat 35. Ubai bin Ka’ab ra berkata: “Artinya seperti cahaya orang mu’min dan hatinya”. Dan firman Allah Ta’ala: “Atau (keadaan mereka) sebagai kegelapan di laut yang dalam”. S 24 An Nur ayat 40. Itu adalah seperti hati orang munafiq. Zaid bin Aslam berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dalam batu tulis yang terpelihara baik”. S 85 Al Buruuj ayat 22. Yaitu: hati orang mu’min. Sahl berkata: “Hati dan dada itu adalah seperti: ‘Arasy dan Kursi. Itulah contoh-contoh hati itu !
PENJELASAN: kumpulan sifat-sifat hati dan contoh-contohnya.
Ketahuilah, bahwa manusia itu tentang kejadian dan susunan badannya, tersertakan: 4 campuran. Maka dari itu, berkumpullah pada manusia: 4 sifat. Yaitu: sifat kebuasan, sifat kebinatangan, sifat kesetanan dan sifat ketuhanan. Bila manusia itu dikuasai oleh sifat kemarahan, maka ia melakukan perbuatan-perbuatan binatang buas, yaitu: permusuhan, kemarahan dan serangan terhadap manusia lain dengan pukulan dan makian. Sekiranya manusia itu dikuasai oleh nafsu syahwat, maka ia melakukan perbuatan-perbuatan hewan. Yaitu: kerakusan, kelobaan, kesangatan nafsu syahwat dll. Sekiranya manusia itu ada pada dirinya urusan ketuhanan (amrun-rabbaniyyun), sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85, maka manusia itu mendakwakan bagi dirinya sifat rububiyah (sifat ketuhanan). Ia ingin kekuasaan, ketinggian, kekhususan, ketangan-besian dalam semua urusan, kesendirian menjadi kepala, keterlepasan dari belenggu perbudakan dan kerendahan. Ia ingin mengetahui semua ilmu. Bahkan mendakwakan dirinya mempunyai ilmu, ma’rifah dan menguasai hakikat segala urusan. Ia senang apabila dikatakan berilmu dan susah apabila disebutkan bodoh. Mengetahui semua hakikat dan menguasai dengan paksaan terhadap semua makhluk itu, termasuk sifat ketuhanan. Dan pada manusia ada keinginan kepada yang demikian. Dan dari segi manusia itu mempunyai sifat khusus, dapat membedakan segala sesuatu, dibandingkan dengan hewan, disamping manusia dan hewan itu sama-sama mempunyai sifat marah dan nafsu syahwat, yang menghasilkan sifat kesetanan, maka manusia itu menjadi jahat. Ia menggunakan sifat dapat membedakan segala sesuatu, untuk memikirkan cara-cara kejahatan. Dan ia sampai kepada maksud dengan tipuan, helah dan tipu daya. Dan ia lahirkan kejahatan dalam bentuk tontonan kebajikan. Inilah budi pekerti setan-setan ! pada semua manusia terdapat campuran pokok-pokok yang 4 ini. Yakni: rabbaniyah, (sifat ketuhanan), kesetanan, kebuasan dan kebinatangan. Semuanya terkumpul dalam hati. Maka seolah-olah yang terkumpul pada kulit manusia itu, ialah: babi, anjing, setan dan ahli fikir. Babi, yaitu: nafsu syahwat. Sesungguhnya babi itu tidaklah tercela karena warnanya, bentuknya dan rupanya. Akan tetapi, karena rakusnya, dahaganya dan lobanya. Dan anjing itu ialah: marah. Sesungguhnya, binatang buas yang menerkam dan anjing yang galak, tidaklah dia itu anjing dan binatang buas, dipandang dari rupa, warna dan bentuk. Akan tetapi jiwa arti kebuasan itu, penerkaman, permusuhan dan kegalakan. Dan dalam batin manusia itu, terdapat kebuasan binatang buas dan kemarahannya, kerakusan babi dan kelobaannya. Maka babi itu, dengan sifat kelobaan, mengajak kepada kekejian dan kemungkaran. Dan binatang buas itu, dengan sifat kemarahan, mengajak kepada kezaliman dan menyakitkan orang. Dan setan itu selalu menggerakkan nafsu syahwat babi dan kemarahan binatang buas. Dan digerakkannya yang satu dengan yang lain. Dan baguslah bagi babi dan binatang buas itu apa yang menjadi sifat nalurinya. Ahli fikir (ahli hikmat) yang menjadi contoh bagi akal itu, disuruh untuk menolak godaan dan tipuan setan, dengan membuka tipuannya dengan pandangan hati yang tembus dan cahayanya yang cemerlang terang. Dan memecahkan kerakusan babi itu, dengan penguasaan anjing atas babi itu. Karena dengan kemarahan, dapat dipecahkan bergelagaknya nafsu syahwat. Dan ditolak kegalakan anjing dengan penguasaan babi atas anjing. Dan dijadikan anjing itu, terpaksa tunduk di bawah kebijaksanaan babi. Kalau diperbuat yang demikian dan dikuasainya, maka luruslah urusan dan lahirlah keadilan dalam kerajaan tubuh. Dan berjalanlah semua di atas jalan yang lurus. Dan jikalau lemah daripada memaksakannya, maka mereka itu yang memaksakannya dan mempergunakannya. Lalu senantiasalah memikirkan daya upaya dan menghaluskan pemikiran, untuk mengenyangkan babi dan menyenangkan anjing. Maka selalulah ia menyembah anjing dan babi. Inilah keadaan kebanyakan manusia, manakala kebanyakan cita-cita mereka itu perut, kemaluan dan berlomba-lomba dengan musuh. Yang heran, bahwa ia menantang kepada penyembah-penyembah berhala, akan penyembahan mereka itu kepada batu. Jikalau terbuka tutup daripadanya, dibukakan keadaannya yang sebenarnya dan diberi contoh kepadanya akan hakikat keadaannya itu, sebagaimana diberi contoh kepada orang-orang yang memperoleh mukasyafah (terbuka hijab), adakalanya dalam tidur atau pada waktu juga, niscaya ia melihat akan dirinya, patuh dihadapan babi. Sekali ia sujud kepada babi itu. Dan pada kali yang lain, ia ruku’ kepadanya. Menunggu petunjuk dan perintahnya. Maka manakala babi itu bergerak untuk meminta sesuatu dari keinginannya, niscaya dengan cepat ia bangun untuk melayani dan mendatangkan keinginan babi itu. Atau ia melihat akan dirinya patuh dihadapan anjing galak, menyembah anjing itu. Patuh dan mendengar apa yang dikehendaki dan diminta oleh anjing tadi. Memutar pikiran dengan daya upaya untuk sampai kepada mematuhinya. Dengan demikian, ia berusaha menyenangkan setannya. Sesungguhnya ia yang menggerakkan babi dan membangunkan anjing. Ia yang membangunkan anjing dan babi itu untuk melayani setan. Maka dari segi ini, ia menyembah setan, dengan menyembah anjing dan babi. Maka hendaklah semua hamba Allah itu memperhatikan geraknya, dan tetapnya, diamnya dan bicaranya, tegaknya dan duduknya ! dan hendaklah ia memandang dengan mata hati ! maka ia tidak melihat –kalau ia menginsyafi akan dirinya –selain ia berusaha sepanjang hari, menyembah yang tersebut itu. Inilah penganiayaan yang paling penghabisan ! karena pemilik dijadikannya, yang dimiliki. Pemimpin dijadikannya yang dipimpin. Tuan dijadikannya budak. Dan yang berkuasa dijadikannya yang dikuasai. Karena akallah yang berhak untuk menjadi tuan, yang dapat memaksa dan yang berkuasa. Dan telah diperbuatnya akal itu untuk melayani yang 3 itu (anjing, babi dan setan). Maka tak dapat dibantah, lantaran mematuhi yang 3 tadi, berkembanglah dalam hatinya, sifat-sifat yang bertindis-lapis. Sehingga ia menjadi setempel dan karat, yang membinasakan dan mematikan hati. Adapun mentaati babi nafsu syahwat, maka timbullah daripadanya sifat kurang malu, keji, boros, kikir, ria, rusak kehormatan, suka main-main, senda-gurau, loba, rakus, penjilat, dengki, busuk-hati, suka memaki dll. Adapun mentaati anjing amarah, maka berkembanglah daripadanya, kepada hati, sifat-sifat: membuta-tuli, semberono, angkuh, ingin tinggi sebenang, kemarahan meluap-luap, takabur, membanggakan diri, suka melecehkan orang, memandang ringan terhadap orang, penghinaan terhadap orang, kemauan jahat, ingin berbuat kezaliman dll. Adapun mentaati setan, ialah: dengan mengikuti nafsu syahwat dan kemarahan. Maka menghasilkan sifat mengicuh, menipu, mencari dalil, tipu muslihat, berani babi, menipu, membuat contoh yang tidak-tidak, menokoh, merusak, perkataan kotor dsb. Jikalau keadaan itu dibalik dan semuanya dipaksakan di bawah kebijaksanaan sifat ketuhanan (sifat rabbaniyah), niscaya tetaplah dalam hatinya sifat-sifat ketuhanan. Yaitu: ilmu, hikmah, yakin, meliputi pengetahuannya tentang hakikat segala sesuatu, mengetahui segala urusan menurut yang sebenarnya, menguasai atas tiap sesuatu, dengan kekuatan ilmu, nur mata hati dan berhak tampil diatas makhluk, karena kesempurnaan dan keagungan ilmu. Dan ia terlepas daripada perbudakan hawa nafsu dan kemarahan. Dan berkembanglah sifat-sifat mulia, lantaran terkungkungnya babi hawa nafsu dan kembalinya ke batas normal. Sifat-sifat mulia itu, seperti: sifat menjaga diri, merasa cukup dengan yang ada, tenang, zuhud, wara’, taqwa, lapang dada, bagus sikap, malu, ramah, bertolong-tolongan dsb. Dan dengan mengekang kekuatan amarah, memaksakannya dan mengembalikannya ke batas yang seharusnya, maka menghasilkan sifat: berani, dermawan, suka menolong, mengekang nafsu, sabar, penyantun, memikul kewajiabn, pemaaf, tetap pendirian, hati mulia, cerdik, berjiwa besar, dll. Maka hati adalah seperti cermin yang telah diliputi oleh hal-hal yang membekas tadi. Bekas-bekas itu secara bersambung akan sampai kepada hati. Adapun bekas-bekas yang terpuji yang sudah kami sebutkan dahulu, maka akan menambah cemerlangnya cermin hati, bersinar, cemerlang, nur dan terang. Sehingga cemerlanglah jelasnya kebenaran. Dan terbukalah hakikat urusan yang dicari dalam agama. Kepada contoh hati inilah, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Apabilah dikehendaki oleh Allah kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikanNya orang itu memperoleh pelajaran dari hatinya”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mempunyai juru nasehat dari hatinya, niscaya ada penjaga daripada Allah kepadanya”. Hati ini ialah yang menetap ingatannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Adapun bekas-bekas yang tercela, adalah seperti: asap yang menggelapkan, yang naik kepada kaca hati. Dan senantiasa bertambah tebal, dari sekali ke sekali. Sehingga hati itu hitam dan gelap. Dan secara keseluruhan, hati itu menjadi terdinding (terhijab) daripada Allah Ta’ala. Yaitu: tabiat. Dan itu karatan. Allah Ta’ala berfirman: “Jangan berpikir begitu ! bahkan apa yang telah mereka kerjakan itu, menjadi karat pada hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Bahwa jika Kami capkan hati mereka, sehingga mereka tidak mendengarkan”. S 7 Al A’raaf ayat 100. Tidak –mendengarnya itu diikatkan dengan mencapnya dengan segala dosa, adalah sebagaimana mendengar diikatkan dengan taqwa. Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah dan dengarkanlah perintahNya”. S 5 Al Maaidah ayat 108. Firman Allah Ta’ala: “Bertaqwalah kepada Allah dan Allah mengejar kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 282. Manakala dosa itu telah bertindis-lapis, niscaya tercapkanlah diatas hati. Dan pada ketika itu, butalah hati daripada mengetahui kebenaran dan kebaikan agama. Dan ia mempermudahkan urusan akhirat. Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah cita-citanya terbatas kepada dunia. Maka apabila pendengarannya diketok dengan urusan akhirat dan bahaya-bahaya yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga yang satu lagi. Tidak menetap didalam hati dan tidak menggerakkannya kepada taubat dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah orang-orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana putus asanya orang-orang kafir yang di dalam kubur. Inilah artinya kehitaman hati disebabkan dosa, sebagaimana dituturkan oleh Alquran dan Sunnah. Maimun bin Mahran berkata: “Apabila seorang hamba Allah berdosa dengan sesuatu dosa, maka menitiklah pada hatinya suatu titik hitam. Maka apabila ia mencabut dirinya dari dosa itu dan bertaubat, maka hati itu berkilat kembali. Dan kalau ia kembali lagi, niscaya ditambahkan pada titik hitam itu, sehingga hatinya tinggi. Maka itulah karat namanya. Nabi saw bersabda: “Hati orang mu’min itu bersih, padanya pelita yang bercahaya gemilang. Dan hati orang kafir itu hitam terbalik”. Maka mentaati Allah swt dengan menyalahi hawa nafsu itu melicinkan hati. Dan berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala itu menghitamkan hati. Orang yang menghadapkan dirinya kepada perbuatan maksiat, niscaya hitamlah hatinya. Dan orang yang berbuat kebajikan sesudah kejahatan dan menghapuskan bekas kejahatan itu, niscaya hatinya tidak gelap. Akan tetapi cahayanya berkurang, seperti kaca, yang bernafas padanya. Kemudian disapunya dan bernafas lagi, kemudian disapunya. Maka kaca itu tidak terlepas dari kekeruhan. Nabi saw bersabda: “Hati itu tempat macam: hati yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang. Maka itulah hati orang mu’min. Hati hitam terbalik, maka itulah hati orang kafir. Hati terbungkus yang terikat bungkusannya. Itulah hati orang munafiq. Dan hati yang melintang, padanya keimanan dan kemunafikan”. Maka keimanan di dalam hati itu, adalah seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan oleh air yang baik. Dan kemunafikan di dalam hati, adalah seperti luka yang dipanjangkan oleh darah dan nanah. Maka yang manakah diantara dua hal tadi yang banyak pada hati, maka begitulah jadinya hati itu”. Dan pada suatu riwayat: berjalanlah hal itu dengan hati. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang datang berkunjung, mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Diterangkan, bahwa terangnya hati dan dapat memandang adalah berhasil dengan zikir (menyebut dan mengingati Allah). Dan ingatan itu tidak mungkin selain dari orang-orang yang taqwa. Maka taqwa itu pintu zikir. Dan zikir itu pintu kasyaf (terbuka hijab). Dan kasyaf itu pintu kemenangan besar. Yaitu: kemenangan bertemu dengan Allah Ta’ala.
PENJELASAN: contohnya hati dihubungkan kepada ilmu pengetahuan khususnya.
Ketahuilah, bahwa tempat ilmu itu, ialah: hati. Yakni: yang halus, yang mengatur segala anggota tubuh manusia. Yang halus inilah, yang dipatuhi dan yang dilayani oleh segala anggota tubuh. Yang halus itu, dengan dihubungkan kepada hakikat pengetahuan, adalah seperti: cermin, dengan dihubungkan kepada bentuk segala yang berwarna. Maka sebagaimana yang berwarna itu mempunyai bentuk dan keadaan bentuk itu melekat pada cermin dan terdapat pada cermin, seperti demikian pula, masing-masing pengetahuan yang diketahui itu, mempunyai hakikat. Dan hakikat itu mempunyai bentuk yang tercap dalam cermin hati dan jelas di dalamnya. Sebagaimana cermin itu lain dan bentuk segala sesuatu itu lain dan hasil bentuknya dalam cermin itu lain pula, maka itu menjadi 3 hal. Maka demikian pulalah disini, terdapat 3 hal: hati, hakikat segala sesuatu dan hasil hakikat itu sendiri dalam hati dan beradanya di dalam hati. Maka orang yang berilmu itu, adalah ibarat hati, dimana keadaan hakikat segala sesuatu bertempat di dalamnya. Dan pengetahuan yang diketahui itu, adalah ibarat hakikat segala sesuatu. Dan pengetahuan itu sendiri adalah ibarat hasil bentuk di dalam cermin. Sebagaimana genggaman umpamanya memerlukan adanya penggenggam, seperti: tangan dan yang digenggam, seperti: pedang dan hubungan diantara pedang dan tangan, dengan berhasilnya pedang itu di dalam tangan dan dinamakan: genggaman. Maka begitupulalah sampainya keadaan ilmu yang diketahui kepada hati, yang dinamakan: pengetahuan. Sesungguhnya hakikat itu ada dan hati itu ada. Dan tidaklah ilmu itu sudah berhasil. Karena ilmu itu ibarat daripada sampainya hakikat kepada hati. Sebagaimana pedang itu ada dan tangan itu ada. Dan tidaklah nama genggaman dan pengambilan itu sudah berhasil. Karena tidak adanya pedang itu di dalam tangan. Ya, genggaman itu adalah ibarat daripada berhasilnya pedang itu sendiri dalam tangan. Dan ilmu yang diketahui itu sendiri, tidak berhasil di dalam hati. Orang yang mengetahui api, tidaklah api itu sendiri berada dalam hatinya. Akan tetapi yang ada, ialah batasnya dan hakikatnya yang sesuai dengan bentuknya. Maka mencontohkannya dengan cermin, adalah lebih utama. Karena diri manusia itu tidak ada dalam cermin. Yang ada, ialah: keadaan yang bersesuaian dengan manusia itu. Begitupula adanya keadaan yang bersesuaian dengan hakikat pengetahuan di dalam hati, yang dinamakan: ilmu. Dan sebagaimana cermin, tidak menampak padanya bentuk sesuatu, disebabkan oleh 5 hal:
Pertama: kurang bentuknya, seperti zat besi, sebelum dirobah, dibentuk dan dikilatkan.
Kedua: karena buruk, berkarat dan kotornya, walaupun bentuknya sempurna.
Ketiga: karena dipindahkan arah barang itu ke arah yang lain, sebagaimana apabila bentuk itu di belakang cermin.
Keempat: karena dinding (hijab) yang terletak diantara cermin dan bentuk barangnya.
Kelima: tidak diketahui arah, yang padanya bentuk barang yang dimaksud. Sehingga sukar disebabkannya, untuk dihadapkan arah bentuk barang itu dengan arah cermin.
Maka seperti itu pula hati, adalah cermin yang disediakan untuk menampakkan padanya hakikat kebenaran dalam segala hal. Dan sesungguhnya hati itu kosong dari pengetahuan, dimana kekosongan itu terjadi, disebabkan oleh sebab yang 5 ini:
Pertama: kekurangan pada hati itu sendiri, seperti: hati anak-anak. Maka tidak menampak padanya pengetahuan, karena kekurangannya.
Kedua: karena kekotoran perbuatan maksiat dan keji yang bertindis-lapis diatas wajah hati, lantaran banyaknya hawa nafsu. Sesungguhnya yang demikian itu, mencegah bersih dan cemerlangnya hati. Lalu tercegahlah lahir kebenaran padanya, karena kegelapan dan ketindis-lapisannya. Dan kepadanyalah isyarat dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh akal, yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya”. Artinya: terdapat kekotoran pada hatinya, yang tidak akan hilang bekasnya. Karena tujuannya, bahwa diikutkannya dosa itu dengan kebaikan, yang akan tersapu dosa itu dengan kebaikan tersebut. Kalau ia mengerjakan kebaikan dan tidak didahului oleh kejahatan, niscaya –sudah pasti- bertambahlah kecemerlangan hati. Maka manakala datanglah kejahatan, niscaya hilanglah faedah kebaikan. Akan tetapi hati itu kembali kepada keadaannya, sebelumnya kejahatan dan tidak bertambah cahayanya. Inilah kerugian yang nyata dan kekurangan yang tidak dapat dielakkan. Maka tidaklah cermin yang kotor, kemudian disapu dengan alat yang mengkilatkan, seperti yang disapu dengan alat yang mengkilatkan karena bertambah cemerlangnya, tanpa ada kekotoran yang terdahulu. Maka menghadapkan diri kepada mentaati Allah dan berpaling dari kehendak hawa nafsu, itulah yang mencemerlangkan dan yang membersihkan hati. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada jalan Kami”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 69. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengamalkan (melaksanakan) apa yang telah diketahuinya, niscaya diberi pusaka oleh Allah kepadanya akan pengetahuan yang belum diketahuinya”.
Ketiga: hati itu dipalingkan dari arah hakikat yang dicari. Sesungguhnya hati orang yang taat dan salih, meskipun bersih, maka tidaklah jelas padanya kecemerlangan kebenaran. Karena ia tidak mencari kebenaran. Dan ia tidak berbetulan dengan cerminnya, akan arah yang dicarinya. Akan tetapi kadang-kadang, adalah kelengkapan cita-citanya, dengan penguraian amalan taat badaniah. Atau dengan penyediaan sebab-sebab kehidupan. Dan pikirannya tidak ditujukan kepada memperhatikan hadlarat ketuhanan dan hakikat ilahiyah yang tersembunyi. Maka tidaklah terbuka baginya, selain apa yang dipikirkan, dari yang halus-halus dari bahaya amalan dan yang tersembunyi dari kekurangan-kekurangan diri, kalau ia bertafakkur padanya. Atau tentang kepentingan-kepentingan kehidupan, jikalau ia bertafakkur pada yang demikian. Apabila adalah pengikatakan cita-cita dengan amal perbuatan dan penguraian ketaatan itu mencegah daripada tersingkapnya kecemerlangan kebenaran, maka apakah persangkaan anda tentang orang yang menyerahkan cita-citanya kepada nafsu syahwat duniawiah, kepada segala kesenangan dan yang berhubungan dengan itu ? bagaimanakah ia tidak tercegah daripada terbukanya kehakikatan !
Keempat: hijab (dinding). Sesungguhnya orang yang taat, yang memaksakan hawa nafsunya, yang menjuruskan pikirannya pada sesuatu hakikat kebenaran, kadang-kadang tidak terbuka juga yang demikian baginya, karena terdinding daripadanya, disebabkan aqidahnya yang telah lalu sejak kecil, dengan jalan taqlid (ikut-ikutan) dan menerimanya dengan baik sangka. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menghambatkan diantara dia dan hakikat kebenaran. Dan mencegahkannya daripada terbuka pada hatinya, yang menyalahi daripada yang didapatinya dari taqlid yang nyata. Ini juga suatu hijab yang besar, yang menghijabkan kebanyakan orang-orang ahli ilmu Kalam (ilmu Tauhid) dan orang-orang yang ta’assub (fanatik) kepada mazhab-mazhab. Bahkan juga kebanyakan orang-orang salih, yang bertafakkur tentang alam malakut langit dan bumi. Karena mereka itu terhijab dengan aqidah-aqidah ketaqlidan, yang telah beku dalam diri mereka. Dan telah melekat dalam hati mereka. Dan menjadi hijab bagi mereka untuk memperoleh hakikat kebenaran.
Kelima: bodoh tentang arah yang akan diperoleh padanya yang dicari. Sesungguhnya orang yang mencari ilmu itu, tidak mungkin memperoleh ilmu dengan kebodohan, kecuali dengan mengingati ilmu yang bersesuaian dengan yang dicarinya. Sehingga apabila ia mengingatinya dan menertibkannya dalam dirinya, dengan ketertiban yang khusus, yang diketahui oleh para ulama dengan jalan pemikiran, maka ketika itulah ia telah memperoleh arah yang dicari. Maka terang-benderanglah hakikat yang dicari untuk hatinya. Karena ilmu pengetahuan yang dicari itu bukanlah fitriah (diperoleh sejak lahir). Tidak dapat ditangkap, kecuali dengan jalan ilmu yang menghasilkan. Bahkan semua ilmu tidak berhasil, kecuali dari dua ilmu yang mendahului, yang tersusun dan bercampur dengan cara khusus. Maka berhasillah dari percampuran kedua ilmu itu, ilmu ketiga, sebagaimana berhasilnya anak daripada percampuran laki-laki dan wanita. Kemudian, sebagaimana orang yang bermaksud menghasilkan kuda bibit, tidak mungkin yang demikian dari keledai, unta dan manusia. Akan tetapi dari asal khusus dari kuda jantan dan betina. Dan yang demikian itu, apabila terjadi diantara keduanya, percampuran khusus. Maka seperti itu pula tiap-tiap ilmu, mempunyai dua asal khusus. Dan diantara keduanya mempunyai jalan dalam cara percampurannya, yang menghasilkan dari percampuran itu ilmu yang berfaedah dan yang dicari. Maka kebodohan tentang asal-usul itu dan caranya percampuran, itulah pencegah daripada memperoleh ilmu. Contohnya, apa yang telah kami sebutkan, dari kebodohan mengenai arah terletaknya bentuk barang. Bahkan contohnya, ialah, bahwa orang ingin melihat kuduknya –umpamanya- dengan cermin. Maka apabila ia mengangkat cermin setentang mukanya, niscaya tidak berbetulan dengan arah kuduk. Lalu tidak tampak kuduk itu dalam cermin. Kalau diangkatnya cermin itu di belakang kuduk dan berbetulan dengan dia, niscaya ia telah berpaling dengan cermin dari matanya. Maka ia tidak melihat cermin dan tidak bentuk kuduknya dalam cermin. Maka ia memerlukan kepada cermin lain yang diletakkannya di belakang kuduk. Dan ini pada hadapannya, kira-kira dapat dilihatnya. Dan ia menjaga kesesuaian diantara letak kedua cermin itu. Sehingga menampak bentuk kuduk dalam cermin yang setentang kuduk. Kemudian menampak bentuk cermin ini dalam cermin yang lain, yang berhadapan dengan mata. Kemudian mata dapat melihat bentuk kuduk. Maka seperti itu pulalah, pada memetik segala macam ilmu, terdapat jalan-jalan yang menakjubkan. Padanya ada hal-hal yang diada-adakan dan diselewengkan, lebih menakjubkan daripada yang kami sebutkan tentang cermin, yang sukar diperoleh diatas bumi yang lapang ini, orang-orang yang memperoleh petunjuk kepada caranya daya-upaya tentang hal-hal yang diada-adakan itu. Maka inilah sebab-sebab yang mencegah hati, daripada mengetahui hakikat segala hal. Kalau tidak demikian, maka semua hati itu menurut fitrahnya, pantas untuk mengetahui semua kehakikatan. Karena hati itu urusan ketuhanan yang mulia, yang membedakan dengan zat alam lainnya, dengan kekhususan dan kemuliaan itu. Dan kepadanya diisyaratkan dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Kami telah memberikan amanah (tanggung jawab) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya dan takut terhadap itu, sedang manusia mau memikulnya”. S 33 Al Ahzab ayat 72, sebagai isyarat bahwa manusia itu mempunyai kekhususan yang membedakannya dari langit, bumi dan gunung-gunung, yang dengan kekhususan itu, ia sanggup memikul amanah Allah Ta’ala. Dan amanah itu, ialah: ma’rifah (mengenal Allah) dan tauhid. Dan hati tiap-tiap anak Adam (manusia) itu pada asalnya, bersedia memikul amanah dan sanggup memikulnya. Akan tetapi sebab-sebab yang telah kami sebutkan dahulu, membawa manusia terlambat untuk bangun melaksanakannya dan sampai kepada pentahkikannya (pelaksanaan yang sebenar-benarnya). Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Semua anak itu dilahirkan diatas fitrah (dalam keadaan asli-suci). Ibu bapaknyalah yang meyahudikannya, menasranikannya dan memajusikannya”. Dan sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka itu melihat ke alam malakut langit”, sebagai isyarat kepada sebahagian sebab-sebab tersebut, yang menjadi hijab diantara hati dan alam malakut. Dan kepada itu pulalah diisyaratkan dengan yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Ibnu Umar berkata: “Orang bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah ! dimanakah Allah, di bumi atau di langit ?”. Rasulullah saw menjawab: “Dalam hati hambaNya yang beriman !”. Pada suatu hadits: “Allah Ta’ala berfirman: “Tiada termuat Aku oleh bumiKu dan langitKu dan termuat Aku oleh hati hambaKu yang beriman, yang lemah-lembut, yang tenang tentram”. Pada suatu hadits tersebut: “Orang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! siapakah manusia yang terbaik ? Rasulullah saw menjawab: “Tiap-tiap orang mu’min, yang hatinya “makhmum”. Lalu orang itu bertanya pula: “Apakah hati yang makhmum itu ? Rasulullah saw menjawab: “Yaitu: orang yang taqwa, hatinya bersih, tak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian dan hasutan”. Karena itulah, Umar ra berkata: “Hatiku melihat Tuhanku”. Karena telah terangkat hijab dengan taqwa. Barangsiapa telah terangkat hijab diantaranya dan Allah, niscaya menjelaslah bentuk ‘alamul-mulki (alam nyata) dan ‘alamul-malakut (alam batin) dalam hatinya. Maka ia melihat sorga. Lintang sebahagian daripadanya ialah langit dan bumi. Adapun jumlahnya, maka lebih banyak dari keluasan langit dan bumi. Karena langit dan bumi itu ibarat dari ‘alamul-mulki dan ‘alamusy-syahadah (alam nyata dan alam yang dapat disaksikan). Alam ini meskipun luas tepinya, berjauhan sudut-sudutnya, tetapi pada umumnya berkesudahan. Adapun ‘alamul-malakut, ialah rahasia gaib, tidak dapat dengan pandangan mata. Khusus dapat diketahui dengan pandangan mata hati. Dia itu tiada berkesudahan. Benar, yang tampak bagi hati daripadanya itu, suatu kadar yang berkesudahan. Akan tetapi pada dirinya dan dengan ditambahkan kepada ilmu Allah, maka ia tiada berkesudahan. Jumlah ‘alamul-mulki dan ‘alamul-malakut, apabila diambil sekaligus, dinamai: Hadlarah-Rububiah (hadlarat ketuhanan). Karena Hadlarah Rububiah itu meliputi semua yang ada. Karena pada wujud itu tiada sesuatu, selain Allah Ta’ala, perbuatanNya dan kerajaanNya. Dan hamba-hambaNya itu sebahagian dari perbuatanNya. Apa yang menampak dari yang tersebut bagi hati, adalah sorga. Sorga itu sendiri pada suatu golongan. Yaitu: sebab berhaknya sorga pada ahli kebenaran. Dan luas kepunyaannya dalam sorga, adalah menurut luas ma’rifahnya dan menurut yang menampak baginya tentang Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya (perbuatanNya). Yang dimaksudkan dengan taat dan perbuatan anggota badan semuanya, ialah pembersihan hati, penyucian dan kecemerlangannya. Sesungguhnya orang-orang yang menyucikannya memperoleh kemenangan. Yang dimaksudkan dengan penyuciannya, ialah berhasilnya cahaya iman dalam hati. Ya’ni: cemerlangnya nur-ma’rifah (cahaya pengenalan). Yaitu: yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka barangsiapa dikehendaki oleh Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibukakanNya hatinya menganut agama Islam”. S 6 Al An’aam ayat 125. Dan firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima agama Islam, karena itu dia mendapat cahaya dari Tuhannya”. S 39 Az Zumar ayat 22. Benar, penampakan (at-tajalli) dan iman itu, mempunyai 3 tingkat:
Tingkat pertama: iman orang awam. Yaitu: semata-mata taqlid.
Tingkat kedua: iman orang-orang ahli ilmu kalam (ilmu tauhid). Yaitu: bercampur aduk dengan macam-macam dalil. Dan tingkatnya mendekati dengan tingkat iman orang awam.
Tingkat ketiga: iman orang-orang arifin (orang yang berma’rifah akan Allah). Yaitu: orang yang menyaksikan dengan nur keyakinan.
Akan kami terangkan kepada anda tingkat-tingkat itu dengan contoh. Yaitu: bahwa pembenaran anda adanya si Zaid di rumahnya –umpamanya –mempunyai 3 tingkat:
Pertama: bahwa diterangkan kepada anda, oleh orang, yang telah anda cobakan kebenarannya. Dan tidak anda kenal padanya kebohongan dan tidak anda curigai kebenaran kata-katanya. Hati anda tetap kepadanya dan merasa tenang dengan pemberitaannya, dengan semata-mata mendengarnya. Inilah iman dengan semata-mata taqlid. Yaitu contoh imannya orang awam. Sesungguhnya tatkala mereka telah sampai kepada umur: dapat membedakan diantara baik dan buruk (masa tamyiz), lalu mendengar dari bapak dan ibunya, akan wujudnya Allah Ta’ala, ilmuNya, iradahNya qudrahNya dan sifat-sifatNya yang lain. Mereka mendengar akan terutusnya rasul-rasul, benarnya rasul-rasul dan apa yang dibawa rasul-rasul itu. Sebagaimana mereka mendengar, lalu mereka menerima apa yang didengarnya. Mereka tetap padanya, merasa tentang dan tidak terguris di dalam hatinya, untuk menyalahi daripada yang dikatakan oleh mereka kepadanya. Karena baik sangkanya kepada bapak, ibu dan guru-gurunya. Iman ini menjadi sebab kelepasan di akhirat. Dan orang ini termasuk tingkat pertama dari golongan kanan (ash-habul yamin). Dan mereka tidak termasuk orang muqarrabin (orang yang berdekatan dengan Allah). Karena tidak ada padanya kasyaf (terbuka hijab), mata hati (bashirah) dan terbuka dada dengan nur iman. Karena kesalahan itu mungkin pada yang didengarnya dari orang seorang. Bahkan dari beberapa orang, tentang apa yang berhubungan dengan aqidah. Maka hati orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani juga tenang, dengan apa yang didengarnya dari bapak dan ibunya. Tetapi mereka beraqidah apa yang menjadi aqidah ibu bapaknya yang salah. Karena telah dicampakkan kesalahan kepada mereka. Dan orang-orang Islam itu beraqidah yang benar. Bukan karena mereka melihat kepada kebenaran. Akan tetapi kalimah kebenaran itu telah dicampakkan kepada mereka.
Tingkat kedua: bahwa anda mendengar perkataan si Zaid dan suaranya dari dalam rumah, akan tetapi di belakang dinding. Lalu anda mengambil alasan tentang adanya di rumah. Maka kepercayaan anda, pembenaran anda dan keyakinan anda tentang adanya di rumah itu, lebih kuat daripada pembenaran anda, dengan semata-mata mendengar saja. Sesungguhnya apabila orang mengatakan kepada anda, bahwa si Zaid itu di rumah. Kemudian anda mendengar suaranya, niscaya bertambahlah keyakinan anda. Karena suara itu, menunjukkan kepada bentuk dan rupa pada orang yang mendengar suaranya, dalam keadaan penyaksian bentuk. Lalu hati menetapkan, bahwa ini suara orang itu. Dan inilah kepercayaan yang bercampur dengan dalil (alasan). Dan kesalahan mungkin juga tertimpa kepadanya. Karena suara itu kadang-kadang menyerupai dengan suara orang lain. Kadang-kadang mungkin diusahakan demikian dengan jalan menirunya, kecuali yang demikian, tiada terguris di hati yang mendengar. Karena ia tidak membuat di dalam hatinya, tempat untuk buruk sangka. Dan ia tidak menduga ada maksud dalam penipuan dan peniruan itu.
Tingkat ketiga: bahwa anda masuki rumah. Lalu anda melihat kepada orang itu dengan mata anda dan menyaksikannya. Inilah ma’rifah (pengenalan) yang sebenarnya dan penyaksian dengan keyakinan. Dan itu menyerupai dengan ma’rifah orang-orang muqarrabin dan shiddiqin. Karena mereka itu beriman dari musyahadah (penyaksian). Lalu terlipatlah dalam keimanan mereka, keimanan orang awam dan orang-orang ahli ilmu kalam. Mereka dapat membedakan dengan pembedaan yang nyata, yang mustahil kemungkinan salah. Benar, mereka itu berlebih kurang juga, disebabkan kadar pengetahuannya dan tingkat kasyafnya. Adapun tingkat pengetahuan, maka umpamanya: ia melihat si Zaid dalam rumah dari jarak dekat dan pada lapangan rumah pada waktu cemerlangnya matahari. Maka sempurnalah pengetahuannya. Dan orang lain, mengetahuinya dalam rumah atau dari jarak jauh atau pada waktu petang. Lalu tergambarlah baginya dalam bentuk yang meyakinkan, bahwa itu betul si Zaid. Akan tetapi tidak tergambar pada dirinya yang halus-halus dan yang tersembunyi dari bentuk si Zaid. Contohnya ini menggambarkan tentang berlebih-kurangnya penyaksian (musyahadah) bagi hal-hal ketuhanan. Adapun kadar pengetahuan, bahwa ia melihat dalam rumah, si Zaid, si Umar, si Bakar dll. Sedang orang lain hanya melihat si Zaid saja. Maka pengetahuan yang demikian, sudah pasti bertambah dengan banyaknya yang diketahui. Inilah keadaan hati, dengan menyandarkan kepada ilmu pengetahuan ! Allah Ta’ala yang Maha Tahu dengan yang sebenarnya.
PENJELASAN: keadaan hati dengan menyandarkan kepada bermacam-macam ilmu aqal, ilmu agama, dunia dan akhirat.
Ketahuilah, bahwa hati dengan nalurinya bersedia menerima hakikat segala pengetahuan, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Tetapi pengetahuan yang bertempat di dalam hati itu terbagi kepada: ‘aqliyah (keakalan) dan syar’iyah (keagamaan). Bahagian ‘aqliyah terbagi kepada dlaruriyah (yang diketahui secara mudah) dan muktasabah (dengan jalan diusahakan). Dan muktasabah itu terbagi kepada duniawiyah (keduniaan) dan ukhrawiyah (keakhiratan). Adapun ‘aqliyah, maka yang kami maksudkan dengan ‘aqliyah itu, ialah: yang dikehendaki oleh instink akal. Dan tidak diperoleh dengan taqlid dan mendengar. Dan terbagi kepada dlaruriyah, yang tidak diketahui, darimana datangnya dan bagaimana datangnya. Seperti pengetahuan manusia bahwa orang satu tidak ada pada dua tempat. Dan suatu benda, tidak ada dia itu baharu (hadits) dan lama (qadim), ada dan tidak ada sekaligus. Ini semuanya pengetahuan yang diperoleh oleh manusia sendiri semenjak kecil, menjadi fitrah baginya. Ia tidak tahu, kapan ilmu itu ada padanya dan darimana datangnya. Yakni: ia tidak tahu baginya sebab yang dekat. Kalau tidak demikian, sesungguhnya tidak tersembunyi kepadanya, bahwa Allah Ta’ala yang menjadikannya dan yang menunjukkannya jalan. Selain terbagi kepada dlaruriyah tadi, terbagi pula kepada pengetahuan yang diusahakan. Yaitu: yang diperoleh dengan belajar dan mencari dalil. Kedua bahagian tersebut, dinamakan: akal. Ali ra berkata:
“Saya melihat akal dua ini,
akal tabi’i dan akal sam’i.
Tidak bermanfaat yang sam’i,
apabila tidak ada yang tab’i.
Sebagaimana tidak bermanfaat matahari,
dan cahaya mata itu dihalangi.
Yang pertama, ialah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw kepada Ali ra: “Allah Ta’ala tidak menjadikan makhluk yang lebih mulia daripada akal”. Dan yang kedua, ialah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw kepada Ali ra: “Apabila manusia mendekati (bertaqarrub) kepada Allah Ta’ala dengan bermacam-macam kebajikan, maka engkau dekatilah dengan akalmu !”. Karena tidak mungkin bertaqarrub dengan naluri fitrah dan tidak dengan ilmu-dlaruriyah. Akan tetapi dengan ilmu yang diusahakan. Tetapi seperti Ali ra adalah sanggup bertaqarrub dengan memakai akal pada memetik ilmu-ilmu, yang membawanya dekat kepada Tuhan Serwa sekalian alam. Maka hati itu berlaku seperti mata. Dan naluri akal pada hati berlaku seperti kekuatan melihat pada mata. Dan kekuatan penglihatan itu halus yang tak ada pada orang buta. Dan ada pada orang yang dapat melihat, walaupun ia memejamkan kedua matanya atau berada dalam malam gelap. Dan ilmu yang diperoleh dalam hati itu, berlaku seperti kekuatan dapat melihat pada mata dan melihatnya segala bentuk benda. Terlambatnya ilmu dari tanggapan akal pada masa kanak-kanak, kepada waktu tamyiz (sudah dapat membedakan diantara segala sesuatu) atau dewasa, adalah menyerupai dengan terlambatnya penglihatan dari melihat sampai kepada waktu terbit matahari dan membanjir sinarnya kepada semua benda yang dilihat. Qalam (pena), yang ditulis oleh Allah dengan qalam itu. Segala ilmu di atas lembaran hati, berlaku seperti berlakunya bundaran matahari. Tidak terperolehnya ilmu dalam hati anak-anak sebelum tamyiz, karena papan hatinya belum tersedia untuk menerima ilmu itu sendiri. Dan pena yang merupakan suatu makhluk Allah Ta’ala, dijadikan sebab untuk berhasilnya ukiran ilmu dalam hati manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Yang mengajarkan dengan pena (tulis-baca). Mengajarkan kepada manusia yang belum diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 4-5. Qalam Allah Ta’ala tidak serupa dengan qalam makhlukNya. Sebagaimana tidak menyerupai sifatNya dengan sifat makhlukNya. Maka QalamNya tidaklah dari bambu dan kayu, sebagaimana Dia Ta’ala tidak dari jauhar (zat yang berbentuk) dan dari ‘aradl (sifat yang berdiri pada jauhar). Dan keseimbangan antara pandangan hati batiniyah dan pandangan zahir itu benar dari segi-segi ini. Hanya sesungguhnya, tak bersesuaian diantara keduanya tentang kemuliaan. Karena pandangan hati batiniyah adalah jiwa itu sendiri, dimana dia itu halus dan yang mengetahui. Dia adalah seperti pengendara kuda. Dan badan itu seperti kuda. Kebutaan yang mengendarai kuda adalah lebih mendatangkan kemelaratan kepada pengendara itu daripada butanya kuda, bahkan tiada perbandingan bagi salah satu dari dua kemelaratan itu terhadap lainnya. Dan karena keseimbangan pandangan hati batiniyah bagi pandangan zahir, maka Allah Ta’ala menamakannya dengan namaNya. Allah Ta’ala berfirman: “Hati tiada berdusta apa yang dilihatnya”. S 53 An Najm ayat 11. Pengetahuan hati itu dinamai: penglihatan. Demikian pula firman Allah Ta’ala: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi”. S 6 Al An’aam yat 75. Dan apa yang dimaksudkan dengan yang demikian itu, penglihatan zahiriyah, maka sesungguhnya yang demikian tidaklah dikhususkan bagi Ibrahim as. Sehingga dibentangkan dalam pembentangan keni’matan. Dan karena itulah, lawan pengetahuannya dinamai: buta. Allah Ta’ala berfirman: “Karena sebenarnya, bukan mata yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. S 22 Al Hajj ayat 46. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa buta di dunia ini, niscaya di akhirat buta (juga) dan lebih sesat jalannya”. S 17 Al Israa’ ayat 72. Inilah penjelasan ilmu aqli. Adapun ilmu keagamaan (ilmu dini), maka adalah diambil dengan jalan taqlid (mengikuti) nabi-nabi as. Dan itu diperoleh dengan mempelajari Kitab Allah Ta’ala. Sunnah Rasulullah saw dan memahami maksud keduanya, sesudah didengar. Dengan demikian, sempurnalah sifat hati. Dan selamatlah hati itu dari segala penyakit dan bencana. Ilmu aqli itu tidak cukup untuk keselamatan hati, walaupun hati itu memerlukan kepadanya. Sebagaimana akal itu tidak cukup untuk tetapnya sebab-sebab kesehatan badan. Akan tetapi, memerlukan kepada pengetahuan khasiat-khasiat obat dan ramuan-ramuan, dengan jalan belajar pada dokter-dokter. Karena akal saja tidak memperoleh petunjuk kepadanya. Akan tetapi, tidak mungkin memahaminya sesudah didengar, kecuali dengan akal. Maka tidak cukup dengan akal saja, tanpa mendengar dan tidak cukup mendengar saja, tanpa akal. Maka mengajak kepada semata-mata taqlid, serta menyingkirkan akal secara keseluruhan itu bodoh. Dan mencukupkan dengan semata-mata akal, tanpa nur Alquran dan Sunnah Rasul saw itu tertipu. Maka awaslah anda menjadi salah satu dari dua golongan tersebut ! dan hendaklah anda yang menghimpunkan diantara dua pokok itu ! sesungguhnya ilmu aqli adalah seperti makanan. Dan ilmu syari’at adalah seperti obat. Orang sakit itu melarat dengan makanan, manakala tidak ada obat. Maka begitupula penyakit hati, tidak mungkin mengobatinya, kecuali dengan obat-obat yang diambil dari syari’at. Yaitu: tugas-tugas ibadah dan amalan-amalan yang disusun oleh nabi-nabi as untuk perbaikan hati. Maka barangsiapa tiada mengobati hatinya yang sakit dengan pengobatan ibadah syari’at dan mencukupkan saja dengan ilmu akal, niscaya ia memperoleh melarat, sebagaimana melaratnya orang sakit dengan makanan. Ada orang yang menyangka, bahwa ilmu akal itu berlawanan dengan ilmu syari’at dan mengumpulkan diantara keduanya tidak mungkin. Ini adalah sangkaan yang terbit dari kebutaan pada mata hati ! kita berlindung dengan Allah daripadanya ! Akan tetapi, orang yang berkata itu sendiri, kadang-kadang berlawanan padanya, diantara sebahagian ilmu syari’at dengan sebahagian yang lain. Lalu ia lemah daripada mengumpulkan diantara keduanya. Maka ia menyangka bahwa ilmu itu berlawanan pada agama. Lalu ia heran, maka ia mencabut dari agama, laksana mencabut rambut dari tepung. Sesungguhnya yang demikian itu, adalah lantaran kelemahannya pada dirinya sendiri. Lalu terkhayallah kepadanya akan pertentangan pada agama. Amat jauhlah yang demikian dari kebenaran ! contohnya, ialah seperti orang buta yang masuk ke rumah suatu kaum. Lalu ia tersenggol dengan tempat-tempat air di rumah itu. Maka orang buta tersebut bertanya: “Mengapa tempat-tempat air ini dibiarkan di jalan ? mengapa tidak diletakkan kembali pada tempatnya ?”. Orang-orang itu menjawab: “Tempat-tempat air itu adalah pada tempatnya. Anda yang tidak mengetahui jalan, karena anda buta. Yang heran, anda tidak mengemukakan kesenggolan anda karena anda buta. Akan tetapi, anda kemukakan kepada keteledoran orang lain. Inilah perbandingannya diantara ilmu agama dan ilmu akal ! Ilmu akal itu terbagi kepada: duniawiyah dan ukhrawiyah. Duniawiyah, seperti: ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu binatang, pekerjaan tangan dan perusahaan-perusahaan lainnya. Ukhrawiyah, seperti: ilmu hal-ikhwal hati, bahaya-bahaya amal, ilmu mengenai Allah Ta’ala, mengenai sifat dan af’alNya, sebagaimana telah kami uraikan pada “Kitab Ilmu”. Kedua pengetahuan tersebut, tidak-menidakkan diantara satu dengan lainnya. Yakni: orang yang menyerahkan perhatiannya kepada salah satu daripadanya, sehingga ia mendalami betul-betul yang satu itu, niscaya teledorlah penglihatan hatinya kepada yang lain, menurut kebanyakannya. Karena itulah, Ali ra membuat 3 contoh untuk dunia akhirat. Ali berkata: keduany itu seperti: dua daun neraca, seperti Timur dan Barat dan seperti dua wanita yang dimadukan. Apabila disenangi yang seorang, niscaya membawa kemarahan kepada yang lain. Karena itulah, anda melihat, bahwa orang-orang yang pandai tentang urusan dunia, tentang ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu hindasah dan filsafat, adalah bodoh tentang urusan akhirat. Orang-orang yang pandai tentang ilmu akhirat yang halus-halus, adalah bodoh tentang kebanyakan pengetahuan dunia. Karena kekuatan akal cukup pada galibnya untuk kedua hal tersebut bersama-sama. Lalu salah satu daripadanya mencegah sempurnanya yang kedua. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Kebanyakan penduduk sorga itu orang-orang bodoh”. Artinya: bodoh tentang urusan duniawi. Al-Hasan dalam sebahagian pengajarannya berkata: “Kami telah mendapati beberapa kaum. Jikalau anda melihatnya, tentu anda mengatakan: mereka itu orang gila. Dan jikalau mereka itu medapati anda, tentu mereka itu mengatakan: anda setan. Manakala anda mendengar hal yang ganjil dalam urusan agama, yang diingkari oleh orang-orang pintar dalam ilmu-ilmu lain, maka janganlah anda tertipu oleh keingkaran mereka menerimanya. Karena termasuk mustahil orang yang berjalan jalan ke timur memperoleh, apa yang didapati pada jalan ke barat. Maka demikian pula berlakunya urusan dunia dan akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan menemui Kami, mereka rela dengna kehidupan yang dekat dan sudah merasa tentram dengan itu”. S 10 Yunus ayat 7. Dan firman Allah Ta’ala: “Mereka mengetahui (perkara) yang lahir dari kehidupan dunia ini dan terhadap hari kemudian itu, mereka tiada memperhatikan”. S 30 Ar Ruum ayat 7. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata ! pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30. Maka mengumpulkan antara kesempurnaan penglihatan mata hati dalam segala kepentingan duniawi dan agama, tidaklah begitu mudah, kecuali bagi orang yang telah dimantapkan oleh Allah Ta’ala untuk mengatur hambaNya dalam kehidupan di dunia dan kembalinya di akhirat. Yaitu: nabi-nabi yang dikuatkan dengan roh suci, yang dibantu dengan kekuatan ketuhanan, yang meluas ke semua urusan dan tidak sempit. Adapun hati makhluk yang lain, maka sesungguhnya apabila berpegang dengan urusan duniawi, niscaya terlepas dari akhirat dan lengah daripada menyempurnakan urusan akhirat.
PENJELASAN: tentang perbedaan antara ilham dan belajar dan perbedaan antara cara shufi tentang tersingkapnya kebenaran dan cara orang-orang pemerhati.
Ketahuilah, bahwa ilmu yang tidak dlaruriyah dan hanya berhasil di dalam hati dalam beberapa hal, maka hal berhasilnya itu berbeda-beda. Sekali, ia menyerang kepada hati, seolah-olah dicampakkan ke dalam hati, tanpa diketahui. Sekali diusahakan dengan jalan mencari dalil dan belajar. Maka yang diperoleh, tidak dengan jalan usaha dan mencari dalil, dinamakan: ilham. Dan yang berhasil dengan menggunakan dalil, dinamakan: i’tibar dan istibshar (memperoleh pengertian dan mengetahuinya dengan penglihatan mata hati). Kemudian, yang jatuh ke dalam hati, tanpa usaha, belajar dan kesungguhan dari seseorang hamba itu terbagi kepada: yang tiada diketahui oleh hamba, bagaimana ia memperolehnya dan darimana diperolehnya dan kepada yang muncul bersamanya, diatas sebab yang dapat diperolehnya ilmu itu. Yaitu: kesaksian malaikat yang mencampakkan ke dalam hati. Yang pertama, dinamai: ilham dan pencampakan ke dalam hati. Dan yang kedua, dinamai: wahyu dan tertentu bagi nabi-nabi. Dan yang pertama tadi, tertentu bagi wali-wali dan orang-orang pilihan Allah (al-ashfiya’). Dan yang sebelumnya, yaitu: yang diusahakan dengan jalan mencari dalil, tertentu bagi alim-ulama. Hakekat perkataan mengenai itu, ialah: bahwa hati bersedia untuk menampak didalamnya hakekat kebenaran tentang segala sesuatu. Hanya terdinding diantara hati dan hakekat kebenaran tadi, oleh 5 sebab yang telah tersebut dahulu. Yaitu: seperti hijab yang terbentang, yang mendindingi diantara cermin hati dan luh-mahfudh, yang terukir padanya, semua ketetapan Allah Ta’ala hingga hari kiamat. Dan menjelaslah segala hakekat ilmu dari cermin luh-mahfudh dalam cermin hati, yang menyerupai mencapnya bentuk dari cermin ke dalam cermin yang menghadapinya. Dan hijab diantara dua cermin itu, sekali hilang dengan tangan dan lain kali hilang dengan hembusan angin yang menggerakkannya. Begitupula, kadang-kadang berhembus angin yang halus dan terbukalah hijab dari mata hati. Lalu jelaslah sebahagian yang tertulis pada luh-mahfudh. Dan ada yang demikian itu sekali ketika tidur. Lalu mengetahui apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Dan sempurnanya terangkat hijab itu dengan mati, yang padanya terbukalah tutup. Dan terbuka juga dalam waktu tidak tidur, sehingga terangkatlah hijab dengan kehalusan yang tersembunyi daripada Allah Ta’ala. Lalu cemerlanglah didalam hati dari belakang tutupan gaib, suatu dari keganjilan ilmu. Sekali seperti kilat yang menyambar dan pada kali yang lain berturut-turut hingga ke suatu batas dan berkekalan dalam keadaan yang sangat jarang terjadi. Ilham itu tidak berpisah dengan usaha tentang ilmu itu sendiri, tentang tempatnya dan sebabnya. Tetapi ia berpisah dari segi hilangnya hijab. Yang demikian itu tidaklah dengan usaha seseorang. Wahyu tidak berpisah dengan ilham mengenai sesuatu dari yang tersebut itu, bahkan dalam penyaksian malaikat yang memfaedahkan ilmu. Ilmu itu sesungguhnya berhasil dalam hati kita, dengan perantaraan malaikat. Dan kepada itulah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan tiada seorang manusiapun, akan dapat berkata-kata dengan Allah, melainkan dengan wahyu atau dibalik tabir atau diutusNya utusan. Lalu dengan izinNya diwahyukanNya apa yang dikehendakiNya”. S 42 Asy Syuura ayat 51. Apabila ini anda telah ketahui, maka ketahuilah bahwa kecenderungan ahli tasawwuf itu kepada ilmu-ilmu keilhaman, tidak kepada ilmu-ilmu yang dipelajari. Maka karena itulah, mereka tidak bersungguh-sungguh mempelajari ilmu dan menghasilkan apa yang dikarang oleh para pengarang dan membahas tentang kata-kata orang dan dalil-dalil yang disebutkan. Tetapi mereka mengatakan: jalan yang ditempuh, ialah mendahulukan mujahadah (bersungguh-sungguh melawan nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan), menyapu sifat-sifat tercela, memutuskan semua hubungan dengan dunia dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah Ta’ala. Manakala telah berhasil yang demikian, niscaya adalah Allah yang memerintah hati hambaNya dan yang menanggungnya dengan penyinaran nur ilmu. Dan apabila Allah memerintah urusan hati, niscaya melimpahlah rahmatNya kepada hati, bercemerlanglah nur dalam hati, terbukalah dada, tersingkaplah rahasia alam-malakut, hilanglah dari wajah hati tabir kelalaian dengan kelemah-lembutan rahmat dan cemerlanglah pada hati hakekat urusan ketuhanan. Maka tidak ada atas hambaNya, selain bersiap dengan pembersihan semata, menghadirkan cita-cita serta kemauan yang benar, kehausan yang sempurna dan mengintip dengan menunggu terus-menerus akan rahmat yang dibuka oleh Allah Ta’ala kepadanya. Maka nabi-nabi dan wali-wali telah terbuka urusan bagi mereka dan melimpahlah nur ke dalam dadanya. Tidak dengan belajar, mempelajari dan menulis buku-buku. Tetapi dengan zuhud di dunia, melepaskan diri dari segala yang berhubungan dengan dunia, mengosongkan hati dari segala urusan duniawi dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang dianya bagi Allah, niscaya adalah Allah baginya. Mereka mendakwakan, bahwa jalan pada yang demikian itu, adalah pertama-tama dengan memutuskan segala hubungan dengan dunia seluruhnya, mengosongkan hati daripadanya, memutuskan cita-cita dari keluarga, harta, anak dan tanah air dan dari ilmu, kekuasaan dan kemegahan. Bahkan hatinya menjadi pada suatu keadaan, yang sama padanya adanya segala sesuatu dan tidak adanya. Kemudian ia berkhilwah sendiri pada suatu sudut (rumahnya atau masjid) serta menyingkatkan dengan mengerjakan segala fardlu dan sunat rawatib, ia duduk dengan kekosongan hati, terkumpul cita-cita. Pikirannya tidak bercerai dengan pembicaraan Alquran dan pemerhatian pada tafsir, kitab-kitab hadits dan lainnya. Bahkan ia bersungguh-sungguh, supaya tidak terguris di hatinya sesuatu, selain Allah Ta’ala. Maka senantiasalah sesudah ia duduk dalam khilwah, mengucapkan dengan lidahnya: Allah –Allah terus menerus serta kehadiran hati. Sehingga ia berkesudahan kepada keadaan, dimana ia meninggalkan penggerakkan lidah. Kemudian, ia bersabar atas yang demikian, sehingga terhapus bekasnya dari lidah. Dan berbetulan hatinya rajin kepada berzikir. Lalu ia membiasakan yang demikian, sehingga terhapuslah dari hatinya, bentuk kata-kata, hurufnya dan cara kalimatnya. Dan tinggallah arti kalimat itu semata-mata dalam hatinya, yang hadir di dalam hati. Seolah-olah yang harus dengan dia, yang tidak berpisah. Dan ia mempunyai usaha yang berkesudahan kepada batas tersebut. Dan berusaha untuk kekalnya keadaan itu, dengan menolak waswas hati. Dan tiada baginya usaha, pada menarikkan rahmat Allah Ta’ala. Akan tetapi dengan apa yang diperbuatnya, ia datang lagi hembusan angin rahmat Allah Ta’ala. Lalu ia tiada tinggal, selain menunggu rahmat yang dibuka oleh Allah. Sebagaimana dibukaNya kepada nabi-nabi dan wali-wali dengan jalan tersebut. Dan ketika itu, apabila telah benar kemauannya, bersih cita-citanya dan baik kerajinannya, maka ia tidak akan ditarik oleh hawa nafsunya. Dan tidak akan diganggu oleh bisikan hati dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia. Cemerlanglah segala kecemerlangan kebenaran dalam hatinya. Dan adalah pada permulaannya, seperti kilat yang menyambar, tiada tetap, kemudian kembal. Kadang-kadang terlambat. Dan kalau ia kembali, kadang-kadang tetap. Dan kadang-kadang ia menyambar. Kalau tetap, kadang-kadang lama tetapnya. Dan kadang-kadang tidak lama. Kadang-kadang lahir contoh-contohnya sambung-menyambung. Kadang-kadang terbatas pada satu pengetahuan saja. Dan kedudukan wali-wali Allah Ta’ala tidak terhingga padanya, sebagaimana tidak terhingga berlebih kurang kejadian dan tingkah laku mereka. Jalan ini kembali kepada penyucian semata-mata dari pihak anda, pembersihan dan meninggalkan yang tidak baik. Kemudian, bersiap dan menunggu saja. Adapun para pemerhati dan yang mempunyai pemikiran, mereka tidak mengingkari adanya jalan tersebut, kemungkinannya dan terbawanya kepada maksud ini dengan jarang terjadinya. Yang demikian itu, adalah kebanyakan hal-ikhwal para nabi dan wali. Tetapi mereka memandang sukarnya jalan tersebut, merasa lambat hasilnya, merasa jauh terkumpul syarat-syaratnya. Dan mereka mendakwakan, bahwa menyapu hubungan-hubungan duniawi sampai ke batas itu, seperti suatu hal yang dapat dimaafkan. Walaupun berhasil pada suatu hal, maka tetapnya lebih jauh daripadanya. Karena sekurang-kurangnya waswas dan gurisan hati itu, dapat mengacaukan hati. Rasulullah saw bersabda: “Hati orang mu’min itu sangat berbailk-balik, dibandingkan dengan kuali yang sedang menggelagak panasnya”. Dan Nabi saw bersabda: “Hati orang mu’min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pemurah”. Pada waktu sedang mujahadah ini, kadang-kadang keadaan badan itu rusak dengan timbulnya penyakit, bercampur akal dengan waswas dan terasa badan sakit. Apabila tidak didahului oleh latihan jiwa dan pendidikannya dengan hakekat keilmuan, niscaya tumbuh pada hati khayalan-khayalan yang merusak, yang akan tenang jiwa kepadanya pada masa yang panjang, sampai ia hilang. Dan berlalulah umur sebelum memperoleh kemenangan, pada yang demikian. Banyaklah orang shufi yang menjalani jalan ini. Kemudian ia kekal dalam suatu khayalan selama 20 tahun. Jikalau ia sudah meneguhkan pengetahuannya dari sebelumnya, niscaya terbukalah sekarang juga segi kesangsian khayalan itu. Maka menyibukkan waktu dengan jalan belajar itu lebih terpercaya dan mendekati kepada maksud. Mereka mendakwakan, bahwa yang demikian itu menyerupai dengan apa, jikalau orang meninggalkan, balajar fiqh. Dan ia mendakwakan, bahwa Nabi saw tidak belajar yang demikian. Dan ia menjadi ahli fiqh dengan wahyu dan ilham, tanpa berulang-ulang dan berhubungan dengan penulisan. Maka aku juga kadang-kadang sampai kepada yang demikian, dengan latihan dan kerajinan. Siapa yang menyangka demikian, sesungguhnya ia telah menganiaya diri sendiri dan menyia-nyiakan umurnya. Bahkan dia adalah seperti orang yang meninggalkan jalan berusaha dan bertani. Karena mengharap memperoleh suatu gudang harta. Yang demikian itu mungkin saja. Tetapi jauh sekali akan terjadi. Maka begitu pulalah ini ! Mereka mengatakan, bahwa pertama-tama tak boleh tidak menghasilkan apa yang dihasilkan oleh para ulama dan memahami apa yang dikatakan mereka. Kemudian, tiada mengapa sesudah itu menunggu apa yang tidak terbuka bagi ulama-ulama lain. Semoga terbuka sesudah itu baginya dengan mujahadah.
PENJELASAN: perbedaan diantara dua makam dengan contoh yang dapat dirasakan.
Ketahuilah, bahwa keajaiban hati itu diluar daripada pengetahuan pancaindra. Karena hati juga diluar pengetahuan pancaindra. Apa yang tiada diketahui dengan pancaindra itu, lemahlah pemahaman untuk mengetahuinya, selain dengan contoh yang dapat dirasakan. Kami akan mendekatkan yang demikian kepada pemahaman-pemahaman yang lemah itu dengan dua contoh:
Salah satu daripada keduanya: bahwa jikalau kita umpamakan suatu kolam yang tergali dalam tanah, yang mungkin dibawa air kepadanya dari atas, dengan sungai yang terbuka kepadanya. Dan mungkin bahwa digali di bawah kolam itu dan tanahnya diangkat, sehingga ia dekat dengan tempat air yang jernih. Lalu terpancarlah air dari bawah kolam itu. Dan air tersebut lebih jernih dan terus-menerus. Dan kadang-kadang melimpah-limpah dan lebih banyak. Maka hati itu seumpama kolam. Dan ilmu itu seumpama air. Dan pancaindra yang 5 itu seumpama sungai. Dan kadang-kadang mungkin dibawa ilmu-ilmu itu kepada hati, dengan perantaraan sungai-sungai pancaindra dan pengambilan ibarat dengan penyaksian-penyaksian. Sehingga hati itu penuh dengan ilmu. Dan mungkin bahwa sungai-sungai itu disumbat dengan khilwah, ‘uzlah dan memicingkan mata. Dan berpegang kepada dalamnya hati dengan penyuciannya. Dan mengangkatkan lapisan-lapisan hijab daripadanya. Sehingga terpancar-pancarlah mata air ilmu dari dalamnya. Jikalau anda bertanya: bagaimana ilmu itu terpancar dari hati itu sendiri, sedang hati itu kosong daripada ilmu ? Ketahuilah kiranya, bahwa ini termasuk sebahagian daripada keajaiban rahasia hati. Dan tidak dibolehkan menyebutkannya dalam “Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Akan tetapi kadar yang mungkin disebutkan, ialah bahwa: hakekat segala sesuatu itu diguriskan pada Luh-Mahfudh. Bahkan dalam hati para malaikat muqarrabin. Maka sebagaimana seorang insinyur menggambar bentuk rumah pada kertas putih. Kemudian dikeluarkannya kepada “ada” yang bersesuaian dengan copy gambaran itu. Maka seperti itu pulalah Pencipta langit dan bumi, menulis copy alam dari permulaannya sampai kepada penghabisannya pada Luh-Mahfudh. Kemudian, dikeluarkanNya kepada “ada”, sesuai dengan copy itu. Dan alam yang telah keluar kepada “ada” dengan bentuknya itu, membawa bentuk lain kepada pancaindra dan khayalan. Sesungguhnya orang yang menoleh ke langit dan ke bumi, kemudian memicingkan matanya, niscaya akan melihat bentuk langit dan bumi dalam khayalannya. Sehingga seolah-olah ia menoleh kepadanya. Jikalau tidak ada lagi langit dan bumi dan orang itu tinggal sendirian, niscaya ia memperoleh bentuk langit dan bumi dalam dirinya. Seakan-akan ia menyaksikan dan menoleh kepadanya. Kemudian, dari khayalannya itu membawa bekas kepada hati. Lalu berhasillah di dalam hati, hakekat segala sesuatu yang masuk ke dalam pancaindra dan khayalan. Dan yang berhasil di dalam hati itu, sesuai dengan alam yang berhasil dalam khayalan. Dan yang berhasil dalam khayalan itu, sesuai dengan alam yang ada pada dirinya, di luar dari khayalan dan hati manusia. Dan alam yang ada itu, sesuai dengan copy yang ada pada Luh-Mahfudh. Maka seolah-olah alam, mempunyai 4 tingkat pada “ada”. Yaitu: ada pada Luh-Mahfudh. Dan itu mendahului dari ada jasmaniyahnya. Dan diikuti oleh adanya yang hakiki. Dan adanya yang hakiki, diikuti oleh adanya yang khayalan. Yakni: ada bentuknya dalam khayalan. Dan adanya dalam khayalan, diikuti oleh adanya dalam pikiran. Yakni: ada bentuknya dalam hati. Sebahagian yang ada ini adalah rohaniah (kerohanian) dan sebahagian lagi jasmaniah (kejasmanian). Sebahagian dari kerohanian itu, lebih kuat dari sebahagian yang lain. Dan kehalusan ini adalah dari hikmah ketuhanan. Karena Tuhan menjadikan mata-hitam anda dengan bentuknya yang kecil, dimana tercetak bentuk alam, langit dan bumi yang demikian luas tepinya, di dalam mata-hitam itu. Kemudian berjalan dari wujudnya dalam pancaindra, oleh wujudnya kepada khayalan. Kemudian daripadanya, oleh wujudnya dalam hati. Maka sesungguhanya anda selama-lamanya tiada mengetahui, selain apa yang sampai kepada anda. Maka jikalau tidak dijadikan bagi alam seluruhnya suatu contoh pada diri anda, niscaya tidak ada bagi anda berita dari sesuatu yang menerangkan diri anda. Maka Maha Sucilah Tuhan yang mengatur segala keajaiban ini di dalam hati dan mata. Kemudian, telah buta hati dan mata daripada mengetahuinya. Sehingga jadilah hati kebanyakan makhluk itu bodoh tentang dirinya dan keajaibannya. Sekarang, marilah kita kembali kepada tujuan yang dimaksud ! maka kami mengatakan: hati itu kadang-kadang tergambar, bahwa berhasil padanya hakekat alam dan bentuk alam. Sekali dari pancaindra dan pada kali yang lain, dari Luh-Mahfudh. Sebagaimana mata itu, tergambar berhasil padanya bentuk matahari. Sekali dari memandang kepada matahari itu dan pada lain kali dari memandang ke air yang berkebetulan dengan matahari. Dan terlihatlah bentuknya di dalam air itu. Maka manakala terangkatlah tabir diantara seseorang dan Luh-Mahfudh, niscaya ia melihat pada Luh-Mahfudh itu segala sesuatu. Dan terpancarlah kepadanya ilmu daripada Luh-Mahfudh. Lalu ia tidak memerlukan lagi, memetik dari dalam pancaindra. Yang demikian itu adalah seperti terpancarnya air dari dalam bumi. Dan manakala ia menghadapkan dirinya kepada khayalan yang datang dari yang dirasakan dengan pancaindra, niscaya adalah yang demikian itu, tabir baginya daripada membaca Luh-Mahfudh. Sebagaimana air apabila berkumpul dalam sungai, niscaya yang demikian itu mencegah daripada terpancarnya pada bumi. Dan sebagaimana orang yang melihat kepada air yang menampakkan bentuk matahari, dia tidak melihat kepada matahari itu sendiri. Jadi, hati itu mempunyai dua pintu: pintu yang terbuka ke alam malakut. Yaitu: Luh-Mahfudh dan alam malaikat. Dan: pintu yang terbuka ke pancaindra yang 5, yang berpegang dengan alamul-mulki wasy-syahadah. Dan alamul-mulki wasy-syahadah juga memberitakan, semacam pemberitaan dari alam malakut. Adapun terbukanya pintu hati kepada memetik daripada pancaindra, maka tidaklah tersembunyi kepada anda. Mengenai terbukanya pintu hati yang masuk ke alam-malakut dan membaca Luh-Mahfudh, maka mempelajarinya dengan ilmu yakin, ialah dengan memperhatikan tentang keajaiban mimpi. Dan hati melihat dalam tidur, apa yang akan terjadi pada masa depan. Atau telah ada pada masa yang lalu, tanpa dipetik dari segi pancaindra. Sesungguhnya pintu itu terbuka bagi orang yang menyendiri mengingati (berzikir) akan Allah Ta’ala. Nabi saw bersabda: “Telah dahulu orang-orang yang menyendiri”. Lalu beliau ditanyakan: “Siapakah orang-orang yang menyendiri itu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Orang-orang yang bersenang-senang mengingati Allah Ta’ala (berzikir). Zikir itu menghapuskan dosa mereka. Lalu mereka datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan”. Kemudian, Nabi saw bersabda, menyifatkan mereka itu,sebagai pengkabaran daripada Allah Ta’ala: “Kemudian aku hadapkan dengan mukaku kepada mereka. Adakah engkau melihat, siapakah yang Aku berhadapan dengan wajahKu ? seseorang mengetahui, barang apa yang Aku maksudkan memberikannya”. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman: “Yang pertama-tama Aku berikan, ialah bahwa Aku lemparkan nur ke dalam hati mereka. Lalu mereka mengabarkan tentang Aku, sebagaimana Aku mengabarkan tentang mereka”. Tempat masuknya kabar-kabar itu, ialah: pintu batin. Jadi perbedaan antara wali-wali dan nabi-nabi, antara ilmu para ulama dan hukama’, itulah yang tersebut tadi. Yaitu: ilmu mereka datang dari dalam hati, dari pintu yang terbuka ke alam malakut. Dan ilmu hikmah itu datangnya dari pintu pancaindra, yang terbuka ke alamul-mulki. Dan keajaiban alam hati dan pulang-perginya diantara alam syahadah (alam yang dapat disaksikan) dan alam gaib, tidak mungkin dibahas secara mendalam pada “Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Maka itulah contoh yang mengajarkan anda, perbedaan diantara tempat masuk dua alam itu.
Contoh kedua: diperkenalkan kepada anda, perbedaan diantara dua amal. Yaitu: amal para ulama dan amal wali-wali. Para ulama itu beramal dalam mengusahakan ilmu itu sendiri dan menarikkannya kepada hati. Dan wali-wali sufi itu beramal pada mencemerlangkan hati, mensucikan, membersihkan dan mengkilatkannya saja. Diceritakan, bahwa ahli Cina dan ahli Rum, bangga-membanggakan diri dihadapan sebahagian raja-raja, dengan bagusnya perusahaan mengukir dan membuat gambar. Lalu raja menetapkan pendapatnya, untuk menyerahkan kepada mereka, suatu ruang. Supaya ahli Cina mengukir pada suatu sudut daripadanya dan ahli Rum pada sudut yang lain. Dan diantara keduanya dibentangkan tabir, yang mencegah masing-masing pihak untuk melihat kepada pihak yang lain. Lalu diperbuatlah yang demikian. Maka ahli Rum mengumpulkan cat-cat yang ganjil, yang tiada terhingga jumlahnya. Sedang orang Cina masuk ke tempat itu, tanpa membawa cat. Dan mereka lalu mencemerlangkan sudutnya dan melicinkannya. Tatkala ahli Rum itu telah selesai, lalu ahli Cina itu mendakwakan, bahwa mereka telah selesai juga. Maka raja itu heran dari perkataan ahli Cina itu, bagaimana mereka sudah selesai mengukir, tanpa ada cat. Lalu orang bertanya kepada ahli Cina itu: “Bagaimana anda sudah selesai, tanpa cat ?”. Lalu ahli Cina itu menjawab: “Apa tuan-tuan ini. Angkatlah tabir !”. Lalu mereka mengangkatkannya. Tiba-tiba di sudut mereka, bersinar-cemerlanglah oleh keajaiban perbuatan orang-orang Rum, serta bertambahnya kecemerlangan dan kekilatan. Karena sudut mereka telah menjadi seperti cermin yang berkilat, karena banyaknya pelicinan. Lalu bertambahlah baik sudut orang Cina itu dengan bertambahnya pelicinan. Maka seperti itulah kesungguhan wali-wali mensucikan hati, mencemerlangkan, membersihkan dan menjernihkannya. Sehingga bersinar-cemerlanglah jelasnya kebenaran dengan sangat bercahaya, seperti perbuatan orang Cina tersebut diatas. Dan kesungguhan para hukama dan ulama dengan berusaha dan mengukirkan ilmu dan menghasilkan pengukirannya dalam hati, adalah seperti perbuatan orang Rum itu. Bagaimanapun urusan itu adanya, maka hati orang mu’min tidak mati. Dan ilmunya ketika mati, tidak terhapus. Dan kejernihannya tidak akan keruh. Kepada inilah diisyaratkan oleh Al-Hasan ra dengan katanya: “Tanah tidak akan memakan tempat iman”. Akan tetapi ia adalah jalan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun apa yang dihasilkannya dari ilmu itu dan apa yang dihasilkan, dari kebersihan dan kesediaan, untuk menerima ilmu itu sendiri, maka tidak boleh tidak daripadanya. Tiada kebahagiaan bagi seseorang, selain dengan ilmu dan ma’rifah. Dan sebahagian kebahagiaan itu lebih mulia dari sebahagian yang lain. Sebagaimana orang tidak kaya, selain dengan harta. Maka orang yang mempunyai dirham itu, orang kaya. Orang yang mempunyai gedung penuh dengan barang-barang itu orang kaya. Dan lebih-berkurangnya tingkat kebahagiaan, adalah menurut lebih-berkurangnya ma’rifah dan iman. Sebagaimana lebih-berkurangnya tingkat orang-orang kaya, adalah menurut sedikit dan banyaknya harta. Ma’rifah itu nur. Orang-orang mu’min tidak berlari menjumpai Allah Ta’ala, selain dengan nur mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Cahaya mereka berlari dihadapan dan dikanan mereka”. S 57 Al Hadiid ayat 12. Diriwayatkan pada hadits: “Bahwa sebahagian mereka diberikan nur, seperti bukit. Dan sebahagian mereka lebih kecil dari bukit. Sehingga yang penghabisan dari mereka, adalah seorang laki-laki yang diberikan nur atas ibu jari kedua tapak kakinya. Lalu nur itu sekali bercahaya dan sekali padam. Maka apabila bercahaya, niscaya ia mendahulukan kedua tapak kakinya, lalu ia berjalan. Dan apabila padam, niscaya ia berdiri. Dan lalunya mereka diatas titian shiratul-mustaqim, adalah menurut kadar nur mereka. Diantara mereka, ada yang lalu sekejap mata. Diantara mereka, ada yang lalu seperti kilat. Diantara mereka, ada yang lalu seperti awan. Diantara mereka, ada yang lalu seperti jatuhnya bintang. Dan diantara mereka, ada yang lalu seperti kuda, apabila bersangatan larinya di lapangan luas. Dan orang yang diberikan nur di atas ibu-jari tapak-kakinya, merangkak-rangkak diatas muka, kedua tangan dan kedua kakinya. Ia menarik tangannya dan menggantungkan tangan yang lain. Semua segi badannya kena api neraka. Maka senantiasalah ia seperti yang demikian, sampai ia terlepas”. Dengan ini, jelaslah lebih-berkurangnya tingkat manusia tentang iman. Dan kalau ditimbang iman Abubakar ra dengan iman isi alam semesta, selain para nabi dan para rasul, niscaya lebih kuatlah iman Abubakar ra. Ini juga menyerupai ucapan orang yang mengatakan: “Jikalau ditimbang sinar matahari dengan sinar lampu seluruhnya, niscaya lebih kuarlah sinar matahari”. Maka iman masing-masing orang awam, sinarnya adalah seperti sinar lampu. Sebahagian mereka, sinarnya seperti sinar lilin. Dan iman orang-orang shiddiqin, sinarnya itu seperti sinar bulan dan bintang-bintang. Dan iman nabi-nabi itu, seperti matahari. Dan sebagaimana pada sinar matahari, kelihatan bentuk ufuk, serta luas daerah-daerahnya dan tidak kelihatan pada sinar lampu, selain suatu sudut yang sempit dari rumah, maka seperti demikianlah lebih-berkurangnya kelapangan dada dengan ilmu dan terbukanya keluasan malakut bagi hati orang-orang arifin. Karena itulah tersebut pada hadits: “Sesungguhnya dikatakan pada hari kiamat: “Keluarkanlah dari neraka, orang-orang yang ada iman dalam hatinya seberat biji sawi, setengah berat itu, seperempat berat itu dan seberat biji syair dan biji jagung”. Semua itu pemberitahuan tentang lebih-kurangnya tingkat iman. Dan iman dalam kadar-kadar tersebut, tidak mencegah masuk neraka. Dan dalam pengertiannya, dapat dipahami, bahwa orang yang imannya melebihi berat tadi, tidak masuk neraka. Karena kalau masuk, niscaya disuruh mengeluarkannya pertama-tama. Dan orang yang dalam hatinya iman seberat biji sawi, tidak mustahak kekal dalam neraka, walaupun ia masuk ke dalamnya. Demikian pula sabda Nabi saw: “Tiada suatupun yang lebih baik dari seribu yang seumpamanya, selain manusia mu’min”. Ini menunjukkan kepada keutamaan hati orang yang mengenal Allah Ta’ala dengan penuh keyakinan. Maka hatinya itu lebih baik dari seribu hati orang awam. Allah Ta’ala berfirman: “Kamu adalah lebih tinggi, kalau kamu benar-benar orang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 139. Ayat ini menunjukkan kelebihan orang mu’min dari orang muslim. Dan yang dimaksudkan dengan orang mu’min itu, ialah orang mu’min yang mengenal Allah, bukan orang yang taqlid (ikut-ikutan). Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11. Maka yang dimaksudkan disini dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang benar, tanpa ilmu. Dan dibedakan mereka, dari orang-orang yang diberi ilmu. Dan yang demikian itu menunjukkan bahwa nama “mu’min” tertuju kepada “muqallid” (orang yang taqlid), walaupun pembenarannya, tanpa bashirah (melihat dengan mata hati) dan kasyaf (terbuka hijab). Ibnu Abbas ra menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11, maka Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Allah Ta’ala mengangkat orang yang berilmu diatas orang mu’min, 700 derajat tingginya. Dan diantara tiap-tiap dua derajat itu, seperti antara langit dan bumi. Nabi saw bersabda: “Kebanyakan isi sorga itu orang-orang bodoh. Dan sorga tinggi bagi orang-orang yang mempunyai akal”. Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang yang banyak ibadahnya, adalah seperti kelebihanku atas orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”. Pada riwayat yang lain, berbunyi: “Seperti kelebihan bulan pada malam purnama atas bintang-bintang yang lain”. Dengan bukti-bukti ini, jelaslah bagi anda, lebih-kurangnya derajat isi sorga, menurut lebih-kurangnya hati dan ma’rifah mereka. Dan karena itulah, hari kiamat adalah hari tipu-menipu. Karena orang yang tidak memperoleh rahmat Allah adalah mengalami tipuan dan kerugian besar. Dan orang yang tidak memperoleh itu melihat diatas tingkatnya tingkat-tingkat yang tinggi. Maka adalah pandangannya kepada tingkat-tingkat itu, seperti pandangan orang kaya yang mempunyai 10 dirham, kepada orang kaya yang mempunyai tanah dari Timur ke Barat. Masing-masing dari kedua orang itu, adalah orang kaya. Tetapi alangkah besar perbedaan diantara keduanya ! alangkah besarnya kerugian orang yang merugi keuntungannya dari yang demikian itu ! akhiratlah yang mempunyai derajat tinggi dan keutamaan besar !
PENJELASAN: saksi-saksi syara’ atas sahnya jalan ahli tasawwuf dalam mengusahakan ma’rifah, tidak dari belajar dan jalan yang biasa ditempuh.
Ketahuilah, bahwa barangsiapa tersingkap (inkisyaf) sesuatu baginya, walaupun hal yang sedikit, dengan jalan ilham dan jatuh ke dalam hati, dimana ia tidak mengetahuinya, maka ia telah menjadi orang ‘arif (orang yang berma’rifah) dengan sahnya jalan. Dan orang yang tiada mengetahui dirinya sekali-kali, maka seyogyalah ia beriman dengan yang demikian. Sesungguhnya derajat ma’rifah padanya itu mulia sekali. Untuk yang demikian, dibuktikan oleh saksi-saksi syara’, percobaan-percobaan dan cerita-cerita. Adapun saksi-saksi syara’, yaitu firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabuut ayat 69. Maka tiap-tiap hikmah yang lahir dari hati, dengan kerajinan beribadah, tanpa belajar itu, adalah dengan jalan kasyaf dan ilham. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya dipusakakan oleh Allah kepadanya, ilmu yang belum diketahuinya. Dan dianugerahi taufiq oleh Allah kepadanya pada yang diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh sorga. Dan barangsiapa tiada mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya ia binasa mengenai yang diketahuinya. Dan ia tiada memperoleh taufiq pada yang diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh neraka”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang taqwa (memenuhi kewajiban) kepada Allah, Dia mengadakan untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan dan sangka waham). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Allah mengajarkannya ilmu, tanpa belajar dan menganugerahinya kecerdikan, tanpa percobaan. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman   ! jika kamu takut kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kamu pembedaan (antara yang benar dan yang salah)”. S 8 Al Anfaal ayat 29. Ada yang mengatakan, ialah: nur yang membedakan antara yang benar dan yang batil dan yang mengeluarkannya dari hal-hal yang diragukan. Karena itulah, Nabi saw membanyakkan dalam doanya meminta: nur. Doanya, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku nur, tambahilah aku nur, jadikanlah dalam hatiku nur, dalam kuburku nur, pada pendengaranku nur –sampai Nabi saw mengatakan: pada rambutku, pada kulitku, pada dagingku, darahku dan tulang-belulangku”. Orang bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima Islam, karena itu dia mendapat cahaya dari Tuhannya ?”. S 39 Az Zumar ayat 22. “Apakah pembukaan itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: perluasan. Sesungguhnya nur itu, apabila telah dicurahkan ke dalam hati, niscaya meluaslah dada dan terbuka”. Nabi saw bersabda untuk Ibnu Abbas: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penta’wilan (penafsiran)”. Ali ra berkata: “Tak ada pada kami sesuatu yang dirahasiakan oleh Nabi saw kepada kami, selain daripada didatangkan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya pemahaman tentang kitabNya. Dan yang demikian itu tiada dengan belajar”. Ada orang yang mengatakan mengenai penafsiran firman Allah Ta’ala: “Allah memberikan kebijaksanaan (hikmah) kepada siapa yang dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat 269. Bahwa: yang dimaksud, ialah pemahaman Kitab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79. Allah Ta’ala mengkhususkan yang tersingkap itu, dengan nama: pengertian (pemahaman). Abu Darda’ berkata: “Orang mu’min ialah orang yang memandang dengan nur Allah, dibalik tutupan yang halus. Demi Allah, bahwa itu sesungguhnya kebenaran, yang dicurahkan oleh Allah dalam hati mereka dan dilakukannya diatas lidah mereka”. Sebahagian orang-orang terdahulu (golongan salaf) berkata: “Sangkaan orang mu’min itu pemberitaan yang gaib”. Nabi saw bersabda: “Takutilah akan firasat orang mu’min. Maka sesungguhnya ia melihat dengan nur Allah Ta’ala”. Kepada itulah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tentang hal-hal itu menjadi keterangan bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda”. S 15 Al Hijr ayat 75. Firman Allah  Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan keterangan-keterangan kepada kaum yang yakin”. S 2 Al Baqarah ayat 118. Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ilmu itu dua macam. Ilmu batin ialah dalam hati. Itulah ilmu yang bermanfaat”. Ditanyakan kepada sebahagian ulama, tentang ilmu batin: “Apakah ilmu batin itu ?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu: salah satu dari rahasia (sirr) Allah Ta’ala, yang dicurahkanNya dalam hati kekasih-kekasihNya, yang tidak diperlihatkanNya kepada malaikat dan kepada manusia”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddats), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka”. Ibnu Abbas ra membaca ayat: “Dan tiadalah Kami mengutuskan dari sebelum engkau, seorang rasul, Nabi dan muhaddats. Yakni: orang-orang shiddiqin. Muhaddats itu, ialah: yang diilhami. Dan yang diilhami itu, ialah: orang yang tersingkap (memperoleh kasyaf) dalam batin hatinya dari pihak dalam. Tidak dari pihak yang dapat dirasakan dengan pancaindra yang diluar. Alquran menegaskan, bahwa taqwa itu kunci hidayah dan kasyaf. Dan itu adalah ilmu, tanpa belajar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi, adalah menjadi bukti kebenaran bagi kaum yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 10 Yunus ayat 6. Allah mengkhususkan bukti itu kepada mereka tadi. Allah Ta’ala berfirman: “Quran inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 138. Abu Yazid dan lainnya mengatakan: “Bukanlah orang yang berilmu (orang alim) itu, orang yang menghafal dari kitab. Apabila ia lupa yang dihafalkannya, niscaya ia menjadi orang bodoh. Sesungguhnya orang yang berilmu, ialah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya, pada sembarang waktu yang dikehendakinya, tanpa hafalan dan pelajaran”. Inilah ilmu rabbany (ilmu yang langsung diterima dari Tuhan). Dan kepada inilah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan telah Kami ajarkan pengetahuan daripada kami kepadanya”. S 18 Al Kahfi ayat 65, sedang semua ilmu itu adalah daripadaNya. Akan tetapi sebahagian dari ilmu itu adalah dengan perantaraan pengajaran makhlukNya. Maka ilmu yang demikian, tidak dinamai: Ilmu Ladunni. Tetapi ilmu ladunni, ialah yang terbuka dalam rahasia hati, tanpa sebab yang biasa dari luar. Inilah saksi-saksi naqli, (yang diambil dari Allah). Jikalau semua yang datang dari ayat, hadits dan atsar dikumpulkan, niscaya tidak terhingga adanya. Adapun penyaksian yang demikian itu dengan pengalaman, maka yang demikian itu, juga tidak terhingga. Yang demikian itu telah tampak pada para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata kepada ‘Aisyah ketika akan meninggal dunia: “Bahwa keduanya itu dua saudara laki-laki engkau dan dua saudara perempuan engkau”. Dan isteri Abubakar ra ketika itu sedang mengandung. Kemudian isterinya itu melahirkan anak perempuan. Jadi Abubakar ra telah mengetahui sebelum lahir, bahwa anaknya itu perempuan. Saidina Umar ra ketika sedang membaca khutbah, lalu mengatakan: “Hai Sariah ! bukit-bukit !!”. Karena tersingkap kepadanya (dalam kasyaf), bahwa musuh mendekati Sariah. Lalu ia memperingatkannya, karena ia mengetahui yang demikian. Kemudian sampainya suaranya itu kepada Sariah, termasuk dalam jumlah kiramat yang besar. Dari Anas bin Malik ra, yang berkata: “Aku masuk ke tempat Usman ra. Dan di jalan tadi aku bertemu dengan seorang wanita. Lalu aku memandang kepadanya dengan ujung mata dan aku memperhatikan kecantikannya”. Lalu Usman ra berkata, tatkala masuk itu: “Masuk ke tempatku, salah seorang kamu dan bekas zina kelihatan pada kedua matanya. Tidakkah engkau ketahui, bahwa zina dua mata itu, ialah: memandang ? taubatlah dengan segera atau aku hukum engkau !”. Lalu aku bertanya: “Adakah wahyu sesudah nabi ?”. Usman menjawab: “Tidak ! tetapi, mata hati, dalil dan firasat yang benar !”. Dari Abi Sa’id Al-Charraz, yang berkata: “Aku masuk Masjidil-haram, lalu aku melihat seorang miskin dengan dua potong pakaian pada badannya. Lalu aku berkata kepada diriku: “Orang ini dan orang-orang yang seperti ini, adalah orang-orang yang bergantung hidup pada orang lain”. Lalu orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah mengetahui apa yang pada diri kamu. Waspadalah !”. Maka aku bermohon ampun kepada Allah dalam hatiku. Lalu orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah yang menerima taubat daripada hambaNya”. Kemudian orang itu menghilang daripada aku dan aku tidak melihatnya lagi”. Zakaria bin Daud berkata: “Abul-Abbas bin Masruq masuk ke tempat Abil-Fadli Al-Hasyimi. Dan dia itu sedang sakit. Dan mempunyai keluarga. Dan tiada diketahui sumber kehidupan Abil-Fadli Al-Hasyimi itu”. Abul-Abbas menerangkan: “Tatkala aku bangun berdiri, lalu aku berkata pada diriku: “Dari manakah orang ini makan ?”. Lalu Abil-Fadli berteriak kepadaku: “Hai Abul-Abbas ! tolaklah angan-angan yang keji itu ! sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai sifat lemah-lembut yang tersembunyi”. Ahmad An-Naqib berkata: “Aku masuk ke tempat Asy-Syibli. Lalu ia berkata: “Difitnah orang, hai Ahmad !”. Maka aku bertanya: “Apa kabar ?”. Ia menjawab: “Sewaktu aku sedang duduk, lalu tergurislah di hatiku, bahwa engkau kikir”. Lalu aku menjawab: “Aku tidak kikir. Lalu kembali terguris dalam hatiku. Dan Asy-Syibli berkata: “Tetapi engkau kikir”. Maka aku menjawab: “Apa saja yang terbuka kepadaku hari ini disebabkan sesuatu, niscaya aku serahkan kepada orang miskin yang pertama aku jumpai”. Lalu ia berkata: “Belum habis lagi yang terguris itu, lalu datanglah kepadaku Shahibul-Mu’nis, seorang pelayan, dengan membawa uang 50 dinar. Lalu Shahibul-Mu’nis berkata: “Pakailah uang ini pada kepentinganmu !”. Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya: “Aku bangun, lalu aku ambil uang itu dan aku keluar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang miskin buta, dihadapan tukang cukur, yang sedang mencukur rambutnya. Lalu aku datang kepadanya dan menyerahkan dinar itu kepadanya. Lalu orang itu berkata: “Serahkanlah uang itu kepada tukang cukur !”. Lalu aku menerangkan, bahwa jumlahnya sekian”. Orang buta itu berkata: “Bukankah kami telah mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu kikir ?”. Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya: “Lalu aku serahkan uang itu kepada tukang cukur”. Tukang cukur itu lalu berkata: “Kami telah berjanji, tatkala orang miskin ini duduk dihadapan kami, bahwa kami tidak akan mengambil ongkos”. Ahmad An-Naqib berkata seterusnya: “Lalu aku lemparkan uang itu ke dalam sungai Tigris, seraya aku berkata: “Tiada dimuliakan engkau oleh seseorang, melainkan orang itu dihinakan oleh Allah Ta’ala !”. Hamzah bin Abdullah Al-‘Alwi berkata: “Aku masuk ke tempat Abil-Khair At-Tainani dan aku bertekad pada diriku, bahwa aku akan memberi salam kepadanya. Dan tidak akan memakan makanan di rumahnya. Maka tatkala aku keluar dari rumahnya, tiba-tiba ia mengikuti aku, dengan membawa sebuah baki, yang didalamnya ada makanan, seraya berkata: “Hai orang muda ! makanlah ! telah keluarlah saat dari tekadmu”. Abul-Khair At-Tainani ini terkenal benar dengan kiramatnya. Ibrahim Ar-Ruqy berkata: “Aku menuju ke tempat Abul-Khair At-Tainani, untuk memberi salam kepadanya. Maka masuklah waktu shalat Magrib. Maka hampir selesai ia membaca Surat Al-Fatihah, lalu aku berkata dalam hatiku: “Telah hilang kainku yang tertinggal di luar”. Sesudah memberi salam, lalu aku keluar ke tempat bersuci. Lalu menuju kepadaku seekor binatang buas. Maka aku kembali kepada Abul-Khair, seraya menerangkan, bahwa seekor binatang buas menuju kepadaku”. Abul-Khair lalu keluar dan berteriak, seraya berkata: “Bukankah sudah aku mengatakan kepadamu: “Jangan engkau ganggu tamu-tamuku ?”. Lalu singa itu menyingkir dan aku bersuci. Sewaktu aku telah kembali, lalu Abdul-Khair berkata kepadaku: “Kamu sibuk membetulkan yang zahiriah, lalu engkau takut kepada singa. Dan kami sibuk membetulkan yang batiniah, lalu singa tu takut kepada kami”. Apa yang diceritakan, mengenai firasat para syaikh dan perkabaran mereka tentang itikad dan isi hati manusia, adalah tidak dapat dihinggakan jumlahnya. Bahkan apa yang diceritakan daripada mereka, tentang melihat Nabi Khidir as dan bertanya kepadanya, adalah mendengar suara dengan tiada kelihatan yang empunya suara itu. Dari bermacam-macam bentuk kiramat adalah diluar hinggaan. Dan cerita tentang kiramat ini, tiada bermanfaat bagi orang yang mengingkarinya, sebelum ia menyaksikan sendiri yang demikian. Dan orang yang mengingkari pokok, niscaya mengingkari penguraiannya. Dalil tegas yang tidak sanggup seorangpun membantahnya, adalah dua perkara:
Pertama: keajaiban mimpi yang benar. Maka sesungguhnya tersingkaplah yang gaib dengan mimpi tersebut. Apabila boleh yang demikian dalam tidur, maka tidak mustahil pula waktu jaga. Tidur itu tidak berbeda dengan jaga, selain dari tenangnya pancaindra, tidak bekerja dengan hal-hal yang dipancaindrai. Berapa banyak orang yang jaga, tenggelam dalam lautan khayal, tidak mendengar dan melihat, karena sibuknya dengan diri sendiri.
Kedua: perkabaran dari Rasulullah saw tentang hal gaib dan hal-hal yang terjadi pada masa yang akan datang, sebagaimana yang terkandung dalam Alquran. Dan apabila boleh yang demikian pada Nabi saw maka boleh pula pada selain Nabi saw. Karena Nabi adalah ibarat orang yang tersingkap (kasyaf) baginya hakekat-hakekat segala hal. Dan ia bekerja untuk memperbaiki makhluk. Maka tidak mustahil dalam wujud (alam) ini, ada orang yang tersingkap baginya hakekat-hakekat itu dan ia tidak bekerja untuk memperbaiki makhluk. Orang ini tidak dinamai nabi, tetapi dinamai: wali. Maka orang yang beriman kepada nabi-nabi dan membenarkan mimpi yang benar, niscaya –tidak mustahil- ia harus mengakui, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Sebuah pintu keluar, yaitu: pancaindra dan sebuah pintu lagi ke alam malakut dari dalam hati. Yaitu: ilham, inspirasi dan wahyu. Maka apabila ia mengakui keduanya itu, niscaya ia tidak mungkin menghinggakan ilmu pengetahuan pada belajar dan secara langsung sebab-sebab yang dibiasakan. Akan tetapi haruslah mujahadah (bersungguh-sungguh) menjadi jalan kepadanya. Maka inilah apa yang memberitahukan tentang hakekat yang kami sebutkan dahulu, mengenai keajaiban pulang-perginya hati, diantara alamusy-syahadah dan alamul-malakut. Adapun sebab terbukanya sesuatu hal dalam tidur, dengan contoh yang memerlukan kepada ta’bir (ta’bir mimpi) dan begitupula para malaikat merupakan diri bagi nabi-nabi dan wali-wali dengan bentuk yang bermacam-macam, maka itu juga termasuk diantara rahasia keajaiban hati. Dan ini tidak layak selain dengan ilmu-mukasyafah. Maka kami ringkas saja menurut yang telah kami sebutkan itu. Sesungguhnya itu mencukupilah untuk menggerakkan mujahadah dan mencari kasyaf daripadanya. Setengah ulama kasyaf berkata: “Tampak kepadaku malaikat, lalu meminta kepadaku, supaya aku imla’kan (ditekan) kepadanya, sesuatu dari ingatanku yang tersembunyi, dari musyahadahku tentang tauhid. Dan malaikat itu berkata: “Kami tidak menuliskan bagimu sesuatu amalan (pekerjaan yang kamu kerjakan). Dan kami ingin menaikkan bagimu amalan, dimana dengan amalan itu kami mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala”. Lalu aku bertanya: “Tidakkah kamu berdua menuliskan yang fardlu-fardlu ?”. Kedua malaikat itu menjawab: “Ya !”. Maka aku menyambung: “Mencukupilah yang demikian itu bagi kedua engkau”. Ini memberi isyarat, bahwa malaikat-malaikat yang menuliskan amalan manusia (malaikat kiramil-katibin), tidak mengetahui rahasia hati. Hanya mengetahui amalan zahiriah saja. Setengah ahl ma’rifat berkata: “Aku bertanya kepada sebahagian wali mengenai persoalan musyahadatul-yaqin (yang disaksikan dengan yakin), lalu ia menoleh ke kiri, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menoleh ke kanan, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menekur ke dadanya, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat engkau oleh Allah Ta’ala ?”. Kemudian, ia menjawab dengan jawaban yang sangat ganjil yang pernah aku dengar. Lalu aku tanyakan tentang tolehannya itu. Maka itu menjawab: “Tak ada padaku jawaban yang tersedia mengenai pertanyaan itu. Maka aku bertanya kepada yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku bertanya kepada yang empunya kanan. Dia itu lebih tahu dari yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku melihat kepada hatiku dan aku bertanya kepadanya. Maka ia mengatakan kepadaku, apa yang aku jawabkan tadi kepadamu. Jadi, hatilah yang lebih tahu dari dua yang tersebut itu. Dan seakan-akan ini adalah pengertian sabda Nabi saw: “Sesungguhnya pada umatku ada orang-orang muhaddats (yang diilhami). Dan Umar ra adalah salah seorang dari mereka”. Pada atsar (ucapan Nabi saw atau sahabat), tersebut, bahwa Allah Ta’ala berfirman, yang maksudnya: “Barangmana hambaKu yang Aku melihat kepada hatinya, lalu kelihatan kepadaKu yang banyak padanya berpegang dengan zikirKu, niscaya Aku pimpin kebijaksanaannya, Aku adalah yang duduk, yang bercakap-cakap dan yang berjinak-jinakan dengan dia”. Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Adalah hati itu laksana kubah yang diperbuat. Dikelilingnya pintu-pintu yang terkunci. Maka pintu manapun yang dibuka baginya, niscaya ia beramal padanya: “Maka tampaklah terbukanya salah satu dari pintu hati ke pihak alamul-malakut dan al-malail-a’la. Dan pintu itu terbuka dengan mujahadah, wara’ dan meninggalkan nafsu syahwat duniawi”. Karena itulah, Umar ra menulis surat kepada panglima-panglima tentara: “Jagalah apa yang kamu dengar dari orang-orang yang taat. Sesungguhnya menampak bagi mereka hal-hal yang benar !”. Sebahagian ulama berkata: “Tangan (kekuasaan) Allah diatas mulut para ahli-hikmat (hukama). Mereka taida menuturkan sesuatu, selain dengan kebenaran yang disediakan oleh Allah untuk mereka”. Hukama yang lain berkata: “Jikalau aku mau, niscaya aku mengatakan, bahwa Allah Ta’ala memperlihatkan kepada orang-orang khusyu’ sebahagian rahasiaNya”.
PENJELASAN: penguasaan setan atas hati, dengan waswas, pengertian waswas dan sebab kerasnya waswas itu.
Ketahuilah, bahwa hati sebagaimana telah kami sebutkan, adalah seperti kubah, yang diperbuat. Dan mempunyai pintu-pintu, yang ditegakkan kepada hati itu, hal-ihwal, dari masing-masing pintu. Dan juga hati itu seperti sasaran, yang ditegakkan kepadanya, panah dari segala pihak. Atau seperti cermin yang ditegakkan, singgah di cermin itu segala macam bentuk yang beraneka ragam. Lalu menampak padanya bentuk barang satu persatu. Dan tidak terlepas cermin itu dari bentuk-bentuk tersebut. Atau seperti kolam yang tercurah ke dalamnya air yang bermacam-macam dari sungai-sungai yang terbuka alirannya ke kolam itu. Sesungguhnya, tempat-tempat masuk bekas-bekas yang silih berganti ke dalam hati itu, pada segala hal, adakalanya: dari zahiriah. Maka itu: pancaindra yang lima. Adakalanya dari batiniah. Maka itu: khayal, nafsu-syahwat, marah dan akhlak yang tersusun dari instink manusia. Maka sesungguhnya manusia itu apabila mengetahui sesuatu dengan pancaindranya, lalu berhasillah bekas daripadanya dalam hati. Begitupula, apabila bergelora syahwatnya –umpamanya, disebabkan banyak makan dan kekuatan pada instinknya, niscaya berhasillah bekas daripadanya di dalam hati. Dan walaupun ia tercegah dari kepancaindraan. Maka khayalan-khayalan yang berhasil dalam jiwa itu tetap. Dan berpindahlah khayalan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dan menurut kepindahan khayal itu, berpindahlah hati dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Dan yang dimaksud, ialah bahwa hati itu selalu dalam perobahan dan pembekasan dari sebab-sebab tersebut. Bekas yang terdapat dalam hati yang paling khusus, ialah: gurisan-gurisan di dalam hati. Yang dimaksud dengan gurisan-gurisan itu, ialah: pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam hati dan ingatan-ingatan. Ya’ni: pengetahuan hati akan ilmu-ilmu. Adakalanya dengan jalan kontinu dan adakalanya dengan jalan ingatan. Maka itu dinamai: gurisan-gurisan, dimana ia terguris sesudah hati itu melupakannya. Dan gurisan-gurisan itu adalah penggerak-penggerak kemauan. Sesungguhnya niat, cita-cita dan kemauan itu, berada tentunya sesudah terguris yang diniatkan dengan hati. Maka permulaan segala perbuatan, ialah: gurisan-gurisan. Kemudian gurisan itu, menggerakkan keinginan. Keinginan itu menggerakkan cita-cita. Cita-cita itu menggerakkan niat. Dan niat itu menggerakkan anggota badan. Dan gurisan-gurisan yang menggerakkan keinginan itu, terbagi kepada: yang mengajak kepada kejahatan. Ya’ni: yang akibatnya membawa kepada melarat. Dan yang mengajak kepada kebaikan. Ya’ni: kepada yang bermanfaat di negeri akhirat. Keduanya itu adalah dua gurisan yang berlawanan. Keduanya memerlukan nama yang berlainan. Maka gurisan yang terpuji, dinamai: ilham. Dan gurisan yang tercela, ya’ni: yang mengajak kepada kejahatan, dinamai: waswas. Kemudian, anda mengetahui, bahwa gurisan-gurisan di dalam hati itu, adalah: baharu (hadits). Kemudian tiap-tiap yang baharu, haruslah mempunyai: yang membaharukan (muhdits). Dan tatkala yang baharu itu bermacam-macam, maka yang demikian itu menunjukkan atas bermacam-macam sebabnya. Ini diketahui dari sunnah Allah Ta’ala, pada penyusunan musabbab-musabbab diatas sebab-sebabnya. Manakala bercahayalah dinding-dinding tembok rumah dengan cahaya api dan gelaplah atapnya dan menghitam dengan asap, maka tahulah anda, bahwa sebab kehitaman itu bukanlah sebab dari kesinaran. Begitupula, kesinaran hati dan kegelapannya, mempunyai dua sebab yang berbeda. Maka sebab gurisan yang mengajak kepada kebajikan, dinamai: malaikat. Dan sebab gurisan yang mengajak kepada kejahatan, dinamai: setan. Dan kehalusan yang menyediakan hati untuk menerima ilham kebajikan, dinamai: taufiq. Dan yang menyediakan untuk menerima waswas setan, dinamai: kesesatan dan kehinaan. Maka pengertian-pengertian yang berbeda itu, memerlukan kepada nama-nama yang berbeda. Dan malaikat adalah makhluk yang dijadikan oleh Allah Ta’ala. Urusannya ialah melimpahkan kebajikan, memfaedahkan ilmu, membuka kebenaran, berjanji dengan kebajikan dan menyuruh dengan yang baik. Allah Ta’ala menjadikannya yang demikian dan menentukannya untuk yang demikian. Setan adalah makhluk yang urusannya berlawanan dengan yang demikian. Yaitu: janji dengan kejahatan, menyuruh perbuatan keji dan menakut-nakuti dengan kemiskinan, ketika orang bercita-cita kepada kebajikan. Maka waswas adalah bertentangan dengan ilham. Setan bertentangan dengan malaikat. Dan taufiq bertentangan dengan kehinaan. Dan kepada inilah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 49. Sesungguhnya semua yang ada (maujud) itu bertentangan, bercampur-aduk, selain Allah Ta’ala. Dialah yang tunggal, tiada bagiNya yang bertentangan. Tetapi Ia Yang Maha Esa, Yang Benar, yang menjadikan segala yang berpasang-pasangan itu. Hati itu tarik-menarik diantara setan dan malaikat. Nabi saw bersabda: “Pada hati ada dua langkah. Yang satu dari malaikat: perjanjian dengan kebajikan dan pembenaran dengan yang benar. Barangsiapa memperoleh yang demikian, maka hendaklah ia tahu, bahwa itu adalah dari Allah swt. Dan hendaklah ia memuji Allah ! dan yang satu langkah lagi dari musuh, perjanjian dengan kejahatan, pembohongan dengan yang benar dan larangan dari kebajikan. Barangsiapa memperoleh yang demikian, maka hendaklah ia berlindung dengan Allah dari setan yang terkutuk !”. Kemudian Nabi saw membaca firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Setan menjanjikan kemiskinan kepada kamu dan menyuruh mengerjakan pekerjaan keji”. S 2 Al Baqarah ayat 268. Al-Hasan berkata: “Kedua langkah tadi adalah dua cita-cita yang berjalan dalam hati. Suatu cita-cita daripada Allah Ta’ala dan suatu cita-cita lagi daripada musuh. Allah merahmati hambaNya yang tegak pada cita-citaNya. Maka apa yang daripada Allah Ta’ala, hendaklah diteruskannya. Dan apa yang daripada musuhnya, hendaklah dilawannya dengan mujahadah. Dan hati itu tarik-menarik diantara dua kekuasaan ini”. Rasulullah saw bersabda: “Hati orang mu’min diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”. Allah Ta’ala Maha Suci daripada mempunyai anak jari yang tersusun dari daging, tulang, darah dan urat yang terbagi dengan tulang-tulang anak jari. Tetapi roh anak jari itu lekas berbulak-balik dan sanggup menggerakkan dan merobahkan. Anda tidak bermaksud anak jari anda itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan, ialah perbuatan anak jari itu berbalik-balik dan berbanyak gerak, sebagaimana anda melaksanakan segala perbuatan dengan anak jari anda. Allah Ta’ala berbuat apa yang diperbuatNya, dengan menjadikan malaikat dan setan. Keduanya dijadikan dengan kekuasaanNya pada membalik-balikkan hati, sebagaimana anak-anak jari anda dijadikan bagi anda pada membalik-balikkan tubuh umpamanya. Hati itu pada asal fitrahnya, pantas untuk menerima pengaruh malaikat dan pengaruh setan dalam keadaan yang sama. Tidak lebih kuat salah satu daripadanya terhadap yang lain. Hanya lebih kuat salah satu daripada kedua pihak itu, dengan mengikuti hawa nafsu dan berkecimpung dalam nafsu syahwatnya atau berpaling daripadanya dan menyalahinya. Apabila manusia mengikuti kehendak marah dan hawa nafsu, niscaya kekuasaan setan itu tampak dengan perantaraan hawa nafsu. Dan hati menjadi tempat menetap dan tempat bermukim setan. Karena hawa nafsu adalah rumput yang hijau dan tempat bersenang-senang setan. Jikalau bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan tidak memberi kekuasaan kepada hawa nafsu untuk menguasai dirinya dan ia menyerupai dengan akhlak malaikat as, niscaya hatinya menjadi tempat ketetapan malaikat dan tempat singgahannya. Manakala hati itu tidak terlepas dari nafsu syahwat, marah, loba, rakus, panjang angan-angan dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya, yang bercabang dari hawa nafsu, maka tidak ragu lagi, bahwa hati itu tidak terlepas daripada setan di dalamnya, yang mundar-mandir dengan waswas. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Masing-masing kamu mempunyai setannya. Lalu para sahabat bertanya: “Dan engkau wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Juga saya. Hanya saya ini ditolong oleh Allah Ta’ala terhadap setan itu. Lalu ia Islam, maka ia tidak menyuruh, kecuali yang kebajikan”. Sesungguhnya adalah demikian, karena setan itu tidak berbuat sesuatu, kecuali dengan perantaraan hawa nafsu. Maka siapa yang ditolong oleh Allah Ta’ala terhadap hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu itu tidak berkembang, selain menurut yang layak dan kepada batas yang layak, maka hawa nafsunya itu tidak mengajak kepada kejahatan. Setan yang menggunakan hawa nafsu yang demikian, tidak menyuruh, selain yang kebajikan. Manakala mengingati duniawi sudah berkeras pada hati sepanjang kehendak hawa-nafsu, niscaya setan memperoleh jalan. Lalu ia mendatangkan bisikan dalam hati manusia. Manakala hati telah berpaling kepada mengingati Allah Ta’ala, niscaya setan itu pergi dan sempitlah jalannya. Lalu malaikat menghadap ke hati itu dan membawa ilham. Jatuh-menjatuhkan diantara tentara malaikat dan tentara setan dalam peperangan hati itu berjalan terus-menerus. Sehingga terbukalah hati kepada salah satu daripada keduanya. Lalu yang satu itu bertempat dan menetap di dalam hati. Dan singgahnya yang kedua lagi ke dalam hati, adalah secara perebutan. Kebanyakan hati yang telah dikalahkan oleh tentara setan dan dimilikinya, lalu hati itu penuhlah dengan waswas yang mengajak kepada mengutamakan duniawi dan membuang akhirat. Dan permulaan kekuasaan tentara setan itu, ialah menuruti segala keinginan dan hawa nafsu. Dan tidak mungkin mengalahkannya sesudah itu, selain dengan mengosongkan hati dari makanan setan. Yaitu: hawa nafsu dan segala keinginan syahwat. Dan pembangunannya, ialah dengan mengingati Allah Ta’ala yang membawa pengaruh malaikat ke dalam hati. Jabir bin ‘Ubaidah Al-‘Adawi berkata: “Aku mengadu kepada Al-‘Ula’ bin Ziyad, bahwa aku tiada memperoleh waswas dalam dadaku. Lalu beliau menjawab: “Contoh yang demikian adalah seperti rumah yang dimasuki pencuri. Kalau ada sesuatu dalam rumah itu, lalu diambilnya. Kalau tidak ada, maka pencuri itu terus pergi dan meninggalkan rumah itu”. Ya’ni: bahwa hati yang kosong dari hawa nafsu, tidak akan dimasuki oleh setan. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, engkau tiada mempunyai kekuasaan atas mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 65. Maka tiap-tiap orang yang mengikuti hawa nafsu itu, adalah budak hawa nafsu, bukan hamba Allah. Karena itulah, Allah Ta’ala menguasakan setan atas orang tersebut. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah engkau lihat orang yang mengambil keinginan (nafsunya) menjadi tuhannya ?”.S 45 Al Jaatsiah ayat 23. Itu adalah isyarat, bahwa sebahagian dari hawa nafsu itu, menjadi tuhan dan penyembahannya. Maka dia itu budak hawa nafsu, bukan hamba Allah. Karena itulah, ‘Amru bin ‘Ash berkata kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! setan itu menghalangi aku dari shalatku dan qiraahku (pembacaa Alquran)”. Rasulullah saw menjawab: “Itu adalah setan yang dinamai: Khanzab. Apabila engkau merasakannya, maka berlindunglah daripadanya dengan Allah Ta’ala ! dan ludahilah ke kiri engkau 3 kali !”. ‘Amru bin ‘Ash meneruskan ceritanya: “Lalu aku lakukan yang demikian. Maka Allah Ta’ala menghilangkan setan itu daripadaku”. Tersebut pada hadits: “Wudlu itu mempunyai setan, yang dinamai: Walhan. Maka berlindunglah dengan Allah Ta’ala daripadanya !”. Waswas setan itu tidak terhapus dari hati, selain dengan mengingati yang lain daripada yang mewaswaskan itu. Karena apabila terguris dalam hati, ingatan sesuatu, niscaya hilanglah yang telah ada di dalam hati sebelumnya. Akan tetapi semua itu, selain Allah Ta’ala dan yang berhubungan dengan Allah Ta’ala, maka boleh pula bahwa hati itu adalah tempat lalu-lintasnya setan. Dan mengingati Allah adalah yang mendatangkan keamanan keliling hati. Dan yang memberitahukan bahwa hati itu bukanlah tempat lalu lintasnya setan. Mengobati sesuatu itu adalah dengan lawannya. Dan lawan semua bisikan setan itu, ialah mengingati Allah Ta’ala dengan berlindung padaNya. Dan melepaskan diri dengan daya dan tenaga. Dan itulah artinya perkataan kita: “Aku berlindung dengan Allah Ta’ala dari setan yang terkutuk. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar”. Dan tiada yang menyanggupi demikian, selain orang-orang taqwa, yang dimenangi oleh ingatan kepada Allah Ta’ala pada mereka. Dan setan itu berkeliling pada mereka, pada waktu-waktu lengah dengan jalan mencari kesempatan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu setan yang datang berkunjung, mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Mujahid berkata tentang pengertian firman Allah Ta’ala: “Dari bahaya bisikan (setan) yang mengendap”. S 114 An Naas ayat 4, yaitu: setan itu mengembang pada hati. Apabila orang mengingati Allah Ta’ala, maka setan itu mengendap dan kuncup. Apabila lupa kepada Allah Ta’ala, niscaya setan itu berkembang pada hatinya. Perlawanan antara mengingati Allah Ta’ala dan bisikan setan, adalah seperti perlawanan antara cahaya dan gelap dan antara malam dan siang. Dan karena berlawanan keduanya itu, Allah Ta’ala berfirman: “Setan telah menguasai mereka dan melupakan mengingati Allah”. S 58 Al Mujaadalah ayat 19. Anas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Setan itu meletakkan belalainya pada hati anak Adam (manusia). Apabila manusia itu mengingati Allah Ta’ala, niscaya setan itu mengendap. Dan jikalau ia melupakan Allah Ta’ala, niscaya setan itu akan menelan hatinya”. Ibnu Wadl-dlah berkata pada suatu hadits yang disebutkannya: “Apabila sampai seseorang 40 tahun dan tidak bertaubat, niscaya setan menyapu mukanya dengan tangannya. Dan setan itu berkata: “Demi bapakku ! muka orang yang tiada memperoleh kemenangan”. Sebagaimana nafsu syahwat itu bercampur dengan daging dan darah manusia, maka kekuasaan setan juga berjalan dalam daging dan darahnya. Dan mengelilingi hati dari segala pinggirnya. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada manusia pada tempat jalannya darah. Maka sempitkanlah tempat jalannya itu dengan lapar !”. Yang demikian itu, adalah karena lapar menghancurkan nafsu syahwat. Dan tempat jalannya setan, ialah nafsu syahwat. Dan karena berkelilingnya nafsu syahwat bagi hati dari segala pinggirnya. Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang Iblis: “Aku akan duduk mengganggu mereka dari jalan yang lurus. Kemudian itu, aku datang kepada mereka dari hadapan dan dari belakangnya, dari kanan dan dari kirinya”. S 7 Al A’raaf ayat 16-17. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu duduk mengganggu manusia dengan beberapa jalan. Ia duduk melakukan gangguan itu dengan jalan Islam. Setan itu berkata kepada manusia: “Apakah kamu masuk Islam, meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu ?”. Tetapi manusia itu menantang setan dan memeluk agama Islam. Kemudian, setan itu duduk mengganggu manusia dengan jalan hijrah. Setan itu berkata: “Apakah kamu akan hijrah, meninggalkan bumimu dan langitmu ?”. Tetapi manusia itu menantang setan dan berhijrah. Kemudian, setan itu duduk mengganggu manusia dengan jalan jihad. Setan itu berkata: “Apakah kamu akan berjihad, sedang jihad itu menghilangkan nyawa dan harta ? kamu akan berperang, lalu kamu terbunuh. Maka isterimu akan dikawini oleh orang lain dan hartamu akan dibagi-bagikan”. Tetapi manusia itu menantang setan dan berjihad”. Dan Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berbuat demikian, lalu meninggal dunia, niscaya berhak bagi Allah memasukkannya ke dalam sorga”. Rasulullah saw menyebutkan arti bisikan. Yaitu: gurisan-gurisan di dalam hati yang terguris bagi seorang pejuang (mujahid), bahwa ia akan terbunuh dan isterinya akan dikawini oleh orang lain dan gurisan-gurisan yang lain, yang mengelakkannya daripada jihad. Gurisan-gurisan tersebut itu dapat dimaklumi. Jadi, bisikan itu dapat dimaklumi dengan penyaksian. Dan semua gurisan itu mempunyai sebab. Dan menghendaki kepada nama yang dikenalnya. Maka nama sebabnya, ialah: setan. Dan tidak akan tergambar, bahwa manusia itu dapat terlepas dari setan. Hanya manusia itu berbeda diantara seorang dengan lainnya, tentang kedurhakaannya dan penurutannya kepada setan. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Masing-masing orang itu mempunyai setannya”. Maka dengan penelitian yang semacam ini, jelaslah arti: bisikan, ilham, malaikat, setan, taufiq dan penghinaan. Kemudian, sesudah ini terdapatlah pandangan bagi orang yang memperhatikan tentang setan itu, bahwa setan itu tubuh halus atau bukan tubuh. Jikalau dia itu tubuh, maka bagaimanakah masuk ke dalam tubuh manusia, barang yang bertubuh. Mengenai ini sekarang, tidak diperlukan pada ilmu-mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Akan tetapi orang yang membahas tentang ini adalah seperti orang, yang masuk ular ke dalam bajunya. Ia memerlukan untuk menghilangkan ular itu dan menolak kemelaratannya. Lalu ia sibuk membahas tentang warna, bentuk, panjang dan lebarnya ular itu. Yang demikian adalah kebodohan sejati. Maka berdesak-desaknya gurisan-gurisan yang menggerakkan kepada kejahatan, telah diketahui. Dan yang demikian menunjukkan dengan pasti, terjadinya dengan sesuatu sebab. Dan telah diketahui, bahwa yang mengajak kepada kejahatan yang ditakuti pada masa mendatang itu musuh. Dan musuh itu telah diketahui dengan pasti. Maka seyogyalah bekerja dengan sungguh-sungguh melawannya. Allah swt telah memperkenalkan musuhNya pada banyak tempat dalam Kitab SuciNya, untuk diimani dan dipeliharakan diri daripadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu, perlakukanlah dia sebagai musuh ! dia hanya memanggil kawan separtainya, supaya menjadi isi neraka yang menyala”. S 35 Faathir ayat 6. Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu, hai anak-anak Adam, bahwa janganlah kamu memuja setan ? sesungguhnya setan itu musuh yang terang bagi kamu”. S 36 Yaa Siin ayat 60. Maka seyogyalah bagi hamba Allah, bekerja menolak musuh daripada dirinya: Tidak menanyakan tentang asal-usul musuh itu, bangsanya dan tempat tinggalnya. Benar, seyogyalah ia menanyakan tentang senjatanya, supaya ia dapat menolaknya dari dirinya. Dan senjata setan itu, ialah hawa nafsu dan segala keinginan. Dan yang demikian itu mencukupi bagi orang yang berilmu. Adapun mengenali zat setan, sifatnya dan hakekatnya, kita berlindung dengan Allah daripadanya dan hakekat malaikat maka yang demikian itu, bidang orang-orang arifin, yang mendalami ilmu-mukasyafah. Tidak dperlukan mengetahuinya pada ilmu-mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Benar, seyogyalah diketahui, bahwa gurisan-gurisan itu terbagi kepada: yang diketahui dengan pasti, bahwa gurisan itu mengajak kepada kejahatan. Maka tidak tersembunyi lagi, bahwa gurisan itu adalah: bisikan setan. Dan kepada: yang diketahui, bahwa gurisan itu mengajak kepada kebajikan. Maka tidak diragukan, tentang gurisan itu, adalah: ilham. Dan kepada: yang diragukan, maka tidak diketahui, apakah dari langkah malaikat atau dari langkah setan. Sesungguhnya diantara tipuan setan itu, ialah: mendatangkan kejahatan pada tempat kebajikan. Dan amat sulit membedakannya. Dan kebanyakan hamba Allah mendapat kebinasaan. Dan setan itu sesungguhnya tidak sanggup mengajak kepada kejahatan yang tegas. Lalu ia membentuk kejahatan dengan bentuk kebajikan. Umpamanya: setan itu mengatakan kepada ulama, dengan jalan pengajaran. “Apakah anda tidak melihat kepada orang banyak, bahwa mereka itu mati dari kebodohan dan binasa dari kelalaian ? mereka itu mendekati kepada api neraka. Adapun anda mempunyai belas-kasihan kepada hamba-hamba Allah. Anda lepaskan mereka dari tempat kebinasaan dengan nasehat dan pengajaran anda. Allah Ta’ala telah memberi ni’mat kepada anda dengan hati yang melihat, lidah yang lancar dan cara berbicara yang dapat diterima orang. Maka bagaimanakah anda mengingkari ni’mat Allah Ta’ala dan berbuat yang memarahiNya ? dan anda berdiam diri daripada mengembangkan ilmu dan mengajak manusia kepada jalan yang lurus ?”. senantiasalah setan itu menetapkan yang demikian pada diri ulama dan menariknya dengan daya-upaya yang lemah-lembut. Sehingga ulama itu bekerja mengajari manusia. Kemudian, sesudah itu, diajaknya ulama tadi, sampai menghiasi diri untuk manusia dan berbuat-buat dengan kata-kata yang dibagus-baguskan dan kebajikan yang diperlihat-lihatkan. Seraya setan itu berkata kepada ulama tersebut: “Jikalau anda tidak berbuat demikian, niscaya hilanglah pengaruh perkataan anda dari hati mereka. Dan mereka tidak mendapat petunjuk kepada kebenaran”. Senantiasalah setan itu menetapkan yang demikian pada ulama tersebut. Dan waktu ia sedang memuji ulama itu, lalu ia menguatkan hal-hal yang bercampur dengan ria, diterima orang banyak, enaknya kemagahan dan memperoleh kemuliaan dengan banyak pengikut dan pengetahuan, serta memandang kepada orang banyak dengan pandangan hina. Lalu ulama yang patut dikasihani tadi, terjerumus dengan nasehat itu kepada kebinasaan. Maka ia berbicara, dengan menyangka bahwa maksudnya kebajikan, sedang sebenarnya maksudnya mencari kemegahan dan untuk disambut oleh orang banyak. Maka binasalah ia dengan sebabnya. Dan ia menyangka, bahwa ia mendapat tempat di sisi Allah Ta’ala. Padahal ia termasuk diantara mereka yang dikatakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan orang-orang (kaum) yang tidak berbudi pekerti mulia (berakhlak)”. Dan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan laki-laki zalim”. Karena itulah, diriwayatkan bahwa Iblis dikutuki oleh Allah dia kiranya –datang kepada Nabi Isa as, seraya berkata kepadanya: “Katakanlah “Laa ilaaha illallaah !”. Lalu Nabi Isa as menjawab: “Itu adalah perkataan benar dan aku tiada akan mengatakannya dengan perkataanmu”. Karena mempunyai juga penipuan-penipuan di bawah yang kebajikan. Dan penipuan setan itu dari yang sejenis ini, tidaklah berkesudahan. Dengan penipuan itu, maka binasalah para ulama, orang-orang abid (banyak ibadah), orang zuhud, orang fakir, orang kaya dan segala jenis manusia, daripada orang-orang yang tiada menyukai kejahatan yang terang. Dan tiada menyukai dirinya terjerumus dalam perbuatan maksiat yang terbuka. Dan akan kami sebutkan sejumlah tipuan setan dalam “Kitab Penipuan” pada akhir rubu’ ini. Mudah-mudahan jika waktu mengizinkan, kami akan menyusun suatu kitab khusus, yang akan kami namakan: Penipuan Iblis”. Sekarang sesungguhnya telah berkembang penipuannya dalam negeri dan pada hamba-hamba Allah. Lebih-lebih pada madzhab-madzhab dan aqidah-aqidah. Sehingga kebajikan itu tidak tinggal lagi, selain gambarannya. Semua itu karena mengikuti penipuan setan dan tipu dayanya. Maka haklah diatas hamba Allah, berhenti pada tiap-tiap kesusahan yang terguris kepadanya. Supaya diketahuinya, bahwa kesusahan itu dari langkah malaikat atau langkah setan. Dan bahwa ia mendalamkan perhatian dengan pandangan mata-hati, tidak dengan hawa nafsu nalurinya. Dan ia tidak memandang kepadanya selain dengan nur taqwa, mata hati dan banyaknya pengetahuan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu setan yang datang berkunjung, mereka ingat kembali (kembali kepada nur ilmu) dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Artinya: terbuka bagi mereka kesulitan. Adapun orang yang tidak menyukai dirinya dengan taqwa, maka tabiat (instink)nya cenderung kepada mengikuti penipuan setan, dengan menuruti hawa nafsu. Maka banyaklah kesalahannya dan segeralah kebinasaanya, sedang ia sendiri tiak merasakan yang demikian. Orang-orang yang seperti itu, Allah swt berfirman: “Dan ketika itu jelas bagi mereka, bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu, memang dari Allah”. S 39 Az Zumar ayat 47. Ada yang mengatakan, itu adalah: amalan-amalan, yang disangka mereka itu baik sedang sebenarnya adalah jahat. Yang paling rumit, dari berbagai macam ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan), ialah: mengetahui tipuan nafsu dan tipu daya setan. Yang demikian itu, adalah fardhu ‘ain atas tiap-tiap hamba Allah. Dan kebanyakan orang sudah menyia-nyiakannya. Mereka sibuk dengan pengetahuan yang menarik bisikan setan kepada mereka dan setan telah menguasai mereka. Dan melupakan mereka akan permusuhan dan jalan menjaga diri daripada setan. Dan tiada terlepas dari kebanyakan bisikan itu, selain dengan menutup pintu-pintu gurisan di dalam hati. Dan pintu-pintunya, ialah: pancaindra yang lima. Pintu-pintunya itu dari dalam nafsu syahwat dan hubungan duniawi. Berkhilwah dalam sebuah rumah yang gelap itu menutupkan pintu pancaindra. Melepaskan diri dari keluarga dan harta itu menyedikitkan tempat masuk bisikan dari dalam. Dan bersama itu, yang masih ada, ialah: tempat masuk batiniahnya dalam khayalan yang berjalan pada hati. Dan yang demikian, tidak dapat ditolak, selain dengan menyibukkan hati mengingati Allah Ta’ala. Kemudian, setan itu senantiasa menarik hati, bertengkar dengan hati dengan perantaraan nafsu dan melalaikan hati daripada mengingati Allah Ta’ala. Maka haruslah bermujahadah melawannya. Dan inilah mujahadah, yang tiada akhirnya, selain dengan mati. Karena seorangpun tiada terlepas dari tipu daya setan, selama ia hidup. Benar, kadang-kadang seseorang itu kuat, dimana ia tidak mengikuti setan, menolak kejahatan setan daripada dirinya dengan jihad. Akan tetapi, sekali-kali tidak dapat melepaskan jihad dan mempertahankan diri, selama darah masih mengalir dalam tubuhnya. Karena selama masih hidup, maka pintu-pintu setan itu terbuka kepada hatinya, tiada terkunci. Yaitu: nafsu syahwat, marah, dengki, loba, rakus dan lainnya, sebagaimana akan datang uraiannya. Selama pintu itu terbuka dan musuh tidak lengah, maka tiada pertahanan, selain dengan penjagaan dan mujahadah. Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan: “Hai Abu Sa’id ! adakah setan itu tidur ? Lalu Al-hasan tersenyum dan menjawab: “Jikalau ia tidur, niscaya kita dapat beristirahat”. Jadi, tiada terlepas bagi orang mu’min daripada setan. Benar, orang mu’min itu mempunyai jalan menolak setan dan melemahkan kekuatannya. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang mu’min itu menguruskan setannya, sebagaimana seseorang kamu menguruskan untanya dalam perjalanan”. Ibnu Mas’ud berkata: “Setan orang mu’min itu kurus”. Qais bin Al-Hajjaj berkata: ‘Setanku berkata kepadaku: “Aku masuk padamu dan aku adalah seperti unta gemuk. Dan sekarang aku seperti burung pipit”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian ?”. Setan itu menjawab: “Engkau cairkan aku dengan dzikir (mengingati) Allah Ta’ala”. Orang yang taqwa, tidak sukar baginya menutup pintu setan dan menjaganya dengan penjagaan. Ya’ni: pintu-pintu yang tampak dan jalan-jalan yang terang, yang membawa kepada kemaksiatan zahiriah. Sesungguhnya mereka jatuh pada jalan-jalannya yang tersembunyi. Mereka tiada memperoleh petunjuk kepada jalan-jalan itu, lalu dapat menjaganya, sebagaimana telah kami isyaratkan kepadanya tentang tertipunya ulama dan juru-juru nasehat. Yang sukar, ialah bahwa: pintu-pintu yang terbuka bagi setan kepada hati itu banyak, sedang pintu malaikat itu sebuah saja. Dan pintu yang sebuah itu menyerupai dengan pintu-pintu yang banyak tadi. Maka hamba Allah pada pintu-pintu itu, seperti orang musafir yang tinggal pada suatu desa, yang banyak jalannya, sukar tempat yang dijalani, dalam malam yang gelap-gulita. Hampir ia tiada mengetahui jalannya, selain dengan mata yang dapat melihat dan terbitnya matahari yang cemerlang. Mata yang dapat melihat di sini, ialah hati yang bersih dengan taqwa. Dan matahari yang cemerlang, ialah ilmu yang banyak, yang terambil dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya saw, dari apa yang menunjukkan kepada jalan-jalan yang sulit. Jikalau tidak, maka jalan-jalan itu amat banyak dan sukar. Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Rasulullah saw telah menggariskan bagi kami pada suatu hari, suatu garis, seraya bersabda: “Inilah jalan Allah !”. Kemudian, beliau menggariskan beberapa garis, di sebelah kanan dan di sebelah kiri garis tadi. Kemudian, beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan dan pada tiap-tiap jalan ini ada setan, yang mengajak kepadanya”. Lalu beliau membaca ayat ini, untuk menerangkan garis-garis itu: “Sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus, maka turutlah ! dan janganlah kamu turutkan jalan-jalan (untuk garis-garis itu)”. S 6 Al An’aam ayat 153. Rasulullah saw menerangkan tentang banyaknya jalan-jalan setan. Kami telah menyebutkan suatu contoh jalan yang sulit itu dari jalan-jalan setan tadi. Setan itu dengan jalan tersebut, menipu para ulama dan orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah), yang memiliki nafsu syahwat, yang mencegah diri dari perbuatan-perbuatan ma’siat yang nyata. Maka hendaklah sekarang kami menyebutkan suatu contoh dari jalan setan yang terang itu, yang tidak tersembunyi. Kecuali, bahwa anak Adam itu terpaksa menempuhnya. Dan yang demikian itu, apa yang diriwayatkan daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Ada seorang biarawan pada Bani Israil (kaum Yahudi). Maka setan menuju kepada seorang wanita cantik, lalu dicekeknya. Dan setan itu membisikkan dalam hati keluarga wanita tadi, bahwa obatnya ada pada biarawan itu. Lalu merekapun membawa wanita tersebut kepada biarawan tadi. Biarawan itu segan menerimanya. Tetapi mereka itu senantiasa mendesaknya, sehingga diterimanya. Maka tatkala wanita itu pada biarawan tersebut untuk diobatinya, lalu datanglah setan kepadanya. Setan itu mengajaknya untuk mendekati wanita tadi. Dan selalulah yang demikian, sehingga biarawan itu bersetubuh dengan wanita itu. Lalu kemudian, wanita itu mengangung. Setan tadi membisikkan kepada biarawan itu, seraya berkata: “Sekarang, engkau telah berbuat keji. Keluarganya akan datang kepada engkau. Bunuhlah wanita itu ! kalau mereka bertanya kepada engkau, jawablah, bahwa wanita itu mati sendiri”. Biarawan itupun lalu membunuh wanita tersebut dan menguburkannya. Kemudian, setan itu datang kepada keluarga wanita itu, membisikkannya dan menyampaikan ke dalam hati mereka, bahwa biarawan itu telah membuat wanita itu mengandung. Kemudian membunuhnya dan menguburkannya. Maka datanglah keluarga wanita tersebut kepada biarawan itu, menanyakan tentang wanita tadi. Biarawan itu menjawab, bahwa wanita itu telah mati. Lalu keluarganya mengambil biarawan itu untuk dibunuhnya. Maka setan datang kepada biarawan tadi, seraya berkata: “Saya yang mencekek wanita itu dan saya yang membisikkan dalam hati keluarganya. Dari itu, patuhilah aku supaya engkau lepas dan aku lepaskan engkau dari tangan mereka”. Biarawan itu bertanya: “Dengan apa ?”. Setan itu menjawab: “Sujudlah kepadaku dua sujud !”. Lalu biarawan tadi sujud kepada setan itu dua sujud. Maka berkatalah setan kepadanya: “Aku berlepas tangan dari engkau”. Orang itulah yang dikatakan oleh Allah Ta’ala: “Seumpama setan, ketika berkata kepada manusia: “Sangkallah Tuhan !”. Setelah orang itu menyangkal Tuhan, lalu ia (setan) itu berkata: “Aku berlepas tangan terhadap engkau”. S 59 Al Hasyr ayat 16. Lihatlah sekarang kepada tipu-daya setan itu dan dipaksanya biarawan kepada dosa besar tersebut. Semua itu karena patuhnya kepada setan menerima wanita itu untuk diobati. Dan itu adalah urusan yang mudah. Kadang-kadang teman setan itu menyangka bahwa pekerjaan yang dilakukannya itu kebajikan dan baik. Lalu baiklah yang demikian itu dalam hatinya, dengan tersembunyinya hawa nafsu. Maka ia tampil kepada perbuatan tersebut, seperti orang yang gemar pada kebajikan. Lalu pekerjaan itu keluar kemudian dari pilihannya. Dan dia ditarik oleh sebahagian pekerjaan kepada sebahagian yang lain, dimana ia tidak mendapat jalan keluar. Maka kita berlindung dengan Allah daripada menyia-nyiakan permulaan segala urusan. Dan kepada inilah diisyaratkan oleh sabda Nabi saw: “Barangsiapa berputar-putar di keliling yang dilarang, besar kemungkinan ia akan jatuh ke dalamnya”.
PENJELASAN: penguraian tempat-tempat masuknya setan ke dalam hati.
Ketahuilah, bahwa contohnya hati itu seperti benteng. Dan setan itu musuh, yang bermaksud masik ke dalam benteng. Lalu ia memilikinya dan menguasainya. Dan tidak sanggup menjaga benteng dari musuh, selain dengan menjaga pintu-pintu benteng, tempat-tempat masuk dan tempat-tempat lobangnya. Dan tidak sanggup menjaga pintu-pintunya, oleh orang yang tiada mengetahui pintu-pintu itu. Maka menjaga hati dari bisikan setan itu wajib. Yaitu: fardlu ‘ain atas tiap-tiap orang mukallaf (sudah baligh dan berakal). Dan sesuatu yang menyampaikan kepada wajib, juga menjadi wajib. Dan tidak sampai dapat menolak setan, selain dengan mengetahui tempat-tempat masuknya. Lalu mengetahui tempat-tempat masuknya itu menjadi wajib. Tempat-tempat masuk setan dan pintu-pintunya, ialah: sifat-sifat hamba. Dan itu banyak. Tetapi, kami akan menunjukkan kepada pintu-pintu yang besar, yang berlaku seperti jalan-jalan yang tidak sempit dari banyaknya tentara setan. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah: marah dan nafsu syahwat. Marah, ialah binasanya akal. Apabila lemah tentara akal, niscaya tentara setan menyerang. Manakala manusia itu marah, niscaya setan bermain dengan dia, seperti anak-anak bermain dengan bola. Diriwayatkan, bahwa Musa as dijumpai oleh Iblis. Lalu Iblis itu berkata kepadanya: “Hai Musa ! engkau yang dipilih oleh Allah menjadi rasulNya dan berkata-kata dengan engkau. Dan aku adalah salah satu daripada makhlukNya, yang telah berdosa. Aku mau bertaubat. Maka bersyafaatlah engkau kepadaku pada Tuhanku, kiranya Ia menerima taubatku !”. Musa menjawab: “Boleh !”. Tatkala Musa as naik diatas bukit dan berkata-kata dengan Tuhan ‘Azza Wa Jalla dan mau turun, lalu Tuhan berfirman kepadanya: “Tunaikanlah amanah !”. Maka Musa as menjawab: “Wahai Tuhanku ! hambaMu Iblis ingin bertaubat !”. Lalu Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa: “Wahai Musa ! engkau telah menunaikan hajat engkau. Suruhlah Iblis itu bersujud kepada kuburan Adam, sehingga diterima taubatnya”. Kemudian, Musa menemui Iblis dan berkata kepadanya: “Aku telah tunaikan hajatmu. Kamu disuruh bersujud kepada kuburan Adam, sehingga diterima taubatmu”. Lalu Iblis itu marah dan menyombong, seraya berkata: “Aku tidak sujud kepadanya waktu dia masih hidup. Apakah aku akan sujud kepadanya, setelah ia mati ?”. Kemudian, Iblis itu berkata kepada Musa as: “Hai Musa ! engkau mempunyai hak atasku, disebabkan engkau memberi syafaat bagiku kepada Tuhan engkau. Ingatlah akan aku pada 3 hal, yang tidak akan aku binasakan engkau padanya: ingatlah aku ketika engkau marah. Sesungguhnya rohku dalam hati engkau. Mataku pada mata engkau. Aku lalu pada engkau pada tempat lalunya darah. Ingatlah aku apabila engkau marah. Sesungguhnya apabila manusia sudah marah, niscaya aku hembuskan dalam hidungnya. Lalu ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ingatlah aku ketika engkau berada di garis perang. Maka sesungguhnya, aku akan mendatangi manusia, ketika berada di garis perang. Lalu aku ingatkan dia akan isterinya, anaknya dan keluarganya. Sehingga ia berpaling dari garis perang. Jagalah diri dari duduk-duduk dengan wanita yang bukan mahram. Aku adalah utusannya kepada engkau dan utusan engkau kepadanya. Maka selalu aku demikian, sehingga aku membuat fitnah diantara engkau dengan dia dan aku membuat fitnah diantara dia dengan engkau”. Setan itu menunjukkan dengan yang demikian, kepada nafsu syahwat, marah dan rakus. Melarikan diri dari garis perang (perjuangan), adalah rakus kepada dunia. Enggannya setan daripada sujud kepada Adam as yang sudah wafat adalah: dengki. Dan dengki itu tempat masuknya yang terbesar. Telah disebutkan, bahwa sebahagian wali-wali berkata kepada Iblis: “Perlihatkanlah kepadaku, bagaimana engkau mengalahkan anak Adam (manusia). Iblis menjawab: “Aku ambil dia ketika marah dan ketika datang hawa nafsunya”. Menurut cerita, Iblis itu datang pada seorang biarawan Bani Israil. Lalu biarawan itu bertanya kepadanya: “Budi pekerti yang mana dari manusia, yang lebih menolong kamu ?”. Iblis itu menjawab: “Cepat marah. Apabila manusia, yang lebih menolong kamu ?”. Iblis itu menjawab: “Cepat marah. Apabila manusia itu lekas marah, niscaya kami bulak-balikkan dia, seperti anak-anak membalik-balikkan bola”. Ada yang mengatakan, bahwa setan itu berkata: “Bagaimana aku dikalahkan oleh manusia ? apabila ia suka, aku datang. Sehingga aku berada dalam hatinya. Apabila ia marah, aku terbang. Sehingga aku berada pada kepalanya”. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah: dengki dan rakus. Manakala manusia itu rakus terhadap tiap-tiap sesuatu, niscaya kerakusan itu membutakan dan menulikannya, karena Nabi saw bersabda: “Kesukaanmu kepada sesuatu, membutakan dan menulikan kamu”. Sinar mata hati itulah yang memperkenalkan tempat-tempat masuknya setan. Apabila manusia itu ditutup oleh dengki dan rakus, niscaya ia tidak dapat melihat. Maka ketika itu, setan mendapat kesempatan. Lalu baguslah pada orang yang rakus, semua yang dapat menyampaikannya kepada nafsu syahwatnya, meskipun barang itu munkar dan keji. Diriwayatkan, bahwa Nabi Nuh as tatkala memasuki kapalnya, lalu membawa masing-masing berpasangan, jantan dan betina, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Lalu ia melihat dalam kapal itu seorang tua yang tidak dikenalnya. Nuh as bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau masuk kemari ?”. Orang tua itu menjawab: “Aku masuk, untuk mendatangkan bencana ke dalam hati teman-temanmu. Lalu hati mereka bersama aku dan badannya bersama kamu”. Lalu Nuh as berkata: “Keluar dari kapal ini, hai musuh Allah ! engkau sesungguhnya terkutuk”. Lalu Iblis itu berkata: “5 perkara yang membinasakan manusia dan akan aku ceritakan kepada engkau 3 perkara daripadanya. Dan yang 2 perkara tidak akan aku ceritakan”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nuh as, bahwa: “Engkau tidak memerlukan yang 3 perkara itu. Dan hendaklah diterangkannya kepada engkau yang 2 perkara lagi”. Lalu Nuh as bertanya kepada Iblis tersebut: “Mana yang 2 perkara itu ?”. Iblis itu menjawab: “Keduanya yang tidak membohongi aku. Keduanya yang tidak menyalahi aku. Dengan keduanya itu, manusia binasa: rakus dan dengki. Dengan sebab dengki, aku terkutuk dan aku mejadi setan terkutuk. Adapun rakus, maka telah dibolehkan bagi Adam sorga seluruhnya, selain sepohon kayu. Maka aku memperoleh hajatku daripadanya disebabkan kelobaannya”. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah: kenyang dari makanan, walaupun makanan itu halal dan bersih. Karena kenyang menguatkan nafsu syahwat. Dan nafsu syahwat itu senjata setan. Diriwayatkan, bahwa Iblis datang kepada Nabi Yahya dan Zakaria as. Beliau melihat pada Iblis itu, perkakas tempat menggantungkan daging dari segala sesuatu. Lalu beliau bertanya kepada Iblis itu: “Apakah perkakas-perkakas penggantung ini ?”. Iblis menjawab: “Inilah nafsu syahwat yang aku jadikan bencana kepada anak Adam. Lalu Nabi Yahya as bertanya: “Adakah bagiku padanya sesuatu ?”. Iblis itu menjawab: “Kadang-kadang engkau kenyang, lalu kami beratkan engkau daripada shalat dan dzikir”. Nabi Yahya as bertanya lagi: “Adakah yang lain dari itu ?”. Iblis menjawab: “Tidak !”. Maka Nabi Yahya as berkata: “Menjadi kewajibanku bagi Allah, bahwa aku tiada akan memenuhkan perutku selama-lamanya dengan makanan”. Lalu Iblis menyambung: “Menjadi kewajibanku bagi Allah, bahwa aku tiada akan memberi nasehat selama-lamanya kepada orang Islam”. Dikatakan mengenai banyaknya makan, ada 6 perkara yang tercela:
Pertama: menghilangkan takut kepada Allah dari hatinya.
Kedua: menghilangkan belas kasihan dari hatinya kepada orang lain. Karena ia menyangka, semua orang itu kenyang.
Ketiga: banyak makan itu memberatkan dari berbakti (taat).
Keempat: apabila ia mendengar perkataan hikmat, ia tidak memperoleh kehalusan jiwanya.
Kelima: apabila ia berkata-kata dengan pangajaran dan hikmat, tidak berkesan pada hati manusia.
Keenam: bahwa banyak makan itu mendatangkan penyakit.
Diantara pintu-pintu setan, ialah menyukai penghiasan dengan perabot rumah, kain dan rumah. Setan apabila melihat yang demikian mengerasi pada hati manusia, niscaya ia bertelur didalam hati dan menetas. Lalu senantiasalah setan mengajak manusia itu untuk membangun rumah, menghiasi loteng dan dindingnya, meluaskan bangunan-bangunannya. Dan mengajak untuk menghiaskan diri dengan kain dan binatang kendaraan dan menggunakannya sepanjang umurnya. Apabila setan telah dapat menjatuhkan manusia pada yang demikian, maka setan itu tidak perlu lagi kembali kepada manusia tadi untuk kedua kalinya. Karena sebahagian yang demikian itu menghela kepada sebahagian yang lain. Lalu senantiasalah manusia itu melaksanakannya dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, sampai ajalnya tiba. Maka iapun mati. Sedang ia pada jalan setan dan mengikuti hawa nafsu. Dan dari yang demikian itu, ditakuti akan buruk akibatnya dengan kekufuran. Kita berlindung dengan Allah daripadanya !. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah sifat loba pada manusia. Karena apabila loba itu telah mengerasi pada hati, niscaya senantiasalah setan itu berusaha pada manusia tadi, supaya menyukai membuat-buat dan menghiasi terhadap orang yang ia mengharapkan sesuatu padanya, dengan bermacam-macam ria dan kepalsuan. Sehingga yang dilobakan itu seolah-olah menjadi sembahannya. Maka senantiasa ia berpikir berdaya-upaya supaya orang itu menyukai dan mencintainya. Dan ia masuki semua tempat masuk untuk sampai kepada yang demikian. Sekurang-kurang, tingkah-lakunya, memuji orang itu dan berminyak-minyak air dengan dia dengan meninggalkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Shafwan bin Salim meriwayatkan, bahwa Iblis datang kepada Abdullah bin Handhalah, seraya berkata kepadanya: “Hai anak Handhalah ! hafalkanlah daripadaku sesuatu yang akan aku ajarkan kepadamu !”. Ibnu Handhalah menjawab: “Aku tiada memerlukan sesuatu itu”. Setan itu berkata: “Perhatikanlah ! jikalau itu baik, engkau ambil dan jikalau buruk, engkau tolak. Hai anak Handhalah ! jangan engkau meminta suatu permintaan kegemaran pada seseorang, selain pada Allah ! perhatikanlah, bagaimana engkau apabila marah ! sesungguhnya aku yang memiliki engkau, apabila engkau marah”. Diantara pintu-pintunya yang besar, ialah terburu-buru dan meninggalkan ketetapan tentang semua urusan. Nabi saw bersabda: “Terburu-buru itu dari setan dan pelan-pelan itu dari Allah Ta’ala”. Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu diciptakan bersifat tergesa-gesa”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 37. Allah Ta’ala berfirman: “Dan manusia itu adalah tergesa-gesa”. S 17 Al Israa’ ayat 11. Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya saw: “Dan janganlah engkau tergesa-gesa tentang Alquran itu, sebelum selesai diwahyukan kepada engkau !”. S 20 Thaahaa ayat 114. Demikianlah, karena semua perbuatan itu seyogyalah adanya sesudah memperhatikan dengan penglihatan yang mendalam dan mengetahuinya. Perhatian yang mendalam itu memerlukan kepada pemerhatian dan pelan-pelan. Sikap tergesa-gesa menghalangi daripada yang demikian. Dan ketika tergesa-gesa, setan itu melakukan kejahatannya kepada manusia, dimana manusia itu tiada mengetahuinya. Dirwayatkan, bahwa ketika Isa putera Maryam as dilahirkan, datanglah setan-setan kepada Iblis. Mereka mengatakan: “Patung-patung berhala telah terjungkir balik kepalanya”. Iblis menjawab: “Ini adalah suatu kejadian, yang telah terjadi. Kamu harus tetap pada tempatmu”. Lalu Iblis itu terbang, sehingga sampai kedua ufuk bumi. Ia tiada memperoleh apa-apa. Kemudian, ia mendapati Isa as telah lahir dan para malaikat mengelilinginya. Lalu Iblis itu kembali kepada setan-setan tadi, seraya berkata: “Bahwa seorang nabi telah lahir kemarin. Tidak ada seorangpun wanita yang mengandung dan melahirkan, melainkan aku hadir kepadanya, kecuali ini. Maka putuslah kiranya harapanmu, bahwa patung-patung berhala itu akan disembah orang sesudah malam ini. Akan tetapi, datangilah anak Adam dari pihak tergesa-gesa dan memandang enteng terhadap sesuatu pekerjaan !”. Diantara pintu-pintunya yang besar, ialah: dirham, dinar dan bermacam-macam harta lainnya, dari harta benda, binatang ternak dan tanah ladang. Sesungguhnya semua yang melebihi dari sekedar makanan penting dan yang diperlukan, adalah tempat ketetapan setan. Orang yang mempunyai makanan yang perlu, maka hatinya kosong dari kesusahan hidup. Kalau ia memperoleh 100 dinar umpamanya dengan suatu jalan, niscaya tergeraklah dari hatinya 10 nafsu syahwat. Masing-masing nafsu syahwat itu memerlukan kepada 100 dinar lain. Sehingga tiada mencukupilah apa yang diperolehnya. Akan tetapi ia memerlukan kepada 900 lain. Sebelum ada yang 100 itu, ia merasa cukup. Lalu sekarang, setelah diperolehnya 100 tadi, maka ia menyangka bahwa ia telah kaya. Dan ia memerlukan kepada 900 tadi, untuk membeli rumah yang akan ditempatinya. Dan untuk membeli seorang budak perempuan. Untuk membeli perabot rumah. Dan membeli pakaian yang megah. Masing-masing dari yang tersebut itu memerlukan yang lain lagi, yang layak dengan dia. Dan yang demikian itu tiada berkesudahan. Akhirnya jatuhlah ia ke dalam jurang, yang berkesudahan neraka jahannam yang dalam. Tiada penghabisannya selain dari itu. Tsabit Al-Bannani berkata: “Tatkala Rasulullah saw diutus, lalu Iblis berkata kepada setan-setannya: “Telah terjadi suatu kejadian, maka lihatlah apa kejadian itu !”. Maka setan-setan itu berjalan kesana-kemari, sehingga mereka payah. Kemudian, mereka datang dan berkata: “Kami tidak tahu. Lalu Iblis itu berkata: “Aku akan sampaikan kepada kamu berita itu”. Iblis itupun pergi, kemudian datang dan berkata: “Allah telah mengutus Muhammad saw”. Lalu Iblis itu mengutus setan-setannya kepada sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka itu kembali dengan kecewa dan mengatakan: “Tiada kami temui suatu kaumpun seperti mereka. Kami memperoleh mereka dengan bisikan, kemudian mereka berdiri kepada shalat. Maka terhapuslah yang demikian”. Lalu Iblis berkata: “Pelan-pelanlah dengan mereka ! mudah-mudahan Allah membuka dunia kepada mereka, lalu kita memperoleh hajat kita dari mereka”. Diriwayatkan, bahwa Isa as pada suatu hari berbantal dengan batu. Lalu lewatlah Iblis, seraya berkata: “Hai Isa ! engkau suka pada dunia ?”. Maka Isa as mengambil batu itu, melemparkan Iblis tadi dari bawah kepalanya, seraya berkata: “Ini untukmu bersama dunia !”. Pada hakekatnya, orang yang memiliki sebuah batu, dimana ia berbantal dengan batu itu ketika tidur, sesungguhnya ia telah memiliki dari dunia, apa yang mungkin menjadi senjata setan terhadap dirinya. Karena orang yang bangun malam umpamanya untuk shalat, manakala sebuah batu itu dekat kepadanya, yang mungkin dibantalinya, maka senantiasalah batu itu mengajaknya kepada tidur dan kepada membatalinya. Jikalau tidaklah demikian, niscaya tidaklah terguris yang demikian itu pada hatinya. Dan tidaklah tergerak keinginannya kepada tidur. Ini mengenai batu ! maka betapa pula dengan orang yang mempunyai bantal empuk, tikar licin dan tempat istirahat yang baik. Maka kapankah ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala ? Diantara pintu-pintunya yang besar, ialah: kikir dan takut miskin. Yang demikian itu mencegah daripada membelanjakan harta dan bersedekah. Dan mengajak kepada menyimpan, gudang dan azab yang pedih. Dan itulah yang dijanjikan bagi orang-orang yang membanyak-banyakkan harta, sebagaimana yang dituturkan oleh Alquran Mulia. Khaitsamah bin Abdurrahman berkata: “Setan itu berkata: “Aku tidak dapat dikalahkan oleh anak Adam. Maka tidak dapat ia mengalahkan aku pada 3 hal, yaitu: aku suruh dia mengambil harta yang bukan haknya, membelanjakannya pada bukan haknya dan melarangkannya pada haknya”. Sufyan Ats-Tsuri berkata: “Setan itu tiada mempunyai senjata, seperti: sifat takut miskin. Apabila manusia menerima yang demikian dari setan, niscaya ia berbuat yang batil, mencegah yang hak, berkata-kata dengan hawa nafsu dan menyangka Tuhannya dengan sangkaan buruk”. Diantara bahaya kikir, ialah: rakus kepada mengharuskan diri tinggal di pasar-pasar, untuk mengumpulkan harta. Pasar-pasar itu adalah tempat berkumpulnya setan-setan. Abu Umamah berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Iblis itu, tatkala turun ke bumi, lalu berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau turunkan aku ke bumi dan Engkau jadikan aku terkutuk, maka buatlah bagiku sebuah rumah !”. Allah Ta’ala menjawab: “Rumahmu kamar mandi !”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku sebuah tempat duduk !”. Allah Ta’ala menjawab: “Tempat dudukmu pasar-pasar dan tempat-tempat berkumpul di jalan-jalan raya”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku suatu makanan !”. Allah menjawab: “Makananmu yang tidak disebutkan nama Allah (tidak dibacakan: Bismillah) padanya”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku suatu minuman !”. Allah Ta’ala menjawab: “Minumanmu semua yang memabukkan”. Iblis itu meneruskan doanya: “Adakanlah bagiku seorang muadz-dzin !”. Allah Ta’ala menjawab: “Muadz-dzinmu, yaitu: suling-suling”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku Quran !”. Allah Ta’ala menjawab: “Quranmu yaitu: sya’ir”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku sebuah kitab !”. Allah Ta’ala menjawab: “Kitabmu, ialah: tatto (lukisan dan garisan-garisan pada badan)”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku hadits !”. Allah Ta’ala menjawab: “Haditsmu, yaitu: dusta”. Iblis itu meneruskan doanya: “Buatlah bagiku tempat memancing !”. Allah Ta’ala menjawab: “Yaitu: wanita”. Diantara pintu-pintu setan yang besar, ialah: fanatik mazhab, hawa nafsu, dengki kepada musuh, memandang kepada musuh dengan pandangan rendah dan hina. Yang demikian itu, termasuk yang membinasakan hamba dan orang-orang fasik sekalian. Sesungguhnya mencaci orang dan asyik menyebut kekurangan mereka adalah sifat yang terjadi pada tabiat manusia, diantara sifat-sifat binatang buas. Apabila setan mendatangkan khayalan kepada manusia, bahwa yang demikian itu adalah benar dan bersesuaian dengan nalurinya, niscaya bersangatanlah manisnya pada hati manusia. Lalu ia melakukannya dengan seluruh kemauannya. Dan ia dengan yang demikian itu merasa senang dan gembira. Ia menyangka, bahwa ia berbuat dalam bidang agama, padahal ia berbuat mengikuti setan. Anda melihat, seseorang dari mereka, fanatik kepada Abubakar Siddik ra, sedang ia memakan yang haram. Lidahnya terlepas dengan kata yang sia-sia dan dusta dan berbuat dengan segala macam kerusakan. Jikalau Abubakar melihatnya, niscaya dia musuhnya yang pertama. Karena pengikut Abubakar, ialah orang yang mengambil jalannya, berjalan menurut jalannya dan menjaga apa yang diantara janggut dan kumisnya (mulutnya). Dan adalah diantara perjalanan hidup Abubakar ra meletakkan batu pada mulutnya, untuk mencegah lidahnya daripada berkata-kata yang tidak berfaedah. Maka bagaimana bagi orang yang berkata dengan yang sia-sia ini, mendakwakan dirinya mengikuti dan mencintai Abubakar ra, sedang ia tidak bertingkah-laku dengan tingkah laku Abubakar ? Kita melihat seorang yang lain yang berkata dengan sia-sia, bahwa ia fanatik kepada Ali ra, sedang diantara zuhudnya Ali dan tingkah lakunya, bahwa beliau waktu menjadi khalifah, membeli pakaiannya dengan harganya 3 dirham dan memotong ujung kedua lengan bajunya sampai ke pergelangan tangannya. Dan kita melihat orang fasik itu memakai kain sutera dan menghiaskan diri dengan harta, yang diusahakannya dari yang haram. Ia berbuat mencintai Ali ra dan mendakwakannya, sedang sebenarnya ia adalah musuh Ali yang pertama pada hari kiamat. Alangkah samanya dengan orang yang mengambil seorang anak yang amat dikasihi oleh orang tuanya, yang menjadi hiasan matanya dan buah hatinya. Lalu dipukulinya anak itu, dicubitnya, dicabuti rambutnya dan dipotongnya dengan gunting kain. Dalam pada itu, ia mendakwakan, bahwa ia mencintai bapaknya dan mematuhinya. Maka bagaimanakah keadaannya orang itu pada siayah anak tadi ? Sebagaimana diketahui, bahwa Abubakar ra, Umar ra, Usman ra, Ali ra dan para sahabat lainnya, lebih mencintai agama dan syara’ daripada keluarga dan anak. Bahkan dari diri mereka itu sendiri. Orang-orang yang melemparkan dirinya ke dalam perbuatan maksiat sepanjang agama, adalah orang-orang yang mengoyak-ngoyakkan syara’ dan memotong-motongnya dengan gunting-gunting nafsu syahwat. Dan mereka memperoleh kasih-sayang musuh Allah dan musuh para walinya, yaitu: Iblis. Maka anda akan melihat, bagaimana keadaan mereka pada hari kiamat di sisi para sahabat dan di sisi para wali Allah Ta’ala. Bahkan, jikalau terbukalah tutup dan mereka itu mengetahui apa yang disukai oleh para sahabat pada umat Rasulullah saw, niscaya mereka itu malu membawa kepada lidahnya akan menyebutkan para sahabat, sedang perbuatan mereka itu demikian kejinya. Kemudian, setan itu mengkhayalkan kepada mereka, bahwa orang yang mati dengan mencintai Abubakar dan Umar, maka api neraka tidak akan mengelilingi kelilingnya. Dan kepada orang lain, setan itu mengkhayalkan, bahwa apabila ia mati dengan mencintai Ali, niscaya ia tidak akan mengalami ketakutan. Ini Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah ra dan Fatimah itu sepotong daging daripadanya: “Beramallah, hai Fatimah ! sesungguhnya aku tidak memerlukan sesuatu daripada engkau dari Allah”. Inilah contoh yang kami kemukakan dari jumlah hawa nafsu. Dan begitu pulalah hukumnya orang-orang yang fanatik kepada Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan imam-imam yang lain. Semua orang yang mendakwakan berpegang dengan mazhab seseorang imam, sedang ia tidak menjalankan yang dijalankan oleh imam tersebut, maka imam itu adalah musuhnya pada hari kiamat. Karena imam itu berkata kepadanya: “Mazhabku adalah kerja, tidak bicara dengan lidah. Bicara dengan lidah adalah untuk bekerja, tidak untuk yang sia-sia. Maka sebagaimana halmu ?. Kamu menyalahi aku dalam pekerjaan dan perjalanan hidup, yang menjadi mazhabku dan jalanku yang aku tempuh selalu dan aku berjalan padanya kepada Allah Ta’ala. Kemudian, kamu dakwakan mazhabku itu yang bohong”. Inilah tempat masuk yang benar diantara tempat-tempat masuknya setan, yang telah membinasakan kebanyakan orang alim. Dan telah diserahkan sekolah-sekolah kepada golongan-golongan yang sedikit takutnya kepada Allah dan lemah mata-hatinya pada agama, kuat keinginannya kepada dunia dan bersangatan kerakusannya mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak tetap mengikuti hawa nafsu dan menegakkan kemegahan, selain dengan kefanatikan. Lalu mereka tahan yang demikian dalam dadanya dan tidak memberitahukan kepada mereka, tempat-tempat godaan setan. Bahkan mereka itu menggantikan setan, pada pelaksanaan godaannya. Maka terus meneruslah manusia diatas yang demikian. Dan mereka lupa akan induk-induk agamanya. Maka merekapun binasa dan membinasakan. Kiranya Allah Ta’ala menerima taubat kita dan taubat mereka. Al-Hasan berkata: “Sampai kepada kami berita, bahwa Iblis berkata: “Aku hiaskan perbuatan maksiat pada umat Muhammad. Lalu mereka potong punggungku dengan istighfar (membaca istighfar, memohon ampunan Tuhan). Lalu aku hiaskan dosa kepada mereka, dimana mereka tiada memohon ampunan Allah Ta’ala daripadanya. Yaitu: hawa nafsu”. Benarlah yang terkutuk itu. Karena umat itu tiada mengetahui, bahwa yang demikian adalah sebahagian dari sebab-sebab yang menarik kepada maksiat. Maka bagaimana mereka meminta ampun daripadanya”. Diantara tipu daya setan yang besar, ialah: setan itu menyibukkan manusia dari urusan dirinya, dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara sesama manusia, tentang mazhab-mazhab dan permusuhan-permusuhan. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu datanglah setan kepada mereka, untuk membangunkannya dari duduknya dan untuk mencerai-beraikan diantara mereka. Rupanya setan itu tidak sanggup. Lalu ia mendatangi rombongan lain, yang sedang asyik berbicara dengan pembicaraan dunia. Lalu setan itu mendatangkan kerusakan diantara mereka. Lalu mereka itu bangun berbunuh-bunuhan. Sebenarnya setan itu tidak bermaksud demikian terhadap mereka tadi. Maka bangunlah mereka yang berdzikir kepada Allah Ta’ala, berusaha melerai mereka yang bunuh-bunuhan itu. Lalu bercerai-berailah kaum yang berdzikir tadi dari majelis dzikirnya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh setan itu dari mereka”. Diantara pintu-pintu setan itu, ialah: membawa orang awam yang tiada berkecimpung dalam bidang ilmu dan tidak mendalaminya, kepada berfikir tentang zat Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan mengenai hal-hal yang tiada sampai batas pemikiran mereka kepadanya. Sehingga meragukan mereka tentang pokok agama. Atau mengkhayalkan kepada mereka tentang Allah Ta’ala dengan khayalan-khayalan (imajinasi-imajinasi), yang Maha Sucilah kiranya Allah Ta’ala daripadanya. Yang membuatnya dengan demikian, menjadi kafir atau orang bid’ah. Sedang dia dengan demikian, merasa senang gembira, bersuka-ria, dengan apa yang terjadi dalam dadanya. Ia menyangka yang demikian itu suatu ma’rifah (pengenalan kepada Allah) dan bashirah penglihatan dengan mata hati). Dan yang demikian itu terbuka baginya dengan kecerdikan dan kelebihan akalnya. Manusia yang paling bodoh, ialah orang paling kuat kepercayaannya kepada akalnya sendiri. Orang yang paling berketetapan akal, ialah orang yang sangat curiga kepada dirinya sendiri dan yang lebih banyak bertanya kepada orang yang berpengalaman (para alim-ulama). ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu datang kepada salah seorang kamu. Lalu ia bertanya: “Siapakah yang menjadikan kamu ?”. Maka salah seorang kamu itu menjawab: “Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi”. Lalu setan itu bertanya lagi: “Siapakah yang menjadikan Allah ?”. Apabila salah seorang kamu menjumpai yang demikian, maka hendaklah ia menjawab: “Aku beriman kepada Allah dan RasulNya. Maka dengan demikian, setan itu pergi daripadanya”. Nabi saw tiada menyuruh membahas tentang pengobatan bisikan setan ini. Karena, ini adalah bisikan yang dijumpai oleh kebanyakan manusia, tidak dijumpai oleh para ulama. Hak orang kebanyakan ialah: beriman dan Islam. Dan berbuat ibadah dan segala keperluan hidup. Dan menyerahkan ilmu untuk para alim ulama. Orang awam, jikalau berzina dan mencuri, niscaya adalah lebih baik baginya daripada memperkatakan tentang ilmu. Karena orang yang memperkatakan tentang Allah dan agamaNya, tanpa pengetahuan yang kokoh, bisa jatuh dalam kekufuran, dimana ia tiada mengetahuinya, seperti orang yang berlayar di laut yang dalam, sedang ia tiada tahu berenang. Dan tipuan setan mengenai yang berhubungan dengan aqidah dan mazhab itu, tiada terhingga. Dan sesungguhnya kami kemukakan, dengan apa yang telah kami kemukakan dahulu dengan contoh. Diantara pintu-pintu setan, ialah: jahat sangka kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Barangsiapa menghukum jahat orang lain, dengan purbasangka, niscaya setan membawanya untuk panjang lidahnya dengan mengumpat orang. Lalu ia binasa. Atau teledor melaksanakan kewajibannya. Atau memandang rendah untuk memuliakan orang itu. Dan melihat kepadanya dengan pandangan kehinaan. Dan melihat dirinya sendiri lebih baik dari orang tersebut. Dan semuanya itu termasuk membinasakan. Dan karena itulah, syara’ melarang melakukan tuduhan-tuduhan kepada orang. Nabi saw bersabda: “Takutlah akan tempat-tempat yang bisa menimbulkan tuduhan”. Sehingga Rasulullah saw menjaga diri daripada yang demikian. Diriwayatkan dari Ali bin Husain, bahwa Shafiyyah binti Huyay bin Akh-thab, menerangkan kepadanya: “Bahwa Nabi saw beri’tikaf dalam masjid”. Shafiyyah meneruskan ceritanya: “Lalu aku datang kepada Rasulullah saw. Aku bercakap-cakap dengan beliau. Tatkala telah sore hari, lalu aku pergi. Maka Rasulullah saw pun bangun berdiri, berjalan bersama aku. Lalu lewat di situ dua orang anshar dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Kemudian keduanya pergi. Lalu Rasulullah saw memanggil keduanya, seraya bersabda: “Dia ini Shafiyyah binti Huyay”. Maka keduanya menjawab: “Wahai Rasulullah ! kami tiada menyangka apa-apa pada engkau, selain yang baik”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada anak Adam, pada tempat jalannya darah dari tubuhnya. Aku takut, setan itu masuk pada engkau berdua”. Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah saw berusaha terhadap agama kedua orang anshar tadi, lalu menjaganya. Dan bagaimana beliau berusaha terhadap umatnya, lalu mengajarkan mereka jalan menjaga dari tuduhan. Sehingga orang alim, wara’, yang terkenal dalam semua tingkah-lakunya dengan agama, tidak akan begitu bermudah-mudah, lalu mengatakan: “Orang seperti aku ini, tidak disangka orang apa-apa, selain yang baik saja”, karena menyombong dengan dirinya. Orang yang paling wara’, paling taqwa dan paling alim, tidak akan dipandang oleh semua manusia kedapanya dengan semacam pandangan. Tetapi sebahagian mereka memandangnya dengan pandangan suka dan sebahagian yang lain, memandangnya dengan pandangan marah. Karena itulah, seorang penyair bermadah, sbb:
“Apabila kita senang kepada orang,
segala kekurangannya tidak tampak.
Tetapi, bila marah kepada orang,
segala keburukannya akan tampak”.
Maka haruslah menjaga diri dari jahat sangka dan dari menuduh orang-orang jahat. Karena orang-orang jahat itu tidak menyangka semua orang lain, melainkan jahat pula. Maka manakala anda melihat seseorang, yang berjahat sangka kepada orang lain, yang mencari segala kekurangannya, maka ketahuilah, bahwa orang itu busuk hatinya. Dan demikian itu, kebusukannya, yang tersaring dia daripadanya. Dan ia melihat orang lain, menurut dirinya sendiri. Sesungguhnya orang mu’min meminta kemaafan, sedang orang munafik, mencari kekurangan. Orang mu’min itu sejahtera dadanya terhadap hak semua makhluk Tuhan. Inilah sebahagian tempat-tempat masuknya setan ke dalam hati manusia. Jikalau aku bermaksud menyelidiki semuanya, niscaya aku tidak sanggup. Dan dengan sekedar ini, dapatlah memberitahukan kepada yang lain. Maka tidak ada pada manusia suatu sifat yang tercela, melainkan sifat itu menjadi senjata setan dan salah satu tempat masuknya. Jikalau anda bertanya: “Apakah obatnya untuk menolak setan itu ? adakah memadai pada yang demikian, dengan mengingati Allah (berdzikir) dan manusia mengucapkan: “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah” (tiada daya dan upaya, selain dengan Allah) ?”. Ketahuilah, bahwa obat hati pada yang demikian itu, ialah: menyumbat tempat-tempat masuknya setan, dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela itu. Dan itu termasuk hal-hal yang panjang uraiannya. Dan maksud kami dalam Rubu’ ini dari Kitab Ihya’ ini, ialah: menerangkan obat sifat-sifat yang membinasakan. Dan masing-masing sifat itu memerlukan kepada kitab tersendiri, menurut uraian yang akan datang. Benar, apabila pokok-pokok sifat tersebut dipotong dari hati, niscaya setan mempunyai tempat singgahan dan bahaya yang lain pada hati. Dan dia tidak mempunyai tempat ketetapan. Dan ia dicegah dari singgahan itu, oleh mengingati Allah Ta’ala (berdzikir). Karena hakekat dzikir itu tidak dapat menetap pada hati kecuali sesudah hati itu dibangun dengan taqwa. Dan disucikannya dari sifat-sifat tercela. Kalau tidak demikian, maka adalah dzikir itu merupakan kata diri saja. Tiada berkuasa kepada hati. Lalu tidak dapat menolak kekuasaan setan. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang datang berkunjung, mereka ingat kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”. S 7 Al A’raaf ayat 201. Allah Ta’ala mengkhususkan yang demikian kepada orang yang bertaqwa. Karena setan itu adalah seperti anjing lapar, yang mendekati engkau. Kalau tidak ada di muka engkau roti atau daging, maka anjing itu terkejut dengan perkataanmu kepadanya: “Pergi !”. Maka semata-mata suara, dapat menolaknya untuk pergi. Jikalau ada daging dihadapan engkau dan anjing itu lapar, niscaya ia menyerang kepada daging. Dan ia tidak dapat ditolak untuk pergi dengan semata-mata perkataan. Maka hati yang kosong dari makanan setan itu, ia terkejut dengan semata-mata dzikir. Adapun nafsu syahwat apabila telah bersangatan pada hati, niscaya ia menolak hakekat dzikir kepada pinggir-pinggir hati. Lalu dzikir itu tidak menetap di dalam hati. Akan  tetapi setan yang menetap di dalam hati. Adapun hati orang-orang muttaqin, yang terlepas dari hawa nafsu dan sifat-sifat tercela, maka ia diketuk oleh setan. Tidak untuk nafsu syahwat, akan tetapi supaya hati itu kosong, disebabkan lalai daripada dzikir. Maka apabila ia kembali kepada dzikir, niscaya setan itu mengendap. Dalilnya yang demikian itu, ialah firman Allah Ta’ala: “Maka bermohonlah perlindungan kepada Allah, dari setan yang terkutuk !”. S 16 An Nahl ayat 98. Hadits-hadits dan ayat-ayat yang lain, yang menerangkan tentang dzikir. Abu Hurairah berkata: “Telah bertemu setan orang mu’min dengan setan orang kafir. Setan orang kafir itu berminyak rambutnya, gemuk dan berpakaian, sedang setan orang mu’min itu kurus, tidak teratur rambutnya, berdebu dan telanjang. Lalu setan orang kafir bertanya kepada setan orang mu’min: “Mengapa kamu kurus ?”. setan orang mu’min itu menjawab: “Allah (membaca Bismillah), maka senantiasalah aku lapar. Apabila ia minum, ia menyebut nama Allah, maka senantiasalah aku haus. Apabila ia berpakaian, ia menyebut nama Allah, maka senantiasalah aku dalam keadaan telanjang. Apabila ia memakai minyak rambut, ia menyebut nama Allah, maka senantiasalah rambutku tidak teratur”. Lalu setan orang kafir itu berkata: “Tetapi aku bersama seorang laki-laki yang tiada berbuat suatupun dari yang demikian. Aku bersekutu dengan dia pada makanannya, minumannya dan pakaiannya”. Muhammad bin Wasi’ berdoa tiap-tiap hari sesudah shalat Shubuh, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya Engkau menguasakan diatas diri kami, seorang musuh yang dapat melihat kekurangan-kekurangan kami, baik oleh dia sendiri atau golongannya, sedang kami tidak dapat melihat mereka. Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah dia berputus-asa daripada menipu kami, sebagaimana Engkau menjadikannya berputus-asa daripada rahmat Engkau ! jadikanlah ia berputus-asa daripada menipu kami, sebagaimana Engkau menjadikannya berputus-asa daripada kemaafan Engkau ! jauhkanlah diantara kami dan dia, sebagaimana Engkau jauhkan, diantara dia dan rahmat Engkau ! sesungguhnya Engkau Maha-kuasa atas segala sesuatu”. Yang meriwayatkan peristiwa ini menerangkan: “Lalu pada suatu hari, Iblis itu berdiri dihadapan Muhammad bin Wasi’ pada jalan ke masjid, seraya berkata: “Hai Ibnu Wasi ! adakah engkau mengenal aku ?”. Ibnu Wasi’ menjawab: “Siapa engkau ?”. Iblis itu menjawab: “Aku Iblis”. Lalu Ibnu Wasi’ bertanya: “Apa maksud engkau ?”. Iblis itu menjawab: “Aku ingin, supaya engkau tiada mengajarkan seorangpun, doa meminta perlindungan diri (al-isti’adzah) tadi. Dan aku tidak akan datang-datang kepada engkau”. Ibnu Wasi’ menjawab: “Demi Allah ! aku tidak akan melarang al-isti’adzah itu kepada siapa saja yang mengingininya. Buatlah apa yang engkau mau !”. Dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang mengatakan: “Adalah setan itu datang kepada Nabi saw dan di tangannya api yang bernyala-nyala. Lalu ia berdiri di hadapan Nabi saw dan Nabi saw sedang shalat. Maka Nabi saw membaca ayat Alquran dan berlindung dari setan yang terkutuk (membaca A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim). Tetapi setan itu tidak pergi. Maka datanglah malaikat Jibril as kepada Nabi saw, seraya mengatakan kepada Nabi saw: “Aku berlindung dengan kalam Allah yang sempurna, yang tidak dilampaui oleh orang baik dan orang zalim, dari kejahatan sesuatu yang masuk dalam bumi dan yang keluar daripadanya, dari sesuatu yang turun dari langit dan yang naik padanya, dari segala fitnah malam dan siang, dari segala yang datang pada malam dan siang, kecuali yang datang dimana datangnya itu dengan kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah !”. Lalu Nabi saw membaca yang tersebut itu. Maka padamlah apinya dan setan itu jatuh tersungkur”. Al-Hasan berkata: “Diceritakan orang kepadaku, bahwa malaikat Jibril as datang kepada Nabi saw, seraya berkata: “Bahwa jin ifrit akan memperdayakan engkau. Apabila engkau pergi ke tempat tidur, maka bacalah: ayat Al-Kursiyyi. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan telah datang kepadaku, lalu ia bertengkar dengan aku. Kemudian, ia bertengkar lagi dengan aku. Lalu aku pegang lehernya. Demi Allah yang mengutuskan aku dengan kebenaran ! aku tidak melepaskannya, sehingga aku dapati kedinginan air lidahnya pada tanganku. Jikalau tidaklah doa saudaraku Sulaiman as, niscaya jadilah aku tercampak dalam masjid”. Nabi saw bersabda: “Umar tiada menjalani sesuatu jalan, melainkan setan menjalani sesuatu jalan yang tiada dijalani oleh Umar”. Fahamilah ini ! karena hati itu disucikan dari tempat gembalaan dan kekuatan setan. Yaitu: nafsu syahwat. Manakala anda mengharap, bahwa tertolaknya setan dari anda dengan dzikir semata-mata, sebagaimana tertolaknya dari Umar ra, maka yang demikian itu mustahil. Anda adalah seperti orang yang mengharap meminum obat sebelum mengosongkan perut dari makanan. Dan perut besar (maiddah) itu sibuk dengan makanan-makanan berat. Dan orang itu mengharap bahwa obat tersebut bermanfaat kepadanya, sebagaimana bermanfaatnya obat yang diminum sesudah perut kosong dan pengosongan perut besar. Dzikir itu obat dan taqwa itu pengosongan perut. Yaitu: pengosongannya hati dari segala nafsu syahwat. Maka apabila dzikir bertempat pada hati yang kosong dari selain dzikir, niscaya tertolaklah setan, sebagaimana tertolaknya penyakit dengan bertempatnya obat dalam perut yang kosong daripada makanan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian)”. S 50 Qaaf ayat 37. Allah Ta’ala berfirman: “Telah ditetapkan, bahwa siapa, yang mengikut setan itu, sudah tentu akan disesatkannya dan akan dipimpinnya menuju siksaan api yang menyala”. S 22 Al Hajj ayat 4. Siapa yang menolong setan dengan perbuatannya, maka dia adalah pengikut setan, walaupun ia menyebut Allah dengan lidahnya. Dan walaupun anda mengatakan, bahwa telah datang hadits secara mutlak, yang menerangkan, bahwa dzikir (menyebut Allah) itu menolak setan. Anda tidak memahami, bahwa kebanyakan hal yang bersifat umum bagi agama itu dikhususkan dengan syarat-syarat yang dinukilkan oleh ulama-ulama agama. Maka lihatlah kepada diri anda. Tidaklah kabar itu seperti dilihat sendiri. Dan perhatikanlah, bahwa kesudahan dzikir anda dan ibadah anda itu, ialah: shalat ! Maka awasilah hati anda, apabila anda berada dalam shalat ! bagaimana hati itu ditarik oleh setan ke pasar-pasar, mengadakan perhitungan dengan orang-orang yang berjual-beli dan bersoal-jawab dengan orang-orang yang menantang ? bagaimana setan itu membawa anda dalam lembah-lembah dunia dan tempat-tempat yang membinasakan ? sehingga anda tidak teringat apa yang telah anda lupakan dari segala tetek bengek dunia, selain dalam shalat anda. Dan setan itu tidak berdesak-desak pada hati anda, selain apabila anda mengerjakan shalat. Maka shalat itu adalah batu penguji hati. Pada shalat, lahirlah segala kebaikan dan keburukan hati. Shalat itu tidak diterima dari hati yang penuh dengan segala hawa nafsu dunia. Tidak dapat dibantah, bahwa setan itu tidak terusir dari anda, bahkan kadang-kadang bertambah bisikannya pada anda. Sebagaimana obat sebelum kosongnya perut kadang-kadang menambahkan kemelaratan kepada anda. Jikalau anda bermaksud terlepas dari setan, maka dahulukanlah kekosongan perut dengan taqwa ! kemudian, iringilah dengan obat dzikir, yang akan melarikan setan daripada anda, sebagaimana setan itu lari daripada Umar ra. Karena itulah Wahab bin Munabbih berkata: “Bertaqwalah kepada Allah ! janganlah anda memaki setan secara terang-terangan, sedang anda temannya secara rahasia. Artinya: anda patuh kepadanya”. Sebahagian mereka berkata: “Alangkah mengherankan, orang yang mendurhakai orang yang berbuat baik, sesudah diketahuinya akan kebaikan orang itu. Dan mentaati akan orang yang terkutuk, sesudah diketahuinya akan kedurhakaannya”. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mendoalah kepadaKu, nanti Kuperkenankan (permintaan) kamu itu”. S 40 Al Mukmin ayat 60. Anda mendoa kepadaNya dan Ia tidak memperkenankan untuk anda. Maka seperti itu pulalah, anda mengingati Allah (berdzikir) dan setan tidak lari dari anda, karena ketiadaan syarat-syarat dzikir dan doa. Orang bertanya kepada Ibrahim bin Adham: “Bagaimana kami ini berdoa, maka tidak diperkenankan doa kami itu ? padahal Allah Ta’ala berfirman: “Mendoalah kepadaKu, nanti Kuperkenankan (permintaan) kamu itu ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “Karena hatimu itu mati”. Orang tersebut bertanya lagi: “Apakah yang mematikan hati itu ?”. Ibrahim bin Adham menjawab: “8 perkar: engkau mengetahui akan hak Allah, lalu engkau tidak bangun menegakkan hakNya, engkau membaca Alquran dan engkau tidak mengerjakan menurut batas-batas yang ditentukan oleh Alquran, engkau berkata: kami mencintai Rasulullah saw dan engkau tidak melaksanakan menurut sunnahnya, engkau mengatakan: kami takut kepada mati dan kamu tidak mengadakan persiapan untuk mati. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu, perlakukanlah dia sebagai musuh !”. S 35 Faathir ayat 6. Lalu kamu sepakat dengan setan itu pada perbuatan maksiat. Engkau mengatakan: kami takut kepada api neraka dan engkau membawa susah badanmu ke dalam api neraka. Engkau mengatakan: kami mencintai sorga dan engkau tidak berbuat untuk sorga. Dan apabila kamu bangun dari tempat tidurmu, kamu lemparkan kekurangan-kekuranganmu ke belakang punggungmu. Dan kamu bentangkan kekurangan orang lain di hadapanmu. Kamu telah memarahkan Tuhanmu, maka bagaimanakah Ia memperkenankan doamu ?”. Kalau anda bertanya: “Yang mengajak kepada maksiat yang bermacam-macam itu, apakah setan itu satu atau setan-setan yang bermacam-macam ?”. Ketahuilah, bahwa tidak perlu bagi anda mengetahui yang demikian pada ilmu-mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Bekerjalah menolak musuh dan jangan anda bertanya tentang sifatnya ! makanlah sayur-sayuran dari mana saja datangnya dan janganlah anda tanyakan tentang tempat tumbuhnya sayuran itu ! akan tetapi yang terang dengan cahaya penglihatan pada penyaksian-penyaksian hadits, ialah: mereka itu adalah tentara yang berbaris. Masing-masing macam dari maksiat itu, mempunyai setan yang tertentu dan yang mengajak kepadanya. Adapun jalan penglihatan, untuk menyebutkannya adalah panjang. Dan mencukupilah untuk anda, sekedar yang telah kami sebutkan itu. Yaitu: bahwa perbedaan yang menyebabkannya, menunjukkan kepada perbedaan sebab-sebab, sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang cahaya api dan hitam asap. Adapun hadits, maka Mujahid telah mengatakan: “Iblis itu mempunyai 5 anak. Masing-masing dari anak itu dijadikan sesuatu yang menjadi urusannya. Ke-5 anak ialah: Tsabur, A’war, Mabsuth, Dasim dan Zalambur. Tsabur, yaitu: yang punya segala bencana, yang menyuruh dengan kebinasaan, merobekkan baju, menampar pipi dan dakwaan jahiliah. Adapun A’war, yaitu: yang punya zina, yang menyuruh dan menghiaskan kezinaan. Adapun Mabsuth, yaitu: yang punya kebohongan. Dan Dasim, ialah: yang masuk bersama orang laki-laki kepada keluarganya, yang menuduh mereka, dengan kekurangan pada laki-laki itu dan yang membuat laki-laki itu marah kepada keluarganya. Dan Zalambur, yaitu: yang punya pasar. Lalu dengan sebab Zalambur, mereka itu senantiasa mendapat kezaliman. Setan shalat, dinamai: Khanzab. Dan setan wudhu’, dinamai: Walhan. Mengenai yang demikian, telah tersebut pada banyak hadits. Sebagaimana setan pada mereka itu banyak, maka begitu pulalah malaikatpun banyak. Dan telah kami sebutkan pada “Kitab Syukur” tentang rahasia banyaknya malaikat dan masing-masing mereka mempunyai tugas khusus yang tersendiri. Abu Amamah Al-Bahili berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Diwakilkan dengan orang mu’min 160 malaikat, yang mempertahankannya, apabila ia tidak sanggup mempertahankan dirinya dari yang demikian. Bagi penglihatan (mata) mempunyai 7 malaikat, yang mempertahankannya, sebagaimana lalat ditolak-jauh dari piring madu pada hari panas. Jikalau tampaklah bagi kamu malaikat itu, niscaya kamu melihatnya, pada tiap-tiap lembah dan bukit. Masing-masing mereka menghamparkan tangannya dan membuka mulutnya. Dan jikalau diwakilkan hamba mu’min itu kepada dirinya sendiri sekejap mata niscaya ia disambar oleh setan-setan”. Ayyub bin Yunus bin Yazid berkata: “Ada berita yang sampai kepada kami, bahwa lahir anak-anak jin bersama anak-anak manusia. Kemudian mereka itu jadi bersama anak-anak manusia”. Jabir bin Abdullah meriwayatkan, bahwa Nabi Adam as tatkala turun ke bumi, berdoa: “Wahai Tuhanku ! Iblis ini yang Engkau jadikan permusuhan diantaraku dan dia. Jikalau Engkau tidak menolong aku, niscaya aku tiada sanggup menghadapinya”. Allah berfirman: “Apabila engkau melahirkan anak, maka diwakilkan seorang malaikat kepadanya”. Nabi Adam as berdoa: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku !”. Allah berfirman: “Aku balas satu kejahatan dengan satu. Dan satu perbuatan kebaikan, Aku balas 10, sampai sebanyak yang Aku kehendaki”. Nabi Adam as berdoa lagi: “Wahai Tuhanku, tambahlah kepadaku !”. Allah berfirman: “Pintu taubat itu terbuka, selama masih ada nyawa dalam badan”. Dan Iblis berdoa: “Wahai Tuhanku ! hambaMu itu Engkau muliakan terhadap aku, jikalau tidak Engkau menolong aku terhadapnya, niscaya aku tidak sanggup menghadapinya”. Allah berfirman: “Apabila dilahirkan untuk Adam seorang anak, maka untukmu dilahirkan seorang anak pula”. Iblis berdoa: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah untukku !”. Allah berfirman: “Engkau berjalan pada mereka pada tempat jalan darahnya dan engkau mengambil dada mereka menjadi rumahmu”. Iblis mendoa lagi: “Tambahlah, wahai Tuhanku !”. Allah berfirman: “Dan kerahkanlah mereka dengan pasukan engkau yang berkuda dan jalan kaki dan berserikatlah dengan mereka tentang harta dan anak-anak dan janjikanlah (apa-apa) kepada mereka. Dan apa yang dijanjikan oleh setan itu kepada mereka, tiada lain dari tipuan belaka”. S 17 Al Israa’ ayat 64. Dari Abid-Darda ra yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Allah Ta’ala menjanjikan jin 3 macam: semacam seperti ular, kala dan binatang-binatang kecil di bumi. Semacam seperti angin di udara. Dan semacam lagi, pada mereka pahala dan siksa. Allah Ta’ala menjadikan manusia 3 macam: semacam seperti hewan  sebagaimana firman Allah Ta’ala: “.......mereka mempunyai hati (tetapi) tidak memahamkan dengan hatinya, mempunyai mata, (tetapi) tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga, (tetapi) tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat”. S 7 Al A’raaf ayat 179. Semacam lagi, tubuhnya tubuh manusia dan nyawanya nyawa setan. Dan semacam lagi dalam naungan Allah Ta’ala pada hari kiamat, hari yang tak ada naungan padanya, selain naungan Allah”. Wahib bin Al-Ward berkata: “Sampai kepada kami cerita, bahwa Iblis merupakan diri seperti manusia, dihadapan Nabi Yahya bin Zakaria as. Iblis itu berkata: “Aku bermaksud menasehati engkau”. Nabi Yahya as menjawab: “Aku tiada memerlukan akan nasehatmu. Akan tetapi terangkanlah kepadaku tentang anak Adam !”. Lalu Iblis itu menjawab: “Mereka pada kami 3 macam. Semacam dari mereka itu, adalah macam yang sangat sulit kepada kami. Kami hadapi salah seorang dari mereka, sehingga kami fitnahkan dia dan kami berketetapan padanya. Lalu ia berlindung dengan pembacaan istighfar dan taubat. Maka rusaklah semua yang telah kami peroleh daripadanya. Kemudian, kami kembali lagi kepadanya, lalu iapun kembali kepada istighfar dan taubat. Kami tiada berputus-asa daripadanya dan kami tiada memperoleh hajat kami daripadanya. Kami hanya payah saja menghadapinya. Yang semacam lagi, mereka itu dalam tangan kami, seperti bola dalam tangan anak-anakmu. Kami balik-balikkan mereka menurut kehendak kami. Mereka menjaga dari kami, diri mereka. Adapun macam ke-3, mereka adalah seperti engkau, yang terpelihara dari kesalahan. Kami tidak sanggup berbuat sesuatu terhadap mereka”. Kalau anda bertanya, bagaimana setan itu membuat dirinya menyerupai dengan sebahagian manusia dan tidak dengan sebahagian yang lain ? apabila dilihat bentuknya, maka apakah itu bentuknya yang sebenarnya atau contoh yang memberi bentuk setan dengan demikian ? jikalau setan itu menurut bentuk yang sebenarnya, maka bagaimana ia dapat terlihat dengan bentuk yang bermacam-macam ? dan bagaimana ia dapat terlihat pada satu waktu di dua tempat dan dengan dua bentuk ? sehingga ia dapat dilihat oleh dua orang dengan dua bentuk yang berlainan. Ketahuilah kiranya, bahwa malaikat dan setan, masing-masing mempunyai dua bentuk. Yaitu: hakekat bentuk keduanya. Dan hakekat bentuk keduanya itu tidak dapat diketahui dengan menyaksikan, kecuali dengan nur kenabian. Nabi saw tiada melihat malaikat Jibril as dalam bentuknya, kecuali 2 kali. Yang demikian, ialah: bahwa Nabi saw meminta kepada Jibril as supaya memperlihatkan dirinya kepada Nabi saw menurut bentuknya. Lalu Jibril as menjanjikannya di Baqi’. Dan tampaklah Jibril as kepada Nabi saw di Hara’. Maka tertutuplah ufuk dari Timur (masyriq) sampai ke Barat (maghrib). Dan sekali lagi, Nabi saw melihat Jibril as menurut bentuknya pada malam mi’raj di sisi Sadratul-muntaha. Biasanya Nabi saw melihat Jibril as itu dalam bentuk manusia. Nabi saw melihat Jibril as menurut bentuk Dahiyah Al-Kalabi. Dahiyah adalah seorang laki-laki yang cantik mukanya. Yang kebanyakan, malaikat Jibril as itu membuka kepada ahli-mukasyafah dari orang-orang yang mempunyai hati, dengan contoh bentuknya. Lalu setan menampakkan contoh bentuknya bagi ahli mukasyafah itu waktu jaga (tidak tidur). Maka ia melihat setan tersebut dengan matanya dan mendengar perkataannya dengan telinganya. Lalu yang demikian itu berkedudukan pada kedudukan hakekat bentuknya, sebagaimana tersingkap dalam tidur bagi kebanyakan orang-orang saleh. Yang tersingkap pada waktu juga, yaitu: yang telah sampai kepada tingkat, yang tidak dapat dicegah dari mukasyafah yang ada dalam tidur, oleh kesibukan pancaindra dengan dunia. Lalu ia melihat dalam jaga itu, apa yang dilihat oleh orang lain dalam tidur. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Abdul-‘aziz ra, bahwa seorang laki-laki, meminta kepada Tuhannya, supaya Tuhan memperlihatkan kepadanya tempat setan dalam hati manusia. Lalu ia melihat dalam tidurnya (bermimpi) tubuh seorang laki-laki yang menyerupai batu yang bersih berkilat. Kelihatan dalamnya dari luarnya. Dan ia melihat setan itu dalam bentuk katak, yang duduk atas lembung kiri orang itu, diantara lembungnya dan telinganya. Katak itu mempunyai belalai halus, yang dimasukkannya dari lembung kiri orang itu ke dalam hatinya, dimana dibisikkan kepadanya hal-hal yang tidak baik. Apabila orang itu mengingati Allah Ta’ala (berdzikir), niscaya setan itu mengendap. Hal yang seperti ini, kadang-kadang disaksikan dengan mata pada waktu jaga. Sebahagian golongan kasyaf melihat setan itu, dalam bentuk anjing bertelungkup atas bangkai. Ia mengajak manusia kepada bangkai itu. Dan bangkai itu adalah contoh dunia. Ini berlaku sebagai penyaksian bentuk setan itu yang hakiki. Sesungguhnya hati itu tak boleh tidak akan lahir hakekatnya, dari wajahnya yang berhadapan dengan alam malakut. Dan ketika itu cemerlanglah bekasnya, atas wajahnya yang berhadapan dengan alamul-mulki wasy-syahadah (alam yang tampak, dapat disaksikan). Karena salah satu daripada keduanya bersambung dengan yang satu lagi. Dan telah kami terangkan, bahwa hati itu mempunyai dua wajah: wajah ke alam ghaib, yaitu: tempat masuknya ilham dan wahyu. Dan wajah ke alam syahadah. Maka yang lahir daripadanya pada wajah yang mengiringi pihak alam syahadah, adalah merupakan bentuk khayalan. Karena seluruh alam syahadah itu khayalan. Hanya khayalan itu sekali berhasil dari pandangan dengan pancaindra kepada zahiriah alam syahadah. Maka bolehlah bentuk itu tidak bersesuaian dengan maksud. Sehingga terlihat orang yang cantik bentuknya, padahal dia itu kotor batinnya dan keji rahasianya. Karena alam syahadah itu alam yang banyak penyelewengan. Adapun bentuk yang berhasil dalam khayalan, dari cemerlangnya alam malakut diatas batin rahasia hati, adalah merupakan peniruan sifat dan penyesuaian bagi sifat. Karena bentuk pada alam malakut itu, mengikuti sifat dan penyesuaian bagi sifat. Maka tak dapat dibantah, bahwa maksud yang keji akan terlihat dengan bentuk yang keji. Maka setan itu akan terlihat dalam bentuk anjing, katak, babi dll. Dan malaikat akan terlihat dalam bentuk yang cantik. Maka bentuk itu adalah judul maksud dan yang menerangkan maksud itu dengan sebenarnya. Karena itulah, beruk dan babi dalam tidur (mimpi) menunjukkan kepada manusia keji. Kambing menunjukkan kepada manusia yang sejahtera isi dadanya. Begitulah semua pintu mimpi dan penta’birannya (pengertian mimpi). Dan inilah rahasia-rahasia ajaib. Yaitu: diantara rahasia-rahasia keajaiban hati. Dan tidak layak menyebutkannya dengan Ilmu-Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan yang dimaksudkan, ialah; anda membenarkan, bahwa setan itu tersingkap, bagi orang-orang yang mempunyai hati (arbabil-qulub). Begitupula malaikat, sekali dengan jalan percontohan dan peniruan, sebagaimana ada yang demikian itu dalam tidur. Dan sekali dengan jalan hakekat yang sebenarnya. Dan yang kebanyakan, ialah: percontohan dengan bentuk yang memberi arti. Yaitu: contoh arti, tidak arti itu sendiri. Hanya yang demikian itu, dapat disaksikan dengan penyaksian yang hakiki dengan mata. Dan ahli kasyaf saja yang dapat menyaksikannya, tidak orang kelilingnya, seperti orang yang tidur.
PENJELASAN: tentang bisikan hati, cita-citanya, segala yang terguris padanya dan maksud-maksudnya, yang disiksakan seorang hamba dengan yang tersebut itu dan apa yang dimaafkan, tiada disaksikan dengan yang demikian.
Ketahuilah kiranya, bahwa ini adalah hal yang tersembunyi, yang memerlukan kepada penguraian. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertentangan, telah membentangkannya, yang meragukan jalan untuk mengumpulkannya. Kecuali pada ulama-ulama yang ahli tentang syariat. Telah diriwayatkan daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya, bila tidak dikatakannya atau dikerjakannya”. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat penjaga: “Apabila hambaKu bercita-cita perbuatan keji, maka janganlah kamu tuliskan ! kalau dikerjakannya, maka tulislah satu kekejian ! apabila ia bercita-cita perbuatan yang baik yang tidak dikerjakannya, maka tulislah satu kebaikan ! dan kalau dikerjakannya, maka tulislah 10 kebaikan”. Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam “Shahih”nya. Dan itu adalah dalil tentang dimaafkan pekerjaab dan cita-cita hati akan perbuatan keji. Dan pada kata-kata yang lain dari Nabi saw tersebut, yang artinya: “Orang yang bercita-cita perbuatan baik, lalu tidak dikerjakannya, maka dituliskan suatu kebaikan baginya. Dan orang yang bercita-cita suatu perbuatan baik, lalu dikerjakannya, maka dituliskan baginya 700 gandanya. Dan orang yang bercita-cita perbuatan keji, lalu tidak dikerjakannya, maka tidak dituliskan. Dan kalau dikerjakannya, maka dituliskan”. Dan pada kata-kata yang lain dari Nabi saw tersebut, yang artinya: “Apabila seseorang berkata akan mengerjakan suatu pekerjaan keji, maka aku akan mengampunkannya selama tidak dikerjakannya”. Semua yang tersebut tadi menunjukkan kepada pemaafan. Adapun yang menunjukkan kepada penyiksaan, ialah firman Allah swt: “Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga. Allah mengampuni orang yang dikehendakiNya dan menyiksa orang yang dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat 284. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak engkau ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan menerima pertanyaan”. S 17 Al Israa’ ayat 36. Firman itu menunjukkan, bahwa perbuatan hati adalah seperti perbuatan pendengaran dan penglihatan. Tidak dimaafkan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menyembunyikan kesaksian ! siapa yang menyembunyikan kesaksiannya itu, sesungguhnya hatinya berdosa”. S 2 Al Baqarah ayat 283. Dan firman Allah Ta’ala: “Allah tidak mengadakan tuntutan kewajiban karena sumpahmu yang tidak disengaja. Tetapi Ia mengadakan tuntutan kewajiban terhadap apa yang dikerjakan hatimu”. S 2 Al Baqarah ayat 225. Sebenarnya pada kami tentang persoalan ini, tidak dapat dipahami, sebelum diliputi dengan uraian pekerjaan hati, dari permulaan lahirnya sampai kepada lahirnya perbuatan pada anggota badan. Maka sekarang kami terangkan, bahwa:
Yang pertama datang pada hati, ialah gurisan, sebagaimana –umpamanya- terguris pada hati seseorang, rupa seorang wanita. Dan wanita itu dibelakangnya di jalan. Jikalau ia berpaling kepadanya, niscaya dilihatnya.
Yang kedua, berkobar-kobar keinginan melihat. Dan itu, adalah gerakan nafsu syahwat yang menjadi sifat manusia. Dan ini terjadi dari gurisan yang pertama itu. Dan kami namakan: kecenderungan tabiat. Dan yang pertama tadi, dinamakan: kata hati (haditsun-nafsi).
Yang ketiga, keputusan hati, bahwa seyogyalah itu dikerjakan. Artinya: seyogyalah bahwa ia akan memandang wanita itu. Karena tabiat (karakter manusia) apabila cenderung kepada sesuatu, niscaya kemauan dan niat itu tidak bergerak, sebelu segala penghalang tersingkirkan. Kadang-kadang ia dicegah oleh malu atau takut menoleh. Dan tidak adanya penghalang-penghalang itu, kadang-kadang dengan perhatian. Yaitu, pada umumnya itu suatu ketetapan dari pihak akal. Dan ini dinamakan: tekad (keyakinan). Dan tekad itu mengikuti gurisan dan kecenderungan hati.
Dan yang keempat, keputusan azam (cita-cita) untuk menoleh kepada wanita tersebut dan keyakinan niat hati pada yang demikian. Dan inilah yang kami namakan: cita-cita, niat dan maksud mengerjakannya. Cita-cita itu kadang-kadang mempunyai dasar yang lemah. Tetapi apabila hati mendengar kepada gurisan yang pertama, sehingga panjang penarikannya kepada jiwa, niscaya cita-cita itu menjadi kuat. Dan menjadi kemauan yang diyakini. Apabila kemauan telah diyakini, kadang-kadang timbul penyesalan sesudah keyakinan itu. Lalu ditinggalkan mengerjakannya. Dan kadang-kadang lupa disebabkan oleh sesuatu penghalang. Lalu tidak dikerjakan dan tidak menoleh kepadanya. Dan kadang-kadang dicegah oleh sesuatu pencegah, lalu sulit mengerjakannya. Maka disini ada 4 hal bagi hati, sebelum dikerjakan dengan anggota badan. Yaitu: gurisan, ya’ni: kata hati. Kemudian: kecenderungan, kemudian: tekad, kemudian: cita-cita. Maka kami jelaskan, bahwa gurisan itu, tidak dikenakan tuntutan. Karena ia tidak termasuk dalam ikhtiar (pilihan atau usaha). Begitupula: kecendorongan dan berkobarnya nafsu syahwat. Keduanya tidak juga termasuk dalam ikhtiar. Dan itulah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi saw: “Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya”. Maka kata-hati itu, merupakan gurisan-gurisan yang membisik dalam hati (jiwa). Dan tidak diikuti oleh cita-cita mengerjakannya. Adapun cita-cita dan azam, maka tidak dinamakan: kata hati. Akan tetapi kata-hati, adalah sebagaimana diriwayatkan dari Usman bin Madl’un, dimana ia mengatakan kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku ceraikan Khaulah !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya, diantara sunnahku, ialah: kawin (nikah)”. Usman bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku potong alat nafsu syahwatku”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! memutuskan alat nafsu syahwat umatku, ialah membiasakan berpuasa”. Usman bin Madh’un berkata pula: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku menjadi padri”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! kepadrian umatku, ialah jihad dan hajji”. Usman bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku meninggalkan makan daging”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya aku menyukai daging. Jikalau aku memperolehnya, niscaya aku makan. Dan jikalau aku minta pada Allah, niscaya diberikanNya kepadaku”. Semua gurisan ini yang tidak disertai oleh azam mengerjakannya, adalah: kata hati (haditsun-nafsi). Dan karena itulah Usman bin Madh’un bermusyawarah dengan Rasulullah saw. Karena tidak ada padanya azam dan cita-cita dengan perbuatan itu.
Adapun yang ketiga, yaitu: tekad dan keputusan hati, bahwa seyogyanya ia mengerjakannya, maka ini adalah keragu-raguan (taraddud), diantara terpaksa atau dengan pilihan (ikhtiar) mengerjakannya. Dan keadaan berbeda-beda padanya. Yang ikhtiar (dengan pilihan dan kemauan sendiri) dilakukan tuntutan. Dan yang idltirari (yang terpaksa dikerjakan), tidak dilakukan tuntutan.
Adapun yang keempat, yaitu: cita-cita mengerjakannya, maka dilakukan tuntutan. Kecuali, kalau tidak dikerjakannya, maka itu diperhatikan. Kalau ditinggalkannya karena takut kepada Allah Ta’ala dan menyesal diatas cita-citanya itu, niscaya dituliskan untuknya suatu kebaikan. Karena cita-citanya itu keji. Dan pencegahan diri dan mujahadahnya akan hawa nafsunya itu, suatu kebaikan. Dan cita-cita yang sesuai dengan tabiat itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada sempurnanya kelalaian kepada Allah Ta’ala. Dan mencegah diri dengan mujahadah itu menyalahi tabiat (keinginan hawa nafsu), yang memerlukan kepada kekuatan besar. Maka sesungguhnya menyalahi tabiat itu, adalah amalan karena Allah Ta’ala. Dan amalan karena Allah Ta’ala itu, lebih berat daripada kesungguhannya menyetujui setan dengan menyetujui tabiat (keinginan hawa nafsu) itu. Lalu dituliskan suatu kebaikan baginya. Karena ia menguatkan kesungguhannya mencegah diri dan cita-citanya yang tersebut, daripada cita-citanya mengerjakan perbuatan itu. Kalau ia tercegah dari perbuatan itu disebabkan oleh sesuatu pencegah atau ditinggalkannya disebabkan sesuatu halangan, bukan karena takut kepada Allah Ta’ala, niscaya dituliskan suatu kekejian kepadanya. Karena cita-citanya itu merupakan suatu perbuatan ikhtiari dari hati. Alasan atas uraian ini, ialah apa yang diriwayatkan dalam kitab “Shahih”, yang terurai pada kata-kata hadits. Rasulullah saw bersabda: “Para malaikat itu berkata: “Wahai Tuhanku ! orang itu hambaMu, yang bermaksud berbuat kekejian, sedang ia lebih melihatnya”. Maka Allah berfirman: “Intiplah dia ! kalau dikerjakannya, maka tulislah kejahatan itu seperti yang dikerjakannya ! kalau ditnggalkannya, maka tulislah suatu kebaikan baginya ! sesungguhnya ia meninggalkan kekejian itu, dari karenaKu”. Sekiranya dikatakan: “Jikalau tidak dikerjakan kekejian itu”, dimaksudkan, ialah ditinggalkannya, karena Allah. Adapun, apabila seseorang berazam kepada perbuatan keji, lalu berhalangan disebabkan oleh sesuatu sebab atau karena lupa, maka bagaimanakah kekejian itu ditulisan baginya suatu kebaikan ? Naib saw bersabda: “Manusia itu dibangkitkan menurut niatnya”. Kita mengetahui, bahwa siapa yang berazam pada malamnya, bahwa pada paginya ia akan membunuh orang Islam atau akan berzina dengan seorang wanita, lalu mati ia pada malam itu, niscaya ia mati diatas kemaksiatan. Dan ia dibangkitkan nanti menurut niatnya. Ia telah bercita-cita dengan perbuatan eji dan tidak dikerjakannya. Keterangan yang kuat tentang itu, ialah hadits yang diriwayatkan daripada Nabi saw, yang bersabda: “Apabila bertemu dua orang muslim dengan pedang di tangannya masing-masing, maka si pembunuh dan yang terbunuh itu dalam neraka. Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! ini si pembunuh ! maka bagaimana halnya yang terbunuh ? Nabi saw menjawab: “Karena itu bermaksud membunuh temannya”. Ini adalah suatu ketegasan (nash) tentang jadinya isi neraka dengan semata-mata lkehendak. Sedang dia terbunuh dengan teraniaya. Maka bagaimana menjadi sangkaan, bahwa Allah Ta’ala tiada mengadakan tuntutan (Siksaan) dengan niat dan cita-cita ? bahkan semua cita-cita itu masuk dalam pilihan (ikhtiar) seseorang hamba. Ia dituntut (disiksa) dengan yang demikian. Kecuali ditutupnya dengan kebaikan. Dan meruntuhkan azam dengan penyesalan itu kebaikan. Maka karena itulah, dituliskan baginya suatu kebaikan. Adapun luputnya yang dimaksud lantaran halangan, maka tidaklah dinamakan kebaikan. Gurisan-gurisan hati, kata hati dan berkobarnya keinginan, tidaklah semua ini masuk dalam ikhtiar. Mengadakan tuntutan (siksaan) dengan yang tersebut, adalah memberatkan sesuatu yang tiada disanggupi. Dan karena itulah, tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga”. Al-Baqarah ayat 284, lalu: datanglah banyak dari para sahabat kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Kami diberati dengan yang tiada kami sanggupi. Bahwa seseorang dari kami berkata dalam hatinya, dengan yang tiada disukainya tetap dalam hatinya. Kemudian ia diperkirakan, yang demikian”. Nabi saw menjawab: “Mungkin kamu mengatakan seperti dikatakan oleh orang Yahudi: “Kami mendengar dan kami ingkari”. Katakanlah: “Kami mendengar dan kami taati”. Lalu para sahabat itu berkata: “Kami mendengar dan kami taati”. Maka Allah Ta’ala menurunkan kelapangan sesudah setahun dengan firmanNya: “Allah tiada memikulkan kewajiban kepada seorang, melainkan sekedar kekuatannya”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Maka jelaslah, bahwa semua pekerjaan hati yang tidak masuk dalam kelapangan, adalah yang tidak diadakan tuntutan (siksaan). Maka ini adalah penyingkapan tutup daripada keraguan itu. Tiap-tiap orang yang menyangka, bahwa semua yang berlaku dalam hati dinamakan: kata-hati dan tidak diperbedakannya diantara 3 bahagian itu, maka pastilah ia salah. Bagaimana tidak diadakan tuntutan (siksaan) dengan pekerjaan hati, seperti: sombong, membanggakan diri, ria, nifaq, dengki dan sejumlah perbuatan hati yang keji-keji lainnya ? bahkan pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya diminta tanggung jawab. Artinya: yang tidak masuk dalam ikhtiar (dalam pilihan dan kemauan sendiri). Kalau jatuh pandangan tanpa ikhtiar, kepada wanita yang bukan mahramnya, maka tidak diadakan tuntutan (siksaan). Kalau diikutinya dengan pandangan kedua, maka diadakan tuntutan (siksaan). Karena sudah dengan pilihan dan kemauannya. Maka begitupula semua gurisan hati berlalu seperti ini. Bahkan hati itu lebih utama diadakan tuntutan (siksaan), karena dia adalah pokok. Nabi saw bersabda: “Taqwa itu disini... lalu Nabi saw menunjukkan kepada hati”. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada akan sampai daging dan darahnya itu kepada Allah, hanya yang sampai kepadaNya, ialah taqwa daripadamu”. S 22 Al Hajj ayat 37. Nabi saw bersabda: “Dosa itu membekas pada hati”. Nabi saw bersabda: “Kebajikan itu ialah yang menentramkan hati, walaupun mereka meminta fatwa pada engkau dan mereka meminta fatwa pada engkau”. Sehingga kami dapat mengatakan, bahwa apabila hati yang memberi fatwa, menetapkan dengan kepositifan sesuatu dan ia bersalah dalam hal itu, maka ia memperoleh pahala. Bahkan, siapa yang menyangka bahwa ia suci (mempunyai wudhu’), maka bolehlah ia mengerjakan shalat. Kalau ia sudah mengerjakan shalat, kemudian teringat, bahwa ia tiada berwudhu’, niscaya baginya pahala dengan perbuatannya itu. Kalau ia teringat, kemudian ia tinggalkan (tiada dikerjakannya shalat), niscaya ia disiksa. Siapa yang mendapati seorang wanita pada tempat tidurnya, lalu menyangka bahwa wanita itu isterinya, niscaya ia tidak maksiat dengan menyetubuhinya, walaupun ternyata kemudian, wanita itu orang lain. Kalau disangkanya wanita itu orang lain, lalu disetubuhinya, niscaya ia maksiat, walaupun ternyata kemudian, wanita itu isterinya. Semua itu dipandang kepada hati, tidak kepada anggota badan.
PENJELASAN: bahwa bisikan hati, adakah tergambar menjadi terputus secara keseluruhan ketika berdzikir atau tidak ?
Ketahuilah kiranya, bahwa para ulama yang mengintip hati, yang memperhatikan sifat-sifat dan keajaiban-keajaiban hati, berbeda pendapat tentang persoalan ini dalam 5 golongan.
Suatu golongan berkata, bahwa: bisikan (bisikan setan) itu, terputus dengan mengingati Allah (berdzikir). Karena Nabi saw bersabda: “Apabila mengingati Allah, niscaya hati itu mengendap (al-chansu)”. Al-chansu itu, ialah diam. Seakan-akan hati itu diam.
Suatu golongan berkata, bahwa: pokoknya bisikan itu tiada menghilang. Akan tetapi berjalan di dalam hati dan tiada mempunyai bekas. Sebab apabila hati itu tenggelam dalam dzikir (menyebut dan mengingati Allah), niscaya ia terhijab (terdinding) daripada berbekas dengan bisikan itu, seperti orang yang sibuk dengan cita-citanya. Kadang-kadang ia berkata-kata dan tiada dipahaminya yang diperkatakan itu, walaupun suara itu terlintas pada pendengarannya.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan itu tiada hilang dan bekasnya juga tiada hilang. Tetapi yang hilang, ialah mengerasnya pada hati. Seakan-akan hati itu dibisikkan dari jauh dan bisikan lemah.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan itu seketika menghilang, ketika mengingati Allah (berdzikir). Dan pada seketika yang lain, dzikir itu menghilang. Dan ganti-berganti keduanya pada waktu-waktu yang berdekatan, yang diduga karena berdekatannya, bahwa waktu-waktu itu bersamaan. Yaitu, seperti bola yang ada padanya titik-titik yang bercerai-berai. Apabila anda putarkan bola itu dengan cepat, niscaya anda melihat titik-titik itu bundaran-bundaran, disebabkan cepat bersambungnya dengan gerak. Mereka itu mengambil dalil, bahwa pengendapan itu telah tersebut pada hadits. Dan kita menyaksikan bisikan setan itu serta dzikir. Dan tiada dasar bagi yang demikian, kecuali inilah.
Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan dan dzikir itu, selalu berjalan bergandengan pada hati, yang tiada putus-putusnya. Dan sebagaimana manusia kadang-kadang melihat dengan kedua matanya dua bentuk dalam suatu keadaan, maka begitu pulalah hati, kadang-kadang menjadi tempat berlalunya dua benda. Nabi saw bersabda: “Masing-masing hamba Allah (manusia) mempunyai 4 biji mata. 2 biji pada kepalanya, untuk melihat urusan dunianya. Dan dua biji pada hatinya, untuk melihat urusan agamanya”. Kepada inilah, Al-Muhasibi berjalan. Dan yang benar menurut kami, ialah bahwa semua mazhab (aliran) ini betul. Tetapi, semuanya adalah singkat, daripada meliputi dengan segala macam bisikan itu. Masing-masing mereka hanya memandang kepada semacam saja dari bisikan, lalu menerangkannya. Bisikan (waswas) itu bermacam-macam:
Pertama: bahwa adalah itu dari segi penipuan kepada kebenaran. Sesungguhnya setan itu kadang-kadang ia membuat penipuan dengan kebenaran. Ia berkata kepada manusia: “Tinggalkanlah bersenang-senang dari segala kesenangan. Sesungguhnya umur itu panjang. Dan sabar dari segala nafsu syahwat sepanjang umur, kepedihannya adalah berat”. Ketika itu, apabila hamba mengingati akan agungnya kebenaran Allah Ta’ala, besarnya pahala dan siksaNya dan ia berkata kepada dirinya, bahwa sabar dari nafsu syahwat itu berat, akan tetapi sabar dari api neraka lebih berat lagi. Dan tak boleh tidak daripada salah satu daripadanya”. Apabila hamba mengingati akan janji balasan baik (wa’ad) dan balasan buruk (wa’id) daripada Allah Ta’ala dan ia memperbaharui iman dan keyakinannya, niscaya setan itu mengendap dan lari. Karena ia tidak sanggup berkata kepada hamba itu, bahwa: api neraka lebih mudah daripada sabar diatas perbuatan maksiat. Dan tidak mungkin setan itu berkata, bahwa perbuatan maksiat tidak membawa kepada api neraka. Karena imannya kepada Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, menolaknya daripada yang demikian. Lalu hilanglah bisikan setan (waswas) tersebut. Begitupula setan itu membisikkan kepada hamba: perasaan bangga (keta’juban) atas karyanya. Maka setan itu berkata: “Mana ada orang yang mengenal Allah, seperti yang kamu kenal ? dan menyembahNya seperti yang kamu sembah ? maka alangkah tinggi tempatmu pada sisi Allah Ta’ala. Lalu hamba itu ketika itu teringat, bahwa ma’rifahnya, hatinya dan segala anggota tubuhnya, dimana ia berbuat dan berilmu dengan anggota tubuh itu, semuanya adalah makhluk Allah Ta’ala. Maka darimanakah ia dapat menyombongkan diri ? lalu mengendaplah (mundurlah) setan itu. Karena tidak mungkin ia berkata: “Tidaklah ini daripada Allah”. Sesungguhnya ma’rifah dan iman itu, menolaknya. Maka ini adalah semacam dari waswas, yang terputus secara keseluruhan dari orang-orang ma’rifah (‘arifin), yang berpemandangan jauh dengan cahaya iman dan ma’rifah.
Macam kedua: adanya waswas itu dengan penggerakan dan berkobarnya nafsu syahwat. Dan ini terbagi kepada: yang diketahui oleh hamba Allah itu dengan yakin, bahwa itu perbuatan maksiat. Dan kepada apa yang disangkanya dengan keras sangkaan. Kalau diketahuinya dengan yakin, niscaya setan itu mengendap (mundur), daripada pengobaran yang membekas kepada penggerakan nafsu syahwat. Dan setan itu tidak mundur daripada usaha pengobaran itu. Walaupun itu merupakan sangkaan saja. Kadang-kadang tetap membekas, dimana memerlukan kepada mujahadah pada menolaknya. Jadi waswas (bisikan setan) itu ada. Akan tetapi, dia tertolak, tidak menang.
Macam ketiga: bahwa adanya waswas itu dengan gurisan hati semata-mata, mengingati hal-hal yang biasa dan berpikir pada bukan shalat –umpamanya. Apabila ia menghadap kepada dzikir, niscaya tergambar bahwa bisikan itu tertolak sebentar dan kembali, tertolak dan kembali lagi. Maka silih bergantilah diantara dzikir dan waswas. Dan tergambarlah, bahwa keduanya itu datang beriringan. Sehingga pengertian itu melengkapi diatas pemahaman arti bacaan dan diatas gurisan-gurisan yang di dalam hati. Seakan-akan keduanya pada dua tempat dari hati. Dan jauh sekali bahwa dapat tertolak pengendapan setan itu secara keseluruhan, dimana tidak terguris lagi di dalam hati. Akan tetapi yang demikian itu tidak mustahil. Karena Nabi saw pernah bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 2 rakaat, dimana hatinya tiada berkata sesuatu dari urusan duniawi, niscaya diampunkan dosanya yang telah berlalu”. Jikalau yang demikian itu tidak tergambar akan terjadi, niscaya tidak disebutkan oleh Nabi saw. Hanya yang demikian itu tidak akan tergambar jadinya, selain pada hati yang telah dikuasai oleh kecintaan kepada Tuhan. Sehingga ia menjadi seperti orang kehilangan akal. Kita kadang-kadang melihat orang, yang dilengkapi hatinya dengan musuh, yang merasa kesakitan dengan tindakan musuh itu. Kadang-kadang ia bertafakkur selama 2 rakaat dan beberapa rakaat shalat, mengenai pertengkaran dengan musuhnya, dimana tidak terguris di hatinya, selain pembicaraan musuhnya. Begitupula orang yang tenggelam dalam kecintaan. Kadang-kadang ia bertafakkur dalam percakapan kekasihnya dengan hatinya. Dan ia terbenam dalam pikirannya, dimana tidak terguris di hatinya, selain pembicaraan kekasihnya. Kalau orang lain berbicara dengan dia, niscaya tidak didengarnya. Kalau ada seseorang yang melintasi di hadapannya, niscaya seakan-akan tidak terlihatnya. Apabila ini tergambar mengenai ketakutan kepada musuh dan pada kelobaan kepada harta dan kemegahan, maka bagaimanakah tidak tergambar pada ketakutan kepada api neraka dan kelobaan kepada surga ?. Tetapi yang demikian itu, sukar karena kelemahan iman kepada Allah Ta’ala dan hari akhirat. Apabila anda memperhatikan jumlah bahagian-bahagian tersebut dan jenis-jenis bisikan setan (waswas), niscaya anda tahu, bahwa masing-masing aliran dari aliran-aliran itu, mempunyai segi. Akan tetapi pada tempat tertentu. Kesimpulannya, bahwa untuk terlepas dari setan pada waktu sekejap mata atau seketika dari waktu, adalah tidak jauh dari kejadian (bisa saja terjadi). Tetapi untuk terlepasnya sepanjang umur (waktu yang lama) dari pengaruh setan, adalah jauh sekali daripada bisa tercapai dan suatu hal yang mustahil dapat terwujud. Jikalau dapatlah seseorang terlepas dari bisikan setan dengan segala gurisan di dalam hati dan pengobaran keinginan hawa nafsu, niscaya terlepaslah Rasulullah saw dari yang demikian. Diriwayatkan, bahwa “Nabi saw memandang kepada bendera yang tergambar pada kainnya dalam shalat. Maka setelah beliau memberi salam dari shalat itu, lalu kain itu dilemparnya, seraya bersabda: “Kain itu menggangguku dari shalat”. Dan seterusnya, beliau bersabda: “Bawalah kain ini kepada Abi Jahm dan bawalah kepadaku anbijaniyahnya (kain lain yang tidak bergambar)”. Tersebut pada hadits lain: “Pada tangan Nabi saw ada sebentuk cincin emas. Lalu beliau lihat kepadanya, sedang beliau berada diatas mimbar. Kemudian, beliau lempar cincin itu, seraya bersabda: “Sekali memandang kepadanya dan sekali memandang kepadamu”. Adalah yang demikian itu, karena bisikan setan, dengan menggerakkan keenakan memandang kepada cincin emas dan gambar bendera pada kain tersebut. Dan adalah yang demikian, sebelum diharamkan emas. Maka karena itulah, Nabi saw memakainya. Kemudian, beliau melemparkannya. Maka gangguan harta benda dunia dan emas peraknya, tidak akan hilang, selain dengan melemparkan dan berpisah dengan benda-benda tersebut. Selama masih memiliki sesuatu di luar keperluannya, walaupun satu dinar, maka dia tidak akan ditinggalkan oleh setan dari bisikan, dalam memikirkan dinarnya. Yaitu, bagaimana ia menjaganya, pada apa ia membelanjakannya dan bagaimana ia menyembunyikannya, sehingga tiada seorangpun yang tahu. Atau bagaimana ia menonjolkannya, sehingga ia dapat membanggakannya. Dan begitulah seterusnya dengan bisikan-bisikan yang lain. Maka barangsiapa menancapkan kukunya dalam dunia, lalu mengharap terlepas dari setan, adalah seperti orang yang membenamkan tangannya dalam air madu dan menyangka, bahwa lalat tiada akan jatuh padanya. Itu adalah hal yang mustahil. Maka dunia adalah pintu besar untuk bisikan setan. Dan setan itu tidak mempunyai satu pintu saja, tetapi mempunyai banyak pintu. Seorang ahli hikmah (philosof) berkata, bahwa setan itu datang kepada manusia dari pihak perbuatan maksiat. Kalau manusia itu tidak mau, niscaya setan itu datang dari segi nasehat. Sehingga dilemparkannya manusia itu dalam perbuatan bid’ah. Kalau manusia itu enggan juga, niscaya disuruhnya menjaga diri dari dosa (taharruj) dan bersikap keras. Sehingga diharamkannya apa yang tidak haram. Kalau enggan juga, niscaya diragukannya pada wudhu’ dan shalatnya. Sehingga dikeluarkannya dari ilmu. Kalau enggan juga, niscaya diringankannya kepadanya amalan kebajikan. Sehingga ia dilihat orang sebagai seorang yang sabar dan terpelihara dari perbuatan yang tidak baik (‘afif). Lalu cenderunglah hati mereka kepadanya. Maka timbullah sifat perasaan bangga diri. Dan binasalah ia dengan demikian. Pada waktu yang demikian, bersangatanlah keperluan, karena itu adalah akhir tingkat dalam perjuangan melawan setan. Dan tahulah kiranya, apabila dapat melewatinya, niscaya terlepaslah ia dari setan, menuju ke sorga.
PENJELASAN: tentang segeranya berbulak-balik hati dan terbaginya hati dalam perobahan dan ketetapan.
Ketahuilah kiranya, bahwa hati sebagaimana telah kami sebutkan diliputi oleh sifat-sifat yang telah kami sebutkan dahulu. Dan ditegakkan kepada hati, bekas-bekas dan keadaan-keadaan dari pintu-pintu yang telah kami sifatkan itu. Seolah-olah hati itu tujuan yang selalu mendapat bahaya dari semua penjuru. Maka apabila sesuatu menimpa kepada hati, yang membekas padanya, niscaya menimpa kepadanya dari segi lain sesuatu yang berlawanan dengan yang tadi. Lalu berobahlah sifat hati. Kalau setan bertempat pada hati, lalu diajaknya hati kepada mengikuti hawa nafsu, niscaya turunlah malaikat pada hati dan memalingkan hati itu dari setan. Kalau setan menarikkan hati kepada suatu kejahatan, lalu setan yang lain menarikkannya kepada lain kejahatan. Kalau malaikat menarikkan hati kepada suatu kebajikan, niscaya malaikat yang lain menarikkannya kepada lain kebajikan. Sekali, hati itu terjadi perebutan diantara dua malaikat. Dan pada lain kali, diantara dua setan. Pada lain kali lagi, diantara malaikat dan setan. Tidaklah hati itu sekali-kali diabaikan. Kepada yang demikianlah, diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Kami putar hati dan pemandangan mereka”. S 6 Al An’aam ayat 110. Dan karena dilihat oleh Rasulullah saw keajaiban perbuatan Allah Ta’ala pada keajaiban hati dan berbulak-baliknya, lalu beliau bersumpah dengan hati, dengan sabdanya: “Tidak, demi Yang Membulak-balikkan hati”. Banyak kali Nabi saw berdoa: “Wahai Yang Membulak-balikkan hati ! tetapkanlah hatiku pada agamaMu !”. Lalu para sahabat bertanya: “Adakah engkau takut, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab: “Apakah yang menjamin keamanan bagiku ?”. Dan hati itu diantara dua anak jari dari anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih, dibulak-balikkanNya menurut kehendakNya”. Menurut bunyi yang lain dari hadits, yaitu: “Jika dikehendakiNya akan ditegakkannya, niscaya ditegakkannya. Dan jika dikehendakiNya akan dimiringkannya, niscaya dimiringkannya”. Rasulullah saw memberi 3 contoh untuk yang demikian, dengan sabdanya: “Hati itu seperti burung pipit, yang bulak-balik pada setiap saat”. Nabi saw bersabda: “Hati itu dalam berbulak-baliknya adalah seperti kuali, apabila berkumpul gelagaknya”. Dan Nabi saw bersabda: “Hati itu seperti bulu ayam pada tanah sahara, dibulak-balikkan oleh angin, muka belakang”. Semua perbulak-balikan ini dan segala keajaiban perbuatan Allah Ta’ala pada membulak-balikkannya, dimana ma’rifah tidak mendapat petunjuk kepadanya, maka ia tidak diketahui, selain oleh orang-orang yang bermuraqabah dan menjaga keadaannya serta Allah Ta’ala. Tentang tetapnya hati itu diatas kebajikan dan kejahatan serta pulang-perginya diantara keduanya itu terbagi 3:
Pertama: hati yang dibangun dengan ketaqwaan, bersih dengan latihan dan suci dari segala kekejian akhlak, terhunjam ke dalamnya gurisan-gurisan kebajikan dari perbendaharaan ghaib dan tempat-tempat masuk alam malakut. Maka menjuruslah akal kepada pemikiran tentang apa yang terguris baginya. Untuk mengetahui kebajikan-kebajikan yang halus padanya dan menoleh kepada rahasia-rahasia faedahnya. Lalu tersingkaplah bagi yang demikian, mukanya dengan nur mata-hati. Maka ia menetapkan, bahwa tak boleh tidak mengerjakannya. Lalu ia terdorong kepadanya dan mengajaknya untuk mengerjakannya. Dan malaikat memandang kepada hati itu, lalu memperolehnya yang baik pada jauharnya, suci dengan ketaqwaannya, bercahaya dengan cahaya akal, dibangun dengan nur ma’rifah. Lalu malaikat itu melihat hati tersebut, pantas untuk tempat ketetapan dan singgahannya. Ketika itu, dibantunya hati tadi dengan tentara yang tiada kelihatan. Dan ditunjukinya kepada kebajikan-kebajikan yang lain. Sehingga kebajikan menarik kepada kebajikan. Begitulah terus-menerus ! dan tiada berkesudahan pertolongannya, dengan penggemaran kepada kebajikan. Dan memudahkan urusan kepadanya. Dan kepada inilah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Siapa yang memberi (untuk kebaikan) dan memelihara dirinya dari kejahatan. Dan membenarkan (mempercayai) yang baik. Kami akan memudahkan kepadanya menempuh (jalan) yang mudah”. S 92 Al Lail ayat 5-6-7. Hati yang seperti ini, bercemerlanglah sinar lampu dari lobang ketuhanan (misykatir-rububiyah). Sehingga tidak tersembunyi padanya lagi syirik khafi (kemusyrikan yang tersembunyi), yang lebih tersembunyi daripada merangkaknya semut hitam dalam malam yang gelap-gulita. Maka pada cahaya ini, tiada sesuatu yang tersembunyi dan tiada laku suatupun daripada godaan setan. Bahkan setan itu berdiri dari jauh dan mengeluarkan kata-kata yang terpesona untuk penipuan. Tetapi tidak mendapat perhatian. Hati ini sesudah sucinya dari semua yang membinasakan, maka dalam masa dekat menjadi makmur dengan semua yang melepaskan dari kebinasaan, yang akan kami sebutkan, yaitu: syukur, sabar, takut, harap, fakir, zuhud, kasih-sayang, ridha, tawakkal, tafakkur, mengoreksi diri dll. Itulah hati yang dihadapkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dengan wajahNya. Yaitu: hati yang tenang, yang dimaksudkan dengan firmanNya Yang Maha Tinggi: “Ketahuilah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Hai jiwa yang tenang tentram”. S 89 Al Fajr ayat 27.
Hati kedua: hati yang terhina, terisi dengan hawa nafsu, yang kotor dengan akhlak tercela dan kekejian, terbuka padanya semua pintu setan dan tersumbat semua pintu malaikat. Permulaan kejahatannya, ialah: bahwa terhujam padanya gurisan hawa nafsu dan terguris di dalamnya. Lalu hati itu memandang kepada hakim akal, untuk meminta fatwa. Dan menyingkirkan wajah kebenaran padanya. Maka adalah akal, telah menyusun pelayanan hawa nafsu, berjinak-jinakkan, berkekalan mencari daya-upaya baginya dan kepada menolong hawa nafsu itu. Lalu hawa nafsu berkuasa dan menolong akal. Maka terbukalah dada dengan hawa nafsu dan berkembanglah padanya kegelapan, untuk menahan tentara akal daripada mempertahankan akal. Lalu kuatlah kekuasaan setan, karena luas tempatnya, disebabkan berkembangnya hawa nafsu. Maka dihadapkan kepada akal dengan penghiasan diri, tertipu dan banyak angan-angan. Dan diilhami dengan demikian, hiasa kata-kata untuk penipuan. Maka lemahlah kekuasaan iman dengan wa’ad dan wa’id. Dan padamlah cahaya keyakinan untuk takut kepada akhirat. Karena naik dari hawa nafsu itu, asap yang menggelapkan hati, yang memenuhi tepi-tepinya. Sehingga padamlah cahayanya. Lalu jadilah akal itu seperti mata, yang dipenuhi asap pelupuk-pelupuknya. Maka ia tidak sanggup melihat. Begitulah kekerasan nafsu syahwat berbuat kepada hati ! sehingga tidak ada lagi bagi hati, kemungkinan mengetahui dan melihat. Jikalau juru nasehat memperlihatkan dan memperdengarkannya apa yang benar kepadanya, niscaya ia buta dari pemahaman dan tuli dari pendengaran. Dan berkobarlah nafsu syahwat padanya. Berkuasalah setan dan bergeraklah semua anggota badan, sesuai dengan hawa nafsu. Maka lahirlah perbuatan maksiat ke alam kenyataan dari alam ghaib, dengan qodo dan qadar daripada Allah Ta’ala. Hati yang seperti inilah yang diisyaratkan dengan firmanNya Yang Maha Tinggi: “Tiadakah engkau perhatikan orang yang mengambil kemauan nafsunya menjadi tuhannya ? engkaukah yang menjadi penjaganya ? atau apakah engkau mengira, bahwa kebanyakan mereka mendengar atau mengerti ? tidak ! mereka adalah sebagai binatang ternak. Bahkan lebih tersesat lagi jalannya”. S 25 Al Furqaan ayat 43-44. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya sudah semestinya akan berlaku perkataan bagi kebanyakan mereka dan mereka tiada beriman”. S 36 Yaa Siin ayat 7. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Sama saja untuk mereka, engkau beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”. S 2 Al Baqarah ayat 6. Banyaklah hati yang begini keadaannya, dengan mempertautkan kepada sebahagian hawa nafsu. Seperti orang yang menjaga diri (bersikap wara’) dari sebahagian perkara. Akan tetapi apabila ia melihat muka yang cantik, lalu tidak dapat menguasai lagi matanya dan hatinya. Akalnya hilang dan pegangan hatinya jatuh. Atau seperti orang yang tiada menguasai lagi dirinya, tentang sesuatu yang ada padanya kemegahan, menjadi kepala dan kesombongan. Tidak ada padanya lagi pegangan untuk ketetapan pendirian, ketika muncul sebab-sebab yang tersebut. Atau seperti orang yang tiada menguasai dirinya lagi ketika marah, bagaimanapun ia memperoleh kehinaan dan disebutkan kekurangan-kekurangannya. Atau seperti orang yang tiada menguasai dirinya lagi, ketika sanggup mengambil sedirham atau sedinar uang. Bahkan ia terjerumus binasa seperti orang hina yang kehilangan akal. Lalu melupakan harga diri dan taqwa. Semua itu karena naiknya asap hawa nafsu kepada hati. Sehingga gelap dan padam semua cahayanya. Lalu padamlah cahaya malu, harga diri dan iman. Dan berusaha mencapai maksud setan.
Hati ketiga: yaitu, hati yang kelihatan padanya gurisan hawa nafsu. Lalu diajaknya kepada kejahatan. Lalu dihubungi oleh gurisan iman, maka diajaknya kepada kebajikan. Lalu tergeraklah nafsu dengan keinginannya untuk menolong gurisan kejahatan. Maka kuatlah nafsu syahwat, enaklah bersenang-senang dan memperoleh kenikmatan. Lalu akal bangkit kepada gurisan kebajikan, menolak pihak nafsu syahwat, menjelekkan perbuatannya dan mengatakannya perbuatan orang bodoh. Dan menyerupakannya dengan binatang ternak dan binatang buas, tentang penyerbuannya kepada kejahatan serta kurang perhatiannya kepada segala akibat. Lalu nafsu itu cenderung kepada nasehat akal. Maka setan membawa beban kepada akal. Ia menguatkan penyeru hawa nafsu, seraya setan itu berkata: “Apakah artinya dosa yang dingin itu ?”. Mengapa engkau mencegah diri dari nafsu keinginan, lalu engkau menyakitkan dirimu ? adakah engkau melihat seseorang dari orang-orang masa engkau, yang menyalahi nafsu keinginanya ? atau meninggalkan maksudnya ? apakah engkau membiarkan mereka dengan kesenangan dunia, yang mereka bersenang-senang dengan kesenangan itu ? dan engkau menahan diri engkau, sehingga engkau tinggal, tidak memperolehnya, dalam keadaan celaka dan payah. Engkau ditertawakan oleh orang-orang sezaman engkau. Apakah engkau ingin bertambah kedudukan engkau dari si Anu dan si Anu ? mereka telah berbuat seperti apa yang engkau ingini. Mereka tidak menahan diri. Apakah tidak engkau lihat ulama Anu tidak menjaga diri seperti engkau ? jikalau adalah yang demikian itu kejahatan, niscaya ulama itu mencegah diri dari perbuatan tersebut”. Lalu hawa nafsupun cenderung kepada setan dan berbalik kepadanya. Maka malaikatpun membawa pikulan kepada setan. Malaikat itu berkata: “Adakah yang binasa, selain orang yang mengikuti kesenangan sekarang dan lupa akan akibat ?. Adakah engkau merasa puas dengan kesenangan yang sedikit dan engkau meninggalkan kesenangan dan kenikmatan sorga yang berkekalan selama-lamanya ? ataukah engkau merasa berat kepedihan sabar, menahan diri dari hawa nafsumu ? dan engkau tidak merasa berat kepedihan api neraka ? adakah engkau tertipu dengan sebab kelalaian manusia lain dari dirinya dan mereka mengikuti hawa nafsu dan menolong setan ?. Sedang azab neraka tidak akan diringankan dari engkau oleh perbuatan maksiat orang lain. Adakah engkau memperhatikan, jikalau engkau berada pada musim panas, yang sangat terik dan semua manusia berdiri pada matahari dan engkau mempunyai rumah yang dingin, adakah engkau akan menolong manusia banyak ? atau engkau mencari kelepasan bagi diri engkau sendiri ? maka bagaimanakah engkau menyalahi orang lain, karena takut dari kepanasan matahari dan engkau tiada menyalahi mereka karena takut dari kepanasan api neraka ?”. Maka ketika itu, nafsu tersebut mengikuti perkataan malaikat. Maka selalulah ia ragu-ragu diantara dua tentara, tarik-menarik diantara dua golongan. Sehingga membawa kemenangan kepada hati, mana yang lebih utama. Jikalau sifat-sifat yang ada dalam hati, dimenangi oleh sifat-sifat kesetanan yang telah kami sebutkan, niscaya menanglah setan. Dan cenderunglah hati kepada golongan setan yang sejenis dengan dia, meninggalkan partai Allah Ta’ala dan wali-waliNya. Dan menjadi penolong partai setan dan musuh-musuh Allah. Berlakulah pada anggota tubuhnya, dengan taqdir yang mendahului, apa yang menjadikan sebab jauhnya dari Allah Ta’ala. Jikalau yang memenangi pada hati, sifat-sifat malaikat, niscaya hati tidak akan mendengar tipuan setan, hasungannya kepada terburu-buru dan penghinaannya akan urusan akhirat. Bahkan ia cenderung kepada partai Allah Ta’ala. Dan muncullah ketaatan, disebabkan qodo Tuhan yang telah terdahulu pada anggota-anggota badannya. Hati mu’min itu diantara dua anak jari dari anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Artinya: diantara tarik-menarik dua tentara itu. Itulah yang menang. Ya’ni: kebulak-balikan dan perpindahan dari satu partai ke satu partai. Adapun tetap berkekalan serta partai malaikat atau serta partai setan, maka adalah jarang dari kedua pihak itu. Segala perbuatan taat dan perbuatan maksiat itu lahir dari perbendaharaan ghaib ke alam kenyataan, dengan perantaraan perbendaharaan hati. Karena hati adalah dari perbendaharaan alam malakut yang tinggi. Dan juga apabila lahir, mempunyai tanda-tanda, yang memperkenalkan kepada yang empunya hati itu, telah didahului oleh qodo Tuhan YME. Siapa yang djadikan untuk sorga, niscaya mudahlah baginya sebab-sebab untuk berbuat taat. Dan siapa yang dijadikan untuk neraka, niscaya mudahlah baginya sebab-sebab berbuat maksiat. Dan berkuasa padanya teman-teman jahat. Dan dijatuhkan ke dalam hatinya hukum setan. Karena setan itu dengan bermacam-macam hukum, menipu orang-orang bodoh dengan perkataannya: “Bahwa Allah itu Maha Pengasih. Maka jangan engkau hiraukan ! bahwa manusia itu semua tiada takut kepada Allah, maka janganlah engkau menyalahi mereka ! bahwa umur itu panjang, maka bersabarlah, sehingga engkau dapat bertaubat besok !”. Setan itu menjanjikan kepadamu dan membuat angan-angan bagimu. Dan apa yang dijanjikan setan itu, adalah penipuan belaka. Ia menjanjikan taubat dan memberikan angan-angan pengampunan kepada manusia. Lalu manusia itu dibinasakannya dengan izin Allah Ta’ala, dengan segala daya-upaya dan hal-hal lain yang berlaku seperti itu. Lalu ia meluaskan hatinya untuk menerima penipuan dan menyempitkannya daripada menerima kebenaran. Semua itu dengan qodo dan qadar daripada Allah. Tersebut pada firmanNya: “Siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk ditunjukinya, maka dilapangkan dadanya untuk Islam. Dan siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkannya, niscaya dadanya dijadikan sesak dan sempit, seolah-olah ia naik ke langit”. S 6 Al An’aam ayat 125. Dan firman Allah Ta’ala: “Jikalau kamu ditolong oleh Allah, maka tiadalah yang menang diatas kamu. Dan jikalau kamu dihinakan olehNya, maka siapakah yang menolong kamu sesudahNya ?”. S 3 Ali ‘Imran ayat 160. Dialah yang menunjukkan dan yang menyesatkan. DiperbuatNya apa yang dikehendakiNya. DihukumNya menurut iradah (kehendak)Nya. Tiada yang menolak akan hukumNya dan tiada yang membuat akibat terhadap qodoNya. DijadikanNya sorga dan dijadikanNya penduduk untuk surga itu. Lalu dipakaikanNya mereka itu dengan perbuatan taat. DijadikanNya neraka dan dijadikanNya penduduk untuk neraka itu. Lalu dipakaikanNya mereka dengan perbuatan maksiat. DiperkenankanNya kepada makhluk akan tanda ahli sorga dan ahli neraka. Ia berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan. Dan orang-orang yang jahat berada dalam neraka”. S 82 Al Infithaar ayat 13-14. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman, menurut yang dirawikan daripada Nabi saw: “Mereka itu dalam sorga dan tiada Aku perdulikan. Dan mereka itu dalam neraka dan tiada Aku perdulikan”. Maha Suci Allah, Yang Mahamemiliki dan Yang Maha Benar ! tiada ditanyakan tentang apa yang diperbuatNya dan manusia itu yang ditanyakan. Dan marilah kita ringkaskan sekedar ini yang sedikit, tentang penyebutan keajaiban hati ! untuk menyelidikinya lebih mendalam, tiada layak dengan ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan sesungguhnya yang kami sebutkan daripadanya, ialah yang diperlukan untuk mengetahui dalamnya ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan rahasianya. Supaya dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tiada merasa puas dengan ilmu-dhahir saja. Dan tiada merasa cukup dengan kulit saja, tanpa isi. Tetapi ia rindu untuk mengetahui hakekat sebab-sebab yang halus. Dan tentang apa yang telah kami sebutkan, rasanya cukup dan memuaskan bagi orang tersebut –insya Allah Ta’ala. Wallahu walijjut-taufiq ! Tammatlah Kitab Keajaiban Hati. Segala pujian dan cita-cita kepada Allah. Dan akan diiringi oleh Kitab Riyadlatun-Nafsi (Kitab Latihan Jiwa) dan Tahdzibul-Akhlaq. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Dan rahmat Allah kepada semua hambaNya yang terpilih menjadi rasul.