KITAB
QAIDAH-QAIDAH I’TIQAD (KEYAKINAN)
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”.
Di dalamnya terdapat 4 pasal:
Yang
pertama: menguraikan
keyakinan manusia tentang dua kalimah syahadah, yaitu salah satu dari
dasar-dasar Islam. Maka berkatalah kami dengan memohon kan petunjuk daripada
Allah Ta’ala: Segala pujian bagi Allah yang menjadikan, yang mengembalikan,
yang berbuat barang sekehendakNya, yang mempunyai surga mulia, yang gagah
perkasa, yang memberi petunjuk kepada hambaNya yang bersih,
kepada cara yang betul dan jalan benar, yang memberikan nikmat kepada mereka
sesudah pengakuan dengan terjaga keyakinannya dari kegelapan keraguan dan
kesangsian, yang membawa mereka kepada mengikuti RasulNya yang pilihan dan
menuruti peninggalan para sahabatnya yang mulia, yang dikaruniai dengan
kekuatan dan kebenaran, yang menampakkan kepada mereka tentang zatNya dan
perbuatanNYA dengan segala sifatNya yang baik, yang tidak akan mengetahuinya, selain orang yang dilimpahkan pendengaran dan Allah itu yang menyaksikan, yang memperkenalkan
kepada mereka bahwa zatNya itu Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal tiada yang
menyamaiNya, lengkap rahmatNya, tiada yang melawaniNya, sendirian tiada yang
menyekutuiNya. Bahwa DIA itu Esa, tiada permulaan, tiada berpendahuluan,
berkekalan wujudNya, tiada berkesudahan, abadi tiada berpenghabisan, tegak
berdiri tiada yang menghalangiNya, kekal tiada putusNya, senantiasa dan selalu
bersifat dengan segala sifat kebesaran, tiada habis dengan kehabisan dan
pemisahan, dengan pergantian abad dan musnahnya zaman. Tetapi DIAlah yang awal
dan yang akhir, yang terlihat dan yang tidak terlihat. Dia amat mengetahui
dengan tiap-tiap sesuatu.
KeMaha Sucian (tanzih),
Bahwa Ia/ALLAH tidak dengan tubuh yang merupakan, tidak benda
atau barang yang terbatas dan berhingga. DIA tidak menyerupai dengan segala
tubuh, tidak pada kira-kiraan dan tidak pada dapat dibagi-bagikan. Tidaklah Dia
itu benda/barang dan tidaklah Dia ditempati oleh benda2/barang2. Tidaklah Dia
itu sifat yang mengambil tempat dan tidaklah Dia ditempati oleh sifat yg
mengambil tempat2. Bahkan Dia tidak menyerupai dengan yang ada dan tidak
sesuatu yang adapun menyerupai dengan Dia. Tiadalah sepertiNya sesuatu dan
tidaklah Dia seperti sesuatu. Dia tidak dibatasi oleh sesuatu batas dan tidak
mengandung sesuatu jurusan, tidak diliputi oleh pihak, tidak dibatasi oleh bumi
dan langit. Dia berbersemayam di atas ‘Arasy/sorga menurut firmanNya dan
menurut arti yang dikehendakiNya, istiwa (bersemayam)’ yang suci dari tersentuh
dengan sesuatu, suci dari tetap dan tenang, suci dari mengambil tempat dan
berpindah. Dia tidak dibawa oleh ‘Arasy tetapi ‘Arasy dan pembawa-pembawa
‘Arasylah yang dibawa dengan kelemah-lembutan kemampuan NYA, yang digagahi
dalam genggamanNya. Dia di atas ‘Arasy dan langit dan di atas segala-galanya
sampai ke segala lapisan bumi, keatasan yang tidak menambahkan dekatNya kepada
‘Arasy dan langit sebagaimana tidak menambahkan jauhNya dari bumi dan lapisan
tanah. Tetapi Dia di tingkat yang maha tinggi dari ‘Arasy dan langit, sebagaimana
Dia di tingkat yang maha tinggi dari bumi dan lapsian tanah. Dan pada itu, Dia
dekat sekali dengan segala yang ada. Dan maha dekat kepada hambaNya, lebih
dekat dari urat leher hambaNya itu sendiri. Dia menyaksikan tiap-tiap sesuatu.
Tidak menyerupai kehampiranNya dengan kehampiran di antara tubuh-tubuh,
sebagaimana tidak menyerupai zatNya dengan segala zat tubuh-tubuh itu. Dia
tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu bertempat padaNya. Maha Suci
IA dari dipengaruhi oleh tempat, sebagaimana Ia maha suci daripada dibataskan
oleh waktu. Tetapi adalah Dia sebelum dijadikan zaman dan tempat. Dia sekarang
menurut apa yang Dia ada. Dia tidak sama dengan makhlukNya dengan segala
sifatNya. Tiada sesuatu yang sama dengan zatNya dan tidaklah zatNya menyamai
dengan sesuatu. Dia maha suci dari perobahan dan perpindahan. Tidaklah
bertempat padaNya segala kejadian dan tidaklah mempengaruhiNya oleh segala yang
mendatang. Tetapi senantiasalah Dia dalam segala sifat kebesaranNya, maha suci
dari kelenyapan dan senantiasalah Dia dalam segala sifat kesempurnaanNya, tidak
memerlukan kepada penambahan kesempurnaan lagi. Mengenai zatNya diketahui
adaNya dengan akal pikiran, dilihat zatNya dengan mata
hati sebagai suatu nikmat daripadaNya sebagai kasih sayangNya kepada
orang-orang yang berbuat baik dalam negeri ketetapan nanti dan sebagai suatu
kesempurnaan daripadaNya dengan kenikmatan memandang kepada wajahNya yang
mulia.
Hayah (hidup) dan kudrah (kuasa).
Dia itu hidup, yang kuasa, yang gagah, yang perkasa, tidak
ditimpakan kepadaNya oleh kekurangan dan kelemahan, tidak ada padaNya lupa dan
tidur, tidak didatangi oleh kebinasaan dan kematian. Dialah yang mempunyai
kerajaan dan kekuasaan, yang mempunyai kemuliaan dan kebesaran. KepunyaanNya
kekuasaan, keperkasaan, kejadian dan segala urusan. Segala langit itu terlipat
dengan kananNya, segala makhluk itu digagahi dalam genggamanNya. Dia sendirian
menjadikan dan mengadakan. DijadikanNya makhluk dan perbuatannya, ditentukanNya
rezeki dan ajalnya. Tidak terlepas kekuasaan dari genggaman Nya dan tidak luput
dari kekuasaanNya segala pertukaran keadaan. Tak terhinggakan yang dikuasaiNya
dan tidak berkesudahan yang diketahuiNya.
Ilmu (mengetahui).
Dia yang mengetahui segala yang diketahui, yang meliputi
dengan apa yang berlaku dari segala lapisan bumi sampai kepada langit yang
tinggi. Dia maha tahu, tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawi sekalipun, di
bumi dan di langit, bahkan Dia mengetahui semut yang hitam, yang berjalan di
atas batu yang hitam, dalam malam yang kelam. Dia mengetahui gerakan yang
paling halus di udara terbuka. Dia tahu rahasia dan yang tersembunyi. Dan melihat segala bisikan dalam hati kecil manusia, segala gurisan dalam hati yang tersembunyi di dalam jiwa,
dengan ilmuNYA yang tiada berpemulaan dan tiada kesudahan. Senantiasalah Dia
bersifat demikian pada tiada kesudahan. Tidaklah ilmuNya dengan pengetahuan
yang membaru, yang terjadi pada zatNya dengan bertempat dan berpindah.
Iradah ( kemauan / berkehendak).
Dia itu berkehendak, menjadikan segala yang ada, mengatur
segala yang baru. Maka tidaklah berlaku pada alam yang nyata ini dan yang tidak
nyata, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, bermanfaat atau
melarat, iman atau kufur, pengakuan atau mungkir, kemenangan atau kerugian, bertambah
atau berkurang, taat atau ma’siat, selain dengan ketetapan dan taqdirNya, ilmu
dan kehendakNya. Apa yang dikehendakiNya ada. Yang tidak dikehendakiNya tidak
ada. Tak ada yang keluar dari kehendakNya meskipun palingan muka orang yang
memandang dan gurisan hati dari seseorang manusia. Tetapi Dialah yang memulai
dan yang mengulangi, berbuat sekehendakNya, tak ada yang menolak dari
perintahNya dan tak ada yang dapat berbuat akibat ketetapanNya. Tak ada yang
dapat melarikan seorang hamba dari kema’siatanNya, selain dengan petunjuk dan
kasih sayang/rahmatNya. Tak ada kekuatan untuk mentaatiNya selain dengan
kehendakNya. Kalau berkumpullah insan dan jin, malaikat dan setan, untuk
menggerakkan di alam ini sesuatu benda yang kecil saja atau menempatkan nya
tanpa kehendakNya, maka akan lemahlah mereka itu daripadanya. KehendakNYA itu
berdiri pada zatNya dalam jumlah sifat-sifatNya. Senantiasalah Dia demikian,
bersifat dengan Kehendak. Dia berkehendak pada azal/kematian untuk adanya
segala sesuatu, pada waktu-waktunya yang ditaqdirkanNya. Lalu terdapatlah
segala sesuatu itu pada waktunya, menurut kehendakNya pada azal, tidak
terdahulu dan tidak terkemudian. Bahkan terjadi sesuai dengan ilmu dan
KehendakNya, tanpa pertukaran dan perubahan. Dia mengatur segala urusan, tidak
dengan tartib pikiran dan pengaruh zaman. Karena itu, tidaklah Dia dipengaruhi
oleh apapun juga.
Sama’ (mendengar) dan bashar (melihat)
Dia yang mendengar lagi yang melihat. Dia mendengar dan
melihat, yang tidak luput dari pendengaranNya yang terdengar, meskipun
tersembunyi. Tidak lenyap dari penglihatanNya yang terlihat, meskipun sangat
halus. Tidak menghalangi pendengaranNya oleh kejauhan. Tidak menolak
penglihatanNya oleh kegelapan. Dia melihat tanpa biji mata dan kelopak mata.
Dia mendengar tanpa anak telinga dan daun telinga, sebagaimana Dia tahu tanpa
hati. dan bertenaga tanpa anggota badan. dan menjadikan tanpa perkakas. Karena
tidaklah sifatNya menyerupai sifat makhluk, sebagaimana zatNya tidak menyerupai
zat makhluk.
Kalam (berkata-kata)
Dia yang berkata-kata, yang menyuruh dan melarang, yang
berjanji balasan baik bagi orang yang berbuat baik dan yang berjanji balasan
buruk bagi orang yang berbuat jahat, dengan kalimatNya yang tiada kesudahan,
tiada berpemulaan, berdiri dengan zatNya, yang tidak menyerupai dengan kalimat makhluk. Tidaklah kalimatNya itu
dengan suara yang datang dari pembawaan udara atau penggosokan beberapa benda.
Tidak dengan huruf yang berputus-putus dengan melipatkan bibir atau
menggerakkan lidah. Dan sesungguhnya Alquran, Taurat, Injil dan Zabur adalah
kitab-kitabNya yang diturunkan kepada para rasulNya as. Dan Alquran itu
dibacakan dengan lidah, dituliskan pada lembaran-lembaran kertas dan dihafalkan
di dalam hati. Dalam pada itu, Al quran itu tiada berpermulaan, berdiri dengan
zat Allah Ta’ala. Tidak menerima pemisahan dan penceraian dengan sebab
berpindah ke dalam hati dan kertas. Nabi Musa as mendengar kalimat Allah, tanpa suara dan huruf, sebagaimana orang-orang
yang selalu berbuat kebaikan melihat Allah Ta’ala di akhirat dengan tidak
berbentuk sesuatu atau sifat yg mengambil tempat. Apabila segala sifat yang
tersebut tadi ada pada zat Allah Ta’ala, maka adalah Allah Ta’ala itu yang
hidup dengan hidupNya, yang mengetahui dengan ilmuNya, yang berkuasa dengan
kehendakNya, yang berkehendak dengan kehendakNya, yang mendengar dengan sama’ (mendengar)-Nya, yang melihat dengan bashar
(melihat)Nya dan yang berkata-kata dengan kalam (berkata-kata)Nya. Tidak dengan
semata-mata zat.
Af’al ( perbuatan-perbuatan)
Tidak adalah yang ada selain Dia. Yang lain itu ada dengan
perbuatanNya, yang melimpah dari keadilanNya dengan bentuk yang sebaik-baiknya,
sesempurna-sempurnanya dan seadil-adilnya. Dia maha bijaksana dalam segala
perbuatanNya, maha adil dalam segala hukumNya. Tak dapatlah dibandingkan
keadilanNya dengan keadilan hambaNya. Karena hamba itu, tergambar daripadanya
kejahatan, dalam mengurus hak milik orang lain. Dan tidak tergambar kejahatan
daripada Allah Ta’ala. Sebab tidak dijumpai milik bagi yang lain, dari Allah,
sehingga ada pengurusanNya itu jahat. Seluruhnya yang lain dari Allah, yaitu
insan, jin, malaikat, setan, langit, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, barang beku,
barang/benda, yg mengambil tempat, yang diketahui dan yang dirasa, adalah baru,
yang dijadikan Allah dari tidak ada dengan kehendakNya dan yang diciptakanNya
dari tidak ada sama sekali. Karena pada yg tiada berpemulaan hanyalah Dia yang
ada yang Maha Esa dan yang lainNya tidak ada. Maka kemudian, dijadikanNya
makhluk, untuk menyatakan kehendakNya, membuktikan bagi yang telah lalu dari
kehendakNya dan kebenaran kalimahNya pada tiada kesudahan. Bukan karena Dia
memerlukan dan berhajat kepada yang baru itu. Dia berkemurahan dengan
menjadikan, menciptakan dan menugaskan, bukan dari kewajiban kepadaNya. Dan
mengurniakan kenikmatan dan perbaikan, bukan suatu keharusan kepadaNya. Maka
bagiNyalah keutamaan, kebaikan, kenikmatan dan kemurahan. Karena Dia berkuasa
menimpakan bermacam-macam ‘azab kepada hambaNya dan mencobai nya dengan
berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Jika dibuatNya demikian, maka adalah itu keadilan daripadaNya, bukan kekejian dan
kedhaliman. Dia memberi pahala kepada hambaNya yang mu’min atas ketaatan adalah
karena kemurahan dan janjiNya. Bukan karena menjadi hak dari orang mu’min yang
taat itu dan bukan suatu keharusan atas Allah Ta’ala. Karena tidak wajib
atasNya berbuat untuk seseorang dan tidak tergambar daripada Allah sesuatu
kedhaliman. Tidak harus ada hak seseorang atas Allah. Dan hak Allah atas
makhluk wajib pada mentaatiNya, dengan
diwajibkanNya disampaikan oleh lisan para nabiNya. Tidak dengan semata-mata
akal, tetapi Ia mengutuskan rasul-rasul dan melahirkan kebenaran mereka dengan
mu’jizat-mu’jizat yang nyata. Lalu mereka itu menyampaikan perintahNya,
laranganNya, janji pahala kepada yang berbuat kebajikan dan janji siksa kepada
yang berbuat kejahatan. Maka wajiblah atas makhluk membenarkan rasul-rasul itu,
akan apa yang dibawanya.
Arti
kalimah kedua, yaitu mengakui kerasulan rasul-rasul membawa risalah: Bahwa
Allah Ta’ala mengutuskan seorang nabi yang ummi (tak tahu tulis baca) dari suku
Quraisy, bernama Muhammad saw membawa risalah kepada seluruh Arab dan ‘Ajam
(bukan Arab), jin dan insan. Maka dengan syarat yang dibawanya itu, menjadi
tercakuplah segala agama yang terdahulu, kecuali hal-hal yang ditetapkan
berlakunya oleh agama yang baru itu. Dan dilebihkanNya
nabi Muhammad saw atas nabi-nabi yang lain. DijadikanNya dia menjadi penghulu
segala manusia dan tidak diakuiNya kesempurnaan iman dengan syahadah keesaan
saja, yaitu mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAAH” (Tidak ada Tuhan kecuali Allah)
sebelum disambung dengan syahadah rasul. Yaitu mengucapkan “MUHAMMADUR
RASULULLAH” (muhamad utusan Allah). DiharuskanNya seluruh makhluk membenarkan
Muhammad saw itu dalam segala perkhabaran yang dikhabarkannya, tentang urusan
dunia dan akhirat. Dan tidak diterimaNya iman seseorang
hambaNya, sebelum beriman dengan apa yang dikhabarkan Muhammad saw
tentang hal-hal sesudah mati. Yaitu yang pertamanya, pertanyaan malaikat Munkar
dan Nakir.
Kedua malaikat ini adalah dua pribadi yang
hebat menakutkan, mendudukkan dengan baik akan hamba Allah dalam kuburnya
dengan ruh dan jasad. Lalu menanyakan tentang keesaan/keyakinan dan risalah,
dengan mengatakan: “Siapa Tuhanmu ? apa agamamu ? siapa nabimu ?”. Kedua
malaikat itu adalah pembawa cobaan di dalam kubur. Pertanyaannya tadi, adalah cobaan
pertama sesudah mati. Dan bahwa diimani dengan adanya azab kubur. Dan Allah itu
benar, hukumNya adil menurut sekehendakNya atas tubuh dan ruh. Dan bahwa
diimani dengan adanya neraca timbangan amal yang mempunyai dua daun dan lidah
neraca. Tentang besarnya adalah seumpama lapisan langit dan bumi, yang
ditimbang padanya segala amalan dengan kehendak Allah Ta’ala. Yang pokok pada
masa itu, meskipun seberat semut yang kecil dan biji-bijian yang halus, adalah
untuk membuktikan kesempurnaan keadilanNya. Dan diletakkan lembaran amal yang
baik dalam bentuk yang bagus pada daun neraca dari cahaya. Lalu beratlah neraca
dengan amalan itu, menurut derajatnya di sisi Allah Ta’ala dengan karuniaNya,
dan dilemparkanlah lembaran amal yang keji dalam bentuk yang buruk pada daun
neraca kegelapan. Maka ringanlah daun neraca itu dengan keadilan Allah. Dan
bahwa diimani, bahwa titian Ash-shiraatal-mustaqiim itu benar adanya. Yaitu
titian yang memanjang, melalui neraka jahannam, lebih tajam dari pedang, lebih
halus dari rambut, terpeleset kaki orang-orang kafir di atasnya dengan hukum
Allah Ta’ala. Lalu mereka jatuh tersungkur ke dalam neraka. Dan tetaplah di
atasnya kaki orang-orang mu’min dengan kurnia Allah. Lalu mereka dibawa ke
negeri ketetapan (sorga). Dan bahwa diimani dengan al-haudl-al-mauruud Yaitu
kolam Nabi Muhammad saw, di mana orang-orang mu’min akan minum padanya, sebelum
masuk sorga dan sesudah melewati titian Ash-shiraatal-mustaqiim. Barangsiapa
meminum padanya sekali minum, maka tidak akan haus sesudahnya lagi
selama-lamanya. Kolam itu lebarnya seperjalanan sebulan. Airnya lebih putih
dari susu dan lebih manis dari madu. Sekelilingnya cerek-cerek, jumlahnya
sebanyak bintang di langit. Dalam kolam itu terdapat dua pancuran yang memancur
padanya air dari sungai Al-Kausar.
Dan bahwa diimani dengan hitungan amalan
dan berlebih kurangnya manusia di dalam perhitungan/penghisaban itu yang
terbagi kepada: orang yang diminta keterangan pada hitungan amalan, yang
diperlunak pada hitungan amalan dan orang yang masuk sorga tanpa hitungan
amalan. Yaitu orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan
beramalan banyak). Maka Allah menanyakan siapa yang dikehendakiNya dari para
nabi tentang penyampaian risalah dan siapa yang dikehendakiNya dari orang-orang
kafir tentang pendustaan mereka kepada rasul-rasul. Allah menanyakan
orang-orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) dari sunnah dan menanyakan
orang muslim tentang amalan. Dan bahwa diimani, bahwa orang yang berkeyakinan
itu dikeluarkan dari neraka sesudah habis penyiksaan, sehingga tidak tinggal di
dalam neraka jahannam seorangpun yang berkeyakinan
dengan karunia Allah Ta’ala. Maka tidak ada orang yang berkeyakinan kekal dalam
neraka.
Dan bahwa diimani, akan memperoleh syafa’ah
(restu) nabi-nabi, kemudian syafa’ah (restu) ulama-ulama, kemudian syafa’ah
(restu) syuhada, kemudian syafa’ah (restu) orang mu’min yang lain menurut
kemegahan dan kedudukannya di sisi Allah Ta’ala. Dan orang mu’min lainnya, yang
tak ada baginya yang memberikan syafa’ah (restu), maka dia dikeluarkan dari
neraka dengan karunia Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka tak ada seorang mu’minpun yang
kekal dalam neraka. Siapa saja yang dalam hatinya ada seberat biji sawi keimanan akan
dikeluarkan dari neraka itu. Dan bahwa diimani kelebihan para sahabat ra dan
urutannya. Bahwa manusia yang terutama sesudah Nabi saw, ialah Abu Bakar,
kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali, diridhai Allah kiranya mereka itu
sekalian. Dan sesungguhnya hendaklah berbaik sangka dengan sekalian sahabat
Nabi saw dan memberi pujian kepada mereka, sebagaimana Allah SWT dan Rasulullah
saw memberi pujian kepada mereka itu sekalian.
Semuanya itu, termasuk diantara apa yang
dibawakan hadits dan disaksikan oleh kata-kata peninggalan dari sahabat dan
orang-orang yang terdahulu (atsar). Barangsiapa mempercayai yang demikian itu
dengan penuh keyakinan, maka adalah dia diantara ahli kebenaran, pendukung
sunnah, terpisah dari rombongan kesesatan dan golongan yang mengada-ada. Kepada
Allah Ta’ala kita meminta kesempurnaan keyakinan dan kebagusan ketetapan dalam
agama, untuk kita sendiri dan untuk kaum muslimin seluruhnya dengan rahmat
Allah. Dia amat mengasihani dari segala yang mengasihani. Kiranya Allah
mencurahkan rahmat kepada penghulu kita Muhammad saw dan kepada semua hambaNya
yang pilihan.
PASAL
KEDUA: tentang cara berangsur-angsur memberi petunjuk dan susunan tingkatan
kei’tiqadan (keyakinan).
Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah
kami sebutkan itu mengenai penjelasan keyakinan, maka sewajarnyalah didahulukan
kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya. Supaya dihafalnya dengan baik.
Kemudian, senantiasalah terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit
sewaktu dia telah besar. Jadi, permulaannya dengan menghafal, kemudian
memahami, kemudian berkeyakinan, meyakini dan membenarkan. Dan yang demikian,
termasuk hal yang berhasil pada anak-anak, dengan tidak memerlukan dalil. Maka
diantara karunia Allah Ta’ala kedalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada
awal kejadiannya, kepada iman tanpa memerlukan kepada alasan dan dalil. Bagaimanakah
yang demikian itu dapat dibantah ? seluruh keyakinan orang awam, permulaannya
adalah ajaran & menurut semata-mata. Memang keyakinan yg hasil dengan
semata-mata menurut, tidak luput pada mulanya dari kelemahan, dengan pengertian
mungkin hilang bila datang lawannya. Dari itu harus dikuatkan dan
ditetap-teguhkan dalam jiwa anak-anak dan orang awam, sehingga meresap dan
tidak goyang lagi.
Jalan menguatkan &
menetapkannya, tidaklah dengan mengajarkan cara berdebat & berilmu kalam (berkata-kata).
Tetapi adalah dengan memperbanyak pembacaan Alquran
serta tafsirnya, membaca hadits dan pengertiannya. Dan mengerjakan dengan
sungguh-sungguh segala macam ibadah. Dengan demikian, maka keyakinan itu
senantiasa bertambah meresap dengan dalil-dalil Alquran dan keterangannya, yang
mengetuk anak telinganya. Dan dengan kesaksian hadits dan
faedah-faedah yang terkandung di dalamnya. Dan dengan sinaran cahaya gemilang
dari segala ibadah dan tugas-tugasnya. Dan dengan menjalar kepadanya, dari
menyaksikan orang-orang shalih dan duduk-duduk dengan mereka, tanda,
pendengaran dan sikap mereka, pada merendahkan diri, takut dan ketetapan hati
kepada Allah Ta’ala. Maka adalah permulaan ajaran keimanan itu, laksana
penyebaran benih ke dalam dada. Dan sebab-sebab yang tersebut tadi adalah
laksana penyiraman dan pemeliharaan benih itu. Sehingga tumbuh benih itu, kuat
dan tinggi, menjadi sepohon kayu yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan
cabangnya di langit. Dan hendaklah pendengaran anak-anak itu dijaga dengan
sebaik-baiknya dari berbantah dan berilmu kalam (berkata-kata). Sebab kekacauan
yang ditimbulkan oleh perdebatan itu, lebih banyak daripada pendidikan yang
dihasilkannya. Dan apa yang dirusakkannya, adalah lebih banyak daripada yang
diperbaikinya. Bahkan menguatkan keimanan dengan perdebatan itu menyerupai
dengan memukul batang kayu dengan palu besi, karena mengharap bertambah kuatnya dengan bertambah
banyak bahagian-bahagiannya. Dan kadang-kadang perbuatan itu membinasakan dan
merusakkan batang kayu itu. Dan inilah yang banyak kejadian. Kesaksian
membuktikan demikian dengan tegas. Dan ambillah itu menjadi bukti yang dapat
dipersaksikan dengan mata. Maka ambillah perbandingan antara keyakinan/aqidah
orang-orang shalih dan bertaqwa dari kebanyakan manusia dengan keyakinan
orang-orang ahli ilmu kalam (berkata-kata) dan perdebatan. Maka akan kita jumpai bahwa keyakinan orang
awam itu tetap seperti bukit yang tinggi, tidak dapat diumbang-ambingkan oleh
angin topan dan halilintar. Dan keyakinan ahli ilmu kalam (berkata-kata) yang
menjaga keyakinan nya dengan bermacam-macam perdebatan, adalah seumpama seutas
benang yang terlepas di udara, ditiupkan angin ke sana-sini. Kecuali
orang-orang yang mendengar dalil keyakinan dari ahli-ahli ilmu kalam, lalu dipegangnya
secara yakin/taqlid (turut/menurut). Sebagaimana dipegang nya keyakinan itu
sendiri secara yakin/menurut, karena tak ada bedanya pada berkeyakinan antara
mempelajari dalil atau mempelajari keyakinan itu tanpa dalil.
Maka mempelajari dalil itu
adalah satu hal dan mencari dalil dengan pemikiran, adalah hal lain pula yang
lebih jauh daripadanya. Seorang anak kecil, apabila terjadi dalam perkembangan
hidupnya diatas keyakinan ini, jika dia berkecimpung dalam usaha keduniaan,
maka tak terbuka baginya selain dari keyakinan tadi. Tetapi ia selamat di
akhirat dengan keyakinan ahli kebenaran itu. Sebab, agama itu sendiri tidak memberatkan
kepada orang-orang Arab yang sederhana pengetahuan nya, lebih banyak
dari membenarkan dengan keyakinan akan yang jelas-jelas saja dari keyakinan
itu.
Adapun pembahasan,
pemeriksaan dan pengaturan dalil-dalil yang berat-berat, maka tidaklah
sekali-kali mereka itu diberatkan. Jika ia bermaksud menjadi orang yang menuju
ke jalan akhirat dan mendapat pertolongan petunjuk/taufiq, sehingga ia
berbanyak amal, selalu bertaqwa, mencegah diri dari
hawa nafsu, selalu melatih diri dan berzihat melawan hawa nafsu/bermujahadah,
niscaya terbukalah baginya pintu hidayah, tersingkaplah segala
hakikat/makna dari keyakinan ini dengan cahaya Ilahi yang dicurahkan dalam
hatinya dengan sebab melawan hawa nafsu itu, untuk pembuktian atas janji Allah
yang Maha Mulia & Maha Besar, dengan firmanNya: “Dan mereka yang berjihat untuk
melawan hawa nafsu untuk Kami, sesungguhnya Kami tunjukkan jalan Kami kepada mereka.
Bahwasanya Allah itu beserta orang yang berbuat baik”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat
69. Itulah mutiara yang amat berharga, yang menjadi tujuan dari keimanan
orang-orang yang shiddiq/Benar dan orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada
Allah.
Dan kepadanyalah
diisyaratkan, rahasia kebesaran yang terpendam dalam dada Abu Bakar Shiddiq ra
sehingga dia terpandang lebih mulia dari orang-orang lain. Tebukanya satu rahasia
itu, bahkan semua rahasia-rahasia itu, mempunyai tingkat menurut tingkat
kesungguhannya, tingkat kebathinannya tentang kebersihan dan kesucian dari
selain Allah Ta’ala dan tentang memperoleh cahaya dengan cahaya keyakinan. Dan
yang demikian itu, adalah seperti berlebih-kurangnya pengetahuan manusia
tentang rahasia ilmu kedokteran, ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang lain. Karena
berlainan yang demikian dengan berlainannya keyakinan dan kejadian diri yang
suci bersih, tentang kecerdikan dan kepintaran. Maka sebagaimana
tingkat-tingkat itu tidak terhingga, maka begitu pulalah ini.
M a s a l a h
Kalau anda tanyakan: mempelajari cara berdebat dan ilmu kalam
(berkata-kata) itu tercela, seperti mempelajari ilmu bintang atau dibolehkan
atau disunnatkan? Maka ketahuilah, bahwa manusia dalam hal ini, mempunyai hal
di luar batas dan berlebih-lebihan dalam beberapa segi. Diantaranya ada yang
mengatakan bahwa mempelajari berdebat dan ilmu kalam (berkata-kata) itu bid’ah
(yang diada-adakan) dan haram. Dan bahwa hamba Allah itu jika dia menjumpai
Allah dengan seluruh dosanya selain syirik (mempersekutukan Allah), adalah
lebih baik baginya daripada menjumpaiNya dengan ilmu kalam (berkata-kata).
Diantaranya ada yang mengatakan wajib dan fardlu. Adakalanya secara fardlu
kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu) atau
fardlu‘ain (wajib dikerja kan). Dan ilmu kalam itu seutama-utama ilmu dan
setinggi-tinggi penghampiran diri kepada Allah. Karena ilmu itu meyakinkan bagi
ilmu keesaan dan mempertahankan agama Allah Ta’ala. Dan kepada pengharaman,
ialah sepanjang madzhab Asy-Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Sufyan dan
seluruh salaf/ulama terdahulu dari ahli hadits.
Berkata Ibnu Abdil-A’la ra: “Saya mendengar
Asy-Syafi’i ra, pada hari dia berdebat dengan Hafshul-fard seorang ahli ilmu
kalam (berkata-kata) dari golongan Mu’tazilah, mengatakan: “Lebih baik bagi
seorang hamba Allah bertemu dengan Allah dengan segala dosa selain dari syirik
daripada bertemu dengan Allah dengan sesuatu daripada ilmu kalam Allah”. Dan
saya sudah mendengar dari Hafshul-fard tadi, kata-kata yang tak sanggup saya
menceritakannya”. Berkata Ibnu Abdil-A’la pula: “Saya sudah melihat dari ahli ilmu
kalam (berkata-kata) itu, sesuatu yang saya tidak menyangkanya sama sekali. Dan
untuk seorang hamba Allah itu, lebih baik mendapat percobaan dengan segala yang
dilarang Allah selain dari syirik, daripada memandang pada ilmu kalam”.
Berkata Al-Karabisi ra: “Bahwa pernah
Asy-Syafi’i ra ditanyakan orang mengenai sesuatu dari ilmu kalam. Maka beliau
marah, seraya berkata: “Tanyakanlah tentang ini kepada Hafshul-fard dan
kawan-kawannya, orang-orang yang telah dihinakan Tuhan”. Ketika Asy-Syafi’i ra
sakit, lalu datang kepadanya Hafshul-fard seraya bertanya kepadanya: “Siapakah
saya ini ?”. Maka menjawab Asy-Syafi’i: “Hafshul-fard, tidak dipelihara dan
dipimpin engkau oleh Allah sebelum engkau bertaubat dari paham yg engkau anut
sekarang”. Berkata Asy-Syafi’i lagi: “Jikalau tahulah manusia apa yg didalam
ilmu kalam itu dari bermacam-macam hawa nafsu, maka akan larilah mereka
daripadanya seperti larinya dari singa”. Berkata lagi Asy-Syafi’i: “Apabila
engkau mendengar seseorang mengata kan: nama, ialah yang dinamakan/bukan yg
dinamakan, maka naik saksilah bahwa orang tersebut termasuk ahli ilmu kalam
& tak ada agama bagi orang itu”.
Berkata Az-Za’farani: “Kata Asy-Syafi’i:
Hukumanku kepada orang-orang ilmu kalam (berkata-kata) itu, dipukul dengan
pelepah kurma dan dibawa berkeliling pada kabilah-kabilah dan puak-puak. Dan
dikatakan, inilah balasan orang yang meninggalkan Alquran dan As-Sunnah dan
mengambil ilmu kalam”. Berkata Ahmad bin Hanbal: “Orang ilmu kalam
(berkata-kata) itu tidak akan memperoleh kemenangan selama-lamanya. Hampir kita
tidak mellihat seorangpun yang memperhatikan ilmu kalam (berkata-kata) itu,
melainkan di dalam hatinya terdapat keragu-raguan”. Begitu benar Ahmad bin Hanbal mencela ilmu kalam
(berkata-kata) itu, sampai ia tidak mau bercakap-cakap dengan Al-Harits
Al-Muhasibi –seorang yang zuhud dan wara’. Karena Al-Harits mengarang sebuah
kitab untuk menentang kaum bid’ah (yang diada-adakan). Berkata Ahmad bin Hanbal
kepada Al-Harits itu: “Kasihan saudara ! bukankah saudara menceritakan mula-mula
kebid’ahan (yang diada-adakan) mereka itu ? kemudian saudara menolaknya ?
bukankah saudara dengan karangan saudara itu, membawa manusia kepada membaca
bid’ah/yg diada-adakan dan berpikir kepada yang syubhat (diragukan) ? lalu
terbawalah mereka kepada berpendapat dan membahas ?”.
Berkata Ahmad ra: “Ulama kalam itu adalah
orang-orang zindiq (Islam pada dhahir & kafir pada bathin)”. Berkata Malik
ra: “Tidakkah engkau melihat, bila datang orang yang lebih pandai berdebat
daripadanya, adakah ia meninggalkan agamanya tiap-tiap hari, untuk agama baru
?”. Maksud Malik, bahwa perkataan orang-orang yang melawan hawa nafsu itu
selalu berlebih-kurang. Berkata Malik ra pula: “Tak
boleh menjadi saksi ahli bid’ah (yang
diada-adakan) dan hawa nafsu”. Maka berkata sebahagian temannya dalam
menafsirkan perkataan Malik tadi, bahwa yang dimaksudkannya dengan ahli hawa
nafsu itu, ialah ahli ilmu kalam (berkata-kata) atas aliran manapun mereka
berada.
Berkata Abu Yusuf: “Barangsiapa mempelajari
ilmu kalam, maka ia menjadi zindiq/Islam pada dhahir & kafir pada bathin”.
Berkata Al-Hasan: “Janganlah engkau berdebatan dengan ahli hawa nafsu !
janganlah duduk-duduk bersama mereka dan janganlah mendengar apa-apa dari
mereka”. Telah sepakat orang-orang terdahulu dari ahli hadits atas ini. Dan tak
terhingga banyaknya peringatan-peringatan yang keras yang datang dari mereka.
Ahli-ahli hadits itu mengatakan bahwa para
sahabat Nabi saw tidak diam daripadanya, serta mereka sebetulnya lebih
mengetahui hakikat/makna yang sebenarnya dan lebih lancar dengan penyusunan
kata-kata dari orang lain. Tidak lain, melainkan karena mereka mengetahui apa
yang akan terjadi dari berbagai macam kejahatan. Dari itu Nabi saw bersabda:
“Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik ! Binasalah
orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik ! Binasalah orang-orang
yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik !”.
Ahli-ahli hadits yang terdahulu itu
mengemukakan pula alasan, bahwa kalau benar pembahasan dalam ilmu kalam itu
termasuk sebahagian dari agama, tentulah dia menjadi yang terpenting dari apa
yang disuruhkan Nabi saw. Dan tentu diajarkan oleh Nabi saw caranya serta
memberi pujian kepada ilmu itu dan kepada ahli-ahlinya. Sesungguhnya yang
diajarkan oleh Nabi saw kepada mereka, ialah cara beristinja’ (bersuci dari
buang air kecil dan air besar). Dan disunnatkan oleh Nabi saw kepada mereka
mempelajari ilmu pembahagian pusaka, dan memberi pujian kepada mereka yang
mempelajari ilmu itu. Dan melarang mereka memperkatakan tentang qadar (taqdir)
dengan sabdanya: “Tahanlah dirimu dari memperkatakan takdir !”. Dan atas dasar
ini, terus-meneruslah para sahabat berpegang. Maka melebihkan dari guru adalah
durhaka dan dhalim. Dan para sahabat itu adalah guru dan ikutan kita. Dan kita
adalah pengikut dan murid mereka.
Adapun golongan lain, mengemukakan alasan
dengan mengatakan, bahwa yang ditakuti dari ilmu kalam itu, kalau ada, ialah
mengenai kata-kata benda barang dan sifat yg mengambil tempat. Istilah-istilah
yang ganjil ini yang tidak diketahui oleh para sahabat ra, maka persoalannya
dekat saja. Karena ilmu apapun juga, telah diperbuat padanya istilah-istilah
supaya mudah dipahami, seperti hadits, tafsir dan fiqh. Kalau dibentangkan
kepada para sahabat itu, kata-kata: lawan, pecah, susunan, pelampauan &
rusak letakan, sampai kepada semua persoalan yg dikemukakan dalam bab qias
(dari ilmu logika), tentu tdk dipahami mereka. Maka membuat kata-kata, untuk
memberi dalil kepada kata-kata tersebut dengan maksud yang benar, samalah
halnya seperti membuat tempat-tempat air dalam bentuk yang baru untuk dipakai
pada jalan yang diperbolehkan. Dan kalau yang ditakuti itu, adalah maksudnya,
maka dalam hal ini kami tidak bermaksud selain dari mengenal dalil atas baru
alam dan keesaan Khaliq (yang maha pencipta) dan sifat-sifatNya, sebagaimana
yang tersebut dalam agama. Maka dari manakah datangnya haram mengenal Allah
Ta’ala dengan dalil ? Dan kalau ditakuti itu yaitu perpecahan, Fanatik
golongan, permusuhan, persengketaan dan lainnya yang diakibatkan oleh ilmu
kalam itu, maka memanglah itu diharamkan. Dan wajiblah menjaga diri
daripadanya. Sebagaimana sombong, ‘ujub, ria, ingin jadi kepala dan lainnya
yang diakibatkan oleh ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Itu semuanya diharamkan
dan wajib menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah dilarang ilmunya, karena
terbawa ke situ. Bagaimanakah menyebut alasan, mencari alasan dan membahas
alasan itu dilarang ? dan Allah Ta’ala sendiri berfirman: “Katakanlah
(Muhammad) ! berikanlah keteranganmu !”. S 2 Al Baqarah ayat 111. Dan berfirman
Allah Ta’ala: “Supaya binasa orang yang binasa dengan keterangan yang jelas dan
hidup orang yang hidup dengan keterangan yang jelas”. S 8 Al Anfaal ayat 42.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Katakanlah (Muhammad) ! adakah padamu kekuasaan
tentang ini ?”. Yakni: keterangan dan alasan. Berfirman Allah Ta’ala: “Katakanlah (Muhammad) ! Allah mempunyai
keterangan yang tegas”. S 6 Al An’aam ayat 149. Berfirman Allah Ta’ala:
“Tiadakah engkau perhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya ?”. S
2 Al Baqarah ayat 258. Sampai kepada firmanNya: “Lalu orang kafir itu
kehilangan akal”. S 2 Al Baqarah ayat 258. Karena ayat ini, disebutkan oleh
Allah swt keterangan Nabi Ibrahim as penentangan dan pukulannya kepada musuh
sebagai pujian dari Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim as. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan itu adalah keterangan Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya”. S 6 Al An’aam ayat 83. Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka
berkata: “Ya Nuh ! sesungguhnya engkau telah berdebatan dengan kami, maka
banyaklah engkau berdebatan dengan kami itu”. S 11 Huud ayat 32. Dan berfirman
Allah Ta’ala mengenai kisah Fir’aun: “Siapakah Tuhan Pemimpin semesta alam itu
?”. S 26 Asy Syu’araa ayat 23. Sampai kepada firmanNya: “Berkata Musa: Dapatlah
kamu menerima kalau aku dapat menjelaskan
sesuatu (alasan) dengan terang ?”. S 26 Asy Syu’araa ayat 30.
Kesimpulannya Alquran itu dari permulaannya
sampai kepada penghabisannya adalah keterangan yang jelas menghadapi
orang-orang kafir. Maka pegangan dalil bagi ahli-ahli ilmu kalam (berkata-kata)
itu tentang keesaan ialah firman Allah Ta’ala: “Jikalau adalah di langit dan di
bumi ini beberapa Tuhan selain dari Allah, maka rusaklah langit dan bumi itu”.
S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Dan pegangan dalil tentang kenabian ialah firman
Allah Ta’ala: “Jika adalah kamu di dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja seperti (Alquran) itu”. S 2 Al
Baqarah ayat 23. Dan pegangan dalil tentang kebangkitan, firman Allah:
“Katakanlah (Muhammad) ! akan dihidupkannya oleh Yang Menjadikannya pada
pertama kali”. S 36 Yaa Siin ayat 79. Dan begitulah seterusnya dari ayat-ayat
suci dan dalil-dalil yang lain. Dan rasul-rasul itu selalu menghadapi dengan
keterangan akan orang-orang yang menentang dan mengadakan perdebatan dengan
mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Berdebatanlah/bertukar pikiranlah dengan
mereka dengan cara yang sebaik-baiknya”. S 16 An Nahl ayat 125. Sahabat-sahabat
ra juga selalu mengemukakan alasan-alasan menghadapi orang-orang yang ingkar
itu dan melakukan perdebatan. Tetapi itu ketika diperlukan. Dan pada masa
mereka, keperluan untuk itu sedikit sekali.
Dan orang pertama yang membuat tradisi
mengajak orang-orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan), kepada kebenaran
dengan perdebatan, ialah Ali bin Abi Thalib ra, ketika Ali mengutus Ibnu Abbas
ra menjumpai orang Khawarij (suatu golongan yg tidak mau mengikuti & keluar dari
ketaatan kepada pemerintah hal itu terjadi pada masa pemerintahan Ali bin abi
Thalib) dan mengadakan
pertukaran pikiran dengan mereka. Bertanya Ibnu Abbas ra kepada orang Khawarij
itu: “Mengapakah kamu mencaci Imammu ?”. Menjawab orang Khawarij itu: “Dia
berperang dan dia tidak mengambil tawanan dan harta rampasan”. Maka membalas
Ibnu Abbas: “Cara yang demikian, kalau berperang dengan kafir. Apakah
pendapatmu kalau ‘Aisyah ditawan pada hari perang jamal ? lalu sebagai tawanan,
‘Aisyah itu termasuk dalam bahagian salah seorang dari kamu. Apakah kamu
menganggap halal dia sebagaimana kamu menganggap halal dengan budak-budak
wanitamu yang lain? padahal dia ibumu menurut penegasan Alquran ?”. Maka kaum
Khawarij itu menjawab: “Tidak !”. Dengan perdebatan yang dilakukan oleh Ibnu
Abbas ra, maka kembalilah mentaati Ali sebanyak 2000 orang dari kaum Khawarij.
Diceritakan bahwa Al-Hasan berdebat dengan
seorang qadariah (aliran yg
meletakkan segala-galanya kepada taqdir, sehingga manusia itu, ibarat bulu ayam,
tergantung terbang kemana dibawa angin). Dengan perdebatan itu, orang qadariah
tadi menarik diri dari paham qadariah. Ali bin Abi Thalib ra pernah berdebat
dengan seorang qadariah. Abdullah bin Mas’ud ra pernah berdebat dengan Yazid
bin ‘Umairah mengenai keimanan. Berkata Abdullah: “Kalau engkau mengatakan aku
mu’min, maka engkau mengatakan bahwa aku dalam sorga”. Menjawab Yazid bin
‘Umairah: “Hai sahabat Rasul ! itu adalah suatu kesilapan daripadamu. Bukankah
iman itu, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikatNya, kitab-kitabNya,
rasul-rasulNya percaya kepada kebangkitan, kepada timbangan amal, mendirikan
shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat ? kita mempunyai banyak dosa. Kalau
kita ketahui dosa itu diampunkan Tuhan, maka tahulah kita bahwa kita itu dari
penduduk sorga. Dari itu, kita mengatakan bahwa kita orang mu’min dan tidak
kita mengatakan bahwa kita dari penduduk sorga”. Maka menjawab Ibnu Mas’ud:
“Benar engkau. Sebenarnyalah ucapan tadi kesilapanku
sendiri”. Maka sewajarnyalah dikatakan, bahwa para sahabat itu mencempelung kan
diri ke dalam perdebatan itu adalah sedikit saja, tidak banyak, pendek saja,
tidak panjang dan ketika diperlukan. Tidak dengan jalan mengarang, mengajar dan
membuatnya sebagai perbuatan mencari rezeki.
Maka dapat ditegaskan bahwa sedikitnya para
sahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan, adalah karena kurang
diperlukan. Sebab tak ada bid’ah (yang diada-adakan) yang timbul pada masa itu.
Mengenai singkatnya perdebatan yang dilakukan mereka adalah tujuannya menginsafkan
lawan, memberi peringatan, menyingkapkan kebenaran dan menghilangkan karaguan.
Kalau lawan itu memanjangkan persoalan atau penantangan, maka sudah pasti
perdebatan itu menjadi lama. Dan tidaklah para sahabat itu dapat menaksir
dengan timbangan dan sukatan, berapa lama diperlukan perdebatan itu bila telah
mencempelungkan diri ke dalamnya. Mengenai tidaknya para sahabat itu mengajar
dan mengarang tentang perdebatan itu, maka begitu pulalah sikap mereka terhadap
fiqih, tafsir dan hadits. Maka jikalau boleh mengarang fiqih dan membuat
gambar-rambar yang ganjil yang hampir tidak pernah kejadian, adakalanya untuk
disimpan pada waktu terjadinya walaupun jarang benar terjadi atau untuk
pengasah otak. Maka kita juga menyusun cara berperdebatan karena mungkin diperlukan
nanti disebabkan berkobarnya hal-hal yang meragukan. Atau bangun orang-orang
yang membuat bid’ah (yang diada-adakan) atau untuk mengasah otak atau untuk
menyimpan keterangan, sehingga bila diperlukan dengan mudah dan dengan spontan,
tidak merasa lemah, seperti orang yang menyediakan alat senjata sebelum perang
untuk dipakai di hari perang. Inilah kemungkinan-kemungkinan yang dapat
disebutkan untuk kedua golongan itu. Kalau anda bertanya: “Manakah pilihan tuan
?”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang benar dalam persoalan tersebut, ialah bahwa
mencelanya secara mutlak dalam segala keadaan atau memujinya dalam segala
keadaan, adalah salah. Tetapi hendaklah dengan penguraian.
Pertama-tama ketauhilah, bahwa sesuatu itu
kadang-kadang haram karena zatnya seperti arak dan bangkai. Maksudku dengan
kataku karena zatnya ialah, bahwa sebab pengharamannya, adalah suatu sifat pada
zatnya. Yaitu memabukkan (pada arak) dan karena mati pada bangkai. Mengenai ini
apabila kita ditanyakan, maka dapatlah secara mutlak kita mengatakan haram. Dan
tidak mempengaruhi akan penjawaban tersebut oleh bolehnya memakan bangkai
ketika diperlukan benar. Dan bolehnya meneguk arak apabila tersumbat
kerongkongan dengan suapan makanan dan tidak diperoleh selain dari arak untuk
menghilang kan tersumbat itu. Dan ada pula, haramnya tidak karena zatnya
seperti menjual atas penjualan sesama Islam dalam waktu azan berjual beli dan
seperti memakan tanah. Maka itu diharamkan karena padanya mendatangkan melarat.
Yang mendatangkan melarat itu, terbagi kepada: mendatangkan melarat oleh
sedikitnya dan banyaknya. Maka dalam hal ini dapatlah secara mutlak dikatakan
bahwa: benda itu haram, seperti racun, yang membunuh oleh sediktinya dan
banyaknya. Dan mendatangkan melarat oleh banyaknnya saja, maka dalam hal ini
secara mutlak dikatakan mubah (diperbolehkan), seperti madu. Sebab dengan
banyaknya, mendatangkan melarat dengan panas. Dan seperti memakan tanah. Dan
menyebutkan haram tanah dan arak serta halal madu itu, karena melihat kepada
keadaan yang biasanya demikian. Kalau ada sesuatu benda, yang bertentangan
padanya beberapa keadaan, maka yang lebih utama dan lebih terpelihara dari
keragu-raguan, hendaklah diuraikan secara terperinci. Marilah kita kembali
membicarakan ilmu kalam (berkata-kata) dengan mengatakan bahwa pada ilmu kalam
(berkata-kata) itu ada ilmu mengenal allah, di samping ada melaratnya. Maka
ilmu kalam itu dengan memandang kepada manfaatnya, pada waktu mengambil
manfaatnya, adalah halal atau disunatkan atau diwajibkan, menurut keadaan yang
berlaku. Dan dengan memandang kepada melaratnya pada waktu dan tempat
memperoleh itu, adalah haram.
Kemelaratannya yaitu mengobarkan syubhat
(diragukan), menggoyangkan ‘aqidah/keyakinan dan menghilangkan keyakinan dan
keteguhan hati. Maka yang demikian itu, termasuk apa yang ada pada permulaan.
Dan mengembalikannya dengan dalil, adalah diragukan. Hal itu berbeda menurut
keadaan orangnya. Inilah melaratnya ilmu kalam (berkata-kata) itu, terhadap
keyakinan yang benar. Di samping itu ada lagi kemelaratannya yang lain. Yaitu
dapat meneguhkan keyakinan pembuat bid’ah (yang diada-adakan) untuk bid’ah
(yang diada-adakan)nya. Dan dapat menetapkan keyakinan itu dalam dada mereka,
dengan akan terbangun pengajak-pengajak mereka dan bersangatan kesungguhan hati
mereka untuk menetap terus dalam keyakinan itu. Tetapi kemelaratan yang
tersebut tadi itu, adalah dengan perantaraan fanatik yang berkobar dari
perdebatan. Dari itu, anda akan melihat pembuat bid’ah (yang diada-adakan) yang
bodoh, mungkin hilang keyakinannya dalam waktu yang singkat
dengan lemah lembut. Kecuali, apabila ia berada dalam suatu negeri
yang menonjol di dalamnya perdebatan dan fanatik golongan. Maka dalam hal ini,
kalaupun berkumpul orang yang terdahulu dan yang terkemudian, tidak akan
sanggup mencabut kebid’ahan (yang diada-adakan) dari dalam dadanya. Tetapi hawa
nafsulah, fanatik golongan, kemarahan lawan yang bersungguh-sungguh dan partai
yang bertentangan yang akan menguasai hatinya dan mencegahnya dari memperoleh
kebenaran. Sehingga kalaulah dikatakan kepadanya: Inginkah kamu supaya dibukakan
Allah tutup hatimu dan diperkenalkan Nya kepadamu dengan nyata, bahwa kebenaran
itu ada di pihak musuhmu, maka bencilah dia yang demikian. Karena dia takut
nanti menang lawannya. Inilah penyakit yang menular,
yang beterbangan di dalam negeri dan pada semua hamba. Yaitu semacam kerusakan
yang dihembuskan oleh orang-orang yang berdebatan dengan fanatik. Inilah
melaratnya ilmu kalam (berkata-kata) !.
Mengenai manfaatnya, maka kadang-kadang ada
orang yang menyangka, bahwa kegunaan ilmu kalam (berkata-kata) itu ialah
membuka hakikat/makna kebenaran dan mengenalinya menurut keadaan yang
sebenarnya. Wahai kiranya, tidak adalah dalam ilmu kalam (berkata-kata) itu
yang dapat menyempurnakan tujuan yang mulia ini. Kerusakan
dan kesesatanlah yang lebih banyak padanya, daripada keterbukaan dan pengenalan.
Dan ini apabila anda dengar dari seorang ahli hadits atau seorang yang
terbanyak bunga dalam perkataannya, maka kadang-kadang terguris di hati anda,
bahwa manusia itu adalah musuh apa yang tidak diketahuinya. Maka aku mendengar
ini dari orang yang berpengalaman tentang ilmu kalam. Kemudian ia benci,
sesudah pengalaman yang sebenarnya dan sesudah masuk sampai ke tingkat yang
terakhir ahli-ahli ilmu kalam. Dan ia melampaui yang demikian, sampai kepada
mendalami ilmu-ilmu yang lain, yang bersesuaian dengan bahagian ilmu kalam. Dan
ia yakin bahwa jalan ke hakikat/makna ma’rifah (ilmu mengenal allah) dari cara
ini, adalah
tertutup. Benar, ilmu kalam (berkata-kata) itu senantiasa
membuka, memperkenal dan menjelaskan sebahagian persoalan. Tetapi sedikit
sekali dapat dipahami, dalam persoalan-persoalan yang terang, sebelum lagi
mendalami pelajaran ilmu kalam itu. Bahkan manfaatnya hanya satu saja. Yaitu
menjaga keyakinan yang telah kami terangkan dahulu terhadap orang awam dan
memeliharanya dari gangguan-gangguan ahli bid’ah (yang diada-adakan) dengan
bermacam-macam pertengkaran. Sesungguhnya orang awam itu lemah, dapat
digertakkan oleh pertengkaran orang bid’ah walaupun itu merusak. Dan menentang
yang merusak dengan yang merusak itu, akan mendorong kepada kerusakan.
Manusia itu beribadah (berpegang teguh)
dengan keyakinan ini yang telah kami terangkan dahulu. Karena telah datang
agama membawanya, dimana di dalamnya perbaikan untuk agama dan dunia. Dan telah
sepakat ulama salaf yang saleh. Dan para ulama itu, beribadah menjaganya pada
orang awam dari gangguan-gangguan tukang bid’ah. Sebagaimana para sultan
menjadi ibadah menjaga harta orang awam, dari serangan orang-orang jahat/dhalim
dan perampokan.
Apabila telah diketahui kemelaratan dan
kemanfaatan ilmu kalam (berkata-kata) itu, maka seharusnyalah orang yang ahli
dalam ilmu kalam itu, seperti dokter yang mahir dalam pemakaian obat yang
berbahaya. Karena tidaklah akan diletakkannya selain pada tempatnya. Yaitu pada
waktu perlu dan seberapa perlu. Penguraiannya ialah, bahwa orang-orang awam
yang bekerja di pertukangan dan di perusahaan, haruslah dibiarkan keselamatan
keyakinan nya yang diimaninya, bilamana telah dipelajarinya keyakinan yang
benar yang telah kami sebutkan itu. Mengajarkan ilmu kalam (berkata-kata)
kepada mereka adalah melarat/rugi semata-mata. Sebab kadang-kadang menimbulkan keragu-raguan di
dalam hatinya dan membuat kegoncangan keyakinannya.
Dan tidak mungkin nanti diperbaiki lagi. Mengenai orang awam yang ber’aqidah/berkeyakinan
bid’ah (yang diada-adakan), maka seharusnyalah diajak kepada kebenaran dengan lemah lembut, tidak dengan fanatik. Dengan
kata-kata yang halus yang memuaskan hati, yang membekas ke dalam jiwa, yang
mendekati dengan cara dalil-dalil Alquran dan Al-Hadits, yang bercampur dengan
seni pengajaran dan peringatan. Cara yang demikianlah yang lebih bermanfaat, dibandingkan dengan pertengkaran yang
didasarkan kepada syarat orang-orang ilmu kalam
Karena orang awam apabila mendengar yang
demikian, lalu meyakini bahwa itu adalah semacam perbuatan dari perdebatan yang
dipelajari oleh ahli ilmu kalam (berkata-kata) untuk menjerumuskan orang banyak
kepada kepercayaannya. Bila orang awam itu tidak sanggup menjawabnya, lalu
menaksir bahwa ahli-ahli berdebat dari golongannya juga, akan sanggup
menolaknya. Maka perdebatan yang seperti ini dan yang pertama itu haram
hukumnya. Begitu pula orang yang keragu-raguan dalam keyakinan, karena wajiblah
dihilangkan keragu-raguannya dengan lemah lembut, dengan pengajaran dan
dalil-dalil yang dekat, yang dapat diterima, jauh dari mendalami ilmu kalam.
Perdebatan yang habis-habisan, hanya berguna pada satu tempat saja. Yaitu dalam
hal orang awam itu berkeyakinan bid’ah (yang diada-adakan) dengan semacam
perdebatan yang didengarnya. Maka hendaklah perdebatan itu ditentang dengan
perdebatan pula yang serupa. Maka dia akan kembali kepada keyakinan yang benar.
Yang demikian itu, adalah mengenai orang yang menampak baginya kerusakan kepada
berperdebatan, yang merasa tak puas dengan pengajaran-pengajaran dan
peringatan-peringatan yang sesuai bagi orang awam. Orang yang semacam ini sudah
sampai kepada keadaan yang tidak menyembuhkannya kecuali dengan obat
perdebatan. Maka bolehlah disuguhkan kepadanya.
Adapun pada negeri-negeri yang sedikit
sekali bid’ah dan tak ada di situ pertikaian madzhab/aliran, maka mencukupilah
dengan pelajaran keyakinan yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tak usah
dibentangkan dalil-dalil dan dijaga dari terjadinya keragu-raguan. Dan kalau
timbul keragu-raguan itu, barulah dibentangkan dalil-dalil sekedar perlu saja.
Kalau bid’ah (yang diada-adakan) itu sudah tersebar dan dikuatiri anak-anak
akan tertipu, maka tiada mengapa diajarkan sekedar yang telah kami muatkan
dalam kitab “Ar-Risalah al-Qudsiyah”, untuk menjadi bahan penolak pengaruh dari
perdebatan tukang-tukang bid’ah itu, bila terjadi di kalangan mereka. Itulah
batas yang ringkas, yang telah kami simpan di dalam kitab itu secara singkat.
Kalau ada diantara mereka yang cerdik dan sadar ia kepada persoalan yang
dihadapi karena cerdiknya atau keragu-raguannya sudah menggelora dalam dirinya,
maka dalam hal ini, telah timbul sebab yang ditakuti dan telah lahir penyakit.
Maka tiada mengapa pembahasan ilmu kalam (berkata-kata) itu meninggi lagi
sampai kepada batas yang telah kami terangkan dalam kitab “Al-Iqtishad
fil-I’tiqad (keyakinan)”, yaitu kira-kira 50 lembar kertas. Isi kitab tersebut
tiada keluar dari pandangan tentang aqidah-aqidah i’tiqad (keyakinan) dan
sebagainya dari pembahasan-pembahasan ahli ilmu kalam. Apabila buku tersebut
memuaskan baginya, maka terpeliharalah dia dari kerusakan keyakinan. Dan jika
tidak memuaskan maka itu menandakan bahwa penyakit itu sudah melumpuhkan, sudah
merata dan menjalar. Maka dalam hal ini, tabibnya hendaklah berbelas-kasihan
sedapat mungkin dan menunggu taqdir dari Allah Ta’ala, moga-moga dibukaNya
kebenaran sampai orang itu sadar. Atau orang itu terus-menerus di dalam ragu
dan ragu, maka dalam hal ini terserah kepada takdir. Dan isi yang terkandung
dalam kitab itu dan dalam karangan-karangan lain yang sejenis dengan itu, dapat
diharapkan kegunaannya. Adapun yang diluar dari itu, ada dua bahagian:
Pertama: pembahasan yang
lain dari keyakinan, seperti pembahasan tentang pegangan hidup, tentang alam,
tentang perasaan dan dari memperkatakan mengenai penglihatan. Adakah dia itu
mempunyai lawan, yang dinamakan larangan atau buta ? kalau ada lawannya, maka
adalah satu saja. Yaitu larangan dari semua yang tidak dilihat atau tetaplah
bagi tiap-tiap yang mungkin dilihat, oleh larangan menurut bilangannya dan
hal-hal lain yang salah menyesatkan.
Kedua: tambahan
penetapan dalil-dalil itu, pada bukan keyakinan dan tambahan soal dan jawab.
Itu juga penyelidikan yang tidak menambahkan kecuali kesesatan dan kebodohan,
terhadap orang-orang yang tiada merasa puas dengan sekedar itu. Sebab banyaklah
perkataan, semakin bertambah diperpanjang dan diurai, semakin kabur. Kalau ada
orang yang mengatakan bahwa membahas persoalan perasaan dan pegangan hidup, ada
faedahnya, yaitu mengasah yang terguris di dalam hati. yang terguris di dalam
hati itu (khathir) adalah alat bagi agama, seperti pedang alat bagi perang.
Maka tak apalah mengasahnya. Perkataan yang seperti itu samalah halnya seperti
mengatakan, bermain catur itu mengasah khathir. Jadi termasuk agama juga.
Pemikiran seperti ini adalah kurang akal.
Sebab khathir ini terasah dia dengan ilmu-ilmu agama yang lain dan tidak
ditakuti adanya kesulitan/melarat. Dengan penjelasan yang tersebut di atas,
tahulah anda bahagian yang tercela dan yang terpuji dari ilmu kalam
(berkata-kata). Dan keadaan mana yang dicela dan yang dipuji dan orang mana
yang dapat mengambil manfaat daripadanya dan orang yang tidak dapat mengambil
manfaat. Kalau anda mengatakan, manakala diakui perlunya ilmu kalam
(berkata-kata) itu untuk menolak ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan sekarang
bid’ah itu sudah berkembang dan merata bahayanya dan sudah sangat diperlukan,
maka tak dapat tidak menegakkan ilmu kalam termasuk fardlu kifayah (jika ada 1
orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu) seperti bangun menegakkan
penjagaan harta dan hak-hak yang lain, seperti memegang jabatan kadli
(penguasa/pejabat agama), pemerintahan dll nya. Dan apa yang tidak dikerjakan
oleh ulama mengembangkan yang demikian, mengajarkan dan membahaskannya, maka
tidak akan kekal. Dan kalau ditinggalkan keseluruhannya, maka ilmu kalam itu
lenyaplah. Dan tidaklah mencukupi untuk menguraikan diragukan tukang bid’ah itu
dengan semata-mata pembawaan diri saja tanpa dipelajari. Dari itu, maka
seyogyalah mengajar dan membahas ilmu kalam itu termasuk dalam fardlu kifayah
juga (artinya jika ada 1 orang saja yg mengerjakan nya maka cukup). Lain halnya
pada masa para sahabat ra dahulu. Ketika itu, keperluan untuk itu belum
dirasakan. Ketahuilah bahwa sebenarnya haruslah ada pada tiap-tiap negeri,
orang yang menegakkan ilmu kalam ini, berdiri bebas menolak syubhat (diragukan)
dari ahli bid’ah yang berkembang dalam negeri itu. Hal itu dapat terus berjalan
dengan pengajaran. Tetapi tidaklah betul mengajarkannya itu pada umumnya
seperti mengajarkan fiqih dan tafsir.
Ilmu kalam itu adalah seperti obat dan ilmu fiqih
itu adalah seperti
makanan. Melaratnya makanan tidak dikuatiri,
tetapi melaratnya obat dikuatiri. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu dari
bermacam-macam melaratnya. Maka orang yang berilmu, haruslah menentukan dengan
mengajarkan ilmu ini kepada orang yang ada padanya 3 perkara:
1.
haruslah orang itu mempelajari ilmu itu semata-mata dan
mempunyai minat kepadanya. Orang yang bekerja dengan sesuatu pekerjaan, dapat
menghalanginya dari meneruskan pelajaran ilmu kalam itu dan tak dapat
menghilangkan keragu-raguannya apabila timbul.
2.
haruslah orang itu pandai, cerdik dan lancar berkata-kata.
Orang yang dungu tidaklah dapat dimanfaatkan dengan pemahamannya. Dan orang
yang lambat mengerti, tidaklah dapat dimanfaatkan. Maka ditakutkan pada orang
itu dari melaratnya ilmu kalam dan tak dapat diharapkan kemanfaatan
daripadanya.
3.
bahwa ada pada tabiat orang itu, suka kepada perbaikan,
beragama dan taqwa. Dan tidaklah hawa nafsu mengerasi padanya.
Bahwa orang fasiq dengan perbuatan syubhat (diragukan) yang
paling kurang, akan tercabut dari agama. Maka yang demikian itu akan terlepas
daripadanya dinding yang menghalangi dan terangkatlah yang ada antara dia dan
kelezatan duniawi. Lalu tak ada lagi perhatiannya untuk menghilangkan keragukan
itu, malah direbutnya supaya terlepas dia dari beban sebagai seorang mukallaf
(orang dewasa yg berakal).
Maka apa yang dirasakan oleh pelajar yang
seperti ini, adalah lebih banyak, dari apa yg diperbaikinya. Apabila telah
dipahami segala pembahagian tersebut, maka jelaslah bahwa keterangan yang
terpuji mengenai ilmu kalam itu, adalah sejenis keterangan-keterangan Alquran;
dari kata-kata yang lemah lembut, yang membekas dalam hati dan yang memberi
kepuasan bagi jiwa, tanpa mendalami tentang pembahagian dan
perincian-perincian, yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Dan
apabila telah dipahaminya, lalu dipercayainya bahwa itu adalah suatu pemalsuan
dan usaha yang dipelajari oleh orang yang mempunyainya guna menanamkan
keragu-raguan.
Apabila dijumpainya seperti itu dalam
sesuatu persoalan, maka akan ditentangnya. Dan kiranya telah diketahui bahwa
Asy-Syafi’i dan umumnya ulama salaf, melarang berkecimpung di dalam ilmu kalam.
Dan menjuruskan perhatian kepadanya semata-mata, karena menimbulkan melarat
yang telah kami peringatkan itu. Dan apa yang diterima dari Ibnu Abbas ra
tentang perdebatannya dengan kaum Khawarij dan apa yang diterima dari Ali ra
tentang perdebatannya mengenai taqdir dan lainnya, adakah kata-kata yang jelas
lagi terang dan termasuk ke dalam bahagian yang diperlukkan. Dari itu terpuji
dalam segala hal.
Memang, kadang-kadang berbeda waktu, antara
banyak dan sedikitnya keperluan itu. Dari itu, tidak jauh dari kebenaran bahwa
hukumnya pun berbeda. Inilah hukumnya keyakinan yang telah menjadi ibadah orang
banyak dan hukumnya jalan mempertahankan dan memeliharakannya. Adapun
menghilangkan keragukan, membukakan hakikat/makna kebenaran, mengetahui segala
sesuatu menurut yang sebenarnya dan mendalami segala rahasia yang diterjemahkan
oleh yang nyata dari kata-kata keyakinan itu, maka kuncinya ialah melawan
segala hawa nafsu, menghadap secara keseluruhan kepada Allah Ta’ala dan selalu
menggunakan pikiran yang bersih dari segala campuran perdebatan !. Itulah
rahmat Allah ‘Azza Wa Jalla (ALLAH YANG MAHA MULIA & MAHA BESAR) yang
melimpah kepada orang yang datang menciumi keharumannya sekedar rezeki, menurut
kedatangan, tempat dan kesucian hati. Dan itulah laut yang tak diketahui
dalamnya dan tak terjangkau pantainya.
M a s a l a h
Kalau anda katakan, bahwa perkataan
tersebut menunjukkan kepada segala pengetahuan itu mempunyai dhahir(yg nyata)
dan bathin(rahasia). Sebahagiannya jelas, yang terang terus pertama kalinya.
Dan sebahagiannya tersembunyi, yang akan terang dengan bersungguh-sungguh, melatih diri,
mencari benar-benar, berpikiran bersih dan dengan hati yang kosong dari segala
urusan duniawi selain dari yang dicari itu.
Itulah sebenarnya hampir
menyalahi syari’at/agama. Karena bagi agama itu tak ada yang tersembunyi dan
yang nyata. Tetapi yang tersembunyi dan yang nyata itu, adalah satu dalam
agama. Ketahuilah, bahwa pembahagian ilmu-ilmu ini kepada yang tersembunyi dan
yang nyata, tidaklah dimungkiri oleh orang yang bermata hati. Yang
memungkirinya ialah orang-orang yang berpaham singkat, yang mempreoleh sedikit
pengetahuan pada masa kecilnya dan terus membeku. Tak ada bagi mereka kemajuan
ke arah yang lebih tinggi, kedudukan ‘alim ulama dan wali-wali. Dan itu jelas
dari dalil-dalil agama.
Bersabda Nabi saw: “Bahwa
Alquran itu mempunyai dhahir dan bathin, batas dan pangkal”. Berkata Ali ra
seraya menunjuk ke dadanya: “Sesungguh nya di sini banyak ilmu pengetahuan,
kalau adalah kiranya orang-orang yang membawanya”. Bersabda Nabi saw: “Kami para
nabi, disuruh berbicara dengan manusia menurut akal pikiran mereka”. Bersabda
Nabi saw: “Tiada berbicara seseorang dengan orang banyak tentang sesuatu
pembicaraan yang tidak sampai akal pikiran mereka kepadanya, melainkan
pembicaraan itu menjadi fitnah yang merusakkan kepada orang banyak itu”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Demikianlah contoh-contoh itu Kami jadikan bagi
manusia dan tidak ada yang memahaminya selain dari orang-orang yang berilmu”. S
29 Al ‘Ankabuut ayat 43. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya diantara ilmu itu
seolah-olah dalam keadaan yang tersembunyi, yang tidak mengetahuinya selain
orang-orang yang mengetahui dengan Allah Ta’ala”. Hadits ini panjang
sebagaimana telah kami bentangkan dalam “Kitab Ilmu” dahulu. Bersabda Nabi saw:
“Kalau tahulah kamu apa yang saya ketahui, niscaya
kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”. Wahai kiranya, jika
bukanlah itu suatu rahasia yang dilarang menyiarkannya, karena kesingkatan
paham untuk mengetahuinya atau disebabkan oleh yang lain, maka mengapakah Nabi
saw tidak menyebutkan kepada mereka itu (para sahabat) ? padahal tidak diragukan
bahwa mereka akan membenarkannya jikalau Nabi saw menyebutkannya kepada mereka.
Berkata Ibnu Abbas ra
mengenai firman Allah Ta’ala: “Tuhan yang menciptakan 7 langit dan bumi serupa
itu pula. Perintah Allah turun kepada mereka semua”. S 65 Ath Thalaaq ayat 12.
“Kalau aku terangkan tafsirnya kata Ibnu Abbas selanjutnya, niscaya kamu akan
memukul aku sampai mati (merajamkankan aku)”. Dan pada lain riwayat: “Tentu
kamu akan mengatakan bahwa dia itu kafir”. Berkata Abu Hurairah ra: “Aku menghafal
dari Rasulullah saw dua bahagian ilmu. Yang satu aku perkembangkan dan yang
satu lagi, jikalau aku perkembangkan, maka putuslah leher ini”. Bersabda Nabi
saw: “Tidaklah Abu Bakar melebihi dari kamu, disebabkan banyak berpuasa dan
bershalat. Tetapi adalah disebabkan oleh suatu rahasia yang mulia di dalam
dadanya”. Direlakan Allah kiranya Abu Bakar ! dan tak ragu lagi bahwa rahasia
itu adalah bersangkutan dengan keyakinan - keyakinan agama. Tidak keluar dari
keyakinan - keyakinan itu !. Dan apa yang ada dari keyakinan - keyakinan agama,
tidaklah tersembunyi yang luarnya/dhahiriyahnya, kepada yang lain dari Abu
Bakar ra dari para sahabat.
Berkata Sahl At-Tusturi ra:
“Orang yang berilmu itu mempunyai 3 ilmu: ilmu dhahir yang diberikannya kepada
ahli dhahir, ilmu bathin, yang tak sanggup dilahirkannya kecuali kepada ahlinya
dan ilmu antara dia dan Allah Ta’ala, yang tidak dilahirkannya kepada sorang
juapun”.
Berkata setengah ‘arifin:
“Menyiarkan rahasia ketuhanan (rububiyah) itu kufur”. Berkata setengah ‘arifin
yang lain: “Rububiyah itu mempunyai rahasia. Kalau dilahirkan, maka batallah
nubuwwah (kenabian). Nubuwwah itu mempunyai rahasia, kalau disingkapkan maka
batallah ilmu. Dan ulama Allah itu dengan Allah mempunyai rahasia, kalaulah
mereka melahirkannya, maka batallah hukum”. Yang mengatakan ini, jika tidaklah
maksudnya dengan demikian, akan batalnya kenabian di pihak orang-orang yang
lemah karena kesingkatan pemahaman mereka, maka apa yang disebutkannya itu
tidaklah benar. Tetapi yang benar, tak adalah padanya pertentangan. Dan bahwa
orang yang sempurna, ialah orang yang tidak dipadamkan oleh cahaya ilmu
mengenal Allah akan cahaya menjaga diri nya. Dan memiliki penjagaan diri itu,
ialah nubuwwah (kenabian).
M a s a l
a h
Jikalau anda mengatakan: “Bahwa ayat-ayat
dan hadits-hadits ini berlaku padanya penafsiran-penafsiran. Dari itu
terangkanlah kepada kami, bagaimanakah perbedaan dhahir/luar dan bathin/dalam ?
bahwa jikalau bertentangan bathin dengan dhahir, maka merusakkan agama. Ini
adalah perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa hakikat/makna yang menyalahi
agama itu kufur. Karena agama adalah ibarat dari dhahir dan
hakikat/makna/tujuan adalah ibarat dari bathin. Apabila tak ada pertentangan
dan perselisihan antara satu dengan lainnya, maka itulah yang dicari. Sehingga
dengan itu hilangkah pembahagian tersebut. Dan tak adalah bagi agama rahasia yang tidak disiarkan. Tetapi adalah yang
tersembunyi dan yang jelas itu satu”.
Maka ketahuilah bahwa masalah ini
mencetuskan pesoalan besar, mendorong kepada ilmu mukasyafah(diminta untuk
mengetahuinya saja) dan keluar dari tujuan ilmu mu’amalah (yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan), yang menjadi maksud dari Kitab ini.
Sesungguhnya keyakinan yang kami sebutkan itu adalah dari amal perbuatan hati.
Dan telah kita berbakti dengan mengajarinya, dengan penerimaan dan pembenaran
dengan seluruh jiwa raga kita. Tidak untuk sampai kepada terbukanya bagi kita
hakikat/maknanya. Karena yang demikian itu tidaklah diberatkan kepada seluruh
umat. Kalau bukanlah itu sebahagian dari amal perbuatan, maka tidaklah kami
membentangkannya di dalam Kitab ini. Dan kalau bukanlah itu amalan dhahir/luar
bagi hati, tidak amalan bathinnya, maka tidaklah kami membentangkannya dalam bahagian
pertama dari Kitab ini. Sesungguhnya kasyaf hakiki (terbuka yang sebenarnya),
adalah sifat rahasia hati dan bathinnya. Tetapi apabila pembicaraan itu telah
terdorong kepada menggerakkan khayalan mengenai pertentangan dhahir bagi
bathin, maka haruslah ada pembicaraan yang singkat saja untuk menguraikannya.
Barangsiapa mengatakan bahwa hakikat/makna itu menyalahi syari’at/agama atau
bathin itu bertentangan dengan dhahir, maka orang itu lebih dekat kepada kufur
daripada kepada iman. Bahkan segala rahasia yang khusus untuk orang-orang
muqarrabun (orang2 yg dekat kepada Allah) mengetahui nya, dimana tidak
bersekutu dengan mereka banyak orang mengerjakannya dan mereka melarang
menyiarkan nya kepada orang banyak itu, adalah terbagi kepada 5 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa sesuatu itu
adalah halus pada dirinya, yang menumpulkan kebanyakan paham pada
mengetahuinya. Maka tentulah mengetahuinya buat orang-orang Khawwas
(orang-orang tertentu) saja. Mereka harus tidak menyiarkannya kepada bukan
ahlinya. Karena dapat menimbulkan fitnah kepada mereka, di mana pemahamannya
pendek daripada mengetahuinya. Disembunyikan rahasia ruh dan dilarang
Rasulullah saw menerangkannya adalah termasuk dalam bahagian ini. Karena
sesungguhnya hakikat/makna ruh itu adalah diantara yang menumpulkan pemahaman
daripada mengetahuinya. Dan menyingkatkan sangka waham daripada menggambarkan
keadaan maknanya. Janganlah anda menyangka, bahwa itu tidak terbuka jelas bagi
Rasulullah saw. Sebab orang yang tidak mengenal ruh, maka adalah seolah-olah
dia tidak mengenal akan dirinya. Orang yang tidak mengenal akan dirinya, maka
bagaimanakah ia mengenal akan Tuhannya Yang Maha Suci ? dan tidaklah jauh dari
kebenaran bahwa yang demikian itu, adalah terbuka kepada sebahagian wali-wali
dan ulama-ulama, meskipun mereka itu bukan Nabi. Tetapi mereka beradab sopan
dengan adab kesopanan agama. Lalu mereka diam dari apa yang didiamkan Nabi
daripadanya.
Bahkan mengenai sifat-sifat Allah
‘Azza Wa Jalla, adalah termasuk yang tersembunyi, yang singkatlah pemahaman
orang banyak untuk mengetahuinya. Dan Rasulullah saw tidak menyebutkannya,
kecuali yang terang-terang saja bagi segala paham, yaitu: tentang ilmu,
kehendak dan lainnya. Sehingga dapat dipahami oleh orang banyak dengan cara
yang sesuai, yang disangkakannya kepada ilmunya dan kehendaknya sendiri. Karena
merekapun mempunyai sifat-sifat yang dinamakan dengan ilmu dan kuasa itu. Lalu
mereka menyangka bahwa yang demikian itu semacam suatu perbandingan. Kalau
disebut dari sifat-sifat Allah, apa yang tidak ada bagi makhluk, dari apa yang
terdapat sebahagian penyesuaian, niscaya mereka tidak akan memahaminya. Bahkan
kelezatan bersetubuh (sex) apabila diterangkan kepada anak kecil atau orang tak
bertenaga (impotent), maka tak akan dipahaminya. Kecuali dengan menyesuaikan
kepada kelezatan makanan yang dapat diketahuinya, walaupun belumlah itu
pemahaman yang sebenarnya.
Dan perbedaan antara ilmu Allah
dan kehendakNya dengan ilmu makhluk dan kehendaknya, adalah lebih banyak, dari
perbedaan antara kelezatan sex dan makan. Kesimpulannya: tidaklah diketahui
manusia, selain dirinya dan sifat-sifat dirinya, yang ada padanya sekarang atau
yang telah ada padanya dari sebelumnya. Kemudian dengan membandingkan kepada
yang tersebut tadi, dapatlah ia memahami akan yang lain daripadanya. Kemudian,
kadang-kadang ia mempercayai bahwa diantara dia sendiri dan lainnya terdapat
berlebih kurang tentang kemuliaan dan kesempurnaan. Maka tak adalah dalam
kesanggupan manusia, selain daripada menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang ada
bagi dirinya, dari perbuatan, ilmun (tahu), kehendak (kuasa) dan sifat-sifat
lainnya, serta membenarkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih sempurna dan
lebih mulia bagi Allah. Maka yang terbesar peredarannya, adalah kepada sifat-sifat
dirinya, tidak kepada kebesaran yang khusus bagi Tuhan. Dari itu bersabda Nabi
saw: “Tak dapatlah aku menghinggakan pujian kepadaMu seperti yang Kamu pujikan
kepada diriMu sendiri !”. Tidaklah hadits itu maksudnya: “Bahwa aku lemah
daripada membentangkan apa yang aku ketahui”, tetapi adalah pengakuan dengan
kesingkatan paham untuk mengetahui akan hakikat/makna kebesaran Allah. Dari itu
berkata setengah mereka: “Tidaklah dikenal akan Allah dengan hakikat/maknaNya
selain oleh Allah sendiri”. Berkata Abu Bakar shiddiq ra: “Segala pujian bagi Allah yang tidak menjadikan bagi
makhlukNya jalan kepada mengenalNya, melainkan kelemahan daripada mengenalNya”.
Kami habiskan pembicaraan mengenai
ini dan marilah kita kembali kepada maksud. Yaitu bahwa salah satu bahagian
tadi, ialah apa yang menumpulkan pemahaman daripada mengetahuinya. Diantaranya,
yaitu ruh dan sebahagian dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Mudah-mudahan sebagai
isyarat kepada contoh tadi ialah yang tersebut pada sabda Nabi saw: “Bahwa bagi
Allah Yang Maha Suci 70 hijab daripada nur. Jikalau dibukaNya, niscaya
terbakarlah akan apa yang didapati bashar (melihat)Nya oleh keMaha Sucian wajahNya”.
Bahagian
kedua: dari hal-hal yang
tersembunyi, yang tidak mau. Nabi-nabi dan orang-orang shiddiq menyebutkannya,
ialah apa yang dapat dipahami pada diri hal itu sendiri, yang tidak menumpulkan
pemahaman daripadanya. Tetapi menyebutkannya, membawa melarat kepada bahagian
terbanyak dari pendengar dan tidak membawa melarat kepada nabi-nabi dan
orang-orang shiddiq. Dan rahasia taqdir yang dilarang ahli ilmu menyiarkannya
adalah termasuk ke dalam bahagian ini. Maka tidaklah jauh daripada kebenaran
bahwa menyebutkan sebahagian dari hakikat/makna adalah membawa melarat kepada
sebagian makhluk. Seperti membawa melarat cahaya matahari kepada mata kelelawar
dan bau harum bunga mawar kepada kepik-bedugal (kumbang yg bau sekali) Mesir.
Bagaimanakah ini jauh daripada kebenaran ? kata kita, bahwa kufur, zina,
perbuatan ma’siat dan jahat, semuanya dengan qadha’/takdir Allah Ta’ala,
KemauanNya dan kehendakNya itu adalah benar. Dan sesungguhnya memperdengarkan
kata-kata tadi, adalah membawa melarat kepada segolongan orang. Karena
menimbulkan sangkaan pada mereka, bahwa itu menunjukkan kepada kebodohan,
berlawanan dengan kebijaksanaan, menunjukkan rela dengan kekejian dan
kedhaliman /kejahatan. Dan Ibnu Ar-Rawandi dan suatu golongan dari orang-orang
hina, telah menjadi ilhad (tidak lagi bertuhan), karena kata-kata seperti yang
tersebut di atas tadi. Dan seperti itu pula taqdir (qadar), jikalau disiarkan,
maka sesungguhnya menimbulkan sangkaan pada kebanyakan orang, akan kelemahan.
Karena paham mereka pendek untuk mengetahui apa yang dapat menghilangkan
sangkaan itu dari mereka. Jikalau berkatalah orang yang berkata: “Bahwa hari
qiamat kalau disebutkan waktunya bahwa ia akan datang sesudah 1000 tahun atau
lebih banyak atau kurang dari itu, sesungguhnya dapat dipahami. Tetapi tidak
disebutkan, adalah untuk kemuslihatan hamba Allah itu sendiri dan karena
ditakuti akan kemelaratan. Semoga masa kepada hari qiamat itu masih jauh. Maka
masih panjanglah waktu. Dan apabila jiwa itu merasa bahwa masa siksaan masih
lama, maka kuranglah perhatiannya. Dan semoga masa kepada hari qiamat itu dekat
dalam ilmu Allah ! maka kalau disebut niscaya sangatlah ketakutan, berpalinglah
manusia dari pekerjaan dan runtuhlah dunia. Pengertian ini jika diperhatikan
dan benar, maka adalah contoh bagi bahagian kedua.
Bahagian
ketiga: bahwa sesuatu itu
jikalau disebutkan dengan tegas adalah dapat dipahami dan tidak ada padanya
kemelaratan. Tetapi disebutkan secara kinayah (sindiran tidak terus terang),
secara meminjam kata-kata lain (isti’aarah) dan perumusan. Supaya lebih
mendalam masuknya ke dalam hati si pendengar. Dan si pendengar itu sendiri,
mempunyai kepentingan, supaya besarlah pengaruh hal itu, dalam hatinya.
Seumpama kalau dikatakan oleh orang yang mengatakan: “Aku melihat si Anu
menggantungkan mutiara pada leher babi”. Maka dipakai kata-kata kinayah tadi,
terhadap penyiaran ilmu dan pengembangan hikmah kepada bukan ahlinya.
Kadang-kadang si pendengar itu terus mendahului kepada pemahamannya akan yang
dhahir/luar dari kata-kata itu. Dan orang yang berpaham, apabila memperhatikan
dan mengetahui, bahwa manusia tadi, tak ada padanya mutiara dan tak ada pada
tempatnya babi, niscaya menjadi pintar, karena mengetahui rahasia dan bathin
itu. Mengenai hal itu, berlebih kuranglah manusia. Dan dari inilah berkata
seorang penyair:
“Dua orang lelaki,
seorang penjahit,
yang lain penenun.
Keduanya memandang berhadap-hadapan,
ke arah dua bintang lazuardi.
Yang satu senantiasa menenuni,
kain koyak, yang membelakang.
Yang temannya menjahitkan,
pakaian kawan yang berhadapan.
Penyair tadi menyusun kata-kata tentang keadaan di langit
mengenai menghadap dan membelakang dengan mengambil ibarat dua orang pekerja.
Cara ini membawa kepada penyusun kata-kata tentang sesuatu pengertian, dengan
bentuk yang mengandung diri pengertian itu sendiri atau contohnya. Diantara
contohnya ialah sabda Nabi saw: “Bahwa masjid itu menjadi kuncup dari dahak
manusia, sebagaimana kuncupnya kulit di atas api”. Anda dapat melihat, bahwa
halaman masjid itu tidaklah kuncup disebabkan oleh adanya dahak manusia. Tetapi
artinya adalah bahwa jiwa masjid itu dihormati. Dan meludahkan dahak ke
dalamnya, adalah penghinaan kepada masjid. Maka berlawananlah yang demikian
dengan pengertian masjid, seperti berlawanannya api karena bersambung dengan
bahagian-bahagian dari kulit itu. Dan seperti itu juga sabda Nabi saw: “Apakah
tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam di dalam shalat, bahwa
akan diubah oleh Allah kepalanya kepada kepala keledai ?”. Yang demikian itu,
dari segi bentuk tidaklah ada sekali-kali dan tidak akan ada. Tetapi dari segi
pengertian, itulah yang ada. Karena kepala keledai itu tidaklah yang
sebenarnya, baik keadaan atau bentuknya. Tetapi yang dimaksudkan ialah sifat
yang khusus bagi kepala keledai. Yaitu kebodohan dan
kedunguan. Maka orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam,
jadilah kepalanya itu kepala keledai, dalam pengertian bodoh dan dungu. Itulah
yang dimaksud, bukan bentuknya yang menjadi wadah dari pengertian itu. Karena
dari tujuan kebodohan, ialah berkumpul antara mengikut dan mendahului, dimana
keduanya itu berlawanan.
Sesungguhnya diketahui bahwa rahasia itu berlawanan dengan dhahir/luar, adakalanya dengan
dalil akal atau daliil agama. Dengan dalil akal, membawa nya kepada dhahir yang
tidak mungkin, seperti sabda Nabi saw: “Hati mu’min itu diantara dua jari dari
jari-jari Tuhan yang Pengasih”. Karena kalaulah kita periksa akan hati mu’min
itu, maka tidaklah kita memperoleh di dalamnya anak jari. Maka diketahuilah
bahwa itu adalah kata kiasan/kinayah dari kehendak yang menjadi rahasia dari anak jari dan
jiwanya yang tersembunyi. Dikinayahkan dengan anak jari itu dari kehendak.
Karena dengan cara yang demikian adalah lebih besar kesannya di dalam memahami
kesempurnaan pengertian kehendak. Dan termasuk di dalam golongan ini, mengenai
kinayah dari taqdir, firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya bila Kami kehendaki
sesuatu, Kami hanya mengatakan kepadanya: Jadilah ! (Kun !), lalu jadilah dia”.
S 16 An Nahl ayat 40. Bahwa menurut dhahiriyahnya, itu tak bisa jadi. Karena
firmanNya KUN, jika ditujukan kepada sesuatu sebelum adanya, maka itu mustahil.
Karena barang yang belum ada (al-ma’dum) tidak memahami sesuatu perkataan yang
ditujukan kepadanya (al-khitaab), sehingga ia mengikutinya. Dan jika ditujukan
kepada sesuatu, sesudah adanya, maka barang yang sudah ada, tidak memerlukan
lagi kepada diadakan. Tetapi tatkala adalah kinayah itu lebih mendalam di dalam
jiwa untuk memberi pemahaman tujuan dari kehendak, maka dipakailah kinayah itu.
Adapun yang diperoleh dengan
syari’at/agama, maka melakukannya secara dhahir itu mungkin. Tetapi ada riwayat
yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan yang dhahir, seperti yang
diriwayatkan mengenai penafsiran firman Allah Ta’ala: “Dia yang menurunkan air
hujan dari langit (awan), lalu mengalir air itu di lembah-lembah menurut
ukurannya”. S 13 Ar Ra’d ayat 17. Bahwa yang dimaksudkan dengan air pada ayat
tadi ialah Alquran. Dan yang dimaksudkan dengan lembah-lembah itu ialah hati.
Bahwa sebahagian dari hati itu membawa banyak hal, sebahagian daripadanya
membawa sedikit dan sebahagian lagi tidak membawa apa-apa. Dan buih itu adalah
seumpama kufur dan nifaq. Maka meskipun dia itu dhahir dan terapung di atas
air, tetapi dia tidak tetap. Dan hidayah (petunjuk) yang bermanfaat bagi
manusia itu tetap. Dalam bahagian ini, ada suatu golongan membicarakan nya
secara mendalam. Lalu mena’wilkan apa yang datang pada hari akhirat, tentang
timbangan amal (mizan), titian (shirath) dan lainnya. Tindakan tersebut adalah
bid’ah (yang diada-adakan) karena yang demikian tak ada riwayatnya. Dan
melakukannya di atas dhahir tidaklah suatu yang mustahil. Dari itu, haruslah
diperlaku kan secara dhahiriyah.
Bahagian
keempat: bahwa manusia itu
mengetahui sesuatu secara keseluruhan (global). Kemudian secara terperinci
dengan penelitian dan perasaan, dengan jadinya sesuatu itu bertempat menjadi
pakaian baginya. Maka berlebih-kuranglah dua ilmu tadi. Yang pertama adalah
sebagai kulit dan yang kedua adalah sebagai isi. Yang pertama adalah sebagai
dhahir/luar jiwa dan yang kedua adalah sebagai bathin/dalam jiwa. Yang demikian
itu, adalah seumpama yang menampak pada mata manusia sesuatu di dalam gelap
atau pada tempat yang jauh. Maka terjadilah baginya semacam pengetahuan. Lalu
apabila dilihatnya pada jarak dekat atau setelah hilangnya gelap, maka tahulah
dia akan perbedaan diantara keduanya. Dan tidaklah yang kemudian itu berlawanan
dengan yang pertama. Akan tetapi menyempurna kan bagi yang pertama. Maka
seperti itu pulalah ilmu, iman dan tashdiq (membenarkan). Karena manusia itu
kadang-kadang membenarkan adanya rindu, sakit dan mati sebelum lagi terjadi.
Tetapi keyakinannya ketika telah terjadi menjadi lebih sempurna daripada
sebelumnya. Bahkan bagi manusia mengenai syahwat, rindu dll hal, mempunyai tiga
keadaan yang berlebih-kurang dan perasaan yang berbeda-beda:
Pertama : membenarkan dengan adanya sebelum terjadi.
Kedua
: membenarkan dengan adanya ketika terjadi.
Ketiga : membenarkan
dengan adanya ketika telah terjadi.
Keyakinan kita dengan lapar setelah hilangnya, berlainan
dengan sebelum lagi hilang. Dan seperti demikianlah, sebahagian dari ilmu-ilmu
agama, ada yang menjadi terasa betul, lalu sempurnalah dia. Maka adalah yang
demikian seperti bathin, bila dibandingkan kepada keadaan sebelumnya. Maka
bedakanlah diantara ilmu orang sakit tentang kesehatan dan ilmu orang sehat
mengenai kesehatan itu !. Maka pada bahagian-bahagian yang 4 itu,
berlebih-kuranglah dia diantara manusia. Dan tak adalah pada satupun
daripadanya, yang bathin itu bertentangan dengan yang dhahir. Tetapi adalah
menyempurnakan dan mencukupkan, seperti isi menyempurna kan akan kulit. Sekian
!.
Bahagian
kelima: bahwa dperkatakan
tentang sesuatu itu, dengan kata-kata, tidak dengan keadaan. Maka orang yang
berpaham singkat, lalu tegak kepada yang dhahir dan berkeyakinan kepada yang
diucapkan itu. Tetapi bagi orang yang memandang kepada hakikat/makna itu,
mengetahui akan rahasia yang terpendam di dalamnya. Ini adalah seperti
perkataan dari orang yang mengucapkan: berkata dinding kepada tiang:
“Mengapakah engkau menyusahkan akan aku ?”. Menjawab tiang: “Tanyakanlah kepada
orang yang menokok-nokokkan aku ! mengapakah dia membiarkan di belakangku batu
yang ada di belakangku ?”. Ini adalah penyusunan kata-kata keadaan dengan
kata-kata yang diucapkan. Dari inilah, firman Allah Ta’ala: “Kemudian itu Dia
menuju ke langit, ketika itu berupa asap. Tuhan berfirman kepadanya dan kepada
bumi: “Datanglah engkau keduanya dengan suka rela atau terpaksa !”. Keduanya
menjawab: “Kami datang dengan sukarela (patuh)”. S 41 Fussilat ayat 11. Orang
yang bodoh itu memerlukan untuk memahamkan ini, kepada penentuan bahwa langit
dan bumi itu hidup, berakal dan mengerti kepada ucapan dan ucapan itu, ialah
suara dan huruf yang didengar oleh langit dan bumi. Lalu keduanya menjawab
dengan huruf dan suara, dengan mengatakan: “Kami datang dengan sukarela”. Dan
orang yang bermata hati, tahu bahwa yang demikian itu, adalah kata-kata keadaan
(lisanul-hal). Dan menerangkan bahwa langit dan bumi itu diuntukkan dengan
sendirinya kepada yang demikian. Dan menuruti kepada yang diuntukkan itu dengan
mudah. Dan dari inilah, firman Allah Ta’ala: “Dan tak ada sesuatupun, melainkan
semata-mata memuji Tuhan dengan kemuliaanNya”. S 17 Al Israa ayat 44. Orang
yang bodoh itu, memerlukan pada memahaminya kepada penentuan bahwa benda-benda
beku itu mempunyai hidup, akal dan tutur kata dengan suara dan huruf. Sehingga
dapat ia mengatakan: Subhaanallaah (Maha Suci Allah), supaya benar-benarlah
pengucapan tasbih itu. Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa tidaklah
dimaksudkan dengan itu pengucapan dengan lisan. Tetapi adanya benda itu
merupakan pengucapan tasbih kepada wujud Allah, berqudus kepada zatNya dan naik
saksi kepada keEsa-anNya, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
“Pada segala sesuatu,
mempunyai pertanda,
yang menunjukkan,
Dia itu Esa”.
Sebagaimana dikatakan, dunia yang kokoh
kuat ini menjadi saksi bahwa penciptanya itu mempunyai kebagusan pengaturan dan
kesempurnaan pengetahuan. Tidaklah itu mempunyai pengertian bahwa dunia yang
kokoh kuat ini mengucapkan: “Aku naik saksi”, dengan kata-kata. Tetapi adalah
pengakuan itu dengan dirinya sendiri dan keadaan yang meliputinya. Begitu pula:
Tiada suatupun, melainkan memerlukan pada dirinya kepada pencipta yang
menciptakannya, yang mengekalkannya, yang menetapkan sifat-sifat dan yang
membuatnya berkembang di dalam segala peredaran masa. Maka sesuatu itu dengan
memerlukan kepada yang tersebut tadi, lalu naik saksi dengan
pengqudusan/pensucian kepada Khaliqnya (yang maha pencipta), dimana
kenaik-saksian itu diketahui oleh orang-orang yang bermata hati. Tidak oleh
orang-orang yang membeku yang berpegang kepada dhahir saja. Karena itu
berfirman AllahTa’ala: Tetapi sayang kamu tidak mengerti pujian mereka itu”. S
17 Al Israa ayat 44. Adapun orang-orang yang singkat pikiran, maka tidak dapat
memahaminya sekali-kali. Dan orang-orang muqarrabun (orang-orang yang
mendekati Allah dengan beramalan banyak) dan ulama-ulama yang mendalam
pengetahuannya, tidak akan dapat memahami akan hakikat/makna dan kesempurnaan
sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu mempunyai kenaik-saksian yang
bermacam-macam untuk mengquduskan Allah dan memujikanNya. Masing-masing dapat
mengetahuinya sekedar akal dan mata hatinya. Menghitung-hitung kenaik-saksian
itu, tidaklah wajar dengan ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan). Dan juga pengetahuan ini termasuk diantara pengetahuan yang
berlebih-kurang dari ahli-ahli dhahir dan ahli-ahli bashirah (bermata hati)
pada mengetahuinya. Dan kelihatanlah padanya, perbedaan bathin dengan dhahir.
Di dalam maqam (kedudukan) ini, bagi ahli-ahli maqam itu mempunyai keroyalan
dan kesederhanaan. Dari yang bersifat keroyalan itu, mengenai penyingkapan yang
dhahir, sampailah dia kepada mengobah segala yang dhahir itu beserta
dalil-dalilnya atau mengobah sebagian besar daripadanya. Sehingga mereka
membawa firman Allah Ta’ala: “Tetapi tangan mereka berkata kepada Kami dan kaki
mereka menjadi saksi”. S 36 Yaa Siin ayat 65. Dan firman Allah Ta’ala: “Mereka
berkata kepada kulitnya: Mengapa kamu menjadi saksi bagi kami ? jawabnya: Tuhan
yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata. Itulah yang menjadi kami pandai
berkata”. S 41 Fussilat ayat 21. Dan seperti itu pula soal jawab yang terjadi
dari malaikat Munkar dan Nakir, mengenai timbangan amal, titian dan hitungan amal (hisab). Dan perdebatan antara penduduk
neraka dan penduduk sorga, dalam perkataan mereka: “Limpahkanlah kepada kami
air sedikit atau berilah (sedikit) rezeki makanan yang diberikan Tuhan kepada
kamu !”. S 7 Al A’raaf ayat 50. Mereka mendakwakan bahwa itu semua adalah
dengan lisanul-hal (kata-kata keadaan). Dan segolongan lain, bersangatan
menutup pintu penafsiran. Diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang melarang
penafsiran firman Allah Ta’ala: “Kun fayakun”. (Adalah engkau ! lalu dia ada)”.
Golongan ini mendakwakan bahwa itu adalah pengucapan dengan huruf dan suara
yang wujud pada Allah, setiap detik dan ketika, menurut bilangan banyaknya ada
seluruh yang ada. Sehingga aku mendengar sebahagian sahabat Imam Ahmad
mengatakan bahwa: Imam Ahmad itu menutup rapat pintu penafsiran selain pada 3
hadits Nabi saw:
1.
“Hajar-aswad itu tangan kanan Allah dibumiNya”.
2.
“Hati mu’min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari
Tuhan Yang Maha Pengasih”.
3.
“Sesungguhnya aku memperoleh diri Tuhan Yang Maha Pengasih
dari pihak kanan”.
Dan orang-orang yang berpegang kepada
dhahiriyah, cenderung kepada menutup rapat pintu penafsiran. Sangkaan yang baik
kepada Ahmad bin Hanbal, ialah bahwa beliau tahu bahwa “istiwa’ “ (bersemayam)
itu, tidaklah maksudnya menetap dan “nuzul” (turun) itu, tidaklah maksudnya
berpindah. Tetapi ia (Imam Ahmad) melarang dari penafsiran itu, adalah menutup
pintu, demi menjaga kemuslihatan orang banyak. Karena apabila pintu penafsiran
itu terbuka, maka meluaslah keretakan dan keluarlah keadaan dari ketentuan dan
melewatilah batas kesederhanaan. Karena batas yang melampaui kesederhanaan itu,
tidaklah dapat ditentukan. Dari itu, tak apalah dengan larangan ini. Dan diakui
akan demikian oleh riwayat perjalanan hidup ulama-ulama yang terdahulu. Mereka
itu mengatakan: “Lalukanlah sebagaimana yang datang”. Sehingga Imam Malik ra
menjawab ketika ditanyakan kepadanya tentang istiwa (bersemayam)’: “Istiwa
(bersemayam)’ itu dimaklumi, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya
diwajibkan dan bertanya tentang istiwa (bersemayam)’ itu bid’ah.
Segolongan lagi beraliran kepada kesederhanaan, dan membuka pintu
penafsiran mengenai sesuatu yang berhubungan dengan sifat Allah. Dan mereka
membiarkan atas dhahiriyah, apa yang berhubungan dengan akhirat. Dan mencegah
penafsiran padanya. Golongan ini ialah golongan “Asy ‘ariyah”. Golongan
Mu’tazilah menambahkan di atas golongan Asy’ariyah. Sehingga mereka
menerjemahkan ru’yah/melihat daripada sifat Allah Ta’ala. Mereka menterjemahkan
adanya Allah Ta’ala mendengar dan melihat. Mereka menterjemahkan mi’raj dan
mendakwakan bahwa mi’raj itu tidaklah dengan tubuh (jasad). Mereka
menterjemahkan ‘azab qubur, neraca amal (mizan), titian (shirath) dan banyak
lagi dari hal keadaan akhiratt. Tetapi mereka mengakui adanya pengumpulan
segala jasad di hari mahsyar, sorga dan kelengkapan sorga dengan
makanan-makanan, bau-bauan, wanita-wanita yang dikawini dan segala macam
kesenangan yang dirasakan. Mereka mengakui adanya neraka dan kelengkapannya,
atas tubuh yang terlihat nyata terbakar, yang membakarkan kulit dan
menghancurkan minyaknya. Dan termasuk meningginya mereka kepada batas ini,
ialah ditambahi oleh kaum filosuf. Maka mereka menterjemahkan tiap-tiap yang
datang mengenai akhirat dan mengembalikan semuanya itu kepada
penderitaan-penderitaan pikiran dan jiwa (‘aqliah dan ruhaniah) dan
kesenangan-kesenangan pikiran (lezat ‘aqliah). Mereka itu (para filosuf)
mengingkari pengumpulan segala jasad (pada hari mahsyar) dan mengatakan dengan
kekalnya nyawa. Dan nyawalah yang di’azab atau diberi nikmat, dengan ‘azab dan
nikmat yang tidak dapat dilihat dengan pancaindra. Merekalah (para filosuf)
itu, orang-orang yang berlebih-lebihan!.Batas kesederhanaan, diantara
keseluruhan kelonggaran ini dan bekunya pengikut-pengikut Imam Ahmad bin
Hanbal, adalah demikian halus dan kabur, yang tidak dapat dilihat, kecuali oleh
mereka yang memperoleh taufiq, yang mengetahui segala keadaan dengan nur Ilahi.
Tidak dengan mendengar.
Kemudian, apabila terbukalah
bagi mereka, rahasia dari segala keadaan, menurut keadaannya yang sebenarnya,
niscaya mereka memperhatikan kepada pendengaran dan kata-kata yang datang. Maka
apa yang sesuai dengan apa yang dipersaksikannya dengan nurul-yaqin (cahaya
yakin), niscaya ditetapkannya. Dan apa yang menyalahi, niscaya dita’wilkannya/diartikannya.
Adapun orang yang mengambil ma’rifat (pengenalan) segala keadaan ini, dari
pendengaran semata-mata, maka tidaklah teguh pendiriannya dan tidaklah tentu
tempat tegaknya. Dan yang lebih wajar bagi orang yang menyingkatkan kepada
pendengaran semata-mata ialah maqam (pendirian) Imam Ahmad bin Hanbal ra.
Sekarang, maka pembukaan tutup dari batas kesederhanaan, mengenai segala
keadaan itu, adalah termasuk di dalam ilmu diminta untuk mengetahuinya saja
(ilmu mukasyafah) . Dan
pembicaraan mengenainya itu akan panjang. Dari itu maka tidaklah kita
mencemplungkan diri ke dalamnya. Maksud sekarang ialah menerangkan penyesuaian
bathin dengan dhahir dan bathin itu tidak bertentangan dengan dhahir. Maka
dengan 5 bahagian yang tersebut itu telah terbukalah banyak hal. Apabila kita
berpendapat untuk menyingkatkan sekedar mencukupi bagi orang awam, di atas
penjelasan keyakinan yang telah kami uraikan dan mereka tidak diberati lain
dari itu pada tingkat pertama, kecuali apabila ditakuti gangguan, karena berkembangnya
bid’ah (yang diada-adakan), maka dinaikkan pada tingkat kedua, kepada
keyakinan, dimana di dalamnya bersinar cemerlang dengan dalil-dalil yang
ringkas, tanpa mendalam. Dari itu, hendaklah kami bentangkan di dalam Kitab
ini, dalil-dalil yang cemerlang itu. Dan hendaklah kami ringkaskan sekedar yang
telah kami uraikan untuk ahli-qudus (golongan yang mengquduskan Tuhan). Dan
kami namakan “Risalah Qudsiyah” mengenai Qaidah-qaidah I’tiqad (keyakinan). Dan
itu semuanya tersimpan di dalam pasal ke-3 kitab ini.
PASAL
KETIGA: dari kitab “Qaidah-qaidah ‘Aqidah”, mengenai dalil-dalil yang cemerlang
buat aqidah/keyakinan, yang telah kami terjemahkan dengan “Qudus”/suci. Maka
kami mulai:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta
Sunnah dengan cahaya yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan
petunjuk kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan
orang-orang yang menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak
bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala
rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para sahabat yang mulia dan memudahkan
bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga
mereka berpegang teguh dengan yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang
kokoh kuat, dengan perjalanan dan aqidah/keyakinan ulama-ulama yang terdahulu
dengan jalan yang nyata. Maka dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara
hasil keyakinan akal dan kehendak-kehendak agama yang dinaqalkan (diambil dari
pokok-pokok agama). Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi
ibadah mereka dari kata-kata “Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuululaah”,
tidaklah berfaedah dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa
yang dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokoknya. Mereka
mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung
keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya
dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul. Dan mereka mengetahui bahwa
pembangunan keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang
banyaknya 4. Dan masing-masing rukun itu, berkisar di atas 10 pokok:
Rukun
Pertama: mengenai ma’rifah
(mengenal) dzat Allah Ta’ala dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: mengetahui
dengan wujud Allah Ta’ala, qidam /tiada berpemulaanNya, baqaNya/kekal, Dia
tidak jauhar (benda/barang), tidak tubuh dan tidak ‘aradl (sifat). Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.
Rukun
Kedua: mengenai
sifat-sifatNya dan melengkapi kepada 10 pokok. Yaitu: mengetahui bahwa Dia itu
hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, Maha Suci
dari bertempat sifat-sifat yang baru padaNya, tiada berpemulaan, kata-kataNya,
ilmuNya dan kemauanNya.
Rukun
Ketiga: mengenai Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: bahwa segala
perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta’ala; Bahwa segala perbuatan itu
adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan
menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif (menugaskan) apa
yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak
berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib
melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu
jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi
Muhammad saw itu benar, yang dikuatkan dengan mu’jizat-mu’jizat.
Rukun
Keempat: mengenai sam’iyyat
(hal-hal yang didengar dari agama) dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: adanya
pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir, ‘azab
qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai
kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan umat Islam), bahwa
keutamaan para sahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka
dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslimin (syarat-syarat memegang
jabatan / imamah).
RUKUN PERTAMA: dari rukun-rukun Iman, ialah
mengenal (ma’rifah) dzat Allah swt. Bahwa Allah Ta’ala itu Esa. Rukun ini
berkisar di atas 10 pokok.
Pokok
pertama: mengenal adanya Allah Ta’ala.
Cahaya yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan
dengan jalan memperoleh ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Alquran.
Maka tak adalah penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta’ala. Berfirman Allah
Ta’ala: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas) ?
dan gunung-gunung sebagai pasak (nya) ? dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan
Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan
siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu
tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami
turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak
menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang
lebat”. S 78 An Nabaa’ ayat 6 s/d ayat 16. Berfirman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang,
kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfaat kepada manusia, air (hujan)
yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi
yang sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan
perkisaran angin dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi,
sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang
mengerti”. S 2 Al Baqarah ayat 164. Berfirman Allah Ta’ala: “Tidakkkah kamu
perhatikan, bagaimana Tuhan menciptakan 7 langit, sepadan satu sama lain ? dan
dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita ?
dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang
berangsur-angsur). Kemudian, itu kamu dikembalikanNya ke situ, dan kamu
dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)”. S 71
Nuh ayat 15 s/d 18. Berfirman Allah Ta’ala: “Tidaklah kamu perhatikan
(air mani) yang kamu tumpahkan ? kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang
menciptakan ? Kami telah menentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu
dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu
telah mengetahui kejadian yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian
? adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam ? kamukah yang menumbuhkannya atau
Kami yang menumbuhkan ? dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan
hancur, kamu tercengang karenanya. (Mengatakan): Sesungguhnya kami telah
dibebani dengan hutang. Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan
kami). Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum ? kamukah yang menurunkannya
dari awan atau Kamikah yang menurunkannya ? kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi
asin. Mengapakah kamu tiada berterima kasih ? adakah kamu perhatikan api yang
kamu nyalakan ? kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kami
yang menumbuhkannya ? itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi
musafir di gurun pasir”. S 56 Al
Waaqi’ah ayat 58 s/d 73.
Maka tidaklah tersembunyi, kepada orang
yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran
yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah
pandangannya kepada segala keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit,
kecantikan kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat
mena’jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada
Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang
mentaqdirkannya. Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci
bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA
yang menentukan di bawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak
pimpinanNya. Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Apakah kamu ragu-ragu tentang
Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?”. S 14 Ibrahim ayat 10. Maka karena itulah
diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil umat kepada
keesaan, supaya mengucapkan “Laa ilaaha illallaah” (Tidak ada yang disembah
selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan “Kami mempunyai Tuhan dan alampun
mempunyai Tuhan”. Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam
kejadian diri yang suci bersih kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan
mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta’ala
kepada kita: “Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan
langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: Allah !”. S 31 Lukman ayat 25.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama,
ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada
pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul !”. S 30 Ar Ruum
ayat 30. Jadi, di dalam kejadian diri yang suci bersih kejadian manusia itu dan
dalil-dalil yang ditunjukkan Alquran, sudah lebih dari cukup daripada
menegakkan dalil-dalil lain.
Tetapi untuk lebih jelas dan karena
mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakann bahwa
dari permulaan dalil itu, ialah: akal. Karena yang baru (haadits) itu, tak
dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya. Bahwa alam
itu baru, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun kata
kita bahwa yang baru itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada SEBAB, maka
itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baru itu ditentukan adanya dengan
waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh jadi
terkemudian. Maka untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak
terkemudian daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN
(Mukhashshish). Adapun kata kita: alam itu baru, maka dalilnya ialah, bahwa
tubuh alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu
adalah baru. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baru adalah
baru. Di dalam pembuktian ini, terdapat 3 dakwaan:
Dakwaan
Pertama: kata kita bahwa
tubuh itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan
jelas dan mudah. Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan pemikiran.
Sebab orang yang berpikir bahwa tubuh itu tidak tetap dan diam, adalah orang
itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita penyakit pikiran.
Dakwaan
Kedua: kata kita bahwa
gerak dan diam itu adalah baru Hal ini ditunjukkan oleh ganti berganti diantara
keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan
pada sekalian tubuh, baik yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak
ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap. Maka yang
datang dari gerak dan tetap itu adalah baru karena datangnya. Dan yang dahulu
itu baru karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu tiada berpemulaan, niscaya
mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang keterangannya dan dalilnya pada
menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan
ketiga: kata kita bahwa apa
yang tidak terlepas daripada sifat-sifat baru, adalah baru. Dalilnya ialah
jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang
baru itu, yang baru, yang tak berpemulaan baginya. Dan kalau tidaklah berlalu
baru itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak berkesudahanlah pergantian kepada
adanya yang baru ada sekarang. Dan berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu,
mustahil. Karena sesungguh nya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran
yang tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap
atau ganji atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap atau tidak
ganjil. Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap
dan tidak ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara tidak dan
ada. Karena pada me-adakan yang satu, adalah menidakkan yang lain. Dan mustahil
adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan bertambah satu.
Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan ? dan
mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap dengan
bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya, sedang
dia tidak berkesudahan bilangannya ? dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap
dan tidak ganjil, karena dia berkesudahan. Maka kesimpulannya dari itu
semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat baru. Maka adalah ia baru.
Dan apabila telah benar barunya, maka dia memerlukan kepada yang membarukannya,
yang dapat diketahui dengan mudah.
Pokok
Kedua: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala itu qadim/tiada berpemulaan, senantiasa, azali ( tida kesudahan /
permulaan ), tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap
sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup. Dalilnya: jikalau
adalah Dia itu baru, tidak qadim/tiada berpemulaan, maka Dia memerlukan pula
kepada muhdits (yang membarukan). Yang muhdits (yg menjadikannya) itu
memerlukan kepada muhdits (yg menjadikannya) lagi, lalu tali-bertalilah
demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali bertali itu tidak
membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits (yg menjadikannya) yang
qadim/tiada berpemulaan, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari
yang kita namakan: Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya (yang maha
pencipta nya)
Pokok
Ketiga: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala serta adaNya azali ( tida kesudahan / permulaan ) abadi, tak
adalah bagi wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir,
yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidam/tiada
berpemulaanNya, maka mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya: jikalau Allah
Ta’ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak terlepas dari,
adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang
meniadakanNya yang melawani Dia. Jikalau boleh akan tiadanya sesuatu dengan
sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya boleh akan didapati sesuatu dengan
sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka sebagaimana kedatangan wujud
memerlukan kepada sebab, maka demikian pula kedatangan adam (lawan wujud),
memerlukan kepada sebab. Dan batil/salah, bahwa dia menerima adam oleh yang
mengadamkannya, yang melawani dia. Karena yang mengadamkannya itu, jikalau ia
qadim/tiada berpemulaan, maka tidak tergambarlah wujud besertanya. Dengan dua
pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadim/tiada berpemulaanNya.
Maka bagaimanakah ada wujudNya pada tiada berpemulaan dan besertanya ada
lawannya ?. Jikalau lawan yang mengadamkannya itu baru, maka adalah mustahil.
Sebab tiadalah yang baru dalam perlawanannya kepada yang qadim/tiada
berpemulaan sampai dapat memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang
qadim/tiada berpemulaan sendiri, dalam perlawanannya kepada yang baru. Sehingga
dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan wujud itu adalah
lebih mudah daripada memutuskannya. Dan yang tiada berpemulaan adalah lebih
kuat dan lebih utama dari yang baru (haadits).
Pokok
Keempat: mengetahui bahwa
tiadalah Allah Ta’ala itu benda yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci
dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu. Dalilnya: bahwa tiap-tiap
benda itu mengambil tempat, maka tentulah dia dengan tempat itu. Dan tidak
terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak daripadanya.
Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana keduanya itu adalah
baru. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baru, adalah baru. Jikalau
tergambarlah jauhar/benda yang bertempat itu, qadim/tiada berpemulaan, maka
dapatlah diterima akal akan tiada berpemulaannya benda-benda alam ini. Jikalau seseorang
menamakan sesuatu benda dan tidak bermaksud dengan benda itu mengambil tempat,
maka adalah ia bersalah dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.
Pokok
Kelima: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala tidaklah bertubuh yang tersusun daripada benda-benda. Karena tubuh
adalah ibarat dari susunan benda-benda. Apabila salah adaNya itu benda yang
tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil/salah pulalah adaNya itu tubuh.
Sebab tiap-tiap tubuh, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar
(benda/barang). Maka benda adalah mustahil terlepasnya dari bercerai dan
berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas. Semuanya itu, adalah
tanda-tanda dari yang baru. Kalau bolehlah diyakinkan bahwa pencipta alam itu
tubuh, maka boleh pulalah diyakinkan ketuhanan matahari, bulan ataupun yang
lain dari bahagian-bahagian yang bertubuh. Kalau adalah orang yang berani
menamakan Allah Ta’ala itu tubuh, tanpa ada maksud tersusun dari jauhar-jauhar
(benda-benda), maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam meniadakan
pengertian tubuh.
Pokok
Keenam: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala tidaklah ‘aradl (sifat) yang berdiri pada tubuh atau bertempat
pada sesuatu tempat. Karena aradl/sifat ialah apa yang bertempat pada tubuh.
Maka tiap-tiap tubuh -tiada jalan lain-
adalah baru, dimana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka
bagaimanakah adaNya bertempat pada tubuh, sedang Dia sudah maujud pada azali (
tida kesudahan / permulaan ) sendiriNya, tak ada sertaNya yang lain ? kemudian
Dialah yang menjadikan jisim-jisim (tubuh-tubuh) dan aradl-aradl/sifat-sifat ?
dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang
menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya. Sifat-sifat tersebut
(sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada
sifat Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang Maujud/yang ada yang
berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya. Dari pokok-pokok yang
tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah itu ada/maujud,
berdiri dengan sendiriNya, tidak Dia jauhar (benda/barang), tubuh dan
aradl/sifat. Dan alam seluruhnya adalah jauhar (benda/barang), aradl/sifat dan
tubuh. Jadi, tidaklah Allah Ta’ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu
menyerupai Allah Ta’ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak
sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya
(yang maha pencipta), yang ditaqdir dan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk
dengan Yang Membentukkannya ?. Segala tubuh dan ‘aradl (sifat) itu seluruhnya adalah
dijadikan dan diciptakan oleh Allah Ta’ala. Maka mustahillah menetapkan
persamaan dan penyerupaan dengan Dia !.
Pokok
Ketujuh: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya
di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka atau di belakang.
Arah-arah ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan
(wasithah) kejadian manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi.
Yang satu berpegang kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi
berhadapan dengan bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang
mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga
seekor semut yang berjalan terbailk di bawah loteng, maka terbaliklah arah atas
baginya, menjadi arah bawah. Meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat
dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri
untuk lawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan
yang mengiringi satu lagi kiri. Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua pinggir,
dimana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya.
Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk arah, dimana dia tampil bergerak
kepadanya dan nama belakang untuk lawannya. Segala arah ini adalah baru, datang
dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang
ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali
arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ( tidak kesudahan /
permulaan ) ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah baru ? atau
bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya
yang demikian ? apakah caranya dengan: Allah menjadikan alam di atasNya ? Maha
Sucilah Allah daripada atas bagiNya ? karena Maha Sucilah Dia dari mempunyai
kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan kepala. Atau dengan:
Allah menjadikan alam di bawahNya ? Maha Sucilah Allah dari ada bawah bagiNya !
karena Maha Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah ibarat dari apa
yang mengiringi jurusan kaki. Semuanya itu termasuk diantara yang mustahil pada
akal. Dan karena yang diterima akal dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia
itu ditentukan dengan tempat ketentuan benda atau ditentukan dengan benda
sebagai ketentuan sifat. Dan telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu benda
atau ‘aradl (sifat). Dari itu maka mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan
dengan arah. Kalau dimaksudkan dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka
adalah salah pada nama serta menolong kepada pengertian. Dan karena kalau
adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan alam. Dan
tiap-tiap yang setentang bagi tubuh, maka adakalanya, sama dengan tubuh itu
atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya. Semua itu adalah taksiran yang
memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha Sucilah dari yang demikian itu
Al-Khaliq (yang maha pencipta) Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur. Mengenai pengangkatan
kedua tangan ketika berdoa kepada Allah ke arah langit, adalah karena langit
itu qiblat doa. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan
kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di
atas sifat kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Tinggi di
atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.
Pokok
Kedelapan: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala ber-istiwa (bersemayam)’ di atas ‘ArasyNya/surgaNya, dengan arti
yang dikehendaki oleh Allah dengan istiwa (bersemayam)’ itu. Yaitu yang tiada
berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda
kebaruan dan kefanaan (kelenyapan). Inilah yang dimaksud dengan istiwa
(bersemayam)’ ke langit, di mana Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran:
“Kemudian itu Dia ber-istiwa (bersemayam)’ ke langit, ketika itu berupa asap”.
S 41 Fussilat ayat 11. Dan tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai
dan memerintah, seperti kata seorang penyair:
“Telah ber-istiwa (bersemayam)’lah manusia itu di Irak,
tanpa pedang dan darah tertumpah........”.
Ahli kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penafsiran ini,
sebagaimana ahli kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penafsiran firman
Allah: “Wa huwa ma’akum ainamaa kuntum”. (Dia beserta kamu dimana saja kamu
berada). Karena dengan sepakat firman tersebut diartikan dengan meliputinya
ilmu Allah dan pengetahuanNya. Begitu pula sabda Nabi saw: “Hati mu’min itu
diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”, diartikan
kepada kehendak dan perkasanya Tuhan. Dan sabda Nabi saw: “Batu hitam itu
(Al-Hajarul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya”, diartikan kepada
kemuliaan dan keagungan Al-Hajarul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas dhahirnya
niscaya mestilah timbul kemustahilan. Maka demikian pulalah istiwa
(bersemayam)’. Kalau dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka
tentulah yang bertempat itu tubuh, yang bersentuh dengan ‘Arasy/surga.
Adakalanya seperti ‘Arasy atau lebih besar atau lebih kecil daripadanya. Yang
demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah
mustahil.
Pokok
Kesembilan: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala serta keadaanNya maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-suci
daripada arah dan penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di
negeri akhirat -negeri ketetapan-, karena firmanNya: “Beberapa muka di hari itu
bercahaya. Melihat kepada Tuhannya”. S 75 Al Qiaamah ayat 22-23. Dan IA tidak
melihat di dunia karena membenarkan firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “Penglihatan
tidak sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan”. S
6 Al An’aam ayat 103. Dan karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as:
“Engkau tidak akan dapat melihat Aku”. S 7 Al ’Araaf ayat 143. Wahai,
bagaimanakah Mu’tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang tidak
dapat diketahui oleh Musa as ? dan bagaimana Musa as menanyakan ru’yah
(melihat) Tuhan, sedang ru’yah/melihat itu mustahil ? semoga kebodohan ahli-ahli
bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu
itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as. Adapun cara melakukan
ayat ru’yah/melihat tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa kepada
kemustahilan. Karena ru’yah/melihat adalah semacam kasyaf/terbuka penutup dan
ilmu, tetapi lebih sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh
penghubungan ilmu kepadaNya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah
perhubungan ru’yah/melihat kepadaNya dan
IA tidak dengan perantaraan arah. Sebagaimana boleh Allah melihat makhlukNya
dan tidak dalam keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia
dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa
berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat seperti
itu.
Pokok
Kesepuluh: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya,
sendirian dengan menjadikan dan mencipta dan maha kuasa Dia menjadikan dan
mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan menyamaiNya, tiada
lawan bagiNya untuk bertengkar dan bermusuhan. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
“Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah
tentu keduanya menjadi rusak binasa”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Keterangannya: jikalau
tuhan itu dua dan salah satu daripada keduanya menghendaki sesuatu, maka tuhan
yang kedua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang
kedua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan
yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan
yang kedua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak
berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.
RUKUN KEDUA: mengetahui sifat-sifat Allah. Dan
berkisar kepada 10 pokok.
Pokok
Pertama: mengetahui bahwa
yang menciptakan alam ini adalah Maha Kuasa. Bahwa Allah Maha Besar dengan
firmanNya: “Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. S 5 Al Maa-idah ayat 120.
Karena alam ini kokoh di dalam pembuatannya, teratur di dalam kejadiannya.
Barangsiapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya,
teratur bunga dan pinggirnya, lalu menyangka bahwa tenunan itu datangnya dari
orang mati yang tidak bertenaga atau dari seorang manusia yang tak berdaya,
maka orang yang melihat tadi adalah telah tercabut dari sifat berakal dan telah
terjerumus ke dalam rantai kebodohan dan kedunguan.
Pokok
Kedua: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala Maha Tahu segala yang ada, meliputi ilmuNya dengan segala makhluk.
Tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawipun, baik di bumi atau di langit.
Maha benarlah Allah dengan firmanNya: “Dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu”.
S 2 Al Baqarah ayat 29. Dan ditunjukkan kepada kebenaranNya oleh firmanNya:
“Tidakkah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya ? dan Dia mengenal hal yang
halus-halus dan cukup mengerti”. S 67 Al Mulk ayat 14. Tuhan memberi petunjuk
kepada kita, kepada membuat dalil dengan makhlukNya, dengan mengetahui bahwa
kita tidak menaruh keraguan, tentang mendalilkan makhluk yang halus dan
kejadian yang dihiasi dengan teratur itu, walau pada benda yang hina lemah
sekalipun untuk membuktikan atas maha tahu Penciptanya cara menyusun dan
mengatur. Maka apa yang disebutkan oleh Allah swt itu adalah petunjuk dan
pengenal yang amat mendalam.
Pokok
Ketiga: mengetahui bahwa Allah
Ta’ala itu hidup. Barangsiapa ada ilmunya dan tenaganya, tentu saja ada
hidupnya. Jikalau tergambar seorang yang bertenaga, berilmu, berbuat dan
pengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah diragukan mengenai hidupnya
hewan-hewan, ketika ia bulak-balik bergerak dan berdiam diri. Bahkan mengenai
hidupnya ahli-ahli tehnik dan perusahaan. Hal yg seperti itu adalah membenamkan
diri ke dalam lembah kebodohan dan kesesatan.
Pokok
Keempat: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala berkehendak kemauan bagi segala perbuatan-perbuatan Nya. Maka tak
adalah yang ada melainkan bersandar kepada kehendakNya dan datang dari
kemauanNya. Dialah yang menjadikan dan mengembalikan, yang berbuat
sekehendakNya. Bagaimanakah Dia tak ada berkehendak ? tiap-tiap perbuatan yang
datang daripadaNya, mungkin bahwa datang lawannya. Dan yang tak ada lawannya,
maka mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan kehendak itu
adalah bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu
kesesuaian. Maka tak boleh tidak daripada kemauan untuk menentukan kehendak itu
kepada salah satu daripada dua yang akan dihubungi kehendak tadi. Kalau
mencukupi ilmu saja tanpa kemauan, untuk menentukan sesuatu yang diketahui,
sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh pada waktu yang mendahului
ilmu dengan wujudnya, maka sesungguhnya boleh pula mencukupi tanpa kehendak.
Sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh tanpa kehendak, karena telah
mendahului ilmu dengan wujudnya.
Pokok
Kelima: mengetahui bahwa
Allah Ta’ala maha mendengar, melihat, tidak luput daripada penglihatanNya
segala yang terlintas di dalam hati, sangka dan pikiran yang tersembunyi. Dan
tidak jauh daripada pendengaranNya bunyi langkah semut hitam di dalam malam
yang gelap, di atas batu yang hitam pekat. Betapakah Ia tidak mendengar, lagi
melihat, sedang mendengar & melihat itu tak ada tempat untuk dibantah
adalah kesempurnaan dan bukan kekurangan? maka bagaimanakah makhluk itu berada
lebih sempurna daripada yang maha pencipta? yang dibuat itu lebih tinggi dan
lebih sempurna daripada Yang Membuat? bagaimanakah lurusnya pembagian, manakala
kekurangan ada pada Tuhan dan kesempurnaan ada pada makhluk dan pada
perbuatanNya ? atau bagaimanakah lurusnya keterangan Ibrahim as menghadapi
ayahnya karena ayahnya itu menyembah berhala karena kebodohan dan kedunguan ?
lalu bersabdalah Ibrahim as kepadanya: “Hai bapakku ! mengapa engkau sembah
barang yang tidak mendengar, tidak melihat dan tiada memberikan pertolongan
kepada engkau barang sedikitpun”. S 19 Maryam ayat 42. Jikalau terbaliklah yang
demikian itu, kepada Dzat yang disembah Ibrahim, maka sesungguhnya
keterangannya menjadi hancur dan dalilnya, menjadi gugur. Dan menjadi tidak
benarlah firman Allah Ta’ala: “Dan itulah alasan-alasan yang Kami berikan
kepada Ibrahim menghadapi kaumnya”. S 6 Al An’aam ayat 83. Sebagaimana dipahami
dengan akal bahwa Allah Ta’ala berbuat tanpa anggota, mengetahui tanpa hati dan
otak, maka hendaklah dipahami pula bahwa Allah Ta’ala melihat tanpa biji mata
dan mendengar tanpa telinga. Karena tak adalah perbedaan diantara keduanya.
Pokok Keenam: bahwa Allah swt
berkata-kata dengan kata-kata. Yaitu suatu sifat yang terdiri pada DzatNya,
tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kata-kata Allah dengan
kata-kata lainNya, sebagaimana tidak serupa wujudNya dengan wujud lainnya. Kata
yang sebenarnya ialah kata hati. Suara itu ialah yang mengeluarkan huruf-huruf
untuk menunjukkan kepada yang dimaksud, sebagaimana ditunjukkan kepadanya
sekali dengan gerak dan isyarah. Bagaimanakah maka ini sampai meragukan kepada
segolongan orang yang bodoh. Dan tidak meragukan kepada penyair-penyair yang
bodoh, dimana telah bermadah seorang diantara mereka yang mengatakan:
“sungguhlah kata-kata itu di dalam hati,
dan memang lidah dijadikan........
untuk menunjukkan.......
apa yang ada di dalam hati........”.
Orang yang tidak diikat oleh akalnya dan tidak dilarang oleh
otaknya daripada mengatakan: “Lidahku itu baru, tetapi apa yang datang padanya
dengan kehendakku yang baru itu adalah tiada berpemulaan”, maka putuskanlah
harapanmu mengenai akalnya. Dan cegahkanlah lidahmu daripada berhadapan dengan
dia !. Orang yang tiada dapat memahami bahwa tiada berpemulaan itu adalah
ibarat daripada apa yang belum ada sebelumnya sesuatu dan bahwa ba adalah
sebelum sin dalam bacaan kita “Bismillah”, maka tidak adalah sin yang
terkemudian daripada ba itu tiada berpemulaan. Maka bersihkanlah hatimu
daripada menoleh kepadanya......!.
Allah
swt mempunyai rahasia pada menjauhkan sebahagian daripada hambaNya -“Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang memberi petunjuk
kepadanya”-. Barangsiapa merasa sangsi bahwa Musa as mendengar di dunia ini
kata-kata yang tidak dengan suara dan huruf, maka tentulah ia menentang akan
melihat di akhirat Yang ADA, yang tidak dengan tubuh dan warna. Dan kalau
diterima oleh akalnya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan warna, tubuh,
batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihatnya, maka hendaklah ia
berpikir mengenai pancaindra pendengaran akan apa yang dapat dipikirkannya
mengenai pancaindra penglihatan itu. Jika dapat dipikirkannya bahwa bagi Allah
satu pengetahuan yang satu, yaitu mengetahui segala yang ada, maka hendaklah
dipikirkannya akan suatu sifat bagi Dzat yaitu berkata-kata, dengan segala apa
yang ditunjukkan oleh semua penuturan kepadanya. Jika dapatlah ia berpikir akan
keadaan langit yang tujuh, keadaan sorga dan neraka yang tertulis pada selembar
kertas yang kecil dan terhafal di dalam suatu batas yang halus daripada hati
dan bahwa semuanya itu dapat terlihat di dalam batas biji mata hitam, tanpa
bertempat semua langit itu, bumi, sorga dan neraka di dalam mata hitam, hati
dan kertas, maka hendaklah ia berpikir keadaan berkata-kata itu yang dibaca
dengan lisan, dihafal di dalam hati dan tertulis di dalam mas-haf, tanpa
bertempat dzat kalam (berkata-kata) di dalamnya. Karena jikalau bertempatlah
pada kitab Allah dzat berkata-kata di atas kertas, niscaya bertempatlah Dzat
Allah dengan menuliskan namaNya pada kertas. Dan bertempatlah dzat api neraka
dengan menuliskan namanya pada kertas dan terbakarlah kertas itu.
Pokok
Ketujuh: bahwa berkata-kata
yang berdiri dengan sendirinya itu tiada berpemulaan dan begitu pula sekalian
sifat Allah. Karena mustahillah bahwa ada Dia itu tempat bagi segala yang baru,
yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi wajiblah bagi sekalian sifat dari
sifat-sifat tiada berpemulaan akan apa yang wajib bagi dzat. Maka tidaklah
didatangi oleh perobahan & tidaklah ditempati oleh segala yang baru. Tetapi
senantiasalah pada tiada berpemulaan Nya, bersifat dengan segala sifat yang
terpuji dan tetaplah di dalam keabadianNya, seperti itu, maha suci dari segala
perobahan keadaan. Karena sesuatu yang menjadi tempat bagi segala yang baru,
maka tidaklah dia itu terpisah daripada yang baru. Dan sesuatu yang tidak
terpisah daripada segala yang baru, maka adalah dia itu baru. Dan sesungguhnya
tetaplah sifat baru itu bagi tubuh, dimana dia didatangi perobahan dan
pertukaran bagi sifat-sifatnya. Maka bagaimanakah Khaliq (yang maha pencipta)
itu bersekutu dengan segala yang baru dalam menerima perobahan ? dan berdasarkan
kepada ini, maka seyogyalah bahwa kalam (berkata-kata) Allah itu tiada
berpemulaan, berdiri dengan dzatNya. Dan yang baru itu ialah suara-suara yang
menunjukkan kepadanya. Sebagaimana dipahami, tegaknya tuntutan dan kemauan
belajar pada diri seorang ayah untuk anaknya, sebelum anak itu dilahirkan,
sehingga apabila anak itu telah lahir dan berakal serta dijadikan oleh Allah
baginya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati
ayahnya dahulu, dari tuntutan belajar, niscaya menjadi suruhan dengan tuntutan
itu yang telah bangun pada diri sang ayah. Dan tetap adanya sampai kepada waktu
anaknya mengenal akan hal itu. Maka hendaklah dipahami pula akan tegaknya
tuntutan yang ditunjukkan kepadanya oleh firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bukalah
kedua terompahmu !”. S 20 Thaahaa ayat 12. Dengan DzatNya dan jadinya Musa
ditujukan dengan firman itu setelah adanya. Karena telah dijadikan kepada Musa
ma’rifah/ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan tuntutan itu dan didengarnya untuk
itu kalam (kata-kata) tiada berpemulaan.
Pokok
Kedelapan: bahwa ilmu Allah
itu tiada berpemulaan, maka senantiasalah IA mengetahui dengan DzatNya,
sifatNya dan apa yang terjadi dengan makhlukNya. Manakala telah jadilah
makhluk, maka tidak datanglah bagi Allah ilmu mengenai makhluk itu, tetapi
hasillah segala makhluk itu terbuka bagiNya dengan ilmuNya yang azali ( tida
kesudahan / permulaan ). Karena jikalau dijadikan bagi kita pengetahuan untuk
mengetahui dengan kedatangan si Zaid ketika terbit matahari dan berkekalan
pengetahuan tadi -diumpamakan- sampai terbit matahari, maka sesungguhnya
kedatangan si Zaid ketika terbit matahari itu menjadi pengetahuan bagi kita
dengan pengetahuan itu tanpa pembaruan pengetahuan yang lain. Maka begitu
pulalah seyogyanya dipahami akan tiada berpemulaan ilmu Allah Ta’ala.
Pokok Kesembilan: bahwa iradah (Kemauan)
Allah itu kadim (tiada berpemulaan). Kemauan itu pada tiada berpemulaannya
bersangkutan dengan menjadikan segala yang baru pada waktunya yang layak,
sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali ( tida kesudahan / permulaan ).
Karena jikalau Kemauan itu baru, niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang
baru. Dan jikalau terjadilah segala yang baru daripada bukan dzatNya, niscaya
tak adalah Dia yang berKemauan padanya. Sebagaimana tidaklah engkau yang
bergerak dengan sesuatu gerakan, yang tidak ada gerakan itu daripada diri
engkau. Sebagaiamana dikatakan Kemauan itu baru, maka berhajatlah kebaruannya
itu kepada Kemauan yang lain. Dan begitu pula Kemauan yang lain itu berhajat
kepada Kemauan yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada
tiada berkesudahan. Jikalau boleh Allah mendatangkan Kemauan dengan tanpa
Kemauan maka boleh pulalah Ia mendatangkan alam dengan tanpa Kemauan.
Pokok
Kesepuluh: bahwa Allah Ta’ala
mengetahui dengan ilmun/tahu, hidup dengan hayah/hidup, berkuasa dengan
kehendak, berkehendak dengan Kemauan, berkata-kata dengan kalam (berkata-kata),
mendengar dengan sama’ (mendengar) dan melihat dengan bashar (melihat). Semua
sifat ini bagi Allah Ta’ala adalah sifat-sifat yang tiada berpemulaan.
Perkataan orang yang mengatakan: orang berilmu tanpa ilmu samalah seperti
katanya orang kaya tanpa harta, ilmu tanpa orang yang berilmu dan orang berilmu
tanpa ada yang diketahui. Sebab ilmu, yang diketahui (yang dimaklumi) dan yang
berilmu (‘alim) adalah bertaut satu sama lainnya, seperti pembunuhan, yang
dibunuh dan pembunuh. Sebagaimana tidak tergambar adanya pembunuh, tanpa ada
pembunuhan dan yang dibunuh dan tidaklah tergambar adanya yang dibunuh, tanpa
ada pembunuh dan pembunuhan, maka seperti itu pulalah tidak tergambar adanya
orang yang berilmu tanpa ilmu, adanya ilmu tanpa ada yang dimaklumi dan adanya
yang dimaklumi tanpa ada yang berilmu (‘alim). Sebab yang tiga ini bertaut satu
sama lainnya pada akal. Tidak terlepas sebahagian daripadanya daripada
sebahagian yang lain. Barangsiapa membolehkan terlepasnya orang berilmu
daripada ilmu, maka hendaklah ia membolehkan terlepasnya daripada yang
diketahuinya dan terlepasnya ilmu daripada yang mengetahuinya. Karena tak
adalah perbedaan diantara sifat-sifat yang tersebut tadi.
RUKUN KETIGA: mengetahui dengan segala Af’al (perbuatan-perbuatan)
Allah Ta’ala. Dan berkisar atas 10 pokok.
Pokok
Pertama: mengetahui bahwa
tiap-tiap yang baru pada ‘alam adalah perbuatan perbuatan-perbuatan Allah, yang
dijadikan dan yang diciptakan Nya. Tak adalah khaliq (yang maha pencipta) bagi
alam itu selain DIA Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang
menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan kehendak dan gerak bagi
makhluk itu. Maka sekalian perbuatan-perbuatan hambaNya adalah makhlukNya dan
bergantung dengan kehendakNya, hal mana dibenarkan yang demikian pada
firmanNya: “Allah itu pencipta segala sesuatu”. S 13 Ar Ra’d ayat 16. Dan pada
firmanNya: “Dan sesungguhnya Tuhanlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu”. S 37 Ash Shaffaat ayat 96. Dan pada firmanNya: “Kamu rahasiakan
perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu
mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya ? dan
Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti”. S 67 Al Mulk ayat 13-14. DisuruhNya
hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena
Ia mengetahui tempat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil
atas pengetahuanNya dengan makhlukNya. Bagaimanakah tidak Allah itu yang
menjadikan perbuatan hambaNya, sedang kehendakNya adalah maha-sempurna, tak ada
keKurangan padanya dan kehendak itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan
gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut kehendak dengan
gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerik itu sendiri ? maka apakah yang
menghambat sangkutannya kehendak dari sebahagian gerak dan tidak pada
sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama ? atau bagaimanakah hewan itu
berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan
hewan-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang
yang berpikiran tinggi ? bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya
tanpa Tuhan seru sekalian alam ? padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui
secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu ! Wahai kiranya,
hinalah segala makhluk itu ! Dia sendirilah yang berkuasa di alam al-mulki/alam
dunia dan di alam al-malakut/alam akhirat, maha perkasa mengatur bumi dan
langit.
Pokok
Kedua: bahwa Allah
sendirilah yang maha suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang tidak
dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan
usaha. Tetapi Allah Ta’ala yang menjadikan kehendak hamba (kuasa) dan yang
dikuasainya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan. Adapun
kehendak adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan
tidaklah kehendak itu dengan usaha hamba sendiri. Adapun gerak maka adalah
makhluk bagi Allah Ta’ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan,
yang dikuasakan dengan sebab kehendak, dimana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak
itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang dinamakan kehendak.
Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu, dinamakan usaha.
Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat
diketahui akan perbedaan, diantara gerak yang dikuasai dan gerak mudah yang
biasa ? atau bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak
meliputi ilmunya dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan
dan jumlah bilangannya ? apabila salahlah kedua tepi itu (paksaan semata atau
dijadikan oleh hamba sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang
sederhana dalam keyakinan. Yaitu bahwa gerak itu dikehendakkan dengan kehendak
Allah Ta’ala sebagai ciptaan dan dengan kehendak hamba atas segi yang lain dari
hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah dipahami,
hubungan kehendak dengan yang dikehendakkan itu, bahwa adanya dengan ciptaan
saja. Karena kehendak Allah Ta’ala pada azali ( tida kesudahan / permulaan )
telah ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan
kehendak, dimana kehendak ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam
macam hubungan yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan kehendak,
tiadalah ditentukan dengan berhasilnya yang dikehendakkan dengan kehendak itu.
Pokok
Ketiga: bahwa pekerjaan
hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar dari
adanya dengan kehendak Allah swt. Maka tidaklah berlaku di alam nyata (alam
al-mulki) dan alam yang tidak nyata (alam al-malakut), suatu kerlingan mata,
suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan orang yang memandang, melainkan
adalah dengan qadha’/takdir, kehendak, Kemauan dan kehendakNya. DaripadaNyalah
yang buruk dan yang baik, yang bermanfaat dan yang melarat, Islam dan kufur, mengakui
dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, taat dan
maksiat, syirik dan iman. Tak ada yang menolak bagi qadhaNya/takdirNya. Tak ada
yang menentang bagi hukumNya. DisesatkanNya akan siapa yang dikehendakiNya dan
ditunjukiNya akan siapa yang dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada
apa yang diperbuatNya, sedang mereka itu (kita manusia ini) ditanya kan.
Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata
umat seanteronya: “Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak
dikehendakiNya tidak ada”. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bahwa kalau Allah
berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya”. S Ar Ra’d ayat 31. Dan
firmanNya: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada
setiap diri”. S 32 As Sajdah ayat 13. Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari
segi aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan ma’siat dan dosa adalah Allah
membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah perbuatan-perbuatan itu
berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah kena kutukan Tuhan,
dimana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak
musuh adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah
lebih banyak daripada yang berlaku atas yang sesuai dengan kehendak Allah
Ta’ala. Wahai kiranya, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak
kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan,
kepada derajat, di mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang
pemimpin desa, niscaya tiada mau ia menerimanya ! kiranya jikalau yang tetap
menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang
berdiri di belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima
kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada kekuasaannya. Perbuatan
ma’siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk. Semuanya itu berlaku pada
ahli-ahli bid’ah (yang diada-adakan), menyalahi dengan Kemauan Allah. Ini
adalah menunjukkan paling lemah dan tiada bertenaga. Maka maha sucilah Tuhan seru
sekalian alam dari perkataan orang dhalim itu !. Kemudian, manakala telah nyata
bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah
terjadinya perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya. Jikalau orang bertanya:
“Bagaimanakah Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang
tiada dikehendakiNya ?”. Maka kami menjawab: “Suruh (amar) adalah lain dari
kehendak (Kemauan). Dari itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya,
lalu dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan
alasan bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh
sultan, lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh
hamba sahaya itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya di hadapan
sultan. Maka berkatalah ia kepada budak itu: “Pasanglah pelana hewan itu di
hadapan sultan”. Maka disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya
supaya budak itu menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka keberatannya tidak
diterima oleh sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya,
maka adalah orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah
mustahil !.
Pokok Keempat: bahwa Allah
Ta’ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta menganugerahkan
nikmat, dengan memberikan kewajiban kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan
dan memberikan kewajiban itu wajib atas Allah. Berkata segolongan Mu’tazilah
bahwa yang demikian itu wajib atasNya, karena ada kemuslihatan hamba padanya.
Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang
melarang. Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan
sesuatu kemestian dan kata yang ditujukan ? Dan yang dimaksudkan dengan wajib,
ialah salah satu daripada dua: adakalanya perbuatan yang memberi melarat kalau
ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan datang, umpamanya dikatakan:
wajiblah atas hamba berbuat taat kepada Allah. Sehingga dia tidak diazabkan di
akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu pada masa dekat, umpamanya
dikatakan: wajiblah minum atas orang yang haus, sehingga ia tidak mati.
Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah sesuatu yang membawa kepada
mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan: adanya yang diketahui itu
wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu jadinya ilmu itu
kebodohan. Kalau dikehendaki oleh pihak lawan dengan: bahwa menjadikan itu
wajib atas Allah dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah
mendatangkan kepada melarat. Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang kedua,
maka dia adalah seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak
boleh tidak, ada yang diketahui (al-ma’lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan
arti yang ketiga, maka itu tidak dapat dipahami.
Mengenai kata Mu’tazilah: wajib itu karena
ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah merusakkan. Karena
apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan kemuslihatan hamba itu,
maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung arti apa-apa. Kemudian,
kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya
dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada
segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara
dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada
orang-orang yang berakal.
Pokok Kelima: bahwa jaiz (sesuatu yang boleh
saja, bukan suatu kewajiban) bagi Allah, memikulkan/memberatkan (mentaklifkan)
atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat
Mu’tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan
menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yg demikian, dengan mendoakan: “Hai
Tuhan kami ! janganlah Engkau pikulkan keatas kami apa yang tidak kami sanggupi
!”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Dan karena Allah Ta’ala telah menerangkan kepada
Nabi saw bahwa Abu Jahal tidak akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh
Nabi saw supaya menyuruh Abu jahal membenarkannya pada segala perkataannya. Dan
ada dari jumlah perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw.
Bagaimanakah dia membenarkan pada yang tidak dibenarkannya ? tidakkah ini
selain dari mustahil adanya ?.
Pokok Keenam: bahwa bagi Allah
Ta’ala menyakitkan dan mengazabkan makhlukNya tanpa ada dosa yang terdahulu dan
tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat Mu’tazilah. Hal
ini, adalah karena Allah Ta’ala bertindak pada milikNya. Dan tidaklah tergambar
bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari
bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas
Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim. Dibuktikan kepada bolehnya yang
demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan adalah menyakitkan hewan.
Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan bermacam-macam azab dari
pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya dosa hewan. Kalau ada yang
mengatakan: bahwa Allah Ta’ala akan mengumpulkan hewan-hewan itu di padang
mahsyar dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang
dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan. Maka atas perkataan itu kami
menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah menghidupkan tiap semut
yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh, sehingga diberikan pahala
atas segala penderitaannya, maka sesungguhnya telah keluar dari agama dan akal.
Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan pahala dan mengumpulkan di
padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah. Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya
membawa kepada melarat, maka itu adalah suatu yang mustahil. Dan jika
dimaksudkan yg lain, maka telah diterangkan dahulu bahwa itu tidak dapat
dipahami apabila telah keluar dari pengertian-pengertian yg tersebut bagi
wajib.
Pokok
Ketujuh: bahwa Allah Ta’ala
berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga yang lebih
baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa tiada
suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak dapat diterima akal
pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya dan
makhluk Allahl lah yang ditanyakan. Alangkah ganjilnya apa yang diwajibkan oleh
golongan Mu’tazilah itu dengan katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah
wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang kita majukan kepadanya. Yaitu:
diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat diantara seorang anak kecil dan
seorang dewasa (baligh), di mana keduanya meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah
menambahkan derajat orang yang sudah dewasa dan melebihkannya dari anak kecil.
Karena ia telah payah dengan beriman dan melakukan taat setelah dewasa. Dan
yang demikian itu, wajib atas Tuhan menurut orang Mu’tazilah. Kalau anak kecil
itu berkata: “Wahai Tuhan ! mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada derajatku
?””. Maka menjawab Tuhan: “Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan taat”.
Lalu anak kecil itu menjawab: “Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah
kewajiban Engkau meneruskan hidupku, sampai aku baligh, maka aku rajin
beribadah. Engkau telah berpaling dari keadilan dengan memberikan kepadanya
kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia Engkau lebihkan ?”. Maka
menjawab Allah Ta’ala: “Karena Aku tahu bahwa kalau dewasalah engkau, niscaya
engkau menjadi musyrik atau pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati
sewaktu kecil”. Ini dimaafkan oleh orang Mu’tazilah dari Allah ‘Azza Wa Jalla.
Dan ketika itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka
berseru, seraya berkata: “Wahai Tuhan ! apakah Engkau tiada mengetahui bahwa
kami apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik ? mengapakah tidak Engkau
matikan kami sewaktu kecil ? kami rela dengan derajat yang lebih rendah
daripada derajat anak kecil muslim itu”. Maka apakah yang dijawab waktu itu ?
dan adakah yang harus ketika itu, selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan
adalah maha suci dengan keagungan daripada ditimbang dengan timbangan orang
Mu’tazilah itu !. Kalau dikatakan, bahwa manakala ditakdirkan kepada
pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan kepada mereka
sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tak layak dengan
kebijaksanaan. Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai
dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang dan
baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari keduanya
dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh
teman-temannya dan dipandang baik oleh musuh-musuhnya. Kalau dimaksudkan dengan
keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka
itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak
tergambarlah daripadaNya keji sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim.
Karena tidak tergambar daripadaNya bertindak pada
milik orang lain. Dan kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu
yang tiada sesuai dengan maksud orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa
yang demikian itu mustahil atas Tuhan ? tidakkah ini selain dari semata-mata
keragu-raguan, yang diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami berikan
umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara penduduk neraka ? kemudian,
al-hakiim, artinya: yang mengetahui hakikat/makna segala sesuatu, berkuasa
(sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya. Dan ini, maka dari manakah
mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu ? adapun al-hakiim dari kita
(seorang ahli hikmah yang bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat
kepada kepentingan dirinya sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan
pahala di akhirat. Atau untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu
mustahil bagi Allah Ta’ala.
Pokok Kedelapan: bahwa mengenal
(ma’rifah) akan Allah Ta’ala dan berbuat taat kepadaNya adalah wajib.
Diwajibkan oleh Allah dan agamaNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi orang
Mu’tazilah. Karena akal dan kalaupun dia mewajibkan taat maka tidaklah
terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah. Dan itu adalah mustahil.
Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia-sia. Dan adakalanya dia mewajibkan
karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya
kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang disembah. Dan itu adalah
mustahil pada hak Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya Allah maha-suci daripada
segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, taat dan ma’siat pada pihak Allah
Ta’ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang demikian itu kepada maksud
hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah maksud bagi hamba itu
waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri daripada hawa nafsu karenanya.
Dan tak adalah pada hari kembali, selain daripada pahala dan siksa. Dan dari
manakah diketahui bahwa Allah Ta’ala akan memberi pahala di atas perbuatan
ma’siat dan taat dan tidak menyiksakan di atas kedua perbuatan tadi, sedang
taat dan ma’siat pada hak Allah adalah sama ? karena tidaklah Allah Ta’ala itu
condong kepada salah satu daripada keduanya. Dan tidaklah bagi salah satu
dairpada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan Allah Ta’ala. Sesungguhnya
diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan agama. Dan telah hinalah
orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq (yang maha pencipta)
dan makhluk, dimana dia membedakan diantara syukur dan kufur. Karena dia
memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada
keduanya dan tidak dengan yang lain. Kalau dikatakan, apabila tidak wajib
memandang dan mengenal Allah selain dengan agama. Dan agama itu tidak tetap
selama orang yang diberati hukum (mukallaf) tidak menaruh perhatian kepadanya.
Maka apabila orang mukallaf itu berkata kepada Nabi saw, bahwa akal tidaklah
mewajibkan kepada memperhatikan dan agama tidaklah menetap padaku, selain
dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang
membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul saw. Kami menjawab: bahwa ini
menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang yang berdiri pada
salah satu tempat: “Bahwa di belakangmu ada binatang buas yang menerkam. Kalau
tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan dibunuhnya engkau. Dan kalau
engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka tahulah engkau akan
kebenaranku”. Maka menjawab orang yang tegak berdiri itu: “ Tidak menyakinkan
kebenaranmu selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan
berpaling ke belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu
!”. Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa
dirinya kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang
memberi petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu. Maka begitulah Nabi saw yang
mengatakan: “Bahwa di belakangmu nanti, di sana binatang buas dan api membakar.
Kalau kamu tidak berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan
memperhatikan kepada mu’jiizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian niscaya mengenal, berhati-hati
dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak memperhatikan dan
terus-menerus demikian, maka binasa dan terjerumuslah dia. Dan tak ada memberi
melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa. Sesungguhnya
kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas”. Agama
memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal
memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi saw dan meyakininya dengan
kemungkinan apa yang dikatakannya pada masa yang akan datang. Dan tabiat
manusia menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan. Dan arti bahwa
sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkan nya mendatangkan melarat. Dan arti
bahwa agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenal kan akan kemelaratan yang akan
terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk
mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.
Inilah arti agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib
itu. Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh
maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.
Pokok
Kesembilan: bahwa tidaklah
mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan
bahwa tak adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup
mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk
kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan di akhirat, sebagaimana tidaklah
memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan.
Kebutuhan makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti kebutuhan mereka kepada
dokter-dokter. Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal
kebenaran nabi dengan mu’jizat.
Pokok
Kesepuluh: bahwa Allah swt
telah mengutus Nabi Muhammad saw, kesudahan segala nabi dan pembatal (nasikh)
agama-agama sebelumnya: agama Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah Ta’ala
menguatkan Nabi saw itu dengan mu’jizat-mu’jizat yang nyata dan tanda-tanda
yang jelas seperti terbelah bulan, bertasbih batu, berbicara hewan dan
terpancarnya air diantara jari-jari Nabi saw. Diantara tanda-tanda yang jelas
ialah keagungan Alquran Suci menghadapi tentangan orang Arab, di mana
orang-orang Arab itu terkenal fasih dan lancar berbicara. Bermaksud hendak
menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi saw, sebagaimana diceritakan
Tuhan tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti
Alquran, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan susunan
Alquran dan teraturnya. Ini serta isinya Alquran dengan memberitakan
berita-berita orang terdahulu di mana Nabi saw adalah ummi (tak tahu tulis
baca), tidak pernah memegang buku. Dan menceritakan hal-hal yang ghaib mengenai
keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah
Ta’ala: “Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki, dengan
perasaan tenteram, bercukur dan bergunting rambut”. S 48 Al Fath ayat 27. Dan
seumpama firman Allah Ta’ala: “Alif, Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum.
Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam
beberapa tahun”. S 30 Ar Ruum ayat 1 s/d 4. Cara mu’jizat menunjukkan kepada
kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang tidak disanggupi oleh
manusia, maka itu tak lain daripada Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah semata.
Manakala Af’al ( perbuatan-perbuatan) itu menyertai dengan pertahanan atas
kebenaran Nabi saw maka itu seakan-akan Allah berfirman: “Benar Engkau !”. Tak
ubahnya seperti seorang yang berdiri di hadapan raja, dengan mendakwakan
dirinya kepada rakyar bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka. Maka
manakala ia berdatang sembah kepada raja: “Jika adalah hamba ini benar maka
sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan 3 kali dan sudilah
kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku !”. Lalu raja itu berbuat demikian,
sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat itu pengetahuan mudah tanpa
memerlukan pemikiran. Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda:
“Benar kamu !”.
RUKUN KEEMPAT: Mengenai segala yang didengar
(sam’iyyat) dan membenarkan Nabi saw tentang apa yang dikabarkannya. Dan
berkisar atas 10 pokok.
Pokok
Pertama: kebangkitan dan
pengumpulan di hari mahsyar. Telah datang agama memperdengarkan keduanya. Dan
itu adalah benar serta wajib membenarkannya. Karena menurut akal itu mungkin.
Arti dari kebangkitan itu, ialah pengembalian hidup setelah difanakan (ifnaa’).
Yang demikian adalah atas kehendak Allah seperti pada permulaan kejadian. Berfirman
Allah Ta’ala: “Katanya siapa yang akan dapat menghidupkan tulang-tulang yang
telah hancur luluh? katakanlah: yang menghidupkannya, ialah yang menjadikannya
pertama kali”. S 36 Yaa Siin ayat 78 dan 79. Maka Allah Ta’ala memberi dalil
dengan permulaan kepada pengembalian itu. Dan berfirman Allah Ta’ala:
“Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan
seorang diri saja”. S 31 Lukman ayat 28. Jadi, pengembalian itu adalah
permulaan kedua. Maka itu adalah mungkin seperti permulaan pertama.
Pokok
Kedua: pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir. Telah datang beberapa hadits
memperdengarkannya. Maka wajiblah membenarkannya, karena itu adalah mungkin.
Karena tiada yang meminta untuk itu, selain pengembalian hidup kepada beberapa
suku badan untuk dapat memahami pertanyaan yang dimajukan. Hal itu dengan
sendirinya mungkin dan tidak dapat dibantah oleh apa yang kelihatan bahwa
anggota tubuh mayat itu tetap saja dan kita tidak mendengar pertanyaan itu. Orang tidurpun pada dhahirnya tetap saja dan mengetahui
dengan bathinnya kesakitan dan kelezatan akan apa yang dirasainya
dengan kesannya ketika terbangun. Adalah Rasulullah saw mendengar kalam
(kata-kata) Jibril as dan melihatnya sedang orang-orang dikeliling Rasul saw
tidak mendengar dan melihatnya. Dan mereka tiada mengetahui sesuatu daripada
ilmuNya selain dengan apa yang dikehendakiNya”. Apabila Tuhan tidak menjadikan
pendengaran dan penglihatan kepada mereka, niscaya tidaklah mereka
mengetahuinya.
Pokok
Ketiga: azab kubur. Telah
datanglah agama memperdengarkannya. Berfirman Allah Ta’ala: “Api neraka, mereka
dibawa ke sana pagi dan petang dan pada hari qiamat (dikatakan): Masukkanlah
kaum Fir’aun itu ke dalam siksaan yang sangat keras !”. S 40 Al Mukmin ayat 46.
Dan telah terkenal dari Rasulullah saw dan salaf/ulama terdahulu yang salih, dimana mereka
berlindung dengan Allah daripada azab kubur. Azab kubur itu adalah mungkin.
Maka wajiblah membenarkan nya. Dan tidak menjadi halangan daripada
membenarkannya oleh bercerai-berainya anggota tubuh mayat di dalam perut
binatang buas dan tembolok burung. Sebab yang memperoleh kepedihan azab dari
hewan itu, ialah bahagian-bahagian tertentu, yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala
kepada mengembalikan dapat nya azab itu kepadanya.
Pokok
Keempat: neraca amal (mizan
atau timbangan). Adalah timbangan amal itu benar. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan
pada hari kiamat (kebangunan) itu, Kami tegakkan neraca yang adil”. S 21 Al
Anbiyaa’ ayat 47. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Maka barangsiapa yang berat
timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa
yang ringan timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri, disebabkan mereka tidak mempercayai keterangan-keterangan Kami”. S 7
Al A’raaf ayat 8-9. Caranya, ialah bahwa Allah Ta’ala menjadikan di dalam
lembaran amal perbuatan, timbangan menurut derajat amal itu pada sisi Allah.
Maka jadilah kadar segala amal perbuatan itu diketahui oleh hamba itu. Sehingga
teranglah kepada mereka keadilan Tuhan, tentang penyiksaan atau kelimpahan
kemaafan dan pergandaan pahala.
Pokok
Kelima: titian (shirath).
Yaitu jembatan yang memanjang di atas neraka jahannam, lebih halus daripada
rambut dan lebih tajam daripada pedang. Berfirman Allah Ta’ala: “Maka tunjukkanlah
kepada mereka jalan ke neraka ! dan suruhlah mereka berhenti (berdiri), karena
sesungguhnya mereka akan ditanyai”. S 37 Ash Shaffaat ayat 23-24. Titian itu
adalah suatu yang mungkin, maka wajiblah membenarkannya. Karena yang kuasa
menerbangkan burung di udara, niscaya kuasa pula menjalankan manusia di atas
titian itu.
Pokok
Keenam: bahwa sorga dan
neraka adalah makhluk Tuhan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan cepatlah menuju
keampunan Tuhan dan memasuki sorga, yang lebarnya seperti langit dan bumi,
disediakan untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali
‘Imran ayat 133. Maka berfiman Allah “disediakan” menunjukkan bahwa sorga itu
makhluk Tuhan. Maka haruslah diperlakukan secara dhahir/luar, karena tak ada
kemustahilan padanya. Dan tidak dikatakan, bahwa tak ada faedahnya dijadikan
sorga dan neraka itu sebelum hari pembalasan (hari akhirat). Karena Allah
Ta’ala tidak ditanyakan daripada perbuatanNya, sedang mereka (manusia)
ditanyakan.
Pokok
Ketujuh: bahwa imam yang
benar sesudah Rasulullah saw ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman,
kemudian Ali ra. Dan tak adalah sekali-kali ketentuan dari Rasulullah saw
kepada seseorang imam saja. Karena jikalau ada, niscaya adalah yang seorang itu
lebih jelas orangnya, yang ditegakkan oleh kesatuan wali-wali negeri dan
panglima-panglima tentara di dalam negeri. Dan tidak tersembunyilah yang
demikian ! bagaimanakah tersembunyi ini ? dan kalau tidak tersembunyi, maka
bagaimanakah terbenam saja, sehingga tak ada berita kepada kita ? Abu Bakar
pun, tidaklah dia menjadi imam, melainkan dengan pemilihan dan bai’ah (janji
kesetiaan daripada rakyat). Kalau diumpamakan ada ketentuan daripada Nabi saw
kepada yang lain daripada Abu Bakar, maka itu kalau ditujukan kepada sahabat
seluruhnya, adalah suatu penantangan kepada Rasulullah saw dan pengoyakan bagi
Ijma’ (sepakat). Cara yang demikian, tak ada yang berani melakukan selain
daripada golongan Rafidli (golongan yang menolak semua imam, khalifah dan
Nabi). Sedang menurut i’tiqad (keyakinan) Ahlussunah, ialah membersihkan
sekalian sahabat daripada tuduhan-tuduhan dan memujikan keikhlasan mereka,
sebagaimana dipuji oleh Allah dan RasulNya saw. Dan apa yang berlaku diantara
Mu’awiyah dan Ali, adalah berdasarkan kepada pendapat masing-masing. Bukan
perebutan daripada Mu’awiyah mengenai pangkat keimaman (khilafat). Karena
menurut sangkaan Ali ra, bahwa penyerahan pembunuh-pembunuh Usman, dimana
mereka mempunyai banyak keluarga dan hubungan rapat dengan ketentaraan,
tentulah pada permulaannya akan membawa kepada kegoncangan urusan keimaman.
Dari itu Ali berpendapat bahwa mengundurkan penyerahan itu adalah lebih tepat.
Tetapi menurut sangkaan Mu’awiyah bahwa pengunduran urusan pembunuh-pembunuh
itu serta demikian besar penganiayaan yang dilakukan mereka, adalah
mengakibatkan suatu tamparan kepada pemuka-pemuka umat dan membiarkan darah
tertumpah begitu saja. Berkata ulama-ulama kenamaan, bahwa tiap-tiap orang yang
berijtihad (mengeluarkan pendapat), adalah benar. Dan berkata segolongan lagi:
yang benar itu satu. Dan tidak adalah orang-orang yang mengharapkan hasil yang
baik, menyalahkan Ali sekali-kali.
Pokok
Kedelapan: bahwa kelebihan
para sahabat itu adalah menurut nama urutan mereka dalam memegang pimpinan
khilafah (kekhalifahan). Karena hakikat/makna kelebihan itu ialah kelebihan
pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan itu tidak ada yang melihatnya selain
Rasulullah saw. Telah datang banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengandung
pujian kepada mereka itu sekalian. Sesungguhnya yang mengetahui kelebihan yang
halus-halus dan susunan dari kelebihan itu, ialah mereka yang menyaksikan wahyu
dan turunnya Alquran dengan pertanda-pertanda keadaan dan perincian yang
meneliti. Jikalau tidaklah mereka memahami yang demikian, maka tidaklah mereka
menyusun urutan seperti itu. Karena mereka tidaklah ditimpakan dengan cacian
orang yang mencaci tentang Allah dan tidaklah mereka diselewengkan oleh
penyeleweng dari kebenaran.
Pokok
Kesembilan: bahwa
syarat-syarat untuk menjadi imam, sesudah Islam dan taklif (dewasa dan
berakal), adalah 5: laki-laki, wara’, ilmu, kesanggupan dan suku Quraisy,
karena sabda Nabi saw: “Imam-imam itu dari Quraisy”. Apabila terdapat beberapa
orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi, maka yang menjadi imam ialah
orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai’ah) dari jumlah terbanyak
dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang terbanyak itu, adalah
pendurhaka, harus dikembalikan sampai tunduk kepada kebenaran.
Pokok
Kesepuluh: bahwa jikalau
sukarlah terdapat wara’(menjaga diri) dan ilmu mengenai orang yang akan
memegang jabatan imam itu, sedang untuk menolaknya menimbulkan kekacauan yang
sukar diatasi, maka kita putuskan dengan syahnya, ia menjadi imam. Karena kita,
diantara menimbulkan kekacauan dengan menggantikannya itu, maka kemelaratan
yang dihadapi kaum muslimin, adalah lebih banyak dari kekurangan yang timbul
lantaran kekurangan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bertambahnya
kemuslihatan itu. Maka tidaklah dibongkar pokok kemuslihatan lantaran mengharap
kelebihan-kelebihan yang datang dari kemuslihatan itu. Seumpama orang yang
membangun istana lalu membongkar kota. Dan diantara kita menetapkan dengan
kekosongan negeri tidak ada imam dan dengan kerusakan hukum. Dan itu adalah
mustahil. Kita menetapkan dengan berjalannya hukum orang-orang pendurhaka di
dalam negerinya, karena dipandang perlunya. Maka bagaimana pula kita tidak
menetapkan dengan syah menjadi imam ketika hajat dan diperlukan ?. Maka 4 rukun
ini yang mengandung 40 pokok itu, adalah qaidah-qaidah aqidah/keyakinan. Maka
orang yang mempercayainya adalah dia bersesuaian dengan ahlussunnah dan
berlainan dari ahli bid’ah (yang diada-adakan). Kiranya Allah meluruskan
perjalanan kita dengan taufiqNya dan menunjukkan kita kepada kebenaran dan
meyakini kebenaran itu, dengan nikmat, keluasan, kemurahan dan kurniaNya.
Rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad saw, kepada keluarganya dan
tiap-tiap hambaNya yang pilihan.
PASAL KEEMPAT:
Dari hal qaidah-qaidah ‘aqqidah (keyakinan) mengenai Iman dan Islam.
Hubungan dan pemisahan diantara keduanya. Bertambah dan berkurang yang
mendatang kepadanya. Dan cara pengeculian ulama terdahulu padanya.
Mengenai hal tersebut ada 3 masalah:
MASALAH I
Berbeda pendapat para ahli agama, mengenai Islam, apakah
Islam itu Iman atau lain dari Iman. Jikalau lain, adakah Islam itu berpisah
dari Iman, dimana Islam itu ada tanpa Iman, atau Islam itu berhubungan rapat
dengan Iman, di mana dia mengikuti akan Iman ?. Ada yang mengatakan bahwa
keduanya itu satu. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak
berhubungan. Dan ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal, tetapi
berhubungan satu sama lain. Abu Thalib Al-Makki telah membentangkan masalah ini
dengan cara yang sangat menggoncangkan dan panjang sekali. Maka hendaklah
sekarang kita tampil menjelaskan kebenaran tanpa menukilkan sesuatu yang tak
ada hasilnya. Maka kami mengatakan bahwa pada masalah ini ada 3 pembahasan:
pembahasan tentang kedua perkataan tersebut menurut bahasa: pembahasan tentang
maksud keduanya di dalam pemakaian agama dan pembahasan tentang hukum keduanya
di dunia dan di akhirat.
Pembahasan pertama :
itu adalah pembahasan bahasa.
Pembahasan kedua :
itu adalah pembahasan penafsiran.
Pembahasan ketiga
: itu adalah pembahasan fiqih dan syari’at/agama.
Pembahasan pertama: menurut keharusan bahasa:
Yang benar menurut bahasa, ialah Iman itu adalah ibarat
daripada pembenaran. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan engkau tentu tidak akan
beriman (percaya) kepada kami”. Artinya: membenarkan. S 12 Yusuf ayat 17. Dan
Islam adalah ibarat daripada menyerah dan tunduk
dengan yakin, patuh, tidak melawan, tidak enggan dan tidak menentang.
Untuk membenarkan itu, mempunyai tempat khusus yaitu hati. Dan lidah adalah
penterjemah (pengalih bahasa) dari hati. Adapun menyerah, maka itu umum, pada
hati, lidah dan anggota badan. Tiap-tiap pembenaran dengan hati adalah
menyerah, tanpa enggan dan ingkar. Begitu pula, pengakuan dengan lidah. Begitu
pula taat dan tunduk dengan anggota badan. Maka menurut bahasa, Islam itu lebih
umum dan Iman itu lebih khusus. Iman adalah ibarat dari bahagian yang termulia
dari Islam. Jadi, tiap-tiap membenarkan adalah menyerah dan tidaklah tiap-tiap
menyerah itu membenarkan.
Pembahasan kedua: tentang pemakaian agama.
Yang benar ialah bahwa agama telah tampil memakai
kedua-duanya dalam satu pengertian dan beriring-iringan. Dan telah tampil pula
di dalam pengertian yang berlainan dan di dalam pengertian yang masuk satu pada
lainnya. Adapun yang dalam suatu pengertian (at-taraaduf), maka tersebut pada
firman Allah Ta’ala: “Lalu kami keluarkan orang-orang beriman yang ada di sana.
Tetapi tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang yang berserah
diri”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 35-36. Dan telah sepakat, tidak ada di situ
selain satu rumah. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Hai kaumku ! kalau kamu ada
beriman (percaya) kepada Allah, hendaklah kepadaNya saja kamu mempercayakan
diri kalau kamu benar-benar orang Islam (yang patuh kepadaNya)”. S 10 Yunus
ayat 84. Bersabda Nabi saw: “Didirikan Islam atas 5”. Pada suatu kali datanglah
pertanyaan kepada Nabi saw, tentang Iman, maka Nabi saw menjawab dengan yang
lima itu. Adapun pengertian yang berlainan, maka berfirman Allah Ta’ala:
“Orang-orang dusun itu berkata: Kami beriman (percaya). Katakan: Kamu belum
percaya, tetapi katakanlah bahwa kamu Islam (tunduk)”. S 49 Al Hujuraat ayat
14. Artinya, kamu telah menyerah pada dhahir/luar. Maka yang dimaksudkan dengan
Iman di sini, ialah membenarkan dengan hati saja. Dan dengan Islam, ialah
menyerah pada dhahir dengan lidah dan anggota tubuh. Pada suatu hadits, dimana
Jibril as bertanya kepada Nabi saw tentang Iman, maka Nabi saw menjawab: “Bahwa
engkau percaya dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari
akhirat, kebangkitan setelah mati, hisab amalan dan taqdir baiknya dan
buruknya”. Kemudian Jibril as bertanya lagi: “Apakah Islam itu ?”, maka Nabi
saw menjawab dengan menyebutkan yang 5 perkara itu”. Maka diibaratkan di sini
dengan Islam, yaitu penyerahan secara lahiriyah/dhahir, dengan perkataan dan
perbuatan. Pada hadits, dari Sa’ad bahwa Nabi saw: “Memberikan kepada seorang
laki-laki suatu pemberian dan tidak diberikannya kepada orang lain”. Lalu
bertanya Sa’ad kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! engkau tinggalkan si Anu,
tidak engkau berikan, padahal dia seorang yang beriman (mu’min)”. Maka menjawab
Nabi saw: “Atau dia seorang Islam (muslim)”. Kemudian Sa’ad mengulangi lagi
pertanyaannya dan Nabi saw pun mengulangi penjawabannya demikian. Adapun yang
masuk satu kepada lainnya (at-tadaakhul), maka juga apa yang diriwayatkan bahwa
Nabi saw ditanyakan: “Amalan apakah yang paling utama ?”. Maka menjawab Nabi
saw: “Islam !”. Dtianyakan lagi: “Islam manakah yang paling utama ?”. Maka
menjawab Nabi saw: “Iman !”. Hadits ini menunjukkan kepada adanya perbedaan dan
kepada adanya bermasuk-masukan. Dan itu, adalah lebih sesuai bagi pemakaian di
dalam bahasa, karena Iman adalah salah satu daripada perbuatan. Dan Imanlah
yang paling utama daripadanya. Dan Islam itu, ialah menyerah, adakalanya dengan
hati, adakalanya dengan lidah dan adakalanya dengan anggota badan. Dan yang
paling utama ialah yang dengan hati. Yaitu pembenaran, yang dinamai: Iman.
Pemakaian Iman dan Islam secara berlainan, secara bermasuk-masukan dan secara
satu pengertian, semuanya itu adalah tidak keluar daripada pemakaian secara
tidak asli (secara majaz) dalam bahasa. Adapun pengertian yang berlainan, maka
yaitu dijadikan Iman ibarat dari pembenaran dengan hati saja. Dan ini sesuai
menurut bahasa. Dan Islam ibarat dari penyerahan pada dhahir. Dan ini sesuai
pula menurut bahasa. Karena penyerahan dengan sebahagian saja itu mustahil.
Penyerahan adalah berlaku menurut nama daripada penyerahan itu sendiri. Dan
tidaklah diantara syarat memperoleh nama itu harus umum pengertiannya bagi
tiap-tiap tempat yang mungkin diperoleh pengertian padanya. Orang yang
menyentuh orang lain dengan sebahagian badannya, dinamakan penyentuh, meskipun
tidak menyentuh seluruh badannya. Maka pemakaian nama Islam kepada penyerahan
dhahir, ketika tidak ada penyerahan bathin adalah sesuai bagi lidah. Dan
berdasarkan kepada ini, berlakulah firman Allah Ta’ala: “Orang-orang Arab dusun
itu berkata: Kami beriman (percaya). Katakan: Kamu belum percaya, tetapi
katakanlah bahwa kami Islam (tunduk)”. S 49 Al Hujuraat ayat 14.
Dan sabda Nabi saw pada hadits Sa’ad: “Atau
dia orang Islam (muslim)”, karena Nabi saw melebihkan salah satu daripada
keduanya dari yang lain. Dan dimaksudkan dengan pengertian yang berlainan,
ialah berlebih kurang diantara dua yang disebutkan itu. Adapun masuk satu
kepada lainnya, maka sesuai juga menurut bahasa, khususnya mengenai Iman.
Yaitu: dijadikan Islam adalah ibarat dari penyerahan dengan hati, perkataan dan
perbuatan ketiga-tiganya. Dan Iman adalah ibarat dari sebahagian apa yang masuk
di dalam kata-kata Islam, yaitu: pembenaran dengan hati. Dan inilah yang kami
maksudkan dengan masuk yang satu kepada lainnya. Dan itu sesuai menurut bahasa,
khusus bagi Iman (hati) dan umum bagi Islam (hati, perkataan dan perbuatan).
Dan berdasarkan kepada ini, maka keluarlah sabda Nabi saw: “Iman” dalam
menjawab pertanyaan dari seorang penanya: “Islam manakah yang lebih utama ?”.
Karena Nabi saw itu membuat Iman itu lebih khusus dari Islam, lalu
dimasukkannya Iman itu ke dalam Islam.
Adapun pemakaian secara pengertian yang sama,
yaitu dijadikan kata-kata Islam ibarat dari penyerahan dengan hati bersama
dengan dhahir. Maka semuanya itu penyerahan. Dan demikian pula Iman. Dan
tindakan mengenai Iman kepada khusus, dengan menggunakannya secara umum serta
memasukkan dhahir ke dalam pengertiannya itu adalah dibolehkan. Karena
penyerahan dhahir dengan perkatan dan perbuatan adalah buah, hasil pembenaran
dengan bathin. Kadang-kadang dipakai nama pohon, dengan dimaksudkan pohon serta
buahnya, secara toleransi. Sehingga jadilah Iman dengan kadar penggunaannya
yang lebih umum, searti dengan kata-kata Islam dan sesuai pengertiannya. Tidak
lebih dan tidak kurang. Berdasarkan ini, maka datanglah firman Allah: “Tetapi
tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang yang berserah diri”. S
51 Adz Dzaariyaat ayat 36. Yang telah tersebut dahulu.
Pembahasan ketiga: mengenai hukum syari’at/agama.
Islam dan Iman itu, keduanya adalah
mengenai hukum akhirat dan hukum dunia. Adapun hukum hukum akhirat, maka ialah
pengeluaran dari neraka dan pencegahan kekal di dalamnya. Karena bersabda
Rasulullah saw: “Akan keluar daripada api neraka, siapa yang ada di dalam
hatinya seberat biji sawi daripada iman”. Telah berselisih pendapat diantara
ahli agama, mengenai hukum ini, atas apakah disusun dengan tertib itu dan
mereka memajukan pertanyaan tentang itu dengan kata-kata: “Apakah Iman itu ?”.
Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, semata-mata ikatan dengan hati. Ada yang
mengatakan bahwa Iman itu, ikatan dengan hati dan pengakuan dengan lidah. Dan
ada yang mengatakan dengan menambahkan lagi yang ketiga, yaitu mengerjakan
dengan anggota badan. Kami akan menyingkapkan tutup tentang ini dan mengatakan
bahwa barangsiapa mengumpulkan diantara 3 perkara tadi, maka tidak adalah
perselisihan lagi bahwa tempatnya di dalam sorga. Dan inilah suatu tingkat.
Dan tingkat kedua ialah
terdapat dua dan sebahagian dari yang ketiga, yaitu: perkataan, ikatan dengan
hati dan sebahagian amal perbuatan. Tetapi orang yang mengerjakan dosa besar
atau sebahagian dari dosa-dosa besar, maka dalam hal ini, berkata kaum
Mu’tazilah, bahwa orang itu telah keluar daripada Iman. Dan tidak masuk ke
dalam kufur, tetapi namanya orang fasiq. Dia berada pada suatu tempat diantara
dua tempat dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini salah, sebagaimana akan kami
terangkan nanti.
Tingkat
ketiga: bahwa terdapat
pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lidah dan tidak berbuat amalan
dengan anggota badan. Maka berselisihlah pendapat ahli-ahli agama tentang
hukumnya. Berkata Abu Thalib Al-Makki: “Berbuat dengan anggota badan adalah
setengah daripada Iman. Dan Iman itu tiada sempurna tanpa adanya perbuatan”.
Abu Thalib Al-Makki mendakwakan bahwa para ulama sepakat atas demikian. Ia
membuktikan keterangannya itu dengan dalil-dalil yang menunjukkan kepada
berlawanan dengan maksudnya. Umpamanya firman Allah Ta’ala: “Mereka yang
beriman dan mengerjakan perbuatan baik”. S 7 Al A’raaf ayat 42. Karena ini
menunjukkan bahwa perbuatan adalah di belakang Iman, tidak dari Iman itu
sendiri. Jika tidak begitu, maka adalah perbuatan itu dalam hukum hari akhirat.
Yang mengherankan ialah Abu Thalib Al-Makki mendakwakan Ijma’ (sepakat) mengenai ini dan dalam pada itu, ia
menukilkan sabda Nabi saw: “Tidaklah menjadi kafir seseorang, kecuali setelah
diingkarinya apa yang telah diakuinya (diikrarkannya)”. Dan Abu Thalib
menentang golongan Mu’tazilah yang mengatakan kekal di dalam neraka disebabkan
berbuat dosa besar. Abu Thalib yang mengatakan demikian itu, adalah mengatakan
menurut aliran Mu’tazilah sendiri. Karena ditanyakan kepadanya: bahwa orang
yang membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lidahnya dan terus mati,
adakah orang itu di dalam sorga ? maka tidak boleh tidak, Abu Thalib akan
menjawab: “Ya !”. Dan padanya, dihukumkan ada Iman, tanpa ada amal perbuatan.
Maka kami tambahkan dan katakan lagi, bahwa jikalau orang itu terus hidup
sehingga masuklah salah satu waktu shalat, lalu ditinggalkannya, kemudian mati
dia atau berzina kemudian mati dia adakah kekal ia di dalam neraka ?. Kalau
dijawab: “Ya !”, maka itu adalah maksud orang Mu’tazilah. Dan kalau dijawab:
“Tidak !”, maka itu terang bahwa perbuatan tidaklah menjadi salah satu rukun
daripada Iman dan tidaklah menjadi syarat pada adanya Iman dan pada berhaknya
sorga. Kalau dijawab: “Maksudku dengan orang itu, ialah bahwa ia hidup dalam
waktu yang lama. Dan dia tidak mengerjakan shalat dan tidak tampil berbuat
sesuatu dari amal perbuatan agama”, maka kami bertanya: “Manakah batas waktu
itu dan berapakah bilangan taat yang ditinggalkannya, yang membatalkan Imannya
dan berapakah bilangan dosa besar, yang dengan dikerjakannya lalu membatalkan
Imannya ? dan ini tidaklah mungkin ditetapkan dengan taksiran saja dan tidak
boleh tidak sekali-kali yang demikian”.
Tingkat
keempat: bahwa adanya
pembenaran itu dengan hati, sebelum diucapkan dengan lidah atau dikerjakan
dengan anggota badan, lalu mati dia, maka adakah kita mengatakan: “Dia itu mati
sebagai mu’min, diantara dia dan Allah Ta’ala ?”. Hal ini termasuk diantara
persoalan yang diperselisihkan. Siapa yang mensyaratkan akan perkataan
(pengucapan) untuk kesempurnaan Iman, tentu akan menjawab: “Orang itu mati
sebelum Iman”. Penjawaban ini salah, karena sabda Nabi saw:: “Akan keluar dari
neraka, orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman”.
Dan orang itu hatinya telah diliputi dengan keimanan, maka bagaimanakah ia
kekal dalam neraka ? dan tidak disyaratkan bagi Iman, menurut hadits Jibril as
selain daripada membenarkan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan hari
akhirat, seperti telah diterangkan dahulu.
Tingkat
kelima: bahwa membenarkan
dengan hati dan mendapat kesempatan waktu sebelum mati untuk mengucapkan dua
kalimah syahadah serta mengetahui akan wajibnya, tetapi tidak diucapkannya.
Maka dalam hal ini, mungkinlah dijadikan keengganannya daripada mengucapkan itu
seperti keengganannya daripada mengerjakan shalat. Lalu kita katakan bahwa dia
itu mu’min, tidak kekal dalam neraka. Iman: ialah pembenaran semata dan lisan
ialah penterjemah bagi Iman. Maka tak dapat tidak, Iman itu telah ada dengan
sempurna sebelum lisan, sehingga diterjemahkan oleh lisan. Ini, jelas benar.
Karena tidaklah yang menjadi pegangan selain mengikuti apa yang dikandung oleh
kata-kata dan yang diucapkan oleh lisan, bahwa: Iman ialah ibarat daripada
pembenaran dengan hati. Dan bersabdalah Nabi saw: “Akan keluar dari neraka
orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi dari Iman”. Dan
tidaklah Iman itu hilang dari hati dengan diam daripada mengucapkan yang wajib
itu, sebagaimana tidak hilang dengan berdiam diri daripada berbuat perbuatan
yang wajib. Berkata orang-orang yang mengatakan bahwa mengucapkan itu rukun,
karena tidaklah dua kalimah syahadah itu menerangkan apa yang di dalam hati,
tetapi adalah mengadakan suatu ikatan lain, permulaan pengakuan dan keharusan.
Yang pertama itulah yang lebih benar. Dan telah bertegas-tegasan mengenai itu
golongan Murjiah, dengan mengatakan bahwa orang itu tidaklah sekali-kali masuk
neraka. Dan mengatakan lagi bahwa orang mu’min, meskipun ma’siat, tidaklah
masuk neraka. Pendapat yang di atas ini, akan kami nyatakan salahnya kepada
mereka.
Tingkat keenam: bahwa mengucapkan dengan lisan: Laa ilaaha illallaah
Muhammadur-rasuulullaah, tetapi tidak membenarkannya dengan hati, maka kami
tidak ragu-ragu mengatakan bahwa orang itu menurut hukum akhirat termasuk orang
kafir dan kekal di dalam neraka. Dan kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa pada
hukum dunia yang berhubungan dengan imam dan wali, orang itu termasuk orang
Islam karena isi hatinya tidak seorangpun mengetahuinya. Dan kita harus
menyangka bahwa apa yang diucapkannya dengan lisannya, tidak lain daripada yang
terlipat di dalam lembaran hatinya. Hanya yang kita ragukan, ialah mengenai hal
ketiga, yaitu hukum duniawi diantara dia dan Allah Ta’ala. Umpamanya, pada saat
yang demikian itu matilah seorang keluarganya yang muslim, kemudian baru ia
membenarkan dengan hatinya, lalu meminta fatwa, dengan mengatakan: “Adalah aku
belum membenarkan dengan hati ketika keluargaku itu mati. Sedang harta
peninggalannya sekarang dalam tanganku. Maka adakah halal bagiku diantara aku
dan Allah Ta’ala ?”. Atau kawin ia dengan seorang wanita Islam, kemudian ia
membenarkan dengan hati. Apakah wajib diulangi perkawinannya ? Inilah hal-hal
yang harus mendapat perhatian. Mungkin orang memberi penjawaban bahwa hukum
duniawi itu tergantung dengan perkataan yang nyata, dhahir dan bathin. Dan
mungkin pula orang memberi penjawaban, bahwa bergantung menurut yang dhahir itu
mengenai hak orang lain. Karena hatinya itu tiada terang kepada orang lain.
Bathinnya itu, nyata bagi dirinya sendiri, diantara dia dan Allah Ta’ala. Yang
lebih dhahir kepada kebenaran dan ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah
Ta’ala, bahwa tidaklah halal baginya pusaka itu dan haruslah perkawinan itu
diulang kembali.
Karena itulah, Hudzaifah ra tidak
berta’ziah (berbela-sungkawa) pada orang munafiq yang meninggal. Dan khalifah
Umar ra menjaga benar yang demikian. Maka dia juga tiada berta’ziah apabila
Hudzaifah tiada berta’ziah. Shalat adalah perbuatan dhahir di dunia, meskipun
perbuatan dhahir itu termasuk sebahagian daripada ibadah. Dan menjaga dari yang
haram juga termasuk di dalam jumlah yang wajib karena Allah, seperti shalat,
karena sabda Nabi saw: “Mencari yang halal adalah fadlu/wajib sesudah wajib”.
Dan tiadalah ini bertentangan dengan kata kami bahwa warisan itu hukum Islam
dan Islam itu ialah menyerah. Bahkan penyerahan yang sempurna ialah melengkapi
kepada dhahir dan bathin. Inilah pembahasan fiqih yang berdasarkan kepada dhan
(mendekati kepada yakin), bersendi kepada kata-kata dhahir, umum dan qias
(analogi). Maka tidak wajarlah orang yang singkat ilmunya, menyangka bahwa yang
dicari mengenai itu ialah keyakinan (ketegasan) menurut adat yang berlaku di
dalam Ilmu kalam (berkata-kata), di mana diminta adanya keyakinan itu. Alangkah
menangnya orang yang melihat kepada adat kebiasaan dan yang resmi saja di dalam
ilmu pengetahuan !.
Kalau anda bertanya: “Apakah kesangsian
golongan Mu’tazilah dan Murjiah itu dan apakah alasan salahnya perkataan mereka
?”. Maka aku menjawab bahwa golongan mereka itu ialah umumnya bunyi Alquran. Golongan Murjiah mengatakan: orang
mu’min tidak masuk neraka meskipun ia mengerjakan segala perbuatan ma’siat
karena firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang beriman kepada Tuhannya, dia tiada
merasa takut menderita kerugian dan teraniaya”. S 72 Al Jin ayat 13. Dan karena
firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-rasulNya, itulah orang yang sesungguh-sungguhnya benar (dalam
kepercayaannya)”. S 57 Al Hadiid ayat 19. Dan karena firman Allah Ta’ala:
”Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu
menanyakan: Belumkah ada orang yang memberikan peringatan datang kepada kamu ?
mereka menjawab: “Ya, ada ! sesungguhnya orang yang memberikan peringatan telah
datang kepada kami, tetapi kami dustakan dan kami mengatakan: Tuhan tiada
menurunkan barang sesuatu apapun”. S 67 Al Mulk ayat 8-9. Maka firman Allah:
“Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya”, itu adalah umum. Maka seyogyalah
tiap-tiap orang yang dijatuhkan ke dalam neraka, adalah ia mendustakan. Dan
karena firman Allah Ta’ala: “Tiada masuk ke dalamnya selain dari orang yang
amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S 92 Al Lail ayat
15 dan 16. Ini, adalah pembatasan (hashr), istbat (positif), dan nafi
(negatif). Dan karena firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang membawa (mengerjakan)
perbuatan baik, dia memperoleh (balasan) lebih baik dari itu dan mereka tentram
pada hari kedahsyatan itu”. S 27 An Naml ayat 89. Dan Iman adalah kepala segala
kebaikan. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan (kepada sesamanya)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Dan firman Allah
Ta’ala: “Sesungguhnya Kami tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang
melakukan perbuatan baik”. S 18 Al Kahfi ayat 30. Dan tak ada alasan bagi
golongan Murjiah tentang demikian itu, sebab dimana disebut Iman pada ayat-ayat
tadi, adalah dimaksudkan: Iman serta perbuatan. Karena telah kami terangkan
bahwa Iman itu kadang-kadang disebut dan yang dimaksudkan ialah Islam. Dan itu,
bersesuaian dengan hati, perkataan dan perbuatan. Dalil bagi penafsiran ini
ialah banyak hadits tentang penyiksaan orang-orang yang berbuat ma’siat dan
tingkatan-tingkatan dari siksaan itu. Dan sabda Nabi saw: “Akan dikeluarkan
dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada iman”.
Maka bagaimanakah dikeluarkan, apabila ia tidak dimasukkan ke dalam neraka itu
lebih dahulu ?. Dari Alquran, firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni –dosa syirik- jika Dia dipersekutukan, tetapi diampuniNya selain
dari itu, bagi siapa yang dikehendakiNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 48.
Pengecualian dengan yang dikehendakiNya
itu, menunjukkan kepada adanya pembahagian. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa
yang mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka
jahannam, mereka tetap di situ untuk masa yang lama”. S 72 Al Jin ayat 23.
Penentuan kekekalan di dalam neraka dengan sebab kufur, adalah lebih meneguhkan
lagi. Dan firman Allah Ta’ala: ”Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang
bersalah itu dalam siksaan yang tetap (lama)”. S 42 Asy Syuura ayat 45. Dan
berfirman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membawa (mengerjakan) kejahatan,
mukanya dilemparkan ke dalam neraka”. S 27 An Naml ayat 90. Maka kata-kata umum
ini pada berlawanan (mu’aradl) dengan kata-kata umum mereka. Dan haruslah ada
penguatan pengkhususan dan penafsiran pada kedua belah pihak. Karena
hadits-hadits menegaskan bahwa orang-orang yang berbuat ma’siat diazabkan.
Bahkan firmanNya: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke
dalamnya”. S 19 Maryam ayat 71, adalah sebagai penjelasan bahwa yang demikian
itu haruslah untuk semuanya. Karena tak ada orang mu’min yang terlepas daripada
dosa yang diperbuatnya. Dan firmanNya: ”Tiada masuk ke dalamnya selain dari
orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S 92 Al
Lail ayat 15 dan 16, adalah dimaksudkan suatu golongan tertentu atau
dimaksudkan dengan orang yang amat celaka itu, orang yang tertentu pula. Dan
firmanNya: “Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka
itu menanyakan”. S 67 Al Mulk ayat 8. Yakni: suatu kaum kafir. Dan pengkhususan
bagi umum itu, adalah mendekati kepada kebenaran. Dari ayat ini dimungkiri oleh
golongan Asy’ariyah dan segolongan Mutakallim/Yang Berkatain (ulama ilmu
kalam/berkata-kata), bahwa itu kata-kata umum. Dan kata-kata itu dihentikan
dulu, sampai ada tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertiannya.
Adapun golongan Mu’tazilah, maka kesangsian
mereka, ialah firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada
siapa yang kembali kepadaKu beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian
itu dia mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82. Dan firman Allah
Ta’ala: “Demi (perhatikan) waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian.
Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik”. S 103 Al
‘Ashr ayat 1-2 dan 3. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan tiada seorangpun diantara
kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat
dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71. Kemudian Allah berfirman: ”Kemudian, Kami
lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan)”. S 19 Maryam ayat
72. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya,
sudah tentu untuk orang itu kekal dalam neraka jahannam”. S 72 Al Jin ayat 23.
Semua ayat itu, disebutkan oleh Allah amalan shalih padanya, yang disertai
dengan Iman. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membunuh orang yang
beriman dengan sengaja, balasannya ialah neraka jahannam, mereka tetap di
dalamnya”. S 4 An Nisaa’ ayat 93. Ayat-ayat umum ini juga, dikhususkan (diberi
ketentuan) dengan dalil firmanNya: “Dan diampuniNya selain dari itu syirik bagi
siapa yang disukaiNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 48. Maka seyogyalah tinggal kehendak
bagi Allah untuk memberi pengampunan selain dari syirik (mempersekutukanNya).
Dan seperti demikian juga sabda Nabi saw:
“Akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat
biji sawi daripada Iman”. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami tiada
akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan baik”. S 18 Al
Kahfi ayat 30. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tiada menghilangkan
pahala orang-orang yang berbuat kebaikan”. S 9 At Taubah ayat 120. Maka
bagaimanakah dihilangkan pahala pokok iman dan segala taat dengan suatu ma’siat
saja ? Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membunuh orang yang beriman
dengan sengaja maka balasannya neraka jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah
memurkai dan mengutukinya. Dan Allah menyediakan azab yang amat berat baginya”.
S 4 An Nisaa’ ayat 93, yakni: karena keimanannya. Dan telah datang
hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan seperti sebab ini. Yakni: karena
keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan seperti
sebab ini. Kalau anda bertanya bahwa telah cenderung pilihan, bahwa Iman itu
berhasil tanpa berbuat. Dan dalam pada itu, telah terkenal dari ulama-ulama
terdahulu akan perkataan mereka, bahwa Iman itu
suatu ikatan, perkataan dan perbuatan. Maka apakah artinya itu?.
Kami menjawab, tidaklah jauh daripada kebenaran, bahwa amal perbuatan itu
dihitung sebahagian daripada Iman. Karena dia menyempurna kan dan melengkapkan
Iman, sebagaimana dikatakan: kepala dan dua tangan dari manusia. Dan dapat
dimaklumi bahwa manusia akan keluar dari adanya sebagai manusia dengan tiada
kepala dan tidak akan keluar dari manusia dengan terpotong tangan. Dan seperti
itu pula dikatakan bahwa tasbih dan takbir adalah sebahagian dari shalat,
walaupun shalat itu tidak batal dengan tak ada tasbih dan takbir (takbir
intiqalat/takbir waktu berpindah rukun di dalam shalat, yang hukumnya sunat).
Maka membenarkan dengan hati adalah sebahagian dari Iman, seperti kepala untuk
adanya manusia. Karena manusia itu menjadi tidak ada, dengan tidak adanya
kepala. Amalan taat yang lain adalah seperti anggota tubuh, sebahagiannya lebih
tinggi daripada sebahagian yang lain. Dan bersabdalah Nabi saw: “Tidak
melakukan zina orang yang berzina, dimana ketika dia berzina itu, dia
mu’min”(maksudnya jika dia seorang mukmin maka dia tdk akan berzina) . Para sahabat
ra tidaklah keyakinan dengan aliran Mu’tazilah, tentang keluar dari Iman,
dengan zina. Tetapi artinya, ialah: tidak beriman yang sebenar-benarnya,
keimanan yang sempurna lagi cukup. Seumpama dikatakan kepada orang lemah yang
kehilangan anggota badannya: “Tidaklah dia ini manusia”, artinya: tiada ia
mempunyai kesempurnaan yang ada di belakang hakikat/makna kemanusiaannya.
MASALAH II
Kalau anda mengatakan bahwa ulama terdahulu
telah sepakat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambahnya dengan taat
dan berkurangnya dengan ma’siat. Apabila pembenaran itu Iman, maka tidaklah
tergambar padanya berlebih dan berkurang. Maka aku menjawab, bahwa ulama
terdahulu itu adalah saksi-saksi yang adil, tak ada sepatahpun daripada
perkataan mereka yang menyeleweng. Apa yang disebutkan mereka itu benar. Hanya
persoalannya ialah pada memahaminya. Pada perkataan ulama terdahulu itu,
menunjukkan bahwa amal perbuatan itu tidaklah sebahagian daripada Iman dan
sendi-sendi wujudnya. Tetapi adalah tambahan kepadanya, di mana Iman itu
bertambah dengan adanya amal perbuatan.
Yang bertambah itu ada dan yang berkurangpun ada. Dan sesuatu itu tidaklah
bertambah dengan dirinya sendiri. Maka tidak boleh dikatakan bahwa manusia itu
bertambah dengan kepalanya. Tetapi dikatakan: bertambah dengan janggutnya dan
gemuknya. Dan tidak boleh dikatakan, bahwa shalat itu bertambah dengan ruku’
dan sujud. Tetapi bertambah dengan adab dan sunat-sunat. Maka ini, adalah
penegasan bahwa Iman itu mempunyai wujud (ada). Dan sesudah adanya, lalu
berbeda keadaannya dengan bertambah dan berkurang. Kalau anda berkata bahwa
kesulitan timbul mengenai pembenaran, bagaimanakah ia bertambah dan berkurang,
sedang dia itu satu hal saja ?. Maka aku menjawab bahwa apabila kita tinggalkan
tedeng aling-aling dan tidak mengambil pusing dengan ejekan orang yang mengejek,
lalu kita membuka tutupnya, niscaya hilanglah kesulitan itu. Maka kami
menjawab: bahwa Iman adalah nama yang bersekutu, dipakai dari 3 segi:
Pertama: dipakai untuk
pembenaran dengan hati, atas jalan keyakinan dan menurut, tanpa pembukaan dan
pelapangan dada. Yaitu: iman orang awam, bahkan iman manusia seluruhnya, selain
dari orang-orang tertentu. Keyakinan ini adalah suatu ikatan pada hati, sekali erat dan kuat, sekali lemah dan luntur, seperti ikatan dengan benang umpamanya. Dan tidaklah
jauh contoh ini daripada kebenaran. Ambillah ibarat dengan orang Yahudi dan
kerasnya ia berpegang pada keyakinannya, yang tak mungkin tanggal dengan hardik
dan gertak, bujukan dan pengajaran, dalil dan alasan. Dan seperti itu pulalah
orang Nasrani dan orang pembuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan pada mereka,
ada orang yang mungkin diragukan dengan sedikit pembicaraan dan mungkin turun
dari keyakinan nya dengan sedikit pancingan atau gertak. Sedang dia sebenarnya
tiada ragu di dalam keyakinan nya itu seperti orang yang pertama tadi (orang
Yahudi). Tetapi keduanya, berlebih-kurang tentang keteguhan pendirian. Dan ini
terdapat juga pada keyakinan yang benar. Dan amal perbuatan itu membekas pada
tumbuh dan bertambahnya keteguhan pendirian itu, seperti membekasnya penyiraman
air pada tumbuhnya kayu-kayuan. Karena itu berfiirman Allah Ta’ala: “Maka
ayat-ayat itu menambah kepada keimanannya”. S 9 At Taubah ayat 124. Dan
berfirman Allah Ta’ala: “Supaya keimanan mereka bertambah dari keimanannya yang
telah ada”. S 48 Al Fath ayat 4. Dan bersabda Nabi saw menurut riwayat pada
sebahagian hadits: “Iman itu bertambah dan
berkurang”. Dan itu adalah dengan
pengaruh taat di dalam hati. Dan ini tidak diketahui selain oleh orang yang
memperhatikan akan keadaan dirinya sendiri, pada waktu tekun beribadah dan
menjuruskan kepadanya dengan kehadiran hati serta waktu-waktu lesu. Dan
mengetahui berlebih-kurangnya pada ketetapan hati kepada keyakinan-keyakinan
Iman dalam segala hal keadaan itu. Sehingga bertambah eratnya ikatan Iman
sebagai tantangan terhadap orang yang mau melepaskannya dengan keragu-raguan.
Bahkan orang yang mempunyai kepercayaan pada anak yatim, akan arti belas
kasihan, apabila ia berbuat menurut yang diharuskan oleh kepercayaannya itu,
lalu disapunya kepala anak yatim itu dan bertambah kasih sayangnya kepadanya,
niscaya diperolehnya dari bathiniyahnya/dalam hatinya, akan kekuatan dan
kegandaan kasih sayang dengan sebab perbuatannya itu. Begitu pula orang yang
berkeyakinan kepada kerendahan diri, apabila berbuat menurut yang diharuskan
oleh keyakinan itu akan sesuatu perbuatan dengan menghadapkan diri atau
bersujud kepada orang lain, niscaya ia merasa dari hatinya dengan perasaan
merendahkan diri itu, ketika tampil ia kepada pengkhidmatan.
Begitulah
kiranya segala sifat hati, yang timbul daripadanya, segala amal perbuatan
anggota badan. Kemudian kembalilah membekas segala perbuatan itu kepadanya.
Lalu menguatkan dan menambahkannya. Dan akan datang penjelasan ini nanti pada
Bahagian Perbuatan-perbuatan yang Melepaskan dan yang Membinasakan, ketika
menerangkan segi hubungan bathin dengan dhahir dan amal perbuatan dengan aqidah
dan hati. Karena yang demikian itu adalah termasuk jenis hubungan alam al-mulki
dengan alam al-malakut. Yang dimaksudkan dengan alam al-mulki ialah alam nyata
yang dapat dipersaksikan dengan pancaindra. Dan dengan alam al-malakut ialah
alam ghaib yang diketahui dengan nur mata hati. Dan hati itu termasuk alam
al-malakut. Dan anggota badan serta segala perbuatannya adalah termasuk alam
al-mulki. Kehalusan dan kemurnian ikatan diantara kedua alam itu, sampai kepada
batas, yang disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu sama lain. Dan
disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu sama lain. Dan disangka oleh
sebahagian manusia lagi bahwa tak ada alam yang lain, selain dari alam yang
dapat dipersaksikan (alam asy-syahadah). Yaitu benda-benda ini, yang dilihat
oleh pancaindra. Orang yang mengetahui keduanya dan mengetahui
bilangan-bilangannya, kemudian ikatan keduanya, niscaya menyusun kata-kata yang
merupakan madah:
“Amat haluslah
kaca.
Amat haluslah
khamar.
Keduanya serupa.
Sehingga menjadi
samar.
Seakan-akan khamar.
Bukan wadah.....
Seakan-akan wadah.
Bukan
khamar.........
Dan marilah kita kembali kepada yang dimaksud !. Sesungguhnya
alam ini adalah di luar ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan). Tetapi diantara 2 alam juga, ada hubungan dan ikatan. Maka karena
itulah kita melihat ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja itu pada setiap
saat memanjat kepada ilmu-ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan). Sehingga tersingkaplah daripadanya, dengan memberatkan diri. Maka
inilah segi bertambahnya Iman dengan taat, dengan apa yang diharuskan oleh
pemakaian ini. Dan karena inilah berkata Ali ra: “Bahwa Iman itu lahir sebagai
suatu titik cahaya putih. Apabila hamba Allah itu mengerjakan amal shalih, maka
titik itu bertambah, kemudian bertambah lagi, sehingga memutihlah hati
seluruhnya. Dan bahwa nifaq itu lahir sebagai suatu titik hitam. Maka apabila
hamba itu mengerjakan yang terlarang, maka titik hitam itu bertambah, kemudian
bertambah. Sehingga menghitamlah hati seluruhnya, lalu menjadi sifat (karakter)
baginya”. Itulah yang dinamakan cap. Lalu Ali membaca firman Allah Ta’ala:
“Jangan berpikir betul ! bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi
karat bagi hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14.
Pemakaian
kedua: bahwa dimaksudkan
dengan Iman itu ialah pembenaran dan amal perbuatan, seperti sabda Nabi saw:
“Iman itu lebih 70 pintunya”. Dan seperti sabda Nabi saw: “Tidak berzinalah
orang yang berzina, di mana ketika ia berzina itu ia beriman”. Apabila masuklah
perbuatan dalam maksud kata-kata Iman, maka tidaklah tersembunyi bertambah dan
berkurangnya Iman itu. Adakah membekas yang demikian pada bertambahnya Iman,
yang semata-mata artinya pembenaran ?. Mengenai ini terdapat perhatian dan
telah kami tunjukkan kepada adanya membekas itu.
Pemakaian
ketiga: bahwa dimaksudkan
dengan Iman itu, pembenaran keyakinan atas jalan terbuka hijab, terbuka dada
dan bermusyahadah (penyaksian dengan cahaya mata hati). Ini adalah bahagian
yang terjauh daripada menerima bertambahnya Iman itu. Tetapi aku mengatakan
bahwa urusan keyakinan yang tak ada ragu padanya, adalah berbeda ketetapan hati
kepadanya. Maka tidaklah ketetapan hati tentang dua lebih banyak dari satu,
seperti ketetapannya tentang alam itu dijadikan, lagi baru. Meskipun tak ada
keraguan mengenai suatupun daripada kedua contoh tadi. Tetapi keyakinan itu
berbeda tentang tingkat kejelasan dan ketetapan hati kepadanya. Dan telah kami
bentangkan hal ini dalam “Pasal Yakin” dari “Kitab Ilmu”, pada Bab Tanda-tanda Ulama
Akhirat dahulu. Maka tiadalah perlu lagi diulangi !. Dan telah jelas pada
segala pemakaian kata-kata Iman itu, bahwa apa yang dikatakan mereka dari hal
bertambah dan berkurangnya Iman, adalah benar. Bagaimana tidak ?. Pada
hadits-hadits tersebut: “Bahwa dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di
dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman”. Pada sebahagian tempat pada
hadits lain, tersebut: “Seberat uang dinar”, maka apakah artinnya perbedaan
berat timbangan Iman itu, kalau apa yang di dalam hati tiada berlebih-kurang ?.
MASALAH III
Kalau anda bertanya: Apakah artinya perkataan ulama
terdahulu: Saya orang mu’min insya Allah (jika dikehendaki oleh Allah) ?”. Dan
kata-kata istitsna’ itu (jika dikehendaki Allah), adalah keraguan. Dan keraguan
di dalam keimanan itu kufur. Dan ulama-ulama ulama terdahulu semuanya adalah
tidak mau menjawab tegas dengan keimanan dan mereka itu amat berhati-hati
daripadanya. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsuri ra: “Barangsiapa mengatakan: Saya
mu’min pada Allah, maka dia itu termasuk orang yang membohong. Dan barangsiapa
mengatakan: Saya mu’min sebenar-benarnya, maka dia itu bid’ah (yang
diada-adakan)”. Maka Bagaimana kah dia membohong, padahal dia mengetahui bahwa
dia seorang mu’min pada dirinya ? barangsiapa mu’min pada dirinya maka adalah
dia mu’min pada Allah. Seumpama: orang yang suka menolong dan pemurah pada
dirinya dan ia mengetahui akan demikian, niscaya adalah dia demikian pula pada
Allah. Demikian juga orang yang bergembira atau berduka cita atau mendengar
atau melihat. Jikalau ditanyakan kepada seseorang: “Adakah saudara hewan ?
tentu saja tidak baik ia menjawab: Saya hewan insya Allah”. Tatkala Sufyan
berkata yang demikian lalu ditanyakan kepadanya: “Jadi apakah yang kami katakan?”.
Menjawab Sufyan: “Katakanlah: Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami”. Jadi, apakah bedanya antara dia mengatakan: “Kami beriman dengan
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” dan mengatakan: “Aku mu’min ?”.
Ditanyakan kepada Al-Hasan: “Adakah mu’min engkau?”. Menjawab Al-Hasan: “Insya
Allah !”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Mengapakah engkau membuat bersyarat
mengenai Iman, hai Abu Sa’id ?”. Menjawab Al-Hasan: “Aku takut mengatakan:
“Ya”, nanti Allah mengatakan: “Bohong engkau hai Hasan !”, maka berhaklah atas
diriku azab”. Dan berkata Al-Hasan seterusnya: “Apa yang memberikan kepercayaan
bagiku, bahwa Allah telah melihat padaku sebahagian daripada yang dibenciNya,
maka dikutukNya aku dan Ia berfirman: “Pergilah ! aku tiada menerima akan
amalmu”. Maka aku telah berbuat amal pada bukan tempatnya”. Berkata Ibrahim bin
Adham: “Apabila ditanyakan kepadamu: Adakah mu’min engkau ?”. Maka katakanlah:
“Laa ilaaha illallaah”. Berkata Ibrahim pada kali yang lain: “Jawablah, bahwa
aku tidak ragu tentang keimanan dan pertanyaanmu kepadaku itu bid’ah (yang
diada-adakan)”. Ditanyakan kepada ‘Alqamah: “Adakah mu’min engkau ?”. Menjawab
‘Alqamah: “Aku harap insya Allah”. Berkata Ats-Tsuri: “Kami beriman dengan
Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan Rasul-rasulNya. Dan kami tidak mengetahui,
bagaimanakah kami pada Allah Ta’ala”. Apakah artinya segala kata-kata bersyarat
ini ? jawabnya, bahwa kata-kata bersyarat ini benar, mempunyai 4 arti. Dua arti
bersandar kepada keraguan. Tidak pada pokok iman, tetapi pada kesudahan atau
kesempurnaan dari iman. Dan dua arti lagi tidak bersandar kepada keraguan.
Arti
pertama: yang tidak
bersandar kepada menentang keraguan, ialah menjaga keyakinan, karena ditakuti
daripada sifat mengakui diri: sudah bersih. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah
kamu menganggap dirimu orang bersih”. S 53 An Najm ayat 32. Dan berfirman Allah
Ta’ala: “Tidaklah engkau perhatikan orang-orang yang mengganggap bersih dirinya
sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 49. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Perhatikanlah
bagaimana mereka berbuat kedustaan terhadap Tuhan”. S 4 An Nisaa’ ayat 50.
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (al-hakiim): “Apakah kebenaran yang keji
itu ?”. Maka ia menjawab: “Manusia yang memuji dirinya”. Iman itu termasuk
diantara sifat kemuliaan yang tertinggi. Keyakinan dengan Iman itu adalah
pembersihan diri secara mutlak. Membuat kata-kata bersyarat pada Iman,
seolah-olah memindahkan dari pengertian pembersihan yang biasa dipakai itu.
Seumpama ditanyakan kepada seseorang: “Apakah tuan dokter ? ataukah tuan
seorang ahli fiqih ? ataukah tuan seorang ahli tafsir ?”. Lalu menjawab orang
yang ditanyakan itu: “Ya, insya Allah !”. bukanlah untuk menunjukkan ada
keraguan, tetapi untuk mengeluarkan diri dari pengakuan “diri bersih”.
Kata-kata itu memang kata-kata yang menunjukkan kepada keragu-raguan dan
kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksudnya adalah untuk melemahkan salah
satu daripada yang biasa timbul dari kata-kata itu, yaitu: merasa diri bersih.
Dan dengan penafsiran ini, kalau ditanyakan mengenai sifat yang tercela, maka
tidak baiklah dibuat kata bersyarat itu.
Arti
kedua: beradab sopan
dengan mengingati Allah (berdzikir kepada Allah) dalam segala hal serta
mengembalikan seluruh persoalan kepada kehendakNya. Sesungguhnya Allah telah
mengajarkan adab kesopanan kepada NabiNya dengan firmanNya: “Janganlah engkau
mengatakan dalam sesuatu hal: Bahwa aku akan mengerjakan itu besok. Melainkan
-dengan alasan- jika Tuhan menghendaki”. S 18 Al Kahfi ayat 23-24. Bahkan Tuhan
tidak mencukupkan sehingga itu saja, mengenai sesuatu hal yang tidak diragukan
padanya. Bahkan Ia berfirman: “Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjid Suci
(Masjidil-Haram), jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur
dan bergunting rambut”. S 48 Al Fath ayat 27. Adalah Allah Maha Mengetahui
bahwa kaum muslimin akan masuk -tak boleh tidak- karena Dia yang
menghendakinya. Tetapi maksudnya, ialah mengajari Nabi saw dengan demikian.
Dari itu Nabi saw beradab bersopan santun dalam segala hal yang diberitakan
daripadanya. Baik hal yang sudah dimaklumi atau yang masih diragukan. Sehingga
kalau ia memasuki tanah perkuburan, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum daara
qaumim mu’miniin wa ana insyaa Allaahu bikum laahiquun”. (Salam kepadamu di
kampung kaum yang beriman dan kami -jika dikehendaki oleh Allah- akan mengikuti
kamu). Mengikuti mereka yang sudah meninggal itu, tidaklah diragukan lagi.
Tetapi menurut adab kesopanan, meminta mengingati Allah dan mengikatkan segala
sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata (Insya Allah) ini, menunjukkan kepada yang
dimaksud tadi. Sehingga menjadi terkenal pemakaiannya sekarang, sebagai tanda
kegembiraan dan pengharapan. Kalau orang berkata kepada anda: “Si Anu akan mati
dengan segera”, maka anda menjawab: Insya Allah. Maka dapatlah dipahamkan dari
perkataan itu kegembiraan anda, bukan keraguan anda. Kalau orang berkata kepada
anda: “Si Anu akan hilang sakitnya dan akan sembuh”, lalu anda menjawab: “Insya
Allah”, maka itu berarti: kegembiraan. Sehingga jadilah kalimah “Insya Allah”,
berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan. Dan begitu pula
penggeseran kepada arti beradab bersopan santun untuk mengingati Allah Ta’ala,
bagaimanapun adanya suasana.
Arti ketiga: Adalah
sandarannya keraguan. Artinya: Saya mu’min sebenarnya insya Allah, karena Allah
Ta’ala berfirman kepada golongan tertentu, kepada diri mereka itu sendiri:
“Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman untuk mereka beberapa derajat
kehormatan yang tinggi dari Tuhannya, ampunan dan rezeki yang mulia”. S 8 Al
Anfaal ayat 4. Maka terbagilah mereka kepada dua bahagian. Dan ini kembali
kepada keraguan mengenai kesempurnaan Iman, tidak mengenai pokok Iman.
Tiap-tiap manusia ragu mengenai kesempurnaan Imannya. Dan itu tidaklah membawa
kepada kufur (tidak mensyukuri). Ragu mengenai kesempurnaan Iman adalah benar
dari 2segi:
Ke 1: dari segi bahwa
nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam) itu,
menghilangkan kesempurnaan Iman. Dan nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain
di luar, lain di dalam). adalah tersembunyi, tak dapat dipastikan terlepas
daripadanya.
Ke 2: dari segi bahwa
Iman itu sempurna dengan amalan-amalan taat dan amalan itu tiada diketahui
adanya dengan sempurna, mengenai amal perbuatan, maka berfirman Allah Ta’ala:
“Orang-orang yang sebenarnya beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada
Allah dan RasulNya, kemudian itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di
jalan Allah dengan harta dan dirinya, itulah orang-orang yang benar”. S 49 Al
Hujuraat ayat 15. Maka adalah keraguan pada kebenaran ini. Sebaiknya seperti
firman Allah Ta’ala: “Tetapi kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada
Allah, hari akhirat, malaikat, kitab dan naib-nabi”. S 2 Al Baqarah ayat 177.
Allah mensyaratkan 20 sifat, seperti
menepati janji dan bersabar di atas segala kesulitan. Kemudian pada sambungan
ayat tadi Allah berfirman: “Merekalah orang-orang yang benar”. Dan berfirman
Allah Ta’ala: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al
Mujadalah ayat 11. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Tiada sama diantara kamu, orang
yang membelanjakan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (dengan orang
yang berbuat begitu sesudah kemenangan)”. S 57 Al Hadiid ayat 10.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Tingkatan
mereka berbeda-beda di sisi Allah”. S 3 Ali ‘Imran ayat 163. Bersabda Nabi saw:
“Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa”. Bersabda Nabi saw: “Iman
itu, lebih 70 pintunya. Yang lebih rendah daripada pintu-pintu itu, ialah
membuang sesuatu yang menyakitkan dari jalan raya”. Adalah ini menunjukkan
kepada ikatan kesempurnaan Iman dengan amal perbuatan. Adapun ikatannya dengan
kelepasan daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di
dalam). dan syirik yang tersembunyi, maka bersabda Nabi saw: “4 perkara, siapa
yang ada padanya, maka dia itu munafiq benar-benar, walaupun ia berpuasa,
mengerjakan shalat dan mendakwakan dirinya orang mu’min. Yaitu: apabila
berbicara ia membohong, apabila berjanji ia melanggar janji, apabila dipercayai
ia berkhianat dan apabila bermusuhan ia berbuat aniaya”. Pada setengah riwayat,
tersebut: “Apabila membuat perjanjian ia menghilang”.
Pada hadits yang diriwayatkan Abi Sa’id
Al-Khudri, tersebut: “Hati itu 4: Hati yang masih suci bersih, padanya lampu
yang cemerlang, maka itulah hati orang mu’min: hati yang terbentang padanya
Iman dan nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam),
maka Iman padanya adalah seumpama sayur-sayuran yang digenangi air tawar. Dan
nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). padanya
adalah seumpama luka yang digenangi nanah bercampur darah. Maka benda mana
diantara keduanya yang lebih banyak, maka dengan itulah orang itu ditetapkan”.
Pada lain riwayat: “Mana yang lebih banyak padanya, maka itulah yang menentukan
orang itu”. Bersabda Nabi saw: “Yang lebih banyak menjadi munafiq daripada umat
ini, ialah orang-orang yang ahli membaca Alquran”. Pada suatu hadits tersebut:
“Syirik itu adalah lebih tersembunyi pada umatku daripada semut yang melata di
bukit shofa”.
Berkata Huzaifah ra: “Adalah seorang
laki-laki mengeluarkan sepatah kata pada masa Nabi saw yang menjadikan dia
munafiq karenanya, sampai dia mati. Dan aku mendengar kata-kata itu sekarang
dari salah seorang kamu dalam sehari sampai 10 kali”. Berkata setengah ulama:
“Yang lebih mendekatkan manusia kepada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq,
lain di luar, lain di dalam), ialah orang yang memandang dirinya terlepas
daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).
itu”. Berkata Huzaifah ra: “Orang-orang munafiq sekarang adalah lebih banyak
daripada di masa Nabi saw. Mereka waktu itu menyembunyikan nifaqnya. Tetapi
sekarang mereka melahirkannya”. Nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di
luar, lain di dalam). ini adalah melawan kebenaran dan kesempurnaan Iman. Dia
tersembunyi. Manusia yang terjauh daripadanya, ialah orang yang merasa takut
kepadanya. Dan yang terdekat kepadanya ialah orang yang memandang dirinya
terlepas daripadanya.
Ada orang menanyakan kepada Al-Hasan
Al-Bashari: “Benarkah kata orang, tiada nifaq sekarang ?”. Maka menjawab
Al-Hasan: “Hai saudaraku ! jikalau binasalah semua orang munafiq itu, niscaya
kamu merasa jijik melihat banyaknya di jalan raya”. Berkata Al-Hasan atau orang
lain: “Jikalau tumbuhlah ekor pada orang munafiq, niscaya tiada sanggup kita
meletakkan tapak kaki di atas tanah”. Ibnu Umar ra mendengar seorang laki-laki
memperkatakan Hajjaj, lalu beliau bertanya: “Apakah pendapat engkau jika hadir
dia, lalu mendengar apa yang engkau katakan. Apakah engkau membicarakan lagi
mengenai dia ?”. Maka laki-laki itu menjawab: “Tidak”. Lalu Ibnu Umar ra
menyambung: “Kami hitung sikap yang demikian itu nifaq (bermuka 2 sifat orang
munafiq, lain di luar, lain di dalam). pada masa Rasulullah saw”. Bersabda Nabi
saw: “Siapa yang mempunyai dua lidah di dunia, niscaya dijadikan dia oleh Allah
mempunyai dua lidah di akhirat”. Bersabda pula Nabi saw: “Manusia yang paling
jahat, ialah yang bermuka dua. Dia datang kepada suatu golongan dengan satu
muka dan dia datang kepada golongan yang lain dengan satu muka pula”.
Ada orang mengatakan kepada Al-Hasan:
“Bahwa suatu kaum mengatakan: Kami tidak takut kepada nifaq (bermuka 2 sifat
orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).”. Maka menjawab Al-Hasan: “Demi
Allah ! bahwa aku mengetahui diriku terlepas daripada nifaq (bermuka 2 sifat
orang munafiq, lain di luar, lain di dalam), adalah lebih aku sukai daripada
terjadinya bukit-bukit kecil menjadi emas”. Berkata Al-Hasan: “Setengah
daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam),
ialah berlainan lidah dan hati, yang tersembunyi dan yang nyata, yang
dimaksudkan dan yang dikeluarkan”. Berkata seorang laki-laki kepada Huzaifah
ra: “Saya takut, menjadi orang munafiq”. Maka menjawab Huzaifah: “Jikalau
engkau seorang munafiq maka tidaklah engkau takuti nifaq itu. Sebab orang
munafiq merasa aman daripada nifaq”. Berkata Ibnu Abu Mulaikah: “Saya mendapati
130, pada suatu riwayat 150 orang sahabat Nabi. Semuanya takut kepada nifaq”.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw duduk dalam suatu jama’ah daripada
sahabat-sahabatnya. Maka para sahabat itu menyebutkan seorang laki-laki dan
membanyakkan pujian kepadanya. Lalu dalam pada itu, tiba-tiba muncullah seorang
laki-laki. Dari mukanya menitikkan air bekas wudlu’, alas kakinya terpegang
pada tangannya dan diantara kedua matanya kelihatan bekas sujud. Lalu para
sahabat itu berkata: “Wahai Rasulullah ! inilah dia laki-laki yang kami
sebutkan itu !”. Maka menjawab Nabi saw: “Aku
melihat pada mukanya bekas tamparan setan”. Maka datanglah laki-laki
itu, memberi salam dan duduk bersama para sahabat. Lalu bersabda Nabi saw: “Aku
bersumpah kepada engkau dengan Allah ! adakah kamu mengatakan akan dirimu
ketika kamu datangi kaummu, bahwa tidak ada dalam kalangan mereka, orang yang
lebih baik daripada kamu”. Menjawab laki-laki itu: “Ya, ada !”.
Nabi membaca di dalam doanya: “Ya Allah Ya
Tuhanku ! aku meminta ampun kepadaMu mengenai apa yang aku ketahui dan yang
tidak aku ketahui”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Takutkah engkau wahai
Rasulullah ?”. Maka Nabi menjawab: “Tidak ada yang menjamin bagiku. Dan hati
itu adalah diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Dibalikkannya sebagaimana kehendakNya”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan ketika
itu jelas bagi mereka azab bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu,
memang dari Tuhan”. S 39 Az Zumar ayat 47. Ada yang mengatakan pada penafsiran
ayat tadi, bahwa mereka berbuat perbuatan dan menyangka bahwa perbuatan itu
baik, tetapi adalah dia di dalam daun neraca perbuatan jahat.
Berkata Sirri as-Saqathi: “Jikalau seorang
manusia masuk ke sebuah kebun, di mana di dalamnya terdapat segala macam
pohon-pohonan, yang hinggap di atasnya bermacam-macam burung. Maka berbicaralah
tiap-tiap burung itu kepada manusia tadi dengan suatu bahasa, seraya
mengatakan: “Salam kepadamu, wahai wali Allah ! maka senanglah hati manusia
tadi mendengarnya. Maka jadilah manusia itu tawanan di dalam tangannya
sendiri”.
Segala hadits dan atsar tadi,
memperkenalkan kepada kita akan gentingnya keadaan, disebabkan nifaq yang halus
dan syirik yang tersembunyi dan tidak terasa aman daripadanya. Sehingga Umar
bin Khattab ra sendiri bertanya kepada Huzaifah tentang dirinya, apakah dia
tersebut di dalam golongan orang-orang munafiq ?. Berkata Abu Sulaiman
Ad-Darani: “Aku mendengar sesuatu daripada sebahagian amir, maka aku bermaksud
membantahnya. Tetapi aku takut nanti aku di bunuh. Bukan aku takut kepada mati,
tetapi aku takut datang ke dalam hatiku rasa kebanggaan menjadi hiasan bibir orang
banyak ketika nyawaku keluar. Dari itu, aku cegah diriku daripada berbuat yang
demikian”. Inilah sebahagian daripada nifaq yang berlawanan dengan
hakikat/makna Iman, kebenaran, kesempurnaan dan kemurniannya. Bukan pokoknya.
Nifaq itu dua: pertama: keluar dari agama
dan berhubungan dengan orang-orang kafir, berjalan dalam jama’ah orang-orang
yang kekal dalam neraka. Kedua: nifaq itu membawa orangnya ke dalam neraka buat
sementara waktu. Atau kurang dia dari derajat orang-orang yang tinggi serta
turun dari tingkat orang-orang shiddiq. Yang demikian itu diragukan
keimanannya. Dari itu baiklah dibuat pengecualian padanya. Asal pokok nifaq ini
berlebih-kurang diantara yang rahasia dan yang nyata. Diantara yang aman dari
tipuan, perasaan ‘ujub dan hal-hal lain, yang tidak terlepas daripadanya,
selain orang-orang shiddiq/ benar.
Arti
keempat: yaitu bersandar
juga kepada keraguan. Yang demikian itu, karena takut kepada buruk kesudahan
(su-ul khatimah). Karena tak ada yang tahu, apakah Imannya itu selamat ketika mati
atau tidak. Jika khatimahnya/kesudahannya itu disudahi dengan kufur, maka
binasalah amalannya yang lalu, karena amalan itu terletak pada keselamatan
akhir. Kalau ditanyakan seseorang yang berpuasa pada pagi hari, tentang syah
puasanya di hari itu, maka dia menjawab: “Saya benar-benar berpuasa !”. Jikalau
ia berbuka di tengah hari sesudah itu, maka nyatalah bohongnya. Karena syahnya
puasa itu adalah terletak pada kesempurnaan puasa sampai terbenam matahari pada
akhir siang itu. Sebagaimana siang itu menjadi tempat bagi kesempurnaan puasa,
maka umur adalah tempat bagi kesempurnaan syah Iman. Dan menyifatkan syahnya sebelum berakhir hari itu
didasarkan akan terus bersambung dari yang sudah ada, adalah diragukan. Dan
kesudahannya, ditakuti. Dari itu, menangislah kebanyakan orang-orang yang
takut, karena “kesudahan” itu adalah buah dari qadha’/takdir yang dahulu dan
kehendak yang azali ( tidak kesudahan / permulaan ), yang tidak lahir selain
dengan lahirnya apa yang diqodokan/ditakdirkan. Dan tak ada jalan untuk
mengetahuinnya bagi seorangpun dari manusia. Maka takut kepada kesudahan
(al-khatimah), adalah seperti takut kepada yang dahulu. Kadang-kadang dhahir
seketika, apa yang telah dahulu perkataan dengan lawannya. Siapakah yang tahu,
kiranya dia termasuk diantara orang-orang yang telah dahulu kebaikan baginya
daripada Allah Ta’ala ?. Ada orang yang mengatakan mengenai arti firman Allah
Ta’ala: “Dan datanglah sakaratul-maut (kesakitan mati) dengan sebenarnya”. S 50
Qaaf ayat 19. Artinya: dengan yang dahulu, maka sakratul-maut itu melahirkan
yang dahulu itu. Berkata setengah ulama salaf: “Sesungguhnya ditimbang daripada
amalan itu khatimahnya (kesudahannya)”.
Adalah Abud Darda ra bersumpah: “Demi Allah
! tiada seorangpun yang merasa tenteram Imannya dicabut, melainkan dicabutlah
Imannya itu”. Ada yang mengatakan bahwa sebagian daripada dosa itu ialah dosa
yang siksaannya “buruk kesudahan” (su-ul khatimah). Kita berlindung dengan
Allah daripada yang demikian. Dan ada yang mengatakan, yaitu: siksaan
mendakwakan diri menjadi wali dan keramat dengan mengada-adakan.
Berkata setengah ulama arifin (orang-orang
yang benar berma’rifah kepada Allah): “Jikalau disuruh pilih kepadaku mati
syahid di pintu rumah dan mati atas keesaan di pintu kamar, maka aku pilih mati
atas keesaan di pintu kamar. Karena aku tiada mengetahui apa yang akan datang
pada hatiku, dari perobahan tentang keesaan itu sampai ke pintu rumah”. Berkata
setengah mereka: “Jikalau aku kenal seseorang dengan keesaannya selama 50
tahun, kemudian terdinding antaraku dan dia dengan sebuah tiang dan mati dia,
maka tidak berani aku memastikannya bahwa dia itu mati atas keesaan”. Pada
suatu hadits tersebut: “Siapa yang mengatakan: Saya mu’min, maka dia itu kufur.
Dan siapa yang mengatakan: Saya orang yang berilmu, maka dia itu orang bodoh”.
Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan telah sempurnalah
kalimah (firman) Tuhanmu dengan kebenaran dan keadilannya”. S 6 Al An’aam ayat
115. Bahwa kebenaran itu bagi orang yang mati dia atas Iman dan keadilan bagi
orang yang mati di atas syirik. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan adalah
kepunyaan Allah, kesudahan pekerjaan mereka itu”. S 22 Al Hajj ayat 41. Tatkala
keraguan ada dengan kesudahan (al-khatimah) itu, maka pengecualian itu menjadi
wajib. Karena Iman itu adalah ibarat dari sesuatu yang memfaedahkan sorga,
sebagaimana puasa adalah ibarat daripada sesuatu yang melepaskan dari
tanggungan kewajiban. Puasa yang rusak sebelum matahari terbenam, tidaklah
melepaskan akan tanggungan kewajiban. Maka keluarlah puasa itu daripada adanya
sebagai puasa.
Maka demikian pulalah Iman. Bahkan tiada
jauh daripada kebenaran, bila ditanyakan akan seseorang daripada puasanya yang
lalu yang tidak diragukan mengenai syahnya, setelah selesai mengerjakannya,
pertanyaan mana, umpamanya: “Adakah anda puasa kemarin ?”. Maka menjawablah
orang yang berpuasa itu: “Ya –insya Allah Ta’ala”. Karena puasa yang hakiki
(yang sebenar-benarnya), ialah yang diterima (yang maqbul). Penerimaan itu,
adalah hal ghaib, tak ada yang mengetahuinya, selain Allah Ta’ala. Maka dari
segi ini, baiklah ada pengecualian dalam segala amal perbuatan yang baik. Dan
itu adalah karena keraguan mengenai maqbulnya. Karena mungkin tercegah daripada
maqbulnya setelah berlaku secara dhahir syarat-syarat syah, oleh sebab-sebab
yang tersembunyi, yang tidak diketahui selain oleh Tuhan Yang Maha Besar. Maka baiklah
ada keraguan padanya. Dan inilah segi-segi baiknya pensyaratan pada penjawaban
tentang Iman itu. Segi-segi itulah sebagai penghabisan, untuk kami sudahi Kitab
Qaidah-qaidah I’tiqad (keyakinan) ini. Telah tammat Kitab ini, dengan pujian
kepada Allah Ta’ala. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad saw dan
kepada sekalian hambaNya yang pilihan