KITAB ADAB NIKAH
Yaitu: Kitab Kedua dari “Rubu’ Adat-kebiasaan” dari Kitab
Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang tidak
dapat dicapai oleh panah kesangsian, akan tempat tembus, mengenai keajaiban
perbuatanNya. Tidak kembalilah akal dari permulaan kejadiannya, melainkan penuh
dengan kegundahan dan keheranan. Senantiasalah segala ni’matNya yang
halus-halus kepada alam itu menampak, dimana ni’mat itu terus-menerus kepada
mereka dengan usaha dan pemaksaan. Dan sebahagian dari ni’matNya yang halus
mengagumkan, ialah menjadikan manusia dari air. Lalu menjadikannya berkeluarga
dan berbangsa. DikeraskanNya kepada makhluk itu keinginan, yang memaksakan
mereka kepada berusaha, dimana dengan usaha itu, secara terpaksa dan keras
untuk mengekalkan keturunan mereka. Kemudian Ia membesarkan urusan keturunan
itu dan dijadikannya berbatas. Maka diharamkannya berbuat jahat untuk
menyebabkan keturunan itu. Dengan bersangatan sekali Ia menerangkan keburukan
perbuatan jahat itu, dengan gertak dan hardik. DijadikanNya perbuatan jahat itu
suatu dosa yang keji dan perbuatan pahit yang harus dijauhkan. DisunatkanNya
perkawinan (nikah), digerakkanNya kepada bernikah, karena sunat dan perintah.
Maka Maha Sucilah yang mewajibkan kematian kepada hambaNya. Lalu dihinakanNya
mereka yang merupakan keruntuhan dan kehancuran dengan kematian itu. Kemudian
menyebarkan bibit-bibit dari air hanyir dalam bumi kerahiman ibu. DijadikanNya
dari bibit-bibit itu makhluk. DijadikanNya makhluk itu untuk menampal dari
kehancuran lantaran mati, sebagai peringatan bahwa lautan taqdir itu melimpah
ruah kepada alam seluruhnya dengan kemanfaatan dan kemelaratan, kebajikan dan
kejahatan, kesukaran dan kemudahan, kelipatan dan kehamburan. Selawat dan salam
kepada Muhammad yang diutus dengan berita-berita hardik dan gembira. Dan kepada
keluarga dan para sahabatnya dengan rahmat yang tidak sanggup dihitung dan
dihinggakan. Dan berilah –wahai Allah –kesejahteraan yang banyak !
Adapun kemudian, sesungguhnya
perkawinan itu menolong kepada agama dan menghina kepada setan. Benteng yang
teguh terhadap musuh Allah dan sebab untuk memperbanyakkan umat, yang menjadi
kebanggaan bagi Penghulu segala rasul terhadap nabi-nabi yang lain. Maka
alangkah layaknya untuk diperhatikan sebab-sebabnya, dijaga sunat dan adabnya,
diuraikan maksud dan tujuannya, dibentangkan pasal-pasal dan bab-babnya. Dan
kadar yang penting dari hukum-hukumnya, akan tersingkap pada 3 bab:
Bab Pertama: tentang
menggemarkan dan membencikan kepada nikah.
Bab Kedua: tentang
adab yang harus dijaga pada waktu melakukan perkawinan (pada waktu ‘aqad) dan
terhadap yang ber’aqad nikah.
Bab Ketiga: tentang
adab bergaul sesudah ‘aqad, sampai kepada bercerai.
BAB PERTAMA: tentang menggemarkan dan membencikan
kepada nikah.
Ketauhilah, bahwa para ulama berbeda
pendapat tentang keutamaan nikah. Setengah dari mereka bersangatan benar,
sehingga mendakwakan bahwa nikah itu lebih utama (afdhal) daripada menjuruskan
diri beribadah kepada Allah. Sedang yang lain mengakui dengan keutamaan nikah
itu, tetapi mendahulukan menjuruskan diri beribadah kepada Allah daripada
nikah, manakala dirinya tidak memerlukan dijaga dengan nikah, sebagai penjagaan
dari yang mengganggu keadaan dan membawanya terjerumus kepada perbuatan jahat.
Dan berkata yang lain lagi, bahwa yang lebih utama, ialah meninggalkan
perkawinan pada masa kita sekarang ini. Dan adalah nikah itu dahulu, mempunyai
keutamaan, karena tidaklah segala usaha itu terlarang dan tidaklah budi pekerti
wanita itu tercela. Dan tidaklah terbuka kebenaran mengenai perkawinan itu,
kecuali mula-mula, harus dikemukakan apa yang datang, dari hadits-hadits dan
atsar-atsar, tentang menggembirakan dan membencikan kepada nikah. Kemudian,
kami menguraikan segala faedah nikah dan tipu dayanya. Sehingga jelaslah dari
penjelasan-penjelasan itu akan keutamaan nikah dan meninggalkan terhadap diri
tiap-tiap orang, yang memperoleh keselamatan dari segala tipuan setan atau
tiada memperoleh keselamatan daripadanya.
PENGGEMARAN KEPADA PERKAWINAN.
Adapun dari ayat, maka berfirman Allah Ta’ala: “Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian (janda) diantara kamu !”. S 24 An Nur
ayat 32. Dan ini, adalah perintah (amar). Dan Allah Ta’ala berfirman: “Maka
janganlah dihalangi perempuan itu kawin dengan suaminya yang lama”. S 2 al
baqarah ayat 232. Dan ini adalah larangan daripada menghalangi dan mencegah
daripada menghalanginya. Dan berfirman Allah Ta’ala tentang menyifatkan dan
memujikan rasul-rasul: “Dan sesungguhnya telah Kami utus sebelum engkau
beberapa rasul dan Kami berikan untuk mereka isteri-isteri dan anak-anak”. S 13
Ar Ra’d ayat 38. Lalu Allah Ta’ala menyebutkan yang demikian dalam pembentangan
keni’matan, penglahiran kelebihan dan pemujian wali-waliNya dengan memohonkan
yang demikian dalam doa, seraya Ia berfirman: “Dan mereka itu berkata: Wahai
Tuhan kami ! kurniakanlah kepada kami isteri dan turunan menjadi cahaya mata
–sampai akhir ayat. S 25 Al Furqaan ayat 74. Ada yang mengatakan bahwa Allah
Ta’ala tiada menyebutkan dalam kitabNya tentang nabi-nabi, kecuali yang
berkeluarga. Lalu mereka itu mengatakan, bahwa nabi Yahya as telah melaksanakan
perkawinan dan tidak bersetubuh. Maka ada yang mengatakan, bahwa beliau berbuat
demikian, untuk memperoleh keutamaan dan menegakkan sunnah. Dan ada yang mengatakan,
untuk menutupkan mata dari melihat wanita. Adapun Nabi Isa as maka beliau akan
kawin apabila telah turun ke bumi dan akan memperoleh anak.
Adapun hadits tentang perkawinan, yaitu
sabda Nabi saw: “Nikah itu adalah sunnahku. Maka barangsiapa benci kepada
sunnahku, niscaya sesungguh nya ia benci kepadaku”. Dan Nabi saw bersabda:
“Nikah itu adalah sunnahku (jalan agamaku). Maka barangsiapa mencintai akan
agamaku, maka hendaklah menjalankannya menurut sunnahku”. Dan Nabi saw bersabda
pula: “Bernikahlah kamu supaya kamu banyak. Sesungguhnya aku bermegah-megah
dengan kamu terhadap umat-umat lain pada hari kiamat, sehingga dengan anak
keguguran sekalipun”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Barangsiapa benci kepada
sunnahku, maka tidaklah ia daripada golonganku. Dan sesungguhnya setengah dari
sunnahku itu, ialah nikah. Maka barangsiapa mencintai aku, hendaklah ia
menjalankan menurut sunnahku”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa meninggalkan
perkawinan karena takut akan kemiskinan, maka tidaklah ia daripada golongan
kami”. Ini adalah cercaan, disebabkan karena tidak mau, bukan karena
semata-mata tidak kawin. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai
kesanggupan belanja, maka hendaklah kawin !”. Dan ia bersabda: “Barangsiapa
sanggup daripada kamu memperoleh tempat tinggal, maka hendaklah kawin, karena
dengan perkawinan itu menutupkan mata daripada melihat wanita lain dan lebih
menjaga kehormatan. Dan barangsiapa yang tiada sanggup, maka hendaklah
berpuasa, karena puasa itu melemahkan syahwatnya (wija’)”. Hadits tadi
menunjukkan, bahwa sebab penggemaran kepada perkawinan, ialah takut terjadi
kerusakan pandangan dan kehormatan. Melemahkan nafsu syahwat (dalam hadits
diatas tadi, disebut: wija), yaitu dimaksudkan dengan kehancuran dua biji
kejantanan, sehingga hilang kejantanan itu. Dan itu adalah: kata-kata pinjaman
(musta’ar), yang menunjukkan kepada kelemahan bersetubuh dalam berpuasa.
Dan Nabi saw
bersabda: “Apabila datang kepadamu orang yang kamu relai agamanya dan
kepercayaannya (amanahnya), maka kawinkanlah dia. Kalau tidak kamu kerjakan
yang demikian, niscaya menjadi fitnah (kekacauan) di bumi dan kerusuhan besar”.
Hadits inipun menyatakan sebab, penggemaran untuk berkawin, karena takut
kerusakan. Dan bersabda Nabi saw: “Barangsiapa kawin karena Allah dan
mengawinkan karena Allah, niscaya ia berhak memperoleh kedekatan kepada Allah”.
Dan bersabda Nabi saw: “Barangsiapa kawin, maka sesungguhnya ia telah
memelihara setengah agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada
setengah lagi !”. Hadits inipun menunjukkan, bahwa keutamaan berkawin itu
adalah karena memelihara daripada perselisihan dan menjaga daripada kerusakkan.
Maka adalah
yang merusakkan agama seseorang manusia itu, pada umumnya, ialah kemaluan dan
perutnya. Dan salah satu daripada keduanya itu, telah cukup dengan perkawinan.
Dan bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap amalan anak Adam (manusia) itu, terputus,
kecuali 3: anak yang shalih yang berdoa kepadanya ......sampai akhir hadits”.
Dan tidak sampai kepada yang dimaksud ini, selain dengan perkawinan.
Adapun atsar,
maka yaitu: berkata Umar ra: “Tidak dilarang dari kawin, selain orang yang
lemah (impoten) atau orang yang ma’siat”. Beliau menerangkan, bahwa agama tidak
melarang perkawinan dan membatasi larangan itu pada dua perkara yang tercelah
tadi.
Ibnu Abbas ra berkata: “Tidak sempurna ibadah bagi orang yang
melakukan ibadah hajji, sebelum ia kawin”. Mungkin beliau memasukkan perkawinan
itu sebahagian dari ibadah hajji dan yang menyempurnakan ibadah hajji. Tetapi yang
jelas, ialah beliau maksudkan, bahwa tiada sehat hatinya, lantaran kerasnya
kerinduan syahwat, kecuali dengan perkawinan. Dan ibadah hajji itu tidak
sempurna, kecuali dengan kosongnya hati dari gangguan. Karena itulah, beliau
kumpulkan budak-budaknya, tatkala mereka mengetahui ‘Akramah, Kuraib, dll dan
mengatakan: “Kalau kamu mau kawin, niscaya aku kawinkan kamu. Karena hamba itu,
apabila melakukan zina, niscaya dicabutkan iman dari
hatinya”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jikalau tidaklah tinggal dari
umurku, selain dari 10 hari, niscaya aku suka akan kawin supaya tidaklah aku
berjumpa dengan Allah, selaku orang lajang”. Kedua isteri Ma’az bin Jabal
meninggal, kena kolera dan iapun kena kolera pula. Maka beliau berkata:
“Kawinkanlah aku, karena aku tidak suka bertemu dengan Allah, selaku orang
lajang”. Keterangan tersebut dari Ibnu Mas’ud dan Ma’az bin Jabal, menunjukkan,
bahwa keduanya berpendapat akan keutamaan pada perkawinan, tidak dari segi
menjaga dari gangguan hawa nafsu saja.
Dan adalah
Umar ra membanyakkan kawin dan mengatakan: “Tidaklah aku kawin, melainkan
karena anak”. Adalah sebahagian sahabat telah mengambil keputusan, untuk
berkhidmat/melakukan sopan santun kepada Rasulullah saw dan berdiam padanya,
untuk keperluan yang datang kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw bertanya
kepada sahabat tadi: “Tidakkah kamu kawin ?” Lalu ia menjawab:: “Wahai
Rasulullah saw ! sesungguhnya aku ini orang miskin, tidak mempunyai apa-apa.
Dan aku mengambil keputusan untuk berkhidmat kepadamu”. Mendengar itu, Nabi saw
berdiam diri, kemudian mengulangi lagi pertanyaan nya dan sahabat itu
mengulangi penjawabannya seperti semula. Kemudian sahabat itu berpikir, lalu
menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah saw lebih mengetahui apa yang
lebih baik bagiku, untuk duniaku dan akhiratku dan apa yang mendekatkan aku
kepada Allah, daripada aku sendiri. Dan kalau beliau menanyakan kepadaku kali
ketiga, niscaya akan aku laksanakan”. Maka Rasulullah saw menanyakan kali
ketiga: “Mengapakah kamu tidak kawin ?”. Bercerita sahabat tadi lebih lanjut:
“Lalu aku mengatakan: “Wahai Rasulullah, kawinkanlah aku !” Maka Nabi saw
menjawab: “Pergilah kepada suku Anu dan katakanlah, bahwa Rasulullah saw
menyuruh kamu, supaya kamu kawinkan aku dengan anak gadismu”. Sahabat tadi meneruskan
ceritanya. Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa !”.
Lalu Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: “Kumpulkanlah untuk
saudaramu ini, emas seberat sebutir biji!”. Maka mereka kumpulkan emas untuk
saudaranya itu, lalu dibawanya kepada suatu suku, lalu dikawinkannya. Kemudian
Nabi saw mengatakan: “Adakan pesta!” Maka mereka kumpulkan dari para sahabat
seekor kambing untuk pesta kawin". Keterangan yang berulang-ulang ini
menunjukkan kepada keutamaan perkawinan itu sendiri. Dan mungkin menandakan
kepada perlunya perkawinan itu.
Menurut cerita, bahwa sebahagian hamba
Allah pada umat-umat terdahulu melebihi ibadahnya dibandingkan dengan penduduk
pada masanya. Lalu ia menerangkan kepada nabi zamannya akan kebagusan
ibadahnya. Maka bersabda Nabi itu: “Orang yang sebaik-baiknya, ialah yang tidak
meninggalkan sesuatu daripada sunnah”. Orang yang banyak beribadah (‘abid)
tadi, dapat menangkap apa yang didengarnya. Lalu ia menanyakan yang demikian
itu kepada Nabinya. Nabi itu menjawab: “Engkau meninggalkan kawin !”. Orang itu
menjawab: “Tidaklah aku mengharamkan kawin, tetapi aku miskin, aku bergantung
kepada orang lain”. Nabi itu menjawab: “Akan aku kawinkan engkau dengan anak
perempuanku”. Lalu Nabi as itu mengawinkan dia dengan anak perempuannya.
Berkata Bisyr
bin Al-Harts: “Ahmad bin Hanbal melebihi aku disebabkan 3 perkara: disebabkan
mencari yang halal untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, sedang aku
mencarinya untuk diriku sendiri saja. Dan karena meluasnya dalam perkawinan dan
sempitnya aku dari perkawinan. Dan ada yang mengatakan, bahwa imam Ahmad ra
kawin pada hari kedua dari meninggalnya istrinya dan beliau mengatakan: “Aku
tidak suka bermalam, sebagai orang bujang”.
Adapun Bisyr,
sesungguhnya tatkala orang mengatakan kepadanya: “Bahwa orang banyak memperkatakan
tentang Tuan, karena Tuan tidak kawin dan mereka itu mengatakan: “Dia itu
meninggalkan sunnah !”. Lalu Bisyr menjawab: “Katakanlah kepada mereka, bahwa
dia itu sibuk dengan yang fardlu, sehingga tidak mengerjakan yang sunat”. Dan
pada kali yang lain, ia dicaci orang, lalu Bisyr menjawab: “Tidaklah yang
melarang aku dari kawin, selain oleh firman Allah Ta’ala: “Perempuan-perempuan
itu mempunyai hak, seimbang dengan kewajibannya, yaitu secara patut”. S 2 Al
Baqarah ayat 228. Hal itu lalu diterangkan kepada Ahmad, maka Ahmad menjawab:
“Dimanakah terdapat orang seperti Bisyr ? ia duduk seumpama tajamnya mata
tombak”. Dalam pada itu, diriwayatkan bahwa orang bermimpi berjumpa dengan
Bisyr, lalu menanyakan kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah kepadamu
?”. Maka Bisyr menjawab: “Ditinggikan tempatku didalam sorga, didekatkan aku
kepada tempat nabi-nabi dan aku tidak sampai ke tempat orang-orang yang
berkeluarga (orang yang beristeri)”. Dan pada suatu riwayat: “Tuhan berfirman
kepadaku: “Aku tidak suka bahwa engkau menjumpai Aku selaku orang bujang”.
Berkata orang yang bermimpi: “Lalu kami bertanya kepada Bisyr: “Apakah yang
diperbuat oleh Abu Nashr At-Tammar ?”. Maka ia menjawab: “Ditinggikan dia
diatasku dengan 70 tingkat”. Maka kami bertanya: “Dengan apa, sedang kami
melihat engkau diatasnya ?”. Bisyr menjawab: “Dengan kesabarannya diatas
berumah-tangga dan berkeluarga”.
Berkata Sufyan bin ‘Uyaimah: “Banyaknya
perempuan, tidaklah termasuk dunia, karena Ali ra adalah yang lebih zuhud
daripada para sahabat Rasulullah saw dan beliau mempunyai 4 orang isteri dan 17
gundik. Nikah itu adalah sunnah yang sudah lalu dan budi pekerti daripada
nabi-nabi”. Berkata seorang laki-laki kepada Ibrahim bin Adham ra:
“Berbahagialah tuan, karena tuan telah menyelesaikan segala urusan untuk ibadah
dengan membujang!” Ibrahim bin Adham menjawab: “Kesulitan yang engkau hadapi
disebabkan berkeluarga, adalah lebih utama dari semua apa yang ada saya
padanya”. Lalu laki-laki itu bertanya: “Apakah yang menghalangi tuan dari kawin
?”. Ibrahim menjawab: “Aku tidak berhajat kepada wanita dan aku tidak bermaksud
memperdayakan wanita dengan diriku”. Ada ulama yang mengatakan: “Kelebihan
orang yang berkeluarga (beristeri) dari orang yang membujang, adalah seperti
kelebihan orang yang pergi ke medan jihad, daripada orang yang duduk. Serakaat
dari orang yang berkeluarga, lebih utama dari 70 rakaat dari orang yang
membujang”.
Adapun hadits
yang menerangkan tentang mempertakutkan dari kawin yaitu: bersabda Nabi saw:
“Manusia yang terbaik sesudah 200 tahun (dari tahun Nabi saw bersabda itu),
ialah orang yang ringan kelakuannya, yang tiada berkeluarga dan tiada beranak”.
Bersabda Nabi saw: “Akan datang kepada manusia suatu masa, dimana kebinasaan
seseorang itu terdapat pada tangan isterinya, dua ibu-bapaknya dan anaknya.
Mereka itu menghinakannya dengan kemiskinan dan memberatkan nya dengan pikulan
yang tidak disanggupinya. Lalu ia masuk ke tempat-tempat masuk yang
menghilangkan agamanya, maka binasalah dia”. Pada suatu hadits tersebut:
“Sedikit jumlah keluarga, adalah salah satu dari dua kekayaan dan banyak jumlah
keluarga, adalah salah satu dari dua kemiskinan”.
Ditanyakan
Abu Sulaiman Ad-Darani tentang kawin, maka ia menjawab: “Bersabar dari wanita,
adalah lebih baik daripada bersabar atas wanita. Dan bersabar atas wanita,
adalah lebih baik daripada bersabar atas neraka”. Dan Abu Sulaiman berkata
pula: “Sendirian itu memperoleh kemanisan amal dan keselesaian hati, dari apa
yang tidak diperoleh oleh orang yang berkeluarga”. Pada kali yang lain, beliau
berkata: “Tiada seorangpun aku melihat dari sahabat kita yang telah kawin, lalu
ia tetap pada tingkatannya yang pertama”. Beliau berkata pula: “3 perkara,
barangsiapa mencari yang 3 perkara itu, maka ia telah condong kepada dunia:
barangsiapa mencari kehidupan atau mengawini perempuan atau menulis hadits”.
Berkata
Al-Hasan ra: “Apabila dikehendaki oleh Allah akan kebajikan kepada seseorang
hamba, maka tidak diganggukannya dengan urusan keluarga dan harta”. Berkata
Ibnu Abil-Hawari: “Berdebat (bermunadharah) segolongan manusia tentang hadits
tadi. Maka tetaplah pendapat mereka, bahwa tidaklah maksudnya yang dua itu
tidak ada. Tetapi ada, dan keduanya itu tidak mengganggukannya”. Dan itulah
yang menunjukkan kepada perkataan Abu Sulaiman Ad-Darani: “Apa yang mengganggu
engkau daripada beribadah kepada Allah oleh keluarga, harta dan anak, maka itu
adalah kutukan keatas diri engkau”.
Kesimpulannya, tidaklah berpindah dari seseorang pembencian
dari kawin secara mutlak, melainkan disertakan dengan syarat. Adapun
penggemaran kepada kawin, maka telah datanglah, hadits-hadits secara mutlak dan
disertakan dengan syarat. Dari itu, maka haruslah kami singkapkan tutup dari
yang demikian itu, dengan menentukan bahaya dan faedah dari perkawinan.
FAEDAH
PERKAWINAN.
Perkawinan itu
mengandung 5 faedah: Anak, menghancurkan nafsu syahwat, mengatur rumah tangga,
membanyakkan keluarga & berjuang diri memimpin kaum wanita
Faedah
pertama: anak. Dan itulah pokok dan untuk itulah
diciptakan perkawinan. Dan yang dimaksud, ialah mengekalkan keturunan, supaya
dunia ini tidak kosong dari jenis manusia. Adapun nafsu syahwat, sesungguhnya
dijadikan, selaku pembangkit yang menggerakkan, seperti yang diwakilkan dengan
jantan untuk mengeluarkan bibit dari tulang sulbi dan dengan betina pada
menetapkan dari usaha pertanian itu, dengan lemah-lembut dengan keduanya, dalam
membawakan kepada memperoleh anak, dengan sebab bersetubuh. Seperti
lemah-lembut dengan burung pada penyebaran bibit yang disukainya, supaya burung
itu terbawa kepada jaring. Adalah Qudrah-Azaliah (kekuasaan
Tuhan yang Azali), tidak terbatas dari penciptaan oknum-oknum pada
mulanya, tanpa usaha pertanian dan percampuran. Akan tetapi hikmat
kebijaksanaan menghendaki ketertiban musabbab diatas sebab-sebab, serta tidak
memerlukan benar kepada sebab-sebab itu, untuk melahirkan kekuasaan qudrah
(kuasa), menyempurnakan keajaiban-keajaiban penciptaan dan merealisasikan dari
apa yang telah terdahulu kehendak Yang Maha Kuasa. Dan benarlah dengan
demikian, kalimahNya dan telah berlaku suratan padanya. Dalam menyampaikan
kepada memperoleh anak itu, adalah suatu pendekatan diri kepada Allah, dari 4
segi, dimana yang 4 ini, adalah pokok pada penggemaran kepada kawin, ketika
merasa aman dari segala gangguan nafsu syahwat. Sehingga tiada seorangpun ingin
bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang.
Segi pertama:
bersesuaian kecintaan Allah dengan usaha, pada memperoleh anak untuk
mengekalkan jenis manusia.
Segi kedua: mencari
kecintaan Rasulullah saw pada membanyakkan orang, dimana dengan banyaknya itu,
beliau dapat membanggakan.
Segi ketiga:
mencari keberkatan dengan doa anak yang shalih sesudah ia meninggal
dunia.
Segi keempat: mencari syafaat dengan kematian anak yang masih
kecil, apabila anak itu meninggal sebelum ia meninggal.
Adapun segi yang pertama tadi, adalah yang
lebih halus dan lebih jauh dari pemahaman orang kebanyakan. Dan lebih benar dan
lebih teguh pada orang-orang yang berpemandangan tembus tentang keajaiban
ciptaan Allah Ta’ala dan segala yang berlaku dari hukumNya. Penjelasannya:
bahwa tuan itu apabila menyerahkan kepada pesuruhnya (budaknya) bibit dan
alat-alat pertanian dan disediakannya bagi pesuruh itu tanah yang disediakan
untuk pertanian dan pesuruh itu sanggup bertani dan diserahkannya kepada orang
yang akan mengerjakan pertanian itu, maka kalau ia bermalas-malas,
menyia-nyiakan alat pertanian dan membiarkan bibit tersia-sia, hingga rusak dan
ia menolak orang yang menyerahkan tugas itu dengan berbagai helah, niscaya
pesuruh itu berhak makian dan kutukan dari tuannya. Allah Ta’ala telah
menjadikan dua suami-isteri. DijadikanNya tanda kelakian (dzakar) dan dua buah
pelir. DijadikanNya air yang hanyir dalam tulang belakang laki-laki dan
disediakanNya bagi air yang hanyir itu dalam dua buah pelir, urat-urat dan
tempat-tempat mengalir. DijadikanNya rahim wanita, tempat ketetapan dan tempat
simpanan air yang hanyir itu. Dan dikerasiNya kehendak nafsu syahwat kepada
masing-masing dari pria dan wanita. Maka segala perbuatan dan alat-alat itu
menjadi saksi nyata dengan lisan yang tegas, untuk melahirkan dari kehendak Penciptanya
Khaliq (yang maha pencipta) nya. Dan menyerukan segala yang berakal pikiran
untuk mengenali apa yang disediakan untuknya. Ini, walaupun tidak ditegaskan
oleh Khaliq (yang maha pencipta) dengan lisan RasulNya saw akan maksud, dimana
beliau itu bersabda: “Kawinlah supaya kamu berketurunan !”, maka bagaimanakah
tidak dipahami, padahal telah ditegaskan dengan perintah (amar) dan diterangkan
dengan rahasia ? Maka tiap-tiap orang yang tidak mau kawin, adalah berpaling
dari pertanian, menyia-nyiakan bibit, membuat nganggur alat-alat yang tersedia,
untuk apa ia dijadikan oleh Allah. Dan melakukan penganiayaan kepada maksud
dari kejadian dan hikmat kebijaksanaan yang dipahami dari bukti-bukti
penciptaan yang tertulis diatas anggota-anggota itu dengan tulisan ketuhanan.
Bukan dengan tulisan berhuruf dan bersuara, yang akan dibaca oleh tiap-tiap
orang yang mempunyai mata-hati ketuhanan (bashirah rabbaniyyah), yang tembus
untuk memperoleh hikmah-azaliah yang
halus-halus. Dan karena itulah, agama memandang besar tentang persoalan
membunuh anak dan menguburkan anak perempuan hidup-hidup. Karena itu adalah
mencegah kesempurnaan wujudnya manusia. Dan untuk itu ditunjukkan oleh orang
yang mengatakan: “Al-‘azl (membuang mani dari isteri) adalah salah satu dari
dua macam pembunuhan anak hidup-hidup. Orang yang kawin, adalah orang yang
berusaha menyempurnakan apa yang disukai oleh Allah kesempurnaannya. Dan orang
yang berpaling dari kawin, adalah orang yang mengosongkan dan menyia-nyiakan
akan apa yang tidak disukai oleh Allah menyia-nyiakannya. Dan karena kesukaan
Allah Ta’ala untuk kekalnya segala yang bernyawa, maka disuruhNya memberi
makan, didorongkanNya kepada memberi makan dan dikatakanNya tentang memberi
makan tadi dengan kata-kata hutang, yaitu firmanNya: “Siapakah yang mau
memperhutangkan Allah dengan hutang yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Kalau
anda bertanya: bahwa kata tuan, kekalnya keturunan dan nyawa itu disukai Allah,
niscaya mendatangkan sangkaan, bahwa hilang dan hancurnya (fana’) nyawa itu,
tidak disukai oleh Allah. Dan itu adalah pemisahan antara mati dan hidup,
dengan disandarkan kepada kehendak Allah Ta’ala. Dan adalah dimaklumi, bahwa
semuanya itu, adalah dengan kehendak Allah. Dan bahwa Allah kaya (tidak
memerlukan) kepada alam semesta. Maka darimanakah, mendapat perbedaan pada
sisiNya, mati mereka dari hidupnya atau kekal mereka dari fana’nya ? Ketahuilah
kiranya, bahwa kalimat tadi adalah benar, yang telah dimaksudkan kepada yang
batil/salah. Apa yang telah kami sebutkan, tidaklah menidakkan penyandaran
segala yang ada ini (al-kainat) seluruhnya, kepada kehendak Allah, baiknya dan
buruknya, manfaatnya dan melaratnya. Tetapi kesukaan dan kebencian itu, adalah
berlawanan. Dan keduanya tidaklah melawan akan kehendak Allah. Maka banyak yang
dikehendaki itu, tidak disukai dan banyak juga yang dikehendaki itu disukai.
Perbuatan ma’siat itu tidak disukai, dimana walaupun tidak
disukai, tetapi dikehendaki. Perbuatan taat itu dikehendaki, dimana bersama
dengan dikehendaki itu, disukai dan direlai. Adapun kekufuran dan kejahatan,
maka tidaklah kita mengatakan direlai dan disukai. Tetapi, adalah itu
dikehendaki.
Berfirman Allah Ta’ala: “Allah tiada
merelai kekufuran dari hamba-hambaNya”. S 39 Az Zumar ayat 7. Maka bagaimanakah
fana’ itu disandarkan kepada kesukaan dan kebencian Allah seperti baqa’ (kekal)
? sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku ragu-ragu pada sesuatu,
seperti keraguanKu pada mengambil nyawa hambaKu yang muslim. Dia tidak menyukai
mati dan Aku tidak menyukai kejahatannya dan tak boleh tidak ia daripada mati”.
Maka firmanNya “tak boleh tidak ia daripada mati”, itu menunjukkan kepada
dahulunya Kemauan dan taqdir yang tersebut pada firmanNya: “Kami telah
menentukan (mentaqdirkan) kematian kepada kamu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 60. Dan pada
firmanNya: “Yang menciptakan kematian dan kehidupan”. S 67 Al Mulk ayat 2. Dan
tidaklah berlawanan antara firmanNya: “Kami telah menentukan (mentaqdirkan)
kematian kepada kamu”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 60 tadi dan firmanNya: “Aku tidak
menyukai kejahatannya”. Tetapi kenyataan kebenaran pada ini, yang meminta
penegasan pengertian Kemauan (kehendak), kecintaan dan kebencian serta
penjelasan hakikat/maknanya. Karena yang segera kepada pemahaman daripadanya,
ialah hal-hal yang bersesuaian dengan kehendak makhluk, kesukaan dan kebencian
mereka. Dan amat jauhnya yang demikian daripada kebenaran. Diantara sifat Allah
Ta’ala dan sifat makhluk, adalah amat berjauhan, sebagaimana antara ZatNya yang
mulia dan zat makhluk. Dan sebagaimana zat makhluk itu benda dan aradl (sifat) dan Zat Allah Ta’ala adalah Maha Suci
daripada yang demikian. Dan tidak bersesuaianlah antara Yang tidak Benda dan
tidak sifat dengan yang berbenda dan bersifat. Maka demikian pula,
sifat-sifatNya tidak bersesuaian dengan sifat-sifat makhluk. Dan hakikat/makna
ini semuanya, masuk dalam Ilmu Mukasyafah/yang diminta mengetahuinya saja. Dan
dibalik Ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja ini, adalah Rahasia Taqdir (sirr
qadr) yang terlarang menyiarkannya. Dari itu, hendaklah kami ringkaskan menyebutkannya
dan hendaklah kami ringkaskan diatas apa yang telah kami peringatkan, dari
perbedaan antara tampil kepada perkawinan dan mundur daripadanya. Maka salah
satu daripada keduanya, adalah menyia-nyiakan keturunan, yang dikekalkan oleh
Allah akan adanya keturunan itu dari semenjak Adam as ganti-berganti, sampai
kepada penghabisannya. Maka orang yang tidak mau kawin, sesungguhnya ia telah
memotong akan adanya manusia yang terus-menerus dari semenjak adanya Adam as
terhadap dirinya sendiri. Maka matilah ia terputus, tiada berpenggantian.
Jikalau penggerak kepada nikah itu, semata-mata memenuhi nafsu syahwat, niscaya
tidaklah Ma’az berkata pada waktu penyakit kolera itu: “Kawinkanlah aku,
janganlah aku bertemu dengan Allah, dalam keadaaan membujang !”. Kalau anda
bertanya: “Apakah Ma’az mengharap akan anak pada waktu yang demikian itu ? maka
apakah segi keinginannya kepada kawin itu ?”. Maka aku menjawab, bahwa anak itu
berhasil dengan bersetubuh dan bersetubuh itu berhasil dengan kebangkitan nafsu
syahwat. Dan itu, adalah hal yang tidak masuk dalam bidang usaha.
Sesungguhnya yang bersangkutan dengan
ikhtiar hamba, ialah mendatangkan penggerak bagi nafsu syahwat itu. Dan yang
demikian itu, diharapkan dalam segala keadaan. Maka barangsiapa telah melakukan
ikatan perkawinan (‘aqad nikah), adalah ia telah menunaikan kewajibannya dan
berbuat apa yang membawa kepada yang tersebut itu. Dan yang lain dari itu,
adalah diluar dari usahanya. Karena itulah, disunatkan juga nikah kepada orang
yang tak bertenaga (impoten). Karena gerakan nafsu syahwat itu, adalah
tersembunyi, tidak dapat dilihat. Sehingga orang yang sudah “tersapu-bersih”
(al-mamsuh-sudah rata), yang tidak dapat mengharap akan memperoleh anak lagi,
juga tidak terputus sunatnya kawin bagi dirinya, berdasarkan pandangan yang
disunatkan bagi orang yang botak, melalukan pisau cukur diatas kepalanya,
karena mengikuti orang lain dan menyerupai dengan orang-orang terdahulu yang
shalih. Dan sebagaimana disunatkan pada mengerjakan hajji sekarang, akan
ar-ramal/berlari-lari kecil pada waktu mengerjakan sa’i pada hajji dan
al-idl-thiba’/memasukkan seledang kebawah ketiak kanan dan menutupkan bahu kiri
dengan bagian lain dari selendang itu. Dan adalah maksudnya mula-mula dahulu,
menzahirkan keberanian terhadap orang-orang kafir. Maka jadilah mengikuti dan
menyerupai dengan mereka yang telah menzahirkan keberanian itu, sunat terhadap
orang-orang yang terkemudiannya. Dan menjadi lemahlah sunatnya ini,
dibandingkan kepada sunatnya terhadap orang yang mampu bertani. Dan kadang-kadang
kelemahan sunat itu, semakin bertambah, dengan apa yang mengimbanginya, tentang
makruhnya membuat wanita itu kosong dan disia-siakan, mengenai apa yang kembali
kepada menunaikan akan hajatnya. Hal itu tidaklah terlepas dari semacam bahaya.
Maka pengertian ini, adalah yang memperingatkan kepada sangatnya penantangan
mereka kepada meninggalkan perkawinan, walaupun nafsu syahwat itu tidak
berdaya.
Segi kedua: berusaha pada
mencintai Rasulullah saw dan kerelaannya, dengan membanyakkan apa yang menjadi
kebanggaannya. Karena ia telah menegaskan yang demikian. Dan menunjukkan kepada
pemeliharaan urusan anak itu, oleh sejumlah segi-segi seluruhnya. Diantaranya, apa
yang diriwayatkan dari Umar ra, bahwa beliau itu bernikah banyak kali dan
mengatakan: “Sesungguhnya aku kawin untuk memperoleh anak”. Dan apa yang
diriwayatkan dari beberapa hadits, tentang mencela wanita yang mandul, karena
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sehelai tikar pada suatu sudut rumah, adalah
lebih baik daripada seorang wanita yang tidak beranak”. Dan Nabi saw bersabda:
“Sebaik-baik wanita kamu, ialah yang banyak anak dan banyak kasih-sayangnya”.
Dan Nabi saw bersabda: “Seorang wanita yang hitam, yang beranak banyak, adalah
lebih baik dari seorang wanita cantik yang tidak beranak”. Dan ini menunjukkan
kepada mencari anak itu dimasukkan kedalam kehendak keutamaan nikah, daripada
mencari penolakan tipuan nafsu syahwat. Karena wanita yang cantik adalah lebih
patut untuk pemeliharaan, pemincingan mata dan pemuasan nafsu syahwat.
Segi ketiga: bahwa
ditinggalkan sesudahnya, anak yang shalih yang berdoa kepadanya, sebagaimana
tersebut pada hadits, bahwa segala amal perbuatan anak Adam (manusia) itu terputus,
selain 3 perkara. Lalu Nabi saw menyebutkan anak yang shalih. Dan pada suatu
hadits, tersebut: “Bahwa segala doa itu dibawa kepada orang mati diatas baki
dari nur”. Perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa anak itu kadang-kadang
tidak shalih, tidaklah itu berpengaruh, karena anak itu mu’min. Dan shalih itu
pada umumnya, adalah pada anak-anak orang yang beragama. Lebih-lebih apabila
ayahnya bercita-cita mendidiknya dan membawanya kepada keshalihan.
Kesimpulannya, bahwa doa orang mu’min kepada kedua ibu-bapaknya, adalah
berfaedah, baik anak itu orang yang berbuat kebajikan atau berbuat kedurhakaan.
Dan orang tua itu diberi pahala diatas segala doa dan kebajikan anaknya, karena
itu adalah dari usahanya. Dan tidak disiksa disebabkan segala kejahatan anaknya.
Karena, tiadalah pemikul beban akan memikul beban orang lain. Dan karena itulah
berfirman Allah Ta’ala: “Nanti mereka akan Kami pertemukan dengan turunannya
itu dan tiada Kami kurangi amal mereka barang sedikitpun”. S 52 Ath Thuur ayat
21. Artinya: “Tiada Kami kurangkan mereka dari amal-perbuatannya dan Kami
jadikan anak-anak mereka menjadi tambahan pada perbuatan baiknya”.
Segi keempat: bahwa kalaulah
mati anaknya sebelumnya, maka adalah anak itu berbuat syafaat kepadanya.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: “Bahwa anak kecil itu
menarik kedua ibu bapaknya ke dalam sorga”. Dan pada sebahagian hadits,
tersebut: “Anak itu memegang kainnya, sebagaimana aku sekarang memegang
kainmu”. Dan Nabi saw bersabda pula: “Bahwa dikatakan kepada anak kecil itu:
“Masuklah ke sorga !” Lalu anak itu berdiri di pintu sorga dengan penuh
kekesalan dan kemarahan, seraya ia berkata: “Aku tidak masuk sorga, kecuali
kedua ibu-bapakku bersama aku”. Lalu ada yang mengatakan: “Masukkanlah kedua
ibu-bapaknya bersama dia ke sorga !”. Pada hadits lain, tersebut: “Bahwa
anak-anak kecil itu berkumpul pada tempat perhentian kiamat, ketika segala
makhluk dibawa untuk hisab (diperhitungkan segala amal perbuatannya semasa di
dunia). Lalu ada yang mengatakan kepada para malaikat: “Pergilah dengan
anak-anak itu ke sorga !”. Maka anak-anak itu berdiri pada pintu sorga, lalu
dikatakan kepada mereka: “Selamat datang para keturunan kaum muslimin !
masuklah ! tidak dikira (hisab) terhadap kamu !”. Anak-anak itu bertanya: “Manakah
bapak-bapak dan ibu-ibu kami ?”. Maka menjawab pengawal: “Bapak-bapak dan
ibu-ibu kamu tidaklah seperti kamu. Mereka mempunyai dosa dan kesalahan. Mereka
akan dihisab dan dituntut diatas segala dosa dan kesalahan itu”. Bersabda Nabi
saw seterusnya: “Lalu anak-anak itu berteriak dan menggoncangkan sekali
goncangan diatas pintu-pintu sorga. Maka berfirman Allah Ta’ala – sebenarnya IA
Maha Mengetahui dengan anak-anak itu: “Goncangan apakah ini ?”. Lalu para
pengawal itu menjawab: “Wahai Tuhan kami ! anak-anak orang Islam itu berkata:
“Kami tidak mau masuk sorga, kecuali bersama orang tua kami”. Maka berfirman
Allah Ta’ala: “Biarkanlah semuanya ! bawalah orang tua mereka itu, lalu
masukkanlah semuanya ke dalam sorga !”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggal
dan mempunyai dua orang anak, maka sesungguhnya ia tercegah dengan sesuatu
cegahan daripada api neraka”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meninggal
dengan mempunyai 3 orang anak, dimana mereka itu belum sampai berdosa, niscaya
ia dimasukkan oleh Allah ke dalam sorga dengan kurnia rahmatNya kepada mereka”.
Lalu sahabat bertanya: “Dan kalau anaknya dua orang ?”. Nabi saw menjawab: “Dan
dua juga !”.
Ada riwayat menceritakan, bahwa sebahagian
orang-orang shalih, dikemukakan kepadanya supaya kawin. Maka beliau enggan
beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bercerita, dimana pada suatu hari
beliau terbangun dari tidur, lalu berkata: “Kawinkanlah aku ! kawinkanlah aku
!”. Maka merekapun mengawinkannya. Kemudian, ditanyakan kepadanya tentang itu,
lalu beliau menjawab: “Semoga Allah menganugrahkan kepadaku seorang anak dan
kemudian diambilNya. Maka jadilah anak itu bagiku sebagai suatu mukaddimah
(pendahuluan) di akhirat nanti”. Kemudian, beliau meneruskan ceritanya: “Aku
bermimpi, seolah-olah kiamat sudah datang dan seolah-olah aku dalam jumlah
makhluk ramai di tempat perhentian di padang mahsyar. Dan aku sangat haus, yang
hampir memutuskan leherku. Begitu pula makhluk yang banyak itu, semuanya dalam
sangat kehausan dan kesulitan. Maka kami begitu juga, ketika anak-anak itu
masuk ke celah-celah orang banyak, diatas mereka beberapa sapu-tangan dari nur
dan ditangan mereka cerek dari perak dan gelas dari emas. Anak-anak itu memberi
minum seorang demi seorang, dimana mereka itu masuk ke celah-celah orang ramai
dan melewatkan kebanyakan orang (kebanyakan orang tidak diberi oleh mereka
minum). Lalu aku mengulurkan tangan kepada salah seorang dari mereka, seraya
aku berkata: “Berilah aku minum, sesungguhnya aku haus sekali !”. Lalu anak itu
menjawab: “Bapak tidak mempunyai anak dalam rombongan kami. Kami hanya memberi
minum kepada bapak-bapak kami saja”. Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ini
semuanya ?”. Mereka itu menjawab: “Kami adalah orang-orang yang meninggal
dunia, yang terdiri dari anak-anak orang Islam”. Dan salah satu dari
pengertian-pengertian yang tersebut pada firman Allah Ta’ala: “Sebab itu,
usahakanlah perladanganmu itu sebagaimana kamu sukai dan buatlah kebaikan untuk
dirimu !”. S 2 Al Baqarah ayat 223, ialah mendahulukan anak-anak kecil ke
akhirat. Maka telah nyatalah dengan segi-segi yang 4 ini, bahwa bahagian
terbanyak dari keutamaan perkawinan itu, ialah karena adanya perkawinan itu
menjadi sebab untuk memperoleh anak.
Faedah
kedua: membentengi diri dari setan,
menghancurkan kerinduan, menolak godaan nafsu syahwat, memincingkan mata dan
memelihara kemaluan. Dan kepada itulah, ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa kawin, maka telah memelihara setengah agamanya. Maka hendaklah
bertaqwa kepada Allah pada setengah lagi !” Dan kepada itulah, ditunjukkan oleh
sabda Nabi saw: “Haruslah kamu kawin ! maka barangsiapa yang tidak sanggup,
maka haruslah ia berpuasa, karena puasa itu melemahkan hawa nafsu”. Kebanyakan
dari apa yang kami nukilkan, dari atsar dan hadits, menunjukkan kepada
pengertian yang tersebut tadi. Dan pengertian itu bukanlah pengertian yang
pertama (memperoleh anak). Karena nafsu syahwat adalah diperserahi (diwakilkan)
untuk melaksanakan perolehan anak. Maka perkawinan itu, mencukupilah untuk
pekerjaan tersebut, yang mendorong untuk menjadikannya dan yang menyingkirkan
kejahatan kekuasaannya. Dan tidaklah orang yang memperkenankan panggilan
tuannya karena ingin memperoleh kerelaannya, seperti orang yang memperkenankan
untuk mencari kelepasan dari godaan penyerahan.
Maka nafsu syahwat dan anak itu, adalah hal
yang ditaqdirkan dan diantara keduanya, terdapat ikatan yang erat. Dan tidak
bolehlah dikatakan, bahwa yang dimaksud, ialah kesenangan (memperoleh
kelezatan). Dan anak, adalah suatu keharusan daripadanya, sebagaimana
umpamanya, keharusan membuang air besar dari karena makan. Dan tidaklah itu
yang dimaksudkan, pada diri perkawinan itu. Tetapi anaklah yang dimaksudkan,
menurut kejadian manusia (fithrah) dan hikmahnya. Dan nafsu syahwat itu, adalah
yang membangkitkan kepadanya. Demi sebenarnya, pada syahwat itu, ada hikmah
yang lain lagi, selain dari memberi beban untuk memperoleh keturunan. Yaitu:
memperoleh kesenangan (kelezatan) pada pelaksanaan nafsu syahwat itu, yang tak
ada bandingan dengan kesenangan itu, oleh kesenangan manapun juga, apabila
kesenangan itu bisa kekal terus. Kesenangan itu, mengingatkan kepada segala
yang dijanjikan didalam sorga. Karena menggemarkan kepada kesenangan yang tidak
pernah dirasakan, adalah tidak berguna. Kalau digemarkan kepada orang yang tak
bertenaga (impoten) tentang kesenangan bersetubuh atau kepada anak kecil
tentang kesenangan menjadi raja dan sultan, niscaya, tidaklah bermanfaat
penggemaran itu. Dan salah satu dari faedah kesenangan dunia, ialah keinginan
kekalnya didalam sorga, supaya menjadi pendorong beribadah kepada Allah. Maka
perhatikanlah kepada hikmah, kemudian kepada rahmat, kemudian kepada persediaan
ketuhanan, bagaimana telah disediakan dibawah syahwat yang satu itu, dua
kehidupan: kehidupan zahir dan kehidupan bathin.
Kehidupan zahir, ialah kehidupan manusia
dengan kekal keturunannya. Dan itu adalah semacam dari kekekalan wujudnya. Dan
kehidupan bathin, ialah kehidupan akhirat. Maka kesenangan yang kurang ini,
disebabkan lekas habisnya, adalah menggerakkan keinginan kepada kesenangan yang
sempurna, dengan kesenangan berkekalan. Lalu ia tergerak kepada beribadah, yang
menyampaikan kepada kesenangan yang berkekalan itu. Maka hamba itu memperoleh
faedah disebabkan kesangatan inginnya kepada kesenangan tadi, yang memudahkan
kepada kerajinan, kepada apa yang menyampaikannya kepada kenikmatan sorga. Dan
tidaklah dari suatu molekul (zat yang paling halus) dari molekul-molekul tubuh
manusia, zahir dan bathin, bahkan segala molekul alam langit dan bumi,
melainkan terdapat padanya hikmah yang halus-halus dan yang ajaib-ajaib, yang
menakjubkan segala akal pikiran manusia. Tetapi, yang demikian itu hanya
terbuka bagi hati yang suci bersih, menurut kebersihannya. Dan menurut
kebenciannya kepada kembang dunia, tipuan dan godaannya.
Maka perkawinan itu, dengan sebab menolak
godaan nafsu syahwat, adalah amat penting dalam agama, untuk orang-orang yang
tidak dihinggapi kelemahan dan tidak bertenaga (impoten). Dan orang-orang
itulah, kebanyakan manusia adanya. Nafsu syahwat itu, apabila mengeras dan tidak
dapat disanggah oleh kekuatan taqwa, niscaya dapat menghela kepada perbuatan
keji. Dan kepadanyalah, ditunjukkan oleh sabda Nabi saw dengan sabdanya dari
Allah Ta’ala: “Kalau tidak engkau perbuat pula begitu, niscaya menjadi fitnah
di bumi dan kerusakan besar”. S 8 An Anfaal ayat 73. Dan kalau dapat dipukul
dengan pukulan ketaqwaan, maka kesudahannya, dapatlah mencegah anggota-anggota
badan daripada memperkenankan ajakan nafsu syahwat itu. Lalu terpicinglah mata
dan terpeliharalah kemaluan.
Adapun menjaga hati dari kebimbangan dan
pemikiran, maka tidaklah termasuk dibawah usaha (ikhtiar) seseorang. Tetapi
senantiasalah nafsu itu menarik dan membisikkan kepadanya dengan berbagai
keadaan bersetubuh. Dan tidak jemu-jemulah setan pengganggu itu dalam sebahagian
besar waktunya. Kadang-kadang yang demikian itu datang kepadanya dalam shalat.
Sehingga terguris di hatinya dari hal keadaan bersetubuh itu, sesuatu gurisan,
kalaulah kiranya diterangkannya dihadapan orang yang paling hina sekalipun,
niscaya ia akan malu. Dan Allah Ta’ala melihat kepada hatinya. Dan hati itu
terhadap Allah, adalah seperti lisan terhadap makhluk. Dan pokok segala
pekerjaan bagi seseorang yang berkehendak menjalani jalan akhirat, ialah
hatinya. Dan rajin berpuasa itu, tidaklah menghilangkan benda gangguan pada
kebanyakan orang. Kecuali ditambahkan kepadanya kelemahan badan dan kerusakan
pada sifatnya.
Karena itulah, Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Tidak sempurnalah ibadah orang yang
melakukan hajji, kecuali dengan kawin”. Ini adalah percobaan umum, sedikitlah
orang yang terlepas daripadanya. Dan Qatadah berkata tentang arti firman Allah
Ta’ala: “Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak bisa kami pikul”.
S 2 Al Baqarah ayat 286, yaitu: kerasnya nafsu syahwat. Dari Akramah dan Mujahid,
yang mana keduanya mengatakan, tentang arti firman Allah Ta’ala: “Dan manusia
itu dijadikan bersifat lemah”. S 4 An Nisaa’ ayat 28, ialah bahwa manusia itu
tidak sabar terhadap perempuan. Berkata Fayyadl bin Nujaih: “Apabila bangunlah
kemaluan lelaki, niscaya hilanglah 2/3 akalnya”. Setengah mereka mengatakan:
“Hilanglah 1/3 agamanya”. Dan pada penafsiran yang tidak begitu sering
terdengar (nawadirut-tafsir) dari Ibnu ‘Abbas ra tentang firman Allah Ta’ala:
“Dan dari kegelapan (malam) ketika ia telah datang”. S 113 Al Falaq ayat 3,
yaitu, kata Ibnu ‘Abbas: bangunnya kemaluan lelaki. Ini adalah bahaya yang
sering terjadi, apabila menggelagak, yang tidak dapat dilawan oleh akal pikiran
dan agama. Dan nafsu syahwat itu, sedang dia adalah baik, untuk pendorong kepada
kedua kehidupan dunia dan akhirat –sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka
nafsu syahwat itu, adalah yang terkuat alat setan terhadap anak Adam.
Dan kepadanyalah diisyaratkan oleh Nabi saw
dengan sabdanya: “Tidaklah aku melihat dari wanita-wanita yang kurang akal dan
agama, yang lebih mempengaruhi orang-orang yang berakal pikiran, daripada
engkau sekalian”. Dan itu sesungguhnya, adalah karena bergeloranya nafsu
syahwat. Dan Nabi saw mengucapkan dalam doanya: “Wahai Allah Tuhanku !
sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kejahatan pendengaranku,
penglihatanku, hatiku dan kejahatan maniku !”. Dan beliau mendoa: “Aku bermohon
padaMu, kiranya Engkau mensucikan hatiku dan memeliharakan farajku
(kemaluanku)”. Maka apa yang dimohonkan perlindungan oleh Rasulullah saw
daripadanya, lalu bagaimanakah boleh dipandang enteng oleh orang lain ?
Adalah sebahagian orang-orang shalih,
membanyakkan kawin, sehingga hampir tidak terlepas dari dua dan tiga isteri.
Lalu dibantah oleh sebahagian kaum shufi akan sikap yang demikian. Maka orang
shalih itu menjawab: “Adakah diketahui oleh seseorang daripada kamu, bahwa ia
duduk dihadapan Allah Ta’ala pada suatu tempat duduk atau berdiri dihadapanNya
pada suatu tempat berdiri, pada suatu pergaulan, lalu terguris di hatinya oleh
gurisan hawa nafsu syahwat ?”. Maka orang-orang shufi itu menjawab: “Banyaklah
yang demikian itu menimpa keatas diri kami”. Orang shalih tadi berkata:
“Jikalau aku rela dalam umurku seluruhnya, seperti keadaan kamu dalam suatu
waktu saja, niscaya aku tidak kawin. Tetapi aku, tidaklah terguris pada hatiku,
suatu gurisan yang membimbangkan aku dari hal-keadaanku, melainkan aku
laksanakan terus. Maka senanglah hatiku dan kembalilah aku kepada pekerjaanku.
Dan semenjak 40 tahun lamanya, tiadalah terguris pada hatiku kema’siatan”.
Sebahagian manusia membantah keadaan orang-orang shufi itu, lalu bertanya
kepadanya sebahagian orang-orang beragama: "Apakah yang anda tantang dari
mereka ?”. Orang yang menantang itu menjawab: “Orang-orang shufi itu banyak makan”.
Maka orang beragama itu menjawab: “Engkaupun kalau lapar seperti mereka lapar,
akan makan seperti mereka makan”. Orang yang menantang itu menambah: “Mereka
kawin banyak”. Lalu orang beragama itu menyambung: “Engkaupun
apabila memelihara kedua mata engkau dan kemaluan engkau, sebagaimana mereka
memeliharakannya, niscaya engkaupun kawin sebagaimana mereka itu kawin”.
Al-Junaid berkata: “Aku memerlukan kepada
jima’ (bersetubuh) sebagaimana aku memerlukan kepada makanan”. Maka isteri itu
sebenarnya, adalah makanan dan sebab untuk kesuci-bersihan hati. Dan karena
itulah”, Rasulullah saw menyuruh tiap-tiap orang yang jatuh pandangannya kepada
seorang wanita, lalu tertarik hatinya kepada wanita itu, supaya melakukan jima’
dengan isterinya”. Karena yang demikian itu menolak kebimbangan dari dirinya.
Diriwayatkan oleh Jabir ra: “Bahwa Nabi saw melihat seorang wanita, lalu beliau
masuk ke tempat Zainab dan melaksanakan hajatnya. Kemudian beliau keluar seraya
bersabda: “Bahwa wanita itu apabila berhadapan, niscaya ia berhadapan dengan
bentuk setan. Maka apabila seseorang kamu melihat wanita, dimana wanita itu
menakjubkan kamu, maka hendaklah mendatangi isterinya. Karena bersama isterinya
itu, terdapat yang seumpama dengan yang bersama wanita itu”. Dan Nabi saw
bersabda: “Janganlah kamu masuk ke tempat wanita yang tak ada suaminya di rumah
(al-mughibat), yaitu: wanita tak ada suaminya bersamanya. Karena setan itu
berjalan dari seseorang kamu pada tempat jalannya darah”. Lalu kami (para
sahabat) bertanya: “Apakah dari engkau juga ?”. Nabi saw menjawab: “Juga dari
aku. Tetapi Allah menolong aku terhadap setan, maka selamatlah aku”
Berkata Sufyan bin ‘Uyainah: “Maksudnya
ialah: maka selamatlah aku daripada setan itu. Inilah maksudnya. Dan setan itu
tidaklah selamat”. Begitupula diceritakan dari Ibnu Umar ra, dimana beliau
termasuk golongan para sahabat yang zuhud dan ahli ilmu, bahwa beliau itu
berbuka puasa dengan jima’ sebelum makan. Kadang-kadang beliau melakukan jima’
sebelum mengerjakan shalat Maghrib. Kemudian lalu mandi dan mengerjakan shalat.
Yang demikian itu, adalah untuk menyelesaikan hatinya beribadah kepada Allah
dan mengeluarkan benda kepunyaan setan daripadanya.
Dan diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra
melakukan jima’ pada 3 orang gundiknya dalam bulan Ramadlan sebelum shalat
‘Isya’. Ibnu Abbas berkata: “Yang terbaik dari umat ini, ialah yang terbanyak
isterinya”. Tatkala nafsu syahwat itu amat keras pada sifat orang Arab, maka
orang-orang shalih dari mereka adalah sangat banyak kawin. Dan untuk ketenangan
hati, diperbolehkan kawin budak perempuan, ketika dikuatirkan terjadi
perzinaan, sedang pada perkawinan ini adalah memperbudakkan anak. Dan itu
adalah semacam pembinasaan dan diharamkan terhadap orang yang mampu kawin
dengan wanita merdeka. Tetapi memperbudakkan anak itu, adalah lebih enteng
daripada membinasakan agama. Dan tak ada pada perkawinan itu, kecuali
mengeruhkan kehidupan anak sebentar saja, sedang pada mengerjakan perbuatan
yang keji itu, menghilangkan kehidupan akhirat yang membawa kehinaan umur yang
panjang, dengan penambahan kepada hari-harinya.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari, orang
banyak meninggalkan tempat Ibnu Abbas dan tinggallah seorang pemuda yang tetap
disitu. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya: “Apakah engkau ada sesuatu
keperluan ?”. Pemuda itu menjawab: “Ada ! aku ingin menanyakan suatu persoalan.
Tadi aku malu kepada orang banyak dan sekarang aku takut kepada tuan dan aku
menghormati tuan”. Ibnu Abbas menjawab: “Orang yang berilmu itu adalah seperti
bapak sendiri. Apa yang engkau curahkan kepada ayahmu, maka curahkanlah
sekarang kepadaku !”. Lalu pemuda itu menyambung: “Sesungguhnya aku seorang pemuda
yang tidak mempunyai isteri. Kadang-kadang aku takut akan terjadi perbuatan
jahat terhadap diriku. Kadang-kadang aku keluarkan maniku dengan tanganku
sendiri. Adakah itu merupakan suatu kemaksiatan ?”. Maka Ibnu Abbas memalingkan
muka dari pemuda tadi, kemudian berkata: “Ah, kotor sekali ! mengawini budak
perempuan, adalah lebih baik dari itu. Dan itu adalah lebih baik dari
perzinaan”. Maka ini, adalah memberitahukan, bahwa orang bujang yang keras
nafsu syahwatnya, adalah terumbang-ambing diantara 3 kejahatan. Yang paling
rendah dari kejahatan yang 3 itu, ialah mengawini budak perempuan, dimana
padanya memperbudakkan anak sendiri. Dan yang paling berat dari kejahatan itu
ialah mengeluarkan mani sendiri dengan tangan. Dan yang paling keji dari
kejahatan tersebut, ialah melakukan perzinaan.
Ibnu Abbas tidak mengatakan secara mutlak,
akan pembolehan sesuatu daripadanya. Karena keduanya itu (mengawini budak
wanita dan mengeluarkan mani dengan tangan sendiri), adalah amat mengkuatirkan,
yang ditakuti terjerumus kepada yang lebih mengkuatirkan lagi. Sebagaimana
ditakuti memakan bangkai, karena ditakuti daripada kebinasaan diri. Maka
tidaklah menguatkan yang lebih enteng dari dua kejahatan itu, termasuk dalam
pengertian pembolehan mutlak dan tidak dalam pengertian kebaikan mutlak. Dan
tidaklah memotong tangan yang dimakan penyakit itu, termasuk perbuatan yang
baik, meskipun diizinkan ketika mendekati diri kepada kebinasaan. Jadi, pada
perkawinan itu, terhadap keutamaan dari segi ini. Tetapi ini tidaklah merata kepada
semuanya, hanya kebanyakan saja. Maka banyaklah orang yang telah lemah
syahwatnya, karena usia lanjut atau karena sakit atau karena lainnya, lalu
tiadalah penggerak itu pada dirinya. Dan tinggallah apa yang tersebut dahulu,
tentang urusan anak. Dan urusan anak itu, adalah hal yang merata, kecuali orang
yang telah tersapu bersih kemaluannya (al-mamsuh). Dan itu, adalah jarang.
Sebahagian dari sifat (karakter) manusia, amat mengeras nafsu syahwatnya,
dimana tidak dapat dibentengi oleh seorang wanita saja. Maka disunatkan bagi
orang yang seperti ini, lebih dari seorang wanita, sampai kepada 4 wanita.
Kalau kiranya dimudahkan oleh Allah baginya kasih-sayang dan rahmat serta
hatinya tenteram dengan wanita-wanita itu, maka syukurlah. Kalau tidak, maka
disunatkan baginya mengganti.
Saidina Ali ra kawin sesudah wafat Fatimah
ra 7 malam. Ada yang mengatakan, bahwa Al-Hasan bin Ali suka sekali kawin,
sehingga beliau kawin lebih dari 200 wanita. Dan kadang-kadang, beliau
melakukan ‘aqad nikah 4 wanita dalam satu waktu. Dan kadang-kadang beliau
ceraikan 4 dalam satu waktu dan menggantikan mereka itu semuanya. Nabi saw
bersabda kepada Al-Hasan: “Engkau telah menyerupai bentukku dan akhlaqku”. Dan
bersabda Nabi saw: “Al-Hasan itu daripadaku dan Al-Husain daripada Ali”. Maka
ada yang mengatakan, bahwa banyaknya kawin Al-Hasan itu, adalah salah satu dari
apa yang menyerupai Al-Hasan dengan akhlaq Rasulullah saw.
Al-Mughirah bin Sya’bah telah kawin dengan
80 wanita. Dan dalam kalangan sahabat itu, ada yang mempunyai 3 dan 4 isteri.
Dan yang mempunyai 2 isteri, adalah tidak terhingga jumlahnya. Manakala yang
menggerakkan kepada perkawinan itu telah dimaklumi, maka seyogyalah dicari obat
menurut penyakit. Yang dimaksud, ialah menenteramkan jiwa. Maka hendaklah
diperhatikan kepada ketenteraman jiwa itu, tentang banyak dan sedikitnya.
Faedah
ketiga: menyenangkan jiwa, menjinakkannya dengan
duduk bersama-sama, pandang-memandang dan bersenda-gurau, untuk menenteramkan
hati dan menguat kannya kepada ibadah. Karena sesungguhnya jiwa itu pembosan. Dan
terhadap kepada kebenaran, jiwa itu melarikan diri, karena menyalahi tabiat
pembawaannya. Kalau dipaksakan jiwa itu berbuat terus-menerus dengan paksaan
terhadap apa yang menyalahi dengan kemauannya, niscaya ia melawan dan kembali kepada
kemauannya sendiri. Dan apabila dihiburkan dengan berbagai macam kesenangan
pada sebahagian waktu, niscaya ia menjadi kuat dan rajin. Dan menjinakkan hati
dengan wanita, adalah termasuk sebahagian dari istirahat, yang menghilangkan
kesusahan hati dan menyenangkan kalbu. Dan sewajarnyalah hendaknya, ada
istirahat-istirahat dengan hal-hal yang diperbolehkan, bagi jiwa orang-orang
yang bertaqwa (al-muttaqin). Dan karena itulah, Allah berfirman: “Supaya dia
(laki-laki) merasa senang kepadanya (kepada wanita)”. S 7 Al A’raaf ayat 189.
Ali ra berkata: “Senangkanlah hatimu
sesaat, karena apabila hati itu tidak merasa senang, niscaya ia buta !”. Dan
pada suatu hadits, tersebut: “Hendaklah orang yang berakal itu mempunyai 3
saat: sesaat ia membisikkan segala isi
hati dengan Tuhannya, sesaat ia memperhitungkan dirinya (mengadakan hisab
terhadap amal perbuatannya) dan sesaat ia menyendiri dengan makanan dan
minumannya”. Karena sesungguhnya pada saat ini, adalah menolong kepada
saat-saat yang tersebut itu. Dan seperti hadits tadi, dengan susunan kata-kata
yang lain: “Tidak adalah orang yang berakal itu menempuh, selain pada 3:
perbelanjaan untuk akhirat atau persiapan untuk hidup atau kesenangan pada
jalan yang tidak diharamkan”.
Dan bersabda Nabi saw: “Bagi tiap-tiap
orang yang bekerja itu, mempunyai kesungguhan dan bagi tiap-tiap kesungguhan
itu, mempunyai waktu terluang. Maka barangsiapa waktu terluangnya itu ada
kepada sunnahku, niscaya sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk”.
Kesungguhan itu, adalah pada permulaan kehendak dan waktu terluang itu, ialah
berhenti untuk istirahat.
Adalah Abud-Darda’ itu berkata:
“Sesungguhnya aku jadikan diriku bersenang-senang dengan sedikit permainan,
supaya dengan demikian, aku menjadi kuat kemudian kepada kebenaran”. Pada sebahagian
hadits dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Aku mengadu kepada Jibril as
akan kelemahanku dari bersetubuh, maka ditunjukkannya aku untuk memakan harisah
(semacam makanan yang terbuat dari biji-bijian yang ditumbuk halus dan
daging)”. Hadits ini kalau benar, tidaklah yang membawa kepadanya, selain untuk
persediaan bagi istirahat. Dan tidak mungkin mengobatinya dengan penolakan
nafsu syahwat. Karena dengan cara yang demikian, adalah mengobarkan nafsu
syahwat itu. Dan siapa yang tidak mempunyai syahwat, niscaya tidak mempunyai
lebih banyak dari kejinakan hati ini.
Dan Nabi saw bersabda: “Telah menjadi
kecintaan kepadaku dari duniamu itu 3 perkara: bau-bauan, wanita dan tetap
mataku kepada shalat”. Inipun suatu faedah, yang tidak dapat dibantah oleh
orang yang mencoba memayahkan dirinya pada berpikir, berdzikir dan berbagai
macam amal perbuatan lainnya. Dan itu adalah diluar dari dua faedah yang lalu.
Sehingga dia itu banyak mendatang pada diri orang yang tersapu rata (al-mamsuh)
dan orang yang tak mempunyai nafsu syahwat sama sekali. Kecuali, bahwa faedah
ini adalah menjadikan nikah itu mempunyai keutamaan, dengan menyandarkan kepada
niat itu. Dan sedikitlah orang yang bermaksud dengan perkawinan itu yang
demikian.
Adapun tujuan memperoleh anak, menolak hawa
nafsu syahwat dan sebagainya, maka itu adalah termasuk hal yang banyak.
Kemudian banyak juga orang yang merasa terhibur dengan memandang kepada air
yang mengalir, tumbuh-tumbuhan yang hijau dan seumpamanya. Dan ia tidak
memerlukan kepada penyenangan hati dengan bercakap-cakap dan bersenda gurau
dengan wanita. Maka berlainanlah ini, dengan berlainan hal dan keadaan orang.
Maka hendaklah diperhatikan dengan sebaik-baiknya !.
Faedah
keempat: mengosongkan hati dari urusan rumah
tangga, beban urusan masak, menyapu, mengurus tempat tidur, membersihkan piring
dan menyediakan segala keperluan hidup. Sesungguhnya manusia, jikalau tidak
mempunyai nafsu syahwat bersetubuh, niscaya sulitlah baginya kehidupan dalam
rumah tangganya sendirian. Karena, kalaulah ia harus memikul segala urusan
rumah tangga, niscaya hilanglah sebahagian besar waktunya dan ia tidak
mempunyai kesempatan untuk ilmu dan amal. Maka wanita yang shalih, yang dapat
mengurus rumah tangga, adalah menolong agama dengan jalan tersebut. Dan rusaknya
sebab-sebab tadi, adalah merepotkan, mengganggu hati dan mengeruhkan kehidupan.
Dan karena itulah, Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Isteri yang shalih,
tidaklah termasuk dunia. Karena dia menyelesaikan engkau ke akhirat. Dan
penyelesaiannya itu, adalah dengan mengurus rumah tangga dan bersama dengan
menunaikan nafsu syahwat”.
Berkata Muhammad bin Ka’b Al Qardhi,
mengenai pengertian firman Allah Ta’ala: “Hai Tuhan kami ! berilah kami
kebaikan dunia ini”. S 2 Al Baqarah ayat 201, beliau berkata, yaitu: wanita
yang shalih. Nabi saw bersabda: “Hendaklah dibuat oleh seorang kamu, hati yang
tahu berterima kasih, lidah yang mengingati Tuhan dan isteri yang mu’min, lagi
shalih, yang akan menolongnya ke akhirat !”. Maka perhatikanlah, bagaimana Nabi
saw mengumpulkan diantara isteri, dzikir dan terima kasih (syukur) ! dan pada
sebahagian tafsir, tentang firman Allah Ta’ala: “Maka sesungguhnya akan Kami
hidupkan dia dalam kehidupan yang baik”. S 16 An Nahl ayat 97, maka menurut
tafsir itu, ialah: isteri yang shalih. Umar bin Al-Khaththab ra berkata:
“Tidaklah dianugerahkan kepada seorang hamba sesudah beriman kepada Allah, yang
lebih baik daripada wanita yang shalih. Sesungguhnya sebahagian dari wanita
itu, merupakan yang diperoleh, yang tak dapat diperoleh gantinya dan rantai
yang tidak dapat dilepaskan.
Nabi saw bersabda: “Dilebihkan aku dari
anak Adam yang lain, dengan dua perkara: isterinya menolong dia kepada ma’siat
dan isteriku menolong aku kepada taat, setannya itu kafir, sedang setanku
muslim, yang tidak menyuruh, selain yang kebajikan”. Nabi saw menghitung
pertolongan wanita kepada ketaatan itu, suatu keutamaan. Maka inipun,
sebahagian dari faedah-faedah yang dimaksudkan oleh orang-orang shalih. Hanya
pertolongan wanita itu, tertentu kepada sebahagian orang-orang yang tak ada
baginya penanggung dan pengatur. Dan pertolongan itu tidak meminta kepada dua
orang wanita. Tetapi berkumpulnya wanita, kadang-kadang membawa keruhnya kepada
penghidupan dan menggoncangkan urusan rumah tangga. Dan termasuk pada faedah
ini, maksud memperbanyakkan keluarga dan kekuatan yang diperoleh dengan sebab
termasuknya beberapa keluarga itu. Hal yang demikian, adalah yang diperlukan
untuk menolak kejahatan dan mencari keselamatan. Dan karena itulah, ada yang
mengatakan: ”Hinalah orang tidak mempunyai penolong. Dan barangsiapa memperoleh
orang yang menolak daripadanya kejahatan, niscaya sejahteralah keadaannya dan
selesailah hatinya untuk beribadah. Karena kehinaan itu, mengganggu hati dan
kemuliaan dengan banyak kawan, adalah menjadi penolak kehinaan”.
Faedah
kelima: berjuang dengan segenap jiwa dan
melatihnya, dengan memelihara, memimpin dan menegakkan hak-hak isteri. Bersabar terhadap
budi pekerti mereka, menanggung kesakitan yang datang dari pihak mereka,
berusaha memperbaiki mereka, memberi petunjuk kepada mereka ke jalan agama,
bersungguh-sungguh mencari yang halal karena mereka dan tegak melaksanakan
pendidikan kepada anak-anaknya. Ini semuanya, adalah pekerjaan yang besar
keutamaannya. Karena itu adalah pemeliharaan dan penjagaan. Isteri dan anak
itu, adalah rakyatnya. Dan keutamaan pemeliharaan itu besar. Dan sesungguhnya
yang dapat memelihara itu, ialah orang yang dapat memelihara, karena takut
keteledoran dari menegakkan tugas-tugasnya. Dan kalau tidak demikian, maka Nabi
saw telah bersabda: “Sehari dari wali yang adil, adalah lebih utama dari ibadah
70 tahun”. Kemudian Nabi saw menyambung: “Ketahuilah, tiap-tiap kamu itu
penggembala dan tiap-tiap kamu itu bertanggung jawab tentang rakyat yang
digembalakannya”. Dan tidaklah sama orang yang bekerja memperbaiki dirinya
sendiri dan orang lain, seperti orang yang bekerja memperbaiki dirinya sendiri
saja. Dan tidaklah sama orang yang sabar dari kesakitan, seperti orang yang
memewahkan dirinya dan menyenangkannya. Maka penanggungan yang diperdapat
lantaran isteri dan anak, adalah seperti berjihad fi sabilillah. Dan karena
itulah, Bisyr berkata: “Ahmad bin Hanbal melebihi aku dengan 3 perkara. Salah
satu daripadanya, adalah ia mencari yang halal untuk dirinya sendiri dan untuk orang
lain”.
Dan Nabi saw bersabda: “Apa yang
dibelanjakan oleh seseorang kepada isterinya itu adalah sedekah. Dan
sesungguhnya orang laki-laki itu diberi pahala pada suap yang diangkatkannya ke
mulut isterinya”.
Berkata sebahagian mereka kepada setengah ulama: “Dari
tiap-tiap amal perbuatan yang dianugerahi oleh Allah kepadaku, sebagai
bahagian, sehingga dzikir, hajji, jihad dll”.
Lalu ulama itu bertanya kepadanya: “Bagaimana pikiran engkau
tentang amal perbuatan wali-wali Allah ?”.
Orang itu bertanya: “Apakah perbuatan itu ?””.
Ulama tadi menjawab: “Usaha yang halal dan memberi nafkah
kepada keluarga (isteri dan anak)”.
Ibnul-Mubarak berkata, dimana beliau
bersama teman-temannya dalam suatu peperangan. “Tahukah kamu perbuatan yang lebih
utama, daripada perbuatan yang berada kita sekarang didalamnya ?”.
Teman-teman itu menjawab: “Kami tidak tahu”.
Beliau menyambung: “Aku tahu !”.
Lalu mereka itu bertanya: “Apakah itu ?”.
Maka beliau menjawab: “Seorang laki-laki yang menjaga kehormatan
diri, mempunyai anak isteri, bangun di malam hari, lalu memandang kepada
anak-anaknya yang kecil-kecil, sedang tidur nyenyak, badan mereka terbuka. Maka
ditutup dan diselimutkannya dengan kainnya sendiri. Amal perbuatan orang itu,
adalah lebih utama, daripada perbuatan yang sedang kita laksanakan ini !”.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bagus
shalatnya, banyak keluarganya, sedikit hartanya dan ia tidak mencaci orang
Islam, niscaya ia ada bersama aku dalam sorga, seperti dua ini”. (Nabi saw
menunjukkan dengan jari telunjuk dan jari tengah). Dan pada hadits lain,
tersebut: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang miskin yang memelihara
kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga”. Dan pada hadits lain, tersebut:
“Apabila banyaklah dosa hamba, niscaya ia dicoba oleh Allah dengan kesusahan
keluarga, untuk menutupkan dosa itu daripadanya”. Berkata setengah ulama salaf:
“Sebahagian dari dosa-dosa itu ialah dosa yang tidak tertutup, kecuali oleh
kesusahan yang disebabkan oleh keluarga”. Dan mengenai ini, dinukilkan daripada
Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Sebahagian dari dosa-dosa itu, ialah
dosa yang tidak tertutup, kecuali oleh kesusahan mencari penghidupan”. Dan
bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mempunyai 3 orang anak perempuan, lalu ia
mengeluarkan perbelanjaan dan berbuat kebaikan kepada mereka, sehingga mereka
diberi kekayaan oleh Allah, tanpa memerlukan lagi kepadanya, niscaya diwajibkan
oleh Allah baginya sorga, pasti-pasti kecuali ia berbuat sesuatu perbuatan yang
tidak diberi ampunan”.
Adalah Ibnu Abbas, apabila memperkatakan
hadits ini, lalu berkata: “Demi Allah, itu adalah termasuk hadits yang tidak
begitu terkenal (hadits gharib) dan hadits yang dapat menipukan”. Diriwayatkan,
bahwa sebahagian orang yang kuat beribadah kepada Allah, adalah menegakkan
kebaikan kepada isterinya, sampai kepada isterinya itu meninggal. Lalu
dikemukakan kepadanya untuk dikawinkan lagi. Maka ia menolak, seraya berkata:
“Bersendirian, adalah lebih menyenangkan hatiku dan lebih mengumpulkan
cita-citaku”. Kemudian ia menerangkan: “Aku bermimpi sesudah seminggu dari
meninggalnya, seolah-olah segala pintu langit itu terbuka dan seolah-olah
beberapa orang laki-laki turun dan berjalan-jalan di angkasa, diikuti oleh
sebahagian akan lainnya. Maka tiap kali turun seorang, lalu ia memandang
kepadaku, seraya berkata kepada orang yang dibelakangnya: “Bahwa orang ini,
adalah orang celaka”. Maka menjawab yang lain: “Ya !” Dan menyambung yang
ketiga begitu juga. Dan menyahut yang ke-4: “Ya betul !”. Maka akupun takut
menanyakan mereka, karena takut dari yang demikian itu. Sehingga lalulah
dekatku yang penghabisan dari mereka dan dia itu seorang anak kecil. Lalu aku
bertanya kepadanya: “Hai, siapakah orang celaka ini, yang kamu tunjukkan
kepadanya ?”. Anak kecil itu menjawab: “Tuanlah !”. Maka aku bertanya:
“Mengapakah bagitu ?”. Ia menjawab: “Kami angkatkan amalan tuan dalam amalan
orang-orang yang berjuang fi sabilillah. Maka semenjak seminggu yang lalu, kami
disuruh meletakkan amalan tuan bersama orang-orang yang meninggalkan jihad. Kami
tidak mengetahui apa yang tuan perbuat !”. Kemudian, maka orang itupun meminta
kepada teman-temannya: “Kawinkanlah aku ! kawinkanlah aku ! sehingga tidak
berpisah dengan dia, dua isteri atau tiga”.
Dalam cerita nabi-nabi as diceritakan,
bahwa suatu golongan datang kepada Nabi Yunus as. Lalu beliau menggabungkan
diri bersama mereka. Maka masuk dan keluar ke rumahnya. Lalu beliau disakiti
oleh isterinya dan dimakinya. Dan beliau itu berdiam diri saja. Mereka itu
merasa heran yang demikian. Lalu Nabi Yunus as bersabda: “Janganlah kamu heran,
karena aku telah bermohon pada Allah Ta’ala dan aku mengatakan: “Janganlah
kiranya Engkau menyiksakan aku di akhirat ! maka segerakanlah siksaan itu
bagiku di dunia !” Maka Allah Ta’ala berfiman: “Sesungguhnya siksaanmu, ialah
anak perempuan si Anu yang engkau kawin dengan dia”. Maka aku kawin dengan anak
perempuan itu dan aku bersabar diatas apa yang engkau lihat daripadanya”.
Tentang kesabaran diatas yang demikian itu, adalah latihan bagi jiwa,
menghancurkan kemarahan dan membaguskan akhlaq. Karena orang yang tinggal
sendirian atau sekutu dengan orang yang bagus akhlaqnya, tidaklah tersaring
daripadanya kekejian jiwa kebatinan dan tidaklah terbuka segala kekurangannya
yang tersembunyi. Maka pantaslah kepada orang yang berjalan ke jalan akhirat,
mencoba dirinya dengan menempuh segala penggerak yang seperti itu serta
membiasakan kesabaran kepadanya. Supaya luruslah akhlaqnya, terlatihlah jiwanya
dan bersihlah dari segala sifat yang tercela kebatinannya. Dan kesabaran terhadap
tingkah laku keluarga, dimana kesabaran itu merupakan latihan dan perjuangan,
adalah pikulan bagi mereka dan menegakkan hak-hak keluarga serta dengan
sendirinya menjadi ibadah. Maka inipun sebahagian dari faedah-faedah. Tetapi
tidak mengambil manfaat dengan dia, kecuali seorang dari dua: adakalanya orang
yang bermaksud mujahadah= berjihat
melawan hawa nafsu, latihan dan pemurnian akhlaq. Karena dia berada pada
permulaan jalan. Maka tidak jauhlah menampak ini, sebagai jalan pada mujahadah.
Dan terlatihlah dengan itu, jiwanya. Dan adakalanya orang itu sebahagian dari
orang-orang abid, yang tak ada baginya perjalanan dengan yang salah dan gerakan
dengan pikiran dan hati. Amalannya, hanyalah dengan amalan anggota badan,
dengan shalat atau hajji atau lainnya. Maka perbuatannya untuk isteri dan
anak-anaknya, dengan mengusahakan yang halal untuk mereka dan bangun menyusun
ketertiban hidup mereka, adalah lebih utama baginya dari segala ibadah yang
wajib bagi tubuhnya, yang tidak melampaui kebajikannya kepada orang lain.
Adapun orang yang berakhlaq murni,
adakalanya dengan mencukupi pada asal kejadiannya atau dengan berjihat melawan
hawa nafsu pada masa-masa yang dahulu, sebelum kawin, apabila ia mempunyai
perjalanan pada kebatinan dan gerakan dengan pemikiran hati dalam segala ilmu
dan mukasyafah (yang diminta mengetahuinya saja). Maka tidak seyogyalah ia
kawin karena maksud tersebut. Karena latihan itu sendiri telah mencukupi
baginya.
Adapun ibadah dalam amal dengan usaha bagi
mereka itu, maka ilmu, adalah lebih utama dari yang demikian. Karena ilmu juga
adalah amal. Dan faedahnya, adalah lebih banyak dari yang demikian. Lebih
lengkap dan merata kepada segala makhluk lainnya, dibandingkan dengan faedah
usaha kepada keluarga. Maka inilah faedah perkawinan dalam agama, dimana dengan
faedah-faedah itu, agama menetapkan keutamaan bagi perkawinan.
Adapun
bahaya perkawinan, maka 3 perkara:
Pertama: yaitu yang terkuat dari 3 perkara ini, ialah lemah daripada
mencari yang halal. Sesungguhnya yang demikian itu tidaklah mudah bagi
masing-masing orang, lebih-lebih lagi pada waktu-waktu ini, serta bergoncangnya
penghidupan. Maka adalah perkawinan itu, suatu sebab dalam meluaskan untuk
mencari dan memberi makan dari yang haram. Dan pada itulah, kebinasaannya dan
kebinasaan isterinya. Sedang orang yang membujang, adalah terpelihara daripada
yang demikian.
Adapun orang yang kawin, maka dalam hal
yang terbanyak, ia terjerumus dalam lobang-lobang kejahatan. Lalu ia menuruti
kemauan isterinya dan menjual akhiratnya dengan dunianya. Pada suatu hadits,
tersebut: “Sesungguhnya hamba itu disuruh berdiri pada Timbangan (Al-Mizan). Ia
mempunyai kebajikan seperti bukit. Lalu ditanyakan dari hal pemeliharaan
keluarganya dan pelaksanaan hak-hak mereka. Ditanyakan tentang hartanya, darimana
diusahakannya dan pada apa dibelanjakannya. Sehingga habis dengan segala
tuntutan itu, semua amal-perbuatannya. Maka tidak tinggal baginya lagi suatu
kebajikanpun. Maka diserukan oleh malaikat: “Inilah orang, yang telah dimakan
oleh keluarganya segala kebajikannya di dunia dan pada hari ini ia tergadai
dengan segala amal perbuatannya”. Dan dikatakan, bahwa yang pertama-tama yang
bersangkutan dengan seseorang pada hari kiamat, ialah isteri dan anaknya.
Mereka itu membawanya berdiri di hadapan Allah Ta’ala, seraya mengatakan: “Wahai
Tuhan kami ! ambillah untuk kami akan hak kami daripadanya ! karena ia tidak
mengajarkan kami, apa yang tidak kami ketahui. Ia memberikan kepada kami
makanan yang haram, sedang kami tiada mengetahuinya”. Maka pada ketika itu,
Allah Ta’ala memotong daripada amalannya untuk mereka itu”.
Berkata setengah salaf: “Apabila
dikehendaki oleh Allah akan kejahatan bagi seorang hamba, niscaya dikuasakanNya
keatas orang itu dalam dunia, gigi-gigi yang tajam yang akan menggigitnya,
ya’ni: anak dan isteri (al-‘iyal)”. Nabi saw bersabda: “Tiada diperoleh
seseorang akan dosa daripada Allah, yang lebih besar daripada kebodohan
isterinya”. Inilah bahaya umum. Sedikitlah orang yang terlepas daripadanya.
Kecuali orang yang mempunyai harta pusaka atau usaha dari yang halal, yang
cukup untuknya sendiri dan untuk isterinya. Dan ia mempunyai rasa puas
(al-qana’ah), yang mencegahnya daripada mencari yang lebih. Sesungguhnya, orang
itulah yang terlepas daripada bahaya tersebut. Atau orang yang mempunyai
perusahaan dan sanggup berusaha yang halal daripada usaha-usaha yang
diperbolehkan (al-mubahat), dengan memotong kayu api atau memburu atau berada
pada perusahaan yang tiada sangkut-paut dengan raja-raja. Dan ia sanggup
bergaul dengan orang-orang baik (ahlul-khair) dan orang-orang yang menurut
zhahiriyahnya berkeadaan sejahtera dan kebanyakan hartanya itu halal. Ibnu
Salim ra berkata, dimana beliau ditanyakan tentang kawin, maka beliau menjawab:
“kawin itu adalah lebih afdhal (lebih utama) pada masa kita sekarang ini, bagi
orang yang bersangatan nafsu syahwatnya, seperti keledai jantan yang melihat
keledai betina. Ia tidak dapat dilarang dari keledai betina itu dengan pukulan.
Orang itu tidak dapat menguasai dirinya. Kalau dapat menguasai dirinya, maka
meninggalkan kawin itu adalah lebih utama.
Bahaya
kedua: keteledoran menegakkan hak-hak wanita,
bersabar terhadap budi-pekerti mereka dan menanggung penderitaan yang timbul
dari mereka. Bahaya ini, adalah kurang daripada bahaya pertama pada umumnya.
Karena kemampuan terhadap ini, adalah lebih mudah dibandingkan dengan kemampuan
terhadap yang pertama itu. Memperbaiki akhlaq kaum wanita dan bangun
melaksanakan hak-hak mereka, adalah lebih mudah daripada mencari yang halal.
Dalam hal ini, ada juga bahayanya, karena dia itu penggembala dan bertanggung
jawab tentang penggembalaannya.
Dan Nabi saw bersabda: “Mencukupilah dosa bagi seorang manusia, yang
menyia-nyiakan keluarganya”. Dan diriwayatkan, bahwa orang yang lari dari
keluarganya, adalah seperti budak yang lari, meninggalkan tuannya. Tiada
diterima shalat dan puasanya, sebelum ia kembali kepada mereka. Dan barangsiapa
yang teledor daripada menegakkan hak wanita, meskipun ia berada di tempatnya,
maka ia seperti orang yang melarikan diri. Berfirman Allah Ta’ala: “Peliharalah
dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Ia
menyuruh kita memeliharakan mereka dari api neraka, sebagaimana kita
memeliharakan diri kita sendiri. Manusia itu kadang-kadang lemah daripada
menegakkan haknya sendiri. Dan apabila ia kawin, maka kewajibannya berlipat
ganda dan bertambah kepada nafsunya, nafsu yang lain. Dan nafsu itu menyuruh
dengan kejahatan. Jikalau nafsu itu, banyak, niscaya banyaklah biasanya
suruhannya dengan kejahatan. Karena itulah, sebahagian mereka meminta maaf dari
kawin dan berkata: “Aku dicoba oleh nafsuku sendiri, maka bagaimanakah aku
menambahkan lagi kepadanya nafsu orang lain, sebagaimana kata seorang penyair
?”.
“Tidaklah tikus itu,
termuat di lobangnya.
Engkau gantungkan pula,
sapu pada belakangnya.......”
Dan begitu pulalah Ibrahim bin Adham ra
meminta maaf, seraya berkata: “Tidaklah akan aku tipu seorang wanita oleh
diriku sendiri dan tidaklah aku memerlukan kepada mereka. Artinya: tentang
menegakkan hak-hak mereka, menjaga dan memberikan belanja kepada mereka. Aku
tidak sanggup daripada yang demikian”. Dan begitupula, Bisyr meminta maaf dan
mengatakan: “Yang menghalangi aku kawin, ialah firman Allah Ta’ala:
“Perempuan-perempuan itu mempunyai hak, seimbang dengan kewajibannya”. S 2 Al
Baqarah ayat 228. Bisyr berkata: “Jikalau adalah aku berkeluarga banyak,
niscaya aku takut, aku menjadi penjual kulit pada jembatan”. Kelihatan Sufyan
bin ‘Uyainah ra pada pintu sultan. Lalu ia ditanyakan: “Apakah ini tempat
perhentiamu ?”. Maka beliau menjawab: “Adakah engkau melihat orang yang
berkeluarga itu mendapat kemenangan ?” Lalu Sufyan bermadah:
“Alangkah bagusnya
membujang dan kunci,
serta tempat tinggal.....
yang dikoyakkan angin,
tak ada teriakan padanya dan pekikan......”
maka inipun bahaya umum, meskipun kurang
dari umumnya yang pertama. Tidak memperoleh keselamatan daripadanya, kecuali
ahli hikmah, yang berakal, yang berakhlaq baik, yang mengetahui benar
adat-kebiasaan kaum wanita, yang banyak sabar menghadapi lidah kaum wanita,
mengetahui cara mengikuti nafsu syahwat wanita, bersungguh-sungguh
menyempurnakan akan hak-hak wanita, yang tidak begitu memperhatikan
ketelanjuran mereka dan dapat mengetahui dengan akal-pikirannya akan
budi-pekerti wanita itu. Kebanyakan manusia itu bodoh, kasar, keras, kejam,
jahat budi-pekerti dan tidak insyaf, serta mencari kesempurnaan keinsyafan itu.
Sifat yang seperti ini, tidak mustahil akan bertambah kerusakannya, disebabkan
kawin dari segi tadi. Maka sendirian (single) adalah lebih menyelamatkannya.
Bahaya ketiga: yaitu kurang dari
bahaya yang pertama dan yang kedua, bahwa isteri dan anak itu mengganggunya
dari mengingati Allah. Dan menarikkannya kepada mencari dunia, membaguskan
penyusunan hidup untuk anak-anak dengan banyak mengumpulkan harta dan
menyimpankannya untuk anak-anak itu, mencari kemegahan dan berbanyak-banyak harta
disebabkan mereka. Tiap-tiap sesuatu yang menyibukkan diri, daripada mengingati
Allah, baik isteri, harta dan anak, adalah terkutuk orang yang bersifat
demikian. Dan tidaklah saya maksudkan dengan ini, bahwa ia terbawa kepada yang
dilarang. Karena yang demikian itu termasuk kepada bahaya pertama dan kedua.
Tetapi ia terbawa kepada bersenang-senang dengan yang dibolehkan (al-mubah).
Bahkan membawa kepada tenggelam bermain-main dengan wanita, becumbu-cumbuan
dengan mereka dan menaruh penuh perhatian bersenang-senang dengan mereka. Dan
berkobarlah dari perkawinan itu bermacam-macam gangguan dari yang sejenis tadi,
yang menenggelamkan hati. Lalu dihabiskannya malam dan siang. Dan orang itu
tidak memperoleh keluangan waktu lagi untuk
bertafakkur kepada akhirat dan mengadakan persiapan bagi akhirat.
Karena itulah, berkata Ibrahim bin Adham
ra: “Barangsiapa membiasakan paha wanita, niscaya tidak akan datang daripadanya
sesuatu”. Berkata Abu Sulaiman ra: “Barangsiapa kawin, maka sesungguhnya ia
telah condong kepada dunia”. Artinya: membawanya yang demikian itu kepada
kecondongan kepada dunia. Maka inilah kumpulan dari bahaya-bahaya dan
faedah-faedah itu ! Untuk menetapkan terhadap seseorang, apakah lebih utama ia
kawin atau membujang secara mutlak, maka terserah melihat kepada hal-hal yang
telah dikumpulkan tadi. Bahkan segala faedah dan bahaya itu, dapat diambil
menjadi perbandingan dan pemegangan. Dan bagi seorang murid, hendaklah
mengemukakannya terhadap dirinya sendiri. Kalau pada dirinya tidak terdapat
bahaya-bahaya itu dan terkumpul segala faedahnya, dengan dimilikinya harta yang
halal, budi pekerti yang baik, kesungguhan kepada agama yang sempurna, tidak
akan diganggu oleh perkawinan itu daripada mengingati Allah dan bersama itu, ia
seorang pemuda yang memerlukan kepada penenteraman nafsu syahwat dan dia
seorang diri yang memerlukan kepada yang mengatur rumah tangga dan memelihara
kaum keluarga, maka tidak syak lagi, bahwa kawin, adalah lebih utama baginya,
dimana dengan kawin itu adalah usaha untuk memperoleh anak. Kalau tidak adalah
faedah dan berkumpullah bahaya-bahaya yang tersebut itu, maka membujang, adalah
lebih utama baginya. Dan kalau seimbanglah diantara faedah dan bahaya dan
itulah yang kebanyakan –maka seyogyalah ditimbangnya dengan neraca yang adil, akan
bahagian yang berfaedah itu pada tambahan dari agamanya dan bahagian yang
berbahaya itu pada kekurangan dari agamanya. Maka apabila telah berat dugaan
akan kekuatan salah satu daripada keduanya, niscaya ditetapkannyalah yang satu
itu. Faedah yang lebih menonjol, ialah anak dan menenteramkan nafsu syahwat.
Dan bahaya yang lebih menonjol, ialah memerlukan kepada usaha yang haram dan
sibuk tidak mengingati Allah. Maka hendaklah kami mengumpamakan akan
keseimbangan hal-hal tersebut, lalu kami menerangkan, bahwa orang yang tidak
mendatangkan baginya kemelaratan dengan nafsu syahwat dan faedah perkawinannya
adalah dalam usaha memperoleh anak dan adalah bahayanya, ialah: memerlukan
kepada usaha yang haram dan kesibukan, tidak dapat mengingati Allah, maka baginya
membujang adalah lebih utama. Karena tiadalah kebajikan mengenai sesuatu yang
menyibukkan, tanpa mengingati Allah. Dan tiadalah kebajikan dalam usaha yang
haram dan tidaklah dapat disempurnakan oleh urusan anak dengan kekurangan dua
hal ini. Maka kawin untuk memperoleh anak, adalah suatu usaha dalam mencari
kehidupan yang masih disangsikan bagi anak itu. Dan ini, adalah suatu
kekurangan dalam agama, yang menampak sekarang juga.
Maka memeliharanya, adalah untuk kehidupan
dirinya sendiri. Dan menjaganya dari kebinasaan, adalah lebih penting daripada
usaha untuk memperoleh anak. Dan itu, adalah suatu keuntungan dan agama itu,
adalah modalnya. Dan dalam merusakkan agama itu, adalah kesalahan kehidupan
akhirat dan kehilangan modal. Dan faedah itu tidak dapat melawan akan salah
satu dari dua bahaya tersebut.
Adapun apabila menambah kepada urusan anak
oleh keperluan menghancurkan nafsu syahwat, karena rindunya diri kepada kawin,
maka dalam hal ini, haruslah diperhatikan. Yaitu, kalau cemeti ketaqwaan tidak
sanggup menundukkan kepalanya dan ia takut kepada dirinya akan zina, maka kawin
adalah lebih utama baginya. Karena ia bimbang diantara terjerumus kepada
perzinaan atau memakan yang haram. Dan usaha yang haram itu, adalah yang
termudah dari dua kejahatan ini. Dan kalau ia percaya kepada dirinya, tidak
akan terjerumus kepada perzinaan, tetapi disamping itu ia tidak sanggup
memicingkan mata dari yang haram, maka meninggalkan kawin adalah lebih utama.
Karena memandang itu haram dan berusaha pada bukan wajahNya itu haram. Dan
usaha itu selalu terjadi dan padanya kema’siatannya sendiri dan kema’siatan
isterinya. Dan memandang kepada yang haram itu, kadang-kadang terjadi dan itu
adalah tertentu baginya sendiri dan menghilang dalam waktu dekat.
Memandang itu adalah zina mata, tetapi
apabila tidak dibenarkan oleh kemaluan, maka amat dekatlah kepada pemaafan,
dibandingkan dengan memakan yang haram. Kecuali, ia takut bahwa dibawa oleh
pandangan itu kepada ma’siat kemaluan. Maka kembalilah yang demikian itu kepada
ketakutan perzinaan. Apabila ini telah tetap, maka hal yang ketiga –dimana ia
kuat memicing mata, tetapi tidak kuat menolak pikiran-pikiran yang mengganggu
hati –maka lebih utama meninggalkan kawin. Karena amal perbuatan hati, adalah
lebih dekat kepada pemaafan. Dan sesungguhnya yang dimaksudkan, ialah
menyelesaikan hati untuk ibadah. Dan ibadah itu tidak akan sempurna bersama
usaha yang haram, memakan dan memberi makanan orang lain dengan haram itu. Maka
demikianlah seyogyanya ditimbang bahaya-bahaya itu dengan faedah-faedahnya dan
ditetapkan hukumnya menurut perkiraan tadi. Barangsiapa telah memahami akan
ini, niscaya tidaklah sulit baginya sesuatu, daripada apa yang telah kami
nukilkan dari orang-orang terdahulu (orang salaf), mengenai penggemaran kepada
perkawinan itu pada suatu kali dan pembencian padanya pada kali yang lain.
Karena yang demikian itu, adalah benar menurut keadaan.
Kalau anda bertanya, terhadap orang yang
merasa aman dari bahaya-bahaya itu, maka manakah yang lebih baik baginya,
menjuruskan hati kepada beribadah kepada Allah atau kawin ? maka aku menjawab,
bahwa diantara kedua hal itu dapat dikumpulkan. Karena kawin tidaklah mencegah
daripada menjuruskan hati kepada beribadah kepada Allah, dari segi kawin itu,
suatu perikatan (‘aqad). Tetapi dari segi memerlukan kepada usaha, maka kalau
ia sanggup kepada usaha yang halal, maka kawin juga adalah lebih utama.
Karena malam dan waktu-waktu siang yang
lain, adalah mungkin padanya menjuruskan hati kepada beribadah. Dan rajin
beribadah, tanpa istirahat, adalah tidak mungkin. Kalau diumpamakan, dia itu
tenggelam dalam seluruh waktu dengan usaha, sehingga tidak tinggal dari
waktunya, selain waktu untuk shalat fardlu, tidur, makan dan membuang air, maka
kalau orang itu termasuk orang yang tidak menjalani jalan akhirat, kecuali
dengan shalat sunat atau hajji dan yang berlaku seperti hajji dari
ibadah-ibadah badan yang lain, maka baginya, kawin adalah lebih baik (lebih
afdhal).
Karena dalam mengusahakan yang halal, tegak
dengan urusan isteri, berusaha memperoleh anak dan bersabar terhadap tingkah
laku wanita, adalah merupakan berbagai macam dari ibadah yang tidak kurang
keutamaannya dari ibadah-ibadah sunat. Dan kalau adalah ibadahnya dengan ilmu,
tafakkur, perjalanan batin dan usaha dimana yang demikian itu mengganggu
kepadanya, maka dalam hal ini; meninggalkan kawin, adalah lebih utama.
Kalau anda bertanya: mengapakah Nabi Isa as
meninggalkan kawin, sedang kawin itu suatu keutamaan ? dan kalau adalah yang
lebih utama menjuruskan hati beribadah kepada Allah, maka mengapakah Rasulullah
saw membanyakkan isteri ? Ketahuilah kiranya, bahwa yang terlebih utama, ialah
mengumpulkan diantara keduanya, terhadap orang yang mampu, kuat angan-angannya
dan tinggi cita-citanya. Maka tidaklah ia dapat diumbang-ambingkan oleh sesuatu
penggoda daripada mengingati Allah. Dan Rasulullah saw telah mempunyai kekuatan
dan dapat mengumpulkan diantara kelebihan ibadah dan nikah. Dan sesungguhnya
beliau, serta 9 orang isteri, dapat menjuruskan diri kepada beribadah kepada
Allah. Dan adalah menunaikan keperluan dengan kawin bagi diri Nabi saw adalah
tidak menjadi penghalang. Sebagaimana membuang air terhadap orang-orang yang
sibuk dengan urusan duniawi, tidaklah menjadi penghalang bagi mereka daripada
mengatur dunia. Sehingga mereka itu pada zhahirnya melangsungkan pembuangan air
besar atau air kecil, sedang hati mereka, berkecimpung dengan cita-cita. Tidak
lengah dari segala yang penting baginya. Adalah Rasulullah saw karena tinggi
derajatnya, tidaklah dapat dihalangi oleh urusan dunia ini, daripada
menghadirkan hati kepada Allah Ta’ala. Adalah wahyu diturunkan kepadanya,
sedang beliau dalam tikar isterinya. Manakala diserahkan kedudukan yang seperti
ini kepada orang lain, maka tidak jauhlah dari kebenaran untuk dikatakan, bahwa
pengemudi itu dapat mengobahkan, apa yang tak dapat diobahkan oleh seorang
pemurah yang suka memberi. Maka tidak seyogyalah dibandingkan orang lain dengan
Nabi saw.
Adapun Isa as, maka dia itu mengambil
dengan penuh ketelitian, tidak dengan kekuatan. Dan ia amat menjaga terhadap
dirinya sendiri. Mungkin keadaannya, adalah keadaan, yang mempengaruhinya oleh
kesibukan dengan isteri atau berhalangan mencari yang halal atau tidak mudah
mengumpulkan antara kawin dan menjuruskan hati kepada ibadah. Lalu ia memilih
menjuruskan hati kepada beribadah. (Dan mungkin karena
nabi Isa as berasal dari rohul qudus/roh suci Allah. pent) Dan mereka
lebih mengetahui tentang rahasia hal keadaan mereka dan hukum zaman mereka,
tentang usaha-usaha yang baik dan tingkah laku kaum wanitanya. Dan tidaklah
atas orang yang kawin selain memperhatikan bahaya-bahaya perkawinan dan
faedah-faedah yang ada padanya. Manakala segala hal-keadaan itu terbagi-bagi,
sehingga kawin itu pada sebahagiannya adalah lebih utama dan pada sebahagian
yang lain, meninggalkan kawin, adalah yang lebih utama, maka hak kita, ialah
menempatkan segala perbuatan nabi-nabi (kepada diri
kita mana yang baik buat kita sebab hanya kita yang tau diri kita sendiri, apa
bisa kita menahan nafsu syahwat atau tidak. Pent) yang lebih utama dalam
segala hal. Wallahu A’lam ! Allah yang Maha Tahu !.
BAB KEDUA: mengenai apa yang dijaga pada waktu
‘aqad nikah dari keadaan wanita dan syarat-syarat ‘aqad.
Adapun ‘aqad nikah (ikatan perkawinan), maka rukun dan
syaratnya supaya sah dan memfaedahkan halal, adalah 4:
Pertama: izin wali.
Kalau tidak ada wali, maka izin sultan (penguasa).
Kedua : kerelaan wanita, kalau ia sudah tsayib
(tidak gadis lagi) dan telah dewasa (baligh) atau dia itu bikr (masih gadis)
dan telah dewasa, tetapi dikawinkan
oleh
bukan bapak atau kakeknya (bapak dari bapaknya).
Ketiga : kehadiran dua orang saksi, yang terang
adilnya. Kalau keadilan keduanya itu tertutup, maka kita hukumkan juga dengan
sah karena diperlukan.
Keempat: ijab dan
qabul (penyerahan dan penerimaan), yang disambung dengan kata-kata menikahkan
atau mengawinkan atau yang searti dengan keduanya ini, yang tertentu dengan
masing-masing lisan (bahasa), dari dua orang yang mukallaf (yang dewasa dan
berakal). Tidak ada wanita pada orang yang dua itu. Apakah orang itu suami atau
wali atau wakil dari keduanya. Adapun adab nikah, yaitu: mendahulukan meminang
(khitbah) pada walinya, dimana tidak pada waktu wanita itu sedang dalam ‘iddah.
Tetapi setelah lalu masa ‘iddah, kalau dia sedang dalam ‘iddah. Dan meminang
itu tidak pula, pada wanita yang telah didahului oleh pinangan orang lain.
Karena dilarang oleh Nabi saw dari pinangan diatas pinangan. Dan setengah dari
adab nikah, ialah khutbah (pidato) sebelum ‘aqad nikah, serta dicampurkan
pujian kepada Allah (at-tahmid) bersama ijab dan qabul.
Maka berkatalah orang mengawinkan: “Segala
pujian bagi Allah dan selawat kepada Rasulullah. Aku kawinkan akan dikau anak
perempuanku si Anu”. Dan menyahut suami: “Segala pujian bagi Allah dan selawat
kepada Rasulullah. Aku terima nikahnya diatas mahar (emas kawin) sekian”. Dan
hendaklah emas kawin itu diketahui jumlahnya dan ringan. Dan memuji Allah
sebelum khutbah itu, sunat juga hukumnya. Setengah dari adab nikah, ialah
diterangkan hal calon suami, sampai didengar oleh calon isteri, meskipun calon
isteri itu masih gadis. Karena yang demikian itu, lebih layak dan lebih utama
mendatangkan kejinakan hati. Dan karena itulah, disunatkan melihat calon isteri
sebelum kawin. Karena lebih patut untuk mengeratkan pergaulan diantara
keduanya. Setengah dari adabnya juga, ialah mendatangkan sejumlah orang-orang
shalih, sebagai tambahan diatas dua orang saksi, yang menjadi rukun sahnya perkawinan.
Setengah dari adabnya, ialah diniatkan dengan nikah itu, menegakkan sunnah,
memicingkan mata dari melihat wanita lain, mencari anak dan faedah-faedah yang
lain yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tidaklah maksudnya, semata-mata
memenuhi hawa nafsu dan bersenang-senang. Kalau demikian, maka jadilah amal
perbuatannya itu, termasuk perbuatan dunia. Dan tidaklah tercegah nikah itu
dengan niat-niat tadi. Karena banyaklah kebenaran, yang bersesuaian dengan hawa
nafsu.
Berkata Umar bin Abdul-‘aziz ra: “Apabila
bersesuaian kebenaran dengan hawa nafsu, maka itu adalah minyak samin dengan
biji tamar baik”. Dan tidaklah mustahil, bahwa masing-masing dari pihak nafsu
dan agama itu menggerakkan bersama-sama. Dan disunatkan melakukan ‘aqad nikah
itu di masjid dan dalam bulan Syawal. Berkata ‘Aisyah: “Aku dikawini
Rasulullah saw pada bulan Syawal dan beliau berbuat dengan aku dalam bulan
Syawal”.
Adapun wanita yang dikawini, maka dipandang
padanya 2 perkara:
Pertama: untuk halal.
Kedua : untuk kebaikan penghidupan dan berhasilnya
maksud-maksud.
Bahagian pertama tadi, yang dipandang padanya untuk
halal, yaitu:
bahwa wanita itu terlepas dari segala yang
menghalangi perkawinan dan yang menghalangi perkawinan itu ada 19
1. Bahwa wanita itu dikawini orang lain.
2. Bahwa wanita itu sedang menjalankan ‘iddah dari orang
lain, baik ‘iddah karena kematian suami (‘iddah wafat) atau ‘iddah diceraikan
oleh suaminya (‘iddah thalaq) atau ‘iddah watha’ syubhah (‘iddah yang
dijalankan oleh wanita itu, lantaran telah disetubuhi oleh seorang laki-laki
yang menyangka isterinya, umpamanya. Maka wanita tersebut menjalankan ‘iddah,
kalau-kalau ia mengandung dari persetubuhan itu –Pent). Atau wanita itu berada
dalam masa melepaskan persetubuhan (istibra-watha’) dari tuannya (dalam masa
istibra’ watha’ itu, maksudnya, ialah: wanita itu adalah budak yang telah
disetubuhi oleh tuannya, maka kalau ia akan dikawinkan, baru boleh setelah
lewat masa ‘iddah itu, untuk menjaga, supaya jangan terjadi kawinnya itu, dalam
masa mengandung dari bibit tuannya –Pent).
3. Bahwa wanita itu telah murtad dari agama, karena keluar
kata-kata dari lidahnya, dari kata-kata yang dapat mengkafirkan.
4. Bahwa wanita itu beragama majusi (menyembah api).
5. Adalah wanita itu menyembah berhala atau berpura-pura melahirkan
keislamannya (orang zindiq), dimana ia tidak digolongkan kepada nabi dan kitab
manapun. Sebahagian dari yang tadi, ialah yang berkepercayaan dengan aliran
serba boleh (madzhab al-ibahah). Maka tidaklah halal dikawinkan mereka. Dan
begitupula, tiap-tiap yang menganut aliran yang salah, dimana dia dihukum
dengan kufur (tidak mensyukuri), dari apa yang diyakininya.
6. Ia beragama dengan suatu kitab, dimana ia beragama dengan
agama itu setelah diganti-ganti atau setelah diutus Rasulullah saw. Dan bersama
itu, dia bukan wanita keturunan Bani Israil (wanita Yahudi). Apabila tidak ada
yang dua perkara itu, niscaya tidaklah halal ia dikawini. Dan kalau tidak
berkebangsaan Bani Israil saja, maka tentang boleh atau tidaknya dikawini,
terdapat perselisihan pendapat diantara para ulama.
7. Bahwa wanita itu budak belian dan yang akan mengawininya
adalah orang merdeka, yang sanggup membayar mas kawin wanita merdeka atau tidak
takut daripada terjadinya perzinaan.
8. Bahwa wanita itu, seluruh badannya atau sebahagian
daripadanya kepunyaan yang akan mengawininya, selaku budaknya.
9. Bahwa wanita masih berdekatan famili dengan yang akan
menjadi suaminya, dengan adanya wanita itu dari asal-usul si laki-laki
(ushulnya) atau cabang-cabangnya (fushulnya) atau cabang dari awal pokoknya
atau dari awal cabang dari tiap-tiap pokok, dimana sesudahnya ada pokok. Saya
maksudkan dengan pokok, yaitu ibu-ibu dan nenek-neneknya yang perempuan. Dan
dengan cabang, ialah anak-anak dan cucu-cucunya. Dan dengan cabang awal
pokoknya, ialah saudara dan anak-anaknya. Dan dengan awal cabang dari tiap-tiap
pokok, sesudahnya ada pokok, ialah saudara bapak yang perempuan (al-‘ammat) dan
saudara ibu yang perempuan (al-khalat), tidak anak-anaknya.
10. Bahwa wanita itu diharamkan, disebabkan penyusuan. Maka
diharamkan dari penyusuan, akan apa yang diharamkan dari keturunan, dari ushul
dan fushul, sebagaimana telah diterangkan tadi. Tetapi, diharamkan itu, kalau
penyusuannya sekurang-kurangnya 5 kali susuan. Dan kalau kurang dari itu, tidak
diharamkan nikah.
11. Diharamkan kawin, karena bersemanda (mushaharah). Yaitu,
bahwa laki-laki yang kawin itu, telah mengawini anak perempuan wanita itu, atau
nenek perempuannya sebelumnya atau telah disetubuhinya mereka dengan syubhat
(diragukan) pada ‘aqad. Atau telah disetubuhi ibunya atau seorang dari
nenek-nenek perempuannya dengan ‘aqad atau syubhat (diragukan) ‘aqad. Maka
semata-mata ‘aqad nikah dengan seorang wanita, telah mengharamkan nikah dengan
ibunya. Dan tidak mengharamkan nikah dengan anaknya, kecuali telah disetubuhi. Atau telah dikawini wanita itu
oleh bapaknya atau anaknya yang laki-laki sebelumnya.
12. Bahwa wanita yang dikawini itu adalah isteri yang kelima.
Artinya: telah ada dalam pangkuan yang kawin itu 4 orang isteri selain yang
kelima tadi, baik masih dalam perkawinan itu sendiri atau masih dalam ‘iddah
thalaq rij’i. Tetapi kalau dalam ‘iddah thalaq bain, tidak dilarang yang
kelima.
13. Bahwa ada dalam pangkuan yang kawin itu saudara perempuan
atau saudara bapaknya yang perempuan atau saudara ibunya yang perempuan atau
saudara ibunya yang perempuan dari isterinya, sehingga dengan perkawinan itu,
ia telah menghimpunkan diantara keduanya. Maka tiap-tiap dua orang, dimana
diantara keduanya terdapat hubungan kerabat (berdekatan famili), kalau yang
seorang itu laki-laki dan yang seorang lagi wanita, yang tidak diperbolehkan
kawin diantara keduanya, maka tidaklah boleh dikumpulkan dengan perkawinan
diantara keduanya itu.
14. Bahwa yang kawin itu telah menceraikannya dengan thalaq
tiga. Maka tidaklah halal lagi wanita itu kepadanya, selama belum disetubuhi
oleh suami yang lain dalam suatu perkawinan yang sah.
15. Bahwa yang kawin itu telah mengutuk-mela’nati (melakukan
li’an) terhadap wanita itu. Maka haramlah wanita itu kepadanya untuk
selama-lamanya, sesudah li’an tersebut.
16. Bahwa wanita itu sedang melakukan ihram hajji atau ihram
‘umrah atau calon suaminya yang demikian. Maka tidaklah sah nikah, kecuali
setelah sempurna tahallul.
17. Bahwa wanita itu telah menjadi tsayib kecil (dia masih
dibawah umur, tetapi tidak gadis lagi). Maka tidaklah sah nikahnya, kecuali
telah dewasa.
18. Bahwa wanita itu anak yatim, maka tidak sah nikahnya,
kecuali setelah dewasa.
19. Bahwa wanita itu isteri Rasulullah saw dimana beliau
wafat dengan meninggalkan isteri itu atau beliau telah bersetubuh dengan isteri
itu. Karena wanita-wanita itu adalah ibu orang-orang mu’min. Dan tidaklah
diperoleh lagi pada masa kita sekarang ! Maka inilah semuanya
penghalang-penghalang yang mengharamkan nikah !
Adapun hal-hal yang membaikkan penghidupan, yang
harus dipelihara pada wanita, supaya tetaplah ikatan perkawinan dan sempurnalah
maksud-maksudnya, adalah 8 perkara: agama, budi, cantik, ringan emas kawin,
beranak, gadis, berbangsa dan tak ada kefamilian yang dekat.
Pertama: wanita itu shalih, beragama.
Inilah yang pokok. Dan inilah yang harus diperhatikan sungguh-sungguh. Karena,
kalau wanita itu lemah keagamaan nya, dalam menjaga dirinya dan kemaluannya,
niscaya ia melipati akan suaminya. Ia menghitamkan wajah suaminya di muka orang
banyak. Ia mengacaukan hati suaminya dengan kecemburuan. Dan ia mengeruhkan
kehidupan suaminya dengan yang demikian itu. Kalau suami itu menempuh jalan
penjagaan dan kecemburuan, niscaya selalulah dia dalam percobaan dan bencana.
Dan kalau suami itu menempuh jalan kemudahan, niscaya jadilah ia bermudah-mudah
dengan agama dan kehormatannya. Dan termasuklah ia orang yang kurang penjagaan
dan berpendirian tegas. Dan apabila bersama kerusakan budi, wanita itu cantik,
maka bencananya lebih hebat lagi. Karena suami itu sulit berpisah dengan dia.
Tak sabar jauh daripadanya dan tak sampai hati menyakitkannya. Dan adalah suami
itu, seperti orang yang datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Wahai
Rasulullah ! sesungguhnya aku mempunyai isteri, yang tidak menolak tangan orang
yang memegangnya”.
Rasulullah saw menjawab: “Ceraikanlah dia !”.
Laki-laki itu menyahut:
“Sesungguhnya aku mencintai dia !’.
Rasulullah saw menjawab: “Tahanlah dia !”.
Sesungguhnya Nabi saw menyuruh tahan wanita
itu (tidak diceraikan). Karena dikuatiri, apabila diceraikannya, niscaya
nafsunya akan mengikuti wanita itu. Maka rusak pulalah ia bersama wanita itu.
Lalu Nabi saw berpendapat, bahwa dengan terusnya perkawinan dengan
mengenyampingkan kerusakan daripadanya, serta hatinya sempit, adalah lebih
utama. Kalau wanita itu perusak agama, dengan menghabiskan harta suaminya atau
dengan cara lain, niscaya senantiasalah kehidupan suami itu keruh. Kalau ia
berdiam diri, tidak ditantangnya, niscaya ia sekongkol pada kema’siatan, yang
menyalahi firman Allah Ta’ala: “Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api
neraka !”. S 66 At Tahrim ayat 6. Kalau ditantangnya dan berbantah, niscaya
keruhlah seumur hidupnya. Dan karena itulah, dengan keras Rasulullah saw
mendorong supaya kawin dengan yang beragama, dengan sabdanya: “Wanita itu
dikawini karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan keagamaannya. Maka
haruslah engkau dengan yang beragama. Kalau tidak, niscaya melekatlah kedua
tanganmu ke tanah (miskin) !”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa
mengawini wanita karena hartanya dan kecantikannya, niscaya ia tidak akan
memperoleh kecantikan dan hartanya itu. Dan barangsiapa mengawini wanita
karena agamanya, niscaya dianugerahkan oleh Allah kepadanya hartanya dan
kecantikannya”. Dan Nabi saw bersabda: “Janganlah dikawini wanita itu karena
kecantikannya. Mungkin kecantikannya itu merendahkannya. Dan jangan karena
hartanya. Mungkin hartanya itu, mendurhakakannya. Dan kawinlah wanita itu
karena agamanya”. Sesungguhnya Nabi saw bersangatan benar mendorong kepada
agama, karena wanita yang seperti ini, adalah dapat menolong kepada agama.
Adapun apabila wanita itu tidak beragama (tidak mematuhi ajaran-ajaran agama),
niscaya jadilah dia yang membimbangkan dan yang mengacaukan akan agama.
Kedua: baik budi-pekerti.
Dan ini adalah pokok yang terpenting, dalam mencari keselesaian hati dan
ketolongan kepada agama. Karena apabila wanita itu keras, kasar lidah dan jahat
budi-pekerti serta kufur (tidak mensyukuri) kepada keni’matan, niscaya adalah
kemelaratan lebih banyak daripadanya dibandingkan dengan kemanfaatan. Dan dapat
bersabar terhadap lidah kaum wanita, adalah termasuk hal-hal yang mendapat
ujian para wali daripadanya. Berkata setengah orang Arab: “Jangan engkau kawini
wanita yang 6; jangan yang ananah, yang mananah dan yang hananah dan jangan
engkau kawini yang hadaqah, yang baraqah dan syadaqah.
Adapun yang ananah, yaitu: yang banyak mengeluh dan mengadu
dan tiap saat mengikat kepalanya. Maka mengawini wanita yang memperalat sakit
atau mengawini wanita yang membuat-buat sakit, tak adalah kebajikan padanya.
Dan yang mananah, yaitu: yang suka membangkit-bangkit
terhadap suaminya. Wanita itu mengatakan: “Aku perbuat demikian dan demikian
karena kanda”.
Dan yang hananah, yaitu: yg menyatakan kasih-sayangnya kepada
suaminya yg lain atau anaknya dari suaminya yg lain. Dan inipun termasuk yg
harus dijauhkan.
Dan yang hadaqah, yaitu: yg melemparkan pandangan &
matanya kepada tiap-sesuatu, lalu menyatakan keinginannya & memaksakan
suami untuk membelinya.
Dan yang baraqah, adalah memungkinkan dua pengertian.
Yang pertama: adalah wanita itu sepanjang hari mengilatkan
mukanya dan menghiasinya, supaya mukanya berkilat yang diperoleh dari buatannya
itu. Yang kedua: marah ia kepada makanan. Ia tidak mau makan, kecuali sendirian
dan diasingkannya bahagiannya dari tiap-tiap makanan itu. Dan ini adalah bahasa
Yaman, dimana orang Yaman itu mengatakan: “Wanita itu telah baraqah (berkilat)
dan anak kecil itu telah baraqah akan makanan, apabila ia marah pada makanan
itu”.
Dan yang syadaqah, ialah yang nyinyir banyak perkataan.
Dan dari itulah bersabda Nabi saw:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memarahi orang-orang yang banyak bicara tak menentu,
lagi yang nyinyir”. Menurut cerita, bahwa pengembara Al-Azadi telah bertemu
dengan Nabi Ilyas as dalam pengembaraannya. Lalu Nabi Ilyas as menyuruh
Al-Azadi kawin dan melarang dia dari membujang. Kemudian beliau bersabda:
“Janganlah engkau kawini 4 macam wanita: al-mukhtali’ah, al-mubariah,
al-‘ahirah dan an-nasyiz.
Adapun al-mukhtali’ah, yaitu: wanita yang tiap saat, tanpa
sebab meminta khulu’ (percabutan nikah dengan menyerahkan sesuatu kepada pihak
si suami).
Al-mubariah, yaitu: yang membanggakan diri dari wanita lain
dan menyombongkan diri dengan hal-hal keduniaan yang ada padanya.
Al-’ahirah, yaitu: wanita yang fasiq yang dikenal dengan kawan
dan teman rahasia. Dia adalah wanita yang tersebut pada firman Allah Ta’ala:
“Dan bukan yang mengambil (laki-laki lain) menjadi teman rahasia”. S 4 An
Nisaa’ ayat 25.
An-nasyiz, yaitu yang meninggi terhadap suaminya dengan
perbuatan dan perkataan. Dan kata-kata “an-nasyiz” diambil dari kata-kata
“an-nasy-zi”, yaitu yang meninggi dari bumi.
Ali ra berkata: “Sifat laki-laki yang
buruk, adalah menjadi sifat wanita yang baik, yaitu: kikir, sombong dan
pengecut. Sesungguhnya wanita apabila ia kikir, niscaya dipeliharakannya
hartanya sendiri dan harta suaminya. Dan apabila ia menyombong, niscaya ia
mencegah dirinya berkata-kata dengan tiap-tiap orang dengan kata-kata yang
lemah-lembut, yang mencurigakan. Dan apabila ia pengecut, niscaya ia memisahkan
diri dari tiap-tiap sesuatu. Maka ia tidak keluar dari rumahnya dan menjaga
dirinya dari tempat-tempat yang memungkinkan datang tuduhan, karena takut dari
suaminya”. Maka segala cerita yang tersebut tadi, menunjukkan kepada kumpulan
akhlaq yang dicari dalam perkawinan itu.
Ketiga: kecantikan muka. Maka inipun
dicari, karena dengan kecantikan muka itu, menghasilkan pemeliharaan diri. Dan
tabiat pribadi manusia tidak merasa cukup biasanya dengan wanita yang keras air
mukanya. Dan menurut kebiasaan, kebagusan diri dan budi itu tidak berpisah. Dan
apa yang kita nukilkan tentang dorongan kepada agama dan wanita itu tidak
dikawini karena kecantikannya, tidaklah melarang dari memperhatikan akan
kecantikan itu. Tetapi yang dilarang, ialah perkawinan karena semata-mata kecantikan
saja, serta kerusakan pada agama. Sebab, kecantikan saja, pada galibnya,
menyukakan kepada kawin dan memandang enteng keadaan agama. Dan menunjukkan
kepada perhatian tentang pengertian kecantikan itu, bahwa kejinakan hati dan
kekasih-sayangan, biasanya dapat berhasil dengan kecantikan. Dan agama telah
menyunatkan untuk menjaga sebab-sebab yang membawa kepada kejinakan hati. Dan
karena itulah disunatkan melihat wanita yang akan dikawini.
Maka Nabi saw bersabda: “Apabila telah
dijatuhkan oleh Allah ke dalam hati seseorang kamu akan seorang wanita, maka
hendaklah ia melihatnya. Karena yang demikian itu lebih layak untuk membuat
keserasian hidup diantara keduanya”. Artinya: dapat menyusun diantara keduanya
diantara kulit kebatinan dan kulit kezahiran. Sesungguhnya Nabi saw menyebutkan
yang demikian, adalah demi kesangatan berjinak-jinakan hati diantara keduanya.
Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya pada mata kaum Anshar itu ada tanda
sesuatu. Apabila salah seorang dari kamu akan kawin dengan wanita-wanita
mereka, maka hendaklah melihatnya !”. Ada yang mengatakan, bahwa pada mata
mereka itu juling dan ada yang mengatakan kecil. Dan sebahagian orang-orang
wara’, tiada akan mengawini gadis-gadis mereka, kecuali sesudah melihat, karena
menjaga dari penipuan.
Al-A’masy berkata: “Tiap-tiap perkawinan
yang terjadi tanpa dilihat lebih dahulu, maka kesudahannya susah dan mendung”.
Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa dengan melihat itu, tidak akan dikenal budi
pekerti, agama dan harta. Hanya yang diketahui kecantikan dan keburukannya.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki kawin pada masa pemerintahan ‘Umar ra. Dan
pada waktu kawin, laki-laki itu telah mencat rambutnya, kemudian hilanglah cat
itu. Maka keluarga wanita itu datang mengadu kepada ‘Umar. Mereka mengatakan: “Kami
menyangka laki-laki itu muda”. Lalu umar menyakiti laki-laki itu dengan
pukulan, seraya berkata: “Engkau tipu mereka !”. Diriwayatkan, bahwa Bilal dan
Shuhaib datang kepada suatu keluarga Arab, lalu keduanya meminang wanita
mereka. Maka keduanya ditanyakan: “Siapakah engkau berdua ini ?”. Bilal
menjawab: “Aku ini Bilal dan ini temanku Shuhaib. Adalah kami tadinya orang
sesat, lalu kami diberi petunjuk oleh Allah. Adalah kami tadinya budak, lalu
kami dimerdekakan oleh Allah. Adalah kami tadinya bergantung pada orang lain,
lalu kami diberi kekayaan oleh Allah. Kalau kamu mengawinkan kami, maka kami
mengucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau kamu menolak kami, maka kami mengucapkan
“Subhanallah”. Lalu mereka itu menjawab: “Ya, kedua kamu dikawinkan dan Alhamdulillah”.
Maka berkata Shuhaib kepada Bilal: “Bagaimana kalau engkau terangkan segala
pemandangan dan pengalaman kita bersama Rasulullah saw ?”. Bilal menjawab:
“Diamlah ! engkau sudah benar, engkau dikawinkan oleh kebenaran engkau”.
Terperdaya itu terjadi lantaran kecantikan,
bersama dengan budi-pekerti. Maka disunatkan menghilangkan terperdaya pada
kecantikan dengan melihat dan terperdaya pada budi pekerti, dengan disifatkan
dan diperhatikan sifat-sifat dari wanita yang akan dikawini. Maka seyogyalah
yang demikian itu didahulukan dari perkawinan. Dan tidaklah diterima penyifatan
tentang budi pekerti dan kecantikan wanita yang akan dikawini itu, selain dari
orang yang melihat benar, dapat dipercaya, lagi mengetahui dengan zhahir dan
bathin. Dan ia tidak condong (tidak berpihak) kepada wanita itu, lalu
bersangatan memujikannya. Dan tidak dengki kepada wanita itu, sehingga ia amat
menyingkatkan mengenai yang demikian. Sifat manusia itu condong mengenai
hal-hal yang menyangkut dengan hal-hal permulaan pernikahan dan penyifatan
wanita-wanita yang akan dinikahi, kepada berlebih-lebihan dan
berkurang-kurangan. Dan sedikitlah orang yang menerangkan secara benar dan
menyederhanakan tentang itu. Tetapi menipu dan menjijik-jijikanlah yang lebih
banyak. Dari itu, berhati-hati mengenai yang demikian, adalah penting sekali
bagi orang yang kuatir terhadap dirinya sendiri, akan memperoleh yang tidak
pantas untuk menjadi isterinya.
Adapun orang yang bermaksud dari isteri
itu, semata-mata sunnah atau anak atau
untuk mengatur rumah tangga, maka kalau ia tidak mengingini kecantikan, niscaya
adalah ia lebih mendekati kepada ZUHUD.
Karena kecantikan itu, umumnya adalah suatu pintu dari duniawi, meskipun pada
sebahagian orang, kadang-kadang dapat menolong kepada agama.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Zuhud itu
terdapat pada tiap-tiap hal, sehingga pada wanita, yang dikawini oleh seorang
lelaki akan wanita yang telah tua-bangka, karena mengutamakan kezuhudan di
dunia”.
Malik bin Dinar berkata: “Ditinggalkan oleh
seseorang dari kamu untuk mengawini wanita yatim, lalu diupahinya wanita itu.
Kalau ia memberi makan dan pakaian, niscaya adalah wanita itu dengan
perbelanjaan yang ringan, yang rela dengan sedikit. Dan ia mengawini akan anak
perempuan si Anu dan si Anu, ya’ni: anak-anak dunia. Maka merindulah hawa
nafsunya. Dan wanita itu berkata: “Berilah aku pakaian itu dan itu !”.
Ahmad bin Hanbal memilih wanita orang
juling dari saudaranya yang cantik, untuk menjadi isterinya. Maka beliau
bertanya: “Siapakah yang lebih berakal
diantara 2 wanita itu ?”. Maka orang menjawab: “Yang juling itu !”. Lalu Ahmad
bin Hanbal berkata: “Kawinilah aku dengan wanita itu !”. Maka inilah sifatnya
orang-orang yang tidak bermaksud akan kesenangan semata-mata !
Adapun orang yang tidak merasa aman
terhadap agamanya, selama ia tidak mempunyai tempat kesenangan, maka hendaklah
mencari kecantikan. Karena memperoleh kelezatan dengan yang diperbolehkan
(almubah), adalah benteng bagi agama. Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa
apabila wanita itu cantik, baik budi pekertinya, hitam pekat mata dan
rambutnya, besar matanya, putih kuning warnanya, mencintai suaminya, tidak
banyak memandang kepada suaminya, maka wanita yang tersebut adalah diatas
bentuk bidadari.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyifatkan wanita-wanita
penduduk sorga dengan sifat tadi, dalam firmanNya S 55 Ar Rahmaan ayat 70:
“Didalam sorga itu, gadis-gadis yang baik, cantik jelita”. Yang dimaksudkan
dengan: khairaatun, ialah: yang baik akhlaqnya. Dan dalam firmanNya S 55 Ar
Rahmaan ayat 56: “Didalam sorga itu, ada gadis-gadis yang sopan setia”. Dan
dalam firmanNya S 56 Al Waaqi’ah ayat 37: “Penuh kecintaan dan sebaya umurnya”.
‘Uruban itu, artinya: wanita itu asyik kepada suaminya, amat rindu kepada
persetubuhan. Dan dengan persetubuhan itu sempurnalah kelezatan. Dan bidadari
itu, matanya putih, rambutnya hitam mengikal dan matanya agak meluas. Nabi saw
bersabda: “Wanitamu yang terbaik, ialah apabila dipandang kepadanya oleh
suaminya, niscaya ia menggembirakan, akan suaminya & apabila disuruh oleh
suaminya, niscaya ia mentaatinya. Dan apabila suaminya pergi, niscaya ia
menjaga kehormatan suaminya tentang dirinya sendiri & harta suaminya”.
Sesungguhnya suami itu gembira memandang kepadanya, apabila ia mencintai suami nya.
Keempat: bahwa emas kawin
(mahar) wanita itu ringan. Rasulullah saw bersabda: “Wanitamu yang terbaik,
ialah tercantik mukanya dan yang termurah maharnya”. Dan sesungguhnya
Rasulullah saw melarang bermahal-mahal mahar. Rasulullah saw telah mengawini
sebahagian isterinya dengan mahar 10 dirham dan perabot rumah, yang terdiri
dari satu penggiling tepung, satu kendi dan satu bantal dari kulit, yang isinya
bulu-bulu. Dan beliau mengadakan pesta perkawinan (walimah) kepada sebahagian
isterinya dengan 2 mud sya’ir (dua cupak sya’ir). Dan kepada sebahagian yang
lain dengan 2 mud tamar & 2 mud tepung halus.
Adalah ‘Umar ra melarang bermahal-mahal
emas kawin dan berkata: “Tidaklah Rasulullah saw itu kawin dan mengawinkan
anak-anak perempuan nya, dengan mahar yang melebihi dari 400 dirham”. Kalau
adalah bermahal-mahal emas kawin dari wanita itu terpandang perbuatan mulia,
tentu telah didahului oleh Rasulullah saw. Dan sebahagian sahabat Rasulullah
saw telah kawin dengan mahar emas seberat biji buah tamar, yang harganya 5
dirham.
Sa’id bin Al-Musayyab telah mengawinkan
anak perempuannya dengan Abu Hurairah, dengan emas kawinnya 2 dirham. Kemudian,
pada malamnya dibawanya anak perempuannya itu ke rumah Abu Hurairah, lalu
dimasukkannya dari pintu, kemudian beliau itu pergi. Sesudah 7 hari, lalu Sa’id
bin Al-Musayyab datang menjumpai anak perempuannya dan memberi salam kepadanya.
Kalau seseorang kawin dengan mahar 10 dirham, sebagai jalan keluar dari
perbedaan paham diantara para ulama, maka tiada mengapalah yang demikian. Pada
suatu hadits tersebut: “Setengah dari barakah bagi wanita, ialah segera
mengawinkan nya, segera ia beranak dan murah maharnya”. Dan Nabi saw bersabda
pula: “Wanita yang terbanyak memperoleh barakah, ialah yang sedikit maharnya”.
Sebagaimana dimakruhkan bermahal-mahal mahar dari pihak wanita, maka
dimakruhkan pula dari pihak laki-laki meminta harta wanita. Dan tiadalah wajar
laki-laki itu kawin, karena mengharap akan harta wanita.
At-Tsuri berkata: “Apabila laki-laki itu
kawin, seraya menanyakan, manakah barang wanita itu, maka ketahuilah, bahwa
laki-laki itu adalah pencuri”. Apabila harta itu dihadiahkan kepada laki-laki,
maka sebenarnya, tiadalah wajar dihadiahkan. Karena memerlukan kepada laki-laki
itu untuk membalasnya, dengan lebih banyak lagi daripada yang diterimanya. Dan
begitupula, apabila dihadiahkan kepada suami itu, maka niat meminta lebih
banyak dari yang dihadiahkan, adalah niat yang salah. Adapun sekedar
hadiah-menghadiahkan, adalah disunatkan, karena itu adalah menyebabkan
kasih-sayang.
Nabi saw bersabda: “Hadiah menghadiahlah,
niscaya kamu bertambah cinta-mencintai”. Adapun meminta tambah dari yang
dihadiahkan, maka itu termasuk pada firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah
memberi, karena hendak beroleh lebih banyak”. S 74 Al Muddatstsir ayat 6.
Artinya: memberi, karena engkau meminta yang lebih banyak. Dan termasuklah
dibawah firman Allah Ta’ala: “Dan riba yang kamu kerjakan itu, untuk menambah
harta orang (lain)”. S 30 Ar Ruum ayat 39. Sesungguhnya riba itu, ialah:
tambah. Dan ini, adalah mencari tambahan pada umumnya, meskipun bukan pada
harta-harta yang bersifat keribaan. Maka semuanya itu, adalah makruh dan bid’ah
(yang diada-adakan) pada perkawinan, yang menyerupai dengan perniagaan dan
pertaruhan dan akan merusakkan maksud-maksud dari perkawinan.
Kelima: adalah wanita itu yang beranak
banyak (walud). Kalau wanita itu dikenal dengan kemandulan, maka hendaklah
mencegah diri daripada mengawininya. Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu
mengawini wanita yang beranak banyak dan yang mencintai akan suaminya”. Kalau
wanita itu belum mempunyai suami dan keadaannya belum diketahui, maka hendaklah
diperhatikan kesehatan dan kemudaannya. Karena bila dua sifat tadi ada,
biasanya wanita itu beranak banyak.
Keenam: adalah wanita itu gadis perawan. Nabi saw bersabda kepada Jabir,
dimana Jabir telah mengawini janda: “Mengapa engkau tidak mengawini seorang
gadis, supaya engkau bersenda gurau dengan dia dan dia bersenda gurau dengan
engkau”. Mengawini yang gadis perawan itu, mengandung 3 faedah:
1.
Bahwa dia mencintai dan mengasihi suaminya. Maka ia
mengutamakan dalam pengertian kasih-sayang. Dan Nabi saw telah bersabda:
“Haruslah kamu mengawini wanita yang kasih sayang akan suaminya (al-wadud). Dan
karakter manusia itu, bersifat dengan berjinak-jinakan hati dengan perkenalan
yang pertama. Adapun wanita yang telah mencoba dengan laki-laki lain dan telah
mengalami berbagai macam hal keadaan, maka kadang-kadang ia tidak menyetujui
sebahagian sifat-sifat yang berlainan dengan sifat-sifat yang telah
disenanginya. Lalu menyusahkan hati suami.
2.
Bahwa dengan demikian itu amat menyempurnakan kasih-sayang
suami kepada isterinya. Karena sifat manusia itu, tidak menyenangi sekali-kali
dari wanita yang disentuh oleh bukan suaminya. Dan yang demikian itu adalah
amat berat bagi sifat manusia, manakala disebutkan. Dan sebahagian dari
sifat-sifat manusia itu, adalah lebih tidak menyenangi lagi dalam hal tersebut.
3.
Bahwa wanita yang gadis itu, tidak akan merindui suami yang
pertama. Dan kecintaan yang mengokoh kuat, biasanya adalah yang terjadi bersama
kecintaan yang pertama.
Ketujuh: adalah wanita itu berbangsa. Saya
maksudkan, adalah dia dari rumah tangga yang beragama dan orang baik-baik.
Karena isteri itu akan mendidik putera-puterinya. Kalau dia sendiri tidak
beradab niscaya tidak akan pandai mendidik dan mengajari anak-anaknya. Karena
itulah Nabi saw bersabda: “Awaslah dari wanita yang “khadl-raa’-ad-diman ” Lalu
sahabat bertanya: “Apakah khadl-raa’-ad-diman itu ?”. Nabi saw menjawab:
“Yaitu: wanita yang cantik, pada tempat tumbuh yang jahat”. Dan Nabi saw
bersabda: “Pilihlah akan wanita untuk tempat nuth-fahmu (air hanyirmu), karena
itu amat menyerupai kepada pokoknya”.
Kedelapan: bahwa tidaklah wanita itu dari
kerabat yang dekat, karena yang demikian itu mengurangkan nafsu syahwat. Nabi
saw bersabda: “Janganlah engkau kawini kerabat yang dekat, karena nanti anak
akan menjadi kurus”. Dan itu adalah karena mempengaruhi pada kelemahan nafsu
syahwat. Dan syahwat itu adalah membangkit dengan kekuatan perasaan memandang
dan menyentuh. Dan sesungguhnya perasaan itu kuat dengan hal yang ganjil dan
baru.
Adapun keadaan yang biasa, dimana selalu
dilihat dalam beberapa waktu kepadanya, adalah melemahkan perasaan dari
kesempurnaan mengetahui dan memperoleh pembekasannya. Dan tidaklah nafsu
syahwat itu membangkit dengan yang demikian. Inilah hal-hal yang menggemarkan
hati kepada wanita. Dan wajiblah juga atas wali memperhatikan keadaan calon
suami. Dan hendaklah memandang kepada anak perempuannya ! sehingga tidaklah
dikawinkannya dengan lelaki yang buruk bentuknya atau budinya atau lemah
agamanya atau tidak sanggup menegakkan hak-hak isteri atau tidak sepadan
(sekufu) lelaki itu dengan anaknya tentang keturunan.
Nabi saw bersabda: “Perkawinan itu adalah
serupa dengan pembudakan. Maka hendaklah seseorang kamu memperhatikan,
kemanakah akan meletakkan anak perempuannya !”. Berhati-hatilah menjaga hak
wanita itu, adalah amat penting. Karena dia adalah menjadi budak dengan
dikawinkan, yang tidak ada yang akan melepaskannya. Dan si suami itu berkuasa
menceraikannya pada setiap keadaan. Dan manakala mengawinkan anak perempuannya
dengan orang zalim atau orang fasiq atau orang yang berbuat bid’ah (yang
diada-adakan) atau peminum khamar, maka si wali itu telah menganiaya akan
agamanya. Dan mendatang lah diri untuk kemarahan Allah. Karena ia telah
memutuskan dari hak keturunan dan buruk pilihan.
Bertanya seorang laki-laki kepada Al-Hasan
Al-Bashari : “Anak perempuanku telah dipinang oleh beberapa orang, maka dengan
siapakah aku kawinkan dia ?”. Al-Hasan menjawab: “Dengan orang bertaqwa kepada
Allah. Kalau orang itu mencintai akan isterinya, niscaya dimuliakannya. Dan
kalau orang itu memarahinya, niscaya tidak akan menganiayainya”. Dan Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa mengawinkan anak perempuannya dengan orang fasiq, maka
sesungguhnya dia telah memutuskan rahimnya”.
BAB
KETIGA:
Tentang adab bergaul (mu’asyarah) & apa yg
berlaku mengenai pengekalan perkawinan & memperhatikan tentang kewajiban
suami &kewajiban istri
Adapun suami, maka haruslah ia
memperhatikan kelurusan dan keadaban mengenai 12 perkara: tentang perjamuan
(walimah), tentang pergaulan (mua’syarah) tentang bersenda gurau, siasat
kebijaksanaan, kecemburuan, perbelanjaan, pengajaran, pembahagian waktu pulang,
pelaksanaan ganjaran ketika melawan, persetubuhan, beranak & perceraian
dengan thalaq.
Adab pertama: Perjamuan/walimah, adalah
disunatkan. Anas ra berkata: “Rasulullah saw melihat pada Abdurrahman bin ‘Auf
sebutir kecil barang yang berwarna kuning. Lalu beliau bertanya: “Apa ini ?”.
Abdurrahman menjawab: “Aku telah kawin dengan seorang wanita, dengan mahar
seberat biji tamar dari emas ini !”. Maka Rasulullah saw menyambung: “Kiranya
Allah memberi barakah kepadamu ! adakanlah perjamuan, walaupun dengan seekor
kambing !”. Dan Rasulullah saw telah mengadakan perjamuan dengan tamar dan
tepung ketika beliau kawin dengan Shafiah. Dan beliau bersabda: “Makanan pada
hari pertama, adalah benar dan makanan pada hari kedua, adalah sunat dan
makanan pada hari ketiga, adalah suatu perbuatan untuk memperdengarkan kepada
orang (sum’ah). Barangsiapa memperdengarkan kepada orang, niscaya didengar oleh
Allah yang demikian”. Hadits ini tidak ditingkatkan sehingga sampai kepada Nabi
saw kecuali oleh Zijad bin Abdullah dan adalah hadits gharib (tidak dikenal).
Disunatkan mengucapkan selamat kepada orang yang kawin. Maka orang yang masuk
ke tempat suami itu, mengucapkan: “Diberkati oleh Allah kiranya bagimu dan
diberkatiNya kepadamu serta dikumpulkanNya diantara kedua kamu dalam
kebajikan”. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw menyuruh yang
demikian.
Disunatkan menampakkan perkawinan. Nabi saw
bersabda: “Dipisahkan antara yang halal dan yang haram, oleh pemukulan rebana
dan suara”. Rasulullah saw bersabda: “Beritahukanlah perkawinan ini dan
langsungkanlah di dalam masjid serta pukulkanlah rebana ! Diriwayatkan dari Ar
–Rubay-ya’ binti Mu’awwadz, yang berkata: “Telah datang Rasulullah saw, maka
beliau masuk pada pagi hari, dimana suamiku telah bersetubuh dengan aku pada
malamnya. Lalu beliau duduk diatas tikarku dan budak-budak wanita kepunyaan
kami memukul rebananya serta meratapi bapak-bapakku yang telah gugur dalam
perang, sampai salah seorang dari budak-budak wanita itu mengatakan: “Pada kita
ini ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi saw
berkata kepadanya: “Diamlah dari mengucapkan perkataan itu dan katakanlah apa
yang telah engkau katakan sebelumnya !”.
Adab kedua: bagus akhlaq
dalam hidup bersama isteri serta tahan kesakitan daripadanya, karena
belas-kasihan lantaran kepicikan akal wanita itu. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
bergaullah dengan perempuan-perempuanmu secara patut !”. S 4 An Nisaa’ ayat 19.
Dan Allah Ta’ala berfirman tentang mengagungkan hak wanita: “Dan mereka (isteri-isteri
itu) telah mengambil daripadamu janji yang teguh”. S 4 An Nisaa’ ayat 21. Dan
Allah Ta’ala berfirman: “Dan teman yang disamping”. S 4 An Nisaa’ ayat 36. Ada
ulama yang mengatakan, bahwa teman itu, ialah wanita”. Dan penghabisan yang
diwasiatkan oleh Rasulullah saw itu 3 perkara, dimana beliau berkata-kata
mengenai wanita, sehingga gagok lidahnya dan hilang suaranya. Beliau
mengatakan: “Shalat-shalat selalulah kerjakan ! dan tentang budak-budakmu,
janganlah kamu beratkan keatas pundak mereka, apa yang tidak disanggupinya !
takutlah kepada Allah tentang wanita ! mereka adalah pembantu di dalam
tanganmu, ya’ni: tawanan. Kamu ambil mereka sebagai amanah Allah dan kamu
halalkan faraj/kemaluan mereka dengan kalimah Allah”.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
bersabar terhadap buruk akhlaq isterinya, niscaya ia dianugerahkan oleh Allah
pahala, seperti yang dianugerahi Nya kepada Ayyub terhadap percobaan yang
diperolehnya. Dan barangsiapa bersabar terhadap buruk akhlaq suaminya, niscaya
ia dianugerahi oleh Allah seperti pahala yang diperoleh Asiah isteri Fir’aun”.
Ketahuilah, bahwa tidaklah kebaikan budi bersama isteri, mencegah kesakitan
daripadanya. Tetapi menanggung kesakitan daripadanya dan kasih-sayang ketika
bertingkah dan marahnya, karena mengikuti Rasulullah saw.
Adalah para isteri Nabi saw itu
mengulang-ulangi perkataan terhadap nabi dan salah seorang dari mereka tiada
bercakap dengan nabi saw sehari sampai malamnya. Dan isteri Umar ra
mengulang-ulangi perkataan Umar, sehingga beliau berkata: “Engkau ulang-ulangi
perkataanku, hai wanita bodoh ?”. Lalu isterinya itu menjawab: “Para isteri
Rasulullah saw mengulang-ulangi perkataan Nabi saw sedang beliau itu adalah
lebih baik daripada engkau !” Lalu Umar menjawab: “Sia-sialah dan merugilah
Hafshah, kalau ia mengulangi-ulangi perkataan Nabi saw !”. Kemudian berkata
Umar ra kepada Hafshah: “Janganlah engkau tertipu lantaran engkau puteri Umar
bin abi Quhafah, karena puteri Umar itu adalah kecintaan Rasulullah saw. Dan
beliau menakutkannya daripada mengulang-ulangi perkataan Nabi saw”.
Diriwayatkan, bahwa salah seorang dari isteri Nabi saw menolak pada dada Nabi,
lalu dimarahi oleh ibunya, maka Nabi saw berkata: “Biarkanlah, karena mereka
akan berbuat lebih banyak dari itu !”. Dan berlakulah pembicaraan antara
Rasulullah saw dan ‘Aisyah, sehingga keduanya meminta Abubakar ra maju
mengetengahi dan meminta keputusan dan penyaksian. Maka bersabda Rasulullah saw
kepada ‘Aisyah: “Engkau berbicara atau saya berbicara ?” ‘Aisyah menjawab:
“Engkau saja yang berbicara dan jangan mengatakan, kecuali yang benar !”. Lalu
Abubakar ra menampar ‘Aisyah, sehingga berdarah mulutnya, seraya berkata: “Hai
yang menganiaya dirinya sendiri ! adakah Rasulullah mengatakan yang tidak benar
?”. Maka ‘Asiyah meminta perlindungan dari Rasulullah saw dan duduk bersimpuh
di belakang Nabi saw. Lalu Nabi bersabda kepada Abu bakar ra: “Tidaklah kami
memanggil kamu untuk ini dan tidaklah kami kehendaki ini daripadamu !”. ‘Aisyah
pada suatu kali mengatakan kepada Nabi saw dalam suatu perkataan, dimana ia
marah kepada Nabi saw: “Engkaukah yang menda’wakan diri, bahwa engkau Nabiullah
(Nabi Allah) ?”. Maka tersenyumlah Rasulullah saw dan beliau menanggung yang
demikian, karena kasih-sayang dan kemuliaan hati. Nabi saw pernah bersabda
kepada ‘Aisyah: “Aku sesungguhnya mengenal akan kemarahanmu dan kesenanganmu”.
Maka ‘Aisyah bertanya: “Bagaimanakah engkau mengenalnya ?”. Nabi saw menjawab:
“Apabila engkau senang, lalu engkau mengatakan: “Tidak, demi Tuhan Muhammad !”.
Dan apabila engkau marah, lalu engkau mengatakan: “Tidak, demi Tuhan Ibrahim !”. ‘Aisyah
menyambung: “Benar engkau, sesungguhnya aku tidak senang menyebut namamu”.
Ada yang mengatakan, bahwa kecintaan yang
pertama, yang terjadi dalam Islam, ialah kecintaan Nabi saw kepada ‘Aisyah. Dan
adalah Nabi saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Adalah aku bagi engkau seperti Abi
Zar’in bagi Ummi Zar’in, kecuali aku tidak akan menceraikan engkau”. Nabi saw
bersabda kepada para isterinya: “Janganlah engkau menyakiti aku tentang ‘Aisyah
! demi Allah, sesungguhnya tidaklah wahyu itu turun kepadaku, dimana aku dalam
selimut salah seorang daripada kamu, selain ‘Aisyah”. Anas ra berkata: “Adalah
Rasulullah saw manusia yang paling mengasihi wanita dan anak-anak”.
Adab ketiga: disamping
menanggung kesakitan, hendaklah menambahkan dengan bersenda gurau, berkelakar
dan bermain-main. Karena semuanya itu membaguskan hati kaum wanita. Dan
Rasulullah saw bersenda gurau bersama isterinya dan beliau menempatkan diri
sederajat dengan akal-pikiran mereka, tentang perbuatan dan budi pekerti.
Sehingga diriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah berlomba-lomba lari dengan
‘Aisyah. Maka pada suatu hari ‘Aisyah mendahului Nabi saw dan pada sebahagian
hari-hari yang lain, Nabi saw mendahului ‘Aisyah. Lalu Nabi saw bersabda:
“Inilah balas dengan yang dahulu itu !”. Dan pada hadits tersebut, bahwa Nabi
saw adalah manusia yang terbanyak berkelakar bersama isterinya. ‘Aisyah
berkata: “Aku mendengar suara orang-orang Habsyi dan lainnya, dimana mereka itu
bermain-main pada hari ‘Asyura. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Sukakah
engkau melihat permainan mereka?”. Berkata ‘Aisyah: “Lalu aku menjawab: “Ya,
suka !”. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka itu datang, lalu merekapun datang.
Dan Rasulullah saw berdiri diantara dua pintu, lalu meletakkan tapak tangannya
diatas pintu dan memanjangkan tangannya. Dan aku meletakkan daguku keatas
tangannya. Dan mereka itu mengadakan permainan dan aku melihatnya. Kemudian
Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah sekian !”. Maka aku menjawab: “Diamlah,
biarkan dulu!”. Aku mengatakan ini dua kali atau tiga kali. Kemudian Nabi saw
bersabda: “Hai ‘Aisyah: “Cukuplah sekian !”. Lalu aku menjawab: “Ya !”. Maka
Nabi saw memberi isyarat kepada mereka, lalu mereka itu pergi”. Kemudian
Rasulullah saw bersabda: “Orang mu’min yang lebih sempurna imannya, ialah
mereka yang berbudi lebih baik dan lebih berlemah lembut kepada
isterinya”. Nabi saw bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah yang
terbaik kepada isterinya. Dan aku adalah yang terbaik dari kamu kepada
isteriku”.
Umar ra dengan sifatnya yang keras itu,
pernah berkata: “Sewajarnyalah bagi laki-laki terhadap isterinya itu, seperti anak
kecil. Maka apabila mereka meminta sesuatu niscaya terdapatlah ia sebagai
seorang laki-laki”. Lukman ra berkata: “Seyogyalah bagi orang yang berakal
terhadap isterinya seperti seorang anak kecil. Dan apabila ia berada di
tengah-tengah orang banyak, lalu ia didapati sebagai seorang laki-laki”. Dan
pada penafsiran hadits yang diriwayatkan: “Sesungguhnya Allah memarahi
“al-ja-dhari al-jawwadh”, maka ada yang mengatakan, yaitu: orang yang sangat
keras terhadap isterinya dan bersikap sombong terhadap dirinya. Yaitu: salah
satu daripada yang dikatakan tentang pengertian firman Allah Ta’ala; ‘utullin”
–S 68 Al Qalam ayat 13. Ada yang mengatakan, bahwa: ‘utullin, artinya, ialah:
kasar lidah dan keras hati terhadap isterinya. Nabi saw bersabda kepada Jabir:
“Mengapakah tidak engkau kawini yang gadis, dimana engkau bermain-main dengan
dia dan dia bermain-main dengan engkau ?”. Seorang wanita badui menerangkan
tentang sifat suaminya yang telah meninggal dunia, dengan katanya: “Demi Allah,
sesungguhnya dia itu banyak tertawa, apabila ia masuk ke rumah, suka diam
apabila ia keluar dari rumah, memakan apa yang ia dapat, tidak meminta apa yang
tidak ada dihadapannya”.
Adab Keempat: bahwa tidak
membentangkan pada permainan dan pada kebagusan budi dan penyesuaian, dengan mengikuti
hawa nafsu si isteri, sampai kepada batas yang merusakkan akhlaqnya dan
menghilangkan kewibawaan si suami secara keseluruhan pada isterinya. Tetapi
hendaklah menjaga kesederhanaan. Janganlah meninggalkan kewibawaan dan
kungkungan, manakala ia melihat kemungkaran. Janganlah sekali-kali membuka
pintu pertolongan kepada kemungkaran. Tetapi kapan saja melihat sesuatu yang
menyalahi dengan agama dan kehormatan diri, niscaya ia marah dan
dihilangkannya.
Al-Hasan ra berkata:: “Demi Allah, tidaklah
seorang laki-laki yang mengikuti isterinya menurut apa yang disukai oleh
isterinya itu, melainkan dimasukkanlah oleh Allah dia ke dalam neraka”. Umar ra
berkata: “Berselisihlah kamu dengan isterimu tentang yang menyalahi agama,
karena pada perselisihan itu terdapat keberkatan !”. Dan ada yang mengatakan:
“Bermusyawarahlah dengan isteri dan berselisihlah tentang yang menyalahi dengan
agama !”.
Nabi saw bersabda: “Celakalah laki-laki
yang menjadi budak isterinya !” Nabi saw mengatakan demikian, karena apabila ia
mengikuti kemauan isterinya untuk memenuhi hawa nafsu, maka jadilah ia budak
isterinya. Dan celakalah dia. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyerahkan
kepadanya untuk memiliki wanita, maka dimilikinya bagi dirinya. Lalu
terbaliklah keadaan dan bertukarlah persoalan dan laki-laki itu telah mengikuti
setan, karena setan itu berkata: “Dan kusuruh mereka mengobah makhluk Allah”. S
4 An Nisaa’ ayat 119. Karena hak laki-laki, ialah diikuti, bukan mengikuti.
Allah Ta’ala menamakan: laki-laki itu pemimpin bagi wanita. Dan Allah menamakan
suami itu sayyid (penghulu). Berfirman Allah Ta’ala: “Dan sekonyong-konyong
keduanya mendapati sayyid (suami) perempuan itu di muka pintu”. S 12 Yusuf ayat
25. Maka apabila sayyid (penghulu atau yang dipertuan) bertukar menjadi yang
disuruh-suruh (yang mengikuti saja), niscaya bertukarlah ni’mat Allah menjadi
kufur (tidak mensyukuri). Dan diri wanita itu adalah seperti dirimu. Jikalau
engkau lepaskan kekangnya sedikit saja, niscaya ia akan menanduk engkau pada
waktu panjang. Dan jika engkau turunkan tabirnya sejengkal, niscaya dia akan
menghela engkau sehasta. Dan jika engkau kekangi dan engkau kuatkan tangan
engkau memegangnya dengan keras, niscaya dapatlah engkau memilikinya.
Imam Asy-Syafi’i ra berkata: “3 golongan,
jika kamu muliakan mereka, niscaya mereka hinakan akan kamu dan jika kamu
hinakan, niscaya mereka muliakan akan kamu: wanita, pelayan dan orang
Nabthi/petani.”. Imam Asy-Syafi’i ra bermaksud dengan yang demikian, ialah
kalau engkau memuliakan semata-mata dan tidak engkau campurkan kemarahan engkau
dengan kelunakan engkau dan kekasaran engkau dengan kekasih-sayangan engkau.
Adalah kaum wanita Arab mengajarkan kepada
anak perempuannya untuk menguji suami. Wanita itu berkata kepada anak
perempuannya: “Ujilah suamimu, sebelum tampil dan beranilah terhadap dia !
cabutlah mata tombaknya ! kalau ia diam, maka potonglah daging diatas
perisainya ! kalau ia diam, maka pecahkanlah tulang dengan pedangnya ! kalau ia
diam, maka jadikanlah tapak tangan keatas belakangnya dan lipatkanlah ! karena
laki-laki itu adalah keledai engkau”. Pada umumnya, dengan keadilanlah langit
dan bumi itu tegak. Maka tiap-tiap yang melewati batas, niscaya terbaliklah
diatas lawannya. Dari itu, seyogyalah engkau menjalani jalan tengah, dalam
perselisihan dan penyesuaian. Dan ikutilah kebenaran dalam semuanya itu, supaya
engkau selamat dari kejahatan wanita. Sesungguhnya tipuan mereka itu besar dan
kejahatan mereka itu berkembang. Dan kebanyakan mereka itu buruk budi dan tipis
akal pikiran. Dan tidaklah lurus yang demikian itu dari mereka, kecuali dengan
cara lemah-lembut, yang bercampur dengan kebijaksanaan.
Dan Nabi saw bersabda: “Perempuan yang
shalih dalam golongan kaum wanita itu, adalah seumpama gagak a’sham, diantara
100 ekor burung gagak”. Gagak a’sham: ialah putih perutnya. Dalam wasiat Lukman
kepada puteranya, tersebut: “Wahai anakku ! takutilah wanita jahat, karena dia
membuat engkau beruban sebelum beruban ! dan takutilah wanita yang tidak baik,
karena mereka tiada mengajak kamu kepada yang baik ! dan hendaklah kamu
berhati-hati mencari yang baik dari mereka !”. Dan Nabi saw bersabda:
“Berlindunglah kamu dari 3, yang membawa kepada kemiskinan !’. Dan beliau
menghitung dari yang 3 itu: perempuan jahat. Karena membawa kepada beruban
(tua), sebelum beruban. Dan pada kata-kata lain dari hadits itu, tersebut: “Jika engkau masuk ke tempatnya, dimakinya
engkau dan jika engkau pergi jauh daripadanya, dikhianatinya engkau”.
Dan Nabi saw bersabda pada wanita-wanita
baik: “Bahwa engkau sekalian, adalah teman-teman Yusuf”. Ya’ni: bahwa engkau
putarkan Abubakar dari tampil maju ke dalam shalat, adalah kecondongan engkau
dari kebenaran kepada hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman ketika wanita-wanita
itu menyiarkan rahasia Rasulullah saw: “Kalau engkau keduanya bertaubat
(kembali) kepada Allah, hati engkau keduanya telah condong (kepada kesalahan)”.
S 66 At Tahrim ayat 4. Allah berfirrman yang demikian itu, mengenai
isteri-isteri Nabi saw yang terbaik. Nabi saw bersabda: “Tiada akan memperoleh
kemenangan orang yang dimiliki oleh perempuannya”. Umar ra telah menghardik
isterinya tatkala ia mengulang-ulangi perkataan Umar dan beliau berkata:
“Tidaklah engkau ini, selain dari suatu permainan disamping rumah. Kalau kami
mempunyai hajat kepada engkau dan kalau tidak, maka duduklah engkau sebagaimana
engkau sendiri”. Jadi, dalam kalangan wanita itu, terdapat yang jahat dan yang
lemah. Maka kebijaksanaan dan kekasaranlah yang menjadi obat kejahatan. Dan
berbaik-baik serta kasih-sayanglah yang menjadi obat kelemahan. Maka dokter
yang mahir, ialah yang sanggup mengobati menurut penyakit yang dideritai. Maka
hendaklah mula-mula laki-laki itu melihat kepada akhlaq wanita dengan
percobaan. Karena dipergaulinya dengan cara yang membaikkan kepadanya,
sebagaimana yang dikehendaki oleh hal-keadaan wanita itu.
Adab kelima: kesederhanaan
mengenai kecemburuan. Yaitu, si suami tidak melalaikan dari permulaan hal-hal
yang ditakuti membinasakan. Dan tidaklah bersangatan tentang jahat sangkaan,
kekerasan dan pengamatan hal-hal didalam (soal-soal intern). Rasulullah saw
melarang diselidiki hal-hal yang tertutup (aurat) bagi wanita. Dan kata yang
lain dari hadits itu, tersebut: “Bahwa mencurigai wanita”. Tatkala Rasulullah
saw datang dari perjalanan jauh, lalu bersabda sebelum masuk Madinah:
“Janganlah kamu berjalan menuju wanita pada malam ini !”. Maka dilanggar
larangan itu oleh dua orang yang terus mendahului. Lalu masing-masing
memperoleh di rumahnya apa yang tidak disenanginya. Pada suatu hadits masyhur,
tersebut: “Wanita itu seperti tulang rusuk. Jika engkau luruskan, niscaya pecah.
Dari itu, biarkanlah demikian, engkau akan dapat bersenang-senang diatas
kebengkokannya !”. Dan ini adalah mengenai pendidikan budi-pekertinya. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari cemburu itu adalah cemburu yang
dimarahi oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu: cemburunya seorang laki-laki kepada
isterinya, tanpa ada yang meragukan”. Karena yang demikian itu adalah dari
jahat sangkaan yang dilarang kita daripadanya. Sesungguhnya, setengah sangkaan
itu dosa.
Ali ra berkata: “Janganlah banyak cemburu
kepada isterimu, maka cemburu itu membawa kepada tuduhan jahat dari karena
engkau !”. Adapun cemburu pada tempatnya, maka tidak boleh tidak. Yaitu:
cemburu yang terpuji. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu
cemburu dan orang mu’min itu cemburu. Dan cemburunya Allah Ta’ala ialah
diperbuat oleh seseorang akan apa yang diharamkan kepadanya”. Nabi saw
bersabda: “Adakah kamu merasa heran dari kecemburuan Sa’ad ? aku, demi Allah,
lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku”. Dan karena
cemburunya Allah Ta’ala, maka diharamkanNya segala yang keji, yang zhahir dan
yang bathin. Dan tak ada yang lebih suka memberi kemaafan, selain daripada
Allah. Dan karena itulah diutuskanNya: penyampai kabar takut dan kabar gembira
(al-mundzi-rin dan al-mubasy-syirin). Dan tak ada yang lebih suka kepada
pujian, selain daripada Allah. Dan karena itulah, dijanjikanNya sorga.
Rasulullah saw bersabda: “Aku lihat pada
malam aku berisra’, didalam sorga suatu istana dan di halaman istana itu seorang
bidadari. Lalu aku bertanya: “Untuk siapa istana ini ?”. Maka dijawab: “Untuk
Umar !”. Lalu aku ingin melihatnya, tetapi aku teringat akan kecemburuanmu,
wahai Umar ! Maka menangislah Umar, seraya berkata: “Adakah aku akan cemburu
terhadapmu, wahai Rasulullah ?”.
Al-Hasan berkata: “Adakah kamu panggil
perempuan-perempuanmu untuk berdesak-desak masuk ke pasar ? dikejikan oleh
Allah kiranya, orang yang tidak cemburu !”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
sebahagian dari cemburu itu dikasihi Allah dan sebahagian daripadanya dimarahi
Allah. Dan sebahagian dari kesombongan itu, dikasihi Allah dan sebahagian
daripadanya, dimarahi Allah. Adapun cemburu yang dikasihi Allah, ialah cemburu
pada yang diragukan. Dan cemburu yang dimarahi Allah ialah cemburu pada yang tidak
diragukan. Dan kesombongan yang dikasihi Allah ialah kesombongan seseorang
terhadap dirinya sendiri ketika perang dan berjumpa dengan musuh. Dan
kesombongan yang dimarahi Allah ialah kesombongan pada yang batil/salah”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku adalah
amat cemburu dan tak adalah seseorang manusia yang tidak cemburu, kecuali telah
terbalik hatinya”. Dan jalan yang membawa kepada tidak cemburu, ialah tidak
masuk laki-laki ke tempat isterinya dan isteri itu tidak keluar ke pasar. Dan
Nabi saw bertanya kepada puterinya Fatimah ra:
“Apakah yang lebih baik bagi wanita ?”. Fathimah ra menjawab: “Bahwa
wanita itu tidak melihat laki-laki dan laki-laki itu tidak melihat wanita”.
Lalu Rasulullah saw memeluk puterinya Fathimah, seraya bersabda: “Keturunan
setengah dari wanita itu dari setengah yang lain”. Nabi saw menerima dengan
baik jawaban Fathimah ra.
Adalah para sahabat Rasulullah saw
menyumbat jendela dan segala lobang pada pagar rumahnya, supaya wanita tidak
melihat akan laki-laki. Dan Ma’az bin Jabal pernah melihat isterinya, menengok
pada jendela, lalu dipukulnya. Dan pernah melihat isterinya memberikan buah
tufah kepada budaknya laki-laki, yang telah dimakannya, lalu dipukulnya. Umar
ra berkata: “Bukalah dari wanita pakaian hiasan, yang mengharuskan dirinya
memakai gelang kaki !” Beliau mengatakan yang demikian, adalah karena
wanita-wanita itu tidak suka keluar dalam keadaan yang tidak berdandan. Dan
beliau mengatakan: “Biasakan isterimu dengan: tidak!” Rasulullah saw
mengizinkan kaum wanita hadir ke masjid. Dan yang betul sekarang, ialah
dilarang, kecuali wanita-wanita tua. Bahkan larangan itu dipandang betul pada
masa sahabat ra sehingga ‘Aisyah pernah berkata: “Kalau tahulah Nabi saw apa
yang diperbuat kaum wanita sesudahnya, niscaya beliau melarang mereka keluar”.
Tatkala berkata Ibnu Umar ra: “Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu
melarang hamba-hamba Allah yang wanita ke masjid-masjiid Allah !”. Lalu
menjawab sebahagian anaknya: “Ya, sesungguhnya, demi Allah, kami larang
mereka”. Lalu Ibnu Umar memukul dan memarahi anaknya itu, seraya berkata: “Dengarlah aku katakan, bahwa Rasulullah saw
telah bersabda: “Janganlah kamu melarang”. Lalu kamu menjawab: “Ya !”.
Sesungguhnya anak Ibnu Umar itu memberanikan diri menyalahinya, karena
diketahuinya perobahan zaman. Dan marahnya Ibnu Umar kepada anaknya itu, sebab
secara mutlak dikeluarkannya kata-kata menantanginya terus-terang, tanpa
menerangkan alasan.
Dan begitupula, adalah Rasulullah saw telah
mengizinkan bagi para wanita pada hari raya khususnya untuk keluar. Tetapi
janganlah mereka itu keluar, kecuali dengan persetujuan suaminya. Dan keluar
itu sekarang diperbolehkan bagi wanita yang terhormat dengan keizinan suaminya.
Tetapi duduk di rumah, adalah lebih menyelamatkan. Dan seyogyalah wanita itu
tidak keluar, kecuali karena kepentingan. Karena keluar untuk melihat
pemandangan-pemandangan dan hal-hal yang tidak penting, adalah mencederakan
kehormatan diri. Dan kadang-kadang membawa kepada kerusakan. Apabila keluar,
maka seyogyalah, wanita itu memicingkan matanya daripada laki-laki. Dan
tidaklah kami mengatakan, bahwa muka laki-laki terhadap wanita itu aurat,
seperti muka wanita terhadap laki-laki. Tetapi muka laki-laki itu, adalah
seperti muka anak kecil yang muda belia terhadap laki-laki. Maka haramlah
memandangnya, ketika ditakuti fitnah saja. Kalau tidak ada fitnah, maka tidak
haram, karena senantiasalah laki-laki itu sepanjang zaman terbuka muka. Dan
wanita itu keluar dengan memakai kudung. Dan kalau adalah muka laki-laki itu
aurat terhadap wanita, niscaya mereka disuruh memakai kudung atau wanita itu
dilarang keluar, kecuali sangat penting (dlarurah).
Adab keenam: kesederhanaan
pada perbelanjaan. Maka tiada seyogyalah dipersempit perbelanjaan kepada wanita
dan diperlebih-lebihkan, tetapi seyogyalah disederhanakan. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan (melampaui
batas)”. S 7 Al A’raaf ayat 31. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah
engkau jadikan tangan engkau terbelenggu ke kuduk dan jangan (pula) engkau
kembangkan seluas-luasnya !”. S 17 Al Israa’ ayat 29. Dan Rasulullah saw
bersabda: “Yang terbaik dari kamu, ialah yang terbaik kepada isterinya”. Dan
Nabi saw bersabda: “Sedinar engkau belanjakan pada jalan Allah (fi sabilillah),
sedinar engkau belanjakan memerdekakan budak dan sedinar engkau bersedekah
kepada orang miskin dan sedinar engkau belanjakan kepada isteri engkau, maka
yang terbesar pahalanya ialah yang engkau belanjakan kepada isteri engkau”.
Ada ulama yang mengatakan bahwa Ali ra
mempunyai 4 orang isteri. Maka dibelinya untuk masing-masing isteri itu pada
tiap-tiap 4 hari daging sedirham. Dan Al-Hasan berkata: “Adalah orang-orang
dahulu tentang urusan tempat isteri, bersikap lapang. Dan tentang perabot rumah
dan pakaian, bersikap tidak lapang”. Ibnu Sirin berkata: “Disunatkan bagi
laki-laki membuat bagi isterinya pada tiap-tiap minggu makanan yang manis. Dan
seolah-olah yang manis itu meskipun tidak termasuk penting, tetapi
meninggalkannya secara keseluruhan, adalah kikir menurut adat kebiasaan. Dan
seyogyalah bagi suami menyuruh isterinya bersedekah dengan sisa makanan dan
makanan yang akan rusak, kalau ditinggalkan. Maka inilah sekurang-kurang
derajat kebajikan !. Dan bagi wanita boleh memperbuat demikian menurut keadaan,
tanpa keizinan yang tegas dari suaminya. Dan tiada seyogyalah bagi suami, tiada
memberikan kepada isterinya makanan yang bagus. Lalu ia tidak memberikan mereka
makanan itu daripadanya. Karena yang demikian itu, menyesakkan dada dan
menjauhkan dari pergaulan dengan hal-hal yang baik. Kalau ia bersikap demikian,
maka hendaklah dimakannya dengan tersembunyi, dimana isterinya itu tidak
mengetahuinya. Dan tiada seyogyalah ia menerangkan pada mereka sesuatu makanan,
dimana ia tidak bermaksud memberikannya kepada mereka. Apabila ia makan, maka
duduklah seluruh ‘iyal (keluarga yang serumah tangga, yang menjadi
tanggungannya) pada hidangannya. Sufyan ra berkata: “Sampai kepada kami
riwayat, bahwa Allah dan para malaikatNya menurunkan rahmat kepada ahli-bait
(keluarga serumah atau isi rumah) yang makan bersama-sama”. Yang paling penting
daripada apa yang harus diperhatikan pada perbelanjaan itu, ialah memberi makan
isteri dari yang halal. Dan tidaklah memasukkan
pemasukan-pemasukan yang buruk kepada isteri.
Karena yang demikian itu adalah penganiayaan terhadap isteri, bukan
pemeliharaan. Dan kami bentangkan hadits-hadits yang berkenaan
dengan itu, ketika menerangkan bahaya-bahaya perkawinan.
Adab ketujuh: bahwa yang kawin
itu hendaklah mempelajari pengetahuan tentang haid/mens dan hukum-hukumnya, apa
yang wajib dijaga daripadanya. Dan mengajarkan isterinya segala hukum shalat
dan apa yang diqodokan dan yang tidak diqodokan daripadanya pada haid. Karena
Allah Ta’ala menyuruh memeliharakan isteri dari api neraka, dengan firmanNya
Yang Maha Tinggi: “Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka !”. S
66 At Tahrim ayat 6. Maka haruslah suami mengajari isterinya tentang keyakinan
agama Ahlussunnah dan menghilangkan dari hatinya tiap-tiap bid’ah (yang
diada-adakan), kalau isteri telah tertarik perhatiannya kepada yang
diada-adakan. Dan menakutinya akan Allah, kalau ia menganggap enteng tentang
urusan agama. Dan mengajarinya segala hukum haid dan istihadlah/melebihi batas
haid, sekedar yang memerlukan kepadanya. Dan pengetahuan mengenai istihadlah
itu panjang. Adapun yang tidak boleh tidak diberi petunjuk wanita tentang
urusan haid, ialah menerangkan shalat-shalat yang akan diqodokannya. Karena
manakala putus darahnya sebelum masuk waktu Maghrib sekedar serakaat, maka
haruslah ia mengqodokan Dhuhur dan ‘Ashar. Apabila putus darahnya sebelum waktu
Shubuh sekedar serakaat, maka haruslah ia mengqodokan Maghrib dan ‘Isya’. Dan
inilah sekurang-kurangnya yang harus diperhatikan oleh kaum wanita.
Kalau laki-laki itu bangun mengajarinya,
maka tidaklah isteri itu keluar bertanya kepada orang yang tahu (ulama). Kalau
pengetahuan laki-laki itu singkat, tetapi ia menggantikan isterinya untuk
bertanya. Kemudian diterangkannya kepada isterinya akan jawaban dari orang yang
dimintanya fatwa. Maka tidaklah isteri itu keluar. Maka kalau tidaklah yang
demikian, niscaya bolehlah bagi isteri keluar untuk bertanya, bahwa wajib atas
isteri yang demikian itu. Dan berdosalah suami melarangnya. Manakala isteri
telah memperlajari yang termasuk fardlu/wajib, maka tidaklah boleh ia keluar ke
tempat berdzikir dan ke tempat mempelajari yang tidak penting, kecuali dengan
seizin suami. Manakala si isteri melengahkan salah satu dari hukum haid dan
istihadlah dan tidak diajarkan oleh si suami, niscaya jadilah laki-laki bersama
isterinya itu sama-sama bersekutu pada kedosaan.
Adab kedelapan: apabila laki-laki
itu mempunyai beberapa orang isteri, maka seyogyalah ia berlaku adil diantara
mereka. Dan tidaklah ia condong kepada sebahagiannya. Kalau ia keluar untuk
berjalan jauh (bermusafir) dan bermaksud membawa salah seorang, niscaya dilotre
kan (diqur’ahkan) diantara isteri-isteri itu. Karena begitulah diperbuat oleh
Rasulullah saw. Kalau ia berbuat zalim terhadap seorang isteri dengan malamnya
(tidak ia bermalam pada isteri yang mempunyai giliran malam itu), niscaya ia
menqodokan hak isteri itu. Sesungguhnya qodo itu wajib atasnya. Dan pada ketika
itu, berhajatlah ia mengetahui hukum pembahagian waktu pulang kepada
isteri-isteri. Dan yang demikian itu, panjang penjelasannya. Dan Rasulullah saw
bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua orang isteri, lalu ia condong kepada
seorang, tidak kepada yang lain” –dan menurut bunyi yang lain dari hadits” ia
tidak berlaku adil diantara kedua isteri itu, niscaya datanglah ia pada hari
kiamat dan satu dari dua belahan badannya itu condong (mereng)”. Sesungguhnya
ia harus berlaku adil, pada pemberian dan bermalam.
Adapun mengenai kasih-sayang dan
bersetubuh, maka yang demikian itu, tidaklah termasuk dibawah pilihannya. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan kamu tidak akan sanggup berlaku adil antara
isteri-isterimu; walaupun kamu sangat ingin (berbuat begitu)”. S 4 An Nisaa’
ayat 129. Artinya: kamu tidak akan dapat berlaku adil, tentang kerinduan hati
dan kecondongan jiwa. Dan diikuti akan yang demikian, oleh berlebih kurang
tentang bersetubuh.
Adalah Rasulullah saw berlaku adil diantara
semua isterinya tentang pemberian dan bermalam dalam segala malam, seraya
beliau berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! inilah tenagaku pada apa yang aku miliki
dan tak adalah tenagaku pada apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya”,
ya’ni: kasih-sayang. Dan adalah ‘Aisyah yang paling dikasihi diantara
isteri-isterinya dan isteri-isterinya yang lain mengetahui yang demikian. “Dan
adalah Rasulullah saw dibawa berkeliling dengan dipikul pada waktu sakitnya
tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam. Maka beliau bermalam pada masing-masing
dari isterinya itu, sambil beliau bertanya: “Kemanakah aku besok ?” Lalu
dapatlah dipahami akan pertanyaan itu oleh seorang dari isteri-isterinya, maka
ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw bertanya dari hari yang menjadi
bahagian ‘Aisyah. Lalu kami semua berkata: “Wahai Rasulullah ! telah kami
izinkan engkau supaya di rumah ‘Asiyah saja, karena sukarlah bagimu dibawa pada
tiap-tiap malam”. Maka Rasulullah saw menjawab: “Sudah relakah engkau semuanya
dengan yang demikian?”. Lalu mereka menjawab: “Ya, sudah !”. Maka Rasulullah
saw menyambung: “Putarkanlah aku ke
rumah ‘Aisyah !”. Manakala seorang dari isteri-isteri itu memberikan malam
bahagiannya kepada temannya (isteri yang lain dari suami itu) dan suami
menyetujui yang demikian, maka menjadilah hak bagi isteri yang diberikan.
Adalah Rasulullah saw membagikan waktu
pulang diantara isteri-isterinya. Maka beliau bermaksud menceraikan Saudah
binti Zam’ah, karena ia telah berusia lanjut. Lalu Saudah memberikan malamnya
kepada ‘Aisyah dan bermohon pada Rasulullah saw supaya menetapkannya dalam
keisterian sehingga ia dibangkitkan pada hari kiamat, dalam kumpulan isterinya.
Lalu Nabi saw menetapkan dia selaku isteri dan tidak membagi pulang kepadanya.
Dan Nabi saw membagi pulang kepada ‘Aisyah dua malam dan kepada
isteri-isterinya yang lain semalam-semalam. Tetapi Nabi saw karena bagus
keadilan dan kekuatannya, apabila merindui kepada salah seorang dari isterinya
pada bukan gilirannya, lalu beliau setubuhi dia dan beliau berkeliling pada
siang atau malamnya kepada isteri-isterinya yang lain. Maka dari yang demikian
itulah, apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw berkeliling
kepada isteri-isterinya dalam satu malam. Dari Anas, bahwa Nabi saw berkeliling
kepada 9 isterinya pada waktu dluha suatu hari.
Adab kesembilan: tentang durhaka
kepada suami (nusyuz). Manakala terjadi perselisihan diantara suami-isteri dan
tidak terperbaiki sendiri urusan kedua suami-isteri itu, maka dalam hal ini,
kalau perselisihan itu timbul sama-sama dari kedua belah pihak atau dari pihak
laki-laki saja, maka janganlah dipaksakan isteri untuk suaminya. Dan suami itu
sendiri tidak mampu memperbaiki isterinya. Lalu haruslah ada dua orang
pengetengah (dua hakam), seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga
isteri. Supaya keduanya memperhatikan dan memperbaiki antara kedua suami-isteri
itu. Kalau keduanya berkehendak kepada perbaikan, niscaya dianugerahkan taufiq
oleh Allah diantara keduanya.
Dan Umar ra telah mengutus seorang hakam kepada
kedua suami isteri, maka hakam itu kembali dan tidak dapat memperbaiki
keduanya. Maka meninggilah pada Umar niat berbuat kebajikan, seraya beliau
berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Jika keduanya ingin mencari
perbaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq (menyatukan pikiran) antara
keduanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 35. Lalu laki-laki yang menjadi hakam itu
kembali, membaikkan niatnya dan bersikap lemah-lembut dengan kedua suami-isteri
itu. Maka dapatlah ia mengadakan perbaikan (ishlah) diantara keduanya.
Adapun apabila nusyuz itu dari pihak wanita
saja, maka dalam hal ini, laki-laki itu adalah pemimpin kaum wanita. Maka
bolehlah ia mengajarinya dan membawanya secara paksaan kepada kepatuhan (taat
kepada suami). Begitupula, apabila isterinya itu meninggalkan shalat, maka
bolehlah ia secara paksaan membawa isterinya kepada shalat. Tetapi seyogyalah
dengan cara berangsur-angsur mengajarinya. Yaitu: pertama-tama didahulukan
dengan nasihat, gertak dan pertakut. Kalau tidak berhasil, maka suami itu
memalingkan belakangnya kepada si isteri pada tempat tidur. Atau ia menyendiri
tidur, tanpa bersama-sama si isteri dan tidak bercakap-cakap dengan si isteri,
sedang si suami itu bersama isterinya dalam rumah dari satu malam sampai 3
malam. Kalau ia tidak berhasil juga, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan
yang tidak melukakan, kira-kira menyakitkan dan tidak memecahkan tulangnya.
Tidak mendarahkan tubuhnya dan tidak memukul mukanya. Yang demikian itu, adalah
dilarang.
Ditanyakan Rasulullah saw: “Apakah hak
isteri diatas suami ?” Rasulullah saw menjawab: “Memberinya makan, apabila ia
makan, memberinya pakaian, apabila ia berpakaian, tidak memburukkan mukanya,
tidak memukul, kecuali pukulan yang tidak melukakan dan tidak meninggalkannya
tidak bercakap-cakap, selain di rumah”. Suami boleh memarahi isteri dan
meninggalkannya tidak bercakap-cakap, mengenai suatu urusan agama, sampai 10,
sampai kepada 20 hari dan sampai kepada sebulan. Rasulullah saw telah berbuat
demikian, ketika beliau mengirimkan hadiah kepada Zainab, lalu ditolaknya. Maka
berkatalah isteri Nabi saw dimana beliau berada di rumahnya: “Sungguh, Zainab
telah menghinakan engkau, karena ditolaknya hadiah engkau !” Artinya:
“memandang hina dan melecehkan engkau”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Engkau
semuanya lebih hina pada Allah untuk engkau hinakan akan aku”. Kemudian Nabi
saw marah kepada mereka semuanya selama sebulan, sampai beliau kemudian kembali
kepada mereka.
Adab kesepuluh: tentang adab
jima’ (bersetubuh). Disunatkan dimulai dengan Bismillah, dibacakan mula-mula
“Qul-huallahu ahad”, dibacakan takbir dan tahlil dan dibacakan: “Dengan nama
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ! wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah dia
keturunan yang baik, jikalau Engkau mentaqdirkan untuk mengeluarkan yang
demikian itu dari tulang sulbiku (tulang pinggangku)”.
Dan Nabi saw bersabda: “Kalau seseorang
kamu mendatangi isterinya, lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! singkirkan
daripadaku setan dan singkir kan setan itu dari apa yang Engkau berikan rezeki
kepadaku !” Maka kalau adalah anak diantara kedua suami-isteri itu, niscaya
tidak akan didatangkan kemelaratan oleh setan”. Apabila engkau telah mendekati
kepada inzal (keluar mani), maka bacalah dalam hatimu dan jangan engkau gerakan
kedua bibirmu: “Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu diadakannya
pertalian darah dan hubungan perkawinan dan Tuhanmu itu Maha Kuasa”. Dan adalah
sebahagian perawi hadits itu bertakbir, sehingga didengar oleh penghuni rumah
akan suaranya. Kemudian ia berpaling dari qiblat. Dan tidak menghadap qiblat
dengan jima’, untuk memuliakan qiblat. Dan hendaklah menutupkan dirinya sendiri
dan isterinya dengan kain !”.
Adalah Rasulullah saw menutup kepalanya dan
membisikkan suaranya, seraya mengatakan kepada isterinya: “Haruslah engkau
dengan tenang !”. Pada suatu hadits tersebut: “Apabila bersetubuh seorang kamu
dengan isterinya, maka janganlah kamu kosong dari pakaian, seperti kosongnya
dua keledai”. Dan hendaklah didahulukan dengan kata-kata yang lemah-lembut dan
pelukan. Nabi saw bersabda: “Janganlah bersetubuh seorang kamu dengan
isterinya, seperti bersetubuhnya hewan dan hendaklah ada diantara keduanya:
utusan”. Lalu orang menanyakan: Apakah utusan itu, wahai Rasulullah ?”. Beliau
menjawab: “Berpeluk dan berkata-kata”. Nabi saw bersabda: “3 perkara kelemahan
pada laki-laki, yaitu: menjumpai orang, dimana ia ingin mengenalnya. Lalu
berpisah, sebelum mengetahui namanya dan keturunannya. Kedua, ia dimuliakan
oleh seseorang, lalu ditolaknya kemuliaan itu. Dan ketiga, laki-laki itu mendekatkan
budak wanitanya atau isterinya, lalu terus bersetubuh sebelum bercakap-cakap,
berjinak-jinakan hati dan tidur bersama-sama dengan dia. Maka laki-laki itu
tercapai hajatnya dari budak wanita dan isterinya tadi, sebelum wanita dan
isterinya itu tercapai hajatnya daripadanya”.
Dimakruhkan bersetubuh pada 3 malam; dari
permulaan bulan, penghabisan dan pertengahan bulan, dimana dikatakan: bahwa
setan menghadiri persetubuhan pada malam-malam tersebut. Dan dikatakan: bahwa
setan-setan itu turut sama-sama bersetubuh pada malam-malam tadi. Diriwayatkan
makruh yang demikian itu, dari Ali, Mu’awiyah dan Abi Hurairah ra. Sebahagian
ulama memandang sunat bersetubuh pada siang Jum’at dan malamnya, sebagai
penguatan dari salah satu dari dua penafsiran dari sabda Nabi saw: “Diberi
rahmat oleh Allah akan orang yang membawa keluarganya untuk mandi dan ia
sendiri mandi.....sampai akhir hadits”. Kemudian, apabila si suami telah
terlaksana hajatnya (telah keluar maninya) maka hendaklah ia menunggu untuk
hajat isterinya, sehingga si isteri juga terlaksana hajatnya. Karena inzalnya
si isteri kadang-kadang terkemudian, maka bergoncanglah nafsu syahwatnya.
Kemudian duduk, tanpa inzalnya si isteri, adalah
menyakitkan bagi si isteri. Dan berlainan tentang sifat inzal
(keluar mani) itu, mewajibkan ketegangan jiwa antara kedua suami-isteri,
manakala si suami itu terdahulu inzal dari isterinya. Dan bersesuaian waktu inzal, adalah lebih mendatangkan
kelezatan pada si isteri, supaya
laki-laki itu bekerja sendiri, dimana si isteri kadang-kadang merasa malu. Dan
seyogyalah suami mendatangi isterinya dalam tiap-tiap 4 malam sekali. Itu,
adalah lebih adil, karena bilangan isteri itu 4. Maka bolehlah dikemudiankan
sampai kepada batas tersebut. Ya, sewajarnyalah dilebihkan atau dikurangkan
menurut hajat isteri untuk pemeliharaan bagi isteri. Karena pemeliharaan
terhadap isteri itu, adalah wajib atas suami, walaupun tidak ditetapkan
penuntutan dengan bersetubuh. Karena yang demikian itu, adalah karena sulitnya
penuntutan dan penyempurnaan dengan penuntutan itu. Dan janganlah suami
mendatangi isterinya yang sedang haid dan jangan sesudah habis haid dan belum
mandi. Karena yang demikian itu, adalah diharamkan dengan dalil Alquran. Dan
ada yang mengatakan bahwa yang demikian itu, mempusakai penyakit kusta pada
anak. Dan bagi suami, boleh bersenang-senang dengan seluruh tubuh isterinya
yang sedang berhaid. Dan jangan mendatanginya pada tempat yang tidak boleh
didatangi. Karena diharamkan bersetubuh dengan isteri yang berhaid, karena
menyakitkan. Dan menyakitkan itu, tetap ada pada tempat yang tidak boleh
didatangi. Maka itu adalah sangat mengharamkan mendatangi isteri yang berhaid.
Dan firman Allah Ta’ala: “Maka usahakanlah
perladanganmu (isteri-isterimu) itu, bagaimana kamu sukai !”. S 2 Al Baqarah
ayat 223. Artinya: waktu mana saja kamu kehendaki. Bagi suami boleh
mengeluarkan maninya dengan kedua tangan isterinya dan bersenang-senang dengan
yang dibawah sarung, dengan apa yang disukainya, selain dari jima’/bersetubuh.
Dan seyogyalah wanita itu berkain sarung dari tengah badannya, sampai keatas
lutut pada waktu sedang haid. Ini, adalah sebahagian dari adab. Dan suami boleh
makan bersama-sama dengan isterinya yang sedang haid dan bercampur pada tempat
tidur dan lainnya. Dan tidaklah harus ia menjauhkannya. Apabila si suami itu
ingin bersetubuh kali kedua sesudah yang pertama, maka hendaklah pertama-tama
membasuh kemaluan nya. Dan kalau ia bermimpi (ihtilam), maka janganlah
bersetubuh, sebelum membasuh kemaluannya atau membuang air kecil. Dan
dimakruhkan bersetubuh pada awal malam, sehingga tidaklah ia tidur, dengan
tidak suci. Kalau mau tidur atau makan, maka hendaklah lebih dahulu berwudlu’,
seperti wudlu’ shalat. Yang demikian itu, adalah sunat.
Ibnu Umar berkata: “Aku bertanya kepada
Nabi saw: “Adakah tidur seorang dari kita, dimana ia berjunub ?”. Nabi saw
menjawab: “Ya, apabila telah berwudlu”. Tetapi telah datang hadits yang memberi
keentengan. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Nabi saw tidur dengan berjunub, dimana
beliau tidak menyentuh air”. Manakala ia kembali kepada tikarnya, maka
hendaklah disapunya muka tikarnya atau dikipaskannya. Karena ia tidak
mengetahui apa yang telah terjadi diatas tikar itu kemudiannya. Dan tiada
seyogyalah mencukur rambut atau mengerat kuku atau mengadam kumis atau
mengeluarkan darah atau menceraikan dari dirinya sesuatu bagian, dimana dia
sedang berjunub. Karena segala bahagian dirinya itu dikembalikan kepadanya pada
hari akhirat, lalu kembalilah dalam keadaan berjunub. Dan ada yang mengatakan,
bahwa masing-masing dari rambut itu menuntutnya, disebabkan junubnya itu.
Sebahagian dari adab, bahwa suami itu tidak
mengeluarkan maninya, bahkan tidak menumpahkannya, selain ke tempat bersetubuh
itu, yaitu: rahim isteri. Karena tidaklah suatu nyawa yang ditaqdirkan oleh
Allah akan adanya, melainkan adalah ia: ada. Begitulah sabda Rasulullah saw.
Kalau ia membuang keluar (al ‘azal), maka berbedalah pendapat para ulama
tentang boleh dan makruhnya kepada 4 madzhab.
Sebahagian: membolehkan secara mutlak dalam
segala hal keadaan.
Sebahagian: mengharamkan dalam segala hal
dan sebahagian mengatakan: halal, dengan seizin isterinya dan tidak halal,
tanpa keizinannya. Dan seakan-akan yang mengatakan ini, mengharamkan
menyakitkan, bukan pembuangan mani di luar rahim.
Sebahagian mengatakan: dibolehkan pada
wanita budak (gundik), tidak dibolehkan pada wanita merdeka (isteri). Dan yang
shahih (yang benar) pada kami, ialah yang demikian itu diperbolehkan.
Adapun makruh, maka itu ditujukan karena
larangan haram dan larangan demi kebersihan (tanzih) dan karena meninggalkan
keutamaan (fadilah).
Maka adalah itu dimakruhkan, dengan
pengertian yang ketiga. Artinya: padanya itu, meninggalkan keutamaan,
sebagaimana dikatakan: dimakruhkan bagi orang yang duduk dalam masjid, duduk
dengan kosong, tidak berdzikir atau mengerjakan shalat. Dan dimakruhkan bagi
orang yang berada di Makkah dan bermukim disitu, kecuali mengerjakan hajji
tiap-tiap tahun. Dan yang dimaksudkan dengan makruh tersebut diatas, ialah
meninggalkan keutamaan dan fadilah saja. Dan ini nyata tegas, karena apa yang
telah kami terangkan dari keutamaan mengenai anak.
Dan karena apa yang diriwayatkan dari Nabi
saw: “Bahwa laki-laki itu, sesungguhnya bersetubuh dengan isterinya maka
dituliskan baginya dengan persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berperang
fi sabilillah, lalu ia terbunuh (gugur)”. Sesungguhnya Nabi saw, bersabda yang
demikian, karena kalaulah orang itu memperoleh anak seperti anak tadi, niscaya
adalah baginya pahala, dimana ia menjadi sebab kepada adanya anak tersebut.
Sedang Allah Ta’ala adalah yang menjadikan,
yang menghidupkan dan yang menguatkannya kepada jihad itu. Dan sebab yang
datang daripadanya telah dilaksanakannya yaitu: bersetubuh. Dan yang demikian,
adalah ketika menumpahkan mani itu ke dalam rahim wanita. Sesungguhnya, kami
katakan, tidaklah makruh itu dengan arti: mengharamkan dan mentanzihkan
(membersihkan), adalah karena adanya larangan itu, hanya mungkin dengan nash
(dalil yang tegas) atau qias (analogi) kepada yang dinashkan. Dan tak adalah
nash dan pokok yang diqiaskan kepadanya. Tetapi adalah disini suatu pokok yang
diqiaskan kepadanya. Yaitu: meninggalkan perkawinan betul atau meninggalkan
bersetubuh sesudah kawin atau meninggalkan inzal (keluar mani) sesudah
memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan wanita. Semuanya itu, adalah meninggalkan
yang lebih utama (meninggalkan yang afdlal). Dan tidaklah itu mengerjakan yang
larangan. Dan tak ada disitu perbedaan, karena anak itu terjadi dengan jatuhnya
nuthfah (mani) ke dalam rahim wanita. Dan ia mempunyai 4 sebab: kawin, kemudian
bersetubuh, kemudian sabar sampai inzal sesudah bersetubuh, kemudian berhenti,
supaya mani itu tertumpah ke dalam rahim.
Sebahagian dari sebab-sebab ini, adalah
lebih mendekati dari sebahagian yang lain. Maka mencegah dari sebab yang ke-4,
adalah seperti mencegah dari sebab yang ke-3. Begitupula mencegah yang ke-3,
adalah seperti mencegah sebab yang ke-2. Dan mencegah yang ke-2, adalah seperti
mencegah sebab yang pertama. Dan tidaklah itu seperti: menggugurkan anak dan
membunuh anak hidup-hidup. Karena yang demikian itu, adalah penganiayaan
terhadap yang ada, yang telah terjadi. Dan yang ada, telah terjadi itu, mempunyai
pula beberapa tingkat.
Tingkat yang pertama, dari adanya itu,
ialah jatuhnya nuthfah ke dalam rahim, bercampur dengan air wanita dan bersedia
untuk menerima hidup. Dan merusakkan yang demikian itu, adalah penganiayaan.
Kalau sudah menjadi darah sekumpal (madl-ghah) dan daging sekumpal (‘alaqah),
maka penganiayaan itu menjadi lebih keji lagi. Dan kalau sudah dihembuskan
kepadanya nyawa dan telah menjadi makhluq, niscaya bertambahlah kejinya
penganiayaan itu. Dan kesudahan kekejian dalam penganiayaan itu, adalah sesudah
lahir anak itu dalam keadaan hidup.
Sesungguhnya, kami katakan, bahwa permulaan
sebab adanya, ialah dari kira-kira jatuhnya mani ke dalam rahim wanita, tidak
dari kira-kira keluarnya mani dari pinggang laki-laki, adalah karena anak itu
tidak dijadikan dari mani laki-laki sendiri saja. Tetapi dari kedua
suami-isteri bersama-sama. Adakalanya dari air lelaki dan air perempuan atau
dari air lelaki dan darah haid. Berkata setengah ahli ilmu uraian tubuh manusia
(ahlit-tasyrih), bahwa darah sekumpal itu dijadikan dengan taqdir Allah dari
darah haid. Dan darah dari darah sekumpal (madl-ghah) itu, adalah seperti susu
dari susu yang kental. Dan nuthfah dari laki-laki itu, adalah syarat tentang
kekentalan darah haid dan keikatannya, seperti buih susu yang masam. Karena
dengan buih yang masam itu, meneballah susu yang kental. Dan bagaimanapun
adanya, maka air wanita itu, adalah sendi pada keikatan. Lalu berlakulah kedua
air itu, sebagaimana berlakunya ijab dan qabul mengenai adanya hukum dalam segala
‘aqad (ikatan perjanjian). Maka barangsiapa melakukan ijab (penyerahan),
kemudian ia menarik kembali sebelum qabul (penerimaan), niscaya tidaklah ia
menganiaya kepada ‘aqad, dengan pembatalan dan pembongkaran. Dan manakala telah
berkumpul ijab dan qabul, niscaya menarik kembali kemudian, adalah pembatalan,
pembongkaran dan pemutusan.
Dan sebagaimana nuthfah dalam tulang
belakang lelaki, tidaklah terjadi anak daripadanya, maka demikian pula, sesudah
keluar dari kemaluan lelaki, selama tidak bercampur dengan air wanita atau
darahnya. Ini, adalah suatu qias bandingan yang jelas. Kalau anda mengatakan,
bahwa kalau tidaklah mani keluar/al-‘azal itu makruh, dari segi bahwa perbuatan
itu menolak untuk adanya anak, maka tidaklah jauh untuk dimakruhkan, karena niat
yang menggerakkan kepadanya. Sebab tidaklah menggerakkan untuk itu, selain oleh
niat yang buruk, dimana padanya terdapat sesuatu dari campuran syirk yang
tersembunyi (syirk-khafi). Maka aku menjawab, bahwa niat yang menggerakkan
kepada menumpahkan mani keluar (al-‘azal), adalah 5:
Pertama: pada budak-budak wanita yang
bertempat tinggal di rumah tuannya. Maka membuang mani keluar waktu bersetubuh
dengan gundik itu, adalah untuk menjaga hak milik dari hilangnya dengan berhak
kemerdekaan. Dan dengan maksud mengekalkan hak milik itu, dengan tidak memberi
kemerdekaan, dan menolak sebab-sebab kemerdekaan itu, tidaklah dilarang.
Kedua: untuk tetapnya kecantikan dan
kegemukan wanita. Supaya terus dapat bersenang-senang dan untuk kekekalan
hidupnya. Karena dikuatiri akan bahaya waktu bersalin. Ini juga, tidaklah
termasuk larangan.
Ketiga: takut kepada banyak dosa,
disebabkan banyak anak. Dan menjaga dari perlunya bersusah-payah berusaha dan
masuknya tempat-tempat masuk yang tidak baik. Ini juga, tidak termasuk larangan.
Karena kurangnya dosa, adalah menolong kepada agama. Dan kesempurnaan serta
keutamaan yang sebaik-baiknya, ialah pada tawakkal dan percaya dengan jaminan
Allah, yang berfirman: “Dan tidak adalah yang merangkak-rangkak di bumi ini,
melainkan Allah yang menanggung rezekinya”. S 11 Huud ayat 6. Dan tidak pelak
lagi, bahwa dengan tindakan, membuang mani keluar itu, menjatuhkan diri dari
tingkat kesempurnaan dan meninggalkan keutamaan. Tetapi memandang kepada akibat
dan menjaga harta serta menyimpannya, walaupun bertentangan dengan tawakkal,
tidaklah kami akan mengatakan, bahwa tindakan itu termasuk larangan.
Keempat: takut kepada anak-anak perempuan.
Karena berkeyakinan, pada mengawinkannya terdapat malu, sebagaimana terdapat
pada adat orang Arab, dimana mereka membunuh anak perempuan. Ini adalah niat
yang buruk. Jikalau ditinggalkannya kawin atau bersetubuh disebabkan oleh niat
tadi, niscaya berdosalah ia dengan niat itu. Bukan berdosa lantaran
meninggalkan kawin dan bersetubuh. Maka begitu pulalah tentang membuang mani
keluar (al-‘azal). Dan kerusakan pada keyakinan akan malu pada sunnah
Rasulullah saw adalah lebih berat lagi. Dan kerusakan itu, adalah dapat
diumpamakan, seumpama wanita yang meninggalkan kawin, karena mencegah dari
diperintahi laki-laki. Maka adalah wanita itu menyerupai dengan laki-laki. Dan
tidaklah kemakruhan itu tertuju kepada meninggalkan perkawinan.
Kelima: bahwa wanita itu menolak kawin,
karena sangat dipentingkannya kebersihan dan menjaga dari keguguran, nifas dan
penyusuan anak. Dan adalah yang demikian itu, adat kebiasaan wanita kaum
Khawarij (suatu golongan
yang tidak mau mengikuti dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah hal itu
terjadi pada masa pemerintahan Ali bin abi Thalib), karena bersangatannya
mereka memakai air, sehingga adalah mereka men-qodokan shalat-shalat di
hari-hari haid. Dan mereka tidak masuk ke kakus, melainkan dengan keadaan
telanjang. Maka ini adalah bid’ah (yang diada-adakan) yang menyalahi sunnah.
Dan itu adalah niat yang merusak. Salah seorang dari wanita mereka itu meminta
keizinan ‘Aisyah tatkala ia datang ke Basrah. Maka ‘Aisyah tidak
mengizinkannya. Tujuan itulah yang buruk, bukan pencegahan beranak.
Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw telah
bersabda: “Barangsiapa meninggalkan kawin, karena takut berat tanggungan, maka
tidaklah ia daripada kami”. 3 kali Nabi saw bersabda yang demikian. Maka aku
jawab, bahwa mengeluarkan mani itu (al-‘azal), adalah seperti meninggalkan
kawin. Dan sabdanya: tidaklah ia daripada kami”, artinya: tidaklah ia
menyetujui kami diatas sunnah kami dan jalan kami. Dan sunnah kami itu, ialah
berbuat yang lebih utama.
Kalau anda berkata, bahwa Nabi saw telah
bersabda, mengenai mengeluarkan mani: “Itu, adalah penguburan anak hidup-hidup
yang tersembunyi (al-wa’dul-khafi)”, lalu Nabi saw membaca ayat: “Dan ketika
ditanyai anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup”. S 81 At Takwiir ayat 8.
Dan hadits ini tersebut dalam hadits yang shahih. Maka aku menjawab, bahwa
dalam shahih juga, terdapat beberapa hadits yang shahih tentang pembolehan itu.
Dan mengenai sabdanya: “Penguburan anak hidup-hidup yang tersembunyi”, adalah
seperti sabdanya: “syirk yang tersembunyi”. Dan itu adalah mewajibkan
kemakruhan, tidak pengharaman.
Kalau anda berkata, bahwa Ibnu Abbas
berkata: “Penumpahan mani keluar itu, adalah penguburan anak hidup-hidup yang
kecil (al-wa’dul-ash-ghar)”. Maka yang dilarang adanya itu, ialah anak
perempuan yang dikuburkan hidup-hidup yang kecil (al-mau-udatush-shughra). Maka
kami jawab, bahwa ini adalah suatu qias dari Ibnu Abbas, untuk menolak adanya,
atas terpupus habis. Dan itu, adalah suatu qias yang lemah. Dan karena itulah
dibantah oleh Ali ra tatkala didengarnya, seraya ia berkata: “Dan tak adalah
penguburan anak perempuan hidup-hidup, kecuali sesudah 7. Artinya: sesudah yang
lain 7 perkembangan kejadian manusia. Lalu Ali ra membaca ayat yang menerangkan
perkembangan kejadian manusia. Yaitu: firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya
Kami telah menjadikan manusia dari sari tanah. Kemudian Kami jadikan sari tanah
–itu air mani, (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh. Kemudian air mani
itu, Kami jadikan segumpal darah. Lalu darah segumpal itu, Kami jadikan
segumpal daging dan daging segumpal itu Kami jadikan tulang-belulang. Kemudian
tulang-tulang itu, Kami tutup dengan daging. Sesudah itu Kami jadikan makhluk
yang lain”. Artinya: Kami hembuskan kepadanya nyawa. S 23 Al Mukminuun ayat
12-13 dan 14. Kemudian, beliau baca firman Allah Ta’ala pada ayat “Wa idzal
mau-udatu su-ilat” tadi. Apabila anda perhatikan kepada apa yang telah kami
kemukakan itu, tentang jalan qias dan pemandangan, niscaya jadilah kepada anda
akan berlebih-kurangnya kedudukan Ali dan Ibnu Abbas ra tentang mendalami akan
pengertian-pengertian dan memahami akan pengetahuan-pengetahuan. Betapa tidak
demikian ? pada hadits yang disepakati dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih
Muslim (Ash-Shahihain) dari Jabir, dimana Jabir berkata: “Adalah kami melakukan
mengeluarkan mani pada masa Rasulullah saw sedang Alquran itu terus turun”. Dan
pada kata-kata yang lain: “Adalah kami melakukan mengeluarkan mani, lalu
disampaikan yang demikian kepada Nabi saw maka beliau tidak melarang kami
berbuat begitu”.
Dalam Ash-Shahihain juga dari Jabir, yang
mengatakan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw lalu berkata:
“Sesungguhnya aku mempunyai seorang budak wanita. Dia itu pelayan kami dan
penyiram kurma kami. Aku selalu pulang kepadanya dan aku tidak suka ia
mengandung”. Maka sahut Nabi saw: “Lakukanlah al-‘azal (mengeluarkan mani)
padanya, kalau engkau mau ! sesungguhnya akan datang kepadanya, apa yang
ditaqdirkan baginya”. Maka senantiasalah orang itu berbuat demikian. Kemudian,
ia datang lagi kepada Nabi saw seraya berkata: “Sesungguhnya budak perempuan
itu telah mengandung !”. Lalu Nabi saw menjawab: “Telah kukatakan: akan datang
kepadanya, apa yang ditaqdirkan baginya”. Semua itu tersebut dalam
“Ash-Shahihain”.
Adab kesebelas: tentang adab memperoleh anak, yaitu
5:
1. Tidak
memperbanyak kegembiraan dengan memperoleh anak laki-laki dan kesedihan dengan
anak perempuan. Karena ia tidak mengetahui akan kebajikan pada yang mana dari
keduanya. Maka berapa banyak orang yang mempunyai anak laki-laki, bercita-cita
bahwa jangan mempunyai lagi anak laki-laki atau bercita-cita bahwa mempunyai
anak perempuan. Bahkan keselamatan itu, yang terbanyak adalah dari anak-anak
perempuan dan pahala yang terbesar adalah pada anak perempuan.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak
perempuan, maka diajarinya, lalu diperbagus pengajarannya, diberinya makanan,
lalu diperbagus makanannya dan dilengkapkannya kepadanya kenikmatan yang
dilengkapkan oleh Allah kepadanya, niscaya adalah anak perempuan itu baginya di
kanan dan di kiri dari neraka ke sorga”.
Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Tidakkah seseorang yang memperoleh dua anak perempuan, lalu ia
berbuat kebaikan kepada keduanya, selama keduanya menyertainya, melainkan
keduanya itu memasukkan dia ke dalam sorga”.
Anas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa mempunyai dua anak perempuan atau dua orang saudara perempuan,
lalu ia berbuat kebaikan kepada keduanya selama keduanya menyertainya, niscaya
adalah aku dan dia dalam sorga, seperti dua jari-jari ini”. Dan Anas berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa pergi ke pasar dari pasar-pasar kaum
muslimin, lalu dibelikannya sesuatu, maka dibawanya pulang ke rumah, lalu
ditentukannya kepada yang perempuan, tidak kepada yang laki-laki, niscaya Allah
memandang kepadanya. Dan barangsiapa dipandang Allah, niscaya tidak akan
diazabkanNya”. Dari Anas, yang mengatakan: “Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa membawa suatu hadiah, dari pasar kepada keluarganya, maka
seakan-akan ia membawa kepada mereka itu sedekah, hingga diletakkannya sedekah
itu kepada mereka. Dan hendaklah ia memulai dengan yang perempuan, sebelum yang
laki-laki. Karena sesungguhnya barangsiapa menggembirakan akan wanita, maka
seakan-akan ia menangis dari ketakutan kepada Allah. Dan barangsiapa menangis
dari ketakutannya kepada Allah, niscaya diharamkan oleh Allah akan badannya
dari api neraka”.
Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa mempunyai 3 orang anak perempuan atau saudara perempuan, lalu ia
bersabar terhadap kesulitan dan kemelaratan mereka, niscaya dimasukkan oleh
Allah akan dia ke dalam sorga dengan kelebihan rahmatNya kepada mereka”. Lalu
seorang laki-laki bertanya: “Kalau dua orang, bagaimana, wahai Rasulullah ?”.
Nabi saw menjawab: “Dan dua juga !”. Lalu seorang lelaki lain bertanya: “Kalau
seorang ?”. Nabi saw menjawab: “Dan juga seorang”.
2.
Bahwa dilakukan adzan pada telinga anak yang baru lahir.
Diriwayatkan oleh Rafi’ dari bapaknya, yang mengatakan: “Aku melihat Nabi saw
melakukan adzan pada telinga Al-Hasan ketika ia dilahirkan oleh Fathimah ra.
Diriwayatkan dari Nabi saw, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa dilahirkan
baginya seorang anak, lalu ia melaksanakan adzan pada telinganya yang kanan dan
melaksanakan iqamah pada telinganya yang kiri, niscaya tertolaklah daripada
anak itu setan yang bernama: Ummush-shibyan” (setan yang mendatangkan penyakit
sawan kepada anak-anak). Disunatkan diajarkan kepada anak-anak “Laa ilaaha
illallaah” pada permulaan ia dapat bercakap-cakap. Supaya adalah yang demikian
itu permulaan perkataannya. Dan disunatkan pengkhitanan (penyunatan) pada hari
yang ke-7 dari kelahirannya, dimana hadits telah menerangkan yang demikian.
3.
Bahwa dinamakan anak yang baru lahir itu dengan nama yang
baik. Yang demikian itu, adalah hak anak. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau
namakan, maka namakanlah dengan: Abdu....!” Dan Nabi saw bersabda: “Nama yang
paling disukai oleh Allah, ialah: Abdullah dan Abdurrahman !” Dan beliau
bersabda: “Namakanlah dengan namaku dan jangan engkau kuniahkan dengan
kuniahku”. (kuniah artinya memanggilkan
seseorang dengan nama yg di mulai dengan kata-kata abu atau ummu, seperti abul
kasim untuk kuniah nabi saw artinya bapak al kasim karena anaknya bernama al
kasim pent)
Para ulama berkata, bahwa adalah yang
demikian itu pada masa hidupnya saw karena adalah ia dipanggil dengan
panggilan: “Ya Abal-qasim ! (wahai Bapak Al-Qasim !)”. Dan sekarang, tidak
mengapa lagi. Ya, janganlah dikumpulkan diantara namanya dan kuniahnya dan
sesungguhnya ia saw telah bersabda: “Janganlah kamu kumpulkan antara namaku dan
kuniahku !”. Dan ada yang mengatakan, bahwa ini juga adalah pada masa hidupnya
Nabi saw. Seorang laki-laki dinamakan dengan: Abu ‘Isa (Bapak Isa). Lalu Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai bapak”. Maka yang demikian itu dimakruhkan.
Anak yang keguguran seyogyalah diberi nama.
Abdurrahman bin Yazid bin Mu’awiyah berkata: “Sampai kepadaku hadits yang
menerangkan, bahwa anak yang keguguran itu berteriak pada hari kiamat di
belakang ayahnya, seraya berkata: “Engkau menyia-nyiakan aku ! engkau biarkan
aku tidak bernama !”. Lalu menjawab Umar bin Abdul-‘aziz: “Bagaimana memberikan
nama, sedang dia tidak diketahui, apakah dia anak laki-laki atau anak perempuan
?”. Maka sahut Abdurrahman: “Sebahagian dari nama-nama itu, ada nama yang dapat
mengumpulkan keduanya, seperti Hamzah, ‘Ammarah, Thalhah dan ‘Utbah”. Nabi saw
bersabda: “Kamu akan dipanggil pada hari kiamat dengan namamu dan nama bapakmu.
Dari itu, maka baguskanlah namamu !”. Barangsiapa mempunyai nama yang tidak
disukai, maka disunatkan menggantikannya. Nabi saw menggantikan nama Al-‘Ash
dengan ‘Abdullah.
Adalah nama Zainab itu Barrah, lalu Nabi
saw bersabda: “Hendaklah ia membersihkan dirinya !”. Lalu Nabi saw
menamakannya: Zainab. Begitupula, telah datang larangan tentang penamaan:AFLAH,
Jassar, Nafi & Barakah. Karena ada yang menanyakan: “Adakah disitu
keberkatan?” Lalu dijawab:“Tidak ada!”
4.
Menyembelih akikah. Dari anak laki-laki 2 ekor kambing dan
dari anak perempuan seekor kambing. Dan tidak mengapa dengan seekor kambing
untuk anak laki-laki atau anak perempuan. ‘Aisyah meriwayatkan: “Bahwa
Rasulullah saw menyuruh pada anak laki-laki untuk diakikahkan dengan 2 ekor
kambing dan pada anak perempuaan dengan seekor kambing”. Diriwayatkan: “Bahwa
Nabi saw menyembelih akikah untuk Al-Hasan dengan seekor kambing”. Dan ini
adalah suatu keentengan tentang mencukupkan seekor kambing saja. Nabi saw
bersabda: “Beserta anak laki-laki itu akikahnya. Maka tumpahkanlah darah
daripadanya (sembelihkanlah hewan) yang boleh disembelihkan untuk dam
(kepadanya: yaitu: kambing) !. Dan buangkanlah daripadanya yang menyakitkannya
!”. Dan termasuk sunnah, menyedekahkan emas atau perak seberat timbangan
rambutnya. Telah datang yang demikian itu, hadits yang menerangkan: “Bahwa Nabi
saw menyuruh Fathimah ra pada hari yang ke-7 dari kelahiran Husain, supaya ia
mencukur rambut Husain dan bersedekah dengan perak seberat rambutnya”. ‘Aisyah
berkata: “Jangan dipecahkan tulang hewan yang diakikahkan itu”.
5.
Bahwa disuapkan anak yang baru lahir itu dengan tamar atau
barang yang manis. Diriwayatkan dari Asma’ binti Abubakar ra yang mengatakan:
“Aku melahirkan Abdullah bin Az-Zubair di Quba’. Kemudian aku bawa dia kepada
Rasulullah saw. Lalu aku letakkan pada pangkuannya. Kemudian, Rasulullah saw
meminta tamar. Lalu dikunyahkannya, kemudian dimasukkannya ke dalam mulut
Abdullah”. Maka adalah benda yang pertama masuk ke dalam mulutnya, ialah air
liur Rasulullah saw. Kemudian suapannya dengan tamar. Kemudian ia berdoa dan
memohon barakah untuk Abdullah. Dan adalah Abdullah bin Az-Zubair anak yang
pertama dilahirkan dalam Islam. Maka amat gembiralah para sahabat dengan yang
demikian. Karena telah dikatakan kepada mereka: “Bahwa orang Yahudi telah
menyihirkan kamu, sehingga kamu tidak akan memperoleh anak lagi”.
Adab keduabelas: mengenai talak (perceraian).
Dan hendaklah diketahui, bahwa talak itu diperbolehkan,
tetapi amat dimarahi oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya talak itu diperbolehkan,
apabila tak ada padanya yang menyakitkan dengan kesalahan. Dan manakala
mentalakkan isteri itu, maka sesungguhnya telah menyakitkannya. Dan tidak
diperbolehkan menyakitkan orang lain, kecuali dengan penganiayaan daripada
pihaknya atau mendatangkan kemelaratan daripada pihaknya.
Allah Ta’ala berfirman: “Jika mereka telah
menurut, maka janganlah kamu mencari jalan untuk merugikannya”. S 4 An Nisaa’
ayat 34. Artinya: “Janganlah kamu mencari dalih untuk bercerai”. Kalau bapak si
suami tidak suka kepada wanita itu, maka hendaklah diceraikannya. Ibnu Umar ra
berkata: “Adalah dibawah kekuasaanku seorang isteri yang aku cintai dan adalah
bapakku tidak menyukainya dan menyuruh aku menceraikannya. Lalu aku datang
bertanya kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: “Hai Ibnu Umar,
ceraikanlah isterimu itu !’. Maka keterangan ini menunjukkan, bahwa hak bapak
adalah didahulukan. Tetapi bapak itu tiada menyukainya, adalah bukan karena
maksud yang buruk, seperti Umar tadi. Manakala isteri itu menyakiti akan
suaminya dan jahat sikapnya terhadap kepada keluarga si suami, maka adalah
isteri itu menganiaya. Dan begitupula, manakala isteri itu jahat akhlaqnya atau
rusak agamanya.
Ibnu Mas’ud berkata mengenai firman Allah
Ta’ala: “Dan janganlah mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan
keji yang terang”. S 65 Ath Thalaaq ayat 1, bahwa: “manakala wanita itu jahat
sikapnya terhadap keluarga si suami dan menyakiti suaminya, maka itu adalah
perbuatan yang keji”. Firman itu dimaksudkan pada ‘iddah, tetapi dapat
mengingatkan kepada maksud yang tersebut tadi. Kalau yang menyakitkan itu
datang dari suami, maka isteri dapat menebuskan dirinya dengan menyerahkan
harta. Dan dimakruhkan bagi suami mengambil dari isterinya, lebih banyak
daripada yang diberikannya dahulu. Karena yang demikian itu, adalah memberatkan
dan memikulkan keatas pundak isteri dan merupakan perniagaan terhadap
kehormatan si isteri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka tidak mengapa barang itu
dibayar (diberikan) oleh perempuan itu untuk menebus dirinya”. S 2 Al Baqarah
ayat 229. Maka diambil kembali oleh si
suami, apa yang telah diambil oleh si isteri. Yang lebih kurang daripada itu,
adalah lebih layak dengan tebusan itu. Kalau isteri itu meminta diceraikan,
tanpa sesuatu yang menyakitkan maka dia itu berdosa.
Nabi saw bersabda: “Perempuan mana saja
yang meminta pada suaminya akan cerai, tanpa sesuatu yang menyakitkan, maka dia
tidak akan mencium bau sorga”. Dan pada kata-kata yang lain: “maka sorga haram
kepadanya”. Dan pada kata-kata yang lain lagi, Nabi saw bersabda: “Wanita yang
mencabut perkawinan dengan membayar kepada suaminya (khulu’), adalah munafiq”.
Kemudian, hendaklah suami itu menjaga pada talak, 4 perkara:
1. Bahwa
diceraikannya dalam masa suci, dimana ia tidak bersetubuh dengan isterinya
dalam masa suci tadi. Karena talak dalam masa haid atau dalam masa suci, dimana
ia telah bersetubuh padanya, adalah bid’ah (yang diada-adakan) dan haram,
walaupun talak itu jatuh. Karena memanjangkan masa ‘iddah kepada wanita yang
diceraikan. Kalau telah diperbuat yang demikian, maka hendaklah ia rujuk
(kembali) kepada wanita itu. Ibnu Umar telah menceraikan isterinya dalam masa
haid, lalu Nabi saw bersabda kepada Umar ra: “Suruhlah dia supaya rujuk kepada
istrinya, sampai wanita itu suci, kemudian berhaid, kemudian suci lagi.
Kemudian, kalau ia mau juga, niscaya ditalakkannya dan kalau mau, niscaya
ditahankannya wanita itu”. Maka itulah ‘iddah yang disuruh oleh Allah untuk
ditalakkan wanita padanya. Sesungguhnya Nabi saw menyuruh bersabar sesudah
rujuk dengan dua kali suci, adalah supaya tidaklah maksud dari rujuk itu, untuk
talak saja.
2.
Bahwa menyingkatkan kepada satu talak. Maka janganlah
dikumpulkan diantara 3 talak. Karena satu talak sesudah ‘iddah itu mendatangkan
faedah kepada maksud dan memberi faedah untuk boleh rujuk dalam ‘iddah, kalau
ia menyesal. Dan boleh memperbarui perkawinan sesudah lalu ‘iddah, kalau ia
mau. Dan apabila menjatuhkan talak 3, kadang-kadang timbul penyesalan. Maka
berhajatlah dikawinkan dahulu bekas isterinya itu oleh muhallil (cinta-buta)
dan kepada bersabar seketika lamanya. Dan ikatan nikah si muhallil itu, adalah
dilarang. Dan adalah bekas suami itu, yang berusaha pada perkawinan si muhallil.
Kemudian adalah hatinya itu tersangkut dengan isteri orang lain dan untuk
menceraikannya, ya’ni: isteri dari si muhallil, sesudah ia kawinkan dengan si
muhallil. Kemudian perbuatan itu membuat si muhallil lari dari isterinya.
Semuanya itu, adalah hasil dari mengumpulkan talak 3 sekaligus. Dan dalam
melakukan talak satu, adalah mencukupi maksud, tanpa dikuatiri apa-apa. Dan
tidaklah aku mengatakan, bahwa mengumpulkan ke-3 talak itu haram. Tetapi itu
adalah makruh, dengan segala pengertian yang tersebut tadi. Dan aku maksudkan
dengan makruh, ialah dengan meninggalkan memandang kepada talak itu sendiri.
3.
Hendaklah dengan secara lemah-lembut berbuat alasan
menceraikan isteri, tanpa menggertak, memandang ringan terhadap isteri. Dan
hendaklah menyenangkan hati isteri dengan memberikan hadiah, sebagai jalan
menghibur dan menampalkan terhadap apa yang telah menimpa isteri itu, dari
kepedihan bercerai. Allah Ta’ala berfirman: “Dan berilah kepada mereka
pemberian !”. S 2 Al Baqarah ayat 236. Pemberian itu, adalah wajib, meskipun
tidak dinamakan untuk isteri itu emas-kawin pada pokok pernikahan dahulu.
Adalah Al-Hasan bin Ali ra bercerai dan
kawin. Lalu pada suatu hari datang menghadap sebahagian sahabatnya, karena
ditalakkannya dua orang dari isterinya. Maka Al-Hasan berkata: “Katakanlah
kepada keduanya: “Ber’iddahlah”. Dan beliau menyuruh sahabatnya itu, supaya
menyerahkan kepada masing-masing dari kedua bekas isterinya itu, 10 ribu
dirham. Maka sahabat itupun terus melaksanakannya. Tatkala sahabat itu datang kembali
kepada Al-Hasan ra maka beliau bertanya: “Apakah yang diperbuat oleh kedua
wanita itu ?”. Sahabat itu menjawab: “Yang seorang menunggingkan kepalanya dan
menungging-nunggingkannya. Dan yang seorang lagi menangis dan tersedu-sedu dan
aku mendengar ia mengatakan: “Harta yang sedikit dari kecintaan yang bercerai”.
Maka Al-Hasan menundukkan kepalanya dan amat merasa belas kasihan kepadanya,
seraya berkata: “Kalaulah ada aku ini melakukan rujuk dengan wanita yang telah
aku ceraikan, niscaya akan aku rujuk kepadanya !”.
Pada suatu hari Al-Hasan datang kepada
Abdurrahman bin Al-Harts bin Hisyam, seorang ulama fiqh dan pembesar Madinah.
Dan di Madinah waktu itu tak ada
bandingannya. Dan ‘Aisyah membuat perumpamaan tentang Abdurrahman tersebut,
dimana ‘Aisyah berkata: “Jikalau tidaklah aku berjalan akan perjalananku itu,
niscaya aku lebih suka mempunyai 16 anak laki-laki dari Rasulullah saw, yang
seperti Abdurrahman bin Al-Harts bin Hisyam”.
Maka Al-Hasan masuk ke rumah Abdurrahman. Dan Abdurrahman
menghormati dan mempersilahkan duduk pada tempat duduknya.
Berkata Abdurrahman: “Mengapa tidak engkau kirim kabar
kepadaku, supaya aku datang kepadamu ?”.
Al-Hasan menjawab: “Ada hajat sedikit bagiku !”.
Abdurrahman bertanya: “Apakah hajat itu ?”.
Lalu Al-Hasan menjawab: “Aku datang kemari, hendak meminang
anak Tuan”. Mendengar itu, lalu Abdurrahman menundukkan kepalanya, kemudian
beliau mengangkatkannya kembali, seraya berkata: “Demi Allah, tidak adalah
diatas bumi ini orang yang berjalan, yang lebih mulia padaku, selain dari
engkau. Tetapi tahulah engkau kiranya, bahwa putriku itu adalah belahan dadaku,
akan menyakitkan aku dengan apa yang menyakitkan dia. Akan menggembirakan aku,
dengan apa yang menggembirakan dia. Engkau adalah orang yang suka mentalakkan
isteri. Maka aku takut nanti engkau talakkan dia. Jika engkau perbuat yang
demikian, niscaya aku takut akan berobah hatiku tentang mencintaimu dan aku
tidak suka akan berobah hatiku terhadapmu. Karena engkau adalah belahan hati
Rasulullah saw. Kalau engkau membuat syarat, bahwa engkau tidak akan
menceraikannya, niscaya aku kawinkan dia dengan kamu”.
Mendengar itu, Al-Hasan berdiam diri, bangun dan keluar.
Berkata sebahagian keluarganya: “Aku mendengar Al-Hasan sedang berjalan
mengatakan: “Abdurrahman tidak bermaksud, selain mau menjadikan anak
perempuannya suatu pikulan pada leherku”.
Adalah Ali ra tidak merasa senang lantaran
banyaknya Al-Hasan menceraikan isterinya. Maka ia meminta maaf diatas mimbar,
seraya mengucapkan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Hasan suka sekali
menceraikan. Maka janganlah kamu kawinkan dengan dia !”. Lalu bangunlah seorang
laki-laki dari Hamadan, seraya berkata: “Demi Allah wahai Amirul-mu’minin,
sesungguhnya akan kami kawinkan dengan dia, siapa yang dikehendakinya. Kalau ia
suka, niscaya dipegangnya terus dan kalau ia kehendaki, niscaya
ditinggalkannya”. Maka bergembiralah Ali ra dengan penjawaban yang demikian,
seraya bermadah:
“Kalaulah aku
penjaga pintu,
pada pintu
sorga.....
Sungguh kukatakan
kepada Hamadan itu,
masuklah engkau, selamat
bah’gia.......!”
Dan ini adalah peringatan bahwa orang yang
menyakitkan kekasihnya, baik isteri atau anak, dengan cara yang memalukan, maka
tiada seyogyalah disetujui. Persetujuan itu, adalah keji. Tetapi menurut adab
kesopanan, ialah menantangnya sedapat mungkin. Karena yang demikian itu, adalah
menggembirakan akan hatinya dan lebih sesuai bagi batin penyakitnya. Dan maksud
dari yang tersebut itu, adalah penjelasan, bahwa talak diperbolehkan (mubah).
Dan Allah telah menjanjikan akan kekayaan seluruhnya, baik dalam perceraian dan
pernikahan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian
(janda) diantara kamu dan hamba sahaya laki-laki dan perempuan yang patut !
kalau mereka miskin, nanti Allah akan memberinya kekayaan dari kemurahanNya”. S
24 An Nur ayat 32. Dan Allah swt berfirman: “Dan kalau keduanya bercerai, Allah
akan mencukupkan kepada masing-masing dengan kurniaNya”. S 4 An Nisaa’
ayat130
4.
Bahwa tidak membuka rahasia wanita, baik ketika sudah
bercerai atau masih dalam ikatan perkawinan. Telah tersebut dalam hadits
shahih, mengenai membuka rahasia wanita itu akan besar azabnya.
Diriwayatkan dari setengah orang-orang shalih, bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya, lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang meragukan engkau tentang
wanita itu ?”. Ia menjawab: “Orang yang
berakal, tidak akan merusakkan tabir isterinya”. Tatkala telah diceraikannya,
lalu ia ditanyakan: “Mengapakah engkau ceraikan dia ?”. Lalu ia menjawab:
“Apalah hubungan saya dengan wanita orang lain !”. Maka inilah penjelasan apa
yang menjadi kewajiban suami !.
BAHAGIAN
KEDUA DARI BAB INI:
ialah
pandangan tentang hak-hak suami atas isteri.
Perkataan yang menyenangkan tentang ini,
ialah: perkawinan itu adalah semacam perbudakan. Wanita itu menjadi budak
suaminya. Ia harus patuh secara mutlak kepada suami, tiap-tiap apa yang diminta
daripadanya, tentang dirinya, yang tak ada kema’siatan padanya. Telah datang
banyak hadits tentang pengagungan hak suami atas isteri. Nabi saw bersabda:
“Mana saja wanita yang meninggal, sedang suaminya rela kepadanya, niscaya ia
masuk sorga”.
“Ada seorang laki-laki keluar
bermusafir dan ia beritahukan kepada isterinya, supaya jangan turun dari atas
rumah ke bawah rumah, sedang bapak dari wanita itu adalah di rumah bahagian
bawah. Maka sakitlah bapaknya. Lalu wanita itu mengirim kabar kepada Rasulullah
saw meminta izin turun ke tempat bapaknya. Rasulullah saw menjawab: “Taatilah
suamimu !”. Kemudian bapaknya itu meninggal dunia. Lalu wanita itu menunggu
perintah Nabi saw. Maka Nabi saw menjawab: “Taatilah suamimu !”. Lalu bapaknya
itu dikuburkan. Maka Rasulullah saw mengirim utusan kepada wanita itu untuk
menerangkan, bahwa Allah telah mengampunkan dosa ayahnya, dengan sebab taatnya
kepada suaminya”.
Nabi saw bersabda: “Apabila wanita
itu mengerjakan shalat yang 5 waktu, berpuasa bulan Ramadlan, menjaga
farajnya/kemaluannya dan mentaati suaminya, niscaya masuk ia ke sorga
Tuhannya”. Maka disini, Nabi saw menambahkan kepatuhan kepada suami itu, ke
dalam sendi-sendi Islam! Rasulullah saw menyebutkan tentang wanita, dengan
sabdanya: “Wanita-wanita yang mengandung, yang beranak, yang menyusukan, yang
kasih sayang kepada anak-anaknya, jikalau tidaklah mereka itu datang kepada
suaminya, niscaya yang mengerjakan shalat saja dari mereka yang masuk sorga”.
Nabi saw bersabda: “Aku menengok ke
neraka, maka kebanyakan isinya, ialah wanita”. Lalu wanita-wanita itu bertanya:
“Mengapakah begitu, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Wanita-wanita itu
membanyakkan kutukan dan mengkufurkan (tidak mensyukuri) akan suaminya, yang
bergaul dengan dia”. Pada hadits lain, tersebut: “Aku menengok ke sorga maka
yang paling sedikit isinya, ialah wanita. Lalu aku bertanya: “Manakah wanita
?”. Lalu datang jawaban: “Mereka disibukkan oleh dua merah: emas dan za’faran”.
Ya’ni: perhiasan dan warna-warni pencelupan kain.
‘Aisyah berkata: “Telah datang seorang gadis kepada Nabi saw, seraya
berkata: “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku ini seorang gadis yang telah
dipinang orang. Aku tidak suka dikawinkan. Apakah kiranya hak suami atas
isterinya ?”. Nabi saw menjawab: “Jikalau adalah nanah dari puncak kepala suami
sampai ke tapak kakinya, lalu si isteri menjilatnya, niscaya belumlah ia
menunaikan kesyukuran kepadanya”. Lalu anak gadis itu menyahut: “Apakah jangan
aku kawin ?”. Nabi saw menjawab: “Ya, kawinlah –karena kawin itu perbuatan yang
baik !”.
Ibnu Abbas berkata: “Seorang wanita dari
Khats’am datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Sesungguhnya aku ini
wanita yang janda dan aku ingin kawin. Maka apakah hak suami itu ?”. Nabi saw
menjawab: “Sesungguhnya setengah dari hak suami atas isteri, ialah, apabila
suami itu berkehendak kepada isterinya, lalu dimintanya tentang dirinya, sedang
isteri itu diatas punggung seekor keledai, niscaya ia tidak menolak permintaan
suaminya itu. Dan setengah dari hak suami, bahwa isteri itu tidak memberikan sesuatu
dari rumah suami, kecuali dengan keizinannya. Kalau isteri itu berbuat yang
demikian, niscaya adalah dosa atas isteri dan pahala bagi suami. Dan setengah
dari hak suami, bahwa isteri itu tidak mengerjakan puasa sunat, kecuali dengan
keizinannya. Kalau isteri itu berbuat juga, niscaya ia lapar dan haus saja dan
tidak diterima puasanya. Dan jika isteri itu keluar dari rumahnya tanpa izin
suaminya, niscaya ia dikutuk oleh para malaikat, sampai ia kembali ke rumah
suaminya atau ia bertaubat”.
Nabi saw bersabda: “Jikalau aku
menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya akan aku suruh
wanita untuk bersujud kepada suaminya, lantaran besar haknya atas isterinya”.
Nabi saw bersabda: “Adalah yang terdekat wanita kepada wajah Tuhannya, apabila
ia berada dalam rumahnya. Dan sesungguhnya shalatnya di halaman rumahnya,
adalah lebih utama dari shalatnya di masjid. Dan shalatnya di dalam rumahnya,
adalah lebih utama dari shalatnya di halaman rumahnya. Dan shalatnya dalam
rumah kecil dari rumahnya adalah lebih utama dari shalatnya di dalam rumahnya”.
Rumah kecil dalam rumah itu, adalah untuk lebih mendindingi lagi. Karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Maka apabila ia keluar,
niscaya setan melihatnya dengan membelalak matanya”. Dan Nabi saw bersabda
pula: “Wanita itu mempunyai 10 aurat. Apabila ia kawin, maka suaminya
menutupkan satu aurat. Maka apabila ia meninggal dunia, maka kuburannya
menutupkan ke-10 aurat itu”. Hak suami pada isteri itu banyak dan yang
terpenting, adalah 2:
Pertama: memelihara dan menutup diri.
Kedua: meninggalkan meminta
dibalik yang perlu dan menjaga diri dari usahanya, apabila ada usaha itu haram.
Demikianlah adanya adat kebiasaan wanita
pada zaman salaf. Adalah laki-laki apabila keluar dari rumahnya, lalu berkata
isterinya atau anak perempuannya kepadanya: “Jagalah dari usaha yang haram !
sesungguhnya kami dapat bersabar diatas kelaparan dan kesengsaraan dan tidak
dapat menahan dari mereka”. Seorang salaf bercita-cita hendak bermusafir, maka
tetangganya tidak menyukai dia berjalan jauh itu. Lalu mereka mengatakan kepada
isterinya: “Mengapakah engkau izinkan dia berjalan jauh, sedang ia tidak
meninggalkan perbelanjaan untukmu ?”. Isterinya itu menjawab: “Suamiku sejak
aku mengenalinya, aku mengenal dia yang memberi makan dan tidak aku mengenalnya
yang memberi rezeki. Aku mempunyai Tuhan yang memberi rezeki. Berjalanlah yang
memberi makan dan tinggallah Yang Memberi rezeki”.
Rabi’ah binti Ismail meminang Ahmad bin Abil-Hawari. Maka Ahmad tidak
menyenangi yang demikian, karena ia sibuk dengan ibadah. Dan ia berkata kepada
Rabi’ah: “Demi Allah, aku tidak bercita-cita kepada wanita, karena kesibukanku
dengan halku sendiri”. Maka Rabi’ah menjawab: “Aku juga sibuk dengan halku
daripadamu dan aku tidak mempunyai nafsu syahwat. Tetapi, aku telah mewarisi
dari suamiku banyak harta, maka aku ingin supaya engkau membelanjakannya kepada teman-teman engkau. Dan akan aku kenal
nanti dengan sebab engkau, orang-orang shalih. Maka jadilah yang demikian itu
jalan bagiku kepada Allah ‘Azza Wa Jalla”. Lalu Ahmad bin Abil-Hawari menjawab:
“Tunggulah, sampai aku meminta keizinan guruku !”. Maka ia pergi kepada Abi
Sulaiman Ad-Darani. Ahmad bin Abil-Hawari itu menerangkan: “Adalah guruku itu
melarangku dari kawin, seraya mengatakan: “Tidaklah seorangpun dari
sahabat-sahabat kami yang kawin, melainkan ia berobah”. Tatkala didengarnya
perkataan Rabi’ah maka beliau menjawab: “Kawinlah dengan dia, karena dia itu
adalah aulia Allah dan itu adalah perkataan orang-orang shiddiq !”. Maka
kawinlah aku dengan Rabi’ah itu. Di rumah kami ada kendi dari tembikar. Maka
pecahlah kendi itu dari basuhan tangan, dari orang-orang yang bercepatan keluar
sesudah makan, lebih-lebih orang yang membasuh tangannya dengan al-asynan
(benda masam yang dipakai untuk pembasuh tangan sesudah makan, seperti sabun
sekarang –Pent.)”. Ahmad meneruskan ceritanya: “Lalu aku kawin sesudah Rabi’ah
tadi, 3 orang wanita lagi. Rabi’ah memberi aku makanan yang baik-baik dan dia
berbuat baik kepadaku serta mengatakan: “Pergilah dengan kerajinan dan
kekuatanmu kepada isteri-isterimu”. Dan adalah Rabi’ah ini pada penduduk negeri
Syam (Syria) menyerupai dengan Rabi’ah Al-‘Adawiyah di negeri Basrah. Setengah
dari kewajiban isteri, ialah tidak memboros suami tetapi menjaganya.
Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi isteri memberi makan orang di
rumah suaminya, kecuali dengan seizinnya, melainkan makanan basah yang ditakuti
busuknya. Kalau ia memberi makanan dengan seizin suami, niscaya bagi isteri itu
pahala, seperti pahala bagi suaminya. Dan kalau ia memberi makan, tanpa seizin
suami, niscaya bagi suami itu pahala dan bagi isteri itu dosa”. Setengah dari
hak wanita atas kedua ibu-bapaknya, ialah mengajarkan wanita itu bagus bergaul
dan adab sopan pergaulan dengan suaminya, sebagaimana diriwayatkan, bahwa Asma
binti Kharijah Al-Fazzari mengatakan kepada puterinya, ketika dikawinkan:
“Sesungguhnya engkau, telah keluar dari sarang burung, dimana engkau masuk di
dalamnya. Maka jadilah engkau sekarang pada tikar yang belum engkau kenal
daripada teman yang belum bertautan hati engkau dengan dia. Maka jadilah engkau
bumi baginya, niscaya jadilah dia langit bagi engkau. Jadi engkau tempat
istirahat baginya, niscaya jadilah dia tiang bagi engkau ! jadilah engkau babu
baginya, niscaya jadilah dia jongos bagi engkau ! janganlah engkau meminta
dengan mendesak padanya, maka benci ia kepada engkau ! janganlah engkau
menjauhkan diri daripadanya, maka ia lupa kepada engkau ! jika ia dekat dari engkau,
maka dekatilah daripadanya dan jika ia jauh, maka jauhilah daripadanya –jagalah
hidungnya, telinganya dan matanya ! sehingga ia tidak mencium dari engkau,
selain yang harum, tidak mendengar, selain yang baik dan tidak melihat, selain
yang elok”.
Seorang laki-laki bermadah kepada
isterinya:
“Hendaklah engkau
pemaaf dari kesalahanku,
supaya cinta
kasihku tetap padamu !
Janganlah engkau
perkatakan tentang kedudukanku,
pada ketika marah
sedang berlaku........!
Janganlah engkau pukul aku,
nanti engkau dipukul rebana sekali !
Karena engkau tidak tahu,
bagaimana menghilangkan diri.....
Janganlah engkau perbanyakkan mengadu,
nanti menghilangkan nafsu syahwatmu !
Dan engganlah kepada engkau hatiku,
dan hati itu bulak-balik selalu......
Aku melihat cinta,
dalam kalbu dan derita.....
Apabila keduanya kumpul berpadu,
maka cinta menghilang selalu.....
Kata yang menghimpunkan tentang adab sopan
santun wanita, tanpa berpanjang-panjang, ialah: bahwa itu hendaklah duduk dalam
rumahnya selalu di tempat jahitannya, tidak banyak naik dan menoleh, sedikit
berbicara dengan tetangga. Tidak datang ke tempat tetangga, selain dalam
keadaan yang mengharuskan masuk ke tempatnya. Menjaga kehormatan suami, ketika
suami pergi dan mencari kesenangan suami dalam segala pekerjaannya. Tidak
berkhianat kepada suami, tentang dirinya dan hartanya sang suami. Ia tidak
keluar dari rumahnya, selain dengan seizin suami. Kalau ia keluar dengan
keizinannya, maka ia menyembunyi kan diri dalam keadaan yang kusut-musut,
mencari tempat-tempat yang sunyi, tidak jalan besar dan pasar-pasar. Ia
menjaga, agar tamu tidak mendengar suaranya atau mengenal dirinya. Jangan ia
perkenalkan kepada teman suaminya, tentang hajat keperluannya. Bahkan hendaknya
ia membantah terhadap orang, yang disangkanya, bahwa orang itu mengetahui akan
hajat keperluannya atau dia mengenal akan orang itu. Cita-citanya, ialah
memperbaiki keadaan dirinya, mengatur rumah-tangganya, menghadapkan hati kepada
shalat dan puasanya.
Apabila teman suaminya meminta
keizinan sesuatu di pintu, sedang suaminya tidak turut hadir, maka janganlah ia
menanyakan ini dan itu dengan mereka. Dan janganlah membiasakan berkata-kata
dengan dia, untuk menjaga kecemburuan keatas dirinya dan suaminya ! Hendaklah
sang isteri merasa cukup dari suaminya, dengan rezeki yang dikurniakan oleh
Allah. Dan hendaklah ia mendahulukan hak suami dari hak dirinya sendiri dan hak
kaum kerabatnya yang lain. Hendaklah sang isteri itu menghiasi diri, bersedia
dalam segala hal keadaan untuk bersenang-senang, apabila suaminya berkehendak.
Hendaklah sang isteri itu cinta kasih kepada semua anak-anaknya, menjaga
menutupi segala kepentingan mereka. Hendaklah sang isteri itu pendek lidahnya
dari memaki anak-anaknya dan mengulang-ulangi kesalahan suaminya.
Nabi saw bersabda: “Aku dan wanita yang hitam
manis kedua pipinya, adalah seperti dua ini dalam sorga: wanita yang meninggal
suaminya dengan ada anak dan menahan dirinya untuk kepentingan anak-anaknya,
sehingga ternyata mereka itu baik atau meninggal dunia”. Nabi saw bersabda:
“Diharamkan oleh Allah kepada tiap-tiap anak Adam akan sorga, yang dimasukinya
sebelum aku. Tetapi aku memandang ke kananku, maka tiba-tiba seorang wanita
memburu mendahului aku ke pintu sorga. Lalu aku menegur: “Mengapakah wanita ini
memburu mendahului aku ?”. Maka dikatakan kepadaku: “Wahai Muhammad ini adalah
wanita yang sangat cantik, padanya beberapa orang anak yatim. Ia sabar demi
kepentingan anak-anak yatim itu, sehingga keadaan mereka sampai kepada demikian
rupa. Maka Allah bersyukur baginya yang demikian itu”.
Setengah dari adab sopan santun isteri, ialah
tidak membanggakan diri terhadap suami dengan kecantikannya. Dan tidak
melecehkan suaminya karena buruknya. Diriwayatkan bahwa Al-Ashma’i bercerita:
“Aku masuk ke suatu kampung. Tiba-tiba aku menjumpai seorang wanita yang paling
cantik wajahnya dengan bersuamikan seorang laki-laki yang paling buruk mukanya.
Lalu aku bertanya kepada wanita itu: “Hai adakah dirimu senang berada di bawah
orang yang seperti suamimu itu ?”. Wanita cantik itu menjawab: “Diam
! tuan telah berbuat jahat tentang perkataan Tuan itu ! semoga suamiku telah
berbuat baik diantara dia dan Khaliq (yang maha pencipta)nya. Lalu ia
menjadikan pahalanya untukku. Atau mungkin aku telah berbuat jahat, diantara
aku dan Khaliq (yang maha pencipta)ku, maka Allah menjadikan dia sebagai
siksaan bagiku. Adakah patut aku tidak rela, dengan apa yang direlai Allah
untukku ?”. Wanita yang cantik tadi membuat aku terdiam”. Al-Ashma’i
bercerita lagi: “Aku melihat di suatu kampung seorang wanita, yang berbaju
kurung merah. Ia mencat diri dan di tangannya tasbih. Lalu aku berkata:
“Alangkah jauhnya ini dan ini !”. Maka wanita itu menjawab dengan sekuntum
syair:
Kepunyaan Allah
daripadaku suatu segi,
yang tidak akan aku sia-siakan.......
Dan dariku sendiri suatu segi,
untuk yang salah dan permainan.......”
Lalu tahulah aku, bahwa wanita itu, adalah seorang wanita
yang shalih, mempunyai suami, dimana ia berhias diri untuk suaminya itu”.
Setengah dari adab-sopan santun wanita, ialah
selalu berbuat yang baik dan menahan diri ketika suaminya pergi. Dan kembali
kepada bersenda gurau, bergembira serta segala jalan kesenangan pada waktu
suaminya berada di sampingnya. Dan tiada seyogyalah isteri menyakiti suaminya,
dengan keadaan apapun juga. Diriwayatkan dari Ma’az bin Jabal, yang
menerangkan: “Rasulullah saw telah bersabda: “Janganlah wanita itu menyakiti
suaminya di dunia, dimana isterinya dari bidadari berkata: “Janganlah engkau
menyakiti dia, nanti engkau diperangi oleh Allah. Sesungguhnya dia (suami) itu,
adalah dimasukkan kepadamu, mungkin ia akan berpisah dengan engkau, lalu datang
kepada kami”.
Diantara yang wajib diatas isteri dari hak-hak perkawinan, ialah:
apabila suaminya meninggal, maka janganlah ia berkabung lebih dari 4 bulan 10
hari. Dan selama itu, ia menjauhkan bau-bauan dan perhiasan. Zainab binti Abi
Salmah menceritakan: “Aku masuk ke tempat Ummu Habibah –isteri Nabi saw ketika
bapaknya Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta
bau-bauan, yang mana didalamnya semacam bau-bauan yang berwarna kuning atau
lainnya. Lalu beliau meminyaki seorang budak wanita, kemudian memegang kedua
pipinya, maka berkata: “Demi Allah, tidaklah aku memerlukan kepada bau-bauan.
Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, untuk berkabung buat orang yang
meninggal, lebih banyak dari 3 hari, kecuali kepada suaminya yang meninggal,
maka selama 4 bulan 10 hari”. Dan haruslah wanita yang meninggal suaminya itu,
menetap di rumah perkawinan (rumah suaminya), sampai berakhir ‘iddah. Dan
tidaklah ia berpindah kepada keluarganya dan keluar, kecuali ada kepentingan.
Sebagian dari adab sopan santun wanita itu, ialah melaksanakan segala
pengkhidmatan dalam rumah tangga menurut kemampuannya. Diriwayatkan dari Asma’
binti Abubakar Ash-Shiddiq ra bahwa Asma’ menerangkan: “Aku telah dikawini
Zubair dan ia tidak mempunyai di bumi, harta, budak dan sesuatu, selain dari
kudanya dan keledai penyiram air. Maka aku beri umpan kudanya, aku cukupkan
belanja yang dibawanya pulang dan aku berbuat dengan bijaksana. Aku tumbuk biji
tamar untuk makanan untanya; aku beri umpan, aku mencari air minum, aku jahit
tempat airnya dari kulit dan aku tumbuk tepung. Aku pikul biji tamar diatas
kepalaku dari tempat yang jauhnya 2/3 mil, sehingga Abubakar mengirimkan
kepadaku seorang budak wanita. Maka memadailah bagiku memelihara kuda saja dan
seolah-olah beliau telah memerdekakan aku. Pada suatu hari aku bertemu dengan Rasulullah
saw. Beliau bersama sahabat-sahabatnya dan diatas kepalaku pikulan dari biji
tamar. Lalu beliau bersabda: “Ach-ach !”. Hendaklah mendudukkan untanya dan
membawa aku di belakangnya”. Maka aku malu jalan bersama laki-laki. Aku
sebutkan Zubair dan kecemburuannya. Dan Zubair itu adalah manusia yang paling
cemburu. Maka tahulah Rasulullah saw bahwa aku malu. Lalu aku datang kepada
Zubair dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka Zubair menjawab:
“Demi Allah sesungguhnya, engkau pikul tamar diatas kepala engkau, adalah lebih
berat kepadaku, daripada engkau berkendaraan bersamanya”.
Telah tammat “Kitab
adab perkawinan” dengan pujian dan keni’matan daripada Allah. Dan rahmat Allah
kepada tiap-tiap hamba yang pilihan.