KITAB ADAB BERJALAN JAUH (BERMUSAFIR)
Yaitu: Kitab Ke-7 dari
“Bahagian Adat-Kebiasaan (Rubu’ Al-Adat)” dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”.
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Segala pujian
bagi Allah, yang membuka mata hati wali-waliNya dengan hikmat dan ibarat. Dan
mengikhlaskan cita-cita mereka untuk menyaksikan keajaiban ciptaanNya, di tempat
tinggal dan di perjalanan. Maka jadilah mereka itu rela dengan yang berlaku
menurut taqdir. Mereka membersihkan hati mereka, daripada berpaling kepada
segala yang disenangi mata, selain diatas jalan mengambil ibarat dengan apa
yang dituangkannya dalam segala petunjuk penglihatan dan perjalanan pemikiran.
Maka samalah pada mereka, daratan dan lautan, dataran yang mudah dilalui dan
yang menakutkan, desa dan kota. Dan shalawat kepada Muhammad penghulu manusia
dan kepada keluarganya dan sahabatnya, yang mengikuti jejaknya tentang budi
pekerti dan perjalanan hidup. Dan anugerahilah kiranya kesejahtraan yang banyak
kepada mereka !. Amma ba’du, kemudian dari itu, maka berjalan jauh
(bermusafir), adalah wasilah (jalan) kepada kelepasan dari sesuatu, yang kita melarikan
diri daripadanya. Atau sampai kepada sesuatu yang dicari dan diingini
kepadanya. Dan berjalan jauh (bermusafir) itu dua: bermusafir dengan badan
dzahir dari tempat ketetapan dan tanah air ke padang sahara dan tanah luas. Dan
bermusafir dengan jalannya hati dari orang-orang yang terendah tingkat, ke
kerajaan langit. Dan yang termulia dari kedua macam perjalanan itu, ialah:
perjalanan batin. Sesungguhnya orang yang berhenti pada keadaan yang
didapatinya sesudah lahir ke dunia, yang membeku terhadap apa yang
diperolehnya, dengan bertaqlid (mengikut saja) kepada bapak dan nenek moyang,
maka orang itu sudah seharusnya memperoleh rendah derajat. Merasa cukup dengan
kurang pangkat. Dan menerima gantian dari lapangan luas, sorga yang lebarnya
langit dan bumi, dengan kegelapan penjara dan kesempitan tahanan. Dan sungguh
benarlah kata penyair:
Tidaklah aku melihat
kekurangan,
pada kekurangan-kekurangan
manusia,
seperti kekurangan
orang-orang yang mempunyai kemampuan,
untuk memperoleh derajat
sempurna.
Kecuali, bahwa
perjalanan ini (perjalanan bathin), manakala yang menghadapinya berada dalam
bahaya yang mengkuatirkan, maka tidaklah ia mencukupi tanpa petunjuk jalan dan
pelindung. Maka dikehendaki oleh kekaburan jalan, ketiadaan dan penunjuk dan
perasaan puas bagi orang-orang yang berjalan itu, dengan nasib yang menurun
lagi sedikit, tanpa bahagian yang banyak, yang telah terhapus jalan-jalannya.
Maka terputuslah teman-teman pada perjalanan itu. Dan sepilah tempat-tempat
yang menghiburkan bagi diri, alam tinggi dan segenap penjuru, dari orang-orang
yang berkeliling. Dan kepada perjalanan yang tersebut, diserukan oleh Allah swt
dengan firmanNya: “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak,
bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka
sendiri”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan dengan firmanNya: “Dan di bumi ada
tanda-tanda untuk orang-orang yang yakin dalam kepercayaannya. Dan juga pada
diri kamu sendiri mengapa tidak kamu perhatikan ?”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat
30-31. Dan duduk, tidak melakukan perjalanan ini, ditantang dengan firmanNya:
“Dan sesungguhnya kamu –dalam perjalananmu- melalui (bekas-bekas) mereka waktu
pagi-pagi. Dan waktu malam. Tiadakah kamu mengerti ?”. S 37 Ash Shaffaat ayat
137-138. Dan dengan firmanNya swt: “Dan banyaklah keterangan-keterangan di
langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya”. S
12 Yusuf ayat 105. Maka orang yang menyenangkannya perjalanan ini, niscaya
senantiasa dalam perjalanannya itu, terhibur dalam sorga, yang lintangnya
langit dan bumi. Dia tetap dengan tubuhnya tiada bergerak, menetap di tanah
air. Itulah perjalanan, yang tiada sempit padanya, tempat-tempat minum dan
tempat-tempat singgahan. Dan tiada memperoleh kemelaratan padanya oleh
berdesak-desakan dan berdatangan orang banyak. Bahkan bertambah dengan
banyaknya musafir-musafir itu, harta-harta ghanimah (harta rampasan). Dan
berlipat-gandalah buah dan faedahnya. Maka harta-harta rampasan itu kekal,
tiada terlarang. Buahnya bertambah-tambah, tiada putus-putusnya. Kecuali
apabila nyata pada musafir itu terputus perrjalanannya dan terhenti gerakannya.
Maka Allah tiada akan merobah apa yang ada pada sesuatu kaum, sehingga mereka
itu merobah apa yang ada pada diri mereka itu sendiri. Dan apabila mereka
berjalan sesat, niscaya disesatkan oleh Allah hati mereka. Dan tidaklah Allah
menganiaya hamba-hambaNya. Tetapi mereka itu menganiaya dirinya sendiri. Dan
orang yang tidak menjadikan dirinya mengembara pada lapangan ini dan
berkeliling pada tempat-tempat penghiburan dari kebun ini, kadang-kadang ia
bermusafir dengan badan dzahirnya dalam masa panjang, dalam kilometer yang
banyak jumlahnya, dimana ia memperoleh perniagaan untuk dunia atau simpanan
untuk akhirat. Maka jikalau yang dicarinya itu ilmu dan agama atau kecukupan
untuk pertolongan kepada agama, niscaya adalah ia dari orang-orang yang
berjalan pada jalan akhirat. Dan pada perjalanannya itu mempunyai syarat-syarat
dan adab-adab kesopanan. Jikalau disia-siakannya, niscaya ia termasuk
orang-orang yang berbuat untuk dunia dan pengikut-pengikut setan. Dan jikalau
ia rajin di atas syarat-syarat dan adab kesopanan itu, niscaya perjalanannya
tiada terlepas dari faedah-faedah yang menghubungkannya dengan pekerja-pekerja
akhirat. Kami akan menyebutkan adab kesopanan dan syarat-syaratnya pada dua bab
insyaa Allah Ta’ala.
Bab Pertama: tentang
adab-adab kesopanan, dari permulaan berangkat sampai kepada akhir kembalinya,
tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini dua pasal.
Bab Kedua : tentang hal-hal yang tak boleh tidak bagi
seorang musafir, mempelajarinya, dari keentengan-keentengan (rukhshah)
perjalanan, penunjuk-penunjuk qiblat dan waktu-waktu shalat.
BAB PERTAMA: tentang adab dari permulaan berangkat sampai
kepada akhir kembali, tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini
dua pasal.
PASAL PERTAMA: tentang
faedah perjalanan, keutamaan dan niatnya.
Ketahuilah, bahwa
bermusafir (mengadakan perjalanan jauh), adalah semacam pergerakan badan dan
percampur-bauran dengan manusia. Pada perjalanan itu banyak faedah dan
mempunyai bahaya-bahaya, sebagaimana telah kami sebutkan pada “Kitab Berteman
dan ‘Uzlah”. Dan faedah-faedah yang menggerakkan kepada perjalanan itu,
tidaklah terlepas dari lari atau mencari. Maka sesungguhnya seorang musafir,
adakalanya mempunyai hal yang menakutkan untuk menetap di tempatnya. Dan
jikalau tidak ada yang menakutkan itu, niscaya ia tiada mempunyai maksud untuk
mengadakan perjalanan tersebut. Dan adakalanya mempunyai maksud dan yang
dicari. Melarikan diri dari tempat tinggal, adakalanya oleh suatu hal yang
merupakan bencana, pada urusan-urusan keduniaan, seperti: penyakit kolera dan
penyakit menular, apabila timbul di negeri tempat tinggalnya. Atau karena
ketakutan, disebabkan oleh fitnah atau permusuhan atau kemahalan harga. Dan
yang tersebut itu, adakalanya bersifat umum, sebagaimana yang telah kami
sebutkan. Atau bersifat khusus, umpamanya: orang yang mau dianiaya di suatu
negeri. Lalu melarikan diri dari negeri itu. Dan adakalanya oleh suatu hal yang
merupakan bencana pada agama. Umpamanya orang yang dicoba dalam negerinya
dengan: kemegahan, harta dan meluasnya sebab-sebab yang menghambatkannya
daripada menjuruskan diri kepada Allah. Maka ia memilih perantauan dan
penyembunyian diri. Ia menjauhkan keluasan hidup dan kemegahan. Atau seperti
orang yang diajak kepada perbuatan bid’ah dengan paksaan. Atau kepada menjabat
pekerjaan, yang tidak halal menyentuhkannya. Maka ia mencari jalan untuk
melarikan diri dari hal tersebut. Adapun yang dicari, maka adakalanya hal
duniawi, seperti harta dan kemegahan diri. Atau hal keagamaan. Dan keagamaan
itu, adakalanya: ilmu dan adakalanya: amal (perbuatan). Dan ilmu itu,
adakalanya salah satu dari ilmu-ilmu keagamaan. Dan adakalanya ilmu mengenai
akhlaq dirinya sendiri dan sifat-sifatnya diatas jalan percobaan. Dan
adakalanya ilmu tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi dan
keajaiban-keajaibannya. Seperti: perjalanan Dzul-Karnain dan pengelilingannya
pada segala penjuru bumi. Dan amal (perbuatan) itu, adakalanya ibadah dan
adakalanya ziarah (kunjungan). Ibadah, yaitu: hajji ‘umrah dan jihad (fi
sabilillah). Dan ziarah juga termasuk amal yang mendekatkan diri kepada Allah.
kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, tempat. Seperti: Makkah, Madinah,
Baitul-maqdis dan benteng-benteng. Maka mengikatkan diri kepada tempat-tempat
tersebut, adalah mendekatkan diri kepada Allah. Kadang-kadang dimaksudkan
dengan ziarah itu, wali-wali dan ulama-ulama. Dan mereka itu, adakalanya: sudah
meninggal. Maka diziarahilah kuburannya. Dan adakalanya: masih hidup. Maka
diambil barakahlah dengan melihat wajahnya. Dan diperoleh faedah dari melihat
keadaan mereka, akan kuatnya keinginan mengikuti mereka. Maka inilah segala
bahagian perjalanan jauh itu !. Dan dikeluarkan dari bahagian ini beberapa
bahagian:
Bahagian pertama: bermusafir pada menuntut
ilmu. Dan itu, adakalanya: wajib. Dan adakalanya: sunat. Dan yang demikian itu,
menurut keadaan ilmu itu, wajib atau sunat. Dan ilmu itu, adakalanya: ilmu
tentang urusan agamanya atau akhlaqnya tentang dirinya atau tanda-tanda
kekuasaan Allah di bumiNya. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa keluar dari
rumahnya pada menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi sabilillah), sehingga
ia kembali ke rumahnya”. Dan pada hadits lain, tersebut: “Barangsiapa berjalan
pada jalan, di mana ia mencari ilmu padanya, niscaya dimudahkan oleh Allah
baginya jalan ke sorga”. Dan Sa’id bin Al-Musayyab bermusafir berhari-hari,
mencari satu hadits. Asy-Sya’bi berkata: “Jikalau bermusafir seorang laki-laki
dari negeri Syam (Syria) ke negeri Yaman yang terjauh, mencari suatu kalimat
yang menunjukkannya kepada petunjuk atau mengembalikannya dari kerendahan,
niscaya tidaklah perjalanannya itu sia-sia”. Jabir bin Abdullah berangkat dari
Madinah ke Mesir bersama 10 orang sahabat Nabi saw. Mereka itu berjalan sebulan
lamanya, mencari suatu hadits, yang sampai kepada mereka, dari Abdullah bin
Anis Al-Anshari, yang diriwayatkannya dari Rasulullah saw. Sehingga mereka itu
mendengar hadits itu daripadanya. Dan semua orang yang tersebut dalam ilmu
pengetahuan, yang memperoleh ilmu pengetahuan itu, dari zaman sahabat sampai
kepada zaman kita sekarang, bahwa ia tidak berhasil akan ilmu pengetahuan itu,
selain dengan bermusafir. Dan ia bermusafir karena ilmu pengetahuan itu. Adapun
pengetahuannya tentang dirinya sendiri dan akhlaqnya, maka yang demikian itu
juga penting. Sesungguhnya jalan akhirat, tidak mungkin menjalaninya, selain
dengan membaikkan dan mendidikkan budi. Dan orang yang tiada menoleh kepada
rahasia bathinnya dan kekejian sifat-sifatnya, niscaya ia tidak mampu
mensucikan hatinya daripadanya. Dan sesungguhnya perjalanan (safar), ialah yang
membuka budi-pekerti (akhlaq) orang. Dan dengan perjalananlah, dikeluarkan oleh
Allah yang tersembunyi pada langit dan bumi. Dan sesungguhnya perjalanan jauh
(safar) disebut dalam bahasa Arab dengan kata-kata: safar (dimana arti safar
itu: membuka), karena ia membuka akhlaq orang yang bermusafir itu. Dan karena
itulah Umar ra bertanya kepada orang yang mengaku bersih (jujur) sebagian dari
saksi-saksi: “Adakah engkau menemaninya dalam perjalanan (safar) yang dapat
menjadi dalil atas kemuliaan akhlaq (budi pekertinya) ?”.Orang itu menjawab:
“Tidak !”. Lalu Umar ra menyambung: “Maka apakah yang memperlihatkan engkau
mengenal orang itu !”. Bisyr berkata: “Wahai para qari’ (ahli membaca
Alquranul-karim) ! mengembaralah, niscaya kamu menjadi baik ! sesungguhnya air,
apabila mengalir, niscaya baik. Dan apabila lama berhentinya pada suatu tempat,
niscaya ia berobah”. Kesimpulannya, bahwa diri kita di tanah air serta tak
adanya sebab-sebab, maka tidaklah lahir keburukan akhlaqnya. Karena diri kita
itu dapat menjinakkan hatinya dengan yang bersesuaian bagi sifatnya, dari
kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kesukaan diri. Maka apabila ia menanggung
kesulitan bermusafir, ia meninggalkan kesukaannya yang sudah dibiasakan dan
memperoleh percobaan dengan kesukaran di negeri asing, niscaya terbukalah
segala marabahayanya. Dan diketahuilah kekurangan-kekurangannya. Lalu
mungkinlah berusaha mengobatinya. Dan telah kami sebutkan pada “Kitab ‘Uzlah”
akan faedah-faedah percampur-bauran dengan manusia (mukhalathah). Dan
bermusafir itu adalah mukhalathah, serta bertambah lagi pekerjaan dan
penanggungan kesulitan. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatullah) di
bumiNya, maka pada menyaksikannya itu, banyak faedah bagi orang yang mempunyai
bashirah (mata hati). Pada bumiNya itu tempat-tempat yang berdekat-dekatan.
Padanya bukit-bukit, padang sahara, lautan, berbagai macam hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Dan tidak satu macampun daripadanya, melainkan menjadi saksi
bagi Allah dengan keesaan (wahdaniah). Dan mengucapkan kesucian (tasbih)
bagiNya, dengan lidah yang lancar, yang tidak diketahui, selain oleh orang yang
mencurahkan pendengarannya. Dan dia itu menyaksikannya. Adapun orang-orang yang
ingkar, lalai dan tertipu dengan kilatan fatamorgana dari kembang dunia, maka
orang-orang itu tidak melihat dan tidak mendengar. Karena mereka itu terasing
dari pendengaran. Dan tertutup dari tanda-tanda Tuhannya. “Mereka mengetahui
yang dzahir dari kehidupan duniawi dan lalai dari akhirat”. Dan tidaklah
dimaksudkan dengan pendengaran itu akan pendengaran dzahir. Karena orang-orang
yang dimaksudkan dengan yang demikian, tidaklah mereka itu terasing dari
pendengaran itu. Sesungguhnya yang dimaksudkan ialah: pendengaran bathin. Dan
tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali suara-suara. Dan sama
padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain. Adapun pendengaran bathin, maka
dapat diketahui isi pembicaraan keadaan (lisanul-hal), dimana itu adalah
tuturan, dibalik tuturan kata yang diucapkan, yang menyerupai perkataan orang
yang mengatakannya, sebagai cerita perkataan tiang dan dinding. Dinding itu
berkata kepada tiang: “Mengapakah engkau menyusahkan aku ?”. Lalu tiang itu
menjawab: “Tanyakanlah kepada orang yang menokokkan aku ! dan tidak
ditinggalkannya aku di belakangku oleh batu yang ada di belakangku !”. Dan
tidak dari satu dzarrah (atom)pun di langit dan di bumi, melainkan mempunyai
berbagai macam yang menjadi saksi bagi Allah Ta’ala dengan keesaan (wahdaniah).
Yaitu: pengesaannya. Dan berbagai macam yang menjadi saksi bagi Khaliqnya
dengan kequdusan, yaitu: tasbihnya. Tetapi mereka itu tiada memahami tasbihnya
itu. Karena mereka tiada bermusafir dari kesempitan pendengaran dzahir,
kelapangan luas pendengaran bathin. Dan dari ketidak-lancaran lisan pengucapan,
kepada kelancaran lisan keadaan (lisanul-hal). Jikalau mampulah tiap-tiap orang
yang lemah, kepada perjalanan yang seperti ini, niscaya tidaklah Nabi Sulaiman
as dikhususkan dengan memahami tuturan burung. Dan sungguh tidaklah Nabi Musa
as dikhususkan dengan mendengar firman (kalam) Allah Ta’ala yang wajib
diquduskan dari penyerupaan huruf dan suara. Dan siapa yang bermusafir, untuk
menyelidiki kesaksian-kesaksian ini, dan baris-baris yang tertulis, dengan tulisan-tulisan
ketuhanan (al-khuthut-al-ilahiyah) diatas lembaran benda-benda keras
(al-jamadat), niscaya tidaklah lama perjalanannya itu dengan tubuh. Tetapi ia
menetap pada suatu tempat dan menyelesaikan hatinya untuk bersenang-senang
dengan mendengar alunan suara ucapan tasbih dari satu persatu dzarrah (atom).
Maka tidak usahlah ia pulang pergi di sahara-sahara yang luas. Dan ia mempunyai
kekayaan di kerajaan langit. Maka matahari, bulan dan bintang itu tunduk dengan
perintahNya. Dan matahari, bulan dan bintang itu, bermusafir kepada penglihatan
orang-orang yang mempunyai mata hati (bashirah), beberapa kali dalam sebulan
dan setahun. Bahkan ia merangkak pada geraknya diatas waktu yang datang silih
berganti. Maka setengah dari keganjilan, bahwa merangkak pada mengelilingi
satu-persatu masjid, orang yang disuruh oleh Ka’bah, bahwa Ka’bah
mengelilinginya. Dan setengah dari keganjilan, bahwa berkeliling pada segala
sudut bumi, orang yang berkelilinglah padanya segala penjuru langit. Kemudian,
selama orang musafir itu berkehendak kepada dilihat oleh alam kebesaran dan
kenyataan (‘alamul-mulki wasy-syahadah) dengan mata-dzakir, maka ia terhitung
pada tempat pertama, dari tempat-tempat orang yang berjalan kepada Allah dan
bermusafir kehadiratNya. Dan seolah-olah ia beri’tikaf (berhenti duduk) diatas
pintu tanah air, yang tiada membawa ia berjalan ke angkasa luas. Dan tiada
sebab untuk lamanya berdiri pada tempat ini, selain oleh ketakutan dan
keteledoran. Dan karena itulah, setengah orang-orang yang mempunyai hati nurani
berkata: “Sesungguhnya manusia mengatakan: ‘Bukalah matamu, sehingga kamu dapat
melihat !”. Dan aku mengatakan: “Tutuplah matamu, sehingga kamu melihat !”. Dan
masing-masing dari dua perkataan ini benar. Kecuali, bahwa yang pertama itu
menerangkan tempat pertama yang dekat dari tanah air. Dan yang kedua itu,
menerangkan dari yang sesudahnya, dari tempat-tempat yang jauh dari tanah air,
yang tidak diinjak, selain oleh orang yang melemparkan dirinya dalam bahaya
besar. Dan orang yang lewat ke tempat itu, kadang-kadang sesat di jalan dan
menderita bertahun-tahun. Kadang-kadang ia mengambil taufiq dengan tangannya.
Maka taufiq itu menunjukkannya kepada jalan yang benar. Dan orang-orang yang
binasa pada tempat yang menyesatkan itu, mereka itu kebanyakan dari orang-orang
yang berkendaraan pada jalan ini. Tetapi orang-orang yang mengembara dengan nur
taufiq (nurut-taufiq), niscaya memperoleh kemenangan dengan kenikmatan dan
kerajaan yang tetap. Yaitu: orang-orang yang telah mendahului bagi mereka,
kebaikan daripada Allah. Dan ambillah ibarat akan kerajaan ini, dengan kerajaan
duniawi ! maka sesungguhnya sedikitlah yang mencari kerajaan ini, dibandingkan
kepada banyaknya makhluq. Manakala besarlah yang dicari, niscaya sedikitlah
yang membantu. Kemudian, orang yang binasa adalah lebih banyak daripada orang
yang dapat memiliki. Dan tidaklah menghadapkan diri mencari kerajaan itu, orang
yang lemah lagi pengecut. Karena besarnya bahaya dan lamanya kepayahan:
Apabila jiwa itu
besar.....
maka payahlah tubuh
mencapai maksudnya.....
Dan Allah Ta’ala
tiada menyimpankan kemuliaan dan kerajaan pada agama dan dunia, selain pada
tempat bahaya. Kadang-kadang orang pengecut dan orang teledor, menamakan
kepengecutan dan keteledoran itu, dengan hati-hati dan waspada, sebagaimana dikatakan
oleh seorang penyair:
Orang-orang pengecut itu
melihat,
bahwa sifat pengecut adalah
hati-hati.
Dan itu adalah tipuan bagi
sifat,
yang
terkutuk sekali.
Maka inilah hukum
perjalanan dzahir, apabila dimaksudkan kepada perjalanan bathin, dengan membacakan
tanda-tanda kebesaran Allah di bumi. Dan sekarang, marilah kita kembali kepada
maksud, yang kita maksudkan dan marilah kita terangkan:
Bahagian
kedua: yaitu, bahwa ia bermusafir karena
ibadah. Adakalanya karena mengerjakan hajji atau berjuang fi sabilillah. Dan
telah kami sebutkan keutamaan yang demikian, adab-adabnya dan amalannya, yang
dzahir dan yang bathin pada “Kitab Rahasia Hajji”. Dan termasuk ke dalam
jumlahnya, berziarah ke kuburan nabi-nabi as, berziarah ke kuburan
sahabat-sahabat, para pengikut sahabat (tabi’in), ulama-ulama yang lain dan
wali-wali. Dan semua orang yang diambil barakah dengan melihatnya pada masa
hidupnya, adalah diambil barakah dengan menziarahi kuburannya sesudah wafatnya.
Dan bolehlah melakukan perjalanan jauh untuk maksud ini. Dan tidaklah terlarang
dari maksud ini, oleh sabda Nabi saw: “Tiadalah diadakan perjalanan jauh,
kecuali kepada 3 masjid: Masjidku ini (masjid Madinah), Masjidil-haram (di
Makkah) dan Masjidil-aqsha (di Baitul-maqdis)”. Karena yang demikian itu mengenai
masjid-masjid, maka yang tersebut itu, samalah satu dengan lainnya, sesudah
masjid-masjid yang 3 tadi. Jikalau tidaklah begitu, maka tiadalah berbeda
antara berziarah ke kuburan nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama, pada pokok
kelebihannya, walaupun yang demikian itu berlebih kurang derajatnya dalam batas
yang besar, menurut perbedaan derajat mereka pada sisi Allah. Kesimpulannya,
berziarah kepada orang hidup adalah lebih utama daripada berziarah kepada orang
mati. Faedah dari menziarahi orang hidup, ialah mencari barakah doa dan barakah
memandang kepada wajahnya. Sesungguhnya memandang wajah ulama dan orang-orang
shalih adalah ibadah. Dan juga padanya menggerakkan keinginan mengikuti
jejaknya. Dan berakhlaq dengan akhlaq dan adab kesopanannya. Ini, selain dari
apa yang ditunggu dari faedah-faedah ilmiah, yang diperoleh faedahnya dari diri
dan perbuatan mereka. Bagaimana tidak ! semata-mata menziarahi teman pada jalan
Allah (al-ihwan fillah), ada padanya kelebihan, sebagaimana telah kami sebutkan
dahulu, pada “Kitab Berteman”. Dalam Taurat, tersebut: “Berjalanlah 4 mil !
kunjungilah saudaramu pada jalan Allah !”. Adapun tempat, maka tiadalah arti
menziarahinya, selain dari masjid 3 itu dan selain dari benteng-benteng yang
diperkuatkan untuk menghadapi musuh. Hadits yang tersebut diatas adalah jelas,
tentang tidaklah diadakan perjalanan jauh (safar) untuk mencari barakah tempat,
selain kepada masjid 3 itu. Dan telah kami sebutkan kelebihan dua tanah haram
(tanah haram Makkah dan tanah haram Madinah) pada “Kitab Hajji”. Dan
Baitul-maqdis juga mempunyai besar kelebihan. Ibnu Umar ra keluar dari Madinah
menuju Baitul-maqdis. Sehingga ia mengerjakan shalat padanya shalat 5 waktu.
Kemudian ia kembali pulang beresoknya ke Madinah. Nabi Sulaiman as meminta
kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla: “Bahwa orang yang menuju masjid ini (masjid
Baitul-maqdis), yang tidak dipentingkannya, selain bershalat padanya, bahwa:
tidak Engkau memalingkan pandangan Engkau daripadanya, selama ia menetap dalam
masjid itu sehingga ia keluar daripadanya. Dan bahwa Engkau keluarkan dia dari
segala dosanya, seperti hari dilahirkan oleh ibunya”. Maka Allah Ta’ala
memperkenankan permintaannya yang demikian.
Bahagian ketiga: bahwa perjalanan itu untuk melarikan diri dari suatu sebab
yang mengganggu agama. Dan yang demikian itu juga baik. Maka lari dari sesuatu
yang tiada disanggupi, adalah termasuk sunnah (jalan yang ditempuh) nabi-nabi
dan rasul-rasul. Setengah dari yang wajib melarikan diri daripadanya, ialah:
diangkat menjadi anggota pemerintahan, memperoleh kemegahan dan banyak
sangkut-paut dan sebab-sebab dengan orang lain. Karena semuanya itu mengganggu
kekosongan hati. Dan agama itu tidak sempurna, melainkan dengan hati yang
kosong dari selain Allah. Jikalau tidak sempurna kosongnya, maka dengan kadar
kekosongan itulah, tergambar bahwa ia bekerja pada agama. Dan tidaklah
tergambar kekosongan hati dalam dunia, dari segala kepentingan duniawi dan
keperluan-keperluannya yang penting. Tetapi yang tergambar, hanyalah peringanan
dan pemberatannya. Dan terlepaslah dari kebinasaan orang-orang yang memandang
ringan kepentingan dan keperluan duniawi. Dan binasalah orang-orang yang
memandang beratnya (pentingnya). Dan segala pujian bagi Allah yang tidak
menggantungkan kelepasan itu, dengan kekosongan mutlak dari segala dosa dan
pikulan. Tetapi Ia menerima orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi,
dengan kurnia dan lengkap keluasan rahmatNya. Dan orang yang memandang
ringannya kepentingan duniawi itu, ialah orang yang tidaklah dunia itu menjadi
cita-citanya yang terbesar. Dan yang demikian tidak mudah di tanah air bagi
orang yang meluas kemegahannya dan banyak hubungannya. Maka tidaklah sempurna
maksudnya, selain
dengan mengasingkan dan menyembunyikan diri. Memutuskan
segala hubungan yang tak dapat tidak daripadanya. Sehingga ia melatih dirinya
pada waktu yang panjang. Kemudian, kadang-kadang ia ditolong oleh Allah dengan
pertolonganNya. Lalu dianugerahiNya nikmat kepadanya, dengan yang menguatkan
keyakinannya. Dan menentramkan hatinya. Maka samalah padanya di kampung dan di
perjalanan. Dan dekat-mendekatilah padanya, adanya sebab-sebab dan
hubungan-hubungan itu atau tidak adanya. Maka tiada suatupun yang
menghalanginya dari apa yang sedang dilaksanakannya, daripada dzikir kepada Allah.
Dan yang demikian, termasuk hal yang sukar sekali adanya. Bahkan biasanya pada
hati itu, ialah kelemahan. Dan singkatnya dari keluasan bagi makhluq dan
khaliq. Dan sesungguhnya yang berbahagia dengan kekuatan ini, ialah nabi-nabi
dan wali-wali. Dan sampai kepadanya dengan usaha adalah sukar sekali, meskipun
ada juga jalan masuk untuk bersungguh-sungguh dan berusaha padanya. Dan contoh
lebih kurangnya kekuatan bathiniah padanya, adalah seperti lebih-kurangnya
kekuatan dzahiriah pada anggota badan. Maka kadang-kadang seorang laki-laki
yang kuat, yang mempunyai cukup kekuatan, sempurna bentuk tubuhnya, kuat
urat-uratnya, kokoh bangunan dirinya, dapat membawa sendiri barang yang
timbangannya 1000 kati umpamanya. Jikalau seorang lemah yang sakit bermaksud mencapai
tingkatannya, dengan membiasakan membawa dan berangsur-angsur padanya
sedikit-sedikit, niscaya tiada akan sanggup kepada yang demikian. Tetapi
membiasakan dan bersungguh-sungguh itu menambahkan kekuatannya barang
sekedarnya. Dan walaupun demikian itu tiada menyampaikannya kepada tingkat
orang yang tersebut diatas. Maka tiada seyogyalah ia meninggalkan kesungguhan
ketika merasa berputus-asa dari tingkat yang tinggi itu. Maka sesungguhnya yang
demikian, adalah bodoh sekali dan sesat benar. Sesungguhnya adalah dari
kebiasaan ulama terdahulu (ulama salaf) direlai Allah kiranya mereka itu,
berpisah dari tanah air, karena takut dari fitnah. Sufyan Ats-Tsuri berkata:
“Ini zaman buruk. Tak dapat dipercayai pada zaman ini orang yang lemah pikiran.
Maka bagaimana pula terhadap orang-orang yang terkenal ? inilah zaman orang
berpindah dari satu negeri ke lain negeri. Tiap kali ia sudah dikenal pada
suatu tempat, lalu berpindah ke lain tempat”. Abu Na’im berkata: “Aku melihat Sufyan Ats-Tsuri, telah
menggantungkan mangkok airnya di tangannya. Dan meletakkan tempat airnya dari
kulit, di punggungnya. Lalu aku bertanya: “Mau kemana, wahai Abu Abdillah ?”.
Sufyan Ats-Tsuri menjawab: “Telah sampai berita kepadaku dari suatu desa,
dimana harga barang-barangnya murah. Aku ingin tinggal di desa itu”. Maka aku
bertanya kepadanya: “Apakah akan engkau laksanakan demikian ?”. Sufyan
menjawab: “Ya ! apabila sampai kepadamu, bahwa pada suatu desa,
barang-barangnya murah, maka tinggallah di desa itu ! karena yang demikian itu,
lebih menyelamatkan agamamu dan lebih menyedikitkan kesusahanmu”. Inilah lari
dari kemahalan harga namanya !. Sirri As-Suqthi berkata kepada orang-orang
shufi: “Apabila datang musim dingin, maka sesungguhnya telah datang bulan Adzar
(bulan Maret). Kayu-kayuan berdaun. Dan baiklah bertebaran. Maka bertebaranlah
kamu !”. Orang-orang khawwash (orang-orang tertentu, kuat taatnya kepada
Allah), tidak bermukim di suatu negeri melebihi daripada 40 hari. Orang-orang
itu termasuk orang-orang yang tawakal. Dan memandang bermukim itu, berperang
kepada sebab-sebab, yang merusakkan ketawakalan. Dan akan datang penjelasan
rahasia-rahasia berpegang kepada sebab-sebab, pada “Kitab Tawakkal” Insya Allah
Ta’ala.
Bahagian
keempat:
bermusafir karena lari daripada yang merusakkan pada badan, seperti: kolera.
Atau pada harta, seperti: kemahalan harga. Atau hal-hal yang berlaku yang
seumpama dengan itu. Dan tidaklah berdosa pada yang demikian. Tetapi,
kadang-kadang wajib lari pada setengah tempat. Dan kadang-kadang disunatkan
pada setengah tempat. Menurut wajibnya dan sunatnya, apa yang teratur atasnya,
dari faedah-faedahnya. Tetapi, dikecualikan daripada tadi, ialah penyakit
kolera (penyakit tha’un). Maka tiada seyogyalah lari daripadanya, karena datang
larangannya. Berkata Usamah bin Zaid: “Rasulullah saw bersabda: “Bahwa penyakit
ini atau bahaya ini adalah azab. Telah diazabkan sebahagian umat-umat sebelum
kamu dengan penyakit tersebut. Kemudian, ia kekal di bumi sesudahnya. Lalu
sekali ia hilang dan datang lagi pada kali yang lain. Maka barangsiapa
mendengar penyakit itu pada suatu negeri, maka janganlah datang ke negeri itu !
dan barangsiapa berada di suatu negeri, dimana penyakit tersebut ada, maka
janganlah ia dikeluarkan oleh larinya daripadanya !”. ‘Aisyah berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kehancuran umatku, ialah dengan kena
tusukan tombak (tha’n) dan penyakit kolera (tha’un)”. Lalu aku bertanya: “Tha’un
sesungguhnya sudah kami ketahui. Maka tha’un itu apa ?”. Nabi saw menjawab:
“Yaitu: suatu penyakit, seperti penyakit unta, dimana penyakit itu mengambil
mereka pada bahagian bawah perutnya yang halus dan lembut. Muslim yang
meninggal daripadanya adalah syahid. Orang yang menetap di tempat itu, yang
mencari pahala daripada Allah, adalah seperti orang yang mengikatkan dirinya
pada jihad fi sabilillah. Dan orang yang lari daripadanya, adalah seperti orang
yang lari dari barisan perang”. Dari Makhul, dimana ia meriwayatkan dari Ummu
Aiman, yang mengatakan: “Rasulullah saw menasehatkan setengah sahabatnya,
dengan bersabda: “Janganlah engkau mensekutukan Allah dengan sesuatu, walaupun
engkau disiksa atau dibakar ! taatilah akan ibu bapakmu ! jikalau keduanya
menyuruhkan engkau supaya keluar dari tiap-tiap sesuatu yang menjadi kepunyaan
engkau, maka keluarlah daripadanya ! janganlah engkau meninggalkan shalat
dengan sengaja ! sesungguhnya barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja,
maka terlepaslah tanggungan Allah daripadanya. Awaslah dari minuman khamar
(arak) ! karena khamar itu kunci tiap-tiap kejahatan. Awaslah dari perbuatan
ma’siat ! karena perbuatan ma’siat itu memarahkan Allah. Janganlah engkau lari
dari barisan perang ! jikalau menimpa manusia oleh banyaknya kematian yang
mendahsyatkan dan engkau berada pada mereka, maka tetaplah pada mereka itu !
belanjailah menurut kesanggupanmu kepada ahli baitmu (keluargamu) ! janganlah
engkau angkatkan tongkatmu kepada mereka ! takutlah mereka dengan Allah”.
Segala hadits tadi menunjukkan kepada lari dari penyakit tha’un itu dilarang.
Dan begitu pula datang kepadanya. Dan akan datang uraian itu pada “Kitab
Tawakal”. Inilah bahagian-bahagian safar (bermusafir) itu ! dan dipahamkan
daripadanya, bahwa safar itu terbagi kepada: tercela, terpuji dan diperbolehkan
(mubah). Yang tercela terbagi kepada: haram. Seperti larinya budak dari rumah
tuannya dan bermusafir orang yang berbuat kedurhakaan. Dan kepada makruh,
seperti keluar dari negeri yang diserang kolera. Dan yang terpuji terbagi
kepada: wajib. Seperti mengerjakan ibadah hajji dan menuntut ilmu yang menjadi
wajib atas tiap-tiap muslim. Dan kepada: sunat, seperti menziarahi ulama dan
menziarahi kuburannya. Dan dari sebab-sebab ini, jelaslah niat pada perjalanan.
Karena arti niat, ialah penggerakan sebab, yang menggerakkan dan pembangkitan
untuk menyambut panggilannya. Dan hendaklah niatnya itu akhirat dalam segala
perjalanannya. Yang demikian itu dzahir pada: yang wajib dan yang sunat. Dan
mustahil pada: yang makruh dan yang terlarang. Adapun yang diperbolehkan
(mubah), maka tempat kembalinya, ialah kepada niat. Manakala maksudnya mencari
harta, umpamanya itu, untuk memelihara diri daripada meminta-minta dan menjaga
untuk menutup kehormatan diri isteri dan keluarga dan untuk bersedekah dengan
yang berlebih daripada jumlah yang diperlukan, niscaya yang diperbolehkan
(mubah) ini, disebabkan niat itu, menjadi setengah dari amalan akhirat. Dan
jikalau ia keluar kepada mengerjakan ibadah hajji dan yang menggerakkannya
ialah ria dan ingin didengar orang (sum’ah), niscaya keluarlah hajji itu dari
amalan akhirat. Karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya segala amalan itu dengan
niat”. Maka sabdanya Nabi saw: “Segala amalan dengan niat, adalah umum
melengkapi pada yang wajib, yang sunat dan yang diperbolehkan (mubah). Tidak
yang dilarang. Karena niat itu, tidaklah mempengaruhi untuk mengeluarkan dari
adanya sebagian itu dari yang terlarang”. Setengah ulama terdahulu (salaf)
berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewakilkan malaikat, dengan orang-orang
musafir, yang akan memperhatikan maksud mereka. Maka masing-masing akan
diberikan menurut niatnya. Maka orang yang niatnya itu dunia, niscaya ia
diberikan dari dunia. Dan dikurangkan dari akhiratnya beberapa kali lipat. Dan
dicerai-beraikan cita-citanya. Dan dibanyakkan kesibukannya dengan kelobaan dan
kegemaran kepada dunia. Dan orang yang niatnya akhirat, niscaya ia
dianugerahkan dari mata hati (bashirah), hikmah dan kecerdikan. Dan dibukakan
baginya ingatan dan pengertian menurut kadar niatnya. Dan dikumpulkan baginya
cita-cita. Berdoa baginya para malaikat. Dan para malaikat itu meminta ampunan
dosa baginya”. Adapun pandangan tentang: bermusafirkah yang lebih utama atau
menetap di tempat sendiri, maka menyerupailah yang demikian dengan pandangan,
tentang manakah yang lebih utama, mengasingkan diri (‘uzlah) atau
bercampur-baur (mukhalathah). Dan kami telah menyebutkan jalannya pada “Kitab
Al-‘Uzlah”. Maka hendaklah dipahami ini dari yang tersebut itu !. Sesungguhnya
perjalanan jauh (safar) itu, adalah semacam percampur-bauran dengan manusia,
serta tambahan keletihan dan kesukaran. Yang mencerai-beraikan cita-cita. Dan
menghancur-lumatkan hati pada kebanyakan orang. Dan yang lebih utama mengenai
ini, ialah apa yang lebih menolong kepada agama. Dan kesudahan buah agama di
dunia ini, ialah menghasilkan pengenalan (ma’rifah) Allah Ta’ala. Dan
menghasilkan kejinakan hati dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kejinakan
hati itu berhasil dengan berkekalan dzikir. Dan ma’rifah itu berhasil dengan
berkekalan fikir. Orang yang tiada mempelajari jalan fikir dan dzikir, niscaya
tiada dapat bertekun pada keduanya. Dan safar (bermusafir) itu, ialah penolong
kepada mempelajarinya pada langkah permulaan. Dan menetap di tempat sendiri,
ialah penolong kepada mengamalkan ilmu itu pada langkah penghabisan. Adapun
mengembara di bumi terus-menerus, adalah setengah daripada yang mengacaukan
hati. Kecuali bagi orang-orang kuat. Karena seorang musafir itu dan hartanya,
berada pada kekacauan, kecuali apa yang dipeliharai Allah. Maka senantiasalah
seorang musafir itu, berkebimbangan hati. Sekali, dengan ketakutan terhadap
dirinya sendiri dan hartanya. Sekali, dengan sebab berpisah dengan apa yang
dijinakkan hatinya dan dibiasakannya pada tempatnya sendiri. Jikalau tidak ada
harta yang ditakuti hilangnya, maka seorang musafir itu tiada terlepaslah dari
sifat kelobaan dan perhatian kepada orang lain. Sekali, lemahlah hatinya
disebabkan kemiskinan. Sekali, kuatlah dengan kokohnya sebab-sebab kelobaan.
Kemudian, pekerjaannya dengan turun-naik, mengganggu semua hal-ikhwalnya. Dari
itu, maka tiada seyogyalah seorang murid (orang yang mencari jalan akhirat) itu
bermusafir, selain pada menuntut ilmu. Atau melihat wajah syaikh (guru) yang
akan diikuti jejaknya. Dan diperoleh faedah kegemaran pada kebajikan dengan
melihat wajahnya. Karena sesungguhnya, orang yang bekerja dengan dirinya
(dengan terus-menerus dzikir dalam hati), memperoleh bashirah (mata hati)
padanya dan terbuka baginya jalan fikiran atau amalan, maka menetap di
tempatnya sendiri adalah lebih utama baginya. Hanya, kebanyakan kaum shufi masa
ini, tatkala bathinnya kosong dari fikiran-fikiran dan amalan-amalan yang halus
dan tiada berhasil baginya kejinakan hati dengan Allah Ta’ala dan dengan dzikir
kepadaNya kepada khilwah dan mereka itu orang-orang penganggur, tiada berusaha
dan bekerja, mereka telah menyukai pengangguran. Mereka merasa berat bekerja.
Merasa sukar menempuh jalan usaha. Merasa lebih enak meminta-minta dan meminta
pertolongan pada orang. Merasa lebih baik tinggal di langgar-langgar yang
dibangun untuk mereka di desa-desa. Mereka menggunakan tenaga-tenaga pelayan
tanpa upah, dimana pelayan-pelayan itu bangun menegakkan pengkhidmatan bagi
kaum shufi. Mereka memandang ringan akal pikiran dan agama pelayan-pelayan itu,
dimana maksud mereka dengan menggunakan tenaga pelayan tadi, tidak lain
melainkan ria (memperlihatkan kepada orang), sum’ah (didengar orang),
berkembang suara diantara orang banyak dan memungut harta dengan jalan meminta,
beralasan dengan banyak pengikut. Maka mereka di langgar-langgar itu sebenarnya
tiada mempunyai wewenang yang ditaati, pengajaran yang bermanfaat bagi
murid-muridnya dan pencegahan yang memaksa mereka dari hal yang tiada layak.
Mereka memakai pakaian yang berlapis-lapis, membuat tempat-tempat yang
menghiburkan di pondok-pondok. Kadang-kadang mereka menghapal kata-kata yang
terhias, berasal daripada orang-orang yang berbuat munkar. Lalu mereka
memandang kepada dirinya sendiri dan telah menyerupai dengan kaum shufi pada
pakaian, pengembaraan, kata-kata dan tutur ibarat pada sopan-santun yang dzahir
dari perjalanan hidup mereka. Maka mereka menyangka dirinya baik. Mereka
mengira berbuat perbuatan yang baik. Dan meyakini bahwa tiap-tiap yang hitam
itu biji tamar. Menyangka bahwa perkongsian pada dzahir itu, mengharuskan
memperoleh pembahagian pada bathin. Amat jauhlah yang demikian ! alangkah tebalnya
kebodohan orang yang tidak dapat membedakan, antara lemak dan bengkak. Maka
mereka itu adalah orang-orang yang dimarahi Allah. Sesungguhnya Allah Ta’ala
memarahi pemuda yang kosong waktunya dari pekerjaan. Dan tiada membawa mereka
kepada mengembara, selain oleh kemudaan dan kekosongan waktu dari pekerjaan.
Kecuali orang yang bermusafir untuk hajji atau ‘umrah, dengan tidak ria dan
sum’ah. Atau bermusafir untuk melihat wajah syaikh, yang akan diikuti tentang
ilmunya dan perjalanan hidupnya. Telah sunyilah negeri sekarang dari yang
demikian. Urusan-urusan keagamaan semuanya telah rusak dan lemah, selain
tashawuf. Tashawuf itu telah tersapu secara keseluruhan dan telah batil. Karena
ilmu pengetahuan itu tidak terbenam. Orang yang berilmu (alim), walaupun ia orang
berilmu yang jahat (ulama su’), maka sesungguhnya kerusakannya adalah pada
tindak-tanduknya. Tidak pada ilmu pengetahuannya. Maka ia tetap sebagai seorang
yang berilmu (orang alim), yang tiada berbuat menurut ilmunya. Amalan itu, lain
dari ilmu. Adapun tashawuf, ialah ibarat dari menjuruskan hati kepada Allah
Ta’ala. Dan memandang hina selain Allah. Hasilnya kembali kepada amalan hati
dan anggora badan. Manakala telah rusak amal-perbuatan, niscaya hilanglah
pokok. Dan pada perjalanan jauh orang-orang shufi itu, ada pandangan bagi
ulama-ulama fiqh, di mana perjalanan itu meletihkan diri, tanpa faedah.
Kadang-kadang dikatakan, bahwa perjalanan orang-orang tashawuf itu dilarang.
Tetapi yang betul pada kami, ialah bahwa menghukumkannya dengan: dibolehkan (ibahah).
Bahwa kesenangan yang diperoleh mereka, ialah memperoleh kelegaan dari bencana:
menganggur, dengan menyaksikan berbagai negeri. Dan kesenangan ini walaupun dia
itu buruk, maka jiwa orang-orang yang bergerak untuk kesenangan ini juga buruk.
Dan tiada mengapa melelahkan hewan buruk, untuk kesenangan buruk yang layak dan
yang kembali kepadanya. Maka ia memperoleh kesakitan dan kelezatan. Dan fatwa
itu menghendaki penghancuran orang awam, pada pekerjaan-pekerjaan mubah, yang
tak ada manfaat dan melarat padanya. Maka orang-orang yang mengembara dalam hal
yang tidak penting, pada agama dan dunia, tetapi untuk kesenangan semata-mata
di dalam negeri-negeri yang dikunjungi, adalah seperti binatang ternak yang
pulang-pergi di padang sahara. Maka tiada mengapalah pengembaraan mereka itu,
selama mereka mencegah kejahatannya pada manusia. Dan tidak meragukan orang
banyak tentang tingkah lakunya. Sesungguhnya kema’siatan mereka, ialah pada
meragukan itu dan meminta-minta atas nama tashawuf. Dan memakan harta waqaf yang
diwaqafkan kepada orang shufi. Karena yang dimaksudkan dengan orang shufi
ialah: orang shalih, adil (jujur) pada agamanya, serta sifat-sifat yang lain di
belakang keshalihannya itu. Dan sekurang-kurang sifat keadaan mereka tadi,
ialah memakan harta sultan (penguasa). Dan memakan harta haram itu termasuk
dosa besar. Maka tak adalah padanya lagi keadilan dan keshalihan serta memakan
haram. Jikalau dapatlah digambarkan orang shufi yang fasiq, niscaya dapat pula
digambarkan orang shufi yang kafir dan ahli fiqh yang beragama Yahudi. Dan
sebagaimana ahli fiqh (faqih) itu dimaksudkan seorang muslim tertentu, maka
seorang shufipun dimaksudkan seorang adil tertentu. Yang tidak teledor pada
agamanya, diatas kadar yang menghasilkan keadilan. Begitupula orang yang memandang
kepada dzahiriah mereka dan tidak mengenal bathiniahnya dan memberikan kepada
mereka itu hartanya, diatas jalan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
Ta’ala, niscaya haramlah mereka itu mengambilnya. Dan adalah yang dimakan
mereka itu haram. Dan yang aku maksudkan, ialah apabila yang memberi itu,
dimana jikalau diketahuinya bathiniah keadaan mereka, niscaya tidaklah
diberikannya. Maka mengambilkan harta dengan mendzahirkan ketashawufan, tanpa
bersifat dengan hakikat ketashawufan yang sebenarnya, adalah seperti
mengambilkan harta itu, dengan mendzahirkan keturunan Rasulullah saw atas jalan
menda’wakan dirinya keturunan Nabi saw. Dan barangsiapa menda’wakan dirinya
keturunan Saidina Ali ra dan dia itu membohong dan ia diberikan oleh seorang
muslim harta kepadanya, karena kecintaannya kepada keluarga Nabi saw dan
jikalau yang memberi itu mengetahui bahwa yang menerima itu berdusta, niscaya
tidak akan diberikannya sedikitpun, maka mengambilkan diatas cara yang demikian
itu haram. Begitupula orang shufi. Dan karena inilah, orang-orang yang
berhati-hati menjaga diri daripada memakan dengan nama agama. Sesungguhnya
orang yang bersangatan berhati-hati untuk agamanya, senantiasalah pada
bathinnya hal-hal yang harus ditutup (aurat), yang jikalau terbukalah bagi
orang yang ingin menolongnya, niscaya lemahlah keinginan orang itu untuk
menolong. Maka tidak dapat dibantah, adalah mereka itu tidak membeli sesuatu
oleh mereka itu sendiri. Karena takut nanti, mereka itu dimaafkan (tidak
diminta harga atau dikurangi) karena keagamaan mereka. Maka jadilah mereka itu
memakan disebabkan agama. Mereka itu mewakilkan kepada orang yang akan
membelikan untuk mereka. Dan mereka mensyaratkan kepada orang yang diwakilkan
itu, bahwa tidak menerangkan, untuk siapa dibelinya barang itu. Ya,
sesungguhnya halal mengambil apa yang diberikan orang karena agama, apabila
yang mengambil itu, jikalau yang memberi mengetahui bathinnya, akan apa yang
diketahui oleh Allah Ta’ala, niscaya tidaklah yang demikian itu membawa
kelemahan pendapatnya tentang orang itu. Dan orang yang berakal lagi sadar itu,
mengetahui dari dirinya sendiri bahwa yang demikian itu terlarang atau soal
besar. Dan orang yang tertipu yang bodoh tentang dirinya, adalah lebih layak,
bahwa ia bodoh tentang urusan agamanya. Maka sesungguhnya barang yang terdekat
kepada bentuknya, ialah hatinya. Apabila tersembunyi kepadanya keadaan hatinya,
maka bagaimanakah terbuka baginya yang lain ? Orang yang mengenal akan hakikat
ini, niscaya sudah pasti tidak akan makan, selain dari usahanya sendiri. Supaya
ia terpelihara dari marabahaya ini. Atau ia tidak akan makan, selain dari harta
orang yang diketahuinya dengan pasti, bahwa jikalau terbukalah bagi orang itu
bathinnya yang tersembunyi, niscaya tidak mencegah yang demikian kepada orang
itu untuk menolongnya. Jikalau diperlukan oleh orang yang mencari halal dan
orang yang menghendaki jalan akhirat, kepada mengambil harta orang lain, maka
hendaklah ditegaskannya dan dikatakannya kepada orang yang punya harta itu:
“Sesungguhnya jikalau engkau memberikan kepadaku karena sesuatu yang engkau
percaya padaku dari hal agama, maka tidaklah aku berhak yang demikian. Dan
jikalau Allah Ta’ala menyingkapkan yang tertutup padaku, niscaya engkau tidak
akan melihat aku dengan mata penghormatan. Bahkan engkau berkepercayaan, bahwa
aku adalah makhluq yang terjahat atau dari orang-orang yang jahat”. Maka
jikalau diberikannya juga serta yang demikian, maka hendaklah diambilnya !
sesungguhnya kadang-kadang orang itu suka kepadanya akan keadaan yang begini. Yaitu:
pengakuan terhadap dirinya sendiri dengan kelemahan agama dan tidak berhaknya
apa yang akan diambilnya itu. Tetapi, disini pengicuhan bagi diri sendiri yang
nyata, dan penipuan. Maka hendaklah diperhatikan ! yaitu: kadang-kadang ia
mengatakan yang demikian, untuk mendzahirkan, bahwa ia menyerupai dengan
orang-orang shalih, tentang mencela dan menghinakan dirinya dan memandangnya
dengan mata cacian dan hinaan. Maka adalah perkataannya itu berbentuk cacian
dan hinaan, sedang bathin dan jiwanya adalah berbentuk pujian dan sanjungan.
Maka berapa banyak orang yang mencela dirinya sendiri, padahal ia memujinya
dengan mata celaan. Mencela diri dalam khilwah serta sendirian, adalah terpuji.
Adapun mencela diri di hadapan orang banyak, maka adalah: Ria sebenarnya.
Kecuali apabila ia membuat yang demikian, dengan cara yang mendatangkan
keyakinan bagi pendengar, bahwa ia telah berbuat dosa dan mengakui dosa itu.
Dan yang demikian, termasuk mungkin memahamkannya dengan pertanda-pertanda
keadaan. Dan mungkin meragukannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan orang
yang benar, diantara ia sendiri dan Allah Ta’ala, mengetahui bahwa penipuannya
akan Allah ‘Azza Wa Jalla atau penipuannya akan dirinya sendiri, adalah
mustahil. Maka tiada sukar padanya menjaga diri, daripada hal-hal yang seperti
demikian. Maka inilah yang merupakan perkataan tentang bermacam-macam safar/perjalanan
jauh, niat orang yang melakukan safar (orang yang bermusafir) dan keutamaan
safar!.
PASAL KEDUA: tentang adab
orang yang bermusafir, dari permulaan keberangkatannya, sampai kepada
penghabisan kembalinya. Yaitu 11 perkara:
Pertama: dimulai dengan mengembalikan segala hak orang yang
diambil dengan kedzaliman, membayar hutang-hutang dan menyediakan perbelanjaan
untuk orang yang harus dibelanjainya. Dan mengembalikan segala simpanan orang
kalau ada padanya. Dan tidak diambilnya untuk perbekalan dalam perjalanan,
selain yang halal dan baik. Hendaklah perbekalan itu dibawa sekedar yang dapat
melapangkan kesulitan bagi teman-temannya. Ibnu Umar ra berkata: “Setengah
daripada kemuliaan seseorang, ialah baik perbekalannya dalam perjalanan
(safarnya)”. Tak boleh tidak dalam perjalanan itu, perkataan yang baik,
memberikan makanan kepada orang yang mendzahirkan kemuliaan budi dalam
perjalanan. Sesungguhnya perjalanan itu mengeluarkan segala yang tersembunyi
dalam bathin. Siapa yang baik untuk menjadi teman dalam perjalanan, niscaya ia
baik untuk menjadi teman di tempat sendiri (tidak dalam perjalanan).
Kadang-kadang baik di tempat sendiri, orang yang tidak baik dalam perjalanan.
Dan karena itulah dikatakan: “Apabila seseorang dipujikan oleh orang-orang yang
bergaul dengan dia, di tempat tinggalnya dan oleh teman-temannya dalam
perjalanan, maka janganlah kamu ragu-ragu tentang baiknya !”. Safar adalah
setengah dari sebab-sebab yang membosankan. Orang yang baik budi-pekertinya
pada waktu yang membosankan, adalah orang yang baik budi. Kalau tidak demikian,
maka ketika memberi pertolongan yang bersesuaian dengan maksud, niscaya
sedikitlah menampak keburukan budi. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “3 orang
tidak dicaci pada keadaan yang membosankan, yaitu: orang yang berpuasa, orang
yang sakit dan orang yang bermusafir”. Kesempurnaan baiknya budi orang yang
bermusafir itu, ialah berbuat baik kepada pelayannya. Menolong teman dengan
segala kemungkinan. Dan berbelas-kasihan kepada semua orang yang berkeputusan,
dengan tidak melewatinya, kecuali dengan memberi pertolongan kendaraan atau
perbekalan atau berhenti karenanya. Kesempurnaan yang demikian dengan
teman-teman ialah dengan bersenda-gurau dan berbaik-baikan pada sebahagian
waktu, tanpa ada kekejian dan kema’siatan. Dan hendaklah yang demikian itu
untuk obat kejemuan dan kesukaran safar !
Kedua: bahwa ia memilih teman. Maka janganlah keluar
sendirian. Yang pertama teman, kemudian jalan yang akan ditempuh dalam
perjalanan. Hendaklah teman itu orang yang menolongnya kepada agama. Maka teman
itu yang akan mengingatkannya apabila ia lupa. Yang akan menolong dan
membantunya, apabila ia ingat. Sesungguhnya manusia itu adalah menurut agama
temannya. Dan orang tidak dikenal, kecuali dengan temannya. Nabi saw melarang
bermusafir sendirian. Dan bersabda: “3 orang itu satu kumpulan”. Dan bersabda
pula: “Apabila kamu 3 orang dalam perjalanan, maka angkatlah seorang menjadi
kepala !”. Adalah mereka (para sahabat) berbuat demikian dan mengatakan:
“Inilah amir (kepala) kami, yang diangkat oleh Rasulullah saw”. Hendaklah
diangkat menjadi kepala yang terbaik akhlaq, yang lebih belas-kasihan kepada
teman, yang lebih cepat bertindak mengutamakan orang lain dan mencari
persetujuan teman. Sesungguhnya diperlukan kepada kepala (amir), karena
pendapat-pendapat itu berlainan pada menentukan tempat, jalan dan kemuslihatan
perjalanan. Dan tak ada aturan, selain pada sendirian. Dan tak ada kerusakan, selain
pada banyak orang. Dan sesungguhnya teraturlah urusan alam ini, karena yang
mengatur semuanya adalah Esa: “Jikalau ada pada langit dan bumi tuhan-tuhan,
selain Allah, niscaya rusaklah keduanya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 22. Manakala
Yang Mengatur itu Esa, niscaya teraturlah urusan pengaturan. Dan apabila banyak
yang mengatur, niscaya rusaklah urusan di tempat sendiri dan di perjalanan.
Hanya di tempat penetapan (tempat berdomisili), tidaklah kosong dari kepala
umum (amir ‘amm), seperti kepala kampung. Dan kepala khusus (amir khash),
seperti pemimpin rumah tangga. Adapun perjalanan (safar), maka tidaklah
tertentu padanya seorang kepala (amir), melainkan dengan pengangkatan. Karena
itulah, pengangkatan kepala itu wajib. Supaya terkumpullah segala pendapat yang
bercerai-berai. Kemudian, menjadi keharusan atas kepala, bahwa ia tidak
memperhatikan, selain untuk kepentingan orang banyak. Dan menjadikan dirinya
untuk penjagaan mereka, sebagaimana dinuqilkan dari Abdullah Al-Maruzi, bahwa
ia ditemani oleh Abu ‘Ali Ar-Ribathi. Lalu ia bertanya: “Bahwa engkau yang
menjadi kepala atau aku ?”. Abu ‘Ali Ar-Ribathi menjawab: “Engkau !”. Maka
senantiasalah Abdullah memikul perbekalan untuk dirinya sendiri dan untuk Abu
‘Ali di atas punggungnya. Pada suatu malam turunlah hujan. Lalu Abdullah
berdiri sepanjang malam pada kepala temannya. Dan pada tangannya kain, dimana
ia mencegah hujan daripada temannya itu. Setiap kali Abu ‘Ali Ar-Ribathi
berkata kepadanya: “Hai Abdullah, jangan engkau berbuat demikian !”. Lalu
Abdullah menjawab: “Apakah tidak engkau mengatakan, bahwa pimpinan diserahkan
kepadaku ? maka janganlah engkau menetapkan sesuka hatimu atas diriku ! dan
janganlah engkau menarik perkataanmu !”. Sehingga berkatalah Abu ‘Ali: “Aku
ingin bahwa aku mati dan tidak mengatakan kepada Abdullah: ‘Engkau kepala !”.
Maka demikianlah seyogyalah kepala itu. Dan Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik
teman itu 4 orang”. Penentuan 4 diantara bilangan-bilangan yang lain itu, tak
boleh tidak, padanya ada faedah. Dan yang membekas pada pemikiran, ialah bahwa
seorang musafir itu, tidaklah terlepas dari seorang laki-laki yang memerlukan
kepada pemeliharaan dan dari keperluan yang selalu diperlukannya. Jikalau
mereka itu 3 orang, niscaya adalah yang mengurus keperluan kesana-kemari,
seorang. Maka ia kesana-kemari dalam perjalanan itu, tanpa teman. Sehingga ia
tidak terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan hati. Karena ketiadaan
kejinakan hati teman. Jikalau yang kesana-kemari mengurus keperluan itu dua
orang, niscaya yang menjadi penjaga bagi orang itu seorang. Maka tidak juga ia
terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan dada (sesak pikiran). Jadi,
kurang daripada 4 orang, tidaklah menyempurnakan maksud. Dan diatas dari 4
orang adalah lebih. Maka mereka tiada dihimpunkan oleh suatu ikatan. Maka
tiadalah terjalin diantara mereka kasih-mengasihani. Karena orang ke-5 itu
lebih daripada yang diperlukan. Dan orang yang tiada diperlukan itu, tidaklah
menjurus cita-cita kepadanya. Lalu tiadalah sempurna persahabatan bersama dia.
Ya, pada banyaknya teman-teman itu ada faedahnya, untuk keamanan daripada
segala yang ditakuti. Tetapi 4 orang adalah lebih baik bagi persahabatan
khusus. Tidak bagi persahabatan umum. Berapa banyak teman di jalan ketika
banyaknya teman, yang tidak bercakap-cakap. Dan tidak bercampur-baur sampai
kepada akhir perjalanan. Karena tidak diperlukan kepadanya.
Ketiga: mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman di
tempat, kepada keluarga dan handai-tolan. Dan hendaklah mendoa ketika berpisah
itu, dengan doa Rasulullah saw ! Setengah mereka itu berkata: “Aku menemani
Abdullah bin Umar ra dari Makkah ke Madinah dijagakan Allah kiranya Madinah
itu. Tatkala aku bermaksud berpisah dengan dia, lalu ia mengucapkan kata-kata
perpisahan kepadaku dan berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Lukman
berkata: ‘Bahwa Allah Ta’ala apabila menerima simpanan akan sesuatu, niscaya
dipeliharakannya. Dan aku menyimpankan pada Allah agamamu, amanahmu dan segala
kesudahan amalanmu”. Zaid bin Arqam meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau
bersabda: “Apabila bermaksud seseorang dari kamu bermusafir, maka hendaklah
mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya. Maka sesungguhnya Allah
Ta’ala menjadikan barakah baginya pada doa mereka itu”. Dari Amr bin Syu’aib,
dari bapaknya, dari neneknya, bahwa Rasulullah saw apabila mengucapkan selamat
jalan kepada seseorang, bersabda: “Diperbekali engkau kiranya oleh Allah dengan
taqwa. DiampunkanNya dosa engkau. Dan dihadapkanNya engkau kepada kebajikan,
kemana saja engkau menuju”. Inilah doa orang yang tinggal untuk orang yang
diucapkan selamat jalan. Musa bin Wardan berkata: “Aku datangi Abu Hurairah ra,
dimana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku
maksudkan. Lalu beliau berkata: “Apakah tidak aku ajarkan kamu, wahai anak
saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah saw ketika
mengucapkan kata perpisahan ?”. Maka aku menjawab: “Belum !”. Maka beliau
menyambung: “Katakanlah ! aku petaruhkan engkau pada Allah, yang tidaklah
hilang segala petaruhan padaNya”. Dari Anas bin Malik ra, bahwa seorang
laki-laki mendatangi Nabi saw lalu berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud
bermusafir, maka berilah nasehat kepadaku !”. Maka Rasulullah saw bersabda
kepadanya: “Dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah ! diberilah kiranya
perbekalan taqwa kepada engkau oleh Allah ! diampunkanNya dosa engkau !
dihadapkanNya engkau kepada kebajikan, kemana saja engkau berada atau dimana
saja engkau berada !”. Perawi hadits ini ragu, apakah Nabi saw mengucapkan:
kemana saja atau dimana saja. Seyogyalah apabila mempertaruhkan kepada Allah
Ta’ala, apa yang ditinggalkan, bahwa dipertaruhkannya keseluruhan, tidak
ditentukan secara khusus. Diriwayatkan, bahwa Umar ra memberikan kepada orang
banyak bermacam-macam pemberian bagi mereka. Ketika datang kepadanya seorang
laki-laki bersama puteranya. Lalu Umar ra berkata kepada orang itu: “Belum
pernah aku melihat seseorang yang serupa dengan seseorang, dari anak ini dengan
engkau !”. Lalu orang itu berkata kepada Umar ra: “Akan aku terangkan kepada
engkau tentang anak itu sesuatu, wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku
bermaksud bermusafir dan ibunya waktu itu sedang mengandung dia. Maka ibunya
mengatakan: “Engkau pergi dan meninggalkan aku dalam keadaan yang begini”. Lalu
aku menjawab: “Aku pertaruhkan pada Allah, apa yang dalam perut engkau”. Lalu
aku pergi. Kemudian, aku kembali. Rupanya, ibunya telah meninggal dunia. Maka
duduklah kami bercakap-cakap. Tiba-tiba kelihatan api diatas kuburannya. Lalu
aku bertanya kepada orang banyak: “Apakah api itu ?”. Orang banyak menjawab:
“Api itu dari kuburan si Anu, dimana kami melihatnya tiap-tiap malam”. Maka aku
menyambung: “Demi Allah ! sesungguhnya wanita itu selalu berpuasa dan
menegakkan shalat". Lalu aku mengambil cangkul, pergi sehingga sampailah kami
ke kuburan itu. Lalu kami gali. Tiba-tiba kelihatan pelita. Dan tiba-tiba budak
kecil ini merangkak-rangkak. Maka orang mengatakan kepadaku: “Bahwa ini adalah
petaruhmu (simpananmu). Jikalau engkau mempertaruhkan ibunya, niscaya engkau
akan mendapatinya”. Maka Umar ra berkata: “Sesungguhnya budak ini amat serupa
dengan engkau, dibandingkan burung gagak dengan burung gagak”.
Keempat: bahwa ia mengerjakan shalat sebelum bermusafir,
selaku shalat istikharah (shalat memohonkan kebajikan pada Tuhan). Sebagaimana
telah kami terangkan pada “Kitab Shalat”. Dan waktu keluar untuk safar itu,
dikerjakan shalat karena safar. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwa
seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Sesungguhnya aku
bernadzar akan bermusafir. Dan telah aku tuliskan wasiatku. Maka kepada
siapakah dari orang tiga, aku serahkan wasiat itu ? kepada puteraku atau kepada
saudaraku atau ayahku ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Tiadalah seorang hamba
meninggalkan pada keluarganya suatu peninggalan, yang lebih disukai Allah,
daripada 4 rakaat shalat, yang dikerjakannya di rumahnya, apabila ia telah
mengikatkan kain-kain perjalanannya. Ia membaca pada rakaat-rakaat itu surat
“Al-Fatihah” dan “Qulhuwallaahu ahad”. Kemudian ia membaca doa: “Wahai Allah
Tuhanku ! sesungguhnya aku menghampirkan diriku kepadaMu dengan shalat 4 rakaat
ini. Maka gantikanlah akan aku dengan dia pada keluargaku dan hartaku ! maka
shalat 4 rakaat itu menjadi khalifah (penggantinya) pada keluarganya dan
hartanya. Dan penjagaan keliling rumahnya. Sampai ia kembali kepada
keluarganya”.
Kelima: apabila telah berada di pintu rumah, maka
hendaklah membaca: “Dengan nama Allah, aku menyerah diri (bertawakkal) kepada
Allah. Tiada daya dan upaya, melainkan dengan Allah. Wahai Tuhan ! aku berlindung
dengan Engkau, bahwa aku akan menyesatkan atau aku disesatkan. Bahwa aku akan
memperosokkan orang atau aku diperosokkan orang. Bahwa aku akan mendzalimi
orang atau aku didzalimi orang. Bahwa aku akan membodohi orang atau aku
dibodohi orang !”. Apabila ia berjalan, lalu membaca doa, yang artinya: “Wahai
Allah Tuhanku ! dengan Engkau, aku berkembang. Kepada Engkau, aku bertawakal.
Dengan Engkau, aku berpegang. Dan kepada Engkau, aku menghadapkan wajahku.
Wahai Allah Tuhanku ! Engkaulah kepercayaanku dan Engkaulah harapanku ! maka
cukupkanlah akan aku, apa yang penting bagiku dan apa yang tidak aku pentingkan
dan apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Mulialah tetangga Engkau
dan agunglah pujian bagi Engkau. Dan tiadalah Tuhan selain Engkau ! Wahai Allah
Tuhanku ! anugerahilah bagiku perbekalan taqwa ! ampunilah dosaku ! dan
hadapkanlah aku kepada kebajikan, kemana saja aku menghadap !”. Hendaklah doa
ini dibaca pada tiap-tiap tempat, dimana ia akan berangkat dari tempat itu !
Apabila telah mengendarai kendaraan, maka hendaklah membaca: “Bismillah
wabillah wallaahu akbar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan tiada
upaya, melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Apa yang
dikehendaki oleh Allah, niscaya ada dan apa yang tiada dikehendakiNya, niscaya
tidak ada. Maha Suci Allah yang telah mengadakan –semua- ini untuk kita dan
kita tak dapat mengendalikannya (hanya dengan kurnia Tuhan). Dan sesungguhnya
kita akan kembali kepada Tuhan kita !”. Apabila kendaraan telah lurus di bawahnya,
maka hendaklah membaca: “Segala pujian bagi Allah yang menunjukkan kita kepada
pekerjaan ini. Dan sesungguhnya tidaklah kita memperoleh petunjuk, jikalau
tidak ditunjuki oleh Allah. Wahai Allah Tuhanku ! Engkaulah yang membawa diatas
punggung (kendaraan ini) dan Engkaulah yang menolong atas segala pekerjaan !”.
Keenam: bahwa bertolak dari rumah pada pagi-pagi hari.
Diriwayatkan oleh Jabir: “Bahwa Nabi saw berangkat pada hari Kamis. Beliau
bermaksud ke Tabuk. Dan berangkat pada pagi-pagi hari. Dan berdoa: “Wahai Allah
Tuhanku ! anugerahilah kiranya barakah bagi umatku pada kepagiannya !”.
Disunatkan memulai keluar bermusafir pada hari Kamis. Diriwayatkan oleh
Abdullah bin Ka’b bin Malik dari bapaknya, yang mengatakan: “Amat sedikitlah
Rasulullah saw keluar untuk bermusafir, selain pada hari Kamis”. Diriwayatkan
oleh Anas bahwa Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya
barakah bagi umatku pada kepagiannya hari Sabtu !”. Dan Rasulullah saw apabila
mengutus suatu pasukan, maka diutuskannya pada pagi hari. Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra bahwa Nabi saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya
bagi umatku barakah pada kepagiannya pada hari Kamisnya !”. Abdullah bin Abbas
berkata: “Apabila engkau mempunyai suatu keperluan kepada seseorang, maka
mintalah keperluan itu daripadanya, pada siang hari ! dan janganlah engkau
minta pada malam hari ! dan mintalah pada pagi hari ! sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah saw berdoa: “Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa”.
Artinya: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah kiranya barakah bagi umatku pada
kepagiannya !”. Dan tiada seyogyalah bermusafir sesudah terbit fajar dari hari
Jum’at. Maka ia menjadi ma’siat dengan meninggalkan Jum’at. Dan harinya
disangkutkan kepada Jum’at. Maka permulaannya hari itu adalah setengah daripada
sebab-sebab wajibnya Jum’at. Mengantarkan orang musafir untuk perpisahan adalah
disunatkan. Yaitu sunnah Nabi saw. Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya bahwa aku
mengantarkan mujahid (pejuang) fi sabilillah, lalu aku mengelilinginya diatas
kendaraannya pada pagi-pagi atau petang-petang, adalah lebih aku sukai dari
dunia dan isinya”.
Ketujuh: tidak berhenti, sebelum siangnya panas. Dan itu
adalah sunat. Dan adalah kebanyakan perjalanannya itu pada malam. Nabi saw
bersabda: “Haruslah kamu berjalan pada malam ! sesungguhnya bumi itu dilipatkan
di malam hari, apa yang tidak dilipatkan di siang hari”. Manakala telah dekat
kepada tempat perhentian, maka hendaklah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! yang
memiliki 7 petala langit dan apa dinaunginya. Yang memiliki 7 petala bumi dan
apa yang dibawanya. Yang memiliki setan-setan dan apa disesatkannya. Yang
memiliki segala angin dan apa yang diterbangkannya. Dan Yang memiliki segala
laut dan apa yang dialirkannya. Aku bermohon kepadaMu akan kebajikan tempat ini
dan kebajikan penduduknya ! aku berlindung denganMu daripada kejahatan tempat
ini dan kejahatan isinya ! singkirkanlah daripadaku kejahatan orang-orang jahat
dari mereka !”. Apabila telah bertempat pada suatu tempat, maka hendaklah mengerjakan
shalat dua rakaat. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku
berlindung dengan kalimah-kalimah Allah yang sempurna, yang tidak akan
dilampaui oleh orang baik dan oleh orang jahat, daripada kejahatan apa yang
dijadikanNya”. Apabila telah datang malam, maka hendaklah berdoa: “Wahai bumi
Tuhanku ! Tuhanmu Allah, aku berlindung dengan Allah, daripada kejahatanmu
daripada kejahatan isimu dan daripada kejahatan apa-apa yang merangkak-rangkak
di atasmu. Aku berlindung dengan Allah, daripada kejahatan tiap-tiap singa dan
singa-singa, ular dan kalajengking. Dan dari kejahatan penduduk negeri, bapak
dan anaknya. Kepunyaan Tuhan, apa yang mendiami pada malam dan siang. Ia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Manakala ia meninggi pada tempat yang tinggi
dari bumi pada waktu perjalanan, maka seyogyalah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
bagi Engkaulah ketinggian di atas tiap-tiap ketinggian ! bagi Engkaulah pujian
di atas tiap-tiap hal keadaan !”. Manakala menurun, niscaya membaca tasbih. Dan
manakala takut kesepian dalam perjalanan, niscaya membaca: “Maha Suci Tuhan
Yang Memiliki, Yang Maha Suci, Tuhan bagi segala malaikat dan roh, agunglah
segala langit dengan kemuliaan dan keperkasaan”.
Kedelapan: bahwa menjaga diri di siang hari. Tidak berjalan sendirian,
keluar dari rombongan (qafilah). Karena kadang-kadang diculik atau terputus
dari teman. Dan di malam hari menjaga diri ketika tidur. Nabi saw apabila tidur
pada permulaan malam dalam perjalanan, beliau merebahkan kedua lengannya. Dan
kalau beliau tidur pada akhir malam, beliau menegakkan kedua lengannya dan
meletakkan kepalanya pada tapak tangannya. Maksudnya yang demikian itu, bahwa
beliau tidak tidur nyenyak. Lalu terbit matahari dan beliau itu tidur tiada
mengetahuinya. Lalu yang luput dari shalat, menjadi lebih utama daripada yang
dicarinya dengan perjalanan. Disunatkan pada malam hari, berganti-gantian
menjaga dengan teman-teman. Apabila tidur seorang, maka yang lain menjaga. Ini
adalah sunnah Nabi saw. Dan manakala musuh bermaksud kepadanya atau binatang
buas pada malam atau siang hari, maka hendaklah, membaca Ayatul-kursi,
Syahidallaahu, surat Al-Ikhlash (Qulhuwalaahu) dan Al-Mu’awwadzatain (Qul
a’uudzu birabbil falaq dan Qul-a’uudzu birabbin-naas). Dan hendaklah membaca:
“Bismillah”, dengan nama Allah, apa yang dikehendaki Allah. Tiada kekuatan
melainkan dengan Allah. Mencukupilah bagiku Allah. Aku bertawakkal kepada
Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang mendatangkan segala kebajikan
melainkan Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang menjauhkan yang jahat,
melainkan Allah. Mencukupilah bagiku Allah dan memadailah. Allah mendengar
siapa yang berdoa. Tiadalah di belakang Allah tempat kesudahan. Dan tiadalah
pada bukan Allah tempat meminta santunan. Telah ditetapkan oleh Allah: “Sesungguhnya
Aku dan rasul-rasulKu pasti menang ! sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Kuasa. Aku membentengi diri dengan Allah Yang Maha Agung. Dan meminta
pertolongan dengan Yang Hidup, Yang Berdiri sendiri, yang tidak mati. Wahai
Allah Tuhanku ! jagailah kami dengan MataMu yang tiada tidur ! kelilingilah
kami dengan kemegahanMu yang tidak dapat dipatahkan ! wahai Allah Tuhanku !
kasihanilah kami dengan qudrahMu kepada kami ! maka kami tiada binasa.
Engkaulah kepercayaan dan harapan kami. Wahai Allah Tuhanku ! lembutkanlah
kepada kami hati hamba-hambaMu yang laki-laki dan yang wanita, dengan
belas-kasihan dan kasih-sayang ! sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari
orang-orang yang pengasih”.
Kesembilan: berbelas-kasihan kepada binatang kendaraan, kalau
berkendaraan. Maka tidaklah dipikulkan ke atas binatang kendaraan itu, yang
tidak disanggupinya. Dan tidak dipukul pada mukanya. Karena yang demikian itu
dilarang. Dan tidak tidur di atas binatang kendaraan. Karena memberatkan dengan
tidur dan menyakitkan binatang itu. Dan orang-orang wara’ tidak tidur atas
binatang kendaraan, kecuali tidur sejenak. Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu
membuat punggung binatang kendaraanmu menjadi kursi”. Disunatkan turun dari
binatang kendaraan pada pagi dan petang hari, yang menyenangkan binatang
kendaraan dengan demikian. Itu adalah sunnah Nabi saw. Dan atsar dari
ulama-ulama terdahulu (salaf), tentang itu. Setengah salaf menyewa binatang
kendaraan dari pemiliknya, dengan syarat dia tidak turun dan menyempurnakan
sewanya. Kemudian ia turun, supaya dengan demikian, ia berbuat ihsan (berbuat
baik) kepada binatang kendaraan. Maka ihsan itu diletakkan pada neraca amalan
kebaikannya. Tidak pada neraca amalan kebaikan orang yang mempersewakan. Dan
orang yang menyakiti binatang dengan pukulan atau beban yang tidak
disanggupinya, niscaya dituntut pada hari qiamat. Karena pada tiap-tiap jantung
yang panas itu pahala. Abud Darda ra berkata kepada untanya ketika unta itu
mati: “Wahai unta ! janganlah engkau mengadukan aku kepada Tuhanmu ! sesungguhnya
aku tidaklah memikulkan atasmu di atas kesanggupanmu”. Pada turun sesaat itu
dua sedekah:
Pertama:
menyenangkan binatang kendaraan.
Kedua:
mendatangkan kesenangan kepada hati orang yang mempersewakan.
Dan ada lagi faedah lain.
Yaitu: gerak badan, penggerakan dua kaki dan menjaga dari kekakuan anggota
badan, disebabkan lamanya berkendaraan. Dan seyogyalah ia menetapkan bersama
orang yang mempersewakan kendaraan itu, apa yang akan diperpikulkannya atas
kendaraan itu satu-persatu. Dan dikemukakannya barang itu kepada yang
mempersewakan tadi. Dan ia menyewa binatang kendaraan tersebut, dengan ‘aqad
yang syah. Supaya tidak berkobar diantara keduanya pertengkaran yang
menyakitkan hati. dan membawa kepada bertambah banyaknya pembicaraan. Tiadalah
diucapkan oleh hamba dari perkataan, melainkan di sisinya ada pengawas yang
siap sedia mencatatnya. Maka hendaklah dijaga daripada banyak perkataan dan
pertengkaran dengan yang mempersewakan itu ! tiada seyogyalah diperpikulkan
sesuatu di luar dari yang disyaratkan, walau ringan sekalipun. Maka
sesungguhnya yang sedikit, akan menarik yang banyak. Dan barangsiapa
berkeliling dikeliling yang dilarang, niscaya mungkin akan terperosok ke
dalamnya. Seorang laki-laki berkata kepada Ibnul-Mubarak, dimana Ibnul-Mubarak
itu di atas binatang kendaraan: “Bawalah sepotong kertas ini kepunyaanku,
kepada si Anu !”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Aku meminta izin yang
mempersewakannya lebih dahulu. Sesungguhnya aku tidak membuat syarat dengan dia
mengenai kertas ini”. Lihatlah, bagaimana ia tidak menoleh kepada perkataan
fuqaha’ (para ulama fiqh), dimana itu termasuk barang yang dimaafkan. Tetapi ia
menempuh jalan wara’.
Kesepuluh: seyogyalah dibawa serta 6 perkara. ‘Aisyah
berkata: “Rasulullah saw apabila bermusafir, membawa serta 5 perkara: kaca
muka, botol (tempat) celak, gunting, sugi dan sisir”. Pada lain riwayat dari
‘Aisyah 6 perkara: kaca muka, botol minyak wangi, gunting, sugi, botol (tempat)
celak dan sisir”. Ummu Sa’d Al-Anshariyah berkata: “Tiada berpisah dengan
Rasulullah saw dalam perjalanan: kaca muka dan tempat celak”. Shuhaib berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Haruslah kamu memakai celak hitam ketika mau tidur.
Karena termasuk yang menambahkan penglihatan dan menumbuhkan bulu mata !”.
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw bercelak tiga-tiga. Dan pada suatu riwayat, beliau
bercelak untuk mata kanan 3 kali dan untuk mata kiri 2 kali. Kaum shufi
menambahkan: tempat air dan tali. Setengah kaum shufi berkata: “Apabila tidak
ada bersama orang fakir itu tempat air dan tali, niscaya menunjukkan kepada
kekurangan agamanya”. Sesungguhnya mereka menambahkan ini, karena mereka
melihat untuk penjagaan pada kesucian air dan pencucian kain. Tempat air itu
untuk menjaga air yang suci. Dan tali untuk mengeringkan kain yang dicuci dan
untuk mengambil air dari sumur. Orang-orang dahulu mencukupkan saja dengan
tayammum. Dan tidak memerlukan bagi dirinya mengambil air. Mereka tiada
memperdulikan mengambil wudlu di selokan-selokan dan dari semua air, selama
mereka tiada yakin akan kenajisannya. Sehingga Umar ra mengambil wudhu dari air
dalam kendi seorang Nasrani. Mereka mencukupkan dengan tanah dan bukit, tak
usah tali. Lalu membentangkan kain yang dicuci diatas tanah dan bukit itu. Ini
adalah, bid’ah, tetapi bid’ah hasanah (bid’ah baik). Dan bid’ah tercela ialah
yang berlawanan dengan sunah yang sudah tetap. Adapun yang menolong kepada
penjagaan agama, maka dipandang perbuatan baik. Dan telah kami sebutkan hukum
bersangatan pada bersuci pada “Kitab Bersuci”. Sesungguhnya orang yang
menjuruskan dirinya untuk urusan agama, tiadalah seyogya memilih jalan yang
mudah. Tetapi menjaga pada bersuci akan sesuatu, yang tidak mencegahkannya dari
amal perbuatan yang lebih utama daripadanya. Ada ulama yang mengatakan, bahwa
orang-orang khawwash (orang yang khusus), adalah setengah dari orang-orang yang
tawakkal. Tiada berpisah daripadanya 4 perkara dalam perjalanan dan di tempat
kediamannya. Yaitu: tempat air, tali, penjahit dengan benang-benangnya dan
gunting. Dan orang khuwwash itu berkata: “Yang tersebut tadi tidaklah termasuk
dunia”.
Kesebelas: tentang adab kembali dari safar (perjalanan).
Adalah Nabi saw apabila kembali dari peperangan atau hajji atau umrah atau
lainnya, membaca takbir pada tiap-tiap tanah yang tinggi 3 kali takbir dan
membaca: “Tiada yang disembah, melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia Maha Kuasa atas
segala-galanya. Kami kembali, bertaubat, beribadah, bersujud kepada Tuhan kami
dan memujiNya. Allah membenarkan janjiNya, menolong hambaNya dan menghancurkan
segala golongan kafir olehNya sendirian”. Apabila telah mendekati kota tempat
tinggalnya, maka hendaklah berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah bagi kami
padanya ketetapan dan rezeki yang baik”. Kemudian, hendaklah ia mengirim orang
kepada keluarganya, yang akan menyampaikan berita gembira dengan kedatangannya.
Supaya ia tidak datang kepada mereka itu dengan cara tiba-tiba. Lalu melihat
apa yang tiada disukainya. Dan tiada seyogyalah baginya, mengetok pintu mereka
itu pada malam hari. Karena ada larangan agama tentang yang demikian. Dan
adalah Nabi saw apabila datang dari perjalanan, beliau pertama-tama masuk
masjid dan mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian baru masuk ke rumah. Dan
apabila masuk, beliau membaca: “Bertaubat-taubat kepada Tuhan kita.
Kembali-kembali, yang tidak meninggalkan kita usaha kedosaan”. Dan seyogyalah
membawa untuk keluarga dan kerabat, hadiah (buah tangan) makanan atau lainnya,
sekedar yang memungkinkan. Dan itu adalah sunat. Diriwayatkan dari hadits Nabi
saw, bahwa jikalau tiada diperolehnya sesuatu, maka hendaklah diletakkannya
batu dalam keranjangnya ! dan seolah-olah ini bersangatan mendorong kepada
sifat mulia tersebut. Karena semua mata memperhatikan kepada orang yang datang
dari perjalanan jauh. Dan hati gembira dengan kedatangannya. Maka sangatlah
disunatkan pada menguatkan kesenangan mereka. Dan mendzahirkan berpalingnya
hati dalam perjalanan kepada mengingati mereka, dengan apa yang dibawanya serta
di jalan untuk mereka. Maka inilah jumlah banyaknya adab-adab dzahiriah pada
bermusafir ! Adapun adab bathiniah, maka pada pasal-pertama, terdapat
penjelasan sejumlah daripadanya. Jumlahnya itu ialah, bahwa: tidak bermusafir,
kecuali apabila ada dalam perjalanan itu menambahkan keagamaan. Manakala ia memperoleh
hatinya berubah kepada kurangnya keagamaan, maka hendaklah ia berhenti dan
berpaling kepada yang lain ! dan tiada seyogyalah, bahwa cita-citanya melampaui
tempatnya. Tetapi bertempatlah di mana hatinya bertempat. Dan berniat pada
memasuki tiap-tiap negeri, bahwa ia akan menjumpai syaikh-syaikh (guru-guru)
yang ada di negeri itu. Bersungguh-sungguh untuk memperoleh faedah
adab-kesopanan atau ucapan dari masing-masing mereka. Supaya ia memperoleh
manfaat dengan yang demikian. Tidak untuk diceritakannya yang demikian itu
kepada orang lain. Dan tidak untuk didzahirkannya bahwa ia telah menjumpai
syaikh-syaikh itu. Dan ia tidak menetap (bermukim) pada suatu negeri, lebih
banyak dari seminggu atau 10 hari. Kecuali disuruh oleh syaikh yang dimaksud
dengan yang demikian. Dan ia tidak duduk-duduk selama bermukim itu, selain
dengan orang-orang faqir yang benar. Jikalau maksudnya mengunjungi saudara,
maka tidak dilebihkan dari 3 hari. Itulah batas: bertamu. Kecuali sukar bagi
saudaranya, berpisah dengan dia. Apabila bermaksud menziarahi syaikh (guru),
maka tidaklah menetap (bermukim) padanya, lebih dari sehari-semalam. Dan tidak
menyibukkan dirinya dengan bergaul. Maka yang demikian itu, menghilangkan
barakah perjalanannya. Dan tiap kali ia memasuki suatu negeri, tidaklah ia
berbuat sesuatu, selain menziarahi guru (syaikh), dengan menziarahi tempat
tinggalnya. Jikalau syaikh itu di rumah, maka tidaklah pintu rumahnya diketok.
Dan tidaklah diminta keizinannya, sampai ia keluar. Apabila ia telah keluar,
datanglah kepadanya dengan adab. Lalu memberi salam kepadanya. Dan tidak
berkata-kata di hadapannya, kecuali, bahwa ia menanyakannya. Kalau syaikh itu
bertanya, niscaya dijawab sekedar pertanyaan. Dan tidak menanyakan tentang
sesuatu persoalan, sebelum meminta izin lebih dahulu. Apabila berada dalam
perjalanan, maka janganlah membanyakkan menyebut makanan-makanan dan
orang-orang yang bermurah hati serta teman-temannya di negeri itu. Dan
hendaklah ia menyebutkan syaikh-syaikh dan orang-orang faqirnya !. Dan
janganlah melengahkan dalam perjalanan itu, menziarahi kuburan orang-orang
shalih ! tetapi hendaklah mencari kuburan-kuburannya itu, pada setiap desa dan
negeri. Janganlah mendzahirkan hajat-keperluan, selain sekedar yang penting.
Dan kepada orang yang mampu menyampaikan hajat keperluan itu. Dan selalu dalam
perjalanan itu, berdzikir dan membaca Alquran, dimana tidak memperdengarkannya
kepada orang lain. Apabila orang berbicara dengan dia, maka hendaklah
meninggalkan dzikir. Dan menjawab pembicaraannya, selama orang itu masih
berbicara. Kemudian kembalilah kepada pekerjaan semula !. Jikalau nafsunya
(keinginannya) merencanakan bermusafir atau tinggal di negerinya sendiri, maka
hendaklah nafsu itu ditantang ! barakah itu adalah pada menantang nafsu.
Apabila lebih mudah baginya melayani (berbuat khidmat) kepada orang-orang
shalih, maka tiada seyogyalah baginya bermusafir, demi pengkhidmatan itu. Maka
yang demikian itu, kufur (tidak mensyukuri) nikmat. Manakala ia memperoleh
dirinya kekurangan daripada yang ada padanya sewaktu di negerinya sendiri, maka
hendaklah diketahuinya, bahwa perjalanannya itu berpenyakit. Dan hendaklah ia
kembali ! karena kalau ada untuk kebenaran, niscaya dzahirlah bekasnya. Seorang
laki-laki menerangkan kepada Abi Utsman Al-Maghribi, bahwa si Anu keluar
bermusafir. Lalu Abi Utsman Al-Maghribi berkata: “Bermusafir itu terasing dari
tanah air. Terasing itu suatu kehinaan. Dan tiadalah bagi mu’min menghinakan
dirinya sendiri”. Ia tunjukkan dengan perkataan tersebut, bahwa bagi orang yang
tiada bertambah keagamaan dalam perjalanan, maka telah menghinakan dirinya
sendiri. Jikalau tidak demikian, maka kemuliaan agama itu, tidak tercapai,
melainkan dengan kehinaan terasing dari tanah air. Maka hendaklah perjalanan
jauh murid itu, dari tanah air hawa nafsunya, kehendak dan tabiatnya ! sehingga
ia mulia dalam pengasingan ini dan tidak hina. Sesungguhnya orang yang
mengikuti hawa nafsunya dalam perjalanan, niscaya ia hina, tak dapat dibantah.
Adakalanya pada waktu segera. Dan adakalanya pada waktu lambat.
BAB KEDUA: mengenai yang tidak boleh tidak bagi orang yang
beperjalanan, mempelajarinya, tentang hal-hal yang diberi keentengan (rukhshah)
dalam perjalanan, dalil-dalil qiblat dan waktu.
Ketahuilah, bahwa seorang
musafir pada awal perjalanannya, memerlukan kepada persediaan perbekalan untuk
duniawinya dan untuk akhiratnya. Adapun perbekalan dunia, yaitu: makanan,
minuman dan perbelanjaan yang diperlukan. Kalau ia keluar secara tawakkal,
tanpa perbekalan, maka tiada mengapa, apabila perjalanannya itu dalam suatu
kafilah. Atau diantara desa-desa yang bersambung satu dengan lainnya. Jikalau
ia menempuh perjalanan di padang sahara sendirian atau bersama kaum (orang
banyak) yang tidak membawa makanan dan minuman, maka kalau ia termasuk orang
yang tahan lapar seminggu atau 10 hari umpamanya atau sanggup mencukupkan
dengan daun-daunan, niscaya bolehlah ia demikian. Dan kalau tidak kuat menahan
lapar dan tidak sanggup mencukupkan dengan daun-daunan, maka keluarnya untuk
bermusafir tanpa perbekalan itu, adalah perbuatan ma’siat (berdosa). Karena ia
membawa dirinya dengan tangannya sendiri kepada kebinasaan. Dan ini mempunyai
rahasia yang akan diterangkan pada “Kitab Tawakkal”. Dan tidaklah arti tawakkal
itu, menjauhkan diri secara keseluruhan dari sebab-sebab. Dan jikalau seperti
demikian, niscaya batallah tawakkal, dengan mencari timba, tali dan mengambil
air dari sumur. Dan wajiblah bersabar, sehingga didatangkan Allah baginya
seorang malaikat atau orang lain, untuk menuangkan air ke dalam mulutnya.
Jikalau menjaga timba dan tali, tidak merusakkan tawakkal dan itu adalah alat
yang menyampaikan kepada minuman, maka membawa barang makanan dan minuman,
dimana tidak dapat diharapkan akan ada di perjalanan, adalah lebih utama tidak
akan merusakkan tawakkal. Dan akan datang penjelasan “Hakikat Tawakkal” pada
tempatnya nanti. Karena tawakkal itu tidaklah begitu jelas, kecuali bagi
ulama-ulama agama yang melakukan penelitian, (ulama muhaqqiqin). Adapun
perbekalan akhirat, maka yaitu pengetahuan yang diperlukan, mengenai thaharah (bersuci),
puasa, shalat dan ibadah-ibadahnya. Maka tak boleh tidak, bahwa mempunyai
perbekalan pengetahuan itu. Karena sewaktu-waktu perjalanan itu meringankan
beberapa perkara. Maka perlulah mengetahui batas yang diringankan oleh
perjalanan itu. seperti: mengqashar dan menjama’ shalat dan berbuka puasa. Dan
sewaktu-waktu diberatkan beberapa perkara, dimana di negeri sendiri tidak
diperlukan mengetahuinya. Seperti: pengetahuan tentang qiblat dan waktu shalat.
Kalau di negeri sendiri, memadailah dengan lain dari pengetahuan. Yaitu: dengan
melihat mihrab masjid dan mendengar adzan muadzdzin. Dan dalam perjalanan,
kadang-kadang diperlukan mengetahui sendiri. Jadi, apa yang dihajati
mengetahuinya, terbagi kepada dua:
BAHAGIAN PERTAMA:
pengetahuan tentang hal-hal yang memperoleh keentengan (rukhshah) dalam
perjalanan.
Perjalanan jauh itu memberi
dua keentengan pada bersuci. Yaitu: menyapu dua sepatu kasut (dua muza) dan
bertayammum. Pada shalat fardlu dua keentengan. Yaitu: mengqashar dan
menjama’kan shalat. Pada shalat sunat, dua keentengan yaitu: mengerjakannya
atas kendaraan dan sedang berjalan kaki. Dan pada puasa, satu keentengan,
yaitu: boleh berbuka puasa. Inilah 7 macam keentengan/rukhshah:
Keentengan pertama: menyapu dua muza. Shafwan
bin ‘Assal berkata: “Rasulullah saw menyuruh kami, apabila kami bermusafir atau
dalam perjalanan, bahwa kami tidak membuka muza kami, 3 hari dengan
malam-malamnya”. Maka tiap-tiap orang yang memakai muza sesudah bersuci yang
membolehkan shalat, kemudian berhadats, maka boleh menyapu muzanya dari waktu
berhadats tadi, 3 hari 3 malam, kalau ia orang musafir. Atau sehari-semalam,
kalau ia orang muqim (bukan orang musafir). Tetapi, dengan 5 syarat:
Pertama: bahwa
adalah pemakaiannya sesudah sempurna bersuci. Jikalau kaki kanan dibasuhnya dan
dimasukkan dalam muza, kemudian kaki kiri dibasuhnya, lalu dimasukkan dalam
muza, niscaya tidak dibolehkan menyapu muza itu, menurut madzhab Asy-Syafi’i
ra, sebelum muza kaki kanan dibuka dan diulangi kembali memakainya.
Kedua: muza itu
kuat, yang memungkinkan berjalan kaki dengan dia. Dan boleh menyapu muza, walau
tiada memakai sandal sekalipun. Karena berlaku kebiasaan, berulang-ulangnya,
dengan muza itu, pada tempat-tempat perhentian. Karena pada umumnya muza itu
kuat. Lain halnya alas kaki kaum shufi. Maka tidak diperbolehkan menyapunya.
Dan demikian juga jurmuq yang lemah.
Ketiga: bahwa
tidak ada robek pada tempat yang fardlu dibasuh. Jikalau robek, dimana terbuka
tempat yang perlu dibasuh, niscaya tidak diperbolehkan menyapu muza itu. Menurut
qaul-qadim dari Asy-Syafi’i ra diperbolehkan, selama masih lekat pada kaki. Dan
itu adalah madzhab Malik ra. Dan tiada mengapa mengikuti madzhab Malik. Karena
dipandang perlu kepadanya. Dan sukarlah menjahit dalam perjalanan setiap waktu.
Sepatu yang ditenuni boleh disapu manakala tertutup, yang tidak tampak kulit
tapak kaki dari celah-celahnya. Begitupula sepatu yang pecah, yang pada tempat
pecahnya itu, diikat dengan benang. Karena hajat keperluan meminta kepada semua
itu. Maka tidaklah yang diperhatikan, selain bahwa ada muza itu tertutup sampai
ke atas dua mata kaki, bagaimanapun adanya. Adapun apabila tertutup sebahagian
dari belakang tapak kaki dan yang lain tertutup dengan pembalutan, niscaya
tidak boleh muza itu disapu.
Keempat: bahwa
muza itu tidak dibuka sesudah disapu. Kalau dibuka, maka yang lebih utama
baginya mengulangi wudlu (mengambil air sembahyang). Kalau ia menyingkatkan,
dengan membasuh dua tapak kaki saja, maka dibolehkan.
Kelima: bahwa
muza itu disapu pada tempat yang setentang bagi tempat yang perlu dibasuh.
Tidak atas betis. Sekurang-kurangnya disapu, ialah apa yang dapat dinamakan:
menyapu diatas belakang tapak kaki dari muza itu. Apabila disapu dengan tiga
anak jari, niscaya memadai. Dan yang lebih utama ialah, bahwa ia keluar dari
syubhat-khilaf (perbedaan ijtihad ulama yang mendatangkan keraguan). Yang lebih
sempurna, bahwa ia menyapu bahagian atasnya dan bahagian bawahnya dari muza
itu, dengan sekaligus (sekali jalan), tanpa berulang-ulang. Demikianlah
Rasulullah saw memperbuatnya. Caranya: ialah membasahkan dua tangan dan
meletakkan ujung anak jari tangan kanan, diatas ujung jari kaki kanan. Dan
menyapukannya dengan menarik jari-jari itu ke arah dirinya. Dan meletakkan
ujung jari tangan kirinya atas tumitnya dari bawah muza. Dan melakukannya ke
ujung tapak kaki. Manakala menyapu muza waktu sedang bermuqim (tinggal di
negeri sendiri), kemudian bermusafir atau waktu sedang bermusafir, kemudian
bermuqim, niscaya menanglah hukum bermuqim. Maka hendaklah disingkatkan kepada
sehari-semalam saja. Bilangan 3 hari itu dihitung dari waktu berhadatsnya,
sesudah menyapu muza. Jikalau muza itu dipakai masih di tempatnya (belum lagi
bermusafir) dan menyapunya juga masih di tempatnya, kemudian baru ia keluar
berjalan dan berhadats dalam perjalanan pada waktu gelincir matahari (waktu
zawal) umpamanya, niscaya ia menyapu 3 hari 3 malam, dari semenjak waktu zawal
tadi, sampai kepada zawal hari ke-4. Apabila matahari telah zawal dari hari
ke-4, niscaya tiadalah baginya mengerjakan shalat, kecuali sesudah membasuh dua
kaki. Maka ia membasuh kedua kakinya dan mengulangi memakai muza dan menjaga
waktu hadats. Dan mengulangi kembali hitungan dari waktu hadats itu. Jikalau
berhadats sesudah memakai muza di kampung (di tempatnya), kemudian keluar
bermusafir sesudah berhadats, maka boleh menyapu 3 hari. Karena kadang-kadang
adat-kebiasaan menghendaki pemakaian muza sesudah keluar untuk bermusafir.
Kemudian tidak mungkin menjaga diri dari hadats. Apabila menyapu di kampung,
kemudian bermusafir, niscaya disingkatkan menurut waktu menyapunya orang muqim
(sehari semalam). Disunatkan bagi tiap-tiap orang yang bermaksud memakai muza
di kampung atau dalam perjalanan, bahwa membalikkan muzanya dan
menggerak-gerakkan apa yang di dalamnya, karena menjaga dari ular atau kala
atau duri. Sesungguhnya diriwayatkan dari Abi Amamah, bahwa Abi Amamah berkata:
“Rasulullah saw meminta kedua muzanya. Lalu beliau memakai salah satu daripada
keduanya. Maka datanglah seekor burung gagak. Lalu burung gagak itu membawa
yang sebelah lagi dari muza itu. Kemudian melemparkannya. Lalu keluar dari muza
tadi seekor ular. Maka Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka ia tidak memakai kedua muzanya, sebelum
menggerak-gerakkannya”.
Keentengan kedua: tayammum dengan tanah
sebagai ganti dari air ketika ada halangan (udzur). Sesungguhnya diberi
ke-‘udzuran dari memakai air, dengan adanya air itu jauh dari tempatnya, sejauh
mana jikalau ia berjalan kaki ke tempat air itu, niscaya tidak sampai hubungan
kepadanya untuk meminta pertolongan dari kafilahnya (rombongannya), jikalau ia
berteriak atau meminta pertolongan. Itulah kejauhan, yang tiada dibiasakan
pulang-pergi kepadanya oleh orang-orang yang tinggal di tempat itu pada
pulang-pergi mereka untuk membuang air (qodo hajat). Demikian juga, jikalau ada
pada air itu musuh atau binatang buas. Maka bolehlah bertayammum, walaupun air
itu dekat. Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena
kehausannya, baik pada hari itu atau sesudahnya. Karena ketiadaan air
dihadapannya. Maka bolehlah ia bertayammum. Demikian juga jikalau ia memerlukan
kepada air itu, karena kehausan salah seorang dari teman-temannya. Maka
tidaklah boleh berwudlu. Dan haruslah memberikan air itu. Adakalanya dengan
memperoleh bayaran atau tanpa bayaran. Dan kalau ia memerlukan kepada air tadi,
untuk memasak sayur atau daging atau untuk membasahkan makanan yang sudah
dihancurkan yang dikumpulkannya makanan itu dengan air tadi, niscaya tidak
boleh bertayammum. Tetapi haruslah ia mencukupkan dengan makanan hancur itu
yang kering. Dan meninggalkan memakai kuah. Manakala diberikan orang kepadanya
air, niscaya wajiblah diterima. Dan jikalau diberikan harganya, niscaya
tidaklah wajib menerimanya. Karena pada menerima harga itu terdapat omelan. Dan
jikalau dijual orang air kepadanya dengan harga yang pantas, niscaya haruslah
dibeli. Dan jikalau dijual dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang
pantas itu, niscaya tidaklah harus dibeli. Apabila tidak ada air padanya dan ia
bermaksud bertayammum, maka yang pertama-tama harus dilakukannya, ialah mencari
air, manakala mungkin sampai kepada air, dengan dicari. Yang demikian itu,
dengan pulang-pergi, di keliling tempat tinggalnya. Dan memeriksa
kendaraan-kendaraan dan mencari sisa-sisa yang ada pada tempat-tempat air dan
tempat-tempat membersihkan sesuatu dengan air. Jikalau ia lupa pada air pada
kendaraannya atau ia lupa kepada sumur yang dekat daripadanya, niscaya haruslah
mengulangi shalat. Karena keteledorannya pada mencari air. Jikalau ia mengetahui
bahwa ia akan memperoleh air pada akhir waktu shalat, maka yang lebih utama,
bahwa ia mengerjakan shalat dengan tayammum pada awal waktu. Sesungguhnya umur
kita tidaklah dapat dipercaya akan lanjut. Dan awal waktu itu adalah keridhaan
Allah. Ibnu Umar ra bertayammum. Lalu orang bertanya kepadanya: “Adakah engkau
bertayammum, sedang dinding kota Madinah memandang kepada engkau ?”. Maka Ibnu
Umar ra menjawab: “Apakah aku akan kekal (tidak meninggal), sampai aku dapat
memasuki kota Madinah itu ?”. Manakala diperoleh air sesudah masuk dalam
shalat, niscaya tidaklah shalatnya batal. Dan tidaklah wajib ia berwudlu. Dan
apabila diperolehnya air sebelum masuk dalam shalat, niscaya haruslah ia
mengambil wudlu'. Manakala air itu telah dicari, lalu tidak diperoleh, maka
hendaklah ia menuju kepada tanah yang baik (yang suci), dimana di atasnya abu,
yang terbang daripadanya debu. Dan hendaklah menepuk kedua tapak tangan di atas
debu tadi, sesudah merapatkan anak-anak jarinya, sekali tepuk. Lalu menyapu
dengan kedua tapak tangan tadi mukanya. Dan menepuk sekali lagi sesudah
menanggalkan cincin dan menjarangkan anak-anak jarinya. Dan menyapu dengan
anak-anak jarinya itu kedua tangannya sampai kepada kedua siku-sikunya. Jikalau
tidak meratai dengan sekali tepuk seluruh kedua tangannya, niscaya menepuk
sekali lagi. Dan cara pelan-pelan pada tayammum itu, ialah apa yang telah kami
sebutkan dahulu pada Kitab Bersuci. Maka tidaklah kami mengulanginya lagi.
Kemudian, apabila telah dikerjakan shalat dengan tayammum, satu shalat fardlu,
maka bolehlah mengerjakan shalat sunat sebanyak yang dikehendaki, dengan
tayammum itu. Dan jikalau bermaksud menjama’ diantara dua shalat fardlu, maka
haruslah mengulangi tayammum untuk shalat kedua. Sehingga tidaklah dikerjakan
dua shalat fardlu, kecuali dengan dua tayammum. Tiada seyogyanya bertayammum
bagi shalat sebelum masuk waktunya. Jikalau diperbuatnya yang demikian, niscaya
wajiblah ia mengulangi tayammum. Dan hendaklah berniat, ketika menyapu muka:
memperbolehkan shalat (istibahah shalat). Jikalau diperolehnya air yang
mencukupkan untuk sebahagian thaharahnya/bersuci, maka hendaklah dipakai air itu. Kemudian
hendaklah bertayammum sesudah memakai air tadi, dengan tayammum yang sempurna.
Keentengan ketiga: pada shalat fardlu ialah
qashar (memendekkan shalat yang 4 rakaat, menjadi 2 rakaat). Boleh
mengqasharkan pada masing-masing dari: shalat Dhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’ kepada
dua rakaat. Tetapi dengan 3 syarat:
Pertama:
dilaksanakannya shalat itu pada waktunya. Jikalau shalat itu merupakan shalat qodo,
maka menurut pendapat yang lebih kuat (al-adh-har), harus disempurnakan (jadi 4
rakaat).
Kedua: diniatkan
qashar. Jikalau diniatkan menyempurnakan shalat (dikerjakan dengan 4 rakaat),
niscaya haruslah disempurnakan. Jikalau ragu, apakah ia sudah meniatkan qashar
atau meniatkan disempurnakan, niscaya haruslah disempurnakan (dikerjakan 4
rakaat).
Ketiga: bahwa ia
tidak mengikuti (berimam) kepada orang muqim (orang yang tidak bermusafir). Dan
tidak dengan orang musafir yang menyempurnakan shalatnya. Jikalau diperbuatnya
(diikutinya orang muqim atau orang musafir yang menyempurnakan shalatnya),
niscaya haruslah ia menyempurnakan shalat. Tetapi jikalau ia ragu, apakah
imamnya itu orang muqim atau orang musafir, niscaya haruslah (wajiblah)
menyempurnakan shalat, walaupun ia yakin kemudian, bahwa imamnya itu orang
musafir. Karena tanda-tanda seorang musafir itu tidaklah tersembunyi. Dari itu,
hendaklah diselidiki lebih dahulu ketika berniat !. Jikalau ia ragu, apakah
imamnya itu meniatkan qashar atau tidak, sesudah diketahuinya, bahwa imamnya
itu orang musafir, niscaya yang demikian tidaklah mendatangkan melarat baginya.
Karena niat-niat itu tidak dapat dilihat. Ini semuanya adalah dalam perjalanan
yang jauh dan mubah (diperbolehkan, tidak dilarang oleh agama). Dan batas
perjalanan (safar) dari segi permulaan dan kesudahannya, mengandung hal-hal
yang penuh pertanyaan. Maka tak boleh tidak harus diketahui. Perjalanan
(safar): ialah perpindahan dari tempat tinggal menetap, disertai maksud menuju
suatu tempat yang sudah diketahui. Orang yang berkelana dan orang yang tidak
tentu tujuannya, tidaklah kepadanya diberi keentengan. Yaitu: orang yang tidak
menuju ke suatu tempat yang tertentu. Dan ia tidak menjadi musafir, sebelum ia
meninggalkan tempat yang ramai didiami orang dari negerinya. Dan tidak
disyaratkan, bahwa ia melewati tempat-tempat yang roboh (tidak didiami lagi)
dan kebun-kebun (taman-taman), dimana anak negeri keluar ke taman-taman itu
untuk istirahat. Adapun desa, maka bermusafir dari desa, seyogyalah melewati
kebun-kebunnya yang dipagari. Tidak kebun-kebun yang tidak dipagari. Jikalau si
musafir itu kembali ke kampungnya, untuk mengambil sesuatu yang dilupainya,
niscaya ia tidak memperoleh keentengan, jikalau kampung tersebut tempat
tinggalnya sendiri, selama ia tidak melewati tempat yang ramai didiami
penduduk. Jikalau yang demikian itu, bukan tempat tinggalnya sendiri, maka ia
memperoleh keentengan. Karena telah menjadi orang musafir, dengan kesulitan
berpisah dan keluar dari tempatnya. Adapun penghabisan safar, maka dengan salah
satu dari tiga perkara:
Pertama: sampai ke tempat
ramai didiami penduduk, dari negeri yang dicita-citakan untuk berdiam padanya.
Kedua: ber’azam (mengambil
keputusan) bermuqim untuk 3 hari atau lebih. Adakalanya pada sesuatu negeri,
atau pada sesuatu sahara (tempat yang lapang yang tidak didiami penduduk).
Ketiga: bentuk bermuqim,
walaupun ia tidak mengambil keputusan. Seperti, apabila ia bermuqim pada
sesuatu tempat 3 hari, selain dari hari masuk (datang). Tidaklah boleh baginya keentengan
sesudah bermuqim itu.
Jikalau ia tidak ber’azam
(bercita-cita) untuk bermuqim (menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia
mengharap pada tiap-tiap hari, akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi
dan melambatkan. Maka baginya ber-keentengan. Walaupun masa itu panjang,
menurut qias yang terkuat dari dua qaul (pendapat ulama). Karena ia tiada
berketentraman hati dan bermusafir dari tempat tinggalnya, menurut bentuknya.
Dan tidaklah dihiraukan dengan bentuk diantara adanya menetapnya di satu tempat
itu, serta kegoncangan hati. Dan tiada berbeda, urusan itu perang atau lainnya.
Dan diantara lamanya waktu menetap atau pendek. Dan diantara terlambatnya
keluar karena hujan yang tiada diketahui lamanya sampai 3 hari. Atau karena
sebab yang lain. Karena Rasulullah saw memperoleh keentengan. Lalu beliau
mengqasharkan shalat pada sebahagian peperangan, 18 hari lamanya pada suatu
tempat. Jelasnya, bahwa jikalau lamalah masa peperangan, tentu lamalah masa keentengan.
Karena tiada arti dengan menentukan 18 hari itu. Dan yang jelas, bahwa
qasharnya Nabi saw adalah karena beliau itu bermusafir. Tidak karena beliau
menghadiri peperangan dan berperang. Inilah arti qashar !. Adapun arti
pemanjangan, maka yaitu: bahwa perjalanan itu 2 marhalah. Tiap-tiap marhalah 8
farsakh. Tiap-tiap farsakh, 3 mil. Tiap-tiap mil, 4000 langkah. Dan tiap-tiap
langkah, 3 tapak kaki. Yang dimaksud dengan: perjalanan mubah, ialah: bahwa
yang melakukan perjalanan (safar) itu, bukan orang yang durhaka kepada
ibu-bapaknya, yang melarikan diri dari keduanya, yang melarikan diri dari orang
yang memilikinya (kalau yang bermusafir itu seorang budak). Dan kalau yang
bermusafir itu wanita, maka tidaklah ia melarikan diri dari suaminya. Dan
tidaklah orang yang bermusafir itu orang yang berhutang, yang melarikan diri
dari yang berpiutang, serta ia mampu membayarnya. Dan tidak bertujuan untuk
merampok atau membunuh orang atau mencari kelimpahan harta haram dari seorang
penguasa (sultan) yang dzalim atau membuat kerusakan diantara kaum muslimin.
Kesimpulannya, tidaklah orang itu bermusafir, kecuali pada suatu maksud. Dan
maksud itulah yang menggerakkannya, jikalau yang menghasilkan maksud itu haram
dan jikalau tidak adalah maksud itu, niscaya ia tidak tergerak untuk perjalanan
itu, maka perjalanan itu ma’siat. Dan tidak diperbolehkan padanya keentengan.
Adapun perbuatan fasiq dalam perjalanan, dengan meminum khamar dan lainnya,
maka tidaklah mencegahkan keentengan. Tetapi, tiap-tiap perjalanan yang
dilarang agama, maka tidaklah perjalanan itu menolong padanya, dengan keentengan.
Jikalau orang musafir itu mempunyai dua penggerak, yang satu mubah dan yang
lain terlarang (mah-dhur), dimana jikalau penggerak yang terlarang tidak ada,
niscaya adalah penggerak mubah itu sendiri, bebas menggerakkannya dan sudah
pasti, orang musafir itu bermusafir karena penggerak mubah, maka baginya keentengan.
Orang-orang shufi yang berjalan keliling di beberapa negeri, tanpa ada maksud
yang syah, selain dari bersenang-senang untuk menyaksikan berbagai tempat, maka
tentang keentengan bagi mereka, terdapat khilaf (perbedaan pendapat ulama).
Pendapat yang terpilih (yang lebih kuat), bagi mereka itu keentengan.
Keentengan keempat: menjama’kan (mengumpulkan)
antara Dhuhur dan ‘Ashar pada waktu keduanya. Dan antara Maghrib dan Isya’ pada
waktu keduanya. Juga yang demikian itu, diperbolehkan pada tiap-tiap perjalanan
yang jauh, lagi mubah. Tentang diperbolehkan pada perjalanan yang pendek,
terdapat dua qaul (pendapat ulama). Kemudian, kalau didahulukan shalat ‘Ashar
kepada waktu Dhuhur, maka hendaklah diniatkan jama’ antara Dhuhur dan ‘Ashar
pada waktu keduanya itu, sebelum selesai dari Dhuhur. Dan hendaklah dilakukan
adzan untuk Dhuhur dan iqamah. Dan ketika selesai, lalu dilakukan iqamah untuk
‘Ashar. Dan pertama sekali diperbaharui tayammum, kalau shalat fardhunya itu
dengan tayammum. Dan tidaklah diceraikan diantara shalat Dhuhur dan ‘Ashar itu,
dengan lebih banyak dari waktu tayammum dan iqamah !. Kalau didahulukan shalat
‘Ashar, maka tidak diperbolehkan. Jikalau diniatkan jama’ ketika
bertakbiratul-ihram shalat ‘Ashar , niscaya boleh pada Imam Al-Mazani.
Pendapatnya itu dalam segi qias. Karena tak ada tempat pegangan untuk
mewajibkan mendahulukan niat. Tetapi agama membolehkan jama’. Dan ini adalah
jama’. Dan keentengan itu pada shalat ‘Ashar. Maka mencukupilah niat pada
‘Ashar. Adapun Dhuhur, maka berlaku diatas hukum. Kemudian, apabila telah
selesai dari dua shalat tadi, maka seyogyalah mengumpulkan diantara sunat-sunat
dua shalat itu. Adapun ‘Ashar tak ada sunat sesudahnya. Tetapi sunat yang
sesudah Dhuhur, dikerjakan sesudah selesai dari shalat ‘Ashar. Adakalanya ia
berkendaraan (masih bermusafir) atau sudah bermuqim. Karena kalau dikerjakannya
shalat sunat Dhuhur sebelum ‘Ashar, niscaya putuslah muwalah (berturut-turut,
beriring-iringan). Dan muwalah itu wajib menurut suatu pendapat (suatu wajah).
Jikalau bermaksud mengerjakan 4 rakaat sunat sebelum Dhuhur dan 4 rakaat sunat
sebelum ‘Ashar, maka hendaklah dikumpulkan antara semuanya itu, sebelum
mengerjakan dua shalat fardhu itu !. Mula-mula dikerjakan sunat Dhuhur.
Kemudian sunat ‘Ashar. Kemudian fardhu Dhuhur. Kemudian fardhu ‘Ashar. Kemudian
sunat Dhuhur yang 2 rakaat sesudah fardhunya. Dan tidak seyogyalah,
disia-siakan shalat sunat dalam perjalanan. Maka apa yang hilang dari pahalanya
adalah lebih banyak dari apa yang diperbolehnya dari keuntungan. Lebih-lebih
agama telah meringankan kepadanya. Dan membolehkan mengerjakannya di atas
kendaraan. Supaya ia tidak terhalang dari teman-temannya, disebabkan shalat
itu. Kalau dikemudiankan (di-ta’khirkan) Dhuhur kepada waktu ‘Ashar, maka
berlakulah di atas tertib ini. Dan tidak dihiraukan, dengan jadinya sunat
Dhuhur, sesudah ‘Ashar pada waktu makruh. Karena shalat yang bersebab, tidaklah
dimakruhkan pada waktu itu. Begitupula, dikerjakan mengenai Maghrib, ‘Isya’ dan
Witir. Dan apabila didahulukan atau dikemudiankan, maka sesudah selesai dari
shalat fardhu, lalu dikerjakan semua shalat sunat rawatib. Dan disudahi
semuanya itu dengan shalat Witir. Kalau terguris dalam hatinya, ingatan kepada
shalat Dhuhur sebelum habis waktunya, maka hendaklah ia ber’azam mengerjakannya
bersama serta ‘Ashar. Itulah niat jama’ ! karena sesungguhnya kosong dari niat
ini, adakalanya dengan niat meninggalkan atau dengan niat mengemudiankannya
dari waktu ‘Ashar. Dan yang demikian itu haram. Dan bercita-cita kepadanya
haram. Dan jikalau tiada teringat kepada shalat Dhuhur, sehingga keluarlah
waktunya, adakalanya karena tidur atau karena pekerjaan, maka ia menunaikan
shalat Dhuhur bersama ‘Ashar. Dan ia tidak menjadi orang ma’siat. Karena
perjalanan itu, sebagaimana melengahkan daripada mengerjakan shalat, maka
kadang-kadang melengahkan daripada mengingati shalat. Mungkin pula dikatakan,
bahwa shalat Dhuhur jatuh pada waktunya (menjadi ada’ bukan qodo’), apabila
ber’azam mengerjakannya, sebelum habis waktunya, tetapi yang lebih jelas (yang
lebih kuat), bahwa waktu Dhuhur dan waktu ‘Ashar itu, menjadi bersekutu
diantara dua shalat dalam perjalanan. Dan karena itulah, wajib atas wanita yang
datang kain kotor (berhaid) meng-qodokan shalat Dhuhur, apabila ia suci sebelum
terbenam matahari. Dan karena itulah, jelas bahwa tidak disyaratkan, muwalah
dan tertib (yang dahulu didahulukan) diantara Dhuhur dan ‘Ashar, ketika
mengemudiankan Dhuhur (jama’-ta’khir). Adapun apabila di-jama’taqdimkan/memajukan
‘Ashar kepada Dhuhur (pada
jama’-taqdim), niscaya tidak diperbolehkan. Karena sesudah selesai dari Dhuhur
itulah yang menjadi waktu bagi ‘Ashar. Sebab jauhlah dari dapat dipahami, bahwa
dikerjakan shalat ‘Ashar, oleh orang yang ber’azam meninggalkan Dhuhur atau
mengemudiankannya. Halangan (‘udzur) hujan itu membolehkan jama’, seperti
‘udzur dengan perjalanan. Meninggalkan shalat Jum’at juga setengah dari keentengan
perjalanan. Dan Jum’at itu bergantung pula dengan shalat-shalat fardhu. Jikalau
diniatkan muqim sesudah mengerjakan shalat ‘Ashar, lalu mendapati waktu ‘Ashar
di kampung (tidak dalam perjalanan lagi), maka wajiblah mengerjakan shalat
‘Ashar itu. Dan apa yang sudah dikerjakan itu, hanya memadai, dengan syarat
tetap ada halangan (perjalanan), sampai kepada habisnya waktu ‘Ashar.
Keentengan kelima: mengerjakan shalat sunat
dengan berkendaraan. Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat di atas
kendaraannya kemana saja kendaraannya itu menghadap. Dan Rasulullah saw
mengerjakan shalat Witir di atas kendaraan. Dan tidaklah atas orang yang
mengerjakan shalat sunat yang berkendaraan itu, pada ruku’ dan sujudnya,
kecuali dengan isyarat saja. Dan seyogyalah membuat sujudnya lebih rendah dari
ruku’nya. Dan tidak wajib membungkuk sampai kepada batas, yang mendatangkan
bahaya disebabkan kendaraan. Jikalau ia pada tempat tidur, maka hendaklah
disempurnakan ruku’ dan sujud, karena ia sanggup yang demikian. Adapun
menghadap qiblat, maka tidak wajib. Tidak wajib pada permulaan shalat dan tidak
pada waktu meneruskan shalat. Tetapi arah jalan itu ganti qiblat. Maka
hendaklah ia dalam semua shalatnya, adakalanya ia menghadap qiblat atau
mengarahi pada arah jalan. Supaya ada baginya arah yang tetap padanya. Kalau ia
memalingkan kendaraannya dari jalan dengan sengaja, niscaya batallah shalatnya.
Kecuali kalau dipalingkannya ke qiblat. Kalau dipalingkannya karena lupa dan
pendek waktu, niscaya tidak batal shalatnya. Dan kalau panjang waktunya, maka
khilaf (berbeda pendapat) diantara ulama. Kalau kendaraannya itu melawan, lalu
berpaling, niscaya tidak batal shalat. Karena yang demikian, termasuk yang
banyak terjadi. Dan tidak bersujud sahwi. Karena perlawanan dari binatang
kendaraan itu, tidaklah disangkutkan kepadanya. Sebaliknya, jikalau ia
berpaling karena lupa, maka ia sujud sahwi dengan isyarat saja.
Keentengan keenam: mengerjakan shalat sunat,
bagi orang berjalan kaki, diperbolehkan dalam perjalanan. Dan diisyaratkannya
untuk ruku’ dan sujud. Dan tidak duduk untuk tasyahhud. Karena yang demikian,
menghilangkan faedah keentengan. Dan hukum orang yang berjalan kaki itu sama
dengan hukum orang yang berkendaraan. Tetapi seyogyalah orang yang berjalan
kaki itu, bertakbiratul-ihram untuk shalat itu, dengan menghadap qiblat. Karena
berpaling pada sekejap itu, tak ada kesukaran padanya. Kecuali orang yang
berkendaraan. Maka pada memalingkan kendaraan, meskipun kekang binatang
kendaraan itu di tangannya, adalah sukar. Kadang-kadang shalat itu banyak, maka
lamalah yang demikian. Tiada seyogyalah berjalan kaki pada najis yang basah,
dengan sengaja. Kalau diperbuat yang demikian, niscaya batallah shalatnya. Lain
halnya, kalau binatang orang yang berkendaraan itu, menginjak najis. Dan tidak
harus ia mengganggu perjalanannya sendiri, dengan menjaga dari najis-najis yang
biasanya tiada kosong jalan dari najis-najis itu. Tiap-tiap orang yang
melarikan diri dari musuh atau banjir atau binatang buas, boleh mengerjakan
shalat fardhu dengan berkendaraan atau berjalan kaki, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu pada mengerjakan shalat sunat.
Keentengan ketujuh: berbuka. Dan musafir itu
dalam puasa. Maka orang musafir boleh berbuka puasa. Kecuali pada pagi hari ia
bermuqim, kemudian bermusafir. Maka haruslah menyempurnakan puasa hari itu.
Jikalau pagi-pagi telah menjadi musafir yang berpuasa, kemudian ia bermuqim,
maka haruslah menyempurnakan puasa. Kalau bermuqim dengan berbuka puasa, maka
tidak wajib imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) pada sisa hari
itu. Kalau pagi hari bermusafir dengan cita-cita berpuasa, niscaya tidak wajib
berpuasa. Tetapi boleh berbuka apabila ia mau. Dan berpuasa lebih utama
daripada berbuka. Dan meng-qasharkan shalat lebih utama daripada
menyempurnakannya, untuk keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan pendapat
diantara ulama yang membawa kepada meragukan). Dan karena dia tidaklah dalam
tanggungan qodo. Sebaliknya orang yang berbuka puasa, maka dia adalah dalam
tanggungan qodo. Kadang-kadang sukar baginya yang demikian, disebabkan
halangan. Maka tetaplah puasa itu dalam tanggungannya. Kecuali apabila puasa
mendatangkan kemelaratan baginya. Maka berbuka menjadi lebih utama. Inilah 7
macam keentengan. 3 daripadanya bergantung dengan perjalanan jauh. Yaitu:
qashar shalat, membuka puasa dan menyapu muza (kasut) 3 hari. 2 daripadanya
bergantung dengan perjalanan, jauh atau dekat. Yaitu: gugur Jum’at dan gugur qodo
ketika mengerjakan shalat dengan tayammum. Adapun shalat sunat, sedang berjalan
kaki atau berkendaraan, terdapat khilaf utama. Yang lebih shahih (yang lebih
kuat) dibolehkan pada
perjalanan yang dekat. Dan
menjama’kan antara 2 shalat, terdapat khilaf ulama. Yang lebih dzahir (yang
lebih kuat), tertentu menjama’kan itu pada perjalanan yang jauh. Adapun shalat
fardhu sedang berkendaraan atau berjalan kaki karena takut, maka tiada
sangkutnya dengan safar (perjalanan). Demikian juga memakan bangkai. Demikian
juga menunaikan shalat pada waktunya dengan tayammum ketika ketiadaan air. Maka
mengenai hal-hal tersebut, sama padanya antara orang muqim dan orang musafir,
manakala terdapat sebab-sebabnya. Kalau anda bertanya: pengetahuan mengenai keentengan-keentengan
tadi, adakah wajib bagi orang musafir mempelajarinya sebelum berjalan. Atau
disunatkan yang demikian kepadanya. Ketahuilah, bahwa kalau musafir itu
bercita-cita tidak menyapu muza, tidak meng-qashar, tidak menjama’, tidak
membuka puasa dan tidak mengerjakan shalat sunat dengan berkendaraan dan
berjalan kaki, niscaya tidaklah wajib mengetahui syarat-syarat keentengan pada
yang demikian. Karena menggunakan keentengan tidaklah wajib atasnya. Adapun
pengetahuan tentang keentengan tayammum, maka wajib dipelajarinya. Karena
ketiadaan air tidaklah terserah kepadanya. Kecuali ia bermusafir pada tepi
sungai, yang dipercayai tetap ada airnya. Atau ada menyertainya di jalan,
seorang alim yang sanggup memberi fatwa kepadanya, ketika diperlukan. Maka
bolehlah mengemudiankan pelajaran itu sampai kepada ketika diperlukan. Apabila
berat dugaannya tidak ada air dan tidak ada sertanya seorang alim, maka sudah
pasti, wajiblah ia mempelajarinya. Jikalau anda bertanya: “Bahwa tayammum itu
diperlukan untuk shalat, yang belum masuk waktunya. Maka bagaimanakah wajib
mengetahui ilmu bersuci untuk shalat yang belum wajib dan terkadang tidak akan
wajib ?”. Aku menjawab: “Orang yang antaranya dan Ka’bah terdapat suatu jarak
jauh, yang tidak tertempuh, selain dalam satu tahun. Maka wajiblah ia memulai
perjalanan sebelum datangnya bulan hajji. Dan wajiblah –sudah pasti
–mempelajari manasik (segala ibadah hajji), apabila ia menduga, bahwa tidak
akan memperoleh di jalan orang, yang dapat ia belajar padanya. Karena dasarnya
hidup dan terusnya hidup. Dan apa yang tidak sampai kepada yang wajib, kecuali
dengannya, maka itu menjadi wajib. Dan tiap-tiap yang diharapkan wajibnya,
secara kenyataan dan keras dugaan dan mempunyai syarat yang tidak akan sampai
kepadanya, kecuali dengan mendahulukan syarat tersebut atas waktu wajibnya,
maka wajiblah –sudah pasti- mendahulukan mempelajari syarat itu. Seperti ilmu
manasik sebelum waktu hajji dan sebelum mengerjakannya. Jadi, maka tidak halal
bagi musafir mengadakan perjalanan, selama ia tidak mempelajari sekadar ini
dari pengetahuan tayammum. Kalau ia ber’azam/bercita-cita kepada keentengan-keentengan
yang lain, maka wajib juga mempelajari sekadar yang telah kami sebukan dari
ilmu tayammum dan keentengan-keentengan lainnya. Sesungguhnya apabila tidak
mengetahui sekadar yang membolehkan keentengan bagi safar, niscaya tidak
memungkinkan dia menyingkatkan demikian. Kalau anda bertanya: “Jikalau tidak
dipelajarinya cara mengerjakan shalat sunat, sedang dia itu berkendaraan atau
berjalan kaki, apakah yang akan mendatangkan melarat baginya ? kesudahannya,
kalau ia mengerjakan shalat, bahwa shalat itu tidak syah, dan shalat itu tidak
wajib, maka bagaimanakah pengetahuan mengenai shalat itu menjadi wajib ?”. Maka
aku menjawab: termasuk wajib, bahwa ia tidak mengerjakan shalat sunat di atas
sifat batal (sifat tidak syah). Maka mengerjakan shalat sunat serta berhadats,
bernajis, menghadap tidak ke qiblat dan tanpa menyempurnakan syarat-syarat dan
rukun-rukun shalat, adalah haram. Maka haruslah ia mempelajari apa yang
memeliharakannya dari shalat sunat yang tidak syah (yang fasid), untuk menjaga
dari terjatuhnya ke dalam larangan. Inilah penjelasan pengetahuan mengenai apa
yang diringankan bagi musafir dalam perjalanan (safar)nya !.
BAHAGIAN KEDUA: tugas yang
terus-menerus, disebabkan perjalanan (safar). Yaitu: ilmu qiblat dan waktu.
Yang demikian itu wajib juga
di tempat menetap (tidak dalam perjalanan). Tetapi di tempat menetap, bagi
orang yang memadai dengan mihrab yang telah disepakati untuk menunjukkan arah
qiblat, maka tidak usah lagi mencari qiblat. Begitupula dengan muadzdzin (orang
yang mengerjakan adzan), yang menjaga waktu shalat, maka tidak usah lagi
mencari ilmu waktu. Kadang-kadang orang musafir itu, meragukan kepadanya
qiblat. Kadang-kadang menyangsikan kepadanya waktu. Maka tidak boleh tidak,
mengetahui tanda-tanda yang menunjukkan qiblat dan waktu. Adapun tanda-tanda
qiblat, 3 perkara:
a. Tanda bumi, seperti
mengambil tanda (dalil) dengan bukit (gunung), desa dan sungai.
b. Tanda udara: seperti
mengambil tanda (dalil) dengan angin, dari utara dan selatan, timur dan barat.
c. Tanda langit: yaitu
bintang-bintang.
Adapun tanda bumi dan udara,
maka berlainan dengan berlainannya negeri. Maka terkadang ada jalan, yang ada
padanya bukit yang tinggi, yang diketahui bahwa bukit itu di kanan atau di
kiri, di belakang atau di hadapannya orang yang menghadap qiblat. Maka
hendaklah diketahui dan dipahami yang demikian !. Begitupula angin. Kadang-kadang
ia menunjukkan pada sebahagian negeri. Maka hendaklah yang demikian itu,
dipahami ! dan kami tidak sanggup menyelidiki yang demikian. Karena bagi
masing-masing negeri dan iklim, mempunyai hukum lain. Adapun tanda langit, maka
dalil-dalilnya terbagi kepada: tanda siang dan tanda malam. Tanda siang, yaitu:
matahari. Maka tak boleh tidak dijaga, sebelum keluar dari negerinya, bahwa
matahari itu ketika tergelincir (zawal), dimana ia berada. Apakah dia diantara
dua bulu kening atau diatas mata kanan atau mata kiri atau ia cenderung lebih
banyak kepada dahi dari yang tadi. Sesungguhnya matahari pada negeri-negeri
bahagian utara tidaklah melampaui tempat-tempat tersebut. Apabila dihafalnya
yang demikian, maka manakala diketahui zawal dengan dalilnya yang akan kami
sebutkan, niscaya diketahuilah qiblat. Begitupula dijaga tempat matahari waktu
‘Ashar. Karena pada dua waktu ini (Dhuhur dan ‘Ashar) diperlukan kepada qiblat
dengan mudah. Dan ini juga, karena adanya berlainan dengan berlainannya
negeri-negeri. Maka tidak mungkin menyelidikinya. Adapun qiblat pada waktu
Maghrib, maka dapat diketahui dengan tempat terbenam matahari. Yang demikian
itu, dengan menghafal, bahwa matahari terbenam dari sebelah kanan orang yang
menghadap qiblat. Atau matahari itu condong kepada mukanya atau kuduknya. Dan
juga dengan syafaq (cahaya merah setelah terbenam matahari) dapat diketahui
qiblat untuk shalat ‘Isya’. Dan dengan tempat terbit matahari, diketahui qiblat
untuk shalat Shubuh. Maka seolah-olah matahari itu, menunjukkan qiblat pada
shalat 5 waktu. Tetapi yang demikian itu berlainan pada musim dingin dan musim
panas. Sesungguhnya tempat terbit dan terbenam matahari itu banyak, walaupun
terbatas pada dua arah. Maka tak boleh tidak mempelajari juga yang demikian.
Tetapi, kadang-kadang shalat Maghrib dan ‘Isya’ dikerjakan sesudah hilang
syafaq. Maka tidak mungkin mendapat petunjuk kepada qiblat dengan syafaq. Maka
haruslah dijaga tempat quthub. Yaitu: bintang yang dinamai: anak domba
(jad-yi). Dia itu bintang beredar (kaukab), seperti bintang tetap. Tidak terang
gerakannya dari tempatnya. Yang demikian itu, adakalanya bintang itu berada
atas kuduk orang yang menghadap qiblat. Atau atas bahunya yang kanan dari
punggungnya. Atau bahunya yang kiri. Pada negeri-negeri bahagian Utara dan Makkah
dan pada negeri-negeri bahagian Selatan, seperti Yaman dan sekitarnya. Maka
bintang itu berada pada hadapan orang yang menghadap qiblat. Maka dipelajarilah
yang demikian. Dan apa yang diketahuinya pada negerinya, maka hendaklah
diperpegangi pada jalan seluruhnya. Kecuali apabila perjalanan itu sudah jauh.
Sesungguhnya jarak perjalanan (al-masafah) itu, apabila sudah jauh niscaya
berlainanlah tempat berada matahari, tempat berada bintang quthub, tempat
matahari terbit dan terbenam. Kecuali, ia sampai di tengah perjalanannya ke
beberapa negeri, maka seyogyalah bertanya kepada orang yang pandai atau
mengintip bintang-bintang itu, dimana ia menghadap mihrab, dari masjid-jami’
negeri tersebut. Sehingga jelaslah kepadanya yang demikian. Maka manakala
diketahui dalil-dalil itu, maka diperpegangilah kepadanya. Kalau telah nyata
kepadanya, bahwa ia bersalah dari arah qiblat kepada arah yang lain, dari
arah-arah yang 4, maka seyogyalah ia mengqodo’kan shalatnya. Jikalau berpaling
dari hakikat yang berbetulan qiblat, tetapi tidak keluar dari arah qiblat,
niscaya tidaklah wajib meng-qodo’kan shalat itu. Dan sesungguhnya telah terjadi
perbedaan pendapat (khilaf) diantara para ahli fiqh (fuqaha’), mengenai yang
dituntut: arah qiblat atau qiblat itu sendiri. Dan menyulitkan pengertian yang
demikian kepada suatu golongan, karena mereka mengatakan: “Jikalau kita
mengatakan, bahwa yang dituntut qiblat itu sendiri, maka kapankah tergambar ini
serta negeri-negeri itu berjauhan ? dan jikalau kita mengatakan, bahwa yang
dituntut arahnya, maka orang yang berdiri dalam masjid, jikalau ia menghadap
arah Ka’bah, sedang badannya keluar dari setentang Ka’bah, niscaya tidak khilaf
(tidak ada perbedaan pendapat) tentang tidak syah shalatnya. Dan para ahli fiqh
itu telah melebar-panjangkan tentang penta’wilan arti khilaf mengenai arah dan
qiblat itu sendiri (‘ainnya). Pertama-tama, tak boleh tidak, memahami arti
menghadap ‘ain dan menghadap arah (jihah). Arti: menghadap ‘ain (menghadap
qiblat itu sendiri), ialah berdiri pada suatu tempat, jikalau keluarlah garis
lurus diantara kedua matanya ke dinding Ka’bah, niscaya bersambunglah
kepadanya. Dan berhasillah dari kedua pihak garis, dua sudut yang bersamaan.
Inilah gambarnya ! dan garis yang keluar dari tempat berdiri orang yang
bershalat, diumpamakan keluar dari antara dua matanya. Maka inilah gambar
menghadap ‘ain qiblat:
Adapun menghadap arah
(jihah), maka bolehlah padanya bersambung ujung garis luar dari antara dua mata
ke Ka’bah, tanpa bersamaan dua sudut dari dua arah garis. Bahkan, kedua sudut
itu tidak bersamaan, kecuali apabila sampai garis itu kepada suatu titik
tertentu, dimana titik itu satu. Kalau garis ini dipanjangkan secara lurus,
kepada garis-garis yang lain, dari kanan atau kirinya, niscaya adalah salah
satu dari dua sudut itu lebih sempit. Lalu keluarlah garis itu daripada
menghadap ‘ain. Tetapi tidak keluar dari menghadap jihah itu. Karena kalau
diumpamakan Ka’bah pada tepi garis itu, niscaya adalah orang yang berdiri itu,
menghadap ke arah Ka’bah. Tidak ke ‘ain Ka’bah. Dan batas arah itu, ialah apa
yang jatuh diantara dua garis, yang disangka oleh orang yang berdiri itu sedang
menghadap ke arah, dimana kedua garis itu keluar dari dua mata. Lalu bertemulah
tepi keduanya dalam kepala diantara dua mata, diatas sudut yang berdiri. Maka
apa yang jatuh diantara dua garis yang keluar dari dua mata, itulah yang masuk
dalam arah, dan luas diantara dua garis itu bertambah-tambah, dengan panjangnya
dua garis dan dengan jauhnya dari Ka’bah. Inilah gambarnya !
Apabila telah dipahami maksud ‘ain dan jihah, maka kami
katakan, bahwa yang syah (yang benar) pada kami, pada memfatwakannya, ialah:
bahwa yang dituntut ialah: ‘ain, kalau Ka’bah itu mungkin dilihat. Dan kalau
memerlukan kepada mencari petunjuk kepada Ka’bah, karena sukar (tidak dapat)
melihatnya, maka memadailah menghadap: Arah (jihah). Adapun dituntut menghadap
‘ain ketika dapat dilihat, maka telah ijma’ ulama padanya. Adapun mencukupi
dengan jihah (arah), ketika sukar dilihat, maka telah dibuktikan oleh Al-Kitab
(Alquran), Sunnah, perbuatan sahabat ra dan qias. Adapun Al-Kitab, yaitu firman
Allah Ta’ala: “Dan dimana saja kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya (ke
arah Al-Masjidil-haram) !”. S 2 Al Baqarah ayat 150. Dan orang yang menghadap
ke arah Ka’bah, dikatakan: telah memalingkan (menghadapkan) mukanya ke arah
Ka’bah. Adapun Sunnah, maka apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa
beliau bersabda kepada penduduk Madinah: “Apa yang diantara maghrib (tempat
matahari terbenam) dan masyriq (tempat matahari terbit) adalah “Qiblat”.
Maghrib (tempat matahari terbenam) itu berada di kanan penduduk Madinah. Dan
masyriq (tempat matahari terbit) berada di kirinya. Maka Rasulullah saw
menjadikan semua yang ada diantara keduanya itu, qiblat. Dan luas Ka’bah,
tidaklah mencukupi dengan apa yang ada diantara masyriq dan maghrib. Hanya
mencukupi dengan demikian itu, arahnya. Bunyi hadits tadi diriwayatkan juga
dari ‘Umar dan puteranya ra. Adapun perbuatan sahabat ra, ialah: apa yang
diriwayatkan, bahwa penduduk masjid Quba’, berada dalam shalat Shubuh di
Madinah dengan menghadap ke Baitul-maqdis, membelakangi Ka’bah. Karena Madinah
adalah diantara keduanya (antara Ka’bah di Makkah dan Baitul-maqdis). Lalu ada
yang mengatakan kepada mereka, bahwa sekarang qiblat sudah diputar ke Ka’bah. Maka
mereka itu berputar sedang shalat, tanpa mencari dalil (petunjuk). Dan tidak
ada orang yang menantang perbuatan mereka. Dan masjid mereka itu namakan:
Dzal-Qiblatain (mempunyai dua qiblat). Menghadap ‘ain dari Madinah ke Makkah,
tidak diketahui, kecuali dengan dalil-dalil hindasah (ilmu ukur), yang lamalah
penilikan kepadanya. Maka bagaimanakah dapat mereka mengetahui yang demikian,
secara jelas pada waktu sedang shalat dan dalam kegelapan malam ?. Dan juga
ditunjukkan oleh perbuatan para sahabat ra, bahwa mereka itu membangun masjid
di keliling Makkah dan pada negeri-negeri Islam lainnya. Dan mereka tidak
sekali-kali mendatangkan seorang insinyur ketika membangun mihrab-mihrabnya.
Dan menghadap ‘ain itu, tidaklah dapat diketahui, kecuali dengan tilikan halus
ilmu keinsinyuran. Adapun qias, yaitu: bahwa keperluan meminta kepada menghadap
qiblat dan membangun masjid-masjid di semua benua di bumi ini. Dan tidak
mungkin menghadap ‘ain, kecuali dengan ilmu pengetahuan hindasah (ilmu ukur),
yang tidak disuruh agama penelitian padanya. Bahkan, kadang-kadang mengejutkan
hati, untuk mendalami pengetahuannya. Maka bagaimanakah terdiri perintah agama
di atasnya ? maka wajiblah mencukupi dengan arah saja, karena kesulitan itu.
Adapun dalil syahnya gambar yang telah kami gambarkan itu, ialah terbatasnya
penjuru dunia pada 4 penjuru. Maka sabda Nabi saw tentang adab membuang air
(adab qodo’-hajat): “Janganlah kamu menghadap qiblat dan membelakanginya dengan
membuang air itu. Tetapi menghadaplah ke timur (tempat matahari terbit) atau ke
barat (tempat matahari terbenam) !”. Nabi saw mengucapkan hadits ini di
Madinah. Dan tempat matahari terbit (Timur) adalah di sebelah kiri orang yang
menghadap qiblat. Dan tempat matahari terbenam (Barat) adalah di sebelah
kanannya. Maka Nabi saw melarang dari dua arah dan memberi keringanan pada dua
arah. Dan jumlahnya adalah 4 arah. Dan tidaklah terguris dalam hati seseorang,
bahwa penjuru-penjuru dunia itu, mungkin diumpamakan 6 atau 7 atau 10. Dan
bagaimanakah adanya, lalu apakah hukumnya yang selebihnya itu ?. Tetapi
penjuru-penjuru itu tetap pada kepercayaan, berdasarkan kejadian manusia. Dan
tidaklah bagi manusia, selain 4 arah: muka dan belakang, kanan dan kiri. Maka
adalah arah-arah itu 4, dengan menghubungkannya kepada manusia, menurut
lahirnya pemandangan. Dan agama tidak dibina selain atas
kepercayaan-kepercayaan yang seperti ini. Maka jelaslah, bahwa yang dituntut
ialah: arah. Dan itu memudahkan urusan ijtihad dan mengajarkan dalil-dalil yang
menunjukkan qiblat. Adapun menghadap ‘ain itu, maka sesungguhnyya diketahui
dengan mengetahui kadar lintang Makkah dari Khatulistiwa’ dan kadar derajat
panjangnya. Yaitu jauhnya dari awal bangunan di Timur. Kemudian, yang demikian
itu, memperkenalkan pula tempat tegaknya orang yang mengerjakan shalat.
Kemudian, dibandingkan yang satu dengan lainnya. Dan memerlukan kepada
alat-alat dan sebab-musabab yang panjang padanya. Dan agama tidaklah
sekali-kali dibina kepada yang demikian. Jadi, kadar yang tidak boleh tidak
mempelajarinya, dari dalil-dalil qiblat itu, ialah tempat adanya timur dan
barat pada waktu zawal. Dan tempat adanya matahari pada waktu ‘Ashar. Maka
dengan ini, gugurlah wajib itu. Kalau anda bertanya, bahwa jikalau musafir itu
keluar bermusafir, tanpa mengetahui yang demikian, adakah ia ma’siat (berdosa)
?. Maka aku menjawab, jikalau jalan yang ditempuhnya pada desa-desa yang
sambung-menyambung, yang padanya ada mihrab-mihrab atau ada bersama dia dalam
perjalanan itu, seorang yang tahu dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, yang
dapat dipercayai kejujuran dan keahliannya dan ia mampu mengikutinya, maka
tidaklah ia ma’siat. Dan jikalau tidak ada suatupun yang demikian tadi bersama
dia, niscaya ma’siatlah dia. Karena ia akan melakukan kewajiban menghadap
qiblat dan tidak memperoleh pengetahuannya. Maka jadilah yang demikian itu
seperti pengetahuan tentang tayammum dan lainnya. Jikalau dipelajarinya
dalil-dalil itu dan meragukan kepadanya hal qiblat, disebabkan mendung yang
menggelapkan atau karena meninggalkan mempelajarinya dan tidak diperolehnya di
jalanan, orang yang akan diikutinya, maka haruslah ia mengerjakan shalat dalam
waktu, menurut keadaannya. Kemudian, harus di-qodo’kannya, baik ia betul atau
salah. Orang buta, tidaklah baginya, selain daripada bertaqlid (mengikuti).
Maka hendaklah ia mengikuti orang, yang dipercayai keagamaannya dan
keahliannya, jikalau orang yang diikuti itu bersungguh-sungguh (berijtihad)
pada mencari qiblat. Dan kalau qiblat itu terang, maka berpeganglah perkataan
tiap-tiap orang yang jujur, yang menerangkan demikian. Baik di kampung atau
dalam perjalanan. Dan tidaklah bagi orang buta dan orang bodoh, bermusafir
dalam kafilah, yang tak ada padanya orang yang mengetahui dalil-dalil yang
menunjukkan qiblat, dimana diperlukan kepada mencari dalil-dalil itu. Sebagaimana
tidak boleh bagi orang awam bermuqim di suatu negeri, yang tak ada orang faqih
(ahli ilmu fiqh), yang tahu dengan uraian agama. Tetapi haruslah berhijrah ke
tempat yang didapati orang yang mengajarkan agama kepadanya. Demikian juga,
jikalau tidak ada dalam negeri, selain seorang faqih yang fasiq. Maka harus
juga ia berhijrah. Karena tidak boleh berpegang kepada fatwa orang fasiq itu.
Keadilan (kejujuran) adalah syarat bolehnya menerima fatwa, sebagaimana pada
penerimaan riwayat hadits. Kalau ahli fiqh itu terkenal ahli, peri keadaannya
tersembunyi tentang keadilan dan kefasiqannya, maka bolehlah kata-katanya
diterima, manakala tidak diperoleh orang yang terang adilnya. Karena orang yang
bermusafir dalam beberapa negeri, tidak akan sanggup menyelidiki keadilan
juru-juru fatwa. Kalau dilihatnya ahli fiqh itu memakai sutera atau pakaian
yang banyak suteranya atau mengendarai kuda, yang berpelana emas, maka telah
teranglah kefasiqan orang itu. Dan terlaranglah menerima kata-katanya. Maka
hendaklah dicari orang lain. Dan demikian juga apabila dilihatnya ahli fiqh itu
memakan pada meja makan sultan (penguasa), yang kebanyakan hartanya haram. Atau
ia mengambil banyak harta dari sultan atau sambung-bersambung, tanpa
diketahuinya bahwa harta yang diambilnya itu dari jalan halal. Maka semua itu
adalah fasiq, mencederakan keadilan dan melarang untuk diterima fatwa, riwayat
hadits dan kesaksiannya. Adapun mengetahui waktu shalat yang 5 itu, maka tidak
boleh tidak, daripada mengetahuinya. Maka waktu Dhuhur masuk dengan gelincir
matahari (zawal). Sesungguhnya tidak boleh tidak, bahwa semua orang pada
permulaan siang hari, mempunyai bayang-bayang yang panjang di pihak matahari
terbenam. Kemudian senantiasalah bayang-bayang itu berkurang, sampai kepada
waktu zawal. Kemudian bertambah sedikit demi sedikit pada pihak matahari
terbit. Dan terus-meneruslah bertambah sampai kepada wakktu matahari terbenam.
Maka hendaklah orang musafir itu tegak berdiri, pada suatu tempat ! atau
menegakkan kayu lurus dan hendaklah memberi tanda atas kepala bayang-bayang.
Kemudian hendaklah memperhatikan sesudah sesaat ! jikalau dilihatnya
bayang-bayang itu pada berkurang, maka belumlah masuk waktu Dhuhur. Jalannya
pada mengetahui yang demikian, ialah bahwa ia memperhatikan di negeri itu,
waktu adzannya juru adzan yang dapat diperpegangi, akan bayang-bayang tegaknya.
Kalau bayang-bayangnya itu, umpamanya, panjangnya 3 tapak kaki menurut ukuran
tapak kakinya, maka manakala jadi yang demikian dalam perjalanan dan
bayang-bayang itu semakin bertambah, niscaya bershalat Dhuhurlah ia. Dan kalau
bertambah lagi 6 tapak kaki setengah, menurut tapak kakinya, niscaya masuklah
waktu ‘Ashar. Karena bayang-bayang semua orang dengan ukuran tapal kakinya
sendiri, adalah lebih kurang enam setengah tapak kaki. Kemudian, bayang-bayang
zawal itu tiap-tiap hari bertambah, kalau perjalanannya dari permulaan musim
panas. Dan kalau pada permulaan musim dingin, maka tiap-tiap hari bayang-bayang
itu berkurang. Jalan yang terbaik untuk mengetahui bayang-bayang zawal, ialah memakai
timbangan. Maka hendaklah si musafir itu membawanya serta ! dan hendaklah
mempelajari perbedaan bayang-bayang dengan timbangan itu, pada tiap-tiap waktu.
Kalau diketahui tempat matahari, dari orang yang menghadap qiblat waktu zawal
dan ia berada dalam perjalanan pada tempat, yang terang qiblat padanya dengan
dalil lain, maka mungkinlah ia mengetahui waktu dengan matahari, dengan jadinya
matahari itu umpamanya diantara dua matanya, kalau ada matahari itu seperti
yang demikian pada negeri tersebut. Adapun waktu Maghrib, maka masuk waktunya
dengan terbenam matahari. Tetapi, kadang-kadang bukit (gunung) mendindingi
tempat terbenam itu. Maka seyogyalah melihat ke pihak matahari terbit. Manakala
telah tampak hitam di tepi langit, yang meninggi dari bumi sekadar tombak, maka
masuklah waktu Maghrib. Adapun ‘Isya’, diketahui waktunya dengan terbenamnya
syafaq. Yaitu: cahaya merah. Kalau cahaya merah itu terdinding dengan bukit
(gunung), maka waktu ‘Isya’ itu, dapat diketahui dengan tampak dan banyaknya
bintang-bintang kecil. Yang demikian itu, adalah sesudah hilangnya cahaya merah
tadi. Adapun Shubuh, maka mula-mulanya lahir memanjang seperti ekor serigala.
Dengan itu, belum dihukum waktu Shubuh sudah masuk, sehingga lalulah suatu
masa. Kemudian menampak putih melintang, yang tidak sukar mengenalnya dengan
mata, karena jelasnya. Maka inilah awal waktu Shubuh ! Nabi saw bersabda:
“Tidaklah waktu Shubuh itu begini. Dan beliau mengumpulkan diantara kedua tapak
tangannya. Sesungguhnya waktu Shubuh begini. Dan beliau meletakkan salah satu
telunjuknya di atas yang lain dan membukakan keduanya”. Nabi saw menunjukkan
dengan yang demikian, bahwa cahaya putih itu melintang. Kadang-kadang diambil
dalil Shubuh itu dengan kedudukan bulan. Yang demikian adalah lebih kurang, tidak
ada kepastian. Tetapi yang diperpegangi ialah melihat bertebarnya cahaya putih
melintang. Karena suatu golongan dari para ahli hisab menyangka, bahwa Shubuh
itu datang sebelum matahari, sebanyak 4 kedudukan bulan. Dan ini salah. Karena
yang demikian itu, ialah: fajar kadzib (fajar yang kemudian menghilang). Dan
yang disebut oleh ulama muhaqqiqun (ulama yang mempunyai dalil dengan
penyelidikan mendalam), bahwa Shubuh itu mendahului dari terbit matahari dengan
dua kedudukan bulan, inipun lebih kurang,. Bahkan, tidak dapat menjadi
perpegangan. Karena setengah tempat-tempat kedudukan bulan (al-manazil) itu,
terbit melintang lagi miring. Maka pendeklah masa terbitnya. Dan setengah
tempat-tempat kedudukan bulan itu tegak lurus. Maka panjanglah masa terbitnya. Yang
demikian itu berlain-lainan pada segala negeri, yang panjanglah penjelasannya.
Benar, tempat-tempat kedudukan bulan itu patut untuk mengetahui dekat dan
jauhnya waktu Shubuh. Adapun permulaan waktu Shubuh yang sebenarnya, tidaklah
mungkin menentukannya sekali-kali, dengan dua tempat kedudukan bulan itu.
Kesimpulannya, maka apabila tinggal 4 tempat kedudukan bulan sampai kepada
terbitnya tanduk matahari (yang pertama-tama menampak dari matahari) sekadar
satu tempat bulan, diyakinilah, bahwa itu fajar kadzib (cahaya terang yang
menghilang kemudian). Dan apabila tinggal mendekati dua tempat bulan,
diyakinilah terbitnya fajar shadiq (cahaya Shubuh yang tidak menghilang lagi).
Dan tinggallah diantara dua cahaya terang itu, lebih kurang sekadar 2/3 tempat
kedudukan bulan, yang diragukan termasuk waktu terang yang benar (fajar shadiq)
atau waktu terang yang bohong (fajar kadzib). Dan itulah permulaan lahir cahaya
putih dan bertebarnya sebelum meluas lintangnya. Maka dari waktu yang diragukan
tadi (waktu syak), seyogyalah orang yang berpuasa, meninggalkan makan sahur.
Dan orang yang bangun malam untuk shalat, mendahulukan shalat witir atas waktu
syak itu. Dan tidak mengerjakan shalat Shubuh, sebelum berlalu masa yang
diragukan tadi. Apabila telah diyakini, maka dikerjakanlah shalat Shubuh. Dan
jikalau orang bermaksud menentukan dengan pasti, waktu yang tertentu, dimana ia
minum pada waktu itu selaku orang bersahur, dan berdiri sesudahnya dan
mengerjakan shalat Shubuh yang bersambungan dengan itu, niscaya tidaklah ia
sanggup kepada yang demikian. Maka tidaklah mengetahui yang demikian itu
sekali-kali berada pada kemampuan manusia. Tetapi tak boleh tidak ditangguhkan,
demi berhenti sejenak dan karena keraguan. Dan tidaklah yang menjadi pegangan,
selain yang tampak di mata. Dan tiada yang menjadi pegangan pada yang tampak
itu, selain di atas cahaya yang menjadi bertebar pada lintang langit, sehingga
lahirlah permulaan warna kuning. Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang
banyak dari manusia yang mengerjakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan
terhadap yang demikian, oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Isa At-Tirmidzi
dalam Jami’nya (yang terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkannya
dari Thalq bin ‘Ali, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Makanlah dan minumlah dan
janganlah mengejutkan kamu dengan cahaya terang yang meninggi naik ! makanlah
dan minumlah sehingga melintanglah bagimu cahaya merah !”. Dan ini adalah
penegasan tentang menjaga cahaya merah itu. Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata:
“Dalam bab hadits ini tersebut sanadnya dari ‘Uda bin Hatim, Abi Dzarr dan
Samrah bin Jundub. Dan ini adalah hadits hasan (baik), gharib (tidak begitu
terkenal). Menurut ahli ilmu hadits, hadits ini dapat diamalkan (dapat diambil
menjadi dalil)”. Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Makanlah dan minumlah, selama cahaya
itu terang cemerlang !”. Pengarang Al-Gharibain berkata: “Artinya: cahaya itu
memanjang”. Jadi, tiada seyogyalah berpegang, kecuali di atas menampaknya
cahaya kuning. Dan seolah-olah cahaya kuning itu permulaan cahaya merah. Sesungguhnya
orang musafir itu memerlukan kepada mengenal waktu. Karena kadang-kadang ia
menyegerakan shalat sebelum berangkat. Sehingga tidak menyusahkannya lagi untuk
turun dari kendaraan. Atau ia menyegerakan shalat sebelum tidur, sehingga ia
dapat beristirahat. Kalau ia menetapkan dirinya untuk mengemudiankan shalat,
sampai kepada waktu yang diyakininya, maka ia membolehkan dirinya kehilangan
keutamaan awal waktu. Dan menanggung kepayahan turun dari kendaraan dan
kepayahan melambatkan tidur sampai kepada keyakinan, yang tidak memerlukan
kepada mempelajari ilmu waktu. Sesungguhnya yang sulit, ialah: awal waktu,
tidak di tengah-tengahnya. Telah tammat “Kitab Adab Safar”. Dan akan diiringi
oleh “Kitab Adab Mendengar dan Kesannya di Hati”.