KITAB RAHASIA-RAHASIA PUASA
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang telah
menganugerahkan kebaikan yang amat besar kepada segala hambaNya, dengan
menolakkan tipuan dan kecerdikan setan daripada mereka. Dan menolakkan harapan
dan mengecewakan sangkaan dari setan itu. Karena Allah telah menjadikan puasa
suatu benteng dan kota pertahanan bagi segala auliaNya. Dan membukakan bagi
mereka dengan puasa itu segala pintu sorga. Serta memperkenalkan kepada mereka,
bahwa jalan setan ke dalam hati segala auliaNya, ialah nafsu yang telah teguh
kuat. Dan dengan mencegah segala hawa nafsu itu, maka menjadilah jiwa yang aman
tenteram, menampak keperkasaannya dalam membasmikan musuhnya yang teguh
cita-citanya.
Dan selawat kepada Muhammad, pemimpin segala
makhluk dan yang mempersiapkan sunnah (jalan yang akan ditempuh). Dan kepada
kaum keluarga dan para sahabatnya, yang mempunyai pandangan mata yang tembus
dan akal pikiran yang kokoh kuat. Kiranya Allah mencurahkan keselamatan yang
sebanyak-banyaknya kepada mereka ! kemudian dari itu, bahwa puasa adalah ¼ iman,
menurut sabda Nabi saw: “Puasa itu setengah sabar”. Dan menurut sabdanya lagi:
“Sabar itu setengah iman”. Kemudian, puasa itu memperoleh kedudukan yang
istimewa, dengan disandarkan kepada Allah Ta’ala, bila dibandingkan dengan
rukun-rukun Islam lainnya. Karena firman Allah Ta’ala, menurut yang diceritakan
Nabi saw: “Tiap-tiap perbuatan baik, pahalanya 10 kali, sampai kepada 700 kali,
selain daripada puasa. Maka puasa itu adalah bagiKu dan Aku akan membalasinya”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar)
itu akan dibayar pahalanya dengan tiada terbatas”. S 39 Az Zumar ayat 10. Dan
puasa itu, adalah setengah (nishfu) sabar. Maka pahalanya melampaui
undang-undang penentuan dan perhitungan. Cukuplah bagi anda untuk mengetahui kelebihannya,
akan sabda Nabi saw: “Demi Allah yang jiwaku didalam tanganNya ! sesungguhnya
bau busuk mulut orang yang berpuasa, adalah lebih harum pada sisi Allah
daripada bau kesturi. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
orang yang berpuasa itu meninggalkan hawa nafsu, makanan dan minuman karenaKu.
Maka puasa itu untukKu dan Aku akan membalasinya”. Bersabda Nabi saw: “Sorga itu mempunyai sebuah pintu,
yang dinamakan “Ar-Rayyan”, yang tidak memasuki pintu itu, selain orang-orang
yang berpuasa. Dan dijanjikan dengan menjumpai Allah Ta’ala pada balasan
puasanya”. Bersabda Nabi saw: “Orang yang berpuasa itu mempunyai dua
kesenangan: kesenangan ketika berbuka dan kesenangan ketika berjumpa dengan
Tuhannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai pintu. Dan pintu
ibadah ialah puasa”. Bersabda Nabi saw: “Tidur orang yang berpuasa itu ibadah”.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila masuk bulan
Ramadlan, maka terbukalah segala pintu sorga dan terkuncilah segala pintu neraka
dan dirantaikan segala setan. Dan berserulah seorang penyeru: “Wahai orang yang
ingin berbuat kebajikan ! marilah kamu ! wahai orang yang ingin berbuat
kejahatan ! hentikanlah dari kejahatan itu !”. Berkata Waki tentang firman
Allah Ta’ala: “Makan dan minumlah dengan penuh kepuasan, disebabkan (perbuatan
baik) yang telah kamu kirimkan lebih dahulu dihari yang lampau”. S 69 Al
Haaqqah ayat 24, adalah yang dimaksudkan dengan hari yang lampau itu, ialah
hari-hari puasa. Karena mereka telah meninggalkan padanya makan dan minum.
Telah dikumpulkan oleh Rasulullah saw dalam tingkatan membanggakan, diantara
zuhud di dunia dan puasa, dengan sabdanya: “Bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala
membanggakan pada para malaikatNya dengan seorang pemuda yang beribadah banyak
dengan firmanNya: “Wahai pemuda yang meninggalkan hawa nafsunya karenaKu, yang
menyerahkan kemudaannya bagiKu ! engkau pada sisiKu adalah seperti sebahagian
para malaikatKu”. Bersabda Nabi saw tentang orang yang berpuasa: “Berfirman
Allah ‘Azza Wa Jalla: “Lihatlah wahai para malaikatKu kepada hambaKu yang
meninggalkan hawa nafsunya, kesenangannya dan makan minumnya dari karenaKu”.
Ada yang mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Seorangpun tiada mengetahui
cahaya mata yang disembunyikan untuk mereka, sebagai pembalasan apa yang telah
mereka kerjakan”. S 32 As Sajdah ayat 17, bahwa amalan mereka itu, ialah puasa.
Karena Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar)
itu akan dibayar cukup pahalanya dengan tiada terbatas”. S 39 Az Zumar ayat 10.
Maka dituangkan bagi orang yang berpuasa, pembalasannya dan dilebihkan dengan
kelebihan tanpa takaran. Dan yang demikian itu tidak masuk di bawah sangkaan
dan taksiran. Maka layaklah adanya yang demikian itu ! karena puasa adalah
untukNya dan itu tanda kemuliaan, dengan disangkutkan kepadaNya. Meskipun
ibadah itu seluruhnya, adalah untukNya, sebagaimana dimuliakan sebuah rumah
(al-bait), dengan disangkutkan kepadaNya (Baitullah), padahal bumi seluruhnya
kepunyaanNya, adalah karena dua pengertian:
Pertama:
bahwa puasa itu mencegahkan dan meninggalkan. Dan pada puasa itu sendiri ada
rahasia. Tak ada padanya perbuatan yang terlihat. Sedang segala amalan taat
adalah dengan dipersaksikan dan dilihat oleh orang ramai. Dan puasa itu tiada
yang melihatnya selain Allah Azza Wa Jalla (Allah yang Maha Mulia dan Maha
Besar). Dari itu, puasa adalah amalan pada batin dengan kesabaran semata-mata.
Kedua: bahwa puasa itu adalah paksaan
bagi musuh Allah ‘Azza Wa Jalla. Sesungguhnya jalan bagi setan -dikutuk oleh
Allah dia kiranya- ialah hawa nafsu. Dan hawa nafsu itu kuat dengan makan dan
minum. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Bahwa setan berjalan dari anak Adam
pada tempat jalan darahnya. Maka sempitkanlah tempat jalannya dengan lapar”.
Karena itu, bersabda Nabi saw kepada ‘Aisyah: “Terus meneruslah mengetuk pintu
sorga !”. Bertanya ‘Aisyah: “Dengan apa ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Dengan
lapar !”. Dan akan datang keutamaan lapar pada Kitab Kelobaan Makanan dan
Mengobatinya, dari bahagian (rubu’): Yang Membinasakan. Tatkala puasa itu
khususnya adalah pencegahan bagi setan, penghambatan bagi tempat-tempat yang
dilaluinya, penyempitan bagi tempat-tempat yang ditempuhnya, maka berhaklah
puasa itu dikhususkan penyangkutannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka pada mencegah musuh Allah itu, adalah menolong (agama) Allah swt.
Dan menolong Allah Ta’ala adalah terhenti kepada menolongNya. Berfirman Allah
Ta’ala: “Kalau kamu menolong Allah (agamaNya) tentu Allah akan menolong kamu
pula dan mengokohkan tegakmu”. S 47 Muhammad ayat 7. Maka permulaannya, adalah
dengan perjuangan dari hamba dan pembalasan dengan petunjuk daripada Allah
‘Azza Wa Jalla. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang
berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan
Kami”. S 29 Al Ankabuut ayat 69. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
Allah tiada merobah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri
mereka sendiri”. S 13 Ar Ra’d ayat 11. Dan bahwasanya perubahan itu ialah:
pembanyakkan hawa nafsu. Maka hawa nafsu adalah tempat bersenang-senang dan
tempat menjaga diri setan-setan. Maka selama hawa nafsu itu subur niscaya tidak
putus-putuslah setan-setan itu pulang-pergi. Dan selama mereka pulang-pergi, niscaya
tidak terbukalah bagi hamba akan kebesaran Allah swt. Dan adalah ia
terdinding daripada menjumnpaiNya. Bersabda saw: “Jikalau tidaklah setan-setan
itu berkeliling di atas hati anak Adam, niscaya anak-anak Adam itu melihat ke
alam malakut yang tinggi”. Maka dari segi ini, jadilah puasa itu pintu ibadah
dan benteng. Dan apabila besar kelebihannya sampai kepada batas ini, maka tak
boleh tidak daripada menerangkan syarat-syarat, yang zhahir dan yang bathin
dengan menyebutkan rukun-rukun, sunat-sunat dan syarat-syaratnya yang bathin.
Dan kami terangkan yang demikian itu, dengan 3 pasal.
PASAL
PERTAMA: mengenai yang wajib dan sunat, yang zhahir serta yang harus dengan
merusakkan puasa.
Adapun wajib yang zhahir, 6 perkara:
Pertama:
mengintip permulaan bulan Ramadlan. Dan yang demikian itu dengan melihat bulan
(ru’yah). Jikalau mendung, maka disempurnakan 30 hari daripada bulan Sya’ban.
Dan kami maksudkan dengan ru’yah, ialah mengetahuinya. Dan hasil yang demikian
itu dengan dikatakan oleh seorang adil. Dan tidaklah tetap permulaan bulan
Syawal (hilal Syawal), melainkan dengan dikatakan oleh dua orang adil. Karena
menjagakan (ihtiath) ibadah. Siapa yang mendengar dari seorang adil dan ia
percaya perkataannya itu, serta berat sangkanya benar, maka haruslah ia berpuasa,
walaupun kadli (penguasa atau pejabat agama) tidak menjalankannya. Maka
hendaklah masing-masing hamba mengikuti tentang ibadahnya menurut berat
dugaannya (zhannya). Apabila dilihat bulan di sebuah negeri dan tidak dilihat
di negeri yang lain dan diantara kedua negeri itu, jauhnya kurang dari dua
marhalaah, maka wajiblah puasa atas semuanya. Dan kalau lebih dari dua
marhalah, niscaya bagi masing-masing negeri itu, hukumnya sendiri. Dan tidaklah
kewajiban berpuasa itu, melampaui kepada negeri yang tidak melihat bulan.
Kedua: niat. Dan tak boleh tidak bagi
tiap-tiap malam, berniat di waktu malam (mubayyatah) yang tentu, lagi yakin.
Kalau diniatkan berpuasa bulan Ramadlan sekali niat niscaya tidak mencukupi.
Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: tiap-tiap malam. Dan
kalau diniatkan pada siang hari, niscaya tidak memadai bagi puasa Ramadlan dan
puasa fardlu lainnya, kecuali bagi puasa sunat. Dan itulah kami maksudkan
dengan perkataan kami: di waktu malam (mubayyatah). Kalau diniatkan berpuasa
secara mutlak atau diniatkan fardlu secara mutlak, niscaya tidak memadai.
Berniatlah: fardlu daripada Allah Azza Wa Jalla puasa Ramadlan. Kalau diniatkan
pada malam diragukan (malam syak, apakah ia masih bulan Ramadlan), akan
berpuasa besok, jikalau ia dari bulan Ramadlan, niscaya tidak memadai. Karena
malam syak itu, tidak yakin. Kecuali disandarkan niatnya kepada perkataan
seorang saksi yang adil. Dan kemungkinan salah atau bohongnya saksi itu,
tidaklah membatalkan keyakinan. Atau disandarkan kepada penyertaan suatu
keadaan seperti syak hati pada malam penghabisan daripada Ramadlan. Maka yang
demikian itu, tidak mencegah keyakinan niat. Atau disandarkan kepada
ijtihad/pertimbangan, seperti orang yang ditahan di dalam lubang tanah, apabila
berat dugaannya akan masuknya Ramadlan dengan ijtihadnya/pertimbangannya. Maka
keraguannya itu tidaklah mencegahnya daripada niat. Manakala ia ragu pada malam
syak, niscaya tidak bermanfaat akan yakinnya niat dengan lisan. Karena niat
itu, tempatnya hati dan tidaklah tergambar keteguhan maksud serta keraguan itu.
Sebagaimana kalau ia mengatakan di pertengahan bulan Ramadlan: Saya akan puasa
esok hari, jika besok itu daripada bulan Ramadlan. Maka yang demikian itu,
tidak memberi melarat kepadanya, karena itu merupakan keraguan kata-kata. Dan
tempat niat tidaklah tergambar padanya keraguan. Tapi ia yakin, bahwa esok itu
daripada bulan Ramadlan. Siapa yang meniatkan pada malam hari, kemudian ia
makan, maka tidaklah merusakkan niatnya. Kalau berniat seorang wanita di dalam
masa berkain kotor, (di dalam haidh), kemudian ia suci (habis haidhnya),
sebelum terbit fajar, niscaya sahlah puasanya.
Ketiga: menahan diri daripada
menyampaikan sesuatu ke dalam rongga, dengan sengaja, serta teringat puasa.
Maka rusaklah puasa dengan makan, minum, memasukkan sesuatu dalam hidung dan
memasukkannya dalam lobang dubur (tempat buang air besar). Dan tidaklah rusak puasa
dengan membetik, berbekam, bercelak, memasukkan alat pemakaian celak ke dalam
telinga dan ke dalam al-ihlil (tempat keluar air kecil dari laki-laki atau
lobang kecil dari tempat keluar susu wanita). Kecuali diteteskan ke dalam
al-ihlil, sesuatu yang sampai ke tempat air kecil dari seseorang. Dan apa yang
sampai ke dalam rongga badan, tanpa sengaja, dari debu jalan atau lalat yang
masuk ke dalam rongganya atau apa yang masuk ke dalam rongganya dalam
berkumur-kumur, maka tidaklah membukakan puasa. Kecuali apabila ia bersangatan
dalam berkumur-kumur, maka membukakan puasa. Karena ia teledor salah sendiri.
Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: sengaja. Adapun teringat
puasa, maka kami maksudkan, diluar dari orang yang lupa. Maka tidaklah
membukakan puasa bagi orang yang lupa. Orang yang makan dengan sengaja pada dua
tepi siang, kemudian ternyata baginya, bahwa ia telah makan pada siang hari
dengan sebenarnya, maka haruslah ia meng-qodokan puasa itu. Dan jikalau masih
dalam hukum zhan dan ijtihadnya/pertimbangannya, maka tidak wajib qodo. Dan
tidak seyogyalah memakan pada dua tepi siang, selain dengan memperhatikan dan
pertimbangan.
Keempat: menahan diri daripada
bersetubuh. Dan batas bersetubuh ialah masuknya ujung kemaluan laki-laki
(al-hasyafah). Jikalau bersetubuh karena lupa maka tidak membukakan puasa. Jika
bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (berihtilam), lalu datang waktu subuh sedang
ia berjanabah (berhadats besar) itu, maka tidak membukakan puasa. Dan kalau
terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan isterinya, lalu terus
ditariknya, sahlah puasanya. Tetapi jika ia bertahan, niscaya rusaklah puasanya
dan wajib ia memberikan kafarat puasa.
Kelima: menahan diri daripada
mengeluarkan mani (al-istimna’). Yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan
bersetubuh atau tanpa bersetubuh. Maka yang demikian itu membukakan puasa. Dan
tidaklah membukakan puasa dengan memeluk isterinya dan tidak pula dengan tidur
bersama, selama tidak inzal (keluar mani karena dorongan syahwat). Tetapi yang
demikian itu makruh, kecuali ia orang tua atau dapat mengendalikan dirinya.
Maka dalam hal yang demikian, tidak mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya,
adalah lebih utama. Apabila ia takut dari berpelukan akan inzal, maka berpeluk
ia dan keluar maninya maka yang demikian itu membukakan puasa, karena salahnya
sendiri (taqshir).
Keenam: menahan diri daripada
mengeluarkan muntah. Maka mengeluarkan muntah itu, merusakkan puasa. Dan jika
termuntah, maka tidaklah merusakkan puasanya. Apabila ia menelan dahak dari
kerongkongannya atau dadanya, niscaya tidaklah merusakkan puasanya. Karena
merupakan suatu kelapangan (rukhshah), lantaran meratanya bahaya yang demikian
itu. Kecuali ditelannya, setelah sampai ke mulutnya, maka yang demikian itu
membukakan puasa.
Adapun yang harus dilaksanakan dengan
terbukanya puasa itu, 4perkara:
1. meng-qodokan,
2. memberi kafarat,
3. memberi fidyah dan
4. menahan diri pada siang hari itu, untuk
menyerupakan diri dengan orang yang berpuasa.
1. Tentang qodo, maka wajibnya
adalah umum atas tiap-tiap muslim mukallaf, yang meninggalkan puasa dengan
halangan (‘udzur) atau tanpa halangan. Wanita yang berkain kotor (ber-haid),
meng-qodokan puasa. Dan begitupula orang yang murtad (orang yang keluar dari
agama Islam), kemudian kembali ke dalam Islam, maka haruslah meng-qodokan
puasanya. Adapun orang kafir, anak di bawah umur dan orang gila, maka tak
adalah qodo diatas mereka. Dan tidaklah disyaratkan berturut-turut dalam
meng-qodokan puasa Ramadlan. Tetapi di-qodokan menurut kehendak dari yang
meng-qodokan, bercerai-berai atau berkumpul berturut-turut.
2. Tentang kafarat, maka tidak wajib,
kecuali disebabkan oleh bersetubuh. Adapun mengeluarkan mani, makan, minum dan
selain daripada bersetubuh, maka tidaklah wajib kafarat. Kafarat, ialah
memerdekakan seorang budak. Jika sukar, maka berpuasa 2 bulan berturut-turut.
Dan jika tidak sanggup, maka memberikan makanan 60 orang miskin, satu mud
(secupak) untuk seorang. Tentang menahan diri dari siang hari itu yang masih
ada, maka haruslah terhadap orang yang berdosa dengan berbuka itu atau bersalah
pada berbuka. Dan tidaklah harus atas wanita yang berhaid, apabila datang sucinya,
menahan diri dari sisa harinya itu. Dan tidak pula atas orang musafir, apabila
tiba kembali dari bermusafir yang sampai 2 marhalah itu dalam keadaan berbuka
(tidak berpuasa). Dan wajiblah menahan diri, apabila naik saksi melihat bulan,
seorang adil pada hari syak. Berpuasa dalam bermusafir adalah lebih utama
daripada berbuka, kecuali apabila tidak sanggup. Dan jangan berbuka pada hari
keluar bermusafir, di mana ia tadinya bermukim pada permulaan safarnya
(perjalanannya). Dan jangan pula berbuka pada hari kedatangan kembali, apabila
ia datang dari perjalan itu dengan berpuasa.
3. Tentang fidyah, maka wajiblah
atas wanita hamil dan wanita yang menyusukan, apabila keduanya berbuka,
lantaran takut membawa melarat kepada anaknya. Fidyah itu diwajibkan untuk
tiap-tiap hari satu mud gandum (atau beras) untuk seorang miskin, serta
meng-qodokannya. Dan orang yang sudah terlalu tua, apabila tidak berpuasa, maka
bersedekah tia-tiap hari satu mud.
Adapun sunat, maka 6 perkara: mengemudiankan
sahur, menyegerakan berbuka dengan tamar atau air sebelum shalat, meninggalkan
menggosok gigi (bersugi) sesudah zawal (gelincir matahari), bermurah hati di
dalam bulan Ramadlan, karena keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan pada
zakat dahulu. Bertadarus Alquran dan beri’tikaf dalam masjid, lebih-lebih pada
10 yang akhir daripada bulan Ramadlan. Karena yang demikian, adalah kebiasaan
Rasulullah saw. “Adalah Rasul saw apabila masuk 10 yang akhir, lalu melipatkan
tikar, mengikatkan pinggang dan telah membiasakan dirinya dan keluarganya yang
demikian (untuk melakukan ibadah)”. Artinya: berkekalan menegakkan ibadah.
Karena pada 10 yang akhir itu, terdapat malam Lailatul-qadar. Dan yang lebih
kerap-kali, Lailatul-qadar itu pada malam yang ganjil dari 10 yang akhir. Dan
malam yang ganjil yang lebih mendekati, ialah malam satu (21), malam tiga (23),
malam lima (25) dan malam tujuh (27). Dan berturut-turut dalam beri’tikaf ini
adalah lebih utama. Jika bernadzar (berhajat) akan mengerjakan i’tikaf
berturut-turut atau meniatkan berturut-turut, niscaya putuslah
berturut-turutnya dengan keluar dari masjid, tanpa ada kepentingan. Seperti
kalau ia keluar untuk berkunjung pada orang sakit (iyadah) atau menjadi saksi
atau mengantarkan jenazah (mayat) atau berziarah atau membarukan bersuci. Dan
jikalau keluar untuk membuang air, niscaya tidak putus i’tikaf. Dan boleh ia
berwudlu di rumah dan tidak seyogyanya ia meningkat kepada urusan lain. “Adalah
Nabi saw tidak keluar, kecuali untuk keperluan manusia (membuang air besar atau
air kecil). Dan ia tidak menanyakan dari hal orang sakit, kecuali melaluinya
saja”. Dan putuslah berturut-turut, disebabkan bersetubuh. Dan tidak putus
dengan berpeluk. Dan tidak mengapa di dalam masjid memakai bau-bauan, melakukan
perkawinan (‘aqad nikah), makan, tidur dan membasuh tangan pada tempat basuh
tangan. Semuanya ini kadang-kadang diperlukan dalam melakukan i’tikaf
berturut-turut itu. Dan tidak putus berturut-turut dengan mengeluarkan
sebahagian badan. “Adalah Nabi saw mendekatkan kepalanya, lalu disisirkan rambutnya
oleh ‘Aisyah, sedang ‘Aisyah berada di dalam kamar”. Manakala orang yang
melakukan i’tikaf (mu’takif) itu, keluar untuk menunaikan keperluannya
(melakukan qodo hajat, membuang air besar atau air kecil), lalu apabila ia
kembali seyogyalah mengulang kembali niatnya. Kecuali apabila ia telah berniat
pada mulanya, 10 hari umpamanya. Meskipun begitu, yang lebih baik, niat itu
diperbarui.
PASAL
KEDUA: mengenai rahasia-rahasia puasa dan syarat-syarat bathiniyahnya.
Ketahuilah, bahwa puasa itu 3 tingkat: puasa
umum, puasa khusus dan puasa yang khusus dari khusus (lebih khusus lagi).
Adapun puasa umum, maka yaitu mencegah perut dan kemaluan daripada memenuhi
keinginannya, sebagaimana telah lalu penguraiannya. Adapun puasa khusus, maka
yaitu pencegahan pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan
anggota-anggota tubuh lainnya daripada dosa. Adapun yang khusus dari khusus,
maka yaitu puasa hati daripada segala cita-cita yang hina dan segala pikiran
duinawi serta mencegahnya daripada selain Allah ‘Azza Wa Jalla secara
keseluruhan. Dan hasillah berbuka daripada puasa ini, dengan berpikir pada
selain Allah ‘Azza Wa Jalla dan hari akhirat dan dengan berpikir tentang dunia.
Kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama. Maka yang demikian itu, adalah
sebagian daripada perbekalan akhirat dan tidaklah termasuk dunia. Sehingga
berkatalah orang-orang yang mempunyai hati: “Barangsiapa tergerak cita-citanya,
dengan bertindak pada siang harinya untuk memikirkan bahan pembukaan puasanya,
niscaya dituliskan suatu kesalahan kepadanya. Karena yang demikian itu,
termasuk kurang kepercayaan dengan kurnia Allah ‘Azza Wa Jalla dan kurang yakin
dengan rezeki yang dijanjikan”. Inilah tingkat nabi-nabi, orang-orang shiddiq
dan orang-orang muqarrabin. Dan tak panjanglah pandangan mengenai penguraiannya
secara perkataan, tetapi mengenai penyelidikannya secara pelaksanaan. Karena
itu adalah menghadapkan cita-cita sejati kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan
berpaling daripada selain Allah swt dan memakai akan pengertian firman Allah
‘Azza Wa Jalla: “Katakanlah Allah ! kemudian biarkanlah mereka main-main dengan
percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Adapun puasa khusus, yaitu puasa
orang-orang shalih. Yaitu: mencegah segala anggota badan dari dosa. Dan
kesempurnaannya adalah dengan 6 perkara:
Pertama: memicingkan mata dan mencegahnya
daripada meluaskan pandangan kepada tiap-tiap yang dicela dan dimakruhkan dan
kepada tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan hati daripada mengingati
Allah ‘Azza Wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Pandangan itu adalah panah yang
beracun dari panah-panah Iblis yang telah kena kutukan Allah. Maka barangsiapa
meninggalkan pandangan, karena takut kepada Allah, niscaya didatangkan oleh
Allah ‘Azza Wa Jalla kepadanya keimanan, yang diperolehnya kemanisan didalam
hatinya”. Diriwayatkan oleh Jabir dari Anas, dari Rasulullah saw bahwa ia
bersabda: “5 perkara membukakan puasa dari orang yang berpuasa: berdusta,
mengupat, menjadi lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, bersumpah
palsu dan memandang dengan nafsu”.
Kedua: menjaga lidah daripada perkataan
yang sia-sia, berdusta, mengupat, menjadi lalat merah/suka menceritakan
kekurangan orang, berkata keji, berkata yang merenggangkan hubungan, kata
permusuhan, kata yang mengandung ria. Dan mengharuskan berdiam diri serta
menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah swt dan membaca Alquran. Inilah
puasa lisan ! berkata Sufyan: “Mengupat itu merusakkan puasa”, diriwayatkan ini
oleh Basyir bin Al-Harits daripadanya. Diriwayatkan oleh Lits dari Mujahid: “2
perkara merusakkan puasa: mengupat dan membohong”. Bersabda Nabi saw:
“Sesungguhnya puasa itu benteng. Apabila seorang dari kamu berpuasa, maka
janganlah berkata keji dan jahil. Dan kalau ada orang yang menyerang atau
memakinya maka hendaklah ia mengatakan: “Aku ini berpuasa ! aku ini berpuasa
!”. Tersebut pada hadits: “Bahwa 2 orang wanita mengerjakan puasa pada masa
Rasulullah saw. Lalu diserang keduanya oleh kesangatan lapar dan haus pada
akhir siang, sehingga hampirlah keduanya binasa. Lalu keduanya mengirim utusan
kepada Rasulullah saw memohon keizinan berbuka. Maka Rasulullah saw mengirimkan
kepada keduanya sebuah wadah, seraya mengatakan kepada utusan itu: “Katakanlah
kepada kedua wanita itu: “Muntahkanlah kedalam wadah ini, apa yang telah engkau
makan !”. Maka muntahlah seorang dari keduanya setengah wadah darah semata dan
daging mentah. Dan yang seorang lagi muntah seperti itu juga, sehingga penuhlah
wadah itu dengan muntah keduanya. Maka heranlah manusia dari yang demikian itu.
Lalu bersabda Nabi saw: “Keduanya ini telah berpuasa daripada apa yang
dihalalkan oleh Allah untuk keduanya dan berbuka dengan apa yang diharamkan
oleh Allah kepada keduanya. Yang seorang duduk bersama yang lain, mengupati
manusia. Maka inilah apa yang dimakan oleh keduanya dari daging manusia itu !”.
Ketiga: mencegah pendengaran daripada
mendengar tiap-tiap yang makruh. Karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka
haram mendengarnya. Karena itulah, disamakan oleh Allah Ta’ala antara orang
yang mendengar dan yang makan haram. Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka
orang-orang yang suka mendengar untuk berdusta dan memakan yang haram”. S 5 Al
Maaidah ayat 42. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Mengapa mereka tidak dilarang
oleh ahli-ahli ketuhanan dan pendeta-pemdeta dari mengucapkan perkataan dosa
dan memakan yang haram ?”. S 5 Al Maaidah ayat 63. Maka berdiam diri mendengar
upatan adalah haram. Berfirman Allah Ta’ala: “Bahwa kamu, jadinya seperti
mereka”. S 4 An Nisaa’ ayat 104. Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: “Yang
mengupat dan yang mendengar, adalah berserikat dalam dosa”.
Keempat: mencegah anggota-anggota tubuh
yang lain dari segala dosa. Dari tangan dan kaki dan dari segala yang makruh
serta mencegah perut dari segala harta syubhat (diragukan), waktu berbuka. Maka
tidak ada arti puasa, yaitu ia mencegah daripada makanan yang halal, kemudian
berbuka dengan makanan yang haram. Lalu serupalah orang yang berpuasa ini,
seperti orang yang membangun sebuah istana dan meruntuhkan kota. Bahwa makanan
yang halal itu, sesungguhnya memberi melarat dengan banyaknya, bukan disebabkan
macamnya. Maka berpuasa itu, adalah menyedikitkannya. Dan orang yang
meninggalkan memperbanyak obat karena takut daripada kemelaratannya, maka
apabila beralih kepada memakan racun, adalah dungu. Dan yang haram itu, adalah
racun yang membinasakan agama. Dan yang halal adalah obat, yang bermanfaat
sedikitnya dan memberi melarat banyaknya. Dan maksud dari berpuasa itu, ialah
menyedikitkannya. Telah bersabda Nabi saw: “Banyaklah orang yang berpuasa, yang
tidak ada baginya daripada puasanya itu, selain lapar dan haus”. Maka ada orang
yang mengatakan yaitu: orang yang berbuka dengan yang haram. Dan ada yang
mengatakan, yaitu: yang menahan diri daripada makanan yang halal dan berbuka
dengan daging manusia dengan pengupatan. Dan itu, adalah haram. Dan ada yang
menyatakan, yaitu: orang yang memelihara anggotanya dari dosa.
Kelima: bahwa tidak membanyakkan makanan
yang halal waktu berbuka, dimana rongganya penuh melimpah. Maka tidak adalah
karung yang lebih dimarahi Allah ‘Azza Wa Jalla daripada perut yang penuh
dengan yang halal. Bagaimanakah dapatnya memperoleh faedah daripada puasa,
memaksakan musuh Allah dan menghancurkan hawa nafsu, apabila diperoleh oleh
yang berpuasa ketika berbuka, apa yang tidak diperolehnya pada siang hari ?
kadang-kadang bertambah lagi, dengan berbagai macam warna makanan, sehingga
berjalanlah kebiasaan dengan menyimpan segala macam makanan itu untuk bulan
Ramadlan. Maka dimakanlah segala makanan itu didalam bulan Ramadlan, apa yang
tidak dimakan dalam bulan-bulan ini. Dan dimaklumi, bahwa maksud dari berpuasa,
ialah mengosongkan perut dan menghancurkan hawa nafsu, untuk menguatkan jiwa
kepada bertaqwa. Apabila perut ditolak daripada makanan, dari pagi hari sampai
sorenya, sehingga perut itu bergolak keinginannya dan bertambah kuat
kegemarannya, kemudian disuguhkan dengan makanan yang lezat-lezat dan kenyang,
niscaya bertambahlah kelezatan dan berlipatgandalah kekuatannya serta
membangkitlah dari nafsu syahwat itu, apa yang diharapkan tadinya tenang,
jikalau dibiarkan diatas kebiasaan nya. Maka jiwa dan rahasia puasa, ialah
melemahkan kekuatan yang menjadi jalan setan dalam mengembalikan kepada
kejahatan. Dan yang demikian itu, tidak akan berhasil, selain dengan
menyedikitkan makanan. Yaitu: memakan makanan yang dimakan tiap-tiap malam
jikalau tidak berpuasa. Apabila dikumpulkan apa yang dimakan pada pagi hari,
kepada apa yang dimakan pada malam, maka tidaklah bermanfaat dengan puasanya
itu. Bahkan sebahagian daripada adab berpuasa, tidak membanyakkan tidur pada
siang hari, sehingga dirasainya lapar dan haus. Dan dirasainya lemahnya
kekuatan. Maka jernihlah ketika itu hatinya serta berkekalanlah pada tiap-tiap
malam sekedar kelemahan, sehingga ringanlah mengerjakan shalat tahajjud dan
wirid-wiridnya. Maka semoga setan tidak mengelilingi hatinya, lalu dapat ia
memandang ke alam tinggi. Dan malam Lailatul-qadar, adalah malam yang terbuka
padanya sesuatu dari alam malakut. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya (Alquran) itu, kami turunkan pada malam
Lailatul-qadar (malam kemuliaan)”, S 97 Al Qadr ayat 1. Barangsiapa menjadikan
diantara hatinya dan dadanya, tempat penampung makanan, maka dia terhijab
daripadaNya. Dan barangsiapa mengosongkan perutnya, maka yang demikian itu
belum mencukupi untuk mengangkatkan hijab, sebelum cita-citanya kosong, dari
selain Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan itulah urusan seluruhnya. Dan pangkal semuanya
itu, ialah menyedikitkan makanan. Dan akan datang untuk itu, penjelasan lebih lanjut
dalam Kitab Makanan, insya Allah ‘Azza Wa Jalla.
Keenam: adalah hatinya sesudah berbuka,
bergantung dan bergoncang diantara takut dan harap. Karena ia tidak mengetahui,
apakah puasanya diterima, maka dia menjadi sebahagian orang
muqarrabin(orang-orang mendekatkan diri kepada Allah) atau ditolak, maka dia
menjadi sebahagian orang yang tercela (mamqqutin). Dan hendaklah ada seperti
demikian, pada akhir tiap-tiap ibadah, yang baru selesai dikerjakan !
Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashary, bahwa ia melewati
suatu kaum, yang sedang tertawa besar. Maka ia berkata: “Bahwa Allah ‘Azza Wa
Jalla menjadikan bulan Ramadlan, tempat persembunyian bagi makhlukNya, dimana
mereka tetap padanya mentaatiNya. Maka dahululah suatu kaum, lalu mereka
memperoleh kemenangan dan tertinggallah beberapa kaum, lalu merugilah mereka.
Maka heran sekali bagi orang yang tertawa, yang bermain-main pada hari, dimana
padanya memperoleh kemenangan orang yang telah dahulu dan merugi padanya
orang-orang yang berjalan sia-sia. Demi Allah kalau terbukalah tutup, sungguh
akan bekerja orang baik dengan berbuat kebaikan dan orang jahat dengan berbuat
kejahatan. Artinya: “Adalah kegembiraan orang yang diterima amalannya,
menjauhkan dia daripada bermain-main. Dan kesedihan hati orang yang tertolak
amalannya, menutupkan baginya pintu ketawa”.
Dari Al-Ahnaf bin Qais, bahwa orang mengatakan kepadanya: “Bahwa tuan
seorang yang sudah sangat tua dan puasa itu, melemahkan tuan”. Menjawab
al-Ahnaf: “Saya menyediakan puasa itu untuk perjalanan jauh. Dan bersabar
diatas mentaati Allah swt adalah lebih mudah daripada bersabar dari azabNya”.
Maka inilah segala pengertian batiniyah dalam puasa. Kalau anda berkata, bahwa
orang yang menyingkatkan saja dengan pencegahan keinginan perut dan kemaluan
serta meninggalkan segala pengertian ini, maka telah berkata segala ulama
fiqih, bahwa puasanya sah, maka apakah artinya ini ? Maka ketahuilah, bahwa
para ulama fiqih zhahiriah adalah menetapkan syarat-syarat zhahiriah dengan
dalil-dalil, yang lebih lemah dari dalil-dalil yang telah kami sebutkan dalam
syarat-syarat batiniyah itu. Lebih-lebih tentang pengupatan dan semua yang
menyamainya. Tapi tidaklah kepada para fuqaha zhahiriah (ahli fikih dunia) itu
diberatkan, selain apa yang mudah kepada umum orang yang lalai, yang
menghadapkan dirinya kepada dunia, yang masuk dibawahnya.
Adapun ulama akhirat, maka mereka bersungguh-sungguh dengan sahnya itu
akan diterima. Dan dengan diterima, akan sampai kepada yang dimaksud. Mereka
memahami, bahwa yang dimaksudkan dengan puasa, ialah berakhlak dengan salah
satu dari akhlak Allah ‘Azza Wa Jalla, yaitu: tempat meminta dan mengikuti
malaikat, tentang pencegahan dari hawa nafsu sedapat mungkin. Para malaikat
itu, suci dari segala hawa nafsu. Dan manusia, derajatnya adalah diatas derajat
hewan, karena kesanggupannya dengan nur akal, menghancurkan hawa nafsunya. Dan
kurang dari derajat malaikat, karena berkuasa hawa nafsunya padanya. Serta ia
dicoba dengan perjuangan menghadapi hawa
nafsu itu. Sewaktu manusia itu terjerumus kedalam hawa nafsu, maka ia menurun
ketingkat yang paling bawah dan berhubungan dengan lumuran hewan. Dan sewaktu
ia mencegah diri dari hawa nafsu, niscaya terangkatlah ia ketingkat yang paling
tinggi dan berhubunganlah ia dengan tingkatan malaikat. Dan malaikat itu
berdekatan dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan yang mengikuti para malaikat serta
menyerupakan diri dengan perilakunya maka berdekatanlah ia dengan Allah ‘Azza
Wa Jalla, sebagaimana dekatnya para malaikat itu. Karena menyerupai dengan
orang yang dekat itu, maka menjadi dekat. Dan tidaklah dimaksudkan dengan dekat
disitu, dengan tempat, tetapi dengan sifat. Apabila inilah rahasia puasa pada
para ahli akal dan ahli hati, maka apakah faedahnya mengemudiankan suatu makan
dan mengumpulkan dua makan ketika malam, serta membenamkan diri didalam hawa
nafsu yang lain sepanjang hari ? dan kalaulah bagi yang seperti ini, ada
faedahnya, maka apakah artinya sabda Nabi saw: “Berapa banyak orang yang
berpuasa, yang tak ada puasanya, selain daripada lapar dan haus ?”.
Karena inilah, berkata Abud-Darda’: “Alangkah baiknya tidur dan berbuka
orang-orang yang pandai ! bagaimanakah mereka tidak mencela puasa dan tidak
tidur malam orang-orang bodoh ? sebiji sawi dari orang yang berkeyakinan dan
bertaqwa, adalah lebih utama dan lebih kuat daripada seperti berbukit ibadah
daripada orang-orang yang tertipu dengan dirinya. Dan karena itulah, berkata
sebagian ulama: “Berapa banyak orang yang berpuasa, berbuka dan berapa banyak
orang yang berbuka berpuasa ? orang yang berbuka puasa, ialah orang yang menjaga
segala anggota tubuhnya dari dosa. Ia makan dan minum. Dan orang yang berpuasa
berbuka, ialah orang yang lapar dan haus dan melepaskan segala anggota
tubuhnya. Dan barangsiapa memahami akan arti dan rahasianya puasa, niscaya
mengetahui, bahwa seumpama orang yang mencegah dirinya dari makan dan
bersetubuh dan berbuka dengan bercampur aduk dengan dosa, adalah seperti orang
yang menyapu salah satu daripada anggotanya pada wudlu’, dengan 3 kali. Maka
sesungguhnya telah sesuai pada zhahir bilangannya, kecuali ia telah
meninggalkan yang penting, yaitu: membasuh. Maka shalatnya tertolak lantaran
kebodohannya. Dan seumpama orang yang berbuka puasa dengan makan dan ia
mengerjakan puasa dengan segala anggota tubuhnya daripada segala yang makruh,
adalah seperti orang yang membasuh segala anggota wudlu’nya sekali-kali, maka
shalatnya diterima insya Allah. Karena kokohnya ia berpegang pada pokok,
meskipun ia meninggalkan keutamaan.
Dan seumpama orang yang mengumpulkan diantara keduanya, adalah seperti
orang yang membasuh tiap-tiap anggota wudlu’nya, tiga-tiga kali, maka ia telah
mengumplkan diantara pokok dan kelebihan. Dan itu, adalah kesempurnaan namanya.
Bersabda Nabi saw: “Bahwa puasa itu amanah, maka hendaklah dipelihara oleh
seseorang kamu akan amanahnya”. Sewaktu Nabi saw membaca firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah (barang-barang
kepercayaan) kepada yang punya”. S 4 An Nisaa’ ayat 58, lalu Nabi saw
meletakkan tangannya atas pendengaran dan penglihatannya, seraya bersabda:
“Pendengaran itu amanah dan penglihatan itu amanah”. Jikalau tidaklah itu
daripada amanah puasa, maka tidaklah Nabi saw bersabda: “Maka hendaklah ia
mengatakan: bahwa aku ini berpuasa”. Artinya: bahwa aku simpankan lisanku
supaya aku memeliharakannya. Maka bagaimanakah ia aku lepaskan dengan menjawab
akan perkataan engkau ? jadi, telah teranglah, bahwa bagi tiap-tiap ibadah itu
mempunyai zhahir dan bathin, kulit dan isi. Dan kulitnya itu mempunyai beberapa
derajat dan bagi tiap-tiap derajat mempunyai beberapa lapisan. Maka kepadamulah
sekarang, untuk memilih, apakah engkau cukupkan dengan kulit saja, tanpa isi
atau engkau berpihak mencemplungkan diri kepada para ahli isi
PASAL
KETIGA: tentang amalan sunat dengan puasa dan susunan wirid padanya.
Ketahuilah, bahwa kesunatan puasa itu,
dikuatkan pada hari-hari yang utama. Keutamaan hari-hari itu, sebagian terdapat
pada tiap-tiap tahun, sebahagian terdapat pada tiap-tiap bulan dan sebagian
lagi pada tiap-tiap minggu. Adapun yang dalam setahun sesudah hari-hari bulan
Ramadlan, maka yaitu: hari ‘Arafah, hari ‘Asyura, 1/10 pertama dari bulan
Zulhijjah dan 1/10 pertama dari bulan Muharram. Semua bulan Haram, adalah
tempat berat dugaan bagi puasa. Yaitu waktu-waktu yang utama. “Dan adalah
Rasulullah saw membanyakkan puasa bulan Sya’ban,
sehingga disangka orang bahwa beliau dalam bulan Ramadlan”. Dalam hadits
tersebut: “Puasa yang lebih utama sesudah bulan Ramadlan, ialah puasa pada
bulan Allah, Muharram”. Karena bulan Muharram itu,
permulaan tahun. Maka membangunnya diatas kebajikan, adalah lebih disunatkan
dan diharapkan berkekalan berkatnya.
-Bersabda Nabi saw: “Puasa sehari dari
bulan haram, adalah lebih utama daripada 30 hari bulan lainnya.
-Dan puasa sehari dari bulan Ramadlan,
adalah lebih utama dari 30 hari dari bulan haram”.
-Pada hadits tersebut: “Barangsiapa
berpuasa 3 hari dari bulan haram, yaitu: Kamis, Jum’at dan Sabtu, niscaya
dituliskan oleh Allah baginya tiap-tiap hari, sebagai ibadah 900 tahun”. Pada
hadits tersebut: “Apabila telah berada senishfu (lebih dari 15 hari) dari bulan
Sya’ban, maka tak ada puasa lagi, sehingga Ramadlan”. Karena itulah disunnatkan
berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadlan beberapa hari. Kalau disambungkannya
Sya’ban dengan Ramadlan, maka boleh (jaiz) juga. Dikerjakan yang demikian, oleh
Rasulullah saw sekali dan dipisahkannya diantara Sya’ban dan Ramadlan (dengan
tiada berpuasa) banyak kali. Dan tiada boleh, dimaksudkan menerima Ramadlan,
dengan 2 atau 3 hari puasa, kecuali bertepatan dengan wiridnya.
Dimakruhkan oleh sebagian sahabat diambil bulan Rajab untuk berpuasa
seluruhnya sehingga tiada menyerupai dengan bulan Ramadlan. Maka bulan-bulan
yang utama itu, ialah bulan Zulhijjah, Muharram, Rajab dan Sya’ban dan bulan haram, yaitu: Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
Satu tunggal dan tiga berturut-turut. Dan yang lebih utama dari bulan haram
itu, ialah bulan Zulhijjah, karena padanya ibadah hajji, beberapa hari yang
dimaklumi dan yang dikirakan. Bulan Zulkaedah, adalah sebagian dari bulan haram
dan sebagian dari bulan-bulan hajji. Dan bulan Syawal, adalah sebagian dari
bulan-bulan hajji dan tidaklah ia termasuk bulan haram. Bulan Muharram dan
bulan Rajab, tidaklah sebagian dari bulan-bulan hajji. Dalam hadits tersebut:
“Tiadalah dari hari-hari yang berbuat amalan padanya, yang lebih utama dan
lebih dikasihi Allah ‘Azza Wa Jalla, dari hari-hari 10 Zulhijjah. Bahwa
berpuasa sehari padanya, adalah menyamai dengan puasa setahun. Berbuat ibadah
shalat satu malam daripadanya, menyamai dengan mengerjakan ibadah shalat pada
malam Lailatul-qadar. Lalu orang bertanya: “Dan tiadakah jihad pada jalan Allah
Ta’ala ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Dan tiadalah jihad pada jalan Allah ‘Azza
Wa Jalla, selain orang yang diletihkan kudanya dan ditumpahkan darahnya”.
Adapun puasa yang berulang-ulang dalam sebulan, maka yang awal bulan,
pertengahan dan akhir bulan. Dan pertengahannya, ialah hari-hari putih
(terang-benderang siang-malam), yaitu: tanggal 13, 14 dan 15. Adapun yang
berulang-ulang dalam seminggu, maka yaitu: hari Senin, Kamis dan Jum’at. Maka inilah
hari-hari yang utama, disunnatkan padanya berpuasa dan memperbanyak kebajikan,
karena berlipat-ganda pahalanya dengan barakahnya waktu-waktu tersebut. Adapun
puasa untuk masa, maka adalah melengkapi bagi keseluruhannya serta tambahannya.
Dan bagi orang-orang yang berjalan pada jalan Allah (orang-orang suluk atau
salikin), padanya beberapa jalan. Diantara mereka, ada yang memakruhkannya,
karena telah datang beberapa hadits yang menunjukkan kepada makruhnya. Dan yang
shahih (lebih sah), sesungguhnya dimakruhkan karena 2 perkara:
Pertama:
bahwa tiada berbuka pada 2 hari raya dan hari-hari tasyriq, maka itu adalah untuk
masa seluruhnya.
Kedua: bahwa dengan berpuasa untuk masa itu, adalah
tidak menyukai sunnah tentang berbuka. Dan orang yang selalu berpuasa itu,
menjadikan puasa suatu larangan terhadap dirinya. Sedang Allah swt menyukai
supaya dilaksanakan keentengan yang dianugerahiNya, sebagaimana menyukai
dilaksanakan segala kemauanNya. Maka apabila sesuatu daripada itu tidak ada dan
melihat kebaikan bagi dirinya dalam berpuasa untuk masa, maka hendaklah
dikerjakannya yang demikian. Sesungguhnya telah dikerjakan itu oleh segolongan
sahabat dan tabi’in. Diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian.
Bersabda Nabi saw dalam apa yang diriwayatkan
oleh Abu Musa Al-Asy’ari: “Barangsiapa berpuasa dalam masa seluruhnya, niscaya
disempitkan kepada nya neraka jahannam dan dinomori 90”. Artinya, tak ada
baginya dalam neraka jahannam itu tempat. Dan kurang dari itu, ada derajat yang
lain. Yaitu: puasa setengah masa, dengan cara, ia berpuasa sehari dan berbuka
sehari. Yang demikian itu, adalah sangat memberatkan bagi diri dan lebih kuat
memaksakannya. Dan telah datang mengenai kelebihannya, banyak hadits, karena
hamba padanya, adalah diantara puasa sehari dan syukur sehari. Telah bersabda
Nabi saw: “Didatangkan kepadaku kunci-kunci gudang dunia dan tempat simpanan
dibumi, maka aku kembalikan semuanya. Dan aku mengatakan: Aku lapar sehari dan
aku kenyang sehari. Aku memuji akan Engkau, apabila aku kenyang dan aku
merendahkan diri kepada Engkau, apabila aku lapar”. Bersabda Nabi saw: “Yang
lebih utama puasa, ialah puasa saudaraku Daud. Adalah ia berpuasa sehari dan
berbuka sehari”. Dan daripada itulah “turun tangan Nabi saw pada Abdullah bin
Umar ra mengenai puasa, dimana Abdullah mengatakan: “Bahwa saya sanggup lebih
banyak dari itu”. Maka menjawab Nabi saw: “Puasalah sehari dan berbukalah
sehari!”. Lalu Abdullah menyambung: “Bahwa aku bermaksud lebih baik dari itu
!”. Maka bersabda Nabi saw: “Tidak ada yang lebih baik dari itu!”.
Diriwayatkan “bahwa Nabi saw tiada berpuasa sekali-kali sebulan penuh,
selain daripada bulan Ramadlan”. Dan siapa yang tiada sanggup berpuasa setengah
masa itu maka tak apalah dengan 1/3 nya. Yaitu, dia berpuasa sehari dan berbuka
dua hari. Dan apabila berpuasa 3 hari dari awal bulan, 3 hari ditengah dan 3
hari dipenghabisannya, maka itu adalah 1/3 dan jatuh dalam waktu-waktu yang
utama. Dan jika berpuasa Senin, Kamis dan Jum’at, maka itu mendekati dengan
1/3. Apabila telah jelas waktu-waktu keutamaan, maka yang sempurna ialah
dipahami oleh orang banyak akan pengertian puasa. Dan bahwa maksudnya, ialah
membersihkan hati dan menuangkan segala cita-cita bagi Allah ‘Azza Wa Jalla.
Orang yang memahami dengan yang halusnya dari kebatinan, melihat ia akan segala
hal-ikhwalnya. Kadang-kadang dikehendaki oleh keadaannya akan berkekalan puasa
dan kadang-kadang dikehendaki akan berkekalan berbuka. Dan kadang-kadang
dikehendaki mencampurkan berbuka dengan puasa. Apabila telah dipahami akan
artinya dan telah dipastikan akan batasnya dalam menempuh jalan akhirat dengan
muraqabah/memperhatikan hati, niscaya tiada tersembunyi kepadanya kebaikan
hatinya. Dan itu, tidak mengharuskan tertib yang terus-menerus. Dan karena
itulah, diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Adalah berpuasa, sehingga dikatakan
orang, ia tiada berbuka. Dan ia berbuka, sehingga ia dikatakan orang tiada
berpuasa. Dan ia tidur, sehingga dikatakan orang ia tiada bangun dan ia bangun,
sehingga dikatakan orang ia tiada tidur”. Dan adalah yang demikian itu, menurut
apa yang terbuka baginya dengan nur kenabian, daripada menunaikan segala hak
waktu.
Para ulama memandang makruh membuat berturut-turut diantara berbuka
lebih banyak daripada 4 hari, karena penghargaan dengan hari raya dan hari-hari
tasyriq. Ulama-ulama itu, menyebutkan, bahwa yang demikian mengkesatkan hati,
melahirkan keburukan adat kebiasaan dan membukakan pintu-pintu hawa nafsu. Dan
demi umurku, benarlah seperti yang demikian pada pihak kebanyakan manusia,
lebih-lebih orang yang memakan sehari semalam dua kali. Inilah yang kami maksudkan menyebutkannya dari tertib susunan
puasa sunat. Wallahu A’lam bish-shawab ? Allah yang Maha Tahu dengan Kebenaran
!
Telah tammat Kitab Rahasia-Rahasia Puasa. Dan segala pujian bagi Allah
dengan segala tempat pujianNya semuanya, apa yang kita ketahui daripadanya dan
apa yang tidak kita ketahui diatas segala ni’matNya seluruhnya, apa yang kita
ketahui daripadanya dan apa yang tidak kita ketahui. Rahmat Allah kepada
penghulu kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya, serta sejahtera dan mulia
dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari penduduk bumi dan langit. Akan diiringi
insya Allah Ta’ala dengan Kitab Rahasia-Rahasia Hajji. Dan Allah yang menolong,
tak ada Tuhan lain daripadaNya. Dan tak adalah taufik bagiku, selain dari
Allah. Mencukupilah bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat menyerahkan diri.