Kamis, 13 Februari 2014

6. KITAB RAHASIA-RAHASIA PUASA

KITAB RAHASIA-RAHASIA PUASA
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang telah menganugerahkan kebaikan yang amat besar kepada segala hambaNya, dengan menolakkan tipuan dan kecerdikan setan daripada mereka. Dan menolakkan harapan dan mengecewakan sangkaan dari setan itu. Karena Allah telah menjadikan puasa suatu benteng dan kota pertahanan bagi segala auliaNya. Dan membukakan bagi mereka dengan puasa itu segala pintu sorga. Serta memperkenalkan kepada mereka, bahwa jalan setan ke dalam hati segala auliaNya, ialah nafsu yang telah teguh kuat. Dan dengan mencegah segala hawa nafsu itu, maka menjadilah jiwa yang aman tenteram, menampak keperkasaannya dalam membasmikan musuhnya yang teguh cita-citanya.
Dan selawat kepada Muhammad, pemimpin segala makhluk dan yang mempersiapkan sunnah (jalan yang akan ditempuh). Dan kepada kaum keluarga dan para sahabatnya, yang mempunyai pandangan mata yang tembus dan akal pikiran yang kokoh kuat. Kiranya Allah mencurahkan keselamatan yang sebanyak-banyaknya kepada mereka ! kemudian dari itu, bahwa puasa adalah ¼ iman, menurut sabda Nabi saw: “Puasa itu setengah sabar”. Dan menurut sabdanya lagi: “Sabar itu setengah iman”. Kemudian, puasa itu memperoleh kedudukan yang istimewa, dengan disandarkan kepada Allah Ta’ala, bila dibandingkan dengan rukun-rukun Islam lainnya. Karena firman Allah Ta’ala, menurut yang diceritakan Nabi saw: “Tiap-tiap perbuatan baik, pahalanya 10 kali, sampai kepada 700 kali, selain daripada puasa. Maka puasa itu adalah bagiKu dan Aku akan membalasinya”. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar) itu akan dibayar pahalanya dengan tiada terbatas”. S 39 Az Zumar ayat 10. Dan puasa itu, adalah setengah (nishfu) sabar. Maka pahalanya melampaui undang-undang penentuan dan perhitungan. Cukuplah bagi anda untuk mengetahui kelebihannya, akan sabda Nabi saw: “Demi Allah yang jiwaku didalam tanganNya ! sesungguhnya bau busuk mulut orang yang berpuasa, adalah lebih harum pada sisi Allah daripada bau kesturi. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu meninggalkan hawa nafsu, makanan dan minuman karenaKu. Maka puasa itu untukKu dan Aku akan membalasinya”. Bersabda Nabi saw: “Sorga itu mempunyai sebuah pintu, yang dinamakan “Ar-Rayyan”, yang tidak memasuki pintu itu, selain orang-orang yang berpuasa. Dan dijanjikan dengan menjumpai Allah Ta’ala pada balasan puasanya”. Bersabda Nabi saw: “Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kesenangan: kesenangan ketika berbuka dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai pintu. Dan pintu ibadah ialah puasa”. Bersabda Nabi saw: “Tidur orang yang berpuasa itu ibadah”. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila masuk bulan Ramadlan, maka terbukalah segala pintu sorga dan terkuncilah segala pintu neraka dan dirantaikan segala setan. Dan berserulah seorang penyeru: “Wahai orang yang ingin berbuat kebajikan ! marilah kamu ! wahai orang yang ingin berbuat kejahatan ! hentikanlah dari kejahatan itu !”. Berkata Waki tentang firman Allah Ta’ala: “Makan dan minumlah dengan penuh kepuasan, disebabkan (perbuatan baik) yang telah kamu kirimkan lebih dahulu dihari yang lampau”. S 69 Al Haaqqah ayat 24, adalah yang dimaksudkan dengan hari yang lampau itu, ialah hari-hari puasa. Karena mereka telah meninggalkan padanya makan dan minum. Telah dikumpulkan oleh Rasulullah saw dalam tingkatan membanggakan, diantara zuhud di dunia dan puasa, dengan sabdanya: “Bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan pada para malaikatNya dengan seorang pemuda yang beribadah banyak dengan firmanNya: “Wahai pemuda yang meninggalkan hawa nafsunya karenaKu, yang menyerahkan kemudaannya bagiKu ! engkau pada sisiKu adalah seperti sebahagian para malaikatKu”. Bersabda Nabi saw tentang orang yang berpuasa: “Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Lihatlah wahai para malaikatKu kepada hambaKu yang meninggalkan hawa nafsunya, kesenangannya dan makan minumnya dari karenaKu”. Ada yang mengatakan tentang firman Allah Ta’ala: “Seorangpun tiada mengetahui cahaya mata yang disembunyikan untuk mereka, sebagai pembalasan apa yang telah mereka kerjakan”. S 32 As Sajdah ayat 17, bahwa amalan mereka itu, ialah puasa. Karena Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar) itu akan dibayar cukup pahalanya dengan tiada terbatas”. S 39 Az Zumar ayat 10. Maka dituangkan bagi orang yang berpuasa, pembalasannya dan dilebihkan dengan kelebihan tanpa takaran. Dan yang demikian itu tidak masuk di bawah sangkaan dan taksiran. Maka layaklah adanya yang demikian itu ! karena puasa adalah untukNya dan itu tanda kemuliaan, dengan disangkutkan kepadaNya. Meskipun ibadah itu seluruhnya, adalah untukNya, sebagaimana dimuliakan sebuah rumah (al-bait), dengan disangkutkan kepadaNya (Baitullah), padahal bumi seluruhnya kepunyaanNya, adalah karena dua pengertian:
          Pertama: bahwa puasa itu mencegahkan dan meninggalkan. Dan pada puasa itu sendiri ada rahasia. Tak ada padanya perbuatan yang terlihat. Sedang segala amalan taat adalah dengan dipersaksikan dan dilihat oleh orang ramai. Dan puasa itu tiada yang melihatnya selain Allah Azza Wa Jalla (Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar). Dari itu, puasa adalah amalan pada batin dengan kesabaran semata-mata.
          Kedua: bahwa puasa itu adalah paksaan bagi musuh Allah ‘Azza Wa Jalla. Sesungguhnya jalan bagi setan -dikutuk oleh Allah dia kiranya- ialah hawa nafsu. Dan hawa nafsu itu kuat dengan makan dan minum. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Bahwa setan berjalan dari anak Adam pada tempat jalan darahnya. Maka sempitkanlah tempat jalannya dengan lapar”. Karena itu, bersabda Nabi saw kepada ‘Aisyah: “Terus meneruslah mengetuk pintu sorga !”. Bertanya ‘Aisyah: “Dengan apa ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Dengan lapar !”. Dan akan datang keutamaan lapar pada Kitab Kelobaan Makanan dan Mengobatinya, dari bahagian (rubu’): Yang Membinasakan. Tatkala puasa itu khususnya adalah pencegahan bagi setan, penghambatan bagi tempat-tempat yang dilaluinya, penyempitan bagi tempat-tempat yang ditempuhnya, maka berhaklah puasa itu dikhususkan penyangkutannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.
        Maka pada mencegah musuh Allah itu, adalah menolong (agama) Allah swt. Dan menolong Allah Ta’ala adalah terhenti kepada menolongNya. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau kamu menolong Allah (agamaNya) tentu Allah akan menolong kamu pula dan mengokohkan tegakmu”. S 47 Muhammad ayat 7. Maka permulaannya, adalah dengan perjuangan dari hamba dan pembalasan dengan petunjuk daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S 29 Al Ankabuut ayat 69. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tiada merobah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”. S 13 Ar Ra’d ayat 11. Dan bahwasanya perubahan itu ialah: pembanyakkan hawa nafsu. Maka hawa nafsu adalah tempat bersenang-senang dan tempat menjaga diri setan-setan. Maka selama hawa nafsu itu subur niscaya tidak putus-putuslah setan-setan itu pulang-pergi. Dan selama mereka pulang-pergi, niscaya tidak terbukalah bagi hamba akan kebesaran Allah swt. Dan adalah ia terdinding daripada menjumnpaiNya. Bersabda saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu berkeliling di atas hati anak Adam, niscaya anak-anak Adam itu melihat ke alam malakut yang tinggi”. Maka dari segi ini, jadilah puasa itu pintu ibadah dan benteng. Dan apabila besar kelebihannya sampai kepada batas ini, maka tak boleh tidak daripada menerangkan syarat-syarat, yang zhahir dan yang bathin dengan menyebutkan rukun-rukun, sunat-sunat dan syarat-syaratnya yang bathin. Dan kami terangkan yang demikian itu, dengan 3 pasal.
PASAL PERTAMA: mengenai yang wajib dan sunat, yang zhahir serta yang harus dengan merusakkan puasa.
Adapun wajib yang zhahir, 6 perkara:
          Pertama: mengintip permulaan bulan Ramadlan. Dan yang demikian itu dengan melihat bulan (ru’yah). Jikalau mendung, maka disempurnakan 30 hari daripada bulan Sya’ban. Dan kami maksudkan dengan ru’yah, ialah mengetahuinya. Dan hasil yang demikian itu dengan dikatakan oleh seorang adil. Dan tidaklah tetap permulaan bulan Syawal (hilal Syawal), melainkan dengan dikatakan oleh dua orang adil. Karena menjagakan (ihtiath) ibadah. Siapa yang mendengar dari seorang adil dan ia percaya perkataannya itu, serta berat sangkanya benar, maka haruslah ia berpuasa, walaupun kadli (penguasa atau pejabat agama) tidak menjalankannya. Maka hendaklah masing-masing hamba mengikuti tentang ibadahnya menurut berat dugaannya (zhannya). Apabila dilihat bulan di sebuah negeri dan tidak dilihat di negeri yang lain dan diantara kedua negeri itu, jauhnya kurang dari dua marhalaah, maka wajiblah puasa atas semuanya. Dan kalau lebih dari dua marhalah, niscaya bagi masing-masing negeri itu, hukumnya sendiri. Dan tidaklah kewajiban berpuasa itu, melampaui kepada negeri yang tidak melihat bulan.
          Kedua: niat. Dan tak boleh tidak bagi tiap-tiap malam, berniat di waktu malam (mubayyatah) yang tentu, lagi yakin. Kalau diniatkan berpuasa bulan Ramadlan sekali niat niscaya tidak mencukupi. Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: tiap-tiap malam. Dan kalau diniatkan pada siang hari, niscaya tidak memadai bagi puasa Ramadlan dan puasa fardlu lainnya, kecuali bagi puasa sunat. Dan itulah kami maksudkan dengan perkataan kami: di waktu malam (mubayyatah). Kalau diniatkan berpuasa secara mutlak atau diniatkan fardlu secara mutlak, niscaya tidak memadai. Berniatlah: fardlu daripada Allah Azza Wa Jalla puasa Ramadlan. Kalau diniatkan pada malam diragukan (malam syak, apakah ia masih bulan Ramadlan), akan berpuasa besok, jikalau ia dari bulan Ramadlan, niscaya tidak memadai. Karena malam syak itu, tidak yakin. Kecuali disandarkan niatnya kepada perkataan seorang saksi yang adil. Dan kemungkinan salah atau bohongnya saksi itu, tidaklah membatalkan keyakinan. Atau disandarkan kepada penyertaan suatu keadaan seperti syak hati pada malam penghabisan daripada Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak mencegah keyakinan niat. Atau disandarkan kepada ijtihad/pertimbangan, seperti orang yang ditahan di dalam lubang tanah, apabila berat dugaannya akan masuknya Ramadlan dengan ijtihadnya/pertimbangannya. Maka keraguannya itu tidaklah mencegahnya daripada niat. Manakala ia ragu pada malam syak, niscaya tidak bermanfaat akan yakinnya niat dengan lisan. Karena niat itu, tempatnya hati dan tidaklah tergambar keteguhan maksud serta keraguan itu. Sebagaimana kalau ia mengatakan di pertengahan bulan Ramadlan: Saya akan puasa esok hari, jika besok itu daripada bulan Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak memberi melarat kepadanya, karena itu merupakan keraguan kata-kata. Dan tempat niat tidaklah tergambar padanya keraguan. Tapi ia yakin, bahwa esok itu daripada bulan Ramadlan. Siapa yang meniatkan pada malam hari, kemudian ia makan, maka tidaklah merusakkan niatnya. Kalau berniat seorang wanita di dalam masa berkain kotor, (di dalam haidh), kemudian ia suci (habis haidhnya), sebelum terbit fajar, niscaya sahlah puasanya.
          Ketiga: menahan diri daripada menyampaikan sesuatu ke dalam rongga, dengan sengaja, serta teringat puasa. Maka rusaklah puasa dengan makan, minum, memasukkan sesuatu dalam hidung dan memasukkannya dalam lobang dubur (tempat buang air besar). Dan tidaklah rusak puasa dengan membetik, berbekam, bercelak, memasukkan alat pemakaian celak ke dalam telinga dan ke dalam al-ihlil (tempat keluar air kecil dari laki-laki atau lobang kecil dari tempat keluar susu wanita). Kecuali diteteskan ke dalam al-ihlil, sesuatu yang sampai ke tempat air kecil dari seseorang. Dan apa yang sampai ke dalam rongga badan, tanpa sengaja, dari debu jalan atau lalat yang masuk ke dalam rongganya atau apa yang masuk ke dalam rongganya dalam berkumur-kumur, maka tidaklah membukakan puasa. Kecuali apabila ia bersangatan dalam berkumur-kumur, maka membukakan puasa. Karena ia teledor salah sendiri. Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: sengaja. Adapun teringat puasa, maka kami maksudkan, diluar dari orang yang lupa. Maka tidaklah membukakan puasa bagi orang yang lupa. Orang yang makan dengan sengaja pada dua tepi siang, kemudian ternyata baginya, bahwa ia telah makan pada siang hari dengan sebenarnya, maka haruslah ia meng-qodokan puasa itu. Dan jikalau masih dalam hukum zhan dan ijtihadnya/pertimbangannya, maka tidak wajib qodo. Dan tidak seyogyalah memakan pada dua tepi siang, selain dengan memperhatikan dan pertimbangan.
          Keempat: menahan diri daripada bersetubuh. Dan batas bersetubuh ialah masuknya ujung kemaluan laki-laki (al-hasyafah). Jikalau bersetubuh karena lupa maka tidak membukakan puasa. Jika bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (berihtilam), lalu datang waktu subuh sedang ia berjanabah (berhadats besar) itu, maka tidak membukakan puasa. Dan kalau terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan isterinya, lalu terus ditariknya, sahlah puasanya. Tetapi jika ia bertahan, niscaya rusaklah puasanya dan wajib ia memberikan kafarat puasa.
          Kelima: menahan diri daripada mengeluarkan mani (al-istimna’). Yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan bersetubuh atau tanpa bersetubuh. Maka yang demikian itu membukakan puasa. Dan tidaklah membukakan puasa dengan memeluk isterinya dan tidak pula dengan tidur bersama, selama tidak inzal (keluar mani karena dorongan syahwat). Tetapi yang demikian itu makruh, kecuali ia orang tua atau dapat mengendalikan dirinya. Maka dalam hal yang demikian, tidak mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya, adalah lebih utama. Apabila ia takut dari berpelukan akan inzal, maka berpeluk ia dan keluar maninya maka yang demikian itu membukakan puasa, karena salahnya sendiri (taqshir).
          Keenam: menahan diri daripada mengeluarkan muntah. Maka mengeluarkan muntah itu, merusakkan puasa. Dan jika termuntah, maka tidaklah merusakkan puasanya. Apabila ia menelan dahak dari kerongkongannya atau dadanya, niscaya tidaklah merusakkan puasanya. Karena merupakan suatu kelapangan (rukhshah), lantaran meratanya bahaya yang demikian itu. Kecuali ditelannya, setelah sampai ke mulutnya, maka yang demikian itu membukakan puasa.
Adapun yang harus dilaksanakan dengan terbukanya puasa itu, 4perkara:
1. meng-qodokan,
2. memberi kafarat,
3. memberi fidyah dan
4. menahan diri pada siang hari itu, untuk menyerupakan diri dengan orang yang berpuasa.
1. Tentang qodo, maka wajibnya adalah umum atas tiap-tiap muslim mukallaf, yang meninggalkan puasa dengan halangan (‘udzur) atau tanpa halangan. Wanita yang berkain kotor (ber-haid), meng-qodokan puasa. Dan begitupula orang yang murtad (orang yang keluar dari agama Islam), kemudian kembali ke dalam Islam, maka haruslah meng-qodokan puasanya. Adapun orang kafir, anak di bawah umur dan orang gila, maka tak adalah qodo diatas mereka. Dan tidaklah disyaratkan berturut-turut dalam meng-qodokan puasa Ramadlan. Tetapi di-qodokan menurut kehendak dari yang meng-qodokan, bercerai-berai atau berkumpul berturut-turut.
2. Tentang kafarat, maka tidak wajib, kecuali disebabkan oleh bersetubuh. Adapun mengeluarkan mani, makan, minum dan selain daripada bersetubuh, maka tidaklah wajib kafarat. Kafarat, ialah memerdekakan seorang budak. Jika sukar, maka berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika tidak sanggup, maka memberikan makanan 60 orang miskin, satu mud (secupak) untuk seorang. Tentang menahan diri dari siang hari itu yang masih ada, maka haruslah terhadap orang yang berdosa dengan berbuka itu atau bersalah pada berbuka. Dan tidaklah harus atas wanita yang berhaid, apabila datang sucinya, menahan diri dari sisa harinya itu. Dan tidak pula atas orang musafir, apabila tiba kembali dari bermusafir yang sampai 2 marhalah itu dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa). Dan wajiblah menahan diri, apabila naik saksi melihat bulan, seorang adil pada hari syak. Berpuasa dalam bermusafir adalah lebih utama daripada berbuka, kecuali apabila tidak sanggup. Dan jangan berbuka pada hari keluar bermusafir, di mana ia tadinya bermukim pada permulaan safarnya (perjalanannya). Dan jangan pula berbuka pada hari kedatangan kembali, apabila ia datang dari perjalan itu dengan berpuasa.
3. Tentang fidyah, maka wajiblah atas wanita hamil dan wanita yang menyusukan, apabila keduanya berbuka, lantaran takut membawa melarat kepada anaknya. Fidyah itu diwajibkan untuk tiap-tiap hari satu mud gandum (atau beras) untuk seorang miskin, serta meng-qodokannya. Dan orang yang sudah terlalu tua, apabila tidak berpuasa, maka bersedekah tia-tiap hari satu mud.
Adapun sunat, maka 6 perkara: mengemudiankan sahur, menyegerakan berbuka dengan tamar atau air sebelum shalat, meninggalkan menggosok gigi (bersugi) sesudah zawal (gelincir matahari), bermurah hati di dalam bulan Ramadlan, karena keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan pada zakat dahulu. Bertadarus Alquran dan beri’tikaf dalam masjid, lebih-lebih pada 10 yang akhir daripada bulan Ramadlan. Karena yang demikian, adalah kebiasaan Rasulullah saw. “Adalah Rasul saw apabila masuk 10 yang akhir, lalu melipatkan tikar, mengikatkan pinggang dan telah membiasakan dirinya dan keluarganya yang demikian (untuk melakukan ibadah)”. Artinya: berkekalan menegakkan ibadah. Karena pada 10 yang akhir itu, terdapat malam Lailatul-qadar. Dan yang lebih kerap-kali, Lailatul-qadar itu pada malam yang ganjil dari 10 yang akhir. Dan malam yang ganjil yang lebih mendekati, ialah malam satu (21), malam tiga (23), malam lima (25) dan malam tujuh (27). Dan berturut-turut dalam beri’tikaf ini adalah lebih utama. Jika bernadzar (berhajat) akan mengerjakan i’tikaf berturut-turut atau meniatkan berturut-turut, niscaya putuslah berturut-turutnya dengan keluar dari masjid, tanpa ada kepentingan. Seperti kalau ia keluar untuk berkunjung pada orang sakit (iyadah) atau menjadi saksi atau mengantarkan jenazah (mayat) atau berziarah atau membarukan bersuci. Dan jikalau keluar untuk membuang air, niscaya tidak putus i’tikaf. Dan boleh ia berwudlu di rumah dan tidak seyogyanya ia meningkat kepada urusan lain. “Adalah Nabi saw tidak keluar, kecuali untuk keperluan manusia (membuang air besar atau air kecil). Dan ia tidak menanyakan dari hal orang sakit, kecuali melaluinya saja”. Dan putuslah berturut-turut, disebabkan bersetubuh. Dan tidak putus dengan berpeluk. Dan tidak mengapa di dalam masjid memakai bau-bauan, melakukan perkawinan (‘aqad nikah), makan, tidur dan membasuh tangan pada tempat basuh tangan. Semuanya ini kadang-kadang diperlukan dalam melakukan i’tikaf berturut-turut itu. Dan tidak putus berturut-turut dengan mengeluarkan sebahagian badan. “Adalah Nabi saw mendekatkan kepalanya, lalu disisirkan rambutnya oleh ‘Aisyah, sedang ‘Aisyah berada di dalam kamar”. Manakala orang yang melakukan i’tikaf (mu’takif) itu, keluar untuk menunaikan keperluannya (melakukan qodo hajat, membuang air besar atau air kecil), lalu apabila ia kembali seyogyalah mengulang kembali niatnya. Kecuali apabila ia telah berniat pada mulanya, 10 hari umpamanya. Meskipun begitu, yang lebih baik, niat itu diperbarui.
PASAL KEDUA: mengenai rahasia-rahasia puasa dan syarat-syarat bathiniyahnya.
Ketahuilah, bahwa puasa itu 3 tingkat: puasa umum, puasa khusus dan puasa yang khusus dari khusus (lebih khusus lagi). Adapun puasa umum, maka yaitu mencegah perut dan kemaluan daripada memenuhi keinginannya, sebagaimana telah lalu penguraiannya. Adapun puasa khusus, maka yaitu pencegahan pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya daripada dosa. Adapun yang khusus dari khusus, maka yaitu puasa hati daripada segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duinawi serta mencegahnya daripada selain Allah ‘Azza Wa Jalla secara keseluruhan. Dan hasillah berbuka daripada puasa ini, dengan berpikir pada selain Allah ‘Azza Wa Jalla dan hari akhirat dan dengan berpikir tentang dunia. Kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama. Maka yang demikian itu, adalah sebagian daripada perbekalan akhirat dan tidaklah termasuk dunia. Sehingga berkatalah orang-orang yang mempunyai hati: “Barangsiapa tergerak cita-citanya, dengan bertindak pada siang harinya untuk memikirkan bahan pembukaan puasanya, niscaya dituliskan suatu kesalahan kepadanya. Karena yang demikian itu, termasuk kurang kepercayaan dengan kurnia Allah ‘Azza Wa Jalla dan kurang yakin dengan rezeki yang dijanjikan”. Inilah tingkat nabi-nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang muqarrabin. Dan tak panjanglah pandangan mengenai penguraiannya secara perkataan, tetapi mengenai penyelidikannya secara pelaksanaan. Karena itu adalah menghadapkan cita-cita sejati kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan berpaling daripada selain Allah swt dan memakai akan pengertian firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Katakanlah Allah ! kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Adapun puasa khusus, yaitu puasa orang-orang shalih. Yaitu: mencegah segala anggota badan dari dosa. Dan kesempurnaannya adalah dengan 6 perkara:
          Pertama: memicingkan mata dan mencegahnya daripada meluaskan pandangan kepada tiap-tiap yang dicela dan dimakruhkan dan kepada tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan hati daripada mengingati Allah ‘Azza Wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Pandangan itu adalah panah yang beracun dari panah-panah Iblis yang telah kena kutukan Allah. Maka barangsiapa meninggalkan pandangan, karena takut kepada Allah, niscaya didatangkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kepadanya keimanan, yang diperolehnya kemanisan didalam hatinya”. Diriwayatkan oleh Jabir dari Anas, dari Rasulullah saw bahwa ia bersabda: “5 perkara membukakan puasa dari orang yang berpuasa: berdusta, mengupat, menjadi lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, bersumpah palsu dan memandang dengan nafsu”.
          Kedua: menjaga lidah daripada perkataan yang sia-sia, berdusta, mengupat, menjadi lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, berkata keji, berkata yang merenggangkan hubungan, kata permusuhan, kata yang mengandung ria. Dan mengharuskan berdiam diri serta menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah swt dan membaca Alquran. Inilah puasa lisan ! berkata Sufyan: “Mengupat itu merusakkan puasa”, diriwayatkan ini oleh Basyir bin Al-Harits daripadanya. Diriwayatkan oleh Lits dari Mujahid: “2 perkara merusakkan puasa: mengupat dan membohong”. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya puasa itu benteng. Apabila seorang dari kamu berpuasa, maka janganlah berkata keji dan jahil. Dan kalau ada orang yang menyerang atau memakinya maka hendaklah ia mengatakan: “Aku ini berpuasa ! aku ini berpuasa !”. Tersebut pada hadits: “Bahwa 2 orang wanita mengerjakan puasa pada masa Rasulullah saw. Lalu diserang keduanya oleh kesangatan lapar dan haus pada akhir siang, sehingga hampirlah keduanya binasa. Lalu keduanya mengirim utusan kepada Rasulullah saw memohon keizinan berbuka. Maka Rasulullah saw mengirimkan kepada keduanya sebuah wadah, seraya mengatakan kepada utusan itu: “Katakanlah kepada kedua wanita itu: “Muntahkanlah kedalam wadah ini, apa yang telah engkau makan !”. Maka muntahlah seorang dari keduanya setengah wadah darah semata dan daging mentah. Dan yang seorang lagi muntah seperti itu juga, sehingga penuhlah wadah itu dengan muntah keduanya. Maka heranlah manusia dari yang demikian itu. Lalu bersabda Nabi saw: “Keduanya ini telah berpuasa daripada apa yang dihalalkan oleh Allah untuk keduanya dan berbuka dengan apa yang diharamkan oleh Allah kepada keduanya. Yang seorang duduk bersama yang lain, mengupati manusia. Maka inilah apa yang dimakan oleh keduanya dari daging manusia itu !”.
          Ketiga: mencegah pendengaran daripada mendengar tiap-tiap yang makruh. Karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram mendengarnya. Karena itulah, disamakan oleh Allah Ta’ala antara orang yang mendengar dan yang makan haram. Berfirman Allah Ta’ala: “Mereka orang-orang yang suka mendengar untuk berdusta dan memakan yang haram”. S 5 Al Maaidah ayat 42. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Mengapa mereka tidak dilarang oleh ahli-ahli ketuhanan dan pendeta-pemdeta dari mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram ?”. S 5 Al Maaidah ayat 63. Maka berdiam diri mendengar upatan adalah haram. Berfirman Allah Ta’ala: “Bahwa kamu, jadinya seperti mereka”. S 4 An Nisaa’ ayat 104. Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: “Yang mengupat dan yang mendengar, adalah berserikat dalam dosa”.
          Keempat: mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari segala dosa. Dari tangan dan kaki dan dari segala yang makruh serta mencegah perut dari segala harta syubhat (diragukan), waktu berbuka. Maka tidak ada arti puasa, yaitu ia mencegah daripada makanan yang halal, kemudian berbuka dengan makanan yang haram. Lalu serupalah orang yang berpuasa ini, seperti orang yang membangun sebuah istana dan meruntuhkan kota. Bahwa makanan yang halal itu, sesungguhnya memberi melarat dengan banyaknya, bukan disebabkan macamnya. Maka berpuasa itu, adalah menyedikitkannya. Dan orang yang meninggalkan memperbanyak obat karena takut daripada kemelaratannya, maka apabila beralih kepada memakan racun, adalah dungu. Dan yang haram itu, adalah racun yang membinasakan agama. Dan yang halal adalah obat, yang bermanfaat sedikitnya dan memberi melarat banyaknya. Dan maksud dari berpuasa itu, ialah menyedikitkannya. Telah bersabda Nabi saw: “Banyaklah orang yang berpuasa, yang tidak ada baginya daripada puasanya itu, selain lapar dan haus”. Maka ada orang yang mengatakan yaitu: orang yang berbuka dengan yang haram. Dan ada yang mengatakan, yaitu: yang menahan diri daripada makanan yang halal dan berbuka dengan daging manusia dengan pengupatan. Dan itu, adalah haram. Dan ada yang menyatakan, yaitu: orang yang memelihara anggotanya dari dosa.
          Kelima: bahwa tidak membanyakkan makanan yang halal waktu berbuka, dimana rongganya penuh melimpah. Maka tidak adalah karung yang lebih dimarahi Allah ‘Azza Wa Jalla daripada perut yang penuh dengan yang halal. Bagaimanakah dapatnya memperoleh faedah daripada puasa, memaksakan musuh Allah dan menghancurkan hawa nafsu, apabila diperoleh oleh yang berpuasa ketika berbuka, apa yang tidak diperolehnya pada siang hari ? kadang-kadang bertambah lagi, dengan berbagai macam warna makanan, sehingga berjalanlah kebiasaan dengan menyimpan segala macam makanan itu untuk bulan Ramadlan. Maka dimakanlah segala makanan itu didalam bulan Ramadlan, apa yang tidak dimakan dalam bulan-bulan ini. Dan dimaklumi, bahwa maksud dari berpuasa, ialah mengosongkan perut dan menghancurkan hawa nafsu, untuk menguatkan jiwa kepada bertaqwa. Apabila perut ditolak daripada makanan, dari pagi hari sampai sorenya, sehingga perut itu bergolak keinginannya dan bertambah kuat kegemarannya, kemudian disuguhkan dengan makanan yang lezat-lezat dan kenyang, niscaya bertambahlah kelezatan dan berlipatgandalah kekuatannya serta membangkitlah dari nafsu syahwat itu, apa yang diharapkan tadinya tenang, jikalau dibiarkan diatas kebiasaan nya. Maka jiwa dan rahasia puasa, ialah melemahkan kekuatan yang menjadi jalan setan dalam mengembalikan kepada kejahatan. Dan yang demikian itu, tidak akan berhasil, selain dengan menyedikitkan makanan. Yaitu: memakan makanan yang dimakan tiap-tiap malam jikalau tidak berpuasa. Apabila dikumpulkan apa yang dimakan pada pagi hari, kepada apa yang dimakan pada malam, maka tidaklah bermanfaat dengan puasanya itu. Bahkan sebahagian daripada adab berpuasa, tidak membanyakkan tidur pada siang hari, sehingga dirasainya lapar dan haus. Dan dirasainya lemahnya kekuatan. Maka jernihlah ketika itu hatinya serta berkekalanlah pada tiap-tiap malam sekedar kelemahan, sehingga ringanlah mengerjakan shalat tahajjud dan wirid-wiridnya. Maka semoga setan tidak mengelilingi hatinya, lalu dapat ia memandang ke alam tinggi. Dan malam Lailatul-qadar, adalah malam yang terbuka padanya sesuatu dari alam malakut. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya (Alquran) itu, kami turunkan pada malam Lailatul-qadar (malam kemuliaan)”, S 97 Al Qadr ayat 1. Barangsiapa menjadikan diantara hatinya dan dadanya, tempat penampung makanan, maka dia terhijab daripadaNya. Dan barangsiapa mengosongkan perutnya, maka yang demikian itu belum mencukupi untuk mengangkatkan hijab, sebelum cita-citanya kosong, dari selain Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan itulah urusan seluruhnya. Dan pangkal semuanya itu, ialah menyedikitkan makanan. Dan akan datang untuk itu, penjelasan lebih lanjut dalam Kitab Makanan, insya Allah ‘Azza Wa Jalla.
          Keenam: adalah hatinya sesudah berbuka, bergantung dan bergoncang diantara takut dan harap. Karena ia tidak mengetahui, apakah puasanya diterima, maka dia menjadi sebahagian orang muqarrabin(orang-orang mendekatkan diri kepada Allah) atau ditolak, maka dia menjadi sebahagian orang yang tercela (mamqqutin). Dan hendaklah ada seperti demikian, pada akhir tiap-tiap ibadah, yang baru selesai dikerjakan !
         Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashary, bahwa ia melewati suatu kaum, yang sedang tertawa besar. Maka ia berkata: “Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan bulan Ramadlan, tempat persembunyian bagi makhlukNya, dimana mereka tetap padanya mentaatiNya. Maka dahululah suatu kaum, lalu mereka memperoleh kemenangan dan tertinggallah beberapa kaum, lalu merugilah mereka. Maka heran sekali bagi orang yang tertawa, yang bermain-main pada hari, dimana padanya memperoleh kemenangan orang yang telah dahulu dan merugi padanya orang-orang yang berjalan sia-sia. Demi Allah kalau terbukalah tutup, sungguh akan bekerja orang baik dengan berbuat kebaikan dan orang jahat dengan berbuat kejahatan. Artinya: “Adalah kegembiraan orang yang diterima amalannya, menjauhkan dia daripada bermain-main. Dan kesedihan hati orang yang tertolak amalannya, menutupkan baginya pintu ketawa”.
         Dari Al-Ahnaf bin Qais, bahwa orang mengatakan kepadanya: “Bahwa tuan seorang yang sudah sangat tua dan puasa itu, melemahkan tuan”. Menjawab al-Ahnaf: “Saya menyediakan puasa itu untuk perjalanan jauh. Dan bersabar diatas mentaati Allah swt adalah lebih mudah daripada bersabar dari azabNya”. Maka inilah segala pengertian batiniyah dalam puasa. Kalau anda berkata, bahwa orang yang menyingkatkan saja dengan pencegahan keinginan perut dan kemaluan serta meninggalkan segala pengertian ini, maka telah berkata segala ulama fiqih, bahwa puasanya sah, maka apakah artinya ini ? Maka ketahuilah, bahwa para ulama fiqih zhahiriah adalah menetapkan syarat-syarat zhahiriah dengan dalil-dalil, yang lebih lemah dari dalil-dalil yang telah kami sebutkan dalam syarat-syarat batiniyah itu. Lebih-lebih tentang pengupatan dan semua yang menyamainya. Tapi tidaklah kepada para fuqaha zhahiriah (ahli fikih dunia) itu diberatkan, selain apa yang mudah kepada umum orang yang lalai, yang menghadapkan dirinya kepada dunia, yang masuk dibawahnya.
         Adapun ulama akhirat, maka mereka bersungguh-sungguh dengan sahnya itu akan diterima. Dan dengan diterima, akan sampai kepada yang dimaksud. Mereka memahami, bahwa yang dimaksudkan dengan puasa, ialah berakhlak dengan salah satu dari akhlak Allah ‘Azza Wa Jalla, yaitu: tempat meminta dan mengikuti malaikat, tentang pencegahan dari hawa nafsu sedapat mungkin. Para malaikat itu, suci dari segala hawa nafsu. Dan manusia, derajatnya adalah diatas derajat hewan, karena kesanggupannya dengan nur akal, menghancurkan hawa nafsunya. Dan kurang dari derajat malaikat, karena berkuasa hawa nafsunya padanya. Serta ia dicoba dengan perjuangan  menghadapi hawa nafsu itu. Sewaktu manusia itu terjerumus kedalam hawa nafsu, maka ia menurun ketingkat yang paling bawah dan berhubungan dengan lumuran hewan. Dan sewaktu ia mencegah diri dari hawa nafsu, niscaya terangkatlah ia ketingkat yang paling tinggi dan berhubunganlah ia dengan tingkatan malaikat. Dan malaikat itu berdekatan dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan yang mengikuti para malaikat serta menyerupakan diri dengan perilakunya maka berdekatanlah ia dengan Allah ‘Azza Wa Jalla, sebagaimana dekatnya para malaikat itu. Karena menyerupai dengan orang yang dekat itu, maka menjadi dekat. Dan tidaklah dimaksudkan dengan dekat disitu, dengan tempat, tetapi dengan sifat. Apabila inilah rahasia puasa pada para ahli akal dan ahli hati, maka apakah faedahnya mengemudiankan suatu makan dan mengumpulkan dua makan ketika malam, serta membenamkan diri didalam hawa nafsu yang lain sepanjang hari ? dan kalaulah bagi yang seperti ini, ada faedahnya, maka apakah artinya sabda Nabi saw: “Berapa banyak orang yang berpuasa, yang tak ada puasanya, selain daripada lapar dan haus ?”.
         Karena inilah, berkata Abud-Darda’: “Alangkah baiknya tidur dan berbuka orang-orang yang pandai ! bagaimanakah mereka tidak mencela puasa dan tidak tidur malam orang-orang bodoh ? sebiji sawi dari orang yang berkeyakinan dan bertaqwa, adalah lebih utama dan lebih kuat daripada seperti berbukit ibadah daripada orang-orang yang tertipu dengan dirinya. Dan karena itulah, berkata sebagian ulama: “Berapa banyak orang yang berpuasa, berbuka dan berapa banyak orang yang berbuka berpuasa ? orang yang berbuka puasa, ialah orang yang menjaga segala anggota tubuhnya dari dosa. Ia makan dan minum. Dan orang yang berpuasa berbuka, ialah orang yang lapar dan haus dan melepaskan segala anggota tubuhnya. Dan barangsiapa memahami akan arti dan rahasianya puasa, niscaya mengetahui, bahwa seumpama orang yang mencegah dirinya dari makan dan bersetubuh dan berbuka dengan bercampur aduk dengan dosa, adalah seperti orang yang menyapu salah satu daripada anggotanya pada wudlu’, dengan 3 kali. Maka sesungguhnya telah sesuai pada zhahir bilangannya, kecuali ia telah meninggalkan yang penting, yaitu: membasuh. Maka shalatnya tertolak lantaran kebodohannya. Dan seumpama orang yang berbuka puasa dengan makan dan ia mengerjakan puasa dengan segala anggota tubuhnya daripada segala yang makruh, adalah seperti orang yang membasuh segala anggota wudlu’nya sekali-kali, maka shalatnya diterima insya Allah. Karena kokohnya ia berpegang pada pokok, meskipun ia meninggalkan keutamaan.
        Dan seumpama orang yang mengumpulkan diantara keduanya, adalah seperti orang yang membasuh tiap-tiap anggota wudlu’nya, tiga-tiga kali, maka ia telah mengumplkan diantara pokok dan kelebihan. Dan itu, adalah kesempurnaan namanya. Bersabda Nabi saw: “Bahwa puasa itu amanah, maka hendaklah dipelihara oleh seseorang kamu akan amanahnya”. Sewaktu Nabi saw membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah (barang-barang kepercayaan) kepada yang punya”. S 4 An Nisaa’ ayat 58, lalu Nabi saw meletakkan tangannya atas pendengaran dan penglihatannya, seraya bersabda: “Pendengaran itu amanah dan penglihatan itu amanah”. Jikalau tidaklah itu daripada amanah puasa, maka tidaklah Nabi saw bersabda: “Maka hendaklah ia mengatakan: bahwa aku ini berpuasa”. Artinya: bahwa aku simpankan lisanku supaya aku memeliharakannya. Maka bagaimanakah ia aku lepaskan dengan menjawab akan perkataan engkau ? jadi, telah teranglah, bahwa bagi tiap-tiap ibadah itu mempunyai zhahir dan bathin, kulit dan isi. Dan kulitnya itu mempunyai beberapa derajat dan bagi tiap-tiap derajat mempunyai beberapa lapisan. Maka kepadamulah sekarang, untuk memilih, apakah engkau cukupkan dengan kulit saja, tanpa isi atau engkau berpihak mencemplungkan diri kepada para ahli isi
PASAL KETIGA: tentang amalan sunat dengan puasa dan susunan wirid padanya.
Ketahuilah, bahwa kesunatan puasa itu, dikuatkan pada hari-hari yang utama. Keutamaan hari-hari itu, sebagian terdapat pada tiap-tiap tahun, sebahagian terdapat pada tiap-tiap bulan dan sebagian lagi pada tiap-tiap minggu. Adapun yang dalam setahun sesudah hari-hari bulan Ramadlan, maka yaitu: hari ‘Arafah, hari ‘Asyura, 1/10 pertama dari bulan Zulhijjah dan 1/10 pertama dari bulan Muharram. Semua bulan Haram, adalah tempat berat dugaan bagi puasa. Yaitu waktu-waktu yang utama. “Dan adalah Rasulullah saw membanyakkan puasa bulan Sya’ban, sehingga disangka orang bahwa beliau dalam bulan Ramadlan”. Dalam hadits tersebut: “Puasa yang lebih utama sesudah bulan Ramadlan, ialah puasa pada bulan Allah, Muharram”. Karena bulan Muharram itu, permulaan tahun. Maka membangunnya diatas kebajikan, adalah lebih disunatkan dan diharapkan berkekalan berkatnya.
-Bersabda Nabi saw: “Puasa sehari dari bulan haram, adalah lebih utama daripada 30 hari bulan lainnya.
-Dan puasa sehari dari bulan Ramadlan, adalah lebih utama dari 30 hari dari bulan haram”.
-Pada hadits tersebut: “Barangsiapa berpuasa 3 hari dari bulan haram, yaitu: Kamis, Jum’at dan Sabtu, niscaya dituliskan oleh Allah baginya tiap-tiap hari, sebagai ibadah 900 tahun”. Pada hadits tersebut: “Apabila telah berada senishfu (lebih dari 15 hari) dari bulan Sya’ban, maka tak ada puasa lagi, sehingga Ramadlan”. Karena itulah disunnatkan berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadlan beberapa hari. Kalau disambungkannya Sya’ban dengan Ramadlan, maka boleh (jaiz) juga. Dikerjakan yang demikian, oleh Rasulullah saw sekali dan dipisahkannya diantara Sya’ban dan Ramadlan (dengan tiada berpuasa) banyak kali. Dan tiada boleh, dimaksudkan menerima Ramadlan, dengan 2 atau 3 hari puasa, kecuali bertepatan dengan wiridnya.
         Dimakruhkan oleh sebagian sahabat diambil bulan Rajab untuk berpuasa seluruhnya sehingga tiada menyerupai dengan bulan Ramadlan. Maka bulan-bulan yang utama itu, ialah bulan Zulhijjah, Muharram, Rajab dan Sya’ban dan bulan haram, yaitu: Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Satu tunggal dan tiga berturut-turut. Dan yang lebih utama dari bulan haram itu, ialah bulan Zulhijjah, karena padanya ibadah hajji, beberapa hari yang dimaklumi dan yang dikirakan. Bulan Zulkaedah, adalah sebagian dari bulan haram dan sebagian dari bulan-bulan hajji. Dan bulan Syawal, adalah sebagian dari bulan-bulan hajji dan tidaklah ia termasuk bulan haram. Bulan Muharram dan bulan Rajab, tidaklah sebagian dari bulan-bulan hajji. Dalam hadits tersebut: “Tiadalah dari hari-hari yang berbuat amalan padanya, yang lebih utama dan lebih dikasihi Allah ‘Azza Wa Jalla, dari hari-hari 10 Zulhijjah. Bahwa berpuasa sehari padanya, adalah menyamai dengan puasa setahun. Berbuat ibadah shalat satu malam daripadanya, menyamai dengan mengerjakan ibadah shalat pada malam Lailatul-qadar. Lalu orang bertanya: “Dan tiadakah jihad pada jalan Allah Ta’ala ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Dan tiadalah jihad pada jalan Allah ‘Azza Wa Jalla, selain orang yang diletihkan kudanya dan ditumpahkan darahnya”. Adapun puasa yang berulang-ulang dalam sebulan, maka yang awal bulan, pertengahan dan akhir bulan. Dan pertengahannya, ialah hari-hari putih (terang-benderang siang-malam), yaitu: tanggal 13, 14 dan 15. Adapun yang berulang-ulang dalam seminggu, maka yaitu: hari Senin, Kamis dan Jum’at. Maka inilah hari-hari yang utama, disunnatkan padanya berpuasa dan memperbanyak kebajikan, karena berlipat-ganda pahalanya dengan barakahnya waktu-waktu tersebut. Adapun puasa untuk masa, maka adalah melengkapi bagi keseluruhannya serta tambahannya. Dan bagi orang-orang yang berjalan pada jalan Allah (orang-orang suluk atau salikin), padanya beberapa jalan. Diantara mereka, ada yang memakruhkannya, karena telah datang beberapa hadits yang menunjukkan kepada makruhnya. Dan yang shahih (lebih sah), sesungguhnya dimakruhkan karena 2 perkara:
          Pertama: bahwa tiada berbuka pada 2 hari raya dan hari-hari tasyriq, maka itu adalah untuk masa seluruhnya.
          Kedua:    bahwa dengan berpuasa untuk masa itu, adalah tidak menyukai sunnah tentang berbuka. Dan orang yang selalu berpuasa itu, menjadikan puasa suatu larangan terhadap dirinya. Sedang Allah swt menyukai supaya dilaksanakan keentengan yang dianugerahiNya, sebagaimana menyukai dilaksanakan segala kemauanNya. Maka apabila sesuatu daripada itu tidak ada dan melihat kebaikan bagi dirinya dalam berpuasa untuk masa, maka hendaklah dikerjakannya yang demikian. Sesungguhnya telah dikerjakan itu oleh segolongan sahabat dan tabi’in. Diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian.
Bersabda Nabi saw dalam apa yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari: “Barangsiapa berpuasa dalam masa seluruhnya, niscaya disempitkan kepada nya neraka jahannam dan dinomori 90”. Artinya, tak ada baginya dalam neraka jahannam itu tempat. Dan kurang dari itu, ada derajat yang lain. Yaitu: puasa setengah masa, dengan cara, ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Yang demikian itu, adalah sangat memberatkan bagi diri dan lebih kuat memaksakannya. Dan telah datang mengenai kelebihannya, banyak hadits, karena hamba padanya, adalah diantara puasa sehari dan syukur sehari. Telah bersabda Nabi saw: “Didatangkan kepadaku kunci-kunci gudang dunia dan tempat simpanan dibumi, maka aku kembalikan semuanya. Dan aku mengatakan: Aku lapar sehari dan aku kenyang sehari. Aku memuji akan Engkau, apabila aku kenyang dan aku merendahkan diri kepada Engkau, apabila aku lapar”. Bersabda Nabi saw: “Yang lebih utama puasa, ialah puasa saudaraku Daud. Adalah ia berpuasa sehari dan berbuka sehari”. Dan daripada itulah “turun tangan Nabi saw pada Abdullah bin Umar ra mengenai puasa, dimana Abdullah mengatakan: “Bahwa saya sanggup lebih banyak dari itu”. Maka menjawab Nabi saw: “Puasalah sehari dan berbukalah sehari!”. Lalu Abdullah menyambung: “Bahwa aku bermaksud lebih baik dari itu !”. Maka bersabda Nabi saw: “Tidak ada yang lebih baik dari itu!”.
         Diriwayatkan “bahwa Nabi saw tiada berpuasa sekali-kali sebulan penuh, selain daripada bulan Ramadlan”. Dan siapa yang tiada sanggup berpuasa setengah masa itu maka tak apalah dengan 1/3 nya. Yaitu, dia berpuasa sehari dan berbuka dua hari. Dan apabila berpuasa 3 hari dari awal bulan, 3 hari ditengah dan 3 hari dipenghabisannya, maka itu adalah 1/3 dan jatuh dalam waktu-waktu yang utama. Dan jika berpuasa Senin, Kamis dan Jum’at, maka itu mendekati dengan 1/3. Apabila telah jelas waktu-waktu keutamaan, maka yang sempurna ialah dipahami oleh orang banyak akan pengertian puasa. Dan bahwa maksudnya, ialah membersihkan hati dan menuangkan segala cita-cita bagi Allah ‘Azza Wa Jalla. Orang yang memahami dengan yang halusnya dari kebatinan, melihat ia akan segala hal-ikhwalnya. Kadang-kadang dikehendaki oleh keadaannya akan berkekalan puasa dan kadang-kadang dikehendaki akan berkekalan berbuka. Dan kadang-kadang dikehendaki mencampurkan berbuka dengan puasa. Apabila telah dipahami akan artinya dan telah dipastikan akan batasnya dalam menempuh jalan akhirat dengan muraqabah/memperhatikan hati, niscaya tiada tersembunyi kepadanya kebaikan hatinya. Dan itu, tidak mengharuskan tertib yang terus-menerus. Dan karena itulah, diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Adalah berpuasa, sehingga dikatakan orang, ia tiada berbuka. Dan ia berbuka, sehingga ia dikatakan orang tiada berpuasa. Dan ia tidur, sehingga dikatakan orang ia tiada bangun dan ia bangun, sehingga dikatakan orang ia tiada tidur”. Dan adalah yang demikian itu, menurut apa yang terbuka baginya dengan nur kenabian, daripada menunaikan segala hak waktu.
        Para ulama memandang makruh membuat berturut-turut diantara berbuka lebih banyak daripada 4 hari, karena penghargaan dengan hari raya dan hari-hari tasyriq. Ulama-ulama itu, menyebutkan, bahwa yang demikian mengkesatkan hati, melahirkan keburukan adat kebiasaan dan membukakan pintu-pintu hawa nafsu. Dan demi umurku, benarlah seperti yang demikian pada pihak kebanyakan manusia, lebih-lebih orang yang memakan sehari semalam dua kali. Inilah yang kami  maksudkan menyebutkannya dari tertib susunan puasa sunat. Wallahu A’lam bish-shawab ? Allah yang Maha Tahu dengan Kebenaran !
          Telah tammat Kitab Rahasia-Rahasia Puasa. Dan segala pujian bagi Allah dengan segala tempat pujianNya semuanya, apa yang kita ketahui daripadanya dan apa yang tidak kita ketahui diatas segala ni’matNya seluruhnya, apa yang kita ketahui daripadanya dan apa yang tidak kita ketahui. Rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya, serta sejahtera dan mulia dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari penduduk bumi dan langit. Akan diiringi insya Allah Ta’ala dengan Kitab Rahasia-Rahasia Hajji. Dan Allah yang menolong, tak ada Tuhan lain daripadaNya. Dan tak adalah taufik bagiku, selain dari Allah. Mencukupilah bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat menyerahkan diri.