Jumat, 20 Januari 2017

2. KITAB QAIDAH-QAIDAH I’TIQAD (KEYAKINAN)

KITAB QAIDAH-QAIDAH I’TIQAD (KEYAKINAN) 
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”.
Di dalamnya terdapat 4 pasal:
Yang pertama: menguraikan keyakinan manusia tentang dua kalimah syahadah, yaitu salah satu dari dasar-dasar Islam. Maka berkatalah kami dengan memohon kan petunjuk daripada Allah Ta’ala: Segala pujian bagi Allah yang menjadikan, yang mengembalikan, yang berbuat barang sekehendakNya, yang mempunyai surga mulia, yang gagah perkasa, yang memberi petunjuk kepada hambaNya yang bersih, kepada cara yang betul dan jalan benar, yang memberikan nikmat kepada mereka sesudah pengakuan dengan terjaga keyakinannya dari kegelapan keraguan dan kesangsian, yang membawa mereka kepada mengikuti RasulNya yang pilihan dan menuruti peninggalan para sahabatnya yang mulia, yang dikaruniai dengan kekuatan dan kebenaran, yang menampakkan kepada mereka tentang zatNya dan perbuatanNYA dengan segala sifatNya yang baik, yang tidak akan mengetahuinya, selain orang yang dilimpahkan pendengaran dan Allah itu yang menyaksikan, yang memperkenalkan kepada mereka bahwa zatNya itu Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal tiada yang menyamaiNya, lengkap rahmatNya, tiada yang melawaniNya, sendirian tiada yang menyekutuiNya. Bahwa DIA itu Esa, tiada permulaan, tiada berpendahuluan, berkekalan wujudNya, tiada berkesudahan, abadi tiada berpenghabisan, tegak berdiri tiada yang menghalangiNya, kekal tiada putusNya, senantiasa dan selalu bersifat dengan segala sifat kebesaran, tiada habis dengan kehabisan dan pemisahan, dengan pergantian abad dan musnahnya zaman. Tetapi DIAlah yang awal dan yang akhir, yang terlihat dan yang tidak terlihat. Dia amat mengetahui dengan tiap-tiap sesuatu.
KeMaha Sucian (tanzih),
Bahwa Ia/ALLAH tidak dengan tubuh yang merupakan, tidak benda atau barang yang terbatas dan berhingga. DIA tidak menyerupai dengan segala tubuh, tidak pada kira-kiraan dan tidak pada dapat dibagi-bagikan. Tidaklah Dia itu benda/barang dan tidaklah Dia ditempati oleh benda2/barang2. Tidaklah Dia itu sifat yang mengambil tempat dan tidaklah Dia ditempati oleh sifat yg mengambil tempat2. Bahkan Dia tidak menyerupai dengan yang ada dan tidak sesuatu yang adapun menyerupai dengan Dia. Tiadalah sepertiNya sesuatu dan tidaklah Dia seperti sesuatu. Dia tidak dibatasi oleh sesuatu batas dan tidak mengandung sesuatu jurusan, tidak diliputi oleh pihak, tidak dibatasi oleh bumi dan langit. Dia berbersemayam di atas ‘Arasy/sorga menurut firmanNya dan menurut arti yang dikehendakiNya, istiwa (bersemayam)’ yang suci dari tersentuh dengan sesuatu, suci dari tetap dan tenang, suci dari mengambil tempat dan berpindah. Dia tidak dibawa oleh ‘Arasy tetapi ‘Arasy dan pembawa-pembawa ‘Arasylah yang dibawa dengan kelemah-lembutan kemampuan NYA, yang digagahi dalam genggamanNya. Dia di atas ‘Arasy dan langit dan di atas segala-galanya sampai ke segala lapisan bumi, keatasan yang tidak menambahkan dekatNya kepada ‘Arasy dan langit sebagaimana tidak menambahkan jauhNya dari bumi dan lapisan tanah. Tetapi Dia di tingkat yang maha tinggi dari ‘Arasy dan langit, sebagaimana Dia di tingkat yang maha tinggi dari bumi dan lapsian tanah. Dan pada itu, Dia dekat sekali dengan segala yang ada. Dan maha dekat kepada hambaNya, lebih dekat dari urat leher hambaNya itu sendiri. Dia menyaksikan tiap-tiap sesuatu. Tidak menyerupai kehampiranNya dengan kehampiran di antara tubuh-tubuh, sebagaimana tidak menyerupai zatNya dengan segala zat tubuh-tubuh itu. Dia tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu bertempat padaNya. Maha Suci IA dari dipengaruhi oleh tempat, sebagaimana Ia maha suci daripada dibataskan oleh waktu. Tetapi adalah Dia sebelum dijadikan zaman dan tempat. Dia sekarang menurut apa yang Dia ada. Dia tidak sama dengan makhlukNya dengan segala sifatNya. Tiada sesuatu yang sama dengan zatNya dan tidaklah zatNya menyamai dengan sesuatu. Dia maha suci dari perobahan dan perpindahan. Tidaklah bertempat padaNya segala kejadian dan tidaklah mempengaruhiNya oleh segala yang mendatang. Tetapi senantiasalah Dia dalam segala sifat kebesaranNya, maha suci dari kelenyapan dan senantiasalah Dia dalam segala sifat kesempurnaanNya, tidak memerlukan kepada penambahan kesempurnaan lagi. Mengenai zatNya diketahui adaNya dengan akal pikiran, dilihat zatNya dengan mata hati sebagai suatu nikmat daripadaNya sebagai kasih sayangNya kepada orang-orang yang berbuat baik dalam negeri ketetapan nanti dan sebagai suatu kesempurnaan daripadaNya dengan kenikmatan memandang kepada wajahNya yang mulia.
Hayah (hidup) dan kudrah (kuasa).
Dia itu hidup, yang kuasa, yang gagah, yang perkasa, tidak ditimpakan kepadaNya oleh kekurangan dan kelemahan, tidak ada padaNya lupa dan tidur, tidak didatangi oleh kebinasaan dan kematian. Dialah yang mempunyai kerajaan dan kekuasaan, yang mempunyai kemuliaan dan kebesaran. KepunyaanNya kekuasaan, keperkasaan, kejadian dan segala urusan. Segala langit itu terlipat dengan kananNya, segala makhluk itu digagahi dalam genggamanNya. Dia sendirian menjadikan dan mengadakan. DijadikanNya makhluk dan perbuatannya, ditentukanNya rezeki dan ajalnya. Tidak terlepas kekuasaan dari genggaman Nya dan tidak luput dari kekuasaanNya segala pertukaran keadaan. Tak terhinggakan yang dikuasaiNya dan tidak berkesudahan yang diketahuiNya.
Ilmu (mengetahui).
Dia yang mengetahui segala yang diketahui, yang meliputi dengan apa yang berlaku dari segala lapisan bumi sampai kepada langit yang tinggi. Dia maha tahu, tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawi sekalipun, di bumi dan di langit, bahkan Dia mengetahui semut yang hitam, yang berjalan di atas batu yang hitam, dalam malam yang kelam. Dia mengetahui gerakan yang paling halus di udara terbuka. Dia tahu rahasia dan yang tersembunyi. Dan melihat segala bisikan dalam hati kecil manusia, segala gurisan dalam hati yang tersembunyi di dalam jiwa, dengan ilmuNYA yang tiada berpemulaan dan tiada kesudahan. Senantiasalah Dia bersifat demikian pada tiada kesudahan. Tidaklah ilmuNya dengan pengetahuan yang membaru, yang terjadi pada zatNya dengan bertempat dan berpindah.
Iradah ( kemauan / berkehendak).
Dia itu berkehendak, menjadikan segala yang ada, mengatur segala yang baru. Maka tidaklah berlaku pada alam yang nyata ini dan yang tidak nyata, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, bermanfaat atau melarat, iman atau kufur, pengakuan atau mungkir, kemenangan atau kerugian, bertambah atau berkurang, taat atau ma’siat, selain dengan ketetapan dan taqdirNya, ilmu dan kehendakNya. Apa yang dikehendakiNya ada. Yang tidak dikehendakiNya tidak ada. Tak ada yang keluar dari kehendakNya meskipun palingan muka orang yang memandang dan gurisan hati dari seseorang manusia. Tetapi Dialah yang memulai dan yang mengulangi, berbuat sekehendakNya, tak ada yang menolak dari perintahNya dan tak ada yang dapat berbuat akibat ketetapanNya. Tak ada yang dapat melarikan seorang hamba dari kema’siatanNya, selain dengan petunjuk dan kasih sayang/rahmatNya. Tak ada kekuatan untuk mentaatiNya selain dengan kehendakNya. Kalau berkumpullah insan dan jin, malaikat dan setan, untuk menggerakkan di alam ini sesuatu benda yang kecil saja atau menempatkan nya tanpa kehendakNya, maka akan lemahlah mereka itu daripadanya. KehendakNYA itu berdiri pada zatNya dalam jumlah sifat-sifatNya. Senantiasalah Dia demikian, bersifat dengan Kehendak. Dia berkehendak pada azal/kematian untuk adanya segala sesuatu, pada waktu-waktunya yang ditaqdirkanNya. Lalu terdapatlah segala sesuatu itu pada waktunya, menurut kehendakNya pada azal, tidak terdahulu dan tidak terkemudian. Bahkan terjadi sesuai dengan ilmu dan KehendakNya, tanpa pertukaran dan perubahan. Dia mengatur segala urusan, tidak dengan tartib pikiran dan pengaruh zaman. Karena itu, tidaklah Dia dipengaruhi oleh apapun juga.
Sama’ (mendengar) dan bashar (melihat)
Dia yang mendengar lagi yang melihat. Dia mendengar dan melihat, yang tidak luput dari pendengaranNya yang terdengar, meskipun tersembunyi. Tidak lenyap dari penglihatanNya yang terlihat, meskipun sangat halus. Tidak menghalangi pendengaranNya oleh kejauhan. Tidak menolak penglihatanNya oleh kegelapan. Dia melihat tanpa biji mata dan kelopak mata. Dia mendengar tanpa anak telinga dan daun telinga, sebagaimana Dia tahu tanpa hati. dan bertenaga tanpa anggota badan. dan menjadikan tanpa perkakas. Karena tidaklah sifatNya menyerupai sifat makhluk, sebagaimana zatNya tidak menyerupai zat makhluk.
Kalam (berkata-kata)
Dia yang berkata-kata, yang menyuruh dan melarang, yang berjanji balasan baik bagi orang yang berbuat baik dan yang berjanji balasan buruk bagi orang yang berbuat jahat, dengan kalimatNya yang tiada kesudahan, tiada berpemulaan, berdiri dengan zatNya, yang tidak menyerupai dengan kalimat makhluk. Tidaklah kalimatNya itu dengan suara yang datang dari pembawaan udara atau penggosokan beberapa benda. Tidak dengan huruf yang berputus-putus dengan melipatkan bibir atau menggerakkan lidah. Dan sesungguhnya Alquran, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitabNya yang diturunkan kepada para rasulNya as. Dan Alquran itu dibacakan dengan lidah, dituliskan pada lembaran-lembaran kertas dan dihafalkan di dalam hati. Dalam pada itu, Al quran itu tiada berpermulaan, berdiri dengan zat Allah Ta’ala. Tidak menerima pemisahan dan penceraian dengan sebab berpindah ke dalam hati dan kertas. Nabi Musa as mendengar kalimat Allah, tanpa suara dan huruf, sebagaimana orang-orang yang selalu berbuat kebaikan melihat Allah Ta’ala di akhirat dengan tidak berbentuk sesuatu atau sifat yg mengambil tempat. Apabila segala sifat yang tersebut tadi ada pada zat Allah Ta’ala, maka adalah Allah Ta’ala itu yang hidup dengan hidupNya, yang mengetahui dengan ilmuNya, yang berkuasa dengan kehendakNya, yang berkehendak dengan kehendakNya, yang mendengar dengan sama’ (mendengar)-Nya, yang melihat dengan bashar (melihat)Nya dan yang berkata-kata dengan kalam (berkata-kata)Nya. Tidak dengan semata-mata zat.
Af’al ( perbuatan-perbuatan)
Tidak adalah yang ada selain Dia. Yang lain itu ada dengan perbuatanNya, yang melimpah dari keadilanNya dengan bentuk yang sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya dan seadil-adilnya. Dia maha bijaksana dalam segala perbuatanNya, maha adil dalam segala hukumNya. Tak dapatlah dibandingkan keadilanNya dengan keadilan hambaNya. Karena hamba itu, tergambar daripadanya kejahatan, dalam mengurus hak milik orang lain. Dan tidak tergambar kejahatan daripada Allah Ta’ala. Sebab tidak dijumpai milik bagi yang lain, dari Allah, sehingga ada pengurusanNya itu jahat. Seluruhnya yang lain dari Allah, yaitu insan, jin, malaikat, setan, langit, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, barang beku, barang/benda, yg mengambil tempat, yang diketahui dan yang dirasa, adalah baru, yang dijadikan Allah dari tidak ada dengan kehendakNya dan yang diciptakanNya dari tidak ada sama sekali. Karena pada yg tiada berpemulaan hanyalah Dia yang ada yang Maha Esa dan yang lainNya tidak ada. Maka kemudian, dijadikanNya makhluk, untuk menyatakan kehendakNya, membuktikan bagi yang telah lalu dari kehendakNya dan kebenaran kalimahNya pada tiada kesudahan. Bukan karena Dia memerlukan dan berhajat kepada yang baru itu. Dia berkemurahan dengan menjadikan, menciptakan dan menugaskan, bukan dari kewajiban kepadaNya. Dan mengurniakan kenikmatan dan perbaikan, bukan suatu keharusan kepadaNya. Maka bagiNyalah keutamaan, kebaikan, kenikmatan dan kemurahan. Karena Dia berkuasa menimpakan bermacam-macam ‘azab kepada hambaNya dan mencobai nya dengan berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Jika dibuatNya demikian, maka adalah itu keadilan daripadaNya, bukan kekejian dan kedhaliman. Dia memberi pahala kepada hambaNya yang mu’min atas ketaatan adalah karena kemurahan dan janjiNya. Bukan karena menjadi hak dari orang mu’min yang taat itu dan bukan suatu keharusan atas Allah Ta’ala. Karena tidak wajib atasNya berbuat untuk seseorang dan tidak tergambar daripada Allah sesuatu kedhaliman. Tidak harus ada hak seseorang atas Allah. Dan hak Allah atas makhluk wajib pada mentaatiNya, dengan diwajibkanNya disampaikan oleh lisan para nabiNya. Tidak dengan semata-mata akal, tetapi Ia mengutuskan rasul-rasul dan melahirkan kebenaran mereka dengan mu’jizat-mu’jizat yang nyata. Lalu mereka itu menyampaikan perintahNya, laranganNya, janji pahala kepada yang berbuat kebajikan dan janji siksa kepada yang berbuat kejahatan. Maka wajiblah atas makhluk membenarkan rasul-rasul itu, akan apa yang dibawanya.
Arti kalimah kedua, yaitu mengakui kerasulan rasul-rasul membawa risalah: Bahwa Allah Ta’ala mengutuskan seorang nabi yang ummi (tak tahu tulis baca) dari suku Quraisy, bernama Muhammad saw membawa risalah kepada seluruh Arab dan ‘Ajam (bukan Arab), jin dan insan. Maka dengan syarat yang dibawanya itu, menjadi tercakuplah segala agama yang terdahulu, kecuali hal-hal yang ditetapkan berlakunya oleh agama yang baru itu. Dan dilebihkanNya nabi Muhammad saw atas nabi-nabi yang lain. DijadikanNya dia menjadi penghulu segala manusia dan tidak diakuiNya kesempurnaan iman dengan syahadah keesaan saja, yaitu mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAAH” (Tidak ada Tuhan kecuali Allah) sebelum disambung dengan syahadah rasul. Yaitu mengucapkan “MUHAMMADUR RASULULLAH” (muhamad utusan Allah). DiharuskanNya seluruh makhluk membenarkan Muhammad saw itu dalam segala perkhabaran yang dikhabarkannya, tentang urusan dunia dan akhirat. Dan tidak diterimaNya iman seseorang hambaNya, sebelum beriman dengan apa yang dikhabarkan Muhammad saw tentang hal-hal sesudah mati. Yaitu yang pertamanya, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
Kedua malaikat ini adalah dua pribadi yang hebat menakutkan, mendudukkan dengan baik akan hamba Allah dalam kuburnya dengan ruh dan jasad. Lalu menanyakan tentang keesaan/keyakinan dan risalah, dengan mengatakan: “Siapa Tuhanmu ? apa agamamu ? siapa nabimu ?”. Kedua malaikat itu adalah pembawa cobaan di dalam kubur. Pertanyaannya tadi, adalah cobaan pertama sesudah mati. Dan bahwa diimani dengan adanya azab kubur. Dan Allah itu benar, hukumNya adil menurut sekehendakNya atas tubuh dan ruh. Dan bahwa diimani dengan adanya neraca timbangan amal yang mempunyai dua daun dan lidah neraca. Tentang besarnya adalah seumpama lapisan langit dan bumi, yang ditimbang padanya segala amalan dengan kehendak Allah Ta’ala. Yang pokok pada masa itu, meskipun seberat semut yang kecil dan biji-bijian yang halus, adalah untuk membuktikan kesempurnaan keadilanNya. Dan diletakkan lembaran amal yang baik dalam bentuk yang bagus pada daun neraca dari cahaya. Lalu beratlah neraca dengan amalan itu, menurut derajatnya di sisi Allah Ta’ala dengan karuniaNya, dan dilemparkanlah lembaran amal yang keji dalam bentuk yang buruk pada daun neraca kegelapan. Maka ringanlah daun neraca itu dengan keadilan Allah. Dan bahwa diimani, bahwa titian Ash-shiraatal-mustaqiim itu benar adanya. Yaitu titian yang memanjang, melalui neraka jahannam, lebih tajam dari pedang, lebih halus dari rambut, terpeleset kaki orang-orang kafir di atasnya dengan hukum Allah Ta’ala. Lalu mereka jatuh tersungkur ke dalam neraka. Dan tetaplah di atasnya kaki orang-orang mu’min dengan kurnia Allah. Lalu mereka dibawa ke negeri ketetapan (sorga). Dan bahwa diimani dengan al-haudl-al-mauruud Yaitu kolam Nabi Muhammad saw, di mana orang-orang mu’min akan minum padanya, sebelum masuk sorga dan sesudah melewati titian Ash-shiraatal-mustaqiim. Barangsiapa meminum padanya sekali minum, maka tidak akan haus sesudahnya lagi selama-lamanya. Kolam itu lebarnya seperjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Sekelilingnya cerek-cerek, jumlahnya sebanyak bintang di langit. Dalam kolam itu terdapat dua pancuran yang memancur padanya air dari sungai Al-Kausar.
Dan bahwa diimani dengan hitungan amalan dan berlebih kurangnya manusia di dalam perhitungan/penghisaban itu yang terbagi kepada: orang yang diminta keterangan pada hitungan amalan, yang diperlunak pada hitungan amalan dan orang yang masuk sorga tanpa hitungan amalan. Yaitu orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan beramalan banyak). Maka Allah menanyakan siapa yang dikehendakiNya dari para nabi tentang penyampaian risalah dan siapa yang dikehendakiNya dari orang-orang kafir tentang pendustaan mereka kepada rasul-rasul. Allah menanyakan orang-orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) dari sunnah dan menanyakan orang muslim tentang amalan. Dan bahwa diimani, bahwa orang yang berkeyakinan itu dikeluarkan dari neraka sesudah habis penyiksaan, sehingga tidak tinggal di dalam neraka jahannam seorangpun yang berkeyakinan dengan karunia Allah Ta’ala. Maka tidak ada orang yang berkeyakinan kekal dalam neraka.
Dan bahwa diimani, akan memperoleh syafa’ah (restu) nabi-nabi, kemudian syafa’ah (restu) ulama-ulama, kemudian syafa’ah (restu) syuhada, kemudian syafa’ah (restu) orang mu’min yang lain menurut kemegahan dan kedudukannya di sisi Allah Ta’ala. Dan orang mu’min lainnya, yang tak ada baginya yang memberikan syafa’ah (restu), maka dia dikeluarkan dari neraka dengan karunia Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka tak ada seorang mu’minpun yang kekal dalam neraka. Siapa saja yang dalam hatinya ada seberat biji sawi keimanan akan dikeluarkan dari neraka itu. Dan bahwa diimani kelebihan para sahabat ra dan urutannya. Bahwa manusia yang terutama sesudah Nabi saw, ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali, diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian. Dan sesungguhnya hendaklah berbaik sangka dengan sekalian sahabat Nabi saw dan memberi pujian kepada mereka, sebagaimana Allah SWT dan Rasulullah saw memberi pujian kepada mereka itu sekalian.
Semuanya itu, termasuk diantara apa yang dibawakan hadits dan disaksikan oleh kata-kata peninggalan dari sahabat dan orang-orang yang terdahulu (atsar). Barangsiapa mempercayai yang demikian itu dengan penuh keyakinan, maka adalah dia diantara ahli kebenaran, pendukung sunnah, terpisah dari rombongan kesesatan dan golongan yang mengada-ada. Kepada Allah Ta’ala kita meminta kesempurnaan keyakinan dan kebagusan ketetapan dalam agama, untuk kita sendiri dan untuk kaum muslimin seluruhnya dengan rahmat Allah. Dia amat mengasihani dari segala yang mengasihani. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada penghulu kita Muhammad saw dan kepada semua hambaNya yang pilihan.
PASAL KEDUA: tentang cara berangsur-angsur memberi petunjuk dan susunan tingkatan kei’tiqadan (keyakinan).
Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan keyakinan, maka sewajarnyalah didahulukan kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya. Supaya dihafalnya dengan baik. Kemudian, senantiasalah terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar. Jadi, permulaannya dengan menghafal, kemudian memahami, kemudian berkeyakinan, meyakini dan membenarkan. Dan yang demikian, termasuk hal yang berhasil pada anak-anak, dengan tidak memerlukan dalil. Maka diantara karunia Allah Ta’ala kedalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada awal kejadiannya, kepada iman tanpa memerlukan kepada alasan dan dalil. Bagaimanakah yang demikian itu dapat dibantah ? seluruh keyakinan orang awam, permulaannya adalah ajaran & menurut semata-mata. Memang keyakinan yg hasil dengan semata-mata menurut, tidak luput pada mulanya dari kelemahan, dengan pengertian mungkin hilang bila datang lawannya. Dari itu harus dikuatkan dan ditetap-teguhkan dalam jiwa anak-anak dan orang awam, sehingga meresap dan tidak goyang lagi.
                   Jalan menguatkan & menetapkannya, tidaklah dengan mengajarkan cara berdebat & berilmu kalam (berkata-kata). Tetapi adalah dengan memperbanyak pembacaan Alquran serta tafsirnya, membaca hadits dan pengertiannya. Dan mengerjakan dengan sungguh-sungguh segala macam ibadah. Dengan demikian, maka keyakinan itu senantiasa bertambah meresap dengan dalil-dalil Alquran dan keterangannya, yang mengetuk anak telinganya. Dan dengan kesaksian hadits dan faedah-faedah yang terkandung di dalamnya. Dan dengan sinaran cahaya gemilang dari segala ibadah dan tugas-tugasnya. Dan dengan menjalar kepadanya, dari menyaksikan orang-orang shalih dan duduk-duduk dengan mereka, tanda, pendengaran dan sikap mereka, pada merendahkan diri, takut dan ketetapan hati kepada Allah Ta’ala. Maka adalah permulaan ajaran keimanan itu, laksana penyebaran benih ke dalam dada. Dan sebab-sebab yang tersebut tadi adalah laksana penyiraman dan pemeliharaan benih itu. Sehingga tumbuh benih itu, kuat dan tinggi, menjadi sepohon kayu yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan cabangnya di langit. Dan hendaklah pendengaran anak-anak itu dijaga dengan sebaik-baiknya dari berbantah dan berilmu kalam (berkata-kata). Sebab kekacauan yang ditimbulkan oleh perdebatan itu, lebih banyak daripada pendidikan yang dihasilkannya. Dan apa yang dirusakkannya, adalah lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Bahkan menguatkan keimanan dengan perdebatan itu menyerupai dengan memukul batang kayu dengan palu besi, karena mengharap bertambah kuatnya dengan bertambah banyak bahagian-bahagiannya. Dan kadang-kadang perbuatan itu membinasakan dan merusakkan batang kayu itu. Dan inilah yang banyak kejadian. Kesaksian membuktikan demikian dengan tegas. Dan ambillah itu menjadi bukti yang dapat dipersaksikan dengan mata. Maka ambillah perbandingan antara keyakinan/aqidah orang-orang shalih dan bertaqwa dari kebanyakan manusia dengan keyakinan orang-orang ahli ilmu kalam (berkata-kata) dan perdebatan. Maka akan kita jumpai bahwa keyakinan orang awam itu tetap seperti bukit yang tinggi, tidak dapat diumbang-ambingkan oleh angin topan dan halilintar. Dan keyakinan ahli ilmu kalam (berkata-kata) yang menjaga keyakinan nya dengan bermacam-macam perdebatan, adalah seumpama seutas benang yang terlepas di udara, ditiupkan angin ke sana-sini. Kecuali orang-orang yang mendengar dalil keyakinan dari ahli-ahli ilmu kalam, lalu dipegangnya secara yakin/taqlid (turut/menurut). Sebagaimana dipegang nya keyakinan itu sendiri secara yakin/menurut, karena tak ada bedanya pada berkeyakinan antara mempelajari dalil atau mempelajari keyakinan itu tanpa dalil.
                    Maka mempelajari dalil itu adalah satu hal dan mencari dalil dengan pemikiran, adalah hal lain pula yang lebih jauh daripadanya. Seorang anak kecil, apabila terjadi dalam perkembangan hidupnya diatas keyakinan ini, jika dia berkecimpung dalam usaha keduniaan, maka tak terbuka baginya selain dari keyakinan tadi. Tetapi ia selamat di akhirat dengan keyakinan ahli kebenaran itu. Sebab, agama itu sendiri tidak memberatkan kepada orang-orang Arab yang sederhana pengetahuan nya, lebih banyak dari membenarkan dengan keyakinan akan yang jelas-jelas saja dari keyakinan itu.
                    Adapun pembahasan, pemeriksaan dan pengaturan dalil-dalil yang berat-berat, maka tidaklah sekali-kali mereka itu diberatkan. Jika ia bermaksud menjadi orang yang menuju ke jalan akhirat dan mendapat pertolongan petunjuk/taufiq, sehingga ia berbanyak amal, selalu bertaqwa, mencegah diri dari hawa nafsu, selalu melatih diri dan berzihat melawan hawa nafsu/bermujahadah, niscaya terbukalah baginya pintu hidayah, tersingkaplah segala hakikat/makna dari keyakinan ini dengan cahaya Ilahi yang dicurahkan dalam hatinya dengan sebab melawan hawa nafsu itu, untuk pembuktian atas janji Allah yang Maha Mulia & Maha Besar, dengan firmanNya: “Dan mereka yang berjihat untuk melawan hawa nafsu untuk Kami, sesungguhnya Kami tunjukkan jalan Kami kepada mereka. Bahwasanya Allah itu beserta orang yang berbuat baik”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 69. Itulah mutiara yang amat berharga, yang menjadi tujuan dari keimanan orang-orang yang shiddiq/Benar dan orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah.
                  Dan kepadanyalah diisyaratkan, rahasia kebesaran yang terpendam dalam dada Abu Bakar Shiddiq ra sehingga dia terpandang lebih mulia dari orang-orang lain. Tebukanya satu rahasia itu, bahkan semua rahasia-rahasia itu, mempunyai tingkat menurut tingkat kesungguhannya, tingkat kebathinannya tentang kebersihan dan kesucian dari selain Allah Ta’ala dan tentang memperoleh cahaya dengan cahaya keyakinan. Dan yang demikian itu, adalah seperti berlebih-kurangnya pengetahuan manusia tentang rahasia ilmu kedokteran, ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang lain. Karena berlainan yang demikian dengan berlainannya keyakinan dan kejadian diri yang suci bersih, tentang kecerdikan dan kepintaran. Maka sebagaimana tingkat-tingkat itu tidak terhingga, maka begitu pulalah ini.
M a s a l a h
Kalau anda tanyakan: mempelajari cara berdebat dan ilmu kalam (berkata-kata) itu tercela, seperti mempelajari ilmu bintang atau dibolehkan atau disunnatkan? Maka ketahuilah, bahwa manusia dalam hal ini, mempunyai hal di luar batas dan berlebih-lebihan dalam beberapa segi. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa mempelajari berdebat dan ilmu kalam (berkata-kata) itu bid’ah (yang diada-adakan) dan haram. Dan bahwa hamba Allah itu jika dia menjumpai Allah dengan seluruh dosanya selain syirik (mempersekutukan Allah), adalah lebih baik baginya daripada menjumpaiNya dengan ilmu kalam (berkata-kata). Diantaranya ada yang mengatakan wajib dan fardlu. Adakalanya secara fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu) atau fardlu‘ain (wajib dikerja kan). Dan ilmu kalam itu seutama-utama ilmu dan setinggi-tinggi penghampiran diri kepada Allah. Karena ilmu itu meyakinkan bagi ilmu keesaan dan mempertahankan agama Allah Ta’ala. Dan kepada pengharaman, ialah sepanjang madzhab Asy-Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Sufyan dan seluruh salaf/ulama terdahulu dari ahli hadits.
Berkata Ibnu Abdil-A’la ra: “Saya mendengar Asy-Syafi’i ra, pada hari dia berdebat dengan Hafshul-fard seorang ahli ilmu kalam (berkata-kata) dari golongan Mu’tazilah, mengatakan: “Lebih baik bagi seorang hamba Allah bertemu dengan Allah dengan segala dosa selain dari syirik daripada bertemu dengan Allah dengan sesuatu daripada ilmu kalam Allah”. Dan saya sudah mendengar dari Hafshul-fard tadi, kata-kata yang tak sanggup saya menceritakannya”. Berkata Ibnu Abdil-A’la pula: “Saya sudah melihat dari ahli ilmu kalam (berkata-kata) itu, sesuatu yang saya tidak menyangkanya sama sekali. Dan untuk seorang hamba Allah itu, lebih baik mendapat percobaan dengan segala yang dilarang Allah selain dari syirik, daripada memandang pada ilmu kalam”.
Berkata Al-Karabisi ra: “Bahwa pernah Asy-Syafi’i ra ditanyakan orang mengenai sesuatu dari ilmu kalam. Maka beliau marah, seraya berkata: “Tanyakanlah tentang ini kepada Hafshul-fard dan kawan-kawannya, orang-orang yang telah dihinakan Tuhan”. Ketika Asy-Syafi’i ra sakit, lalu datang kepadanya Hafshul-fard seraya bertanya kepadanya: “Siapakah saya ini ?”. Maka menjawab Asy-Syafi’i: “Hafshul-fard, tidak dipelihara dan dipimpin engkau oleh Allah sebelum engkau bertaubat dari paham yg engkau anut sekarang”. Berkata Asy-Syafi’i lagi: “Jikalau tahulah manusia apa yg didalam ilmu kalam itu dari bermacam-macam hawa nafsu, maka akan larilah mereka daripadanya seperti larinya dari singa”. Berkata lagi Asy-Syafi’i: “Apabila engkau mendengar seseorang mengata kan: nama, ialah yang dinamakan/bukan yg dinamakan, maka naik saksilah bahwa orang tersebut termasuk ahli ilmu kalam & tak ada agama bagi orang itu”. 
Berkata Az-Za’farani: “Kata Asy-Syafi’i: Hukumanku kepada orang-orang ilmu kalam (berkata-kata) itu, dipukul dengan pelepah kurma dan dibawa berkeliling pada kabilah-kabilah dan puak-puak. Dan dikatakan, inilah balasan orang yang meninggalkan Alquran dan As-Sunnah dan mengambil ilmu kalam”. Berkata Ahmad bin Hanbal: “Orang ilmu kalam (berkata-kata) itu tidak akan memperoleh kemenangan selama-lamanya. Hampir kita tidak mellihat seorangpun yang memperhatikan ilmu kalam (berkata-kata) itu, melainkan di dalam hatinya terdapat keragu-raguan”. Begitu benar Ahmad bin Hanbal mencela ilmu kalam (berkata-kata) itu, sampai ia tidak mau bercakap-cakap dengan Al-Harits Al-Muhasibi –seorang yang zuhud dan wara’. Karena Al-Harits mengarang sebuah kitab untuk menentang kaum bid’ah (yang diada-adakan). Berkata Ahmad bin Hanbal kepada Al-Harits itu: “Kasihan saudara ! bukankah saudara menceritakan mula-mula kebid’ahan (yang diada-adakan) mereka itu ? kemudian saudara menolaknya ? bukankah saudara dengan karangan saudara itu, membawa manusia kepada membaca bid’ah/yg diada-adakan dan berpikir kepada yang syubhat (diragukan) ? lalu terbawalah mereka kepada berpendapat dan membahas ?”.
Berkata Ahmad ra: “Ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (Islam pada dhahir & kafir pada bathin)”. Berkata Malik ra: “Tidakkah engkau melihat, bila datang orang yang lebih pandai berdebat daripadanya, adakah ia meninggalkan agamanya tiap-tiap hari, untuk agama baru ?”. Maksud Malik, bahwa perkataan orang-orang yang melawan hawa nafsu itu selalu berlebih-kurang. Berkata Malik ra pula: “Tak boleh menjadi saksi ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa nafsu”. Maka berkata sebahagian temannya dalam menafsirkan perkataan Malik tadi, bahwa yang dimaksudkannya dengan ahli hawa nafsu itu, ialah ahli ilmu kalam (berkata-kata) atas aliran manapun mereka berada.
Berkata Abu Yusuf: “Barangsiapa mempelajari ilmu kalam, maka ia menjadi zindiq/Islam pada dhahir & kafir pada bathin”. Berkata Al-Hasan: “Janganlah engkau berdebatan dengan ahli hawa nafsu ! janganlah duduk-duduk bersama mereka dan janganlah mendengar apa-apa dari mereka”. Telah sepakat orang-orang terdahulu dari ahli hadits atas ini. Dan tak terhingga banyaknya peringatan-peringatan yang keras yang datang dari mereka.
Ahli-ahli hadits itu mengatakan bahwa para sahabat Nabi saw tidak diam daripadanya, serta mereka sebetulnya lebih mengetahui hakikat/makna yang sebenarnya dan lebih lancar dengan penyusunan kata-kata dari orang lain. Tidak lain, melainkan karena mereka mengetahui apa yang akan terjadi dari berbagai macam kejahatan. Dari itu Nabi saw bersabda: “Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik ! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik ! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik !”.
Ahli-ahli hadits yang terdahulu itu mengemukakan pula alasan, bahwa kalau benar pembahasan dalam ilmu kalam itu termasuk sebahagian dari agama, tentulah dia menjadi yang terpenting dari apa yang disuruhkan Nabi saw. Dan tentu diajarkan oleh Nabi saw caranya serta memberi pujian kepada ilmu itu dan kepada ahli-ahlinya. Sesungguhnya yang diajarkan oleh Nabi saw kepada mereka, ialah cara beristinja’ (bersuci dari buang air kecil dan air besar). Dan disunnatkan oleh Nabi saw kepada mereka mempelajari ilmu pembahagian pusaka, dan memberi pujian kepada mereka yang mempelajari ilmu itu. Dan melarang mereka memperkatakan tentang qadar (taqdir) dengan sabdanya: “Tahanlah dirimu dari memperkatakan takdir !”. Dan atas dasar ini, terus-meneruslah para sahabat berpegang. Maka melebihkan dari guru adalah durhaka dan dhalim. Dan para sahabat itu adalah guru dan ikutan kita. Dan kita adalah pengikut dan murid mereka. 
Adapun golongan lain, mengemukakan alasan dengan mengatakan, bahwa yang ditakuti dari ilmu kalam itu, kalau ada, ialah mengenai kata-kata benda barang dan sifat yg mengambil tempat. Istilah-istilah yang ganjil ini yang tidak diketahui oleh para sahabat ra, maka persoalannya dekat saja. Karena ilmu apapun juga, telah diperbuat padanya istilah-istilah supaya mudah dipahami, seperti hadits, tafsir dan fiqh. Kalau dibentangkan kepada para sahabat itu, kata-kata: lawan, pecah, susunan, pelampauan & rusak letakan, sampai kepada semua persoalan yg dikemukakan dalam bab qias (dari ilmu logika), tentu tdk dipahami mereka. Maka membuat kata-kata, untuk memberi dalil kepada kata-kata tersebut dengan maksud yang benar, samalah halnya seperti membuat tempat-tempat air dalam bentuk yang baru untuk dipakai pada jalan yang diperbolehkan. Dan kalau yang ditakuti itu, adalah maksudnya, maka dalam hal ini kami tidak bermaksud selain dari mengenal dalil atas baru alam dan keesaan Khaliq (yang maha pencipta) dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang tersebut dalam agama. Maka dari manakah datangnya haram mengenal Allah Ta’ala dengan dalil ? Dan kalau ditakuti itu yaitu perpecahan, Fanatik golongan, permusuhan, persengketaan dan lainnya yang diakibatkan oleh ilmu kalam itu, maka memanglah itu diharamkan. Dan wajiblah menjaga diri daripadanya. Sebagaimana sombong, ‘ujub, ria, ingin jadi kepala dan lainnya yang diakibatkan oleh ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Itu semuanya diharamkan dan wajib menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah dilarang ilmunya, karena terbawa ke situ. Bagaimanakah menyebut alasan, mencari alasan dan membahas alasan itu dilarang ? dan Allah Ta’ala sendiri berfirman: “Katakanlah (Muhammad) ! berikanlah keteranganmu !”. S 2 Al Baqarah ayat 111. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Supaya binasa orang yang binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang hidup dengan keterangan yang jelas”. S 8 Al Anfaal ayat 42. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Katakanlah (Muhammad) ! adakah padamu kekuasaan tentang ini ?”. Yakni: keterangan dan alasan. Berfirman Allah Ta’ala:  “Katakanlah (Muhammad) ! Allah mempunyai keterangan yang tegas”. S 6 Al An’aam ayat 149. Berfirman Allah Ta’ala: “Tiadakah engkau perhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya ?”. S 2 Al Baqarah ayat 258. Sampai kepada firmanNya: “Lalu orang kafir itu kehilangan akal”. S 2 Al Baqarah ayat 258. Karena ayat ini, disebutkan oleh Allah swt keterangan Nabi Ibrahim as penentangan dan pukulannya kepada musuh sebagai pujian dari Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim as. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan itu adalah keterangan Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya”. S 6 Al An’aam ayat 83. Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka berkata: “Ya Nuh ! sesungguhnya engkau telah berdebatan dengan kami, maka banyaklah engkau berdebatan dengan kami itu”. S 11 Huud ayat 32. Dan berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Fir’aun: “Siapakah Tuhan Pemimpin semesta alam itu ?”. S 26 Asy Syu’araa ayat 23. Sampai kepada firmanNya: “Berkata Musa: Dapatlah kamu menerima kalau aku dapat menjelaskan  sesuatu (alasan) dengan terang ?”. S 26 Asy Syu’araa ayat 30.
Kesimpulannya Alquran itu dari permulaannya sampai kepada penghabisannya adalah keterangan yang jelas menghadapi orang-orang kafir. Maka pegangan dalil bagi ahli-ahli ilmu kalam (berkata-kata) itu tentang keesaan ialah firman Allah Ta’ala: “Jikalau adalah di langit dan di bumi ini beberapa Tuhan selain dari Allah, maka rusaklah langit dan bumi itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Dan pegangan dalil tentang kenabian ialah firman Allah Ta’ala: “Jika adalah kamu di dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja seperti (Alquran) itu”. S 2 Al Baqarah ayat 23. Dan pegangan dalil tentang kebangkitan, firman Allah: “Katakanlah (Muhammad) ! akan dihidupkannya oleh Yang Menjadikannya pada pertama kali”. S 36 Yaa Siin ayat 79. Dan begitulah seterusnya dari ayat-ayat suci dan dalil-dalil yang lain. Dan rasul-rasul itu selalu menghadapi dengan keterangan akan orang-orang yang menentang dan mengadakan perdebatan dengan mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Berdebatanlah/bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya”. S 16 An Nahl ayat 125. Sahabat-sahabat ra juga selalu mengemukakan alasan-alasan menghadapi orang-orang yang ingkar itu dan melakukan perdebatan. Tetapi itu ketika diperlukan. Dan pada masa mereka, keperluan untuk itu sedikit sekali.
Dan orang pertama yang membuat tradisi mengajak orang-orang berbuat bid’ah (yang diada-adakan), kepada kebenaran dengan perdebatan, ialah Ali bin Abi Thalib ra, ketika Ali mengutus Ibnu Abbas ra menjumpai orang Khawarij (suatu golongan yg tidak mau mengikuti & keluar dari ketaatan kepada pemerintah hal itu terjadi pada masa pemerintahan Ali bin abi Thalib) dan mengadakan pertukaran pikiran dengan mereka. Bertanya Ibnu Abbas ra kepada orang Khawarij itu: “Mengapakah kamu mencaci Imammu ?”. Menjawab orang Khawarij itu: “Dia berperang dan dia tidak mengambil tawanan dan harta rampasan”. Maka membalas Ibnu Abbas: “Cara yang demikian, kalau berperang dengan kafir. Apakah pendapatmu kalau ‘Aisyah ditawan pada hari perang jamal ? lalu sebagai tawanan, ‘Aisyah itu termasuk dalam bahagian salah seorang dari kamu. Apakah kamu menganggap halal dia sebagaimana kamu menganggap halal dengan budak-budak wanitamu yang lain? padahal dia ibumu menurut penegasan Alquran ?”. Maka kaum Khawarij itu menjawab: “Tidak !”. Dengan perdebatan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ra, maka kembalilah mentaati Ali sebanyak 2000 orang dari kaum Khawarij.
Diceritakan bahwa Al-Hasan berdebat dengan seorang qadariah (aliran yg meletakkan segala-galanya kepada taqdir, sehingga manusia itu, ibarat bulu ayam, tergantung terbang kemana dibawa angin). Dengan perdebatan itu, orang qadariah tadi menarik diri dari paham qadariah. Ali bin Abi Thalib ra pernah berdebat dengan seorang qadariah. Abdullah bin Mas’ud ra pernah berdebat dengan Yazid bin ‘Umairah mengenai keimanan. Berkata Abdullah: “Kalau engkau mengatakan aku mu’min, maka engkau mengatakan bahwa aku dalam sorga”. Menjawab Yazid bin ‘Umairah: “Hai sahabat Rasul ! itu adalah suatu kesilapan daripadamu. Bukankah iman itu, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya percaya kepada kebangkitan, kepada timbangan amal, mendirikan shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat ? kita mempunyai banyak dosa. Kalau kita ketahui dosa itu diampunkan Tuhan, maka tahulah kita bahwa kita itu dari penduduk sorga. Dari itu, kita mengatakan bahwa kita orang mu’min dan tidak kita mengatakan bahwa kita dari penduduk sorga”. Maka menjawab Ibnu Mas’ud: “Benar engkau. Sebenarnyalah ucapan tadi kesilapanku sendiri”. Maka sewajarnyalah dikatakan, bahwa para sahabat itu mencempelung kan diri ke dalam perdebatan itu adalah sedikit saja, tidak banyak, pendek saja, tidak panjang dan ketika diperlukan. Tidak dengan jalan mengarang, mengajar dan membuatnya sebagai perbuatan mencari rezeki.
Maka dapat ditegaskan bahwa sedikitnya para sahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan, adalah karena kurang diperlukan. Sebab tak ada bid’ah (yang diada-adakan) yang timbul pada masa itu. Mengenai singkatnya perdebatan yang dilakukan mereka adalah tujuannya menginsafkan lawan, memberi peringatan, menyingkapkan kebenaran dan menghilangkan karaguan. Kalau lawan itu memanjangkan persoalan atau penantangan, maka sudah pasti perdebatan itu menjadi lama. Dan tidaklah para sahabat itu dapat menaksir dengan timbangan dan sukatan, berapa lama diperlukan perdebatan itu bila telah mencempelungkan diri ke dalamnya. Mengenai tidaknya para sahabat itu mengajar dan mengarang tentang perdebatan itu, maka begitu pulalah sikap mereka terhadap fiqih, tafsir dan hadits. Maka jikalau boleh mengarang fiqih dan membuat gambar-rambar yang ganjil yang hampir tidak pernah kejadian, adakalanya untuk disimpan pada waktu terjadinya walaupun jarang benar terjadi atau untuk pengasah otak. Maka kita juga menyusun cara berperdebatan karena mungkin diperlukan nanti disebabkan berkobarnya hal-hal yang meragukan. Atau bangun orang-orang yang membuat bid’ah (yang diada-adakan) atau untuk mengasah otak atau untuk menyimpan keterangan, sehingga bila diperlukan dengan mudah dan dengan spontan, tidak merasa lemah, seperti orang yang menyediakan alat senjata sebelum perang untuk dipakai di hari perang. Inilah kemungkinan-kemungkinan yang dapat disebutkan untuk kedua golongan itu. Kalau anda bertanya: “Manakah pilihan tuan ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang benar dalam persoalan tersebut, ialah bahwa mencelanya secara mutlak dalam segala keadaan atau memujinya dalam segala keadaan, adalah salah. Tetapi hendaklah dengan penguraian.
Pertama-tama ketauhilah, bahwa sesuatu itu kadang-kadang haram karena zatnya seperti arak dan bangkai. Maksudku dengan kataku karena zatnya ialah, bahwa sebab pengharamannya, adalah suatu sifat pada zatnya. Yaitu memabukkan (pada arak) dan karena mati pada bangkai. Mengenai ini apabila kita ditanyakan, maka dapatlah secara mutlak kita mengatakan haram. Dan tidak mempengaruhi akan penjawaban tersebut oleh bolehnya memakan bangkai ketika diperlukan benar. Dan bolehnya meneguk arak apabila tersumbat kerongkongan dengan suapan makanan dan tidak diperoleh selain dari arak untuk menghilang kan tersumbat itu. Dan ada pula, haramnya tidak karena zatnya seperti menjual atas penjualan sesama Islam dalam waktu azan berjual beli dan seperti memakan tanah. Maka itu diharamkan karena padanya mendatangkan melarat. Yang mendatangkan melarat itu, terbagi kepada: mendatangkan melarat oleh sedikitnya dan banyaknya. Maka dalam hal ini dapatlah secara mutlak dikatakan bahwa: benda itu haram, seperti racun, yang membunuh oleh sediktinya dan banyaknya. Dan mendatangkan melarat oleh banyaknnya saja, maka dalam hal ini secara mutlak dikatakan mubah (diperbolehkan), seperti madu. Sebab dengan banyaknya, mendatangkan melarat dengan panas. Dan seperti memakan tanah. Dan menyebutkan haram tanah dan arak serta halal madu itu, karena melihat kepada keadaan yang biasanya demikian. Kalau ada sesuatu benda, yang bertentangan padanya beberapa keadaan, maka yang lebih utama dan lebih terpelihara dari keragu-raguan, hendaklah diuraikan secara terperinci. Marilah kita kembali membicarakan ilmu kalam (berkata-kata) dengan mengatakan bahwa pada ilmu kalam (berkata-kata) itu ada ilmu mengenal allah, di samping ada melaratnya. Maka ilmu kalam itu dengan memandang kepada manfaatnya, pada waktu mengambil manfaatnya, adalah halal atau disunatkan atau diwajibkan, menurut keadaan yang berlaku. Dan dengan memandang kepada melaratnya pada waktu dan tempat memperoleh itu, adalah haram.
Kemelaratannya yaitu mengobarkan syubhat (diragukan), menggoyangkan ‘aqidah/keyakinan dan menghilangkan keyakinan dan keteguhan hati. Maka yang demikian itu, termasuk apa yang ada pada permulaan. Dan mengembalikannya dengan dalil, adalah diragukan. Hal itu berbeda menurut keadaan orangnya. Inilah melaratnya ilmu kalam (berkata-kata) itu, terhadap keyakinan yang benar. Di samping itu ada lagi kemelaratannya yang lain. Yaitu dapat meneguhkan keyakinan pembuat bid’ah (yang diada-adakan) untuk bid’ah (yang diada-adakan)nya. Dan dapat menetapkan keyakinan itu dalam dada mereka, dengan akan terbangun pengajak-pengajak mereka dan bersangatan kesungguhan hati mereka untuk menetap terus dalam keyakinan itu. Tetapi kemelaratan yang tersebut tadi itu, adalah dengan perantaraan fanatik yang berkobar dari perdebatan. Dari itu, anda akan melihat pembuat bid’ah (yang diada-adakan) yang bodoh, mungkin hilang keyakinannya dalam waktu yang singkat dengan lemah lembut. Kecuali, apabila ia berada dalam suatu negeri yang menonjol di dalamnya perdebatan dan fanatik golongan. Maka dalam hal ini, kalaupun berkumpul orang yang terdahulu dan yang terkemudian, tidak akan sanggup mencabut kebid’ahan (yang diada-adakan) dari dalam dadanya. Tetapi hawa nafsulah, fanatik golongan, kemarahan lawan yang bersungguh-sungguh dan partai yang bertentangan yang akan menguasai hatinya dan mencegahnya dari memperoleh kebenaran. Sehingga kalaulah dikatakan kepadanya: Inginkah kamu supaya dibukakan Allah tutup hatimu dan diperkenalkan Nya kepadamu dengan nyata, bahwa kebenaran itu ada di pihak musuhmu, maka bencilah dia yang demikian. Karena dia takut nanti menang lawannya. Inilah penyakit yang menular, yang beterbangan di dalam negeri dan pada semua hamba. Yaitu semacam kerusakan yang dihembuskan oleh orang-orang yang berdebatan dengan fanatik. Inilah melaratnya ilmu kalam (berkata-kata) !.
Mengenai manfaatnya, maka kadang-kadang ada orang yang menyangka, bahwa kegunaan ilmu kalam (berkata-kata) itu ialah membuka hakikat/makna kebenaran dan mengenalinya menurut keadaan yang sebenarnya. Wahai kiranya, tidak adalah dalam ilmu kalam (berkata-kata) itu yang dapat menyempurnakan tujuan yang mulia ini. Kerusakan dan kesesatanlah yang lebih banyak padanya, daripada keterbukaan dan pengenalan. Dan ini apabila anda dengar dari seorang ahli hadits atau seorang yang terbanyak bunga dalam perkataannya, maka kadang-kadang terguris di hati anda, bahwa manusia itu adalah musuh apa yang tidak diketahuinya. Maka aku mendengar ini dari orang yang berpengalaman tentang ilmu kalam. Kemudian ia benci, sesudah pengalaman yang sebenarnya dan sesudah masuk sampai ke tingkat yang terakhir ahli-ahli ilmu kalam. Dan ia melampaui yang demikian, sampai kepada mendalami ilmu-ilmu yang lain, yang bersesuaian dengan bahagian ilmu kalam. Dan ia yakin bahwa jalan ke hakikat/makna ma’rifah (ilmu mengenal allah) dari cara ini, adalah tertutup. Benar, ilmu kalam (berkata-kata) itu senantiasa membuka, memperkenal dan menjelaskan sebahagian persoalan. Tetapi sedikit sekali dapat dipahami, dalam persoalan-persoalan yang terang, sebelum lagi mendalami pelajaran ilmu kalam itu. Bahkan manfaatnya hanya satu saja. Yaitu menjaga keyakinan yang telah kami terangkan dahulu terhadap orang awam dan memeliharanya dari gangguan-gangguan ahli bid’ah (yang diada-adakan) dengan bermacam-macam pertengkaran. Sesungguhnya orang awam itu lemah, dapat digertakkan oleh pertengkaran orang bid’ah walaupun itu merusak. Dan menentang yang merusak dengan yang merusak itu, akan mendorong kepada kerusakan.
Manusia itu beribadah (berpegang teguh) dengan keyakinan ini yang telah kami terangkan dahulu. Karena telah datang agama membawanya, dimana di dalamnya perbaikan untuk agama dan dunia. Dan telah sepakat ulama salaf yang saleh. Dan para ulama itu, beribadah menjaganya pada orang awam dari gangguan-gangguan tukang bid’ah. Sebagaimana para sultan menjadi ibadah menjaga harta orang awam, dari serangan orang-orang jahat/dhalim dan perampokan.
Apabila telah diketahui kemelaratan dan kemanfaatan ilmu kalam (berkata-kata) itu, maka seharusnyalah orang yang ahli dalam ilmu kalam itu, seperti dokter yang mahir dalam pemakaian obat yang berbahaya. Karena tidaklah akan diletakkannya selain pada tempatnya. Yaitu pada waktu perlu dan seberapa perlu. Penguraiannya ialah, bahwa orang-orang awam yang bekerja di pertukangan dan di perusahaan, haruslah dibiarkan keselamatan keyakinan nya yang diimaninya, bilamana telah dipelajarinya keyakinan yang benar yang telah kami sebutkan itu. Mengajarkan ilmu kalam (berkata-kata) kepada mereka adalah melarat/rugi semata-mata. Sebab kadang-kadang menimbulkan keragu-raguan di dalam hatinya dan membuat kegoncangan keyakinannya. Dan tidak mungkin nanti diperbaiki lagi. Mengenai orang awam yang ber’aqidah/berkeyakinan bid’ah (yang diada-adakan), maka seharusnyalah diajak kepada kebenaran dengan lemah lembut, tidak dengan fanatik. Dengan kata-kata yang halus yang memuaskan hati, yang membekas ke dalam jiwa, yang mendekati dengan cara dalil-dalil Alquran dan Al-Hadits, yang bercampur dengan seni pengajaran dan peringatan. Cara yang demikianlah yang lebih bermanfaat, dibandingkan dengan pertengkaran yang didasarkan kepada syarat orang-orang ilmu kalam
Karena orang awam apabila mendengar yang demikian, lalu meyakini bahwa itu adalah semacam perbuatan dari perdebatan yang dipelajari oleh ahli ilmu kalam (berkata-kata) untuk menjerumuskan orang banyak kepada kepercayaannya. Bila orang awam itu tidak sanggup menjawabnya, lalu menaksir bahwa ahli-ahli berdebat dari golongannya juga, akan sanggup menolaknya. Maka perdebatan yang seperti ini dan yang pertama itu haram hukumnya. Begitu pula orang yang keragu-raguan dalam keyakinan, karena wajiblah dihilangkan keragu-raguannya dengan lemah lembut, dengan pengajaran dan dalil-dalil yang dekat, yang dapat diterima, jauh dari mendalami ilmu kalam. Perdebatan yang habis-habisan, hanya berguna pada satu tempat saja. Yaitu dalam hal orang awam itu berkeyakinan bid’ah (yang diada-adakan) dengan semacam perdebatan yang didengarnya. Maka hendaklah perdebatan itu ditentang dengan perdebatan pula yang serupa. Maka dia akan kembali kepada keyakinan yang benar. Yang demikian itu, adalah mengenai orang yang menampak baginya kerusakan kepada berperdebatan, yang merasa tak puas dengan pengajaran-pengajaran dan peringatan-peringatan yang sesuai bagi orang awam. Orang yang semacam ini sudah sampai kepada keadaan yang tidak menyembuhkannya kecuali dengan obat perdebatan. Maka bolehlah disuguhkan kepadanya.
Adapun pada negeri-negeri yang sedikit sekali bid’ah dan tak ada di situ pertikaian madzhab/aliran, maka mencukupilah dengan pelajaran keyakinan yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tak usah dibentangkan dalil-dalil dan dijaga dari terjadinya keragu-raguan. Dan kalau timbul keragu-raguan itu, barulah dibentangkan dalil-dalil sekedar perlu saja. Kalau bid’ah (yang diada-adakan) itu sudah tersebar dan dikuatiri anak-anak akan tertipu, maka tiada mengapa diajarkan sekedar yang telah kami muatkan dalam kitab “Ar-Risalah al-Qudsiyah”, untuk menjadi bahan penolak pengaruh dari perdebatan tukang-tukang bid’ah itu, bila terjadi di kalangan mereka. Itulah batas yang ringkas, yang telah kami simpan di dalam kitab itu secara singkat. Kalau ada diantara mereka yang cerdik dan sadar ia kepada persoalan yang dihadapi karena cerdiknya atau keragu-raguannya sudah menggelora dalam dirinya, maka dalam hal ini, telah timbul sebab yang ditakuti dan telah lahir penyakit. Maka tiada mengapa pembahasan ilmu kalam (berkata-kata) itu meninggi lagi sampai kepada batas yang telah kami terangkan dalam kitab “Al-Iqtishad fil-I’tiqad (keyakinan)”, yaitu kira-kira 50 lembar kertas. Isi kitab tersebut tiada keluar dari pandangan tentang aqidah-aqidah i’tiqad (keyakinan) dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ahli ilmu kalam. Apabila buku tersebut memuaskan baginya, maka terpeliharalah dia dari kerusakan keyakinan. Dan jika tidak memuaskan maka itu menandakan bahwa penyakit itu sudah melumpuhkan, sudah merata dan menjalar. Maka dalam hal ini, tabibnya hendaklah berbelas-kasihan sedapat mungkin dan menunggu taqdir dari Allah Ta’ala, moga-moga dibukaNya kebenaran sampai orang itu sadar. Atau orang itu terus-menerus di dalam ragu dan ragu, maka dalam hal ini terserah kepada takdir. Dan isi yang terkandung dalam kitab itu dan dalam karangan-karangan lain yang sejenis dengan itu, dapat diharapkan kegunaannya. Adapun yang diluar dari itu, ada dua bahagian:
Pertama: pembahasan yang lain dari keyakinan, seperti pembahasan tentang pegangan hidup, tentang alam, tentang perasaan dan dari memperkatakan mengenai penglihatan. Adakah dia itu mempunyai lawan, yang dinamakan larangan atau buta ? kalau ada lawannya, maka adalah satu saja. Yaitu larangan dari semua yang tidak dilihat atau tetaplah bagi tiap-tiap yang mungkin dilihat, oleh larangan menurut bilangannya dan hal-hal lain yang salah menyesatkan.
Kedua: tambahan penetapan dalil-dalil itu, pada bukan keyakinan dan tambahan soal dan jawab. Itu juga penyelidikan yang tidak menambahkan kecuali kesesatan dan kebodohan, terhadap orang-orang yang tiada merasa puas dengan sekedar itu. Sebab banyaklah perkataan, semakin bertambah diperpanjang dan diurai, semakin kabur. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa membahas persoalan perasaan dan pegangan hidup, ada faedahnya, yaitu mengasah yang terguris di dalam hati. yang terguris di dalam hati itu (khathir) adalah alat bagi agama, seperti pedang alat bagi perang. Maka tak apalah mengasahnya. Perkataan yang seperti itu samalah halnya seperti mengatakan, bermain catur itu mengasah khathir. Jadi termasuk agama juga. Pemikiran seperti ini adalah kurang akal. Sebab khathir ini terasah dia dengan ilmu-ilmu agama yang lain dan tidak ditakuti adanya kesulitan/melarat. Dengan penjelasan yang tersebut di atas, tahulah anda bahagian yang tercela dan yang terpuji dari ilmu kalam (berkata-kata). Dan keadaan mana yang dicela dan yang dipuji dan orang mana yang dapat mengambil manfaat daripadanya dan orang yang tidak dapat mengambil manfaat. Kalau anda mengatakan, manakala diakui perlunya ilmu kalam (berkata-kata) itu untuk menolak ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan sekarang bid’ah itu sudah berkembang dan merata bahayanya dan sudah sangat diperlukan, maka tak dapat tidak menegakkan ilmu kalam termasuk fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu) seperti bangun menegakkan penjagaan harta dan hak-hak yang lain, seperti memegang jabatan kadli (penguasa/pejabat agama), pemerintahan dll nya. Dan apa yang tidak dikerjakan oleh ulama mengembangkan yang demikian, mengajarkan dan membahaskannya, maka tidak akan kekal. Dan kalau ditinggalkan keseluruhannya, maka ilmu kalam itu lenyaplah. Dan tidaklah mencukupi untuk menguraikan diragukan tukang bid’ah itu dengan semata-mata pembawaan diri saja tanpa dipelajari. Dari itu, maka seyogyalah mengajar dan membahas ilmu kalam itu termasuk dalam fardlu kifayah juga (artinya jika ada 1 orang saja yg mengerjakan nya maka cukup). Lain halnya pada masa para sahabat ra dahulu. Ketika itu, keperluan untuk itu belum dirasakan. Ketahuilah bahwa sebenarnya haruslah ada pada tiap-tiap negeri, orang yang menegakkan ilmu kalam ini, berdiri bebas menolak syubhat (diragukan) dari ahli bid’ah yang berkembang dalam negeri itu. Hal itu dapat terus berjalan dengan pengajaran. Tetapi tidaklah betul mengajarkannya itu pada umumnya seperti mengajarkan fiqih dan tafsir.
Ilmu kalam itu adalah seperti obat dan ilmu fiqih itu adalah seperti makanan. Melaratnya makanan tidak dikuatiri, tetapi melaratnya obat dikuatiri. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu dari bermacam-macam melaratnya. Maka orang yang berilmu, haruslah menentukan dengan mengajarkan ilmu ini kepada orang yang ada padanya 3 perkara:
1.      haruslah orang itu mempelajari ilmu itu semata-mata dan mempunyai minat kepadanya. Orang yang bekerja dengan sesuatu pekerjaan, dapat menghalanginya dari meneruskan pelajaran ilmu kalam itu dan tak dapat menghilangkan keragu-raguannya apabila timbul.
2.      haruslah orang itu pandai, cerdik dan lancar berkata-kata. Orang yang dungu tidaklah dapat dimanfaatkan dengan pemahamannya. Dan orang yang lambat mengerti, tidaklah dapat dimanfaatkan. Maka ditakutkan pada orang itu dari melaratnya ilmu kalam dan tak dapat diharapkan kemanfaatan daripadanya.
3.      bahwa ada pada tabiat orang itu, suka kepada perbaikan, beragama dan taqwa. Dan tidaklah hawa nafsu mengerasi padanya.
Bahwa orang fasiq dengan perbuatan syubhat (diragukan) yang paling kurang, akan tercabut dari agama. Maka yang demikian itu akan terlepas daripadanya dinding yang menghalangi dan terangkatlah yang ada antara dia dan kelezatan duniawi. Lalu tak ada lagi perhatiannya untuk menghilangkan keragukan itu, malah direbutnya supaya terlepas dia dari beban sebagai seorang mukallaf (orang dewasa yg berakal).
Maka apa yang dirasakan oleh pelajar yang seperti ini, adalah lebih banyak, dari apa yg diperbaikinya. Apabila telah dipahami segala pembahagian tersebut, maka jelaslah bahwa keterangan yang terpuji mengenai ilmu kalam itu, adalah sejenis keterangan-keterangan Alquran; dari kata-kata yang lemah lembut, yang membekas dalam hati dan yang memberi kepuasan bagi jiwa, tanpa mendalami tentang pembahagian dan perincian-perincian, yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Dan apabila telah dipahaminya, lalu dipercayainya bahwa itu adalah suatu pemalsuan dan usaha yang dipelajari oleh orang yang mempunyainya guna menanamkan keragu-raguan.
Apabila dijumpainya seperti itu dalam sesuatu persoalan, maka akan ditentangnya. Dan kiranya telah diketahui bahwa Asy-Syafi’i dan umumnya ulama salaf, melarang berkecimpung di dalam ilmu kalam. Dan menjuruskan perhatian kepadanya semata-mata, karena menimbulkan melarat yang telah kami peringatkan itu. Dan apa yang diterima dari Ibnu Abbas ra tentang perdebatannya dengan kaum Khawarij dan apa yang diterima dari Ali ra tentang perdebatannya mengenai taqdir dan lainnya, adakah kata-kata yang jelas lagi terang dan termasuk ke dalam bahagian yang diperlukkan. Dari itu terpuji dalam segala hal.
Memang, kadang-kadang berbeda waktu, antara banyak dan sedikitnya keperluan itu. Dari itu, tidak jauh dari kebenaran bahwa hukumnya pun berbeda. Inilah hukumnya keyakinan yang telah menjadi ibadah orang banyak dan hukumnya jalan mempertahankan dan memeliharakannya. Adapun menghilangkan keragukan, membukakan hakikat/makna kebenaran, mengetahui segala sesuatu menurut yang sebenarnya dan mendalami segala rahasia yang diterjemahkan oleh yang nyata dari kata-kata keyakinan itu, maka kuncinya ialah melawan segala hawa nafsu, menghadap secara keseluruhan kepada Allah Ta’ala dan selalu menggunakan pikiran yang bersih dari segala campuran perdebatan !. Itulah rahmat Allah ‘Azza Wa Jalla (ALLAH YANG MAHA MULIA & MAHA BESAR) yang melimpah kepada orang yang datang menciumi keharumannya sekedar rezeki, menurut kedatangan, tempat dan kesucian hati. Dan itulah laut yang tak diketahui dalamnya dan tak terjangkau pantainya.
M a s a l a h
Kalau anda katakan, bahwa perkataan tersebut menunjukkan kepada segala pengetahuan itu mempunyai dhahir(yg nyata) dan bathin(rahasia). Sebahagiannya jelas, yang terang terus pertama kalinya. Dan sebahagiannya tersembunyi, yang akan terang dengan bersungguh-sungguh, melatih diri, mencari benar-benar, berpikiran bersih dan dengan hati yang kosong dari segala urusan duniawi selain dari yang dicari itu.
                  Itulah sebenarnya hampir menyalahi syari’at/agama. Karena bagi agama itu tak ada yang tersembunyi dan yang nyata. Tetapi yang tersembunyi dan yang nyata itu, adalah satu dalam agama. Ketahuilah, bahwa pembahagian ilmu-ilmu ini kepada yang tersembunyi dan yang nyata, tidaklah dimungkiri oleh orang yang bermata hati. Yang memungkirinya ialah orang-orang yang berpaham singkat, yang mempreoleh sedikit pengetahuan pada masa kecilnya dan terus membeku. Tak ada bagi mereka kemajuan ke arah yang lebih tinggi, kedudukan ‘alim ulama dan wali-wali. Dan itu jelas dari dalil-dalil agama.
                  Bersabda Nabi saw: “Bahwa Alquran itu mempunyai dhahir dan bathin, batas dan pangkal”. Berkata Ali ra seraya menunjuk ke dadanya: “Sesungguh nya di sini banyak ilmu pengetahuan, kalau adalah kiranya orang-orang yang membawanya”. Bersabda Nabi saw: “Kami para nabi, disuruh berbicara dengan manusia menurut akal pikiran mereka”. Bersabda Nabi saw: “Tiada berbicara seseorang dengan orang banyak tentang sesuatu pembicaraan yang tidak sampai akal pikiran mereka kepadanya, melainkan pembicaraan itu menjadi fitnah yang merusakkan kepada orang banyak itu”. Berfirman Allah Ta’ala: “Demikianlah contoh-contoh itu Kami jadikan bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya selain dari orang-orang yang berilmu”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 43. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya diantara ilmu itu seolah-olah dalam keadaan yang tersembunyi, yang tidak mengetahuinya selain orang-orang yang mengetahui dengan Allah Ta’ala”. Hadits ini panjang sebagaimana telah kami bentangkan dalam “Kitab Ilmu” dahulu. Bersabda Nabi saw: “Kalau tahulah kamu apa yang saya ketahui, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”. Wahai kiranya, jika bukanlah itu suatu rahasia yang dilarang menyiarkannya, karena kesingkatan paham untuk mengetahuinya atau disebabkan oleh yang lain, maka mengapakah Nabi saw tidak menyebutkan kepada mereka itu (para sahabat) ? padahal tidak diragukan bahwa mereka akan membenarkannya jikalau Nabi saw menyebutkannya kepada mereka.
                   Berkata Ibnu Abbas ra mengenai firman Allah Ta’ala: “Tuhan yang menciptakan 7 langit dan bumi serupa itu pula. Perintah Allah turun kepada mereka semua”. S 65 Ath Thalaaq ayat 12. “Kalau aku terangkan tafsirnya kata Ibnu Abbas selanjutnya, niscaya kamu akan memukul aku sampai mati (merajamkankan aku)”. Dan pada lain riwayat: “Tentu kamu akan mengatakan bahwa dia itu kafir”. Berkata Abu Hurairah ra: “Aku menghafal dari Rasulullah saw dua bahagian ilmu. Yang satu aku perkembangkan dan yang satu lagi, jikalau aku perkembangkan, maka putuslah leher ini”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah Abu Bakar melebihi dari kamu, disebabkan banyak berpuasa dan bershalat. Tetapi adalah disebabkan oleh suatu rahasia yang mulia di dalam dadanya”. Direlakan Allah kiranya Abu Bakar ! dan tak ragu lagi bahwa rahasia itu adalah bersangkutan dengan keyakinan - keyakinan agama. Tidak keluar dari keyakinan - keyakinan itu !. Dan apa yang ada dari keyakinan - keyakinan agama, tidaklah tersembunyi yang luarnya/dhahiriyahnya, kepada yang lain dari Abu Bakar ra dari para sahabat.
                  Berkata Sahl At-Tusturi ra: “Orang yang berilmu itu mempunyai 3 ilmu: ilmu dhahir yang diberikannya kepada ahli dhahir, ilmu bathin, yang tak sanggup dilahirkannya kecuali kepada ahlinya dan ilmu antara dia dan Allah Ta’ala, yang tidak dilahirkannya kepada sorang juapun”.
                  Berkata setengah ‘arifin: “Menyiarkan rahasia ketuhanan (rububiyah) itu kufur”. Berkata setengah ‘arifin yang lain: “Rububiyah itu mempunyai rahasia. Kalau dilahirkan, maka batallah nubuwwah (kenabian). Nubuwwah itu mempunyai rahasia, kalau disingkapkan maka batallah ilmu. Dan ulama Allah itu dengan Allah mempunyai rahasia, kalaulah mereka melahirkannya, maka batallah hukum”. Yang mengatakan ini, jika tidaklah maksudnya dengan demikian, akan batalnya kenabian di pihak orang-orang yang lemah karena kesingkatan pemahaman mereka, maka apa yang disebutkannya itu tidaklah benar. Tetapi yang benar, tak adalah padanya pertentangan. Dan bahwa orang yang sempurna, ialah orang yang tidak dipadamkan oleh cahaya ilmu mengenal Allah akan cahaya menjaga diri nya. Dan memiliki penjagaan diri itu, ialah nubuwwah (kenabian).
M a s a l a h
Jikalau anda mengatakan: “Bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits ini berlaku padanya penafsiran-penafsiran. Dari itu terangkanlah kepada kami, bagaimanakah perbedaan dhahir/luar dan bathin/dalam ? bahwa jikalau bertentangan bathin dengan dhahir, maka merusakkan agama. Ini adalah perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa hakikat/makna yang menyalahi agama itu kufur. Karena agama adalah ibarat dari dhahir dan hakikat/makna/tujuan adalah ibarat dari bathin. Apabila tak ada pertentangan dan perselisihan antara satu dengan lainnya, maka itulah yang dicari. Sehingga dengan itu hilangkah pembahagian tersebut. Dan tak adalah bagi agama rahasia yang tidak disiarkan. Tetapi adalah yang tersembunyi dan yang jelas itu satu”.
                 Maka ketahuilah bahwa masalah ini mencetuskan pesoalan besar, mendorong kepada ilmu mukasyafah(diminta untuk mengetahuinya saja) dan keluar dari tujuan ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan), yang menjadi maksud dari Kitab ini. Sesungguhnya keyakinan yang kami sebutkan itu adalah dari amal perbuatan hati. Dan telah kita berbakti dengan mengajarinya, dengan penerimaan dan pembenaran dengan seluruh jiwa raga kita. Tidak untuk sampai kepada terbukanya bagi kita hakikat/maknanya. Karena yang demikian itu tidaklah diberatkan kepada seluruh umat. Kalau bukanlah itu sebahagian dari amal perbuatan, maka tidaklah kami membentangkannya di dalam Kitab ini. Dan kalau bukanlah itu amalan dhahir/luar bagi hati, tidak amalan bathinnya, maka tidaklah kami membentangkannya dalam bahagian pertama dari Kitab ini. Sesungguhnya kasyaf hakiki (terbuka yang sebenarnya), adalah sifat rahasia hati dan bathinnya. Tetapi apabila pembicaraan itu telah terdorong kepada menggerakkan khayalan mengenai pertentangan dhahir bagi bathin, maka haruslah ada pembicaraan yang singkat saja untuk menguraikannya. Barangsiapa mengatakan bahwa hakikat/makna itu menyalahi syari’at/agama atau bathin itu bertentangan dengan dhahir, maka orang itu lebih dekat kepada kufur daripada kepada iman. Bahkan segala rahasia yang khusus untuk orang-orang muqarrabun (orang2 yg dekat kepada Allah) mengetahui nya, dimana tidak bersekutu dengan mereka banyak orang mengerjakannya dan mereka melarang menyiarkan nya kepada orang banyak itu, adalah terbagi kepada 5 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa sesuatu itu adalah halus pada dirinya, yang menumpulkan kebanyakan paham pada mengetahuinya. Maka tentulah mengetahuinya buat orang-orang Khawwas (orang-orang tertentu) saja. Mereka harus tidak menyiarkannya kepada bukan ahlinya. Karena dapat menimbulkan fitnah kepada mereka, di mana pemahamannya pendek daripada mengetahuinya. Disembunyikan rahasia ruh dan dilarang Rasulullah saw menerangkannya adalah termasuk dalam bahagian ini. Karena sesungguhnya hakikat/makna ruh itu adalah diantara yang menumpulkan pemahaman daripada mengetahuinya. Dan menyingkatkan sangka waham daripada menggambarkan keadaan maknanya. Janganlah anda menyangka, bahwa itu tidak terbuka jelas bagi Rasulullah saw. Sebab orang yang tidak mengenal ruh, maka adalah seolah-olah dia tidak mengenal akan dirinya. Orang yang tidak mengenal akan dirinya, maka bagaimanakah ia mengenal akan Tuhannya Yang Maha Suci ? dan tidaklah jauh dari kebenaran bahwa yang demikian itu, adalah terbuka kepada sebahagian wali-wali dan ulama-ulama, meskipun mereka itu bukan Nabi. Tetapi mereka beradab sopan dengan adab kesopanan agama. Lalu mereka diam dari apa yang didiamkan Nabi daripadanya.
              Bahkan mengenai sifat-sifat Allah ‘Azza Wa Jalla, adalah termasuk yang tersembunyi, yang singkatlah pemahaman orang banyak untuk mengetahuinya. Dan Rasulullah saw tidak menyebutkannya, kecuali yang terang-terang saja bagi segala paham, yaitu: tentang ilmu, kehendak dan lainnya. Sehingga dapat dipahami oleh orang banyak dengan cara yang sesuai, yang disangkakannya kepada ilmunya dan kehendaknya sendiri. Karena merekapun mempunyai sifat-sifat yang dinamakan dengan ilmu dan kuasa itu. Lalu mereka menyangka bahwa yang demikian itu semacam suatu perbandingan. Kalau disebut dari sifat-sifat Allah, apa yang tidak ada bagi makhluk, dari apa yang terdapat sebahagian penyesuaian, niscaya mereka tidak akan memahaminya. Bahkan kelezatan bersetubuh (sex) apabila diterangkan kepada anak kecil atau orang tak bertenaga (impotent), maka tak akan dipahaminya. Kecuali dengan menyesuaikan kepada kelezatan makanan yang dapat diketahuinya, walaupun belumlah itu pemahaman yang sebenarnya.
             Dan perbedaan antara ilmu Allah dan kehendakNya dengan ilmu makhluk dan kehendaknya, adalah lebih banyak, dari perbedaan antara kelezatan sex dan makan. Kesimpulannya: tidaklah diketahui manusia, selain dirinya dan sifat-sifat dirinya, yang ada padanya sekarang atau yang telah ada padanya dari sebelumnya. Kemudian dengan membandingkan kepada yang tersebut tadi, dapatlah ia memahami akan yang lain daripadanya. Kemudian, kadang-kadang ia mempercayai bahwa diantara dia sendiri dan lainnya terdapat berlebih kurang tentang kemuliaan dan kesempurnaan. Maka tak adalah dalam kesanggupan manusia, selain daripada menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang ada bagi dirinya, dari perbuatan, ilmun (tahu), kehendak (kuasa) dan sifat-sifat lainnya, serta membenarkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih sempurna dan lebih mulia bagi Allah. Maka yang terbesar peredarannya, adalah kepada sifat-sifat dirinya, tidak kepada kebesaran yang khusus bagi Tuhan. Dari itu bersabda Nabi saw: “Tak dapatlah aku menghinggakan pujian kepadaMu seperti yang Kamu pujikan kepada diriMu sendiri !”. Tidaklah hadits itu maksudnya: “Bahwa aku lemah daripada membentangkan apa yang aku ketahui”, tetapi adalah pengakuan dengan kesingkatan paham untuk mengetahui akan hakikat/makna kebesaran Allah. Dari itu berkata setengah mereka: “Tidaklah dikenal akan Allah dengan hakikat/maknaNya selain oleh Allah sendiri”. Berkata Abu Bakar shiddiq ra: “Segala pujian bagi Allah yang tidak menjadikan bagi makhlukNya jalan kepada mengenalNya, melainkan kelemahan daripada mengenalNya”.
            Kami habiskan pembicaraan mengenai ini dan marilah kita kembali kepada maksud. Yaitu bahwa salah satu bahagian tadi, ialah apa yang menumpulkan pemahaman daripada mengetahuinya. Diantaranya, yaitu ruh dan sebahagian dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Mudah-mudahan sebagai isyarat kepada contoh tadi ialah yang tersebut pada sabda Nabi saw: “Bahwa bagi Allah Yang Maha Suci 70 hijab daripada nur. Jikalau dibukaNya, niscaya terbakarlah akan apa yang didapati bashar (melihat)Nya oleh keMaha Sucian wajahNya”.
Bahagian kedua: dari hal-hal yang tersembunyi, yang tidak mau. Nabi-nabi dan orang-orang shiddiq menyebutkannya, ialah apa yang dapat dipahami pada diri hal itu sendiri, yang tidak menumpulkan pemahaman daripadanya. Tetapi menyebutkannya, membawa melarat kepada bahagian terbanyak dari pendengar dan tidak membawa melarat kepada nabi-nabi dan orang-orang shiddiq. Dan rahasia taqdir yang dilarang ahli ilmu menyiarkannya adalah termasuk ke dalam bahagian ini. Maka tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa menyebutkan sebahagian dari hakikat/makna adalah membawa melarat kepada sebagian makhluk. Seperti membawa melarat cahaya matahari kepada mata kelelawar dan bau harum bunga mawar kepada kepik-bedugal (kumbang yg bau sekali) Mesir. Bagaimanakah ini jauh daripada kebenaran ? kata kita, bahwa kufur, zina, perbuatan ma’siat dan jahat, semuanya dengan qadha’/takdir Allah Ta’ala, KemauanNya dan kehendakNya itu adalah benar. Dan sesungguhnya memperdengarkan kata-kata tadi, adalah membawa melarat kepada segolongan orang. Karena menimbulkan sangkaan pada mereka, bahwa itu menunjukkan kepada kebodohan, berlawanan dengan kebijaksanaan, menunjukkan rela dengan kekejian dan kedhaliman /kejahatan. Dan Ibnu Ar-Rawandi dan suatu golongan dari orang-orang hina, telah menjadi ilhad (tidak lagi bertuhan), karena kata-kata seperti yang tersebut di atas tadi. Dan seperti itu pula taqdir (qadar), jikalau disiarkan, maka sesungguhnya menimbulkan sangkaan pada kebanyakan orang, akan kelemahan. Karena paham mereka pendek untuk mengetahui apa yang dapat menghilangkan sangkaan itu dari mereka. Jikalau berkatalah orang yang berkata: “Bahwa hari qiamat kalau disebutkan waktunya bahwa ia akan datang sesudah 1000 tahun atau lebih banyak atau kurang dari itu, sesungguhnya dapat dipahami. Tetapi tidak disebutkan, adalah untuk kemuslihatan hamba Allah itu sendiri dan karena ditakuti akan kemelaratan. Semoga masa kepada hari qiamat itu masih jauh. Maka masih panjanglah waktu. Dan apabila jiwa itu merasa bahwa masa siksaan masih lama, maka kuranglah perhatiannya. Dan semoga masa kepada hari qiamat itu dekat dalam ilmu Allah ! maka kalau disebut niscaya sangatlah ketakutan, berpalinglah manusia dari pekerjaan dan runtuhlah dunia. Pengertian ini jika diperhatikan dan benar, maka adalah contoh bagi bahagian kedua.
Bahagian ketiga: bahwa sesuatu itu jikalau disebutkan dengan tegas adalah dapat dipahami dan tidak ada padanya kemelaratan. Tetapi disebutkan secara kinayah (sindiran tidak terus terang), secara meminjam kata-kata lain (isti’aarah) dan perumusan. Supaya lebih mendalam masuknya ke dalam hati si pendengar. Dan si pendengar itu sendiri, mempunyai kepentingan, supaya besarlah pengaruh hal itu, dalam hatinya. Seumpama kalau dikatakan oleh orang yang mengatakan: “Aku melihat si Anu menggantungkan mutiara pada leher babi”. Maka dipakai kata-kata kinayah tadi, terhadap penyiaran ilmu dan pengembangan hikmah kepada bukan ahlinya. Kadang-kadang si pendengar itu terus mendahului kepada pemahamannya akan yang dhahir/luar dari kata-kata itu. Dan orang yang berpaham, apabila memperhatikan dan mengetahui, bahwa manusia tadi, tak ada padanya mutiara dan tak ada pada tempatnya babi, niscaya menjadi pintar, karena mengetahui rahasia dan bathin itu. Mengenai hal itu, berlebih kuranglah manusia. Dan dari inilah berkata seorang penyair:
“Dua orang lelaki,
seorang penjahit,
yang lain penenun.
Keduanya memandang berhadap-hadapan,
ke arah dua bintang lazuardi.
Yang satu senantiasa menenuni,
kain koyak, yang membelakang.
Yang temannya menjahitkan,
pakaian kawan yang berhadapan.
Penyair tadi menyusun kata-kata tentang keadaan di langit mengenai menghadap dan membelakang dengan mengambil ibarat dua orang pekerja. Cara ini membawa kepada penyusun kata-kata tentang sesuatu pengertian, dengan bentuk yang mengandung diri pengertian itu sendiri atau contohnya. Diantara contohnya ialah sabda Nabi saw: “Bahwa masjid itu menjadi kuncup dari dahak manusia, sebagaimana kuncupnya kulit di atas api”. Anda dapat melihat, bahwa halaman masjid itu tidaklah kuncup disebabkan oleh adanya dahak manusia. Tetapi artinya adalah bahwa jiwa masjid itu dihormati. Dan meludahkan dahak ke dalamnya, adalah penghinaan kepada masjid. Maka berlawananlah yang demikian dengan pengertian masjid, seperti berlawanannya api karena bersambung dengan bahagian-bahagian dari kulit itu. Dan seperti itu juga sabda Nabi saw: “Apakah tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam di dalam shalat, bahwa akan diubah oleh Allah kepalanya kepada kepala keledai ?”. Yang demikian itu, dari segi bentuk tidaklah ada sekali-kali dan tidak akan ada. Tetapi dari segi pengertian, itulah yang ada. Karena kepala keledai itu tidaklah yang sebenarnya, baik keadaan atau bentuknya. Tetapi yang dimaksudkan ialah sifat yang khusus bagi kepala keledai. Yaitu kebodohan dan kedunguan. Maka orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, jadilah kepalanya itu kepala keledai, dalam pengertian bodoh dan dungu. Itulah yang dimaksud, bukan bentuknya yang menjadi wadah dari pengertian itu. Karena dari tujuan kebodohan, ialah berkumpul antara mengikut dan mendahului, dimana keduanya itu berlawanan.
Sesungguhnya diketahui bahwa rahasia itu berlawanan dengan dhahir/luar, adakalanya dengan dalil akal atau daliil agama. Dengan dalil akal, membawa nya kepada dhahir yang tidak mungkin, seperti sabda Nabi saw: “Hati mu’min itu diantara dua jari dari jari-jari Tuhan yang Pengasih”. Karena kalaulah kita periksa akan hati mu’min itu, maka tidaklah kita memperoleh di dalamnya anak jari. Maka diketahuilah bahwa itu adalah kata kiasan/kinayah dari kehendak yang menjadi rahasia dari anak jari dan jiwanya yang tersembunyi. Dikinayahkan dengan anak jari itu dari kehendak. Karena dengan cara yang demikian adalah lebih besar kesannya di dalam memahami kesempurnaan pengertian kehendak. Dan termasuk di dalam golongan ini, mengenai kinayah dari taqdir, firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya bila Kami kehendaki sesuatu, Kami hanya mengatakan kepadanya: Jadilah ! (Kun !), lalu jadilah dia”. S 16 An Nahl ayat 40. Bahwa menurut dhahiriyahnya, itu tak bisa jadi. Karena firmanNya KUN, jika ditujukan kepada sesuatu sebelum adanya, maka itu mustahil. Karena barang yang belum ada (al-ma’dum) tidak memahami sesuatu perkataan yang ditujukan kepadanya (al-khitaab), sehingga ia mengikutinya. Dan jika ditujukan kepada sesuatu, sesudah adanya, maka barang yang sudah ada, tidak memerlukan lagi kepada diadakan. Tetapi tatkala adalah kinayah itu lebih mendalam di dalam jiwa untuk memberi pemahaman tujuan dari kehendak, maka dipakailah kinayah itu.
Adapun yang diperoleh dengan syari’at/agama, maka melakukannya secara dhahir itu mungkin. Tetapi ada riwayat yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan yang dhahir, seperti yang diriwayatkan mengenai penafsiran firman Allah Ta’ala: “Dia yang menurunkan air hujan dari langit (awan), lalu mengalir air itu di lembah-lembah menurut ukurannya”. S 13 Ar Ra’d ayat 17. Bahwa yang dimaksudkan dengan air pada ayat tadi ialah Alquran. Dan yang dimaksudkan dengan lembah-lembah itu ialah hati. Bahwa sebahagian dari hati itu membawa banyak hal, sebahagian daripadanya membawa sedikit dan sebahagian lagi tidak membawa apa-apa. Dan buih itu adalah seumpama kufur dan nifaq. Maka meskipun dia itu dhahir dan terapung di atas air, tetapi dia tidak tetap. Dan hidayah (petunjuk) yang bermanfaat bagi manusia itu tetap. Dalam bahagian ini, ada suatu golongan membicarakan nya secara mendalam. Lalu mena’wilkan apa yang datang pada hari akhirat, tentang timbangan amal (mizan), titian (shirath) dan lainnya. Tindakan tersebut adalah bid’ah (yang diada-adakan) karena yang demikian tak ada riwayatnya. Dan melakukannya di atas dhahir tidaklah suatu yang mustahil. Dari itu, haruslah diperlaku kan secara dhahiriyah.
Bahagian keempat: bahwa manusia itu mengetahui sesuatu secara keseluruhan (global). Kemudian secara terperinci dengan penelitian dan perasaan, dengan jadinya sesuatu itu bertempat menjadi pakaian baginya. Maka berlebih-kuranglah dua ilmu tadi. Yang pertama adalah sebagai kulit dan yang kedua adalah sebagai isi. Yang pertama adalah sebagai dhahir/luar jiwa dan yang kedua adalah sebagai bathin/dalam jiwa. Yang demikian itu, adalah seumpama yang menampak pada mata manusia sesuatu di dalam gelap atau pada tempat yang jauh. Maka terjadilah baginya semacam pengetahuan. Lalu apabila dilihatnya pada jarak dekat atau setelah hilangnya gelap, maka tahulah dia akan perbedaan diantara keduanya. Dan tidaklah yang kemudian itu berlawanan dengan yang pertama. Akan tetapi menyempurna kan bagi yang pertama. Maka seperti itu pulalah ilmu, iman dan tashdiq (membenarkan). Karena manusia itu kadang-kadang membenarkan adanya rindu, sakit dan mati sebelum lagi terjadi. Tetapi keyakinannya ketika telah terjadi menjadi lebih sempurna daripada sebelumnya. Bahkan bagi manusia mengenai syahwat, rindu dll hal, mempunyai tiga keadaan yang berlebih-kurang dan perasaan yang berbeda-beda:
Pertama : membenarkan dengan adanya sebelum terjadi.
Kedua    : membenarkan dengan adanya ketika terjadi.
Ketiga    : membenarkan dengan adanya ketika telah terjadi.
Keyakinan kita dengan lapar setelah hilangnya, berlainan dengan sebelum lagi hilang. Dan seperti demikianlah, sebahagian dari ilmu-ilmu agama, ada yang menjadi terasa betul, lalu sempurnalah dia. Maka adalah yang demikian seperti bathin, bila dibandingkan kepada keadaan sebelumnya. Maka bedakanlah diantara ilmu orang sakit tentang kesehatan dan ilmu orang sehat mengenai kesehatan itu !. Maka pada bahagian-bahagian yang 4 itu, berlebih-kuranglah dia diantara manusia. Dan tak adalah pada satupun daripadanya, yang bathin itu bertentangan dengan yang dhahir. Tetapi adalah menyempurnakan dan mencukupkan, seperti isi menyempurna kan akan kulit. Sekian !.
Bahagian kelima: bahwa dperkatakan tentang sesuatu itu, dengan kata-kata, tidak dengan keadaan. Maka orang yang berpaham singkat, lalu tegak kepada yang dhahir dan berkeyakinan kepada yang diucapkan itu. Tetapi bagi orang yang memandang kepada hakikat/makna itu, mengetahui akan rahasia yang terpendam di dalamnya. Ini adalah seperti perkataan dari orang yang mengucapkan: berkata dinding kepada tiang: “Mengapakah engkau menyusahkan akan aku ?”. Menjawab tiang: “Tanyakanlah kepada orang yang menokok-nokokkan aku ! mengapakah dia membiarkan di belakangku batu yang ada di belakangku ?”. Ini adalah penyusunan kata-kata keadaan dengan kata-kata yang diucapkan. Dari inilah, firman Allah Ta’ala: “Kemudian itu Dia menuju ke langit, ketika itu berupa asap. Tuhan berfirman kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah engkau keduanya dengan suka rela atau terpaksa !”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan sukarela (patuh)”. S 41 Fussilat ayat 11. Orang yang bodoh itu memerlukan untuk memahamkan ini, kepada penentuan bahwa langit dan bumi itu hidup, berakal dan mengerti kepada ucapan dan ucapan itu, ialah suara dan huruf yang didengar oleh langit dan bumi. Lalu keduanya menjawab dengan huruf dan suara, dengan mengatakan: “Kami datang dengan sukarela”. Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa yang demikian itu, adalah kata-kata keadaan (lisanul-hal). Dan menerangkan bahwa langit dan bumi itu diuntukkan dengan sendirinya kepada yang demikian. Dan menuruti kepada yang diuntukkan itu dengan mudah. Dan dari inilah, firman Allah Ta’ala: “Dan tak ada sesuatupun, melainkan semata-mata memuji Tuhan dengan kemuliaanNya”. S 17 Al Israa ayat 44. Orang yang bodoh itu, memerlukan pada memahaminya kepada penentuan bahwa benda-benda beku itu mempunyai hidup, akal dan tutur kata dengan suara dan huruf. Sehingga dapat ia mengatakan: Subhaanallaah (Maha Suci Allah), supaya benar-benarlah pengucapan tasbih itu. Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa tidaklah dimaksudkan dengan itu pengucapan dengan lisan. Tetapi adanya benda itu merupakan pengucapan tasbih kepada wujud Allah, berqudus kepada zatNya dan naik saksi kepada keEsa-anNya, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
“Pada segala sesuatu,
mempunyai pertanda,
yang menunjukkan,
Dia itu Esa”.
Sebagaimana dikatakan, dunia yang kokoh kuat ini menjadi saksi bahwa penciptanya itu mempunyai kebagusan pengaturan dan kesempurnaan pengetahuan. Tidaklah itu mempunyai pengertian bahwa dunia yang kokoh kuat ini mengucapkan: “Aku naik saksi”, dengan kata-kata. Tetapi adalah pengakuan itu dengan dirinya sendiri dan keadaan yang meliputinya. Begitu pula: Tiada suatupun, melainkan memerlukan pada dirinya kepada pencipta yang menciptakannya, yang mengekalkannya, yang menetapkan sifat-sifat dan yang membuatnya berkembang di dalam segala peredaran masa. Maka sesuatu itu dengan memerlukan kepada yang tersebut tadi, lalu naik saksi dengan pengqudusan/pensucian kepada Khaliqnya (yang maha pencipta), dimana kenaik-saksian itu diketahui oleh orang-orang yang bermata hati. Tidak oleh orang-orang yang membeku yang berpegang kepada dhahir saja. Karena itu berfirman AllahTa’ala: Tetapi sayang kamu tidak mengerti pujian mereka itu”. S 17 Al Israa ayat 44. Adapun orang-orang yang singkat pikiran, maka tidak dapat memahaminya sekali-kali. Dan orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan beramalan banyak) dan ulama-ulama yang mendalam pengetahuannya, tidak akan dapat memahami akan hakikat/makna dan kesempurnaan sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu mempunyai kenaik-saksian yang bermacam-macam untuk mengquduskan Allah dan memujikanNya. Masing-masing dapat mengetahuinya sekedar akal dan mata hatinya. Menghitung-hitung kenaik-saksian itu, tidaklah wajar dengan ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan juga pengetahuan ini termasuk diantara pengetahuan yang berlebih-kurang dari ahli-ahli dhahir dan ahli-ahli bashirah (bermata hati) pada mengetahuinya. Dan kelihatanlah padanya, perbedaan bathin dengan dhahir. Di dalam maqam (kedudukan) ini, bagi ahli-ahli maqam itu mempunyai keroyalan dan kesederhanaan. Dari yang bersifat keroyalan itu, mengenai penyingkapan yang dhahir, sampailah dia kepada mengobah segala yang dhahir itu beserta dalil-dalilnya atau mengobah sebagian besar daripadanya. Sehingga mereka membawa firman Allah Ta’ala: “Tetapi tangan mereka berkata kepada Kami dan kaki mereka menjadi saksi”. S 36 Yaa Siin ayat 65. Dan firman Allah Ta’ala: “Mereka berkata kepada kulitnya: Mengapa kamu menjadi saksi bagi kami ? jawabnya: Tuhan yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata. Itulah yang menjadi kami pandai berkata”. S 41 Fussilat ayat 21. Dan seperti itu pula soal jawab yang terjadi dari malaikat Munkar dan Nakir, mengenai timbangan amal, titian dan hitungan amal (hisab). Dan perdebatan antara penduduk neraka dan penduduk sorga, dalam perkataan mereka: “Limpahkanlah kepada kami air sedikit atau berilah (sedikit) rezeki makanan yang diberikan Tuhan kepada kamu !”. S 7 Al A’raaf ayat 50. Mereka mendakwakan bahwa itu semua adalah dengan lisanul-hal (kata-kata keadaan). Dan segolongan lain, bersangatan menutup pintu penafsiran. Diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang melarang penafsiran firman Allah Ta’ala: “Kun fayakun”. (Adalah engkau ! lalu dia ada)”. Golongan ini mendakwakan bahwa itu adalah pengucapan dengan huruf dan suara yang wujud pada Allah, setiap detik dan ketika, menurut bilangan banyaknya ada seluruh yang ada. Sehingga aku mendengar sebahagian sahabat Imam Ahmad mengatakan bahwa: Imam Ahmad itu menutup rapat pintu penafsiran selain pada 3 hadits Nabi saw:
1.      “Hajar-aswad itu tangan kanan Allah dibumiNya”.
2.      “Hati mu’min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”.
3.      “Sesungguhnya aku memperoleh diri Tuhan Yang Maha Pengasih dari pihak kanan”.
Dan orang-orang yang berpegang kepada dhahiriyah, cenderung kepada menutup rapat pintu penafsiran. Sangkaan yang baik kepada Ahmad bin Hanbal, ialah bahwa beliau tahu bahwa “istiwa’ “ (bersemayam) itu, tidaklah maksudnya menetap dan “nuzul” (turun) itu, tidaklah maksudnya berpindah. Tetapi ia (Imam Ahmad) melarang dari penafsiran itu, adalah menutup pintu, demi menjaga kemuslihatan orang banyak. Karena apabila pintu penafsiran itu terbuka, maka meluaslah keretakan dan keluarlah keadaan dari ketentuan dan melewatilah batas kesederhanaan. Karena batas yang melampaui kesederhanaan itu, tidaklah dapat ditentukan. Dari itu, tak apalah dengan larangan ini. Dan diakui akan demikian oleh riwayat perjalanan hidup ulama-ulama yang terdahulu. Mereka itu mengatakan: “Lalukanlah sebagaimana yang datang”. Sehingga Imam Malik ra menjawab ketika ditanyakan kepadanya tentang istiwa (bersemayam)’: “Istiwa (bersemayam)’ itu dimaklumi, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya diwajibkan dan bertanya tentang istiwa (bersemayam)’ itu bid’ah.
                 Segolongan lagi beraliran kepada kesederhanaan, dan membuka pintu penafsiran mengenai sesuatu yang berhubungan dengan sifat Allah. Dan mereka membiarkan atas dhahiriyah, apa yang berhubungan dengan akhirat. Dan mencegah penafsiran padanya. Golongan ini ialah golongan “Asy ‘ariyah”. Golongan Mu’tazilah menambahkan di atas golongan Asy’ariyah. Sehingga mereka menerjemahkan ru’yah/melihat daripada sifat Allah Ta’ala. Mereka menterjemahkan adanya Allah Ta’ala mendengar dan melihat. Mereka menterjemahkan mi’raj dan mendakwakan bahwa mi’raj itu tidaklah dengan tubuh (jasad). Mereka menterjemahkan ‘azab qubur, neraca amal (mizan), titian (shirath) dan banyak lagi dari hal keadaan akhiratt. Tetapi mereka mengakui adanya pengumpulan segala jasad di hari mahsyar, sorga dan kelengkapan sorga dengan makanan-makanan, bau-bauan, wanita-wanita yang dikawini dan segala macam kesenangan yang dirasakan. Mereka mengakui adanya neraka dan kelengkapannya, atas tubuh yang terlihat nyata terbakar, yang membakarkan kulit dan menghancurkan minyaknya. Dan termasuk meningginya mereka kepada batas ini, ialah ditambahi oleh kaum filosuf. Maka mereka menterjemahkan tiap-tiap yang datang mengenai akhirat dan mengembalikan semuanya itu kepada penderitaan-penderitaan pikiran dan jiwa (‘aqliah dan ruhaniah) dan kesenangan-kesenangan pikiran (lezat ‘aqliah). Mereka itu (para filosuf) mengingkari pengumpulan segala jasad (pada hari mahsyar) dan mengatakan dengan kekalnya nyawa. Dan nyawalah yang di’azab atau diberi nikmat, dengan ‘azab dan nikmat yang tidak dapat dilihat dengan pancaindra. Merekalah (para filosuf) itu, orang-orang yang berlebih-lebihan!.Batas kesederhanaan, diantara keseluruhan kelonggaran ini dan bekunya pengikut-pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, adalah demikian halus dan kabur, yang tidak dapat dilihat, kecuali oleh mereka yang memperoleh taufiq, yang mengetahui segala keadaan dengan nur Ilahi. Tidak dengan mendengar.
                Kemudian, apabila terbukalah bagi mereka, rahasia dari segala keadaan, menurut keadaannya yang sebenarnya, niscaya mereka memperhatikan kepada pendengaran dan kata-kata yang datang. Maka apa yang sesuai dengan apa yang dipersaksikannya dengan nurul-yaqin (cahaya yakin), niscaya ditetapkannya. Dan apa yang menyalahi, niscaya dita’wilkannya/diartikannya. Adapun orang yang mengambil ma’rifat (pengenalan) segala keadaan ini, dari pendengaran semata-mata, maka tidaklah teguh pendiriannya dan tidaklah tentu tempat tegaknya. Dan yang lebih wajar bagi orang yang menyingkatkan kepada pendengaran semata-mata ialah maqam (pendirian) Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sekarang, maka pembukaan tutup dari batas kesederhanaan, mengenai segala keadaan itu, adalah termasuk di dalam ilmu diminta untuk mengetahuinya saja (ilmu mukasyafah) . Dan pembicaraan mengenainya itu akan panjang. Dari itu maka tidaklah kita mencemplungkan diri ke dalamnya. Maksud sekarang ialah menerangkan penyesuaian bathin dengan dhahir dan bathin itu tidak bertentangan dengan dhahir. Maka dengan 5 bahagian yang tersebut itu telah terbukalah banyak hal. Apabila kita berpendapat untuk menyingkatkan sekedar mencukupi bagi orang awam, di atas penjelasan keyakinan yang telah kami uraikan dan mereka tidak diberati lain dari itu pada tingkat pertama, kecuali apabila ditakuti gangguan, karena berkembangnya bid’ah (yang diada-adakan), maka dinaikkan pada tingkat kedua, kepada keyakinan, dimana di dalamnya bersinar cemerlang dengan dalil-dalil yang ringkas, tanpa mendalam. Dari itu, hendaklah kami bentangkan di dalam Kitab ini, dalil-dalil yang cemerlang itu. Dan hendaklah kami ringkaskan sekedar yang telah kami uraikan untuk ahli-qudus (golongan yang mengquduskan Tuhan). Dan kami namakan “Risalah Qudsiyah” mengenai Qaidah-qaidah I’tiqad (keyakinan). Dan itu semuanya tersimpan di dalam pasal ke-3 kitab ini.
PASAL KETIGA: dari kitab “Qaidah-qaidah ‘Aqidah”, mengenai dalil-dalil yang cemerlang buat aqidah/keyakinan, yang telah kami terjemahkan dengan “Qudus”/suci. Maka kami mulai:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta Sunnah dengan cahaya yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para sahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan dan aqidah/keyakinan ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata. Maka dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara hasil keyakinan akal dan kehendak-kehendak agama yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama). Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari kata-kata “Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuululaah”, tidaklah berfaedah dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokoknya. Mereka mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul. Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya 4. Dan masing-masing rukun itu, berkisar di atas 10 pokok:
Rukun Pertama: mengenai ma’rifah (mengenal) dzat Allah Ta’ala dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: mengetahui dengan wujud Allah Ta’ala, qidam /tiada berpemulaanNya, baqaNya/kekal, Dia tidak jauhar (benda/barang), tidak tubuh dan tidak ‘aradl (sifat). Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.
Rukun Kedua: mengenai sifat-sifatNya dan melengkapi kepada 10 pokok. Yaitu: mengetahui bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, Maha Suci dari bertempat sifat-sifat yang baru padaNya, tiada berpemulaan, kata-kataNya, ilmuNya dan kemauanNya.
Rukun Ketiga: mengenai Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta’ala; Bahwa segala perbuatan itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif (menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi Muhammad saw itu benar, yang dikuatkan dengan mu’jizat-mu’jizat.
Rukun Keempat: mengenai sam’iyyat (hal-hal yang didengar dari agama) dan berkisar di atas 10 pokok. Yaitu: adanya pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir, ‘azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan umat Islam), bahwa keutamaan para sahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslimin (syarat-syarat memegang jabatan / imamah).
RUKUN PERTAMA: dari rukun-rukun Iman, ialah mengenal (ma’rifah) dzat Allah swt. Bahwa Allah Ta’ala itu Esa. Rukun ini berkisar di atas 10 pokok.
Pokok pertama: mengenal adanya Allah Ta’ala.
Cahaya yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Alquran. Maka tak adalah penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta’ala. Berfirman Allah Ta’ala: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas) ? dan gunung-gunung sebagai pasak (nya) ? dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang lebat”. S 78 An Nabaa’ ayat 6 s/d ayat 16. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfaat kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti”. S 2 Al Baqarah ayat 164. Berfirman Allah Ta’ala: “Tidakkkah kamu perhatikan, bagaimana Tuhan menciptakan 7 langit, sepadan satu sama lain ? dan dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita ? dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang berangsur-angsur). Kemudian, itu kamu dikembalikanNya ke situ, dan kamu dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)”. S 71  Nuh ayat 15 s/d 18. Berfirman Allah Ta’ala: “Tidaklah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ? kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang menciptakan ? Kami telah menentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian ? adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam ? kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan ? dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang karenanya. (Mengatakan): Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang. Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum ? kamukah yang menurunkannya dari awan atau Kamikah yang menurunkannya ? kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin. Mengapakah kamu tiada berterima kasih ? adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan ? kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kami yang menumbuhkannya ? itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musafir di gurun pasir”. S  56 Al Waaqi’ah ayat 58 s/d 73.
Maka tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah pandangannya kepada segala keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit, kecantikan kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat mena’jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang mentaqdirkannya. Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA yang menentukan di bawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak pimpinanNya. Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Apakah kamu ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?”. S 14 Ibrahim ayat 10. Maka karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil umat kepada keesaan, supaya mengucapkan “Laa ilaaha illallaah” (Tidak ada yang disembah selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan “Kami mempunyai Tuhan dan alampun mempunyai Tuhan”. Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam kejadian diri yang suci bersih kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta’ala kepada kita: “Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: Allah !”. S 31 Lukman ayat 25. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul !”. S 30 Ar Ruum ayat 30. Jadi, di dalam kejadian diri yang suci bersih kejadian manusia itu dan dalil-dalil yang ditunjukkan Alquran, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan dalil-dalil lain.
Tetapi untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakann bahwa dari permulaan dalil itu, ialah: akal. Karena yang baru (haadits) itu, tak dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya. Bahwa alam itu baru, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun kata kita bahwa yang baru itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baru itu ditentukan adanya dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh jadi terkemudian. Maka untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish). Adapun kata kita: alam itu baru, maka dalilnya ialah, bahwa tubuh alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah baru. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baru adalah baru. Di dalam pembuktian ini, terdapat 3 dakwaan:
Dakwaan Pertama: kata kita bahwa tubuh itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah. Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa tubuh itu tidak tetap dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita penyakit pikiran.
Dakwaan Kedua: kata kita bahwa gerak dan diam itu adalah baru Hal ini ditunjukkan oleh ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan pada sekalian tubuh, baik yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baru karena datangnya. Dan yang dahulu itu baru karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu tiada berpemulaan, niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan ketiga: kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada sifat-sifat baru, adalah baru. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baru itu, yang baru, yang tak berpemulaan baginya. Dan kalau tidaklah berlalu baru itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baru ada sekarang. Dan berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil. Karena sesungguh nya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau ganji atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap atau tidak ganjil. Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara tidak dan ada. Karena pada me-adakan yang satu, adalah menidakkan yang lain. Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan ? dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya, sedang dia tidak berkesudahan bilangannya ? dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil, karena dia berkesudahan. Maka kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat baru. Maka adalah ia baru. Dan apabila telah benar barunya, maka dia memerlukan kepada yang membarukannya, yang dapat diketahui dengan mudah.
Pokok Kedua: mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu qadim/tiada berpemulaan, senantiasa, azali ( tida kesudahan / permulaan ), tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup. Dalilnya: jikalau adalah Dia itu baru, tidak qadim/tiada berpemulaan, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang membarukan). Yang muhdits (yg menjadikannya) itu memerlukan kepada muhdits (yg menjadikannya) lagi, lalu tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits (yg menjadikannya) yang qadim/tiada berpemulaan, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari yang kita namakan: Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya (yang maha pencipta nya)
Pokok Ketiga: mengetahui bahwa Allah Ta’ala serta adaNya azali ( tida kesudahan / permulaan ) abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir, yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidam/tiada berpemulaanNya, maka mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya: jikalau Allah Ta’ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak terlepas dari, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia. Jikalau boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula kedatangan adam (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil/salah, bahwa dia menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawani dia. Karena yang mengadamkannya itu, jikalau ia qadim/tiada berpemulaan, maka tidak tergambarlah wujud besertanya. Dengan dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadim/tiada berpemulaanNya. Maka bagaimanakah ada wujudNya pada tiada berpemulaan dan besertanya ada lawannya ?. Jikalau lawan yang mengadamkannya itu baru, maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang baru dalam perlawanannya kepada yang qadim/tiada berpemulaan sampai dapat memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang qadim/tiada berpemulaan sendiri, dalam perlawanannya kepada yang baru. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan wujud itu adalah lebih mudah daripada memutuskannya. Dan yang tiada berpemulaan adalah lebih kuat dan lebih utama dari yang baru (haadits).
Pokok Keempat: mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta’ala itu benda yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu. Dalilnya: bahwa tiap-tiap benda itu mengambil tempat, maka tentulah dia dengan tempat itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana keduanya itu adalah baru. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baru, adalah baru. Jikalau tergambarlah jauhar/benda yang bertempat itu, qadim/tiada berpemulaan, maka dapatlah diterima akal akan tiada berpemulaannya  benda-benda alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu benda dan tidak bermaksud dengan benda itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.
Pokok Kelima: mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidaklah bertubuh yang tersusun daripada benda-benda. Karena tubuh adalah ibarat dari susunan benda-benda. Apabila salah adaNya itu benda yang tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil/salah pulalah adaNya itu tubuh. Sebab tiap-tiap tubuh, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar (benda/barang). Maka benda adalah mustahil terlepasnya dari bercerai dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas. Semuanya itu, adalah tanda-tanda dari yang baru. Kalau bolehlah diyakinkan bahwa pencipta alam itu tubuh, maka boleh pulalah diyakinkan ketuhanan matahari, bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang bertubuh. Kalau adalah orang yang berani menamakan Allah Ta’ala itu tubuh, tanpa ada maksud tersusun dari jauhar-jauhar (benda-benda), maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam meniadakan pengertian tubuh.
Pokok Keenam: mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidaklah ‘aradl (sifat) yang berdiri pada tubuh atau bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl/sifat ialah apa yang bertempat pada tubuh. Maka tiap-tiap tubuh  -tiada jalan lain- adalah baru, dimana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya bertempat pada tubuh, sedang Dia sudah maujud pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) sendiriNya, tak ada sertaNya yang lain ? kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim (tubuh-tubuh) dan aradl-aradl/sifat-sifat ? dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya. Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada sifat Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang Maujud/yang ada yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya. Dari pokok-pokok yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah itu ada/maujud, berdiri dengan sendiriNya, tidak Dia jauhar (benda/barang), tubuh dan aradl/sifat. Dan alam seluruhnya adalah jauhar (benda/barang), aradl/sifat dan tubuh. Jadi, tidaklah Allah Ta’ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta’ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya (yang maha pencipta), yang ditaqdir dan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang Membentukkannya ?. Segala tubuh dan ‘aradl (sifat) itu seluruhnya adalah dijadikan dan diciptakan oleh Allah Ta’ala. Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia !.
Pokok Ketujuh: mengetahui bahwa Allah Ta’ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka atau di belakang. Arah-arah ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan (wasithah) kejadian manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu berpegang kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut yang berjalan terbailk di bawah loteng, maka terbaliklah arah atas baginya, menjadi arah bawah. Meskipun bagi kita itu arah atas namanya. Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk lawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan yang mengiringi satu lagi kiri. Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua pinggir, dimana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk arah, dimana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk lawannya. Segala arah ini adalah baru, datang dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ) ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah baru ? atau bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya yang demikian ? apakah caranya dengan: Allah menjadikan alam di atasNya ? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya ? karena Maha Sucilah Dia dari mempunyai kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan kepala. Atau dengan: Allah menjadikan alam di bawahNya ? Maha Sucilah Allah dari ada bawah bagiNya ! karena Maha Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki. Semuanya itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat ketentuan benda atau ditentukan dengan benda sebagai ketentuan sifat. Dan telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu benda atau ‘aradl (sifat). Dari itu maka mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah. Kalau dimaksudkan dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong kepada pengertian. Dan karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi tubuh, maka adakalanya, sama dengan tubuh itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya. Semua itu adalah taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha Sucilah dari yang demikian itu Al-Khaliq (yang maha pencipta) Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur. Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdoa kepada Allah ke arah langit, adalah karena langit itu qiblat doa. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di atas sifat kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Tinggi di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.
Pokok Kedelapan: mengetahui bahwa Allah Ta’ala ber-istiwa (bersemayam)’ di atas ‘ArasyNya/surgaNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah dengan istiwa (bersemayam)’ itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaruan dan kefanaan (kelenyapan). Inilah yang dimaksud dengan istiwa (bersemayam)’ ke langit, di mana Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran: “Kemudian itu Dia ber-istiwa (bersemayam)’ ke langit, ketika itu berupa asap”. S 41 Fussilat ayat 11. Dan tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti kata seorang penyair:
“Telah ber-istiwa (bersemayam)’lah manusia itu di Irak,
tanpa pedang dan darah tertumpah........”.
Ahli kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penafsiran ini, sebagaimana ahli kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penafsiran firman Allah: “Wa huwa ma’akum ainamaa kuntum”. (Dia beserta kamu dimana saja kamu berada). Karena dengan sepakat firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya. Begitu pula sabda Nabi saw: “Hati mu’min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”, diartikan kepada kehendak dan perkasanya Tuhan. Dan sabda Nabi saw: “Batu hitam itu (Al-Hajarul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya”, diartikan kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajarul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan. Maka demikian pulalah istiwa (bersemayam)’. Kalau dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat itu tubuh, yang bersentuh dengan ‘Arasy/surga. Adakalanya seperti ‘Arasy atau lebih besar atau lebih kecil daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah mustahil.
Pokok Kesembilan: mengetahui bahwa Allah Ta’ala serta keadaanNya maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-suci daripada arah dan penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat -negeri ketetapan-, karena firmanNya: “Beberapa muka di hari itu bercahaya. Melihat kepada Tuhannya”. S 75 Al Qiaamah ayat 22-23. Dan IA tidak melihat di dunia karena membenarkan firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “Penglihatan tidak sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan”. S 6 Al An’aam ayat 103. Dan karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as: “Engkau tidak akan dapat melihat Aku”. S 7 Al ’Araaf ayat 143. Wahai, bagaimanakah Mu’tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang tidak dapat diketahui oleh Musa as ? dan bagaimana Musa as menanyakan ru’yah (melihat) Tuhan, sedang ru’yah/melihat  itu mustahil ? semoga kebodohan ahli-ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as. Adapun cara melakukan ayat ru’yah/melihat tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa kepada kemustahilan. Karena ru’yah/melihat  adalah semacam kasyaf/terbuka penutup dan ilmu, tetapi lebih sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu kepadaNya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah perhubungan ru’yah/melihat  kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah. Sebagaimana boleh Allah melihat makhlukNya dan tidak dalam keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.
Pokok Kesepuluh: mengetahui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian dengan menjadikan dan mencipta dan maha kuasa Dia menjadikan dan mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan menyamaiNya, tiada lawan bagiNya untuk bertengkar dan bermusuhan. Dalilnya firman Allah Ta’ala: “Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu keduanya menjadi rusak binasa”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Keterangannya: jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada keduanya menghendaki sesuatu, maka tuhan yang kedua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang kedua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan yang kedua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.
RUKUN KEDUA: mengetahui sifat-sifat Allah. Dan berkisar kepada 10 pokok.
Pokok Pertama: mengetahui bahwa yang menciptakan alam ini adalah Maha Kuasa. Bahwa Allah Maha Besar dengan firmanNya: “Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. S 5 Al Maa-idah ayat 120. Karena alam ini kokoh di dalam pembuatannya, teratur di dalam kejadiannya. Barangsiapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya, teratur bunga dan pinggirnya, lalu menyangka bahwa tenunan itu datangnya dari orang mati yang tidak bertenaga atau dari seorang manusia yang tak berdaya, maka orang yang melihat tadi adalah telah tercabut dari sifat berakal dan telah terjerumus ke dalam rantai kebodohan dan kedunguan.
Pokok Kedua: mengetahui bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu segala yang ada, meliputi ilmuNya dengan segala makhluk. Tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawipun, baik di bumi atau di langit. Maha benarlah Allah dengan firmanNya: “Dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu”. S 2 Al Baqarah ayat 29. Dan ditunjukkan kepada kebenaranNya oleh firmanNya: “Tidakkah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya ? dan Dia mengenal hal yang halus-halus dan cukup mengerti”. S 67 Al Mulk ayat 14. Tuhan memberi petunjuk kepada kita, kepada membuat dalil dengan makhlukNya, dengan mengetahui bahwa kita tidak menaruh keraguan, tentang mendalilkan makhluk yang halus dan kejadian yang dihiasi dengan teratur itu, walau pada benda yang hina lemah sekalipun untuk membuktikan atas maha tahu Penciptanya cara menyusun dan mengatur. Maka apa yang disebutkan oleh Allah swt itu adalah petunjuk dan pengenal yang amat mendalam.
Pokok Ketiga: mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu hidup. Barangsiapa ada ilmunya dan tenaganya, tentu saja ada hidupnya. Jikalau tergambar seorang yang bertenaga, berilmu, berbuat dan pengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah diragukan mengenai hidupnya hewan-hewan, ketika ia bulak-balik bergerak dan berdiam diri. Bahkan mengenai hidupnya ahli-ahli tehnik dan perusahaan. Hal yg seperti itu adalah membenamkan diri ke dalam lembah kebodohan dan kesesatan.
Pokok Keempat: mengetahui bahwa Allah Ta’ala berkehendak kemauan bagi segala perbuatan-perbuatan Nya. Maka tak adalah yang ada melainkan bersandar kepada kehendakNya dan datang dari kemauanNya. Dialah yang menjadikan dan mengembalikan, yang berbuat sekehendakNya. Bagaimanakah Dia tak ada berkehendak ? tiap-tiap perbuatan yang datang daripadaNya, mungkin bahwa datang lawannya. Dan yang tak ada lawannya, maka mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan kehendak itu adalah bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu kesesuaian. Maka tak boleh tidak daripada kemauan untuk menentukan kehendak itu kepada salah satu daripada dua yang akan dihubungi kehendak tadi. Kalau mencukupi ilmu saja tanpa kemauan, untuk menentukan sesuatu yang diketahui, sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh pada waktu yang mendahului ilmu dengan wujudnya, maka sesungguhnya boleh pula mencukupi tanpa kehendak. Sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh tanpa kehendak, karena telah mendahului ilmu dengan wujudnya.
Pokok Kelima: mengetahui bahwa Allah Ta’ala maha mendengar, melihat, tidak luput daripada penglihatanNya segala yang terlintas di dalam hati, sangka dan pikiran yang tersembunyi. Dan tidak jauh daripada pendengaranNya bunyi langkah semut hitam di dalam malam yang gelap, di atas batu yang hitam pekat. Betapakah Ia tidak mendengar, lagi melihat, sedang mendengar & melihat itu tak ada tempat untuk dibantah adalah kesempurnaan dan bukan kekurangan? maka bagaimanakah makhluk itu berada lebih sempurna daripada yang maha pencipta? yang dibuat itu lebih tinggi dan lebih sempurna daripada Yang Membuat? bagaimanakah lurusnya pembagian, manakala kekurangan ada pada Tuhan dan kesempurnaan ada pada makhluk dan pada perbuatanNya ? atau bagaimanakah lurusnya keterangan Ibrahim as menghadapi ayahnya karena ayahnya itu menyembah berhala karena kebodohan dan kedunguan ? lalu bersabdalah Ibrahim as kepadanya: “Hai bapakku ! mengapa engkau sembah barang yang tidak mendengar, tidak melihat dan tiada memberikan pertolongan kepada engkau barang sedikitpun”. S 19 Maryam ayat 42. Jikalau terbaliklah yang demikian itu, kepada Dzat yang disembah Ibrahim, maka sesungguhnya keterangannya menjadi hancur dan dalilnya, menjadi gugur. Dan menjadi tidak benarlah firman Allah Ta’ala: “Dan itulah alasan-alasan yang Kami berikan kepada Ibrahim menghadapi kaumnya”. S 6 Al An’aam ayat 83. Sebagaimana dipahami dengan akal bahwa Allah Ta’ala berbuat tanpa anggota, mengetahui tanpa hati dan otak, maka hendaklah dipahami pula bahwa Allah Ta’ala melihat tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga. Karena tak adalah perbedaan diantara keduanya.
Pokok Keenam: bahwa Allah swt berkata-kata dengan kata-kata. Yaitu suatu sifat yang terdiri pada DzatNya, tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kata-kata Allah dengan kata-kata lainNya, sebagaimana tidak serupa wujudNya dengan wujud lainnya. Kata yang sebenarnya ialah kata hati. Suara itu ialah yang mengeluarkan huruf-huruf untuk menunjukkan kepada yang dimaksud, sebagaimana ditunjukkan kepadanya sekali dengan gerak dan isyarah. Bagaimanakah maka ini sampai meragukan kepada segolongan orang yang bodoh. Dan tidak meragukan kepada penyair-penyair yang bodoh, dimana telah bermadah seorang diantara mereka yang mengatakan:
“sungguhlah kata-kata itu di dalam hati,
dan memang lidah dijadikan........
untuk menunjukkan.......
apa yang ada di dalam hati........”.
Orang yang tidak diikat oleh akalnya dan tidak dilarang oleh otaknya daripada mengatakan: “Lidahku itu baru, tetapi apa yang datang padanya dengan kehendakku yang baru itu adalah tiada berpemulaan”, maka putuskanlah harapanmu mengenai akalnya. Dan cegahkanlah lidahmu daripada berhadapan dengan dia !. Orang yang tiada dapat memahami bahwa tiada berpemulaan itu adalah ibarat daripada apa yang belum ada sebelumnya sesuatu dan bahwa ba adalah sebelum sin dalam bacaan kita “Bismillah”, maka tidak adalah sin yang terkemudian daripada ba itu tiada berpemulaan. Maka bersihkanlah hatimu daripada menoleh kepadanya......!.
                  Allah swt mempunyai rahasia pada menjauhkan sebahagian daripada hambaNya -“Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya”-. Barangsiapa merasa sangsi bahwa Musa as mendengar di dunia ini kata-kata yang tidak dengan suara dan huruf, maka tentulah ia menentang akan melihat di akhirat Yang ADA, yang tidak dengan tubuh dan warna. Dan kalau diterima oleh akalnya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan warna, tubuh, batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihatnya, maka hendaklah ia berpikir mengenai pancaindra pendengaran akan apa yang dapat dipikirkannya mengenai pancaindra penglihatan itu. Jika dapat dipikirkannya bahwa bagi Allah satu pengetahuan yang satu, yaitu mengetahui segala yang ada, maka hendaklah dipikirkannya akan suatu sifat bagi Dzat yaitu berkata-kata, dengan segala apa yang ditunjukkan oleh semua penuturan kepadanya. Jika dapatlah ia berpikir akan keadaan langit yang tujuh, keadaan sorga dan neraka yang tertulis pada selembar kertas yang kecil dan terhafal di dalam suatu batas yang halus daripada hati dan bahwa semuanya itu dapat terlihat di dalam batas biji mata hitam, tanpa bertempat semua langit itu, bumi, sorga dan neraka di dalam mata hitam, hati dan kertas, maka hendaklah ia berpikir keadaan berkata-kata itu yang dibaca dengan lisan, dihafal di dalam hati dan tertulis di dalam mas-haf, tanpa bertempat dzat kalam (berkata-kata) di dalamnya. Karena jikalau bertempatlah pada kitab Allah dzat berkata-kata di atas kertas, niscaya bertempatlah Dzat Allah dengan menuliskan namaNya pada kertas. Dan bertempatlah dzat api neraka dengan menuliskan namanya pada kertas dan terbakarlah kertas itu.
Pokok Ketujuh: bahwa berkata-kata yang berdiri dengan sendirinya itu tiada berpemulaan dan begitu pula sekalian sifat Allah. Karena mustahillah bahwa ada Dia itu tempat bagi segala yang baru, yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi wajiblah bagi sekalian sifat dari sifat-sifat tiada berpemulaan akan apa yang wajib bagi dzat. Maka tidaklah didatangi oleh perobahan & tidaklah ditempati oleh segala yang baru. Tetapi senantiasalah pada tiada berpemulaan Nya, bersifat dengan segala sifat yang terpuji dan tetaplah di dalam keabadianNya, seperti itu, maha suci dari segala perobahan keadaan. Karena sesuatu yang menjadi tempat bagi segala yang baru, maka tidaklah dia itu terpisah daripada yang baru. Dan sesuatu yang tidak terpisah daripada segala yang baru, maka adalah dia itu baru. Dan sesungguhnya tetaplah sifat baru itu bagi tubuh, dimana dia didatangi perobahan dan pertukaran bagi sifat-sifatnya. Maka bagaimanakah Khaliq (yang maha pencipta) itu bersekutu dengan segala yang baru dalam menerima perobahan ? dan berdasarkan kepada ini, maka seyogyalah bahwa kalam (berkata-kata) Allah itu tiada berpemulaan, berdiri dengan dzatNya. Dan yang baru itu ialah suara-suara yang menunjukkan kepadanya. Sebagaimana dipahami, tegaknya tuntutan dan kemauan belajar pada diri seorang ayah untuk anaknya, sebelum anak itu dilahirkan, sehingga apabila anak itu telah lahir dan berakal serta dijadikan oleh Allah baginya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati ayahnya dahulu, dari tuntutan belajar, niscaya menjadi suruhan dengan tuntutan itu yang telah bangun pada diri sang ayah. Dan tetap adanya sampai kepada waktu anaknya mengenal akan hal itu. Maka hendaklah dipahami pula akan tegaknya tuntutan yang ditunjukkan kepadanya oleh firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bukalah kedua terompahmu !”. S 20 Thaahaa ayat 12. Dengan DzatNya dan jadinya Musa ditujukan dengan firman itu setelah adanya. Karena telah dijadikan kepada Musa ma’rifah/ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan tuntutan itu dan didengarnya untuk itu kalam (kata-kata) tiada berpemulaan.
Pokok Kedelapan: bahwa ilmu Allah itu tiada berpemulaan, maka senantiasalah IA mengetahui dengan DzatNya, sifatNya dan apa yang terjadi dengan makhlukNya. Manakala telah jadilah makhluk, maka tidak datanglah bagi Allah ilmu mengenai makhluk itu, tetapi hasillah segala makhluk itu terbuka bagiNya dengan ilmuNya yang azali ( tida kesudahan / permulaan ). Karena jikalau dijadikan bagi kita pengetahuan untuk mengetahui dengan kedatangan si Zaid ketika terbit matahari dan berkekalan pengetahuan tadi -diumpamakan- sampai terbit matahari, maka sesungguhnya kedatangan si Zaid ketika terbit matahari itu menjadi pengetahuan bagi kita dengan pengetahuan itu tanpa pembaruan pengetahuan yang lain. Maka begitu pulalah seyogyanya dipahami akan tiada berpemulaan ilmu Allah Ta’ala.
Pokok Kesembilan: bahwa iradah (Kemauan) Allah itu kadim (tiada berpemulaan). Kemauan itu pada tiada berpemulaannya bersangkutan dengan menjadikan segala yang baru pada waktunya yang layak, sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali ( tida kesudahan / permulaan ). Karena jikalau Kemauan itu baru, niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang baru. Dan jikalau terjadilah segala yang baru daripada bukan dzatNya, niscaya tak adalah Dia yang berKemauan padanya. Sebagaimana tidaklah engkau yang bergerak dengan sesuatu gerakan, yang tidak ada gerakan itu daripada diri engkau. Sebagaiamana dikatakan Kemauan itu baru, maka berhajatlah kebaruannya itu kepada Kemauan yang lain. Dan begitu pula Kemauan yang lain itu berhajat kepada Kemauan yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada tiada berkesudahan. Jikalau boleh Allah mendatangkan Kemauan dengan tanpa Kemauan maka boleh pulalah Ia mendatangkan alam dengan tanpa Kemauan.
Pokok Kesepuluh: bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmun/tahu, hidup dengan hayah/hidup, berkuasa dengan kehendak, berkehendak dengan Kemauan, berkata-kata dengan kalam (berkata-kata), mendengar dengan sama’ (mendengar) dan melihat dengan bashar (melihat). Semua sifat ini bagi Allah Ta’ala adalah sifat-sifat yang tiada berpemulaan. Perkataan orang yang mengatakan: orang berilmu tanpa ilmu samalah seperti katanya orang kaya tanpa harta, ilmu tanpa orang yang berilmu dan orang berilmu tanpa ada yang diketahui. Sebab ilmu, yang diketahui (yang dimaklumi) dan yang berilmu (‘alim) adalah bertaut satu sama lainnya, seperti pembunuhan, yang dibunuh dan pembunuh. Sebagaimana tidak tergambar adanya pembunuh, tanpa ada pembunuhan dan yang dibunuh dan tidaklah tergambar adanya yang dibunuh, tanpa ada pembunuh dan pembunuhan, maka seperti itu pulalah tidak tergambar adanya orang yang berilmu tanpa ilmu, adanya ilmu tanpa ada yang dimaklumi dan adanya yang dimaklumi tanpa ada yang berilmu (‘alim). Sebab yang tiga ini bertaut satu sama lainnya pada akal. Tidak terlepas sebahagian daripadanya daripada sebahagian yang lain. Barangsiapa membolehkan terlepasnya orang berilmu daripada ilmu, maka hendaklah ia membolehkan terlepasnya daripada yang diketahuinya dan terlepasnya ilmu daripada yang mengetahuinya. Karena tak adalah perbedaan diantara sifat-sifat yang tersebut tadi.
RUKUN KETIGA: mengetahui dengan segala Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan berkisar atas 10 pokok.
Pokok Pertama: mengetahui bahwa tiap-tiap yang baru pada ‘alam adalah perbuatan perbuatan-perbuatan Allah, yang dijadikan dan yang diciptakan Nya. Tak adalah khaliq (yang maha pencipta) bagi alam itu selain DIA Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan kehendak dan gerak bagi makhluk itu. Maka sekalian perbuatan-perbuatan hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan kehendakNya, hal mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya: “Allah itu pencipta segala sesuatu”. S 13 Ar Ra’d ayat 16. Dan pada firmanNya: “Dan sesungguhnya Tuhanlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. S 37 Ash Shaffaat ayat 96. Dan pada firmanNya: “Kamu rahasiakan perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya ? dan Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti”. S 67 Al Mulk ayat 13-14. DisuruhNya hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Ia mengetahui tempat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuanNya dengan makhlukNya. Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang kehendakNya adalah maha-sempurna, tak ada keKurangan padanya dan kehendak itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut kehendak dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerik itu sendiri ? maka apakah yang menghambat sangkutannya kehendak dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama ? atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewan-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berpikiran tinggi ? bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam ? padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu ! Wahai kiranya, hinalah segala makhluk itu ! Dia sendirilah yang berkuasa di alam al-mulki/alam dunia dan di alam al-malakut/alam akhirat, maha perkasa mengatur bumi dan langit.
Pokok Kedua: bahwa Allah sendirilah yang maha suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang tidak dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan usaha. Tetapi Allah Ta’ala yang menjadikan kehendak hamba (kuasa) dan yang dikuasainya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan. Adapun kehendak adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan tidaklah kehendak itu dengan usaha hamba sendiri. Adapun gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta’ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang dikuasakan dengan sebab kehendak, dimana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang dinamakan kehendak. Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu, dinamakan usaha. Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat diketahui akan perbedaan, diantara gerak yang dikuasai dan gerak mudah yang biasa ? atau bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah bilangannya ? apabila salahlah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam keyakinan. Yaitu bahwa gerak itu dikehendakkan dengan kehendak Allah Ta’ala sebagai ciptaan dan dengan kehendak hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan kehendak dengan yang dikehendakkan itu, bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena kehendak Allah Ta’ala pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) telah ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan kehendak, dimana kehendak ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam macam hubungan yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan kehendak, tiadalah ditentukan dengan berhasilnya yang dikehendakkan dengan kehendak itu.
Pokok Ketiga: bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar dari adanya dengan kehendak Allah swt. Maka tidaklah berlaku di alam nyata (alam al-mulki) dan alam yang tidak nyata (alam al-malakut), suatu kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan orang yang memandang, melainkan adalah dengan qadha’/takdir, kehendak, Kemauan dan kehendakNya. DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang bermanfaat dan yang melarat, Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, taat dan maksiat, syirik dan iman. Tak ada yang menolak bagi qadhaNya/takdirNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. DisesatkanNya akan siapa yang dikehendakiNya dan ditunjukiNya akan siapa yang dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang mereka itu (kita manusia ini) ditanya kan. Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata umat seanteronya: “Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak ada”. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bahwa kalau Allah berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya”. S Ar Ra’d ayat 31. Dan firmanNya: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri”. S 32 As Sajdah ayat 13. Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari segi aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan ma’siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah kena kutukan Tuhan, dimana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku atas yang sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Wahai kiranya, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, kepada derajat, di mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang pemimpin desa, niscaya tiada mau ia menerimanya ! kiranya jikalau yang tetap menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang berdiri di belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada kekuasaannya. Perbuatan ma’siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk. Semuanya itu berlaku pada ahli-ahli bid’ah (yang diada-adakan), menyalahi dengan Kemauan Allah. Ini adalah menunjukkan paling lemah dan tiada bertenaga. Maka maha sucilah Tuhan seru sekalian alam dari perkataan orang dhalim itu !. Kemudian, manakala telah nyata bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya. Jikalau orang bertanya: “Bagaimanakah Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang tiada dikehendakiNya ?”. Maka kami menjawab: “Suruh (amar) adalah lain dari kehendak (Kemauan). Dari itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya, lalu dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan alasan bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh sultan, lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh hamba sahaya itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya di hadapan sultan. Maka berkatalah ia kepada budak itu: “Pasanglah pelana hewan itu di hadapan sultan”. Maka disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak itu menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka keberatannya tidak diterima oleh sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil !.
Pokok Keempat: bahwa Allah Ta’ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan dan memberikan kewajiban itu wajib atas Allah. Berkata segolongan Mu’tazilah bahwa yang demikian itu wajib atasNya, karena ada kemuslihatan hamba padanya. Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang. Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan sesuatu kemestian dan kata yang ditujukan ? Dan yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu daripada dua: adakalanya perbuatan yang memberi melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan datang, umpamanya dikatakan: wajiblah atas hamba berbuat taat kepada Allah. Sehingga dia tidak diazabkan di akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu pada masa dekat, umpamanya dikatakan: wajiblah minum atas orang yang haus, sehingga ia tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah sesuatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan: adanya yang diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan. Kalau dikehendaki oleh pihak lawan dengan: bahwa menjadikan itu wajib atas Allah dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada melarat. Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada yang diketahui (al-ma’lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga, maka itu tidak dapat dipahami.
Mengenai kata Mu’tazilah: wajib itu karena ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah merusakkan. Karena apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung arti apa-apa. Kemudian, kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada orang-orang yang berakal.
Pokok Kelima: bahwa jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban) bagi Allah, memikulkan/memberatkan (mentaklifkan) atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat Mu’tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yg demikian, dengan mendoakan: “Hai Tuhan kami ! janganlah Engkau pikulkan keatas kami apa yang tidak kami sanggupi !”. S 2 Al Baqarah ayat 286. Dan karena Allah Ta’ala telah menerangkan kepada Nabi saw bahwa Abu Jahal tidak akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabi saw supaya menyuruh Abu jahal membenarkannya pada segala perkataannya. Dan ada dari jumlah perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw. Bagaimanakah dia membenarkan pada yang tidak dibenarkannya ? tidakkah ini selain dari mustahil adanya ?.
Pokok Keenam: bahwa bagi Allah Ta’ala menyakitkan dan mengazabkan makhlukNya tanpa ada dosa yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat Mu’tazilah. Hal ini, adalah karena Allah Ta’ala bertindak pada milikNya. Dan tidaklah tergambar bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim. Dibuktikan kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan bermacam-macam azab dari pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya dosa hewan. Kalau ada yang mengatakan: bahwa Allah Ta’ala akan mengumpulkan hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan. Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh, sehingga diberikan pahala atas segala penderitaannya, maka sesungguhnya telah keluar dari agama dan akal. Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah. Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat, maka itu adalah suatu yang mustahil. Dan jika dimaksudkan yg lain, maka telah diterangkan dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah keluar dari pengertian-pengertian yg tersebut bagi wajib.
Pokok Ketujuh: bahwa Allah Ta’ala berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak dapat diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya dan makhluk Allahl lah yang ditanyakan. Alangkah ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu’tazilah itu dengan katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana keduanya meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang sudah dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan beriman dan melakukan taat setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas Tuhan menurut orang Mu’tazilah. Kalau anak kecil itu berkata: “Wahai Tuhan ! mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada derajatku ?””. Maka menjawab Tuhan: “Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan taat”. Lalu anak kecil itu menjawab: “Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku, sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpaling dari keadilan dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia Engkau lebihkan ?”. Maka menjawab Allah Ta’ala: “Karena Aku tahu bahwa kalau dewasalah engkau, niscaya engkau menjadi musyrik atau pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil”. Ini dimaafkan oleh orang Mu’tazilah dari Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan ketika itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru, seraya berkata: “Wahai Tuhan ! apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik ? mengapakah tidak Engkau matikan kami sewaktu kecil ? kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat anak kecil muslim itu”. Maka apakah yang dijawab waktu itu ? dan adakah yang harus ketika itu, selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha suci dengan keagungan daripada ditimbang dengan timbangan orang Mu’tazilah itu !. Kalau dikatakan, bahwa manakala ditakdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tak layak dengan kebijaksanaan. Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh teman-temannya dan dipandang baik oleh musuh-musuhnya. Kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah daripadaNya keji sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak tergambar daripadaNya bertindak pada milik orang lain. Dan kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa yang demikian itu mustahil atas Tuhan ? tidakkah ini selain dari semata-mata keragu-raguan, yang diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami berikan umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara penduduk neraka ? kemudian, al-hakiim, artinya: yang mengetahui hakikat/makna segala sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya. Dan ini, maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu ? adapun al-hakiim dari kita (seorang ahli hikmah yang bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat kepada kepentingan dirinya sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala di akhirat. Atau untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil bagi Allah Ta’ala.
Pokok Kedelapan: bahwa mengenal (ma’rifah) akan Allah Ta’ala dan berbuat taat kepadaNya adalah wajib. Diwajibkan oleh Allah dan agamaNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi orang Mu’tazilah. Karena akal dan kalaupun dia mewajibkan taat maka tidaklah terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah. Dan itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia-sia. Dan adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, taat dan ma’siat pada pihak Allah Ta’ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta’ala akan memberi pahala di atas perbuatan ma’siat dan taat dan tidak menyiksakan di atas kedua perbuatan tadi, sedang taat dan ma’siat pada hak Allah adalah sama ? karena tidaklah Allah Ta’ala itu condong kepada salah satu daripada keduanya. Dan tidaklah bagi salah satu dairpada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan Allah Ta’ala. Sesungguhnya diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan agama. Dan telah hinalah orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluk, dimana dia membedakan diantara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada keduanya dan tidak dengan yang lain. Kalau dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenal Allah selain dengan agama. Dan agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum (mukallaf) tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu berkata kepada Nabi saw, bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada memperhatikan dan agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul saw. Kami menjawab: bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang yang berdiri pada salah satu tempat: “Bahwa di belakangmu ada binatang buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan dibunuhnya engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka tahulah engkau akan kebenaranku”. Maka menjawab orang yang tegak berdiri itu: “ Tidak menyakinkan kebenaranmu selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan berpaling ke belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu !”. Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa dirinya kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang memberi petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu. Maka begitulah Nabi saw yang mengatakan: “Bahwa di belakangmu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau kamu tidak berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan kepada mu’jiizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak memperhatikan dan terus-menerus demikian, maka binasa dan terjerumuslah dia. Dan tak ada memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa. Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas”. Agama memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi saw dan meyakininya dengan kemungkinan apa yang dikatakannya pada masa yang akan datang. Dan tabiat manusia menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan. Dan arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkan nya mendatangkan melarat. Dan arti bahwa agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenal kan akan kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu. Inilah arti agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib itu. Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.
Pokok Kesembilan: bahwa tidaklah mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan di akhirat, sebagaimana tidaklah memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan. Kebutuhan makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti kebutuhan mereka kepada dokter-dokter. Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal kebenaran nabi dengan mu’jizat.
Pokok Kesepuluh: bahwa Allah swt telah mengutus Nabi Muhammad saw, kesudahan segala nabi dan pembatal (nasikh) agama-agama sebelumnya: agama Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah Ta’ala menguatkan Nabi saw itu dengan mu’jizat-mu’jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti terbelah bulan, bertasbih batu, berbicara hewan dan terpancarnya air diantara jari-jari Nabi saw. Diantara tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Alquran Suci menghadapi tentangan orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal fasih dan lancar berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi saw, sebagaimana diceritakan Tuhan tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti Alquran, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan susunan Alquran dan teraturnya. Ini serta isinya Alquran dengan memberitakan berita-berita orang terdahulu di mana Nabi saw adalah ummi (tak tahu tulis baca), tidak pernah memegang buku. Dan menceritakan hal-hal yang ghaib mengenai keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah Ta’ala: “Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur dan bergunting rambut”. S 48 Al Fath ayat 27. Dan seumpama firman Allah Ta’ala: “Alif, Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun”. S 30 Ar Ruum ayat 1 s/d 4. Cara mu’jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah semata. Manakala Af’al ( perbuatan-perbuatan) itu menyertai dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw maka itu seakan-akan Allah berfirman: “Benar Engkau !”. Tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di hadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada rakyar bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka. Maka manakala ia berdatang sembah kepada raja: “Jika adalah hamba ini benar maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan 3 kali dan sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku !”. Lalu raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat itu pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran. Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda: “Benar kamu !”.
RUKUN KEEMPAT: Mengenai segala yang didengar (sam’iyyat) dan membenarkan Nabi saw tentang apa yang dikabarkannya. Dan berkisar atas 10 pokok.
Pokok Pertama: kebangkitan dan pengumpulan di hari mahsyar. Telah datang agama memperdengarkan keduanya. Dan itu adalah benar serta wajib membenarkannya. Karena menurut akal itu mungkin. Arti dari kebangkitan itu, ialah pengembalian hidup setelah difanakan (ifnaa’). Yang demikian adalah atas kehendak Allah seperti pada permulaan kejadian. Berfirman Allah Ta’ala: “Katanya siapa yang akan dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah hancur luluh? katakanlah: yang menghidupkannya, ialah yang menjadikannya pertama kali”. S 36 Yaa Siin ayat 78 dan 79. Maka Allah Ta’ala memberi dalil dengan permulaan kepada pengembalian itu. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja”. S 31 Lukman ayat 28. Jadi, pengembalian itu adalah permulaan kedua. Maka itu adalah mungkin seperti permulaan pertama.
Pokok Kedua: pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir. Telah datang beberapa hadits memperdengarkannya. Maka wajiblah membenarkannya, karena itu adalah mungkin. Karena tiada yang meminta untuk itu, selain pengembalian hidup kepada beberapa suku badan untuk dapat memahami pertanyaan yang dimajukan. Hal itu dengan sendirinya mungkin dan tidak dapat dibantah oleh apa yang kelihatan bahwa anggota tubuh mayat itu tetap saja dan kita tidak mendengar pertanyaan itu. Orang tidurpun pada dhahirnya tetap saja dan mengetahui dengan bathinnya kesakitan dan kelezatan akan apa yang dirasainya dengan kesannya ketika terbangun. Adalah Rasulullah saw mendengar kalam (kata-kata) Jibril as dan melihatnya sedang orang-orang dikeliling Rasul saw tidak mendengar dan melihatnya. Dan mereka tiada mengetahui sesuatu daripada ilmuNya selain dengan apa yang dikehendakiNya”. Apabila Tuhan tidak menjadikan pendengaran dan penglihatan kepada mereka, niscaya tidaklah mereka mengetahuinya.
Pokok Ketiga: azab kubur. Telah datanglah agama memperdengarkannya. Berfirman Allah Ta’ala: “Api neraka, mereka dibawa ke sana pagi dan petang dan pada hari qiamat (dikatakan): Masukkanlah kaum Fir’aun itu ke dalam siksaan yang sangat keras !”. S 40 Al Mukmin ayat 46. Dan telah terkenal dari Rasulullah saw dan salaf/ulama terdahulu yang salih, dimana mereka berlindung dengan Allah daripada azab kubur. Azab kubur itu adalah mungkin. Maka wajiblah membenarkan nya. Dan tidak menjadi halangan daripada membenarkannya oleh bercerai-berainya anggota tubuh mayat di dalam perut binatang buas dan tembolok burung. Sebab yang memperoleh kepedihan azab dari hewan itu, ialah bahagian-bahagian tertentu, yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala kepada mengembalikan dapat nya azab itu kepadanya.
Pokok Keempat: neraca amal (mizan atau timbangan). Adalah timbangan amal itu benar. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan pada hari kiamat (kebangunan) itu, Kami tegakkan neraca yang adil”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 47. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Maka barangsiapa yang berat timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka tidak mempercayai keterangan-keterangan Kami”. S 7 Al A’raaf ayat 8-9. Caranya, ialah bahwa Allah Ta’ala menjadikan di dalam lembaran amal perbuatan, timbangan menurut derajat amal itu pada sisi Allah. Maka jadilah kadar segala amal perbuatan itu diketahui oleh hamba itu. Sehingga teranglah kepada mereka keadilan Tuhan, tentang penyiksaan atau kelimpahan kemaafan dan pergandaan pahala.
Pokok Kelima: titian (shirath). Yaitu jembatan yang memanjang di atas neraka jahannam, lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang. Berfirman Allah Ta’ala: “Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka ! dan suruhlah mereka berhenti (berdiri), karena sesungguhnya mereka akan ditanyai”. S 37 Ash Shaffaat ayat 23-24. Titian itu adalah suatu yang mungkin, maka wajiblah membenarkannya. Karena yang kuasa menerbangkan burung di udara, niscaya kuasa pula menjalankan manusia di atas titian itu.
Pokok Keenam: bahwa sorga dan neraka adalah makhluk Tuhan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan cepatlah menuju keampunan Tuhan dan memasuki sorga, yang lebarnya seperti langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 133. Maka berfiman Allah “disediakan” menunjukkan bahwa sorga itu makhluk Tuhan. Maka haruslah diperlakukan secara dhahir/luar, karena tak ada kemustahilan padanya. Dan tidak dikatakan, bahwa tak ada faedahnya dijadikan sorga dan neraka itu sebelum hari pembalasan (hari akhirat). Karena Allah Ta’ala tidak ditanyakan daripada perbuatanNya, sedang mereka (manusia) ditanyakan.
Pokok Ketujuh: bahwa imam yang benar sesudah Rasulullah saw ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali ra. Dan tak adalah sekali-kali ketentuan dari Rasulullah saw kepada seseorang imam saja. Karena jikalau ada, niscaya adalah yang seorang itu lebih jelas orangnya, yang ditegakkan oleh kesatuan wali-wali negeri dan panglima-panglima tentara di dalam negeri. Dan tidak tersembunyilah yang demikian ! bagaimanakah tersembunyi ini ? dan kalau tidak tersembunyi, maka bagaimanakah terbenam saja, sehingga tak ada berita kepada kita ? Abu Bakar pun, tidaklah dia menjadi imam, melainkan dengan pemilihan dan bai’ah (janji kesetiaan daripada rakyat). Kalau diumpamakan ada ketentuan daripada Nabi saw kepada yang lain daripada Abu Bakar, maka itu kalau ditujukan kepada sahabat seluruhnya, adalah suatu penantangan kepada Rasulullah saw dan pengoyakan bagi Ijma’ (sepakat). Cara yang demikian, tak ada yang berani melakukan selain daripada golongan Rafidli (golongan yang menolak semua imam, khalifah dan Nabi). Sedang menurut i’tiqad (keyakinan) Ahlussunah, ialah membersihkan sekalian sahabat daripada tuduhan-tuduhan dan memujikan keikhlasan mereka, sebagaimana dipuji oleh Allah dan RasulNya saw. Dan apa yang berlaku diantara Mu’awiyah dan Ali, adalah berdasarkan kepada pendapat masing-masing. Bukan perebutan daripada Mu’awiyah mengenai pangkat keimaman (khilafat). Karena menurut sangkaan Ali ra, bahwa penyerahan pembunuh-pembunuh Usman, dimana mereka mempunyai banyak keluarga dan hubungan rapat dengan ketentaraan, tentulah pada permulaannya akan membawa kepada kegoncangan urusan keimaman. Dari itu Ali berpendapat bahwa mengundurkan penyerahan itu adalah lebih tepat. Tetapi menurut sangkaan Mu’awiyah bahwa pengunduran urusan pembunuh-pembunuh itu serta demikian besar penganiayaan yang dilakukan mereka, adalah mengakibatkan suatu tamparan kepada pemuka-pemuka umat dan membiarkan darah tertumpah begitu saja. Berkata ulama-ulama kenamaan, bahwa tiap-tiap orang yang berijtihad (mengeluarkan pendapat), adalah benar. Dan berkata segolongan lagi: yang benar itu satu. Dan tidak adalah orang-orang yang mengharapkan hasil yang baik, menyalahkan Ali sekali-kali.
Pokok Kedelapan: bahwa kelebihan para sahabat itu adalah menurut nama urutan mereka dalam memegang pimpinan khilafah (kekhalifahan). Karena hakikat/makna kelebihan itu ialah kelebihan pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan itu tidak ada yang melihatnya selain Rasulullah saw. Telah datang banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengandung pujian kepada mereka itu sekalian. Sesungguhnya yang mengetahui kelebihan yang halus-halus dan susunan dari kelebihan itu, ialah mereka yang menyaksikan wahyu dan turunnya Alquran dengan pertanda-pertanda keadaan dan perincian yang meneliti. Jikalau tidaklah mereka memahami yang demikian, maka tidaklah mereka menyusun urutan seperti itu. Karena mereka tidaklah ditimpakan dengan cacian orang yang mencaci tentang Allah dan tidaklah mereka diselewengkan oleh penyeleweng dari kebenaran.
Pokok Kesembilan: bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam, sesudah Islam dan taklif (dewasa dan berakal), adalah 5: laki-laki, wara’, ilmu, kesanggupan dan suku Quraisy, karena sabda Nabi saw: “Imam-imam itu dari Quraisy”. Apabila terdapat beberapa orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi, maka yang menjadi imam ialah orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai’ah) dari jumlah terbanyak dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang terbanyak itu, adalah pendurhaka, harus dikembalikan sampai tunduk kepada kebenaran.
Pokok Kesepuluh: bahwa jikalau sukarlah terdapat wara’(menjaga diri) dan ilmu mengenai orang yang akan memegang jabatan imam itu, sedang untuk menolaknya menimbulkan kekacauan yang sukar diatasi, maka kita putuskan dengan syahnya, ia menjadi imam. Karena kita, diantara menimbulkan kekacauan dengan menggantikannya itu, maka kemelaratan yang dihadapi kaum muslimin, adalah lebih banyak dari kekurangan yang timbul lantaran kekurangan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bertambahnya kemuslihatan itu. Maka tidaklah dibongkar pokok kemuslihatan lantaran mengharap kelebihan-kelebihan yang datang dari kemuslihatan itu. Seumpama orang yang membangun istana lalu membongkar kota. Dan diantara kita menetapkan dengan kekosongan negeri tidak ada imam dan dengan kerusakan hukum. Dan itu adalah mustahil. Kita menetapkan dengan berjalannya hukum orang-orang pendurhaka di dalam negerinya, karena dipandang perlunya. Maka bagaimana pula kita tidak menetapkan dengan syah menjadi imam ketika hajat dan diperlukan ?. Maka 4 rukun ini yang mengandung 40 pokok itu, adalah qaidah-qaidah aqidah/keyakinan. Maka orang yang mempercayainya adalah dia bersesuaian dengan ahlussunnah dan berlainan dari ahli bid’ah (yang diada-adakan). Kiranya Allah meluruskan perjalanan kita dengan taufiqNya dan menunjukkan kita kepada kebenaran dan meyakini kebenaran itu, dengan nikmat, keluasan, kemurahan dan kurniaNya. Rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad saw, kepada keluarganya dan tiap-tiap hambaNya yang pilihan.
PASAL KEEMPAT:  Dari hal qaidah-qaidah ‘aqqidah (keyakinan) mengenai Iman dan Islam. Hubungan dan pemisahan diantara keduanya. Bertambah dan berkurang yang mendatang kepadanya. Dan cara pengeculian ulama terdahulu padanya.
Mengenai hal tersebut ada 3 masalah:
MASALAH  I
Berbeda pendapat para ahli agama, mengenai Islam, apakah Islam itu Iman atau lain dari Iman. Jikalau lain, adakah Islam itu berpisah dari Iman, dimana Islam itu ada tanpa Iman, atau Islam itu berhubungan rapat dengan Iman, di mana dia mengikuti akan Iman ?. Ada yang mengatakan bahwa keduanya itu satu. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak berhubungan. Dan ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal, tetapi berhubungan satu sama lain. Abu Thalib Al-Makki telah membentangkan masalah ini dengan cara yang sangat menggoncangkan dan panjang sekali. Maka hendaklah sekarang kita tampil menjelaskan kebenaran tanpa menukilkan sesuatu yang tak ada hasilnya. Maka kami mengatakan bahwa pada masalah ini ada 3 pembahasan: pembahasan tentang kedua perkataan tersebut menurut bahasa: pembahasan tentang maksud keduanya di dalam pemakaian agama dan pembahasan tentang hukum keduanya di dunia dan di akhirat.
Pembahasan pertama   : itu adalah pembahasan bahasa.
Pembahasan kedua      : itu adalah pembahasan penafsiran.
Pembahasan ketiga      : itu adalah pembahasan fiqih dan syari’at/agama.
Pembahasan pertama: menurut keharusan bahasa:
Yang benar menurut bahasa, ialah Iman itu adalah ibarat daripada pembenaran. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan engkau tentu tidak akan beriman (percaya) kepada kami”. Artinya: membenarkan. S 12 Yusuf ayat 17. Dan Islam adalah ibarat daripada menyerah dan tunduk dengan yakin, patuh, tidak melawan, tidak enggan dan tidak menentang. Untuk membenarkan itu, mempunyai tempat khusus yaitu hati. Dan lidah adalah penterjemah (pengalih bahasa) dari hati. Adapun menyerah, maka itu umum, pada hati, lidah dan anggota badan. Tiap-tiap pembenaran dengan hati adalah menyerah, tanpa enggan dan ingkar. Begitu pula, pengakuan dengan lidah. Begitu pula taat dan tunduk dengan anggota badan. Maka menurut bahasa, Islam itu lebih umum dan Iman itu lebih khusus. Iman adalah ibarat dari bahagian yang termulia dari Islam. Jadi, tiap-tiap membenarkan adalah menyerah dan tidaklah tiap-tiap menyerah itu membenarkan.
Pembahasan kedua: tentang pemakaian agama.
Yang benar ialah bahwa agama telah tampil memakai kedua-duanya dalam satu pengertian dan beriring-iringan. Dan telah tampil pula di dalam pengertian yang berlainan dan di dalam pengertian yang masuk satu pada lainnya. Adapun yang dalam suatu pengertian (at-taraaduf), maka tersebut pada firman Allah Ta’ala: “Lalu kami keluarkan orang-orang beriman yang ada di sana. Tetapi tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang yang berserah diri”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 35-36. Dan telah sepakat, tidak ada di situ selain satu rumah. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Hai kaumku ! kalau kamu ada beriman (percaya) kepada Allah, hendaklah kepadaNya saja kamu mempercayakan diri kalau kamu benar-benar orang Islam (yang patuh kepadaNya)”. S 10 Yunus ayat 84. Bersabda Nabi saw: “Didirikan Islam atas 5”. Pada suatu kali datanglah pertanyaan kepada Nabi saw, tentang Iman, maka Nabi saw menjawab dengan yang lima itu. Adapun pengertian yang berlainan, maka berfirman Allah Ta’ala: “Orang-orang dusun itu berkata: Kami beriman (percaya). Katakan: Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kamu Islam (tunduk)”. S 49 Al Hujuraat ayat 14. Artinya, kamu telah menyerah pada dhahir/luar. Maka yang dimaksudkan dengan Iman di sini, ialah membenarkan dengan hati saja. Dan dengan Islam, ialah menyerah pada dhahir dengan lidah dan anggota tubuh. Pada suatu hadits, dimana Jibril as bertanya kepada Nabi saw tentang Iman, maka Nabi saw menjawab: “Bahwa engkau percaya dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhirat, kebangkitan setelah mati, hisab amalan dan taqdir baiknya dan buruknya”. Kemudian Jibril as bertanya lagi: “Apakah Islam itu ?”, maka Nabi saw menjawab dengan menyebutkan yang 5 perkara itu”. Maka diibaratkan di sini dengan Islam, yaitu penyerahan secara lahiriyah/dhahir, dengan perkataan dan perbuatan. Pada hadits, dari Sa’ad bahwa Nabi saw: “Memberikan kepada seorang laki-laki suatu pemberian dan tidak diberikannya kepada orang lain”. Lalu bertanya Sa’ad kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! engkau tinggalkan si Anu, tidak engkau berikan, padahal dia seorang yang beriman (mu’min)”. Maka menjawab Nabi saw: “Atau dia seorang Islam (muslim)”. Kemudian Sa’ad mengulangi lagi pertanyaannya dan Nabi saw pun mengulangi penjawabannya demikian. Adapun yang masuk satu kepada lainnya (at-tadaakhul), maka juga apa yang diriwayatkan bahwa Nabi saw ditanyakan: “Amalan apakah yang paling utama ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Islam !”. Dtianyakan lagi: “Islam manakah yang paling utama ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Iman !”. Hadits ini menunjukkan kepada adanya perbedaan dan kepada adanya bermasuk-masukan. Dan itu, adalah lebih sesuai bagi pemakaian di dalam bahasa, karena Iman adalah salah satu daripada perbuatan. Dan Imanlah yang paling utama daripadanya. Dan Islam itu, ialah menyerah, adakalanya dengan hati, adakalanya dengan lidah dan adakalanya dengan anggota badan. Dan yang paling utama ialah yang dengan hati. Yaitu pembenaran, yang dinamai: Iman. Pemakaian Iman dan Islam secara berlainan, secara bermasuk-masukan dan secara satu pengertian, semuanya itu adalah tidak keluar daripada pemakaian secara tidak asli (secara majaz) dalam bahasa. Adapun pengertian yang berlainan, maka yaitu dijadikan Iman ibarat dari pembenaran dengan hati saja. Dan ini sesuai menurut bahasa. Dan Islam ibarat dari penyerahan pada dhahir. Dan ini sesuai pula menurut bahasa. Karena penyerahan dengan sebahagian saja itu mustahil. Penyerahan adalah berlaku menurut nama daripada penyerahan itu sendiri. Dan tidaklah diantara syarat memperoleh nama itu harus umum pengertiannya bagi tiap-tiap tempat yang mungkin diperoleh pengertian padanya. Orang yang menyentuh orang lain dengan sebahagian badannya, dinamakan penyentuh, meskipun tidak menyentuh seluruh badannya. Maka pemakaian nama Islam kepada penyerahan dhahir, ketika tidak ada penyerahan bathin adalah sesuai bagi lidah. Dan berdasarkan kepada ini, berlakulah firman Allah Ta’ala: “Orang-orang Arab dusun itu berkata: Kami beriman (percaya). Katakan: Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kami Islam (tunduk)”. S 49 Al Hujuraat ayat 14.
Dan sabda Nabi saw pada hadits Sa’ad: “Atau dia orang Islam (muslim)”, karena Nabi saw melebihkan salah satu daripada keduanya dari yang lain. Dan dimaksudkan dengan pengertian yang berlainan, ialah berlebih kurang diantara dua yang disebutkan itu. Adapun masuk satu kepada lainnya, maka sesuai juga menurut bahasa, khususnya mengenai Iman. Yaitu: dijadikan Islam adalah ibarat dari penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan ketiga-tiganya. Dan Iman adalah ibarat dari sebahagian apa yang masuk di dalam kata-kata Islam, yaitu: pembenaran dengan hati. Dan inilah yang kami maksudkan dengan masuk yang satu kepada lainnya. Dan itu sesuai menurut bahasa, khusus bagi Iman (hati) dan umum bagi Islam (hati, perkataan dan perbuatan). Dan berdasarkan kepada ini, maka keluarlah sabda Nabi saw: “Iman” dalam menjawab pertanyaan dari seorang penanya: “Islam manakah yang lebih utama ?”. Karena Nabi saw itu membuat Iman itu lebih khusus dari Islam, lalu dimasukkannya Iman itu ke dalam Islam.
 Adapun pemakaian secara pengertian yang sama, yaitu dijadikan kata-kata Islam ibarat dari penyerahan dengan hati bersama dengan dhahir. Maka semuanya itu penyerahan. Dan demikian pula Iman. Dan tindakan mengenai Iman kepada khusus, dengan menggunakannya secara umum serta memasukkan dhahir ke dalam pengertiannya itu adalah dibolehkan. Karena penyerahan dhahir dengan perkatan dan perbuatan adalah buah, hasil pembenaran dengan bathin. Kadang-kadang dipakai nama pohon, dengan dimaksudkan pohon serta buahnya, secara toleransi. Sehingga jadilah Iman dengan kadar penggunaannya yang lebih umum, searti dengan kata-kata Islam dan sesuai pengertiannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Berdasarkan ini, maka datanglah firman Allah: “Tetapi tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang yang berserah diri”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 36. Yang telah tersebut dahulu.
Pembahasan ketiga: mengenai hukum syari’at/agama.
Islam dan Iman itu, keduanya adalah mengenai hukum akhirat dan hukum dunia. Adapun hukum hukum akhirat, maka ialah pengeluaran dari neraka dan pencegahan kekal di dalamnya. Karena bersabda Rasulullah saw: “Akan keluar daripada api neraka, siapa yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada iman”. Telah berselisih pendapat diantara ahli agama, mengenai hukum ini, atas apakah disusun dengan tertib itu dan mereka memajukan pertanyaan tentang itu dengan kata-kata: “Apakah Iman itu ?”. Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, semata-mata ikatan dengan hati. Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, ikatan dengan hati dan pengakuan dengan lidah. Dan ada yang mengatakan dengan menambahkan lagi yang ketiga, yaitu mengerjakan dengan anggota badan. Kami akan menyingkapkan tutup tentang ini dan mengatakan bahwa barangsiapa mengumpulkan diantara 3 perkara tadi, maka tidak adalah perselisihan lagi bahwa tempatnya di dalam sorga. Dan inilah suatu tingkat.
Dan tingkat kedua ialah terdapat dua dan sebahagian dari yang ketiga, yaitu: perkataan, ikatan dengan hati dan sebahagian amal perbuatan. Tetapi orang yang mengerjakan dosa besar atau sebahagian dari dosa-dosa besar, maka dalam hal ini, berkata kaum Mu’tazilah, bahwa orang itu telah keluar daripada Iman. Dan tidak masuk ke dalam kufur, tetapi namanya orang fasiq. Dia berada pada suatu tempat diantara dua tempat dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini salah, sebagaimana akan kami terangkan nanti. 
Tingkat ketiga: bahwa terdapat pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lidah dan tidak berbuat amalan dengan anggota badan. Maka berselisihlah pendapat ahli-ahli agama tentang hukumnya. Berkata Abu Thalib Al-Makki: “Berbuat dengan anggota badan adalah setengah daripada Iman. Dan Iman itu tiada sempurna tanpa adanya perbuatan”. Abu Thalib Al-Makki mendakwakan bahwa para ulama sepakat atas demikian. Ia membuktikan keterangannya itu dengan dalil-dalil yang menunjukkan kepada berlawanan dengan maksudnya. Umpamanya firman Allah Ta’ala: “Mereka yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik”. S 7 Al A’raaf ayat 42. Karena ini menunjukkan bahwa perbuatan adalah di belakang Iman, tidak dari Iman itu sendiri. Jika tidak begitu, maka adalah perbuatan itu dalam hukum hari akhirat. Yang mengherankan ialah Abu Thalib Al-Makki mendakwakan Ijma’ (sepakat)  mengenai ini dan dalam pada itu, ia menukilkan sabda Nabi saw: “Tidaklah menjadi kafir seseorang, kecuali setelah diingkarinya apa yang telah diakuinya (diikrarkannya)”. Dan Abu Thalib menentang golongan Mu’tazilah yang mengatakan kekal di dalam neraka disebabkan berbuat dosa besar. Abu Thalib yang mengatakan demikian itu, adalah mengatakan menurut aliran Mu’tazilah sendiri. Karena ditanyakan kepadanya: bahwa orang yang membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lidahnya dan terus mati, adakah orang itu di dalam sorga ? maka tidak boleh tidak, Abu Thalib akan menjawab: “Ya !”. Dan padanya, dihukumkan ada Iman, tanpa ada amal perbuatan. Maka kami tambahkan dan katakan lagi, bahwa jikalau orang itu terus hidup sehingga masuklah salah satu waktu shalat, lalu ditinggalkannya, kemudian mati dia atau berzina kemudian mati dia adakah kekal ia di dalam neraka ?. Kalau dijawab: “Ya !”, maka itu adalah maksud orang Mu’tazilah. Dan kalau dijawab: “Tidak !”, maka itu terang bahwa perbuatan tidaklah menjadi salah satu rukun daripada Iman dan tidaklah menjadi syarat pada adanya Iman dan pada berhaknya sorga. Kalau dijawab: “Maksudku dengan orang itu, ialah bahwa ia hidup dalam waktu yang lama. Dan dia tidak mengerjakan shalat dan tidak tampil berbuat sesuatu dari amal perbuatan agama”, maka kami bertanya: “Manakah batas waktu itu dan berapakah bilangan taat yang ditinggalkannya, yang membatalkan Imannya dan berapakah bilangan dosa besar, yang dengan dikerjakannya lalu membatalkan Imannya ? dan ini tidaklah mungkin ditetapkan dengan taksiran saja dan tidak boleh tidak sekali-kali yang demikian”.
Tingkat keempat: bahwa adanya pembenaran itu dengan hati, sebelum diucapkan dengan lidah atau dikerjakan dengan anggota badan, lalu mati dia, maka adakah kita mengatakan: “Dia itu mati sebagai mu’min, diantara dia dan Allah Ta’ala ?”. Hal ini termasuk diantara persoalan yang diperselisihkan. Siapa yang mensyaratkan akan perkataan (pengucapan) untuk kesempurnaan Iman, tentu akan menjawab: “Orang itu mati sebelum Iman”. Penjawaban ini salah, karena sabda Nabi saw:: “Akan keluar dari neraka, orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman”. Dan orang itu hatinya telah diliputi dengan keimanan, maka bagaimanakah ia kekal dalam neraka ? dan tidak disyaratkan bagi Iman, menurut hadits Jibril as selain daripada membenarkan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan hari akhirat, seperti telah diterangkan dahulu.
Tingkat kelima: bahwa membenarkan dengan hati dan mendapat kesempatan waktu sebelum mati untuk mengucapkan dua kalimah syahadah serta mengetahui akan wajibnya, tetapi tidak diucapkannya. Maka dalam hal ini, mungkinlah dijadikan keengganannya daripada mengucapkan itu seperti keengganannya daripada mengerjakan shalat. Lalu kita katakan bahwa dia itu mu’min, tidak kekal dalam neraka. Iman: ialah pembenaran semata dan lisan ialah penterjemah bagi Iman. Maka tak dapat tidak, Iman itu telah ada dengan sempurna sebelum lisan, sehingga diterjemahkan oleh lisan. Ini, jelas benar. Karena tidaklah yang menjadi pegangan selain mengikuti apa yang dikandung oleh kata-kata dan yang diucapkan oleh lisan, bahwa: Iman ialah ibarat daripada pembenaran dengan hati. Dan bersabdalah Nabi saw: “Akan keluar dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi dari Iman”. Dan tidaklah Iman itu hilang dari hati dengan diam daripada mengucapkan yang wajib itu, sebagaimana tidak hilang dengan berdiam diri daripada berbuat perbuatan yang wajib. Berkata orang-orang yang mengatakan bahwa mengucapkan itu rukun, karena tidaklah dua kalimah syahadah itu menerangkan apa yang di dalam hati, tetapi adalah mengadakan suatu ikatan lain, permulaan pengakuan dan keharusan. Yang pertama itulah yang lebih benar. Dan telah bertegas-tegasan mengenai itu golongan Murjiah, dengan mengatakan bahwa orang itu tidaklah sekali-kali masuk neraka. Dan mengatakan lagi bahwa orang mu’min, meskipun ma’siat, tidaklah masuk neraka. Pendapat yang di atas ini, akan kami nyatakan salahnya kepada mereka.
Tingkat keenam: bahwa mengucapkan dengan lisan: Laa ilaaha illallaah Muhammadur-rasuulullaah, tetapi tidak membenarkannya dengan hati, maka kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa orang itu menurut hukum akhirat termasuk orang kafir dan kekal di dalam neraka. Dan kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa pada hukum dunia yang berhubungan dengan imam dan wali, orang itu termasuk orang Islam karena isi hatinya tidak seorangpun mengetahuinya. Dan kita harus menyangka bahwa apa yang diucapkannya dengan lisannya, tidak lain daripada yang terlipat di dalam lembaran hatinya. Hanya yang kita ragukan, ialah mengenai hal ketiga, yaitu hukum duniawi diantara dia dan Allah Ta’ala. Umpamanya, pada saat yang demikian itu matilah seorang keluarganya yang muslim, kemudian baru ia membenarkan dengan hatinya, lalu meminta fatwa, dengan mengatakan: “Adalah aku belum membenarkan dengan hati ketika keluargaku itu mati. Sedang harta peninggalannya sekarang dalam tanganku. Maka adakah halal bagiku diantara aku dan Allah Ta’ala ?”. Atau kawin ia dengan seorang wanita Islam, kemudian ia membenarkan dengan hati. Apakah wajib diulangi perkawinannya ? Inilah hal-hal yang harus mendapat perhatian. Mungkin orang memberi penjawaban bahwa hukum duniawi itu tergantung dengan perkataan yang nyata, dhahir dan bathin. Dan mungkin pula orang memberi penjawaban, bahwa bergantung menurut yang dhahir itu mengenai hak orang lain. Karena hatinya itu tiada terang kepada orang lain. Bathinnya itu, nyata bagi dirinya sendiri, diantara dia dan Allah Ta’ala. Yang lebih dhahir kepada kebenaran dan ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta’ala, bahwa tidaklah halal baginya pusaka itu dan haruslah perkawinan itu diulang kembali.
Karena itulah, Hudzaifah ra tidak berta’ziah (berbela-sungkawa) pada orang munafiq yang meninggal. Dan khalifah Umar ra menjaga benar yang demikian. Maka dia juga tiada berta’ziah apabila Hudzaifah tiada berta’ziah. Shalat adalah perbuatan dhahir di dunia, meskipun perbuatan dhahir itu termasuk sebahagian daripada ibadah. Dan menjaga dari yang haram juga termasuk di dalam jumlah yang wajib karena Allah, seperti shalat, karena sabda Nabi saw: “Mencari yang halal adalah fadlu/wajib sesudah wajib”. Dan tiadalah ini bertentangan dengan kata kami bahwa warisan itu hukum Islam dan Islam itu ialah menyerah. Bahkan penyerahan yang sempurna ialah melengkapi kepada dhahir dan bathin. Inilah pembahasan fiqih yang berdasarkan kepada dhan (mendekati kepada yakin), bersendi kepada kata-kata dhahir, umum dan qias (analogi). Maka tidak wajarlah orang yang singkat ilmunya, menyangka bahwa yang dicari mengenai itu ialah keyakinan (ketegasan) menurut adat yang berlaku di dalam Ilmu kalam (berkata-kata), di mana diminta adanya keyakinan itu. Alangkah menangnya orang yang melihat kepada adat kebiasaan dan yang resmi saja di dalam ilmu pengetahuan !.
Kalau anda bertanya: “Apakah kesangsian golongan Mu’tazilah dan Murjiah itu dan apakah alasan salahnya perkataan mereka ?”. Maka aku menjawab bahwa golongan mereka itu ialah umumnya bunyi Alquran. Golongan Murjiah mengatakan: orang mu’min tidak masuk neraka meskipun ia mengerjakan segala perbuatan ma’siat karena firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang beriman kepada Tuhannya, dia tiada merasa takut menderita kerugian dan teraniaya”. S 72 Al Jin ayat 13. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya, itulah orang yang sesungguh-sungguhnya benar (dalam kepercayaannya)”. S 57 Al Hadiid ayat 19. Dan karena firman Allah Ta’ala: ”Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan: Belumkah ada orang yang memberikan peringatan datang kepada kamu ? mereka menjawab: “Ya, ada ! sesungguhnya orang yang memberikan peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami dustakan dan kami mengatakan: Tuhan tiada menurunkan barang sesuatu apapun”. S 67 Al Mulk ayat 8-9. Maka firman Allah: “Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya”, itu adalah umum. Maka seyogyalah tiap-tiap orang yang dijatuhkan ke dalam neraka, adalah ia mendustakan. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Tiada masuk ke dalamnya selain dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S 92 Al Lail ayat 15 dan 16. Ini, adalah pembatasan (hashr), istbat (positif), dan nafi (negatif). Dan karena firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang membawa (mengerjakan) perbuatan baik, dia memperoleh (balasan) lebih baik dari itu dan mereka tentram pada hari kedahsyatan itu”. S 27 An Naml ayat 89. Dan Iman adalah kepala segala kebaikan. Dan karena firman Allah Ta’ala: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada sesamanya)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 134. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan baik”. S 18 Al Kahfi ayat 30. Dan tak ada alasan bagi golongan Murjiah tentang demikian itu, sebab dimana disebut Iman pada ayat-ayat tadi, adalah dimaksudkan: Iman serta perbuatan. Karena telah kami terangkan bahwa Iman itu kadang-kadang disebut dan yang dimaksudkan ialah Islam. Dan itu, bersesuaian dengan hati, perkataan dan perbuatan. Dalil bagi penafsiran ini ialah banyak hadits tentang penyiksaan orang-orang yang berbuat ma’siat dan tingkatan-tingkatan dari siksaan itu. Dan sabda Nabi saw: “Akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada iman”. Maka bagaimanakah dikeluarkan, apabila ia tidak dimasukkan ke dalam neraka itu lebih dahulu ?. Dari Alquran, firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni –dosa syirik- jika Dia dipersekutukan, tetapi diampuniNya selain dari itu, bagi siapa yang dikehendakiNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 48.
Pengecualian dengan yang dikehendakiNya itu, menunjukkan kepada adanya pembahagian. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka jahannam, mereka tetap di situ untuk masa yang lama”. S 72 Al Jin ayat 23. Penentuan kekekalan di dalam neraka dengan sebab kufur, adalah lebih meneguhkan lagi. Dan firman Allah Ta’ala: ”Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang bersalah itu dalam siksaan yang tetap (lama)”. S 42 Asy Syuura ayat 45. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membawa (mengerjakan) kejahatan, mukanya dilemparkan ke dalam neraka”. S 27 An Naml ayat 90. Maka kata-kata umum ini pada berlawanan (mu’aradl) dengan kata-kata umum mereka. Dan haruslah ada penguatan pengkhususan dan penafsiran pada kedua belah pihak. Karena hadits-hadits menegaskan bahwa orang-orang yang berbuat ma’siat diazabkan. Bahkan firmanNya: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya”. S 19 Maryam ayat 71, adalah sebagai penjelasan bahwa yang demikian itu haruslah untuk semuanya. Karena tak ada orang mu’min yang terlepas daripada dosa yang diperbuatnya. Dan firmanNya: ”Tiada masuk ke dalamnya selain dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan membelakang”. S 92 Al Lail ayat 15 dan 16, adalah dimaksudkan suatu golongan tertentu atau dimaksudkan dengan orang yang amat celaka itu, orang yang tertentu pula. Dan firmanNya: “Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan”. S 67 Al Mulk ayat 8. Yakni: suatu kaum kafir. Dan pengkhususan bagi umum itu, adalah mendekati kepada kebenaran. Dari ayat ini dimungkiri oleh golongan Asy’ariyah dan segolongan Mutakallim/Yang Berkatain (ulama ilmu kalam/berkata-kata), bahwa itu kata-kata umum. Dan kata-kata itu dihentikan dulu, sampai ada tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertiannya.
Adapun golongan Mu’tazilah, maka kesangsian mereka, ialah firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa yang kembali kepadaKu beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian itu dia mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82. Dan firman Allah Ta’ala: “Demi (perhatikan) waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2 dan 3. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan”. S 19 Maryam ayat 71. Kemudian Allah berfirman: ”Kemudian, Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan)”. S 19 Maryam ayat 72. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu kekal dalam neraka jahannam”. S 72 Al Jin ayat 23. Semua ayat itu, disebutkan oleh Allah amalan shalih padanya, yang disertai dengan Iman. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membunuh orang yang beriman dengan sengaja, balasannya ialah neraka jahannam, mereka tetap di dalamnya”. S 4 An Nisaa’ ayat 93. Ayat-ayat umum ini juga, dikhususkan (diberi ketentuan) dengan dalil firmanNya: “Dan diampuniNya selain dari itu syirik bagi siapa yang disukaiNya”. S 4 An Nisaa’ ayat 48. Maka seyogyalah tinggal kehendak bagi Allah untuk memberi pengampunan selain dari syirik (mempersekutukanNya).
Dan seperti demikian juga sabda Nabi saw: “Akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman”. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan baik”. S 18 Al Kahfi ayat 30. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tiada menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan”. S 9 At Taubah ayat 120. Maka bagaimanakah dihilangkan pahala pokok iman dan segala taat dengan suatu ma’siat saja ? Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang membunuh orang yang beriman dengan sengaja maka balasannya neraka jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah memurkai dan mengutukinya. Dan Allah menyediakan azab yang amat berat baginya”. S 4 An Nisaa’ ayat 93, yakni: karena keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan seperti sebab ini. Yakni: karena keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan seperti sebab ini. Kalau anda bertanya bahwa telah cenderung pilihan, bahwa Iman itu berhasil tanpa berbuat. Dan dalam pada itu, telah terkenal dari ulama-ulama terdahulu akan perkataan mereka, bahwa Iman itu suatu ikatan, perkataan dan perbuatan. Maka apakah artinya itu?. Kami menjawab, tidaklah jauh daripada kebenaran, bahwa amal perbuatan itu dihitung sebahagian daripada Iman. Karena dia menyempurna kan dan melengkapkan Iman, sebagaimana dikatakan: kepala dan dua tangan dari manusia. Dan dapat dimaklumi bahwa manusia akan keluar dari adanya sebagai manusia dengan tiada kepala dan tidak akan keluar dari manusia dengan terpotong tangan. Dan seperti itu pula dikatakan bahwa tasbih dan takbir adalah sebahagian dari shalat, walaupun shalat itu tidak batal dengan tak ada tasbih dan takbir (takbir intiqalat/takbir waktu berpindah rukun di dalam shalat, yang hukumnya sunat). Maka membenarkan dengan hati adalah sebahagian dari Iman, seperti kepala untuk adanya manusia. Karena manusia itu menjadi tidak ada, dengan tidak adanya kepala. Amalan taat yang lain adalah seperti anggota tubuh, sebahagiannya lebih tinggi daripada sebahagian yang lain. Dan bersabdalah Nabi saw: “Tidak melakukan zina orang yang berzina, dimana ketika dia berzina itu, dia mu’min”(maksudnya jika dia seorang mukmin maka dia tdk akan berzina) . Para sahabat ra tidaklah keyakinan dengan aliran Mu’tazilah, tentang keluar dari Iman, dengan zina. Tetapi artinya, ialah: tidak beriman yang sebenar-benarnya, keimanan yang sempurna lagi cukup. Seumpama dikatakan kepada orang lemah yang kehilangan anggota badannya: “Tidaklah dia ini manusia”, artinya: tiada ia mempunyai kesempurnaan yang ada di belakang hakikat/makna kemanusiaannya.
MASALAH  II
Kalau anda mengatakan bahwa ulama terdahulu telah sepakat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambahnya dengan taat dan berkurangnya dengan ma’siat. Apabila pembenaran itu Iman, maka tidaklah tergambar padanya berlebih dan berkurang. Maka aku menjawab, bahwa ulama terdahulu itu adalah saksi-saksi yang adil, tak ada sepatahpun daripada perkataan mereka yang menyeleweng. Apa yang disebutkan mereka itu benar. Hanya persoalannya ialah pada memahaminya. Pada perkataan ulama terdahulu itu, menunjukkan bahwa amal perbuatan itu tidaklah sebahagian daripada Iman dan sendi-sendi wujudnya. Tetapi adalah tambahan kepadanya, di mana Iman itu bertambah dengan adanya amal perbuatan. Yang bertambah itu ada dan yang berkurangpun ada. Dan sesuatu itu tidaklah bertambah dengan dirinya sendiri. Maka tidak boleh dikatakan bahwa manusia itu bertambah dengan kepalanya. Tetapi dikatakan: bertambah dengan janggutnya dan gemuknya. Dan tidak boleh dikatakan, bahwa shalat itu bertambah dengan ruku’ dan sujud. Tetapi bertambah dengan adab dan sunat-sunat. Maka ini, adalah penegasan bahwa Iman itu mempunyai wujud (ada). Dan sesudah adanya, lalu berbeda keadaannya dengan bertambah dan berkurang. Kalau anda berkata bahwa kesulitan timbul mengenai pembenaran, bagaimanakah ia bertambah dan berkurang, sedang dia itu satu hal saja ?. Maka aku menjawab bahwa apabila kita tinggalkan tedeng aling-aling dan tidak mengambil pusing dengan ejekan orang yang mengejek, lalu kita membuka tutupnya, niscaya hilanglah kesulitan itu. Maka kami menjawab: bahwa Iman adalah nama yang bersekutu, dipakai dari 3 segi:
                  Pertama: dipakai untuk pembenaran dengan hati, atas jalan keyakinan dan menurut, tanpa pembukaan dan pelapangan dada. Yaitu: iman orang awam, bahkan iman manusia seluruhnya, selain dari orang-orang tertentu. Keyakinan ini adalah suatu ikatan pada hati, sekali erat dan kuat, sekali lemah dan luntur, seperti ikatan dengan benang umpamanya. Dan tidaklah jauh contoh ini daripada kebenaran. Ambillah ibarat dengan orang Yahudi dan kerasnya ia berpegang pada keyakinannya, yang tak mungkin tanggal dengan hardik dan gertak, bujukan dan pengajaran, dalil dan alasan. Dan seperti itu pulalah orang Nasrani dan orang pembuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan pada mereka, ada orang yang mungkin diragukan dengan sedikit pembicaraan dan mungkin turun dari keyakinan nya dengan sedikit pancingan atau gertak. Sedang dia sebenarnya tiada ragu di dalam keyakinan nya itu seperti orang yang pertama tadi (orang Yahudi). Tetapi keduanya, berlebih-kurang tentang keteguhan pendirian. Dan ini terdapat juga pada keyakinan yang benar. Dan amal perbuatan itu membekas pada tumbuh dan bertambahnya keteguhan pendirian itu, seperti membekasnya penyiraman air pada tumbuhnya kayu-kayuan. Karena itu berfiirman Allah Ta’ala: “Maka ayat-ayat itu menambah kepada keimanannya”. S 9 At Taubah ayat 124. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Supaya keimanan mereka bertambah dari keimanannya yang telah ada”. S 48 Al Fath ayat 4. Dan bersabda Nabi saw menurut riwayat pada sebahagian hadits: “Iman itu bertambah dan berkurang”. Dan itu adalah dengan pengaruh taat di dalam hati. Dan ini tidak diketahui selain oleh orang yang memperhatikan akan keadaan dirinya sendiri, pada waktu tekun beribadah dan menjuruskan kepadanya dengan kehadiran hati serta waktu-waktu lesu. Dan mengetahui berlebih-kurangnya pada ketetapan hati kepada keyakinan-keyakinan Iman dalam segala hal keadaan itu. Sehingga bertambah eratnya ikatan Iman sebagai tantangan terhadap orang yang mau melepaskannya dengan keragu-raguan. Bahkan orang yang mempunyai kepercayaan pada anak yatim, akan arti belas kasihan, apabila ia berbuat menurut yang diharuskan oleh kepercayaannya itu, lalu disapunya kepala anak yatim itu dan bertambah kasih sayangnya kepadanya, niscaya diperolehnya dari bathiniyahnya/dalam hatinya, akan kekuatan dan kegandaan kasih sayang dengan sebab perbuatannya itu. Begitu pula orang yang berkeyakinan kepada kerendahan diri, apabila berbuat menurut yang diharuskan oleh keyakinan itu akan sesuatu perbuatan dengan menghadapkan diri atau bersujud kepada orang lain, niscaya ia merasa dari hatinya dengan perasaan merendahkan diri itu, ketika tampil ia kepada pengkhidmatan.
                  Begitulah kiranya segala sifat hati, yang timbul daripadanya, segala amal perbuatan anggota badan. Kemudian kembalilah membekas segala perbuatan itu kepadanya. Lalu menguatkan dan menambahkannya. Dan akan datang penjelasan ini nanti pada Bahagian Perbuatan-perbuatan yang Melepaskan dan yang Membinasakan, ketika menerangkan segi hubungan bathin dengan dhahir dan amal perbuatan dengan aqidah dan hati. Karena yang demikian itu adalah termasuk jenis hubungan alam al-mulki dengan alam al-malakut. Yang dimaksudkan dengan alam al-mulki ialah alam nyata yang dapat dipersaksikan dengan pancaindra. Dan dengan alam al-malakut ialah alam ghaib yang diketahui dengan nur mata hati. Dan hati itu termasuk alam al-malakut. Dan anggota badan serta segala perbuatannya adalah termasuk alam al-mulki. Kehalusan dan kemurnian ikatan diantara kedua alam itu, sampai kepada batas, yang disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu sama lain. Dan disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu sama lain. Dan disangka oleh sebahagian manusia lagi bahwa tak ada alam yang lain, selain dari alam yang dapat dipersaksikan (alam asy-syahadah). Yaitu benda-benda ini, yang dilihat oleh pancaindra. Orang yang mengetahui keduanya dan mengetahui bilangan-bilangannya, kemudian ikatan keduanya, niscaya menyusun kata-kata yang merupakan madah:
“Amat haluslah kaca.
Amat haluslah khamar.
Keduanya serupa.
Sehingga menjadi samar.
Seakan-akan khamar.
Bukan wadah.....
Seakan-akan wadah.
Bukan khamar.........
Dan marilah kita kembali kepada yang dimaksud !. Sesungguhnya alam ini adalah di luar ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Tetapi diantara 2 alam juga, ada hubungan dan ikatan. Maka karena itulah kita melihat ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja itu pada setiap saat memanjat kepada ilmu-ilmu mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Sehingga tersingkaplah daripadanya, dengan memberatkan diri. Maka inilah segi bertambahnya Iman dengan taat, dengan apa yang diharuskan oleh pemakaian ini. Dan karena inilah berkata Ali ra: “Bahwa Iman itu lahir sebagai suatu titik cahaya putih. Apabila hamba Allah itu mengerjakan amal shalih, maka titik itu bertambah, kemudian bertambah lagi, sehingga memutihlah hati seluruhnya. Dan bahwa nifaq itu lahir sebagai suatu titik hitam. Maka apabila hamba itu mengerjakan yang terlarang, maka titik hitam itu bertambah, kemudian bertambah. Sehingga menghitamlah hati seluruhnya, lalu menjadi sifat (karakter) baginya”. Itulah yang dinamakan cap. Lalu Ali membaca firman Allah Ta’ala: “Jangan berpikir betul ! bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14.
Pemakaian kedua: bahwa dimaksudkan dengan Iman itu ialah pembenaran dan amal perbuatan, seperti sabda Nabi saw: “Iman itu lebih 70 pintunya”. Dan seperti sabda Nabi saw: “Tidak berzinalah orang yang berzina, di mana ketika ia berzina itu ia beriman”. Apabila masuklah perbuatan dalam maksud kata-kata Iman, maka tidaklah tersembunyi bertambah dan berkurangnya Iman itu. Adakah membekas yang demikian pada bertambahnya Iman, yang semata-mata artinya pembenaran ?. Mengenai ini terdapat perhatian dan telah kami tunjukkan kepada adanya membekas itu.
Pemakaian ketiga: bahwa dimaksudkan dengan Iman itu, pembenaran keyakinan atas jalan terbuka hijab, terbuka dada dan bermusyahadah (penyaksian dengan cahaya mata hati). Ini adalah bahagian yang terjauh daripada menerima bertambahnya Iman itu. Tetapi aku mengatakan bahwa urusan keyakinan yang tak ada ragu padanya, adalah berbeda ketetapan hati kepadanya. Maka tidaklah ketetapan hati tentang dua lebih banyak dari satu, seperti ketetapannya tentang alam itu dijadikan, lagi baru. Meskipun tak ada keraguan mengenai suatupun daripada kedua contoh tadi. Tetapi keyakinan itu berbeda tentang tingkat kejelasan dan ketetapan hati kepadanya. Dan telah kami bentangkan hal ini dalam “Pasal Yakin” dari “Kitab Ilmu”, pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat dahulu. Maka tiadalah perlu lagi diulangi !. Dan telah jelas pada segala pemakaian kata-kata Iman itu, bahwa apa yang dikatakan mereka dari hal bertambah dan berkurangnya Iman, adalah benar. Bagaimana tidak ?. Pada hadits-hadits tersebut: “Bahwa dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman”. Pada sebahagian tempat pada hadits lain, tersebut: “Seberat uang dinar”, maka apakah artinnya perbedaan berat timbangan Iman itu, kalau apa yang di dalam hati tiada berlebih-kurang ?.
MASALAH  III
Kalau anda bertanya: Apakah artinya perkataan ulama terdahulu: Saya orang mu’min insya Allah (jika dikehendaki oleh Allah) ?”. Dan kata-kata istitsna’ itu (jika dikehendaki Allah), adalah keraguan. Dan keraguan di dalam keimanan itu kufur. Dan ulama-ulama ulama terdahulu semuanya adalah tidak mau menjawab tegas dengan keimanan dan mereka itu amat berhati-hati daripadanya. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsuri ra: “Barangsiapa mengatakan: Saya mu’min pada Allah, maka dia itu termasuk orang yang membohong. Dan barangsiapa mengatakan: Saya mu’min sebenar-benarnya, maka dia itu bid’ah (yang diada-adakan)”. Maka Bagaimana kah dia membohong, padahal dia mengetahui bahwa dia seorang mu’min pada dirinya ? barangsiapa mu’min pada dirinya maka adalah dia mu’min pada Allah. Seumpama: orang yang suka menolong dan pemurah pada dirinya dan ia mengetahui akan demikian, niscaya adalah dia demikian pula pada Allah. Demikian juga orang yang bergembira atau berduka cita atau mendengar atau melihat. Jikalau ditanyakan kepada seseorang: “Adakah saudara hewan ? tentu saja tidak baik ia menjawab: Saya hewan insya Allah”. Tatkala Sufyan berkata yang demikian lalu ditanyakan kepadanya: “Jadi apakah yang kami katakan?”. Menjawab Sufyan: “Katakanlah: Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Jadi, apakah bedanya antara dia mengatakan: “Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” dan mengatakan: “Aku mu’min ?”. Ditanyakan kepada Al-Hasan: “Adakah mu’min engkau?”. Menjawab Al-Hasan: “Insya Allah !”. Lalu ditanyakan kepadanya: “Mengapakah engkau membuat bersyarat mengenai Iman, hai Abu Sa’id ?”. Menjawab Al-Hasan: “Aku takut mengatakan: “Ya”, nanti Allah mengatakan: “Bohong engkau hai Hasan !”, maka berhaklah atas diriku azab”. Dan berkata Al-Hasan seterusnya: “Apa yang memberikan kepercayaan bagiku, bahwa Allah telah melihat padaku sebahagian daripada yang dibenciNya, maka dikutukNya aku dan Ia berfirman: “Pergilah ! aku tiada menerima akan amalmu”. Maka aku telah berbuat amal pada bukan tempatnya”. Berkata Ibrahim bin Adham: “Apabila ditanyakan kepadamu: Adakah mu’min engkau ?”. Maka katakanlah: “Laa ilaaha illallaah”. Berkata Ibrahim pada kali yang lain: “Jawablah, bahwa aku tidak ragu tentang keimanan dan pertanyaanmu kepadaku itu bid’ah (yang diada-adakan)”. Ditanyakan kepada ‘Alqamah: “Adakah mu’min engkau ?”. Menjawab ‘Alqamah: “Aku harap insya Allah”. Berkata Ats-Tsuri: “Kami beriman dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan Rasul-rasulNya. Dan kami tidak mengetahui, bagaimanakah kami pada Allah Ta’ala”. Apakah artinya segala kata-kata bersyarat ini ? jawabnya, bahwa kata-kata bersyarat ini benar, mempunyai 4 arti. Dua arti bersandar kepada keraguan. Tidak pada pokok iman, tetapi pada kesudahan atau kesempurnaan dari iman. Dan dua arti lagi tidak bersandar kepada keraguan.
Arti pertama: yang tidak bersandar kepada menentang keraguan, ialah menjaga keyakinan, karena ditakuti daripada sifat mengakui diri: sudah bersih. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu menganggap dirimu orang bersih”. S 53 An Najm ayat 32. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Tidaklah engkau perhatikan orang-orang yang mengganggap bersih dirinya sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 49. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Perhatikanlah bagaimana mereka berbuat kedustaan terhadap Tuhan”. S 4 An Nisaa’ ayat 50. Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (al-hakiim): “Apakah kebenaran yang keji itu ?”. Maka ia menjawab: “Manusia yang memuji dirinya”. Iman itu termasuk diantara sifat kemuliaan yang tertinggi. Keyakinan dengan Iman itu adalah pembersihan diri secara mutlak. Membuat kata-kata bersyarat pada Iman, seolah-olah memindahkan dari pengertian pembersihan yang biasa dipakai itu. Seumpama ditanyakan kepada seseorang: “Apakah tuan dokter ? ataukah tuan seorang ahli fiqih ? ataukah tuan seorang ahli tafsir ?”. Lalu menjawab orang yang ditanyakan itu: “Ya, insya Allah !”. bukanlah untuk menunjukkan ada keraguan, tetapi untuk mengeluarkan diri dari pengakuan “diri bersih”. Kata-kata itu memang kata-kata yang menunjukkan kepada keragu-raguan dan kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksudnya adalah untuk melemahkan salah satu daripada yang biasa timbul dari kata-kata itu, yaitu: merasa diri bersih. Dan dengan penafsiran ini, kalau ditanyakan mengenai sifat yang tercela, maka tidak baiklah dibuat kata bersyarat itu.
Arti kedua: beradab sopan dengan mengingati Allah (berdzikir kepada Allah) dalam segala hal serta mengembalikan seluruh persoalan kepada kehendakNya. Sesungguhnya Allah telah mengajarkan adab kesopanan kepada NabiNya dengan firmanNya: “Janganlah engkau mengatakan dalam sesuatu hal: Bahwa aku akan mengerjakan itu besok. Melainkan -dengan alasan- jika Tuhan menghendaki”. S 18 Al Kahfi ayat 23-24. Bahkan Tuhan tidak mencukupkan sehingga itu saja, mengenai sesuatu hal yang tidak diragukan padanya. Bahkan Ia berfirman: “Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjid Suci (Masjidil-Haram), jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur dan bergunting rambut”. S 48 Al Fath ayat 27. Adalah Allah Maha Mengetahui bahwa kaum muslimin akan masuk -tak boleh tidak- karena Dia yang menghendakinya. Tetapi maksudnya, ialah mengajari Nabi saw dengan demikian. Dari itu Nabi saw beradab bersopan santun dalam segala hal yang diberitakan daripadanya. Baik hal yang sudah dimaklumi atau yang masih diragukan. Sehingga kalau ia memasuki tanah perkuburan, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum daara qaumim mu’miniin wa ana insyaa Allaahu bikum laahiquun”. (Salam kepadamu di kampung kaum yang beriman dan kami -jika dikehendaki oleh Allah- akan mengikuti kamu). Mengikuti mereka yang sudah meninggal itu, tidaklah diragukan lagi. Tetapi menurut adab kesopanan, meminta mengingati Allah dan mengikatkan segala sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata (Insya Allah) ini, menunjukkan kepada yang dimaksud tadi. Sehingga menjadi terkenal pemakaiannya sekarang, sebagai tanda kegembiraan dan pengharapan. Kalau orang berkata kepada anda: “Si Anu akan mati dengan segera”, maka anda menjawab: Insya Allah. Maka dapatlah dipahamkan dari perkataan itu kegembiraan anda, bukan keraguan anda. Kalau orang berkata kepada anda: “Si Anu akan hilang sakitnya dan akan sembuh”, lalu anda menjawab: “Insya Allah”, maka itu berarti: kegembiraan. Sehingga jadilah kalimah “Insya Allah”, berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan. Dan begitu pula penggeseran kepada arti beradab bersopan santun untuk mengingati Allah Ta’ala, bagaimanapun adanya suasana.
Arti ketiga: Adalah sandarannya keraguan. Artinya: Saya mu’min sebenarnya insya Allah, karena Allah Ta’ala berfirman kepada golongan tertentu, kepada diri mereka itu sendiri: “Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman untuk mereka beberapa derajat kehormatan yang tinggi dari Tuhannya, ampunan dan rezeki yang mulia”. S 8 Al Anfaal ayat 4. Maka terbagilah mereka kepada dua bahagian. Dan ini kembali kepada keraguan mengenai kesempurnaan Iman, tidak mengenai pokok Iman. Tiap-tiap manusia ragu mengenai kesempurnaan Imannya. Dan itu tidaklah membawa kepada kufur (tidak mensyukuri). Ragu mengenai kesempurnaan Iman adalah benar dari 2segi:
Ke 1: dari segi bahwa nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam) itu, menghilangkan kesempurnaan Iman. Dan nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). adalah tersembunyi, tak dapat dipastikan terlepas daripadanya.
Ke 2: dari segi bahwa Iman itu sempurna dengan amalan-amalan taat dan amalan itu tiada diketahui adanya dengan sempurna, mengenai amal perbuatan, maka berfirman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang sebenarnya beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya, itulah orang-orang yang benar”. S 49 Al Hujuraat ayat 15. Maka adalah keraguan pada kebenaran ini. Sebaiknya seperti firman Allah Ta’ala: “Tetapi kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab dan naib-nabi”. S 2 Al Baqarah ayat 177.
Allah mensyaratkan 20 sifat, seperti menepati janji dan bersabar di atas segala kesulitan. Kemudian pada sambungan ayat tadi Allah berfirman: “Merekalah orang-orang yang benar”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujadalah ayat 11. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Tiada sama diantara kamu, orang yang membelanjakan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (dengan orang yang berbuat begitu sesudah kemenangan)”. S 57 Al Hadiid ayat 10.
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Tingkatan mereka berbeda-beda di sisi Allah”. S 3 Ali ‘Imran ayat 163. Bersabda Nabi saw: “Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa”. Bersabda Nabi saw: “Iman itu, lebih 70 pintunya. Yang lebih rendah daripada pintu-pintu itu, ialah membuang sesuatu yang menyakitkan dari jalan raya”. Adalah ini menunjukkan kepada ikatan kesempurnaan Iman dengan amal perbuatan. Adapun ikatannya dengan kelepasan daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). dan syirik yang tersembunyi, maka bersabda Nabi saw: “4 perkara, siapa yang ada padanya, maka dia itu munafiq benar-benar, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendakwakan dirinya orang mu’min. Yaitu: apabila berbicara ia membohong, apabila berjanji ia melanggar janji, apabila dipercayai ia berkhianat dan apabila bermusuhan ia berbuat aniaya”. Pada setengah riwayat, tersebut: “Apabila membuat perjanjian ia menghilang”.
Pada hadits yang diriwayatkan Abi Sa’id Al-Khudri, tersebut: “Hati itu 4: Hati yang masih suci bersih, padanya lampu yang cemerlang, maka itulah hati orang mu’min: hati yang terbentang padanya Iman dan nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam), maka Iman padanya adalah seumpama sayur-sayuran yang digenangi air tawar. Dan nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). padanya adalah seumpama luka yang digenangi nanah bercampur darah. Maka benda mana diantara keduanya yang lebih banyak, maka dengan itulah orang itu ditetapkan”. Pada lain riwayat: “Mana yang lebih banyak padanya, maka itulah yang menentukan orang itu”. Bersabda Nabi saw: “Yang lebih banyak menjadi munafiq daripada umat ini, ialah orang-orang yang ahli membaca Alquran”. Pada suatu hadits tersebut: “Syirik itu adalah lebih tersembunyi pada umatku daripada semut yang melata di bukit shofa”.
Berkata Huzaifah ra: “Adalah seorang laki-laki mengeluarkan sepatah kata pada masa Nabi saw yang menjadikan dia munafiq karenanya, sampai dia mati. Dan aku mendengar kata-kata itu sekarang dari salah seorang kamu dalam sehari sampai 10 kali”. Berkata setengah ulama: “Yang lebih mendekatkan manusia kepada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam), ialah orang yang memandang dirinya terlepas daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). itu”. Berkata Huzaifah ra: “Orang-orang munafiq sekarang adalah lebih banyak daripada di masa Nabi saw. Mereka waktu itu menyembunyikan nifaqnya. Tetapi sekarang mereka melahirkannya”. Nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). ini adalah melawan kebenaran dan kesempurnaan Iman. Dia tersembunyi. Manusia yang terjauh daripadanya, ialah orang yang merasa takut kepadanya. Dan yang terdekat kepadanya ialah orang yang memandang dirinya terlepas daripadanya.
Ada orang menanyakan kepada Al-Hasan Al-Bashari: “Benarkah kata orang, tiada nifaq sekarang ?”. Maka menjawab Al-Hasan: “Hai saudaraku ! jikalau binasalah semua orang munafiq itu, niscaya kamu merasa jijik melihat banyaknya di jalan raya”. Berkata Al-Hasan atau orang lain: “Jikalau tumbuhlah ekor pada orang munafiq, niscaya tiada sanggup kita meletakkan tapak kaki di atas tanah”. Ibnu Umar ra mendengar seorang laki-laki memperkatakan Hajjaj, lalu beliau bertanya: “Apakah pendapat engkau jika hadir dia, lalu mendengar apa yang engkau katakan. Apakah engkau membicarakan lagi mengenai dia ?”. Maka laki-laki itu menjawab: “Tidak”. Lalu Ibnu Umar ra menyambung: “Kami hitung sikap yang demikian itu nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam). pada masa Rasulullah saw”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang mempunyai dua lidah di dunia, niscaya dijadikan dia oleh Allah mempunyai dua lidah di akhirat”. Bersabda pula Nabi saw: “Manusia yang paling jahat, ialah yang bermuka dua. Dia datang kepada suatu golongan dengan satu muka dan dia datang kepada golongan yang lain dengan satu muka pula”.
Ada orang mengatakan kepada Al-Hasan: “Bahwa suatu kaum mengatakan: Kami tidak takut kepada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).”. Maka menjawab Al-Hasan: “Demi Allah ! bahwa aku mengetahui diriku terlepas daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam), adalah lebih aku sukai daripada terjadinya bukit-bukit kecil menjadi emas”. Berkata Al-Hasan: “Setengah daripada nifaq (bermuka 2 sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam), ialah berlainan lidah dan hati, yang tersembunyi dan yang nyata, yang dimaksudkan dan yang dikeluarkan”. Berkata seorang laki-laki kepada Huzaifah ra: “Saya takut, menjadi orang munafiq”. Maka menjawab Huzaifah: “Jikalau engkau seorang munafiq maka tidaklah engkau takuti nifaq itu. Sebab orang munafiq merasa aman daripada nifaq”. Berkata Ibnu Abu Mulaikah: “Saya mendapati 130, pada suatu riwayat 150 orang sahabat Nabi. Semuanya takut kepada nifaq”. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw duduk dalam suatu jama’ah daripada sahabat-sahabatnya. Maka para sahabat itu menyebutkan seorang laki-laki dan membanyakkan pujian kepadanya. Lalu dalam pada itu, tiba-tiba muncullah seorang laki-laki. Dari mukanya menitikkan air bekas wudlu’, alas kakinya terpegang pada tangannya dan diantara kedua matanya kelihatan bekas sujud. Lalu para sahabat itu berkata: “Wahai Rasulullah ! inilah dia laki-laki yang kami sebutkan itu !”. Maka menjawab Nabi saw: “Aku melihat pada mukanya bekas tamparan setan”. Maka datanglah laki-laki itu, memberi salam dan duduk bersama para sahabat. Lalu bersabda Nabi saw: “Aku bersumpah kepada engkau dengan Allah ! adakah kamu mengatakan akan dirimu ketika kamu datangi kaummu, bahwa tidak ada dalam kalangan mereka, orang yang lebih baik daripada kamu”. Menjawab laki-laki itu: “Ya, ada !”.
Nabi membaca di dalam doanya: “Ya Allah Ya Tuhanku ! aku meminta ampun kepadaMu mengenai apa yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Takutkah engkau wahai Rasulullah ?”. Maka Nabi menjawab: “Tidak ada yang menjamin bagiku. Dan hati itu adalah diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Dibalikkannya sebagaimana kehendakNya”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan ketika itu jelas bagi mereka azab bahwa apa-apa yang dahulunya mereka tiada kira itu, memang dari Tuhan”. S 39 Az Zumar ayat 47. Ada yang mengatakan pada penafsiran ayat tadi, bahwa mereka berbuat perbuatan dan menyangka bahwa perbuatan itu baik, tetapi adalah dia di dalam daun neraca perbuatan jahat.
Berkata Sirri as-Saqathi: “Jikalau seorang manusia masuk ke sebuah kebun, di mana di dalamnya terdapat segala macam pohon-pohonan, yang hinggap di atasnya bermacam-macam burung. Maka berbicaralah tiap-tiap burung itu kepada manusia tadi dengan suatu bahasa, seraya mengatakan: “Salam kepadamu, wahai wali Allah ! maka senanglah hati manusia tadi mendengarnya. Maka jadilah manusia itu tawanan di dalam tangannya sendiri”.
Segala hadits dan atsar tadi, memperkenalkan kepada kita akan gentingnya keadaan, disebabkan nifaq yang halus dan syirik yang tersembunyi dan tidak terasa aman daripadanya. Sehingga Umar bin Khattab ra sendiri bertanya kepada Huzaifah tentang dirinya, apakah dia tersebut di dalam golongan orang-orang munafiq ?. Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Aku mendengar sesuatu daripada sebahagian amir, maka aku bermaksud membantahnya. Tetapi aku takut nanti aku di bunuh. Bukan aku takut kepada mati, tetapi aku takut datang ke dalam hatiku rasa kebanggaan menjadi hiasan bibir orang banyak ketika nyawaku keluar. Dari itu, aku cegah diriku daripada berbuat yang demikian”. Inilah sebahagian daripada nifaq yang berlawanan dengan hakikat/makna Iman, kebenaran, kesempurnaan dan kemurniannya. Bukan pokoknya.
Nifaq itu dua: pertama: keluar dari agama dan berhubungan dengan orang-orang kafir, berjalan dalam jama’ah orang-orang yang kekal dalam neraka. Kedua: nifaq itu membawa orangnya ke dalam neraka buat sementara waktu. Atau kurang dia dari derajat orang-orang yang tinggi serta turun dari tingkat orang-orang shiddiq. Yang demikian itu diragukan keimanannya. Dari itu baiklah dibuat pengecualian padanya. Asal pokok nifaq ini berlebih-kurang diantara yang rahasia dan yang nyata. Diantara yang aman dari tipuan, perasaan ‘ujub dan hal-hal lain, yang tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq/ benar.
Arti keempat: yaitu bersandar juga kepada keraguan. Yang demikian itu, karena takut kepada buruk kesudahan (su-ul khatimah). Karena tak ada yang tahu, apakah Imannya itu selamat ketika mati atau tidak. Jika khatimahnya/kesudahannya itu disudahi dengan kufur, maka binasalah amalannya yang lalu, karena amalan itu terletak pada keselamatan akhir. Kalau ditanyakan seseorang yang berpuasa pada pagi hari, tentang syah puasanya di hari itu, maka dia menjawab: “Saya benar-benar berpuasa !”. Jikalau ia berbuka di tengah hari sesudah itu, maka nyatalah bohongnya. Karena syahnya puasa itu adalah terletak pada kesempurnaan puasa sampai terbenam matahari pada akhir siang itu. Sebagaimana siang itu menjadi tempat bagi kesempurnaan puasa, maka umur adalah tempat bagi kesempurnaan syah Iman. Dan menyifatkan syahnya sebelum berakhir hari itu didasarkan akan terus bersambung dari yang sudah ada, adalah diragukan. Dan kesudahannya, ditakuti. Dari itu, menangislah kebanyakan orang-orang yang takut, karena “kesudahan” itu adalah buah dari qadha’/takdir yang dahulu dan kehendak yang azali ( tidak kesudahan / permulaan ), yang tidak lahir selain dengan lahirnya apa yang diqodokan/ditakdirkan. Dan tak ada jalan untuk mengetahuinnya bagi seorangpun dari manusia. Maka takut kepada kesudahan (al-khatimah), adalah seperti takut kepada yang dahulu. Kadang-kadang dhahir seketika, apa yang telah dahulu perkataan dengan lawannya. Siapakah yang tahu, kiranya dia termasuk diantara orang-orang yang telah dahulu kebaikan baginya daripada Allah Ta’ala ?. Ada orang yang mengatakan mengenai arti firman Allah Ta’ala: “Dan datanglah sakaratul-maut (kesakitan mati) dengan sebenarnya”. S 50 Qaaf ayat 19. Artinya: dengan yang dahulu, maka sakratul-maut itu melahirkan yang dahulu itu. Berkata setengah ulama salaf: “Sesungguhnya ditimbang daripada amalan itu khatimahnya (kesudahannya)”.
Adalah Abud Darda ra bersumpah: “Demi Allah ! tiada seorangpun yang merasa tenteram Imannya dicabut, melainkan dicabutlah Imannya itu”. Ada yang mengatakan bahwa sebagian daripada dosa itu ialah dosa yang siksaannya “buruk kesudahan” (su-ul khatimah). Kita berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Dan ada yang mengatakan, yaitu: siksaan mendakwakan diri menjadi wali dan keramat dengan mengada-adakan.
Berkata setengah ulama arifin (orang-orang yang benar berma’rifah kepada Allah): “Jikalau disuruh pilih kepadaku mati syahid di pintu rumah dan mati atas keesaan di pintu kamar, maka aku pilih mati atas keesaan di pintu kamar. Karena aku tiada mengetahui apa yang akan datang pada hatiku, dari perobahan tentang keesaan itu sampai ke pintu rumah”. Berkata setengah mereka: “Jikalau aku kenal seseorang dengan keesaannya selama 50 tahun, kemudian terdinding antaraku dan dia dengan sebuah tiang dan mati dia, maka tidak berani aku memastikannya bahwa dia itu mati atas keesaan”. Pada suatu hadits tersebut: “Siapa yang mengatakan: Saya mu’min, maka dia itu kufur. Dan siapa yang mengatakan: Saya orang yang berilmu, maka dia itu orang bodoh”. Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan telah sempurnalah kalimah (firman) Tuhanmu dengan kebenaran dan keadilannya”. S 6 Al An’aam ayat 115. Bahwa kebenaran itu bagi orang yang mati dia atas Iman dan keadilan bagi orang yang mati di atas syirik. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan adalah kepunyaan Allah, kesudahan pekerjaan mereka itu”. S 22 Al Hajj ayat 41. Tatkala keraguan ada dengan kesudahan (al-khatimah) itu, maka pengecualian itu menjadi wajib. Karena Iman itu adalah ibarat dari sesuatu yang memfaedahkan sorga, sebagaimana puasa adalah ibarat daripada sesuatu yang melepaskan dari tanggungan kewajiban. Puasa yang rusak sebelum matahari terbenam, tidaklah melepaskan akan tanggungan kewajiban. Maka keluarlah puasa itu daripada adanya sebagai puasa.
Maka demikian pulalah Iman. Bahkan tiada jauh daripada kebenaran, bila ditanyakan akan seseorang daripada puasanya yang lalu yang tidak diragukan mengenai syahnya, setelah selesai mengerjakannya, pertanyaan mana, umpamanya: “Adakah anda puasa kemarin ?”. Maka menjawablah orang yang berpuasa itu: “Ya –insya Allah Ta’ala”. Karena puasa yang hakiki (yang sebenar-benarnya), ialah yang diterima (yang maqbul). Penerimaan itu, adalah hal ghaib, tak ada yang mengetahuinya, selain Allah Ta’ala. Maka dari segi ini, baiklah ada pengecualian dalam segala amal perbuatan yang baik. Dan itu adalah karena keraguan mengenai maqbulnya. Karena mungkin tercegah daripada maqbulnya setelah berlaku secara dhahir syarat-syarat syah, oleh sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahui selain oleh Tuhan Yang Maha Besar. Maka baiklah ada keraguan padanya. Dan inilah segi-segi baiknya pensyaratan pada penjawaban tentang Iman itu. Segi-segi itulah sebagai penghabisan, untuk kami sudahi Kitab Qaidah-qaidah I’tiqad (keyakinan) ini. Telah tammat Kitab ini, dengan pujian kepada Allah Ta’ala. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad saw dan kepada sekalian hambaNya yang pilihan