Rabu, 12 Februari 2014

01. SEJARAH RINGKAS IMAM AL GHAZALI

SEJARAH  RINGKAS  IMAM  AL‑GHAZALI
Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muham­mad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al‑Ghazali Hujjatul‑Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 H.(1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sebelum meninggal ayah Al‑Ghazali meninggalkan kata pada seo­rang ahli tasawwuf/ahli suffi temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al‑Ghazali dibawah asuhan ahli tasawwuf/ahli suffi itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayah­nya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al‑Ghazali menangis tersedu‑sedu seraya bermohon kepada Allah swt kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya Al‑Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar‑Razikani.
Kemudian pergi ke negri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negri tersebut, berangkatlah Al-Ghazali ke negri Nisapur dan belajar pada Imam Al Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda‑tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i.
Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan: “Al Ghazali itu lautan tak bertepi.......”.  Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al‑Ghazali berangkat ke Al‑Askar mengunjungi Menteri Nizamul‑muluk dari pemerintah­an dinasti Saljuk. la disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka‑pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ke­tinggian dan keahlian Al‑Ghazali. Menteri Nizamul‑muluk melantik Al‑Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. 4 tahun lamanya Al‑Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka pada tahun 488 H. Al‑Ghazali pergi ke Makkah menunai­kan rukun Islam ke 5. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul‑makdis. Kemudian keDamaskus & terus menetap beribadah dimasjid Al-Umawi dikota tersebut pada suatu sudut yg terkenal sampai sekarang dengan nama "Al‑Ghazaliyah", diambil dari nama yg mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab "IHYA” yg kami alih‑bahasakan ini.
Keadaan hidup dan kehidupannya pada sa­at itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, me­nyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid‑masjid dan de­sa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang mem­bawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya “Ihya”. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia kekampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama‑ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan sholat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul‑khatimah, Al‑Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 jumadil‑akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia. Hanya 55 tahun beliau hidup di dunia ini. Jenazahnya dikebumikan di makam Ath‑Thabiran, berdekatan dengan makam Al‑Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasy­hur. Sebelum meninggal Al‑Ghazali pernah mengucapkan kata‑kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu: "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanam­kanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".
Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan‑karangan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab "Ihya" yang kami alih‑bahasakan ini, terdiri dari 4 jilid besar, yang kiranya disampaikan Allah swt Akan kami jadikan dalam bahasa Indonesia. Dalam ka­langan agama di negeri kita ini tak ada yang tak mengenal kitab Ihya' ‑ Ulumiddin, suatu buku standard, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih‑bahasa­kan ke dalam beberapa bahasa modern.
Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379 ‑ 1471 M) yang men­dekati dengan pribadi Al‑Ghazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya "De Imitation Christi” yang sifatnya mende­kati "IHYA”, tetapi dipandang dari pendidikan Kristen. Diantara karangannya yang banyak itu, ada 2 buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli‑ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul‑falasifah" (Maksudnya ahli‑ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul‑falasifah" (Kesesatan ahli‑ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam‑macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika.
Kitab ini sudah diterjemah­kan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin diakhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al‑Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan‑bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordova (1126‑1198). Dia membantah akan pendirian Al‑Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu‑taha­futil falasifah" Kesesatan buku ahli‑ahli falsafah Al‑Ghazali. Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah pahaman Al‑Ghazali tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok‑pokok pelajaran falsafah.
Demikianlah telah beredar 2 buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur seca­ra aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing‑masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al‑Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul‑falasifah (Kesesatan ahli‑ahli falsafah) ke tengah‑tengah um­mat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasa­nya Al‑Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikir­an ini, Al‑Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.
Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat” yakni yang kira‑kira sama artinya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filosuf Inggeris David Hume (1711‑1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, diwaktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang tim­bul di abad ke 18, yang semata‑mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal  manusia. Al‑Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, se­lama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna ‑ sempurnanya dengan sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan berge­rak dengan semau‑maunya saja. Lalu akhirnya Al‑Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya ilmu yg mudah tak memerlukan pemikiran mendalam ("dlaruriat” atau aksioma ) sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada petunjuk/hidayah yang datang dari Allah swt.
Al‑Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit‑sulit de­ngan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam (ilmu berkata-kata) yang tahan uji dibandingkan dengan karangan‑karangan filosuf yang lain. Semua ini menun­jukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu' akan kata‑kata "Wallahu a'lam artinya "Allah yang Maha Tahu" 
Dalam zaman Al‑Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawwuf/ahli suffi dan ahli fiqih. Maka salah satu dari usaha Al‑Ghazali ialah merapatkan  kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al‑Ghazali men­dapat teman sepaham, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, di antaranya ialah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain‑lain dari ahli fiqih. Didunia Barat Al‑Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dll. Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al‑Ghazali menjadi salah seorang dari 4orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasullulah saw sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu:
1. Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
2. Imam  Al‑Bukhari, ulama hadist yang terbesar.
3. Imam  Al‑Asy'ari, ulama keesaan yang termasyhur.
4. Imam  Al‑Ghazali, pengarang lhya' yang terkenal.
Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi dimana Al‑Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, da'wah, fiqih dll. Semoga pusaka ilmiyah yang ditinggalkan Al‑Ghazali dapatlah kiranya diambil faedahnya oleh umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya!                                                                                

Aamiin!