Kamis, 13 Februari 2014

12. KITAB ADAB NIKAH

KITAB ADAB NIKAH
Yaitu: Kitab Kedua dari “Rubu’ Adat-kebiasaan” dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
          Segala pujian bagi Allah, yang tidak dapat dicapai oleh panah kesangsian, akan tempat tembus, mengenai keajaiban perbuatanNya. Tidak kembalilah akal dari permulaan kejadiannya, melainkan penuh dengan kegundahan dan keheranan. Senantiasalah segala ni’matNya yang halus-halus kepada alam itu menampak, dimana ni’mat itu terus-menerus kepada mereka dengan usaha dan pemaksaan. Dan sebahagian dari ni’matNya yang halus mengagumkan, ialah menjadikan manusia dari air. Lalu menjadikannya berkeluarga dan berbangsa. DikeraskanNya kepada makhluk itu keinginan, yang memaksakan mereka kepada berusaha, dimana dengan usaha itu, secara terpaksa dan keras untuk mengekalkan keturunan mereka. Kemudian Ia membesarkan urusan keturunan itu dan dijadikannya berbatas. Maka diharamkannya berbuat jahat untuk menyebabkan keturunan itu. Dengan bersangatan sekali Ia menerangkan keburukan perbuatan jahat itu, dengan gertak dan hardik. DijadikanNya perbuatan jahat itu suatu dosa yang keji dan perbuatan pahit yang harus dijauhkan. DisunatkanNya perkawinan (nikah), digerakkanNya kepada bernikah, karena sunat dan perintah. Maka Maha Sucilah yang mewajibkan kematian kepada hambaNya. Lalu dihinakanNya mereka yang merupakan keruntuhan dan kehancuran dengan kematian itu. Kemudian menyebarkan bibit-bibit dari air hanyir dalam bumi kerahiman ibu. DijadikanNya dari bibit-bibit itu makhluk. DijadikanNya makhluk itu untuk menampal dari kehancuran lantaran mati, sebagai peringatan bahwa lautan taqdir itu melimpah ruah kepada alam seluruhnya dengan kemanfaatan dan kemelaratan, kebajikan dan kejahatan, kesukaran dan kemudahan, kelipatan dan kehamburan. Selawat dan salam kepada Muhammad yang diutus dengan berita-berita hardik dan gembira. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya dengan rahmat yang tidak sanggup dihitung dan dihinggakan. Dan berilah –wahai Allah –kesejahteraan yang banyak !
          Adapun kemudian, sesungguhnya perkawinan itu menolong kepada agama dan menghina kepada setan. Benteng yang teguh terhadap musuh Allah dan sebab untuk memperbanyakkan umat, yang menjadi kebanggaan bagi Penghulu segala rasul terhadap nabi-nabi yang lain. Maka alangkah layaknya untuk diperhatikan sebab-sebabnya, dijaga sunat dan adabnya, diuraikan maksud dan tujuannya, dibentangkan pasal-pasal dan bab-babnya. Dan kadar yang penting dari hukum-hukumnya, akan tersingkap pada 3 bab:
Bab Pertama:  tentang menggemarkan dan membencikan kepada nikah.
Bab Kedua:    tentang adab yang harus dijaga pada waktu melakukan perkawinan (pada waktu ‘aqad) dan terhadap yang ber’aqad nikah.
Bab Ketiga:    tentang adab bergaul sesudah ‘aqad, sampai kepada bercerai.
BAB PERTAMA: tentang menggemarkan dan membencikan kepada nikah.
Ketauhilah, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang keutamaan nikah. Setengah dari mereka bersangatan benar, sehingga mendakwakan bahwa nikah itu lebih utama (afdhal) daripada menjuruskan diri beribadah kepada Allah. Sedang yang lain mengakui dengan keutamaan nikah itu, tetapi mendahulukan menjuruskan diri beribadah kepada Allah daripada nikah, manakala dirinya tidak memerlukan dijaga dengan nikah, sebagai penjagaan dari yang mengganggu keadaan dan membawanya terjerumus kepada perbuatan jahat. Dan berkata yang lain lagi, bahwa yang lebih utama, ialah meninggalkan perkawinan pada masa kita sekarang ini. Dan adalah nikah itu dahulu, mempunyai keutamaan, karena tidaklah segala usaha itu terlarang dan tidaklah budi pekerti wanita itu tercela. Dan tidaklah terbuka kebenaran mengenai perkawinan itu, kecuali mula-mula, harus dikemukakan apa yang datang, dari hadits-hadits dan atsar-atsar, tentang menggembirakan dan membencikan kepada nikah. Kemudian, kami menguraikan segala faedah nikah dan tipu dayanya. Sehingga jelaslah dari penjelasan-penjelasan itu akan keutamaan nikah dan meninggalkan terhadap diri tiap-tiap orang, yang memperoleh keselamatan dari segala tipuan setan atau tiada memperoleh keselamatan daripadanya.
PENGGEMARAN KEPADA PERKAWINAN.
Adapun dari ayat, maka berfirman Allah Ta’ala: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (janda) diantara kamu !”. S 24 An Nur ayat 32. Dan ini, adalah perintah (amar). Dan Allah Ta’ala berfirman: “Maka janganlah dihalangi perempuan itu kawin dengan suaminya yang lama”. S 2 al baqarah ayat 232. Dan ini adalah larangan daripada menghalangi dan mencegah daripada menghalanginya. Dan berfirman Allah Ta’ala tentang menyifatkan dan memujikan rasul-rasul: “Dan sesungguhnya telah Kami utus sebelum engkau beberapa rasul dan Kami berikan untuk mereka isteri-isteri dan anak-anak”. S 13 Ar Ra’d ayat 38. Lalu Allah Ta’ala menyebutkan yang demikian dalam pembentangan keni’matan, penglahiran kelebihan dan pemujian wali-waliNya dengan memohonkan yang demikian dalam doa, seraya Ia berfirman: “Dan mereka itu berkata: Wahai Tuhan kami ! kurniakanlah kepada kami isteri dan turunan menjadi cahaya mata –sampai akhir ayat. S 25 Al Furqaan ayat 74. Ada yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala tiada menyebutkan dalam kitabNya tentang nabi-nabi, kecuali yang berkeluarga. Lalu mereka itu mengatakan, bahwa nabi Yahya as telah melaksanakan perkawinan dan tidak bersetubuh. Maka ada yang mengatakan, bahwa beliau berbuat demikian, untuk memperoleh keutamaan dan menegakkan sunnah. Dan ada yang mengatakan, untuk menutupkan mata dari melihat wanita.           Adapun Nabi Isa as maka beliau akan kawin apabila telah turun ke bumi dan akan memperoleh anak.
Adapun hadits tentang perkawinan, yaitu sabda Nabi saw: “Nikah itu adalah sunnahku. Maka barangsiapa benci kepada sunnahku, niscaya sesungguh nya ia benci kepadaku”. Dan Nabi saw bersabda: “Nikah itu adalah sunnahku (jalan agamaku). Maka barangsiapa mencintai akan agamaku, maka hendaklah menjalankannya menurut sunnahku”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Bernikahlah kamu supaya kamu banyak. Sesungguhnya aku bermegah-megah dengan kamu terhadap umat-umat lain pada hari kiamat, sehingga dengan anak keguguran sekalipun”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Barangsiapa benci kepada sunnahku, maka tidaklah ia daripada golonganku. Dan sesungguhnya setengah dari sunnahku itu, ialah nikah. Maka barangsiapa mencintai aku, hendaklah ia menjalankan menurut sunnahku”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa meninggalkan perkawinan karena takut akan kemiskinan, maka tidaklah ia daripada golongan kami”. Ini adalah cercaan, disebabkan karena tidak mau, bukan karena semata-mata tidak kawin. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai kesanggupan belanja, maka hendaklah kawin !”. Dan ia bersabda: “Barangsiapa sanggup daripada kamu memperoleh tempat tinggal, maka hendaklah kawin, karena dengan perkawinan itu menutupkan mata daripada melihat wanita lain dan lebih menjaga kehormatan. Dan barangsiapa yang tiada sanggup, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu melemahkan syahwatnya (wija’)”. Hadits tadi menunjukkan, bahwa sebab penggemaran kepada perkawinan, ialah takut terjadi kerusakan pandangan dan kehormatan. Melemahkan nafsu syahwat (dalam hadits diatas tadi, disebut: wija), yaitu dimaksudkan dengan kehancuran dua biji kejantanan, sehingga hilang kejantanan itu. Dan itu adalah: kata-kata pinjaman (musta’ar), yang menunjukkan kepada kelemahan bersetubuh dalam berpuasa.
          Dan Nabi saw bersabda: “Apabila datang kepadamu orang yang kamu relai agamanya dan kepercayaannya (amanahnya), maka kawinkanlah dia. Kalau tidak kamu kerjakan yang demikian, niscaya menjadi fitnah (kekacauan) di bumi dan kerusuhan besar”. Hadits inipun menyatakan sebab, penggemaran untuk berkawin, karena takut kerusakan. Dan bersabda Nabi saw: “Barangsiapa kawin karena Allah dan mengawinkan karena Allah, niscaya ia berhak memperoleh kedekatan kepada Allah”. Dan bersabda Nabi saw: “Barangsiapa kawin, maka sesungguhnya ia telah memelihara setengah agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada setengah lagi !”. Hadits inipun menunjukkan, bahwa keutamaan berkawin itu adalah karena memelihara daripada perselisihan dan menjaga daripada kerusakkan.
          Maka adalah yang merusakkan agama seseorang manusia itu, pada umumnya, ialah kemaluan dan perutnya. Dan salah satu daripada keduanya itu, telah cukup dengan perkawinan. Dan bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap amalan anak Adam (manusia) itu, terputus, kecuali 3: anak yang shalih yang berdoa kepadanya ......sampai akhir hadits”. Dan tidak sampai kepada yang dimaksud ini, selain dengan perkawinan.
         Adapun atsar, maka yaitu: berkata Umar ra: “Tidak dilarang dari kawin, selain orang yang lemah (impoten) atau orang yang ma’siat”. Beliau menerangkan, bahwa agama tidak melarang perkawinan dan membatasi larangan itu pada dua perkara yang tercelah tadi.
Ibnu Abbas ra berkata: “Tidak sempurna ibadah bagi orang yang melakukan ibadah hajji, sebelum ia kawin”. Mungkin beliau memasukkan perkawinan itu sebahagian dari ibadah hajji dan yang menyempurnakan ibadah hajji. Tetapi yang jelas, ialah beliau maksudkan, bahwa tiada sehat hatinya, lantaran kerasnya kerinduan syahwat, kecuali dengan perkawinan. Dan ibadah hajji itu tidak sempurna, kecuali dengan kosongnya hati dari gangguan. Karena itulah, beliau kumpulkan budak-budaknya, tatkala mereka mengetahui ‘Akramah, Kuraib, dll dan mengatakan: “Kalau kamu mau kawin, niscaya aku kawinkan kamu. Karena hamba itu, apabila melakukan zina, niscaya dicabutkan iman dari hatinya”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jikalau tidaklah tinggal dari umurku, selain dari 10 hari, niscaya aku suka akan kawin supaya tidaklah aku berjumpa dengan Allah, selaku orang lajang”. Kedua isteri Ma’az bin Jabal meninggal, kena kolera dan iapun kena kolera pula. Maka beliau berkata: “Kawinkanlah aku, karena aku tidak suka bertemu dengan Allah, selaku orang lajang”. Keterangan tersebut dari Ibnu Mas’ud dan Ma’az bin Jabal, menunjukkan, bahwa keduanya berpendapat akan keutamaan pada perkawinan, tidak dari segi menjaga dari gangguan hawa nafsu saja.
         Dan adalah Umar ra membanyakkan kawin dan mengatakan: “Tidaklah aku kawin, melainkan karena anak”. Adalah sebahagian sahabat telah mengambil keputusan, untuk berkhidmat/melakukan sopan santun kepada Rasulullah saw dan berdiam padanya, untuk keperluan yang datang kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada sahabat tadi: “Tidakkah kamu kawin ?” Lalu ia menjawab:: “Wahai Rasulullah saw ! sesungguhnya aku ini orang miskin, tidak mempunyai apa-apa. Dan aku mengambil keputusan untuk berkhidmat kepadamu”. Mendengar itu, Nabi saw berdiam diri, kemudian mengulangi lagi pertanyaan nya dan sahabat itu mengulangi penjawabannya seperti semula. Kemudian sahabat itu berpikir, lalu menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah saw lebih mengetahui apa yang lebih baik bagiku, untuk duniaku dan akhiratku dan apa yang mendekatkan aku kepada Allah, daripada aku sendiri. Dan kalau beliau menanyakan kepadaku kali ketiga, niscaya akan aku laksanakan”. Maka Rasulullah saw menanyakan kali ketiga: “Mengapakah kamu tidak kawin ?”. Bercerita sahabat tadi lebih lanjut: “Lalu aku mengatakan: “Wahai Rasulullah, kawinkanlah aku !” Maka Nabi saw menjawab: “Pergilah kepada suku Anu dan katakanlah, bahwa Rasulullah saw menyuruh kamu, supaya kamu kawinkan aku dengan anak gadismu”. Sahabat tadi meneruskan ceritanya. Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa !”. Lalu Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: “Kumpulkanlah untuk saudaramu ini, emas seberat sebutir biji!”. Maka mereka kumpulkan emas untuk saudaranya itu, lalu dibawanya kepada suatu suku, lalu dikawinkannya. Kemudian Nabi saw mengatakan: “Adakan pesta!” Maka mereka kumpulkan dari para sahabat seekor kambing untuk pesta kawin". Keterangan yang berulang-ulang ini menunjukkan kepada keutamaan perkawinan itu sendiri. Dan mungkin menandakan kepada perlunya perkawinan itu.
Menurut cerita, bahwa sebahagian hamba Allah pada umat-umat terdahulu melebihi ibadahnya dibandingkan dengan penduduk pada masanya. Lalu ia menerangkan kepada nabi zamannya akan kebagusan ibadahnya. Maka bersabda Nabi itu: “Orang yang sebaik-baiknya, ialah yang tidak meninggalkan sesuatu daripada sunnah”. Orang yang banyak beribadah (‘abid) tadi, dapat menangkap apa yang didengarnya. Lalu ia menanyakan yang demikian itu kepada Nabinya. Nabi itu menjawab: “Engkau meninggalkan kawin !”. Orang itu menjawab: “Tidaklah aku mengharamkan kawin, tetapi aku miskin, aku bergantung kepada orang lain”. Nabi itu menjawab: “Akan aku kawinkan engkau dengan anak perempuanku”. Lalu Nabi as itu mengawinkan dia dengan anak perempuannya.
          Berkata Bisyr bin Al-Harts: “Ahmad bin Hanbal melebihi aku disebabkan 3 perkara: disebabkan mencari yang halal untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, sedang aku mencarinya untuk diriku sendiri saja. Dan karena meluasnya dalam perkawinan dan sempitnya aku dari perkawinan. Dan ada yang mengatakan, bahwa imam Ahmad ra kawin pada hari kedua dari meninggalnya istrinya dan beliau mengatakan: “Aku tidak suka bermalam, sebagai orang bujang”.
          Adapun Bisyr, sesungguhnya tatkala orang mengatakan kepadanya: “Bahwa orang banyak memperkatakan tentang Tuan, karena Tuan tidak kawin dan mereka itu mengatakan: “Dia itu meninggalkan sunnah !”. Lalu Bisyr menjawab: “Katakanlah kepada mereka, bahwa dia itu sibuk dengan yang fardlu, sehingga tidak mengerjakan yang sunat”. Dan pada kali yang lain, ia dicaci orang, lalu Bisyr menjawab: “Tidaklah yang melarang aku dari kawin, selain oleh firman Allah Ta’ala: “Perempuan-perempuan itu mempunyai hak, seimbang dengan kewajibannya, yaitu secara patut”. S 2 Al Baqarah ayat 228. Hal itu lalu diterangkan kepada Ahmad, maka Ahmad menjawab: “Dimanakah terdapat orang seperti Bisyr ? ia duduk seumpama tajamnya mata tombak”. Dalam pada itu, diriwayatkan bahwa orang bermimpi berjumpa dengan Bisyr, lalu menanyakan kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu ?”. Maka Bisyr menjawab: “Ditinggikan tempatku didalam sorga, didekatkan aku kepada tempat nabi-nabi dan aku tidak sampai ke tempat orang-orang yang berkeluarga (orang yang beristeri)”. Dan pada suatu riwayat: “Tuhan berfirman kepadaku: “Aku tidak suka bahwa engkau menjumpai Aku selaku orang bujang”. Berkata orang yang bermimpi: “Lalu kami bertanya kepada Bisyr: “Apakah yang diperbuat oleh Abu Nashr At-Tammar ?”. Maka ia menjawab: “Ditinggikan dia diatasku dengan 70 tingkat”. Maka kami bertanya: “Dengan apa, sedang kami melihat engkau diatasnya ?”. Bisyr menjawab: “Dengan kesabarannya diatas berumah-tangga dan berkeluarga”.
Berkata Sufyan bin ‘Uyaimah: “Banyaknya perempuan, tidaklah termasuk dunia, karena Ali ra adalah yang lebih zuhud daripada para sahabat Rasulullah saw dan beliau mempunyai 4 orang isteri dan 17 gundik. Nikah itu adalah sunnah yang sudah lalu dan budi pekerti daripada nabi-nabi”. Berkata seorang laki-laki kepada Ibrahim bin Adham ra: “Berbahagialah tuan, karena tuan telah menyelesaikan segala urusan untuk ibadah dengan membujang!” Ibrahim bin Adham menjawab: “Kesulitan yang engkau hadapi disebabkan berkeluarga, adalah lebih utama dari semua apa yang ada saya padanya”. Lalu laki-laki itu bertanya: “Apakah yang menghalangi tuan dari kawin ?”. Ibrahim menjawab: “Aku tidak berhajat kepada wanita dan aku tidak bermaksud memperdayakan wanita dengan diriku”. Ada ulama yang mengatakan: “Kelebihan orang yang berkeluarga (beristeri) dari orang yang membujang, adalah seperti kelebihan orang yang pergi ke medan jihad, daripada orang yang duduk. Serakaat dari orang yang berkeluarga, lebih utama dari 70 rakaat dari orang yang membujang”.
          Adapun hadits yang menerangkan tentang mempertakutkan dari kawin yaitu: bersabda Nabi saw: “Manusia yang terbaik sesudah 200 tahun (dari tahun Nabi saw bersabda itu), ialah orang yang ringan kelakuannya, yang tiada berkeluarga dan tiada beranak”. Bersabda Nabi saw: “Akan datang kepada manusia suatu masa, dimana kebinasaan seseorang itu terdapat pada tangan isterinya, dua ibu-bapaknya dan anaknya. Mereka itu menghinakannya dengan kemiskinan dan memberatkan nya dengan pikulan yang tidak disanggupinya. Lalu ia masuk ke tempat-tempat masuk yang menghilangkan agamanya, maka binasalah dia”. Pada suatu hadits tersebut: “Sedikit jumlah keluarga, adalah salah satu dari dua kekayaan dan banyak jumlah keluarga, adalah salah satu dari dua kemiskinan”.
          Ditanyakan Abu Sulaiman Ad-Darani tentang kawin, maka ia menjawab: “Bersabar dari wanita, adalah lebih baik daripada bersabar atas wanita. Dan bersabar atas wanita, adalah lebih baik daripada bersabar atas neraka”. Dan Abu Sulaiman berkata pula: “Sendirian itu memperoleh kemanisan amal dan keselesaian hati, dari apa yang tidak diperoleh oleh orang yang berkeluarga”. Pada kali yang lain, beliau berkata: “Tiada seorangpun aku melihat dari sahabat kita yang telah kawin, lalu ia tetap pada tingkatannya yang pertama”. Beliau berkata pula: “3 perkara, barangsiapa mencari yang 3 perkara itu, maka ia telah condong kepada dunia: barangsiapa mencari kehidupan atau mengawini perempuan atau menulis hadits”.
          Berkata Al-Hasan ra: “Apabila dikehendaki oleh Allah akan kebajikan kepada seseorang hamba, maka tidak diganggukannya dengan urusan keluarga dan harta”. Berkata Ibnu Abil-Hawari: “Berdebat (bermunadharah) segolongan manusia tentang hadits tadi. Maka tetaplah pendapat mereka, bahwa tidaklah maksudnya yang dua itu tidak ada. Tetapi ada, dan keduanya itu tidak mengganggukannya”. Dan itulah yang menunjukkan kepada perkataan Abu Sulaiman Ad-Darani: “Apa yang mengganggu engkau daripada beribadah kepada Allah oleh keluarga, harta dan anak, maka itu adalah kutukan keatas diri engkau”.
Kesimpulannya, tidaklah berpindah dari seseorang pembencian dari kawin secara mutlak, melainkan disertakan dengan syarat. Adapun penggemaran kepada kawin, maka telah datanglah, hadits-hadits secara mutlak dan disertakan dengan syarat. Dari itu, maka haruslah kami singkapkan tutup dari yang demikian itu, dengan menentukan bahaya dan faedah dari perkawinan.
FAEDAH PERKAWINAN.
Perkawinan itu mengandung 5 faedah: Anak, menghancurkan nafsu syahwat, mengatur rumah tangga, membanyakkan keluarga & berjuang diri memimpin kaum wanita
Faedah pertama: anak. Dan itulah pokok dan untuk itulah diciptakan perkawinan. Dan yang dimaksud, ialah mengekalkan keturunan, supaya dunia ini tidak kosong dari jenis manusia. Adapun nafsu syahwat, sesungguhnya dijadikan, selaku pembangkit yang menggerakkan, seperti yang diwakilkan dengan jantan untuk mengeluarkan bibit dari tulang sulbi dan dengan betina pada menetapkan dari usaha pertanian itu, dengan lemah-lembut dengan keduanya, dalam membawakan kepada memperoleh anak, dengan sebab bersetubuh. Seperti lemah-lembut dengan burung pada penyebaran bibit yang disukainya, supaya burung itu terbawa kepada jaring. Adalah Qudrah-Azaliah (kekuasaan Tuhan yang Azali), tidak terbatas dari penciptaan oknum-oknum pada mulanya, tanpa usaha pertanian dan percampuran. Akan tetapi hikmat kebijaksanaan menghendaki ketertiban musabbab diatas sebab-sebab, serta tidak memerlukan benar kepada sebab-sebab itu, untuk melahirkan kekuasaan qudrah (kuasa), menyempurnakan keajaiban-keajaiban penciptaan dan merealisasikan dari apa yang telah terdahulu kehendak Yang Maha Kuasa. Dan benarlah dengan demikian, kalimahNya dan telah berlaku suratan padanya. Dalam menyampaikan kepada memperoleh anak itu, adalah suatu pendekatan diri kepada Allah, dari 4 segi, dimana yang 4 ini, adalah pokok pada penggemaran kepada kawin, ketika merasa aman dari segala gangguan nafsu syahwat. Sehingga tiada seorangpun ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang.
Segi pertama:   bersesuaian kecintaan Allah dengan usaha, pada memperoleh anak untuk mengekalkan jenis manusia.
Segi kedua:     mencari kecintaan Rasulullah saw pada membanyakkan orang, dimana dengan banyaknya itu, beliau dapat membanggakan.
Segi ketiga:     mencari keberkatan dengan doa anak yang shalih sesudah ia meninggal dunia.
Segi keempat: mencari syafaat dengan kematian anak yang masih kecil, apabila anak itu meninggal sebelum ia meninggal.
Adapun segi yang pertama tadi, adalah yang lebih halus dan lebih jauh dari pemahaman orang kebanyakan. Dan lebih benar dan lebih teguh pada orang-orang yang berpemandangan tembus tentang keajaiban ciptaan Allah Ta’ala dan segala yang berlaku dari hukumNya. Penjelasannya: bahwa tuan itu apabila menyerahkan kepada pesuruhnya (budaknya) bibit dan alat-alat pertanian dan disediakannya bagi pesuruh itu tanah yang disediakan untuk pertanian dan pesuruh itu sanggup bertani dan diserahkannya kepada orang yang akan mengerjakan pertanian itu, maka kalau ia bermalas-malas, menyia-nyiakan alat pertanian dan membiarkan bibit tersia-sia, hingga rusak dan ia menolak orang yang menyerahkan tugas itu dengan berbagai helah, niscaya pesuruh itu berhak makian dan kutukan dari tuannya. Allah Ta’ala telah menjadikan dua suami-isteri. DijadikanNya tanda kelakian (dzakar) dan dua buah pelir. DijadikanNya air yang hanyir dalam tulang belakang laki-laki dan disediakanNya bagi air yang hanyir itu dalam dua buah pelir, urat-urat dan tempat-tempat mengalir. DijadikanNya rahim wanita, tempat ketetapan dan tempat simpanan air yang hanyir itu. Dan dikerasiNya kehendak nafsu syahwat kepada masing-masing dari pria dan wanita. Maka segala perbuatan dan alat-alat itu menjadi saksi nyata dengan lisan yang tegas, untuk melahirkan dari kehendak Penciptanya Khaliq (yang maha pencipta) nya. Dan menyerukan segala yang berakal pikiran untuk mengenali apa yang disediakan untuknya. Ini, walaupun tidak ditegaskan oleh Khaliq (yang maha pencipta) dengan lisan RasulNya saw akan maksud, dimana beliau itu bersabda: “Kawinlah supaya kamu berketurunan !”, maka bagaimanakah tidak dipahami, padahal telah ditegaskan dengan perintah (amar) dan diterangkan dengan rahasia ? Maka tiap-tiap orang yang tidak mau kawin, adalah berpaling dari pertanian, menyia-nyiakan bibit, membuat nganggur alat-alat yang tersedia, untuk apa ia dijadikan oleh Allah. Dan melakukan penganiayaan kepada maksud dari kejadian dan hikmat kebijaksanaan yang dipahami dari bukti-bukti penciptaan yang tertulis diatas anggota-anggota itu dengan tulisan ketuhanan. Bukan dengan tulisan berhuruf dan bersuara, yang akan dibaca oleh tiap-tiap orang yang mempunyai mata-hati ketuhanan (bashirah rabbaniyyah), yang tembus untuk memperoleh hikmah-azaliah yang halus-halus. Dan karena itulah, agama memandang besar tentang persoalan membunuh anak dan menguburkan anak perempuan hidup-hidup. Karena itu adalah mencegah kesempurnaan wujudnya manusia. Dan untuk itu ditunjukkan oleh orang yang mengatakan: “Al-‘azl (membuang mani dari isteri) adalah salah satu dari dua macam pembunuhan anak hidup-hidup. Orang yang kawin, adalah orang yang berusaha menyempurnakan apa yang disukai oleh Allah kesempurnaannya. Dan orang yang berpaling dari kawin, adalah orang yang mengosongkan dan menyia-nyiakan akan apa yang tidak disukai oleh Allah menyia-nyiakannya. Dan karena kesukaan Allah Ta’ala untuk kekalnya segala yang bernyawa, maka disuruhNya memberi makan, didorongkanNya kepada memberi makan dan dikatakanNya tentang memberi makan tadi dengan kata-kata hutang, yaitu firmanNya: “Siapakah yang mau memperhutangkan Allah dengan hutang yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Kalau anda bertanya: bahwa kata tuan, kekalnya keturunan dan nyawa itu disukai Allah, niscaya mendatangkan sangkaan, bahwa hilang dan hancurnya (fana’) nyawa itu, tidak disukai oleh Allah. Dan itu adalah pemisahan antara mati dan hidup, dengan disandarkan kepada kehendak Allah Ta’ala. Dan adalah dimaklumi, bahwa semuanya itu, adalah dengan kehendak Allah. Dan bahwa Allah kaya (tidak memerlukan) kepada alam semesta. Maka darimanakah, mendapat perbedaan pada sisiNya, mati mereka dari hidupnya atau kekal mereka dari fana’nya ? Ketahuilah kiranya, bahwa kalimat tadi adalah benar, yang telah dimaksudkan kepada yang batil/salah. Apa yang telah kami sebutkan, tidaklah menidakkan penyandaran segala yang ada ini (al-kainat) seluruhnya, kepada kehendak Allah, baiknya dan buruknya, manfaatnya dan melaratnya. Tetapi kesukaan dan kebencian itu, adalah berlawanan. Dan keduanya tidaklah melawan akan kehendak Allah. Maka banyak yang dikehendaki itu, tidak disukai dan banyak juga yang dikehendaki itu disukai.
Perbuatan ma’siat itu tidak disukai, dimana walaupun tidak disukai, tetapi dikehendaki. Perbuatan taat itu dikehendaki, dimana bersama dengan dikehendaki itu, disukai dan direlai. Adapun kekufuran dan kejahatan, maka tidaklah kita mengatakan direlai dan disukai. Tetapi, adalah itu dikehendaki.
Berfirman Allah Ta’ala: “Allah tiada merelai kekufuran dari hamba-hambaNya”. S 39 Az Zumar ayat 7. Maka bagaimanakah fana’ itu disandarkan kepada kesukaan dan kebencian Allah seperti baqa’ (kekal) ? sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku ragu-ragu pada sesuatu, seperti keraguanKu pada mengambil nyawa hambaKu yang muslim. Dia tidak menyukai mati dan Aku tidak menyukai kejahatannya dan tak boleh tidak ia daripada mati”. Maka firmanNya “tak boleh tidak ia daripada mati”, itu menunjukkan kepada dahulunya Kemauan dan taqdir yang tersebut pada firmanNya: “Kami telah menentukan (mentaqdirkan) kematian kepada kamu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 60. Dan pada firmanNya: “Yang menciptakan kematian dan kehidupan”. S 67 Al Mulk ayat 2. Dan tidaklah berlawanan antara firmanNya: “Kami telah menentukan (mentaqdirkan) kematian kepada kamu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 60 tadi dan firmanNya: “Aku tidak menyukai kejahatannya”. Tetapi kenyataan kebenaran pada ini, yang meminta penegasan pengertian Kemauan (kehendak), kecintaan dan kebencian serta penjelasan hakikat/maknanya. Karena yang segera kepada pemahaman daripadanya, ialah hal-hal yang bersesuaian dengan kehendak makhluk, kesukaan dan kebencian mereka. Dan amat jauhnya yang demikian daripada kebenaran. Diantara sifat Allah Ta’ala dan sifat makhluk, adalah amat berjauhan, sebagaimana antara ZatNya yang mulia dan zat makhluk. Dan sebagaimana zat makhluk itu benda dan aradl (sifat) dan Zat Allah Ta’ala adalah Maha Suci daripada yang demikian. Dan tidak bersesuaianlah antara Yang tidak Benda dan tidak sifat dengan yang berbenda dan bersifat. Maka demikian pula, sifat-sifatNya tidak bersesuaian dengan sifat-sifat makhluk. Dan hakikat/makna ini semuanya, masuk dalam Ilmu Mukasyafah/yang diminta mengetahuinya saja. Dan dibalik Ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja ini, adalah Rahasia Taqdir (sirr qadr) yang terlarang menyiarkannya. Dari itu, hendaklah kami ringkaskan menyebutkannya dan hendaklah kami ringkaskan diatas apa yang telah kami peringatkan, dari perbedaan antara tampil kepada perkawinan dan mundur daripadanya. Maka salah satu daripada keduanya, adalah menyia-nyiakan keturunan, yang dikekalkan oleh Allah akan adanya keturunan itu dari semenjak Adam as ganti-berganti, sampai kepada penghabisannya. Maka orang yang tidak mau kawin, sesungguhnya ia telah memotong akan adanya manusia yang terus-menerus dari semenjak adanya Adam as terhadap dirinya sendiri. Maka matilah ia terputus, tiada berpenggantian. Jikalau penggerak kepada nikah itu, semata-mata memenuhi nafsu syahwat, niscaya tidaklah Ma’az berkata pada waktu penyakit kolera itu: “Kawinkanlah aku, janganlah aku bertemu dengan Allah, dalam keadaaan membujang !”. Kalau anda bertanya: “Apakah Ma’az mengharap akan anak pada waktu yang demikian itu ? maka apakah segi keinginannya kepada kawin itu ?”. Maka aku menjawab, bahwa anak itu berhasil dengan bersetubuh dan bersetubuh itu berhasil dengan kebangkitan nafsu syahwat. Dan itu, adalah hal yang tidak masuk dalam bidang usaha.
Sesungguhnya yang bersangkutan dengan ikhtiar hamba, ialah mendatangkan penggerak bagi nafsu syahwat itu. Dan yang demikian itu, diharapkan dalam segala keadaan. Maka barangsiapa telah melakukan ikatan perkawinan (‘aqad nikah), adalah ia telah menunaikan kewajibannya dan berbuat apa yang membawa kepada yang tersebut itu. Dan yang lain dari itu, adalah diluar dari usahanya. Karena itulah, disunatkan juga nikah kepada orang yang tak bertenaga (impoten). Karena gerakan nafsu syahwat itu, adalah tersembunyi, tidak dapat dilihat. Sehingga orang yang sudah “tersapu-bersih” (al-mamsuh-sudah rata), yang tidak dapat mengharap akan memperoleh anak lagi, juga tidak terputus sunatnya kawin bagi dirinya, berdasarkan pandangan yang disunatkan bagi orang yang botak, melalukan pisau cukur diatas kepalanya, karena mengikuti orang lain dan menyerupai dengan orang-orang terdahulu yang shalih. Dan sebagaimana disunatkan pada mengerjakan hajji sekarang, akan ar-ramal/berlari-lari kecil pada waktu mengerjakan sa’i pada hajji dan al-idl-thiba’/memasukkan seledang kebawah ketiak kanan dan menutupkan bahu kiri dengan bagian lain dari selendang itu. Dan adalah maksudnya mula-mula dahulu, menzahirkan keberanian terhadap orang-orang kafir. Maka jadilah mengikuti dan menyerupai dengan mereka yang telah menzahirkan keberanian itu, sunat terhadap orang-orang yang terkemudiannya. Dan menjadi lemahlah sunatnya ini, dibandingkan kepada sunatnya terhadap orang yang mampu bertani. Dan kadang-kadang kelemahan sunat itu, semakin bertambah, dengan apa yang mengimbanginya, tentang makruhnya membuat wanita itu kosong dan disia-siakan, mengenai apa yang kembali kepada menunaikan akan hajatnya. Hal itu tidaklah terlepas dari semacam bahaya. Maka pengertian ini, adalah yang memperingatkan kepada sangatnya penantangan mereka kepada meninggalkan perkawinan, walaupun nafsu syahwat itu tidak berdaya.
Segi kedua: berusaha pada mencintai Rasulullah saw dan kerelaannya, dengan membanyakkan apa yang menjadi kebanggaannya. Karena ia telah menegaskan yang demikian. Dan menunjukkan kepada pemeliharaan urusan anak itu, oleh sejumlah segi-segi seluruhnya. Diantaranya, apa yang diriwayatkan dari Umar ra, bahwa beliau itu bernikah banyak kali dan mengatakan: “Sesungguhnya aku kawin untuk memperoleh anak”. Dan apa yang diriwayatkan dari beberapa hadits, tentang mencela wanita yang mandul, karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sehelai tikar pada suatu sudut rumah, adalah lebih baik daripada seorang wanita yang tidak beranak”. Dan Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik wanita kamu, ialah yang banyak anak dan banyak kasih-sayangnya”. Dan Nabi saw bersabda: “Seorang wanita yang hitam, yang beranak banyak, adalah lebih baik dari seorang wanita cantik yang tidak beranak”. Dan ini menunjukkan kepada mencari anak itu dimasukkan kedalam kehendak keutamaan nikah, daripada mencari penolakan tipuan nafsu syahwat. Karena wanita yang cantik adalah lebih patut untuk pemeliharaan, pemincingan mata dan pemuasan nafsu syahwat.
Segi ketiga: bahwa ditinggalkan sesudahnya, anak yang shalih yang berdoa kepadanya, sebagaimana tersebut pada hadits, bahwa segala amal perbuatan anak Adam (manusia) itu terputus, selain 3 perkara. Lalu Nabi saw menyebutkan anak yang shalih. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Bahwa segala doa itu dibawa kepada orang mati diatas baki dari nur”. Perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa anak itu kadang-kadang tidak shalih, tidaklah itu berpengaruh, karena anak itu mu’min. Dan shalih itu pada umumnya, adalah pada anak-anak orang yang beragama. Lebih-lebih apabila ayahnya bercita-cita mendidiknya dan membawanya kepada keshalihan. Kesimpulannya, bahwa doa orang mu’min kepada kedua ibu-bapaknya, adalah berfaedah, baik anak itu orang yang berbuat kebajikan atau berbuat kedurhakaan. Dan orang tua itu diberi pahala diatas segala doa dan kebajikan anaknya, karena itu adalah dari usahanya. Dan tidak disiksa disebabkan segala kejahatan anaknya. Karena, tiadalah pemikul beban akan memikul beban orang lain. Dan karena itulah berfirman Allah Ta’ala: “Nanti mereka akan Kami pertemukan dengan turunannya itu dan tiada Kami kurangi amal mereka barang sedikitpun”. S 52 Ath Thuur ayat 21. Artinya: “Tiada Kami kurangkan mereka dari amal-perbuatannya dan Kami jadikan anak-anak mereka menjadi tambahan pada perbuatan baiknya”.
Segi keempat: bahwa kalaulah mati anaknya sebelumnya, maka adalah anak itu berbuat syafaat kepadanya. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: “Bahwa anak kecil itu menarik kedua ibu bapaknya ke dalam sorga”. Dan pada sebahagian hadits, tersebut: “Anak itu memegang kainnya, sebagaimana aku sekarang memegang kainmu”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Bahwa dikatakan kepada anak kecil itu: “Masuklah ke sorga !” Lalu anak itu berdiri di pintu sorga dengan penuh kekesalan dan kemarahan, seraya ia berkata: “Aku tidak masuk sorga, kecuali kedua ibu-bapakku bersama aku”. Lalu ada yang mengatakan: “Masukkanlah kedua ibu-bapaknya bersama dia ke sorga !”. Pada hadits lain, tersebut: “Bahwa anak-anak kecil itu berkumpul pada tempat perhentian kiamat, ketika segala makhluk dibawa untuk hisab (diperhitungkan segala amal perbuatannya semasa di dunia). Lalu ada yang mengatakan kepada para malaikat: “Pergilah dengan anak-anak itu ke sorga !”. Maka anak-anak itu berdiri pada pintu sorga, lalu dikatakan kepada mereka: “Selamat datang para keturunan kaum muslimin ! masuklah ! tidak dikira (hisab) terhadap kamu !”. Anak-anak itu bertanya: “Manakah bapak-bapak dan ibu-ibu kami ?”. Maka menjawab pengawal: “Bapak-bapak dan ibu-ibu kamu tidaklah seperti kamu. Mereka mempunyai dosa dan kesalahan. Mereka akan dihisab dan dituntut diatas segala dosa dan kesalahan itu”. Bersabda Nabi saw seterusnya: “Lalu anak-anak itu berteriak dan menggoncangkan sekali goncangan diatas pintu-pintu sorga. Maka berfirman Allah Ta’ala – sebenarnya IA Maha Mengetahui dengan anak-anak itu: “Goncangan apakah ini ?”. Lalu para pengawal itu menjawab: “Wahai Tuhan kami ! anak-anak orang Islam itu berkata: “Kami tidak mau masuk sorga, kecuali bersama orang tua kami”. Maka berfirman Allah Ta’ala: “Biarkanlah semuanya ! bawalah orang tua mereka itu, lalu masukkanlah semuanya ke dalam sorga !”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggal dan mempunyai dua orang anak, maka sesungguhnya ia tercegah dengan sesuatu cegahan daripada api neraka”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggal dengan mempunyai 3 orang anak, dimana mereka itu belum sampai berdosa, niscaya ia dimasukkan oleh Allah ke dalam sorga dengan kurnia rahmatNya kepada mereka”. Lalu sahabat bertanya: “Dan kalau anaknya dua orang ?”. Nabi saw menjawab: “Dan dua juga !”.
Ada riwayat menceritakan, bahwa sebahagian orang-orang shalih, dikemukakan kepadanya supaya kawin. Maka beliau enggan beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bercerita, dimana pada suatu hari beliau terbangun dari tidur, lalu berkata: “Kawinkanlah aku ! kawinkanlah aku !”. Maka merekapun mengawinkannya. Kemudian, ditanyakan kepadanya tentang itu, lalu beliau menjawab: “Semoga Allah menganugrahkan kepadaku seorang anak dan kemudian diambilNya. Maka jadilah anak itu bagiku sebagai suatu mukaddimah (pendahuluan) di akhirat nanti”. Kemudian, beliau meneruskan ceritanya: “Aku bermimpi, seolah-olah kiamat sudah datang dan seolah-olah aku dalam jumlah makhluk ramai di tempat perhentian di padang mahsyar. Dan aku sangat haus, yang hampir memutuskan leherku. Begitu pula makhluk yang banyak itu, semuanya dalam sangat kehausan dan kesulitan. Maka kami begitu juga, ketika anak-anak itu masuk ke celah-celah orang banyak, diatas mereka beberapa sapu-tangan dari nur dan ditangan mereka cerek dari perak dan gelas dari emas. Anak-anak itu memberi minum seorang demi seorang, dimana mereka itu masuk ke celah-celah orang ramai dan melewatkan kebanyakan orang (kebanyakan orang tidak diberi oleh mereka minum). Lalu aku mengulurkan tangan kepada salah seorang dari mereka, seraya aku berkata: “Berilah aku minum, sesungguhnya aku haus sekali !”. Lalu anak itu menjawab: “Bapak tidak mempunyai anak dalam rombongan kami. Kami hanya memberi minum kepada bapak-bapak kami saja”. Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ini semuanya ?”. Mereka itu menjawab: “Kami adalah orang-orang yang meninggal dunia, yang terdiri dari anak-anak orang Islam”. Dan salah satu dari pengertian-pengertian yang tersebut pada firman Allah Ta’ala: “Sebab itu, usahakanlah perladanganmu itu sebagaimana kamu sukai dan buatlah kebaikan untuk dirimu !”. S 2 Al Baqarah ayat 223, ialah mendahulukan anak-anak kecil ke akhirat. Maka telah nyatalah dengan segi-segi yang 4 ini, bahwa bahagian terbanyak dari keutamaan perkawinan itu, ialah karena adanya perkawinan itu menjadi sebab untuk memperoleh anak.
Faedah kedua: membentengi diri dari setan, menghancurkan kerinduan, menolak godaan nafsu syahwat, memincingkan mata dan memelihara kemaluan. Dan kepada itulah, ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa kawin, maka telah memelihara setengah agamanya. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah pada setengah lagi !” Dan kepada itulah, ditunjukkan oleh sabda Nabi saw: “Haruslah kamu kawin ! maka barangsiapa yang tidak sanggup, maka haruslah ia berpuasa, karena puasa itu melemahkan hawa nafsu”. Kebanyakan dari apa yang kami nukilkan, dari atsar dan hadits, menunjukkan kepada pengertian yang tersebut tadi. Dan pengertian itu bukanlah pengertian yang pertama (memperoleh anak). Karena nafsu syahwat adalah diperserahi (diwakilkan) untuk melaksanakan perolehan anak. Maka perkawinan itu, mencukupilah untuk pekerjaan tersebut, yang mendorong untuk menjadikannya dan yang menyingkirkan kejahatan kekuasaannya. Dan tidaklah orang yang memperkenankan panggilan tuannya karena ingin memperoleh kerelaannya, seperti orang yang memperkenankan untuk mencari kelepasan dari godaan penyerahan.
Maka nafsu syahwat dan anak itu, adalah hal yang ditaqdirkan dan diantara keduanya, terdapat ikatan yang erat. Dan tidak bolehlah dikatakan, bahwa yang dimaksud, ialah kesenangan (memperoleh kelezatan). Dan anak, adalah suatu keharusan daripadanya, sebagaimana umpamanya, keharusan membuang air besar dari karena makan. Dan tidaklah itu yang dimaksudkan, pada diri perkawinan itu. Tetapi anaklah yang dimaksudkan, menurut kejadian manusia (fithrah) dan hikmahnya. Dan nafsu syahwat itu, adalah yang membangkitkan kepadanya. Demi sebenarnya, pada syahwat itu, ada hikmah yang lain lagi, selain dari memberi beban untuk memperoleh keturunan. Yaitu: memperoleh kesenangan (kelezatan) pada pelaksanaan nafsu syahwat itu, yang tak ada bandingan dengan kesenangan itu, oleh kesenangan manapun juga, apabila kesenangan itu bisa kekal terus. Kesenangan itu, mengingatkan kepada segala yang dijanjikan didalam sorga. Karena menggemarkan kepada kesenangan yang tidak pernah dirasakan, adalah tidak berguna. Kalau digemarkan kepada orang yang tak bertenaga (impoten) tentang kesenangan bersetubuh atau kepada anak kecil tentang kesenangan menjadi raja dan sultan, niscaya, tidaklah bermanfaat penggemaran itu. Dan salah satu dari faedah kesenangan dunia, ialah keinginan kekalnya didalam sorga, supaya menjadi pendorong beribadah kepada Allah. Maka perhatikanlah kepada hikmah, kemudian kepada rahmat, kemudian kepada persediaan ketuhanan, bagaimana telah disediakan dibawah syahwat yang satu itu, dua kehidupan: kehidupan zahir dan kehidupan bathin.
Kehidupan zahir, ialah kehidupan manusia dengan kekal keturunannya. Dan itu adalah semacam dari kekekalan wujudnya. Dan kehidupan bathin, ialah kehidupan akhirat. Maka kesenangan yang kurang ini, disebabkan lekas habisnya, adalah menggerakkan keinginan kepada kesenangan yang sempurna, dengan kesenangan berkekalan. Lalu ia tergerak kepada beribadah, yang menyampaikan kepada kesenangan yang berkekalan itu. Maka hamba itu memperoleh faedah disebabkan kesangatan inginnya kepada kesenangan tadi, yang memudahkan kepada kerajinan, kepada apa yang menyampaikannya kepada kenikmatan sorga. Dan tidaklah dari suatu molekul (zat yang paling halus) dari molekul-molekul tubuh manusia, zahir dan bathin, bahkan segala molekul alam langit dan bumi, melainkan terdapat padanya hikmah yang halus-halus dan yang ajaib-ajaib, yang menakjubkan segala akal pikiran manusia. Tetapi, yang demikian itu hanya terbuka bagi hati yang suci bersih, menurut kebersihannya. Dan menurut kebenciannya kepada kembang dunia, tipuan dan godaannya.
Maka perkawinan itu, dengan sebab menolak godaan nafsu syahwat, adalah amat penting dalam agama, untuk orang-orang yang tidak dihinggapi kelemahan dan tidak bertenaga (impoten). Dan orang-orang itulah, kebanyakan manusia adanya. Nafsu syahwat itu, apabila mengeras dan tidak dapat disanggah oleh kekuatan taqwa, niscaya dapat menghela kepada perbuatan keji. Dan kepadanyalah, ditunjukkan oleh sabda Nabi saw dengan sabdanya dari Allah Ta’ala: “Kalau tidak engkau perbuat pula begitu, niscaya menjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar”. S 8 An Anfaal ayat 73. Dan kalau dapat dipukul dengan pukulan ketaqwaan, maka kesudahannya, dapatlah mencegah anggota-anggota badan daripada memperkenankan ajakan nafsu syahwat itu. Lalu terpicinglah mata dan terpeliharalah kemaluan.
Adapun menjaga hati dari kebimbangan dan pemikiran, maka tidaklah termasuk dibawah usaha (ikhtiar) seseorang. Tetapi senantiasalah nafsu itu menarik dan membisikkan kepadanya dengan berbagai keadaan bersetubuh. Dan tidak jemu-jemulah setan pengganggu itu dalam sebahagian besar waktunya. Kadang-kadang yang demikian itu datang kepadanya dalam shalat. Sehingga terguris di hatinya dari hal keadaan bersetubuh itu, sesuatu gurisan, kalaulah kiranya diterangkannya dihadapan orang yang paling hina sekalipun, niscaya ia akan malu. Dan Allah Ta’ala melihat kepada hatinya. Dan hati itu terhadap Allah, adalah seperti lisan terhadap makhluk. Dan pokok segala pekerjaan bagi seseorang yang berkehendak menjalani jalan akhirat, ialah hatinya. Dan rajin berpuasa itu, tidaklah menghilangkan benda gangguan pada kebanyakan orang. Kecuali ditambahkan kepadanya kelemahan badan dan kerusakan pada sifatnya.
Karena itulah, Ibnu ‘Abbas ra berkata:  “Tidak sempurnalah ibadah orang yang melakukan hajji, kecuali dengan kawin”. Ini adalah percobaan umum, sedikitlah orang yang terlepas daripadanya. Dan Qatadah berkata tentang arti firman Allah Ta’ala: “Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak bisa kami pikul”. S 2 Al Baqarah ayat 286, yaitu: kerasnya nafsu syahwat. Dari Akramah dan Mujahid, yang mana keduanya mengatakan, tentang arti firman Allah Ta’ala: “Dan manusia itu dijadikan bersifat lemah”. S 4 An Nisaa’ ayat 28, ialah bahwa manusia itu tidak sabar terhadap perempuan. Berkata Fayyadl bin Nujaih: “Apabila bangunlah kemaluan lelaki, niscaya hilanglah 2/3 akalnya”. Setengah mereka mengatakan: “Hilanglah 1/3 agamanya”. Dan pada penafsiran yang tidak begitu sering terdengar (nawadirut-tafsir) dari Ibnu ‘Abbas ra tentang firman Allah Ta’ala: “Dan dari kegelapan (malam) ketika ia telah datang”. S 113 Al Falaq ayat 3, yaitu, kata Ibnu ‘Abbas: bangunnya kemaluan lelaki. Ini adalah bahaya yang sering terjadi, apabila menggelagak, yang tidak dapat dilawan oleh akal pikiran dan agama. Dan nafsu syahwat itu, sedang dia adalah baik, untuk pendorong kepada kedua kehidupan dunia dan akhirat –sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka nafsu syahwat itu, adalah yang terkuat alat setan terhadap anak Adam.
Dan kepadanyalah diisyaratkan oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Tidaklah aku melihat dari wanita-wanita yang kurang akal dan agama, yang lebih mempengaruhi orang-orang yang berakal pikiran, daripada engkau sekalian”. Dan itu sesungguhnya, adalah karena bergeloranya nafsu syahwat. Dan Nabi saw mengucapkan dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, hatiku dan kejahatan maniku !”. Dan beliau mendoa: “Aku bermohon padaMu, kiranya Engkau mensucikan hatiku dan memeliharakan farajku (kemaluanku)”. Maka apa yang dimohonkan perlindungan oleh Rasulullah saw daripadanya, lalu bagaimanakah boleh dipandang enteng oleh orang lain ?
Adalah sebahagian orang-orang shalih, membanyakkan kawin, sehingga hampir tidak terlepas dari dua dan tiga isteri. Lalu dibantah oleh sebahagian kaum shufi akan sikap yang demikian. Maka orang shalih itu menjawab: “Adakah diketahui oleh seseorang daripada kamu, bahwa ia duduk dihadapan Allah Ta’ala pada suatu tempat duduk atau berdiri dihadapanNya pada suatu tempat berdiri, pada suatu pergaulan, lalu terguris di hatinya oleh gurisan hawa nafsu syahwat ?”. Maka orang-orang shufi itu menjawab: “Banyaklah yang demikian itu menimpa keatas diri kami”. Orang shalih tadi berkata: “Jikalau aku rela dalam umurku seluruhnya, seperti keadaan kamu dalam suatu waktu saja, niscaya aku tidak kawin. Tetapi aku, tidaklah terguris pada hatiku, suatu gurisan yang membimbangkan aku dari hal-keadaanku, melainkan aku laksanakan terus. Maka senanglah hatiku dan kembalilah aku kepada pekerjaanku. Dan semenjak 40 tahun lamanya, tiadalah terguris pada hatiku kema’siatan”. Sebahagian manusia membantah keadaan orang-orang shufi itu, lalu bertanya kepadanya sebahagian orang-orang beragama: "Apakah yang anda tantang dari mereka ?”. Orang yang menantang itu menjawab: “Orang-orang shufi itu banyak makan”. Maka orang beragama itu menjawab: “Engkaupun kalau lapar seperti mereka lapar, akan makan seperti mereka makan”. Orang yang menantang itu menambah: “Mereka kawin banyak”. Lalu orang beragama itu menyambung: “Engkaupun apabila memelihara kedua mata engkau dan kemaluan engkau, sebagaimana mereka memeliharakannya, niscaya engkaupun kawin sebagaimana mereka itu kawin”.
Al-Junaid berkata: “Aku memerlukan kepada jima’ (bersetubuh) sebagaimana aku memerlukan kepada makanan”. Maka isteri itu sebenarnya, adalah makanan dan sebab untuk kesuci-bersihan hati. Dan karena itulah”, Rasulullah saw menyuruh tiap-tiap orang yang jatuh pandangannya kepada seorang wanita, lalu tertarik hatinya kepada wanita itu, supaya melakukan jima’ dengan isterinya”. Karena yang demikian itu menolak kebimbangan dari dirinya. Diriwayatkan oleh Jabir ra: “Bahwa Nabi saw melihat seorang wanita, lalu beliau masuk ke tempat Zainab dan melaksanakan hajatnya. Kemudian beliau keluar seraya bersabda: “Bahwa wanita itu apabila berhadapan, niscaya ia berhadapan dengan bentuk setan. Maka apabila seseorang kamu melihat wanita, dimana wanita itu menakjubkan kamu, maka hendaklah mendatangi isterinya. Karena bersama isterinya itu, terdapat yang seumpama dengan yang bersama wanita itu”. Dan Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu masuk ke tempat wanita yang tak ada suaminya di rumah (al-mughibat), yaitu: wanita tak ada suaminya bersamanya. Karena setan itu berjalan dari seseorang kamu pada tempat jalannya darah”. Lalu kami (para sahabat) bertanya: “Apakah dari engkau juga ?”. Nabi saw menjawab: “Juga dari aku. Tetapi Allah menolong aku terhadap setan, maka selamatlah aku”
Berkata Sufyan bin ‘Uyainah: “Maksudnya ialah: maka selamatlah aku daripada setan itu. Inilah maksudnya. Dan setan itu tidaklah selamat”. Begitupula diceritakan dari Ibnu Umar ra, dimana beliau termasuk golongan para sahabat yang zuhud dan ahli ilmu, bahwa beliau itu berbuka puasa dengan jima’ sebelum makan. Kadang-kadang beliau melakukan jima’ sebelum mengerjakan shalat Maghrib. Kemudian lalu mandi dan mengerjakan shalat. Yang demikian itu, adalah untuk menyelesaikan hatinya beribadah kepada Allah dan mengeluarkan benda kepunyaan setan daripadanya.
Dan diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra melakukan jima’ pada 3 orang gundiknya dalam bulan Ramadlan sebelum shalat ‘Isya’. Ibnu Abbas berkata: “Yang terbaik dari umat ini, ialah yang terbanyak isterinya”. Tatkala nafsu syahwat itu amat keras pada sifat orang Arab, maka orang-orang shalih dari mereka adalah sangat banyak kawin. Dan untuk ketenangan hati, diperbolehkan kawin budak perempuan, ketika dikuatirkan terjadi perzinaan, sedang pada perkawinan ini adalah memperbudakkan anak. Dan itu adalah semacam pembinasaan dan diharamkan terhadap orang yang mampu kawin dengan wanita merdeka. Tetapi memperbudakkan anak itu, adalah lebih enteng daripada membinasakan agama. Dan tak ada pada perkawinan itu, kecuali mengeruhkan kehidupan anak sebentar saja, sedang pada mengerjakan perbuatan yang keji itu, menghilangkan kehidupan akhirat yang membawa kehinaan umur yang panjang, dengan penambahan kepada hari-harinya.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari, orang banyak meninggalkan tempat Ibnu Abbas dan tinggallah seorang pemuda yang tetap disitu. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya: “Apakah engkau ada sesuatu keperluan ?”. Pemuda itu menjawab: “Ada ! aku ingin menanyakan suatu persoalan. Tadi aku malu kepada orang banyak dan sekarang aku takut kepada tuan dan aku menghormati tuan”. Ibnu Abbas menjawab: “Orang yang berilmu itu adalah seperti bapak sendiri. Apa yang engkau curahkan kepada ayahmu, maka curahkanlah sekarang kepadaku !”. Lalu pemuda itu menyambung: “Sesungguhnya aku seorang pemuda yang tidak mempunyai isteri. Kadang-kadang aku takut akan terjadi perbuatan jahat terhadap diriku. Kadang-kadang aku keluarkan maniku dengan tanganku sendiri. Adakah itu merupakan suatu kemaksiatan ?”. Maka Ibnu Abbas memalingkan muka dari pemuda tadi, kemudian berkata: “Ah, kotor sekali ! mengawini budak perempuan, adalah lebih baik dari itu. Dan itu adalah lebih baik dari perzinaan”. Maka ini, adalah memberitahukan, bahwa orang bujang yang keras nafsu syahwatnya, adalah terumbang-ambing diantara 3 kejahatan. Yang paling rendah dari kejahatan yang 3 itu, ialah mengawini budak perempuan, dimana padanya memperbudakkan anak sendiri. Dan yang paling berat dari kejahatan itu ialah mengeluarkan mani sendiri dengan tangan. Dan yang paling keji dari kejahatan tersebut, ialah melakukan perzinaan.
Ibnu Abbas tidak mengatakan secara mutlak, akan pembolehan sesuatu daripadanya. Karena keduanya itu (mengawini budak wanita dan mengeluarkan mani dengan tangan sendiri), adalah amat mengkuatirkan, yang ditakuti terjerumus kepada yang lebih mengkuatirkan lagi. Sebagaimana ditakuti memakan bangkai, karena ditakuti daripada kebinasaan diri. Maka tidaklah menguatkan yang lebih enteng dari dua kejahatan itu, termasuk dalam pengertian pembolehan mutlak dan tidak dalam pengertian kebaikan mutlak. Dan tidaklah memotong tangan yang dimakan penyakit itu, termasuk perbuatan yang baik, meskipun diizinkan ketika mendekati diri kepada kebinasaan. Jadi, pada perkawinan itu, terhadap keutamaan dari segi ini. Tetapi ini tidaklah merata kepada semuanya, hanya kebanyakan saja. Maka banyaklah orang yang telah lemah syahwatnya, karena usia lanjut atau karena sakit atau karena lainnya, lalu tiadalah penggerak itu pada dirinya. Dan tinggallah apa yang tersebut dahulu, tentang urusan anak. Dan urusan anak itu, adalah hal yang merata, kecuali orang yang telah tersapu bersih kemaluannya (al-mamsuh). Dan itu, adalah jarang. Sebahagian dari sifat (karakter) manusia, amat mengeras nafsu syahwatnya, dimana tidak dapat dibentengi oleh seorang wanita saja. Maka disunatkan bagi orang yang seperti ini, lebih dari seorang wanita, sampai kepada 4 wanita. Kalau kiranya dimudahkan oleh Allah baginya kasih-sayang dan rahmat serta hatinya tenteram dengan wanita-wanita itu, maka syukurlah. Kalau tidak, maka disunatkan baginya mengganti.
Saidina Ali ra kawin sesudah wafat Fatimah ra 7 malam. Ada yang mengatakan, bahwa Al-Hasan bin Ali suka sekali kawin, sehingga beliau kawin lebih dari 200 wanita. Dan kadang-kadang, beliau melakukan ‘aqad nikah 4 wanita dalam satu waktu. Dan kadang-kadang beliau ceraikan 4 dalam satu waktu dan menggantikan mereka itu semuanya. Nabi saw bersabda kepada Al-Hasan: “Engkau telah menyerupai bentukku dan akhlaqku”. Dan bersabda Nabi saw: “Al-Hasan itu daripadaku dan Al-Husain daripada Ali”. Maka ada yang mengatakan, bahwa banyaknya kawin Al-Hasan itu, adalah salah satu dari apa yang menyerupai Al-Hasan dengan akhlaq Rasulullah saw.
Al-Mughirah bin Sya’bah telah kawin dengan 80 wanita. Dan dalam kalangan sahabat itu, ada yang mempunyai 3 dan 4 isteri. Dan yang mempunyai 2 isteri, adalah tidak terhingga jumlahnya. Manakala yang menggerakkan kepada perkawinan itu telah dimaklumi, maka seyogyalah dicari obat menurut penyakit. Yang dimaksud, ialah menenteramkan jiwa. Maka hendaklah diperhatikan kepada ketenteraman jiwa itu, tentang banyak dan sedikitnya.
Faedah ketiga: menyenangkan jiwa, menjinakkannya dengan duduk bersama-sama, pandang-memandang dan bersenda-gurau, untuk menenteramkan hati dan menguat kannya kepada ibadah. Karena sesungguhnya jiwa itu pembosan. Dan terhadap kepada kebenaran, jiwa itu melarikan diri, karena menyalahi tabiat pembawaannya. Kalau dipaksakan jiwa itu berbuat terus-menerus dengan paksaan terhadap apa yang menyalahi dengan kemauannya, niscaya ia melawan dan kembali kepada kemauannya sendiri. Dan apabila dihiburkan dengan berbagai macam kesenangan pada sebahagian waktu, niscaya ia menjadi kuat dan rajin. Dan menjinakkan hati dengan wanita, adalah termasuk sebahagian dari istirahat, yang menghilangkan kesusahan hati dan menyenangkan kalbu. Dan sewajarnyalah hendaknya, ada istirahat-istirahat dengan hal-hal yang diperbolehkan, bagi jiwa orang-orang yang bertaqwa (al-muttaqin). Dan karena itulah, Allah berfirman: “Supaya dia (laki-laki) merasa senang kepadanya (kepada wanita)”. S 7 Al A’raaf ayat 189.
Ali ra berkata: “Senangkanlah hatimu sesaat, karena apabila hati itu tidak merasa senang, niscaya ia buta !”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Hendaklah orang yang berakal itu mempunyai 3 saat: sesaat ia  membisikkan segala isi hati dengan Tuhannya, sesaat ia memperhitungkan dirinya (mengadakan hisab terhadap amal perbuatannya) dan sesaat ia menyendiri dengan makanan dan minumannya”. Karena sesungguhnya pada saat ini, adalah menolong kepada saat-saat yang tersebut itu. Dan seperti hadits tadi, dengan susunan kata-kata yang lain: “Tidak adalah orang yang berakal itu menempuh, selain pada 3: perbelanjaan untuk akhirat atau persiapan untuk hidup atau kesenangan pada jalan yang tidak diharamkan”.
Dan bersabda Nabi saw: “Bagi tiap-tiap orang yang bekerja itu, mempunyai kesungguhan dan bagi tiap-tiap kesungguhan itu, mempunyai waktu terluang. Maka barangsiapa waktu terluangnya itu ada kepada sunnahku, niscaya sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk”. Kesungguhan itu, adalah pada permulaan kehendak dan waktu terluang itu, ialah berhenti untuk istirahat.
Adalah Abud-Darda’ itu berkata: “Sesungguhnya aku jadikan diriku bersenang-senang dengan sedikit permainan, supaya dengan demikian, aku menjadi kuat kemudian kepada kebenaran”. Pada sebahagian hadits dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Aku mengadu kepada Jibril as akan kelemahanku dari bersetubuh, maka ditunjukkannya aku untuk memakan harisah (semacam makanan yang terbuat dari biji-bijian yang ditumbuk halus dan daging)”. Hadits ini kalau benar, tidaklah yang membawa kepadanya, selain untuk persediaan bagi istirahat. Dan tidak mungkin mengobatinya dengan penolakan nafsu syahwat. Karena dengan cara yang demikian, adalah mengobarkan nafsu syahwat itu. Dan siapa yang tidak mempunyai syahwat, niscaya tidak mempunyai lebih banyak dari kejinakan hati ini.
Dan Nabi saw bersabda: “Telah menjadi kecintaan kepadaku dari duniamu itu 3 perkara: bau-bauan, wanita dan tetap mataku kepada shalat”. Inipun suatu faedah, yang tidak dapat dibantah oleh orang yang mencoba memayahkan dirinya pada berpikir, berdzikir dan berbagai macam amal perbuatan lainnya. Dan itu adalah diluar dari dua faedah yang lalu. Sehingga dia itu banyak mendatang pada diri orang yang tersapu rata (al-mamsuh) dan orang yang tak mempunyai nafsu syahwat sama sekali. Kecuali, bahwa faedah ini adalah menjadikan nikah itu mempunyai keutamaan, dengan menyandarkan kepada niat itu. Dan sedikitlah orang yang bermaksud dengan perkawinan itu yang demikian.
Adapun tujuan memperoleh anak, menolak hawa nafsu syahwat dan sebagainya, maka itu adalah termasuk hal yang banyak. Kemudian banyak juga orang yang merasa terhibur dengan memandang kepada air yang mengalir, tumbuh-tumbuhan yang hijau dan seumpamanya. Dan ia tidak memerlukan kepada penyenangan hati dengan bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan wanita. Maka berlainanlah ini, dengan berlainan hal dan keadaan orang. Maka hendaklah diperhatikan dengan sebaik-baiknya !.
Faedah keempat: mengosongkan hati dari urusan rumah tangga, beban urusan masak, menyapu, mengurus tempat tidur, membersihkan piring dan menyediakan segala keperluan hidup. Sesungguhnya manusia, jikalau tidak mempunyai nafsu syahwat bersetubuh, niscaya sulitlah baginya kehidupan dalam rumah tangganya sendirian. Karena, kalaulah ia harus memikul segala urusan rumah tangga, niscaya hilanglah sebahagian besar waktunya dan ia tidak mempunyai kesempatan untuk ilmu dan amal. Maka wanita yang shalih, yang dapat mengurus rumah tangga, adalah menolong agama dengan jalan tersebut. Dan rusaknya sebab-sebab tadi, adalah merepotkan, mengganggu hati dan mengeruhkan kehidupan. Dan karena itulah, Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Isteri yang shalih, tidaklah termasuk dunia. Karena dia menyelesaikan engkau ke akhirat. Dan penyelesaiannya itu, adalah dengan mengurus rumah tangga dan bersama dengan menunaikan nafsu syahwat”.
Berkata Muhammad bin Ka’b Al Qardhi, mengenai pengertian firman Allah Ta’ala: “Hai Tuhan kami ! berilah kami kebaikan dunia ini”. S 2 Al Baqarah ayat 201, beliau berkata, yaitu: wanita yang shalih. Nabi saw bersabda: “Hendaklah dibuat oleh seorang kamu, hati yang tahu berterima kasih, lidah yang mengingati Tuhan dan isteri yang mu’min, lagi shalih, yang akan menolongnya ke akhirat !”. Maka perhatikanlah, bagaimana Nabi saw mengumpulkan diantara isteri, dzikir dan terima kasih (syukur) ! dan pada sebahagian tafsir, tentang firman Allah Ta’ala: “Maka sesungguhnya akan Kami hidupkan dia dalam kehidupan yang baik”. S 16 An Nahl ayat 97, maka menurut tafsir itu, ialah: isteri yang shalih. Umar bin Al-Khaththab ra berkata: “Tidaklah dianugerahkan kepada seorang hamba sesudah beriman kepada Allah, yang lebih baik daripada wanita yang shalih. Sesungguhnya sebahagian dari wanita itu, merupakan yang diperoleh, yang tak dapat diperoleh gantinya dan rantai yang tidak dapat dilepaskan.
Nabi saw bersabda: “Dilebihkan aku dari anak Adam yang lain, dengan dua perkara: isterinya menolong dia kepada ma’siat dan isteriku menolong aku kepada taat, setannya itu kafir, sedang setanku muslim, yang tidak menyuruh, selain yang kebajikan”. Nabi saw menghitung pertolongan wanita kepada ketaatan itu, suatu keutamaan. Maka inipun, sebahagian dari faedah-faedah yang dimaksudkan oleh orang-orang shalih. Hanya pertolongan wanita itu, tertentu kepada sebahagian orang-orang yang tak ada baginya penanggung dan pengatur. Dan pertolongan itu tidak meminta kepada dua orang wanita. Tetapi berkumpulnya wanita, kadang-kadang membawa keruhnya kepada penghidupan dan menggoncangkan urusan rumah tangga. Dan termasuk pada faedah ini, maksud memperbanyakkan keluarga dan kekuatan yang diperoleh dengan sebab termasuknya beberapa keluarga itu. Hal yang demikian, adalah yang diperlukan untuk menolak kejahatan dan mencari keselamatan. Dan karena itulah, ada yang mengatakan: ”Hinalah orang tidak mempunyai penolong. Dan barangsiapa memperoleh orang yang menolak daripadanya kejahatan, niscaya sejahteralah keadaannya dan selesailah hatinya untuk beribadah. Karena kehinaan itu, mengganggu hati dan kemuliaan dengan banyak kawan, adalah menjadi penolak kehinaan”.
Faedah kelima: berjuang dengan segenap jiwa dan melatihnya, dengan memelihara, memimpin dan menegakkan hak-hak isteri. Bersabar terhadap budi pekerti mereka, menanggung kesakitan yang datang dari pihak mereka, berusaha memperbaiki mereka, memberi petunjuk kepada mereka ke jalan agama, bersungguh-sungguh mencari yang halal karena mereka dan tegak melaksanakan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini semuanya, adalah pekerjaan yang besar keutamaannya. Karena itu adalah pemeliharaan dan penjagaan. Isteri dan anak itu, adalah rakyatnya. Dan keutamaan pemeliharaan itu besar. Dan sesungguhnya yang dapat memelihara itu, ialah orang yang dapat memelihara, karena takut keteledoran dari menegakkan tugas-tugasnya. Dan kalau tidak demikian, maka Nabi saw telah bersabda: “Sehari dari wali yang adil, adalah lebih utama dari ibadah 70 tahun”. Kemudian Nabi saw menyambung: “Ketahuilah, tiap-tiap kamu itu penggembala dan tiap-tiap kamu itu bertanggung jawab tentang rakyat yang digembalakannya”. Dan tidaklah sama orang yang bekerja memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain, seperti orang yang bekerja memperbaiki dirinya sendiri saja. Dan tidaklah sama orang yang sabar dari kesakitan, seperti orang yang memewahkan dirinya dan menyenangkannya. Maka penanggungan yang diperdapat lantaran isteri dan anak, adalah seperti berjihad fi sabilillah. Dan karena itulah, Bisyr berkata: “Ahmad bin Hanbal melebihi aku dengan 3 perkara. Salah satu daripadanya, adalah ia mencari yang halal untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain”.
Dan Nabi saw bersabda: “Apa yang dibelanjakan oleh seseorang kepada isterinya itu adalah sedekah. Dan sesungguhnya orang laki-laki itu diberi pahala pada suap yang diangkatkannya ke mulut isterinya”.
Berkata sebahagian mereka kepada setengah ulama: “Dari tiap-tiap amal perbuatan yang dianugerahi oleh Allah kepadaku, sebagai bahagian, sehingga dzikir, hajji, jihad dll”.
Lalu ulama itu bertanya kepadanya: “Bagaimana pikiran engkau tentang amal perbuatan wali-wali Allah ?”.
Orang itu bertanya: “Apakah perbuatan itu ?””.
Ulama tadi menjawab: “Usaha yang halal dan memberi nafkah kepada keluarga (isteri dan anak)”.
Ibnul-Mubarak berkata, dimana beliau bersama teman-temannya dalam suatu peperangan. “Tahukah kamu perbuatan yang lebih utama, daripada perbuatan yang berada kita sekarang didalamnya ?”.
Teman-teman itu menjawab: “Kami tidak tahu”.
Beliau menyambung: “Aku tahu !”.
Lalu mereka itu bertanya: “Apakah itu ?”.
Maka beliau menjawab: “Seorang laki-laki yang menjaga kehormatan diri, mempunyai anak isteri, bangun di malam hari, lalu memandang kepada anak-anaknya yang kecil-kecil, sedang tidur nyenyak, badan mereka terbuka. Maka ditutup dan diselimutkannya dengan kainnya sendiri. Amal perbuatan orang itu, adalah lebih utama, daripada perbuatan yang sedang kita laksanakan ini !”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bagus shalatnya, banyak keluarganya, sedikit hartanya dan ia tidak mencaci orang Islam, niscaya ia ada bersama aku dalam sorga, seperti dua ini”. (Nabi saw menunjukkan dengan jari telunjuk dan jari tengah). Dan pada hadits lain, tersebut: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang miskin yang memelihara kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Apabila banyaklah dosa hamba, niscaya ia dicoba oleh Allah dengan kesusahan keluarga, untuk menutupkan dosa itu daripadanya”. Berkata setengah ulama salaf: “Sebahagian dari dosa-dosa itu ialah dosa yang tidak tertutup, kecuali oleh kesusahan yang disebabkan oleh keluarga”. Dan mengenai ini, dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Sebahagian dari dosa-dosa itu, ialah dosa yang tidak tertutup, kecuali oleh kesusahan mencari penghidupan”. Dan bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mempunyai 3 orang anak perempuan, lalu ia mengeluarkan perbelanjaan dan berbuat kebaikan kepada mereka, sehingga mereka diberi kekayaan oleh Allah, tanpa memerlukan lagi kepadanya, niscaya diwajibkan oleh Allah baginya sorga, pasti-pasti kecuali ia berbuat sesuatu perbuatan yang tidak diberi ampunan”.
Adalah Ibnu Abbas, apabila memperkatakan hadits ini, lalu berkata: “Demi Allah, itu adalah termasuk hadits yang tidak begitu terkenal (hadits gharib) dan hadits yang dapat menipukan”. Diriwayatkan, bahwa sebahagian orang yang kuat beribadah kepada Allah, adalah menegakkan kebaikan kepada isterinya, sampai kepada isterinya itu meninggal. Lalu dikemukakan kepadanya untuk dikawinkan lagi. Maka ia menolak, seraya berkata: “Bersendirian, adalah lebih menyenangkan hatiku dan lebih mengumpulkan cita-citaku”. Kemudian ia menerangkan: “Aku bermimpi sesudah seminggu dari meninggalnya, seolah-olah segala pintu langit itu terbuka dan seolah-olah beberapa orang laki-laki turun dan berjalan-jalan di angkasa, diikuti oleh sebahagian akan lainnya. Maka tiap kali turun seorang, lalu ia memandang kepadaku, seraya berkata kepada orang yang dibelakangnya: “Bahwa orang ini, adalah orang celaka”. Maka menjawab yang lain: “Ya !” Dan menyambung yang ketiga begitu juga. Dan menyahut yang ke-4: “Ya betul !”. Maka akupun takut menanyakan mereka, karena takut dari yang demikian itu. Sehingga lalulah dekatku yang penghabisan dari mereka dan dia itu seorang anak kecil. Lalu aku bertanya kepadanya: “Hai, siapakah orang celaka ini, yang kamu tunjukkan kepadanya ?”. Anak kecil itu menjawab: “Tuanlah !”. Maka aku bertanya: “Mengapakah bagitu ?”. Ia menjawab: “Kami angkatkan amalan tuan dalam amalan orang-orang yang berjuang fi sabilillah. Maka semenjak seminggu yang lalu, kami disuruh meletakkan amalan tuan bersama orang-orang yang meninggalkan jihad. Kami tidak mengetahui apa yang tuan perbuat !”. Kemudian, maka orang itupun meminta kepada teman-temannya: “Kawinkanlah aku ! kawinkanlah aku ! sehingga tidak berpisah dengan dia, dua isteri atau tiga”.
Dalam cerita nabi-nabi as diceritakan, bahwa suatu golongan datang kepada Nabi Yunus as. Lalu beliau menggabungkan diri bersama mereka. Maka masuk dan keluar ke rumahnya. Lalu beliau disakiti oleh isterinya dan dimakinya. Dan beliau itu berdiam diri saja. Mereka itu merasa heran yang demikian. Lalu Nabi Yunus as bersabda: “Janganlah kamu heran, karena aku telah bermohon pada Allah Ta’ala dan aku mengatakan: “Janganlah kiranya Engkau menyiksakan aku di akhirat ! maka segerakanlah siksaan itu bagiku di dunia !” Maka Allah Ta’ala berfiman: “Sesungguhnya siksaanmu, ialah anak perempuan si Anu yang engkau kawin dengan dia”. Maka aku kawin dengan anak perempuan itu dan aku bersabar diatas apa yang engkau lihat daripadanya”. Tentang kesabaran diatas yang demikian itu, adalah latihan bagi jiwa, menghancurkan kemarahan dan membaguskan akhlaq. Karena orang yang tinggal sendirian atau sekutu dengan orang yang bagus akhlaqnya, tidaklah tersaring daripadanya kekejian jiwa kebatinan dan tidaklah terbuka segala kekurangannya yang tersembunyi. Maka pantaslah kepada orang yang berjalan ke jalan akhirat, mencoba dirinya dengan menempuh segala penggerak yang seperti itu serta membiasakan kesabaran kepadanya. Supaya luruslah akhlaqnya, terlatihlah jiwanya dan bersihlah dari segala sifat yang tercela kebatinannya. Dan kesabaran terhadap tingkah laku keluarga, dimana kesabaran itu merupakan latihan dan perjuangan, adalah pikulan bagi mereka dan menegakkan hak-hak keluarga serta dengan sendirinya menjadi ibadah. Maka inipun sebahagian dari faedah-faedah. Tetapi tidak mengambil manfaat dengan dia, kecuali seorang dari dua: adakalanya orang yang  bermaksud mujahadah= berjihat melawan hawa nafsu, latihan dan pemurnian akhlaq. Karena dia berada pada permulaan jalan. Maka tidak jauhlah menampak ini, sebagai jalan pada mujahadah. Dan terlatihlah dengan itu, jiwanya. Dan adakalanya orang itu sebahagian dari orang-orang abid, yang tak ada baginya perjalanan dengan yang salah dan gerakan dengan pikiran dan hati. Amalannya, hanyalah dengan amalan anggota badan, dengan shalat atau hajji atau lainnya. Maka perbuatannya untuk isteri dan anak-anaknya, dengan mengusahakan yang halal untuk mereka dan bangun menyusun ketertiban hidup mereka, adalah lebih utama baginya dari segala ibadah yang wajib bagi tubuhnya, yang tidak melampaui kebajikannya kepada orang lain.
Adapun orang yang berakhlaq murni, adakalanya dengan mencukupi pada asal kejadiannya atau dengan berjihat melawan hawa nafsu pada masa-masa yang dahulu, sebelum kawin, apabila ia mempunyai perjalanan pada kebatinan dan gerakan dengan pemikiran hati dalam segala ilmu dan mukasyafah (yang diminta mengetahuinya saja). Maka tidak seyogyalah ia kawin karena maksud tersebut. Karena latihan itu sendiri telah mencukupi baginya.
Adapun ibadah dalam amal dengan usaha bagi mereka itu, maka ilmu, adalah lebih utama dari yang demikian. Karena ilmu juga adalah amal. Dan faedahnya, adalah lebih banyak dari yang demikian. Lebih lengkap dan merata kepada segala makhluk lainnya, dibandingkan dengan faedah usaha kepada keluarga. Maka inilah faedah perkawinan dalam agama, dimana dengan faedah-faedah itu, agama menetapkan keutamaan bagi perkawinan.
Adapun bahaya perkawinan, maka 3 perkara:
Pertama: yaitu yang terkuat dari 3 perkara ini, ialah lemah daripada mencari yang halal. Sesungguhnya yang demikian itu tidaklah mudah bagi masing-masing orang, lebih-lebih lagi pada waktu-waktu ini, serta bergoncangnya penghidupan. Maka adalah perkawinan itu, suatu sebab dalam meluaskan untuk mencari dan memberi makan dari yang haram. Dan pada itulah, kebinasaannya dan kebinasaan isterinya. Sedang orang yang membujang, adalah terpelihara daripada yang demikian.
Adapun orang yang kawin, maka dalam hal yang terbanyak, ia terjerumus dalam lobang-lobang kejahatan. Lalu ia menuruti kemauan isterinya dan menjual akhiratnya dengan dunianya. Pada suatu hadits, tersebut: “Sesungguhnya hamba itu disuruh berdiri pada Timbangan (Al-Mizan). Ia mempunyai kebajikan seperti bukit. Lalu ditanyakan dari hal pemeliharaan keluarganya dan pelaksanaan hak-hak mereka. Ditanyakan tentang hartanya, darimana diusahakannya dan pada apa dibelanjakannya. Sehingga habis dengan segala tuntutan itu, semua amal-perbuatannya. Maka tidak tinggal baginya lagi suatu kebajikanpun. Maka diserukan oleh malaikat: “Inilah orang, yang telah dimakan oleh keluarganya segala kebajikannya di dunia dan pada hari ini ia tergadai dengan segala amal perbuatannya”. Dan dikatakan, bahwa yang pertama-tama yang bersangkutan dengan seseorang pada hari kiamat, ialah isteri dan anaknya. Mereka itu membawanya berdiri di hadapan Allah Ta’ala, seraya mengatakan: “Wahai Tuhan kami ! ambillah untuk kami akan hak kami daripadanya ! karena ia tidak mengajarkan kami, apa yang tidak kami ketahui. Ia memberikan kepada kami makanan yang haram, sedang kami tiada mengetahuinya”. Maka pada ketika itu, Allah Ta’ala memotong daripada amalannya untuk mereka itu”.
Berkata setengah salaf: “Apabila dikehendaki oleh Allah akan kejahatan bagi seorang hamba, niscaya dikuasakanNya keatas orang itu dalam dunia, gigi-gigi yang tajam yang akan menggigitnya, ya’ni: anak dan isteri (al-‘iyal)”. Nabi saw bersabda: “Tiada diperoleh seseorang akan dosa daripada Allah, yang lebih besar daripada kebodohan isterinya”. Inilah bahaya umum. Sedikitlah orang yang terlepas daripadanya. Kecuali orang yang mempunyai harta pusaka atau usaha dari yang halal, yang cukup untuknya sendiri dan untuk isterinya. Dan ia mempunyai rasa puas (al-qana’ah), yang mencegahnya daripada mencari yang lebih. Sesungguhnya, orang itulah yang terlepas daripada bahaya tersebut. Atau orang yang mempunyai perusahaan dan sanggup berusaha yang halal daripada usaha-usaha yang diperbolehkan (al-mubahat), dengan memotong kayu api atau memburu atau berada pada perusahaan yang tiada sangkut-paut dengan raja-raja. Dan ia sanggup bergaul dengan orang-orang baik (ahlul-khair) dan orang-orang yang menurut zhahiriyahnya berkeadaan sejahtera dan kebanyakan hartanya itu halal. Ibnu Salim ra berkata, dimana beliau ditanyakan tentang kawin, maka beliau menjawab: “kawin itu adalah lebih afdhal (lebih utama) pada masa kita sekarang ini, bagi orang yang bersangatan nafsu syahwatnya, seperti keledai jantan yang melihat keledai betina. Ia tidak dapat dilarang dari keledai betina itu dengan pukulan. Orang itu tidak dapat menguasai dirinya. Kalau dapat menguasai dirinya, maka meninggalkan kawin itu adalah lebih utama.
Bahaya kedua: keteledoran menegakkan hak-hak wanita, bersabar terhadap budi-pekerti mereka dan menanggung penderitaan yang timbul dari mereka. Bahaya ini, adalah kurang daripada bahaya pertama pada umumnya. Karena kemampuan terhadap ini, adalah lebih mudah dibandingkan dengan kemampuan terhadap yang pertama itu. Memperbaiki akhlaq kaum wanita dan bangun melaksanakan hak-hak mereka, adalah lebih mudah daripada mencari yang halal. Dalam hal ini, ada juga bahayanya, karena dia itu penggembala dan bertanggung jawab tentang penggembalaannya.
Dan Nabi saw bersabda:  “Mencukupilah dosa bagi seorang manusia, yang menyia-nyiakan keluarganya”. Dan diriwayatkan, bahwa orang yang lari dari keluarganya, adalah seperti budak yang lari, meninggalkan tuannya. Tiada diterima shalat dan puasanya, sebelum ia kembali kepada mereka. Dan barangsiapa yang teledor daripada menegakkan hak wanita, meskipun ia berada di tempatnya, maka ia seperti orang yang melarikan diri. Berfirman Allah Ta’ala: “Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Ia menyuruh kita memeliharakan mereka dari api neraka, sebagaimana kita memeliharakan diri kita sendiri. Manusia itu kadang-kadang lemah daripada menegakkan haknya sendiri. Dan apabila ia kawin, maka kewajibannya berlipat ganda dan bertambah kepada nafsunya, nafsu yang lain. Dan nafsu itu menyuruh dengan kejahatan. Jikalau nafsu itu, banyak, niscaya banyaklah biasanya suruhannya dengan kejahatan. Karena itulah, sebahagian mereka meminta maaf dari kawin dan berkata: “Aku dicoba oleh nafsuku sendiri, maka bagaimanakah aku menambahkan lagi kepadanya nafsu orang lain, sebagaimana kata seorang penyair ?”.
“Tidaklah tikus itu,
termuat di lobangnya.
Engkau gantungkan pula,
sapu pada belakangnya.......”
Dan begitu pulalah Ibrahim bin Adham ra meminta maaf, seraya berkata: “Tidaklah akan aku tipu seorang wanita oleh diriku sendiri dan tidaklah aku memerlukan kepada mereka. Artinya: tentang menegakkan hak-hak mereka, menjaga dan memberikan belanja kepada mereka. Aku tidak sanggup daripada yang demikian”. Dan begitupula, Bisyr meminta maaf dan mengatakan: “Yang menghalangi aku kawin, ialah firman Allah Ta’ala: “Perempuan-perempuan itu mempunyai hak, seimbang dengan kewajibannya”. S 2 Al Baqarah ayat 228. Bisyr berkata: “Jikalau adalah aku berkeluarga banyak, niscaya aku takut, aku menjadi penjual kulit pada jembatan”. Kelihatan Sufyan bin ‘Uyainah ra pada pintu sultan. Lalu ia ditanyakan: “Apakah ini tempat perhentiamu ?”. Maka beliau menjawab: “Adakah engkau melihat orang yang berkeluarga itu mendapat kemenangan ?” Lalu Sufyan bermadah:
“Alangkah bagusnya membujang dan kunci,
serta tempat tinggal.....
yang dikoyakkan angin,
tak ada teriakan padanya dan pekikan......”
maka inipun bahaya umum, meskipun kurang dari umumnya yang pertama. Tidak memperoleh keselamatan daripadanya, kecuali ahli hikmah, yang berakal, yang berakhlaq baik, yang mengetahui benar adat-kebiasaan kaum wanita, yang banyak sabar menghadapi lidah kaum wanita, mengetahui cara mengikuti nafsu syahwat wanita, bersungguh-sungguh menyempurnakan akan hak-hak wanita, yang tidak begitu memperhatikan ketelanjuran mereka dan dapat mengetahui dengan akal-pikirannya akan budi-pekerti wanita itu. Kebanyakan manusia itu bodoh, kasar, keras, kejam, jahat budi-pekerti dan tidak insyaf, serta mencari kesempurnaan keinsyafan itu. Sifat yang seperti ini, tidak mustahil akan bertambah kerusakannya, disebabkan kawin dari segi tadi. Maka sendirian (single) adalah lebih menyelamatkannya.
Bahaya ketiga: yaitu kurang dari bahaya yang pertama dan yang kedua, bahwa isteri dan anak itu mengganggunya dari mengingati Allah. Dan menarikkannya kepada mencari dunia, membaguskan penyusunan hidup untuk anak-anak dengan banyak mengumpulkan harta dan menyimpankannya untuk anak-anak itu, mencari kemegahan dan berbanyak-banyak harta disebabkan mereka. Tiap-tiap sesuatu yang menyibukkan diri, daripada mengingati Allah, baik isteri, harta dan anak, adalah terkutuk orang yang bersifat demikian. Dan tidaklah saya maksudkan dengan ini, bahwa ia terbawa kepada yang dilarang. Karena yang demikian itu termasuk kepada bahaya pertama dan kedua. Tetapi ia terbawa kepada bersenang-senang dengan yang dibolehkan (al-mubah). Bahkan membawa kepada tenggelam bermain-main dengan wanita, becumbu-cumbuan dengan mereka dan menaruh penuh perhatian bersenang-senang dengan mereka. Dan berkobarlah dari perkawinan itu bermacam-macam gangguan dari yang sejenis tadi, yang menenggelamkan hati. Lalu dihabiskannya malam dan siang. Dan orang itu tidak memperoleh keluangan waktu lagi untuk bertafakkur kepada akhirat dan mengadakan persiapan bagi akhirat.
Karena itulah, berkata Ibrahim bin Adham ra: “Barangsiapa membiasakan paha wanita, niscaya tidak akan datang daripadanya sesuatu”. Berkata Abu Sulaiman ra: “Barangsiapa kawin, maka sesungguhnya ia telah condong kepada dunia”. Artinya: membawanya yang demikian itu kepada kecondongan kepada dunia. Maka inilah kumpulan dari bahaya-bahaya dan faedah-faedah itu ! Untuk menetapkan terhadap seseorang, apakah lebih utama ia kawin atau membujang secara mutlak, maka terserah melihat kepada hal-hal yang telah dikumpulkan tadi. Bahkan segala faedah dan bahaya itu, dapat diambil menjadi perbandingan dan pemegangan. Dan bagi seorang murid, hendaklah mengemukakannya terhadap dirinya sendiri. Kalau pada dirinya tidak terdapat bahaya-bahaya itu dan terkumpul segala faedahnya, dengan dimilikinya harta yang halal, budi pekerti yang baik, kesungguhan kepada agama yang sempurna, tidak akan diganggu oleh perkawinan itu daripada mengingati Allah dan bersama itu, ia seorang pemuda yang memerlukan kepada penenteraman nafsu syahwat dan dia seorang diri yang memerlukan kepada yang mengatur rumah tangga dan memelihara kaum keluarga, maka tidak syak lagi, bahwa kawin, adalah lebih utama baginya, dimana dengan kawin itu adalah usaha untuk memperoleh anak. Kalau tidak adalah faedah dan berkumpullah bahaya-bahaya yang tersebut itu, maka membujang, adalah lebih utama baginya. Dan kalau seimbanglah diantara faedah dan bahaya dan itulah yang kebanyakan –maka seyogyalah ditimbangnya dengan neraca yang adil, akan bahagian yang berfaedah itu pada tambahan dari agamanya dan bahagian yang berbahaya itu pada kekurangan dari agamanya. Maka apabila telah berat dugaan akan kekuatan salah satu daripada keduanya, niscaya ditetapkannyalah yang satu itu. Faedah yang lebih menonjol, ialah anak dan menenteramkan nafsu syahwat. Dan bahaya yang lebih menonjol, ialah memerlukan kepada usaha yang haram dan sibuk tidak mengingati Allah. Maka hendaklah kami mengumpamakan akan keseimbangan hal-hal tersebut, lalu kami menerangkan, bahwa orang yang tidak mendatangkan baginya kemelaratan dengan nafsu syahwat dan faedah perkawinannya adalah dalam usaha memperoleh anak dan adalah bahayanya, ialah: memerlukan kepada usaha yang haram dan kesibukan, tidak dapat mengingati Allah, maka baginya membujang adalah lebih utama. Karena tiadalah kebajikan mengenai sesuatu yang menyibukkan, tanpa mengingati Allah. Dan tiadalah kebajikan dalam usaha yang haram dan tidaklah dapat disempurnakan oleh urusan anak dengan kekurangan dua hal ini. Maka kawin untuk memperoleh anak, adalah suatu usaha dalam mencari kehidupan yang masih disangsikan bagi anak itu. Dan ini, adalah suatu kekurangan dalam agama, yang menampak sekarang juga.
Maka memeliharanya, adalah untuk kehidupan dirinya sendiri. Dan menjaganya dari kebinasaan, adalah lebih penting daripada usaha untuk memperoleh anak. Dan itu, adalah suatu keuntungan dan agama itu, adalah modalnya. Dan dalam merusakkan agama itu, adalah kesalahan kehidupan akhirat dan kehilangan modal. Dan faedah itu tidak dapat melawan akan salah satu dari dua bahaya tersebut.
Adapun apabila menambah kepada urusan anak oleh keperluan menghancurkan nafsu syahwat, karena rindunya diri kepada kawin, maka dalam hal ini, haruslah diperhatikan. Yaitu, kalau cemeti ketaqwaan tidak sanggup menundukkan kepalanya dan ia takut kepada dirinya akan zina, maka kawin adalah lebih utama baginya. Karena ia bimbang diantara terjerumus kepada perzinaan atau memakan yang haram. Dan usaha yang haram itu, adalah yang termudah dari dua kejahatan ini. Dan kalau ia percaya kepada dirinya, tidak akan terjerumus kepada perzinaan, tetapi disamping itu ia tidak sanggup memicingkan mata dari yang haram, maka meninggalkan kawin adalah lebih utama. Karena memandang itu haram dan berusaha pada bukan wajahNya itu haram. Dan usaha itu selalu terjadi dan padanya kema’siatannya sendiri dan kema’siatan isterinya. Dan memandang kepada yang haram itu, kadang-kadang terjadi dan itu adalah tertentu baginya sendiri dan menghilang dalam waktu dekat.
Memandang itu adalah zina mata, tetapi apabila tidak dibenarkan oleh kemaluan, maka amat dekatlah kepada pemaafan, dibandingkan dengan memakan yang haram. Kecuali, ia takut bahwa dibawa oleh pandangan itu kepada ma’siat kemaluan. Maka kembalilah yang demikian itu kepada ketakutan perzinaan. Apabila ini telah tetap, maka hal yang ketiga –dimana ia kuat memicing mata, tetapi tidak kuat menolak pikiran-pikiran yang mengganggu hati –maka lebih utama meninggalkan kawin. Karena amal perbuatan hati, adalah lebih dekat kepada pemaafan. Dan sesungguhnya yang dimaksudkan, ialah menyelesaikan hati untuk ibadah. Dan ibadah itu tidak akan sempurna bersama usaha yang haram, memakan dan memberi makanan orang lain dengan haram itu. Maka demikianlah seyogyanya ditimbang bahaya-bahaya itu dengan faedah-faedahnya dan ditetapkan hukumnya menurut perkiraan tadi. Barangsiapa telah memahami akan ini, niscaya tidaklah sulit baginya sesuatu, daripada apa yang telah kami nukilkan dari orang-orang terdahulu (orang salaf), mengenai penggemaran kepada perkawinan itu pada suatu kali dan pembencian padanya pada kali yang lain. Karena yang demikian itu, adalah benar menurut keadaan.
Kalau anda bertanya, terhadap orang yang merasa aman dari bahaya-bahaya itu, maka manakah yang lebih baik baginya, menjuruskan hati kepada beribadah kepada Allah atau kawin ? maka aku menjawab, bahwa diantara kedua hal itu dapat dikumpulkan. Karena kawin tidaklah mencegah daripada menjuruskan hati kepada beribadah kepada Allah, dari segi kawin itu, suatu perikatan (‘aqad). Tetapi dari segi memerlukan kepada usaha, maka kalau ia sanggup kepada usaha yang halal, maka kawin juga adalah lebih utama.
Karena malam dan waktu-waktu siang yang lain, adalah mungkin padanya menjuruskan hati kepada beribadah. Dan rajin beribadah, tanpa istirahat, adalah tidak mungkin. Kalau diumpamakan, dia itu tenggelam dalam seluruh waktu dengan usaha, sehingga tidak tinggal dari waktunya, selain waktu untuk shalat fardlu, tidur, makan dan membuang air, maka kalau orang itu termasuk orang yang tidak menjalani jalan akhirat, kecuali dengan shalat sunat atau hajji dan yang berlaku seperti hajji dari ibadah-ibadah badan yang lain, maka baginya, kawin adalah lebih baik (lebih afdhal).
Karena dalam mengusahakan yang halal, tegak dengan urusan isteri, berusaha memperoleh anak dan bersabar terhadap tingkah laku wanita, adalah merupakan berbagai macam dari ibadah yang tidak kurang keutamaannya dari ibadah-ibadah sunat. Dan kalau adalah ibadahnya dengan ilmu, tafakkur, perjalanan batin dan usaha dimana yang demikian itu mengganggu kepadanya, maka dalam hal ini; meninggalkan kawin, adalah lebih utama.
Kalau anda bertanya: mengapakah Nabi Isa as meninggalkan kawin, sedang kawin itu suatu keutamaan ? dan kalau adalah yang lebih utama menjuruskan hati beribadah kepada Allah, maka mengapakah Rasulullah saw membanyakkan isteri ? Ketahuilah kiranya, bahwa yang terlebih utama, ialah mengumpulkan diantara keduanya, terhadap orang yang mampu, kuat angan-angannya dan tinggi cita-citanya. Maka tidaklah ia dapat diumbang-ambingkan oleh sesuatu penggoda daripada mengingati Allah. Dan Rasulullah saw telah mempunyai kekuatan dan dapat mengumpulkan diantara kelebihan ibadah dan nikah. Dan sesungguhnya beliau, serta 9 orang isteri, dapat menjuruskan diri kepada beribadah kepada Allah. Dan adalah menunaikan keperluan dengan kawin bagi diri Nabi saw adalah tidak menjadi penghalang. Sebagaimana membuang air terhadap orang-orang yang sibuk dengan urusan duniawi, tidaklah menjadi penghalang bagi mereka daripada mengatur dunia. Sehingga mereka itu pada zhahirnya melangsungkan pembuangan air besar atau air kecil, sedang hati mereka, berkecimpung dengan cita-cita. Tidak lengah dari segala yang penting baginya. Adalah Rasulullah saw karena tinggi derajatnya, tidaklah dapat dihalangi oleh urusan dunia ini, daripada menghadirkan hati kepada Allah Ta’ala. Adalah wahyu diturunkan kepadanya, sedang beliau dalam tikar isterinya. Manakala diserahkan kedudukan yang seperti ini kepada orang lain, maka tidak jauhlah dari kebenaran untuk dikatakan, bahwa pengemudi itu dapat mengobahkan, apa yang tak dapat diobahkan oleh seorang pemurah yang suka memberi. Maka tidak seyogyalah dibandingkan orang lain dengan Nabi saw.
Adapun Isa as, maka dia itu mengambil dengan penuh ketelitian, tidak dengan kekuatan. Dan ia amat menjaga terhadap dirinya sendiri. Mungkin keadaannya, adalah keadaan, yang mempengaruhinya oleh kesibukan dengan isteri atau berhalangan mencari yang halal atau tidak mudah mengumpulkan antara kawin dan menjuruskan hati kepada ibadah. Lalu ia memilih menjuruskan hati kepada beribadah. (Dan mungkin karena nabi Isa as berasal dari rohul qudus/roh suci Allah. pent) Dan mereka lebih mengetahui tentang rahasia hal keadaan mereka dan hukum zaman mereka, tentang usaha-usaha yang baik dan tingkah laku kaum wanitanya. Dan tidaklah atas orang yang kawin selain memperhatikan bahaya-bahaya perkawinan dan faedah-faedah yang ada padanya. Manakala segala hal-keadaan itu terbagi-bagi, sehingga kawin itu pada sebahagiannya adalah lebih utama dan pada sebahagian yang lain, meninggalkan kawin, adalah yang lebih utama, maka hak kita, ialah menempatkan segala perbuatan nabi-nabi (kepada diri kita mana yang baik buat kita sebab hanya kita yang tau diri kita sendiri, apa bisa kita menahan nafsu syahwat atau tidak. Pent) yang lebih utama dalam segala hal. Wallahu A’lam ! Allah yang Maha Tahu !.
BAB KEDUA: mengenai apa yang dijaga pada waktu ‘aqad nikah dari keadaan wanita dan syarat-syarat ‘aqad.
Adapun ‘aqad nikah (ikatan perkawinan), maka rukun dan syaratnya supaya sah dan memfaedahkan halal, adalah 4:
Pertama:    izin wali. Kalau tidak ada wali, maka izin sultan (penguasa).
Kedua   :    kerelaan wanita, kalau ia sudah tsayib (tidak gadis lagi) dan telah dewasa (baligh) atau dia itu bikr (masih gadis) dan telah dewasa, tetapi dikawinkan
                  oleh bukan bapak atau kakeknya (bapak dari bapaknya).
Ketiga    :  kehadiran dua orang saksi, yang terang adilnya. Kalau keadilan keduanya itu tertutup, maka kita hukumkan juga dengan sah karena diperlukan.
Keempat:   ijab dan qabul (penyerahan dan penerimaan), yang disambung dengan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau yang searti dengan keduanya ini, yang tertentu dengan masing-masing lisan (bahasa), dari dua orang yang mukallaf (yang dewasa dan berakal). Tidak ada wanita pada orang yang dua itu. Apakah orang itu suami atau wali atau wakil dari keduanya. Adapun adab nikah, yaitu: mendahulukan meminang (khitbah) pada walinya, dimana tidak pada waktu wanita itu sedang dalam ‘iddah. Tetapi setelah lalu masa ‘iddah, kalau dia sedang dalam ‘iddah. Dan meminang itu tidak pula, pada wanita yang telah didahului oleh pinangan orang lain. Karena dilarang oleh Nabi saw dari pinangan diatas pinangan. Dan setengah dari adab nikah, ialah khutbah (pidato) sebelum ‘aqad nikah, serta dicampurkan pujian kepada Allah (at-tahmid) bersama ijab dan qabul.
Maka berkatalah orang mengawinkan: “Segala pujian bagi Allah dan selawat kepada Rasulullah. Aku kawinkan akan dikau anak perempuanku si Anu”. Dan menyahut suami: “Segala pujian bagi Allah dan selawat kepada Rasulullah. Aku terima nikahnya diatas mahar (emas kawin) sekian”. Dan hendaklah emas kawin itu diketahui jumlahnya dan ringan. Dan memuji Allah sebelum khutbah itu, sunat juga hukumnya. Setengah dari adab nikah, ialah diterangkan hal calon suami, sampai didengar oleh calon isteri, meskipun calon isteri itu masih gadis. Karena yang demikian itu, lebih layak dan lebih utama mendatangkan kejinakan hati. Dan karena itulah, disunatkan melihat calon isteri sebelum kawin. Karena lebih patut untuk mengeratkan pergaulan diantara keduanya. Setengah dari adabnya juga, ialah mendatangkan sejumlah orang-orang shalih, sebagai tambahan diatas dua orang saksi, yang menjadi rukun sahnya perkawinan. Setengah dari adabnya, ialah diniatkan dengan nikah itu, menegakkan sunnah, memicingkan mata dari melihat wanita lain, mencari anak dan faedah-faedah yang lain yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tidaklah maksudnya, semata-mata memenuhi hawa nafsu dan bersenang-senang. Kalau demikian, maka jadilah amal perbuatannya itu, termasuk perbuatan dunia. Dan tidaklah tercegah nikah itu dengan niat-niat tadi. Karena banyaklah kebenaran, yang bersesuaian dengan hawa nafsu.
Berkata Umar bin Abdul-‘aziz ra: “Apabila bersesuaian kebenaran dengan hawa nafsu, maka itu adalah minyak samin dengan biji tamar baik”. Dan tidaklah mustahil, bahwa masing-masing dari pihak nafsu dan agama itu menggerakkan bersama-sama. Dan disunatkan melakukan ‘aqad nikah itu di masjid dan dalam bulan Syawal. Berkata ‘Aisyah: “Aku dikawini Rasulullah saw pada bulan Syawal dan beliau berbuat dengan aku dalam bulan Syawal”.
Adapun wanita yang dikawini, maka dipandang padanya 2 perkara:
Pertama:   untuk halal.
Kedua  :   untuk kebaikan penghidupan dan berhasilnya maksud-maksud.
Bahagian pertama tadi, yang dipandang padanya untuk halal, yaitu:
bahwa wanita itu terlepas dari segala yang menghalangi perkawinan dan yang menghalangi perkawinan itu ada 19
1. Bahwa wanita itu dikawini orang lain.
2. Bahwa wanita itu sedang menjalankan ‘iddah dari orang lain, baik ‘iddah karena kematian suami (‘iddah wafat) atau ‘iddah diceraikan oleh suaminya (‘iddah thalaq) atau ‘iddah watha’ syubhah (‘iddah yang dijalankan oleh wanita itu, lantaran telah disetubuhi oleh seorang laki-laki yang menyangka isterinya, umpamanya. Maka wanita tersebut menjalankan ‘iddah, kalau-kalau ia mengandung dari persetubuhan itu –Pent). Atau wanita itu berada dalam masa melepaskan persetubuhan (istibra-watha’) dari tuannya (dalam masa istibra’ watha’ itu, maksudnya, ialah: wanita itu adalah budak yang telah disetubuhi oleh tuannya, maka kalau ia akan dikawinkan, baru boleh setelah lewat masa ‘iddah itu, untuk menjaga, supaya jangan terjadi kawinnya itu, dalam masa mengandung dari bibit tuannya –Pent).
3. Bahwa wanita itu telah murtad dari agama, karena keluar kata-kata dari lidahnya, dari kata-kata yang dapat mengkafirkan.
4. Bahwa wanita itu beragama majusi (menyembah api).
5. Adalah wanita itu menyembah berhala atau berpura-pura melahirkan keislamannya (orang zindiq), dimana ia tidak digolongkan kepada nabi dan kitab manapun. Sebahagian dari yang tadi, ialah yang berkepercayaan dengan aliran serba boleh (madzhab al-ibahah). Maka tidaklah halal dikawinkan mereka. Dan begitupula, tiap-tiap yang menganut aliran yang salah, dimana dia dihukum dengan kufur (tidak mensyukuri), dari apa yang diyakininya.
6. Ia beragama dengan suatu kitab, dimana ia beragama dengan agama itu setelah diganti-ganti atau setelah diutus Rasulullah saw. Dan bersama itu, dia bukan wanita keturunan Bani Israil (wanita Yahudi). Apabila tidak ada yang dua perkara itu, niscaya tidaklah halal ia dikawini. Dan kalau tidak berkebangsaan Bani Israil saja, maka tentang boleh atau tidaknya dikawini, terdapat perselisihan pendapat diantara para ulama.
7. Bahwa wanita itu budak belian dan yang akan mengawininya adalah orang merdeka, yang sanggup membayar mas kawin wanita merdeka atau tidak takut daripada terjadinya perzinaan.
8. Bahwa wanita itu, seluruh badannya atau sebahagian daripadanya kepunyaan yang akan mengawininya, selaku budaknya.
9. Bahwa wanita masih berdekatan famili dengan yang akan menjadi suaminya, dengan adanya wanita itu dari asal-usul si laki-laki (ushulnya) atau cabang-cabangnya (fushulnya) atau cabang dari awal pokoknya atau dari awal cabang dari tiap-tiap pokok, dimana sesudahnya ada pokok. Saya maksudkan dengan pokok, yaitu ibu-ibu dan nenek-neneknya yang perempuan. Dan dengan cabang, ialah anak-anak dan cucu-cucunya. Dan dengan cabang awal pokoknya, ialah saudara dan anak-anaknya. Dan dengan awal cabang dari tiap-tiap pokok, sesudahnya ada pokok, ialah saudara bapak yang perempuan (al-‘ammat) dan saudara ibu yang perempuan (al-khalat), tidak anak-anaknya.
10. Bahwa wanita itu diharamkan, disebabkan penyusuan. Maka diharamkan dari penyusuan, akan apa yang diharamkan dari keturunan, dari ushul dan fushul, sebagaimana telah diterangkan tadi. Tetapi, diharamkan itu, kalau penyusuannya sekurang-kurangnya 5 kali susuan. Dan kalau kurang dari itu, tidak diharamkan nikah.
11. Diharamkan kawin, karena bersemanda (mushaharah). Yaitu, bahwa laki-laki yang kawin itu, telah mengawini anak perempuan wanita itu, atau nenek perempuannya sebelumnya atau telah disetubuhinya mereka dengan syubhat (diragukan) pada ‘aqad. Atau telah disetubuhi ibunya atau seorang dari nenek-nenek perempuannya dengan ‘aqad atau syubhat (diragukan) ‘aqad. Maka semata-mata ‘aqad nikah dengan seorang wanita, telah mengharamkan nikah dengan ibunya. Dan tidak mengharamkan nikah dengan anaknya, kecuali telah disetubuhi. Atau telah dikawini wanita itu oleh bapaknya atau anaknya yang laki-laki sebelumnya.
12. Bahwa wanita yang dikawini itu adalah isteri yang kelima. Artinya: telah ada dalam pangkuan yang kawin itu 4 orang isteri selain yang kelima tadi, baik masih dalam perkawinan itu sendiri atau masih dalam ‘iddah thalaq rij’i. Tetapi kalau dalam ‘iddah thalaq bain, tidak dilarang yang kelima.
13. Bahwa ada dalam pangkuan yang kawin itu saudara perempuan atau saudara bapaknya yang perempuan atau saudara ibunya yang perempuan atau saudara ibunya yang perempuan dari isterinya, sehingga dengan perkawinan itu, ia telah menghimpunkan diantara keduanya. Maka tiap-tiap dua orang, dimana diantara keduanya terdapat hubungan kerabat (berdekatan famili), kalau yang seorang itu laki-laki dan yang seorang lagi wanita, yang tidak diperbolehkan kawin diantara keduanya, maka tidaklah boleh dikumpulkan dengan perkawinan diantara keduanya itu.
14. Bahwa yang kawin itu telah menceraikannya dengan thalaq tiga. Maka tidaklah halal lagi wanita itu kepadanya, selama belum disetubuhi oleh suami yang lain dalam suatu perkawinan yang sah.
15. Bahwa yang kawin itu telah mengutuk-mela’nati (melakukan li’an) terhadap wanita itu. Maka haramlah wanita itu kepadanya untuk selama-lamanya, sesudah li’an tersebut.
16. Bahwa wanita itu sedang melakukan ihram hajji atau ihram ‘umrah atau calon suaminya yang demikian. Maka tidaklah sah nikah, kecuali setelah sempurna tahallul.
17. Bahwa wanita itu telah menjadi tsayib kecil (dia masih dibawah umur, tetapi tidak gadis lagi). Maka tidaklah sah nikahnya, kecuali telah dewasa.
18. Bahwa wanita itu anak yatim, maka tidak sah nikahnya, kecuali setelah dewasa.
19. Bahwa wanita itu isteri Rasulullah saw dimana beliau wafat dengan meninggalkan isteri itu atau beliau telah bersetubuh dengan isteri itu. Karena wanita-wanita itu adalah ibu orang-orang mu’min. Dan tidaklah diperoleh lagi pada masa kita sekarang ! Maka inilah semuanya penghalang-penghalang yang mengharamkan nikah !
Adapun hal-hal yang membaikkan penghidupan, yang harus dipelihara pada wanita, supaya tetaplah ikatan perkawinan dan sempurnalah maksud-maksudnya, adalah 8 perkara: agama, budi, cantik, ringan emas kawin, beranak, gadis, berbangsa dan tak ada kefamilian yang dekat.
Pertama: wanita itu shalih, beragama. Inilah yang pokok. Dan inilah yang harus diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, kalau wanita itu lemah keagamaan nya, dalam menjaga dirinya dan kemaluannya, niscaya ia melipati akan suaminya. Ia menghitamkan wajah suaminya di muka orang banyak. Ia mengacaukan hati suaminya dengan kecemburuan. Dan ia mengeruhkan kehidupan suaminya dengan yang demikian itu. Kalau suami itu menempuh jalan penjagaan dan kecemburuan, niscaya selalulah dia dalam percobaan dan bencana. Dan kalau suami itu menempuh jalan kemudahan, niscaya jadilah ia bermudah-mudah dengan agama dan kehormatannya. Dan termasuklah ia orang yang kurang penjagaan dan berpendirian tegas. Dan apabila bersama kerusakan budi, wanita itu cantik, maka bencananya lebih hebat lagi. Karena suami itu sulit berpisah dengan dia. Tak sabar jauh daripadanya dan tak sampai hati menyakitkannya. Dan adalah suami itu, seperti orang yang datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku mempunyai isteri, yang tidak menolak tangan orang yang memegangnya”.
Rasulullah saw menjawab: “Ceraikanlah dia !”.
Laki-laki itu menyahut:  “Sesungguhnya aku mencintai dia !’.
Rasulullah saw menjawab: “Tahanlah dia !”.
Sesungguhnya Nabi saw menyuruh tahan wanita itu (tidak diceraikan). Karena dikuatiri, apabila diceraikannya, niscaya nafsunya akan mengikuti wanita itu. Maka rusak pulalah ia bersama wanita itu. Lalu Nabi saw berpendapat, bahwa dengan terusnya perkawinan dengan mengenyampingkan kerusakan daripadanya, serta hatinya sempit, adalah lebih utama. Kalau wanita itu perusak agama, dengan menghabiskan harta suaminya atau dengan cara lain, niscaya senantiasalah kehidupan suami itu keruh. Kalau ia berdiam diri, tidak ditantangnya, niscaya ia sekongkol pada kema’siatan, yang menyalahi firman Allah Ta’ala: “Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Kalau ditantangnya dan berbantah, niscaya keruhlah seumur hidupnya. Dan karena itulah, dengan keras Rasulullah saw mendorong supaya kawin dengan yang beragama, dengan sabdanya: “Wanita itu dikawini karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan keagamaannya. Maka haruslah engkau dengan yang beragama. Kalau tidak, niscaya melekatlah kedua tanganmu ke tanah (miskin) !”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa mengawini wanita karena hartanya dan kecantikannya, niscaya ia tidak akan memperoleh kecantikan dan hartanya itu. Dan barangsiapa mengawini wanita karena agamanya, niscaya dianugerahkan oleh Allah kepadanya hartanya dan kecantikannya”. Dan Nabi saw bersabda: “Janganlah dikawini wanita itu karena kecantikannya. Mungkin kecantikannya itu merendahkannya. Dan jangan karena hartanya. Mungkin hartanya itu, mendurhakakannya. Dan kawinlah wanita itu karena agamanya”. Sesungguhnya Nabi saw bersangatan benar mendorong kepada agama, karena wanita yang seperti ini, adalah dapat menolong kepada agama. Adapun apabila wanita itu tidak beragama (tidak mematuhi ajaran-ajaran agama), niscaya jadilah dia yang membimbangkan dan yang mengacaukan akan agama.
Kedua: baik budi-pekerti. Dan ini adalah pokok yang terpenting, dalam mencari keselesaian hati dan ketolongan kepada agama. Karena apabila wanita itu keras, kasar lidah dan jahat budi-pekerti serta kufur (tidak mensyukuri) kepada keni’matan, niscaya adalah kemelaratan lebih banyak daripadanya dibandingkan dengan kemanfaatan. Dan dapat bersabar terhadap lidah kaum wanita, adalah termasuk hal-hal yang mendapat ujian para wali daripadanya. Berkata setengah orang Arab: “Jangan engkau kawini wanita yang 6; jangan yang ananah, yang mananah dan yang hananah dan jangan engkau kawini yang hadaqah, yang baraqah dan syadaqah.
Adapun yang ananah, yaitu: yang banyak mengeluh dan mengadu dan tiap saat mengikat kepalanya. Maka mengawini wanita yang memperalat sakit atau mengawini wanita yang membuat-buat sakit, tak adalah kebajikan padanya.
Dan yang mananah, yaitu: yang suka membangkit-bangkit terhadap suaminya. Wanita itu mengatakan: “Aku perbuat demikian dan demikian karena kanda”.
Dan yang hananah, yaitu: yg menyatakan kasih-sayangnya kepada suaminya yg lain atau anaknya dari suaminya yg lain. Dan inipun termasuk yg harus dijauhkan.
Dan yang hadaqah, yaitu: yg melemparkan pandangan & matanya kepada tiap-sesuatu, lalu menyatakan keinginannya & memaksakan suami untuk membelinya.
Dan yang baraqah, adalah memungkinkan dua pengertian.
Yang pertama: adalah wanita itu sepanjang hari mengilatkan mukanya dan menghiasinya, supaya mukanya berkilat yang diperoleh dari buatannya itu. Yang kedua: marah ia kepada makanan. Ia tidak mau makan, kecuali sendirian dan diasingkannya bahagiannya dari tiap-tiap makanan itu. Dan ini adalah bahasa Yaman, dimana orang Yaman itu mengatakan: “Wanita itu telah baraqah (berkilat) dan anak kecil itu telah baraqah akan makanan, apabila ia marah pada makanan itu”.
Dan yang syadaqah, ialah yang nyinyir banyak perkataan.
Dan dari itulah bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memarahi orang-orang yang banyak bicara tak menentu, lagi yang nyinyir”. Menurut cerita, bahwa pengembara Al-Azadi telah bertemu dengan Nabi Ilyas as dalam pengembaraannya. Lalu Nabi Ilyas as menyuruh Al-Azadi kawin dan melarang dia dari membujang. Kemudian beliau bersabda: “Janganlah engkau kawini 4 macam wanita: al-mukhtali’ah, al-mubariah, al-‘ahirah dan an-nasyiz.
Adapun al-mukhtali’ah, yaitu: wanita yang tiap saat, tanpa sebab meminta khulu’ (percabutan nikah dengan menyerahkan sesuatu kepada pihak si suami).
Al-mubariah, yaitu: yang membanggakan diri dari wanita lain dan menyombongkan diri dengan hal-hal keduniaan yang ada padanya.
Al-’ahirah, yaitu: wanita yang fasiq yang dikenal dengan kawan dan teman rahasia. Dia adalah wanita yang tersebut pada firman Allah Ta’ala: “Dan bukan yang mengambil (laki-laki lain) menjadi teman rahasia”. S 4 An Nisaa’ ayat 25.
An-nasyiz, yaitu yang meninggi terhadap suaminya dengan perbuatan dan perkataan. Dan kata-kata “an-nasyiz” diambil dari kata-kata “an-nasy-zi”, yaitu yang meninggi dari bumi.
Ali ra berkata: “Sifat laki-laki yang buruk, adalah menjadi sifat wanita yang baik, yaitu: kikir, sombong dan pengecut. Sesungguhnya wanita apabila ia kikir, niscaya dipeliharakannya hartanya sendiri dan harta suaminya. Dan apabila ia menyombong, niscaya ia mencegah dirinya berkata-kata dengan tiap-tiap orang dengan kata-kata yang lemah-lembut, yang mencurigakan. Dan apabila ia pengecut, niscaya ia memisahkan diri dari tiap-tiap sesuatu. Maka ia tidak keluar dari rumahnya dan menjaga dirinya dari tempat-tempat yang memungkinkan datang tuduhan, karena takut dari suaminya”. Maka segala cerita yang tersebut tadi, menunjukkan kepada kumpulan akhlaq yang dicari dalam perkawinan itu.
Ketiga: kecantikan muka. Maka inipun dicari, karena dengan kecantikan muka itu, menghasilkan pemeliharaan diri. Dan tabiat pribadi manusia tidak merasa cukup biasanya dengan wanita yang keras air mukanya. Dan menurut kebiasaan, kebagusan diri dan budi itu tidak berpisah. Dan apa yang kita nukilkan tentang dorongan kepada agama dan wanita itu tidak dikawini karena kecantikannya, tidaklah melarang dari memperhatikan akan kecantikan itu. Tetapi yang dilarang, ialah perkawinan karena semata-mata kecantikan saja, serta kerusakan pada agama. Sebab, kecantikan saja, pada galibnya, menyukakan kepada kawin dan memandang enteng keadaan agama. Dan menunjukkan kepada perhatian tentang pengertian kecantikan itu, bahwa kejinakan hati dan kekasih-sayangan, biasanya dapat berhasil dengan kecantikan. Dan agama telah menyunatkan untuk menjaga sebab-sebab yang membawa kepada kejinakan hati. Dan karena itulah disunatkan melihat wanita yang akan dikawini.
Maka Nabi saw bersabda: “Apabila telah dijatuhkan oleh Allah ke dalam hati seseorang kamu akan seorang wanita, maka hendaklah ia melihatnya. Karena yang demikian itu lebih layak untuk membuat keserasian hidup diantara keduanya”. Artinya: dapat menyusun diantara keduanya diantara kulit kebatinan dan kulit kezahiran. Sesungguhnya Nabi saw menyebutkan yang demikian, adalah demi kesangatan berjinak-jinakan hati diantara keduanya. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya pada mata kaum Anshar itu ada tanda sesuatu. Apabila salah seorang dari kamu akan kawin dengan wanita-wanita mereka, maka hendaklah melihatnya !”. Ada yang mengatakan, bahwa pada mata mereka itu juling dan ada yang mengatakan kecil. Dan sebahagian orang-orang wara’, tiada akan mengawini gadis-gadis mereka, kecuali sesudah melihat, karena menjaga dari penipuan.
Al-A’masy berkata: “Tiap-tiap perkawinan yang terjadi tanpa dilihat lebih dahulu, maka kesudahannya susah dan mendung”. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa dengan melihat itu, tidak akan dikenal budi pekerti, agama dan harta. Hanya yang diketahui kecantikan dan keburukannya. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki kawin pada masa pemerintahan ‘Umar ra. Dan pada waktu kawin, laki-laki itu telah mencat rambutnya, kemudian hilanglah cat itu. Maka keluarga wanita itu datang mengadu kepada ‘Umar. Mereka mengatakan: “Kami menyangka laki-laki itu muda”. Lalu umar menyakiti laki-laki itu dengan pukulan, seraya berkata: “Engkau tipu mereka !”. Diriwayatkan, bahwa Bilal dan Shuhaib datang kepada suatu keluarga Arab, lalu keduanya meminang wanita mereka. Maka keduanya ditanyakan: “Siapakah engkau berdua ini ?”. Bilal menjawab: “Aku ini Bilal dan ini temanku Shuhaib. Adalah kami tadinya orang sesat, lalu kami diberi petunjuk oleh Allah. Adalah kami tadinya budak, lalu kami dimerdekakan oleh Allah. Adalah kami tadinya bergantung pada orang lain, lalu kami diberi kekayaan oleh Allah. Kalau kamu mengawinkan kami, maka kami mengucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau kamu menolak kami, maka kami mengucapkan “Subhanallah”. Lalu mereka itu menjawab: “Ya, kedua kamu dikawinkan dan Alhamdulillah”. Maka berkata Shuhaib kepada Bilal: “Bagaimana kalau engkau terangkan segala pemandangan dan pengalaman kita bersama Rasulullah saw ?”. Bilal menjawab: “Diamlah ! engkau sudah benar, engkau dikawinkan oleh kebenaran engkau”.
Terperdaya itu terjadi lantaran kecantikan, bersama dengan budi-pekerti. Maka disunatkan menghilangkan terperdaya pada kecantikan dengan melihat dan terperdaya pada budi pekerti, dengan disifatkan dan diperhatikan sifat-sifat dari wanita yang akan dikawini. Maka seyogyalah yang demikian itu didahulukan dari perkawinan. Dan tidaklah diterima penyifatan tentang budi pekerti dan kecantikan wanita yang akan dikawini itu, selain dari orang yang melihat benar, dapat dipercaya, lagi mengetahui dengan zhahir dan bathin. Dan ia tidak condong (tidak berpihak) kepada wanita itu, lalu bersangatan memujikannya. Dan tidak dengki kepada wanita itu, sehingga ia amat menyingkatkan mengenai yang demikian. Sifat manusia itu condong mengenai hal-hal yang menyangkut dengan hal-hal permulaan pernikahan dan penyifatan wanita-wanita yang akan dinikahi, kepada berlebih-lebihan dan berkurang-kurangan. Dan sedikitlah orang yang menerangkan secara benar dan menyederhanakan tentang itu. Tetapi menipu dan menjijik-jijikanlah yang lebih banyak. Dari itu, berhati-hati mengenai yang demikian, adalah penting sekali bagi orang yang kuatir terhadap dirinya sendiri, akan memperoleh yang tidak pantas untuk menjadi isterinya.
Adapun orang yang bermaksud dari isteri itu, semata-mata  sunnah atau anak atau untuk mengatur rumah tangga, maka kalau ia tidak mengingini kecantikan, niscaya adalah ia lebih mendekati kepada  ZUHUD. Karena kecantikan itu, umumnya adalah suatu pintu dari duniawi, meskipun pada sebahagian orang, kadang-kadang dapat menolong kepada agama.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Zuhud itu terdapat pada tiap-tiap hal, sehingga pada wanita, yang dikawini oleh seorang lelaki akan wanita yang telah tua-bangka, karena mengutamakan kezuhudan di dunia”.
Malik bin Dinar berkata: “Ditinggalkan oleh seseorang dari kamu untuk mengawini wanita yatim, lalu diupahinya wanita itu. Kalau ia memberi makan dan pakaian, niscaya adalah wanita itu dengan perbelanjaan yang ringan, yang rela dengan sedikit. Dan ia mengawini akan anak perempuan si Anu dan si Anu, ya’ni: anak-anak dunia. Maka merindulah hawa nafsunya. Dan wanita itu berkata: “Berilah aku pakaian itu dan itu !”.
Ahmad bin Hanbal memilih wanita orang juling dari saudaranya yang cantik, untuk menjadi isterinya. Maka beliau bertanya:  “Siapakah yang lebih berakal diantara 2 wanita itu ?”. Maka orang menjawab: “Yang juling itu !”. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata: “Kawinilah aku dengan wanita itu !”. Maka inilah sifatnya orang-orang yang tidak bermaksud akan kesenangan semata-mata !
Adapun orang yang tidak merasa aman terhadap agamanya, selama ia tidak mempunyai tempat kesenangan, maka hendaklah mencari kecantikan. Karena memperoleh kelezatan dengan yang diperbolehkan (almubah), adalah benteng bagi agama. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa apabila wanita itu cantik, baik budi pekertinya, hitam pekat mata dan rambutnya, besar matanya, putih kuning warnanya, mencintai suaminya, tidak banyak memandang kepada suaminya, maka wanita yang tersebut adalah diatas bentuk bidadari.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyifatkan wanita-wanita penduduk sorga dengan sifat tadi, dalam firmanNya S 55 Ar Rahmaan ayat 70: “Didalam sorga itu, gadis-gadis yang baik, cantik jelita”. Yang dimaksudkan dengan: khairaatun, ialah: yang baik akhlaqnya. Dan dalam firmanNya S 55 Ar Rahmaan ayat 56: “Didalam sorga itu, ada gadis-gadis yang sopan setia”. Dan dalam firmanNya S 56 Al Waaqi’ah ayat 37: “Penuh kecintaan dan sebaya umurnya”. ‘Uruban itu, artinya: wanita itu asyik kepada suaminya, amat rindu kepada persetubuhan. Dan dengan persetubuhan itu sempurnalah kelezatan. Dan bidadari itu, matanya putih, rambutnya hitam mengikal dan matanya agak meluas. Nabi saw bersabda: “Wanitamu yang terbaik, ialah apabila dipandang kepadanya oleh suaminya, niscaya ia menggembirakan, akan suaminya & apabila disuruh oleh suaminya, niscaya ia mentaatinya. Dan apabila suaminya pergi, niscaya ia menjaga kehormatan suaminya tentang dirinya sendiri & harta suaminya”. Sesungguhnya suami itu gembira memandang kepadanya, apabila ia mencintai suami nya.
Keempat: bahwa emas kawin (mahar) wanita itu ringan. Rasulullah saw bersabda: “Wanitamu yang terbaik, ialah tercantik mukanya dan yang termurah maharnya”. Dan sesungguhnya Rasulullah saw melarang bermahal-mahal mahar. Rasulullah saw telah mengawini sebahagian isterinya dengan mahar 10 dirham dan perabot rumah, yang terdiri dari satu penggiling tepung, satu kendi dan satu bantal dari kulit, yang isinya bulu-bulu. Dan beliau mengadakan pesta perkawinan (walimah) kepada sebahagian isterinya dengan 2 mud sya’ir (dua cupak sya’ir). Dan kepada sebahagian yang lain dengan 2 mud tamar & 2 mud tepung halus.
Adalah ‘Umar ra melarang bermahal-mahal emas kawin dan berkata: “Tidaklah Rasulullah saw itu kawin dan mengawinkan anak-anak perempuan nya, dengan mahar yang melebihi dari 400 dirham”. Kalau adalah bermahal-mahal emas kawin dari wanita itu terpandang perbuatan mulia, tentu telah didahului oleh Rasulullah saw. Dan sebahagian sahabat Rasulullah saw telah kawin dengan mahar emas seberat biji buah tamar, yang harganya 5 dirham.
Sa’id bin Al-Musayyab telah mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Hurairah, dengan emas kawinnya 2 dirham. Kemudian, pada malamnya dibawanya anak perempuannya itu ke rumah Abu Hurairah, lalu dimasukkannya dari pintu, kemudian beliau itu pergi. Sesudah 7 hari, lalu Sa’id bin Al-Musayyab datang menjumpai anak perempuannya dan memberi salam kepadanya. Kalau seseorang kawin dengan mahar 10 dirham, sebagai jalan keluar dari perbedaan paham diantara para ulama, maka tiada mengapalah yang demikian. Pada suatu hadits tersebut: “Setengah dari barakah bagi wanita, ialah segera mengawinkan nya, segera ia beranak dan murah maharnya”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Wanita yang terbanyak memperoleh barakah, ialah yang sedikit maharnya”. Sebagaimana dimakruhkan bermahal-mahal mahar dari pihak wanita, maka dimakruhkan pula dari pihak laki-laki meminta harta wanita. Dan tiadalah wajar laki-laki itu kawin, karena mengharap akan harta wanita.
At-Tsuri berkata: “Apabila laki-laki itu kawin, seraya menanyakan, manakah barang wanita itu, maka ketahuilah, bahwa laki-laki itu adalah pencuri”. Apabila harta itu dihadiahkan kepada laki-laki, maka sebenarnya, tiadalah wajar dihadiahkan. Karena memerlukan kepada laki-laki itu untuk membalasnya, dengan lebih banyak lagi daripada yang diterimanya. Dan begitupula, apabila dihadiahkan kepada suami itu, maka niat meminta lebih banyak dari yang dihadiahkan, adalah niat yang salah. Adapun sekedar hadiah-menghadiahkan, adalah disunatkan, karena itu adalah menyebabkan kasih-sayang.
Nabi saw bersabda: “Hadiah menghadiahlah, niscaya kamu bertambah cinta-mencintai”. Adapun meminta tambah dari yang dihadiahkan, maka itu termasuk pada firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah memberi, karena hendak beroleh lebih banyak”. S 74 Al Muddatstsir ayat 6. Artinya: memberi, karena engkau meminta yang lebih banyak. Dan termasuklah dibawah firman Allah Ta’ala: “Dan riba yang kamu kerjakan itu, untuk menambah harta orang (lain)”. S 30 Ar Ruum ayat 39. Sesungguhnya riba itu, ialah: tambah. Dan ini, adalah mencari tambahan pada umumnya, meskipun bukan pada harta-harta yang bersifat keribaan. Maka semuanya itu, adalah makruh dan bid’ah (yang diada-adakan) pada perkawinan, yang menyerupai dengan perniagaan dan pertaruhan dan akan merusakkan maksud-maksud dari perkawinan.
Kelima: adalah wanita itu yang beranak banyak (walud). Kalau wanita itu dikenal dengan kemandulan, maka hendaklah mencegah diri daripada mengawininya. Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu mengawini wanita yang beranak banyak dan yang mencintai akan suaminya”. Kalau wanita itu belum mempunyai suami dan keadaannya belum diketahui, maka hendaklah diperhatikan kesehatan dan kemudaannya. Karena bila dua sifat tadi ada, biasanya wanita itu beranak banyak.
         Keenam: adalah wanita itu gadis perawan. Nabi saw bersabda kepada Jabir, dimana Jabir telah mengawini janda: “Mengapa engkau tidak mengawini seorang gadis, supaya engkau bersenda gurau dengan dia dan dia bersenda gurau dengan engkau”. Mengawini yang gadis perawan itu, mengandung 3 faedah:
1.      Bahwa dia mencintai dan mengasihi suaminya. Maka ia mengutamakan dalam pengertian kasih-sayang. Dan Nabi saw telah bersabda: “Haruslah kamu mengawini wanita yang kasih sayang akan suaminya (al-wadud). Dan karakter manusia itu, bersifat dengan berjinak-jinakan hati dengan perkenalan yang pertama. Adapun wanita yang telah mencoba dengan laki-laki lain dan telah mengalami berbagai macam hal keadaan, maka kadang-kadang ia tidak menyetujui sebahagian sifat-sifat yang berlainan dengan sifat-sifat yang telah disenanginya. Lalu menyusahkan hati suami.
2.      Bahwa dengan demikian itu amat menyempurnakan kasih-sayang suami kepada isterinya. Karena sifat manusia itu, tidak menyenangi sekali-kali dari wanita yang disentuh oleh bukan suaminya. Dan yang demikian itu adalah amat berat bagi sifat manusia, manakala disebutkan. Dan sebahagian dari sifat-sifat manusia itu, adalah lebih tidak menyenangi lagi dalam hal tersebut.
3.      Bahwa wanita yang gadis itu, tidak akan merindui suami yang pertama. Dan kecintaan yang mengokoh kuat, biasanya adalah yang terjadi bersama kecintaan yang pertama.
Ketujuh: adalah wanita itu berbangsa. Saya maksudkan, adalah dia dari rumah tangga yang beragama dan orang baik-baik. Karena isteri itu akan mendidik putera-puterinya. Kalau dia sendiri tidak beradab niscaya tidak akan pandai mendidik dan mengajari anak-anaknya. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Awaslah dari wanita yang “khadl-raa’-ad-diman ” Lalu sahabat bertanya: “Apakah khadl-raa’-ad-diman itu ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu: wanita yang cantik, pada tempat tumbuh yang jahat”. Dan Nabi saw bersabda: “Pilihlah akan wanita untuk tempat nuth-fahmu (air hanyirmu), karena itu amat menyerupai kepada pokoknya”.
Kedelapan: bahwa tidaklah wanita itu dari kerabat yang dekat, karena yang demikian itu mengurangkan nafsu syahwat. Nabi saw bersabda: “Janganlah engkau kawini kerabat yang dekat, karena nanti anak akan menjadi kurus”. Dan itu adalah karena mempengaruhi pada kelemahan nafsu syahwat. Dan syahwat itu adalah membangkit dengan kekuatan perasaan memandang dan menyentuh. Dan sesungguhnya perasaan itu kuat dengan hal yang ganjil dan baru.
Adapun keadaan yang biasa, dimana selalu dilihat dalam beberapa waktu kepadanya, adalah melemahkan perasaan dari kesempurnaan mengetahui dan memperoleh pembekasannya. Dan tidaklah nafsu syahwat itu membangkit dengan yang demikian. Inilah hal-hal yang menggemarkan hati kepada wanita. Dan wajiblah juga atas wali memperhatikan keadaan calon suami. Dan hendaklah memandang kepada anak perempuannya ! sehingga tidaklah dikawinkannya dengan lelaki yang buruk bentuknya atau budinya atau lemah agamanya atau tidak sanggup menegakkan hak-hak isteri atau tidak sepadan (sekufu) lelaki itu dengan anaknya tentang keturunan.
Nabi saw bersabda: “Perkawinan itu adalah serupa dengan pembudakan. Maka hendaklah seseorang kamu memperhatikan, kemanakah akan meletakkan anak perempuannya !”. Berhati-hatilah menjaga hak wanita itu, adalah amat penting. Karena dia adalah menjadi budak dengan dikawinkan, yang tidak ada yang akan melepaskannya. Dan si suami itu berkuasa menceraikannya pada setiap keadaan. Dan manakala mengawinkan anak perempuannya dengan orang zalim atau orang fasiq atau orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) atau peminum khamar, maka si wali itu telah menganiaya akan agamanya. Dan mendatang lah diri untuk kemarahan Allah. Karena ia telah memutuskan dari hak keturunan dan buruk pilihan.
Bertanya seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashari : “Anak perempuanku telah dipinang oleh beberapa orang, maka dengan siapakah aku kawinkan dia ?”. Al-Hasan menjawab: “Dengan orang bertaqwa kepada Allah. Kalau orang itu mencintai akan isterinya, niscaya dimuliakannya. Dan kalau orang itu memarahinya, niscaya tidak akan menganiayainya”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengawinkan anak perempuannya dengan orang fasiq, maka sesungguhnya dia telah memutuskan rahimnya”.
BAB KETIGA:
Tentang adab bergaul (mu’asyarah) & apa yg berlaku mengenai pengekalan perkawinan & memperhatikan tentang kewajiban suami &kewajiban istri
Adapun suami, maka haruslah ia memperhatikan kelurusan dan keadaban mengenai 12 perkara: tentang perjamuan (walimah), tentang pergaulan (mua’syarah) tentang bersenda gurau, siasat kebijaksanaan, kecemburuan, perbelanjaan, pengajaran, pembahagian waktu pulang, pelaksanaan ganjaran ketika melawan, persetubuhan, beranak & perceraian dengan thalaq.
Adab pertama: Perjamuan/walimah, adalah disunatkan. Anas ra berkata: “Rasulullah saw melihat pada Abdurrahman bin ‘Auf sebutir kecil barang yang berwarna kuning. Lalu beliau bertanya: “Apa ini ?”. Abdurrahman menjawab: “Aku telah kawin dengan seorang wanita, dengan mahar seberat biji tamar dari emas ini !”. Maka Rasulullah saw menyambung: “Kiranya Allah memberi barakah kepadamu ! adakanlah perjamuan, walaupun dengan seekor kambing !”. Dan Rasulullah saw telah mengadakan perjamuan dengan tamar dan tepung ketika beliau kawin dengan Shafiah. Dan beliau bersabda: “Makanan pada hari pertama, adalah benar dan makanan pada hari kedua, adalah sunat dan makanan pada hari ketiga, adalah suatu perbuatan untuk memperdengarkan kepada orang (sum’ah). Barangsiapa memperdengarkan kepada orang, niscaya didengar oleh Allah yang demikian”. Hadits ini tidak ditingkatkan sehingga sampai kepada Nabi saw kecuali oleh Zijad bin Abdullah dan adalah hadits gharib (tidak dikenal). Disunatkan mengucapkan selamat kepada orang yang kawin. Maka orang yang masuk ke tempat suami itu, mengucapkan: “Diberkati oleh Allah kiranya bagimu dan diberkatiNya kepadamu serta dikumpulkanNya diantara kedua kamu dalam kebajikan”. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw menyuruh yang demikian.
Disunatkan menampakkan perkawinan. Nabi saw bersabda: “Dipisahkan antara yang halal dan yang haram, oleh pemukulan rebana dan suara”. Rasulullah saw bersabda: “Beritahukanlah perkawinan ini dan langsungkanlah di dalam masjid serta pukulkanlah rebana ! Diriwayatkan dari Ar –Rubay-ya’ binti Mu’awwadz, yang berkata: “Telah datang Rasulullah saw, maka beliau masuk pada pagi hari, dimana suamiku telah bersetubuh dengan aku pada malamnya. Lalu beliau duduk diatas tikarku dan budak-budak wanita kepunyaan kami memukul rebananya serta meratapi bapak-bapakku yang telah gugur dalam perang, sampai salah seorang dari budak-budak wanita itu mengatakan: “Pada kita ini ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi saw berkata kepadanya: “Diamlah dari mengucapkan perkataan itu dan katakanlah apa yang telah engkau katakan sebelumnya !”.
Adab kedua: bagus akhlaq dalam hidup bersama isteri serta tahan kesakitan daripadanya, karena belas-kasihan lantaran kepicikan akal wanita itu. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bergaullah dengan perempuan-perempuanmu secara patut !”. S 4 An Nisaa’ ayat 19. Dan Allah Ta’ala berfirman tentang mengagungkan hak wanita: “Dan mereka (isteri-isteri itu) telah mengambil daripadamu janji yang teguh”. S 4 An Nisaa’ ayat 21. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan teman yang disamping”. S 4 An Nisaa’ ayat 36. Ada ulama yang mengatakan, bahwa teman itu, ialah wanita”. Dan penghabisan yang diwasiatkan oleh Rasulullah saw itu 3 perkara, dimana beliau berkata-kata mengenai wanita, sehingga gagok lidahnya dan hilang suaranya. Beliau mengatakan: “Shalat-shalat selalulah kerjakan ! dan tentang budak-budakmu, janganlah kamu beratkan keatas pundak mereka, apa yang tidak disanggupinya ! takutlah kepada Allah tentang wanita ! mereka adalah pembantu di dalam tanganmu, ya’ni: tawanan. Kamu ambil mereka sebagai amanah Allah dan kamu halalkan faraj/kemaluan mereka dengan kalimah Allah”.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bersabar terhadap buruk akhlaq isterinya, niscaya ia dianugerahkan oleh Allah pahala, seperti yang dianugerahi Nya kepada Ayyub terhadap percobaan yang diperolehnya. Dan barangsiapa bersabar terhadap buruk akhlaq suaminya, niscaya ia dianugerahi oleh Allah seperti pahala yang diperoleh Asiah isteri Fir’aun”. Ketahuilah, bahwa tidaklah kebaikan budi bersama isteri, mencegah kesakitan daripadanya. Tetapi menanggung kesakitan daripadanya dan kasih-sayang ketika bertingkah dan marahnya, karena mengikuti Rasulullah saw.
Adalah para isteri Nabi saw itu mengulang-ulangi perkataan terhadap nabi dan salah seorang dari mereka tiada bercakap dengan nabi saw sehari sampai malamnya. Dan isteri Umar ra mengulang-ulangi perkataan Umar, sehingga beliau berkata: “Engkau ulang-ulangi perkataanku, hai wanita bodoh ?”. Lalu isterinya itu menjawab: “Para isteri Rasulullah saw mengulang-ulangi perkataan Nabi saw sedang beliau itu adalah lebih baik daripada engkau !” Lalu Umar menjawab: “Sia-sialah dan merugilah Hafshah, kalau ia mengulangi-ulangi perkataan Nabi saw !”. Kemudian berkata Umar ra kepada Hafshah: “Janganlah engkau tertipu lantaran engkau puteri Umar bin abi Quhafah, karena puteri Umar itu adalah kecintaan Rasulullah saw. Dan beliau menakutkannya daripada mengulang-ulangi perkataan Nabi saw”. Diriwayatkan, bahwa salah seorang dari isteri Nabi saw menolak pada dada Nabi, lalu dimarahi oleh ibunya, maka Nabi saw berkata: “Biarkanlah, karena mereka akan berbuat lebih banyak dari itu !”. Dan berlakulah pembicaraan antara Rasulullah saw dan ‘Aisyah, sehingga keduanya meminta Abubakar ra maju mengetengahi dan meminta keputusan dan penyaksian. Maka bersabda Rasulullah saw kepada ‘Aisyah: “Engkau berbicara atau saya berbicara ?” ‘Aisyah menjawab: “Engkau saja yang berbicara dan jangan mengatakan, kecuali yang benar !”. Lalu Abubakar ra menampar ‘Aisyah, sehingga berdarah mulutnya, seraya berkata: “Hai yang menganiaya dirinya sendiri ! adakah Rasulullah mengatakan yang tidak benar ?”. Maka ‘Asiyah meminta perlindungan dari Rasulullah saw dan duduk bersimpuh di belakang Nabi saw. Lalu Nabi bersabda kepada Abu bakar ra: “Tidaklah kami memanggil kamu untuk ini dan tidaklah kami kehendaki ini daripadamu !”. ‘Aisyah pada suatu kali mengatakan kepada Nabi saw dalam suatu perkataan, dimana ia marah kepada Nabi saw: “Engkaukah yang menda’wakan diri, bahwa engkau Nabiullah (Nabi Allah) ?”. Maka tersenyumlah Rasulullah saw dan beliau menanggung yang demikian, karena kasih-sayang dan kemuliaan hati. Nabi saw pernah bersabda kepada ‘Aisyah: “Aku sesungguhnya mengenal akan kemarahanmu dan kesenanganmu”. Maka ‘Aisyah bertanya: “Bagaimanakah engkau mengenalnya ?”. Nabi saw menjawab: “Apabila engkau senang, lalu engkau mengatakan: “Tidak, demi Tuhan Muhammad !”. Dan apabila engkau marah, lalu engkau mengatakan:  “Tidak, demi Tuhan Ibrahim !”. ‘Aisyah menyambung: “Benar engkau, sesungguhnya aku tidak senang menyebut namamu”.
Ada yang mengatakan, bahwa kecintaan yang pertama, yang terjadi dalam Islam, ialah kecintaan Nabi saw kepada ‘Aisyah. Dan adalah Nabi saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Adalah aku bagi engkau seperti Abi Zar’in bagi Ummi Zar’in, kecuali aku tidak akan menceraikan engkau”. Nabi saw bersabda kepada para isterinya: “Janganlah engkau menyakiti aku tentang ‘Aisyah ! demi Allah, sesungguhnya tidaklah wahyu itu turun kepadaku, dimana aku dalam selimut salah seorang daripada kamu, selain ‘Aisyah”. Anas ra berkata: “Adalah Rasulullah saw manusia yang paling mengasihi wanita dan anak-anak”.
Adab ketiga: disamping menanggung kesakitan, hendaklah menambahkan dengan bersenda gurau, berkelakar dan bermain-main. Karena semuanya itu membaguskan hati kaum wanita. Dan Rasulullah saw bersenda gurau bersama isterinya dan beliau menempatkan diri sederajat dengan akal-pikiran mereka, tentang perbuatan dan budi pekerti. Sehingga diriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah berlomba-lomba lari dengan ‘Aisyah. Maka pada suatu hari ‘Aisyah mendahului Nabi saw dan pada sebahagian hari-hari yang lain, Nabi saw mendahului ‘Aisyah. Lalu Nabi saw bersabda: “Inilah balas dengan yang dahulu itu !”. Dan pada hadits tersebut, bahwa Nabi saw adalah manusia yang terbanyak berkelakar bersama isterinya. ‘Aisyah berkata: “Aku mendengar suara orang-orang Habsyi dan lainnya, dimana mereka itu bermain-main pada hari ‘Asyura. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Sukakah engkau melihat permainan mereka?”. Berkata ‘Aisyah: “Lalu aku menjawab: “Ya, suka !”. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka itu datang, lalu merekapun datang. Dan Rasulullah saw berdiri diantara dua pintu, lalu meletakkan tapak tangannya diatas pintu dan memanjangkan tangannya. Dan aku meletakkan daguku keatas tangannya. Dan mereka itu mengadakan permainan dan aku melihatnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah sekian !”. Maka aku menjawab: “Diamlah, biarkan dulu!”. Aku mengatakan ini dua kali atau tiga kali. Kemudian Nabi saw bersabda: “Hai ‘Aisyah: “Cukuplah sekian !”. Lalu aku menjawab: “Ya !”. Maka Nabi saw memberi isyarat kepada mereka, lalu mereka itu pergi”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Orang mu’min yang lebih sempurna imannya, ialah mereka yang berbudi lebih baik dan lebih berlemah lembut kepada isterinya”. Nabi saw bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah yang terbaik kepada isterinya. Dan aku adalah yang terbaik dari kamu kepada isteriku”.
Umar ra dengan sifatnya yang keras itu, pernah berkata: “Sewajarnyalah bagi laki-laki terhadap isterinya itu, seperti anak kecil. Maka apabila mereka meminta sesuatu niscaya terdapatlah ia sebagai seorang laki-laki”. Lukman ra berkata: “Seyogyalah bagi orang yang berakal terhadap isterinya seperti seorang anak kecil. Dan apabila ia berada di tengah-tengah orang banyak, lalu ia didapati sebagai seorang laki-laki”. Dan pada penafsiran hadits yang diriwayatkan: “Sesungguhnya Allah memarahi “al-ja-dhari al-jawwadh”, maka ada yang mengatakan, yaitu: orang yang sangat keras terhadap isterinya dan bersikap sombong terhadap dirinya. Yaitu: salah satu daripada yang dikatakan tentang pengertian firman Allah Ta’ala; ‘utullin” –S 68 Al Qalam ayat 13. Ada yang mengatakan, bahwa: ‘utullin, artinya, ialah: kasar lidah dan keras hati terhadap isterinya. Nabi saw bersabda kepada Jabir: “Mengapakah tidak engkau kawini yang gadis, dimana engkau bermain-main dengan dia dan dia bermain-main dengan engkau ?”. Seorang wanita badui menerangkan tentang sifat suaminya yang telah meninggal dunia, dengan katanya: “Demi Allah, sesungguhnya dia itu banyak tertawa, apabila ia masuk ke rumah, suka diam apabila ia keluar dari rumah, memakan apa yang ia dapat, tidak meminta apa yang tidak ada dihadapannya”.
Adab Keempat: bahwa tidak membentangkan pada permainan dan pada kebagusan budi dan penyesuaian, dengan mengikuti hawa nafsu si isteri, sampai kepada batas yang merusakkan akhlaqnya dan menghilangkan kewibawaan si suami secara keseluruhan pada isterinya. Tetapi hendaklah menjaga kesederhanaan. Janganlah meninggalkan kewibawaan dan kungkungan, manakala ia melihat kemungkaran. Janganlah sekali-kali membuka pintu pertolongan kepada kemungkaran. Tetapi kapan saja melihat sesuatu yang menyalahi dengan agama dan kehormatan diri, niscaya ia marah dan dihilangkannya.
Al-Hasan ra berkata:: “Demi Allah, tidaklah seorang laki-laki yang mengikuti isterinya menurut apa yang disukai oleh isterinya itu, melainkan dimasukkanlah oleh Allah dia ke dalam neraka”. Umar ra berkata: “Berselisihlah kamu dengan isterimu tentang yang menyalahi agama, karena pada perselisihan itu terdapat keberkatan !”. Dan ada yang mengatakan: “Bermusyawarahlah dengan isteri dan berselisihlah tentang yang menyalahi dengan agama !”.
Nabi saw bersabda: “Celakalah laki-laki yang menjadi budak isterinya !” Nabi saw mengatakan demikian, karena apabila ia mengikuti kemauan isterinya untuk memenuhi hawa nafsu, maka jadilah ia budak isterinya. Dan celakalah dia. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyerahkan kepadanya untuk memiliki wanita, maka dimilikinya bagi dirinya. Lalu terbaliklah keadaan dan bertukarlah persoalan dan laki-laki itu telah mengikuti setan, karena setan itu berkata: “Dan kusuruh mereka mengobah makhluk Allah”. S 4 An Nisaa’ ayat 119. Karena hak laki-laki, ialah diikuti, bukan mengikuti. Allah Ta’ala menamakan: laki-laki itu pemimpin bagi wanita. Dan Allah menamakan suami itu sayyid (penghulu). Berfirman Allah Ta’ala: “Dan sekonyong-konyong keduanya mendapati sayyid (suami) perempuan itu di muka pintu”. S 12 Yusuf ayat 25. Maka apabila sayyid (penghulu atau yang dipertuan) bertukar menjadi yang disuruh-suruh (yang mengikuti saja), niscaya bertukarlah ni’mat Allah menjadi kufur (tidak mensyukuri). Dan diri wanita itu adalah seperti dirimu. Jikalau engkau lepaskan kekangnya sedikit saja, niscaya ia akan menanduk engkau pada waktu panjang. Dan jika engkau turunkan tabirnya sejengkal, niscaya dia akan menghela engkau sehasta. Dan jika engkau kekangi dan engkau kuatkan tangan engkau memegangnya dengan keras, niscaya dapatlah engkau memilikinya.
Imam Asy-Syafi’i ra berkata: “3 golongan, jika kamu muliakan mereka, niscaya mereka hinakan akan kamu dan jika kamu hinakan, niscaya mereka muliakan akan kamu: wanita, pelayan dan orang Nabthi/petani.”. Imam Asy-Syafi’i ra bermaksud dengan yang demikian, ialah kalau engkau memuliakan semata-mata dan tidak engkau campurkan kemarahan engkau dengan kelunakan engkau dan kekasaran engkau dengan kekasih-sayangan engkau.
Adalah kaum wanita Arab mengajarkan kepada anak perempuannya untuk menguji suami. Wanita itu berkata kepada anak perempuannya: “Ujilah suamimu, sebelum tampil dan beranilah terhadap dia ! cabutlah mata tombaknya ! kalau ia diam, maka potonglah daging diatas perisainya ! kalau ia diam, maka pecahkanlah tulang dengan pedangnya ! kalau ia diam, maka jadikanlah tapak tangan keatas belakangnya dan lipatkanlah ! karena laki-laki itu adalah keledai engkau”. Pada umumnya, dengan keadilanlah langit dan bumi itu tegak. Maka tiap-tiap yang melewati batas, niscaya terbaliklah diatas lawannya. Dari itu, seyogyalah engkau menjalani jalan tengah, dalam perselisihan dan penyesuaian. Dan ikutilah kebenaran dalam semuanya itu, supaya engkau selamat dari kejahatan wanita. Sesungguhnya tipuan mereka itu besar dan kejahatan mereka itu berkembang. Dan kebanyakan mereka itu buruk budi dan tipis akal pikiran. Dan tidaklah lurus yang demikian itu dari mereka, kecuali dengan cara lemah-lembut, yang bercampur dengan kebijaksanaan.
Dan Nabi saw bersabda: “Perempuan yang shalih dalam golongan kaum wanita itu, adalah seumpama gagak a’sham, diantara 100 ekor burung gagak”. Gagak a’sham: ialah putih perutnya. Dalam wasiat Lukman kepada puteranya, tersebut: “Wahai anakku ! takutilah wanita jahat, karena dia membuat engkau beruban sebelum beruban ! dan takutilah wanita yang tidak baik, karena mereka tiada mengajak kamu kepada yang baik ! dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka !”. Dan Nabi saw bersabda: “Berlindunglah kamu dari 3, yang membawa kepada kemiskinan !’. Dan beliau menghitung dari yang 3 itu: perempuan jahat. Karena membawa kepada beruban (tua), sebelum beruban. Dan pada kata-kata lain dari hadits itu, tersebut:  “Jika engkau masuk ke tempatnya, dimakinya engkau dan jika engkau pergi jauh daripadanya, dikhianatinya engkau”.
Dan Nabi saw bersabda pada wanita-wanita baik: “Bahwa engkau sekalian, adalah teman-teman Yusuf”. Ya’ni: bahwa engkau putarkan Abubakar dari tampil maju ke dalam shalat, adalah kecondongan engkau dari kebenaran kepada hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman ketika wanita-wanita itu menyiarkan rahasia Rasulullah saw: “Kalau engkau keduanya bertaubat (kembali) kepada Allah, hati engkau keduanya telah condong (kepada kesalahan)”. S 66 At Tahrim ayat 4. Allah berfirrman yang demikian itu, mengenai isteri-isteri Nabi saw yang terbaik. Nabi saw bersabda: “Tiada akan memperoleh kemenangan orang yang dimiliki oleh perempuannya”. Umar ra telah menghardik isterinya tatkala ia mengulang-ulangi perkataan Umar dan beliau berkata: “Tidaklah engkau ini, selain dari suatu permainan disamping rumah. Kalau kami mempunyai hajat kepada engkau dan kalau tidak, maka duduklah engkau sebagaimana engkau sendiri”. Jadi, dalam kalangan wanita itu, terdapat yang jahat dan yang lemah. Maka kebijaksanaan dan kekasaranlah yang menjadi obat kejahatan. Dan berbaik-baik serta kasih-sayanglah yang menjadi obat kelemahan. Maka dokter yang mahir, ialah yang sanggup mengobati menurut penyakit yang dideritai. Maka hendaklah mula-mula laki-laki itu melihat kepada akhlaq wanita dengan percobaan. Karena dipergaulinya dengan cara yang membaikkan kepadanya, sebagaimana yang dikehendaki oleh hal-keadaan wanita itu.
Adab kelima: kesederhanaan mengenai kecemburuan. Yaitu, si suami tidak melalaikan dari permulaan hal-hal yang ditakuti membinasakan. Dan tidaklah bersangatan tentang jahat sangkaan, kekerasan dan pengamatan hal-hal didalam (soal-soal intern). Rasulullah saw melarang diselidiki hal-hal yang tertutup (aurat) bagi wanita. Dan kata yang lain dari hadits itu, tersebut: “Bahwa mencurigai wanita”. Tatkala Rasulullah saw datang dari perjalanan jauh, lalu bersabda sebelum masuk Madinah: “Janganlah kamu berjalan menuju wanita pada malam ini !”. Maka dilanggar larangan itu oleh dua orang yang terus mendahului. Lalu masing-masing memperoleh di rumahnya apa yang tidak disenanginya. Pada suatu hadits masyhur, tersebut: “Wanita itu seperti tulang rusuk. Jika engkau luruskan, niscaya pecah. Dari itu, biarkanlah demikian, engkau akan dapat bersenang-senang diatas kebengkokannya !”. Dan ini adalah mengenai pendidikan budi-pekertinya. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari cemburu itu adalah cemburu yang dimarahi oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu: cemburunya seorang laki-laki kepada isterinya, tanpa ada yang meragukan”. Karena yang demikian itu adalah dari jahat sangkaan yang dilarang kita daripadanya. Sesungguhnya, setengah sangkaan itu dosa.
Ali ra berkata: “Janganlah banyak cemburu kepada isterimu, maka cemburu itu membawa kepada tuduhan jahat dari karena engkau !”. Adapun cemburu pada tempatnya, maka tidak boleh tidak. Yaitu: cemburu yang terpuji. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu cemburu dan orang mu’min itu cemburu. Dan cemburunya Allah Ta’ala ialah diperbuat oleh seseorang akan apa yang diharamkan kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Adakah kamu merasa heran dari kecemburuan Sa’ad ? aku, demi Allah, lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku”. Dan karena cemburunya Allah Ta’ala, maka diharamkanNya segala yang keji, yang zhahir dan yang bathin. Dan tak ada yang lebih suka memberi kemaafan, selain daripada Allah. Dan karena itulah diutuskanNya: penyampai kabar takut dan kabar gembira (al-mundzi-rin dan al-mubasy-syirin). Dan tak ada yang lebih suka kepada pujian, selain daripada Allah. Dan karena itulah, dijanjikanNya sorga.
Rasulullah saw bersabda: “Aku lihat pada malam aku berisra’, didalam sorga suatu istana dan di halaman istana itu seorang bidadari. Lalu aku bertanya: “Untuk siapa istana ini ?”. Maka dijawab: “Untuk Umar !”. Lalu aku ingin melihatnya, tetapi aku teringat akan kecemburuanmu, wahai Umar ! Maka menangislah Umar, seraya berkata: “Adakah aku akan cemburu terhadapmu, wahai Rasulullah ?”.
Al-Hasan berkata: “Adakah kamu panggil perempuan-perempuanmu untuk berdesak-desak masuk ke pasar ? dikejikan oleh Allah kiranya, orang yang tidak cemburu !”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari cemburu itu dikasihi Allah dan sebahagian daripadanya dimarahi Allah. Dan sebahagian dari kesombongan itu, dikasihi Allah dan sebahagian daripadanya, dimarahi Allah. Adapun cemburu yang dikasihi Allah, ialah cemburu pada yang diragukan. Dan cemburu yang dimarahi Allah ialah cemburu pada yang tidak diragukan. Dan kesombongan yang dikasihi Allah ialah kesombongan seseorang terhadap dirinya sendiri ketika perang dan berjumpa dengan musuh. Dan kesombongan yang dimarahi Allah ialah kesombongan pada yang batil/salah”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku adalah amat cemburu dan tak adalah seseorang manusia yang tidak cemburu, kecuali telah terbalik hatinya”. Dan jalan yang membawa kepada tidak cemburu, ialah tidak masuk laki-laki ke tempat isterinya dan isteri itu tidak keluar ke pasar. Dan Nabi saw bertanya kepada puterinya Fatimah ra:  “Apakah yang lebih baik bagi wanita ?”. Fathimah ra menjawab: “Bahwa wanita itu tidak melihat laki-laki dan laki-laki itu tidak melihat wanita”. Lalu Rasulullah saw memeluk puterinya Fathimah, seraya bersabda: “Keturunan setengah dari wanita itu dari setengah yang lain”. Nabi saw menerima dengan baik jawaban Fathimah ra.
Adalah para sahabat Rasulullah saw menyumbat jendela dan segala lobang pada pagar rumahnya, supaya wanita tidak melihat akan laki-laki. Dan Ma’az bin Jabal pernah melihat isterinya, menengok pada jendela, lalu dipukulnya. Dan pernah melihat isterinya memberikan buah tufah kepada budaknya laki-laki, yang telah dimakannya, lalu dipukulnya. Umar ra berkata: “Bukalah dari wanita pakaian hiasan, yang mengharuskan dirinya memakai gelang kaki !” Beliau mengatakan yang demikian, adalah karena wanita-wanita itu tidak suka keluar dalam keadaan yang tidak berdandan. Dan beliau mengatakan: “Biasakan isterimu dengan: tidak!” Rasulullah saw mengizinkan kaum wanita hadir ke masjid. Dan yang betul sekarang, ialah dilarang, kecuali wanita-wanita tua. Bahkan larangan itu dipandang betul pada masa sahabat ra sehingga ‘Aisyah pernah berkata: “Kalau tahulah Nabi saw apa yang diperbuat kaum wanita sesudahnya, niscaya beliau melarang mereka keluar”. Tatkala berkata Ibnu Umar ra: “Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu melarang hamba-hamba Allah yang wanita ke masjid-masjiid Allah !”. Lalu menjawab sebahagian anaknya: “Ya, sesungguhnya, demi Allah, kami larang mereka”. Lalu Ibnu Umar memukul dan memarahi anaknya itu, seraya berkata:  “Dengarlah aku katakan, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Janganlah kamu melarang”. Lalu kamu menjawab: “Ya !”. Sesungguhnya anak Ibnu Umar itu memberanikan diri menyalahinya, karena diketahuinya perobahan zaman. Dan marahnya Ibnu Umar kepada anaknya itu, sebab secara mutlak dikeluarkannya kata-kata menantanginya terus-terang, tanpa menerangkan alasan.
Dan begitupula, adalah Rasulullah saw telah mengizinkan bagi para wanita pada hari raya khususnya untuk keluar. Tetapi janganlah mereka itu keluar, kecuali dengan persetujuan suaminya. Dan keluar itu sekarang diperbolehkan bagi wanita yang terhormat dengan keizinan suaminya. Tetapi duduk di rumah, adalah lebih menyelamatkan. Dan seyogyalah wanita itu tidak keluar, kecuali karena kepentingan. Karena keluar untuk melihat pemandangan-pemandangan dan hal-hal yang tidak penting, adalah mencederakan kehormatan diri. Dan kadang-kadang membawa kepada kerusakan. Apabila keluar, maka seyogyalah, wanita itu memicingkan matanya daripada laki-laki. Dan tidaklah kami mengatakan, bahwa muka laki-laki terhadap wanita itu aurat, seperti muka wanita terhadap laki-laki. Tetapi muka laki-laki itu, adalah seperti muka anak kecil yang muda belia terhadap laki-laki. Maka haramlah memandangnya, ketika ditakuti fitnah saja. Kalau tidak ada fitnah, maka tidak haram, karena senantiasalah laki-laki itu sepanjang zaman terbuka muka. Dan wanita itu keluar dengan memakai kudung. Dan kalau adalah muka laki-laki itu aurat terhadap wanita, niscaya mereka disuruh memakai kudung atau wanita itu dilarang keluar, kecuali sangat penting (dlarurah).
Adab keenam: kesederhanaan pada perbelanjaan. Maka tiada seyogyalah dipersempit perbelanjaan kepada wanita dan diperlebih-lebihkan, tetapi seyogyalah disederhanakan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan (melampaui batas)”. S 7 Al A’raaf ayat 31. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau jadikan tangan engkau terbelenggu ke kuduk dan jangan (pula) engkau kembangkan seluas-luasnya !”. S 17 Al Israa’ ayat 29. Dan Rasulullah saw bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah yang terbaik kepada isterinya”. Dan Nabi saw bersabda: “Sedinar engkau belanjakan pada jalan Allah (fi sabilillah), sedinar engkau belanjakan memerdekakan budak dan sedinar engkau bersedekah kepada orang miskin dan sedinar engkau belanjakan kepada isteri engkau, maka yang terbesar pahalanya ialah yang engkau belanjakan kepada isteri engkau”.
Ada ulama yang mengatakan bahwa Ali ra mempunyai 4 orang isteri. Maka dibelinya untuk masing-masing isteri itu pada tiap-tiap 4 hari daging sedirham. Dan Al-Hasan berkata: “Adalah orang-orang dahulu tentang urusan tempat isteri, bersikap lapang. Dan tentang perabot rumah dan pakaian, bersikap tidak lapang”. Ibnu Sirin berkata: “Disunatkan bagi laki-laki membuat bagi isterinya pada tiap-tiap minggu makanan yang manis. Dan seolah-olah yang manis itu meskipun tidak termasuk penting, tetapi meninggalkannya secara keseluruhan, adalah kikir menurut adat kebiasaan. Dan seyogyalah bagi suami menyuruh isterinya bersedekah dengan sisa makanan dan makanan yang akan rusak, kalau ditinggalkan. Maka inilah sekurang-kurang derajat kebajikan !. Dan bagi wanita boleh memperbuat demikian menurut keadaan, tanpa keizinan yang tegas dari suaminya. Dan tiada seyogyalah bagi suami, tiada memberikan kepada isterinya makanan yang bagus. Lalu ia tidak memberikan mereka makanan itu daripadanya. Karena yang demikian itu, menyesakkan dada dan menjauhkan dari pergaulan dengan hal-hal yang baik. Kalau ia bersikap demikian, maka hendaklah dimakannya dengan tersembunyi, dimana isterinya itu tidak mengetahuinya. Dan tiada seyogyalah ia menerangkan pada mereka sesuatu makanan, dimana ia tidak bermaksud memberikannya kepada mereka. Apabila ia makan, maka duduklah seluruh ‘iyal (keluarga yang serumah tangga, yang menjadi tanggungannya) pada hidangannya. Sufyan ra berkata: “Sampai kepada kami riwayat, bahwa Allah dan para malaikatNya menurunkan rahmat kepada ahli-bait (keluarga serumah atau isi rumah) yang makan bersama-sama”. Yang paling penting daripada apa yang harus diperhatikan pada perbelanjaan itu, ialah memberi makan isteri dari yang halal. Dan tidaklah memasukkan pemasukan-pemasukan yang buruk kepada isteri. Karena yang demikian itu adalah penganiayaan terhadap isteri, bukan pemeliharaan. Dan kami bentangkan hadits-hadits yang berkenaan dengan itu, ketika menerangkan bahaya-bahaya perkawinan.
Adab ketujuh: bahwa yang kawin itu hendaklah mempelajari pengetahuan tentang haid/mens dan hukum-hukumnya, apa yang wajib dijaga daripadanya. Dan mengajarkan isterinya segala hukum shalat dan apa yang diqodokan dan yang tidak diqodokan daripadanya pada haid. Karena Allah Ta’ala menyuruh memeliharakan isteri dari api neraka, dengan firmanNya Yang Maha Tinggi: “Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Maka haruslah suami mengajari isterinya tentang keyakinan agama Ahlussunnah dan menghilangkan dari hatinya tiap-tiap bid’ah (yang diada-adakan), kalau isteri telah tertarik perhatiannya kepada yang diada-adakan. Dan menakutinya akan Allah, kalau ia menganggap enteng tentang urusan agama. Dan mengajarinya segala hukum haid dan istihadlah/melebihi batas haid, sekedar yang memerlukan kepadanya. Dan pengetahuan mengenai istihadlah itu panjang. Adapun yang tidak boleh tidak diberi petunjuk wanita tentang urusan haid, ialah menerangkan shalat-shalat yang akan diqodokannya. Karena manakala putus darahnya sebelum masuk waktu Maghrib sekedar serakaat, maka haruslah ia mengqodokan Dhuhur dan ‘Ashar. Apabila putus darahnya sebelum waktu Shubuh sekedar serakaat, maka haruslah ia mengqodokan Maghrib dan ‘Isya’. Dan inilah sekurang-kurangnya yang harus diperhatikan oleh kaum wanita.
Kalau laki-laki itu bangun mengajarinya, maka tidaklah isteri itu keluar bertanya kepada orang yang tahu (ulama). Kalau pengetahuan laki-laki itu singkat, tetapi ia menggantikan isterinya untuk bertanya. Kemudian diterangkannya kepada isterinya akan jawaban dari orang yang dimintanya fatwa. Maka tidaklah isteri itu keluar. Maka kalau tidaklah yang demikian, niscaya bolehlah bagi isteri keluar untuk bertanya, bahwa wajib atas isteri yang demikian itu. Dan berdosalah suami melarangnya. Manakala isteri telah memperlajari yang termasuk fardlu/wajib, maka tidaklah boleh ia keluar ke tempat berdzikir dan ke tempat mempelajari yang tidak penting, kecuali dengan seizin suami. Manakala si isteri melengahkan salah satu dari hukum haid dan istihadlah dan tidak diajarkan oleh si suami, niscaya jadilah laki-laki bersama isterinya itu sama-sama bersekutu pada kedosaan.
Adab kedelapan: apabila laki-laki itu mempunyai beberapa orang isteri, maka seyogyalah ia berlaku adil diantara mereka. Dan tidaklah ia condong kepada sebahagiannya. Kalau ia keluar untuk berjalan jauh (bermusafir) dan bermaksud membawa salah seorang, niscaya dilotre kan (diqur’ahkan) diantara isteri-isteri itu. Karena begitulah diperbuat oleh Rasulullah saw. Kalau ia berbuat zalim terhadap seorang isteri dengan malamnya (tidak ia bermalam pada isteri yang mempunyai giliran malam itu), niscaya ia menqodokan hak isteri itu. Sesungguhnya qodo itu wajib atasnya. Dan pada ketika itu, berhajatlah ia mengetahui hukum pembahagian waktu pulang kepada isteri-isteri. Dan yang demikian itu, panjang penjelasannya. Dan Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua orang isteri, lalu ia condong kepada seorang, tidak kepada yang lain” –dan menurut bunyi yang lain dari hadits” ia tidak berlaku adil diantara kedua isteri itu, niscaya datanglah ia pada hari kiamat dan satu dari dua belahan badannya itu condong (mereng)”. Sesungguhnya ia harus berlaku adil, pada pemberian dan bermalam.
Adapun mengenai kasih-sayang dan bersetubuh, maka yang demikian itu, tidaklah termasuk dibawah pilihannya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu tidak akan sanggup berlaku adil antara isteri-isterimu; walaupun kamu sangat ingin (berbuat begitu)”. S 4 An Nisaa’ ayat 129. Artinya: kamu tidak akan dapat berlaku adil, tentang kerinduan hati dan kecondongan jiwa. Dan diikuti akan yang demikian, oleh berlebih kurang tentang bersetubuh.
Adalah Rasulullah saw berlaku adil diantara semua isterinya tentang pemberian dan bermalam dalam segala malam, seraya beliau berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! inilah tenagaku pada apa yang aku miliki dan tak adalah tenagaku pada apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya”, ya’ni: kasih-sayang. Dan adalah ‘Aisyah yang paling dikasihi diantara isteri-isterinya dan isteri-isterinya yang lain mengetahui yang demikian. “Dan adalah Rasulullah saw dibawa berkeliling dengan dipikul pada waktu sakitnya tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam. Maka beliau bermalam pada masing-masing dari isterinya itu, sambil beliau bertanya: “Kemanakah aku besok ?” Lalu dapatlah dipahami akan pertanyaan itu oleh seorang dari isteri-isterinya, maka ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw bertanya dari hari yang menjadi bahagian ‘Aisyah. Lalu kami semua berkata: “Wahai Rasulullah ! telah kami izinkan engkau supaya di rumah ‘Asiyah saja, karena sukarlah bagimu dibawa pada tiap-tiap malam”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Sudah relakah engkau semuanya dengan yang demikian?”. Lalu mereka menjawab: “Ya, sudah !”. Maka Rasulullah saw menyambung:  “Putarkanlah aku ke rumah ‘Aisyah !”. Manakala seorang dari isteri-isteri itu memberikan malam bahagiannya kepada temannya (isteri yang lain dari suami itu) dan suami menyetujui yang demikian, maka menjadilah hak bagi isteri yang diberikan.
Adalah Rasulullah saw membagikan waktu pulang diantara isteri-isterinya. Maka beliau bermaksud menceraikan Saudah binti Zam’ah, karena ia telah berusia lanjut. Lalu Saudah memberikan malamnya kepada ‘Aisyah dan bermohon pada Rasulullah saw supaya menetapkannya dalam keisterian sehingga ia dibangkitkan pada hari kiamat, dalam kumpulan isterinya. Lalu Nabi saw menetapkan dia selaku isteri dan tidak membagi pulang kepadanya. Dan Nabi saw membagi pulang kepada ‘Aisyah dua malam dan kepada isteri-isterinya yang lain semalam-semalam. Tetapi Nabi saw karena bagus keadilan dan kekuatannya, apabila merindui kepada salah seorang dari isterinya pada bukan gilirannya, lalu beliau setubuhi dia dan beliau berkeliling pada siang atau malamnya kepada isteri-isterinya yang lain. Maka dari yang demikian itulah, apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw berkeliling kepada isteri-isterinya dalam satu malam. Dari Anas, bahwa Nabi saw berkeliling kepada 9 isterinya pada waktu dluha suatu hari.
Adab kesembilan: tentang durhaka kepada suami (nusyuz). Manakala terjadi perselisihan diantara suami-isteri dan tidak terperbaiki sendiri urusan kedua suami-isteri itu, maka dalam hal ini, kalau perselisihan itu timbul sama-sama dari kedua belah pihak atau dari pihak laki-laki saja, maka janganlah dipaksakan isteri untuk suaminya. Dan suami itu sendiri tidak mampu memperbaiki isterinya. Lalu haruslah ada dua orang pengetengah (dua hakam), seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga isteri. Supaya keduanya memperhatikan dan memperbaiki antara kedua suami-isteri itu. Kalau keduanya berkehendak kepada perbaikan, niscaya dianugerahkan taufiq oleh Allah diantara keduanya.
Dan Umar ra telah mengutus seorang hakam kepada kedua suami isteri, maka hakam itu kembali dan tidak dapat memperbaiki keduanya. Maka meninggilah pada Umar niat berbuat kebajikan, seraya beliau berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Jika keduanya ingin mencari perbaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq (menyatukan pikiran) antara keduanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 35. Lalu laki-laki yang menjadi hakam itu kembali, membaikkan niatnya dan bersikap lemah-lembut dengan kedua suami-isteri itu. Maka dapatlah ia mengadakan perbaikan (ishlah) diantara keduanya.
Adapun apabila nusyuz itu dari pihak wanita saja, maka dalam hal ini, laki-laki itu adalah pemimpin kaum wanita. Maka bolehlah ia mengajarinya dan membawanya secara paksaan kepada kepatuhan (taat kepada suami). Begitupula, apabila isterinya itu meninggalkan shalat, maka bolehlah ia secara paksaan membawa isterinya kepada shalat. Tetapi seyogyalah dengan cara berangsur-angsur mengajarinya. Yaitu: pertama-tama didahulukan dengan nasihat, gertak dan pertakut. Kalau tidak berhasil, maka suami itu memalingkan belakangnya kepada si isteri pada tempat tidur. Atau ia menyendiri tidur, tanpa bersama-sama si isteri dan tidak bercakap-cakap dengan si isteri, sedang si suami itu bersama isterinya dalam rumah dari satu malam sampai 3 malam. Kalau ia tidak berhasil juga, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, kira-kira menyakitkan dan tidak memecahkan tulangnya. Tidak mendarahkan tubuhnya dan tidak memukul mukanya. Yang demikian itu, adalah dilarang.
Ditanyakan Rasulullah saw: “Apakah hak isteri diatas suami ?” Rasulullah saw menjawab: “Memberinya makan, apabila ia makan, memberinya pakaian, apabila ia berpakaian, tidak memburukkan mukanya, tidak memukul, kecuali pukulan yang tidak melukakan dan tidak meninggalkannya tidak bercakap-cakap, selain di rumah”. Suami boleh memarahi isteri dan meninggalkannya tidak bercakap-cakap, mengenai suatu urusan agama, sampai 10, sampai kepada 20 hari dan sampai kepada sebulan. Rasulullah saw telah berbuat demikian, ketika beliau mengirimkan hadiah kepada Zainab, lalu ditolaknya. Maka berkatalah isteri Nabi saw dimana beliau berada di rumahnya: “Sungguh, Zainab telah menghinakan engkau, karena ditolaknya hadiah engkau !” Artinya: “memandang hina dan melecehkan engkau”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Engkau semuanya lebih hina pada Allah untuk engkau hinakan akan aku”. Kemudian Nabi saw marah kepada mereka semuanya selama sebulan, sampai beliau kemudian kembali kepada mereka.
Adab kesepuluh: tentang adab jima’ (bersetubuh). Disunatkan dimulai dengan Bismillah, dibacakan mula-mula “Qul-huallahu ahad”, dibacakan takbir dan tahlil dan dibacakan: “Dengan nama Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ! wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah dia keturunan yang baik, jikalau Engkau mentaqdirkan untuk mengeluarkan yang demikian itu dari tulang sulbiku (tulang pinggangku)”.
Dan Nabi saw bersabda: “Kalau seseorang kamu mendatangi isterinya, lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! singkirkan daripadaku setan dan singkir kan setan itu dari apa yang Engkau berikan rezeki kepadaku !” Maka kalau adalah anak diantara kedua suami-isteri itu, niscaya tidak akan didatangkan kemelaratan oleh setan”. Apabila engkau telah mendekati kepada inzal (keluar mani), maka bacalah dalam hatimu dan jangan engkau gerakan kedua bibirmu: “Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu diadakannya pertalian darah dan hubungan perkawinan dan Tuhanmu itu Maha Kuasa”. Dan adalah sebahagian perawi hadits itu bertakbir, sehingga didengar oleh penghuni rumah akan suaranya. Kemudian ia berpaling dari qiblat. Dan tidak menghadap qiblat dengan jima’, untuk memuliakan qiblat. Dan hendaklah menutupkan dirinya sendiri dan isterinya dengan kain !”.
Adalah Rasulullah saw menutup kepalanya dan membisikkan suaranya, seraya mengatakan kepada isterinya: “Haruslah engkau dengan tenang !”. Pada suatu hadits tersebut: “Apabila bersetubuh seorang kamu dengan isterinya, maka janganlah kamu kosong dari pakaian, seperti kosongnya dua keledai”. Dan hendaklah didahulukan dengan kata-kata yang lemah-lembut dan pelukan. Nabi saw bersabda: “Janganlah bersetubuh seorang kamu dengan isterinya, seperti bersetubuhnya hewan dan hendaklah ada diantara keduanya: utusan”. Lalu orang menanyakan: Apakah utusan itu, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab: “Berpeluk dan berkata-kata”. Nabi saw bersabda: “3 perkara kelemahan pada laki-laki, yaitu: menjumpai orang, dimana ia ingin mengenalnya. Lalu berpisah, sebelum mengetahui namanya dan keturunannya. Kedua, ia dimuliakan oleh seseorang, lalu ditolaknya kemuliaan itu. Dan ketiga, laki-laki itu mendekatkan budak wanitanya atau isterinya, lalu terus bersetubuh sebelum bercakap-cakap, berjinak-jinakan hati dan tidur bersama-sama dengan dia. Maka laki-laki itu tercapai hajatnya dari budak wanita dan isterinya tadi, sebelum wanita dan isterinya itu tercapai hajatnya daripadanya”.
Dimakruhkan bersetubuh pada 3 malam; dari permulaan bulan, penghabisan dan pertengahan bulan, dimana dikatakan: bahwa setan menghadiri persetubuhan pada malam-malam tersebut. Dan dikatakan: bahwa setan-setan itu turut sama-sama bersetubuh pada malam-malam tadi. Diriwayatkan makruh yang demikian itu, dari Ali, Mu’awiyah dan Abi Hurairah ra. Sebahagian ulama memandang sunat bersetubuh pada siang Jum’at dan malamnya, sebagai penguatan dari salah satu dari dua penafsiran dari sabda Nabi saw: “Diberi rahmat oleh Allah akan orang yang membawa keluarganya untuk mandi dan ia sendiri mandi.....sampai akhir hadits”. Kemudian, apabila si suami telah terlaksana hajatnya (telah keluar maninya) maka hendaklah ia menunggu untuk hajat isterinya, sehingga si isteri juga terlaksana hajatnya. Karena inzalnya si isteri kadang-kadang terkemudian, maka bergoncanglah nafsu syahwatnya. Kemudian duduk, tanpa inzalnya si isteri, adalah menyakitkan bagi si isteri. Dan berlainan tentang sifat inzal (keluar mani) itu, mewajibkan ketegangan jiwa antara kedua suami-isteri, manakala si suami itu terdahulu inzal dari isterinya. Dan bersesuaian waktu inzal, adalah lebih mendatangkan kelezatan pada si isteri, supaya laki-laki itu bekerja sendiri, dimana si isteri kadang-kadang merasa malu. Dan seyogyalah suami mendatangi isterinya dalam tiap-tiap 4 malam sekali. Itu, adalah lebih adil, karena bilangan isteri itu 4. Maka bolehlah dikemudiankan sampai kepada batas tersebut. Ya, sewajarnyalah dilebihkan atau dikurangkan menurut hajat isteri untuk pemeliharaan bagi isteri. Karena pemeliharaan terhadap isteri itu, adalah wajib atas suami, walaupun tidak ditetapkan penuntutan dengan bersetubuh. Karena yang demikian itu, adalah karena sulitnya penuntutan dan penyempurnaan dengan penuntutan itu. Dan janganlah suami mendatangi isterinya yang sedang haid dan jangan sesudah habis haid dan belum mandi. Karena yang demikian itu, adalah diharamkan dengan dalil Alquran. Dan ada yang mengatakan bahwa yang demikian itu, mempusakai penyakit kusta pada anak. Dan bagi suami, boleh bersenang-senang dengan seluruh tubuh isterinya yang sedang berhaid. Dan jangan mendatanginya pada tempat yang tidak boleh didatangi. Karena diharamkan bersetubuh dengan isteri yang berhaid, karena menyakitkan. Dan menyakitkan itu, tetap ada pada tempat yang tidak boleh didatangi. Maka itu adalah sangat mengharamkan mendatangi isteri yang berhaid.
Dan firman Allah Ta’ala: “Maka usahakanlah perladanganmu (isteri-isterimu) itu, bagaimana kamu sukai !”. S 2 Al Baqarah ayat 223. Artinya: waktu mana saja kamu kehendaki. Bagi suami boleh mengeluarkan maninya dengan kedua tangan isterinya dan bersenang-senang dengan yang dibawah sarung, dengan apa yang disukainya, selain dari jima’/bersetubuh. Dan seyogyalah wanita itu berkain sarung dari tengah badannya, sampai keatas lutut pada waktu sedang haid. Ini, adalah sebahagian dari adab. Dan suami boleh makan bersama-sama dengan isterinya yang sedang haid dan bercampur pada tempat tidur dan lainnya. Dan tidaklah harus ia menjauhkannya. Apabila si suami itu ingin bersetubuh kali kedua sesudah yang pertama, maka hendaklah pertama-tama membasuh kemaluan nya. Dan kalau ia bermimpi (ihtilam), maka janganlah bersetubuh, sebelum membasuh kemaluannya atau membuang air kecil. Dan dimakruhkan bersetubuh pada awal malam, sehingga tidaklah ia tidur, dengan tidak suci. Kalau mau tidur atau makan, maka hendaklah lebih dahulu berwudlu’, seperti wudlu’ shalat. Yang demikian itu, adalah sunat.
Ibnu Umar berkata: “Aku bertanya kepada Nabi saw: “Adakah tidur seorang dari kita, dimana ia berjunub ?”. Nabi saw menjawab: “Ya, apabila telah berwudlu”. Tetapi telah datang hadits yang memberi keentengan. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Nabi saw tidur dengan berjunub, dimana beliau tidak menyentuh air”. Manakala ia kembali kepada tikarnya, maka hendaklah disapunya muka tikarnya atau dikipaskannya. Karena ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi diatas tikar itu kemudiannya. Dan tiada seyogyalah mencukur rambut atau mengerat kuku atau mengadam kumis atau mengeluarkan darah atau menceraikan dari dirinya sesuatu bagian, dimana dia sedang berjunub. Karena segala bahagian dirinya itu dikembalikan kepadanya pada hari akhirat, lalu kembalilah dalam keadaan berjunub. Dan ada yang mengatakan, bahwa masing-masing dari rambut itu menuntutnya, disebabkan junubnya itu.
Sebahagian dari adab, bahwa suami itu tidak mengeluarkan maninya, bahkan tidak menumpahkannya, selain ke tempat bersetubuh itu, yaitu: rahim isteri. Karena tidaklah suatu nyawa yang ditaqdirkan oleh Allah akan adanya, melainkan adalah ia: ada. Begitulah sabda Rasulullah saw. Kalau ia membuang keluar (al ‘azal), maka berbedalah pendapat para ulama tentang boleh dan makruhnya kepada 4 madzhab.
Sebahagian: membolehkan secara mutlak dalam segala hal keadaan.
Sebahagian: mengharamkan dalam segala hal dan sebahagian mengatakan: halal, dengan seizin isterinya dan tidak halal, tanpa keizinannya. Dan seakan-akan yang mengatakan ini, mengharamkan menyakitkan, bukan pembuangan mani di luar rahim.
Sebahagian mengatakan: dibolehkan pada wanita budak (gundik), tidak dibolehkan pada wanita merdeka (isteri). Dan yang shahih (yang benar) pada kami, ialah yang demikian itu diperbolehkan.
Adapun makruh, maka itu ditujukan karena larangan haram dan larangan demi kebersihan (tanzih) dan karena meninggalkan keutamaan (fadilah).
Maka adalah itu dimakruhkan, dengan pengertian yang ketiga. Artinya: padanya itu, meninggalkan keutamaan, sebagaimana dikatakan: dimakruhkan bagi orang yang duduk dalam masjid, duduk dengan kosong, tidak berdzikir atau mengerjakan shalat. Dan dimakruhkan bagi orang yang berada di Makkah dan bermukim disitu, kecuali mengerjakan hajji tiap-tiap tahun. Dan yang dimaksudkan dengan makruh tersebut diatas, ialah meninggalkan keutamaan dan fadilah saja. Dan ini nyata tegas, karena apa yang telah kami terangkan dari keutamaan mengenai anak.
Dan karena apa yang diriwayatkan dari Nabi saw: “Bahwa laki-laki itu, sesungguhnya bersetubuh dengan isterinya maka dituliskan baginya dengan persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berperang fi sabilillah, lalu ia terbunuh (gugur)”. Sesungguhnya Nabi saw, bersabda yang demikian, karena kalaulah orang itu memperoleh anak seperti anak tadi, niscaya adalah baginya pahala, dimana ia menjadi sebab kepada adanya anak tersebut.
Sedang Allah Ta’ala adalah yang menjadikan, yang menghidupkan dan yang menguatkannya kepada jihad itu. Dan sebab yang datang daripadanya telah dilaksanakannya yaitu: bersetubuh. Dan yang demikian, adalah ketika menumpahkan mani itu ke dalam rahim wanita. Sesungguhnya, kami katakan, tidaklah makruh itu dengan arti: mengharamkan dan mentanzihkan (membersihkan), adalah karena adanya larangan itu, hanya mungkin dengan nash (dalil yang tegas) atau qias (analogi) kepada yang dinashkan. Dan tak adalah nash dan pokok yang diqiaskan kepadanya. Tetapi adalah disini suatu pokok yang diqiaskan kepadanya. Yaitu: meninggalkan perkawinan betul atau meninggalkan bersetubuh sesudah kawin atau meninggalkan inzal (keluar mani) sesudah memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan wanita. Semuanya itu, adalah meninggalkan yang lebih utama (meninggalkan yang afdlal). Dan tidaklah itu mengerjakan yang larangan. Dan tak ada disitu perbedaan, karena anak itu terjadi dengan jatuhnya nuthfah (mani) ke dalam rahim wanita. Dan ia mempunyai 4 sebab: kawin, kemudian bersetubuh, kemudian sabar sampai inzal sesudah bersetubuh, kemudian berhenti, supaya mani itu tertumpah ke dalam rahim.
Sebahagian dari sebab-sebab ini, adalah lebih mendekati dari sebahagian yang lain. Maka mencegah dari sebab yang ke-4, adalah seperti mencegah dari sebab yang ke-3. Begitupula mencegah yang ke-3, adalah seperti mencegah sebab yang ke-2. Dan mencegah yang ke-2, adalah seperti mencegah sebab yang pertama. Dan tidaklah itu seperti: menggugurkan anak dan membunuh anak hidup-hidup. Karena yang demikian itu, adalah penganiayaan terhadap yang ada, yang telah terjadi. Dan yang ada, telah terjadi itu, mempunyai pula beberapa tingkat.
Tingkat yang pertama, dari adanya itu, ialah jatuhnya nuthfah ke dalam rahim, bercampur dengan air wanita dan bersedia untuk menerima hidup. Dan merusakkan yang demikian itu, adalah penganiayaan. Kalau sudah menjadi darah sekumpal (madl-ghah) dan daging sekumpal (‘alaqah), maka penganiayaan itu menjadi lebih keji lagi. Dan kalau sudah dihembuskan kepadanya nyawa dan telah menjadi makhluq, niscaya bertambahlah kejinya penganiayaan itu. Dan kesudahan kekejian dalam penganiayaan itu, adalah sesudah lahir anak itu dalam keadaan hidup.
Sesungguhnya, kami katakan, bahwa permulaan sebab adanya, ialah dari kira-kira jatuhnya mani ke dalam rahim wanita, tidak dari kira-kira keluarnya mani dari pinggang laki-laki, adalah karena anak itu tidak dijadikan dari mani laki-laki sendiri saja. Tetapi dari kedua suami-isteri bersama-sama. Adakalanya dari air lelaki dan air perempuan atau dari air lelaki dan darah haid. Berkata setengah ahli ilmu uraian tubuh manusia (ahlit-tasyrih), bahwa darah sekumpal itu dijadikan dengan taqdir Allah dari darah haid. Dan darah dari darah sekumpal (madl-ghah) itu, adalah seperti susu dari susu yang kental. Dan nuthfah dari laki-laki itu, adalah syarat tentang kekentalan darah haid dan keikatannya, seperti buih susu yang masam. Karena dengan buih yang masam itu, meneballah susu yang kental. Dan bagaimanapun adanya, maka air wanita itu, adalah sendi pada keikatan. Lalu berlakulah kedua air itu, sebagaimana berlakunya ijab dan qabul mengenai adanya hukum dalam segala ‘aqad (ikatan perjanjian). Maka barangsiapa melakukan ijab (penyerahan), kemudian ia menarik kembali sebelum qabul (penerimaan), niscaya tidaklah ia menganiaya kepada ‘aqad, dengan pembatalan dan pembongkaran. Dan manakala telah berkumpul ijab dan qabul, niscaya menarik kembali kemudian, adalah pembatalan, pembongkaran dan pemutusan.
Dan sebagaimana nuthfah dalam tulang belakang lelaki, tidaklah terjadi anak daripadanya, maka demikian pula, sesudah keluar dari kemaluan lelaki, selama tidak bercampur dengan air wanita atau darahnya. Ini, adalah suatu qias bandingan yang jelas. Kalau anda mengatakan, bahwa kalau tidaklah mani keluar/al-‘azal itu makruh, dari segi bahwa perbuatan itu menolak untuk adanya anak, maka tidaklah jauh untuk dimakruhkan, karena niat yang menggerakkan kepadanya. Sebab tidaklah menggerakkan untuk itu, selain oleh niat yang buruk, dimana padanya terdapat sesuatu dari campuran syirk yang tersembunyi (syirk-khafi). Maka aku menjawab, bahwa niat yang menggerakkan kepada menumpahkan mani keluar (al-‘azal), adalah 5:
Pertama: pada budak-budak wanita yang bertempat tinggal di rumah tuannya. Maka membuang mani keluar waktu bersetubuh dengan gundik itu, adalah untuk menjaga hak milik dari hilangnya dengan berhak kemerdekaan. Dan dengan maksud mengekalkan hak milik itu, dengan tidak memberi kemerdekaan, dan menolak sebab-sebab kemerdekaan itu, tidaklah dilarang.
Kedua: untuk tetapnya kecantikan dan kegemukan wanita. Supaya terus dapat bersenang-senang dan untuk kekekalan hidupnya. Karena dikuatiri akan bahaya waktu bersalin. Ini juga, tidaklah termasuk larangan.
Ketiga: takut kepada banyak dosa, disebabkan banyak anak. Dan menjaga dari perlunya bersusah-payah berusaha dan masuknya tempat-tempat masuk yang tidak baik. Ini juga, tidak termasuk larangan. Karena kurangnya dosa, adalah menolong kepada agama. Dan kesempurnaan serta keutamaan yang sebaik-baiknya, ialah pada tawakkal dan percaya dengan jaminan Allah, yang berfirman: “Dan tidak adalah yang merangkak-rangkak di bumi ini, melainkan Allah yang menanggung rezekinya”. S 11 Huud ayat 6. Dan tidak pelak lagi, bahwa dengan tindakan, membuang mani keluar itu, menjatuhkan diri dari tingkat kesempurnaan dan meninggalkan keutamaan. Tetapi memandang kepada akibat dan menjaga harta serta menyimpannya, walaupun bertentangan dengan tawakkal, tidaklah kami akan mengatakan, bahwa tindakan itu termasuk larangan.
Keempat: takut kepada anak-anak perempuan. Karena berkeyakinan, pada mengawinkannya terdapat malu, sebagaimana terdapat pada adat orang Arab, dimana mereka membunuh anak perempuan. Ini adalah niat yang buruk. Jikalau ditinggalkannya kawin atau bersetubuh disebabkan oleh niat tadi, niscaya berdosalah ia dengan niat itu. Bukan berdosa lantaran meninggalkan kawin dan bersetubuh. Maka begitu pulalah tentang membuang mani keluar (al-‘azal). Dan kerusakan pada keyakinan akan malu pada sunnah Rasulullah saw adalah lebih berat lagi. Dan kerusakan itu, adalah dapat diumpamakan, seumpama wanita yang meninggalkan kawin, karena mencegah dari diperintahi laki-laki. Maka adalah wanita itu menyerupai dengan laki-laki. Dan tidaklah kemakruhan itu tertuju kepada meninggalkan perkawinan.
Kelima: bahwa wanita itu menolak kawin, karena sangat dipentingkannya kebersihan dan menjaga dari keguguran, nifas dan penyusuan anak. Dan adalah yang demikian itu, adat kebiasaan wanita kaum Khawarij (suatu golongan yang tidak mau mengikuti dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah hal itu terjadi pada masa pemerintahan Ali bin abi Thalib), karena bersangatannya mereka memakai air, sehingga adalah mereka men-qodokan shalat-shalat di hari-hari haid. Dan mereka tidak masuk ke kakus, melainkan dengan keadaan telanjang. Maka ini adalah bid’ah (yang diada-adakan) yang menyalahi sunnah. Dan itu adalah niat yang merusak. Salah seorang dari wanita mereka itu meminta keizinan ‘Aisyah tatkala ia datang ke Basrah. Maka ‘Aisyah tidak mengizinkannya. Tujuan itulah yang buruk, bukan pencegahan beranak.
Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Barangsiapa meninggalkan kawin, karena takut berat tanggungan, maka tidaklah ia daripada kami”. 3 kali Nabi saw bersabda yang demikian. Maka aku jawab, bahwa mengeluarkan mani itu (al-‘azal), adalah seperti meninggalkan kawin. Dan sabdanya: tidaklah ia daripada kami”, artinya: tidaklah ia menyetujui kami diatas sunnah kami dan jalan kami. Dan sunnah kami itu, ialah berbuat yang lebih utama.
Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda, mengenai mengeluarkan mani: “Itu, adalah penguburan anak hidup-hidup yang tersembunyi (al-wa’dul-khafi)”, lalu Nabi saw membaca ayat: “Dan ketika ditanyai anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup”. S 81 At Takwiir ayat 8. Dan hadits ini tersebut dalam hadits yang shahih. Maka aku menjawab, bahwa dalam shahih juga, terdapat beberapa hadits yang shahih tentang pembolehan itu. Dan mengenai sabdanya: “Penguburan anak hidup-hidup yang tersembunyi”, adalah seperti sabdanya: “syirk yang tersembunyi”. Dan itu adalah mewajibkan kemakruhan, tidak pengharaman.
Kalau anda berkata, bahwa Ibnu Abbas berkata: “Penumpahan mani keluar itu, adalah penguburan anak hidup-hidup yang kecil (al-wa’dul-ash-ghar)”. Maka yang dilarang adanya itu, ialah anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup yang kecil (al-mau-udatush-shughra). Maka kami jawab, bahwa ini adalah suatu qias dari Ibnu Abbas, untuk menolak adanya, atas terpupus habis. Dan itu, adalah suatu qias yang lemah. Dan karena itulah dibantah oleh Ali ra tatkala didengarnya, seraya ia berkata: “Dan tak adalah penguburan anak perempuan hidup-hidup, kecuali sesudah 7. Artinya: sesudah yang lain 7 perkembangan kejadian manusia. Lalu Ali ra membaca ayat yang menerangkan perkembangan kejadian manusia. Yaitu: firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dari sari tanah. Kemudian Kami jadikan sari tanah –itu air mani, (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh. Kemudian air mani itu, Kami jadikan segumpal darah. Lalu darah segumpal itu, Kami jadikan segumpal daging dan daging segumpal itu Kami jadikan tulang-belulang. Kemudian tulang-tulang itu, Kami tutup dengan daging. Sesudah itu Kami jadikan makhluk yang lain”. Artinya: Kami hembuskan kepadanya nyawa. S 23 Al Mukminuun ayat 12-13 dan 14. Kemudian, beliau baca firman Allah Ta’ala pada ayat “Wa idzal mau-udatu su-ilat” tadi. Apabila anda perhatikan kepada apa yang telah kami kemukakan itu, tentang jalan qias dan pemandangan, niscaya jadilah kepada anda akan berlebih-kurangnya kedudukan Ali dan Ibnu Abbas ra tentang mendalami akan pengertian-pengertian dan memahami akan pengetahuan-pengetahuan. Betapa tidak demikian ? pada hadits yang disepakati dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim (Ash-Shahihain) dari Jabir, dimana Jabir berkata: “Adalah kami melakukan mengeluarkan mani pada masa Rasulullah saw sedang Alquran itu terus turun”. Dan pada kata-kata yang lain: “Adalah kami melakukan mengeluarkan mani, lalu disampaikan yang demikian kepada Nabi saw maka beliau tidak melarang kami berbuat begitu”.
Dalam Ash-Shahihain juga dari Jabir, yang mengatakan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai seorang budak wanita. Dia itu pelayan kami dan penyiram kurma kami. Aku selalu pulang kepadanya dan aku tidak suka ia mengandung”. Maka sahut Nabi saw: “Lakukanlah al-‘azal (mengeluarkan mani) padanya, kalau engkau mau ! sesungguhnya akan datang kepadanya, apa yang ditaqdirkan baginya”. Maka senantiasalah orang itu berbuat demikian. Kemudian, ia datang lagi kepada Nabi saw seraya berkata: “Sesungguhnya budak perempuan itu telah mengandung !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Telah kukatakan: akan datang kepadanya, apa yang ditaqdirkan baginya”. Semua itu tersebut dalam “Ash-Shahihain”.
Adab kesebelas: tentang adab memperoleh anak, yaitu 5:
1.        Tidak memperbanyak kegembiraan dengan memperoleh anak laki-laki dan kesedihan dengan anak perempuan. Karena ia tidak mengetahui akan kebajikan pada yang mana dari keduanya. Maka berapa banyak orang yang mempunyai anak laki-laki, bercita-cita bahwa jangan mempunyai lagi anak laki-laki atau bercita-cita bahwa mempunyai anak perempuan. Bahkan keselamatan itu, yang terbanyak adalah dari anak-anak perempuan dan pahala yang terbesar adalah pada anak perempuan.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak perempuan, maka diajarinya, lalu diperbagus pengajarannya, diberinya makanan, lalu diperbagus makanannya dan dilengkapkannya kepadanya kenikmatan yang dilengkapkan oleh Allah kepadanya, niscaya adalah anak perempuan itu baginya di kanan dan di kiri dari neraka ke sorga”.
Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Tidakkah seseorang yang memperoleh dua anak perempuan, lalu ia berbuat kebaikan kepada keduanya, selama keduanya menyertainya, melainkan keduanya itu memasukkan dia ke dalam sorga”.
Anas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua anak perempuan atau dua orang saudara perempuan, lalu ia berbuat kebaikan kepada keduanya selama keduanya menyertainya, niscaya adalah aku dan dia dalam sorga, seperti dua jari-jari ini”. Dan Anas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa pergi ke pasar dari pasar-pasar kaum muslimin, lalu dibelikannya sesuatu, maka dibawanya pulang ke rumah, lalu ditentukannya kepada yang perempuan, tidak kepada yang laki-laki, niscaya Allah memandang kepadanya. Dan barangsiapa dipandang Allah, niscaya tidak akan diazabkanNya”. Dari Anas, yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membawa suatu hadiah, dari pasar kepada keluarganya, maka seakan-akan ia membawa kepada mereka itu sedekah, hingga diletakkannya sedekah itu kepada mereka. Dan hendaklah ia memulai dengan yang perempuan, sebelum yang laki-laki. Karena sesungguhnya barangsiapa menggembirakan akan wanita, maka seakan-akan ia menangis dari ketakutan kepada Allah. Dan barangsiapa menangis dari ketakutannya kepada Allah, niscaya diharamkan oleh Allah akan badannya dari api neraka”.
Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai 3 orang anak perempuan atau saudara perempuan, lalu ia bersabar terhadap kesulitan dan kemelaratan mereka, niscaya dimasukkan oleh Allah akan dia ke dalam sorga dengan kelebihan rahmatNya kepada mereka”. Lalu seorang laki-laki bertanya: “Kalau dua orang, bagaimana, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Dan dua juga !”. Lalu seorang lelaki lain bertanya: “Kalau seorang ?”. Nabi saw menjawab: “Dan juga seorang”.
2.      Bahwa dilakukan adzan pada telinga anak yang baru lahir. Diriwayatkan oleh Rafi’ dari bapaknya, yang mengatakan: “Aku melihat Nabi saw melakukan adzan pada telinga Al-Hasan ketika ia dilahirkan oleh Fathimah ra. Diriwayatkan dari Nabi saw, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa dilahirkan baginya seorang anak, lalu ia melaksanakan adzan pada telinganya yang kanan dan melaksanakan iqamah pada telinganya yang kiri, niscaya tertolaklah daripada anak itu setan yang bernama: Ummush-shibyan” (setan yang mendatangkan penyakit sawan kepada anak-anak). Disunatkan diajarkan kepada anak-anak “Laa ilaaha illallaah” pada permulaan ia dapat bercakap-cakap. Supaya adalah yang demikian itu permulaan perkataannya. Dan disunatkan pengkhitanan (penyunatan) pada hari yang ke-7 dari kelahirannya, dimana hadits telah menerangkan yang demikian.
3.      Bahwa dinamakan anak yang baru lahir itu dengan nama yang baik. Yang demikian itu, adalah hak anak. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau namakan, maka namakanlah dengan: Abdu....!” Dan Nabi saw bersabda: “Nama yang paling disukai oleh Allah, ialah: Abdullah dan Abdurrahman !” Dan beliau bersabda: “Namakanlah dengan namaku dan jangan engkau kuniahkan dengan kuniahku”.  (kuniah artinya memanggilkan seseorang dengan nama yg di mulai dengan kata-kata abu atau ummu, seperti abul kasim untuk kuniah nabi saw artinya bapak al kasim karena anaknya bernama al kasim pent)
Para ulama berkata, bahwa adalah yang demikian itu pada masa hidupnya saw karena adalah ia dipanggil dengan panggilan: “Ya Abal-qasim ! (wahai Bapak Al-Qasim !)”. Dan sekarang, tidak mengapa lagi. Ya, janganlah dikumpulkan diantara namanya dan kuniahnya dan sesungguhnya ia saw telah bersabda: “Janganlah kamu kumpulkan antara namaku dan kuniahku !”. Dan ada yang mengatakan, bahwa ini juga adalah pada masa hidupnya Nabi saw. Seorang laki-laki dinamakan dengan: Abu ‘Isa (Bapak Isa). Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai bapak”. Maka yang demikian itu dimakruhkan.
Anak yang keguguran seyogyalah diberi nama. Abdurrahman bin Yazid bin Mu’awiyah berkata: “Sampai kepadaku hadits yang menerangkan, bahwa anak yang keguguran itu berteriak pada hari kiamat di belakang ayahnya, seraya berkata: “Engkau menyia-nyiakan aku ! engkau biarkan aku tidak bernama !”. Lalu menjawab Umar bin Abdul-‘aziz: “Bagaimana memberikan nama, sedang dia tidak diketahui, apakah dia anak laki-laki atau anak perempuan ?”. Maka sahut Abdurrahman: “Sebahagian dari nama-nama itu, ada nama yang dapat mengumpulkan keduanya, seperti Hamzah, ‘Ammarah, Thalhah dan ‘Utbah”. Nabi saw bersabda: “Kamu akan dipanggil pada hari kiamat dengan namamu dan nama bapakmu. Dari itu, maka baguskanlah namamu !”. Barangsiapa mempunyai nama yang tidak disukai, maka disunatkan menggantikannya. Nabi saw menggantikan nama Al-‘Ash dengan ‘Abdullah.
Adalah nama Zainab itu Barrah, lalu Nabi saw bersabda: “Hendaklah ia membersihkan dirinya !”. Lalu Nabi saw menamakannya: Zainab. Begitupula, telah datang larangan tentang penamaan:AFLAH, Jassar, Nafi & Barakah. Karena ada yang menanyakan: “Adakah disitu keberkatan?” Lalu dijawab:“Tidak ada!”
4.      Menyembelih akikah. Dari anak laki-laki 2 ekor kambing dan dari anak perempuan seekor kambing. Dan tidak mengapa dengan seekor kambing untuk anak laki-laki atau anak perempuan. ‘Aisyah meriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw menyuruh pada anak laki-laki untuk diakikahkan dengan 2 ekor kambing dan pada anak perempuaan dengan seekor kambing”. Diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw menyembelih akikah untuk Al-Hasan dengan seekor kambing”. Dan ini adalah suatu keentengan tentang mencukupkan seekor kambing saja. Nabi saw bersabda: “Beserta anak laki-laki itu akikahnya. Maka tumpahkanlah darah daripadanya (sembelihkanlah hewan) yang boleh disembelihkan untuk dam (kepadanya: yaitu: kambing) !. Dan buangkanlah daripadanya yang menyakitkannya !”. Dan termasuk sunnah, menyedekahkan emas atau perak seberat timbangan rambutnya. Telah datang yang demikian itu, hadits yang menerangkan: “Bahwa Nabi saw menyuruh Fathimah ra pada hari yang ke-7 dari kelahiran Husain, supaya ia mencukur rambut Husain dan bersedekah dengan perak seberat rambutnya”. ‘Aisyah berkata: “Jangan dipecahkan tulang hewan yang diakikahkan itu”.
5.      Bahwa disuapkan anak yang baru lahir itu dengan tamar atau barang yang manis. Diriwayatkan dari Asma’ binti Abubakar ra yang mengatakan: “Aku melahirkan Abdullah bin Az-Zubair di Quba’. Kemudian aku bawa dia kepada Rasulullah saw. Lalu aku letakkan pada pangkuannya. Kemudian, Rasulullah saw meminta tamar. Lalu dikunyahkannya, kemudian dimasukkannya ke dalam mulut Abdullah”. Maka adalah benda yang pertama masuk ke dalam mulutnya, ialah air liur Rasulullah saw. Kemudian suapannya dengan tamar. Kemudian ia berdoa dan memohon barakah untuk Abdullah. Dan adalah Abdullah bin Az-Zubair anak yang pertama dilahirkan dalam Islam. Maka amat gembiralah para sahabat dengan yang demikian. Karena telah dikatakan kepada mereka: “Bahwa orang Yahudi telah menyihirkan kamu, sehingga kamu tidak akan memperoleh anak lagi”.
Adab keduabelas: mengenai talak (perceraian).
Dan hendaklah diketahui, bahwa talak itu diperbolehkan, tetapi amat dimarahi oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya talak itu diperbolehkan, apabila tak ada padanya yang menyakitkan dengan kesalahan. Dan manakala mentalakkan isteri itu, maka sesungguhnya telah menyakitkannya. Dan tidak diperbolehkan menyakitkan orang lain, kecuali dengan penganiayaan daripada pihaknya atau mendatangkan kemelaratan daripada pihaknya.
Allah Ta’ala berfirman: “Jika mereka telah menurut, maka janganlah kamu mencari jalan untuk merugikannya”. S 4 An Nisaa’ ayat 34. Artinya: “Janganlah kamu mencari dalih untuk bercerai”. Kalau bapak si suami tidak suka kepada wanita itu, maka hendaklah diceraikannya. Ibnu Umar ra berkata: “Adalah dibawah kekuasaanku seorang isteri yang aku cintai dan adalah bapakku tidak menyukainya dan menyuruh aku menceraikannya. Lalu aku datang bertanya kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: “Hai Ibnu Umar, ceraikanlah isterimu itu !’. Maka keterangan ini menunjukkan, bahwa hak bapak adalah didahulukan. Tetapi bapak itu tiada menyukainya, adalah bukan karena maksud yang buruk, seperti Umar tadi. Manakala isteri itu menyakiti akan suaminya dan jahat sikapnya terhadap kepada keluarga si suami, maka adalah isteri itu menganiaya. Dan begitupula, manakala isteri itu jahat akhlaqnya atau rusak agamanya.
Ibnu Mas’ud berkata mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang terang”. S 65 Ath Thalaaq ayat 1, bahwa: “manakala wanita itu jahat sikapnya terhadap keluarga si suami dan menyakiti suaminya, maka itu adalah perbuatan yang keji”. Firman itu dimaksudkan pada ‘iddah, tetapi dapat mengingatkan kepada maksud yang tersebut tadi. Kalau yang menyakitkan itu datang dari suami, maka isteri dapat menebuskan dirinya dengan menyerahkan harta. Dan dimakruhkan bagi suami mengambil dari isterinya, lebih banyak daripada yang diberikannya dahulu. Karena yang demikian itu, adalah memberatkan dan memikulkan keatas pundak isteri dan merupakan perniagaan terhadap kehormatan si isteri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka tidak mengapa barang itu dibayar (diberikan) oleh perempuan itu untuk menebus dirinya”. S 2 Al Baqarah ayat  229. Maka diambil kembali oleh si suami, apa yang telah diambil oleh si isteri. Yang lebih kurang daripada itu, adalah lebih layak dengan tebusan itu. Kalau isteri itu meminta diceraikan, tanpa sesuatu yang menyakitkan maka dia itu berdosa.
Nabi saw bersabda: “Perempuan mana saja yang meminta pada suaminya akan cerai, tanpa sesuatu yang menyakitkan, maka dia tidak akan mencium bau sorga”. Dan pada kata-kata yang lain: “maka sorga haram kepadanya”. Dan pada kata-kata yang lain lagi, Nabi saw bersabda: “Wanita yang mencabut perkawinan dengan membayar kepada suaminya (khulu’), adalah munafiq”. Kemudian, hendaklah suami itu menjaga pada talak, 4 perkara:
1.        Bahwa diceraikannya dalam masa suci, dimana ia tidak bersetubuh dengan isterinya dalam masa suci tadi. Karena talak dalam masa haid atau dalam masa suci, dimana ia telah bersetubuh padanya, adalah bid’ah (yang diada-adakan) dan haram, walaupun talak itu jatuh. Karena memanjangkan masa ‘iddah kepada wanita yang diceraikan. Kalau telah diperbuat yang demikian, maka hendaklah ia rujuk (kembali) kepada wanita itu. Ibnu Umar telah menceraikan isterinya dalam masa haid, lalu Nabi saw bersabda kepada Umar ra: “Suruhlah dia supaya rujuk kepada istrinya, sampai wanita itu suci, kemudian berhaid, kemudian suci lagi. Kemudian, kalau ia mau juga, niscaya ditalakkannya dan kalau mau, niscaya ditahankannya wanita itu”. Maka itulah ‘iddah yang disuruh oleh Allah untuk ditalakkan wanita padanya. Sesungguhnya Nabi saw menyuruh bersabar sesudah rujuk dengan dua kali suci, adalah supaya tidaklah maksud dari rujuk itu, untuk talak saja.
2.             Bahwa menyingkatkan kepada satu talak. Maka janganlah dikumpulkan diantara 3 talak. Karena satu talak sesudah ‘iddah itu mendatangkan faedah kepada maksud dan memberi faedah untuk boleh rujuk dalam ‘iddah, kalau ia menyesal. Dan boleh memperbarui perkawinan sesudah lalu ‘iddah, kalau ia mau. Dan apabila menjatuhkan talak 3, kadang-kadang timbul penyesalan. Maka berhajatlah dikawinkan dahulu bekas isterinya itu oleh muhallil (cinta-buta) dan kepada bersabar seketika lamanya. Dan ikatan nikah si muhallil itu, adalah dilarang. Dan adalah bekas suami itu, yang berusaha pada perkawinan si muhallil. Kemudian adalah hatinya itu tersangkut dengan isteri orang lain dan untuk menceraikannya, ya’ni: isteri dari si muhallil, sesudah ia kawinkan dengan si muhallil. Kemudian perbuatan itu membuat si muhallil lari dari isterinya. Semuanya itu, adalah hasil dari mengumpulkan talak 3 sekaligus. Dan dalam melakukan talak satu, adalah mencukupi maksud, tanpa dikuatiri apa-apa. Dan tidaklah aku mengatakan, bahwa mengumpulkan ke-3 talak itu haram. Tetapi itu adalah makruh, dengan segala pengertian yang tersebut tadi. Dan aku maksudkan dengan makruh, ialah dengan meninggalkan memandang kepada talak itu sendiri.
3.             Hendaklah dengan secara lemah-lembut berbuat alasan menceraikan isteri, tanpa menggertak, memandang ringan terhadap isteri. Dan hendaklah menyenangkan hati isteri dengan memberikan hadiah, sebagai jalan menghibur dan menampalkan terhadap apa yang telah menimpa isteri itu, dari kepedihan bercerai. Allah Ta’ala berfirman: “Dan berilah kepada mereka pemberian !”. S 2 Al Baqarah ayat 236. Pemberian itu, adalah wajib, meskipun tidak dinamakan untuk isteri itu emas-kawin pada pokok pernikahan dahulu.
Adalah Al-Hasan bin Ali ra bercerai dan kawin. Lalu pada suatu hari datang menghadap sebahagian sahabatnya, karena ditalakkannya dua orang dari isterinya. Maka Al-Hasan berkata: “Katakanlah kepada keduanya: “Ber’iddahlah”. Dan beliau menyuruh sahabatnya itu, supaya menyerahkan kepada masing-masing dari kedua bekas isterinya itu, 10 ribu dirham. Maka sahabat itupun terus melaksanakannya. Tatkala sahabat itu datang kembali kepada Al-Hasan ra maka beliau bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh kedua wanita itu ?”. Sahabat itu menjawab: “Yang seorang menunggingkan kepalanya dan menungging-nunggingkannya. Dan yang seorang lagi menangis dan tersedu-sedu dan aku mendengar ia mengatakan: “Harta yang sedikit dari kecintaan yang bercerai”. Maka Al-Hasan menundukkan kepalanya dan amat merasa belas kasihan kepadanya, seraya berkata: “Kalaulah ada aku ini melakukan rujuk dengan wanita yang telah aku ceraikan, niscaya akan aku rujuk kepadanya !”.
Pada suatu hari Al-Hasan datang kepada Abdurrahman bin Al-Harts bin Hisyam, seorang ulama fiqh dan pembesar Madinah. Dan di Madinah waktu itu tak  ada bandingannya. Dan ‘Aisyah membuat perumpamaan tentang Abdurrahman tersebut, dimana ‘Aisyah berkata: “Jikalau tidaklah aku berjalan akan perjalananku itu, niscaya aku lebih suka mempunyai 16 anak laki-laki dari Rasulullah saw, yang seperti Abdurrahman bin Al-Harts bin Hisyam”.
Maka Al-Hasan masuk ke rumah Abdurrahman. Dan Abdurrahman menghormati dan mempersilahkan duduk pada tempat duduknya.
Berkata Abdurrahman: “Mengapa tidak engkau kirim kabar kepadaku, supaya aku datang kepadamu ?”.
Al-Hasan menjawab: “Ada hajat sedikit bagiku !”.
Abdurrahman bertanya: “Apakah hajat itu ?”.
Lalu Al-Hasan menjawab: “Aku datang kemari, hendak meminang anak Tuan”. Mendengar itu, lalu Abdurrahman menundukkan kepalanya, kemudian beliau mengangkatkannya kembali, seraya berkata: “Demi Allah, tidak adalah diatas bumi ini orang yang berjalan, yang lebih mulia padaku, selain dari engkau. Tetapi tahulah engkau kiranya, bahwa putriku itu adalah belahan dadaku, akan menyakitkan aku dengan apa yang menyakitkan dia. Akan menggembirakan aku, dengan apa yang menggembirakan dia. Engkau adalah orang yang suka mentalakkan isteri. Maka aku takut nanti engkau talakkan dia. Jika engkau perbuat yang demikian, niscaya aku takut akan berobah hatiku tentang mencintaimu dan aku tidak suka akan berobah hatiku terhadapmu. Karena engkau adalah belahan hati Rasulullah saw. Kalau engkau membuat syarat, bahwa engkau tidak akan menceraikannya, niscaya aku kawinkan dia dengan kamu”.
Mendengar itu, Al-Hasan berdiam diri, bangun dan keluar. Berkata sebahagian keluarganya: “Aku mendengar Al-Hasan sedang berjalan mengatakan: “Abdurrahman tidak bermaksud, selain mau menjadikan anak perempuannya suatu pikulan pada leherku”.
Adalah Ali ra tidak merasa senang lantaran banyaknya Al-Hasan menceraikan isterinya. Maka ia meminta maaf diatas mimbar, seraya mengucapkan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Hasan suka sekali menceraikan. Maka janganlah kamu kawinkan dengan dia !”. Lalu bangunlah seorang laki-laki dari Hamadan, seraya berkata: “Demi Allah wahai Amirul-mu’minin, sesungguhnya akan kami kawinkan dengan dia, siapa yang dikehendakinya. Kalau ia suka, niscaya dipegangnya terus dan kalau ia kehendaki, niscaya ditinggalkannya”. Maka bergembiralah Ali ra dengan penjawaban yang demikian, seraya bermadah:
“Kalaulah aku penjaga pintu,
pada pintu sorga.....
Sungguh kukatakan kepada Hamadan itu,
masuklah engkau, selamat bah’gia.......!”
Dan ini adalah peringatan bahwa orang yang menyakitkan kekasihnya, baik isteri atau anak, dengan cara yang memalukan, maka tiada seyogyalah disetujui. Persetujuan itu, adalah keji. Tetapi menurut adab kesopanan, ialah menantangnya sedapat mungkin. Karena yang demikian itu, adalah menggembirakan akan hatinya dan lebih sesuai bagi batin penyakitnya. Dan maksud dari yang tersebut itu, adalah penjelasan, bahwa talak diperbolehkan (mubah). Dan Allah telah menjanjikan akan kekayaan seluruhnya, baik dalam perceraian dan pernikahan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (janda) diantara kamu dan hamba sahaya laki-laki dan perempuan yang patut ! kalau mereka miskin, nanti Allah akan memberinya kekayaan dari kemurahanNya”. S 24 An Nur ayat 32. Dan Allah swt berfirman: “Dan kalau keduanya bercerai, Allah akan mencukupkan kepada masing-masing dengan kurniaNya”. S 4 An Nisaa’ ayat130 
4.             Bahwa tidak membuka rahasia wanita, baik ketika sudah bercerai atau masih dalam ikatan perkawinan. Telah tersebut dalam hadits shahih, mengenai membuka rahasia wanita itu akan besar azabnya. Diriwayatkan dari setengah orang-orang shalih, bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya, lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang meragukan engkau tentang wanita itu ?”. Ia menjawab:  “Orang yang berakal, tidak akan merusakkan tabir isterinya”. Tatkala telah diceraikannya, lalu ia ditanyakan: “Mengapakah engkau ceraikan dia ?”. Lalu ia menjawab: “Apalah hubungan saya dengan wanita orang lain !”. Maka inilah penjelasan apa yang menjadi kewajiban suami !.
BAHAGIAN KEDUA DARI BAB INI:
ialah pandangan tentang hak-hak suami atas isteri.
Perkataan yang menyenangkan tentang ini, ialah: perkawinan itu adalah semacam perbudakan. Wanita itu menjadi budak suaminya. Ia harus patuh secara mutlak kepada suami, tiap-tiap apa yang diminta daripadanya, tentang dirinya, yang tak ada kema’siatan padanya. Telah datang banyak hadits tentang pengagungan hak suami atas isteri. Nabi saw bersabda: “Mana saja wanita yang meninggal, sedang suaminya rela kepadanya, niscaya ia masuk sorga”.
           “Ada seorang laki-laki keluar bermusafir dan ia beritahukan kepada isterinya, supaya jangan turun dari atas rumah ke bawah rumah, sedang bapak dari wanita itu adalah di rumah bahagian bawah. Maka sakitlah bapaknya. Lalu wanita itu mengirim kabar kepada Rasulullah saw meminta izin turun ke tempat bapaknya. Rasulullah saw menjawab: “Taatilah suamimu !”. Kemudian bapaknya itu meninggal dunia. Lalu wanita itu menunggu perintah Nabi saw. Maka Nabi saw menjawab: “Taatilah suamimu !”. Lalu bapaknya itu dikuburkan. Maka Rasulullah saw mengirim utusan kepada wanita itu untuk menerangkan, bahwa Allah telah mengampunkan dosa ayahnya, dengan sebab taatnya kepada suaminya”.
           Nabi saw bersabda: “Apabila wanita itu mengerjakan shalat yang 5 waktu, berpuasa bulan Ramadlan, menjaga farajnya/kemaluannya dan mentaati suaminya, niscaya masuk ia ke sorga Tuhannya”. Maka disini, Nabi saw menambahkan kepatuhan kepada suami itu, ke dalam sendi-sendi Islam! Rasulullah saw menyebutkan tentang wanita, dengan sabdanya: “Wanita-wanita yang mengandung, yang beranak, yang menyusukan, yang kasih sayang kepada anak-anaknya, jikalau tidaklah mereka itu datang kepada suaminya, niscaya yang mengerjakan shalat saja dari mereka yang masuk sorga”.
          Nabi saw bersabda: “Aku menengok ke neraka, maka kebanyakan isinya, ialah wanita”. Lalu wanita-wanita itu bertanya: “Mengapakah begitu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Wanita-wanita itu membanyakkan kutukan dan mengkufurkan (tidak mensyukuri) akan suaminya, yang bergaul dengan dia”. Pada hadits lain, tersebut: “Aku menengok ke sorga maka yang paling sedikit isinya, ialah wanita. Lalu aku bertanya: “Manakah wanita ?”. Lalu datang jawaban: “Mereka disibukkan oleh dua merah: emas dan za’faran”. Ya’ni: perhiasan dan warna-warni pencelupan kain.
          ‘Aisyah berkata: “Telah datang seorang gadis kepada Nabi saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku ini seorang gadis yang telah dipinang orang. Aku tidak suka dikawinkan. Apakah kiranya hak suami atas isterinya ?”. Nabi saw menjawab: “Jikalau adalah nanah dari puncak kepala suami sampai ke tapak kakinya, lalu si isteri menjilatnya, niscaya belumlah ia menunaikan kesyukuran kepadanya”. Lalu anak gadis itu menyahut: “Apakah jangan aku kawin ?”. Nabi saw menjawab: “Ya, kawinlah –karena kawin itu perbuatan yang baik !”.
          Ibnu Abbas berkata: “Seorang wanita dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Sesungguhnya aku ini wanita yang janda dan aku ingin kawin. Maka apakah hak suami itu ?”. Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya setengah dari hak suami atas isteri, ialah, apabila suami itu berkehendak kepada isterinya, lalu dimintanya tentang dirinya, sedang isteri itu diatas punggung seekor keledai, niscaya ia tidak menolak permintaan suaminya itu. Dan setengah dari hak suami, bahwa isteri itu tidak memberikan sesuatu dari rumah suami, kecuali dengan keizinannya. Kalau isteri itu berbuat yang demikian, niscaya adalah dosa atas isteri dan pahala bagi suami. Dan setengah dari hak suami, bahwa isteri itu tidak mengerjakan puasa sunat, kecuali dengan keizinannya. Kalau isteri itu berbuat juga, niscaya ia lapar dan haus saja dan tidak diterima puasanya. Dan jika isteri itu keluar dari rumahnya tanpa izin suaminya, niscaya ia dikutuk oleh para malaikat, sampai ia kembali ke rumah suaminya atau ia bertaubat”.
           Nabi saw bersabda: “Jikalau aku menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya akan aku suruh wanita untuk bersujud kepada suaminya, lantaran besar haknya atas isterinya”. Nabi saw bersabda: “Adalah yang terdekat wanita kepada wajah Tuhannya, apabila ia berada dalam rumahnya. Dan sesungguhnya shalatnya di halaman rumahnya, adalah lebih utama dari shalatnya di masjid. Dan shalatnya di dalam rumahnya, adalah lebih utama dari shalatnya di halaman rumahnya. Dan shalatnya dalam rumah kecil dari rumahnya adalah lebih utama dari shalatnya di dalam rumahnya”. Rumah kecil dalam rumah itu, adalah untuk lebih mendindingi lagi. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Maka apabila ia keluar, niscaya setan melihatnya dengan membelalak matanya”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Wanita itu mempunyai 10 aurat. Apabila ia kawin, maka suaminya menutupkan satu aurat. Maka apabila ia meninggal dunia, maka kuburannya menutupkan ke-10 aurat itu”. Hak suami pada isteri itu banyak dan yang terpenting, adalah 2:
          Pertama: memelihara dan menutup diri.
          Kedua:    meninggalkan meminta dibalik yang perlu dan menjaga diri dari usahanya, apabila ada usaha itu haram.
Demikianlah adanya adat kebiasaan wanita pada zaman salaf. Adalah laki-laki apabila keluar dari rumahnya, lalu berkata isterinya atau anak perempuannya kepadanya: “Jagalah dari usaha yang haram ! sesungguhnya kami dapat bersabar diatas kelaparan dan kesengsaraan dan tidak dapat menahan dari mereka”. Seorang salaf bercita-cita hendak bermusafir, maka tetangganya tidak menyukai dia berjalan jauh itu. Lalu mereka mengatakan kepada isterinya: “Mengapakah engkau izinkan dia berjalan jauh, sedang ia tidak meninggalkan perbelanjaan untukmu ?”. Isterinya itu menjawab: “Suamiku sejak aku mengenalinya, aku mengenal dia yang memberi makan dan tidak aku mengenalnya yang memberi rezeki. Aku mempunyai Tuhan yang memberi rezeki. Berjalanlah yang memberi makan dan tinggallah Yang Memberi rezeki”.
          Rabi’ah binti Ismail meminang Ahmad bin Abil-Hawari. Maka Ahmad tidak menyenangi yang demikian, karena ia sibuk dengan ibadah. Dan ia berkata kepada Rabi’ah: “Demi Allah, aku tidak bercita-cita kepada wanita, karena kesibukanku dengan halku sendiri”. Maka Rabi’ah menjawab: “Aku juga sibuk dengan halku daripadamu dan aku tidak mempunyai nafsu syahwat. Tetapi, aku telah mewarisi dari suamiku banyak harta, maka aku ingin supaya engkau membelanjakannya  kepada teman-teman engkau. Dan akan aku kenal nanti dengan sebab engkau, orang-orang shalih. Maka jadilah yang demikian itu jalan bagiku kepada Allah ‘Azza Wa Jalla”. Lalu Ahmad bin Abil-Hawari menjawab: “Tunggulah, sampai aku meminta keizinan guruku !”. Maka ia pergi kepada Abi Sulaiman Ad-Darani. Ahmad bin Abil-Hawari itu menerangkan: “Adalah guruku itu melarangku dari kawin, seraya mengatakan: “Tidaklah seorangpun dari sahabat-sahabat kami yang kawin, melainkan ia berobah”. Tatkala didengarnya perkataan Rabi’ah maka beliau menjawab: “Kawinlah dengan dia, karena dia itu adalah aulia Allah dan itu adalah perkataan orang-orang shiddiq !”. Maka kawinlah aku dengan Rabi’ah itu. Di rumah kami ada kendi dari tembikar. Maka pecahlah kendi itu dari basuhan tangan, dari orang-orang yang bercepatan keluar sesudah makan, lebih-lebih orang yang membasuh tangannya dengan al-asynan (benda masam yang dipakai untuk pembasuh tangan sesudah makan, seperti sabun sekarang –Pent.)”. Ahmad meneruskan ceritanya: “Lalu aku kawin sesudah Rabi’ah tadi, 3 orang wanita lagi. Rabi’ah memberi aku makanan yang baik-baik dan dia berbuat baik kepadaku serta mengatakan: “Pergilah dengan kerajinan dan kekuatanmu kepada isteri-isterimu”. Dan adalah Rabi’ah ini pada penduduk negeri Syam (Syria) menyerupai dengan Rabi’ah Al-‘Adawiyah di negeri Basrah. Setengah dari kewajiban isteri, ialah tidak memboros suami tetapi menjaganya.
         Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi isteri memberi makan orang di rumah suaminya, kecuali dengan seizinnya, melainkan makanan basah yang ditakuti busuknya. Kalau ia memberi makanan dengan seizin suami, niscaya bagi isteri itu pahala, seperti pahala bagi suaminya. Dan kalau ia memberi makan, tanpa seizin suami, niscaya bagi suami itu pahala dan bagi isteri itu dosa”. Setengah dari hak wanita atas kedua ibu-bapaknya, ialah mengajarkan wanita itu bagus bergaul dan adab sopan pergaulan dengan suaminya, sebagaimana diriwayatkan, bahwa Asma binti Kharijah Al-Fazzari mengatakan kepada puterinya, ketika dikawinkan: “Sesungguhnya engkau, telah keluar dari sarang burung, dimana engkau masuk di dalamnya. Maka jadilah engkau sekarang pada tikar yang belum engkau kenal daripada teman yang belum bertautan hati engkau dengan dia. Maka jadilah engkau bumi baginya, niscaya jadilah dia langit bagi engkau. Jadi engkau tempat istirahat baginya, niscaya jadilah dia tiang bagi engkau ! jadilah engkau babu baginya, niscaya jadilah dia jongos bagi engkau ! janganlah engkau meminta dengan mendesak padanya, maka benci ia kepada engkau ! janganlah engkau menjauhkan diri daripadanya, maka ia lupa kepada engkau ! jika ia dekat dari engkau, maka dekatilah daripadanya dan jika ia jauh, maka jauhilah daripadanya –jagalah hidungnya, telinganya dan matanya ! sehingga ia tidak mencium dari engkau, selain yang harum, tidak mendengar, selain yang baik dan tidak melihat, selain yang elok”.
Seorang laki-laki bermadah kepada isterinya:
“Hendaklah engkau pemaaf dari kesalahanku,
supaya cinta kasihku tetap padamu !
Janganlah engkau perkatakan tentang kedudukanku,
pada ketika marah sedang berlaku........!
Janganlah engkau pukul aku,
nanti engkau dipukul rebana sekali !
Karena engkau tidak tahu,
bagaimana menghilangkan diri.....
Janganlah engkau perbanyakkan mengadu,
nanti menghilangkan nafsu syahwatmu !
Dan engganlah kepada engkau hatiku,
dan hati itu bulak-balik selalu......
Aku melihat cinta,
dalam kalbu dan derita.....
Apabila keduanya kumpul berpadu,
maka cinta menghilang selalu.....
Kata yang menghimpunkan tentang adab sopan santun wanita, tanpa berpanjang-panjang, ialah: bahwa itu hendaklah duduk dalam rumahnya selalu di tempat jahitannya, tidak banyak naik dan menoleh, sedikit berbicara dengan tetangga. Tidak datang ke tempat tetangga, selain dalam keadaan yang mengharuskan masuk ke tempatnya. Menjaga kehormatan suami, ketika suami pergi dan mencari kesenangan suami dalam segala pekerjaannya. Tidak berkhianat kepada suami, tentang dirinya dan hartanya sang suami. Ia tidak keluar dari rumahnya, selain dengan seizin suami. Kalau ia keluar dengan keizinannya, maka ia menyembunyi kan diri dalam keadaan yang kusut-musut, mencari tempat-tempat yang sunyi, tidak jalan besar dan pasar-pasar. Ia menjaga, agar tamu tidak mendengar suaranya atau mengenal dirinya. Jangan ia perkenalkan kepada teman suaminya, tentang hajat keperluannya. Bahkan hendaknya ia membantah terhadap orang, yang disangkanya, bahwa orang itu mengetahui akan hajat keperluannya atau dia mengenal akan orang itu. Cita-citanya, ialah memperbaiki keadaan dirinya, mengatur rumah-tangganya, menghadapkan hati kepada shalat dan puasanya.
           Apabila teman suaminya meminta keizinan sesuatu di pintu, sedang suaminya tidak turut hadir, maka janganlah ia menanyakan ini dan itu dengan mereka. Dan janganlah membiasakan berkata-kata dengan dia, untuk menjaga kecemburuan keatas dirinya dan suaminya ! Hendaklah sang isteri merasa cukup dari suaminya, dengan rezeki yang dikurniakan oleh Allah. Dan hendaklah ia mendahulukan hak suami dari hak dirinya sendiri dan hak kaum kerabatnya yang lain. Hendaklah sang isteri itu menghiasi diri, bersedia dalam segala hal keadaan untuk bersenang-senang, apabila suaminya berkehendak. Hendaklah sang isteri itu cinta kasih kepada semua anak-anaknya, menjaga menutupi segala kepentingan mereka. Hendaklah sang isteri itu pendek lidahnya dari memaki anak-anaknya dan mengulang-ulangi kesalahan suaminya.
 Nabi saw bersabda: “Aku dan wanita yang hitam manis kedua pipinya, adalah seperti dua ini dalam sorga: wanita yang meninggal suaminya dengan ada anak dan menahan dirinya untuk kepentingan anak-anaknya, sehingga ternyata mereka itu baik atau meninggal dunia”. Nabi saw bersabda: “Diharamkan oleh Allah kepada tiap-tiap anak Adam akan sorga, yang dimasukinya sebelum aku. Tetapi aku memandang ke kananku, maka tiba-tiba seorang wanita memburu mendahului aku ke pintu sorga. Lalu aku menegur: “Mengapakah wanita ini memburu mendahului aku ?”. Maka dikatakan kepadaku: “Wahai Muhammad ini adalah wanita yang sangat cantik, padanya beberapa orang anak yatim. Ia sabar demi kepentingan anak-anak yatim itu, sehingga keadaan mereka sampai kepada demikian rupa. Maka Allah bersyukur baginya yang demikian itu”.
 Setengah dari adab sopan santun isteri, ialah tidak membanggakan diri terhadap suami dengan kecantikannya. Dan tidak melecehkan suaminya karena buruknya. Diriwayatkan bahwa Al-Ashma’i bercerita: “Aku masuk ke suatu kampung. Tiba-tiba aku menjumpai seorang wanita yang paling cantik wajahnya dengan bersuamikan seorang laki-laki yang paling buruk mukanya. Lalu aku bertanya kepada wanita itu: “Hai adakah dirimu senang berada di bawah orang yang seperti suamimu itu ?”. Wanita cantik itu menjawab: “Diam ! tuan telah berbuat jahat tentang perkataan Tuan itu ! semoga suamiku telah berbuat baik diantara dia dan Khaliq (yang maha pencipta)nya. Lalu ia menjadikan pahalanya untukku. Atau mungkin aku telah berbuat jahat, diantara aku dan Khaliq (yang maha pencipta)ku, maka Allah menjadikan dia sebagai siksaan bagiku. Adakah patut aku tidak rela, dengan apa yang direlai Allah untukku ?”. Wanita yang cantik tadi membuat aku terdiam”. Al-Ashma’i bercerita lagi: “Aku melihat di suatu kampung seorang wanita, yang berbaju kurung merah. Ia mencat diri dan di tangannya tasbih. Lalu aku berkata: “Alangkah jauhnya ini dan ini !”. Maka wanita itu menjawab dengan sekuntum syair:
Kepunyaan Allah daripadaku suatu segi,
yang tidak akan aku sia-siakan.......
Dan dariku sendiri suatu segi,
untuk yang salah dan permainan.......”
Lalu tahulah aku, bahwa wanita itu, adalah seorang wanita yang shalih, mempunyai suami, dimana ia berhias diri untuk suaminya itu”.
 Setengah dari adab-sopan santun wanita, ialah selalu berbuat yang baik dan menahan diri ketika suaminya pergi. Dan kembali kepada bersenda gurau, bergembira serta segala jalan kesenangan pada waktu suaminya berada di sampingnya. Dan tiada seyogyalah isteri menyakiti suaminya, dengan keadaan apapun juga. Diriwayatkan dari Ma’az bin Jabal, yang menerangkan: “Rasulullah saw telah bersabda: “Janganlah wanita itu menyakiti suaminya di dunia, dimana isterinya dari bidadari berkata: “Janganlah engkau menyakiti dia, nanti engkau diperangi oleh Allah. Sesungguhnya dia (suami) itu, adalah dimasukkan kepadamu, mungkin ia akan berpisah dengan engkau, lalu datang kepada kami”.
                   Diantara yang wajib diatas isteri dari hak-hak perkawinan, ialah: apabila suaminya meninggal, maka janganlah ia berkabung lebih dari 4 bulan 10 hari. Dan selama itu, ia menjauhkan bau-bauan dan perhiasan. Zainab binti Abi Salmah menceritakan: “Aku masuk ke tempat Ummu Habibah –isteri Nabi saw ketika bapaknya Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta bau-bauan, yang mana didalamnya semacam bau-bauan yang berwarna kuning atau lainnya. Lalu beliau meminyaki seorang budak wanita, kemudian memegang kedua pipinya, maka berkata: “Demi Allah, tidaklah aku memerlukan kepada bau-bauan. Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, untuk berkabung buat orang yang meninggal, lebih banyak dari 3 hari, kecuali kepada suaminya yang meninggal, maka selama 4 bulan 10 hari”. Dan haruslah wanita yang meninggal suaminya itu, menetap di rumah perkawinan (rumah suaminya), sampai berakhir ‘iddah. Dan tidaklah ia berpindah kepada keluarganya dan keluar, kecuali ada kepentingan.
                   Sebagian dari adab sopan santun wanita itu, ialah melaksanakan segala pengkhidmatan dalam rumah tangga menurut kemampuannya. Diriwayatkan dari Asma’ binti Abubakar Ash-Shiddiq ra bahwa Asma’ menerangkan: “Aku telah dikawini Zubair dan ia tidak mempunyai di bumi, harta, budak dan sesuatu, selain dari kudanya dan keledai penyiram air. Maka aku beri umpan kudanya, aku cukupkan belanja yang dibawanya pulang dan aku berbuat dengan bijaksana. Aku tumbuk biji tamar untuk makanan untanya; aku beri umpan, aku mencari air minum, aku jahit tempat airnya dari kulit dan aku tumbuk tepung. Aku pikul biji tamar diatas kepalaku dari tempat yang jauhnya 2/3 mil, sehingga Abubakar mengirimkan kepadaku seorang budak wanita. Maka memadailah bagiku memelihara kuda saja dan seolah-olah beliau telah memerdekakan aku. Pada suatu hari aku bertemu dengan Rasulullah saw. Beliau bersama sahabat-sahabatnya dan diatas kepalaku pikulan dari biji tamar. Lalu beliau bersabda: “Ach-ach !”. Hendaklah mendudukkan untanya dan membawa aku di belakangnya”. Maka aku malu jalan bersama laki-laki. Aku sebutkan Zubair dan kecemburuannya. Dan Zubair itu adalah manusia yang paling cemburu. Maka tahulah Rasulullah saw bahwa aku malu. Lalu aku datang kepada Zubair dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka Zubair menjawab: “Demi Allah sesungguhnya, engkau pikul tamar diatas kepala engkau, adalah lebih berat kepadaku, daripada engkau berkendaraan bersamanya”.
Telah tammat  “Kitab adab perkawinan” dengan pujian dan keni’matan daripada Allah. Dan rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba yang pilihan.